Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 38
Karena saban-saban makan
daging kodok merah dan buah tho luar biasa yang dibawa oleh si kera putih, maka
baru saja ia mempelajari sebagian kecil dari jilid kedua, racun dingin didalam
tubuhnya sudah terusir seanteronya. Menurut pantas, sesudah racun dingin
menghilang, dimakannya terus daging kodok merah akan mengakibatkan lain
keracunan. Tapi syukur berkat latihan Kioe Yang Cin Keng yang sudah agak maju,
dan berkat buah tho yang mempunyai khasiat menolak racun, maka racun “panas”
dari daging kodok bukan saja tidak membahayakan, tapi malah membantunya dalam
mempercepat dimilikinya Sin kang.
Setiap hari, disamping belajar
dan berlatih serta bermain2 dengan kawanan kera, Boe Kie memetik buah2an untuk
menangsal perut dan saban kali mau makan, ia selalu membagi separuhnya kepada
Coe Tiang Leng yang berdiam diluar terowongan. Ia hidup bebas dan riang gembira
dan penuh kepuasan, tapi Coe Tiang Leng sendiri mengalami kesengsaraan yang
tidak enteng. Dengan hidup atas belas kasihan Boe Kie, siang malam orang tua
itu berdiam diatas “panggung” yang tertutup salju dan saban bertemu dengan
musim dingin, hebatnya penderitaan sukar dilukiskan dengan kalam.
Sesudah berlatih dengan
pelajaran jilid ketiga Boe Kie sudah tak takut lagi dengan hawa dingin. Kalau
lagi gembira ia menerjun dan mandi didalam kolam dingin. Dengan mengalirnya
hawa “tulen” diseluruh tubuh, begitu lekas kulitnya tersentuh air dingin,
secara wajar tubuhnya lalu mengeluarkan tenaga menolak. Gigi kodok merah memang
sangat tajam, tapi pada waktu itu, tajamnya gigi tak bisa melukai lagi
badannya.
Tapi makin tinggi pelajaran
Kioe Yang Cin Keng jadi makin sulit dan kemajuannyapun jadi makin perlahan.
Untuk menyelami jilid ketiga, ia harus menggunakan tempo kurang lebih setahun.
Sedang jilid yang terakhir, yaitu jilid keempat, memerlukan waktu dua tahun
lebih.
Pada suatu malam Boe Kie
membuka halaman terakhir dari jilid terakhir. Ia girang bercampur terharu.
Sudah empat tahun lebih ia berdiam di lembah itu, dari bocah, ia sudah menjadi
pemuda yang bertubuh jangkung. Selama itu, mungkin sekali di dalam dunia sudah
terjadi perubahan perubahan besar yang tidak diketahui olehnya.
Dengan banyaknya memperoleh
pengalaman pahit getir selama yang dirasakannya, maka penghidupan di lembah
lebih nyaman bagi Boe Kie. Tidak ada hasrat untuk terjun ke dalam pergaulan,
dimana Boe Kie mengganggap banyak manusia yang pandai berpura-pura dan ia lebih
senang bergaul dengan kera kera yang umumnya mempunyai sifat yang polos, yang
menyenangkan dan dapat diajak bermain sebagai kawan sejati.
Dengan Lweekang yang sangat
dalam, Boe kie telah hidup dalam dunianya sendiri. Banyak masalah dan persoalan
yang sesungguhnya mengganggu hatinya, sering Boe Kie terangsang oleh keinginan2
untuk terjun dalam dunia persilatan lagi, dalam dunia pergaulan, namun
perasaan2 seperti itu ditindasnya. Dan banyak pula orang2 yang berkenan di
hatinya yang memiliki budi kebaikan terhadap dirinya, tapi sayang sekali
perasaan takut terhadap lingkungan pergaulan diantara manusia2 yang pandai
berpura2 itulah yang menyebabkan Boe Kie akhirnya memutuskan untuk berdiam
selamanya didalam lembah itu.
Demikian kisah Boe Kie kami
tutup sampai disini untuk bagian kesatu. Untuk mengikuti perkembangan yang
terjadi selanjutnya terhadap diri Boe Kie, pengalaman2 yang aneh dan luar
biasa, dapat anda mengikutinya pada bagian kedua dari kisah Boe Kie, yang
merupakan kelanjutannya.
Manusia memang sering
mengalami peristiwa2 yang berlawanan dengan kehendak hatinya, berlawanan dengan
keinginannya, bertentangan dengan kemauannya. Dan peristiwa2 yang terjadi itu
memang sering kali terjadi diluar jangkauan dan kehendak manusia, sebab
akhirnya harus diakui yang menentukan adalah Thian (Tuhan) yang maha kuasa.
Demikian juga yang terjadi di
diri Boe Kie. Walaupun dia sesungguhnya bermaksud untuk hidup tenang tentram di
lembah itu, hidup dengan penug bahagia, jauh dari sifat2 buruk dan berpura2
dari manusia2 yang pandai sekali bersandiwara dalam hidup ini, tetapi rupanya
Thian menghendaki lain, sehingga akhirnya Boe Kie akan terlibat dalam beberapa
peristiwa yang hebat, yang akhirnya memaksa Boe Kie harus menyerah terhadap
keadaan, yang akhirnya akan memaksa Boe Kie harus mengakui bahwa manusia hidup
di dunia ini memang harus bermasyarakat.
Seperti di ketahui oleh
pembaca didalam kisah Boe Kie bagian kesatu, Boe Kie berada dilembah yang
menyenangkan bagi hatinya, ditemani oleh kawanan kera2. kawanan kera itu
merupakan sahabat yang menyenangkan, disamping itu merupakan kawan2 yang
memiliki sifat2 yang masih murni dan polos, bebeda dengan manusia2 yang pernah
dikenal oleh Boe Kie, yang pandai sekali berpura pura.
Dalam setengah tahun ini,
kalau hatinya senang, Boe Kie sering mengikuti kawanan kera memanjat lereng
gunung yang curam dan bermain2 disitu sambil memandang lembah2 yang berada jauh
dibawah. Dengan memiliki kepandaian yang sekarang dimiliki, kalau mau dengan
mudah ia akan dapat keluar dari kurungan itu. Ia dapat memanjat tebing2 yang
tidak dapat dipanjat oleh lain manusia. Tapi ia justru tidak mau. Sesudah
mendapat banyak pengalaman pahit getir dan bertemu dengan banyak manusia yang
pandai berpura2, hatinya jadi dingin. “Perlu apa aku masuk lagi ke dalam dunia
pergaulan untuk mencari kepusingan?” pikirnya. “Aku sudah merasa puas dengan
hidup disini sampai hari tua.”
Hari itu dengan Lweekangnya
yang sangat dalam, ia mengorek sebuah lubang yang dalamnya kurang lebih 3 kali
di batu karang. Disamping mulut terowongan. Sesudah itu, ia membungkus keempat
jilid Kioe Yang Sin Kang, In Keng dari Ouw Ceng Goe dan Tok Keng dari Ong Lan Kouw
dengan menggunakan kain minyak yang dikeluarkan dari perut kera putih. Ia
masukkan bungkusan kitab2 itu dalam lubang yang lalu ditutupnya dengan batu2
dan tanah. “Karena jodoh yang sangat luar biasa, aku mendapatkan kitab itu dari
perut seekor kera, “ katanya dalam hati. “entah kapan dan entah siapa yang akan
datang disini lagi dan menggali keluar kitab2 yang ditanam olehku.” Sambil
mengerahkan Lweekang, ia segera menulis enam huruf diatas batu dengan
jerijinya. “Tempat Thio Boe Kie menyimpan kitab.”
Selama belajar dan berlatih,
karena repotnya. Ia sama sekali tidak merasa kesepian. Tapi pada malam itu,
sesudah menyelesaikan pelajaran dengan hasil yang gilang gemilang, ia merasa
suatu kekosongan dalam hatinya dan ingin sekali bertemu dengan seorang manusia
lain untuk beromong2. “disini waktu aku boleh tak usah takuti Coe Peh peh,”
pikirnya. “biar sekarang aku coba menemui dia.” Memikir begitu, ia lantas saja
melompat naik ke lubang terowongan dan berlutut untuk mencoba merangkak masuk.
Tapi lubang itu ternyata terlalu kecil untuk badannya. Pada empat tahun yang
lalu, ia baru berusia lima belas tahun dan tubuhnya masih kurus kecil. Tapi
sekarang dalam usia 19 tahun, ia telah menjadi seorang dewasa dan badannya
sudah berubah banyak. Tapi Boe Kie, sesudah mendalami Kioe Yang Cin Keng, dapat
diatasi olehnya. Ia segera menarik nafas dalam2 dan mengeluarkan ilmu Siok Koet
Kang (ilmu mengerutkan tulang2). Dengan ilmu itu, daging dan otot2 antara
tulang2 mengerut, sehingga tulang2nya dapat dikatakan berkumpul menjadi satu.
Dengan demikian dia dapat masuk kedalam terowongan.
Waktu ia tiba dimulut
terowongan, Coe Tiang Leng sedang tidur pulas sambil bersandar di sebuah batu
besar. Ia menepuk pundak orang tua itu lantas saj tersadar. Bukan main kagetnya
Coe Tiang Leng. Ia melompat bangun dan sambil mengawasi Boe Kie dengan mata
membelalak, ia berkata dengan suara terputus putus. “Kau…kau”.
“Coe Peh Peh,” kata Boe Kie
seraya tersenyum. “Benar, aku Boe Kie”.
Coe Taing Leng kaget tercampur
girang, mendongkol tercampur benci. Sesudah mengawasinya beberapa lama, barulah
ia berkata pula, “kau sudah besar sekali. Hm….Mengapa selama bertahun2, kau tak
pernah keluar biarpun aku memohon berulang2?”
Sebab takut dipukul olehmu,”
jawabnya. Mendadak Coe Tiang Leng menyambar pundak Boe Kie dengan gerakan Kin
na cioe. “Sekarang kau tak takut lagi?” bentaknya. Tiba2 ia merasa telapak
tangannya panas, lengannya bergemetar dan ia terpaksa melepaskan cengkramannya.
Tapi walaupun begitu, dadanya sakit dan menyesak. Ia mundur beberapa tindak dan
berkata dengan suara parau. “Kau.. ilmu apa itu?”
Sesudah memiliki Kioe yang sin
kang, inilah untuk pertama kalinya Boe Kie menjajalnya. Ia sendiri baru tahu
hebatnya ilmu tersebut. Dengan hanya menggunakan dua bagian tenaga, Coe Tiang
Leng seorang ahli silat kelas satu sudah dapat dijatuhkan. Kalau ia mengerahkan
seluruh tenaga mungkin sekali lengan orang tua itu sudah menjadi patah. Ia
girang bukan main dan sambil mengawasi muka si tua, bertanya seraya tersenyum,
“Coe Pehpeh, bagaimana pendapatmu? Apa ilmuku cukup lihay?”
“Ilmu apa itu?” Coe Tiang Leng
mengulangi pertanyaannya.
“Akupun tak tahu, mungkin Kioe
yang Sin kang,” jawabnya.
Coe Tiang Leng terkesiap.
“Bagaimana kau bisa mendapat ilmu itu?” tanyanya pula.
Boe Kie berterus terang. Ia segera
menceritakan cara bagaimana ia mendapat kitab luar biasa itu dari perut seekor
kera dan cara bagaimana ia kemudian mempelajarinya dan melatih diri.
Penuturan itu sudah
membangkitkan rasa jelus dan gusar dalam hati si tua. “Empat tahun lebih aku
menderita hebat di puncak ini, tapi setan kecil itu sudah dapat mempelajari
sinkang yang tiada tandingannya di dunia,” pikirnya. Dia sama sekali tak ingat
bahwa segala penderitaannya itu adalah akibat dari perbuatannya sendiri. Tapi
sebagai manusia palsu ia bukan saja dapat menindih amarahnya, tapi juga bisa
melihatkan muka berseri-seri. Dimana adanya kitab itutanyanya sambil bersenyum.
“Apa boleh kulihat?”
“Boleh,” jawabnya. Ia
menganggap, bahwa biarpun bisa melihat, si tua takkan bisa menghafalisi kitab
dalam tempo cepat. “Tapi aku sudah memendamnya di dalam lubang, besok saja aku
membawanya kemari.”
“Kau sudah begini besar,
bagaimana kau bisa keluar dari lubang yang sempit itu?” tanya pula Coe Tiang
Leng.
“Lubang itu sebenarnya tak
terlalu sempit,” kata Boe Kie. “Dengan mengerutkan badan dan menggunakan
sedikit tenaga aku bisa lewat.”
“Apa akupun dapat lewat
disitu?” tanya si tua dengan mata menyala. “Bagaimana pendapatmu? Apa bisa?
Boe Kie manggut2 kan
kepalanya. “Kurasa dapat” jawabnya. “Besok boleh mencoba. Sesudah melewati
terowongan terdapat sebuah lembah yang besar dan indah dengan bebuahan yang
dapat menangsal perut”. Ia tahu bahwa dengan tenaga sendiri, Coe Tiang Leng tak
akan bisa lewat di terowongan itu. Tapi melihat sikap si tua yang sangat manis
dan penuh dengan rasa menyesal ia jadi kasihan lantas saja ambil keputusan
untuk memberi bantuan. Ia merasa, bahwa dengan menggunakan sinkang akan dapat
menggencet tulang pundak dada dan pinggul si tua supaya bisa lewat di
terowongan yang sempit.
“Saudara kecil, kau sungguh
baik,” kata si tua. “Seorang koencoe memang tidak menaruh dendam. Aku pernah
melakukan perbuatan yang sangat tidak pantas terhadapmu dan kuharap kau suka
memaafkan”. Seraya berkata begitu, ia menyoja seraya membungkuk.
Buru-buru Boe Kie membalas
hormat. “Coe pehpeh jangan kau memakai terlalu banyak peradatan,” katanya.
“Besok kita bersama-sama mencari daya upaya untuk keluar dari kurungan ini.”
Coe Tiang Leng jadi sangat
girang. “Apakah masih ada jalan untuk keluar dari sini?” tanyanya.
“Kawanan kera bisa keluar
masuk dan kitapun pasti bisa” jawabnya.
Untuk beberapa saat Coe Tiang
Leng mengawasi Boe Kie. “Tapi… tapi mengapa kau tidak coba meloloskan diri
terlebih siang dan menunggu sampai sekarang?” tanyanya.
Boe Kie bersenyum, “Sebegitu
jauh aku tidak berani coba keluar dari sini karena kuatir dihina orang lagi,”
jawabnya. “Tapi sekarang mungkin aku tak perlu berkuatir lagi. Di samping itu
akupun ingin menengok Thaysoehoe, para Soepeh dan Soesiok.
Si tua berkakakan dan sambil menepuk-nepuk
tangannya. “Bagus! Bagus!” Sambil menunjuk kegirangannya ia mundur satu dua
tindak. Mendadak kakinya menginjak tempat kosong. Tubuhnya limbung dan.. jatuh
ke bawah!
Boe Kie mencelos hatinya. Ia
melompat ke pinggir tebing dan berteriak, “Coe pehpeh! Coe pehpeh..!”
Dari bawah terdengar suara
rintihan perlahan. Boe Kie girang. Ia mendapat kenyataan bahwa Coe Tiang Leng
jatuh di atas sebuah pohon Siong yang terpisah hanya beberapa tombak dari atas
tebing. Si tua rupanya mendapat luka yang agak berat, karena badannya rebah di
cabang tanpa bergerak. Dengan kepandaian yang sekarang dimilikinya, ia dapat
menolong orang tua itu. Dengan mudah ia bisa melompat turun dan kemudian
melompat naik dengan mendukung tubuh si tua. Demikianlah, sambil menyedot napas
panjang-panjang, ia melompat turun ke arah cabang yang sebesar lengan.
Tak dinyana, pada waktu
telapak kakinya hanya terpisah kira-kira setengah kaki, cabang itu mendadak
jatuh ke bawah! Meskipun memiliki Sin-kang yang luar biasa, Boe Kie adalah
seorang manusia biasa dan bukan seekor burung yang bisa terbang kian kemari di
tengah udara. Ia terkesiap dan badannya terus meluncur ke bawah..!
Di lain detik, selagi tubuhnya
melayang jatuh, ia tersadar. “Celaka sungguh! Sekali lagi aku diakali oleh
bangsat tua Coe Tiang Leng! Cabang itu dipegang olehnya dan pada saat aku
hampir hinggap di atasnya, ia lalu melepaskannya”. Tapi sadarnya sudah
terlambat.
Memang benar jatuhnya Boe Kie
adalah akibat permainan gila dari si tua. Sesudah berdiam empat tahun lebih di
atas “panggung” itu, dia mengenal setiap pohon, setiap rumput dan setiap batu
di sekitar tempat itu. Dengan berlagak jatuh dan berlagak terluka, ia sudah
menghitung pasti bahwa Boe Kie yang hatinya lemah akan coba menolong dan benar
saja akal busuknya telah berhasil.
Ia tertawa terbahak-bahak
dengan girangnya dan kemudian lalu naik ke atas dengan memanjat sebatang oyot
yang terdapat pada siong itu. “Dahulu aku gagal untuk menembus terowongan itu,”
katanya dalam hati. “Mungkin tulangku patah karena aku terburu nafsu dan
menggunakan tenaga terlalu besar. Badan setan kecil itu banyak lebih besar
daripada tubuhku, tapi ia bisa keluar masuk. Kalau dia besar akupun bisa.
Sesudah mengambil Kioe-yang Cin keng aku bisa mencari jalan pulang dari lembah
itu. Perlahan lahan aku akan mempelajari isi kitab dan melatih diri, sehingga
aku menjadi seorang ahli silat yang tiada tandingannya dalam dunia ini.
Ha..ha..! Ha ha ha…!
Makin dipikir, ia jadi makin
girang dan dengan bibir tersungging senyuman, ia masuk di terowongan itu.
Sesudah merangkak beberapa lama, ia tiba di bagian terowongan di mana pada
empat tahun berselang, tulangnya patah. Dalam usahanya untuk menerobos
terowongan itu, dalam pikiran Coe Tiang Leng hanya dikuasai oleh suatu pendapat
yaitu; Boe Kie bertubuh lebih besar daripadanya, sehingga kalau Boe Kie bisa,
iapun bisa. Pendapat itu pada hakekatnya tidak salah. Tapi ada sesuatu yang
tidak diketahui olehnya. Ia tak tahu bahwa sesudah menyelami Kioe yang Cin
keng, Boe Kie mempunyai serupa ilmu luar biasa, yaitu Siok koet kang, yang
dapat mengkerutkan tulang-tulang.
Sambil mengerahkan jalan
pernafasannya, sejengkal demi sejengkal ia merangkak maju. Dengan tidak banyak
susah, ia bisa maju kira2 setombak lebih jauh daripada tempat terdahulu. Tapi
sampai di situ, ia mandek. Sesudah mengeluarkan banyak tenaga, ia tetap tidak
bisa maju.
Ia mengerti, bahwa jika
menggunakan tenaga Lweekang, hasilnya akan bersamaan dengan kejadian pada empat
tahun berselang dan tulangnya bakalan patah lagi. Maka itu, sesudah mengasah
otak, ia segera melepaskan sisa hawa yang terdapat di dalam dadanya. Benar saja
badannya lebih kecil dua dim dan ia bisa maju kira kira tiga kaki. Sampai di
situ, ia mandek lagi karena lubang yang terbuka masih terlalu kecil untuk
tubuhnya yang sudah sangat diperkecil. Lebih celaka lagi, karena di dalam dada
sudah ada hawa udara, ia merasa sesak nafas dan jantungnya berdebar keras. Di
lain saat, kedua matanya berkunang-kunang.
Ia mengenal bahaya. Ia segera
mengambil keputusan untuk mundur.
Tapi… ia ternyata tak bisa
mundur lagi!
Waktu maju ia bisa menggunakan
tenaga dengan bantuan kedua kakinya yang menendang dinding batu yang tidak
rata. Tapi dalam usahanya untuk mundur kembali, ia tak punya pegangan yang
dapat digunakan untuk meminjam tenaga. Kedua tangannya yang diluncurkan ke
depan hampir tergencet di antara dinding terowongan sehingga tidak bisa memberi
bantuan apa jua.
Sekarang, barulah si tua
ketakutan. Ia tahu bahwa ia akan mati konyol. Keringat dingin membasahi
pakaiannya. Ia bingung bercampur heran bercampur takut. “Mana bisa begini?”
tanyanya di dalam hati. “Badan bocah itu lebih besar daripada badanku. Mengapa
dia bisa aku tidak bisa? Mana bisa begitu?”
Ya! Dalam dunia ini memang
banyak hal yang aneh-aneh.
Demikianlah, Coe Tiang Leng
yang pintar dan Boen boe song coan (pandai ilmu surat dan ilmu silat) tergencet
di lubang, maju tak dapat, mundurpun tak bisa.
Di lain pihak, bagaikan anak
panah yang terlepas dari busurnya, Boe Kie terus melayang ke bawah. “Boe Kie…!
Boe Kie…!” ia mengeluh. “Kau sungguh tolol. Kau sudah tahu Coe Tiang Leng
manusia licik, tapi toh kau masih juga kena diperdayai. Boe Kie..! kau memang
pantas mampus diakali orang!”
Sambil menyesali diri sendiri,
ia berusaha untuk menolong jiwanya. Ia menggerakkan tenaga dan melompat ke atas
untk memperlambat kecepatan jatuhnya. Tapi mana ia bisa berhasil. Dengan tubuh
di tengah udara, tanpa sesuatu yang dapat digunakan untuk landasan, badannya
terus meluncur ke bawah dengan dahsyatnya. Di lain saat ia merasa matanya sakit
karena tertumbuk dengan sinar salju di atas bumi.
Bagi Boe Kie detik itu adalah
detik yang memutuskan detik antara mati dan hidup. Pada detik itu ia melihat
gundukan salju. Tanpa memikir panjang panjang lagi, tanpa menghiraukan benda
apa yang diliputi salju itu, ia segera mengerahkan Lweekang dan menjungkir
balik ke arah tumpukan salju. “Blus!” kedua kakinya menjeblos dan dengan
berbareng ia mengerahkan Kioe yang Sin kang untuk melompat ke atas dengan
meminjam tenaga berbalik dari tumpukan salju itu. Tapi tenaga jatuhnya dari
tempat yang begitu tinggi dahsyat bukan main, lebih dahsyat dari tenaga yang
dikerahkannya. Ia merasakan kesakitan hebat karena kedua tulang betisnya telah
patah dengan berbareng.
Walaupun terluka hebat,
otaknya masih terang. Ia mendapat kenyataan bahwa ia jatuh di tumpukan rumput
dan kayu bakar. “Sungguh berbahaya!” pikirnya. “Kalau lapisan salju terdapat
batu-batu besar, jiwaku tidak bisa tertolong lagi.
Dengan menggunakan kedua
tangan, perlahan-lahan ia merangkak keluar dari tumpukan rumput itu dan
merebahkan diri di atas tanah yang tertutup salju. Sesudah memeriksa lukanya,
ia menarik nafas panjang2 dan lalu menyambung tulangnya yang patah. “Tanpa
bergerak, paling sedikit aku memerlukan tempo sebulan untuk bisa berjalan lagi,
katanya dalam hati. “Tapi selama itu, dari mana aku bisa mendapat makanan untuk
menangsal perut?” Ia tahu, bahwa tumpukan rumput itu adalah miliknya seorang
petani sehingga tempat itu mesti terdapat rumah orang. Semula ia ingin
berteriak untuk meminta pertolongan. Tapi ia mengurungkan niatnya karena
mengingat, bahwa di dalam dunia terdapat banyak manusia jahat, sehingga jika
teriakannya memancing kedatangan seorang jahat ia bisa jadi lebih celaka lagi.
Memikir begitu, ia segera mengambil keputusan untuk rebah terus di situ sambil
menunggu tersembuhnya pula tulang-tulang yang patah.
Tiga hari telah lewat. Makin
lama rasa lapar menerjang kian hebat. Tapi ia tetap tidak berani bergerak,
sebab sekali bergerak ia bisa jadi seorang pincang seumur hidupnya. Maka
itulah, ia terpaksa menelan salju untuk menangsal perutnya yang keroncongan.
Selama tiga hari itu, berulang-ulang ia berjanji pada dirinya sendiri untuk
lebih berhati-hati, supaya tidak sampai kena diakali oleh orang jahat.
Pada hari keempat, diwaktu
malam selagi ia melatih diri dengan mengerahkan Kioe yang sin kang, kupingnya
tiba2 menangkap suara menyalaknya anjing. Makin lama suara itu jadi makin dekat
dan didengar dari suaranya, mungkin sekali beberapa ekor anjing tengah menguber
binatang buas. “Apakah anjing2 itu miliknya Kioe Tien cie?” tanyanya dalam
hati. “Semua anjing Tin cie sudah dibinasakan oleh Coe pehpeh, tapi sesudah
berselang beberapa tahun, ia bisa mendidik anjing-anjing baru.”
Ia memasang kuping dan
mengawasi ke arah suara itu. Tak lama kemudian ia lihat bayangan seorang yang
lari bagaikan terbang dengan diuber oleh tiga ekor anjing. Orang itu
kelihatannya sudah lelah sekali, tindakannya limbung, tapi dalam ketakutan, ia
lari terus dengan mati-matian. Boe Kie bergidik karena ia ingat pengalamannya pada
beberapa tahun yang lalu.
Ia ingin sekali memberi
pertolongan, tetapi tak dapat sebab tulang betisnya belum tersambung. Di lain
saat, ia mendengar teriakan menyayat hati dari orang itu yang roboh di tanah
dan diterkam oleh pengejar-pengejarnya.
“Anjing bangsat! Kemari kamu!”
teriak Boe Kie dengan gusar.
Anjing2 itu ternyata mengerti
omongan manusia. Dengan serentak mereka tinggalkan si korban dan menghampiri
Boe Kie. Begitu mengetahui bahwa pemuda itu adalah seorang yang tidak dikenal,
mereka segera menyalak dan menubruk. Buru buru Boe Kie mengerahkan Sin kang
yang memang ingin dijajalnya. Dengan telunjuk, bagaikan kilat ia menotok hidung
ketiga binatang itu, yang tanpa bersuara lagi roboh binasa. Boe Kie kaget sebab
baru sekarang ia menginsyafi lihaynya Kioe-yang Sin kang. Mendengar rintihan
perlahan dari orang yang barusan digigit anjing, Boe Kie segera bertanya,
“Saudara, apa kau terluka berat?”
“Aku… aku… tak bisa ditolong
lagi…” jawabnya.
“Tulang betisku patah, aku tak
dapat mendekati kau,” kata Boe Kie. “Coba kau kemari, aku mau periksa lukamu.”
Dengan nafas tersengal-sengal
orang itu merangkak ke arah Boe Kie. Tapi baru maju beberapa langkah, ia roboh
dan tak bisa bergerak lagi.
“Toako, di bagian mana kau
terluka?” tanya Boe Kie.
“Di dada… di perut…” jawabnya
dengan suara lemah.
Boe Kie kaget, sebab didengar
dari suaranya orang itu tidak akan bisa mempertahankan diri lagi. “Mengapa
Toako diserang kawanan anjing bangsat itu?” tanyanya pula.
“Malam ini… aku… aku keluar
untuk memburu babi hutan yang sering mengganggu tanamanku,” ia menerangkan.
“Secara kebetulan aku bertemu dengan seorang wanita dan seorang pria yang
sedang beromong-omong di bawah pohon…Hai…” ia tidak bisa meneruskan
perkataannya lagi, tubuhnya tidak berkutik lagi.
Boe Kie lantas saja menduga,
bahwa wanita dan pria itu adalah Coe Kioe Tin dan Wie Pek yang mengadakan
pertemuan rahasia di tengah malam buta. Mengingat kekejaman wanita itu,
darahnya lantas saja meluap.
Kesunyian malam kembali
meliputi lembah yang dingin itu.
Sekonyong-konyong di sebelah
kejauhan terdengar suara tindakan kuda, disusul dengan teriakan
memanggil-manggil dari seorang wanita. Jantung Boe Kie memukul keras, karena ia
segera mengenali suara Kioe Tin yang sedang memanggil2 anjing-anjingnya. Boe
Kie segera bersiap sedia sebab suara tindakan kuda itu mendatangi ke arahnya.
Tak lama kemudian, dua penunggang kuda, satu wanita dan satu pria, sudah tiba
di situ. Dugaan Boe Kie ternyata tepat, mereka itu adalah Coe Kioe Tin dan Wie
Pek.
“Ih! Mengapa ketiga Peng see
Ciangkoen binasa semua?” kata si nona dengan suara heran.
Wie Pek melompat turun dari
tunggangannya. “Ada dua orang mati di sini!” katanya heran.
Boe Kie siap sedia. “Kalau dia
bergerak, aku turun tangan lebih dahulu,” pikirnya.
Melihat korban itu yang
mendapat luka-luka berat dan Boe Kie yang pakaiannya compang camping dan rebah
tanpa berkutik, Kioe Tin segera menarik kesimpulan bahwa mereka kedua-duanya
sudah binasa digigit anjing. Ia mengadakan pertemuan itu untuk bersuka-sukaan
dengan Wie Pek dan ia tak mau berdiam lama-lama di tempat yang dapat merusak
suasana. Maka itu, ia lantas saja berkata, “Piawko, hayolah! Sebelum mati,
mereka melawan mati-matian dan sudah membinasakan ketiga anjing itu.” Seraya
berkata begitu, ia mengedut les kuda yang dikaburkan ke jurusan barat. Wie Pek
sebenarnya merasa sangat heran dan menyelidiki lebih jauh. Tapi karena
kecintaannya sudah berlalu, maka buru-buru ia melompat ke atas punggung
tunggangannya untuk menyusul si cantik.
Sayup2 Boe Kie mendengar suara
tertawanya Kioe Tin. Tiba2 ia dihinggapi perasaan muak dan gusar terhadap nona
itu. Ia sendiri merasa heran. Empat tahun yang lalu, ia memuja Coe Kioe Tin
seperti memuja seorang dewi. Andaikata ia diperintah memanjat gunung golok atau
masuk ke dalam kuali minyak mendidih, ia pasti akan menurut tanpa bersangsi.
Tapi sekarang, entah mengapa pengaruh si nona atas dirinya tiada bekas2nya
lagi. Di dalam hati kecilnya ia menduga-duga bahwa perubahan itu sudah terjadi
berkat latihan Kioe yang kang. Ia tak tahu, bahwa hal itu adalah kejadian
lumrah bagi seorang lelaki yang baru berangkat besar. Pada masa akil balig,
rasa cinta dari seorang lelaki terhadap orang perempuan cepat panasnya dan
cepat pula dinginnya. Sesudah lewat beberapa lama pikirannya berubah sering2 mentertawai
dirinya sendiri, mengapa dulu ia begitu gila. Kejadiannya ini sedikit banyak
sudah dialami oleh setiap orang lelaki.
Pada keesokan harinya, seekor
elang yang melihat mayat manusia dan bangkai binatang, terbang berputaran di
angkasa. Beberapa saat kemudian, dia menyambar ke bawah untuk mematok
makanannya. Tapi elang itu bernasib sial. Bukan mayat yang disambar, tapi Boe
Kie yang dikira mayat. Dengan sekali menggerakkan tangan Boe Kie sudah mencekal
leher elang itu yang lalu dibinasakan. Langit menaruh belas kasihan dan sudah
mengantarkan sarapan pagi, pikirnya dengan rasa girang. Ia lalu mencabut bulu
burung itu dan makan dagingnya. Biarpun mentah, ia memakannya dengan bernafsu,
karena sudah berhari-hari perutnya menahan lapar.
Belum habis daging elang yang
pertama, elang kedua sudah menyatroni. Dengan begitu, ia tidak kekurangan
makanan untuk menangsal perut. Hari lewat hari ia rebah disitu sambil menunggu
bersambungnya tulang. Untung juga karena hawa yang sangat dingin, mayat dan
bangkai manusia yang mengawaninya tak menjadi rusak. Karena sudah biasa hidup
menyendiri maka hari2 itu telah dilewatkannya tanpa terlalu penderitaan.
Pada suatu lohor, sesudah
melatih Lweekang ia melihat dua ekor elang yang terbang berputaran terus
menerus di angkasa tanpa berani turun. Tiba2 salah seekor menyambar ke bawah
menyambar ke arahnya. Tapi dia tak menyambar terus. Waktu terpisah kira-kira
tiga kaki dengan Boe Kie, elang itu mendadak berbelok dan terbang ke atas lagi
dengan suatu gerakan yang lincah dan indah sekali.
“Aha, gerakan itu dapat
dipergunakan dalam ilmu silat,” kata Boe Kie dalam hatinya. “Serangan cepat
sehingga lawan sukar dapat menangkisnya dan kalau serangan itu gagal, gerakan
mundurnya pun tak kurang cepatnya sehingga musuh takkan bisa mengundak.”
Sebagaimana diketahui, Kioe
yang cin keng adalah kitab yang mengutamakan pelajaran latihan tenaga dalam.
Dalam kitab itu tidak terdapat pelajaran jurus-jurus dan tipu-tipu silat. Maka
itulah, biarpun sudah berlatih Kioe yang Cin keng, waktu diserang Kak wan tak
tahu cara membela diri. Perlawanan Thio Koen Po (belakangan dikenal sebagai
Thio Sam Hong) terhadap In Kek See juga berkat empat jurus silat yang
didapatnya dari Sin Tiauw Tayhiap Yo Ko. Tapi Boe Kie agak berlainan daripada
Kak wan dan Thio Sam Hong. Sedari kecil, ia sudah belajar ilmu silat. Akan
tetapi jika ia ingin melebur Lweekang tertinggi yang telah dimilikinya dalam
ilmu-ilmu silat, ia tak akan bisa melakukannya di dalam waktu yang pendek. Maka
setiap kali melihat jatuhnya bunga, menjulangnya cabang pohon ke angkasa,
gerak-gerik binatang atau burung, ataupun perubahan angin, ia lantas ingat
jurus-jurus silat yang dapat digubah daripada contoh-contoh itu.
Ia terus mengawasi kedua elang
itu dan mengharap-harap agar mereka menyambar lagi seperti tadi.
Tiba2 kupingnya menangkap
suara tindakan manusia di atas salju. Tindakan itu enteng dan lincah, seperti
tindakan wanita. Ia memutar kepala dan mengawasi ke arah suara itu. Benar saja
yang sedang mendatangi adalah seorang wanita yang tangannya menenteng sebuah
keranjang kecil.
Melihat mayat dan bangkai
binantang, wanita itu merandek dan mulutnya mengeluarkan seruan kaget. Ia
seorang wanita muda yang kira2 tujuh belas atau delapan belas tahun. Dilihat
pakaiannya yang terbuat dari pada kain kasar, ia seorang gadis dusun yang
miskin. Ia pun bukan gadis cantik, bahkan dapat dikatakan beroman jelek karena
rambutnya kering, kulitnya hitam, otot otot pada mukanya banyak melesak atau
menonjol keluar, sedangkan kedua ujung mulutnya agak turun ke bawah. Bagian
yang menyedapkan dari wanita itu adalah kedua matanya yang jeli dan bersinar
tajam serta tubuhnya yang ramping dan gemulai.
Ia mendekati dan waktu kedua
matanya kebentrok dengan sorot mata Boe Kie, ia kaget dan bertanay dengan suara
terputus putus. “Kau… kau… tidak mati?”
“Tidak,“ jawabnya.
Pertanyaan yang pendek itu
dijawab dengan pendek pula.
Di lain saat, mereka tertawa
bersama. “Kalau kau belum mati, perlu apa kau rebah di situ?” tanya pula si
nona.
“Aku jatuh dari atas gunung,
tulang betisku patah.” Boe Kie menerangkan.
“Apa dia kawanmu?” tanya
wanita itu seraya menunjuk mayat. “Mengapa tiga anjing itu mati?”
“Tiga binatang itu telah
menggigit dan membinasakan saudara itu,” jawabnya.
“Bagaimana keadaanmu? Apa kau
tidak lapar?”
“Tentu saja lapar. Tapi aku
tidak dapat bergerak dan menyerahkan segala apa pada nasib.”
Wanita itu tersenyum. Ia
merogoh keranjangnya dan mengeluarkan dua potong kue phia lalu diberikan kepada
Boe Kie.
“Terima kasih,” kata Boe Kie
seraya menyambutinya, tapi ia tidak lantas memakannya.
“Mengapa kau tidak makan? Apa
kau takut ada racunnya?” tanya si nona.
Sudah 4 tahun lebih, kecuali
dengan Coe Tiang Leng, Boe Kie tidak pernah bicara dengan lain manusia. Maka
itu, pertemuannya dengan gadis itu menggirangkan hatinya, karena biarpun si
nona berparas jelek, omongan2 nya sangat menarik. Ia tertawa dan menjawab,
“Bukan, bukan begitu. Sebabnya adalah karena phia ini diberikan oleh nona, maka
aku merasa sayang untuk segera memakannya.”
Jawaban itu, yang sebenarnya hanya
guyon guyon dapat diartikan sebagai ejekan. Boe Kie adalah seorang yang
sifatnya sungguh2 dan ia jarang sekali bicara main-main. Tapi sekarang, dalam
berhadapan dengan gadis jelek itu, hatinya bebas tanpa merasa ia sudah
mengeluarkan kata-kata itu.
Di luar dugaan, paras muka si
nona lantas saja berubah gusar dan ia mengeluarkan suara di hidung sehingga Boe
Kie merasa sangat menyesal dan buru-buru ia memasukkan kue ke dalam mulutnya.
Karena terburu-buru, kue itu menyangkut di tenggorokannya dan ia batuk-batuk.
Muka si nona berubah lagi,
dari marah menjadi girang. “Terima kasih Langit, terima kasih Bumi. Tioe Pat
Koay (si muka jelek) bukan manusia baik, katanya. “Bapak Langit menjatuhkan
hukuman kepadamu. Mengapa orang lain tidak dipatahkan tulangnya, hanya kau
seorang yang dipatahkan tulang betismu?”
“Sesudah empat tahun tak
pernah mencukur rambut dan muka, tentu saja mukaku kelihatannya jelek,” kata
Boe Kie dalam hati. “Tapi kaupun tidak cantik. Kita berdua setali tiga uang.”
Tapi tentu saja ia tak berani mengutarakan berterus terang apa yang dipikir
dalam hatinya. Ia tersenyum dan berkata, “Sudah 9 hari aku menggeletak di sini.
Sungguh untung, nona kebetulan lewat disini dan nona sudah memberikan kue
kepadaku. Terima kasih banyak untuk kebaikanmu itu.”
Si nona tertawa. “Jangan kau
bicara menyimpang,” katanya. “Aku tanya mengapa hanya seorang yang patah
tulang? Kalau kau tidak menjawab, aku akan mengambil pulang kueku itu.”
Jantung Boe Kie memukul keras
sebab selagi bicara sambil tertawa di mata gadis itu terdapat sinar kenakalan
yang menyerupai sinar mata yang dimiliki oleh ibunya sendiri. “Mengapa sinar
matanya mirip dengan sinar mata ibu?” tanyanya di dalam hati. “Sebelum
meninggal dunia, waktu ibu memperdayai pendeta Siauw lim sie, pada kedua matanya
terlihat sinar yang seperti itu.” Mengingat ibunya, hatinya merasa pilu dan air
matanya lantas saja mengucur.
“Fui!” kata si nona sambil
tertawa nyaring. “Tidak, aku tidak akan merampas kue itu. Sudah! Jangan nangis.
Hai…! Kalau begitu, kau hanya satu manusia dungu.”
“Huh! Kau kira kuemu terlalu
enak?” kata Boe Kie. “Aku menangis karena ingat sesuatu bukan sebab kuemu.”
“Ingat apa?” tanya si nona.
Boe Kie menghela nafas. “Aku
ingat ibu. Ibuku yang sudah meninggal dunia,” jawabnya.
Si nona tertawa nyaring.
“Ibumu sering memberi phia kepadamu, bukan?” tanyanya.
“Benar, ibuku memang sering
memberi kue kepadaku,” jawabnya. “Tap aku ingat kepadanya bukan sebab itu. Aku
ingat ibu sebab tertawamu sangat mirip dengan tertawa ibu.”
“Setan!” bentak si nona dengan
suara gusar, “Aku sudah tua ya? Sama seperti ibumu, ya?” Ia mengambil cabang
kering dan menyabet Boe Kie dua kali.
Kalau mau, dengan mudah Boe
Kie bisa merampas cabang kering itu. Tapi ia berkata dalam hatinya, “Ia tidak
tahu bagaimana cantiknya ibuku. Ia rupanya menganggap roman ibu sejelek romanku
dan ia merasa tersinggung. Dilihat dari sudut ini, ia memang pantas bergusar.”
Sesudah disabet, ia berkata, “Ibuku sangat cantik!”
Muka si nona tetap muram. “Kau
mentertawai aku karena romanku jelek?” bentaknya pula. “Benar-benar kau sudah
bosan hidup, biar aku tarik kakimu.” Seraya mengancam, ia membungkuk dan
bergerak untuk menarik kaki pemuda itu.
Boe Kie kaget. Tulang betisnya
baru menyambung, sehingga kalau ditari ia bakal menderita lebih berat. Buru-buru
ia meraup salju, begitu kakinya tersentuh ia akan menimpuk Bie sim hiat si nona
supaya ia pingsan. Untung juga ancaman itu tidak dibuktikan.
Melihat perubahan pada paras
muka Boe Kie nona itu berkata, “Mengapa kau begitu ketakutan? Nyalimu seperti
nyali tikus, siapa suruh kau mentertawai aku?”
“Sedikitpun aku tak punya niat
untuk menggoda nona,” kata Boe Kie dengan suara sungguh-sungguh. “Jika di dalam
hati aku berniat mentertawai nona, biarlah sesudah sembuh, aku jatuh lagi tiga
kali dan seumur hidup aku menjadi seorang pincang.”
Mendengar sumpah itu, ia
tertawa geli dan lalu duduk di samping. “Kalau ibumu seorang wanita cantik,
mengapa kau membandingkan aku dengan dia?” tanyanya dengan suara perlahan.
“Apa akupun cantik?”
Boe Kie tergugu. Sesaat
kemudian barulah ia bisa menjawab. “Entahlah, aku pun tak tahu sebabnya. Aku
hanya merasa, bahwa kau mirip dengan ibuku. Biarpun kau tidak secantik ibu,
tapi aku merasa sayang jika memandang parasmu.”
Si nona tersenyum, ia mencolek
pipi Boe Kie dengan jarinya dan berkata sambil tertawa, “Anak baik, nah kalau
begitu kau panggil saja ibu kepadaku…” Ia tidak meneruskan perkataannya dan
dengan sikap kemalu-maluan, dia memutar kepala ke jurusan lain, karena ia
merasa bahaw perkataannya itu tidak pantas dikeluarkan. Tapi sesudah memutar
kepala, ia ta dapat menahan rasa gelinya dan lalu tertawa pula.
Melihat begitu, Boe Kie lantas
saja ingat kejadian-kejadian di pulau Peng hwee to, yaitu pada saat kedua orang
tuanya bersenda gurau. Ia ingat bahwa dalam guyon2, sikap mendiang ibunya
sangat menyerupai sikap si wanita jelek saat ini. Tiba-tiba ia merasa bahwa
nona itu tidak jelek. Dia cantik, dia ayu… ia mengawasi seperti orang
kesengsem.
Tiba2 si nona memutar lagi
kepalanya dan melihat Boe Kie mengawasinya seperti orang linglung. Ia tertawa
dan bertanya, ”Mengapa kau senang melihat aku? Coba beritahukan kepadaku sebab
musababnya.”
Boe Kie tidak lantas menjawab.
Sesudah geleng-gelengkan kepalanya ia baru berkata, “Aku tak dapat mengatakan
secara tepat. Aku hanya merasa bahwa kalau memandang wajahmu, hatiku tenang dan
aman. Aku merasa bahwa kau akan hanya berbuat baik terhadapku, bahwa kau tidak
akan mencelakai aku.”
Si nona tertawa nyaring,
“Haa..ha..! Kau salah! Aku adalah manusia yang paling suka mencelakai orang,”
katanya.
Sekonyong2 ia mengangkat
cabang kayu yang dipegangnya dan menyabet betis Boe Kie dua kali. Sesudah itu
ia berjalan pergi. Sabetan itu yang dijatuhkan secara diluar dugaan, kena tepat
pada tulang yang patah, sehingga Boe Kie kesakitan dan berteriak, “Aduh!”
Teriakan Boe Kie disambut dengan tertawa geli.
Dengan mendongkol Boe Kie
mengawasi bayangan wanita itu yang makin lama jadi makin jauh. “Kurang ajar!”
ia mengomel. “Yang cantik suka melukai orang, yang jelekpun begitu juga”.
Malam itu Boe Kie banyak
bermimpi. Ia bermimpi bertemu dengan wanita itu, bertemu pula dengan mendiang
ibunya dan bertemu pula dengan seorang wanita yang tidak terang wujudnya.
Mungkin ibunya dan mungkin juga wanita jelek itu. Ia bermimpi sang ibu
mempermainkannya menjatuhkannya dan sesudah ia menangis barulah ibunya
memeluknya, menciumnya dan berkata, “Anak baik jangan menangis, sayang…sayang…
ibu menyayang kau.”
Waktu terdengar dalam otaknya
mendadak berkelebat serupa ingatan yang baru pernah diingatnya sekarang. “Mengapa
ibu begitu suka mencelakakan manusia?” tanyanya di dalam hati. “Kedua mata
Giehoe dibutakan oleh ibu. Jie Sam soepeh bercacat karena ibu. Seluruh keluarga
Liong boen Piauw kiok binasa dalam tangan ibu. Apa ia orang baik?” Sambil
bertanya begitu, ia mengawasi bintang-bintang di langit dan menghela nafas
berulang-ulang. “Tak peduli baik atau jahat, ia tetap ibuku,” pikirnya. “Kalau
ibu masih hidup, aku pasti akan menyintanya dengan segenap jiwa dan raga.”
“Di lain saat ia ingat gadis
dusun itu. Mengapa si jelek memukul kakinya? Aku tidak bersalah mengapa dia
memukul aku?” tanyanya di dalam hati. “Sesudah aku berteriak kesakitan, ia
tertawa kegirangan. Apakah ia manusia yang senang mencelakakan sesama manusia?”
Ia mengharapkan nona itu
datang lagi, tapi iapun kuatir akan dipukul lagi. Otaknya bekerja terus,
sebentar ia ingat mendiang ibunya, sebentar ia ingat gadis dusun itu dan
sebentar ia ingat lain-lain hal.
Dua hari telah lewat dan nona
itu tidak pernah muncul. Boe Kie menganggap dia tak akan
Datang lagi untuk
selama-lamanya. Diluar dugaan, pada hari ketiga, kira2 lohor, gadis dusun itu
menyatroni lagi sambil menenteng keranjangnya. “Tio pat koay,” tegurnya seraya
tertawa. “Kau belum mati kelaparan ?”.
“Sudah hampir,” jawabnya.
“Sebagian besar mampus, sebagian kecil masih hidup”.
Nona itu tertawa, lalu duduk
disamping Boe Kie. Mendadak memandang betis pemuda itu. “Apa bagian itu masih
hidup?” tanyanya.
“Aduh!” teriak Boe Kie. “Kau
sungguh manusia yang tak punya liangsim!” (Liangsim—perasaan hati).
“Tak punya liangsim?” menegas
si nona. “Kebaikan apa yang sudah ditunjuk olehmu terhadap diriku?”
Boe Kie terkejut. “Kemarin
dulu kau telah memukul aku, tapi aku tidak menaruh dendam,” katanya. “Selama
dua hari, aku selalu mengingat kau”.
Paras muka si nona lantas saja
berubah merah, seperti orang bergusar, tapi ia menekan nafsu amarahnya. “Apa
yang dipikir olehmu kebanyakan bukan hal yang baik,” katanya. “Aku berani
memastikan, didalam hati kau mencaciku sebagai perempuan jelek perempuan
jahat”.
“Romanmu tidak jelek,” kata
Boe Kie. “Tapi mengapa kau baru merasa senang bila sudah mencelakai manusia?”
Si nona tertawa geli.
“Bagaimana kudapat memperlihatkan rasa senangku, jika aku tak bisa menyaksikan
penderitaan orang?” katanya dengan suara adem.
Sehabis berkata begitu, ia
mengawasi Boe Kie yang pasa mukanya menunjuk perasaan tidak puas dan tidak
setuju. Melihat pemuda itu masih mencekal sepotong kue yang belum dimakan tiga
hari, ia tersenyum lalu berkata.
“Phia itu sudah tiga hari, apa
masih enak dimakan?”
“Aku merasa sayang untuk makan
kue ini yang dihadiahkan olehmu,” jawabnya. Bila pada tiga hari berselang ia
mengatakan begitu untuk berguyon, kini suaranya bernada sungguh2. Nona itu juga
merasa, bahwa kali ini Boe Kie tidak bicara main2 dan paras mukanya lantas saja
bersemu merah. “Aku membawa kue-kue yang baru,” katanya sambil merogoh
keranjang dan mengeluarkan beberapa macam makanan, disamping kue, terdapat juga
ayam panggang dan kaki kambing panggang yang baunya wangi.
Boe Kie girang bukan main.
Selama tiga tahun lebih, ia hanya mengenal daging kodok dan bebuahan dan baru
sekarang, ia dapat mencicipi lagi makanan enak. Tanpa sungkan sungkan, di lalu
memasukkan sepotong daging ayam ke dalam mulutnya.
Sambil memeluk lutut dan
mengawasi cara makannya Boe Kie yang sangat bernafsu, si nona duduk disamping
pemuda itu. “Siluman muka jelek (Tioe pat koay), kau makan enak sekali,”
katanya. “Kusenang melihat cara makanmu. Kau agak berlainan dengan lain
manusia. Tanpa mencelakai kau, aku sudah merasa senang.”
“Rasa senang yang sejati
adalah rasa senang yang didapat karena melihat orang lain merasa senang.” Kata
Boe Kie.
Nona itu tertawa dingin.
“Huh!” ia mengeluarkan suara di hidung. “Biarlah aku berterus terang
terhadapmu. Hari ini hatiku senang dan aku tidak mencelakai kau. Tapi dilain
hari, bila aku tak senang, mungin sekali aku akan menghajar kau, sehingga kau
hidup tidak, matipun tidak. Kalau terjadi kejadian itu, jangan kau menyalahkan
aku”.
Boe Kie menggeleng kepalanya.
“Kau takkan mampu menghajar aku, “ katanya.
“Mengapa begitu?” tanya si
nona.
“Sedari kecil aku sudah biasa
dihajar oleh manusia jahat,” jawabnya. “Aku dihajar hingga besar. Makin
dihajar, aku maikn a lot”.
“Lihat saja buktinya nanti,”
kata nona itu.
Boe Kie tersenyum dan berkata
pula. “Sesudah lukaku sembuh, aku akan menyingkir jauh jauh. Kau takkan bisa
menganiaya aku lagi”.
“Kalau begitu, lebih dahulu
aku akan putuskan betismu sehingga kau seumur hidup takkan bisa berpisahan lagi
denganku,” kata si nona.
Mendengar suara dingin
bagaikan es, Boe Kie bergidik. Ia mersa, bahwa perkataan itu bukan diucapkan
seenaknya saja dan bahwa apa yang dikatakannya dapat dilakukan oleh wanita itu.
Sementara itu, setelah
mengawasi Boe Kie beberapa saat, si nona menghela nafas. Sekonyong-konyong
paras mukanya berubah. “Tioe pat koay” bentaknya. “Apakah betis anjingmu tak
pantas dibacok putus olehku?” Mendadak ia berbangkit, merampas potongan daging
ayam, kaki kambing dan kue phia yang belum dimakan dan melemparkannya
jauh-jauh. Sesudah itu dengan penuh amarah, ia meludahi muka Boe Kie.
Boe Kie menatap wajah si nona.
Ia merasa, bahwa gadis itu bukan sengaja benar2 bergusar dan juga tak sengaja
mau menghina dirinya, karena pada paras mukanya terlihat sinar kedukaan yang
sangat besar. Boe Kie adalah seorang yang mempunyai perasaan halus dan bisa
turut merasakan penderitaan orang lain. Ia ingin sekali menghibur, tapi untuk
sementara ia tak tahu apa yang harus dikatakannya.
Melihat sikap Boe Kie, nona
itu berhenti meludah. “Tioe pat koay!” bentaknya. “Apa yang sedang dipikir
olehmu?”
“Nona, mengapa kau
kelihatannya begitu menderita?” Boe Kie balas menanya. “Beritahukanlah
kepadaku”.
Karena ditanya dengan
perkatann lemah lembut, gadis itu tak dapat jalan untuk mengumbar nafsunya
lagi. Sekonyong2 ia duduk pula disamping Boe Kie dan menangis sedu sedang
sambil memeluk kepalanya.
Boe Kie mengawasinya dengan
belas kasihan.
“Nona,” katanya dengan suara
perlahan. “Siapa yang sudah menghina kau? Tunggulah, sesudah kakiku sembuh aku
akan membalas sakit hatimu.
Nona itu terus menangis.
Selang beberapa lama, barulah ia berkata. “Tidak ada orang yang menghinaku.
Penderitaanku karena nasibku yang buruk, karena salahku sendiri. Aku memikiri
orang yang tak dapat melupakannya”.
Boe Kie mangut2kan kepala. “Orang
laki2 bukan?” tanyanya pula. “Dia jahat terhadapmu bukan ?”
“Benar!” jawabnya. “Dia sangat
tampan, tapi sombong luar biasa. Aku ingin dia mengikuti aku seumur hidup, tapi
dia tak mau. Itu masih tidak apa. Celakanya, dia bukan saja mencaci tapi juga
sudah menganiaya aku, sehingga darah berlumuran.”
“Kurang ajar sungguh dia !”
teriak Boe Kie dengan gusar. “Nona kau jangan perdulikan dia lagi.”
Air mata si nona kembali
mengucur “Tapi…..aku tak dapat melupakannya”, katanya. “Dia pergi jauh2 untuk
menyingkirkan diri dan aku sudah mencarinya kesana kemari!”
Mendengar begitu, walaupun
merasa, bahwa nona itu beradat aneh, rasa kasihan Boe Kie jadi makin besar.
“Didunia terdapat banyak sekali lelaki yang baik. Perlu apa kau memikiri
manusia yang tak berbudi itu ?”
Si nona menghela nafas
panjang, matanya mengawasi ketempat jauh. Boe Kie tahu, bahwa ia tak dapat
menghilangkan bayangan lelaki itu dari alam pikirannya. Untuk mencoba lagi ia
berkata pula, “Lelaki itu hanya memukulmu satu kali. Tapi penderitaanku sepuluh
kali lebih hebat daripada kau”.
“Apa? Kau ditipu wanita cantik
?” tanya nona itu.