Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 68
“Thio Kongcoe, kau bersabarlah
dulu.” Kata Pas-tai dengan meringis. “Dengan sebenar-benarnya, siauwjin hanya
menerima perintah dari atasan untuk mencari Kongcoe dan Cia Tayhiap dan
mengajak kalian pulang ke Tionggoan. Siauwjin hanya berharap bahwa sesudah
menunaikan tugas itu, siauwjin akan mendapat sedikit hadiah. Inilah pengakuan
yang setulus-tulusnya. Kami semua tidak mempunyai niat jahat.”
Mendengar nada suara yang
bersungguh-sungguh, Boe Kie yakin bahwa dia tidak berdusta. Ia segera melepaskan
cekalannya dan berjalan ke kepala kapal. Kedua tangannya menjumput dua buah
sauh yang terbuat dari besi. “Hei! Lihatlah!” serunya. Dengan sekali
menggerakkan tangan, kedua sauh yang beratnya beberapa ratus kati lantas saja
terbang ke atas.
“Aduh…!” semua anak buah kapal
mengeluarkan suara tertahan.
Waktu kedua sauh itu jatuh,
Boe Kie mendorongnya dengan menggunakan Kian-koen Tay lo ie, sehingga mereka
terbang lagi ke atas. Setelah mengulangi pertunjukkan itu tiga kali beruntun,
barulah ia menyambutnya dan kemudian menaruhnya di kepala kapal.
Sebagai bangsa yang sudah
menaklukkan negeri-negeri dengan kegagahan, bangsa Mongol sangat mengagumi
kegagahan. Melihat kepandaian Boe Kie, tanpa terasa mereka kagum. “Kegagahan
Thio Kongcoe bagaikan malaikat,” kata Pas-tai. “Hari ini mata Siauwjin mendapat
kehormatan untuk sesuatu yang luar biasa.”
Demikianlah, dnegan
memperlihatkan kepandaian itu, Boe Kie berhasil menaklukkan anak buah kapal.
Kapal terus menuju ke arah
timur dan masuk ke samudra. Selama tiga hari ia tak melihat lain kecuali air
yang menyambung dengan langit. Menurut perhitungan Cia Soen kapal-kapal meriam
yang dikirim Tio Beng hanya berkeliaran di sepanjang pantai Hok-kian dan
Kwi-tang. Sekarang kapal yang ditumpanginya sudah berada di samudra dan takkan
bertemu dengan kapal-kapal itu. Maka itu, pada hari kelima ia lalu
memerintahkan supaya kapal memutar haluan lagi dan berlayar menuju ke arah
utara. Berselang dua puluh hari lebih mereka masuk di wilayah pak hay (Lautan
Utara). Cia Soen tersenyum sendirian. Biarpun pintar, Tio Beng takkan bisa
menebak di mana adanya kapal itu. Dari pak hay, juru mudi diperintah lagi untuk
memutar haluan ke arah barat, dengan tujuan Tiong-goan. Selama kurang lebih
sebulan, Cia Soen bertiga hanya makan makanan yang dibawa mereka atau ikan yang
ditangkap dari lautan. Mereka tak berani makan makanan kapal.
Pada suatu lohor, sayup-sayup
mereka lihat bayangan daratan. Sesudah berada di lautan dalam waktu lama,
tentara Mongol girang dan ia bersorak sorai. Di waktu magrib, kapal sudah
berlabuh di pinggir pantai. Daerah pantai memang satu-satunya daerah yang
merupakan gunung dan airnya dalam, sehingga kapal bisa menepi sampai menempel
dengan daratan. “Boe Kie,” kata Cia Soen, “Coba kau selidiki di mana kita
sekarang berada.” Boe Kie mengiyakan dan lantas melompat ke daratan.
Apa yang ditemui Boe Kie
hanyalah hutan. Salju baru saja melumer dan jalanan sangat licin. Makin jauh ia
maju, makin besar pohon-pohon yang ditemuinya. Ia memanjat sebuah pohon yang
tinggi dan memandang ke sekitarnya. Ia ternyata berada di tengah-tengah sebuah
hutan yang sangat besar. Sedikitpun tidak terdapat tanda-tanda bahwa di hutan
itu ada musuhnya.
Ia segera turun dari pohon dan
mengambil keputusan untuk kembali ke kapal guna berdamai dengan ayah angkatnya.
Sebelum tiba, tiba-tiba ia mendengar suara teriakan yang menyayat hati. Ia
terkesiap dan berlari-lari dengan menggunakan ilmu meringankan badan. Setibanya
di kapal, ia melihat mayat-mayat yang menggeletak di kapal, antaranya mayat
pas-tai sendiri. Ia girang karena ayah angkatnya dan tunangannya tak kurang
suatu apa. Mereka berdiri dengan tenang di kepala kapal dan di situ tidak
terdapat manusia lain.
“Giehoe! Cie Jiak!” serunya.
“Ke mana perginya musuh?”
“Musuh apa?” Cia Soen balas
bertanya.
“Apa kau bertemu dengan
musuh?”
“Tidak. Tapi tentara Mongol
ini…”
“Dibunuh olehku dan Cie Jiak!”
Boe Kie terkesiap, “Tak
disangka, begitu tiba di Tiong-goan, mereka mencoba mencelakai kita,” katanya.
“Tidak, mereka tak mencoba
mencelakai kita. Aku membunuh mereka untuk menutup mulutnya. Sesudah mereka
mati, Tio Beng tak akan tahu bahwa kita sudah kembali ke Tiong-goan. Mulai dari
sekarang, dia berada di tempat terang dan kita di tempat gelap, sehingga usaha
untuk membalaskan sakit hati akan lebih gampang tercapai.”
Boe Kie tertegun. Ia tak dapat
mengeluarkan sepatah kata dan hanya menatap wajah ayah angkatnya dengan mata
membelalak.
“Apa? Kau anggap aku terlalu
kejam?” tanya Cia Soen. “Tentara Tat coe adalah musuh-musuh kita. Apa kau mau
memperlakukan mereka dengan menggunakan hati Po sat (balas kasih)?”
Boe Kie membungkam terus. Di
dalam hati, ia berduka. Orang-orang itu tidak berdosa dan sikap mereka sangat
baik. Biarpun musuh, ia merasa tak tega untuk membunuh mereka.
Melihat paras muka anak angkat
Cia Soe berkata, “Boe Kie, kau harus bisa mengeraskan hati. Terhadap musuh,
kalau kita tidak turun tangan lebih dulu, kitalah yang menjadi korban. Tio Beng
sangat jahat. Terhadap manusia begitu, kita harus menghadapinya dengan tindakan
yang tegas, tanpa sungkan-sungkan lagi.”
Boe Kie tidak berani membantah
perkataan ayah angkatnya. Ia mengangguk dan berkata dengan suara parau, “Giehoe
benar.”
“Boe Kie, bakarlah kapal ini,”
perintah Cia Soen. “Cie Jiak, geledah saku-saku semua mayat. Ambil semua barang
yang berharga. Ambil tiga senjata yang paling baik untuk kita.”
Perintah itu segera
dijalankan. Semua mayat terbakar bersama kapal yang kemudian tenggelam di laut.
Dengan demikian, kembalinya Cia Soen bertiga tidak meninggalkan tanda apapun
juga. Diam-diam Boe Kie merasa kagum terhadap ayah angkatnya. Walaupun kejam,
ayah angkat itu adalah seorang Kang ouw yang berpengalaman.
Malam itu mereka tidur di
pinggir laut dan pada keesokan paginya meneruskan perjalanan ke selatan. Pada
hari kedua sesudah melintasi hutan, mereka bertemu dengan tujuh orang yang
mencari obat-obatan sejenis “som”. Ternyata mereka sekarang berada di daerah
yang berdekatan dengan gunung Tiang pek san.
Sesudah berpisah dengan
ketujuh orang itu, Cie Jiak bertanya, “Giehoe, apa kita tak perlu bunuh
orang-orang itu?”
“Cie Jiak, tutup mulutmu!”
bentak Boe Kie, “Mereka tak tahu siapa kita. Apa kau mau bunuh semua manusia
yang kita temui?”
Paras muka si nona berubah
merah. Semenjak bertemu, Boe Kie belum pernah mengeluarkan kata-kata begitu
keras terhadapnya.
“Kalau ikut kata hatiku, aku
memang ingin bunuh mereka,” kata Cia Soen, “Tapi Kauwcoe kita tidak mau
membunuh lebih banyak manusia. Sekarang kita harus menukar pakaian dan menyamar
supaya tidak dikenali orang.”
Sesudah berjalan dua hari,
mereka bertemu dengna sebuah rumah petani. Boe Kie mengeluarkan perak dan minta
beli pakaian. Tapi petani itu sangat miskin dan hanya mempunyai selembar baju
kulit kambing yang bisa dijual. Sesudah mereka mengunjungi kira-kira tujuh
delapan rumah, barulah Boe Kie berhasil membeli tiga perangkat pakaian tua yang
kusam. Cie Jiak yang biasa dengan kebersihan hampir-hampir muntah waktu
mengendus bau tak enak dari pakaian itu. Tapi Cia Soen merasa girang. Sesudah
mengenakan pakaian-pakaian itu dan memoles muka mereka dengan Lumpur, mereka
kelihatannya seperti pengemis Lieon tong. Boe Kie yakin bahwa biarpun
berhadapan, Tio Beng tak akan bisa mengenalinya.
Mereka terus berjalan ke arah
selatan. Pada suatu hari, mereka tiba di sebuah kota yang harus dilewati jika
orang mau masuk ke Kwan-lwee. Cia Soen bertiga pergi ke sebuah rumah makan yang
paling besar. Boe Kie mengeluarkan sepotong perak yang beratnya sepuluh tail
dan berkata kepada pengurus restoran, “Kau pegang ini. Sesudah kami selesai
makan, hitunglah.” Ia memberi uang lebih dulu sebab kuatir ditolak karena
pakaian mereka compang-camping.
Tapi sambutannya sangat luar
biasa. Pengurus itu bangun berdiri dan dengan sikap hormat memulangkan uang.
“Kami sudah merasa beruntung bahwa kalian sudi mampir di rumah makan kami yang
kecil ini. Apa artinya semangkok dua mangkok sayur? Kali ini biarlah kami yang
menjamu kalian.”
Boe Kie merasa sangat heran.
Sesudah mengambil tempat duduk ia berbisik kepada Cie Jiak, “Aku heran. Mengapa
dia tak mau menerima uang? Apa penyamaran kita tidak sempurna dan dikenali
orang?”
Cie Jiak mengawasi Cia Soen
dan Boe Kie, tidak, penyamaran mereka dapat dikatakan tidak ada cacatnya.
“Nada suara pengurus itu nada
ketakutan,” kata Cia Soen, “Kita harus berhati-hati.”
Tiba-tiba di bawah tangga
loteng terdengar suara langkah kaki ramai-ramai dan tujuh orang naik ke atas,
mereka semua pengemis! Lagak pengemis-pengemis itu sangat keren da mereka duduk
seperti tuan-tuan besar. Pelayan menyambut dengan sikap sangat hormat dan
memanggil mereka dengan istilah “ya” (padaku tuan), seolah-olah mereka
orang-orang berpangkat tinggi.
Boe Kie segera saja mengetahui
bahwa mereka itu murid-murid Kay pang yang berkedudukan agak tinggi, sebab
mereka membawa lima atau enam lembar karung. Beberapa saat kemudian datang lagi
lima enam pengemis, disusul dengan rombongan-rombongan lain sehingga jumlah
mereka melebihi tiga puluh orang. Diantara mereka terdapat tiga orang yang
membawa tujuh lembar karung.
Boe Kie mendusin. Kay pang mau
mengadakan perhimpunan dan si pengurus rumah makan menganggap mereka sebagai
anggota-anggota partai tersebut. “Giehoe,” bisik Boe Kie, “Sebaiknya kita
berlalu saja supaya tidak terjadi kejadian yang tak enak. Dilihat seluruhnya,
orang-orang Kay pang yang datang ke sini jumlahnya sangat besar.”
Selagi Boe Kie bicara, seorang
pelayan datang dengan membawa sepiring daging sapi, ayam rebus dan lima kali
arak putih.
Sudah lebih dua bulan Cia Soen
belum pernah makan kenyang dan sekarang ia sedang lapar. Begitu hidungnya
mengendus wanginya daging, tangannya bergerak. “Makan dulu,” katanya. “Halangan
apa kalau kita makan tanpa memperdulikan urusan orang?” Seraya berkata begitu,
ia menuang arak di mangkok dan lalu meneguknya dengan bernapsu. Dua puluh tahun
lebih ia tak pernah mencicipi arak, baginya arak putih yang keras dan pedas itu
seolah-olah arak yang paling baik. Dengan dua kali teguk, semangkok besar sudah
menjadi kering.
Tiba-tiba ia menaruh mangkok
di meja dan berbisik, “Hati-hati! Dua orang yang kepandaian tinggi naik ke sini.”
Boe Kie pun sudah mendengar
langkah di tangga loteng. Langkah kaki kiri orang yang berjalan di depan sangat
berat, langkah kaki kanannya sangat ringan, sedang yang berjalan di belakang
pun begitu juga, langkah sebelah ringan, sebelah yang lain berat. Tak bisa
salah lagi, mereka mempunyai kepandaian luar biasa. Begitu mereka muncul, semua
pengemis serentak bangun berdiri. Cia Soen bertiga juga turut bangkit. Untung
juga mereka duduk di sudut yang jauh sehingga tidak menyolok mata.
Orang yang pertama bertubuh
sedang, tampan dan berjenggot. Kecuali pakaiannya, pada keseluruhannya ia
seperti seorang siaucay yang tak lulus ujian. Yang jalan belakangan keren
sekali. Di mukanya menonjol otot-otot, brewoknya seperti kawat, parasnya galak
dan kulitnya hitam sehingga melihat dia, orang segera ingat Cioe Cong (panglima
di jaman Sam kok yang selalu berdiri di samping Kwan kong). Keduanya berusia
lima puluh tahun lebih dan masing-masing menggendong selembar karung kecil yang
tidak bisa dimuatkan suatu apa dan hanya digunakan untuk menunjuk kedudukan
mereka di dalam partai pengemis.
Boe Kie menghela napas. Ia
ingat bahwa seratus tahun yang lalu, Kay pang mempunyai nama yang sangat harum.
Dari Tay soehoenya ia tahu bahwa dulu sebagai seorang pangcu, Ang Cit Kong yang
berkepandaian sangat tinggi telah mengabdi kepada rakyat dan selalu bersedia
untuk menolong sesame manusia sehingga dia dihormati oleh semua kalangan dalam
Rimba Persilatan. Belakangan Oey Pangcoe (Oey Yong) dan Yehlu Pangcoe juga
merupakan pemimpin-pemimpin yang sangat baik. Di luar dugaan selama beberapa
puluh tahun, Kay pang banyak berubah. Soe Hwee Liong, Pangcoe yang sekarang
belum pernah muncul dalam kalangan Kang ouw. Dengan membawa sembilan karung,
kedua orang itu berkedudukan sangat tinggi hanya di bawah Pangcoe sendiri.
“Apakah mereka yang menyuruh orang datang di Leng coa to untuk merampas To
liong to?” tanya Boe Kie di dalam hati.
Sejak beberapa puluh tahun
yang lampau yaitu dari Seng hwee leng dirampas oleh Kay pang, hubungan
Beng-kauw dan Partai Pengemis bagaikan air dan api. Dalam usaha untuk merebut
kembali tanda kekuasaan agama itu, beberapa kali orang Beng-kauw bertempur
hebat dengan orang-orang Kay pang. Sebab Beng-kauw dipandang sebagai agama
sesat, maka dalam setiap pertempuran banyak orang Rimba Persilatan membantu Kay
pang dan Beng-kauw selalu menderita kekalahan.
Sekarang biarpun Tio liong to
dan Ie thian kiam dicuri Tio Beng, untung juga keenam Seng hwee leng tidak
turut dicuri. Mungkin sekali karena takut terhadap kepandaian Boe Kie yang
sangat tinggi maka Tio Beng tidak berani merogoh saku pemuda itu. Melihat
jumlah orang Kay pang yang sangat besar, Boe Kie tidak berani memandang rendah.
Ia segera merogoh saku untuk memastikan bahwa Seng hwee leng masih berada di
dalamnya.
Kedua Tiang-loo sembilan
karung itu segera duduk pada sebuah meja besar yang terletak di tengah-tengah.
Tiang-loo yang bermuka seperti Cioe Cong lalu mengeluarkan sebatang tongkat
bambu yang panjangnya kira-kira empat kaki dalam karung dan menaruhnya di atas
meja. Sebagian murid-murid Kay pang segera berlutut. “Murid-murid Ouw-ie-pay
menghadap Ciang-pang Liong-tauw!” seru dia (Ciang-pang Liong-tauw – Pemimpin
yang memegang tongkat kekuasaan).
Sebab Kay pang musuh Beng-kauw
maka sesudah menjadi Kauwcoe, Boe Kie lalu mencari tahu seluk-beluk partai
pengemis. Ia tahu bahwa sejak dulu Kay pang terbagi dalam dua golongan, yaitu
golongan Ouw-ie-pay (Golongan baju kotor) dan Ceng-ie-pay (Golongan baju
bersih). Melihat semua pengemis yang berlutut berpakaian kusam, ia mengerti
bahwa Ciang-pang Liong-tauw adalah pemimpin Ouw-ie-pay.
Sesaat kemudian, Tiong-loo
yang seperti sioecay mengeluarkan sebuah mangkok yang mulutnya somplak dari
dalam karung dan menaruhnya di atas meja. Sisa pengemis yang mengenakan pakaian
bersih segera saja menekuk lutut. “Murid-murid Ceng-ie-pay menghadap
Ciang-poen!” teriak mereka (Ciang-poen Liong-tauw – Pemimpin yang memegang
mangkok kekuasaan).
Kedua pemimpin itu mengangkat
tangan mereka dan berkata, “Duduklah!” Semua pengemis bangkit dan duduk di
kursi masing-masing.
Boe Kie baru menarik napas
lega. Menyambut kedua Tiang-loo itu dengan berdiri masih tidak apa-apa. Tapi
sebagai Kauwcoe dari Beng-kauw, biar bagaimanapun juga ia tidak boleh berlutut
di hadapan pemimpin Kay pang. Untung juga karena mereka duduk di sudut yang
paling jauh dan mata kedua Tiang-loo it uterus mengawasi langit-langit tanpa
memperhatikan orang-orang yang berlutut, maka tak ada orang yang lihat bahwa
Cia Soen bertiga tidak ikut berlutut.
Pengemis-pengemis itu segera
makan minum seperti orang kelaparan. Mereka main rebut, berteriak-teriak dan
tertawa-tawa. Cia Soen berwaspada, memasang kuping dan mata. Di luar dugaan
dalam perjamuan itu tak terjadi kejadian luar biasa dan tak terdengar sesuatu
yang penting. Sesudah kedua Liong-tauw selesai bersantap dan turun ke bawah,
pengemis-pengemis yang lain pun ikut bubar.
Sesudah semua pengemis
meninggalkan loteng, Cia Soen berbisik, “Boe Kie, bagaimana pendapatmu?”
“Tak mungkin mereka berkumpul
di sini hanya untuk makan minum,” jawabnya. “Anak rasa, mereka akan berkumpul
lagi di tempat lain, di tempat yang sepi untuk membicarakan soal penting yang
menjadi tujuan mereka.”
Cia Soen mengangguk. “Akupun
berpendapat begitu,” katanya. “Kay pang adalah musuh kita, sesudah bertemu kita
harus menyelidiki dengna jelas maksud pertemuan mereka. Aku kuatir kalu mereka
mau mengatur siasat untuk mencelakai Beng-kauw.”
Mereka turun dan mencoba
membayar uang makanan tapi ditolak keras oleh pengurus rumah makan. “Giehoe,
kau lihatlah,” kata Boe Kie. “Rumah makan takut menerima uang, dari sini
dapatlah diketahui bahwa Kay pang sering melakukan perbuatan sewenang-wenang.”
Mereka segera mencari sebuah
rumah penginapan kecil di tempat yang agak sepi. Menurut kebiasaan, murid-murid
partai pengemis tak pernah menginap di hotel sehingga Cia Soen tak usah kuatir
akan bertemu dengan rombongan musuh.
“Boe Kie, mataku buta dan tak
bisa ikut menyelidiki,” kata Cia Soen. “Kepandaian Cie Jiak belum cukup,
biarpun ikut ia takkan bisa membantu kau. Sebaiknya kau pergi sendiri saja.”
Boe Kie mengangguk. Sesudah
mengaso sebentar, ia lalu keluar seorang diri. Dari selatan ia berjalan ke
utara, tapi sesudah berjalan beberapa lama, seorang pengemis pun tak ditemui
olehnya.
“Ke mana mereka pergi?” tanya
Boe Kie di dalam hati. Sebab baru berpisah kira-kira setengah jam, ia percaya
rombongan pengemis itu belum pergi jauh dan ia akan bisa mencarinya.
Ia lalu pergi ke sebuah warung
kelontong. Sambil menepuk meja dengan mata melotot ia membentak, “Hei! Ke mana
perginya saudara-saudaraku?”
Melihat sikap yang galak,
orang-orang di warung itu jadi ketakutan. Salah seorang yang bernyali lebih
besar menghampiri dan sambil menuding ke utara ia berkata, “Kawan-kawan Toaya
(tuan) menuju ke sana. Apa Toaya mau minum teh?”
“Tidak. Aku tak sudi minum
segala teh bau,” bentak Boe Kie yang lalu berjalan keluar dengan langkah lebar.
Dalam hati ia tertawa geli.
Baru saja ia melewati
perbatasan kota, dari gombolan rumput tinggi mendadak melompat keluar seorang
pengemis yang dilihatnya dari gerakannya mau mencegahnya. Dengan cepat ia
melompat sambil mengempos semangat. Bagaikan anak panah, badannya berkelabat
melewati si pencegat. Pengemis itu mengucek matanya. Ia merasa heran. Apa ia
salah lihat? Ke mana perginya manusia yang tadi kelihatan mendatangi?
Mulai dari situ, sepanjang
jalan di jaga keras. Boe Kie segera mengeluarkan ilmu meringankan badan. Dengan
matanya yang sangat jeli, ia bisa lihat penjaga-penjaga yang di tempatkan di
antara rumput-rumput tinggi, di belakang pohon atau di belakang batu besar.
Sebaliknya daripada jadi halangan, orang-orang itu merupakan penunjuk jalan.
Sesudah berlari-lari empat lima li penjagaan makin rapat. Kepandaian
orang-orang itu kalah jauh dari Boe Kie tapi meloloskan diri dari mata mereka
di tengah hari benar-benar bukan pekerjaan kecil, arah satu kelenteng di lereng
gunung ia menduga bahwa perhimpunan Kay pang akan dilansungkan di rumah berhala
itu.
Setibanya di situ, ia lihat
papan nama yang tertulis “Bie lek Sin bio Kelenteng bie lek hoat”. Kelenteng itu
besar, indah dan angker, “Dengan memilih tempat di sini, pertemuan mungkin akan
dihadiri oleh banyak tokoh-tokoh penting,” pikirnya. “Kalau aku membaurkan diri
di antara mereka, mereka mungkin sadar.” Ia lalu mengamat-amati keadaan di
sekitarnya. Di dalam pekarangan sebelah kiri di depan toa tian (ruangan besar)
terdapat sebuah pohon siong tua, sedang di sebelah kanannya berdiri pohon pak.
Kedua pohon itu rindang daunnya, besar dan tinggi, lebih tinggi banyak dari
atap toa tian. Ia segera pergi ke belakang kelenteng dan melompat ke atas
genteng. Dengan merunduk, ia mengayun dan sekali melompat ia sudah berada di
pohon siong. Sambil memeluk sebatang cabang besar ia melongok ke bawah dan ia
bersorak di dalam hati, sebab dari situ ia bisa memandang ke seluruh toa tian.
Lantai Tay hiong Po tian
ternyata sudah penuh dengan pengemis yang berjumlah kira-kira tiga ratus orang.
Mereka semua menghadap ke dalam sehingga melompatnya Boe Kie ke pohon tak
dilihat mereka. Dalam ruangan itu terdapat lima lembar tikar yang masih kosong.
Rupa-rupanya kelima pemimpin masih ditunggu kedatangannya. Apa yang sangat
menyolok adalah kesunyian di ruangan itu. Ratusan pengemis duduk dengan tegak
tanpa mengeluarkan sepatah kata. Dalam hati Boe Kie memuji. Walaupun derajat
Kay pang sudah banyak merosot dan meskipun di waktu biasa kawanan pengemis itu
sering menunjukkan sikap tak pantas pada tata tertib partai.
Di tengah-tengah Tay hiong Po
tian duduk patung Bie lek hoed dengan perut yang gendut, mulut tertawa lebar
dan paras muka yang sangat ramah.
Selagi Boe Kie memperhatikan
semua itu tiba-tiba terdengar teriakan seseorang. “Ciang-poen Liong-tauw tiba!”
Semua pengemis serentak
berdiri tegak dan menundukkan kepala. Dengan tangan memegang sebuah mangkok
somplak, Ciang-poen Liong-tauw melangkah keluar dan lalu berdiri di sebelah
kanan.
“Ciang-pang Liong-tauw!” orang
itu berteriak pula.
Tiang-loo yang mukanya seperti
Cioe Cong muncul dengan kedua tangan menyangga tongkat bambunya yang
berkilauan. Ia berjalan dengan langkah lebar dan lalu berdiri di sebelah kiri.
Sesudah itu terdengar teriakan
ketiga, “Cie-hoat Tiang-loo!” (Tetua yang memegang undang-undang)
Seorang pengemis tua yang
bertubuh kurus dan memegang sebatang belahan bambu pecah, masuk ke dalam
ruangan dengan langkah yang sangat enteng. “Ilmu ringan badan orang itu cukup
hebat,” piker Boe Kie. “Kira-kira standing dengan po-tay Hweeshio dan hanya
beda setingkat dari Wie Hok-ong.”
Teriakan keempat segera
menyusul, “Coan-kang Tiang-loo!” (Tetua yang menurunkan ilmu)
Yang keluar kini seorang kakek
yang berambut dan berjenggot putih. Paras mukanya aneh seperti tertawa tapi
bukan tertawa. Seperti menangis bukan menangis. Ia bertangan kosong dan
langkahnya tidak memperlihatkan tinggi rendah kepandaiannya.
Keempat orang itu lalu
memindahkan empat lembar tikar ke sebelah bawah dari tikar yang di tengah dan
kemudian sambil membungkuk mereka berseru, “Kami mengundang Pangcoe!”
Boe Kie terkejut, Pangcoe dari
Partai Pengemis yang bernama Soe Hwee Liong dan bergelar Kim gin ciang (Tangan
emas dan perak) jarang sekali muncul dalam Rimba Persilatan. Hadirnya pemimpin
itu membuktikan betapa pentingnya pertemuan yang sedang berlangsung.
Semua pengemis turut
membungkuk dengan sikap hormat. Tak lama kemudian di belakang terdengar suara
langkah dan keluarlah seorang pria bertubuh tinggi besar. Gerak gerik orang itu
yang mukanya bersinar merah seolah-olah orang itu berpangkat atau hartawan
besar dan pakaiannya biarpun tidak mewah sedikitnya bukan pakaian pengemis.
Dengan tangan kanan memegang tiat-tan (peluru besi yang digunakan sebagai
senjata), ia melangkah masuk dengan langkah lebar.
“Murid-murid Kay pang memberi
hormat kepada Pangcoe!” teriak para pengemis.
Soe Hwee Liong mengibaskan
tangannya, “Cukuplah!” katanya. Sehabis berkata begitu, dia segera duduk di
tikar yang terletak di tengah-tengah dan semua pengemis pun segera ikut duduk.
“Lim Heng-too,” kata Soe Hwee
Liong kepada Ciang-poen Liong-tauw, “Cobalah ceritakan soal Kim mo Say ong dan
To liong to.”
Jantung Boe Kie memukul keras
dan ia segera memasang kuping dengan penuh perhatian.
Ciang-poen Liong-tauw bangun
berdiri dan sesudah membungkuk ke arah Pangcoe, ia berkata dengan suara
nyaring. “Saudara-saudara, sebagaimana kalian tahu partai kita dan Mo kauw
sudah bermusuhan selama kurang lebih enam puluh tahun. Semenjak Seng hwee leng
jatuh ke dalam tangan kita, mereka terus berada di bawah angin. Belum lama
berselang, Mo kauw telah mengangkat seorang Kauwcoe baru yang bernama Thio Boe
Kie. Anggota-anggota kita yang turut serta dalam pengepungan Kong ben teng
pernah bertemu dengan si Kauwcoe itu. Dia seorang bocah yang masih bau susu dan
mana bisa dia melawan Soe Pangcoe kita yang berkepandaian sangat tinggi?”
Kata-kata itu disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai, sedang Soe Hwee
Liong sendiri tersenyum-senyum dengan muka bersinar terang.
Sesudah sorak-sorai mereda,
Ciang-poen Liong-tauw berkata pula, “Tapi ada sesuatu yang harus diketahui
kalian. Selama puluhan tahun Mo kauw terpecah belah. Sesudah pengangkatan
Kauwcoe baru itu, keadaan tersebut segera berubah dan perubahan ini merupakan
penyakit di dalam perut bagi golongan kita.”
“Selama setahun ini, kawanan
siluman telah memberontak di berbagai tempat. Han San Tong dan Coe Goan Ciang
bergerak di daerah Hway-see sedang di wilayah Ouw lam dan Ouw pak, Cie Sioe
Hwee telah mendapat kemenangan dalam beberapa pertempuran dan telah menduduki
banyak tempat penting. Kalau mereka berhasil mengusir Tat coe dan mereka pulang
ke negara, maka beberapa puluh laksa saudara-saudara kita akan mati tanpa
kuburan.”
Kawanan pengemis itu segera
berteriak-teriak, “Mereka tidak boleh berhasil! Mereka harus ditumpas!”
“Kita bersumpah untuk hajar Mo
kauw habis-habisan!”
“Kalau Mo kauw berhasil, kita
musnahkan!”
Dilain pihak Boe Kie yang bersembunyi
di pohon berkata di dalam hati, “Tidak disangka selama aku berada di luar
lautan beberapa bulan saudara-saudara sudah mendapat hasil begitu besar.
Kekuatiran Kay pang memang dapat dimengerti, jumlah mereka sangat besar dan
apabila mereka dapat diajak kerjasama, usaha mengusit Tat coe akan berjalan
lebih lancer. Tapi bagaimana? Bagaimana aku harus berbuat untuk mengubah
permusuhan menjadi persahabatan?”
Sementara itu Ciang-poen
Liong-tauw melanjutkan pembicaraannya. “Kalian tahu bahwa Soe Pangcoe biasanya
hidup menyendiri di Cwee siauw San chung (Perkampungan meniup seruling) dan
sudah lama tidak pernah menginjakdunia Kang ouw. Tapi dalam menghadapi urusan
besar ini, ia tidak bisa tidak turun tangan sendiri. Syukur seribu syukur,
Thian memayungi kita, Pat-tay Tiang-loo (Tetua delapan karung) Tan Yoe Liang
telah bersahabat dengan seorang murid Boe tong dan telah mendapatkan sebuah
berita yang sangat penting.” Ia menengadah dan berteriak, “Tan Tiang-loo!
Ajaklah Song Siauw hiap masuk ke dalam sini untuk berkenalan dengan
saudara-saudara kita!”
“Baiklah!” kata seorang di
belakang tembok. Sesaat kemudian dua orang masuk dengan berpegangan tangan.
Yang satu ialah Tan Yoe Liang, yang lain seorang pemuda tampan yang baru
berusia dua puluh tahun lebih dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang.
Boe Kie terkesiap, sebab
pemuda itu adalah Song Ceng Soe, putra Song Wan Kiauw.
Setibanya di tengah ruangan
mereka lalu menjalankan adat kepada Soe Hwee Liong, lalu menyoja keempat ketua
dan akhirnya memberi hormat kepada pengemis yang lain dan merangkap kedua
tangan.
“Tan Tiang-loo,” kata
Ciang-poen Liong-tauw, “Cobalah tuturkan apa yang diketahui olehmu.”
“Saudara-saudara,” kata Tan
Yoe Liang seraya memegang tangan Song Ceng Soe, “Kita sangat mujur bahwa kita
telah mendapat bantuan Song Siauw hiap. Song Wan Kiauw, Song Tay hiap dari Boe
tong pay. Dikemudian hari, Ciangboen Boe tong pay sudah pasti akan jatuh ke
dalam tangannya.”
“Thio Boe Kie, Kauwcoe dari Mo
kauw pada hakikatnya adalah adik seperguruan Song siauw hiap, tahu jelas seluk
beluk keadaan dalam kalangan Mo kauw. Beberapa bulan yang lalu Song siauw hiap
telah memberitahukan aku bahwa siluman besa Kim mo Say ong sudah datang di Leng
coa to di wilayah Teng hay (Lautan Timur).”
“Tapi bagaimana Song Siauw
hiap bisa tahu hal itu?” Tanya Cie hoat Tiang-loo. “Selama beberapa puluhn
tahun orang-orang rimba persilatan berusaha untuk mencari Kim mo Say ong, tapi
usaha ini sia-sia.”
Sejak pertemuan di Leng coa to
di dalam hati Boe Kie juga muncul satu pertanyaan yang belum terjawab.
Kedatangan Cia Soen di Leng coa to ditutup rapat-rapat. Bagaimana Kay pang
mengetahuinya? Maka itu pertanyaan tiba-tiba Cie hoat Tiang-loo lebih menarik
perhatian Boe Kie.
“Berkat rejeki Pangcoe, hal
itu terjadi secara sangat kebetulan,” jawab Tan Yoe Liang. “Di Tang-hay hidup
seorang nenek yang dikenal sebagai Kim ho Po po dan entah bagaimana ia tahu
tempat sembunyinya Cia Soen. Nenek itu yang hidup di pantai laut memiliki
pengetahuan mendalam ilmu pelayaran dan akhirnya berhasil mencari Cia Soen di
sebuah pulau di Kutub Utara. Ia pun berhasil membawa Kim mo Say ong ke pulau
Leng coa to, memenjarakan sepasang suami-istri yaitu Wie Pek dan Boe Ceng Eng,
ahli waris partai persilatan di negeri Toa lie. Waktu Kim hoa Po po pergi ke
Tiong-goan, mereka mendapat kesempatan untuk membunuh penjaga-penjaga dan
melarikan diri. Di Shoa tang mereka menemui bahaya dan pada saat yang tepat
secara kebetulan ia ditolong oleh Song Siauw hiap. Dalam pembicaraan mereka
membuka rahasia dan inilah sebabnya mengapa Song Siauw hiap tahu kedatangan Cia
Soen di Leng coa to.”
Cie hoat Tiang-loo
manggut-manggutkan kepalanya.
Boe Kie menghela napas,
“Manusia tak bisa melawan maunya Thian,” pikirnya.
“Wie Pek dan Boe Ceng Eng
bukan manusia baik-baik. Dengan tipu busuk mereka mengorek rahasia dari
mulutku. Lantaran itu, barulah Cie san Liong ong tahu tempat kediaman Giehoe.
Pada jaman ini kepandaian Kim hoa Po po dalam ilmu pelayaran jarang ada
tandingannya. Kalau bukan dia yang turun tangan, siapa lagi yang bisa mencari
Giehoe di Peng hwee to, andaikata kedua orang tuaku masih hidup, belum tentu
mereka bisa mengarungi samudra dan tiba di Peng hwee to dengan selamat. Dari
sini dapat dilihat bahwa manusia tidak bisa menentang kemauan Thian.”
Sesudah berdiam sejenak, Tan
Yoe Liang berkata lagi, “Aku dan Song Siauw hiap mempunyai ikatan mati hidup
bersama-sama (persaudaraan). Sesudah mendapat berita itu, Kie Tiang-loo, The
Tiang-loo dan lima murid tujuh karung, aku pergi ke Leng coa to dengan tujuan
membekuk Cia Soen dan merampas To liong to untuk dipersembahkan kepada Pangcoe.
Apa mau kata, rombongan Mo kauw yang berjumlah besar mendadak tiba di situ.
Kami semua bertempur mati-matian tapi jumlah kami yang kecil tak bisa melawan
jumlah mereka yang besar. Akhirnya Kie Tiang-loo dan empat murid tujuh karung
gugur dalam pertempuran. Tentang jalannya pertempuran, aku minta The Tiang-loo
yang melaporkan kepada Pangcoe.”
The Tiang-loo yang lengan
kanannya buntung segera bangun berdiri dan menceritakan pertempuran di Leng coa
to itu. Tapi cerita-ceritanya dusta. Ia mengatakan bahwa rombongan Beng kauw
yang berjumlah besar mengepung Kay pang yang berjumlah kecil tapi terus melawan
dengan nekad sehingga lima diantaranya mengorbankan jiwa. Akhirnya dengan
bernapsu ia menceritakan tentang kesaktian Tan Yoe Liang dalam usaha menolong
jiwanya sehingga Cia Soen dipengaruhi oleh kegagalan itu dan tidak berani turun
tangan lagi.
Para pengemis bersorak-sorai
memuji manusia-manusia licik itu.
“Tan Heng tee bukan saja
pintar dan gagah tapi juga mempunyai gie-knie (rasa persahabatan) yang sangat
tebal,” kata Coan kang Tiang-loo.
Tan Yoe Liang membungkuk.
“Berkat ajaran Pangcoe dan Tiang-loo Koko, aku dapat memahami
kewajiban-kewajiban partai,” katanya. “Demi kepentingan kita, biarpun mati masuk
ke dalam lautan api, aku takkan menolak. Apa yang aku perbuat tidak berarti dan
tidak cukup berharga untuk mendapat pujian yang begitu tinggi dari The
Tiang-loo. Pujian itu sungguh membuat aku merasa sangat malu.”
Mendengar kata-kata merendah
itu, rasa kagum para pengemis jadi lebih besar.
Makin lama Boe Kie jadi makin
dongkol. Manusia tak mengenal malu itu yang terang-terangan mau menjual sahabat
guna menolong jiwanya sekarang dianggap sebagai ksatria yang tebal rasa
persahabatannya. Tapi dia memang telah menjalankan siasat secara pandai. Bahkan
The Tiang-loo sendiri sudah dikelabui olehnya. Mengingat begitu Boe Kie berkata
di dalam hati, “Tan Yoe Liang benar-benar seorang kan hiong (orang gagah yang
jahat). Bukan saja Giehoe, malah akupun sudah kena tipu. Hanya Tio Kauwnio yang
tidak dapat diakali. Hai!...Tio Kauwnio sungguh pintar…sayang hatinya kejam…”
Sementara itu Cie hoat
Tiang-loo bangun berdiri, “Banyak sekalio saudara kita telah dibinasakan oleh
kawanan iblis,” katanya dengan suara dingin. “Apa kita boleh menyudahi saja
sakit hati itu?”
Para pengemis segera
berteriak-teriak.
“Sakit hatinya Kie Tiang-loo
harus dibalas.”
“Ratakan Kong beng teng!”
“Bunuh Thio Boe Kie! Mampuskan
Cia Soen!” dan sebagainya.
Sesudah teriakan-teriakan
mereda, Cie hoat Tiang-loo berpaling kepada Soe Hwee Liong dan berkata, “Lapor
kepada Pangcoe bahwa murid-murid partai kita merasa sangat penasaran dan kami
mohon petunjuk Pangcoe dalam usaha membalas sakit hati.”
Alis Soe Hwee Liong berkerut.
“Hm…memang soal ini soal besar dari partai kita,” katanya. “Hm…kita harus
berdamai dengan otak dingin. Coba kau perintahkan supaya semua murid tujuh
karung ke bawah meninggalkan ruangan ini untuk sementara waktu agar kita bisa
berunding dengan tenang.”
Cie hoat Tiang-loo mengangguk
dan sambil berpaling kepada para pengemis, ia membentak. “Dengarlah! Semua
orang dari murid tujuh karung ke bawah diminta meninggalkan ruangan ini untuk
sementara waktu dan menunggu diluar kelenteng.”
Para pengemis segera
mengiyakan dan sesudah membungkuk ke arah Soe Hwee Liong, mereka segera
berjalan keluar sehingga dalam sekejap ruangan toa tian hanya tertinggal
pemimpin-pemimpin Kay pang yang penting.
Tan Yoe Liang maju selangkah
dan berkata seraya membungkuk, “Lapor kepada Pangcoe bahwa saudara ini Song
Ceng Soe, Seng Heng tee berjasa besar terhadap partai kita. Maka itu aku mohon
restu Pangcoe supaya ia diperbolehkan masuk ke dalam partai kita. Seorang yang
mempunyai kepribadian dan kedudukan sebagai Song Heng tee dibelakang hari pasti
akan dapat melakukan sesuatu yang sangat berharga bagi partai kita.”
“Tapi…tadi…,” kata Song Ceng
Soe dengan suara terganggu. “Hal ini tidak…” Baru saja ia mengucapkan perkataan
“tidak”, Tan Yoe Liang sudah mengawasinya dengan sorot mata tajam. Melihat
sinar mata yang berabu dan kejam itu, ia menundukkan kepalanya dan tidak
membuka suara lagi.
“Bagus,” kata Soe Hwee Liong,
“Kami menyambut dengan girang masuknya Song Ceng Soe ke dalam partai kita.
Untuk sementara waktu, ia diberi kedudukan murid enam karung dan berada dibawah
pimpinan Tiang-loo delapan karung Tan Yoe Liang. Kuharap Song Heng tee suka
menaati segala peraturan kita dan bekerja keras demi kepentingan partai.
Peraturan kita selalu dijalankan dengan keras, siapa yang berjasa akan
dihargai, siapa yang berdosa akan dihukum.”
Kedua mata Song Ceng Soe
mengeluarkan sinar sengsara dan dongkol, tapi sebisanya ia menekan perasaannya
itu. Ia maju beberapa langkah dan berlutut dihadapan Soe Hwee Liong. “Tee coe
(murid) Song Ceng Soe memberi hormat kepada Pangcoe,” katanya. “Terima kasih
atas kemurahan Pangcoe yang sudah memberi kedudukan murid enam karung kepada
tee coe.” Sesudah itu iapun memberi hormat dengan berlutut kepada semua
tiang-loo dan liong-tauw.
“Song Heng tee!” kata Cia hoat
Tiang-loo dengna suara angker. “Sesudah menjadi anggota partai, kau terikat
dengan semua peraturan. Di hari nanti, andaikata kau menjadi ciang boen dari
Boe tong pay, kau tetap harus menaati segala perintah dari pimpinan Kay pang.
Apakah kau sudah tahu adanya peraturan ini?”
“Ya,” jawabnya.
“Song Heng tee!” kata Cia hoat
pula. “Walaupun tujuannya sama, yaitu sama-sama bertujuan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan ksatria tapi jalan yang diambil oleh Kay pang dan Boe tong
pay berbeda. Mengapa kau rela masuk ke dalam partai kita? Jawablah! Kau harus
menjawab dengan sejujur-jujurnya dan sejelas-jelasnya.”
Sebelum menjawab, pemuda itu
melirik Tan Yoe Liang, “Tan Tiang-loo melepas budi yang sangat besar terhadap
tee coe,” sahutnya. “Tee coe sangat mengakuinya dan rela untuk mengabdi dibawah
perintahnya.”
Tan Yoe Liang tertawa. “Disini
tak ada orang luar,” katanya. “Song Heng tee, kau boleh bicara secara bebas.
Kalau kau merasa tak enak biarlah aku yang menjelaskan. Sesudah Biat coat
Soethay meninggal dunia, Ciang boen jin yang baru dari Go bie pay adalah
seorang gadis yang sangat cantik. Cioe Cie Jiak namanya. Nona itu dan Song Heng
tee adalah kawan dari kecil dan mereka sudah berjanji untuk menjadi suami
isteri. Diluar dugaan, Cioe Kauwnio dirampas oleh kepala siluman Thio Boe Kie
yang membawanya kabur ke seberang lautan. Dalam gusarnya Song Heng tee meminta
bantuanku. Aku segera menyanggupi dan aku bersumpah untuk merebut kembali nona
itu.”
Boe Kie merasa dadanya seperti
mau meledak, tapi sebisanya ia menahan napas amarahnya.
Soe Hwee Liang tertawa
terbahak-bahak. “Kita tidak bisa menyalahkan Song Heng tee, sejak dulu orang
gagah memang sukar menolak wanita cantik,” katanya. “Yang satu Ciang boen dari
Boe tong pay yang lain Ciang boen Go bie pay. Sungguh kedudukan yang sederajat,
muda sama muda!”
“Tapi Song Heng tee dalam
menghadapi kejadian itu mengapa kau tidak meminta bantuan Thio Sam Hong Cinjin
atau Song Tayhiap?” Tanya Cia hoat Tiang-loo lagi.
“Menurut keterangan Song Heng
tee, sekarang Boe tong pay bergandengan tangan dengan Mo kauw,” kata Tan Yoe
Liang. “Thio Sam Hong dan ayah Song Heng tee sungkan bentrok dengan agama iblis
itu. Pada waktu ini dalam seluruh rimba persilatan hanya partai kita yang
bermusuhan dengan Mo kauw dan mempunyai cukup tenaga untuk menghadapi agama
siluman itu.”
Cia hoat Tiang-loo
manggut-manggut. “Dia itu benar,” katanya. “Sesudah kita memusnahkan Mo kauw
dan membinasakan si bocah Boe Kie, keinginan Song Heng tee pasti akan
terkabul.”
Mendengar tanya jawab itu Boe
Kie segera ingat kejadian di Kong beng teng. Ia ingat sikap Song Ceng Soe yang
luar biasa terhadap Cie Jiak dan sekarang ia tahu bahwa putra pamannya telah
jatuh cinta kepada tunangannya.
“Tapi dia betul-betul gila!”
katanya didalam hati. “Karena seorang wanita dia rela mengkhianati rumah
perguruan sendiri bahkan ayah kandungnya sendiri. Cinta Cie Jiak terhadapku
adalah cinta yang suci. Biarpun dibantu Kay pang, dia pasti tak akan bisa
memaksa Cie Jiak untuk menuruti kemauannya. Hai!...Song Toako sudah mendapat
nama dan dipandang sebagai tunas harapan dari Boe tong pay. Bagaimana dia bisa
tersesat sampai begitu jauh?” Ia merasa sangat menyesal dan menghela napas
berulang-ulang.
Sementara itu, Tan Yoe Liang
sudah berkata lagi. “Lapor kepada Pangcoe bahwa didekat kota raja, teecoe telah
membekuk salah seorang penting dalam kalangan Mo kauw. Orang ini mempunyai
sangkut paut dengan usaha partai kita. Tee coe minta keputusan Pangcoe mengenai
orang itu.”
Tan Yoe Liang segera menepuk
tangan tiga kali, “Bawa masuk kepala iblis yang ditawan itu,” teriaknya.
Jantung Boe Kie memukul keras.
Siapa yang tertangkap?
Hampir bersamaan dari belakang
toa tian keluar empat pengemis bersenjata dengan seorang tangkapan yang kedua
tangannya terbelenggu. Boe Kie merasa bahwa ia pernah bertemu dengan orang itu
yang berusia kira-kira dua puluh tahun di Ouw taip kok, tapi ia lupa namanya.
Pemuda itu berjalan masuk dengan paras muka gusar dan waktu melewati Tan Yoe
Liang tiba-tiba ia membuka mulut dan menyembur dengan ludahnya. Tan Yoe Liang
berkelit dan menggampar pipi kiri orang itu yang segera menjadi bengkak. Salah
seorang pengemis yang mengawalnya mendorong dan membentak, “Jangan kurang ajar!
Ayo berlutut dihadapan Pangcoe!”
Tapi sebaliknya, pemuda itu
kembali menyemburkan riak ke muka Soe Hwee Liong.
Karena jarak mereka sangat
dekat dan semburan itu dilakukan dengan tenaga dalam yang cukup hebat, maka
walaupun Soe Hwee Liong coba mengelak, riak itu mampir tepat di dahinya. Tan
Yoe Liang melompat dan menyapu dengan kakinya sehingga pemuda itu roboh di lantai.
“Bangsat! Apa kau sudah bosan hidup?” bentaknya sambil berdiri menghadang di
depan Soe Hwee Liong.
“Sesudah jatuh ke dalam
tanganmu, tuanmu memang sudah tidak berpikir soal hidup lagi,” jawabnya.
Sesudah Soe Hwee Liong
menyusut riak dari dahinya, Tan Yoe Liang segera mundur beberapa langkah dan
berkata, “Lapor kepada Pangcoe bahwa bocah itu adalah salah seorang jago yang
terhebat dalam kalangan Mo kauw. Ilmu silatnya berada ditempat keempat Hoat
ong. Kita tak boleh memandang rendah kepadanya.”
Semula Boe Kie merasa heran
tapi ia segera mengerti bahwa Tan Yoe Liang sengaja menunjukkan kepandaian
pemuda itu untuk menolong muka sang Pangcoe. Biar bagaimanapun Soe Hwee Liong
seorang pemimpin paling tinggi dari Kay pang tidak dapat mengelak dari semburan
seorang tangkapan merupakan kejadian yang benar-benar aneh, benar-benar tidak
masuk akal. Apalagi sesudah mendapat hinaan yang hebat itu, dia sama sekali
tidak menunjukkan kegusaran. Pada paras mukanya bahkan terlihat sinar
kebingungan seolah-olah ia merasa takut akan terbukanya suatu rahasia besar.
Boe Kie jadi makin heran. Ia
merasa bahwa dalam peristiwa ini pasti terselip suatu latar belakang yang belum
diketahuinya.
“Tan Heng tee, siapa tangkapan
itu?” tanya Cia hoat Tiang-loo.
“Han Lim Jie, anak Han San
Tong,” jawabnya.
Sekarang Boe Kie ingat, ia
ingat bahwa dalam pertempuran di Ouw tiap kok, pemuda itu selalu mengikuti
dibelakang ayahnya dan jarang berbicara dengan orang lain. Tak heran ia tak
ingat lagi namanya.
“Aha! Anak Han San Tong?”
tegas Cia hoat dengan suara girang. “Tan Heng tee jasamu sangat besar. Lapor
kepada Pangcoe bahwa belakangan ini, Han San Tong berturut-turut telah
mengalahkan tentara Goan sehingga namanya disegani orang. Panglima-panglimanya
seperti Coe Goan Ciang, Cie Tat dan Siang Gie Coen adalah jago-jago Mo kauw
yang paling hebat. Sekarang kita berhasil membekuk bocah itu yang bisa
dijadikan semacam sandera. Han San Tong pasti akan jinak dan menuruti segala
perintah kita.”
“Binatang! Jangan mimpi kau!”
caci Han Lim Jie. “Ayahku seorang gagah sejati. Tak akan Thia thia mau ditekan
oleh manusia-manusia tak mengenal malu sepertimu. Thia thiaku mendengar
perintahnya satu orang yaitu Thio Kauwcoe kami. Kay pang ingin bertanding
melawan Beng kauw kami? Huh! Kamu jangan mimpi di siang bolong. Kamu semua
sangat tak tahu diri. Pangcoemu yang semacam itu belum cukup sederajat untuk
berendeng dengan sepatu Thio Kauwcoe kami.”
Tan Yoe Liang tak jadi gusar.
“Han Heng tee,” katanya. “Kau memuji Thio Kauwcoemu tinggi sekali. Kami semua
merasa sangat kagum dan ingin sekali bertemu dengan beliau. Bolehkah kau
mengajak kami untuk menemui beliau?”
Han Lim Jie adalah seorang
yang jujur dan polos. Ia tak tahu kelicikan Tan Yoe Liang. “Thio Kauwcoe
memikul beban yang sangat berat,” jawabnya. “Sekalipun saudara-saudara didalam
Beng kauw, tidak sembarangan bertemu muka dengan beliau karena tak punya waktu
untuk meladeni manusia-manusia seperti kalian.”
Tan Yoe Liang tertawa dingin.
“Omong kosong!” bentaknya mengejek. “Semua orang Kang ouw mengatakan bahwa Thio
Boe Kie sudah dibinasakan oleh tentara Goan di kota raja. Hanya kau seorang
yang masih bicara besar.”
“Bangsat! Tutup bacotmu!” caci
Han Lim Jie. “Tat coe menangkap Kauwcoe kami? Huh huh!...Andaikata dikurung
beribu laksa tentara, Thio Kauwcoe kami masih bisa datang dan pergi sesuka
hati. Memang benar Thio Kauwcoe pergi ke kota raja. Maksud tujuannya ialah
menolong tokoh-tokoh enam partai yang tertangkap musuh. Dibinasakan Tat coe?
Huh huh…tutuplah bacotmu!”
Tan Yoe Liang tetap tidak gusar.
Ia terus ha ha he he. “Mungkin kau benar,” katanya. “Tapi semua orang Kang ouw
mengatakan begitu, aku tidak bisa tidak percaya. Selama setengah tahun
terakhir, kita hanya mendengar nama Han San Tong, Cie Ceng Hwe, Goe Goan Ciang,
Lauw Hok Thong, Pheng Eng Giok dan sebagainya, tapi nama Thio Boe Kie belum
pernah disebut-sebut. Bukankah itu merupakan bukti bahwa bocah she Thio itu
benar-benar sudah mampus?”
Paras muka Han Lim Jie berubah
merah padam, urat-uratnya menonjol keluar. “Binatang…” teriaknya dengan suara
gemetar. “Jangan kau menghina Kauwcoe kami! Suatu hari Kauwcoe akan kembali
dari luar lautan dan kamu semua kan mengenal kehebatannya.”
“Oh oh!...Oh begitu?” kata Tan
Yoe Liang sambil menyeringai. “Kalau begitu Thio Kauwcoemu menjelajahi lautan.
Sekarang kutahu, ia tentu bermaksud untuk menjemput ayah angkatnya, Kim mo Say
ong Cia Soen. Bukankah begitu?”
Han Lim Jie terkesiap. Ia tahu
bahwa ia sudah dijebak oleh musuh pintar itu.
Sesudah diam sejenak, Tan Yoe
Liang berkata pula dengan suara tawar. “Ilmu silat Thio Boe Kie memang boleh
juga, Cuma mukanya muka pendek umur. Ada orang menghitung peruntungannya dan
dia mengatakan bahwa bocah she Thio ini tidak akan hidup lebih lama dari tahun
ini, permulaan…”
Tiba-tiba sebatang cabang
pohon pek dipekarangan itu bergoyang, Boe Kie yang kupingnya sangat tajam
segera mendengar suara napas manusia di cabang itu. Sesaat kemudian, suara
napas itu hilang. Boe Kie tahu bahwa orang itu sudah mengatur jalan
pernapasannya. “Dia sudah sembunyi lebih lama dari aku,” pikirnya. “Sudah lama
dia berada di situ tapi aku tidak mengetahuinya. Dia pasti memiliki kepandaian
yang sangat tinggi.” Sambil berpikir begitu ia mengawasi pohon pek itu.
Diantara cabang dan daun yang
rindang ia melihat ujung baju yang berwarna hijau. Orang itu bersembunyi di
tempat yang sangat bagus dan warna pakaiannya sama dengna warna daun sehingga
kalau Boe Kie tidak mempunyai mata yang luar biasa, ia tak akan bisa
melihatnya.
Sementara itu Han Lim Jie
sudah membentak dengan penuh kegusaran. “Dusta! Thio Kauwcoe seorang yang
berhati murah dan orang baik pasti akan dilindungi langit. Ia masih berusia
muda ia pasti bisa hidup seratus tahun.”
Tan Yoe Liang menghela napas.
“Tapi kau tahu bahwa didalam dunia sering terjadi kejadian luar biasa dan hati
manusia sukar dijajaki,” katanya. “Kudengar diseberang lautan ia kena tipu oleh
orang jahat sehingga akhirnya ia dibinasakan oleh kerajaan Goan. Tapi kau tak
usah merasa heran. Orang-orang yang pernah melihat wajah Thio Boe Kie
sependapat bahwa bocah itu takkan hidup lebih lama dari tiga kali delapan puluh
empat tahun…”
Mendadak perkataan Tan Yoe
Liang terputus, sebab hampir bersamaan dengan bergoyangnya cabang pohon pek
sosok tubuh manusia melayang turun ke bawah. “Thio Boe Kie disini!” bentak
orang itu. “Siapa kata aku sudah mati?” Seraya membentak begitu ia melompat
masuk dan berdiri di tengah-tengah toa tian.
Ciang pang Tiang-loo
memapakinya dengan jambretan ke arah leher. Dengan gerakan yang sangat indah,
orang itu berkelit. Ia ternyata seorang pemuda yang sangat tampan dengan
mengenakan ikatan kepala empat segi dan baju warna hijau.
Boe Kie terkesiap karena ia
segera mengenal orang itu tak lain adalah Tio Beng yang menyamar sebagai pria.
Bermacam perasaan memenuhi dadanya, kaget, gusar, cinta dan girang bercampur
aduk menjadi satu. Tanpa terasa ia mengeluarkan seruan tertahan yang untung
juga tak didengar oleh para pengemis yang sedang menumpahkan perhatian mereka
kepada Tio Beng.
Dulu diluar kuil Siauw lim
sie, Tan Yoe Liang pernah bertemu muka dengan Boe Kie. Hal ini terjadi waktu
Boe Kie masih kecil. Dalam jangka waktu belasan tahun Boe Kie sudah berubah
banyak, baik muka maupun badannya sehingga ia tidak bisa mengenali lagi.
Belakangan di pulau Leng coa to, ia bertemu lagi tapi waktu itu Boe Kie dan Tio
Beng memakai kumis palsu dan menyamar sebagai orang-orang Kie keng pang. Maka
itu pada hakikatnya Tan Yoe Liang tak tahu bagaimana rupa Thio Boe Kie
sekarang. Soe Hwee Liong dan yang lain-lain lebih tak mengenalnya. Mereka hanya
pernah mengetahui bahwa Kauwcoe baru dari Beng kauw seorang pemuda yang berusia
kurang lebih dua puluh tahun dan yang berkepandaian sangat tinggi. Melihat cara
berkelitnya Tio Beng lincah dan indah mereka tak ragu lagi. Tapi Tan Yoe Liang
merasa sangsi sebab Tio Beng terlampau cantik untuk jadi seorang pria, usianya
terlalu muda dan suaranya bukan suara lelaki. Maka itu ia segera membentak,
“Thio Boe Kie sudah mampus! Siapa kau? Sungguh berani kau main gila terhadap
kami!”
“Binatang!” bentak Tio Beng
dengan gusar. “Perlu apa kau mencaci Thio Boe Kie? Thio Boe Kie mempunyai
rejeki yang sebesar langit dan akan berusia seratus tahun. Sesudah
manusia-manusia seperti kamu dikubur, ia masih bisa hidup delapan puluh tahun.”
Mendengar suara si nona yang
bernada duka, jantung Boe Kie memukul keras. Apakah nada duka itu menunjuk rasa
menyesal? Tapi ia segera menekan segala pikiran lain. “Perempuan kejam itu mana
punya rasa menyesal?” katanya dalam hati. “Boe Kie! Oh, Boe Kie! Mengapa kau
begitu lemah? Mengapa hatimu masih harus diikat oleh manusia kejam itu?”
Sementara itu Tan Yoe Liang
bertanya pula dengan suara lebih sabar. “Siapa sebenarnya kau? Kau takkan bisa
mendustai aku. Kau pasti bukan Thio Boe Kie.”
“Aku Thio Boe Kie dari Beng
kauw,” jawabnya. “Mengapa kau tangkap saudaraku? Lekas lepaskan. Dalam segala
hal, aku yang bertanggung jawab.”
Mendadak terdengar suara tawa
dingin. “Tio Beng Kauwnio,” kata seseorang. “Orang lain bisa tak mengenal kau
tapi aku mengenal kau. Orang lain bisa tak mengenal Thio Boe Kie tapi aku mengenalnya
dengan baik. Lapor kepada Pangcoe bahwa perempuan itu dalah putrinya Jie Lam
Ong. Dia bergelar Beng beng Koencoe dan mempunyai banyak orang pandai. Kita
harus bersiap siaga.” Orang yang melucuti topeng Tio Beng adalah Song Ceng Soe.
Cia hoat Tiang-loo segera
bersiul nyaring.
“Ciang pang Tiang-loo!”
teriaknya. “Bawalah sejumlah saudara kita untuk menjaga diluar kelenteng. Hajar
setiap musuh yang mau coba menerobos masuk.”
Ciang pang Tiang-loo segera
mengiyakan.
Dalam sekejap diempat penjuru
terdengar teriakan-teriakan para pengemis yang bersiap untuk menyambut musuh.
Paras muka Tio Beng agak
berubah. Ia menepuk tangan dan dari atas tembok melayang turun dua orang.
Mereka adalah Hian beng Jie loe Lok thung kek dan Ho pit ong.
“Bekuk mereka!” bentak Cia
hoat Tiang-loo.
Empat murid tujuh karung
segera menerjang. Tapi mereka bukan tandingan Hian beng Jie lok. Dalam tiga
jurus mereka sudah luka semua. Melihat itu Coan kang Tiang-loo segera turun ke
arena dan menghantam Ho pit ong dengan pukulan yang mengeluarkan deru angin
dahsyat. Boe Kie tahu bahwa pukulan itu adalah Kian liong Cay tian (melihat
naga di sawah) dari Han liong Sip pat ciang (Delapan belas pukulan menakluki
naga). Dulu di Peng hwee to, ia pernah mendengar keterangan dan melihat contoh
dari pukulan itu yang diberikan oleh ayah angkatnya. Tapi ketika itu, ia masih
belum bisa menangkap intisari pukulan tersebut. Sekarang ia merasa sangat
kagum, ia tak sangka bahwa Hang liong Sip pat ciang sedemikian hebat dan si
pengemis tua ternyata sudah mengalami dasar ilmu silat Kioe cie Sin kay Ang Cit
Kong yang sangat tinggi itu.
Ho pit ong tidak berani
bermain lagi. Cepat-cepat ia menggunakan Hian beng Sin ciang dan memapaki
telapak tangan si pengemis. Plaak! Kedua tangan beradu. Hian liong Sip pat ciang
mengandung tenaga soen-kang (keras yang murni) sedang tenaga Hian beng Sin
ciang bersifat Im jioe (dingin dan lemas). Kedua lawan itu sama-sama sudah
berlatih puluhan tahun dan tenaga dalam mereka sama-sama sudah mencapai tingkat
yang tinggi. Dalam bentrokan tangan yang pertama, kedua pihak kira-kira
standing. Coan kang Tiang-loo merasa semacam hawa yang sangat dingin menerobos
masuk ke lengan dari telapak tangan dan terus naik ke atas. Dilain pihak Ho pit
ong merasa hawa dan darah bergolak-golak di dadanya. Ia terkejut dan mengawasi
lawannya dengan mata mendelik.
Ia mendapati kenyataan bahwa
dengan paras muka pucat dan biji mata merah, pengemis itu dengan mengerahkan
seluruh tenaganya untuk melawan hawa dingin yang dikirimnya.
Ia merasa sangat girang.
“Kukira hari ni aku bertemu lawan yang berat,” katanya dalam hati. “Untung juga
dia masih kalah setingkat.” Ia segera mengambil keputusan untuk menyerang pula.
Ia maju selangkah dan menghantam lagi dengan Hian beng Sin ciang yang tenaganya
menyambar dari empat penjuru sehingga tidak dapat ditambah lagi. Coan kang
Tiang-loo tidak bisa berbuat lain daripada menyambut lagi dengan pukulan Hang
liong Sip pat ciang.
Biarpun tenaga kedua lawan
kira-kira setara, sifat tenaga mereka agak berbeda. Ciang hoat Coan kang
Tiang-loo adalah warisan Ang Cit Kong dan merupakan ilmu yang murni bersih
sedang Hian beng Sin ciang Ho pit ong mengandung hawa dingin yang beracun.
Dalam Lweekang, kedua belah pihak sama-sama kuat. Tapi setiap kali tangan
mereka beradu, Coan kang Tiang-loo harus menggunakan sebagian tenaganya untuk
mengusir hawa dingin yang beracun itu sehingga dengan demikian ia harus
menggunakan lebih banyak tenaga daripada lawannya. Oleh karena itu, sesudah
beradu tangan tiga kali si pengemis tua segera jatuh dibawah angin.
Disudut lain toa tian, dengan
menggunakan tongkat tanduk menjangan, Lok thung kek melawan Cia hoat Tiang-loo
dan Ciang poen Liong-tauw. Meskipun dikerubuti, jagonya Tio Beng tidak jadi
keteter dan terus berkelahi dengan hati mantap.
Dengan rasa kuatir Ciang pang
liong tauw memperhatikan keadaan Coan kan Tiang loo. Kawan itu sudah menyelami
duabelas antara delapanbelas pukulan Hang liong Sip pat ciang dan dalam
kalangan Kay-pang, ia memiliki lweekang yang paling kuat. Mengapa ia keteter? Sesudah
tujuh kali beradu tangan, napasnya tersengal-sengal dan ia kelihatannya sudah
payah sekali. Ciang pang liong tauw tahu, bahwa biasanya Coan kang Tianglo tak
suka dibantu orang. Tapi kini ia menghadapi kekalahan. Dari pada kalah atau
binasa, lebih baik disela orang sebagai tukang keroyok, pikir Ciang pang Liong
tauw.
Memikir begitu, ia lantas saja
menyabet Ho Pit Ong dengan tongkat bambunya. Walaupun pukulan itu belum bisa
direndengi dengan Tah kauw Pang hoat (Ilmu Tongkat memukul anjing yang hanya boleh
dimililiki Pangcoe dari Kay pang), tapi di dalam kalangan Partai Pengemis
terdapat serupa kebiasaan, bahwa orang yang bersenjata tongkat selalu
berkepandaian tinggi. Di dalam Kay pang, Ciang pang Liong tauw memang salah
seorang jago utama. Begitu ia turun tangan, Coan kang Tiangloo bisa bernafas
lega dan mereka lalu mendesak Ho Pit Ong sehebat2nya.
Sesudah Hian beng Jie loo
turun, Tio Beng sendiri sebenarnya ingin melarikan diri. Tapi ia keburu dicegat
Tan Yoe Liang yang menyerang dengan pedangnya. Di waktu singkat si nona segera
mengeluarkan pukulan2 terhebat dari beberapa partai yang didapatinya di Ban
hoat sie. Bagaikan kilat ia mengirim serangan berantai – yang pertama pukulan
dari Hwa san Kiam hoat, yang kedua dari Koen loen Kiam hoat, yang ketiga dari
Kong tong Kiam Hoat. Tikaman keempat yang menyusul adalah Hang mo Toa koe sit
dari Go bie pay. Tan Yoe Liang kaget tak kepalang dan dalam kagetnya, ia tak
keburu menyambut sambaran pedang. Seperti anak panah, pedang Tio Beng meluncur
ke hulu hati… Tapi, pada detik ujung pedang menyentuh dada, terdengar suara
“trang!” dan pedang nona Tio terpukul ke samping. Orang yang menolong adalah
Song Ceng Soe. Di lain saat, Tio Beng sudah dikerubuti.
Semua kejadian itu tidak
terlepas dari mata Boe Kie. Ia memperhatikan serangan2 Song Ceng Soe yang
menggunakan Boe tong Kiam hoat dan ternyata pemuda itu telah dapat menyelami
pelajaran yang diturunkan oleh ayahnya. Sementara itu, saban ada lowongan, Tan
Yoe Liang menyerang dari samping dengan pukulan pukulan Siauw lim. Dengan
demikian, meskipun mengenal macam2 ilmu silat, dalam pertempuran jangka
panjang, perlahan tapi tentu, Tio Beng keteter.
Boe Kie jadi bingung tercampur
heran.
“Mengapa ia menggunakan pedang
biasa?” tanyanya di dalam hati. “Kalau menggunakan Ie thian kiam, ia segera
bisa meloloskan diri.” Waktu itu nona Tio mengenakan pakaian yang tipis dan pas
betul pada tubuhnya, sehingga dapat dilihat bahwa ia menyoren pedang mustika
itu di pinggangnya.
Sesudah kebingungan beberapa
saat, Boe Kie menegur dirinya sendiri: “Boe Kie! Ah, Boe Kie! Kau benar gila!
Perempuan siluman itu telah membinasakan Piaw moay. Aku seharusnya merasa
girang kalau Song Ceng Soe berhasil membunuh dia. Mengapa aku jadi bingung? Ini
membuktikan, bahwa aku masih belum bisa melepaskan dia. Ah… aku bukan saja
harus merasa bersalah terhadap Piauw moay, tapi juga terhadap Giehoe dan Cie
Jiak.”
Tak lama kemudian, beberapa
jago Kay pang lain turun ke gelanggang, sedang pihak Tio Beng tidak mendapat
bantuan. Melihat keadaan tidak baik, Lok Thung Kek berseru, “Koencoe Nio nio!
Ho Heng tee! Mundur ke pekarangan luar dan menyingkir!”
“Baiklah,” kata Tio Beng.
“Manusia she Tan itu telah mencuci Thio Kongcoe. Aku merasa sangat tidak
senang. Sebelum mundur kamu harus hajar padanya.”
“Nio nio mundur saja lebih
dahulu,” kata Lok Thung Kek. “Serahkan bocah itu kepada kami.”
“Han Lim Jie setia terhadap
Thio Kongcoe,” kata pula nona Tio. “Kamu harus menolong dia.”
“Baik! Sesudah Nio nio mundur,
kami akan menolongnya,” jawab si kakek.
Pertempuran terus berlangsung
dengan hebatnya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Soe Hwee Liong berdiri
menonton di satu pojok. Mendengar pembicaraan antara Tio Beng dan Hian beng Jie
loo, Coan kang dan Cie hoat segera berteriak teriak, memberi perintah kepada
kawanan pengemis untuk mencegat di empat penjuru.
Mendadak Hian beng Jie loo
meninggalkan lawannya dan dengan kecepatan kilat, dia menyerang Soe Hwee Liong.
Perubahan itu tak diduga2 dan meskipun berkepandaian tinggi, Soe Hwee Liong
takkan bisa menyambut serangan kedua kakek itu yang dikirim dengan sepenuh
tenaga.
Tapi, sebab belum takdirnya
mati, seorang penolong sudah bersiap sedia. Mendengar pembicaraan Tio Beng dan
kedua jagonya, Tan Yoe Liang yang sangat pintar sudah menduga bakal adanya
serangan itu. Ia segera mendekati Soe Hwee Liong. Pada detik yang sangat
berbahaya, ia mendorong pundak Soe Hwee Liong ke belakang patung Bie lek Hoed,
sehingga pukulan Jie loo jatuh di patung itu lantas pecah, pecahnya muncrat
berhamburan dan patung itu sendiri bergoyang-goyang. Ho Pit Ong maju setindak,
menghantam dan mendorong patung yang sangat besar itu lantas saja roboh
terguling.
Keadaan jadi kalut semua orang
melompat minggir supaya tak tertimpa. Dengan menggunakan kesempatan itu, Tio
Beng segera kabur ke pekarangan depan dengan dikejar oleh Song Ceng Soe dan
Ciang pang Liong tauw.
Selagi nona mau melompati
pintu tiga batang tongkat menyambar kakinya. Tio Beng mencelos batinnya ia
digencet dari belakang dan dari depan. Dengan mati matian ia berhasil
mengalihkan dua tongkat yang menyambar lebih dulu, tapi tongkat ketiga mampir
tepat pada kakinya sehingga tanpa ampun lagi ia ambruk di lantai. Song Ceng Soe
merangsek membalik pedangnya dan memukul kepala si nona dengan gagang pedang
untuk menangkapnya hidup-hidup.
Pada saat saat yang berbahaya,
mendadak tongkat bambu Ciang pang Liong tauw berkelebat dan menangkis pedang
Song Ceng Soe dan dengan berbareng satu bayangan manusia melompat keluar dari
atas tembok, dengan kecepatan yang sukar dilukiskan.
Song Ceng Soe menengok kepada
Ceng pang Liong Tauw dan bertanya dengan suara mendongkol. “Mengapa kau
lepaskan dia?”
“Perlu apa kau pukul
tongkatku?” si pengemis balas tanya dengan mata melotot.
“Eeh! Bukankah kau yang pukul
gagang pedangku? Mengapa…”
“Jangan rewel! Lekas kejar!”
Mereka segera melompati
tembok. Di luar, di kaki tembok, mereka bertemu dengan seorang murid tujuh
karung yang patah kakinya dan tidak bisa bediri lagi. Mereka segera menghampiri
tujuh delapan pengemis yang menjaga diluar kelenteng. “Kemana larinya perempuan
siluman itu?” tanya Cia pang Liong tauw.
“Perempuan yang mana? Kami tak
melihat manusia lain,” jawab seorang.
Ciang pang Liong tauw gusar
tak kepalang. “Apa kamu buta?” bentaknya. “Terang terangan perempuan itu
melompat keluar dari tembok sana.”
Sambil membangunkan pengemis
yang patah kakinya, seorang murid enam karung berkata. “Barusan toako inilah
yang melompat keluar. Kami tak lihat orang lain.”
Ciang pang Liong tauw
menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal. “Mengapa kau melompati tembok?”
tanyanya.
“Aku… aku… ditangkap dan
dilemparkan,” jawab si murid tujuh karung sambil menahan sakit. “Perempuan
siluman itu mempunyai ilmu yang sangat aneh.”
Dengan paras muka gusar Ciang
pang Liong tauw mengawasi Song Ceng Soe. “Mengapa kau pukul tongkatku? Apa
maksudmu? Baru saja masuk ke dalam Kay pang, kau sudah coba-coba main gila.”
Soe Ceng Soe meluap darahnya,
tapi sebisa bisa ia menahan hawa marahnya. “Selagi teecoe memukul kepala
perempuan siluman itu, Liong tauw toako menangkis senjataku, sehingga siluman
itu bisa melarikan diri,” jawabnya.
“Omong kosong!” bentak si
pengemis tua. “Perlu apa aku menangkis gagang pedangmu? Sudah beberapa puluh
tahun aku mengabdi di dalam partai dan karena jasa jasaku aku sekarang
menduduki kursi Ciang pang Liong tauw. Apa kau mau mengatakan bahwa aku sengaja
membantu orang luar? Sekarang aku tanya. Sebab apa kau tidak menggunakan ujung
pedang untuk menikam dia dan berlagak memukul dengan gagang pedang? Huh..
huh!.. mataku belum lamur, tak dapat kau memperdayai aku.”
Dalam Boe tong pay, biarpun
kedudukan Soe Ceng Song hanyalah murid turunan ketiga tapi sebab orang orang
Boe tong tahu, bahwa dia adalah calon Ciang boen jin maka mereka sangat
mengindahkannya. Bahwa kau Jie lian Cioe, Thio Song Kee dan yang lain lain yang
masih pernah paman berlaku sungkan kepadanya. Atas tekanan Tan Yoe Liang ia
terpaksa masuk ke dalam Kay pang. Di luar dugaan pada hari pertama, ia sudah
dicaci orang. Ia adalah seorang yang beradat tinggi dan meskipun ia tahu, bahwa
Ciang pang Liong tauw mempunyai kedudukan tinggi, ia tidak bisa menahan sabar
lagi. “Perkataan main gila adalah tuduhan membuta tuli,” katanya dengan
bernafsu. “Liong tauw toako mesti bisa membuktikan tuduhan itu. Terang-terang
kau yang menangkis gagang pedangku. Di siang hari bolong belum tentu tak ada
yang lihat.”
Dengan berkata begitu, Song
Ceng Soe balas menuduh, bahwa si pengemislah yang sudah main gila dan sengaja
melepaskan Tio Beng. Ciang pang Liong tauw adalah seorang berangasan. Mana bisa
ia menelan hinaan itu? “Binatang!” bentaknya. “Kau tidak mengindahkan orang
yang lebih tua. Apakah di tempat ini kau masih mau mengandalkan pengaruh Boe
tong pay?” Seraya berkata begitu, ia menghantam kepala Song Ceng Soe dengan
tongkatnya. Dalam kegusarannya, ia menggunakan tenaga dalam yang dahsyat.
Song Ceng Soe segera menangkis
tanpa sungkan sungkan lagi. Tongkat itu meskipun terbuat daripada bambu sangat
ulet dan keras dan babatan pedang tidak dapat memutuskannya. Begitu kedua
senjata beradu, Song Ceng Soe merasa telapak tangannya terbeset. Ia kaget, si
pengemis ternyata mempunyai Lweekang yang sangat kuat dan lebih unggul daripada
tenaga dalamnya. Di lain pihak, si pengemis merasa lengannya kesemutan. Ia juga
terkejut, sebab ia tak duga pemuda itu memiliki Lweekang yang sedemikian kuat.
“Bocah she Song!” bentaknya. “Berani sungguh kau melawan aku. Apakah kau
suruhan musuh untuk menjadi mata mata di sini?” Sambil mencaci ia menghantam
lagi.