Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 82
“Aku menugaskan kau dan
saudara saudara dari benderamu untuk mempertahankan undang undang ketentaraan,”
kata Boe Kie. “Siapapun juga yang tak mentaati perintah harus dapat hukuman
mati dengan timpukan tombak dan kapak Swie kim kie. Peraturan ini berlaku untuk
semua orang. Tertua dari agama kita, tetua rimba persilatan tidak terkecuali.”
“Baik!” kata Gouw Kin Co
seraya merogoh saku dan mengeluarkan bendera putih kecil.
Dalam rimba persilatan, nama
Gouw Kin Co belum begitu dikenal. Tapi pada waktu diadakan pameran kekuatan Nio
beng kie, semua orang tahu bahwa bendera putih itu tak dibuat permainan. Orang
yang ditimpuk dengan bendera itu berarti diserang dengan lima ratus anak panah
dan lima ratus kapak pendek. Biarpun mempunyai kemampuan tinggi, dia tak usah
harap bisa terlolos dari serangan itu.
Boe Kie mengeluarkan perintah
tersebut sebab pada halaman pertama dari Boe Ie soe, ia membaca nasehat seperti
berikut. “Dalam memimpin tentara yang terpenting adalah peraturan yang keras.”
Ia tahu bawa para Enghiong dalam rimba persilatan biasanya sangat bangga dengan
kepandaian sendiri dan tak sudi menunduk di bawah perintah orang. Manakala
kebiasaan itu dipraktekkan dalam menghadap tentara Goan, mereka semua akan
termusnah.
Sehabis mengeluarkan titah
pertama, sambil menuding tembok di luar ruangan musyawarah, Boe Kie berkata
pula, “Para enghiong siapa yang mempunyai ilmu ringan tubuh tinggi dan bisa
melompat tembok itu, kuminta supaya perlihatkan kepandaian.”
Banyak orang lantas saja
kurang puas, bahkan di antara para cianpwee ada yang mendongkol karena merasaa
bahwa dengaan mengajukan pertanyaan itu, Boe Kie menghina mereka.
Selagi orang saling mengawasi,
Thio Siong Kee maju dan berkata, “Aku bisa!” Dengan sekali menjejak bumi, ia
sudah melompati tembok yang tinggi itu. Tee in ciong dari Boe tong pay tersohor
di kolong langit. Bagi Thio Siong Kee, melompati tembok itu sama mudahnya
seperti membalik tangan sendiri.
Sesudah Thio Siong Kee, dengan
beruntun Jie Lian Cioe, In Lie Heng, Yo Siauw, Wie It Siauw, In Ya Ong dan
lain-lain memperlihatkan kepandaiannya. Contoh itu segera diturut oleh
orang-orang gagah dari lain partai. Dalam sekejap empat ratus orang lebih sudah
berhasil melompati tembok itu. Yang lain sebab rupa rupanya tidak ungkulan,
tidak mencoba.
Para enghiong yang menghadiri
pertemuan itu rata-rata memiliki kepandaian istimewa. Ilmu mengentengkan tubuh
hanya merupakan salah satu cabang dari ilmu silat yang banyak coraknya. Sering
kejadian, bahwa seorang yang mempunyai ilmu luar biasa tidak tinggi ilmu ringan
tubuhnya. Dalam dunia persilatan, ada kalanya seorang tokoh menggunakan seluruh
hidupnya untuk melatih jari tangannya.
Maka itulah, tinggi rendah
dalam ilmu mengentengkan tubuh tidak menjadi ukuran dari tinggi rendah
kepandaian orang yang tersangkut, hal ini diketahui oleh semua ahli silat.
Dengan demikian orang orang yang tidak bisa melompati tembok itu sama sekali
tidak merasa malu.
Boe Kie mendapat kenyataan,
bahwa di antara empat ratus orang itu, pendeta Siauw Lim sie berjumlah kurang
lebih sembilan puluh orang. “Nama besar Siauw Lim sie memang bukan nama
kosong,” katanya di dalam hati. “Dalam ilmu ringan tubuh saja, tokoh-tokoh
Siauw Lim sie berjumlah lebih besar dari lain partai.”
“Jie jiepeh, Thio Siepeh, In
liok siok, kuminta kalian bertiga memimpin para enghiong yang sudah melompati
tembok,” kata Boe Kie. “Kalian harus memancing musuh dengan berlagak seperti
orang yang melarikan diri dari kuil ini. Apabila musuh berhasil dipancing dan
mereka menguber kalian, maka hasil itu merupakan pahala nomor pertama. Sesudah
kalian lari, sampai di belakang gunung kalian harus…”
Petunjuk selanjutnya diberikan
dengan bisik bisik saja dan tidak dapat didengar oleh orang lain.
“Koe koe,” kata Boe Kie
selanjutnya. “Kau bersama Yo cosoe, Hoan Yauw soe dan Wie Hok ong, empat orang
kuminta suka membantu aku. Kita mengambil kedudukan di tengah tengah guna
mengawasi jalan pertempuran dan memberi bantuan kepada pihak yang
memerlukannya.”
Dengan ringkas dan tegas Boe
Kie mengeluarkan berbagai perintah – siapa yang harus bersembunyi untuk
memotong jalan musuh, siapa yang harus melindungi bagian belakang pasukan
sendiri, bagaimana harus menyerang dari depan, bagaimana harus menyerang dari
samping dan sebagainya.
Melihat kepandaian
pemimpinnya, Yo Siauw takluk dan kagum. Ia tak tahu bahwa semua pengaturan itu
berdasarkan siasat dalam Boe bok ie soe.
Akhirnya Boe Kie berkata.
“Kong boen Hong thio, Kong tie Seng ceng, aku minta kalian berdua memimpin para
enghiong dari Go bie pay untuk menolong orang-orang yang terluka dan mengubur
yang mengorbankan jiwa.”
Sebagaimana diketahui
rombongan Go bie tidak punya pemimpin sebab Cie Jiak tidak berada di situ.
Lantaran ada ganjalan, Boe Kie merasa tidak enak untuk memerintah mereka. Sebab
itu ia meminta bantuan Kong boen dan Kong tie, dua orang tua yang mempunyai
nama besar dan kedudukan tinggi. Ia merasa bahwa tindakannya itu akan tidak
ditentang oleh murid murid Go bie, benar saja semua anggota Go bie pay
menerimanya tanpa mengeluarkan sepatah katapun juga.
Di luar dugaan Kong boen dan
Kong tie saling mengawasi dan kemudian saling mengangguk. “Lo ceng sangat
takluk akan kepandaian Beng coe,” kata Kong boen sambil membungkuk. “Sebenarnya
looceng tidak boleh mengeluarkan bantahan terhadap pengaturan Beng coe. Tapi
lantaran terpaksa kami berdua ingin memohon sesuatu.”
“Hong thio tak usah berlaku
sungkan,” kata Boe Kie. “Katakanlah apa yang dipikirkan Hong thio.”
“Kami berdua hanya memohon
supaya kami diperbolehkan untuk menjaga kuil ini,” kata Kong boen.
Boe Kie mengerutkan alis.
Sesudah memikir sejenak, ia dapat menangkap latar belakang permintaan itu. Tipu
yang sedang dijalankan adalah tipu meninggalkan Siauw Lim sie, berlagak kabur
ke belakang gunung untuk memancing musuh dan kemudian membasminya. Tapi ini didasarkan
siasat Gak Hoe waktu jenderal itu terkepung di Goe tauw san. Tapi keadaan Goe
tauw san berbeda dengan Siauw sit san. Goe tauw san adalah sebuah gunung yang
gundul, tidak ada sesuatu yang berharga. Dilain pihak, di atas Siauw sit san
berdiri kuil Siauw Lim sie yang berusia ribuan tahun, sebuah pusat agama Buddha
yang suci. Ada kemungkinan bahwa apabila kuil itu ditinggalkan tanpa terjaga,
tentara musuh akan merusaknya bahkan mungkin juga akan membakarnya. Lantaran
itulah Kong boen dan Kong tie minta permisi untuk menjaganya. Mereka bertekad
untuk mati hidup bersama sama di kuil Siauw Lim sie.
“Baiklah,” kata Boe kie sambil
mengangguk. “Aku merasa sangat kagum akan tekad Jie wie taysoe, kalian boleh
menjaga kuil ini.”
Para enghiong merasa heran.
Semula mereka menduga bahwa Boe Kie akan menolak permintaan itu. Melihat
pemimpin mereka diperbolehkan menjaga kuil, sejumlah murid Siauw Lim lantas
saja ingin mengikuti jejak itu.
“Undang-undang ketentaraan
keras dan harus dipatuhi!” teriak Kong boen dengan suara keras. “Murid partai
kami yang berani membantah akan segera dicoret namanya sebagai murid Siauw lim
pay.”
“Hari ini dengan bersatu padu
saudara saudara wilayah Tionggoan melayani Tat coe,” kata Boe Kie. “Kuminta
para Soehoe yang mengurus tambur dan lonceng yang membangunkan semangat
menggetarkan seluruh kuil.” Dengan darah bergolak para enghiong mengusap usap
senjata mereka.
Sebagai tindakan pertama,
hampir berbareng dengan komando Hee Yam, para anggota Liat hwee kie
mengeluarkan kayu bakar dan rumput yang lalu ditumpuk di samping kuil kemudian
di bakar. Dalam sekejap api sudah berkobar kobar.
Mendengar suara tambur dan
melihat berkobarnya api, tentara Goan yang berada di kaki gunung lantas saja
menduga bahwa orang-orang di Siauw Lim sie sudah membakar kuil dan akan segera
kabur.
Dengan sekali mengibaskan
tangan Jie lian cioe memimpin seratus lima puluh orang lebih yang berlari lari
ke bawah mencari sebelah kiri Siauw sit san. Sebelum mereka tiba di lereng,
tentara musuh mulai menyerang ke atas sambil bersorak sorai. Para orang gagah
segera lari berpencaran supaya tentara Goan tidak dapat membasmi mereka dengan
anak panah.
Rombongan kedua yang dipimpin
oleh Thio Siong Kee dan rombongan ketiga di bawah pimpinan In Lie Heng, dengan
beruntun muncul dan lari ke bawah, setiap orang menggendong sebuah bungkusan
besar yang berisi papan atau seprei, selimut tebal. Dimana serdadu Goan mengira
mereka adalah orang orang yang kabur dengan penuh ketakutan, dengan membawa
sedikit bekal yang masih keburu dibawa. Padahal bungkusan bungkusan itu adalah
tameng untuk melindungi diri dari anak panah Mongol yang sangat lihay.
Sesudah mengawasi beberapa
lama, pemimpin tentara Goan segera memerintahkan selaksa serdadu untuk mengejar
dan selaksa lainnya tetap menjaga kedudukan mereka.
“Yo Cosoe, pemimpin tentara
Tat coe seorang pandai,” kata Boe Kie. ”Dia tidak mengerahkan seluruh tentara.”
“Benar,” jawab Yo Siauw.
“Kewaspadaan itu bisa membahayakan kita.”
Tiba-tiba di kaki gunung
terdengar suara terompet yang berulang ulang dan dua ribu tentara berkuda Goan
mulai menerjang ke atas dari kiri dan kanan. Dengan mata tidak berkedip, Boe
Kie mengawasi kemajuan musuh. Jalanan gunung penuh bahaya dan berliku-liku,
tapi kuda-kuda Mongol yang terlatih bisa maju terus tanpa menemui banyak
kesukaran. Begitu lekas rombongan musuh yang terdepan mendekati pendopo kuil.
Boe Kie memberi isyarat dengan mengibaskan tangannya. Hampir berbareng pasukan
Liat hwee kie bergerak dan bersembunyi di rumput rumput tinggi. Pada saat musuh
berada dalam jarak kurang lebih seratus tombak, Hie Yam memberi komando. Minyak
segera menyembur, anak panah api menyambar. Kuda kuda berjingkrak keras,
tentara Goan berteriak teriak seluruh pasukan berubah kalut, banyak kuda dan
manusia roboh tergelincir ke bawah gunung dengan badan berkobar kobar.
Tapi tentara Goan memang
tentara jempolan. Pasukan depan terpukul, pasukan belakangnya tidak bergeming.
Dengan rapih mereka turun dari tunggangan mereka dan menerjang ke atas dengan
berjalan kaki. Liat hwee kie terus menyemprotkan minyak dan api. Beberapa ratus
musuh binasa, tapi yang lainnya merangsek terus.
Melihat begitu lain lain
bendera dari Beng kauw segera membantu. Ang soei kioe menyemburkan air beracun
dan Houw tauw kiee melepaskan pasir beracun. Tangannya kedua bendera
menghancurkan pasukan Goan. Dengan dekat beberapa ratus orang menyerang terus
tapi dengan tidak berapa sukar mereka dibasmi oleh pasukan Swe kim kie dan Kie
bok kie.
Sekonyong konyong di kaki
gunung terdengar suara tambur yang sangat hebat. Dalam saat lima ribu tentara
musuh seperti kipas dengan membawa tameng tameng besar. Dengan adanya tameng
tameng itu, air dan pasir beracun tidak bisa berbuat banyak.
Kie bok kie turun tangan
dengan melontarkan balok balok besar. Tapi usaha itupun hanya membuat beberapa
lubang pada barisan musuh yang lekas dapat menutupnya kembali.
Melihat keadaan itu, Kong boen
segera berkata, “Thio Kauwcoe, harap kau dan yang lain-lain lekas mundur untuk
melindungi tenaga inti dari rimba persilatan kita. Biarpun hari ini kita
menderita kekalahan, di kemudian hari kita akan bisa bergerak lagi.”
Boe Kie tidak menyahut. Dengan
rasa kuatir ia mengawasi pasukan tengah dari pasukan musuh. Tiba-tiba ia lihat
di bawah sehelai bendera terdapat seorang panglima yang menunggang seekor kuda
tinggi besar dan mengenakan pakaian perang kuning berkilauan, seperti emas.
Panglima ini kelihatannya sangat angker, tapi sebab teraling topi, mukanya tak
kelihatan tegas. Boe Kie menengok kepada Gouw Kin Co dan berkata, “Gouw Kinsoe,
kau serang panglima itu.”
“Baik!” jawabnya sambil
mengibaskan bendera putih dan menerjang ke bawah. Seratus batang tombak
menyambar, seratus anggota Swie kie mengikuti ke arah perwira dan dan serdadu
yang berada di seputar jenderal itu.
“Wie Hok Ong,” kata pula Boe Kie.
“Mari kita bekuk panglima itu. Yo Cosoe dan Hoan Yosoe, kalian berdua harus
melindungi kami.”
Ketiga pemimpin Beng kauw itu
girang, mereka kagum akan tindakan sang Kauwcoe yang berani dan tepat itu.
Boe Kie dan Wie It siauw
adalah jago ilmu ringan tubuh yang sukar dicari tandingannya pada jaman itu.
Dengan berbareng mereka dan bagaikan berkrecepnya dua sinar kilat, tahu-tahu
mereka sudah berada di barisan tameng. Dengan mudah ia memukul jatuh semua anak
panah dan kemudian dengan sekali menotol tameng musuh dengan ujung kaki mereka
tameng tameng yang membentang seolah olah sebuah dinding besi. Tentara Goan
kaget dan gusar. Sambil berteriak teriak ia coba mengepung ketua penyerang itu.
Tapi Boe Kie dan Wie It Siauw bukan jago biasa. Dengan gerakan luar biasa dan
ketabahan luar biasa pula, mereka melewati rimba golok dan tombak. Dalam
sekejap mereka sudah menghampiri panglima itu. jenderal itu menikam dengan
tombaknya. Boe Kie berkelit menangkap gagang tombak dan menarik sehingga
panglima perang itu terhuyung ke depan. Wie It Siauw melompat dan mencengkeram
batang lehernya. Panglima itu juga bukan sembarang orang. Dengan tangan kiri ia
menghunus pedang dan membabat. Boe Kie mengegos menangkap pergelangan tangan
musuh yang memegang pedang dan kemudian menariknya dari atas kuda. Pasukan
pengawal mengeluarkan teriakan tertahan dan mati-matian mereka coba menolong,
tapi mereka ditahan oleh Yo Siauw dan Hoan Yauw.
“Berangkat!” kata Boe Kie
dengan suara girang.
Wie It Siauw segera menotok
jalan darah tawanannya, menggendongnya dan lalu kabur ke atas gunung, ke tempat
yang sepi. Melihat jenderal mereka tertawan, sambil berteriak teriak tentara
Goan menguber. Tapi mereka tentu saja bukan tandingan Wie Hok ong yang berlari
lari seperti kera di antara batu batu cadas dan di tempat yang tak mungkin
dilewati oleh manusia biasa. Melihat kawan itu sudah berhasil, Boe Kie segera
mengajak Yo Siauw dan Hoan Yauw kembali ke atas gunung.
Sesudah berada di tempat aman,
Wie It Siauw sengaja memperlihatkan kepandaiannya. Sambil lari ia melemparkan
tubuh panglima itu. Tentara Goan berteriak karena menduga pemimpin mereka bakal
jatuh dengan tubuh hancur luluh. Tapi selagi tubuh itu melayang ke bawah, Wie
Hok ong sudah menyusul menyangganya dengan kedua tangan. Setelah mengulangi permainan
berbahaya itu beberapa kali, ia tiba di puncak. “Yo Cosoe!” teriaknya. “Jual
beli datang!” seraya berteriak begitu, ia melontarkan tubuh si panglima ke arah
Yo Siauw yang lalu menyambuti dalam satu gerakan yang sangat indah.
Yo Siauw membuka topi
tawanannya. Panglima yang berparas tampan mengawasi dengan mata mendelik dan
alis berdiri.
Mendadak Tio Beng berteriak.
“Koko!”
Ia menubruk dan memeluk
jenderal itu yang ternyata bukan lain daripada Ong Po po, kakak si nona.
Itulah kejadian yang tidak disangka-sangka.
Alis Boe Kie berkerut. Ia
menghampiri dan ia mendukung Ong Po po yang berkata, “Maaf.” Sesudah itu lalu
diserahkan kepada Kong boen dan Kong tie. “Taysoe, dengan menggunakan dia
sebagai tanggungan, Siauw Lim sie bisa diselamatkan,” bisiknya. “Tapi dia
mempunyai hubungan dengan aku dan kuharap Jiewie Taysoe jangan
mencelakakannya.”
Kedua pendeta itu girang dan
lalu mengambil dua batang golok yang kemudian ditandalkan di leher Ong Po po.
“Tentara Mongol, dengarlah!”
teriak Yo Siauw. “Siauw ong ya kamu sudah jatuh ke dalam tangan kami.
Mundurlah, supaya kamu tidak mencelakai jiwanya.”
Ban hon thio yang memimpin
selaksa tentara itu kaget bercampur bingung. Kalau panglima itu benar benar
binasa, Jie lam ong akan marah besar dan mungkin sekali seluruh pasukan akan
mendapat hukuman mati. Maka itu sesudah memikir beberapa saat, ia segera
mengeluarkan titah untuk menarik pulang semua tentara.
Selagi para enghiong bersorak
sorai dengan penuh kegirangan, di kaki gunung sekonyong-konyong terdengar suara
tambur yang bergemuruh dan sejumlah anak panah api menyambar ke tengah udara.
Hampir berbareng di empat penjuru terdengar teriakan teriakan yang seolah olah
menggetarkan seluruh Siauw sit san.
“Kauwcoe, bala bantuan
datang!” kata Yo Siauw dengan girang.
Boe Kie mengangguk. “Bala
bantuan datang,” teriaknya. “Terjang musuh!”
Perintah itu disambut dengan
tempik sorak. “Para enghiong, dengarlah!” teriak pula Boe Kie. “Lebih dahulu
binasakan perwira kemudian baru serdadu.”
Karena tahu datangnya bala bantuan
Siauw Lim sie, tentara Goan yang baru dapat perintah mundur, lantas saja
merosot semangatnya. Maka itu begitu diterjang oleh para enghiong, mereka
lantas menjadi kalut dan lari ke bawah gunung dengan kalang kabut.
Setibanya di lereng Boe Kie
lihat bendera bendera Beng kauw. Di sebelah selatan terdapat sehelai bendera
besar dengan huruf “Cie” sedang di sebelah utara lain bendera dengan huruf
“Siang”. Ia tahu bahwa yang datang menolong adalah Cie Tat dan Siang Gie Coen.
Kedua panglima itu yang semula berada di daerah Hwayho secara kebetulan datang
di Holam selatan. Begitu mendapat warta dari Po tay hweeshio, mereka segera
menggerakkan seluruh tentara dan menyusul siang malam, sehingga dalam waktu dua
hari saja mereka sudah tiba di Siauw sit san. Pasukan Cie tat dan Siang Gie
Cioe terdiri dari orang orang yang berpengalaman dan gagah berani. Sebab jumlah
mereka banyak lebih besar, maka sesudah bertempur beberapa gebrakan mereka
berhasil memberi pukulan hebat kepada selaksa tentara Goan yang menjaga di kaki
gunung dan lantas saja lari lintang pukang ke jurusan barat.
Sebagaimana diketahui Boe Kie
sendiri sudah menetapkan satu siasat. Dengan menggunakan orang-orang yang mahir
dalam ilmu ringan tubuh, ia ingin memancing tentara musuh ke dalam selat gunung
yang terletak di sebelah barat Siauw sit san. Tiga penjuru selat itu tertutup
pada lereng gunung yang seperti dinding terjal. Jie Lian Coe dan kawan
kawaannya berhasil memancing musuh ke selat itu, Ban hoe Tio yang memimpin
selaksa tentara itu juga tahu berbahayanya saat tersebut. Tapi sebab musuh
berjumlah sangat kecil hanya beberapa ratus orang, maka menurut pendapatnya
biarpun diserang pasukan yang sembunyi ia bisa melayani. Maka itu tanpa
bersangsi ia segera memerintahkan tentaranya mengejar terus.
Setibanya di lereng, Jie Lian
Coe dan kawan-kawannya segera memanjat ke atas dengan menggunakan
tambang-tambang yang sudah disediakan dan tergantung di lereng itu. Tapi mereka
adalah ahli-ahli silat jempolan, sehingga tanpa menemui banyak kesukaran mereka
bisa merayap terus ke atas. Dalam pihak tentara Goan yang mengenakan pakaian
perang yang sangat berat tentu saja tidak bisa berbuat begitu.
Begitu masuk di selat dan
lihat gerakan musuh, Ban hoe thio dan tentara Goan lantas insyaf bahwa ia sudah
terjebak. Cepat-cepat ia memerintakan tentaranya supaya mundur. Tapi sudah
kasep! Api, pasir beracun dan anak panah lantas saja menyambar-nyambar. Hampir
berbareng pasukan Kie bok kie melontarkan balok-balok besar ke mulut selat yang
lantas saja tertutup rapat.
Tak lama kemudian barisan Goan
kedua yang juga terdiri dari selaksa orang dan dikejar oleh pasukan Cie Tat
serta Siang Gie Coen tiba di situ. Sebab mulut selat sudah tertutup mereka
kabur ke empat penjuru.
“Sungguh sayang!” kata Boe Kie
kepada Cie Tat. Kalau sudah diatur terlebih dahulu barisan Goan yang kedua itu
tentu bisa dipancing masuk ke dalam selat dan seantero barisan yang terdiri
dari dua laksa jiwa akan dapat dimusnahkan sekaligus. Tapi Boe Kie sudah boleh
merasa puas dengan hasil yang diperoleh. Ia sama sekali tidak pernah menduga
bahwa bala bantuan bisa datang begitu cepat. Waktu mengatur siasat tujuannya
hanyalah menyelamatkan kuil Siauw Lim sie.
Sementara itu Cie Tat segera
memerintahkan tentara memperkuat tutupan selat dengan batu2 besar dan menitahkan
sepasukan anak panah memanjat ke atas lereng untuk memanah musuh dari atas ke
bawah. Tentara Goan yang sudah tak bisa membela diri lagi jadi makin kalang
kabut. Sambil sesambat dan berteriak teriak, mereka lari seperti gila, mencari
cari perlindungan di antara batu batu dan pohon pohon.
Tak lama kemudian Siang Gie
Cen dan tentaranya tiba. Pertemuannya dengan Boe Kie menimbulkan kegirangan
besar. Ia seorang yang beradat berangasan. Begitu tahu musuh terkepung di dalam
selat ia berteriak. “Singkirkan semua balok dan batu! Biar kuhajar semua Tat
Coe!”
“Perlu apa kau menggunakan
tenaga?” kata Cie Tat sambil tertawa. “Di dalam selat tiada air dan tiada
makanan. Dalam tiga empat hari mereka akan mati sendiri.”
Siang Gie Coen tersenyum dan
tak berkata apa apa lagi.
Apa yang dapat dilakukan Cie
Tat dan Siang Gie Coen ialah memerintahkan tentaranya membasmi bagian musuh
yang kedua, yang lari berpencaran ke bawah gunung.
Sesudah musuh kabur semua,
atas permintaan Tio Beng, Boe Kie melepaskan Ong Po po dan memerintahkan Gouw
Kin Co serta sejumlah anggota Swie kim kie mengantarnya sampai lima puluh lie.
Sesudah lima puluh lie, Tio Beng sendiri mengantar lagi sepuluh lie dan
berulang ulang mohon maaf. Tapi Ong Po po tak meladeni adiknya itu, sehingga si
nona kembali ke Siauw sit san dengan rada berduka dan masgul. Malam itu di kaki
Siauw sit san diadakan pesta besar sebagai tanda girang berhubung dengan
kemenangan besar. Para enghiong yang sudah berhari hari hanya makan makanan
ciacay malam itu makan minum sepuas hati.
Selagi bersantap Cie Tat
menuang secawan arak dan mempersembahkannya kepada Boe Kie. “Kauwcoe, aku
memberi selamat dengan secawan arak ini!” katanya.
Boe Kie menyambuti dan
menceguk isinya.
“Kauwcoe, semula aku hanya
merasa takluk akan pribudi dan ilmu silatmu yang sangat tinggi,” kata pula Cie
Tat. “Di luar dugaan, Kauwcoe pun mahir dalam ilmu perang dan dapat menggunakan
siasat perang seperti malaikat. Inilah rejeki agama kita dan keberuntungan
untuk segenap rakyat.”
Boe Kie tertawa terbahak bahak.
“Cie Toako,” katanya, “Jangan kau memuji aku. Kemenangan hari ini didapat
berkat kedatangan jiewie Toako yang sangat cepat dan juga peninggalan Gak Boe
bok. Dalam peperangan ini, siauwtee tak punya pahala suatu apa.”
“Peninggalan Gak Boe bok?”
menegas Cie Tat. “Bolehkah Kauwcoe memberi penjelasan?”
Boe Kie merogoh saku dan
mengeluarkan Boe Bok Ie soe. Ia membalik lembarannya sampai pada bagian
terkepung di Goe tauw san, dan lalu menyerahkannya kepada Cie Tat.
Sesudah membaca, Cie Tat kaget
tercampur girang. Ia menghela nafas dan berkata, “Perhitungan Boe Bok takkan
dapat ditandingi oleh manusia manapun juga di jaman ini. Apabila sekarang Gak
Boe Bok masih hidup dan memimpin kita, Tat coe pasti akan bisa diusir balik ke
padang pasir.” Sehabis berkata begitu, dengan sikap hormat ia mengembalikan
kitab itu kepada sang kauwcoe.
Tapi Boe Kie tidak menyambuti.
“Hari ini baru aku tahu apa artinya ‘bo lim cie coen, po to liong, hauw leng
thian hee, bo kam poet ciong,’” katanya. “Apa yang dikatakan ‘bo lim cie coen
(yang termulia dalam Rimba Persilatan) bukan To liong to. Yang termulia dalam
Rimba Persilatan adalah kitab perang Gak Boe bok yang disembunyikan dalam golok
itu. Dengan kitab itu seseorang yang bisa mengalahkan musuh, sehingga akhirnya
ia bisa ‘hauw leng thian hee, boh kam poet ciong’. Cie toako, aku telah
mengambil keputusan untuk menghadiahkan kitab ini kepadamu dengan pengharapan
supaya kau bisa mewujudkan cita cita ‘hoan ngo ho san’ dari Gak Boe Bok.” (Hoan
ngo ho san adalah cita-cita yang termasyur dari Gak Hoei, hoan ngo ho san
berarti kembalikan sungai dan gunungku).
Cie Tat terkejut. “Orang
sebawahanmu sama sekali tak punya kebajikan dan kepandaian, sehingga mana
berani menerima hadiah Kauwcoe yang begitu besar?” katanya sambil membungkuk.
“Cie Toako jangan menolak.
Demi kepentingan umat manusia di kolong langit, aku menyerahkan kitab ini
kepadamu.”
Cie Tat tak bisa mengucapkan
sepatah kata. Kedua tangannya yang memegang Boe Bok Ie soe kelihatan gemetar.
“Dalam kata kata yang terkenal
itu masih terdapat dua baris terakhir yang berbunyi, ‘Ie thian poet coet, swee
ie ceng hiong’,” kata pula Boe Kie. “Sekarang Ie thian kiam patah dua, tapi
kupercaya di kemudian hari pedang itu akan tersambung pula. Di dalam pedang
tersebut disembunyikan sejilid kitab ilmu silat yang sangat lihay. Aku mengerti
maksudnya. Kitab perang Gak Boe Bok adalah untuk mengusir Tat coe dari negara
kita. Sesudah Tat Coe diusir pergi, seorang lain akan berkuasa di negara kita.
Apabila Kaisar itu ternyata seorang penjahat yang sewenang wenang sehingga
rakyat menderita, maka seorang enghiong akan tampil ke muka dan membinasakan
kaisar durjana itu dengan Ie Thian Po Kiam. Biarpun dia berkuasa, belum tentu
dia bisa menangkis tekanan Ie Thian kiam. Cie Toako, kuharap kau ingat
perkataanku ini.”
Bulu roma Cie Tat bangun semua
dan keringat membasahi pakaiannya. Ia tidak berani menolak lagi dan berkata
sambil menjura, “Orang sebawahanmu tidak bisa berbuat lain daripada menerima
perintah Kauwcoe.” Ia menaruh kitab itu di meja, berlutut empat kali dan
kemudian berlutut di hadapan Boe Kie sebagai pernyataan terima kasih. Mulai
waktu itu, Boe bok Ie Soe menjadi milik Cie Tat. Di kemudian hari benar saja
dialah yang bisa mengalahkan tentara Goan dan mengusirnya sampai di daerah
Tiongkok, sehingga nama besarnya menggetarkan di seluruh wilayah di sebelah
utara padang pasir.
* * * * *
Semenjak perang Siauw sit san,
segenap orang gagah di daerah Tiong goan mempersatukan diri dengan Beng kauw.
Setiap perintah Boe Kie ditaati oleh semua orang. Selama ratusan tahun, Beng
kauw dianggap sebagai agama iblis. Di luar dugaan sekarang Beng kauw menjadi
pemimpin dari para orang gagah di seluruh Tiongkok dalam usaha merebut pulang
negara dari tangan bangsa lain. Di belakang hari Coe Goan Ciang bercabang
hatinya dan dengan tipu muslihat ia naik ke atas tahta kaisar. Tapi adalah
sebuah kenyataan, bahwa yang membantu dia merebut Tiongkok adalah orang orang
Beng kauw dan mungkin itulah sebabnya mengapa ia menggunakan perkataan dan
”Beng” (terang) untuk nama kerajaannya. Duaratus tujuh puluh tahun kerajaan
Beng berkuasa di Tiongkok dan asal mula berdirinya dari kerajaan tersebut
adalah usaha Beng kauw.
* * * * *
Malam itu semua orang makan
minum sepuas hati. Pada keesokan harinya, mereka meminta diri dari Kong Boen
dan Kong tie.
Melihat keadaan Go bie pay
yang rusak dan tak punya pemimpin dan mengingat pula keadaan Song Ceng Soe yang
terus di dalam tandu, Boe Kie tak sampai hati. Ia menghampiri rombongan partai
dan berkata kepada Ceng Hoe, “Bolehkah aku menengok keadaan Song Toako?”
“Kau tak usah berlagak baik
hati!” jawabnya dengan ketus.
Si sembrono Cioe Tian naik
darahnya. “Kurang ajar!” cacinya. “Dengan mengingat kecintaan dulu Kauwcoe kami
sudah mengobati lukanya. Sebenarnya manusia yang mengkhianati orang tua yang
gagah itu boleh dibinasakan oleh siapapun juga.”
Ceng Hoe menjebikan bibir. Ia
ingin balas mencaci, tapi sebab kuatir dihajar, sebisa bisa ia menahan nafsu
amarahnya. “Semenjak dulu Ciangboenjin Go bie pay adalah gadis yang putih
bersih seperti es dan batu Giok,” katanya dengan suara dingin. “Kalau Cioe
Ciang boen bukan seorang gadis, cara bagaimana ia rasa menjadi pemimpin partai
kami? Hmm!... beradanya manusia seperti Song Ceng Soe dan partai kami
benar-benar sudah menodai nama baiknya Cioe Ciang boen. Lie soetit, Liong
soetit, pulangkan saja manusia itu kepada Boe tong pay!”
Dua pemikul tandu lantas saja
mengiakan, memikul tandu yang berisi Song Ceng Soe, menaruhnya di hadapan Jie
Lian Cioe dan lalu menyingkir.
Semua orang kaget. “Apa…?”
tanya Jie Jiehiap. “Bukankah ia suami Ciangboenjin mu?”
“Hi!” bentak Ceng Hoei dengan
nada mendongkol. “Manusia semacam dia mana dipandang mata oleh pemimpin kami?
Sebab perbuatan si bocah Thio Boe Kie, barulah Cioe ciangboen memancing bocah
she Song itu yang rela menyamar sebagai suami. Siapa duga… siapa duga… huuh
huh…! Kalau tahu bakal terjadi kejadian ini, perlu apa Cioe ciangboen menodai
namanya sendiri…?”
Boe Kie tak bisa bersabar
lagi. “Kalau begitu dia bukan Song Hoejin?” tanyanya.
Ceng Hoei menengok dan
membentak. “Aku tidak bicara denganmu!”
Sesaat itu Song Ceng Soe yang
rebah di tandu bergerak dan berkata dengan suara di tenggorokan. “Apa Thio Boe
Kie sudah… dibunuh…?”
“Jangan mimpi!” ejek Ceng
Hoei. “Maut sudah berada di atas kepalamu dan kau masih membayang bayangkan
paras cantik.”
Melihat Ceng Hoei sukar diajak
bicara, In Lie Heng segera menanya seorang murid Go bie pay lain. “Lie Soemoay,
bagaimanakah kejadian yang sebenarnya?”
Yang ditanya seorang setengah
tua, Lie Beng Hee namanya, sahabat mendiang Kioe Siauw Hoe. Mendengar
pertanyaan itu, ia lalu berkata, “Ceng Hoei Sioecie, In Liok Hiap bukan orang
luar, bolehkah Siauwmoay menceritakan apa yang terjadi?”
“Hal ini tidak ada sangkut
pautnya dengan orang luar atau bukan orang luar dan lebih lebih harus
menjelaskannya kepada orang luar. Cioe Ciang boen wanita suci, putih bersih
yang tak punya hubungan apapun juga dengan pengkhianat she Song itu. Bukankah
dengan mata sendiri kita semua sudah lihat Sioe kiong sie di lengan Cioe Ciang boen?
Kenyataan ini harus diumumkan kepada kawan kawan Rimba Persilatan demi nama
baik Cioe Ciang boen, demi Go bie pay…”
Mendengar perkataan Ceng Hoei
yang bicara tanpa juntrungan itu, In Lie heng segera berkata kepada Lie Beng
Hee, “Lie Soemoay, kalau begitu kuharap kau suka lantas bicara bagaimana Song
soetit masuk ke dalam partai kalian dan hubungan apa terdapat antara dia dan
Cioe ciangboen? Hal ini aku akan melaporkan kepada guruku. Hal ini kuanggap
penting untuk kedua partai kita. Kita harus menjaga dan memelihara keakuran
antara Go bie dan Boe tong pay!”
Lie Beng Hee menghela nafas.
“Orang seperti Song siauwhiap memang sukar dicari,” katanya dengan suara
perlahan. “Hanya sayang karena gara-gara mabuk cinta, dia terjerumus ke dalam
jurang kehinaan. Mungkin sekali Cioe ciang boen telah menjanjikan bahwa sesudah
Thio Boe Kie dibunuh mati, yaitu sesudah membalas dendam sebab si bocah she
Thio kabur dalam upacara pernikahan, ia akan suka menikah dengan Song
siauwhiap. Itulah sebabnya mengapa Song siauwhiap rela masuk ke dalam partai
kami dan meminta ilmu silat istimewa dari pemimpin kami. Dalam enghiong Tayhwee
tiba-tiba Cioe Ciang boen mengakui dirinya sebagai Song hoejin, sebagai isteri
Song siauwhiap.
Ketika itu semua murid Go bie
kaget dan heran. Sebagaimana kalian tahu, hari itu Cioe ciang boen berhasil
merobohkan semua orang gagah…”
“Jangan sembarangan!”
menggerutu Cioe Tian. “Dia menang sebab Thio Kauwcoe mengalah.”
Lie Beng hee tidak meladeni
dan bicara terus. “Kemenangan itu menggirangkan sangat kami semua, tapi di
dalam hati kami merasa kurang puas, sebab perkataan “Song hoejin” itu! Malamnya
kami menanyakan Cioe ciangboen maksud dari sikapnya. Cioe ciangboen menggulung
lengan baju kirinya dan memperlihatkan lengannya. “Semua kemari,” katanya dengan
suara menyeramkan. Kami semua menghampiri dan dengan mata sendiri kami lihat
sebutir Sioe kioe see pada lengannya masih tetap merah seperti sedia kala.
Itulah bukti, bahwa ia masih seorang gadis suci dan bersih. “Aku mengakui diri
sebagai Song Hoejin untuk menjalankan tipuku,” katanya. Aku ingin membangkitkan
kedongkolan si bocah she Thio, supaya dia tidak bisa memusatkan seantero
semangatnya dan aku bisa menjatuhkan dia dalam Pieboe. Bocah itu kepandaiannya
tinggi dan aku sebenarnya tak akan bisa menang. Demi kepentingan partai kita,
namaku tidak ada artinya. Itulah perkataan yang diucapkan oleh Cioe ciangboen.”
Dalam memberi penjelasan Lie Beng Hee bicara keras keras supaya bisa didengar
oleh banyak orang.
Sesudah berdiam sejenak, ia
berkata pula, “Murid-murid partai kami, baik wanita maupun pria kecuali yang
menjadi pendeta sebenarnya tidak dilarang untuk menikah, untuk berumah tangga.
Tapi semenjak jaman Kwee Couw,
ilmu silat yang tertinggi hanya diturunkan kepada seorang gadis yang masih
suci. Pada waktu mengangkat guru, lengan murid wanita dimasukkan Sioe kiong see
oleh mendiang soehoe periksa lengan semua murid wanita yang dimasukkan Sioe
kiong see. Tahun itu, lengan Kie soe Cie juga diperiksa…!” Ia tidak bisa
meneruskan perkataannya dan mukanya bersemu dadu. Ia berusia lanjut, tapi ia
masih merasa jengah untuk menyebutkan perhubungan antara Yo Siauw dan Kie Hoe
mengakibatkan terhapusnya Sioe Kiong See. Sebagaimana diketahui, In Lie heng
sudah menikah dengan Yo Poet Hwie (putri Yo Siauw dan Kie Siauw Hoe) dan
pernikahan itu sangat beruntung. Tapi mendengar penutuuran Lie Beng Hee, In
Liok hiap lantas saja ingat nasib mendiang tunangannya itu dan tanpa merasa,
dengan air mata berlinang-linang ia menengok ke arah Yo Siauw. Begitu menengok,
begitu ia melegos, sebab ia lihat air mata yang turun dengan perlahan di kedua
pipi mertua itu. Sioe kiong see, semacam papir yang dimasukkan ke lengan
seorang gadis merupakan tanda dari kesucian gadis itu. Begitu menikah, titik
Sioe kiong yang berwarna merah terang lantas hilang.
“In Liok hiap,” Lie Beng Hee
berkata lagi, “demikianlah, sebab Ciang boen jin kami ingin membangkitkan
kedongkolan Thio Kauwcoe dan Siong siauwhiap mabuk cinta, maka terjadilah
peristiwa yang kita sangat inginkan. Aku hanya mengharap agar Song siauwhiap
bisa sembuh kembali. Kumohon In Liok hiap suka bicara baik di hadapannya Thio
Cinjin dan Song tayhiap agar kerukunan antara kita tidak dirugikan.
“Aku memang harus berbuat
begitu,” kata In Lie Heng. Tapi soetitku itu seorang berdosa yang pantas
dihukum mati. Perbuatannya memalukan partai kami. Aku harap dia mati sendiri
terlebih cepat.” Pada hakekatnya In Lie Heng seorang mulia yang berhati lemas.
Tapi mengingat perbuatan Song Ceng Soe di dalam mencelakakan Boh Seng Kok
darahnya meluap.
Selagi beromong omong di
sebelah kejauhan mendadak teriakan ketakutan yang nyaring dan tajam. Itulah
teriakan Cie Jiak. Bahaya apa yang ditemuinya, teriakannya itu sangat
menyeramkan dan membangunkan bulu roma.
Semua orang terkesiap hampir
berbareng mereka berpaling ke arah teriakan itu. Boe Kie, Ceng Hoe, Lie Beng
Hee dan sejumlah orang lantas saja berlari lari ke jurusan teriakan itu. Sebab
kuatir Cie Jiak bertemu musuh tangguh atau binatang buas, Boe Kie mengempos
semangatnya dan dalam sekejap ia sudah melewati hutan. Satu bayangan hijau
mendatangi dan bayangan itu adalah Cie Jiak. Boe Kie menyambuti dan bertanya,
“Cie Jiak, ada apa?”
“Setan… setan uber aku!”
jawabnya sambil menubruk dan memeluk Boe Kie. Ia menggigil dan giginya
berbicara
Sebab kasihan, Boe Kie
membiarkan dirinya dipeluk. Ia menepuk nepuk pundak Cie Jiak dan
menenteramkannya. “Jangan takut, mana ada setan? Apa yang dilihat olehmu?”
Muka dan kedua lengan Cie Jiak
belepotan darah sebab tergores duri, sedang pakaiannya robek di sana sini. Separuh
tangan kirinya terobek putus sehingga lengannya yang putih terbukan dan pada
lengan itu terlihat satu titik merah yang terang bagaikan giok. Itulah titik
Sioe kiong sie, tanda dari seorang gadis yang masih suci. Boe Kie sekarang
mendapat kepastian apa yang dikatakan Lie Beng Hee adalah sebuah kebenaran.
Sesaat itu dalam otaknya berkelebat macam macam pikiran. Dia pernah mengatakan
kepadaku bahwa waktu di penjara oleh Kaypang kesuciannya telah dinodai oleh
Song Ceng Soe dan dia sudah hamil, pikirnya. Waktu aku periksa nadinya, aku tak
dapat tanda tanda kehamilannya. Ketika itu aku sangsikan ketepatan
pemeriksaanku, ternyata ia menipu aku. Semua pengakuannya dusta belaka. Di lain
saat ia berkata pada dirinya sendiri, “Thio Boe Kie oh Thio Boe Kie! Cioe
kauwnio adalah musuh yang sudah membinasakan piauwmoay mu. Dia masih gadis atau
sudah menikah, ada hubungannya dengan dirimu?”
Ia menggigit bibir dan
mengeraskan hati. Tapi sebab si nona menggigil, ia tak tega untuk menolaknya.
Sementara itu sesudah bersandar
di dada Boe Kie beberapa lama, Cie Jiak jadi lebih tenang. “Boe Kie koko, apa
benar kau?” tanyanya dengan suara parau.
“Benar aku, apa yang dilihat
olehmu? Mengapa kau begitu ketakutan?”
Mendengar pertanyaan Boe Kie,
nona Cioe bergemetaran lagi dan “uah…!” ia menangis keras.
Beberapa saat kemudian Yo
Siauw, Wie It Siauw, Ceng Hoei, In Lie Heng dan yang lain lain tiba disitu.
Melihat Cie Jiak sedang menangis dan memeluk Boe Kie, mereka saling memberi
isyarat lalu menyingkir. Orang orang Beng Kauw, Boe tong dan Go bie pay sangat
mengharap Cie Jiak dan Boe Kie bisa akur kembali dan terangkap menjadi suami
isteri. Mereka mengharap begitu sebab Tio Beng pernah menyakiti hati mereka dan
juga sebab nona itu adalah puteri seorang Mongol. Mereka kuatir pernikahan
antara Boe Kie dan Tio Beng akan merugikan usaha besar.
Sesudah menangis beberapa
lama, Cie Jiak bertanya, “Boe Kie koko, apa ada yang mengubar?”
“Tak ada! Siapa yang mengejar
kau? Hian beng Jie loo kah?”
“Bukan… bukan… lihatlah yang
terang. Apa benar tak ada manusia. Bukan… bukan manusia… apa tak ada sesuatu
yang mengudak kemari…”
Boe Kie tertawa, “Di siang
hari bolong kalau ada yang mengubar masakan tak kulihat?” katanya dengan suara
lemah lembut. “Cie Jiak, selama beberapa hari kau terlalu letih. Mungkin sekali
matamu kabur dan kau salah lihat!”
“Tak mungkin, tiga kali
kulihat dia,” jawabnya.
“Apa yang kau lihat sampai
tiga kali?” tanya Boe Kie.
Sambil memegang kedua lengan
Boe Kie erat erat dan sesudah mengumpulkan seantero keberaniannya, Cie Jiak
menengok ke belakang akan kemudian baru-baru memutar kepalanya lagi ke arah Boe
Kie. Melihat muka pemuda itu yang penuh kekuatiran, tiba-tiba rasa terharu yang
tiada taranya bergelombang dalam hati si nona. Tenaganya habis dan ia roboh ke
tanah. “Boe Kie koko…” katanya dengan nada sesambat yang diliputi penyesalan
hebat. “Aku… aku telah menipu kau habis habisan. Akulah yang curi Ie thian kiam
dan To Liong to. In… In Kouwnio dibunuh olehku. Jalan darahnya Cia tayhiap
ditotok olehku. Aku tak pernah menikah dengan Song Ceng Soe. Dalam hatiku
hanya… hanya terdapat… kau seorang…”
“Aku sudah tahu itu semua.
Tapi mengapa kau berbuat begitu?”
“Kau tidak tahu apa yang
dikatakan oleh mendiang guruku di atas menara di Ban hoat sie. Ia
memberitahukan rahasia Ie thian kiam dan To liong to kepadaku. Ia paksa aku
bersumpah, bahwa sesudah berhasil mencuri pedang dan golok mustika itu, aku
harus angkat derajat Go bie pay. Ia paksa aku bersumpah, bahwa aku akan
berlagak baik terhadapmu, tapi tidak boleh mencintai kau dengan sesungguhnya…”
Dengan rasa kasihan Boe Kie
mengusap usap tangan si nona. Di depan matanya lantas saja terbayang cara
bagaimana Biat Coet Soethay membinasakan Kie Siauw Hoe dengan tangannya
sendiri. Cara bagaimana di padang pasir niekouw tua itu bersumpah untuk
memusnahkan Beng kauw, cara bagaimana dia membunuh anggota anggota Swie kiem
kie dengan Ie thian kiam dan cara bagaimana di Bin hoat sie, nenek itu lebih
suka binasa daripada menerima pertolongannya. Peristiwa peristiwa itu
membuktikan bahwa kebencian Biat coat Soe thay terhadap Beng kauw adalah
kebencian yang sangat mendalam.
Cioe Cie Jiak adalah ahli
waris si nenek dan telah menerima pesan terakhir. Maka itu ia percaya, bahwa
perbuatan Cioe Cie Jiak yang berdosa telah dilakukan atas anjuran Biat coat.
Boe Kie adalah seorang yang
mudah memaafkan dan tidak bisa menaruh dendam. Ia ingat pula, bahwa dalam
pertempuran di Kong beng teng melawan suami isteri Ho Thay Ciong dan dua tetua
Hwa san pay kalau tidak dapat pertolongan si nona, mungkin sekali ia sudah
binasa. Sebagai seorang yang berhati mulia, pertolongan itu menonjol ke depan
dan segala kedosaan nona Cioe jadi terlebih kecil. Rasa kasihannya lantas saja
bertambah besar. “Cie Jiak,” katanya dengan suara halus, “bilanglah apa yang
dilihat olehmu? Mengapa kau begitu ketakutan?
Tiba-tiba si nona melompat
bangun. “Tidak! Aku tak akan beritahukan kepadamu,” katanya dengan nafas
memburu. “Aku dikejar setan penasaran… aku berdosa dan pantas mendapat
pembalasan. Hari ini aku sudah mengakui semua di hadapanmu. Aku… aku tak akan
bisa hidup lama di dalam dunia…” Sehabis berkata begitu, ia lari ke bawah
gunung.
Boe Kie mengawasi dengan mulut
ternganga. “Setan penasaran?” tanyanya di dalam hati. “Apa perbuatan orang Kay
pang yang coba membalas sakit hati dengan menyamar sebagai setan?”
Nona Cioe lari ke rombongan Go
bie pay. Lie Beng Hee buru buru mengambil baju dan menyerahkannya kepada sang
pemimpin. Sesudah memakai baju itu diluar baju yang rombeng, Cie Jiak segera
bicara kepada murid Go bie dengan suara perlahan dan mereka menjawab dengan
manggut-manggutkan kepala.
=====================
“Kita berangkat sekarang,”
kata Boe Kie.
Mendadak ia lihat Cie Jiak
menghampiri Kong boen dan bicara bisik-bisik. Paras muka pendeta itu tiba-tiba
berubah, ia kelihatannya kaget dan menggeleng-gelengkan kepala seperti orang
tidak percaya akan sesuatu. Sesudah bicara lagi beberapa patah, se-konyong2
nona Cioe berlutut dan merangkap kedua tangannya, sedang bibirnya
bergerak-gerak seperti orang berdosa atau meminta sesuatu. Dilain pihak dengan
paras muka angker Kong boen pun mengucap sesuatu.
"Heran! ..." kata
Cioe Tian.
"Kauwcoe kau harus
mencegah."
"Mencegah apa?” tanya Boe
Kie.
"Cioe Kauwnio
kelihatannya mau jadi hweeshio,” jawabnya,
"Kalau kau masuk dipintu
kosong runyamlah untuk Kauwcoe." (Masuk dipintu kosong berarti pendeta ).
Yo Siauw tertawa geli.
"Andaikata benar Cioe Kauwnio, jadi niekouw," katanya
"Mana bisa ia mengangkat
hweeshio Siauw lim sebagai guru?" (Hweeshio pendeta lelaki. Niekouw
pendeta perempuan).
Si sembrono menabok mulutnya
sendiri. "Benar ! Kau benar! Aku yang tolol," katanya.
"Tapi apa yang diminta
Cioe Kauwnio dari Kong-boen? Yang satu Ciangboen Siauw lim pay, yang lain
Ciangboen Go bie pay. Mereka sederajat dan setingkat, Cioe Kauwnio tak perlu
berlutut."
Dilain saat Cie Jiak sudah
bangun berdiri. Paras mukanya kelihatan tenang seperti orang yang baru dihibur
hatinya.
“Sudahlah," kata Boe Kie.
“Jangan urus urusan orang lain."
Ia menengok kebelakang dan
berkata pula.
"Beng moay, mari kita
berangkat."
Tiba-tiba saja ia terkejut
sebab Tio beng tak berada di sampingnya, sedang biasanya nona Tio tak pernah
berada jauh dari dirinya,
"Mana Tio Kauwnio?"
tanyanya.
Mendadak keringat dingin
keluar dari dahinya. "Celaka!" ia mengeluh. "Mungkin Beng-moay
kabur sebab lihat Cie Jiak memeluk aku."
Tergesa-gesa ia memerintahkan
sejumlah orang pergi mecari Tio Beng.
Selagi orang repot, Hee Yam,
Cangkie soe Liat hwee kie datang dan berkata. "Melaporkan kepada Kauwcoe,
aku lihat Tio Kauwnio turun gunung!"
Boe Kie sangat berduka.
"Tanpa memperdulikan segala apa Beng-moay telah mengikuti aku,“ katanya.
"Dalam mengikuti aku ia
telah merasakan banyak penderitaan. Mana bisa aku menyia-nyiakan dia?“
Ia berpaling pada Yo Siauw dan
berkata pula, "Yo-heng segala urusan aku serahkan kepadamu. Aku mau
meninggalkan kalian untuk sementara waktu.“
Sesudah meminta diri dari Kong
Boen dan lain-lain ia berkata kepada Cie Jiak.
"Cie Jiak, baik-baik
menjaga diri. Di hari kemudian kita akan bertemu pula." Si nona tak
menjawab. Ia menunduk dan manggut-maaggutkan kepalanya, sedang air matanya
jatuh menetes di tanah.
Dengan ilmu mengentengkan tubuh
Boe Kie turun gunung, Disepanjang jalan ia melewati para enghiong yang mau
pulang.
Diantara mereka tak terdapat
Tio beng. Sesudah mengejar tiga puluh li lebih, siang mulai berganti malam dan
jalan mulai sepi.
Tiba-tiba ia berkata pada
dirinya sendiri, "Beng-moay seorang cerdik. Tak mungkin ia mengambil jalan
besar. Apabila ia menggunakan jalanan ini, aku tentu sudah menyandak. Apa dia
masih bersembunyi di gunung?"
Memikir begitu ia segera
kembali ke atas dan lari berputar-putar, dengan kadang-kadang naik ke pohon
tinggi. Tapi yang terlihat hanyalah gunung, lorong dan kawanan gagak yang
pulang ke sarang.
Ia pergi ke belakang gunung,
tapi yang dicari tetap tak kelihatan bayangannya.
"Beng-moay," katanya
didalam hati, "biarpun aku harus mengitari bumi dan menjelajahi samudera,
aku akan mencari kau.”
Sesudah mengambil keputusan
begitu, hatinya jadi lebih tenang. Ia memanjat pohon dan merebahkan diri di
salah satu cabang yang melintang. Sesudah bercapai lelah sehari suntuk, tak
lama kemudian ia tertidur.
Kira-kira tengah malam
kupingnya yang tajam tiba-tiba menangkap suara tindakan yang sangat enteng. Ia
lantas saja tersadar dan membuka matanya. Bulan sisir sudah menyondong ke barat
dan memancarkan sinarnya yang remang-remang. Ia lihat seorang yang sedang
berjalan ditanjakan ke jurusan selatan.
Dilihat pakaiannya, dia
seorang wanita yang bertubuh kurus kecil dan langsing. Boe Kie girang,
hampir-hampir ia berteriak, "Beng moay!" Tapi belum memanggil ia
sudah lihat perbedaan antara wanita itu dan Tio beng.
Dia bertubuh lebih jangkung
dari nona Tio dan ilmu pengenteng badannya juga berbeda. Boe Kie heran dan
menanya diri sendiri.
"Siapa dia? Perlu apa ia
malam-malam jalan sendirian?" Sebenarnya ia tak ingin mencampuri urusan
orang lain. Tapi dilain saat ia ingat bahwa mungkin sekali dari wanita itu ia
bisa mencari keterangan mengenai nona Tio.
"Apabila ia ternyata
tidak mempunyai sangkut paut dengan Beng moay, akupun bisa menyingkir tanpa
diketahui,” pikirnya. Memikir begitu ia segera turun dari pohon. Dengan
hati-hati ia menguntit dari jauh.
Memang kurang pantas menguntit
wanita yang tidak dikenal ditengah malam buta. Ia menjaga jangan sampai
diketahui. Wanita itu yang mengenakan baju hitam ternyata menuju kearah Siauw
lim sie.
"Apa maunya dia?"
tanya Boe Kie didalam hati.
"Aku telah diangkat
sebagai Boe lim Bengcoe. Kalau ia meugandung maksud kurang baik terhadap Siauw
lim, aku tak bisa tidak mencampuri."
Ia berhenti sejenak dan
memasang kuping. Keadaan diseputarnya sunyi senyap. Wanita itu tak punya kawan
dan ia merasa lega.
Selama kurang lebih satu jam,
si baju hitam tak pernah menengok kebelakang. Dengan melihat punggungnya dan
gerak-geriknya, Boe Kie merasa bahwa ia pernah bertemu dengan wanita itu.
"Apa Boe Beng Eng Kouwnio
? Apa Teng Bin Koen ?" ia menduga-duga.
Tak lama kemudian kuil Siauw
lim sie sudah berada didepan mata. Sesudah mendaki kuil dengan tindakan lebih
perlahan. Ia berlaku sangat hati-hati.
Sekonyong-konyong dari dalam
terdengar suara yang bergemuruh yang keluar dari tenggorokan ratusan manusia.
"Eh...“ kata Boe Kie didalam hati. "Mengapa di tengah malam buta
begitu banyak pendeta membaca kitab suci? Ada apa ?"
Mendengar suara berdoa itu,
wanita tersebut berjalan makin perlahan. Sesudah maju beberapa tombak lagi, ia
tiba disamping Tayhiong Po thian. Mendadak terdengar suara tindakan yang sangat
enteng dan ia mendekam diantara rumput-rumput tinggi. Beberapa saat kemudian
empat pendeta bersenjata golok dan sianthung keluar meronda. Siauw lim sie
ternyata tetap waspada.
Sesudah keempat pendeta itu
lewat, wanita itu melompat keluar dari tempat sembunyinya dan menghampiri
jendela, Lompatan dan gerakannya mengunjuk bahwa dia memiliki ilmu ringan badan
kelas satu,
"Ia tidak membekal
senjata, mungkin ia tidak mengandung maksud jelek," pikir Boe Kie.
Sebab ingin melihat muka
wanita itu, kalau-kalau benar ia mengenalinya, Boe Kie lalu mengambil jalan
memutar dan kemudian menempatkan diri di sudut barat laut Tay hiong Po thian.
Ia mengerti bahwa kedudukannya sangat tak enak. Kalau hanya diketahui oleh
pendeta Siauw lim ia akan hilang muka sebab seorang yang berkedudukan tinggi
seperti dirinya memang tak pantas mengintip-ngintip ditengah malam buta. Maka
itulah ia bergerak dengan sangat hati-hati.
Dari sela jendela ia mengawasi
kedalam. Diruangan itu terdapat ratusan pendeta yang sebaris demi sebaris
bersila diatas tikar. Diantara mereka ada yang memegang alat sembahyang, ada
pula yang berdoa sambil merangkap kedua tangan. Mereka rupa-rupanya sedang
mengadakan sembahyang untuk roh dari orang2 yang baru meninggal dunia.
"Benar," kata Boe
Kie didalam hati. "Dalam Eng hiong Tay hwee banyak orang binasa, sedang
dalam peperangan melawan tentara Goan juga banyak yang mengorbankan jiwa.
Berdasarkan welas asih mereka mengadakan sembahyang besar untuk menuntun
roh-roh ke sorga".
Sembahyang itu dipimpin oleh
Kong boen Taysoe sendiri, Disamping Kongboen terdapat seorang wanita muda.
Begitu melihat wajahnya, Boe Kie terkejut sebab dia bukan lain daripada Cioe
Cie Jiak.
Boe Kie menghela napas.
"Sembahyang ini tentu diadakan atas permintaan Cie Jiak pada tadi
siang," pikirnya.
"Ia merasa berdosa dan
menyesal, banyak orang yang tidak berdosa binasa dalam tangannya."
Dengan matanya yang tajam, ia
mengawasi leng pay (papan dengan tulisan nama orang yang disembahyangi ) di
atas meja. Tiba-tiba saja air matanya mengucur sebab di lengpay itu tertulis
huruf-huruf ini: "Tempat yang suci dari pendekar wanita In Lee“.
Diantara ketukan bok hie Cie
Jiak berlutut di depan meja sembahyang dan berkata dengan suara perlahan.
Sayup-sayup Boe Kie menangkap perkataan begini, "In Kouwnio ... kau yang
sudah berada dilangit .... mengasolah dengan tenang ... jangan ganggu aku
...."
Jantung Boe Kie mengetuk lebih
keras.
Piauw moay yang telah
dibinasakan Cie Jiak bernasib malang," katanya didalam hati. "Tapi
penderitaan Cie Jiak mungkin lebih hebat dari pada piauw moay sendiri."
Tiba-tiba ia ingat doa yang
diucapkan oleh para anggauta Beng-kauw waktu mereka menghadapi bencana di Kong
beng teng.
“Hidup apa senangnya, mati apa
susahnya? Kasian manusia dalam dunia banyak yang menderita. Kasian manusia di
dunia banyak yang menderita!"
Perlahan-lahan Cie Jiak bangun
berdiri, tubuhnya agak miring dan mukanya menghadap ke arah timur. Mendadak
paras mukanya berubah dan ia menjerit. "Kau ... kau lagi!" Jeritan
itu nyaring dan tajam menindih suara lonceng diruangan sembahyang.
Boe Kie terkesiap dan menengok
ke jurusan itu. Ia lihat kertas jendela berlubang dan pada lubang itu terdapat
muka seorang wanita yang penuh dengan tanda bekas luka, goresan-goresan senjata
yang panjang. Ia menggigil dan mengeluarkan teriakan tertahan. Muka itu bukan
lain daripada In Lee yang sudah mati!
Boe Kie ingin menghampiri tapi
kedua lututnya lemas dan ia berdiri terpaku. Dilain saat muka itu menghilang
dan Cie Jiak roboh terjengkang.
Sekarang Boe Kie tidak perduli
lagi segala apa. "Coe Jie Coe Jie! Apa benar kau?" teriaknya.
Teriakan itu menggetarkan
seluruh lembah tapi tak ada yang menjawab. Sesudah menenteramkan hatinya ia
menguber dengan menggunakan jalanan yang tadi dilewati wanita itu Tapi apa yang
dilihatnya hanya bulan sisir dan bayangan pohon. Ia tidak percaya setan. Tapi
dalam keadaan begitu, keringat dingin mengucur dan bulu romanya bangun semua.
"Benar, benar dia,"
katanya didalam hati.
"Tak heran, waktu kulihat
punggung dan gerak geriknya, aku merasa seperti sudah mengenalnya. Apa benar,
sebab mati penasaran rohnya tidak berpulang kealam baka? Apa benar rohnya tahu,
bahwa di Siauw lim sie sedang diadakan sembahyang? dan dia datang untuk menerima
doa-doa?"
Sementara itu sejumlah pendeta
sudah keluar untuk menyelidiki. Melihat Boe Kie mereka kaget tercampur heran.
Seorang pendeta tua memberi hormat dan berkata. "Sebab tak tahu Kauwcoe
datang berkunjung, kami tidak keburu menyambut. Mohon Kauwcoe sudi
maafkan".
Boe Kie membalas hormat dan
lalu masuk kedalam ruangan sembahyang. Cie Jiak belum tersadar dari pingsannya.
Ia memburu dan memijit bibir dan mengurut punggung si nona. Beberapa saat
kemudian Cie Jiak mendusin. Ia melompat dan memeluk Boe kie seraya berteriak.
"Setan! ..."
"Aku pun heran,"
kata Boe Kie.
"Tapi kau tak usah takut.
Disini terdapat banyak pendeta suci dan mereka pasti bisa menyingkirkan segala
setan penasaran".
Atas dorongan rasa takut yang
luar biasa nona Cioe jadi kalap dan memeluk Boe Kie di hadapan orang banyak.
Sesudah Boe Kie bicara ia tersadar dan mukanya lantas bersemu merah. Ia
melepaskan pelukannya tapi tubuhnya masih terus bergemetaran dan mencekal kedua
tangan Boe Kie sekeras-kerasnya.
Sesudah memberi hormat kepada
Kong boen Boe Kie memberitahukan adanya muka yang penuh tanda di jendela timur.
Kong boen dan yang lain tidak melihatnya.
"Boe Kie .... Thio
Kauwcoe," kata Cie Jiak, "yang kulihat adalah dia."
Boe Kie lantas menyahut.
"Aku - - - - akupun melihat dia," katanya akhirnya.
Si nona menggigil. "Kau
.... kau juga lihat?" ia menegas.
Boe Kie mengangguk.
"Siapa yang dilihat
olehmu?"
"In Kouwnio, Coe Jie,
Piauw moayku."
Nona Cioe mengeluarkan seruan,
tubuhnya bergoyang-goyang, kedua matanya meram dan ia pingsan lagi.
Boe Kie segera mencekal
tangannya, sehingga ia tidak sampai roboh. Sesaat kemudian ia tersadar pula,
"Yang kulihat adalah Coe Jie,” kata Boe Kie. Tapi dia bukan setan .... dia
manusia biasa."
"Bukan setan ? Apa
benar?"
"Aku telah menguntit dia
sampai disini. Tindakannya tindakan manusia biasa, bukan setan," Boe Kie
berkata begitu terutama untuk menghibur Cie Jiak. Didalam hati, ia sendiri
tidak percaya apa yang dikatakannya.
"Apa sungguh-sungguh dia
bukan setan?" si nona menanya lagi.
Boe Kie menengok kearah Kong
boen dan berkata, "Hong-thio, ada sesuatu yang aku kurang mengerti. Aku
mohon petunjuk Hong thio. Sesudah manusia mati, apa benar ada roh atau
setannya?"
Sesudah berpikir beberapa
saat, Kong boen menjawab, "Soal yang mengenai alam baka sangat sukar
dijelaskan. Segala apa dalam dunia ini merupakan kekosongan. Apalagi roh atau
setan?"
"Tapi mengapa Taysoe
mengadakan sembahyang besar ini? Bukankah untuk menyembahyangi roh?"
"Siancay! Roh sebenarnya
tak usah diseberangi. Sembahyang dilakukan kami bertujuan menenteramkan hati
manusia. Yang harus diseberangi adalah manusia hidup.
Boe Kie tersadar. Ia menyoja
dan berkata sambil membungkuk, "Terima kasih atas petunjuk Taysoe.
Ditengah malam buta aku mengganggu kalian. Kumohon Taysoe suka memaafkan."
"Kauwcoe adalah Toa in
jin (penolong besar) kami. Beberapa kali kauwcoe sudah membebaskan Siauw lim
sie dari bencana. Kauwcoe tak usah berlaku sungkan."
Sesudah berpamitan dengan Kong
boen dan para pendeta, Boe Kie berkata kepada Cie Jiak. Mari kita jalan."
Si-nona kelihatan bersangsi!
"Kalau begitu kita
berpisahan disini saja, " kata pula Boe Kie yang lalu bertindak keluar.
Cie Jiak mengawasi tindakan
pemuda itu. Ia tahu, bahwa kalau sekarang mereka berpisahan, belum tentu mereka
akan bisa bertemu lagi.
Mendadak ia berseru, "Boe
Kie Koko .... aku ikut." Ia mengudak dan meninggalkan kuil Siauwlimsie
berendeng pundak dengan Boe Kie.
Sesudah terpisah dari kuil
beberapa puluh tombak, si nona memegang tangan Boe Kie. Pemuda itu tahu bahwa
dia masih ketakutan. Tapi sebagai manusia biasa, memegang tangan seorang wanita
cantik dia mengendus bau harum menimbulkan perasaan yang sukar dilukiskan.
Mereka berjalan tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Sesudah melalui beberapa li,
si nona menghela napas. "Boe Kie Koko," katanya, "hari itu waktu
kita pertama bertemu di sungai Han soei, jiwaku ditolong oleh Thio Cinjin.
Kalau tahu aku harus mengalami begini banyak penderitaan, alangkah baiknya jika
aku mati dihari itu."
Boe Kie tidak menyahut. Tiba-tiba
ia ingat pula doa Beng kauw. Tanpa merasa ia berkata dengan suara perlahan.
"Hidup apa senangnya mati
apa susahnya? Kasihan manusia dalam dunia, banyak yang menderita. Kasihan
manusia dalam dunia, banyak yang menderita!"
Tangan Cie Jiak bergemetaran.
"Kutahu, dalam mengirim aku ke Go bie, Thio Cin jin bermaksud baik,"
katanya.
"Tapi andaikata ia
menerima aku sebagai murid Boe tong, keadaan sekarang tentu lain sekali Hai--!
Insoe (guruku yang besar budinya) pun sangat baik terhadapku. Tapi . . . ia
paksa aku bersumpah berat, ia paksa aku membenci Beng kauw, membenci kau tapi
didalam hatiku . . . "
Boe Kie merasa sangat terharu.
Ia mengerti bahwa segala penderitaan si nona dan segala perbuatannya yang
berdosa sebagian besar karena gara-gara Biat coat Soethay. Mengingat itu, rasa
kasihannya bertambah pula."
Angin malam yang bersilir
dengan perlahan mengirim harumnya bunga ke hidung dua orang muda itu. Waktu itu
adalah permulaan musim panas. Langit bertabur bintang dan diantara keindahan
dan keharuman sang malam, Boe Kie mendengar pengakuan rasa cinta dari seorang
wanita cantik. Jantungnya mengetuk lebih keras.
"Boe Kie Koko," kata
pula Cie Jiak.
"Pada waktu kita mau
menjalankan upacara pernikahan di Hauwcoe, begitu lihat Tio Kauwcoe kau lantas
kabur. Apa sungguh kau sangat mencintai dia?"
"Inilah justru keterangan
yang sudah lama ku mau berikan kepadamu," jawabnya. Sesaat itu mereka
sudah tiba didekat tenda-tenda Bengkauw, Boe Kie menuntun Cie Jiak kesebuah
batu besar dipinggir jalan dan mereka lalu berduduk dengan berendeng pundak.
Boe Kie lantas saja
menceritakan sebab musabab dari kaburnya itu. Ia kabur bukan semata-mata sebab
kecantikan Tio beng, tapi sebab lihat rambut Cia Soen yang dipegang nona Tio.
Sesudah Boe Kie selesai
menutur, Cie Jiak tidak mengatakan apa-apa juga.
“Cie Jiak apa kau marah
terhadapku?” tanya Boe Kie.
Si nona menangis. “Aku banyak
lakukan perbuatan berdosa, aku hanya boleh mempersalahkan diriku sendiri,"
jawabnya. "Mana boleh aku marah terhadapmu ?"
Tiba-tiba ia mendongak.
"Boe Kie Koko," katanya. "Aku ingin ajukan satu pertanyaan dan
kuharap kau akan menjawabnya dengan setulus hati."
"Katakanlah!“
"Kutahu dalam dunia
terdapat wanita yang mencintai kau dengan segenap jiwa dan raganya. Yang satu
Siauw Ciauw. Dia sudah ke Persia. Yang satu lagi Tio Kouwnio. Yang ketiga
dia - - - - " Ia tak
menyatakan In Kouwnio tapi perkataanmu tidak bisa keluar dari mulutnya. Sesudah
berdiam sejenak ia berkata pula. "Kecuali Siauw Ciauw. kami bertiga pernah
berbuat sesuatu yang tidak baik terhadapmu. Tapi andaikata kami berempat berada
disini siapa yang benar-benar dicinta olehmu?"
Boe Kie tertegun, beberapa
saat kemudian barulah ia bisa membuka mulut. "Aku... aku...:"
Waktu mengarungi lautan
bersama-sama Cie Jiak, Tio Beng, In Lee, dan Siauw Ciauw, pertanyaan itu sudah
sering muncul dalam hatinya.
Ia sendiri tidak bisa
menjawabnya. Untuk mengelakkan soal itu, ia sering berkata pada dirinya
sendiri, bahwa sebelum orang Mongol di usir dari tahta kerajaan, tidaklah
pantas ia memikir soal kawin. Tapi ada juga katanya, didalam hati kecilnya ia
membayangkan bahwa alangkah beruntungnya apabila ia bisa menikah dengan keempat
gadis itu sekaligus. Jaman itu adalah akhir kerajaan Goan. Pada jaman itu tiga
empat isteri atau gundik dipandang lumrah.