Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 74
Pada keesokan tengah hari
barulah mereka tersadar. Sesudah bersamedhi kira2 setengah jam, Boe Kie merasa
badannya segar, sebab lapar, perlahan2 ia pergi ke dapur, dimana ia dapatkan
nasi yang separuh hangus didalam kuali. Sambil tersenyum ia makan dua suap
kemudia mengisinya disebuah mangkok yang lalu dibawa ke kamar dan diserahkan
kepada Tio Beng.
“Bagaimana kalau keadaan
sekarang dibanding makan minum dirumah makan kecil dikota saja?” kata Tio Beng.
“Dulu lain, sekarang lain!”
jawabnya sambil tertawa.
“Ya,” kata pula si nona.
“Sekarang kita menderita dilahir tapi apa yang dirasakan didalam hati kita,
hanya diketahui oleh langit, oleh bumi, olehmu dan olehku sendiri. Orang luar
tak pelu tahu!” Mereka tertawa dan lalu makan bersama2 dengan hanya menggunakan
tangan. Yang dimakan mereka hanyalah nasi separuh hangus. Tapi bagi mereka
lezatnya nasi itu melebihi santapan yang terlezat didalam dunia.
Belum habis mereka makan,
ditempat jauh sekonyong2 terdengar suara tindakan kuda. Tak kepalang kagetnya
Boe Kie dan Tio Beng. Mangkok nasi yg dipegang si nona jatuh dan hancur
dilantai. Meeka saling mengawasi dengan hati berdebar2.
Tak lama kemudian kedua ekor
kuda berhenti dihadapan pintu kelenteng dan pintu di ketuk orang. “Siangkoan
Sam ko!” teriak seorang. “Buka pintu! Aku Cia Loo Ngo.”
“Bagaimana sekarang?” bisik
Boe Kie.
“Mereka akan segera merusak
pinth” kata Tio Beng. “Kita berlagak mati.” Boe Kie menganggul dan mereka lalu
rebah tengkurep.
Beberapa saat kemudian
terdengar suara kedubrakan dan pintu terpental karena dorongan tenaga yg sangat
kuat.
“Kau rebah dipinggir pintu
cegat jalan mundur mereka!” bisik si nona.
Boe Kie lalu merangkak kepintu
kamar.
Di luar terdengar seruan kaget
dari dua orang yang baru masuk, disusul dengan suara menghunus senjata.
Rupa2nya mereka sudah lihat mayat yang menggeletak diluar.
“Hati2!” kata seorang. “Jangan
kena di bokong!”
“Sahabat!” teriak yang lain.
“Perlu apa kau sembunyi2? Kalau nualimu besar, keluarlah!” Suara orang itu
nyaring dan bertenaga. Tak bisa salah lagi dialah yang mendobrak pintu. Dia
teriak menantang berulang2 tapi tetap tak dapat jawaban.
“Bisa jadi penjahatnya adalah
pergi,” kata kawannya.
“Mari kita geledah,” kata
orang yg suaranya nyaring, yang tadi memperkenalkan diri sebagai Cin Lo Ngo.
“Sioe Lao tee, kau memeriksa disebelah timur, aku dibarat.”
Orang she Soe itu bernyali
kecil, “Kau kuatir musuh berjumlah besar,” katanya dengan nada jeri. “Lebih
baik kita jalan berdua.”
Sebelum Cin Loo Ngo menyahut,
dia mengeluarkan seruan, tertahan, “Ini!” katanya sambil menuding kamar sebelah
timur. “Dikamar itu kelihatannya masih ada lain mayat.”
Mereka menghampiri dan bulu
mereka bangun semua. “Siapa… siapa yg binasakan mereka?” kata Cin Loo Ngo
dengan suara gemetar.
“Cin Loo Ngo mari kita pulang!
Kita harus beritahukan Suhu.”
“Suhu telah memesan, kita
harus buru2. Surat undangan harus disampaikan secepat mungkin supaya tamu2 bisa
hadir dalam To Say Eng Hiong Hwee yang akan diadakan pada harian Toan ngo.
Kalau kita terlambat, kita bisa dihukum. (Toa say Eng hiong hwee – Pertemuan
orang2 gagah dalam upacara membinasakan singa Toan ngo Bulan Lima tanggal Lima
menurut perhitungan Imlet atau hari perayaan Pehcun).
Mendengar Toan say Eng hiong
hwee, alis Boe Kie berkerut. Tiba2 darahnya bergolak kaget, girang dan gusar
bercampur aduk jadi satu. Ayah angkatnya begelar Kim Mo Say Ong atau Raja singa
bulu emas dan To say eng hiong hwee tentu dimaksudkan upacara membunuh ayah
angkatnya. “Dilihat begini sebelum Toan ngo jiwa Giehoe takkan diganggu,” pikirnya.
“Hai … kedudukanku sebagai pemimpin Beng Kauw tapi aku tak mampu melindungi Gie
hoe, hingga di mesti menderita, mesti menerima segala rupa hinaan. Aku sungguh
seorang anak yg tidak berbakti.” Makin lama ia jadi makin gusar. Kalau menuruti
kemauannya, ia ingin lantas membinasakan kedua orang itu. Tapi sebab tenaganya
belum pulih, jalan satu2nya adalah menunggu sampai mereka masuk kamar dan
kemudian membinasakan dengan ilmu ‘Meminjam tenaga, memukul tenaga’.
Tapi kedua orang itu tidak
berani lantas masuk. Mereka berdiri diluar kamar dan berdamai.
“Begini saja,” kata Cin Loo
Ngo, “Kita berdua membagi tugas. Aku mengantarkan surat undanagn dan kau
kembali ke Siauw Lim Sie untuk memberi laporan kepada suhu.”
Tapi si orang she Sioe kuatir
kalau ditengah jalan ia bertemu dengan musuh. Ia bersangsi dan tidak mengiakan
usul kawannya.
Cin Loo Ngo mendongkol, “Kalau
kau takut kau boleh pilih,” katanya. “Kalau kau mau mengantarkan surat
undangan, bolehlah.”
Sesudah berpikir sejenak, si
orang she Soe menganggap, bahwa pulang ke Siauw Lie Sie banyak selamat. Maka
itu, ia lantas saja berkata, “Aku turut perkataan Cin Loo Ngo. Biarlah aku
pulang dan melaporkan kejadian ini kepada suhu.”
Sesudah mencapai persetujuan,
mereka segera bertindak untuk berlalu.
Mendadak Tio Beng menggerakkan
tubuhnya dan merintih.
Kedua orang terkejut. Mereka
menghentikan tindakan dan menengok. Sekali lagi nona Tio menggerakkan badannya.
Kali ini kedua orang itu melihat tegas bahwa yg tubuhnya bergerak adalah
seorang wanita.
“Siapa perempuan itu?” tanya
Cin Loo Ngo seraya menghampiri. Si orang she Sioe juga mengikuti masuk ke
kamar. Biarpun nyalinya kecil ia tak takut sebab Tio Beng seorang wanita dan
seorang wanita yg terluka berat. Ia membungkuk untuk membalikkan tubuh si nona.
Tiba2 Boe Kie batuk2, sehingga
si orang she Sioe terkesiap dan mengurungkan niatnya. Sesudah batuk2, Boe Kie
duduk sambil memejamkan kedua matanya.
Melihat Boe Kie yg mukanya
berlepotan darah, kedua orang itu terbang semangatnya.
“Celaka!” teriak si orang she
Sioe, “Mayat bangun lagi!”
“Setan!” bentak Cin Loo Ngo
sesudah menentramkan hatinya. “Aku tak takut!” Ia mengayun golok dan membacok
batok kepala Boe Kie.
Ketika itu Boe Kie sudah siap
sedia dengan kedua Seng hwee leng. Begitu musuh membacok, ia menaruh kedua leng
itu diatas kepalanya. “Tak” golok terpental memukul Cin Loo Ngo yg binasa
seketika itu jg.
Si orang she Sioe, yang
tangannya mencekal golok itu terlepas dari tangannya.
“Kalau kau punya nyali,
bacoklah aku!” tantang Boe Kie. “Tinjulah aku, kalau kau berani!”
“Siawjin… siauwjin tak
berani,” jawabnya.
“Coba kau tendang aku!”
“Siauwjin… siauwjin.. lebih2
tak berani.”
“Tolol kau! Lekas bacok aku!”
Orang she Sioe itu makin
ketakutan. Tiba2 ia berlutut dan berkata sambil manggut2an kepalanya. “Ampun
loya… ampun…”
Tio Beng sangat mendongkol. Ia
mengeluarkan suara dihidung dan berkata, “Aku tak nyana didalam Rimba
Persilatan ada manusia yg begitu rendah seperti kau!”
“Ya… ya… siauwjin manusia
rendah…….,” katanya.
Thio Boe Kie jadi kewalahan.
Mendadak ia dapat serupa pikiran. “Kemari kau!” bentaknya.
Dia lantas menghampiri dengan
merangkak.
Boe Kie segera menempelkan
kedua jempol tangannya di biji mata orang itu dan membentak. “Aku korek biji
matamu!”
Dalam menghadapi bahay, tanpa merasa
si orang she Sioe mendorong dengan kedua tangannya. Inilah yang diinginkan oleh
Boe Kie. Dengan meminjam tenaga itu, ia menotok jalan darah Sin Hong dan Po
Long di bawah tetek orang itu yang badannya lantas saja kesemutan dan tak
bertenaga lagi. “Looya… ampun…” dia sesambat.
Tio Beng tahu bahwa totokan
Boe Kie hanya bisa menahan orang itu untuk sementara waktu. Dalam waktu
kira-kira setengah jam “hiat” yang tertotok itu akan terbuka lagi dengan
sendirinya. Tapi iapun tak ingin mengambil jiwa orang, terutama sebab ia
memerlukan banyak keterangan dari orang itu. Sesudah memikir sejenak, ia
berkata, “Kau sudah ditotok pada hiat yang membinasakan. Coba kau tarik napas
dalam-dalam.”
Orang itu menurut.
“Nah, bukankah dadamu di
sebelah kiri sangat sakit?”
Si orang she Sioe mengangguk
dengan rasa takut yang lebih besar, padahal rasa sakit itu adalah gejala biasa,
sebagai akibat dari totokan yang dilakukan Boe Kie. Ia lantas saja memohon
mohon kepada Tio Beng supaya jiwanya ditolong.
“Untuk menolong jiwamu aku
harus menggunakan jarum emas dalam waktu setengah bulan,” kata Tio Beng.
“Tolong Kouwnio!” sesambat si
orang she Sioe. “Apabila Kouwnio sudi menolong Siauwjin rela menjadi kerbau
atau kudanya Kouwnio.”
Si nona tertawa. “Huh! Baru
pertama aku lihat orang Kang ouw yang semacam kau,” katanya. “Baiklah. Ambil
sepotong batu!”
“Baik… baik… jawabnya tergesa
gesa dan dengan menahan sakit dan tindakan limbung ia berjalan keluar untuk
mencari apa yang diminta Tio Beng.
“Untuk apa?” bisik Boe Kie.
“Kau lihat saja,” sahutnya
sambil tersenyum.
Beberapa saat kemudian, si
orang she Sioe kembali dan sambil membungkuk menyerahkan sepotong batu kepada
Tio Beng.
Nona Tio mencabut tusuk
kundainya yang terbuat daripada emas dan memasangnya di Coat poen hiat, di pundak
orang she Sioe itu. “Aku akan membuka jalan darahnya dengan tusuk kundai ini,
supaya hawa Sie hiat (“hiat” mati) tidak naik ke atas dan masuk ke dalam
otakmu. Tapi aku tak tahu, apa Looya itu suka mengampuni jiwamu atau tidak.”
Mendengar keterangan itu, si
orang she Sioe lantas saja mengawasi Boe Kie dengan sorot mata minta
dikasihani. Boe Kie mengangguk dan dia kegirangan. “Looya suka memberi ampun!”
katanya. Kouwnio, hayolah.”
“Hm!...” si nona mengeluarkan
suara di hidung. “Apa kau takut sakit?”
“Tidak! Siauwjin hanya takut
mati, tidak takut sakit.”
“Kalau begitu, panteklah tusuk
kundaiku dengan batu ini.”
Tanpa berpikir lagi, ia
memantek tusuk kundai itu yang lantas saja masuk di daging pundaknya, tepat di
Coat poen hiat.
Sebaliknya dari sakit, ia
merasa nyaman sehingga ia makin percaya omongannya Tio Beng dan menghaturkan
terima kasih berulang-ulang.
Beberapa saat kemudian, si
nona menyuruh mencabut tusuk kundai itu dan mengulangi penusukkan pada Hoen
boen hiat, Kouw pong hiat dan beberapa “hiat” lain.
Boe Kie tersenyum dan berkata.
“Sudah! Sudah cukup!”
Penusukan beberapa “hiat” itu
adalah tindakan Tio Beng untuk berjaga jaga menghadapi pengkhianatan. Selama
sepuluh hari, jika orang she Sioe itu berlari-lari dalam jarak kira-kira
seratus lie ia akan roboh dan binasa. Menurut perhitungan nona Tio, apabila ia
ingin melaporkan kejadian itu kepada Seng Koen, begitu keluar dari kelenteng,
ia tentu akan lari secepat mungkin sebab takut diuber. Dan larinya itu berarti
kebinasaannya.
“Sekarang ambil dua paso air
untuk kami cuci muka dan sesudah itu masak nasi,” kata si nona. “Kalau sudah
bosan hidup, tak ada halangan kau menaruh racun di nasi, supaya kita bertiga
bisa mampus bersama-sama.”
“Siauwjin tak berani, siauwjin
pasti tidak berani…” jawabnya.
Demikianlah, mulai hari itu
Boe Kie dan Tio Beng mempunyai seorang pelayan.
Atas pertanyaan Tio Beng, ia
menerangkan bahwa ia she Sioe, bernama Lam san. Ia juga dikenal dengan julukan
Ban sioe Boe Kiang.
Julukan itu berarti Usia
Abadi, hanya merupakan suatu ejekan. Ia berasal dari kalangan Rimba Hijau dan
ia mengabdi kepada Goan tin (Seng Koen) sebab ia tolol, otaknya tumpul dan
kepandaiannya cetek. Goan Tin hanya menggunakannya sebagai pesuruh dan tidak
pernah memberi pelajaran silat kepadanya. Paling belakang ia mendapat perintah
untuk mengantarkan surat surat undangan dan akhirnya bertemu Boe Kie dan Tio
Beng.
Dalam peranan sebagai pelayan,
Sioe Lam San rajin dan mendengar kata. Dialah yang mengubur mayat-mayat.
Biarpun bodoh, dia memiliki semacam ilmu yang cukup tinggi yaitu ilmu memasak.
Sayur sayur yang dibuatnya sangat lezat dan bernilai tinggi, sehingga kedua
“majikannya” jadi sangat girang.
Perlahan-lahan Boe Kie dan Tio
Beng menanyakan soal To say Eng hiong hwee. Sioe Lam San memberi segala keterangan
yang ia tahu, hanya sayang, ia tahu sangat sedikit. Ia hanya mendengar bahwa
Hong thio Siauw lim sie, Kong boen Taysoe telah mengangkat Goan Tin sebagai
pelaksana pertemuan besar yang bakal diadakan dan bahwa yang mengundang adalah
Kong boen dan Kong tie Seng ceng. Orang2 gagah dari berbagai partai dan
golongan diundang untuk berkumpul di Siauw lim sie pada hari perayaan Toan ngo.
Boe Kie lalu minta surat surat
undangan yang dibawa olehnya. Ternyata surat surat itu dialamatkan Houw tin
goe, Kouw siong coe dan lain-lain kiam kek (ahli pedang) dari Tiam cong pay di
In Lam. Jago jago pedang Tiam cong pay sudah lama dikenal dalam Rimba
Persilatan. Tapi mereka selalu menyembunyikan diri di daerah In Lam dan tidak
pernah bergaul dengan orang-orang gagah di wilayah Tionggoan. Bahwa sekarang
Siauw lim pay telah mengundang juga mereka itu, dapatlah dibayangkan bahwa
pertemuan yang bakal diadakan benar2 bukan pertemuan kecil. Siauw Lim pay
diakui sebagai pemimpin Rimba Persilatan, dengan kedua Seng Ceng (pendeta suci)
yang mengundang sendiri, maka orang-orang yang menerima undangan sedapat
mungkin akan coba menghadiri pertemuan itu.
Bunyi undangan itu sangat
singkat. “Kami mengundang (tuan) untuk berkumpul di kuil Siauw lim sie pada
hari perayaan Toan ngo untuk minum arak dan bergembira ria bersama-sama
orang-orang gagah di kolong langit.”
Dalam surat undangan itu sama
sekali tidak disebut-sebut soal “To-say”. Mengapa Cin Loo Ngo mengatakan bahwa
pertemuan itu adalah To-say Eng hiong hwee?” tanya Boe Kie.
“Thio ya tak tahu,” jawab Sioe
Lam San dengan suara bangga. “Guruku telah menangkap seorang yang mempunyai
nama sangat besar, yaitu Kim Mo Say Ong Cia Soen. Kali ini Siauw lim pay akan
mendapat muka terang di hadapan para orang-orang gagah. Di hadapan mereka itu
Siauw lim pay akan binasakan si Singa Bulu Emas, maka itu pertemuan itu
dinamakan To say Eng hiong hwee.”
Boe Kie meluap darahnya, tapi
sebisa bisa ia menahan sabar. “Apa kau pernah lihat Kim mo say ong?” tanyanya.
“Bagaimana gurumu menangkap dia? Di mana adanya dia sekarang?”
“Kim mo say ong… huh huh..
lihay tiada bandingannya,” jawabnya. “Tingginya… dua kali tubuh Siauwjin. Yang
lain boleh tak usah disebutkan. Matanya saja sudah sukar dilawan. Matanya
berkeredepan dan kalau kita diawasi… huh… semangat kita lantas terbang!” Ia
mendehem beberapa kali dan berkata pula. “Tujuh hari dan tujuh malam guruku
bertempur dengan dia, belakangan Soehoe marah dan menggunakan Kim Liong Hok
hauw kang. Sesudah menggunakan ilmu itu barulah Kim mo Say Ong dapat ditaklukkan.
Sekarang dia dikurung di dalam gua batu di belakang kuil dan dirantai dengan
delapan…”
“Diam!” bentak Boe Kie.
“Jangan ngaco kalau kau masih sayang jiwamu! Kim mo say ong Cia Tayhiap buta
matanya. Mana bisa matanya berkeredepan?”
Sioe lam San terkesiap. “Ya…
ya… siauwjin tentu salah lihat,” jawabnya dengan ketakutan.
“Bilang sebenar-benarnya,”
kata pula Boe Kie. “Apakah kau pernah bertemu dengan Cia Tayhiap atau tidak?”
Sioe lam San yang tadi hanya
mengibul buru-buru menyahut. “Siauwjin tidak berani berdusta lagi. Siauwjin
sebenarnya belum pernah lihat Cia Tayhiap. Siauwjin hanya dengar cerita itu
dari saudara saudara seperguruan.”
Apa yang sangat ingin
diketahui Boe Kie adalah tempat dikurungnya Cia Soen. Ia mendesak dan mendesak
lagi, tapi Sioe Lam San tetap mengatakan tidak tahu. Boe Kie yakin, bahwa dia
tidak mendusta. Rahasia besar yang tentu tidak akan dibocorkan kepada sembarang
orang. Untung juga perayaan Toan-ngo masih dua bulan lebih, sehingga mereka
mempunyai cukup waktu. Yang paling penting bagi mereka ialah mengobati luka dan
beristirahat.
Sesudah berdiam sepuluh hari
di kelenteng itu Boe Kie dan Tio Beng sembuh seluruhnya dan tenaga merekapun
sudah pulih kembali. Hari itu Boe Kie lalu berdamai dengan Tio Beng cara
bagaimana mereka harus menolong Cia Soen.
“Jalan yang paling baik adalah
menotok “hiat mati” Sioe lam San dan kemudian mengirim dia ke Siauw lim sie
untuk jadi mata-mata kita,” kata nona Tio. “Tapi orang itu terlalu tolol dan
kalau rahasia sampai diendus Seng koen atau Tan Yoe Liang semua urusan dengan
mereka selalu akan menjadi rusak. Begini saja. Kita berdua pergi ke kaki Siauw
sit san dan coba menyelidiki. Tapi kita harus menyamar.”
“Menyamar bagaimana?” tanya
Boe Kie.
“Apa menyamar jadi hweesio dan
niekouw?”
“Fui! Bagus sungguh pikiranmu!
Apa katanya orang kalau mereka lihat seorang hweesio berjalan bersama sama
seorang niekouw?”
“Kalau begitu kita menyamar
saja sebagai suami isteri dari pedusunan.”
Tio Beng tertawa. “Apa tidak
boleh sebagai kakak dan adik?” tanyanya. “Apabila kita menyamar sebagai suami
isteri dan dilihat Cioe Kouwnio, bukankah pundakku bisa berlubang lagi?”
Boe Kie turut tertawa dan
tidak mengatakan apa-apa lagi. Sesudah menanyakan Sioe lam san tentang keadaan
di kuil Siauw lim sie, ia lantas berkata. “Sie-hiatmu yang tertotok sekarang
sudah hampir sembuh. Tapi kau perlu berada di daerah Selatan yang hawanya
panas. Manakala kau berdiam di tempat yang turun salju, jiwamu akan lantas
melayang. Sekarang juga kau harus berangkat ke Selatan, ke tempat lebih panas
lebih baik lagi. Apabila kau kena angin utara, dadamu akan menyesak dan kau
akan batuk-batuk dan itulah sangat berbahaya.” Sehabis berkata begitu, ia
segera mengurut dada dan punggung si tolol.
Sioe Lam San tentu saja
percaya habis karangan Boe Kie. Tanpa menyia-nyiakan waktu, ia segera meminta
diri dan lalu berangkat ke Selatan. Di Tiongkok Selatan ia hidup tenteram dan
berumur panjang. Ia baru meninggal dunia pada tahun Kian boen, kerajaan Beng.
Sesudah Sioe lam san berlalu,
sebelum berangkat ia membakar kelenteng itu. Di satu dusun mereka membeli
seperangkat pakaian dan menukar di tempat sepi.
Pakaian mereka yang mewah
ditanam di tanah.
Dengan hati-hati mereka menuju
ke Siauw sit-san. Dalam jarak tujuh delapan lie dari kuil Siauw lim sie,
beberapa kali mereka bertemu dengan beberapa pendeta.
“Kita tidak boleh maju lebih
jauh,” kata Tio Beng.
Kebetulan sekali di pinggir
jalan terlihat gubuk dan seorang petani tua yang sedang menyiram kebun sayur di
depan gubuk itu.
“Kita boleh numpang nginap di
situ,” kata si nona.
Boe Kie segera menghampiri dan
sesudah memberi hormat, ia berkata. “Loo-tiang, kami berdua kakak beradik capai
sekali dan kami memohon semangkok air dingin.”
Tapi si kakek tidak meladeni.
Ia terus menyirami sambil menundukkan kepala.
Tiba-tiba pintu gubuk terbuka
dan keluarlah seorang nenek yang rambutnya sudah putih semua. “Suamiku tuli dan
gagu,” katanya sambil tertawa. “Apa yang tuan inginkan?”
“Adikku tak kuat jalan lagi,”
jawab Boe Kie. “Kami ingin minta air minum.”
“Masuklah,” kata si nenek.
Gubuk itu bersih, perabotnya
bersih dan pakaian si nenek biarpun terbuat dari kain kasar juga tidak kalah
bersihnya. Melihat kebersihan itu, Tio Beng merasa senang. Sesudah minum air ia
mengeluarkan sepotong perak dan berkata sambil tertawa. “Popo, kakakku mengajak
aku ke rumah nenek kami. Lantaran tidak biasa, kakiku sakit bukan main. Apa
boleh malam ini kami numpang nginap? Besok pagi kami akan meneruskan
perjalanan.”
“Numpang nginap tidak halangan
dan juga tidak perlu mengeluarkan uang,” jawabnya dengan suara manis. Tapi kami
hanya mempunyai sebuah kamar dan sebuah ranjang. Andaikata aku dan suamiku
tidur di luar, kalian berdua kakak beradik tentu tidak boleh tidur seranjang.
Hm! Nona kecil… sebaiknya kau bicara terus terang kepada Popo. Bukankah kau
kabur dari rumah mengikut kakak yang tercinta?”
Muka si nona lantas saja
berubah menjadi merah. Di dalam hati ia kaget. Nenek itu mempunyai mata yang
sangat tajam dan dia pasti bukan sembarangan orang. Tanpa merasa ia melirik
orang tua itu beberapa kali.
Walaupun sudah berusia lanjut
dan badannya bongkok, ia kelihatan gagah. Kedua matanya bersinar, sehingga
mungkin sekali ia memiliki ilmu silat yang tinggi. Tio Beng tahu, bahwa roman
Boe Kie masih menyerupai seorang petani. Tapi dia sendiri pasti bukan seorang
gadis dusun. Maka itulah, sesudah memikir sejenak, ia lantas saja berkata
dengan sikap kemalu-maluan.
“Sesudah ditebak Popo, aku
tahu tidak boleh berdusta lagi. Dia itu, Goe koko kawan mainku sedari kecil.
Sebab dia miskin, ayah tidak mufakat aku menikah dengannya. Melihat aku mau
bunuh diri, ibu lantas menyuruh aku… aku lari mengikut dia. Kata ibu, sesudah
lewat satu atau dua tahun, sesudah kami mempunyai anak, kami baru boleh pulang.
Di waktu itu, mungkin ayah sudah berubah pikiran. Sambil berkata begitu, dengan
sorot mata mencintai, beberapa kali ia melirih Boe Kie. Sesudah berdiam
sejenak, ia berkata pula. “Di kota raja keluargaku mempunyai muka. Ayah bekerja
sebagai pembesar negeri. Apabila kami kena ditangkap, celakalah kami! Maka itu,
sesudah aku bicara terus terang, mohon Popo tidak membuka rahasia kepada
siapapun juga.”
Si nenek tertawa
terbahak-bahak dan manggut-manggutkan kepalanya. “Aku sendiri pernah muda,”
katanya. “Kau jangan kuatir! Aku akan menyerahkan kamarku kepada kamu berdua.
Tempat ini terpisah ribuan li dari kota raja dan aku tanggung tidak ada manusia
yang akan berani ganggu kamu. Andai kata ada orang berani main api, Popo tentu
tidak berpeluk tangan.”
Melihat Tio Beng yang cantik
dan lemah lembut sudah lantas membuka rahasianya sendiri, hati si nenek jadi
girang dan ia segera mengambil keputusan untuk membantu kedua orang muda itu.
Di lain pihak, Tio Beng makin
tetap dugaannya, bahwa mereka itu seorang Rimba Persilatan. Tempat itu sangat
berdekatan dengan Siauw lim sie dan belum diketahui, apa dia itu musuh atau
sahabat Seng Koen, sehingga si nona merasa bahwa ia harus lebih berhati-hati.
Ia lantas saja menyoja dan berkata, “Terima kasih banyak atas kebaikan dan
bantuan Popo. Goe koko, mari! Lekas haturkan terima kasih kepada Popo!”
Boe Kie segera mendekati dan
menyoja.
Malam itu si nenek benar-benar
menyerahkan kamarnya kepada Boe Kie dan Tio Beng. Ia sendiri membuat semacam
dipan di ruangan tengah dengan menggunakan beberapa lembar papan dan mengalaskannya
dengan selembar tikar.
Di dalam kamar Tio Beng
menceritakan pembicaraannya dengan si nenek kepada Boe Kie.
Boe Kie manggut-manggutkan
kepalanya. “Kakek yang menyiram sayur memiliki kepandaian lebih tinggi,”
katanya. “Apa kau tak lihat?”
“Ah… aku benar-benar tak dapat
lihat.”
“Tadi dia memikul air.
Tindakannya sangat cepat tapi airnya sama sekali tidak bergoyang. Inilah bukti
dari lweekang yang sangat tinggi.”
“Bagaimana kalau dibandingkan
kau?”
“Aku mau coba.” Sehabis
berkata begitu, Boe Kie mengangkat tubuh si nona yang lalu bergaya seperti
orang memikul air.
Tio Beng tertawa geli. “Gila
kau! Aku tahang air?” bentaknya dengan rasa bahagia.
Mendengar senda gurau, rasa
curiga si nenek lantas hilang sama sekali.
Malam itu Boe Kie dan Tio Beng
makan bersama-sama kakek dan nenek itu. Makannya cukup baik, ada daging dan
sayur. Selama makan Boe Kie dan Tio Beng terus bercanda dan memperlihatkan rasa
cinta mereka, sebagaimana biasanya pengantin baru. Si nenek tersenyum-senyum,
tapi si kakek tidak menghiraukan dan terus makan sambil menundukkan kepala.
Sesudah makan dan
beromong-omong sebentar, Boe Kie dan Tio Beng masuk ke kamar dan memalang
pintu.
Dengan muka kemerah-merahan,
Tio Beng berbisik. “Kita hanya bersandiwara, bukan sungguhan.”
Boe Kie lantas memeluknya
erat-erat dan berkata dengan suara perlahan. “Kalau tidak sungguhan, dalam dua
atau tiga tahun, cara bagaimana kita bisa mendapatkan anak?”
“Fui!” bentak si nona. “Kau
tentu mencuri dengar pembicaraanku!” Sehabis berkata begitu, ia menundukkan
kepala dengan sikap kemalu-maluan.
Dalam keadaan itu sebagai
seorang ksatria Boe Kie dapat menguasai dirinya. Ingat, bahwa dengan Cioe Cie
Jiak, ia sudah mengikat janji itu mesti dipenuhi. Nanti sesudah menikah dengan
nona Cioe, pikirnya, barulah ia boleh mengurus persoalan nona Tio. Sesudah
beromong-omong lagi beberapa lama, ia segera mempersilahkan Tio Beng tidur,
sedang ia sendiri bersila di kursi dan mengerahkan Kioe yang Cin khie. Tak lama
kemudian ia tertidur.
Tio Beng tidak bisa lantas pulas.
Lama ia bergulak gulik di ranjang. Kira-kira tengah malam, dalam keadaan
setengah tidur, tiba-tiba kupingnya dengar suara tindakan kaki yang datang dari
tempat jauh. Tindakan itu cepat luar biasa dan dalam sekejap sudah tiba di
pintu luar. Ia melompat dan menyentuh tangan Boe Kie. Pemuda itu ternyata sudah
tersadar dan mencekal tangannya.
Dalam saat itu terdengar suara
seorang yang sangat nyaring. “Suami isteri Touw – selamat bertemu! Malam malam
kami datang berkunjung. Apakah kunjungan ini dianggap tak pantas?”
“Apa Ceng hay Sam kiam?” tanya
si nenek. “Dari Coan see (Soecoen barat) kami menyembunyikan diri di tempat
ini. Dengan berbuat begitu, kami sudah mengunjuk rasa takut terhadap Ceng hay
Giok ciu koan. Mengapa kalian mendesak sampai begitu keras?”
Tamu itu tertawa
terbahak-bahak. “Kalau benar-benar kalian takut, berlututlah tiga kali di
hadapan kami dan kami akan mencoret semua hutang lama,” katanya.
Sekonyong-konyong terdengar
suara dibukakannya pintu. “Masuklah!” kata si nenek.
Boe Kie dan Tio Beng mengintip
dari celah-celah papan dan dengan bantuan sinar rembulan mereka lihat tiga
toojin (imam) yang berdiri di ambang pintu.
Toojin yang berdiri di
tengah-tengah seorang katai gemuk dengan berewok pendek lantas saja bertanya.
“Apa kalian mau meminta ampun dengan berlutut atau membereskan persoalan ini
dengan senjata?”
Sebelum si nenek menjawab,
suaminya keluar dengan tulang tulang dalam tubuhnya memperdengarkan suara
peratak perotok, suatu tanda bahwa dia memiliki lweekang yang luar biasa. Ia
lantas berdiri di samping isterinya seraya mengawasi ketiga imam itu dengan
mata tajam.
“Touw loosianseng,” kata si
berewok, “mengapa kau tidak mengeluarkan sepatah kata? Apa kau merasa derajatmu
terlalu tinggi untuk beromong-omong dengan Ceng hay Sam kiam?”
“Suamiku tuli,” kata si nenek.
Si berewok mengeluarkan seruan
tertahan, “Ilmu Thia hong Pan kee (membedakan senjata rahasia dengan mendengar
sambaran anginnya) dari Touw Loosianseng amat terkenal dalam Rimba Persilatan,”
katanya. “Mengapa Loosianseng bisa jadi tuli? Sungguh sayang!”
Toojin yang berbadan lebih
gemuk dari si berewok lantas saja menghunus pedang dan berkata, “Mengapa kalian
tidak mengeluarkan senjata?”
Si nenek mengangkat kedua
tangannya dan ternyata pada setiap telapak tangan terdapat tiga batang golok
yang panjangnya belum cukup setengah kaki. Hampir berbareng si kakek juga
mengangkat kedua tangannya dan iapun memegang enam golok pedang yang berukuran
sama, tiga batang di saban tangan. Di lain saat golok itu saling berpindah tangan
yang di tangan kanan pindah ke tangan kiri dan yang di tangan kiri pindah ke
tangan kanan. Cara pemindahan itu menakjubkan dan memperlihatkan suatu hasil
dari latihan yang lama dan sungguh sungguh.
Melihat senjata yang aneh itu
ketiga toojin terkejut. Dalam Rimba Persilatan belum pernah ada senjata begitu.
Mau dikata golok terbang (hoetoo), cara menggunakannya bukan menggunakan golok
terbang.
Siapa pasangan tua itu?
Kakek yang tuli dan gagu itu
seorang she Touw bernama Pek Tong dan dengan senjata Siang kauw (sepasang
gaetan) ia telah mendapat nama besar di Soecoan barat. Isterinya yang bernama
Ek Sam Nio mahir dalam menggunakan tombak. Banyak tahun yang lalu mereka
bermusuhan dengan Giokcit koan di Ceng pay. Karena harus menghadapi musuh yang
berjumlah banyak lebih besar dan juga sebab bibit permusuhan sebenarnya hanya
soal yang remeh, maka mereka belakangan mengambil keputusan untuk meninggalkan
Soecoan dan berpindah ke tempat lain. Di luar dugaan biarpun sudah berada di
tempat jauh, malam ini mereka disusul oleh musuh-musuh lama itu.
Ketiga imam itu adalah murid
turunan kedua dari Giok cin koan. Yang berewokan bernama In Ho, yang gemuk Ma
Hoat Thong, sedang yang ketiga yang bertubuh kecil kurus bernama In Yan. Mereka
menggunakan pedang dan mendapat julukan sebagai “Ceng hay Sam kiam” (tiga jago
pedang dari Ceng hay).
Biarpun berbadan gemuk dan
gerak geriknya kelihatan tidak begitu gesit, Ma Hoat Thong sangat berakal budi.
Melihat suami isteri Touw menggunakan golok golok pendek dan tidak menggunakan
lagi senjata mereka yang lama, ia lantas saja mengetahui bahwa keduabelas golok
pendek itu tentu mempunyai kelihayan yang luar biasa. Maka itu, ia lantas saja
berseru, “Sam Cay-kiam tin Thian tee jin (Samcay) kiam tin – barisan pedang Sam
cay kiam. Thian tee-jin – langit, bumi, manusia yang dikenal sebagai Sam kay.
“Tian swee seng cie Coet giok
cin!” menyambung In Ho. (Tan swee seng cie Coet giok cin – kilat menyusul
bintang, keluar dari Giok cin koan).
Dengan serentak ketiga imam
itu bergerak mengurung suami isteri Touw.
Boe Kie memperhatikan “tin”
itu dengan perasaan sangsi. Tiga toojin itu tak henti2nya saling menukar tempat
dan tiga batang pedang seolah-olah merupakan selembar jala yang bersinar putih.
Sesudah mengawasi beberapa saat ia lantas dapat menebak intisari daripada
barisan itu. “Kurang ajar!” pikirnya, “ketiga imam itu benar-benar licik.
Mereka menggunakan Sam cay kiam tin, tapi sebenarnya di dalam tin mengandung
Ngo-heng. Kalau musuh percaya bahwa tin itu Sam cay kiam tin dan coba
memecahkannya dengan mengambil kedudukannya Thian tee jin, maka dia lantas bisa
celaka dalam kepungan Ngo heng, tapi memang bukan gampang untuk tiga orang
menciptakan Ngo heng kiam tin, sebab setiap orang harus menduduki lebih dari
satu kedudukan. Ilmu ringan badan dan kiam hoat mereka memang sudah cukup
tinggi.” (Ngo heng kiam tin – barisan dari Ngo heng).
Suami isteri Touw lantas saja
berdiri saling membelakangi dan kedua belas batang golok itu segera
bergerak-gerak di seputar badan mereka. Dengan cara yang mengagumkan,
golok-golok itu bertukar tangan. Golok Touw Pek Tong diserahkan kepada Ek Sam
Nio dan sebaliknya. Dalam tukar menukar, mereka bukan melemparkan tetapi
menyodorkan dari satu ke lain tangan.
Tio Beng heran. “Boe Kie Koko,
ilmu apa itu?” tanyanya dengan berbisik.
Boe Kie tidak lantas menyahut.
Ia terus mengawasi dengan alis berkerut. Tiba-tiba ia berkata. “Ah! Sekarang
kutahu! Dia takut akan Bay coe hauw Giehoe” (Bay coe hauw – Geram singa).
“Apa itu Say coe hauw?” tanya
Tio Beng.
Boe Kie tidak menyahut. Ia
manggut2 kan kepalanya, ia tertawa dingin dan berkata. “Hmm dengan kepandaian
itu mereka ingin membunuh singa?”
Si nona jadi lebih tidak
mengerti. “Eh… tolol!” katanya dengan mendongkol. “Mengapa kau bicara
sendirian?”
”Kelima orang itu adalah
musuh2nya Giehoe,” bisik Boe Kie. “Karena takut akan Saycoe hauw Giehoe, si tua
sudah merusak kupingnya sendiri.”
Sementara itu pertempuran
sudah berlangsung dan bentrokan senjata terdengar tak henti-hentinya.
Lima kali Ceng hay Sam kiam
menyerang, lima kali mereka dipukul mundur. Dua belas golok pendek yang dioper
dari satu ke lain tangan berputar terus menerus dan di bawah sinar rembulan,
tiga helai sinar putih mengelilingi tubuh suami isteri Touw. Garis pembelaan
itu rapat dan padat.
Selang beberapa saat,
tiba-tiba Touw Pek Tong membuka serangan bagaikan kilat golok pendek menyambar
kempungan Ma Hoat Thong. Dalam ilmu silat terdapat kata kata begini, “Panjang
satu cun (dim), kekuatan satu cun. Pendek satu cun, bahaya satu cun.” Golok
Touw Pek Thong hanya kira-kira lima cun, maka dapatlah dibayangkan hebatnya
bahaya serangan itu. Tiga kali ia melakukan serangan yang membinasakan tanpa
memperdulikan pembalasan pada diri sendiri. In Ho dan In Ya balas menyerang
tapi serangan serangan itu ditangkis oleh Ek Sam Nio. Ilmu golok suami isteri
itu ternyata berdasarkan kerjasama yang sangat erat, yang satu menyerang, yang
lain membela. Yang menyerang boleh tak menghiraukan pembalasan atas dirinya
sendiri. Diserang cara begitu, Ma Hoat Thong repot bukan main. Touw Pek Tong
terus mendesak, kian lama serangan kian hebat.
Sekonyong-konyong, sambil
bersiul nyaring In Ho mengubah cara bersilatnya. In Ya dan Mo Hoat Thong pung
mengikuti perubahan itu dan mereka bertiga membuat sehelai jala pedang yang
sedemikian rapat, sehingga andaikata mereka disiram air, air itu tak akan kena
di badan mereka.
Boe Kie tertawa dingin dan
berbisik. “Ilmu golok dan ilmu pedang itu semuanya dilatih untuk menghadapi Gie
hoe. Lihatlah! Mereka lebih banyak membela diri daripada menyerang. Berkelahi
cara begini sampai besok tidak akan ada keputusannya.” Benar saja sesudah
serangan serangannya gagal, Touw Pek Tong juga mengubah siasat dan sekarang dia
hanya membela diri.
Sesudah memperhatikan beberapa
lama, Tio Beng pun mendapat lihat bahwa serangan2 kelima orang itu biasa saja
dan yang istimewa adalah pembelaan mereka. “Boe Kie koko,” bisiknya. “Kim mo
say ong Cia Tayhiapo berkepandaian sangat tinggi. Dengan ilmu silat itu, mana
bisa mereka memperoleh kemenangan?”
Sesudah lewat tujuh delapan
jurus lagi, tiba-tiba sambil melompat keluar dari gelanggang, Ma Hoat Thong
berseru. “Tahan!” Touw Pek Thong melompat ke belakang dan berdiri tegak sambil
mengawasi lawannya.
“Apakah to hoat (ilmu golok)
kalian dilatih untuk membunuh singa?” tanya Ma Hoat Thong.
Ek Sam Nio kaget, “Kupingmu
terang sekali,” jawabnya.
“Saudara Touw Loosianseng
dibunuh Cia Soen dan sakit hati itu memang tidak bisa tak dibalas,” kata Ma
Hoat Thong. “Sesudah kalian mendapat tahu bahwa Cia Soen berada di Siauw liem
sie, mengapa kalian tidak coba membereskan persoalan itu terlebih siang?”
“Urusan itu urusan kami
berdua,” jawab Ek Sam Nio. “Tootiang boleh tak usah turut memikiri.”
“Ganjelan antara Giok cin koan
dan kalian berdua adalah urusan kecil,” kata Ma Hoat Thong. “Perlu apa kita
mengadu jiwa? Bukankah lebih baik jika kita bersahabat dan bersama sama mencari
Cia Soen?”
“Apa Giok cin koan juga
bermusuhan dnegan Cia Soen?” tanya Ek Sam Nio.
“Tidak, bermusuhan memang
tidak.”
“Kalau tidak bermusuhan,
mengapa kalian melatih diri dalam kiamhoat yang istimewa itu? Kalau tidak salah
kiam hoat kalian dan to hoat kami bertujuan sama, yaitu untuk melawan pukulan
Cit siang koen.”
“Sam Nio mempunyai mata yang
sangat tajam! Kini kami tidak perlu menyembunyikan suatu apa lagi. Maksud kami
ialah meminjam To liong to.”
Nyonya Touw manggut2kan
kepalanya dan dengan jari tangannya lalu menulis beberapa huruf di telapak
tangan suaminya. Sebagai jawaban, Touw Pek Tong pun menulis huruf-huruf di
telapak tangan isterinya. Sesudah “berbicara” dengan tulisan, si nenek berkata.
“Tujuan kami berdua ialah membalas sakit hati. Untuk itu kami rela membuang
jiwa. Terhadap To liong to, sedikitpun kami tak punya minat.”
“Bagus!” kata Ma Hoat Thong
dengan girang. “Sekarang sebaiknya kita berlima berserikat untuk mencapai
tujuan kita – kalian membalas sakit hati dan kami meminjam golok mustika.
Dengan demikian, kita mendapat dua keuntungan, yaitu hasil yang dikejar dan
persahabatan.”
Semua orang setuju. Mereka
berlima lalu mengangkat tangan dan mengucapkan sumpah perserikatan.
Sesudah bersumpah, suami
isteri Touw lalu mengundang ketiga tamunya masuk ke rumahnya untuk minum teh
dan merundingkan rencana tindakan mereka.
Sesudah duduk di ruangan
tengah, melihat pintu kamar tidur tertutup, Ceng hay Sam kiam merasa curiga dan
menengok beberapa kali.
“Sam wie tak usah bercuriga,”
kata Ek Sam Nio sambil tertawa. “Yang tidur di situ adalah sepasang suami
isteri muda yang kabur dari rumah mereka di kota raja. Yang perempuan cantik
bagaikan dewi, yang lelaki seorang pemuda kasar yang tak tahu ilmu silat.”
Ma Hoat Thong adalah seorang
yang sangat berhati-hati. “Sam Nio jangan gusar,” katanya. “Bukan aku tidak
percaya, tapi sebab urusan ini urusan sangat besar, maka jangan sampai bocor.”
Si nenek tertawa, “Kita
bertempur begitu lama dan mereka terus tidur seperti bangkai,” katanya. “Kalau
tak percaya Ma Tooya boleh lihat sendiri.” Sehabis berkata begitu ia berbangkit
dan menolak pintu, tapi pintu dipalang dari dalam.
Boe Kie tahu, apabila
rahasianya bocor, kesempatan untuk menolong ayah angkatnya akan menjadi hilang.
Buru-buru ia membuka sepatu, naik ke ranjang dan menyelimuti dirinya.
Di lain saat terdengar suara
“krek” dan palang pintu patah didorong In Ho. Ek Sam Nio masuk paling dulu
dengan membawa ciak-tay (tempat menancap lilin) diikuti oleh Ceng hay Sam kiam.
Dengan mata dan paras muka
seperti orang yang baru tersadar, Boe Kie mengawasi si nenek. Tiba-tiba Ma Hoat
Thong menghunus pedang dan menikam tenggorokan Boe Kie. Tikaman itu menyambar
bagaikan kilat.
Boe Kie mengeluarkan teriakan
kaget. Sebaliknya dari berkelit, dengan lagak bingung ia coba bangun, sehingga
tenggorokannya seolah olah memapaki ujung pedang. Buru-buru Ma Hoat Thong
menarik pulang senjatanya. Ia tak pernah mimpi bahwa kepandaian pemuda itu
sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada kemampuannya dan bahwa, andaikata ia
benar-benar mempunyai niatan jahat iapun tak akan bisa mencelakai Boe Kie. Tio
Beng hanya mengeluarkan suara seperti orang mengigau dan terus tidur.
“Sam Nio tak salah,” kata In
Ho. “Mari kita keluar.” Mereka lantas kembali ke ruangan tengah.
Boe Kie segera melompat turun
dari ranjang, memakai sepatunya dan mengintip pula.
“Apakah kalian sudah
menyelidiki pasti bahwa Cia Soen berada di Siauw lim sie?” tanya Mo Hoat Tong.
“Siauw lim pay telah mengirim
surat undangan kepada berbagai orang gagah untuk menghadiri To say Tay hwee
pada hari perayaan Toan ngo. Apabila Cia Soen belum tertangkap mereka tentu tak
akan berbuat begitu.”
Ma Hoat Thong mengangguk.
“Kong kian Seng ceng telah dibinasakan oleh Cia Soen,” katanya. “Semua murid
Siauw lim sie bertekat untuk membalas sakit hati. Sebenarnya kalian berdua tak
usah banyak capai. Kalian hanya perlu menghadiri pertemuan itu dan menyaksikan
kebinasaan Cia Soen. Tanpa mengangkat tangan, sakit hati kalian sudah terbalas.
Perlu apa Touw loosianseng merusak kuping sendiri dan menempuh bahaya besar?”
Ek Sam Nio tertawa dingin.
“Hm… ! Kalian tak tahu bahwa
anak lelaki tunggal kami, tanpa sebab, tanpa lantaran, sudah dibunuh Cia Soen,”
katanya dengan suara parau. “Sakit hati sedalam lautan, untuk membalas sakit
hati itu, mana bisa kami hanya memainkan peranan sebagai penonton? Begitu
bertemu dengan bangsat she Cia itu, aku akan tusuk kedua kupingnya dan kami
berdua rela untuk binasa bersama sama dia. Huh.. huh!... untuk membalas sakit
hati itu, kami tak memperdulikan segala akibatnya. Kami tidak menghiraukan
kalau kami mesti melanggar Siauw lim pay, Boe tong pay atau pay apapun juga.”
Mendengar keterangan itu, Boe
Kie bergidik. “Karena perbuatan Seng Koen Giehoe melampiaskan amarahnya kepada
orang-orang yang tidak berdosa,” pikirnya. Suami isteri Touw kelihatannya bukan
orang jahat. Tapi sakit hati mereka sudah pasti tak akan bisa didamaikan.
Hai!.... jalan satu-satunya bagiku adalah menolong Giehoe dan membawanya ke
tempat jauh, supaya permusuhan tidak bertambah hebat.”
Sesudah itu Boe Kie tak dengar
suara apa apa lagi. Ia mengintip dari sela sela papan dan mendapat kenyataan
bahwa suami isteri Touw dan ketiga tamunya bicara dengan menulis huruf huruf di
meja dengan menggunakan air the. “Mereka sungguh berhati-hati,” katanya dalam
hati.
“Giehoe banyak musuhnya dan To
liong to mempunyai daya tarik yang sangat hebat. Dilihat gelagatnya, sebelum
Toan ngo Siauw lim sie bakal disatroni oleh banyak orang pandai. Kalau
penjagaan kurang kuat, Giehoe bisa mati konyol. Aku harus mencoba menolong
secepat mungkin.”
Sebab tidak bisa mengorek
rahasia lagi, Boe Kie lantas tidur. Pada keesokan paginya, Ceng hay Sam kiam
sudah berlalu. “Popo,” kata Boe Kie kepada si nenek. “Semalam mengapa ketiga
tooya itu masuk ke kamar dengan golok terhunus? Aku takut setengah mati dan
menduga mereka datang untuk menangkap kami.”
Mendengar Boe Kie menamakan
pedang sebagai golok si nenek tertawa di dalam hatinya. “Mereka nyasar dan
sesudah minum teh, mereka berlalu,” jawabnya. “Can Siauwko, sesudah tengah hari
kami ingin membawa tiga pikul kayu bakar ke kuil Siauw lim sie untuk dijual.
Bolehkah kau membantu kami? Kepada para pendeta kami akan mengaku kau sebagai
anak supaya mereka tidak curiga. Isterimu sangat cantik, sebaiknya menunggu
saja di rumah.”
Boe Kie mengerti bahwa kedua
orang itu mau menyelidiki keadaan Siauw lim sie. Ia girang dan lantas menyahut,
“Aku akan menurut semua perintah Popo harapanku yang satu satunya Popo suka
menerima kami menumpang di sini. Kami sudah lelah berlarian kesana sini.”
Lohor itu Boe Kie mengikuti
suami isteri Touw, dengan masing-masing memikul satu pikul kayu bakar. Boe Kie
memakai tudung besar, kasur rumput dan di pinggangnya terselip kapak pendek.
Selagi mereka berangkat, Tio Beng berdiri di ambang pintu sambil tersenyum.
Mereka berjalan perlahan lahan
dan berlagak tersengal-sengal. Setibanya di pendopo di luar kuil Siauw lim sie,
mereka berhenti mengaso. Di pendopo itu terdapat dua orang yang mengawasi
mereka dengan sikap acuh tak acuh. Ek Sam Nio membuka bungkusan kepala yang
terbuat dari kain kasar dan menggunakan untuk menyusut keringat, sesudah itu ia
menyusut keringat Boe Kie. “Nak, apa kau sudah capai?” tanyanya.
Waktu keringatnya disusuti,
Boe Kie merasa agak jengah. Tapi begitu mendengar suara si nenek, jantungnya
memukul keras. Itulah suara yang bernada rasa cinta dan yang keluar dari hati
setulusnya. Ia melirik dan melihat air mata yang berlinang-linang di kedua mata
si nenek. Ia tahu, bahwa orang tua itu ingat anaknya sendiri, yang telah
dibunuh Cia Soen. Sesudah menanya nenak itu mengawasi Boe Kie dengan sorot mata
meminta jawabah. Boe Kie tak tega dan segera menjawab dengan suara lemah
lembut. “Ibu, aku tidak capai. Kau sendirilah yang sudah capai.”
Begitu mendengar perkataan
“Ibu” air mata si nenek lantas mengucur. Buru buru ia menyusut mukanya. Touw
Pek Tong lantas saja bangun dan memikul pikulannya. Sambil mengulapkan tangan
kirinya, ia lantas bertindak keluar dari pendopo itu. Ia tahu, bahwa isterinya
bersedih dan kalau mereka berdiam lama lama, kedua pendeta itu bisa bercuriga.
Sebelum berangkat, Boe Kie menghampiri pikulan si nenek dan menaruhnya di
pikulannya sendiri. “Ibu, mari!” katanya.
Melihat kecintaan Boe Kie, Ek
Sam Nio jadi makin sedih. “Jika puteraku masih hidup, kemungkinan dia lebih tua
daripada pemuda ini,” pikirnya. “Mungkin sekarang aku sudah mengempo cucu.
Sambil mikir begitu, ia segera memikul pikulannya. Karena berduka, tindakannya
agak limbung dan Boe Kie yang melihat itu lantas saja kembali dan menuntun
tangan si nenek.
”Anak itu sangat berbakti,”
kata salah seorang pendeta.
“Popo apa kamu mau bawa kayu
itu ke Siauw lim sie?” seru pendeta yang lain. “Sedari beberapa hari berselang,
Hong thio telah mengeluarkan peraturan bahwa orang luar tidak boleh datang ke
kuil. Sebaiknya kau jangan pergi!”
Ek Sam Nio terkejut. Kalau
mereka tidak bisa masuk dengan menyamar, penjagaan Siauw lim sie yang sangat
kuat sukar ditembus. Sementara itu, melihat isterinya dan Boe Kie berhenti,
Touw Pek Tong yang sudah berjalan lebih dahulu juga turut berhenti.
“Mereka keluarga baik,” kata
pendeta yang pertama. “Ibu mencintai anak, anak berbakti kepada ibunya. Kita
patut menolong. Soetee, ajaklah mereka ke dapur. Kalau diketahui pengawas,
katakan saja penduduk dusun sini yang biasa menjual kayu bakar.”
“Baiklah,” jawabnya. Ia lalu
membawa suami isteri Tauw dan Boe Kie ke dapur dengan masuk dari pintu
belakang. Sesudah tiga pikul kayu bakar itu dimasukkan ke gudang dan harganya
dibayar oleh hweesio pengurus dapur, Ek Sam Nio berkata. “Kami menanam piecay
yang sangat bagus. Besok aku akan suruh A Goe membawa beberapa kati untuk para
soehoe, sebagai pernyataan terima kasih kami.”
Pendeta yang mengantar mereka
tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Tak bisa,” katanya. “Mulai besok,
siapapun jua tak boleh masuk di sini. Kalau ketahuan aku bisa celaka.”
Pendeta pengawas dapur
mengawasi Boe Kie dan tiba-tiba ia berkata. “Selama perayaan Toan ngo, kita
bakal menerima kira-kira seribu tamu. Kita akan sangat repot, masak, pikul air,
bacok kayu bakar dan sebagainya. Kulihat saudara ini bertubuh kuat. Apa kau mau
bantu di sini selama dua bulan? Setiap bulan kau akan menerima lima tahil
perak.”
Ek Sam Nio girang. “Bagus!”
katanya. “A Goe, di rumah tidak ada kerjaan penting. Kalau kau bisa bekerja di
sini dan mendapat beberapa tahil perak, kau bisa membantu ongkos rumah tangga.”
Boe Kie bersangsi. Di antara
tokoh tokoh Siauw lim sie banyak yang mengenal dia. Kalau salah seorang datang
ke dapur, ia bisa dikenali. Maka itu ia lantas berkata, “Ibu… isteriku…”
Si nenek tidak menyia nyiakan
kesempatan yang begitu baik, ia segera berkata, “Apa kau takut aku aniaya
isterimu? Turutlah perkataanku. Kau berdiam di sini dan bekerja baik2. Beberapa
hari lagi ibu dan isterimu akan menengok kau. Hm!... kau sudah begitu besar,
tapi masih belum ketinggalan ibu. Apa kau masih menetek?” Setelah berkata
begitu, sambil membereskan rambutnya, ia mengawasi Boe Kie dengan sorot mata
penuh kecintaan.
Dalam menghadapi pertemuan
orang2 gagah, sudah banyak hari pendeta pengurus dapur merasa jengkel.
Pekerjaan mempersiapkan makanan dan minuman untuk begitu banyak orang bukan
pekerjaan enteng. Pendeta pengawas kuil sudah mengirim banyak pembantu, tapi
semua tidak memuaskan. Pendeta-pendeta Siaulw lim pay kalau bukan mempelajari
kitab-kitab suci tentu belajar ilmu silat. Pekerjaan di dapur tak ada yang
suka. Orang-orang yang dikirim oleh pengawas pergi ke dapur dengan perasaan
mendongkol, mereka di dapur tidak mau bekerja. Apabila tingkatannya lebih
tinggi daripada pengurus dapur, mereka lebih-lebih sungkan diperintah. Itulah
sebabnya mengapa pengurus dapur itu bertekad untuk mendapat bantuan Boe Kie
yang kelihatannya kuat dan rajin. Ia lalu membujuk berulang2.
Sebenarnya, sesudah
memperhitungkan untung ruginya, tawaran itu menggirangkan Boe Kie. Tapi sengaja
ia mengunjuk lagak sangsi. Sesudah pendeta yang mengantarkannya turut membujuk,
barulah ia mengiakan dengan tawaran. “Soehoe,” katanya. “Kalau aku bisa minta
enam tahil perak sebulan, lima tahil untuk ibu dan setahil untuk isteriku
membeli pakaian…”
Pengurus dapur tertawa
terbahak-bahak. “Baiklah! Enam tahil perak sebulan!”
Sesudah memberi pesanan
berulang-ulang supaya Boe Kie bekerja baik-baik, barulah bersama suaminya, Ek
Sam Nio turun gunung.
Atas pertanyaan Boe Kie,
pendeta pengurus dapur memberitahukan bahwa nama sebagai seorang pendeta adalah
Hoei cie. Mulai hari itu, Boe Kie melakukan rupa-rupa pekerjaan kasar, seperti
bacok kayu, ambil arang, nyalakan api, pikul air dan sebagainya. Ia sengaja
menghitamkan mukanya, sehingga waktu berkaca di air, ia sendiri tidak
mengenalinya.
Malam itu, bersama lain-lain
pekerja dia tidur di sebuah rumah kecil di samping dapur. Ia tahu bahwa Siauw
lim sie sarang harimau dan di antara pendeta-pendeta yang berkedudukan rendah
kadang-kadang terdapat orang yang berkepandaian tinggi. Maka itu, ia sangat
ber-hati2 setiap gerak geriknya. Selama kurang lebih seminggu, dua kali Ek Sam
Nio dan Tio Beng menyambanginya. Ia bekerja keras, dari pagi sampai malam dan
tidak pernah menampik pekerjaan apapun juga, sehingga pengurus dapur sangat
menyayanginya. Iapun bergaul rapat dengan semua kawan. Tapi mereka tidak berani
menanya ini atau itu yang bersangkut paut dengan Cia Soen. Ia hanya memasang
kuping dan mata. Ia berpendapat bahwa manakala ayah angkatnya berada di Siauw
lim sie, orang tentu harus mengantarkan makanan. Kalau tugas mengantarkan
makanan diberikan kepadanya, ia akan bisa tahu dimana ayah angkatnya dikurung.
Tapi sesudah bersabar beberapa hari, ia belum juga menemukan sesuatu yang
memberi harapan.
Pada hari kesembilan, selagi
tidur lapat-lapat Boe Kie mendengar bentak-bentakan. Perlahan-lahan ia bangun
dan sesudah mendapat kepastian, bahwa semua kawannya sedang tidur pulas, ia
segera pergi ke arah suara itu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Ia
sangat berhati-hati. Saban-saban ia melompat naik ke pohon besar dan
memperhatikan keadaan di seputarnya. Sesudah mendapat kepastian bahwa di
sekitar tempat itu tidak ada manusianya, barulah ia berani maju dan kemudian
naik lagi ke atas lain pohon. Tak lama kemudian ia sudah lihat satu pertempuran
yang dilakukan oleh beberapa orang. Ia segera bersembunyi di belakang pohon dan
memperhatikan pertempuran itu. Karena berada di hutan yang gelap, ia tak bisa
lihat mukanya orang-orang yang berkelahi. Ia hanya lihat berkelebat-kelebatnya
senjata dan enam orang yang sedang bertempur, dengan masing-masing pihak
terdiri dari tiga orang. Selang beberapa saat ia mengenali bahwa pihak yang
satu itu adalah Ceng hay Sam kiam yang ketika itu sedang membela diri dengan
Sam cay tin palsu. “Tin” itu sangat rapat, tapi ketiga pendeta Siauw lim yang
bersenjata golok ternyata memiliki kepandaian tinggi dan terus merangsek dengan
hebatnya. Tak lama kemudian, salah seorang dari Ceng hay Sam kiam roboh
terbacok. Begitu lekas “tin” itu pecah, pembelaan diri dari dua orang yang
masih hidup lantas kalang kabut. Selang beberapa jurus terdengar teriakan
menyayat hati dan seorang pula roboh terguling. Didengar dari suaranya, yang
roboh itu ialah Ma Hoat Thong. Orang yang terakhir, yang lengannya sudah
terluka, terus melawan secara nekat.
Tiba-tiba salah seorang
pendeta membentak. “Tahan!” Anggota Ceng hay Sam kiam yang masih hidup itu
yaitu In Ho tetap dikurung, tapi serangan segera dihentikan. “Cang hay Giok cin
koan dengan Siauw lim sie sama sekali tidak bermusuhan,” kata seorang pendeta
tua. Mengapa kamu menyatroni kuil kami di tengah malam?”
“Sesudah kami kalah, perlu apa
banyak bicara lagi?” kata In Ho dengan suara parau.
Pendeta tua itu tertawa
dingin. “Kamu datang untuk Cia Soen atau untuk To liong to?” tanyanya pula.
“Aku belum pernah dengar, bahwa Giok cin koan bermusuhan dengan Cia Soen. Huh
huh!... kamu tentu datang untuk merebut To liong to. Dengan kepandaian yang
tidak berarti itu, kamu berani menyatroni kuil kami. Selama seribu tahun lebih
Siauw lim sie, kuil kami ini telah memimpin Rimba Persilatan. Aku tak nyana ada
orang yang memandang kami begitu rendah.”
Selagi dia bicara, mendadak In
Ho menikam bagaikan kilat. Pendeta itu berkelit, tapi tak urung pundak kirinya
tertikam juga. Dua kawannya lantas membacok dan In Ho roboh binasa.
Tanpa mengeluarkan sepatah
kata, ketiga pendeta itu memanggul mayat Ceng hay Sam kiam dan kembali ke kuil.
Baru saja Boe Kie mau menguntit, tiba-tiba kupingnya mendengar suara
bernafasnya manusia. “Sungguh berbahaya!” pikirnya. Ia tidak berani bergerak.
Berselang kira2 setengah jam, dari rumput2 tinggi barulah terdengar suara
tepukan tangan yang disambut oleh lain-lain tepukan. Di lain saat enam pendeta
yang memegang macam-macam senjata muncul dari tempat persembunyiannya. Mereka
balik ke kuil dengan berjalan dalam barisan yang berbentuk kipas.
Sesudah mereka pergi jauh, Boe
Kie kembali ke pondokannya. Para pekerja dapur ternyata masih tidur pulas.
“Kalau bukan melihat dengan mata sendiri, aku tak akan menduga bahwa dalam
sekejap tiga orang gagah sudah mengorbankan jiwanya,” pikirnya. Dengan adanya
pengalaman itu, ia lebih berhati-hati.
Beberapa hari lagi sudah lewat
pertengahan bulan empat. Hawa udara berubah hangat dan perayaan Toan ngo sudah
berada di ambang pintu. Hari lepas hari, Boe Kie bertambah bingung. Kalau tidak
berlaku nekad, aku tentu tak akan bisa tahu dimana Giehoe dikurung,” pikirnya.
“Malam ini biar bagaimanapun juga, aku harus berani menempuh bahaya.” Ia tahu,
bahwa ilmu silatnya lebih tinggi dari pendeta Siauw lim manapun juga. Tapi
dengan seorang diri, ia tak berdaya. Siauw lim sie sarang harimau dan dengan
kekerasan ia pasti takkan bisa menolong ayah angkatnya. Jalan satu2nya ialah
menggunakan tipu.
Malam itu kira2 tengah malam
ia keluar dan melompat ke atas genteng. Tiba-tiba dua bayangan hitam mendatangi
dari selatan ke utara. Buru-buru ia mendekam. Kedua bayangan itu adalah pendeta
Siauw lim yang meronda.
Sesudah peronda itu lewat, Boe
Kie bergerak maju. Tapi baru berjalan beberapa tombak, kupingnya mendadak
menangkap suara tindakan yang sangat enteng. Sekali lagi ia menyembunyikan
diri. Yang datang kali ini juga dua peronda. Boe Kie mengerti bahwa penjagaan
diperkeras sebab para pemimpin Siauw lim sie tahu, kali ini kuilnya bakal
disatroni oleh banyak tokoh Rimba Persilatan. Sesudah melihat penjagaan yang
hebat itu, Boe Kie merasa bahwa jika ia maju terus, ia bakal dipergoki.
Tiga hari lewat.
Malam itu geledek bergemuruh,
kilat menyambar nyambar dan turunlah hujan yang sangat besar. Tak kepalang
girangnya Boe Kie. “Thian membantu aku!” katanya di dalam hati.
Makin lama hujan makin besar.
Langit gelap gulita. Sesudah berdandan rapi, dengan tetap berhati-hati Boe Kie
pergi ke gedung sebelah depan. “Lo han tong, Tat mo tong, Cong kek kok dan
tempatnya Hong thio adalah tempat-tempat penting,” pikirnya. Biarlah lebih dulu
aku menyelidiki di situ.”
Tapi Siauw lim sie besar. Ia
tak tahu dimana Lo han tong, dimana Cong kek kok. Indap indap ia maju, waktu
tiba di sebuah lorong sayup sayup ia ingat, bahwa ia pernah berada disitu. Aha
benar.. dulu waktu ia diajak Thio Sam Hong datang di Siauw lim sie untuk
meminta pelajaran Siauw lim Kioe yang kang guna mengobati lukanya akibat
pukulan Hian beng Sin ciang, ia pernah lewat di lorong itu dan sesudah membiluk
ke kiri ia pergi ke kamar Seng koen atau Goan tin. Sesudah berpikir sejenak, ia
mengambil keputusan untuk menyelidik kamar rahasia itu.
Perlahan-lahan ia maju sambil
mengingat-ingat jalan yang dulu dilewatinya. Sesudah melalui jalanan kecil yang
tertutup batu batu sebesar telur itik dan sesudah melewati sebuah hutan-hutan
bambu tibalah ia di depan kamar Seng Koen.
Jantungnya memukul keras. Ia
tahu Seng Koen berkepandaian tinggi dan banyak akalnya. Jika rahasianya bocor,
kesudahannya tak dapat diramalkan. Ketika itu pakaiannya basah kuyup. Sambil
mengentengkan tubuhnya ia menghampiri jendela dan memasang kuping. Di dalam
terdengar suara orang. Dengan satu perkataan saja ia mengenali bahwa yang
bicara adalah Kong boen Taysoe, Hong thio atau kepala kuil Siauw lim sie.
“Karena Kim mo Say ong, selama
sebulan Siauw lim pay sudah membinasakan dua puluh orang,” kata Kong boen. Pada
hakekatnya ini bukan cara cara agama kita yang berdasarkan belas kasihan. Beng
kauw Co soe Yo Siauw, Yoe soe Han Yauw Peh bie Eng ong We It Siauw dengan
beruntun telah mengirim utusan untuk meminta supaya kita melepaskan Cia Soen.”
Mendengar sampai disitu, Boe
Kie merasa terhibur. Sedikitpun ia mendapat tahu, bahwa tokoh tokoh Beng kauw
sudah bertindak.
Sesudah berdiam sejenak, Kong
Boen berkata pula. “Kita menolak, tapi Beng kauw tidak akan menyudahi dengan
begitu saja. Thio Kauwcoe berkepandaian sangat tinggi sampai sekarang ia belum
muncul. Kukuatir ia bekerja dengan diam-diam.”
Aku dan Kong tie Soetee pernah
ditolong olehnya dan kami berhutang budi. Manakala ia sendiri meminta bagaiman
kita harus menjawabnya? Hari ini ketiga Soesiok coba menanyakan Cia Soen
tentang kebinasaan Kong kian Soe heng. Tapi dia menutup mulut. Hal ini
benar-benar sukar. Soetee, Soetit, bagaimana pikiranmu?”
Seorang tua batuk-batuk
beberapa kali. Sesudah itu ia berkata, “Hong thio Soesiok terlalu banyak
berkuatir. Dengan dijaga ketiga Thay soesiok, Cia Soen tak akan bisa lari dan
tak akan bisa ditolong oleh siapapun juga. Eng hiong Tay hwee bersangkut paut
dengan nama baiknya Siauw lim pay sebagai pemimpin Rimba Persilatan selama
ribuan tahun. Budi kecil dari pihak Mo-kauw, Hong thio Soesiok tak usah terlalu
pikiri. Apa pula dalam urusan itu sebenar benarnya secara menggelap Mo kauw
telah bersekutu dengan kerajaan Goan dalam usaha mencelakai enam partai. Apa
Hong thio Soesiok belum tahu kenyataan itu?”
Boe Kie mengenali bahwa yang
bicara adalah Seng koen yang dikenal sebagai Goan tin (Thay Soesiok kakek paman
guru, Seng Koen murid Kong kian, sehingga Kong boen dan Kong tie adalah paman
gurunya. Thay Soesiok Seng koen ialah tokoh tokoh Siauw lim pay yang
tingkatannya lebih atas daripada Kong kian Taysoe dan saudara saudara
seperguruannya).
“Cara bagaimana Beng kauw bisa
bersekutu dengan kerajaan?” tanya Kong boen dengan heran.
“Thio Kauwcoe sebenarnya harus
nikah dengan Cioe Kouwnio, Ciangboenjin Go bie pay,” Coan tin menerangkan.
“Pada hari pernikahan, Koencoe Nio nio puteri Jie lam ong mendadak muncul dan
kemudian kabur bersama sama bocah she Thio itu. Kejadian ini menggemparkan
seluruh Kang ouw. Hong thio Soesiok tentu sudah mendengarnya.”
“Benar, aku pernah dengar
cerita itu,” kata Kong boen.
“Di antara jago jagoannya
Koencoe Nio nio itu terdapat orang yang dikenal sebagai Kouw Touwtoo,” kata
pula Goan tin. “Di Ban hoat-sie, Jie wie Soesiok tentu sudah pernah bertemu
dengan dia.”
“Hm!...” Kong tin mengeluarkan
suara di hidung dengan paras muka gusar. Ia rupa-rupanya ingat kejadian dahulu.
“Sesudah urusan di sini beres, aku ingin pergi ke kota raja untuk mencari Kouw
Touw too.”
“Apa Jie wie Soesiok tahu
siapa sebenarnya Kouw Touw too?” tanya Goan tin.
“Dia berpengetahuan luas dan
dia agaknya paham segala rupa ilmu silat,” kata Kong tie.
“Tapi aku sendiri tak bisa
lihat asal usulnya. Kouw touwtoo itu bukan lain daripada Kong beng Yoe soe Hoan
Yauw,” kata Goan tin.
Kong boen dan Kong tie
terkejut. “Apa benar?” tanya mereka dengan berbareng.
“Mana berani Goan tin
mendustai Soesiok,” jawabnya. “Kalau dia benar akan datang di sini, Jie wie
Soesiok akan bisa membuktikan sendiri.”
Sesudah berpikir sejenak Kong
tie berkata, “Kalau begitu memang benar Thio Boe Kie bersekutu dengan Koencoe
itu. Si Koencoe menangkap tokoh-tokoh enam partai dan Thio Boe Kie berlagak
melepas budi dan memberi bantuan.”
“Rasanya memang begitu,” sahut
Goan tin.
“Tapi menurut penglihatanku,
Thio Kauwcoe seorang ksatria yang jujur dan bukan manusia jahat,” kata Bong
boen. “Kita tidak boleh sembarangan menuduh orang yang baik.”
“Tapi Hong thio Soesiok jangan
lupa, bahwa menurut katanya pepatah kita bisa mengenal muka tapi sukar mengenal
hati orang,” kata Goan tin. “Cia Soen adalah ayah angkatnya Thio Boe Kie.
Mungkin sekali tanpa memperdulikan segala apa dan dengan menggunakan segala
rupa daya, Mo kauw akan coba menolong Cia Soen. Pada hari Toa say Tay hwee
segala apa akan menjadi terang.”
Sesudah itu mereka bertiga
lalu merundingkan soal menyambut tamu, melawan musuh dan menghitung-hitung
tokoh tokoh berbagai partai yang berkepandaian tinggi. Didengar dari
perkataannya, siasat Goan tin ialah mengadu domba berbagai partai persilatan
dan kemudian sesudah partai-partai itu rusak, barulah Siauw lim pay tampil ke
muka dan secara resmi menjadi partai yang menguasai To liong to. Dan sesudah
itu, barulah Cia Soen dibunuh dan diadakan sembahyangan untuk rohnya Kong kian.
Tapi Kong boen sendiri kelihatannya tidak berani memandang enteng kepada Beng
kauw.
“Tapi biar bagaimanapun juga,
yang paling penting ialah mengorek rahasia dimana adanya To liong to dari mulut
Cia Soen,” kata Kong tie. “Kalau kita tidak berhasil memiliki senjata itu, maka
To say Tay hwee bukan saja tidak ada artinya, bahkan dapat menurunkan derajat
partai kita.”
“Soetee benar,” kata Kong
boen. “Dalam pertemuan itu kita harus memperlihatkan To liong to untuk
mengangkat tinggi derajat partai. Kita harus bisa mengumumkan bahwa To liong to
yang termulia dalam Rimba Persilatan sudah dikuasai oleh partai kita. Dengan
demikian partai kita akan bisa memerintah dalam Rimba Persilatan tanpa ada yang
berani tidak menurut.”
“Ya, begitu saja,” kata Kong
tie. “Goan tin sekarang kau pergilah untuk coba membujuk Cia Soen supaya dia
suka memberitahukan dimana adanya To liong to. Katakanlah kepadanya bahwa jika
ia menurut, kita akan mengampuni jiwanya.”
“Baik,” jawabnya. “Serahkan
tugas ini kepada Goan tin. Aku tanggung, sebelum hari Toan ngo sudah memiliki
To liong to.” Kemudian terdengar suara tindakan yang sangat enteng dan bayangan
Goan tin berkelebat keluar dari kamar itu.
Tak kepalang girangnya Boe
Kie. Tapi ia mengerti, bahwa ketiga pendeta itu berkepandaian tinggi. Jika
ceroboh gerak geriknya bakal diketahui. Maka itu ia segera menahan nafas. Ia
lihat bayangan Goan tin berlari-lari ke jurusan utara. Dia memakai payung
kertas minyak dan jatuhnya air hujan di payung menerbitkan suara yang agak
keras. Sesudah musuh itu berjalan belasan tombak, barulah Boe Kie berani
menguntit.