Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 37
Tiba-tiba ia mengeluh karena
di jalanan yang barusan dilewatinya, yang tertutup dengan salju, terdapat
tapak-tapak kakinya sendiri. Daerah barat (See hek) adalah daerah yang hawanya
sangat dingin dan biarpun waktu itu sudah masuk musim semi, salju di
gunung-gunung masih belum lumer. Semalam, dalam ketakutannya, ia tak berani
jalan di tanah datar dan sudah mendaki puncak itu. Tapi dengan berbuat begitu,
ia malah sudah membuka rahasia sendiri.
Pada saat itu, dari sebelah
kejauhan sekonyong-konyong terdengar geram kawanan serigala yang menakutkan.
Boe Kie berdiri di atas batu karang yang sangat curam. Mendengar suara itu, ia
mengawasi ke bawah. Ternyata, di dasar lembah terdapat tujuh-delapan serigala
yang sedang meronyang-ronyang kearahnya dan menyalak tak henti-hentinya.
Kawanan binatang itu kelihatannya kelaparan dan ingin menubruk dirinya untuk
mengganjal perut. Tapi ia berdiri di tempat aman yang terpisah jauh dari
mereka.
Ia memutar kepala dan
mengawasi keberapa jurusan. Mendadak sekali ia terkesiap. Matanya yang jeli
melihat bergeraknya lima bayangan manusia di sebuah tanjakan. Ia tahu, bahwa
mereka rombongan Coe Tiang Leng yang sedang mengejar dirinya. Dari jauh mereka
kelihatannya berjalan sangat perlahan, tapi ia mengerti, bahwa dalam tempo satu
jam, mereka akan tiba di tempat dimana ia sekarang berdiri.
Sesudah menentramkan hatinya,
Boe Kie segera mengambil satu keputusan, “lebih baik aku mati dimakan serigala
daripada jatuh ke dalam tangan mereka,” katanya dalam hati.
Untuk sejenak ia berdiri
bengong. Ia ingat bahwa dengan setulus hati ia mencintai Kioe Tin sebagai
seorang adik mencintai kakak sendiri. Sungguh tak dinyana wanita yang begitu
cantik mempunyai hati yang begitu kejam. Ingat begitu, ia malu campur duka.
Cepat-cepat ia melompat dan masuk ke dalam hutan dengan berlari. Karena hutan
terdapat rumput-rumput tinggi,
maka meskipun masih ada salju,
tapak-tapak kakinya sukar terlihat. Sesudah lari beberapa lama, mendadak racun
dingin dalam tubuhnya mengamuk lagi. Ia tidak kuat berjalan terus. Rasa lelah
dicampur dengan kesakitan hebat. Apa boleh buat, ia merangkak masuk ke dalam
gerombolan alang-alang dan menjumput sebutir batu tajam dari atas tanah. Ia
sudah mengambil keputusan bahwa Coe Tiang Leng mengejar sampai di situ dan cepat
menemukan tempat persembunyiannya, ia akan membunuh diri dengan menghantam Tay
Yang Hiatnya
dengan batu itu.
Sesudah mengambil keputusan
itu, hatinya jadi lebih tenteram. Didepan matanya lantas saja terbayang
kehidupan bahagia selama 2 bulan lebih dalam rumah Tiang Leng dan peringatan
yang sedap itu telah mendatangkan kedukaan terlebih besar dalam hatinya.
“Pendeta Siau Lim Sie mencelakakan aku, tapi hal itu tidak usah dibuat heran.”
Pikirnya. Orang-orang Kong Tong Pay, Hwa San Pay dan Kun Lun Pay telah membalas
budi dengan kejahatan, tapi itupun tak perlu dihiraukan. Tapi Tin Cie… aku
mencintainya dengan sepenuh hati!… ah! Bukankah ibu pernah memesan aku pada
waktu ia mau menghembuskan napas yang penghabisan? Mengapa aku melupakan pesan
itu.
Sebagaimana diketahui, sebelum
mati In So So telah memesan Boe Kie supaya anak itu berhati-hati terhadap
perempuan. Menurut So So, makin cantik wanita, makin pandai menipu orang.
Dengan air mata
berlinang-linang, anak itu berkata dalam hatinya. “Waktu mengucapkan pesan itu,
pisau sudah menancap di dada ibu. Dengan menahan sakit, ibu sudah memesan aku,
tapi aku sendiri sedikitpun tidak memperdulikan pesan itu. Kalau aku tidak
mengerti ilmu membuka jalan darah, tipu busuk Coe Tiang Leng dan kawan-kawannya
sudah pasti tidak akan
diketahui olehku dan aku
menuntun mereka ke Peng Hwee To untuk mencelakakan Gie Hu.”
Sesudah hatinya lebih
tenteram, ia bisa memikir secara lebih terang. Ia segera dapat melihat latar
belakang dari tindakan-tindakan Coe Tiang Leng. Sesudah menduga, bahwa ia
adalah putera Thio Coei San, si orang she Coe lalu membinasakan kawanan anjing,
sebagai tindakan pertama untuk mendapat kepercayaan.
Sesudah itu, dia berlaku
manis-manis sampai akhirnya membakar gedung sendiri. Biarpun termusnahnya
rumah-rumah itu harus disayangkan, akan tetapi harta benda tersebut tidak
berarti banyak jika disbanding dengan To Liong To, senjata mustika yang dapat
membuat pemiliknya menjadi seorang termulia dalam rimba persilatan.
Waktu masih berada di pulau,
aku sering melihat Gie Hu duduk bengong sambil memeluk golok itu,” kata Boe Kie
dalam hati. “Tapi selama sepuluh tahun, ia masih juga belum bisa menembus
rahasia golok itu. Coe Tiang Leng adalah seorang yang pintar luar biasa dan
kecerdasan otaknya lebih lihai daripada Gie Hu. Jika To Liong To sampai jatuh
ke tangannya, apa yang tak dapat ditembus Gie Hu, mungkin sekali dapat
dipecahkan olehnya.”
Sesaat itu, suara tindakan
kaki sudah terdengar tegas, sebagai tanda bahwa rombongan pengejar sudah masuk
ke dalam hutan.
“Bocah itu pasti bersembunyi
di hutan ini,” bisik Boe Liat. “Tak mungkin dia kabur ke tempat lain…”
“Ssst!” Tiang Leng memutuskan
perkataannya. Sesaat kemudian ia berkata pula dengan suara keras. “Hai! Entah
apa kesalahan Tin Jie…. Aku sungguh sangat kuatir. Ia masih begitu kecil dan
kalau sampai terjadis sesuatu atas dirinya, biarpun badanku hancur luluh, aku
masih belum bisa menebus dosa.” Suara itu dikeluarkan dengan nada parau,
seperti juga benar-benar
ia bersusah hati. Akan tetapi,
bagi Boe Kie perkataan-perkataan itu membangunkan bulu roma.
Dilain saat, Boe Kie mendengar
suara beberapa orang memukul alang-alang dengan tongkat. Ia rebah sambil
menahan nafas dan tidak berani berkutik. Untung juga, hutan sangat luas dan
mereka tidak dapat ke tempat persembunyian si bocah.
Sesudah berusaha beberapa lama
tanpa berhasil, tiba-tiba Coe Tiang Leng membentak keras-keras, “Tin Ji, apakah
yang sudah dperbuat olehmu sehingga saudara kecil kabur ditengah malam buta?”
Kioe Tin kaget, tapi ayahnya
segera memberi isyarat dengan kedipan mata. Dari tempat sembunyinya, Boe Kie
melihat kedipan itu.
“Aku hanya berguyon dan sudah
menotok jalan darahnya,” jawab si nona.
“Tidak dinyana, adik Boe Kie
menganggap salah.” Sehabis berkata begitu, ia berteriak, “Adik Boe Kie! Dimana
kau? Lekas keluar! Tin Cie ingin menghaturkan maaf kepadamu.”
Tapi tentu saja teriakan itu
tidak mendapatkan jawaban. Tiba-tiba terdengar suara tangisannya, “Thia,
jangan! Jangan pukul aku…” ratapnya.
“Aku tidak sengaja… tidak
sengaja…”
Coe Tiang Leng mencaci-caci
sedang puterinya menangis keras sambil meratap, seperti juga sedang dihajar
keras. Melihat sandiwara itu Boe Kie menghela nafas panjang. “Jika aku belum
mendapat bukti dari kepalsuannya, sudah pasti aku akan melompat ke luar,”
pikirnya.
Karena yakin bahwa Boe Kie
bersembunyi dalam hutan itu, mereka bersandiwara terus, yang satu memaki dengan
kata-kata hebat, yang lain mengeluarkan teriakan-teriakan menyayat hati.
Dengan kedua tangan, Boe Kie
menutup kupingnya, tapi suara sesambat si nona masih tetap terdengar. Sebisa
mungkin ia coba mengeraskan hati, tapi akhirnya ia tak dapat bertahan lagi.
Sesudah mengambil keputusan nekat, tiba-tiba ia melompat keluar dan berteriak.
“Tak usah kamu melangsungkan permainan gila itu! Apa kamu kira aku tak tahu
segala tipu busukmu?”
Melihat munculnya Boe Kie, Coe
Tiang Leng beramai jadi girang, “Aha! Ini dia!” seru mereka.
Dilain pihak sesudah mencaci,
Boe Kie segera berlari bagaikan kalap. Coe Tiang Liat lantas saja mengejar.
Sebelum melompat keluar, si bocah sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan
dunia yang kejam ini. Seperti seekor kijang, ia kabur ke arah tebing dengan
melompat ke jurang yang dalam. Tapi Coe Tiang Leng memiliki ilmu ringan badan
yang banyak lebih tinggi daripadanya. Maka itu, baru saja ia tiba di atas
tebing, si orang she Coe sudah menyandaknya lalu menjambret belakang bajunya.
Pada detik itu, kaki kanannya
sudah menginjak tempat kosong dan separuh badannya sudah berada di atas jurang.
Begitu Coe Tiang Leng menjambret punggungnya, kaki kirinya melompat dan
badannya menubruk ke depan. Coe Tiang Leng tak pernah menduga bahwa bocah itu
sedemikian nekat. Karena Boe Kie melompat dengan sepenuh tenaga, ia turut
terbetot. Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi. Jika pada saat itu ia melepaskan
cekalannya, dengan mudah ia akan dapat menolong diri. Akan tetapi ia mengerti,
bahwa
melepaskan anak itu berarti
sama dengan melepaskan To Liong To. Selama kurang lebih dua bulan dengan susah
payah ia sudah menjalankan tipunya, bahkan ia sampai mengorbankan gedung dan
harta bendanya. Apakah ia harus melepaskan golok mustika yang sudah berada di
depan mata?
Seluruh tubuh Boe Kie sekarang
berada di atas jurang, di tengah udara!….
“Celaka!” Coe Tiang Leng
mengeluh dengan hati mencelos. Tangan kirinya menyambar ke belakang dengan
harapan bisa mencekal tangan Boe Liat yang turut mengejar tapi pada detik itu
tangan Boe Liat masih terpisah kira-kira satu kaki.
Ternyata tenaga penarik To
Liong To lebih dahsyat daripada ancaman bencana. Coe Tiang Leng tetap mencekal
baju si bocah itu dan…. Mereka berdua tergelincir ke dalam jurang yang di
dalamnya berlaksa tombak!
Sayup-sayup terdengar teriakan
Kioe Tin dan Boe Liat. Sesaat kemudian segala apa tidak terdengar lagi, kecuali
menderunya angin….
Coe Tiang Leng mengerti bahwa
kalau jatuh di dasar, badan akan hancur lebur. Ia adalah seorang yang sudah
kenyang mengalami topan dan gelombang. Maka dalam menghadapi kebinasaan ia tak
jadi bingung.
Badan mereka melayang ke bawah
dengan cepatnya…
Jarak antara kedua dinding
jurang tidak begitu lebar dan selagi melayang jatuh beberapa kali, Coe Tiang
Leng melihat pohon-pohon yang tumbuh di dinding dan cabang-cabang melonjor ke
luar. Beberapa kali ia menjambret tapi selalu gaga. Paling belakang,
jambretannya kena, tapi sebab tenaga jatuhnya mereka terlampau hebat maka,
dengan mengeluarkan suara “krekek,” cabang siong itu yang sebesar lengan patah
dari pohonnya.
Walaupun begitu, kejadian ini
merupakan pertolongan. Biarpun cabang itu patah, jatuhnya mereka jadi tertahan
dan Coe Tiang Leng tentu saja sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
Dengan meminjam tenaga, ia mengangkat kedua kakinya dengan gerakan Ouw Liong
Jiauw Cu (Naga Hitam Melibat Tiang), ia memeluk dahan dengan kedua betisnya.
Dilain saat ia sudah mengangkat tubuh Boe Kie dan mendudukkannya di atas sebuah
cabang, tapi tangannya tetap mencekal baju si bocah, sebab ia kuatir anak itu
akan melompat lagi.
Melihat ia bakal mati dan
tetap tak bisa terlolos dari tangan si orang she Coe. Boe Kie berduka bukan main
dan berkata dengan suara membenci, “Coe PehPeh, biar bagaimana hebat kau
menyiksa aku, jangan harap aku akan menuntun kau ke tampat persembunyian Gie
Hu.”
Ketika itu Coe Tiang Leng
sendiri sudah duduk di atas satu cabang. Ia mendongak ke atas. Mereka ternyata
sudah jatuh terlalu dalam. Apa yang dilihatnya hanyalah langit. Sedang Boe Liat
dan yang lain sudah tak kelihatan bayangannya. Walaupun bernyali besar, ia
menggigil dan dahinya mengeluarkan keringat dingin.
Sesudah menentramkan hatinya,
ia tertawa dan berkata, “Saudara kecil, apa katamu? Aku tidak mengerti,
janganlah kau memikir yang tidak-tidak.”
“Segala tipu busukmu sudah
kuketahui.” Jawabnya mendongkol. “Sekarang segala tipumu sudah tidak berguna
lagi. Andaikata kau memaksa aku untuk mengantar kau ke Peng Hwee To, aku bisa
menunjuk jalan dengan sembarangan supaya kita sama-sama mampus dimakan lautan.
Apa kau kira aku takut berbuat begitu?”
Coe Tiang Leng mengerti, bahwa
ancaman itu bukan omong kosong. Ia tahu, bahwa terhadap Boe Kie yang nekat, ia
tidak bisa menggunakan kekerasan.
Orang satu-satunya yang bisa
menaklukkan si bocah adalah puterinya sendiri. Mamikir begitu, ia lantas saja
mengerahkan Lweekang dan berteriak, “Kami selamat! Jangan khawatir!”
Teriakan itu menggetarkan
seluruh lembah.
“Kami selamat!… Kami selamat!…
Jangan khawatir!…”
Tiba-tiba Coe Tiang Leng ingat
sesuatu, “Celaka!” ia mengeluh, “Aku tidak boleh berteriak begini di gunung
salju.”
Hampir berbareng,
gumpalan-gumpalan salju putih meluruk turun dari dinding jurang. Untung juga
salju tidak begitu tebal. Sehingga tidak membahayakan. Tapi Coe Tiang Leng
tidak berani berteriak lagi. Ia menghela nafas dan sambil mengawasi keempat
penjuru, ia mengasah otak untuk mencari jalan keluar. Ke bawah, jurang itu
belum kelihatan dasarnya dan andaikata mereka bisa turun sampai ke dasar
jurang, disitu belum tentu ada jalan keluar. Untuk memanjat ke atas dari
dinding yang satu, sukar dapat dilakukan, karena dinding batu itu bukan saja
sangat curam tapi juga ditutup salju licin. Maka itu, jalan satu-satunya adalah
coba memanjat ke atas dari tebing-tebing yang lain, yang tidak begitu terjal.
Memikir begitu, ia lantas saja
berkata dengan suara membujuk, “Saudara kecil, jangan kau mencurigai aku secara
membuta tuli, Biar bagaimanapun jua, aku tidak akan memaksa kau untuk mencari
Cia Sun. Kalau aku menggunakan kekerasan, biarlah aku mati terpanah laksaan
anak panah dan mati tanpa mempunyai kuburan.”
Sumpah yang begitu berat itu
bukan sumpah kosong. Ia tahu, bahwa ia memang tidak bisa memaksa anak yang
kepala batu itu. Kemungkinan satu-satunya hanyalah membujuk atau menipu supaya
si bocah mau membantunya dengan suka rela.
Dilain pihak, mendengar sumpah
itu, hati Boe Kie jadi lebih lega.
“Sekarang kita harus berusaha
untuk menyelamatkan diri dengan memanjat tebing.” Kata Coe Tiang Leng pula.
“Tapi kau tidak boleh melompat ke bawah lagi. Kau mengerti?”
“Kalau tidak memaksa aku,
akupun tak perlu mencari mati.” Jawabnya.
Coe Tiang Leng mengangguk dan
mengeluarkan pisau yang lalu digunakan untuk mengeset kulit pohon. Dengan kulit
pohon itu, ia membuat tambang yang kedua ujungnya lalu diikatkan ke pinggang
sendiri dan ke pinggang Boe Kie. Sesudah itu, perlahan-lahan dan hati-hati
mereka memanjat ke atas, ke arah sinar matahari.
Usaha mereka itu diliputi
dengan tanda tanya. Bagaimana kesudahannya? Apakah mereka akan menemui
keselamatan atau kecelakaan? Entahlah, apa yabg dapat diperbuat hanyalah maju
selama masih bisa maju.
Tebing itu sendiri sukar
dipanjat. Ditambah dengan salju yang sudah membeku menjadi es, licinnya luar
biasa, sehingga setiap tindakan diliputi dengan bahaya besar. Dua kali Boe Kie
terpeleset dan ia tentu sudah tergelincir ke bawah, kalau tidak ditolong Coe
Tiang Leng. Sebaliknya daripada berterima kasih, ia jadi mendongkok dan
mengejek dalam hatinya.
“Tua bangka! Kalau kau tidak
mengiler pada To Liong To, tak nanti kau baik hati.”
Sesudah memanjat setengah
hari, mereka bukan saja lelah, tapi capai. Tapi sikut, lutut, dan kaki
merekapun berlumuran darah, akibat goresan es yang tajam. Perlahan-lahan
curamnya tanjakan berkurang. Mereka tidak perlu merangkak lagi. Setindak demi
setindak, mereka maju dengan nafas tersengal-sengal. Tak lama kemudian, mereka
sudah berada di atas tanjakan
yang berdiri bagaikan sebuah
sekosol besar.
Tiba-tiba Coe Tiang Leng
mengeluh! Dengan mata membelalak dan mulut ternganga, ia mengawasi ke depan, ke
lautan awan. Ternyata, mereka berdiri di atas tanah datar yang seperti panggung
dan tiga penjuru panggung itu berbatasan dengan kekosongan. Luasnya tanah datar
itu ratusan ombak persegi, tapi ke atas tak ada jalan, ke bawahpun begitu juga.
Mereka
terjebak di kotak buntu. Apa
yang lebih celaka lagi, di tanah datar itu hanya terdapat salju, salju yang
putih bagaikan kapas tanpa pepohonan. Tanpa makhluk hidup yang dapat digunakan
untuk menangsal perut.
Tapi Boe Kie sendiri berbalik
girang. Ia tertawa dan berkata. “Coe PehPeh, kau sudah mengeluarkan banyak
tenaga, tapi hasilnya kita tiba di tempat ini. Kalau sekarang orang memberikan
To Liong To kepadamu, apakah golok itu dapat menolong Kau?”
“Jangan rewel!” Bentak Coe
Tiang Leng dengan gusar.
Ia segera menjumput salju yang
lalu ditelannya untuk menghilangkan rasa haus dan kemudian bersila untuk
mengaso. “Biarpun letih, sekarang tenagaku masih cukup,” pikirnya. “Kalau
menunggu sampai besok, mungkin aku tak bisa keluar lagi dari kurungan ini.”
Berpikir begitu, ia lantas saja bangkit dan berkat, “Tidak guna kita berdiam
lama-lama di sini. Kita harus kembali ke jalanan tadi dan coba mencari jalan
keluar lain.
“Tapi aku sendiri merasa
senang untuk berdiam terus di sini.” Kata si bocah sambil menyeringai.
“Kau gila,” bentak Coe Tiang
Leng. “Di sini tak ada makanan apapun jua. Apa kau mau mati kelaparan?”
Si bocah tertawa geli.
“Bukankah bagus sekali jika kita tak makan makanan manusia?” katanya.
“Dengan begitu, kita bisa
mensucikan diri dan mungkin sekali bisa menjadi dewa yang suci!”
Bukan main gusarnya Coe Tiang
Leng, tapi sebisa mungkin ia menahan nafsu amarahnya, sebab ia khawatir anak
kepala batu itu akan jatuh ke bawah.
“Baiklah,” katanya, “Kau
mengaso di sini dan aku akan coba mencari jalan keluar. Tapi ingat! Kau tak
boleh mendekati tebing. Sekali jatuh, kau mampus.”
“Tak perlu kau memikirkan soal
mati hidupku,” kata Boe Kie sraya tertawa. “Hm!… sampai sekarang kau masih
mimpi, bahwa aku sudi mengantar kau ke pulau Peng Hwee To. Terang-terangan aku
menasihati kau, jangan kau mimpi terlalu muluk.”
Coe Tiang Leng merasa dadanya
seolah-olah mau meledak, tapi ia tak mau menjawab ejekan itu.
Tanpa mengeluarkan sepatah
kata, segera turun ke bawah lagi dan setibanya di pohon siong yang tadi, ia
lalu merambat ke dinding jurang di seberang. Dinding itu lebih curam dan lebih
berbahaya, tapi tanpa Boe Kie, ia malah bisa memanjat lebih cepat. Kurang lebih
setengah jam kemudian, ia mencapai di puncak dan ia mengeluh karena puncak itu
merupakan puncak yang buntu.
Sekali lagi ia berdiri di atas
tebing yang berbatasan denan kekosongan. Lama ia berdiri di situ sambil
menghela nafas berulang-ulang dan kemudan dengan putus harapan ia balik ke
tanah datar yang seperti panggung dimana Boe Kie sedang menunggu.
Begitu melihat paras mukanya,
tanpa bertanya Boe Kie tahu, bahwa orang tua itu gagal dalam usahanya. “Sesudah
kena Hian Beng Sin Ciang, aku sendiri akan segera mati,” katanya dalam hati.
“Mati di sini atau di tempat lain tak banyak bedanya. Tapi Coe PehPeh
sebenarnya seorang kaya raya yang hidup beruntung. Hanya karena ia temaba akan
To Liong To, sekarang ia harus menemani aku mati di sini. Sungguh kasihan.”
Semula ia sangat membenci
orang tua itu yang telah menjalankan tipu busuk terhadap dirinya. Dalam
menghadapi kebinasaan, ia malah sudah mengejeknya dengan perkataan-perkataan
menusuk. Tapi sekarang, sesudah mendapat kepastian bahwa di sekitar jurang itu
tidak terdapat jalan keluar dan setelah melihat kedukaan Coe Tiang Leng, ia
berbalik merasa kasihan. “Coe PehPeh,” katanya dengan suara halus. “Kau sudah
berusia lanjut dan kau sudah mencicipi kebahagiaan hidup. Andaikata kau mati
sekarang, kau tidak pantas merasa menyesal. Sudahlah, tak guna kau menyesal.”
Mendengar bujukan itu, dengan
sorot mata berapi orang tua itu melirik si bocah. Ia berlaku sangat manis
terhadap Boe Kie hanya karena mempunyai harapan, bahwa anak itu akan
mengantarkannya ke pulau Peng Hwee To. Tapi sekarang, sesudah ternyata bahwa ia
tidak akan bisa meloloskan diri lagi dan yang menjadi gara-gara adalah si bocah
sendiri, darahnya lantas saja meluap. Dengan sorot mata bersinar pembunuhan, ia
menatap wajah Boe Kie dengan sikap seperti binatang buas.
Melihat begitu, si bocah jadi
ketakutan. Sambil berteriak, ia bangkit dan terus kabur.
“Biantang! Mau lari kemana
kau?” bentak Coe Tiang Leng sambil menubruk. Ia bertekat untuk membekuk Boe Kie
dan sesudah menyiksanya sepuas hati, barulah mau membinasakannya.
Tanpa menghiraukan bahaya Boe
Kie menyerosot ke bawah. Tiba-tiba ia melihat lubang besar yang gelap, seperti
gua atau terowongan. Tanpa memikir panjang, ia segera masuk ke dalam lubang
itu. “Breeet!” kaki celananya kena dijambret Coe Tiang Leng dan robek sebagian.
Dengan cekat ia terus berlari. Saban Coe Tiang Leng mendekati, ia berbalik dan
menghantam dengan pukulan Sin-Leng, ilmu silat si bocah itu masih kacek terlalu
jauh.
Tapi Sin Liong Pa Bwee bukan
pukulan biasa, sehingga walaupun berkepandaian tinggi, Coe Tiang Leng tidak
berani terlalu mendesak secara ceroboh. Sambil membungkuk, ia terus mengejar
dengan hati-hati.
Dengan tindakan limbung dan
tersandung berulang-ulang, Boe Kie terus kabur di terowongan yang gelap itu.
Tiba-tiba kepalanya membentur dinding batu, sehingga matanya berkunang-kunang.
Ia mengerti, bahwa sesudah tidak mengharapkan apa-apa lagi dari dirinya, orang
tua itu, yang sudah kalap, bisa melakukan perbuatan sangat kejam. Ia bukan
takut disiksa mati, tapi ia tidak mau mati disiksa. Maka itu ia terus lari.
Untung juga terowongan tersebut makin jauh makin sempit, sehingga sesudah
merangkak puluhan
tombak, lubang itu hanya
sebesar tubuhnya yang kecil dan Coe Tiang Leng tidak bisa masuk sampai di situ.
Sesudah merangkak lagi
beberapa tombak, sekonyong-konyong Boe Kie melihat sinar terang, ia girang
bukan main dan sambil menempos semangat, ia maju dengan sekuat tenaga.
Coe Tiang Leng bingung
bercampur gusar. “Saudara kecil, sudahlah! Aku tak akan mencelakakan kau,”
serunya.
Tapi si bocah tentu saja tidak
menghiraukannya. Dalam gusarnya, Coe Tiang Leng mengerahkan Lweekang dan
menghantam dinding dengan kedua tangannya. Tapi batu itu keras luar biasa
sehingga bukan saja kedua tangannya sakit, tapi nafsunya pun agak menyesak. Ia
mencabut pisau dan coba mencakil batu, tapi baru beberapa goresan, pisau itu
patah.
Bagaikan kalap, ia mengerahkan
tenaga dalam ke kedua pundaknya dan lalu memasukkan tubuhnya ke dalam lubang.
Tapi inipun tidak menolong, bahkan dadanya sakit bukan main.
Dengan nafas tersengal-sengal,
ia coba menggeser mundur tubuhnya.Diluar dugaan, badannya terjepit keras. Maju
tak dapat, mundurpun tak bisa. Semangat Coe Tiang Leng terbang. Dengan
mengerahkan seantero tenaganya, ia menggeser tubuh dan kali ini berhasil. Tapi
dadanya sakit bukan main dan ternyata salah sebuah tulang rusuknya patah.
Sementara itu, Boe Kie terus
merangkak maju. Makin jauh, sinar di depan kedua matanya silau karena tertumbuk
sinar matahari. Ia meramkan kedua matanya dan menenteramkan jantungnya yang
memukul keras. Perlahan-lahan ia membuka lagi kedua matanya dan ia melihat
sebuah lembah yang indah luar biasa, dengan pohon-pohon bunga yang beraneka
warna.
Boe Kie bersorak karena
girangnya. Dengan cepat ia merangkak keluar dari terowongan itu. Lubang
terowonga terpisah kira-kira setombak dari bumi dan dengan sekali melompat,
kakinya sudah hinggap di atas rumput yang empuk. Hampir berbareng, hidungnya
mengendus harumnya bunga-bunga, matanya melihat buah-buah masak yang tergantung
di pohon-pohon, sedang kupingnya mendengar kicaunya sejumlah burung.
Mimpipun ia tak pernah mimpi,
bahwa di ujung terowongan itu terdapat dunia yang bagaikan surga. Tanpa
memperdulikan luka-lukanya, ia berlari-lari untuk menyelidiki keadaan lembah
itu. Sesudah melalui dua li lebih, ia berhadapan dengan puncak gunung yang
menghadang di tengah jalan. Ternyata lembah itu dikitari dengan lereng-lereng
gunung yang sangat curam dan
rupanya tempat seindah itu
belum pernah diinjak manusia lain. Dengan hati berdebar-debar, Boe Kie
memandang ke seputarnya. Ternyata lereng-lereng yang curam itu tak mungkin
dipanjat manusia. Sekali lagi ia berada dalam kurungan.
Tapi si bocah tidak
menghiraukan itu semua. Ia merasa beruntung kalau ia bisa mati di tempat yang
seindah itu. Ia mengawasi tujuh-delapan kambing hutan yang tidak takut manusia
sedang makan rumput dengan sikap tenang. Diatas pohon-pohon terdapat sejumlah
kera kecil yang bermain dengan penuh kegembiraan. Ia mendapat kenyataan, bahwa
di tempat itu tidka terdapat binatang buas. Mungkin sekali binatang-binatang
seperti harimau yang badannya berat tidak bisa melewati puncak-puncak yang
terjal.
“Langit menaruh belas kasihan
atas diriku,” kata Boe Kie dalam hati. “Langit sudah menyediakan tempat yang
seperti surga ini untuk dijadikan kuburanku,” perlahan-lahan ia kembali ke
mulut terowongan.
“Saudara kecil… saudara
kecil…“ demikian terdengar seruan Coe Tiang Leng. “Keluar! Keluarlah! Kau bisa
mati di dalam lubang.”
Boe Kie tertawa
terbahak-bahak. “Coe PehPeh, kau salah!” teriaknya. “Tempat ini seperti surga
indahnya.” Ia lalu memanjat pohon dan memetik beberapa buah yang tidak dikenal.
Ia mencium-cium buah itu yang harum baunya, kemudian menggigitnya. Aduh, luar
biasa! Garingnya melebihi buah Tho, wanginya melebihi buah apel, sedang
manisnya lebih menang dari bauh Leci. Sambil melontarkan salah sebuah ke dalam
lubang, Ia berteriak, “Coe PehPeh, sambut! Makanan enak datang!”
Karena terbentur-bentur batu,
waktu tiba di depan Coe Tiang Leng, buah itu sudah bonyok. Ia menjemputnya dan
lalu memasukkannya ke dalam mulut. Benar-benar enak! Tapi ia lebih menderita,
buah itu malah membangunkan nafsu makannya. “Saudara kecil, tolong berikan
beberapa biji lagi,” ia memohon.
Si bocah tertawa besar. “Kau
harus menerima nasib,” ejeknya. “Tapi manusia yang sejahatmu memang pantas mati
kelaparan. Kalau kau mau makan lebih banyak, ambillah sendiri.”
“Badanku terlalu besar, tak
bisa masuk,” kata Coe Tiang Leng.
“Belah badannya menjadi dua
potong!” ejek pula si bocah.
Coe Tiang Leng menghela nafas.
Ia tak nyana bahwa bukan saja rencana hancur, tapi ia sendiri mesti mati di
tempat itu. Ia tak mau memohon lagi dan dengan darah yang meluap-luap, ia
mencaci, “Binatang! Meskipun dalam gua itu terdapat buah, tapi apa buah-buahan
itu bisa mencukupi keperluan untuk seumur hidupmu? Aku mati di sini, tapi kau
juga akan mampus dalam
beberapa hari. Hm!… Aku mati
kaupun mampus.”
Boe Kie tak menghiraukannya.
Sesudah makan belasan buah, perutnya kenyang dan ia lalu merebahkan diri di
atas rumput untuk mengaso.
Selang beberapa lama,
tiba-tiba si bocah melihat keluarnya asap dari lubang terowongan. Ia mengerti,
bahwa itulah perbuatan Coe Tiang Leng yang coba mencelakakannya dengan membakar
ranting-ranting pohon siong. Ia ketawa geli dan berlagak batuk-batuk.
“Saudara kecil!” teriak Coe
Tiang Leng. “Keluarlah! Aku bersumpah tak akan mengganggu kau.”
Si bocah pura-pura teriak
keras, seperti orang mau pingsan. Sesudah itu, ia pergi ke tempat lain tanpa
memperdulikan lagi si orang she Coe.
Dengan hati riang, ia berjalan
ke jurusan barat. Sesudah melalui dua li lebih, ia melihat sebuah air tumpah
yang turun ke bawah dari dinding batu ke sebuah kolam. Air itu adalah salju
yang melumer dan di bawah sorotan matahari kelihatannya indah sekali
seolah-olah seekor naga giok. Dengan rasa kagum, ia mengawasi kolam itu, yang
biarpun terus menerima air dari
atas, tidak menjadi luber. Ia
tahu, bahwa di bawah kolam itu terdapat selokan yang mengalirkan air ke tempat
lain.
Sesudah menikmati pemandangan
itu beberapa lama, ia menunduk dan melihat kaki tangannya yang kotor lantaran
kena Lumpur di terowongan.
Ia segera pergi ke pinggir
kolam, membukakan sepatu dan kaos kaki dan lalu memasukkan kedua kakinya ke
dalam air. Mendadak seraya berteriak “Aduh,” ia melompat bangun. Mengapa?
Karena air itu dingin luar biasa. Begitu menyentuh air, kakinya sakit, dan
lebih sakit daripada disiram air mendidih. Ketika diperiksa, kedua kakinya
ternyata sudah merah bengkak. Ia
mengawasi sambil meleletkan
lidah. “Heran! Sungguh mengherankan!” katanya di dalam hati. Diwaktu kecil
selama beberapa tauhun di pulau Peng Hwee To dan sudah biasa dengan hawa dingin
tapi belum pernah bertemu dengan air yang sedingin itu. Yang lebih luar biasa
adalah, walaupun dingin, air itu tetap tidak membeku.
Ia mengerti, bahwa di dalam
air itu mengandung sesuatu yang aneh. Ia mundur beberapa tindak dan
mengawasinya sambil mengasah otak. Sekonyong-konyong terdengar suara
“Krok-krok!” dan dari dalam kolam melompat keluar tiga kodok warna merah. Kodok
itu kodok raksasa, badannya kira-kira empat kali lipat lebih besar dari kodok
biasa. Begitu berada di
daratan, dari badan mereka
mengepul uap putih, seperti uap yang keluar dari es.
Melihat keanehan binatang itu.
Sifat kekanak-kanakan Boe Kie lantas saja timbul. Ia ingin menangkap salah
seekor untuk dibuat main. Perlahan-lahan ia mendekati, menubruk, dan menekap
yang satu dengan tangannya, tiba-tiba ia terkejut. Begitu telapak tangannya
menyentuh kulit yang licin, ia merasa semacam hawa hangat menembus kulit dan
terus naik ke lengannya.
Diluar dugaan, binatang itu
galak dan bertenaga besar. Dia memberontak dan begitu melepaskan diri dari
cekalan, dia menggigit lengan kanan Boe Kie sekeras-kerasnya.
Si bocah terkesiap.
Cepat-cepat ia menyekal badan kodok itu dengan tangan kirinya dan membetotnya.
Tapi tak dinyana, binatang itu mempunyai gigi yang sangat tajam, sehingga kalau
dibetot terus, bagian daging lengannya akan turut copot.
Sesaat itu, kedua kodok yang
lain menyambar bagaikan kilat dan menggigit kedua kaku Boe Kie. Seumur hidup,
ia belum pernah bertemu dengan kodok yang seganas itu. Dalam kagetnya, ia
mengerahkan Lweekang dan menepuk kodok yang menggigit lengannya. Perut binatang
itu pecah dan tangannya belepotan darah yang berhawa panas.
Ia membungkuk dan lalu membinasakan
kedua kodok yang menggigit kakinya. Perlahan-lahan ia membuka mulut binatang
itu dan melemparkannya di tanah. Tapi kaki dan lengannya sudah lukan dan
memperlihatkan tapak-tapak gigi. Dengan hati mendongkol, ia mengawasi ketiga
kodok itu. “Binatang!” cacinya. Semua makhluk anjing menggigit aku dan sekarang
kamu. Kebetulan perutku lapar, biarlah aku gegares dagingmu. Aku mau lihat, apa
sesudah berdiam di dalam perutku, kamu masih bisa menghina aku.”
Sehabis mengomel, ia segera
mencari cabang-cabang kayu kering dan lalu menyalakan api. Ketiga kodok itu
lalu dikeset kulitnya dan dipanggang di atas perapian. Tak lama kemudian
hidungnya mendengus daging yang sangat wangi. Tanpa memperdulikan segala apa,
ia segera memasukkan sepotong betis kodok ke dalam mulutnya. Ia tersenyum
sambil menarik nafas
panjang-panjang. Daging itu
ternyata sangat lezat, lebih lezat daripada daging apapun juga. Dalam sekejab,
ketiga kodok itu sudah ketinggalan tulangnya saja.
Berselang kira-kira samakanan
nasi, semacam hawa panas mendadak naik ke atas dari dalam perut si bocah. Ia
merasa nyaman bukan main, seolah-olah badannya di dalam kolam air hangat.
Ia tak tahu, bahwa kodok itu
adalah semacam binatang aneh di dalam dunia.
Dia hidup ditempat yang sangat
dingin, tapi sifatnya adalah panas. Tanpa sifat yang aneh itu, tak mungkin ia
hidup didalam kolam dingin. Kalau dagingnya dimakan orang biasa, orang itu akan
segera mati dengan mengeluarkan darah dari hidung, mulut dan kupingnya. Tapi
Boe Kie bukan orang biasa karena didalam tubuhnya mengeram racun dingin dari
Hian Beng Sin Ciang. Racun dingin itu kebentrok dengan racun panas dari sang
kodok dan racun panas buyar, racun dinginpun ikut mereda.
Tapi Boe kie sendiri tak tahu
terjadinya kejadian yang sangat kebetulan itu. Ia merasa sekujur tubuhnya lelah
dan letih, rasa mengantuk menguasai dirinya. Tapi ia tidak berani tidur disitu
sebab kuatir diserang kodok lain. Maka itu sambil menguatkan badan dan hati ia
meninggalkan tempat itu. Baru berjalan kira-kira satu li, ia tidak dapat
mempertahankan diri lagi dan lalu rebah pulas diatas tanah.
Ketika ia sadar, rembulan
sudah berada ditengah tengah angkasa. Ia merasa bahwa didalam perutnya terdapat
semacam bola hangat yang bergerak-gerak dan menggelinding kian kemari. Ia
mengerti, bahwa daging kodok itu mempunyai zat-zat luar biasa untuk menambah
tenaga. Ia merasa semangatnya bertambah dan tenaga dalamnya jadi lebih besar.
Ia segera duduk bersila dan mengerahkan Lweekang, dengan niatan mendorong hawa
hangat itu ke dalam pembuluh pembuluh darahnya. Tapi sesudah berusaha beberapa
kali, ia tidak berhasil bahkan kepalanya puyeng dan ulu hatinya enek.
Ia menghela nafas dan berkata
dalam hatinya. “Tak mungkin aku bernasib begitu baik. Kalau hawa hangat itu
bisa menembus masuk berbagaipembuluh darah, bukankah itu berarti bahwa racun
Hian Beng sin ciang sudah dapat dipunahkan”.
Baik juga, sebab ia tidak
terlalu berharap hidup, ia tidak merasa kecewa. Pada keesokan tengah hari, ia
merasa perutnya lapar. Ia lalu mengambil sebatang ranting pohon yang kemudian
digunakan untuk mengaduk air di kolam dingin. Beberapa saat kemudian, ranting
itu sudah digigit tiga empat kodok. Perlahan-lahan ia mengangkatnya keatas dan
lalu membinasakan binatang-binatang itu dengan menggunakan batu. Sekali lagi ia
membuat perapian dan membakar daging kodok yang lalu digunakan untuk menangsal
perut.
Karena merasa bahwa ia akan
bisa hidup beberapa lama lagi, maka ia lalu membuat semacam dapur dan menaruh
cabang cabang kering di dalamnya, supaya ia tidak saban-saban harus membuat
api.
Sebagai seorang yang pernah
hidup di pulau Peng Hwee To, Boe Kie sudah bisa menolong diri sendiri. Maka
itu, hidup sebatang kara ditempat tersebut tidak menjadi susah baginya. Ia
mengambil tanah liat dan membuat paso tanah, kemudian menganyam rumput untuk
membuat tkar. Ia bekerja sampai kira-kira magrib dan tiba-tiba ia ingat Coe
Tiang Leng yang sekarang mestinya sudah kelaparan setengah mati. Maka itu, ia
memetik satu buah dan melemparkannya ke dalam lobang terowongan.
Ia tidak memberi daging kodok
panggang sebab kuatir Coe Tiang Leng bertambah tenaga dan bisa menggempur
dinding terowongan. Kekuatiran si bocah ternyata sudah menyelamatkan jiwa orang
she Coe. Kalau Boe Kie memberikan kodok itu, ia sudah pasti sudah melayang
jiwanya.
Beberapa hari sudah lewat
tanpa terjadi sesuatu yang luar biasa. Hari itu, selagi Boe Kie membuat sebuah
dapur tanah, tiba-tiba ia mendengar pekik seekor kera yang menggenaskan hati.
Cepat-cepat ia memburu kearah suara itu. Ternyata seekor kera kecil sedang melompat-lompat
sambil memekik-mekik dengan tiga ekor kodok merah mengigit punggungnya, sedang
dua ekor yang lain sudah melompat keluar dari dalam air. Si kera bergulingan di
tanah dan membanting-banting dirinya, tapi kodok-kodok itu terus menggigit
erat-erat dan menghisap darah yang menjadi makanannya. Boe Kie melompat dan
mencekal lengan kiri kera itu yang lalu dibawa ke tempat lain yang jauh dari
kolam dingin itu. Sesudah berada ditempat yang lebih aman, batulah ia
membinasakan ketiga kodok itu. Jiwa kera itu tertolong,tapi tulang lengan
kanannya patah.
“Aku sangat kesepian, ada
baiknya jika bisa mendapat kawan seekor kera”, katanya didalam hati. Memikir
begitu, ia segera mengambil dua potong ranting pohon dan sesudah menyambung
tulang yang patah, ia segera menjepitnya dengan kedua ranting itu. Kemudian ia
memetik beberapa macam daun obat yang lalu ditumbuk dan ditorehkan pada tulang
yang patah itu. Biarpun ia tidak mendapat daun-daun obat yang mujarab, tapi
berkat kepandaiannya dalam ilmu menyambung tulang, maka dalam tempo kira-kira
seminggu, tulang itu sudah menyambung pula.
Kera kecil itu mengenal budi.
Pada keesokan harinya, ia membawa banyak bebuahan dan memberikannya pada Boe
Kie. Belum cukup sepuluh hari, lengan yang patah itu sudah sembuh seanteronya.
Kejadian itu telah mengubah
cara hidup Boe Kie. Sesudah disembuhkan, si kera rupanya memberitahukan kepada
kawan kawannya dan tak lama kemudian, Boe Kie sudah menjadi tabib dari kawanan
binatang di lembah tersebut. macam binatang datang minta pertolongannya tapi
yang paling banyak adalah sebangsa kera.
Si bocah melakukan tugas baru
itu dengan segala senang hati. Sesudah mendapat pengalaman pahit getir, ia
mendapat kenyataan bahwa diantara binatang ada yang lebih mengenal budi
daripada manusia.
Satu bulan telah berlalu.
Setiap hari ia makan daging kodok dan ia merasa sangat girang bahwa
serangan-serangan racun dingin yang datang pada waktu-waktu tertentu, makin
lama jadi semakin enteng.
Pada suatu pagi, ia tersadar
karena mukanya diraba oleh tangan berbulu. Dengan kaget ia melompat bangun.
Ternyata, tangan itu tangan seekor kera putih besar yang mendukung seekor kera
kecil dan tengah berlutut disampingnya. Kera kecil itu adalah kera yang
tulangnya pernah disambung olehnya. Kera kecil berbunyi “cit-cit cat-cat”
sambil menunjuk-nunjuk perut kera putih itu yang mengeluarkan bau tak sedap.
Ia mengawasi dan ternyata,
bahwa di perut kera itu terdapat borok yang bernanah. Ia tertawa dan
manggut2kan kepala. “Baik, baik!” katanya. “Aku akan menolong”.
Si kera putih mengangsurkan
tangan kirinya yang mencekal buah tho dan dengan hormat memberikannya kepada
Boe Kie. Buah itu besar luar biasa. Kira-kira sebesar tinju.
Boe Kie merasa kagum, karena
belum pernah ia melihat buah tho sebesar itu. “Ibu pernah bercerita bahwa di
gunung Koen Loen terdapat dewa See Ong Bo yang sering mengadakan pesta buah tho
dengan mengundang para dewa dan dewi,” pikirnya. “Cerita tentang See Ong Bo
mungkin cerita bohong, tapi bahwa Koen Loen san memiliki Siantho (buah tho
dewa) adalah suatu kenyataan.”
Seraya tersenyum ia menerima
hadiah itu. “Aku biasanya tidak menerima bayaran, “ katanya. “Biarpun kau tidak
membawa siantho, aku pasti akan menolong.” Sehabis berkata begitu,ia
mengangsurkan tangannya dan menyentuh borok itu. Tiba-tiba ia terkejut.
Mangapa?
Borok itu sendiri yang
berbentuk bundar, hanya bergaris kira-kira setengah cun. Apa yang hebat ialah
daging di sekitarnya keras bagaikan batu dan bagian yang keras puluhan kali
lipat lebih besar daripada boroknya sendiri.
Dari kitab-kitab ketabiban,
Boe Kie belum pernah membaca borok yang seperti itu. Ia merasa, bahwa jika
bagian yang keras menjadi busuk dan bernanah, binatang itu tak akan dapat
disembuhkan lagi. Tapi waktu memegang nadi si kera, ia menjadi lebih heran
lagi, karena denyutan nadi tidak menunjukan adanya bahaya. Ia segera menyingkap
bulu yang panjang di perut binatang itu untuk diperiksa lebih teliti. Begitu
melihat ia terkesinap, sebab bagian yang keras itu berbentuk empat persegi dan
dipinggirannya terlihat bekas jaitan benang.
Tak dapat disangkal lagi bahwa
jahitan itu adalah perbuatan manusia. Walaupun pintar, binatang kera tak bisa
menjahit.
Sesudah memeriksa, Boe Kie
mengerti, bahwa borok itu disebabkan oleh benda keras itu. Benda itu menonjol
keluar dan menggencet pembuluh darah. Sehingga darah tak bisa mengalir leluasa,
otot-otot menjadi rusak dan mengakibatkan borok yang tidak bisa sembuh. Maka
itu, untuk menyembuhkannya, ia harus mengeluarkan benda itu dari perut si kera.
Soal membedah tidak jadi soal,
sebab berkat ajaran Ouw Ceng Goe, ia sudah mahir dalam ilmu itu. Yang menjadi
soal ialah tak punya pisau dan obat obatan. Sesudah mengasah otak beberapa
lama, ia mencari sepotong batu tipis dan lalu menggosoknya sampai tajam.
Sesudah itu, dengan menggunakan pisau tersebut, perlahan ia memotong perut si
kera, di bagian bekas jahitan.
Kera itu yang sudah berusia
sangat tua, ternyata mengerti maksud pembedahan itu. Meski merasakan kesakitan
hebat, ia tidak bergerak sedikitpun jua dan menahan sakit sambil mengeluarkan
rintihan tak lama kemudian, Boe Kie sudah memotong bagian atas dan bawah bekas
jahitan itu. Dengan hati hati ia lalu membuka kulit perut yang sudah dipotong
dan…….loh! Di dalamnya terdapat bungkusan kain minyak.
Dengan rasa heran yang sangat
besar, ia mencabut dan menaruh bungkusan itu ke tanah dan buru buru menutup
lagi kulit yang terbuka untuk dijahit. Baru sekarang ia ingat bahwa ia tak
punya jarum dan benang. Tapi si bocah tidak kekurangan akal. Ia segera
mengambil gigi kodok merah yang tajam dan membuat lubang-lubang di pinggiran
kulit. Sesudah itu dengan menggunakan serat kulit kayu ia membuat benang dan
dengan demikian, biarpun tidak sempurna ia berhasil menjahit perut si kera,
yang rubuh pingsan karena mengeluarkan terlalu banyak darah.
Selesai membedah, Boe Kie
segera mencuci bungkusan kain minyak yang berlepotan darah dan membukanya.
Ternyata didalam bungkusan terdapat empat jilid kitap yang sangat tipis. Karena
terbungkus rapat, maka biarpun sudah beberapa lama di dalam perut kera,
kitap-kitap itu masih utuh. Diatas kertas terdapat huruf2 yang tidak dikenal
Boe Kie. Ia lalu membalik-balik lembaran dan ternyata, bahwa diantara barisan2
huruf yang tidak dikenal terdapat juga huruf2 Tionghoa.
Dengan hati berdebar2, Boe Kie
lalu membacanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa isi kitab adalah pelajaran untuk
melatih pernafasan dan tenaga dalam. Tiba2 jantungnya melonjak.
Ia membaca tiga baris huruf
yang sudah dikenalnya. Ia segera ingat bahwa huruf-huruf itu terdapat dalam
pelajaran Siauw-lim Kioe yang kang, yang pernah dipelajarinya dalam kuil Siauw
Liem Sie. Tapi waktu ia membaca terus, lanjutannya berbeda dengan pelajaran
itu. Ia membuka lagi dan membaca beberapa halaman secara sepintas lalu. Sekali
ia terkesinap, sebab, ia kembali menemukan tiga baris huruf yang sudah
dihafalnya, yaitu pelajaran Boe Tong Lweekang Sim hoat yang diturunkan oleh
mendiang ayahnya sendiri.
Jantung Boe Kie memukul keras.
“Kitab apa ini?” tanyanya dalam hati. “Mengapa ada Siauw lim Kioe yang kang dan
ada juga Boe Tong Lweekang Sim hoat?” Tiba-tiba ia ingat cerita yang diturunkan
oleh Taysoehoe (Thio Sam Hong) pada waktu orang tua itu mau mengajaknya pergi
ke Siauw lim sie. Cara bagaimana pada sebelum meninggal dunia. Kak Wan taysoe
telah menghafal Kioe Yang cin keng dengan didengari oleh Thaysoehoe, Kwee siang
Kwee Liehiap dan Boe Sek taysoe yang masing2 mendapat sebagian dari pada kitab
itu, sehingga di kemudian hari Boe Tong, Goe Bie dan Siauw Lim pay bisa
menjagoi dalam rimba persilatan.
“Apakah kitab ini Kioe Yang
Cin Keng yang dahulu di curi orang?” pikirnya. “Benar! Tak salah taysoehoe
pernah mengatakan bahwa Kioe Yang Cin Keng ditulis diantara barisan barisan
huruf dari kitap Leng Keh Keng, huruf2 yang lugat legot itu tentulah juga
sansekerta.
Tapi…..tapi mengapa kitab itu
berada dalam perut kera????
X X X
Kitab itu memang juga Kioe
yang Cin keng, tapi pada zaman itu, tak seorangpun tahu cara bagaimana bisa
menyasar kedalam perut seekor kera.
Pada sembilan puluh tahun
lebih yang lalu. Siauw Siang Coe dan In Kek See telah mencuri kitab itu dari
Cong Kek Sek di kuil Siauw Lim Si. Mereka diubar oleh Kak Wan taysoe, seorang
pendeta yang bertugas menjaga kamar perpustakaan itu dan waktu kabur sampai di
gunung Hwa San mereka tidak dapat meloloskan diri lagi. Secara kebetulan,
mereka mempunyai seekor kera dan dalam keadaan terdesak, mereka mendapat akal.
Mereka membedah perut binatang itu dan menyembunyikan keempat jilid Leng Keh
Keng didalam perut si kera. Belakangan Kak Wan, Yo Ko dan yang lain lain
menggeledah badan mereka tapi kitab itu saja tidak bisa didapatkan. Akhirnya
mereka dilepaskan dan diperbolehkan berlalu bersama2 kera itu. (Mengenai hal
ini, bacalah Sin Tiauw Hiap Lu).
Demikianlah selama hampir satu
abad, tak seorangpun tahu dimana adanya Kioe Yang Cin Keng. Hal ini sudah
merupakan sebuah teka-teki besar dalam rimba persilatan.
Dari Hwa San, bersama-sama
kera itu Siauw Siang Coe dan In Kek See kabur ke wilayah See hek. Karena saling
mencurigai sebab masing2 kuatir dirinya akan dibinasakan kalau yang lain sudah
lebih dahulu memahamkan isi kitab itu, maka baik Siauw Siang Coe, maupun In Kek
See tidak berani bertindak lebih dahulu untuk mengambil kitab itu dari perut
kera. Waktu tiba di puncak Keng Sin Hong, gunung Koen Loen, mereka “saling
makan” dan akhirnya kedua2nya binasa. Mulai dari waktu itu, rahasia Kioe Yang
Cin Keng tidak diketahui lagi oleh manusia manapun jua.
Ilmu silat Siauw Siang Coe
sebenarnya lebih tinggi setingkat dari In Kek See. Tapi sesudah terluka di
puncak Hwa San, tenaganya banyak berkurang dan waktu bertempur dengan In Kek
See, ia mati lebih dulu.
Waktu mau melepaskan napasnya
yang penghabisan In Kek See telah bertemu dengan Koen Loen Sam seng Ho Ciok
Too. Pada saat itu ia merasa agak menyesal akan perbuatannya dan ia meminta
supaya Ho Ciok Too pergi ke Siauw Lim Sie dan memberitahukan Kak Wan bahwa
kitab Leng Keh Keng berada di dalam perut seekor kera. Tapi dalam keadaan lupa
ingat karena terluka berat suaranya tidak terang sehingga perkataan “keng cay
kauw tiong” (kitab berada dalam kera) didengar Ho Ciok Too sebagai “kim cay yoe
tiong” (emas berada dalam minyak).
Untuk menepati janji. Ho Ciok
Too pergi ke Tionggoan untuk menyampaikan perkataan In Kek See kepada Kak Wan,
yang tentu saja tidak mengerti apa maksudnya. Kunjungan Ho Ciok To ke Siauw Lim
Si itu telah menimbulkan gelombang hebat, yang akhirnya mengakibatkan
berdirinya Boe Tong Pay dan Go Bie Pay.
Kera itu ternyata bernasib
baik, dengan memakan buah siantho yang luar biasa dan mendapat hawa murni dari
langit dan bumi, biarpun sudah berumur hampir seabad kecuali bulunya yang
berubah jadi putih, dia masih tetap kuat dan sehat. Hanya karena ada ganjelan
besar perutnya kadang-kadang sakit pada tempat menyimpan kitab. Borok yang tak
bisa hilang akhirnya, secara luar biasa, dia bertemu dengan Boe Kie. Bagi si
kera pertemuan itu berarti hilangnya penyakit diperut, bagi Boe Kie suatu
berkah.
X X X
Latar belakang peristiwa itu
tentu saja tak bisa di tembus Boe Kie. Sesudah mengasah otak beberapa lama
tanpa berhasil, ia segera menjemput buah tho hadiah si kera dan memasukkannya
ke dalam mulut. Buah itu harum dan manis luar biasa, melebihi buah apapun jua
yang pernah dimakannya dilembah itu.
Setelah perutnya kenyang,
didalam hati si bocah berpikir. “Thaysoehoe pernah mengatakan, bahwa jika aku
dapat memiliki Kioe Yang Sin Kang dari Siauw Lim, Boe Tong dan Goe Bie, racun
dingin dalam tubuhku mungkin bisa diusir keluar. Akan tetapi, Sin Kang dalam
ketiga partai itu hanya dapatkan dari kitab Kioe Yang Cin Keng. Manakala benar
kitab ini kitab Kioe Yang Cin Keng dan aku mempelajari seluruhnya, maka sin
kang yang dimiliki olehku akan melebihi sin kang dari ketiga partai itu. Tapi
sudahlah! Perlu apa kita memikir panjang panjang. Disini aku tak punya
pekerjaan, biarlah aku mempelajarinya. Andaikata kitab itu tak berguna, atau
berbahaya, paling banyak aku mati”. Memikir begitu, ia lantas saja memasukkan
jilid pertama dalam sakunya dan menaruh ketiga jilid lainnya di tanah yang
kering dan kemudian menindihnya dengan batu yang besar. Ia berbuat begitu,
sebab kuatir kitab2 itu dicuri dan di robek si kera yang nakal.
Paling dahulu, ia menghafal
isi kitab dan kemudian setindak demi setindak ia berlatih menurut pelajaran
itu. Selama belajar ia masih ingat, bahwa andaikata pelajaran itu bisa
menghilangkan racun dalam tubuhnya, ia akan tetap terkurung di dalam lembah
seumur hidup. Maka itu, ia belajar dan berlatih dengan pikiran tenang dan tak
tergesa-gesa…berhasil hari ini baik, berhasil besokpun baik juga. Tapi, justru
karena ketenangan itulah, ia mendapat kemajuan yang sangat pesat. Belum cukup
empat bulan, ia sudah dapat melayani ilmu-ilmu yang tertulis dalam jilid
pertama.
Dahulu pada waktu Tat Mo Couw
See mengubah Kioe Im dan Kiu Yang Cin Keng, ia sengaja mengubahnya sedemikian
rupa, sehingga nilai kedua kitab itu sama tinggi dan yang satu menutup dari
kekurangan dari yang lain. Kiu Yang mengutamakan melatih ilmu pernafasan dan
cara-cara memperpanjang umur, sedang Kiu Im mementingkan Ilmu-ilmu silat yang
merobohkan lawan. Mengenai Lweekang, Kioe Yang lebih unggul, tapi dalam
jurus-jurus silat yang aneh dan luar biasa, Kioe Im-lah yang lebih lihai!
Dahulu, waktu Tau Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong mencuri jilid kedua dari Kioe
Im Cin Keng, mereka telah berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat yang luar biasa,
yang tak terdapat pada Kioe Yang Cin Keng. Akan tetapi seseorang yang menyelami
Kioe Yang Cin Keng dan sudah melatih diri menurut pelajaran itu sampai puncak yang
tinggi, maka orang itu takkan dapat ditaklukkan dengan pukulan atau ilmu silat
yang manapun jua.
Sementara itu, setelah
menyelesaikan latihan jilid yang pertama. Boe Kie mendapat kenyataan, bahwa ia
sudah dapat hidup lebih lama daripada batas waktu yang disebut oleh Ouw Ceng
Goe. Sebaliknya daripada binasa, bukan saja ia tetap sehat, tapi jangka waktu
antara serangan racun dingin juga makin panjang dan penderitaannya selama
serangan makin lama makin berkurang. Ia mendapat kenyataan, bahwa hawa dalam tubuhnya
dapat mengalir dengan leluasa. Sekarang ia hampir tak bersangsi lagi, bahwa
kitab itu benar Kioe Yang Cin Keng adanya. Jikalau bukan, tapi tetap tidak
dapat disangkal, bahwa pelajaran kitab itu mempunyai khasiat yang besar untuk
kesehatan badan.
Sesudah jilid pertama, ia mulai mempelajari
jilid kedua.