Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 28
"Baiklah," jawabnya.
Sesaat kemudian, sebab kuatir penyakit orang tua itu lebih berat, ia berkata:
"SinShe, boleh kuperiksa lehermu?"
"Tak usah," Jawabnya
dengan suara dalam. "Aku sendiri sudah memeriksa dari kaaa. Tak apa apa.
Aku sendiri sudah minum obat."
Malam itu, waktu kacung
membawa nasi, Boe Kie turut masuk kekamar Ceng Goe. Ia melihat, bahwa muka
orang tua itu yang rebah dipembaringan pucat pasi. Ia kaget. "Apakah
semalam, selagi aku tidur, musuh sudah datang menyatroni?" tanyanya dalam
hati. "Mungkin sekali, biarpun berhasil mengusirnya, Ouw Sinshe sendiri
terluka berat."
Begitu melihat Boe Kie, Ceng
Goe mengibas tangannya. "Pergi!" bentaknya. "Kau tahu aku sakit
apa? Sakit cacar."
Si bocah mengawasi dan benar
saja, tangan dan muka orang tua itu penuh dengan titik-titik hebat. Kalau salah
pengobatannya, orang bisa mati, atau sedikitnya bakal bermuka bopeng. Tapi
mengingat Ceng Goe seorang tabib malaikat, ia tidak merasa kuatir. Hatinya lega
sebab ia yakin, bahwa orang tua itu bukan dilukakan musuh.
"Kau dan si kacung tidak
boleh masuk lagi kedalam kamarku," kata pula Ceng Goe. "Semua perabot
makan, sesudah digunakan olehku, harus diseduh dengan air panas. Kau tidak
boleh menggunakan itu....hm..." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata
lagi. "Boe Kie, begini saja. Menyingkirlah dari Ouw tiap kok untuk
sementara waktu. kau boleh menumpang di salah sebuah rumah penduduk kira kira
setengah bulan. Aku kuatir kau ketularan cacar!"
"Tidak!" kata si
bocah. "Sinshe sedang sakit, kalau aku pergi, siapa yang harus merawatmu.
Biar bagaimanapun jua, aku lebih mengenal ilmu pengobatan dari pada kedua
kacung itu."
"Tapi lebih baik kau
menyingkir," kata orang tua itu. Ia membujuk beberapa kali, tapi si bocah
tetap pada pendiriannya. Akhirnya Ceng Goe berkata: "Baiklah. Tapi biar
bagaimanapun jua, aku melarang kau masuk lagi kekamarku"
Tiga hari telah lewat. Setiap
pagi dan malam Boe Kie selalu menanyakan kesehatan orang tua itu dari luar
kamar. Ia mendapat kenyataan bahwa biarpun suara Ceng Goe masih agak parau,
tapi semangatnya sudah cukup baik dan nafsu makannyapun bertambah besar. Setiap
kali, dari dalam kamar, Ceng Goe menyebutkan nama nama obat dan timbangannya
yang harus dimasak untuknya oleh sikacung.
Pada hari keempat, diwaktu
lohor, Boe Kie membaca bagian Soe Kie Tauw sia Tay Loen (Perundingan mengenai
peranan empat hawa dalam memperkuat semangat) dari Oey Tee Lwee keng (Kitab
obat obatan dari Kaizar Oey Teng). Di bagian itu antara lain tertulis seperti
berikut:
"Maka itulah, seorang pandai
tidak mengobati penyakit, tapi menjaga supaya penyakit itu jangan sampai
timbul. Ia tidak membereskan kekacauan, tapi menjaga jangan sampai kekacauan
muncul. Inilah jalan yang paling baik. Kalau menunggu sampai penyakit timbul
dan baru mengobatinya, sampai kekacauan muncul dan baru mengobatinya, sampai
kekacauan muncul dan baru membereskannya, maka usaha itu adalah seperti
menggali sumur sesudah haus atau membuat senjata sesudah menghadapi musuh.
Apakah itu bukan sudah terlambat ?"
Tanpa merasa, Boe Kie
mengangguk beberapa kali. "Memang sudah terlambat, kalau menggali sumur
sesudah haus dan membuat senjata sesudah berhadapan dengan musuh," katanya
didalam hati. "Membereskan negara sesudah terbit kekacauan juga sudah
terlambat. Biarpun andaikata keamanan dapat dipulihkan, akan tetapi negara
tetap mendapat kerugian. Mengobati penyakit juga tiada bedanya. Lebih baik
menjaga sebelum penyakit mengamuk dari pada mengobati sesudah penyakit itu
menjadi berat," Ia ingat dibagian lain dari kitab tersebut terdapat kata
kata seperti berikut:
"Seorang tabib yang
pandai, paling senang mengobati kulit dan bulu, kemudian mengobati otot otot,
lalu mengobati urat urat, dan akhirnya baru mengobati isi perut. Jika ia harus
mengobati isi perut, maka kemungkinan sembuhnya si sakit hanya separuh
separuh."
"Benar, memang benar apa
yang dikatakan dalam kitab itu," pikir Boe Kie. "Seorang tabib pandai
selalu mengobati pada waktu penyakit baru saja muncul. Kalau penyakit sudab
masuk ke isi perut biar bagaimana pandaipun jua, ia tidak mempunyai pegangan
lagi. Seperti aku, racun sudah masuk ke dalam isi perutku. Keadaanku sudah
sembilan bagian mati dan hanya satu bagian hidup."
Selagi memikir begitu, tiba
tiba terdengar suara tindakan kuda. Boe Kie buru buru menutup bukunya dan berbangkit.
Ia bingung sebab kuatir kedatangan musuh. Sambil berlari lari ia pengi kekamar
Ceng Goe. "Ouw Sinshe," katanya. "Kudengar suara tindakan
bebrapa ekor kuda yang masuk ke selat ini. Bagaimana baiknya?"
Sebeleum orang tua itu keburu
menjawab, kuda kuda itu yang ternyata bisa lari luar biasa cepatnya, sudah tiba
didepan rumah.
"Sesama orang Rimba
Persilatan mohon bertemu dengan Ie Sian Ouw Sinshe!" demikian terdengar
teriakan seorang. "Kami ingin memohon belas kasih Ouw Sinshe untuk
mengobati penyakit"
Mendengar itu, hati Boe Kie
agak lega. Ia bertindak keluar dan melihat seorang bermuka hitam berdiri
didepan pintu. Tangan orang itu menuntun tiga ekor kuda. Di punggung dua
diantara hewan hewan itu kelihatan rebah dua orang yang pakaiannya berlepotan
darah. Penunggang kuda itu sendiri berdiri dengan kepala dibalut dengan kain
putih bernoda darah, sedang tangan kanannya dimasukkan dalam selembar kain yang
diikatkan keleher. Di lihat dari romannya, iapun mendapat luka yang tidak
enteng.
"Kedatangan kalian
sungguh sangat tidak kebetulan," kata Boe Kie. "Ouw Sinshe sedang
sakit dan tidak bisa bangun. Harap kalian suka cari lain tabib saja."
"Celaka!" kata orang
itu dengan suara kaget. "Kami melalui perjalanan ratusan li dengan harapan
bisa mendapat pertolongan Ie sian"
"Ouw Sinshe mendapat
sakit cacar," Boe Kie menerangkan. "Dalam beberapa hari ini,
keadaannya sangat buruk. Inilah suatu kenyataan dan aku tidak berjusta."
Orang itu menghela napas.
"Kami bertiga adalah saudara seperguruan dan kami mendapat luka yang
sangat berat," katanya dengan suara duka. "Kalau tidak ditolong Ie
sian, kami pasti akan meninggal dunia. Kuharap saudara suka melaporkan kepada
Ouw Sinshe."
"Kalau begitu, bolehkah
aku tahu she dan nama Toako yang mulia?" tanya Boe Kie.
"Nama kami tidak cukup
berharga untuk disebut-sebut," jawabnya. "Tolong beritahukan saja
bahwa murid-murid Sian-ie Ciang-boen dari Hoa San-pay memohon
pertolongan." Sehabis berkata begitu, badannya bengoyang-goyang, paras
mukanya jadi lebih pucat dan mulutnya agak terbuka seperti mau muntahkan darah.
Boe Kie melompat dan menotok
beberapa jalan darah di dada dan punggung orang itu. Begitu tertotok, darah
yang sudah meluap turun kembali dan orang itu merasa dadanya agak lega.
Melihat kepandaian si bocah,
ia kelihatan kaget dan kagum.
Boe Kie segera masuk kedalam,
"Sinshe," katanya. "di luar menunggu tiga orang yang mendapat
luka berat dan minta pertolonganmu. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah
murid-murid dari Sian ie Ciang boen Hoa-san-pay."
Ouw Ceng Goe mengeluarkan
suara "ih!" dan kemudian, ia berteriak dengan gusar: "Tidak!
Tidak! Usir mereka!"
"Baiklah," kata Boe
Kie yang dengan cepat lalu berjalan keluar.
"Ouw Sinshe tak bisa
menemui kalian karena penyakitnya masih belum mendingan," kata Boe Kie. "Harap
kalian suka memaafkan."
Orang itu mengerutkan alis.
Selagi ia mau memohon lagi, tiba-tiba salah seorang yang bertubuh kurus kecil
dan rebah diatas punggung kuda mengangkat kepalanya dan mengayun tangannya.
Hampir berbareng sehelai sinar emas menyambar dan serupa benda jatuh di atas
meja di dalam rumah.
"Saudara, bawalah bunga
emas itu kepada Kian sie poet kioe," kata si kurus. "Beritahukanlah
bahwa kami bertiga telah dilukakan oleh majikan dari bunga emas itu. Dia akan
segera mencari le sian sendiri. Jika Kian sie Poet kioe suka mengobati kami,
sesudah sembuh kami akan tetap berdiam disini untuk bantu melawan musuh.
Biarpun kepandaian kami tidak berarti, tapi masih merupakan tiga tenaga
bantuan"
Boe Kie menghampiri meja. Ia
melihat, bahwa senjata rahasia itu menyerupai sekuntum bunga bwee yang terbuat
dari pada emas tulen, dengan sari bunga dibuat dari perak putih, sehingga Kim
hoa (bunga emas) itu indah sekali kelibatannya. Boe Kie mengulurkan tangan dan
coba menjemputnya, tapi diluar dugaan bunga emas itu menancap dimeja dan ia
tidak dapat mencabutnya lagi. Dengan mengunakan jepitan obat, barulah ia
berhasil. "Orang kurus itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi, tapi dia
masih kena dilukakan oleh majikan bunga emas itu." pikirnya, "Siang
Toako mengatakan bahwa seorang musuh akan menyatroni Ouw Sinshe. Mungkin sekali
musuh Ouw Sinshe adalah orang itu." Sambil mambawa senjata rahasia
tersebut, ia segrera masuk dan menyampaikan perkataan si kurus kepada Ouw Ceng
Goe.
"Coba aku lihat,"
kata orang tua itu.
Boe Kie menolak pintu dan
menyingkap tirai. Kamar itu sangat gelap. Seorang yang kena penyakit cacar
memang takut dengan sinar terang, maka pintu dan jendela kamar itu ditutup
dengan tirai. Ia melihat muka Ouw Ceng Goe ditutup dengan kain dan hanya kedua
matanya yang bisa dilihat orang. Hati Boe Kie berdebaran. Bagaimana macamnya
bisul bisul dimuka orang tua itu. Apa sesudah sembuh, dia bakal bopeng?
"Taruh bunga emas itu
diatas meja dan lekas keluar," perintah si tabib malaikat.
Boe Kie menurut.
"Mati hidup mereka
bertiga tiada sangkut paut nya dengan aku," demikian terdengar suara Tiap
kok ie sian, "Soal mati hidupku juga tak usah diributi mereka."
"Ptak!", bunga emas itu terbang keluar sesudah menobloskan tirai dan
kemudian jatuh ditanah.
Biarpun daun bunga dari
senjata rahasia itu sangat tipis dan tajam, tapi karena tirai adalah lemas dan
alot, maka dicobloskannya kain jang tebal itu mengejutkan Boe Kie. Selama
berdiam dua tahun dirumah Tiap kok Ie sian, Boe Kie belum pernah melihat ilmu
silat orang tua itu. Baru sekarang ia mendapat bukti, bahwa si tabib malaikat
juga memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.
Ia menjemput Kim hoa itu dan
menghampiri lelaki yang kurus itu. Sambil menggelengkan kepala,
ia berkata. "Sakitnya Ouw
Sianshe sangat berat."
Mendadak dari sebelah kejauhan
terdengar suara roda kereta yang tengah memasuki selat Ouw tiap kok. Perkataan
Boe Kie terhenti dan semua orang memasang kuping.
Kereta itu cepat sekali
jalannya, dan tak lama kemudian sudah berada diluar rumah. Dari dalam kereta
keluarlah seorang pemuda yaug kuning kulit mukanya sambil melompat. Begitu
turun ia mendukung seorang kakek yang gundul kepalanya "Apa Tiap kok Ie
sian Ouw Sinshe ada?" tanyanya. "Murid Khong tong pay. . . ."
Baru ia ber kata begitu, badannya bergoyang goyang dan ia lalu roboh bersama
sama si kakek. Dua ekor kuda yang menarik kereta, yang mulutnya mengeluarkan
busa, juga berlutut dengan berbareng. Rupanya kedua binatang itu kehabisan
tenaga.
Melihat romannya dua orang
itu, tanpa ditanya lagi ketahuanlah sudah bahwa mereka itu baru saja melakukan
perjalanan cepat satu sampai dua ratus li tanpa beristirahat ditengah jalan.
Sudah begitu Boe Kie pun mendengar di sebutnya "Murid murid Khong Tong
pay", maka ingatlah ia akan halnya, diantara orang-orang yang memaksakan
kematian ayah dan ibunya diatas gunung Boe tong san ada tianglo atau tertua
dari partai itu. Ia melihat si orang tua kepala gundul lantang yang disebut
Seng Cioe Ka Lam Kao Ciat. Orang tua ini tidak hadir digunung ketika itu, akan
tetapi mau ia menduga bahwa dia ini mestinya bukan manusia baik baik. Karena
itu ingin ia menolak mereka itu atau ia segera melihat munculnya lagi empat
atau lima orang ada yang dingkluk-dingkluk sambil memegangi tongkat, ada yang
saling menuntun, dan semua mereka itu mempunyai luka-luka di tubuh mereka. Ia
mengerutkan alisnya. Tidak menanti sampai mereka itu datang dekat, ia lantas
berkata nyaring: "Ouw Sinshe kena penyakit cacar, karena dirinya sendiri
belum tentu dapat ditolong, ia jadinya tidak dapat mengobati kalian, tuan-tuan!
Maka itu, silahkan tuan-tuan sekalian lekas mencari lain tabib saja supaya kamu
tidak digagalkan luka luka kau" (Pep: this paragraph does not make any
sense)
Sementara itu, orang orang itu
yang berjumlah berlima sudah datang dekat. Nyata mereka itn mengenakan pakaian
yang bagus bagus, mereka mirip dengan saudagar saudagar besar, melainkan muka
mereka semua pucat pasi, bagaikan kertas putih polos, sedikit juga tidak ada
sinar darahnya. Ditubuh mereka tidak tampak tanda tanda bekas luka, dari itu
teranglah sudah bahwa mereka mendapat luka-luka hebat didalam.
Orang yang berjalan dimuka,
yang tubuhnya jangkung dan gemuk, mengangguk terhadap Kan Ciat serta si pria
kurus dan kecil, atas mana, mereka itu saling menyeringai.
Jadinya, tiga rombongan orang
itu, semua kenal satu dengan lain.
Boe kie heran, tertarik rasa
ingin tahunya.
"Apakah kamu semua
terlukanya si pemilik bungga emas?" ia tanya.
"Benar." menjawab si
gemuk, yang terus berpaling kepada Kan Ciat, untuk menanya: "Saudara Kan,
apakah kau telah bertemu sama Ouw Sinshe?"
Kan Ciat nuenggeleng kepala,
"Saudara Nio, mukamu lebih terang. Mungkin kau dapat mengundang Ouw
Sinsbe," katanya
"Siapakah itu si pemilik
bunga emas?" tanya Boe Kie menyelak. "Kenapa dia demikian
galak?"
"Saudara kecil,"
berkata orang yang dipanggii saudara Nio oleh Kan Ciat tanpa dia menjawab
pertanyaan si anak tanggung, "tolong kau menyampaikan kepada Ouw Sinshe
bahwa aku si orang she Nio dari Toko Emas Goan Sang di Boe hoe telah datang
dari tempat yang jauh memohon berobat"
Si orang yang muntah darah
hidup, yang tiba paling dulu, menduga Boe Kio muda sekali tetapi bukannya
sembarangan orang, maka dia bertanya: "Saudara kecil, kau she apa? Apakah
hubungan sama Ouw Sinshe?"
"Aku juga pasien dari Ouw
Sinshe." Boe Kie menyahut. "Sudah dua tahun lebih Ouw Sinshe
mengobati aku. Aku masih belum sembuh betul, Ouw Sinshe telah membilang, dia
tidak dapat mengobati. Maka itu, sudah pasti dia tidak bakal mengobatinya.
Karenanya, tidak ada gunanya untuk kamu berdiam lama-lama disini."
Selagi mereka berbicara,
dengan beruntun kembali datang empat orang. Ada yang naik kereta, ada yang
menunggang kuda, dan mereka ini juga datang untuk minta ditolong diobati,
mereka memintanya dengan sangat.
Boe Kie menjadi heran sekali hingga
ia berpikir. "Lembah Ouw tiap kok ini sepi luar biasa. Kecuali orang-orang
partai agama sesat, orang Kang-ouw juga sedikit yang sekali mengetahuinya. Maka
itu mereka ini yalah orang-orang Khong Tong pay dan lainnya, yang bukan kaum
sesat. Kenapa mereka berbareng pada datang kemari untuk berobat? Pula, kenapa
mereka juga terluka berbareng? Dan itu pemilik bunga emas, dia lihay sekali!
Untuknya jikalau dia mau mengambil jiwa mereka ini, itulah bukan pekerjaan
sulit. Kenapa dia justeru melukai orang orang ini hebat begini macam?"
Di antara semua orang itu,
yang berjumlah empat belas, ada yang pandai bicara, ada yang diam saja, tetapi
mereka semua bersatu hati tak mau mengangkat kaki walaupun mereka sudah
ditolak. Ketika itu sudah magrib, mereka seperti memenuhi sebuah ruang.
Kacung tukang masak nasi sudah
lantas menyajikan barang makanannya Boe Kie, dan Boe Kie tanpa sungkan lagi
lantas berdahar seorang diri. Kemudian ia duduk menghadapi meja dan dengan
terangnya pelita, ia membaca buku tentang ilmu ketabiban. Semua orang itu ia
tidak ambil peduli. Ia telah berpikir. "Aku telah dapat mempelajari ilmu
tabib dari Ouw Sinshe, maka itu akupun boleh mempelajari ilmunya, melihat
kematian tidak menolong."
Malam telah tiba. Malam itu
sunyi sekali. Didalam rumah gubuk itu tidak terdengar suara apa apa lagi
kecuali suara Boe Me membalik balik halaman bukunya serta suara bernapas keras
dari mereka yang terluka. Justeru suasana sedang sunyi sunyinya itu, dari luar
gubuk terdengar tindakan kaki dari dua orang.
Boe Kie heran. Ia
lantas_mengangkat kepalanya. Ia memasang kuping. Tindakan tadi perlahan, selagi
mendekati, semakin perlahan terdengarnya. Terang orang lagi menghampirkan
kerumah gubuk.
Tak lama, atau lantas
terdengar suara yang halus tetapi terang. "Ibu, disana ada sinar api di
dalam rumah. Kita sudah sampai!"
Didengar dari suaranya itu,
orang itu mestinya seorang anak kecil.
"Anak, kau capai atau
tidak?" lalu terdengar suara lain, lebih keras tetapi toh dari seorang
wanita juga.
"Aku tidak capai."
sahut si anak barusan. "Ibu jikalau tabib sudah mengobati kau, kau
tentunya tidak sakit lagi."
Si wanita terdengar menjawab.
"Ya... Tapi entahlah dia suka menolong atau tidak!"
Hati Boe Kie tergerak.
"Ah, rasanya aku kenal
baik suara ini ..." pikirnya. "Rupanya dia Nona Kie Siauw Hoe."
"Pasti tabib akan
mengobati ibu," kata pula si anak perempuan. "Jangan kuatir. Apakah
nyeri ibu sudah mendingan?"
"Sedikit mendingan?"
menyahut si nyonya yang dipanggil ibu itu. "Ah, anak yang
bersengsara......"
Mendengar pula suara orang
itu, Boe Kie tak sangsi lagi. Ia lantas lompat keambang pintu.
"Toh Kie Kouwkouw
disana", ia menanya "Apakah kaupun terluka?"
Lalu dibawah terangnya sang
Puteri Malam ia melihat seorang wanita yang sebelah tangannya menuntun seorang
nona kecil, seorang anak perempuan juga. Wanita itu yang dipanggil Kouwkouw,
atau bibi, benarlah Kie Siauw Hoe adanya. Akan tetapi Siauw Hoe tidak
mengenalinya sebab ketika diatas gunung Boe tong san mereka bertemu, Boe Kie
baru berumur sepuluh tahun, dan sekarang, sang waktu sudah lewat lima tahun.
"Kau... kau... "
tanyanya heran.
"Kouwkouw, kau telah
tidak mengenali aku, bukan?" kata Boe Kie, "Aku Thio Boe Kie. Ketika
dulu hari di Boe tong san ayah dan ibuku membunuh diri, aku melihat kau."
Siauw Hoe berseru saking
herannya. Inilah ia sama sekali tidak menyangka. Berbareng dengan itu, ia
menjadi kaget sendirinya dan likat. Ia seorang nona yang belum menikah,
membawa-bawa seorang anak perempuan.... Sekarang ia berhadapan dengan Boe Kie,
keponakan dari In Lie Heng bakal suaminya itu. Sebagai bocah tanggung, Boe Kie
tentulah sulit untuk diberi penjeasan tentang keganjilan itu. Maka mukanya
menjadi merah. Karena ia lagi terluka serta lukanya bukan enteng, kagetnya itu
membuat tubuhnya terhuyung.
Anak perempuan itu, yang
umurnya baru enam atau tujuh tahun, melihat ibunya mau jatuh, ia lantas
menjambret tangannya, akan tetapi ia bertenaga lemah, ia dapat berbuat apa?
Boe Kie melihat Siauw Hoe mau
jatuh, karena mana si nona cilikpun bakal roboh juga, ia lantas menahan
pundaknya bibi itu.
"Kouwkouw, silahkan masuk
kedalam untuk beristirahat," ia mengundang. Ia berkata begitu ia toh
memimpin orang masuk kedalam ruang. Karena ini, dengan pertolongan cahaya api,
ia lantas melihat luka si bibi, luka dipundak kiri dan dibahu kanan, bekas
golok atau pedang. Melihat darah yang menembus dari balutan, luka itu mestinya
parah. Pula si nona merintih beberapa kali, tandanya hebat menahan rasa
nyerinya.
Mendengar rintihan atau
batuk-batuk si nona, Boe Kie mengerti hebatnya luka si bibi. Didalam halnya
ilmu ketabiban, sekarang ini Boe Kie telah dapat melawan sembarang "tabib
kenamaan". Suara batuk itu menadakan si nona telah mendapat goncangan pada
pinggiran peparunya yang kiri.
"Kouwkouw," katanya,
"tangan kananmu telah bentrok sama tangan orang dan karena itu kau terluka
pada bagian peparumu they im hie." Ia berkata begitu, tetapi tanpa menanti
jawaban, ia lantas mengeluarkan tujuh batang jarum emas. Dengan itu, tanpa
membukai baju si nona, ia menusuk ditujuh jalan darah in-boen dipundak, hoa kay
di dada cie-tek dan lain-lain.
Kepandaian dari Boe Kie ini
sekarang beda jauh dari waktu dulu hari ia mengobati Siang Gie Coen. Selama dua
tahun ia belajar dibawah pimpinan Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe, ia sudah
mendapat kemajuan pesat. Penghalang satu satunya yalah usianya yang masih
terlalu muda. Jadi kalau dibandingkan dengan gurunya, ia masih ketinggalan jauh
sekali. Hanya didalam ilmu menusuk jalanan darah dengan jarum emas saja, ia
sudah mendapatkan tujuh atau delapan bagiannya.
Kie Siauw Hoe melihat anak
tanggung itu mengambil jarum, ia tidak tahu apa perlunya itu, maka ia heran dan
kagum ketika tahu-tahu dia telah ditusuk berulang-ulang secara demikian hebat
dan tepat. Begitu lekas sudah ditusuk, ia merasakan dadanya tidak terlalu sesak
lagi.
"Anak yang baik!" Ia
berseru dalam girangnya "Aku tidak sangka kau berada disini dan juga telah
dapat mempelajari ilmu tabib begini sempurna!"
Siauw Hoe lantas ingat
kejadian di Boe tong san itu hari, ketika ia menghadapi Thio Coei San dan In So
So, suami isteri itu, saling beegantian membunuh diri, hingga mayat mereka
dipeluki Boe Kie. Ia merasa terharu sekali, ia berkasihan terhadap anak itu, maka
ia telah membujuk dan menghiburinya seraya memberikan juga kalungnya yang
terbuat daripada emas. Hanya ketika itu Boe Kie sudah menampik pemberian itu
sebab dia lagi sangat berduka dan gusar, hingga dia memandang semua tetamu yang
hadir disitu adalah musuh-musuh yang mendesak kebinasaan ayah dan ibunya. Atas
penampikan itu, Siauw Hoe jadi malu sekali, tetapi ia tidak dapat berbuat apa
apa. Kemudian pikiran Boe Kie berubah. Inilah disebabkan ketika dia terlukakan
serangam ilmu Hian beng Sin ciang, dia sudah ditolong mati matian oleh In Lie
Heng, yang sudah mengorbankan banyak tenaga dalamnya. Perto1ongan itu dia ingat
betul. Dia merasa berhutang budi, Maka juga, karena mengingat budinya In Lie
Heng dia menjadi ingat juga kebaikan Ki Siauw Hoe dan untuk membalas budinya si
paman guru, pantas dia memberikan kesan baik terhadap si tunangan si paman.
Semakin usianya bertambah semakin dia dapat berpikir, membedakan yang benar dan
yang salah. Dia juga ingat tempo dulu kala ,sekalian paman gurunya telah
membicarkan persoalan minta Go bie pay bekerja sama menentang musuh. Jadi Go
bie pay bukanlah musuh utama bahkan sama sekali bukanlah musuh Boe tong pay.
Pada dua tahun dulu, ketika
Boe Kie bertemu sama Siang Gie Coen di diluar rimba, disana is menyaksikan Kie
Siauw Hoe menolongi Pheng Hweeshio. Perbuatan mulia nona itu membikin ia
beranggapan si nona ialah orang baik. Hanya sekarang ini ia belum dapat memikir
kenapa Siauw Hoe, si bibi yang belum menikah, telah mempunyai anak perempuan
umur lebih daripada lima tahun itu . . . .
Cuma Siauw Hoe yang lihat
sendirinya.
Selama ini Boe Kie dapat
melihat jelas anaknya bibi itu. Nona cilik itu berdiri diam disisi ibunya. Dia
masih kecil tetapi nyata dia cantik sekali. Sepasang alisnya bagaikan dilukis,
sepasang matanya hitam dan celi, dan dengan mata tajam mengawasi padanya.
"Ibu, apakah anak ini
sitabib?" kemudian anak itu berbisik dikuping ibunya. "Apakah rasa
nyeri ibu sudah baik?"
Mendengar panggilan
"Ibu" mukanya Siauw Hoe menjadi merah pula, tak dapat ia mencegah jengahnya.
"Inilah kakakmu, kakak
Boe Kie," ia menyahuti. "Ayah kakakmu ini ialah sahabat ibumu.
Kemudian ia meneruskan pada Boe Kie, perlahan "Dia... dia bernama Poet
Hwie...." Ia berhenti pula sejenak. "Dia she Yo.... Yo Poet Hwie..."
Boe Kie girang, dia tertawa.
"Bagus!" dia
berseru. "Aku Thio Boe Kie dan kau Yo Poet Hwie!"
Senang Siauw Hoe melihat sikap
wajar dari Boe Kie, tak sedikit juga sikap si anak yang hendak menegur
kepadanya. Hatinya menjadi lega.
"Anak, kepandaian kakakmu
hebat," ia kata pada anaknya. "Sekarang ini rasa nyeriku sudah
berkurang"
Poet Hwie memainkan matanya
yang celi itu. Ia mengawasi ibunya, terus ia mengawasi Boe Kie.
Sekonyong-konyong ia maju kepada bocah didepannya, untuk merangkul, untuk
mencium pipinya.
Bukan main terkejutnya Boe
Kie.
ilid 24
Nona Poet Hwie ini adatnya
sangat polos dan wajar. Sedari masih kecil sekali, kecuali ibu dan pengasuhnya,
ia tidak pernah bertemu sama lain orang. Sekarang ibunya terluka parah, mereka
pun dalam kesukaran besar, sekarang ia menyaksikan Boe Kie menolongi ibunya itu
yang nyerinya menjadi ringan sekali. Ia bersyukur bukan main. Adalah
kebiasaannya, kalau ia mengutarakan kegirangan dan rasa syukurnya, suka ia
berlompat kepada mereka, untuk memeluk atau merangkul, untuk mencium pipi
mereka. Kebiasaan ini sekarang ia melakukannya terhadap Boe Kie tanpa malu.
"Hus!" Siauw Hoe
berseru. "Jangan begitu Hwie-jie Kakak Boe Kie tidak senang nanti!"
Poet Hwie mementang kedua
matanya, ia heran.
"Apakah kau tidak senang
padaku?" ia tanya Boe Kie. "Kenapa aku tidak boleh berlaku baik
kepadamu?"
Boe Kie tertawa.
"Aku girang!"
sambutnya. "Aku suka berbuat baik terhadapmu!" Dan ia membalas
mencium pipi yang halus dari nona cilik itu.
Poet Hwie girang bukan main,
ia menepuk nepuk tangan.
"Hai, tabib kecil, lekas
kau obati ibu, supaya ibu sembuh seluruhnya!" ia berseru. "Nanti aku
cium pula padamu!"
Tidak kepalang girangnya Boe
Kie mendapatkan orang demikian manja dan lincah. Selama belasan tahun hidupnya,
ia telah bergaul sama banyak orang, tetapi mereka itu adalah paman pamannya dan
Siang Gie Coen juga masih lebih tua delapan tahun daripadanya. Didalam perahu
ia pernah bertemu sama Coe Tit Jiak, akan tetapi pertemuan itu sangat pendek,
belum ada satu hari mereka sudah mesti berpisah pula. Jadi belum pernah ia
bergaul sama sahabat-sahabat cilik sebayanya. Maka itu, mendapati nona ini, ia
berpikir. "Jikalau aku mempunyai adik benar sekecil ini, yang begini
menarik hati, pastilah aku sering mengajak dia pergi bermain-main...."
Dalam usia empat belas tahun,
anak yatim piatu ini masih kekanak-kanakan. Ia kehilangan ketikanya untuk
bermain-main seperti anak-anak yang kebanyakan.
Sementara itu Kie Siauw Hoe
telah menyaksikan semua hadirin yang pada terluka. Ia merasa malu untuk
mendahului mereka.
"Tuan-tuan ini datang
terlebih dulu daripada aku, pergi kau periksa mereka lebih dulu," ia kata
pada Boe Kie. Ia tidak ketahui duduknya hal. "Sekarang ini sakitpun
berkurang banyak."
"Mereka datang untuk
berobat kepada Ouw Sin she," Boe Kie mengasi tahu. "Cuma sekarang ini
Ouw Sinshe sendiri lagi sakit. Mana dia bisa mengobati orang? Mereka tidak mau
berlalu, maka itu biarlah mereka terus menunggu. Kouwkouw, kau bukannya mencari
Sinshe, jikalau kau percaya keponakanmu ini, mari sini, biar aku periksa lebih
jauh lukamu. Sudah lama juga aku berdiam di sini, tentang luka-luka aku
mengetahui sedikit."
Sebenarnya Kie Siauw Hoe yang
mendapat suatu petunjuk, datang ke lembah ini untuk mencari Tiap kok Ie sian
Ouw Ceng Goe. Ia datang dengan serapa maksud dengan Kan Ciat beramai itu.
Maka itu, melihat keadaannya
Kan Ciat semua, ia heran siapa tahu duduknya hal sederhana saja. Ia lantas
mengerti bahwa Ouw Ceng Goe tidak berniat menolongi mereka itu. Tapi mengenai
Boe Kie, kepercayaannya lantas muncul. Bukankah ia telah ditusuk berulang-ulang
dan sekarang rasa nyerinya telah berkurang banyak? Ia jadi tidak boleh
memandang enteng kepada usia bocah ini.
"Baiklah." katanya
kemudian. "Aku terima kasih padamu ! Tidak apa tabib besar tidak mau
mengobati aku, asal ada kau si tabib kecil..."
Boe Kie lantas minta bibi itu
masuk ke kamar samping dimana ia lantas bekerja. Lebih dulu ia guntingi bajunya
si bibi dibagian tubuhnya yang terluka. Ia mendapatkan tiga luka bacokan golok
dibahu, sambungan pundaknya telah menggeser dari tempatnya. Di lengan juga ada
tulang yang remuk. Di matanya tabib yang kebanyakan, luka luka itu ialah luka
luka yang sukar untuk di obati, tetapi dimata muridnya Ouw Ceng Goe, itulah
luka luka biasa. Maka Boe Kie lebih dulu menyambung rapi dulu, tulang yang
berkisar itu, habis mana ia memborehkan obat. Kemudian lagi, ia membuat surat
obat, yang obatnya ia suruh kacung memasaknya matang. Ia belum biasa membalut
luka tapi toh, walaupun rada lambat, dapat menyelesaikan juga tugas
ketabibannya itu.
"Kouwkouw, sekarang
silahkan kau beristirahat dulu," katanya akhirnya. "Sebentar, setelah
habis kekuatan baal dari obat ini, kau akan merasa sakit luar biasa."
"Terima kasih!"
menyahut bibi itu.
Boe Kie pergi ke kamar obat
untuk mencari buah ongoo dan buah heng. Ia bawa itu untuk dikasihkan pada Poet
Hwie. Ketika ia kembali, si nona sudah tidur menyender kepada ibunya sebab dia
telah tidak tidur satu malaman. Dari itu ia masuki saja buah buahan itu ke
dalam saku sinona. Lantas ia kembali ke depan.
Pria yang muntah darah itu,
orang Hoa san pay, lantas berbangkit. Ia menjura dalam terhadap si anak
tanggung.
"Siauw Sinshe."
katanya. Ia memanggil "Siauw Sinshe" atau tabib kecil. "Oleh
karena Ouw Sin she lagi sakit, kau saja yang menolong mengobati kami. Pasti
kami akan sangat bersyukur terhadap mu..."
Boe Kie mengawasi orang itu
dan kawan kawannya. Sebenarnya semenjak ia belajar ilmu kecuali mengobati Siang
Gie Coen dan Kie Siauw Hoe ini, belum pernah ia mencoba terlebih jauh
kepandaiannya itu. Akan tetapi ia ingat kata katanya Ouw Sinshe, ia menguasai
dirinya.
"Rumah ini rumah Ouw
Sinshe," ia berkata. "Dan aku sendiri, adalah orang yang menderita
sakit yang berada dibawah rawatannya, mana berani aku melancangi tuan rumah
?"
Orang Hoa San Pay itu
mengawasi si bocah, ia seperti dapat membade hati orang.
"Memang umumnya, seorang
tabib kenamaan mesti telah berusia lima atau enam puluh tahun." ia berkata
untuk mengumpak, "Maka itu luar biasa Siauw Sinshe, yang usianya masih
muda sekali tetapi kepandaiannya kau sangat langka. Maka itu. Sinshe, aku mohon
sukalah kau menolongi kami?"
Si orang terokmok she Nio yang
romannya seperti hartawan turut bicara.
"Kami empat belas orang,
didalam kalangan kang ouw, kami mempunyai juga sedikit nama," katanya,
"Maka itu, jikalau kami dapat ditolong oleh Siauw Sinshe, setelah kami
pulang nanti, pasti kami akan menguwarkan kepandaian Sinshe ini supaya namanya
menjadi kesohor hingga di dalam satu malam, kau akan jadi terkenal diseluruh
negeri!"
Dasar masih terlalu muda, dan
tidak punya pengalaman, Boe Kie tertarik kata-kata yang mengumpak-umpak itu,
hatinya menjadi girang.
"Apakah bagusnya nama
kesohor diseluruh negeri ?" katanya. "Ouw Sinshe sendiri tidak dapat
menolong kalian, apalagi aku ? Apakah yang aku bisa bikin ? Agaknya luka kamu
bukannya enteng, maka begini saja, aku akan membantu meringankan rasa
nyerimu"
Lantas ia mengambil obat
obatan guna memberi pertolongannya. Ketika ia sudah melihat luka orang orang
itu, ia menjadi heran. Nyata, setiap luka itu beda satu dari lain, semuanya
luka luka biasa.
Belum pernah Ouw Ceng Goe
mengajari ia tentang bermacam macam luka semacam ini. Ada seorang yang rupanya
telah dipaksa menelan beberapa puluh batang jarum, ada orang perutnya
tengoncang, tergempur tenaga dalam, ada yang beberapa jalan darahnya telah
terlukakan racikan pisau. Semua itu menandakan, si pembuat luka juga mengerti
itu tabib baik sekali. Semua itu ialah luka luka yang sangat sukar diobatinya.
Ada lagi orang yang pinggiran peparunya terpaku hingga tak hentinya dia batuk batuk
dan mengeluarkan darah, ada pula orang yang tulang tulang iganya pada patah
tetapi luka itu tidak mengganggu peparu atau jantungnya. Seorang lagi
terkutungkan kedua ujung tangannya lalu tangan tangan yang buntung itu, yang
kiri ditaruh kebahu kanan, yang kanan ditaruh dibahu kiri. Masih ada pula yang
bengkak selurub tubuhnya seperti bekas dipagut kelabang atau binatang berbisa
lainnya.
"Semua luka mereka luar
biasa. Tidak satu juga yang aku bisa obati," pikirnya. "Orang yang
membuatnya luka itu hebat sekali, dia liehay. Kenapa dia menyiksa orang sampai
begini?"
Karena memikir begini, ia
menjadi ingat luka nya Kie Siauw Hoe.
"Luka bibi terlihat biasa
saja, apakah bibipun mendapat luka di dalam ?" pikirnya pula kaget.
"Kalau tidak, mengapa bibi seorang yang dikecualikan?"
Lekas lekas ia meninggalkan
Kan Ciat semua. Ia lari kedalam. Segera ia memeriksa nadinya Siauw Hoe. Ia
menjadi kaget. Ia mendapatkan nadi si bibi bergerak gerak, sebentar keras,
sebentar kendor, atau sebentar lagi jalannya lurus dan serat bergantian. Pasti
itu disebabkan sesuatu dari dalam tubuh. Ia kaget sebab ia tidak mengerti akan
perubahan itu.
Keempat belas orang itu aneh
lukanya, ia tidak memikirkannya. Diantara mereka itu ada orang Khong tong pay,
yang ada sangkut pautnya dengan kebinasaan ayah dan ibunya, jikalau mereka
tersiksa, pantaslah juga. Akan tetapi Kie Siauw Hoe, bibinya ini, tidak dapat
ia tidak menolongnya. Maka lekas-lekas ia pergi ke kamarnya Ouw Ceng Goe,
"Sinshe! Apa sinshe sudah
tidur ?" ia tanya perlahan.
"Ada apa?" ia
mendapat jawaban. "Tidak peduli siapa, aku tidak akan mengobatinya!"
"Ya, sinshe. Hanya luka
mereka itu, semuanya luka yang aneh-aneh ...."
Boe Kie lantas saja menurunkan
tentang semua luka itu.
Ouw Ceng Goa, yang teraling
dengan sekosol mendengari. Kalau ada yang ia tidak mengerti ia menanya tegas,
untuk itu. Boa Kie mesti pergi keluar kepada orang-orang yang luka itu, untuk
memeriksa pula selanjutnya untuk ia memberikan jawabannya yang terang kepada
Tiap kok Ie sian. Oleh karena ini, setengah jam tempo dibutuhkan untuk mendapat
tahu jelas lukanya semua limabelas orang itu berikut Siauw Hoe.
Beberapa kali Ouw Sinshe
mengasih dengar suara tidak terang, agaknya ia terang berpikir, banyak
kemudian, ia kata "Hm semua luka itu tidak akan dapat menyulitkan aku !
"
Belum lagi Boe Kie sempat
menanya, tiba-tiba ada orang yang bersuara di belakangnya katanya: "Ouw
Sinshe, pemilik bunga emas itu telah membilangi aku, untuk aku menyampaikan
kepada kau. Dia bilang. "Kecewa kau dipanggil Tiap kok Ie sian, sebab
limabelas macam luka ini, aku menduga tidak satu yang kau sanggup
sembuhkan." Haha ! Benar-benar sekarang kau menyembunyikan diri, kau
berpura-pura sakit!"
Boe Kie berpaling. Ia
mengenali si orang tua berkepala lanang Seng Cioe Ka lam Kan Ciat dari Khong
tong pay. Tadinya ia menyangka rambut orang rontok wajar, kemudian ia mendapat
tahu, rambut itu rontok sebab kepalanya si gundul pernah dilabur obat yang
sifatnya keras oleh sipemilik bunga emas atau Kim hoa hingga rambutnya habis.
Bahkan sisa obat beracun menempel dan menembusi kulit, hingga selanjutnya
kepala menjadi gatal terus-terusan, hingga ada kekuatiran, selewatnya beberapa
hari, racun yang jahat itu nanti menyerang polo atau otak, hingga orang bisa
menjadi gila. Sekarangpun kedua tangannya dirantai oleh kawan-kawannya, supaya
tidak dapat menggaruk, kalau tidak, tidak nanti dia dapat melawan rasa gatalnya
itu.
Atas kata-kata jago Khong tong
pay itu, Ouw Ceng Goe kata dengan tawar: "Untukku, aku dapat menyembuhkan
syukur, tidak dapatpun tidak apa. Ringkasnya, aku tidak mau mengobati kau! Aku
lihat kau masih dapat hidup sampai tujuh atau delapan hari lagi, karena itu
baiklah kau lekas pulang untuk menemui isteri dan anak anakmu, orang sedalam
rumah tangga ! Apa perlunya kau banyak omong di sini? Apakah faedah nya itu
?"
Kan Ciat menggoyang goyangkan
kepalanya. Selagi mendongkol, berduka dan berkuatir, rasa gatalnya menyerang
hebat sekali. Karena ia tidak bisa menggaruk, ia membenturkan kepalanya
berulang ulang kepada tembok, sedang kedua tangannya, yang digerak-gerakkan,
mendatangkan suara berkelontrangan yang berisik. Dan terdengar jelas napasnya
yang memburu.
"Ouw Sinshe, orang yang
menggunakan bunga emas itu, siang atau malam, bakal datang kemari!" Ia
berkata dengan sengit. "Aku juga telah melihat bahwa kaupun tidak bakalan
mati secara baik, maka itu, aku pikir baiklah kita bergabung bekerja sama
melawan dia. Bukankah ada terlebih baik begitu dari pada kau nantikan
kematianmu dengan tidak berdaya?"