Bagian 09
In So So membuka matanya dan
bersenyum, dengan paras seperti orang ingin meminta maaf untuk salah mengerti
itu.
Piauw yang ketiga ternyata
masuk dalam sekali didaging si nona, sehingga sesudah tigakali menggunakan
seantero tenaga dalamnya, senjata rahasia itu belum juga bisa didesak keluar.
Sementara itu sesudah
terdengar suara penggayu memukul air sebuah perahu sudah datang dekat sekali.
Sesaat kemudian, perahu si nona bergoyang sedikit, karena hinggapnya kaki
manusia dipapan perahu. Tanpa menengok, Coei San terus mengempos semangat.
Dengan tindakan lebar, orang
itu masuk ke dalam gubuk perahu. Melihat kedua tangan Thio Ngo hiap mencekal
lengan kiri si nona, ia tentu saja tidak menduga, bahwa pemuda itu tengah
mengobati luka In So So. Dengan kegurasan meluap, ia mengangkat tangannya dan
menghantam punggung Coei San, "Bangsat! Lepaskan !" bentaknya.
Coei San tidak menangkis.
Sambil menarik nafas, ia pasang punggungnya. "Bak!", pukulan itu kena
tepat pada sasarannya.
Sebagai salah seorang murid
terutama dari Boe tong pay, Lweekang Thio Coei San sudah mencapai tingkat
tertinggi dan ia memiliki juga kepandaian luar biasa.
Demikianlah, tanpa bergerak,
dengan ilmu "meminjam tenaga memindahkan tenaga", ia memindah kan
tenaga pukulan itu ketelapak tangannya sendiri. "Plok !", Bwee hoa
piauw yang ketiga melompat keluar dari lengan In So So dan menancap di papan
gubuk perahu!
Sesaat itu, orang yang
nenyerang sudah mengirim pukulan kedua. Ia terkesiap melihat akibat pukulannya
yang pertama, sehingga tangannya yang tengah menyambar berhenti ditengah udara.
"In Kouwnio! .. kau ... apa kau terluka?" teriaknya.
Si nona tidak menyahut.
Sebagai seorang jago yang
berpengalaman, begitu melihat darah hitam yang mancur dari lengan si nona,
orang itu sudah mengerti, bahwa ia telah berbuat suatu kehilafan. Ia merasa
sangat menyesal dan menduga Thio Coei San telah mendapat luka berat karena
pukulannya itu hebat luar biasa. Buru2 ia merogo saku dan mengeluarkan obat
untuk diberikan kepada pemuda itu.
Coei San menggelengkan kepala
dan setelah melihat darah hitam sudah berubah merah, perlahan2 ia melepaskan
lengan si nona. Ia menengok dan berkata sambil tertawa: "Tenaga pukulanmu
sungguh tidak kecil."
Orang itu kaget bukan main.
Dengan pukulan serupa itu, entah sudah berapa banyak jago2 binasa dalam
tangannya Sungguh heran, pemuda itu seperti juga tidak merasakan apapun jua. Ia
mengawasi dengan mulut ternganga dan berkata dengan suara ter-putus2
"Kau...kau..." Ia mengangsurkan tiga jari yang lalu ditempelkan
kepada Coei San.
"Biar aku main2 sedikit
dengannya," pikir pemuda itu. yang segera mengerahkan Lweekang dan
jantungnya lantas saja berhenti berdenyut serupa kepandaian yang hanya dimiliki
oleh seorang yang Lweekangnya sudah mencapai puncak tertinggi.
Begitu menyentuh nadi Coei
San, paras maka orang itu berobah pucat karena nadi itu tidak mengetuk lagi.
Dalam kagetnya, ia meraba dada pemuda itu dan hatinya mencelos, sehingga ia
melompat kebelakang sambil mengeluarkan seruan tertahan.
"In Kouwnio, apakah tuan ini
sahabatmu ?" tanya Coei San sambil tersenyum. "Mengapa kau tidak
memperkenalkannya kepadaku ?" Sambil berkata begitu, ia menyambuti
saputangan yang di sodorkan oleh In So So dan lalu membalut luka dilengan nona
itu.
Mendengar suara Coei San yang
tidak berubah sedikitpun jua, keheranan orang itu tak mungkin dilukiskan lagi.
"Siang Tan coe, kau tak
boleh kurang ajar!" membentak si nona. "Inilah Thio Ngo hiap dari Boe
tong pay."
Orang itu buru-buru memberi
hormat dan berkata dengan suara kagum "Aha. Kalau begitu Thio Ngo hiap
dari Boe tong Cit hiap! Tak heran jika Lweekangnya sedemikian tinggi. Aku yang
rendah Siang Kim Peng dan aku memohon maaf untuk kekurang ajaranku."
Coei San mengawasi orang itu
yang berusia kurang lebih limapuluh tahun. Mukanya bopeng dengan otot-otot yang
menonjol keluar dari telapak tangannya lebar seperti kipas sehingga selintas
saja mengetahui, bahwa orang she Siang itu adalah seorang ahli silat Gwa kee.
Ia mengerti bahwa jika lweekangnya belum sempurna betul, pukulan yang tadi sudah
pasti akan mengambil jiwanya sendiri.
Sesudah memberi hormat kepada
pemuda itu. Siang Kim Peng lalu menjalankan peradatan dihadapan In So So yang
menerimanya dengan sikap acuh tak acuh.
Coei San jadi sangat beran.
Dari pukulan Siang Kim Peng, ia tahu bahwa orang itu bukan sembarang orang.
Tapi mengapa In So So berani bersikap begitu kurang ajar terhadapnya dan dia
juga kelihatannya menerima baik sikap dari si nona.
Di lain saat, Siang Kim Peng
berkata dengan suara perlahan: "Hian boe tan Pek Tan coe telah menjanjikan
orang-orang Hay see pay, Kie keng pang dan Hok kian Sin koen boen untuk
mengadakan partemuan besok pagi di pulau Ong poan san dimulut sangai Can tong
kang, guna mengangkat senjata dan menetapkan keangkeran. Jika, kesehatan nona
agak terganggu, biarlah Siauw jin lebih dulu mengantarkan nona pulang ke Lim
an. Menurut pendapatku, Pek Tan coe sudah lebih dari pada cukup untuk
membereskan segala urusan di Ong poan san."
So So mengeluarkan suara di
hidung. "Hay-see-pay, Kie keng -pang, Sin koen boen .... Hmmm .... Apakah
Ciang boen Jin Hoa koen boen Kwee Sam Koen, turut datang juga?" tanyanya.
"Ya. Kudengar ia akan
datang sendiri dengan mengajak dua belas muridnya yang terutama,"
jawabnya.
Si nona tertawa dingin.
"Meskipun nama Kwee San Koen sangat cemerlang, tapi dia bukan tandingan
Pek Tan coe," katanya. "Siapa lagi yang bakal turut serta?"
Sesudah berdiam sejenak,
barulah Siang Kim Peng menjawab: "Menurut warta, dua orang Kiamkek (ahli
silat pedang) muda dari Koen loen pay juga akan menghadiri pertemuan itu, untuk
.. melihat To .. . To ... To ...." Ia melirik Thio Coei San dan tidak
meneruskan perkataannya.
"Mereka mengatakan mau
lihat-lihat To liong to?" tanya So so. "Hm .... mungkin .. sesudah
melihat dalam hati mereka timbul rasa serakah ....."
Mendengar perkataan "To
liong to", Coei San terkejut, tapi sebelum ia keburu membuka mulut untuk
menanyakan terlebih jauh, sinona sudah berkata pula: "Hmmm......selama
beberapa tahun ini, dalam Rimba Persilatan, gelombang Tiangkang yang disebelah
belakang mendorong gelombang yang disebelah depan. Orang-orang Koen loen pay
tak dapat dipandang enteng. Luka dilenganku tidak berarti. Begini saja. Aku
akan turut pergi kesitu untuk menonton keramaian. Mungkin sekali aku akan perlu
memberi bantuan kepada Pek Tancoe." Ia berpaling kepada Thio Coei San dan
menyambung perkataannya: "Thio Ngohiap, disini saja kita berpisahan. Aku
menumpang di perahu Siang Tan coe dan kau sendiri boleh menggunakan perahuku
untuk kembali ke Lim an. Boe tong-pay jangan kerembet dalam urusan ini."
"Terlukanya Samko agaknya
bersangkut paut dengan To liong to," kata Coei San. "Apakah nona
dapat memberi keterangan lebih jelas mengenai hal itu?"
"Seluk beluk kejadian itu
tidak diketahui jelas olehku." Jawabnya. "Kau harus tanya Samkomu
sendiri."
Coei San mengerti, So So
sungkan meberi keterangan dan iapun tak mau mendesak lagi.
"Orang yang melukakan
Samko sangat ingin memiliki To liong to," katanya didalam hati.
"Menurut Siang Tan coe,
pertemuan di Ong poan san adalah untuk mengangkat senjata dan menetapkan
keangkeran. Apakah bisa jadi To Liong to berada dalam tangan mereka? Jika benar
begitu, orang-orang yang mencelakakan Samko tentu juga turut datang kepulau
itu"
Memikir begitu, ia lantas saja
menanya: "Apakah Toosoe yang menyerang kau dengan Bweehoa piauw akan turut
datang dipulau itu?"
So So tertawa sebaliknya dari
menjawab pertanyaan orang, ia balas menanya: "Kaupun ingin menonton
keramaian, bukan? Baiklah! Kita pergi bersama-sama." Ia menengok kepada
Siang Kim Peng dan berkata pula "Siang Pangcoe, perahumu jalan
duluan."
"Baik," jawabnya
sambil membungkuk dan lalu berjalan pergi, seperti caranya seorang pegawai
terhadap majikannya. Sinona hanya mengangguk sedikit, tapi Coei San, yang
menghargai ilmu silatnya orang itu, sudah mengantarkarnya sampai dipintu gubuk
perabu.
Sesudah itu, So So menggapai
jurumudi seraya membentak: "Kemari kau!" paras muka si tukang perahu
lantas saja berubah pucat dan tubuhnya menggigil. Ia mengerti, bahwa tadi ia
sudah berbuat kesalahan dengan teriak-teriakannya dan sekarang ia akan mendapat
hukuman. Dengan bibir bergemetaran, ia berkata: "Siauw .... siauwjin tidak
sengaja ....... Mohon ..... mohon Kouw nio sudi mengampuni .. ."
Sinona tidak menjawab,
sehingga dia jadi lebih ketakutan dan dengan sorot mata memohon pertolongan, ia
mengawasi Coei San, yang merasa sangat tidak mengerti akan sikapnya itu. Bahwa
jurumudi tersebut sudah berteriak-teriak meminta pertolongan Siang Kim Peng,
adalah karena salah mengerti, karena ia menduga Coei San mau mencelakakan So
So. Tapi, teriakannya itu adalah sebab kesetiaannya terhadap sinona. Mengapa ia
sudah begitu ketakutan?
Dilain saat, sinona berkata
dengan suara kaku: "Matamu tak ada bijinya, kupingmu tuli. Perlu apa kau
mempunyai mata dan kuping?"
Mendengar comelan itu, paras
muka sijurumudi lantas berubah girang, sebab ia tahu si nona sudah mengampuni
Jiwanya. Baru-baru ia menekuk lutut seraya berkata: "Banyak terima kasih
untuk kemurahan hati nona!" Hampir berbareng, ia meraba pinggannya dan
menghunus sebilah pisau yang lalu digunakan untuk memotong kedua kupingnya.
Sesudah itu, ia mengangkat pisau itu tinggi tinggi ditujukan kearah matanya!
Bukan main kagetnya Coei San.
Bagaikan kilat tangannya menyambar dan dua jirinya menjepit pisau itu yang sedang
meluncur turun ke mata si jurumudi. "In Kauwnio," katanya.
"Dengan memberanikan hati, aku memohon belas kasihanmu,"
So So mengawasi kearah pemuda
itu dan kemu dian berkata dengan suara perlahan: "Baiklah." Ia
menengok pada si tukang perahu dan menyambung perkataannya: "Lekas
haturkan terimakasih pada Thio Ngohiap !"
Dengan tersipu-sipu, ia segera
menekuk lutut dan manggut manggutkan kepalanya berulang ulang kali dihadapan
Coei San dan kemudian berlutut lagi di hadapan So So. Sesudah itu, ia mundur ke
belakang dan dengan suara nyaring memerintahkan ke anak buah perahu menaikkan
layar.
Sementara itu, Coei San
berdiri membelakang So So dan mengawasi air yang luas tanpa mengeluarkan
sepatah kata. Di dalam hati, ia merasa heran, bagaimana seorang wanita yang
berparas begitu cantik mempunyai tangan begitu kejam.
So So melirik pemuda itu dan
melihat pakaiannya yang pecah dibagian punggung karena pukulan Siang Kim Peng,
ia segera berkata: "Buka pakaianmu. Aku mau tambal."
"Tak usah!" kata
Coei San.
"Kau kira aku tidak bisa
menjahit?" tanya Si nona.
"Bukan begitu," kata
pula pemuda itu dengan suara pendek dan matanya tetap memandang ke tempat jauh.
Didalam hati, ingat kebinasaan yarg sangat menyedihkan dari orang orarg Liong
boen Piauw kiok. Tapi, sebaliknya dari pada membunuh manusia yang begitu kejam,
ia malahan sudah menolongnya dengan mengeluarkan piauw beracun. Biarpun
pertolongan itu adalah untuk membalas budi orang yang sudah membantu
Soehengnya, akan tetapi, sepak terjangnya tetap tidak dapat dibenarkan dan ia
merasa bahwa dalam tindakannya itu, ia tidak bisa membedakan yang jahat dan
yang baik.
Diam diam ia mengambil
keputusan, bahwa begitu lekas pertemuan dipulau Ong poan san sudah selesai, ia
akan berpisahan dengan nona itu untuk selama-lamanya.
Melihat paras muka Coei San
yang suram, So So lantas saja dapat menebak apa yang dipikirnya. Ia tertawa
dingin dan berkata: "Bukan saja Touw Tay Kim, Ciok dan Soe Piauw tauw,
bukan saja semua orang dari Liong boen Piauw kiok dan dua pendeta Siauwlim itu,
tapi Hoei hong pun dibunuh olehku,"
"Aku memang sudah
mencurigai kau, hanya aku tidak tahu cara bagaimana kau membunuhnya?" kata
Coei San.
"Tak usah heran"
kata sinora. "Waktu itu aku merendam didalam air dan mendengari
pembicaraan kamu. Sesudah didesak olehmu, tiba-tiba Hoei hong merasa, bahwa
muka kita memang berbeda, tapi sebelum ia keburu mengaku, aku mendahului
melepaskan sebatang jarum kedalam mulutnya. Kau coba mencari aku digombolan
pohon dan rumput-rumput tinggi, tapi aku sendiri enak-enak merendam diair"
"Sebagai akibat dari
perbuatanmu itu, pihak Siauw lim menuduh aku," kata Coei San dengan
mendongkol. "In Kouwnio, kau sungguh pintar dan tanganmu benar�benar lihay."
So So berlaga pilon. Ia bangun
berdiri dan berkata sambil membungkuk : "Terima kasih Thio Ngohiap memuji
aku terlalu tinggi."
Coei San jadi semakin gusar.
"In Kouwnio!" bentaknya. "Aku seorang she Thio belum pernah
berbuat kesalahan apapun jua terhadapmu. Tapi mengapa kau sudah begitu tega
mencelakakan aku ?"
So So bersenyum. "Aku
bukan ingin mencelakakan kau," katanya dengan suara tenang "Mengapa
aku sudah berbuat begitu ? Siauwlim dan Boe tong adalah dua partai persilatan
yang sangat besar dan ternama. Aku hanya ingin mereka bertempur nntuk
menyaksikan siapa sebenarnya yang lebih kuat."
Mendengar pengakuan sinona,
Coei San terkejut. Sedikitpun ia tak nyana wanita cantik itu mempunyai tujuan
yang begitu hebat "Kalau Siauw Lim dan Boe tong sampai bertempur entah
berapa banyak korban yang akan rubuh dan kejadian itu bakal merupakan suatu
peristiwa hebat dalam Rimba Persilatan," pikirnya.
Paras sinona sendiri tetap
berseri-seri dan sambil menggoyang-goyangkan kipasnya, ia berkata: "Thio
Ngohiap, bolehkah kulihat tulisan dan lukisan dikipasmu?"
Sebelum Coei San keburu
menjawab, diperabu Siang Kim Peng se konyong konyong terdengar suara teriakan:
"Apa perahu Kie keng pang? Siapa yang berada diperahu?"
"Siauw pang coe dari Kie
keng pang ingin menghadiri pertemuan dipulau Ong poan san."
"In Kouw nio dan Coe ciak
tan Siang Tan coe berada disini" teriak seorang dari perahu Siang Kim
peng. "Kalian diharap mengikuti saja dari belakang."
"Jika Peh bie kauw In
Kauw coe sendiri yang berada disitu, kami bersedia untuk mengalah," jawab
seorang dengan suara keras. "Kalau orang lain, maaf saja."
Mandeagar perkataan "Peh
bie kauw In Kauw coe," Coei San kaget, karena ia belum pernah mendengar
nama agama (kauw) itu, baik dari gurunya, maupun dari luaran. Ia melongok
keluar jendela dan dilihatnya disebelah kanan terdapat sebuah perahu yang bentuknya
menyerupai seekor ikan paus. Dikepala perahu terlihat sinar putih yang ber
kilau kilauan karena dipasangnya puluhan pisau sebagai gigi ikan, sedang badan
perahu yang melengkung dan buntutnya yang mengacung keatas berbentuk seperti
buntut ikan paus. Layar perahu sangat lebar dan jalannya perahu itu lebih cerat
daripada perahu Siang Kim Peng.
Kie keng pang (partai Ikan
Paus Raksasa) adalah sebuah perkumpulan bajak laut yang berkeliaran disepanjang
pantai propinsi, Kangsouw, Ciatkang dan Hokkian. Mereka membajak, membunuh dan
melakukan lain-lain perbuatan terkutuk, tapi sebegitu jauh, karena licinnya,
mereka belum dapat ditumpas oleh angkatan laut negeri dan selama puluhan tahun
mereka malang melintang diperairan lautan Tong hay.
Siang Kim Peng segera maju dan
berdiri dikepala perahu. "Bek Siauw pangcoe," teriaknya.
"In Kouwnio berada
disini. Apakah kau sungkan memberi sedikit muka kepada kami ?"
Dari gubuk perahu Kie keng
pang muncul seorang pemuda yang mengenakan pakaian warna kuning. Ia tertawa
dingin seraya berkata: "Didaratan, Peh bie kauw boleh menjagoi, diair Kie
keng pang yang memegang kekuasaan. Mengapa kami mesti mengalah dan membuntuti
kamu dari belakang ?"
Medengar pembicaraan mereka,
Coei San juga merasa, bahwa cara-cara Peh bie kauw terlalu sombong.
Sementara itu, anak buah Kie
keng pang sudah menaikkan lagi sebuah layar, sehingga jalannya perahu jadi
semakin laju, dengan begitu jadi sukar dapat diubar lagi.
Siang Kim Pang mengeluarkan
suara dihidung.
"Kie kong pang ...... hm
..... To Liong to ..... juga ..... To liong to ......" demikian terdengar
perkataannya. Karena suara angin yang menderu deru dan jarak antara kedua
perabu sudah agak jauh, maka Bek Siauw pang coe hanya dapat menangkap perkataan
"To liong to." Ia kelihatan kaget dan buru-buru memerintahkan anak
buahnya memperlambat jalan perahu. Beberapa saat kemudian, perahu Siang Kim
Peng sudah mendekati.
"Siang Tan coe, apa kau
kata ?" tanya pemuda itu.
"Bek Siauw pang coe . . .
Hian boentan Pek Tan coe kami ...... golok To liong to itu...." jawab
Siang Kim Peng.
Coei San merasa heran karena
ter putus-putusnya jawaban Siang Kim Peng.
Sementara itu, kedua perahu
sudah jadi semakin makin dekat. Tiba-tiba terdengar suara gedubrakan disusul
dengan teriakan orang. Ternyata diluar dugaan semua orang, dengan mendadak
Siang Kim Peng mengangkat jangkar dan melontarkannya keperahu Kie keng pang.
Suara rantai dan mencangkolnya
jangkar diperahu Kie keng pang dibarengi dengan jeritan kesakitan dan ada orang
anak buah perahu. (peep: ????)
"Hai! Apa kau gila?"
bentak Bek Siauw pang coe.
Anak buah Siang Kim Peng
buru-buru mengangkat sebuah jangkar lain yang lalu dilemparkan lagi keparahu
Kie keng pang dan dua buab jangkar itu telah mengambil jiwanya tiga orang anak
buah. Dilain saat, kedua perahu hampir berdampatan. Bek Siauw pang coe melompat
kepinggir perahu dan coba mengangkat salah sebuah jangkar. Tapi sebelum ia
berhasil, Siang Kim Peng sudah mengayun tangan kanannya dan serupa benda warna
biru yang menyerupai buah semangka
menghantam tiang layar tengah.
Benda itu, yang terbuat daripada baja, adalah salah sebuah dari sepasang
sanjata Siang Kim Peng yang berantai emas dan digunakan sebagai bandringan.
"Semangka" itu adalah senjata berat yang dipegang ditangan kiri
sembilanpuluh lima kati beratnya. sedang yang ditangan kanan seratus lima kati.
Dari situ dapatlah dibayangkan, betapa hebat tenaga orang she Siang. Jika tak
mempunyal tenaga ribuan kati, ia pasti tidak akan dapat menggunakan senjata
seberat itu.
Begitu dihatam dengan
"semangka" kanan, tiang layar itu bergoyangagoyang.
"Semangka" kiri menyusul dan disusul pula dengan "Semangka"
kanan. "Krek....krek....krek.... brak!" Tiang yang kasar itu tak
tahan dan patah. Keadaan jadi terlebih kalut dengan anak buah Kie keng pang ber
teriak-teriak, sambil menghunus senjata.
Tanpa mempedulikan segala
kekacauan itu Siang Kim Peng melompat kebelakang parahu itu dan menghantam
tiang layar belakang. Tiang itu banyak lebih kecil dan sekali dihajar, lantas
saja ambruk.
Pek Siauw pang coe sebenarnya
mempunyai kepandaian tinggi. Senjatanya dinamakan Hoensoen Go bie cek, sepasang
pusut yang panjangnya kirakira satu kaki dan sangat cocok untuk digunakan dalam
pertempuran didalam air. Tapi dalam kaget dan bingungnya, sebelum ia keburu
berbuat suatu apa, Siang Kim Peng yang bergerak luar biasa cepat, sudah
mematahkan dua tiang layarnya.
"Dengan adanya Peh bie
kauw, diatas airpun Kie keng pang tak mempunyai kekuasaan," teriak orang
she Siang itu sambil melontarkan sebuah "semangka" kelambung perahu
musuh yang lantas saja ber lubang besar dan air mengalir masuk. Anak buah Kie
keng pang jadi semakin bingung.
Dengan mata merah Bek Siauw
pang coe mencabut pusutnya dan dengan sekali menotol kaki di depan perahu,
badannya melesat keperahu musuh.
Selagi tubuh pemuda itu berada
ditengah udara tiba-tiba Siang Kim Peng melontarkan senjatanya kemuka pemuda
itu. Serangan itu yang dikirim secara mendadak dan kejam mengejutkan sangat
sekali. Hati Bek Siauwpangcoe. "Celaka" teriaknya sambil menotok
"semangka" itu dengan kedua pusutnya dalam usaha melompat balik
dengan meminjam tenaga tersebut. Jika ilmu mengentengkan badannya bersamaan
dengan ilmu Thio Coei San, bukan saja ia akan dapat mengelakkan serangan itu,
tapi ia juga bisa balas menyerang. Tapi dalam segala hal, dia masih kalah jauh
dari jago Boe tong pay itu.
"Semangka" yang
beratnya seratus kati, ditambah dengan tenaga Siang Kim Peng sendiri, terlalu
hebat untuk dilawannya. Tiba-tiba ia merasa dadanya menyesak, matanya
berkunang-kunaug dan tanpa ampun ia rubuh terguling diatas perahunya.
Begitu lawannya rubuh, Siang
Kim Peng segera menghantam pula dengan kedua "semangka" dan badan
perahu Kie keng pang lantas saja berlubang dibeberapa tempat. Sesudah itu,
sambil mengerahkan Lweekang, is menarik pulang kedua jangkar yang mencantol di
perahu musuh. Tanpa diperintah lagi oleh Tan Coe mereka anak buah perahu Peh
bie kauw lantas saja menaikkan layar dan perahu itu perlahan-lahan mulai
bergerak, tapi sebentar kemudian melaju kedepan dengan amat cepatnya.
Melihat cara Siang Kim Peng
merubuhkan musuh, jantung Thio Coei San bardebar keras, "Jika tak
mempunyai kepandaian meminjam tenaga memindahkan tenaga, tadi aku tentu sudah
binasa dalam tangannya. " pikirnya. Ia melirik In So So yang bersikap
tenang-tenang saja, seolah-oah tidak terjadi kejadian luar biasa.
Tiba-tiba disebelah kejauhan
terdengar suara guruh. itulah tanda, bahwa air pasang sedang mendatangi.
Walaupun anak buah Kie keng pang pandai berenang, mereka tak nanti dapat
melawan gelombang pasang yang seperti gunung. Bahaya yang dihadapi mereka lebih
besar lagi, karena pada waktu itu, mereka berada dimuara tempat ber temunya
sungai dan lautan, sehingga lebarnya permukaan sungai sampai puluhan li. Maka
itulah, begitu mendengar guruh, anak-anak Kie keng pang ketakutan setengah mati
dan berteriak-teriak minta pertolongan, tapi perahu Siang Kim Peng dan In So So
tidak meladeni dan terus berlayar kejurusan timur
Coei San melongok keluar
jendela dan melihat Perahu ikan paus itu sudah tenggelam separuh. Mendengar
teriakan-teriakan anak buah perahu ia sebenarnya merasa sangat tidak tega tapi
karena mengetahui bahwa Siang Kim Peng dan In So So adalah manusia-manusia
kejam, ia merasa tak guna membuka mulut.
Melihat paras pemuda itu, si
nona bersenyum. Mendadak ia berseru "Siang Tan coe, hati Thio Ngohiap
sangat mulia. Tolonglah anak buah perahu kie keng pang !"
Coei San terkejut, sebab hal
itu benar-benar diluar dugaannya.
"Baik !" teriak
Siang Kim Peng. Dilain saat perahunya membelok dan menuju ke perahu Kie keng
pang. "Anggauta- anggauta Kie keng pang dengarlah!" teriak Siang Kim
Peng," Atas permintaan Thio Ngohiap dari Boe tong pay, kami bersedia untuk
menolong jiwamu. Siapa yang mau hidup, berenanglah kemari!"
Anak buah Kie keng pang jadi
girang dan berburu berenang kearah perahu Siang Kim Peng yang memapaki mereka.
Dalam tempo tidak berapa lama, hampir semua orang, terhitung juga Bek Siauw
pangcoe, sudah dapat ditolong. Tapi biarpun begitu, ada enam tujuh orang yang
mati dipukul ombak.
"Terima kasih untuk
pertolongananmu!" kata Coei San.
Sinona mengeluarkan suara
dihidung dan berkata dengan suara tawar: "Orang-orang itu adalah
Bajak-bajak yang biasa merampok dan membunuh, perlu apa kau menolong mereka
?"
Coei San tergugu, tak dapat ia
menjawab pertanyaan si nona. Ia memang sudah dengar, bahwa Kie keng pang adalah
salah satu dari empat "pang" yang jahat dan ia pun tak pernah
menduga, bahwa hari ini ia berbalik menolong kawanan bajak yang kejam itu.
"Kalau mereka tidak
ditolong didalam hati Thio Ngohiap pasti akan mencaci maki aku," kata pula
si nona. "Kau tentu akan mencaci aku sebagal perempuan kejam yang tidak
pantas ditolong."
Perkataan itu mengenakan jitu
dihati Coei San, sehingga paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah:
"Kau memang pandai bicara dan aku tidak dapat menandingi," katanya
sambil tertawa. "Dengan menolong orang-orang itu, kau telah melakukan
perbuatan baik dan kau sendirilah mendapat pembalasan baik. Dengan aku
sedikitpun tiada sangkut pautnya."
Baru saja ia berkata begitu,
tibalah gelombang pasang. Perahu In So So seperti juga dilontarkan keatas dan
mereka tak dapat bicara lagi. Coei San melongok keluar jendela dan melihat
gelombang gelombang besar dalam bentuk seperti tembok tembok tinggi mendatangi
dengan saling susul. Ia bergidik karena mengingat, bahwa jika tidak ditolong
semua anak buah perahu Kie keng pang pasti binasa didalam air.
Mendadak si nona bangun
berdiri, masuk kegubuk perahu yang disebelah bekakang dan lalu menutup pintu.
Beberapa saat kemudian, ia keluar lagi dengan mengenakan pakaian wanita dan
memberi isyarat dengan gerakan tangannya, supaya Coei San membuka jubah
luarnya. Karena merasa kurang enak untuk menolong lagi, ia lalu membuka
jubahnya. Ia menduga si nona ingin menambal bagian yang berlubang dari jubah
itu. Tapi tak dinyana, So So lalu mengangsurkan jubahnya sendiri yang tadi
dipakai olehnya, sedang jubah Coei San lalu dibawanya kegubuk belakang.
Mau tak mau, Coei San terpaksa
memakai juga. Karena jubah luar biasanya dibuat dalam ukuran besar, maka
meskipun tubuh pemuda itu lebih besar daripada badan si nona, ia masih dapat
menggunakannya. Dilain saat, jantungnya memukul keras, sebab hidungnya
mengendus bebauan yang sedap dan wangi. Ia merasa jengah dan tidak berani
memandang lagi si nona. Karenanya matanya ditujukan kepada lukisan-lukisan yang
dipasang didinding gubuk, tapi hatinya tetap berdebar-debar. In So So pun tidak
mengajak bicara lagi dan duduk diam sambil mendengar suara gelombang. Datam
gubuk ini dipasang sebatang lilin. Mendadak sebagai akibat hantaman gelombang,
perahu miring dan lilin padam. "Celaka!" Coei San mengeluh dalam
hatinya.
"Biarpun aku sopan, tapi
dengan berdiam berdua-dua ditempat gelap, name baik In Kauwnio bisa
ternoda." Buru-buru in bangun berdiri dan membuka pintu belakang, akan
kemudian pergi ketempat jurumudi yang dengan tenang mengemudikan parahu itu
kealiran bawah.
Kurang lebih satu jam kemudian
air pasang mulai surut dan air keluar lagi kelautan, sehingga dengan menurut
aliran air, perahu itu laju semakin cepat. Pada waktu fajar menyingsing pulau
Ong poan san sudah berada didepan mata.
Pulau itu, yang terletak
dimulut sungai Ciantong kang, dalam perairan lautan Tonghay adalah sebuah pulau
kecil yang tandus dan tiada penduduknya. Waktu kedua perahu itu berada dalam
jarak beberapa kali, dari atas pulau tiba-tiba terdengar suara terompet dan dua
orang kelihatan menggoyang-goyangkan dua bendera hitam. Waktu perahu datang
lebih dekat, Coei San mendapat kenyataan bahwa bendera hitam itu berpinggir
putih dengan sulaman kura-kura terbang.
Dibawah kedua bendera itu
berduduk seorang tua, begitu lekas perahu menepi, lantas saja berseru :
"Hian boen tan Pek Kwie Sioe menyambut In Kauw nio dengan segala
kehormatan." Suaranya keras, tapi kedengarannya sangat menusuk kuping.
Sehabis berseru begitu si kakek sendiri memasang papan untuk pendaratan. In So
So mempersilahkan Coei San jalan lebih dulu dan sesudah mereka mendarat, ia
segera memperkenalkan, pemuda itu kepada Pek Kwie Sioe.
Jilid 8
Mendengar pemuda itu adalah
salah seorang dari Boe tong Cit hiap, Pek Kwie Sioe terkejut. "Sudah lama
aku mendengar nama besar dari Boe tong Cit hiap," "katanya. "Aku
merasa sangat beruntung, bahwa dihari ini aku dapat bertemu muka dengan Thio
Ngohiap."
Thio Coei San segera menjawab
dengan perkataan-perkataan merendahkan diri.
"Hai! Kalian berdua
pandai sekali bicara manis-manis," kata In So So. "Di hati lain,
dimulut lain. Didalam hati, yang satu berkata: "Celaka. Orang Boe tong pay
turut datang kesini dan tambah lagi satu lawan lihay yang mau merebut To liong
to. Yang lain berpikir Huh! Manusia apa kau ? Anggauta dari agama yang
menyeleweng. Tak sudi aku bersahabat denganmu. Menurut pendapatku, lebih baik
kalian bicara saja terang-terang. Jangan main berpura pura."
Pek Kwie Sioe tertawa
terbahak-bahak.
"Tidak, aku tidak memikir
begitu," kata Coei San. "Aku yakin, bahwa Pek Tan coe memiliki ke
pandaian yang sangat tinggi. Ilmu mengirim suara sangat mengagumkan.
Kedatanganku disini hanyalah menemani In Kouwnio untuk menonton ke ramaian dan
sedikitpun aku tidak mempunyai niatan untuk turut dalam perebutan golok
mustika."
Mendengar perkataan pemuda
itu, In So So me rasa girang sekali.
Pek Kwie Sioe mengenal nona In
sebagai wanita yang berhati kejam dan tak pemah berlaku manis2 terhadap
siapapun jua. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, ia menyaksikan sikap yang
luar biasa halus dari sinona terhadap Thio Coei San, sehingga ia segera
mengetahui, bahwa Son So sudah jatuh hati kepada pemuda yang tampan itu. Selain
begitu, ia juga merasa senang mendengar pujian yang diberikan Coei San dan rasa
permusuhannya terhadap pemuda itu lantas saja hilang.
"In Kouw nio,"
katanya sambil tersenyum, "orang orang Hay See Hay dan Sin koen boen sudah
datang semua. Disamping mereka, terdapat juga dua pemuda dari Koen loan pay. Lagak
mereka agak sombong dan berbeda jauh dengan Thio gohiap yang tenama
besar....hm...,Memang orang yang benar-benar berkepandaian tinggi tidak banyak
tingkah"
Baru ia berkata sampai disitu,
dibelakang bukit mendadak terdengar bentakan: "Hai! Perlu apa kau
membusuki nama orang dibelakangnya? Apa itu perbuatan seorang laki-laki ?"
Berbareng dengan bentakan itu,
dari belakang bukit dua pemuda usia dua puluh tahun lebih yang bertubuh kurus
dan mengenakan jubah panjang wama kuning, sedang dipunggung mereka terselip
sebatang pedang. Mereka menghampiri dengan paras muka menyeramkan.
Pek Kwie Sioe tertawa nyaring,
dan berkata dengan suara tenang: "Aha! Baru menyebut nama Co Coh, Co Coh
lantas saja datang. Mari, mari aku memperkenalkan kalian."
Kedua Kiamtek (ahli pedang)
Koen loan pay itu sebenamya sudah mau mengunjuk kegusaran mereka, tapi begitu
melihat kecantikan So So mereka tertegun. Yang satu mengawasi sinona dengan
mulut ternganga, yang lain melengos, tapi diam-diam melirik berulang ulang.
Sambil menunjuk pemuda yang
tengah mengawasi So So, Pek Kwie Sioe berkata: "Yang ini adalah Ko Cek
Sang Tay kiamkek." Ia menengok kearah yang lain dan menyambung
perkataannya : "Yang itu Chio Tauw Taykiamkek. Mereka berdua adalah
pentolan-pentolan Koen loen pay. Nama Koen loan pay telah menggetarkan wilayah
Barat dan dalam Rimba Persilatan, semua orang merasa kagum akan tingginya ilmu
silat Koen loan. Maka itu, Ko dan Cio Taykimkek juga pasti memiliki kepandaian
yang lain dari pada yang lain. Kali ini, dari tempat jauh mereka datang di
Tionggoan dan mereka pasti akan memperlihatkan kepandaian istimewa supaya kita
semua bisa menambah pengalaman.
Mendengar perkataan itu yang
dikeluarkan nada mengejek, Coei San menduga, bahwa kedua pemuda itu akan segera
menghunus senjata, atau sedikitnya, akan membalas dengan kata-kata tajam. Tapi
diluar dugaan, mereka hanya manggut-manggut, tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Setelah mengawasi muka merah, baru Coei San tahu sebab musababnya. Mereka
teryata seperti orang linglung karena dipengaruhi dengan kecantikan In So So.
Coei San merasa geli.
"Nama Koen loan pay tersohor dikolong langit dan dikenal sebagai malaikat
dalam ilmu silat pedang," pikimya "Sungguh sayang murid-muridnya yang
datang kemari adalah manusia-manusia rendah."
Tapi sebenamya, meskipun Ko
Cok Sang dan Chio Tauw beradat sombong, mereka bukan manusia rendah yang gemar
dengan paras cantik. Yang menjadi soal ialah karena memang So So terlalu cantik
dan memiliki sifat-sifat seperti besi barani, yang dapat membetot semangat orang.
Dengan mengingat, bahwa mereka adalah manusia manusia biasa, apapula usia
mereka masih begitu muda, maka sikap yang menggelikan itu dapat dikatakan
jamak.
Sementara itu, Pek Kwie Sioe
berkata pula: "Yang itu adilah Thio Coei San Siangkong dari Boe tong pay,
yang ini nona In So So, sedang yang itu Siang Kim Pang Tan coe dari agama
kami."
Mendengar perkataan Pek Kwie
Sioe, So So merasa sangat girang. Bahwa si kakek hanya menggunakan istilah
"Siangkong" ( tuan ) dan tidak menggunakan lagi perkataan "Thio
Ngohiap", merupakan petunjuk, bahwa ia menganggap Coei San seperti orang
sendiri. Sambil bersenyum, si nona melirik pemuda itu dengan sorot mata
menyinta.
Melihat sikap So So terhadap
Coei San, Ko Cek Song yang beradat kasar saja meluap darahnya dan tidak dapat
menyembunyikan lagi rasa jelusnya. "Chio Soetee," katanya dengan
suara tawar, "di See hek, kita seperti pemah mendengar, bahwa Boe tong pay
adalah sebuah partai yang tulen dalam Rimba Persilatan diwilayah
Tionggoan."
"Benar. akupun seperti
pemah mendengar begitu" jawab adik seperguruannya.
"Tapi kita mendengar
tidak sama dengan melihat sendiri," kata pula Ko Cek Sang
"Pendengaran itu tidak dapat dipercaya."
"Dalam kalangan Kangouw
memang banyak sekali tersiar desas desus yang tidak boleh dipercaya,"
menyambung Cio Tauw. "Ko Soeheng, apa artinya perkataanmu itu?"
"Murid dari partai
persilatan yang tulen bagaimana bisa bercampur gaul dengan orang-orang dari Sia
kauw (agama yang menyeleweng)?" jawabnya, "Bukankah kejadian itu
sangat menurunkan namanya partai yang sangat cemerlang itu?"
Dalam menyindir Thio Coei San,
mereka tak pernah mimpi, bahwa In So So pun seorang dari Peh bie kauw. Mereka
hanya mengetahui, bahwa yang menjadi anggauta agama itu hanya Pek Kwie Sioe dan
Siang Kim Pang.
Coei San meluap darahnya, tapi
segera juga ia mendapat pikiran lain. Ia ingat, bahwa kedatangannya dipulau Ong
poan san adalah untuk menyelidiki musuh yang telah mencelakakan Jie Thay Gam,
sehingga ia tak boleh merusak tujuannya sendiri dengan mengumbar napsu amarah.
Ia juga ingat, bahwa biarpun berusia lebih tinggi dari padanya, kedua Kiamkek
Koen loen pay itu adalah orang orang tidak tenama yang baru menceburkan diri
kedalam dunia Kangouw. Maka itu, tak pantas ia meladeninya. Di samping itu,
iapun mengakui, bahwa Peh bie kauw memang suatu agama yang menyeleweng dan In
So So serta Siang Kim Pang adalah manusia-manusia kejam yang dapat membunuh
sesama manusia seperti orang menyuap nasi. Ia memang sudah mengambil putusan
untuk tidak bergaul terus dengan orang itu.
Memikir begitu, ia lantas saja
tersenyum seraya berkata: "Dengan orang-orang Peh kie kauw, aku pun baru
berkenalan, tidak berbeda dengan kedua Jin heng."
Keterangan itu mengherankan
hatinya semua orang, kecuali si nona sendiri, Pek Kwie Sioe dan Siang Kim Pang
pun semula menduga, bahwa persahabatan antara nona In dan Coei San sudah
berjalan lama. In So So sendiri merasa sangat mendongkol. Ia mengerti, bahwa
dengan berkata begitu, Coei San memandang rendah kepada Peh bie kauw. Ko Cek
Sang dan Chio Tauw saling mengawasi dengan senyuman mengejek. Mereka
menganggap, bahwa Coei San sudah jadi ketakutan karena mendengar nama Koen loan
pay.
"Kecuali Bek Siauw
pangcoe, semua tetamu sudah tiba," kata Pek Kwie Sioe. "Kita tak usah
menunggu ia. Sekarang kalian boleh jalan-jalan di pulau ini secara bebas dan
sebentar tengah hari, harap kalian suka datang dilembah untuk minum arak dan
melihat golok mustikaku."
Siang Kim Pang tertawa.
"Perahu Bek Siauw pangcoe mendapat kerusakan dan atas permintaan Thio
Siangkong, mereka telah ditolong," ia menerangkan. "Sekarang Siauw
pangcoe itu berada dalam perahuku. Sebentar kita boleh mengundangnya untuk
menghadiri pertemuan"
Biarpua kedua Tan coe itu
bersikap sangat hormat dan walaupun In So So memperlihatkan kecintaannya, Coei
San sudah mengambil keputusan untuk menjauhkan diri. Maka itu, ia segera
berkata: "Siauwtee ingin jalan-jalan sendiri," tanpa menunggu
jawaban, ia segera berjalan kearah sebuah hutan di sebelah timur.
Kecuali bukit-bukit dan
hutan-hutan kecil. di Pulau itu tidak ada pemandangan yang berharga. Disebelah
tenggara terdapat sebuah pelabuhan di mana berlabuh belasan perahu, yaitu
perahu-perahu para tetamu. Sambil menunduk Coei San berjalan disepanjang pantai
dan sembari berjalan ia mengasah otak. Ia merasa sangat tidak puas dengan
kekejaman dan sepak terjang In So So, tapi sungguh heran, hatinya seperti juga
dibetot betot dan tak dapat melupakan nona yaag cantik itu.
"Tak dapat disangkal
lagi, In kauwnio mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Peh bie
kauw," pikirnya. "Pek Tancoe dan Siang Tancoe menghormatinya seperti
juga ia seorang puteri. Tapi sudah terang ia bukan Kauw coe. Siapa dia?"
Dilain saat, ia berkata pula
didalam hatinya: "Dalam pertemuan ini yang dihimpunkan oleh Peh bie kauw,
partai-partai lain telah mengirim wakil-wakilnya yang paling jempolan. Tapi Peh
bie kauw sendiri hanya mengutus seorang Tan coe, seolan-olah mereka tidak
memandang sebelah mata kepada pihak lawan. Dari gerakan-gerakannya, kepandaian
Pek Tancoe berada di sebelah atas Siang Tancoe. Dilihat begini, Peh bie kauw
sungguh-sungguh tidak boleh dipandang enteng. Biarlah hari ini aku menyelidiki
asal usul mereka, Mungkin sekali di kemudian hari Boe tong Cit hiap akan
bertempur mati-matian dengan mereka." Selagi memikir begitu, tiba tiba ia
dengar suara beradunya senjata di luar hutan.
Ia heran dan lalu menuju
kearah suara itu.
Jauh-jauh ia lihat Ko Cek Seng
dan Chio Tauw sedang berlatih pedang dengan ditonton oleh In So So.
"Soehoe sering mengatakan, bahwa kiam sut (ilmu pedang) Koen loen pay
lihay bukan main dan diwaktu masih muda, beliau pernah bertempur dengan seorang
pentolan Koen loan pay yang ber gelar Kiam Seng (Nabi pedang)," pikirnya:
"Kesempatan untuk menyaksikan ilmu pedang itu sebenar-benarnya tidak boleh
disia-siakan. Akan tetapi, menurut peraturan Rimba persilatan, jika orang
sedang berlatih silat, orang tidak boleh mencuri lihat." Sebagai murid
dari sebuah rumah perguruan yang terhormat, Coei San sungkan melanggar
peraturan itu, sehingga oleh karenanya, biarpun didalam hati ia sangat kepingin
menonton, tetapi sesudah melihat beberapa kali, ia segera memutar badan dan
berjalan pergi.
Diluar dugaan, baru satu dua
tindak, ia telah dilihat In So So yang sambil menggapai-gapai, lantas saja
berteriak : "Thio Ngoko, kemari!"
Coei San tahu, bahwa jika
tidak menghampiri, ia bisa dicurigai sebagai orang yang benar sudah mencuri
lihat latihan pedang itu. Maka itu, ia lantas saja mendekati seraya berkata :
"Kedua Heng tay tengah berlatih dan tak pantas kita berdiam disini
lama-lama. Mari kita pergi ketempat lain."
Sebelum sinona keburu
menjawab,mendadak berkelebat sinar pedang dan "brett !" pedang Chio
tauw telah menggores lengan kiri Ko Cek Sang yang lantas saja mengucurkan
darah.
Coei San terkejut, ia duga
Chio Tauw kesalahan tangan. Tapi ia lebih kaget lagi, karena tanpa mengeluarkan
sepatah kata dan dengan paras muka merah padam, Ko Cek Seng mengirim tiga serangan
beruntun yang sangat hebat dan ditujukan kearah bagian-bagian tubuh yang
membinasakan. Sekarang baru ia tabu, bahwa kedua orang itu bukan berlatih, tapi
sedang bertempur sungguhan.
In So So tertawa dan berkata :
"Dilihat begini, sang Soeko belum dapat menandingi siadik. Menurut
pendapatku ilmu Chio heng lebih unggul sedikit."
Mendengar perkataan itu,
sambil bergertak gigi, Ko Cek Seng memutar tubuh dan menyabet dengan pedangnya
dalam pukulan Pek tiang hoe po (Air tumpah beratus tombak panjangnya). Pedang
itu menyambar dari atas kebawah, seolah-olah turunnya air tumpah. Dengan
menggunakan seantero kelincahannya, Chio Tauw coba mundur kebelakang, tapi
pedang Ko Cek Seng tiba-tiba berubah arah dan dengan satu suara "brett
!," ujung pedang mengenakan jitu dibetis kirinya.
Sinona tertawa geli dan
menepuk nepuk tangan.
"Aha ! Kalau begitu sang
Soeheng mempunyai ilmu simpanan!" teriaknya "Kali ini Chio heng yang
kalah."
"Belum tentu !"
bentak Chio Tauw dengan gusar sambil menyerang dengan pukulan Ie tehhoei hoa
(Hujan menghantam bunga yang beterbangan). Pedangnya menyambar nyambar dalam
gerakan miring kadang-kadang diseling dengan tikaman lurus. Sebagai murid Koen
loen pay, Ko Cek Seng tentu saja paham dalam ilmu pedang itu dan tanpa sungkan
sungkan lagi iapun segera membuat serangan serangan membalas. Mereka berdua
sudah sama-sama terluka dan biarpun tidak berbahaya, dalam perterpuran, darah
mereka beterbangan kian kemari, sehingga muka, tangan dan pakaian mereka penuh
dengan noda darah. Semakin lama mereka terus bertempur semakin sengit dan
ahirnya mereka saling tikam mati-matian, seolah olah sedang berhadapan deagan
musuh besar,
Dilain pihak, In So So
saban-saban tertawa dan menepuk-nepuk tangan, sebentar ia memuji yang satu,
sebentar memuji yang lain.
Sekarang Coei San mengerti,
bahwa bertempurnya kedua saudara seperguruan itu adalah karena gara-gara
sicantik, yang rupanva sudah menjalankan siasat adu domba, karena mendongkol
atas ejekan mereka terhadap Pak bie kauw. Sesudah mengawasi beberapa lama, ia berpendapat,
bahwa meskipun mereka cukup paham dalam ilmu pedang, perubahan perubahan pedang
masih kurang cepat den Lweekang merekapun masih belum cukup tinggi.
"Thio Ngoko," kata
sinona dengan suara gembira. "Bagaimana pendapatanmu dengan Kiang hoat
Koen loan pay ?"
Coei San tidak menjawab. Ia
mengerutkan alis seperti orang sebal. Melihat begitu, So So lantas saja berkata
: "Sudahlah ! begitu-begitu juga. Aku pun sudah merasa sebal. Mari kita
pergi kesitu untuk menikmati pemandangan langit." Sehabis berkata begitu
ia menarik tangan kiri Coei San dan berjalan pergi.
Jantung Coei San berdebar
keras. Ia merasa tangan nya dicekal dengan tangan yang empuk halus, sedang
hidungnya mengendus bebauan yang sangat wangi. Ia mengerti, bahwa dengan
berbuat begitu, So So sengaja ingin membangkitkan rasa jelus dan guramnya kedua
murid murid Koen loen pay itu. Karena merasa tak enak untuk melepaskan
tangannya, tanpa menneluarkan sepatah kata, ia segera mengikuti.
Mereka berdiri ditepi laut
sambil memandang air yang seakan-akan tiada batasnya. Beberapa saat kemudian,
So So mendadak berkata: "Dalam kitab Congcoe dibagian Chioe soei pian
terdapat kata kata begini: Air dikolong langit tak ada yang lebih besar dari
pada lautan. Laksana sungai mengalir kedalam laut. Entah kapan sungai-sungai
itu berhenti mengalir dan tidak memenuhkan lautan. Tapi Sang laut sedikitpun
tidak jadi sombong dan hanya berkata: Aku berada diantara langit dan bumi
seperti juga sebutir batu atau satu pohon kecil yang tumbuh disebelah gunung
yang besar. Setiap kali membaca kitab itu, aku mengagumi Cong coe (Chuang tze)
tidak habisnya, karena dari tulisan-tulisan tersebut, ia sungguh sungguh
seorang
berjiwa besar"
Mendengar perkataan sinona
Coei San kaget. Ia merasa tak puas melihat cara-cara nona In yang sudah mencari
kesenangan dengan mengadu domba kan orang. Sedikitpun ia tidak nyana, bahwa
memedi perempuan yang dapat membunuh manusia tanpa berkesip, dapat mengutip
kata-kata dari kitab Cong coe.
Kitab Cong coe adalah sebuah
kitab yang mesti dibaca dan dipelajari oleh murid-murid agama Too kauw. Waktu
masih berguru di Boe tong sn, ia dan saudara-saudara seperguruannya sering
sekali mendengar penjelasan-penjelasan Thio Sam Hong mengenai isi kitab itu.
Demikianlah dalam rasa kaget
dan herannya, tanpa merasa ia segara berkata: "Benar. Ribuan li jauhnya,
tak dapat dikatakan besar, ribuan kaki tak dapat dikatakan dalam."
Dendengar Coei San mengutip
kitab Congcoe untuk melukisan besarnya dan dalamnya lautan, sedang pada muka
pemuda itu terlihat paras penuh penghormatan, sinona segera berkata :
"Apakah kau ingat Soehoemu ?"
Coei San terkesiap, tanpa
merasa ia mengangsurkan tangan kanannya dan'mencekal tangan sinona yang satunya
lagi. "Bagaimana kau tahu apa yang dipikir olahku?" tanyanya dengan
suara heran.
Hal ini mempunyai latar
belakang seperti berikut:
Dulu waktu berada digunung Boe
tong san, pada suatu hari ia bersama-sama Song Wan Kiauw dan Jie Thay Giam
membaca kitab Congcoe. Sesudah membaca "Ribuan li jauhnya, tak dapat
dikatakan besar, ribuan kaki tak dapat dikatakan dalam", Jie Thay Giam
berkata: "Dalam berguru dengan Soe hoe, semakin lama belajar, aku merasa
semakin berbeda jauh dengan kepandaian beliau, seperti juga, sebaiknya daripada
maju, kita mundur setiap hari menurut pendapatku, kata-kata Cong coe itu adalah
yang paling tepat untuk melukiskan kepandaian Soehoe yang tak dapat diukur
berapa dalamnya."
Mendengar perkataan saudara
itu, Wan Kiauw dan Coei San memanggut manggutkan kepalanya.
Itulah sebab musabab mengapa
begitu mengutip kata-kata itu, ia lantas saja ingat gurunya yang tercinta.
"Dengan melihat paras
mukamu, aku segera mengetahui, bahwa jika bukan ingat kedua orang tuamu, kau
tentu ingat gurumu," jawab si nona. "Oleh karena dalam dunia ini
hanyalah Thio Sam Hong seorang yang surup untuk dilukiskan dengan perkataan
itu, maka aku segera menduga pasti, bahwa yang diingat olehmu adalah
Soehoemu."
"Kau sungguh
pintar," kata Coai San dengan suara kagum. Sesaat itu, tiba-tiba ia sadar,
bahwa kedua tangannya sedang mencekal kedua tangan si nona. Paras mukanya
lantas saja berubah merah dan buru-buru ia melepaskannya.
"Apakah kau boleh
memberitahukan kepadaku, berapa tingginya ilmu silat gurumu?" tanya So So.
Pemuda itu tidak lantas
menjawab. Sesudah memikir sejenak baru ia berkata. "Ilmu silat adalah ilmu
yang tidak begitu penting. Apa yang diajar dari beliau bukan terbatas pada ilmu
silat saja. Hai! Luas dan dalam ... entah bagaimana aku harus
menceriterakannya."
Sinona tersenyum seraya
berkata: "Hoecoe bertindAk, aku turut bertindak. Hoecoe berjalan, aku
turut berjalan. Hoecoe lari aku turut lari. Tapi begitu lekas Hoecoe lari
cepat, biarpun mengikuti sebisa-bisanya, aku tetap ketinggalan jauh" (Hoe
coe berarti guru, tapi disini dimaksudkan Khong coe atau Khongfusius).
Mendengar sinona mengutip
kata-kata pujian Gan Hwee (murid Khongcoe ) terhadap Khongcoe, Coei San lantas
saja berkata: "Tapi guruku tak usah lari keras. Sekali ia berjalan atau
lari pelan pelan, kami sudah tidak dapat mengikutinya." Dari perkataan itu
dapatlah diketahui, bahwa pemuda itu sangat memuja gurunya
Demikianlah, dengan duduk
berendeng diatas sebuah batu besar, kedua orang muda itu merunding kan ilmu
surat dan iimu silat secara panjang lebar dan mendalam.
Sebagai seorang yang
berpengetahuan tinggi dan sangat cerdas, In So So selalu dapat menimpali Coei
San dalam omong-omong itu.
Tiba-tiba terdengar suara
tindakan dan batuk batuk, disusul dengan suara orang: "Thio Siangkong, In
Kouwnio, Ngo sie (tengah hari) sudah tiba. Harap kalian suka pergi ketempat
perjamuan."
Coei San menengok dan melihat
Siang Kim Peng berdiri dalam jarak belasan tombak dan mengawasi mereka dengan
bersenyum. Dari paras mukanya, ia kelihatan merasa kagum dan girang melihat dua
sejoli yang setimpal itu. Menurut kebiasaan, In So So sombong dan kurang ajar
jika berhadapan dengan orang-orang sebawahannya. Tapi kali ini, dengan muka
kemerah merahan ia menundukkan kepala.
Siang Kim Peng lantas saja
memutar badan dan berjalan lebih dulu dengan tindakan lebar.
"Aku jalan lebih
dulu," bisik sinona.
Coei San tak mengerti, tapi ia
lantas saia mengangguk.
In So So lantas saja berlari
lari dan berjalan berandeng dengan Siang Kim Peng. "Bagaimana dengan kedua
bocah tolol dari Koen loen itu ?" demikian terdengar pertanyaan si nona.
Coei San mengawasi mereka
dengan perasaan sukar dilukiskan dan kemudian, sesudah mereka terpisah jauh,
barulah ia mengikuti dengan tindakan perlahan.
Begitu tiba dimulut lembah, ia
lihat tujuh delapan meja persegi disebidang tanah lapang rumput. Kecuali meja
utama disebelah timur, semua meja sudah penuh orang.
Melihat kedatangan Coei San,
Siang Kim Peng segera bangun berdiri dan berteriak dengan suara nyaring:
"Thio Ngohiap dari Boe tong pay". Hampir berbareng, Pek Kwie Sioe
juga bangun dari tempat duduknya dan kemudian dengan masing-masing diikuti oleh
lima orang Hio Coe kedua Tan coe itu meninggalkan meja perjamuan untuk
menyambut tamu yang baru datang itu. Duabelas orang itu berdiri berjejer
dikedua pinggir dan menyambut sambil membungkuk.
"Hian boe tan Pek Kwie
Sioe dan Ciak tan Siang Kim Peng yang berada dibawab perintah In Kauw coe dan
Peh bie kauw, menyambut kedatangan Thio Ngohiap!" seru Pek Kwie Sioe
dengan suara nyaring, In So So sendiri tidak meninggalkan meja, tapi ia turut
bangun sendiri.
Mendengar kata-kata "In
Kauw coe." hati Coei San berdebaran. "Kalau begitu, kepala agama Peh
bie kauw benar seorang she In," katanya didalam hati. Segera ia menangkap
kedua tangannya dan berkata: "Tak berani aku menerima kehormatan yang
begitu besar." Begitu datang dekat meja-meja perjamuan ia mendapat
kenyataan, bahwa semua orang mengawasinya dengan paras mendongkol. Ia merasa
heran, tapi tidak memperdulikan.
Yang menjadi sebab dari
perasaan mendongkol itu adalah karena kedatangan pemimpin-pemimpin Hay see pay,
Kie keng pang dan Sin koen boen hanya disambut oleh seorang Hio coe dan tidak
mendapat kehormatan seperti yang didapat oleh jago Boe tong pay itu. Keruan
saja mereka merasa dihina, tapi kejadian itu tidak diketahui Coei San.
Dengan sikap hormat Pek Kwie
Sioe mengantarkan pemuda itu kemeja utama disebelah timur dan mengundang supaya
dia duduk disitu. Dimeja itu, yang mempunyai kedudukan paling mulia, hanya
terdapat sebuah kursi. Coei San menyapu seluruh gelanggang perjamuan dengan
matanya dan is mendapat kenyataan, bahwa dilain-lain meja berduduk tujuh
delapan orang, hanya dimeja keenam berduduk dua orang, yaitu Ko Cek Seng dan
Chio Tauw.
"Aku yang rendah adalah
seorang muda yang berkepandaian cetek," katanya dengan suara nyaring.
"Tidak berani aku duduk dimeja utama itu."
"Dalam Rimba Persilatan,
Boe tong pay merupakan gunung Thay san atau bintang Pak tauw," kata Pek
Kwie Sioe. "Kalau Thio Ngohiap yang namanya menggetarkan seluruh negara
tidak berani duduk, siapa lagi yang berani duduk disitu ?"
Tapi Coei San yang selalu
diajar oleh gurunya untuk merendahkan diri, tetap menolak.
Sementara itu, Ko Cek Seng dan
Chio Tauw saling memberi isyarat dengan lirikan mata. Tiba tiba Chio Tauw
mengangkat kursinya dan melontarkannya kearah meja utama. Antara meja yang
didudukinya dan meja utama itu terdapat lima belas meja lain. Dengan
menggunakan Lweekarg yang tepat. kursi itu terbang diatas kepala para tamu dan
hinggap disamping kursi utama. Begitu lekas Chio Tauw memperlihatkan
kepandaiannya, Ko Cek Seng segera berseru : "Huh huh ! Thaysan .....Pak
tauw ! Siapa yang mengangkat Boe tong pay menjadi Thaysan Pak tauw? Jika si
orang se Thio tidak berani duduk disitu, biarlah kami berdua yang
menggantikannya." Bersama Soetee nya, ia segera melompat kemeja utama itu.
Bagaimana kedua saudara
seperguruan jadi bertempur dan sesudah bertempur mati-matian, mereka akur
kembali ?
Tadi, sesudah barkenalan,
dalam kedongkolannya karena kedua pemuda itu sudah mengejek Peh bie kauw, In So
So segera menanya siapa di antara mereka berdua yang ilmu pedangnya terlebih
tinggi dan mengatakan, bahwa ia ingin sekali mempelajari beberapa pukulan dari
Koenloen Kiamhoat. Kedua pemuda itu yang sudah dirubuhkan oleh kecantikan si
nona, lantas saja menghunus pedang.
Semula mereka hanya ingin
memperlihatkan keunggulan dalam sebuah latihan, tapi semakin lama mereka jadi
semakin sengit dan ditambah dengan ejekan-ejekan So So, akhirnya mereka jadi
bergempur mati-matian dan kedua-duanya terluka.
Belakangan, sesudah si nona
dan Coei San meninggalkan mereka sambil bergandengan tangan, barulah mereka
tersadar dan menghentikan pertempuran itu. Dengan rasa malu dan gusar, mereka
membalut luka, tapi mereka tak berani mengunjuk kegusaran terang-terangan
kepada nona In.
Demikianlah, mereka sekarang
ingin merebut kursi yang ditawarkan kepada Coei San untuk menghina pemuda itu
dihadapan orang banyak.
"Tahan!" bentak
Siang Kim Peng sambil merentang tangannya.
Ko Cek Seng segera mengangkat
tangannya untuk menotok jalan darah dilengan Kim Peng.
Tapi sebelum ia turun tangan,
Coei San sudah mendahului berkata: "Jie wie berdua memang paling cocok
duduk di sini," kata Coei San. "Biarlah aku duduk disitu."
Sambil berkata begitu, ia berjalan kemeja keenam.
"Thio Ngoko, kemari!
" seru In So So sambil menggapai.
Coei San segera mendekati,
karena menduga si nona ingin berbicara dengannya. Tapi diluar dugaan, So So
menarik sebuah kursi dan menaruhnya di samping kursinya. "Kau duduk disini
saja." katanya sambil tersenyum.
Coei San jengah bukan main dan
untuk sejenak ia tak tahu harus berbuat bagaimana. Kalau duduk disitu, ia
merasa malu. Kalau menolak, penolakan itu merupakan hinaan besar untuk sinona.
"Aku ingin bicara
denganmu," bisik SoSo.
Melihat sorot mata memohon
dari sinona, Coei San merasa tak tega untuk menolak dan lantas saja duduk
dikursi itu. Nona In jadi sangat girang dan sambil bersenyum-senyum, ia menuang
secawan arak.
Di lain pihak melihat duduknya
Coei San di samping nona In, walaupun sudah berhasil merebut kedudukan utama,
Kok Cek Seng dan Chio Tauw jadi semakin medongkol. Pada sebelum mereka duduk
dikedua kursi itu, Pek Kwie Sioe menyelak dan mengebut-ngebut kursi itu dengan
menggunakan tangan bajunya. "Memang pantas Taykiamkek dari Koen loen pay
duduk dikursi utama," katanya sambil tertawa. "Duduklah."
Sehabis berkata begitu, dengan bersama Siang Kim Peng dan sepuluh Hio coe, ia
segera kembali ke tempat duduknya.
Dengan anggapan bahwa mereka
sudah berhasil menindih lawannya, Ko Cek Seng dan Chio Tauw segera duduk
dikedua kursi itu. Tapi berbareng dengan suara "krekek", kaki kursi
patah dan mereka rubuh terjengkang. Untung juga, sebagai ahli-ahli silat,
begitu rubuh, begitu mereka melompat bangun. Tak usah dikatakan lagi, mereka
malu bukan main, lebih-lebih karena para hadirin tertawa terbahak-bahak. Ko Cek
Seng mengerti, bahwa patahnya kaki kursi adalah karena perbuatan Pek Kwie Sioe
yang mengerahkan Lwee-kang pada waktu mengebut-ngebut dengan tangan bajunya. Ia
yakin, siorang she Pek telah menggunakan tenaga Im kin (tenaga dingin) yang
tidak dipunyakan olehnya sendiri. Ia adalah seorang yang sombong dan sama
sekali tidak memandang mata kepada Peh bie kauw yang dianggapnya sebagai agama
menyeleweng.
Mimpipun ia tak pernah mimpi,
bahwa dalam Peh bie kauw terdapat orang yang berkepandaian sedemikian tinggi.
Sementara itu, dengan suara
tawar Pek Kwie Sioe berkata pula: "Semua orang tahu, bahwa ilmu silat Koen
loen pay lihay luar biasa. Akan tetapi, janganlah Jie wie menumplek hawa marah
kepada kursi itu. Ilmu yang barusan diperlihatkan Jie wie, aku yakin dimiliki
oleh semua orang yang hadir disini." Ia menuding kepada sepuluh orang
Hiocoe yang duduk dimeja paling ujung, Hampir ber bareng, diiringi dengan suara
"krekek-krekek", sepuluh kursi patah kakinya dan sepuluh Hio coe itu
bangun berdiri dengan sikap tenang.