Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 40
Karena memikir begini Boe
lantas ingat juga Thio Sam Hong. Ia lantas merasakan dadanya panas. Hanya
sejenak ia lantas berpikir pula, “Thio Boe Kie telah mati!” srkarang ini akulah
seorang dusun, si Can A Goe yang sangat jelek rupanya! Asal aku tidak bisa
menyambarkan diri mungkin aku bakal menghadapkan malapetaka yg tak ada
habisnya! Tidak, di depan siapa pun, tdk dapat aku memperlihatkan diriku yg
asli, supaya ayah dan ibuku jangan berpenasaranterus didunia baka!”
Sekejap ia menjadi ingat pula
ayah angkatnya berdiam diri dipulau mencil yg tak dikenal dan tentang ayah dan
ibunya yang sudah binasa penasaran.
Selagi Boe Kie berpikir itu,
si gadis desa menyahuti dengan suara dingin. Sembari berkata itu dia tertawa.
“Soecie kau itu sudah
menghajar punggungku dengan kedua tangannya dengan pukulan Toe Chung Bong Hoa,”
ia kata. “Dia memukul aku, lantas tangannya patah sendirinya. Apakah waktu itu
aku pasti disesalkan dan dipersalahkan? Coba kau tanya soecie mu apakah pernah
aku membalas memukul dia sekalipun satu kali saja?”
Cio Cie Jiak berpaling kepada
kakak seperguruannya itu, romannya menanya.
Teng Bin Koen tidka memberi
jawaban, hanya dengan gusar dia kata: “Kau bawalah dia berdua kepada suhu,
supaya suhu yang memberi hukuman kepadanya!”
Mendengar itu Cie Jiak
berkata, “Jika mereka ini bertindak keliru bukan dengan sengaja, menurut
pandanganku baiklah urusan dihabiskan saja. Lebih baik kita menjadi sahabat2”.
Teng Bin Koen gusar.
“Apa?” dia berteriak. “Apakah
kau berbalik untuk membantui orang luar?”
Melihat romannya Teng Bin Koen
itu, Boe Kie ingat peristiwa itu malam ketika Pheng Eng Giok Hweeshio kena
dikeroyok didalam rimba, karena mana Kie Siauw
Hoe menjadi bentrok sama Teng
Bin Koen ini. Sekarang rupanya peristiwa ini mengulangi diri, Teng Bin Koen
kembali mendesak, memaksa adik seperguruannya ini, untuk bertindak sewenang2
dan kejam. Karena ini, ia menjadi berkuatir untuk Cie Jiak.
Agaknya nona Cioe sangant
menurut kepada sucinya itu, ia sangat menghormati. Sembari menjura ia berkata, “Baiklah
siaomoi menurut kata suci, tidka bernai siaomoi membantah nya.”
“Bagus!” kata Bin Koen.
“Sekarang kau boleh bekuk budak itu, kau patahkan kedua tangannya!”
“Baik!” menyahut adik
seperguruan itu. “Tolong suci berjaga2” Ia lantas berpaling kepada gadis dusun,
untuk berkata, “Maaf, siaomoi berlaku kurang aja, ingin ku menerima beberapa
jurus.”
Gadis desa itu tertawa dingin.
“Tak usah banyak pernik!” katanya. Dengan sebat sekali, ia lantas menyerang,
beruntun 3 kali. Sebab serangannya yang pertama dan kedua tidak memberikan
hasil.
Cie Jiak main mundur, tangan
kanannya menangkis, tangan kirinya mencoba menangkap. Itulah pembelaan diri
sambil menyerang. Dia bergerak lincah sekali.
Boe Kie menonton, ia menjadi
kagum. Didalam ilmu dalam, ia sudha mencapai puncak kemahiran, tetapi di dalam
hal ilmu silat, ia masih ketinggalan. Sekarang ia melihat kedua nona itu
bertempur cepat dan hebat. Lihati tangan Bian Ciang dari Cie Jiak, tetapi aneh
gerak gerik si gadis desa. Ia kagum berbareng berkuatir. Sebenarnya ia tidak
mengharap siapa jg yang menang, ia hanya ingin dua2nya tidak sampai terluka…
Dengan lekas orang sudah
bertarung lebih dari duapuluh jurus, sekarang mereka itu sama sama memasuki
babak yg berbahaya. Mendadak si gadis desa berseru. “Kena!” benar saja ia dapat
menghajar pundak Cie Jiak. Sebaliknya si nona Cioe dapat menjambret baju orang
hingga robek. Setelah itu, keduanya sama-sama melompat mundur, muka merekapun
sama-sama merah.
“Sungguh suatu ilmu menangkap
yang hebat!” si gadis desa berseru. Sebenarnya ia hendak maju pula, tapi ia
lantas melihat lawannya mengerutkan alis, tangannya meraba dadanya, tubuhnyapun
terhuyung dua kali, hampir roboh.
Boe Kie kaget hingga ia
berteriak, “Kau…kau….” Nyata sekali besar perhatiannya terhadap nona marga Cioe
itu.
Cie Jiak heran melihat pria
itu, yang rambut dan kumisnya panjang, menaruh perhatian sedemikian rupa
terhadapnya.
“Soe-moay, kau kenapa?” Bin
Koen bertanya heran.
Dengan tangan kirinya, Cie
Jiak memegang pundak sang Soe-cie, kepalanya digeleng.
Bin Koen heran kemudian ia
menjadi kaget. Tadi ia dikalahkan si gadis desa, ia penasaran ingin menuntut
balas, maka senang hatinya sang Soe-moay itu, adik seperguruan, sudah datang
kepadanya. Ia percaya Soe-moay ini bakal berhasil melampiaskan sakit hatinya
itu. Ia pernah mendengar guru mereka memuji sang Soe-moay sebagai murid yang
cerdas, yang majunya pesat, sehingga –Cioe Cie Jiak- diharap nanti dapat
mengangkat pamor rumah perguruan mereka, maka itu sekarang, ia memaksa sang
Soe-moay menempur si gadis desa. Ia berlega hati melihat Cie Jiak dapat
berkelahi hingga dua puluh jurus lebih. Itu tanda Soe-moay itu sudah lebih
menang darinya, maka ia heran melihat akhir pertandingan itu, bahkan ia
terkejut waktu ia merasa cekalan tangan Soe-moay di pundaknya. Tangan itu
seperti tidak ada tenaganya. Itulah tanda bahwa sang Soe-moay telah terluka.
Dari kaget ia menjadi takut, takut si gadis desa nanti merangsak untuk
menyerang pula.
“Mari kita pergi!” katanya
cepat. Ia membawa Soe-moay itu, untuk berlalu dengan cepat ke arah timur laut
tadi.
Si gadis desa mengawasi
kepergian lawannya lantas ia menoleh kepada Boe Kie. Ia tertawa dingin. “Hai,
si muka jelek tidak keruan!” katanya mengejek, “Melihat nona cantik, semangatmu
terbang hingga keluar langit!”
Boe Kie berniat membantah
ketika ia lantas berpikir. “Jikalau aku tidak memperlihatkan jati diriku,
urusan sukar dibuat jelas. Tapi baiklah aku tetap jangan bicara!” Maka ia
menjawab, “Perduli apa dia cantik atau tidak? Apa kaitannya dengan aku? Aku
justru menguatirkan kau, aku takut kau nanti terluka….”
Mendengar itu, si nona menjadi
girang. Perubahan sikapnya cepat.
“Omonganmu ini benar-benar
atau dusta?” dia bertanya.
“Sebenarnya aku menguatirkan
kalian berdua,” piker Boe Kie, tapi ia menjawab, “Untuk apa aku mendustai kau?
Aku hanya tidak menyangka dalam Go Bie-pay ada nona demikian muda tapi ilmu
silatnya sudah mahir sekali.”
“Hebat, ya hebat!” kata si
gadis desa.
Boe Kie mengawasi ke arah Cie
Jiak. Tadi nona itu datang dengan lincah, tapi sekarang pergi dengan langkah
terseok-seok. Ia lantas ingat bagaimana dulu, di dalam perahu di sungai Han
Soet, si nona menyuapi ia, meminumkan air, bagaimana ia diberikan sapu tangan
untuk menyusut air matanya…Itulah budi si nona. Maka mengingat begitu, ia
berdoa agar luka si nona tidak berbahaya…
Tiba-tiba gadis desa tertawa
dingin.
“Tak usah kau menguatirkan
dia!” katanya nyaring. “Dia tidak terluka sama sekali! Bahkan aku bilang dia
hebat! Bukan ilmunya yang aku maksud, tapi kecerdikannya, selagi ia masih
berusia demikian muda!”
Boe Kie heran.
“Apakah dia tidak terluka?” ia
tanya.
“Memang tidak! Ketika tanganku
mengenai pundaknya, dari pundak itu menolak keluar aliran tenaga dalam yang
membuat tanganku mental kembali. Jelaslah dia telah mempelajari ilmu Kioe Yang
Kang dari Go Bie-pay. Dan membuat tanganku gemetaran dan kesemutan! Dia mana
terluka?”
Boe Kie menjadi girang. Ia
berkata dalam hatinya, “Kalau begitu, Biat Ciat Soe-thay menghargai nona itu.
Dia rela menurunkan ilmu Kioe Yang Kang dari Go Bie-pay, sedangkan ilmu itu
adalah ilmu pelindung untuk partainya.
Tengah ia berpikir, Boe Kie
merasa kupingnya sakit. Tanpa setahunya, telinganya itu telah ditampar si nona,
pipinya juga kena, sehingga kuping dan pipinya menjadi merah dan bengap.
“Kau…kau bikin apa?” tegurnya
gusar.
Nona itu mendongkol, katanya
sengit. “Melihat orang demikian cantik semangatmu terbang naik keluar langit!
Aku bilang dia tidak terluka, lantas kau jadi kegirangan! Kenapa?”
“Jika benar aku girang
untuknya, apa kaitannya dengamu?” Boe Kie balik bertanya.
Tangan si nona melayang pula,
tapi Boe Kie dapat berkelit mundur.
Nona itu menjadi gusar dan
berseru.
“Kau telah bilang bahwa kau
telah bakal menikahi aku! Belum setengah hari lewat, pikiranmu sudah berubah!
Kau sudah kepincut nona lain!”
“Toh kau sendiri yang bilang
aku tidak cocok untukmu?” balas Boe Kie. “Kau pun bilang bahwa di dalam hatimu
ada seorang kekasih lainnya, kau tak dapat menikah denganku!”
“Itu benar! Tapi kau telah
berjanji padaku bahwa seumur hidupmu kau akan setia padaku,” kata si nona pula.
“Tentu sekali, apa yang telah
aku bilang akan kupegang,” kata Boe Kie pula.
“Kalau begitu?” kata si nona
gusar, “Kenapa setelah melihat nona cantik kau tak ada semangat seperti ini?
Melihat lagakmu ini bagaimana orang tidak mendongkol?”
Mau tidak mau, Boe Kie
tertawa.
“Semangatku tidak hilang!”
katanya.
Si nona masih berkata sengit,
“Aku larang kau menyukai dia! Aku larang kau memikirkan dia!”
“Aku tidak bilang bahwa aku
menyukai dia,” kata Boe Kie. “Tapi kau, di dalam hatimu mengapa kau senantiasa
mengingat seseorang lain. Kau mengingatnya hingga kau tidak melupakannya?”
“Sebab aku kenal orang itu
lebih dulu daripada aku kenal kau. Coba aku mengenal kau terlebih dahulu, pasti
seumur hidupku, aku selalu baik terhadap kau seorang, tidak akan mencintai
orang lain lagi. Ini dia yang dibilang, ikut satu orang hingga akhir hayatnya.
Jikalau satu orang mempunyai dua atau tiga pikiran, Tuhan juga tidak dapat
menerimanya?”
“Aku kenal nona Cioe jauh
lebih lama daripada aku kenal kau,” kata Boe Kie di dalam hati. Ia tidak dapat
mengatakan itu, maka ia bilang, “Jikalau kau baik denganku seorang, aku juga
akan baik dengan kau seorang, tetapi jikalau di dalam hatimu memikirkan orang
lain, aku pun dapat memikirkan orang lain!”
Nona itu terdiam, beberapa
kali ia hendak membuka mulutnya, tiba-tiba batal. Mendadak kedua matanya
mengalirkan air, lantas ia berpaling ke arah lain. Tanpa sepengetahuan Boe Kie,
ia menghapus air matanya itu.
Boe Kie menjadi kasihan. Ia
mencekal tangannya.
“Kita bicara tidak keru-keruan
begini, untuk apa?” ia bilang. “Beberapa hari lagi kakiku sembuh, kita berdua
boleh pergi pesiar memandangi keindahan sang alam. Tidak baguskah itu?”
Nona itu menoleh, wajahnya
berduka.
“Goe koko, aku mau minta
sesuatu,” katanya sabar. “Aku minta kau jangan gusar.”
“Apakah itu?” balik tanya Boe
Kie. “Asal yang aku sanggup, tentu aku akan melakukannya untuk kau.”
“Jikalau kau berjanji tidak
akan gusari aku, baru aku mau bicara.”
“Baik, aku tidak akan gusar.”
Nona itu ragu-ragu. Katanya
sesaat kemudian. “Kau bilang di hatimu tidak gusar, kalau di mulut bilang tak
gusar…”
“Baiklah, di dalam hatiku juga
aku tidak gusar.”
Nona itu lantas menggenggam
keras.
“Goe koko!” Ia berkata
sungguh-sungguh. “Aku datang dari Tionggoan yang berlaksa li sampai di wilayah
Barat ini, maksudku ialah untuk mencari dia. Mulanya aku masih dapat mendengar
sedikit kabar tentangnya, lalu setibanya di sini ia bagaikan sebuah batu yang
tenggelam dalam lautan besar, sedikitpun tak kudengar lagi kabarnya. Maka itu,
kalau nanti kakimu sudah sembuh aku minta kau membantuku mencari dia, sesudah
itu baru aku menemani kau pesiar ke gunung dan sungai! Tidakkah ini bagus?”
Boe Kie tidak dapat menahan
rasa tidak senangnya, hingga ia mengeluarkan suara di hidung. “Hmm….”
“Kau sudah menerima baik, kau
sudah berjanji tidak akan gusar,” kata si nona. “Apakah ini bukan tandanya
gusar?”
“Baiklah, aku nanti membantu
kau mencari dia!” kata Boe Kie.
Kembali si nona girang secara
mendadak.
“Goe koko, kau baik sekali,”
dia berseru. Lantas ia memandang jauh ke depan, ke arah di mana langit dan bumi
bertemu, hatinya bergetar. Dengan perlahan dia berkata, “Jikalau nanti kita
dapat menemukan dia, dia akan berpikir bahwa aku telah mencari dia lama sekali,
dia tidak akan mengusir aku. Apa yang dia bilang, aku akan melakukannya. Pendek
kata, aku akan turut segala perkataannya!”
“Sebenarnya kekasihmu itu ada
kebaikkan apa?” tanya Boe Kie. “Kenapa kau sampai selalu memikirkannya saja?”
Ditanya begitu, si nona
tertawa.
“Apa kebaikkannya?” katanya.
“Mana dapat aku menerangkan? Goe koko, aku tanya apakah kita dapat mencari dia?
Umpama kata kita dapat mencari, apakah dia bakal mencaci dan memukulku?”
Tidak senang Boe Kie melihat
orang demikian tergila-gila, akan tetapi ia pun tidak mau membuatnya tidak
bergembira, maka ia berkata perlahan, seperti bersenandung. “Asal hati manusia
keras bagaikan emas, di atas langit atau di dalam dunia pasti orang dapat
saling bertemu!”
Mulut mungil si nona bergerak
perlahan, air matanya berlinang. Ia mengulangi dengan perlahan. “Asal hati
manusia keras bagaikan emas, di atas langit atau di dalam dunia pasti orang
dapat saling bertemu….”
Boe Kie mendengar suara si
nona, katanya di dalam hati. “Nona ini demikian tergila-gila terhadap
kekasihnya, jikalau di dalam dunia ini ada seorang yang demikian memikirkan
aku, biar dalam hidupku lebih menderita lagi aku rela….”
Ia memandang ke arah timur
laut, di atas salju ia melihat tapk kakinya Cie Jiak dan Bin Koen, ia melamun
pula. “Jikalau tapak kakinya Bin Koen itu tapak kakiku, dapat berjalan bersama
nona Cioe….”
Ia terbangun dari lamunannya
dengan kaget. Mendadak ia mendengar suara keras dari si nona. “Hayo! Lekas!
Mari kita pergi. Kalau terlambat, nanti tak keburu!”
“Apa?” tanya Boe Kie masih
gelagapan.
“Nona muda dari Go Bie-pay itu
tidak mau bertempur sama aku,” kata si nona. “Ia berpura-pura terluka, tetapi
lain dengan Teng Bin Koen, dia bilang dia mau menangkap kita untuk dibawa
kepada gurunya. Itu berbahaya. Mestinya Biat Coat Soe-thay berada di dekat sini.
Pendeta wanita bangsat yang tua itu paling mau menang sendiri, mana bisa dia
tidak datang kemari?”
Boe Kie terkejut, ia pun
kuatir. Ia ingat kekejamannya Biat Coat Soe-thay ketika ia menghajar mati Kie
Siauw Hoe dengan sebelah tangannya.
“Memang dia sangat hebat, kita
tidak dapat melawannya,” katanya.
“Apakah kau pernah bertemu
dengan dia?”
“Bertemu, itulah belum, tapi
dia ketua Go Bie-pay, dia bukan sembarangan orang.”
Nona itu mengerutkan alis.
Hanya sebentar, ia lantas bekerja. Ia mengumpuli beberapa kayu yang kuat, ia
ikat itu dengan tali babakan pohon. Segera setelah selesai, membuat semacam
kursi bagaikan kereta. Tanpa bilang apa-apa ia lantas menggendong Boe Kie,
untuk duduk di dalam kursi itu, yang ujungnya diikatkan tali panjang, sesudah
itu ia terus tarik bawa pergi berlari-lari! Kencang larinya….
Sambil duduk di kereta salju,
Boe Kie mengawasi gadis desa yang tabiatnya aneh itu. Dia lari dengan lincah.
Dia lari terus menerus, tak hentinya sampai kira-kira empat puluh li. Sama
sekali tidak terdengar nafasnya menghela. Ia kagum akan kemahiran ilmu ringan
tubuh si nona itu. Tapi ia merasa tidak enak hati.
“Eh, berhenti dulu!” katanya,
“Kau beristirahatlah!”
Nona itu tertawa, ia
menyahuti, “Siapa eh, eh? Apakah aku tidak punya nama?”
“Kau tidak mau memberitahukan
namamu, apa yang aku bisa? Kau menghendaki memanggilmu si nona jelek, tapi aku
merasa kau bagus dilihat….”
Nona itu tertawa, lalu
berhenti berlari. Dia menyingkap rambutnya.
“Baiklah, sekarang aku
memberitahukan kepadamu!” katanya. “Taka pa aku bilang padamu. Aku dipanggil
Coe Jie.”
“Coe Jie! Coe Jie!” kata Boe
Kie. “Sungguh benar satu anak mustika!”
“Fui!” nona itu meludah.
“Namaku bukannya Coe dari Tin Coe yang berarti mutiara, hanya Coe dari Tin-coe,
yaitu laba-laba!”
Boe Kie tercengang.
“Mana ada orang yang pakai
huruf Coe untuk namanya?” katanya. Ia heran nona itu memakai nama Coe itu,
hingga ia menjadi Coe Jie (anak Coe atau si Coe).
“Itu justru namaku!” kata si
nona. “Umpama kata kau takut, nah, tak usahlah kau memanggilnya!”
“Apakah itu nama pemberian
ayahmu?” Boe Kie bertanya.
“Jikalau ayahku yang
memberikannya, kau piker, apakah kau kira aku suka menerimanya?” si nona
membalas, “Ibuku yang memberikannya. Ibu mengajarkan ilmu silat Cian Coe
Cit-hoe choe, maka ia bilang, aku baiknya memakai nama ini.”
Terkesiap Boe Kie mendengar
disebutnya ilmu silat Cian Coe Ciat-hoe choe itu.
“Aku mempelajari itu dari
kecil,” si nona menjelaskan tanpa diminta, “Sampai sekarang aku belum dapat
menyempurnakan. Jikalau aku sudah mahir maka tak usahlah kita takut pula pada
Coat Soe-thay si pendeta wanita bangsat itu. Maukah kau melihatnya?”
Sembari berkata begitu, Coe
Jie merogoh ke dalam sakunya, untuk menarik keluar sebuah kotak dari emas, yang
ia terus buka tutupnya dan di dalam itu lantas terlihat dua ekor laba-laba,
yang tubuhnya berkotak-kotak. Punggung laba-laba itu bertitik-titik belang,
bertotolan seperti bunga sulaman. Yang aneh pula kalau biasanya berkaki
delapan, kedua binatang ini berkaki masing-masing dua belas.
Boe Kie terkejut. Mendadak ia
ingat Tok Kang, Kitab Racun karangannya Ong Lan Kouw. Di dalam kitab itu
antaranya ada ditulis. “Laba-laba itu ada yang belang. Itulah yang beracun
sekali. Laba-laba dengan sepuluh kaki ialah yang paling beracun tak ada
bandingan, siapa kena digigit dia tak akan ketolongan lagi.” Kali ini laba-laba
berkaki dua belas pasti mereka lebih beracun daripada yang kakinya sepuluh.
Sebab di dalam kitab tersebut tidak ada disebut-sebut.
Si nona ketawa melihat
kawannya ketakutan.
“Kau ahli, kau tahu
kegunaannya laba-laba mustika ini!” ia berkata, “Kau tunggu sebentar!”
Ia simpan kotaknya itu lantas
ia lari menghampiri sebuah pohon besar, untuk lompat naik ke atasnya. Di situ
ia berdiam lama di cabang yang tertinggi, untuk memandang sekitarnya. Ia
seperti melihat atau mencari sesuatu. Setelah itu ia lompat turun lagi.
“Mari kita pergi pula barang
selintasan,” ia berkata. “Perlahan-lahan saja kita bicara tentang laba-laba.
“Ia lantas menarik pula kereta saljunya bermuatan manusia. dia berlari-lari
kira-kira tujuh atau delapan li, hingga mereka tiba di sebuah lembah. Di sini
ia turunkan Boe Kie dari kereta istimewanya itu, sebagai gantinya, dia memuat
beberapa buah batu besar. Lantas ia menarik pula, berlari-lari. Akhirnya ia
lari ke tepi jurang, di situ ia berhenti dengan tiba-tiba, keretanya
dilepaskan, maka kereta itu bersama batunya terjun ke dalam jurang yang dalam,
terdengar suara berisik dari jatuhnya kereta.
Boe Kie heran, ia mengawasi
kelakuan nona itu. Ketika ia melihat ke salju, tempat yang tadi menjadi jalanan
mereka, ia mendapatkan dua baris tapak kereta salju itu. Ia cerdas dan ia
lantas mengerti. Maka di dalam hatinya ia berkata.
“Nona ini sangat cerdik.
Jikalau Biat Coat Soe-thay menyusul kita, setibanya di sini, tentu dia bakal menyangka
bahwa kita jatuh mati ke dalam jurang itu.”
Coe Jie lantas kembali.
“Mari naik ke atas
punggungku!” ia berkata kepada kawannya, di depannya ia berjongkok.
“Kau hendak menggendong aku?”
tanya Boe Kie, “Tubuhku berat, kau bakal sangat letih.”
Nona itu mengawasi, matanya
melotot.
“Kalau aku letih aku pasti
bisa tahu?” ujarnya.
Boe Kie terdiam, ia naik ke
punggung nona itu, kedua tangannya merangkul leher si nona perlahan-lahan tanpa
bertenaga.
“Apa kau takut merangkul aku
keras-keras hingga mati tercekik?” kata nona itu tertawa. “Kau merangkul begini
pelan dan kakimu menjepit orang enteng sekali, kau membuat leherku geli saja!”
Boe Kie yang polos, melihat
kepolosan si nona ia menjadi girang. Ia lantas merangkul erat-erat dan kedua
kakinya menjepit keras.
Mendadak saja si nona
bergerak, untuk melompat naik ke atas pohon.
Pohon itu mengarah ke arah
barat, di sana terdapat barisan pohon lainnya. Bagaikan kera gesit, dengan
cepat nona itu berlompatan dari pohon yang satu ke pohon yang lain, untuk jauh
meninggalkan tempat di mana barusan singgah.
Boe Kie kagum bukan main. Nona
itu bertubuh kecil, tapi nyata dia kuat sekali. Tubuhnya dapat dibawa
berlompatan dan berlari-lari dengan ringan. Setelah melewati kira-kira delapan
puluh pohon, hingga mereka sudah pergi jauh. Baru nona itu melompat turun,
hingga sekarang mereka berada di pinggiran sebuah gunung. Di situ Boe Kie
diturunkan dengan hati-hati.
“Di sini kita membangun gubuk
kerbau!” kata nona itu tertawa, “Tempat ini baik!”
“Gubuk kerbau?” Boe Kie heran,
“Untuk apakah gubuk kerbau?”
Si nona tertawa.
“Memang gubuk kerbau!”
katanya. “Gubuk untuk menempatkan seekor kerbau yang besar! Bukankah kau
bernama A Goe, si kerbau?”
Boe Kie tersentak, lantas ia
pun tertawa. Nona itu sedang bergurau. Memang namanya A Goe, berarti kerbau.
“Bila begitu, tak usahlah,” ia
berkata. “Empat atau lima hari lagi, kakiku tentu sudah sembuh banyak, aku
dapat berjalan meskipun dipaksakan….”
“Hm, dipaksakan!” kata si
nona, tersenyum. “Kau sudah jadi si jelek tidak karuan, kalau nanti kaki
kerbaumu pincang, apa itu bagus dilihat?”
Habis berkata, si nona kembali
bekerja. Dengan cabang pohon yang berdaun, ia menyapu salju di batu gunung.
Mengertilah Boe Kie bahwa si
nona sangat memperhatikannya. Itulah bukti dari kata-katanya: “…kalau nanti
kaki kerbaumu pincang, apa itu bagus dilihat?” Tanpa terasa hatinya jadi
tergerak. Iapun lantas mendengar nona itu berjanji perlahan, berjanji sambil
bekerja. Dia tidak usah membuang waktu lama akan dapat membangun gubuk yang beratap
alang-alang. Gubuk itu cukup besar untuk mereka berdua bernaung di dalamnya.
Tapi Coe Jie masih bekerja
terus. Sekarang ia mengangkut salju tak hentinya. Ia menutup gubuk dari atas
atap, lalu ke bawah di sekitarnya. Di lain saat, dari tempat jauh gubuk itu
tidak kelihatan lagi, kecuali sebagai gundukan salju.
Kembali Boe Kie menjadi kagum.
Habis bekerja, Coe Jie
mengeluarkan sapu tangan untuk menyusut keringatnya. Setelah bekerja begitu
berat, tubuhnya kepanasan hingga ia mengeluarkan peluh. Namun ia tidak duduk
beristirahat.
“Kau tunggu di sini!” katanya.
“Aku hendak pergi mencari makanan!”
“Kau beristirahat dulu,” Boe
Kie berkata. “Aku belum lapar, kau boleh menunggu sebentar lagi. Kau terlalu
letih.”
Nona itu mengawasi.
“Jikalau kau hendak memperlakukanku
dengan baik kau harus sungguh-sungguh baik,” dia berkata. “Manis di mulut saja
buat apa?” Lantas ia pergi berlari memasuki hutan. Boe Kie terpaksa berdiam. Ia
merebahkan dirinya di batu gunung, yang terkurung gubuknya itu. Ia sekarang
mempunyai kesempatan untuk memikirkan kelakuan si nona yang polos itu, yang
suaranya halus, yang gerak-geriknya genit. Saking polosnya nona itu gampang
gusar. Mestinya gerak-gerik itu dipunyai seorang nona cantik, tetapi dia
berwajah jelek sekali. Tapi ia lantas ingat kata-kata ibunya di saat hendak
menghembuskan nafas terakhir. Kata ibu, “Wanita itu, makin cantik makin pandai
dia menipu orang maka terhadap wanita cantik kau harus semakin berhati-hati
menjaga diri!”
Coe Jie jelek, tapi dia baik
sekali,” pikirnya.
“Aku mempunyai niat mengambil
dia sebagai kawan hidupku, tapi dia mempunyai pacar sendiri jadi tidak menaruh
hati padaku….”
Tanpa terasa, lama juga Boe
Kie berpikir, lantas ia melihat si nona kembali dengan tangannya menenteng dua
ekor ayam hutan. Tanpa bicara nona itu bekerja menyalakan api, membakar ayam
itu, hingga mereka mencium bau yang wangi, yang membangkitkan selera makan.
“Mari makan!” kata si nona
akhirnya. Ia memberikan seekor pada kawannya.
Tanpa sungkan Boe Kie makan
ayam itu. Ia pun makan dengan cepat.
“Ini masih ada,” kata si nona
sambil tertawa. Ia melemparkan sisa dua potong kaki ayam.
Boe Kie malu hati, hendak ia
menolak. Tapi si nona gusar.
“Kalau mau makan, makanlah!”
katanya ketus. “Siapa berpura-pura baik terhadapku, mulutnya lain hatinya lain,
nanti kita tikam tubuhnya hingga berlubang!”
Tanpa banyak bicara Boe Kie
makan ayam itu. Kemudian, untuk mencuci mulutnya, ia pakai salju tebal sebagai
air. Lengan tangan bajunya menyusut kering mulutnya berikut mukanya.
Kebetulan Coe Jie berpaling
ketika ia melihat muka orang, dia tersentak kemudian mengawasi, Boe Kie heran,
ia menjadi curiga.
“Kenapa?” ia bertanya.
“Usiamu berapa?” tanya si nona
tanpa menjawab.
“Baru dua puluh tahun tepat.”
“Ah, kau lebih tua dua tahun
daripada aku. Mengapa kumismu sudah tumbuh begitu panjang?”
Boe Kie tertawa.
“Dari kecil aku hidup
sendirian di gunung,” sahutnya, “Belum pernah aku ketemu orang, maka itu aku
tidak berpikir untuk cukur.”
Coe Jie merogoh sakunya untuk
mengeluarkan sebilah pisau kecil yang bergagang emas.
“Mari!” katanya. Lantas dengan
memegangi muka orang, ia mulai mencukur.
Boe Kie diam saja. Ia merasa
pisau yang tajam itu mencukur kumisnya. Ia merasakan juga tangan yagn halus dan
lemas dari si nona. Tanpa terasa, hatinya dag dig dug…
Habis mencukur kumis dan
janggut, Coe Jie mencukur terus tenggorokan. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata,
“Asal aku menggunakan sedikit saja tenaga, aku bisa memotong lehermu ini, maka
terbanglah jiwamu! Kau takut tidak?”
“Mati atau hidup, aku terserah
pada kau, nona,” sahut Boe Kie. “Mati di tanganmu, menjadi setanpun aku
senang!”
Coe Jie membalik pisaunya, dan
menekan keras ke leher. Mendadak ia membentak, “Nih, jadilah kau setan yang
senang!”
Boe Kie kaget, tak sempat ia
melawan. Tapi ia tak merasakan sakit, maka ia tersenyum.
“Senangkah kau?” tanya si nona
tertawa.
Pemuda itu tertawa, ia
mengangguk. Baru ia tahu bahwa ia dipermainkan.
Habis mencukuri muka orang,
Coe Jie mengawasi. Ia bengong saja. Beberapa lama, lalu terdengar helaan
nafasnya.
“Eh, kau kenapa?” tanya Boe
Kie heran.
Nona itu tak menyahuti, ia
lantas memotong rambut orang, untuk dibikin sedikit pendek, setelah itu ia
membuat konde. Sebagai tusuk kondenya, ia meraut cabang pohon.
Diriasi begitu, walaupun
pakaiannya butut, Boe Kie tampak cakap dan gagah.
Lagi-lagi si nona menghela
nafas.
“Goe koko,” katanya perlahan,
kagum. “Aku tidak sangka, kau sebenarnya berwajah begini tampan….”
Boe Kie cepat menyahut, nona
itu tentu menyesali wajahnya sendiri, maka ia berkata, “Di dalam dunia ini, apa
yang bagus, di dalamnya suka mengeram apa yang jelek. Burung merak begitu indah
bulunya tapi nyalinya beracun. Jengger burung boo yan merahpun bagus sekali
tapi racunnya bukan main. Demikian binatang lainnya, seperti ular, bagus
dilihatnya tapi jahatnya berlebihan. Wajah tampan apa faedahnya? Yang penting
hatinya baik.”
Mendengar itu si nona tertawa
dingin.
“Hati baik apa faedahnya?” ia
tanya. “Coba kau jelaskan!”
Ditanya begitu, Thio Boe Kie
tidak segera dapat menjawab. Dia tersentak sejenak.
“Siapa berhati baik, dia tak
dapat melukai orang,” katanya kemudian.
“Tidak mencelakai orang apakah
kebaikannya?” tanya Coe Jie.
“Jikalau kau tidak membunuh
orang maka hatimu menjadi tenang,” Boe Kie menjelaskan.
“Jika aku tidak mencelakai
orang, hatiku justru tidak tenang,” kata si nona. “Kalau aku mencelakai orang
hingga hebatnya bukan kepalang hatiku barulah tenang dan girang.”
Boe Kie menggelengkan kepala.
“Itu artinya kau merampas peri keadilan!” katanya.
Si nona ketawa dingin.
“Kalau bukan mencelakai orang,
apa gunanya aku belajar ilmu Cian Coe Ciat-hoe coe?” katanya. “Kenapa aku mesti
menyiksa diri, hingga menderita tak habisnya? Apa itu untuk main-main saja!”
Habis berkata ia mengeluarkan
kotak kemalanya, membuka tutupnya dan memasukkan kedua telunjuknya ke dalam
kotak tersebut.
Sepasang laba-laba belang
dalam kotak bergerak perlahan-lahan, lantas mereka menggigit kedua telunjuk
itu. Si nona menarik nafas dalam-dalam, kedua lengannya gemetaran, tandanya ia
mengerahkan tenaga dalamnya melawan isapan laba-laba itu. Kalau si laba-laba
mengisap darah si nona, maka si nona menyedot masuk racun kedua binatang itu ke
dalam darahnya.
Boe Kie mengawasi saja. Ia
melihat wajah si nona bersungguh-sungguh, di kedua pelipisnya muncul warna
hitam, lantas nona itu mengertak gigi, tandanya ia menahan sakit. Selama
sejenak, dari hidungnya keluar keringat menetes.
Sekian lama Coe Jie melatih
ilmu itu. Sesudah kedua laba-laba mengisap puas darahnya, keduanya lantas
melepaskan gigitannya, merebahkan dirinya untuk terus tidur pulas.
Cahaya hitam di pelipis Coe
Jie lenyap dengan cepat, kulitnya menjadi segar kembali. Dia menghela nafas,
Boe Kie merasakan hawa nafas itu berbau harum, hanya berbeda, ia merasa
kepalanya pusing mau pingsan. Itulah tandanya hawa itu beracun hebat.
Coe Jie yang meram sejak mula,
membuka kedua matanya. Ia tersenyum.
“Sampai bagaimana latihan itu
baru sempurna?” tanya Boe Kie.
“Setiap laba laba ini,”
menyahut si nona, “mestinya tubuhnya dari belang menjadi hitam, dari hitam
menjadi putih. Dengan begitu habislah racunnya dan mati dengan sendirinya.
Racunnya masuk dalam telunjukku. Untuk menjadi sempurna, aku mesti menghabiskan
seribu laba laba. Untuk mencapai puncak kesempurnaan, aku harus menghabiskan
lima ribu sampai selaksa ekor masih belum cukup.”
Boe Kie heran, hatinya jeri.
“Dari mana didapatkan begitu
banyak laba laba belang?” tanyanya.
“Di satu pihak dia mesti
dipelihara, supaya dia dapat beternak,” menyahut Coe Jie, “Dilain pihak dia
mesti dicari di temapt kehidupannya.”
Boe Kie menghela nafas.
“Dikolong langit terdapat
banyak sekali ilmu kepandaian, mengapa mesti menyakinkan yang begitu beracun?”
katanya.
Si nona tertawa dingin,
“Memang amat banyak ilmu kepandaian di kolong langit ini, tetapi tidak ada satu
yang dapat melawan Ciat hoe cioe ini.” katanya. “Kau jangan anggap tenaga
dalammu sudah mahir, jikalau nanti aku telah berhasil melatih, tidak nanti kau
dapat bertahan, untuk satu tusukan saja telunjukku ini!”
Sambil berkata, si nona
menusuk batang pohon didekatnya. Sebab dia belum mahir dengan ilmunya itu,
jarinya hanya masuk setengah dim.
“Kenapa ibumu mengajar ilmu
ini?” Boe Kie tanya pula. Ia heran, “Apakah ibumupun mempelajarinya juga?”
Mendengar disebut ibunya, mata
Coe Jie tiba2 bersorot tajam dan bengis, bagaikan seekor raja hutan hendak
menerkam manusia, ia lantas berkata nyaring. “Siapa mempelajari Cian coe Ciat
hoe cioe ini, setelah ia menghabiskan delapan ratus ekor, hingga tubuhnya sudah
penuh dengan racun, romannya berubah, dan setelah seribu ekor, romannya akan
bertambah jelek. Ibuku telah menghabiskan hampir lima ratus ekor ketika ia
bertemu ayahku. Ia kuatir ayah tak menyukainya karena romannya sangat jelek, ia
terpaksa menghentikan latihannya. Kesudahannya ia menjadi wanita tanpa tenaga,
tenaganya lenyap, umpama kata, ia tak sanggup menyembelih seekor ayam. Benar ia
menjadi cantik tapi iapun lantas dihinakan madunya serta kakakku. Ia tak dapat
melawan, hingga akhirnya ia membuang jiwanya. Maka hm! Apa gunanya paras elok?
Ibuku seorang wanita sangat cantik dan halus, tapi sebab tak mendapat anak laki
laki, ayahku menikah pula….”
Sinar mata Boe Kie menyapu
wajah nona itu. “Jadinya kau……kau mempelajari ilmu….” Katanya perlahan.
“Benar!” si nona menyahut
cepat. “Karena belajar ilmu ini, romanku jadi jelek begini, hingga laki laki
tak berbudi itu tidak memperdulikan lagi padaku. Jikalau nanti pelajaranku
selesai, akan kucari padanya. Bila disisinya tidak ada lain wanita, ya sudah
saja….”
“Kau toh belum menikah
dengannya?” tanya Boe Kie. “Bukankah diantara kamupun tidak ada janji ikatan
jodoh? Hanya….hanya…”
“Omonglah terus terang!” kata
si nona. “Takut apa? Bukankah kau hendak membilang bahwa aku menyintai dia
sepihak saja, ialah hanya pihakku sendiri? Apa salahnya? Aku telah menyintai
dia, maka aku larang dia mempunyai lain pacar! Dia tak berbudi, biarlah dia
nanti merasai telunjukku ini, telunjuk Cian Coe Ciat-hoe cioe!”
Boe Kie tersenyum. Ia tidak
mau mengadu omong pula. Di dalam hatinya, ia merasa, bahwa Coe Jie bertabiat
luar biasa sekali. Baik, ia sangat baik, tapi selagi gusar ia sangat galak dan
tidak mengenal aturan lagi. Ia menjadi ingat pula kata2 guru besarnya, paman
gurunya yang kesatu dan kedua, bahwa di dalam Rimba Persilatan ada perbedaan
antara yang sesat dan yang lurus, maka ia percaya Cian Coe Ciat hoe cioe ini
ialah pelajaran sesat, bahwa ibunya Coe Jie mungkin seorang sebangsa siluman.
Karena ini, tanpa berasa, ia menjadi rada jeri terhadap si nona……
Coe Jie tak mendapat tahu apa
yang orang pikir, ia berlari lari keluar dan kedalam, mondar mandir, memetik
berbagai macam bunga, maka dilain saat gubuk mereka telah terpajang rapih,
menarik hati untuk dipandang.
“Coe Jie” kata Boe Kie,
“Setelah sakit kakiku sembuh, aku nanti pergi mencari daun obat obatan untuk
mengobati bengkak mukamu yang beracun itu…..”
Mendengar itu, si nona
nampaknya ketakutan.
“Tidak, tidak!” katanya “Aku
telah menyiksa diri sekian lama, baru kuperoleh kepandaian seperti ini! apakah
kau hendak memusnahkan kepandaianku?”
“Bukan!” katanya cepat.
“Mungkin kita dapat memikir semacam obat. Memakai mana kepandaianmu boleh tak
usah lenyap, asal keracunan di muka saja yang hilang tak berbekas”.
“Tidak dapat!” si nona berkata
pula. “Bila ada semacam obat atau cara, mustahil ibuku tak mendapat tahu?
Kepandaian ini adalah kepandaian turunan. Kupikir, yang bisa berbuat itu
mungkin Cuma Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe yang lihay ilmu pengobatannya, hanya
sayang banyak tahun dia telah meninggal dunia”.
“Kau kenal Ouw Ceng Goe?”
tanya Boe Kie.
Coe Jie mementang matanya, ia
kelihatannya heran.
“Apa?” katanya. “Adakah aneh
untuk mengetahui dia? Nama Tiap Kok Ie Sian toh memenuhi seluruh negara!
Siapakah yang tidak tahu?” ia menghela nafas, dan ia berkata pula. “Taruh kata
dia masih hidup, apakah gunanya itu? Dialah yang dijuluki ‘Melihat kematian tak
menolong’!”
Boe Kie tidak membilang apa
apa, akan tetapi didalam hatinya, ia berkata “Nona ini sangat baik terhadapku,
mesti aku balas kebaikkannya ini. dia tidak tahu semua kepandaiannya Tiap kok
iIe sian telah diwariskan kepadaku. Baiklah, sekarang aku jangan membilang apa2
padanya, hanya dibelakang hari nanti, aku dayakan untuk mengobati mukanya ini,
supaya dia kaget dan girang!”.
Selama itu, langit sudah
gelap, maka keduanya lantas rebah bersandar di batu gunung untuk tidur. Boe Kie
dapat pulas, hanya tengah malam, ia mendusin dengan tiba tiba, telinganya
mendengar tagisan isak2 tertahan. Ketika ia membuka matanya, kawannya lagi
menangis sedih. Ia mengulur tangannya meraba pundak nona itu, menepuk dua kali.
“Jangan nangis, Coe Jie” ia
menghibur. “Jangan bersusah hati….”
Tapi justru karena ditegur,
Coe Jie tidak dapat menahan lagi kedukaannya. Dengan menyenderkan kepalanya
dipundak orang ia menangis mengerung2.
“Kau kenapa Coe Jie?” Boe Kie
tanya perlahan. “Ada apa? Apakah kau ingat ibumu? Benarkah?”
Coe Jie menggangguk perlahan.
“Ibu telah menutup mata.”
Katanya. “Aku jadi sebatang kara. Siapa juga tidak menyukai aku….., siapa juga
tidak mau baik denganku…”
Boe Kie menggunakan tangan
bajunya untuk mengelap air mata nona itu.
“Aku menyukai kau, aku dapat
berlaku baik terhadapmu,” sahut Coe Jie. “Orang yang kucintai tidak perdulikan
aku, ia memukul aku, iapun mau menggigit aku…..”
“Lupakan laki2 tidak berbudi
itu,” kata Boe Kie “Aku akan menikah dengan kau, seumurku nanti akan perlakukan
kau dengan baik.”
“Tidak! Tidak!” Coe Jie
berseru. “Tidak dapat aku melupakan dia! Jikalau lagi sekali kau menganjurkan
aku melupakan dia, untuk selamanya aku tidak akan peduli padamu!”.
Boe Kie heran, malu dan
jengah. Syukur cuaca gelap, jika tidak, akan terlihat mukanya yang merah.
Keduanya berdiam.
“A Goe koko, apakah kau gusar
padaku?” kemudian nona itu bertanya.
“Aku tidak gusar, aku hanya
menyesalkan diriku sendiri.” Jawabnya. “Tidak selayaknya aku bicara seperti
barusan padamu”.
“Tidak, tidak demikian. Kau
bilang kau suka menikah denganku, bahwa seumurmu kau hendak perlakukan baik
padaku. Senang aku mendengar kata2mu itu. Coba kau mengulangi sekali lagi.”
Tapi Boe Kie menjadi tidak
senang.
“Kau tidak dapat melupakan
orangmu itu perlu apa aku bicara lagi?” katanya.
Coe Jie mencekal tangannya Boe
Kie dan berkata dengan suara lemah lembut. “A goe koko, jangan kau gusar. Aku
mengku bersalah. Kalau kau benar2 menikah denganku, kubisa membutakan kedua
matamu dan mungkin juga, aku akan mengambil jiwamu”.
Boe Kie kaget. “Apa kau kata?”
ia menegas. “Sesudah kedua matamu buta, kau tak akan bisa melihat lagi romanku
yang jelek” katanya perlahan “Kau tak akan bisa lagi memandang lagi wajah nona
Cioe dari Goe Bie pay yang cantik manis. Andaikata, sesudah buta, kau masih
juga belum dapat melupakan dia. Aku akan membinasakan kau dan kemudian
mengambil jiwa sendiri.” Ia memberi jawaban yang hebat itu dengan suara tenang2
saja, seolah2 apa yang dikatakannya adalah hal yang wajar. Waktu mendengar “nona
Cioe dari Goe Bie pay” jantung Boe Kie memukul terlebih keras.
Mendadak, baru saja Coe Jie
selesai bicara di kejauhan terdengar suara seorang tua.
“Nona Cioe dari Goe Bie pay
mempunyai hubungan apakah dengan kamu berdua?”
Coe Jie melompat bangun. “Biat
Coat Soe thay!” bisiknya.
Tapi, biarpun ia hanya
berbisik, perkataannya sudah didengar oleh orang itu yang lantas saja menjawab.
“Benar, Biat Coat Soe thay” Waktu orang itu berbicara pertama kali, ia masih
berada jauh tapi waktu bicara kedua kali, ia sudah berada disamping gubuk.
Coe Jie mengenal bahaya. Ia
sebenarnya ingin kabur dengan mendukung Boe Kie, tapi sudah tidak keburu lagi.
Sesaat kemudian, orang itu
membentak dengan suara dingin. “Keluar! Apa kamu mau bersembunyi seumur hidup?”
Sambil memapah dan menyekel
tangan Boe Kie, Coe Jie menyingkap tirai rumput dari gubuknya dan bertindak
keluar. Dalam jarak kira2 setombak dari gubuknya, berdiri seorang pendeta tua
yang rambutnya putih dan ia itu memang bukan lain daripada Ciang boen jin Goe bie
pay Biat coat Soethay. Dari sebelah kejauhan mendatangi dua belas orang yang
kemudian berdiri berjejer di kedua samping pendeta wanita itu. Mereka itu
adalah murid2 Goe bie pay empat nie kouw (pendeta wanita) empat orang wanita
biasa dan empat laki2 yang berdiri di barisan belakang dan diantaranya mereka
terdapat Teng Bin Koen dan Cioe Cie Jiak.
Dalam kalangan Goe bie pay
selama beberapa turunan, yang memegang tampuk pimpinan selalu wanita dan murid
lelaki tidak pernah diberikan pelajaran ilmu silat yang paling tinggi, sehingga
oleh karenanya, kedudukan murid lelaki lebih rendah daripada murid wanita.
Dengan sorot mata dingin,
tanpa mengeluarkan sepatah kata, Biat Coat Soethay mengawasi Coe Jie.
Mengingat kebinasaan Kie Siauw
Hoe, Boe Kie sangat berkuatir. Sambil menyandarkan diri di punggung Coe Jie,
diam2 dia mengambil keputusan, bahwa jika si pendeta wanita menyerang, mestipun
mesti binasa, ia akan mengadu jiwa.
Beberapa saat kemudian, seraya
mengeluarkan suara di hidung, Biat Coat mengenok ke arah Tian Bin Koen dan
bertanya “Apa budak kecil itu?”
“Benar!” jawabnya.
Tiba2, “Krak!….krak!….” Coe
Jie mengeluarkan suara kesakitan, tulang kedua pergelangan tangannya patah, dan
ia rebah dalam keadaan pingsan.
Boe Kie sendiri terpaku dan
ternganga. Ia hanya melihat berkelebatnya bayangan warna abu2 dan Coe Jie sudah
terguling. Dengan kecepatan luar biasa ia menyerang, dan dengan kecepatan luar
biasa pula, ia balik ke tempatnya yang semula, dimana ia kembali berdiri tegak
bagaikan satu pohon tua di tengah malam yang sunyi itu. Gerakan yang secepat
itu sudah mrengaburkan mata Boe Kie yang jadi terkesima dan hanya bisa
mengawasi tanpa berdaya.
Sesudah memperlihatkan
kepandaiannya, denga sorot mata bengis Biat Coat mengawasi Boe Kie. “Pergi!”
bentaknya.
Cioe Ci Jiak maju setindak dan
berkata seraya membungkuk. “Soehoe ia tidak dapat berjalan, mungkin kedua
tulang betisnya patah.”
“Buatlah dua buah soat kio
untuk membawa mereka”, memerintah sang guru (Soat kio semacam kereta salju
tidak beroda).
Murid2 itu mengiakan dan
kecuali Teng Bin Koen yang belum sembuh dari lukanya, mereka segera melakukan
apa yang diperintah. Sesudah selesai, dua orang murid wanita lalu mengangkat
Coe Jie dan lalu menaruhnya di kereta yang satu, sedang dua orang murid pria
menaruh Boe Kie di kereta yang lain. Sambil menyeret kedua kereta itu, mereka
mengikuti Biat Coat ke arah barat.
Dengan penuh kekuatiran, Boe
Kie memasang kuping untuk mendengari gerak gerik Coe Jie. Sesudah melalui
belasan li, barulah ia mendengar rintihan si nona. “Coe Jie bagaimana
keadaanmu?” tanyanya dengan suara nyaring. “Apakah kau mendapat luka didalam?”.
“Dia mematahkan pergelangan
tanganku. Tapi aku tidak mendapat luka di dalam” jawabnya.
“Bagus” kata Boe Kie,
“Gunakanlah sikut kiri untuk membentur lengan kananmu, tiga coen lima hoen
dibawah tekukan lengan. Sesudah itu, gunakanlah skut kananmu untuk membentur
lengan kiri, tiga coen lima hoen dibawah tekukan lengan. Dengan berbuat begitu,
rasa sakit akan berkurang”.
“Sebelum Coe Jie menjawab,
Biat Coat sudah mengeluarkan suara “Ih!” dan mengawasi Boe Kie dengan mata
mendelik “Bocah! Kau mengerti ilmu ketabiban.” Katanya “Siapa namamu?”
“Aku she Can, namaku A Goe”
jawabnya.
“Siapa gurumu?” tanya pula si
nenek.