Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 69
Berselang kira-kira setengah
jam, ia mendengar suara kaki kuda yang mendatangi utara dari tenggara. Tak lama
kemudian, ia melihat dua ekor kuda dengan empat penunggangnya: Song Wan Kiauw
dan Jie Lian Cioe menunggang yang satu, In Lie Heng dan Thio Siong Kee
menunggang yang lain.
“Sesudah kena pukulanku,
perempuan siluman itu jatuh ke jurang,” demikian terdengar suara Jie Lian Cioe.
“Kurasa dia tak akan bisa hidup lagi.”
“Hari ini barulah kita bisa
mencaci hinaan di Ban Hoat Sie,” kata Thio Siong Kee. “Tapi perlu apa di
bersembunyi di gua itu? Aku benar-benar merasa heran.”
“Tapi Sieko, apakah kau tidak
bisa menebak-nebak?” tanya In Lie Heng.
“Tak bisa,” jawabnya. “Bagi
kita, binasanya perempuan siluman itu tidak begitu penting. Kita baru bisa
bergirang kalau kita bisa menemukan Cit Tee.” Makin lama mereka makin jauh dan
akhirnya Boe Kie tidak bisa mendengar lagi pembicaraan mereka.
Sesudah menunggu beberapa lama
lagi, Boe Kie turun dari pohon. Dengan mengikuti tapak-tapak kaki di atas
salju, ia lantas berlari-lari ke arah timur. Ia sangat berkuatir akan
keselamatan Tio Beng dan berkata dalam hatinya. “Biarpun jahat, kali ini dia
menolong jiwaku. Kalau karena aku dia mengantarkan jiwa, aku sungguh…. “
memikir begitu, ia lari makin keras dan sesudah melalui kira-kira lima li, ia
bertemu dengan sebuah tebing. Tapak-tapak di sekitarnya kelihatan kalang kabut,
sedangkan di sisi tebing terdapat tanda-tanda dari gugurnya tanah dan batu. Boe
Kie mengerti, bahwa karena terdesak, Tio Beng sudah terjun ke bawah
bersama-sama kudanya.
“Tio Kouw Nio! Tio Kouw Nio!”
teriaknya. Ia tak dapat jawaban. Ia melongok ke jurang. Ditengah malam ia tak
bisa lihat dasar jurang itu yang dindingnya sangat terjal dan tidak punya
tempat untuk menaruh kaki.
Tapi Boe Kie sudah nekat.
Seraya menarik napas dalam-dalam ia turunkan kedua kakinya dan lalu merosot ke
bawah sambil bersandar di dinding jurang. Perbuatan itu tentu sangat berbahaya,
tapi ia tak memikir panjang-panjang lagi. Seraya merosot, ia mengerahkan
lweekang dan berusaha keras untuk menancapkan sepuluh tangannya di es yang
keras. Ia berhasil dan sesudah berhenti sejenak ia merosot lagi. Kejadian ini
terulang lima enam kali. Akhirnya ia tiba di dasar jurang. Mendadak ia melompat
karena kakinya menyentuh sesuatu yang lembek. Dengan meraba-raba ia mendapat
tahu bahwa kakinya telah menginjak paha kuda dan Tio Beng sendiri masih
mendekam di punggung kuda dan memeluk leher binatang itu. Cepat-cepat ia
menyelidiki pernapasan si nona. Ia merasa agak lega sebab walaupun pingsan,
gadis itu masih bernapas. Untung sungguh si nona terus memeluk leher kuda,
sehingga di waktu jatuh, yang terpukul hebat adalah binatang yang mati seketika
itu juga. Boe Kie lalu memegang nadi Tio Beng. Ia girang sebab ia mendapat
kenyataan, bahwa meskipun terluka berat jiwa si nona tidak akan terancam. Ia
segera mendukungnya, menempelkan kedua telapak tangannya dengan telapak tangan
Tio Beng dan kemudian mengerahkan tenaga dalam untuk mengobati luka itu.
Boe Kie bukan saja memilik
lweekang yang sangat kuat. Tapi juga mahir dalam ilmu ketabiban. Maka itu
sesudah dibantu kira-kira setengah jam dengan lweekang Boe Tong Pay yang murni,
perlahan-lahan Tio Beng tersadar. Sesudah itu, Boe Kie lalu memasukkan Kioe
Yang Cin Khie ke dalam tubuh si nona. Setengah jam kemudian fajar menyingsing.
Tiba-tiba, “Uah!” Tio Beng muntah dara, ia tersadar seluruhnya. “Apa mereka
sudah pergi? Apa mereka bertemu dengan kau?” bisiknya.
Mendengar pertanyaan yang
penuh kasih sayang itu, bukan main rasa terharunya Boe Kie. “Mereka tidak
menemukan aku,” jawabnya. “ah! …. Karena kau, kau sangat menderita…. “ Selagi
bicara ia tetap mengirim Cin Khi ke dalam tubuh si nona. Dengan bibir
tersungging senyuman Tio Beng memejamkan matanya. Kaki tangannya lemas, tapi
dada dan perutnya hangat dan ia merasa nyaman sekali. Sesudah “hawa tulen” itu
berputar beberapa kali di dalam tubuhnya, ia memutar kepalanya dan berkata
sambil tersenyum. “Kau mengasolah. Aku sudah banyak mendingan.”
Mendadak rasa terima kasih
yang sangat besar bergelombang dalam hati Boe Kie. Ia memeluk erat-erat dan
menempelkan pipinya pada pipi si nona. “Kau sudah menolong nama baik-ku dan
pertolongan itu sepuluh kali lipat lebih berharga daripada pertolongan jiwa,”
bisiknya.
Tio Beng tertawa geli. “Aku
perempuan jahat, bagiku nama baik tak menjadi soal. Yang penting adalah jiwa.”
Pada saat itulah, di atas
jurang tiba-tiba terdengar bentakan. “Perempuan siluman! Benar saja kau belum
mampus! Cara bagaimana kau mencelakai Boh Cit Hiap! Lekas mengaku!”
“Jangan perlihatkan mukamu!’
bisik nona Tio.
“Perempuan bangsat! Teriak
Thio Siong Kee. “Jika kau tidak menjawab, kami akan menghantam dengan batu
besar!”
Tio Beng mengawasi ke atas.
Benar saja, Song Wan Kiauw berempat kelihatan berdiri di pinggir tebing dengan
masing-masing memegang sebuah batu besar. Jika mereka menimpuk, jiwanya dan
jiwa Boe Kie akan segera melayang. “Robek baju kulit ini untuk menutupi
mukamu,” bisiknya. “Sesudah itu barulah kita kabur.”
Boe Kie segera melakukan
nasehat si nona. Sesudah memakai topeng, ia menekan topi kulitnya ke bawah
sampai lewat dahi.
Mengapa empat pendekar Boe
Tong itu balik kembali! Karena mereka mempunyai pengalaman luas. Sesudah Tio
Beng jatuh ke jurang, mereka sengaja menyingkir jauh-jauh. Tapi mereka tahu,
bahwa sebagai seorang puteri dari kerajaan Goan, si nona pasti tidak berjalan
sendirian. Ia pasti mempunyai orang-orang yang melindunginya secara diam-diam.
Demikianlah, sesudah berjalan beberapa li, mereka kembali dan sesudah menambat
tunggangan mereka di dahan pohon, mereka membuat obor dan memeriksa gua bekas
tempat bersembunyinya Tio Beng. Di dalam gua mereka menemukan bangkai dua ekor
rase yang badannya rusak karena gigitan binatang, entah binatang apa. Bau wangi
dari rase itu masih belum menghilang. Sesudah menyelidiki, mereka keluar dan
terus mengikuti tapak kaki Boe Kie. Akhrinya menemukan jenazah Boh Seng Kok
yang kaki tangannya tergigit binatang. Kegusaran dan kedukaan mereka sukar
dilukiskan. In Lie Heng menangis tersedu-sedu dan akhirnya roboh pingsan.
“Meskipun berkepandaian
tinggi, dengan seorang diri perempuan siluman itu pasti tak akan bisa
membinasakan Cit Tee,” kata Jie Lian Cioe sambil menyusut air mata. “Lak tee,
jangan terlalu berduka. Kita sekarang harus mencari semua musuh dan
membinasakan mereka untuk membalas sakit hatinya Cit Tee.”
“Sebaiknya kita bersembunyi di
sekitar gua ini dan menunggu sampai fajar,” kata Thio Siong Kee. “Menurut
dugaanku, kaki tangan si perempuan siluman pasti akan datang ke sini untuk
mencarinya. Diantara tujuh pendekar Boe Tong, Siong Kee-lah yang paling berakal
budi. Mendengar usul itu, Song Wan Kiauw bertiga lantas berhenti menangis dan
dengan berpencaran lalu menyembunyikan diri di belakang batu-batu dekat mulut
gua. Tapi sampai fajar menyingsing, tiada manusia yang datang ke situ.
Dengan mendongkol keempat jago
Boe Tong itu lalu pergi ke tebing untuk mengamat-amati. Tiba-tiba mereka
terkejut sebab sayup-sayup mereka mendengar suara manusia di bawah jurang.
Waktu melongok ke bawah, mereka melihat seorang pria yang mengenakan pakaian
indah sedang memangku Tio Beng. Buru-buru mereka mengambil batu besar dan
mengancam. Mereka tidak lantas menimpuk sebab ingin menyelidiki sebab musabab
kebinasaan Boh Seng Kok.
Jurang itu menyerupai sebuah
sumur yang berdinding batu. Hanya sudut barat terdapat sebuah jalanan keluar
yang sangat sempit. “Anjing Goan!” bentak Thio Siong Kee. “Naik dari jalan itu!
Kalau berayal, kami akan menghabiskan jiwa kamu dengan batu-batu ini.” Karena
pakaiannya indah, Thio Siong Kee menganggap Boe Kie sebagai seorang Mongol.
Boe Kie sendiri bingung bukan
main. Di dasar tidak terdapat tempat bersembunyi yang bagaimanapun jua. Kalau
para pamannya menimpuk, meskipun ia sendiri bisa menyelamatkan diri, Tio Beng
pasti akan binasa. Lantaran tidak melihat lain jalan lagi, maka dengan apa
boleh buat, sambil mendukung Tio Beng, perlahan-lahan ia memanjat ke atas. Ia
sengaja tidak memperlihatkan keindahannya. Saban-saban ia berlagak terpeleset
dan napasnya tersengal-sengal seperti orang kecapaian. Sesudah jatuh bangun
beberapa kali barulah kakinya menginjak tanah datar.
Menurut perhitungannya, begitu
lekas keluar dari mulut jurang, ia ingin segera melarikan diri dengan
menggendong Tio Beng. Dengan menggunakan ilmu ringan badannya yang tinggi, ia
masih ungkulan meloloskan diri dari kejaran.
Tapi Thio Siong Kee pintar
luar biasa. Siang-siang ia sudah melihat bahwa orang Mongol itu berpura-pura
dan ia sudah memberi isyarat supaya ketiga saudara seperguruannya berwaspada.
Maka itu, begitu lekas Boe Kie
menginjak bumi ia sudah dikurung dengan empat pedang yang ujungnya terpisah
kira-kira sekaki dari tubuhnya.
“Bangsat Tat Coe!” caci Song
Wan Kiauw dengan suara gemetar. “Apa dengan memakai topeng, kau rasa akan bisa
melarikan diri? Siapa yang membunuh Boh Cit Hiap? Lekas mengaku! Kalau kau
berdusta, aku akan cincang badanmu!” Song Wan Kiauw sebenarnya berwatak sabar
dan welas asih. Hanya karena melihat kebinasaan Boh Seng Kok yang begitu
mengenaskan, maka itu, ia mengeluarkan cacian yang menyeramkan. Selama puluhan
tahun, baru sekarang ia memperlihatkan kegusaran yang sedemikian hebat.
Tio Beng menghela napas.
“Kalupawa Ciangkoen,” katanya. “Tak ada jalan lain lagi untuk meloloskan diri,
sekarang kau boleh mengaku terus terang!” sesudah ia berbisik di kuping Boe
Kie, “gunakan ilmu silat Seng Hwee Leng.”
Tak usah dikatakan lagi, kalau
bisa Boe Kie tentu tak ingin bertempur melawan paman-pamannya. Tapi sekarang
sudah terdesak di jalan buntu. Sambil menggigit gigi, ia melemparkan tubuh Tio
Beng ke arah In Lie Heng dan seraya berjungkir balik tangannya menyambar lengan
Thio Siong Kee. Dengan kaget, In Lie Heng menyambut tubuh nona Tio. Sesudah
tertegun sejenak, ia menotok jalan darah si nona dan kemudian melontarkannya di
tanah.
Sementara itu, Boe Kie sudah
mengeluarkan ilmu silat Seng Hwee Leng yang sangat aneh. Ia meninju Song Wan
Kiauw, menendang Jie Lian Cioe, menyeruduk Thio Siong Kee dengan kepalanya, dan
merampas pedang In Lie Heng. Keempat pendekar Boe Tong itu adalah ahli-ahli
silat kelas satu yang berpengalaman luas. Tapi menghadapi ilmu silat Seng Hwee
Leng, mereka repot dan hampir-hampir tak bisa membela diri.
Dalam pertempuran di Leng Coa
To. Boe Kie memiliki Kioe Yang Sin Kang dan Kian Koen Tay Lo Ie masih tidak
bisa melawan Sam Soe dari Persia yang baru mempelajari sebagian ilmu Seng Hwee
Leng. Sekarang Boe Kie sudah menyelami seluruh ilmu yang tertera di enam Seng
Hwee Leng dan kepandaiannya sudah banyak lebih tinggi daripada kepandaian Sam
Soe. Ilmu Seng Hwee Leng pada hakekatnya bukan ilmu terjurus yang sangat aneh
dan sukar diraba.
Manakala ilmu tersebut
digunakan oleh orang biasa, orang itu bukan tandingan perndekar Boe Tong yang
terkenal sebagai ahli lweekang kelas utama. Tapi Boe Kie bukan orang biasa. Ia
memiliki Kioe Yang Sin Kang, mahir dalam Kian Koen Tay Lo Ie dan paham dalam
segala ilmu dari Boe Tong Pay. Maka itulah setiap serangannya serangan bahaya
dan ditujukan kepada bagian-bagian yang kosong dari garis pembelaan keempat
pendekar. Sesudah bertanding kurang lebih dua puluh jurus, serangan Boe Kie
makin hebat dan makin aneh.
Tiba-tiba Tio Beng yang
menggeletak di tanah berteriak, “Kalupuwa CiangKoen, sekarang baru mereka tahu
kelihaian ilmu silat Mongol! Hajar mereka! Jangan sungkan-sungkan!”
Keempat pendekar Boe Tong
mendongkol bukan main. Tapi mereka tak bisa berbuat banyak. Kian lama mereka
makin terdesak.
“Bela diri dengan Thay Kek
Koen!” seru Thio Siong Kee.
Keempat pendekar Boe Tong
lantas saja menambah cara bersilat mereka. Sekarang mereka membela diri secara
rapat sekali dengan menggunakan ilmu gubahan Thio Sam Hong yang sangat lihai
itu.
Sekonyong-konyong Boe Kie
berduduk di tanah, kedua tinjunya meninju-ninju dadanya sendiri!
Selama menjagoi dalam rimba
persilatan, para pendekar Boe Tong pernah mengukur tenaga dengan banyak sekali
ahli-ahli silat yang tangguh dan pernah melayani entah berapa banyak pukulan
yang aneh-aneh. Tapi baru sekarang mereka menyaksikan cara berkelahi yang aneh
dari “tat coe”. Berduduk di tanah dan memukul dadanya sendiri. Jangankan
melihat, mendengar pun mereka belum pernah mendengar pukulan yang luar biasa.
Sebelum Boe Kie mengeluarkan silatnya yang luar biasa itu, keempat pendekar Boe
Tong sudah memasukkan pedang mereka ke dalam sarung dan membela diri dengan
tangan kosong. Boe Kie berduduk di tanah dan memukul-mukul dada, dalam kage dan
heran mereka dengan serentak menghunus pedang dan menikam. Hampir berbareng
pedang Song Wan Kiauw, Jie Lian Cioe, dan Thio Siong Kee menyambar ke tubuh Boe
Kie. Pedang In Lie Heng telah dirampas dan dilemparkan oleh Boe Kie. Tapi di
pinggangnya masih tergantung pedang Boh Seng Kok. Ia segera menghunusnya dan
turut menikam
Pada detik yang sangat
berbahaya, mendadak Boe Kie menyapu salju dengan kakinya dan salju itu muncrat
berhamburan keempat penjuru.
Itulah salah sebuah pukulan
Seng Hwee Leng yang dinamakan Hoei See Coan Siang Toei (pasir terbang
menggulung rombongan pedagang) Ilmu ini dulu sering digunakan oleh si orang tua
dari pegunungan untuk merobohkan rombongan pedagang yang lewat di padang pasir
dengan menggunakan unta. “Si orang tua dari pegunungan” adalah perampok besar.
Kalau lihat iring-iringan pedagang, ia segera duduk di pasir dan menangis
tersedu sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Rombongan pedagang itu tentu saja
lantas berhenti dan menanyakan sebab musababnya dari tangisannya itu. Selagi
orang tak waspada, si Orang Tua dari Pegunungan tiba-tiba menyapu pasir dengan
kakinya, sehingga pasir muncrat berhamburan dan masuk di mata pedagang-pedagang
itu. Selagi korban-korbannya tidak bisa membuka mata, dia menyerang
sehebat-hebatnya. Dengan sekali pukul, dia bisa membinasakan puluhan orang.
Itulah asal-usul Hoei See Coan Siang Toei dan sebagai gantinya pasir, Boe Kie
menggunakan salju.
Berbareng muncratnya salju,
keempat pendekar Boe Tong kelilipan dan tidak bisa membuka mata. Tapi sebagai
jago-jago ulung gerakan mereka cepat luar biasa dan serentak mereka melompat ke
belakang. Tapi kalau mereka cepat, Boe Kie lebih cepat lagi. Bagaikan kilat,
memeluk kedua lutut Jie Lian Cioe dan selagi menggulingkan diri, ia sudah
menotok tiga hiat besar di tubuh jjh. Hampir berbareng ia berjungkjir dan
selagi badannya melayang turun di udara, lutut kanannya menggentus Ngo Coe Hiat
dan Sin Kong Hiat di tubuh In Lie Heng yang matanya lantas saja
berkunang-kunang dan roboh di tanah. Song Wan Kiauw tidak dapat menggunakan
pedangnya lagi tapi tangan kirinya lantas saja menghantam kepala si tat Coe.
Tapi sebelum pukulan itu mampir pada sasarannya, mendadak dadanya kesemutan dan
jalan darahnya sudah kena disikut Boe Kie.
Tak kepalang kagetnya Thio
Siong Kee. Dalam sekejab tiga saudara seperguruannya dibikin tidak berdaya. Ia
mengerti, bahwa biar bagaimanapun jua, dengan seorang diri ia bukan tandingan
musuh yang tangguh itu. Tapi ia tentu tidak bisa kabur sendirian dengan
meninggalkan saudara-saudaranya. Dengan nekat, ia segera mengirim tiga tikaman
berantai.
Ketika itu Thio Siong Kee
sudah dijalanan buntu dan menghadapi bahaya besar. Tidakannya tetap, sikapnya
tenang dan serangannya hebat, sesuai dengan kemestian. Melihat begitu, didalam
hati Boe Kie bersorak, “ilmu silat Boe Tong benar-benar luar biasa. Apabila
tidak memiliki silat yang aneh ini, mungkin sekali aku tak bisa melawan para
pamanku,” tiba-tiba ia memutar kepalanya, membuat lingkaran-lingkaran. Thio
Siong Kee tidak memperdulikan, ia sengaja tak mau melihat lingkaran-lingkaran
itu. Mendadak, dengan kecepatan luar biasa, ia menikam dada Boe Kie. Boe Kie
menundukkan kepala, seolah-olah mereka mau memapaki tikaman itu dengan batok
kepalanya. Sekonyong-konyong, pada waktu ujung pedang hampir menyentuh kulit
kepala, ia membuang diri ke tanah dan menubruk ke depan. Hampir berbareng,
empat hiat di kempungan dan betis kiri Thio Siong Kee tertotok dan tanpa ampun
lagi, ia jatuh terjengkang.
Boe Kie tahu, bahwa empat
totokan itu hanya dapat melumpuhkan bagian bawah tubuh pamannya. Selagi ia mau
menotok Tiong Kie Hiat dan Tho To Hiat di bagian punggung, tiba-tiba Thio Siong
Kee mengeluarkan teriakan menyayat hati, kedua matanya terbalik, tubuhnya
bergemetaran dan sesaat kemudian, napasnya habis.
Hati Boe Kie mencelos, keempat
totokannya takkan melukai sang paman. Apa paman itu memang sudah sakit dan
penyakitnya kambuh karena ditotok? Keringat dingin membasahi bajunya dan dengan
tangan gemetar ia meraba kepala pamannya. Siong Kee menyambar dan topeng Boe
Kie terlocot! Mereka saling mengawasi dengan mata membelalak.
Beberapa saat kemudian, Thio
Siong Kee berkata dengan suara parau. “Thio Boe Kie… kau!... kasih sayang kami
terhadap kau tersia-sia…. “ Nada suara itu mengunjuk rasa duka dan gusar yang
tiada taranya. Sambil menatap wajah Boe Kie, air mata pendekar Boe Tong itu
mengalir turun di kedua pipinya. Tadi, sesudah dirobohkan, ia mengambil
keputusan untuk melocotkan topeng musuh, supaya kalau mesti mati, ia mau mati
setelah melihat wajah lawannya. Maka itu ia berlagak mati dan akhirnya berhasil
menjambret topeng Boe Kie. Didalam pihak, Boe Kie yang berwatak polos tidak
pernah menduga, bahwa ia akan diakali secara begitu.
Pada waktu itu, penderitaan
Boe Kie banyak lebih hebat daripada penderitaan jasmaniah yang paling hebat.
Bagaikan hilang ingatan, ia hanya berkata dengna suara perlahan: “bukan aku….
Sie Soepeh.. bukan aku yang membunuh Cit Soe Siok… “
Thio Siong Kee tertawa
terbahak-bahak.
“Bagus!... bagus…. “ serunya.
“Lekas kau bunuh kami semua! Toako! Lak Tee! Kau sudah lihat, bahwa manusia
yang kita namakan Tat Coe bukan lain daripada anak Boe Kie yang kita cintai.”
Song Wan Kiauw, Jie Lian Cioe
dan In Lie Heng yang badannya tidak bisa bergerak, hanya mengawasi dengan mata
melotot dan muka merah padam.
Hebat sungguh kedudukan Boe
Kie. Tiba-tiba serupa ingatan pendek berkelebat di otaknya.
Lebih baik mati! Tapi, sebelum
menjemput pedang dan mengorok leher, tiba-tiba Tio Beng berkata, “Thio Boe Kie!
Dalam menghadapi penasaran, seorang laki-laki harus bisa mempertahankan diri.
Di dalam dunia ini, air surut, batu kelihatan. Kau harus berusahan untuk
membinasakan penjahat yang membunuh Boh Cit Hiap untuk membalas sakit hatinya.
Hanyalah dengan berbuat begitu, baru kau tak percuma menerima kasih sayang para
pendekar Boe Tong.”
Boe Kie terkejut. Ia
menyetujui pendapat Tio Beng. “Tapi apakah yang harus kita perbuat?” tanyanya.
Sambil menanya begitu, ia menghampiri dan mengurut punggung serta pinggang si
nona untuk membuka jalan darahnya yang tertotok.
“Kau tak usah terlalu bingung,”
bujuk Tio Beng dengan suara lemah lembut. “Dalam Beng Kauw terdapat banyak
orang pandai, sedang akupun mempunyai banyak pembantu yang berkepandaian
tinggi. Penjahat itu pasti akan bisa dibekuk.”
“Thio Boe Kie! Teriak Siong
Kee. “kalau di dalam hatimu masih terdapat rasa kasihan, bunuhlah kami dengan
segera! Aku tak kuat menyaksikan kau bercinta-cintaan dengan perempuan siluman
itu.”
Paras muka pemuda itu pucat
bagaikan mayat. Ia benar-benar bingung dan tak tahu apa yang harus
diperbuatnya.
“Tindakan kita yang pertama
adalah coba menolong Han Lim Jie,” kata Tio Beng. “Sesudah itu, kita berusaha
untuk mencari ayah angkatmu. Di sepanjang jalan kita boleh menyelidiki penjahat
yang membunuh Boh Cit Hiap dan yang membunuh Piauw Moaymu.”
“Apa?.... Apa?….” tanya Boe
Kie dengan suara terputus-putus.
“Apakah Boh Cit Hiap dibunuh
olehmu?” Tio Beng balas menanya dengan suara dingin. “Mengapa keempat pamanmu
menuduh kau? Apa In Lee dibunuh olehku? Mengapa kamu menuduh aku? Apakah hanya
kau seorang yang boleh penasaran terhadap orang lain dan orang lain tak boleh
merasa penasaran terhadapmu?” kata-kata itu bagaikan halilintar di tengah hari
bolong. Sekarang, sesudah mengalami sendiri, barulah ia mengakui, bahwa di
dunia yang lebar ini sering terjadi kejadian-kejadian yang kebetulan, yang
tidak bisa dikira oleh manusia. Sekarang dia sendiri menerima tuduhann berat.
Ia tidak berdosa, tapi ia tidak berdaya untuk membersihkan diri. “apakah …
Apakah Tio Kouw Nio seperti aku?....” tanyanya di dalam hati.
“Apakah keempat pamanmu bisa
membuka sendiri totokanmu?” tanya pula Nona Tio.
Boe Kie menggelengkan kepala.
“Tidak,” jawabnya. “Totokanku dari ilmu Seng Hwee Leng. Soepeh dan Soesiok
takkan bisa membukanya. Sesudah lewat dua belas jam, totokan itu akan terbuka sendiri.”
“Jalan satu-satunya bagi kita
adalah menaruh keempat pamanmu di dalam gua dan kita lantas menyingkirkan
diri,” kata Tio Beng. “Sebelum berhasil mencari penjahat yang berdosa, kau tak
boleh bertemu muka lagi dengan dia.”
“tapi di dalam gua itu sering
keluar masuk binatang,” kata Boe Kie. “Pada jenazah bcs terdapat tanda-tanda
gigitan.”
“ah! Otakmu sudah tidak bisa
bekerja lagi!” kata si nona. “Kalau salah seorang dari keempat pamanmu bisa
menggerakkan tangannya dan dalam tangannya terdapat sebatang pedang, apakah
binatang buas akan bisa melukakan mereka?”
Muka Boe Kie berubah merah. Ia
mengangguk dan menjawab. “Benar, kau benar.” Sesudah berkata begitu, ia
mendukung tubuh keempat pamannya dan menaruh mereka di belakang sebuah batu
besar, supaya terbebas dari serangan salju. Boe Kie tak menjawab dan hanya
mengucurkan air mata.
Tio Beng tak bisa menahan
sabarnya lagi. “Kalian adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi dalam rimba
persilatan dan aku sungguh tak mengerti mengapa kalian begitu tolol,” katanya.
“Kalau benar Boe Kie membunuh Boh Cit Hiap, bukankah dengna mudah saja dia bisa
membinasakan kalian semua untuk menutup mulut kalian? Kalau dia tega membunuh
Boh Cit Hiap, apakah dia tak tega membunuh kalian? Jika kalian mencaci terus,
aku akan gaplok muka kalian satu persatu. Aku perempuan siluman, aku bisa
lakukan apa yang kukatakan. Dulu waktu kalian berada di Ban Hoat Sie, dengan
memandang muka Thio Kong Coe, aku sudah memberi perlakuan istimewa pada
orang-orang Boe Tong Pay. Lihatlah! Jari tangan jago-jago Siauw Lim, Koen Loen,
Go Bie, Hwa San dan Khong Tong diputuskan olehku. Terhadap pendekar-pendekar
Boe Tong, aku membuat kecualian. Dibagian mana perlakuanku terhadap kalian
kurang sempurna? Bilang!”
Song Wan Kiauw berempat saling
mengawasi. Di dalam hati mereka masih berpendapat, bahwa Boh Seng Kok dibunuh
Boe Kie, tapi mereka kuatir, Tio Beng akan benar-benar menggaplok mereka.
Seorang gagah boleh dibinasakan, tapi tak boleh dihina. Kalau sampai mereka
digaplok si perempuan siluman, mereka benar-benar merasa terhina. Maka itu
mereka lantas berhenti mencaci.
Tio Beng tersenyum dan
berkata, “Ambillah tunggangan kita untuk membawa paman-pamanmu ke gua.”
Boe Kie kelihatan bersangsi.
“Lebih baik kudukung mereka,” katanya.
Si nona mengerti maksud
perkataan itu. Ia tertawa dingin dan berkata, “Apa kau rasa, karena
berkepandaian tinggi, kau seorang diri bisa membawa empat orang dengan
sekaligus? Kutahu, kau kuatir begitu lekas kau pergi, aku akan membunuh
paman-pamanmu. Kau belum pernah menaruh kepercayaan atas diriku. Baiklah, aku
pergi mengambil kuda dan kau tunggu di sini.”
Mendengar perkataan yang jitu,
sekali lagi muka Boe Kie berubah merah. Tapi memang benar ia tidak berani
menyerahkan keempat pamannya ke dalam tangan si nona yang angin-anginan. Maka
itu, ia lantas saja berkata, “Terima kasih banyak jika kau sudi mengambil
kuda-kuda itu, kutunggu di sini.”
“Hm!.... “ Si nona
mengeluarkan suara di hidung. “Kau begitu mulia, tapi orang tetap tak percaya
kepadamu, kau begitu baik hati, tapi orang tetap menganggap kau seperti
anjing.” Sehabis berkata begitu, ia berjalan pergi.
Boe Kie tidak meladeni. Dengan
hati masgul, ia megawasi bayangan si nona.
Sekonyong-konyong terdengar
suara larinya kuda dari selatan, dan didengar dari suaranya jumlah kuda
sedikitnya ada tiga ekor. Tio Beng pun sudah mendengarnya, karenanya ia
buru-buru kembali dan berkata, “Ada orang!” seraya berkata begitu, ia lari ke
belakang batu dan berjongkok di samping Boe Kie. Melihat separu badan Jie Lian
Cioe berada di luar batu, ia segera menariknya.
“Jangan sentuh badanku!”
bentak Jie Hiap dengan mata melotot.
Si nona tertawa, “aku justru
ingin pegang badanmu,” katanya. “Aku mau lihat apa yang bisa diperbuat olehmu.”
“Tio Kouw Nio! Jangan kurang
ajar terhadap soepehku!” bentak Boe Kie.
Tio Beng tertawa dan
mengeluarkan lidahnya.
Sesaat itu, seorang penunggang
kuda kelihatan mendatangi, dengan dikejar oleh dua orang lain. Dalam jarak
kira-kira tiga puluh tombak, Boe Kie yang bermata jeli sudah mengenali, “Song
Ceng Soe Toako!” bisiknya.
“Tahan kudanya!” kata Tio
Beng.
“Perlu apa?” tanya Boe Kie.
“Jangan banyak tanya. Apa kau
lupa, pembicaraan di ruangan kelenteng Bie Lek Hoed?” kata si nona.
Boe Kie mendusin, menjemput
sepotong es dan menimpuk. Timpukan itu kena tepat di kaki depan kuda Song Ceng
Soe yang langsung saja berlutut. Song Ceng Soe melompat turun dan coba
membangunkan tunggangannya, tapi kuda itu tidak bisa berdiri lagi sebab
tulangnya patah. Melihat pengejarnya sudah datang, cepat Song Ceng Soe segera
melarikan diri. Tapi ia tidak bisa lari jauh, karena Boe Kie sudah menimpuk
lagi dan potongan es mampir tepat pada jalan darah di betis kanannya.
Hampir berbareng robohnya Song
Ceng Soe, kedua pengejar itu sudah menyandak. Mereka adalah Tan Yoe Liang dan
Ciang Poen Liong Tauw.
“Heran sungguh!” kata Boe Kie
dalam hati. “mereka bertiga bersama-sama pergi ke Tiang Pek San untuk mencari
racun. Mengapa yang seorang lari dengan dikejar oleh yang dua?” sejenak
kemudian ia mendapat lain ingatan. Ya, mungkin sekali Song Toako tersadar dan
insaf bahwa ia tak boleh melakukan perbuatan terkutuk. Untung juga ia lari ke
sini. Aku harus menolong.
Begitu menyandak, Tan Yoe
Liang dan Ciang Liong Tauw meloncat turun dari tunggangan mereka. Mereka
menduga kuda Song Ceng Soe roboh sebab terlalu letih dan pemuda itu sendiri
terluka berat. Karena dugaan itu, mereka segera menghunus senjata yang lalu
dituding ke tubuh Ceng Soe.
Tangan Boe Kie sudah mencekal
kepingan es siap sedia untuk menimpuk. Tapi tangannya sudha disentuh Tio Beng,
si nona menggeleng-gelengkan kepala, menuding kupingnya sendiri dan kemudian
menuding Song Ceng Soe. Boe Kie mengerti bahwa ia dinasehati untuk bersabar dan
menunggu pembicaraan ketiga orang itu.
“Orang she Song!” bentak Ciang
Poen Liong Tauw. “Mengapa kau kabur ditengah malam buta? Apa kau mau membuka
rahasia kepada ayahmu?” Sambil mencaci, ia membaling-balingkan golok Cie Kim
Pat Kwa Lo di atas kepala Ceng Soe. Song Wan Kiauw sangat berkuatir akan
keselematan puteranya. Secara kebetulan Boe Kie menengok dan ia melihat sorot
mata sang paman yang penuh kekuatiran itu. Ketika benterok dengan mata Boe Kie,
sinar matanya berubah dan memperlihatkan sinar memohon. Boe Kie
manggut-manggutkan kepalanya sebagai janji, bahwa ia akan menolong. “Kecintaaan
ayah ibu benar-benar setinggi langit dan setebal bumi,” katanya di dalam hati.
“Toasoepeh begitu gusar terhadapku. Tapi begitu melihat jiwa Song Toako
terancam bahaya, ia rela untuk meminta pertolongan kepadaku. Andaikata
Toasoepeh sendiri yang terancam bahaya, ia pasti tak akan meminta pertolongan.”
Pada detik itu, tiba-tiba hatinya seperti tersayat pisau. Ia ingat, bahwa Song
Ceng Soe mempunyai seorang ayah yang sangat mencintai, sedang ia sendiri
seorang anak yatim piatu.
Sementara itu terdengar jawaban
Song Ceng Soe, “Aku bukan mau memberitahukan ayah.”
“Pangcoe telah memberitahukan
kau untuk mengikut kami ke Tiang Pek San guna mencari obat,” kata Ciang Poen
Liong Tauw. “Mengapa kau pergi tanpa permisi?”
“Ciang Poen Liong Tauw! Aku
anak manusia mempunyai ayah dan ibu. Kalian memaksa aku untuk mencelakai ayah
kandung sendiri. Mana tega aku berbuat begitu? Aku bukan mau berseteru dengan
kalian. Aku hanya tak sanggup melakukan perbuatan binatang itu.”
“apakah kau mau melanggar
perintah Pangcoe? Apa kau tahu, hukuman apa yang akan dijatuhkan terhadap
seorang anggota yang menghianati partai?”
“aku seorang berdosa besar.
Aku memang sudah tak ingin hidup. Selama beberapa hari, setiap kali memejamkan
mata, aku selalu melihat bayangan bcs selalu mengganggu aku. Ciang Poen Liong
Tauw, bunuhlah aku! Aku akan merasa sangat berterima kasih.”
“Baiklah!” bentak si pengemis
sambil mengangkat goloknya.
“Tahan!” cegah Tan Yoe Liang.
“Liong Tauw Toako, apabila Song Heng Tee tetap menolak, lepaskan saja dia. Tak
baik kalau kita bunuh.”
“Lepaskan dia?” menegas Ciang
Boen Liong dengan suara heran.
“Benar, dia membinasakan paman
gurunya sendiri, Boh Seng Kok. Dia berdosa besar dan pasti akan dibunuh oleh
orang partainya sendiri. Perlu apa kita mengotorkan senjata?”
Itulah perkataan yang
mengejutkan. Bagi keempat pendekar Boe Tong, kata-kata itu bagaikan halilintar
yang menyambar dengan tiba-tiba.
Waktu mengintip pertemuan Kay
Pang di kelenteng Bie Lek Hoed, ketika Tan Yoe Liang menyebut-nyebut nama Boh
Seng Kok. Boe Kie sudah menduga bahwa Song Ceng Soe telah melakukan sesuatu
yang tidak pantas terhadap pamannya itu. Tapi mimpipun tak pernah mimpi, bahwa
Boh Seng Kok binasa dalam tangan pemuda itu. Antara mereka semua, hanyalah Tio
Beng yang tidak terlalu kaget, sebab ia sudah menduga terjadinya kejadian itu.
“Tan Toako,” kata Song Ceng
Soe dengan suara gemetar, “kau sudah bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia
ini. Asal kau tidak membuka mulut, ayah tentu tak akan tahu.”
Tan Yoe Liang tertawa tawar.
“kau Cuma mengingat sumpahku, tapi lupa sumpah sendiri,” katanya. “kau sudah
bersumpah, bahwa mulai waktu itu kau akan menurut segala perintahku. Apa kau
atau aku yang lebih dahulu melanggar sumpah?”
“biarpun mesti mati, aku tak
dapat menuruti perintahmu untuk menaruh racun di makanan Thay Soehoe dan ayah.
Lebih baik kau bunuh saja aku.”
“Song Heng Tee, seorang gagah
harus bisa bertindak dengan mengimbangi keadaan. Kami bukan menyuruh kau
membinasakan ayah sendiri. Kami hanya ingin kau menaruh sedikit racun Bong Han
Yo (obat yang melupakan), supaya mereka tertidur untuk sementara waktu.
Bukankah kau sudah mengiakan waktu kita berada di kelenteng Bie Lek Hoed?”
“Aku hanya mengiakan untuk
menaruh Bong Han Yo. Tapi yang ditangkap Ciang Poen Liong Tauw adalah
binatang-binatang yang sangat beracun – ular, kelabang, dan sebagainya. Itu
semua racun untuk membinasakan manusia. Itu semua bukan Bong Han Yo.”
Tan Yoe Liang mengawasi
korbannya dan perlahan-lahan memasukkan pedangnya ke dalam sarung. “Cioe Kouw
Nio dari Go Bie Pay sangat cantik bagaikan bidadari,” katanya. “didalam dunia
sangat sukar dicari tandingannya. Aku merasa heran mengapa kau rela menyerahkan
gadis itu ke dalam tangannya si bocah Boe Kie. Song Heng Tee, hari itu kau
mengintip kamar tidur para wanita murid-murid Go Bie Pay dan perbuatanmu
diketahui oeh Cit Soesiokmu lalu mengejar sehingga terjadi pertempuran di bukit
batu. Pertempuran itu berakhir dengan peristiwa pembunuhan oleh seorang
keponakan terhadap pamannya sendiri. Mengapa kau sudah melakukan pembunuhan
itu? Bukankah karena ingin mendapatkan Cioe Kouw Nio yang cantik manis? Apa
sekarang kau bisa mundur lagi? Tidak! Pasti tidak!”
Dengan menggunakan seantero
tenaganya, Song Ceng Soe bangun berdiri, “Tan Yoe Liang, lidahmu sungguh
jahat!” teriaknya.
“Kau menekan aku secara
keterlaluan. Malam itu, di dalam pertempuran melawan bcs, aku sudah kalah. Aku
berdosa besar. Kalau aku binasa, segala apa akan menjadi besar. Siapa suruh kau
membantu aku? Aku kena ditipu olehmu, sehingga sekarang namaku hancur dan tidak
akan bisa ditolong lagi.”
“Bagus, bagus!” kata Tan Yoe
Liang dengan suara mengejek. “Apa boleh aku bertanya? Boh Seng Kok mati sebab
punggungnya terpukul dengan pukulan Cia Thian Tiat Ciang (Pukulan tangan besai
yang menggetarkan langit) Siapa yang memukulnya? Apa Kau? Malam itu, aku bukan
saja menolong jiwamu, tapi juga menolong namamu. Apa itu salah? Song Heng Tee,
didalam persahabatan, yang lain tak usah disebut-sebut lagi, tapi hal kau
membunuh paman sendiri pasti tak akan diuar-uar olehku. Sekarang kita boleh
berpisahan dan dilain hari kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu muka
pula.”
Mendengar perkataan manusia
itu yang seolah-olah bersedia untuk menyudahi segala persoalan sampai di situ,
Song Ceng Soe sangat bersangsi. “Tan…. Tan Toako, apa yang mau diperbuat olehmu
terhadapku?” tanyanya.
Tan Yoe Liang tertawa, “Aku
selalu berbuat baik terhapamu, tapi kau tetap tak percaya aku,” katanya. “Apa
yang aku mau berbuat terhadapmu? Tidak! Aku tak ingin berbuat apapun jua
terhadapmu. Aku hanya ingin memperlihatkan serupa barang kepadamu. Kau
lihatlah! Apa ini?”
Boe Kie dan Tio Beng sangat
ingin melihat barang itu. Tapi mereka tidak berani mengeluarkan kepala.
Tiba-tiba terdengar suara kaget dari Song Ceng Soe. “Ah!.... cincin besi Go Bie
Pay!... milik Cioe Kouw Nio. Darimana kau dapatkan itu?”
Boe Kie terkejut, tapi dilain
saat ia menduga, bahwa cincin itu bukan cincin tulen.
Tan Yoe Liang tertawa.
“Lihatlah dahulu,” katanya. “Lihat dulu, apa tulen apa palsu.”
Beberapa saat kemudian Song
Ceng Soe berkata, “Waktu berada di See Hek, aku pernah meminta pelajaran silat
dari Biat Coat Soethay. Aku lihat cincin ini di jarinya. Rasanya, barang ini
bukan barang palsu.”
Tiba-tiba terdengar suara
“trang!”
“Inilah buktinya,” kata Tan
Yoe Liang. “Kalau palsu, bacokanku pasti akan memutuskannya. Lihatlah! Di dalam
cincin terdapat empat huruf Lioe Ie Siang Lie (dihadiahkan kepada anak Siang)
Cincin ini dahulu milik Kwee Siang Lie Hiap, pendiri Go Bie Pay, dan terbuat
daripada besia Hiantiat.
“Tan Toako…. “ Kata Song Ceng
Soe dengan suara parau. “darimana…. Darimana kau mendapatkannya!... Dimana Cioe
Kouw Nio sekarang?”
Tan Yoe Liang tersenyum,
“Ciang Poen Liong Tauw, mari kita berangkat,” katanya tanpa memperdulikan
pertanyaan Song Ceng Soe. “Mulai dari dulu, tapi sekarang Kay Pang tidak
memerlukan manusia seperti dia lagi.” Suara tindakan kaki lantas terdengar
kedua orang itu berjalan ke jurusan utara.
Sekonyong-konyong Song Ceng
Soe memanggil, “Tan Toako! Apa dia mati atau masih hidup?”
Tan Yoe Liang kembali.
“Benar,” katanya, “Cioe Kouw Nio berada dalam tangan kami. Dia sungguh cantik,
aku sendiri belum beristeri. Aku ingin memohon kepada Pangcoe untuk menikah
dengannya. Kurasa Pangcoe akan meluluskan.”
Song Ceng Soe mengeluarkan
seruan tertahan.
“Benar, pada hakekatnya
seorang koencoe tak akan merampas milik orang lain,” kata pula Tan Yoe Liang.
“Tan Yoe Liang pasti tidak akan merusak persahabatan karena paras cantik. Tapi
sekarang kau sudah menjadi penghianat partai. Diantara kita sudah tidak ada ikatan
apapun jua dan aku bisa berbuat sesuka hati, bukankah begitu?”
Song Ceng Soe tidak menyahut.
Dua macam pikiran rupa-rupanya sedang berkelahi di dalam hatinya.
Boe Kie melirik Song Wan
Kiauw. Dengan rasa kasian, ia lihat pamannya mengucurkan air mata. Sebagai
seorang gagah kalau bukan berlalu duka, paman itu tentu tidak akan menangis.
Beberapa saat kemudian barulah
Song Ceng Soe berkata, “Tan Toako, Liong tauw Toako, tadi pikiranku kusut. Aku
bersalah dan kuharap kalian suka memaafkan.”
Tan Yoe Liang tertawa
terbahak-bahak. “Nah begini baru benar,” katanya. “Dengan menepuk dada aku
memberi jaminan, bahwa soal kau menaruh Bong Han Yo di minuman para pendekar
Boe Tong, bukan saja jiwa ayahmu tak akan kurang suatu apa, tapi Cioe Cie Jiak
pun akan segera menjadi isterimu. Sesudah Thio Sam Hong dan para pendekar Boe
Tong berada di dalam tangan kita. Thio Boe Kie pasti akan menurut segala
perintah kita. Sesudah Kay Pang menguasai Beng Kauw, mengusir Tat coe dan
merebut pulang tahta kerajaan, kau dan aku akan menjadi menteri-menteri sendiri
negara. Bukan saja isteri kita dan anak-anak kita, tapi ayahnyapun akan
menikmati segala kebesaran.”
Song Ceng Soe tertawa getir.
“Thia-thia bukan manusia yang kemaruk harta,” katanya. “Aku hanya mengharap
ayah jangan membunuh aku. Kalau harapan itu bisa terkabul, aku sudah merasa
puas.”
Tan Yoe Liang tertawa,
“Kecuali ayahmu dewa, ia pasti tak akan tahu latar belakang kejadian itu,”
katanya. “Song Heng Tee, apa kakimu terluka? Kita berdua bisa menunggang
kudaku. Setibanya di kota kita bisa membeli lain kuda.”
“Sebab terburu-buru, betisku
terpukul kepingan es,” jawabnya. “Sungguh sial kepingan es itu kena tepat pada
Coe Peng Hiat. Didalam dunia memang sering terjadi kejadian yang kebetulan.”
Dari pengakuan Song Ceng Soe
dapatlah dilihat kelihaian Boe Kie dalam ilmu melepaskan senjata rahasia.
Pemuda itu sama sekali tak pernah menduga, bahwa dirinya dibokong orang. Ia
hanya merasa terpukul kepingan es yang secara kebetulan kena pada jalan
darahnya. Hal ini pada hakekatnya tidak luar biasa. Lengan kita secara tidak
sengaja juga sering membentur meja kursi dan kadang-kadang begitu terbentur,
kita merasa kesemutan, karena benturan itu kebetulan kena pada “Hiat”.
“Bukan sial, tapi mujur,” kata
Tan Yoe Liang sambil tertawa. “Song Heng tee bernasib baik dan sudah
ditakdirkan bakal mempunyai isteri yang sangat cantik. Kalau betismu tidak
terpukul es dan kami tidak bisa menyusul, maka kau tak akan tersadar dari
kekeliruan. Dengan demikian, bukan saja namamu hancur, tapi usaha kitapun akan
menjadi gagal. Selain begitu, Cioe Cie Jiak yang ayu akan menjadi isteri Tan
Yoe Liang. Bukankah kejadian itu seperti burung hong berjodoh dengan burung
gagak seolah-olah sekuntum bunga tertancap di atas tai kerbau?” Ia berbicara
secara guyon-guyon, tapi setiap perkataannya hebat bukan main dan menekan Song
Ceng Soe, sehingga pemuda itu tidak bisa berkutik lagi.
Song Ceng Soe menghela napas
dan berkata dengan suara perlahan. “Tan Toako, bukan aku tidak percaya….”
“Kau mau bertemu dengan Cioe
Kouwnio?” memutus Tan Yoe Liang. “Boleh! Mudah sekali. Sekarang Pangcoe dan
para tiangloo berada di Louw liong dan Cioe Kouwnio pun berada di situ. Mari
kita pergi ke Louw liong. Sesudah urusan Boe tong beres, kakakmu akan segera
mengadakan pesta pernikahan untuk mewujudkan idam-idamanmu. Dan… seumur hidup,
kita akan berterima kasih kepada Tan Yoe Liang Toako… ha..ha..ha….”
“Baiklah, mari kita pergi ke
Louw liong,” kata pula Song Ceng Soe. “Tap Toako, bagaimana… bagaimana Cioe
Kouwnio bisa berada dalam tangan kita?”
“Itulah berkat jasa Liong tauw
Toako,” jawabnya sambil tertawa. “Hari itu, ketika Ciang pang dan Ciang poen
Lio tauw makan minum di sebuah Cioe-lauw, mereka lihat tiga orang yang tidak
dikenal. Sesudah diselidiki, salah seorang adalah Cioe Kouwnio. Ciang poen
Liong tauw Toako segera mengirim orang untuk mengundangnya. Legakan hatimu.
Cioe Kouwnio sehat walfiat, tak kurang satu apa.”
Boe Kie mengeluh. Sekarang
baru ia tahu bahwa hari itu mereka sebenarnya dikenali. “Jika Giehoe tidak
buta, ia bisa lihat bahwa rahasia sudah terbuka,” pikirnya. “Hai… aku dan Cie
Jiak masih terus mimpi…” Tapi bagaimana dengan keselamatan Giehoe?” Dia bingung
sebab Tan Yoe Liang tak pernah menyebut-nyebut ayah angkatnya.
Sementara itu si orang she Tan
sudah berkata pula. “Song Heng tee, sesudah kau menikah dengan Cioe Kouwnio, Go
Bie dan Boe tong pay harus menurut perintah Kay pang. Siauw lim pay sudah
berada dalam tanganku. Ditambah dengan Kay Pang dan Beng Kauw, tenaga kita
bukan main besarnya. Kita pasti bisa mengalahkan orang Mongol dan merebut
negeri. Huh…huh… negara akan segera menukar majikan.”
Tan Yoe Liang berbicara dengan
hati berbunga bunga. Ia memperlihatkan lagak seolah olah Kay pang sudah merebut
seluruh negeri dan ia sendiri akan segera naik ke tahta kerajaan. Ciang poen
Liaong tauw dan Song Ceng Soe juga turut ketawa, tapi tertawa mereka tertawa
getir.
“Mari kita berangkat,” ajak
Tan Yoe Liang. “Song Heng tee Bok Cit hiap binasa di dekat ini. Kau telah
memasukkan jenazahnya ke dalam gua yang rasanya tak jauh dari sini. Bukankah
begitu? Tadi, kudamu tiba tiba roboh. Apakah roh Bok Cit hiap menunjukkan
keangkerannya? Ha.. ha.. ha!.... ha.. ha.. ha!...”
Kata kata itu membangunkan
bulu roma Song Ceng Soe yang lantas saja berjalan dengan terpincang pincang.
Sesudah ketiga orang itu
berlalu, Boe Kie lalu membuka jalan darah keempat pamannya sambil berlutut ia
manggut manggutkan kepalanya dan berkata, “Soepeh, Soesiok, tadi titjie berada
dalam keadaan terjepit dan tidak bisa membersihkan diri, sehingga karena terpaksa,
titjie telah melakukan perbuatan berdosa terhadap Soepeh dan Soesiok. Titjie
bersedia untuk menerima segala hukuman.”
Song Wan Kiauw menghela napas
panjang, air matanya mengucur dan ia menengadah tanpa mengeluarkan sepatah
kata.
Jie Lian Cioe segera
membangunkan keponakannya dan berkata dengan suara menyesal. “Perhubungan kita
bagaikan perhubungan tulang dan daging. Hal itu tak usah disebut sebut lagi.
Aku sungguh tidak duga, bahwa Ceng Soe… Ceng Soe… Hai!... kalau bukan mendengar
dengan kuping sendiri, siapa yang bisa percaya?”
Tiba tiba “srt…!” Song Wan
Kiauw menghunus pedang. “Binatang…!” katanya dengan suara gemetar. “Sam wie Soe
tee, anak Boe Kie, mari kita kejar. Biar kubunuh binatang itu dengan tangan
sendiri.” Seraya berkata begitu, badannya berkelebat dan ia mengubar puteranya
dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
“Toako, balik!” teriak Thio
Siong Kee. “Kita harus berdama dulu.” Tapi Song Tayhiap tidak meladeni.
Boe Kie segera mengudak.
Dengan cepat ia melewati sang paman dan lalu menghalang di depannya. “Tio Soe
peh,” katanya sambil membungkuk. “Siesoepeh ingin bicara. Sebab ditipu, Song
Toako telah membuat kekeliruan. Di hari kemudian, ia pasti akan mendusin. Jika
Toasoepeh mau menghukum, tak perlu tergesa2.”
“Cit tee!... Cit-tee…!” kata
Song Wan Kiauw dengan suara di tenggorokan. “Kakakmu benar2 berdosa besar…”
Sekonyong-konyong ia mengangkat pedangnya dan coba menggorok leher. Boe Kie
terkesiap dan secepat kilat tangannya menyambar. Sungguh mujur dia keburu
merampas senjata itu dengan menggunakan ilmu Kian koen Tay lo ie. Tapi biarpun
tak sampai membinasakan, ujung pedang menggores juga leher Song Tay hiap.
Ketika itu Jie Lian bertiga
sudah menyusul. “Toako,” kata Thio Siong Kee dengan suara membujuk. “Ceng Soe
telah melakukan perbuatan sangat terkutuk itu dan semua orang Boe tong pasti
takkan dapat mengampuninya. Tapi, membersihkan rumah tangga sendiri urusan
kecil, sedang urusan yang besar adalah keselamatan rakyat. Tak boleh, karena
memperhatikan yang kecil, kita menyia nyiakan yang besar.”
“Membersihkan rumah tangga
sendiri urusan kecil?” Menegas Song Wan Kiauw dengan mata melotot. “Huh!...
sungguh sial aku mempunyai anak penghianat itu!....”
Didengar dari omongan Tan Yoe
Liang, Kay pang ingin meminjam tangan Ceng Soe untuk mencelakai guru kita,”
kata pula Thio Siong Kee dengan sabar. “Di samping itu, Kay pang berusaha untuk
menekan atau mempengaruhi berbagai partai Rimba Persilatan guna merampas
negeri. Bagi kita, Soecoen (guru yang mulia) merupakan urusan besar. Keselamatan
Rima Persilatan dan rakyat di kolong langit juga merupakan urusan besar. Ceng
Soe yang durhaka pasti akan mendapat pembalasan. Kewajiban kita yang sekarang
ini adalah berdamai untuk menolong urusan besar.”
Song Wan Kiauw membungkam. Ia
tak dapat membantah perkataan adiknya. Akhirnya ia memasukkan pedangnya ke
dalam sarung dan berkata dengan suara perlahan. “Pikiranku kusut, otakku tak
bisa memikir lagi. Biarlah Sietee yang memikirkan tindakan kita.”
Sesudah kegusaran kakaknya
agak mereda, In Lee Heng lalu mengeluarkan obat dan membalut luka Song Wan
Kiauw.
“Menurut pendapatku,” kata
pula Thio Siong Kee,” karena Kay pang ingin mencelakai Soecoen dan guru kita
tidak tahu menahu, maka tindakan yang harus segera diambil adalah pulang ke Boe
Tong secepat mungkin. Meskipun Tan Yoe Liang mengatakan bahwa ia ingin meminjam
tangan Ceng Soe, manusia jahat itu mungkin akan turun tangan terlebih siang.
Yang terpenting bagi kita ialah melindungi soecoan. Soecoan sudah berusia
tinggi, kalau kejadian dahulu sampai terulang, kalau sampai ada musuh lagi yang
sampai membokong dengan menyamar sebagai pendeta Siauw lim, kita tak akan bisa
menebus kedosaan kita.”
Sehabis berkata begitu, ia
mengawasi Tio Beng dengan mata mendelik. Ia rupa rupanya masih mendongkol
karena si nona pernah berusaha untuk membinasakan Thio Sam Hong.
Song Wan Kiauw mengeluarkan
keringat dingin. “Benar…! Benar…!” katanya dengan gemetar. “Sebab ingin
membunuh anak jahanam itu, aku sampai melupakan keselamatan Soecoan. Hai!...
otakku sudah miring!”
Ia seorang yang tak sabaran.
“Hayo! Lekas! Kita harus berangkat sekarang juga,” desaknya berulang-ulang.
“Boe Kie,” kata Thio Siong Kee
sambil berpaling kepada keponakannya, “tugas menolong Cie Kauwnio harus
ditunaikan olehmu sendiri. Sesudah berhasil, datanglah di Boe tong san.”
Boe Kie membungkuk dan
berkata. “Baiklah Soepeh.”
“Tio Kauwnio berwatak kejam,”
bisik Thio Siong Kee. “Kau harus berhati hati. Ceng Soe merupakan sebuah contoh
seorang laki laki tak boleh dibikin lupa oleh paras cantik.”
Dengan muka merah Boe Kie
manggut-manggutkan kepalanya.
Sesudah selesai berdamai,
keempat pendekar Boe tong Boe Kie lalu menguburkan jenazah Boh Seng Kok di
belakang sebuah batu besar. Mereka menangis sedih sekali dan sehabis memeras
air mata, Seng Wan Kiauw berempat segera berangkat.
Sesudah mereka berlalu, Tio
Beng mendekati Boe Kie dan berkata. “Sie soepehmu menasihati supaya kau berhati
hati terhadapku dan jangan sampai kena dibikin lupa oleh paras cantik. Dia
mengatakan bahwa Song Ceng Soe adalah sebuah contoh. Benarkah begitu?”
“Bagaimana kau tahu?” tanya
Boe Kie dengan suara jengah. “Apakah kau mempunyai kuping Soen hong nie?”
Tio Beng mengeluarkan suara di
hidung. “Sekarang aku bicara terus terang,” katanya dengan bangga. “Aku berani
memastikan bahwa sesudah memikir dan memikir lagi, Song Tay hiap dan yang lain
lain akan berbalik mempersalahkan Cioe Cie Jiak yang dianggap sebagai gara gara
yang mengakibatkan runtuhnya seorang jago muda dari Boe tong pay. Huh huh!...
jalan pikiran orang lelaki tak pernah terlolos dari terkaanku.”
“Song Toasoepeh dan lain lain
paman adalah koencoe (manusia utama), kata Boe Kie. “Mereka semuanya sudah
mengetahui aturan dan tidak mungkin mempersalahkan orang secara serampangan.”
Si nona tertawa dingin,
“Huh!... makin koencoe mungkin makin gila!” katanya. Sesudah berdiam sejenak,
ia berkata lagi sambil tertawa, “Lekas tolong Cioe kauw untukmu! Kau celaka
besar kalau dia sampai jatuh ke dalam tangan Song Ceng Soe.”
Muka Boe Kie berubah merah.
“Mengapa celaka besar?” tanyanya sambil tertawa kecil.
Dengan mengikuti tapak kaki
kuda Boe Kie dan Tio Beng berhasil menemukan tunggangan mereka yang lantas saja
dikaburkan ke Kwan Lee. Boe Kie membedal kuda dan dengan pikiran kusut. Ia
memikiri ayah angkatnya dan memikiri juga Cioe Cie Jiak. Mengingat bahwa Kay
pang ingin menggunakan ayah angkatnya untuk menekan Beng Kauw, maka andaikata
orang tua itu benar benar jatuh ke dalam tangan Partai Pengemis, jiwanya belum
tentu terancam. Tapi biarpun begitu, sang Giehoe tentu tidak bisa terlolos dari
segala hinaan. Ia lebih berkuatir akan keselamatan Cie Jiak. Si nona putih
bersih. Dalam menghadapi Tan Yoe Liang yang jahat dan Song Ceng Soe yang tidak
mengenal malu, jika didesak sampai di pojok, si nona pasti akan binasa.
Mengingat begitu, ia ingin sekali mempunyai sayap supaya tiba di Lauw liong
terlebih cepat.
Malam itu ia menginap di
sebuah penginapan kecil. Walaupun tunggangan mereka kuda-kuda jempolan, tapi
sebab dibedal terus menerus, kedua binatang itu sudah lelah sekali. Setiba di rumah
penginapan mereka tak mau makan rumput lagi.
Sambil merebahkan diri di
pembaringan batu makin lama Boe Kie makin bingung. Indap indap ia pergi ke
depan jendela kamar Tio Beng. Nona itu sedang pulas nyenyak. Sesudah berpikir
beberapa saat Boe Kie pergi ke meja pengurus penginapan, mengambil perabot
tulis menyobek selembar kertas dan lalu menulis sepucuk surat. Ia mengatakan
bahwa karena keadaan mendesak, ia mengambil keputusan untuk melangsungkan
perjalanan di tengah malam. Sesudah menaruh surat itu di atas meja, ia membuka
jendela, melompat keluar dan lari kabur ke jurusan selatan dengan menggunakan
ilmu ringan badan yang paling tinggi.
Demikian, setiap malam ia
meneruskan perjalanan dengan menggunakan ilmu ringan badan, sedang di waktu
siang ia menggunakan keledai atau kuda. Dalam beberapa hari saja ia sudah tiba
di Lauw liong. Meskipun terus menggunakan tenaga dan beberapa hari tak pernah
tidur sebab memiliki lweekang yang sangat kuat ia tidak terlalu payah. Menurut
perhitungan, dengan mengubar tanpa mengaso, siang siang ia sudah bisa melampaui
rombongan Tan Yoe Liang. Tapi ia tak pernah bertemu dengan mereka. Mungkin
sekali selagi ia berjalan di waktu malam, mereka sedang mengaso di penginapan.
Lauw liong adalah sebuah kota
penting di propinsi Ho pak. Pada jaman kerajaan Tong, kota itu dijaga oleh
seorang pembesar Cit tauwsoe selama kerajaan Cong dan Goan lauw liong
mengalamai beberapa kali peperangan, sehingga kotanya hancur dan sampai
sekarang belum pulih seperti sedia kala. Tapi biarpun begitu kota tersebut
banyak penduduknya dan berbeda dengan kota kota di Kwan gwa yang sangat sepi.
Setibanya di kota itu, Boe Kie
berkeliling di jalan jalan raya, di jalanan kecil, di lorong lorong, di rumah
rumah penginapan dan rumah rumah makan. Heran sungguh ia tak pernah bertemu
dengan seorang pengemis. Tan Yoe Liang tentu tidak berdusta waktu ia mengatakan
bahwa para pemimpin pengemis berkumpul di Louw liong. Mungkin sekali pengemis
pengemis itu sedang pergi menemui pangcu mereka.
“Kalau aku bisa mencari tempat
pertemuan mereka, aku akan bisa menyelidiki benar tidaknya Giehoe dan Cie Jiak
ditawan Kay Pang,” kata Boe Kie di dalam hati. Tapi sesudah menjelajah di
seluruh dan di sekitar kota, ia masih belum mendapatkan sesuatu yang memberi
petunjuk baik.
Waktu magrib Boe Kie mulai
bingung. Tanpa merasa ia ingat kefaedahan Tio Beng.
“Kalau dia berada bersama aku,
aku tentu tidak akan menghadapi jalanan buntu ini,” pikirnya. Dengan masgul ia
lalu mencari sebuah rumah penginapan yang layak. Sesudah makan minum ia tidur
sebentaran. Kira-kira tengah malam, ia melompat ke genteng untuk menyelidiki
lagi.
Dengan matanya yang sangat
tajam, ia mengawasi ke seputarnya, keadaan sunyi senyap dan angin dingin meniup
dengan perlahan. Sedikitpun tak terlihat tanda, bahwa di kota itu tengah
berlangsung pertempuran antara orang2 Kangouw. Ia jadi uring-uringan.
Sekonyong-konyong dari loteng tinggi dari sebuah gedung besar terlihat sinar
api.
“Kalau bukan milik pembesar
tinggi, gedung itu tentu milik seorang hartawan,” pikirnya. “Tak mungkin
pemilik gedung mempunyai sangkut paut dengan Partai pengemis…”. Belum habis
jalan pikirannya, mendadak sesosok bayangan manusia melompat keluar dari sebuah
jendela loteng. Gerakan orang itu cepat luar biasa dan dalam sekejap, ia tak
kelihatan bayang bayangannya lagi. Kalau bukan Boe Kie yang mempunyai mata
istimewa, melihatpun orang tak akan bisa melihatnya.
“Apa orang jahat bekerja di
gedung itu?” tanyanya di dalam hati. “Orang itu ahli silat kelas utama.” Karena
tak mempunyai tujuan tertentu, ia lantas mengambil keputusan untuk coba melihat
lihat.
Setibanya di samping gedung,
dengan sekali menjejakan tanah, tubuh Boe Kie melesat ke atas dan melompati
tembok yang mengurung gedung. Sekonyong konyong jantungnya memukul lebih.
“Tan tiang loo sangat rewel,”
demikian terdengar suara seorang. “Terang terang ia sudah mengatakan, bahwa
kita akan berkumpul pula, di Lao ho kouw pada Chia hwee Cepeh. Sekarang ia
mendadak menyuruh kita menunggu di sini. Dia bukan Pangcu, tapi lagaknya
seperti Pangcu saja.”
Bukan main girangnya Boe Kie.
Ia mengenali bahwa suara itu suara seorang anggota Kay Pang. Suara itu datang
dari taman bunga. Begitu mendekat, ia dengar suara Soe hwee ling yang berkata,
“Tan tiang loo sangat berakal budi. Ia berhasil membekuk Kim mo Say ong Cia
Soen, yang dicari oleh segenap rimba persilatan selama dua puluh tahun lebih
tanpa berhasil. Hasil yang gemilang itu jangankan di dalam partai kita
sekalipun seluruh Rimba Persilatan, tak ada orang yang bisa meneladaninya…”
Boe Kie kaget bercampur
girang. Sekarang ia tahu, ayah angkatnya berada dalam tangan orang-orang Kay
Pang. Sesudah mengetahui itu, menolong sang Giehoe tak begitu sukar lagi
pikirnya. Di dalam partai pengemis tidak terdapat tokoh tokoh yang benar benar
berilmu tinggi.
Ia segera mendekati jendela
dan mengintip dari celah-celah. Ternyata pertempuran itu berlangsung di sebuah
pendopo di taman bunga.
Ia lihat Soe hwee liong duduk
di tengah tengah. Coan kang dan Cie hoat Tiang loo, Ciang pang, Liong tauw dan
tiga tiangloo delapan karung duduk di sebelah bawah.
Selain mereka terlihat pula
seorang setengah tua yang berbadan gemuk dan mengenakan pakaian indah. Dilihat
dari pakaiannya, dia seorang hartawan, tapi pada punggungnya terdapat enam
lembar karung. Boe Kie manggut manggutkan kepalanya. “Benar,” katanya di dalam
hati, “hartawan itu seorang murid Kay Pang. Para pengemis berkumpul di rumah
orang kaya raya tak akan dapat diduga oleh siapapun jua, sungguh pintar!”
Sementara itu Soe hwee liong
berkata pula, “Permintaan Tan tiangloo supaya kita menunggu di Louw liong tentu
mempunyai sebab musabab yang beralasan. Kita mempunyai tujuan besar dan kita
harus berhati hati.”
“Pangcu,” kata Ciang pang
Liong tauw. “Tujuan orang gagah dalam mencari Cia Soen adalah untuk memperoleh
To ling to yang dikenal sebagai Boe lim Cie coen (yang termulia dalam Rimba
Persilatan). Tapi To liong to tidak terdapat di badan Cia Soen. Biar dibujuk
dan diancam, dia tetap tidak mau beritahukan dimana adanya golok mustika itu.
Dengan demikian, kita hanya mendapat seorang buta yang harus diberi makan dan
minum. Apa gunanya? Menurut pendapat teecu, sebaiknya kita siksa padanya. Teecu
melihat, apa dia tetap menutup mulut.”
Soe Hwee Liong
meng-goyang2-kan tangan. “Tidak benar,” katanya. “Tindakan keras bisa merusak
urusan besar. Kita harus tunggu Tan Tiangloo. Sesudah dia tiba, kita boleh
berdamai lagi.”
Paras muka Ciang pang Liong
tauw mengunjuk rasa mendongkol. Ia rupa rupanya merasa jengkel karena sang
pemimpin terlalu menurut perkataan Tan Yoe Liang.
Soe Hwee Liong merogo saku dan
mengeluarkan sepucuk surat yang lalu diangsurkan kepada Ciang pang Liong tauw.
“Pang Heng tee,” katanya, “kuminta kau segera berangkat ke Ho cioe dan
menyerahkan surat ini kepada Han San Tong. Beritahukan dia, bahwa puteranya berada
dalam tangan kita dengan tak kurang suatu apa. Asal dia suka menakluk kepada
partai kita, aku akan memperlakukannya secara layak.”
“Apakah pekerjaan menyampaikan
surat harus dilakukan oleh teecu?” katanya Ciang pang Liong tauw.
Paras muka Soe Hwee Liong
lantas saja berubah. “Pang Heng tee,” katanya, “selama setengah tahun ini Han
San Tong dan kawan kawannya telah mencapai hasil hasil besar di daerah Ho cioe.
Kudengar, di bawah perintah terdapat orang orang gagah kelas, seperti Coe Goan
Ciang, Cie Tat, Siang Gie Coen dan lain lain. Maksud suratku ini ialah supaya
Han San Tong menakluk kepada kita. Kalau dia bersedia untuk menakluk, Pang Heng
tee harus menyelidiki apa menakluknya itu sungguh sungguh atau berpura pura. Di
samping itu, Pang Heng tee pun harus mencari tahu kekuatan dari barisan Beng
kauw. Tugas Pang Heng tee bukan semata mata menyampaikan surat. Tugasmu adalah
berat.”
Ciang pang Liong tiauw tidak
berani membantah lagi. “Baiklah,” katanya. Sesudah memberi hormat kepada
pemimpinnya, ia segera meninggalkan ruangan pertemuan.
Sesudah itu dengan gembira
mereka saling mengutarakan pikiran mengenai kemakmuran dan kejayaan Kay Pang
yang sesudah menaklukan Beng kauw, Siauw lim, Boe tong dan Go bie pay. Angan
angan Soe Hwee Liong ternyata tidak semuluk Tan Yoe Liang. Dia sudah merasa
puas jika Kay Pang bisa menjagoi dalam Rimba Persilatan. Dia tidak bercita cita
untuk merebut negara dan menjadi kaisar.
Boe Kie merasa sebal untuk
mendengari lebih jauh dan berkata dalam hatinya. “Didengar dari pembicaraan
mereka, Gie hoe dan Cie Jiak terkurung di gedung ini. Sebaiknya aku berusaha
untuk melepaskan mereka dan kemudian barulah menghajar pengemis pengemis yang
tak mengenal malu itu.” Sekali menjejak bumi, tubuhnya melesat ke atas dan
hinggap di dalam pohon. Ia mengawasi ke sekitarnya, mencari cari tempat yang
dijaga keras. Segera juga ia lihat, bahwa di bawah loteng terdapat belasan
pengemis yang meronda dengan senjata terhunus.
Ia melompat turun, mendekati
loteng itu, menyembunyikan diri di belakang sebuah batu besar. Selagi dua
peronda memutar badan, secepat kilat ia lari ke kaki tembok di bawah loteng dan
lalu memanjat ke atas dengan menggunakan ilmu Pek houw Yoe ciang kong (cecak
merambat di tembok). Ia segera memasang kuping dan mata ke loteng yang terang
benderang itu.
Namun akhirnya dengan rasa
penasaran ia lalu mengintip dari celah celah jendela. Sepanjang lilin besar
yang ditaruh di meja sudah terbakar habis, separuh, tapi di dalam kamar itu
tidak terdapat bayang bayangan manusia.
Loteng itu mempunyai tiga
kamar. Sesudah menyelidiki kamar sebelah timur, ia mengintip di jendela kamar
sebelah barat. Lilin yang berada di kamar itu juga kelihatan nyala sangat
terang dan di atas meja terlihat banyak makanan dengan tujuh delapan mangkok
nasi dan sumpitnya. Tapi cawan cawan arak belum diminum dan makanan itu baru
saja dimakan. Herannya, di kamar itupun tidak terdapat manusia. Kamar yang di
tengah gelap gulita. Boe Kie mendorong pintu, tapi terkunci dari dalam.
“Giehoe!” panggilnya dengan suara perlahan. Ia tidak mendapat jawaban. “Kalau
Giehoe tidak dikurung di sini, mengapa loteng ini dijaga begitu keras?”
pikirnya. “Apakah ia menggunakan tipu berisi berisi kosong, kosong kosong
berisi?” (berisi is kosong, kosong berisi – apa yang dilihat berisi, sebenarnya
kosong, dilihat kosong sebenarnya berisi).
Tiba tiba hidungnya mengendus
bau darah yang keluar dari kamar itu. Ia terkejut. Dengan mengeluarkan sedikit
tenaga tapal pintu patah. Sambil mendorong pintu, ia melompat ke dalam dan
menyambut kedua potongan tapal pintu itu supaya tidak jatuh dan mengeluarkan
suara.
Baru ia menindakkan kakinya
menginjak sesuatu yang lembek seperti tubuh manusia. Ia membungkuk dan meraba
raba. Aha! Mayat manusia yang mati belum berapa lama. Ia merasa agak lega
karena mayat itu berkepala kecil. Dengan jari tangannya ia menotok papan kamar
barat yang lantas berlubang dan dari lubang itu masuk sinar terang.
Sekarang ia bisa lihat, bahwa
kamar itu penuh mayat pengemis yang kelihatannya binasa karena mendapat luka
hebat di badan. Ia membuka baju satu di antaranya dan melihat tapak tinju di
dada, tapak dari pukulan Cit siang koen. “Ah! Inilah pukulan Giehoe,” pikirnya
dengan rasa girang. Di sudut tembok terdapat sebuah gambar obor – tanda Beng
kauw – yang diukir dengan serupa benda tajam. Tapi bagaimana Giehoe bisa
dibekuk mereka?” tanya Boe Kie di dalam hati. “Mungkin mereka menggunakan bong
han yo, tambang atau jala. Tapi pintu di tapal dari dalam. “Bagaimana Giehoe
bisa keluar? Heran!” Sambil memikir begitu, ia tiba tiba melihat darah di lain
pintu dan di daun pintu bagian luar terdapat telapak telapak tangan. Sekarang
ia mengerti. Ayah angkatnya tidak sengaja membunuh seorang dan sesudah keluar
dari kamar, ia menyuruh orang itu menapal pintu, akan kemudian mengirim pukulan
Cit siang koen pada daun pintu. Biarpun teraling selembar papan, pukulan
tersebut masih kuat untuk membinasakan pengemis itu yang memuntahkan darah dan
darahnya menyembur ke pintu. “Ya, tadi kulihat melompatnya bayangan manusia
dari atas loteng,” pikirnya. “Bayangan itu tentulah Giehoe… tapi… tidak
mungkin. Orang itu bertubuh kurus kecil, sedangkan Giehoe tinggi besar. Siapa
dia?”
Ia keluar dari kamar dan
melongok ke bawah. Para pengemis masih meronda. Mereka tak tahu apa yang
terjadi di atas. “Pengemis2 baru saja mati dan Giehoe tentu belum pergi jauh,”
pikirnya. “Perlu apa kau menebak nebak?” Sebaiknya aku menyusul dan
menanyakannya. Aku dan Giehoe bisa kembali ke sini untuk menghajar pengemis2
bau itu.”
Bayangan yang tadi melompat
turun dari tembok sebelah barat daya. Setelah mengambil keputusan, Boe Kie
segera melompat ke satu pohon dan dari pohon itu, dia melompat pula ke atas
tembok barat daya. Ia membungkuk untuk menyelidiki. Dengan rasa heran dia
mendapat kenyataan, bahwa di situ terpeta tapak tapak kaki kecil, yaitu tapak
wanita. “Siapa wanita itu?” tanyanya di dalam hati. “Biat coat Soethay telah
meninggal dunia. Cie san Liong ong pergi ke lain negeri, Pan Siok Ham dari Koen
loen pay belum tentu mempunyai ilmu ringan badan yang sedemikian tinggi. Cie Jiak
dan Tio Beng tak mungkin. Yang lain lebih tak mungkin.” Tapi ia tak memikir
panjang2 lagi dan segera menguber ke jurusan barat daya.
Sesudah berlari lari beberapa
lie dengan mengikuti jalan raya, ia tiba di persimpangan jalan. Sesuai dengan
kebiasaan Kang ouw, mereka lantas mencari tanda tanda di gombolan rumput
tinggi. Benar saja, di sebuah batu besar ia menemukan gambar obor yang
mengunjuk ke sebuah jalan kecil, jurusan barat daya. Ia girang karena jejak
ayah angkatnya sudah dapat diikuti. Gambar itu yang sangat indah tidak mungkin
dilukis oleh sembarang orang. Hanyalah orang orang seperti Cia Soen yang boen
boe coan bay yang dapat melukisnya.
Tanpa ragu ragu lagi, ia lalu
mengejar dengan mengambil jalanan kecil itu. Ketika tiba di See boek, fajar sudah
menyingsing. Sesudah menangsal perut dengan bak pauw dan kue phia, ia
meneruskan perjalanan ke arah barat. Di Pangcoe tin di kaki tembok ia menemukan
sebuah gambar obor yang mengunjuk ke sebuah si thung (tempat pemujaan abu
leluhur). Ia girang dan merasa pasti bahwa ayah angkatnya bersembunyi di tempat
itu. Ia menghampiri dan memilih empat huruf “Goei sie Su thung” (tempat
pemujaan abu leluhur orang she Goei) di papan merek. Begitu masuk ia mendengar
suara ramai ramai dari sejumlah orang yang sedang berjudi.
Tiba tiba seseorang melompat
keluar dan menangkis pukulan itu. “Liong tauw toako sabar dulu,” katanya. Orang
itu adalah Tan Yoe Liang.
“Tan Heng tee, aku minta kau
menimbang urusan ini,” kata Ciang pang Liong tauw.
“Mana si perempuan siluman?”
tanya Tan Yoe Liang.
“Dilepaskan oleh dia,” kata
Ciang pang Liong tauw sambil menuding Song Ceng Soe.
“Bukan aku, dia yang
melepaskannya,” balas Song Ceng Soe.
Selagi mereka bertengkar, Hian
beng Jielo sudah menerobos keluar. Melihat Tio Beng tidak berada di luar
kelenteng, mereka tahu bahwa sang majikan sudah meloloskan diri dan hati mereka
jadi lega dan lebih mantep. Sambil tertawa nyaring, mereka menyerang pula
dengan sekuat tenaga. Dengan sekali jurus empat murid Kay pang roboh di tanah. Waktu
Coan kang Cie hoat dan Ciang boen memburu keluar mereka sudah kabur jauh dan
hanya terdengar suara tertawa mereka yang membangunkan bulu roma.
Ciang pang Liong tauw
berjingkrak bahna gusarnya. “Uber!” teriaknya.
“Jangan!” cegah Tan Yoe Liang.
“Liong tauw Toako, musuh mungkin menyembunyikan pasukan yang kuat di sepanjang
jalan.”
Si pengemis mendusin. “Benar,”
katanya. “Mengapa aku begitu tolol? Musuh pasti datang kemari dalam jumlah yang
besar. Dua orang saja sudah sukar dilawan.” Ia merasa berterima kasih terhadap
Tan Yoe Liang dan kegusarannya terhadap Song Ceng Soe pun agak mereda.
Sementara itu Cie hoat
Tiangloo menghitung kerusakan pada pihaknya. Sebelas orang mati dalam tangan
Hian beng Jieloo, tujuh orang terluka berat dan delapan sembilan orang luka
karena tertimpa patung Bie lek hoed. Ia segera memerintahkan orang untuk
menolong yang luka dan memerintahkan Ciang poen Liong tauw memeriksa di seputar
kelenteng dengan membawa sejumlah murid.
Sekarang marilah kita menengok
Tio Beng. Sebagaimana diketahui, dengan rasa kuatir Boe Kie memperhatikan
segala gerak geriknya. Waktu Seng Ceng Soe membalik pedangnya dan memukul
kepala si nona dengan gagang senjata itu, hati Boe Kie mencelos. Pukulan itu
bisa enteng, bisa berat. Kalau enteng, nona Tio akan pingsan. Jika berat,
jiwanya melayang. Pada detik yang sangat berbahaya, tanpa memikir panjang
panjang lagi ia melompat turun dan mendorong tongkat Ciang pang Liong tauw
supaya menangkis gagang pedang yang menyambar. Dalam dorongan itu, ia
menggunakan Kian koen Tay lo ie. Selama berdiam beberapa bulan di pulau kecil,
ia mempelajari dan melatih diri dalam ilmu yang tertera pada Seng hwee leng
yang diterjemahkan Siauw Ciauw. Ia mendapat kemajuan pesat dan sekarang
kepandaiannya sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh
Samsoe dari Persia. Maka itu dorongannya tadi bahkan tak diketahui oleh tokoh
tokoh yang berilmu tinggi seperti Ciang peng Liong tauw dan Tan Yoe Liang.
Ciang pang Liong tauw menduga bahwa Song Ceng Soe sengaja memukul tongkatnya,
sedang Song Ceng Soe menduga, bahwa si pengemis yang sengaja menangkis
senjatanya.
Pada saat kagetnya kedua
musuh, Boe Kie menjambret seorang pengemis tujuh karung dan melemparkan keluar
tembok sehingga dengan demikian, karena melihat berkelebatnya bayangan manusia,
Ciang pang Liong tauw dan Tan Yoe Liang menduga bahwa Tio Beng sudah melarikan
diri dengan melompati tembok. Sementara itu, sambil mendukung si nona bagaikan
kilat Boe Kie melompat ke atas dan hinggap di atap toa tian.
Pada waktu itu ilmu mengentengkan
badan Boe Kie sudah mencapai puncak tertinggi. Ia melompat seperti terbangnya
seekor burung. Ada beberapa hal yang menguntungkan Boe Kie sehingga lompatannya
tak dilihat orang. Pertama waktu itu sudah lewat lohor dan segala apa yang
berada di bawah matahari tak terlihat bayangannya lagi. Kedua para pengemis
sedang memburu keluar, sehingga biarpun ada beberapa orang yang merasa ada
sesuatu yang lewat di dalam, mereka tidak menghiraukan. Ketiga, di sekitar toa
tian masih penuh debu yang melayang di udara sebagai akibat dari robohnya
patung Bie lek hoed. Keempat keadaan sedang kalut dan kelima tokoh tokoh yang
berkepandaian tinggi sudah memburu keluar untung mengepung Hian beng Jie loo
dan membekuk Tio Beng. Inilah beberapa yang membikin Boe Kie bisa menolong Tio
Beng tanpa diketahui oleh siapapun juga.
Selagi badannya melayang di
tengah udara dengan didukung lengan yang kuat, Tio Beng membuka matanya. Ia
terkesiap karena penolong tadi yang alisnya tebal dan mukanya tampan, bukan
lain daripada Boe Kie. Ia hampir tak percaya matanya sendiri. “Kau!” serunya
dengan suara parau.
Buru buru Boe Kie mendekap
muka si nona. Ia mengawasi ke bawah. Di kiri kanan di depan di belakang
kelenteng penuh dengan murid2 Kay pang. Walaupun begitu, kalau mau, ia masih bisa
meloloskan diri. Tapi, sesudah mengetahui adanya perundingan Kay pang untuk
menjatuhkan Beng kauw dan masuknya Song Ceng Soe ke dalam partai pengemis, ia
bertekad untuk menyelidiki hal itu sampai seterang terangnya! Ia tak boleh
pergi dengan begitu saja. Di samping itu dalam pertengkaran antara Ciong pang
Liong tauw dan Song Ceng Soe, kedua mata si pengemis mengeluarkan sinar yang
ganas dan terdapat kemungkinan bahwa pengemis itu tak merasa segan untuk
turunkan tangan jahat. Lain pertimbangan yang menahan perginya Boe Kie adalah
Han Lim Jie yang masih tertawan. Pembantu yang setia itu harus ditolong.
Memikir begitu ia mengambil keputusan untuk masuk pula dan bersembunyi di
ruangan toa tian.
Ia merangkak ke pinggir
genteng menggaet payon dengan kedua kakinya dan kemudian dengan sekali melompat
ia sudah berada di belakang sebuah patung Buddha
some parts missing here
Loe Hwee Liong, Coan kang, Cie
hoat Thiang Boo dan yang lain lain sudah memburu keluar sedang ruangan toa tian
hanya terdapat beberapa pengemis yang terluka karena tertimpa patung Bie lek
boat. Han Lim Jie sendiri tidak kelihatan mata hidungnya.
Ia mengawasi ke seputarnya,
tapi untuk beberapa saat, ia masih belum mendapatkan tempat yang cocok untuk
menyembunyikan diri. Tiba tiba Tio Beng menyentuh tangannya dan menuding sebuah
tambur besar. Tambur itu ditaruh di atas tempat menaruh tambur yang tingginya
setombak lebih dan berhadap hadapan dengan sebuah lonceng besar.
Boe Kie lantas saja mendusin.
Dengan mepet mepet di pinggir tembok, ia pergi ke belakang tambur. Sambil
meloncat ke atas, jari tangannya menggores kulit. “Pret!” kulit kerbau yang
tebal robek seperti gores pisau. Dengan berdiri di lapangan kayu, ia menggores
lagi dengan jerijinya dan membuat robekan garis silang. Sesudah itu, sambil
menduking Tio Beng ia masuk ke dalamnya.
Tambur itu tambur tua. Di
antara debu dan bau apak, Boe Kie mengendus wewangian yang keluar dari badan si
nona. Tambur itu cukup besar, tapi kedua orang yang bersembunyi di dalamnya
bergerakpun tak bisa lagi. Dengan hati berdebar debar, si nona bersandar di
dada Boe Kie. Perasaan pemuda itu sendiri sukar dilukiskan. Rasa benci sakit
hati, gusar duka dan rasa cinta tercampur menjadi satu. Ia mau mencaci, tapi
dengan di kelilingi musuh ia tidak bisa membuka suara. Tiba tiba ia mendusin,
bahwa kepala si nona bersandar pada dadanya. Ia kaget dan mendorong keras
keras. Tio Beng gusar dan menyikut dadanya. Dengan ilmu memindahkan tenaga
memukul tenaga, Boe Kie menghantam balik, sehingga si nona kesakitan, hampir
hampir ia berteriak kalau mulutnya tidak keburu didekap Boe Kie.
Beberapa saat kemudian,
terdengar suara Cie hoat Tiangloo, “Melaporkan kepada Pangcoe ia mengatakan
bahwa musuh telah meloloskan diri. Karena ketololanku, aku tak bisa menyerahkan
musuh kepada Pangcoe, untuk kedosaaan itu, aku mohon Pangcoe suka memaafkan.”
“Sudahlah!” kata Soe Hwee
Liong. Musuh berkepandaian sangat tinggi. Hal itu disaksikan oleh semua orang.
Cie hoat Tiangloo tak usah berlaku terlalu sungkan.”
“Terima kasih Pangcoe,” kata
Cie hoat.
Sesudah itu Ciang pang Liong
tauw segera mengadu bahwa Song Ceng Soe sudah sengaja melepaskan Tio Beng dan
pemuda itu lalu membela diri serta balas menuduh. Mereka lantas saja bertengkar
dan suasana menjadi tegang.
“Sin Heng tee, bagaimana
pendapatmu?” tanya Soe Hwee Liong.
“Melaporkan kepada Pangcoe,
bahwa Ciang pang Liong tauw adalah tetua partai kita dan ia tentu tidak
berdusta,” jawabnya. “Tapi Song heng tee pun masuk ke dalam partai kita dengan
setulus hati, lebih lagi wanita siluman itu musuhnya. Menurutku perempuan she
Tio itu memiliki kepandaian luar biasa dan dengan ilmu meminjam tenaga memukul
tenaga, ia mendorong tongkat Liong tauw untuk menangkis gagang pedang Song heng
tee. Dalam kekalutan, kedua belah pihak jadi salah mengerti.”
Di dalam hati Boe Kie memuji
Tan Yoe Liang. Dia sungguh pintar. Tanpa menyaksikan kejadiannya, dia sudah
bisa menebak tanpa meleset jauh.
“Benar,” kata Soe Hwee Liong.
“Saudara saudara, kalian berdua bertujuan sama yaitu mengabdi kepada partai
kita. Maka itu, kalian hendaknya jangan jadi bermusuhan karena hal yang remeh
ini.”
Ciang pang Liong tauw manggut
manggutkan kepalanya dan berkata dengan suara mendongkol, “Biarpun dia…”
“Song heng tee,” memutus Tan
Yoe Liang. “Liong tauw Toako seorang yang berkedudukan tinggi. Biarpun ia
menyalahkan kau, kau harus menerimanya dengan segala senang hati. Hayo, lekas
minta maaf.”
Dengan apa boleh buat Song
Ceng Soe maju setindak dan menjura. ‘Liong tauw Toako,” katanya, “Siauwtee
bersalah dan mohon Toako suka memaafkan.”
Meskipun masih bergusar, si
pengemis tak bisa lagi mengumbar napasnya. Ia mengeluarkan suara di hidung dan
berkata, “Ya, sudahlah!”
Biarpun menggunakan kata kata
yang kedengarannya seperti menegur Song Ceng Soe, pada hakekatnya Tan Yoe Liang
mempersalahkan si pengemis tua. Ia mengatakan bahwa Tio Beng mendorong tongkat
Liong tauw Toako untuk menangkis gagang pedang Song hengtee dan bahwa Liong
tauw Toako seorang yang berkedudukan tinggi. ‘Biarpun ia menyalahkan kau, kau
harus menerimanya dengan segala senang hati’. Perkataan2 itu sebenarnya
menyindir Ciang pang Liong tauw dan sindiran itu dimengerti oleh para Tiangloo.
Tapi sebab Tan Yoe Liang sangat disayangi oleh Pangcoe, maka tak seorangpun
berani membuka suara.
“Tan Hengtee,” kata Soe Hwee
Liong. “Puterinya Jie lam ong, Mo kauw adalah musuh kerajaan Goan. Tapi mengapa
Koen coe Nio nio itu berbalik membela si iblis kecil Thio Boe Kie?”
Tan Yoe Liang berpikir, tapi
sebelum ia menjawab, Ciang pang Liong tauw sudah mendahului. “Kulihat Koen coe
Nio nio itu sangat bergusar mendengar Tan Hengtee mencaci Kiauwcoe dari Mo
kauw, dia seperti juga mendengar cacian terhadap ayah atau saudara kandungnya
sendiri. Hal ini sungguh sungguh membikin orang tidak mengerti.”
“Ku tahu sebabnya,” kata Song
Ceng Soe. “Biarpun Mo kauw musuh kerajaan, Beng koencoe mencintai Thio Boe Kie.
Bahwa dia selalu melindungi bocah itu bukanlah hal yang heran.”
Para pengemis terkejut banyak.
Boe Kie sendiri merasa sangat jengah dan jantungnya memukul lebih keras. Tio
Beng memutar kepalanya dan mengawasi pemuda itu. Di dalam tambur sangat gelap,
tapi dengan kedua matanya yang luar biasa, Boe Kie bisa melihat sinar mata si
nona yang mengeluarkan sorot mencintai. Tanpa merasa ia memeluk lebih keras.
Mendadak, di depan matanya terbayang In Lee yang binasa secara mengenaskan.
Mendadak pula, rasa cintanya yang baru muncul berubah menjadi rasa benci dan ia
memijit lengan Tio Beng dengan penuh kegusaran. Meskipun pijitan itu tidak
disertai tenaga dalam yang kuat, si nona merasakan kesakitan luar biasa. Dengan
menggigit gigi ia menahan sakit dan air matanya mengalir turun di kedua
pipinya. Boe Kie mengeraskan hati dan tidak memperdulikannya.
Sementara itu, Tan Yoe Liang
sudah bertanya, “Bagaimana kau tahu? Apa benar ada hal yang sedemikian aneh?”
“Memang benar,” jawab Song
Ceng Soe dengan nada membenci. “Bocah Thio Boe Kie bukan pemuda tampan, mukanya
biasa saja, tapi ia mempunyai ilmu siluman sehingga banyak sekali wanita lupa
daratan.”
Cie hoat Tiangloo manggut
manggutkan kepalanya. “Tak salah. Di dalam Mo kauw memang terdapat serupa ilmu
untuk memelet wanita. Bukankah Kie Siauw Hoe dari Go bie pay sudah celaka
karena dipelet siluman Yo Siauw? Thio Coei San, ayah Thio Boe Kie, menurut
pendapatku, dengan ilmu iblis, siluman kecil itu sudah merusak kehormatan Beng2
Koencoe, sehingga ibarat beras sudah menjadi nasi dan Beng beng Koencoe tidak
bisa menolong dirinya lagi.”
Semua pengemis lantas saja
berteriak teriak mencari Boe Kie yang dinamakan sebagai manusia keji dan kotor.
“Semua orang gagah harus
berusaha untuk menyingkirkan manusia itu dari dunia,” kata Coan kang Tiangloo
dengan suara menyeramkan. “Kalau dia dibiarkan hidup terus, entah berapa banyak
wanita suci akan celaka dalam tangan penjahat cabul itu.”
Boe Kie merasa dadanya
menyesak. Untuk menahan amarahnya, badannya bergemetar. Sampai pada detik itu
ia masih jadi jejaka yang suci tapi sering sungguh ia dimaki sebagai penjahat
cabul. Ia benar benar penasaran, tapi tak dapat ia mencaci segala tuduhan itu.
Ia terutama bergusar sebab dikatakan sudah mencemarkan kesuciannya Tio Beng.
Tiba tiba ia terkesiap, “Celaka!” ia mengeluh di dalam hati. “Kalau orang tahu
aku bersembunyi disini berdua dua, biarpun bersumpah berat, orang takkan
percaya kebersihanku.”
“Sesudah jatuh ke dalam tangan
penjahat cabul itu, Cioe Cie Jiak Kouwnio mungkin tak dapat mempertahankan lagi
kesuciannya,” kata pula Cong kang Tiangloo.
“Song heng tee, kau tak usah
jengkel. Kami pasti akan merebut pulang isterimu yang tercinta. Peristiwa Kie
Siauw Hoe pasti tidak akan terulang.”
“Benar,” menyambut Cie hoat
Tiangloo, “Perkataan Toako benar sekali. Dahulu Boe tong pay tidak bisa
membantu In Lie Heng dan sekarang partai itu juga tidak bisa membantu Song Ceng
Soe. Sekarang Song heng tee sudah masuk ke dalam Kay pang. Apabila kita tidak
bisa membela sakit hatinya dan tidak bisa mewujudkan angan angannya, perlu apa
dia menjadi murid enam karung dari partai kita, sedang di dalam Boe tong pay ia
seorang calon Ciang boen jin?”
Sekali lagi para pengemis
berteriak teriak, mencaci Boe Kie habis habisan.
Tio Beng menempelkan bibirnya
di kuping Boe Kie dan berbisik. “Ah!… kau penjahat cabul!” bisiknya bernada
gusar, duka dan cinta, sehingga jantung Boe Kie kembali berdebar2.
“Kalau dia tidak begitu kejam,
aku sungguh beruntung jika bisa menikah dengannya,” katanya di dalam hati.
Sementara itu dengan suara
perlahan Song Ceng Soe menghaturkan terima kasih kepada pengemis yang mau
membela dirinya.
Cie hoat Tiangloo adalah
seorang yang sangat berhati hati dan ia bertanya pula, “Song heng tee, apakah
kau tahu cara bagaimana Beng beng Koencoe dipincuk si penjahat cabul?”
“Latar belakangnya kutak
tahu,” jawabnya. “Aku hanya tahu, Beng beng koencoe pernah menyateroni Boe tong
san dengan pemimpin sejumlah jago jago untuk menangkap Thay soehoe. Tapi begitu
bertemu dengan si penjahat, ia segera mengundurkan diri, sehingga bencana itu
dapat dielakkan. Selama dua puluh tahun lebih Sam soesiok Jie Thay Giam
bercacat. Beng beng koencoe lalu menghadiahkan serupa obat kepada si penjahat
sehingga Sam soesiok menjadi sembuh.”
Itulah kata Cie hoat Boe tong
pay adalah paku di mata kerajaan Goan. Kalau Beng beng koencoe tidak terpincuk
ia tentu tak akan menyerahkan obat kepada si penjahat. Dilihat begini biarpun
wataknya jahat, penjahat itu telah membuang budi kepada Thay soehoemu dan para
pamanmu.”
“Ah!” tiba tiba Tan Yoe Liang
berseru. “Melaporkan kepada Pangcoe, bahwa sesudah mendengar pembicaraan tadi,
aku sekarang mempunyai serupa tipu yang bisa menaklukan penjahat cabul itu.
Dengan tipu ini, seluruh Mo kauw dari atas sampai bawah akan menuruti perintah
partai kita!”
Soe hwee Liong kegirangan.
“Tan Heng tee, lekas beritahukan tipumu itu!” katanya.
“Disini terlalu banyak orang,”
kata Tan Yoe Liang. “Biarpun kita berada di antara saudara saudara sendiri, aku
masih berkuatir, kalau kalau rahasia besar ini menjadi bocor.”
Keadaan di toa tian berubah
sunyi. Beberapa saat kemudian terdengar tindakan kaki belasan orang yang keluar
dari ruangan itu sehingga yang ketinggalan hanyalah beberapa tokoh terpenting
dari Kay pang.
“Rahasia ini harus dijaga baik
baik jangan sampai bocor,” kata Tan Yoe Liang. Song Heng tee kedua Liong tauw
Toako, mari kita periksa di atas, di depan dan di belakang kelenteng untuk
memastikan bahwa tak ada orang luar yang mencuri dengar pembicaraan kita.”
Ciang pang dan Ciang poen
Liong tauw segera melompat ke atas genteng, sedang Tan Yoe Liang dan Song Ceng
Soe memeriksa seluruh toa tian, di depan dan di belakang kelenteng. Diam diam
Boe Kie memuji Tio Beng, sebab kecuali tambur itu, segala pelosok diperiksa
dengan teliti.
Beberapa lama kemudian mereka
berempat kembali ke toa tian. “Dalam tipu ini, kita harus mengandalkan bantuan
Song Heng tee,” bisik Tan Yoe Liang.
“Aku?” menegas Song Ceng Soe
dengan suara heran.
“Benar,” jawabnya. “Ciang poen
Liong tauw Toako, kuharap kau suka membagi racun Ngo tok Swee sim san (bubuk
racun yang dapat menghilangkan kesadaran manusia) kepada Song Heng tee, Song
Heng tee, dengan membawa racun itu kau harus pulang ke Boe tong san dan diam2
menaruhnya di makanan Thio Cinjin dan para pendekar Boe tong. Kami akan
menunggu di kaki gunung. Sesudah berhasil, kita menangkap Thio Cinjin dan semua
pendekar Boe tong. Kemudian kita menggunakan penangkapan tersebut untuk menekan
Thio Boe Kie, memaksa ia untuk menurut segala kemauan kita.”
“Bagus! Tipu itu benar benar
bagus!” puji Soe Hwee Liong.
“Tipu ini memang sangat
bagus,” menyambut Cie hoat. “Kita sukar untuk bisa meracuni Thio Boe Kie. Tapi
Song Heng tee pasti berhasil. Sebagai anggota penting dari Boe tong pay, kau
bisa turun tangan dengan mudah sekali.”
Song Ceng Soe jadi bingung.
Dengan paras muka pucat ia berkata, “Tapi.. tapi… aku pasti tak akan bisa
meracuni ayah sendiri…”
“Song heng tee tidak usah
kuatir,” bujuk Tan Yoe Liang. “Ngo tok Swee sim san adalah racun luar biasa
dari partai kita. Racun itu hanya dapat menghilangkan kesadaran manusia untuk
sementara waktu dan sama sekali tidak membahayakan jiwa. Kami semua sangat
mengindahkan Song Tay hiap. Kami pasti tidak akan mengganggu selembar rambut
ayahmu.”
Tapi Song Ceng Soe tetap
menolak. “Jika diketahui, masuknya aku ke dalam partai kita ini pasti akan
ditegur oleh Thaysoehoe dan ayah,” katanya. “Meracuni ayah sendiri adalah
perbuatan yang aku tak akan berani lakukan.”
“Saudara,” kata Tan Yoe Liang.
“Jalan pikiranmu tak benar. Dalam sejarah terdapat contoh contoh, bahwa ada
orang orang yang rela menghukum keluarga sendiri demi kepentingan orang banyak
atau negara. Apapula tujuan kita yang sekarang adalah menumpas Mo kauw. Kita
menawan para pendekar Boe tong hanya untuk menaklukkan si penjahat cabul.”
“Kalau aku melakukan perbuatan
itu, aku pasti akan dicaci oleh berlaksa orang dalam dunia Kang ouw dan aku tak
ada muka lagi untuk hidup di antara langit dan bumi,” kata Song Ceng Soe.
“Song Heng tee, kau tak usah
begitu berkuatir,” kata Tan Yoe Liang. “Mengapa tadi aku minta supaya semua
tiangloo delapan karung meninggalkan ruangan ini? Mengapa kita memeriksa di
seluruh kelenteng? Aku begitu berhati hati sebab takut rahasia bocor. Song heng
tee, sesudah menaruh racun, kau sendiri harus berlagak pingsan dan kaupun akan
ditangkap. Kau akan dikumpulkan bersama sama Thay soehoemu, ayahmu dan paman
pamanmu. Kecuali kita bertujuh orang, di dalam dunia tak ada orang lain yang
mengetahuinya. Kami semua kagum dan berterima kasih terhadap kau yang sudah
menunaikan tugas yang sangat berat. Siapa lagi yang akan mentertawakan kau?”
Ceng Soe mengerutkan alisnya.
Sesudah berpikir beberapa lama, ia berkata dengan suara perlahan. “Perintah
Pangcoe dan Tan Toako sebenar benarnya tidak boleh ditolak olehku. Apa pula
sebagai anggota baru dari partai kita, siauwtee seharusnya menggunakan
kesempatan ini untuk membuat pahala. Maupun harus masuk kedalam lautan api,
siauw tee mesti melakukannya. Akan tetapi… akan tetapi… seorang manusia yang
hidup di dunia ini berpokok kepada ‘hauw gie’ (berbakti dan mempunyai rasa
persahabatan). Maka itu, biar bagaimanapun jua siauw tee tidak bisa turun
tangan terhadap ayah kandung sendiri.”
Semenjak dahulu Kay pang
sangat mengutamakan ‘kebaktian’. Mendengar perkataan Song Ceng Soe, para tetua
tidak berani mendesak lagi. Mendadak Tan Yoe Liang tertawa dingin.
“Yang muda tidak boleh
menyerang yang tua adalah salah satu larangan dalam Rimba Persilatan,” katanya.
“Hal itu sudah diketahui olehku dan Song Heng tee tak usah mengajari aku. Aku
hanya ingin mengajukan pertanyaan. Pernah apakah Song Heng tee dengan Boh
sengkok Cit hiap? Siapakah yang lebih tinggi tingkatannya? Boh Cit hiap atau
kau sendiri?”
Song Ceng Soe tidak menjawab.
Ia menundukkan kepala dan sesudah berselang beberapa lama, barulah ia berkata,
“Baiklah! Siauw tee akan menurut perintah! Tapi kalian harus berjanji untuk
tidak mengganggu selembar rambut ayahku, untuk tidak menghina ayah dengan cara
apapun jua. Apabila kalian berjanji begitu, Siauwtee lebih suka celaka daripada
melakukan perbuatan yang tidak mengenal kebaktian ini.”
Soe Hwee Liong dan yang lain
lain jadi sangat girang. Mereka segera mengiakan tuntutan Song Ceng Soe.
Boe Kie merasa sangat heran.
“Song Toa ko tadinya menolak keras, tapi mengapa begitu lekas Tan Yoe Liang
menyebutkan Boh Cit siok ia lantas menyerah?” tanyanya di dalam hati. “Di dalam
hal ini tentu menyelip latar belakang yang luar biasa. Aku harus menanyakan Boh
Cit siok sendiri.”
Sementara itu Cie hoat Tiang
loo dan Tan Yoe Liang lalu berunding dengan bisik bisik. Mereka membicarakan
tindakan tindakan menangkap tokoh tokoh Boe tong pay, sesudah mereka kena
racun. Saban saban Tan Yoe Liang menyatakan pikiran Soe Hwee Liong selalu
berkata, “Bagus! Bagus!”
“Sekarang musim dingin dan Ngo
tok masih bersembunyi di bawah tanah,” kata Ciang poen Liong tauw. “Siauwtee
harus pergi ke kaki gunung Tian pek san untuk menggalinya. Di dalam dua puluh
hari atau paling lama sebulan, siauwtee akan bisa membuat Ngo tok Swee sim san”
(Ngo tok lima macam binatang beracun).
“Kalau begitu Tan heng tee dan
Song heng tee sebaiknya mengawani Ciang poen Liong tauw ke Tiang Pek san sedang
kami sendiri turun ke selatan lebih dahulu,” kata Cie hoat Tiang loo. “Sebulan
kemudian kita berkumpul di Lao ho. Hari ini Cap Jie Gwee cee peh (bulan 12
tanggal 8). Lain tahun Cia gwee Cee peh (bulan 1 tanggal 8) kita bertemu pula.”
Sesudah berdiam sejenak ia berkata pula, “Han Lim Jie yang sudah menjadi
tawanan kita banyak gunanya. Kuminta Ciang pang Liong tauw menjaga baik baik,
supaya jangan sampai direbut oleh orang2 Mo kauw. Dalam perjalanan ini kita
harus sangat berhati hati supaya tindakan kita tidak diendus musuh.”
Sesudah itu semua orang lantas
saja meminta diri dari Pang coe. Ciang poen Liong tauw, Tan Yoe Liang dan Song
Ceng Soe berangkat paling dahulu dan kemudian dengan beruntun semua pengemis
meninggalkan kelenteng Bie lek hoed.
Setelah semua orang berlalu,
barulah Boe Kie dan Tio Beng melompat keluar dari dalam tambur. Sambil membereskan
pakaiannya, dengan sorot mata girang tercampur gusar, nona Tio mengawasi Boe
Kie.
“Hm.. “ Boe Kie mengeluarkan
suara di hidung. “Kau masih ada muka untuk bertemu dengan aku!…”
Paras muka si nona lantas saja
berubah. “Mengapa?” ia menegas. “Kedosaan apa yang kuperbuat terhadap Toakoauw
coe?”
“Manusia kejam!” bentak Boe
Kie dengan muka pucat. “Aku tak mempersalahkan kau, bila kau hanya mencuri Ie
thian kiam dan To Liong to. Aku tak mempersalahkan kau jika kau hanya
meninggalkan aku di pulau terpencil itu! Tapi, kau tahu, bahwa In kouwnio sudah
terluka berat. Mengapa kau begitu kejam, begitu tega turunkan tangan jahat
kepadanya? Perempuan kejam! Dalam dunia yang lebar ini, kekejamanmu sukar
dicari keduanya!” Selagi mencaci, darahnya meluap. Ia maju setindak dan kedua
tangannya menggaplok. Tio Beng coba berkelit, tapi mana bisa ia menyingkir dari
serangan Boe Kie yang telah kalap? Plak!… plak….plak… plak!” kedua pipinya
merah bengkak kena empat gamparan.
Rasa sakit malu dan gusar
bercampur aduk dalam dada si nona. Akhirnya ia menangis. “Kau kata, aku curi Ie
thian Kiam dan To liong to… siapa yang lihat?” tanyanya. “Kau kata.. aku kejam
terhadap In Kouwnio… panggil dia kemari untuk diadu denganku…”
Boe Kie jadi makin gusar.
“Baiklah!” teriaknya. “Aku akan kirim kau ke akherat untuk diadu dengannya!”
Tangannya menyambar dan mencekik leher si nona. Tio Beng memberontak dan
memukul dada Boe Kie, tapi pemuda itu yang tubuhnya dilindungi Kioe yang Sin
kang tidak menghiraukan semua pukulan. Selang beberapa saat kemudian, dengan
muka merah si nona pingsan.
Dalam sakit hatinya, Boe Kie
sebenarnya sudah ingin meembinasakan nona Tio. Tapi melihat si nona dalam
keadaan pingsan, tiba tiba hatinya lemas dan ia melepaskan cekikannya, sehingga
si nona lantas saja roboh dengan kepala terpukul batu lantai.
Sesudah bersilang beberapa
lama, perlahan lahan Tio Beng tersadar. Ia membuka kedua matanya dan melihat
paras muka Boe Kie yang mengunjuk rasa kuatir. Sesudah si nona tersadar, Boe
Kie menahan nafas lega.
“Apa benar In Kouwnio sudah
meninggal dunia?” tanya Tio Beng.
Darah pemuda itu bergolak
lagi. “Digores pedang tujuh belas delapan belas goresan bagaimana dia bisa
hidup?” jawabnya dengan suara gemetar.
“Siapa… siapa yang kata aku
berbuat begitu?” tanya Tio Beng. “Apa Cioe Kouwnio?”
“Cioe kouwnio tidak pernah
memfitnah orang. Dia sama sekali tidak menuduh kau.”
“Apa In Kouwnio sendiri yang
kata begitu?”
“In Kouwnio tidak bisa bicara.
Binatang di pulau itu hanya terdapat lima orang. Apa ini perbuatan Giehoe? Apa
aku? Apa In Kouwnio yang membacok dirinya sendiri? Hmm..! Kutahu jalan
pikiranmu. Kau turunkan tangan jahat sebab kau takut aku menikah dengan piauw
moay. Sekarang aku bicara terus terang. Tak peduli dia mati atau hidup, aku
tetap menganggapnya sebagai isteriku.”
Tio Beng menundukkan
kepalanya. Lama ia berdiri terpaku. Akhirnya ia bertanya. “Bagaimana kau bisa
kembali ke Tionggoan?”
Boe Kie tertawa dingin. “Kami
bisa kembali berkat kemuliaan hatimu,” katanya dengan nada mengejek. “Kau
mengirim angkatan laut untuk mencari kami. Untung juga Gie hoe tidak setolol
aku. Karena kecerdasan Gie hoe, kami tak masuk ke dalam perangkapmu. Kami tahu,
bahwa kau telah mempersiapkan kapal2 meriam untuk menenggelamkan kapal yang
ditumpangi kami. Tapi lihatlah! Tipu busukmu tak berhasil.”
Sambil mengusap usap pipinya
yang bengkak, si nona menatap wajah Boe Kie. Mendadak kedua matanya
mengeluarkan sinar kasihan dan mencinta. Ia menghela nafas panjang.
Buru2 Boe Kie memalingkan
kepala ke lain jurusan, sebab ia kuatir terjatuh di bawah pengaruh kecantikan.
Ia menjejak bumi dan berkata, “Aku pernah bersumpah untuk membalas sakit hati
piauwmoay. Aku mengakui kelemahanku dan hari inin aku tidak bisa turun tangan.
Kau terlalu jahat! Di lain hari kau pasti akan jatuh ke dalam tanganku!”
Sehabis berkata begitu, ia berjalan keluar dengan tindakan lebar.
Tapi baru saja ia berjalan
belasan tombak, Tio Beng sudah memburu. “Thio Boe Kie! Mau kemana kau?” teriak
si nona.
“Kau tak perlu tahu!”
“Aku mau bicara dengan Cia
tayhiap dan Cioe Kouwnio. Antarkan aku kepada mereka!”
“Giehoe tak akan berlaku
sungkan terhadapmu,” kata Boe Kie. “Menemui Giehoe berarti mengantarkan jiwa.”
“Giehoemu kejam, tapi ia tidak
setolol kau. Di samping itu, apabila Giehoemu membunuh aku, bukankah dengan
demikian sakit hati piauw moaymu jadi terbalas impas?”
“Tolol apa aku? Aku hanya tak
ingin kau menemui Giehoe.”
“Thio Boe Kie, kau memang
tolol. Kau tak rela mengorbankan aku. Kau tak ingin ayah angkatmu membunuh aku.
Bukankah begitu?”
Muka Boe Kie berubah merah.
“Jangan rewel!” bentaknya. “Sebaiknya kau menyingkir jauh jauh dari kami. Jika
tidak, aku mungkin tak dapat menguasai diriku lagi dan akan mengambil jiwamu.”
Setindak demi setindak Tio
Beng mendekati. “Aku mesti ajukan beberapa pertanyaan kepada Cia Tayhiap dan
Cioe Kouwnio,” katanya dengan suara sungguh sungguh. “Aku tak berani bicara
jelek di belakang orang. Aku akan menanyakan seterang terangnya secara berhadap
hadapan.”
“Pertanyaan apa yang kau akan
ajukan?”
“Kau akan segera tahu. Aku sendiri
berani menempuh bahaya, mengapa kau berbalik ketakutan?”
Boe Kie kelihatannya sangat
bersangsi. Lewat beberapa saat, barulah dia berkata, “Kau harus ingat, bahwa
kaulah yang memaksa. Jika Gie hoe turunkan tangan jahat, tak dapat aku menolong
kau.”
“Kau tak usah terlalu kuatir,”
kata si nona.
Tiba tiba Boe Kie naik
darahnya. “Berkuatir?” ia mengulang. “Huh.. huh!.. Menurut pantas aku harus
segera mengambil jiwamu.”
“Hayolah!” si nona menantang
sambil tertawa.
Boe Kie mengeluarkan suara di
hidung. Tanpa meladeni lagi, ia segera menuju ke kota dengan tindakan lebar,
diikuti oleh Tio Beng dari belakang. Waktu hampir tiba di kota, Boe Kie
menghentikan tindakannya dan menengok ke belakang. “Tio Kouwnio,” katanya, “aku
pernah berjanji untuk melakukan tiga pekerjaan untukmu. Yang pertama mencari To
liong to. Janji ini sudah dipenuhkan olehku. Masih ada dua. Jika kau menemui
Giehoe, jiwamu pasti melayang. Kau pergilah! Aku ingin memenuhi janjiku itu dan
sesudah terpenuhi, barulah kau pergi menemui Gie hoe.”
Si nona tertawa geli. “Thio
Boe Kie,” katanya dengan suara bahagia. “Kau hanya mencari cari alasan supaya
Giehoemu jangan sampai membinasakan aku. Kutahu, kau tak tega mengorbankan
aku.”
“Kalau aku tak tega, mau apa
kau?” kata Boe Kie dengan suara aseran.
“Aku merasa sangat girang,”
jawabnya.
Boe Kie menghela napas. “Tio
Kouwnio,” katanya. “Aku memohon… aku memohon.. kau jangan pergi…”
Si nona menggelengkan
kepalanya. “Tidak, biar bagaimanapun jua, aku mesti menemui Cia Tayhiap,”
katanya dengan suara tetap.
Boe Kie mengerti, bahwa tak
guna ia membujuk lagi. Dengan tindakan berat, ia segera menuju rumah
penginapan. Setiba di depan kamar Cia Soen, ia mengetuk pintu. “Giehoe!”
panggilnya. Sesudah memanggil beberapa kali, ia belum juga mendapat jawaban. Ia
menolak pintu kamar, tapi pintu itu dikunci dari dalam.
Ia merasa sangat heran karena
ia tahu sang ayah angkat sangat sigap dan andaikata tertidur, tindakan kakinya
di luar kamar pasti sudah menyadarkannya. Ia pun bercuriga dan berkuatir. Kalau
orang tua itu keluar, mengapa pintu terkunci dari dalam? Ia segera mengerahkan
tenaga dan mendorong pintu. “Brak!” palang pintu patah dan pintu terbuka dan…
Cia Soen tak berada dalam kamarnya!
Boe Kie menyapu seluruh kamar
dengan matanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa jendela terbuka separuh. “Gie hoe
tentu keluar dari jendela,” pikirnya.
Ia pergi ke depan kamar nona
Cioe. “Cie Jiak! Cie Jiak!” panggilnya. Si nona tak memberi jawaban. Ia segera
membuka pintu dengan paksa dan sekali lagi ia mendapat kenyataan, bahwa Cie
Jiak juga tak berada dalam kamar tapi buntelan pakaiannya masih terletak di
atas pembaringan. “Apa mereka disatroni musuh?” tanyanya dalam hati. Ia segera
menanya seorang pelayan tapi pelayan itu tak lihat Cia Soen dan Cie Jiak dan
juga tak mendengar suara keributan. Boe Kie jadi agak lega. “Mungkin sekali
mereka mendengar suara mencurigai dan mereka lalu mengejar. Ayah angkat
berkepandaian sangat tinggi dan dengan dikawani oleh Cie Jiak yang sangat
berhati hati mungkin takkan terjadi sesuatu yang tak enak.” Waktu memeriksa
jendela dan keadaan di bawah jendela ia tak lihat petunjuk yang mencurigakan.
Dengan hati yang lebih tenang ia lalu kembali ke kamarnya.
“Melihat Cia tayhiap tak
berada di dalam kamar, mengapa kau berbalik merasa senang?” tanya Tio Beng
sambil tersenyum.
“Omong kosong! Lagi kapan aku
merasa senang?”
“Kau rasa aku tak bisa membaca
paras mukamu? Waktu menolak pintu, kau memang kaget. Tapi sesudah itu,
ketegangan otot2 mukamu lantas menghilang.”
Boe Kie tak meladeni dan lalu
duduk di pembaringan batu. Seraya bersenyum simpul, Tio Beng duduk di kursi. Ia
melirik Boe Kie dan berkata dengan suara perlahan. “Kutahu… kutahu, bahwa di
dalam hati, kau kuatir Cia tayhiap membunuh aku sehingga menghilangnya orang
tua itu berbalik menyenangkan hatimu. Kutahu… kau tak tega mengorbankan aku.”
“Kalau aku tak tega, mau apa
kau?” bentak Boe Kie dengan mendongkol.
Si nona tertawa, “Aku merasa
sangat girang,” jawabnya.
“Tapi mengapa berulang kali
kau coba mencelakai aku?” tanya Boe Kie. “Apa di dalam hati kau membenci aku,
kau rela mengorbankan aku?”
Paras Tio Beng lantas saja
bersemu dadu. “Benar,” katanya, “memang benar dulu aku berusaha untuk mengambil
jiwamu. Tapi sesudah pertemuan di Lek Lioe chung, apabila dalam hati aku
mempunyai niatan sedikit saja untuk mencelakai kau, biarlah aku dikutuk Tuhan
Yang Maha Esa, biarlah aku binasa secara mengenaskan, biarlah aku tak bisa
menitis lagi dalam dunia yang fana ini.”
Mendengar sumpah yang sangat
berat itu, Boe Kie terkejut. “Tapi mengapa hanya karena sebatang golok dan
sebatang pedang, kau sudah begitu tega terhadapku dan meninggalkan aku di pulau
kecil itu?” tanyanya pula.
“Kalau kau tetap berpendapat
begitu, aku pun tak akan bisa membantah,” kata si nona. “Tunggu saja sampai Cia
tayhiap dan Cioe kouwnio datang.”
“Dengan lidahmu, kau hanya
bisa menipu aku seorang. Kau pasti tak akan dapat mengelabui Giehoe dan Cioe
kouwnio.”
“Mengapa kau rela ditipu aku?
Karena kau mencintai aku, bukan?”
“Kalau ya, mau apa kau?”
bentak Boe Kie.
“Aku sangat girang,” jawabnya
sambil tertawa manis.
Melihat tertawa yang
menggoncangkan hati, buru buru Boe Kie memalingkan kepala ke lain jurusan.
“Hampir setengah hari aku
bersembunyi di pohon itu,” kata Tio Beng. “Sekarang kulapar.” Tanpa menunggu
jawaban, ia memanggil pelayan, menyerahkan sepotong emas dan memerintahkan
supaya disediakan semeja makanan kelas satu.
Melihat uang yang berjumlah
besar itu, si pelayan berlaku hormat luar biasa dan tak lama kemudian makanan
dan minuman mulai diantar masuk.
“Sebaiknya tunggu sampai
Giehoe datang dan kita boleh makan bersama sama,” kata Boe Kie.
“Begitu Cia tayhiap datang,
jiwaku akan melayang,” kata si nona. “Paling benar makan dulu. Lebih baik jadi
setan perut kenyang daripada setan kelaparan.” Biarpun ia berkata begitu,
sikapnya dan suaranya sangat tenang, sedikitpun tidak mengunjuk rasa kuatir.
Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula, “Aku masih mempunyai emas. Sebentar
kita boleh pesan makanan lagi.”
“Tapi aku tak berani makan
bersama sama kau,” kata Boe Kie dengan suara dingin. “Kutakkan menaruh tahu Sip
hiang joan kin san.”
Paras muka Tio Beng lantas
saja berubah. Ia sangat mendongkol. “Terserah,” katanya. Sehabis ia berkata
begitu, ia segera makan seorang diri. Sebab ia sendiri memang sudah lapar, Boe
Kie lalu meminta beberapa potong kue phia dan memakannya dengan duduk di
pembaringan batu.
Sesudah makan beberapa suap,
si nona mendadak merasa sedih dan air matanya turun di kedua pipinya. Tiba tiba
ia melemparkan sumpit dan lalu mendekam di meja sambil menangis segak seguk.
Lama juga ia menangis. Sesudah
kedukaannya disalurkan, ia mengawasi keluar jendela. “Satu jam lagi siang akan
berganti dengan malam,” katanya seorang diri. “Kemana Han Lim Jie akan dibawa?
Kalau jejaknya tak dapat dicari, dia sukar ditolong lagi.”
Boe Kie terkejut. Ia melompat
bangun dan berkata, “Benar. Aku harus menolong Han heng tee terlebih dahulu.”
“Cis! Tak tahu malu!” bentak
Tio Beng. “Aku bukan bicara dengan kau.”
Melihat lagak si nona Boe Kie
merasa geli tercampur dongkol. Cepat cepat ia menghabiskan kuenya dan lalu
berjalan keluar dengan tindakan lebar.
“Aku ikut!” teriak Tio Beng.
“Tak boleh!”
“Mengapa?”
“Kau membunuh piauw moayku.
Mana bisa aku berjalan sama sama musuh?”
“Baik. Nah, kau pergilah!”
Boe Kie segera bertindak
keluar, tapi baru beberapa langkah, ia merandek. “Perlu apa kau berdiam di
sini?” tanyanya.
“Tunggu Giehoemu. Aku akan
memberitahu bahwa kau pergi untuk menolong Han Lim Jie.”
“Gie hoe sangat membenci
kejahatan. Ia tak akan mengampuni kau.”
Tio Beng menghela napas. “Jika
aku mesti mati, aku takkan mempersalahkan siapapun jua,” katanya. “Aku mati
sebab nasibku buruk.”
Boe Kie mengawasi si nona.
“Sebaiknya kau menyingkir untuk sementara waktu,” katanya dengan suara
membujuk. “Sesudah aku kembali, kita bisa berdamai lagi.”
“Tak ada tempat untuk aku
menyingkirkan diri.”
“Sudahlah! Kau ikut aku
menolong Han Lim Jie.”
Tio Beng tertawa. “Ingatlah,
kaulah yang mengajak aku,” katanya. “Bukan aku yang memohon mohon.”
“Hm… kau merupakan binatang
iblis bagi diriku. Rupa rupanya memang sudah nasibku semenjak bertemu dengan
kau, aku selalu menderita.”
Tio Beng tertawa geli. “Tunggu
sebentar,” katanya sambil menepal pintu.
Beberapa lama kemudian,
setelah pintu terbuka lagi, si nona ternyata sudah menukar pakaian, pakaian
wanita yang sangat indah. Boe Kie tak pernah menduga, bahwa di dalam buntelan
yang selalu dibawa bawa terisi seperangkat pakaian yang mahal harganya.
“Perempuan ini banyak akalnya dan sepak terjangnya selain diluar dugaan orang,”
katanya di dalam hati.
“Mengapa kau terus mengawasi
aku?” tanya Tio Beng. “Apa pakaianku bagus?”
“Muka seperti bunga tho dan
lie, hati bagaikan ular dan kalajengking,” jawabnya.
Tio Beng tertawa terbahak
bahak. “Terima kasih banyak kepada Thio Toakauwcoe yang sudah menghadiahkan
kata kata seindah itu,” katanya. “Thio kauwcoe, kaupun harus menukar pakaian.”
“Sedari kecil aku sudah biasa
memakai pakaian compang camping,” kata Boe Kie dengan hati mendulu. “Apabila
kau merasa malu melihat pakaianku, kau boleh tak usah mengikutku.”
“Kau jangan menduga yang tidak
tidak,” kata Tio Beng sambil tersenyum. “Aku hanya ingin melihat romanmu
sesudah kau mengenakan pakaian yang baik. Boe Kie koko, kau tunggulah di sini
sebentar. Kawanan pengemis itu pasti mengambil jalanan ke Kwan Lwee. Kita tentu
dapat mengejar mereka.” Sehabis berkata begitu tanpa menunggu jawaban, ia
segera berlalu.
Boe Kie duduk bengong di
pembaringan batu. Dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri, ia heran mengapa ia
seperti tauwhoe yang bisa dipermainkan oleh perempuan itu. “Terang terang
dialah yang membinasakan piauw moay tapi aku masih bisa beromong omong dan
tertawa tawa dengan dia,” pikirnya. “Boe Kie… ah Boe Kie… Lelaki apa kau? Apa
kau ada muka untuk menjadi kauwcoe dari Beng kauw, untuk memimpin segenap orang
gagah di kolong langit?”
Lama juga ia menunggu, tapi
Tio Beng belum juga balik. Cuaca sudah mulai gelap.
“Perlu apa kutunggu dia?”
pikirnya. Ia mau lantas berangkat, tapi ia segera membayangkan kemungkinan
bertemunya Tio Beng dengan ayah angkatnya. Kalau mereka bertemu muka, nona Tio
pasti akan binasa. Mengingat begitu dia mengurungkan niatnya dan menunggu
terus. Ia mendongkol bukan main, duduk salah berdiripun salah. Akhirnya
terdengar tindakan kaki dan si nona masuk dengan tangan menyangga dua
bungkusan.
“Mengapa begitu lama?” tanya
Boe Kie. “Sudahlah! Aku tak usah menukar pakaian. Mari kita berangkat.”
Si nona tertawa. “Sesudah kau
menunggu begitu lama, beberapa detik lagi untuk menyalin pakaian tak jadi
soal,” katanya. “Aku sudah membeli dua ekor kuda dan kita bisa mengubar di
waktu malam.” Ia mengeluarkan kedua bungkusan itu dan mengeluarkan seperangkat
pakaian, sepatu dan kaos kaki. “Di tempat kecil tak ada barang baik,” katanya
pula. “Setibanya di kota raja, aku akan beli baju kulit rase.”
Boe Kie kaget dan lalu berkata
dengan suara sungguh sungguh, “Tio Kouwnio, apabila kau menganggap bahwa aku
kemaruk akan segala kemewahan dan bersedia untuk menekuk lutut kepada kerajaan,
hilangkanlah anggapan itu. Thio Boe Kie adalah anak cucu bangsa Han. Andaikata
diangkat menjadi raja muda, iapun tak akan menakluk kepada bangsa Mongol.”
Tio Beng menghela napas. “Thio
Kauwcoe, kau lihatlah!” katanya. “Lihatlah, apa ini pakaian seorang Mongol atau
pakaian orang Han?” Seraya berkata begitu, ia lalu membuka baju dan celana yang
baru dibelinya. Boe Kie manggut2kan kepalanya, sebab pakaian itu adalah pakaian
Han. Sesudah itu, sambil memutar tubuh, si nona berkata pula, “Nah kau lihatlah
lagi! Apa pakaian ini pakaian puteri Mongol atau pakaian seorang puteri Han?”
Hati Boe Kie berdebar2. Tadi
ia tak berkata. Sekarang ia mendapat kenyataan, bahwa nona Tio memang
mengenakan pakaian wanita Han. Ia menatap wajah si nona yang balas mengawasinya
dengan sorot mata penuh kecintaan. Mendadak ia tersadar, ia sadar akan maksud
puteri Mongol itu. “Kau… kau…” katanya dengan suara parau.
“Sebab kutahu kau mencintai
aku, aku sekarang tidak memperdulikan apapun jua. Aku bersedia untuk membuat
pengorbanan yang paling besar,” katanya dengan suara perlahan. “Bagiku, orang Mongol
atau orang Han tak jadi soal lagi. Kalau kau orang Han, aku orang Han. Kalau
kau orang Mongol, akupun orang Mongol. Apa yang dipikiri olehmu adalah soal
negara, soal ketentraman, soal kekuasaan, pengaruh dan nama. Tapi Boe Kie koko,
bagiku yang paling penting adalah kau seorang – pribadimu sendiri. Entah kau
manusia baik, entah kau pengemis… bagiku… sama saja!”
Mendengar kata2 itu, bukan
main rasa terharunya Boe Kie. Untuk beberapa saat ia berdiri terpaku tanpa bisa
mengeluarkan sepatah kata. Akhirnya ia berkata, “Apakah kau mencelakai
piauwmoay lantaran jelus? Lantaran kuatir aku akan menikah dengan dia?”
“Thio Toakauwcoe!” bentak Tio
Beng dengan suara keras. “Bukan aku yang mencelakai In Kouwnio. Kau percaya,
baik – tidak ya sudah! Hanya ini keteranganku!”
Boe Kie menghela napas. “Tio
Kouwnio,” katanya, “manusia bukan kayu atau batu. Kutahu kecintaanmu
terhadapku. Tapi apakah sampai hari ini dan di tempat ini, kau masih juga ingin
mendustai aku?”
“Dahulu, kuanggap diriku
pintar. Tapi sekarang kutahu, bahwa di dalam dunia ada hal hal yang berada di
luar taksiran manusia,” kata si nona secara menyimpang. “Boe Kie koko, biarlah
kita jangan berangkat hari ini. Kau tunggu Cia tayhiap di kamar ini dan aku
sendiri akan menunggu Cioe Kouwnio di kamarnya.”
“Mengapa begitu?” tanya Boe
Kie heran.
“Kau tak usah tanya,”
jawabnya. “Kau tidak usah kuatir akan keselamatan Han Lim Jie. Aku tanggung dia
akan dapat ditolong.” Seraya berkata begitu, ia berjalan keluar dan pergi ke
kamar Cie Jiak.
Boe Kie bingung. Ia tak dapat
meraba maksud nona itu. Sambil bersandar di pembaringan batu, ia mengasah otak.
Mendadak di dalam otaknya berkelebat serupa ingatan. “Apa tak bisa jadi, ia
telah mengatur siasat untuk mencelakai Cie Jiak karena ia tahu aku sudah
bertunangan dengan nona Cioe?” pikirnya di dalam hati. “Apa tak bisa jadi, ia
menyuruh Hian beng Jie loo datang disini untuk membokong Gie hoe dan Cie Jiak?”
Mengingat Hian beng Jie loo, rasa kuatirnya menghebat. Kedua kakek itu
berkepandaian sangat tinggi. Biarpun matanya bisa melihat, ayah angkatnya belum
tentu dapat menandingi salah seorang dari mereka. Ia melompat bangun dan
berlari lari ke kamar Tio Beng. “Tio Kouwnio, kemana perginya Hian beng Jie
loo?” tanyanya.
“Mungkin mereka menyusul ke
selatan, sebab rupa rupanya mereka anggap aku masuk ke daerah Kwan lwee sesudah
aku meloloskan diri,” jawabnya.
“Apa benar?”
“Kalau tak percaya, perlu apa
kau tanya?”
Boe Kie tertegun. Ia berdiri
di depan kamar tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun jua.
“Kalau aku mengatakan, bahwa
aku sudah menyuruh Hian beng Jie loo datang kesini untuk membinasakan Cia
tayhiap dan Cioe Kouwniomu yang tercinta, apa kau percaya?” tanya si nona.
Perkataan itu kena jitu di
hati Boe Kie. Sekali menendang, pintu terpental. Dengan paras muka merah padam,
ia berkata. “Kau…. Kau…..”
Melihat paras yang menakuti,
si nona baru ketakutan. Ia merasa menyesal, bahwa ia sudah mengeluarkan
kata-kata itu. “Jangan marah!” katanya terburu-buru. “Aku hanya guyon-guyon.”
Dengan sorot mata bagaikan
pisau, Boe Kie menatap wajah si nona. “Tio Kouw Nio, bicaralah
terang-terangan….. “ katanya dengan suara menyeramkan. “Kau tidak takut datang
di sini… kau tidak takut bertemu dan dipadu dengan Gie Hoe. Apakah itu berarti,
bahwa kau sudah tahu mereka berdua sudah mati, sudah tak ada lagi didalam dunia
ini?” seraya berkata begitu, ia maju beberapa tindak, sehingga dengan sekali
menghantam, ia akan bisa mengambil jiwa nona Tio.
Tio Beng balas mengawasi mata
pemuda itu. “Thio Boe Kie,” katanya dengan suara sungguh-sungguh. “Aku bicara
terus terang kepadamu. Dalam hal-hal di dunia ini, kecuali kau lihat dengan
mata sendiri, kau tidak boleh lantas percaya. Lebih-lebih kau tidak boleh
memikirkan yang bukan-bukan dan menarik kesimpulan sendiri. Jika kau mau membunuh
aku, sekarangpun kau boleh turun tangan. Tapi kalau sebentar Gie Hoe-mu datang,
bagaimana perasaanmu?”
Kegusaran Boe Kie lantas saja
mereda, bahkan ia merasa malu sendiri. “Apabila Gie Hoe tidak kurang suatu apa,
aku tentu saja merasa sangat girang.” Katanya dengan suara perlahan. “Kau tidak
boleh guyon-guyon dalam soal keselamatan ayah angkatku.”
Tio Beng mengangguk. “memang,
memang tak pantas aku mengeluarkan kata-kata itu.” Katanya. “Kuharap kau suka
memaafkan.”
Mendengar permintaan maaf itu,
hati Boe Kie lantas saja lemas. Ia tersenyum dan berkata, “Untuk kekasaranku,
akupun memohon maaf.” Sehabis berkata begitu, ia segera balik ke kamar Cia
Soen.
Semalam suntuk mereka
menunggu, tapi kedua orang yang ditunggu tak juga kembali. Sesudah sarapan pagi
ia segera berdamai dengan Tio Beng. “Heran sekali,” kata si nona sambil
mengerutkan alis. “Kecuali Kay Pang, di tempat ini tak terdapat lain orang Kang
Ouw. Sebaiknya kita mengejar rombongan Soe Hwee Liong dan coba menyelidiki.”
Boe Kie menyetujui usul itu.
Sesudah membayar uang sewa kamar, ia memesan pengurus rumah penginapan supaya
Cia Soen dan Cie Jiak jika mereka kembali menunggu saja di penginapan itu. Tak
lama kemudian, seorang pelayan menuntun dua ekor kuda yang garang dan tinggi
besar badannya. Boe Kie merasa kagum dan memberi pujian kepada kuda Kwan Gwa
yang tersohor itu. Mereka lantas saja melompat ke punggung tunggangan itu yang
segera dikabur ke jurusan selatan. Mereka merupakan pasangan setimpal yang
lelaki tampan yang perempuan cantik, dan kedua-duanya mengenakan pakaian indah.
Yang tak tahu pasti akan menduga bahwa mereka adalah suami isteri bangsawan
yang sedang pesiar di daerah itu.
Hari itu mereka melalui dua
ratus li lebih, malamnya mereka menginap di sebuah penginapan pada keesokan pagi.
Mereka meneruskan perjalanan kira-kira tengah hari, angin dingin mulai meniup
dengan santernya sehingga awan hitam beterbangan di angkasa. Sesudah mulai
lagi, dua puluh li lebih salju mulai turun. Selama dalam perjalanan Boe Kie
jarang berbicara dengan Tio Beng. Kini, meskipun turunnya salju jadi makin
besar, ia terus membedal kuda tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Di waktu magrib, tebalnya
salju sudah hampir sekali. Biarpun gagah, kedua tunggangan itu lelah, apapula
mereka harus berjalan di jalanan gunung yang licin dan tebal saljunya. Boe Kie
menahan les dan mengawasi seputarnya. Mereka berada di gunung yang tak ada
manusianya. “Tio Kouw Nio, bagaimana baiknya?” Boe Kie bertanya, “kalau kita
meneruskan perjalanan, kedua binatang ini mungkin roboh.”
Si nona tertawa dingin. “Kau
hanya memikiri kuda, tidak memperdulikan manusia.” Jawabnya.
Ditegur begitu, Boe Kie merasa
menyesal tercampur malu. “Aku sendiri mempunyai Kioe Yang Sin Kang, sehingga
tidak mengenal letih,” pikirnya. “Benar-benar aku tak ingat dia.”
Sesudah berjalan lagi beberapa
jauh, dari pinggir jalan tiba-tiba melompat keluar seekor kijang yang terus
kabur ke atas. “Tio Kouw Nio, kau tunggu di sini.” Kata Boe Kie.
“Aku mau tangkap kijang itu
untuk menangsal perut.” Ia melompat turun dan terus mengejar dengan mengikuti
tapak-tapak di salju. Sesudah membelok di sebuah tanjakan lapat-lapat ia lihat
binatang itu lari ke arah sebuah gua. Dengan sekali mengempos semangat, tubuh
Boe Kie melesat bagaikan anak panah dan sebelum kijang itu masuk ke gua, ia
sudah berhasil mencekal lehernya. Binatang itu coba memberontak, tapi tulang
lehernya lantas patah dipijut Boe Kie.
Dengan menenteng bangkai
kijang, Boe Kie kembali kepada Tio Beng. “Di sana ada sebuah gua yang cukup
besar untuk dua orang.” Katanya. “Apa kau setuju jika kita menginap di situ?”
Nona Tio mengangguk. Tiba-tiba
mukanya bersemu dadu dan ia memalingkan kepala ke lain jurusan.
Sesudah menambat kedua kuda di
bawah pohon siong, Boe Kie lalu mencari cabang-cabang kayu kering dan membuat perapian
di depan gua. Gua itu yang di dalamnya gelap, ternyata sangat bersih, bebas
dari kotoran binatang. Boe Kie menguliti bangkai kijang, mencuci dagingnya
dengan salju dan kemudian membakarnya di atas perapian. Tio Beng membuka baju
luarnya yang terbuat daripada kulit binatang, menggelarnya di lantai gua dan
kemudian mendudukinya sambil menikmati hawa hangat dari perapian. Tiba-tiba Boe
Kie menengok dan mereka berdua saling tersenyum. Senyuman yang menghilangkan
semua rasa letih dan lelah.
“Sesudah daging masak, mereka
lalu makan dengan bernapsu. Selang beberapa lama, sambil bersender di dinding
gua. Boe Kie berkata, “Kau tidurlah!” si nona tertawa manis, ia bersandar di
dinding seberang dan lalu memejamkan kedua matanya. Dengan hidung yang
saban-saban mengendus wewangian yang keluar dari badan puteri Mongol itu, Boe
Kie melirik dengan rasa kagum, karena di bawah sinar api, Tio Beng lebih cantik
lagi, seolah-olah sekuntum bunga Hay Thong yang baru mekar. Seraya menghela
napas, iapun memejamkan mata.
Kira-kira tengah malam
sayup-sayup tersadar dan segera memasang kuping. Ia tahu, bahwa yang sedang
mendatangi berjumlah empat ekor kuda. “Di tengah malam buta dan di waktu turun
salju mereka berjalan juga,” katanya di dalam hati. Mereka pasti sedang menghadapi
urusan pentin.
“Makin lama suara itu makin
dekat. Untuk sejenak mereka berhenti dan kemudian berjalan lagi. Tak bisa salah
lagi kuda-kuda itu menghampiri gua, Boe Kie kaget. “Gua ini terletak di tempat
yang sembunyi,” pikirnya. “Kalau bukan dituntun kijang, aku tak akan bisa
mencarinya. Mengapa dan cara bagaimana orang-orang itu bisa datang kemari?”
tiba-tiba ia mendusin dan berkata pula di dalam hati. “Benar! Mereka tentu
lihat tapak kaki kami.”
Ketika itu Tio Beng pun sudah
tersadar. “Mereka mungkin musuh,” katanya. “Biarpun kita tak takut, sebaiknya
kita menyingkir.”
“Mereka datang dari selatan,”
kata Boe Kie.
“Heran sekali,” kata si nona
sambil meraup salju yang lalu digunakan untuk menutup api.
Sementara itu suara kaki kuda
sudah berhenti dan sebagai gantinya terdengar tindakan empat orang. Dalam
sekejab mereka mendekati gua. “gerakan mereka sangat cepat,” bisik Boe Kie.
“Mereka berkepandaian sangat tinggi,” ia bingung sebab orang-orang itu sudah
hampir tiba di depan gua. Tiba-tiba Tio Beng mencekal tangannya dan menariknya
masuk ke dalam. Makin ke dalam gua itu jadi makin sempit dan baru saja masuk
setombak lebih, mereka bertemu dengan sebuah tikungan.
Sekonyong-konyong terdengar
suara seorang.
“Ah! Di sini ada gua.”
Boe Kie kaget tercampur girang
sebab ia segera mengenali, bahwa orang yang berbicara adalah paman gurunya yang
keempat. Thio Siong Kee.
“Tanda-tanda yang tinggalkan
Cit Tee menuju ke tempat ini,” kata seorang lain. “Mungkin sekali Cit Tee
pernah masuk ke gua ini,” itulah suara Boe Tong Liok Hiap, In Lie Heng.
Baru saja Boe Kie mau
memanggil, mulutnya sudah ditekap Tio Beng. “Kita berada berduaan dan kalau
dilihat mereka, kita akan merasa tidak enak,” bisik si nona.
Boe Kie menyetujui peringatan
itu. Meskipun ia putih bersih, tapi jika ia dan Tio Beng ditemukan berduaan
dalam sebuah gua, para paman itu tentu sukar percaya kebersihannya. Apapula,
sebagai koencoe dari kerajaan goan, nona Tio pernah memperanjakan para pendekar
Boe Tong di Ban Hoat Sie, sehingga kalau mereka bertemu muka, pertemuan itu
merupakan pertemuan antara musuh dan musuh. Ia segera mengambil keputusan,
bahwa begitu lekas para pamannya berlalu, akan segera ia berpisahan dengan Tio
Beng, supaya ia tak usah mengalami hal-hal yang tidak enak.
“Ih!” Demikian terdengar
seruan Jie Lian Cioe. “Di sini ada cabang-cabang siong yang terbakar…. Hmmm..
kulit… darah dan sisa daging kijang.”
“Hatiku sangat tak enak.” Kata
orang keempat. “Kuharap saja Cit Tee tak kurang suatu apa.” Orang itu bukan
lain daripada Song Wan Kiauw.
Jantung Boe Kie memukul keras.
Empat paman gurunya turun gunung bersama-sama untuk mencari Boh Seng Kok. Dari
pembicaraan mereka, dapat ditarik kesimpulan, bahwa paman guru yang paling
kecil itu telah bertemu dengan musuh yang kuat. Ia turut merasa kuatir.
“Toa Soeko tak usah begitu
kuatir,” kata Thio Siong Kee sambil tertawa. “Karena sangat mencintai Cit Tee,
Toa Soeko masih menganggap dia sebagai anak kecil Boh Seng Kok dahulu.
Andaikata ia bertemu dengan musuh tangguh, kurasa Cit Tee masih bisa
menghadapinya.”
Aku bukan kuatir Cit Tee,”
kata In Lie Heng. “Yang kupikiri si bocah Boe Kie yang sekarang tak ketahuan ke
mana perginya. Dia sekarang menjadi kc dari Beng Kauw. Pohon yang tinggi
mengandung angin. Dalam kedudukannya itu tentu ada banyak musuh yang ingin
mencelakainya. Walaupun ilmu silatnya tinggi, pikirnya terlalu sederhana dan ia
tak tahu hebatnya gelombang Kang Ouw. Kuatir ia kena ditipu orang jahat.”
Boe Kie merasa sangat terharu.
Budi kebaikan para pamannya besar bagaikan gunung dan ia tak tahu bagaimana
harus membalasnya. Mendadak Tio Beng berbisik, “aku orang jahat dan sekarang
kau sudah ditipu orang jahat. Apa kau tahu?”
“Dalam usaha mencari Boe Kie
dengan mengambil jalan utara, Cit Tee nampaknya telah mendapat endusan,” kata
Song Wan Kiauw. “tapi apa artinya itu delapan perkataan yang ditinggalkannya di
rumah penginapan Wie Kek di Tian Cin?”
“Ya….. “ kata Thio Siong Kee.
“Cit Tee mengatakan, dalam rumah tangga ada perubahan, kita harus
membersihkannya. Siapa yang dimaksudkan dengan kata-kata itu? Apakah dalam Boe
Tong Pay terdapat manusia keji? Apa Boe Kie…. “ ia tak meneruskan perkataannya.
Tapi nada suaranya mengunjuk rasa kuatir.
“Kurasa anak Boe Kie tak nanti
melakukan sesuatu yang merusak nama rumah perguruan kita.” Kata In Lie Heng.
“Tapi si perempuan siluman Tio
Beng terlampau lihai,” kata pula Thio Siong Kee. “Kau jangan lupa, anak Boe Kie
masih muda, seorang muda gampang sekali dipengaruhi dengan kecantikan. Apakah…
apakah… ia bertindak seperti ayahnya yang akhirnya binasa secara
mengenaskan?.... “ Keadaan berubah sunyi. Yang terdengar hanyalah hela napas.
Beberapa saat kemudian
terdengar suara beradunya batu api yang membakar cabang-cabang pohon. Salah
seorang pendekar Boe Tong membuat obor yang sinarnya lantas saja menerangi
bagian dalam gua. Biarpun berada di tikungan, sayup-sayup Boe Kie bisa melihat
paras muka Tio Beng yang mengunjuk rasa duka tercampur gusar. Ia tahu, bahwa
perkataan Thio Siong Kee telah membangkitkan rasa jengkelnya si nona. Ia sendri
merasa bingung dan berkata di dalam hati. “Perkataan Thio Sie Siok memang
beralasan. Ibu belum pernah melakukan sesuatu yang tidak pantas. Tapi toh, dia
menyeret ayah sampai binasa, Tio Kouw Nio telah membunuh pmy, menghina Thay
Soehoe dan para paman, ia tak bisa dibandingkan dengan ibu.” Memikir begitu, ia
makin bingung. Kalau mereka menemukan aku bersama Tio Kouw Nio di gua ini,
biarpun aku mencuci dengan semua air sungai Hoang Ho, tak dapat aku
membersihkan diri.”
Tiba-tiba terdengar suara Song
Wan Kiauw yang bergemetar. “Sie-tee, di dalam hatiku terdapat sebuah pertanyaan
yang tak bisa keluar dari mulutku. Kalau aku mengatakan terang-terangan aku
merasa tak adil terhadap ngo-tee yang sudah meninggal dunia.”
“apakah Toako kuatir Boe Kie
turunkan tangan jahat terhadap Cit Tee?” tanya Thio Siong Kee dengan suara
perlaha.
Song Wan Kiauw tak menyahut.
Meskipun tak melihat, Boe Kie merasa bahwa paman itu telah manggutkan kepala.
“Anak Boe Kie berwatak mulia
dan jujur.” Kata Thio Siong Kee. “Menurut pantas, ia takkan melakukan perbuatan
keji itu, tapi Cit Tee sangat berangasan dan ceroboh. Kalau ia mendesak Boe Kie
sampai di jalan buntu ditambah dengan siasat si perempuan siluman Tio Beng
memang…. Memang… Hai!... Hati manusia tak dapat dijajaki. Semenjak dulu orang gagah
sukar melawan paras cantik. Aku hanya berdoa agar dalam menghadapi detik-detik
penting, Boe Kie bisa mempertahankan diri.”
“Toako, Sieko! Kalian jangan
omong yang tidak-tidak!” kata In Lie Heng. “Belum tentu Cit Tee mengalami
kebencanaan.”
“Tapi sendiri melihat pedang
Cit Tee, aku tak enak tidur,” kata Song Wan Kiauw.
“Memang benar,” menyambung Jie
Lian Cioe. “Orang-orang rimba persilatan sekali-sekali tak boleh lalai terhadap
senjatanya. Kita tak boleh menaruh senjata secara sembarangan saja. Apapula
pedang itu hadiah Soehoe. Kata orang pedang ada, orangnya hidup, pedang hilang,
orangnya…. “ mendadak ia berhenti bicara dan perkataan “mati” yang sudah hampir
keluar, ditelan lagi olehnya.
Mendadak kecurigaan keempat
paman guru itu terhadap dirinya, Boe Kie jadi makin bingung dan berduka.
Sekonyong-konyong dari dalam gua keluar semacam bau wangi yang tercampur dengan
bau anaknya binatang, seperti jua gua itu pernah atau memang sedang dialami
binatang. Karena kuatir wewangian itu diendusi para pamannya, sembil menahan
napas dan mencekal sebelah tangan Tio Beng, Boe Kie masuk lebih jauh ke dalam
gua. Supaya tak tersandung batu-batu yang menonjol, sambil berjalan Boe Kie
meraba-raba lantai gua dengan tangan kirinya. Sesudah beberapa tindak dan baru
saja membelok di sebuah tikungan lain, tangannya mendadak menyentuh sebuah
benda lembek seperti tubuh manusia.
Boe Kie terkesiap, “tak
perduli orang ini sahabat atau musuh sedikitpun dia tak bersuara para paman
tentu akan mendengarnya,” katanya dalam hati. Bagaikan kilat ia menotok lima
“hiat” di dada orang itu dan kemudian mencekal tangannya dan hatinya mencelos,
sebab tangan itu seperti es tangan orang mati! Dengan bantuan sinar
remang-remang yang menembus dari luar ia mengawasi muka orang itu. Tiba-tiba ia
menggigil. Lapat-lapat ia seperti melihat muka Boh Seng Kok! Tanpa menghiraukan
bahaya lagi, ia mendukung jenazah itu dan maju beberapa tindak ke tempat yang
lebih terang. Sekarang ia mendapat kepastian, bahwa jenazah itu adalah jenazah
Boh Seng Kok, yang mukanya pucaat dan matanya belum tertutup. Gusar dan duka
bergolak-golak di dada pemuda itu, untuk sejenak ia berdiri terpaku.
Beberapa tindakan Boe Kie itu
sudah didengar oleh keempat pendekar Boe Tong. “Siapa?” bentak Jie Lian Cioe.
Dengan serentak mereka menghunus pedang.
Boe Kie mengeluh, “Jika
ditemukan, aku pasti tidak bisa mengelakkan tuduhan membunuh paman,” pikirnya.
Pada detik itu di dalam
otaknya berkelebat-kelebat berbagai ingatan. Dadanya menyesak dengan kedukaan
yang sangat hebat karena ia ingat budi kecintaan Boh Seng Kok terhadap dirinya.
Dalam menghadapi bahaya, Tio
Beng bisa berpikir cepat. Mendadak ia melompat dan menerjang sambil memutar
pedang, bagaikan kilat ia mengirim empat serangan dengan pukulan-pukulan Go Bie
Kiam Hoat yang terhebat. Baru saja keempat pendekar Boe Tong menangkis, ia
sudah menerobos keluar dan sembil mengelakkan tikaman Thio Siong Kee, ia
melompat ke punggung kuda dan menendang perut tunggangan itu dengan kakinya
sehingga lantas saja kabur sekeras-kerasnya. Tiba-tiba ia merasa punggungnya
sakit dan matanya berkunang-kungan. Sambil mendekam dan memeluk leher kuda ia
mempertahankan diri dan kabur terus. Ternyata ia sudah kena pukulan Jie Lian
Cioe dan meskipun kenanya tidak telak, ia terluka berat.
Sementara itu sambil berteriak-teriak,
keempat pendekar Boe Tong sudah mengejar dengan menggunakan ilmu mengentengkan
badan. “Makin jauh aku lari, makin gampang dia meloloskan diri,” kata Tio Beng
di dalam hati. “Untung juga semua orang mengejar aku.”
Ketika si nona menerjang ke
luar, Boe Kie mencelos hatinya. Dilain saat barulah ia mengerti, bahwa Tio Beng
telah menggunakan tipuan muslihat untuk memancing harimau meninggalkan gunung
untuk menolong dirinya. Buru-buru dengan mendukung jenazah Boh Seng Kok, ia
lari keluar dan terus kabur ke jurusan barat sebab para pamannya mengejar ke
arah timur. Sesudah melalui kurang lebih dua li, ia berhenti dan menaruh
jenazah itu di belakang sebuah batu besar. Sesudah itu, ia kembali ke jalanan
tadi dan memanjat sebuah pohon. Lama ia bersembunyi di situ sambil mengucurkan
air mata. “Ah! Sungguh malang nasib Boe Tong Pay!” pikirnya. “siapakah yang
telah membinasakan Cit Soesiok?”