Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 72
"Tidak boleh!" kata
Boe Kie. "Menggugurkan kandungan adalah perbuatan berdosa. Selain begitu,
hal itu bisa menusuk kesehatan badanmu." Waktu berkata begitu, didalam
hatinya tiba-tiba muncul perasaan sangsi. Cie Jiak berada dalam tangan Kay pang
hanya kira-kira sebulan lamanya. Apa bisa jadi dia sudah hamil? Diam diam ia
memegang nadi tunangannya. Tidak! Ia tidak mendapatkan tanda-tanda kehamilan.
Tapi ia tidak mau menanya lebih terang, Ia mahir dalam ilmu ketabiban, tapi
kepandaian itu terbatas dalam bidang luka-luka dan penyakit karena keracunan.
Dalam penyakit kalangan wanita, ia tak punya banyak pengetahuan.
"Kalau anak ini perempuan
masih tak apa," kata pula CieJiak. "Tapi kalau lelaki... Jika di hari
kemudian kau menjadi hong tee (kaisar ) apakah dia harus menjadi tay coe (
putera mahkota )? Ah! ... sebaiknya, digugurkan saja untuk menghilangkan bibit
penyakit."
"Cie Jiak," kata Boe
Kie dengan suara kaku, "perkataan hong tee kuharap jangan disebut-sebut
lagi. Aku seorang anak kampungan. Sedikitpun aku belum pernah mimpi, belum
pernah mempunyai keinginan uutuk naik ditahta kerajaan. Apabila perkataanmu
didengar oleh saudara-saudara kita mereka akan anggap aku sebagai manusia yang
mengejar kekuasaan dan hati mereka akan menjadi dingin".
"Aku bukan mau paksa kau
menjadi hongtee. Tapi kalau sudah takdir, biarpun mau menolak? Kau
memperlakukan aku secara begitu mulia. Aku harus berusaha untuk membalasnya.
Cioe Cie Jiak seorang wanita lemah, tapi kalau ada kesempatan mungkin sekali
aku masih bisa memberi sedikit bantuan supaya kau menjadi kaisar. Ayahku gagal
dalam usahanya dan menemui kebinasaan. Dahulu aku menjadi kong coe ( puteri
seorang kaisar ). Siapa tahu di hari nanti aku akan menjadi seorang hong houw
(permaisuri)?“
Mendengar perkataan yang
sungguh-sungguh itu Boe Kie jadi tertawa. "Cie Jiak," katanya,
"kemuliaan seorang hong houw belum tentu bisa menandingi kemuliaan
Tiangboenjin dari Go bie pay. Sudahlah, hauw Nio-nio! Hamba mohon Hong houw
Nio-nio sudi beristirahat!"
Awan kedukaan lantas saja
membuyar dan sambil tertawa, kedua orang muda itu mengakhiri pembicaraan
mereka.
Pada keesokan paginya, sesudah
membuka jalan darah pelayan yang mengaso dikolong ranjang, Boe Kie meminta
Pheng Eng Giok berdiam dikota raja tiga hari lagi untuk mendengar-dengar Cia
Soen, sedang dia sendiri bersama Cie Jiak dan Han Lim Jie lalu berangkat
ke-Hway see.
Perjalanan mereka tidak
menemui rintangan. Setibanya didaerah Shoatang mereka sudah bisa menyaksikao
kekalahan tenlara Mongol yang terus mundur dengan kerusakan besar. Sedapat
mungkin Boe Kie bertiga menyingkir dari kelompok-kelompok musuh yang besar
jumlahnya dengan mengambil jalan kecil. Belakangan mereka bertemu dengan
seorang serdadu Goan yang kasar dan lalu membekuknya. Dari serdadu itu, mereka
mengetahui, bahwa Han San Tong dengan beruntun mendapat beberapa kemenangan
besar dan berhasil merebut beberapa tempat yang penting. Mereka sangat girang
dan meneruskan perjalanan secepat mungkin.
Mulai perbatasan Soatang
Anhoei kekuasaan sudah berada dalam tangan tentara rakyat Beng Kauw. Diantara
tentara itu ada yang mengenal Han Lim Jie dan dia buru-buru melaporkan kepada
Goan swee hoe (gedung panglima besar). Maka itulah pada waktu Boe Kie bertiga
masih berada dalam jarak tigapuluh li dari kota Hauwcoe, mereka sudah dipapak
oleh Han San Tong yang mengajak Coe Goan Ciang, Cie Tat, Siang Gie Coen, Teng
Jie Thong Ho dan lain-lain panglima. Pertemuan itu sudah tentu sangat
menggirangkan semua orang.
Sesudah Han San Tong
mempersembahkan secawan arak kepada Boe Kie dengan diiringi tetabuhan perang
dan sepasukan tentara yang mengenakan pakaian perang mentereng serta bersenjata
lengkap, rombongan itu masuk kedalam kota Hauwcoe. Dengan menunggang kuda, Cie
Jiak mengikuti dibelakang Boe Kie. Di sepanjang jalan ia menengok ke kanan dan
ke kiri dengan perasaan bangga. Meskipun belum menyamai arak-arakan Hong tee
dan Hong hauw dikota raja, iring-iringan itu sudah cukup memuaskan hatinya.
Setibanya dikota, safu demi
satu para jenderal dan perwira menghadap dan memberi hormat kepada Boe Kie.
Malam itu diadakan pesta besar. Mendengar puteranya ditolong oleh sang Kauwcoe
sekali lagi secara resmi Han San Tong menghaturkan terima kasih.
Selama beberapa hari dengan
beruntun datanglah Yoe Siauw, Hoan Yauw, In Thian Ceng, In Ya Ong, Tiat koan
Hoejin Swee Poet Tek, Cioe thian, kelima Ciang kie soe dari Ngo-heng-kie dan
lain-lain pemimpin Beng kauw. Mereka datang dari pelbagai tempat sebab
mendengar warta tentang itu. Beberapa hari itu tak putus-putusnya diadakan
pesta-pesta untuk menyambut para pemimpin itu. Lewat beberapa hari lagi tibalah
Ceng ek Hok ong Wie It Siauw dan Pheng Eng Giok.
Kepada Boe Kie Pheng Hweeshio
melaporkan bahwa ia sama sekali tak mendengar sesuatu tentang Cia Soen.
Waktu mendapat gilirannya, Wie
It Siauw berkata, “Selagi berkelana di Hopak, aku bertemu dengan Ciang pang
Liong tauw yang sedang menjalankan tugas kurang baik bagi agama kita. Aku lagi
guyon-guyon dengannya. Waktu itu aku belum tahu, bahwa Cia Heng sudah kembali
di Tiong goan. Kalau tahu aku pasti akan menyelidiki di kalangan Kay pang
karena sangat mungkin Cia heng jatuh di tangan mereka." Boe Kie segera
memberitahu bahwa Cia Soen memang pernah ditangkap oleh Kay pang tapi kemudian
bisa melarikan diri. Iapun menuturkan segala pengalamannya dalam usaha mencari
ayah angkatnya itu.
Hoan Yauw dan In Thian Cheng
adalah orang-orang yang berakal budi, tapi merekapun tak bisa menembus kabut
yang meliputi hilangnya Kim mo Sai ong.
“Kita masih belum bisa meraba
asal-usul nona baju kuning itu,” kata Hoan Yauw.
"Kalau kita mengusut dari
nona itu, mungkin sekali kita akan berhasil dalam usaha mencari Ceng heng.
Tapi siapakah yang menaruh
tanda-tanda obor dari Louw Liong Kauwcoe mengejar sampai di Louw liong lagi?”
tanya In Thian Cheng. "Bisa jadi orang itu mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan hilangnya Cia heng."
Diantara pemimpin-pemimpin
Tjeng Kauw terdapat banyak yang berpengalaman luas. Tapi tidak seorangpun yang
bisa menebak siapa adanya si baju kuning. Mereka hanya bisa membujuk Boe Kie
dengan mengatakan bahwa ditinjau dari sepak-terjangnya si baju kuning sama
sekali tidak mengandung niat kurang baik.
Boe Kie pun tidak berdaya. Ia
hanya bisa memerintahkan sejumlah anggota Ngo heng kie pergi ke berbagai tempat
untuk mengadakan penyelidikan.
Dalam beberapa perternpuran,
biarpun mendapat kemenangan, tentara Beng kauw menderita juga kerusakan yang
tidak kecil. Maka itu mereka memerlukan waktu dua tiga bulan untuk memperbaiki
apa yang rusak, mengumpulkan serdadu baru dan mengaso.
Sebagaimana diketahui, pada
malam itu Pheng Eng Giok turut menyaksikan percobaan membunuh diri dari Cioe
Cie Jiak. Meskipun tak tahu latar belakangnya, ia mengerti, bahwa diantara
pemuda dan pemudi yang sedang bercintaan memang sering terjadi gelombang atau
ribut-ribut, Disamping itu, HoanYauw dan beberapa orang lain juga tahu adanya
perhubungan yang agak luar biasa diantara Boe Kie dan Tio beng.
Apabila Kauwcoe mereka sampai
menikah dengan seorang puteri Mongol, maka kejadian ini sudah tentu akan
memberi akibat buruk bagi usaha menggulingkan pemerintahan Goan. Maka itulah,
sesudah berdamai, mereka menarik kesimpulan, bahwa jalan yang paling baik
adalah membujuk Boe Kie supaya melangsungkan upacara pernikahan dengan Cie Jiak
secepat mungkin. Mereka menganggap bahwa sekarang adalah waktu yang paling
tepat, karena peperangan justeru sedang ditunda.
Waktu mereka mengajukan usul,
Boe Kie lantas saja mengiakan. In Thian Ceng lantas saja mencari hari dan
segera ditetapkan, bahwa hari pernikahan Boe Kie dan Cie Jiak jatuh pada Sha gwee
Cap-go (Bulan tiga tanggal 15).
Tak usah dikatakan lagi,
seluruh anggota Beng kauw bergirang dan repot mempersiapkan segala sesuatu
untuk pesta pernikahan itu.
Pada waktu itu nama Beng kauw
telah menggetarkan seluruh Tiongkok. Disebelah timur, Han San Tong menduduki
kota-kota penting di wilayah Hway-see. Disebelah barat, Cie Coen Hoei telah
mengalahkan tentera Mongol dalam pertempuran-pertempuran di sebelah utara
Ouwpak dan selatan Holam. Maka itulah, begitu lekas warta tentang pernikahan
Thio Kauw coe disiarkan, segera orang-orang gagah dari Rimba persilatan mulai
datang - kian lama makin banyak, sehingga seolah-olah melimpahnya air banjir.
Koen loen pay, Kong tong pay dan beberapa partai lain, yang dikenal sebagai
partai lurus hati, sebenarnya tidak begitu akur dengan Beng kauw. Tetapi
sesudah tokoh-tokohnya ditolong Boe Kie di Bin hoat sie, partai-partai tersebut
rata-rata berhutang budi.
Disamping itu, Cioe Cie Jiak
adalah Ciangboenjin dari Go-bie-pay yang mempunyai kedudukan tinggi dalam Rimba
Persilatan. Walau pun tidak datang sendiri, para ciang-boen-jin partai-partai
itu mengirim wakil ke Hauw cioe untuk membawa barang antaran. Thio Sam hong
sendiri tidak bisa datang. Sebagai bingkisan, orang tua itu menulis empat huruf
"Kee-jie-,Kee-hoe," (Suami isteri yang baik ) diatas selembar sutera.
Sutera itu bersama jilid kitab Thay Kek-koen yang ditulis sendiri, diserahkan
kepada Song Wan Kiauw. Jie Lian Cioe dan In Lie Heng yang juga mendapat tugas
untuk pergi ke Hauw coe guna memberi selamat dan doa restu kepada sepasang
mempelai itu. Waktu itu Yo Poet Hwie sudah menikah dengan In Lie Heng dan ia
mengikut ke Hauwcioe, begitu bertemu, dengan girang Boe Kie berseru,
"Lok-Soe-cim!“
Muka Yo Poet Hwie lantas saja
berubah merah. Ia menarik tangan Boe Kie dan lalu menuturkan segala
pengalamannya semenjak meraka berpisahan. Ia girang tercampur terharu.
Sebab kuatir Tan Yoe Liang dan
Song Ceng Soe menggunakan kesempatan itu untuk mencelakai Thay soepeknya, maka
Boe Kie lalu memerintahkan Wie It Siauw pergi ke Boe-tong san sebagai wakilnya
untuk menghaturkan terima kasih kepada Thio Sam Hong.
Kepada Ceng ek Hok ong, Boe
Kie menceritakan sapak terjang Song Ceng Soe yang sudah membinasakan Boh Seng
Kok dan berniat untuk mencelakai Thio Sam Hong. Ia memesan, supaya sesudah
bertemu dengan Thio Sam Hong, Wie It Siauw harus menemani Jie Thay Giam dan
Thio Siong Kee untuk berjaga-jaga terhadap tipu muslihat Tan Yoe Liang. Sesudah
Song Wan Kjuuw bertiga kembali di Boe tong san, barulah Wie It Siauw pulang.
Mendengar penuturan itu, paras
muka Ceng ek Hok ong berubah merah padam. "Atas nasihat Kauwcoe, Wie It
Siauw tidak berani mengisap lagi darah manusia," katanya dengan suara
gusar. "Tapi jika bertemu dengan kedua penjahat itu, aku pasti akan
mengisap habis darah mereka."
"Terhadap Tan Yoe Liang,
Wie heng boleh berbuat sesuka hati," kata Boe Kie. "Tapi Song Ceng
Soe adalah putera tunggal Song Toasoepeh dan ia selalu dianggap sebagai calon
ciangboenjin dari Boe tong pay. Kalau dia berdosa, biarlah Boe tong pay sendiri
yang menghukumnya. Dengan memandang muka Song Toa soepeh, Wie heng tidak boleh
melanggar selembar rambutpun." Wie It Siauw mengiakan dan segera
berpamitan.
Pada Sha gwee Ceecap ( bulan
tiga tanggal sepuluh ), sejumlah murid wanita Go-bie tiba di Hauwcioe dengan
membawa antaran. Teng Bin Koen sendiri tidak muncul.
Lima hari kemudian tibalah
hari pernikahan. Pagi-pagi sekali orang sudah berdandan dan mengenakan pakaian
yang sebaik-baiknya. Upacara sembahyang kepada Bumi dan Langit itu segera akan
dilakukan di gedung hartawan terkaya di kota Hauwcioe, Gedung itu dihias
seindah-indahnya. Yang menjadi cu hun (yang memegang peranan orang tua)
pengantin lelaki adalah In Thian Ceng, sedang Siang Gie Coen menjadi cu hun
pengantin perempuan. Tiat koan Toojin mendapat tugas untuk menjaga keselamatan
kota Hauw cioe selama pesta. Guna menjaga merembasnya musuh, dia harus mengatur
penjagaan diseluruh kota yang dilakukan oleh sejumlah murid Beng kauw pilihan.
Diluar kota dijaga oleh Tong Ho yang memimpin satu pasukan tentara. Pagi itu
sebagai tamu terakhir datang wakil-wakil Siauw Lim pay dan Hwa san yang membawa
barang antaran.
(Begitu tiba waktu Sia sie (
antara jam tiga dan lima sore ), terdengarlah bunyi meriam sebagai tanda
dimulainya upacara pernikahan.
Yo Siauw dan Hoan Yauw
mengundang semua tamu masuk di toa-thia ( ruangan besar). Tak lama kemudian,
diapit oleh In Lie Heng dan Han Lim Jie, Boe Kie keluar dengan diiring suara
tetabuhan dan hampir berbareng, Cie Jiak juga masuk ke ruangan upacara dengan
dikawani oleh delapan murid wanita Go bie. Kedua mempelai lantas saja berdiri
berendeng.
"Sembahyang kepada
langit!" teriak pemimpin upacara.
Baru saja Boe Kie dan Cie Jiak
mau berlutut tiba-tiba diluar pintu terdengar bentakan yang merdu, "Tahan
!” Di lain detik, seorang wanita yang mengenakan pakaian hijau muda sudah
berdiri ditengah-tengah ruangan. Wanita itu bukan lain daripada Tio Beng.
Kejadian yang tidak
diduga-duga itu mengejutkan semua orang. Tokoh-tokoh Beng kauw dan berbagai
partai persilatan yang sudah kenyang makan asam garam dunia Kang ouw, tidak
pernah mimpi, bahwa Tio Beng berani datang seorang diri ke tempat ini. Beberapa
orang yang beradat berangasan lantas saja bergerak untuk menyerang.
"Tahan dulu!" bentak
Yo Siauw. Sambil menyoja para tamu, ia berkata pula. "Hari ini adalah hari
paling beruntung dari Kauwcoe kami dan Ciangboenjin Go bie-pay. Tio-Kouwnio
datang berkunjung dan beliau adalah tamu kami. Dengan memandang muka Go-bie-pay
dan Beng kauw, kami mohon kalian suka melupakan ganjalan lama untuk sementara
waktu jangan melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap Tio Kouwnio."
Sehabis berkata begitu, ia memberi isyarat kepada Swee Poet Tek dan Pheng Eng
Giok dengan kedipan mata. Kedua kawan itu mengerti maksudnya. Mereka segera
meninggalkan ruangan itu dan menyelidiki jumlah jago-jago yang mungkin dibawa
Tio Beng.
"Tio Kouwnio, kau
duduklah sambil menyaksikan pernikahan," kata Yo Siauw pula. "Sesudah
upacara, kami akan mengundang Tio-Kouwnio untuk turut minum arak
kegirangan."
Tio Beng tersenyum. "Aku
hanya ingin bicara beberapa patah dengan Thio Kauwcoe," katanya.
"Sehabis bicara, aku akan segera berlalu."
"Sesudah upacara, nona
boleh bicara." kata Yo Siauw.
"Sesudah upacara, sudah
terlambat." jawabnya.
Yo Siauw dan Hoan Yauw saling
mengawasi. Mereka mengerti, bahwa Tio Beng sengaja datang untuk mengacau dan
biar bagaimana pun jua, mereka harus mencegah, supaya pesta itu tidak menjadi
gagal. Yo Siauw lantas saja maju dua tindak. "Tio Kouwnio," katanya
dengan suara menyeramkan. "Sebagai tuan rumah kami tidak ingin bertindak
secara melanggar kepantasan dan kami mengharap, bahwa sebagai tamu, Tio Kouwnio
juga bisa menghormati diri sendiri.” Ia telah mengambil keputusan, bahwa jika
Tio Beng rewel, ia akan menotok jalan darahnya.
Si nona menengok kepada Hoan
Yauw dan berkata, "Kauw Taysoe orang mau turun tangan terhadapku. Apa kau
tak menolong ?"
"Koencoe," kata
bekas orang sebawahan itu. "Di dalam dunia sering terjadi kejadian yang
tak cocok dengan kemauan kita. Dalam hal ini kuharap Koencoe tak memaksakan
sesuatu yang tak bisa dipaksakan lagi."
Si nona tertawa manis.
"Tapi aku mau paksa juga," katanya. Ia berpaling kearah Boe Kie dan
berkata pula. "Thio Boe Kie, kau adalah pemimpin Beng kauw. Sekarang aku
mau tanya. Apakah perkataan seorang lelaki sejati tetap dipertahankan atau
tidak?"
Begitu Tio Beng muncul, Boe
Kie sangat berkuatir. Ia hanya berdoa supaya Yo Siauw berhasil membujuknya
supaya dia lantas berlalu. Mendengar pertanyaan itu jantungnya memukul keras.
Ia tak dapat menjawab lain dari pada "Tetap dipertahankan."
“Hari itu,” kata Tio Beng,
ketika aku menolong jiwa In Lioksiokmu, kau telah berjanji akan melakukan, tiga
rupa pekerjaan untukku. Bukankah benar begitu?"
"Benar. Kau ingin pinjam
lihat To liong to. Kau bukan saja sudah melihat, kau bahkan sudah mencuri golok
mustika itu."
Selama beberapa puluh tahun
jago-jago Kangouw gagal dalam usaha mencari golok mustika itu. Maka itu, begitu
mendengar bahwa To liong to sudah jatuh ke tangan Tio Beng, mereka lantas saja
menjadi gempar.
"Dimana adanya To liong
to hanya diketahui oleh Kim mo Say ong Cia Taihiap," kata Tio Beng.
"Kau boleh tanya ayah angkatmu sendiri
Kembalinya Cia Soen ke
Tionggoan belum diketahui oleh banyak orang. Keterangan Tio Beng sangat
mengejutkan dan suara ramai-ramai lantas saja berhenti.
"Siang malam aku memikiri
dimana adanya Giehoe,” kata Boe Kie. "Jika kau tahu, aku mohon kau sudi
memberitahukan kepadaku."
Si nona tertawa. '"Kau
sudah berjanji akan melakukan tiga pekerjaan, asal saja tidak bertentangan
dengan kesatriaan dalam Rimba Persilatan," katanya. "Mengenai
permintaan untuk pinjam lihat To liong to dapat dikatakan sudah dipenuhi
olehmu. Walaupun golok itu belakangan hilang, aku tak bisa mempersalahkan kau.
Sekarang permintaanku yang kedua. Thio Boe Kie di hadapan para orang gagah kau
tidak boleh hilang kepercayaan."
"Pekerjaan apa yang harus
aku lakukan?" tanya Boe Kie.
"Tio Kouwnio," sela
Yo Siauw. "Mengenai janji Kauwcoe kami yang bersyarat itu, bukan saja
Kauwcoe kami sendiri saja, tapi juga seluruh anggauta Bengkauw turut memikul
tanggungan untuk menunaikannya. Tapi sekarang adalah saat yang sangat penting,
saat bersembahyang kepada langit dan bumi dari Kauwcoe kami dengan
pengantinnya. Maka itu, aku harap soal ini ditunda untuk sementara waktu dan janganlah
Kouwnio merintangi upacara yang sedang berlangsung." Kata-kata yang
terakhir itu diucapkan dengan nada keras.
Tapi Tio Beng tenang-tenang
saja. Ia seolah-olah tidak memandang sebelah mata kepada Kong beng Co soe yang
tersohor, "Pekerjaan yang aku ingin berikan kepada Kauwcoe-mu terlebih
penting lagi dan tidak boleh ditunda,” katanya dengan suara ogah-ogahan.
Tiba-tiba ia maju beberapa tindak dan berbisik di kuping Boe Kie
"Permintaanku yang kedua ialah hari ini kau tak boleh menikah dengan Cioe
Kouwnio !"
BoeKie tertegun.
"Apa?" ia menegas.
"Itulah pekerjaanmu yang
kedua," jawabnya "Yang ketiga aku akan berikan belakangan."
Biarpun bisik-bisik, setiap
perkataan nona Tio didengar tegas oleh Cie Jiak, Song Wan Kiauw, In Lie Heng
dan delapan murid Go bie yang mengiring pengantin perempuan. Mereka semua
terkejut dan paras muka mereka lantas saja berubah. Kedelapan murid Go-bie itu
lantas saja siap sedia untuk menyerang, jika nona Tio berani menghina Ciang
boen-jin mereka.
"Permintaanmu tidak bisa
diturut olehku,'' kata Boe Kie. "Kuharap kau suka memaafkan."
"Apa kau mau membatalkan
janjimu sendiri?"
“Aku berjanji akan melakukan
tiga pekerjaan yang diminta olehmu asal saja pekerjaan itu tidak melanggar
‘hiap gie’. Aku dan Cioe Kouwnio telah setuju untuk menjadi suami istri.
Apabila aku menurut kemauanmu, maka aku melanggar ‘gie’”.
Tio Beng tertawa dingin,
“Kalau kau menikah dengan dia, berarti kau melakukan perbuatan “put-hauw
put-gie”, katanya. “Pada waktu arak-arakan di Hong-shia, apakah kau tidak lihat
gambaran cara bagaimana ayah angkatmu diakali orang?”
Boe Kie meluap darahnya, “Tio
Kouwnio!” bentaknya. “Hari ini aku menghormati kau dan mengalah terhadapmu
karena kau adalah tamuku. Tapi kalau kau terus ngaco-belo, janganlah kau
salahkan aku.”
Si nona tidak menggubris
ancaman itu, “Apa benar kau tidak mau melakukan pekerjaan kedua itu?” tanyanya
dengan suara tenang.
Boe Kie adalah orang yang
berhati lemah. Tiba-tiba saja ia ingat bahwa sebagai seorang koencoe yang
mempunyai kedudukan tinggai, Tio Beng rela memperlihatkan muka sendiri dan
meminta ia membatalkan pernikahan. Hal ini pada hakikatnya merupakan satu bukti
dari rasa cinta yang tak terbalas. Mengingat itu tanpa terasa ia berkata dengan
suara lemah lembut.
“Tio Kouwnio…urusan sudah jadi
begini…kau mundurlah. Thio Boe Kie adalah seorang anak kampong. Bagaimana
cara…bagaimana cara…,” ia tidak dapat meneruskan perkataannya.
“Baiklah,” kata si nona, “Tapi
lihat! Apa ini?” Ia membuka tangan kanannya dan menyodorkannya ke hadapan Boe
Kie. Begitu melihat, Boe Kie terkejut. Dengan badan gemetaran ia berkata dengan
suara terputus-putus, “Ah!...ini….”
Tio Beng buru-buru menutup
lagi telapak tangannya dan memasukkan benda itu ke dalam sakunya. “Sekarang,
terserah kepada kau, apa kau suka melakukan pekerjaan kedua itu atau tidak,”
katanya seraya memuta badan dan berjalan keluar.
Benda apa yang dilihat Boe Kie
dan mengapa ia begitu kaget, tidak diketahui oleh orang lain. Cie Jiak sendiri
yang berdiri berendeng tidak bisa melihatnya karena mukanya terhalang sutra
merah.
“Kalau kau mau, kau boleh ikut
aku,” kata Tio Beng sambil terus berjalan.
“Tio Kouwnio!...tunggu
dulu…segala hal dapat didamaikan.”
Tapi si nona tidak meladeni.
Tiba-tiba Boe Kie memburu.
“Baiklah!” teriaknya. “Aku setuju untuk menunda pernikahan!”
Tio Beng menghentikan
langkahnya.
“Kalau begitu ikut aku!”
katanya.
Boe Kie maju dua langkah dan
berhenti lagi. Ia menengok ke arah Cie Jiak dan mengawasi nona Cioe dengan
sorot mata menyesal dan meminta maaf. Ia kelihatannya seperti mau memberi
penjelasan tapi Tio Beng sudah berjalan keluar dengan langkah lebar. Keadaan
sangat mendesak dan ia harus mengambil keputusan cepat. Di lain detik sambil
menggertak gigi ia mengejar Tio Beng.
Baru saja ia memburu sampai di
ambang pintu, disampingnya mendadak berkelabat bayangan merah dan orang lain
sudah menerjang Tio Beng dari belakang. Hampir bersamaan dari bawah tangan baju
yang berwarna merah menyambar lima jari tangan ke batok kepala si nona Tio.
Serangan itu adalah serangan yang membinasakan yang dikirim secepat kilat. Yang
menyerang tidak lain adalah pengantin perempuan.
“Sungguh hebat! Dari mana Cie
Jiak mendapat pukulan itu?” pikir Boe Kie.
Biarpun sudah mempelajari
macam-macam ilmu silat, Tio Beng tidak berdaya lagi. Pada detik yang sangat
berbahaya tanpa berpikir lagi Boe Kie melompat dan meraih pergelangan tangan
Cie Jiak. Nona Cioe menyikut dengan sikut kirinya. “Duk!”, sikut it mampir
tepat di dada Boe Kie. Walaupun dilindungi Kioe-yang Sin-kang, Boe Kie
terhuyung dan darahnya bergolak, sebab tenaga benturan itu bukan main kuatnya.
Melihat pemimpinnya menghadapi bahaya, Hoan Yauw melompat dan mendorong pundak
Cie Jiak. Dengan gerakan luar biasa si nona ngebut pergelangan tangan Hoan Yauw
dengan jari-jari tangannya dan segera Hoan Yauw separuh badannya merasa
kesemutan sehingga ia tidak bisa menyerang lagi.
Dengan adanya rintangan itu,
Tio Beng sudah maju setengah langkah sehingga batok kepalanya lolos dari
pukulan. Tiba-tiba ia merasakan sakit hebat karena lima jari tangan Cie Jiak
sudah menancap di pundak kanannya di dekat leher.
Sambil mengeluarkan teriakan
kaget, Boe Kie mendorong calon istrinya. Dengan telapak tangan kiri Cie Jiak
membabat pergelangan tangan Boe Kie dan kemudian dengan tubuh tidak bergerak ia
mengirim pukulan berantai, semuanya delapan pukulan. Mau tak mau Boe Kie
melindungi diri dengan Kian-koen Tay lo-ie.
Semua kejadian itu sudah
terjadi dalam sekejap mata, seluruh ruangan pesta sunyi senyap dan jago-jago
Rimba Persilatan menyaksikannya. Sambil menahan nafas Tio Beng roboh dan darah
mengucur dari lima lubang di pundaknya.
Dilain saat Cie Jiak
menghentikan serangannya. “Thio Boe Kie!” bentaknya, “Sekarang kau benar-benar
sudah mabuk oleh perempuan siluman itu dan kau menyia-nyiakan aku!”
“Cie Jiak!” kata Boe Kie
dengan suara memohon, “Kuharap kau bisa membayangkan penderitaanku. Menikah
dengan kau sedikitpun Thio Boe Kie tidak merasa menyesal. Aku hanya mohon
supaya pernikahan ini ditangguhkan untuk sementara waktu.”
“Sesudah pergi, kau jangan
kembali lagi,” kata Cie Jiak dengan suara dingin.
Sementara itu Tio Beng sudah
bangun berdiri. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia berjalan keluar dengan
darah mengucur di pundaknya.
Orang-orang gagah yang hadir
di situ sudah kenyang menyaksikan kejadian-kejadian luar biasa dalam dunia ini,
tapi peristiwa berdarah semacam itu, saat dua jago perempuan berebut suami
adalah pengalaman yang pertama kali.
Tiba-tiba Boe Kie membanting
sebelah kakinya, “Cie Jiak!” katanya dengan suara parau. “Budi Giehoe
terhadapku besar bagaikan gunung…kecintaannya mendalam seperti lautan…Oh Cie
Jiak! Kuharap kau mengerti perasaanku….” Sehabis berkata begitu ia menguber Tio
Beng. In Thian-Ceng, Yo Siauw, Song wan Siauw Song Wang Kiauw In Lie Heng dan
lain-lain yang tak tahu latar belakang kejadian itu tidak berani bergerak.
Saat semua orang kebingungan,
tiba-tiba Cie Jiak merobek sutra merah yang menutup kepalanya. “Tuan-tuan,
lihatlah!” teriaknya dengan suara nyaring. “Dia sudah mengkhianati aku. Mulai
hari ini, Cioe Cie Jiak dan orang she Thio itu putus hubungan.” Seraya berkata
begitu, ia mengangkat coe koa dari kepalanya, mencengkeram segenggam mutiara
dan melemparkan cu khoa itu, kemudian sambil menggertakkan gigi dengan kedua
tangannya ia meremas mutiara itu menjadi hancur seperti tepung dan jatuh ke
lantai. “Jika aku tidak bisa mencuci hinaan di hari ini, biarlah badanku hancur
seperti mutiara ini!” katanya dengan bernafsu. (Coe koa topi perhiasan bertata
mutiara)
Baru saja In Thian Ceng dan
lain-lain mau mencoba membujuk supaya ia bersabar dan menunggu kembalinya Boe
Kie yang tentu akan memberi penjelasan, Cie Jiak sudah merobek pakaian
pengantinnya dan melontarkannya ke lantai, kemudian dengan gerakan yang indah
ia melompat ke atas genteng. In Thian Ceng dan kawan-kawannya mengejar tapi si
nona sudah lari jauh ke arah Timur. Semua orang merasa kagum karena ilmu ringan
tubuh Cie Jiak ternyata tak berada di bawah Ceng ek Hok ong Wie It Siauw.
Karena tak sanggup mengejar, Yo Siauw dan yang lainnya terpaksa kembali ke
toathia.
Demikianlah karena pengacauan
Tio Beng, pesta yang meriah itu berakhir secara menyedihkan dan memalukan Beng
Kauw. Para tamu yang datang dari jauh tentu saja merasa kecewa dan mereka
mencoba menebak benda apa yang diperlihatkan Tio Beng kepada Boe Kie. Dari
perkataan Boe Kie, mereka menebak bahwa benda itu tentu mempunyai hubungan
dengan Cia Soen tapi tak seorangpun bisa menebak tepat teka-teki itu.
Sesudah berdamai, delapan
murid Go Bie segera berpamitan. In Thian Ceng menghaturkan maaf dan mengatakan
bahwa ia akan membawa Boe Kie ke puncak Go Bie untuk sekali lagi minta maaf dan
kemudaian melangsungkan upacara pernikahan yang tertunda itu. Ia menyatakan
harapannya agar persahabatan antara Go Bie pay dan Beng Kauw tak menjadi
terganggu. Para murid Go Bie memberi jawaban samar-samar yang penuh rasa
dongkol dan mereka segera pergi untuk mencari Cie Jiak.
Benda apakah yang
diperlihatkan Tio Beng kepada Boe Kie?
Benda itu adalah rambut
manusia yang berwarna kuning emas. Begitu melihat Boe Kie segera mengenali
bahwa rambut itu adalah rambut ayah angkatnya. Warna kuning rambut itu berbeda
dari warna kuning orang asing adalah akibat dari latihan Lweekang yang luar
biasa. Dapatlah dimengerti bahwa begitu melihat rambut tersebut Boe Kie segera
menarik kesimpulan bahwa ayah angkatnya jatuh ke tangan Tio Beng atau
setidak-tidaknya si nona tahu di mana adanya sang Giehoe.
Kecintaan Boe Kie terhadap Cia
Soen tak berbeda dari kecintaan seorang putra kandung terhadap ayah kandungnya
sendiri. Baginya di dalam dunia ini tak ada hal yang lebih penting daripada
keselamatan orang tua itu. Ia kuatir bahwa jika ia melangsungkan upacara
pernikahan dengan Cie Jiak, dalam kegusarannya Tio Beng sgera membunuh atau
menyakiti Giehoenya. Di hadapan para tamu ia tak bisa memberi penjelasan yang
jelas. Di antara tamu-tamu itu kecuali orang-orang Beng Kauw dan Boe Tong pay
sebagian besar ingin mencari Cia Soen baik untuk membalas sakit hati maupun
untuk merebut To Liong To. Maka itu ia merasa sangat berdosa terhadap Cie Jiak
demi keselamatan sang ayah angkat, ia tak dapat berbuat lain daripada menyusul
Tio Beng.
Begitu keluar dari gedung
pesta, ia lihat Tio Beng lari-lari dengan darah menetes di sepanjang jalan. Ia
mengempos tenaga dan mempercepat langkahnya. Beberapa saat kemudian ia
menghadang di depan si nona. “Tio Kauwnio,” katanya, “Janganlah kau memaksa aku
untuk menjadi manusia tak berbudi yang akan di tertawai oleh segenap orang
gagah.”
Tio Beng terluka sangat berat.
Dengan memusatkan seluruh tenaganya, ia bisa juga mempertahankan diri.
Begitulah melihat Boe Kie ia berkata dengan suara parau. “Kau!...kau…” Karena
mengeluarkan suara, pemusatan tenaganya buyar dan sesaat itu juga, ia jatuh
terguling.
Boe Kie membungkuk dan
bertanya, “Di mana Giehoe-ku?”
“Bawalah aku untuk
menolongnya,” jawab si nona, “Aku akan menunjuk jalan.”
“Apa jiwanya terancam?” tanya
Boe Kie pula.
“Giehoe-mu…dia…jatuh ke tangan
Seng Koen!...,” jawabnya.
Mendengar nama Seng Koen, hati
Boe Kie mencelos. Ia sudah tahu bahwa dalam pertempuran di Kong Beng teng,
manusia jahat itu hanya berlagak mati. Manusia itu berkepandaian tinggi dan
banyak akalnya. Dengan ayah angkatnya, ia mempunyai permusuhan hebat. Jika sang
Giehoe jatuh ke dalam tangannya, dapatlah dibayangkan betapa hebatnya bahaya
yang mengancam jiwa orang tua itu.
“Seorang diri, kau
tak…tak…akan bisa menolong,” kata Tio Beng pula, “Panggillah Yo Siauw…dan…yang
lain-lain….” Seraya berkata begitu, ia menuding ke jurusan Barat. Tiba-tiba
kepalanya terkulai dan ia pingsan.
Hati Boe Kie seperti dibakar.
Dengan tergesa-gesa ia merobek tangan bajunya yang lalu digunakan untuk
membalut luka si nona Tio. Sesudah itu ia menggapai seorang anggota Beng Kauw
yang kebetulan lewat dijalanan itu. “Lekas kau beritahukan kepada Yo Co-soe
bahwa dengan membawa sejumlah pembantu, ia harus segera menyusul aku ke jurusan
barat,” pesannya. “Ada tugas sangat penting yang perlu dikerjakan segera.”
Orang itu membungkuk dan segera berlalu dengan berlari-lari untuk menyampaikan
pesan tersebut.
Sedikitpun Boe Kie tidak mau
membuang-buang waktu. Dengan mendukung Tio Beng itu ia segera lari ke pintu
kota dan minta segera disediakan seekor kuda pilihan. Perwira yang menjaga
pintu tidak berani membangkang dan begitu kuda dituntun keluar, Boe Kie segera
melompat ke punggungnya dan mengaburkan ke jurusan barat.
Sesudah melalu belasan lie,
tiba-tiba Boe Kie merasa bahwa badan Tio Beng yang didukungnya makin lama
menjadi semakin dingin, ia memegang nadinya yang ternyata sudah lemah. Ia kaget
dan segera memeriksa luka si nona. Dengan hati mencelos ia lihat lima lubang
yang sudah warna ungu hitam, suatu tanda bahwa nona Tio kena racun yang sangat hebat.
Sebagai murid Go Bie, bagaimana Cie Jiak bisa memiliki ilmu yang begitu
beracun?” tanyanya di dalam hati. “Pukulannya yang hebat luar biasa bahkan
lebih hebat daripada Biat Coat Soethay sendiri. Sungguh mengherankan.” Ia tahu
bahwa jika tidak segera mendapat pertolongan, Tio Beng akan binasa. Tapi ia
sendiri tidak membawa obat pemunah racun. Sesudah berpikir beberapa saat, ia
melompat turun dari punggung kuda dan dengan mendukung si nona, ia segera
mendaki sebuah gunung yang terletak di sebelah kiri. Sambil memanjat dai
memperhatikan rumput-rumput untuk mencari daun obat yang bisa memunahkan racun.
Tapi sesudah beberapa saat, sepohonpun tidak dapat ditemukan olehnya.
Dengan bingung ia berjalan
terus. Mulutnya komat-kamit memohon pertolongan Tuhan. Tiba-tiba hatinya lega
sebab di sebelah kanan di dekat sebuah air tumpah, ia lihat empat lima pohon
yang kembangnya merah dan kembang itu obat pemunah racun. Cepat-cepat ia
meletakkan Tio Beng di tanah. Sesudah melompati dua selokan, ia tiba di sisi
tumpahan. Tapi baru saja ia membungkuk untuk memetik bunga merah itu,
dibelakangnya terdengar bentakan seorang wanita, “Tahan!”
Ia menengok dan melihat tiga
wanita yang berdiri di seberang selokan. Ia mengenali bahwa salah seorang di
antaranya yang bertubuh jangkung kurus dan mengenakan jubah pendeta, adalah
Ceng hoe, murid Go Bie pay. Dua yang lain, yang berusia muda dan mengenakan
baju hitam juga murid Go Bie tapi ia tak tahu namanya.
Dengan tangan memegang pedang
terhunus, Ceng hoei membentak, “Thio Kauwcoe! Ada apa kau datang ke sini?”
Boe Kie tidak segera menyahut.
Ia terus memetik tiga kuntum bunga merah yang segera dimasukkan ke dalam
mulutnya. “Ceng hoei Soethay,” katanya sambil mengunyah kembang, “Apa kau
membawa Hoed kong Kie tok tan?” Hoed kong Kie tok tan adalah pil obat Go Bie
pay untuk memunahkan segala jenis racun dan mempunyai khasiat lebih besar
daripada bunga yang sedang dikunyahnya. Ia tahu bahwa kalau turun gunung,
hampir setiap murid Go Bie pay selalu membawa obat mujarab itu.
“Perlu apa kau bertanya!” kata
Ceng hoei.
“Tio Kouwnio kena racun hebat
dan aku mohon supaya Soethay sudi menghadiahkan tiga butir untuk mengobatinya,”
jawabnya.
Ceng hoei mendelik. “Perempuan
siluman itu adalah penjahat yang sudah membinasakan guruku,” katanya dengan suara
keras. “Semua murid Go Bie ingin merobek kulitnya dan makan dagingnya.
Hm!...Mereka kena racun yang sangat hebat? Itulah akibat dosanya sudah melewati
takaran. Thio Kauwcoe, aku ingin tanya. Hari ini adalah pernikahanmu dengan
Ciangboen jin kami. Mengapa begitu dibujuk perempuan siluman itu, kau…kau
meninggalkan ruang pesta? Di mana kau mau menempatkan muka Ciangboen jin kami,
di mana kau menempatkan Go Bie pay kami?”
Boe Kie menyoja. “Ceng hoei
Soethay,” katanya, “Aku perlu segera menolong jiwa manusia, aku sangat
menderita tapi tak bisa menceritakan penderitaanku sekarang. Aku mohon kalian
sudi memberi maaf. Kecintaanku pada Cie Jiak tak akan berubah sampai mati.
Langit dan bumi menjadi saksinya.”
Ceng hoei hanya menafsirkan
bahwa orang yang mau ditolong adalah Tio Beng. Ia tak tahu bahwa selain Tio
Beng, Boe Kie pun perlu menolong Cia Soen. Maka itu ia jadi lebih gusar.
“Biarpun kau merasa perlu untuk menolong dia sepantasnya kau harus menunggu
sampai selesai upacara pernikahan,” katanya, “Ha! Kau pandai sekali bersilat
lidah!”
Karena pengobatan atas diri
Tio Beng tidak boleh tertunda, Boe Kie tidak mau banyak bicara lagi. Ia
melompat mendekati nona Tio, merobek baju di bagian pundak dan lalu menaruh
bunga merah yang sudah dikunyah di atas luka. Ia menyadari bahwa daging di
sekitar luka sudah bengkak dan berwarna lebih hitam. Ia kaget dan sangat
kuatir, kalau nona itu sampai binasa di samping rasa duka dan menyesal, iapun
tak akan bisa mencari ayah angkatnya lagi. Tanpa petunjuk Tio Beng, dia mau mencari
di mana di dunia ini? Mungkin ayah angkatnya itu akan binasa di tangan Seng
Koen.
Selagi ia membalut luka dengan
tangan gemetar, tiba-tiba ia merasakan sambaran angin dan sebatang pedang
menikam dirinya. Tanpa menoleh, Boe Kie menyambut dengan tangan kirinya…tiga
jari tangannya mendorong badan pedang dan serangan itu dapat dipunahkan. Dalam
menangkis serangan yang dikirim oleh Ceng hoei, Boe Kie menggunakan ilmu yang
istimewa. Kalau perhitungannya salah sedikit saja, tiga jari tangannya akan
putus. Jangankan tanpa melihat, dengan berhadap-hadapan saja seorang ahli silat
biasa tak akan berani menggunakan pukulan itu.
Sesudah pedangnya terdorong,
Ceng hoei segera mengerahkan tenaga pukulan untuk mengirim serangan susulan.
Diluar dugaan tenaga dorongan Boe Kie belum habis dan dirinya sendiri turut
terdorong sehingga ia terhuyung beberapa langkah.
Ia tahu bahwa ia bukan
tandingan Boe Kie. Tapi, karena merasa bahwa hari ini Go Bie pay sudah mendapat
hinaan besar dan juga karena Tio Beng adalah musuh besar partainya maka ia
tidak mau menyerah begitu saja. Musuh besar itu sudah kena racun hebat dan jika
ia bisa menghalang-halangi pertolongan Boe Kie, ia mungkin akan bisa membalas
sakit hati tanpa menggunakan pedang. Berpikir begitu ia segera berteriak, “Kwa Soemoay,
Auw Soemoay, majulah!”
Kedua gadis remaja itu segera
menghunus pedang dan menerjang.
Boe Kie tertawa getir. “Dengan
kalian bertiga aku sama sekali tidak punya permusuhan,” katanya. “Mengapa
kalian mendesak begitu hebat?” Sambil berkata begitu ia menangkis semua
serangan dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya terus membalut luka.
Ketiga wanita itu menyerang
sehebat-hebatnya tapi dengan Kian koen Tay lo ie Sin kang, Boe Kie berhasil
menyelamatkan dirinya dari setiap serangan. Tiba-tiba Ceng hoei membentak keras
dan pedangnya menikam Tio Beng. “Ah!” seru Boe Kie sambil menyentil badan
pedang dengan jarinya. “Trang!” Ceng hoei merasa telapak tangannya terbeset dan
pedangnya terpental ke tengah udara kemudian patah dua dan jatuh ke tanah.
Ceng hoei jadi kalap, ia
melompat dan menotok punggung Boe Kie pada hiat yang membinasakan. Biarpun
sabar, Boe Kie mendongkol juga. Ia menangkis dan mendorong dengan keras
sehingga tubuh niekouw itu terpental dan jatuh tanpa ampun. Melihat kakak
seperguruannya roboh, si gadis she Kwa dan she Auw tidak berani menyerang lagi.
Ketika itu Boe Kie sudah
selesai membalut luka. Ia menyadari bahwa nafas Tio Beng jadi makin lemah dan
hawa hitam makin menjalar. Ia tahu bahwa bunga merah itu tidak bisa menolong
banyak. Dengan terpaksa ia menoleh ke Ceng hoei dan berkata dengan suara
memohon, “Ceng hoei Soethay, kau adalah murid Sang Buddha yang selalu bertindak
berdasarkan kasih. Kumohon kau sudi memberi tiga butir Hoed kong Kie tok tan,
jika kau sudi meluluskan, seumur hidup aku takkan melupakan budimu yang sangat
besar.”
“Kau mimpi!” bentak Ceng hoei,
“Jika kau menolong perempuan siluman itu kau pun menjadi musuh besar dari
partai kami.”
Sedari tadi si gadis she Auw
ingin sekali mencoba membujuk Boe Kie tapi ia belum begitu berani membuka
suara. Sekarang ia tak bisa tahan lagi. “Thio Kauwcoe,” katanya, “Aku dan Cioe
Soecie begitu…begitu…baik. Mengapa…mengapa…karena perempuan siluman itu…kau
jadi begitu? Sebaiknya kau kembali ke Cioe Soecie….” Ia tidak bisa meneruskan perkataannya
dan mukanya berubah merah.
“Terima kasih atas maksud nona
yang sangat baik,” jawab Boe Kie. “Tapi aku tidak bisa melihat kebinasaan
dengan berpeluk tangan.” Sementara itu hawa hitam di sekitar pundak Tio Beng
sudah jadi lebih hebat. “Nona,” katanya pula, “Apakah kau sudi menghadiahkan
tiga butir Hoed kong Kie tok tan kepadaku? Nona, kau tolonglah, Thio Boe Kie
pasti membalas budimu.”
Nona she Auw itu berhenti,
merasa kasihan dan segera merogoh saku. Tapi melihat paras muka Ceng hoei yang
penuh kegusaran, ia tidak berani mengeluarkan pil itu.
“Auw Soemay,” bentak Ceng
hoei. “Apa kau lupa sakit hati kita? Jika kau serahkan pil itu aku akan
binasakan kau!”
“Ceng hoei Soethay!” bentak
Boe Kie. “Kalau kau sendiri tak sudi, akupun tidka memaksa tapi mengapa kau
menghalang-halangi orang lain.”
Ceng hoei tidak menyahut,
sambil menaruh kedua tangannya di dada, ia mundur selangkah demi selangkah,
“Auw Soemay, Kwa Soemay, berangkat!” serunya.
Melihat si pendeta mau kabur
dalam hatinya Boe Kie segera muncul keinginan untuk merampas obat. “Ceng hoei
Soethay,” katanya, “Apabila kau tetap tidak mau menolong, kau jangan salahkan
aku.” Seraya berkata begitu, ia merangsek, Ceng hoei angkat tangan kirinya dan
tangan kanannya menyambar dari bawah tangan kiri, Boe Kie miringkan muka untuk
menghindari pukulan itu sedang tangan kirinya menotok jalan darah di pundak
Ceng hoei.
Begitu tertotok, bagian atas
badan pendeta itu tidak bisa bergerak lagi tapi dengan nekad ia menendang betis
Boe Kie.
Tendangan itu mampir tepat
pada sasarannya tapi ia mendadak merasa Yong coan hiat dibawah kakinya panas,
seluruh tubuhnya kesemutan dan ia berdiri terpaku.
“Thio Kauwcoe, jangan lukai
Soecieku!” teriak si gadis she Auw.
“Tidak, sedikitpun aku tidak
berniat mencelakai Soecie-mu,” jawabnya, “Tapi tolonglah ambil obat dari
sakunya.”
“Auw Soemay!” bentak Ceng
hoei. “Murid Go Bie boleh mati tidak boleh dihina. Aku mau lihat kalau kau
berani ikut perintahnya.” Diancam begitu, si nona tidak berani bergerak.
Sekarang Boe Kie tidak lagi
menghiraukan adat istiadat antara pria dan wanita. Ia segera merogoh saku Ceng
hoei. Fui! Ceng hoei menyembur dengan ludahnya, Boe Kie miringkan kepalanya
sambil menarik keluar tiga botol kristal. Saat itu gadis she Kwa mendadak
menikam dari belakang.
Boe Kie mengibaskan tangan
bajunya dan ujung pedang menikam angin. Sesudah itu ia membuka tutup tiga botol
itu dan memeriksa isinya. Kemudian ia mengambil dan mengunyah tiga butir Hoed
kong Kie tok tan. Sesudah pil itu hancur, yang separuh ia masukkan ke mulut Tio
Beng dan separuh lagi ia taburkan di lubang luka. Karena kuatir tak cukup ia
segera memasukkan botol obat ke dalam sakunya. “Maaf!” katanya seraya membuka
jalan darah Ceng hoei. Akhirnya dengan mendukung Tio Beng ia lari ke jurusan
barat.
Boe Kie menoleh dan melihat
berkelabatnya sehelai sinar hijau. Ia terkesiap karena tangan kiri memegang
pedang, Ceng hoei sudah membacok putus lengannya sebatas pundak. Ia segera
sadar bahwa perbuatan nekad itu adalah karena gerakannya sendiri. Tadi wkatu
menangkis tikaman si gadis she Kwa, secara tidak sengaja menyentuk kulit tulang
pi peo (tulang di antara lengan dan pundak) niekauw itu. Sebagai seorang
pendeta wanita yang suci bersih sentuhan dari seorang pria dianggapnya sebagai
suatu hinaan dan kejadian yang sangat memalukan. Dalam gusarnya ditambah dengan
adatnya yang berangasan dan keras ia sudah memutuskan lengan kanannya sendiri,
muali dari bagian yang disentuh Boe Kie.
Sesudah melakukan perbuatan
nekad itu dengan darah mengucur badan Ceng hoei bergoyang-goyang tapi dengan
menggigit gigi ia mempertahankan diri supaya tidak roboh.
Boe Kie kembali dan sesudah
meletakkan Tio Beng di tanah, bagaikan kilat ia memberi tujuh totokan kepada
Ceng hoei untuk menghentikan keluarnya darah.
“Bangsat Mo Kauw, pergi!”
bentak si niekauw.
Mendadak di sebelah kejauhan
tiba-tiba terdengar suara suitan dan si nona she Kwa segera mengeluarkan sebuah
suitan bambu yang lalu ditiupnya. Boe Kie tahu bahwa itulah tanda Go Bie pay
untuk mengumpulkan kawan. Dilain saat, tujuh delapan orang sudah kelihatan
mendatangi sambil berlari-lari.
Boe Kie merasa bahwa datangnya
bantuan itu jiwa Ceng hoei tak perlu dikuatirkan lagi. Maka itu buru-buru ia
mendukung Tio Beng dan terus kabur.
Sesudah kira-kira tiga puluh
li, mendadak terdengar suara rintihan Tio Beng yang baru saja tersadar,
“Apa…apa aku masih hidup?” tanyanya.
Boe Kie girang, “Bagaimana
keadaanmu?” tanyanya.
“Pundakku sangat gatal,”
jawabnya, “Hai!...Cioe Kouwnio sungguh hebat.”
Boe Kie lalu merebahkannya di
tanah dan memeriksa pula lukanya. Ia sadar bahwa warna hitam belum berubah
hanyak ketukan nadi si nona sudah lebih keras daripada tadi. Ia sekarang tahu
bahwa Hoed kong Kie tok tan tidak cukup kuat untuk melawan racun itu. Sesudah
berpikir sejenak, ia segera menghisap lubang luka itu menarik racun ke mulutnya
membuangnya ke tanah. Sambil menahan bau amis yang sangat tajam, ia mengisap
racun itu dan menyemburkannya berulang-ulang.
Sambil mengusap-usap rambut
Boe Kie, Tio Beng bertanya dengan rasa terima kasih yang sangat besar, “Boe Kie
Koko, apa kau bisa menebak latar belakang peristiwa ini?”
Boe Kie tidak menjawab,
beberapa saat kemudia ia sudah mengisap habis semua racun dan pergi ke kolam
untuk berkumur. Ia kembali dan sesudah duduk di samping nona Tio ia balik bertanya,
“Latar belakang apa?”
“Cioe Kauwnio adalah murid
sebuah partai lurus bersih. Tapi mengapa ia memiliki ilmu yang sesat itu?”
“Akupun merasa sangat heran,
siapa yang sudah mengajarnya?”
Tio Beng tertawa, “Tak bisa
lain, orang dari penjahat Mo Kauw,” katanya.
Boe Kie pun turut tertawa. “Di
dalam Mo Kauw terdapat banyak sekali kepala iblis,” katanya. “Tapi diantara
mereka tak ada yang memiliki ilmu begitu. Hanya Ong yang bisa menghisap darah
manusia dan ilmu Thio Boe Kie yang bisa menghisap pundak manusia yang agak
mirip dengan ilmu itu.”
Dengan penuh rasa bahagia, Tio
Beng menyandarkan kepalanya di dada Boe Kie, “Boe Kie Koko,” bisiknya. “Hari
ini aku sudah mengacaukan pernikahan. Apa kau marah?”
Sungguh aneh, pada waktu itu
sebaliknya daripada berduka, Boe Kie merasa senang. Kecuali memikirkan Cia
Soen, ia bahkan merasa tenang dan beruntung. Mengapa bisa begitu? Ia sendiri
tak tahu sebab musebabnya tapi ia tentu saja merasa malu untuk memberitahukan
si nona perasaan hatinya yang sebenarnya. “Tentu saja aku marah,” jawabnya. “Di
kemudian hari aku pun akan mengacaukan pernikahanmu.”
Muka Tio Beng segera berubah
dadu, “Jika kau berani, aku akan bunuh kau,” katanya tersenyum.
Mendadak Boe Kie menghela
nafas.
“Mengapa kau menghela nafas?”
“Entah siapa yang pada
penitipan dahulu telah melakukan perbuatan mulia sehingga dalam penitisan
sekarang ia begitu beruntung untuk menjadi Koen bee ya.” (Koen bee ya suami
seorang putri raja muda)
“Sekarang masih ada waktu
untuk kau sendiri melakukan perbuatan mulia,” kata si nona.
Jantung Boe Kie memukul keras,
“Apa?” tegasnya.
Tapi si nona segera
memalingkan kepala ke jurusan lain dan tidak menyahut.
Sesudah pembicaraan tiba pada
titik itu, mereka merasa jengah utnuk berbicara lagi. Sesudah mengaso, Boe Kie lalu
menaruh obat baru pada lubang luka dan kemudian sambil mendukung nona Tio ia
meneruskan perjalanan ke jurusan barat.
Malam itu mereka tidur dibawah
langit dan pada keesokan paginya mereka tiba di sebuah kota kecil. Karena Tio
Beng masih sangat lemah dan belum bisa menunggang kuda maka Boe Kie hanya
membeli seekor kuda untuk ditunggang berdua.
Sesudah berjalan lima hari,
mereka tiba di daerah Ho-lam. Pada hari keenam, selagi enak jalan di sebalah
depan tiba-tiba kelihatan debu mengebul dan tak lama kemudian mereka mendengar
suara kaki kuda yang sangat ramai. Mereka tahu bahwa itu pasukan angkatan darat
Mongol. Boe Kie buru-buru minggir dan menahan tunggangannya di sisi jalan.
Pasukan itu terdiri dari
beberapa ratus serdadu dan tak memperdulikan Boe Kie dan Tio Beng. Sesudah
mereka lewat, di sebelah belakang mengikuti sekelompok penunggang kuda yang
tidak teratur.
Tiba-tiba Boe Kie mengeluh,
“Celaka!” dan buru-buru melengos ke jurusan lain.
Apa yang dilihatnya tidak lain
adalah Sin cian Pat hiong, delapan jago panah itu adalah bawahan Tio Beng. Ia
bukan takut tapi ia tahu bahwa jika ia dikenali mereka dia bakal berabe sekali.
Kelompok itu yang terdiri
kira-kira dua ratus orang lewat tanpa memperhatikan Boe Kie dan Tio Beng yang
di sisi jalan. Sesudah mereka lewat, Boe Kie segera memutar tangannya untuk
meneruskan perjalanan.
Mendadak terdengar suara kaki
kuda dan tiga penunggang kuda mendatangi dengan cepat. Begitu melihat
orang-orang itu, Boe Kie terkesiap. Orang yang ditengah-tengah yang menunggang kuda
putih mengenakan pakaian sulam dan topi emas sedangkan dua orang yang
mengapitnya Lok Thung Kek dan Ho Pit Ong.
Secepat mungkin Boe Kie
mencoba memutar kepala kuda, tapi sudah terlambat. “Koen coe Nio nio!” teriak
Ho Pit Ong, “Jangan takut!” Sehabis berteriak begitu ia bersiul keras dan
kelompok Sin cian Pat hiong segera kembali. Dilain saat Boe Kie dan Tio Beng
sudah dikurung.
Dengan perasaan ragu Boe Kie
mengawasi si nona. Apakah Tio Beng sudah lebih dulu mengatur datangnya bala
bantuan ini? Tapi hatinya langsung lega sebab si nona sendiri kelihatannya
bingung. Ia memastikan bahwa nona itu tidak menjual dia.
“Koko,” seru Tio Beng,
“Sungguh tak sidangka bisa bertemu dengan kau di tempat ini! Apa Thia-thia
baik?”
Mendengar perkataan “Koko”
(kakak) Boe Kie segera mengawasi pemuda yang mengenakan pakaian sulam. Ia
segera mengenali bahwa dialah Kuh-kuh Temur, kakak Tio Beng yang dikenal juga
dengan nama Han Ong Po-po. Di kota raja ia sudah pernah bertemu dengan pemuda
bangsawan itu tapi karena ia mencurahkan seluruh perhatian kepada Hian beng
Jie-loo maka ia tidak memperhatikan kakak Tio Beng itu.
Melihat adiknya, Ong Po-po
kaget bercampur girang. Ia tidak mengenali Boe Kie. “Kau…kau…! Mengapa?...,”
katanya.
“Koko,” kata Tio Beng, “Aku
dibokong musuh dan mendapat luka beracun. Untung ditolong oleh Thio Kauwcoe,
tanpa pertolongannya aku tak akan bisa berjumpa lagi dengan Koko.”
“Siauw ong-ya, dia tidak lain
adalah Kauwcoe Mo Kauw, Thio Boe Kie,” bisik Lok Thung Kek.
Sudah lama Ong Po-po mendengar
nama Boe Kie. Ia menduga bahwa adiknya bicara begitu karena diancam, maka itu
ia segera memberi tanda dengan kibasan tangan. Melihat tanda itu, Hian beng
Jie-loo segera mendekat dan empat anggota Sin cian Pat hiong segera memasang
anak panah gendawa yang ditujukan ke punggung Boe Kie.
“Thio Kauwcoe,” kata Ong
Po-po, “Kau adalah pemimpin suatu agama dan seorang gagah terkenal. Dengan
menghina adikku bukankah akan ditertawai oleh semua orang? Lepaskan adikku!
Hari ini aku ampuni jiwamu.”
“Koko, mengapa kau berkata
begitu,” kata Tio Beng. “Sebaliknya dari menghina, Thio Kongcoe telah melepas
budi padaku.”
Ong Po-po masih menganggap
bahwa adiknya berada dibawah tekanan. “Thio Kauwcoe!” teriaknya, “Biarpun
kepandaianmu sepuluh kali lipat lebih tinggi, kau tidak akan bisa melawan
jumlah yang besar. Lepaskanlah adikku! Hari ini kita berdamai, Ong Po-po tidak
akan melanggar janji, kau tidak usah kuatir.”
Boe Kie merasa demi
keselamatan Tio Beng, nona itu memang lebih baik mengikuti kakaknya supaya bisa
diobati oleh tabib-tabib pandai daripada ikut ia terlunta-lunta. Maka itu ia
segera berkata, “Tio Kauwnio, kakakmu sudah dating, sebaiknya kita berpisah
saja. Aku hanya memohon agar kau memberitahukan di mana ayah angkatku berada
supaya aku bisa mencarinya. Tio Kauwnio, di kemudian hari kita masih mempunyai
kesempatan untuk bertemu.” Sehabis berkata begitu, ia merasa sangat berduka
dalam hatinya.
Jawaban Tio Beng diluar
dugaan. “Jika aku belum memberitahukan di mana adanya Cia Tayhiap karena
mempunyai maksud yang dalam,” katanya, “Aku hanya berjanji akan membawa kau ke
tempat itu tapi aku tak bisa memberitahukan tempat itu kepadamu.”
Boe Kie kaget. “Kau belum
sembuh dan ikut aku sangat tidak baik bagi kesehatanmu,” katanya, “Paling baik
kau ikut kakakmu.”
Tapi si nona menggelengkan
kepala, sambil mengawasi Boe Kie dengan sinar mata berduka ia berkata, “Kalau
kau tinggalkan aku, kau tidak akan dapat mencari Cia Tayhiap. Aku percaya bahwa
aku akan sembuh dalam waktu singkat. Aku yakain bahwa melakukan perjalanan
adalah baik untuk kesehatanku. Kalau aku pulang ke Ong hoe aku bisa mati
jengkel.”
“Siauw ong-ya,” kata Boe Kie
kepada Ong Po-po, “Cobalah kau bujuk adikmu.”
Ong Po-po merasa sangat heran
tapi sesaat kemudian ia berkata dengan suara tawar, “Kau jangan bercanda! Aku
tahu jari tanganmu memegang hiat yang membinasakan adikku. Kau paksa dia untuk
bicara begitu.”
Melihat dirinya masih
dicurigai, Boe Kie melompat turun dari tunggangannya.
Selagi ia melompat turun, dua
anggota Sin cian Pat hiong mengira ia mau menyerang Ong Po-po segera melepaskan
anak panah ke punggungnya. Untuk memperlihatkan kepandaiannya ia mengibas
dengan Kian koen Tau lo ie Sin kang. Kedua anak panah iu terpental balik dan
tepat menghantam kedua gendewa yang segera menjadi patah. Kalau tidak lekas berkelit,
kedua orang itupun pasti sudah terluka berat. Melihat kepandaiannya yang luar
biasa itu kecuali Hian beng Jie-loo, semua orang termasuk Ong Po-po sendiri
merasa kagum sekali.
“Tio Kauwnio,” kata Boe Kie,
“Sebaiknya kau pulang dulu untuk berobat, setelah kau sembuh kita bisa bertemu
lagi.”
Tapi si nona menggelengkan
kepalanya. “Tidak,” jawabnya, “Tabib di Ong hoe mana bisa menandingi kau? Thio
Kongcoe, kalau menolong orang, kau harus menolong sampai akhir.”
Mendengar perkataan adiknya,
Ong Po-po kaget bercampur gusar. Saat itu Boe Kie berdiri agak jauh dari Tio
Beng maka Ong Po-po segera menoleh ke Hian beng Jie-loo dan berkata, “Tolong
kalian lindungi adikku. Ayo berangkat!”
“Baik!” jawab mereka yang lalu
mendekati Tio Beng.
“Lok Hi Jie we Sian seng!”
kata si nona dengan nyaring, “Ada satu urusan penting yang harus diselesaikan
olehku dan Thio Kauwcoe. Tenaga kami berdua justru tak cukup maka kuminta
kalian sudi untuk membantu.”
Kedua kakek itu melirik Ong
Po-po. “Sepak terjang kepala siluman Mo Kauw selalu menyeleweng dan Koencoe Nio
nio tidak boleh mendekati dia,” kata Lok Thung Kek, “Paling baik Koencoe Nio
nio ikut Siauw ong-ya.”
Alis si nona berdiri. “Apa
sekarang Jie wie hanya mau menuruti perkataan kakakku dan tak sudi lagi
mendengar perkataanku?” tanyanya dengan marah.
“Ajakan Siauw ong-ya adalah
untuk kebaikan Koencoe Nio nio sendiri,” kata Lok Thung Kek sambil tertawa,
“Nasihatnya keluar dair hati yang mencintai.”
Tio Beng mengeluarkan suara di
hidung. “Koko,” katanya, “Atas seijin Thia-thia aku berkelana di dunia Kang
ouw, kau tak usah kuatir. Aku bisa menjada diri sendiri jika bertemu Thia-thia
sampaikanlah hormatku.”
Ong Po-po tahu bahwa si adik
sangat disayang oleh ayah mereka dan sebenarnya ia tidak berani terlalu
mendesak tapi perginya adik seorang diri dengan Boe Kie biar bagaimanapun juga
tak dapat diijinkan olehnya. Melihat si adik sudah mengedut tali untuk segera
berangkat, ia segera menghadang dan berkata, “Hian moay, Thia-thia akan segera
tiba di sini. Kau tunggulah sebentar, beritahukan dulu Thia-thia sebelum kau
berangkat.”
“Begitu Thia-thia datang aku
tentu dihalangi,” kata si nona, “Koko aku tidak ikut campur urusanmu kaupun
jangan ikut campur urusanku.”
Ong Po-po melirik Boe Kie,
melihat pemuda yang gagah dan tampan romannya itu dan mendengar perkataan
adiknya, ia tahu si adik sudah cinta. Tapi Beng Kauw telah memberontak dan
Kauwcoe Beng Kauw adalah kepala pemberontak. Ia gusar bercampur bingung.
Terang-terang adiknya sudah dipengaruhi oleh kepala pemberontak itu. Bencana
yang dihadapi bukan bencana kecil, demikian pikirnya.
Sesudah berpikir sejenak,
sambil mengibas tangan kirinya ia membentak, “Tangkap kepala siluman itu!”
Hian beng Jie-loo segera
menerjang, Lok Thung Kek menggunakan tongkat tanduk menjangan sedang Ho Pit Ong
menyerang dengan pit-nya. Lweekang dari Hian beng Jie-loo agak lebih tinggi
daripada orang-orang seperti Ia Thian Geng dan Cia Soen dan sekarang mereka
mengerubuti seorang musuh adalah kejadian yang baru pertama kali terjadi.
Melihat penyerangnya kedua lawan yang tangguh Boe Kie pun tidak berani
bertindak sembrono dan segera melayani dengan menggunakan segenap
kepandaiannya.
Tio Beng tahu kehebatan kedua
kakek itu, ia merasa sangat kuatir akan keselematan Boe Kie. “Hian beng
Jie-loo!” teriaknya, “Jika kau melukai Thio Kauwcoe aku akan memberitahu
Thia-thia dan Thia-thia pasti tak akan mengampuni kau.”
“Omong kosong!” bentak Ong
Po-po, “Setiap orang berusaha untuk membunuh penjahat pemberontak. Hian beng
Jie-loo! Setelah kalian bunuh penjahat itu, Thia-thia dan aku akan memberi
hadiah besar.” Ia terdiam sejenak dan berkata pula, “Sok Sianseng, aku akan
mempersembahkan empat wanita cantik untukmu.”
Hian beng Jie-loo serba salah,
pihak mana yang harus diikuti? Sesaat kemudian, Lok Thung Kek memberi isyarat
kepada soetenya dengan kedipan mata dan berkata dengan suara perlahan, “Tangkap
hidup-hidup saja.”
Tiba-tiba Boe Kie mengubah
cara bersilatnya. Ia menggunakan ilmu silat Seng hwe teng. Dilain detik dengan
satu pukulan aneh yang dikirim dari satu sudut yang tak mungkin dapat dilakukan
oleh orang lain ia berhasil menggaplok pipi Lok Thung Kek, “Coba tangkap
hidup-hidup!” bentaknya dengan suara mengejek.
Si kakek gusar sekali, tapi
sebagai ahli silat kelas utama dalam kegusarannya pemusatan pikirannya tidak
terpecah. Ia segera menambah tenaga dan menyerang bagaikan hujan dan angin.
Saat semua orang mencurahkan
perhatian pada pertempuran itu, tiba-tiba Tio Beng mengedut tali dan kuda yang
ditungganginya segera melompat. Ong Po-po terkejut dan menyabet dengan
cambuknya yang mampir di mata kiri binatang itu sehingga sambil meringkik keras
dia mengangkat kedua kakinya. Tubuh Tio Beng miring dan karena masih sangat
lemah ia hampir jatuh terjengkang. “Koko, apa kau benar-benar mau menghalangi
aku?” bentaknya.
“Adik yang baik, dengarlah
perkataanku,” jawabnya, “Jika kau menurut, aku akan menghaturkan maaf.”
“Koko, jika sekarang kau
menghalangi aku, aku pasti akan mati. Thio Kauwcoe akan membenci aku sampai di
sumsum…adikmu…sukar hidup lebih lama lagi….”
“Hian moay, mengapa kau
berkata begitu? Gedung Jie lom ong dijaga oleh banyak orang pandai yang tentu
akan bisa melindungi kau sebaik-baiknya. Jangankan melukai kau, sekalipun hanya
bertemu muka dengan kau, iblis kecil itu tak akan bisa lagi.”
Si adik menghela nafas. “Aku
justru kuatir tak bisa bertemu muka lagi dengannya,” katanya, “Kalau sampai
begitu…aku…aku lebih suka mati.”
Pada jaman itu wanita Mongol
memang lebih berani daripada wanita Han. Selain hubungan kakak dan adik itu
sangat erat, mereka biasanya selalu bicara terus terang. Maka itu dalam keadaan
terdesak, Tio Beng membuka rahasia hatinya secara terang-terangan.
“Moaycoe, mengapa kau bicara
yang tidak-tidak?” bentak Ong Po-po dengan gusar, “Kau adalah anggota keluarga
raja muda Mongol. Ibarat pohon, kau bercabang emas berdaun giok. Mana bisa kau
jatuh cinta kepada anjing itu? Jika tahu, Thia-thia bisa mati berdiri!” Seraya
berkata begitu, ia mengibaskan tangan kirinya dan tiga jago segera turun ke
gelanggang untuk membantu mengepung Boe Kie. Tapi mereka tak bisa mendekati
sebab saat itu Boe Kie dan Hian beng Jie-loo sedang bertempur menggunakan Sin
kang yang tertinggi sehingga dalam jarak beberapa tombak angin tenaga dalam
menyambar-nyambar bagaikan tajamnya pisau.
“Thio Kongcoe!” teriak Tio
Beng, “Jika kau mau menolong Giehoe, kau harus lebih dulu menolong aku.”
Mendengar itu Ong Po-po tidak
bisa menahan sabar lagi. Ia segera memeluk adiknya dan menendang perut kuda
yang segera kabur.
Ilmu silat Tio Beng sebenarnya
lebih tinggi dari kakaknya tapi dalam keadaan terluka ia tidak bertenaga untuk
melawannya. Ia hanya bisa berteriak, “Thio Kongcoe tolong! Thio Kongcoe
tolonglah aku!”
Boe Kie terkejut, dengan
menggunakan seluruh tenaga ia mengirimkan dua pukulan sehingga Hian beng
Jie-loo terpaksa mundur beberapa langkah. Dengan menggunakan kesempatan itu ia
melompat dan mengejar Ong Po-po. Hian beng Jie-loo dan tiga jago segera
mengejar. Tapi begitu mereka mendekat, Boe Kie segera memukul dengan Sin-liong
Pah hwee (Naga sakti menyabetkan ekornya), yaitu salah satu pukulan dari Han
liong Sip pat ciang. Biarpun belum menyelami inti sari dari pukulan itu tapi
karena memiliki Kioe yang Sin kang, tenaga pukulan itu dahsyat sekali sehingga
Hian beng Jie-loo dan tiga kawannya tidak berani terlalu dekat.
Dilain saat Ong Po-po sudah
terkejar oleh Boe Kie. Sambil melompat tinggi ia mencengkram jalan darah
dibatang leher pemuda bangsawan itu yang segera tidak bisa bergerak lagi yang
lalu diangkat dan dilemparkan ke arah Lok Thung Kek. Karena kuatir majikannya
terluka, si kakek buru-buru menyambuti. Dilain detik Boe Kie sudah mendukung
Tio Beng melompat turun dari punggung kuda dan terus kabur ke lereng gunung.
Ho Pit Ong dan jago lain
segera menguber tapi dari lereng Boe Kie lari ke atas puncak yang tingginya
beberapa ratus tombak sehingga untuk mengejarnya orang harus mempunyai ilmu
ringan badan yang tinggi. Hian beng Jie-loo adalah ahli silat kelas utama tapi
ilmu ringan badan mereka tidak seberapa tinggi dan mepat lima jago yang lain
bahkan tidak bisa lari lebih cepat daripada Ho Pit Ong. Melihat dirinya
dikejar, Boe Kie menjumput beberapa batu dan menimpuk. Dua orang roboh dan
menggelinding ke bawah sehingga yang lain tidak berani mengejar terlalu keras.
Dalam sekejap Boe Kie sudah lari jauh.