Bagian 25
Jilid 21
Song Wan Kiauw adalah kepala
dari Boe tong cit hiap dan namanya telah menggetarkan seluruh Rimba Persilatan.
Bagi ahli silat yang biasa untuk menemuinya saja, sudah bukan gampang. Dalam
beberapa tahun yang belakangan, baru Boe tong Cit hiap mulai menerima murid.
Tapi dalam penerimaan murid itu selalu dilakukan pemilihan dan penyaringan yang
sangat keras. Hanyalah orang orang yang berbakat dan beradat baik barulah di
terima menjadi anggauta Boe tong pay. Siang Gie Coen adalah seorang anggauta
"agama" sesat. yang dipandang jijik oleh masyarakat seumumnya. Maka
itu tawaran Thio Sam Hong merupakan juga rezeki luar biasa pemuda itu.
Tapi, diluar dugaan, Gie Coen
menjawab dengan sikap hormat: "Bahwa aku, Siang Gie Coen telah mendapat
penghargaan yang begitu tinggi dari Thio Cinjin, bukan main rasa terima
kasihku. Akan tetapi, sesudah menjadi anggauta Beng kauw seumur hidup aku tak
berani membelakangi agamaku itu"
Sam Hong coba membujuk lagi,
tetapi pemuda itu tetap menolak dengan hormat dan tegas. beberapa saat
kemudian, dengan rasa menyesal, ia lalu mendukung Boe Kie seraya berkata:
"Kalau begitu, biarlah kita berpisahan disini saja," Dalam kata-kata
perpisahan itu, ia malah tidak mengucapkan perkataan, "sampai bertemu
lagi," yang lazimnya digunakan.
Sebelum tuan penolong itu
meninggalkan perahu, sekali lagi Siang Gie Coen menghaturkan terima kasih
dengan berlutut.
"Thio Toako," kata
si nona cilik kepada Boe Kie, "setiap hari kau harus makan kenyang
kenyang, supaya Loo too-ya jangan jengkel."
Air mata Boe Kie lantas saja
mengembang dan dengan suara putus-putus ia menjawab: "Terima kasih untuk
kebaikanmu.... Tapi aku hanya bisa makan nasi beberapa hari saja."
Bukan main rasa dukanya kakek
guru itu. Ia mengangkat lengannya dan menggunakan tangan jubah untuk menyusut
air mata cucu muridnya.
"Apa?" menegas Tit
Jiak dengan suara kaget "Kau...kau..."
"Nona kecil, hatimu
sangat mulia," kata Sam Hong, "Aku mendoakan supaya dibelakang hari
kau jalan dijalanan yang lurus"
"Terima kasih atas
nasehat Loo too-ya," jawab Cioe Tit Jiak.
"Thio Cinjin,"
tiba-tiba Gie Coen berkata, "kau memiliki Lweekang dan kepandaian yang
sangat tinggi. Biarpun luka saudara kecil itu sangat berat, aku percaya kau
akan dapat menyembuhkannya."
"Benar," kata Sam
Hong yang tanpa dilihat Boe Kie, sudah menggoyangkan tangan kirinya sebagai
keterangan kepada Gie Coen, bahwa lukanya bocah itu tidak dapat diobati lagi.
Gie Coen terkejut. "Thio
Cinjin," katanya pula, "aku sendiri telah mendapat luka yang sangat
berat dan sekarang aku justeru ingin meminta pertolongan dari seorang tabib
malaikat. Mengapa Thio Cinjin tidak mau mencoba-coba?"
Thio Sam Hong menundukkan
kepala. "Semua pembuluh darahnya telah terbuka, sehingga racun dingin bisa
membuyar dan masuk kedalam perutnya," katanya dengan suara perlahan.
"ia tidak akan dapat disembuhkan dengan memakai obat biasa dan didalam
dunia, tak seorangpun bisa mengobatinya."
"Tapi," kata Siang
Gie Coan, "tabib malaikat yang dimaksudkan olehku memiliki kepandaian luar
biasa tinggi, sehingga kata orang ia malah mampu menghidupkan mayat."
Sam Hong terkejut dan mendadak
saja, ia ingat satu orang. "Apakah yang dimaksudkan olehmu bukan Tiap-kok
Ie sian?" tanyanya.
"Benar," jawabnya.
"Kalau begitu, Tootiang pun mengenal Ouw Soepehku."
Guru besar itu kelihatan agak
bersangsi. Memang sudah lama ia mendengar nama Tiap kok le Sian Ouw Ceng Goe
yang dipandang rendah oleh orang Rimba Persilatan. Ia mempunyai adat yang
sangat aneh. Kalau orang yang sakit atau terluka anggauta "agama"nya,
ia segera menolongnya dengan sepenuh tenaga tanpa mau menerima bayaran apapun
jua. Tapi, kalau yang memohon pertolongan bukan pengikut "agama",
biarpun dibayar dengan laksaan tail emas, ia tak akan meladeni.
"Aku lebih suka Boe Kie
mati dari pada menyerahkan nya kepada orang dari agama sesat itu," katanya
didalam hati.
Melihat kesangsian Sam Hong,
pemuda itu dapat menebak apa yang dipikirnya dan ia lantas saja berkata:
"Thio Cinjin, meskipun Ouw Soepeh biasanya menolak untuk mengobati orang
luar, tapi karena Thio Cinjin telah menolong jiwa Cioe Kouw nio, ia pasti akan
membuat kecualian. Andaikata ia menolak, Gie Coen pasti tak mau mengerti."
Sam Hong menghela napas dan
berkata dengan suara duka: "Mengenai kepandaian Ouw Sinshe, sudah lama aku
mendengarnya. Hanya sayangnya, racun dingin yang mengeram didalam tubuh Boe Kie
sekarang ini tidak akan dapat disembuhkan dengan obat biasa...."
"Thio Cinjin!"
teriak Gie Coen. "Mengapa kau begitu bersangsi? Kalau diobati oleh
Soepehku, paling banyak saudara kecil itu tidak sembuh. Kalau kekiri mati,
kekananpun mati, perlu apa Tootiang memikir panjang?"
Sebagai orang yang beradat
polos, ia bicara segala apa yang berkelebat diotaknya.
Mendengar "kekiri mati,
kekananpun mati", hati guru besar itu bergoncang keras. "Apa yang dikatakan
olehnya memang tidak salah," pikirnya. "Menurut penglihatanku, paling
banyak Boe Kie bisa bertahan dalam tempo sebulan lagi." Mengingat begitu,
ia lantas saja berkata: "Gie Coen, baiklah, aku minta pertolonganmu. Akan
tetapi, sebelum pertolongan diberikan, aku ingin menjelaskan terlebih dulu,
bahwa Sinshe tidak boleh membujuk atau memaksa Boe Kie masuk kedalam agama
kalian. Disamping itu, jika Boe Kie benar menjadi sembuh, Boe tong pay tidak
menanggung budi agama kalian."
"Thio Cinjin," kata
Gie Coen, "dengan berkata begitu, kau jadi memandang terlalu rendah kepada
orang-orang kami." Ia berpaling kepada Cioe Tit Jiak dan berkata puta:
"Cioe Kauwnio, aku ingin kau mengikut Thio Cinjin untuk sementara waktu.
Apa kau suka?"
Sebelum si nona menjawab, Sam
Hong sudah mendahului: "Apa?"
"Aku tahu bahwa Thio
Cinjin tidak suka pergi kepada Ouw Soepehku," kata Gie Coen. "Dapat
dimengerti, bahwa lurus dan sesat tidak bisa berdiri berendeng. Thio Cinjin
adalah seorang guru besar pada jaman ini. Cara bagaimana Thio
Cinjin bisa meminta
pertolongan dari seorang anggauta agama sesat? Disamping itu, adat Ouw Soepeh
juga aneh sekali. Jika ia bertemu dengan Thio Cinjin, mungkin sekali Ia tidak
berlaku sopan santun, sehingga pertemuan itu bisa berakibat sebaliknya daripada
apa yang diharap. Maka itu, menurut pendapatku, sebaiknya saudara Thio dibawa
olehku sendiri. Tapi, akupun mengerti, bahwa Thio Cinjin merasa sangsi untuk
menyerahkan saudara Thio kepadaku. Maka itulah, aku minta Cioe Kouwnio berdiam
di Boe tong san untuk sementara waktu. Nanti, sesudah saudara Thio sembuh, aku
akan mengantarkannya ke Boe tong san dan sekalian mengambil pulang Cioe
Kouwnio. Dengan perkataan yang lebih tegas, aku ingin minta Cioe Kauwnio
mengikut Thio Cinjin untuk dijadikan semacam tanggungan."
Dalam pergaulannya selama
puluhan tahun, Thio Sam Hong selalu berterus terang dan menaruh kepercayaan
kepada orang-orang Rimba Persilatan. Akan tetapi, Thio Boe Kie adalah turunan
tunggal dari muridnya yang tercinta, sehingga memang benar ia sangat bersangsi
untuk menyerahkannya kepada seorang dari kalangan "agama" sesat.
Sebelumnya guru besar itu
sempat menjawab, Siang Gie Coen sudah berkata pula "Cioe Cie Ong, Cioe
Toako, adalah seorang yang bener-benar luhur pribudinya. Sesudah gagal dalam
gerakannya di Sin yan, duapuluh tiga anggauta keluanganya telah dibinasakan
oleh Tat-coe. Bahkan ibu Toako yang sudah berusia tujuhpuluh delapan tahun,
tidak luput dari kebinasaan. Sesudah bertempur mati-matian, barulah aku dapat
menolong seorang putera dan seorang putrinya. Tak dinyana, Siauw kongcoe telah
binasa terpanah musuh sehingga Kauwnio merupakan turunan yang satu-satunya dari
Ciao Toako. Sebagai salah seorang pemimpin Beng kauw, Cioe Toako mempunyai
banyak musuh. Bukan saja Tat coe, tapi musuh musuh lainnya pun akan menyukarkan
Thio Cinjin jika mereka tahu, bahwa Cioe Kauwnio berada di Boe tong..."
Tanpa merasa Sam Hong tertawa.
Sebelum ia menyanggupi untuk menerima Cioe Tit Jiak, pemuda yang polos itu
sudah memperingatkannya. Ia berdiri bengong beberapa saat. Memang juga, lain
jalan tidak ada, kekiri mati, kekananpun mati, jalan satu-satunya yalah mencoba
coba kepandaian Tiap-kok Ie sian. Mengingat begitu, ia lantas saja berkata:
"Gie Coen baiklah. Aku akan merawat Cioe Kauwnio baik baik dan kaupun
harus merawat Boe Kie sebaik baiknya. Sesudah anak itu sembuh, kuharap kau
lekas-lekas datang di Boe tong san."
"Thio Cinjin tak usah
kuatir," jawabnya dengan suara lantang. "Aku pasti akan menunaikan
tugas dengan sepenuh tenaga"
Sehabis berkata begitu, ia
melompat kedarat dan membuat sebuah lubang ditanah dengan ujung golok,
kemudian, sesudah membuka semua pakaian yang menempel dimayat majikan kecilnya,
ia lalu menguburnya dalam keadaan telanjang.
Sesudah itu, bersama Cioe Tit
Jiak, ia memberi hormat didepan kuburan. Nona Cioe menangis sedih, sedang ia
sendiri berdiri tegak sambil menahan mengucurnya air mata.
Mayat bocah itu dikubur dalam
keadaan telanjang adalah sesuai dengan kebiasaan Bang kauw. Menurut
"agama" itu, seorang manusia yang dilahirkan kedalam dunia dengan
tidak memakai pakaian, haruslah berpulang ke alam baka dalam keadaan begitu
juga. Sam Hong yang tidak tahu sebab musabab penguburan yang aneh itu, hanya
menhela napas dengan perasaan, bahwa sepak terjang orang-orang "agama"
sesat benar-benar sesat.
Pada keesokan paginya, sambil
menuntun Tit Jiak, guru besar itu berpisahan dengan Gie Coen dan Boe Kie.
Semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia, Boe Kie menganggap sang kakek guru
seperti kakeknya sendiri. Sekarang secara mendadak kakek guru itu
meninggalkannya, sehingga tanpa tertahan lagi, air matanya mengucur deras.
"Boe Kie," kata Sam
Hong sambil mengusap usap kepala anak itu. "Sesudah kau sembuh Siang Toako
akan membawa kau pulang ke Boe tong. Kita hanya berpisahan untuk beberapa bulan
dan kau tak perlu bersusah hati."
Anak itu yang kaki tangannya
sudah tidak bisa bergerak akibat totokan sang kakek guru, hanya
manggut-manggutkan kepala, sedang air matanya mengucur.
Melihat begitu, nona Cioe
segera kembali keperahu. Ia mengeluarkan sehelai sapu tangan kecil dari sakunya
dan lalu menyusut air mata Boo Kie. Ia bersenyum dan sesudah memasukkan sapu
tangan itu ditangan baju Boe Kie, barulah ia melompat balik kedarat.
Hati Sam Hong bergoncang.
"Nona kecil itu, sangat cantik dan dihari kemudian, ia pasti akan menjadi
seorang wanita yang ayu luar biasa," pikirnya. "Sesudah Boe Kie
sembuh, aku tidak boleh membiarkan mereka bertemu muka lagi. Jika mereka sampai
saling menyinta, hikayat Coei San mungkin akan terulang lagi."
Dengan hati duka, Boe Kie
mengawasi bayangan sang kakek guru yang menuju ke arah barat sambil menuntun
tangan nona Cioe, yang tidak berhentinya mengulap-ulapkan tangan, sehingga
bayangannya menghilang diautara pohon-pohon.
Sesaat itu, hati si bocah
mencelos, benar-benar ia merasa hidup sebatang kara dalam dunia yang lebar ini
dan air matanya kembali mengucur.
Gie Coen mengerutkan alis.
"Saudara Thio, berapa usiamu?" tanyanya.
"Dua belas tahun,"
jawabnya.
"Hm... " Gie Coen
mengeluarkan suara di hidung. "Usia dua belas tahun bukan anak anak lagi.
Apa kau tak malu, menangis? Waktu aku berusia duabelas tahun, aku sudah
menerima pukulan ratusan kali, tapi tidak setetes air mata keluar dari mataku.
Seorang laki-laki sejati hanya boleh mengucurkan darah, tak boleh mengucurkan air
mata. Kalau kau terus menangis seperti bayi, aku akan hajar kau."
Melihat kegarangan si brewok,
Boe Kie jadi agak keder. "Baru saja Thay soehoe pergi, kau sudah begitu
galak." pikirnya. "Entah berapa besar kesengsaraan yang bakal
diderita olehku." Mengingat begitu, ia lantas saja berkata dengan suara
nyaring. "Aku menangis karena merasa sedih harus berpisahan dengan Thay
soehoe. Aku belum pernah menangis sebab pukulan. Mau pukul boleh kau pukul.
Kalau hari ini kau memukul aku satu kali, dihari kemudian nanti aku akan
membalas sepuluh kali."
Gie Coen tertawa
terbahak-bahak, "Bagus! Bagus !" katanya. "Itulah perkataan
seorang laki laki. Kau begitu liehay, tak berani aku memukul kau."
"Mengapa ? Aku sedikitpun
tidak bisa bergerak," kata si bocah.
"Kalau hari ini aku
memukul kau, dikemudian hari, sesudah kau memiliki kepandaian tinggi, bagaimana
aku kuat menerima sepuluh kali pukulanmu ?" jawabnya.
Boe Kie tertawa. Ia merasa
bahwa meskipun garang, Siang Toako bukan seorang jahat.
Dengan mengunakan perahu,
mereka menuju ke Han kouw dan sesudah tiba di Han kouw, Gie Coen menyewa lain
perahu dan berlayar kealiran sebelah bawah dari Tiangkang timur.
Tiap kok, atau selat kupu
kupu, tempat tinggal Tiap kok Ie sian terletak di pinggir telaga Lie san ouw,
sebelah utara propinsi An hoei. Sebagaimana diketahui, dari Han kouw sampai di
Kioe kang, sungai Tiang kang mengalir kejurusan tenggara. Sesudah melewati Kioe
kang, sungai itu membelok kearah timur laut dan masuk ke propinsi An hoei.
Boe Kie berlayar dengan perasaan
duka. Ia ingat bahwa pada dua tahun berselang, ia pernah berlayar di sungai
Tiangkang bersama sama kedua orangtuanya dan pa man Jie Lian Cioe. Selama dalam
pelayaran, ia gembira bukan main, tetapi sekarang, kedua orang tuanya sudah
meninggal dunia secara mengenaskan, kaki tangannya tidak bisa bergerak dan ia
sendiri berada dalam rawatan seorang sahabat baru dalam perjalanan untuk
memohon pertolongan kepada seorang aneh. Antara kedua pelayaran itu terdapat
perbedaan seperti langit dan bumi. Ia bersedih, tapi sebisa bisa ia menahan
mengucurnya air mata, karena kuatir ditertawai olen Siang Toakoo.
Setiap hari, pada Coe sie
(antara jam 11 malam dan jam 1 lewat tengah malam) dan Ngo sie (antara jam 1
siang sampai jam 1 lohor), racun dingin mengamuk dalam tubuhnya. Sambil
mengertak gigi dan menggigit bibir, ia menahan sakit, sehingga bibirnya sampai
tertuka akibat gigitan. Di samping itu, makin hari serangan racun makin hebat.
Pada suatu hari mereka tiba di
Kwa po, sebelah bawah Cip keng (sekarang Nan king). Dengan mendukung Boe Kie,
Gie Coen mendarat dan lalu menyewa kereta untuk meneruskan perjalanan ke utara.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Beng Kong, di sebelah timur Hong yang.
Gie Coen tahu bahwa Soepehnya
yang beradat aneh itu paling tidak senang tempat tinggalnya di ketahui orang.
Maka itu, pada waktu kereta berada dalam jarak kira-kira dua puluh li dari Lie
san ouw, ia segera turun dari kereta dan sambil menggendong Boe Kie, lalu
melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.
Tapi diluar dugaannya, baru
saja ia berjalan kurang lebih satu li badannya lemas dan napasnya
tersengal-sengal. Ia terkejut dan mengerti, bahwa itulah akibat dari luka yang
dideritanya karena pukulan im ciang dari dua pendeta asing.
Boe Kie merasa sangat tidak
tega. "Siang Toa ko." katanya. "Jalan saja perlahan-lahan.
Jangau kau merusak badan."
"Celaka sungguh!"
kata Gie Coan dengan gusar. "Menurut kebiasaan, sekali lari aku bisa
melalui seratus li. Apakah pukulan kedua pendeta bangsat itu sedemikian hebat,
sehingga aku tidak dapat berjalan lagi?" Dengan amarah yang meluap-luap ia
berjalan terus. Baru jalan puluhan tombak, ia merasa tulang-tulangnya seperti
mau copot. Tapi Siang Gie Coen seorang keras kepala dan keras hati. Sambil
mengertak gigi, ia maju terus, setindak demi setindak.
Dengan kemajuan yang sangat
lambat itu, sampai malam barulah mereka melalui separuh perjalanan. Jalanan
gunung yang berbelit belit dan turun naik menambah penderitaan pemuda itu.
Akhirnya, waktu tiba disebuah
hutan ia tak dapat bertahan lagi. Perlahan-lahan ia menaruh Boe Kie diatas
tanah dan kemudian, ia merebahkan diri untuk mengaso. Ia mengeluarkan kue phia
dari sakunya dan membagi kue itu kepada Boe Kie untuk menangsal perut.
Sesudah mengaso kira-kira
setengah jam, Gie Coen bangun berdiri untuk meneruskan perjalanan, tapi Boe
yang merasa kasihan terhadapnya, berkeras untuk mengaso semalaman dihutan itu.
Sesudah berpikir sejenak, ia merasa pendirian si bocah ada benarnya juga.
Andaikata, mereka bisa tiba dirumah Ouw Ceng Goe pada malam itu, sang Soepeh
yang beradat aneh mungkin bergusar karena diganggu tidurnya dan kalau dia
bergusar, mungkin sekali dia akan menolak untuk mengobati. Memikir begitu, ia
lantas saja menyetujui usul Boe Kie.
Mereka tidur dengan menyender
dikaki sebuah pohon besar. Kira-kira tengah malain, racun dingin mengamuk lagi
dan Boe Kie memanggil keras. Karena sungkan mengganggu Gie Coen yang sudah
capai lelah, ia menahan sakit sambil menggigit bibir.
Selagi ia bergulat melawan
racun dingin itu, sekonyong-konyong terdengar suara beradunya senjata, disusul
dengan suara bentakan seorang: "Mau lari kemana kau?"
Bentakan, disusul pula dengan
teriakan beberapa orang lain.
"Cegat ditimur ! Cepat !
Supaya dia masuk kehutan!"
"Bangsat gundul itu tidak
boleh dilepaskan ! Cegat!"
Hampir berbareng terdengar
tindakan sejumlah orang yang menuju kearah hutan.
Dengan kaget Siang Gie Coen
tersadar. Satu tangannya segera menghunus golok, lain tangan mendukung Boe Kie,
siap sedia untuk melarikan diri sambil bertempur.
"Siang Toako, kurasa
mereka bukan maui kita," bisik Boe Kie.
Gie Coen mengangguk. Di dalam
hati ia sudah mengambil keputusan, bahwa meskipun mesti membuang jiwa, ia akan
coba melindungi keselamatan bocah itu. Hanya ia merasa menyesal, bahwa sesudahb
mendapat luka, ilmu silatnya sekarang sudah musnah seanteronya.
Mereka mengintip dari belakang
sebuah pohon besar. Mereka melihat berkelebat-kelebatnya bayangan orang tujuh
delapan orang sedang mengurung dan mengerubuti satu orang. Karena gelap, mereka
tak tahu siapa adanya orang-orang itu. Mereka hanya tahu, bahwa orang yang
dikepungnya melawan dengan tangan kosong dan bahwa orang itu lihay luar biasa,
sehingga biarpun dikerubuti, ia masih dapat membela diri secara bagus sekali.
Sesudah bertempur beberapa
lama, setindak demi setindak, orang-orang itu mendekati tempat bersembunyinya
Gie Coen berdua. Pada waktu sang rembulan muncul dari alingan awan hitam mereka
melihat, bahwa orang yang dikepung yalah seorang pendeta yang berusia kira-kita
lima puluh tahun, tubuhnya kurus jangkung data mengenakan jubah pertapaan serba
putih. Dipihak pengepung terdapat pendeta, imam, seorang lelaki yang memakai
pakaian koan kee (pengurus rumah tangga) dan dua orang perempuan. Makin lama
Gie Coen makin merasa heran. Delepan pengurung itu masing masing memiliki
kepandaian tinggi. Dua orang pendeta yang satu bersenjata Sian thung dan yang
lain memegang golok menyerang dengan pukulan-pukulan yang disertai sambaran
angin dahsyat, sehingga daun-daun pohon meluruk jatuh kebawah.
Si imam, toosoe yang bersenjatakan
pedang panjang, aneh gerak-gerakannya. Sebentar ia melompat kekiri, sebentar
kekanan. Sedang pedangnya yang menggetar tak henti-hentinya mengeluarkan sinar
berkeredepan.
Lelaki yang berpakaian seperti
koan kee, kate kecil tubuhnya. berguling-guling ditanah dan menyerang bagian
bawah sipendeta jubah putih dengan menggunakan ilmu golok Tee tong To hoat.
Kedua goloknya terputar putar bagaikan sebuah bola yang menggelinding di tanah.
Kedua wanita itu, yang
bertubuh langsing dan masing masing mencekal sebatang pedang, juga menyerang
dengan pukulan pukulan yang sangat lihay.
Selagi bertempur hebat, salah
seorang wanita mendadak memutar badan, sehingga separuh mukanya disoroti sinar
rembulan.
"Kie Kouwnio!" seru
Boe Kie dengan suara tertahan. Wanita itu bukan lain daripada Kie Siauw Hoe,
tunangan In Lie Heng. Tadi melihat pendeta si jubah putih dikerubuti oleh
begitu banyak orang, Boe kie merasa mendongkol terhadap pihak pengepung. Tapi
sekarang sesudah melihat Kie Siauw Hoe, pandangannya berubah dan ia menganggap,
bahwa pendeta itu manusia jahat.
"Delapan orang
mengerubuti satu orang, terlalu tak mengenal malu." Gie Coen berkata
seorang diri. "Siapa mereka?"
"Yang wanita dari Go bie
pay," bisik Boe Kie, "Hm... dua pendeta itu orang Siauw Lim sie."
Sesudah mengawasi pertempuran beberapa saat, dia berkata pula "Si toosoe
orang Koen loan pay. Lihatlah! Pukulan Tay mo Hoei soe (Tay mo Hoe see artinya
Pasir beterbangan di gurun pasir) itu sungguh amat hebat. Itulah pukulan
simpanan dari Koen loen pay. Tapi siapakah lelaki yang menggunakan ilmu silat
Tee tong To hoat?"
"Apa bukan dari Khong
tong pay ?" tanya si brewok.
"Bukan," jawabnya.
"Dalam Tee tong to hoat Khong thong pay, orang halus menggunakan sebatang
golok yang dicekal di tangan karan, dan sebatang toya ditangan kiri. Orang itu
menggunakan sepasang golok."
Mendengar keterangan si bocah,
Siang Gie Coen merasa kagum. "Setiap murid Boe tong benar-benar
berpengetahuan luas," pikirnya. Tapi ia tak tahu bahwa pengetahuan itu
didapat Boe Kie bukan dari Boe tong tapi dari ayah angkatnya.
Sebagaimana diketahui, di
dalam tekad untuk membalas sakit hatinya, Cia Soen telah mempelajari hampir
semua ilmu-ilmu silat yapg dikenal didalam Rimba Persilatan.
Pertempuran berlangsung terus
dengan hebatnya, akan tetapi pendeta jubah putih itu masih tetap dapat
mempertahankan diri. Tubuhnya berkelebat kelebat bagaikan kilat, tenaganya
dahsyat luar biasa, sedang gerakan tangannya hampir tak bisa dilihat tegas,
karena terlampau cepat.
Tiba-tiba terdengar bentakan
salah seorang: "Gunakan senjata rahasia !"
Si kate kecil dan si imam
lantas saja melompat keluar dari gelanggang pertempuran, disusul dengan
menyambarnya nyambrnya peluru serta Hoei to (golok terbang) ke arah si pendeta.
Diserang secara begitu, dia mulai keteter.
"Pheng Hweeshio !"
bentak si imam. "Kami bukan maui jiwamu, perlu apa kau nekad-nekadan?
Serahkan Pek Kwie Sioe dan kita akan berpisahan sebagai sahabat."
Siang Gie Coen terkesiap,
"Pheng Hweeshio" bisiknya.
Boe Kie pun tidak kurang
kagetnya. Waktu berada dalam perjalanan pulaing ke Boe tong bersama kedua orang
tuanya dan Jie Lian Cioe ia pernah mendengar, bahwa Pek Kwie Sioe adalah orang
Peh bie kauw satu satunya yang bisa pulang dengan selamat dari pulau Ong poan
San. Dan murid murid Koen loan juga terlolos dari kebinasaan, tapi mereka
hilang ingatan karena teriakan Cia Soen. Maka itu, selama belasan tahun, dalam
pertempuran dangan Peh bie kauw tujuan jago-jago berbagai partai adalah untuk
mendesak supaya Pek Kwie Sioe memberitahukan dimana adanya Cia Soen.
"Apakah Pheng Hweeshio
segolongan dengan ibuku?" tanya Boe Kie didalam hati.
Sementara itu, Pheng Hweeshio
sudah menjawab dengan suara Iantang: "Pak Tancoe sudah dilukakan berat
oleh kamu. Jangankan aku dan dia-masih sama-sama orang-orang segolongan,
terhadap orang luar sekalipun, aku tak bisa mengawasi kebinasaan dengan
berpeluk tangan."
"Omong apa kau!"
bentak si imam. "Mengawasi kebinasaan dengan berpeluk tangan? Kau tahu,
tujuan kami bukan mengnendaki jiwanya. Kami hanya menyelidiki tempat
bersembunyinya seorang."
"Kalau kamu mau
menyelidiki dimana adanya Cia Soen, mengapa kamu tidak mau pergi kepada Hong
thio Siauw lim sie?" tanya si pendeta.
"Tutup bacotmu!"
bentak si pendeta Siauw lim. "Apa kau tidak tahu, bahwa itu hanya tipu
busuk dari perempuan siluman In So So?"
Mendengar disebutkannya nama
mendiang ibunya, Boe Kie merasa bangga agak bercampur duka."Hm ....
sesudah meninggal dunia, ibu masih bisa membuat kalian semua pusing
kepala," katanya di dalam hati
Sambil bicara, pertempuran
berlangsung terus dengan dahsyatnya. Si toosoe mengajak, bicara dengan tujuan
untuk memecah pemusatan pikiran Pheng Hweeshio. Tapi pendeta itu yang cerdas
otaknya dan tinggi ilmu silatnya, tidak kena diakali. Biarpun mulutnya bicara,
kewaspadaannya sedikitpun tidak jadi berkurang. Tapi, karena jumlah musuh
terlalu besar dan musuh-musuh itu pun bukan sembarang orang, maka ia tetap
tidak berhasil dalam usahanya untuk menerjang keluar dari kepungan.
Sekonyong-konyong, si imam
yang melepaskan senjata rahasia dengan berdiri diluar gelanggang, berteriak:
"Celaka! Senjata rahasia habis!" berbareng dengan teriakan itu, semua
kawannya menggulingkan diri ditanah dan lima batang golok terbang menyambar
bagaikan kilat. Ternyata kata kata "senjata rahasia habis" adalah
semacaan isyarat supaya semua orang bergulingan untuk menyingkirkan diri dari
sambaran lima batang Hoeito yang menyambar dalam bentuk bunga bwee.
Dalam keadaan biasa, dengan
menundukkan kepala, membungkuk, melompat kedepan atau menjengkangkan diri, Pheng
Hweeshio akan dapat mengelakkan lima golok itu yang menyambar dadanya. Tapi
sekarang, sebab sambil bergulingan, keenam musuhnya juga menyerang dengan
senjata mereka, maka bagian bawah badannya tertutup semua.
Boe Kie mencelos hatinya.
Mendadak tubuh Pheng Hweeshio
meleset keatas kira-kira setombak tingginya, dan lima buah golok terbang lewat
di bawah kakinya. Tapi, meskipun senjata rahasia sudah dielakkan, Sianthung dan
golok kedua pendeta Siauw lim serta pedang dari toesoe Koen loan pay sudah
manyambar lututnya dengan berbareng. Sesaat itu tubuh Pheng Hwee shio masih di
tengah udara, sehingga, mau tidak mau, ia terpaksa menggunakan pukulan yang
berbahaya dan membinasakan.
"Ptak!", telapak
tangan kirinya menghantam kepala seorang pendeta Siauw lim dan dengan sekali
menjambret, tangan kanannya sudah merampas golok pendeta itu, yang lalu
digunakan untuk menangkis Sianthung. Dengan meminjam tenaga dari bentrokan
kedua senjata itu, badannya "terbang" beberapa tombak jauhnya.
Pendeta Siauw lim yang ditepuk kepalanya, sudah binasa seketika itu juga.
Sambil berteriak-teriak, tujuh kawannya mengubar Pheng Hweeshio.
Di lain saat, badan Pheng
Hweeshio kelihataan bergoyang-goyang, hampir-hampir jatuh terguling, dan
ketujuh musuhnya lantas saja mengurung.
Sambil memutar Sianthung, si
pendeta Siauw lim menerjang dan berteriak "Pheng Hweeshio! Kau
membinasakan Soeteeku. Mari kita mengadu jiwa !"
"Lututnya sudah kena Sia
wie kauw (Gaetan buntut kalajengking. semacam senjata rahasia) !" teriak
si toosoe Koen loen. "Tak lama lagi, dia akan mampus keracunan!"
Benar saja, tindakan Pheng
Hweeshio kelihatan limbung dan perlawanannya terhadap si pendenta Siauw lim,
sudah kalut.
"Celaka!" bisik
Siang Gie Coen. "Ia adalah guru Cioe Toako. Bagaimana aku harus
menolongnya?"
Boe Kie tahu, bahwa si brewok
adalah manusia yang tidak bisa menonton kecelakaan kawan sambil berpeluk
tangan. Biarpun dirinya sendiri terluka berat, ia masih mau menolong orang.
Andai kata ia sampai menerjang keluar, ia hanya akan mengantarkan jiwa dengan cuma-cuma.
Tiba-tiba Boe Kie mendapatkan serupa ingatan dan ia lantas saja berkata:
"Siang Toako, kau ingin menolong Pheng Hweeshio bukan?"
"Tidak bisa tidak
ditolong!" jawabnya. "Ia kena senjata beracun, Tapi, aku sendiri ....
aku sendiri ...."
"Aku mempunyai serupa
daya untuk memulihkan tenagamu," memutus si bocah. "Kau akan bisa
bertahan selama setengah jam, tapi dengan demikian, kau akan merusak tenaga
dalammu."
Sesudah mendengar keterangan
si bocah mengenai limu silat berbagai partai, Gie Coen percaya, bahwa anak yang
sangat pintar itu adalah murid istimewa dari Thio Sam Hong, sehingga ia tidak
menyangsikan omongan itu.
"Untuk menolong jiwa
manusia, aku rela merusak tenaga dalamku sendiri."
"Ambillah dua butir batu
yang tajam," bisik Boe Kie.
Gie Coen segera melakukan apa
yang diminta. "Apa ini boleh?" tanyanya sambil mengangsurkan kedua
batu itu.
"Boleh," jawab si
bocah sambil mengangguk. "Dengan tajamnya batu, totoklah samping pahamu,
dibawah pinggang."
"Disini?" tanya Gie
Coen sambil menunjuk samping pahanya.
"Lebih bawah
sedikit," kata si bocah. "Ya! benar disitu. Kesebelah dikit, setengah
coan. Bagus! Nah, sekarang totoklah."
Si berewok lantas saja menotok
paha kanannya dengan batu itu dan hampir berbareng, ia merasa pahanya
kesemutan.
"Inilah ilmu yang
dinamakan Tie sin Tah hiat hoat (ilmu menotok jalan darah untuk mempertinggi
semangat)," menerangkan Boe Kie. "Totoklah paha kirimu."
Si berewok agak bersangsi.
Walaupun belum pernah belajar, ia tahu bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat ilmu
Tiam hiat yang dapat melumpuhkan anggauta badan manusia. Akan tetapi, meskipun
mengingat itu, ia tetap percaya omongan Boe Kie, karena menurut anggapannya,
sebagai sebuah partai persilatan yang namanya menggetarkan dunia, Boe tong pay
tentunya juga mempunyai cara-cara yang lain dari pada yang lain. Demikianlah,
ia segera menotok lagi pada paha kirinya.
Tapi, di luar dugaan, begitu
paha kirinya tertotok, separuh badannya, mulai dari pinggang ke bawah, tidak
dapat digerakkan pula.
Sementara itu, sesudah melompat
beberapa tombak jauhnya, Pheng Hweeshio lalu roboh di tanah.
"Saudara Thio!" kata
si brewok dengan bingung. "Mengapa.... badanku seperti mati separoh
?"
Boe Kie tertawa geli di dalam
hati, karena Siang Gie Coen sudah tertipu, tapi ia pura pura kaget dan
mengeluarkan seruan tertahan: "Celaka! Kau tidak mengerti Tiam hiat,
mungkin sekali kau salah dalam menggunakan tenaga. Tunggulah sebentar."
Siang Gie Coen bukan seorang
tolol. Di lain saat ia sudah mengerti, bahwa ia terjebak oleh muslihat si bocah
nakal. Tapi iapun tahu, bahwa dengan berbuat begitu, Boe Kie bermaksud baik
sekali. Ia tidak dapat berbuat lain daripada menghela napas dengan perasaan
mendongkol tercampur geli.
Pheng Hweeshio menggeletak di
tanah tanpa bengerak, seolah olah ia sudah menghembuskan napasnya yang
penghabisan. Akan tetapi biarpun begitu, musuh musuhnya masih belum berani
mendekati.
"Kouw Soetee, cobalah kau
menimpuk lagi dengan dua buah golok terbangmu, untuk mencoba-coba," kata
si toosoe Koen loen pay.
Too jin yang dipanggil
"Kouw Soetee," segera mengayun tangan kanannya dan dua Hoeito
menyambar, yang satu menancap di pundak kanan Pheng Hweeshio, sedang yang lain
mengenakan paha kirinya. Tapi pendeta jubah putih itu tetap tidak bergerak,
suatu bukti, bahwa dia benar benar sudah binasa.
"Sayang ! Sayang dia
sudah mati," kata si too soe Koen loen. "Sekarang sukar diselidiki,
dimana dia menyembunyikan Pek Kwie Sioe."
Semua lalu mendekati
"mayat" Pheng Hweesio.
Mendadak, mendadakan saja,
terdengar Suara "plak... plak.... plak ...." lima kali beruntun, dan
lima orang roboh terguling! Hampir berbareng, dengan semangat bergelora, Pheng
Hweeshio bangun berdiri, dengan pundak dan paha masih tertancap golok.
Ternyata, sesudah kena senjata
beracun dan yakin, bahwa jiwanya tidak akan dapat ditolong lagi, Pheng Hweesio
lalu pura-pura mati. Begitu lawannya mendekati, ia segera menghantam lima orang
musuh lelaki dengan pukulan Ngoheng ciang. Ia sengaja mengampuni dua orang
lawan wanita, yaitu Kie Siauw Hoe dan Soecienya yang bernamar Teng Bin Koen.
Dalam kagetnya, kedua murid Go
bie pay itu melompat mundur. Mereka melihat, bahwa kelima kawannya muntahkan
darah dan dua antaranya yang Lweekangnya agak lemah, sudah jatuh berlutut.
Sesudah mengeluarkan banyak tenaga, tubuh Pheng Hweeshio pun bergoyang-goyang.
"Teng Kouwnio, Kie
Kouwnio!" teriak si too soe Koen loen. "Tikamlah bangsat gundul
itu!"
Antara sembilan orang yang
tadi bertempur, seorang pendeta Siauw lim sudah binasa, sedang Pheng Hweeshio
dan lima lawannya mendapat luka berat, sehingga hanya Teng Bin Koen dan Kie
Siauw Hoe yang tidak kurang suatu apa.
Mendengar teriakan si toosoe
Koen loen, Teng Bin Koen segera mengangkat pedang dan menyabet kaki si pendeta.
Pheng Hweeshio mengeluh.
"Karena merasa kasihan terhadap orang perempuan, aku tidak berlalu kejam
terhadap kamu, tapi tidak dinyana, rasa kasihanku berbalik mencelakakan diriku
sendiri" katanya didalam hati. Ia meramkan kedua matanya untuk menunggu
kebinasaan.
Tiba-tiba terdengar suara
"trang!" suara benturan senjata. Pheng Hweeshio membuka mata dan
mendapat kenyataan, bahwa yang menolongnya ialah Kie Siauw Hoe.
"Eh, mengapa kau
begitu?" tanya Teng Bin Koen dengan kaget.
Nona Kie tertawa.
"Soecie," katanya. "Pheng Hweeshio tidak berlaku kejam terhadap
kita dan kitapun tidak boleh membunuh dia."
"Aku juga bukan mau
mengambil jiwanya," kata Teng Bin Koen. "Aku hanya ingin memaksa
supaya dia memberitahukan tempat sembunyinya Pek Kwie Sioe."
"Dia telah keracunan
hebat, paling dulu kita harus memunahkan racun itu," kata Kie Siauw Hoe
seraya mendekati si toosoe Koen loen dan berkata: "Saudara See leng,
berikanlah obat pemunah Sie wie kauw kepadaku."