Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 48
Mendengar mendiang ayahnya
disebut, mata Boe Kie berubah merah. Ia merasa sangat berduka dan berdoa supaya
pertempuran itu tidak dilangsungkan.
“Boanpwee mundur lebih jauh
daripada Locianpwee dan sudah kalah setengah jurus,” kata Siong Kee seraya
mengangkat kedua tangannya. Sesudah mengatur jalannya pernafasan, sambil
membungkuk ia mengundurkan diri.
Tiba tiba dari barisan Boe
Tong pay melompat keluar seorang pria yg membentak sambil menuding Ian Thian
Ceng. “In Loojiel. Jika kau tak menyebut Thio Ngoko tak menjadi soal. Sesudah
disebutkan, sakit sekali hatiku. Jie Samko dan Thio ngoko kedua2nya celaka
dalam tangan Peh Bie Kauw. Jika sakit hati ini tak dibalas, Cuma2 saja Boh Seng
Kok menjadi anggota dari Boe Tong Cit Hiap.” Seraya berkata begitu, ia
menghunus pedang dan memasang kuda2 dalam gerakan Bangak Tiaow Cong (Laksdana
gunung memberi hormat), serupa pukulan yg biasa di keluarkan jika seorang murid
Boe Tong berhadapan dengan lawan yang tingkatanya lebih tinggi. Boa Cit hiap
sedang bergusar, tapi setiap gerak geriknya sesuai dengan kedudukannya sebagai
seorang tokoh terkemuka dalam rimba persilatan.
Si kakek kelihatan berduka.
“Semenjak anakku meninggal dunia loohoe sebenarnya tak ingin menggunakan
senjata lagi,” katanya dendean suara perlahan. “Akan tetapi kalau aku tetap
melayani dengan tangan kosong; aku berlaku kurang hormat terhadap para pendekar
Boe Tong.” Ia menengok dan menggapai seorang murid Beng Kauw yang memegang
sebatang toya besi.
“Coba kupinjam toyamu,”
katanya.
Dengan kedua tangan, murid itu
menyerahkan senjatanya kepada In Thian Ceng. Begitu menyambuti, si kakek
mengerahkan tenaganya.
“Tak !”, toya besi itu patah
menjadi dua potong! Semua orang mengeluarkan seruan tertahan. Mereka tidak
menduga, bahwa In Thian Ceng yg sudah begitu tua masih mempunyai tenaga yan
sedemikian hebat.
Boh Seng Kok tahu, bahwa
lawannya pasti takkan menyerang lebih dulu. Maka itu, tanpa sungkan2 lagi, ia
segera membuka serangan dengan pukulan Pekuiauw Tiauw hong (Ratusan burung
menghadap kepada burung Hong). Dengan tegetarnya ujung pedang, seolah2 puluhan
batang pedang menyambar dengan beberapa pukulan ini masih tetap merupakan kiam
hoat kehormatan terhadap seorang yg tertua.
Sambil menangkis dengan toya
buntung yang dicekal dalam tangan kirinya. In Thian Ceng berkata “Bocah Cit
hiap tak usah berlaku sungkan”. Setelah lewat gebrakan pertama, pertempuran
lantas saja berlangsung dengan hebatnya.
Dengan senjata yg lebih berat,
gerakan2 In Thian Ceng kelihatan kaku dan perlahan. Akan tetapi orang2 yg
berkepandaian tinggi mengetahui, bahwa si kakek melayani lawanya dengan
pukulan2 yg disertai Lweekang yg sangat tinggi. Di lain pihak, Boh Seng Kok
menyerang bagaikan harimau edan dalam sekejap ia telah mengirim enampuluh lebih
serangan yg membinasakan.
Makin lama Boh Seng Kok
menyerang makin cepat, sehingga belakangan orang hanya bisa melihat sinar
berkelebatnya pedang dan tak bisa mengenali lagi gerakan pukulan2nya. Koen-loen
dan Go-bie adalah partai2 yg terkenal dalam ilmu pedangnya. Tapi biarpun begitu,
orang2 kedua partai tersebut masih merasa sangat kagum akan lihainya Boh Cit
Hiap. Mereka harus mengakui, bahwa tersohornya Boe tong Kiam hoat bukan nama
kosong belaka.
Akan tetapi, biapun sudah
menyerang bagaikan topan, pedang Boh Seng Kok masih tetap tak bisa menembus
garis pertahanan si kakek itu.
“Si tua telah merobohkan
sorang tokoh Hwa san pay dan tiga jago Siauw Lim,” pikir Boh Seng Kok. “Dia
juga sudah bertempur melawan Sio Ko dan aku adalah lawannya yang kelima. Jika
aku tidak memperoleh kemenangan, dimana aku harus menaruh muka Boe Tong pay?”
Memkir begitu, seraya membentak keras, ia mengubah Kiam hoatnya. Dengan
mendadak, pedang yg kaku menjadi lemas, seperti ikatan pinggang. Itulah Jiauw
cie Jioe Kiam dari Boe Tong pay itu yang semuanya memuat tujuh puluh dua jurus
(Jiauw cie Jioe Kiam – ilmu pedang lembek memutari jati tangan.
Tanpa tertahan lagi, para
penonton bersorak sorak.
Mau tak mau In Thian Ceng
terpaksa mengubah cara bersilatnya. Sekarang ia menggunakan ilmu ringan badan
dan melawan dengan kecepatan pula.
Sekonyong2 Boh Seng Kok
membentak dan pedangnya menyambar dada lawan. Tapi sebelum menyentuh dada,
ujung pedang mendadak membengkok dan menyambar pundak kanan si kakek. Dalam
menggunakan Jiauw Jie Jioe Kiam, orang harus mempunyai Lweekang yg sangat
tinggi untuk mengubah sifatnya pedang dari kaku menjadi lemas. Dapat
dimengerti, bahwa serangan pedang yg lemas seperti ikatan pinggang sangat sukar
ditangkis. Walaupun berpengalaman, In Thian Ceng belum pernah bertemu dengan
kiam hoat yg seaneh itu.
Demikianlah, melihat sambaran
pedang dipundaknya, ia mengengos sebab sudah tidak keburu untuk menangkis lagi.
Mendadak terdengar suara
“cring!” ujung pedang membal dan menikam lengan kirinya!
Hampir berbareng dengan
tikamana yg tepat itu, In Thian Ceng mengulur tangan kanannya entah bagaimana
tangan itu mulur setengah kaki dan menyapu pergelangan Boh Seng Kok! Sambaran
kilat itu berhasil merampas pedang Boh Cit hiap! Lebih celaka lagi, tangan
kanan si kakek sudah menempel di Kian tin hiat, di pundak Boh Seng Kok.
Eng Jiauw Kim na chioe
(cengkeraman ceker burung elang) dari Peh bie Eng ong adalah suatu ilmu yang
sangan tersohor dalam rimba persilatan. Pada jaman itu, tidak ada manusia yg
dapat menandinginya.
Sekali ia mencengkram dengan
menggunakan Lweekang, tulang pundak Boh Cit hiap akan hancur seumur hidup dan
ia akan menjadi seorang yg bercacad.
Para pendekar Boe tong kaget
tak kepalang. Tapi baru saja ia melompat niat untuk memberi pertolongan si
kakek menghela napas dan berkata dengan suara duka:
“Satu saja sudah lebih
daripada cukup , perlu apa terulang lagi?” Ia melepaskan cengkeramannya dan
tangan kanannya menarik pedang yg dirampas. Begitu pedang tercabut, darah
mengucur dari lengan kirinya.
Seraya mengawasi pedang itu,
ia berkata pula. “Selama puluhan tahun, loohoe belum pernah dikalahkan, Thio
Sam Hong. Kau benar2 lihai?”
Boh Seng Kok berdiri terpaku
dan mengawasi dengan mulut ternganga. Lewat beberapa saat, barulah ia bisa
membuka mulut. “Terima kasih atas budi loocian pwee yang sudah menaruh belas
kasihan.”
“Tanpa menjawab In Thian Ceng
mengangsurkan pedang yang telah dirampasnya. Tapi Beh Cit hiap merasa malu dan
segera mengundurkan diri tanpa menerima senjatanya.
Boe Kie segera merobek tangan
bajunya, tapi baru saja ia mau maju untuk membalut luka kakek luarnya, dari
barisan Boe teng sudah keluar seorang pria yg jenggotnya, yang berwarna hitam,
melambai sampai di dada dan mengenakan pakaian imam. Orang itu bukan lain dari
pada Seng Wan Kiauw. Kepala Boe tong Cit hiap. “Permisikanlah aku membalut luka
Loocianpwee.” Katanya dengan suara manis. Tanpa menunggu jawaban, ia
mengeluarkan obat, melaburnya diluka sikakek dan membalutnya dengan sapu
tangan.
Melihat keangkeran dan
keagungan Song Wan Kiauw, orang2 He Bie Kauw, maupun Beng Kauw, tidak merasa
curiga ”Terima kasih,” kata In thian Ceng.
Boe Kie girang. “Mungkin
karena merasa berterima kasih, Song Soepeh sudah membalut luka Gwa kong,”
pikirnya. “Biarlah permusuhan bisa habis sampai disini.”
Tapi diluar dugaan, sesudah
selesai membalut, Song Wan Kiauw mundur setindak dan berkata seraya mengibas
tangannya. “Aku yang rendah ingin minta pengajaran dari Loocianpwee!”
Boe Kie terkesiap. Tanpa
merasa, ia berteriak. “Tidak adil! Melawan seorang tua dengan bergiliran adalah
perbuatan tak adil!”
Semua orang menengok dan
mengawasi pemuda yang berpakaian compang camping itu kecuali orang Goe Bie Pay,
Song Ceng Soe In Lie Heng. Swee Poet Tek dan beberapa orang lain, tak ada yang
tahu siapa adanya Boe Kie.
“Tak salah perkataan sahabat
kecil itu,” kata Song Wan Kiauw. “Hari ini kita menunda permusuhan antara Boe
Tong dan pek bie kauw. Sekarang ini adalah saat yg memutuskan dalam pergulatan
antara enam partai dan Beng Kauw. Maka itu, kami dari Boe tong pay menantang
pihak Beng Kauw.”
Dengan matanya yang sangat
tajam, perlahan lahan In Thian Ceng menyapu seluruh lapangan. Yo Siauw Wie It
Siauw dan lain2 pemimpin belum bisa bergerak. Jago2 Ngo heng Kie sudah roboh
semua kalau tidak binasa, luka berat, puteranya sendiri, In Ya Ong, menggelatak
dalam keadaan pingsan. Dalam kalangan beng kauw hanyalah ia seorang yang masih
dapat menandingi Song Wan Kiauw. Tapi sesudah melawan lim ajago, ia mulai
merasa lelash dan disamping itu, iapun sudah terluka.
Selagi si kakek mengasah otak
untuk mencari jalan keluar, seorang tua yang bertubuh kecil dari rombongan Kong
tong pay itu tiba2 berteriak. “Tenaga Mo Kauw telah memusnah. Kalau sekarang
kamu tidak mau menakluk, mau tunggu sampai kapan lagi?”
“Kong tie Taysoe! Marilah kita
hancurkan sin wie (tempat pemujaan) dari tigapuluh tiga Kauwcoe Mo Kauw!”
Dalam gerakan membasmi Beng
Kauw, Hong thio (kepala gereja) Siauw Lim sie, yaitu Kong boeq Taysoe, tidak
turut serta, karena ia harus tetap menjaga kuil Siauw Lim sie, karena ia harus
tetap menjaga kuil Siauw Lim sie di Siong san. Maka itu, murid2 Siauw Lim sie
dipimpin oleh Kong tie taysoe. Sebab Siauw lim sie mempunyai kedudukan sangan
tinggi dalam Rimba persilatan, maka partai2 yg mengikat dalam gerakan ini
dengan suara bulat telah mengangkat Kong tie taysoe sebagai pemimpin.
Sebelum Kong tie menjawab,
seorang dari Haw san pay sudah mendahului. “Apa? Menakluk? Hari ini, tak
satupun dari kawanan mo kauw yang boleh dibiarkan hidup terus. Kita harus
membasmi sampai diakar2nya. Kalau masih ada yang ketinggalan dikemudian hari
dunia kang ouw bisa dikacaukan lagi. Hei kawanan Mo kaow! Lebih baik kamu
menggorok leher sendiri, supaya tuan besarmu tak usah berabe!”
Diam2 In Thian Ceng
menggerakkan lwee kang. Ia merasa lengan kirinya tertusuk pedang sampai di
tulang dan pada waktu menggerahkan tenaga dalam, ia merasa sangat sakit. Ia
tahu bahwa sebagai murid kepala Thio Sam Hong, Song Wan Kiauw telah mendapat
seluruh kepandaian guru besar itu. Dalam keadaan segar, belum tentu ia bisa
memperoleh kemenangan. Apalagi sekarang setelah ia lelah dan terluka.
Tapi sebab lain2 jago Beng
Kauw sudah binasa atau terluka berat, maka baginya, tidak ada pilihan lagi dari
pada hanya mengadau, jiwa. Ia tidak takut mati ia hanya merasa sayang bahwa
nama besarnya yang sduah dijaga seumur hidup bakal segera menjadi hancur.
“In Loocianpwee,” kata Song
Wan Kiauw, “Antara Boe tong pay dan peh bie kauw terdapat permusuhan yang dalam
bagaikan lautan. Tapi kami tidak ingin menggunakan kesempatan pada waktu musuh
sedang menghadapi bahaya. Maka itu, persoalan ini dapa tditunda dan
diperhitungkan dikemudian hari. Tujuan dari enam partai adalah untuk menyerang
Beng Kauw, Peh Bie Kauw sudah memisahkan diri dari Beng Kauw dan kenyataan ini
sudah diketahuik oleh semua orang. Perlu apa In Loocianpwee turut menceburkan
diri? Kuharap Loocianpwee suka mengajak semua anggota Peh bie kauw dan turun
dari gunung ini.”
Semua orang tahu, bahawa
karena utusan Jie Thay Giam, Boe tong pay telah bermusuhan hebat dengan Peh bie
Kauw. Maka itu, perkataan Song Wan Kauw yg membuka jalanan hidup bagi Peh bie
kauw, sudah membangkitkan rasa heran dan kagun dama hatinya semua orang.
In Thian Ceng tertawa
terbahak2.
“Song Tayhiap, banyak
berterima kasikh untuk maksudmu yg sangat baik,” katanya. “Tapi biar bagaimanapun
jg, loohoe adalah salah seorang dari keempat Hoe Kauw Hoat Ong. Meskipun benar
loohoe sudah mendirikan agama lain, tapi jika Beng Kauw berada dalam keadaan
bahaya, loohoe pasti tidak bisa berpeluk tangan diluar gelanggang. Hari ini
loohoe rela mengorbankan jiwa Song tayhiap, kau mulailah!” Seraya berkata
begitu, ia maju setindak dan memasung kuda2.
“Baiklah!” kata Song Wan
Kiauw. Ia mengangkat telapak tangan kirinya dan menempelkan tinju kanan pada
telapak kanan itu.
Itulah Ceng chioe sit, suatu
gerakan yg memberi hormat kepada seorang yg tingkatannya lebih tinggi.
Boe tong pay adalah partai yg
belum lama didirikan dan dalam mengubah ilmu silat Boe tong, Thio Sam Hong
menggunakan cara2 tersendiri, lain dari pada yg lain. Maka itu, gerakan Song Wan
Kiauw tak dikenal In Thian Ceng. Tapi melihat lawannya agak membungkuk, ia
tahu, bahwa Wan Kiauw memberi hormat, sehingga oleh karenanya, ia berkata,
“Song Taihap, jangan berlaku sungkan.”
Sambil berkata begitu, ia
mengangkat kedua tangannya kedada untuk membalas hormat.
Menurut kebiasaan, Wan Kiauw
harus maju dan menyerang. Tapi berbeda dengan kebiasaan Song Tayhiap, mengirim
pukulan tanpa bertindak maju. Pukulan itu dikirim dari jarak setombak lebih.
In Thian Ceng terkejut. Apakah
ilmu silat Boe tong sudah begitu lihai, sehingga memiliki Sin kang Khek san Pah
goe? Tanyanya dalam hati. Buru2 ia mengerahkan tenaga dalam dan mengibaskan
tangan kanannya untuk menangkis. (Khek san Pah goe – dengan terliang gunung
pemukul kerbau, semacam ilmu yg dapat merobohkan lawan dari jarak jauh dengan
“angin” pukulan yg disertai lweekang tertinggi).
Tapi sekali lagi, ia kaget
karena sampokannyat idak terbentur dengan tenaga lawan. Dalam kagenya ia pun
merasa heran.
“Sudah lama aku mengagumi ilmu
loocianpwe dan guruku pun sering menyebutkan kepandaian loocianpwee yang sangat
tinggi,” kata Song Wan Kiauw. “Tapi sekarang loocianpwee sudah bertanding
dengan beberapa orang, sedang boanpwee masih segar, sehingga kalau kita mengadu
kepandaian menurut cara yg biasa, pertanidngan itu sangat tak adil. Sekarang
begini saja, kita hanya mengadu jurus tak mengadu trenaga.” Seraya berkata
begitu, dari jarak setombak lebih ia menendang. Tendangan itu cepat bagaikan
kilat yg dikirim dari arah yang tak diduga-duga, suka dielakan dan dalam
pertempuran biasa, pasti akan dapat merobohkan seorang ahli silat yg ternama.
“Sungguh indah tendangan itu!”
memuji In Thian Ceng seraya meninju. Dengan tinju itu yaitu siasat membela diri
dengan menyerang (the best defense is by offense ?!?!?) si kakek berhasil
memunahkan tendangan Wan Kiauw, yg lantas saja membalas pukulan telapak tangan.
Demikianlah, dari jarak jauh,
mereka mulai serang menyerang.
Makin lama, silat mereka makin
cepat. Walau pun mereka bertempur dari jarak jauh, tetapi semua pukulan tidak
disertai tenaga dalam dan tidak menyentuh badan, tapi mereka adalah ahli2 silat
kelas utama, maka masing2 tahu kalah menangnya. Andaikata pukulan yg satu tidak
dapat dipunahkan pihak yg lain, maka pihak yang kalah takkan bisa tidak
mengakui akan kekalahannya. Bukan saja dia, tapi lain2 ahli silat yg
berkepandaian tingipun bisa mengikut jalannya pertempuran luar biasa itu.
Mereka bertanding hebat sekali
tidak kalah hebatnya seperti dalam pertandingan sungguhan. Sesuai dengan azas
ilmu silat Boe Tong, Wan Kiauw menggunakan ilmu “lembek” untuk menindih
“kekerasan” lawan, sedang Thian Ceng mengutamakan “kekerasan” untuk
menghancurkan “kelembekan” orang.
Waktu In Thian Ceng melawan
Thio Siong Kee dan Boh Seng Kok, Boe Kie tidak dapat memperhatikan dari semua
jurus2 mereka, karena dalam kebingungan dan berkuatir akan keselamatan mereka.
Tapi sekarang, karena mengetahui bahwa pertandingan itu hanya memutuskan kalah
dan menang dan tidak membahayakan jiwa, maka dengan lega hati ia bisa
memusatkan seantero perhatiannya kepada jalan pertempuran.
Makin lama ia menonton, makin
besar rasa tak mengertinya. “Gwa-kong dan Song Toa soepeh adalah ahli2 utama
dalam Rimba persilatan, tapi mengapa ilmu silat mereka begitu banyak
cacadnya?”, tanyanya didalam hati. “Bila lengan Gwa-kong kekiri setengah kaki,
tinjunya yg tadi pasti akan mampir tepat didada Toa soepeh. Bila sambarang
tangan Toasoepeh terlambat sedetik, cengkeramannya kearah pundak Gwa Kong tentu
berhasil. Apakah mereka sengaja saling mengalah? Ditinjau dair jalannya
pertempuran, kelihatannya bukan begitu.”
Memang. Dalam pertandingan
jarak jauh itu, baik In Thian Ceng maupun Song Wao Kiauw tak saling mengalah.
Adalah tidak benar jika dikatakan, bahwa kepandaian kedua jago itu banyak
cacadnya. Sebab musabab dari masuknya jalan pikiran tadi kedalam otak Boe Kie
yalah karena, sesudah memiliki Kio yang dna Kian koe Tay lo ie Sin kang, dalam
ilmu silat, pemuda itu sudah lebih unggul setingkat daripada In Thian Ceng –
Son Wan Kiauw. Pukulan2 yg dapat dibayangkan dan dapat pula dilakukan oleh Boe
Kie, tidak akn dapat dilakukan oleh In Thian Ceng – Song Wan Kiauw, maupun oleh
jago2 lain. Sebagai contoh, jika seekor burung yg terbang diangkasa melihat
caranya berkelahinya dua harimau, dia bisa bertanya didalam hatinya. “Mengapa
harimau itu tak mau terbang menubruk musuhnya?”
“Apabila si harimau akan
berbuat begitu, bukankah dia akan mendapat kemenangan?” si burung tak tahu,
bahwa harimau tidak mampu terbang.
Karena belum cukup
berpengalaman, sebab musabab itu belum dapa dipikir Boe Kie.
Sesudah bertanding lagi
beberpa alama tiba2 Song Wan Kiauw mengubah cara bersilatnya. Kedua tangannya
seperti menari nari dan gerak geraknnya lemas bagaikan kapas. Itulah Bian Ciang
(ilmu pukulan kapas) dari Boe Tong pay. In Thiang Ceng membenak keras dan
memperhebat serangan2nya dalam ilmu silat keras untuk melawan pukulan2 “lemek”
dari lawannya.
Lewat beberapa saat,
sekonyong2 telapak tangan kiri Song Wan Kiauw menyambar, disusul dnegna pukulan
telapak tangan kana yg biarpun dikirim belakangan tiba terlebih dahulu. Hampir
berbareng, telapan tangan kirinya miring dan menyusul pula dari belakang.
Melihat seluruh tubunya sudah ditutup dengan pukulan lawan, seraya berteriak In
Thian Ceng mengeluarkan kedua tinjunya. Semua orang terkejut. Dua telapak
tangan dan dua tinju menempel satu sama lain di tengah udara!
Sesudah mengeluarkan seantero
kepandaian dan sesudah menbapai gebrakan yg memutuskan, kedua jago itu tidak
bisa berbuat lain drpd mengadu tenaga lawan.
Tiba2 Song Wan Kiauw bersenyum
dan menarik pulang kedua tangannya. “Ilmu silat Locianpwee tinggi luar biasa
dan boanpwee merasa takluk,” katanya seraya membungkuk. In Thian Ceng pun
segera menarik pulang tinjunya dan berkata dengan suara manis. “Sekarang loohoe
mengakui, bahwa semenjak dahulu Ciang Hoat (Ilmu pukulan dengan tangan kosong)
dari Boe tong pay tiada tandingannya di dalam dunia.”
Karena sudah berjanji untuk
tidak bertanding dengan menggunakan tenaga dalam, maka pertandingan itu tidak
dapat dilangsungkan lagi.
Dipihak Boe tong pay masih ada
Jie Lian Cioe dan In Lie Heng yg belum turun ke dalam gelanggang. Ketika itu
muka In Thian Ceng berwarna merah dan diatas kepalanya keluar uap dari hawa
panas. Biarpun dalam pertandingan td ia tdiak menggunakan tenaga dalam, tapi karena
lawannya terlalu kuat dan ia bersilat dengan menggunakan seantero kepandaian,
maka sekarang tenaganya sudah habis sama sekali. Maka itu, jika turun kedalam
gelanggang, Jie Lian Cioe atau In Lie Heng dengan mudah bisa merobohkannya dan
mendapat nama besar sebagai jago yg telah menjatuhkan Peh bie Eng ong. Kedua
pendekar Boe tongitu mengawasi dan kemudian menggeleng2kan kepalanya. Mereka
sungkan menggunakan kesempatan selagi lawan habis tenaganya. Mereka yakin,
bahwa mereka akan menang, tapi kemenangan itu, bukan kemenangan yg boleh
dibanggakan.
Tapi kalau tokoh2 Boe tong
memikir begitu, orang lain tidak demikian. Dari barisan Khong tong pay mendadak
melompat keluar seorang tua yg bertubuh kate kecil. Ia adalah orang yg
menyarankan untuk membakar tempat pemujaan para kauwcoe Beng-kauw.
Begitu berhadapan dengan In
Thian Ceng ia berkata, “Aku si orang she tong ingin bermain main sedikit dnegan
In Loojie.” Tantangan itu ia keluarkan dengan suara yg sangat memandang rendah.
Peh Bie Eng ong melirik dan mengeluarkan
suara dihidung. “Dalam waktu biasa, Khong Teng Ngo loe tidak masuk dalam
perhitungan,” pikirnya. “Celaka sungguh! Benar jg kata orang harimau yg kesasar
ditanah datar akan dihinakan oleh kawanan anjing. Jika roboh dalam tangan Boe
tong Cit hiap, aku rela. Terhadap Tong Boen Liang, tak nanti aku mengalah.”
Waktu ia merasa sekujur badannya lemas dan keinginan satu2nya merebahkan diri
di pembaringan. Tapi mendengar tantangan Boen Liang darahnya meluap dan alisnya
yg putih beridir. Sambil mengepos sisa tenaganya yg penghabisan, ia membentak,
“Bocah! Kau mulailah!”
Tetua Khong Ting itu mengerti,
bahwa sesungguhnya keabisan tenaga, dalam beberapa jurus saja In Thian Ceng
akan roboh sendiri. Maka itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia segera
melompat kebelakang musuhnya dan mengirim tinju kepunggung Peh bie Eng ong. In
Thian Ceng mengengos dan menangkis, tp Tong Boen Liang sudah melompat kesamping
dengan gerakan yg sangat gesit. Benar saja, baru beberapa gebrakan mata In
Thian Ceng gelap dan memuntahkan darah dari mulutnya. Badannya tergoyang goyang
tanpa tercegah lagi, ia jatuh duduk.
Tong Boen Liang girang, “In
Thian Ceng! Hari ini kau mampus dalam tanganku!” teriaknya seraya melompat
keatas.
Melihat Tong Boen Liang
melompat tinggi dan dari atas menghantam kebawah, Boe Kie terkesiap dan
mengambil keputusan untuk menolong kakeknya. Tapi sebelum ia bergerak, In Thian
Liang sudha mengangkat tangan kanannya dalam suatu gerakan menyeramkan unutk
menyambut musuhnya. Tong Boen Liang sudah tak dapat mengelakan sambutan itu.
“Krek!….krek!” kedua tangan
jago Khong tong itu patah karena pukulan Eng Jiauw Kim na ohioe. Sekali lagi
terdengar “krek-krek” dan tulang kedua betisnya pun turut patah. Ia jatuh
ambruk tanpa bisa bergerak lagi.
Semua orang mengawasi dengan
mata membelak. Mereka tak pernah menduga, bahwa sesudah terluka berat, In Thian
Ceng masih bisa berbuat begitu.
Dengan robohnya tetua mereka
yg ketiga, orang2 Khong tong tentu saja merasa malu. Karena Khong Tong Boen
Liang menggeletak didekat Peh bie Eng ong, tiada seorang pun yg berani maju
menolong. Sesudah berselang beberapa saat dari barisan Khong tong barulah
keluar seorang tua bongkok yg bertubuh tinggi besar. Sambil menendang sebutir
batu kearah In Thian Ceng ia membentak, “Peh Bie Lonh Jie! Biarlah aku si orang
she Cong membereskan perhitungan lama denganmu.
Orang itu she Cong bernama Wie
Hiap tetua kedua dari Khong tong Ngoloo. Dengan menyebutkan “perhitungan lama”
dapatlah diketahui bahwa dahulu ia sudah pernah dirobohkan oleh In Thian Ceng.
“Tak!” batu yg di tendang Cong
Wie Hiap mampir tepat didagu In Thian Ceng yg lantas saja mengucur darah. Semua
orang terkejut, terhitung Cong Wie Hiap sendiri, yg sama sekali tidak menduga,
bahwa batu itu bisa melukakan musuhnya. Sekarang ia tahu, bahwa In Thian Ceng
tidak berdaya lagi, dan satu pukulan saja sudah cukup untuk membinasakannya. Ia
maju seraya mengangkat tangannya.
Tiba2 dari barisan Boe tong
pay melompat keluar seorang yg menghadang dihadapannya. Orang itu yg berparas
angker dan mengenakan jubah panjang yg terbuat dari kain kasar, bukan lain
daripada Boe tong Jie hiap Jie Lian Cioe. Sambil menjura Jie hiap berkata,
“Cong Heng In Kauwcoe terluka berat, sehingga biarpun kau menang, kemenangan
itu bukan kemenangan gemilang. Dengan partai kami, In Kauw Coe ia mempunyai
perhitungan2 yg belum dibereskan. Maka itu, siauwtee harap Cong heng suka
menyerahkannya kepada siauwtee.”
Cong Wie Hiap mengeluarkan
suara di hidung. “Terluka berat?” ia menegas. “Huh-huh! Dia berlagak mampus.
Kalau tadi dia tidak berpura pura, Tong Sam Tee tentu tidak sampai celaka. Jie
Jie Hiap, kau mengatakan partaimu memiliki perhitungan dengan dia. Akupun
mempunyai perhitungan dengan dia. Aku akan menyerahkan dia kepadamu, sesudah
menghajarnya tiga kali…”
Jie Lian Cioe yg ingin
menolong In Thiang Ceng, lantas saja berkata. “Cit siang koen dari Cong Heng
tersohor dalam Rimba Persilatan. Dalam keadaan begini, mana bisa In Kauw Coe
menerima tiga pukulanmu?”
Paras muka jago Khong tong itu
lantas saja berubah. “Kalau begitu, begini saja, katanya dengan suara
mendongkol.” Dia telah mematahkan kaki tangan Tong Sam Tee. “Aku akan
mematahkan jg kaki tangannya. Ini yang dinamakan pembayaran tunai.”
Jie Lian Cioe kelihatan
bersangsi.
“Jie Jie hiap!” bentuk Cong
Wie Hiap. “Sebelum berangkat ke See heek, enam partai telah membuat
perserikatan dengan sumpah yg berat. Mengapa kau sekarang ingin melindungi
situa bangka dari Mo Kauw itu?”
Jie hiap menghela napas.
“Baiklah, sekarang kau boleh berbuat sesukamu,” katanya. “Sesudah kembali di
Tionggoan, aku akan minta pengajaran dari Cit Siang Koen mu.”
Cong Wie Hiap kaget. Ia tak
mengerti mengapa Jie Lian Cioe coba menolong In Thian Ceng. Ia merasa jeri
terhadap Boe tong pay, tapi dihadapan banyak orang, ia tak mau memperlihatkan kelemahannya.
Seraya tertawa dingin, dia berkata. “Didalam dunia, orang tidak boleh melampui
kepantasan. Biarpun Boe tong pay lebih kuat daripada sekarang, ia tidak boleh
berbuat sewenang wenang.”
Perkataan itu sangat kejam,
secara langsung menyeret nama partai dan secara tidak langsung menyentuh sama
Thio Sam Hong sendiri. Song Wan Kiauw mendongkol. “Jie tee!” seruanya. “Biarkan
dia berbuat sesukanya!”
“Baiklah,” jawab si adik.
“Sungguh seorang gagah sejati! Sungguh seorang gagah sejati!”
Perkataan itu seperti juga mau
memuji In Thian Ceng dan mengejek Cong Wie Hiap. Tetapi karena tidak mau
bermusuhan dengan Boe Tong Pay, tetua Khong tong itu berlagak tidak mengerti.
Begitu lekas Jie Lian Cioe mundur, ia segera maju mendekati korbannya.
Sementara itu, Kong tie Taysoe
mengeluarkan perintah dengan suara yang sangan lantang. “Aku minta Hwa san pay
dan Khong tong pay membinasakan sisa kawanan Mo kauw yg berada dilapangan ini.
Boe tong pay menggeledah disebelah barat dan Go Bie Pay menggeledah disebelah
disebelah timur. Seorangpun tidak boleh terlolos. Koen Loen Pay menyediakan
bahan2 api untuk membakar serang Mo-Kauw.”
Sesudah membagi tugas kepada
lima partai, ia merangkap kedua tangannya, seraya berkata, “Aku minta murid2
Siauw Lim Sie menyediakan alat2 sembahyang dan membaca kitab suci, supaya para
enghiong dari enam partai dan para pengikut Mo Kauw yang sudah meninggal dunia,
bisa mendapat temapt yang lapang dialam baqa dan supaya hutang piutang ini bisa
berakhir sampai disini.
Selagi Kong tie mengeluarkan
perintah, Cong Wie Hiap menghentikan tindakannya dan turut mendengari. Sesaat
kemudian, ia maju lagi. Semua orang menahan napas. Begitu lekas pukulan
dikirim, In Thian Ceng akan binasa dan usaha membasmi Mo Kauw turut selesai.
Pada detik menghadapi kemusnahan,
kecuali yang terluka berat dan tidak bisa bergerak lagi, semua anggauta Beng
kauw segera bersila dilantai dengan kedua tangan yg sepuluh jarinya terpentang
itu merupakan simbol dari api yg berkobar2. Sambil memeramkan mata, mereka
mengikuti yo Siauw mendia menurut cara Beng Kauw
“Membakar ragaku,
Api nan suci,
Hidup, apa senangnya,
Mati, apa susahnya?
Untuk kebaikan menyingkirkan
kejahatan,
Guna kegemilangan Beng Kauw,
Kesenangan dan kedukaan,
Semua berpulang kedalam tanah,
Kasihan manusia dalam dunia,
Banyak yang menderita!
Kasihan manusia dalam dunia,
Banyak yang menderita!”
Dalam mengucapkan doa itu,
dari Yo Siauw yg berkedudukan paling tinggi sampai pada pegawai dapur yg
berkedudukan paling rendah sedikitpun tidak mengujuk rasa takut, suara mereka
lantang dan sikap merekapun angker.
Jie Lian Cioe mendengari
dengan hati berduka. Ia merasa bahwa mereka yg bisa bersikap tabah dalam
menghadapi kebinasaan dan bahkan masih bisa berkasihan terhadap manusia yg
hidup menderita, adalah orang2 gagah yang mulia.
“Pendiri Beng Kauw seorang
mulia, hanya sayang pengikut2 nya yang belakangan menyeleweng dari jalan yang
benar!” katanya didalam hati.
Sementara Boe Kie yg semula
merasa keder sebab menghadapi begitu banyak orang, sekarang menjadi nekad. Ia
nekad karena Cong Wie Hiap sudah mendekati kakeknya dan Kong tie sudah
mengeluarkan perintah untuk membunuh sisa anggota Beng Kauw. Dengan sekali
melompat ia sudah menghadang di depang Cong Wie Hiap. “Tahan!” bentaknya. “Kau
ingin membunuh seorang yg sudah terluka berat apa kau tidak takut ditertawai?”
Ia membentak dengan bernafsu, sehinga suara menggeledek dan menggetarkan
seluruh lapangan. Semua orang yang sudah bergerak untuk menjalankan perintah
Kong Tie, serentak menghentikan serangannya dan mengawasi pemuda itu.
Melihat, bahwa yang
mencegatnya tak lebih daripada seorang pemuda yg berpakaian compang camping,
Cong Wie Hiap bersenyum tawar dan segera mendorong Boe Kie, yg lantas mengengos
seraya menyampok dengan tangannya.
“Plak!”
Cong Wie Hiap terhuyung tiga
tindak. Secepat kilat ia mengerahkan tenaga kedua kakinya supya bisa berdiri
tetap. Tapi diluar dugaan, gelombang tenaga Boe Kie terus mendorongnya sehingga
tubuhnya terjengkang. Sebagai seorang ahli silat, dalam bahaya, buru2 ia menotol
tanah dnegan kaki kanannya dan badannya lantas saja melesak kebelakang setombak
lebih. Tapi, waktu kedua kakinya hinggak ditanah, gelombang tenaga itu masih
belum mereda, sehingga ia kembali terhuyung tujuh delapan tindak!
Itulah kejadian yg betul2 diluar
dugaan. Semua orang tidak mengerti sebab musababnya. Mereka mengira Cong Wie
Hiap sengaja main gila atau berguyon. Cong Wie Hiap sendiri tak pernah mimpi,
pemuda itu bertenaga sedemikian besar.
Sesudah mengumpukan
semangatnya, Cong Wie Hiap mengawasi Jie Lian Cioe dengan mata melotot. “Lelaki
harus berterang!” teriaknya. “Tak boleh menyerang orang denga panah gelap!” Ia
menaksir, bahwa tadi Jie Lian Cioe memberi bantuan secara menggelap atau
mungkin sekali bantuan itu diberikan oleh kelima pendeta Boe tong dengan
serentak. Sebab tak bisa jadi seorang manusia mempunyai tenaga yang begitu
besar.
Jie Lian Cioe bingung, tapi
karena tak merasa bersalah, ia tak mempedulikan dan hanya balas melotot, “Gila
betul!” katanya dalam hati.
Sementara Cong Wie Hiap sudah
maju mendekati Boe Kie dan membentak seraya menuding, “Bocah siapa kau!”
“Aku Can A Goe,” jawabnya
seraya mengangsurkan tangan dan menempelkannya di leng tay hiat di punggung In
Thian Ceng. Gelombang tenaga yang berhawa panas lantas saja menerobos masuk
kedalam tubuh si kakek. Jago tua itu membuka kedua matanya yg mengawasi Boe Kie
yg membalas dengan senyuman sambil menambah tenaganya. In Thian Ceng heran tak
kepalang. Tenaga itu sangat menakjubkan. Sebelum Cong Wie Hiap tiba
dihadapkannya, dada dan tantiannya yang menyesak sudah lega kembali. Terima
kasih sahabat kecil bisiknya.
Dengan gagah ia melompat
bangun dan berkata dengan suara lantang. “Orang she Cong! Apa jempolnya Cit
Siang Koen dari Khong tong pay? Mati! Aku bersedia untuk menerima tiga serangmu.”
Ceng Wie Hiap bangun. Ia tak
nyana lawannya bisa segera berangkat dengan semangat penuh. Bagaimana bisa jadi
begitu? Hatinya lantas saja merasa jeri, terutama terhadap Eng Jiauw Kim Na
Chioe yg sangat lihai “Memang Cit siang koen tak dapat dikatakan jempol!:”
katanya. “Baik.” Kau terimalah tiga tinjuku. I dalam hati ia mengambil
keputusan untuk mengadu Lweekang, supaya pertandingan yg lama, tenaganya yg
masih segar akan dapat mengalahkan lawan yg sudah payah.
Mendenger disebutkannya Cit
“siangkoen”, didepan mata Boe Kie segera tebayang kejadian pada malam itu di
pulau Peng hweeto, dimana ayah angkatnya telah menceritakan peristiwa
kebinasaan Kong Kian Tayeoe akibat pukulan Cit Siangkoen. Belakangan ia sendiri
disuruh menghafal teori Cit Siangkoen dan pernah digaplok beberapa kali oleh
ayah angkat itu sebab tidak bisa menghafal lancar. Ia ingat pula teori ilmu
pukulan tersebut dan… ia sekarang mengerti artinya teori itu. Ia heran tak
kepalang. Mengapa ia jadi begitu cerdas!
Ia tak tahu, bahwa sebab
musababnya terletak pada kenyataan, bahwa ia sudah mahir dalam Kioe yang dan
Kim koen Tay lo ie Sing kang Kioe yang meliputi segala rupa lweekang yg
terdapat diseluruh Rimba Persilatan, sedang Kiam koen tay lo ie yalah ilmu
untuk mengerahkan tenaga dalam dan menggunakannya. Dengan demikian, sesudah
dapat memahami kedua Sing kang yg tertinggi itu, lain2 ilmu silat sudah tak
jadi soal baginya.
“Jangankan tiga, tiga puluh
tinjupun akan kuterima,” kata In Thian Ceng. Ia berpaling pda Kong tie dan
berkata dengan suara lantang, “Kong Tie Taysoe, sebelum mati, aku belum
menyerah kalah! Apakah kau mau berbuat sewenang wenag dengan mengunakan jumlah
yang besar.
Ternyata pada waktu tiba di
Kong Beng Teng melihat Yo Siauw dan beberapa tokoh lain sudah terluka, dengan
menggunakan kata2 tajam In Thian Ceng berhasil mencegah pengeroyokan kepada
pihaknya. Sesuai dengan kebiasaan dalam Rimba Persilatan, Kung tie Taysoe telah
menyetujui untuk mengadu kekuatan dengan satu melawan satu. Tapi pada akhirnya
jago2 Peh Bie Kauw dan Ngo heng Kie roboh semua, kalau tidak mati terluka
hebat, dan yg ketinggalan hanyalah si kakek sendiri. Tapi sebegitu lama In
Thian Ceng masih belum menyerah, Kong tie memang tidak boleh memerintahkan
pembasmian.
Boe Kie tahu, bahwa biarpun
keadaannya sudah banyak mendingan, kakeknya tidak boleh menggunakan terlalu
banyak tenaga. Kegagahan orang tua itu terhadap Cong Wie hiap telah didorong
oleh tekad untuk berkelahi sampai binasa. Maka itu, ia segera berbisik, “In
locianpwee, biarlah aku yg maju lebih dahulu. Jika aku kalah, barulah
locianpwee maju.”
Si kakek yakin, bahwa lweekang
pemuda itu, tinggi luar biasa dan dalam keadaan segar, ia tidak akan bisa
menandinginya. Akan tetapi merasa bahwa ia berkewajiban untuk membela Beng kau
dengan jiwanya, sedang pemuda itu yang mungkin tak punya sangkut paut dengan
Beng Kauw tidak pantas untuk berkorban. Ia tahu bahwa biarpun lihai Boe Kie tak
akan bisa melayani lawan yg berjumlah begitu besar. Mana bisa ia membiarkan
seorang pemuda yg begitu mulia membuang jiwa secara cuma2 diatas Keng beng
Teng? Memikir begitu, ia lantas saja bertanya, “Sahabat kecil, bolehkah ku tahu
partai atau rumah perguruanmu? Kau kelihatannya bukan anggota agama kami.
Benarkah begitu?”
“Boanpwee memang bukan anggota
Beng Kauw,” jawabnya. “Tapi sudah lama boanpwee mengagumi loocianpwee dan hai
ini kita berdua akan melawan musuh bersama sama.”
In Thian Ceng heran tak
kepalang, tapi sebelum ia keburu menanya lagi, Cong Wie Hiap sudah maju sambil
berteriak, “Orang she In, sambutlah tinju pertama!”
“Tahan!” bentak Boe Kie, “In
Loocianpwee mengatakan, bahwa kedudukanmu belum cukup tinggi untuk bertanding
dengannya. Kalau kau bisa menangkan aku, barulah ia akan melayani kau.”
“Siapa kau!” bentak Cong Wie
Hiap dengan gusar. “Bocah, kau sungguh tak menggenal mampus! Apa kau mau
berkenalan dengan kelihaian Cit Siang Koe dari Khong tong pay?”
Tiba2 serupa pikiran
berkelebat dalam otaknya Boe Kie. “Untuk mendamaikan kedua belah pihak, jalan
satu2 nya ialah membuka rahasia kebusukan Goan Tin,” pikirnya. “Kalau
menggunakan kekerasan, mana dapat aku melawan jago2 dari enam parti. Apapula
para pamanku juga berada disini. Mana bisa aku berhadapan dengan mereka sebagai
musuh?”
Sesudah memikir sejenak, ia
segera berkata dengan suara nyaring. “Kelihaian Cit Siang koang dari Khong tong
pay sudah diketahui olehku lama sekali. Bukankah pendeta suci Siauw Lim Pay,
Kong Kian Tay soe, juga binasa karena pukulan itu?”
Pernyataan itu menggemparkan
barisan Siauw Lim Pay. Sepanjang pengetahuan mereka, Kong Kian Tay soe binasa
dalam tangan Cia Soen. Turut sertanya Siauw Lim Pay dalam gerakan membasmi Beng
Kauw juga bertujuan untuk membalas sakit hati ini. Tapi dalam pemeriksaan
jenazah Kong Kian yg bebas dari tanda2 luka, urat2nya terputus dan tulang2nya
patah, seperti dipukul Cit siang koen dari Khong tong pay.
Waktu itu, selama beberapa
hari Kong Beon, Kong Tie dan Kong Seng mengadakan perdamaian rahasia. Mereka
menganggap bahwa Khong tong pay tidak mempunyai jago yang berkepandaian begitu
tinggi, sehingga dapat membinasakan Kong kian yang sudah berhasil dalam latihan
Kim Kong Poet hoay tei Sin Kang. Maka itu biarpun tanda2 sangat mencurigakan
mereka merasa bahwa pendeta suci itu bukan dibinasakan oleh orang Khong tong
pay. Belakangan dengan membawa murid2nya Kong Seng membuat penyelidikan. Dari
penyelidikan itu, mereka mendapat kepastian, bahwa waktu Kong kian meninggla
dunia di Lok Yang, Khong tong Ngo Loo berada di dearah barat daya, sehingga
pembunuh itu sudah tentu bukan dilakukan oleh kelima tetua tersebut. Sebab
dalam Khong tong pay, hanya Ngo Loo yang sekiranya bisa melukakan Kong Kian,
maka kecurigaan Siam Lim pay lantas saja hilang.
Disamping itu, pada tembok
rumah pengindapan di Lok Yang jg terdapat tulisan yg berbunyi “membinasakan
Kong Kian Taysoe dan bawah tembok ini.” Belakangan Siauw lim pay tahu, bahwa
orang yg menggunakan nama Seng Koen adalah Cia Soen.
Sesudah lewat banyak tahun,
tiba2 Boe Kie menyebutkan lagi kejadian itu, sehingga dapatlah dimengerti jika
orang2 Siauw Lim Pay menjadi kaget.
“Kong kian Taysoe telah
dibunuh oleh bangsat Cia Soen dan kenyataan ini diketahui diseluruh kalangan
kang ouw,” kata Cong Wie Hiap dengan gusar. “Dengan Khong tong pay, kejadian
itu tiada sangkut pautnya.”
“Apakah kau menyaksikan dengan
mata sendiri pada waktu Cia Cianpwee membinasakan Kong kian Seng ceng?” tanya
Boe Kie. “Apakah kau berada ditempat itu?”
Mendengar pertanyaan itu, Cong
Wie lantas saja menduga, bahwa Boe Kie disuruh Boe Tong pay untuk merenggangkan
perhubungan antar Khong tong dan Siauw lim pay. Karena itu, ia lantas saja
berhati2.
“Waktu Kong tian Seng Ceng
meninggal dunia, Lok yang Khong thong Ngo Loo berada di Inlam, sebagai tamu
Lioe Tayhiap dari Tiam Cong pay,” jawabnya dengan sungguh2. “Cara bagaimana
bisa berada di tempat pembunuhan?”
“Maka itu,” teriak Boe Kie,
“Kalau benar waktu itu kau berada di In lam, cara bagaimana kau bisa mengatakan
dengan pasti, bahwa Kong kian Seng Ceng dibunuh Cia Cianpwee? Adalah sebuat
kenyataan yg tidak bisa dibantah lagi, bahwa Kong kian Taysu binasa karena
pukulan Cit siang koen. Cia Cianpwee bukan orang Khong tong pay. Mana boleh kau
menuduh orang secara serampangan?”
Cong Wie Hiap merasa dadanya
seolah olah mau meledak. “Tutup mulut!” bentaknya. “Sesudah membunuh Kong Kian
taysoe, diatas tembok binatang Cia Soen menulis huruf2 seperti berikut. ‘Seng
Koen membinasakan Kong kian Taysoe’ dibawah tembok ini huruf2 itu ditulis
dengan darah. Sesudah diketahui umum, bahwa dengan menggunakan nama gurunya,
Cia Soen sudah melakukan pembunuhan diberbagai tempat.”
Boe Kie terkejut karena ia tak
tahu bahwa sesudah membunuh Kong kian, ayah angkatnya menulis kata2 itu
ditembok. Tapi ia lantas saja mendongak dan tertawa terbahak bahak, “perkataan
itu bisa ditulis oleh siapapun jua,” katanya.
“Siapa yg lihat bahwa huruf2
itu ditulis oleh Cia Cianpwee? Akupun bisa mengatakan bahwa huruf2 itu ditulis
oleh orang Khong tong pay. Tapi belajar Cit siang koan tidak semudah menulis.”
Ia menengok ke arah Kong tie and berkata pula,” Kong tie taysoe bukankah soohengmu
binasa karena pukulan Cit siang koen? Apakah tidak benar jika aku mengatakan,
bahwa Cit Siang koen serupa ilmu yang tidak pernah diturunkan oleh orang partai
Kong tong pay?”
Sebelum Kong tie menjawab
seorang pendeta yg bertubuh besar tinggi dan mengenakan jubah warna merah tiba2
melompat keluar dari barisan Siauw Lim Pay. Seraya mengetrok sianthungnya
(tongkat pertapaan) yg bersinar keemas2an dibumi, ia membentak, “Bocah suruhan
siapa kau? Apakah manusia serendah kau mau coba mengadu lidah dengan guruku?”
Boe Kie mengawasi dan segera
mengenali, bahwa pendeta itu adalah salah seorang dari delapan belas loo han yg
bernama Goan Im. Dahulu, pada waktu Siauw Lim pay turut datang di Boe Tong
untuk mendesak orang tuanya, pendeta itulah yg sudah memberi kesaksian, bahwa
beberapa murid Siauw lim sie telah dibinasakan oleh mendiang ayahnya. Waktu
itu, dalam kedukaan yg sangat besar, ia memperhatikan muka setiap orang dan
menyimpan didlm otaknya. Sekarang begitu melihat Goan Im darahnya bergolak
golak, paras mukanya merah padam dan badannya gemetaran. Sekuat tenaga ia
menindih kegusarannya yg sudah mendekat kekalapan. “Boe Kie! Boe Kie!” serunya
didalam hati. “Tugasmu di hari ini adalah mendamaikan permusuhan diantara enam
partai dan Beng Kauw. Kau tak boleh merusak segala apa karena kepentingan
pribadi. Sakit hati terhadap Siauw Lim pay dapat dibereskan dihari kemudian.”
Karena pertanyaannya tidak
segera dijawab, Goan Im membentak pula. “Bocah! Jika kau kaki tangan Mo Kauw,
panjangkan lehermu untuk menerima kebinasaan! Tapi kalau kau tiada sangkut
pautnya dengan agama siluman itu, menyingkirlah dari gunung ini secepat
mungkin. Sebagai orang pertapaan, kami takkan mencelakai kau.” Ia berkata
begitu sebab melihat Boe Kie tak mengenakan seragam Beng Kauw dan jg krena pemuda
itu bergemetaran badannya yg di tafsirkan olehnya sebagai rasa ketakutan.
“Bukankah kau Goan Im Taysoe?”
tanya Boe Kie. “Dalam partaimu terdapat seorang yg dikenal sebagai Goan Tin
Taysoe. Cobalah minta keluar. Aku ingin ajukan beberapa pertanyaan.”
“Goan tin Soeheng tidak turut
datang kesini” jawabnya. “Jika kau ingin bicara lekaslah. Kami tak punya banyak
waktu untuk mendengari segala obrolanmu. Siapakah gurumu?” Ia menanya begitu
karena turut menyaksikan terhuyungnya Cong Wie Hiap karena sampokan Boe Kie. Ia
tahu, bahwa guru pemuda itu bukan sembarangan orang. Kalau bukan memikir
begitu, ia tentu tak sudi rewel2 pada saat berhasilnya usaha keenam partai.
“Aku bukan mengikut Beng kauw
dan jg bukan murid dari sesuatu partai di daerah Tionggoan,” kata Boe Kie.
“Akan tetapi, aku mempunyai sangkut paut dengan Beng Kauw, Boe Tong, Siauw Lim,
Go Bie, Koen Loen dan Hwa san pay. Untuk bicara terus terang, gerakan enam
partai untuk membalas Beng Kauw adalah karena perbuatan seorang jahat. Didalam
itu terselip suatu salah mengerti yang sangat hebat. Biarpun masih berusia
muda, aku tahu seluk beluk persoalannya. Maka itu, dengan memberanikan hati aku
minta kedua belah pihak menghentikan pertempuran, menyelidiki soal ini sampai
kedasar2nya, supaya siapa yang salah, siapa yg benar menjadi terang dan
kemudian membereskan permusuhan ini seadil2nya.”
Pernyataan Boe Kie itu
disambut dengan gelak tertahan, ejekan dan jengekan. “Ha,ha,ha… He, he,he,he….
Hi,hi,hi…..” mereka tertawa terbahak2, dan ejekan2 berkumandang diseluruh
lapangan.
“Bocah itu tentunya sudah
gila!”
“Otaknya miring! Dia rupanya
mengganggap dirinya seperti Thio Cinjin dari Boe Tong pay atau Kong Beon Seng
ceng dari Siauw Lim Pay!”
“Dia mimpi memperoleh To Ling
To dan menjadi yg termulia dalam Rimba Persilatan!”
“Ha ha ha! Dia anggap kita
seperti anak kecil. Aduh! Aku tertawa sampai perutku sakit.”
“Ho ho ho…. Hi hi hi….!”
Dalam Go Bie Pay hanya
seorang, yaitu Cioe Cie Jiak, yg tidak membuka mulut. Dengan rasa duka, ia
mengerutkan alis. Semenjak bertemu dengan Boe Kie digurun pasir, ia merasa
rapat hati dengan pemuda itu. Mendengar ejek2an, ia turut merasa malu. Tapi
waktu ia melirik, pemuda itu berdiri tegak sambil mengangkat kepala. Sikapnya
angker dan tenang.
Tiba2 Boe Kie berkata dengan
suara nyaring. “Asal saja Goan Tin Taysoe dari Siauw Lim pay mau munculkan diri
dan bicara beberapa patah kata denganku segala tipu jahatnya, segera akan bisa
diketahui oleh kalian.” Ia berkata sepatah demi sepatah dan meskipun suara
tertawa dan ejekan masih belum mereda, setiap perkatannya dpt didengar jelas
sekali oleh setiap orang yang dilapangan yg luas itu. Semua orang terkejut dan
suara ramai lantas saja mereda. Mereka tak nyana bahwa pemuda itu mempunyai
Lweekang yang begitu tinggi.
“Bocah, kau sungguh licin!”
bentak Goan Im. “Kau tahu, bahwa Goan tin Soeheng tidak berada disini dan kau
sengaja menyeretnya. Mengapa kau tidak mengambil Thio Coei San dari Boetong
untuk dijadiakan kesakitan?”
Ejekan menusuk itu disambut
dengan segalak tertawa oleh orang banyak, sedang murid2 Boe tong serentak saja
berubah paras mukanya.
“Goan Im, hati2 bila bicara!”
bentak Kong tie.
Mengapa Goan Im mengejek Thio
Coei San? Karena ia merasa sakit hati terhadap Thio Ngo hiap. Ia menganggap
Thio Ngo hiap yg sudah membutakan mata kanannya dengan senjata rahasia
dipinggir telaga, padahal perbuatan itu dilakukan oleh In So So.
Mendengar cacian terhadap
mendiang ayahnya, tak kepalang gusarnya Boe Kie.
“Apa kau dapat menodai nama
baiknya Thio Ngo Hiap?” bentaknya. “Kau… kau…”
Goan Im tertawa dingin. “Thio
Coei San cari penyakit sendiri dan dibikin mabuk oleh perempuan siluman,”
katanya. “Dia mendapat pembalasan setimpal karena paras cantik…”
Itulah melampai batas!
Sekuat tenaga Boe Kie menindih
amarahnya. Berulang kali ia berkata didalam hati.
“Boe Kie! Boe Kie! Ingatlah
tugasmu yg suci!” Tapi ia gagal (matanya berkunang kunang dan ia kalap)
Dengan sekali melompat, tangan
kirinya sudah mencengkram pinggang si pendeta yg lalu diangkat keatas, sedang
tangan kanannya merampas sian thung! Menghadapi Boe Kie, Goan Im seolah olah
anak itik menghadapi elang – sedikitpun ia tak bisa melawan.
Hampir berbareng, dua pendeta
melompat dari barisan Siauw Lim Pay dan menyabet Boe Kie dari kiri kanan dengan
sin thung mereka. Itulah cara terbaik untuk menolong orang, serupa siasat yg
dikenal sebagai, “Menyerang Goei untuk menolong Toi”. Dengan siasat itu, musuh
yang diserang harus menolong diri dan sebab musuh harus menolong diri, maka
kawan yg menghadapi bencana dengan sendirinya dapat ditolong. Kedua pendeta itu
adalah Goan tin dan Goan hiap.
Tapi Boe Kie lihai luar biasa.
Begitu merasai kesiuran angin, dengan tangan kiri ia menenteng Goan Im dan
tangan kanan mencekal sin thung, ia melompat tinggi dan menotol sin thung Goan
tin dan Goan hiap dengan kedua ujung kakinya. Sungguh dahsyat totolan itu! Goan
Tin dan Goan Hiap serentak jatuh terjengkal! Untung juga tongkatnya tak
menghantam kepala sendiri.
Semua org mengeluarkan
teriakan tertahan!
Dilain saat, bagaikan daun
kering yg melayang, Boe Kie hinggap di muka bumi.
“Tee in ciong dari Boe tong
pay!” seru beberapa orang (Tee in cion – Lompatan Tenaga Awan)
Memang benar lompatan Boe Kie
adalah Tee In Ciong yg tersohor dalam Rimba Persilatan. Diwaktu kecil Boe Kie
mengikuti ayah, Thay soehoe dan para pamannya.
Sehingga biarpun belum pernah
belajar ilmu silat Boe tong secara resmi, ia sudah banyak mendengar dan
melihat. Sesudah memiliki Kian koen tay lo ie sin kang, dengan mudah ia
mengolah segala rupa ilmu silat. Tadi, secara mendadak ia ingat lompatan Tee in
ciong dan waktu menjajalnya, ia berhasil secara wajar.
Pendekar2 Boe Tong, spt Jie
Liao Cioe, Boh Seng Kok dan yang lain2, tentu saja mahir dalam ilmu ringan
badan itu. Mereka bisa melayang2 ditengah udara, bagaikan burung. Tapi
melakukan lompatan Tee in ciong sambil menenteng seorang dewasa yg bertubuh
besar berat, adalah diluar kemampuan mereka.
Sementara itu, sambil menahan
napas orang2 Siauw Lim Pay mengawasi Goan Im yg berada dalam tangan Boe Kie.
Dengan sekali mengemplang, pemuda itu bisa menghancurkan kepala si pendeta.
Mereka tidak akan keburu menolong sebab Goan Im berada dalam jarak tujuh
delapan tombak. Jalan satu2nya yalah menimpuk dengan senjata rahasia. Tetapi
jalan itupun tak mungkin digunakan, sebab Boe Kie bisa menggunakan tubuh Goan
Im sebagai tameng, sehingga senjata rahasia akan berbalik mencelakai pendeta
itu sendiri. Demikianlah, meskipun didalam barisan Siauw Lim terdapat Kong tie
dan Kong Seng yg berkepandaian tinggi, mereka tidak berdaya.
Dengan mata menyala dan menggertak
gigi Boe Kie menggangkat Sian Thung. Hati semua murid Siauw Lim mencelos,
beberapa diantaranya meramkan mata krena tak tega menyaksikan kebinasaan Goan
Im.
Diluar dugaan, tongkat yg
sudah terangkat berhenti ditengah udara. Untuk beberapa saat, Boe Kie mengawasi
korbannya dengan paras muka yg sukar dilukiskan. Perlahan lahan kegusarannya
mereda dan perlahan lahan pula ia melepaskan Goan Im dari cekalannya.
Ternyata, pada detik yg sangat
genting tiba2 pemuda itu dapat menguasai dirinya. “Begitu lekas aku bunuh salah
seorang dari rombongan enam partai itu, aku bermusuhan dengan mereka semua dan
aku tak dapa memainkan peranan sebagai pendamai lagi.” Pikirnya. “Jika aku
gagal, permusuhan hebat ini tidak akan bisa dibereskan lagi.”