Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 42
“Ayahnya memang juga seorang
dari partai yang lurus bersih,” kata Ceng hie. “Tapi bagaimana dengan ibunya?
Turunan perempuan siluman dari Mo kauw memang tidak bisa menjadi lain daripada
bibit penyakit.”
“Perempuan siluman dari Mo
kauw?” menegas Coe Jie. “Siapa ibunya Boe Kie?”
Murid-murid Go bie tertawa
geli.
Boe Kie merasa dadanya mau
meledak. Kalau tekadnya untuk menyembunyikan diri kurang kuat, ia tentu sudah
melompat dan mencaci orang-orang itu yang menghina mendiang ibunya. Selebar
mukanya merah padam, air matanya berlinang-linang, tapi dengan sekuat tenaga ia
mempertahankan diri.
Sebagai manusia yang tidak
kejam, mendengar pertanyaan Coe Jie, dengan suara perlahan Ceng hie menjawab,
“Isteri Thio Ngohiap adalah anaknya In Thian Ceng dari Peh bie kauw. Dia
bernama In So So…”
“Ah!” teriak Coe Jie. Wajahnya
lantas saja berubah pucat.
“Sebab menikah dengan
perempuan siluman itu, nama Thio Ngohiap menjadi hancur, hingga pada akhirnya
ia membunuh diri di Boe tong san, menerangkan Ceng hie. “Kejadian itu diketahui
oleh orang sedunia. Apakah nona tak tahu?”
“Tidak…” jawabnya dengan mata
membelalak. “Aku berdiam di Leng coa to, kutak tahu kejadian dalam rimba
persilatan di wilayah Tionggoan. Tapi, di manakah adanya In So So sekarang?”
“Dia membunuh diri
bersama-sama Thio Ngohiap.” jawabnya.
Coe Jie melompat bagaikan
dipagut ular. “Jadi dia… dia sudah mati?” teriaknya.
“Kau mengenal In So So?” tanya
Ceng hie dengan suara heran.
Sesaat itu, disebelah timur
laut sekonyong-konyong terlihat sinar api yang berwarna biru.
“Celaka!” seru In Lie Heng.
“Keponakan Ceng Soe dikepung musuh.” Ia memutar badan dan memberi hormat kepada
Biat coat dan yang lain lain, dan kemudian dengan tergesa-gesa lari ke jurusan
sinar api itu.
Dengan sekali mengibas tangan,
murid-murid Go bie segera mengikuti dari belakang In Liok hiap.
Waktu sudah datang dekat,
mereka mendapat kenyataan bahwa seorang pemuda yang mengenakan pakaian
sastrawan sedang dikepung oleh tiga orang. Ketiga orang itu, yang bersenjata
golok, memakai tudung dan mengenakan pakaian kacung atau pesuruh. Sesudah
menyaksikan beberapa gerakan, murid-murid Go bie merasa heran, sebab biarpun
seperti pesuruh, mereka ternyata berkepandaian tinggi, lebih tinggi daripada
toojin-toojin yang dirobohkan oleh In Lie Heng. Pemuda itu, yang bersenjata
pedang panjang, sudah jatuh dibawah angin, tapi pembelaannya sangat kuat,
sehingga sedikitnya untuk sementara ia masih dapat mempertahankan diri.
Tak jauh dari gelanggang
pertempuran berdiri 6 orang yang mengenakan jubah panjang warna kuning dengan
sulaman obor merah di tangan jubah. Itulah tanda, bahwa mereka anggota Mo kauw.
Melihat kedatangan In Lie Heng
dan rombongan Go bie, seorang kate gemuk dari antara keenam penonton itu
berteriak, “In Lie Heng tee (persaudaraan), kalian gagal! Larilah! Kami akan
melindungi dari belakang.”
“Hau-touw kie (Bendera tarah
tebal) memang paling sombong!” teriak salah seorang dari ketiga pesuruh itu.
“Orang she Gan! Kau saja yang kabur lebih dulu.”
Ceng hie mengeluarkan suara di
hidung. “Kebinasaan sudah berada di atas kepalamu, tapi kau masih bertengkar
dengan kawan sendiri,” katanya.
“Soecie, siapa mereka?” tanya
Coe Cie Jiak.
“Yang mengenakan pakaian
pesuruh adalah budak-budaknya In Thian Ceng,” jawabnya. “Mereka bernama In Boe
Hok, In Boe Lok dan In Boe Sioe.”
“Budak?” menegas nona Cioe
dengan suara heran. Tapi mengapa… mengapa… “
“Mereka bukan orang biasa,
dulunya mereka perampok-perampok besar”, menerangkan sang kakak. “Keenam orang
yang mengenakan jubah kuning adalah anggota-anggota Houw touw kie dari Mo kauw.
Siluman kate gemuk itu mungkin sekali Gan Hoan, Ciang kie soe dari Houw touw
kie. Menurut katanya Soehoe, kelima Ciang kie soe telah kebentrok dengan
Kauwcoe Peh bie kauw sebab berebut kedudukan…”
Tiba-tiba terdengar suara
“brett!” dan tangan baju pemuda yang terkepung robek karena bacokan In Boe
Sioe.
Sambil bersiul nyaring In Lie
Heng melompat pedangnya membabat golok In Boe Lok. “Trang!” golok itu
melengkung. Dengan kaget In Boe Lok melompat mundur.
Mendadak, bagaikan kilat Coe
Jie melompat dan dengan menunjuk tangan kanan, ia menotok punggung In Boe Lok.
Hampir berbareng bagaikan kilat pula, ia melompat balik ke tempat semula.
In Boe Lok berkepandaian
tinggi. Tapi sebab ia sedang kaget dan juga sebab gerakan si nona cepat luar
biasa, maka totokan itu mampir tepat pada sasarannya. Di lain saat, badannya
kaku dan mukanya semu hitam.
In Boe Hok dan In Boe Sioe
terkesiap. Dengan serentak mereka mendekati Boe Lok. Sekonyong-konyong mereka
mengawasi Coe Jie dengan mata membelalak. “Lee siocia!… teriaknya dengan suara
tergugu.
“Hm! Kamu masih mengenali
aku?” kata si nona.
Semua orang yang menyaksikan
itu dengan hati yang berdebar-debar. Mereka menduga bahwa kedua orang itu akan
segera menyerang Coe Jie. Tapi diluar sangkaan, tanpa mengeluarkan sepatah
kata, mereka segera memondong mayat kawannya dan lari ke jurusan utara. Itulah
perubahannya yang sungguh tak dinyana-nyana.
Dengan sekali mengibas, dalam
tangan si kate gemuk sudah mencekal sehelai bendera besar yang berwarna kuning.
Perbuatan itu diturut oleh kelima kawannya sambil memutar-mutar bendera-bendera
itu, perlahan-lahan mereka mundur ke arah utara.
Semua murid Go bie mengawasi
dengan perasaan heran. Mendadak dua murid lelaki melompat dan menguber dengan
senjata terhunus. Tubuh In Lie Heng berkelebat dan dalam sekejap, ia sudah
melewati kedua murid Go bie itu. Dengan sekali mendorong, kedua orang itu
terhuyung ke belakang beberapa tindak dan muka mereka lantas saja berubah
merah.
“Jiewie soetee, balik!” bentak
Ceng hie. “In Liok hiap bermaksud baik, Houw touw kie tidak boleh dikejar.”
“Beberapa hari berselang,
bersama Boh Cit tee aku menguber Liat-hwee-kie (Bendera api hebat),”
menerangkan Lie Heng. “Hampir-hampir kami celaka. Sebagian rambut dan alis Boh
Cit tee terbakar.” Seraya berkata begitu, ia menggulung tangan baju kiri dan
pada lengannya terlihat bekas-bekas terbakar. Kedua murid Go-bie itu
manggut-manggutkan kepala dengan perasaan jengah.
Sementara itu, sambil menatap
wajah Coe Jie dengan sorot mata dingin, Biat coat Soethay bertanya, “Cian-cee
Ciat-hoe-cioe, bukan?”
“Belum sempurna,” jawab si
nona.
“Mengapa kau membunuh dia?”
tanya pula si nenek.
“Bukan urusanmu,” kata si
gadis dengan sikap acuh tak acuh. “Aku ingin membunuh, aku lantas membunuh.”
Biat coat menggerakkan
tangannya dan hampir berbareng ia sudah menyambut pedang Ceng hie, “Cring!”,
Coe Jie melompat ke belakang dengan paras muka pucat. Mengapa? Karena dengan
kecepatan luar biasa, dengan Ceng hie, Biat coat membabat telunjuk kanan si
nona, gerakannya adalah sedemikian cepat, sehingga tak dapat dilihat nyata oleh
siapapun jua.
Di luar dugaan telunjuk si
nona tertutup bida jari yang terbuat daripada baja murni dan karena pedang yang
digunakan Biat coat bukan Lethian kam, maka senjata itu tidak dapat
memutuskannya. Dengan mendongkol si nenek melontarkan senjata itu kepada Keng
hie dan sambil mengeluarkan suara di hidung ia berkata, “Kali ini kau masih
mujur, di lain kali janganlah kau jatuh lagi ke dalam tanganku.” Sikap itu
adalah sesuai dengan kedudukannya sebagai ciangboenjin dari sebuah partai.
Sesudah gagal dalam serangannya terhadap seorang yang tingkatannya lebih
rendah, ia sungkan menyerang untuk kedua kalinya.
Mengingat bantuan Coe Jie
kepada pihaknya dan kecintaan nona itu kepada Boe Kie, In Lie Heng jadi merasa
kasihan dan segera berkata, “Sosiok, dengan tak disengaja anak itu telah
mempelajari ilmu yang sesat. Kita harus memberi kesempatan supaya dia belajar
pada guru yang lurus bersih. Hmm…, kurasa ada baiknya jika dia berguru kepada
Thie-khim sianseng”. Ia menarik tangan pemuda yang tadi dikepung dan berkata
pula, “Ceng Soe, lekaslah memberi hormat kepada Soethay dan para paman.”
Pemuda itu segera maju
mendekati dan berlutut di hadapan Biat-coat, tapi pada waktu ia mau menjalankan
peradatan besar di hadapan Ceng hie dan yang lain-lain, para murid Go bie itu
menolak dan membalas hormat.
Pada waktu itu Thio Sam Hong
sudah berusia lebih dari seratus tahun dan jika dihitung hitung tingkatannya
lebih tinggi beberapa tingkat daripada Biat-coat. Karena pernah bertunangan
dengan Kie Siauw Hoe, maka kedudukan In Lie Heng jadi lebih rendah setingkat
daripada Biat caot. Jika sebagai pendiri Boe-tong-pay, Thio Sam Hong direndengi
dengan pendiri Go bie pay, Kwee Siang, maka menurut pantas Biat coat lah yang
harus memanggil “Soesiok” kepada In Lie Heng. Tapi sebegitu jauh Boe Tong dan
Go bie tidak berani menerima panggilan dengan melihat saja usia masing-masing.
Tapi meskipun begitu, murid-murid Go bie tidak berani menerima panggilan “paman”
dari sasterawan muda itu.
Sesudah menyaksikan kegagahan
pemuda itu sekarang dengan perasaan kagum semua orang mengawasi paras mukanya
yang tampan dan angker.
“Ceng Soe adalah putera
tunggal dari Toasoeko,” In Liok-hiap memperkenalkan keponakannya.
“Aha!” seru Ceng hie. “Sejak
beberapa lama aku memang sudah mendengar nama besarnya Giok bin Beng siang.
Dalam kalangan Kangouw semua orang memuji Song Siauw-hiap sebagai seorang
ksatria yang mulia hatinya. Aku merasa beruntung, bahwa di hari ini aku bisa
bertemu dengannya”. (Giok bin – muka yang putih seperti batu pualam. Beng siang
koen, seorang ksatria yang pandai pada jaman Liat kok).
Semua orang mengawasi pemuda
tampan itu, dengan perasaan terlebih kagum. Memang sudah lama mereka mendengar
nama cemerlang dari Giok bin Beng Siang Ceng Soe.
Coe Jie yang berdiri di
samping Boe Kie tiba-tiba berbisik, “A Goe dia lebih banyak tampan daripada
kau”.
“Tentu saja perlu apa
dikatakan lagi?” kata Boe Kie.
“A Goe”, kata pula si nona.
“Coba kau lihat. Nona Cioe mu sedang memandang kau tak sudah-sudahnya”.
Perkataan itu diucapkan sangat perlahan, tapi Cioe Cie Jiak rupanya sudah
mendengar, karena ia sudah melengos.
Sementara itu sesudah beromong
omong beberapa saat, In Lie Heng berkata, “Soe jie mari kita berangkat.”
“Menurut rencana hari ini,
kira-kira tengah hari rombongan Khong tong-pay akan tiba di sekitar tempat
ini,” kata Ceng-soe. “Tapi sampai sekarang mereka belum muncul. Aku kuatir
terjadi sesuatu yang tidak enak.”
“Ya, akupun merasa kuatir,’
kata sang paman. “Kita sekarang sudah berada di daerah musuh.”
“Menurut pendapatku, paling
baik kita menuju ke barat bersama-sama rombongan Go bie-pay”, kata pula pemuda
itu. Mungkin sekali dalam jarak kira-kira lima belas li kita akan menemui
musuh.”
“Mengapa Song Siauw hiap bisa
mengatakan begitu?” tanya Ceng hie dengan suara heran.
“Aku hanya menebak-nebak,”
jawabnya.
Ceng hie mengetahui, bahwa
ayah pemuda itu Song Wan Kiauw, bukan saja tinggi ilmu silatnya, tapi juga
paham ilmu Kie boen dan ilmu perang, sehingga sebagai putra seorang berilmu
pemuda itupun tentu bukan sembarangan orang. Memikir begitu, ia tidak menanya
lagi.
“Baiklah,” kata In Lie Heng.
“Memang paling baik jika kita jalan bersama-sama para cianpwee dari Go bie
pay.”
Mendengar perkataan In Lie
Heng, Biat coat Soethay berkata dalam hatinya. “Sudah kira-kira tigapuluh tahun
Thio Sam Hong tidak menghiraukan lagi segala urusan dunia dan pada hakekatnya
tugas Ciangboenjin Boe tong pay sudah dipikul seanteronya oleh Song Wan Kiauw.
Lihat-lihat gelagatnya, kedudukan Ciangboenjin ketika dari Boe tong pay akan
diduduki oleh Song Siauw hiap. Sekarang saja sang paman sudah menuruti kemauan
si keponakan!”
Tapi sebenar-benarnya hal itu
sudah menjadi sebab In Lie Heng bertabiat halus dan sedapat mungkin sungkan
membantah kemauan orang lain.
Demikian kedua murid Boe tong
lalu berjalan bersama-sama rombongan Go bie. Sesudah melalui kurang lebih lima
belas li, di depan mereka memandang sebuah bukit pasir. Melihat Ceng Soe
berlari-lari mendaki bukit itu, Ceng hie segera mengibas tangannya dan dua
murid Go bie lantas saja menguber dari belakang, sehingga ketiga orang tiba di
atas bukit hampir berbareng. Dan hampir berbareng dia mengeluarkan teriakan
kaget, karena di sebelah barat itu kelihatan menggeletak belasan mayat.
Mendengar teriakan mereka,
semua orang segera memburu ke atas. Mereka mendapat kenyataan, bahwa semua
korban binasa sebab pukulan hebat, ada yang hancur batok kepalanya, ada yang
melesak badannya dan sebagainya.
In Lie Heng yang mempunyai paling
banyak pengalaman dalam dunia Kang-ouw lantas saja berkata, “Rombongan Po
yang-pang dari propinsi Kang-say termusnah seanteronya. Mereka dihancurkan oleh
Kie bok kie (Bendera balok besar) dari Mo kauw”.
Biat coat mengerutkan alis,
“Mengapa Po yang-pang datang kesini?” tanyanya dengan suara kurang senang.
“Apakah diundang oleh partaimu?” Si nenek mendongkol sebab partai lurus bersih
biasanya memandang rendah kepada berbagai golongan/perkumpulan (pang hwee)
dalam dunia Kang ouw dan ia segan untuk bercampur dengan “pang pang” itu.
“Tidak, kami tak
mengundangnya”, jawab Lie Heng. “Tapi Lauw Pang coe dari Po yang-pang telah
diakui sebagai murid Khong tong pay. Mereka rupanya ingin membantu rumah
perguruan.”
Biat coat mengeluarkan suara
di hidung dan tidak mengatakan apa-apa lagi.
Sesudah mayat-mayat
dikuburkan, seorang murid lelaki Go bie pay, she Wie, yang merasa kagum akan
jitunya tebakan Song Ceng Soe, bertanya, “Saudara Song, apakah kita bakal
bertemu dengan musuh?”
Pemuda itu tidak lantas
menjawab, sambil mengawasi kuburan-kuburan yang berderet-deret, ia mengasah
otak. Sekonyong-konyong, kuburan yang paling barat membuka dan seorang lelaki
melompat keluar. Bagaikan kilat dia menawan murid Go bie she Wie itu dan lalu
kabur.
Semua orang terkesiap, beberapa
murid wanita mengeluarkan teriakan kaget. Di lain detik, Biat coat dan Lie
Heng, Song Ceng Soe dan Ceng hie sudah menguber dengan senjata terhunus. Selang
beberapa saat, sesudah dapat menetapkan hatinya, barulah murid-murid Go bie
mendusin, bahwa orang itu ialah Ceng ek Hok ong. Dengan mengenakan pakaian
anggota Po yang-pang dia menambah napas dan berlagak mati. Murid-murid Go bie
yang mengubur mayat, yang tidak memeriksa dengan teliti sudah kena dikubur.
Setelah menahan korbannya, si Raja kelelawar kabur, tapi dia tak kabur terus
seperti orang mengejek dia lari berputaran, membuat sebuah lingkaran.
Waktu baru mengundak, Biat
Coat berempat lari dengan berendeng; tapi sesudah melalui terlihatlah tinggi
rendah kepandaian mereka, dengan dua orang lebih dulu dan dua orang lebih
belakang. Biat Coat dan In Lie Heng di sebelah depan. Ceng Hie dan Ceng Soe
mengikuti dari belakang. Tapi sesudah dua putaran, Ceng Soe makin mendekati
Biat Coat dan In Lie Heng, sedangkan Ceng hie ketinggalan makin jauh. Dari sini
dapatlah dilihat, bahwa pemuda itu benar-benar lihay dan meskipun usianya masih
muda, ia sudah memiliki lweekang yang tinggi. Tapi ilmu ringan Ceng ek Hok ong
tiada bandingannya dalam rimba persilatan. biarpun mendukung manusia, ia tetap
belum dapat disusul.
Sesudah dua putara, tiba-tiba
Ceng Soe berhenti mengundak dan berteriak, “Tio Leng Coe Soe siok, Oey Kio Boe
Soe siok, pergilah kedudukan Lee-wie dan memotong larinya musuh! Soen Liang Tin
Soesiok, Lie Beng Hee Soesiok, cegatlah musuh dari kedudukan Cina wie!…”
Bagaikan seorang panglima, ia
berteriak-teriak memberi perintah kepada belasan murid Go bie untuk mencegat
musuh dengan mengambil kedudukan Pat-kwa. Orang2 Go bie yang kehilangan
pimpinan, sudah menuruti semua perintah itu, yang dikeluarkan dengan suara
angker.
Karena adanya pencegatan yang
sangat rapat itu, Ceng ek Hok ong tidak bisa lari putaran lagi dengan leluasa.
Seraya tertawa nyaring ia melemparkan tawanannya ke tengah udara dan kemudian
kabur ke tempat lain. Biat coat melompat dan kedua tangannya menyangga tubuh
muridnya yang melayang jatuh.
Di lain saat, sayup-sayup
terdengar suara si Raja kelelawar, “Hah..hah!… Di antara orang muda banyak yang
lihay, dengan mempunyai murid yang lihay itu, Biat coat Loohie sungguh tidak
boleh dibuat permainan.” Dengan berkata begitu, ia memuji kepandaian Song Ceng
Soe.
Sementara itu Biat coat
berdiri terpaku dengan muka pucat pasi. Sebab murid yang dipeluknya ternyata
sudah binasa, dengan luka bekas gigitan di lehernya.
Dengan hati berduka, tanpa
mengeluarkan sepatah kata semua orang berdiri di sekitar Biat coat. Sesudah
lewat beberapa lama, In Lie Heng berkata dengan suara perlahan. Menurut katanya
orang, Ceng ek Hok ong selalu menghisap darah manusia. Cerita itu ternyata
bukan omongan kosong.”
Biat coat Soethay malu, marah
dan sakit hatinya. Semenjak menjadi Ciangboenjin Go bie pay baru kali ini ia
mendapat pukulan yang begitu hebat. Dua orang muridnya dengan beruntun telah
dibinasakan musuh, tanpa bisa berbuat apapun jua. Sesudah berdiri bengong beberapa
lama, ia mengawasi Ceng Soe dan bertanya, “Bagaimana kau tahu nama
murid-muridku itu?”
“Tadi Ceng hie Soesiok telah
memperkenalkan mereka kepada teecoe,” jawabnya.
“Hm.. mendengar dan tak lupa
lagi!” kata si nenek dengan suara perlahan. “Go bie pay mana punya orang
sepandai itu?”
Malam itu, waktu mengaso
dengan sikap hormat Ceng Soe menghampiri Biat coat dan berkata sambil
membungkuk, “Cianpwee, bolehkan boanpwee memohon sesuatu yang tidak pantas?”
“Kalau kau tahu tidak pantas,
tak perlu kau membuka mulut,” kata si nenek dengan tawar.
“Ya,” kata pemuda itu sambil
bertindak mundur dan kemudian duduk di samping In Lie Heng.
Murid-murid Go bie merasa
sangat heran. Mereka tak tahu apa yang mau diminta pemuda itu. Sebagai seorang
yang berwatak sangat tidak sabaran, Teng Bin Koen segera mendekati dan
bertanya, “Saudara Song, apakah yang mau diminta olehmu?”
“Waktu mengajar ilmu pedang,
ayahku pernah mengatakan bahwa pada jaman ini orang palilng lihay kiam hoatnya
di dalam dunia adalah Soecouw kami, sedang yang kedua ialah Biat coat Cianpwee.
Kiamhoat Boe-tong dan Go bie masing-masing mempunyai keunggulan dan kekurangan.
Misalnya saja, pukulan Chioe hwie Ngo hian (Tangan menyapu lima kali tetabuhan)
dari Boe tong hampir bersamaan dengan Ceng lo Siauw-san (Kudung tipis dan kipas
kecil) dari Go bie pay. Tapi jika Chioe hwie Ngo hian dikirim dengan
menggunakan tenaga yang besar maka kelincahannnya jadi berkurang dan tidak
dapat menyamai Ceng lo Siauw san yang tetap bisa mempertahankan kecepatannya.”
Seraya berkata begitu, ia menghunus pedang dan menjalankan kedua jurus itu.
Tapi waktu menjalankan Ceng lo Siauw san, gerakannya sangat tidak sempurna.
“Salah,” kata Teng Bin Koen
sambil bersenyum dan mengambil pedang yang dicekal pemuda itu. “Pergelangan
tanganmu masih sakit dan tidak bisa mengeluarkan banyak tenaga,” katanya. “Tapi
kau lihatlah aku memberi contoh.”
Pemuda itu mengawasi dengan
penuh perhatian. Sesudah Teng Bin Koen selesai dengan jurus itu, sambil
menghela napas ia berkata, ”Ayahku sering mengatakan bahwa ia merasa menyesal
belum bisa menyaksikan ilmu pedang gurumu. Hari ini boanpwee merasa sangat
beruntung bisa mendapat kesempatan untuk menyaksikan pukulan Ceng lo Siauw san
dari Teng Soesiok. Sebenarnya boanpwee ingin memohon petunjuk-petunjuk Soethay
mengenai beberapa hal dalam kiamhoat. Tapi karena boanpwee bukan murid Go bie,
maka tak dapat boanpwee membuka mulut.
Biarpun berada di tempat yang
agak jauh, Biat coat sudah mendengar pembicaraan itu. Bahwa ia dianggap sebagai
jago pedang nomor dua dalam dunia, sudah menggirangkan hatinya. Pada jaman itu,
Thio Sam Hong dipandang sebagai gunung Thay-san atau bintang Pak tauw dalam
dunia persilatan dan ia dikagumi oleh semua orang. Biat coat sendiri belum
pernah mengandung maksud untuk menandingi guru besar itu, sehingga pendapat
kalangan Boe-tong bahwa ia adalah ahli pedang nomor dua sudah sangat memuaskan
hatinya. Melihat jurus Ceng lo Siauw san yang barusan dijalankan oleh Teng Bin
Koen ia merasa mendongkol sebab jurus itu masih jauh dari sempurna. Masakah Go
bie kiam hoat hanya sebegitu?
Maka itu, ia segera
menghampiri dan tanpa mengeluarkan sepatah kata ia mengambil pedang yang tengah
dicekal Teng Bin Koen. Sesudah mengangkat pedang itu sampai merata dengan
hidungnya, tangannya menggetar dan ujung pedang segera mengeluarkan suara “ung
ung…” Dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan, sembilan kali ia membulang
balingkan senjata itu dengan kecepatan luar biasa. Tapi biarpun cepat,gerakan
pedang dilihat dengan nyata sekali.
Para murid Go bie mengawasi
dengan mata membelalak.
“Sungguh indah”, teriak In Lie
Heng.
Song Ceng Soe sendiri
memperhatikan setiap gerakan sambil menahan napas. Ia kagum bercampur kaget.
Tadi dengan memberi pujian, ia sebenarnya hanya ingin menyenangkan hati si
nenek. Tapi dilluar dugaannya, niekouw tua itu benar-benar lihay dan ia merasa
takluk. Maka itu dengan setulus hati ia segera memohon beberapa petunjuk lain.
Sekarang Biat coat berlaku
loyal. Semua pertanyaan dijawab dan dijelaskan seterang-terangnya, sedang
dimana perlu nenek itu bersilat untuk memberi contoh-contoh. Semua murid Go bie
memperhatikan itu tanpa bersikap. Banyak diantaranya, bahkan ada yagn sudah
mengikutu sang guru selama belasan tahun belum pernah melihat kiam hoat yang
lihay itu dari gurunya.
Coe Jie dan Boe Kie berdiri
diluar lingkaran penonton. Tiba-tiba si nona berkata, “A Goe Koko, kalau aku
bisa mempunyai ilmu ringan badan setinggi Ceng-ek Hok ong biarpun mati aku
merasa rela.”
“Guna apa memiliki ilmu yang
sesat?” kata Boe Kie. “menurut katanya In Liok-hiap, saban kali menggunakan
ilmunya, Wie It Siauw harus membunuh manusia. Perlu apa mempunyai ilmu
siluman?”
“Dalam pertempuran, manusia
saling membunuh, kalau tidak membunuh tentu dibunuh,” kata Coe Jie. “Wie It
Siauw lihay dan dia berhasil membunuh murid Go bie. Kalau dia kurang lihay,
bukankan dia sendiri yang bakal dibunuh oleh si niekow tua? Dimataku, tak ada
perbedaan antara partai lurus bersih dan golongan yang dikatakan sesat.”
Boe Kie tidak mengatakan suatu
apa lagi.
Sekonyong-konyong sebatang
pedang berkeredepan di angkasa. Pedang itu adalah senjata Song Ceng yang kena
dilontarkan oleh Biat coat dengan pukulan Kiauw jiak yoe liong (Gesit bagaikan
naga). Semua orang mendongak dan mengawasi senjata itu. Tiba-tiba mata mereka
melihat sinar api yang berwarna kuning di sudut timur laut yang jauhnya
kira-kira belasan li.
Dalam usaha untuk membasmi
Mo-kauw keenam buah partai telah bersepakat untuk menggunakan anak panah api
dari enam macam warna sebagai tanda mereka. Anak panah yang bersinar kuning itu
adalah tanda Khong tong pay.
“Khong tong pay bertemu dengan
musuh,” kata In Lie Heng. “Mari kita membantu.”
Mereka segera memburu ke
jurusan itu. Tapi sesudah melalui belasan li, apa yang ditemukan hanyalah pasir
kuning.
“Apa Oen Loocianpwee dari
Khong tong pay?” teriak In Lie Heng. “Apa Kouw Loocianpwee?” Teriakan itu
menempuh jarak yang jauh, tapi tak mendapat jawaban.
Sekonyong-konyong di sebelah
barat muncul sinar kuning.
“Ah! Mereka pindah ke barat,”
kata Ceng hie. Dengan tergesa-gesa mereka memburu ke jurusan barat.
Tapi sesudah berlari-lari
beberapa lama, mereka tetap tidak menemui manusia. Di tempat itu mereka hanya
mendapatkan potongan bambu dan kertas yang hancur terbakar, sehingga dapat
diambil kesimpulan, bahwa anak panah api itu telah dilepaskan dari tempat
tersebut.
Semua orang jadi bingung dan
mencoba memecahkan teka-teki itu.
“Cian pwee, kita kena
diakali,” tiba-tiba Song Ceng Soe berkata, “Lihatlah! Di atas pasir hanya
terdapat tapak kaki seorang manusia. Kalau benar kawan-kawan Khong Tong-pay
menemui musuh, yang kita lihat sedikitnya tapak empat atau lima orang.”
Mendadak Song Ceng Soe ingat
sesuatu. “Celaka!” ia mengeluh, “Kong tong-pay benar diserang musuh. Ikutilah
aku.” Sehabis berkata begitu ia segera berlari-lari ke arah barat daya.
“Bagaimana kau tahu bahwa
Khong Tong-pay telah bertemu dengan musuh?” tanya In Lie Heng yang lari bersama
dengan keponakannya.
“Anak panah api itu bukan
palsu,” jawabnya.
“Anak panah api yang digunakan
oleh keenam partai hanya dapat dibuat oleh tukang-tukang yang pandai dari
Tiong-goan. Anak panah begitu tak bisa dibuat oleh tukang-tukang daerah See
hek.”
“Apakah kau ingin mengatakan
bahwa seorang murid Kong tong kena tangkap dan anak panah api itu dirampas dari
tangannya?” tanya sang paman pula.
“Benar,” jawabnya. “Sementara
itu, pihak siluman telah memancing kita ke timur laut dan kemudian ke barat
untuk membuat kita lelah. Menurut pendapatku, mereka berkumpul di sebelah barat
daya.”
Biat Coat yang berada dalam
jarak kita-kira dua langkah dari mereka, dapat menangkap pembicaraan mereka. Ia
mengangguk seraya berkata, “Kurasa tebakanmu tidak meleset.”
Kecuali Biat Coat, In Sie
Heng, Song Ceng Soe dan beberapa murid yang berkepandaian tinggi, murid-murid
Go Bie yang lainnya sudah sangat letih. Setelah melalui sekian li, di atas
sebuah bukit pasir yang menghadang di depan tiba-tiba kelihatan seorang yang
sedang berdiri dan seorang yang rebah di pasir. Biat Coat mempercepat
langkahnya dan setelah dekat, ia mendapati kenyataan bahwa kedua orang itu
tidak lain dari Boe Kie dan Coe Jie.
Ternyata dalam keadaan sibuk,
orang-orang Go Bie sudah tidak memperhatikan kedua tawanan itu lagi, yang entah
bagaimana bisa berada di sebelah depan.
“Mengapa kau berada di sini?”
tanya Biat Coat. Di dalam hati ia merasa sangat heran. Apakah kedua setan kecil
itu bisa berjalan lebih cepat?
Coe Jie menyengir. “Anak panah
api itu terang-terang telah digunakan memancing musuh,” jawabnya. “Kukira,
bahwa biarpun orang-orang Go Bie tak sadar, bocah she Song itu pasti akan
menebak juga. Aku menduga pada akhirnya kalian semua tentu akan ke sini. A Goe
Koko, bukankah benar begitu?”
Boe Kie mengangguk. “Kami
sudah berada di sini lama sekali,” katanya sambil tersenyum. “Kalian sangat
capai bukan?”
“Setan kecil!” bentak Biat
Coat. “Kalau kau sudah menduga begitu mengapa tidak cepat-cepat memberitahukan
kepada kami?”
“E eh, mengapa kau marah?”
kata si nona.
“Mengapa kau tak minta
pendapatku? Andaikata aku memberitahukan kepada kau, kau tentu tak akan
percaya. Kau tentu lebih suka berlari-lari ke sana-sini.”
Biat Coat gusar, tapi ia tak
bisa mengatakan apapun jua dan iapun tak bisa menghajar nona itu tanpa alasan.
Pada saat itulah, di sebelah
barat daya seolah-olah terdengar suara bentrokan senjata yang sangat banyak.
“Perlu apa kau bergusar terhadapku?” kata Coe Jie. “Kawan-kawanmu sedang
menghadapi bahaya.”
Biat Coat dan yang lain tidak
lagi memperdulikan Coe Jie yang berlidah tajam dan dengan tergesa-gesa mereka
menuju ke arah barat daya.
Makin dekat suara pertempuran
jadi makin hebat. Di antara bentrokan senjata terdengar juga teriak dari
orang-orang yang terluka. Beberapa saat kemudian mereka terkesiap karena dari
jauh mereka melihat suatu pertempuran besar-besaran. Masing-masing pihak
mempunyai kekuatan beberapa ratus orang dan mereka sedang bertempur
mati-matian.
“Pihak musuh terdiri dari
bendera-bendera Swie Kim (Emas murni), Ang Soei (Air besar) dan Lian Hwee,”
kata In Lie Heng. “Khong Tong-pay sudah berada di sini. Hwa San-pay dan Koen
Loen-pay juga sudah tiba. Tiga bendera melawan tiga partai, Soe Jie mari kita
turut menyerbu.” Sambil berkata begitu, ia mengibaskan pedangnya yang
mengeluarkan suara mengaung.
“Tunggu dulu,” kata Ceng Soe.
“Kita tunggu sampati datangnya para paman dari Go Bie-pay.”
Seumur hidup Boe Kie belum
pernah menyaksikan pertempuran yang begitu besar dan begitu hebat. Dengan hati
sedih ia mengawasi manusia yang saling membunuh itu. Di dalam hati kecilnya, ia
tidak mengharapkan kemenangan pihak manapun juga, karena pihak yang satu adalah
partai mendiang ayahnya sedang pihak yang lain adalah golongan mendiang ibunya.
Selagi menunggu murid-murid Go
Bie yang ketinggalan di belakang, tiba-tiba Ceng Soe menuding ke arah timur.
“Liok siok lihat!” katanya. “Di sebelah sana terdapat sejumlah besar musuh yang
sedang menunggu untuk menerjang sewaktu-waktu.”
Boe Kie mengawasi ke arah yang
ditunjuk Ceng Soe. Benar saja, pada jarak beberapa puluh tombak dari gelanggang
pertempuran, terdapat tiga pasukan berkuda, setiap pasukan terdiri dari seratus
orang lebih. Mereka semua berbaris dengan rapi, siap sedia untuk segera
menerjang.
Pada saat itu kedua belah
pihak tengah berperang dengan kekuatan yang hampir imbang. Kalau ketiga pasukan
berkuda itu menyerbu, orang-orang Khong Tong, Hwa San dan Koen Loen pasti akan
kewalahan. Tapi mengapa mereka tidak lantas menyerang?
Biat Coat dan Lie Heng heran
bercampur kuatir. “Mengapa mereka belum juga bergerak?” tanya si nenek kepada
Ceng Soe.
Pemuda itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya. “Aku tak dapat menebak.”
Mendadak Coe Jie tertawa geli.
“Mengapa kau tak dapat menebak?” tanyanya, “Bukankah hal itu terang bagaikan
siang?”
Paras muka Ceng Soe berubah
merah tapi ia membungkam. Biat Coat sebenarnya ingin sekali meminta pendapat
Coe Jie tapi ia merasa tak enak untuk membuka mulut.
Tapi In Lie Heng yang sabar
dan luas pengalamannya berkata, “Aku mohon petunjuk nona.”
“Ketiga pasukan itu mestinya
pasukan Peh Bie-kauw,” terang si nona. “Biarpun Peh Bie-kauw merupakan cabang
dari Mo kauw, tapi pihak Peh Bie telah bentrok dengan Ciang Kie Soe dari lima
bendera Mo kauw. Maka itu, andaikata kalian dapat membasmi musuh, diam-diam In
Thian Ceng pasti akan merasa girang, sebab dengan demikian, ia mempunyai
kesempatan untuk menduduki kursi Kauwcoe dari Mo kauw.”
Biat Coat dan Ceng Soe lantas
saja tersadar.
“Terima kasih atas petunjuk
nona,” kata Boe tong Liok hiap.
Ketika murid-murid Go Bie
sudah menyusul dan mereka berdiri di belakang Biat Coat.
“Song Siauw hiap,” kata Ceng
hie, “Dalam mengatur barisan, kami tidak menandingi kau. Sekarang kau harus
memimpin kami dan kami akan menaati semua perintah. Demi kepentingan bersama,
jangan kau berlaku sungkan.”
“Liok siok,” kata pemuda itu
tergugu, “Mana siauwtit sanggup menerima kedudukan itu….”
“Sudahlah!” kata Biat Coat.
“Jangan rewel dengan segala adat istiadat kosong.”
Ceng Soe mengangguk dan dengan
mata tajam ia memperhatikan jalannya pertempuran. Ketika itu Koen Loen-pay
berada di atas angin. Pertempuran antara Hwa San-pay dan Ang Soei-kie kira-kira
berimbang, sedang Khong Tong-pay makin lama jadi makin terdesak. Rombongan
partai itu sudah terkurung oleh orang-orang Liat Hwee-kie yang mulai membasmi
sepuas hati.
“Mari kita terjang Swie kim
kie dari tiga arah,” kata Ceng Soe. “Dengan mengepalai beberapa paman, Soethay
menyerang dari tenggara. Liok siok menyerbu dari barat, sedangkan Ceng hie Soe
siok dan boanpwee sendiri akan menerjang dari barat daya….”
“Tapi keadaan Koen Loen pay
tidak perlu ditolong,” kata Ceng hie heran. “Yang sedang menghadapi bencana
adalah Khong Tong-pay.”
“Koen loen-pay sudah berada di
atas angin dan jika kita membantu, dalam sekejap kita akan dapat membasmi
seluruh Swie Kim-kie,” terang Ceng Soe. “Sesudah Swie kim-kie dikalahkan kedua
bendera yang lain pasti akan mundur sendirinya. Sebaliknya, kalau kita menolong
Khong Tong, kita harus melakukan pertempuran yang hebat dan lama. Bagaimana
kalau dengan kesempatan itu, Peh Bie-kauw menyerbu dan mengurung dari berbagai
jurusan?”
“Song siauw hiap benar,” kata
Ceng hie yang lantas saja membagi murid-murid Go Bie menjadi tiga rombongan.
Sambil menarik kereta salju
Boe Kie, Coe Jie berkata, “Mari kita berangkat sekarang.”
Keberangkatan mereka diliaht
Song Ceng Soe yang lantas saja mengejar. Sambil menghadang di tengah jalan dengan
melintangkan pedangnya, ia membentak, “Nona, jangan pergi dulu!”
“Mengapa kau mencegat kami?”
tanya si nona.
“Asal usulmu sangat
mengherankan, kau tak bisa pergi begitu saja,” jawabnya.
“Ada sangkut pautkah asal
usulku dengan pribadimu?” tanya Coe Jie dengan suara tawar.
Biat Coat yang ingin menerjang
musuh selekas mungkin jadi sangat tidak sabaran dan dengan sekali sekelebat, ia
sudah berhadapan dengan Coe Jie. Hampir berbareng ia menotok jalan darah si
nona di bagian punggung, pinggang dan betis. Tanpa bisa melawan Coe Jie roboh
di pasir.
Sesudah itu, seraya mengibas
pedangnya si nenek berteriak, “Hari ini kita membuka larangan membunuh untuk
membasmi bersih kawanan siluman!” Bersama In Lie Heng dan Ceng hie yang
masing-masing memimpin rombongan murid Go Bie, ia dalam pertempuran melawan
Swie Kim-ke dibawah pimpinan Ho Thay Cong dan Pan Siok Ham, rombongan Koen
Loen-pay sudah berada di atas angin. Maka itu penyerbuan Go Bie dan Boe Tong
sudah segera menghancurkan garis pembelaan Swie Kim-kie.
Dengan kepandaiannya yang
sangat tinggi, Biat Coat mengamuk bagaikan harimau gila. Tak seorangpun dapat
melawan dalam tiga jurus. Ia menerjang berputar-putar, pedangnya berkelabat
kian kemari dan dalam sekejap, tujuh anggota Mo kauw sudah binasa dibawah pedangnya.
Melihat kehebatan si nenek,
Ciang Kie Soe dari Swie Kim-kie Chung Ceng namanya, segera menghampiri sambil
memutar toya Long gee pang (toya bergigi serigala). Sekarang barulah Biat Coat
tertahan. Sesudah bertanding belasan jurus seraya menggertak gigi, nenek itu
segera mencecar musuhnya dengna jurus-jurus Go Bie Kiam hoat yang makin lama
jadi makin gencar. Tapi Chung Ceng bukan orang sembarangan. Sedikitnya
sementara waktu, ia masih dapat melayani pemimpin Go Bie-pay itu.
Banyak jago yang berkepandaian
tinggi, tapi dalam menghadapi In Lie Heng, Ceng Hie, Song Ceng Soe, Ho Thay
Ciong dan Pan Siok Hem yang ahli-ahli silat kelas utama, mereka tidak bisa
berbuat banyak. Dalam beberapa saat saja, banyak anggota Mo kauw roboh tanpa
bernafas.
Melihat kerusakan pada
pihaknya bagaikan orang kalap, Chung Ceng mengirim tiga pukulan berantai
sehingga mau tak mau Biat Coat terpaksa mundur selangkah. Chung Ceng mendesak
dan mengirim pukulan ke-empat ke arah batok kepala si nenek Biat Coat seraya
menotok toya musuh dengan jurus Soen-soei Toei couw (dengan mengikuti aliran
air, mendorong perahu). Diluar dugaan, pemimpin Swie Kim-kie itu memiliki
Lweekang dan Gwakang yang sangat tinggi. Melihat sambaran pedang musuh, sambil
membentak keras ia melawan dengan toyanya.
“Prak!” pedang Biat Coat patah
jadi tiga potong.
Meskipun kaget, selangkahpun
si nenek tidak mundur. Tangan kanannya meraba ke belakang dan menghunus Ie
Thian Kiam dan bukan saja membabat putus Long nge pang, tapi juga membabat
somplak sebagian batok kepala Chung Ceng, yang segera roboh tanpa bersuara
lagi.
Bukan main kagetnya para
anggota Swie Kim-kie. Tapi dilain saat, segera bertindak keras, dia mengamuk.
Biat Coat dan Ceng Soe semula menduga, bahwa begitu Chung Ceng dapat
dirobohkan, pasukan Swie Kim-kie akan lari lintang pukang dan pasukan Ang Soei
serta Liat Hwee pun akan mengundurkan diri. Tak disangka, sebaliknya daripada
kabur, mereka sekarang berkelahi dengan nekat. Dalam sekejap murid-murid Koen
Loen dan Go Bie sudah menjadi korban.
Tiba-tiba terdengar teriakan
pasukan Ang Soei-kie, “Chung Kie soe telah berpulang ke alam baka. Swie Kim dan
Liat Hwee mundur! Ang Soei-kie melindungi diri dari belakang!”
Hampir berbarengan dengan
teriakan itu, pasukan Liat Hwee-kie mulai bergerak mundur ke arah barat, tapi
orang-orang Swie Kim-kie masih terus bertempur.
Orang itu berteriak pula, “Ini
adalah perintah dari Ang Soei-kie. Para anggota Swie Kim-kie mundurlah! Usaha
membalas sakit hati Chung Kie soe dapat dilaksanakan di hari nanti.”
“Saudara-saudara Ang Soei-kie
mundurlah!” seorang Swie Kim-kie balas berteriak. “Tolong balas sakit hati
kami. Tapi kami ingin hidup dan mati bersama-sama Chung Kie soe.”
Mendadak dari pasukan Ang
Soei-kie muncul sehelai bendera hitam dan seseorang berteriak dengan suara lantang,
“Saudara-saudara Swie Kim-kie, Ang Soei-kie pasti akan membalas sakit hatimu.”
Waktu itu, sisa pasukan Swie
Kim-kie hanya tinggal kira-kira tujuh puluh orang saja. Dengan serentak ia
berteriak, “Thung Kie soe terima kasih!”
Bendera-bendera Ang Soei-kie
segera bergerak dan pasukan itu mulai mundur ke arah barat, dengan dilindungi
oleh kira-kira dua puluh orang yang memegang bumbung yang mengeluarkan cahaya
keemasan. Melihat gerakan yang mundur rapi itu, orang-orang Hwa San dan Khong
Tong tak berani mengubar dan mereka lalu bantu mengepung sisa Swie Kim-kie.
Dengan dikurung oleh rombongan
lima partai Koen Loen, Go Bie, Boe Tong, Hwa San dan Khong Tong, sisa pasukan
itu tinggal menunggu ajalnya saja. Tapi demi persaudaraan, sedikitpun mereka
tak gentar. Mereka terus melawan dengan tekad untuk binasa bersama-sama
pemimpinnya.
Sesudah merobohkan beberapa musuh, In Lie Heng
merasa sangat tidak tega. “Siluman-siluman Swie Kim-kie dengarlah!” teriaknya.
“Jalan kamu hanya jalan mati. Lemparkanlah senjatamu! Kami akan mengampuni
jiwamu.”
“Ciang kie Hoe soe (wakil
pemimpin) Swie Kim-kie tertawa terbahak-bahak. “Ha…ha…ha…Kau terlalu memandang
rendah Beng kauw,” katanya. “Sesudah Tong Chung Toako binasa, bagaimana kami
bisa hidup terus?”
“Saudara-saudara Koen Loen, Go
Bie, Hwa San dan Khong Tong, mundurlah sepuluh langkah!” teriak In Lie Heng
lagi. “Berikan kesempatan supaya mereka bisa menyerah.”
Semua orang kecuali Biat Coat,
segera saja mengundurkan diri. Si nenek yang sangat benci Mo kauw tidak meladeni
dan terus membasmi sepuas hati. Di mana Ie Thian Kiam berkelabat, di situ tentu
ada senjata putus atau manusia roboh. Melihat guru mereka menyerang terus,
murid-murid Go Bie lantas saja maju kembali, sehingga dalam gelanggang
pertempuran terjadi perubahan yaitu Go Bie-pay bertempur sendirian dengan Swie
Kim-kie.
Kekuatan Swie Kim-kie masih
ada enam puluh orang lebih dan jago-jago yang berkepandaian tinggi, sedikitnya
masih ada dua puluh orang lebih, sehingga dengan begitu, dibawah pimpinan Ciang
kie Hoe soe, Hoew Kin Coe, jumlah mereka masih lima kali lipat lebih banyak
daripada belasan orang Go Bie-pay. Seharusnya dengan lima lawan satu, pihak
Swie Kim-kie berada di atas angin. Tapi Biat Coat hebat luar biasa dan Ie Thian
Kiam merupakan senjata terhebat pada jaman itu, maka dalam sekejap tujuh
delapan anggota Swie Kim-kie sudah roboh lagi tanpa bernyawa.
Boe Kie merasa sangat tidak
tega. Sambil berpaling ke Coe Jie, ia berkata, “Ayolah kita pergi.” Ia
mengangsurkan tangannya untuk membuka jalan darah si nona yang ditotok Biat
Coat. Tapi sesudah menotok beberapa kali, jalan darah Coe Jie masih belum juga
terbuka. Ternyata Biat Coat memiliki ilmu Lweekang yang sangat tinggi, maka
totokannya masuk sangat dalam sehingga meskipun usaha Boe Kie dilakukan menurut
cara yang tepat, jalan darah Coe Jie tak bisa terbuka dengan segera.
Sambil menghela nafas Boe Kie
mengawasi jalannya pertempuran. Ketika itu, sisa pasukan Swie Kim-kie yang
berjumlah beberapa puluh orang sudah tak bersenjata lagi. Senjata mereka telah diputuskan
si nenek. Tapi karena dikurung rapat oleh rombongan partai dan juga mereka
tidak berniat untuk melarikan diri, maka dengan tangan kosong mereka meneruskan
perlawanan terhadap murid-murid Go Bie.
Sebagai seorang yang
berkedudukan sangat tinggi, Biat Coat sungkan menggunakan senjata terhadap
musuh yang sudah tak bersenjata. Di lain saat, tubuhnya berkelabat dan jari
tangannya menyambar-nyambar dan dalam sekejap lima puluh lebih anggota Swie
Kim-kie sudah berdiri tegak seperti patung dengan jalan darah tertotok. Melihat
kepandaian si nenek yang luar biasa semua orang bersorak-sorai.
Fajar menyingsing, tiba-tiba
di sebelah tenggara dan barat laut terlihat bayangan-bayangan manusia yang
bergerak mendekati. Mereka adalah orang-orang Peh Bie kauw. Selagi Go Bie
bertempur dengan Swie Kim-kie, dengan rasa kuatir, Song Ceng Soe terus
memperhatikan gerak-gerik Peh Bie kauw. Kini mereka mulai mendaekati tapi dalam
jarak kira-kira dua puluh tombak, mereka berhenti lagi.
“A Goe Koko, kita harus cepat
pergi,” kata Coe Jie. “Celaka benar bila kita jatuh ke tangan Peh Bie kauw.”
Tapi, di dalam hati pemuda itu
terdapat semacam perasaan yang tak bisa dilukiskan terhadap Peh Bie kauw. Pihak
itu adalah pihak mendiang ibunya, tapi ia sendiri belum pernah bertemu dengan
orang Peh Bie kauw. Setiap ingat mendiang ibunya, ia selalu berkata di dalam
hati, “Aku tak bisa bertemu lagi dengan ibu. Kapankah aku bisa bertemu dengan
kakek dan paman?” Dan kini mereka berada begitu dekat dengan dirinya. “Ah, biar
bagaimanapun juga aku harus melihat, apakah kakek dan paman berada dalam
pasukan itu,” katanya di dalam hati.
Sementara itu Song Ceng Soe
mendekati Biat Coat. “Cian pwee,” katanya, “Cepatlah mengambil keputusan
terhadap orang-orang Swie Kim-kie supaya kita bisa segera menghadapi Peh Bie
kauw.”
Si nenek mengangguk. Waktu itu
matahari pagi sudah mulai memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Bayangan
Biat Coat yang tinggi besar yang terpeta di pasir kuning kelihatan angker
sekali, tapi dalam keangkeran itu terasa sesuatu yang menyedihkan. Dalam
kebenciannya terhadap Mo kauw, si nenek ingin sekali meruntuhkan semangat
orang-orang itu. Maka itu, ia lantas saja membentak, “Hei, orang-orang Mo kauw!
Kamu dengarlah. Siapa yang masih ingin hidup bisa mendapatkan pengampunan asal
saja meminta ampun.”
Tapi pengumuman itu dijawab
dengan gelak tawa.
“Tertawa apa kamu?” bentak
Biat Coat dengan gusar.
“Dengan Chung Toako kami ingin
hidup dan mati bersama-sama!” teriak Ciang kie Hoe soe, Gouw Kin Co. “Kau
jangan banyak rewel, cepat ambil jiwa kami.”
Si nenek mengeluarkan suara di
hidung, “Baikalh,” katanya. “Tapi kau jangan mimpi bahwa kau bisa mampus dengan
enak.” Seraya berkata begitu ia membabat putus lengan orang itu.
Gouw Kin Co tertawa
terbahak-bahak. “Beng kauw mewakili langit menjalankan keadilan, membereskan
dunia menolong rakyat dan kami menganggap bahwa hidup atau mati tiada bedanya,”
katanya dengan suara nyaring. “Bangsat tua, jika kau mengharap takluknya kami
maka seperti mimpi di siang bolong!”
Biat Coat menjadi makin gusar.
Ie Thian Kiam menyambar tiga kali dan tiga orang putus lengannya. “Bagaimana
kau?” tanyanya pada orang yang kelima. “Apa kau mau minta ampun?”
“Tutup mulutmu!” bentak orang
itu sambil tertawa.
Kali ini sebelum gurunya
bergerak, Ceng hie sudah melompat mendahului dan memutuskan lengan kanan orang
itu dengan pedangnya. “Soehoe, biarlah teecoe saja yang menghukum
siluman-siluman itu,” katanya. Dengan beruntun ia menanyai beberapa musuh tapi
tak satupun yang sudi menyerah. Sesudah membabat putus lengan beberapa orang ia
berpaling kepada gurunya seraya berkata, “Soehoe, mereka sangat keras kepala….”
Dengan berkata begitu, ia mengharapkan belas kasihan Biat Coat.
Tapi si nenek tidak
memperdulikan suara memohon dari muridnya itu. “Putuskan lengan kanan semua
siluman itu!” bentaknya. “Kalau mereka masih belum mengenal takut, putuskan
lengan kirinya.”
Ceng hie tak berdaya. Ia
kembali mengangkat pedang dan memutuskan pula beberapa lengan.
Sampai disitu Boe Kie tak
dapat menahan dirinya lagi. Ia melompat dari kereta salju dan menghadang di
depan Ceng hie. “Tahan!” bentaknya.
Semua orang terkejut begitu
juga Ceng hie yang langsung mundur selangkah. “Apa kau tak malu sudah menyakiti
sesama manusia secara begitu kejam?” teriak Boe Kie dengan suara terengah.
Semua orang kaget tetapi
sesudah melihat pakaian Boe Kie yang compang-camping mereka tertawa.
Sesudah tertawa dengan
nyaring, Ceng hie berkata, “Semua orang ingin membinasakan kawanan siluman yang
sesat. Dalam hal ini tak ada soal kejam atau tidak kejam.”
“Para cian pwee dan toako ini
adalah orang-orang yang berkepribadian luhur dan tidak takut mati,” kata Boe
Kie. “Sikap mereka sikap ksatria tulen. Bagaimana kau bisa menganggap mereka
sebagai kawanan siluman yang sesat?”
“Apa kawanan Mo kauw bukan
siluman?” tanya Ceng hie dengan gusar. “Dengan matamu sendiri kau telah
menyaksikan bagaimana Ceng-ek Hong-ong membunuh manusia dan menghisap darahnya.
Dia sudah membunuh soate dan soemayku. Kalau itu bukan siluman apa yang bisa
dinamakan siluman?”
“Ceng-ek Hok-ong hanya
membunuh dua orang tapi kamu sudah membinasakan sepuluh kali dua orang,” kata
Boe Kie. “Dia menggunakan gigi, gurumu menggunakan Ie Thian Kiam. Dia membunuh,
gurumupun membunuh. Apa bedanya?”
Ceng hie emosi, “Bocah!”
bentaknya. “Kau berani menyamakan guruku dengan siluman?” Seraya membentak ia
memukul Boe Kie dengan telapak tangannya.
Dengan cepat pemuda itu
berkelit. Tapi Ceng hie adalah murid kepala Go Bie-pay yang memiliki kepandaian
yang tinggi. Pukulan yang ditujukan ke muka Boe Kie hanya pukulan gertakan dan
begitu cepat pemuda itu berkelit, kaki kirinya sudah menendang dada. “Duk…”
Sesosok tubuh terpental beberapa tombak jauhnya, tapi tubuh itu tubuh Ceng hie
yang telah patah tulang betisnya.
Dalam ilmu silat Boe Kie
memang kalah jauh dari Ceng hie. Tapi ia memiliki Kioe-yang Sin-kang yang
keluar secara wajar, jika ia diserang orang. Makin berat serangan itu makin
hebat tenaga menolak dari Kioe-yang Sin-kang. Untung juga, waktu menendang Ceng
hie tidak berniat mengambil jiwa Boe Kie dan hanya menggunakan separuh
tenaganya. Maka itu walaupun tulangnya patah ia tidak mendapat luka berat.
Semua orang termasuk Biat
Coat, terkesiap. “Siapa dia?” tanya si nenek di dalam hati. “Selama beberapa
hari aku tidak memperhatikan dia dan tak disangka dia seorang yang
berkepandaian tinggi. Aku sendiripun belum tentu bisa melemparkan Ceng hie
dengan cara begitu. Dalam dunia mungkin Thio Sam Hong yang memiliki Lweekang
sedemikian dahsyat.”
Biat Coat adalah manusia yang
beradat aneh, keras dan kejam. Ia tidak berani memandang rendah kepada Boe Kie,
tapi saat itu juga ia segera mengambil keputusan untuk mengadu jiwa dengan
pemuda itu. Dengan sorot mata tajam ia mengawasi Boe Kie dari kepala sampai
kaki.
Tapi pemuda itu tidak
menghiraukan karena ia sedang repot menolang orang Swie Kim-kie. Dengan cepat
ia menotok jalan darah mereka dan sesudah ditotok darah yang mengalir keluar
dari lengan yang putus segera berkurang. Di antara orang-orang itu terdapat
banyak ahli ilmu totok, tapi tak satupun mengenal ilmunya Boe Kie yang lain
dari yang lain.
“Terima kasih atas pertolongan
Siauw hiap,” kata Gauw Kin Co. “Bolehkah aku mengetahui she dan nama Siauw hiap
yang mulia?”
“Aku she can namaku A Goe,”
jawabnya.
“Bocah kemari,” bentak Biat
Coat dengan suara dingin, “Sambutlah tiga seranganku.”
“Tunggu dulu,” kata Boe Kie
seraya membalut luka korban yang terakhir. Sesudah selesai, barulah ia
menghampiri si nenak dan berkata seraya merapatkan kedua tangannya, “Biat Coat
Soethay, aku bukan tandinganmu. Aku sama sekali tak berniat untuk bertanding
sama Loo jinke (panggilan menghormati untuk seorang yang tua). Aku hanya
berharap supaya kedua belah pihak menghentikan pertempuran dan mengadakan
perdamaian.”
Ia bicara sungguh-sungguh
dengan nada memohon. Dalam hatinya ia mencintai kedua belah pihak itu, karena
pihak yang satu adalah pihak mendiang ayahnya sedang pihak yang lain adalah
golongan mendiang ibunya.
Biat Coat tertawa dingin,
“Apakah kami harus menghentikan pertempuran atas perintahmu, bocah bau?”
katanya. “Apakah kau seorang Boe-lim Cie-coen?” (Boe-lim Cie-coen adalah
seorang yang termulia dalam dunia persilatan)
Boe Kie terkejut, “Apa artinya
perkataan Soethay!” tanyanya.
“Andaikan dalam tanganmu
memegang golok To Liong To, kau masih harus melawan Ie Thian Kiam-ku untuk
menentukan siapa menang siapa kalah,” kata si nenek. “Sesudah kau menjadi
Cie-coen dalam dunia persilatan, barulah kau boleh memerintah di kolong
langit.”
Mendengar ejekan sang guru
semua murid Go Bie tertawa geli.
Boe Kie kaget dan ia segera
berpikir, “Apakah tujuan orang-orang dunia persilatan yang mencari ayah
angkatku hanyalah untuk merampas To Liong To? Apakah mereka hanya bermaksud
untuk menjadi yang termulia dalam dunia persilatan agar bisa memerintah di
kolong langit?”
Selagi berpikir begitu,
murid-murid Go Bie masih belum berhenti tertawa.
Sebagai seorang muda yang tak
mempunyai nama, memang juga tak pantas Boe Kie mengatakan “mengharapkan kedua
belah pihak menghentikan pertempuran”. Mendengar suara tawa orang, paras
mukanya lantas saja berubah merah.
Ia menengok dan di antara
murid-murid Go Bie, ia melihat Cioe Cie Jiak yang tengah mengawasinya dengan
sorot mata kagum dan menganjurkan, sehingga semangatnya lantas saja bangkit,
“Mengapa kau mau membunuh begitu banyak orang?” katanya. “Setiap orang
mempunyai ayah ibu, istri dan anak. Jika kau membunuh mereka, anak-anak mereka
akan jadi yatim piatu, yang tentu akan dihina orang. Kau adalah seorang pertapa
yang menyucikan diri. Dengan melakukan pembunuhan itu, apakah di dalam hati kau
bisa merasa tenteram?” Waktu mengatakan kata-kata itu, suaranya
bersungguh-sungguh dan mengharukan karena ia ingat akan nasibnya sendiri yang
sejak kecil sudah ditinggal oleh orang tua.
Paras muka nona Cioe berubah
pucat dan kedua matanya mengambang air.
Tapi muka Biat Coat sekalipun
tak berubah. Ia adalah seorang manusia yang tidak pernah atau sedikitpun jarang
memperlihatkan perasaan hatinya pada paras mukanya. Waktu ia membuka mulut
suaranya tetap dingin bagaikan es. “Bocah, apakah aku masih perlu dinasehati
olehmu? Dengan mengandalkan tenaga dalammu yang kuat, kau membacot di sini.
Baiklah, jika kau bisa menerima tiga pukulanku aku akan melepaskan
manusia-manusia itu.”