Bagian 01
Jilid 1
===============================
MUSIM semi gembira-ria,
Setiap peringatan Han-sit,
Bunga Lee-hoa mekar semua.
Sutera putih licin,
Bau harum bertebaran,
Pohon2 bagaikan giok,
Tertutup salju berhamburan.
Malam yang sunyi,
Sinar yang mengambang,
Cahaya, yang dingin.
Diantara bumi dan langit,
Sinar perak menyelimuti semesta a1am.
Ah, dia bagaikan Dewi dari gunung Kouwsia,
Bakatnya cerdas dan suci,
Wataknya agung dan murni.
Laksaan sari bunga besar kecil tak ketentuan,
Tapi siapa berani mengatakan, dia tak
berendeng dengan bunga2 kenamaan?
Jiwanya gagah,
Kepintarannya berlimpah2,
Sesudah rontok, semua sama.
Maka itu, dia pulang kekeraton langit'
Guna melihat keindahan nan ABADI.
Sajak diatas sajak "Boe
siok liam" (Cita2 hidup bebas dari segala keduniawian), adalah buah kalam
seorang ahli silat ternama dijaman Lan-song (kerajaan Song Selatan). Orang itu
she Khoe bernama Cie Kie (Kee) bergelar Tiang coen coe, salah seorang dari Coan
cin Cin Cit coe (Tujah Coe dari agama Coan cin kauw)
Dalam sajak itu Khoe Cie Kie
bicara tentang bunga Leehoa. Tapi sebenarnya, dalam melukiskan keagangan bunga
Leehoa, is ingin memberi pujian kepada seorang wanita cantik yang mengenakan
pakaian serba putih. la membandingkan wanita itu seperti "Dewi dari gunung
Kouw sia, bakatnya cerdas dan suci, wataknya agung dan murni." Ia
memujinya sebagai manusia yang "jiwanya gagah kepintarannya
ber-limpah2."
Siapakah wanita yang mendapat
pujian sedemikian tinggi dari seorang, beribadat yang berilmu itu ?
Ia adalah Siauw Liong Lie,
seorang jago betina parte Kouw bok pay (parte Kuburan tua). Ia suka mengenakan
pakaian serba putih, sehingga se-olah2 pohon giok yang tertutup salju Dengan
sifat2nya yang bersih dingin is se-akan2 sinar rembulan yang menyelimuti
semesta alam dengan sinarnya yg teduh dan dingin.
Waktu masih berdiam di Ciong
Lan Sam Siauw Liong Lie pernah jadi tetangga Kho Cie Kie dan sesudah melihat
gadis itu yang elok luar biasa. Cie Kie segera menulis sajak "Boe
siok-liam" untuk memujinya.
Tapi sekarang Kho Cie Kie
sudah lama meninggal dunia, sedang Siauw Liong Lie pun sudah menikah dengan
Sintiauw Tayhiap Yo Ko.
Akan tetapi, pada suatu hari,
dijalanan gunung Siauw sit san, di propinsi Holam, terlihat seorang gadis
remaja yang sedang berjalan sambil menundukkan kepada dan menghafal sajak
"Boe siokliam."
Gadis itu, yang berusia
kira-kira delapan belas tahun dam mengenakan pakaian warna kuning menunggang
seekor keledai kurus. Perlahan-lahan binatang itu mendaki jalanan gunung yang
sempit. Sambil termenung2 diatas tunggangannya, sinona berkata dalam hatinya.
"Ya ! Memang juga,
hanyalah seorang seperti Liong Cie-cie yang pantas menjadi isteri dia."
"Dia" adalah
Sintiauw Tayhiap Yo Ko.
Keledai berjalan terus,
perlahan-lahan. Si nona menghela papas dan berkata dengan suara perlahan.
"Berkumpul gembira,
berpisahan menderita......"
Gadis tersebut, yang
berpakaian sederhana dan yang pada pinggangnya tergantung sebatang pedang
pendek, berjalan dengan paras muka tenang, sehingga dengan muka sekelebatan
saja, orang bisa menebak, bahwa ia adalah seorang yang sadah biasa berkelana
dalam dunia Kang-ouw. Ia berada dalam usia remaja, usia riang gembira. Menurut
akuran biasa, dalam usia belasan, pemuda atau pemudi tak mengenal apa yang
dinamakan penderitaan atau kedukaan. Akan tetapi, nona itu berada di luar dari
ukuran biasa. Pada paras mukanya yang cantik bagaikan sekuntum bunga mawar,
terlihat sinar yang guram. Alisnya berkerut, seolah-olah serupa pikiran berat
sedang menindih hatinya.
Nona itu she Kwee bernama
siang, puteri ke dua dari Tayhiap Kwee Ceng dan Liehiap Oey Yong. Dalam dunia
Rimba Persilatan, ia di juluki sebagai "Siauw-tong-sia" (si Sesat
kecil dari Timur). Dengan seekor keledai dan sebatang pedang, ia berkelana
untuk menghilangkan kedukaan. Tapi diluar dugaan semakin jauh ia berkelana
mendaki gunung2 yang indah dan sunyi semakin besar kedukaannya.
Jalan kecil itu, dibuat atas
perintah Kaizar Kocong dari kerajaan Tong, untuk memudahkan lalu lintas kekuil
Siau-lim-sie. Sesudah berjalan beberapa lama, Kwee Siang melihat lima buah air
terjun digunung seberang dan dibelakang sebuah tikungan, apat2 terlihat tembok
dap genteng dari se buah kuil yang besar luar biasa.
Sambil mengawasi bangunan2
yang berderet, si nona berkata dalam hatinya. "Semenjak dulu Siauw lim sie
dikenal sebagai pusat pelajaran ilmu silat. Tapi mengapa, selama dua kali
diadakan pertandingan di puncak gunung Hwa-san, diantara lima jago utama tidak
terdapat orang yang berkepandaian Cukup tinggi? Atau apakah, karena sudah
memiliki ilmu yang sangat tinggi, mereka sung kan mencampuri segala pergaulan
didalam dunia?"
Sambil berpikir, ia mendekati
kuil itu. Ia turun dari tunggangannya dan menuju ke pintu kelenteng. Ia
melewati pohon2 itu yang berdiri sejumlah pay batu yang sebagian besar sudah
rusak, sehingga hurup2nya tak dapat dibaca lagi.
Si nona menghela napas.
"Ah ! Huruf2 yang terpahat di pay batu sudah hampir tak terbaca karena
lamanya tempo, tapi mengapa, huruf2 yang terukir dalam hatiku, semakin lama
jadi semakin tegas ?" katanya didalam hati.
Dalam saat, ia berpapasan
dengan sebuah pay batu yang sangat besar dengan hurufnya yang masih dapat di
baca. Pay itu ternyata hadiah Kaizar Tong-thay-tong sebagai pujian untuk
jasa-jasanya para pendeta Siauw-lim-Sie
Menurut catatan sejarah, pada
waktu masih jadi Raja muda Cin-ong, Tong-thay-cong pernah membawa tentara untuk
menghukum Ong Sie Oen. Dalam peperangan itu, bajak pendeta siauw-lim-sie
memberi bantuan dan yang paling terkenal berjumlah tiga belas orang. Antara
mereka itu, hanya seorang she Tham yang suka menerima pangkat jenderal sedang
yang lainnya, sesudan peperangan selesai, lantas meminta diri. Tong-thay-cong
tak dapat menahan mereka dan sebagai pernyataan terima kasih kepada setiap
orang, ia menghadiahkan satu jubah pertapaan yang sangat indah.
"Pada jaman antara
kerajaan Soe dan Tong ilmu silat Siau Lim sie sudah tersohor dikolong
langit," kata Kwee Siang didalam hati.
"Selama beberapa ratus
tahun, ilmu silat itu tentu sudah memperoleh banyak kemajuan. tahu berapa
banyak orang yang berilmu bersembunyi dalam kuil yang besar ini?"
Selagi dia melamun dibelakang
pohon, tiba2 terdengar suara berkerincingnya rantai besi, disusul dengan suara
seseorang yang sedang menghafal Hoed keng (Kitab Suci agama Budha. ). Antara
perkataan2 yang di hafal ia menangkap kata2 seperti berikut.
"... Dari cinta timbul ke
jengkelan, dari cinta timbul ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan diri dari
cinta, ia terbebas dari kejengkelan dan ketakutan."
Jantung si nona memukul keras.
Ia bengong mengulangi kata2 itu. "Dari cinta timbul ke jengkelan dan
ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari
kejengkelan dan ketakutan."
Dilain saat, suara kerincingan
rantai besi dan suara pembacaan Kitab Suci sudah jadi semakin jauh.
"Aku mesti tanya
dia," kata si nona dalam hati. "Aku mesti tanya, bagaimana seseorang
bisa menyingkir dari cinta, bisa terbebas dari kejengkelan dan ketakutan".
Buru2 ia mengikat tali les keledai disatu pohon dan lalu mengubar kearah suara
itu.
Ternyata, dibelakang pohon2
terdapat satu jalan kecil yang menanjak keatas dari seorang pendeta yang
memikul dua tahang besar sedang naik ditanjakan itu.
Dengan cepat Kwee Siang
mengudak dan waktu berada dalam jarak belasan tombak dari si pendeta, tiba2
terkesiap. la mendapat kenyataan, bahwa yang dipikulnya sepasang tabang besi
yang tiga kali lipat lebih besar dari tahang biasa. Yang mengejutkan ialah,
dileher, di tangan dan dikaki sipendeta dilibatikan rantai besi yang besar,
sehingga menimbulkan suara berkerincingan. Berat kedua tahang besi itu ratusan
kati dan ditambah dengan air dapat dibayangkan betapa beratnya.
".. Toah hweeshio
(pendeta besar) "teriak si nona. "Berhenti dulu ! Aku ingin
bertanya."
Si pendeta menengok, mereka
saling memandang. Pendeta itu ternyata Kak-wan yang pada tiga tahun berselang
pernah bertemu Kwee Siang di puncak ganung Hwa-san.
Si Nona tahu, biarpun pendeta
itu agak tolol, ia memiliki Lweekang yang sangat tinggi, yang tak kalah dari
siapapun juga. "Ah! Kukira siapa," katanya. "Tak tahunya Kak kwan
Taysoe. Mengapa kau jadi begini ?"
Kak kwan manggut kan kepalanya
sambil tersenyum dan merangkapkan kedua tangannya, tapi ia tak menjawab
pertanyaan si nona. Lalu ia memutar badan dan berjalan pula.
"Kak Wan Taysoe !"
teriak Kwee Siang. "Apakah tidak
mengenal aku ? Aku Kwee Siang!"
Kak wan kembali menengok, ia
tertawa dan memanggut2kan kepala, tapi kakinya bertindak terus.
"Siapa yang mengikat kau
dengan rantai?" tanya sinona. "Siapa yang menghina kau?"
Sambil berjalan terus Kak wan
menggoyang2 tangan kirinya dibelakang kepala, sebagai isyarat supaya sinona
jangan terlalu melit.
Kwee Siang jadi semakin heran.
Mana ia bisa puas dengan begitu saja? Ia segera mengudak untuk mencegat pendeta
yang aneh itu, tapi diluar dugaan, sesudah mengubar beberapa lama, Kak wan yang
dilibat rantai dan memikul tahang, masih tetap berada disebelah depan. sinona
jadi jengkel. Ia mengempos semangat dan mengudak dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan. Bagaikan seekor walet tubuhnya yang langsing melesat
kedepan dan satu tangannya coba menjambret sebuah tahang.
Menurut perhitungan, jambretan
itu tak akan melesat. Tapi diluar dugaan, tangan Kwee Siang jatuh ditempat
kosong, hanya kacek dua dim dari tahang itu.
"Toahweeshio ! Lihay
benar kau !" teriaknya. "Lihatlah! Biar bagaimanapun juga aku akan
menyandak kau."
Jalanan semakin
menanjak,kebelakang gunung. Dengan tenang Kak Wan percepat tindakannya,
sehingga berkerincingnya rantai jadi semakin ramai. Si ubar dengan sekuat
tenaga, nafasnya tersengal2, tapi ia terpisah kurang lebih setombak dari
pendeta ltu. Ia kagumi bukan main dan berkata dalam hatinya : "Diatas
gunung Hwa-san, ayah dan ibu pernah mengatakan, bahwa hweeshio ini memiliki
kepandaian yang sangat tinggi. Waktu itu aka masih percaya. Sekarang baru terbukti,
perkataan ayah dan ibu adalah benar."
Tak lama kemudian merekapun
tiba didepan sebuah rumah kecil dan Kak Wan sagera pergi kebelakang dam menuang
air kedua tahang itu kedalam sumur. Kwee siang jadi lebih heran.
"Toa hweeshio, apa kau
sudah gila? " tanyanya. "Mengapa kau menuang air kedalam sumur?"
Paras muka sipendeta tetap
tenang. Ia hanya tersenyum.
Mendadak Kwee siang tertawa
nyaring. " Ah! Kutahu sekarang," katanya. "Kau sedang melatih
ilmu silat bukan ?"
Kak Wan kembali
meng-geleng2kan kepala. Sinona jadi mendongkol.
"Kau seorang gagu,
barusan aku mendengar kau menghafal Kitab Suci." katanya. "Mengapa
kau tak mau menjawab pertanyaanku ?"
Si pendeta merangkap kedua
tangannya, Sedang dilihat dari paras mukanya, ia seperti ingin meminta maaf. Tapi
ia tetap membungkam dan sesudah mengangkat kedua tahangnya, ia lalu turun di
jalanan tadi.
Kwee siang melongok sumur itu.
Ia hanya melihat air yang bening dan merasakan hawa yang dingin. Tiada apapun
yang luar biasa.
Ia berdiri bengong dan hati
bimbang mengawasi bayangan Kak wan yang semakin lama jadi semakin jauh. Sesudah
menguber mati matian, ia merasa letih dan lalu duduk dipinggir sumur sambii
memandang keadaan diseputarnya. Ia berada ditempat yang lebih tinggi dari pada
kuil Siauw liem sie. Di pandang dari jauh kuil itu, angker dan indah. Ia
mendongak dan memandang puncak. yang menjulang kelangit dan berderet2 bagaikan
sekosol, sedang di bawah puncak2 itu terdapat awan putih yang mengambang kian
kemari. Di lain saat, sayu sayu kupingnya mendengar suara lonceng di kuil yang
dibawa keatas olen tiupan angin. Dalam keadaan begitu, ia merasa berada di
suatu tempat suci yang jauh dari keduniawian.
"Kemana perginya murid si
pendeta itu?" tanyanya didalam hati. "Kalau dia sendiri tak mau
bicara, biar kucari itu."
Perlahan lahan ia turun gunung
untuk mencari Thio Koen Po, murid Kak wan. Sesudah berjalan beberapa lama, ia
kembali mendengar suara berkerincingnya rantai besi dan jauh-jauh Kak wan
kelihatan mendatangi sambil memikul dua tahang besinya. Kwee siang baru baru
melompat dan menyembunyikan diri di belakang pohon. "Biarlah aku intip
padanya." pikirnya,
"Permainan gila apa yang
tengah dilakukannya?"
Tak lama kemudian, Kak wan
sudah tiba di tempat bersembunyinya. Kwee Siang yg mendapat kenyataan, bahwa
sambil berjalan pendeta itu membaca sejilid buku dengan penuh perhatian.
Mendadak ia melompat dan
berteriak. " Toah wee shio, buku apa yang di baca olehmu ?"
"Aduh ! Kaget benar aku
!" teriak sipendeta tanpa merasa. "Nakal sungguh kau!"
Si nona tertawa geli.
"Toa hwee shio, mengapa tadi kau berlagak gagu ?" tanyanya dengan
dada mangejek,
Muka pendeta itu lantas saja
berubah pucat, seperti orang ketakutan. Ia menegok ke Kiri kanan dan
menggoyang-goyangkan tangannya.
"Apa yang di takuti
olehmu ?" tanya pula Kwee Siang dengan perasaan heran.
Sebelum Kak wan keburu
menjawab, dari dalam hutan mendadak muncul dua orang pendeta yang mengenakan
jubah kuning.
"Kak wan!" bentak
sipendeta yang jalan didepan. "Hm! Kau berani bicara dan melanggar
larangan kami ? Hm! Kau berani bicara dengan seorang luar. Apa pula demang
seorang wanita. Sekarang kau harus menghadap pada tetua Kayloet tong (dewan per
udang-undangan dari kalangan Buddha)."
Kak wan kelihatan berduka. Ia
menunduk dan mengguk, akan kemudian berjalan mengikuti dibelakang kedua pendeta
itu.
Kwee Siang lantas saja naik
darahnya "Hai ! Dikolong langit mama ada aturan tak boleh bicara ?"
bentaknya. "Aku bicara dengan Tay soe itu, karena aku mengenalnya. Ada
sangkut paut apakah dengan kau berdua ?"
Pendeta yang bertubuh jangkung
melotot matanya. "Semenjak ribuan tahun, seorang wanita belum pernah
dipermisikan masuk kedalam daerah Siauw lim sie." katanya. "Lebih
baik nona cepat-capat turun gunung supaya tidak menghadapi kesukaran."
Si nona jadi semakin gusar.
"Eh, kalau wanita masuk disini, mau apa kau?" bentaknya.
"Apa perempuan tak sama
dengan lelaki? Mengapa kamu menyusahkan Kak wan Taysoe? Sesudah mengikatnya
dengan rantai besi, kau mengeluarkan larangan gila-gila."
Si jangkung mengeluarkan suara
dihidung "Kaizar sendiri tak pernah mencampuri urusan dalam kuil
kami," katanya dengan suara tawar.
"Nona tak usah banyak
bicara."
Kwee Siang berjingkrak.
"Kutahu Kak wan Taysoe seorang baik dan karena ia seorang baik, kau berani
menghinanya," katanya. "Huh-huh! Dimana adanya Thian beng Siansoe,
Boe sek Hweeshio dan Boe Siang Hweeshio? Panggil mereka? Aku mau menanyakan
urusan gila ini!"
Kedua pendeta itu terkejut.
Harus diketahui, bahwa Thian beng Siansoe adalah Hongthio atau kepala dari kuil
Siauw lim sie, sedang Boe sek Siansoe pemimpin Lo-han-tong Pan Boe siang
Siansoe pemimpin Tak mo tong dengan kedudukan yang sangat tinggi, mereke
dihormat oleh segenap pendeta yang belum pernah berani menyebutkan Hoat nia
(nama sesudah jadi pendeta) mereka dan biasa menggunakan panggilan "Loo
hong thio" "Lo han tong Co-soe" atau "Tat mo tong Cocoa.
" Maka itu, tidaklah heran jika mereka kaget tercampur gusar waktu
mendengar sinona menyebut nama ketiga, pemimpin dengan suara kasar.
Hoat mia pendeta yang bertubuh
jangkung itu, adalah Hong bang, muria kepala Co coe (pemimpin) Kay Loet tang.
Atas perintah coe coe, bersama Hong yan, adik seperguruannya ia menilik
gerak-gerik Kak kwan.
"Lie sie cue (nona)
!" bentaknya sambil menahan amarah. "Jika kau terus berlaku kurang
sopan ditempat yang suci ini, Siauwceng tak akan berlaku sangkan lagi."
"Kau kira aku takut
?" Kwee Siang balas membentak. "Lekas buka rantai yang melibat Kak
wan Taysoe. Jika tidak, aku akan cari Thian beng Loo hwaeshio untuk berurusan
lebih jauh."
Bagaimana siauw tong sia Kwee
Siang bisa berada digunung Siaw sit san ? Sesudah berpisah dengan Yo Ko dan
Siauw Liong Lie dipuncak Hwa san, tiga tahun lamanya ia tak pernah menerima
warta tentang kedua sahabat itu. Karena berkuatir, ia segera minta permisi dari
kedua orang tuanya untuk pesiar keberbagai tempat, dengan tujuan mendengar
berita tentang Yo Ko. la bukan terlalu ingin bertemu muka dengan kedua suami
isteri itu. Ia sudah merasa puas jika bisa mendengar warta tentang sepak
terjang mereka. Tapi semenjak berpisah, Yo Ko dan Siauw Liong Lie tak pernah
muncul dalam dunia Kangouw. Tiada orang tahu dimana mereka menyembunyikan diri.
Sesudah berkelana disebagian besar wilayah Tiong go an, dari utara keselatan,
dari timur kebarat, belum pernah Kwee Siang nendengar disebut-sebutnya, nama
"Sintiauw Tayhiap Yo Ko."
"Waktu tiba di propinsi
Holam, dia ingat dulu Yo Ko pernah mengatakan bahwa ia kenal Hong thio dari,
kuil Siauw Lim sie. Mengingat begitu dalam hatinya muncul harapan, kalau Thian
beng SianSoe mengetahui segala sesuatu mengenai Yo Ko. la lalu mendaki Siauw
sit san, tapi tak dinyana, begita tiba ia bertemu dengan kejadian mengheran
kan.
Melihat di pinggang Kwee Siang
tergantung sebatang pedang pendek, Hong beng dan Hoang yan jadi semakin gusar.
"Tinggal kan pedangmu disini dan lekas pergi dari gunung!" bentak
Hoang yang dengan mata melotot.
Mendengar perintah itu,
kegusaran sinona jadi bertambah2. Ia membuka ikatan tali pedang dari
pinggangnya dan sambil menggusarkannya dengan kedua tangan ia berkata seraya
tertawa dingin.
"Baiklah, aku menurut
perintah!"
Semenjak kecil Hongyan sudah
mencucikan diri dikuil Siauw Lim sie. Selama belasan tahun, ia selalu mendengar
bahwa Siauw lim sie adalah pusat dari ilmu silat dan siapapun juga, biarpun
ahli silat yang berkepandaian paling tinggi, tak akan berani melewati pintu
kuil dengan membawa senjata. Sekarang walaupun Kwee Siang masih belum masuk
dipintu, tapi ia sudah berada dalam lingkungan Siauw lim. Dengan usianya yang
masih begitu muda, apa pula ia hanya seorang wanita, dapat dimengerti jika Hong
Yang tidak mempandang sebelah mata kepada Kwee Siang. Begitu ia mengangsurkan
senjatanya, si pendata menafsirkan, bahwa nona itu sudah menyerah dengan
ketakutan. Dengan paras muka ber seri2 sambil mengebas tangan-jubah yang
menutupi kedua tangannya; ia segera menelonjorkan tangan untuk menjemput pedang
Si nona.
Tapi baru saja lima jarinya
menyentuh sarung pedang, lengannya bergetaran, seperti kena arus kilat. Ia
merasakan semacam tenaga yang sangat besar menerobos keluar dari pedang itu dan
mendorongnya dengan hebat, sehingga tak ampun lagi ia roboh terguling dan terus
menggelinding kebawah tanjakan. Sesudah tergelincir belasan tombak, untuk juga
ia berhasil menjemput satu pohon kecil di pinggir jalanan dan dapat menolong
dirinya,
Darah Hong beng mendidih;
paras mukanya merah padam. "Perempuan celaka!" bentaknya,
"Kau rupanya sudah makan
nyali singa, sehingga berani unjuk keganasan di Siauw Lim sie." Sambil
mencaci, ia menghantam dengan kedua tangannya.
Melihat gerakan orang, Kwee
Siang tahu, bahwa kepandaian pendeta itu banyak lebih tinggi daripada kawannya
yang barusan terguling. Dengan capat ia mengangkat pedangnya yang masih berada
didalam sarung dan menotok pundak Hong bang bagaikan kilat, si pendeta
mengegos, sambil coba menjambret sarung pedang.
"Jangan berkelahi! Jangan
berkelahi!" teriak Kak wan dengan suara bingung.
Jembretan Hong beng ternyata
berhasil, tapi baru saja ia mau membetot sarung pedang, lengannya mendadak
kesemutan dan ia mengeluarkan teriakan tertahan.
"Celaka!" Hampir
berbaring, Kwee Siang menyapu dengan kakinya dan tubuh Hong beng tergelincir ke
bawah, ia menderita lebih hebat dari pada Hong yang dan baru berhenti sesudah
menggelinding dua puluh tombak lebih dengan badan dan muka berlepotan darah.
Peristiwa itu membuat si nona agak menyesal.
"Ah! Aku naik ke Siauw
Lim sie untuk mendengar2 warta tentang Yo Toako," pikirnya. "Siapa
nyana, aku kebentrok dengan mereka."
Melihat Kak wan berdiri di
pinggir jalan dengan paras muka berduga, ia segera menghunus pedang dan
membacok rantai yang melibat kaki pendeta itu. Biarpun bukan pedang mustika,
senjata Kwee Siang bukan senjata sembarangan. Dengan berkerincingan, tiga
rantai sudah putus terbacok.
"Jangan! Jangan !"
si pendeta coba mencegah.
"Mengapa jangan ?"
tanyanya. Ia mengawasi Hong beng dan Hong yang yang sedang berlari-lari dan
berkata pula. "Dua hweshio jahat itu tentu mau melapor. Mari kita mabur.
"Mana muridmu, si orang she Thio ? Kita ajak dia lari ber sama-sama."
Kak wan meng geleng2kan kepala
dan mengawasi si nona dengan sorot mata berterima kasih.
Tiba-tiba Kwee Siang mendengar
suara orang dibelakangnya.
"Terima kasih untuk
kebaikan nona. Aku berada di sini."
Si nona menengok dan melihat
di belakang nya berdiri seorang pemuda yang berusia kurang lebih tujuh belas
tahun, dengan alis tebal, mata besar dan badan tinggi besar, tapi paras mukanya
masih ke-kanak-kanakkan la segera mengenali bahwa pemuda itu bukan lain dari
pada Thio Koen Po, yang pernah bertemu di puncak gunung Hwa-san. Tubuh anak itu
sudah banyak lebih tinggi, tapi mukanya tidak banyak berubah.
Kwee Siang girang. "Dua
hwe-shio jahat itu telah menghinakan gurumu," katanya. Mari kita
kabur"
"Mereka sebenarnya tidak
menghinakan Soe-hoe." kata Koen Po.
"Tidak menghinakan",
menegas si nona. "Mereka melibatkan rantai di kaki tangan gurumu dan
melarang gurumu bicara. Apa itu tidak menghina?" Kak-wan tertawa getir. Ia
kembali menggelengkan kepala sambil menuding kebawah sebagai nasehat supaya
Kwee Siang buru-buru kabur sendiran.
Tapi Siauw tong-sia Kwee Siang
adalah manusia yang memiliki sifat-sifat kesatria. Ia yakin bahwa di kuil Siauw
Lim-sie terdapat ahli-ahli silat yang tak terhitung berapa banyaknya. Tapi
melihat keganjilan, ia tak bisa berpeluk tangan. Melihat Kak wan Koen Po
ayal-ayalan ia jadi bingung karena kuatir keburu di cegat.
"Lekas! Kalau mau bicara,
boleh bicara di bawah gunung." katanya sambil menyeret tangan pak gurunya
dan murid itu. Tapi baru saja ia mengeluarkan perkataan itu dari bawah tanjakan
sudah muncul tujuh delapan pendeta yang masing2 bersenjata toya Cee bie koen.
"Perempuan dari mana
berani mengganas di Siauw lim sie?" teriak satu antaranya.
"Soeheng jangan kurang
ajar," kata Koen Po. "la adalah ..."
"Jangan menyebutkan
namaku!", memotong Kwee Siang. Ia mengerti bahwa ia sudah menerbitkan
keonaran yang mungkin tak bisa dibereskan lagi dengan jalan damai.
Sebagai jago betina
bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatannya sendiri, ia sungkan meyeret2
kedua orang tuanya. Maka itu ia lalu menambahkan dengan suara perlahan:
"Mari kita kabur. Tapi
kau jangan se kali menyebut nama kedua orang tuaku atau lain-lain
sahabat".
Se-konyong2, terdengar suara
bentakan dan diatas gunung kembali muncul tujuh delapan pendeta.
Melihat jalanan didepan dan
dibelakang sudah tercegat, Kwee Siang jadi mendongkol.
"Semua gara2mu berdua
yang seperti nenek2 sedikitpun tak punya semangat laki2. Bilang sekarang. Mau
pergi atau tidak ?"
Koen Po berpaling kepada
gurunya seraya berkata: "Soehoe inilah kebaikan budi dari Kwee Kouwnio . .
. "
Sesaat itu, di bawah tanjakan
kembali muncul empat pendeta yang berjubah warna kuning, Mereka tidak
bersenjata, tapi selagi mendaki tanjakan, gerakan mereka gesit dan cepat luar
biasa. Diam2 Kwee Siang mengakui, bahwa mereka adalah orang2 yang berkepandaian
tinggi.
Sekarang si nona mengerti,
bahwa ia tak kan dapat melarikan diri lagi. Ia segera ber diri tegak dengan
sikap angkuh, siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan.
Begitu datang dekat, pendeta
yang berjalan paling depan segera berteriak dengan suara nyaring: "Atas
perintah tetua Lo-han-Tong, kau harus meninggalkan senjatamu. Sesudah itu, kau
harus pergi ke Pendopo Lip swat teng dikaki gunung untuk memberi penjelasan dan
mendengar keputusan kami."
Kwee Siang tertawa dingin.
"Ah! Lagak hweeshio2 Siauw Lim sie sungguh tak berbeda dengan pembesar2
negeri," katanya dengan nada mengejek. "Bolenkah aku mendapat tahu,
apa para Toa hweeshio menjadi pembesar dari kerajaan Song atau menjadi pembesar
dari kaizar Mongol ?"
Pada waktu itu, daerah
disebelah utara sungai Hway soei sudah jatuh kedalam tangan tentara Mongol dan
Siauw sit san dengan Siauw lim sienya justeru berada diwilayah kekuasaaan
Mongol.
Sampai sebegitu jauh, karena
bertahun-tahun repot menyerang kota Siangyang, maka bala tentara Mongol masih
belum sempat memperhatikan soal2 lain, sehingga sampai sebegitu juga, Siauw lim
sie masih belum diganggu.
Mendengar perkataan Kwee Siang
yang sangat tajam, paras muka pendeta itu lantas saja berubah merah. Ia merasa,
bahwa perkataannya memang tidak pantas, karena dengan berkata begitu, Siauw lim
sie se olah-olah mau jadi hakim sendiri terhadap orang luar. Maka itu, sambil
merangkap kedua tangannya, ia segera berkata pula dengan suara manis.
"Ada urusan apa Lie sie
coe datang berkunjung kekuil kami? Memohon kau suka meninggalkan senjata dan
pergi kependopo Lip swat teng untuk sekedar minum teh dan beromong-omong."
Kwee Siang mengeluarkan suara
dihidung,
"Huh! Kau orang melarang
aku masuk kekuilmu, apa dalam kuilmu terdapat mustika yang menjadi ternoda
karena dilihat olehku?" katanya sambil melirik Thio Koen Po dan berkata
pula dengan suara perlahan.
" Kau mau ikut
tidak?"
Pemuda itu menggelengkan
kepala dan moyongkan mulut kearah Kak wan, sebagai tanda, bahwa ia mau menetap
disamping gurunya.
"Baiklah," kata
sinona dengan suara nyaring
"Aku tak campur
lagi." Ia mengangkat kaki dan turun ditanjakan itu.
Si jubah kuning yang pertama
lantas minggir kesamping, tapi yang kedua dan yang ketiga merintang sambil
mengangkat tangan mereka.
"Tunggu dulu," kata
salah seorang. "Tinggalkan dulu senjatamu."
"Kami tak akan menahan
senjata Lie sie coe dalam tempo lama," kati si jubah kuning yang pertama.
"Begitu lekas Lie coe
sudah turun gunung, kami akan segera mengembalikannya. peraturan ini adalah
peraturan Siauw lim sie sudah dipertahankan selama ribuan tahun, sehingga kami
meminta Lie sie coe suka memaaf kannya."
Mendengar permintaan yang
sopan itu, sinona bimbang. " Jika membantah, aku tentu mesti bertempur dan
seorang diri, bagaimana bisa melawan jumlah mereka yang begitu besar?"
Pikirnya.
"Tapi, kalau aku
meninggalkan senjata, aku seperti juga menghilangkan muka ayah, ibu, kakek
ciecie, Toako dan Liong Cie cie."
Sebelum ia mengambil
keputusan, tiba2 satu bayangan kuning berkelebat, disusul dengan bentakan.
"Kau bukan saja membawa
senjata, tapi juga sudah melakukan orang. Semenjak dulu, belum pernah ada
manusia yang berani berbuat begitu." Hampir berbareng, lima jeriji
menyambar sarung pedang Kwee Siang.
Jika dia tidak diserang, sesudah
memikir masak-masak, mungkin sekali si nona akan menyerahkan senjatanya. Harus
diketahui, bahwa sifat gadis itu berbeda dengan Kwee Hoe, kakaknya. Walaupun
gagah, ia tidak sembrono. Melihat keadaan yang merugikan dirinya, ia bisa
menahan sabar untuk kembali lagi dikemudian hari dengan membawa, bala-bantuan.
Tapi usaha si pendeta untuk
merebut pedangnya, sudah meniadakan segala mungkinan perdamaian. Mana bisa ia
menyerahkan senjatanya dengan begitu saja?
Ilmu Kin na Chioe hoat (ilmu
menangkap menyengkeram) pendeta itu memang sangat lihay. Sekali menjambret, ia
berhasil menyengkeram sarung pedang. Dalam keadaan terdesak, Kwee Siang
mencekal gagang pedang dan membetotnya. "Sret!", pedang tercabut dan
mengeluarkan sinar menyilau, kan mata.
Hampir berbareng si pendeta
berteriak, karena lima jarinya terpapas putus. Dalam kesakitan, ia menotok muka
si nona dengan sarung pedang yang dicekal dalam tangan kanannya. Kwee Siang
memapaki dan "trang!", sarung pedang itu jadi dua potong. Pendeta itu
tidak bisa menyerang lagi dan dengan paras muka pucat ia lalu melompat mundur.
Kawan2nya jadi gusar bukan main, dengan serentak mereka memutar toya dan maju
mengepung.
"Ah, hari ini aku pasti
tak bisa meloloskan diri tanpa melukakan banyak orang," kata Kwee Siang
dalam hatinya. Sambil mencekal pedangnya erat2, ia segera menerjang dengan
Lok-eng Kiam-hoat.
Lok-eng Kiam-hoat yang digubah
Oey Yok Soe dari ilmu pukulan Lok-eng Cianghwat, merupakan salah satu
kepandaian istimewa dari pulau Tho hoa dan tidak kalah lihapnya dari pada Giok
siauw Kiam hoat. Begitu menerjang, pedang si nona menyambar2 bagaikan kilat dan
dalam sekejap dua orang pendeta sudah terluka. Akan tetapi, ia berada diatas
angin hanya untuk sementara waktu dan tidak lama kemudian, keadaannya mulai
terjepit, karena semakin lama jumlah pengepung jadi semakin besar.
Sesudah bertempur beberapa
puluh jurus, Kwee Siang hanya bisa membela diri, tanpa mampu menyerang pula.
Sebenarnya dalam keadaannya yang terdesak, seperti itu para pendeta sebenarnya
bisa segera merobohkannya. Akan tetapi, sebab Siauw lim sie mengutamakan belas
kasihan, mereka merasa tak tega untuk melakukannya. Tujuhan mereka hanyalah
untuk merebut senjata sinona dan kemudian mengusirnya dari sit san.
Tapi merebut pedang bukan
pekerjaan mudah dan sesudah lewat lagi puluhan jurus, Kwee Siang masih dapat
mempertahankan senjatanya. Semakin lama para pendeta itu jadi semakin heran.
Mereka merasa pasti, bahwa gadis kecil ita adalah puteri atau murid seorang
ahli silat kenamaan dan oleh karena nya, mereka lebih2 tidak berani melukakan
nya, sebab hal itu bisa berbuntut panjang.
Maka itu, sambil mengepung,
salah seorang buru2 pergi kekuil dan melaporkan kepada Boe sek Siansoe,
pemimpin Loo han tong.
Tak lama kemudian, seorang
pendeta tua yang bertubuh jangkung kurus mendekati gelanggang pertempuran dan
lalu menonton sambil tersenyum. Dua orang pendeta segera melompat keluar dari
gelanggang dan bicara bisik-bisik dengan pendeta tua itu.
Sementara itu, Kiam hoat
sinona sudah kulihat.
"Hai! Kau semua benar-benar
tak mangenal malu !" teriaknya.
"Kau orang mengugulkan
Siauw lim sie sebagai pusat pelajaran ilmu silat, tapi tak tahunya, puluhan Toa
hweeshio menarik keuntungan dengan jalan mengerubuti."
"Berhenti!"
membentak sipendeta tua bukan lain dari pada Boe sek Siansoe, sambil bersenyum.
Mendengar perintah itu dengan serentak semua pendeta melompat keluar dari
gelanggang dan berdiri dipinggiran.
"Nona," menegur Boe
sek dengan suara sabar.
"Bolehkah aku mendapat
tahu she dan nama nona yang mulia. Siapa nama orang tuamu dan siapa gurumu ?
Ada urusan apa nona datang berkunjung ke kuil kami ?"
"Hari ini aku sudah
mengacau hebat dan jika diketahui ayah ibu dan Toakoko, mereka tentu akan
mengomel," kata Kwee Siang dalam hatinya.
Memikir begitu, ia lantas saja
mengeluarkan suara dihidung. "Tak mungkin aku memberitahukan namaku,"
jawabnya.
"Aku mendaki gunungmu
karena ketarik dengan pemandangannya yang sangat indah dan sama sekali tidak
mengandung maksud apapun juga. Tapi siapa nyana, Siauw lan-sie lebih angker
dari pada keraton kaizar. Tak keruan-ruan, kau ingin merampas senjataku.
Taysoe, aka ingin tanya. Apakah aku pernah menginjak pintu kuilmu?'
Ia berdiam sejenak sambil
mengawasi Boe sek dan kemudian berkata pula. "Dulu, pada waktu Tat-Mo Couw
soe menurunkan ilmu silat, kurasa tujuannya yang terutama adalah supaya para
pendata memiliki tubuh yang kuat supaya dapat menjalankan tugas2 keagamaan
se-baik2nya. Tapi ternyata semakin lama nama Sauw lim sie semakin terkenal,
ilmu silatnya jadi semakin tinggi dan kebiasaan mengeroyoknyapun jadi semakin
kesohor! Baiklah, Toa hweeshio, jika kau mau merebut juga senjataku, ambillah!
Tapi, kecuali kau membinasakan aku, kejadian ini pasti akan diketahui oleh
semua orang dalam rimba persilatan."
Mendengar perkataan sinona
yang sangat tajam itu. Boe Sek tergugu. Untuk sejenak ia mengawasi si nona
dengan mulut ternganga dan tak bisa mengeluarkan sepatah kata.
"Aku sendiri takut
kejadian ini diketahui orang, tapi dia rupanya lebih takut lagi." kata
Kwee Siang dalam hatinya. Memang juga puluhan pendeta mengerubuti seorang
wanita bukan kejadian yang boleh dibuat bangga." Ia segera melontarkan
pedangnya dan bertindak untuk turun gunung.
Boe sek maju setindak sambil
mengebas dengan lengan dan pedang itu lantas saja tergulung lengan jubah.
Seraya mencekal senjata itu yang bernoda darah dengan kedua tangannya ia
berkata: "Jika nona enggan menjawab pertanyaanku, biarlah aku
mengembalikan saja senjata ini dan dengan segala kehormatan aku mengantar nona
turun dari gunung ini."
Kwee Siang tertawa.
"Toa-hweeshio adalah seorang yang mengerti urusan dan boleh di buat contoh
oleh pendeta2 disini." ia memuji sambil mengulur tangan untuk menyambuti.
Tapi begitu lekas jerijinya menyentuh gagang pedang, ia terkesiap.
Ternyata, dari telapakan
tangan Boe-sek keluar semacam tenaga menyedot sehingga pedang itu tak dapat
diangkat. Tiga kali Kwee Siang mengempos semangat dan mengerahkan Lwekang, tapi
ia belum juga bisa berhasil.
"Eh. Toahweesio, kau
sengaja memperlihatkan kepandaianmu, ha?" tanyanya dengan mendongkol.
Mendadak, bagaikan kilat
tangannya menyambar dan mengebut jalanan darah Thian-teng-hiat dan
Kie-koet-hiat di leher Boe-sek, yang jadi kaget bukan main dan buru2 melompat
kebelakang.
Pada detik ia terkejut dan
Lweekangnya jadi agak kendor, si nona membetot dan berhasil merebut pulang
senjatanya.
"Sungguh indah Lan hoa
Hoed hiat Chioe (Ilmu Bunga anggrek mengebut jalanan darah )!" memuji Boe
sek. "Nona, masih pernah apakah kau dengan majikan pulau Tho hoa?"
"Majikan pulau Tho hoa?"
ia menegas seraya tertawa "Dia dikenal sebagai Loo-tong sia ( si Sesat Tua
dari Timur )."
Tong sia Oey Yok Soe, pemilik
Tho hoa, adalah kakek Kwee Siang. Orang tua yang adat nya aneh sering memanggil
cucu perempuan nya sebagai "Siauw-tong-sia" yang lalu membalas dengan
menggunakan istilah "Loo-tong-sia". Sebaliknya dari jengkel, sang
kakek jadi girang dan menerima baik panggilan si cucu nakal. begitu mendengar
jawaban Kwee Siang, Boe-sek sendiri segera menarik ke simpulan bahwa sinona tak
punya hubungan rapat dengan orang tua itu. Jika masih tersangkut keluarga, ia
tentu tak akan mengeluarkan kata-kata yang agak kurang ajar.
Memikir begitu, hati Boe-sek
jadi lebih lega.
Diwaktu masih muda, Boe-sek
Siang-soe pernah menjagoi di kalangan Rimba Hijau. Maka itu, biarpun ia sudah
menjadi orang beribadat puluhan tahun lamanya, sifat-sifat Jagoannya masih
belum hilang. Semakin Kwee Siang menolak untuk memberitahukan nama gurunya dan
asal-usulnya, semakin besar hasratnya untuk menyelidiki. la tertawa ter bahak-bahak
seraya berkata. "Nona kecil mari kita main-main sedikit untuk menjajal
mata si pendeta tua. Coba kita lihat, apakah dalam sepuluh jurus, aku bisa atau
tidak menerka asal usul ilmu silatmu ?"
"Bagaimana jika kau tak
mampu ?" tanya si nona.
Boe-sek kembali tertawa
terbahak-bahak. "Jika kau bisa melayani aku dalam sepuluh jurus dan aku
masih belum bisa menebak asal-usul ilmu silatmu, aku akan turut segala
kemauanmu." jawabnya.
"Dengan Tay-soe itu dulu
aku pernah bertemu muka dan sekarang aku ingin meminta apa-apa untuknya,"
kata Kwee siang sambil menunjuk Kak wan. "Kalau dalam sepuluh jurus kau
masih belum bisa menebak siapa guruku aku minta kau suka meluluskan
permohonanku untuk tidak menyukarkan Tay-soe itu lagi".
Boe-sek merasa sangat heran.
Sepanjang pengetahuannya, selama sepuluh tahun mengurus kitab-kitab di
Cong-keng-kok ( perpustakaan.) Kak wan belum pernah berhubungan dengan orang
luar. Bagaimana ia bisa mangenal sinona? Maka itu, sambil mengawasi Kwee Siang
dengan sorot mata tajam, ia berkata. "Kami belum pernah berniat untuk
sengaja menyakitinya. Jika melanggar, setiap pendeta dalam kuil ini, tak
perduli siapapun juga, diharuskan mendapat hukuman. Maka dari itu, adalah
kurang tepat jika nona menggunakan istilah menyusahkan."
"Hm!" kata Kwee Siang
seraya tertawa dingin. "Biar apapun yang dikatakan olehmu, kau tetap
seorang yang pandai putar putar omongan."
Boe sek mengangkat kedua
tangannya seraya berkata. "Baiklah. Aku luluskan permintaanmu ! Jika
loohap kalah, biarlah aku mewakili Kak wan Soetee memikul tiga ribu seratus
delapan pikul air. Nona kecil, hati2 aku akan segera menyerang."
Diam2 Kwee Siang menentukan
siasat.
"Pendeta ini pasti
memiliki kepandaian tinggi dan jika dibiarkan ia menyerang lebih dulu, aku
mesti mengeluarkan ilmu silat ayah dan ibu untuk membela diri." pikirnya.
"Paling benar aku mendului dan mengirim sepuluh serangan aneh
beruntun-runtun."
Boe sek habis mengucapkan
perkataannya Kwee Siang segera menikam dengan pukulan Ban-cie cian-hong dari
Lok eng Kiam hoat. Dengan pukulan itu, ujung pedang menggetar tak hentinya,
sehingga musuh sukar menebak arah serangannya. Boe sek yang tahu lihaynya
pukulan tersebut, tidak berani menyambut secara berhadapan dan buru2 melompat.
"Awas,sekarang
kedua!" teriak si nona seraya memutar senjatanya dan lalu menikam dari
bawah keatas dengan tipu Thin sin to hian (Malaikat langit jungkir balik) dari
Coan cia Kiam boat.
"Thin sin to hian!"
seru Bee sek.
"Belum tentu benar,"
kata si nona sambil me nyengir.
Begitu mengegos, Boe sek
membalik tangan kanannya dan lima jerijinya yang dipentang menyambar kearah
muka Kwee Siang. Sinona terkejut karena ia sama sekali tak menduga, bahwa
pendeta itu bisa mengirim serangan membalas secara begitu cepat. Dalam keadaan
terdesak, ia menggoyangkan pedangnya berapa kali dan menyambut dengan Ok kian
lum Louw (Anjing jahat mencepat jalan) dari Tah kauw Pang hoat (ilmu tongkat
memukul anjing).
Harus diketahui, bahwa diwaktu
kecil, nona Kwee bersahabat rapat dengan mendiang Louw Yoe Kak, Pangcu dari
Kaypang (Partai pengamis). Mereka sering makan minum ber sama2, bersenda gurau
dan tempo2 atas desakan si nona , mereka berlatih. Meskipun dalam Kaypang
terdapat peraturan, bahwa Tah kauw Pang hoat hanya boleh diturunkan kepada
seorang pangcoe, tapi lama2 berkat pergaulannya dengan orangtua itu maka Kwee
Siaug bisa berhasil untuk mencari beberapa pukulan dari ilmu silat tongkat yang
luar biasa itu. Jika diingat, bahwa bekas pangcoe Oey Yong sekarang Yek lu Chi,
adalah suami kakak perempuannya, maka sinona sebenarnya mempunyai kesempatan
luas untuk melihat latihan-latihan Tah kauw Pang hoat. Maka itu walaupun tak
mengerti intisari dari pada ilmu silat tersebut, dalam keadaan terjepit, ia
masih bisa menggunakannya untuk menolong diri.
Boe sek kaget bukan main sebab
pada saat lima jarinya hampir menyentuh pergelangan tangan si nona, mendadak
sehelai sinar putih berkelebat dan pedang menyambar dari arah yang sebenarnya
tak mungkin dilakukan, sehingga hampir-hampir jerijinya terbabat putus. Untung
juga, pada detik terakhir ia masih keburu melompat ke belakang. Tapi meskipun
begitu, tak urung lengan jubahya tergores ujung pedang dan menjadi robek. Paras
muka Boe sek lantas saja berubah pucat dan keringat dingin mengucur dari
dahinya.
Kwee Siang berbunga hatinya.
"Taysoe apa kau tahu ilmu pedang apa itu?" tanyanya sambil menyengir.
Dalam dunia memang tidak
terdapat Kim-hoat yang serupa itu. Sesudah mencuri Tah kauw Pang hoat, dengan
otaknya yang sangat cerdas, si nona megubah pukulan Kiam hoat berdasarkan ilmu
tongkat itu, sehingga dengan demikian, ia telah membuat seorang pendeta Siauw
limsie yang berilmu tinggi, tak bisa menjawab pertanyaannya.
"Ha! Jika aku bisa
menyerang lagi dengan beberapapu kulan Tah kauw Pang hoat, pendeta tua ini
pasti akan dapat dirobohkan katanya didalam hati. "Sungguh sayang, aku
hanya memiliki satu pukulan yang semengga-mengganya ini."
Sebelum sang lawan sempat
bergerak, Kwee siang sudah mendului lagi dan menotol baberapa kali bagian bawah
Boe sek dengan ujung pedang. Kali ini ia menyerang Leng po wie po (Leng po
bertindak dengan ayunya), yaitu salah satu pukulan dari Giok lie Kiam hoat yang
didapat dari Siauw Liong lie.
Sebagaimana diketahui, Giok
lie Kiam hoat ilmu pedang gubahan Lim Tiauw Eng dan setiap pukulannya mempunyai
gerakan Leng po wie go jadi lebih menyolok karena dilakukan oleh nona Kwee yang
cantik dan ayu. Dengan perasaan kagum, para pendeta mengawasi serangan itu
sambil menahan napas.
Harus diketahui, bahwa Tat mo
Kiam boat, Lo han Kiam boat dan lain2 ilmu pedang dari Siauw lim sie
mengutarakan "kekerasan", sedang Giok lie Kiam boat, yang jarang
terlihat dalam Rimba Persilatan justru berbeda dengan silat Siauw lim pay.
Begitu sinona meyerang dengan Leng-po we-po, seperti pendeta lainnya Boe sek
pun mengawasi dengan rasa kagum dan heran. Seumur hidup, belum pernah ia
menyaksikan ilmu pedang yang seindah itu dan cepat2 ia meloncat ke samping
dengan harapan sinona akan mengulangi serangannya.
Dalam saat, Kwae Siang kembali
mengubah cara bersilatnya. la sekarang berlari ketimur dan kebarat sambil
membabat berulang dengan pedangnya. Thio Koen Po yang menonton dipinggir jalan
mengawasi serangansi nona dengan mata membelalak dan tiba2 ia mengeluarkan
teriakan : "Ah!" Ternyata, yang digunakan Kwee Siang adalah pukulan
Soe tong Pat ta (Empat menembus Delapan meyampaikan), yaitu ilmu silat yang
pada tiga tahun berselang telah diturunkan oleh Yo Ko kepada Koen Po. Waktu itu
Kwee Siang kebetulan dapat melihatnya dan sekarang lalu menggunakan untuk
menghadapi Boe sek.
Soe thong Pat-ta yang dulu
diajar Yo Ko ialah Canghoat ilmu silat tangan kosong. Dengan mengubahnya
menjadi Kiam hoat (ilmu pedang), pengaruh ilmu itu jadi banyak berkurang,
sehingga jika dulu Thio Koen Po berhasil mengalahkan In Kek See, sekarang Kwee
Siang tidak bisa berbuat banyak terhadap Boe sek.
Dengan be-runtun2 Kwee Siang
sudah menyerang lima kali, tapi Boe sek masih juga belum bisa meraba asal usul
ilmu silat sinona. Diwaktu muda ia malang melintang dalam dunia Kangouw dan,
mempunyai pengalaman yang sangat luas. Semenjak mengetuai Lo-han tong pada
belasen tahun berselang, ia telah menggunakan seluruh temponya untuk
menyelidiki ilmu silat barbagai partai dau membandingkannya dengan ilmu Siauw
lim-sie. Ia menggodok semua pengalamannya dan pendapatnya itu untuk
menyempurnakan ilmu partainya. Maka itu, ia selalu percaya penuh bahwa dengan
sekali melihat, ia sudah bisa tahu asal usul ilmu silat setiap ahli. Tapi di
luar dugaan, hari ini ia "ketemu batunya".
Kakek, ayah-ibu paman2, kakak2
Kwee Siang rata2 adalah ahli2 silat nomor satu pada jaman itu. Dalam menghadapi
serangan yang bermacam2 coraknya, kapandaian Boe-sek masih lebih dari cukup
untuk membela diri. Tapi untuk mengetahui siapa guru sinona, ia masih belum
bisa me-raba2.
"Jika aku membiarkan ia
menyerang lebih dulu, jangankan dalam sepuluh jurus, sedangkan se ratus jurus
sekalipun, belum tentu aku bisa menebak asal usul ilmu silatnya," pikir
Boa sek.
"'Jalan satu2 nya adalah
menyerang dengan hebat, supaya ia terpaksa mengeluarkan imu silatnya yang asli
guna monolong diri" Memikir begitu cepat bagaikan kilat , ia mengepos
kekiri dan menghantam dengan pukulan Song Koan koen, dengan merapatKan kedua
tangannya dan sepulun jarinya ditekuk bagai kan ceker.
Melihat sambaran yang sangat
dahsyat, Kwee Siang tidak berani menyambut kekerasan, dengan kekerasan. Dengan
membungkuk sedikit dan dengan saatu gerakan yang sangat indah dan lincah, ia
berhasil meloloskan diri dari bawah kedua tangan lawan. Tipu itu adalah tipu
yang pernah digunakan Eng Kouw waktu bertempur dengan Yo Ko di Ban Hoa Kok
(lembah laksaan bunga).
"Bagus, sungguh bagus
gerakanmu!" memuji Boe sek "sambutlah lagi satu seranganku." Ia
membuat sebuah lingkaran dengan tangan kirinya, sedang sikut kanan ditaruh
didada dengan telapakan tangan menghadap keatas. Itu lah pukulan Oei eng loh
kee (Burung kuning hinggap dicagak) dari Siauw lim koen. Sebagai seorang tetua
Siauw lim sie, biarpun paham dengan ilmu silat berbagai partai, tapi dalam
setiap pertempuran, ia selalu harus menggunakan ilmu partai sendiri yang paling
asli.
Kwee Siang kaget sebab begitu
lekas Boe sek membuat lingkaran ditengah udara ia lantas saja merasakan
tindihan semacam tenaga yang sangat kuat. Buru2 membalik pedang dan dengan
gagang pedang, ia menotok jalanan darah Wan-koet-hiat, Yang kok hiat dan Yang
loo hiat di pergelangan tangan si pendeta. Ilmu molok itu adalah It yang cie
yang ia belajar dari Boe Sioe Boen. Sebenarnya pelajarannya masih sangat cetek
dan belum bisa digunakan untuk melukakan musuh. Tapi gerakan menotok tiga
jalanan darah itu adalah salah satu pukulan yang paling lihay dari It yang cie.
Maka itu, begitu melihat gerakan tangan si nona, Boe sek kaget tak kepalang dan
cepat2 ia menarik pulang serangannya.
Andaikata ia menyerang terus
dan tertotok pergelangan tangannya, ia pasti tak akan terluka, sebab totokan
itu tidak di sertai dengan Lwekang It yang cie yg disegani orang. Tapi sebagai
orang yang berpengalaman, Boe sek sungkan mempertaruhkan nama besarnya dalam
satu pukulan itu. Kwee Siang tertawa nyaring.
"Toahweeshie kau ternyata
mengenal ilmuku yang sangat lihay," katanya seraya menyengir.
Boe sek tidak menyambut, ia
hanya mangeluarkan suara "Hm" dan lalu menyerang dengan pukulan
Tan-hong-tiauw-yang (Angin dan matahari). Dengan pukulan itu, kedua tangannya
terpentang lebar dan terangkat tinggi, sehingga si nona sukar menggunakan
It-yang cie lagi.
Tapi Kwee Siang tak kehabisan
modal. Dengan cepat ia menyilangkan kedua telapak tangannya dan balas menyerang
deugan Biauw-chioe-kong-kong (Tangan yang lihay ke lihatan kosong), yaitu jurus
ketujuh puluh dua dari Kong beng koen, gubahan Loo hoan tong. Cioe Pek Tong
Kong beng koen adalah ilmu yang belum pernah tersiar didunia maka untuk sekian
kalinya, Boe sek ter-heran2. Dengan cepat ia berkelit kesamping dan hampir
berbareng mengirim pukulan Pi na hoa cit seng (Tujuh bintang). Bagaikan arus
kilat, tahu2 tangannya sudah menyentuh telapakan tangan si nona, yang jika
tidak melawan dengan menggerakkan Lwekang, tulang tangannya pasti akan patah.
Kwee Siang mengerti, bahwa
tangannya sudah ada dibawah kekuasaan lawan, tapi hati nya masih penasaran.
Jangan kegirangan dulu kau! Belum tentu bisa mematah tulang tanganku,"
katanya didalam hati.
Ia segera mengempos semangat
melawan tenaga si pendeta dengan Cat-po-san-chioe ( Kipas-besi ) llmu ini yang
merupakan ilmu simpanan dari Tiat-Ciang-kang (ilmu tangan besi) adalah satu
ilmu "keras" yang paling ditakuti dalam Rimba Persilatan.
Sebagai seorang ahli, Boe sek
tentu saja mangenal ilmu itu dan jantungnya memukul keras. Ia jadi serba salah.
Jika ia menggunakan kekerasaan sinona bisa terluka berat dan ia sama sekali
tidak bermaksud untuk mencelakai gadis itu. Disamping itu untuk berterus
terang, ia memang merasa agak segan terhadap Tiat-ciang-kang. Sesudah memikir
sejenak, ia segera menarik pulang tangannya.
Sekali lagi, si nakal tertawa
nyaring. " Awas! Pukulan yang ke sepuluh. Apa kau masih belum bisa menebak
partaiku ?" teriaknya.
Sambil berteriak begitu, ia
mengebas keatas dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya menyambar ke
janggut Boe-sek. Tanpa merasa, semua pendeta mengeluarkan seruan tertahan,
sebab pukulan itu, yang diberi nama Kouw hay hoei tauw ( Memutar kepala di laut
kesengsaraan ) adalah salah satu pukulan Kin na chioe hoat ( Ilmu menangkap dan
menyengkeram), dari Siauw lin pay sendiri.
Tapi Kouw hay hoei tauw agak
berlainan dengan Kim na chioe hoat lain cabang, karena biasanya hanya di
gunakan pada saat berbahaya untuk menolong jiwa. Dengan pukulan itu, tangan
kiri si penyerang menolak kepala musuh, sedang tangan kanan menyambar leher,
sehingga jika berhasil, leher musuh bisa patah, setidaknya terluka berat.
Melihat si nakal berani
menggunakan pukulan tersebut dihadapannya, seolah seorang sasterawan
mengugulkan diri di hadapan Nabi Khong Coe. Boe sek jadi geli dalam hatinya.
Selama puluhan tahun, ia sudah melatih pukulan tersebut sehingga setiap
gerakanya sudah terjadi secara wajar. Secepat kilat, ia miringkan badan dan
menggeser maju kakinya, sedang tangan kirinya menyambar ke bawah ketiak si nona
dan tangan kanannya mencekal belakang lutut Kwee Siang.
Pukulan itu yang diberi nama
Sia can tiauw hay (Mengempit gunung melompati lautan) merupakan pukulan tunggal
untuk memunahkan Kouw hay hoei-tauw.
Si nona kaget tak kepalang dan
tahu2 ke dua kakinya sudah terangkat naik dari muka bumi. Sebenarnya dengan
menggunakan sikut, ia masih bisa menyikut lawan. Tapi sebab gerakan Boe sek
cepat luar biasa, sebelum sempat bergerak, ia sudah tak berdaya.Dengan
demikian, putri Kwee Ceng telah dikalahkan.
Selagi kedua tangannya
mencekal si nona, mendadak Boe sek terkesiap. "Celaka !" ia mengeluh.
"Aku hanya memperoleh kemenangan dalam pertempuran, tapi masih belum tahu
siapa gurunya dan apa nama partainya."
Kwee Siang memberontak sekuat
tenaga. "Lepaskan aku!" teriaknya. "Cring!" serupa benda jatuh
dari saku si nona.
"Toahweeshio, apa benar2
kau tak mau melepaskan diriku ?" serunya dengan suara ke takutan.
Boe sek Siansoe adalah seorang
berlibat yang berilmu tinggi dan yang mencintai segenap makhluk Tuhan. Maka
itu, mendengar suara sinona cilik, is lantas saja tertawa ter bahak2.
"Nona kecil, loolap sudah
berusia lanjut dan pantas menjadi kakekmu," katanya seraya tersenyum.
"Apa kau masih perlu
merasa takut ?" Sehabis berkata begitu, dengan menggunakan tenaga yang
diperhitungkan, ia melontarkan tubuh sinona kira2 dua tombak jauhnya dan kedua
kaki Kwee Siang hinggap dimuka bumi tanpa kurang suatu apa.
Sebagai ksatria yang tak akan
menjilat ludah sendiri. Boe sek segera manggutkan kepalanya untuk mengaku
kalah. Selagi kepalanya mengangguk, tiba-tiba ia melihat serupa benda hitam
diatas tanah dan benda itu adalah sepasang Lohan (pendeta yang berilmu tinggi)
yang terbuat daripada besi.
"Toahweeshio, apa kau
mengaku kalah ?" tanya Kwee Siang.
Boe sek mengangkat mukanya
yang berseri-seri dan seraya tertawa girang, ia menjawab.
"Bagaimana aku bisa kalah
dari seorang bocah cilik? Aka tahu, ayahmu adalah Tay hiap Kwee Ceng, ibumu
Liehiap Oey Yong dan majikan pulau Thoa hoa adalah kakekmu. Ayahandamu memiliki
kepandaian yang beraneka ragam, karena ia pernah berguru dengan Kanglam
Citkoay, dengan Kioe-cie sin-kay, tokoh-tokoh Coancien pay dan lain lain partai
lagi. Kwee Jie kaouwnio, kau adalah putrinya pendekar kelas satu pada jaman ini
sehingga tidaklah heran, jika kau memiliki kepandaian luar biasa."
Kwee Siang kemekmek, ia tak
pernah mimpi akan mendengar jawaban begitu.
Melihat paras bingung dimuka
sinakal, sambil tertawa geli Boe sek membungkuk dan menjemput dua Lo han besi
itu.
"Kwee Jie kouwnio, aku si
pendeta tua tak boleh mendustai seorang bocah cilik," katanya. "Aku
bernasil menebak asal usulmu karena melihat sepasang Lo Han besi ini. Apa Yo
Tayhiap baik ?"
"Apa kau pernah berjumpa
dengan Toako dan Liong cici?" ia balas menanya.
"Aku datang kemari justru
untuk mendengar-dengar tentang mereka. Kau mungkin belum tahu, bahwa toakoku
dan Liong sudah merangkap menjadi suami istri."
Boe sek mengangguk beberapa
kali, "Pada beberapa tahun yang lalu, Yo Tayhiap pernah datang berkunjung
ke kuil kami untuk beberapa hari dan aku merasa sangat cocok dengannya,"
menerangkan si tua. "Belakangan kami mendengar, bahwa ia membinasakan
kaizar Mongol di luar kota Siangyang, sehingga namanya menggetarkan seluruh
dunia. Waktu menerima warta itu, kami semua merasa girang bukan main. Tapi
sekarang kami tak tahu, dimana ia berada. Ah. Kalau begitu ia sudah menikah.
Aku berani memastikan, bahwa istrinya adalah seorang wanita yang boen boe song
coan (mahir dalam ilmu surat dan ilmu perang)."
Kwee Siang berdiri bengong dan
mengawasi ketempat jauh. Ia menghela napas seraya berkata dengan suara
perlahan. "Kalau begitu, kalian pun tak tahu dimana mereka berada. Siapa
yang bisa memberi keterangan?"
Ia berdiam sejenak dan
kemudian berkata pula, "Sekarang baru kutahu, kau adalah Boe sek Siansu.
Tak heran. Jika kau memiliki memiliki begitu tinggi. Hmm! Aku belum
menghaturkan terima kasih untuk hadiah ulang tahunku. Sekarang belum terlambat.
Biarlah hari ini saja aku menghaturkan banyak terima kasin kepadamu."
Si pendeta tertawa.
"Orang sering mengatakan, bahwa tanpa berkelahi tidak bisa menjadi
sahabat," katanya. "Bagi kita berdua, Kata-kata itu sungguh tepat
sekali. Eh, kalau kau bertemu dengan Yo Tayhiap, kuharap kau jangan
memberitahukan bahwa aku si tua telan menghina seorang wanita muda."
Kedua mata si nona memandang
puncak2 gunung yang tertutup awan, "Sampai kapan. ... sampai kapan baru
akan bisa bertemu dengannya" katanya.
Sebagaimana diketahui, pada
waktu Kwee Siang merayakan hari ulang tahunnya yang keenam belas, Yo Ko telah
mengundang jago jago Rimba persilatan untuk berkumpul di kota Siang yang, guna
memberi selamat panjang umur. Pada hari itu, dengan memandang muka Yo Ko,
ahli-ahli silat dari "jalanan hitam" dan "jalanan putih"
telah berkumpul di Siangyang. Boe sek yang kebetulan sedang repot tak bisa datang
berkunjung dan hanya mengirim seorang wakil untuk memberi selamat dan
menyampaikan barang antaran, Dan barang antaran yang dikirimnya bukan lain
sepasang Lo han besi itu dipasang alat alat dan jika alat2 tersebut diputar,
anak2an itu segera menjalankan satu pukulan Lo han koen. Yang membuatnya adalah
seorang pendeta aneh yang pada satu abad berselang pernah bertempat tinggal di
kuil Siauw lim sie. Kwee Siang yang masih ke kanak2an merasa sangat ketarik
dengan mainan yang selalu di bawa2nya didalam saku. Pukulan Kauw hay hoei tauw
yang barusan digunakannya, sebenarnya telah didapat oleh si nona dari kedua Lo
han besi itu. Tak dinyana, karena gara2 itu juga hari ini asal usulnya telah
ditebak jitu oleh Boe sek Siansoe.
"Berhubung dengan
peraturan yang turun tumurun, aku merasa menyesal tak bisa mengundang Kwee
Jie-kouwnio datang berkunjung ke kuil kami," kata Boe sek. "Aku
percaya kau tak akan jadi kecil hati."
"Tak apa2," kata si
nona dengan masgul. "Ada yang aku hendak tanyakan."
Sambil menunjuk Kak wan,
pendeta tua itu berkata pula. "Tentang Soeteeku itu, aku akan menerangkan
kepadamu perlahan2. Begini saja. "Si tua akan menemani kau turun gunung
dan kita cari sebuah rumah makan, supaya aku bisa menjadi tuan rumah untuk
minum beberapa cawan arak. Bagaimana pikiranmu?"