-------------------------------
-----------------------------
Bagian 05
Dibawah sinar lilin ia lihat
muka si kakek yang berwarna hijau ungu sebagai tanda keracunan hebat. Dengan
kaget ia merogo saku dan mengeluarkan sebutir Thian sin Kay tok tan atau pel
pemunah racun. "Telanlah pel ini," katanya.
Si kakek membuka mataya.
"Tidak," katanya dengan suara gusar. "Aku lebih suka mati
daripada makan pil racunan."
Biar bagaimana sabarpun, Jie
Thay Giam naik juga darahnya. Sambil mengerutkan alis, ia berkata dengan suara
keras: "Kau anggap aku siapa? Walaupun Boe tong Cit hiap bukan orang2
mulia, mereka sedikitnya bukan manusia2 yang gemar mencelakakan sesama manusia.
Sebentar pel ini adalah untuk memunahkan racun. Karena kau sudah kena racun
hebat, biarpun belum tentu bisa menolong jiwamu, sedikitnya pel ini bisa memperpanjang
usiamu selama tiga hari. Paling benar kau menyerahkan To liong to kepada Hay
see pay dan menukarkannya dengan obat pemunah."
Mendadak kakek itu melompat
bangun dan berteriak : "Tidak . . . .! Tidak bisa !"
"Perlu apa golok mustika
itu, kalau jiwamu sendiri sudah melayang?" tanya Thay Giam.
"Jiwaku boleh melayang,
tapi To liong to mesti tetap jadi milikku" jawabnya dengan suara pasti
seraya mencekal golok itu erat2 dan menempelkannya dipipinya dengan sikap
sangat menyayang.
Jie Thay Giam jadi heran bukan
main. Ia sebenarnya ingin menanya, "apa kefaedahan golok tersebut sehingga
dicinta sampai begitu. Tapi melihat sorot mata si kakek yang serakah dan ganas,
ia jadi merasa muak dan sesudan memutar badan, ia lantas saja berjalan pergi.
"Tahan! Mau kemana
kau?" bentak orang tua itu.
Thay Giam tertawa.
"Kemudian aku mau pergi, bukan urusanmu," jawabnya sambil berjalan
terus. Tapi baru ia berjalan beberapa tindak, mendadak kakek itu menangis keras
seperti jeritan binatang yang terluka hebat yang penuh kesakitan dan putus
harapan.
Tangisan itu telah
membangkitkan rasa kesatria Jie Thay Giam. Ia balik kembali menanya:
"Mengapa kau menangis?"
"Sesudah mengalami banyak
sekali penderitaan, barulah aku memiliki golok mustika ini." jawabnya.
"Tapi sekarang aku tahu, dalam sekejap mata, jiwaku akan terpulang kealam
baka. Sesudah aku mati, perlu apa golok mustika ini ?"
"Hm....untuk
menyelamatkan jiwamu tak ada jalan lain dari pada menyerahkan golok itu kepada
Hay see pay untuk ditukar dengan obat pemunah" kata Jie Thay Giam.
Sikakek menangis meng gerung2.
"Aku tak tega untuk menyerahkannya! Tak tega untuk menyerahkan!"
teriaknya dengan nada pe
nuh keserakahan.
Thay Giam merasa geli melihat
serakahnya orang tua itu tapi dengan menyaksikan penderitaannya yang sangat
hebat ia tidak bisa tertawa pula, seorang ahli silat yang sejati hanya
mengandalkan kepandaiannya untuk mengalahkan musuh dan dalam sepak terjang ia
selalu berjalan lurus dan bersedia untuk menolong sesama manusia supaya namanya
tetap harum turun temurun. "Golok atau pedang mustika adalah benda2 yang
berada diluar badan kita. Kalau mendapatkannya kita tak usah bergirang, sedang
kalau kehilangan kita juga boleh tak usah merasa sedih. Maka itu, perlu apa
Lootiang mesti bersedih sampai begitu rupa?"
"Enak saja kau
bicara!" bentak sikake! "Apa kau penuh dengan kata2 seperti
berikut."
"Boe lim cie coen, po to
to liang, hauw leng thian hee boh kam poet cong?" (Yang termulia dalam
Rimba Persilatan golok mustika membunuh naga perintahuya dikolong langit tiada
manusia yang berani tidak menurut.)
Jie Thay Giam tertawa."
Tenta saja aku pernah mendengarnya," jawabnya. "Disebelah bawah
parkataan itu masih ada dua baris perkataan lain yang berbunyi:"Ie thian
poet coat, swee ie ceng hong?" Sepanjang tahuku, apa yang dimaksudkan
dengan ucapan itu ada lah suatu peristiwa yang menggemparkan Rimba Persilatan
pada beberapa puluh tahun berselang dan sama sekali bukan membicarakan golok
mustika To Liong Ie thian berarti mengandal kepada Langit atau Tuhan. Tapi
disini Ie thian adalah namanya sebatang pedang mustika. Maka itu, Ie thian poet
coat, swee ie ceng hong! Berarti: "Ie thian tidak keluar siapa lagi yang
melawan ketajamannya?
"Kejadian apa yang
menggemparkan?" tanya sikakek. "Coba kau ceritakan."
"Peristiwa itu diketahui
oleh hampir setiap orang dalam Rimba Persilatan," menerangkan Thay Giam.
"Yang dimaksudkan ialah peristiwa dibunuhnya kaisar Mongol Hian cong, oleh
Sintiauw Tay Hiap Yo Ko. Mulai dari waktu itu setiap perintah yang dikeluarkan
oleh Sintiauw Tay hiap tidak pernah tidak diturut oleh segenap orang2 gagah
dikolong langit. Dengan Liong, (naga) dimaksudkan kaisar Mongol dan To liong
berarti membunuh kaisar Mongol. Apa kau kira dalam dunia ini benar2 ada
naga?"
Si kakek tertawa dingin.
"Aku minta tanya. Senjata ada yang biasa digunakan oleh Yo Tay hiap
?" tanyanya.
Thay Giam agak terkejut:
"Menurut katanya guruku, Yo Tayhiap berlengan satu dan ia biasanya tidak
menggunakan senjata apapun juga," jawabnya. "Tapi pada hari waktu
bertempur melawan Kim Loen Hoan ong diluar kota Siang yang, ia menggunakan
senjata pedang"
"Senjata apa yang
digunakan Yo Tay biap untuk membinasakan kaisar Mongol?" tanya pula si
kakek.
"Ia menimpuk Hian cong
dengan sebutir batu dan kejadian ini dilihat oleh semua orang." jawabnya.
Orang tua itu kelihatan
girang. "Baiklah" katanya. "Menurut katamu sendiri, Yo Tayhiap
biasa menggunakan saja tangannya atau tempo2 menggunakan pedang. Senjata yang
digunakanya sebutir batu. Dengan begitu, dari mana datangnya perkataan po to to
liong atau golok mustika membunuh naga?"
Jie Thay Giam terperanjat dan
untuk beberapa saat ia tak dapat menjawab pertanyaan itu. "Ah! Kurasa itu
hanya kata2 yang ditemu kan se-enak2nya saja oleh orang2 Rimba
Persilatan," jawabnya sesudah selang beberapa saat. "Orang tentu
tidak bisa mengatakan 'batu membunuh naga'. Kata2 itu tak enak
didengarnya."
Sekali lagi si kakek tertawa
dingin. "Alasanmu adalah alasan dibuat2 yang tak ada dasarnya sama
sekali," katanya dengan suara mengejek. "Aku mau tanya lagi, apa
artinya perkataan Ie thian poet-coet, wee ie ceng hong?"
Lagi2 Jie Thay Giam bungkam.
Sesudah mengasah otak beberapa lama, baru ia menjawab: "Mungkin sekali Ie
thian namanya orang. Sepanjang cerita, Yo Thayhiap belajar ilmu silat dari
istrinya. Bisa jadi Yo Hujin bernama Ie Thian dan mungkin juga perkataan itu
dimaksudkan Kwee Tay hiap yang telah membela kota Siang yang mati2an."
"Hm !" si orang tua
mengeluarkan suara hidung.
"Aku memang sudah duga,
kau tak tahu apa artinya perkataan itu. Sekarang kau dengarlah. To liong adalah
sebilah golok yaitu golok To Liong to yang sedang dicekal olehku. Ie thian
adalah namanya sebatang pedang. Pedang itu dikenal sebagai Ie thian kiam.
Makanya perkataan itu berarti begini: Dalam Rimba Parsilatan, benda yang
termulia adalah golok To liong to Segala perintah dari orang yang bisa memiliki
golok itu, akan diturut oieh segenap orang gagah dikolong langit. Asal saja Ie
thian kiam tidak muncul, maka senjata yang terlihay dalam dunia adalah To liong
to sendiri."
Thay Giam separoh percaya
separoh tidak. "Boleh aku lihat golok itu ?" tanyanya.
Sikakek memeluk To liong to
erat2. "Kau kira aku bocah usia 3 tahun?" katanya dengan suara gusar.
"Jangan kau harap bisa akali aku". sesudah kena racun ia sebenarnya
tidak bertenaga lagi, tapi setelah menelan pel yang di berikan oleh Jie Thay
Giam sebagian tenaga nya pulih kembali dan dapat mengerahkgn Lweekang untuk
memeluk golok mustika.
Dilain saat sebagai akibat
dari pengarahan tenaga dalam itu napasnya ter sengal2.
"Kalau kau tidak mempermisikan,
aku pun tidak ingin memaksa," kata Thay Giant seraya tertawa.
"Sekarang sesudah kau memiliki golok mustika To Liong, siapakah yang
bersedia untuk menurut perintahmu? Apakah karena melihat kau memeluk golok itu
aku segera menurut segala kemauanmu? Benar2 menggelikan menurut pendapatku, kau
adalah seorang yang baik tapi sebab percaya segala omongan gila pada akhirnya
akan mengorbankan jiwamu sendiri. Hai! Malahan sampai dini detik kau masih
belum tersadar juga."
"Bahwa kau tidak bisa
memerintah aku adalah suatu bukti bahwa golok itu sebenar nya tidak luar biasa
sama sekali."
Sikakek bengong dan tidak bisa
mengeluarkan sepatah kata. "Lau tee," katanya sesudah berpikir
beberapa lama. "Sekarang kita mengadakan serupa perjanjian. Kau menolong
jiwa ku dan aku akan membuka sebagian rahasia dari kebagusannya golok mustika
ini. Apa kau mupakat?"
Jie Thay Giam tetawa
terbahak2. "Looliang dengan berkata begitu kau sungguh memandang rendah
murid2 Boe tong," katanya.
"Menolong manusia yang
harus ditolong adalah tugas dari kami semua. Apakah kau kira dalam menolong
orang kami mengharapkan pembalasan budi? Kau kena garam beracun, tapi aku
sendiri tidak tahu racun apa adanya itu. Maka itulah sebagaimana kukatakan
jalan satu2nya adalah meminta obat pemunah dari Hay see pay sendiri."
"Tak mungkin!" kata
situa sambil menggelengkan kepala.
"Golok mustika ini telah
dicuri dari dalam tangan Hay-see-pay. Mereka sangat membenci aku dan mereka
pasti tak akan sudi menolong."
"Dengan menyerahkan golok
itu kepada mereka, segala sakit hati akan menjadi hilang." kata Thay Giam.
"Perlu apa mereka mengambil jiwamu?"
Tapi sikakek tetap
menggeleng2kan kepala, "Kulihat kau mempunyai kepandaian yang sangat
tinggi dan kau pasti bisa mencuri obat pemunah dari Hay-see-pay." katanya.
"Pergilah curi obat itu dan tolonglah selembar jiwaku."
"Aku merasa menyesal tak
dapat meluluskan permintaanmu itu," kata Thay Giam. "Pertama, aku
sendiri mempunyai urusan penting dan tidak boleh berdiam terlalu lama ditempat
ini. Kedua, kau telah mencuri golok orang dan dalam hal ini, kaulah. Mana bisa
aku mengambil pihak yang tidak benar? Lootian, lekaslah kau meminta pertolongan
pihak Haysee-pay. Jika terlambat aku khawatir tidak keburu lagi."
Melihat Thay Giam memutar
badan untuk segera berlalu, si tua buru2 berkata "Sudahlah, tak apa jika
kau tak mau menolong. Tapi aku ingin ajukan sebuah pertanyaan lagi. Pada waktu
kau mengangkat tubuhku, apakah akan ada merasakan apa2 yang luar biasa?"
"Benar, aku sendiri
merasa sangat heran," jawabnya. "Kau bertubuh kurus dan kecil tapi
pada waktu aku mengangkat badanmu aku merasa herat sekali, kira2 ada duaratus
kati, Kau tidak membawa barang berat, tapi mengapa berat badanmu begitu hebat
?"
Orang tua itu segera menaruh
To-liong to di atas tanah dan berkata: "Nah, coba sekarang kau angkat lagi
badanku."
Thay Giam segera mencekal baju
si kakek dan mengangkatnya. Benar saja, dengan heran mendapat kenyataan, bahwa
berat badan orang tua itu hanya kira2 delapanpuluh kati. "Betul luar
biasa," katanya. "Aku tak nyata, berat golok itu ada seratus kati
lebih." Sambil berkata begitu, perlahan2 ia melepaskan tubuh si kakek
diatas tanah.
"Keanehan golok ini bukan
hanya terpihak pada beratnya saja." kata pula si kakek. "Lau-tee, kau
she apa, she Jie atau she Thio?"
"Aku she Jie, namaku Thay
Giam, Lootiang bagaimana kau bisa menebak begitu?"
Si kakek tertawa seraya
berkata: "Diantara Boe-tong Cit-hiap, Song Tayhiap berusia le bih tua dari
padamu. In hiap dan Boh hiap baru berusia kira2 duapuluh tahun. Jie hiap dan
Sam hiap kedua2nya she Jie. Sie hiap dan Ngo hiap masing2 she Thio. Dalam Rimba
persilatan, siapakah yang tidak tahu itu? Lautee kalau begitu kau adalah Jie
Samhiap. Tak heran jika kau memiliki kepandaian yang begitu lihay. Nama Boetong
Cithiap menggemparkan seluruh dunia persilatan dan kini hari, aku mendapat
bukti, bahwa nama besar itu benar2 bukan kosong."
Walaupun masih berusia muda,
Jie Thay Giam sudah kenyang makan asam garam dunia Kangouw. Ia mengerti bahwa
pujian itu mempunyai maksud untuk dapat pertolongannya, sehingga oleh karenanya
ia menjadi kheki terhadap sikakek yang coba mengumpak dirinya.
"Bolehkah aku mendapat
tahu she dan nama Loo tiang yang?" tanyanya.
"Aku she Tek, namaku
Seng," sahutnya. "Sahabat2 diwilayah Liao tong memberi gelar Hay tong
ceng kepadaku." Hay tong ceng ada lah semacam burung elang yang terdapat
didaerah Liao tong. Burung itu ganas dan buas dan biasa makan binatang2 kecil.
"Thay Giam segera
merangkap kedua tangannya seraya berkata. "Sudah lama sekali aku mendengar
nama besar Loo tiang. Aku merasa sangat beruntung bahwa dihari ini bisa
berkenalan dengan Loo tiang." Sehabis berkata begitu ia dongak mengawasi
langit.
Tek Sang mengerti bahwa pemuda
itu akan segera berangkat pergi. Ia menganggap bahwa untuk menahannya ia harus
memancing Thay Giam dengan keuntungan besar. Maka itu, ia lantas saja berkata.
"Dalam hal ini ada apa2 yang belum dimengerti olehmu.
Kata2 hauw len2 thian hee, boh
kam po pang, pada hakekatnya bukan berarti bahwa perintah orang yang memiliki
To Liong to, ia akan dituruti dengan begitu saja oleh orang2 gagah dalam Rimba
Persilatan. Bukan arti yang sebenarnya bukan begitu."
Ia berdiam sejenak dan
kemudian berbisik: "Jie Lau tee, didalam golok mustika itu tersimpan kitab
rahasia ilmu silat. Ada yang kata Kioe yang Cin keng, ada pula yang kata Kioe
im Cin keng. Asal saja orang bisa mengeluarkan kitab tersebut dan beralih
menurut petunjuk2nya, maka orang itu akan memiliki kepandaian yang sedemikian
tinggi, sehingga semua orang tak akan berani membantah segala perintahnya."
Cerita mengenai kedua kitab
itu memang per nah didengar oleh Jie Thay Giam dari gurunya. Dulu, pada sebelum
Kak wan Taysoe meninggal dunia, guru2 dari Siauw-lim, Boe tong dan Gobie telah
memetik beberapa bagian dari Kioe yang Cin keng, tapi kitab itu, sendiri tak
diketahui lagi dimana adanya.
Mengenai Kioe im Cin keng,
sudah beberapa tahun orang tidak pernah me-nyebut2 lagi kitab itu, sehingga
dalam Rimba Persilatan, orang sangat menyangsika kebenarannya cerita itu.
Melihat paras Jie'Thay Giam
yang penuh rasa tidak percaya Tek Seng lantas saja berkata lagi: "Sesudah
mendapat golok mustika ini, kami bertiga coba mencairkannya dengan menggunakan
api guna mengambil kitab yang tersimpan didalamnya. Tapi rahasia itu bocor dan
sebelum berhasil, orang sudah datang mengganggu. Jie Lau tee, sekarang aku
ingin minta pertolonganmu untuk mencuri pemunah racun. Sesudah aku sembuh, kita
bisa pergi ketempat yang sepi dan jauh dari manusia untuk mencairkan To Hong to
dan mengambil kitab itu. Dalam beberapa tahun saja, kita berdua sudah bisa
menjagoi dikolong langit. Jie Lau tee, bagaimana pendapatmu?"
Thay Giam menggelengkan
kepalanya. "Hal itu tidak boleh terlalu dipercaya," katanya.
"Jangankan dalam golok itu memang tidak tersimpan kitab, sedangkan,
sekalipun benar ada kitabnya, pada sebelum golok itu menjadi cair kitab
tersebut tentu sudah menjadi abu."
"Golok itu keras luar
biasa dan tak dapat dibuka dengan pahat yang bagaimana tajam-Pun,." kata
Tek Seng. "Jalan satunya adalah mencairkannya dengan menggunakan api.
Bicara sampai disitu paras Jie Thay Giam mendadak berubah dan dengan tangannya
ia mengebut lilin2 yang lantas padam. "Ada orang" bisiknya.
Tek Sen yang Lweekangnya masih
kalah jauh dari pemuda itu, tak dapat dengar apapun juga. Baru saja ia mau
menanya, disebelah kejauhan mendadak terdengar suara seruan yang saling sambut.
"Musuh mendatangi!" katanya dengan suara kaget. "Mari kita kabur
dari belakang kelenteng."
"Dibelakang kelenteng
juga sudah ada musuh," kata Thay Giam.
"Celaka !" mengeluh
Hay tong ceng.
"Tek Loo tiang,"
kata Thay Giam. "Yang datang adalah orang Hay see pay. Dengan menggunakan
kesempatan ini, paling baik kau minta obat pemunah. Aku sendiri tak dapat
mencampuri urusanmu dan segala apa terserah atas putusan Lootiong sendiri."
Sikakek ketakutan setengah
mati dan ia mencekal tangan Jie Sam hiap erat2. "Tidak, tidak... kau tidak
boleh meninggalkan aku....tak boleh meninggalkan aku..." katanya dengan
suara gemetar dan ter-putus2.
Thay Giam merasa jari tangan
sikakek yang mencekal pergelangan tangannya bagaikan jepitan besi, dingin
seperti es. Dengan sekali membalik tangan, ia melepaskan cekalan itu dan
berbalik mencengkeram lima jerijinya orang itu. Tek Seng merasa tulang
jerijinya seperti mau patah, tapi pada saat itu ia yakin, bahwa orang satu2nya
yang bisa menolong jiwanya adalah pemuda itu. Untuk menyerahkan To-liong to
yang telah direbutnya dengan mempertaruhkan jiwa, ia sungguh tak rela lebih tak
rela daripada memotong dan memberikan sepotong dagingnya sendiri.
Maka itu, se-konyong2 ia
memeluk Thay Giam dengan tangatnnya, secara nekat2an.
Dengan kaget pemuda itu
menggoyang pundak untuk melepaskan pelukan itu. Tapi mati2an sikakek memeluk
terus seperti orang kalelap diair. "Krek...krek..." demikian
terdengar suara berkekreknya tulang. Thay Giam mengerti, bahwa jika ia
mengerahkan Lwekang lagi, tulang kedua lengan Tek Seng akan lantas menjadi
patah. Hatinya tak tega dan ia tidak mengeluarkan lagi tenaga dalamnya.
"Lepas!" bentaknya.
Sesaat itu, suara tindakan
kaki sudah tiba di luar kelenteng disusul dengan suara gedebrukan dan pintu
terpental karena ditendang orang Thay Giam terkesiap. "Orang ini bukan
lawan enteng." pikirnya. Hampir berbareng ia mengendus bau amis dan
didalam kegelapan serupa benda dilontarkan kedalam.
Dengan sekali menggoyang
badan, seperti seekor cacing ia meloloskan diri dari pelukan Tek Sang dan
dengan kecepatan luar biasa, sebelum benda itu atau senjata rahasia mengbantam,
ia sudah melompat kebelakang patung Malaikat laut. Hampir berbareng. ia dengar
teriakan sikakek yang lantas roboh bergulingan dilantai, sedang senjata rahasia
itu masih terus dilepaskan tak henti2nya.
Semakin lama bau amis jadi
semakin hebat seolah2 ratusan ikan busuk dilemparkan kedalam kelenteng itu. Tek
Seng yang sudah bisa bangun kembali, melompat kesana sini dengan tindakan
limbung seperti orang mabuk tapi karena ruangan itu sangat sempit dan juga
sebab keadaannya memang sudah payah, maka beruntun senjata2 rahasia itu
mengenakan badannya dengan jitu.
Sesudah mendengar suara
menyambarnya, Thay Giam berkata dalam hatinya : "Senjata apa itu? pasir
beracun? Kalau pasir beracun, bagaimana Tek Seng bisa mempertahankan diri
begitu lama?" Dilain saat ia mendusin. "Ah! Tak salah! Garam beracun
dari Hay-see-pay," pikirnya. Walaupun kepandaian tinggi, tapi karena garam
menyambar terus menerus mama mana ia berani menerjang keluar? Sementara itu
diatap kelenteng kembali terdengar suara keras dan atap itu lantas saja
berlubang di susul dengan turunnya garam dari lubang tersebut.
Sampai disitu Jie Thay Giam
yang bernyali besar keder juga hatinya. "Celaka! Tak dinyana aku harus
membuang jiwa ditempat ini ia mengeluh. Ia ingat kejadian pada waktu si jubah
sulam dan Tiang pek Sam khim kena garam beracun. Ketika kakek itu, sudah tak
usah dikatakan lagi, tapi malahan si Jubah sulam yang berkepandaian tinggi
masih tak tahan menghadapi garam itu. Ia merasa dadanya menyesak dan hampir2
muntah karena bau amis itu dan ia yakin bahwa dalam tempo cepat ia tak akan
bisa terlolos lagi dari racun yang menyambar dari depan dan turun dari atas
seperti hujan gerimis dalam bingungnya ia menghantam punggung patung yang
lantas saja berlubang besar, melihat begitu hatinya girang dan buru2 masuk
kedalam perut patung. Dengan adanya aling2 itu garam itu tak bisa mencelakakan dirinya
lagi.
Karena bekerjanya racun garam
agak lambat, maka meskipun Tek Seng berteriak kesakitan ia masih
bergulingan.Sementara itu karena merasa jerih akan kepandaian Jie Thay Giam
orang2 Hay see pay belum berani menerjang masuk dan masih terus menimpuk dengan
senjata rahasia mereka untuk menunggu sampai tak berdayanya kedua musuh itu.
Menurut kebiasaan senjata
rahasia beracun yang dikenal dalam dunia Kang ouw, seperti jarum emas, pasir
besi dan sebagainya, mencelakakan manusia sesudah senjata itu menancap ditubuh
dan racunnya masuk kejalanan darah. Tapi bekerjanya racun Hay see pay sedikit
berbeda. Sesudah garam itu menempel dikulit, racunnya masuk kedalam badan
manusia dengan per-lahan2 sampai sikorban binasa, Jie Thay Giam mengerti bahwa
dengan bersembunyi didalam perut patung, ia tak akan bisa menghentikan serangan
Hay see pay. Tapi karena tak ada jalan yang lebih baik ia harus menunggu sampai
tumpukan garam itu mereda dan barulah coba menerjang keluar dari lubang asap.
Ia segera mengeluarkan pel pemunah
racun yang lalu ditelannya dan kemudian memusat ken semangat seraya menjalankan
pernapasannya. Beberapa saat kemudian dadanya yang menyesak jadi lega kembali.
Sementara itu, orang2 Hay see
pay yang berada diluar kelenteng berdamai dengan suara perlahan.
"Tak ada suaranya lagi
mungkin mereka sudah pingsan" kata yang satu.
"Tunggulah sebentar.
Pemuda itu lihay sekali kita tidak boleh ter-gesa2" kata yang lain.
"Sekali ini kita mendapat
hasil besar dan Toako pasti akan memberi hadiah yang besar juga" kata
orang ketiga.
Tiba2 terdengar bentakan
keras: "Hei! Lebih baik kamu menakluk supaya jangan membuang jiwa secara
cuma2." Bentakan itu disusul dengan teriakan komando dan beberapa belas
orang lantas saja menerjang masuk. Mereka semua sudah memakai obat pemunah
sehingga tak takuti lagi garam beracun.
"Dengan Heng-see-pay aku
tidak mempunyai ganjelan apapun juga, sedang kedatanganku di sini juga bukan
untuk merebut o-liong- to," Sekarang paling benar aku munculkan diri dan
coba mendamaikan mereka." Tapi dilain saat ia mendapat pikiran lain.
"Tidak bisa,tidak bisa
aku berbuat begitu." pikirnya, "Boe tong-pay adalah sebuah partai
besar yang namanya menggetarkan Rimba Persilatan. Jika aku ke luar dan coba
bicara baik2 dengan mereka, artinya seperti juga aku menekuk lutut dan sikapku
ini sangat memalukan guruku.''
Selagi ia bersangsi, ditempat
yang jauh memdadak terdengar serupa seruan. Seruan itu halus bagaikan benang
sutera. tapi tajam, dan menusuk kuping, sehingga orang yang mendengarnya
ber-debar2 hatinya. Dilain saat seruan itu sudah terdengar didepan kelenteng,
sehingga bukan main kagetnya Thay Giam karena kecepatan yang sungguh luar
biasa. Pertama kali, seruan itu terdengar ditempat yang jaraknya beberapa li
dan dilain detik sudah tiba didepan pintu.
Dalam dunia ini kecuali
beberapa macam burung yang terbangnya luar biasa cepat, baik manusia maupun
binatang tak akan mempunyai kecepatan yang begitu hebat. Lebih aneh didengar
dari suaranya seruan manusia.
Hampir berbareng dengan
berhentinya seruan itu, Tek Seng mengeluarkan teriakan ketakutan.
"Kau....kau juga maui To liong...Peh bie" Peh bie berarti Alis putih.
Mendadak diluar kelenteng
terjadi perubahan luar biasa. Puluhan orang Hay see pay tiba2 bungkam mulutnya.
Keadaan sunyi senyap se-olah2 puluhan manusia itu berubah menjadi batu. Mereka
seperti juga melihat sesuatu yang sangat menakuti sehingga bahwa takutnya, tak
dapat mereka mengeluarkan suara lagi.
Beberapa saat kemudian
kesunyian itu dipecahkan dengan suara "bruk!" dan salah seorang roboh
terguling. Robohnya orang itu disusuri dengan teriakan yang gemetar:" Peh
bie!.... Lari. ayo lari!...." Teriakan itu putus ditengah jalan. Mungkin
sekali orang yang berteriak tak bisa meneruskan teriakannya dan kawan2nya tak
kuat lari lagi, sebab sesuatu yang ditakuti sudah masuk kedalam klenteng.
Jie Thay Giam heran tak
kepalang. "Apa itu Peh bie?" tanyanya didalam hati. "Apa
binatang buas atau manusia yang lihay luar biasa, sehingga semua orang
ketakutan begitu rupa?"
Se-konyong2 terdengar suara
seorang: "Kauw coe Pemimpin Agama tanya kamu, dimana adanya To Liong to.
Lekas keluarkan. Kauw coe berhasil mulai dan akan mengampuni kamu semua. Suara
itu manis dan lemah lembut, tapi mengandung keangkeran.
"Dia...dia yang
curi," demikian terdengar jawaban seorang Hay see pay. "Kami datang
kemari justru untuk coba merebut pulang Kauw coe.....Kauw coe....."
"
"Eh, mana golok mustika
itu?" tanya suara yang manis itu. Thay Giam tahu, orang itu menanya Tek
Seng, Tapi kakek itu tidak menjawab. Dilain saat terdengar robohnya sesosok
tubuh.
"Celaka! Tek Seng
dibinasakan," pikir Thay Giam. Ia yakin, bahwa dengan seorang diri, ia
bukan tandingan musuh. Tapi sesudah mencampuri urusan ini, ia merasa malu untuk
bersembunyi terus. "Mundur dada waktu berbahaya, bukan perbuatan seorang
lelaki," katanya didalam hati. Baru saja ia mau melompat keluar, mendadak
terdengar suara yang dingin: "Dia sudah mati karena ketakutan. Geledah
badannya,"
Lain2 Thay Giam terkesiap.
"Mati sebab ketakutan?" tanya dalam hati. Sementara itu sudah
terdengar suara dirobeknya pakaian dan dibolak baliknya badan manusia.
"Melaporkan kepada Kauw coe, bahwa dibadan orang ini tidak terdapat apapun
juga," kata orang yang suaranya lemah lembut.
Perkataan orang itu disusul
dengan suara pemimpin Hay see pay yang berkata dengan suara gemetar ;
"Kauw coe ... terang dia yang mencuri. Kami tak berani berdusta...."
Ia bicara dengan ketakutan sangat hebat, seperti juga nyalinya hancur, sehingga
bulu roma Jie Thay Giam bangun semua.
"Benar2 heran."
Katanya didalam hati. "Golok mustika itu memang dicekel Tek Seng. Ke mana
perginya."
"Kamu mengatakan bahwa
golok inustika itu dicuri olehnya, tapi mengapa tak kedapatan?" tanya pula
orang yang suaranya manis. "Tak salah lagi kamulah yang menyembunyikannya.
Begini saja! Siapa yang bicara terus terang, dialah yang diampuni jiwanya.
Diantara kamu hanya seorang yang boleh hidup terus. Siapa yang bicara lebih
du1u, dialah yang dapat pengampunan."
Keadaan sunyi senyap dan
beberapa saat kemudian, barulah si pemimpin Hay-see-pay berkata : "Dengan
sejujurnya kami melapor kan kepada Kauwcoe, bahwa kami tidak tahu menahu
tentang hilangnya golok mustika itu. Tapi kami berjanji akan berusaha untuk
menyelidiki sampai se-terang2nya"
Kauwcoe itu tidak menjawab ia
hanya mengeluarkan suara dihidung.
Orang yang suaranya manja
berkata lagi. "Siapa yang bicara terus terang, dialah yang boleh hidup
terus" Keadaan kembali sunyi senyap.
Tiba2, kesunyian yang menakuti
itu dipecahkan oleh teriakan seorang. Dengan se-betul2nya kami sedang mencari
golok mustika itu, yang mendadak menghilang secara luar biasa. Jika kau tetap
tidak percaya, dari pada mati konyol, lebih baik kami melawan mati2 an sampai
dimana kepandaian Peh bie Kauw..." Suara itu berhenti ditengah jalan dan
keadaan kembali sunyi senyap. Rupanya dia sudah binasa dengan begitu saja.
"Tadi seorang lelaki yaag
berusia kira? 30 tahun telah menolong kakek itu," menerang kan Hay see
pay. "Dia mnemiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi. Entah
kemana perginya sekarang. Golok mustika itu pasti dibawa lari olehnya,"
Kauw coe itu kembali
mengeluarkan suara dihidung dan kemudian berkata dengan suara dingin;
"Ampuni jiwa orang ini.." Hampir berbareng terdengar kesiuran angin
dan ia sudah keluar dari pintu kelenteng. Tiba2 terdengar pula suara, nyaring
ditempat yang jauhnya belasan tombak.
Jie Thay Giam tak bisa menahan
sabar lagi seraya melompat keluar dari perut patung ia berteriak "aku
berada disini jangan celakakan orang!"
Tapi keadaan lagi2 sunyi
senyap. Thay Giam mengawasi disekitarnya dan ia lihat semua orang berdiri
seperti patung ia heran bukan main dan buru2 menyulut lilin diatas meja
sembahyang. Mendadak ia mengeluarkan seruan tertahan karena dua puluh lebih
anggota Hay see pay berdiri tegak tanpa bergerak seperti juga tertotok jalanan
darahnya sedang muka mereka mengunjuk rasa takut yang sangat hebar dengan
nyalinya yang besar dan pengalamannya yang luas tak urung jantung Thay Giam
memukul keras,
"Bagaimanakah lihaynya
Kauw-coe Peh bie kauw it"?" tanyanya didalam hati. "Orang2 Hay
see pay bukan sembarang orang tapi mengapa bertemu dengan Kauw coe, mereka
ketakutan sampai begini rupa ia mengangsurkan tangannya dengan niatan menotok
jalanan darah Hoa kay hiat dari salah seorang itu untuk membuka jalanan
darahnya yang tertutup.
Tapi lagi2 ia kaget jerijinya
menotok jalanan darah yang sudah membekuk dan orang itu tetap tidak bergerak
setelah memeriksa pernapasannya baru dia tahu dia sudah binasa? Kecuali seorang
semua anggota Hay see pay sudah binasa sebab totokan perjalanan darah yang
membinasakan orang yang masih hidup itu yaitu orang yang bicara paling belakang
sebab dilantas dengan napas ter-sengal2.
Rasa heran dan kagetnya Thay
Giam sukar dilukiskan benar ia tak mengerti bagaimana dalam sekejap mata, Kauw
coe itu bisa membinasakan dua puluh orang lebih yang berkepandaian tinggi
sambil mengangkat tubuh orang itu ia bertanya: "Agama apa Peh bie kauw?
Siapa Kauw coe itu?" Orang itu tidak menjawab pertanyaannya yang diulangi
beberapa kali dia hanya mengawasi dengan mata membelalak. Thay Giam memegang
nadinya dan ternyata aliran darah orang itu sudah kalang kabut sebagai tanda
bahwa beberapa uratnya telah diputuskan sehingga ia menjadi gagu dan terganggu
otaknya.
Darah Jie Thay Giam lantas
saja meluap. "Apa itu Peh-bie kauw? Mengapa dia begitu kejam?"
tanyanya didalam hati dengan penuh kegusaran. Tapi ia tabu, bahwa ia bukan
tandingan orang itu. Sesaat itu juga, ia sudah menghitung2 tindakan yang akan
diambilnya. Ia ingin segera berangkat ke Boe tong san untuk melaporkan kejadian
itu dan menanyakan asal usul Peh bie kauw kepada gurunya. Ia berniat mengajak
semua saudara seperguruannya untuk menyatroni manusia yang dinamakan Peh bie
Kauwcoe. Ia menganggap, bahwa walaupun Kauwcoe itu lihay luar biasa Boe-tong
Cithiap masih dapat menandinginya.
Melihat garam beracun yang
tersebar diseputar kelenteng itu, ia menghela napas panjang. "Orang2 Hay
see pay juga bukan manusia baik2, sehingga kebinasaannya yang begitu rupa
mungkin ada pantasnya juga," katanya didalam kelenteng sangat tak pantas
dan orang bisa celaka, jika kebetulan datang disini."
Memikir begitu ia segera
mangambil golok dan menggali satu lubang besar didalam kebun sayur. Sesudah
itu, dengan hati2 ia mengangkat mayat2 itu yang lalu memasukkan kedalam lubang.
Sesudah memindahkan belasan mayat, tiba2 ia terkejut, karena mayat itu berat
luar biasa, sedangkan badannya hanya berukuran sedang. Ia segera memeriksa dan
ternyata, dari pundak terus kepunggung mayat itu terdapat luka besar yang
sangat panjang. Begitu ia meraba tangannya menyentuh benda yang keras dingin
dan setelah ditarik keluar benda itu bukan lain daripada To liong-to yang
diperebuti!
Secara kasar ia segera menebak
apa yang sudah terjadi. Rupanya, begitu melihat Peh-bie Kauwcu, Hay-tong ceng
Tek Seng hancur nyalinya dan ia mati ketakutan. Pada waktu menghembuskan
napasnya yang penghabisan golok itu terlepas dari cekalannva dan jatuh
dipunggung orang itu. Karena berat dan tajam To Liong to amblas dibadan orang
itu.
Maka itu tidaklah heran jika
pada waktu menggeledah semua orang, kaki tangan Kauw coe tidak bisa mendapatkan
apapun juga.
Kalau dalam hati Jie Thay Giam
tidak muncul rasa kasihan mungkin sekali golok mustika yang menggemparkan itu,
akan hilang dari dunia persilatan.
"Golok ini adalah mustika
dalam Rimba Persilatan," kata Thay Giam dan dalam hatinya "Akan
tetapi, menurut pendapatku, senjata ini bukan senjata yang mujur. Hay tong ceng
Tek Sang dan-puluhan orang Hay see pay binasa karena gara2 To liong to.
Sekarang paling benar aku mempersembahkan senjata ini kepada Soehoe, untuk
meminta keputusan."
Sesudah selesai menguburkan
semua mayat itu, karena kuatir garam beracun mencelakakan rakyat, ia segera
mencari cabang2 kering yang lalu disulut untuk membakar kelenteng tersebut.
Dibawah sinar api itu ia lalu meneliti golok mustika itu yang ternyata berwarna
hitam bukan besi dan juga bukan emas, entah dibuat dari logam apa. Dari gagang
sampai badannya samar2 terlihat garisan2 yang berwarna biru. Dengan mata kepala
sendiri, ia telah menyaksikan dibakarnya golok itu, tapi sungguh aneh, golok
tersebut tidak rusak sedikitpun. "Bagaimana orang bisa menggunakan golok
yang begini berat?" tanyanya didalam hati. "Dulu, Ceng liong Yan-goat
to dari Kwan Ong-ya, yang mempunyai tenaga malaikat, hanya delipan puluh satu
kati beratnya," Kwan Ong-ya, Kwan Kong dari jaman samkok.
Ia segera me masukkan golok
itu kedalam buntalannya dan kemudian berkata dengan suara perlahan didepan
kuburan Tek Seng. "..Tek Loo tiang, bukan mau serakahi golok ini. Tapi
karena To liong to senjata luar biasa, maka jika jatuh ketangan manusia jahat,
bencananya bukan kecil. Aku ingin menyerahkannya kepada Soehoe, seorarg adil
yang berhati mulia, yang tentu akan bisa
membereskan persoalan golok
ini se-baiknya."
Sesudah berkata begitu, ia
lalu menggendong buntalannya dan meneruskan perjalanan kejurusan utara.
Sesudah berjalan kurang lebih
setengah jam tibalah ia ditepi sungai. Ketika itu ribuan bintang yang sinarnya
sudah suram masih berkelip kelip diatas sungai. Ia mengawasi keberbagai jurusan
tapi tak terlihat sebuah perahu pun. Ia lalu berjalan disepanjang gili2 dan
kira2 semakanan nasi, ia lihat sinar lampu dari sebuan perahu penangkap ikan
yang terpisah kira2 belasan tombak dari tepi sungai.
"Toako penangkap
ikan!" teriaknya. "Tolong seberangkan aku?"
Karena perahu ikan itu
terpisah terlalu jauh sipenangkap ikan rupanya tidak mendengar teriakannya.
Thay Giam segera mengempos
semangat dan berteriak lagi. Terikan itu yang disertai dengan Lweekang yang
sudah dilatih kira2 dua puluh tahun nyaring dan sangat tajam. Beberapa saat
kemudian dari aliran sebelah atas muncul sebuah perahu kecil yang menggunakan
layar dan yang perlahan2 menempel ditepi sungai. "Apa tuan mau
menyeberang" tanya si juru mudi.
"Benar, aku ingin minta
pertolongan Toako untuk menyeberangkan aku," jawabnya dengan girang.
"Sekali menyeberang
ongkosnya satu tahil perak." kata pula juru mudi itu.
Permintaan itu sebenarnya
terlalu mahal tapi sebab ingin buru2, Thay Giam tak rewel lagi.
"Baiklah," katanya seraya melompat turun kedalam perahu yang melesak
kedalam air.
"Tuan, bawa apa kau ?
Mengapa begitu berat," tanya juru mudi itu dengan perasaan heran.
Jie Thay Giam segara
mengangsurkan sepotong perak dan menjawab sambil tertawa : "Tak apa2.
Badanku berat. Ayohlah"'
Si juru mudi kelihatannya
bercuriga dan berulang kali melirik buntalan Thay Giam. Sesaat kemudian, dengan
menuruti aliran air, perahu itu belayar dengan mengambil arah timur laut.
Sesudah melalui satu li lebih tiba2 terdengar suara gemuruh.
"Juru mudi, apa mau turun
hujan?" tanya Thay Giam.
"Bukan." jawabnya
seraya tertawa, "Guru itu suara air pasang sungai Cian tong kang. Dengan
mengikuti aliran air pasang. dalam sekejap kita bisa sampai dilain tepi."
Thay Giam mengawasi kearah
suara itu. Jauh2 ia lihat sehelai garis putih yang mendatangi dengan
ber-gulung2. Suara itu kian lama kian menghebat dan gelombang juga jadi makin
besar. "Baru sekarang kutahu, bahwa diantara langit dan bumi terdapat
pemandangan yang seangker ini," katanya didalam itati. "Tidak cuma2
aku membuat perjalanan ini." Dilain saat, ombak sungai sudah tiba dan
mendorong perahu dengan kekuatan luar biasa.
Selagi memandang dengan penuh
perhatian se-konyong Thay Giam mengeluarkan seruan tertahan, karena dipuncak
ombak terlihat sebuah perahu yang menerjang kedepan menurut gerakan ombak itu.
Apa yang luar biasa ialah pada layar putih dari perahu itu terdapat lukisan
yang merupakan sebuah tangan berwarna merah dengan lima jeriji yang terpentang
lebar. Karena memiliki mata yang sangat tajam, biarpun didalam kegelapan, dalam
jarak puluhan tombak ia sudah bisa lihat tangan berdarah itu.
Sijuru mudi sendiri baru bisa
melihatnya sesudah perahu itu datang terlebih dekat. Mendadak ia mengeluarkan
teriakkan ketaku tan:" Hiat chioe hoan." (Hiat chioe hoan perahu
layar Tangan berdarah).
"Apa itu Hiat chioe
hoan?" tanya Thay Giam.
Sebaliknya dari menjawab ia
menerjun ke dalam air! Thay Giam terperanjat dengan gelombang yang sebear itu
biarpun pandai berenang, orang tak akan bisa bertahan lama didalam air buru2 ia
mengambil sebatang gala yang lalu disodor keair tapi juru mudi itu
menggoyangkan tangan dengan paras muka ketakutan dan dilain saat ia masuk
kedalam gelombang untuk tidak keluar lagi.
Tanpa juru mudi begitu
terpukul ombak, perahu itu lantas saja terputar. Cepat2 Thay Giam pergi
kebelakang perahu untuk memegang kemudi pada saat itulah mendadak terdengar
suara "dak" dan perahu Hiat chioe hoan membentur perahunya Thay Giam
Karena kepala Hiat chioe hoan
dilapis besi begitu terbentur, perahu Thay Giam lantas saja bocor dan air
menerobos masuk.
Bukan main gusarnya Thay Giam.
"Perahu siapa yang begitu kurang ajar?" bentaknya dengan suara keras.
Melihat perahunya sudah hampir tenggelam, dengan sekali menotol ujung kaki, ia
melompat keatas kepala perahu Hiat chioe hoan. Pada yang bersamaan satu ombak
besar menerjang, sehingga Hiat chioe hoan "terbang" keatas, setombak
lebih tinggi nya. Kejadian itu terjadi pada sesaat badan Thay Giam berada
ditengah udara sehingga perhitungannya meleset semua dan ia melayang jatuh
kedalam air.
Pada detik yang sangat genting
sambil mengempos semangatnya ia menggoyang kedua pandaknya dan dengan
menggunakan gerakan Tee in ciang, tiba2 tubuhnya meleset keatas lagi setombak
lebih dan kedua kakinya hinggap diatas kepala perahu Hiat-chioe-hoan.
"Ada orang tercebur
diair! Lekas tolong !" teriak Thay Giam. Ia mengulangi teriakannya
beberapa kali. Tapi tidak mendapat jawaban.
Dengan mendongkol ia menolak
pintu gubuk perahu tapi pintu itu yang terbuat dari besi, tidak bergeming.
Seraya menggerakkan Lweekang dikedua lengannya ia mendorong sambil membentak
keras. Pintu belum terbuka tapi sudah berlobang karena menghubungkan gubuk dan
pintu telah putus dan jatuh dengan mengeluarkan suara berkerincingan.
Tiba2 didalam gubuk terdengar
suara orang "Tee in ciong dan Tin san ciang (Pukulan menggetarkan gunung)
yang tersohor dari Boe tong pay sungguh bukan pujian kosong. Jie Sam hiap
serahkan To liong to yang berada dalam buntalanmu dan kami akan mengantarkan
kau menyeberang sungai suara yang le mah lembut itu bukan lain dari pada suara
kaki tangan Peh bie Kauw coe yang pernah didengarnya dikelenteng Hay sin bio.
Sekarang baru ia tahu bahwa perahu Hiat cioe hosn adalah milik Peh bie Kauw coe
sehingga tidak heran sijuru mudi jadi ketakutan setengah mati.
Tapi ia tak mengerti bagimana
orang itu tahu namanya dan beradanya To liong to di dalam tangannya.
Sebelum ia menanya orang itu
sudah berkata lagi:" Jie Sam Hiap mungkin kau merasa heran mengapa kami
tahu she dan namamu bukankah begitu tapi sebenarnya kau tak usah heran kecuali
ahli silat Boe tong pay dalam dunia ini siapa lagi yang memiliki lompatan Tee
in ciong dan pululan Tin san ciang? Tiga hari sebelum Jie Sam hiap menginjak
wilayah Ciat kang kami sudah mendapat warta. Hanya sayang kami tidak keburu
menyambut dari tempat jauh.
Thay Giam tak tahu bagaimana
harus menjawab perkataan orang itu tapi mengingat sijuru mudi yang tercebur
didalam air ia lantas saja berkata. "Hal lain dapat ditunda paling dulu
kita harus menolong jiwanya juri mudi itu."
Orang itu tertawa ter-bahak2.
"Jie Sam hiap hatimu terlalu mulia katanya. "Juragan perahu itu
mempunyai satu gelaran yang sangat bagus yaitu Sauw cay Seei kwie (Setan air
yang menagih hutang) Disungai Ciang tong-kang entah berapa banyak jiwa melayang
didalam tangannya. Jie Sam hiap adalah seorang yang berhati sangat mulia. Tapi
setan air itu sebenarnya sudah mengincar buntalanmu dan ingin menagih hutang
dari penitisan yang lain. Haha !"
Thay Giam sendiri sebelumnya
sudah menaruh curiga, karena-lihat lahat juru mudi itu yang seperti lagak
bangsat. Sekarang ia mendapat kenyataan, bahwa kecurigaannya sangat beralasan.
"Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama tuan yang besar dan apa boleh aku
bertemu muka denganmu?" tanya Thay Giam.
"Antara Peh bie kauw dan
partai tuan sama sekali tidak mendapat tali persahahatan atau permusuhan,"
jawabnya. "Maka itu menurut pendapatku, lebih baik kita tak usah bertemu
muka. Jie Sam hiap taruh saja To liong to dikepala perahu dan kami akan
menyeberangkan kau ketepi."
Mendengar perkataan itu, darah
Thay Giam lantas saja naik. "Apakah To liong milik Peh bie kauw?"
tanyanya dengan suara kaku.
"Bukan," jawabnya.
"Tapi golok itu adalah senjata termulia dalam Rimba Persilatan, maka
dapatlah dimengerti, jika setiap ahli silat sangat ingin memilikinya."
"Kalau begitu, dengan
sangat menyesal aku tak bisa meluluskan permintaanmu," kata Thay Giam.
"Golok ini sudah jatuh kedalam tangan ku dan aku merasa berkewajiban uniuk
menyerahkan kepada guruku, supaya ia bisa memberi keputusan. Aku masih berusia
muda dan tak dapat mengambil keputusan apa apa."
Orang itu kembali bicara, tapi
suaranya sehalus bunyi nyamuk, sehingga Thay Giam tak dapat menangkapnya.
"Apa kau kata?" tanyanya sambil maju beberapa tindak.
Sesaat itu, gelombang besar
kembali menghantam, sehingga perahu layar itu "terbang" keatas dan
terombang ambing ditengah2 ombak. Mendadak Jie Thay Giam merasa sakit gatal
didada dan pahanya, seperti digigit nyamuk. Waktu itu adalah permulaan musim
semi dan biasanya tidak ada nyamuk.
Tapi ia tidak menghiraukan dan
lalu menepuk beberapa kali ditempat yang gatal. "Untuk merebut sebilah
golok, Peh bie kauw telah membinasakan tidak sedikit manusia," katanya
dengan suara nyaring. "Dikelenteng Hay sin bio saja, beberapa puluh orang
telah melayang jiwanya. Menurut pendapatku, tanganmu agak terlalu kejam."
"Kau salah,"
membunuh orang itu. "Dalam menurunkan tangan, Peh bie kauw selalu membuat
perbedaan. Terhadap orang jahat, kami turunkan tangan yang berat, sedang
terhadap orang baik, kami turunkan tangan enteng. Jie Sam hiap, namamu yang
mulia telah menggetarkan dunia Kangouw dan kami tentu tidak akan mengambil
jiwamu. Jika kau menyerahkan To Liong to, kami akan segera memberikan obat
pemunah jarum Boen sie ciam kepadamu," Boen sie ciam Jarum kumis nyamuk.
Mendengar kata2 "Boen sie
ciam," Thay Giam terperanjat. Buru2 ia meraba dada, dibagian yang bekas
digigit nyamuk. Ia merasa gata12, tiada bedanya seperti akibat gigitan nyamuk.
Tapi sesudah memikir sejenak, ia mengerti, bahwa rasa gatal itu tak mungkin akibat
gigitan nyamuk, karena pada waktu itu adalah musim semi, apapula jika diingat,
bahwa ia sedang berada diatas sungai. Dari mana datangnya nyamuk? Mendadak ia
mendusin. "A-ha! Kalau begitu, ia sengaja bicara perlukan untuk memancing
supaya aku datang terlebih dekat, agar ia bisa menimpuk dengan senjata
rahasianya yang sangat halus," katanya didadalam hati. Mengingat
ketakutannya Tek Seng orang2 Hay-see-pay dan si juragan perahu, maka boleh
dipastikan, racun itu hebat luar biasa. Maka itu, jalan yang terbaik adalah
menangkap dan memaksanya untuk mengeluar kan obat pemunah. Memikir begitu,
sambil membentak keras, ia melompat kedalam gubuk perahu itu.
Sebelum kedua kakinya hinggap
dipapan perahu, angin yang sangat tajam menyambar mukanya dan dalam gusarnya,
iapun segera menghantam dengan sekuat tenaga. Begitu kedua tangan kebentrok,
kedua lawan itu tetpental kebelakang dengan berbareng Jie Thay Giam sendiri
terdorong keluar, tapi sukar, ia tak sampai roboh terguling hanya telapak
tangannya dirasakan sakit sekali ia mengerti bahwa musuh telah menyembunyikan
senjata dalam tangannya sebab pada waktu kedua telapak tangan beradu ia merasa
tujuh batang jarum atau paku, menancap ditelapak tangan nya. Dalam segebrakan
itu ia sudah tahu bahwa tenaga lawan kira2 setanding dengan tenaganya sendiri.
"Racun Ciang sim Cit sang
tengku hebat luar biasa" demikian terdengar suara orang itu "Lweekang
Jia Sam hiap sungguh liehay dan aku merasa takluk. Ciang sim Cit seng teng
(Paku tujuh bintang) yang ditaruh ditelapak tangan.
Jie Thay Giam yang sabar
sekarang menjadi kalap is meraba buntalannya dan lalu mencabut To liong to.
Sambil mencekal gagang golok dengan kedua lengan ia membacok.
"Trang!" pintu besi itu terbelah dua melihat tajamnya golok itu
semangatnya terbangun dan ia lalu membacok kalang kabut sehinga gubuk itu yang
terbuat dari pada besi lantas menjadi hancur dan lembaran2 besi jatuh ke dalam
air.
Orang yang berada didalam
gubuk tak dapat menyembunyikan dirinya lagi ia lalu melompat kebelakang perahu
seraya menbentak "kau sudah kena dua macam racun, mau apa kau banyak
lagak." Jie Thay Giam yang sudah mata gelap tidak menghiraukannya dan
terus menerjang sampai memutar golok.
Melihat serangan kalap itu
buru2 orang itu menangkis dengan sebuah jangkar. "Trang" jangkar itu
juga terbelah dua dengan hati mencelos ia melompat kesamping dan berteriak.
"Hei? Kau lebih sayang
jiwa atau lebih sayang golok?"
Thay Giam berhenti menyerang.
"Baiklah" katanya. Serahkan obat pemunah aku akan menyerahkan golok
ini kepadamu. Sesaat itu merasa pahanya semakin gatal dan sakit sebagai tanda
bahwa racun sudah mulai bekerja. Mengingat bahwa To liong to telah didapatinya
secara kebetulan dan sebab ia memang tak ingin memiliki harta benda orang lain
maka hilang hilangnya golok itu juga tidak dirasakan berat olehnya. Dilain
saat, ia sudah melemparkan To Liong to diatas papan perahu.
Orang itu kegirangan dan buru2
menjemput nya, akan kemudian meng-usap2 badan golok itu dengan sikap yang
sangat menyayang. Ia berdiri dengan membelakangi rembulan, sehingga Thay Giam
tak dapat lihat nyata mukanya. Tapi dalam perhatiannya kepada golok itu, ia
rupanya lupa akan janjinya untumemberikan obat pemunah.
Lewat beberapa saat, rasa
sakit dan gatal didada dan paha Thay Giam makin menghebat. "Eh, mana
obat?" tanyanya.
Orang itu tertawa berkakakan
seperti juga mendengar cerita lucu.
Tentu saja Thay Giam jadi
gusar seka]i." Hei! Aku minta obat yang dijanjikan olehmu,"
bentaknya. "Ada apa lucunya ?"
Orang itu menuding muka Thay
Giam dan berkata seraya tertawa: "Hihihi ! Kau sungguh tolol ! Sebelum aku
mengeluarkan obat, kau sudah lebih menyerahkan golok ?"
"Perkataan seorang laki2
seperti juga larinya seekor kuda," kata Thay Giam dengan amarah me-luap2.
"Kita sudah berjanji untuk menukar golok dengan obat, apa kau lupa?"
Orang itu tertawa lagi.
"Dengan golok dalam tanganmu, aku masih jerih juga," katanya dengan
suara mengejek, "Adat kata kau tidak bisa menangkan aku, kau masih dapat
melemparkan golok itu kedalam sungai dan belum tentu aku bisa mencarinya. Tapi sekarang,
sesudah golok ini berada dalam tanganku, apa kau masih mengharapkan obat
pemunahan ?"
Perkataan itu se-olah2 air
dingin yang mengguyur kepala Thay Giam. Mimpipun ia tidak pernah mimpi, bahwa
orang itu bisa berlaku begitu licik. Ia ingat, bahwa Boe-tong-pay tak mempunyai
permusuhan apapun jugs dengan Peh bie-kauw, sedang orang itupun memiliki
kepandaian tinggi, sehingga kedudukannya pasti bukan kedudukan rendah. Tapi
mengapa ia menjilat lagi ludah yang sudah dibuang?
"Jie Sam hiap,"
orang itu berkata pula. "Ada satu hal yang harus diterangkan kepadamu.
Racun dari Boen sie ciam masih tidak begitu hebat tapi racun Cit-seng benar2
luar biasa. Dalam tempo dalam duapuluh empat jam semua dagingmu akan copot dan
jatuh ditanah. Dalam dunia kecuali obat pemunah dari Peh bie kauw, jangankan
manusia, sedang dewapun tak akan bisa menolongnya. Disamping itu andaikata
sekarang aku memberikan obat pemunah, obat itu hanya bisa menolong selembar
jiwamu, tapi ilmu silat Jie Sam-hiap yang tersohor dalam dunia Kangouw tak akan
bisa pulih kembali untuk se-lama2nya. Perkataan itu dikeluarkan dengan suara
manis dan lemah lembut, se-olah2 manusia itu sedang bicara dengan sahabat
karibnya.
"Hidup atau mati adalah
takdir," kata Thay Giam sambil menahan amarah. "Selama hidup Jie Thay
Giam belum pernah melakukan apa2 yang tidak baik, sehingga ia boleh tak usah
merasa malu terhadap Langit dan bumi. Andaikata sekarang aku binasa dalam
tangan seorang rendah, sedikitpun aku tidak merasa jerih."
Orang itu mengacungkan
jempolnya. "Bagus!," ia memuji. "Nama besarnya Boe tong Cithiap
benar2 bukan nama kosong. Orang gagah yang kenal Cit-seng-teng dan Boe sie-ciam
tak bisa dihitung berapa banyaknya. Kalau bukan, meminta ampun, mereka yaitu
orang2 yang mempunyai tulang punggung tentu mencaci aku. Tapi orang yang
seperti Jie Sam-hiap, yang tidak menghiraukan masih akan hidup, aku sungguh
jarang menemui."
Thay Giam mengeluarkan suara
dihidung "Tapi apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama tuan yang
besar?" tanyanya.
"Aku hanyalah seorang
kecil dalam Peh-bie-kauw dan jika Boe-tong-pay ingin membalas sakit hati adalah
Kauw coe yang akan melayaninya." jawabnya. "Malam ini, Jie Sam hiap
akan mati dengan diam2."
Jilid 5
SEMENTARA itu, karena leher
dan badannya tak bisa bergerak, JieThay Giam hanya bisa melihat bendera piauw
yang tertancap dipot bunga. Untuk sejenak seluruh ruangan sunyi senyap dan yang
terdengar hanyalah bunyi laler yang beterbangan kian kemari. Lain suara yang
didengarnya ialah suara nafas Touw Tay Kim yang ter-sengal2. Walaupun tak
melihat mukanya, ia bisa menebak, bahwa Cong piauw tauw itu tengah mengawasi
emas yang berkredepan dengan mata membelalak.
Beberapa saat kemudian,
barulah terdengar suara Touw Tay Kim: "In Toa ya, piauw apa yang mau
diantar?"