-------------------------------
-----------------------------
Bagian 15
"Jika aku melatih Cit
siang koen sudah memiliki Lweekang yang sama tingginya sepertt Lwee kang Kong
kian Taysoe atau Thio Cinjin dari Boe tong pay, mungkin sekali aku tidak sampai
terluka, luka itu tidak menjadi halangan," kata pula Cia Soen. "Aku
sudah tidak menghiraukan segala bencana karena didorong oleh keinginan untuk
membalas sakit hati secepat mungkin. Tahun itu, sesudah membinasakan tujuh
orang, barulah aku dapat merampas kitab Cit siang koen dari tangan Kong tong
pay dan dengan tergesa-gesa segera melatih diri menurut petunjuk-petunjuk kitab
itu. Aku berbuat begitu, sebab kuatir guruku keburu mati dan aku tidak bisa
membalas sakit hati. Sesudah kasep dan tidak bisa diubah lagi, barulah aku
mendusin, bahwa aku sudah mendapat luka didalam. Aku sama sekali tidak memikir
untuk lebih dulu menyelidiki, mengapa dalam kalangan Kong tong pay sendiri
tidak ada orang yang mempelajari ilmu pukulan itu. Disamping itu, masih ada
lain sebab, mengapa aku segera melatih diri dalam Cit siang koen. Pukulan itu
mempunyai sifat-sifat yang dahsyat dap menyeramkan dan bagiku, hal itu
merupakan keuntungan besar. Su moay, apakah kau mengerti maksudku."
So So memikir sejenak.
"Apakah Toako maksud kan bahwa Cit siang koen agak mirip dengan ilmu silat
Pek lek chioe." tanya si adik.
"Benar!" jawabnya.
"So moay, kau sungguh pintar. Guruku bergelar Hoen goan Pek lek chioe,
atau si Tangan geledek, dan ilmu silatnya mengandung pengaruh angin dan geledek
yang sangat hebat. Jika aku menyerang dengan Cit siang koen, ia pasti akan
menduga, bahwa aku menyerang dengan ilmu silatnya sendiri, ia akan mendusin
sesudah pukulanku mampir dibadannya, tapi sudah kasep. Ngotee, jangan kau
mengatakan, aku licik dan kejam, Guruku adalah salah seorang yang paling
hati-hati dan paling kejam didunia. Jika kau tidak menggunakan racun untuk
melawan racun, sakit hatiku pasti tidak akan terbalas.
Hai! Ngotee, aku sudah
melantur terlalu jauh sehingga melupakan soal Kong kian Taysoe yang mau
dituturkan olehku. Malam itu, sesudah melatih diri dalam Cit siang koen, aku
segera berangkat untuk cari Song Wan Kiauw."
"Selagi melompat keluar
dari tembok, sedang kedua kakiku belum hinggap dibumi, tiba-tiba pundakku
ditepuk orang. Aku kaget bukan main. Bahwa badanku disentuh orang tanpa aku
mampu menangkis, adalah kejadian yang belum pernah terjadi, Boe Kie, cobalah
kau pikir. Jika orang itu menepuk dengan menggunakan Lweekang, bukan kah aku
sudah mendapatkanluka berat? Aku balas memukul dan begitu lekas kaki kiriku
hinggap ditanah, aku memutar badan. Saat itu sekali lagi aku merasa punggungku
ditepuk orang dan hampir berbareng terdengar hela napas dan suara seorang:
"Lautan penderitaan tiada terbatas, menengok kebelakang melihat
tepian."
Boe Kie gembira sekali, ia
tertawa terbahak bahar. "Gie hoe," katanya. "Apa orang itu main
main denganmu?" Coei San dan So So sudah menebak, bahwa orang itu Kong
kian Taysoe adanya.
"Waktu itu aku begitu
kaget, sehingga sekujur badan dingin semua," Cia Soen melanjutkan
panturannya. "Dengan kepandaian yang sedemikian tinggi, dengan mudah orang
itu bisa mengambil jiwaku. Tapi delapan perkataan yang diucapkan nya bernada
lemah lembut, penuh kasih dan sayang. Begitu memutar badan. kulihat seorang
pendeta yang mengenakan jubah putih berdiri dalam jarak empat tombak lebih.
Dengan demikian, sesudah menepuk punggungku, ia sudah melompat kurang lebih
empat tombak jauhnya dan kecepatan gerakan itu sungguh-sungguh luar
biasa."
"Pada waktu itu, aku
hanya menarik suatu kesimpulan, bahwa yang berdiri dihadapanku bukan manusia,
tapi setan penasaran dari seorang yang telah diburuh olehku. Aku menarik
kesimpulan itu, karena, menurut pendapatku, seorang manusia biasa tak nanti
mampu bergerak begitu cepat. Sebab menduga begitu, nyaliku jadi besar lagi dan
aku segera membantak: Setan siluman! Pergi kau! Aku tidak takut Langit dan
bumi, apalapi kau!"
"Pendeta itu merangkap
kedua tangannya seraya berkata: Cia Kiesoe, Looceng Kong kian memberi hormat.
Begitu mendengar perkataan 'Kong kian' aku terkesiap. Sudah lama kudengar
'Siauw lim Sang ceng, Kian, boen, tie seng yang tersiar luas didalam Rimba
Persilatan. Kong kian Taysoe adalah kepala dari empat pendeta nabi (Sengceng )
Siauw lim sie sehingga tidaklah heran jika ia memiliki kepandaian yang begitu
tinggi."
Mendengar sampai disitu, hati
Coei San dan So So merasa sangat tidak enak, karena mereka tahu, pada akhirnya
Kong kian binasa karena tiga belas pukulan Cia Soen.
Sesudah berdiam sejenak, Cia
Soen berkata pula: "Aku mengawasinya seraya bertanya: Apa kah aku sedang
berhadapan dengan Kong kian Seng ceng dari Siauw lim sie? Ia jawab: Perkataan
Seng ceng aku tidak dapat menerima tapi memang benar loolap ialah Kong kian
dari Siaw Lim sie. Aku kata: Aku dan Taysoe belum pernah mengenal satu sama
lain, tapi mengapa Taysoe mempermainkan aku? kata Kong kian: Mana berani loolap
mempermainkan Kiesoe? Aku hanya ingin menanya: Kemana Kiesoe mau pergi? Ku
jawab: Kemana kumau pergi tiada sangkut pautnya dengan Taysoe! Ia menghela
napas dan berkata dengan suara perlahan: Malam ini Kiesoe ingin membunuh Song
Wan Kiauw Tayhiap dari Boe tong pay. Bukankah begitu? Sekali lagi aku
terkesiap."
"Ia mengawasi aku dengan
mata tajam dan berkata pula: Kiesoe ingin melakukan perbuatan yang
menggemparkan Rimba Persilatan untuk memancing keluar Hoen goan Pek lek chioe
Seng Koen guna membalas sakit hati.... Aku heran dan kaget tak kepalang. Aku
belum pernah memberitahu perbuatan guruku kepada orang lain dan gurukupun tak
pernah membuka rahasia busuknya itu ?"
"Begitu mendengar Hoen
goan Pek lek chioe Seng Koen, tubuhku menggigil. Jika Taysoe sudi mengunjuk
dimana adanya dia, aku rela menjadi kerbau atau kuda untuk kepentingan Taysoe,
kata ku. Ia menghela napas dan berkata dengan suara menyesal: Perbuatan Seng
Koen memang suatu kedosaan yang sangat besar. Akan tetapi, dalam kegusarannya,
Kiesoe sudah membunuh begitu banyak orang dan perbuatan Kiesoe itu juga
merupakan kedosaan yang tidak kecil."
"Aku mendongkol dan
sebenarnya ingin sekali menyemprotnya. Tapi karena tahu, bahwa aku bukan
tandingannya, maka sambil menahan amarah, aku berkata: Aku berbuat begitu sebab
tidak ada jalan lain. Seng Koen menyembunyikan diri dan aku tidak dapat mencarinya."
"Ia manggut-manggutkan
kepala seraya berkata: Aku mengerti, aku sangat merasakan perasanmu. Sakit
hatimu besar luar biasa dan aku tidak dapat melampiaskan, akan tetapi, Song Tay
hiap adalah murid pertama Thio Sam Hong Cinjin dan jika kau membinasakannya,
bakal muncul gelombang yang tidak kecil. "
"Aku tersenyum getir. Itu
memang tujuanku,jawabku. Makin dahsyat gelombang yang diterbitkan olehku, makin
baik lagi, karena hanyalah itu yang bisa memaksa keluarnya Seng Koen dari
tempat persembunyiannya."
"Sesudah itu, aku dan
Kong Kian bicara seperti berikut: Cia Kiesoe, jika kau membinasakan Song
Tayhiap, memang Seng Koen tidak bisa tidak keluar dari tempat persembunyiannya.
Akan tetapi, Seng Koen sekarang bukan Seng Koen dulu. Terang terang aku
mengatakan, bahwa kepandaian Kie soe masih belum dapat menandinginya. Biar
bagaimanapun jua, Kiesoe tak akan bisa membalas sakit hatimu. "
"Seng Koen adalah guruku.
Aku lebih mengenal kepandaiannya daripada Taysoe."
"Tidak, tidak begitu. Ada
halnya yang tidak di ketahui Kiesoe. Seng Koen telah mendapat guru yang sangat
lihai dan selama tiga tahun ia telah memperoleh kemajuan lvar biasa pesat.
Biarpun Kiesoe mahir dalam ilmu Cit siang koen dari Khong tong pay Kiasoe tak
akan dapat melukakannya"
"Untuk sekian kalinya aku
terkejut. Kong kian Taysoe belum pernah bertemu denganku, tapi gerak gerikku
diketabui begitu jelas olehnya. Aku mengawasinya dengan mata membelalak.
Sesudah menenteramkan hatiku yang berdebar-debar, aku bertanya: Bagaimana
Taysoe tahu? Ia menjawab: Seng Koen sendiri yang memberitahukan kepadaku"
Coei San, So So dan Boe Kie
mengeluarkan suara tertahan dengan berbareng.
"Kalian heran, tapi aku
lebih heran lagi. Aku melompat bahna kagetku, dan membentak: Bagaimana dia
tahu? Kong kian menjawab dengan suara perlahan: Selama beberapa tahun, ia
selalu mendampingi Kiesue. Hanya karena ia selalu selalu menyamar, maka Kiesoe
tak mendapat tahu. Tak mungkin! teriakku. Tak mungkin! Aku mengenalnya. Biarkan
dia sudah menjadi abu, aku masih dapat mengenalinya."
"Kong kian menggelengkan
kepala seraya berkata deagan suara lemah lembut: Cia Kie soe, kau bukan seorang
semberono. Akan tetapi, karena kau hanya ingat soal membalas sakit hati, maka
kau tidak memperhatikan keadaan disekitarmu. Kau ditempat terang, dia ditempat
gelap. Tak heran jika kau tidak mengenalinya."
"Aku tidak bisa tidak
percaya keterangan itu. Kong kian taysoe adalah seorang pendeta suci yang
namanya terkenal dikolong langit, sehingga tak mungkin ia berdusta. Kalau
begitu, bukankah lebih baik baginya jika ia membunuh aku dengan membokong?
kataku. Jika ia ingin mengambil jiwa, ia dapat melakukannya seperti membalik
tangan sendiri, Kata Kong kian: Cia Kiesoe, dua kali kau coba membalas sakit
hati, dua kali telah dikalahkan. Jika ia memang mau menghendaki jiwamu, mengapa
waktu itu ia tidak turun tangan? Pada waktu kau coba merampas kitab Cit siang
koen, kau telah mengadu Lweekang dengan tiga tetua dari Kong tong pay. Sebagai
mana kau tahu, partai itu mempunyai lima orang tetua. Kemana perginya dua tetua
yang lain? Mengapa kedua orang itu tidak turut mengerubuti kau? Kalau Ngo lo
(Lima tetua) turun tangan dengan berbareng, apakah Kiesoe masih bisa hidup
terus?"
"Untuk kesekian kalinya,
aku terkejut. Memang benar, waktu aku melukakan Khong tong Sam loo (Tiga tetua
Khong tong pay), aku mendapat tahu, bahwa dua tetua yang lain, yang tidak turut
bertempur, juga mendapat luka berat. Hal itu selalu merupakan teka teki yang
tidak dapat dipecahkan olehku. Apakah kedua tetua itu berkelahi dengan kawan
sendiri? Apakah aku dibantu oleh seorang yang berilmu tinggi? Sekarang,
mendengar perkataan Kong kian Taysoe, aku bertanya didalam hati. Apakah dua
tetua itu dilukakan oleh Seng koen ?"
Coei San dan So So adalah
orang oraag mempunyai pengalaman, pergaulan dan pendengaran luas. Mereka sudah
kenyang mendengar cerita cerita aneh dalam Rimba persilatan, tapi belum pernah
ada yang seaneh cerita Cia Soen. Sesudah bergaul lama, mereka tahu, bahwa Cia
Soen bukan lihat ilmu silatnya saja, tapi juga lihay otaknya. Tapi Hoen Goan Pek
lek chioe Seng Koen kelihatannya lebih lihay dari pada saudara angkat itu.
"Toako." kata So So.
"Apa benar kedua tetua Khong tong pay dilukakan oleh gurumu?"
Cia Soen mengangguk seraya
menjawab "Benar. Akupun tetah mengajukan pertanyaan begitu kepada Kong
kian. Cia Kiesoe, apa kau lihat mukanya kedua tetua itu ? tanyanya. Bagaimana
paras muka mereka? Aku tidak lantas menjawab dan mengingat-ingat beberapa saat,
barulah aku berkata: Kalau begitu, Khong tong jie loo benar telah dilukakan
oleh guruku. Aku terpaksa mengakuinya, karena kuingat, bahwa pada waktu
Khong tong Jie loo menggeletak
ditanah, muka mereka penuh dengan bintik-bintik merah darah. Itu merupakan
petunjuk, bahwa mereka telah menyerang dengan menggunakan tenaga Im kin (Tenaga
lembek), tapi telah dipukul balik dengan ilmu Hoen goan kong. Setahuku,
disamping akibat pukulan Hoen goan kong, bintik-bintik merah di muka ialah
tanda dari penyakit cacar atau sebangsanya. Tak mungkin Jie loo mendapatkan
penyakit cacar, karena pada hal itu, ketika aku baru bertemu dergan Khong tong
Ngo loo, mereka semua segar bugar. Aku juga tau, bahwa didalam Rimba
Persilatan. Hoen goan kong hanya dimiliki oleh
guruku dan aku saja."
"Kong kian Taysoe
manggut-manggutkan kepala. Ia menghela napas seraya berkata: Dalam keadaan
mabuk, memang gurumu telah melaku kan perbuatan sangat hebat. Sesudah tersadar
dari mabuknya, ia malu dan menyesal bukan main. Dua kali kau mencarinya untuk
membalas sakit hati, dua kali ia tidak mengambil jiwamu.Ia malah tidak ingin
melukakan kau. Tapi kerena kau menyerang secara nekad bagaikan orang edan, ia
tak bisa meloloskan diri tanpa melukakan kau. Sesudah itu ia terUs membayangi
kau dari belakang dan tiga kali diam-diam ia sudah menolong kau dari
bencana."
"Aku segara mengingat
ingat dan memang benar, selain dari peristiwa pertempuran melawan para tetua
Khongtongpay, dua kali aku terlolos dari bahaya secara mengherankan."
"Sesudah berdiam sejenak,
Kong kian Taysoe berkata pula: karena tahu, bahwa kedosaannya terlalu besar, ia
tidak berani memohon ampuh. Ia hanya mengharap, bahwa lama-lama kau akan
melupakan sakit hati itu. Tapi diluar dugaan, gelombang yang diterbitkan olehmu
makin lama jadi makin besar dan jumlah manusia yang dibinasakan olehmu jadi
makin banyak. Hari ini jika kau membinasakan Song Tayhiap, suatu bencana besar
tak akan dapat dielakkan lagi."
"Mendengar itu, aku
segera berkata: Baiklah, aku tak akan cari orang she Song itu, Tapi aku harap
Taysoe suka minta guruku menemui aku. Jawab kong kian Taysoe: ia tak mempunyai
muka untuk bertemu dengan kau dan iapun tak berani menemui kau. Disamping itu,
Cia Kiesoe, bukan loolap mau memandang rendah kepadamu, andaikata kau bertemu
dengan gurumu, kaupun tidak akan bisa berbuat apa-apa. Dibandingkan dengan dia,
kepandaianmu masih terlalu rendah. Kurasa kau tak akan mampu membalas sakit
hatimu."
"Aku mata sangat
mendongkol dan segera berkata: Taysoe adalah seorang pendeta suci yang
mempunyai perasaan adil. Apakah dengan berkata begitu Taysoe ingin aku
menyudahi saja urusan ini? Ia mengawasi aku dengan sorot mata kasihan."
"Aku dapat merasakan
hebatnya penderitaan Kiosoe. katanya. Akan tetap, kau harus ingat, bahwa
perbuatan gurumu dilakukan dalam keadaan mabuk arak dan ia sebenarnya sama
sekali tidak berniat begitu. Apa pula ia sungguh2 nerasa malu dan menyesal.
Maka itu, loolap memohon pertimbangan Kiesoe mengingat kecintaan antara guru
dan murid pada masa yang lampau."
"Mendengar bujukan itu,
sambil menahan amarah aku segera berkata dengan suara kaku! Kalau kali ini aku
tidak bisa memenang kan dia, biarlah dia binasakan aku. Jika aku tidak bisa
membalas sakit hati, akupun tak sudi hidup lebih lama lagi didalam dunia."
"Kong kian mengawasi aku
dengan paras muka berduka. Lama ia berdiri termenung tanpa menegeluarkan
sepatah kata. Cia Kiesoe, katanva dengan suara perlahan, ilmu silat gurumu di
waktu sekarang berbeda jauh dari pada diwarktu dulu. Biarpun kau mempunyai
pukulan Cit siang koen, tak dapat kau melukakannya. Jika kau tak percaya,
cobalah jajal pukulan itu terhadap diri loolap."
"Aku dan Taysoe sama
sekali tidak mempunyai permusuhan, mana berani aku melukakan Taysoe? kataku,
Walaupun berkepandaian rendah, kurasa Cit Siang koen tak mudah dilawan orang.
Mendengar jawabanku, ia mengawasi aku sejenak dan kemudian berkata dengan suara
tetap: Cia Kiesoe, marilah kita bertaruh. Gurumu telah membinasakan tigabelas
anggauta keluargamu dan kau boleh memukulku tigabelas kali. Jika kau berhasil
melukakan aku, aku tak akan campur lagi urusan ini dan gurumu akan keluar untuk
menemui kau. Tapi jika kau tak dapat melukakan aku, kau harus melupakan sakit
hatimu. Cia Kiesoe, bagaimana pendapatmu? Apa kau setuju pertaruhan ini."
"Aku tidak lantas
menjawab. Kutahu pendeta itu memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan biarpun
lihay, Cit siang koen belum tentu dapat melukainya. Kalau aku tidak bisa
melukainya, apakah sakit hatiku boleh disudahi saja?"
"Sementara itu, Kong kian
sudah berkata: Sekarang aku mau bicara terang-terangan kepada Kiesoe. Sesudah
mencampuri urusan ini, loolap pasti tidak akan mempermisikan kau membinasakan
lagi kawan-kawan Rimba Persilatan yang tak berdosa. Jika mulai dari sekarang
Kiesoe menghentikan perbuatan kejam itu, aku bersedia untuk melupakan segala
perbuatan perbuatan dulu-dulu.
"Cia Kiesoe, kau mencari
musuhmu untuk membalas sakit hati. Apakah kau kira kelurga atau murid-murid
dari orang-orang yang dibunuh olenhmu tidak akan mencarimu untuk membalas sakit
hati?"
"Mendengar perkataan itu
yang diucapkan dengan suara keren amarahku meluap. Baiklah aku akan pukul kau
tiga belas kali! teriakku. Jika merasa tidak tahan, Taysoe boleh segera
berteriak. Seorang laki-laki tak akan melanggar janji sendiri. Kalau kalah,
Taysoe harus meyuruh guru menemui aku."
"Kong kian bersenyum
seraya berkata: Kiesoe boleh segera mulai. Melihat badannya yang kate kecil,
rambut dan alisnya yang sudah putih, dan paras mukanya yang welas asih, aku
sungguh merasa tak tega untuk turun tangan. Maka itu, dalam pukulan pertama,
yang ditujukan kedadanya aku hanya menggunakan tiga bagian tenaga"
"Gie hoe," memotong
Bu Kie, "apakah kau menggunakan Cit siang koen yang dapat memutus kan nadi
pohon?"
"Tidak," jawabnya.
"Dalam pukulan pertama aku menggunakan Pek lek chioe dari guruku. Begitu
terpukul, badan Kong kian Taysoe bergoyang goyang. Ia mundur setindak, Didalam
hati, aku memandang rendah kepadanya. Dengan mengguna kan tiga bagian tenaga
saja, ia sudah terhuyung setindak. Aku menduga, bahwa jika aku memukul dengan
Cit siang koen, dalam tiga kali pukul mengambil jiwanya. Dalam pukulan kedua
aku menambah tenaga. Badannya bergoyang goyang pula dan dia mundur setindak
lagi. Pukulan yang ketiga pun mengeluarkan hasil yang sama"
"Diam-diam aku merasa
heran. Dalam pukulan ketiga, aku kembali menambah tenrga, tapi ia tetap dapat
menerimanya dengan sikap acuh tak acuh. Selain begitu, akupun merasa heran,
karena tubuhnya sama sekali tidak mengeluarkan tenaga yang melawan tenaga
pukulanku."
"Aku segera menarik
kesimpulan, bahwa untuk merubuhkannya aku perlu menggunakan seantero tenaga.
Akan tetapi, jika aku menggunakan seluruh tenaga, ia tentu akan terpukul mati,
atau sedikitnya terluka berat. Biarpun aku seorang jahat dan kejam, tapi
terhadap Kong kian Tayso yang rela berkorban untuk kepentingan orang lain, aku
menaruh hormat yang sangat besar. Maka itu, aku lantas berkata: Taysoe, kau
menerima pukulan tanpa membalas. Aku tak tega memukul lagi. Kau sulah dipukul
tiga kaii. Baiklah aku sekarang berjanji tak akan cari Song Wan Kiauw."
"Tapi bagaimana dengan
sakit hatimu terhadap Seng Koen ? tanyanya. Dengan bernapsu aku menjawab: Aku
dan Seng Koen tidak bisa hidup bersama-sama dikolong langit. Kalau bukan dia,
akulah yang binasa. Aku berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: Tapi sesudah
Taysoe tampil kemuka, dengan memandang Taysoe aku berjanji, bahwa mulai dari sekarang
aku tak akan membunuh lagi kawan-kawan dalam Rimba Persilatan. Tujuanku hanya
Seng Koen dan keluarganya!"
"Ia merangkap kedua
tangannya seraya berkata: Atas nama kawan-kawan Rimba Persilatan, aku
menghaturkan terima kasih untuk janji Kiesoe itu. Tapi loolap sudah mengambil
keputusan untuk mendamaikan sakit hati ini, sehingga oleh karenanya, lebih baik
Kieso meneruskan pukulan itu"
"Diam-diam aku
menghitung-hitung. Memang paling baik aku melakukannya dengan Cit siang koen
untuk memaksa keluarnya guruku. Untung juga, aku sudah mahir dalam pukulan itu,
sehingga berat entengnya, mengirimnya atau menarik pulangnya dapat dilakukan
sesuka hatiku. Dengan demikian, kurasa aku akan dapat mengimbangi pukulanku
supaya tidak sampai mengambil jiwa pendeta yang mulia itu. Memikir begitu, aku
segera berkata: Baiklah dan lalu mengirim pukulan Cit siang koen. Begitu lekas
tinjuku menyentuh dadanya, dada itu agak melesak dan ia maju setindak."
Boe Kie menepuk-nepuk tangan.
"Heran sungguh !" katanya sambil tertawa. "Kali ini, sebaik nya
dari pada mundur, Hweeshio tua itu maju kedepan."
"Toako, bukankah Kong
kian Taysoe menyambut pukulanmu dengan ilmu Kim kong Poet hoay tee (ilmu
malaikat untuk membebaskan tubuh manusia dari sega1a kerusakan) dari Siauw lim
pay?" tanya Coei San.
Cia Soen mengangguk beberapa
ka1i. "Ngotee, kau ternyata mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas
sekali," ia memuji. "Memang benar Kong kian Taysoe menggunakan ilmu
itu. Kali ini, berbeda dari pada waktu menyambut tiga pukulan yang pertama,
dari dalam tubuhnya keluar tenaga berbalik, sehingga isi perutku tergoncang
hebat. Aku mengerti, bahwa Kong kian Taysoe sudah terpaksa mengeluarkan ilmu
tersebut. Jika tidak, ia tak akan dapat menyambut pukulan Cit siang koan. Sudah
lama kudengar, bahwa Kim kong Poet hoey tee dari Siauw lim pay adalah salah
satu dari lima ilmu ajaib yang tertinggi dalam Rimba Persilatan. Sekarang baru
aku tahu ilmu itu sungguh-sungguh hebat. Aku segera mengirim tinju kelima
dengan menggunakan tenaga im-jioe (Tenaga lembek). Ia menyambutnya dengan maju
lagi setindak dan aku sendiri lalu mengerahkan Lweekang untuk mempunahkan
tenaga im-jioe yang berbalik menghantam diriku..."
"Giehoe," Boe Kie
memutus pula perkataan ayah angkatnva," pendeta tua itu telah melanggar
janji. Ia berjanji tidak akan membalas, tapi mengapa ia menghantam balik tenaga
Im-jioemu?"
Cia Soen mengusap usap kepala
bocah itu dan berkata pula dengan suara halus: "Sesudah aku mengirim tinju
kelima, Kong kian Taysoe berkata: Cia Kiesoe, aku tak nyana Cit siang koen
sedemikian hebat. Jika aku tidak mengerahkan Lweekang untuk menolak tenagamu,
aku tak akan dapat bertahan."
"Tidak apa, kataku. Bahwa
Taysoe sudah tidak membalas dengan pukulan, aku sudah merasa amat sangat
berterima kasih."
"Bagaikan huyan angin aku
segera mengirim pukulan keenam, ketujuh, kedelapan dan kesembilan. Kong kian
Taysoe sungguh-sungguh lihay. Ia menyambut setiap pukulan dengan sikap tenang
dan apa yang paling mengherankan, ia dapat membedakan lebih dulu tenaga tenaga
yang digunakan olehku."
"Awas! teriakku seraya
mengirim tinju yang kesepuluh."
Ia mengangguk sedikit dan lalu
mendului maju dua tindak kedepan.
"Dalam pukulan yang
kesepuluh aku telah menggunakan seantero tenaga dan aku terhuyung kebelakang
beberapa tindak sebab terbentur dengan tenaga menolak yang sangat dahsyat. Aku
tidak bisa melihat mukaku sendiri."
"Tapi kutahu mukaku sudah
pucat bagaikan kertas, sedang napas Kong kian Taysoe pun tersengal sengal. Cia
Kiesoe, kau harus mengaso dulu sebelum mengirim pukulan kesebelas, katanya. Aku
adalah seorang yang sungkan mengaku kalah, tapi pada saat itu, benar-benar ku
tak sanggup segera mengirim pukulan."
Coei San dan So So mengawasi
sang kakak dengan perasaan tegang.
"Giehoe, lebih baik kau
jangan memukul lagi," kata Boe Kie dengan tiba tiba.
"Mengapa?" tanya Cia
Soen.
"Pendeta tua itu sangat
mulia hatinya," jawab nya. "Jika Giehoe melukakannya, hati Giehoe
tentu merasa tak enak. Jika Giehoe terluka kejadian itu sama tidak
baiknya."
Coei San dan So So saling
melirik. Mereka merasa girang, bahwa Boe Kie yang masih begitu kecil sudah
mempunyai pemandangan jauh. Terutama Coei San merasa sangat terhibur, karena ia
mendapat kenyataan, bahwa puteranya mempunyai pribudi yang luhur dan dapat
membedakan apa yang benar, apa yang salah.
Cia Soen menghela napas
panjang. "Ya? Aka hidup berpuluh tahun dengan cuma-cuma dan pikiranku tak
bisa menandingi pikiran anak kecil," katanya dengan suara menyesal.
"Tapi pada waktu itu, dengan adanya tekad bulat untuk membalas sakit hati,
aku tidak menghiraukan apapun juga. Aku merasa, bahwa jika aku memukul tiga
kali lagi, salah seorang pasti akan binasa atau luka berat. Tapi aku tidak
perduli. Aku segera mengerahkan seluruh lweekang dan mengirim pukulan yang
kesebelas. Kali ini ia melompat, sehingga tinju yang ditujukan kedadanya.
mengenakan kempungan. Aku mengerti maksudnya yang sangat mulia. Jika aku
memukul dadanya, tenaga mendorong dari dada itu hebat luar biasa dan ia kuatir
aku tak kuat menerimanya. Tapi dengan memasang kempungan, ia sangat menderita.
Begitu kena, ia mengerutkan alis, seperti orang sedang menahan sakit."
"Untuk sejenak aku
berdiri terpaku dan mengawasi dengan mata mendelong. Taysoe, kedosaan guruku
sangat besar dan tak lebih dari pada pantas jika ia menerima hukuman mati, kataku
dengan suara terharu. Mengapa Taysoe rela mengorbankan diri yang berharga
bagaikan emas dan giok untuk menolong manusia yang berdosa itu?"
"Ia tidak lantas
menjawab. Untuk beberapa saat, ia berdiri tegak dan mengatur jalan pernapasan.
Sesudah itu, ia tertawa getir seraya berkata: Dua pukulan lagi . . . dan . . .
permusuhan akan cepat dibereskan . Melihat begitu tiba-tiba dalam otakku
berkelebat serupa ingatan. Ternyata pada waktu mengerahkan tenaga Kim long Poet
hay tee, ia tidak boleh bicara. Mengapa aku tidak memancing supaya ia bicara
dan dengan berbareng mengirim pukulan mendadak ?"
"Mengingat begitu segera
aku berkata : Kalau dalam tigabelas pukulan, aku berhasil melukakan Taysoe,
apakah Taysoe tanggung bahwa guruku bakal datang untuk menemui aku? Seorang
beribadat tak akan berdusta, jawabnya. Meskipun Taysoe berjanji, tapi apakah
Taysoe mempunyai pegangan, bahwa ia pasti akan muncul ? tanyaku pula. Ia
menjawab: ia sendiri yang mengatakan begitu kepadaku."
"Pada detik itulah,
sebelum ia bicara habis dengan mendadak dan bagaikan kilat cepatnya, aku
mengirim pukulan yang kedua belas kearah kempungannya. Aku merasa pasti bahwa
ia tak akan keburu mengerahkan tenaga Kim kong Poeti hay tee !"
"Tapi diluar dugaan, ilmu
itu dapat digunakan menurut kemauan hati. Begitu lekas tinjuku menyentuh
kempungannya, tenaga malaikat dari Kim kong Poet hoay tee sudah berada
diseluruh tubuh nya. Tiba-tiba aku merasa langit berputar dan bumi terbalik,
sedang isi perutku seolah-olah mau meledak. Aku terhuyung tujuh delapan
tindakkan. Sesudah punggungku membentur pohon, barulah aku bisa berdiri
tegak."
"Hatiku hancur dan
mendadak aku mendapat pikiran jahat. Sudahlah! teriakku. Sakit hati ini sukar
bisa dibalas. Guna apa Cia Soen hidup lebih lama didalam dunia ? Seraya berkata
begitu, aku mengangkat tangan untuk menghantam batok kepalaku."
"Lihay ! Sungguh lihay
tipu itu!" seru Boe Kie. "Tapi Giehoe, apakah siasatmu itu tidak
terlalu kejam?"
"Melihat apa kau?"
tanya Coei San,
"Melihat Giehoe mau
membunuh diri dengan rnenghantam batok kepala sendiri, Hweeshio tua itu pasti
akan berteriak untuk mencegah dan akan coba menolong," jawab Boe Kie.
"Giehoe pasti akan turun tangan pada saat pendeta itu tidak berjaga-jaga.
Tapi ia begitu baik terhadapmu dan Giehoe tentu tidak boleh melukakannya.
Bukankah begitu? "
Bukan main herannya Coei San
dan So So. Mereka memang tahu, bahwa anak itu sangat cerdas otaknya. Tapi
mereka sama sekali tak pernah menduga, bahwa dalam tempo sekejap mata, ia sudah
bisa melihat akal khianatnya Cia Soen. Mereka sendiri adalah orang-orang yang
terkenal pintar dan mempunyai banyak pengalaman dalam dunia Kangouw. Tapi dalam
kecepatan berpikir, mereka ternyata masih kalah setingka t dari anak itu.
Paras muka Cia Soen berubah
sedih dan sesudah menghela napas, ia berkata dengan suara parau: "Benar.
Aku justru ingin menyalah gunakan kemuliaan Kong kian Tayso! BoaeKie, tebakanmu
tepat sekali. Biarpun benar gerakanku itu merupakan suatu akal busuk, tapi pada
waktu aku mengayun tangan untuk menepuk batok kepalaku, aku menghadapi bahaya
yang sangat besar. Kalau aku tidak menghantam sungguh-sungguh dengan sepenuh
tenaga, Kong kian tentu bisa melihatnya dan ia pasti tak akan coba,
menolong."
"Dari tiga belas pukulan
hanya ketinggalan satu pukulan saja. Cit siang koen memang lihay, tapi sudah
ter bukti, bahwa itu tak bisa menghancurkan Kim kong Poet hoay tee yang
melindungi seluruh tubuhnya. Maka itu, dengan pukulan biasa, tak usah diharap
aku bisa berhasil dan aku boleh tak usah mimpi untuk membalas sakit hati ini. Demikianlah,
ibarat orang berjudi, pada detik itu aku tengah melemparkan dadu yang
penghabisan kali. Aku menghantam dengan sekuat tenaga. Jika ia tidak menolong,
maka aku akan binasa dengan kepala hancur. Memang, kalau aku tidak bisa
membalas sakit hati, memang labih baik aku binasa"
"Melihat sambaran
tanganku, Kong kian Taysoe berteriak: Hei! Jangan ... Seraya berteriak, ia
melompat dan nenangkis tanganku. Pada detik itulah aku mengirim tinju kiri
kebawah dadanya. Buk ! Tinjuku mampir tepat pads sasarannya. Kali ini ia benar
sekali tidak berjaga jaga. Tubuh manusia terdiri dari darah dan daging tentu
saja tak bisa menerima pukulan Cit sang koen yang sehebat itu. Tanpa bersuara,
pendeta yang sangat rnulia itu rubuh ditanah!"
"Aku mengawasinya sejenak
dan tiba tiba rasa kemanusiaanku mengamuk hebat. Aku memeluknya dan rnenangis
keras. Kong kian Taysoe, Cia Soen tak mengenal pribadi, lebih hina daripada
babi dan anjing! kataku dengan suara parau."
Coei San bertiga tidak
rnengeluarkan sepatah kata. Mereka sangat berduka akan kebinasaan pendata yang
berhati begitu mulia.
"Melihat aku menangis,
Kong kian Taysoe bersenyum." kata pula Cia Soen. "Ia menghibur aku
dengaan berkata: Setiap manusia didunia harus pulang kealam baka! Kiesoe tak
usah begitu sedih. Tak lama lagi gurumu akan tiba disini dan kau harus
menghadapinya dengan penuh ketenangan."
"Nasehat itu menyadarkan
aku. Barusan, sesudah megirimkan tiga belas pukulan, tenaga ku dapat di katakan
habis. Sekarang dalam menghadapi lawan berat, tak boleh aku terlalu berduka,
karena hal itu dapat merusak semangat. Aku segera bersila dan mengatur jalan
pernapasan. Tapi sesudah lewat sekian lama, guruku belum juga datang. Aku
melirik kong kian Taysoe dan melihat bahwa pada paras mukanya terlukis rasa
heran."
"Sesaat itu, napas Kong
kian Taysoe sudah sangat lemah. Iapun mengawasi aku dan berkata dengan suara
terputus putus. Tak dinyana .... ia tidak.....tidak..... boleh dipercaya. Apa
dia tertahan karena urusan lain ?"
"Aku gusar tak kepalang.
Kau menipu aku! bentakku. Kau menipu aku, sehingga aku membinaskan kau. Sampai
sekarang guruku masih belum muncul!"
"Ia mengeleng gelengkan
kepala. Aku tidak menipu katanya. Aku merasa bersalah terhadapmu."
"Dalam kegusaran yang
meluap-luap, aku mencacinya. Tiba-tiba selagi memaki, aku terkejut sebab ingat
kenyataan yang sebenarnya. Andaikata ia menipu aku, tipunya merupakan
pengorbanan jiwa dan baginya tak ada keuntungan apa pun jua, pikirku. Sesudah
mengorbankan jiwa, ia malah meminta maaf kepadaku."
"Bukan main rasa maluku
dan aku segera berlutut di sampingnya. Taysoe, apakah kau mempunyai keinginan
yang belum ditunaikan? tanyaku dengan suara parau. Katakan saja. Aku pasti akan
melakukannya."
"Ia bersenyum seraya
berkata dengan berbisik: Aku hanya mengharap, bahwa jika kau mau membunuh
orang, ingatlah loolap."
"Kong kian Taysoe bukan
saja seorang pendeta suci yang memiliki ilmu silat sangat tinggi, tapi juga
seorang budiman dan bijaksana yang dapat menyelami perasaanku. Ia mengerti,
bahwa jika ia meminta supaya aku menyudahi permusuhan dan mengubah menjadl
orang baik, aku tentu tak akan dapat melakukannya. Ia tahu bahwa permintaan
begitu bakal sia-sia saja. Maka itu, ia hanya memesan, supaya jika mau membunuh
orang, biarlah aku ingat pengorbanannya."
"Ngote, hari itu, pada
waktu itu mengadu tenaga didalam perahu, aku tidak mengambil jiwamu, sebab,
secara mendadak, aku ingat Kong kian Taysoe."
Coei San tercengang.
Sedikitpun ia tak pernah menduga bahwa jiwanya ditolong oleh seorang pendeta
yang sudah tidak ada lagi dalam dunia. Ia menghela napas dengan rasa kagum dan
rasa hormat yang tiada batasnya.
"Giehoe, mengapa kau
mengadu tenaga dengaa Thia-thia?" Boe Kie menyelak..
"Mereka hanya main-main
untuk menjajal Lwee kang siapa yang lebih tinggi," So So mendahului.
Bocah itu tak percaya.
"Giehoe," katanya pula. "Apa waktu itu kedua matamu sudah
bute"
"Boo Kie ! Jangan
ngaco!" bentak sang ibu dengan rasa terkejut.
Cia Soen bersenyum.
"Belum, waktu itu aku belum buta," jawabnya. "Mengapa kau
menanya begitu?"
Mendengar jawaban ayah
angkatnya, Boe Kie segera berkata lagi: "Kalau begitu, mungkin sekali
karena ayah tidak bisa mengalahkan Giehoe, maka ibu sudah turun tangan dan
membutakan ke dua matamu...."
"Boe Kie!" bentak
Coei San dan So So denngan berbareng sehingga anak itu ketakutan dan tidak
berani membuka suara lagi.
"Tak boleb kamu
menakut-nakuti anak itu," kata sang kakak, "Boe Kie, tebakanmu tak
salah. Bagaimana kau dapat rnenebaknya?"
Bocah itu mengawasi kedua
orang tuanya dan menjawab dengan suara terputus-putus: "Aku...
aku...."
"Kau benar," kata
sang ayah angkat. "Waktu itu, sebab ayahmu tidak bisa mengalahkan aku,
ibumu sudah turun tangan dan menimpuk kedua mataku. Tapi kejadian itu sudah
terjadi lama sekali dan orang yang bersalah adalah aku sendiri. Aku sama
sekaili tidak menjadi gusar. Apakah kau dengar dari ibumu ?"
Ia tahu, bahwa So So tak
mungkin menceritakannya kepada puteranya, tapi ia sengaja mengajukan pertanyaan
itu supaya Coei San dan So So tidak bisa mencegah penjelasan si Boe Kie.
"Tidak ! Ayah dan ibu
sama sekali belum pernah menuturkan kejadian itu kepadaku," jawab Boe Kie.
"Beberapa hari yang lalu ibu mengatakan, bahwa ia mau mengajar aku
menimpuk dengan jarum emas, tapi pada esok harinya, ia membatalkan janji.
Menurut dugaanku, ayahlah yang sudah melarang ibu, karena ia kuatir hal itu
mengingatkan Giehoe akan kejadian kejadian yang lampau."
Cia Soen tertawa terbahak
bahak. "Ngote, So moay, anak kita lebih pintar lima kali lipat dari pada
aku dan lebih cerdas sepuluh kali lipat dari pada kamu berdua," katanya
dengan suara girang dan bangga, "Hmm . . .! Aku tak bisa menebak
kelihayannya dibelakang hari ."
Tanpa terasa Coei San dan So
So mengulur tangan mereka dan mencekal tangan sibocat erat erat. Mereka merasa
sangat girang. tapi kegirangan itu tercampur dengan rasa kuatir. Coei San
kuatir, bahwa karena terlalu pintar dihari kemudian anak itu akan menyeleweng.
Sedang So So sendiri kuatir puteranya tidak bisa berumur panjang.
"Giehoe," kata pula
Boe Kie sambil tertawa. "Dengan berkata begitu, bukankah Giehoe lebih
pintar dua kali lipat daripada ayah dan ibu ?"
"Lebih daripada dua kali
lipat," jawabnya di susul dengan tertawa nyaring.
"Giehoe, bagaimana dengan
pendeta tua itu ? Apa ia dapat diselamatkan jiwanya ?" tanya pula si
bocah.
Cia Soen menghela napas.
"Tidak, tak dapat disembuhkan lagi," jawabnya. "Napasnya makian
lama jadi makin lemah. Dengan mati matian aku menekan jalanan darah Leng
tayhiatnya sambil mengempos Lweekang untuk coba menolong jiwanya. Tiba-tiba ia
menarik napas panjang-panjang dan berkata dengan suara berisik: Apa gurumu
belum datang? Belum! jawabku. Kalau begitu, ia tidak akan datang,katanya
lagi."
"Taysoe, legakanlak
hatimu"' kataku. "Aku berjanji, bahwa aku tak akan membunuh orang
lagi secara serampangan untuk memancing dia. Untuk mencarirya, aku akan
menjelajahi seluruh dunia."
"Ia mengangguk dan
berkata dengan suara terputus putus: Bagus bagsus... Hanya sayang ilmu silatmu
belum bisa menadinginya .... kecuali....kecuali..... "
"Sampai disitu, suaranya
hampir tak dapat didengar lagi. Aku menempelkan kupingku dimulutnya. Sesaat
kemudian ia berkata pula: Kecuali..... kau dapat mencari To liong to......
mencari golok itu punya pit......... Ia hanya dapat mengeluarkan perkataan
'pit'. Napasnys menyesak dan lalu menghambuskan napas penghabisan!"
(Penerusan "pit"
yalah "bit". Pit bit berarti "rahasia").
Sekarang Coei San dan So So
baru rnengerti mengapa kakak itu berusaha untuk mengorek rahasia To liong to,
mengapa ia kadang-kadang kalap seperti binatang buas dan mengapa ia selalu
diliputi kedukaan. Sesudah
mengangkat saudara sepuluh tahun. baru malam itu mereka mengetahui asal usul
Cia Soen.
"Sesudah mencari dibanyak
tempat. belakangan barulah aku dengar dimana adanya golok mustika itu,"
kata pula Cia Soen. "Buru-buru aku pergi kepulau Ong poan san untuk
merebutnya. Kejadian selanjutrya sudah diketahui kamu dan tak perlu aku
mengulangi lagi. Sebelum mendapat golok itu, aku berusaha mati-matian meacari
Seng koen. Tapi sesudah memiliki, aku berbalik takut di cari olehnya. Maka itu,
aku rnemerlukan sebuah tempat yang jauh dan tak dikenal manusia untuk coba
memecahkan rahasia yang tersembunyi dalam golok itu. Karena kuatir kamu
membocorkan rahasiaku, maka aku sudah membawa kamu datang disini. Tak dinyana
kita sudah berdiam disini tak kurang dari sepuluh tahun. Cia Soen ... ah....
Cia Soen! Setiap usahamu selalu menemui kegagalan!"
"Menurut Toako, perkataan
Kong kian Taysoe , belum selesai diucapkan," kata Coei San. "Ia
mengatakan: Kecuali bisa mencari To liong to punya pit ... Mungkin sekali ia
mempunyai maksud lain"
Cia Soen menghela napas.
"Selama sepuluh tabuh siang malam aku mengasah otak," katanya.
"Tapi aku tetap gagal. Tidak bisa salah lagi, didalam golok itu
bersembunyi rahasia besar. Hanya otakku tidak cukup tajam untuk menembus kabut
yang menyelimuti rahasia itu. Boe Kie, kau jauh lebih pintar daripada aku.
Dikemudian hari mungkin sekali kau akan berhasil dimana aku mengalami
kegagalan."
"Gie hoe, berapa usia
Seng Koen sekarang?" tanya si anak.
Paras muka Cia Soe lantas saja
berubah, "Tak salah kau, nak," katanya. "Dia sekarang sudah
berumur enampuluh lima tahun. Sakit hatiku kebanyakan tidak bisa terbalas Hai!
Langit! Langit! Kau telah membuat aku sangat menderita!"
Coei San dan So So mengerti
apa yang dipikir kakak mereka. Andaikata dibelakang hari Boe kie berhasil
memecahkan rahasia To liong to, andaikata ia memperoleh ilmu yang dapat
merubuhkan Seng Koen, andaikata ia bisa pulang ke Tionggoan dan mencari Seng
Koen, hal itu tentunya bakal terjadi dalam duapuluh atau tigapuluh tahun
kemudian. Pada waktu itu, sepuluh sembilan harapan, Seng Koen sudah berpulang
kealam baka.
Sesudah beromong-omong lagi
beberapa lama, fajar mulai menyingsing. "Boe Kie," kata Cia Soen.
"Kau jangan tidur lagi. Giehoe akan mengajarkan kau semacam ilmu silat.
"
Coei San dan So So saling
melirik, tapi mereka tidak berani membantah dan lalu kembali keguha mereka.
Cia Soen tak pernah
menyebut-nyebut lagi urusan itu, hanya caranya mendidik Boe Kie jadi berubah.
Ia sekarang menurunkan pelajaran dengan lebih bengis dan keras.
Boe Kie baru saja berusia
sembilan tahun dan biarpun otaknya sangat cardas, bagaimana ia dapat menyelami
pelajaran Cia Soen yang begitu tinggi dalam tempo begitu pendek? Tapi sang ayah
angkat tidak menghiraukan pertimbangan itu. Setiap kali bocah itu tidak
memenuhi pengharapannya, ia bukan saja mencaci tapi juga memukulnya.
Sering kali So So melihat
tanda-tanda biru bekas pukulan ditubuh puteranya, ia merasa kasihan dan
tempo-tempo berkata : "Toako, tak dapat Boe Kie mempelajari semua ilmu
silatmu dalam tempo pendek. Kita berdiam dipulau yang terpencil dan kita
mempunyai banyak sekali tempo. Kurasa Toako tak usah begitu tergesa-gesa."
"Aku bukan menyuruh dia
melatih diri dalam pelajaran-pelajaran yang diturunkan olehku," jawab sang
kakak. "Aku hanya memerintahkan supaya dia mengingat dan menghafal semua
pelajaran itu didalam otaknya."
So So tak mengerti maksud Cia
Soen. Ia hanya tahu, bahwa kakak itu seorang aneh dengan cara-caranya yang aneh
pula. Ia tidak dapat berbuat lain daripada membiarkan sang kakak bertindak
semaunya.
Apa yang dapat dilakukannya
hanyalah membujuk Boe Kie jika dia mendapat hajaran keras. Tapi anak itu
sedikitpun tidak menjadi jengkel. "Ibu, maksud Giehoe sangat baik,"
katanya. "Makin keras ia memukul, makin cepat aku menghafal
pelajaran."
Demikianlah setengah tahun
yang pertama telah lewat. Pada suatu pagi, tiba-tiba Cia Soen berkata:
"Ngotee, So-moay, empat bulan lagi angin dan arus laut akan membeluk
keselatan. Mulai hari ini kita sudah boleh membuat getek."
Coei San kaget tercampur
girang. "Toako, apa kah kau maksudkan, bahwa sesudah membuat getek, kita
akan bisa kembali ko Tionggoan?" tanyanya.
"Tergantung atas
kebijaksanaan Langit," jawabnya dengan suara tawar. "Ini yang
dinamakan. manusia berusaha, Langit berkuasa. Kalau untung baik, pulang
ketempat sendiri, kalau nasib malang, tenggelam didasar laut."
Jika mereka menuruti keinginan
So So, mereka tak usah menempuh bahaya besar itu. Mereka hidup bahagia dan
bebas merdeka dan So So sudah merasa sangat puas. Akan tetapi, disamping itu
masih terdapat lain pertimbangan yang sangat berat. Mereka memikirkan nasib Boe
Kie. Dengan siapa anak itu akan menikah ? Apa tidak kasihan, jika ia harus
hidup selama-lamanya dipulau yang terpencil itu? Demi kepentingan Boe Kie, jika
masih ada jalan, biar bagaimana jua mereka harus berusaha untuk kembali ke
dunia pergaulan.
Demikianlah, dengan
bersemangat mereka lantas saja mulai bekerja. Untung juga di pulau itu terdapat
banyak pohon besar, sehingga soal bahan tidak menjadi soal lagi. Cia Soen dan
Coei San menebang pohon, So So membuat layar dan tambang dari serat kulit kayu,
sedang Boe Kie dan si kera putih pun turut membantu atau mengacau.
Biarpun Cia Soen dan kedua
suami isteri itu orang-orang yang berkepandaian tinggi tapi karena kekurangan
alat, pekerjaan mereka main dengan lambat sekali dan mereka harus menggunakan
lebih banyak tenaga daripada seharusnya. Di waktu menebang pohon atau mengikat
balok-balik untuk dijadikan getek. Cia Soen selalu memerintahkan Boe Kie
berdiri disampingnya dan ia mengajukan berbagai pertanyaan mengenai
pelajarannya. Coei San dan So So tidak diharuskan lagi menyingkir dan mereka
bisa mendengar tanya jawab antara ayah dan anak angkat itu. Mereka merasa heran
, karena tanya jawab itu hanya mengenai Kouw koat (teori) dari berbagai ilmu
silat.
Ternyata Cia Soen hanya
menyuruh anak menghapal teori ilmu silat tangan kosong, ilmu golok, ilmu pedang
dan sebagainya, tanpa memberi pelajaran mengenai cara-cara menggunakan teori
itu. Dengan lain perkataan, Boe Kie hanya menghapal teori secara membeo,
seperti anak sekolah jaman dulu menghapal kitab Soe sie dan Ngo keng tanpa
mengerti maksudnya.
So So yang mendengari sambil
bekerja, merasa kasihan pada puteranya. Jangankan seorang bocah cilik seperti
Boe Kie, sedang seorang dewasapun tak akan bisa ingat Kouw-koat yang sulit itu
tanpa mempelajari pukulan pukulannya.
Sebagai guru, Cia Soen bengis
bukan main. Salah satu perkataan saja. Boe Kie dicaci atau di gaplok. Biarpun
ia menampar tanpa mengerah Lweekang, tapi karena kerasnya, muka Boe Kio sering
menjadi bengkak.
Sesudah menggunakan tempo dua
bulan lebih barulah getek itu selesai dibuat. Untuk memasang tiang layar,
mereka barus bekerja kira kira setengah bulan lagi. Sesudah itu, mereka memburu
binatang. mengasini daging dan menjahit kantong kantong kulit untuk dijadikan
tempat air.
Mereka harus mempersiapkan
sebaik baiknya karena tak dapat diramalkan berapa lama mereka harus belayar
ditengah samudara yang luas.
Waktu segala persiapan beres,
siang hari sudah pendek dan malam sangat panjang, tapi arah angin masih belum
berubah. Sambil menunggu perobahan angin, mereka membuat sebuah gubuk dipinggir
laut untuk menempatkan getek itu.
Sekarang Cia Soen tidak pernah
berpisaran lagi dengan Boe Kie dan diwaktu malam, mereka tidur bersama sama.
Dengan bengis dan tidak mengenal lelah, ia terus mengisi pelajaran pelajaran
terakhir kedalam otak anak angkat itu.
Pada suatu malam, waktu
mendusin. tiba tiba Coei San mendengar suara angin yang agak aneh. Ia melompat
bangun dan ternyata, angin rnulai meniup dati sebelah utara. Buru burn ia
manggoyang goyangkan tubuh istrinya seraya berkata dengan suara girang:
"So So, kau dengarlah !" Sebelum istrinya tersadar diluar sudah
terdengar teriakan Cia Soen: "Angin utara datang!" Ditengah malaria
buta, teriakan itu yang seperti tangisan kedengarannya menyeramkan sekali.
Pada esokan paginya, dengan
rasa girang tercampur haru, Coei San, So So berkemas karena adanya harapan
besar untuk kembali kewilayah Tiong goan dan terharu sebab mereka harus segera
berpisahan dengan pulau yang indah itu dimana mereka sudah berdiam kira-kira
sepuluh tahun lamanya. Kira-kira tengah hari barulah semua bekal selesai
dipindahkan keatas getek. Sesudah itu, mereka bertiga mendorong getek tersebut
keatas air. Orang yang melompat keatas getek paling dulu adalah Boe Kie yang
mendukung si kera putih, diikuti oleh sang ibu. "Toako, mari melompat
bersama-sama," kata Coei San sambil mencekal tangan sang kakak.
"Ngotee," tiba-tiba
Coei San berkata dengan suara parau. "Mulai saat ini, kita berpisah untuk
selama-lamanya! Aku harap kau bisa menjaga diri."
Kagetnya Coei San bagaikan
disambar halilintar ditengah hari bolong. Ia menatap wajah kakaknya dengan mata
membelalak dan berkata dengan suara terputus-putus :
"Toako....kau....kau..."
"Ngotee, kau seorang yang
berhati mulia dan kau pasti akan hidup beruntung." kata Cia Soen.
"Tapi nasib manusia sukar ditebak dan kemauan Langit sukar diketahui. Maka
itu , dalam
tindakan-tindakamu, kau haruslah
berhati-hati. Boe Kie telah medapat seantero kepandaianku. Ia berotak sangat
cerdas dan dihari kemudian ia pasti bisa berada disebelah atas kita berdua.
Mengenai So moay, biarpun ia seorang wanita, ia gagah dan pintar sehingga ia
pasti tak akan di hina orang. Ngotee, orang yang aku kuatirkan adalah kau
sendiri."
"Toako, jangan kau
ngaco!" kata Coei San dengan bingung. "Apa aku....kau..... tidak mau
ikut kami ?"
Sang kakak bersenyum sedih.
"Pada beberapa tahun berselang, aku sudah mengatakan begitu kepadamu,"
katanya. "Apa kau lupa ?"
Coei San terkejut. Memang
benar Cia Soan pernah mengatakan begitu, akan tetapi karena soal itu tidak
disebut-sebut lagi, Coei San dan So So tidak mengangapnya sungguh-sungguh.
Selama membuat getek dan mempersiapkan bekal, sang kakak juga tidak pernah
mengutarakan niatannya itu. Tak dinyana pada saat mau berangkat barulah ia
memberitahukan keputusannya.
"Toako, mana boleh kau
berdiam dipulau ini", kata pula Coei San dengan suara memohon,
"Ayolah !" Seraya berkata begitu, ia membetot tangan kakaknya, tapi
kedua kaki Cia Scam seolah berakar didalam tanah.
"So moay! Boe Kie kemari
! Toako tidak mau mengikut," teriak Coei San.
So So dan Boe Kie tentu saja
kaget dan buru buru mereka melompat balik kedaratan.
"Giehoe, mengapa kau
tidak mau turun ?" tanya si bocah, "Jika kau tidak turut, akupun
tidak turut."
Tak usah dikatakan lagi, Cia
Soen pun merasa sangat berat untuk berpisahan dengan mereka. Ia mengerti, bahwa
perpisahan itu adalah untuk selama-lamanya. Akan tetapi, sesudah merenungkan
masak-masak dalam tempo lama, ia telah mengambil keputusan untuk tidak kembali
ke Tiorggoan. Mengapa? Karena, jika ia mengikut, keluar, Coei San akan
menghadapi bencana yang tidak habis-habisnya. Biarpun ia mempunyai riwayat yang
berlamuran darah dan ia pernah melakukan perbuatan-perbuatan kejam, tapi
semenjak mengangkat saudara dengan Coei San dan So So, ia mencintai ketiga
orang itu seperti mencintai diri sendiri. Dan kecintaannya terhadap Boe Kie
tidak kurang daripada kecintaaanya pada anak kandung sendiri.
Ia mengerti, bahwa diatas
pundaknya tertumpuk dengan beban hutang darah. Baik dalam kalangan Kangouw,
maupun dalam kalangan Liok
li (Rimba hijau kalangan
perampok), entah berapa banyak jumlahnya musuhnya yang ingin membalas sakit
hati. Apa pula, sesudah merniliki To liong to, bakal makin banyak orang yang
menghendaki jiwa dan goloknya.
Dulu sedikitpun ia tidak
merasa gentar. Tapi sekarang, sesudah kedua mata nya buta, ia merasa tak
sanggup untuk melayani begitu banyak musuh. Sebagai orang gagah sejati, jika ia
dikerubuti, Coei San dan So So sudah pasti tak akan berdiri dengan berpeluk
tangan. Maka itu, kalau ia mengikut, bukan saja ia sendiri tspi kedua saudara
augkat dan anak pungutnya pun akan turut menjadi korban. Demikianlah, sesudah
memikir baik-baik, ia mengambil keputasan itu.
Mendengar perkataan Boe kie,
ia terharu bukan main. Sambil memeluk anak angkat itu, ia ber kata dengan suara
serak: "Boe Kie, kau dengarlah perkataan Giehoe! Giehoe sudah tua, mata
buta dan sudah enak hidup disini. Kalau kembali ke Tionggoan, Giehoe akan
menderita.
"Sesudah kembali ke
Tionggon anak akan melayani Giehoe dan tidak akan berpisahan lagi dengan
Giehoe," kata Boe Kie. " Giehoe mau makan atau mimum apa, anak akan
segera menyediakan nya. Bukankah penghidupsn begitu sama senangnya seperti
penghidupan disini?"
Cia Soen menggelengkan kepala,
"Tidak, aku lebih senang berdiam terus disinl," katanya.
"Kalau begitu, anakpun
lebih senang hidup terus disini," kata pula bocah itu. "Thia, kita
batalkan saja keberangkatan ini."
"Toako, jika kau
mempunyai lain pendapat, lebih baik tau mengutarakan saja terang-terangan
supaya kita beramai dapat mengatasinya" kata So So. "Biar
bagaimanapun jua, kita tak nanti meninggalkan kau disini seorang diri"
"Toako," Coei San
menyambungi, "apakah karena mempunyai banyak musuh, kau kuatir akan
merembet-rembet kami? Sepulangnya di Tiong goan, kita boleh mencari sebuah
tempat yang sepi dan kita boleh hidup menyendiri tanpa bergaul dengaa manusia
lain. Menurut pendapatku, paliang benar kita berdiam di Boe tong san. Tak
seorang pun yang akan menduga, bahwa Kim-mo Say-ong berada digunung itu."
"Hmm.... " Cia Soen
mengeluarkan suara dihidung. "Biarpun kakakmu seorang bodoh, tak usah ia
menyembunyikan diri dibawah perlindungan Thio Cinjin!'
Coei San terkejut. Ia tahu
bahwa ia sudah kesalahan bicara dan buru buru berkata pula . "Bukan, bukan
begitu maksudku. Kepandaian Toako tidak barada disebelah bawah Soehoe dan tentu
saja Toako tak perlu berlindung dibawah perlindungan Soehoe. Di wilayah Tiong
goan terdapat banyak sekali tempat yang terpencil dan jauh dari dunia
pergaulan. misalnrya Hoei kiang, Tibet, daerah gurun pasir dan sebagainya. Kita
berempat boleh pergi kesitu dan menuntut
penghidupan yang tenteram
"