Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 81
Para enghiong yg berada disitu
rata2 berkepandaian tinggi, tapi mereka merupakan tenaga yang belum terlatih
dalam peperangan. Sesudah Boe Kie mengeluarkan beberapa perintah, mereka segera
menghunus senjata dan bergerak untuk menyambut musuh.
“Kauwcoe,” bisik Yo Siauw,
“Jika mereka tidak dipimpin, sekali gebrak saja mereka bakal dipukul hancur.”
Boe Kie mengangguk. Ia segera
keluar lebih dulu dan pergi ke pendopo di depan kuil untuk mengamat-amati
musuh. Ia menyadari bahwa pasukan Mongol yang di depan, yang terdiri dari
seribu jiwa lebih sudah tiba dilereng gunung. Tetapi mereka sudah dipukul
mundur oleh Swie kim ie yang menggunakan senjata gendewa dan anak panah serta
tombak di sebelah bawah gunung yang lebih jauh, ia lihat pasukan demi pasukan
merayap naik dengan teratur. Jaman itu keangkeran tentara Mongol sudah tidak
bisa manyamai jaman Genghis khan. Tapi biar bagaimanapun juga tentara pilihan
Mongol masih merupaka tentara yang tiada tandingan.
Selagi Boe Kie mengasah otak
untuk memundurkan tentara musuh di sebelah kiri mendadak terdengar
teriakan-teriakan yang dibarengi dengan munculnya sejumlah pendeta wanita dan
laki-laki muda yang berlari-lari ke atas gunung. Mereka adalah rombongan Go bie
pay. Tak salah lagi dalam perjalanan pulang mereka bertemu dengan tentara
Mongol yang memukul mereka balik ke atas gunung. Dilain saat Boe Kie dan
kawan-kawannya melihat Cioe Cie Jiak, Ceng-hoei Ceng Ciauw dan beberapa pendeta
lain berkelahi sambil mundur dengan tubuh berlumuran darah, tak jauh dari situ
belasan pria yang memikul sebuah tandu sedang dikepung oleh sejumlah serdadu
Mongol. Berulang kali Cie Jiak dan kawan-kawannya menerjang dan berhasil
membinasakan puluhan serdadu musuh tapi mereka belum juga berhasil menolong
kawan-kawan yang terkepung itu.
“Celaka!” seru Boe Kie. “Yang
berada dalam tandu pasti Song soeko!” Ia berpaling dan berseru pula. “Liat hwee
kie melindungi dari kedua samping, Wie heng Hoan Yo Jiesoe ikut aku.” Seraya
memberi perintah ia berlari-lari dan menerjang musuh. Dua serdadu memapaki,
dengan tombak rampasan ia menerjang pasukan musuh diikuti oleh Yo Siauw, Hoan
Yauw dan Pheng Eng Giok.
Sesudah mengamuk beberapa
lama, Hoan Yauw bertemu dengan seorang Siehoe thio (pangkat perwira Mongol).
Dengan sekali pukul ia menghancurkan perwira itu dan kemudian sesudah
merobohkan beberapa musuh ia berhasil merampas seorang yang terluka parah dan
rebah di dalam sebuah tandu. Ia lalu menggendongnya, dan kabur ke tempat yang
lebih aman.
Sementara itu dengan muka
penuh darah Cie Jiak menerjang pula ke arah rombongan musuh.
“Cie Jiak balik! Song Toako
sudah tertolong!” teriak Boe Kie.
Cie Jiak tidak meladeni, ia
terus menyerang dengan cambuknya. Tapi, karena jalanan gunung yang sangat
sempit dan penuh dengan manusia, terjangannya tidak berhasil.
Beberapa saat kemudian Boe Kie
lihat kedua anggota Go bie pay, yang memikul sebuah tandu yang lain dikepung
musuh.
“Apa Song Soeko berada dalam
tandu itu?” tanya Boe Kie dalam hati. Ia segera menghampiri dengan berlari.
Tapi saat masih terpisah setombak lebih dari tandu itu, kedua murid Go bie itu
sudah kena bacokan golok dan anak panah bersama-sama tandu yang dipikulnya,
mereka menggelinding ke bawah gunung.
Boe Kie terkejut. Ia melompat
dan menggunakan tombak yang dipegang oleh tangan kirinya untuk menahan
tergelincirnya tandu. Ia menyadari bahwa orang yang berada di dalam tandu itu
dibungkus dengan kain putih dan hanya kelihatan mukanya. Orang itu memang tidak
lain adalah Song Ceng Soe.
Ia segera melemparkan
senjatanya dan mendukung Ceng Soe. Ia merasa heran karenga tubuhnya berat luar
biasa dan sesudah mendukungnya ia menyentuh sesuatu yang keras. Rupa-rupanya di
dalam kain putih yang membungkus tubuh Ceng Soe terdapat suatu benda yang berat
dan keras. Tapi saat itu ia tidak sempat berpikir panjang lagi. Karena kuatir
menggetarkan tulang-tulang kepala Ceng Soe yang belum lama disambung, ia tidak
berani bertempur dengan serdadu-serdadu yang mencegatnya dan hanya berkelit
sana sini, sambil berlari-lari dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Untung
juga tak lama kemudian ia bertemu dengan Thio Siong Kee dan In Lie Heng yang
lalu melindungi dari serangan musuh.
Sementara itu pasukan Mongol
yang lain dengan kekuatan beberapa ratus orang sudah mulai merangsek ke atas.
“Liat hwee kie turun tangan,” teriak
Pheng Eng Giok.
Tentara Liat hwee kie segera
menyemprotkan minyak tanah dan panah api sehingga dua ratus lebih serdadu
Mongol yang berada di depan segera saja terbakar dan yang lainnya terpaksa
mundur.
Dilain pihak, Ang soe kie yang
menyemburkan air beracun juga sudah berhasil membinasakan serangan musuh.
Dengan menggunakan kesempatan yang baik itu, para orang gagah turut menerjang
dan membasmi musuh sepuas hati.
Melihat gelagat tidak baik,
Ban hon thio yang memimpin tentara Mongol buru-buru memerintahkan dibunyikannya
gendering untuk menarik mundur pasukan. Dilain saat, pasukan depan Mongol
berubah menjadi pasukan belakang dibawah perlindungan tentara yang bersenjata
anak panah mereka mundur ke bawah gunung dengan teratur.
Melihat begitu Pheng Giok
menghela napas dna berkata, “Tentara Mongol benar-benar bukan tentara
sembarangan. Mereka kalah tapi tak jadi kalut.”
Setibanya di kaki gunung
tentara Mongol diatur seperti kipas dan membuat persiapan untuk beristirahat.
Sesudah musuh menghentikan serangan,
Boe Kie segera mengeluarkan perintah.
“Swie Kim, Ang Soei dan Liat
hwee, tiga bendera, menjaga di tempat-tempat yang penting Kie bok dan Hong touw
kie harus menebang pohon dan membuat benteng-benteng untuk menahan terjangan
musuh yang selanjutnya.”
Kelima bendera itu segera
berpencar untuk melakukan tugas mereka.
Pertempuran itu memberi
pelajaran dan membuka mata para orang-orang gagah dari Rimba Persilatan.
Sekarang mereka mengerti bahwa perang lain dari pertandingan satu lawan satu
atau pertempuran antara beberapa orang yang biasa terjadi dalam kalangan Kang
ouw. Sekarang mereka mengakui bahwa Lweekang, Gwakan, senjata rahasia dan ilmu
silat tinggi dari seseorang tidak banyak artinya dalam peperangan, di mana
beribu atau puluhan ribu manusia bertempur secara besar-besaran. Sekarang
mereka yakin bahwa tanpa bantuan Nio heng kie, hari itu mereka semua terhitung
kuil Siauw lim tentu sudah musnah. Tanpa Ngo heng mereka tak akan bisa melawan
dua laksa serdadu Mongol yang terlatih baik.
Sesudah musuh mundur semua,
Boe Kie meletakan Song Ceng soe di tanah dan meraba dadanya. Pemuda she Song
itu ternyata masih bernapas. Ia menengok untuk memanggil Cie Jiak, tapi nyonya
itu tak kelihatan batang hidungnya. “Mana Song Heng jie?” tanyanya kepada
beberapa murid Go bie pay yang berada di situ.
Mereka semua
menggeleng-gelengkan kepala. Dengan repotnya melawan musuh, para enghiong pun
tidak memperhatikan nyonya muda itu.
Karena kuatir Song Ceng soe
terluka, Boe Kie segera membuka kain putih yang membungkus tubuh pemuda itu.
Bungkusan itu tak kurang dari
tiga lapis. Begitu lapisan ketiga terbuka, terdengar suara kerontangan dan
empat potong senjata jatuh di tanah. Boe Kie terkesiap, “To liong to! Ie thian
kiam!” teriaknya. Mendengar teriakan itu semua orang memburu.
Di atas tanah menggeletak dua
potong Ie thian kiam dan dua potong To liong to.
Boe Kie mengambil salah
sepotong To liong to. Ia berdiri terpaku dan kedua matanya mengeluarkan sinar
kedukaan. Ia ingat bahwa ayah dan ibunya meninggal karena golok mustika itu. Ia
ingat bahwa selama dua puluh tahun lebih banyak orang bermusuhan, berkelahi dan
hilang jiwa gara-gara golok itu. Ia ingat pula bahwa perkumpulan para enghiong
di kuil Siauw lim sie juga disebabkan oleh To liong to. Sekarang golok tersebut
muncul dalam keadaan patah dua dan tidak ada gunanya lagi.
Ia angkat potongan itu dan
menyadari bahwa di tengahnya berlubang. Ie thian kiam pun demikian. Mungkin
sekali di dalam lubang itu telah disembunyikan sesuatu, tapi isinya sudah
diambil orang.
Yo Siauw menghela napas, “Kauw
coe!” katanya. “Sudah lama sekali aku coba memecahkan teka teki sumber ilmu
silat Cioe Kauwnio sekarang aku bisa mengatakan bahwa ilmu Cioe Kauwnio didapat
dari pedang dan golok itu.”
Boe Kie bukan orang tolol.
Iapun sudah bisa meraba-raba kejadian yang sebenarnya. Ia sekarang dapat
membayangkan bahwa malam itu waktu berada di sebuah pulau kecil. Cie Jiaklah
yang sudah mencuri Thian kiam dan To liong to. Entah dengan jalan bagaimana ia
menyingkirkan Tio Beng, membinasakan In Lee dan lalu saling membacok kedua
senjata itu sehingga Ie thian kiam dan To liong to yang tersohor patah
dua-duanya. Sesudah itu ia ambil pit kip (kitab ilmu) yang disembunyikan dalam
kedua senjata itu dan melatih diri secara diam-diam.
Makin lama Boe Kie berpikir
makin jelas duduk persoalan. “Benar,” katanya di dalam hati. “Di pulau itu
waktu aku mencoba mengusir racun dari tubuhnya dengan menggunakan Kioe yang
Sing kang aku merasakan munculnya semacam tenaga luar biasa yang melawan Sin
kang. Belakangan tenaga itu jadi lebih kuat. Hai…karena tergesa-gesa ia tak
pelajari dasar-dasar Lweekang yang sejati tapi melatih diri dalam ilmu luar
yang beracun, yang bisa memberi hasil dalam waktu singkat. Sungguh sayang….”
Selagi ia termenung, Gouw Kia
Co Ciang kie soe, Swi kim kie mendekati dan berkata seraya membungkuk.
“Kauwcoe, aku jadi pandai besi (tukang besi). Aku bisa membuat macam-macam
senjata. Mungkin sekali pedang dan golok mustika itu masih dapat disambung.
Apakah Kauwcoe setuju kalau aku mencobanya?”
Yo Siauw girang, “Ilmu membuat
pedang dari Gouw Sioe soe tiada tandingannya dikolong langit,” katanya.
“Kauwcoe boleh mengijinkannya.”
Boe Kie mengangguk. “Baiklah,”
katanya. “Memang sangat sayang jika kedua senjata ini tidak bisa digunakan
lagi. Gouw Kioe soe, kau cobalah.”
“Heesheng,” kata Gouw Kin Co
kepada Hee Yam, Ciang kie soe, “Liat hwee kie, membuat pedang golok mempunyai
kaitan yang erat dengan api. Dalam hal ini, aku memerlukan bantuanmu. Untuk
sementara waktu Tat coe mungkin tidak berani segera menyerang lagi. Bagaimana
kita mencoba sekarang juga.”
Hee Yam tertawa. “Mupakat,”
jawabnya. “Soal api memang bidangku.”
Kedua pemimpin bendera itu
segera membuat persiapan. Mereka membuat sebuah dapur yang sangat tinggi dan
pada dapur itu hanya terbuka sebuah lubang yang panjangnya belum cukup satu
kaki. Dalam Liat hwee kie selalu tersedia macam-macam bahan baker, sehingga
dalam waktu singkat api sudah berkobar-kobar di dapur itu.
Dengan penuh perhatian Gouw
Kin Co mengawasi api. Di atas tanah berjejer belasan golok. Sesudah api berubah
warnanya ia mengambil beberapa batang golok dan memasukkannya ke dalam dapur
untuk menilai “sifat” dari api yang tengah berkobar-kobar itu. Beberapa lama
kemudian, api yang tadi berwarna hijau berubah menjadi putih. Ia segera
mengambil jepitan baja menjepit dua potongan To liong to menyambungnya satu
degan yang lain dan kemudian memasakkannya ke dalam dapur.
Dengan rasa kagum semua orang
menyaksikan cara kerja pandai besi itu. Ia tidak memakai baju dan keringat
mengucur terus dari tubuhnya yang berotot. Hawa panas dari dapur itu hebat luar
biasa dan bunga api yang selalu muncrat keluar jatuh di tubuhnya. Tapi ia
seolah-olah tidak merasakan semua itu. Dengan menumpahkan seluruh perhatian, ia
berdiri bagaikan patung dengan kedua tangan memegang jepitan baja yang menjepit
dua potong To liong to.
Mendadak dua anggota Liat hwee
kie yang memompa hong shia roboh pingsan. Hee Yam dan Ciang kie Hoe soe (wakil
pemimpin) Liat hwee kie melompat menyeret kedua orang korban itu dan kemudian
mereka sendirilah yang menggantikannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki
Lweekang yang kuat. Begitu lekas hong shia ditarik mereka, api berkobar makin
besar. (Hong shi – Alat berbentuk kotak untuk memompa angin ke dalam dapur).
Selang beberapa lama tiba-tiba
Gouw Kin Co berseru, “Gagal!” ia melompat mundur dengan paras muka pucat. Kedua
jepitan bajak yang dicekalnya sudah mulai melumer tapi To liong to masih tidak
bergeming. “Kauwcoe, anak buahmu tak punya kebecusan,” katanya dengan suara
memohon maaf. “Nama besar To liong to benar-benar bukan nama kosong.”
Hee Yam dan Ciang ki Hoe soe
Liat hwe kie juga turut mundur. Pakaian mereka sudah basah dengan keringat.
“Boe Kie koko,” kata Tio Beng
dengan tiba-tiba, “Bukankah Seng hwee leng juga logam mustika dan bahkan tidak
dapat diputuskan oleh To liong to?”
“Benar!” kata Boe Kie. “Hampir
kulupa.” Ia mempunyai enam Seng hwee leng, tapi yang satu sudah diberikan
kepada Swee Poet Tek untuk memanggil bala bantuan.
Ia segera merogoh saku dan
mengeluarkan kelima batang “leng” yang lalu diserahkan kepada Gouw Kin Co.
“Kalau golok dan pedang itu sukar disambung, Gouw heng tak usah memaksakan
diri,” katanya. “Swee heng leng adalah mustika dari agama kita. Sebisa mungkin
jangan sampai rusak.”
Gouw Kin Co menyambut dan
menelitinya sambil mengerutkan alis.
“Apabila Gouw heng tak punya
pegangan sebaiknya jangan menempuh bahaya,” kata Boe Kie.
“Swee heng leng ini terbuat
dari emas putih, besi Hian tiat, pasir Kim Kong dan bahan istimewa lain,”
terang Gouw Kin Co. “Benda luar biasa ini tak akan bisa dilumerkan dengan api.
Apa yang aku tak dapat pikirkan adalah bagaimana Seng hwee leng dulu dibuat.”
“Sudahlah, untuk apa Gouw heng
memikirkan hal itu,” kata Hee Yam. “Paling baik kita segera mencoba.”
Gouw Kin Co mengangguk,
“Kauwcoe tidak usah kuatir,” katanya. “Meskipun api yang dibuat Hee heng cukup
hebat, kulit Seng hwee leng tidak akan rusak.” Sehabis berkata begitu ia
menjepit sepotong To liong to dengan dua “leng” dan potongan yang lain dengan
dua “leng” pula. Kemudian dengan dua jepitan baja yang baru ia menjepit keempat
“leng” itu yang lalu dimasukkan ke dalam dapur. Seperti tadi, gas memompa angin
dilakukan Hee Yam dan Ciang kie Hoesoe dari Liat hwee kie.
Makin lama api berkobar makin
tinggi, selang setengah jam Gouw Kin Co, Hee Yam dan Ciang kie Hoe soe sudah
kelihatan payah sekali dan hampir tidak bisa mempertahankan diri lagi dari
serangan hawa panas.
Melihat itu, Hoan Yauw memberi
isyarat kepada Cioe Tian dengan lirikan mata dan gerakan tangan. Dengan bersamaan
mereka melompat dan menggantikan pekerjaan Hee Yam dan kawannya. Begitu angin
dalam hong shia dipompa oleh dua tenaga baru yang memeiliki Lweekang sangat
tinggi, api yang berwarna putih segera menghembus ke atas.
Mendadak Gouw Kin Co
berteriak, “Kouw heng, sekarang kau boleh turun tangan!”
Kouw Beng Louw, Ciang kie Hoe
soe dari Swie kim kie lari mendekati dapur dan…, ia menggores dada Gouw Kin Co
dengan goloknya.
Semua orang terkesiap dan
menggeluarkan seruan tertahan.
Darah segera mengucur dari dada
Gouw Kin Co yang telanjang dan jatuh di atas To liong to. Jatuhnya darah itu
mengeluarkan suara ces…ces…dibarengi dengan naiknya uap putih dari badan golok.
“Selesai!” teriak Gouw Kin Co
pula. Ia mundur beberapa langkah dan jatuh duduk di atas tanah.
Semua mata ditujukan ke arah
To liong to, dua potongan golok itu sudah tersambung.
Sekarang semua orang baru
sadar bahwa dalam tekadnya untuk menyambung golok mustika itu, Gouw Kin Co
sudah lebih dulu mengadakan persetujuan dengan Kouw Beng Louw untuk menggunakan
darahnya sendiri, apabila cara yang biasa mendapat kegagalan. Menggunakan darah
manusia dikenal sebagai suatu cara di jaman purba untuk melumerkan logam yang
tidak bisa dilumerkan dengan api biasa. Sepanjang cerita, dalam usaha membuat
sepasang pedang mustika, dahulu sepasang suami istri Kan Ciang dan Bok Yo telah
mengorbankan jiwa dengan melompat ke dalam dapur.
Dengan rasa haru Boe Kie
menubruk bawahannya itu dan memeriksa lukanya. Luka itu tidak berbahaya, ia
segera mengeluarkan obat dan menaburnya di dada Gouw Kin Co. “Gouw heng,
mengapa kau berbuat begitu?” katanya dengan suara parau. “Golok itu bisa
disambung atau tidak, sama sekali tak menjadi soal. Untuk apa kau menyakiti
diri sendiri?”
Melihat sang pemimpin tidak
memperdulikan Seng hwee leng atau To liong to dan lebih dulu memeriksa lukanya,
Gouw Kin Co merasa berterima kasih. “Luka ini hanya dikulit,” katanya. “Kauwcoe
tak usah kuatir.” Ia bangun berdiri dan mengambil To liong to. Ternyata dua
potong golok itu tersambung dengan sempurna dan pada sambungannya hanya
terlihat sehelai tanda bekas darah. Dengan rasa bangga ia menyerahkan kepada
Boe Kie yang baru saja mengambil kembali keempat “leng” yang tadi digunakan
untuk menjepit potongan golok. Keempat “leng” itu tidak kurang apapun.
Sesudah mengawasi golok
mustika itu beberapa saat, Boe Kie menyabetkannya ke arah sepasang tombak
Mongol. “Tak!” dua tombak itu putus menjadi empat potong.
Para hadirin bersorak sorai.
Sementara itu, Gouw Kin Co memegang dua potong Ie thian kiam dengan mata
merenung. Di depan matanya terbayang mendiang Cung ceng Ciang Kie soe Swee
kim-kie dan puluhan saudara lain yang dibinasakan dengan pedang itu.
Perlahan-lahan air matanya
mengalir turun, “Kauwcoe,” katanya dengan suara perlahan. “Pedang ini telah
mengambil jiwa Chung To do dan banyak saudara lain. Gouw Kin Co membencinya
sampai ke tulang-tulang. Dengan sangat menyesal, aku tak sanggup menyambungnya
kembali. Aku bersedia menerima segala hukuman.” Sehabis berkata begitu ia
menangis tersenguk-senguk.
“Gouw heng sama sekali tidak
berdosa,” kata Boe Kie dengan suara lemah lembut.
“Itu hanya menunjuk “gie hie”
Gouw heng yang sangat tebal.” Ia mengambil dua potong pedang itu dari tangan
Gouw Kin Co dan menghampirinya. “Ceng hoei! Pedang ini adalah milik Go bie pay,”
katanya. “Kuminta Soe thay sudi mengambilnya untuk kemudian diserahkan kepada
Cioe…kepada Song Hoe jin.” Ceng hoei mengambilnya tanpa mengeluarkan sepatah
kata.
Untuk beberapa lama Boe Kie
mencekal To liong to sambil mengerutkan alis. Akhirnya ia berpaling kepada Kong
boen dan berkata, “Hong thio, golok ini didapatkan oleh Giehoeku. Sekarang
Giehoe sudah menjadi seorang pendeta dan murid Siauw lim. Sudah sepantasnya
kalau To liong to disimpan oleh Siauw lim pay.”
Kong boen menggoyang-goyangkan
tangannya. “Golok itu telah menemukan majikannya,” katanya. “Dari berlaksa
tentara, Thio Kauwcoe telah merebut kembali To liong to. Hal ini disaksikan
oleh semua orang. Belakangan Gouw Toako menyambungnya kembali dengan
mengucurkan darah sendiri. Disamping itu, segenap anggota Rimba Persilatan
telah mengangkat Thio Kauwcoe sebagai Boe lim Beng coe, baik dilihat dari sudut
kepandaian dan kebijaksanaan, maupun dari sudut kebajikan dan kedudukan yang
tinggi, To liong to harus berada dalam tangan Thio Kauwcoe. Menurut pendapat
loolap hal ini adalah yang paling adil.”
Semua orang menyetujui
pendapat Kong boen dan beramai-ramai mendesak supaya Boe Kie sudi menerimanya.
Karena tidak bisa menolak
lagi, mau tak mau Boe Kie lalu menggantungkan To liong to dipinggangnya.
“Apabila dengan golok ini aku bisa menguasai enghiong Timba Persilatan untuk
mengusir Tat coe, aku akan merasa girang sekali,” pikirnya.
Semua orang merasa girang.
Banayk yang lalu menghafal kata-kata yang dikenal sejak seratus tahun yang
lalu. “Boe lim cie coen, po to to liong, hauw leng, thiat hoe, boh kam poet
ciong!” atau Yang mulia dalam Rimba Persilatan adalah golok mustika To liong.
Memerintah di kolong langit, tak ada yang berani tidak menurut. Disebelah bawah
masih ada perkataan, “le jian poet coet, swee ie kiam ceng hiong?” apabila Ie
thian kiam tidak keluar, siapakah yang berani mengadu ketajaman dengan
dengannya? Melihat Ie thian kiam sudah tidak dapat disambung lagi, orang-orang
yang menghafal tidak menyebutkan lagi delapan perkataan yang terakhir itu.
Pihak yang merasa paling puas karena rusaknya Ie thian kiam adalah
anggota-anggota Swie kim kie, sebagaimana diketahui banyak orang, bendera itu
telah dibinasakan dengan pedang menggunakan pedang mustika tersebut.
Sesudah penyambungan golok selesai,
sejumlah anggota Ang soe kie menggotong keluar sebuah kuali besar dari dalam
kuil dan sesudah mengisi minyak dalam kuali itu segera menarihnya di atas
dapur. Minyak panas itu akan digunakan untuk menyemprot tentara Mongol jika
mereka menyerang pula.
Sore itu, kecuali tentara Ngo
beng kie dan sejumlah pendeta Siauw lim yang menjaga di luar, semua orang
bersantap di dalam kuali itu. Sehabis makan Boe Kie memanjat satu pohon besar
dan mengamat-amati gerakan musuh di kaki gunung. Ia lihat tentara Mongol
terpencar di sana sini di seputar gunung dan asap putih mengepul di berbagai
tempat yang merupakan satu tanda bahwa serdadu-serdadu itu sedang menanak nasi.
Boe Kie melompat turun dari
pohon. “Wie heng,” katanya kepada Wie It siauw. “Saat malam menjelang kau
selidiki keadaan musuh kalau-kalau mereka ingin menyerang di waktu malam.”
Wie it Siauw mengiyakan dan
segera berlalu.
“Kauwcoe,” kata Yo Siauw,
“Menurut pendapatku, sesudah dihajar di depan gunung hari ini, Tatcoe tidak
akan menyerang lagi. Yang kita harus jaga adalah bokongan dari gunung.”
“Benar,” kata Boe Kie. “Mari
kita mengamati dari atas bukit.” Bersama Yo Siauw, Hoan Yauw dan Gan Hoan, ia
segera berangkat ke bukit di belakang gunung di mana Cia Soen pernah
dipenjarakan.
“Aku ikut!” kata Tio Beng.
Dari puncak bukit, mereka
mengawasi ke bawah, keadaan tenang-tenang saja. Sama sekali tak ada petunjuk
dari gerakan tentara. Sambil mengusap-usap tiga batang siong yang
dirubuhkannya, Boe Kie ingat pengalamannya yang sangat hebat. Tiba-tiba dalam
otaknya teringat peringatan, “Ah, hampir kulupa,” katanya di dalam hati. “Gie
hoe telah berpesan agar kuperiksa keadaan di dalam lubang.”
Batu penutup lubang masih
belum dikembalikan ke tempat asalnya. Ia segera melompat turun. Ternyata dasar
lubang itu merupakan sebuah kamar dengan garis tengah kira-kira setombak. Cuaca
sudah mulai gelap dan keadaan di lubang itu lebih gelap lagi. Ia mengeluarkan
bibit api untuk menerangi keadaan lubang. Dengan bantuan sinar api, ia lihat
empat gambar di empat penjuru dinding batu. Gambar-gambar itu dilukis engan
menggunakan potongan batu tajam, sederhana tapi cukup terang.
Gambar di sebelah timur
memperlihatkan dua wanita – yang satu tidur di tanah, yang lain menotok wanita
yang tidur dengan jari tangan kirinya, sedang tangan kanannya merogoh saku yang
sedang tidur itu. Di sisi gambar terdapat tulisan yang berbunyi “mengambil
obat”.
Gambar di sebelah selatan
menunjuk sebuah gambar kapal dan seorang wanita yang melemparkan seorang wanita
lain ke kapal itu. Pada gambar itu terdapat tulisan “mengusir”
Boe Kie mengeluarkan keringat
dingin. “Benar-benar begitu kejadiannya!” pikirnya. “Cie Jiak menotok jalan
darah Beng moay dan mencuri Sip hiong Joan kin san untuk meracuni Giehoe dan
aku. Sesudah itu ia melemparkan Beng moay ke kapal Persia. Tapi mengapa ia
tidak membunuhnya? Hmm…ya! Kalau dibunuh, ia tidak bisa menimpakan dosa diatas
pundak Beng moay. Kalau begitu piauw moay pun dicelakai olehnya.”
Di bawah gambar itu dilukiskan
dua orang lelaki. Yang satu sedang tidur pulas, yang lain yang rambutnya
panjang tengah memasang kuping. Boe Kie kaget. Ia sekarang menyadari bahwa
semua perbuatan Cie Jiak diketahui oleh ayah angkatnya. “Giehoe sungguh bisa
menahan sabar dan di pulau itu ia sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda
bahwa ia sudah tahu pengkhianatan Cie Jiak,” katanya dalam hati.
“Ia memang harus berlaku
begitu. Ketika itu ia dan aku sudah menelan Sip hiang Joan kin-san dan jiwa
kami berada dalam tangan Cie Jiak. Tak heran kalau Giehoe menuduh Beng moay
dengan sungguh-sungguh. Ia tahu aku seorang jujur, apabila aku ragu, rahasia
bisa bocor.”
Pada gambar ketiga, di sebelah
barat terlihat Cia Soen yang sedang duduk dan dibokong dari belakang oleh Cie
Jiak, sedang dari luar menerobos masuk sejumlah anggota Kay pang. Gambar ini
sama dengan apa yang terlihat dalam arak-arakan di kota raja.
Baru saja Boe Kie mau
memeriksa gambar keempat, api padam. “Beng moay, kemari,” serunya. “Kupinjam
api.”
Tio Beng melompat turun.
Gambar keempat memperlihatkan
dibawanya Cia Soen oleh belasan pria, sedang di kejauhan dari belakang pohon
mengintip seorang wanita muda. Lukisan keempat gambar itu sangat baik muka
orangnya kecuali muka Cia Soen yang tidak menyerupai orang-orang itu. Boe Kie
mengerti bahwa hal itu sudah terjadi karena Cia Soen buta sejak puluhan tahun
berselang dan belum pernah melihat muka orang-orang yang dilukisnya.
Sambil menuding wanita muda
yang bersembunyi di balik pohon, Boe Kie bertanya, “Siapa wanita itu? Kau atau
Cie Jiak?”
“Aku,” jawabnya. “Seng Koen
merampas Cia Tayhiap dari tangan Kay pang dan kemudian mengirimnya ke Siauw lim
sie. Tapi ia sendiri membuat tanda-tanda Beng kauw sehingga kau mengubar-ubar
tanda-tanda itu dalam sebuah lingkaran besar. Sering aku ingin merebut Cia
Tayhiap tapi selalu tidak kesampaian. Belakangan aku mencoba juga tapi gagal
dan aku hanya bisa mengambil segenggam rambut Cia Tayhiap untuk dijadikan
barang bukti guna mencegah pernikahanmu dengna Cie Jiak. Saat melakukan itu aku
merasa tak enak hati dan merasa bersalah terhadapmu.”
Boe Kie mengawasi si nona
dengan mata merenung. Selama beberapa bulan, nona yang ayu itu kurus banyak,
pipinya menjadi agak pucat dan ia merasa sangat kasihan. Tiba-tiba ia memeluk
erat-erat. “Beng moay…aku yang bersalah.” Karena pelukan itu api segera padam
dan gua itu gelap gulita. “Beng moay,” kata Boe Kie pula. “Jika kau kurang
pintar, mungkin sekali aku sudah membunuhmu. Kalau sampai terjadi begitu….”
Si nona tertawa. “Apa kau tega
mengambil jiwaku?” tanyanya. “Waktu kau bertemu dengan aku di kota raja,
mengapa kau tidak segera membunuh aku?”
Boe Kie menghela napas. “Beng
moay, rasa cintaku terhadapmu telah membuat aku tidak berdaya,” katanya. “Jika
piauw moay benar-benar dibinasakan olehmu, aku tak tahu apa yang harus
kulakukan. Sekarang semuanya sudah menjadi jelas. Disamping rasa menyesal untuk
Cie Jiak, aku harus mengakui bahwa diam-diam aku merasa girang.”
Mendengar pengakuan yang
setulus hati itu, si nona girang bukan main hatinya. Dia segera menyusupkan
kepalanya di dada yang lebar. Lama mereka berada dalam keadaan begitu, tanpa
mengucapkan sepatah kata! Akhirnya Tio Beng menengadah. Ia lihat bulan seperti
sisir tergantung di sebelah timur sedang keadaan di sekitar sunyi bagaikan
kuburan. Ia tahu Yo Siauw, Hoan Yauw dan Gan Hoan sudah menyingkir ke tempat
lain supaya tidak mengganggu mereka.
“Boe Kie Koko,” kata si nona,
“Apa kau masih ingat pertemuan kita di Lek boe San chung? Kita bersama-sama
jatuh ke dalam penjara di bawah tanah. Bukankah kejadian itu menyerupai
kejadian sekarang ini?”
Boe Kie tertawa. Ia mencekal
kaki kiri Tio Beng dan sepatunya.
Tio Beng tertawa geli! “Kau
tak tahu malu!” bentaknya, “Lelaki menghina perempuan!”
“Kau bukan perempuan biasa.
Akal bulusmu sangat banyak. Sepuluh lelaki belum tentu bisa menandingi kau
seorang.”
“Aku yang rendah tak sanggup
menerima pujian begitu tinggi dari Thio Kauwcoe yang mulia.”
Sampai di situ mereka
terbahak-bahak. Kata-kata itu telah diucapkan mereka waktu berada dalam lubang
jebakan di Lek hoe chung. Kalau dulu mereka berhadapan sebagai musuh sekarang
sebagai kekasih.
Mendadak sayup-sayup terdengar
bentakan-bentakan, satu tanda dari terjadinya pertempuran. Mereka memasang
kuping.
“Mari kita lihat!” kata Boe
Kie sambil memegang tangan Tio Beng dan dengan sekali menggenjot tubuh, mereka
sudah berada di muka bumi. Di tempat yang jauh mereka lihat tiga bayangan
manusia berlari-lari ke jurusan timur dengan kecepatan luar biasa. Dari
gerakan-gerakannya dan cara berlarinya, ketiga orang itu adalah ahli-ahli silat
kelas satu.
Yo Siauw muncul, ia mendekati
Boe Kie dan berkata, “Mereka bukan orang kita.”
“Yo Cosoe,” kata Boe Kie.
“Bersama Yoesoe kau berdiam di sini. Aku kuatir musuh menggunakan tipu,
memancing harimau keluar dari gunungnya. Aku mau mencoba selidiki mereka.”
Yo Siauw menerima perintah itu
dengan membungkuk.
Boe Kie segera memeluk
pinggang Tio Beng dengan sebelah tangannya dan sambil menjejak bumi ia
mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Toga bayangan di depan itu ternyata sedang
kejar-kejaran, satu kabur dua mengudak. Boe Kie menambah tenaga, kakainya
bekerja makin cepat sehingga Tio Beng merasa seperti dibawa terbang dengan
menunggang awan. Sesudah mengejar satu li lebih dengan bantuan sinar bulan yang
reman-remang, mereka segera mengenali bahwa kedua orang yang mengejar itu tak
lain adalah Lok Thung Kek dan Ho Pit Ong.
Mendadak Pit Ong menimpuk
dengan poan kaon pitnya yang berujung patok burung. Orang yang dikejar melompat
ke samping dan menangkis senjata musuh dengan pedangnya. Dengan sedikit
kelambatan itu, Lok Thung sudah menyandak dan menikam dengan tongkatnya yang
bercagak seperti tanduk menjangan.
Orang itu menghindar dan
membalas dengan pukulan telapak tangan, Boe Kie dan Tio Beng mengeluarkan
seruan tertahan. Ia adalah Cioe Cie Jiak, mukanya pucat seperti kertas dan rambutnya
terurai. Segera Boe Kie menarik tangan Tio Beng dan bersembunyi di belakang
pohon.
Sesudah menyambut pit-nya yang
jatuh, Ho Pit Ong segera merangsek dan mengepung Cie Jiak bersama kakak
seperguruannya.
“Setan tua!” bentak Cie Jiak.
“Untuk apa kau mengejar aku?”
“Hari ini Thio Boe Kie merebut
To liong to dan In thian kiam,” kata Lok Thung Kek. “Dengan mata sendiri kami
lihat bahwa ilmu pit kip, ilmu silat yang terdapat dalam kedua senjata itu
sudah tidak ada lagi. Pit kip itu pasti berada di tangan Song Hoejin.”
Boe Kie terkejut.
“Pit kip memang ada,” jawab
Cie Jiak. “Tapi sesudah selesai dan berhasil latihanku, aku segera
membakarnya.”
Lok Thung Kek mengeluarkan
suara di hidung. “Enak saja menggoyangkan lidah!” katanya. “To liong to dan Ie
thian kiam dikenal sebagai yang termula dalam Rimba Persilatan. Semua ahli
silat di kolong langit ingin sekali mendapatkannya. Mana bisa pit kip dalam
kedua senjata itu dapat dipelajari dalam waktu singkat? Biarpun tinggi, ilmu
Song Hoejin belum mencapai puncak tertinggi. Kalau Song Hoejin sudah selesai
dalam latihan semua pelajaran yang tertera dalam pit kip itu, maka dalam
sekejap mata kau bisa mengambil jiwa kami berdua. Mengapa kau main
kejar-kejaran?”
“Kalau kau tak percaya,
terserah,” kata Cie Jiak. “Aku tak punya waktu untuk bicara lama-lama.” Seraya
berkata begitu, ia melompat untuk lari.
“Tahan!” bentak Lok Thung Kek.
Dengan bersamaan kedua kakek itu menyerang dari kiri kanan.
Cie Jiak memutar pedangnya
bagaikan titiran dan menyambut serangan-serangan Hian beng Jieloo. Di siang
hari Boe Kie telah menyaksikan Cie Jiak telah menggunakan cambuk dan kin dengan
rasa kagum ia menonton silat pedang indah. Sesudah belasan jurus, biarpun
dikerebuti Lweekang yang lebih kuat mungkin sekali mereka sudah dijatuhkan.
“Sungguh sayang,” kata Boe Kie dalam hati. “Jika Cie Jiak bersenjata Ie thian
kiam, Hian beng Jieloo tidak akan bisa berbuat banyak, dengan pedang biasa ia
kalah Lweekang dan kalah ulet. Paling banyak ia bisa pertahankan diri dalam dua
ratus jurus.”
Sesudah lewat dalam beberapa
jurus lagi Cie Jiak mengeluarkan pukulan-pukulan aneh. Boe Kie tahu bahwa
itulah usaha untuk melarikan diri. Dengan serangan nekat-nekatan itu kalau
untung bagus, memang Cie Jiak bisa berhasil. Tapi salah sedikit saja ia bisa celaka.
Perlahan-lahan Boe Kie keluar dari tempat sembunyinya dan mendekati gelanggang
pertempuran. Kalau perlu, ia mau menolong.
Mendadak seraya membentak
keras Cie Jiak mengirim tiga tikaman berantai kepada Lok Thung Kek. Karena
sedikit terlambat, tikaman ketiga merobek baju dan pundak si kakek turut
tergores pedang, pada waktu itu Ho Pit Ong mendadak menimpuk punggung Cie Jiak
dengan kedua pitnya. Dalam menghadapi musuh, kalau tidak terpaksa, Ho Pit Ong
belum pernah menggunakan timpukan itu. Tapi sekarang, karena kuatir datangnya
bala bantuan musuh yang bisa menggagalkan usaha merebut pit kip, ia menggunakan
pukulan yang diberi nama Siang ho Lee kong (sepasang burung ho berbunyi di
angkasa). Begitu kedua poan-koan pit yang ditimpuk beradu di tengah udara dengan
mengeluarkan suara nyaring dan satu di atas dan satu di bawah, menyambar kepala
dan pinggang Cie Jiak.
Dilain pihak, begitu merasakan
sambaran angin di punggung, Cie Jiak berkelit. Tapi diluar dugaan, sesudah
terbentrok di tengah udara dengan pit itu mengubah arah serangan. Ketika itu
dapat menolong diri dari pit yang menyerang kepala, tak keburu mengelak pit
yang menyambar pinggang.
Pada detik yang sangat
berbahaya Boe Kie melompat dan menjambret pit itu sambil menangkis timpukan Ho
Pit Ong dengan sebelah tangan yang lain.
Cie Jiak yang menduga bahwa ia
bakal mati sudah pejamkan kedua matanya. Selagi Boe Kie menangkis serangan Ho
Pit Ong, tangan Lok Thung Kek menyambar dan menjambret di kempungannya. Itulah
Hian beng Sin ciang yang menggetarkan Rimba Persilatan. Begitu kena, napas Cie
Jiak sesak dan ia roboh.
Semua kejadian itu terjadi
dalam sekejap mata. Dengan kagetnya Boe Kie melemparkan poan koan pit Ho Pit
Ong, mendukung pinggang Cie Jiak dan melompat setombak lebih jauhnya. “Hian
beng Jieloo,” bentaknya. “Kau sungguh tak tahu malu!”
Lok Thung Kek tertawa
terbahak-bahak.
“Kukira siapa, tak tahunya
Thio Toakouw coe,” katanya dengan suara mengejek. “Di mana Koen coe ku? Ke mana
kau bawa Koen coe?”
Tio Beng menghampiri dan
mengambil Cie Jiak dari tangan Boe Kie. Ia tertawa dan berkata,” Lok Sianseng,
siang malam kau tak bisa melupakan aku. Apa kau tak takut ayahku marah?”
“Perempuan siluman!” bentak si
kakek dengan gusar. “Huh huh…kau mencoba merenggangkan aku dengan soeteeku.
Dengan ayahmu kami sudah putuskan semua hubungan. Jie lam ong marah atau tidak,
tak ada sangkut pautnya dengan kami lagi.”
Boe Kie menatap wajah kedua
kakek itu dengan darah meluap. Mendengar cacian terhadap Tio Beng dan melihat
pukulan terhadap Cie Jiak, ia segera ingat perbuatan mereka terhadap dirinya di
waktu ia masih kecil, “Beng moay,” katanya. “Kau mundurlah. Hari ini aku akan
beri pelajaran kepada mereka.”
Melihat Boe Kie bertangan
kosong, Lok Thung Kek segera menyimpan senjatanya.
Boe Kie maju selangkah dan
sesudah membentak “sambutlah!” ia memukul dengan Lok ciak hwee dengan mendorong
kedua telapak tangannya. Pukulan yang dikirim dengan gerakan perlahan adalah
Thay kek Koen hoat, tapi pada kedua tangannya tersembunyi tenaga Kioe yang Sin
kang. Ia telah mengambil keputusan untuk menggunakan tenaga Soen yang (panas)
yang paling murni untuk menghadapi tenaga Soen im (dingin) dari Hian beng Sin
ciang.
Di jaman sekarang Thay kek
koen sudah jadi ilmu silat yang biasa saja. Tapi pada akhir kerajaan Goan,
waktu baru dirubah oleh Thio Sam Hong di dalam Rimba Persilatan jarang sekali
terlihat ilmu tersebut. Karena kuatir Boe Kie menyembunyikan sesuatu di balik
pukulan yang enteng lemas itu, Thung Kek tak berani menyambut dan lalu melompat
ke samping. Boe Kie memutar tubuh sambil mengirim pukulan kedua pada Ho Pit
Ong.
Beberapa kali Boe Kie pernah
bertempur dengan Hian beng Jieloo dan ia tahu bahwa kepandaiannya melebihi
kedua kakek itu. Tapi kedua lawan itu bukan orang sembarangan.
Ia tak boleh begitu sembrono
atau memandang enteng. Kesalahan kecil bisa berakibat hebat. Dengan menggunakan
Thay kek Koen hoat, yang mengirimkan pukulan dalam bentuk lingkaran, ia berada
dalam kedudukan tegak dengan garis pembelaan yang hampir tak bisa ditembus.
Pada hakikatnya Thay kek Koen hoat adalah ilmu silat yang mengerahkan tenaga.
Pada lingkaran-lingkaran Thay kek itu ia menyelipkan tenaga Kioe yang Sin kang
sehingga hawa panas yang murni menekan hawa dingin dari Hian beng Sin ciang.
Makin lama gerakan-gerakan Boe
Kie jadi makin lancar. Ia mengerti bahwa kedua kakek itu adalah jago-jago yang
jarang tandingannya dalam dunia. Sesudah merobohkan mereka, tak mudah ia bisa
bertemu lagi dengan lawan yang setimpal, yang bisa digunakan sebagai kawan
berlatih silat. Maka itu ia tidak tergesa-gesa.
Sesudah bertempur seratus
jurus lebih, secara kebetulan waktu menengok ia melihat tubuh Tio Beng
gemetaran dan hampir tak kuat menyangga tubuh Cie Jiak lagi. “Celaka!” ia
mengeluh. “Cie Jiak kena pukulan Hian beng Sin ciang, yang ia latih adalah
tenaga dingin. Tenaga dingin ditambah lagi dengan tenaga dingin yang sangat
beracun, Beng moay juga kena akibatnya dan tak tahan lagi.”
Buru-buru ia menambah tenaga
dengan pukulan-pukulan hebat, ia mencoba menindih Lok Thung Kek. Si kakek dapat
menangkap maksudnya, sambil berkelit ia berseru, “Soetee! Berkelahi dengan
siasat gerilya. Perempuan she Cioe itu sudah hampir mampus, jangan biarkan dia
menolong.”
“Baik,” jawab Ho Pit Ong
sambil melompat keluar dari gelanggang menjemput kedua pitnya dan kemudian menyerang
dengan kedua senjata itu. Boe Kie mendongkol. Ia merangsek dan mengirim pukulan
geledek yang disertai dengan sepuluh bagian tenaga Kie yang Sin kang sehingga
napas Ho Pit Ong sesak. Tanpa memperdulikan keselamatan soeteenya, Lok Thung
Kek mengeluarkan toyanya dan menikam pinggang Boe Kie dengan senjata itu.
Biarpun menggunakan senjata,
Hian beng Jieloo tak bisa merobohkan Boe Kie tetapi dengan senjata, sedikitnya
untuk sementara waktu mereka dapat mempertahankan diri.
Dilain pihak, dalam menghadapi
senjata, Boe Kie menukar ilmu silat. Ia sekarang menggunakan Liong jiauw Kin
nan chioe yang diturunkan oleh Kong seng Seng ceng (Liong jiauw Kin nan chioe,
Silat cakar naga).
“Sungguh bagus Liong jiauwmu!”
seru Lok Thung Kek. “Sebentar lagi dapat digunakan untuk menggali.”
“Menggali lubang?” tanya Ho
Pit Ong.
Lok Thung Kek tertawa nyaring,
“Ya, menggali lubang untuk mengubur Cioe Kauwnio,” jawabnya. Karena bicara,
pemusatan tenaga si kakek terpecah. Mendadak Boe Kie menendang lutut kirinya,
dia gusar dan lalu menyerang bagaikan angin dan hujan.
Sambil bertempur, Boe Kie
menengok beberapa kali. Gemetar tubuh Cie Jiak dan Tio Beng makin hebat. “Beng
moay, bagaimana?” tanyanya.
“Dingin luar biasa!” jawabnya.
Boe Kie terkesiap. Sesudah
berpikir sejenak, ia mengerti sebabnya. Tak salah lagi, karena baik hati Tio
Beng mengerahkan Lweekang dan coba membantu Cie Jiak untuk melawan hawa dingin.
Tapi lantaran tenaga dalamnya masih rendah, sebaliknya dari berhasil ia sendiri
diserang hawa dingin. Boe Kie segera menyerang sehebat-hebatnya untuk
menjatuhkan lawannya secepat mungkin. Tapi Hian beng Jieloo menukar siasat.
Mereka terus mundur dengan berpencaran dan menyerang balik kalo Boe Kie mencoba
mendekati Cie Jiak dan Tio beng.
Boe Kie bingung. “Beng moay!”
teriaknya. “Lepaskan Cioe Kauwnio!”
“Aku…aku…tak bisa!”
“Mengapa?”
“Punggungnya menempel keras di
telapak tanganku,” ia bicara dengan gigi gemeretukan dan tubuh
bergoyang-goyang.
Boe Kie jadi lebih bingung.
“Thio Kauwcoe,” kata Lok Thung
Kek. “Cioe Kauwnio berhati kejam, ia mengirim hawa dingin ke tubuh Cocoe Nio
nio. Cocoe Nio nio menghadapi bahaya, apa tak baik kita berdamai saja?”
“Berdamai bagaimana?”
“Kita hentikan dulu
pertempuran ini. Kami akan mengambil dua jilid kitab yang berada pada Cioe
Kauwnio sedang kau bebas untuk menolong Koencoe.”
Boe Kie mengeluarkan suara di
hidung, ia tak dapat menyetujui usul itu. Ilmu silat Hian beng Jieloo sudah
sangat tinggi. Jika memperoleh kedua kitab itu kepandaian mereka akan mencapai
tingkat yang tak akan bisa ditaklukkan oleh siapapun juga. Ia menengok dan
lihat muka Tio Beng yang putih berubah menjadi hijau, sedang parasnya
menunjukkan penderitaan hebat. Ia mengerti bahwa ia tak boleh berpikir lebih
lama lagi, tiba-tiba ia melompat mundur, mencekal telapak kanan si nona dengan
tangan kirinya dan mengirim Kioe yang Cin khie.
“Serang!” teriak Lok Thung
Kek. Sebatang tongkat dan dua poan-koan pit segera menghantam bagaikan hujan
dan angin.
Begitu mendapat aliran Kioe
yang Cin khie, Tio Beng yang darahnya sudah hampir membeku segera merasakan
kehangatan yang sangat nyaman. Boe Kie mengerahkan seluruh tenaganya dan
melawan dengan nekat. Tapi dengan cepat ia merasa tak tahan sebab ia harus
menggunakan sebagian besar tenaga dalamnya untuk menekan hawa dingin Hian beng
Sin ciang dari kedua kakek dan Kioe im dari Cioe Cie Jiak dan bersamaan itu ia
harus menggunakan Lweekang untuk melayani dua jagao kelas utama. Sesudah
bertempur beberapa lama, kaki celana di bagian lututnya dirobek dengan poan
koan pit dan darah mulai mengucur. Ia terdesak dan menghadapi bencana. Sekali
lagi ia mengerahkan seluruh Lweekang dan berteriak memanggil Yo Siauw dan
kawan-kawannya. Tapi di lain saat ia mendengar bentakan-bentakan Yo Siauw dan
Hoan Yauw serta suara beradunya senjata. Ia tahu bahwa mereka pun dikepung
musuh.
Karena kuatir datangnya bala
bantuan, Hian beng Jieloo memperhebat serangan mereka. Sambil menggeram Lok
Thung Kek mengirim tiga serangan berantai ke arah mata Boe Kie. Dengan telapak
tangan Boe Kie berhasil menangkis serangan lawan, mendadak Ho Pit Ong
menggulingkan diri di tanah dan menotok pinggangnya dengan poan koan pit kiri.
Boe Kie tak keburu berkelit lagi, karena itu ia terpaksa mengerahkan Kian koen
Tay lo ie utnuk memindahkan totokan itu, tapi karena si kakek menggunakan
Lweekang yang sangat dahsyat, ia tidak bisa memastikan bahwa ia akan berhasil.
“Tak!” pinggangnya tergetar tapi…heran!...ia tidak merasa sakit. Dilain detik
ia mengerti bahwa totokan itu jatuh pada To liong to yang tergantung di
pinggangnya. Dalam pertempuran, Boe Kie biasanya tidak menggunakan senjata.
Paling banter ia menggunakan Seng hwee leng. Ia tak pernah membawa senjata
sehingga ia sama sekali tak ingat bahwa sebatang golok mustika tergantung di
pinggangnya.
Sekarang ia sadar dan girang,
sambil membentak keras ia menendang dan Ho Pit Ong buru-buru mundur bagaikan
kilat. Ia menghunus To liong to dan membabat tongkat Lok Thung Kek yang
menyambar dada “Sret!” kepala menjangan tongkat itu putus dan jatuh di tanah.
“Celaka!” seru si tua.
Dua pit Ho Pit Ong menikam
bersamaan dan sekali lagi Boe Kie membabat dengan To liong to. Hampir bersamaan
dengan dua poan koan pit berubah menjadi empat potong. Semangat Boe Kie
terbangun dan memutar golok mustika itu seperti titiran sehingga Hian beng Jieloo
tidak berani mendekati lagi.
Dibawah perlindungan To liong
to, sekarang Boe Kie bisa menggunakan seluruh Kioe yang Cin khie untuk menekan
hawa dingin. Dalam beberapa saat saja hawa dingin beracun dari Hian beng Sin
ciang yang mengeram dalam tubuh Tio Beng dan Cioe Cie Jiak sudah terusir
semuanya menjadi bersih. Sesudah racun Hian beng Sin ciang musnah, tanpa
diketahui Boe Kie, terjadi satu perkembangan baru. Apabila dua hawa “im”
(dingin) dan “yang” (panas) bertempur dalam tubuh manusia, maka yang lebih kuat
selallu memusnahkan yang lebih lemah. Demikianlah sesudah hawa Hian beng Sin
ciang terusir, Kioe yang Cin khie lalu menekan tenaga Kioe im yang dimiliki Cie
Jiak.
Sesudah mendapatkan Kioe im
Cin keng yang disembunyikan dalam Ie thian kiam, Cie Jiak berlatih diam-diam
secara tergesa-gesa. Karena kuatir diketahui Cia Soen dan Boe Kie, ia hanya
berani berlatih di waktu malam dan karena waktu sudah mendesak, ia tak sempat
mempelajari dasar-dasar kitab ilmu silat itu dan terpaksa memilih ilmu rendah
yang lebih mudah dilatih diantaranya Kioe im Pek koet jiauw. Dulu jilid kedua
Kioe im Cin keng dicuri oleh Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong (keduanya muruid
Oey Yok Soe dari tangan Tong sia Oey Yok Soe). Apa yang dipelajari oleh kedua
murid murtad itu juga Kioe im Pek koet jiauw. Dapat dimengerti bahwa ilmu yang
dilatih tergesa-gesa tak bisa mempunyai dasar Lweekang yang kuat, begitu
bertemu dengan lawan tangguh tenaga dalamnya akan segera tertindih. Setelah
kena racun Hian beng Sin ciang, Cie Jiak lalu memasukkan hawa beracun ke dalam
usaha mengusirnya dari tubuhnya. Sesudah Boe Kie menolong barulah ia merasa
nyaman. Tapi baru saja ia mau melepaskan diri dari telapak tangan Tio Beng,
semacam tenaga yang sangat kuat telah menyedot dan ia tak bisa melepaskan dirinya
lagi. Tadi Tio Beng yang tak bisa melepaskan diri dari punggungnya tapi
sekarang ia sendiri yang tak bisa memberontak diri telapak tangan Tio Beng. Ini
sudah terjadi karena adanya perbedaan kekuatan tenaga.
Boe Kie terus mengirim Kioe
yang Cin khie karena ia masih merasakan perlawanan hawa dingin yang kelaur dari
telapak tangan Tio Beng. Ia hanya menduga bahwa racun Hian beng Sin ciang belum
terusir semuanya. Ia tak tahu bahwa hawa dingin itu adalah Kioe im Cin khie
dari Cie Jiak. Makin lama Kioe im Cin khie yang didapatkan Cie Jiak dengan
susah payah makin berkurang. Cie Jiak mengeluh tapi ia tak berani buka suara
sebab sekali bicara, ia akan muntah darah.
Untung juga, sesudah keadaan
badannya pulih kembali, Tio Beng tertawa dan berkata, “Boe Kie Koko, aku sudah
sembuh. Sekarang boleh kau layani kedua tua bangka itu!”
“Baiklah!” kata Boe Kie sambil
menarik kembali tenaga dalamnya.
Cie Jiak seperti orang yang
baru mendapat pengampunan. Sesudah tenaga menyedot hilang, ia merasa bahwa hawa
racun Hian beng Sin ciang sudah terusir dari tubuhnya tapi tenaga dalamnya
sendiri berkurang banyak. Satu dua detik ia mengawasi Boe Kie yang sedang
memutar golok dan menyerang Hian beng Jieloo dengan hebatnya. Mendadak ia
mementang lima jari tangannya yang lalu ditancapkan ke batik kepala Tio Beng.
“Aduh!” teriak nona Tio.
Totokan dan teriakan itu
disertai dengan suara “krek” dari patahnya tulang. Yang patah adalah
tulang-tulang jari tangan Cie Jiak yang segera kabur secepatnya.
Boe Kie terkesiap. Ia menengok
dan berseru, “Beng moay….”
Si nona meraba-raba kepalanya
dengan tangan gemetaran.
Boe Kie melompat mundur dan
dengan tangan kanan memutar golok, ia meraba kepala Tio Beng dengan tangan
kirinya. Ia merasa lega karena biarpun tangannya menyentuh darah yang basah
lengket, tapi batok kepala nona Tio tidak mendapat kerusakan. “Beng moay,
jangan takut!” katanya. “Hanya luka di kulit.”
Gagalnya serangan Cioe Cie
Jiak dan patahnya jari-jari tangannya adalah karena di dalam tubuh Tio Beng
masih terdapat Kioe yang Cin khie dan tenaga dalam Cie Jiak sudah berkurang
banyak.
Sambil bertempur, Boe Kie
merasa bahwa dengan menggunakan golok mustika itu biarpun menang, kemenangan
itu bukan kemenangan gemilang. “Yo Cosoe! Hoan Yoe soe! Bagaimana keadaan
kalian?” teriaknya.
“Tiga sudah roboh, masih ada
tujuh,” jawab Hoan Yauw. “Kauwcoe tak usah kuatir!”
Mendengar jawaban yang
disertai dengan Lweekang yang kuat. Boe Kie tahu bahwa keadaan mereka memang
tak usah dikuatirkan, ia segera menyerahkan To liong to kepada Tio Beng dan
kemudian memindahkan pukulan Ho Pit Ong ke arah lain dengan Kian koen Tay lo ie
tingkat ketujuh. Kian koen Tay lo ie tingkat ketujuh adalah ilmu yang sangat
sulit dan tak boleh digunakan secara sembarangan. Salah sedikit saja ilmu itu
bisa membakar diri yang menggunakannya. Maka itulah, pada waktu mesti menolong
Tio Beng dan Cie Jiak dari hawa dingin, biarpun keadaannya berbahaya ia tak
berani menggunakan ilmu tersebut. Hian beng Jieloo adalah tokoh-tokoh kelas
utama, Kian koen Tay lo ie tingkat rendah takkan berhasil terhadap mereka.
Sekarang sudah selesai
menolong Tio Beng dan Cie Jiak, barulah ia berani menggunakan ilmu tersebut.
“Plak!” pukulan Ho Pit Ong
pindah arah dan menghantam pundah Lok Thung Kek.
Lok Thung Kek terkejut.
“Soetee, mengapa kau begitu?” tanyanya dengan gusar.
Ho Pit Ong orang yang otaknya
tumpul dan dalam setiap urusan ia harus berpikir lama sebelum bisa menangkap
artinya. Dalam kejadian ini ia merasa heran dan bingung biarpun di dalam hati
ia tahu bahwa Boe Kie yang melakukannya. Ia berpendapat bahwa jalan
satu-satunya untuk minta maaf dari soehengnya adalah menyerang musuh
sehebat-hebatnya. Demikianlah ia segera menendang dengan seluruh tenaganya. Boe
Kie mengibaskan tangan kirinya dan tendangan itu menyambar tan tian (di bawah pusar)
Lok Thung Kek. Tan tian adalah pusat penting dalam tubuh manusia untuk
mengerahkan hawa. Lok Thung Kek terkesiap. Secepat kilat ia berkelit dan
membentak, “Soetee, apa kau gila?”
“Benar Ho Sianseng!” seru Tio
Beng. “Bekuk soehengmu yang berdosa dan cabul! Ayahku akan memberi hadiah besar
kepadamu.”
Boe Kie geli di dalam hati.
Semula ia ingin menggunakan Kian koen Tay lo ie untuk menuntun serangan Ho Pit
Ong ke arah Lok Thung Kek dan Lok Thung Kek ke arah Ho Pit Ong. Tapi sesudah
mendengar perkataan Tio Beng, ia hanya menuntun pukulan-pukulan Ho Pit Ong ke
arah Lok Thung Kek dan terhadapa Lok Thung Kek ia tetap melayani dengan Thay
kek koen. “Ho Sianseng, kau tak usah kuatir,” katanya. “Kita berdua pasti bisa
menumpas manusia she Lok ini. Jie lam ong akan mengangkat kau sebagai…sebagai…”
“Ho Sianseng!” Tio Beng
menolong. “Pangkatmu sudah ada di sini. Ia merogoh saku, mengeluarkan segulung
kertas dan mengibas-ngibaskannya. “Dengarlah!” teriaknya pula. “Kau akan
dianugerahkan pangkat Thay goan Hoe kok Yang Wie Tay ciang koen.”
Saat itu pukulan Boe Kie
menolak Lok Thung Kek ke samping kiri. Secara kebetulan selagi terhuyung si tua
dipapaki oleh pukulan Ho Pit Ong yang arahnya dialirkan dengan Kian koen Tay lo
ie sehingga kakek she Lok itu tergencet di antara dua pukulan yang menyambar
dari kiri dan kanan.
Selama puluhan tahun Lok Thung
Kek dan Ho Pit Ong tak pernah berpisah dan mencintai seperti saudara kandung
sendiri. Lok Thung Kek tak percaya bahwa adik seperguruannya akan menjual dia
tapi sesudah lima kali beruntun diserang dengan pukulan yang membinasakan ia
jadi kalap. “Binatang,” teriaknya. “Aku tak sangka karena pangka kau melupakan
giekhie.”
Ho Pit Ong kebingungan.
“Aku…aku…,” katanya dengan suara terputus-putus.
“Benar,” sambung Tio Beng.
“Kau berbuat begitu sebab terpaksa, karena kau akan menjadi Hoe kok Yang Wie
Tay ciang koen.”
Selagi si nona bicara, Boe Kie
mengerahkan sepuluh bagian tenaganya. Begitu pukulan Ho Pit Ong menyambar, ia
mengalihkan dengan Kian koen Tay lo ie dan “plak” pukulan itu jatuh tepat di
pundak Lok Thung Kek. Lok Thung Kek balas memukul dan beberapa gigi Ho Pit Ong
yang masih tinggal rontok semua. Sebagai seorang tua, Ho Pit Ong sangat
menyayangi beberapa gigi itu sehingga dapatlah dimengerti kalau darahnya segera
meluap. “Soeko! Kau keterlaluan,” bentaknya. “Aku memukul kau tanpa senjata.”
“Omong kosong!” teriak Lok
Thung Kek.
Biarpun berkepandaian tinggi,
Hian beng Jieloo tak mengenal Kian koen Tay lo ie tingkat ketujuh. Dalam silat
Tionggoan memang terdapat ilmu “meminjam tenaga dan empat tahil memukul ribuan
kati” tapi orang yang berkepandaian seperti mereka tak gampang-gampang bisa
diserang ilmu begitu. Maka itu, Lok Thung Kek sama sekali tak pernah menduga
bahwa serangan-serangan adik seperguruannya adalah karena perbuatan Boe Kie.
Di dalam hati Ho Pit Ong tahu
bahwa Boe Kie lah yang main gila. “Setan! Kurang ajar kau!” cacinya.
“Benar, tak usah panggil dia
soeko lagi!” menyambung Tio Beng. “Memang dia setan!”
Sesaat itu Boe Kie menarik
pukulan Ho Pit Ong ke pipi Lok Thung Kek, yang begitu kena lantas saja bengkak
“Boe Kie Koko, mari kita bantu
Yo Co Soe,” kata Tio Beng.
Melihat kalapnya Lok Thung
Kek, Boe Kie tahu bahwa siasatnya sudah berhasil. “Ho Sian seng, aku serahkaan
penjahat cabul itu kepadamu,” katanya seraya melompat keluar dari gelanggang
pertempuran.
“Ho Sianseng,” kata Tio Beng,
“sesudah kau membekuk soeko mu, kau boleh pinjam pit kip To Liong To selama
sebulan.”
Sesudah Boe Kie dan Tio Beng
berlalu, kedua kakek itu bertempur terus sampai kedua-duanya terluka. Ho Pit
ong coba membersihkan diri, tapi Lok Thung Kek tak bisa percaya sehingga
akhirnya mereka menjadi musuh.
Dengan mengikuti suara
beradunya senjata, Boe Kie dan Tio Beng pergi ke tempat pertempuran Yo Siauw
dan kawan-kawannya. Di atas tanah menggeletak lima mayat, Yo Siauw melayani
tiga orang, Hoan Yauw dan Gan Hoan dia bertanding dengan seorang lawan. Antara
lima musuh itu yang paling berat adalah lawannya Hoan Yauw. Meskipun
berkepandaian tinggi, Hoan Yauw tidak bisa berbuat banyak dan hanya lebih
unggul sedikit di dalam pukulan-pukulan. Boe Kie tidak turun tangan, ia hanya
menonton. Beberapa saat kemudian Yo Siauw merobohkan seorang, melihat bahaya
dua lawan Yo Siauw lantas kabur, diturut oleh lawannya Gan Hoan. Selagi
musuhnya lari, Gan Hoan melepaskan pasir beracun dan orang itu sambil berteriak
kesakitan lantas saja roboh binasa. Di lain saat hanyalah lawan Hoan Yauw yang
masih berkelahi dengan mati-matian.
“Saudara, kulihat kau seorang
gagah,” kata Hoan Yauw. “Lebih baik kau menyerah saja.”
“Apakah manusia yang menyerah
kepada musuh masih bisa dinamakan orang gagah!” tanya orang itu dengan gusar.
“Benar,” kata Boe Kie seraya
maju ke depan dan menyabet beberapa kali dengan To Liong To. Berbareng dengan
sabetan-sabetan itu, di tengah udara berterbangan rambut manusia. “Hoan heng,
lepaskan dia!” kata Boe Kie sambil tersenyum.
Sebab merasa dingin, orang itu
mengusap kepala dan mukanya. Mendadak saja ia berdiri terpaku dengan mulut
ternganga. Ternyata sebagian rambut dan jenggotnya telah terpapas habis. Ia
menyoja kepada Boe Kie dan berkata, “Aku takluk dan rela menerima segala
hukuman.”
Boe Kie tertawa. “Saudara
boleh berlalu,” katanya.
Orang itu menghela nafas,
memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
“Apa mereka semua boesoe
gedung Jie lam ong?” tanya Boe Kie kepada Tio Beng. “Siapa dia?”
“Dia pemimpin wie soe
(pengawal) dari kakakku,” jawabnya. “Namanya, Kioejian koen Louw Sian Kek.
Waktu ini dialah jago utama dalam gedung ayahku.” (Kioejian koen – silat si
jenggot).
“Si jenggot jadi janggut
licin,” kata Yo siauw sambil tertawa. “Rasanya, dia tidak bisa berdiam lebih
lama lagi di gedung Ong hoe.”
Selagi mereka bicara, sejumlah
pendeta Siauw lim dan anggota Beng kauw memburu ke tempat pertempuran Hian beng
Jieloo. Melihat datangnya banyak orang, kedua kakek itu lantas berlalu sambil
terus bertempur di sepanjang jalan.
Setibanya di kuil Siauw lim
sie, Boe Kie memeriksa luka Tio Beng yang sama sekali tidak berbahaya. Mendadak
Boe Kie ingat dan ia berkata, “Beng moay, secara kebetulan kau membawa kertas,
sehingga Lok Tung Kek tidak bisa tidak percaya.”
Si nona tertawa manis. Ia
merogoh saku, mengeluarkan segabung kertas tipis dan mengulap ulapkannya di
muka Boe Kie. “Coba kau tebak kertas apa ini?” katanya.
Boe Kie tertawa. “Kalau kau
yang suruh, seumur hidup aku takkan bisa menebak,” jawabnya.
Kertas itu terdiri dari dua
gabung dan si nona lalu memecahnya dan menaruh dua gabung itu di kedua telapak
tangannya.
Boe Kie mengawasi. Yang
dilihat seperti kertas itu ternyata bukan kertas, tapi sutera setipis sayap
tonggeret. Di atas lembaran lembaran sutera itu terdapat huruf huruf yang
sangat halus.
Ia menjemput gabungan yang
satu. Pada halaman muka terdapat tulisan “Boe Bok Ie soe” (kitab peninggalan
Gak Hoei). Dalam kitab itu – lembaran lembaran kitab itu – lembaran lembaran
sutera itu memang bukan lain daripada kitab – terdapat ilmu perang yang serba
lengkap. Ia mengambil kitab yang lain, yang di atasnya tertulis “Kioe im cin
keng” (kitab ilmu silat Kioe im). Kitab itu berisi macam-macam ilmu silat yang
aneh-aneh dan pada halaman halaman terakhir terdapat pelajaran Kioe im pek koei
jiauw, Coei sim ciang, dan sebagainya.
Boe Kie meneliti itu semua
dengan jantung memukul keras. “Dari… dari mana… kau dapatkan ini?” tanyanya
dengan suara terputus-putus.
“Selagi dia tidak bisa
bergerak, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik,” jawabnya. Aku tak
sudi belajar ilmu-ilmu beracun, sebaiknya kitab ini dibakar saja. Perlu apa
ditinggalkan di dalam dunia untuk mencelakai manusia?” (dengan “dia” Tio Beng
maksudkan Cioe Cie Jiak).
Boe Kie membalik-balik
beberapa lembaran cinkeng. Ia mendapat kenyataan bahwa isinya sangat dalam dan
tak bisa lantas dipecahkan olehnya. Di samping itu ia mendapat bukti bahwa
bagian depan bukan terdiri dari ilmu silat keleas rendah. “Beng moay, kau
salah,” katanya. “Kioe im cin keng berisi ilmu ilmu yang sangat tinggi. Kalau
dipelajari dan dilatih menurut aturan, dalam sepuluh atau dua puluh tahun,
orang akan memperoleh hasil menakjubkan. Memang juga, kalau orang tergesa-gesa
dan mempelajari kulit-kulitnya saja yang memberi hasil cepat, ia akan
memperoleh ilmu ilmu yang sifatnya beracun.” Ia terdiam sejenak dan kemudian
berkata lagi. “Cie cie yang mengenakan baju kuning itu mempunyai ilmu silat
yang sejalan dengan Cioe kauwnio. Tapi pukulan dan gerakannya memperlihatkan
suatu ilmu yang lurus bersih. Tak bisa salah lagi, iapun mendapatkan ilmunya
dari Kioe im cin keng.”
“Boe Kie koko,” kata Tio Beng.
“Cie cie itu mengatakan di belakang gunung Ciong lim san terdapat kuburan mayat
hidup, burung rajawali sakti dan pasangan pendekar tak muncul lagi dalam dunia
Kangouw. Apa artinya ini?”
Boe Kie menggelengkan kepala.
“Tak tahu,” jawabnya. “Nanti kita boleh tanya Thay soehoe.”
Sesudah beromong-omong lagi
beberapa lama, karena musuh tidak membuat gerakan apa apa lagi, semua orang
lantas pergi tidur.
Pada keesokan paginya, Boe Kie
memanjat satu pohon besar untuk menyelidiki keadaan musuh. Ia mendapat
kenyataan, bahwa jumlah musuh bertambah dengan kira-kira selaksa orang dan
dilihat dari gerakannya, mereka sedang mempersiapkan gerakan baru. Di antara
gerakan gerakan bendera dan serdadu, sayup sayup terdengar bunyi terompet yang
tak berhenti hentinya. Persiapan tentara Goan itu telah membuat hati orang
gagah jadi merasa keder.
“Beng moay…” kata Boe Kie
sesudah turun dari pohon.
“Hem… ada apa?” tanya si nona.
“Tak apa apa… aku hanya ingin
memanggil namamu.” Boe Kie sebenarnya ingin meminta pikiran gadis yang pintar
itu dalam usaha mengundurkan musuh. Tapi di dalam saat itu ia ingat, bahwa Tio
Beng tersebut adalah seorang puteri Mongol, yang karena cinta sudah
mengkhianati orang tuanya sendiri. Kalau sekarang ia minta si nona menelurkan
siasat untuk membasmi bangsanya sendiri, ia anggap permintaan itu agak keterlaluan.
Tapi dengan melihat paras muka
Boe Kie dan nada suaranya, Tio Beng sudah bisa membaca isi hati pemuda itu.
“Boe Kie koko, aku merasa terima kasih, bahwa kau mengerti kesukaranku,”
katanya. “Dalam hal ini sebaiknya aku tidak bicara banyak.”
Dengan merasa masgul Boe Kie
masuk ke kamarnya. Ia mengasah otak, tapi sesudah beberapa lama, belum juga ia
mendapatkan jalan yang baik. Dalam pekatnya ia membalik lembaran kedua kitab
yang diberikan Tio Beng. Sesudah Kioe im cin keng, tanpa sengaja ia membaca
kalimat “terkepung di gunung Goe tauw san” dalam Boe bok lesoe. Ia kaget dan
membaca terus.
Ternyata di bagian itu Gak
Hoei menceritakan pengalamannya pada waktu ia dan tentaranya dikepung oleh
tentara Kim yang berjumlah besar di gunung Goe tauw san, cara bagaimana ia
menjalankan siasat menggeret musuh dari dalam dan luar sehingga mereka
memperoleh kemenangan besar.
Tiba-tiba Boe Kie menepuk
meja. “Langit membantu aku,” serunya. Biarpun keadaan Siauw sit san sekarang
berbeda dari keadaan Goe tauw sasn dahulu, ia merasa ia masih bisa jalan untuk
mendapatkan kemenangan.
Makin lama ia kelihatan makin
gembira. “Gak Boe bok sungguh sungguh manusia luar biasa,” katanya seorang
diri. “Dalam keadaan begitu berbahaya, seorang manusia tak akan berdaya lagi…
Memang… memang ilmu perang seperti ilmu silat. Kita harus ada petunjuk dari
orang pandai…” Ia mencelup telunjuknya di air teh dan membuat peta bumi di atas
meja. Ia tahu, bahwa keadaan sangat berbahaya, tapi ia yakin bahwa dengan
bantuan Tuhan, Siauw Lim sie masih dapat ditolong. Dalam perang, yang berjumlah
kecil sukar melawan musuh yang berjumlah besar dan di dalam peperangan ini, ia
tidak boleh mengadu kekuatan, tak boleh mengadakan pertempuran
berhadap-hadapan.
Tak lama kemudian ia sudah
mempunyai gambaran tegas tentang apa yang harus dilakukananya. Tanpa menyia
nyiakan waktu, ia segera pergi ke Tay hiong Po thian dan minta Kong boen Hong
Thio mengumpulkan para orang gagah.
Sesudah semua enghiong
berkumpul, Boe Kie berkata dengan suara nyaring. “Sekarang ini tentara Tat coe
berkumpul di kaki gunung dan mungkin sekali mereka akan segera menyerang pula.
Walaupun kemarin kita mendapat kemenangan kecil dan sudah menurunkan semangat
musuh, tapi kalau menyerang lagi dengan mati-matian, kita yang berjumlah lebih
kecil sukar melawan mereka yang berjumlah sangat besar.” Ia berdiam sejenak,
kedua matanya yang sangat tajam menyapu seluruh ruangan. “Aku ini adalah
seorang yang tidak punya kemampuan, tapi atas kecintaan kalian sudah mengangkat
aku sebagai Boe lim Beng boe dan untuk sementara waktu, aku terpaksa menerima
keangkatan itu,” katanya pula. “Hari ini kita harus bersama-sama membasmi
musuh. Demi kepentingan kita beramai-ramai, kuminta kalian suka mentaati segala
perintah.”
Pidato pendek itu disambut
dengan sorak sorai gegap gempita. Semua orang berjanji akan turut segala
perintah Beng coe.
Boe Kie girang. “Terima
kasih!” katanya. “Nah, marilah kita mula. Gouw Kin Co!”
Begitu namanya dipanggil,
pemimpin Swie kim kie itu maju dan memberi hormat dengan membungkuk.