Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 47
Siauw Ciauw agak takut dan ia
mendekati kawannya.
Boe Kie mengangkat obor
tinggi-tinggi dan meneliti keadaan di dalam kamar. “Mungkin kita berada di
bagian paling ujung dari jalan rahasia ini,” katanya. “Apa masih ada jalan
keluar?”
Dengan tombak ia
mengetuk-ngetuk seluruh dinding tapi suara semuanya padat, tak ada yang kosong.
Ia mendekati kedua kerangka itu, tangan kanan yang wanita mencekal sebatang
pisau berkilauan yang menancap di dadanya. Ia terkejut dan lantas teringat
pengakuan Goan-tin yang mengatakan bahwa pada waktu ia mengadakan pertemuan
rahasia dengan Yo Hoe-jin, pertemuan itu telah dipergoki oleh Yo Po Thian yang
binasa karena gusar dan Yo Hoe-jin sendiri kemudian bunuh diri. “Apakah kedua
kerangka inii suami istri Yo Po Thian?” tanyanya dalam hati.
Ia mendekati kerangka lelaki,
di samping kerangka tergeletak selembar kulit kambing yang lalu diambilnya dan
diteliti. Di satu muka kulit itu berbulu di lain muka licin dan mengkilat.
Siauw Ciauw turut mengawasi.
Tiba-tiba dengan paras berseri-seri ia mengambil kulit itu dari tangan Boe Kie.
“Selamat, Kongcoe!” katanya dengan suara girang. “Ini adalah ilmu silat
tertinggi dari Beng-kauw.” Sehabis berkata begitu ia menggoreskan jari
tangannya di mata pisau yang menancap di dada Yo Hoe-jin dan kemudian mengoles
darahnya di bagian kulit yang licin. Perlahan-lahan di atas kulit yang kena
darah timbul huruf-huruf seperti berikut, “Beng-kauw Seng-hwee Sim-hoat
Kian-koon Tay lo ie.” (Kian koen Tay lo ie, ilmu api suci dari agama Beng-kauw)
Tapi Boe Kie tak terlalu
girang. “Di jalan rahasia ini tiada air dan tiada beras,” pikirnya. “Kalau tak
bisa keluar, paling lama tujuh delapan hari, aku dan Siauw Ciauw akan mati
kelaparan. Ilmu yang bagaimana tinggipun tiada gunanya.” Ia melirik kedua kerangka
itu dan bertanya pula dalam hatinya, “Mengapa Goan-tin tak mengambil kulit
kambing itu. Mungkin sekali sesudah melakukan perbuatan terkutuk ia tak berani
datang lagi. Ah! Ia tentu tak tahu bahwa Kian koen Tay lo ie Sim hoat tertulis
di kulit itu. Kalau ia tahu, jangakan Yo Po Thian dan istrinya sudah meninggal
dunia, sekalipun mereka masih hidup ia pasti akan datang mencurinya.”
“Siauw Ciauw, bagaimana kau
tahu rahasia kulit kambing itu?”
“Aku mencuri dengar waktu
Looya bicara dengan Siocia,” jawabnya. “Mereka berdua adalah murid-murid
Beng-kauw dan mereka tak berani masuk ke sini untuk mengambilnya. Seperti
Kongcoe ketahui, hanya seorang Kauwcoe yang boleh masuk ke jalan rahasia ini.”
Dengan rasa haru Boe Kie
mengawasi kedua kerangka itu. “Sebaiknya kita menguburkan mereka,” katanya.
Bersama si nona, ia segera
mengumpulkan batu-batu kecil dan pasir yang rontok karena ledakan tadi dan
kemudian mendampingkan kedua kerangka itu. Mendadak Siauw Ciauw mengambil
sesuatu dari kerangka Yo Po Thian. “Thio Kongcoe, sepucuk surat,” katanya.
Boe Kie membacanya, di atas
sampul tertulis, “Dipersembahkan kepada istriku.” Karena sudah lama, sampul itu
agak rusak sedangkan huruf-hurufnya pun sukar dibaca tapi dari coretannya yang
telah buram, dapat dilihat bahwa huruf-huruf itu indah dan angker. Sampul masih
utuh, belum tersobek.
“Sebelum membaca, Yo Hoe-jin
telah bunuh diri,” kata Boe Kie. Dengan sikap hormat, lalu menaruh surat itu di
atas kerangka. Baru saja ia mau mengubur dengan pasir dan batu, Siauw Ciauw berkata,
“Apakah tak baik bila kita membaca surat itu? Mungkin sekali Yo Kauwcoe
meninggalkan pesan?”
“Kurasa kurang pantas,” kata
Boe Kie.
“Mungkin Kongcoe keliru,”
bantah si nona. “Andaikata ada sesuatu yang diinginkan Yo Kauwcoe dan belum
terpenuhi, alangkah baiknya jika diketahui kita supaya kita bisa menyampaikan
langsung kepada Looya dan Siocia.”
Boe Kie mengangguk lalu
menyobek sampul. Ia mencabut sehelai sutera putih yang tertulis sebagai
berikut:
“Hoe-jin bacalah ini, semenjak
menikah denganku siang malam Hoe-jin berduka. Aku adalah seorang yang tak
mempunyai budi sehingga aku tak bisa menyenangkan hatimu dan untuk kekurangan
itu aku merasa menyesal tak habisnya, kini kita akan berpisah untuk
selama-lamanya. Kuharap Hoe-jin sudi memaafkanku.
Cioe Kauwcoe dari turunan
ketiga puluh dua telah memerintahkan supaya setelah selesai dalam latihan Kian
koen Tay lo ie Sin-kang, aku segera pergi ke Congto dari Kay pang (markas besar
Partai Pengemis) untuk mengambil kembali barang-barang peninggalan Cioe Kauwcoe
dari turunan ketiga puluh satu.
Aku baru saja menyelesaikan
latihan Sin-kang tingkat kelima. Apa daya, aku tahu urusan Seng Soe-tee. Darah
dan hawa bergolak-golak dan aku tak dapat menguasai diriku lagi. Tenagaku akan
buyar dan aku menghadapi kematian. Inilah takdir. Tiada manusia dapat melawan
takdir.”
Membaca sampai di situ Boe Kie
menghela nafas, “Kalau begitu, sebelum menulis surat, Yo Kauwcoe telah tahu
adanya pertemuan antara Seng Koen dan istrinya di jalan rahasia ini,” katanya.
Siauw Ciauw mengawasi pemuda
itu dengan sorot matanya tapi ia tak berani membuka mulut. Maka itu secara
singkat Boe Kie lalu menceritakan tentang Seng Koen dan Yo Hoe-jin.
“Menurut pendapatku, Yo
Hoe-jin lah yang bersalah,” kata si nona. “Jika ia tetap mencintai Seng Koen,
seharusnya ia tak boleh menikah dengan Yo Kauwcoe. Setelah menikah dengan Yo
Kauwcoe, ia tak boleh membuat pertemuan rahasia lagi dengan Seng Koen.”
Boe Kie manggut-manggutkan
kepalanya. Di dalam hati ia memuji nona cilik yang sudah bisa membedakan apa
yang benar dan apa yang salah. Sesudah berdiam sejenak, ia membaca lagi.
“Cioe Kauwcoe adalah seorang
gagah dan berakal budi. Sungguh sayang, ia mati dalam tangan Soe Tiang-loo
(empat tetua) dari Kay pang. Sebegitu lama barang peninggalan Cioe Kauwcoe
belum dapat diambil kembali. Sebegitu lama juga di mana adanya Seng hwee-leng
belum bisa diketahui. Sekarang aku menghadapi kematian dan aku telah
menyia-nyiakan pesan Cioe Kauwcoe. Aku adalah orang berdosa dalam agama kita.
Kuharap dengan mengggunakan
surat ini Hoe-jin sudi mengumpulkan kedua Kong-beng Soe-cia, keempat Hoe-kauw
Hoat-ong, kelima Ngo-beng Khie-see dan Ngo Sian-jin. Beritahukanlah kepada
mereka bahwa aku memerintahkan seperti berikut: ‘Siapapun jua yang bisa
mengambil barang peninggalan Cioe Kauwcoe dan Seng hwee-leng, dialah yang akan
menjadi Kauwcoee turunan ketiga puluh empat dari agama kita. Siapa yang
membantah boleh segera dibinasakan! Akupun memrintahkan supaya untuk sementara
waktu Cia Soen bertindak sebagai Hoe Kauwcoe (wakil pemimpin agama) utnuk
mengurus berbagai urusan dari agama kita.’”
Hati Boe Kie berdebar-debar,
kini baru ia tahu bahwa ayah angkatnya telah ditunjuk oleh Yo Po Thian sebagai
Hoe Kauwcoe. Hanya sayang, Yo Hoe-jin sudah bunuh diri. Bila tidak, orang-orang
Beng-kauw tentu tak sampai saling bermusuhan dan saling bunuh. Di dalam hati
kecilnya diam-diam ia merasa bangga bahwa Yo Po Thian sudah menghargai ayah
angkatnya.
Ia membaca lagi.
“Untuk sementara waktu, ilmu
Kian koen Tay lo ie harus diserahkan kepada Cia Soen. Nanti, sesudah ada
kauwcoe baru, barulah Sim-hoat itu diserahkan kepadanya. Kauwcoe baru bertugas
untuk memperbesar agama kita, mengusir kaum penjajah, melakukan
perbuatan-perbuatan mulia, menumpas kejahatan, meluruskan yang bengkok dan
membasmi segala kebusukan.”
Boe Kie berhenti lagi. Ia
bingung dan berkata dalam hatinya, “Dilihat begini, Beng-kauw mempunyai tujuan
yang sangat mulia. Berbagai partai persilatan yang memusuhi agama itu adalah
perbuatan yang tidak pantas.”
Ia menghela nafas dan melanjutkan.
“Dengan menggunakan Sin-kang
yang masih berada dalam tubuhku, aku akan menutup pintu batu supaya aku bisa
berada bersama-sama Seng Soe-tee. Untuk selama-lamanya aku tak akan berpisah
lagi dengan dia. Hoe-jin sendiri bisa meloloskan diri dengna melihat peta jalan
rahasia. Pada jaman ini, tiada orang lain yang bisa menggerakkan pintu batu Boe
Ong-wie. Andaikata di kemudian hari ada seorang gagah yang bisa membuka pintu
itu, aku dan Seng Soe-tee sudah jadi kerangka belaka. Hormat dari suamimu, Po
Thian.”
Di belakang surat itu terdapat
sebuah peta yang melukiskan semua jalan dan pintu-pintu dari jalan rahasia itu.
Boe Kie girang tak kepalang.
“Yo Kauwcoe ternyata memang ingin mengurung Seng Koen dalam jalan rahasia ini
dan rela mati bersama-sama,” katanya. “Sayang sekali ia tak dapat
mempertahankan diri dan sudah mati terlebih dulu sedang manusia busuk itu masih
bisa malang melintang hingga sekarang. Bagus juga kita mendapat peta ini dan
kita akan bisa keluar.”
Sehabis berkata begitu, ia
meneliti peta tersebut dan mencari tempat di peta di mana mereka berada
sekarang. Tiba-tiba ia seperti diguyur air dingin. Mengapa? Karena jalan keluar
yang satu-satunya adalah jalan yang sudah ditutup dengan batu raksasa oleh Seng
Koen. Peta berada di tangan, tapi tidak berguna!
“Kongcoe, jangan terlalu
bingung,” hibur Siauw Ciauw. “Mungkin sekali kita bisa cari jalan lain.” Ia
mengambil peta itu dari tangan Boe Kie dan lalu memperhatikannya. Tapi sesudah
melihat sampai matanya berkunang-kunang ia tak bisa mendapatkan jalan lain.
Jalan yang tertutup batu itu adalah jalan satu-satunya.
Melihat paras si nona yang
putus harapan, Boe Kie tertawa getir. “Menurut surat Yo Kauwcoe, seseorang yang
sudah berhasil dalam Kian koen Tay lo ie Sin-kang bisa mendorong pintu batu
itu,” katanya. “Di saat ini, hanya Yo Siauw Sianseng yang pernah berlatih ilmu
itu tapi kepandaiannya masih cetek sehingga andaikata ia berada di sini, belum
tentu ia bisa berhasil. Di samping itu, kitapun tak tahu di mana tempat
kedudukan Boe Ong-wie. Tidak tertulis di atas peta, di mana kita harus
mencarinya?”
“Boe Ong-wie?” tegas Siauw
Ciauw. Boe Ong-wie adalah salah satu “wie” (kedudukan) dari enam kedudukan yang
terdapat dalam Lak-cap Sie-kwa (ilmu pentang-pentangan) dari Hok-hie. Boe
Ong-wie terletak di antara Beng Ie-wie dan Swee-wie. Seraya berkata begitu ia
berjalan sesuai dengan kedudukan dari ilmu pentang-pentangan itu. Sesudah
berada di sudut barat laut dari ruangan itu, ia berkata, “Kalau tak salah di
sini.”
Semangat Boe Kie terbangun,
“Apa benar?” tanyanya. Ia berlari-lari ke tempat senjata dan mengambil sebuah
kampak. Dengan alat itu, ia membersihkan tanah dan pasir yang melekat di
dinding. Benar saja ia segera mendapatkan garis-garis yang menunjukkan adanya
sebuah pintu. Ia girang dan berkata dalam hati, “Meskipun tak mengenal Kian
koen Tay lo ie Sin-kang, aku sudah memiliki Kioe yang Sin-kang. Mungkin dapat
digunakan.”
Ia segera mengumpulkan hava di
bagian pusar, mengerahkan tenaga dalam kedua lengannya, memasang kuda-kuda dan
kemudian mendorong pintu. Pintu itu tidak bergeming. Ia mencoba berulang-ulang
dengan segenap tenaganya. Tetap tidak berhasil. Ia mendorong lagi sehingga
tulang-tulangnya berkelotokan dan kedua lengannya lemas. Pintu tetap tidak
bergerak.
“Thio Kongcoe, sudahlah!” kata
Siauw Ciauw. “Sebaiknya kita gunakan bahan peledak.”
“Baiklah, aku lupa kita masih
punya bahan peledak,” kata pemuda itu.
Mereka segera mengambil sisa
bahan peledak dan meledakkannya di bawah pintu. Batu somplak tapi pintunya
tetap tidak bergerak.
Dengan rasa menyesal dan
terharu, Boe Kie menarik tangan si nona dan berkata dengan suara halus, “Siauw
Ciauw…akulah yang bersalah, aku mengajak kau kemari sehingga kau tidak bisa
keluar lagi.”
Si nona mengawasi muka Boe Kie
dengan matanya yang bening. “Thio Kongcoe, sebenarnya kau yang harus
menyalahkan aku,” katanya. “Jika aku tidak membawa kau kemari…kau tidak….” Ia
tidak dapat meneruskan perkataannya dan lalu menyeka air mata dengan lengan
bajunya.
Untuk beberapa saat, mereka
membungkam. Tiba-tiba si nona tertawa. “Sudahlah!” katanya. “Kita tidak bisa
keluar, jengkelpun tak berguna. Sebaiknya aku menyanyi. Apa kau setuju?”
Boe Kie sebenarnya tak punya
kegembiraan untuk mendengarkan nyanyian, tapi supaya tidak mengecewakan si
nona, ia mengangguk. “Bagus!” katanya sambil tertawa.
Siauw Ciauw segera duduk di
samping pemuda itu. Sesudah mendehem beberapa kali, ia mulai.
“Bersandar di guba,
Membuat gubuk,
Biarpun melarat, tetap
bahagia,
Di tepi sungai berbicara
dengan si pencari kayu,
Di gunung mencari sahabat
lama,
Di angkasa berkawan dengan
burung Hong,
Dia berhasil,
Dia menertawai kita!
Dia gagal,
Kita menertawai dia!”
Waktu si nona menyanyi, Boe
Kie tak begitu memperhatikan. Tapi sesudah mendengar “dia berhasil, dia
menertawai kita, dia gagal, kita menertawai dia” hatinya tertarik dan ditambah
dengan suara si nona yang sangat merdu, rasa jengkelnya segera menghilang.
Sementara itu, si nona
melanjutkan nyanyiannya.
“Syair menghilangkan kedukaan,
Pedang penuh keangkeran,
Seorang Enghiong tak
perdulikan kemiskinan atau kekayaan,
Di sungai membunuh Kauw,
Dikira memanah Tiauw,
Di daerah perbatasan memutar
golok,
Dia berhasil,
Dia menertawai kita,
Dia gagal,
Kita menertawai dia.”
Waktu menyanyi dibagian itu,
suara si nona nyaring dan bernada gagah.
“Siauw Ciauw, sungguh merdu
suaramu!” Boe Kie memuji. “Siapa yang menggubah lagu itu?”
Si nona tertawa. “Kau bohong!
Suaraku tak keruan begitu,” katanya. “Aku meniru nyanyian orang lain. Tak tahu
siapa yang menggubahnya.” Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula. “Apa benar
kau senang mendengarnya? Tidak bohong?”
Boe Kie tertawa nyaring, “Mana
bisa aku berbohong di hadapanmu,” katanya. “Tidak! Memang benar suaramu merdu
dan sajak lagu itu indah sekali. Sungguh!”
“Baiklah, kalau begitu aku mau
menyanyi lagi,” kata si nona. “Sayang sekali tidak ada pie-pee (semacam
gitar).” Sambil menepuk-nepuk batu dengan lima jarinya, ia segera menyanyi
pula.
“Perubahan di dunia silih
berganti,
Manusia harus menyesuaikan
diri,
Nasib memutuskan kemakmuran
atau keruntuhan,
Dalam kebahagiaan bersembunyi
malapetaka,
Dalam malapetaka bersembunyi
kebahagiaan,
Mana ada kekayaan abadi?
Dari angkasa, sang surya kelam
ke barat,
Dari bundar sang rembulan
somplak sebelah,
Di langit dan di bumi tak ada
yang sempurna,
Hilangkan kerutan alis,
Hentikan permusuhan remeh,
Paras muka di hari ini,
Lebih tua daripada kemarin,
Yang lama pergi yang baru
datang,
Semua tak luput,
Yang pintar, yang bodoh,
Yang miskin, yang kaya,
Pada akhirnya manusia,
Tidak bisa lari dari hari itu,
Hari ini ada kesenangan,
Nikmatilah kesenangan,
Siang dan malam seratus tahun,
Yang berusia tujuh puluh tahun
jarang ada,
Sang waktu mengalir bagaikan
air,
Gelombang demi gelombang.”
Sajak itu adalah pengutaraan
isi hati dari seseorang yang sudah kenyang makan asam garamnya dunia dan yang
sudah bisa melihat tidak kekalnya segala keduniawian. Bahwa sajak itu diucapkan
oleh seseorang muda belia seperti Siauw Ciauw, kelihatannya sangat tidak
sesuai. Mungkin sekali ia tak tahu artinya. Ia hanya mendengar nyanyian orang
lain dan lalu meniru.
Tapi Boe Kie lain, ia masih
muda, tapi selama sepuluh tahun, ia telah merasakan bermacam-macam kegetiran
dan mendapat berbagai pengalaman luar biasa. Sekarang ia terkurung di perut
gunung dan di hadapannya tidak ada jalan hidup. Tapi sesudah mendengar nyanyian
Siauw Ciauw, ia merasa dadanya lega. Ia merasa kuat, terutama karena dua
kalimat yang berbunyi “pada akhirnya manusia, tidak bisa lari dari hari itu.”
“Hari itu!” “Hari itu!” yang
mesti di alami setiap manusia, setiap makhluk berjiwa. “Hari” pulang ke alam
baka.
Sebagai manusia, Boe KIe yang
masih muda sudah beberapa kali mengalami detik-detik mati atau hidup. Pada masa
lampau, mati atau hidupnya tidak bersangkutan dengan siapapun juga. Tapi
sekarang, keadaan agak berlainan. Kematiannya bukan saja menyeret Siauw Ciauw,
tapi juga mempunyai hubungan dengan mati hidupnya Beng-kauw, selamat celakanya
Yo Siauw dan yang lain-lain, permusuhan antara Goan-tin dengan ayah angkatnya.
Ia tidak takut mati, terlebih sesudah mendengar nyanyian si nona. Tapi kalau
boleh, ia tidak mau mati sekarang karena ia merasa memikul tugas-tugas yang
belum diselesaikan.
Ia lalu bangkit dan mendorong
pula pintu batu itu. Ia merasakan mengalirnya Cin-khie di seluruh tubuhnya,
sepertinya ia mempunyai tenaga yang besarnya tidak terbatas, tapi tidak dapat
dikeluarkan. Tenaga itu seperti gelombang air bah yang tertahan oleh gili-gili.
Tiga kali ia mencoba, tiga kali ia gagal.
Sementara itu Siauw Ciauw
sudah melukai lagi jari tangannya dan mengoleskan darahnya di kulit kambing,
“Thio Kongcoe,” katanya. “Apakah tidak baik jika kau melatih Sin-kang dari Kian
koen Tay lo ie? Kau sangat cerdas dan mungkin sekali segera berhasil.”
Boe Kie tertawa. “Para Kauwcoe
dari Beng-kauw telah berlatih seumur hidup, tapi hanya beberapa orang saja yang
bisa dikatakan berhasil,” jawabnya. “Sebagai Kauwcoe mereka pasti bukan orang
sembarangan. Mereka semua mempunyai kecerdasan dan kepandaian yang sangat
tinggi. Bagaimana caranya aku bisa mengharap bahwa dalam waktu singkat aku bisa
berhasil dalam suatu latihan yang sukar, yang tidak dapat dilakukan oleh para
mendiang Kauwcoe itu?”
Si nona tak menyahut. Ia
menunduk dan menyanyi dengan perlahan.
“Hari ini ada kesenangan,
Nikmatilah kesenangan itu,
Hari ini bisa berlatih,
Berlatihlah hari ini.”
Sambil tersenyum Boe Kie lalu
mengambil kulit kambing itu dari tangan Siauw Ciauw dan lalu membacanya. Ia
mendapati kenyataan bahwa apa yang tertulis adalah ilmu untuk menjalankan
pernafasan dan menggunakan tenaga dalam. Ia lalu mencoba-coba dan…dengan mudah
ia berhasil. Di kulit itu terdapat juga tulisan yang berbunyi sebagai berikut.
“Inilah Sin-kang tingkat
pertama. Orang yang cerdas dan berbakat bisa berhasil dalam waktu tujuh tahun.
Orang biasa harus menggunakan waktu empat belas tahun.”
Boe Kie heran tak kepalang. Ia
berhasil dalam sekejap mata. Mengapa dalam kulit kambing tertulis harus
menggunakan sedikitnya tujuh tahun?
Ia segera membaca ilmu tingkat
kedua dan terus berlatih. Kali inipun ia berhasil dengan mudah. Ia merasa
semacam hawa dingin yang halus seperti benang seakan-akan menyambar keluar dari
sepuluh jari tangannya. Di bawah ilmu itu terdapat penjelasan sebagai berikut.
“Inilah Sin-kang tingkat
kedua. Orang cerdas dan berbakat bisa berhasil dalam waktu tujuh tahun. Orang
biasa harus menggunakan waktu sedikitnya empat belas tahun. Manakala sesudah
berlatih dua puluh satu tahun masih belum mendapat kemajuan, orang itu dilarang
maju pada tingkat ketiga, untuk mencegah kecelakaan yang tidak dapat ditolong
lagi.” (Menurut kepercayaan, jika seseorang melatih Lweekang tinggi secara
salah atau secara memaksakan diri, maka ilmu itu bisa membinasakan orang yang
berlatih seperti “golok makan tuan”)
Boe Kie kaget bercampur
girang. Dengan bernafsu ia segera membaca ilmu ketiga. Ketika itu, huruf-huruf
di atas kulit kambing telah mulai buram, tapi baru saja ia mau mencabut pisau
untuk menggores jari tangannya, Siauw Ciauw sudah mendahului dan mengoles kulit
kambing dengan darahnya.
Ia berhasil dalam ilmu ketiga
dan keempat sama mudahnya seperti orang membelah bambu. Dengan rasa takut Siauw
Ciauw mengawasi muka pemuda itu yang berwarna aneh, sebelah hijau. Tapi hatinya
segera tentram kembali karena paras Boe Kie tetap tenang dan hanya kedua matanya
berkilat-kilat. Waktu Boe Kie melatih diri dalam Sin-kang tingkat kelima, suatu
perubahan terjadi pada dirinya.
Mukanya sebentar biru sebentar
merah, waktu mukanya biru badannya agak gemetaran dan berhawa dingin seperti
gundukan es, sedang waktu mukanya merah keringat menetes turun seperti hujan
gerimis dari kedua pipinya.
Siauw Ciauw mengeluarkan sapu
tangan dan mengangsurkan tangan untuk menyeka keringat di muka pemuda itu. Tapi
baru saja sapu tangan menyentuh dagu, lengannya mendadak bergetar dan hampir-hampir
ia jatuh terjengkang. Boe Kie bangkit dan menyapu keringat dengan lengan
bajunya. Ia tak mengerti mengapa Siauw Ciauw terhuyung. Ia tak mengerti bahwa
ia sudah berhasil dalam latihan Sin-kang tingkat kelima.
Kian koen Tay lo ie Sin-kang
adalah suatu ilmu menakjubkan untuk mengerahkan dan menggunakan tenaga. Pada
hakekatnya, ilmu tersebut adalah untuk mengeluarkan tenaga luar biasa yang
tersembunyi dalam tubuh setiap manusia. Dalam keadaan biasa tenaga yang
bersembunyi itu tak dapat dikeluarkan. Hanya pada detik-detik berbahaya,
misalnya pada waktu kebakaran barulah tenaga itu keluar. Sering kita mendengar
cerita bahwa dalam menghadapi bencana, seseorang yang lemah dapat melakukan
perbuatan yang luar biasa seperti mengangkat barang ratusan atau ribuan kati
beratnya yang tak akan dapat dilakukannya dalam keadaan biasa.
Sesudah berhasil dalam Kioe
yang Sin-kang, tenaga yang bersembunyi dalam tubuh Boe Kie tidak dapat
tertandingi oleh siapapun juga dalam dunia ini. Tapi karena belum mendapat
petunjuk dari seorang guru yang pandai, ia masih belum bisa menggunakan tenaga
yang bersembunyi itu.
Sekarang, sesudah mempelajari
Kian koen Tay lo ie Sin-kang dan melatih diri dalam ilmu itu, maka tenaganya
yang tersembunyi membanjir keluar bagaikan air bah yang tak dapat ditahan lagi.
Bagi manusia biasa, Kian koen
Tay lo ie Sin-kang adalah ilmu yang sukar dipelajari dan salah sedikit saja
dalam latihannya, ilmu itu bisa “makan tuan” bisa membinasakan si pelajar
sendiri. Mengapa begitu? Karena ilmu untuk mengerahkan tenaga dalam sangat
berbelit-belit, sedang si pelajar sendiri tidak mempunyai tenaga dalam yang
cukup kuat untuk mengimbanginya. Sebagai contoh, kalau seorang bocah yang baru
berusia tujuh delapan tahun bersilat dengan menggunakan martil yang beratnya ratusan
kati, maka makin sulit ilmu silat yang dijalankannya, makin gampang kepalanya
terpukul martil. Tapi hal ini tak mungkin terjadi jika yang bersilat dengan
martil itu seorang dewasa yang bertenaga besar.
Dalam waktu yang lalu,
orang-orang melatih diri dalam Kian koen Tay lo ie Sin-kang semuanya tidak
mempunyai cukup tenaga dan memaksa diri belajar. Sebagaimana diketahui, seorang
ahli silat yang sedang mengajar serupa ilmu, biasanya tidak bisa merasa puas
dan rela mengundurkan diri di tengah jalan. Maka itu banyak yang sudah menjadi
korban dari latihan yang dipaksakan.
Mengapa Boe Kie berhasil
sedangkan tokoh-tokoh yang lebih hebat gagal? Jawabnya sangat sederhana. Karena
Boe Kie memiliki cukup tenaga yang didapat dari latihan Kioe yang Sin-kang.
Sesudah menyelesaikan latihan
tingkat kelima, pemuda itu merasa semangatnya bergelora dan tenaga dalamnya
dapat dikeluarkan atau ditarik pulang sesuka hati. Di samping itu, iapun
merasakan kesegaran luar biasa pada sekujur badannya. Kini ia melupakan hal untuk
mendorong pintu batu dan terus mempelajari ilmu tingkat keenam. Berselang
kurang lebih satu jam ia telah mulai dengan ilmu tingkat ketujuh.
Inilah yang paling sukar,
beberapa lipat ganda lebih sukar daripada pelajaran tingkat keenam. Untung
juga, ia mahir dalam ilmu pengobatan dan “hiat-to”. Dengan pengetahuan itu, ia
selalu dapat memecahkan bagian-bagian yang sulit dan kurang terang.
Setelah berhasil sebagian
besar dari ilmu tingkat ketujuh itu, tiba-tiba ia bertemu dengan satu bagian
ilmu yang dilukiskan dengan beberapa baris huruf. Sesudah membaca dengan
teliti, ia lalu mulai berlatih menurut petunjuk itu. Mendadak ia merasa hawa
yang rasanya bergejolak sedang jantungnya memukul keras. Ia segera menghentikan
latihan dan menentramkan semangatnya. Beberapa saat kemudian, ia berlatih lagi,
tapi hasilnya tak berbeda.
Ia melompati kalimat pertama
dan berlatih dengan kalimat kedua. Latihan itu berjalan lancar, tapi waktu tiba
pada kalimat ketiga, ia kembali mengalami kesukaran. Makin lama, kesulitan makin
besar. Setelah ia mempelajari seluruh Kian koen Tay lo ie Sin-kang, ada tiga
belas kalimat yang tak berhasil dilatih olehnya.
Sesudah berpikir beberapa
saat, ia menaruh kulit kambing itu di atas batu dan kemudian ia berlutut
beberapa kali. Dengan suara perlahan ia berkata, “Secara tak sengaja, teecoe
Thio Boe Kie telah mendapatkan ilmu Sin-kang dari Beng-kauw. Dalam mempelajari
ilmu tersebut tujuan teecoe adalah untuk menolong jiwa sendiri dan bukan
semata-mata ingin mencuri ilmu Beng-kauw. Jika teecoe bisa lolos dari tempat
berbahaya ini, maka dengan menggunakan Sin-kang teecoe akan berusaha
sekeras-kerasnya guna kepentingan Beng-kauw. Teecoe pasti takkan melupakan budi
para Kauwcoe yang sudah menolong jiwa teecoe.”
Siauw Ciauw pun berlutut dan
sesudah manggutkan kepalanya beberapa kali, ia berdoa dengan suara perlahan,
“Teecoe memohon supaya para leluhur melindungi Thio Kongcoe dalam usaha
menegakkan kembali agama kita dan memulihkan keangkeran para leluhur.”
Boe Kie bangkit seraya
berkata, “Aku bukan murid Beng-kauw dan dengan mengingat ajaran Thay soehoe,
akupun takkan masuk ke dalam kalangan Beng-kauw. Tapi sesudah membaca surat
wasiat Yo Kauwcoe, aku yakin bahwa tujuan Beng-kauw adalah luhur dan lurus.
Dengan demikian aku bertekad untuk menggunakan segenap tenagaku guna
menyingkirkan salah pengertian berbagai partai dan mendamaikan permusuhan kedua
belah pihak.”
“Thio Kongcoe, kau mengatakan
bahwa kau gagal dalam tiga belas kalimat,” kata Siauw Ciauw. “Mengapa kau tak
mau mengaso dan sesudah segar baru mencoba lagi?”
“Biar bagaimanapun juga, hari
ini aku sudah berhasil dalam Sin-kang tingkat ketujuh,” kata Boe Kie. “Memang
benar ada tiga belas kalimat yang dilompati dan dalam keseluruhannya masih
terdapat suatu kekurangan. Tapi sebagaimana dikatakan dalam nyanyianmu sendiri,
dalam dunia ini tak ada sesuatu yang sempurna. Mengapa aku ini tak bisa merasa
puas? Apakah jasa dan kemuliaannya Thio Boe Kie sehingga ia mesti memiliki
seluruh ilmu dari Beng-kauw? Aku menganggap pantas sekali, jika aku tak berhasil
dalam tiga belas kalimat itu.”
“Benar kata Kongcoe,” jawab si
nona yang lalu mengambil kulit kambing itu dari tangan Boe Kie dan minta
diberitahukan kalimat-kalimat mana yang dimaksudkan itu. Diam-diam ia membaca
ketiga belas kalimat itu beberapa kali.
“Perlu apa kau menghafal?”
tanya Boe Kie sambil tersenyum.
Paras si nona berubah merah.
“Tak apa-apa,” jawabnya dengan jengah. “Aku hanya ingin tahu kalimat apa yang
sedemikian sukar sehingga tak dapat dipecahkan olehmu sendiri.” Tapi di dalam
hatinya, Siauw Ciauw mempunyai maksud lain. Ia tahu bahwa pemuda itu seorang
yang jujur dan jika mereka bisa keluar dari tempat itu, ia tentu akan
menyerahkan kulit kambing itu kepada Yo Siauw. Ia menghafal tiga belas kalimat
itu supaya kalau dikemudian hari Boe Kie mau mencoba lagi, ia bisa membantu
biarpun kulit kambingnya sudah berada di tangan orang lain.
Dengan mengenal batas, tanpa
diketahui olehnya sendiri, Boe Kie telah menyelamatkan diri dari suatu bahaya.
Dulu, tokoh yang membuat ilmu
Kian koen Tay lo ie adalah seseorang yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi
tapi tenaga dalamnya belum mencapai tingkat Kioe yang Sin-kang. Ia mengubah
Sin-kang ketujuh tapi ia sendiri belum berhasil melatih seluruhnya. Ada
beberapa bagian yang ditulis bukan berdasarkan kenyataan tapi khayalan yang
keluar dari otaknya yang sangat cerdas. Tiga belas kalimat yang tidak dapat
ditembus Boe Kie adalah bagian khayalan itu. Manakala Boe Kie tidak mengenal
batas dan bertekad untuk memiliki seluruh ilmu, maka ia akan menyimpang ke
jalan yang salah sehingga pada akhirnya ilmu itu akan “makan tuan”, ia bisa
jadi gila atau binasa.
Sesudah mengaso beberapa saat,
Boe Kie dan Siauw Ciauw lalu mengubur kerangka Yo Po Thian dan istrinya dengan
pasir dan batu-batu kecil. Sesudah itu mereka menghampiri pintu batu.
Boe Kie menempelkan tangan
kanannya pada pintu itu dan mendorong dengan menggunakan Kian koen Tay lo ie
Sin-kang. Begitu didorong, pintu itu bergerak. Ia menambah tenaga dan pintu
lantas saja terbuka dengan perlahan.
Siauw Ciauw kegirangan. Ia
melompat-lompat sambil menepuk-nepuk tangan. Mendengar suara kerincingan
rantai, Boe Kie berkata, “Coba aku berusaha memutuskan rantai itu.”
“Kali ini kau pasti berhasil,”
kata si nona.
Seraya mengerahkan Lweekang,
Boe Kie membetot, tapi rantai itu hanya mulur dan tak putus. “Celaka! Makin
panjang akan makin sukar,” kata Siauw Ciauw.
Boe Kie menggelengkan kepala.
“Aneh benar.”
Mengapa rantai itu begitu
alot?
Rantai tersebut terbuat dari
sebuah batu meteor yang jatuh dari langit. Batu itu mengandung semacam logam
yang sifatnya sangat berbeda dengan logam apapun jua yang ada di dunia. Secara
kebetulan batu itu dipatahkan salah seorang Kauwcoe dari Beng-kauw dan secara
kebetulan pula pada jaman itu hidup seorang pandai besi yang luar biasa. Dengan
menggunakan api si pandai besi melebur batu itu dan kemudian membuat rantai
yang sekarang terikat pada kaki tangan Siauw Ciauw. Bahwa Boe Kie bisa
menariknya sehingga mulur sudah merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat
ditiru oleh siapapun jua.
Siauw Ciauw menunduk dan
menghela nafas.
“Jangan jengkel, serahkan saja
padaku,” hibur Boe Kie. “Aku akan berusaha untuk membuka rantai itu. Kita telah
terkurung dalam perut gunung tapi aku masih bisa keluar. Aku tidak percaya kita
tidak berdaya terhadap rantai yang begitu kecil.”
Si nona mendongak dan berkata
seraya tertawa. “Thio Kongcoe, sesudah berjanji kuharap kau tidak mungkir
lagi.”
“Aku akan minta supaya Poet
Hwie Moay-moay membuka rantai itu,” kata Boe Kie. “Ia pasti tak akan menolak
permintaanku.”
Dalam tekadnya untuk mencari
Goan-tin, Boe Kie segera mendorong lagi kedua batu raksasa yang beratnya
berlaksa kati. Tapi walaupun ia memiliki Sin-kang, tenaga manusia selalu
terbatas. Kedua batu itu hanya bergoyang-goyang sedikit dan tidak dapat
digeser. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan bersama Siauw Ciauw lalu keluar
dari pintu batu yang terbuka. Sesudah berada di luar, ia memutar badan untuk
menutupnya pula. Tapi ternyata yang merupakan daun pintu adalah batu raksasa,
Boe Kie menghela nafas. Untuk membuat terowongan di bawah tanah itu, entah
berapa banyak tenaga dan pikiran yang sudah digunakan orang-orang Beng-kauw.
Dengan tangan mencekal peta
jalan rahasia, Boe Kie mengajak Siauw Ciauw mencari jalan keluar. Terowongan
banyak cabangnya, tapi dengan pertolongan peta, dengan tak banyak kesulitan
mereka bisa keluar.
Begitu berada di alam bebas,
mereka memejamkan mata karena tak tahan dengan sinar terang yang menyilaukan.
Selang beberapa lama, perlahan-lahan mereka membuka mata lagi.
Mereka ternyata berada di atas
bumi yang tertutup salju. Mata mereka silau oleh sebuah sinar salju yang
disoroti matahari.
Sementara itu, Siauw Ciauw
meniup api obor, membuat sebuah lubang di salju dan kemudian menguburkan
potongan kayu yang tadi dijadikan obor di dalam lubang itu. “Kayu, oh kayu!”
katanya dengan suara perlahan. “Terima kasih banyak untuk pertolonganmu. Kamu
telah memberikan sinar terang sehingga Thio Kongcoe dan aku bisa keluar dari
gua. Tanpa pertolonganmu kami tentu akan binasa.”
Boe Kie tertawa
terbahak-bahak, hatinya senang sekali. “Di dalam dunia banyak sekali manusia
yang tak mengenal budi,” pikirnya. “Dengan berbuat begini, Siauw Ciauw
menunjukkan bahwa ia seorang yang luhur budinya.” Ia merasa kagum, ia mengawasi
kulit muka yang putih bagaikan batu pualam. Tanpa sadar ia memuji, “Siauw
Ciauw, kau sungguh cantik.”
“Thio Kongcoe, apa kau
membohongi aku?” tanya si nona dengan girang.
“Sekarang kau ayu sekali,”
jawabnya. “Tapi kau tak boleh berlagak bongkok dan pincang lagi.”
“Baiklah,” kata Siauw Ciauw.
“Jika kau berkata begitu, biarpun Siocia, aku tentu takkan menyamar lagi.”
“Gila! Perlu apa dia bunuh
kau,” bentak Boe Kie.
Mereka segera pergi ke pinggir
tebing dan memperhatikan keadaan di sekitarnya. Mereka ternyata berada di
lereng sebuah puncak. Waktu datang di Kong beng-teng, Boe Kie berada dalam
karungnya Swee Poet Tek sehingga ia sama sekali tidak tahu keadaan bumi di
gunung ini. Sekarangpun ia masih belum tahu di mana mereka berada. Sambil
menudung mata dengan tangannya ia memandang ke tempat jauh. Tiba-tiba ia lihat
beberapa sosok tubuh manusia yang tergeletak di sebelah barat laut.
“Coba kita lihat,” katanya
sambil mencekal tangan Siauw Ciauw dan lalu menuju ke tanjakan itu dengan
berlari-lari. Sesudah memiliki Kioe yang dan Kian koen Tay lo ie Sin-kang,
setiap gerakan Boe Kie hebat luar biasa. Maka itu, meskipun membawa Siauw
Ciauw, larinya cepat bagaikan walet terbang, dalam sekejap mereka sudah tiba ke
tempat yang dituju.
Empat mayat rebah di situ,
semua berlumuran darah. Tiga di antaranya mengenakan seragam Beng-kauw sedang
yang seorang pendeta, mungkin sekali murid Siauw Lim sie.
“Celaka!” seru Boe Kie di
dalam tenggorakan. “Selagi kita berada di perut gunung, keenam partai sudah
berada di sini.” Ia meraba dada keempat mayat itu. Semuanya dingin.
Ia segera menarik tangan Siauw
Ciauw dan mendaki puncak dengan mengikuti tapak kaki. Sesudah melalui beberapa
puluh tombak, mereka kembali bertemu dengan tujuh mayat yang rupanya sangat
menakutkan.
Boe Kie bingung, “Bagaimana
dengan Yo Siauw Sianseng, Poet Hwie Moay-moay?” katanya. Ia berlari-lari makin
cepat sehingga Siauw Ciauw seolah-olah sedang terbang dengan ditenteng pemuda
itu.
Setelah membelok di sebuah
tikungan, mereka bertemu dengan lima mayat murid Beng-kauw, semuanya tergantung
di pohon dengan kepala di bawah kaki di atas dan muka seperti dicakar dengan
cakar yang sangat tajam.
“Ah! Itu cakar Houw-jiauw
chioe dari Hwa San-pay,” kata Siauw Ciauw. (Houw-jiauw chioe, Cakar Harimau)
“Siauw Ciauw, bagaimana kau
tahu?” tanya Boe Kie dengan heran. “Siapa yang memberitahukannya kepadamu?”
Tapi, karena memikirkan
keselamatan kedua belah pihak yang sedang bermusuhan, tanpa menunggu jawaban ia
terus berlari-lari. Di sepanjang jalan dia bertemu dengan mayat-mayat, sebagian
besar mayat murid Beng-kauw, tapi mayat murid keenam partai pun tak sedikit
jumlahnya.
Boe Kie menduga bahwa selama
ia terkurung di perut gunung sehari semalam, keenam partai telah melakukan
serangan besar-besaran. Sebab Yo Siauw, Wie It Siauw dan yang lain-lain terluka
berat maka murid-murid Beng-kauw tak punya pemimpin sehingga dalam pertempuran
itu mereka jatuh di bawah angin. Tapi, meskipun begitu dia melawan dengan nekad
dan mendapatkan kerusakan besar.
Waktu hampir tiba di puncak
gunung, Boe Kie mendengar suara bentrokan senjata yang sangat hebat. Hatinya
agak lega. “Pertempuran belum berhenti, keenam partai rupanya belum masuk di
toa thia,” pikirnya. Ia mempercepat langkahnya.
Mendadak dua batang piauw
menyambar.
“Siapa kau? Berhenti!” bentak
seseorang.
Sambil menghentikan langkah,
Boe Kie mengibaskan tangan dan kedua piauw itu terbang kembali.
“Aduh!” seseorang berteriak
dan terus roboh.
Boe Kie kaget, yang roboh
seorang pendeta. Kedua piauw itu menembus pundaknya dan kemudian menancap di
salju. Ia tertegun, ia mengibas dengan pelan hanya untuk memukul jatuh senjata
rahasia itu. Tak disangka, kibasan itu bertenaga sedemikian besar. Buru-buru ia
membangunkan si pendeta dan berkata, “Aku bersalah telah melukai Taysoe, mohon
Taysoe sudi memaafkan.”
Darah berlumuran dari lukanya
tapi pendeta itu sangat tegap dan gagah. Tiba-tiba ia menendang dan kakinya
mampir tepat di lambung Boe Kie yang tak menduga akan diserang dengan cara
begitu. Tapi hampir bersamaan dengan tendangan kaki kanannya itu, tubuh si pendeta
terpental dan menghantam satu pohon sehingga tulang kaki kanannya patah dan
mulutnya mengeluarkan darah. Boe Kie sendiri tidak tahu bahwa sesudah mempunyai
dua macam Sin-kang, di dalam tubuhnya terdapat semacam tenaga dahsyat yang bisa
melawan setiap pukulan secara wajar.
Melihat pendeta itu terluka
berat, hati Boe Kie makin tidak enak. Ia membangunkannya berulang-ulang dan
memohon maaf. Pendeta itu mengawasinya dengan mata melotot. Ia heran bercampur
gusar.
Mendadak dalam pekarangan yang
terkurung tembok terdengar tiga kali teriakan kesakitan. Boe Kie tidak dapat
memperhatikan pendeta itu lagi. Sambil menarik tangan Siauw Ciauw, ia masuk
dengan berlari-lari. Sesudah melewati dua ruangan, mereka tiba di sebuah
lapangan terbuka yang penuh manusia. Rombongan yang berkumpul di sebelah barat
jumlahnya lebih kecil, sebagian besar sudah terluka dengan pakaian berlumuran
darah. Rombongan itu adalah rombongan Beng-kauw. Jumlah rombongan yang di
sebelah timur beberapa kali lipat lebih besar dan terbagi jadi enam barisan
kecil. Mereka itu adalah keenam partai.
Boe Kie segera saja melihat
bahwa Yo Siauw, Yo Poet Hwie, Wie It Siauw, Swee Poet Tek dan yang lain-lain
berada di tengah-tengah rombongan Beng-kauw. Mereka belum bisa bergerak. Di
tengah gelanggang terdapat dua orang yang sedang bertempur hebat. Karena semua
mata menuju ke arah pertandingan itu, maka masuknya Boe Kie dan Siauw Ciauw
tidak diperhatikan oleh siapapun juga.
Perlahan-lahan Boe Kie
mendekati. Kedua orang itu berkelahi dengan tangan kosong. Sambaran-sambaran
angin dahsyat yang keluar dari pukulan-pukulan mereka menandakan bahwa mereka
adalah ahli-ahli silat kelas utama. Mereka bertempur dengan kecepatan kilat dan
setiap pukulan istimewa selalu disambut dengan sorak sorai.
Boe Kie mengawasi dengan hati
berdebar-debar. Ia mengenali bahwa yang satu, yang bertubuh kecil adalah Boe
tong Sie-hiap Thio Siong Kee, sedang lawannya adalah seorang tua yang berbadan
tinggi besar, beralis putih dan berhidung bengkok seperti patok burung. “Siapa
kakek itu?” tanyanya di dalam hati.
Mendadak dari rombongan Hwa
San-pay terdengar teriakan seseorang. “Tua bangka Peh Bie! Lebih baik kau
menyerah kalah! Kau bukan tandingan Boe tong Sie-hiap.”
Jantung Boe Kie memukul keras.
Kalau begitu orang tua itu kakek luarnya. Peh Bie Eng-ong In Thian Ceng. Ingin
sekali menubruk dan memeluk orang tua itu tapi ia tak bisa berbuat begitu.
Semua orang memperhatikan
jalannya pertandingan sambil menahan nafas. Di atas kepala Thio Siong Kee dan
In Thian Ceng terlihat uap putih, suatu tanda mereka sedang mengeluarkan
Lweekang yang paling tinggi dalam suatu pertempuran mati atau hidup. Kedua
lawan sama-sama mempunyai nama besar, yang satu Peh Bie Kauwcoe dan Hoe Kauw
Hoatong dari Beng-kauw, yang lain murid Thio Sam Hong dan anggota Boe Tong
Cit-hiap yang menggetarkan dunia persilatan. Pertempuran ini adalah pertempuran
yang akan memutuskan keunggulan antara Boe Tong-pay dan Peh Bie-kauw. Dengan
mata berkilat-kilat, In Thian Ceng menyerang bagaikan angina dan hujan
sedangkan Thio Siong Kee terus mempertahankan diri sesuai dengan dasar ilmu
silat Boe Tong yang menguasai serangan dengan ketenangan. Siong Kee tahu bahwa
lawannya yang lebih tua dua puluh tahun lebih mempunyai Lweekang yang lebih
dalam. Akan tetapi, sebagai imbangan ia berusia lebih muda mempunyai keuletan
yang lebih besar sehingga dalam suatu pertempuran yang lama, ia pasti akan
memperoleh kemenangan.
Tapi diluar dugaan, In Thian
Ceng adalah seorang yang luar biasa yang jarang terdapat di dalam dunia.
Meskipun sudah berusia lanjut, tenaganya tidak kalah dari orang muda. Bagaikan
ombak air pasang, gelombang demi gelombang Lweekang menghantam Siong Kee.
Melihat pertempuran yang hebat
itu, Boe Kie semula girang karena ketemu dengan kakek dan pamannya, berbalik
jadi bingung. In Thian Ceng adalah gwa kong (kakek luar) yang mempunyai
hubungan darah dengan dirinya. Thio Siong Kee adalah seorang paman yang
mencintainya seperti anak sendiri. Dulu waktu ia kena pukulan Hiang beng Sin
ciang, tanpa memperdulikan bahaya, paman itu sudah turut berusaha untuk
mengobati dengan menggunakan Lweekang maka itu kalau sampai salah satu pihak
ada yang luka atau binasa, ia akan merasa menyesal tiada habisnya. Baru saja ia
berpikir untuk mencoba mendamaikan, tiba-tiba kedua lawan itu membentak keras
dan melompat mundur dengan serentak.
“In Locianpwee memiliki
Sin-kang yang sangat tinggi,” kata Siong Kee. “Aku merasa takluk.”
“Thio heng sendiri mempunyai
Lweekang yang sangat kuat dan aku tidak akan dapat menandingi,” kata si kakek.
“Thio heng adalah saudara seperguruan dari menantuku. Apakah hari ini kalian
bertekad untuk menguji kepandaian?”