Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 34
sementara itu suara teriakan
Pan Siok Ham sudah semakin dekat.
Bahwa Ho Thay Ciong sudah
membawa lari kedua anak itu adalah karena rasa cintanya terhadap Ngo kouw.
Mendengar keterangan Boe Kie darahnya lantas saja meluap. Plak!.......Plak., ia
menggaplok empat kali beruntun, sehingga kedua pipi si bocah merah bengkak dan
mulutnya mengeluarkan darah. Waktu si tua mengangkat tangan pula untuk mengirim
gaplokan kelima, buru2 Boe Kie menangkis dengan jurus Kang Liong Yoe Hwie, satu
jurus dari Hang Liong Sip Pat Cang. Kalau sudah mahir dan ditambah dengan
Lweekang tinggi jurus itu dahsyat bukan main. Tapi sibocah baru kenal kulit2nya
saja, sedang tenaga dalamnyapun sangat cetek. Mana bisa melawan Ciang boenjin
dari Koen Loen Pay?
Melihat gerakan yang luar
biasa, Ho Thay Ciong mengerti bahwa ia tengah menghadapi ilmu yang sangat
tinggi. Sambil mengeluarkan seruan Ih ia menggegosdan menghantam mata kanan Boe
Kie, yang lantas saja biru bengkak.
Sesudah gagal dalam
perlawanannya, Boe Kie mengerti bahwa kepandaiannya masih kalah terlalu jauh.
Maka itu ia lantas saja berdiri tegak dan membiarkan dirinya dihajar kalang
kabutan. Dalam memberi hajaran, si tua tidak menggunakan Lweekang, yang jika
digunakan, bocah itu tentu sudah tewas jiwanya. Tapi walaupun begitu, setiap
kali digapelok, mata Boe Kie berkunang2 san rasa sakit sampai ke tulang2.
Selagi enak menganiaya. Pan
Siok Ham bersama dua orang muridnya sudah tiba disitu. Ia menonton, tapi
melihat yang dipukul tidak melawan, kegembiraannya jadi berkurang. Coba kau
hajar anak perempuan itu, katanya.
Ho Thay Ciong memutar tubuh
dan menggampar kuping Poet Hoei yang lantas saja menangis keras.
tua Bangka, teriak Boe Kie
dengan gusar Apa belum cukup kau menghajar aku seorang? Perlu apa kau menghina
seorang anak masih begitu kecil?
Tapi si tua tidak menggubris,
tangannya melayang lagi. Boe Kie jadi kalap, sambil melompat bagaikan kerbau
edan, ia menyeruduk perut Ho Thay Ciong.
Pan Siok Ham tertawa dingin.
Lihatlah, anak begitu kecil masih punya kecintaan dan pribudi. Katanya. Bukan
seperti manusia yang semacam kau yang sedikitpun tak mengenal rasa cinta.
Diejek begitu, selebar muka
situa jadi merah. Dalam matanya, ia jadi gusar dan kegusaran itu ditumplekan
diatas kepala Boe Kie. Ia menjambret leher baju si bocah dan melemparkannya
sambil membentak, Binatang kecil! Lebih baik ikut ayah dan ibumu! kali ini,
karena melemparkannya dengan menggunakan Lweekang, badan bocah itu terlempar
jatuh dan kepalanya menyambar ke arah satu batu gunung yang besar. Begitu terbentur,
batok kepalanya pasti akan remuk!................
Pada detik yang sangat
berbahaya, semacam tenaga tiba2 mendorong Boe Kie, sehingga arahnya berubah dan
ia jatuh di samping batu. Sebelum semangatnya pulih, dengan matanyayang
bengkak, ia melihat seorang sastrawan setengah tua yang mengenakan jubah
panjang warna putih, berdiri dalam jarak kira2 lima kaki dari dirinya.
Dengan rasa kaget dan heran.
Si tua dengan istrinya saling mengawasi. Lagi kapan? Dan darimana orang itu
datang? Andaikata ia lebih dulu bersembunyi dibelakang batu, orang2 yang
berkepandaian tinggi seperti mereka berdua sudah pasti akan mengetahuinya,
selain itu tenaga yang digunakan Ho Thay Ciong untuk melemparkan Boe Kie,
paling tidak ada lima ratus kati. Tapi sastrawan itu, dengan kibasan tangan
baju sudah berhasil menolak tenaga tersebut dan melemparkan si bocah di samping
batu. Itu semua membuktikan, bahwa ia memiliki kepandaian yang sukar diukur
berapa tingginya.
Orang itu berusia kira2 empat
puluh tahun, mukanya tampan hanya alisnya agak turun kebawah dan mulutnya
terdapat beberapa garis yang dalam sehingga ia kelihatannya banyak lebih tua
dan seperti seorang yang sudah mengalami banyak kedukaan. Tanpa mengeluarkan
sepata kata, ia berdiri bengong, seolah2 tengah memikiri kejadian2 di masa
lampau.
Sesudah batuk beberapa kali,
Ho Thay Ciong bertanya. Siapa tuan? Mengapa tuan mencampuri urusan Koen Loen
Pay?.
Sastrawan itu menyoja dan
menjawab. Ah! Kalau begitu Cianpwee adalah Thie Khim Sianseng Ho Cianpwee.
Sudah lama kudengar namanya yang besar. Dan akupun sedang berhadapan dengan Ho
Hoejin, bukan? Boanpwee bernama Yo Siauw.
Perkataan Yo Siauw disambut
dengan seruan kaget oleh Ho Thay Ciong, Pan Siok Ham dan Boe Kie. Seruan si
bocah bercampur dengan nada girang, sedang seruan kedua suami istri bercampur
dengan nada gusar. kedua murid Koen Loen menghunus pedang yang lalu dibalik dan
gagangnya diangsurkan kepada soehoe mereka. Ho Thay Ciong melintangkan
senjatanya di depan dada dan bersiap sedia dengan pukulan Soat-yong kiauw (Salju
menutupi jempatan biru), sedang Pan Siok Ham menudingkan pedangnya ke tanah
dalam gerakan Bok-yap siauw (Daun daun berkeresekan). Kedua pukulan itu adalah
pukulan pukulan yang paling lihay dari Koen Loen Kiam Hoat. Kuda kudanya
kelihatan sangat sederhana, tapi didalamnya bersembunyi tujuh-delapan gerakan
susulan yang luar biasa. Asal tangan mereka, kedua pedang itu lantas menyambar
tujuh-delapan bagian tubuh lawan yang berbahaya.
Tapi Yo Siauw tenang2 saja. Ia
mengawasi Boe Kie dengan perasaan heran karena dalam teriakan itu terdapat nada
kegirangan.
Muka Boe Kie matanya biru,
bengkak2 dan berlepotan darah, tapi sinarnya menunjuk rasa syukur dan bahagia.
Kau kau katanya terputus2, apakah kau Kong Beng Soe Cie dari Beng kauw, Yo
siauw, Yo Pehpeh?.
Yo Siauw manggut2kan
kepalanya. Bagaimana kau tahu she dan namaku, anak? tanyanya.
Sambil menunjuk Poet Hoei, Boe
Kie berkata Adik ini adalah putrimu! Ia memnuntun tangan si gadis cilik dan
berkata pula Poet Hoei moay moay, inilah ayahmu. Ah! Akhirnya kita berhasil
mencarinya.
Poet Hoei mengawasi Yo Siauw
dengan matanya yang bundar cilik. Apa kau ayahku? tanyanya. mana ibu? Aku lagi
mencari ibu. Ia berkata begitu, karena untuk membujuknya, disepanjang jalan
boekie selalu mengatakan, bahwa mereka melakoni perjalanan jauh itu untuk
mencari Kie Siauw Hoe.
Jantung Yo Siauw memukul keras
dan sambil mencekal pundak si bocah, ia berkata Anak bicara lebih terang. Putri
siapa dia? Siapa ibunya? ia mencengkeram keras, sehingga Boe Kie menggeluarkan
teriakan aduh!
Dia putrimu, jawab si bocah.
ibunya iyalah Liehiang Kie Siauw Hoe dario Go Bie Pay.
Muka Yo Siauw yang memang
sudah pucat menjadi pucat lagi. Dia .dia mendapat anak? tanyanya dengan
gemetar. Dimana dimana dia sekarang? Seraya berkata begitu ia memeluk dan mengangkat
Poet Hoei. Kedua pipi anak itu bengkak sebab pukulan Ho Thay Ciong, tapi pada
paras mukanya masih bisa dilihat sesuatu yang sangat mirip dengan kecantikan
Kie Siauw Hoe. Tiba2 ia mengeluarkan selembar tali yang tergantung di leher
Poet Hoei dan ia lalu menariknya, ternyata pada tali itu dilekatkan selembar
Tiat-pay dengan ukiran memedi yang sedang menyeringai dan mementang cakar.
Sekarang ia tidak bersangsi lagi. Tiat-pay itu adalah Tiat-pay-leng dari Beng
Kauw yang sudah diberikan kepada Kie Siauw Hoe. Sambil memeluk putrinya erat2,
ia bertanya berulang2 Mana ibumu? Mana ibumu
Ibu hilang. Aku sedang
mencarinya. Apa kau bertemu dengannya? jawab anak itu.
Yo Siauw mengawasi Boe Kie dan
lalu menanyakan dimana adanya Kie Siauw Hoe.
Si bocah menghela nafas dan
berkata Yo Pehpeh. Jika aku beritahukan, kau jangan terlalu berduka. Kie Kouw
kouw telah dipukul mati oleh gurunya..dan waktu meningggal dia.
Dusta! dusta! Teriak Yo Siauw,
sambil memijit pundak Boe Kie. Kreek ! tulang pundak itu remuk dan Bruk! Yo
Siauw dan Boe Kie terguling ditanah dengan berbareng, dengan tangan Yo Siauw
masih memeluk putrinya.
Yo Siauw pingsan karena
mendengar terbinasanya Kie Siauw Hoe, sedang Boe Kie roboh sebab tulang
pundaknya remuk. Ho Thay Ciong dan istrinya saling melirik dan segera menghunus
pedang, yang satu ditudingkan ke dahi antara dua alis, yang lain ditujukan ke
tenggorokan Yo Siauw.
Sebagai salah seorang tokoh
penting dalam Beng Kauw, Yo Siauw mempunyai permusuhan hebat dengan Koen Loen
Pay. Karena kalah pie boe(adu silat), Yoe Liong Coe, seorang cianpwee partai
tersebut, telah mati sebab kejengkelan. Pek Loe Coe, gurunya Ho Thay Ciong dan
Pan Siok Ham, juga binasa dalam tangannya seorang anggota Beng Kauw. Siapa yang
membinasakan tidak diketahui jelas. Tapi mungkin sekali Yo Siauw juga. Suami
istri Ho tahu, bahwa orang itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi, sehingga
bila kebetulan berpapasan di tengah jalan, belum tentu mereka berani menyerang.
Tak dinyana, orang yang ditakuti itu tiba2 pingsan dan tentu saja mereka
sungkan menyia2kan kesempatan yang sangat baik.
Putuskan dulu lengannya kata
Pan Siok Ham.
Baiklah, kata sang suami
sambil mengangguk.
Sesaat itu Yo Siauw belum
tersadar, tapi Boe Kie walaupun merasakan kesakitan hebat, tidak sampai pingsan.
Melihat bahaya yang mengancam, sebagai seorang yang sangat mudah memaafkan,
tanpa mngingat lagi rasa sakitnya, dengan kaki buru2 ia menyentuh jalan darah
Pek Hwee hiat, di ubun2 Yo Siauw.
Begitu tersentuh Pek Hwee
Hiat-nya yang mempunyai hubungan dengan otak, Yo Siauw tersadar. Tiba2 ia
merasakan hawa dingin dan begitu membuka mata, ia melihat ujung pedang yang
menempel pada alisnya dan hampir berbareng, ia merasakan sambaran senjata ke
arah lengannya.
Dengan pedang menempel pada
bagian kematiannya dan satu pedang lagi membabat, ia tak bisa berkelit atau
berkutik lagi. Tapi, pada detik yang sangat berbahaya, ia masih mengerahkan
Lweekang ke lengan kirinya. Waktu Ho Thay Ciong membabat lengan itu, ia merasa
seperti membacok semacam benda yang a lot licin, sehingga mata pedangnya
terpeleset. Tapi biarpun begitu Yo Siauw terluka juga dan tangan bajunya basah
dengan darah.
Pada detik itulah, mendadak
saja dengan terus menempel di tanah, tubuh Yo Siauw menyeluruk ke depan
setombak lebih, seolah2 lehernya diikat dengan tambang dan ditarik dengan
kecepatan luar biasa. Dengan melorotnya tubuh itu, maka ujung pedang Pan Siok
Ham yang menempel di antara kedua alis mengores alis, hidung, mulut dan dada Yo
Siauw kira2 setengah dim dalamnya. Kalau ujung pedang masuk lebih dalam
setengah dim lagi, ia tentu binasa dengan dada dan perut terbelek. Sehabis
menyelusur, tanpa menekuk lutut atau membongkokan pinggang, tubuh Yo Siauw
mendadak berdiri tegak, seperti juga diangkat berdirinya sesosok mayat yang
sudah kaku. Dan begitu lekas berdiri tegak, kedua kakinya menjejak, Krek!
pedang suami istri Ho patah dengan berbareng.
Semua kejadian itu yang harus
dilukiskan panjang lebar, terjadi dalam tempo sekejapan saja.
Dengan memiliki Kiam Hoat yang
sangat tinggi, pedang Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham sebenarnya tak akan
dipatahkan, secara begitu mudah. Mereka mendapat kekalahan memalukan karena
lengah, sebagai akibat dari kekangetan dalam melihat cara si orang she Yo yang
sangat luar biasa.
Apa yang lebih aneh lagi, dua
potongan pedang itu dengan berbareng menyambar Ho Thay Ciong dan istrinya.
Buru2 mereka menangkis dengan pedang buntung dan meskipun berhasil, telapak
tangan mereka sakit sekali dan separuh badan mereka panas. Dengan cepat mereka
melompat, yang satu lalu berdiri di sebelah barat laut yang lain di tenggara,
dengan Yang Kiam (pedang lelaki) menuding ke langit, Im Kiam (pedang perempuan)
ditunjukkan ke bumi. Itulah kuda2 dari ilmu pedang Liang Gie Kiam Hoat yang
sangat tersohor dari Koen Loen Pay. Walaupun pedang mereka sudah buntung, sikap
mereka angker dan anggun sesuai dengan sikap ahli2 silat kelas utama dalam
rimba persilatan.
Liang Gie Kiam Hoat yang sudah
mendapat nama selama ratusan tahun adalah salah satu ilmu pedang terlihay di
kolong langiot. Disamping itu, suami istri Ho telah berlatih bersama2, sehingga
mereka sudah paham betul dan dapat bekerja sama seerat2nya. Dengan demikian
pengaruh Kiam Hoat jadi bertambah berlipat ganda. Sebagai seorang yang sudah
sering bertempur dengan jago jago Koen Loen, Yo Siauw mengenal dengan baik
kelihayan Liang Gie Kiamhoat. Meskipun tak takut, ia tahu bahwa untuk
menjatuhkan suami istri itu, paling sedikit ia harus bertempur lima ratus
jurus. Tapi sekarang ia tidak mempunyai kegembiraan untuk berkelahi, sebab
musabab dari kebinasaan Kie Siauw Hoe. Disamping itu, sesudah lengan dan
badannya terluka, ia tidak boleh melakukan pertempuran lama. Kalau darah keluar
terlalu banyak, ia bisa celaka. Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara
dingin. Makin lama orang2 Koen Loen Pay jadi makin tolol. Hari ini biarlah kita
menunda perkelahian. Di lain hari aku akan mencari kamu berdua untuk membuat
perhitungan. Sehabis berkata begitu dengan lengan mendukung Poet Hoei dan satu
tangan menuntun Boe Kie, tiba2 tubuhnya meleset ke belakang setombak lebih dan
sesudah memutar badan, ia meninggalkan temapt itu dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan. Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham mengawasi dengan rasa gusar
dan kagum dan tentu saj, iapun tidak berani mengubar.
Sesudah melalui beberapa li,
Yo Siauw tiba2 menghentikan tindakannya dan menanya Boe Kie Apakah yang
sebenarnya telah terjadi pada diri Kie Siauw Hoe?.
Kie Kouw-Kouw sudah meninggal
dunia, jawabnya Terserah padamu apakah kau percaya atau tidak. Perlu apa kau
mematahkan tulangku?.
Pada paras muka Yo Siauw
terlihat perasaan menyesal Cara
bagaimana ia meninggal?
Tanyanya pula.
Sesudah minum arak racunnya
Pan Siok Ham, biarpun sudah muntah dan makan obat pemunah, racun itu belum
hilang semuanya. Ketika itu ia merasa perutnya sangat sakit. A lalu mengeluarka
ular Kim Koan Hiat Coa dan membiarkan binatang itu menggigit telunjuk jari
tangan kirinyasupaya sisa racun dihisap. Perlahan2 ia mengurutkan segala
kejadian yang bersangkut paut dengan Kie Siauw Hoe, bagaimana ia telah mengobati
luka sang bibi, bagaimana bibi itu bertemu dengan Biat Coat soethay yang
kemudian membinasakannya. Sehabis racun yang masih ketinggalan dalam tubuhnya.
Yo Siauw juga menanyakan apa
yang dikatakan Kie Siauw Hoe waktu ia mau melepaskan nafas yang penghabisan dan
kemudian, dengan air mata bercucuran, ia berkata Biat Coat soethay memaksa
supaya ia mencelakakan aku. Kalau ia meluluskan, ia membuat jasa besar kepada
Go Bie Pay dan akan diangkat menjadi Ciang Boenjin. Hay! Kau lebih suka mati
daripada berjanji untuk menurut perintah itu. Sebenarnya kalau kau tak usah
mati dalam tangan Biat Coat dan kitapun bisa bertemu pula.
Kie Kouw kouw adalah seorang
mulia yang jujur kata Boe Kie. Ia sungkan mencelakakan kau, tapi iapun tak mau
mendustai guru sendiri.
Yo Siauw tertawa getir. Ya
katanya, kau mengenal Siauw Hoe..
pada waktu Kie Kouw kouw
melepas nafas yang penghabisan, aku telah berjanji untuk menghantar Poet Hoei
Moay moay kepadamu. Kata Boe Kie.
Yo Siauw menggigil. Poet Hoei
Moay Moay? Ia menegaskan. Ia berpaling pada putrinya dan bertanya. Kau She apa,
nak? Siapa namamu?
Aku she Yo jawabnyta. Namaku
Poet Hoei.
Tiba2 Yo siauw mendongak dan
keluarkan teriakan nyaring panjang, sehingga pohon2 bergoyang goyang dan daun2
jatuh rontok.
Kau. Katanya, Poet Hoei.Poet
Hoei.bagus! Siauw Hoe, meskipun aku menodai kehormatanmu, kau tidak menyesal...
(Poet Hoei berarti tidak menyesal).
Sesudah bertemu Boe Kie
mendapat kenyataan, bahwa meskipun usianya tidak muda lagi, Yo Siauw bukan saja
berparas tampan, tapi juga mempunyai cara2 untuk menarik hati. Sehingga ia
merasa, jika dibandingkan dengan In Lie Heng yang masih kekanakan2, memang Yo
Siauw masih banyak lebih menarik bagi seorang wanita daripada pamannya itu.
Maka tidak dapat melupakan Yo Siauw meskipun kehormatannya dinodai tidak boleh
disalahkan.
Makin lama tulang pundak Boe
Kie yang patah makin sakit. Disekitar itu tidak ada rumput obat yang bisa
menyambung tulang dan menredakan rasa sakit. Ia hanya dapat mencari daun yang
bisa menghilangkan bengkak, sesudah memetiknya dan mematahkan dua ranting
pohon, ia lalu membereskan tulang pundaknya, menjepit tulang itu dengan dua
ranting pohon, menaruh daun obat dan lalu mengikatnya dengan tali yang dibuat
daripada kulit pohon. Itu semua dikerjakannya secara ahli dan cepat sekali,
sehingga Yo Siauwmerasa sangat kagum.
Sesudah beres membalut tulang,
Boe Kie Berkata, Yo Peh-peh, aku sudah memenuhi janji dan sekarang Poet Hoei
Moay-moay sudah berada dalam tanganmu. Disini saja kita berpisah.
Tidak!, kata Yo Siauw, Dari
tempat yang jauhnya berlaksa li kau datang kemari untuk mengantarkan anakku,
tak dapat aku membiarkan kau pergi, tanpa memberikan sesuatu padamu. Apa yang
dikehendaki olehmu? Katakan saja. Dalam dunia ini, tidak banyak yang tidak bisa
disapatkan olehku.
Boe Kie tertawa terbahak2. Yo
Peh-peh katanya Kau memandang Kie Kouw-kouw terlalu rendah. Sungguh percuma Kie
Kouw-kouw mengorbankan jiwa untukmu
Paras muka Yo Siauw lantas
saja berubah, Apa? ia menegas.
Mereka Kie Kouw-kouw tidak
memandang rendah kepadaku, baru ia meminta pertolonganku untuk mengantarkan
putrinya kepadamu jawabnya. Jika aku memenuhi permintaan itu dengan niat
mendapatkan sesuatu, apakah aku berharga untuk menerima pesanan Kie Kouw0kouw?
Waktu berkata begitu ia ingat pengalaman pengalamannya yang hebat2. beberapa
kali ia hampir mengorbankan jiwa guna melindungi Poet Hoei. Tapi karena ia
bukan orang yang menonjolkan jasa dan mengagulkan diri, maka tanpa berkata
suatu apa lagi, ia menyoja, memutar tubuh lalu berjalan pergi.
Tahan! kata Yo Siauw Kau sudah
membuang budi yang sangat besar kepadaku, Yo Siauw adalah manusia yang selalu
membalas budi dan sakit hati. Ikutlah aku. Dalam tempo setahun, aku akan
turunkan kepadamu beberapa ilmu yang jarang tandingannya didunia ini.
Sesudah menyaksikan kepandaian
Yo Siauw, Boe Kie mengerti, bahwa jika ia menurut, ia akan memperoleh banyak
keuntungan. Tapi ia tidak bisa melupakan pesanan Thio Sam Hong yang melarang ia
bergaul dengan orang2 dari agama sesat. Apapula ia hanya bisa hidup setengah
tahun lagi. Sehingga ilmu silat yang tinggi tidak banyak artinya. Memikir
begitu ia lantas berkata, Terima kasih atas kecintaan Yo Peh-peh, tapi aku
adalah murid Boe Tong dan aku tidak berani menerima pelajaran dari orang lain.
Oh! Yo Siauw mengeluarkan
seruan kaget, Kalau begitu, kau murid Boe Tong. Dan In Lie Heng In Liok Hiap..
Ia pamanku, kata Boe Kie.
Semenjak ayah meninggal dunia. In Lioksiok selalu memperlakukan aku seperti
keponakan sendiri. Bahwa aku telah melakukan permintaan Kie Kouw untuk
mengantarkan Poet Hoei Moay-moay kepadamu, di dalam hati..aku merasa. merasa
malu terhadap In Lioksiok.
Ketika itu sinar mata Yo Siauw
kebentrok dengan sinar mata Boe Kie dan ia kelihatannya merasa jengah. Sambil
mengibas tangan, ia kemudian berkata, Kalu begitu, sampai bertemu lagi,
badannya berkelebat dan melesat beberapa tombak jauhnya.
Boe Kie koko! Boe Kie koko!
teriak Poet Hoei.
Tapi ilmu ringan badan Yo
Siauw tak kepalang cepatnya. Suara Boe Kie koko makin jauh kedengarannya dan
kemudian menghilang dari pendengaran.
Boe Kie berdiri terpaku.
Sesudah melakukan perjalanan berlaksa li bersama sama dan sekarang secara
mendadak ia harus berpisahan dengan adik kecil itu, di dalam hatinya tentu
muncul perasaan duka.
Sementara itu, luka
dipundaknya jadi makin sakit. Ia segera menuju ke sebuah lereng gunung yang
sepi dengan niatan mencari daun obat. Tapi pohon2 dan rumput2 yang tumbuh di
Koen Loen San berbeda dengan yang tumbuh di wilayah Tionggoan. Sehingga daun2
obat yang tertulis dalam buku Ouw Cong Gie tidak terdapat disekitar tempat itu.
Sesudah berjalan dua puluh li lebih, rasa sakit makin menghebat dan ia lalu
duduk diatas satu batu besar untuk mengaso. Tiba2 terdengar menyalaknya anjing,
makin lama makin dekat, seperti juga ada sesuatu yang sedang diburu.
Beberapa saat kemudian, dri
sebelah kejauhan kelihatan mendatangi seekor kera kecil yang pantatnya
tertancap sebatang anak panah pendek. Waktu berada kira2 sepuluh tombak dari
Boe Kie, binatang itu tiba2 bergulingan dan tidak bisa bangun lagi. Boe Kie
mendekati dan melihat sinar mata kera yang penuh rasa sakit. Rasa kasihan
lantas saja timbul dari hatinya. Ia ingat nasibnya sendiri waktu diubar2 oleh
orang Koen Loen Pay dan ia ingat pula kera piaraannya di pulau Peng Hwee To. Ia
segera mengangkat binatang itu, mencabut anak panah dan menaruh obat luka di
lukanya. Sementara itu suara menyalaknya anjing sudah semakin dekat. Buru buru
ia menyingkap bajunya dan menyembunyikan kera itu. Sesat kemudian belasan ekor
anjing sudah tiba disitu dan karena mengendus bau kera, mereka lantas saja
mengurung Boe Kie sambil menyalak hebat dan memperlihatkan sikap menakuti.
Melihat galaknya kawanan anjing itu, Boe Kie agak keder. Ia mengert, bahwa
begitu lekas ia melemparkan si kera, ia akan terbebas dari ancaman.
Tapi berkat didikan mendingan
ayahnya, sedari kecil ia sudah mempunyai jiwa ksatria. Sehingga biarpun
terhadap seekor binatang, ia sungkan memperlihatkan jiwa yang kecil. Sesudah
menarik nafas dalam2, ia melompat dan terus kabur, dengan diubar oleh kawanan
anjing itu.
Kawanan binatang itu anjing2
pemburu. Lari dengan kecepatan luar biasa dan baru saja kabur belasan tombak,
ia sudah di candak. Tiba2 ia merasa betisnya sakit digigit keras oleh seekor
anjing. Ia memutar dan menghantam kepala binatang itu yang lalu lantas saja
robaoh tanpa berkutik lagi. Tapi yang lainnya tidak menjadi keder dan dengan
serentak mereka menubruk. Ia melawan dengan nekat, tapi karena tulang pundaknya
patah dan lengan kirinya tidak daoat digerakan, tangan kirinya segera kena
digigit. Hampir berbaring, kawanan anjing itu menubruk dan menggigit kaki,
tangan, kepala, punggung,.sekujur badannya. Dalam keadaan setengah pingsan,
sayup2 ia mendengar suara bentakan yang nyaring dari seorang wanita dan sekejap
kemudian matanya gelap.
Entah berapa lama ia berada
dalam mimpi. Ia mimipi dikerubuti anjing2 galak, ia membuka mulut untuk
berteriak, tapi suaranya tidak bisa keluar..dalam keadaan lupa ingat, ia merasa
anjing2 itu mundur teratur..
Tiba2 ia mendengar suara
manusia. Panasnya mulai teduh. Mungkin ia ketolongan.
Perlahan2 ia membuka kedua
matanya dan melihat, bahwa ia sedang rebah di atas ranjang dalam sebuah kamar
yang diterangi lampu kecil dan didepan ranjang berdiri seoranglelaki setengah
tua.
Dengan rasa heran ia berkata
Toa siok.mengapa.aku.ia tak dapat meneruskan perkataannya karena sekujur
badannya sakit bukan main dan badannya panas membara. Sekarang ia ingat, bahwa
ia telah diserang kawanan anjing.
Anak, umurmu panjang kata
orang itu, Apa kau lapar?
Dimana..aku. katanya. sekali
lagi ia tak dapat meneruskan perkataannya, karena kedua matanya keburu gelap.
Waktu ia sadar pula, orang itu
sudah pergi, Sedang aku tak akan hidup lebih lama lagi, mengapa aku mesti
mengalami begitu banyak penderitaan? katanya dalam hati. Ia mendapat kenyataan,
bahwa leher, kepala, bahu, tangan, paha, betis, dan dadanya semua dibalut
dengan kain dan bau daun obatmenusuk hidung.
Dari bau obat ia tahu, bahwa
orang yang mengobatinya tidak begitu paham ilmu pengobatan. Ia mengendus bau
Heng Jin, Ma-cia-coe, Hong ho, Lum Chee dan kain2 obat yang biasa digunakan
untuk mengobati luka bekas gigitan anjing gila. Tapi ia bukan digigit anjing
gila. Yang perlu disembuhkan adalah daging dan otot2nya yang rusak. Dengan
diberikannya obat yang tidak cocok, lukanya jadi makin sakit. Tapi ia tak
berdaya. Ia tak bisa bangun waktu fajar menyingsing, lelaki setengah tua itu
datang menengok lagi.
Toa siok, terima kasih banyak
untuk segala pertolonganmu, kata Boe Kie.
Terima kasih apa? kata orang
itu Bukan aku yang menolong kau.
Dimana aku berada? Siapa yang
sudah menolong aku? tanya pula Boe Kie.
Kau berada di Bwee-hoa
San-Chung (gedung bunga Bwee), jawabnya Yang menolong kau adalah siocia (nona)
kami. Apa kau lapar? Sebaiknya kau makan bubur panas. Sambil berkata begitu, ia
bertindak keluar dan balik dengan membawa semangkok bubur daging. Baru saja Boe
Kie makan beberapa sendok, ia merasa nek dan tidak bisa makan lebih banyak.
Sesudah rebah delapan hari,
barulah Boe Kie bisa bangun perlahan2. ia tak bertenaga dan kalau berdiri,
kedua kakinya gemetaran. Ia tahu kelemahan itu adalah akibat terlalu banyak
mengeluarkan darah dan kekuatannya tidak bisa pulih dalam tempo cepat. Lelaki
setengah tua setiap hari merawatnya dan membawa bubur, sehingga walaupun
sikapnya agak kurang enak, Boe Kie merasa sangat berterima kasih. Orang tua itu
tidak suka banyak omong dan biarpun Boe Kie ingin sekali mengajukan banyak
pertanyaan ia tidak berani membuka mulut.
Hari itu, lelaki setengah tua
itu kembali membawa obat2an yang sama, campuran Hong hong, Lam-chee dan lain2.
tanpa merasa Boe Kie berkata Toasiaok, obat itu tidak begitu cocok untuk
mengobati lukaku ini. Bolehkah memohon pertolongan supaya toasioak suka
menukarnya?
Dia kelihatan mendongkol dan
mengawasi Boe Kie dari kepala sampai ke kaki Surat obat Looya mana bisa salah?
katanya. Kau kata tak cocok. Tapi dengan obat itu, kau teloah dihidupkan
kembali. Bocah, jangan kau ngaco belo. Looya seorang mulia, sehingga meskipun
ia dengar perkataanmu, ia tentu tak menjadi gusar. Tapi kau sendiri harus
mengenal kira2 jangan asal menggoyangkan lidah sehabis berkata ia segera
menempelkan obat itu si luka Boe Kie dan lalu membalutnya.
Sesudah selesai ia berkata.
saudara kecil, kulihat kau sudah mulai sembuh. Adalah pantas jika sekarang kau
menghaturkan terima kasih kepada Looya, Tai tai dan Siocia yang sudah menolong
jiwamu
Tentu saja kata Boe Kie
Toasiok, kalau dapat, sekarang saja aku mohon kau mengantarkan aku pada mereka.
Dengan ditemani orang itu
sebagai penunjuk jalan, Boe Kie melalui lorong yang sangat panjang dan sudah
melewati dua ruangan. Mereka masuk ke sebuah ruangan yang sangat indah. Waktu
sudah musim dingin dan dan hawa di seluruh daerah gunung Koen Loen dingin bukan
main, tapi ruangan itu hangat bagaikan di musim semi dan anehnya Boe Kie sama
sekali tidak melihat perapian. Dengan rasa kagum ia mengawasi sebuah vas indah
di atas meja dengan beberapa batang bunga bwee merah, didepan dialaskan dengan
seprei sulam dan kursi2 dengan bantal sulam yang terbuat dari sutra. Seumur
hidupnya, ia belum melihat ruangan yang seindah itu. Tiba2 ia ingat pakaiannya
yang compang camping, sehingga ia merasa mukanya panas.
Disitu tidak terdapat manusia.
Dengan sikap hormat dan sambil membungkuk pengantarnya berkata Bocah yang
digigit anjing sudah sembuh dan ia datang untuk menghaturkan terima kasih
kepada Looya dan Tai tai.
Beberapa saat kemudian, dari
belakang sekosol muncul seorang gadis kecil yang baru berumur kira2 lima belas
tahun. Sesudah melirik Boe Kie, ia berkata Kiauw Hok, terlalu kau! Mengapa kau
bawa ia kemari? Kutu busuk dipakaiannya bisa berlompatan disini
Ya.ya kata Kiauw Hok
mwndengar perkataan itu Boe
Kie memang sudah merasa jengah, jadi lebih malu lagi, sehingga selebar mukanya
lantas saja berubah merah. Memang benar, sebab tak punya tukaran, pakaian yang
comang camping sudah banyak tumanya. Diam2 ia melirik da melihat bahwa gadis
itu berparas cantik dengan muka potongan telor dan mengenakan pakaian semacam
sutra yang berkilauan, sedang pergelangannya sangat halus Waktu diserang
anjing, kudengar suara bentakan seorang wanita katanya dalam hati. Kiauw
Toasioak juga mengatakan bahwa orang yang menolong aku adalah siocianya. Kalau
begitu dialah siocia yang dimaksudkan. Aku harus menghaturka terima kasih
dengan berlutut. Memikir begitu ia lantas saja menekuk kedua lututnya seraya
berkata. Terima kasih atas pertolongan siocia. Selama hidup Thio Boe Kie takkan
melupan budi yang sangat besar
gadis itu kelihatan kaget dan
sejenak kemudian, ia tertawa cekikikan. Aduh! Kiauw Hok mengapa kau
mempermainkan bocah tolol itu? katanya.
Kiauw Hok turut tertawa geli.
Siauw Hong Ciecie katanya apa salahnya jika bocah tolol itu berlutut
dihadapanmu? Dia belum pernah melihat luasnya dunia dan meihat kau, dia menduga
kau adalah siocia.
Boe Kie bersikap buru2 ia
bangun berdiri. Celaka! Seorang budak dianggapnya seorang majikan! Sungguh
hebat rasa malunya, mukanya sebentar merah, sebentar pucat.
Sambil menahan tawanya Siauw
Hong mengawasi Boe Kie, dari kepala sampai di kaki. Noda darah di muka dan di
badan si bocah masih belum hilang. Disana sini masih terdapat perban pada luka
yang belum sembuh. Muka Boe Kie sebentar pucat sebentar merah, kalau bisa
siang2 ia sudah selulup di tanah.
Looya dan Tai tai ada urusan,
kau tak usah menemui beliau kata Siauw Hong Mari menemui Siocia saja. Sehabis
berkata begitu, ia memutar badan dan berjalan dulu cepat cepat, seperti juga ia
takut terkena tuma dari baju si bocah.
Boe Kie mengikuti di belakang
Siauw Hong dan Kiauw Hok, bujang2 perempuan dan lelaki yang ditemui mereka
semua berpakaian mewah, sedang ruangan2 yang dilewati semua indah dengan
perabotan lengkap. Semenjak dilahirkan sampai berusia sepuluh tahun Boe Kie
berdiam di pulau Peng Hwee To dan sesudah itu beberapa tahun ia berdiam di Boe
Tong San dan beberapa tahun lagi di Ouw Tiap Kok. Selama belasan tahun, ia
selalu hidup sederhana dan ia tak pernah mimpi, bahwa di dalam dunia terdapat
kemewahan yang begitu rupa.
Sesudah berjalan beberapa
lama, mereka tiba di depan sebuah toa tia(ruangan besar)yang diatasnya
tergantung selembar pian dengan tulisan Han Kong Kie (rumah anjing).
Siauw Hong masuk dan beberapa
saat kemudian, ia keluar dan menanggapi, Kiauw Hok segera mengajak Boe Kie
masuk ke dalam.
Begitu masuk si bocah
terkesiap, karena dalam ruangan itu terdapat kurang lebih tiga puluh ekor
anjing yang bertubuh besar dan galak kelihatannya. Semua mendekam di lantai
dalam tiga baris. Di atas sebuah kursi yang dialaskan kulit harimau berduduk
seorang wanita muda yang mengenakan baju bulu2 rase putih dan memegang pecut.
Tenggorokan! tiba2 nona itu
membentak.
Hampir berbarengan, seekor
anjing melompat dan menyambar ke arah leher seorang yang berdiri di pinggir
tembok.
Celaka!.... Boe Kie
mengeluarkan teriakan tertahan.
Dilain saat, ia melihat anjing
itu sudah menggigit sepotong daging yang lalu dimakannya sambil mendekam.
Sekarang ia baru tahu, bahwa manusia yang barusan disambar hanyalah
orang-orangan yang terbuat dari kulit dan pada bagian2 badannya yang berbahaya
dicantelkan potongan2 daging.
kepungan! bentak pula si nona.
Anjing kedua melompat dan
menggigit kepungan orang-orangan itu. Serangan kedua anjing itu cepat dan
tepat. Sekarang Boe Kie ingat, bahwa yang menyerangnya pada hari itu adalah
anjing2 tersebut dan lapat2 ia juga teringat bahwa suara bentakan wanita yang
didengarnya sebelum ia pingsam adalah wanita yang sekarang ada di hadapannya.
Kedatngan Boe Kie sebenarnya
untuk menghaturkan terima kasih pada penolongnya. Tapi sekarang ia tahu, bahwa
anjing2 yang sudah menggigitnya adalah binatang piaraan nona itu. Tiba2 saja
darahnya meluap, Sudilah! pikirnya Dengan dilindungi oleh binatang2 itu, aku
tidak bisa berbuat apa2 terhadapnya. Kalau aku tahu bahwa semua penderitaanku
adalah karena gara2nya, aku lebih suka mampus daripada menerima pertolongannya.
Memikir begitu dengan gregetan ia membuka semua perban yang masih menempel pada
dirinya dan melemparkannya ke atas lantai. Sesudah itu ia memutar badan dan
berjalan pergi.
Kiauw Hok kaget Hei! teriaknya
Mengapa kau pergi? Inilah siocia kami. Lekas berlutut!.
Berlutut? mengulangi Boe Kie
dengan suara gusar. Bukankah anjing2 yang menggigit aku miliknya sendiri?.
Melihat kegusaran si bocah,
nona itu tersenyum. saudara kecil ia menanggapi. Mari sini.
Boe Kie memutar badan dan
segera berhadapan dengan nona rumah. Entah mengapa, mendadak jantungnya memukul
keras, nona itu yang berusia tujuh belas tahun atatu delapan belas tahun,
ternyata cantik luar biasa. Sudah sering ia melihat wanita cantik, tapi seumur
hidup belum pernah melihat yang secantik si nona. Mukanya yang mula2 pucat
berubah menjadi merah.
Kemari! panggil nona itu.
Boe Kie mengangkat kepala dan
matanya kebentrok dengan sepasang mata yang bersorot halus, tapi berpengaruh,
sehingga tanpa merasa, ia bertindak maju. Nona itu bangkit dan mencekal kedua
tangan Boe Kie yang badannya jadi bergemetaran. Tangan itu halus dan empuk. Si
bocah malu dan bingung, ia ingin menarik tangannya, tapi tak rela ia berbuat
begitu.
Saudara kecil apa kau gusar
terhadapku? tanya si nona.
Sesudah menderita begitu hebat
dari kawanan anjing itu, bagaimana ia tak gusar? Tapi sekarang dengan tangan
dicekal dan dengan berdiri dalam jarak yang begitu dekat dengan si cantik,
sehingga ia dapat menggendus bau yang sangat harum, mana bisa ia mengaku gusar.
Ia menggelengkan kepala dan menjawab Tidak.
===========================
Aku she Coe, namaku Kioe Tin.
Si nona memperkenalkan dirinya. Dan kau?
Namaku Thio Boe Kie, jawabnya.
Hm Bagus sekali namamu.
Saudara kecil kurasa kau putra dari keluarga sastrawan. Duduklah di sini.
Seraya berkata begitu, ia menunjuk sebuah kursi di sampingnya.
Semenjak dilahirkan, inilah
untuk pertama kali Boe Kie merasakan pengarah seorang wanita. Kalau waktu itu
Kioe Tin memerintahkan ia melompat ke dalam api, ia pasti akan melompat. Dengan
hati berdebar-debar ia lalu duduk di kursi yang ditunjuk.
Melihat perlakuan nona mereka
yang begitu ramah tamah terhadap bocah kotor dan bau itu, bukan main rasa
herannya Siauw Hong dan Kiauw Hok.
Tiba-tiba Kioe Tin membentak.
Jantung!
Seekor anjing lantas saja
melompat dan menerjang. Tapi daging yang tergantung di bagian jantung dari
orang yang sudah tidak ada lagi sudah dimakan oleh anjing lain dan anjing itu
lantas menggigit potongan daging yang digantung di bawah ketiak.
Binatang! bentak si nona. Kau
berani melawan!
Terrrr!....Terrr., ia menyabet
dua kali. Pada pecut itu dipasang duri-duri halus, sehingga di badan anjing
yang dihajar lantas saja terlihat dua garis yang bersemu darah. Tapi anjing
itu, yang rupanya sudah lapar, masih tidak melepaskan daging yang digigitnya.
Bukan saja begitu, dia bahkan menggeram.
Nona Coe mengkin jadi gusar.
E..eh! Benar-Benar kau melawan! bentaknya dan pecutnya lantas saja
menyambar-nyambar bagaikan kilat. Ia memukul dengan gerakan lincah dan meskipun
anjing itu bergulingan di lantai, setiap sabetannya selalu mengenai sasaran,
sehingga akhirnya, binatang itu tidak berani bergerak lagi dan mendekam sambil
mengeluarkan suara minta diampuni. Tapi Kioe Tin masih memukul dan baru
berhenti setelah binatang itu tidak bias berkutik lagi dan napasnya tinggal
sekali-sekali. Kiauw Hok, bawa dia keluar dan obati lukanya.
Baiklah, jawabnya dan ia lalu
memondong anjing itu.
Melihat contoh yang hebat itu,
anjing-anjing lain mendekam tak berani berkutik.
Sesudah itu, dengan
beruntun-runtun Kioe Tin mengeluarkan perintah. Betis kiri! Bahu kanan! Mata!
Tiga ekor anjing dengan
beruntun melompat dan menggigit menurut perintah.
Saudara kecil, lihatlah! kata
si nona sambil tersenyum. Kalau tidak dijambak, mana mereka mau dengar kata?
Walaupun telah menderita
karena serangan kawanan anjing, tapi melihat hajaran hebat yang diberikan oleh
nona Coe, Boe Kie merasa kasihan dan tidak dapat membenarkan tindakan nona yang
dianggap kejam olehnya.
Melihat Boe Kie membungkam, si
nona tertawa dan berkata pula. Tadi kau mengatakan tak gusar. Tapi mengapa kau
tak mau bicara? Bagaimana kau bias berada di wilayah See Hek, di wilayah barat
ini. Dimana ayah dan ibumu?
Sebelum menjawab, si bocah
memikirkan sejenak. Ia merasa, bahwa dalam keadaan yang seperti ini, jika
menyebutkan nama Tay Soehoe atau kedua orang tuanya merendahkan derajat orang
tua itu. Maka ia lantas saja berkata ayah dan ibunya sudah meninggal dunia
karena di Tionggoan sukar mencari makan, maka aku terlunta-lunta sampai di
sini.
Mengapa kau menyembunyikan
kera yang telah kupanah? Tanya pula nona Coe. Apa kau kelaparan? Mau makan
daging kera, bukan? Hmm Hampir-hampir kau dirobek oleh anjing-anjingku.
Muka si bocah lantas saja
berubah merah. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia berkata. Bukan, aku bukan
mau makan daging kera.
Kioe Tin menepuk pundak Boe
Kie dan berkata seraya tersenyum. Lebih baik kau jangan berdusta. Ia berdiam sejenak
dan berkata pula. Ilmu silat apa yang pernah kau pelajari? Dengan sekali
memukul kau telah meremukkan batok kepalan Co Ciangkoen. Tenagamu boleh juga.
(Ciangkoen - Jenderal)
Co Ciangkoen? Boe Kie menegas
dengan heran.
Si nona tak menjawab, ia hanya
tersenyum. Tiba-Tiba ia membentak, Cian Ciangkoen!
Seekor anjing lantas saja
keluar dari barisannya lalu mendekam di tengah ruanga.
Ki-Ki Ciangkoen! si nona
membentak pula dan hampir berbareng, seekor anjing lain keluar dari barisan.
Ternyata setiap anjing diberi nama Jenderal dan Coe Kioe Tin sendiri berlaku
sebagai panglima besar.
Karena bingung, mungkin sekali
aku sudah mengeluarkan tenaga habis-habisan, jawab Boe Kie. diwaktu kecil, dua
tiga tahun aku belajar sejurus dua jurus Dari mendiang ayahku. Tak dapat
dikatakan, bahwa aku tahu ilmu silat.
Kioe Tin mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sesaat kemudian, ia menengok kea rah Siauw Hong dan berkata Antar
dia ke kamar mandi dan berikan pakaian baru.
Baik, jawabnya sambil tertawa
kecil.
Boe Kie merasa berat untuk
meninggalkan ruangan itu. Waktu tiba di ambang pintu, tanpa sadar ia merasa
menengok ke belakang dan melirik Kioe Tin. Apa mau, pada detik itu, si nona pun
sedang mengawasi dia, sehingga tanpa tercegah lagi, dua pasang mata segera
beradu. Si nona tertawa dan rasa jengahnya Boe Kie tak dapat dilukiskan lagi.
Semangatnya terbang, kakinya tersandung balok yang melintang di tengah pintu
dan roboh terguling. Karena lukanya belum sembuh, bukan main sakitnya. Tapi,
tanpa mengeluarkan suara, buru-buru ia bangun dan berdiri, Siauw Hong tertawa
geli. Hm, siapapun yang melihat Siocia, dia pasti roboh, katanya. Tapi, kau
kecil-kecil matamu sudah seperti mata culik.
Boe Kie jadi makin malu. Ia
berjalan secepat mungkin. Sesudah berjalan beberapa lama, sekonyong-konyong
Siauw Hong berkata.
Eh, mau kemana kau? Apakah kau
mau pergi ke kamar Tai Tai?
Si bocah menghentikan
tindakannya. Di sebelah depan ia melihat sebuah kamar dengan tirai jendela
sulam. Sekarang ia mengerti, bahwa karena bingung dan terburu-buru, ia sudah
mengambil jalanan yang salah. Siauw Hong sangat jahil, sesudah si bocah berada
di depan kamar buku nyonya majikan, barulah ia mengejek.
Boe Kie menunduk tanpa
mengeluarka sepatah kata. Ia malu dan mendongkol.
Aku akan mengantarkan kau jika
kau berkata Siauw Hong cici, tolonglah aku, kata si jahil.
Mau tak mau Boe Kie berkata,
Siauw Hong cici..
Ada apa? Tanya Siauw Hong.
Tolonglah aku, antarlah aku
keluar dari jalanan yang salah ini. Jawabnya.
Nah! Benar begitu! kata si
jahil sambil tertawa.
Tak lama kemudian, mereka tiba
di depan kamar si bocah.
Siocia memberi perintah,
supaya bocah ini mandi, kau berikan pakaian baru kepadanya, kata Siauw Hong
kepada Kiauw Hok.
Baik, Baik! jawabnya dengan
sikap hormat.
Melihat sikap Kiauw Hok, Boe
Kie menduga bahwa Siauw Hong bukan dayang biasa, sedikitnya ia mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dari pelayan atau dayang biasa. Disaat lain, lima
enam pelayan lelaki menghampiri dan merebut mengajak omong dengan menggunakan
penggilan Siauw Hong cici. Tapi dia tidak meladeni.
Tiba-tiba Siauw Hong merangkap
kedua tangannya dan menjura kepada Boe Kie.
Si bocah kaget. E-eh,
mengapa?.... tanyanya.
Tadi kau berlutut dihadapanku
dan sekarang membalas hormat, jawabnya sambil memutar badan dan terus berjalan
pergi.
Kepada kawan-kawannya Kiauw
Hok segera menceritakan bagaimana Boe Kie berlutut di hadapan Siauw Hong yang
dianggapnya Coe Kioe Tin. Cerita itu ditambah bumbu sedap, sehingga semua orang
tertawa terpingkal-pingkal. Tapi Boe Kie tak jadi gusar. Di dalam hatinya, ia
telah mengingat wajah nona Coe, gerak-geriknya, dan perkataan-perkataannya.
Sesudah mandi, Kiauw Hok
menyerahkan satu stel pakaian kain hijau padanya, yaitu pakaian pelayan. Sambil
bengong, ia mengawasi pakaian itu. Sungguh celaka! katanya di dalam hati. Aku
belum jadi pelayan, bagaimana aku bisa pakai pakaian begitu? jika menuruti adat
ia tentu sudah menolak. Tapi di lain saat ia mendapat lain pikiran kalau Siocia
memanggil aku dan melihat aku masih mengenakan pakaian rombeng. Ia tentu akan jadi
gusar. Pikirnya, Apa salahnya andai kata aku benar jadi pelayannya? Memikir
begitu, jadi tenang dan tanpa berkata suatu apa, ia segera memakai pakaian itu.
Tapi panggilan si nona yang
ditunggu-tunggu tak kunjung datan. Jangankan Kioe Tin, Siauw Hong pun tak
kelihatan mata hidungnya. Boe Kie hanya dapat membayang-bayangkan wajah nona
Coe. Ia merasa, bahwa di dalam dunia yang lebar ini, tak ada wanita yang
secantik dia. Ia ingin sekali pergi ke bagian gedung itu untuk melihat si nona
atau mendengar suaranya yang merdu dari kejauhan. Tapi ia tidak berani, karena
sudah beberapa kali Kiauw Hok memesan, supaya, kalau tidak dipanggil, tidak
boleh masuk ke ruang belakang, karena bisa diserang kawanan anjing.
Dengan cepat satu bulan sudah
berlalu. Luka-luka Boe Kie sudah sembuh seluruhnya. Hanya pada muka dan
tangannya terdapat bekas-bekas gigitan yang tak bisa hilang. Tapi ia tak jadi
jengkel. Sebaliknya daripada jengkel setiap kali melihatnya, ia ingat bahwa
luka itu adalah akibat gigitan anjing si nona. Hatinya merasa senang.
Sementara itu, racun dingin
yang masih mengeram dalam badannya mengamuk dalam setiap waktu tertentu, yaitu
sekali setiap tujuh hari, yang satu lebih hebat dari yang lain. Hari itu, racun
dingin menyerang pula. Ia rebah di ranjang dengan selimut, badannya menggigil,
giginya gemetaran. Waktu Kiauw Hok masuk dan melihat si bocah berada dalam
keadaan begitu, ia tidak jadi heran. Sebentar, kalau sudah mendingan, kau
bangun dan makan semangkok bubur panas. Katanya. Nih, ini pakaian baru hadiah dari
Tai Tai untuk melewati tahun baru. Sesudah berkata begitu, ia menaruh satu
bungkusan di atas meja.
Kira-kira tengah malam barulah
serangan racun mulai mereda. Ia bangun dan membuka bungkusan itu yang berisi
baju kulit kambing baru. Ia girang, tapi iapun tahu, bahwa baju itu adalah baju
untuk pelayan, sehingga, dengan demikian ia sudah dianggap sebagai pelayan dari
keluarga Coe.
Pada hakikatnya Boe Kie
beradat kasar dan kenyataan itu tidak dianggap sebagai hinaan olehnya. Tak
dinyana aku berdiam di sini sampai sebulan lebih dan sekarang tahun baru
kembali berada di depan mata, katanya di dalam hati. Ouw Shinshe mengatakan
bahwa aku tak bisa hidup lebih daripada satu tahun lagi. Inilah tahun baru
penghabisan yang dapat dilewati olehku.
Seperti umumnya terjadi pada
setiap keluarga hartawan. Dalam menghadapi tahun baru, Keluarga Coe pun repot
bukan main. Pelayan-pelayan membersihkan dan mencat rumah dan perabotan.
Beberapa hari sebelum tiba tanggal satu, mereka sudah memotong babi, kembing,
dan ayam untuk merayakan tahun yang baru. Boe Kie membantu apa yang bisa
dibantunya. Ia mengharap harian tahun baru lekas-lekas dating. Pada hari itu,
semua orang akan menghaturkan selamat tahun baru kepada Laoya dan Tai Tai dan
ia merasa pasti, ia akan bisa bertemu lagi dengan nona Coe. Ia mengambil
keputusan, bahwa melihat lagi wajah Coe Kioe Tin, ia akan berlalu dengan
diam-diam dan menyembunyikan diri di gunung yang sepi supaya ia bisa mati tanpa
diketahui manusia.