Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 66
Untuk beberapa saat, semua
orang tidak berkata-kata.
“Loo Ya Coe,” kata Tio Beng.
Sesudah peristiwa ini terjadi nama Gin Yap dan Kim Hoa Popo menggetarkan dunia
Kang Ouw. Mengapa orang-orang Beng Kauw tak dapat meraba, bahwa Gin Yap dan Kim
Hoa Popo sebenarnya suami isteri Han Cian Yap? Dan sebab apa Gin Yap SianSeng
mati kena racun?”
“Entahlah,” jawabnya. “Mungkin
sekali dalam sepak terjang mereka di kalangan Kang Ouw, mereka selalu
menyingkirkan diri dari orang-orang agama kami.”
Tiba-tiba Boe Kie menepuk
lutut. “Benar!” katanya. Kim Hoa Popo memang mengelakkan pertemuan dengan
orang-orang Beng Kauw waktu enam partai mengepung Beng Kauw. Meskipun sudah
tiba di Kong Beng Teng, ia tidak naik ke puncak untuk memberi bantuan.”
Alis Tio Beng berkerut. “Ada
sesuatu yang tidak bisa ditembus olehku,” katanya. “Cie San Liong Ong terkenal
sebagai wanita yang sangat cantik. Mengapa sekarang mukanya jelek? Mengapa
mukanya rusak?”
“Menurut taksiranku ia telah
menggunakan satu atau lain cara untuk mengubah paras mukanya.” Kata Cia Soen.
“Kau harus tahu, bahwa Han Hoejin beradat aneh. Kaupun harus tahu, bahwa di
dalam hati ia sangat menderita. Selama hidup, ia harus selalu menyingkirkan
diri dari orang-orang Cong Kauw yang coba mengubar dan mencarinya. Hai!... Tak
dinyana dalam usianya yang lanjut, ia masih belum bisa meluputkan diri. Pada
akhirnya orang-orang Cong Kauw dari Persia berhasil mencari dia.”
Mata Tio Beng terbuka lebar.
“Mengapa orang Cong Kauw mencari dia?” tanyanya dengan rasa heran.
“Inilah rahasia yang paling
besar dari Han Hoejin,” jawabnya. “Sebenarnya aku tidak boleh membuka rahasia.
Tapi karena aku ingin kembali ke Leng Coa To untuk menolong dia maka aku harus
bicara seterang-terangnya.
“Kembali ke Leng Coa To?”
menegas si nona. “Apa Loo Ya Coe rasa kita akan dapat melawan Sam Soe?”
Cia Soen tidak menjawab.
Sesudah menghela napas panjang, ia bercerita dengan suara perlahan. “Selama
ratusan tahun, kursi kauwcoe dari Beng Kauw di Tiong Goan diduduki oleh seorang
pria, tapi Kauwcoe Cong Kauw di Persia selalu seorang wanita. Bukan saja
seorang wanita, tapi juga seorang gadis yang tidak menikah. Menurut peraturan
Cong Kauw hanyalah seorang gadis yang masih suci yang boleh menjadi Kauw Coe
supaya ia bisa mempertahankan kesucian Beng Kauw. Setiap Kauw Coe yang baru
memegang jabatan harus memilih tiga gadis yang berkedudukan paling tinggi di
dalam Cong Kauw, untuk meneliti di sekeliling dan dijadikan Seng Lie (wanita
suci) Sesudah diangkat menjadi Seng Lie dengan sumpah yang berat. Mereka harus
berkelana berbagai tempat untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik demi
kemakmuran dan kebesaran Beng Kauw. Apa bila kauwcoe meninggal dunia, maka para
tetua agama akan mengadakan pertemuan untuk memperbincangkan jasa-jasa ketiga
Seng Lie. Yang dianggap paling baik jasa akan diangkat menjadi Kauw Coe baru.
Kalau Seng Lie hilang kesuciannya, kalau dia menikah, maka dia akan dihukum
bakar hidup-hidup. Tak perduli dia lari kemanapun jua, Cong Kauw akan
memerintahkan orang-orang yang berkepandaian tinggi untuk mencarinya…. “
“Oh!... “ memutus Tio Beng.
“Apakah Han Hoejin salah seorang dari ketiga Seng Lie itu?”
Cia Soen mengangguk: “benar!”
jawabnya. “Aku sudah tahu pada sebelum Hoan Yauw memergokinya di mulut jalanan
rahasia. Han Hoejin sendiri membuka rahasianya kepadaku, yang dianggapnya
sebagai seorang teman atau sahabat paling karib. Ia mengatakan, bahwa ia jatuh
cinta pada waktu bertempur dengan Han Cian Yap di kolam pshl. Belakangan sebab
sering menengok pemuda itu yang dirawat oleh Ouw Ceng Goe, rasa cintanya jadi
makin besar dan tidak dapat diobah lagi. Ia tahu, bahwa sesudah menikah ia
pasti akan diubar oleh orang-orang Cong Kauw. Harapan satu-satunya untuk
menebus dosa ialah membuat suatu pahala besar. Maka itu, dengan menempuh
bahaya, ia masuk ke jalanan rahasia dengan maksud untuk mencari kitab Kian Koen
Tay Lo Ie. Di Cong Kauw kitab ilmu silat itu sudah hilang lama dan yang masih
memiliknya adalah Beng Kauw di Tiong Goan. Mengapa Cong Kauw mengirim Taykis ke
Kong Beng Teng? Sebab yang paling terutama ialah untuk mencari dan mendapat
kitab tersebut.”
“Ah!” Boe Kie mengeluarkan
suara tertahan. Ia merasa, bahwa ada sesuatu yang tidak besar tapi apa itu yang
tidak beres tidak diketahui olehnya.
Cia Soen meneruskan ceritanya.
“Beberapa kali Han Hoejin masuk ke jalanan rahasia tanpa berhasil. Aku
menasehati supaya menghentikan usaha itu, karena masuknya ke jalanan rahasia
merupakan rahasia besar yang sukar bisa diampuni.”
“sekarang kutahu,” memotong
Tio Beng. “Han Hoejin memutuskan perhubungan Beng Kauw supaya ia merdeka untuk
masuk ke jalanan rahasia itu. Sesudah tak menjadi anggota Beng Kauw, dia tidak
terikat lagi dengan peraturan agama. Loo Ya Coe, bukankah begitu?”
“Tio Kouwnio sangat pintar.”
Jawabnya sambil mengangguk. “Kong Beng Teng adalah pusat agama kita dan aku
tidak bisa mempermisikan orang keluar masuk sepenuh hati. Aku sudah menebak
niatan Han Hoejin. Sesudah dia turun gunung, aku sendiri menjaga di mulut
jalanan rahasia. Tiga kali dia menyatroni, tiga kali dia bertemu dengan aku. Akhirnya
dia pergi dengan putus harapan.” Sehabis berkata begitu, ia menengadah seperti
orang memikir sesuatu. Mendadak ia bertanya, “Bagaimanakah pakaian Sam Soe? Apa
berbeda dari pakaian anggota Beng Kauw di Tiong Goan?”
“Mereka mengenakan jubah putih
dan pada ujung jubah tersulam obor merah,” jawab Boe Kie. “Tapi… tapi… pada
pinggiran terdapat lapisan kain hitam. Hanya itu perbedaannya.”
“Tak salah!” seru Cia Soen.
“Kauwcoe Cong Kauw baru saja meninggal dunia! Bagi orang-orang See Hek, hitam
adalah warna berkabung. Jubah putih dengan pinggiran hitam berarti pakaian
berkabung. Mereka mau memilih kauwcoe baru dan mencari Han Hoejin.”
“Ada satu hal yang aku kurang
mengerti,” kata Boe Kie. “Han Hoejin berasal dari Beng Kauw di Persia dan ia
tentu mahir dalam ilmu silaat yang dipelajari dalam kalangan Cong Kauw. Tapi
mengapa dalam sejurus ia sudah dirobohkan Sam Soe?”
“Tolol!” kata Tio Beng sambil
tersenyum. “Han Hoejin hanya berpura-pura untuk menutupi asal-usulnya yang
sebenarnya. Ia tidak boleh memperhatikan bahwa ia mengenal ilmu silat ketiga
utusan itu. Menurut dugaanku, jika Loo Ya Coe mengiring kehendak Sam Soe dan
coba membunuh dia, dia pasti tidak mempunyai daya untuk menyelamatkan diri.”
Cia Soen menggelengkan kepala.
“Memang benar ia menutupi asal-usulnya,” katanya. “Tapi kalau Tio Kouwnio
berpendapat bahwa sesudah ditotok Sam Soe ia masih bisa meloloskan diri, aku
merasa kurang setuju. Belum tentu ia bisa meloloskan diri. Menurutku, Han
Hoejin lebih suka dibunuh olehku daripada dibakar hidup-hidup.”
Tiba-tiba terdengar suara
beradunya gigi. Semua orang kaget. Ternyata In Lee kembali menggigit keras dan
giginya bercatrukan. Boe Kie meraba dahi si nona yang panas luar biasa. Ia
menghela napas. Penyakit nona In sangat berat.
“Gie Hoe,” kata Boe Kie setelah
memikir sejenak, “anak mengambil keputusan untuk kembali ke Leng Coa To. In
Kouwnio harus bisa beristirahat sedapat mungkin Andai kata kita tak bisa
berhasil menolong Han Hoejin, kita sedikitnya harus menolong In Kouwnio.”
“Benar,” kata Cia Soen. “In
Kouwnio begitu mencintai kau. Dia tak bisa tak ditolong, Tio Kouwnio, bagaimana
pikiranmu?”
“Luka In Kouwnio sangat berat,
aku setuju untuk kembali.” Jawab Tio Beng.
Cie Jiak menjawab dengan suara
dingin. “Terserah pada Loo Ya Coe.”
“Kita harus menunggu sampai
halimun buyar dan berlayar dengan melihat bintang sebagai pedoman.” Kata Boe
Kie. “Gie Hoe, Lioe In Soe berhasil melukai aku dengan Seng Hwee Leng pada
waktu ia berjungkil balik di tengah udara. Mengapa bisa begitu? Ilmu silat apa
itu?”
Mereka lantas saja
membicarakan ilmu silat ketiga utusan Cong Kauw itu. Tio Beng yang mengenal
banyak ilmu silat kadang-kadang turut mengantarkan pikirannya. Tapi sesudah
berunding berjam-jam mereka belum juga bisa menangkap inti sari ilmu silat Sam
Soe yang berdasarkan kerja sama antara mereka bertiga.”
Sesudah matahari keluar
barulah halimun membuyar. “Semula kita menuju ke selatan dari utara,” kata Boe
Kie. “Maka itu, kalau mau kembali ke Leng Coa To, kita sekarang harus mengambil
jalan ke arah barat laut.”
Dengan bergiliran, Cia Soen,
Boe Kie, Cie Jiak, dan Siauw Ciauw lalu mulai mendayung perahu. Kalau tadi
perahu melaju dengan bantuan angin, sekarang harus melawan angin. Untung juga
Cia Soen dan Boe Kie memiliki tenaga dalam yang sangat kuat, sedang kedua nona
itu pun mempunyai lweekang yang lumayan sehingga pekerjaan mendayung tak
dirasakan terlalu berat. Perlahan tapi tentu perahu itu bergerak ke jurusan
utara.
Selama beberapa hari Cia Soen
tak banyak bicara. Ia duduk termenung dengan alis berkerut memikiri jalan untuk
melawan ilmu Sam Soe yang sangat aneh.
Pada magrib hari keenam,
tiba-tiba ia menanya Cie Jiak tentang ilmu silat Go Bie Pay. Nona Cie segera
memberitahukan tanpa tedeng-tedeng. Tanya jawab itu berlangsung sampai jauh
malam. Akhirnya dengan suara kecewa, Cia Soen berkata: ”ilmu silat Siauw Lim,
Boe Tong, dan Go Bie semua bersumber dari Kioe Yang Cin Keng dan tidak berbeda
dengan ilmu silat Boe Kie – semua berdasarkan Yang Kong (keras). Kalau Thio Sam
Hong Cinjin, yang memiliki Im Jioe dan Yang Kong (lembek keras) berada di sini,
kita akan bisa merobohkan Sam Soe. Dengan Im Jioe dari Thio Cinjin dan Yang
Kong dari Boe Kie, kupercaya Sam Soe dapat dikalahkan. Tapi Thio Cinjin berada
di tempat jauh dan waktu sangat mendesak. Apa daya kalau Han Hoejin sudah
ditangkap Sam Soe?”
“Loo Ya Coe,” kata Cie Jiak.
“Kudengar pada ratusan tahun yang lalu, sejumlah tokoh rimba persilatan
mengenal ilmu silat yang bersumber dari Kioe Im Cin Keng. Apa benar?”
Waktu berada di Boe Tong Sie,
Boe Kie pun pernah mendengar nama Kioe Im Cin Keng dari Thay Soehoenya. Ia
tahun bahwa Kwee Ceng Kwee Tay Hiap (ayah Kwee Siang Liehiap, pendiri Go Bie
Pay) dan Siauw Tay Hiap Yo Ko adalah orang-orang yang telah mempelajari ilmu
silat Kioe Im Cin Keng. Tapi ilmu-ilmu di dalam kitab itu sangat sukar
dipelajari, sehingga Kwee Siang sendiri tidak dapat mempelajarinya. Ia terkejut
waktu mendengar pertanyaan Cie Jiak.
“Memang ada ceritera begitu,
tapi benar setidaknya, aku tak tahu,” jawab Cia Soen. “Menurut katanya
orang-orang tua, ilmu silat Kioe Im Cin Keng lihai luar biasa. Kalau sekarang
orang-orang memiliki ilmu silat itu dan ia bekerja sama dengan Boe Kie, Sam Soe
pasti bisa dirobohkan dengan sangat gampang.”
“Ya,” kata nona Cioe. Ia tak
bisa berkata suatu apa lagi.
“Cioe Kouwnio, apakah dalam Go
Bie Pay tidak ada orang yang mengenal ilmu silat Kioe Im Cin Keng?” tanya Tio
Beng.
Alis Cie Jiak berkerut dan ia
menjawab dengan suara tawar. “Apabila Go Bie Pay mengenal ilmu silat itu, Sian
coe (mendiang guru) pasti tidak sampai mengorbankan diri di Ban Hoat Sie.” Bagi
Cie Jiak yang perasaannya halus. Kata-kata itu sudah sangat tajam. Ia tidak
dapat menghilangkan rasa sakit hatinya terhadap Tio Beng, sebab kebinasaaan
gurunya yang tercinta adalah gara-gara nona Tio.
Tapi Tio Beng tidak menjadi
gusar. Ia hanya tersenyum.
Tak lama kemudian selagi enak
mendayung, tiba-tiba Boe Kie berseru sambil menuding ke jurusan barat laut.
“Lihatlah! Di sana ada sinar api.” Semua orang menengok ke arah itu. Benar
saja, di garis antara langit dan laut rapat-rapat berkelebat-kelebatnya sinar
api. Meskipun tidak bisa melihat, Cia Soen turut bergirang.
Sinar itu kelihatan dekat,
tapi sebenarnya jauh. Sesudah mendayung lagi setengah harian barulah mereka
bisa melihat tegas ke tempat terjandinya kebakaran itu. Tempat itu sebuah pulau
yang penuh gunung dan pulau itu bukan lain daripada Leng Coa To.
“Kita sudah tiba di Leng Coa
To!” kata Boe Kie dengan girang.
Dengan penuh harapan semua
orang mengawasi pulau yang menghijau itu. Mendadak Cia Soen mengeluarkan
teriakan tertahan. “Celaka! Mengapa terjadi kebakaran di Leng Coa To? Apa
mereka sudah membakar Han Hoejin?”
Teriakan itu disusul dengan
robohnya Siauw Ciauw. Buru-buru Boe Kie membangunkannya. Nona itu ternyata
pingsan. Boe Kie menyadarkannya dengan totokan dan bertanya, “Siauw Ciauw,
mengapa kau?”
“Aku takut,” jawabnya sambil
menangis. “Aku takut…. Mendengar hukuman bakar hidup-hidup terhadap sesama
manusia.”
“Itu belum tentu,” bujuk Boe
Kie. “Itu hanya dugaan Cia Loocianpwee. Andaikata Han Hoejin sudah ditangkap,
kurasa kita masih bisa menolong.”
Siauw Ciauw mencekal tangan
Boe Kie erat-erat dan berkata dengan suara parau.
“Thio KongCoe, aku memohon…
memohon supaya kau menolong Han Hoejin… “
“Tentu kita berusaha
beramai-ramai,” jawabnya. Sehabis berkata begitu, ia kembali ke buritan perahu
dan mendayung sekuat tenaga, sehingga kendaraan air itu melaju bagaikan
terbang.
Mendadak Tio Beng berkata
dengan suara perlahan. “Thio KongCoe, sudah lama aku memikiri dua soal yang
sampai sekarang belum dapat dipecahkan olehku. Aku ingin meminta petunjukmu.”
Mendengar kata-kata yang
sungkan, Boe Kie merasa heran. “soal apa?” tanyanya.
“Hari itu, waktu berada di Lek
Lioe Chung, aku telah memerintahkan orang-orangku untuk mengepung rombongan
kakekmu,” menerangkan si nona. “Selagi rombongan terkepung, tiba-tiba Siauw
Ciauw Kouwnio maju dan memimpin pahlawan rombongan kakekmu. Memang benar, bahwa
dibawah seorang panglima yang pandai tak ada serdadu yang lemah. Tapi bagiku,
bahwa dibawah Kauw Coe Beng Kauw ada seorang pelayan yang mempunyai kepandaian
begitu tinggi, masih tetap mengherankan… “
“Kauwcoe Beng Kauw?” memutus
Cia Soen.
Tio Beng tertawa, “Loo Ya
Coe,” katanya. “Sekarang biarlah aku berterus terang. Anak angkatmu bukan lain
daripada kauwCoe yang tersohor dari agama Beng Kauw. Kau sendiri salah seorang
bawahannya.”
Cia Soen terkesiap. Mulutnya
ternganga dan ia tidak dapat mengeluarkan sepatah kata. Tapi, di dalam hati ia
masih bersangsi. Tio Beng meretapkan keterangannya, tapi ia tidak bisa memberi
penjelasan mengenai jalannya peristiwa yang berakhir dengan pengangkatan Boe
Kie sebagai KauwCoe. Karena didesak keras oleh ayah angkatnya Boe Kie tidak
bisa menyangkal lagi. Secara ringkas ia segera menceritakan segala kejadian.
Tak kepalang girangnya orang
tua itu. Ia berlutut dan berkata dengan suara terharu.
“Orang sebawahan, Kim Mo Say
Ong, Cia Soen, memberi hormat kepada KauwCoe.”
Tersipu-sipu Boe Kie balas
berlutut. “Giehoe, janganlah menjalankan peradatan ini,” katanya dengan air
mata berlinang-linang. “Menurut surat wasiat mendiang Yo KauwCoe, Giehoe-lah
yang harus menjadi Kauwcoe untuk sementara waktu. Dalam menerima pengangkata,
anak selalu berkuatir kalau-kalau anak tidak kuat memikul beban yang sangat
berat itu. Atas berkah Thian, Giehoe pulang dengan tak kurang suatu apa. Inilah
rejeki dari agama kita. Sepulangnya dari Tiong Goan, kursi KauwCoe harus
diduduki giehoe.”
“Biarpun ayah angkatmu sudah
bisa pulang, tapi dengan kedua matanya sudah buta, kau tidak bisa mengatakan
bahwa ia pulang dengan tak kurang suatu apa,” kata Cia Soen dengan suara sedih.
“Mana bisa Beng Kauw mempunyai pemimpin yang matanya tidak dapat melihat? Tio
KouwNio, soal-soal apa yang tidak mengerti olehmu?”
“Aku merasa heran karena Siauw
Ciauw Kouwnio memiliki kepandaian yang sangat luar biasa,” jawabnya. “Aku ingin
menanya, siapa yang mengajarinya dalama ilmu Kie boen Pat Kwa dan Im Yang Ngo
Heng? Cara bagaimana dalam usia yang begitu muda, ia sudah mempunyai ilmu
tersebut?”
“Itulah ilmu turunan dari
keluargaku,” jawab Siauw Ciauw. “Ilmu itu tidak cukup berharga untuk mendapat
perhatian Koencoe Nio Nio.”
“Siapa ayahmu?” tanya pula Tio
Beng. “Anaknya begitu lihai, ayah ibunya pasti tokoh-tokoh yang namanya
cemerlang.”
“Ayahku hidup dengan mengubur
she dan namanya sendiri,” jawabnya. “Tak perlu Koencoe menanyakannya. Apakah
Koencoe mau memaksa aku dengan ancaman potong jari-jari tangan?” Si gadis cilik
ternyata tak sungkan-sungkan. Dengan menyebutkan ancaman potong jari-jari
tangan, ia rupa-rupanya ingin menarik tangan Cie Jiak untuk berdiri di
pihaknya.
Tio Beng hanya tersenyum.
“Thio Kongcoe,” katanya dengan suara tenang. “Malam itu di kota raja, waktu
kita bertemu di rumah makan untuk kedua kali, Kouw Tauwtoo Hoan Yauw telah
memberi selamat berpisah kepadaku. Waktu itu, ia kebetulan bertemu dengan Siauw
Ciauw KouwNio dan ia mengatakan sesuatu, apakah kau masih ingat perkataannya?”
Sebenarnya Boe Kie sudah
melupakan kejadian tersebut. Sesudah memikir beberapa saat, ia menjawab. “Hm…
kalau aku tak salah ingat, Kouw Taysoe mengatakan bahwa paras muka Siauw Ciauw
mirip dengan salah seorang musuhnya.”
“Benar,” kata Tio Beng sambil
mengangguk. “Apakah kau bisa menebak siapa yang dimaksud Kouw Taysoe? Siauw
Ciauw Kouwnio mirip siapa?”
“Bagaimana aku bisa menebak?”
Boe Kie balas bertanya.
Selagi mereka bicara, perahu
sudah makin mendekati Leng coa to. Mereka melihat, bahwa di sebelah barat pulau
berderet kapal2 Cong kauw yang layarnya terlukis gambar obor merah dan pada
setiap layar tergantung sehelai kain hitam.
Alis Boe Kie berkerut. “Cong
kauw telah mengerahkan angkatan laut dan orang yang datang kesini tidak
berjumlah kecil,” katanya.
“Kita harus coba mendarat di
pulau yang sepi dan aman,” kata Tio Beng.
Boe Kie mengangguk dan segera
mendayung.
Sekonyong2 dari salah sebuah
kapal terdengar bunyi terompet. “Dung.. dung..” dua peluru menyambar, yang lain
di sebelah kanan perahu, sehingga karena goncangan ombak, perahu kecil itu
hampir hampir tenggelam.
“O hoooi! Dengarlah…!”
demikian terdengar teriakan dari arah kapal itu. “Perahu kecil itu harus datang
disini. Kalau tidak menurut akan ditenggelamkan.”
Boe Kie mengeluh. Kedua
tembakan yang barusan adalah tembakan ancaman. Ia yakin bahwa jika membantah
perahu yang ditumpanginya akan segera ditenggelamkan, tanpa bisa melawan. Sebab
tak ada jalan lain, perlahan lahan ia mendayung ke arah kapal itu.
Meriam2 di tiga kapal Cong
kauw bergerak dan menuding perahu Boe Kie. Waktu perahu menempel dengan sisi
kapal dari atas kapal segera diturunkan sebuah tangga tambang.
“Mari kita naik dan berusaha
untuk merampas kapal ini,” bisik Boe Kie.
Cia Soen naik paling dulu
disusul oleh Cie Jiak yang mendukung Tio Beng. Sesudah itu Siauw Ciauw dan yang
paling akhir adalah Boe Kie yang mendukung In Lee. Yang berada di kapal itu orang2
Persia yang bertubuh tinggi besar berambut kuning dan bermata biru. Boe Kie
menyapu dengan matanya. Ia tak lihat Sam soe (Budi: Some parts missing here..)
(PP: That’s what’s in the book)
tas saja ia bertanya. “Siapa
kamu? Ada urusan apa kamu datang kemari?”
“Kami mengalami bencana kapal
kami tenggelam,” jawab Tio Beng. “Kami menghaturkan terima kasih untuk
pertolongan kalian.”
Orang itu setengah percaya
setengah tidak. Ia berpaling kepada pemimpinnya yang berduduk di kursi geladak
kapal dan bicara dalam bahasa Persia. Selagi pemimpin itu bicara tiba2 Siauw
Ciauw melompat dan menghantam dengan telapak tangannya. Dia kaget, berkelit dan
menjambret kursi yang lalu digunakan untuk memukul si nona. Boe Kie terkesiap.
Ia tak pernah menduga, bahwa Siauw Ciauw akan segera menyerang. Sambil
melompat, ia menotok dan pemimpin itu lantas saja roboh.
Puluhan orang Persia yang
berada di situ lantas saja menjadi kalut. Mereka menghunus senjata dan segera
mengepung. Tapi biarpun mengenal ilmu silat kepandaian mereka masih kalah
(Budi: Some parts missing
here..) (PP: I think that’s OK)
Sambil mendukung In Lee erat
erat dengan tangan kanannya, Boe Kie menyerang dengan tangan kiri. Cia Soen
memutar To Liong To, sedangkan Cie Jiak mengamuk dengan pedangnya.
Ditambah dengan Siauw Ciauw
yang lincah gerakannya dalam sekejap puluhan orang Persia itu sudah dapat
dibereskan. Belasan orang luka dan rebah di geladak kapal, tujuh delapan orang
jatuh di air dan sisanya tidak berdaya lagi karena ditotok hiatnya. Lain lain
kapal Cong Kauw lantas saja membunyikan terompet dan mulai mengurung.
Buru buru Boe Kie merebahkan
In Lee di geladak menentang pemimping yang tadi dirobohkannya dan lalu memanjat
tiang layar. “Hai! Kalau ada yang berani datang kemari, lebih dahulu aku
membinasakan orang ini!” teriaknya.
Pemimpin itu ternyata
mempunyai kedudukan tinggi, lantaran, biarpun mereka berteriak
Some parts missing here…
Boe Kie melompat turun, tapi
baru saja melepaskan tawanannya di geladak tiba tiba ia merasakan kesiuran
angin yang sangat tajam. Secepat kilat ia berkelit dan menendang. Sebelum ia
sempat memutar badan, semacam senjata yang bukan lain daripada Seng hwee leng
menyambar dari samping kiri. Ia mengeluh. Ia tahu bahwa Sam soe sudah mulai
menyerang. “Semua mundur ke tenda (gubug) kapal!” teriaknya seraya menjemput si
pemimpin yang lalu digunakan untuk menyambut Seng hwee leng yang menyambar.
Orang yang memukul adalah Hwie
goatsoe. Ia terkejut dan mati matian ia menarik pulang senjatanya. Ia berhasil,
tapi sebab senjata itu ditarik pulang secara mendadak, maka bagian bawah
tubuhnya jadi terbuka. Melihat lowongan itu Boe Kie menendang. Lioe in soe dan
siauw hong soe menolong dengan serangan dahsyat sehingga tendangan Boe Kie
meleset dan Hwie goat soe terluput dari bahaya. Sesudah lewat beberapa jurus
tiba2 Biauw hong soe menyabet dengan Seng hwee leng dengan pukulan yang sangat
aneh. Boe Kie memapaki senjata itu dengan tubuh si pemimpin dengan gerakan yang
tak kurang anehnya. “Plak!” Seng hwee leng mampir tepat di pipi kiri orang itu.
Tak kepalang kagetnya Sam soe.
Muka mereka berubah pucat. Mereka mengeluarkan beberapa buah perkataan dalam
bahasa Persia dan kemudian membungkuk dengan sikap hormat kepada pemimpin yang
dicekal Boe Kie itu.
Siapa pemimpin itu?
Ia adalah salah seorang dari
duabelas Po soe ong (Raja Pohon Mustika) dalam Cong kauw dan ia bergelar Peng
teng ong. Keduabelas raja itu menurut runtunannya, ialah Tay seng, Tio wi,
Siang seng, Sin sim, Jin jiok, Ceng tit, Kong tek, Cie sim dan Kie beng. Mereka
dalah Keng soe (guru dalam kitab suci) di bawah Kauwcoe dari Ceng kauw dan
kedudukan mereka menyerupai empat Soe kauw di wilayah Tionggoan.
Perbedaannya dari Soe kauw
Hoat ong ialah, sebaliknya dari mementingkan ilmu silat, mereka mengutamakan
pelajaran keagamaan. Kecuali Tay seng Po soe ong, Siang seng Po soe ong dan
Kong tek Po soe ong yang memiliki ilmu silat sangat tinggi, kepandaian yang
lainnya hanya biasa saja dan masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Sam soe.
Kali ini dalam usaha mencari Seng lie untuk pengangkatan Kauwcoe baru, kedua
belas Po soe ong turut datang di Tiong goan. Karena kedudukan yang sangat
tinggi dari “raja raja” itu maka biarpun tak disengaja, terpukulnya Peng teng
ong dengan Seng hwee leng sudah mengejutkan Sam soe, sehingga mereka tak berani
menyerang lagi dan segera mengundurkan diri.
Boe Kie segera berduduk dan
memangk Peng teng ong. Ia mengerti, bahwa orang itu mempunyai kedudukan penting
di dalam Cong kauw dan merupakan orang tanggungan satu2nya yang bisa menolong
rombongannya. Ia membungkuk dan memeriksa luka tawanannya. Untung juga tidak
membahayakan jiwa hanya bengkak pada bagian pipi. Rupa2nya pada detik terakhir
Biauw hong soe berusaha untuk menarik pulang senjatanya, sehingga tenaga
pukulannya banyak berkurang.
Sementara itu, Cie Jiak dan
Siauw Ciauw bekerja keras untuk memindahkan korban2 yang menggeletak di geladak
kapal. Mereka mengangkat mayat2 ke gubuk belakang dan mengumpulkan orang-orang
yang terluka.
Dengan cepat kapal yang
dikuasai rombongan Boe Kie sudah terkurung rapat oleh belasan kapal Cong kauw.
Semua meriam2 ditudingkan ke arah Boe Kie dan kawan2nya dan diatas semua kapal
penuh dengan orang2 Cong kauw yang memegang obor dan menghunus senjata.
Boe Kie jadi bingung. Tanpa
meriam lawan yang berjumlah begitu besar sudah tak mungkin dilawan. Dengan ilmu
silatnya yang tinggi ia sendiri mungkin dapat selamat. Tapi bagaimana dengan
yang lain? Bagaimana dengan In Lee dan Tio Beng yang terluka berat?
Sekonyong konyong salah
seorang berteriak dalam bahasa Tionghoa. “Kim mo Say-ong, dengarlah! Dua belas
Po soe ong dari Cong kauw berada di sini. Kedosaanmu terhadap Cong kauw sudah
diampuni oleh para Po soe ong. Lekas pulangkan anggota Cong kauw yang berada di
kapal itu! Sesudah memulangkan semua orang, kau boleh pergi tanpa diganggu.”
Cia Soen tersenyum. “Cia Soen
bukan anak kemarin dulu!” teriaknya. “Begitu lekas kami lepaskan semua tawanan,
apakah meriam meriammu tidak lantas memuntahkan peluru?”
“Kurang ajar!” bentak orang
itu dengan gusar. “Kalau kau tidak melepaskan mereka, apakah meriam kami tidak
bisa melepaskan tembakan?”
“Mana Seng li Tay Kie?” tanya
Cia Soen. “Lepaskan dia lebih dahulu! Sesudah kamu melepaskan dia, kita boleh
bicara lagi.”
Orang itu segera berunding
dengan orang yang berdiri di sekitarnya. Beberapa saat kemudian, ia berteriak
pula. “Tay Kie membuat pelanggaran hebat dan ia akan mendapat hukuman dibakar
hidup-hidup. Urusan ini urusan Cong kauw dan tidak bersangkut paut dengan Beng
kauw di daerah Tiong goan.”
Sesudah berpikir sejenak Cia
Soen berkata pula, “Aku ingin mengajukan tiga syarat. Begitu lekas kalian
meluluskan, kami akan segera memulangkan semua orang.”
“Syarat apa?”
“Yang pertama, keduabelas Po
soe ong harus berjanji, bahwa mulai kini Cong kauw dan Tiong goan harus saling
mengindahkan dan tak boleh mencampuri urusan masing-masing.”
“Hmm!... Yang kedua?”
“Lepaskan Tay Kie dan antarkan
kemari. Bebaskan kedosaannya dan kalian harus berjanji bahwa persoalan takkan
ditimbulkan lagi.”
“Tidak bisa! Ini tidak bisa!
Yang ketiga?”
“Sebelum kalian mengiyakan
syarat kedua, perlu apa aku memberitahukan yang ketiga?”
“Syarat ketiga sangat mudah.
Kalian mengirim sebuah perahu kecil yang harus mengikuti di belakang kapal ini.
Sesudah kami berada dalam jarak sedikitnya lima puluh li dan kami mendapat
kenyataan, bahwa kalian tidak mengejar, kami akan turunkan semua tawanan ke
perahu itu yang boleh segera kembali kepada kalian.”
Orang yang bicara dengan Cia
Soen adalah Kie beng Po soe ong, “raja” kedua belas. Mendengar syarat ketiga ia
gusar tak kepalang. Sambil membentak keras, bersama Cie sim Po soe ong, ia
melompat ke kapal Boe Kie.
Boe Kie segera menyambut.
Dengan telapak tangannya ia mendorong dada Cie sim ong. Sebaliknya dari
menangkis, “raja” itu balas menyerang. Tangan kirinya menyambar dan coba
mencengkeram kepala Boe Kie. Hampir berbareng, Kie beng ong menerjang dan
menyambut telapak tangan Boe Kie yang sudah hampir menyentuh dada Cie sim ong.
Untuk menghindarkan cengkeraman Cie sim ong, Boe Kie sendiri lantas melompat ke
samping.
Boe Kie kaget. Ilmu silat
kedua lawan itu merupakan kerja sama yang sangat erat, sehingga ia seperti
menghadapi seorang lawan yang mempunyai empat tangan dan empat kaki. Kepandaian
mereka berdua agaknya masih kalah dengan Sam soe, tapi gerak geriknya sangat
aneh. Terang2 ilmu silat mereka bersamaan dengan Kian koen Tay lo ie, tapi
dalam menggunakannya mereka mengeluarkan perubahan2 luar biasa yang tak dapat
diraba. Sesudah bertempur puluhan jurus, barulah Boe Kie bisa berada di atas
angin.
Selagi Boe Kie mengasah otak
untuk mengalahkan kedua lawannya, mendadak Sam soe membentak keras dan melompat
pula mereka ke kapal Boe Kie. Sesudah mereka melakukan Peng seng ong tanpa
sengaja, mereka merasa sangat malu dan mereka sekarang mengambil keputusan
untuk merampas pulang “raja” yang keenam itu.
Cepat cepat Cia Soen
mengangkat tubuh Peng seng ong dan memutarnya dalam bentuk lingkaran. Sam soe
tentu saja tidak berani sembarangan menyerang. Mereka hanya bisa berlari lari
mengikuti lingkaran itu untuk mencari lowongan guna menyerang.
Beberapa saat kemudian,
mendadak terdengar teriakan kesakitan dari Kie beng ong yang roboh tertendang
Boe Kie. Baru saja Boe Kie membungkuk untuk menawannya, Lioe in soe dan Hwie
goat soe sudah menyerang dengan berbareng, sedang Biauw hong soe mendukung raja
itu yang lalu dibawa balik ke kapal sendiri. Sekarang Cie sim ong mengepung Boe
Kie bersama Lioe in see dan Hwie goat soe. Kerja sama mereka tidak seerat kerja
sama Sam soe dan dengan kekuatiran mereka akan keselamatan Kie beng ong, maka
sesudah bertempur beberapa jurus lagi, mereka segera mengundurkan diri.
Sesudah menenteramkan
semangatnya, Boe Kie berkata. “Orang orang itu seperti juga pernah mempelajari
Kian Koen tay lo ie. Tapi heran sekali, pukulan-pukulannya berbeda dari ilmu
itu, mereka sungguh sukar dilawan.”
“Pelajaran Kian koen Tay lo ie
sebenarnya bersumber dari Persia,” kata Cia Soen. “Tapi semenjak beberapa ratus
tahun yang lalu, sesudah Beng kauw tersiar ke Tionggoan, di Persia sendiri ilmu
itu bahkan tidak dikenal lagi. Menurut pendapatku, apa yang telah dipelajari
mereka hanyalah kulit dari Kian koen tay lo ie. Maka itulah mereka telah
mengirim Tay Kie ke Kong beng teng untuk mencuri kitab ilmu silat tersebut.”
Boe Kie menggelengkan kepala.
“Anak berpendapat lain,” katanya. “Memang benar dasar ilmu silat mereka masih
sangat cetek dan benar mereka hanya memiliki kulit dari ilmu Kian koen tay lo
ie. Tapi dalam menggunakannya, mereka dapat menggunakan secara luar biasa
sekali. Di dalam ini pasti terselip satu sebab yang masih belum diketahui kita.
Hm!... dalam Kian koen tay lo ie tingkat ketujuh ada beberapa bagian yang belum
dapat dipelajari oleh… Apa.. apa ini sebab musababnya?... Sehabis berkata
begitu, ia bersila dan memejamkan matanya. Cia Soen dan yang lain lain menunggu
tanpa membuka suara. Mereka tidak berani mengganggu jalan pikiran pemuda itu.
Sekonyong konyong di sebelah
kejauhan terdengar suara terompet yang berulang ulang. Sebuah kapal besar
mendatangi dengan perlahan. Di atas kapal kapal itu terpancang dua belas bendera
dengan sulaman benang emas, sedang di atas geladak teratur duabelas kursi
dengan alas kulit harimau. Antara keduabelas kursi itu, sembilan terisi dan
tiga kosong. Begitu kapal berhenti, Cie sim ong dan Kie beng ong lantas
melompat naik dan menduduki dua kursi yang paling akhir. Dengan demikian, hanya
sebuah kursi keenam yang masih kosong.
Melihat begitu, Tio Beng
tersadar. “Pakaian tawanan kita bersamaan dengan pakaian sebelas orang itu,”
katanya. “Apa ia bukan salah seorang dari keduabelas Po soe ong!”
“Kurasa memang begitu,” kata
Boe Kie. “Tawanan kita berkedudukan sangat tinggi dan kupercaya sedikitnya
untuk sementara waktu, mereka tak akan berani menyerang….” Pembicaraannya
terputus dengan mendadak, karena ia tiba tiba melihat Sam soe menghampiri sebelas
“raja” itu dengan membawa seorang tangkapan.
Boe Kie dan yang lain
terkejut. Mereka mengenali bahwa tangkapan itu, seorang nenek bongkok yang
memegang tongkat, adalah Kim hoa Po po.
Di lain saat, Toe hwie Po soe
ong yang berduduk di kursi kedua mengajukan beberapa pertanyaan dalam bahasa
Persia dengan suara keras.
Si nenek miringkan kepalanya.
“Apa yang kau katakan?” tanyanya. “Aku tidak mengerti.”
Tie hwie ong tertawa dingin.
Ia bangun berdiri dan tangannya menyambar ke kepala si nenek. Di lain saat, ia
sudah memegang segumpal rambut palsu, sedang di atas kepala si nenek terlihat
rambut yang berwarna hitam dan mengkilat. Kim hoa Po po miringkan kepalanya,
tapi tangan kanan Tie hwie ong sudah mampir di mukanya dan membeset selapis
topeng. Boe Kie yang bermata tajam sudah melihat tegas, bahwa topeng yang
terbeset itu adalah topeng muka Kim hoa Po po. Hampir berbareng Kim hoa Po po
menyalin rupa. Ia sekarang berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.
Jantung Boe Kie memukul keras. “Ah!... Mukanya sungguh mirip sekali dengan muka
Siauw Ciauw,” katanya di dalam hati. Mendadak ia mendengar suara Tio Beng yang
berkata, “Sama betul dengan Siauw Ciauw!”
Sesudah topengnya dilucuti,
seraya tertawa dingin si nenek melemparkan tongkatnya. Tie hwie ong lalu
mengajukan pertanyaan pertanyaan dalam bahasa itu juga. Selama tanya jawab itu
berlangsung, paras muka kesebelas “Ong” kelihatannya sangat menyeramkan.
Boe Kie dan yang lain tentu
saja tidak mengerti pembicaraan itu.
“Siauw Ciauw Kouwnio, apa yang
mereka bicarakan?” tanya Tio Beng.
Air mata Siauw Ciauw lantas
saja mengucur, “kau sangat pintar,” katanya. “Kau tahu segala apa, tapi mengapa
kau tidak mencegah Loo ya coe berkata begitu?”
“Mencegah Loo ya coe berkata
apa apa?” tanya Tio Beng dengan rasa heran.
“Semula mereka tak tahu siapa
adanya Kim hoa Po po”, menerangkan Siauw Ciauw. “Belakangan mereka tahu bahwa
Kim hoa Po po ialah Cie san Liong ong. Tapi mereka tak pernah menduga bahwa Cie
san Liong ong adalah Tay Kie. Po po telah menyamar dalam waktu lama dengan
pengharapan bisa mengelabui mereka. Di luar dugaan tanpa sengaja Loo ya coe
telah membuka rahasia dengan mengajukan syarat supaya mereka melepaskan Seng
lie Tay Kie. Maksud Loo ya coe memang mulia sekali. Tapi dengan begitu Tie hwie
Po soe ong jadi mendusin. Loo ya coe yang tidak bisa melihat tentu saja tak
tahu lihaynya penyamaran Po po yang dapat mengelabui siapapun jua. Tio Kauwnio,
kau telah lihat terang terang dengan matamu. Apa kau tidak bisa mikir sampai
disitu?”
Inilah tuduhan yang paling
tidak enak bagi Tio Beng, sebab nona itu memang tidak punya niatan kurang baik.
Sesudah mendengar cerita Cia Soen, ia tentu saja tahu bahwa Kim hoa Po po
adalah Seng lie Tay Kie. Tapi ia sungguh2 tidak pernah memikir bahwa
penyamarannya Tay Kie belum bisa ditembus oleh orang Persia. Orang-orang Cong
kauw itu masih tak tahu, bahwa si nenek muka jelek sebenarnya Tay Kie.
Bibir Tio Beng sudah bergerak
untuk membalas dengan kata2 yang pedas, tapi melihat kedukaan Siauw Ciauw ia
mengurungkan niatnya. Ia menduga pasti, bahwa di antara si nenek dan gadis
cilik terdapat hubugan yang sangat erat dan ia merasa tidak tega untuk
menyerang. “Siauw Ciauw moay moay,” katanya, “jika aku mempunyai niat untuk
mencelakai Kim hoa Po po biarlah aku mati dalam jalan yang tidak benar.”
Cia Soen sendiri sangat
menyesal. Ia tak mengatakan sesuatu apa, akan tetapi dalam hatinya ia telah
mengambil keputusan untuk menolong Tay Kie, jika perlu dengan mengorbankan jiwa
sendiri.
Sementara itu sambil menangis
Siauw Ciauw berkata, “Mereka mengutuki Po po menikah dan mengkhianati agama, Po
po harus dihukum bakar hidup hidupan.”
“Siauw Ciauw, jangan bingung,”
bujuk Boe Kie. “Begitu ada kesempatan, aku akan segera menerjang untuk menolong
Po po.”
Sebab sudah biasa menggunakan
panggilan Po po, maka biarpun sekarang Cie san Liong ong sudah tak memakai
topeng ia masih tetap menggunakan istilah itu. Walaupun sudah berusia setengah
tua, dengan mukanya yang asli, kecantikan nyonya itu tak kalah dari Tio Beng
dan Cie Jiak. Awet muda dan kelihatannya seperti kakak Siauw Ciauw.
“Tak mungkin!” kata Siauw
Ciauw dengan suara parau. “Kau takkan bisa melawan sebelas po toe ong dan Sam
soe. Kalau kau menerjang, kau seperti juga mengantarkan jiwa. Sekarang mereka
sedang berunding untuk merebut pulang Peng seng ong.”
Hmm!... Andaikata Peng seng
ong bisa pulang dengan selamat, mukanya yang tercetak beberapa huruf sudah tak
keruan macam,” kata Tio Beng dengan suara mendongkol.
“Huruf apa?” tanya Boe Kie.
Jawab nona Tio, “Seng hwee
leng yang memukul pipinya… agh!...” Tiba2 ia ingat sesuatu. “Siauw Ciauw! Apa
kau mengenal bahasa Persia?”
“Kenal”
“Coba lihat! Huruf apa yang
tercetak di pipi Peng teng ong?”
Siauw Ciauw segera memeriksa
pipi “raja” itu yang bengkak. Ia melihat tiga baris huruf Persia yang tercetak
di daging Peng teng ong. Ternyata pada setiap Seng hwee leng terdapat ukiran
huruf2 Persia dan pukulan itu sudah mencetak huruf2 tersebut. Tapi sebab hanya
sebagian senjata yang mampir di pipi, maka tak semua huruf tercetak di pipi
Peng teng ong.
Sebagaimana diketahui, Siauw
Ciauw pernah mengikut Boe Kie masuk di jalan rahasia Kong Beng teng dan ia
pernah menghafal Kian koen Tay lo ie. Maka itu meskipun tak mengerti dan tak
pernah melatih diri, ia tak melupakan pelajaran di kulit kambing itu. Begitu
membaca ia berseru,”Ah! Inilah pelajaran Kian koen Tay lo ie.”
“Pelajaran Kian koen tay lo
ie?” menegas
Si nona tidak lantas menyahut.
Sejenak kemudian barulah ia berkata. “Bukan! Bukan pelajaran Kian koen tay lo
ie. Sekelebatan aku menduga begitu, tapi ternyata bukan. Kalau diterjemahkan ke
dalam bahasa Tionghoa, bunyinya seperti berikut, “Menyambut kiri berarti depan
menyambut kanan berarti belakang, tiga kosong tujuh berisi, ada di dalam tidak
ada… langit persegi bumi bulat… Yang disebelah bawah tak bisa dibaca lagi.”
Mendengar itu seperti juga
merasa, bahwa diantara gumpalan awan awan hitam mendadak berkelebat sinar
kilat, tapi sesudah berkelebatnya sinar itu, keadaan kembali menjadi gelap.
Akan tetapi biar bagaimanapun jua sinar itu memberi harapan kepadanya. Bagaikan
orang linglung, ia menghafal “… menyambut kiri berarti depan, menyambut kanan
berarti belakang.” Menggunakan seantero kekuatannya otak dan kecerdasannya, ia
berusaha untuk mempersatukan beberapa baris kauw koat (teori ilmu silat) itu
dengan pelajaran Kiam koen tay lo ie yang sudah dimilikinya. Selang beberapa
saat, ia merasa seperti sudah berhasil, tapi belum berhasil. Ia merasa seperti
sudah menembus halimun tapi kembali menemui rintangan.
Mendadak Siauw Ciauw
berteriak, “Thio Kongcoe, awas! Mereka sudah mengeluarkan perintah untuk
menyerang. Sam soe akan menyerang kau sedangkan Kin sioe jin Jiok dan Kong tek
ong akan coba merebut Peng teng ong.”
Mendengar isyarat si nona, Cia
Soen segera memeluk Peng teng ong dan melontarkan To liong to ke arah Boe Kie.
“Babat saja dengan To liong to!” katanya.
Tio Beng pun segera
menyerahkan Ie thian kiam kepada Cie Jiak. Mereka sekarang berada dalam satu
perahu, nasib setiap orang berarti nasib seorang. Boe Kie menyambut golok
mustika itu dan menyisipkan di pinggangnya. Tapi mulutnya terus berkata kata…
“tiga kosong tujuh berisi ada di dalam tidak ada…”
“Anak tolol!” bentak Tio Beng.
“Sekarang bukan waktu belajar silat. Kau harus bersiap!”
Hampir berbareng Kim sioe Jien
jiok dan Kong tek ong melompat dan menyerang Cia Soen. Sebab kuatir melukai
Peng teng ong, maka dalam usaha merebut “raja” itu terpaksa merubah serangannya
dengan tangan kosong. Dengan mencekal Ie thian kiam Cie Jiak mendampingi Cia
Soen. Pada detik detik berbahaya, si nona menikam Peng teng ong sehingga ketiga
“raja” itu terpaksa merubah serangannya untuk meluputkan Peng teng ong dari
tikaman.
Di lain pihak Boe Kie sudah
bertempur melawan Sam soe. Sesudah mendapat pengalaman dalam beberapa
pertempuran mereka berempat tidak berani berlaku sembrono dan berkelahi dengan
hati-hati. Sesudah lewat beberapa jurus tiba-tiba Hwie goat ong memukul dengan
sebuah “Leng”. Menurut peraturan ilmu silat, senjata itu akan mampir di pundak
kiri Boe Kie. Tapi di luar dugaan, waktu menyambar di tengah udara Seng hwee
leng tersebut mendadak merubah haluan secara luar biasa dan menghantam belakang
leher Boe Kie.
Boe Kie merasa kesakitan
hebat, matanya berkunang kunang. Tapi karena pukulan itu, otaknya tiba-tiba
menjadi terang. “Menyambut kiri berarti belakang…” pikirnya. Sesaat kemudian,
tanpa terasa ia berteriak. “Sekarang aku mengerti! Benar!.... begitu…”
Ternyata ilmu silat yang
dimiliki Sam soe hanya berdasarkan Kian koen Tay lo ie tingkat pertama. Tapi
pada Seng hwee leng terdapat pelajaran yang luar biasa mengenai cara
menggunakannya. Sekarang ia sudah bisa memecahkan teka teki empat baris kauw
koat itu dan hanya sebaris langit persegi bumi bulat yang belum dapat
ditembusnya. Ia sekarang yakin bahwa untuk bisa menyelami seluruh ilmu silat
Cong kauw ia harus mempelajari seantero Kouw koat yang ada di Seng hwee leng.
Tanpa membuang2 waktu lagi,
sambil membentak keras ia menyerang, kedua tangannya menyambar bagaikan kilat.
Dengan sekali jurus dengan menggunakan kouwkoat “tiga kosong tujuh berisi” ia
berhasil merampas dua ‘leng’ dari tangan Hwie goat soe. Di lain saat dengan
“ada di dalam tidak ada” ia merebut dua ‘leng’ lagi dari tangan Lioe in soe.
Kedua utusan itu terbang
semangatnya. Mereka berdiri terpaku. Sesudah memasukkan keempat ‘leng’ di dalam
saku Boe Kie menyerang pula. Dengan kedua tangan ia mencengkeram belakang leher
kedua pecundang itu yang lalu dilempar balik ke kapal mereka. Orang2 Persia
kaget tak kepalang. Mereka jadi takut dan berteriak teriak.
Biauw hong soe ketakutan. Buru
buru ia memutar dan coba melarikan diri. Tapi gerakan Boe Kie cepat luar biasa.
Dengan sekali sambar, ia menangkap kaki kiri Biauw hong soe yang lalu ditarik
ke belakang. Sesudah merampas kedua ‘leng’ ia mengangkat tubuh utusan itu dan
menghantamnya ke kepala Jin jiok ong. Ketiga “raja” terkesiap, mereka buru buru
lari balik ke kapal sendiri. Boe Kie lalu menotok jalan darah Biauw hong soe
dan melemparkannya di geladak kapal.
Kemenangan itu bukan saja menggirangkan
Boe Kie, tapi juga kawan kawannya. Mereka menanya cara bagaimana pemuda itu
bisa merampas enam Seng hwee leng dengan begitu mudahnya.
Boe Kie tertawa, “Kalau bukan
secara kebetulan pipi orang itu terpukul Seng hwee leng tak nanti aku bisa
menangkap rahasia ilmu silat mereka,” katanya. Ia mengeluarkan enam biji ‘leng’
dan menyerahkannya kepada Siauw Ciauw. “Siauw Ciauw,” katanya, “lekas
terjemahkan huruf-huruf di enam Seng hwee leng ini!”
Semua orang mengawasi keenam
‘leng’ itu yang terbuat dari semacam bahan yang sangat aneh – bukan emas dan
bukan giok – tapi keras luar biasa. ‘Leng’ itu panjangnya berbeda satu sama
lain, kelihatannya terang, di dalamnya terdapat sinar api yang bergerak gerak
dan warnanya berubah-ubah, sedang setiap ‘leng’ terdapat ukiran huruf huruf
Persia.
Boe Kie mengerti bahwa jika ia
ingin meloloskan diri dari bahaya, ia harus memahami ilmu silat Cong kauw. Maka
itu, ia lantas saja berkata, “Cioe kauwnio, tandalkan Ie thian kiam di leher
Peng teng ong. Giehoe, tandalkan To liong to di leher Biauw hong soe. Kita
harus memperpanjang waktu sedapat mungkin.” Cia soen dan Cie jiak lantas saja
mengangguk.
Siauw Ciauw segera memilih
‘leng’ terpendek yang hurufnya paling sedikit lalu menterjemahkannya. Sesudah
mendengar beberapa kali Boe Kie belum juga menangkap artinya, sehingga ia mulai
merasa bingung.
“Siauw Ciauw, coba kau
terjemahkan huruf2 dari Seng hwee leng yang telah memukul Peng teng ong,” kata
Tio Beng.
Siauw Ciauw manggutkan
kepalanya. Buru2 ia mencari ‘leng’ yang dimaksudkan. Ia mendapat kenyataan
bahwa yang memukul Peng teng ong adalah Seng hwee leng yang panjangnya tujuh
nomor dua. Ia lalu membaca dan Boe Kie dapat menangkap tujuh delapan bagian
dari artinya. Sesudah itu ia membaca huruf huruf dari Seng hwee leng nomor satu
yang paling panjang. Baru saja mendengar perkataan Boe Kie sudah berteriak
dengan suara girang. “Bagus! Siauw Ciauw antara enam Seng hwee leng itu makin
panjang makin mudah dimengerti. Yang dibaca olehmu ialah kouwkoat dari
pelajaran pertama.”
Dahulu Seng hwee leng dibuat
atas permintaan si orang tua dari pegunungan dan berisi intisari dari ilmu
silat Hasan Ben Sabbah. Keenam ‘leng’ itu mengikuti agama Beng kauw memasuki
Tiongkok dan bermaksud untuk menjadi tanda kekuasaan dari Kauwcoe daerah Tionggoan.
Lama lama di antara penganut Beng kauw wilayah Tionggoan tidak terdapat lagi
orang yang paham bahasa Persia. Pada beberapa puluh tahun kemudian, keenam Seng
hwee leng dicuri orang Kay pang dan belakangan jatuh ke tangan saudagar Persia,
sehingga akhirnya diambil pulang oleh Cong kauw di Persia. Selama puluhan tahun
ilmu silat para pemimpin Cong kauw mendapat kemajuan pesat. Akan tetapi karena
ilmu yang tertera pada Seng hwee leng terlampau sukar dipelajari, maka, bahkan
Tay Seng Po soe ong yang berkepandaian paling tinggi hanya bisa menangkap tiga
atau empat dari seluruh isinya.
Pada hakekatnya, pelajaran
Kian koen Tay lo ie adalah ilmu silat pelindung agama dari Beng kauw di Persia.
Tapi ilmu silat itu tidak bisa dimengerti oleh sembarang orang. Selain begitu,
menurut ketetapan, jabatan Kauwcoe dari Beng kauw pusat (Cong kauw) harus
dipegang oleh seorang gadis dan selama ratusan tahun, kursi Kauwcoe diduduki
oleh beberapa wanita yang berkepandaian cetek. Itulah sebabnya mengapa di
Persia sendiri, makin lama Kian koen tay lo ie makin jarang dikenal orang. Di
lain pihak, Beng kauw di daerah Tionggoan masih menyimpan pelajaran Kian koen
Tay lo ie yang lengkap.
Ilmu silat Cong kauw yang
sangat aneh itu merupakan campuran dari sebagian Kian koen tay lo ie dan
sebagian pelajaran Seng hwee leng. Para pemimpin Cong kauw insaf, bahwa jika
kitab Kian koen tay lo ie bisa diambil pulang dan ditambah dengan kouwkoat Seng
hwee leng, maka ilmu silat Beng kauw akan bisa menggetarkan dunia. Inilah
maksud terutama pengiriman Tay Kie ke Kong beng teng.
Di luar semua dugaan, apa yang
diidam-idamkan dan diusahakan oleh Cong kauw telah didapat dengan mudah oleh
Boe Kie. Boe Kie telah mendapatkan ilmu itu secara kebetulan saja. Tapi
andaikata Cong kauw berhasil mendapatkan kembali kitab Kian koen Tay lo ie,
tanpa mempunyai Kioe yang sin kang sebagai dasar, belum tentu ada orang yang
bisa menarik kefaedahannya. Dengan demikian dapatlah dilihat bahwa di dalam
dunia ini, segala apa tergantung pada nasib dan manusia tidak akan bisa
mencapai tujuan secara paksa.
Tanpa memperdulikan suatu apa
lagi, Boe Kie bersila di kepala kapal dan Siauw Ciauw membisiki huruf2 yang
terukir di Seng hwee leng. Ilmu silat yang tertera di enam ‘leng’ itu
sebenarnya sangat sulit. Tapi kata orang mengerti satu ilmu, mengerti berlaksa
ilmu. Manakala seseorang sudah mempelajari ilmu sampai di puncaknya
kesempurnaan, maka dengan mudah ia bisa belajar lain2 ilmu, sebab, pada
hakekatnya, semua ilmu menuju ke satu jurusan yang sama. Boe Kie telah menyelami
Kioe yang sin kang, Kian koen tay lo ie dan Thay kek koen. Ketiga ilmu itu
adalah ilmu ilmu silat yang paling tinggi, yang masing masing berasal dari
India, Persia dan Tiongkok. Biarpun sulit, ilmu di Seng hwee leng belum bisa
menyamai tingginya ketiga ilmu tersebut. Maka itulah, sesudah Siauw Ciauw
selesai menterjemahkannya, Boe Kie lantas menghafal tujuh delapan bagian dan
mengerti lima enam bagian. Dalam sekejap ia telah berhasil memahami pukulan
pukulan aneh yang dikeluarkan oleh beberapa Po soe ong dan ketiga utusan Cong
kauw.
Boe Kie terus mengasah otak
tanpa memperdulikan segala perkembangan. Tapi Tio Beng dan Cioe Cie Jiak yang
terus memperhatikan persiapan pihak lawan, makin lama jadi makin bingung.
Mereka melihat Tay Kie diborgol kaki tangannya, melihat kesebelas Po soe ong,
berdamai dengan bisik bisik dan menukar jubah mereka dengan pakaian perang yang
lemas dan melihat sebelas orang menyerahkan sebelas senjata aneh kepada “raja
raja” itu. Mereka melihat gendewa gendewa dan anak panahnya ditunjukkan kepada
Boe Kie dan melihat pula puluhan orang Persia yang bersenjata kapak dan pahat
menerjun ke air, siap sedia untuk melubangi kapal yang ditumpangi mereka.
Ketika itu fajar sudah
menyingsing. Matahari sudah mengintip di sebelah timur dan memancarkan sinar
yang gilang gemilang.
Mendadak Tay seng Po soe ong
membentak dan bentakan itu diiringi dengan suara tambur dan terompet riuh
rendah.
Boe Kie kaget. Ia mendongak
dan melihat sebelas Po soe ong yang mengenakan pakaian berwarna keemas emasan
dan memegan senjata, sudah melompat ke kapalnya. Tapi, setelah berada di kepala
kapal, “raja” itu tidak berani lantas menyerang sebab Cia Soen dan Cie Jiak
mengandalkan senjatanya di leher Peng teng ong dan Biauw hong goe. Mereka hanya
mengawasi dengan mata melotot dan paras muka gusar.
Selang beberapa saat, barulah
Tie hwie ong berkata dengan bahasa Tionghoa, “Lekas pulangkan orang orang kami!
Kami akan mengampuni jiwa kamu. Di mata kami, beberapa orang itu bagaikan babi
dan anjing. Mereka tidak berharga sedikitpun jua. Perlu apa kamu mengandalkan
senjata di leher mereka? Jika kamu mempunyai nyali, bunuhlah mereka! Di dalam
Cong kauw terdapat berlaksa orang yang sederajat dengan mereka. Kebinasaan
mereka tiada artinya.”
“Jangan kau coba-coba menipu
kami,” kata Tio Beng dengan suara menyindir. “Kami tahu bahwa mereka adalah
Peng teng Po soe ong dan Biauw hong soe yang mempunyai kedudukan tinggi dalam
kalanganmu. Kau mengatakan mereka sederajat dengan babi dan anjing? Bagus!”
Alis Tie hwie ong berkerut.
“Di dalam Seng kauw (agama kami yang suci) terdapat tiga ratus enampuluh Po soe
ong,” katanya. “Peng teng ong menduduki kursi yang ketiga ratus lima puluh
sembilan. Kami mempunyai seribu dua ratus Soe cia (utusan). Biauw Hong soe
bukan orang penting. Bunuhlah mereka, kalau kamu mau!”
“Baiklah,” kata Tio Beng.
“Kawan kawan, bunuhlah kedua manusia yang tak berguna itu!”
“Baik!” jawab Cia Soen seraya
mengangkat To Liong to. Dengan kecepatan kilat ia menyamber kepada Peng teng
ong. Orang-orang Cong kauw mengeluarkan teriakan tertahan. Tapi… To liong to,
lewat dalam jarak setengah dim dari batok kepala dan hanya memapas rambut yang
lantas saja terbang ditiup angin. Kim mo Say ong kembali mengangkat golok dan
menyabet dua kali beruntun ke lengan kanan dan lengan kiri Peng teng ong. Kedua
sabetan itu kelihatannya hebat, tapi dalam detik mata golok hampir menyentuh
kulit, Cia Soen memutar sedikit pergelangan tangannya sehingga senjata itu
hanya merobek lengan baju. Jangankan seorang buta, sekalipun orang yang tidak
buta sukar meneladan Kim mo Say ong. Peng teng ong pingsan sebab ketakutan dan
sebelas Po soe ong yang mau menyerang berdiri terpaku.
“Apa kamu sudah lihat ilmu
silat Beng kauw dari wilayah Tiong goan?” tanya Tio Beng. “Dalam kalangan agama
kami Kim mo Say ong menduduki kursi yang ketiga ribu lima ratus sembilan.
Apabila dengan mengandalkan jumlah besar, kamu sekarang menyerang kami, Beng
kauw di Tionggoan pasti akan membalas sakit hati dan menyapu Cong kauw sampai
bersih. Kamu pasti tak akan bisa melawan kami. Jalan satu-satunya bagi kamu
sekalian adalah berdamai dengan kami.”
Tie hwie ong yakin, bahwa nona
Tio hanya menakut-nakuti, tapi ia sendiri tak tahu apakah yang harus
diperbuatnya. Mendadak Tay seng Po soe ong berkata kata dalam bahasa Persia.
“Thio Kongcoe, awas!” teriak
Siauw Ciauw. “Mereka mau melubangkan dasar kapal!”
Boe Kie terkejut. Kalau kapal
mereka ditenggelamkan, mereka semua yang tidak bisa berenang akan segera
menjadi tawanan. Dengan melompat ia sudah berhadapan dengan Tay seng ong.
“Mau apa kau!” bentak Tie
Hwie. Hampir berbareng, Kong tek dan Hoa hie ong yang masing masing bersenjata
cambuk dan martil menyerang dari kiri kanan.
Boe Kie yang sudah memahami
ilmu silat Cong kauw tidak memperdulikan serangan itu. Bagaikan kilat kedua
tangannya menyambar dan mencengkeram jalan darah di tenggorokan kedua “raja”
itu, sehingga senjata mereka menyimpang dan beradu satu sama lain. Sesudah
melempar tubuh mereka ke gubuk kapal, Boe Kie segera mengamuk. Dengan dua
tendangan ia melontarkan golok Cie sim dan Jin Jiok ong dan lalu dua tendangan
lagi melemparkan Kin sioe dan Kie beng ong ke dalam air.
Mendadak seorang Po soe ong
yang bersenjata sepasang pedang pendek menikam. Boe Kie mengegos dan menendang
pergelangan tangannya. Secepat kilat, orang itu menyilangkan kedua tangannya
dan menikam kempungan Boe Kie. Tikaman itu cepat dan di luar dugaan, sehingga
untuk menyelamatkan jiwa, Boe Kie terpaksa melompat tinggi.
Orang itu adalah Siang seng,
jago nomor dua di antara dua belas Po soe ong. Sesudah menikamnya gagal, ia
terus merangsek dan mengirim serangan berantai. Boe Kie melayani dengan tenang.
Sesudah bertempur sembilan jurus, diam diam ia memuji kepandaian “raja” itu.
Biarpun sudah memahami ilmu
Seng hwee leng, tapi sebab belum berlatih, Boe Kie belum bisa mempergunakannya
secara lancar. Dalam belasan jurus yang pertama, ia mempertahankan diri dengan
kepandaiannya sendiri. Setelah lewat dua puluh jurus barulah ia bisa
menggunakan ilmu Seng hwee leng dengan agak licin.
(Budi: Some part missing
here..) (PP: not sure)
(Selamanya menang) sebab di
negerinya sendiri ia jarang mendapat tandingan. Dalam menghadapi Boe Kie ia
kaget bercampur heran dan pengalaman itu adalah pengalaman yang pertama didapat
olehnya. Sesudah bertanding tiga puluh jurus lebih, tiba tiba Boe Kie berduduk
di atas geladak dan kedua tangannya memeluk betis Siang seng. Itulah salah satu
pukulan terhebat dalam Ilmu Seng hwee leng yang dikenal, tapi belum pernah
digunakan oleh Siang seng ong sendiri. Begitu lekas kedua tangannya memeluk,
dengan sepuluh jari tangannya Boe Kie mencengkeram Tiong tauw dan Coe peng hiat
di betis lawan. Siang seng Po soe eng lantas saja lemas badannya. Ia menghela
nafas dan menyerah kalah.
Tapi mendadak saja di dalam
hati pemuda itu muncul rasa sayang terhadap kepandaian Siang seng. Sambil
melepaskan cengkeraman dan pelukannya ia berkata, “Kepandaianmu sangat tinggi
dan biarlah kau mempertahankan nama besarmu. Pergilah!”
Siang seng Po soe ong merasa
berterima kasih bercampur malu. Buru2 ia melompat balik ke kapalnya sendiri.
Ketika itu Cia Soen dan Cie
Jiak sudah menyeret keluar Kong tek dan Hoa hie ong dari dalam gubuk kapal dan
menjaga kedua tawanan penting itu dengan To liong to dan Ie thian kiam
terhunus.
Melihat kekalahan Siang seng ong
dan tertawannya Kong tek dan Hoa hie ong, Tay seng po soe ong ciut nyalinya. Ia
tahu bahwa jika kapal yang ditumpangi rombongan Boe Kie ditenggelamkan juga,
pihaknyapun akan menderita kerugian besar, yaitu binasanya empat pemimpin
penting dari Cong kauw. Maka itu sesudah memikir beberapa saat, ia segera
memberi tanda dan menarik pulang semua kawan kawannya, terhitung yang sudah
selulup di air ke kapal sendiri.
“Lekas antarkan Tay Kie kemari
dan luluskan tiga syarat Kim mo Say ong!” teriak Tio Beng.
Sesudah selesai berunding, Tie
hwie ong berseru, “Kami bersedia untuk meluluskan permintaanmu, tapi kamu harus
menjawab pertanyaan. Ilmu silat pemuda itu terus terang ilmu silat kami.
Darimana ia mendapatkannya? Kamu harus memberi keterangan yang sejelas jelasnya.”
Sambil menahan tertawa, nona
Tio menjawab. “Kamu semua manusia manusia tolol. Dengarlah! Pemuda itu adalah
murid kedelapan dari Kong beng soe cia kami. Tujuh kakak dan tujuh adik
seperguruannya tak lama lagi akan tiba disini. Kalau mereka datang, kamu semua
akan dibasmi bersih.”
Tie hwee ong sangat pintar,
tapi ia tak begitu paham bahasa Tionghoa dan hanya bisa menangkap enam tujuh
bagian dari perkataan Tio Beng. Ia tahu bahwa nona itu sedang omong kosong.
Sesudah memikir sejenak, ia berkata, “Baiklah! Saudara saudara pulangkan Tay
Kie.”
Dua orang anggota Cong kauw
lantas saja mengantarkan Tay Kie ke kapal Boe Kie. Dengan dua kali menyabet
dengan Ie thian kiam Cie Jiak memutuskan rantai yang mengikat kaki tangan Cie
san Liong ong. Melihat ketajaman pedang itu, kedua pengantar ketakutan setengah
mati dan buru buru kembali ke kapal mereka.
“Kamu boleh segera berangkat
pulang,” kata Tie hwie ong. “Kami akan mengirim sebuah perahu kecil untuk
mengikuti dari belakang.”
Sambil merangkap kedua
tangannya, Boe Kie berkata, ”Beng kauw di Tiong goan bersumber dari Persia,
kalian dan kami sebenarnya adalah saudara2. Kami mengharap bahwa kalian tidak
menjadi kecil hati karena adanya salah mengerti di hari ini. Kami mengundang
kalian datang di Kong beng teng, supaya kita bisa minum arak bersama sama.
Untuk segala kesalahan kami dengan jalan ini aku menghaturkan maaf.”
Tie hwie ong tertawa terbahak
bahak. “Kami semua merasa kagum akan ilmu silatmu yang sangat tinggi,” katanya.
“Apa tidak girang kalau kita belajar dan terus mempelajari pelajaran itu? Apa
tidak girang, kalau mendapat kunjungan sahabat dari jauh?”
Mendengar kutipan dari kata
Khong coe, Boe Kie membungkuk dan berkata, “Tepat sekali perkataanmu.” Ia tidak
berayal lagi. Seorang diri ia mengangkat jangkar, memutar kemudi dan memasang
layar, sehingga dalam beberapa saat, kapal itu mulai bergerak.
Melihat tenaga Boe Kie yang
dapat mengangkat jangkar seorang diri, sedangkan pekerjaan itu sebenarnya harus
dilakukan oleh belasan orang, anak buah kapal kapak Cong kauw bersorak sorak.
Sebuah perahu kecil lantas
saja mendekati kapal Boe Kie dan melemparkan seutas tambang. Boe Kie lalu
mengikat tambang itu di buritan kapal. Di dalam perahu itu terdapat dua orang
penumpang, Lioe in soe dan Hwie go soe.
Kapal mulai berlayar ke
jurusan barat.
Sambil memegang kemudi, Boe
Kie mengawasi kapal-kapal Cong kauw. Sesudah melewati Leng coa to dan kapal2
itu tetap tidak bergerak, berubah hatinya lega. Ia segera menyerahkan kemudi
kepada Siauw Ciauw, pergi ke gubuk kapal untuk menengok In Lee. Nona itu berada
dalam keadaan setengah tertidur, setengah sadar. Lukanya belum mendingan, tapi
juga tidak jadi lebih hebat.
Tay Kie termenung seorang diri
waktu mendengar tindakan Boe Kie. Dengan rasa kagum Boe Kie mengawasi potongan
tubuh nyonya itu yang langsing gemulai. Sebagian rambutnya yang hitam bergoyang
goyang tertiup angin, sedang kulitnya yang putih seakan akan batu pualam. Ayah
angkatnya mengatakan, bahwa dahulu Tay Kie terkenal sebagai wanita tercantik
dalam Rimba Persilatan. Pujian itu bukan pujian kosong.
Di waktu maghrib, kapal Boe
Kie sudah terpisah kira kira seratus li dari Leng coa to. Lautan tenang dan di
atas permukaan air tidak terlihat apapun jua. Cong kauw ternyata menepati
janji.
“Giehoe, apa tawanan sudah boleh
dilepaskan?” tanya Boe Kie.
“Boleh!” jawabnya. “Sekarang
mereka tak bisa mengejar kita lagi.”
Sambil menghaturkan maaf
berulang-ulang, Boe Kie segera membuka ‘hiat’ ketiga raja dan Biauw hong soe.
“Enam Seng hwee leng ditaruh
di bawah penjagaan kami bertiga,” kata Biauw hong soe. “Kalau hilang, kami
berdosa besar. Maka itu, aku memohon kau suka membayar pulang.”
“Seng hwee leng adalah tanda
kekuasaan Kauw coe dari Beng kauw di wilayah Tiong goan,” kata Cia Soen. “Hari
ini, barang itu kembali kepada majikannya. Bagaimana kita bisa menyerahkannya
kepadamu?”
Tapi Biauw hong soe tidak mau
mengerti. Ia terus memohon mohon. Boe Kie merasa, bahwa kalau ia tidak
menakluki hati orang itu, di hari kemudian soal ini bisa menjadi bibit
penyakit. Maka itu ia lantas berkata, “Kami sebenarnya bersedia untuk
mengembalikan kepadamu. Tapi kami kuatir kepandaianmu masih terlalu rendah dan
tidak bisa menjaga mustika itu. Daripada dirampas oleh orang luar lebih baik
dipegang oleh kami.”
“Bagaimana orang luar bisa
merampasnya?” tanya Biauw hong coe.
“Jika kau tidak percaya mari
kita mencoba coba,” kata Boe Kie yang segera menyerahkan keenam Seng hwee leng
kepadanya.
Biauw hong coe girang, tapi
baru saja mengatakan ‘terima kasih’, kedua tangan Boe Kie sudah menyambar dan
merebut kembali Seng hwee leng itu.
“Curang!” teriak Biauw hong
coe dengan gusar. “Kau mendahului sebelum aku memegangnya erat erat.”
Boe Kie tertawa, “Tak apa,
boleh coba lagi,” katanya seraya menyerahkan pula enam ‘leng’ ke dalam sakunya
sambil mencekal yang dua Biauw hong coe memasang kuda kuda.
Serangan Boe Kie dipapaki
olehnya dengan pukulan pada pergelangan tangan. Dengan sekali membalik tangan
Boe Kie sudah menangkap lengan tangan kanannya, yang lalu ditarik sehingga
kedua ‘leng’ terpukul satu sama lain dan mengeluarkan suara “cring!” yang
menggetarkan hati. Diam diam Boe Kie mengirim tenaga dalam yang sangat kuat
lengan lawan, Biauw hong soe lantas saja merasa lengannya kesemutan dan semua
tenaganya musnah. Ia tidak bisa bergerak lagi dan dua ‘leng’ yang dicekalnya
jatuh. Dengan tenang Boe Kie lalu merogo saku lawan dan mengambil empat leng
yang menggeletak di geladak kapal. “Bagaimana? Apa kau mau mencoba lagi?” tanya
Boe Kie.
Paras muka Biauw hong soe
berubah pucat. “Kau bukan manusia! Kau setan!” katanya dengan suara parau. Ia
bertindak untuk melompat ke perahu. Mendadak badannya terhuyung dan ia roboh.
Lioe in soe melompat naik, mendukungnya dan cepat cepat kembali ke perahu.
Sementara itu perahu sudah
memasang layar dan Kong tek ong lalu memutuskan tambang sehingga kedua
kendaraan air itu lantas berpisah.
“Kami yang telah membuat
banyak kesalahan dan harap kalian suka memaafkan,” teriak Boe Kie seraya
merangkap kedua tangannya.
Kong tek ong dan kawan
kawannya tidak menjawab. Mereka mengawasi dengan sorot mata gusar.
Kapal terus berlayar ke arah
barat.
Sekonyong konyong Tay Kie
membentak, “Bangsat! Jangan main gila!” ia menggenjot tubuh dan menerjun ke
air!
Boe Kie terkesiap, buru buru
ia memutar kemudi. Mendadak ia melihat timbulnya darah yang tercampur di
pinggir kapal. Dengan saling susul timbul pula darah di lima tempat. Tak lama
kemudian Tay Kie muncul di permukaan air dengan gigi menggigit pisau dan tangan
mencekal rambut seorang Persia.
Dengan memutar kemudi, Boe Kie
berusaha untuk menyambut nyonya itu. Tapi sebab ia tidak segera menurunkan
layar, maka sebaliknya daripada maju kapal itu terputar dengan perlahan.
Ilmu berenang Cie san Liong
ong benar benar lihay ia sudah menghampiri secepat ikan. Dalam sekejap ia sudah
sampai di pinggir kapal. Dengan tangan kiri ia menekan jangkar untuk meminjam
tenaga dan sekali menggenjot tubuh ia “terbang” ke atas dan kemudian hinggap di
atas geladak bersama sama tawanannya.
Ternyata sesudah Kong tek ong
dan kawan kawannya turun ke perahu dengan menggunakan layar sebagai aling aling
tujuh penyelam meloncat ke air untuk membocorkan kapal Boe Kie. Untung besar
Tay Kie yang berpengalaman luas dan bermata jeli dapat melihat gelembung
gelembung air yang muncul di permukaan laut karena pernafasan orang orang itu.
Dengan demikian ia berhasil membinasakan enam orang dan membekuk seorang.
Baru saja Boe Kie mau
memeriksa tangkapan itu, tiba tiba di buritan kapal terdengar peledakan dahsyat
diikuti dengan mengepulnya asap hitam… kapal bergoncang keras, potongan
potongan kayu berterbangan ke angkasa. Dengan hati mencelos Boe Kie dan kawan
kawannya merebahkan diri di geladak kapal.
“Jahat sungguh manusia manusia
itu!” kata Tay Kie sambil berlari lari ke buritan kapal.
Ternyata peledakan itu telah membocorkan
buritan dan air sudah mulai mengalir masuk, sedang kemudi kapalpun sudah
terbang tanpa berbekas.
Dengan sorot mata berduka Tio
Beng mengawasi Boe Kie. “Kapal musuh akan segera mengejar dan kita semua bakal
mati tanpa kuburan,” katanya di dalam hati.
Sementara itu, dengan
menggunakan bahasa Persia, Tay Kie mengajukan beberapa pertanyaan kepada
tawanannya yang menjawab dengan bahasa itu juga. Mendadak Cie san Liong ong
mengangkat tangannya dan menghantam batok kepala orang itu yang lantas saja roboh
binasa. Sambil menendang mayat itu ke air, ia berkata dengan suara menyesal,
“Aku hanya mengetahui, bahwa mereka berusaha untuk membocorkan kapal, tapi
tidak pernah menduga bahwa mereka bakal mengikat obat pasang di buritan.”
Ketika itu perahu yang ditumpangi
Kong tek ong dan kawan kawannya sudah pergi jauh, sehingga biarpun pandai
berenang, Tay Kie tak akan bisa mengejarnya.
Semua orang saling mengawasi
tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mereka tidak berdaya. Karena sangat besar,
kapal itu tidak lantas tenggelam.
Sekonyong konyong Tay Kie dan
Siauw Ciauw berbicara dalam bahasa Persia. Selagi berbicara, paras muka mereka
berubah ubah. Mereka kelihatannya sedang bertengkar. Dengan kedua pipi bersemu
dadu, Siauw Ciauw mengawasi Boe Kie, sedang Tay Kie mendesaknya dengan
perkataan perkataan keras. Nyonya itu rupa rupanya tengah membujuk Siauw Ciauw
untuk meluluskan suatu permintaan, tapi si nona menolak keras. Belakangan
sesudah melirik Boe Kie dan menghela napas, Siauw Ciauw mengatakan sesuatu.
Tiba tiba Tay Kie memeluk dan menciumnya dan mereka berdua serentak mengucurkan
air mata. Siauw Ciauw menangis sedu sedan dan Tay Kie membujuknya dengan
perkataan perkataan lemah lembut.
Dengan rasa heran, Boe Kie,
Tio Beng dan Cie Jiak saling memandang. Mereka tidak mengerti apa yang
dibicarakan oleh kedua wanitu itu.
“Lihatlah paras muka mereka
sangat mirip satu sama lain,” bisik Tio Beng di kuping Boe Kie.
Boe Kie terkejut. Ia
mengawasi. “Benar! Kedua duanya cantik, muka mereka potongan kwaci, hidung
mancung kulit putih dan paras mereka memang hampir bersamaan.” Dengan jantung
memukul keras ia ingat perkataan Kouw Tauw too Hoan Yauw di rumah makan. Kata
kata “sungguh sama” berarti sungguh sama dengan Cie san Liong ong?
Memikir begitu. Boe Kie lantas
saja ingat sikap Yo Siauw dan puterinya yang sangat berwaspada terhadap Siauw
Ciauw. Setiap kali ia menanya mengapa mereka begitu berhati hati terhadap
seorang gadis cilik, jawabnya selalu tidak memuaskan. Sekarang baru ia
mengerti, bahwa Yo Siauw bercuriga karena paras muka nona itu sangat mirip
dengan Cie san Liong ong. Iapun baru mengerti mengapa Siauw Ciauw telah
berusaha untuk mengubah mukanya supaya kelihatan jelek.
Mendadak ia ingat sesuatu.
“Perlu apa Siauw Ciauw datang di Kong beng teng?” tanyanya di dalam hati.
“Bagaimana ia bisa tahu pintu masuk dari jalanan rahasia? Ah… ia tentu disuruh
Cie san Liong ong untuk mencuri pelajaran Kian koen tay lo ie. Hampir dua tahun
ia menjadi pelayanku dan aku belum pernah berjaga jaga. Kalau ia mau menyalin
pelajaran itu, gampangnya seperti orang merogoh saku. Celaka sungguh! Aku…
belum pernah bermimpi mimpi, bahwa ia mengandung maksud tertentu. Boe Kie, Boe
Kie!... Kau tolol! Kau terlalu percaya kepada manusia…”
Sambil mengutuk diri sendiri,
ia melirik Siauw Ciauw. Apa mau, si nona pun sedang mengawasi dengan sorot mata
penuh kecintaan murni. Sorot mata itu bukan sorot mata berpura pura. Sekali
lagi jantungnya memukul keras. Ia lantas saja ingat, bahwa pada waktu ia
menghadapi enam partai besar di Kong beng teng, Siauw Ciauw pernah melindungi
dirinya tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri. Selama hampir dua tahun,
nona itu telah merawat dan melayani dia dengan penuh pengabdian. Apa dia salah
menerka?
Sekonyong konyong kapal
bergoncang dan sudah tenggelam separuh.
“Thio Kauwcoe dan kawan2 tak
usah kuatir!” kata Tay Kie. “Kalau sebentar kapal Cong kauw datang disini, aku
dan Siauw Ciauw sudah mempunyai daya upaya untuk menghadapinya. Biarpun hanya
seorang wanita, Cie san Liong ong bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Aku pasti tidak akan merembet rembet kalian, Thio Kauwcoe dan Say ong Cia heng
telah membuang budi yang seberat gunung kepadaku. Untuk itu semua, dengan jalan
ini Tay Kie menghaturkan banyak terima kasih.” Sehabis berkata begitu, ia
menekuk lututnya.
Cia Soen dan Boe Kie buru2
membalas hormat. Mereka tahu bahwa nyonya itu bersungguh, tapi mereka sangsi
apakah Cong kauw bersedia untuk melepaskan mereka.
Perlahan tetapi pasti, kapal
terus tenggelam. Tak lama kemudian, air sudah masuk di gubuk. Semua orang lalu
memanjat tiang layar dengan Boe Kie mendukung In Lee dan Cie Jiak mendukung Tio
Beng.
Sekonyong konyong, sambil
menangis Siauw Ciauw menuding ke jurusan timur. Semua orang menengok ke arah
itu. Di tempat jauh, mereka melihat beberapa titik yang makin lama makin jadi
besar, yang kemudian ternyata adalah belasan kapal Persia yang menghampiri
dengan kecepatan luar biasa….
“Kalau aku jadi Tay Kie, aku
lebih suka mati di air daripada dibakar hidup hidup,” kata Boe Kie dalam hati.
Tapi Tay Kie kelihatannya tenang tenang saja, sedikitpun tak mengunjuk rasa
jeri sehingga Boe Kie merasa kagum sekali. “Sebagai kepala dari empat Hoat ong
dia sungguh bukan sembarang orang” pikirnya. “Pada waktu Eng ong Say ong dan
Hok ong sudah dikenal sebagai orang gagah yang usianya tak muda lagi, dia masih
jadi gadis remaja. Tapi belakangan kedudukannya bisa berada di sebelah atas
ketiga Hoat ong itu. Dilihat sikapnya yang sekarang ia memang pantas mendapat
kedudukan itu.” Sambil berpikir begitu ia mengawasi kapal kapal Cong kauw yang
makin dekat. “Aku telah merobohkan beberapa Po soe ong dan kalau aku jatuh ke
dalam tangan mereka, aku tak usah mengharap hidup,” katanya pula dalam hati.
“Biar bagaimanapun juga aku harus berusaha supaya Gie Hoe, Tio Kauwnio, Cioe
Kauwnio dan piauw moay bisa selamat. Dan juga… Siauw Ciauw. Hei!... Dia boleh
berkhianat terhadapku tapi aku tak bisa berkhianat terhadapnya.”
Tiba tiba In Lee bergerak dan
membuka kedua matanya. Ia kaget ketika tahu, bahwa ia sedang didukung Boe Kie.
“A Goe Koko… dimana kita berada?” tanyanya. “Mengapa kau mendukung aku?”
“Jangan takut,” kata Boe Kie.
“Bagaimana keadaanmu?”
In Lee menggeleng gelengkan
kepalanya. “Aku tak punya tenaga, rasanya lemas,” jawabnya dengan suara parau.
Begitu datang dekat, semua
mulut meriam dari belasan kapal Cong kauw ditujukan ke tiang layar yang dipeluk
oleh rombongan Boe Kie. Andaikata pemuda itu memiliki kepandaian yang seratus
kali lipat lebih tinggi, iapun tak usah harap bisa melawan peluru meriam meriam
itu.
Kapal kapal Cong kauw membuang
sauh dan menurunkan layar dalam jarak kira kira seratus tombak. Mereka rupa
rupanya kuatir, bahwa kalau datang terlalu dekat, Boe Kie akan melompat dan
menawan pula beberapa Po soe ong.
Beberapa saat kemudian,
terdengarlah suara tertawanya Tie hwie ong. “Heei!” teriaknya. “Apa kamu mau
menakluk atau tidak?”
“Orang orang gagah dari
Tionggoan boleh mati, tapi tidak boleh menekuk lutut,” jawab Boe Kie dengan
suara lantang. “Kalau kamu bukan kawanan pengecut, marilah kita mengadu ilmu
silat!”
Tie hwie ong tertawa nyaring.
“Orang gagah sejati mengadu kepintaran, bukan mengadu kekuatan,” teriaknya.
“Sudahlah! Kamu tidak bisa berbuat lain daripada menyerah!”
Tiba tiba Tay Kie berbicara
dalam bahasa Persia. Ia bicara dengan sikap angker. Tie hwie ong kelihatan
kaget dan lalu menjawab. Tayseng Po soe ong turut bicara. Sehabis mereka
bicara, dari atas kapal diturunkan sebuah perahu dengan delapan pendayung dan
perahu itu segera menuju ke kapal Boe Kie yang sudah hampir karam.
“Thio Kauwcoe, aku dan Siauw
Ciauw mau menuju ke sana,” kata Tay Kie. “Kalian tunggu saja disini sebentar.”
“Han hoejin!” bentak Cia Soen.
“Beng kauw di Tionggoan telah memperlakukan kau secara baik. Bangun atau
robohnya agama kita tergantung atas Boe Kie seorang. Jika kau menjual kami,
kebinasaan Cia Soen tidak menjadi soal. Tapi kalau selembar rambut Boe Kie
sampai terganggu, biarpun sudah menjadi setan, Cia Soen pasti tak akan
mengampuni kau.”