Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 78
Semua orang tertegun. Selang
beberapa saat, barulah keadaan berubah gempar dan ratusan orang
berteriak-teriak mencaci Go bie pay.
Wie It Siauw dan Swee poet tek
saling mengawasi dan kemudian saling manggutkan kepala. Sesudah saling memberi isyarat,
mereka berlari-lari menghampiri jenazah Hee Cioe. Mereka berlutut dan Swee poet
tek berkata, “Hee looenghiong, kami berdua tak tahu bahwa kau seorang ksatria
yang berhati mulia. Tadi kami telah berlaku kurang ajar dan kami merasa
menyesal dan malu.” Sehabis berkata begitu ia menggapelok muka sendiri, diturut
oleh Wie It Siauw. Sesudah itu mereka memadamkan api yang membakar kedua
jenazah dan kemudian membawanya ke gubuk rombongan Beng kauw.
Melihat Cie Jiak berubah
begitu kejam, bukan main rasa dukanya Boe Kie.
Selagi orang berteriak-teriak,
Cie Jiek bicara bisik-bisik kepada Soe Ceng Soe yang sesudah menggangguk
beberapa kali lalu berjalan ke tengah-tengah lapangan.
“Hari ini para orang gagah
membuat pertemuan dan pertemuan ini bukan pertemuan untuk menulis syair,
menabuh tabu-tabuan atau minum arak,” katanya dengan suara nyaring. “Pertemuan
ini adalah pertemuan Rimba Persilatan dan dalam pertemuan begitu, soal luka
atau binasa adalah soal yang biasa saja. Hee Looenghiong mengatakan bahwa Soema
Siau Seng belum pernah melakukan perbuatan tidak baik dan mempersalahkan
Cengkee Soethay sebagai seorang yang sudah membunuh orang yang tak berdosa.
Sesudah itu, kalian bikin ribut ribut seperti juga tak merasa puas terhadap
partai kami. “Apakah dalam pertandingan silat kita harus lebih dulu mencari
tahu riwayat setiap orang dan yang baik tak boleh dilukai dan yang jahat
barulah boleh dibinasakan?”
Pertanyaan itu telah
membungkam semua orang. Banyak di antaranya lantas saja merasa bahwa perkataan
Song Ceng Soe memang beralasan.
Sesudah mendapat angin Song
Ceng Soe berkata pula. “Kalau To liong to hanya boleh dimiliki oleh orang yang
mulia, tak perlu diadakan pertandingan silat lagi. Kalau benar begitu, kita
beramai-ramai harus pergi ke Shoatang dan mencari turunan nabi Khong Hoe Coe
untuk menyerahkan golok mustika itu kepadanya. Tapi kalau kita bicara tentang
silat, maka dalam pertempuran orang mungkin tak bisa memperhatikan lagi apa
lawannya seorang tidak berdosa atau berdosa.”
Banyak orang manggut2kan kepala
bahkan ada yang lantas berteriak. “Benar!”
Suara Song Ceng Soe itu
membangkitkan rasa sangsi di dalam hati Jie Sam Cioe dan In Lie Heng. Suaranya
mirip dengan suara Song Ceng Soe, tapi ia menggunakan istilah “partai kami”,
suatu tanda bahwa dia seorang anggota Go bie pay. Di samping itu, mukanya yang
berewokan tak sama dengan muka Song Ceng Soe.
Karena kesangsian itu, Jie
Lian Cioe segera berbangkit dan bertanya, “Apa aku boleh mendapat tahu she dan
nama tuan yang mulia?”
Melihat pamannya, Ceng Soe jadi
gentar. Beberapa saat kemudian barulah ia menjawab. “Aku seorang muda yang tak
terkenal, sehingga tiada harganya untuk Jie hiap mengenal aku.”
“Tuan telah bicara tentang
pertandingan silat dan tuan tentu memiliki kepandaian tinggi,” kata Jie Lian
Cioe dengan suara keras. “Di waktu masih muda, guruku pernah menerima budi Kwee
Liehiap dari Go bie pay. Guruku telah memesan, bahwa murid2 Boe tong tak boleh
bertempur melawan murid Go bie, maka itu aku mau mencari keterangan
se-jelas2nya, apa benar tuan murid Go bie pay dan siapa adanya tuan. Seorang
lelaki sejati harus terus terang, tak boleh main sembunyi-sembunyi.”
Yang menjawab adalah Cioe Cie
Jiak. “Jie-Jiehiap, aku tak mendustai kau,” katanya. “Dia adalah suamiku, dia
she Song bernama Ceng Soe. Dulu ia murid Boe tong sekarang sudah jadi anggota
Go bie pay. Kalau mau bicar, Jie hiap boleh bicara dengan aku.” Keterangan itu
yang diucapkan dengan suara nyaring dan dingin mengejutkan semua orang sehingga
seluruh lapangan jadi sunyi senyap.
Di lain detik Song Ceng Soe
mengusap mukanya dan terloncatlah topengnya. Ia sekarang berubah menjadi
seorang pemuda yang sangat tampan.
Mengingat kedosaan keponakan
itu, darah Jie Lian Cioe bergolak-golak. Tapi sebagai orang berilmu tinggi,
walaupun amarahnya besar paras mukanya masih tetap tenang. Hanya sepasang
matanya yang tajam bagaikan pisau menyapu muka Song Ceng Soe, yang lantas saja
menunduk.
“Suamiku sudah keluar dari Boe
tong dan masuk di Go bie,” kata Cie Jiak. “Hari ini secara resmi aku
mengumumkan hal itu di segenap orang gagah di kolong langit. Jie Jiehiap dengan
mengingat persahabatan lama, Thio Cinjin melarang murid murid Boe tong
bermusuhan dengan partai kami. Itulah gie khie dari Thio Cinjin. Tapi mungkin
juga larangan ini merupakan kepintaran Thio Cinjin dalam usaha mempertahankan
nama besar Boe tong pay.”
Sampai di situ In Lie Heng tak
bisa menahan sabar lagi. Ia melompat keluar dan sambil menuding Cie Jiak ia
membentak. “Cioe kauwnio, dahulu di waktu kau kecil waktu kau terancam bencana,
gurukulah yang sudah menolong jiwamu dan kemudian menyerahkan kau kepada Go bie
pay. Meskipun guruku sama sekali tidak mengharapkan pembalasan budi, tapi kau
sungguh keterlaluan, karena dalam omonganmu itu kau seperti juga mengatakan
bahwa Boe tong pay hanya punya nama kosong dan tidak bisa menandingi Go bie
pay. Apa dengan berkata begitu kau tidak merasa malu terhadap guruku?”
Cie Jiak tertawa datar. “Para
pendekar Boe tong yang namanya menggetarkan Kang ouw memang berkepandaian
tinggi dan Song tayhiap sendiri adalah mertuaku,” katanya. “Mana berani aku
mengeluarkan celaan itu? Tapi Boe tong dan Go bie pay masing masing mempunyai
kepandaian sendiri-sendiri. Sukar dikatakan yang mana yang lebih tinggi dan
yang mana lebih rendah. Dulu, Kwee Couwsoe dari partai kami melepas budi kepada
Thio Cinjin. Belakangan Thio Cinjin menolong aku. Budi sudah dibalas dengan
budi dan di antara kedua partai tidak ada yang berhutang budi lagi, Jie
Jiehiap, In Liok hiap! Peraturan bahwa murid Boe tong tidak boleh kebentrok
dengan murid Go bie, sebaiknya mulai dari sekarang dihapuskan saja.”
Perkataan yang menantang itu
mengejutkan semua orang. Nama Jie Lian Coe tersohor di seluruh rimba
persilatan. Mengapa Cie Jiak begitu berani? Apa dengan hanya mengandal kepada
peluru geledek Go bie pay mau menjagoi di dunia Kang ouw?
Darah In Lie Hong bergolak
golak. Mengingat kebinasaan Boh Seng Kok air matanya lantas saja mengucur.
“Ceng Soe! Oh Ceng Soe!” teriaknya dengan suara parau. “Mengapa… mengapa kau
binasakan Cit siok mu…?”
Ia tidak dapat lagi meneruskan
perkataannya dan menangis sedu sedu.
Semua orang saling mengawasi.
Jie lian Cioe mendekati dan
sambil memegang pundak adik seperguruan. “Para enghiong, dengarlah. Boe tong
sangat tidak beruntung dan muncul Song Ceng Soe, seorang murid pengkhianat dan
durhaka. Cit tee ku, Boh Seng Kok, telah…” mendadak terdengar suara, “srr…
srr…” dua butir Pek Lek Loei Hwee tan menyambar dada Jie Lian Cioe.
“Celaka” seru Boe Kie. Ia tak
duga Go bie pay bisa berbuat begitu. Ia mau melompat menolong, tapi sudah tidak
keburu lagi.
Jie Lian Cioe pun tidak pernah
menduga bahwa dirinya bakal diserang secara begitu. Kalau ia berkelit, granat
itu pasti akan mencelakai murid-murid Kay pang yang berada di sebelah
belakangnya. Ia seorang ksatria tulen dan ia tidak mau kalau karena
gara-garanya banyak orang yang tidak berdosa mesti mengorbankan jiwa. Ketika
pikiran itu berkelebat dalam otaknya, kedua senjata rahasia itu sudah hampir
menyentuh dadanya. Secepat kilat ia membalik kedua telapak tangannya dan
menyambut dengan In Chioe (Tangan awan), salah satu ilmu dari Thay kek koen.
Kedua granat itu lantas saja terputar-putar di kedua telapak tangannya.
Semua orang serentak bangun
berdiri dan ribuan pasang mata ditujukan ke arah kedua telapak Jie Lian Cioe.
Meledak atau tidak!... meledak atau tidak?... jantung mereka seolah olah
berhenti berdenyut.
Syukur! Granat itu tidak
meledak.
Thay kek koen adalah ilmu
silat “terlembek” di kolong langit. Bertahun-tahun Jie Lian Cioe melatih diri
dalam ilmu itu. Berkat ketekunannya ia berhasi mewarisi ilmu yang sangat tinggi
itu. Tadi melihat kebinasaan Soema Cian Ciong dan Hee Cioe, ia tahu bahwa
peluru itu akan meledak begitu terbentur dengan lain benda apapun juga. Dalam
keadaan terdesak, ia terpaksa mempertaruhkan jiwanya dan menggunakan ilmu
“lembek” itu. Benar saja, “kelembekan” dapat mengatasi kekerasan. Kedua peluru
itu seperti masuk ke dalam sebuah kekosongan dan hanya berputar putar.
Tiba tiba terdengar pula “srr…
srr!...” dan dua butir granat kembali menyambar Jie Lian Cioe.
In Lie Heng yang berdiri di
samping soehengnya lantas saja mengibaskan kedua tangannya. Dengan Cioe hwie
pi-pee sit (Tangan memetik pi pee, semacam tetabuhan seperti gitar), ia
menyambut kedua peluru itu dan kemudian, dalam Kim kee tok li pasat (ayam emas berdiri
di atas satu kaki, yaitu kaki kiri menginjak bumi dan kaki kanan terangkat ke
atas tubuhnya terputar-putar bagaikan kitiran cepatnya).
Mengapa ia berbuat begitu? In
Lie Heng terkenal lihay dalam ilmu pedang, tapi dalam Thay kek koen ia belum
bisa menandingi Jie Lian Cioe. Ia lihat bahwa waktu menyambut Pek lek Loei hwee
tan, kakak seperguruannya telah menggunakan seantero kepandaiannya. Ia mengerti
bahwa apabila kelembekan kedua telapak tangannya mengandung sedikit saja tenaga
kekerasan, peluru itu akan lantas meledak. Maka itu, untuk memunahkan tenaga
timpukan dan mencegah peledakan, ia memutar mutar kedua peluru itu dengan
iringan telapak tangan dengan memutar mutar tubuhnya sendiri. Demikianlah,
kalau Jie Lian Cioe bisa memunahkan tenaga timpukan di telapak tangannya
sendiri, In Lie Heng harus memunahkannya di tengah udara. Pada hakekatnya
kepandaian Jie Jiehiap lebih tinggi daripada In Lie Heng, tapi apa yang
diperlihatkan cara menyambut In Liok hiap banyak lebih indah daripada Jie Lian
Cioe. Sesudah In Lie Heng memutar-mutarkan tubuhnya kurang lebih tiga puluh
putaran, di empat penjuru lapangan terdengar sorak sorai gegap gempita.
Sekonyong-konyong terdengar
lagi suara “srr…srrr….” Dan delapan Loei hwee tan menyambar dengan saling
susul.
Sambil membentak keras dengan
berbareng Jie Lian Cioe dan In Lie Heng menimpuk dengan empat peluru yang
berada dalam tangan mereka. Murid-murid Boe tong pay tidak pernah belajar
menggunakan senjata rahasia, tapi mereka telah berlatih diri dalam ilmu
menyambut senjata rahasia dan memulangkannya kepada lawan. Dengan sebuah
senjata rahasia, seorang murid Boe tong bisa memukul dua atau tiga senjata
lawan. Maka itu, empat Loei hwee tan yang dilontarkan oleh Jie Lian Cioe dan In
Lie Heng dengan jitu sudah menghantam delapan peluru yang sedang menyambar.
Hampir berbareng terdengar
delapan perledakkan dahsyat dan seluruh lapangan penuh dengan asap dan bau obat
pasang. Sesudah menimpuk, kedua pendekar Boe tong melompat mundur belasan
tombak untuk menyingkir dari lain serangan Loei hwee tan.
Melihat lihaynya Pek lek Loei
hwee tan, semua orang kaget dan cemas. Yang memiliki ilmu seperti kedua
pendekar Boe tong hanya beberapa orang saja. Dalam menghadapi granat itu ilmu
ringan tubuh tidak mencukupi, sebab kalau diserang dengan Boan thian Hoa ie
(Hujan bungan di angkasa yang berarti serangan dengan sejumlah besar peluru)
dan peluru peluru saling menyentuk dan meledak di tengah udara, maka orang yang
ringan tubuhnya paling lihaypun sukar terlolos dari bencana.
Sementara itu, di gubuk Hwa
san pay kelihatan berdiri seorang yang bertubuh jangkung dan yang segera
berkata dengan suara nyaring. “Apakah dalam pertandingan silat Go bie pay ingin
memperoleh kemenangan dengan mengandalkan jumlah yang besar?” Yang bicara
adalah seorang dari Hwasan Jih Loo (dua tetua Hwa san pay). Dahulu di atas Kong
beng teng, ia pernah mengerubut Boe Kie bersama Ho Thay Cong dan Pan Siok Ham.
“Silat banyak sekali
perubahan-perubahannya,” jawab Geng Kee Soethay. “Yang kuat menang, yang lemah
kalah. Kita bukan sebangsa sastrawan yang saban2 ributi soal peraturan.”
Mendengar perkataan itu, orang
hanya menggelengkan kepala. Murid Go bie pay kebanyakan wanita, tapi sekarang
ternyata mereka bahkan lebih sukar diajak berbicara daripada kaum pria. Waktu
bicara tetua Hwa san pay itu tidak berani datang dekat sebab kuatir diserang
dengan Pek Lek Loei hoei tan.
Boe Kie menyaksikan itu semua
dengan rasa menyesal dan berduka. “Cie Jiak menikah bukan karena mencintai Song
Soeko,” katanya. Ia ingat pengalamannya di pulau kecil, ketika dia dan si nona
saling mengutarakan rasa cinta dan berjanji untuk hidup sebagai suami isteri.
Mana bisa janji suci itu dilanggar dengan begitu saja? Ia sungguh merasa
bersalah. Waktu menghadapi meja sembahyang, di hadapan orang banyak ia kabur
bersama sama Tio Beng.
Cie Jiak adalah Ciangbunjin
sebuah partai besar dan seorang wanita terhormat. Mana boleh ia menghinakannya
secara begitu hebat? Mana bisa Cie Jiak tidak sakit hati? “Hari ini Go bie pay
telah berbuat perbuatan perbuatan yang tidak pantas, tapi kalau mau diusut itu
semua adalah gara2ku,” katanya di dalam hati.
Makin dipikir, ia makin merasa
menyesal. Akhirnya sambil menahan rasa jengah, ia pergi ke gubuk Go bie pay dan
berkata, “Cie Jiak, ini semua lantaran kedosaanku. Urusan Song Soeko mencelakai
Boh Citsiok harus ada pemberesannya. Menurut pendapatku, sebaiknya Song Soeko
ikut Jie Jiepeh dan To Lek Siok pulang ke Boe tong untuk memohon ampun, atau
kalau perlu menerima hukuman, dari Song Toa Soepeh.”
Cioe Cie Jiak tertawa dingin.
“Thio Kauwcoe,” katanya, “dahulu kuanggap kau seorang lelaki sejati. Hanya
sepak terjangmu tolol tololan. Siapa nyana kau hanya seorang manusia rendah.
Seorang laki-laki berani berbuat harus berani menanggung segala akibatnya. Kau
sudah membinasakan Boh Cit hiap. Mengapa kau menimpakan kedosaan itu di atas
kepala orang lain?”
Boe Kie terkesiap. “Ah!... aku
membinasakan Boh Citsiok?” ia menegas. “Aku?”
“Mengapa ayah dan ibumu
binasa?” tanya Cie Jiak. “Sebab mereka berdosa. Mereka bunuh diri sendiri, bukan?”
Jie Thay Giam, Sam Soepehmu, adalah seorang gagah di jaman ini. Tapi dia
bercacat seumur hidup, karena dicelakai ibumu. Bukankah begitu? Ayahmu adalah
murid dari sebuah partai yang lurus bersih. Tapi dia mabuk dengan paras cantik,
dan menikah dengan perempuan siluman. Bukankah begitu? Thio Kauwcoe, kulihat
kau sudah meneladani semua perbuatan mulia dari ayah dan ibumu!”
Bahna gusarnya muka Boe Kie
jadi merah padah dan tubuhnya bergemetaran, kalau Cie Jiak hanya mencaci
dirinya, ia takkan menghiraukan. Tapi sekarang yang dimaki adalah mendiang ayah
dan ibunya. Dengan kejadian itu, tiba-tiba saja mukanya berubah putih, pucat
pasi sebab menahan hawa amarah. Hampir hampir ia tak dapat mempertahankan diri.
Untung juga dalam kegusarannya ia ingat bahwa Cie Jiak menghina kedua orang
tuanya justru untuk membuatnya kalap dan melakukan perbuatan yang tidak pantas.
Di samping itu iapun tidak dapat melupakan kesalahannya sendiri. Mengingat
begitu sambil menggigit bibir ia memutar tubuh dan lantas berjalan pergi!
Sekonyong konyong dalam
rombongan Go bie pay terdengar teriak seorang. “Tak disangka Thio Kauwcoe hanya
manusia rendah yang nyalinya kecil. Melihat kelihayan Pek lek Loei hwee tan
kita, dia kabur dengan menyeret buntutnya.”
Boe Kie menengok dan mendapat
kenyataan bahwa niekouw yang berteriak begitu adalah Cenghoat Soethay yang
berlengan satu. Ia menghela napas dan berkata di dalam hati. Dia kehilangan
lengan juga sebab gara-garaku. Sudahlah! Perlu apa aku meladeni? Ia berjalan
terus tanpa menengok lagi, walaupun ia terus disoraki dan diejek oleh murid Go
bie pay.
Yo Siauw tertawa dingin dan
berkata dengan suara nyaring. “Pek Lek Loei hwee tan hanya permainan kanak!
Tidak ada harganya untuk disebut sebut. Kalau peluru itu tidak bisa mencelakai
kedua pendekar Boe tong, dia juga tak akan bisa mencelakai Thio Kauwcoe kami
ahli waris ilmu silat Boe tong. Hoh hah… kamu, orang-orang Go bie pay mau
memperoleh kemenangan mengandalkan jumlah besar. Baiklah, aku akan memberi
pelajaran kepadamu cara bagaimana orang bisa menarik keuntungan dengan
mengandalkan jumlah yang besar.” Seraya berkata begitu, ia mengulapkan tangan
kirinya. Seorang kacung yang memakai baju putih menghampiri dengan kedua tangan
menggenggam sebuah rak kayu kecil dimana tertancap puluhan bendera kecil yang
terdiri dari lima warna.
Yo Siauw mencabut satu bendera
putih dan melontarkannya. Bendera itu terbang dan menancap di tengah-tengah
lapangan.
Semua orang mengawasi dengan
penuh rasa heran. Panjang bendera itu bersama-sama gagangnya belum cukup dua
kaki dan di tengah-tengah bendera tersulam sebuah gambar obor yaitu pertanda
Beng kauw.
Selagi para hadirin coba
menebak nebak, salah seorang yang berdiri di belakang Yo Siauw maju ke depan
dan melepaskan sebatang anak panah api yang berwarna putih.
Beberapa saat kemudian, dari
luar terdengar suara tindakan kaki yang ramai dan masuklah serombongan anggota
Beng kauw yang memakai ikatan kepala putih. Jumlah rombongan itu lima ratus
orang. Begitu tiba di lapangan, mereka melepaskan anak panah menancap di
seputar bendera putih. Rombongan itu tidak lain daripada pasukan Swi kim kie
yang dipimpin oleh Gouw Kin Co.
Sebelum para orang gagah
sempat bersorak, anggota anggota Swi kim kie itu sudah mencabut tombak pendek
yang diselipkan di punggung mereka maju beberapa tindak dan melemparkannya ke
tengah lapangan. Tombak-tombak itu menancap tepat di dalam lingkaran anak
panah.
Mereka maju lagi tiga tindak,
mencabut kampak pendek kecil dari pinggang mereka dan menimpuknya. Di lain
saat, di tengah lapangan sudah terdapat tiga lingkaran senjata, yaitu kampak,
tombak dan anak panah. Semua orang mengawasi dengan rasa kagum tercampur jeri.
Seorang yang ilmu silatnya bagaimana tinggipun tak nanti bisa meloloskan diri
dari serangan 1500 senjata.
Sebagaimana diketahui, di
Seehek Swie kim kie pernah bertempur melawan Go bie pay dengan menderita rusak
besar, sedang Ciang kie soenya sendiri, yaitu Chung Ceng, binasa dalam tangan
Biat coat Soethay. Dalam waktu yang belakangan ini, semenjak Boe Kie menjadi
Kauwcoe, Beng Kauw mengadakan perbaikan ke dalam dan keluar. Ngo beng kie
disusun lagi dan diberikan latihan latihan baru. Sekarang jumlah anggota Swi
kim sie sudah 4000 orang dan 500 orang yang diajukan ke Siauw lim sie itu
adalah orang orang pilihan. Mereka semua sudah memiliki dasar ilmu silat yang
sangat baik sekali dan di bawah pimpinan orang-orang yang pandai,mereka
merupakan satu pasukan yang benar-benar tangguh.
Sementara itu Yo Siauw sudah
membentak. “Swie kim kie mundur! Kie bok kie maju!”
Lima ratus anggota Swi kim kie
segera berlari-lari ke tengah lapangan, mengambil pulang senjata mereka,
menghampiri gubuk Beng kauw dan sesudah memberi hormat kepada Boe Kie, dengan
rapih dia meninggalkan lapangan.
Yo Siauw mengambil bendera
hijau dan melemparkan ke tengah lapangan. Bendera itu menancap di samping
bendera putih.
Beberapa saat kemudian pasukan
Kie bok kie yang memakai ikatan kepala warna hijau masuk ke lapangan. Kekuatan
pasukan itu juga 500 orang dan saban sepuluh orang membawa sepuluh balok besar,
yang beratnya kurang lebih seribu kati. Pada balok itu dipasangi gaetan gaetan
besi yang digunakan sebagai pegangan untuk membawanya.
Tiba-tiba terdengar bentakan
keras dan balok-balok tersebut dengan serentak dilemparkan ke tengah udara, ada
yang tinggi, ada yang rendah, ada yang ke kanan, ada juga yang ke kiri, dan
setiap balok membentur balok yang lain sehingga dengan demikian, dua lima
pasang balok saling membentur di tengah udara dan sesudah itu, dengan berbareng
lima puluh balok itu jatuh di muka bumi! Suara benturan balok balok itu hebat
luar biasa dan siapapun jua yang kena terpukul pasti tak akan bisa meloloskan
diri dari kebinasaan. Pasukan balok ini sebenarnya dilatih untuk memecahkan
pintu kota di dalam peperangan. Sesudah balok-balok itu jatuh, lima ratus anggota
Kie bok kie segera memburu dan mencekal lagi gaetan gaetan besi siap sedia
untuk melemparkan lagi.
“Kie bok kie mundur!” teriak
Yo Siauw. “Dari kayu (tok) muncul api (bwee).” Ia mengibaskan tangannya dan
sebatang bendera merah menancap di tengah lapangan.
Sesudah pasukan Kie bok kie
mundur, lima ratus anggota Liat hwee kie yang memakai ikatan kepala merah,
berlari-lari masuk ke lapangan. Setiap orang membawa sebatang semprotan dan
begitu tiba di tengah lapangan, mereka menyemprotkan minyak yang berwarna
hitam. Hampir berbareng Ciang kie soe pasukan itu melepaskan sebatang anak
panah api dan begitu lepas tersentuh api, minyak itu lantas saja
berkobar-kobar. Minyak tanah adalah hasil bumi Kong beng teng dan Beng kauw
mempunyai sumber minyak yang tidak ada batasnya.
Yo Siauw berteriak lagi. “Liat
hwee kie mundur! Ang soei kie maju!”
Bendera hitam dilontarkan dan
500 anggota Ang Soe kie yang memakai ikatan kepala hitam masuk ke dalam
lapangan. Perbekalan pasukan ini berbeda dari yang lain. Bebererapa puluh orang
yang berjalan di depan mendorong sepuluh gerobak kayu, diikuti oleh rombongan
yang membawa semprotan dan tahang tahang air. Hampir berbareng dengan teriakan
Tong Yang, Ciang kie soe Ang Soe Kie, sepuluh gerobak itu dibuka dan dari
gerobak keluarlah dua puluh ekor anjing ajak atau anjing hutan yang kelaparan!
Begitu terlepas binatang2 itu memperlihatkan sikap beringas dan bergerak untuk
menubruk manusia2 di sekitarnya.
Semua orang kaget.
“Semprot!” bentak Tong Yang.
Seratus orang segera menyemprotkan
air ke arah anjing2 itu. Begitu kena air, binatang2 itu menyalak hebat,
melompat lompat dan kemudian roboh dengan badan hangus! Ternyata yang
disemburkan adalah semacam air keras dengan campuran macam macam racun.
Melihat hebatnya pertunjukan
itu, banyak orang bangun bulu romanya atau mengeluarkan keringat dingin.
“Ang soei kie mundur!” seru Yo
Siauw. “Houw touw kie bersihkan semua kotoran!” Seraya berkata begitu, ia
melemparkan bendera kuning. Gagang bendera itu ternyata dipasangi bahan
peledak, sebab begitu menyentuh tanah, begitu meledak.
Pasukan Houw touw kie yang
mengenakan ikatan kepala kuning lantas saja masuk. Jumlah mereka hanya seratus
orang dan setiap orang menggendong sebuah karung besar yang berisi sesuatu.
Mereka tak maju ke tengah, tapi berlari-lari di pinggir lapangan.
Sekonyong-konyong terdengar suara keras dibarengi dengan muncratnya debu dan
tanah di tengah-tengah lapangan mendadak berlubang besar, dengan garis tengah
kira-kira empat tombak panjangnya. Dalam saat tanah di sekitar lubang
bergerak-gerak dan dari bawah permukaan bumi keluar empat ratus orang yang
mengenakan topi besi dan memegang cangkul!
“Ah…” banyak orang
mengeluarkan seruan tertahan.
Empat ratus orang itu ternyata
sudah menunggu di dalam tanah dengan membuat terowongan sedang lubang itupun
dibuat terlebih dulu dan lapisan tanah di atas dipertahankan dengan
papan-papan. Begitu mendengar isyarat, orang yang menunggu di bawah menarik
papan-papan itu dan lapisan tanah di atas lantas saja ambruk ke bawah, berikut
bangkai-bangkai anjing dan lain-lain kekotoran. Seratus orang yang membawa
karung lantas saja menuang isi karung ke dalam lubang. Isi karung itu ialah
batu dan pasir. Dengan sebadan teratur empat ratus orang segera menggunakan
cangkul mereka dan dalam sekejap lubang itu sudah tertutup rapih dan seluruh
lapangan menjadi bersih sekali. Sesudah itu mereka menghampiri Boe Kie dan
setelah memberi hormat meninggalkan lapangan dalam satu barisan panjang.
Pertunjukkan itu diterima
berbagai cara oleh para hadirin. Ada yang girang, ada pula yang jengkel, ada
yang menghela nafas, menggeleng-gelengkan kepala, ada yang pucat mukanya dan
ada juga yang bersorak-sorai. Tapi semua mendapat dua macam perasaan yang sama,
rasa kagum dan jeri.
Sesudah selesai Yo Siauw lalu
memulangkan bendera kepada si kacung yang berdiri di belakangnya dan kemudian
mengawasi Cie Jiak dengan sorot mata dingin.
Seluruh lapangan sunyi senyap.
Beberapa lama kemudian seorang
pendeta tua dari Tat mo thong yang berada di belakang Kong tie berbangkit dan
berkata… “Tadi Beng kauw memperlihatkan latihan perang. Kelihatannya memang
bagus, tapi apa bisa digunakan atau tidak, kita tidak tahu sebab kita bukan
jenderal perang dan juga apa yang kita pelajari bukan ilmu perang.”
Semua orang mengerti, bahwa dengan
berkata begitu, si pendeta hanya ingin mengecil-ngecilkan kelihayan Ngo heng
kie.
“Hwesio tua!” bentak Cioe
Tian. “Kalau kau ingin tahu apa bisa digunakan atau tidak, gampang sekali.
Cobalah kau dan kawan-kawanmu maju ke lapangan untuk mencoba-coba.”
Tanpa meladeni tantangan itu,
si pendeta menlanjutkan perkataannya. “Hari ini orang gagah di kolong langit
mengadakan pertemuan untuk saling belajar ilmu silat. Aku menyetujui usul2 yang
telah diajukan oleh beberapa siecoe (tuan). Kita bertanding dengan satu lawan
satu. Menarik keuntungan dengan mengandalkan jumlah yang besar adalah
bertentangan dengan peraturan Rimba Persilatan.”
“Menarik keuntungan dengan
mengandalkan jumlah yang besar memang bertentangan dengan peraturan Rimba
Persilatan,” kata Auwyang Bok. “Tapi bagaimana dengan Pek Lek Loei hwoei tan?
Apa permainan kanak-kanak itu boleh dipergunakan?”
Sesudah berdiam sejenak, si
pendeta menjawab. “Orang yang bertanding tentu saja boleh menggunakan senjata
rahasia. Di antara orang-orang dari kalangan sesat banyak yang suka menaruh
racun pada senjata rahasia mereka. Kita tentu saja tidak bisa mencegah kesukaan
mereka. Yang harus dilarang adalah pembokongan oleh orang yang tidak turut
bertanding. Kita harus menghajar siapa juga yang berani melakukan serangan
membokong. Apa kalian setuju?”
Semua orang lantas menyatakan
setuju.
“Tapi aku ingin menambah
dengan sebuah usul,” kata Tong beng liang dari Khong tong pay. “Seorang yang
menang dua kali beruntun harus diperbolehkan mengaso. Biar bagaimana tinggi kepandaiannya
seorang manusia yang tidak bisa tahan berkelahi terus menerus. Di samping itu,
setiap partai atau perkumpulan hanya boleh mengajukan dua wakil dan kalau kedua
wakil itu kalah, partai atau perkumpulan yang tersangkut tidak boleh mengajukan
lain jago lagi. Tanpa ketentuan ini, pieboe yang bakal dilakukan mungkin takkan
selesai dalam waktu tiga bulan dan Siauw lim sie akan kehabisan makanan untuk
memiara kita.”
Diantar gelak tertawa para
hadirin menyetujui usul itu. Mereka tak tahu bawah dalam mengajukan usulnya,
Tong boen liang sebenarnya ingin membalas budi Boe Kie yang pernah menyambung
tulangnya yang patah di atas Kong beng teng.
Ia tahu bahwa Boe Kie
berkepandaian lebih tinggi dari semua orang yang ada di situ. Tapi pemuda itu
bisa roboh kalau memang berkelahi terus menerus tanpa istirahat.
Pheng Eng Giok tertawa dan
berkata dengan suara perlahan. “Tong loosam baik sekali. Sekarang kita boleh
menghitung bantuan Khong tong pay. Di samping Kauwcoe, siapakah yang akan
diajukan?”
Semua tokoh Beng kauw ingin
sekali turun ke gelanggang. Tapi mereka tahu, bahwa orang yang dipilih memikul
pertanggungjawaban yang sangat berat. Orang itu harus dapat mengalahkan banyak
lawan, lebih banyak lebih baik, supaya Kauwcoe mereka bisa menyimpan tenaga untuk
menghadapi beberapa lawan yang berat. Maka itulah, biarpun semua orang ingin
turut berkelahi tak satupun yang berani ajukan diri.
“Kauwcoe,” kata Cioe Tan.
“Bukan Cioe Tan takut mati, tapi sebab kepandaianku masih terlalu rendah kali
ini aku tidak berani menonjolkan diri.”
Boe Kie mengawasi semua
pembantunya. “Yo Cosoe, Hoan Yosoe, Wie Hok ong, Potay Soehoe, Tiat koen
Tootiang dan yang lain2 berkepandaian cukup tinggi dan setiap orang sebenarnya
boleh mewakili Beng kauw,” pikirnya. “Tapi di antara mereka Hoan Yosoe
mempunyai pengetahuan paling luas dalam macam-macam ilmu yang terdapat di Rimba
Persilatan. Ilmu silat apapun dilayani dan diatasi olehnya. Biarlah aku memilih
dia.”
Memikir begitu, ia lantas
berkata. “Sebenarnya saudara yang manapun juga boleh maju ke gelanggang. Tapi
Yo Cosoe sudah pernah membantu aku memukul Kim kong Hek mo coan, Wie Hok ong
dan Po tay Soehoe sudah mengeluarkan tenaga dalam menangkap Hee Cioe. Kali ini
biarlah aku meminta bantuan Hoan Yosoe.”
Hoan Yauw girang, ia sambil
membungkuk berkata, “Terima kasih atas penghargaan Kauwcoe.”
Para pemimpin Beng kauw
mengenal kepandaian Hoan Yauw dan pilihan itu disetujui mereka
Tiba-tiba Tio Beng berkata,
“Kauw Thay Soe, bolehkah aku meminta sesuatu dari kau?’
“Tentu,” jawabnya. “Koencoe
boleh katakan saja.”
Semua orang segera mengawasi
Tio Beng dengan sorot mata menanya.
“Ganjelan antara Kong tie
Taysoe dan kau belum dibereskan,” kata si nona. “Apa bila lebih dahulu kau
harus bertempur melawan Kong tie siapa menang, siapa kalah belum bisa
dipastikan. Andaikata kau menang, kemenangan itu akan diperoleh sesudah
membuang banyak sekali tenaga.”
Hoan Yauw manggut-manggutkan
kepalanya. Ia mengakui, bahwa Kong tie bukan lawan enteng.
“Aku usulkan supaya kau
tantang dia untuk bertanding satu lawan satu di Ban hoat sie,” kata Tio Beng.
“Bagus! Bagus!” kata Hoan Yauw
dan Yo Siauw dengan berbareng.
Mereka insaf, bahwa dengan
tipuan itu si nona menyingkirkan seorang lawan berat untuk Beng kauw. Begitu
lekas Kong tie menerima baik tantangan Hoan Yauw untuk bertempur di lain waktu
dan di lain tempat, ia tidak boleh maju dalam pertandingan yang sekarang.
Ketika itu di perbagai gubuk
para pemimpin partai atau perkumpulan sedang berdamai untuk mengangkat wakil.
Dengan menggunakan kesempatan
tersebut Hoan Yauw menghampiri Kong tie dan berkata sambil memberi hormat,
“Kong tie taysoe, apakah kau mempunyai nyali? Apakah kau berani datang di Ban
hoat sie?”
Mendengar Ban hoat sie, muka
Kong tie lantas saja berubah. “Apa?” ia menegas.
“Di Ban hoat sie kita menaruh
ganjalan, di Ban hoat sie juga kita harus membereskan,” jawabnya. “Taysoe
mempunyai nama besar, akupun mempunyai sedikit nama. Kalau kita bertanding
sekarang dan Taysoe mendapat kemenangan, orang gatal mulut lantas saja berkata
bahwa Taysoe menarik keuntungan karena berada di sarang sendiri. Andaikata aku
yang menang, manusia-manusia rendah bisa menambah bumbu yang tidak tidak, yang
merugikan Siauw lim sie. Maka itulah, kalau Taysoe merasa tidak puas, di bawah
terangnya rembulan Pengwee Tiong cioe tahun ini, aku akan tunggu kau di menara
Ban hoat sie untuk minta pelajaran.” (Pengwee Tiong cie: bulan delapan tanggal
lima belas, perayaan pertengahan musim rontok denganmakan kue Tiong cioe phia).
Kong tie tahu, bahwa Hoan Yauw
memiliki kepandaian tinggi. Di samping itu ia sedang berduka sebab terjadinya
suatu perubahan hebat dalam Siauw lim sie dan ia tidak punya kegembiraan untuk
bertempur dengan tokoh Beng Kauw itu. Sebab itu ia lantas mengangguk dan
berkata, “Baiklah, pada hari Pengwee Tiong Cioe aku akan datang di Ban hoat
sie.”
Hoan Yauw menyoja dan lalu
kembali ke gubuk Beng kauw. Tapi baru berjalan tujuh delapan tindak, ia dengar
Kong tie berkata dengan suara perlahan. “Hoan Sie coe, hari ini karena mau
menolong Kim mo say ong, kau tidak mau bertempur dengan aku. Bukankah begitu?”
Hoan Yauw terkejut. Ia
menghentikan tindakannya dan berkata dalam hatinya, “Pendeta itu sudah bisa
menebak dengan jitu.” Ia seorang yang beradat terbuka, ia lantas tertawa besar
dan berkata, “Aku tidak punya pegangan bahwa aku akan menang.”
Kong tie tersenyum, “Loolap
juga tidak punya pegangan bahwa Loolap akan bisa mengalahkan Sie coe,” katanya.
Dalam Rimba Persilatan,
ahli-ahli yang sudah mencapai tingkatan tinggi, saling menghargai kata orang
eng hiong menyayang eng hiong. Sambil mengawasi Hoan Yauw yang kembali ke gubuk
Beng kauw, Kong tie menghela nafas.
Beberapa saat kemudian si
Pendeta memotong perkataan dengan suara nyaring. “Sekarang kita boleh mulai
dengan peraturan yang sudah ditetapkan. Senjata dan kaki tangan tidak punya
mata. Siapa yang terluka atau binasa harus menerima nasib secara rela. Orang
yang berkepandaian paling tinggi akan memiliki Cia Soen dan To liong to.”
Boe Kie mendongkol bukan main.
“Pandai betul dia mengadu domba,” pikirnya.
Beberapa jago lantas masuk ke
lapangan dan mengajukan tantangan. Di lain saat enam orang sudah mulai
bertempur dalam tiga rombongan. Tak lama kemudian dua orang kalah dan dua orang
lain maju dan menggantikan. Pertandingan berlangsung terus dengan saban-saban roboh
dengan kaki luka berat atau enteng.
Boe Kie menyaksikan itu semua
dengan rasa menyesal dan berduka. Ia tahu bahwa permusuhan dalam Rimba
Persilatan tidak dapat dielakkan lagi.
Beberapa lama kemudian dengan
pedang seorang tosu Koen loen pay melukai lawannya dari Kie keng pang dan Cie
hong Tiangloo berhasil memukul tetua Hwa san pay yang bertubuh katai, sehingga
tetua itu muntah darah.
Melihat kakak seperguruannya
terluka tetua Hwa san pay yang jangkung lantas saja mencaci, “Pengemis bau!”
Seraya memaki, ia melompat masuk ke lapangan.
Si katai buru-buru mencekal
tangan si jangkung. “Soetee,” bisiknya, “Kau tak akan bisa menang. Biarlah aku
menelan hinaan ini.” Si jangkung tidak mau mengerti, tapi dia lantas diseret
kakak seperguruannya.”
Sesudah itu, Ciehoat Tiangloo
berhasil merobohkan Tiang boen jin Bwe hoato dan sesudah menang dua kali
beruntun, ia segera mundur untuk beristirahat.
Sesudah pertandingan
berlangsung dua jam lebih, matahari mulai mendoyong ke sebelah barat dan ilmu
silat orang-orang yang turun ke gelanggang makin lama jadi makin tinggi. Banyak
yang semula ingin memperlihatkan kepandaiannya mundur kembali sesudah melihat
kepandaian orang-orang itu.
Pada waktu sin sie (antara jam
tiga dan lima sore), Ciang poen Liong touw dari Kay pang telah menendang roboh
Pheng Sie Nio, seorang tokoh Kay pang dari Ouwlam barat. Sesudah menjatuhkan
jago betina itu sambil mengawasi rombongan Go bie pay ia berkata, “Perempuan
bisa apa? Kalau bukan mengandal kepada jumlah yang besar, mereka tentu berpegangan
kepada senjata rahasia beracun. Wanita yang berkepandaian seperti Pheng Sie Nio
sudah jarang terdapat.”
Mendengar ejekan itu, Cie Jiak
segera bicara bisik-bisik kepada Song Ceng Soe yang sesudah mengangguk lantas
saja berbangkit dan menghampiri Ciang poen Liong tauw. “Liong tauw Toako,”
katanya sambil menyoja. “Aku ingin meminta pelajaran.”
Melihat pemuda itu, darang
Ciang poen Liang tauw meluap. “Manusia she Song!” bentaknya. “Secara tak
menganal malu kau menyusup ke dalam Kay pang. Mungkin sekali kau juga turut
mencelakai Soe pangcoe kami, dan kau masih ada muka untuk menemui aku?”
Song Ceng Soe tertawa dingin.
“Dalam dunia Kang ouw, berusaha menyelidiki rahasia musuh adalah kejadian
lumrah,” katanya. “Kau harus sesali dirimu sendiri yang tidak punya mata dan
tidak bisa lihat siapa sebenarnya Song toaya.”
“Binatang!” teriak Ciang poen
Liong tauw. “Partai sendiri dikhianati olehmu. Terhadap ayah kau tidak
berbakti. Kau pasti akan mengkhianati juga isterimu sendiri. Go bie pay bakal
hancur dalam tanganmu.”
Muka Song Ceng Soe sebentar
pucat, sebentar merah. “Tutup bacotmu!” bentaknya dengan suara gemetar.
Ciang poen Liong tauw tidak
mencaci lagi. Sambil menggeram ia menghantam dengan telapak tangannya. Song
Ceng Soe berkelit dan balas menyerang dengan Kim teng Bian ciang (pukulan
kapas) dari Go bie pay.
Karena gusar, jago Kay pang
itu menyerang mati-matian dan mengirim pukulan-pukulan yang membinasakan.
Diserang begitu, Song Ceng Soe lantas saja jatuh di bawah angin. Sebelum
menjadi anggota Kay pang, Ciang poen Liong tauw sudah mendapat nama besar dan
dalam Partai Pengemis, kedudukannya hanya berada di sebelah bawah Pangcoe, Coan
kang dan Cie hoat Tiangloo.
Di lain pihak Song Ceng Soe
adalah murid Boe tong turunan ketiga, dan ia baru saja mempelajari pukulan Kim
teng Biau ciang. Sebab belum cukup berlatih, ia belum bisa mempergunakan ilmu
silat itu sebaik-baiknya. Demikianlah saban-saban terdesak, secara wajar ia
membela diri dengan Bian ciang dari Boe tong pay yang sudah dipelajari olehnya
sedari kecil. Antara Kim teng Bian ciang dan Bian ciang Boe tong pay memang
banyak persamaannya, sehingga orang luar bisa keliru.
Makin lama perut In Lie Heng
jadi makin panas. “Song Ceng Soe!” ia akhirnya membentak. “Mukamu sungguh2
tebal! Kau mengkhianati Boe tong pay, tapi kau gunakan ilmu silat Boe tong pay
untuk menolong jiwamu. Kau membelakangi ayahmu, tapi kau masih ada muka untuk
menggunakan ilmu silat yang diturunkan oleh ayahmu!”
Muka Ceng Soe berubah merah.
“Apa jempolnya ilmu silat Boe tong pay?” teriaknya. “Kau lihatlah!” Seraya
berkata begitu, ia mengibaskan tangan kirinya di depan mata Ciang poen Liong
touw dan sesudah membuat tujuh delapan gerakan kilat, lima jari tangan kanannya
mendadak menyambar dan menancap di kepala pemimpin Kay pang itu. Semua orang
terkesiap. Di lain detik Song Ceng Soe mencabut jari-jari tangannya yang
berlumuran darah dan Ciang poen Liong touw roboh tanpa bernyawa lagi.
“Apa Boe tong pay mempunyai
ilmu silat begini?” tanya Ceng Soe dengan suara dingin.
Di antara ribut suara orang,
tujuh delapan anggota Kay pang melompat masuk ke lapangan. Sebagian menggotong
jenazah pemimpin mereka dan sebagian pula menerjang Song Ceng Soe!
Seorang hweeshio gemuk yang
berduduk di belakang Kong tie lantas saja berteriak, “Hei, tahan! Kay Pang
tidak boleh langgar peraturan!”
“Mundur!” bentak Cie hoat
Tiangloo. “Biar aku yang membalas sakit hatinya Ciang poen Liong touw.”
Murid-murid Kaypang tidak
berani membantah. Mereka kembali ke gubuk sambil mengawasi Song Ceng Soe dengan
sorot mata gusar. Banyak orang turut merasa gusar, mereka berpendapat pemuda
she Song itu terlalu kejam.
Bagi Boe Kie, kebinasaan Ciang
poen Liong touw lantas saja mengingatkan dia kepada luka di pundak Tio Beng dan
kebinasaan mengenaskan dari suami isteri Tauw. “Yo Cosoe, mengapa Go bie pay
menggunakan ilmu silat yang sesat itu?” tanyanya dengan suara gemetar.
Yo Siauw menggelengkan kepala.
“Akupun belum pernah lihat ilmu silat semacam itu,” jawabnya. “Tapi Kwee
liehiap, pendiri Go bie pay dijuluki sebagai ‘Siauw tong sia’. Maka itu kita
boleh tak usah heran kalau ilmu silat Go bie pay mengandung sesuatu yang
sesat.” (siauw tong sia: si sesat kecil dari timur).
Sementara itu, Song Ceng Soe
sudah mulai bertempur dengan Cie hoat Tiangloo. Jago Kaypang itu, yang bertubuh
kurus kecil, sangat gesit geraknya. Dengan mementang sepuluh jari tangannya, ia
menyerang dalam ilmu Eng jauw kang (silat cakar elang) dan berusaha menancapkan
jari-jari tangannya itu di kepala Song Ceng Soe. Sesudah bertempur puluhan
jurus, tiba-tiba ia membentak, “Terimalah kebinasaanmu, anjing!” Hampir
berbareng, lima jari tangan kirinya sudah menyentuh kepala Song Ceng Soe. Tapi
baru saja ia mengerahkan Lweekang untuk menancapkannya, si orang she Song
mendahului – bagaikan kilat jari-jari tangannya amblas di tenggorokan Cie hoat
Tiangloo! Tanpa bersuara lagi, tetua Partai Pengemis itu roboh di tanah.
Begitu lekas Cie hoat
terguling, Cioe Cie Jiak menggerakkan tangannya dan delapan murid Go bie pay
melompat masuk ke lapangan dengan pedang terhunus. Mereka terpecah jadi empat
rombongan dan berdiri di sekitar Song Ceng Soe dengan saling membelakangi, siap
sedia untuk menyambut serangan Kay pang.
“Tiga puluh enam murid Lo han
tong, bersiaplah!” teriak seorang pendeta To mo tong, sambil menepuk tangan
tiga kali. Hampir berbareng, tiga puluh enam pendeta yang mengenakan jubah
pertapaan warna kuning melompat keluar. Separuh dari mereka bersenjata sian
thung dan separung lagi memegang golok. Setibanya di lapangan, mereka
berpencaran dan berdiri di tempat-tempat tertentu. “Murid-murid Lo han tong,
dengarlah!” teriak pula si pendeta To mo tong. “Atas perintah Kong tie Soesiok
tiga puluh enam murid Lo han tong harus mempertahankan peraturan-peraturan
dalam pertemuan ini. Dalam pertandingan apa, bila ada yang berani mengerubuti
atau membokong dari luar gelanggang, maka murid-murid Lo han tong harus segera
mencegah. Sebagai tuan rumah, Siauw lim sie harus berlaku adil. Siapa yang
membantah boleh dibinasakan!”
Rombongan murid Lo han tong
itu lantas saja mengiakan.
Demikianlah karena sudah ada
penjagaan keras, orang-orang Kay pang tidak berani bergerak, mereka hanya
mencaci dan berteriak-teriak dan kemudian menggotong jenazah Cie hoat Tiang loo
keluar dari lapangan.
“Kauw Taysoe, aku tak nyana Go
bie pay masih punya ilmu yang begitu hebat,” bisik Tio Beng. “Di Ban hoat sie,
biarpun harus mati, Biat coat Soethay menolak untuk bertanding! Mungkin sekali
inilah sebab musababnya.”
Hoan Yauw hanya menggelengkan
kepala. Ia tak mau bicara sebab sedang mengasah otak untuk mencoba memecahkan
ilmu silat itu. Selang beberapa saat mendadak ia berkata, “Kauwcoe, aku ingin
meminta pelajaran.” Sehabis berkata begitu ia menggerak-gerakan jari-jari
tangannya di atas meja. “Kauwcoe lihatlah!” bisiknya. “Dengan cara ini kedua
tanganku membuat serangan berantai. Aku akan berusaha untuk menangkap lengan
bangsat kecil itu dan mencopotkan sambungan-sambungan tulang lengannya. Kalau
sambungan lengannya sudah copot, biarpun lihay, jari-jari tangannya tidak bisa
digunakan lagi!”
Boe Kie juga menggerakkan
beberapa jari tangannya. “Kau harus berhati-hati,” katanya. “Jagalah jangan
sampai jari-jari tangannya menyentuh lenganmu.”
Hoan Yauw mengangguk. “Aku
akan tangkap lengannya dengan Ki na choe dan menendang bagian bawah tubuhnya
dengan Wan yo Lian-hoe to,” katanya.
“Kalau serang dengan delapan
puluh satu pukulan berantai supaya dia tidak bisa bernafas,” kata Boe Kie.
Sambil membisik-bisik, mereka
melanjutkan latihan silat itu dengan kecepatan luar biasa. Tiba-tiba Hoan Yauw
tersenyum dan berkata, “Kauwcoe, beberapa seranganmu itu terlampau hebat.
Kecuali jari tangannya, ilmu silat bangsat kecil itu tidak seberapa tinggi. Dan
pasti tidak bisa menyerang dengan pukulan-pukulan yang sehebat itu.”
Boe Kie turut tersenyum.
“Kalau benar, kaulah yang akan memperoleh kemenangan,” katanya.
Tiba-tiba jari tangan kirinya
membuat dua lingkaran dan jari tangan kanannya menerobos dari lingkaran itu dan
menggaet jari tangan Hoan Yauw, akan kemudian tersenyum dan mengawasi orang
sebawahan itu tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Sesudah hilang kagetnya, Hoan
Yauw berkata dengan suara girang. “Terima kasih atas petunjuk Kauwcoe. Aku
takluk. Empat pukulan itu sangat luar biasa dan membuka pikiranku yang gelap.
Aku merasa menyesal, bahwa aku tidak bisa mengangkat Kauwcoe sebagai guru.”
“Pukulan itu adalah Lian hoat
koat, pukulan yang terdiri dari lingkaran-lingkaran Thay kek Koen hoat, gubahan
Thay soehoe,” kata Boe Kie. “Yang terpenting ialah lingkaran-lingkaran yang
dibuat dengan tangan kiri. Biarpun she Song itu keluar Boe tong, kurasa ia
belum bisa menyelami pukulan ini.”
Hoan Yauw adalah orang yang
sangat cerdas dan berkepandaian tinggi. Begitu mendapat petunjuk, ia lantas
punya pegangan untuk merobohkan Song Ceng Soe. Tapi sesudah menang dua kali
beruntun, menurut peraturan Song Ceng Soe harus beristirahat, maka itu ia tidak
bisa berbuat lain dari untuk kedua kalinya.
Sementara itu dengan paras
muka berseri-seri Tio Beng mengawasi Boe Kie.
“Beng moay, mengapa kau
kelihatannya begitu bergirang?” tanya Boe Kie.
“Kau mengajar Hoan Yoesoe
beberapa jurus hanya itulah untuk mematahkan lengan,” kata si nona. “Mengapa
kau tidak menyuruh dia untuk ambil saja jiwa manusia she Song itu?”
“Biarpun dia menyeleweng, Song
Ceng Soe putera Toa soepeh. Toa soepeh lah yang harus menghukum dia. Jika aku
memerintahkan Hoan Yoesoe mengambil jiwanya, aku berlaku tak pantas terhadap
Toa soepeh.”
“Tapi apabila dia mati, Cioe
ciecie akan jadi janda dan kau akan mendapat kesempatan untuk menikah
dengannya. Bukankah baik begitu?”
Boe Kie mencekal tangan Tio
Beng erat-erat dan bertanya sambil tertawa, “Apa kau suka mempermisikan aku
berbuat begitu?”
“Tentu! Sesudah menikah hatimu
akan bercabang lagi dan Cioe ciecie pasti akan melubangkan dadamu dengan
jari-jari tangannya.”
Selagi kedua orang muda itu
bergurau, dengan dilindungi oleh delapan murid wanita Go bie pay, Song Ceng Soe
sudah kembali ke gubuk Go bie pay untuk beristirahat.
Kekejaman Song Ceng Soe dalam
membinasakan kedua tokoh Kay pang sudah mengejutkan semua orang. Seluruh
lapangan menjadi sunyi dan para hadirin menunggu perkembangan selanjutnya
dengan hati berdebar-debar.
Sesudah mengaso sebentar, Song
Ceng Soe maju lagi ke gelanggang. “Aku sudah beristirahat,” katanya sambil
merangkap kedua tangannya. “Siapa lagi yang mau memberi pelajaran kepadaku?”
“Aku!” teriak Hoan Yauw. “Aku
ingin berkenalan dengan ilmu silat Go bie pay.”
Tapi baru saja ia mau melompat
keluar, satu bayangan manusia mendadak berkelebat dan tahu-tahu sudah berdiri
di depan Song Ceng Soe. “Hoan sianseng, biarlah aku yang maju lebih dulu,”
katanya. Orang yang bicara dengan suara menyeramkan itu adalah Boe tong Jie
hiap Jie Lian Cioe.
Sedari kecil Ceng Soe takuti
pamannya itu. Melihat paras muka sang paman ia tahu, bahwa ia sekarang
menghadapi satu pertempuran mati hidup dan hatinya jadi gentar.
Jie Lian Cioe menyoja dan
berkata, “Song Siauwhiap, mulailah!” Kata-kata itu membuktikan bahwa ia tidak
memandang rendah lawannya dan juga tidak lagi menganggap Song Ceng Soe sebagai
orang separtai. Song Ceng Soe tidak menjawab, ia hanya membungkuk untuk
membalas hormat dan Jie Lian Cioe lantas saja menyerang.
Boe tong Jie hiap sudah
mendapat nama besar selama tiga puluh tahun lebih, tapi dalam Rimba Persilatan
hanya beberapa orang yang pernah menyaksikan kepandaiannya. Orang-orang Kangouw
mengenal ilmu silat Boe tong pay sebagai ilmu yang dengan “kelembekan” melawan
“kekerasan” dan pukulan2nya yang perlahan mengandung aneka perubahan beraneka
warna. Di luar dugaan, serangan2 yang dikirim Jie Lian Cioe cepat bagaikan
kilat dan dalam beberapa saat saja, pinggang dan lutut Song Ceng Soe sudah kena
terpukul.
Tak kepalang kagetnya Song
Ceng Soe. “Thay soehoe dan Thia thia ingin mengangkat aku menjadi Ciang boenjin
Boe tong pay turunan ketiga, sehingga tak mungkin mereka merahasiakan apapun
juga,” pikirnya. “Tapi serangan Jie jiesiok, biarpun dia menggunakan ilmu silat
Boe tong, tapi sangat berbeda dari kebiasaan.” Dia mau menguba cara
berkelahinya dengan ilmu yang diturunkan Cioe Cie Jiak, tapi Jie Lian Cioe
tidak memberi kesempatan dan terus mengirim serangan-serangan berantai.
Para hadirin menyaksikan
pertandingan itu sambil menahan napas. Biarpun Jiehiap sudah berada di atas
angin, mereka merasa kuatir sebab tadi kedua pimpinan Kay pang yang sudah
dibinasakan juga lebih dahulu berada di atas angin.
Makin lama serangan Jie
Jiehiap jadi makin cepat, tapi setiap pukulannya dapat dilihat dengan nyata
sekali, seperti juga setiap kata kata penyanyi kenamaan masih bisa didengar
tegas walaupun dia menyanyi dengan tempo yang ama cepat. Di antara orang-orang
gagah yang berduduk di bagian belakang, banyak yang berdiri di kursi atau meja.
Semua orang kagum dan mengakui bahwa nama besar Boe tong Jiehiap bukan nama
kosong.
Untung juga Song Ceng Soe
sudah mempelajari intisari daripada ilmu silat Boe tong pay, sehingga
sedikitnya untuk sementara waktu ia masih dapat mempertahankan diri. Begitu
hebat pertempuran itu, sehingga debu mengepul ke atas dan tubuh kedua jago itu
seolah-olah dikurung dengan awan yang berwarna kuning.
Tiba-tiba terdengar “plak!”
suara beradunya tangan dan kedua lawan melompat ke belakang dengan berbareng.
Baru kakinya menginjak bumi, tubuh Jie Lian Cioe sudah melesat lagi ke depan
dan mengirim pukulan dahsyat.
Karena kuatir akan keselamatan
kakak seperguruannya, In Lie Heng maju sampai ke perbatasan lapangan. Dengan
tangan memegang gagang pedang, ia terus memperhatikan jalannya pertempuran
tersebut. Sebagai murid Boe tong, ia tahu bahwa setiap pukulan adalah pukulan
yang membinasakan dan ketegangan yang dirasakannya lebih hebat daripada yang
dirasakan orang lain. Untung juga Jie Lian Cioe sekarang sudah banyak lebih
unggul daripada lawannya. In Lie Heng mengerti, bahwa apabila sang kakak tidak
berjaga-jaga terhadap totokan lima jari yang sangat lihay, siang-siang Song
Ceng Soe sudah dapat dibinasakan.
Boe Kie pun tidak kurang
kuatirnya. Diam-diam ia mencekal dua “seng hwee leng”. Kalau Jie Lian Cioe
menghadapi bahaya, tanpa memperdulikan segala peraturan, ia pasti akan
membantu.
Sesudah lewat sekian jurus lagi,
sekonyong-konyong Song Ceng Soe mementang lima jari tangannya dan coba
mencengkeram pundak lawannya. Inilah pukulan yang ditunggu-tunggu Jie Lian
Cioe. Waktu Song Ceng Soe membinasakan kedua tetua Kay pang, pukulan itu telah
diperhatikan sungguh-sungguh oleh Jiehiap. Manakala belum ada contoh, andaikata
tidak mati, Jie Lian Cioe sedikitnya terluka hebat. Tapi sekarang ia sudah
bersiap sedia dan sudah menghitung-hitung cara bagaiman untuk menghadapinya. Di
lain pihak, sebab berlatih belum lama, Song Ceng Soe belum berhasil menyelami
inti sari daripada pukulan itu dan gerak-gerakannya tidak banyak berbeda dari
gerak-gerakan dalam dua pukulan yang dikeluarkannya waktu mengambil jiwa kedua
pemimpin Kay pang.
Demikianlah begitu lima jari
tangan Song Ceng Soe menyambar, Jie Jiehiap mengegos ke samping dan tangan
kirinya membuat beberapa lingkaran di tengah udara.
“Ih!” Hoan Yauw mengeluarkan
seruan tertahan. Itulah gerakan Lian hoan koat! Ia tahu pemuda she Song itu
tengah menghadapi bencana.
Sekonyong-konyong Song Ceng
Soe menyodok tenggorokan Jie Lian Cioe dengan lima jari tangan kanannya.
Boe Kie gusar bukan main.
“Memang kurang ajar!” cacinya dengan suara perlahan. Sodokan itu adalah sodokan
yang digunakan untuk mengambil jiwa Cie hoat Tiangloo.
Hampir berbareng, kedua tangan
Jie Lian Cioe membuat dua lingkaran dan mengeluarkan dua macam tenaga dari ilmu
Liok hap kin. Tak ampun lagi kedua lengan Song Ceng Soe terkurung oleh
lingkaran itu, dan “krek..krek..” sambungan tulang lengannya patah. Begitu berhasil,
Jie Lian Cioe mengirim Song hong koan nie (dua angin menerobos kuping) dengan
memukul kedua kuping Song Ceng Soe dengan kedua tinjunya. Tanpa mengeluarkan
suara, anak durhaka itu roboh.
Sebelum tubuh Song Ceng Soe
roboh, Jie Lian Cioe sudah mengangkat kaki untuk menendangnya dan menghabiskan
jiwanya. Tapi tiba-tiba satu bayangan hijau berkelebat dan ujung cambuk
menyambar mukanya, secepat kilat Jie Jiehiap melompat ke belakang dengan
dikejar oleh beberapa sabetan. Orang yang menyerang bukan lain daripada Ciang
boenjin Go bie pay, Cioe Cie Jiak.
Pukulan-pukulan cambuk itu
luar biasa. Dalam tiga pukulan saja, tubuh Jie Lian Cioe sudah terkurung.
Mendadak cambuk ditarik pulang dan Cie Jiak berkata dengan suara dingin. “Kalau
aku ambil jiwamu sekarang, kau tentu penasaran. Ambil senjatamu!”
In Lie Heng menghunus
pedangnya. Ia maju dan berkata, “Biarlah aku yang melayani Kouwnio,” katanya.
Cie Jiak mendelik dan lalu
menghampiri suaminya. Kepala Song Ceng Soe pecah, matanya melotot, darah keluar
dari lubang-lubang anggota badannya dan sepuluh-sembilan ia tak dapat hidup
lagi. Tiga murid lelaki sudah masuk ke lapangan dan menggotongnya.
Cie Jiak memutar tubuh. Ia
menuding Jie Lian Cioe dan membentak, “Sesudah binasakan kau, aku baru ambil
jiwa manusia she In itu!”
Serangan Cioe Cie Jiak sangat
mengejutkan Jie Lian Cioe. Dengan rasa cintanya yang sangat besar terhadap si
adik, ia berpikir. “Biarlah aku yang maju lebih dahulu. Andaikata aku mati, Lak
tee sedikitnya bisa memperhatikan ilmu silatnya dan mungkin sekali ia akan bisa
meloloskan diri dari kebinasaan.” Ia segera mendekati In Lie Heng untuk
mengambil pedangnya.
Tapi rasa cinta In Lie Heng
pun tak kalah dari kakaknya.
Merasa bahwa meskipun
mengerubuti, mereka belum tentu bisa menjatuhkan Cioe Cie Jiak. Seperti
soehengnya, ia rela berkorban supaya sang kakak bisa memperhatikan ilmu silat
cambuk itu dan dengan demikian, masih ada kemungkinan bahwa Jie Lian Cioe bisa
menolong diri. Memikir begitu, ia tidak menyerahkan pedangnya dan berkata,
"Soeko, biarlah aku yang maju lebih dahulu."
Jie Jie hiap mengawasi sang
adik. Selama puluhan tahun mereka belajar bersama-sama mereka seperti hubungan
tangan dan kaki. Tiba-tiba saja darah Jie Lian Cioe bergolak-golak dan rasa
terharu datang seperti gelombang. Ia ingat bahwa Jie Thay Giam bercacat. Thio
Coei san bunuh diri, Bo Seng koh dibinasakan orang sehingga Boe tong Cithiap
hanya ketinggalan empat orang saja. Dan hari ini dua diantaranya, untuk
beberapa saat, ia mengawasi muka si adik.
"Kalau aku mati lebih
dahulu, Laktee pasti tak akan bisa membalas sakit hatiku,” pikirnya. "Tapi
ia pasti tak akan lari dan kami berdua akan mengorbankan jiwa bersama sama,
tanpa mampu membalas. Kalau dia mati lebih dahulu mungkin sekali dengan
memperhatikan silat wanita itu, aku masih bisa binasa dengan mengambil juga
jiwanya musuh. "Memikir begitu ia segera mengangguk dan berkata.
"Lak-tee pertahankan dirimu sedapat mungkin.”
Mengingat isterinya Yo Pit
Hwie sedang hamil, tanpa merasa In-Liok hiap mengawasi Yo-Siauw dan Boe Kie.
Tapi ia merasa jengah sendiri. Ia tahu. andaikata ia mati, isteri dan anaknya
pasti tak akan terlantar. Perlu apa ia bersikap seperti seorang perempuan yang
berhati lemah.
Dilain saat ia sudah
mengangkat pedang dan dengan kedua mata mengawasi ujung pedang, ia memusatkan
semangat dan pikiran. "Ciangboen jin, silahkan!" ia mengundang. Ia
berusia banyak dan lebih tua daripada Cie Jiak, tapi karena nyonya itu seorang
Ciang boen jin, maka ia menjalankan tata kehormatan itu.
Melihat si adik seperguruan
memasang kuda-kuda Thay kek kiam, sambil menghela napas Jie-Jiehiap mundur.
"Kau mulailah," kata
Cie Jiak.
Mengingat gerakan nyonya itu
cepat bagaikan kilat, sehingga kalau dia menyerang lebih dahulu dia mendapat
banyak lagi keuntungan, maka dari itu tanpa sungkan-sungkan lagi In Lie Heng
lalu menggeser kaki kirinya dan menikam dengan pukulan Sam hoau To goat ( Tiga
lingkaran memeluk rembulan).