Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 65
“Dengan Beng-kauw aku
mempunyai hubungan erat,” kata Boe Kie. “Dengan membawa Seng hwee leng, kalian
datang ke sini dan pada hakikatnya kalian adalah tamu kami. Untuk segala
perbuatan yang tidak pantas aku mohon kalian sudi memaafkan. Dengan bersamaan
kita menarik kembali tenaga dalam. Apa kalian setuju?”
Lioe in soe mengangguk lagi.
Boe Kie girang, ia segera
menarik kembali Lweekangnya dan To liong to, dan ketiga lawannya pun menarik
kembali tenaga mereka.
Tapi mendadak, sangat
mendadak, semacam tenaga dingin bagaikan pisau menikam Giok tong hiat di
dadanya. Nafas Boe Kie sesak dan ia tak bisa bergerak lagi. Pada detik itu di
dalam otaknya berkelabat pikiran, “Setelah aku mati, Gie hoe pun akan mati. Tak
disangka, utusan Cang kauw berbuat begitu. Bagaimana nasib In Lee piau moay?
Bagaimana dengan Tio kauwnio, Cioe kauwnio dan Siauw Ciauw? Hai! Bagaimana
dengan impian Beng-kauw untuk menolong rakyat dan merobohkan kerajaan Goan?”
Selagi ia berpikir begitu, Lioe in soe sudah mengangkat Seng hwee leng dan
menghantam kepalanya, Boe Kie mencoba mengerahkan Lweekang untuk membuka Giok
tong hiat yang tertotok tapi sudah tidak keburu lagi.
Pada saat yang sangat genting,
tiba-tiba terdengar teriak seorang wanita, “Rombongan Beng-kauw dari Tiong goan
sudah tiba di sini!”
Lioe in soe terkejut, Seng
hwee leng berhenti di tengah udara.
Bagaikan kilat, satu bayangan
abu-abu berkelabat ke arah Boe Kie, mencabut Ie thian kiam dan menubruk Lioe in
soe. Boe Kie mengenali orang itu adalah nona Tio, tapi dalam girangnya ia kaget
tak kepalang sebab si nona menyerang dengan sebuah pukulan Koen loen-pay yang
bertujuan untuk mati bersama-sama musuh. Pukulan itu diberi nama Giok swee Koen
kong (batu giok hancur digunung Koen loen san). Meskipun Boe Kie tak tahu nama
pukulan itu tapi ia mengerti jika nona Tio berhasil melukai Lioe in soe, ia
sendiri sukar luput dari serangan lawan.
Lioe in soe mencelos hatinya.
Ia tak pernah bermimpi bahwa sesudah memperoleh kemenangan dengan jalan licik,
ia bakal diserang dengan begitu. Dalam bahaya, ia menangkis dengan Seng hwee
leng dan menggulingkan dirinya di tanah. “Trang!” Ie thian kiam terpukul balik,
selagi bergulingan ia merasa dingin pada dagunya, tangannya basah lengket dan
dagunya perih. Ternyata kulit dagu bersama jenggotnya terpapas Ie thian kiam.
Kalau Seng hwee leng bukan senjata mustika, kepalanya pasti sudah terbelah dua.
Dilain pihak, ketika terpukul
balik Ie thian kiam memapas pinggiran kopiah nona Tioa sehingga sebagian
rambutnya yang hitam terurai.
Tio Beng datang pada detik
yang tepat karena hatinya tidak enak dan ia kuatir akan keselamatan Boe Kie. Ia
merasa bahwa Kim hoa po po banyak akalnya, Tan Yoe Liang bukan manusia
baik-baik dan pulau itu penuh dengan bahaya yang tersembunyi. Kian lama ia kian
kuatir dan akhirnya ia mengikuti Boe Kie dari belakang. Ia tahu bahwa ilmu
ringan badannya masih cetek dan kalau ia mendekat, Boe Kie tetap mengetahuinya.
Maka itu ia hanya menguntit
dari kejauhan. Sesudah Boe Kie bertempur dengan ketiga utusan Cong kauw barulah
ia mendekat. Ia girang ketika Boe Kie mengadu Lweekang sebab ia merasa pasti
bahwa tenaga dalam ketiga orang itu tak akan bisa menindih Kioe yang Sin kang.
Penundaan pertempuran mengejutkan hatinya. Ia ingin mendekati Boe Kie supaya ia
waspada tapi sudah tak keburu. Demikianlah pada detik berbahaya ia melompat
keluar. Ia tahu bahwa kepandaiannya tidak dapat menandingi ketiga orang asing
itu tapi ia sudah nekat dan tidak berpikir panjang lagi. Ia mencabut Ie thian
kiam dari pinggang Boe Kie dan menyerang dengan jurus yang dapat membinasakan
kedua belah pihak, yang diserang dan penyerangnya sendiri.
Sesudah jurus pertama
berhasil, ia membuat setengah lingkaran dan menubruk Biauw hong soe dengan
badannya sendiri. Itulah jurus Jin koei Tong touw (manusia dan setan jalan
bersama-sama), jurus Kong tong-pay yang mempunyai tujuan sama seperti Giok swee
Koen kong. Nona Tio menganggap bahwa ia ditakdirkan untuk binasa bersama-sama
musuh. Giok swee Koen kong dan Jin koei Tong touw bukan pukulan untuk
memperoleh kemenangan dalam kekalahan atau mencari hidup dalam jalan mati.
Kedua jurus itu adalah jurus bunuh diri sambil membunuh musuh. Ketika jago-jago
Kong tong-pay dikurung di Ban hoat sie, beberapa diantaranya yang adatnya keras
sudah menyerang dengan jurus tersebut. Tapi karena tidak mempunyai tenaga dalam
serangan mereka gagal. Tio Beng yang menyaksikan serangan itu segera menghafal
dalam otaknya.
Dengan jurus itu Biauw hong
soe terkesiap, keringat dingin mengucur dan ia berdiri terpaku. Ternyata
biarpun ilmu silatnya tinggi, ia bernyali kecil. Dalam menghadapi serangan yang
mematikan, ia ketakutan dan tak berdaya lagi.
Sebagai akibat tubrukannya
tubuh Tio Beng lebih dulu membentur Seng hwee leng kemudian barulah tangannya
menikam dengan Ie thian kiam. Serangan jurus Jin koei Tong touw memang harus
dilakukan dengan begitu. Lebih dulu menabrak senjata musuh dengan tubuh sendiri
dan pada saat itu senjata itu menancap di tubuh, menikam musuh dengan senjata
sendiri. Diserang begitu, biarpun kepandaiannya tinggi, seseorang tak akan bisa
meloloskan diri. Biauw hong soe terpaku sebab ia segera melihat hebatnya
pukulan itu. Untung besar bagi Tio Beng Seng hwee leng bukan senjata tajam.
Senjata itu tumpul dan berbentuk tongkat pendek, maka itu biarpun terbentur
badannya ia tidak terluka, dan untung juga bagi Biauw hong soe karena sebelum
Ie thian kiam mampir di tubuhnya, Hwie goat soe sudah keburu memeluk badan Tio
Beng dari belakang.
Karena dipeluk, noan Tio tak
bisa menikam terus, ia tahu ia bakal celaka, tiba-tiba ia membalikkan pedangnya
dan menikam kempungnya sendiri.
Itulah jurus yang lebih hebat
dari dua jurus tadi! Jurus pedang ini yang dinamakan Thian tee Tong sioe
(langit dan bumi bersamaan usianya) adalah jurus Boe tong-pay tapi bukan
gubahan Thio Sam Hong. Siapa penggubahnya? In Lie Heng. In Lie Heng yang
menggubah itu untuk membalas sakit hatinya terhadap Yo Siauw. Semenjak Kie
Siauw Hoe meninggal dunia, tekadnya yang bulat adalah membunuh Yo Siauw.
Biarpun gurunya seorang ahli silat yang paling terkemuka tapi karena bakatnya
kurang, ia tak dapat memperoleh ilmu yang paling tinggi. Ia sudah tidak
berharap hidup maka itu ia menggubah tiga jurus silat pedang yang bertujuan
untuk mati bersama musuhnya. Satu waktu, selagi berlatih diam-diam, latihannya
dilihat Thio Sam Hong. Guru besar itu menghela nafas sebab ia tahu biarpun ia
coba mencegah, hasilnya akan sia-sia. Ia lalu memberi nama Thian tee Tong sioe
kepada jurus itu. Nama tersebut berarti bahwa sesudah seorang manusia meninggal
dunia, rohnya akan tetap hidup dan usia roh itu sama dengan usial langit dan
bumi. Ketika dikurung di Ban hoat sie, murid kepala In Lie Heng pernah
menggunakan jurus itu tapi ia keburu ditolong Kouw Touw too. Peristiwa tersebut
disaksikan Tio Beng.
Thian tee Tong sioe adalah
untuk menghabisi musuh yang tubuhnya berdempetan dengan tubuhnya sendiri,
misalnya pada waktu musuh memeluk. Tio Beng menikam kempungan sendiri supaya Ie
thian kiam menembus dan terus menikam kempungan Hwie goat soe seperti sate.
Tapi Tio Beng dan Hwie goat
soe belum ditakdirkan mati. Saat itu dengan Kioe yang Sin kang Boe Kie sudah
berhasil membuka jalan darahnya yang tertotok. Pada detik itu Boe Kie berhasil
mencegah tikaman itu. Tio Beng memberontak dan berhasil melepaskan diri dari
pelukan Hwie goat soe. Nona Tio adalah orang yang cerdas luar biasa, otaknya
bisa bekerja cepat sekali. Ia mengambil Seng hwee leng dari tangan Boe Kie dan
melontarkannya jauh-jauh. “Ting!” benda itu jatuh di dalam “barisan jarum”.
Sam soe menyayangi Seng hwee
leng seperti menyayangi dirinya sendiri, tanpa memperdulikan keselamatan Biauw
hong soe lagi, Lioe in soe dan Hwie goat soe segera melompat dan berlari-lari
ke arah “barisan jarum”. Karena gelap dan sekitar tempat jatuhnya Seng hwee
leng tumbuh rumput tinggi maka setibanya di “barisan jarum” mereka terpaksa
merangkak, mencabut jarum-jarum dan meraba-raba. Di saat itu Biauw hong soe
tersadar, seraya berteriak ia menyusul kedua kawannya.
Untuk menolong Boe Kie tadi
Tio Beng menyerang dengan nekat. Sekarang, sesudah kekuatannya pulih rasa takutnya
muncul. Tiba-tiba sambil menangis keras ia menubruk Boe Kie. Dengan rasa terima
kasih yang berlimpah, Boe Kie memegang tangan si nona. Ia tahu bahwa begitu Sam
soe menemukan Seng hwee leng yang dilemparkan mereka akan segera menyerang
pula. Maka itu ia berkata, “Mari kita lari.” Ia melepaskan tangan Tio Beng,
mendukung In Lee yang terluka berat dan berkata kepada Cia Soen, “Cia Tay hiap,
kita harus menyingkir secepat mungkin.”
“Benar,” jawab Kim mo Say ong
yang lalu membungkuk dan membuka jalan darah Kim hoa po po. Boe Kie menganggap
bahwa setelah mendapat pengalaman pahit, si nenek tentu akan mencoret
permusuhan terhadap ayah angkatnya. Setelah ia berlari-lari beberapa tombak, ia
menyerahkan In Lee kepada si nenek sebab biarpun saudari sepupunya, ia merasa
bimbang untuk mendukung seorang gadis. Mereka lari sekencang-kencangnya, Tio
Beng paling depan. Cia Soen dan Kim hoa po po di tengah dan Boe Kie paling
belakang sebagai pelindung.
Mendadak terdengar bentakan
Kim mo Say ong yang lalu meninju punggung nenek Kim hoa. Cie san Lion gong
menangkis dan melemparkan In Lee di tanah.
Boe Kie terkejut dan mendekat.
“Han Hoe jin!” bentak Cia
Soen. “Mengapa lagi-lagi kau coba membunuh In Kauwnio?”
Si nenek tertawa dingin,
“Jangan turut campur urusanku,” jawabnya.
“Kularang kau membunuh orang
secara serampangan,” kata Boe Kie.
“Apa belum cukup kau
mencampuri urusan yang sebenarnya bukan urusanmu?” tanya Kim hoa po po.
“Belum tentu bukan urusanku,”
sahutnya. “Musuh akan segera mengejar, apa kau ingin mati?”
si nenek mengeluarkan suara di
hidung dan lari ke arah barat. Mendadak tiga kuntum bunga emas menyambar ke
kepala In Lee. Boe Kie mengebut tangannya dan senjata itu berbalik menyambar
majikannya dengan suara “ungg” yang lebih hebat dari suara menyambarnya anak
panah. Si nenek kaget, ia tak menyangka pemuda itu memiliki Lweekang yang
begitu dahsyat. Ia tak berani menyambuti dan buru-buru menggulingkan badannya
di tanah. Ketika Kim hoa lewat di atas punggungnya dan merobek pakaiannya,
jantung si nenek melonjak dan ia terus kabur tanpa menoleh lagi.
Selagi Boe Kie membungkuk
untuk mendukung In Lee, tiba-tiba Tio Beng mengeluh dan memegang kempungannya.
“Mengapa?” tanya Boe Kie
sambil mendekati. Dengan terkejut ia melihat tangan si nona berlepotan darah.
Ternyata biarpun keburu ditolong, tikaman Thian tee Tong sioe telah melukai
kempungannya.
“Apa lukamu berat?” tanya Boe
Kie dengan hati berdebar-debar.
Sebelum Tio Beng menjawab
mendadak terdengar seruan Biauw hong soe, “Ini dia! Dapat! Sudah dapat!”
“Jangan perdulikan aku,” kata
nona Tio. “Pergi! Lekas pergi!”
Tanpa mengeluarkan sepatah
kata, Boe Kie segera memeluk pinggang Tio Beng dan terus kabur ke bawah gunung.
“Ke perahu…terus berlayar…,”
bisik Tio Beng.
Boe Kie mengangguk. Dengan
sebelah tangan mendukung In Lee dan sebelah tangan mendukung Tio Beng, ia lari
sekencang-kencangnya. Cia Soen yang melindungi dari belakang merasa heran,
sebab biarpun membawa dua orang dewasa, Boe Kie masih bisa lari begitu cepat.
Boe Kie sendiri lari dengan pikiran kusut. Ia sangat memikirkan keselamatan
kedua gadis itu. Kalau seorang saja tak dapat ditolong, ia akan menyesal seumur
hidup. Untung juga tubuh mereka tak berubah dingin.
Sementara itu, sesudah
mendapatkan kembali Seng hwee leng, Sam soe terus mengejar. Tapi ilmu ringan
badan mereka tak bisa menandingi Boe Kie bahkan belum dapat merendengi Cia
Soen.
Sebelum tiba di perahu, Boe
Kie sudah berteriak. O hei! Beng beng Koencoe memberi perintah. Naikkan layer,
angkat jangkar, siap untuk segera berangkat!”
Dengan demikian, waktu mereka
naik di perahu layar-layar sudah terpentang. Tapi kapten tak berani menjalankan
perahu sebelum mendapat perintah Tio Beng. Ia menghampiri si nona dan
menanyakan sambil membungkuk.
“Dengar segala perintah Tio
Kongcoe…,” kata nona Tio dengan suara lemah.
Dengan cepat perahu berangkat.
Waktu Sam soe tiba di pesisir perahu itu sudah terpisah beberapa puluh tombak
dari daratan.
Boe Kie segera merebahkan Tio
Beng dan In Lee di pembaringan dan dibantu Siauw Ciauw, ia memeriksa luka
mereka. Luka Tio Beng sendiri lebih dalam. Biarpun mengeluarkan darah,
luka-luka itu tak membahayakan jiwa. Yang terluka berat adalah In Lee. Ketig Kim
hoa menancap dalam dadanya. Apa nona In bisa ditolong masih merupakan
teka-teki. Boe Kie dan Siauw Ciauw menaruh obat dan membalutnya. In Lee terus
pingsan sedangkan Tio Beng menangis dengan perlahan.
Sesudah kedua gadis itu diberi
obat, Cia Soen berkata, “Can Siauw hiap, di luar dugaan, dalam usia tua Cia
Soen masih bisa bersahabat dengan seorang ksatria yang begitu luhur budi
pekertinya.”
Boe Kie tidak menjawab. Ia
mengambil kursi dan menyilakan ayah angkatnya duduk. Sesudah itu ia berlutut,
“Gie hoe!” katanya sambil menangis. “Anak Boe Kie tidak berbakti. Anak tidak
bisa menyambut lebih dulu sehingga Gie hoe banyak menderita.”
Cia Soen terkesiap, “Kau…apa
katamu?” tegasnya.
“Anak adalah Boe Kie,”
jawabnya.
Tentu saja orang tua itu tak
percaya, mulutnya ternganga.
Boe Kie berkata, “Intisari
dari ilmu silat adalah memusatkan semangat.…” Ia menghafal kouwkoar (teori)
yang Cia Soen pernah ajarkan di pulau Peng hwee to. Sesudah ia menghafal
seratus lebih dengan rasa kaget bercampur girang orang tua itu mencekal kedua
tangannya dan berkata dengan suara parau, “Apa…apa benar kau Boe Kie?”
Boe Kie bangkit dan
memeluknya. Dengan ringkas ia menceritakan segala pengalamannya sejak ia
berpisah dengan ayah angkatnya itu. Hanya satu hal yang tidak diceritakannya yaitu
tentang kedudukannya sebagai Kauwcoe dari Beng-kauw. Kalau ia terangkan, orang
tua itu pasti akan menjalankan penghormatan terhadapnya.
Cia Soen merasa seperti mimpi
tapi sekarang ia percaya apa yang didengarnya. Selagi Boe Kie bercerita,
berulang-ulang ia berkata, “Langit mempunyai mata! Langit mempunyai mata!....”
Baru selesai Boe Kie
menuturkan pengalamannya, mendadak di buritan perahu terdengar teriakan
beberapa orang anak buah, “Perahu musuh mengejar! O hoi! Perahu musuh
mengejar!”
Buru-buru Boe Kie pergi ke
buritan kapal. Benar saja ia melihat sebuah perahu besar dengan lima layar
sedang mengejar dengan kecepatan luar biasa. Di antara kegelapan sang malam, ia
tak bisa melihat badan perahu itu, tapi layarnya yang putih sangat menyolok
mata. “Padamkan penerangan!” teriaknya. Ia mengambil mangkok teh juru mudi dan
menimpuk lentera angina yang terpancang di puncak tiang layar.
“Trang!” lentera hancur,
apinya padam dan perahu gelap gulita. Tapi biarpun begitu karena layar berwarna
putih, perahu itu masih tetap tidak bisa menyembunyikan diri, saat layar-layar
diturunkan, perahu musuh akan segera menyandak.
Boe Kie bingung, perahu musuh
lebih ringan dan makin lama makin mendekati. Ia tidak bisa berbuat lain
daripada menunggu kedatangan musuh. Ia berharap di dek perahu yang sempit Sam
soe tidak bisa bekerja sama sebaik di daratan. Cepat-cepat ia memindahkan Tio
Beng dan In Lee ke kamar yang lebih aman, kemudian ia pergi ke geladak kapal
dan mengambil tiga buah jangkar besar yang lalu ditaruh di kamar kedua gadis
itu sebagai rintangan. Setelah itu ia menunggu musuh untuk melakukan
pertempuran hidup mati.
Tiba-tiba terdengar suara
“dung!” yang sangat hebat dan perahu bergoncang keras dan diikuti muncratnya
air laut.
“Musuh menembak dengan
meriam!” teriak anak buah di buritan perahu. Untung juga peluru yang
ditembakkan jatuh ke air di samping perahu tersebut.
Selagi Boe Kie kebingungan,
Tio Beng menghampirinya. Ia mendekat.
“Jangan takut,” bisik nona
Tio. “Kita pun mempunyai meriam.”
Boe Kie tersadar. Dengan
berlari-lari ia naik ke geladak dan memerintahkan anak buah perahu untuk segera
menyingkirkan semua jala yang menutupi meriam. Dengan tergesa-gesa, mereka
mengisi meriam dengan obat peledak dan peluru dan menyulut sumbunya. “Dung!”
peluru menyambar musuh. Hanya sayang, tembakan itu meleset dan peluru jatuh di
antara kedua perahu, karena dalam rombongan anak buah perahu Goan, yang
sebagian besar terdiri dari boesoe gedung Jie lam ong, tak terdapat meriam.
Tapi biarpun begitu, karena melihat pihak Boe Kie juga memiliki meriam, perahu
Persia itu tak berani terlalu mendekat. Beberapa saat kemudian, perahu musuh
melepaskan tembakan dan peluru jatuh di kepala perahu yang segera saja
terbakar.
Boe Kie segera memimpin
sejumlah anak buah untuk memadamkan api. Tiba-tiba api berkobar-kobar di
ruangan tingkat atas. Dengan kedua tangan menenteng ember air, buru-buru Boe
Kie naik ke atas dan setelah menendang pintu lalu menyiram api yang telah mulai
mengganas. Di antara asap, ia melihat sesosok tubuh wanita di atas pembaringan
yang ketika didekati ternyata tidak lain adalah Cioe Cie Jiak yang pakaiannya
sudah basah kuyup. Boe Kie terkesiap, ia melemperkan ember dan bertanya dengan
suara gugup, “Cioe Kauwnio, apa kau terluka?”
Si nona menggelengkan
kepalanya. Melihat pemuda itu ia kaget tak kepalang. Ketika tangannya bergerak
terdengarlah suara gemerincing. Ternyata kaki dan tangannya dirantai oleh si
nenek Kim hoa. Boe Kie segera turun ke bawah mengambil Ie thian kiam dan
memutuskan rantai itu.
“Thio Kauwcoe,” kata nona
setalh kaki tangannya terbebas, “Bagaimana kau bisa berada di sini?”
Sebelum Boe Kie menjawab,
perahu berguncang keras karena tembakan sehingga si nona yang kaki tangannya
masih kaku segera roboh menubruk Boe Kie. Pemuda itu segera membangunkannya dan
dari sinar api yang masuk dari jendela ia melihat dadu dan titik-titik air
kelihatan samara-samar membasahi pada paras yang pucat pasi sehingga muka
cantik ayu itu seolah-olah sekuntum bunga Coei-sian yang kena embun. Sesudah
menentramkan hatinya, ia berkata, “Mari kita turun ke bawah.”
Selagi mereka berjalan keluar
dari pintu ruang atas mendadak perahu itu berputar-putar sebab tembakan tadi
telah menghancurkan kemudi di buritan perahu dan juru mudinya sendiri tenggelam
di laut.
Pemimpin penembak meriam jadi
bingung. Ia sendiri lalu mengisi obat peledak, dengan harapan bahwa dengan
sekali tembak ia akan bisa menenggelamkan perahu musuh. Ia mengisi sekuat
tenaga dan kemudian menyodok-nyodok obat peledak itu dengan sepasang toya besi
supaya masuk sepadat-padatnya di dalam lubang. Sesudah merasa puas, ia
mengambil obor dan menyulut sumbu. Hampir bersamaan terdengar suara “dunggg!”
yang dahsyat luar biasa, diikuti melesatnya potongan-potongan baja. Meriam
hancur dan semua anak buah penembak meriam menemui ajal mereka secara
mengenaskan! Karena obat peledak yang diisi beberapa kali lipat lebih banyak
dari takaran peluru maka peluru tidak bisa tertembak keluar dan obat peledak
yang meledak telah menghancurkan meriam.
Karena ledakan itu Boe Kie dan
Cie Jiak yang sedang berjalan di geladak perahu terlempar jauh dan disambar
dengan hawa yang panas. Tanpa berpikir lagi Boe Kie meraih tambang layar dengan
tangan kanannya sedang tangan kirinya menangkap kaki Cie Jiak sehingga mereka
tak jatuh ke air. Sesaat itu seluruh perahu sudah diliputi api dan asap dan
mulai tenggelam dengan perlahan. Dengan hati berdebar-debar Boe Kie mengawasi
sekitarnya untuk mencari jalan hidup. Mendadak terlihat sebuah perahu kecil,
perahu penolong yang terikat di sisi perahu, “Cioe Kauwnio, loncatlah,”
teriaknya.
Hampir bersamaan Siauw Ciauw
yang mendukung In Lee dan Cia Soen yang menggendong Tio Beng muncul di geladak
perahu. Mereka naik ke atas perahu lantaran perahu berlubang dan air sudah
memenuhi bagian bawah perahu. Sesudah Cia Soen dan Siauw Ciauw duduk di perahu
dengan In thiam kiam Boe Kie membabat tali pengikat dan perahu itu segera jatuh
dan hinggap di permukaan air. Dilain detik, ia pun melompat ke perahu itu dan
mengambil sepasang dayung dan lalu mendayungnya.
Ia mendayung dengan sekuat
tenaga. Perahu yang sedang terbakar menerangi permukaan laut sampai pada jarak
tertentu. Ia merasa bahwa perahu yang ditumpanginya harus cepat-cepat berada di
luar sinar terang supaya tidak dilihat Sam soe yang tentu akan menduga bahwa
semua orang mati terbakar dan tidak mencari lebih lanjut. Cia Soen mengerti
maksud si anak dan ia bantu mendayung dengan sepotong papan. Perahu itu melaju
bagaikan anak panah dan dalam sekejap dia sudah berada di luar lingkaran sinar
terang.
Sementara itu di perahu meriam
terjadi peledakan beruntun sebab terbakarnya obat peledak yang disimpan di
dalam gudang. Perahu Sam soe tidak berani datang mendekat hanya mengamati dari
kejauhan. Diantara boesoenya Tio Beng terdapat orang-orang yang bisa berenang.
Mereka menceburkan diri di air dan teriak-teriak minta tolong. Tapi sebaliknya
dari ditolong, mereka dibunuh Sam soe dan orang-orangnya.
Cia Soen dan Boe Kie tidak
berani mengaso. Diantara mereka sedikitpun tidak merasa jeri. Tapi di lautan
dengan mereka di perahu kecil dan musuh berada di perahu meriam, dia pasti akan
binasa kalau sampai ditemukan musuh. Jika ditembak biarpun tidak kena tepat,
perahu kecil itu pasti akan karam kalau jatuh di tempat berdekatan. Untung juga
Cia Soen dan Boe Kie memiliki tenaga dalam yang sangat kuat sehingga meskipun
harus bekerja sangat keras selama setengah malam, mereka tidak merasa lelah.
Waktu fajar menyingsing,
langit tertutup awan hitam dan di lautan muncul halimun tebal.
“Bagus!” kata Boe Kie dengan
girang, “Kalau kita bisa kabur setengah hari lagi, musuh pasti tak akan bisa
mencari kita.”
Tapi sesudah berada agak jauh
dari bahaya mereka menghadapi penderitaan lain. Pakaian mereka basah dan mereka
berada dalam musim dingin. Cia Soen dan Boe Kie yang Lweekangnya kuat masih tak
apa. Tapi Cie Jiak dan Siauw Ciauw yang menggigil lebih-lebih kalau ditiup
angin utara. Perahu kecil tak punya persediaan apapun juga dan mereka semua
tidak berdaya, Cia Soen dan Boe Kie hanya bisa membuka pakaian luar mereka yang
lalu digunakan untuk menyelimuti tubuh Tio Beng dan In Lee.
Di waktu lohor penderitaan
bertambah hebat. Angin meniup keras dan hujan turun seperti di tuang. Perahu
melaju ke selatan karena ditiup angin dan dayung sudah tiada gunanya. Cia Soen
berempat membuka sepatu mereka untuk menyendok untuk menyendok dan membuang air
hujan yang masuk di perahu.
Karena bertemu dengan anak
angkatnya, biarpun menghadapi bahaya dan sangat menderita, Cia Soen sangat
gembira dan diantara hujan angin ia terus berbicara dengan suara menggeledek
sambil tertawa. Siauw Ciauw yang sifatnya berandalan juga turut bicara dengan
setiap kali mengeluarkan suara tertawa nyaring. Hanya Cie Jiak yang terus
membungkam. Setiap kali sinar matanya bentrok dengan sinar mata Boe Kie, ia
berpaling ke arah lain.
“Boe Kie,” teriak Kim mo Say
ong. “Dahulu ketika aku dan kedua orang tuamu mengarungi lautan, ditengah jalan
kami diserang topan dan penderitaan itu lebih hebat dari sekarang. Belakangan
kami menggunakan sebuah gunung es sebagai perahu dan makan daging beruang. Tapi
waktu itu yang meniup adalah angin selatan dan kami ditiup sampai kutub utara.
Apakah kareana membenci Cia Soen, Loo thian ya (langit) ingin menggiring aku ke
gedung Lam kek Sian ong (Dewa Kutub Selatan) supaya aku berdiam di situ dua
puluh tahun lagi? Ha ha…Ha ha ha….” Sesudah tertawa terbahak-bahak ia berkata,
“Waktu itu kedua orang tuamu merupakan pasangan yang serasi tapi sekarang kau
membawa empat orang wanita muda. Bagaimana kau bisa berbuat begitu? Ha ha ha ha
ha….”
Paras muka nona Cioe berubah
merah dan ia segera menundukkan kepala. Yang segera membuka suara adalah Siauw
Ciauw. “Cia Loo-ya coe, aku hanya seorang pelayan yang melayani Kongcoe ya,”
katanya dengan sikap wajar. “Aku tidak masuk hitungan.”
Tio Beng tersenyum. Ia terluka
berat tapi ia tak tahan untuk tidak ikut bicara. “Cia Loo-ya coe,” katanya.
“Kalau kau masih terus mengaco belo, sesudah sembuh aku akan menggaplok
pipimu.”
Cia Soen tertawa nyaring. “Ah!
Sungguh galak si nona!” katanya. Mendadak ia berhenti tertawa dan berkata pula
dengan suara sungguh-sungguh. “Hm, semalam kau telah menyerang dengan tiga
jurus nekat. Yang pertama Giok swee Koen kong dari Koen loen-pay. Yang kedua,
Jin koei Tong touw. Yang…yang ketiga…Aku si tua, memang sangat tolol, aku tak
dapat mendengar jurus yang ketiga itu.”
Nona Tio terkejut, ia tak
pernah menduga bahwa meskipun matanya buta Kim mo Say ong bisa menebak kedua
jurus itu secara tepat. “Yang ketiga Thian tee Tong sioe dari Boe tong-pay,”
katanya. “Jurus ini rupanya belum lama digubah sehingga tidaklah heran kalau
tak dikenal oleh Loo-ya coe.”
Kim mo Say ong menghela nafas,
“Kau ingin menolong Boe Kie itu sangat baik, sangat mulia,” katanya dengan
suara terharu. “Tapi mengapa kau berlaku nekat? Mengapa?...Mengapa nekat?”
Tio Beng menjawab, “Karena
dia…dia….” Untuk sejenak ia ragu tapi kemudian meneruskan juga perkataannya.
“…karena…Siapa membunuh Thio Kongcoe, aku…aku tak mau hidup lagi!” Sehabis
berkata begitu air matanya mengucur.
Cia Soen dan yang lain-lain
kaget tak kepalang. Tak seorangpun pernah menduga bahwa seorang gadis seperti
Tio Beng akan membuka rahasia hatinya di hadapan orang banyak. Tapi mereka tak
ingat bahwa nona Tio adalah seorang gadis Mongol yang jalan pikirannya dan
cara-caranya berlainan dengan wanita Han. Sebagai anak Mongol, ia berwatak
polos. Kalau mencintai ia mencintai terang-terangan kalau membenci ia juga
membenci terang-terangan. Apalagi keadaan waktu itu disaksikan banyak orang,
tak seorangpun bisa mengatakan apa mereka akan hidup terus atau mati di dasar
lautan.
Perkataan nona Tio sangat
mengejutkan dan mengharukan Boe Kie, ia tak sangka bahwa rasa cinta gadis itu
terhadapnya sedemikian besar. Sambil mencekal tangannya erat-erat ia berbisik,
“Biar bagaimanapun juga, lain kali kau tak boleh berkata begitu.”
Sesudah lidahnya terpeleset,
nona Tio sebenarnya merasa menyesal. Ia merasa bahwa kata-kata itu kurang
pantas dikeluarkan oleh seorang gadis, tapi begitu mendengar bisikan Boe Kie,
ia kaget bercampur girang, malu bercampur bahagia yang sukar dilukiskan. Ia
merasa bahwa segala pengorbanannya dan segala penderitaannya tidaklah sia-sia.
Perlahan-lahan hujan berhenti
tapi halimun makin tebal. Mendadak seekor ikan yang beratnya kira-kira tiga
puluh kati melompat masuk ke dalam perahu. Dengan sekali totok, lima jari
tangan Cia Soen amblas di badan ikan. Semua orang girang, Siauw Ciauw mencabut
pedang dan memotong daging ikan menjadi potongan-potongan kecil. Mereka sangat
lapar dan sambil menahan nafas sebab bau amis, masing-masing lalu memakan
sepotong daging. Cia Soen makan dengan bernafsu, selama berada di Peng hwee to
ia pernah menelan macam-macam untuk menahan lapar.
Tak lama kemudian, ombak
mereda. Sesudah mengganjal perut, semua orang memejamkan mata dan mengaso. Yang
tertidur paling dulu adalah Siauw Ciauw. Tio Beng terus memegang tangan Boe Kie
dan beberapa saat kemudian karena hatinya tenteram, iapun pulas dengan bibir
tersungging senyuman. Sesudah melawan bahaya sehari dan semalam suntuk mereka
semua capai dan lelah. Cie Jiak dan Siauw Ciauw tidak ikut bertempur tapi
merekapun mengalami kekagetan yang tidak kecil. Demikianlah laut yang tenang
sehingga perahu itu merupakan ayunan yang berayun-ayun dengan perlahan, keenam
penumpang itu tertidur semua.
Selang empat-lima jam, Cia
Soen yang berusia lanjut sadar lebih dulu. Dengan kasih ia mendengar nafasnya
kelima orang muda itu yang saling sahut dengan suara ombak. Nafas Cie Jiak
perlahan dan panjang. Yang luar biasa adalah suara nafas Boe Kie, suara nafas
itu seperti terputus seperti bersambung antara “ada” dan “tidak ada”. Bukan
main rasa kagumnya Cia Soen. “Seumur hidup aku belum pernah bertemu dengan
manusia yang mempunyai Lweekang begitu tinggi,” katanya di dalam hati. Nafas
Siauw Ciauw pun sangat aneh, sebentar cepat sebentar pelan. Itulah tanda bahwa
si nona telah berlatih sesuatu yang mirip Lweekang yang sangat luar biasa. Alis
Kim mo Say ong berkerut. Ia ingat sesuatu hal. “Heran!” pikirnya. “Apa dia….”
Sekonyong-konyong terdengar
bentakan In Lee. “Thio Boe Kie! Anak bau! Mengapa kau tak mau mengikuti aku ke
Leng Coa To?”
Boe Kie, Tio Beng, Cie Jiak,
dan Siauw Ciauw lantas saja tersadar.
“Boe Kie!” bentak pula nona
In. “aku hidup sebatang kara di pulau itu… Mengapa kau tidak mau menemani aku?
Kau… anak bau! Aku ingin memotong dagingmu jadi dua puluh tujuh potong untuk
dijadikan makanan ikan… kau.”
Boe Kie meraba pipi si nona.
Paras membara! Ia mengaco karena dengan keras. Boe Kie mengerti ilmu ketabiban,
tapi di perahu itu ia tidak berdaya. Jalan satu-satunya hanyalah merobek ujung
bajunya, mencelupnya di air laut dan menaruhnya di pipi In Lee.
Si nona terus
berteriak-teriak. “Thia-thia! Jangan!... Jangan bunuh ibu! Jie-nio dibunuh
olehku. Kau bunuhlah aku! Ibu tak campur-campur urusanku… Ibu mati!... mati!...
akulah yang mencelakainya… uh-uh-uh-uh…. “ Ia menangis keras, ia sesambat.
“Coe Jie! Coe Jie!” panggil
Boe Kie.
“Sadarlah ayahmu tidak berada
di sini. Jangan takut!”
“Aku tak takut!” bentak si
nona. “ayah yang salah, aku tak takut! Sesudah dia kawin dengan ibuku, perlu
apa dia mengambil jie-nio, sam-nio? … thia-thia, kau membuat aku sangat
menderita. Kau bukan ayahku… Kau lelaki curang… lelaki jahat… “
Boe Kie pucat mukanya.
Perkataan In Lee seolah-olah pisau yang menikam hatinya, karena tadi ia mimpi
menikah dengan Tio Beng, dengan Cie Jiak, dengan In Lee sendiri yang telah
berubah cantik dan dengan Siauw Ciauw. Di waktu sadar ia tidak berani memikir
yang tidak-tidak. Tapi di dalam mimpi, sesuatu yang tersimpan dalam alam
pikirannya yang tidak sadar terbayang tegas. Ia merasa bahwa keempat gadis itu
cantik semuanya dan ia tidak dapat berpisah dengan mereka. Selagi membujuk In
Lee, di dalam otaknya masih teringat impian yang sedap.
Sekarang mendengar cacian In
Lee, ia lantas ingat peristiwa di kaki Kong Beng Teng yang dilihatnya dengan
mata sendiri dan kejadian-kejadian yang pernah didengarnya. Karena tak tahan
melihat hinaan terhadap ibu kandungnya In Lee telah membinasakan gundik
ayahnya. Karena perbuatan sadis itu, ibu kandungnya belakangan membunuh diri.
In Ya Ong, ayah In Lee, atau paman Boe Kie, gusar tak kepalang. Beberapa kali
ia coba membunuh puterinya. Karena peristiwa menyedihkan itu, karena gundik
kesayangannya dibunuh puterinya sendiri, untuk menghibur hatinya, In Ya Ong
mengambil beberapa gundik lagi.
Itulah yang diingat Boe Kie.
Sambil memegang tangan nona In, ia melirik Tio Beng dan kemudian melirik Cie
Jiak. Ia ingat impiannya dan ia merasa sangat jengah.
Sesudah mengucapkan
perkataan-perkataan yang sukar ditangkap, In Lee berkata dengan suara yang agak
tegas. “Boe Kie… kau ikutlah aku. Kau telah menggigit tanganku, tapi aku
sedikitpun tidak membenci kau. Seumur hidup aku akan melayani kau, aku
menganggap kau sebagai majikanku. Jangan lah kau mencela romanku yang jelek. Apabila
kau sudi menerima aku, aku rela melemparkan seantero ilmu silatku, membuang
racun Ciancoe yang berada dalam diriku, supaya paras mukaku bisa pulih kembali
seperti pada waktu kita baru bertemu… “ Ia mengeluarkan kata-kata itu dengan
suara lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Boe Kie merasa sangat terharu.
Ia tak nyana bahwa saudari sepupuhnya itu adatnya aneh, mempunyai perasaan yang
sangat halus.
“Boe Kie,” kata pula Nona In,
“aku telah mencari kau di segala pelosok dunia. Belakangan kudengar, bahwa kau
mati lantaran jatuh di dalam jurang. Waktu berada di See-Hek, aku bertemu
dengan seorang pemuda yang bernama Can A Goe. Dia berkepandaian tinggi,
orangnya sangat baik dan dia pernah mengatakan, bahwa dia bersedia mengambil
aku sebagai isteri… “
Tio Beng dan lain-lain tahu,
bahwa Can A Goe adalah nama samaran Boe Kie. Dengan serentak mereka melirik
pemuda itu yang paras mukanya lantas saja berubah menjadi merah. Dalam demam
keras, In Lee tak dapat menahan lidahnya sendiri. Boe Kie tidak berani menghentikannya
dengan menotok jalan darah si nona, sebab kalau ditotok jiwa nona In lebih
terancam. Ia tidak berdaya waktu dilirik oleh Tio Beng, Cie Jiak, dan Siauw
Ciauw, ia merasa begitu jengah sehingga ia ingin sekali menyeburkan diri ke
laut.
Sementara itu, In Lee terus
mengaco, ‘A Gu koko pernah mengatakan begini kepadaku. Nona, dengan setulus
hati aku bersedia untuk menikah dengan kau. Aku hanya mengharap, kau tidak
mengatakan bahwa aku tidak setimpal dengan dirimu. Selanjutnya dia berkata,
mulai detik ini aku akan mencintaimu, akan melindungi kau dengan segenap jiwa
dan raga. Tak perduli ada berapa banyak orang yang mau mencelakai kau, tak
perduli ada berapa banyak jago yang mau menghina kau, aku pasti akan melindungi
kau. Aku bersedia untuk mengorbankan jiwa demi kepentinganmu. Aku ingin kau
berbahagia dan melupakan segala penderitaanmu yang dulu. (Kisah Pembunuh Naga
Jilid 14 Halaman 744) Boe Kie, watak A Goe Koko baik, lebih tinggi ilmunya dari
orang-orang sepantarnya Biat Coat Soethay. Tapi sebab hatiku sudah diserahkan
kepadamu, Setan kecil yang pendek umurnya, maka aku tak meluluskan permintaan A
Goe Koko. Kau sudah mati, biarlah aku tak menikah seumur hidup. Boe Kie,
cobalah bilang, apa A Lee baik atau tidak baik terhadap dirimu? Hari itu kau
tak memperdulikan aku, menolak ajaranaku. Coba kau katakan dengan setulus hati,
apa kau merasa menyesal atau tak merasa menyesal?”
Mendengar kata-kata yang
menyayat hati itu, tanpa merasa air mata Boe Kie mengalir turun ke dua pipinya.
“Boe Kie” bisik nona In. “Apakah
kau tak merasa kesepian di alam baka? Aku telah mengikut Popo ke Peng Hwee To
untuk mencari ayah angkatmu. Sesudah itu, aku ingin pergi ke Boe Tong San untuk
menyembahyangi kuburan kedua orang tuamu dan kemudian aku akan pergi di See-hek
untuk membuang diri di puncak es, dimana kau telah tergelincir jatuh, supaya
aku bisa menemani kau selama-lamanya di alam baka. Tapi aku baru bisa bertindak
begitu sesudah Popo meninggal dunia. Sekarang belum dapat aku mengawanimu. Tak
bisa aku meninggalkan Popo seorang diri di alam dunia yang luas ini. Popo
sangat baik terhadapku. Kalau ia tak menolong, siang-siang aku sudah mati
dibunuh ayah angkatku. Aku telah memberontak terhadap Popo. Ia sekarang sangat
membenci aku, tapi aku selamanya takkan dapat melupakan budinya dan akan coba
membalas budi yang besar itu. Boe Kie, apakah sikapku sikap yang benar?”
Sesudah itu, suaranya tak
tegas dan tak teratur lagi. Sebentar ia berbisik, sebentar berteriak, sebentar
tertawa, sebentar menangis. Belakangan suaranya makin perlahan dan rupa-rupanya
karena capai, akhirnya ia tertidur.
Boe Kie berlima saling
mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata. Masing-masing bicara pada dirinya
sendiri. Ombak laut memukul-mukul badan perahu, siliran angin meniup dengan
perlahan, sedang saug rembulan memancarkan sinarnya yang putih laksana perak.
Boe Kie menghela napas. Apa yang dilihatnya langit rembulan adalah abadi. Apa
yang berubah-rubah adalah manusia yang selalu diliputi dengan kedukaan dan
penderitaan.
Tiba-tiba kesunyian dipecahkan
dengan nyanyian yang sangat perlahan.
“Pada akhirnya badan manusia,
tak bisa lari dari hal itu,
hari ini ada kesenangan,
nikmatilah kesenangan itu,
siang dan malam seratus tahun,
yang berusia tujuh puluh sudah
jarang ada,
sang waktu mengalir bagaikan air,
gelombang demi gelombang.”
Nyanyian itu ternyata keluar
dari mulut In Lee yang masih terus mengaco.
Mendadak jantung Boe Kie
memukul keras. Ia ingat, bahwa pada waktu terkurung di jalanan rahasia di Kong
Beng Teng sebab jalanan ditutup Seng Koen, Siauw Ciauw pun pernah menyanyikan
nyanyian itu. (Kisah Membunuh Naga Jilid 17, Halaman 890) Mau tak mau ia
melirik nona itu yang justru sedang mengawasi dirinya. Begitu dua pasang mata
kebentrok, si nona buru-buru memalingkan kepalanya.
Sementara itu, In Lee sudah
menyanyi pula. Kali ini lagunya aneh, berbeda dengan lagu yang biasa di daerah
Tiong Goan. Boe Kie dan yang lain-lain memasang kuping untuk menangkap
kata-kata dalam nyanyian itu. Akhirnya mereka mendengar sajak yang maksudnya
menyerupai sajak yang pernah dinyanyikan Siauw Ciauw di Kong Beng Teng.
“Dengan bagaikan mengalirnya
air,
pergi, laksana siliran angin,
entah dari mana datangnya,
entah di maan tujuannya!”
Ia mengulangi sajak itu
berulang-ulang. Makin lama makin perlahan, sehingga akhirnya menghilang di
antara suara air dan suara angin.
Semua orang mendengar dengan
termenung. Mereka merasa bahwa memang benar, seorang manusia yang dilahirkan di
dalam dunia tak diketahui darimana datangnya. Biarpun dia gagah, biarpun di
kosen, pada akhirnya dia tak bisa terluput dari kematian. Dengan mengikuti
siliran angin tak diketahui dimana tujuannya. Pada saat itu, Boe Kie merasa,
bahwa tangan Tio Beng yang dicekal olehnya dingin bagaikan es dan agak
bergemetar.
Tiba-tiba kesunyaian
dipecahkan oleh suara Cia Soen. “Ah! Lagu Persia diturunkan oleh Han Hoejin
kepadanya. Dua puluh tahun lebih yang lampau, pada suatu hari ketika berada di
Kong Beng Teng aku pernah dengar lagu ini. “Hai! Kutaknyana Han Hoejin bisa
berlaku begitu kejam terhadap anak ini.”
“Loo Ya Coe,” kata Tio Beng,
“cara bagaimana Han Hoejin dapat menyanyikan lagu persia itu. Apakah itu lagu
Beng Kauw?”
“Beng Kauw berasal dari Persia
dan meskipun bukan lagu Beng Kauw, lagu itu mempunyai hubungan rapat dengan
Beng Kauw,” jawabnya. “Lagu itu telah digubah pada dua abad lebih yang lampau
oleh seorang penyair Persia yang paling terkemuka yaitu Omar Khayyam. Sepanjang
cerita lagu itu dapat dinyanyikan hampir oleh setiap orang Persia. Dahulu waktu
aku mendengar nyanyian Han Hoejin, aku pernah menanyakan asal usul dan Han
Hoejin telah memberi keterangan jelas kepadaku. Ceritanya adalah begini:
Alkisah pada jaman itu, Persia terdapat seorang guru besar, Imam Mowfaak, ia
mempunyai tiga orang murid terkemuka, yaitu Omar Khayyam, Nizam Mulk, dan Ben
Sabah.”
“Omar Khayyam mengutamakan
ilmu sastra, Nizam Mulk mengutamakan ilmu politik sedang Hasan unggul dalam
ilmu silat. Mereka bertiga bersahabat erat dan belakangan mereka bersumpah
untuk sama-sama senang dan sama-sama susah.”
“Sesudah mereka keluar dari
rumah perguruan, Nazam-lah yang paling beruntung dan ia menjadi Vezer, atau
menjadi seorang Menteri Pertama dari Sah Persia. Waktu kedua sahabat karibnya
datang padanya. Nazam merasa girang, dan memohon supaya Raja Persia memberi
pangkat kepada mereka itu. Hasan diberi pangkat dan menerimanya, tapi Omar
menolak. Ia hanya memintan tunjangan uang supaya ia bisa mempelajari ilmu
bintang menyusun kalender dan menulis sajak-sajak, tanpa harus memikiri soal
penghidupannya. Dengan rasa menyesal, Nazam meluluskan permintaan sahabat itu.
“Tapi Hasan seorang yang
berangan-angan besar dan tidak bisa terus-menerus berada di bawah kekuasaan
orang lain. Ia memberontak dan setelah memberontaknya ditindas, ia mengumpulkan
orang-orang yang tidak karuan dan melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk
seperti membunuh dan sebagainya. Ia menjadi kepala dari sebuah gerombolan yang
namanya menggetarkan dunia dan diantara para pejuang salib, ia terkenal sebagai
seorang tua dari pegunungan. Di daerah barat banyak sekali manusia yang binasa
di dalam tangan Hasan dan pengikutnya.”
“Menurut keterangan Han
Hoejin, di ujung daerah Barat terdapat sebuah negeri yaitu Negeri Inggris. Raja
Inggris ,Edward, dimusuhi si “orang tua dari pegunungan,” yang belakangan
mengirim orang untuk membunuh raja tersebut. Pengawal-pengawal raja tidak
berhasil memukul mundur orang-orangnya Hasan dan raja dilukai dengan golok
beracun. Syukur tanpa memperdulikan keselamatan diri sendiri, permaisuri
memberi pertolongan dengan mengisap luka sang suami dan menyedot keluar racun
itu. Dengan demikian raja terluput dari kebinasaan.”
“Hasan benar-benar jahat,
belakangan ia bahkan memerintahkan orang untuk membunuh Nizam Mulk, sahabat
karib yang pernah memberi banyak bantuan kepadanya. Pada waktu mau melepaskan napasnya
yang penghabisan, Nazam telah mengucapkan dua baris sajak yang tadi diucapkan
oleh In KouwNio gubahan Omar Khayyam.”
“Akhirnya Han Hoejin
memberitahukan, bahwa banyak pengikut Beng Kauw di Persia mempelajari ilmu
silat “si orang tua dari pegunungan” Ilmu silat Sam Soe sangat aneh. Mungkin
sekali ilmu silat mereka didapat dari cabang tersebut.”
“Loo Ya Coe,” kata Tio Beng.
“sifat Han Hoejin menyerupai sifat si Orang tua dari Pegunungan. Kau mencintai
dia, tapi dia mencelakai kau.”
Cia Soen menghela napas.
“Dalam dunia ini, membalas kebaikan dengan kejahatan, adalah kejadian lumrah,”
katanya dengan suara berduka. “Kau tak usah merasa heran.”
“Loo Ya Coe,” kata Nona Tio.
“Han Hoejin berkedudukan sebagai kepala dari keempat Hoat Ong. Tapi mengapa ilmu
silatnya tidak lebih tinggi dari ilmu silat Loo Ya Coe? Mengapa pada waktu dia
diserang Sam Soe, dia tidak mengeluarkan ilmu silat Cian Coe Ciat Hoe Chioe?”
SEDIKIT TENTANG BENG KAUW
Beng Kauw atau agama terang
ialah Manichaesm atau Agama dari Mani.
Mani (terlahir dalam tahun
216) adalah puteranya seorang bangsawan. Penduduk Ecbatama. Ia dididik baik
oleh ayahnya dan dipelihara dalam lingkungan sekte Mandaens. Ketika ia
dilahirkan. Terdapat dua agama besar yang saling bertentangan, agama Kristen
dan Mitraism. Mani mempelajari kedua-duanya dan iapun mempelajari agama Magism
dari Persia sendiri (sekarang Iran) Agama Manichaeism memiliki bagian-bagian
dari agama-agama tersebut.
Sepanjang cerita, ia
memproklamirkan agamanya pada hari penobatan Raja Persia, Shapur I, di istana
raja. Ia berkelana di berbagai negeri untuk menyebarkan agamanya. Antara lain,
ia mengunjungi Transoxiana, Tiongkok Barat dan India. Belakangan ia kembali ke
Persia dan mendapat banyak pengikut, bahkan di dalam istana raja sendiri. Tapi
ia dimusuhi Kasta Magians. Shapur I sedikit banyak dipengaruhi ajaran Mani dan
Hormizd, penggantinya adalah seorang raja yang toleran dan menaruh perhatian
kepada Manichaeism. Tapi pengganti Hormizd, Barham I condong kepada Kasta
Magians. Mani ditangkap dan diserahkan kepada kasta tersebut (musuh Mani) yang
lalu membinasakannya. Pemerintah Persia berusaha untuk membasmi agama Mani tapi
gagal.
Sistem Manichaeism adalah
sistem dualisme (rangkap dua) Menurut Mani, terang ialah baik dan gelap ialah
jahat. Pengetahuan tentang agama berarti pengetahuan tentang alam dan
unsur-unsurnya dan penyelamatan ialah proses membebaskan unsur terang dari
kegelapan.
Menurut Mani, dalam alam
semesta terdapat dua kerajaan. Terang dan gelap, yang berdiri berhadapan, Setan
terlahir di kerajaan gelap.
Manusia pertama adalah ciptaan
Setan, tapi dalam manusia itu juga terdapat unsur terang dari Tuhan. Setan
berusaha untuk mengikat manusia dengan kejahatan, roh-roh terang berusaha untuk
memerdekakannya.
Mani menamakan dirinya sebagai
“Duta Terang.” Hanyalah dengan bantuannya dan bantuan murid-muridnya yang
terpilih, barulah terang bisa dipisahkan dari gelap.
Dalam masyarakat Manichaeism
terdapat perbedaan antara penganut pilihan dan penganut biasa. Penganut pilihan
harus mentaati sepuluh larangan, antaranya larangan membunuh makhluk berjiwa.
Mengapa Manichaeism pernah
mendapat kemajuan besar dan menjadi sebuah agama besar?
Kekuatannya ialah: Manichaeism
mempersatukan mitologi kuno dan dualisme materialtis dengan cara bersembaHoan
Yauwang sederhana dan larangan-larangan moral yang keras. Kekuatan lainnya
ialah organisasi sosial yang sederhana. Yang pintar dan yang bodoh, yang
sungguh-sungguh dan yang tidak sungguh, semua boleh masuk ke agama Mani.
Sepanjang catatan sejarah,
Manichaeism hanya hidup pada abad ketiga belas.
1. Pada tahun 1690, Hasan
merampas Alamut, di propinsi Rudbar, di daerah pengunungan sebelah selatan Laut
Kaspia.
2. Di benua Eropa, Hasan dan
pengikutnya dinamakan “Assassin.” Mungkin sekali perkataan “hashish,” semacam
tumbuh-tumbuhan yang daunnya memabukkan, seperti madat dan yang digunakan oleh
manusia-manusia itu sebelum mereka melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk.
“Cian Coe Ciat Hoe Chioe?”
menegas Cia Soen. “Han Hoejin tak memiliki ilmu itu. Dia seorang wanita yang
cantik luar biasa. Mana mau dia mengorbankan paras mukanya untuk ilmu begitu?”
Boe Kie, Tio Beng dan Cie Jiak
terkejut. Kim Hoa Popo jelek mukanya. Dilihat mukanya yang sekarang, biarpun
usianya lebih muda tiga puluh atau empat puluh tahun, ia tak nanti bisa
dikatakan sebagai wanita yang cantik luar biasa. Hidungnya pesek, bibirnya
tebal, mukanya persegi, kupingnya lebar bagaikan kipas. Itu semua takkan dapat
diubah.
Tio Beng tertawa. “Loo Ya
Coe,” katanya. “Kim Hoa Popo tak bisa dikatakan cantik.”
“Apa? Cie San Liong Ong cantik
seperti bidadari dari kayangan. Pada dua puluh tahun lebih yang lampau, ia
adalah wanita cantik di seluruh rimba persilatan. Andaikata karena usianya
sudah lanjut, ia sekarang tak secantik dahulu, aku merasa pasti ia masih tetap
mempertahankan kecantikannya… hai! … hanya sayangaku tidak bisa melihat mukanya
lagi.”
Mendengar jawaban yang
sungguh-sungguh itu, nona Tio merasa bahwa di balik soal kecantikan Kim Hoa
Popo pasti bersembunyi satu latar belakang yang masih belum diketahuinya. Nenek
itu memang manusia luar biasa. Bahwa dia bisa menjadi Cie San Liong Ong, kepala
dari keempat Hoe Kauw Hoat Ong sudah luar biasa. Bahwa dia dinamakan sebagai
“wanita tercantik di seluruh rimba persilatan” lebih luar biasa lagi. Sesudah
memikir sejenak, Tio Beng berkata pula, “Loo Ya Coe, namamu menggetarkan dunia
Kang Ouw. Keangkeranmu di Ong Poan San diketahui oleh semua orang. Tingginya
ilmu silatmu tidak usah dibicarakan lagi. Peh Bie Eng Ong mendirikan agama
sendiri dan selama kurang lebih dua puluh tahun, ia bermusuhan dengan enam
partai besar. Ceng Ek Hok Ong lihai seperti setan, hari itu di Ban Hoat Sie ia
menakut-nakuti aku. Juga ia telah mengeluarkan suatu ancaman untuk menggores
mukaku. Kalau ingat ancamannya, sampai sekarang aku masih merasa jeri. Maka
itu, menurut pendapatku, walaupun Kim Hoa Popo berkepandaian tinggi dan banyak
akalnya, belum tentu ia pantas untuk mengambil kedudukan di sebelah atas dari
ketiga Hoat Kong. Tapi mengapa ia bisa menjadi Cie San Liong Ong?”
“Karena In Heng, Wie Hian Tee
dan aku bertiga rela mengalah terhadapnya,” jawab Kim Mo Say Ong.
“Apa?” menegas si nona. Ia
tertawa geli dan kemudian berkata pula. “Apakah karena ia wanita tercantik,
sehingga ketiga Enghiong rela berlutut di hadapannya?”
Boe Kie kaget. Tio Beng
benar-benar otak. Terhadap Cia Soen, ia masih berani berguyon.
Tapi Cia Soen tidak menjadi
gusar. Ia menghela napas dan berkata. “Yang menyerah kalah dengan suka rela
bukan hanya kami bertiga. Waktu itu dalam kalangan agama kami, paling sedikit
ada seratus orang lain yang mengagumi Taykis.”
“Taykis? Apa itu nama Han
Hoejin? Kedengarannya aneh sekali.”
“Dia asal Persia. Nama itu
nama Persia.”
Boe Kie, Tio Beng dan Cie Jiak
terkesiap. “Orang Persia?” menegas mereka.
“Apa kalian tak bisa melihat?”
Cia Soen balas menanya. “Ia mempunyai darah campuran puterinya seorang lelaki
Tionghoa yang menikah dengan wanita Persia. Rambut dan biji matanya hitam, tapi
hidungnya mancung dan matanya dalam. Kulitnya yang putih laksana salju juga berbeda
dari kulit wanita Tiong Goan.”
“Tidak-tidak!” bantah Nona
Tio. “Hidungnya melesak. Kedua matanya kecil. Berbeda jauh dari penjelasan Loo
Ya Coe. Thio Kong Coe, bukankah begitu?”
“Benar,” jawabnya. “Apakah Kim
Hoa Popo bertindak seperti Kouw Tauwtoo merusak mukanya sendiri?”
“Siapa Kouw Tauwtoo?” tanya
Cia Soen.
“Kong Beng Yoe Soe Hoan Yauw,”
jawab Boe Kie, yang dengan ringkas lalu menceritakan sepak terjang orang gagah
itu.
“Hoan Heng sangat berjasa
kepada Beng Kauw,” kata Cia Soen sesudah menghela napas. “Tindakannya itu tak
akan bisa dilakukan oleh sembarang orang. Haei…. Bahwa ia sudah bertindak
begitu dapat dikatakan juga lantaran Han Hoejin…. “
Tio Beng jadi makin heran.
“Loo Ya Coe.” Katanya. “janganlah kau bercerita sepotong-sepotong. Cobalah
ceritakan dari awal sampai pada akhirnya.”
“Hmm… “ Cia Soen menengadah
seperti orang yang mau mengumpulkan ingatan dan kemudian ia berkata dengan
suara perlahan. “Pada dua puluh tahun lebih yang lampau, Beng Kauw berada di
bawah pimpinan Yo Po Thian, Yo KauwCoe. Waktu itu, agama kami sedang
makmur-makmurnya. Pada suatu hari, tiga orang Persia tiba-tiba datang di Kong
Beng Teng dan mempersembahkan surat pribadi KauwCoe dari CongKauw kepada Yo
KauwCoe. Surat itu menerangkan bahwa di Congkauw terdapat seorang Cang San Soe
Cie. Ia seorang Tionghoa yang merantau ke Persia kemuidan menjadi penganut Beng
Kauw. Ia banyak berjasa untuk agama dan dari pernikahannya dengan seorang
puteri. Pada tahun yang lalu, kata surat itu, Cang San Soe Cie meninggal dunia.
Waktu mau menutup mata, ia ingat akan negerinya dan memesan supaya puterinya
dikirim pulang ke Tiongkok. Maka itu, untuk memenuhi pesanan tersebut, KauwCoe
CongKauw mengirim nona itu ke Kong Beng Teng dengan pengharapan supaya Yo
KauwCoe sudi memeliharanya.”
“Yo KauwCoe lantas saja
mengiakan dan meminta supaya nona itu dibawa masuk. Begitu dia masuk, ruangan
Toa Thia (ruangan besar) seolah-olah bersinar terang. Selagi ia memberi hormat
kepada Yo KauwCoe dengan berlutut, kami semua Kong Beng CoeSoe dan Yoe Soe,
ketiga Hoat Ong, Ngo Siong Jin dan kelima pemimipin Ngo Heng Kie mengawasinya
dengan mata membelalak dan hati berdebar-debar. Nona itu adalah Taykis. Ketiga
utusan Congkauw hanya menginap semalaman, pada keesokan paginya mereka pulang.
Mulai dari waktu itu, Taykis menetap di Kong Beng Teng.”
Tio Beng tertawa, “Loo Ya Coe,
kau sendiri lantas jatuh cinta kepadanya, bukan?” tanyanya. “Jangan malu-malu.
Akuilah!”
Kim Mo Say Ong
menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak!” jawabnya dengan suara parau. “Waktu itu
aku baru saja menikah dan isteriku sedang hamil. Dalam hatiku tak mungkin
timbul niatan serong.”
“Oh!” kata Tio Beng. Ia tahu,
bahwa ia sudah kelepasan bicara. Anak isteri Cia Soen dibinasakan Seng Koen dan
tersentuhnya soal itu tentu saja mengingatkan kembali kejadian dahulu.
Buru-buru ia berkata pula. “Benar! Tak heran kalau si nenek mengatakan, bahwa
pada waktu ia menikah dengan Gin Yap Sianseng, hanya Kauwcoe dan Loo Ya Coe
sendiri yang tidak menentang. Kurasa nyonya Kauwcoe bukan saja cantik, tapi
juga sangat lihai menakluki suaminya.”
Cia Soen mengangguk. “dugaanmu
tidak meleset,” katanya. “Yo KauwCoe seorang gagah sejati yang adatnya sangat
terbuka. Taykis masih sangat muda – pantas untuk menjadi anaknya Yo KauwCoe.
Apapula Kauwcoe dari Congkauw telah meminta supaya ia memelihara nona itu
seperti anak sendiri. Semenjak Taykis datang di Kong Beng Teng, Yo KauwCoe
selalu memperlakukannya dengan kasih sayang dari seorang ayah. Kutahu, Yo
KauwCoe sama sekali tidak punya niatan yang tidak-tidak, Yo Hoejin adik
seperguruan Yo KauwCoe atau Soesiok-ku (bibi seperguruan) sendiri. Yo KauwCoe,
Seng Koen dan Yo Hoejin adalah Soe Heng Moay (saudara dan saudari seperguruan)
Sebagai toa Soepeh, Yo KauwCoe sering memberi pelajaran ilmu silat kepadaku. Ia
baik sekali terhadapku.”
Biarpun sakit hatinya terhadap
Seng Koen tidak berkurang, tapi waktu menyebutkan nama manusia terkutuk itu,
Cia Soen tidak kalap lagi dan hanya menyebutkan dengan suara tawar.
Mendadak Tio Beng ingat
sesuatu dan ia lantas saja berkata. “Menurut katanya orang, di masa muda, Kong
Beng Yoe Soe Hoan Yauw sangat tampan parasnya. Apakah ia tidak jatuh cinta
terhadap Taykis?”
“Dia jatuh cinta sedari
pertama bertemu, malahan dia tergila-gila,” jawabnya sambil mengangguk. “Tapi
sebenarnya yang jatuh cinta bukan hanya Hoan Heng seorang. Kupercaya, masih
banyak orang lain. Tapi sebab Beng Kauw mempunyai peraturan yang sangat keras
dan juga karen Yo KauwCoe dihormati dan disegani oleh semua anggota agama kami,
maka orang-orang yang berani mengincar Taykis hanyalah jejaka yang belum
menikah. Diluar dugaan, hati Taykis dingin bagaikan es. Ia menyemprot setiap
orang yang berani menimbulkan soal cinta kepadanya. Yo Hoejin telah berusaha
untuk merangkap jodohnya dengan Hoan heng, tapi menolak keras. Belakangan di
hadapan banyak orang, sambil mencekal pedang, ia bersumpah untuk tidak menikah.
Kalau dipaksa ia lebih suka binasa daripada menunduk. Karena tindakannya yang
sangat tandas itu, belakangan tak seorangpun yang berani coba-coba mendekati
lagi nona yang hatinya dingin itu.”
“Setengah tahun kemudian, pada
suatu hari, seorang dari Leng Coa To datang di Kong Beng Teng. Ia mengaku she
Han, bernama Cian Yap, putera musuhnya Yo KauwCoe, dan kunjungannnya ke Kong
Beng Teng adalah untuk membalas sakit ayahnya. Macamnya pemuda itu sama sekali
tidak luar biasa. Bahwa dia sudah berani menantang Yo KauwCoe dianggap sebagai
kejadian lucu. Banyak diantara kami yang tak bisa menahan untuk tidak tertawa.”
“Tapi Yo KauwCoe sendiri tak
memandang enteng. Ia menyambut pemuda itu dengan segala kehormatan dan
menjamunya dalam perjamuan besar.”
“Latar belakang tantangan itu
adalah begini. Karena salah paham, Yo KauwCoe telah bertempur dengan ayah
pemuda itu dan melukainya dengan pukulan Tay Kioe Thian Chioe. Pecundang itu segera
mengatakan, bahwa ia akan membalas sakit hati itu. Tapi sebab tahu, bahwa ia
takkan bisa mendapat kemajuan lebih jauh dalam ilmu silatnya, maka ia
menjanjikan bahwa di kemudian hari ia akan mengirim anak lelaki atau anak
perempuannya untuk membalas sakit hati. Yo KauwCoe menjawab bahwa kalau anak
itu datang, ia akan mengalah dalam tiga pukulan. Ayah pemuda Cian Yap
mengatakan bahwa dalam pertandingan Yo KauwCoe tak usah mengalah tapi kalau
disetujui, ia ingin sekali supaya nanti anaknya boleh memilih cara bertanding.
Yo KauwCoe lantas saja mengatakan tak dinyana sesudah berselang belasan tahun,
orang itu benar-benar mengirim puteranya untuk menantang Yo KauwCoe.
“Waktu itu kepandaian Yo
KauwCoe sudah sedemikian tinggi, sehingga biarpun ahli-ahli silat yang paling
jempolan belum tentu bisa melawannya. Han Cian Yap masih sangat muda. Dalam
usia yang belum seberapa itu ia tak mungkin memiliki kepandaian yang bisa
merendengi Yo KauwCoe. Melihat begitu, kami semua merasa lega. Yang dikuatirkan
hanyalah satu pertanyaan. Cara bertanding bagaimana yang akan dipilihnya?”
“Pada keesokan harinya, di
hadapan kami Han Cian Yap menceritakan peristiwa itu, sehingga Yo KauwCoe tak
bisa mundur lagi. Cara bertanding yang dipilihnya ialah ia mau bertanding di
dalam Pek Soei Han Tam (kolam dingin yang airnya biru) yang terdapat di Kong
Beng Teng. Siapa yang kalah harus membunuh diri di hadapan orang banyak.”
“Tantangan itu bagaikan
halilintar di tengah hari yang bolong. Semua orang mencelos hatinya. Air kolam
itu dingin bagaikan es. Jangankan pada waktu itu, di musim dingin, sedang di
musim panas pun tiada orang yang berani menceburkan diri di kobakan tersebut.
Celakanya Yo KauwCoe tak bisa berenang. Menerima tantangan itu berarti
mengantarkan jiwa. Kami semua gusar dan mencaci pemuda itu.”
“Gie Hoe,” kata Boe Kie.
“Urusan ini sangat sulit. Perkataan seorang laki-laki sejati tak bisa diubar
oleh kuda yang paling keras larinya. Sesudah Yo KauwCoe mengiakan permintaan
Han Cian Yap, menurut pantas ia tak boleh menolak tantangan itu.”
Tio Beng tersenyum dan memijit
tangan Boe Kie. “Benar.” Katanya. “Perkataan seorang laki-laki sejati tidak
bisa diubar oleh kuda yang larinya paling keras. Seorang kauwcoe dari Beng Kauw
tak bisa menjilat ludah sendiri. Setiap janji harus dipastikan.”
Kata-kata itu sebenarnya untuk
menyindir Boe Kie, tapi Cia Soen tentu saja tidak mengetahui. “Tak salah,”
katanya. “Mendengar cacian kami, Han Cian Yap segera berkata dengan suara
nyaring. “Seorang diri aku datang di sini. Aku memang tak mengharap hidup. Para
enghiong boleh membunuh aku. Di sini hanya terdapat orang-orang Beng Kauw,
sehingga pembunuhan terhadap diriku tak akan diketahui oleh orang luar. Kalian
boleh segera turun tangan!” Mendengar omongan itu, kami tertegun.
“Sesudah memikir beberapa
saat, Yo KauwCoe berkata, “Han Heng, memang benar dahulu aku pernah membuat
perjanjian dengan ayahmu. Seorang laki-laki tidak dapat menyalahi janji. Aku
mengaku kalah. Aku bersedia untuk segala keputusanmu.”
Tangan Han Cian Yap tiba-tiba
bergerak dan sudah memegang sebatang pisau yang ditudingkan ke arah jantungnya
sendiri. “Pisau ini warisan ayahku,” katanya. “Aku hanya meminta supaya Yo
KauwCoe berlutut tiga kali kepada pisau ini.” Mana boleh kauwcoe kami menerima
hinaan sehebat itu? Tapi sesudah Yo KauwCoe menyerah kalah, menurut peraturan
Kang Ouw, ia tidak boleh menampik tuntutan itu. Suasana beruabah panas dan
kepentingan memuncak. Han Cian Yap memang sudah tidak memikir hidup. Sesudah Yo
KauwCoe berlutut, ia pasti akan menancapkan pisau itu di jantungnya sendiri
supaya tak usah binasa dalam tangan jago-jago agama kami.
“Untuk beberapa saat, ruangan
yang besar itu sunyi bagaikan kuburan. Siauw Yauw Jie Sian (Yo Siauw dan Hoan
Yauw) Peh Bie Eng Ong In Heng, Pheng Eng Giok Hwee Sio dan yang lain-lain yang
biasanya pintar sekarang menghadapi jalan buntu.
Pada saat yang genting,
sekonyong-konyong Taykis melompat keluar dan berkata pada Yo KauwCoe.
“Thia-thia, orang lain mempunyai putera berbakti, apakah Thia-thia tak punya
anak perempuan yang berbakti juga? Hanya datang untuk membalas sakit hati
ayahnya. Biarlah Anak yang melayaninya. Yang lebih tua yang melayani yang tua.
Yang lebih muda berhadapan dengan yang lebih muda.”
“Semua orang kaget. Mengapa
Taykis memanggil Thia-thia (ayah)? Tapi kami lantas saja mengerti, bahwa untuk
menyingkirkan marabahaya itu, Taykis sengaja mengakui Yo KauwCoe sebagai
ayahnya. Kami sangat kuatir. Kepandaian apa yang dimiliki nona itu? Apa ia
mampu berkelahi di dalam air yang sangat dingin seperti es?”
Sebelum Yo KauwCoe keburu
menjawab. Han Cian Yap sudah berkata sambil tertawa dingin. “Mewakili ayah
menyambut lawan memang satu kepantasan, tapi kalau nona kalah aku tetap
menuntut bahwa Yo KauwCoe harus berlutut di hadapan pisau ini.” Dengan berkata
begitu, ia kelihatannya tidak memandang mata kepada Taykis. “tapi bagaimana
kalau tuan yang kalah?” tanya Taykis. “Nona boleh berbuat sesuka hati. Boleh
bunuh, boleh apapun jua,” jawabnya. “Baiklah. Mari, kita pergi ke Pek Soei Han
Tam,” kata Taykis yang segera berjalan lebih dahulu. Yo KauwCoe
menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata. “Tidak! Kau tak usah mencampuri
urusan ini.” Taykis tersenyum, sikapnya tenang luar biasa. “Thia-thia, kau tak
usah kuatir,” katanya sambil berlutut. Berlututnya seolah-olah sebuah upacara
mengangkat ayah.
Ketenangan Taykis menunjuk
bahwa ia mempunyai pegangan dan kepercayaan pada dirinya sendiri. Yo KauwCoe
tidak membantah lagi. Pada hakekatnya memang tak ada jalan lain yang baik.
Semua orang lantas saja menuju Pek Soei Han Tam yang terletak di sebelah utara
gunung. Ketika itu angin utara meniup dengan kerasnya. Beberapa orang yang
tenaga dalamnya tidak begitu kuat sudah menggigil. Mereka sudah menggigil
dengan hanya berdiri di pinggir kolam. Apapula kalau menerjun! Sebagian air
sudah mengeras menjadi es dan air yang berwarna biru ituseperti juga tiada
dasarnya. Tiba-tiba Yo KauwCoe merasa bahwa ia tak pantas membiarkan Taykis
mengantarkan jiwa, “Anak,” serunya dengan suara nyaring. “kutahu, hatimu sangat
mulia. Tapi biarlah aku saja yang melayani Han Heng.” Seraya berkata begitu, ia
membuka jubah luarnya untuk segera menerjun ke air. Taykis tersenyum.
“Thia-thia,” katanya. “Anak pandai berenang semenjak kecil, anak selalu
bermain-main di laut.” Ia menghunus pedang dan bagaikan seekor walet, badannya
melesat dan kedua kakinya hinggap di atas es. Sesudah membuat lingkaran dengan
pedangnya, ia melompat lagi dan menerjun ke air!
Di depan mataku terbayang pula
kejadian itu. Hari itu, Taykis mengenakan baju warna ungu dan ketika ia berdiri
di atas es, kecantikannya tak kalah dari kecantikan Dewi Leng Po. Mendadak
tanpa mengeluarkan suara, ia menerjun ke air. Kami semua terkejut, Han Cian Yap
pun kaget. Paras mukanya yang semula angkuh lantas saja berubah. Sambil
mencekal pisau, ia turut melompat ke kolam.
Air kolam berwarna biru tua.
Perkelahian tak dapat dilihat kami. Kami hanya melihat bergoyang-goyangnya air.
Kami semua merasa sangat kuatir. Beberapa lama kemudian di satu sudut air kolam
tercampur sedikit darah. Kami jadi lebih kuatir. Siapa yang terluka? Apa
Taykis? Tak lama kemudian air bergolak dan Han Cian Yap melompat keluar dengan
napas tersengal-sengal. Hati kami mencelos. “Mana Taykis?” tanyaku. Pemuda itu
ternyata kosong pisaunya tertancap di dadanya sendiri. Sedang kedua pipinya terdapat
goresan luka. Selagi jantung kami memukul keras, air tergolak pula laksana
seekor ikan Taykis muncul di permukaan air. Akan kemudian sambil memutar pedang
untuk melindungi diri, melompat ke daratan. Kami sorak sorai. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata bahna terharu. Yo KauwCoe mencekal tangan Taykis.
Mimpipun kami belum pernah mimpi, bahwa Taykis memiliki kepandaian setinggi
itu. Sementara itu, sambil melirik Han Cian Yap, Taykis berkata, “ilmu berenang
orang itu cukup baik. Mengingat kebaktiannya, anak harap Thia-thia suka
mengampuni jiwanya.” Yo KauwCoe lantas saja meluluskan permintaan itu dan
memerintahkan Ouw Ceng Goe untuk mengobati lukanya.
“Malam itu di atas Kong Beng
Teng diadakan perjamuan yang besar.Taykis telah membuat pahala yang sangat besar.
Tanpa pertolongannya, habislah nama besar Yo KauwCoe. Yo Hoejin menghadiahkan
gelar “Cie San Liong Ong” yang berendeng dengan Eng-Ong. Say Ong dan Hok Ong.
Kami bertiga menyetujui pengangkatan itu. Kami rela menyerahkan kedudukan
pemimpin keempat Hoat Ong kepada gadis muda belia itu.”
“Tapi peristiwa itu mempunyai
ekor yang tak diduga-duga. Han Cian Yap kalah berkelahi, tapi menang total.
Entah bagaimana, dia berhasil merebut hatinya Taykis. Rasa cinta Taykis muncul
waktu ia setiap hari menengok si pemuda she Han yang dirawat oleh Ouw Ceng Goe.
Sangat bisa jadi, rasa cintanya bersemi dari rasa kasihan dan menyesal, bahwa
ia sudah melukai pemuda itu. Biar bagaimanapun jua, setelah Han Cian Yap
sembuh, sekonyong-konyong Taykis memberitahukan Yo KauwCoe, bahwa ia mau
menikah sama pemuda itu. Pemberitahuan itu mengejutkan kami. Ada yang berduka,
ada yang merasa putus harapan. Ada pula yang bergusar. Han Cian Yap musuh besar
agama kita, hinaannya terhadap Yo KauwCoe tak dapat dilupakan. Sekarang
tiba-tiba Taykis mau mnikah sama dia. Beberapa saudara yang berangasan lantas
saja mencaci. Tapi Taykis beradat keras. Ia menghunus pedang dan sambil berdiri
di ambang pintu, dia berteriak, “Mulai hari ini Han Cian Yap menjadi suamiku.
Siapa yang menghina dia boleh menjajal pedang Cie San Liong Ong.” Melihat
tekadnya dan nekadnya, kami semua tidak berdaya lagi.
“Upacara pernikahan
dilangsungkan dengan sangat sederhana. Sebagian besar saudara-saudara kami
tidak menghadiri pesta. Karena mengingat jasanya, Yo KauwCoe dan aku berusaha
keras memenuhi keinginannya, sehingga pernikahannya bisa berlangsung tanpa
gelombang yang lebih hebat. Tapi masuknya Han Cian Yap di dalam Beng Kauw
mendapat tentangan yang terlalu hebat sehingga Yo KauwCoe sendiri tidak bisa
menindih tentangan itu.”
“Tak lama kemudian Yo KauwCoe
hilang tanpa berbekas. Kami bingung dan coba mencarinya ke segala pelosok
Secara kebetulan, waktu sedang mencari Yo KauwCoe, Kong Beng Yoe Soe Hoan Yauw
melihat Han Hoejin keluar dari jalan rahasia.”
Boe Kie terkejut. “keluar dari
jalanan rahasia?” ia menegas.
“Ya,” jawabnya. “Peraturan
Beng Kauw sangat keras. Hanya kauwcoe seorang yang boleh masuk di jalanan
rahasia itu. Dalam kaget dan gusarnya Hoan Yauw segera menegur. Jawab Han
Hoejin. “Aku sudah melanggar peraturan. Mau bunuh, silahkan bunuh! Sesukamu!”
“Malam itu kami mengadakan
perhimpunan besar untuk membicarakan kedosaan Han Hoejin. Tapi Han Hoejin tetap
berkeras kepala. Pertanyaan mengapa ia masuk di jalanan itu tidak dijawab. Ia
mengatakan tak tahu dimana adanya Yo KauwCoe. Ia mengatakan, bahwa ia
bertanggung jawab sendiri untuk kedosaannya. Menurut peraturan, seorang anggota
Beng Kauw yang berani masuk ke jalanan rahasia itu harus membunuh diri atau
dikutungkan sebelah kaki atau sebelah tangannya. Mengingat kecintaannya yang
dahulu, Hoan Yauw berusaha keras untuk melindunginya. Akupun membantu supaya
hukuman berat itu tak usah dijalankan. Akhirnya semua orang menyetujui untuk
memenjarakannya selama sepuluh tahun supaya ia bisa merenungkan kedosaannya. Di
luar dugaan, Han Hoejin melawan. Tanpa Yo KauwCoe, siapa yang berani menghukum
aku? Bentaknya.”
“Gie Hoe,” Boe Kie memotong
pembicaraan ayah angkatnya. “Apa sebenarnya maksud Han Hoejin dengan masuk di
jalanan rahasia itu?”
“Kalau mau diceritakan panjang
sekali.” Jawabnya. “Di dalam Beng Kauw, hanya aku seorang yang tahu sebab
musababnya. Waktu itu banyak yang menafsir, bahwa masuknya Han Hoejin di
jalanan rahasia itu ada sangkut pautnya dengan masalah mengenai hilangnya suami
isteri Yo KauwCoe.Aku menentang tapsiran itu. Kami bertengkar hebat sehingga
akhirnya Han Hoejin memutuskan semua hubungan dengan Beng Kauw. Ia adalah orang
pertama yang keluar dari agama kami. Hari itu juga bersama Han Cian Yap, ia
turun gunung dan tidak bisa ditemukanpula. Kami berusaha keras untuk mencari Yo
KauwCoe, tapi usaha itu tinggal tersia-sia. Berselang beberapa tahun, sebab
perebutan kedudukan Kauwcoe, keadaan jadi semakin hebat. In Heng meninggalkan
Beng Kauw dan mendirikan Peh Bie Kauw. Aku coba membujuknya, tapi ia tidak
meladeni. Lantaran itu, aku dan dia jadi bermusuhan. Maka itulah pada dua puluh
tahun lebih yang lalu, pada waktu Peh Bie Kauw memamerkan To Liong To untuk
memperlihatkan keangkerannya, Kim Mo Say Ong turun tangan. Pertama, memang aku
inging merampas golok itu, dan kedua aku hendak melampiaskan rasa dongkolku.
Aku ingin memperlihatkan kepada In Heng, bahwa sesudah keluar dari kekuasaan
Beng Kauw ia tak akan dapat melakukan sesuatu yang besar. Hai!... Sekarang aku
merasa bahwa perbuatanku itu sangat keterlaluan.” Ia menghela napas dan paras
mukanya kelihatan sangat berduka.