Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 77
Dibelakang Kong tie berdiri
sembilan pendeta tua yang mengenakan jubah pertapa warna merah. Sesudah suara
ramai mereda, salah seorang sembilan pendeta itu maju ke depan dan berkata
dengan suara nyaring. “Bahwa To liong to berada di dalam tangan Cia Soen
diketahui oleh semua orang. Hanya sayang waktu kami menangkap Cia Soen, To
liong to tidak berada ditangannya. Karena hal ini hal penting dalam Rimba
Persilatan, maka hong Tio kami telah berusaha untuk mencari tahu. Tapi Cia Soen
orang yang keras kepala, biarpun segera dibunuh dia tidak mau membuka mulut.
Maka itu pertemuan hari ini mempunyai dua tujuan. Yang pertama untuk
merundingkan cara menghukum Cia Soen, yang kedua untuk menyelidiki dimana
adanya To liong to. Apabila diantara kalian ada yang mendapat informasi, kami
harap bisa memberitahukan secara terang-terangan.”
Semua orang saling mengawasi.
Semua orang membungkam.
Yang bicara lagi Soema Cian
Ciong. “Selama ratusan tahun, disamping To liong to masih ada Ie thian kiam,”
katanya. “Menurut cerita orang pedang itu berada dalam tangan Go bie-pay. Tapi
sesudah pertempuran di Kong-beng teng, Ie thian kiam juga hilang tak berbekas.
Apakah karena pertemuan hari ini dinamakan Eng hiong Tay hwee (pertemuan
orang-orang gagah, pria), maka jago-jago betina dari Go bie-pay lantas tidak
mau datang?”
Perkataan itu diambut gelak
tawa.
Tiba-tiba terdengar teriakan
seorang tie kek-ceng, “Kay pang Soe Pangcoe dengan para Tiang loo dan para
murid Kay pang datang berkunjung!”
Boe Kie heran. “Soe Hwee Liong
Pangcoe sudah binasa ditangan Goan tin,” katanya dalam hati, “Dari mana muncul
Soe Pangcoe lagi?”
“Undang mereka masuk!” teriak
Kong tie.
Kay pang adalah pang hwee
(perkumpulan) yang terbesar dalam dunia kangouw. Sebagai penghargaan terhadap
tamu yang baru datang itu Kong tie sendiri keluar menyambut. Rombongan Kay pang
terdiri dari seratus lima puluh orang lebih yang semuanya mengenakan pakaian
rombeng. Biarpun dalam tahun belakang keadaan Kay pang tak seperti dulu lagi
tapi hari ini dia masih merupakan organisasi yang sangat besar pengaruhnya.
Mendengar kedatangannya banyak orang gagah segera bangun berdiri sebagai tanda
penghormatan.
Rombongan dilalui oleh dua
pengemis tua. Boe Kie mengenali bahwa mereka adalah Coan kang dan Cie hoat
Tiangloo. Dibelakang mereka berjalan seorang anak perempuan yang berusia
kira-kira dua belas atau tiga belas tahun. Anak itu jelek romannya, hidungnya
dongak dan mulutnya terlihat dua gigi yang sangat besar. Dia bukan lain dari
pada Soe Hong Sek, putri Soe Hwe Liong. Dia berjalan dengan memegang sebatang
tongkat bamboo warna hijau yaitu tongkat Tah kauw pang (tongkat untuk memukul
anjing tanda kekuasaan dari seorang pangcoe). Dibelakang Soe Hong Sek mengikuti
Ciang pang Liong tauw, Cian poen Liong tauw murid delapan karung, tujuh karung
dan enam karung. Ternyata untuk menghadiri Eng hiong Tay hwee murid Kay pang
yang paling rendah tingkatannya adalah murid enam karung.
Melihat yang membawa Tah kauw
pang seorang anak-anak, Kong tie ragu. Apa anak itu yang menjadi pangcoe? Karena
rasa ragunya ia berkata, “Siauw lim sie menyambut orang gagah dari Kay pang.”
“Karena Soe Hwee Liong Pangcoe
telah berpulang ke alam baka, maka atas persetujuan para Tiangloo, kami
mengangkat putrid Soe pangcoe, Soe Hong Sek kauwnio sebagai pangcoe baru,” kata
Coan kang Tiangloo seraya menunjuk Soe Hong Sek.
Kong tie terkejut. Kauwcoe
dari Beng kauw sudah sangat muda tapi pangcoe Kay pang lebih muda lagi bahkan
seorang anak-anak. Sesuai dengan tata kehormatan ia segera menangkup kedua
tangannya dan berkata, “Kong tie murid Siauw lim menghadap Soe pangcoe.”
Nona Soe membalas hormat.
“Karena pangcoe kami masih
sangat muda maka segala urusan perkumpulan diurus olehku dan Cin hoat Tiangloo
berdua,” kata Coan kang. “Kong tie Seng ceng adalah cian pwee yang berkedudukan
tinggi dan kami berani menerima kehormatan yang begitu besar.”
Sesudah kedua pemimpin itu
saling merendahkan diri, para pengemis diantar ke gubuk dan mengambil tempat
duduk mereka.
Boe Kie menyadari bahwa semua
pengemis mengenakan pakaian berkabung dan pada paras mereka terlihat paras
berduka dan gusar. Ia lihat sejumlah karung yang dibawa mereka bergerak-gerak
sebagai tanda bahwa didalamnya berisi sesuatu. Boe Kie segera menebak bahwa
kedatangan mereka mempunyai maksud tertentu. Ia girang dan berbisik kepada Yo
Siauw, “Kita mendapat bantuan!”
Dengan diantar oleh Coan kang
dan Cie hoat Tiangloo, Ciang pang dan Ciang poen Liong tow Soe Hong Sek pergi
ke tempat rombongan Beng kauw, sambil menyoja Coan kang berkata, “Thio Kauwcoe,
tertangkapnya Kim mo Say ong ada sangkut paut dengan rapat perkumpulan kami.
Maka itu, biarpun hari ini harus melepaskan jiwa kami bertekad untuk pertama,
melindungi Cia hoat ong supaya kami bisa membalas budi Thio Kauwcoe dan menebus
dosa dan kedua, supaya bisa membalas sakit hatinya mendiang Soe pangcoe,
seluruh barisan Kay pang akan dengar semua perintahmu.”
Cepat-cepat Boe Kie balas
menghormat dan berkata, “Tidak berani aku memerintah kalian!”
Coan kang Tiangloo mengucapkan
kata-kata itu dengan suara nyaring. Ia memang sengaja berbicara keras supaya
didengar oleh semua orang. Pernyataan itu sangat mengejutkan. Hampir semua
orang tahu bahwa Kay pang bermusuhan dengan Beng kauw dan telah ikut menyerang
Kong beng teng. Pernyataan Coan kang Tiangloo bahwa Kay pang akan ikut perintah
Boe Kie dan membalas sakit hati mendiang Soe pangcoe tidak bisa dimengerti
semua orang.
Sehabis Coan kang berbicara,
semua anggota Kay pang bangun serentak dan berseru, “Kami menunggu perintah
Thio Kauwcoe! Biarpun mesti masuk ke dalam lautan api, kami takkan menolak!”
Coan kang segera memutar tubuh
dan menghadap Kong tie. “Kay pang dan Siauw li-pay belum pernah mempunyai
permusuhan,” katanya dengan suara keras. “Kami selalu menghormati Siauw lim-pay
sebagai partai utama dalam Rimba Persilatan sehingga kalau ada
ganjalan-ganjalan kecil kami selalu menahan sabar dan mengalah. Kami selamanya
tidak berani berbuat salah kepada Siauw lim-pay. Dari paling rendah kami semua
menaruh hormat kepada keempat Seng ceng dari Siauw lim yang pantas diteladani
semua orang gagah dalam Rimba Persilatan. Sudah lama karena sakit, Soe Pangcoe
kami mengundurkan diri dari dunia Pergaulan dan tidak berhubungan lagi dengan
orang-orang Kangouw. Entah mengapa Pangcoe kami tidak luput dari tangan jahat
seorang pendeta Siauw lim yang berkedudukan tinggi.” Perkataan itu disambut
dengan suara ‘ah!’. Semua orang terkesiap terlebih lebih Kong tie.
Sementara itu Coan kang
Tiangloo bicara terus. “Hari ini kami datang kemari bukan sebagai eng hiong
yang ingin menghadari Eng hiong Tay hwee. Kami datang untuk meminta petunjuk
Kong boen Hong thio. Kami ingin bertanya dimana letak kesalahan Soe Pangcoe
sehingga ia mesti dibinasakan oleh seorang pendeta Siauw lim bahkan Soe Hoejin
tidak lolos dari kematian?”
Kong tie merangkap kedua tangannya.
“O mie to hoed,” katanya. “Bahwa Soe Pangcoe meninggal dunia baru hari ini
diketahui loolap. Tiangloo mengatakan bahwa Soe Pangcoe dibinasakan oleh murid
Siauw lim-pay. Apa tak salah loolap mohon Tiangloo memberikan penjelasan yang
lebih jelas.”
“Kong boen dan Kong tie Seng
ceng adalah pendeta-pendeta suci yang mulia hatinya,” kata Coan kang. “Kami
tentu tidak berani menuduh sembarangan.”
“Sekarang aku mohon Taysoe
sudi mengeluarkan seorang pendeta dan seorang murid Siauw lim yang bukan
pendeta supaya mereka bisa dilihat dihadapan umum.”
“Baiklah, siapa kedua orang
itu?”
“Mereka adalah….” Mendadak
suaranya terputus!
Kong tie terkejut. Ia mendekat
dan memegang pergelangan tangan kanan tetua Kay pang itu dan…astaga…Nadinya
sudah berhenti berdenyut! “Tiangloo Tiangloo!” panggil Kong tie. Dilain saat ia
sadar bahwa diantara alis Coan kang Tiangloo terdapat satu titik hitam sebesar
kepala hio. “Para enghiong, dengarlah,” teriak Kong tie. “Tiangloo sudah kena
senjata rahasia yang sangat beracun dan sudah meninggal dunia! Siauw lim-pay
pasti takkan menggunakan senjata semacam itu.”
Keadaan segera berubah kacau.
Semua orang kaget tak kepalang terutama orang-orang Kay pang yang segera
berteriak dan beberapa puluh diantaranya maju ke depan untuk melihat jenasah
tetua mereka. Ciang-poen Liongtauw mengeluarkan sepotong besi berani dari
sakunya dan menempelkan didahi Coan kang. Dengan besi itu ia mengeluarkan
sebatang jarum yang halus seperti bulu kerbau dan panjangnya kira-kira satu
dim.
Pemimpin-pemimpin Kay pang
percaya bahwa dengan mengatakan Siauw lim-pay tak menggunakan senjata itu, Kong
tie Seng ceng tidak berdusta. Senjata rendah itu pasti takkan digunakan oleh
sebuah partai utama yang terkenal lurus bersih dalam dunia persilatan. Dibawah
terangnya matahari dan dibawah pengawasan begitu banyak mata, orang itu bisa
menyerang tanpa diketahui oleh siapapun juga. Hal ini membuktikan bahwa si
pembokong mempunyai kepandaian luar biasa. Coan kang Tiangloo berdiri menghadap
ke selatan sehingga senjata rahasia itu pasti datang dari jurusan selatan.
Dengan sorot mata gusar, para pemimpin Kay pang mengawasi orang-orang yang
berdiri dibelakang Kong tie. Sembilan pendeta Tat mo berdiri sambil menundukkan
kepala dan dibelakang mereka sebaris demi sebaris berdiri pendeta yang
mengenakan jubah kuning, jubah abu-abu dan sebagainya. Siapa yang berdosa tak
mungkin diketahui, biarpun sudah bisa dipastikan bahwa si pembokong adalah
salah seorang dari pendeta-pendeta itu.
Dengan air mata mengucur, Cie
hoat berkata, “Kong tie Taysoe menganggap kami menuduh sembarangan tapi
keterangan apa yang mau diberikan Siauw lim-pay dalam peristiwa ini?”
Ciang pang Liong tauw yang
paling berangasan segera berteriak sambil mengibaskan toya besinya. “Mari kita
adu jiwa dengan Siauw lim-pay!” Ajakan itu disambut dengan suara terhunusnya
senjata dan seratus lebih anggota Kay pang melompat masuk ke tengah-tengah
lapangan.
Dengan paras pucat dan
berduka, Kong tie berkata kepada para pendeta.
“Sejak Tat-mo Loocouw sampai
sekarang sudah ribuan tahun kita menaati ajaran-ajaran Sang Buddha. Walaupun
kita belajar silat untuk menjaga diri dan bergaul dengan orang-orang gagah
dalam dunia persilatan kita belum pernah melakukan sesuatu yang berdosa.
Hong-thio Soeheng dan aku sudah merasa tawar akan segala yang bersifat
keduniawian….” Sehabis berkata begitu, secepat kilat mengambil sebatang
sian-thung bajak dari tangan seorang murid Siauw lim dan melontarkannya.
“Blas!” toya itu amblas di dalam tanah! Menancapkan sianthung di tanah adalah
suatu tanda Siauw lim-pay bahwa orang yang berbuat begitu sudah bertekad untuk
mengadu jiwa dan melanggar larangan membunuh.
Ketegangan memuncak dan dengan
hati berdebar-debar semua orang menunggu perkembangan selanjutnya.
Sesudah memutar tubuh dengan
sorot mata tajam bagaikan pisau, Kong tie menatap wajah semua pendeta, satu
demi satu yang berdiri dihadapannya. “Siapa yang menimpuk dengan jarum beracun
itu?” tanyanya dengan suara parau. “Seorang laki-laki berani berbuat harus
berani menanggung segala akibatnya. Keluarlah!”
Tiba-tiba Boe Kie ingat
sesuatu. Ia ingat perbuatan mendiang ibunya, In So so yang dengan menyamar
sebagai ayahnya telah membunuh beberapa pendeta Siauw lim dengan jarum beracun
sehingga ayahnya dituduh yang tidak-tidak. Tapi bentuk jarum emas Peh bie kauw
berbeda dari jarum perak yang digunakan untuk membinasakan Coan kang Tiangloo
dan racunnya pun tidak sama. Menurut dugaannya, racun jarum perak itu adalah
“Sim it tiauw” (jantung satu kali lompat) dari semacam serangan beracun. “Sim
it tiauw” berarti bahwa begitu racun itu bertemu dengan darah, jantung dari
orang yang kena racun hanya bisa berdenyut satu kali lagi. Tak perlu diragukan
lagi bahwa si pembokong adalah konco Goan tin yang coba menutup mulut Coan kang
Tiangloo waktu tetua Kay pang itu mau menyebutkan nama Goan tin.
Perintah Kong tie tidak
diladeni, sejumlah pendeta hanya menyambut dengan, “O mie to hoed” sambil
merangkapkan tangan mereka.
“Siapa yang membunuh Soe
Pangcoe sudah diketahui oleh berlaksa murid Kay pang!” teriak Ciang pang Liong
tauw, “Kalau kamu mau menutup mulut kami, kamu harus membunuh semua anggota Kay
pang. Hweeshio yang membunuh Pangcoe kami adalah Goan tin….”
Tiba-tiba Cian poen Liong tauw
melompat seraya mengibaskan mangkok. Selagi kawannya bicara, Ciang poen Liong
tauw bersiaga. Begitu melihat berkelebatnya sinar putih, ia melompat. Terlambat
sedikit saja kawan itu tentu mati.
Hamper bersamaan, cepat luar
biasa Kong tie melompat ke arah sembilan pendeta Tat mo-tong dan menendang
roboh salah seorang pendeta tua. Ia mencengkram batang leher pendeta itu dan
mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Kong jie, kau!” bentaknya. Ia
merobek jubah pendeta itu dan melontarkannya di tanah. Dipinggang pendeta itu
terdapat sebatang tabung kecil yang terbuat dari tembaga dan didalam tabung itu
dipasang per yang bisa menendang kalau alatnya dipijit sehingga dalam
melepaskan jarum orang tak usah mengayunkan tangan.
Dalam gusar, duka dan
kagetnya, Ciang pang Liong tauw menyapu dengan toyanya dan kepala Kong jie
segera hancur. Sebagai pendeta yang sama tingkatannya (tingkatan “Kong”) dengan
keempat Seng ceng, Kong jie memiliki kepandaian tinggi. Tapi karena jalan
darahnya sudah ditotok Kong tie, maka ia tak berdaya meloloskan diri dari toya
Ciang pang Liong tauw.
Kong tie dongkol karena kekasaran
tetua Kaypang itu. Dengan sorot mata gusar ia mengawasi Ciang pang Liong tauw.
Keadaan berubah kalut, banyak orang berteriak-teriak.
Mendadak dari luar masuk empat
orang pendeta wanita yang masing-masing memegang hudtim (kebutan). Salah
seorang berteriak, “Cioe Cie Jiak, Ciang boen-jin Go bie-pay dengan mengajak
murid-murid Go bie, mengunjungi Koen boen Hong thio dari Siauw lim sie!”
“Masuklah!” kata Kong tie.
Dengan sikap tenang seolah-olah tidak terjadi apapun jua, ia keluar menyambut
dengan diiringi oleh pendeta-pendeta Tat mo-tong yang sekarang berjumlah
delapan. Sesudah memberi hormat, keempat pendeta wanita itu memutar badan dan
berjalan keluar lagi untuk menyambut pemimpin mereka.
Begitu mendengar nama “Cioe
Cie Jiak”, jantung Boe Kie memukul keras. Ia melirik Tio Beng yang juga sedang
mengawasi dirinya.
Rombongan Go bie-pay tidak
segera masuk ke lapangan. Sesudah Kong tie keluar menyambut, barulah mereka
maju dalam barisan yang rapi. Barisan sebelah depan terdiri dari delapan puluh
atau sembilan puluh murid Go bie-pay yang mengenakan baju warna hitam. Sebagian
besar adalah pendeta wanita yang mencukur rambut. Sesudah mereka dalam jarak
kira-kira setombak mengikuti seorang wanita muda yang memakai baju warna hijau.
Wanita yang sangat cantik itu tidak lain adalah Cioe Cie Jiak. Dengan rasa malu
Boe Kie mengawasi muka nona Cioe yang pucat dan diliputi sinar kedukaan.
Dibelakang Cie Jiak, barulah murid pria yang jumlahnya duapuluh lebih dan
mengenakan jubah panjang warna hitam. Setiap murid pria membawa kotak kayu
dalam berbagai ukuran, ada yang panjang, ada yang pendek. Murid Go bie-pay
tidak membawa senjata terang-terangan tapi dapat diduga bahwa kotak-kotak itu
berisi senjata.
Sesudah semua orang Go bie
duduk, Boe Kie menghampiri Cie Jiak. Sambil menyoja ia berkata, “Cioe Ciecie,
Thio Boe Kie memohon maaf.”
Belasan murid wanita bangun
serentak dan mengawasi Boe Kie dengan sorot mata gusar.
“Thio Kauwcoe, untuk apa kau
memberi hormat?” tanya si nona dengan suara tawar.
Sesudah menetapkan hatinya,
Boe Kie berkata pula, “Cie Jiak, hari itu karena perlu menolong Gie hoe, aku
telah berbuat sesuatu yang tidak pantas dan aku merasa sangat malu dan
menyesal.”
Melihat diantara murid Go bie
yang berdiri terdapat Cenghoei yang lengannya bunting, ia maju dan menyoja.
“Thio Boe Kie berdosa besar dan dia rela menerima hukuman,” katanya. Ceng hoei
memutar badan dan menolak penghormatan itu.
“Kudengar Cia Tayhiap jatuh ke
tangan Siauw lim sie,” kata Cie Jiak. “Thio Kauwcoe seorang gagah luar biasa,
Thio Kauwcoe tentu sudah berhasil menolong Cia Tayhiap.”
Muka Boe Kie berubah merah.
“Para pendeta Siauw lim sie berkepandaian tinggi dan Bengkauw sudah menderita
kekalahan dalam satu pertempuran,” jawabnya. “Karena pertempuran itu, kakekku
meninggal dunia.”
“Sungguh sayang! In Loo
enghiong seorang gagah yang jarang tandingannya,” jawabnya.
Melihat sikap dan perkataan
Cie Jiak yang sangat tawar, Boe Kie merasa jengah bercampur dongkol. Tapi
mengingat perbuatannya sendiri pada hari pernikahan, ia menahan sabar. “Nanti
aku ingin berusaha untuk menolong Giehoe,” katanya. “Dengan mengingat hubungan
dulu, kuharap kau sudi memberi bantuan.”
Sesudah berkata begitu,
mendadak ia ingat bahwa selama kurang lebih setengah tahun, kepandaian si nona
mendapat kemajuan luar biasa. Dalam ruangan upacara pernikahan bahkan orang
seperti Hoan Yauw kena dipukul olehnya. Ia ingat juga bahwa Tio Beng yang
mengenal berbagai ilmu silat hampir kena dibinasakan. “Kalau dia sudi membantu
mungkin sekali aku akan bisa pecahkan Kim kong Hok mo coan,” pikirnya. Berpikir
begitu hatinya girang dan ia berkata dengan suara penuh harapan. “Cie Jiak, aku
ingin minta pertolonganmu.”
Paras muka Cie Jiak mendadak
berubah. “Thio Kauwcoe,” katanya. “Kuharap kau tahu sopan sedikit, antara
lelaki dan perempuan terdapat larangan tertentu.”
“Apakah tak bisa kau
menggunakan istilah dulu?” Ia menggapai ke belakang dan berkata pula. “Ceng
Soe, mari! COba kau beri penjelasan kepada Thio Kauwcoe.”
Seorang pria brewokan
menghampiri dan berkata sambil menyoja. “Thio Kauwcoe selamat bertemu!” Boe Kie
mengenali bahwa suara itu memang suara Ceng Soe yang menyamar.
“Song Toako, selamat bertemu,”
jawabnya sambil membalas hormat.
Ceng Soe tersenyum.
“Sepantasnya aku harus menghaturkan terima kasih kepadamu,” katanya. “Hari itu
ketika Thio Kauwcoe mau menjalankan upacara pernikahan dengan istriku….”
“Apa?” putus Boe Kie. Ia
terkesiap ketika mendengar perkataan “istriku”
“Aku ingin mengatakan bahwa
pernikahanku pada hakikatnya terjadi berkat bantuan Kauwcoe,” jawabnya.
Jawaban itu bagaikan
halilintar di siang bolong. Boe Kie terpaku, matanya berkunang-kunang. Selang
beberapa saat lamanya ia merasa tangannya ditarik orang. “Thio Kauwcoe, mari!”
kata orang itu.
Boe Kie menoleh. Orang yang
menarik tangannya adalah Han Lim Jie. Dengan paras muka duka bercampur gusar,
Han Lim Jie berkata, “Thio Kauwcoe, Kauwcoe kali ini adalah seorang mulia. Hari
itu sesudah terjadi salah paham tapi dia segera menikah dengan e…hu…hu” Ia
ingin mencaci Song Ceng Soe tapi mengurungkan niatnya sebab memandang muka Cie
Jiak.
Boe Kie masih berdiri terpaku.
Ia merasa sakit, lebih sakit daripada tikaman pedang Cie Jiak di atas Kong beng
teng. Ia mencintai Tio Beng tapi iapun menganggap Cie Jiak sebagai istrinya.
Hari itu demi menolong ayah
angkatnya ia mengikuti Tio Beng. Ia menduga bahwa nona Cioe yang beradat halus
akan memaafkannya jika ia sudah menjelaskan penyebab tindakannya itu dan
meminta maaf. Ia tak pernah menduga bahwa dalam gusarnya Cie Jiak segera
menikah dengan Song Ceng Soe.
Sementara itu Ceng Soe sudah
duduk disamping Cie Jiak. Sambil tersenyum ia berkata, “Waktu menikah kami
tidak mengundang orang dan yang memberi selamat hanyalah para murid Go bie-pay.
Dilain hari aku akan mengundang kau minum arak kegirangan.”
Boe Kie ingin menghaturkan
terima kasih tapi mulutnya terkancing.
Mendengar ejekan itu, Han Lim
Jie menarik tangan pemimpinnya. “Kauwcoe,” katanya. “Jangan ladeni manusia
itu!”
Ceng Soe tertawa
terbahak-bahak. “Han Toako, kaupun harus minum arak kegirangan,” katanya.
Han Lim Jie meludah, “Aku
lebih suka minum kencing kuda daripada arak racunmu!” bentaknya dengan mata
melotot.
Boe Kie tahu bahwa pemuda she
Han itu beradat polos dan berangasan. Sebagai tamu, tidak baik jika sampai
terjadi bentrokan. Maka itu, sambil menghela nafas ia menarik tangan Han Lim
Jie dan balik ke gubuk Bengkauw.
Waktu itu Ciang pang Liong
tauw sedang bercekcok dengan seorang pendeta Siauw lim sie. Pembicaraan antara
Boe Kie, Cie Jiak dan Ceng Soe dilakukan dengan suara perlahan di satu sudut
gubuk Go bie-pay sehingga tidak menarik perhatian orang yang sedang
memperhatikan pertengkaran antara Siauw lim-pay dan Kay pang.
“Aku sudah mengatakan bahwa
Goan tin Soeheng dan Tan Yoe Liang tidak berada di kuil kami,” kata seorang
pendeta jubah merah. “Meninggalnya Coan kang Ciang loo sudah diganti dengan
Kong jie Soesiok. Mau apa lagi kau?”
“Siapa percaya omonganmu!”
bentak Ciang pang Liong tauw. “Kami baru percaya setelah menggeledah kuilmu.”
Pendeta itu tertawa dingin.
“Kau mau menggeledah Siauw lim sie?” tanyanya dengan suara memandang rendah.
“Perkumpulan semacam Kay pang belum tentu bisa menggeledah kuil kami!”
“Kurang ajar!” teriak Ciang
pang Liong tauw. “Kau memandang enteng kepada Kay pang ya? Baiklah, sekarang
aku minta pelajaran.”
Panasnya suasana memuncak tapi
Kong tie masih tetap berpeluk tangan.
Tiba-tiba Soema Cian Cong
berteriak, “Hei! Dari tempat jauh kami datang ke sini bukan untuk menyaksikan
pertengkaran antara Siauw lim pay dan Kay pang!”
“Benar,” sambung Hee Cioe.
“Ganjelan antara Kay pang dan Siauw lim-pay boleh ditunda sementara waktu, kita
harus lebih dulu membersihkan penjahat Cia Soen.”
“Mulutmu jangan terlalu
busuk!” bentak Ciang pang Liong tauw. “Biar bagaimanapun juga, Cia Tayhiap
adalah salah seorang anggota dari keempat Hoe kauw Hoat ong.”
“Kalau kau takut pada
Bengkauw, aku tak takut,” balas Hee Cioe. “Cia Soen lebih jahat dari anjing.
Apa aku harus menamakan dia seorang pendekar?”
Mendadak Yo Siauw melesat dari
tempat duduknya dan tahu-tahu ia sudah berada di tengah lapangan. Dengan
menyoja ia berkata, “Aku Kongbeng Cosoe dari Bengkauw. Aku mengutarakan
pendapatku bahwa Cia Say ong membunuh orang memang harus diakui sebagai satu
kesalahan. Tapi kita orang-orang Kangouw setiap hari hidup diujung senjata,
diantara orang-orang yang berada di sini, siapa yang belum pernah membunuh
sesama manusia? Hee Loo enghiong, apa seumur hidupmu kau belum pernah mengambil
jiwa manusia?”
Jaman itu, akhir kerajaan Goan
adalah jaman kalut dan pemberontak melawan penjajah. Orang-orang Rimba
Persilatan yang terlibat dalam kalangan Kangouw terpaksa membunuh orang kalau
tidak mau dibunuh. Yang tangannya dapat dikatakan bersih hanyalah pendeta Siauw
lim-pay, pendeta perempuan Go bie-pay atau orang-orang Rimba Persilatan yang
menjauhkan diri dari kancah pergulatan. Sebagai jagoan Soecoan timur, Hee Cioe
banyak membunuh orang. Mendengar pertanyaan Yo Siauw, ia tertegun beberapa saat
barulah ia bisa menjawab.
“Orang jahat pantas dibunuh
tapi orang baik tidak boleh dibunuh secara membabi buta. Cia Soen manusia jahat
luar biasa, aku ingin sekali mencincang dia. Huh huh! Orang she Yo, kau juga
bukan manusia baik.”
Mendengar itu, dari antara
rombongan Bengkauw terdengar suara seseorang, “Hee Cioe, menurut pendapatmu aku
manusia baik apa manusia jahat?”
Hee Cioe menoleh ke arah
suara, yang bicara seseorang berkepala lancip, mulut lancip dan muka pucat
pasi. “Siapa kau?” bentaknya. “Karena kau anggota Mokauw kau juga tentu bukan
manusia baik-baik.”
“Hee heng, kau tak kenal dia?”
tanya Soema Cian Cong, “Dia Cengek Ho kong, salah seorang dari keempat Hoekauw
Hoat ong Mokauw.”
“Fui! Siluman tukang isap
darah!” seru Hee Cioe.
Mendadak, mendadak saja
terlihat kelebatan bayangan dan Wie it siauw sudah berhadapan dengan Hee Cioe.
Jarak mereka berdua ada belasan tombaki.
Entah bagaimana jarak itu bisa
dilampaui dalam sekelebatan. Dilain detik Wie it siauw sudah mengirim empat
tamparan di muka Hee Cioe dan totokan sikut dikempungan. Sebenarnya Hee Cioe
bukan sembarang orang, kalau bertempur mungkin ia bisa dikalahkan Wie it siauw
sesudah limapuluh atau enampuluh jurus, ia roboh tanpa bisa melawan karena ilmu
ringan tubuh Ceng ek Hek ong yang sangat luar biasa.
Diantara seruan kaget dari
para hadirin, dari gubuk Bengkauw tiba-tiba berkelebat lagi satu bayangan
putih. Bayangan itu tidak secepat Wie it siauw tapi toh cukup cepat. Begitu
orang itu berhadapan dengan Hee Cioe, selembar karung terbuka dan menelungkup
tubuh jagoan Soecoan itu. Sekarang semua orang bisa lihat bahwa dia itu adalah
Po tay Hweshio swee poet tek. Sambil menggendong karungnya dan tertawa ha ha hi
hi ha ha, ia berkata, “Manusia baik! Kau manusia baik! Aku akan bawa kau pulang
dan perlahan-lahan masak dagingmu!”
Sambil berkata begitu dengan
tenang ia kembali ke tempat duduknya.
Semua orang tertegun.
Selang beberapa saat, beberapa
belas orang yaitu kawan-kawan dan murid-murid Hee Cioe barulah menghampiri
rombongan Bengkauw dengan sikap mengancam.
Swee poet tek membuka karung
dan berkata sambil tertawa, “Kamu semua kembalilah! Setelah pertemuan bubar,
aku akan bebaskan dia. Kalau kamu tidak dengar aku akan mengencingi dia. Kamu
percaya atau tidak?”
Orang-orang itu percaya bahwa
Swee poet tek akan membuktikan ancamannya. Apabila sampai terjadi kejadian itu,
untuk menghilangkan malu, sebagai seorang jago Hee Cioe akan bunuh diri. Maka
itu, sesudah saling mengawasi sambil menahan marah mereka kembali ke tempatnya
masing-masing.
Sesudah menyaksikan kepandaian
kedua jago Bengkauw, banyak orang kuatir. Mereka merasa andaikan Cia Soen
dibinasakan maka satu pertumpahan darah tidak akan bisa dicegah lagi.
Sementara itu, dengan tangan
kiri memegang cangkir dan tangan kanan mencekal poci arak, Soema Cian Cong
berjalan ke tengah lapangan dengan langkah sempoyongan. “Hari ini benar-benar
ramai,” katanya, “Ada yang mau membunuh Cia Soen, ada pula yang mau menolong.
Tapi apa benar Cia Soen berada di Siauw lim sie aku sendiri merasa ragu. Kong
tie Taysoe sebaiknya kau segera keluarkan Cia Soen agar kita bisa melihat
mukanya. Sesudah itu yang mau membunuh dia dan yang mau menolong boleh mengadu
kepandaian. Ha ha! Dengan demikian, bukankah kita bakal menyaksikan keramaian
yang sangat menarik hati?”
Usul itu disambut dengan sorak
sorai oleh para hadirin.
Melihat sambutan itu, Yo Siauw
berpikir, “Cia Say ong terlalu banyak musuhnya. Kerjasama antara Bengkauw dan
Kay pang belum tentu bisa menghadapi orang-orang itu. Aku harus menggunakan
jalan dari sudut To liong to.” Berpikir begitu ia segera berkata, “Hari ini
para eng hiong berkumpul di Siauw lim pertama karena ada perhitungan yang belum
dibereskan dan kedua…hehe…mungkin karena ingin lihat bagaimana bentuk To liong
to….”
“Jika kita ikuti usul Soema
Sianseng maka kita ramai-ramai bertempur sekaligus dalam rombongan. Apabila
diadakan pertempuran begitu siapakah yang akhirnya memiliki To liong to?”
Semua orang menganggap
perkataan itu sangat beralasan. Mereka manggut-manggutkan kepala. Diantara
beberapa ribu tamu itu yang benar-benar sakit hati pada Cia Soen semuanya hanya
kira-kira seratus orang, yang lain begitu dengar pertanyaan Yo segera goyah
hatinya.
Seseorang yang jenggotnya
hitam berdiri dan bertanya, “Apa Yo Cosoe tahu dimana adanya To liong to?”
“Tidak tau,” jawabnya.
“Mengenai itu kita harus tanya Kong tie Taysoe.”
Kong tie tidak buka suara. Ia
hanya menggelengkan kepala sehingga banyak orang merasa tidak puas.
Seseorang setengah tua yang
mengenakan jubah panjang warna kuning bangkit dan berkata, “Kalau Kong tie
Taysoe tidak tau, Cia Say ong tentu tahu. Sekarang kita minta agar dia
dikeluarkan untuk ditanya dan sesudah itu lalu diadakan pertandingan. Siapa
yang menang, dia menjadi Boe lim Cie coen (yang termulia dalam Rimba
Persilatan). Siapapun juga yang memegang To liong to harus menyerahkan golok
mustika kepada Boe lim Cie coen itu. Menurut pendapatku, kita harus lebih dulu
menetapkan hal ini supaya tidak terjadi pertengkaran dibelakang hari. Bagaimana
pandapat kalian?”
Boe Kie segera mengenali bahwa
yang bicara adalah salah seorang dari ketiga tokoh Ceng hay-pay yang pernah
menyerang tiga pendeta Siauw lim dipohon siong.
“Usul itu tak beda dari pah
lai tay,” kata Soema Cian Ciong. “Kurasa tidak begitu tepat.” (Pah lai tay –
Adu silat diatas panggung)
“Dimana tidak tepatnya?” tanya
si jubah kuning. “Kalau bukan adu silat apa mau adu minum arak? Apa tuan mau
gunakan bahwa siapa yang tidak mabuk atau siapa yang mabuk tapi tidak mati
dialah yang akan jadi Boe lim Cie coen?” (Gelar Soema Cian Ciong ialah “Coet
poet sie” atau “Mabuk arak tapi tidak mati”)
Sindiran itu disambut dengan
gelak tawa oleh para hadirin.
“Tidak, tidak!” kata Soema
Cian Ciong sambil menuang arak ke cangkir. “Dalam perebutan gelar Cioe lim Cie
coen (yang termulia dalam Rimba Arak) mungkin aku masih bisa ada harapan.”
Sesudah berdiam sejenak, ia berkata lagi. “Dengan mengajukan usul itu, tuan
tentu memiliki kepandaian tinggi. Mataku lamur dan tidak mengenal tuan.
Bolehkah aku tahu she dan nama tuan yang mulia?”
“Aku Yap Tiang Ceng dari Ceng
hay-pay. Dalam hal minum arak dan mengadu lidah aku tidak menandingi tuan.”
Dengan kata lain maksudnya adalah dalam ilmu silat ia lebih unggul.
Soema Cian Ciong mengerutkan
alis dan miringkan kepala, “Ceng hay-pay?” tanyanya, “Aku belum pernah dengar,
Yap Tiang Ceng juga belum pernah dengar!”
Itu hinaan dan Yap Tiang Ceng
dongkol sekali, “Kalau tuan anggap adu silat tidak tepat, adu apakah yang lebih
tepat?” katanya dengan gusar.
Jawab Soema Cian Ciong.
“Hm…dulu waktu aku berada di Cee lam hoe….”
Mendengar tarik urat itu
banyak orang habis kesabarannya, “Cioe poet sie, kau mundurlah!” teriak
seseorang.
“Yang penting soal Cia Soen
dan To liong to!” teriak yang lain.
“Kong tie Siansoe, sebagai
tuan rumah kau harus utarakan pikiran!” kata seseorang pula.
Seorang pendeta Tat mo tong
yang berada dibelakang Kong tie bangun berdiri dan berkata, “Siauw lim-pay
menjadi tuan rumah tapi Hong thio mendadak sakit, kami merasa menyesal dan
minta maaf. Soal Cia Soen dan To liong to adalah dua soal yang bisa diurus
sekaligus. Menurut pendapat loolap, usul Yap Siecoe dari Ceng hay-pay adalah
tepat, setiap orang memperlihatkan kepandaiannya, Cia Soen dan To liong to
diserahkan kepada orang yang paling unggul. Dengan demikian semua orang merasa
puas. Bukankah jalan ini jalan yang paling adil?”
Dengan berbisik Boe Kie tanya
Pheng Eng Giok siapa pendeta itu.
“Aku tak tahu!” jawabnya.
“Pendeta itu tidak ikut menyerang Kong beng teng dan juga tidak ikut ditawan
oleh Koencoe Nionio. Tapi dengan berani bicara mendahului Kong tie, ia pasti
mempunyai kedudukan yang tinggi didalam Siauw lim sie.”
“Kuduga dia teman Goan tin,”
bisik Tio Beng. “Mungkin sekali Kong boen Hong thio sudah jatuh ke tangan Goan
tin dan Kong tie Taysoe berada dibawah kekuasaan pemberontak, lihat saja
sikapnya yang sangat berduka.”
Hati Boe Kie berdebar-debar,
“Pheng Soehoe bagaimana pendapatmu?” tanyanya.
“Dugaan Koencoe Nionio rasanya
tepat. Dalam Siauw lim sie banyak sekali orang pandai kalau benar Goan tin
mengacau terang-terangan, nyalinya benar-benar tak kecil.”
“Goan tin sudah lama siap,”
kata Boe Kie. “Dan ingin menjadi Ciang boen Hong thio.” (Ciang boen Hong thio –
Pemimpin Partai dan kepala kuil Siauw lim sie)
“Ciang boen Hong thio mungkin
masih belum cukup,” kata Tio Beng.
“Siauw lim-pay adalah partai
terutama dalam Rimba Persilatan,” kata Boe Kie. “Dengan menjadi Ciang boen Hong
thio, dia sudah menduduki tempat yang paling tinggi, tidak bisa lebih tinggi
lagi.”
“Bagaimana dengan Boe lim Cie
coen?” tanya nona Tio. “Bukankah Boe lim Cie coen lebih tinggi dari Ciang boen
Hong thio Siauw lim-pay?”
Boe Kie tertegun, “Apa benar
dia punya niatan itu!”
“Boe Kie Koko, karena Cioe
Ciecie menikah dengan orang lain, kau jadi linglung,” kata si nona sambil
tertawa. “Kau tidak bisa menggunakan otakmu lagi.”
Mendengar tebakan yang jitu
itu, muka Boe Kie segera berubah merah. Diam-diam ia mengutuk dirinya sendiri
yang lantaran memikirkan wanita cantik sudah lupa tugas menolong ayah
angkatnya.
Sesudah menentramkan
pikirannya ia bertanya, “Beng moay, menurut kau siasat apa yang dijalankan Goan
tin?”
Jawab si nona, “Goan tin
adalah orang yang sangat banyak akalnya….”
“Koencoe Nionio kepintaranmu
tak kalah dengan Goan tin,” putus Cioe Tian.
“Kau memuji terlalu tinggi.”
“Tidak terlalu tinggi….”
Cioe heng memotong Pheng Eng
Giok, “Jangan putuskan omongan Koencoe.”
“Kau sendiri jangan putuskan
omonganku!” bentak Cioe Tian dengan dongkol.
Pheng Eng Giok tersenyum dan
tidak berkata apa-apa lagi. Kalau ia bersuara, pertengkaran tentu menjadi
panjang.
“Memang dugaanku kalau Goan
tin hanya bertujuan untuk merebut kedudukan Ciang boen Hong thio, ia tak perlu
mengadakan pertemuan besar ini,” kata Tio Beng. “Sesudah Cia Tayhiap jatuh ke
tangannya perlu apa ia menganjurkan pertandingan dengan orang gagah? Boe Kie
Koko, kalau kita bicara tentang ilmu silat di jaman ini mungkin tak ada orang
yang bisa menandingimu. Kenyataan ini tidak bisa tidak diketahui Goan tin. Maka
itu tidaklah mungkin dia mengatur pertemuan ini untuk membiarkan kau merebut
gelar Boe lim Cie coen, memiliki To liong to dan membebaskan Cia Tayhiap.”
Boe Kie, Pheng Eng Giok dan
Cioe Tian mengangguk. “Tapi bagaimana pendapatmu?” tanya Boe Kie, “Siasat apa
yang dijalankan Goan tin?”
Ketika itu Yo Siauw sudah
kembali. “Aku pun anggap Goan tin mempunyai tujuan yang jahat dalam menjalankan
tipu muslihatnya. Goan tin musuh besar agama kita dan Koencoe Nionio pernah
menjadi musuh kita,” kata Cioe Tian. “Goan tin banyak akalnya. Mereka berdua
kira-kira tak banyak bedanya.”
Tio Beng tersenyum. “Cioe
Sianseng,” katanya. “Perkataan memang beralasan, sekarang mari kita renungkan.
Kalau aku jadi Goan tin, apa yang akan kuperbuat? Hm…pertama, aku akan membujuk
supaya Kong boen Hong thio mengundang orang-orang gagah dikolong langit untuk
berkumpul di Siauw lim sie, Kong boen Hong thio seorang beribadat, berhati
murah dan berilmu tinggi. Ia sebenarnya tak mau banyak urusan. Tapi kutahu
bahwa untuk membujuknya aku hanya perlu menyebutkan nasib Kong kian dan Kong
Seng ceng. Mengingat kecintaan kedua saudara seperguruannya itu, Kong boen Hong
thio pasti akan mengiyakan. Disamping itu, apabila Siauw lim sie membunuh Cia
Tayhiap, sakit hati Bengkauw besar bagaikan lautan. Dengan mengandalkan tenaga
sendiri belum tentu Siauw lim sie bisa melawan serangan Bengkauw. Dengan
mengumpulkan orang-orang gagah dikolong langit, Bengkauw tentu tidak bisa
membunuh semua orang yang berjumlah beberapa ribu.”
Boe Kie dan yang lain
manggut-manggutkan kepala.
“Dalam Eng hiong Tayhwee aku
sendiri takkan muncul,” kata nona Tio lagi. “Aku menyuruh orang-orangku melepas
umpan guna mengadu domba. Umpamanya Cia Tayhiap dan To liong to. Didalam
pertempuran tak peduli kalah atau menang sebagian tokoh Bengkauw pasti akan
celaka dan tenaga Bengkauw akan berkurang.”
“Benar, hal itu sudah
dipikirkan olehku,” kata Boe Kie. “Tapi budi Giehoe berat bagaikan gunung dan
saudara-saudara dan Giehoe mempunyai hubungan persaudaraan selama puluhan
tahun. Mana bisa kita mengawasi dengan berpeluk tangan saja? Hai!...Baru saja
berapa hari kita dating disini kakek sudah meninggal dunia. Dengan bersembunyi
di tempat gelap bangsat Goan tin tentu bertepuk tangan.”
Tio Beng mengangguk. “Ya,”
katanya, “Memang begitu, gelar ahli silat nomor satu dikolong langit kebanyakan
akan jatuh dalam tangan Thio Kauwcoe. Pendeta Siauw lim akan berkata Thio
Kauwcoe sudah berhasil mengalahkan para orang gagah dan kami memberi selamat,
kami menyerahkan Cia Tayhiap kepada Thio Kauwcoe.”
“Silakan Kauwcoe pergi ke
puncak bukit dibelakang kuil kami untuk menyambutnya. Dengan seorang diri, Thio
Kauwcoe harus memecahkan Kim kong Hok mo coan. Kalau ada yang mau membantu, teman-teman
Goan tin pasti akan berkata Thio Kauwcoe yang sudah bisa menindih orang gagah
dikolong langit tidak berkaitan dengan orang luar. Tuan sebaiknya jangan ikut
campur, dalam merebut gelarnya, meskipun tidak sampai terluka, tenaga Thio
Kauwcoe pasti sudah berkurang banyak. Bagaimana ia bisa melawan ketiga pendeta
itu? Buntutnya Cia Tayhiap tidak dapat ditolong dan ia sendiri mati diantara
pohon-pohon siong tua. Jenazah Thio Kauwcoe, pendekar besar disuatu jaman hanay
ditemani rembulan dan angin dingin. Apa siasat itu tidak lihay?”
Mendengar keterangan itu,
semua orang terkejut. Mereka merasa bahwa dugaan si nona bukan tebakan kosong.
Boe Kie orang yang beradat keras, biar bagaimana sukarpun ia pasti berusaha
untuk terus menolong Cia Soen. Dalam usaha itu ia rela mengorbankan jiwa.
Andaikan mesti mendaki gunung golok atau mencebur ke dalam kuali minyak
mendidih, ia pasti tak akan mundur.
Sesudah menghela napas, Tio
Beng berkata, “Dengan demikian Bengkauw akan hancur lebur. Sesudah itu Goan tin
akan maju lebih jauh, ia akan meracuni Kong boen Hong thio dan melimpahkan dosa
di atas kepala Kong tie Taysoe. Tak sukar menjalankan siasat ini. Asal ia
membuat bukti palsu, para pendeta Siauw lim pasti akan percaya. Setelah Kong
boen dan Kong tie dirobohkan dengan bantuan teman-teman, ia tentu akan diangkat
menjadi Hong thio. Sesudah menjadi Hong thio ia akan memerintahkan penyerangan
terakhir pada sisa Bengkauw dan Bengkauw akan musnah dari bumi. Saat itu gelar
jago nomor satu dikolong langit akan jatuh pada dirinya. Kalau To liong to tak
muncul lagi ya sudah saja. Tapi apabila golok mustika itu kelihatan dalam
kalangan Kangouw, semua orang menyetujui bahwa pemiliknya yang sah adalah Goan
tin Seng ceng Hong thio dari Siauw lim sie. Jika orang yang memegang golok itu
tak menyerahkannya kepada Goan tin, dia mungkin tak bisa hidup selamat dalam
waktu lama.”
Tio Beng bicara dengan
bisik-bisik dan hanya bisa didengar oleh beberapa orang. Tapi sesudah si nona
selesai bicara, Cioe Tian segera menepuk lututnya keras-keras dan berkata
dengan suara nyaring. “Benar-benar siasat yang hebat!” Banyak orang menengok
dan mengawasi omongan Bengkauw.
“Siasat apa?” tanya Soema Cian
Ciong, “Apa boleh loohoe tahu?”
“Tak bisa,” jawab Cioe Tian,
“Aku ingin mengadu domba orang-orang gagah dikolong langit agar mereka saling
bunuh. Siasatku itu tak bisa diberitahukan kepada siapapun juga. Kalau rahasia
bocor, tak manjur lagi.”
“Bagus! Bagus!” kata Soema
Cian Ciong sambil tertawa. “Tapi, bagaimana kau mau mengadu domba orang-orang
gagah?”
“Tipuku sangat hebat!” teriak
Cioe Tian. “Aku mengatakan bahwa To liong to berada dalam tanganku dan siapa
yang ilmu silatnya paling tinggi akan mendapat golok mustika itu.”
“Bagus! Bagus!” teriak Soema
Cian Ciong. “Bicara terus!”
“Kau ingin merebut To liong to
untuk menjadi Boe lim Cie coen, Siecan dibunuh setan arak, setan arak dibunuh
hweeshio, si hweeshio dibunuh oleh too soe, si too soe dibunuh si nona terus
menerus drah mengucur, mayat memenuhi lapangan ini. Apa itu tak bagus?”
Semua orang terkesiap, mereka
merasa bahwa biarpun seperti orang berotak miring, perkataan Cioe sangat tepat.
Jie loo (tetua nomor dua) dari
Khong tong-pay, Cong Wie hiap segera bangun berdiri dan berkata, “Perkataan
Cioe sianseng sangat beralasan. Ketika orang terang tidak bicara secara gelap.
Kita harus mengakui bahwa semua golongan ingin sekali memiliki To liong to,
tapi janganlah berebut karena golok mustika itu, banyak orang jadi celaka.
Sekarang aku ingin ajukan sebuah usul. Biarlah pertandingan ini merupakan pertandingan
yang dinamakan dengan ilmu silat mencari persahabatan. Kita tetapkan sebuah
peraturan bahwa begitu salah satu pihak kena disentuh, pertandingan harus
segera dihentikan. Dengan demikian biarpun kalah menang mendapat keputusan
tidaklah sampai terjadi permusuhan yang tak diinginkan. Bagaimana pendapat
kalian?”
Sebagaimana diketahui Kong
beng teng dikepung oleh enam partai, Boe Kie telah mengobati luka Cong Wie Hiap
yang didapat karena berlatih Cit siang koen. Jago tua itu merasa sangat
berterima kasih dan kedatangan Khong tong-pay kali ini di Siauw lim sie
mengandung maksud membantu Bengkauw dalam usaha menolong Cia Soen.
Soema dan Cian Ciong tertawa
nyaring, “Kulihat kau manusia yang takut mati,” katanya. “Kalau kau ada luka
dan tak ada orang mati, adu silat mana enak dilihat?”
Siang Tek Cie, tetua keempat
Khong tong-pay yang berangasan segera meluap darahnya, “Tutup mulutmu,”
bentaknya. “Melukai kau si setan arak sama gampangnya seperti orang membalik
tangan.”
“Ah! Aku hanya guyon,” kata si
setan arak. “Mengapa Siang sianseng segera marah? Siapa tidak kenal Cit siang
koen dari Khong tong-pay? Bukankah Kong kian Seng ceng juga mati karena pukulan
Cit siang koen. Aku si setan arak mana bisa menyamai Kong kian Seng ceng.”
Semua orang diam-diam tertawa
dalam hati. Mereka merasa heran bahwa setan arak yang berbicara seenaknya saja
bisa hidup terus sampai hari ini.
Cong Wie Hiap tidak meladeni
dan berkata dengan suara nyaring, “Aku mengusulkan supaya setiap partai, setiap
perkumpulan atau golongan menunjuk dua wakil untuk maju ke gelanggang pieboe.
Siapa yang dapat kemenangan terakhir dialah yang akan mendapat Cia Tayhiap dan
To liong to.”
Usul itu disambut dengan sorak
sorai dan tepuk tangan. Semua orang mengatakan bahwa usul Cong Wie Hiap adalah
jalan yang paling baik.
Diam-diam Boe Kie
memperhatikan pendeta-pendeta yang berdiri dibelakang Kong tie. Ia sadar bahwa
banyak yang paras mukanya tak senang. Ia yakin sekarang bahwa dugaan Tio Beng
adalah tepat.
Seseorang setengah tua yang
putih mukanya dan sebelah tangannya memegang kipas terbalut emas bangun berdiri
dan berkata, “Aku menyetujui usul Cong Jiehiap. Tapi biarpun diadakan peraturan
begitu ada yang tersentuh pertandingan segera dihentikan, kitapun harus ingat
bahwa senjata dan kaki tangan tidak ada matanya. Kalau ada yang salah tangan
biarlah dianggap saja bahwa kejadian itu adalah takdir. Sahabat-sahabat dari
orang yang terluka atau mati tidak boleh berusaha untuk membalas sakit hati.
Tapi adanya ketetapan itu, pertandingan mungkin akan berlarut-larut dan takkan
ada habisnya.”
“Bagus! Bagus! Setuju!”
demikian sambut para hadirin.
“Kalau tidak salah, saudara
yang berparas tampan itu adalah saudara Auwyang dari Heng yang hoe di Ouwlan,”
kata Soema Cian Ciong.
“Benar,” jawabnya sambil
menggoyang-goyangkan kipas.
“Auwyang Heng tay dan aku
seperti setan-setan liar,” kata Soema Cian Ciong pula. “Kita tidak masuk
didalam partai atau perkumpulan manapun juga. Aku suka arak (cioe), kau suka
paras cantik (sex). Alangkah baiknya bila kita berdua membentuk sebuah partai
baru yang dinamakan Cioe sex-pay, kita berdua menghadapi orang gagah dikolong
langit. Apa kau setuju?”
Semua orang tertawa
terbahak-bahak. Orang yang bermuka putih itu bernama Auwyang Bok. Ia mempunyai
dua belas gundik dan biarpun ilmu silatnya tinggi ia jarang bergaul dengan
orang-orang kangouw.
Auwyang Bok turut tertawa.
“Kalau aku menyatukan diri dengan kau dalam sebuah partai, aku kuatir hartaku
tak cukup untuk membiayai minum arakmu,” katanya. “Saudara bicara lagi tentang
pertandingan silat, kita sebaiknya mengangkat beberapa cianpwee yang
berkedudukan tinggi untuk menjadi juru pemisah guna menyingkirkan segala
pertengkaran!”
“Aku setuju,” jawab Cong Wie
Hiap. “Aku usulkan Kong tie Sengceng.”
Seraya menuding karung yang
dipegang Swee Poet Tek, Soema Cian Ciong berkata, “Aku usulkan Coan tong
Tayhiap Hee Cioe Hee Loo eng hiong yang berada dalam karung itu.”
Swee Poet Tek mengangkat
karungnya dan melontarkan ke arah Soema Cian Ciong, “Juru pemisah datang,”
teriaknya sambil tertawa.
Soema Cian Ciong menyambuti
dan segera coba membuka ikatan mulut karung. Diluar dugaan ikatan itu sangat
istimewa dan ia tidak berhasil membukanya. Seraya tertawa hahahihi Swee Poet
Tek mengangkat karung itu dengan tangan kirinya dan beberapa gerakan tangan
mulut karung sudah terbuka. Dilain saat tubuh Hee Cioe sudah menggelinding
keluar, cepat-cepat Soema Cian Ciong membangunkannya dan membuka jalan
darahnya.
Bukan main malunya Hee Cioe,
tiba-tiba ia mencabut pedang pendeknya dan menikam dadanya. Soema Cian Ciong
terkesiap. Untung juga ia masih sempat menangkap dan merebut senjata itu. “Hee
heng, mengapa kau berpandangan begitu sempit?” katanya dengan suara membujuk.
“Aku usulkan Soen Looya coe
dari Tiang pek-san!” teriak seorang pria kate gemuk.
“Siang gie (sepasang Gie) dari
Ciat kang timur menggetarkan seluruh Kang lim!” seru seorang wanita setengah
tua. “Mereka berdua terkenal adil dan aku usulkan mereka sebagai juru pemisah.”
Dengan cepat sudah diajukan
belasan calon.
Mendadak dirombongan Go bie-pay
terdengar suara seorang pendeta wanita tua, “Perlu apa diadakan juru pemisah?”
Suaranya yang dingin tak keras, tapi menusuk kuping, satu bukti bahwa nenek itu
memiliki Lweekang yang tinggi.
“Apa boleh aku tahu nama
Soethay?” tanya Soema Cian Ciong, “Mengapa tak perlu juru pemisah?”
“Yang menang hidup, kalah
mati, juru pemisah yang tepat adalah Giam loo ong!” jawabnya.
Mendengar suara bernada dingin
dan menyeramkan, banyak orang bangun bulu romanya.
“Dengan ilmu silat kita
mencari persahabatan,” kata Soema Cian Ciong. “Antara kita tidak terdapat
permusuhan. Perlu apa kita berkelahi sampai ada yang mati? Seorang beribadat
berdiri diatas dasar belas kasihan. Dengan berkata begitu apakah Soethay tak
kuatir Hoedcouw (Sang Buddha) akan menjadi gusar?”
“Terhadap orang lain kau boleh
menggoyang lidah secara gila-gilaan. Terhadap murid Go bie-pay, kau harus tahu
aturan sedikit.”
“Go bie-pay sangat hebat! Kata
orang, lelaki tak boleh ribut dengan perempuan. Aku si setan arak mau tarik
urat dengan pendeta perempuan.” Seraya berkata begitu, ia mengangkat cangkir
arak untuk meneguknya. Tapi baru saja cangkir menempel dibibir tiba-tiba
terdengar suara “srr…srr…!” yang sangat tajam dan tiga peluru menyambar, satu
menghantam cangkir, satu memukul poci dan satu lagi menyambar dada.
Hampir bersamaan terdengar
ledakan-ledakan keras, ketiga peluru itu meledak dan terbakar. Cangkir dan poci
arak hancur sedang dada Soema Cian Ciong berlubang besar. Badannya terpental
dan ambruk di tanah. Dengan hati mencelos Hee Cioe menubruk tapi Soema Cian
Ciong sudah tak bisa ditolong lagi. Bajunya hangus dan napasnya sudah berhenti
tapi bibirnya masih tersungging senyuman. Pada detik terakhir, ia masih belum
tahu bahwa ia sedang menghadapi maut.
Kejadian itu tentu saja
mengejutkan semua orang. Orang-orang gagah yang berada disitu adalah jago-jago
berpengalaman luas. Tapi mereka tak tahu senjata rahasia apa yang digunakan Go
bie-pay.
“Celaka! Senjata apa itu?”
teriak Cioe Tian dengan suara parau.
=====================
“Kudengar di negeri asing ada
semacam senjata rahasia yang menggunakan bahan peledak dan dinamakan Pek-lek
Loei hwee tan,” bisik Yo Siauw. “Mungkin sekali peluru itu semacam Pek-lek Loei
hwee tan.” (Pek-lek Loei hwee tan = Peluru geledek api atau granat).
Sementara itu, sambil memeluk
jenazah Soema Cian Ciong, Hee Cioe berkata kepada rombongan Go bie pay.
“Walaupun dia sering suka guyon-guyon, Soema Hengtee seorang yang berhati
mulia. Selama hidup ia belum pernah melakukan sesuatu yang berdosa.
Saudara-saudara orang-orang gagah di kolong langit. Apakah di antara kalian ada
yang pernah dengar bahwa Soema Cian Ciong pernah mencelakai sesama manusia?”
Semua orang membungkam. Mereka
turut berduka.
Sambil menuding niekouw tua
itu, Hee Cioe berkata pula dengan suara keras! “Go bie pay dikenal dikenal
sebagai partai yang lurus bersih. Siapa nyana kamu menggunakan senjata yang
begitu beracun! Di dalam rimba persilatan, partai atau jago yang bagaimana
tangguhpun tidak boleh melewati batas yang dinamakan “li” (kepantasan). Apa aku
boleh tahu nama Soethay?”
“Aku Ceng kee, jago dalam
karung. Mau apa kau?”
“Sebab kepandaian cetek, aku
sudah dihina oleh kawanan iblis,” kata Hee Cioe dengan suara parau. “Tapi
biarpun tak punya kebecusan, si orang she Hee tidak menyeleweng dari jalan
kesatriaan. Ceng kee Soethay, kau begitu kejam! Kau sungguh berdosa terhadap
Coawsoe Go bie pay, Kwee Siang Kwee Liehiap.”
Mendengar disebutnya nama
Couwsoe mereka, semua murid Go bie pay serentak bangun berdiri. Sambil
mengawasi Hee Cioe dengan alis berdiri Ceng kee membentak. “Apa nama yang mulia
dari Couwsoe kami boleh disebut-sebut begitu saja oleh telur busuk seperti
kau?”
Banyak murid Go bie pay
melakukan perbuatan tidak pantas dan menodai nama Couwsoe mereka. Jangankan
Kwee Liehiap, sekalipun Biat coat Soethay yang terkenal kejam, masih belum
pernah membunuh manusia yang tidak berdosa. Kau sudah sembarangan mengambil
jiwa sesama manusia yang tidak berdosa dan Ciang boenjin mu sama sekali tidak
menghiraukannya. Huh huh… apa dengan kekejaman itu Go bie pay masih ingin
berdiri dalam dunia Kangouw?”
“Tutup bacotmu! Kalau membacot
lagi setan arak itu menjadi contohmu.”
Dengan paras muka merah padam
Hee Cioe maju tiga tindak. “Kalau Ciang boenjin Go bie-pay tidak membersihkan
rumah tangganya, mulai dari sekarang Go bie pay akan dikutuk oleh segenap orang
gagah!” teriaknya.
Ribuan pasang mata murid-murid
Go bie pay dan mata semua orang tamu ditujukan kepada Cioe Cie Jiak.
Perlahan-lahan Cie Jiak manggutkan kepalanya. Di lain saat sesudah dapat
permisi dari pemimpinnya, Ceng Kee melepaskan dua butir Pek Lek Loei hwee tan
yang menyambar bagaikan kilat. Dada dan kempungan Hee Cioe berlubang dan
pakaiannya terbakar. Tapi biarpun sudah binasa, ia masih berdiri tegak dan
kedua tangannya masih memeluk jenazah Soema Cian Ciong.