Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali) Jilid 8

Jilid 8 Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali), Sin Tiaw Hiap Lu (Kembalinya Pendekar Rajawali/Rajawali sakti Dan pasangan pendekar), Tio Ci-keng adalah pemberang, sudah sejak tadi ia menahan perasaannya, sekarang ia tidak tahan lagi, segera ia menanggapi "Dan ada lagi Ong Ci-heng, Ong-sute yang berani bicara dan berani,berbuat! Kenapa tidak kau calonkan sekalian?"
Anonim
Tio Ci-keng adalah pemberang, sudah sejak tadi ia menahan perasaannya, sekarang ia tidak tahan lagi, segera ia menanggapi "Dan ada lagi Ong Ci-heng, Ong-sute yang berani bicara dan berani,berbuat! Kenapa tidak kau calonkan sekalian?"

Ci-heng menjadi gusar, jawabnya: "Aku memang bodoh dan selisih jauh kalau dibandingkan Suheng2 yang lain, tapi kalau dibandingkan Tio-suheng, betapapun kuyakin masih unggul setingkat Ya, ilmu silatku mungkin bukan tandingan Tio-suheng, tapi paling tidak aku pasti takkan menjadi pengkhianat."

"Apa katamu? Kalau berani katakanlah lebih jelas, siapa yang menjadi pengkhianat?" teriak Ci-keng dengan merah padam, Begitulah kedua orang bertengkar semakin sengit dan siap berperang tanding.

"Kedua Suheng tidak perlu berdebat, dengankanlah perkataanku," sela Ci-peng.

Meski kedua orang lantas diam, namun masih saling melotot.

Lalu Ci-peng berkata pula: "Menurut peraturan kita, pejabat ketua baru ditunjuk oleh ketua lama dan bukan diangkat secara be-ramai2 betul tidak?"

Setelah semua orang mengiakan, lalu Ci peng melanjutkan "Karena itu, sekarang juga aku menunjuk Tio Ci-keng sebagai pejabat ketua penggantiku. Nah, para hadirin tidak perlu bertengkar lagi. Tio-suheng, silakan maju menerima pesan."

Dengan ber-seri2 Ci-keng lantas maju ke tengah dan memberi hormat. Segera Ci heng dan Song Tek hong hendak bicara lagi, tapi Li Ci-siang keburu menarik baju mereka dan mengedipi. Ci-heng berdua tahu Ci-siang pasti mempunyai pandangan yang lebih baik, merekapun lantas diam.

"ln suheng pasti ditekan oleh Tio Ci-keng sehingga tidak berani melawannya," kata Ci-siang dengan suara tertahan "Maka kita harus membongkar muslihat Tio Ci-keng itu secara diam2, sekarang In-suheng sudah memutuskan demikian, kalau kita bicara lagi akan kelihatan pihak kita yang salah."

Ong dan Song mengiakan, mereka lantas ikut dalam upacara penyerahan kedudukan pejabat ketua itu. Bahwa dalam sehari terjadi penyerahan pejabat ketua dua kali, sungguh kejadian yang luar biasa.

Selesai upacara, dengan pongahnya Ci-keng lantas berdiri di tengah didampingi oleh anak muidnya, lalu berseru: "Silakan utusan Sri Baginda Raja MongoI hadir!"

Segera Ong Ci-heng hendak mendamperat lagi, tapi keburu dicegah Li Ci-siang. Selang tak lama beberapa Tosu menyambut tamu telah datang dengan membawa perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu.



Cepat Ci-keng memburu maju untuk menyambut dengan munduk2. Perwira Mongol itu sudah mendongkol karena telah menunggu sekian lama, kini In Ci-peng ternyata tidak menyambut kedatangannya, keruan mukanya tambah bersungut.

Tapi segera seorang Tosu bagian protokol lantas memberitahu bahwa mulai sekarang kedudukan pejabat ketua telah dilimpahkan kepada Tio Ci-keng.

Perwira itu melengak kaget, tapi segera ia bergirang dan mengucapkan selamat kepada Ci-keng. Siau-siang-cu berdiri di belakang perwira Mongol itu dengan diam saja, mukanya kaku dingin, entah suka atau duka.

Dengan munduk2 pula Ci-keng membawa perwira Mongol itu ke tengah pendopo, lalu berkata: "Silakan Tayjin membacakan titah raja."

Diam2 perwira itu bersyukur bahwa Coan cin kau sekarang diketuai orang macam Tio Ci-keng.

ia lantas mengeluarkan Sengci (titah raja), Ci-keng. juga lantas bertekuk lutut, lalu perwira itu mulai membaca titah raja: "Dengan ini ketua Coar-cin-kau di..."

Melihat secara terangan Ci-keng menerima anugerah raja Mongol, Ci-siang, Ci-heng dan lain2 tidak tahan lagi, serentak mereka melolos pedang, Ci-heng dan Tek-hong terus melangkah maju dan mengancam punggung Ci-keng dengan ujung pedang mereka, Ci-siang lantas berseru dengan lantang: "Coan-cin-kau ini berdiri berdasarkan cita2 setia kepada negara dan bakti kepada rakyat, se-kali2 kita tidak sudi menyerah kepada Mongol, Tio Ci-keng telah mengkhianat dan setiap orang wajib mengutuknya, dia tidak boleh menjabat ketua Coan-cin kau dan kitapun tidak mengakuinya lagi."

Sementara itu beberapa Tosu lain juga sudah mengelilingi perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu dengan pedang terhunus.

Peristiwa ini terjadi dengan sangat mendadak,

Meski sebelumnya Ci-keng juga menduga Ci-siang dan kawannya pasti tidak mau menyerah, tapi sama sekali tidak diduganya pihak lawan berani menggunakan kekerasan terhadap pejabat ketua yang biasanya sangat dihormati dan dijunjung tinggi.

Sekarang senjata lawan telah mengancam, ia menjadi kaget dan gusar, tapi ia tidak gentar, segera ia membentak: "Kurangajar, kalian, berani membangkang terhadap pimpinan?"

Tapi Ci-heng lantas balas membentak "Bangsat! Pengkhianat! Berani kau bergerak, segera punggungmu akan tembus!"

Sebenarnya kepandaian Ci-keng terlebih tinggi daripada kedua lawannya, tapi secara mendadak dia dikuasai selagi tengkurap, dengan sendirinya dia mati kutu, sebelumnya dia juga menyiapkan belasan anak muridnya yang bersenjata lengkap, namun pihak lawan bertindak lebih dulu, betapapun anak buah Ci-keng itu tak sempat berkutik lagi.

Segera Li Ci-siang berkata kepada perwira MongoI itu: "Mongol sudah menjadi musuh Song Raya kami, rakyat Song mana boleh menerima anugerah dari pihak Mongol." Maka sekarang kalian silakan pulang saja, kelak kalau bertemu di medan perang bolehlah kita selesaikan di sana."

Walaupun terancam bahaya, perwira Mongol itu ternyata tidak gentar sedikitpun, ia malah menjengek: "Hm kalian berani bertindak secara semberono, tampaknya Coan-cin-kau yang sudah terpupuk kuat ini akan musnah dalam sekejap saja, Sungguh harus disayangkan."

"Negara kami seluas ini saja sudah terancam musnah, Coan-cin-kau yang cuma secuil ini apa pula artinya?" ujar Ci-siang. "Jika kalian tidak lekas pergi, kalau sebentar kalian diperlakukan secara kasar mungkin Siauto tidak dapat berbuat apa2 lagi."

Tiba2 Siau-sing-cu menimbrung: "Bagaimana perlakuan kasarnya? Coba, aku ingin tahu!" - Mendadak kedua tangannya meraih, tahu2 pedang Ong Ci-heng dan Song Tek-hong yang mengancam punggung Ci-keng itu telah dirampasnya.

Cepat Ci~keng melompat bangun terus berdiri di samping perwira Mongol itu, Siau-siang-cu lantas mengangsurkan sebuah pedang rampasan di tangan kirinya itu kepada Ci-keng, sedang pedang lain terus menusuk ke arah Li Ci-siang.

Trang", Ci-siang menangkis serangan itu, mendadak tangan terasa kesemutan, tenaga lawan ternyata kuat luar biasa. Diam2 ia mengeluh cepat iapun mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan, tapi cepat terdengar suara gemerantang nyaring, kedua pedang patah semua dan jatuh ke lantai.

Tindakan Siau-siang-cu itu dilakukan dengan cepat luar biasa, merampas pedang dan menyerang serta menggetar pedang hingga patah, semua itu terjadi dalam sekejap saja, Menyusul lengan bajunya lantas mengebut dan kedua tangan menyodok sekaligus ke depan sehingga empat murid tertua Coan-cin-kau yang mengitarinya itu didesak mundur.

Keruan semua orang kaget, sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang yang mirip "mayat hidup" ini ternyata memiliki kepandaian setinggi ini.

Biasanya Ci-keng suka meremehkan ilmu silat Ong Ci-heng, Song Tek- hong dan lain2, sekarang di hadapan orang banyak dia telah diancam hingga tak bisa berkutik selagi mendekam diatas tanah, tentu saja dia sangat murka. Maka begitu dia menerima pedang dari Siau-siang-cu, segera pula dia menusuk ke perut Ong Ci-heng.

Cepat Ci-heng mendoyong ke belakang, namun Ci-keng tidak kenal ampun lagi, ia mendorongkan ujung pedang sehingga nasib Ci-heng tampaknya sukar dihindarkan, semua orang ikut kuatir sehingga suasana menjadi hening.

Pada detik gawat itulah mendadak dari samping seorang mengebaskan lengan bajunya, pedang Ci-keng tergulung dan tertarik ke samping, "bret". lengan baju robek terpotong dan kesempatan itupun digunakan Ci-heng untuk melompat mundur menyusul dua pedang terjulur pula dari samping untuk menahan pedang Ci-keng. Ketika diawasi orang yang mengebutkan lengan baju itu kiranya adalah In Ci-peng.

Ci-keng menjadi gusar, bentaknya sambil menuding Ci-peng: "Kau....kau berani...."

"Tio-suheng," kata Ci-peng, "kau sendiri menyatakan takkan menerima anugerah raja Mongol, karena itulah aku menyerahkan pejabat ketua padamu, mengapa dalam waktu sekejap saja kau sudah ingkar janji?"

"Bilakah pernah ku berjanji begitu?" jawab Ci keng, "Tadi kau bertanya soal anugerah raja MongoI rni, aku menjawab: "Aku tidak ingin kau menerima, anugerah raja Mongol! Nah, masakah aku ingkar janji? Yang menerima anugerah sekarang kan aku dan bukan kau?"


"Oh, kiranya begitu, kiranya begitu?" Ci-peng menggumam penuh rasa pedih, "Licik benar kau, Tio-suheng!"

Dalam pada itu Li Ci-siang sudah menerima pedang dari seorang muridnya segera ia berseru: "Saudara2 di dalam agama, kita tetap mengakui In-suheng sebagai pejabat ketua, marilah kita tangkap pengkhianat she Tio ini." - Menyusul ia lantas menubruk maju dan menempur Ci-keng.

Ci-heng dan enam orang lainnya lantas memasang Pak-tau Kiam-hoat mengepung Siau-siang-cu di tengah, Meski tinggi ilmu silat Siau-siang-cu, tapi barisan pedang Coan-cin-kau yang terkenal itupun sangat hebat, sekali bergebrak, daya tempurnya juga Iihay. Cepat Siau-siang-cu mengeluarkan pentungnya untuk menangkis kerubutan lawan.



Perwira Mongol tadi sudah mundur ke pojok ruangan, melihat gelagat jelek, segeia ia mengeluarkan tanduk kerbau dan ditiup keras2.

Ci-peng terkejut, ia tahu orang sedang mengundang bala bantuan, menghadapi ancaman bahaya, semangatnya terbangkit, kemampuannya memimpin biasanya Iantas timbul Iagi. Segera ia memberi perintah: "Ki Ci-seng, kau tangkap perwira itu, Ih To-hoan Suheng, Ong Ci-kin Suheng, kalian membawa tiga kawan dan lekas ke Giok-bi-tong di belakang gunung untuk membantu Sun-suheng berjaga di sana agar kelima guru kita tidak terganggu serbuan musuh.

Tan Ci-ek Sute lekas kau membawa enam orang pergi berjaga di depan gunung. Pang Ci ki Sute dengan enam orang berjaga di kiri gunung dan Lau To-leng Sute bersama enam orang berjaga di kanan gunung."

Orang2 yang ditugaskan berjaga di kanan kiri dan muka belakang itu adalah murid Ong Ju-ki semua, sedangkan Ih To-hian dan Ong Ci-kin adalah murid paman gurunya yang dapat dipercaya dengan cara pengaturan pertahanan ln Ci-peng ini, sekalipun musuh menyerbu secara besarkan juga sukar menembusnya.

Akan tetapi sebelum semua orang yang diberi perintah itu pergi, tiba2 terdengar suara teriakan ramai, belasan orang telah melompat masuk, dari kanan nampak dipimpin ln Kik-si dan sebelah kiri dipimpin Nimo Singh, dari depan dikepalai Be Kong-co, belasan orang yang dipimpin adalah jago2 pilihan dari berbagai suku bangsa.

Kiranya Kubilai tidak berhasil memboboI pertahanan Siangyang selama ber-bulan2, mendadak terjangkit wabah di tengah pasukannya, maka setelah serangan terakhir pada Siangyang juga gagal, segera ia mengundurkan pasukannya, Pasukan Mongol yang dilihat Siao-liong~li tempo hari ketika bergerak ke selatan itu adalah serangan terakhir yang dilakukan Kubilai.

Berhubung sukarnya Siangyang direbut, dengan sendirinya kerajaan Song juga sukar diruntuhkan, maka sebelum mengundurkan pasukannya Kubilai sudah mengirim antek2nya untuk mendekati dan membeli orang2 gagah di Tionggoan.

Raja Mongol sengaja merangkul pihak Coan-cin-kau juga termasuk tipu muslihat Kubilai. Tapi dia tahu Coan-cin-kau belum tentu mau menerima anugerah, maka Kim-lun Hoat-ong diperintahkan memimpin jago2 lainnya bersembunyi di sekitar Cong-lam-san, bila Coan-cin-kau menolak titah raja, segera digunakan kekerasan untuk menindasnya.

Biasanya penjagaan di Cong-Iam-san cukup ketat, tapi lantaran sehari terjadi dua kali penggantian pejabat ketua, suasana di Tiong-yang-kiong sedang kacau, anak murid yang bertugas berjaga di luar sama di tarik ke dalam untuk ikut hadir dalam upacara, sebab itulah kedatangan rombongan Nimo Singh, In Kik-si dan lain2 tidak diketahui

Kini musuh mendadak muncul, seketika orang2 Coan~cin-kau menjadi panik, Perwira Mongol yang tadinya sudah ditawan Ki Ci-seng itu sekarang lantas berteriak: "Para Totiang dari Coan-cin kau, kalau ingin selamat, lekas kalian membuang senjata dan tunduk kepada perintah pejabat ketua Tio-totiang."

Tapi Ci-peng lantas membentak: "Tio-Ci-keng telah berkhianat dosanya tak terampunkan, dia bukan lagi pejabat ketua kita."

Meski menyadari keadaan sangat gawat, tapi Ci-peng bertekad melawan musuh dengan mati2an, maka dia lantas memberi aba2 untuk bertempur, Namun para Tosu sebagian tak membawa senjata dan terkepung pula, maka hanya sebentar saja sudah belasan orang terkapar tak bernyawa lagi.

Menyusul Ci-peng sendiri, Li Ci-siang, 0ng-Ci-heng, Song Tek-hong dan lain2 juga kecundang ada yang senjatanya terampas musuh dan ada yang terluka dan menggeletak atau tak bisa bergerak karena Hiat-to tertutuk. Sisa Tosu yang lain menjadi kelabakan seperti ular tanpa kepala, mereka terdesak ke pojok ruangan dan tak dapat melawan lagi.

Perwira Mongol tadi tidak tinggi ilmu silatnya, tapi pangkatnya sangat tinggi, maka In Kik-si, Siau-siang-cu dan lain2 harus tunduk kepada perintahnya, Melihat pihaknya sudah menang total, perwira itu lantas berseru kepada Ci-keng: "Tio cinjin, mengingat kesetiaanmu, tentang pemberontakan Coan-cin-kau ini takkan kulaporkan kepada "Sri Baginda."

Ci-keng memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, Tiba2 teringat sesuatu olehnya, cepat ia membisiki Siau-siang-cu: "Masih sesuatu urusan penting perlu bantuan cianpwe. Guruku dan para paman guruku sedang menyepi di belakang gunung, kalau mereka menerima berita dan memburu kesini..."

"Kebetulan kalau mereka ke sini, akan kubereskan mereka bagimu," ujar Siau-siang-cu dengan tak acuh.

Ci-keng tak berani bicara pula, dalam hati ia mendongkol karena orang berani meremehkan gurunya, namun iapun serba susah, kalau guru dan para paman gurunya dapat mengusir orang2 Mongol berarti pula jiwanya sendiri terancam.

Dalam pada itu perwira Mongol tadi telah berkata pula: "Tio-cinjin, silakan kau terima dulu anugerah Sri Baginda, habis itu baru kau selesaikan kawanmu yang membrontak itu."

Ci-keng mengiakan dan segera berlutut mendengarkan titah raja Mongol. Ci-peng, Ci-siang dan lain2 dapat mengikuti kejadian itu dengan dada se-akan2 meledak saking gusarnya.

Song Tek-hong berduduk di sebelah Li Ci-siang, ia coba membisiki sang Suheng: "Li-suheng, harap lepaskan pengikat tanganku, biar kuterjang keluar untuk melapor pada guru kita."

Ci-siang mengangguk punggungnya lantas dirapatkan di punggung Tek-hong, ia mengerahkan tenaga dalam pada jarinya untuk membuka tali pengikat tangan Song Tek-hong yang ditelikung itu. Setelah berhasil dengan suara tertahan ia memberi pesan: "Kau harus hati2, jangan sampai kelima guru kita terkejut."

Tek-hong mengangguk dan siap2 untuk meloloskan diri. sementara itu pembacaan titah raja sudah selesai, Ci-keng telah berdiri, perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu sedang mengucapkan selamat padanya.

Melihat semua orang sedang mengitari Tio Ci-keng, cepat Song Tek-hong melompat ke sana, segera ia berlari ke balik altar pemujaan.

"Berhenti!" Nimo Singh membentak

Akan tetapi Tek-hong tidak ambil pusing, ia berlari terlebih cepat.

Karena kedua kakinya sudah buntung, sukar bagi Nimo Singh untuk mengejar, sebelah tangannya lantas mengambil sebuah Piau kecil berbentuk ular terus disambitkan "PIok", dengan tepat kaki kiri Tek-hong tertimpuk Piau itu.

Akan tetapi Tek-hong hanya sempoyongan sedikit saja dan tetap kabur ke depan dengan menahan sakit. Beberapa jago Mongol segera mengejar, namun bangunan rumah di kompIek Tiong-yang-kiong sangat banyak, hanya memutar beberapa rumah saja Tek-hong sudah menghilang dari kejaran musuh.



Sampai di tempat sepi, dengan menahan sakit Tek hong mencabut Piau yang masih menancap di kakinya itu, lalu membalut lukanya, ia kembali dulu ke kamarnya untuk mengambil pedang, lalu berlari ke Giok-bi-tong di belakang gunung, di mana guru dan para paman gurunya sedang menyepi.

Sesudah dekat, dari balik pepohonan ia memandang ke sana, ia jadi mengeluh ketika dilihatnya lebih 20 orang Mongol sedang sibuk memindahkan batu2 besar untuk menyumbat mulut gua Giok-hi-tong. Seorang , paderi Tibet tinggi kurus mengawasi dan memberi petunjuk cara menyumbat gua itu. Di samping itu terdapat pula dua orang lagi sedang sibuk mengatur ini dan itu.

Tek-hong kenal kedua orang di samping itu itu adalah Darba dan Hotu yang dahulu pernah cari setori ke Tiong-yang-kiong, dengan sendirinya iapun kenal ilmu silat kedua orang itu. Sedang paderi yang tinggi itu jelas kepandaiannya lebih tinggi dari pada Darba dan Hotu, mulut gua Giok-hi~tong sudah tinggal sedikit saja yang belum tersumbat batu, entah bagaimana keadaan kelima guru dan paman gurunya?

Song Tek-hong menyadari tenaga sendiri tak berguna andaikan menerjang maju untuk mengalangi perbuatan musuh itu, paling2 jiwa sendiri juga akan ikut melayang, tapi mengingat keselamatan guru dan nasib Coan cin-kau yang menghadapi kehancuran, mana boleh ia cuma memikirkan keselamatannya sendiri.

Segera ia melompat keluar dari tempat sembunyinya, secepat kilat ia menusuk paderi Tibet yang berdiri membelakanginya itu, ia pikir kalau menyerang harus serang pimpinannya, kalau berhasil tentu pihak musuh kacau lebih dulu.

Paderi Tibet itu adalah Kim lun Hoat-ong, tempo hari ia sudah menanyai Tio Ci-keng mengenai seluk-beluk Coan cin-kau, maka begitu sampai di Tiong-yang-kiong segera ia menuju belakang gunung untuk menyumbat Giok-hi-tong serta mengurung kelima tokoh utama Coan-cin-kau itu di dalam gua, dengan begitu sisa anak murid Coan-cin-kau yang lain tentu mudah diatasi.

Ketika ujung pedang Song Tek-hong hampir mengenai punggungnya ternyata Hoat-ong tidak merasakan apa2, Tek-hong bergirang, Tak terduga mendadak cahaya kuning berkelebat menyusul terdengar suara "trang" sekali, sejenis senjata aneh paderi itu telah menyamber ke belakang dan membentur pedangnya.

Tek-hong merasakan tangannya kesakitan, pedang terlepas dari cekalan, hanya benturan itu saja telah membuat dia muntah darah dan pandangan menjadi gelap. Dalam keadaan sadar-tak-sadar sayup2 ia dengar suara teriakan orang ramai di ruangan pendopo, entah peristiwa apa lagi yang terjadi, tapi segera ia tak ingat apa2, ia jatuh pingsan.

Kim-lun Hoat-ong juga mendengar suara teriakan ramai itu, tapi ia pikir Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain2 berada di sana, tentu anak murid Coan-cin-kau takkan mampu melawan mereka, maka ia tidak menjadi kuatir, ia perintahkan para busu Mongol itu mempercepat penyumbatan gua itu dengan batu agar Khu Ju-ki berlima tidak sempat menerjang keluar secara mendadak.

Di ruangan pendopo memang terjadi lagi sesuatu sesudah Song Tek-hong pergi, Perwira Mo-ngol itu telah berkata kepada Ci-keng: "Tio-cinjin, anggota kalian yang memberontak tampaknya tidak sedikit, agaknya kedudukanmu tidak begitu enak bagimu."

Sudah tentu Ci-keng juga menyadari hal ini, namun keadaan sudah telanjur, ibaratnya sudah berada di punggung macan, kalau melompat turun tentu akan dicaplok sang harimau malah, Segera Ci-keng berteriak: "Menurut undang2 kita, apa hukumannya bagi kaum pemberontak?"

Para Tosu diam2 saja, malahan dalam hati mereka pikir: Kau sendiri pemberontak dan pengkhianat."

Ci-keng bertanya lagi satu kali dan tetap tiada yang menggubrisnya, diam2 Ci-keng sangat mendongkol, ia bertanya lagi sekali sambil memandangi muridnya sendiri, yaitu Ceng-kong, agar dia menjawab nya.

Ceng-kong ini adalah Tosu gemuk yang dahulu menganiaya Nyo Ko itulah, ia lantas menjawab " pemberontak harus membunuh diri di depan pemujaan Cousuya."

"Betul" seru Ci-keng. "Nah, In Ci-peng, sudah tahu dosamu belum? Kau terima tidak?"

"Tidak!" jawab Ci-peng tegas, "Baik, bawa dia ke sini!" kata Ci-keng.

Segera Ceng-kong mendorong Ci-peng ke depan dan berdiri dihadapan arca pemujaan. Lalu Ci-keng menanyai Ci~siang, Ci-heng dan lain2, semuanya juga menyatakan tidak terima. Di antaranya hanya tiga orang saja yang ketakutan dan minta ampun, segera Ci-keng memerintahkan dibebaskan, sedang 20 - an orang tetap berdiri tegak tidak mau menyerap malahan Ci-heng dan beberapa Tosu yang berwatak keras segera mencaci-maki.

"Kalian teramat kepala batu dan sukar diampuni" kata Ci-keng kemudian "Baiklah, Ceng-kong, boleh kau melaksanakan hukuman bagi Coan-cin-kau kita."

Ceng-kong mengiakan, ia melangkah maju dan mengangkat pedangnya, sekali tusuk ia binasakan In To-hian yang berdiri di ujung kiri.

Serentak para Tosu lantas berteriak murka dan mencaci-maki lebih keras, suara riuh ramai inilah yang tadi di dengar oleh Song Tek-hong dan Kim lun Hoat-ong di belakang gunung.

Ceng-kong adalah manusia yang berani pada yang lemah dan takut pada yang keras, ia menjadi jeri mendengar suara ramai orang banyak.

"Lekas kerjakan, kenapa ragu2," bentak Ci-keng.

Terpaksa Ceng-kong mengiakan dan membunuh lagi dua orang, Yang berdiri nomor empat ialah In Ci-peng, baru saja Ceng-kong angkat pedangnya hendak menusuk dada Ci-peng, tiba2 suara seorang perempuan membentaknya: "Nanti dulu?"

Waktu ia menoleh, dilihatnya seorang perempuan muda berbaju putih sudah berdiri diambang pintu, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li.

"Kau minggir ke sana, orang ini akan kubunuh sendiri" demikian kata Siao-liong-li.

Ci-keng menjadi girang melihat Siao-liong-li mendadak muncul, ia pikir di tengah tokoh2 sakti sebanyak ini, kedatanganmu ini berarti mengantarkan kematianmu, maka ia lantas membentak: "perempuan siluman ini bukan manusia baik2 tangkap saja!"

Akan tetapi para Busu Mongol itu tidak tunduk pada perintahnya, semuanya tidak menggubris-nya. Hanya dua murid Ci-keng sendiri lantas melompat maju, tanpa dipikir mereka terus hendak memegang lengan Siao liong-Ii.

Siao-liong-li sama sekali tidak ambil pusing terhadap serbuan para Busu MongoI serta kekacauan yang terjadi di antara orang Coan-cin-pay sendiri. Hanya ketika melihat Ceng-kong hendak membunuh ln Ci-peng, betapapun ia tidak mau membiarkan orang lain membinasakan Tosu itu, maka ia lantas bersuara mencegah.

Belum lagi tangan kedua murid Ci-keng menyentuh bajunya, tahu2 tangan mereda sendiri kesakitan, sinar perakpun berkelebat, cepat mereka melompat mundur Waktu mereka mengawasi kiranya pedang mereka yang tergantung di pinggang tahu2 sudah dilolos oleh Siao-liong-li dan dalam sekejap itu pergelangan tangan merekapun telah dilukai.



Gerakan Siao liong-li ini sungguh cepat luar biasa, sebelum orang lain melihat jelas cara bagaimana dia merebut pedang dan menyerang, tahu2 kedua Tosu itu sudah terluka dan melompat mundur.

Keruan anak murid Ci-keng yang lain sama melengak kaget Ceng-kong lantas berseru : "Hayo maju be-ramai2, kita berjumlah lebih banyak, kenapa kita gentar padanya?" Segera dia mendahului menerjang dan menusuk.

Tapi sebelum orang mendekat ujung pedang Siao liong-Ii sudah bergetar, tahu2 pergelangan tangan kanan kiri Ceng-kong kedua kakinya terkena tusukan pedang.

Sambil mengaung keras, Ceng kong terus menggeletak tak bisa bangun.

Keempat kali tusukan Siao-liong-ii sungguh cepat luar biasa, sampai tokoh kelas wahid seperti Siau-siaug-cu dan lain2 juga tercengang. Mereka heran mengapa ilmu pedang si nona maju sepesat ini, padahal tempo hari waktu dia bertempur melawan Kongsun Ci belum tampak sesuatu yang luar biasa, apakah mungkin dia, sengaja menyimpan kepandaian?

Rupanya setelah mendapatkan ajaran Ciu Pek-thong, sekaligus Siao liong-li dapat memainkan sepasang pedang dengan cara yang berbeda, kini kepandaiannya memang sudah berlipat ganda.

Sudah sekian lama dia menguntit In Ci-peng dan Tio Ci-keng dan merasa bingung cara bagaimana harus menyelesaikan kedua orang itu. sekarang orang Coan cin-kau menyerangnya lebih dulu, kesempatan ini segera digunakannya untuk balas menyerang dan sekali pedangnya berbau darah, serentak dendam kesumatnya meledak. Di tengah berkelebatnya sinar pedang, dan bayangan baju putih, dalam sekejap saja pedang para Tosu sama jatuh dilantai, pergelangan tangan setiap orang sama tertusuk pedang tanpa diberi kesempatan untuk menangkis atau mengelak.

Sungguh kejut para Tosu itu tak terkatakan. Bayangkan saja, jika serangan Siao liong-li itu tidak mengarah tangan, tapi menusuk perut mereka, maka jiwa para Tosu itu pasti sudah melayang sejak tadi.

Karuan Tosu2 itu ketakutan dan berlari menyingkir sehingga di tengah2 ruangan pendopp itu tertinggal In Ci-peng dan kawan2nya yang teringkus itu. Melihat mereka tak bisa berkutik dan tidak memusuhi dirinya, untuk sementara Siao-liong-li juga tidak mencelakai mereka.

Diam2 iapun terkejut sendiri atas kepandaian yang dipelajarinya dari Ciu Pek-thong itu, sungguh tak diduganya ilmu berkelahi yang aneh itu mempunyai daya tempur selihay itu.

Melihat gelagat jelek, sambil menghunus pedang untuk menjaga diri, diam2 Ci-keng menggeser mundur dan bila ada kesempatan segera akan kabur. Namun Siao-liong-li sudah teramat benci padanya, sekali melompat ia telah mencegat jalan mundur dan maju Tio Ci-keng dengan kedua pedangnya.

Dalam keadaan kepepet, Ci-keng putar pedangnya terus hendak cari jalan lagi, Tiba2 terdengar suara "trang" nyaring, In Kik-si berkata padanya : "Kau takkan berhasil, mundur saja sana!"

Kiranya In Kik-si telah menangkiskan pedang Siao-liong-li dengan ruyung emasnya yaug lemas itu. Baru sekarang ada orang yang mampu menangkis pedang Siao hong-li sejak berpuluh Tosu itu dilukainya.

"Tujuanku sekarang hanya ingin menuntut batas pada Tosu Coan-cin-kau dan tiada sangkut pautnya dengan orang luar, lekas kau menyingkir," seru Siao liong-Ii.

Meski rada jeri juga menyaksikan kelihayan ilmu pedang Siao-liong-li tadi, namun In Kik-si adalah tokoh kelas wahid, betapapun dia tak dapat mundur begitu saja hanya karena ucapan Siao-liong-li itu. Maka dengan tertawa ia menjawab: "Orang Coan-cin-kau sangat banyak dan dengan sendirinya ada yang baik dan ada yang busuk, ada sebagian memang pantas dibinasakan Entah Tosu bangsat yang manakah yang telah bersalah kepada nona?"

Akan tetapi Siao-liong-li hanya mendengus saja dan tidak menjawabnya, sorot matanya tidak pernah meninggalkan diri In Ci-peng dan Tio Ci-keng se-akan2 kuatir kaburnya kedua Tosu itu.

"Untuk apa nona marah kepada kawanan Tosu keparat ini, asalkan nona memberi tanda Tosu mana yang harus dibereskan, segera Cayhe wakili nona untuk membereskannya," kata In Kik-si.

"Baik, lebih dulu kau binasakan dia ini!" kata Siao-liong-li sambil menuding Tio Ci-keng.

"Tapi Tio-cinjin ini cukup baik orangnya, mungkin ada salah paham nona padanya, biarlah kusuruh dia minta maaf saja kepadamu," kata In Kik-si.

Siao-liong-li mengernyitkan dahinya, mendadak pedangnya menyamber ke depan secepat kilat, tampaknya menusuk In Kik-si. Dengan sendirian In Kik-si angkat ruyungnya untuk menangkis. Tapi mendadak terdengar jeritan, ternyata Tio Ci-keng yang berdiri tegak di belakang In Kik-si sudah terkena tusukan di pundaknya.

Keruan In Kik-si terkejut, meski tusukan itu tidak mengenai dirinya, tapi dirinya tidak mampu melindungi Ci-keng, rasanya sama memalukan bagi-nya.

Cuma serangan lawan teramat cepat datangnya dan tak jelas cara bagaimana Siao-Iiong-li memutar pedangnya untuk mengarah sasarannya, kalau saja pertarungan demikian dilanjutkan, jelas dirinya pasti kalah, diam2 ia menjadi jeri ia coba berseru pula. "Nona Liong, harap kau bermurah hati!"

Namun Siao-liong-li tidak menjawabnya, sikapnya seperti tidak mau bermusuhan tapi juga tidak ingin berkawan, ia menggeser pelahan ke kiri, ln Kik-si juga ikut memutar dan tetap ingin membela Tio Ci-keng.

Tapi mendadak terdengar pula Ci-keng menjerit tertahan, waktu ia melirik, ternyata bahu kiri Ci-keng sudah terluka pula.

Cara bagaimana Siao-liong-li menusuk Ci-keng lagi, orang lain tetap tidak tahu dan sama melongo heran. Sungguh cepat luar biasa ilmu pedangnya itu, bukan saja gerakannya tidak kentara, bahkan pedangnya seperti bisa membelok sendiri.

Ber-turut2 tertusuk dua kali, Ci-keng menjadi ketakutan setengah mati, ia mengira kepandaian ln Kik-si terlalu rendah dan tidak sanggup dimintai perlindungan, segera ia melompat ke sana untuk berlindung di belakang Siau-siang-cu.

Tapi Siao-ltong-Ii anggap seperti tidak tahu saja, ia memutar tubuh, pedang di tangan kiri menusuk ke arah In Kik-si dan pedang icanan menusuk Nimo Singh. Cepat Nimo Singh menggunakan tongkat kiri untuk menahan tubuh, tangan kanan menangkis dengan senjata ular besi.

Namun kembali terdengar jeritan Ci-keng disusul dengan suara nyaring jatuhnya pedang, rupanya pergelangan tangan Ci-keng kembali terkena pedang lagi.

Serangan ini terlebih aneh daripada yang duluan tadi, sudah jelas jarak Siao-liong-li dengan Ci-keng sangat jauh, ketika dia menyerang In Kik-si dan Nimo Singh, tahu2 dia sempat pula melukai Ci-keng.

"Hm, hebat benar ilmu pedang nona, biarlah akupun belajar kenal padamu," jengek Siau-siang-cu sambil mendorong dengan tangan kirinya ke samping, kontan Ci-keng merasa ditolak oleh suatu tenaga raksasa dan jatuh terguling hingga beberapa meter jauhnya, untung Lwekangnya cukup kuat.



Meski sudah terluka tiga tempat, tapi masih sanggup bertahan dan merangkak bangun, Dalam pada itu pentung Siau-siang-cu juga lantas menghantam ke arah Siao-liong-li.

Si dogol Be Kong-co selalu bersimpatik kepada Nyo Ko dan Siao-liong-li, kiai iapun merasa tidak adil melihat Siao-liong-li diserang In Kik-si dan Siau-siang-cu pula. Segera ia berteriak: "Huh, tidak tahu malu, beberapa tokoh Bu-lim mengerubut seorang nona cilik!"

Sudah tentu Siau-siang-cu dan In Kik-si merasa jengah, biarpun mereka tidak ambil pusing urusan harga diri segala, tapi biasanya merekapun cukup angkuh, jangankan main keroyok, sekalipun satu lawan satu juga mereka kurang terhormat berkelahi dengan seorang nona muda.

Tapi sekarang menyadari pasti bukan tandingan ilmu pedang Siao-liong-li yang ajaib itu jika cuma mengandalkan kepandaian seorang saja, maka mereka pura2 tidak tahu saja atas olok2 Be Kong-co itu, diam2 mereka mengomel dalam hati terhadap si dogol yang malah - membela orang luar daripada kawan sendiri

Mereka tidak berani lagi meremehkan Siao-liong-li, mereka pikir kalau berlangsung lama, mungkin ilmu pedang Siao-liong-li itu akan dapat ditemukan titik kelemahannya.

Karena itu mereka lantas memainkan segenap kepandaian untuk menjaga diri, senjata mereka berputar sedemikian kencang sehingga yang terlihat hanya selapis kabut belaka, yang mengelilingi tubuh mereka.

Siao-liong-li memandang tenang ketiga orang itu, pikirnya: "Aku tiada permusuhan apa2 dengan kalian, siapa ingin bergebrak dengan kalian?"

Dilihatnya Ci-keng sedang mengkeret ke sana dan hendak mengeluyur pergi, segera ia melangkah maju. Tapi Nimo Singh dan Siau-siang-cu lantas mengalanginya dengan rapat.

"Kalian mau menyingkir tidak?" bentak Siao-liong-li dengan mendongkol.

"Tidak mau! Apa kemampuanmu keluarkan saja semua!" tantang Nimo Singh yang berangasan itu. Karena kedua kakinya buntung atas jarum berbisa Li Bok-chiu dan Nyo Ko, ia tahu Nyo Ko adalah kekasih Siao-liong-li, maka rasa dendamnya itu sebisanya akan dilampiaskan atas diri Siao-Iiong-li, maka pikirannya sekarang berbeda dengan Siau-siang-cu dan In Kik-si, ia sudah nekad, kalau perlu hendak mengadu jiwa dengan Siao-liong-li.

Sama sekali Siao-liong-li tidak menjadi marah, dilihatnya Ci-keng sudah kabur ke ruangan belakang, ia mencoba memburu, tapi dirintangi lagi oleh Nimo Singh dan Siau-siang-cu.

Watak Siao-liong-li adalah pendiam dan sabar, urusan apapun tidak pernah membuatnya gelisah atau ter-buru2, seperti halnya pengejarannya kepada ln Ci-peng dan Tio Ci-keng yang berlangsung bulanan dan tetap hanya dikuntit belaka, sekarang iapun tetap sabar saja, ia biarkan ketiga lawannya memutar senjata sekencangnya, ia sendiri malah menonton belaka seperti tiada terjadi apa2.

Orang pertama yang tidak tahan lagi adalah Nimo Singh, sambil meraung ia terus menerjang maju dengan senjata ular besinya. Tapi sekali dia mulai menyerang, segera tempatnya menjadi luang, ketika Siao-liong-li putar pedangnya, cepat Nimo Sing menangkis dengan tongkatnya sambil melompat mundur.

Namun begitu bahunya sudah terasa sakit, waktu ia mengamati kiranya baju di bagian bahu kiri ada lima lubang kecil, darah segar tampak me-rembes dari situ.

Sekali menyerang tidak berhasil dan berbalik ia sendiri malah terluka, tentu saja Nimo Singh sangat penasaran, tapi juga tambah jeri, ia tidak berani lagi sembarangan bertindak. Mereka hanya berdiri di tempatnya sambil memutar senjatanya.

Siao-liong-li tetap berdiri di tengah dan tenang2 saja menghadapi ketiga lawan yang memutar senjatanya seperti kitiran itu, Lama2 Siau-siang-cu bertiga menjadi gemas karena si nona diam saja tidak melayani mereka.

Tidak lama kemudian, tiba2- In Kik-si mendapat akal, ia berseru: "Siau-heng dan saudara Singh, marilah kita mendesak maju dengan pelahan."

Nimo Singh dan Siau-siang-cu tidak paham maksud sang kawan, tapi mereka kenal In Kik-si sebagai saudagar besar negeri Persi, pengalamannya luas dan pengetahuannya tinggi, cerdik dan pintar pula, maka mereka percaya tujuannya pasti bagus, segera mereka menurut dan melangkah maju satu tindak. Berbareng In Kik-si juga melangkah maju-sambil memutar senjatanya tanpa peluang sedikitpun.

Habis itu, setelah merasa pertahanan mereka tetap rapat dan kuat, lalu In Kik-si menyerukan kawan2nya melangkah maju lagi setindak. Baru sekarang Nimo Singh dan Siau-siang~cu melihat jelas bahwa lingkaran kepungan mereka terhadap Siao liong-li sudah semakin ciut. walaupun begitu mereka tikak berani menyerang melainkan cuma bertahan saja, mereka putar senjata dengan kencang hingga mirip tembok baja yang tak tertembuskan dan sebentar2 lantas mendesak maju lagi selangkah.

Melihat musuh semakin mendesak maju, lama2 dirinya tentu akan tergencet mati di tengah, mau tak-mau Siao-liong-li harus bertindak, mendadak kedua pedangnya menusuk ber-ulang2, terdengar suara "trang-tring" yang ramai, setiap tusukannya selalu terbentur senjata lawan.

Beberapa puluh kali ia menyerang dan selalu tertangkis oleh lawan, sementara itu ketiga orang itu telah melangkah maju pula.

Siao-liong-li menjadi rada tak sabar waktu ia melangkah mundur, terasa kakinya tersandung sesuatu dan tergeliat, untung Siau-siang-cu bertiga cuma bertahan saja dan tidak menggunakan kesempatan itu untuk menyerang, kalau tidak tentu Siao liong-li bisa celaka.

Di lantai banyak berserakan senjata2 para Tosu yang terjatuh tadi, karena kesandungnya itu, tiba2 timbul pikiran Siao~1iong-Ii untuk memanfaatkan senjata itu untuk membobolkan pertahanan ketiga musuh.

Karena pikiran itu, sedikit ia menggeser ke kanan, segera kaki kiri mencukil sebatang pedang yang jatuh di lantai itu, secepat kilat pedang itu menyamber ke arah Nimo Singh, menyusul kaki Siao-liong-li yang lain mencukit pula dan sebatang pedang menyamber. lagi ke muka Siau-siang-cu dan begitu seterusnya hingga belasan pedang dia hamburkan ke arah lawan.

Beberapa pedang yang menyamber tiba itu da-pit ditangkis Nimo Singh dan kawannya hingga terbang balik ke arah Siao-liong-li, tapi sekali sampuk dengan pedangnya, pedang tak bertuan itu kembali menyamber ke arah In Kik-si.

Begitulah terjadi hujan pedang, keruan Siau-siang-cu bertiga menjadi kelabakan, semula mereka masih dapat menyampuk dan menangkis pedang yang menyamber tiba, tapi makin lama, makin cepat datangnya pedang2 itu hingga mereka dibikin kerepotan

Suatu ketika In Kik-si sedang menangkis sebatang pedang yang menyelonong ke mukanya, tahu2 pedang yang lain menyamber tiba pula ke perutnya, supaya perutnya tidak tertembus, terpaksa In Kik-si melompat mundur ke samping, Dan karena inilah pertahanan mereka lantas bobol, peluang itu segera digunakan oleh Siao-Iiong-li untuk menyelinap ke ruangan belakang.

Ginkang Siao-liong-li jauh lebih tinggi daripada Siau-siang-cu bertiga, begitu dia sudah lepas dari rintangan, secepat terbang ia terus mengejar ke arah larinya Tio Ci-keng tadi.



Seketika Siau siang-cu bertiga masih sibuk melayani berpuluh senjata yg dihamburkan Siao-Iiong-Ii tadi, sesudah senjata2 itu dipukul jatuh barulah mereka dapat berhenti.

Sejenak kemudian dan belakang sana terdengar kumandangnya suara benturan senjata, dari suara menderingnya senjata itu jelas Siao liong li telah ke-pergok Kim lun Hoat-ong dan sudah mulai bertempur.

Sebenarnya ketiga orang itu sudah jeri menghadapi Siao-Iiong-li, kini mereka lantas mendapat angin lagi karena Kim-lun Hoat-ong juga sudah tiba, Segera ln Kik-si berseru: "Marilah kita susul kesana."

Segera ia mendahului berlari ke belakang di susul oleh Siau-siang-cu dan Nimo Singh serta para Busu Mongol. Semua orang hanya pandang Siao-liong-li sebagai musuh satu2nya sehingga tidak menaruh perhatian lagi kepada para Tosu Coan cin-kau, Maka setelah semua musuh sudah pergi, Ci-peng, Ci-siang dan lain2 lantas saling tolong melepaskan tali ikatan serta menjemput pedang masing2, berbondong-bondong merekapun cepat menyusul kebelakang.

Begitu rombongan Siau-siang-cu sampai di depan Giok-hi-tong, tertampaklah bayangan roda berkelebatan dan cahaya pedang berseliweran, suara geraman Kim-lun Hoat-ong terdengar menggelegar sedangkan Siao-liong-li dengan baju putihnya tampak lemah gemulai, kedua orang sedang bertempur dalam jarak jauh.

Sementara itu rombongan In Ci-peng juga sudah menyusul tiba, melihat mulut gua Giok~hi~ tong sudah tersumbat batu, nasib kelima guru mereka tak diketahui, tentu saja mereka kuatir. Be-ramai2 mereka mendekati mulut gua, tapi mereka lantas dicegat oleh Darba dan Hotu, hanya beberapa gebrakan saja para Tosu Coan-cin-kau itu sudah didesak mundur.

"Suhu, Suhu! Baikkah engkau!" seru Ci-heng kuatir se-akan2 orang hendak menangis.

Ci-peng pikir kepandaian kelima guru dan paman guru cukup lihay dan tidak mudah dikurung begitu saja oleh musuh, mungkin sekali semadi mereka sedang memuncak sehingga tidak sempat mengurus apa yang terjadi di luar gua ini, sekarang Ci-heng ber~teriak2, jangan2 malah akan mengacaukan pikiran orang2 tua itu.

Maka cepat ia memberikan tanda kepada Ong Ci-heng agar jangan bersuara lagi.

Ci-heng lantas menyadari hal itu, cepat ia membangunkan Song Tek-hong yang menggeletak di samping gua sana, melihat lukanya cukup parah, lekas ia memberi pertolongan seperlunya.

pertarungan Kim-lun Hoat-ong dan Siao-liong-li sedang berlangsung dengan sengitnya, namun Hoat-ong tampak lebih banyak berjaga daripada menyerang, cuma setiap diserang beberapa kali iapun balas menyerang satu kali, kelima rodanya yang ber-beda2 daya tekanannya itu memaksa Siao~liong~li tak berani terlalu mendekat.

Melihat pertempuran dahsyat itu, diam2 Siau-sian-g-cu bertiga merasa kagum dan juga iri, mau-tak-mau merekapun mengakui kalau Kim-lun Hoat-ong memang pantas diangkat menjadi jago nomor satu di negeri Mongol. Semula mereka bermaksud membantu Hoat-ong, tapi demi teringat gelar "jago nomor satu", karena rasa iri hati, seketika mereka tidak jadi membantu Hoat ong.

Padahal meski tampaknya Hoat-ong dapat balas menyerang dengan hebat, tapi sebenarnya dalam hati dia mengeluh. Cara Siao-liong-li seorang memainkan dua pedang ternyata lebih lihay daripada kalau dia main ganda bersama Nyo Ko.

Kim-lun Hoat-ong adalah seorang tokoh berbakat ilmu silat yang sukar dicari bandingannya, sejak dia dikalahkan gabungan Nyo Ko dan Siao-liong-li, senantiasa ia berusaha memecahkan cara mengatasi ilmu pedang kedua muda-mudi itu.

Kebetulan di sini ia pergoki Siao-liong-li dalang sendirian tanpa didampingi Nyo Ko, tentu saja ia bergirang, ia pikir jika Siao-liong-li dibinasakan maka selanjutnya dia takkan ada tandingan lagi, siapa tahu setelah bergebrak barulah ia merasakan ilmu pedang Siao-liong-li sendirian justeru terlebih lihay daripada kalau dia main ganda bersama Nyo Ko.

Sebab itulah baru beberapa puluh jurus saja keadaan Hoat-ong sudah terdesak dan ber-ulang2 hampir termakan oleh pedang lawan, terpaksa ia tak berani main timpuk dengan roda lagi, ia tarik kembali rodanya satu persatu sehingga akhirnya dia cuma berjaga diri saja dan tidak menyerang, serupa dengan Siau-siang-cu bertiga tadi.

Pertarungan mereka semakin sengit dan cepat luar biasa, sekalipun tokoh2 macam Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain2 juga sukar mengikutinya.

Di tengah bayangan putih dan kelebat cahaya beraneka warna kelima roda Kim-lun Hoat-ong itu, se-konyong2 Nimo Singh merasa mukanya sakit sedikit seperti digigit nyamuk, ia terkejut dan coba meraba muka sendiri, terasa tidak apa2, tapi pada jari tangan yang meraba itu ada setitik darah segar. ia melengak, segera dilihatnya pula badan ln Kik-si juga terciprat dua-tiga titik darah, baru sekarang ia tahu di antara kedua orang yang sedang bertempur itu ada yang terluka.

Selang tak lama pakaian Siao-liong-li yang putih itu tampak penuh oleh bintik2 merah darah sehingga seperti lukisan di atas kain sutera putih.

"Hah, perempuan siluman itu sudah terluka," ojar Nimo Singh dengan gembira.

Di antara berkelebatnya sinar pedang segera terdengar pula suara geraman Hoat-ong yang tertahan.

Siau-siang-cu lantas menanggapi ucapan Nimo Singh tadi: "Tidak, Hwesio gede itu yang terluka!"

Setelah berpikir, Nimo Singh percaya ucapan Siau-siang-cu itu memang tidak salah, darah segar itu memang terciprat dari tubuh Hoat-ong ke baju Siao-liong-li. ia menjadi kuatir kalau Hoat-ong sampai terbunuh, tentu sukar lagi untuk mengatasi Siao-liong-li, cepat ia berseru: "ln-heng dan Siau-heng, dari kita maju sekalian." - Sambil memutar senjata ular besi pelahan2 ia lantas raerunduk ke belakang Siao-liong-li.

Melihat gelagat jelek, mau tak-mau Siau-siang-cu dan In Kik-si harus bertindak juga, segera merekapun menerjang maju dari kanan dan kiri.

Keadaan lantas berubah seketika, betapapun tinggi kepandaian Siao-liong-li juga tidak dapat menahan serentak keempat tokoh kelas wahid itu, sekalipun yang menghadapi mereka adalah Ciu Pek-thong, Ui Yok-su atau Kwe Cing juga sukar seorang melawan empat tokoh sehebat itu.

Hoat-ong sudah terluka dua kali, tapi tidak mengenai tempat yang mematikan apalagi sekarang kedatangan bala bantuan, hatinya menjadi lega dan serangannya segera bertambah gencar, kalau tadi dia cuma bertahan saja, sekarang ia berebut menyerang bersama ketiga kawannya.

Pertarungan dahsyat ini membuat para Tosu Coan-cin-kau dan kawanan Busu Mongol ikut berdebar, be-ratus pasang mata sama tertuju ke tengah kalangan tempur, pada saat itulah mendadak terdengar suara gemuruh yang dahsyat disertai berhamburnya batu pasir dan debu, berpuluh potong batu besar yang tadinya menyumbat mulut gua Giok-hi tong itu telah runtuh, lima Tosu berjubah kuning tampak melangkah keluar dari gua, mereka adalah Khu Ju-ki berlima.

Dengan girang In Ci-peng, Li Ci-siang dan lain lantas memapak maju dan berseru: "Suhu!"



Darba dan Hotu terkejut, mulut gua itu tersumbat batu besar sebanyak itu, mengapa bisa dibobolkan seketika. Cepat mereka menerjang maju dengan senjata masing2. Mendadak Khu Ju-ki berlima mengelak ke samping, serentak sepuluh tangan mereka bergerak dan menahan di punggung Darba dan Hotu, begitu terpegang terus di dorong, kontan kedua orang itu dilemparkan ke dalam Giok-hi-tong.

Padahal kepandaian Darba dan Hotu seimbang dengan Hek Tay-thong dan Lau Ju-hian, walaupun lebih rendah daripada Khu Ju-ki dan Ong Ju - it, tapi juga tidak kecundang hanya dalam satu kali gebrak saja.

Rupanya selama kelima tokoh Coan cin-kau itu bertapa di dalam Giok-hi-tong untuk mencari ilmu cara mengalahkan Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, selama itu mereka harus memeras otak dan merenungkan titik2 kelemahan ilmu silat Ko-bong-pay itu, namun apa yang pernah mereka lihat dari permainan Nyo Ko dan Siao - liong - li itu ternyata teramat hebat, setiap jurusnya se-akan2 merupakan maut bagi ilmu silat Coan-cin-pay, jadi tidak mungkin di temukan lubang kelemahannya.

Tapi akhirnya Khu Ju-ki menemukan satu jalan, kalau kalah dalam hal kebagusan jurus serangan, kelemahan ini harus ditambal dengan tenaga gabungan lima orang. Maka langkah pertama yang mereka latih adalah cara menyerang musuh secara serentak dengan tenaga gabungan mereka.

Karena menyadari di antara anak murid Coan-cin-kau sekarang tiada tokoh yang menonjol, hanya dengan tenaga orang banyaklah mungkin bisa bertahan, maka selama lebih sebulan ini mereka berhasil menciptakan satu jurus yang disebut "Pek-joan-hui-hay" (beratus sungai mengalir ke laut)

Waktu Kim-lun Hoat-ong bersama kawanan Busu Mongol menyumbat gua, jurus Pek-joan-hui-hay itu sedang terlatih sampai titik yang menentukan dalam keadaan begitu sedikitpun pikiran mereka tidak boleh terpencar, karena itulah meski tahu jelas musuh sedang menyerang, terpaksa mereka tidak menggubris.

Baru sesudah latihan mereka telah sampai pada puncaknya, segala sesuatu sudah lancar, mendadak barulah mereka membobol mulut gua dan keluar, Cuma sayang, karena ter-buru2 menghadapi musuh, kekuatan ilmu mereka itu baru mencapai delapan bagian saja, walaupun begitu juga Darba dan Hotu tidak dapat menahannya, mereka kena dilemparkan ke dalam gua dan terbanting semaput

Waktu Khu Ju-ki memandang ke sana, ter-tampak Kim-lun Hoat-ong berempat sedang mengerubuti Siao-liong-li. Hanya sebentar saja mereka mengikuti pertarungan itu, segera mereka saling pandang dengan wajah pucat dan semangat lesu, pikir mereka: "Sungguh celaka, kiranya ilmu silat Ko-bong-pay sedemikian bagusnya, untuk mengalahkannya jelas tiada harapan selama hidup ini."

Kepandaian Kim-lun Hoat-ong berempat jauh lebih tinggi daripada kelima tokoh utama Coan-cin kau ini, menurut penilaian Khu Ju-ki, kalau mendiang gurunya masih hidup tentu dapat mengungguli mereka, Ciu-susiok (maksudnya Ciu Pek-thong) mungkin juga lebih tinggi setingkat daripada mereka tapi kalau sekaligus dikeroyok empat orang ini, besal kemungkinan juga sukar menandingi mereka.

Dalam pada itu pertarungan di tengah kalangan telah berubah lagi keadaan nya, Siao-liong-li terus menyerang, tapi Kim-Iun Hoat-ong berempat bertahan dengan rapat dan jarang balas menyerang, namun setindak demi setindak mereka terus mendesak maju sehingga semakin tidak menguntungkan Siao-liong-Ii.

Beberapakali Siao-liong-Ii bermaksud menjebol kepungan musuh, namun penjagaan Hoat-ong berempat sangat rapat, setiap kali selalu dipaksa mundur lagi, ia menyadari gelagat jelek, apalagi tenaga sendiri juga semakin berkurang setelah bertempur sekian lama, sedangkan Khu-Ju-ki berlima dilihatnya juga sudah berada di samping, kini di sekelilingnya adalah musuh semua, sedangkan ia cuma sendirian, jiwanya mungkin akan melayang di tempat orang Coan-cin-kau ini. Dalam keadaan demikian tiba2 terpikir olehnya: "Begini sudah nasibku, biarpun mati juga tidak perlu disayangkan lagi, Cuma... cuma dekat ajalku ini betapapun aku ingin dapat melihat muka Ko-ji untuk penghabisan kalinya. Dimanakah dia saat ini? Ah, besar kemungkinan dia sedang ber-mesra2an dengan nona Kwe, mereka tentu sedang dimabuk cinta, bisa jadi mereka sudah menikah, sebagai pengantin baru mana dia ingat kepada perempuan bernasib malang yang sedang dikerubut orang ini? Akan tetapi..."

"Ah, tidak, tidak! Ko-ji pasti takkan begitu, sekalipun dia sudah menikah dengan nona Kwe juga pasti takkan melupakan daku, Asalkan aku dapat bertemu sekali lagi dengan dia, ya, asal dapat bertemu sekali lagi dengan dia..."

Ketika dia meninggalkan Siang-yang dahuIu, dia sudah bertekad takkan menemui Nyo Ko lagi, tapi pada detik yang menentukan mati-hidupnya sekarang ini hatinya semakin rindu kepada Nyo Ko, dan begitu hatinya memikirkan Nyo Ko, seketika daya tempurnya menjadi lemah malah, Mestinya dia dapat memainkan dua pedang dengan cara yang berlainan dengan kedua tangan, sekarang pikirannya terganggu, permainan ilmu pedangnya menjadi rada kacau.

Melihat perubahan serangan Siao-liong-li itu, semula Kim lun Hoat ong mengira si nona sengaja hendak menjebaknya. Tapi setelah beberapa jurus lagi dan tampaknya Siao-liong-li tidak menyadari kelemahannya sendiri itu, segera Hoat-ong melangkah maju, roda perak digunakan menjaga diri dan roda emas di tangan kanan terus menghantam ke batang pedang Siao-liong-li, Terdengarlah suara "trang" yang keras, tahu2 pedang kiri si nona mencelat ke udara dan patah menjadi dua.

Sungguh di luar dugaan Hoat-ong bahwa serangan percobaannya ini membawa hasil, menyusul roda perak di tangan lain terus mengepruk lagi ke depan, Dalam kagetnya lekas2 Siao-liong-li menenangkan diri "sret-sret-sret", kontan ia balas menusuk tiga kali, Tapi sekarang ia hanya menggunakan pedang tunggal, ilmu pedangnya sudah bukan lagi tandingan Kim~lun Hoat~ong. Tentu saja keadaan ini dapat dilihat oleh Siau-siang cu bertiga, serentak tiga macam senjata merekapun menyerang sekaligus.

Siao-liong-Ii hanya tersenyum hambar saja, kini dia tidak berusaha melawan lagi, sekilas dilihatnya di sebelah sana ada tetumbuhan bunga mawar yang sedang mekar dengan indahnya, Tiba2 terkekang olehnya dia bersama Nyo Ko berlatih Giok-Ii~sim-keng di semak2 bunga dahulu, Katanya di dalam hati: "Kalau aku tidak dapat bertemu lagi dengan Ko-ji, biarlah sebelum mati kukenangkan dia di dalam hati saja."

Karena itu air mukanya berubah menjadi lembut, seketika ia tenggelam dalam lamunannya dengan tersenyum simpul.

Dengan kepungan mereka yang semakin ciut, sekali serang mestinya Hoat-ong berempat dapat membinasakan Siao-liong-li, tapi mendadak mereka melihat sikap si nona sangat aneh, seperti lupa menghadapi musuh, Keruan Hoat-ong berempat terkesiap heran dan mengira lawan memasang sesuatu perangkap, ketika itu senjata mereka sudah terangkat dan seketika terhenti di tengah jalan, Tapi sesudah merandek sejenak, segera ular besi Nimo Singh menghantam pula ke depan.

Se-konyong2 Nimo Singh merasa angin menyambar dari samping, ada orang menusukkan pedangnya, Cepat ia membaliki ular besinya untuk menangkis, tapi mengenai tempat kosong, tahu2 sesosok bayangan menyelinap lewat, kiranya In Ci-peng telah melompat ke depan Siao-liong-li serta menyodorkan pedangnya yang dipegang terbalik, jadi garan pedang dia sodorkan ke tangan si nona.

Saat itu Siao-liong-li seperti orang linglung yang memandang tapi tidak melihat, mendengar tapi tidak kerungu, pertarungan sengit tadi sudah tak dipedulikan lagi, ketika mendadak terasa tangannya berpegang pedang lagi, sekenanya ia lantas menggenggam-nya,




Melihat In Ci-peng mendadak menerobos ke tengah pertempuran antara kelima tokoh kelas wanid itu, tindakan ini sama saja seperti mencari kematian.

Keruan para Tosu Coan-cin-kau sama menjerit kuatir.

Dari gerakan tubuh Ci-peng segera Hoat-ong tahu ilmu silatnya tidak tinggi dia tidak ingin mencelakainya, segera ia menyodok bahu orang dengan sikunya hingga Ci-peng terdorong ke pinggir. Menyusul rodanya terus meagepruk pula ke muka Siao liong-li.

Ci-peng tergetar ke samping, tapi ia menjadi kuatir melihat Siao-liong-li yang Iinglung itu terancam oleh hantaman roda Kim-lun Hoat-ong, kalau saja kena pasti nona itu hancur binasa. Tanpa pikir lagi ia lantas menubruk maju dan berseru:

"Awas, nona Liong!" - ia mengadang di depannya dan menggunakan punggung sendiri untuk menyambut hantaman roda Hoatong itu.

Betapa dahsyatnya hantaman roda Hoat-ong itu tidak perlu dijelaskan lagi, mana Ci-peng sanggup menahannya? "Blang", seketika tubuhnya terhuyung ke depan. sementara itu Siao-liong-li masih ter-mangu2 sambit memegangi pedang yang disodorkan Ci-peng tadi, maka Ci peng yang menyelonong, ke depan itu tepat menubruk ke ujung pedang itu sehingga menancap di dadanya.

Siao - liong - li kaget, baru sekarang dia sadar bahwa jiwanya telah diselamatkan oleh Ci-peng, dilikatnya punggung Ci-peng terkena hantaman roda, dada tertusuk pedang pula, semuanya tempat yang mematikan, sesaat itu rasa dendam kesumatnya yang memenuhi dada serentak berubah menjadi rasa kasihan, katanya dengan suara tersebut: "Perlu apa kau bertindak begini?"

Jiwa In Ci-peng sudah hampir tamat, ia menjadi kegirangan luar biasa ketika mendengar kata. "Perlu apa kau bertindak demikian? yang diucapkan Siao-liong-li itu, dengan suara lemah ia menjawab:

"Nona Liong, aku bersalah kepadamu, dosaku tak terampunkan, apakah kau dapat memaafkan diriku?"

Siao-liong-li melenggong sejenak, teringat apa yang dibicarakan antara Ci-peng dan Ci-keng di tempat Kwe Cing itu, sekilas timbul pikirannya : "Sebabnya Ko-ji hendak meninggalkan aku dan bertekad menikah dengan nona Kwe, tentu disebabkan dia mengetahui aku pernah dinodai oleh Tosu ini."

Teringat akan hal ini, dari rasa kasihannya tadi seketika berubah menjadi dendam dan benci, rasa gusarnya lantas memuncak lagi, tanpa bicara pedangnya terus menikam ke dada Ci-peng.

Khu Ju-ki menyaksikan Ci-peng tertusuk pedang Siao-liong-li, tapi ia tak sempat menolongnya, Sekarang dilihatnya Siao-liong-li menusuk muridnya itu untuk kedua kalinya, tanpa pikir ia terus melompat maju tangan kiri menyampuk pergelangan tangan si nona yang sedang menusuk itu, tangan lain terus mencengkeram ke mukanya pula.

Karena tidak terduga tangan Siao-liong-Ii ter-sampuk sehingga pedangnya mencelat ke samping, tapi betapa cepatnya, belum pedang jatuh ke tanah sudah dapat disambernya kembali, berbareng itu iapun dapat mengelakkan serangan Khu Ju-ki, pada saat lain pedangnya juga lantas mengancam dada Khu Ju~ki.

Pada saat itu juga terdengar In Ci-peng menjerit keras, lalu roboh dengan dada berlumuran darah. sementara itu pedang Siao-liong-li yang lain juga lantas menusuk ke perut Khu Ju-ki.

Sekaligus diserang dengan dua pedang, betapapun hebat kepandaian Khu Ju-ki juga kerepotan dan sukar menangkisnya. Syukur Ong Ju~it dan lain2 lantai menubruk maju untuk membantu, dengan demikian Kim-lun Hoat-ong berempat berbalik terdesak keluar kalangan.

Semula Hoat-ong rada heran melihat tokoh2 Coan-cin-kau itu melabrak Siao-liong-li, tapi mengingat-hal ini sangat menguntungkan pihaknya, segera ia memberi tanda kepada kawan2nya, mereka sama mundur untuk menyaksikan pertarungan sengit itu.

Betapapun hebat kepandaian kelima tokon Coan-cin- pay itu ternyata tidak lebih lihay daripada ilmu pedang Siao liong li, jurus "Pek joan-hui-hay" hasil pemikiran mereka selama sebulan ini ternyata tidak sempat dikeluarkan mereka. sebaliknya dalam sekejap saja Hek Tay-thong dan Lau Ju-hian malah kena dilukai, namun mereka masih terus bertempur mati2an. Scjenak kemudian, "cret" bahu Sun Put-ji juga terluka oleh pedang Siao-liong-Ii, habis itu malahan mata kiri Ong Ju-it juga kena dilukai.

Lima tokoh Coan-cin-pay kini sudah terluka empat, kalah-menang sudah jelas kelihatan. Dengan tertawa Kim lun Hoat-ong lantas berseru: "Para To-heng silakan mundur saja, biar kubereskan Suu-yati-li (perempuan siluman cilik) ini,"

Segera Hoat-ong memberi tanda kepada kawannya, serentak mereka mengerubut maju dengan senjata masing2. Maka jadilah kini sembilan tokoh terkemuka mengeroyok seorang nona jelita.

Begitu Hoat-ong berempat maju, segera Khu Ju-ki berlima terlepas dan tekanan pedang Siao liong-li, sambil berteriak mereka lantas berdiri sejajar sambil tangan berpegangan tangan, tenaga lima orang lantas dipersatukan untuk menggunakan jurus "Pek-joan-hui-hay" itu.

Jurus serangan ini memang lain daripada lain kekuatannya, cepat Siao-liong-li mengegos ke samping, "Blang", debu pasir bertebaran kiranya serangan Coan-cin-ngo-cu (lima tokoh Coan-cin) itu telah mengenai Nimo Singh sehingga terjungkal

Sebagaimana diketahui, kedua kaki Nimo Singh buntung dan berdiri dengan tongkat menyerupai kaki palsu, dengan sendirinya bagian kaki itu tidak kuat dan tidak tahan oleh hantaman keras itu, Untung dia sempat mengelakkan tenaga pukulan dahsyat itu, meski terbanting jatuh, tapi tidak sampai terluka, segera ia dapat melompat bangun dian berkaok-kaok murka, segera ular besinya mengepruk ke kepala Lau Ju-hian, seketika terjadi pula pertempuran sengit

Melihat Nimo Singh bertempur dengan Coan-cin-ngo-cu, segera kesempatan itu hendak digunakan Siao-liong-li untuk angkat kaki. Tapi sebelum ia melangkah pergi, tiba2 Kim-Iun Hoat-ong telah mengadangnya sambil berseru: "Saudara Singh, hadapi Siau-yau-li ini lebih penting!"

Namun Nimo Singh sudah murka, teriakan Hoat ong itu tak digubrisnya, ular besinya berputar lebih kencang serangannya seiafu ditujukan kepada Coan cin-ogo-cu. Karena perubahan keadaan ini, kedua pedang Siao-liong-li sempat melancarkan serangan, beberapa kali terhadap Kim-lun Hoat-ong, sendirian Hoat-ong bukan tandingan nona, terpaksa ia mundur dua-tiga tindak.

Pada saat itulah mendadak Siao-liong-li menjerit tajam dengan wajah pucat, kedua pedangnya lantas terlepas jatuh pula ke tanah sambil memandang terkesima ke arah semak2 bunga mawar di sebelah sana, mulutnya berkomat-kamit: "Ko-ji! Apakah betul kau, Ko-ji?"

Hampir bersamaan saatnya roda emas Kim-un Hoat-ong juga menghantam dari depan, sedangkan jurus "Pek-joan-hui-hay" yang dikerahkan Coan-cin ngo-cu juga menghantam dari belakang. serangan tokoh2 Coan-cin-pay ini sebenarnya ditujukan kepada Nimo Singh, tapi si Hindu cebol ini rupanya sudah kapok dan tak berani menangkisnya, cepat ia mengelak sehingga tenaga pukulan dahsyat itu hampir seluruhnya mengenai punggung Siao-liong-li.



Ternyata Siao-liong-li seperti orang linglung saja sama sekali ia tidak berusaha menghindar jadinya punggung terkena pukulan dahsyat, dada juga terhantam roda, tubuh lemah lunglai seorang nona jelita sekaligus menerima gencetan dua tenaga dahsyat namun begitu pandangannya masih saja tetap terarah ke semak2 bunga mawar sana, dalam sekejap itu pikirannya melayang dan jiwanya ter-guncang, gencetan dua tenaga raksasa itu se-akan2 tak dirasakan olehnya.

Karena terpengaruh oleh sorot mata si nona tanpa terasa semua orang juga berpaling ke arah semak2 bunga mawar dan ingin tahu keanehan apa yang menarik perhatian Siao-liong-li sehingga tidak menghiraukan jiwanya sendiri. Dan baru saja semua orang berpaling, se-konyong2 sesosok bayangan orang berkelebat dari semak2 sana menerobos ke tengah2 Kim-lun Hoat-ong dan Coan-cin-ngo-cu.

"trang" pedang dibuang ke tanah, tangan orang itu melayang ke semak2 sana dan duduk dibawah pohon, di tepi semak2 bunga mawar sambil memeluk Siao-liong-li.

Orang ini ternyata betul Kyo Ko adanya!

Siao-liong-Ii tertawa manis tapi air mata lantas berlinang, katanya: "Oh, Ko-ji, betulkah kau ini? Bukan sedang mimpi?"

Nyo Ko menunduk kepalanya dan mencium pipi si nona, lalu menjawab dengan suara halus : "Bukan, bukan mimpi! Bukankah kau berada dalam pelukanku?" Ketika melihat baju si nona berlepotan darah, ia menjadi terkejut dan berseru kuatir: "He, lukamu parah tidak?"

Setelah terkena hantaman dahsyat dari muka belakang, ketika mendadak melihat Nyo Ko muncul di situ, Siao-liong-li lupa rasa sakitnya, tapi sekarang lantas terasa isi perutnya se-akan2 berjungkir balik, ia merangkul kencang leher Nyo Ko dan berkata: "Aku... aku...." saking sakitnya ia tidak sanggup melanjutkan lagi.

Melihat keadaan begitu, Nyo Ko merasa ikut menderita, dengan suara pelahan ia berkata: "Kokoh, kedatanganku ini ternyata terlambat sedikit!"

"Tidak, tidak, kau datang tepat pada waktu-nya!" ujar Siao-liong-li lemah. "Tadinya kukira selama hidup ini takdapat bertemu lagi dengan engkau."

Se-konyong2 ia merasa menggigil, lapat2 terasa sukma se-akan2 meninggalkan raganya, tangannya yang merangkul Nyo Ko pelahan2 juga melemah, Kata-nya pula dengan lirih "Ko-ji, peluklah aku!"

Nyo Ko mengencangkan tangan kirinya dan mendekap Siao-liong-li di depan dadanya, macam2 pikiran berkecamuk air matapun bercucuran dan menetes di atas pipi si nona.

"Kuingin kau mendekap aku, memeluk dengan kedua tanganmu!" pinta Siao-liong-Ii. Tapi segera dilihatnya lengan baju kanan anak muda itu kempis tak berisi, keadaannya luar biasa, seketika ia menjerit kaget: "He, Koji kenapa lengan kananmu?"

Nyo Ko menggeleng dengan tersenyum getir, jawabnya dengan lirih: "Jangan pikirkan diriku, lekas pejamkan matamu dan jangan menggunakan tenaga, biar kubantu menyembuhkan lukamu."

"Tidak!" jawab Siao liong-li. "Kenapa lengan kananmu itu? Mengapa tidak ada lagi? Mengapa?"

Meski jiwanya sendiri sedang bergulat dengan maut, tapi sedikitpun ia tidak memikirkannya dan justeru ingin tahu sebab apa Nyo Ko kehilangan sebelah lengannya, soalnya dalam hatinya anak muda yang cakap ini betapapun jauh lebih penting daripada dirinya sendiri, segenap pikiran dan perhatiannya dicurahkan untuk menjaga kepentingannya.

Hal ini sudah terjadi sejak mereka tinggal bersama di kuburan kuno itu, cuma waktu itu Siao-Iiong-li tidak menyadari bahwa inilah cinta kasih, Nyo Ko sendiri juga tidak tahu. Mereka merasa kasih sayang antara mereka itu adalah kewajiban yang layak antara guru dan murid. Jadi sebenarnya keduanya sudah lama cinta mencintai di luar tahu mereka sendiri.

Maka sekarang setelah mereka menyadari betapa cinta kasih antara mereka, betapapun mereka tidak ingin hidup sendirian tanpa didampingi kekasihnya, jiwa kekasih menjadi beribu kali lebih penting daripada jiwa sendiri.

Bagi Siao-liong-li, sebelah lengan Nyo Ko itu jauh lebih penting daripada soal jiwanya masih dapat hidup atau tidak, sebab itulah ia berkeras ingin tahu. Dengan pelahan ia meraba lengan baju anak muda itu, dengan pelahan, dan benar saja di dalam lengan baju memang kosong tak berisi.

Seketika ia melupakan keadaan sendiri yang parah itu, hatinya penuh rasa kasih sayang dan haru, dengan suara lembut ia berkata: "O, Ko-ji yang malang! Apakah sudah lama kehilangan lenganmu ini? Apakah sekarang masih sakit?"

Nyo Ko menggeleng dan menjawab: "Sudah tidak sakit lagi. Asalkan kudapat bertemu lagi dengan engkau dan takkan berpisah selamanya dengan kau, apa artinya kehilangan sebelah lengan bagiku? Bukankah dengan lengan kiri saja akupun dapat memeluk kau?"

Siao-liong-li tersenyum kecil, ia merasa ucapan Nyo Ko sangat tepat, berbaring dalam pangkuan anak muda itu, meski hanya lengan kiri saja yang merangkulnya juga terasa puas dan bahagia, Tadinya dia cuma berharap sebelum ajalnya dapat bertemu sekali lagi dengan Nyo Ko, sekarang keinginannya itu sudah terkabul, bahkan saling mendekap, sungguh bahagia melebihi harapannya.

Di sebelah lain Kim-lun Hpat-ong, Siau-siang cu, In Kik-si, Nimo Singh, Coan-cin-ngo-cu, para Tosu dan kawanan Busu Mongol, semuanya terdiam dan melongo memandangi sepasang kekasih ini. sesaat itu tiada seorangpun yang ingin menyerang mereka atau boleh dikatakan juga tiada seorangpun yang berani menyerang mereka.

Meski dirubung oleh orang sebanyak itu, tapi bagi Nyo Ko dan Siao-Iiong-Hi se-akan2 dunia ini mereka punya dan tiada orang lain di sekitar mereka.

Cinta sejati, cinta yang murni, cinta yang mencapai puncaknya, bukan saja kaya miskin, pangkat atau hidup mewah sama sekali tak terpikir oleh mereka, bahkan mati atau hidup juga bukan soal bagi bagi mereka.

Kalau Nyo Ko dan Siao-liong-li tidak memikirkan soal mati atau hidup lagi, maka biarpun semua tokoh disekelilingnya itu menyerang serentak, bagi mereka juga tidak lebih hanya mati belaka dan seorang hanya mati sekali.

Sudah tentu Kim-Iun Hoat-ong dan lain2 tidak takut kepada Nyo Ko berdua, mereka cuma merasa heran dan luar biasa, jelas Siao-liong-Ii terluka parah sebelah lengan Nyo Ko sudah buntung, mereka pasti takkan sanggup melawan lagi, tapi kedua muda-mudi itu sedang asyik-masyuk dibuai cinta dengan sendirinya timbul semacam hawa keangkeran yang membuat orang lain, tak berani menindaknya secara sembarangan.

Akhirnya Siao-liong-li bertanya pula: "Sebab apakah lenganmu buntung? Lekas katakan padaku."

Dengan tersenyum getir Nyo Ko menjawab: "Lengan buntung, dengan sendirinya lantaran di-tabas orang."

Siao-Iiong li memandanginya dengan perasaan pedih, tiada hasratnya buat bertanya lagi siapa yang mengutungi tangan sang kekasih, kalau bernasib jelek, siapapun yang melakukannya kan sama saja.

Dalam pada itu luka di dada dan punggungnya terasa sakit luar biasa, ia tahu jiwanya tak bisa tahan lama lagi, dengan suara pelahan ia berkata: "Ko-ji, aku ingin memohon sesuatu padamu."

"Kokoh, masakah kau sudah lupa, ketika kita berdiam di kuburan kuno kan sudah pernah kusanggupi kau bahwa apa yang kau ingin kulakukan bagimu pasti akan kulaksanakan," jawab Nyo Ko.

"Ya, itu sudah lama berselang!" ujar Siao-liong-li sambil menghela napas panjang.

"Tapi bagiku selamanya tetap begitu," jawab Nyo Ko tegas.

Siao liong-li tersenyum pedih, katanya pula dengan lirih: "Hidupku takkan lama lagi, kuingin kau mendampingi aku, menunggui aku dan memandangi aku hingga kumati, jangan kau tinggal pergi mendampingi nonamu si Kwe Hu itu."

Hati Nyo Ko menjadi berduka dan mendadak merasa gemas pula, jawabnya: "Kokoh, sudah tentu aku akan mendampingi kau, Nona Kwe itu ada sangkut-paut apa denganku? Justeru dia yang menabas kutung lenganku ini!"

"Hah, dia. dia yang melakukan?" Siao liong li menegas dengan kaget "Mengapa dia begitu keji? Apakah.... apakah disebabkan kau tidak suka padanya?"

"Kita berdua begini baik, mengapa engkau meragukan diriku?" kata Nyo Ko. "Selain kau, selamanya belum pernah kucintai gadis lain, Tentang nona Kwe ini, hm...." tapi sebelum Siao-Iiong li mendengar ucapannya ini, dia sudah pingsan dalam pangkuan Nyo Ko.

Lengan kanan Nyo Ko itu memang betul ditabas kutung oleh Kwe Hu. sebagaimana sudah diceritakan waktu kedua orang bertengkar selagi Nyo Ko masih berbaring di tempat tidurnya karena belum sembuh dari lukanya, saking gusarnya Kwe Hu telah samber Ci-wi-kiam, pedang lemas yang terletak di meja terus ditabaskan tanpa pikir.

Dalam keadaan kepepet, sekenanya Nyo Ko rampas Siok-li-kiam yang dibawa ke situ oleh Kwe Hu itu untuk menangkis. Tapi pedang yang dipegang Kwe Hu itu adalah senjata maha tajam dan sangat berat, yaitu pedang yang pernah digunakan mendiang Tokko Kiu-pay untuk malang melintang di dunia Kangouw tanpa ketemu tandingan walaupun Siok ii-kiam juga tergolong pedang mestika, tapi tetap tertabas kutung oleh pedang Kwe Hu itu.

Malahan saking gemasnya si nona menabas sehingga sukar baginya untuk menahan lajunya pedang, tahu2 sebelah lengan Nyo Ko juga ikut tertabas kutung.

Sama sekali tak terduga bahwa serangan itu akan mendatangkan akibat sehebat itu, kalau Nyo Ko kaget dan gusar, tak terkatakan, Kwe Hu juga melongo kesima, ia menyadari telah berbuat sesuatu kesalahan yang sukar diperbaiki lagi. Dilihatnya darah segar terus merembes-dari lengan Nyo Ko yang sudah buntung itu, ia menjadi bingung dan tidak tahu apalagi yang harus dilakukannya.

Selang sejenak mendadak ia menjerit dan menangis terus berlari keluar sambil menutupi mukanya,

Setelah bingung sejenak, segera pula Nyo Ko dapat menenangkan diri, cepat ia menggunakan tangan kiri untuk menutuk Ko-cing-hiat di bahu kanan sendiri dan merobek kain seperei untuk membalut lengan buntung itu agar darah tidak keluar lebih banyak, kemudian ia bubuhi obat luka pula, ia pikir dirinya tidak dapat tinggal lebih lama lagi di situ dan harus lekas pergi. pelahan ia berjalan beberapa langkah sambil berpegangan dinding, tapi lantaran terlalu banyak kehilangan darah, mendadak pandangannya menjadi gelap dan hampir saja jatuh pingsan.

Pada saat itulah didengarnya suara Kwe Cing sedang berteriak: "Lekas, lekas! Bagaimana keadaannya? Darahnya sudah mampet belum?" Nada suaranya penuh rasa kuatir dan cemas,

Nyo Ko tahu sang paman yang belum sehat itu sengaja datang buat menjenguknya, tiba2 timbul pikirannya untuk tidak menemui Kwe Cing lagi. Maka sekuatnya ia mengumpulkan tenaga terus menerjang keluar kamar.

Kwe Cing sendiri waktu itu belum sehat, ketika tiba2 Kwe Hu datang memberi tahu dengan menangis bahwa nona itu telah menguntungkan lengan Nyo Ko, Kwe Cing menjadi kaget, cepat ia samber palang pintu untuk digunakan sebagai tongkat sambil menahan rasa sakit ia memburu ke kamar Nyo Ko. Tapi sebelum masuk kamar, mendadak dilihatnya Nyo Ko berlari keluar dengan berlumuran darah.

Tanpa menoleh Nyo Ko terus berlari keluar rumah, ia cemplak ke atas kuda yang tertambat di depan rumah terus dilarikan ke pintu gerbang benteng, penjaga pintu benteng pernah menyaksikan Nyo Ko dengan tangkasnya menyelamatkan Kwe Cing dari serangan pasukan mongol, maka ia tidak berani merintanginya walaupun melihat sikap anak muda itu rada aneh segera ia membukakan pintu gerbang dan membiarkan Nyo Ko pergi.

Sementara itu pasukan Mongol sudah mundur beberapa puluh li jauhnya dari benteng Siangyang, Nyo Ko tidak mengambil jalan raya melainkan melarikan kudanya ke jalan kecil yang sepi. ia membatin. "Racun bunga cinta yang mengeram di dalam diriku ternyata tidak mematikan aku meski -sudah lewat batas waktunya, bisa jadi seperti apa yang dikatakan paderi sakti Than-tiok itu bahwa racun bunga cinta mungkin dikalahkan oleh racun jarum berbisa milik Li Bok-chiu yang kuisap itu sehingga jiwaku malah tertolong.

Dalam keadaan terluka parah seperti sekarang ini, kalau kucari Kokoh ke Cong-lam-san yang jauh itu pasti tidak tahan, apakah memang sudah ditakdirkan jiwaku harus melayang di tengah perjalanan begini?"

Teringat kepada nasib sendiri yang kenyang duka derita, kecuali hidup tenteram bersama Siao liong-li di kuburan kuno itu boleh dikatakan jarang hidup dalam keadaan gembira, sekarang jiwanya sudah dekat ajalnya, satu2nya orang yang dikasihinya di dunia ini sekarang juga sudah pergi, malahan anggota badannya dibikin cacat orang pula, terpikir semua ini, tanpa terasa air matanya lantai bercucuran.

Dia mendekap di atas kuda dalam keadaan sadar-tak-sadar ia terus melarikan kudanya kedepan, yang dia harap asalkan tidak ditemukan Kwe Cing dan tidak kepergok pasukan Mongol, maka ke manapun tak menjadi soal baginya.

Karena itu tanpa-sengaja dia telah menuju ke lembah sunyi, di sana kemarin malam baru saja terjadi perkelahiannya dengan kedua saudara Bu.

Sementara itu hari sudah gelap, sekeliling sunyi senyap dan semak2 rumput belaka, ia pikir di sekitar situ pasti tiada orang lain, segera ia turun dari kudanya terus merebahkan diri, ia sudah tidak memikirkan mati hidupnya lagi, kemungkinan di serang binatang buas atau digigit ular berbisa juga tak dihiraukannya, terus saja ia tertidur.



Akan tetapi sampai tengah malam ia sudah terjaga karena kesakitan pada lukanya dan tak dapat pulas lagi. Paginya waktu ia berbangkit terlihat di sisi tempat berbaringnya itu ada dua ekor kelabang besar menggeletak kaku di situ, badan kelabang2 itu loreng merah hitam dan sangat menyeramkan dengan kepala berlepotan darah.

Nyo Ko terkejut, dilihatnya pula di samping kedua bangkai kelabang itu ada bekas lumuran darah. setelah dipikir sejenak, tahulah dia akan persoalannya. Rupanya darah itu merembes keluar dari lukanya waktu dia tidur tadi, sedangkan dalam darahnya itu mengandung kadar racun bunga cinta, kedua ekor kelabang itu mati oleh darah beracun itu.

Nyo Ko menyeringai sendiri, tak terpikir olehnya bahwa darahnya ternyata jauh lebih berbisa daripada binatang sehingga kelabangpun tidak tahan. Hatinya terasa pedih, duka dan penasaran tak terlampiaskan, ia menengadah dan tertawa keras2...

Tiba terdengar suara burung berkotek di atas bukit sana, waktu ia memandang ke sana, terlihat si rajawali raksasa tempo hari itu berdiri di puncak bukit dengan bersitegang leher dan membusungkan dada, meski tampang burung itu jelek dan menakutkan, tapi juga membawa kegagahannya yang berwibawa.

Nyo-Ko sangat girang, seperti bertemu dengan kenalan lama saja ia lantas berteriak: "He, kakak rajawali kita bertemu pula di sini"

"Rajawali itu berbunyi panjang satu kali terus menerjang turun dari bukit itu. Karena badannya besar dan kuat sayapnya pendek, bulunya jarang2, maka rajawali itu tidak dapat terbang, tapi larinya sangat cepat melebihi kuda, dalam sekejap saja ia sudah berada di samping Nyo Ko.

Ketika melihat sebelah lengan anak muda itu buntung, dengan mata tak berkedip burung itu memandanginya sa-akan2 heran.

"Tiau-heng (kakak rajawali), aku sedang tertimpa malang maka sengaja datang ke sini mencari kau," kata Nyo Ko dengan menyeringai.

Entah rajawali itu paham ucapannya tidak, yang jelas burung itu tampak manggut2, lalu memutar tubuh dan melangkah ke sana, Segera Nyo Ko menuntun kudanya dan mengintil dari belakang.

Tapi baru beberapa langkah saja, mendadak raja wali sakti itu membalik, se-konyong2 sebelah sayapnya menjulur dan "bluk", dengan keras sayapnya menyabet punggung kuda.

Betapa hebat tenaga hantaman sayapnya itu, tanpa ampun kuda itu meringkik terus roboh terkulai tak bernyawa lagi.

"Ya, benar, kalau aku sudah berada di tempat Tiau-heng tentu tidak perlu pergi lagi dan apa gunanya kuda ini?" ujar Nyo Ko.

BegituIah Nyo Ko lantas mengikuti lagi rajawali itu, Tidak lama sampailah mereka di gua tempat menyepi Tokko Kiu-pay dahulu, Melihat makam batu itu, menjadi sangat terharu, tokoh maha sakti yang tiada ketemukan tandingan semasa hidupnya itu akhirnya toh meninggal juga di lembah sunyi ini.

Melihat tingkah lakunya ini, tentu ilmu silatnya maha tinggi dan wataknya menjadi nyentrik dan sukar bergaul dengan orang lain, makanya lantas menyepi bersama rajawali sakti ini. Cuma sayang rajawali ini meski cerdik, tapi tak dapat bicara sehingga sukar diketahui kisah hidup Tokko Kiu-pay yang pasti sangat menarik itu.

Selagi Nyo Ko duduk termenung di dalam gua, sementara itu rajawali itu telah datang dari luar gua dengan membawa dua ekor kelinci. Cepat Nyo Ko membuat api untuk memanggang dan dimakan nya dengan kenyang.

Cara begitulah beberapa hari telah berlalu, luka lengan Nyo Ko yang buntung itu juga mulai merapat, kesehatannya semakin pulih, Setiap kali terkenang pada Siao-liong-li tentu dadanya terasa sesak dan sakit, tapi sudah jauh lebih ringan daripada dulu.

Dasar watak anak muda itu memang suka bergerak sepanjang hari dia hanya berkawan rajawali itu di pegunungan yang sunyi, betapapun ia menjadi iseng dan merasa kesepian.

Selang beberapa hari pula, kesehatan Nyo Ko sudah pulih seluruhnya. Dilihatnya di belakang gua banyak pepohonan rindang dan pemandangan indah, dalam isengnya ia lantas melangkah ke sana. Kira2 satu-dua li jauhnya, sampailah dia di depan sebuah tebing yang sangat curam.

Tebing itu menjulang tinggi sehingga mirip sebuah pintu angin raksasa, kira2 tiga puluh meter dibagian tengah tebing itu mencuat keluar sepotong batu seluas beberapa meter persegi sehingga menyerupai panggung terbuka.

Pada batu besar itu santar2 seperti ada ukiran huruf. Waktu ia mengamati lebih cermat, agaknya kedua huruf itu berbunyi: "Kiam-bong" (makam pedang)

Nyo Ko menjadi heran, masakah pedang juga dimakamkan apakah barangkali pedang kesayangan Tokko Kiu-pay itu patah, lalu ditanam di sini?

Ia coba mendekati tebing itu, dilihatnya dinding batunya halus licin, sungguh sukar untuk dibayangkan cara bagaimana orang dahulu itu dapat memanjat ke atas.

Sampai lama sekali ia memandangi panggung batu itu dan semakin tertarik, ia pikir orang itu juga manusia, mengapa dapat memanjat ke atas tebing setinggi itu, tentu ada sesuatu yang aneh dan rahasia.

Setelah diteliti lagi sejenak, tiba2 dilihatnya dinding tebing itu memang ada sesuatu yang menang yaitu tumbuhan lumut hijau yang berjumlah puluhan rumpun secara lurus dari bawah ke atas dalam jarak satu-dua meter, Tergerak hati Nyo Ko. ia coba melompat ke atas, ia meraba rumput lumut hijau yang paling rendah itu, hasilnya tangannya menggenggam secomot tanah, jelas lumut itu tumbuh pada sebuah dekukan, agaknya dicukil oleh senjata tajam oleh Tokko Kiu-pay dahulu, karena sudah ber-tahun2 kena air hujan, sinar matahari, dekukan itu tertimbun kotoran dan tumbuhan lumut itu.

Karena iseng, Nyo Ko menjadi tertarik dan ingin tahu apa yang terdapat pada makam pedang itu, Cuma sebelah tangannya buntung, untuk memanjat kurang leluasa. Namun dia anak muda yang berkemauan keras, segera ia kencangkan ikat pinggang, ia kumpulkan tenaga dan melompat setinggi-nya ke atas, begitu sebelah kakinya menginjak dekukan dinding itu segera melompat lagi ke atas, sebelah kakinya mendepak tepat pada rumpun lumut tingkat kedua, ternyata tempatnya lunak, kakinya dapat menghinggap di situ.

Dan begitulah seterusnya ia melompat lebih 20 kali ke atas dengan menggunakan tangga dekukan dinding itu, namun akhirnya terasa tenaga mulai lemas, untuk memanjat lebih tinggi terasa tidak kuat, terpaksa ia merosot ke bawah pula.

Ia lihat sudah tiga perempat anak tangga dekukan dinding itu dipanjatinya, kalau diulangi lagi sekali pasti akan mencapai panggung batu itu. Segera ia duduk mengumpulkan tenaga dalam, sesudah cukup kuat, dengan cara seperti tadi ia memanjat pula ke atas dan sekaligus panggung batu itu dapat dicapainya.

Diam2 Nyo Ko bersyukur bahwa Ginkang sendiri tenyata tidak berkurang dari pada semula, meski kini tangannya buntung sebelah, ia lihat di samping kedua hurup besar "makam pedang" itu ada pula ukiran dua baris tulisan yang lebih kecil yang berbunyi: "Karena tidak menemukan tandingan lagi di dunia ini, maka pedangpun kutanam di sini, Oho, semua pahlawan tak berdaya, pedangpun tiada gunanya lagi, alangkah sedihnya bagiku"



Heran dan kagum pula Nyo Ko terhadap tokoh sakti itu, ia merasa Locianpwe itu tentu sangat angkuh dan mengagulkan kemampuannya sendiri. Cuma untuk mencapai tingkatan tiada tandingan di seluruh dunia, jelas dirinya tidak mampu, apalagi sekarang sebelah lengan sudah buntung, hal ini jelas tiada harapan selama-lamanya.

Nyo Ko duduk termenung di situ, sebenarnya pingin sekali mengetahui bagaimana macamnya senjata yang di makamkan itu, tapi ia tidak berani merusak petilasan tokoh angkatan tua itu.

Tiba2 terdengar di bawah sana ada suara barang berkotek, ia coba melongok ke bawah, tertampak rajawali sakti itu sedang melompat keatas dengan menggunakan cakarnya yang tajam mencengkeram setiap dekukan dinding tebing, Meski berat tubuhnya, tapi kakinya sangat kuat, sekali lompat dapat mencapai beberapa meter tingginya, hanya sekejap saja ia sudah berada di samping Nyo Ko.

Sesudah celingukan kian kemari sejenak, rajawali itu manggut2 pada Nyo Ko sambil berbunyi beberapa kali dengan suara yang aneh,

Sudah tentu Nyo Ko melongo bingung karena tidak paham maksud burung itu.

Setelah berbunyi lagi beberapa kali, lalu rajawali itu menggunakan cakarnya yang kuat itu untuk mencakar batu2 di atas makam itu, tiba2 timbul pikiran Nyo Ko, ia menduga di makam pedang itu mungkin tertanam sebangsa kitab ilmu pedang tinggalan Tokko Kiu-pay yang maha sakti itu.

Dilihatnya rajawali itu terus mencakar dengan kedua kakinya, sebentar saja batu itu sudah tersingkir semua dan tertumpuk lah tiga batang pedang berjajar, di antara pedang pertama dan kedua terselip pula sepotong lapisan batu tipis. Ketiga pedang dan batu tipis itu terletak berjajar di atas batu hijau yang cukup besar.

Nyo Ko coba mengangkat pedang pertama di sebelah kiri itu, dilihatnya di atas batu tempat pedang itu tertaruh ada terukir sebaris tulisan. Setelah di baca, kiranya cuma catatan belaka yang menerangkan pedang itu sangat tajam dan semasa mudanya pernah digunakan untuk menempur jago2 silat.

Waktu ia mengamat-amati pedang itu panjangnya satu meteran itu, cahaya hijau tampak gemerdep dan memang senjata sangat tajam.

Ia coba berjongkok dan memegang batu tipis itu, di atas batu besar tepat di bawah batu tipis itupun ada ukiran tulisan yang menjelaskan: "Pedang lemas Ci~wi-kiam, digunakan semasa usia 30-an, salah membunuh orang baik, senjata yang beralamat jelek, maka kubuang ke jurang sunyi"

Tergetar hati Nyo Ko, ia pikir lengan sendiri justeru terkutung oleh pedang Ci-wi-kiam itu, rupanya pedang itu dibuang di jurang sunyi itu oleh Tokko Kiu-pay dan ditelan oleh ular raksasa, tapi secara kebetulan telah diketemukan olehnya.

Kalau saja di dunia ini tiada pedang tajam itu, meski dalam keadaan sakit juga lengannya takkan tertabas kutung oleh Kwe Hu.

Untuk sejenak ia ter-mangu2, ketika ia angkat juga pedang kedua, baru saja terangkat sedikit, se-konyong2 terjatuh pula di atas batu hingga menerbitkan suara keras dan mencipratkan lelatu api, keruan ia terkejut.

Padahal pedang itu berwarna gelap kotor dan tiada sesuatu tanda aneh, namun bobotnya ternyata tidak kepalang beratnya, panjangnya tiada satu meter, tapi beratnya ada 60-70 kati, beberapa kali lebih berat daripada senjata panjang yang biasa digunakan orang di medan perang, ia pikir mungkin tadi dirinya sendiri belum siap sehingga kurang kencang memegangi pedang itu.

Segera ia taruh kembali pedang pertama dan batu tipis tadi, lalu ia angkat lagi pedang yang berat itu.

Karena sudah bersiap, pedang yang beratnya 60~70 kati itu bukan soal lagi baginya, ia lihat ke dua mata pedang itu puntul semua, malahan ujung pedang berbentuk setengah bundar dan tidak runcing seperti pedang umumnya, ia menjadi heran, sudah begitu berat, ujung dan mata pedang juga puntul segala apa gunanya?

Di atas batu di bawah pedang itupun ada ukiran dua baris huruf yang artinya menjelaskan pedang puntul dan berat itu digunakan Tokko Kiu-pay untuk malang melintang di dunia persilatan pada waktu berusia sekitar 40-an, ia menjadi heran pula cara bagaimana orang menggunakan pedang seberat itu dan tidak tajam pula.

Selang sejenak, ia mengambil lagi pedang ke tiga, Sekali ini dia kecele lagi, Disangkanya pedang itu pasti lebih berat daripada pedang puntul itu maka sebelumnya ia telah kumpulkan tenaga untuk mengangkatnya.

Siapa tahu benda yang diangkatnya ternyata enteng sekali seperti tidak berbobot.

Waktu ia mengamati, kiranya pedang itu terbuat dari kayu, lantaran sudah terlalu tua, gagang dan batang pedangnya sudah lapuk, batu di bawah, pedang itu juga terukir keterangan "Setelah berusia 40 tahun, tidak mementingkan senjata lagi, segala benda dapat kugunakan sebagai pedang, sejak itu latihanku semakin sempurna, mulai mencapai tingkatan tanpa pedang melebihi memakai pedang"

Dengan khidmat Nyo Ko meletakkan kembali pedang kayu itu ke tempat semula, ia sangat gegetun akan ilmu sakti tokoh Tokko Kiu-pay yang sukar dibayangkan, ia pikir di bawah batu hijau yang besar itu bisa jadi terpendam benda2 lain lagi. Maka se-kuatnya ia eoba menggeser batu itu, namun di bawah batu bijau itupun cuma batu gunung saja tanpa sesuatu benda lain, tanpa terasa ia menjadi sangat kecewa.

Mendadak rajawali raksasa itu berbunyi sekali, pedang puntul yang berat itu tiba2 dipatuknya, lalu diangsurkan kepada Nyo Ko, habis itu ia berkaok dua kali lagi.

"O, kakak rajawali apakah kau ingin menjajal kepandaianku?" kata Nyo Ko dengan tertawa, "Baiklah, daripada iseng, bolehlah kita main2 beberapa jurus."

Akan tetapi ia merasa sukar memainkan pedang puntul yang berat itu, ia lemparkan pedang itu dan menjemput pedang tajam yang pertama tadi.

Tak terduga, mendadak rajawali sakti menarik sayapnya, lalu membalik tubuh ke sana tanpa menggubris Nyo Ko lagi, sikapnya seperti mencemoohkan.

Sebagai anak muda yang cerdik pandai, segera Nyo Ko tahu maksud rajawali itu, katanya dengan tetawa: "Apakah kau ingin kugunakan pedang berat itu? Tapi kepandaianku sangat terbatas, apalagi bergebrak di tempat yang berbahaya ini, tentu aku bukan tandinganmu, untuk ini perlu kau mengalah sedikit."

Habis berkata ia terus menukar pedang, ia coba mengerahkan segenap tenaga pada tangan kiri- lalu mulai menyerang, pedang menusuk pelahan ke depan.

Rajawali itu tidak memutar tubuh lagi, mendadak sayapnya membentang ke belakang dan tepat menyampuk pedang, untuk seketika Nyo Ko merasakan arus tenaga yang maha dahsyat mendesaknya melalui batang pedang sehingga napasnya terasa sesak.

Keruan Nyo Ko kaget, cepat ia kumpulkan tenaga untuk melawan "brak", batang pedangnya bergetar seketika pandangannya terasa gelap dan tak sadarkan diri lagi.

Entah sudah berapa lama barulah ia siuman kembali, dirasakannya ada bekas cairan dalam mulutnya yang manis2 sedap, agaknya dalam keadaan tak sadar ia telah makan sesuatu. Waktu ia membuka matanya, kiranya rajawali sakti itu menggigit satu biji buah warna merah sedang dilolohkannya, ia coba mengunyahnya, rasanya persis sisa rasa dalam mulutnya tadi, agaknya sudah beberapa biji buah semacam itu telah dimakannya tanpa sadar.



Ketika ia coba mengumpulkan tenaga, rasanya pernapasan sangat lancar dan badan juga segar, cepat ia berbangkit dan coba mengulur tangan dan gerakkan kaki, rasanya malah lebih kuat daripada sebeIumnya.

Diam2 ia heran, pantasnya setelah berkelahi dan dipukul lawan hingga pingsan, walaupun tidak terluka parah sedikitnya juga akan pegal linu sekian lama, apakah barangkali buah merah yang dimakannya ini berkhasiat sebagai obat penyembuh luka serta pemulih tenaga?

Waktu ia jemput lagi pedang puntul itu, rasanya sekarang terlebih ringan daripada tadi, Pada saat itu juga kembali si rajawali sakti berkaok lagi satu kali, sayapnya terus menyabet pula, ia tidak berani menyambutnya, cepat ia mengegos, tapi burung itu terus mendesak maju dan kedua sayapnya menampar sekaligus dengan tenaga dahsyat.

Nyo Ko tahu rajawali itu tidak bermaksud jahat padanya, tapi betapapun baiknya juga tetap binatang, kalau dia takdapat menahan sabetan sayapnya, bukankah jiwanya bisa melayang secara konyol? Karena itu cepat ia mundur lagi dua tindak dan rasanya dia sudah berada di tepi panggung batu itu.

Namun rajawali itu sedikitpun tidak kenal ampun, kepalanya menjulur, paruhnya yang bengkok besar itu malah terus mematuk kepala Nyo Ko.

Karena sudah kepepet, tiada jalan lain terpaksa Nyo Ko angkat pedangnya untuk menangkis. "Prak" batang pedang itu terpatuk dengan tepat, Nyo Ko merasa tangannya tergetar dan pedang se-akan2 terlepas dari cekalan.

Dilihatnya pula burung raja wali itu pentang sayap kanan lagi terus menyabet dari samping.

Keruaa Nyo Ko terkejut, cepat ia melompat ke atas dan melayang lewat di atas kepala rajawali itu, setiba di bagian dalam panggung batu, kuatir burung itu menyusu ikan serangan lagi, segera ia memutar pedangnya ke belakang, "brek", dengan tepat pedang beradu pula dengan paruh rajawali.

Nyo Ko berkeringat dingin karena sempat lolos dari bahaya, cepat ia berseru: "He, Tiau-heng jangan kau anggap aku seperti Tokko-tayhiap!"

Rajawali sakti itu berkaok dua kali dan tidak menyerang pula, sebaliknya Nyo Ko lantas teringat kepada cara menyerang rajawali itu tadi, burung raksasa itu pernah mendampingi Tokko Kiu-pay, besar kemungkinan ketika Tokko Ktu-pay hidup terpencil di pegunungan ini, di waktu latihan rajawali inilah yang dianggap sebagai lawannya.

Kini Tokko Kiu-pay sudah meninggal, ilmu silatnya yang maha sakti itu sudah punah, tapi dari burung ini bisa jadi akan dapat ditemukan bekas2 kesaktian tokoh angkatan lalu itu.

Berpikir demikian, ia menjadi girang dan segera, berseru: "Tiau-heng, awas seranganku ini!" Begitulah ia lantas mendahului menyerang malah ke dada rajawali itu, Sudah tentu burung itu tidak tinggal diam, sayapnya terus balas menyabet.

Sehari penuh Nyo Ko terus berkutak-kutik dengan rajawali sakti itu di atas panggung batu, tenaga rajawali itu sungguh sangat kuat, sekali sayapnya menyabet, seketika berjangkit angin keras laksana tenaga pukulan beberapa tokoh terkemuka sekaligus.

Dalam keadaan demikian segala ilmu pedang yang pernah dipelajari Nyo Ko sama sekali tak dapat dikeluarkan, terpaksa ia hanya bertahan dan menghindar secara gesit, kalau balas menyerang juga menusuk secara begitu2 saja tanpa sesuatu perubahan.

Sampai hari sudah gelap, keduanya lantas pulang ke gua. sepanjang hari Nyo Ko bertempur, mestinya dia merasa lelah, tapi aneh, sedikitpun dia tidak merasakannya, sebaliknya terasa lebih segar daripada biasanya, ia pikir mungkin berkat khasiat buah merah itu.

Esok paginya waktu dia bangun, rajawali sakti itu sudah membawakan pula beberapa biji buah merah, segera Nyo Ko memakannya, habis itu ia duduk semadi mengatur pernapasan, terasa semuanya lancar dan tenaga penuh.

Girang sekali anak muda itu, cepat ia melompat bangun dan membawa pedang berat itu ke panggung batu itu untuk berlatih pula dengan si rajawali.

Kalau kemarin terasa sukar memanjat ke atas panggung itu, sekarang dia membawa pedang seberat berpuluh kati malah dengan enteng saja dapat naik kesitu, tahulah dia seharian kemarin tenaganya telah banyak lebih kuat, maka dalam latihannya dengan rajawali itu sekarang menjadi lebih tangkas.

Begitulah dia terus berlatih beberapa hari ber turut2, pedang yang tadinya terasa berat itu sekarang sudah mirip senjata biasa saja, setiap gerak serangannya dapat dilakukan sesuka hatinya. Dasarnya memang pintar, beberapa bulan yang lalu iapun sudah menciptakan aliran ilmu silatnya sendiri, sekarang tenaganya berlipat ganda, setiap hari dia berlatih dengan rajawali itu dengan menggunakan pedang yang berat, maka semakin dirasakan ilmu pedang yang dipelajarinya dahulu terlalu banyak variasinya, terlalu banyak perubahannya, sekarang dirasakannya setiap jurus serangannya yang tampaknya begitu2 saja tanpa kembangan justeru lebih sukar ditangkis oleh pihak lawan.

Misalnya pedangnya menusuk lurus ke depan, asalkan tenaganya maha kuat, maka daya tekanannya menjadi jauh lebih besar daripada ilmu pedang Coan-cin-pay atau Ko-bong-pay yang banyak variasinya itu. Meski sekarang dia cuma menggunakan tangan kiri saja, tapi setiap hari dia makan buah merah yang dibawa si rajawali, maka tanpa terasa tenaga dalamnya bertambah lipat ganda, hanya beberapa hari saja dia sudah sanggup melawan tenaga sakti si rajawali yang luar biasa dahsyatnya itu.

Setelah ilmu silatnya mencapai tingkatan ini, maka dia seperti berada tinggi di puncak gunung memandang bukit2 kecil di bawahnya, kini dia merasakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dahulu seakan2 sama sekali tiada artinya lagi.

"Pagi hari ini cuaca mendung, air hujan seperti dituang dan langit Nyo Ko coba bertanya si rajawali: "Tiau-heng, hujan sehebat ini, apa kita masih harus berlatih?"

Rajawah itu menggigit ujung bajunya dan diseretnya berjalan ke arah timur laut, sesudah itu terus mendahului melangkah ke sana dengan cepat.

Nyo Ko menjadi heran apakah di arah sana ada sesuatu benda aneh lagi? Dengan membawa pedang berat itu ia lantas mengikutinya di bawah hujan deras.

Beberapa li sudah mereka tempuh, terdengar suara gemuruh yang keras, jelas itu suara gemuruhnya air bah.

Setelah membelok ke suatu selat gunung, suara gemuruh air semakin memekak telinga, Terhhat diantara dua puncak gunung mengalir air terjun laksana naga putih raksasa, air terjun itu menggerujuk masuk ke sebuah sungai kecil di bawahnya, di antara air itu terselip pula tangkai kayu dan batu yang ikut terjun ke sungai dan lenyap terbawa arus dalam waktu sekejap saja.

Sementara itu hujan semakin lebat pakaian Nyo Ko sudah basah kuyup, melihat air bah yang semakin gemuruh itu, diam2 anak muda itu rada jeri.



Rajawali itu menarik baju Nyo Ko lagi dan mengajaknya ke tepi sungai kecil itu, melihat gelagatnya, burung itu seperti menyuruhnya turun ke sungai.

"Untuk apa turun ke situ?" ujar Nyo Ko dengan heran. "Air bah begini dahsyat, bisa terhanyut."

Tiba2 rajawali itu berbunyi satu kali dengan menegakkan lehernya, lalu dia terjun ke tengah sungai, kedua kakinya tepat berdiri di atas sepotong batu karang yang berada di tengah sungai, ketika sayap kirinya menyampuk ke depan, kontan sebuah batu besar yang terhanyut air bah dari hulu itu ter-tolak ke atas. Waktu batu itu menerjang tiba lagi terbawa arus, kembali rajawali menyabet dengan sayapnya dan batu itu tertolak balik pula.

Begitulah terjadi beberapa kali, batu itu tetap tidak dapat lewat di samping si rajawali. Ketika untuk sekali lagi batu itu terhanyut tiba, mendadak rajawali itu menghantam sekuatnya dengan sayap, batu itu terus mencelat dan jatuh di tepi sungai. Habis itu si rajawali lantas melompat kembali ke samping Nyo Ko.

Sekarang Nyo Ko dapat menangkap maksud si rajawali, ia tahu mendiang Tokko Kiu pay pasti sering berlatih pedang di tengah air bah ini setiap hari hujan. Akan tetapi ia sendiri tidak mempunyai kemampuan sehebat ini, maka tidak berani mencobanya.

Selagi sangsi, mendadak si rajawali mengebas pantat Nyo Ko dengan sayapnya, karena keduanya berdiri sangat dekat, pula tidak terduga, tanpa ampun tubuh Nyo Ko terus mencelat ke tengah sungai, Karena sudah telanjur, terpaksa Nyo Ko mengincar baik2 dan tancapkan kakinya di atas batu karang tempat berdiri si rajawali tadi, Begitu kedua kakinya tergenang air, segera ia diterjang air bah hingga sempoyongan dan serasa mau terhanyut.

Tiba2 terpikir oleh Nyo Ko: "Tokko-locianpwe itu adalah manusia, akupun manusia, kalau dia sanggup berdiri di sini, mengapa aku tidak?"

Karena dorongan semangat ini, sekuatnya ia melawan terjangan air bah, tapi untuk menggunakan pedang buat menyingkirkan batu yang terbawa arus benar2 ia tidak mampu.

Cukup lama Nyo Ko bertahan di tengah damparan air bah yang kuat hingga tenaganya terasa mulai lemas, segera ia gunakan pedangnya untuk menahan di batu karang itu terus melompat ke tepi sungai.

Belum sempat ia mengaso, tahu2 sayap si rajawali telah menyabet pantatnya lagi. Sekali ini Nyo Ko sudah waspada, maka sabetan itu tidak kena, namun terpaksa ia harus melompat sendiri ke dalam sungai.

Diam2 ia mengakui rajawali itu benar2 merupakan "guru yang keras dan sahabat yang baik", ia pikir kalau dia mau mendesak aku giat berlatih tanpa kendur sedikitpun, masakah aku malah tidak mempunyai hasrat ingin maju dan mengabaikan maksud baiknya?

Segera ia perkuat tenaga kakinya dan berdiri tegak, makin lama semakin disadarinya cara menggunakan tenaganya, meski air bah juga semakin deras hingga batas pinggangnya mulai tergenang, tapi dia malah tambah kuat dan tidak goyah lagi.

Selang tak lama, air bah semakin membanjir dan mulai menggenang sampai di dadanya, lalu naik lagi dekat muIutnya, Bisa2 mati tenggelam kalau berdirinya tidak kukuh, Karena pikiran itu, segera Nyo Ko melompat ke tepi sungai.

Tak terduga si rajawali yang berjaga di tepi sungai sudah bersiap juga, begitu melihat Nyo Ko melompat naik, sebelum kakinya menyentuh tanah, cepat sayapnya menyabet, terpaksa Nyo Ko menahannya dengan pedang dan dengan sendirinya pula ia terdorong lagi ke dalam sungai, "plung", ia kecebur pula ke dalam amukan air bah.

Baru saja kakinya menginjak batu karang di dalam sungai tadi, terasa air sudah menggenangi kepalanya dan airpun masuk mulutnya, Kalau dia menyemburkan air dan mengerahkan tenaga, tentu tenaga kakinya akan berkurang dan bisa terhanyut oleh arus yang deras itu. Cepat ia berdiri sekuatnya dengan menahan napas, selang sejenak, ia menutulkan kedua kakinya dan meloncat ke atas, ia semburkan air yang sudah ditahannya sekian lama itu, kemudian dia turun lagi ke bawah, sekali ini ia dapat berdiri dengan kukuh di dalam air dan membiarkan dirinya diamuk oleh air bah yang dahsyat itu.

Sesudah pikirannya tenang, ia pikir kalau pedang tidak kugunakan mencungkil batu, tentu akan dipandang hina oleh si rajawali, Dasar watak Nyo Ko memang suka unggul, biarpun terhadap seekor burung juga dia tidak mau kehilangan muka, segera ia bersiap, begitu melihat di antara air bah itu ada batang kayu atau batu gunung, segera ia menjungkitnya atau menyampuknya dengan pedang ke bagian hulu.

Di dalam air dengan sendirinya batupun berubah enteng, pedang pantul itupun jauh lebih enteng karena tersanggah oleh tekanan air sehingga Nyo Ko dapat memainkannya dengan leluasa. Begitulah ia terus menyampuk dan menghantam, ia terus berlatih hingga otot lemas, dan tenaga habis, kakipun terasa lunglai, dengan begitulah baru ia melompat ke atas tepi sungai.

Ia kuatir si rajawali akan mendorongnya ke dalam air lagi, padahal dia sudah lemas betuI2, kalau tidak mengaso dulu tentu tidak sanggup menahan damparen air bah yang dahsyat itu. Benar saja, rajawali itu tidak membolehkan dia naik, begitu melihat dia melompat keluar dari air, seketika sayapnya menyabetnya.

"Tiau heng, caramu ini bisa bikin mati aku!" seru Nyo Ko dan terpaksa menceburkan diri ke dalam sungai lagi, ia berdiri lagi sejenak dan sungguh2 terasa tidak tahan, tiada jalan lain kecuali melompat lagi ke atas.

Di lihatnya si rajawali menyabetkan sayapnya lagi, karena kepepet, terpaksa Nyo Ko balas menusuk dengan pedangnya, setelah tiga gebrakan rajawali itu ternyata dapat didesaknya mundur setindak.

"Maaf, Tiau-heng!" seru Nyo Ko sambil menusukkan pedangnya pula. Terdengar suara mendesing ujung pedangnya, ternyata daya serangannya sudah jauh berbeda daripada biasanya, Malahan rajawali itupun tidak berani menangkis lagi, begitu mendekat tusukan Nyo Ko itu, cepat burung itu melompat mundur.

Tahulah Nyo Ko bahwa selama setengah harian berlatih di tengah damparan air bah itu, kini tenaga tangan kirinya sudah tambah kuat, keruan ia kejut2 girang, ia merasa untuk menumbuhkan tenaganya itu seharusnya diperlukan waktu sepuluh atau dua puluh hari, ternyata cuma digembleng setengah hari di dalam air sudah maju sepesat ini, ia pikir buah merah yang dibawakan si rajawali setiap hari itu pasti berkhasiat memupuk tenaga dan mengikatkan otot sehingga tanpa terasa tenaga dalamnya telah tambah sehebat ini.

Begitulah setelah duduk istirahat sejenak di tepi sungai dan terasa tenaga segera pulih, kini tanpa dipaksa si rajawali lagi segera ia melompat ke dalam sungai untuk berlatih pula. Ketika kemudian dia melompat kembali ke atas sungai rajawali itu sudah tidak nampak di situ dan entah ke mana perginya, sementara hujan sudah mulai mereda, ia pikir air bah tak lama lagi pasti juga akan menyurut, kalau datang lagi besok belum tentu tenaga air akan sekuat ini, mumpung sekarang tidak terasa telah, ada baiknya kulatih lebih lama lagi Karena pikiran ini, segera ia melompat pula ke dalam sungai untuk berlatih Iagi.

Waktu untuk keempat kalinya dia melompat kembali ke tepi sungai, dilihatnya di situ tertaruh beberapa buah merah, sungguh ia sangat berterima kasih atas kebaikan rajawali itu. sekaligus ia lantas habiskan buah2 itu, lalu berlatih pedang pula ke tengah sungai.



Ia terus berlatih hingga jauh malam, aneh juga bukannya tambah capek, sebaliknya semakin bersemangat dan semakin kuat, namun air bah sudah mulai surut.

Semalaman ia tidak tidur, ia terus merenungkan hasil latihannya di dalam sungai itu, sekarang baru di pahaminya betapa cara memainkan pedangnya dengan berbagai gaya dan gerakan di dalam air, dengan cara begini ia memainkan pedangnya maka benda apapun juga pasti akan dihancurkannya, dan jika sudah begitu, lalu apa gunanya pedang yang tajam.

BegituIah dari amukan air bah itu Nyo Ko telah berhasil menyelami teori ilmu pedangnya, ia tahu cara bagaimana memainkan pedang puntul yang berat itu kini sudah dikuasainya benar2 dan tidak perlu dilatih lagi, ia pikir biarpun Tokko Kiu-pay itu hidup kembali, yang dapat diajarkan padanya paling2 juga cuma begini saja.

Tiba2 terpikir olehnya apa gunanya dengan ilmu pedang yang telah dipahaminya kalau saja dia tetap tinggal di pegunungan sunyi ini? Kalau racun bunga cinta mendadak kumat dan membinasakannya, bukankah ilmu pedang maha sakti ini akan lenyap pula dari dunia ini? Teringat begini seketika terbangkit jiwa kesatriaannya.

"Tidak, aku harus juga meniru Tokko-locianpwe, harus kugunakan ilmu pedang ini untuk mengalahkan semua jago silat di dunia ini, dengan begitu barulah aku rela meninggalkan dunia fana ini," demikian ia menggumam sendiri.

Tanpa terasa ia meraba lengan kanan sendiri yang buntung itu. teringat dendamnya kepada Kwe Hu, tanpa terasa darahnya bergolak, pikirnya: "Budak ini mengira ayah-ibunya berpengaruh dan di segani, sejak dulu juga sudah memandang hina padaku, Waktu aku mondok di rumahnya dahulu sudah kenyang aku di hina dan dianiaya, Bahwa aku berdusta pada kedua saudara Bu sesungguhnya demi kebaikannya, kalau saja salah seorang kedua Bu itu mati karena memperebutkan dia, bukankah dia sendiri yang berdosa? Hm, dia mengutungi lenganku ini selagi aku sakit dan takbisa mengelakkannya, kalau tidak kubalas sakit hati ini aku bukan lagi laki2 sejati."

Selamanya Nyo Ko paling tegas membedakan budi dan sakit hati, waktu lengannya dibuntungi tempo hari dia terus sembunyi di lembah sunyi ini untuk merawat lukanya, hal ini karena terpaksa.

Sekarang luka lengan sudah sembuh, ilmu silatnya berbalik maju pesat, maka segenap pikirannya sekarang terpusat pada soal menuntut balas.

Begitulah setelah ambil keputusan, segera ia pulang ke gua itu dan mohon diri kepada si rajawali dan menyatakan terima kasihnya atas kebaikan burung itu, bila ada kesempatan ia menyatakan kelak akan datang lagi, mengenai pedang puntul yang berat milik Tokko Kiu-pay itu akan dipinjamnya untuk sementara.

Habis itu ia memberi hormat kepada rajawali itu serta menyembah di depan makam batu Tokko Kiu-pay, lalu melangkah pergi. Rajawali itu mengantarkan hingga mulut lembah barulah berpisah dengan perasaan berat.

Pedang puntul itu sangat berat, kalau digantungkan pada pinggang tentu tali pinggang akan putus seketika, Nyo Ko mencari tiga utas rotan tua dan dipuntir menjadi tali, ia ikat pedang itu dan digendongnya di punggung, lalu pergilah dia ke Siangyang dengan Ginkangnya yang tinggi.

Setiba di luar kota Siangyang, hari dekat magrib, karena semalaman tidak tidur, ia merasa perlu istirahat dulu untuk menghadapi pertempuran dahsyat nanti terutama kalau kepergok tokoh2 semacam Kwe Cing dan Ui Yong. Segera ia mencari suatu tempat sepi di tanah pekuburan, di semak2 rumput yang lebat ia merebahkan diri untuk tidur.

Waktu ia bangun, ia merasa tenaga cukup segar ia mencari pula buah2an pula sekedar isi perut, menjelang tengah malam barulah dia mendekati benteng kota.

Benteng kota Siangyang itu sangat megah dan tinggi, tempo hari waktu Kim-Iun Hoat-ong dan Li Bok-chiu melompat turun juga perlu menggunakan tubuh manusia sebagai batu loncatan, sekarang hendak memanjat ke atas dari luar benteng tentu juga perbuatan yang tidak mudah.

Waktu masih mengaso di tanah pekuburan tadi Nyo Ko sudah memikirkan cara melintasi benteng kota, ia pikir cara bagaimana Tokko-locianpwe memanjat dinding tebing, dengan cara itu pula aku akan memanjati benteng kota.

Begitulah ia coba mendekati bagian yang sunyi di samping pintu gerbang timur, dilihatnya perajurit penjaga sedang berjalan jauh ke sana, segera ia melompat ke atas, dengan pedang berat itu ia menusuk dinding benteng.

Meski ujung pedang itu puntul, tapi tusukannya sangat kuat, terdengailah suara "brak" yang keras, dinding benteng yang tersusun dari batu2 besar itu pecah seketika dan berlubang.

Nyo Ko tidak menduga tusukannya itu membawa tenaga sekuat itu, diam2 ia terkejut sendiri dan bergirang pula, Waktu ia melompat lagi,ke atas untuk kedua kalinya, sebelah kakinya lantas berpijak pada lubang dinding benteng itu lalu ia membuat lubang lagi di bagian atas, sekali ini dia menusuk dengan pelahan saja agar tidak mengeluarkan suara keras dan mengejutkan penjaga.

Dengan begitulah setindak demi setindak ia memanjat ke atas benteng, Kira2 beberapa meter terakhir, tanpa membuat lubang lagi ia terus merambat ke atas dengan "Pia-hou-yu-jiang-kang" atau ilmu cecak merayap dinding, maka dengan enteng saja ia sudah berada di atas benteng dan sembunyi di tempat yang gelap.

Di bagian dalam benteng itu ada undak2an batu, ia menunggu penjaga berjalan lagi ke sana, cepat ia menyelinap ke bawah dan berlari ke tempat tinggal Kwe Cing.

Sejak makan buah2an merah itu, tenaga dalam Nyo Ko telah banyak bertambah, sekaligus gerak-geriknya juga lebih lincah dan gesit, ginkangnya jauh lebih maju daripada dulu.

Tapi diapun tahu ilmu silat Kwe Cing bukan sembarangan melulu Hang-liong-sip-pat-ciang (pukulan sakti penakluk naga) saja mungkin tiada tandingannya di seluruh jagat, belum lagi ketambahan Pak-kau-pang-hoat Ui Yong yang hebat itu.

Sebab itulah dia tidak berani sembrono setiba di luar rumah kediaman keluarga Kwe, pelahan2 dan hati2 ia melintasi pagar tembok.

Dia cukup lama tinggal di situ, maka seluk-beluk rumah itu sangat apal baginya, begitu mengitari taman bunga, segera tertampaklah kamar yang pernah ditinggalinya tempo hari.

Sesudah dekat ia coba pasang kuping, terasa tiada seorangpun di dalam, pelahan ia menolak pintu dan segera terbuka, segera ia melangkah ke dalam kamar.

Dia dapat memandang di malam gelap seperti di siang hari, maka dilihatnya segala sesuatu di dalam kamar itu masih tetap seperti dulu tanpa perubahan, hanya selimut bantal di atas ranjang sudah di singkirkan ia duduk di tepi ranjang, teringat lengan sendiri yang baik2 itu justeru tertabas di tempat tidur itu, tanpa tertahan ia menjadi berduka dan gemas pula.

Nyo Ko dilahirkan dengan tampang cakap, wataknya juga rada dugal dan sok romantis, meski cintanya kepada Siao-liong-Ii sangat mendalam dan tak tergoyahkan, namun banyak perempuan cantik lain juga sama jatuh cinta padanya, seperti Thia Eng, Liok Bu-siang, Wanyen Peng, Kongsun Lik-oh dan lain2 semuanya kesemsem padanya baik secara samar2 maupun berterus terang, sekarang dia meraba tangan sendiri yang sudah buntung itu, ia pikir kalau ketemu lagi dengan gadis2 jelita itu, dalam pandangan mereka sekarang dirinya pasti akan berubah menjadi manusia yang harus dikasihani dan lucu, biarpun tinggi ilmu silatnya, paling2 juga cuma makhluk hidup yang aneh saja.



Begitulah dalam kegelapan ia duduk termenung pikirannya timbul tenggelam mengenangkan kejadian-kejadian di masa lampau.

Pada saat itulah tiba2 dari sebelah sana samar2 ada suara orang bertengkar jelas itulah suaranya Kwe Cing dan Ui Yong, Nyo Ko menjadi heran dan ingin tahu apa yang sedang diributkan suami isteri itu.

Dengan pelahan ia merunduk ke kamar Kwe Cing, dari luar jendela dapat didengarnya dengan jelas Ui Yong sedang berkata: "Sudah jelas mereka membawa anak Yang kita ke Coat-ceng-kok untuk menukar obat penawar racunnya, tapi kau masih terus bilang Nyo Ko itu adalah anak baik. Belum ada satu jam orok itu lahir lantas jatuh di tangan mereka, saat ini masakah jiwanya masih hidup?" Sampai disini, suaranya terdengar tersendat2 dan menangis.

"Ko-ji pasti bukan manusia begitu," terdengar Kwe Cing menjawab "Pula dia telah menyelamatkan kita beberapa kali, andaikan kita gunakan anak Yang untuk menukar jiwanya juga rela dan ikhlas bagiku."

"Kau rela, aku yang tidak rela " belum habis ucapan Ui Yong, tiba2 terdengar suara tangisan anak bayi, suaranya keras dan nyaring.

Nyo Ko menjadi heran apakah bayi perempuan itu telah direbutnya kembali dari tangan Li Bok-caju, tapi mengapa barusan Ui Yong menyangsikan jiwa bayi itu apakah masih hidup?

Ia coba mengintip ke dalam kamar melalui celah2 jendela, terlihat Ui Yong memondong seorang bayi, karena muka anak bayi itu menghadap jendela, maka Nyo Ko dapat melihat jelas bayi itu bermuka lebar dan bertelinga besar, kulit rada ke-hitam2an, jelas bukan bayi perempuan yang pernah digendongnya itu.

Dalam pada itu terdengar Ui Yong sedang menina bobokkan bayi itu, lalu berkata "Sepasang anak sebaik ini, sekarang cuma tinggal adiknya saja, hendaklah kau lekas berusaha menemukan kakaknya kembali."

Baru sekarang Nyo Ko menyadari duduknya perkara, kiranya Ui Yong melahirkan anak kembar, bayi yang lahir lebih dulu adalah perempuan yang sebelumnya sudah disediakan nama oleh Kwe Cing, yaitu Kwe Yang, kemudian menyusul lahir pula bayi lelaki yang diberi nama Kwe Be-loh. Ketika bayi lelaki ini lahir, sementara itu bayi perempuan sudah dibawa pergi oleh Siao-liong-ii.

Begitulah Kwe Cing sedang mondar mandir di dalam kamar dan berkata kepada sang isteri: "Yong-ji, biasanya kau sangat bijaksana mengapa sekarang kau menjadi berpikiran sesempit ini mengenai urusan kanak-2 suasana sekarang sangat genting, mana boleh kutinggalkan kota ini hanya karena seorang bayi?"

"Tapi kuhendak pergi mencari sendiri, kaupun tidak mengidzinkan!" ujar Ui Yong, "Apakah kita harus membiarkan jiwa anak kita itu melayang begitu saja?"

"Kesehatanmu belum pulih, mana boleh pergi?" kata Kwe Cing.

"Habis bagaimana? Sang ayah tidak pedulikan anaknya, ibunya yang harus menderita, apa boleh buat?" seru Ui Yong dengan gusar.

Biasanya Nyo Ko melihat suami-isteri itu hidup rukun dan saling mencintai, sekarang keduanya bertengkar dan tidak mau saling mengalah, jelas keduanya sudah bertengkar beberapa kali mengenai urusan ini. Kalau Ui Yong bicara sambil menangis, maka Kwe Cing terus mondar mandir di dalam kamar dengan muka bersungut.

Selang tak lama Kwe Cing membuka suara pula: "sekalipun anak itu dapat ditemukan kembali, kalau kau tetap memanjakan dia seperti anak Hu sehingga bertingkah semaunya, anak perempuan begitu lebih baik tidak ada."

"Memangnya anak Hu kurang baik apa?" seru Ui Yong. "Dia sayang pada adiknya sehingga wajar kalau dia menyerang secara gemas, jika aku, mungkin lengan kiri Nyo Ko juga sudah kutabas bila dia tidak mengembalikan anakku."

"Kau bilang apa Yong-ji?" bentak Kwe Cing dengan gusar sambil menggebrak meja, seketika ujung meja sempal sebagian, Bayi yang tadinya sedang menangis itu lantas berhenti oleh karena bentakan dan suara gebrakan itu.

Saat itu juga Nyo Ko melihat di jendela sebelah sana ada berkelebatnya bayangan orang, sambil munduk2 orang itu terus menyingkir pergi.

Nyo Ko menjadi ingin tahu siapakah orang Kwe Hu.

Dengan Ginkangnya yang tinggi ia coha menguntit dilihatnya perawakan orang itu tinggi ramping, jelas Kwe Hu adanya, seketika hati Nyo Ko terbakar, ia pikir kebetulan sekali, memang kau yang ingin kucari.

Tapi pada saat itu juga cahaya lampu di kamar Ui Yong telah dipadamkan dan terdengar suaranya: "Kau keluar saja, membikin kaget anak ini saja."

Nyo Ko tahu Kwe Cing akan segera keluar dan sukar mengelabuhi mata sang paman, maka cepat ia melompat ke sana dan sembunyi di balik gunung2an, lalu berputar menuju ke luar kamar Kwe Hu. ia melompat ke atas pohon besar yang terletak di luar kamar dan sembunyi di balik daun pohon yang lebat.

Sejenak kemudian terlihat Kwe Hu kembali di kamarnya pelayan pribadinya telah membenahi bantal dan selimutnya, tapi tak berani banyak bicara melihat si nona cemberut saja, ia hanya menyilakan si nona tidur, lalu keluar kamar sambil merapatkan pintu.

Dari atas pohon Nyo Ko dapat melihat keadaan kamar dengan jelas melalui jendela yang masih terbuka itu. Dilihatnya Kwe Hu sedang menghela napas panjang dan berduduk dengan bertopang dagu.

Nyo Ko pikir "Apa yang kau sedihkan? Kau membikin buntung lenganku, akupun balas membuntungi sebelah lenganmu. Cuma seorang lelaki tidak pantas berkelahi dengan seorang perempuan, kalau sekarang kuhendak membereskan kau adalah terlalu mudah bagiku, namun cara ini bukanlah perbuatan seorang jantan sejati. Rasanya aku harus ber teriak2 lebih dulu agar paman Kwe memburu ke sini, dia adalah tokoh silat pujaan masa kini, biar kukalahkan dia dahulu baru nanti kubereskan anak perempuannya, dengan perbuatanku yang terangan ini tentu takkan ditertawakan orang.

Akan tetapi ilmu silat paman Kwe teramat tinggi, apakah aku dapat mengalahkan dia? Ah, mungkin tidak dapat. Lalu bagaimana, aku harus menuntut balas atau tidak?"

BegituIah ia menjadi ragu2, tapi demi teringat pada lengannya yang sudah buntung itu, seketika darahnya bergolak lagi dan segera ia nekat hendak melompat ke dalam kamar Kwe Hu. Pada saat itulah tiba2 terdengar suara tindakan orang sedang mendatang, ternyata bukan lain daripada Kwe Cing.

Setiba di luar kamar anak perempuannya, Kwe Cing mengetok pelahan pintu kamar dan me-manggih "Anak Hu, apa kau sudah tidur?"

Kwe Hu berbangkit dan menjawab: "Kau kah, ayah?" suaranya terdengar rada gemetar.



Nyo Ko terkesiap juga, ia pikir jangan2 paman Kwe sengaja datang ke kamar si nona untuk melindunginya karena mengetahui kedatanganku ini? Baik, biar kulabrak kau lebih duIu! Demikian tekad anak muda itu.

Daiam pada itu Kwe Hu telah membuka pintu kamarnya, ia memandang sekejap pada sang ayah, lalu menunduk. Kwe Cing melangkah ke dalam kamar dan menutup pintu, lalu duduk di kursi di depan tempat tidur dan terdiam untuk sekian lamanya.

Setelah ayah-anak itu sama2 bungkam agak lama, akhirnya Kwe Cing membuka suara: "Selama beberapa hari ini kemana saja kau?"

Kwe Hu melirik sang ayah sekejap, lalu menjawab dengan tergagap: "Setelah ..... setelah melukai Nyo-toako, anak takut... takut didamprat ayah, maka... maka..."

"Maka kau bersembunyi begitu?" sambung Kwe Cing, Sambil menggigit bibirnya, terpaksa Kwe-Hu mengangguk

"Jadi maksudmu menunggu setelah kegusaranku mereda barulah kau pulang?"

Kembali Kwe Hu manggut2, mendadak ia menubruk ke pangkuan sang ayah dan berseru dengan ter-guguk: "Apakah engkau masih marah pada anak, ayah?"

Dengan penuh rasa kasih sayang Kwe Cing membelai rambut anak gadisnya, katanya dengan pelahan: "Tidak, aku tidak marah, selamanya aku tak pernah marah, aku cuma sedih bagimu."

"O, ayah!" teriak Kwe Hu sambil mendekap sang ayah dan menangis tersendat sendat.

Kwe Cing menengadah memandangi langit2 kamar tanpa bicara lagi. Agak lama setelah tangis Kwe Hu mereda barulah dia berkata pula: "Kakek Nyo Ko, namanya Nyo Thi-sim, dengan kakekmu Kwe Siau-thian, keduanya adalah saudara angkat. Ayahnya dan ayahmu ini juga mengikat sebagai saudara, semuanya ini kan sudah kau ketahui."

Kwe Hu mengiakan. Maka Kwe Cing lantas melanjutkan: "Meski tingkah laku Nyo Ko itu ter-kadang suka dugal tapi pembawaannya berbudi luhur, beberapa kali dia pernah menyelamatkan jiwa ayah-bundamu, usianya masih muda, tapi jasanya cukup besar bagi negara dan bangsa, hal inipun kau mengetahui,"

Karena nada ucapan sang ayah semakin bengis Kwe Hu tidak berani menanggapi.

Tiba2 Kwe Cing berbangkit dan berkata pula:

"Selain itu ada lagi suatu hal yang tidak diketahui olehmu, biarlah sekarang kuceritakan padamu. Bahwa ayah Ko-ji, yaitu Nyo Khong, dahulu perbuatannya memang sangat tercela, sebagai kakak angkatnya aku tak dapat menasehati dia dan menuntunnya ke jalan yang benar, akhirnya dia tewas secara mengerikan di biara Thi-jio-bio di kota Kahin, Walaupun kematian paman Nyo itu bukan dilakukan oleh ibumu, tapi matinya disebabkan oleh ibumu, jadi sebenarnya keluarga Kwe kita utang cukup banyak kepada keluarga Nyo."

Untuk pertama kalinya sekarang Kyo Ko mendengar tentang sebab musabab serta tempat kematian ayahnya itu, seketika dendam kesumat yang terpendam dalam lubuk hatinya itu berkobar kembali.

Dalam pada itu terdengar Kwe Cing sedang berkata: "Sebenarnya ada maksudku hendak menjodohkan kau pada Ko-ji sekadar mengurangi penyesalanku dalam hidupku ini, siapa tahu... siapa tahu... Ai!"

Mendadak Kwe Hu mendongak dan berkata: "Ayah, dia telah menggondol lari adik dan telah banyak mengucapkan kata2 kotor yang merendahkan anakmu ini, Coba ayah, biarpun keluarga Nyo mereka mempunyai hubungan erat dengan keluarga Kwe kita, apakah anak boleh dihina dan dicerca begitu saja olehnya dan tidak boleh membantah dan melawannya?"

Se-konyong2 Kwe Cing membentak: "Sudah jelas kau telah mengutungi lengannya, cara bagaimana dia dapat menghina dan mencerca kau? Dan di mana pedang itu?"

Kwe Hu tidak berani berbantah lagi, ia mengeluarkan Ci-wi-kiam itu dari bawah kasur. Setelah memegang pedang itu, Kwe Cing menggetarnya pe-lahan, seketika terdengar suara mendengung Lalu katanya dengan pedih:

"Anak Hu, manusia hidup harus bisa mawas diri, setiap tindak-tandak harus dilakukan dengan jujur tanpa merugikan siapapun juga. Biasanya meski ayah sangat bengis padamu, tapi sayangku padamu tidak kurang daripada ibumu."

Sampai dengan kalimat2 terakhir ini suaranya berubah menjadi halus dan lunak.

Maka dengan suara pelahan Kwe Hu menanggapi "Ya, anak juga tahu."

"Baiklah, sekarang ulurkan lengan kananmu," kata Kwe Cing tiba2. "Kau telah memotong sebelah lengan orang, akupun memotong sebelah lenganmu. Selama hidup ayahmu jujur dan adil, biarpun puteriku sendiri kalau berbuat salah juga takkan kubela."

Sebelumnya Kwe Hu juga menyadari dirinya pasti akan dihukum oleh sang ayah, tapi sama sekali tak menduga bahwa ayahnya tega menabas lengan-nya. Keruan ia ketakutan hingga muka pucat seperti mayat dan berteriak: "Ayah!"

Nyo Ko juga tidak menduga bahwa Kwe Cing sedemikian tinggi luhur budinya, iapun berdebar menyaksikan adegan luar biasa itu, Terlihat wajah Kwe Cing yang kereng itu menatap puterinya dengan tajam, mendadak pedangnya bergerak terus menabas.

Akan tetapi dengan cepat luar biasa mendadak seorang melompat masuk kamar melalui jendela, belum tiba segera pentungnya menangkis pedang Kwe Cing, siapa lagi dia kalau bukan Ui Yong.

Tanpa bicara Ui Yong menyerang tiga kali, semuanya tipu serangan lihay dari Pak-kau-pang-hoat, karena ilmu permainan pentung itu memang sangat hebat, pula Kwe Cing tidak ber-jaga2, mau-tak-mau ia terdesak mundur dua-tiga tindak oleh sang isteri.

"Lekas lari, anak Hu!" satu Ui Yong.

Namun Kwe Hu tidak secerdik sang ibu, menghadapi peristiwa luar biasa ini, ia menjadi melenggong dan berdiri mematung.

Dengan tangan kiri membopong bayi dan tangan kanan memutar pentungnya, segera Ui Yong gunakan pentungnya untuk menolak tubuh Kwe Hu sehingga terjungkal keluar jendela, "Lekas kembali ke Tho-hoa-to dan mohon Kwa~kongkong (maksudnya Kwa Tin-ok) ke sini untuk mintakan ampun pada ayahmu!" seru Ui Yong sambil memutar kembali pentungnya untuk mengalangi Kwe Cing, lalu ia berseru pula: "Lekas pergi, kuda merah tertambat di depan!"

Rupanya Ui Yong cukup kenal watak sang suami yang polos dan jujur itu, bahkan terkadang juga kepala batu, tapi juga sangat mementingkan setia kawan dan menghormati orang tua.

Sekali ini anak perempuannya telah berbuat salah besar, tentu tak terhindar dari hukuman berat, maka sebelumnya ia telah suruh orang menyiapkan kuda merah itu di luar pintu lengkap dengan pelana terpasang serta perbekalan seperlunya, ia pikir kalau berhasil meredakan amarah suaminya, kalau perlu biar Kwe Hu diomeli dan dipukul sekadarnya dan bereskan persoalannya, kalau tidak terpaksa Kwe Hu disuruh lekas lari ke tempat yang jauh, kelak kalau amarah sang suami sudah mulai kendur barulah puterinya itu akan disuruh pulang.



Tadi sehabis ribut mulut di kamar dan Kwe Cing terus menuju kamar anak perempuannya, segera Ui Yong merasakan gelagat kurang enak, cepat ia menyusul ke sana dan dapatlah menyelamatkan lengan puterinya ttu. sebenarnya kepandaian Ui Yong sekali2 bukan tandingan Kwe Cing, tapi biasanya Kwe Cing rada segan pada isterinya, pula melihat Ui Yong memondong bayi, betapapun tidak tega menggunakan pukulan berat untuk menghalau sang isteri, karena sedikit ragu dan teralang itulah Kwe Hu sempat kabur keluar rumah.

Sudah tentu semua kejadian itu dapat disaksikan oleh Nyo Ko di tempat sernbunyinya, ketika Kwe Hu terlempar keluar jendela, kalau dia terus melompat turun dan menyerangnya, terang Kwe Hu sudah binasa sejak tadi. Tapi mengingat sekeluarga itu sedang kalang kabut dan pokok pangkalnya adalah disebabkan diriku, kalau kubinasakan dia selagi orang dalam kesusahan, betapapun rasanya tidak enak dan tidak tega.

Dalam pada itu Ui Yong masih terus memutar pentungnya dan mendesak mundur Kwe Cing pula, kini Kwe Cing sudah kepepet di tepi ranjang dan takdapat mundur lagu Mendadak Ui Yong berteriak "Terima ini!" Berbareng bayi dalam pondongannya terus dilemparkan kepada sang suami.

Dengan melengak Kwe Cing menangkap bayi itu, Ui Yong lantas mendekatinya dan membujuk dengan suara halus: "Kakak Cing, harap kau mengampuni anak Hu."

Namun Kwe Cing menggeleng, jawabnya: "Yong ji, masakah aku sendiri tidak sayang pada puterinya sendiri? Tapi dia telah berbuat kesalahan sebesar itu, kalau tidak diberi hukuman setimpal, betapapun hati kita takkan tenteram, pula cara bagaimana kita akan menghadapi Ko-ji? Ai, lengannya buntung sebelah, tiada orang yang merawatnya pula, entah bagaimana keadaannya sekarang?"

Mendengar ucapan yang penuh perasaan itu, Nyo Ko tahu sang paman senantiasa memikirkan dirinya, tanpa terasa ia menjadi terharu dan hampir meneteskan air mata.

"Sudah sekian hari kita mencarinya dan tak menemukan jejaknya, kalau terjadi sesuatu tentu kita sudah menemukan bekas2nya." kata Ui Yong.

"Apalagi kepandaian Ko-ji sudah tidak dibawah kita, meski terluka parah juga takkan beralangan."

"Baiklah, akan kupanggil kembali anak Hu." kata Kwe Cing.

"Saat ini dia sudan keluar kota dengan kuda merah, mana dapat menyusulnya lagi?" kata Ui Yong dengan tertawa.

"Saat ini baru lewat tengah malam, tanpa Lengpay (tanda perintah) dariku atau Lu-tayjin, tidak mungkin dia dapat keluar kota," kata Kwe Cing pula.

"Baiklah, terserah kau," jawab Ui Yong sambil menghela napas, lalu ia mendekati sang suami untuk menerima bayinya.

Tanpa sangsi Kwe Cing mengangsurkan bayi itu, di luar dugaannya, baru saja kedua tangan Ui Yong menyentuh gurita si bayi, se-konyong2 tangannya terus menyelonong ke iga Kwe Cing, dengan ilmu Tiam-hiat yang khas ajaran Ui Yok-su yang terkenal dengan nama "Lau-hoa-hut-hiat-jiu" mendadak ia tutuk kedua Hiat-to penting di bagian iga sang suami.

Dengan kepandaian Kwe Cing yang maha sakti sekarang ini, kalau Ui Yong tidak main licik, betapapun sukar hendak menutuk suaminya itu. Rupanya ketika dia melemparkan Kwe Bo~loh kepada suaminya memang sudah diatur rencananya ini, Menghadapi isterinya yang cerdik pandai ini Kwe Cing benar2 mati kutu, seketika dia kaku pegal dan menggeletak di atas ranjang tanpa bisa berkutik.

Sambil membopong bayinya Ui Yong terus membukakan sepatu dan baju luar sang suami dan dibaringkan di tempat tidur serta diberi bantal pula agar dapat tidur dengan baik, lalu dari baju Kwe Cing diambilnya Lengpay.

Sudah tentu Kwe Cing menyaksikan ini tapi tak berdaya,

Kemudian Ui Yong merebahkan bayinya pula di samping sang suami agar ayah dan anak itu tidur bersama, lalu mereka diselimuti pula dan berkata: "Kakak Cing, maaf, nanti kalau anak Hu sudah kuantar keluar kota, pulangnya akan kubuatkan beberapa macam daharan lezat untuk minta maaf padamu."

Kwe Cing hanya menyeringai saja tanpa bisa menjawab, isterinya yang sudah setengah umur ini ternyata masih nakal seperti dahulu. Terlihat Ui Yong melangkah pergi dengan tersenyum. Dalam keadaan tertutuk begitu, andaikan menggunakan tenaga dalam sendiri untuk membobol Hiat-to yang tertutuk itu paling cepat diperlukan satu jam baru jadi, jelas betapapun sukar lagi menyusul puterinya, persoalan ini benar2 membuatnya serba runyam.

Ui Yong sayang pada anak, ia kuatir Kwe Hu seorang diri pergi ke Tho-toa-to mungkin akan mengalami kesulitan di tengah jalan, maka cepat ia kembali ke kamarnya untuk mengambil kaos kutang pusaka yang biasa dipakainya segera ia memburu ke pintu gerbang selatan, setiba di sana, tertampak Kwe Hu sedang ribut dengan perwira penjaga yang tidak mau membukakan pintu.

Perwira itu bicara dengan hormat dan berusaha menjelaskan bahwa tanpa idzin khusus dari Lu-ciangkun dan Kwe-tayhiap, malam2 membuka pintu gerbang pasti akan dihukum penggal kepala, sebab itulah perwira itu menyatakan keberatan untuk mengeluarkan si nona.

Ui Yong kenal kecerobohan puterinya itu yang juga kurang pengalaman itu, menghadapi kesukaran bukannya mencari akal, tapi malahan mengumbar kemarahan dan berteriak2 yang tiada gunanya. Cepat ia mendekati mereka dan memperlihatkan Lengpay yang diambilnya dari baju sang suami tadi.

Melihat Lengpay itu memang aslinya, pula dibawa sendiri oleh Kwe-hujin, terpaksa perwira penjaga itu minta maaf dan membukakan pintu, bahkan ia meminjamkan kudanya kepada nyonya Kwe itu.

Ui Yong merasa kebetulan dengan kuda pinjaman itu, Kwe Hu juga sangat girang melihat kedatangan sang ibu, segera keduanya melarikan kuda mereka keluar kota.

Karena merasa berat untuk berpisah dengan puterinya, Ui Yong terus mengantar hingga cukup jauh dari kota, karena habis perang, beberapa ratus li di utara kota Siangyang boleh dikatakan tandas tanpa penduduk, sebaliknya di bagian selatan Siang-yang belum mengalami keganasan pasukan Mongol, walaupun suasana juga kurang aman, tapi penghidupan rakyat tetap berlangsung seperti biasa.

Kira2 sudah lebih 20 li, pagipun tiba, ibu dan anak itu sampai di suatu kota kecil, beberapa toko sudah membuka dasar menanti tamu, Ui Yong lantas mengajak puterinya masuk sebuah rumah makan untuk sarapan dan habis itupun mereka terus berpisah.

Dengan mengembeng air mata Kwe Hu menuruti ajakan sang ibu. Dalam hati ia sangat menyesalkan perbuatan sendiri yang telah mengutungi lengan Nyo Ko sehingga mengakibatkan kemarahan ayahnya dan terpaksa harus berpisah dengan ibunda pula kembali ke Tho-hoa-to, di sana hanya akan ditemani seorang kakek buta saja, yaitu Kwe kongkong, ia membayangkan dirinya pasti tidak betah hidup di pulau terpencil itu.

Begitulah kedua orang lantas pesan sarapan di rumah makan itu, Ui Yong lantas menyerahkan kaos pusaka yang kebal senjata itu kepada Kwe Hu dengan pesan supaya dipakai untuk menjaga segala kemungkinan, banyak pula dia memberi nasihat agar ini dan itu bila di tengah jalan mengalami kesulitan.



Kasih sayang seorang ibu sedemikian besarnya, ketika sekilas melihat tidak jauh dari rumah makan itu ada sebuah toko makanan dan menjual buah2an, timbul hasrat Ui Yong untuk memberi bekal beberapa buah apel pada puterinya untuk dimakan dalam perjalanan. Maka iapun berkata: "Anak Hu, hendak-lah kau makan sekenyangnya agar nanti tidak kelaparan, suasana kacau begini, bisa jadi di depan sukar ditemukan rumah makan lagi. Aku pergi sebentar ke sana untuk membeli sedikit buah." - Habis ini ia lantas menuju ke toko buah2an.

Sesudah memilih belasan buah apel yang merah besar, baru saja mau membayar, tiba2 di belakang ada suara seorang perempuan sedang berkata: "Berikan 20 kati beras, satu kati garam, masukkan pada karung ini."

Ui Yong merasa tertarik oleh suara yang nyaring itu, ia coba meliriknya, kiranya seorang To-koh berbaju kuning sedang membeli rangsum di toko beras sebelah, Pada tangan kiri To-koh itu memondong seorang bayi perempuan, tangan kanan sedang mengeluarkan uang. Popok yang dikenakan bayi itu terbuat dari sutera merah dan tersulam seekor kuda, jelas itulah buah tangan Ui Yong sendiri.

Seketika hati Ui Yong tergetar hebat sehingga buah apel yang di pegangnya jatuh kembali ke keranjang penjualnya. Siapa lagi bayi itu kalau bukan Kwe Yang, puteri kandung yang baru beberapa hari dilahirkannya itu.

Dari samping dapat dilihatnya pula To-koh itu ternyata adalah Jik-lian-siancu Li Bok-chiu.

Ui Yong sendiri belum pernah bertemu dan bertempur dengan iblis perempuan ini, tapi melihat pinggangnya terselip sebuah kebut, matanya buta sebelah serta dandanannya, segera ia yakin pasti Li Bok-chiu adanya.

Sejak melahirkan Kwe Yang, dalam keadaan kacau dan gugup ia cuma pernah memandang beberapa kejap kepada bayi itu. sekarang ia coba mengamat-amati puterinya itu, ternyata mata alisnya sangat indah, dan mukanya molek, meski orok yang baru berumur beberapa hari, namun jelas adalah calon perempuan cantik kelak.

Dilihatnya pula air muka bayi itu ke-merah2an dan tampaknya sangat sehat, padahal adiknya, si Kwe Bo-loh, yang disusuinya sendiri juga tidak sesehat dan semontok ini.

Begitulah karena kejut dan girangnya, hampir saja Ui Yong meneteskan air mata, Si penjual buah sampai melongo heran melihat Ui Yong berdiri kesima dan tidak jadi membawa apel yang dibelinya itu.

Sementara itu Li Bok-chiu sudah selesai membayar dan mengangkat karungnya terus bertindak pergi, Tanpa pikir Ui Yong lantas menguntit ke sana. Karena keadaan, sudah mendesak, ia tidak sempat kembali ke rumah makan untuk memberitahukan Kwe Hu, Yang dia kuatirkan hanya Kwe Yang saja, ia pikir orok itu berada di tangan iblis keji itu, kalau merebutnya kembali dengan kekerasan, bisa jadi akan membikin celaka bayi itu.

Karena itu ia tidak segera bertindak melainkan terus mengintil di belakang Li Bok~chiu.

Rada cemas juga Ui Yong melihat Li Bok-chiu terus keluar kota dan menuju ke arah barat, pikirnya: "lblis ini adalah Supek Nyo Ko, walaupun kabarnya mereka tidak akur satu sama lain, tapi anak Hu telah mengutungi lengan Nyo Ko, Ko~bong-pay mereka telah mengikat permusuhan dengan keluarga Kwe, jika Ko-ji dan nona Liong sedang menunggu iblis ini di depan sana, itu berarti aku harus melawan mereka bertiga dan rasanya sukar untuk mengalahkan mereka, jalan paling baik adalah selekasnya aku harus bertindak."

Dalam pada itu Li Bok-chiu telah membelok ke selatan dan masuk ke sebuah hutan, cepat Ui Yong mengeluarkan Ginkangnya dan secepat terbang mengitar ke samping hutan sana agar mendahului di depan Li Bok-chiu, di situ mendadak ia melompat keluar dan menghadangnya.

Ketika mendadak di depannya muncul seorang nyonya muda cantik, rada terkejut juga Li Bok chiu, akan tetapi segera ia dapat menenangkan diri.

"Aha, yang kuhadapi sekarang tentulah Jik~ lian-siancu Li-totiang, selamat bertemu!" sapa Ui Yong dengan tertawa.

Dari gaya lompatan Ui Yong tadi, Li Bok-chiu yakin orang pasti bukan tokoh sembarangan pula melihat orang bertangan kosong sebuah pentung bambu hijau terselip di tali pinggangnya, seketika tergerak-pikirannya, dengan tersenyum ia lantas menaruh karungnya dan memberi hormat sambil berkata. "Sudah lama siaumoay (adik) mengagumi nama kebesaran Kwe-hujin dan baru sekarang dapat berjumpa, sungguh beruntung dan menggembirakan."

Di dunia persilatan kini, tokoh wanita terkemuka hanya Ui Yong dan Li Bok-chiu berdua saja yang paling termashur. Meski ilmu silat Siao-liong-li juga lihay, tapi usianya masih muda, namanya belum begitu terkenal, sedangkan Ui Yong adalah puteri kesayangan Tang-sia (si latah dari timur) Ui Yok-su serta isteri tercinta Kwe Cing, jabatannya juga tinggi, yaitu ketua Kay-pang, organisasi kaum jembel yang paling berpengaruh.

Sedangkan Li Bok-chiu terkenal dengan kebut mautnya, jarum berbisa serta pukulan "panca-bisa" yang tidak kenal ampun.

Kini keduanya kepergok bersama, hati kedua-nya sama-sama terkejut dan heran bahwa pihak lawan ternyata sedemikian cantik. Karena itu dalam hati masing-masing sama was-was dan tidak berani meremehkan pihak lawan.

Maka dengan tertawa Ui Yong lantas berkata pula: "Ah, Li-totiang terhitung kaum Cian-pwe, mengapa bicara secara begitu sungkan?"

"Kwe-hujin sendiri adalah ketua Kay-pang, tokoh dunia persilatan terkemuka, selama ini siaumoay sangat kagum dan hormat" jawab Li Bok chiu.

Begitulah setelah kedua orang sama-sama bicara dengan rendah hati, kemudian Ui Yong menuju sasarannya:."Wah, bayi dalam pondongan Li-totiang ini sungguh sangat menyenangkan. Putera siapakah ini?"

"Kalau kukatakan, sungguh sangat memalukan harap Kwe-hujin jangan mentertawakan diriku." kata Bok-chiu.

"Ah, mana kuberani," ujar Ui Yong, Diam2 ia bersiap kalau segera saling bergebrak, tapi sebelum menggunakan kekerasan iapun berusaha mencari akal untuk bisa merebut kembali puterinya itu.

Dalam pada itu terdengar Li Bok - chiu telah menjawabnya: "Sungguh malang juga perguruan Ko-bong-pay kami dan mungkin juga aku memang tidak becus mengajar Sumoayku, anak ini adalah puteri liong-sumoayku di luar nikah...."

Sudah tentu Ui Yong sangat heran mendengar keterangan ini, sudah jelas Siao-liong-li tidak pernah hamil, darimana bisa melahirkan di luar nikah? Padahal bayi ini jelas puteriku, apa maksud tujuannya.

Sebenarnya bukanlah Li Bok-chiu sengaja hendak membohongi Ui Yong, soalnya dia memang menyangka bayi itu adalah anak haram hasil hubungan Siao-liong li dengan Nyo Ko.

Dia dendam pada mendiang gurunya karena dianggap pilih kasih, pada sang Sumoay dan menurunkan pusaka Giok~li-sim-keng padanya. Sekarang kebetulan Ui Yong bertanya tentang bayi itu, maka dia sengaja hendak merusak nama baik Sumoaynya.

Begitulah Ui Yong lantas berkata pula: "Nona Liong tampaknya sopan dan suci, masakah berbuat sejauh itu, sungguh sukar dibayangkan Dan siapakah ayah anak ini?"

"Ayah anak ini?" Li Bok-cbiu mencgas. "Hah, kalau disebut akan lebih memalukan lagi, ialah murid Sumoayku, si Nyo Ko."

Meski Ui Yong pintar berlagak, tak urung mukanya menjadi merah juga dan merasa gusar, Maklumlah, kalau anaknya dianggap anak haram Siao-Iiong-Ii masih mendingan, tapi dikatakan ayah bayi itu ialah Nyo Ko, ini berarti menghinanya.

Namun rasa gusar itu hanya sekilas saja terlintas dimukanya, segera ia tenang kembali dan berkata.

"Anak ini sungguh sangat menyenangkan. Eh, Li-totiang, bolehkah kupondong sebentar." Segera ia mendekatinya sambil mulutnya ber~kecek2 untuk meminang anak bayi itu.

Sejak dapat merebut Kwe Yang, selama beberapa hari Li Bok-chiu tinggal di pegunungan yang sepi dan hidup gembira dengan momong bayi itu, setiap hari dia memeras susu macan tutul utk minuman si bayi.

Meski dia sudah banyak berbuat kejahatan tapi pembawaan setiap manusia pada umumnya tidaklah jahat, soalnya dia patah hati dalam cinta, dia menjadi benci kepada sesamanya dan sakit hati kepada kehidupan ini, wataknya berubah menjadi nyentrik, dari nyentrik berubah menjadi keji.

Tapi Kwe Yang itu memang bayi yang cantik menyenangkan sehingga mengetok hati keibuannya, terkadang kalau dia merenung di tengah malam sunyi, terpikir olehnya andaikan Siao-liong-li akan menukar bayi itu dengan Giok-li-sim-keng juga takkan diterimanya. sekarang Ui Yong dilihatnya hendak memondong si bayi, ia menjadi senang sebagaimana layaknya seorang ibu akan merasa gembira dan bangga kalau puteranya dipuji orang, maka tanpa pikir ia terus menyodorkan Kwe Yang.

Ketika tangan Ui Yong sudah menyentuh popok dari Kwe Yang, tanpa terasa air mukanya menampilkan rasa kasih sayang seorang ibu yang tiada taranya.

Sudah sekian lama siang dan malam ia memikirkan keselamatan anak perempuan ini, sekarang dia dapat menemukannya dan memondongnya, tentu saja girangnya tak terlukiskan.

Li Bok-chiu juga seorang yang maha pintar dan cerdik, melihat air muka Ui Yong luar biasa itu, seketika hatinya tergerak "Kalau dia cuma suka pada anak kecil dan ingin memondongnya, mengapa hatinya terguncang sedemikian rupa? Tentu dibalik hal ini ada sesuatu yang tidak beres. Karena itulah mendadak ia menarik kembali Kwe Yang yang sudah disodorkan itu, berbareng ia terus melompat mundur.

Baru saja kakinya menempel tanah dan hendak menegur apa kehendak Ui Yong sebenarnya, tiba2 Ui Yong sudah membayanginya melompat maju. Cepat Li Bok-chiu menyambutnya dengan karung yang dipanggulnya itu, seketika 20 kati beras dan satu kati garam berhamburan ke muka Ui Yong.

Sudah tentu sukar bagi Ui Yong untuk menghalau hujan beras dan garam itu, sebisanya dia meloncat ke atas sehingga beras-garam itu menyamber lewat di bawah kakinya. Pada kesempatan itu juga Li Bok -chiu lantas melompat mundur Iagi, kebutnya lantas disiapkan dan berkata dengan tertawa: "Kwe-hujin, apakah kau hendak merebut anak ini untuk Nyo Ko?"

Pikiran Ui Yong dapat bekerja dengan cepat, sekejap itu dia sudah mengambil keputusan apa yang harus dilakukannya selanjutnya, kalau lawan sudah curiga, terpaksa harus memakai kekerasan untuk merebut kembali si Kwe Yang cilik itu.

Maka dengan tertawa ia menjawab: "Ah, aku cuma tertarik pada anak yang montok ini dan ingin memondong-nya, tapi kau ternyata tidak sudi dan terlalu merendahkan diriku."

"Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin termashur di seluruh jagat, selamanya siaumoay sangat kagum, kini dapat menyaksikan sedikit gerak tubuhmu dan ternyata memang tidak bernama kosong." kata Li Bok-chiu, "Tapi siaumoay masih ada urusan lain, biarlah kumohon diri saja." - Rupanya dia kuatir kalau Kwe Cing juga berada di sekitar situ, maka dia menjadi jeri, setelah bicara begitu segera ia hendak melangkah pergi.

Ui Yong lantas meloncat maju, selagi tubuhnya masih mengapung di udara, lebih dulu pentung bambu penggebuk anjing sudah dilolosnya dan begitu kaki menyentuh tanah, segera ia menutulkan pentungnya ke punggung Li Bok-chiu.

Diam2 Li Bok-chiu mendongkol padahal bicaranya cukup ramah dan sungkan, kalau orang sudah mulai menyerangnya, terpaksa ia harus melayaninya. Cepat kebutnya menyabet ke belakang untuk menangkis pentung lawan, menyusul iapun balas menyerang satu kali,

Pak-kau-pang-hoat memang sangat hebat dan cepat luar biasa, setelah beberapa jurus saja Li Bok-chiu sudah merasa kewalahan. Dasar ilmu silatnya memang lebih rendah sedikit daripada Ui Yong, apalagi sekarang dia memondong bayi, tentu saja gerak-geriknya lebih2 tidak leluasa.

Dalam pada itu Ui Yong terus bergerak mengitarnya, pentungnya menyerang dengan lebih kencang hanya sekejap saja Li Bok-chiu sudah terdesak hingga kelabakan.

Namun Li Bok-chiu juga cerdik, melihat serangan pentung Ui Yong itu selalu menjauhi si bayi, maka tahulah dia akan kelemahan lawan, seperti juga waktu menempur Nyo Ko, bayi ini malah menjadi perisai yang baik baginya. Dengan tertawa ia lantas berkata: "Kwe-hujin, jika engkau ingin menjajal kepandaianku kukira masih banyak kesempatan di lain waktu saja, kenapa mesti kau paksakan sekarang ini? Kalau sampai salah seorang antara kita salah tangan, bukankah anak yang menyenangkan ini akan menjadi korban?"



Melihat Li Bok-chiu mulai menggunakan anak itu sebagai tameng, Ui Yong menjadi ragu apakah orang memang benar2 tidak tahu bayi itu adalah anakku atau cuma pura2 saja? Karena pikiran ini segera ia sengaja memancingnya dengan berkata.

"Demi keselamatan anak ini, sudah belasan jurus kuberi kelonggaran padamu, kalau tidak lekas kau taruh anak itu, terpaksa aku tidak pedulikan mati-hidupnya lagi." Sembari berkata pentungnya terus menutuk kaki kiri lawan.

Ketika Li Bok-chiu hendak menangkis dengan kebutnya, namun pentung Ui Yong lantas memutar ke atas untuk menjojoh dada orang. Tikaman ini cukup cepat lagi jitu, yang diarah justeru adalah tubuh si Kwe Yang kecil yang berada dalam pondongan Li Bok-chiu.

Kalau saja serangan ini mengenai sasarannya, sekalipun Li Bok chiu sendiri juga akan ikut terluka parah, apalagi Kwe Yang kecil itu, pasti jiwanya akan melayang seketika.

Namun Ui Yong benar2 sudah menguasai pentungnya dengan sesuka hati, meski tampaknya ujung pentung sudah menempel popok bayi, tapi sedikitpun bayi itu tak terluka kalau pentung itu tidak disodorkan lebih maju lagi.

Tentu saja Li Bok-chiu tidak tahu, ia kuatirkan keselamatan si bayi, maka cepat ia melompat ke samping dan karena itu juga ia sendiripun tak terjaga, tahu2 kaki kirinya keserempet pentung dan hampir terjungkal setelah sempoyongan dan dapat berdiri tegak, lalu ia berpaling dan berkata:

"Kwe-hujin, percuma saja kau terkenal sebagai pendekar berbudi, mengapa kau tega melukai seorang bayi, apa kau tidak malu?"

Melihat sikap orang tidaklah pura2, diam2 Ui Yong bergirang karena orang terjebak oleh akalnya, dengan tertawa iapun menjawab: "Anak ini toh bukan bibit yang baik, buat apa dibiarkan hidup di dunia ini?"

Habis berkata ia terus menyerang pula dan sengaja mengincar Kwe Yang saja.

Dibawa lompat kian kemari oleh Li Bok-chiu, agaknya Kwe Yang kecil itu merasa tidak enak, mendadak ia menangis keras2.

Diam2 Ui Yong merasa kasihan, tapi serangannya justeru bertambah kencang, kalau saja Li Bo-k-chiu tidak berusaha bertahan sekuatnya, tampaknya setiap jurus serangan Ui Yong bisa menewaskan bayi itu.

Li Bok-chiu menjadi serba susah, mendadak ia menangkis dengan kebutnya. lalu berseru: "Kwe-hujin, sebenarnya apa kehendakmu?"

Dengan tertawa Ui Yong menjawab: "Li-lotiang, kata orang, di dunia Kangouw saat ini hanya Li-totiang dan diriku saja tergolong tokoh wanita terkemuka, kebetulan kita bertemu di sini, bagaimana kalau kita coba2 menentukan siapa yang lebih unggul."

Diam2 Li Bok-chiu mendongkol dengusnya: "Hm, kalau Kwe-hujin sudi memberi pengajaran, sungguh kebetulan bagiku."

"Tapi kau membawa anak kecil itu, kalau ku-menang juga kurang berharga," ujar Ui Yong "Sebaiknya kau taruh dulu bayi itu, lalu kita bertanding dengan segenap kemahiran masing2."

Li Bok-chiu pikir ucapan Ui Yong itu ada benarnya juga, apalagi melihat cara menyerang Ui Yong tadi, tampaknya tidak kenal ampun sedikitpun terhadap anak sekecil itu. ia coba memandang sekelilingnya, terlihat di sebelah kanan sana di tengah2 beberapapohon besar ada tanah rumput yang tumbuh lebat - tanah rumput itu cocok sekali sebagai kasuran, segera ia membawa Kwe Yang ke sana dan ditaruh di atas rumput, lalu memutar balik dan berkata: "Baiklah, mari kita mulai!"

Setelah saling gebrak belasan jurus tadi: Ui Yong tahu kepandaian Li Bok-chiu seimbang dengan dirinya, kalau sekarang puterinya direbut kembali, untuk kabur juga sukar jika Li Bok chiu balas menyerang seperti perbuatan dirinya tadi, malahan kalau lengah sedikit saja mungkin Kwe Yang kecil itu bisa celaka, jalan paling baik hanya kalau mengalahkan Li Bok-chiu, membinasakan dia atau melukainya dengan parah, habis itu barulah puterinya itu dapat di rebut kembali dengan selamat.

Apalagi iblis ini sudah banyak berbuat kejahatan, kalau kubinasakan dia juga setimpal dengan perbuatannya, Berpikir begini, seketika timbui hasratnya membunuh Li Bok-chiu.

Sudah biasa Li Bok-chiu menjalankan keganasannya, segala cara keji juga tak segan digunakannya, dalam hal ini ia suka ukur orang lain dengan dirinya sendiri. Ketika dia melihat Ui Yong selalu melirik ke arah si bayi, timbul sangkaannya kalau Ui Yong sukar mengalahkan dia, bisa jadi memulai menyerang bayi itu untuk memencarkan perhatiannya. Sehab itulah ia terus mengadang di depan Ui Yong sehingga sukar juga bagi Ui Yong untuk merebut kembali puterinya itu.

Dalam sekejap itu Ui Yong juga sudah memikirkan beberapa macam akal, ia yakin setiap akalnya dapat membinasakan Li Bok-chiu, tapi betapapun juga akan membahayakan si Kwe Yang kecil, karena itulah ia menjadi ragu2. Pikirnya: "Melihat sikap iblis ini, tampaknya dia sangat sayang pada anak Yang, andaikan sementara ini Yang- ji tak dapat kurebut kembali, tapi keselamatannya juga tidak perlu dikuatirkan maka sebaiknya aku jangan sembarangan bertindak agar tidak keliru mencelakai Yang-ji."

Setelah berpikir lagi, Ui Yong lantas berkata. "Li-totiang, kepandaian kita berselisih tidak jauh dan sukar untuk menentukan kalah menang dalam waktu singkat. Dalam pertempuran kita nanti kalau mendadak ada binatang buas dan hendak makan anak itu, bukankah kita juga akan ikut terganggu. Kukira bayi kita bereskan saja dulu dan kitapun dapat bertempur se-puas2nya," - Habis berkata ia memungut sepotong batu kecil terus diselentikkan kearah Kwe Yang dengan mengeluarkan suara mendesing.

Itulah ilmu silat tenaga jari sakti Tho-hoa-to yang terkenal, Li Bok-chiu sendiri pernah melihat Ui Yok-su memainkan ilmu ini, ia tahu tenaga selentikan ini luar biasa hebatnya. Maka cepat ia gunakan kebutnya untuk menyampuk sambil membentak "Apa alangannya bayi itu bagimu? Mengapa berulang kali kau ingin mencelakai dia?"

Diam2 Ui Yong merasa geli, padahal cara menyelentik batu itu tampaknya lihay, tapi sebenarnya dia menggunakan gerakan memelintir, seumpama Li Bok~chiu tidak menyampuknya juga batu itu akan mencelat ke samping bila menyentuh tubuh Kwe Yang takkan melukainya.

Tapi supaya Li Bok-chiu tidak curiga, Ui Yong sengaja meng-olok2 malah: "Hah, sedemikian sayang Li-totiang terhadap bocah ini, orang yang tidak tahu boleh jadi akan... akan mengira kau... haha..."

"Mengira aku apa, memangnya mengira dia anakku?" damperat Li Bok-chiu dengan gusar, mukanya menjadi merah jengah pula.

"Kau adalah To-koh (pendeta agama To/Tao, lelaki disebut Tosu dan wanita disebut Tokoh) dengan sendirinya tidak mungkin melahirkan anak, orang lain tentu mengira bocah ini adalah anak...anak adik perempuanmu," ujar Ui Yong dengan tertawa, ia cukup licin, dalam adu mulut iapun tidak mau rugi, bahwasanya Kwe Yang dikatakan sebagai anak adik perempuan Li Bok-chiu, hal ini sama halnya dengan mengatakan Li Bok-chiu adalah anak Ui Yong dan Kwe Cing, dia sengaja mengucap begini untuk membalas perkataan Li Bok-chiu tadi yang mengatakan bahwa Nyo Ko adalah ayah Kwe Yang.



Sudah tentu Li Bok-chiu tidak tahu maksud Ui Yong, iapun tidak menaruh perhatian melainkan cuma mendengus saja, lalu berkata: "Baiklah, silakan Kwe-hujin mulai maju saja!"

"Kutahu kau selalu menguatirkan keselamatan bocah itu, di waktu bertempur tentu juga perhatianmu akan terpencar sekalipun kukalahkan kau juga kurang berharga," kata Ui Yong. "Begini saja, akan kucari beberapa tali rotan untuk mengelilingi anak itu agar binatang buas tidak dapat mendekatinya, habis itu kita boleh bertempur sepuasnya."

Habis berkata ia lantas mengeluarkan sebuah

pisau kecil berangkai emas, ia memotong rotan2 yang banyak tumbuh di sekitar situ. Semula Li Bok-chiu merasa sangsi dan berjaga dengan rapat agar Ui Yong tidak menyerobot bayi itu, tapi kemudian dilihatnya orang melingkari rotan itu pada beberapa pohon di sekelilingnya Kwe Yang cilik, jaraknya cukup jauh, dengan demikian binatang buas memang teralang untuk mendekati bocah nu. Diam2 ia mengakui akal Ui Yong yang baik itu.

Dilihatnya Ui Yong terus melingkari pohon2 itu dengan rotan sebaris demi, sebaris selapis demi selapis pula, makin lama makin banyak, tertampak pula wajah Ui Yong tersenyum aneh seperti orang bermaksud buruk, mau-tak-mau Li Bok-chiu menjadi kuatir, cepat ia berseru: "Sudahlah, cukup!"

"Baiklah jika kau bilang cukup," kata Ui Yong dengan tertawa, "Nah, Li-totiang, kau pernah bertemu dengan ayahku, bukan?"

"Benar," jawab Li Bok-chiu.

"Kudengar dari Nyo Ko, katanya kau pernah menulis empat kalimat olok2 terhadap ayahku beserta anak muridnya, apakah betul?" tanya Ui Yong.

Li Bok-chtu terkesiap, ia pikir kiranya untuk urusan inilah Ui Yong sengaja merecokinya sekarang, Dengan nada dingin iapun menjawab: "Ketika itu mereka berlima mengerubuti aku seorang, ini juga fakta."

"Hm sekarang kita boleh satu lawan satu dan lihat saja nanti siapakah yang akan ditertawakan orang Kangouw?" jengek Ui Yong.

Dengan gusar Li Bok-chiu lantas membentak; "janganlah kau temberang, ilmu silat Tho-hoa-to sudah banyak kulihat, paling2 juga begitu2 saja dan tiada sesuatu yang istimewa."

"Huh, jangankan ilmu silat Tho-hoa-to, sekalipun bukan ilmu silatnya juga belum tentu kau mampu melayaninya," jengek Ui Yong pula, "Lihatlah, kalau kau mampu, coba saja keluarkan orok itu.

Diam2 Li Bok-chiu terkejut "Apakah dia telah mencelakai anak itu?" Segera ia melompat ke sana, setelah melintasi sebaris lingkaran rotan itu dan membelok kekiri, tiba2 terlihat pagar rotan mengalang di depan, yang terbuka adalah jalan yang membelok ke kanan, tanpa pikir ia terus menyusur ke sana, terdengar suara Kwe Yang cilik sedang menangis, hatinya rada lega, tapi setelah membelok dan memutar lagi beberapa kali, aneh, tahu2 dia berputar ke luar pagar rotan lagi. Keruan ia menjadi bingung, jelas dia terus memutar ke bagian dalam, mengapa sekarang berbalik berputar keluar?

Tanpa pikir lagi ia terus melompat pula ke bagian dalam pagar rotan itu, namun tali rotan berjari itu melingkar ke sana-sini secara serabutan, sedikit lena, "bret" ujung jubahnya terobek sebagian tercantol duri rotan itu, Maka ia tidak berani gegabah lagi, kini ia bertindak dengan lebih hati-2, baru saja ia mengamat-amati lingkaran2 rotan itu dengan lebih teliti, mendadak dilihatnya Ui Yong sudah berada di dalam pagar rotan dan sedang memondong si orok.

Kejadian ini sungguh membuatnya terkejut luar biasa, cepat ia berseru: "Hei, lepaskan anak itu!"

Segera ia menyusuri lingkaran pagar rotan itu dengan lebih cepat, lingkaran seluas beberapa meter persegi antara beberapa pohon itu ternyata sukar diterobosnya, dia ber-lari2 ke kanan dan ke kiri, setelah maju kemudian memutar mundur lagi, setelah mengitar beberapa kali, akhirnya dia berada lagi di luar pagar rotan itu.

Sudah banyak pengalaman Li Bok-chiu, tapi belum pernah menemukan kejadian seaneh ini, ia menjadi heran apakah di dunia ini benar2 ada "lingkaran setan"? Lalu cara bagaimana mengatasinya?

Selagi dia merasa bingung, dilihatnya Ui Yong telah menaruh kembali anak itu, lalu memutar ke sana dan membelok ke sini, dengan bebas dan seenaknya saja Ui Yong dapat keluar dari lingkaran pagar rotan itu.

Tiba2 Li Bok-chiu menyadari duduknya perkara, teringat olehnya kejadian malam itu ketika melawan Nyo Ko, Thia Eng dan Liok Bu siang, keliga muda-mudi itu telah memasang gundukan tanah di luar gubuk mereka dan dirinya ternyata tidak mampu menyerang dari depan. sekarang lingkaran rotan yang dibuat Ui Yong ini tentu juga berdasarkan ilmu hitung Kiu-kiong-pat-kwa khas Tho-hoa-to.

Setelah merenung sejenak, segera ia dapat mengambil keputusan harus menghalau musuh dulu, habis itu barulah menyingkirkan tali rotan itu satu persatu. Kalau sekarang, menerobos begitu saja dan musuh menyerang dari arah yang lebih menguntungkan tentu dirinya akan terjebak dan kalah.

Karena pikiran ini, segera ia melompat pergi beberapa meter jauhnya, ia malah sengaja menjauhi pagar rotan itu untuk mengawasi setiap gerik-gerik lawan, sementara ia tidak menghiraukan urusan Kwe Yang lagi.

Tadi Ui Yong sudah bergirang ketika melihat Li Bok-chiu tersesat di tengah lingkaran rotan, tapi mendadak terlihat iblis itu melompat pergi diam2 iapun merasa kagum akan keputusan lawan yang cepat dan tegas itu.

Oleh karena keselamatan Kwe Yang sekarang sudah terjamin, ia tidak perlu membagi pikiran lagi, segera pentung bambunya bergerak, dengan jurus "An-kau-keb-tau (tahan kepala anjing mengangguk ke bawah), segera ia menyabet leher Li Bok-chiu.

Akan tetapi kebut Li Bok-chiu lantas melingkar ke batang pentung, "sret", berbareng ujung kebut terus menyabet ke muka Ui Yong. BegituIah keduanya saling serang dengan cepat dan sama2 mengeluarkan segenap kemampuan masing2, hanya sekejap saja mereka sudah bergebrak sepuluh kali.

Usia Li Bok-chiu lebih tua daripada Ui Yong, dengan sendirinya iapun lebih ulet, namun gerak serangan Pak-kau-pang-hoat lawan sungguh hebat sekali, bahwa dia mampu bertahan berpuluh jurus serangan Ui Yong boleh dikatakan jarang terjadi di dunia persilatan ia menyadari kalau berlangsung lebih lama lagi, tidak lebih dari sepuluh gebrakan pula dirinya pasti akan kalah.

Pentung bambu Ui Yong itu bukan senjata tajam, tapi setiap Hiat-to di tubuhnya selalu menjadi incaran, kalau tertutuk mustahil jiwanya tidak melayang?

Setelah menangkis beberapa jurus lagi, dahi li Bok-chiu sudah mulai berkeringat, sebisanya ia menyabet dua-tiga kali dengan kebutnya, habis itu ia terus melompat mundur dan berseru: "Pang - hoat Kwe-hujm memang hebat, aku mengaku kalah. Hanya saja ada sesuatu yang kutidak paham dan perlu minta penjelasanmu"

"Ah, masakah pakai penjelasan segala?" ujar Ui Yong dengan tertawa.

"Semua orang tahu ilmu permainan pentungmu ini adalah kepandaian khas Kiu-ci-sin-kay (pengemis sakti berjari sembilan) Ang Cit-kong, kalau ilmu silat Tho-hoa-to juga hebat, mengapa Kwe-hujin tidak belajar ilmu silat dari ayah sendiri, tapi malah belajar kepandaian orang lain?"



Ui Yong tahu maksud Li Bok-chiu, karena tidak dapat menandingi permainan pentungnya, maka sengaja meng-olok2 agar dia menggunakan ilmu silat lain. Maka ia lantas menjawab dengan tertawa: "Kalau kau sudah tahu Pang-boat ini adalah ajaran khas Kiu-ci-sin-kay, tentunya kaupun kenal nama ilmu permainan pentung ini."

Li Bok-chiu hanya mendengus saja dengan muka cemberut tanpa menjawab..

Dengan tertawa Ui Yong lantas berkata pula: "permainan pentung ini disebut penggebuk anjing, maksudnya asal melihat anjing boleh gebuk saja, hanya inilah soalnya masakah perlu penjelasan pula?"

Melihat akalnya tidak berhasil menipu Ui Yong menggunakan ilmu silat lain, kalau adu mulut dirinya juga kalah, segera ia selipkan kebutnya pada tali pinggang, lalu menjengek: "Hm, di-mana2 pengemis memang pintar me-rengek2, nyatanya sang pangcu juga pintar main mulut, baru sekarang aku kenal!" Habis ini ia terus menuju ke sana dan duduk di bawah pohon.

Kalau Li Bok-chiu mau mengaku kalah dan terus pergi, tentu inilah yang diharapkan Ui Yong, Tapi ibu itu ternyata cuma duduk saja di sana, setelah berpikir segera Ui Yong tahu maksudnya. jelas iblis itu merasa berat meninggalkan anak Yang yang mungil itu, kalau sekarang dirinya mengambil bocah itu, pasti Li Bok-chiu yang bergantian mengganggu-nya, dalam keadaan begitu tentu dirinya akan serba susah pula.

Tampaknya kalau Li Bok-chiu tidak dibinasakan atau dilukai, sekalipun anak Yang dapat ditemukan juga sukar membawanya pulang dengan selamat.

Segera ia mendekati Li Bok-chiu dengan langkah yang memakai hitung Pat-kwa, tampaknya mengarah ke kanan dan membelok lagi ke kiri tanpa sesuatu yang aneh, tapi kalau mendadak Li Bok-chiu berusaha kabur, tak peduli melompat ke arah manapun pasti sukar terhindar dari cegatan Ui Yong. Begitulah pentung Ui Yong lantas menutul ke muka Li Bok chiu.

Li Bok-chiu menangkis dengan sebelah tangan sambil membentak: "Hah, sejak matinya Tan Hian-hong dan Bwe Ciau-hong, nyatanya Ui Yok-su memang benar tiada ahli waris lagi."

Ucapan ini meng-olok2 pula mendiang murid Ui Yok-su yang berkelakuan jahat itu dan sekaligus juga menyindir Ui Yong yang cuma mampu menggunakan Pak-kau -pang-hoat dari Kay-pang melulu.

Padahal Giok-siau-kiam-hoat, ilmu pedang seruling kemala, kepandaian khas Tho-hoa-to juga sudah dilatih Ui Yong dengan baik, soalnya dia tidak membawa pedang, kalau pentung digunakan sebagai pedang, senjata yang dipakai tidak cocok, boleh jadi sukar mengalahkan lawan tangguh seperti Li Bok-chiu ini.

Karena itu ia hanya menjawab dengan tertawa: "Ya, memang brengsek juga beberapa murid busuk ayahku itu, mereka mana dapat dibandingkan dengan Li-totiang dan nona liong yang sama2 suci bersih dari suatu perguruan."

Li Bok-cbiu menjadi murka, mukanya yang putih itu berubah merah padam, begitu lengan bajunya mengebas, dua jarum berbisa segera menyamber perut Ui Yong.

Perlu diketahui bahwa Li Bok-chiu meski jahat dan membunuh orang tak terhitung banyaknya, tapi dia tetap bertubuh perawan suci bersih, dia anggap Siao-liong-li berbuat tidak baik, maka ia menjadi gusar mendengar Ui Yong mempersamakan dia dengan sang Sumoay dan segera menyerang dengan jarum berbisa yang keji.

Berdirinya Ui Yong dengan Li Bok-chiu kini sangat dekat, untuk mengelak jelas tidak keburu lagi, terpaksa ia memutar pentung bambu sekencangnya untuk menyampuk jatuh jarum2 berbisa itu. Syukur permainan pentungnya sudah dikuasainya sedemikian sempurna sehingga jarum yang kecil itu dapat di-tangkisnya, walaupun begitu ketika jarum itu menyamber lewat di mukanya, terendus juga bau amis yang memuakkan.

Selagi Ui Yong terkesiap, dilihatnya dua buah jarum musuh menyamber tiba pula. Cepat ia melengos ke samping sehingga jarum2 itu menyamber lewat di tepi telinganya.

Diam2 ia menjadi kuatir kalau jarum2 yang beterbangan akan nyasar mengenai Kwe Yang, maka cepat ia berlari keluar hutan itu.

Segera Li Bok-chiu mengudaknya, ia sangka Ui Yong hanya mahir memainkan pentung bambu saja, ilmu silat jenis lain bukan tandingannya, maka begitu melompat keluar hutan ia lantas membentak: "Kalah menang belum jelas, mengapa kau hendak pergi begitu saja?"

Ui Yong memutar balik dan menghadapinya dengan tersenyum, Li Bok-chiu lantas meng-olok2 lagi: "Kwe-hujin, caramu menangkis jarumku tetap juga memakai pentungmu?" Berbareng ia terus menubruk maju lagi.

Ui Yong pikir kalau pentung bambu tidak disimpan kembali, kalahpun Li Bok-chiu tetap merasa penasaran. Maka ia lantas menyelipkan pentung bambu pada tali pinggang, lalu menjawab dengan tertawa: "Baiklah, sudah lama kudengar Ngo-tok-sin-ciang (pukulan sakti panca bisa) Li-totiang telah banyak membunuh orang, sekarang kucoba belajar kenal dengan ilmu pukulanmu itu."

Li Bok chiu menjadi melengak malah, ia heran kalau orang sudah tahu betapa lihay ilmu pukulannya yang berbisa itu malah menantang bertanding pukulan, bukan mustahil dibalik ini ada sesuatu yang tidak beres.

Tapi iapun tidak menjadi jeri, segera ia menjawab: "Baik, akupun ingin belajar Lok-eng-ciang-hoat dari Tho-hoa-to yang hebat."

Dilihatnya Ui Yong melancarkan pukulannya, segera ia memapaknya dengan telapak tangan kiri, menyusul tangan kanannya juga menghantam pundak lawan, Kedua pukulan sekaligus ini cukup keras dan lihay, tampaknya tidak mudah bagi Ui Yong untuk menangkis.

Tak terduga ketika menghantam dengan tangan kanan, bahkan Li Bok-chiu tambahi pula dengan menyambitkan dua buah jarum berbisa ke bagian perut Ui Yong.

Sungguh lihay luar biasa antara pukulan itu disertai dengan jarum berbisa, pada umumnya orang tentu hanya berjaga terhadap pukulannya yang berbisa itu, siapa tahu kalau dari jarak sedekat itu menggunakan senjata rahasia, Sebab itulah banyak tokoh2 terkenal kena dirobohkan olehnya.

Akan tetapi Ui Yong tidak menjadi gngup cepat ia tarik kembali pukulannya tadi untuk menangkis pukulan tangan kanan Li Bok-chiu, berbareng sebelah tangannya merogoh baju seperti hendak mengambil senjata rahasia buat balas menyerang.

Namun kelihatannya sudah terlambat, baru saja tangannya mau ditarik keluar dari bajunya, kedua jarum berbisa dari Li Bok-chiu sudah tinggal beberapa senti jauhnya di perutnya.

Dalam keadaan begitu, biarpun Ui Yong mempunyai kepandaian setinggi langit juga tidak sempat menghindar lagi, Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, dilihatnya dengan jelas jarum2 itu menembus baju dan menancap ke dalam tubuh Ui Yong.

"Aduuh!" Ui Yong menjerit sambil memegangi perutnya dan menungging, tapi mendadak tangan kirinya terus memukul juga ke dada Li Bok-chiu.

Pukulan Ui Yong sungguh sangat cepat dan di luar dugaan. "Bagus!" Li Bok-chiu berseru sambil mendoyongkan tubuhnya ke belakang, berbareng kedua tangannya juga lantas dipukulkan ke dada Ui Yong.



Ia yakin setelah Ui Yong terkena jarumnya, dengan cepat racun jarum itu pasti akan bekerja dan menjalar, maka pukulannya ini cuma berharap akan mendorong Ui Yong sejauhnya dan biarkan lawan mati keracunan.

Tak terduga, Ui Yong ternyata tidak berusaha menangkis kedua tangan Li Bok-chiu melainkan tubuh bagian atasnya tampak sedikit bergerak, Li Bok-chiu mengira mungkin badan Ui Yong mulai kaku setelah terkena jarumnya. Tapi ketika kedua tangannya menempel baju di dada lawan, mendadak kedua telapak tangannya terasa kesakitan seperti tercocok benda tajam sebangsa jarum.

Dalam kagetnya cepat Li Bok-chiu melompat mundur, waktu ia berikan kedua tangannya, terlihat di tengah kedua telapak tangan ada luka tusukan yang kecil, sekitar luka itu berwarna hitam, jelas itulah tanda terkena jarum berbisanya sendiri.

Keruan ia terkejut dan gusar pula, tapi juga bingung dan heran mengapa bisa terjadi begitu?

Segera dilihatnya Ui Yong telah mengeluarkan dua buah apel dari bajunya, pada kedua apel itu masing2 tertancap jarum perak, Baru sekarang Li Bok-chiu tahu duduknya perkara, Kiranya di dalam baju UiYong tersimpan dua buah apel, yaitu sebagian apel yang dibelinya dan sempat dibawanya tadi.

Ketika Li Bok-chui menyambitkan jarum, Ui Yong tidak mengelak, tapi tangannya dimasukkan ke baju untuk menggeser apel ke tempat yang tepat menjadi sasaran jarum musuh. Habis itu Li Bok-chiu dipancingnya pula untuk memukul pada jarum yang menancap di buah apel.

Sesungguhnya Li Bok-chiu juga cerdik pandai tapi sekarang ia benar-2 rnati kutu menghadapi lawan yang banyak tipu akalnya seperti Ui Yong ini mau-tak-mau ia harus mengaku kalah, ia merogoh saku dengan maksud mengambil obat penawari tapi segera didengarnya angin keras menyamber tiba, kedua tangan Ui Yong telah menghantam ke mukanya.

Cepat menangkis dengan tangan kiri, tiba2 dilihatnya kelima jari tangan Ui Yong terbuka dari mengebut ke bagian iganya, kelima jari terbuka dengan gaya yang indah seperti bunga anggrek.

Hati Li Bok-chiu tergerak, ia pikir mungkin inilah Lan-hoa-hut-hiat-jtu (mengebut Hiat to dengan gaya bunga anggrek) yang terkenal itu, Cepat ia menangkis dan urung mengambil obat, dengan kuku jari ia coba mencakar jari musuh.

Ui Yong lantas menarik kembali tangannya, menyusul tangan lain dengan jari terbuka mengebut pula ke Hiat to di pundaknya, Habis itu jari merapat menjadi telapak tangan, segera Ui Yong memukul lagi dengan tangan satunya dan begitu seterusnya secara bergantian.

Muka Li Bok-chiu menjadi pucat, baru sekarang ia mengetahui ilmu sakti Tho-hoa-to memang benar2 luar biasa jangankan dirinya sudah terkena racun, sekalipun dalam keadaan sehat juga bukan tandingan Ui Yong.

Begitulah ia ingin lekas2 meloloskan diri untuk mengambil obat penawar, tapi Ui Yong terus menyerangnya tanpa kendur sedikitpun Padahal racun jarumnya itu sangat lihay, sementara itu kadar racun sudah mulai menjalar dari lengannya ke atas, asalkan menjalar sampai ulu hati, maka binasalah dia tak tertolong Iagi.

Melihat wajah orang semakin pucat, gerakannya juga semakin lemah, Ui Yong tahu kalau menyerang lagi sebentar tentu lawan takkan tahan ia pikir kejahatan orang sudah lewat takaran, kalau sekarang mati oleh jarumnya sendiri juga pantas dan kebetulan dapat membalas sakit hati kematian ibu kedua Bu cilik.

Karena itulah ia menyerang lebih cepat tanpa kendur sedikitpun berbareng iapun jaga rapat agar tiada kesempatan bagi lawan untuk melancarkan serangan balasan.

Li Bok-chiu merasa lengannya mulai kaku pegal, sejenak kemudian rasa kaku itu sudah sampai ketiak, kini kedua tangannya sudah tidak mau menurut perintah lagi, Cepat ia berseru: "Berhenti dulu" Berbareng ia melompat ke samping, lalu berkata pula dengan putus asa.

"Kwe-hujin, selama hidupku membunuh orang tak terhitung banyaknya, memangnya tidak kuharapkan hidup sampai sekarang, mengadu tenaga maupun mengadu akal memang aku bukan tandinganmu kalau sekarang kumati di tangan mu juga tidak perlu penasaran Hanya saja aku ingin memohon sesuatu padamu, entah kau sudi menerima tidak?"

"Urusan apa?" tanya Ui Yong sambil mengawasi lawan, ia kuatir Li Bok-chiu sengaja mengulur waktu untuk mengambil obat penawar.

Namun terlihat kedua tangan Li Bok-chiu sudah kaku lurus melambai ke bawah, terdengar ia berkata: "Kwe~hujin, aku tidak akur dengan sumoayku tapi anak itu sungguh sangat menyenangkan maka kumohon kemurahan hatimu agar kau suka merawatnya dan jangan mencelakai jiwanya."

Hati Ui Yong tergetar mendengar permohonan Li Bok-chiu yang diucapkan dengan hati tulus itu, sungguh tak tersangka olehnya bahwa iblis yang sudah menggunung kejahatannya itu mendekati ajal juga ternyata bisa mengeluarkan kasih sayangnya kepada seorang bayi, Maka iapun lantas menjawab: "Ayah-ibu anak ini bukanlah orang biasa, kalau diberikan hidup di dunia bisa jadi akan membikin susah saja padaku, maka lebih baik..."

"Kumohon kemurahan hatimu..." kembali Li Bok-chiu memohon.

Ui Yong sengaja hendak mencoba lagi, ia mendekati iblis itu dan mengebut Hiat-to yang membuatnya takbisa berkutik lagi, lalu merogoh bajunya serta mengeluarkan botol obat, lalu bertanya: "Apakah ini obat penawar racun jarummu itu?"

Tanpa pikir Li Bok-chiu mengiakan, Lalu Ui Yong berkata pula: "Dalam satu hari aku tak dapat membunuh dua orang, jika ingin kuampuni jiwamu, maka anak itu harus kubunuh-, sebaliknya kalau kau rela mati, jiwa anak itu dapat kuampuni."

Sama sekali tak terpikir oleh Li Bok-chiu bahwa dia masih diberi kesempatan untuk hidup, tapi kalau minta Ui Yong membunuh saja anak itu terasa tidak tega, sebaliknya menggunakan jiwa sendiri untuk menukar jiwa anak itupun terasa tidak rela.

Dalam pada itu dilihatnya Ui Yong telah menuang sebutir obat dari botol dan diperlihatkan padanya, yang ditunggu hanyalah jawabannya saja. Karena itu ia menjadi nekat: "Baik, aku...."

Tapi Ui Yong ternyata sudah mempunyai pertimbangannya sendiri, ia lihat Li Bok-chiu ragu2 sekian lama, betapapun hal ini menandakan ada pertentangan batin dalam hati nurani iblis itu.

Bagaimanapun dia akan menjawab, melulu tentu pikiran bajik ini saja sudah pantas untuk mengampuni jiwanya, Bahwa dia sudah berlumuran darah dan penuh dosa, tentu kelak ada orang membinasakan dia.

Maka ia terus memotong ucapan Li Bok -chiu tadi dengan tertawa: "Li-totiang, sesungguhnya aku harus berterima kasih atas perhatianmu terhadap anak Yang."

"Apa katamu? Anak Yang siapa?" tanya Li Bok-chiu dengan bingung.

"Ketahuilah bahwa anak ini she Kwe bernama Yang, dia adalah puteri Kwe-tayhiap dan diriku baru lahir dia sudah jatuh ke tangan nona Liong, entah cara bagaimana terjadinya sehingga engkau salah paham mengira dia itu puteri nona Liong. Berkat perawatanmu selama ini sehingga anak Yang tampak bertambah sehat dan kuat, sungguh aku merasa berterima kasih." -- Habis berkata ia lantas memberi hormat dan menjejalkan obat yang dipegangnya itu ke mulut Li Bok-chiu, lalu bertanya: "Apakah cukup?"



"Racun itu sudah mulai menjalar harus kuminum tiga biji obat itu," jawab Bok-chiu dengan cepat.

Segera Ui Yong menyuapi dua biji obat ke mulut Li Bok-chiu, ia pikir obat penawar ini mungkin ada gunanya kelak, maka tidak dikembalikan kepada iblis itu melainkan dimasukkan ke saku sendiri, lalu berkata dengan tertawa: "Setelah tiga jam Hiat-to yang kututuk akan punah sendiri dan kau dapat pergi sesukamu."

Habis itu cepat ia berlari ke dalam hutan tempat ia menaruh Kwe Yang tadi, ia pikir "Sudah selang sekian lama, entah anak Hu sudah pergi belum, kalau dia sempat melihat adik perempuannya tentu dia akan sangat gembira."

Cepat ia memutar masuk ke tengah pagar rotan. Akan tetapi setelah tiba di tempatnya seketika ia melongo kaget, sekujur badan lantas menggigil seperti kejeblos ke dalam liang es.

Kiranya lingkaran pagar rotan yang dibuatnya itu masih tetap utuh tanpa sesuatu tanda yang mencurigakan, namun bayangan Kwe Yang sudah tak tertampak lagi. Keruan jantungnya ber debar2 seperti mau rontok, sekalipun biasanya dia banyak tipu akalnya, sekarang ia menjadi bingung dan kelabakan sebisanya ia berusaha menenangkan diri: "Jangan gugup, tenang, tenang! Hanya sebentar saja aku bertempur dengan Li Bok-chiu di Iuar sana, anak Yang digondol orang, tentu orang itupun belum jauh perginya."

Segera ia memanjat ke pucuk pohon yang paling tinggi di situ dan coba memandang sekeliling, Tanah di luar kota Siangyang cukup datar, dipandang dari pucuk pohon itu dapat mencapai belasan li jauhnya tapi ternyata tiada terlihat sesuatu tanda yang mencurigakan. sementara ini pasukan Mongol sudah mundur jauh ke utara, tanah datar yang luas ini tiada orang berlalu lalang, kalau saja ada seorang dan seekor kuda tentu akan kelihatan meski dalam jarak yang jauh.

Ui Yong pikir kalau pencuIik itu belum pergi jauh tentu masih berada di sekitar sini saja. Segera ia berusaha mencari di sekitar pagar rotan, ia berharap dapat menemukan sesuatu jejak pencuIik itu, Tapi keadaan tali rotan itu sedikitpun tiada tergeser atau rusak, hilangnya anak itu pasti bukan digondol oleh binatang buas dan sebagainya.

Padahal pagar rotan yang dilingkari menurut perhitungan tai tong~pat~kwa khas Tho-hoa~to itu, di dunia ini kecuali anak murid Tho-hoa-to sendiri tiada orang luar yang memahaminya, sekalipun tokoh sebesar macam Kim-lun Hoat-ong juga takdapat bergerak bebas di tengah pagar rotan yang diaturnya-ini, apakah mungkin ayah sendiri yang datang?

Begitulah ia menjadi sangsi Mendadak ia menjerit-di dalam hati: "Ah, celaka!" Tiba2 teringat olehnya ketika kepergok Kim-lun Hoat ong beberapa waktu yang lalu, dalam keadaan kepepet ia telah mengatur barisan batu untuk menahan musuh, tatkala itu Nyo Ko datang menolongnya, maka ia lantas menguraikan secara ringkas garis besar barisan batu yang diaturnya itu kepada anak muda itu.

Teringat kepada Nyo Ko, seketika kepala Ui Yong menjadi pusing dan menambah rasa kuatirnya, Anak muda itu sangat pintar, diberitahu satu dapat dipahaminya tiga, walaupun hitungan Kiu-kiong-pat-kwa itu tidak mudah dipelajari dalam waktu singkat, tapi setelah tahu garis besarnya, untuk memecahkan pagar rotan itu tidaklah sulit.

"Anak Hu telah menabas kutung sebelah lengannya, sakit hatinya kepada keluarga Kwe semakin mendalam, sekali anak Yang jatuh ditangannya, maka pasti tamatlah jiwanya"

Begitulah Ui Yong menjadi sedih teringat kepada puteri yang baru lahir beberapa hari itu sudah akan mengalami nasib seburuk itu, tanpa terasa ia meneteskan air mata.

Namun Ui Yong sudah banyak pengalaman dan kenyang gemblengan, pintar lagi cerdik, dia bukan perempuan biasa yang tak berdaya bila sedang berduka. Setelah berpikir sejenak, cepat ia menghapus air mata, lalu mulai mencari lagi jejak datang perginya Nyo Ko.

Akan tetapi aneh juga, di sekitar situ ternyata tiada sesuatu bekas kaki yang dapat ditemukan. Ia menjadi heran, biarpun Ginkang Nyo Ko sudah maha tinggi, kalau menginjak ditanah pasti akan meninggalkan bekas, memangnya dia datang-pergi dengan terbang?

Dugaan Ui Yong ini ternyata cukup mendekati kebenaran, Kwe Yang memang telah dibawa pergi oleh Nyo Ko dan datang perginya anak muda itu juga menyerupai terbang di udara.

Seperti telah diceritakan, malam itu Nyo Ko menyaksikan Ui Yong menutuk tokoh Kwe Ceng dan menyuruh Kwe Hu pulang ke Tho-hoa-to, maka Nyo Ko lantas menguntit dari kejauhan, lantaran merasa berat harus berpisah dengan puterinya, maka Ui Yong tidak memperhatikan penguntitan NyoKo itu.

Ketika Ui Yong memergoki Li Bok-chiu, lalu kedua tokoh perempuan itu bertempur keluar hutan, diam2 Nyo Ko sudah merancang tindakan apa yang harus dilakukannya. Dia memanjat ke atas pohon besar dan meraih seutas rotan tua dan panjang, ujung rotan ia ikat pada dahan pohon, lalu ia menggandul pada tali rotan serta diayun ke tengah lingkaran pagar rotan yang dibuat Ui Yong untuk mengurung Kwe Yang cilik itu.

Kuatir kalau Ui Yong dan Li Bok-chiu akan segera masuk kembali ke hutan itu, maka Nyo Ko lantas menggunakan kedua kakinya mengepit tubuh Kwe Yang kecil itu dan sekali ayun dia keluar lagi dari pagar rotan itu, Dilihatnya UiYong masih bertempur dengan Li Bok-chiu, cepat ia menyelinap keluar hutan dan kabur pergi

Ginkang Nyo Ko sekarang boleh dikatakan tiada tandingannya lagi di dunia ini, hanya sekejap saja sudah tiba kembali di kota kecil itu, dilihatnya Kwe Hu sedang celingukan sambil menuntun kuda merah menunggu kembalinya sang ibu. setelah dekat, mendadak Nyo Ko terus mencemplak ke atas kuda merah itu dari belakang.

Keruan Kwe Hu terkejut, ia menoleh dan melihat yang menunggangi kuda merah ternyata Nyo Ko adanya, ia menjerit kaget ia melihat Nyo Ko menyeringai padanya, "sret" cepat ia melolos pedang Ci-wi-kiam yang lemas tajam milik Tokko Kiu-pay itu telah dirampas oleh Kwe Cing, maka yang dibawa Kwe Hu sekarang cuma pedang biasa saja, kalau Nyo Ko mau membinasakan dia boleh dikatakan teramat mudah, akan tetapi ketika melihat si nona ketakutan hingga muka pucat, Nyo Ko hanya mendengus saja, lengan baju kanannya yang kosong itu terus dikebaskan dan membelit pedang Kwe Hu, tangan kirinya terus merebut tali kendati kuda, kedua kakinya mengepit kencang, terus saja kuda merah itu membedal cepat ke depan.

Kwe Hu terkesima menyaksikan perginya Nyo-Ko itu, ketika ia periksa pedang sendiri, ternyata batang pedangnya sudah bengkok seperti arit. Nyata tindakan Nyo Ko tadi hanya sebagai "pamer kekuatan" saja, maksudnya ingin memberi tahu bahwa kalau dia mau, biarpun lengan kanannya sudah buntung, hanya sekali kebas lengan baju saja cukup membikin jiwanya melayang!



BegituIah Nyo Ko melarikan kuda merah itu cepat ke utara dengan membawa Kwe Yang cilik, hanya sebentar saja berpuluh li sudah dilaluinya, sebab itulah ketika Ui Yong memandang dari pucuk pohon juga tidak melihat bayangannya.

Keadaan Nyo Ko sekarang benar2 serba susah dan sukar mengambil keputusan, mestinya iapun bermaksud menabas sebelah lengan Kwe Hu untuk membalas dendam, tapi sampai detik terakhir dia ternyata tidak tega turun tangan. ia coba memandang Kwe Yang cilik, bayi itu sedang tidur dengan lelapnya dan wajahnya yang cantik mungil.

Tiba2 timbul pikirannya: "Paman dan bibi Kwe kehilangan puterinya ini, biar kubawa pergi dan takkan kukembalikan mereka sebagai pembalasan dendamku, penderitaan batin mereka saat ini mungkin jauh melebihi aku."

Sekaligus Nyo Ko melarikan kudanya hingga dua tiga ratus li jauhnya, sepanjang jalan mulai banyak rumah penduduk, ia lantas meminta sedikit susu sapi atau susu kambing dari petani yang ditemukan untuk menyuapi Kwe Yang, Kini dia mempunyai kuda bagus, maka ia bertekat akan langsung pulang ke kuburan kuno untuk mencari Siao-liong-li.

Hanya beberapa hari saja ia sudah sampai di Cong-lam-san. Teringat kepada masa lalu, terharulah hati Nyo Ko. Setiba di depan kuburan kuno, ia lihat batu nisan kuburan besar itu masih berdiri dengan tegaknya seperti dahulu. Tapi pintu kuburan sudah tertutup rapat ketika diserbu oleh Li Bok-chiu dahulu, untuk masuk ke dalam kuburan tiada jalan lagi selain melalui jalan di bawah tanah dan harus selulup ke dasar sungai.

Dengan kesaktian Nyo Ko sekarang, menyelam air dan menyusun jalan bawah tanah itu tentu bukan soal lagi baginya, akan tetapi bagaimana dengan Kwe Yang, ia menjadi serba susah, kalau orok dibawa menyelam, jelas takkan tahan dan pasti mati.

Tapi bila teringat kalau Siao-liong-li berada dalam kuburan dan segera akan dapat bertemu dengan kekasihnya itu, ia menjadi tidak sabar lagi.

Segera ia menaruh Kwe Yang di dalam sebuah gua di dekat kuburan itu, ia menguruki mulut gua dengan ranting kayu dan belukar kering, ia pikir baik Siao-liong-li dapat ditemukan dalam kuburan atau tidak, yang pasti dia akan segera keluar lagi untuk mengatur Kwe Yang.

Selesai memasang perintang di mulut gua, lalu ia memutar ke belakang kuburan, Tapi baru belasan langkah, tiba2 terdengar samar2 beradunya senjatar terbawa desiran angin, ia terkesiap, ia yakin arahnya tepat Tiong-yang-kiong, ia menjadi ragu2.

Pada saat lain tiba2 terdengar mendengungnya roda perak yang mencelat ke udara, segera ia mengenali roda itu adalah senjata khas milik Kim lun Hoat-ong.

Sekali ini Nyo Ko tidak tahan akan rasa ingin tahunya, cepat ia mengeluarkan Ginkang dan lari ke tempat datangnya suara, yaitu Giok~hi--tong di belakang istana Tiong-yang~kiong. Pada saat itulah Siao-liong-li tergencet oleh pukulan dahsyat kei lima tokoh Coan-cin-kau dan roda emas Kim lun Hoat-ong sehingga terluka parah.

Kalau saja Nyo Ko datang lebih dini sejenak tentu Siao-liong-li akan terhindar dari malapetaka itu. Tapi apa mau dikata lagi, segala apa memang tak dapat seluruhnya memenuhi kehendak manusia.

Nasib orang, suka-duka kehidupan manusia dan dengan segala segi2nya acapkali terjadi hanya karena selisih dalam sedetik itu saja.

Begitulah ketika mendadak Siao liong-li melihat sebelah lengan Nyo Ko buntung, seketika ia lupa pada luka sendiri yang parah, dengan penuh perhatian dan kasih sayang ia menanyai sebab2 buntungnya lengan anak muda itu.

Dengan bersemangat Nyo Ko berkata: "Kokoh, memang sudah kuduga, setelah lenganku buntung, kau tentu akan semakin sayang padaku."

Siao-liong-li hanya tertawa manis saja dan tidak menjawab sebenarnya ia cuma ingin bertemu sekali lagi dengan Nyo Ko sebelum ajalnya, kini angan2 nya itu sudah tercapai, tiada lain lagi yang diharapkannya.

Kedua muda-mudi itu saling pandang dengan mesranya, perasaan mereka seperti terlebur menjadi satu, biarpun dikelilingi musuh2 tangguh, namun keduanya sama sekali tidak ambil pusing.

Melihat Nyo Ko muncul tiba2, Coan-cin-ngo-su merasa urusan ini tambah sukar diselesaikan Segera Khu Ju-ki berseru: "Tiong-yang-kiong adalah tempat suci dan keramat, sebenarnya apa maksud kalian mengacau ke sini?"

Dengan gusar Ong Ju-it juga ikut membentak.

"Nona Liong, meski Ko-bong-pay kalian dan Coan-cin-pay kami ada selisih paham, untuk itu kita dapat menyelesaikannya sendiri, mengapa kau sengaja mengundang orang2 asing dan kaum perusuh ini hingga mencelakai anak murid kami sebanyak ini?"

Siao-liong-li terluka parah, mana dia dapat menjelaskan duduknya perkara dan berdebat dengan mereka.

Dengan pelahan Nyo Ko mendukung pinggang Siao-liong-li dan berkata dengan suara halus: "Kokoh, marilah kita pulang ke kuburan kuno dan jangan urus orang2 ini."

"Lenganmu masih sakit tidak?" tanya Siao~liong-li.

Nyo Ko menggeleng, jawabnya dengan tertawa: "Tidak, sudah lama sembuh."

"Apakah racun bunga cinta ditubuhmu itu tidak kumat?" tanya pula si nona.

"Terkadang juga kumat, tapi tidak begitu lihay seperti dulu," ujar Nyo Ko.

Setelah dilukai Siao-liong-li, sejak tadi Ci-keng sembunyi di belakang dan tak berani nongol, kemudian muncul Coan-cin-ngo-Cu keluar dari tempat menyepinya, ia menjadi kuatir kalau guru dan paman guru itu mengusut persoalannya, tentu jabatan ketua dirinya akan gagal dan bahkan akan dihukum berat.

Karena itu ia menjadi nekad, ia pikir keadaam ini harus dibakar lebih lanjut agar tambah kacau sehingga kelima orang tua itu tidak sempat mengurut persoalannya, dengan begitu barulah ada kesempatan baginya untuk menang kalau Kim-tun Hoat-ong dapat menumpas Coan-cin-ngocu akan lebih baik lagi baginya sehingga selamanya dia tidak perlu kuatir lagi.

Ci-keng tahu akan ilmu silat Nyo Ko sudah jauh diatas dirinya, tapi kini melihat anak muda itu buntung sebelah lengannya, tangan kiri yang baik itu digunakan memegang Siao-liong-ii sehingga keadaannya itu hampir boleh dikatakan tak bisa berkutik kalau diserang.

Selama ini Ci-keng paling benci kepada bekas murid murtad ini, kini ada kesempatan baik, tentu tak dilalukan begitu saja. Segera ia mengedipi muridnya, yaitu Ceng-kong, lalu membentak: "Murid murtad Nyo Ko, kedua Cosuya menanyai kau, mengapa kau diam saja?"

Nyo Ko menoleh dan memandangnya dengan sorot mata penuh kebencian pikirnya: "Kokoh telah dilukai kalian para Tosu busuk ini, sementara ini takkan ku urus, kelak saja akan kubikin perhitungan dengan kalian." ia memandang sekejap pula pada pihak Tosu Coan-cin-kau itu, lalu memayang Siao liong-Ii dan melangkah pergi.



"Maju!" bentak Ci-keng, berbareng Ceng-kong terus menubruk maju dan menusuk pedang mereka di iga kanan Nyo Ko.

Ci-keng adalah tokoh terkemuka dari angkatan ketiga Coan-cin-kau, meski ia sendiri terluka, tapi tidak begitu parah, sekarang ia menyerang ke bagian lengan Nyo Ko yang buntung itu, yakin lawan pasti tidak mampu balas menyerang, tentu saja serangannya sangat berbahaya.

Meski Khu Ju-ki juga tidak senang atas sikap Nyo Ko yang angkuh dan tidak menghormati orang tua itu, tapi mengingat pesan Kwe Cing serta teringat kepada hubungan baik antara guru dan murid (ayah Nyo Ko, Nyo Khong dan Kwe Cing adalah murid Khu Ju-ki), mau-tak-mau ia harus mencegah serangan Ci-keng yang lihay itu, cepat ia membcntak: "Berhenti, Ci~keng!"

Sedangkan si dogol Be Kong-co juga lantas berteriak2 memaki: "Huh, Tosu koparat tidak tahu malu, kenapa kau menusuk bagian lengan orang yang buntung?"

Akan tetapi di luar dugaan semua orang, mendadak tubuh Ceng-kong yang besar itu mencelat ke udara sambil ber-kaok2, "blang", dengan tepat Ceng-kong menumbuk tubuh Nimo Singh.

Dengan kepandaian Nimo Singh sebenarnya tubrukan Ceng-kong bukan soal baginya, tapi lantaran kedua kakinya sudah buntung dan menggunakan tongkat saja, dengan sendirinya tangannya tak dapat pula menolak, maka tumbukan itu membuat Nimo Singh jatuh terjungkal.

Tapi begitu punggungnya menempel tanah, seketika ia melompat bangun lagi menegak sebelah tongkatnya terus mengemplang sehingga punggung Ceng-kong terhantam dengan keras dan jatuh semaput.

Dalam pada itu tahu2 pedang Ci-keng juga terinjak oleh kaki Nyo Ko, Ci-keng berusaha menarik sekuatnya hingga muka merah padam, tapi pedangnya tidak bergeming sedikitpun.

Kejadian ini berlangsung dengan cepat luar biasa, orang yang berkepandaian sedikit rendah hampir tidak tahu cara bagaimana Nyo Ko mengatasi kedua penyerang itu. Tapi Kim-lun Hoat~ong, Siau siang-cu, In Kik si dan Coan-cin-ngo cu dapat melihatnya dengan jelas.

Rupanya waktu kedua pedang penyerangnya mendadak lengan baju kanan Nyo Ko yang kosong itu mengebas dengan tenaga dahsyat sehingga tubuh Ceng-kong yang gemuk itu terlempar tinggi dan menumbuk Nimo Singh, sedangkan Ci-keng memang tidak dapat dipersamakan dengan muridnya itu, ketika mendadak merasa lengan baju orang menyambar dengan kuat, sebisanya ia menahan tubuhnya di tempat sehingga kebasan Nyo Ko itu tidak dapat mengguncangnya. Akan tetapi pedangnya yang terjulur itu lantas tertekan ke bawah sehingga kena diinjak oleh kaki Nyo Ko.

Karena sudah digembleng oleh arus air bah, dengan sendiri tenaga kaki Nyo Ko luar biasa kuatnya, injakannya itu sungguh laksana tindihan gunung, meski Ci-keng berusaha menarik pedangnya sepenuh tenaga tetap tak bergoyang sama sekali

"Tio-totiang," kata Nyo Ko dengan dingin, "dahulu di depan Kwe-tayhiap sudah kau katakan bukan lagi guruku, kenapa sekarang kau mengungkap soal guru dan murid! mengingat pernah kupanggil kau sebagai guru, biar kuampuni kau saja!" - Habis berkata, mendadak ia tarik kembali tenaga injakannya.

Padahal saat itu Ci keng sedang menarik sekuatnya, keruan tenaga tarikannya serentak terbetot kembali seluruhnya "blang", dengan tepat gagang pedang menyodok dada sendiri, kontan ia muntah darah, pandangannya menjadi gelap dan jatuh terlentang.

Melihat itu, Ong Ju-it dan Lau Ju-hian lantai menyerang dari kanan kiri, tapi mendadak sesosok bayangan menerjang tiba dari samping, "trang-trang" kedua pedang sama terguncang pergi.

Kiranya yang menerjang tiba itu adalah Nimo Singh, dia ditubruk terjungkal oleh Ceng-kong walaupun Ceng-kong juga digebuknya hingga kelengar, tapi rasa gusarnya masih belum terlampias, ia pikir pangkal pokoknya adalah gara2 Nyo Ko, maka ia lantas menerjang maju lagi, tongkat kirinya menangkis kedua pedang kedua Tosu itu, tongkat kanan terus mengemplang ke kepala Nyo Ko dan Siao-liong-li.

Saat itu Siao-liong-li sama sekali tak bertenaga, dengan lemas ia menggelendot di tubuh Nyo Ko, sedangkan Nyo Ko juga tahu kepandaian Nimo Singh tak dapat di samakan dengan Ci-keng dan Ceng-kong, bila mengebas dengan lengan baju saja mungkin sukar menghalau hantaman tongkat yang hebat itu. Maka cepat ia menggeser sedikit kekiri lengan baju kanan digunakan melibat pinggang Siao-liong-li yang ramping agar si nona menggelendot di sisi kanan dadanya, lalu tangan kiri di gunakan menarik Hian-tian-po-kiam, itu pedang pusaka tumpul dan berat terus di angkat ke atas.

Terdengar suara "bluk" yang keras, tangan Nimo Singh tergetar sakit, tongkat besinya mencelat ke udara dan jatuh ke belakang gua Giok-bi-tong sana.

Nyo Ko sendiri juga kaget karena tidak mengira pedang tumpul milik Tokko Kiu-pay memiliki kekuatan begitu hebat dalam pada itu meski sebelah tangan Nimo Singh serasa kaku, tapi dasarnya memang tangkas dan nekat, ia mengerang terus meloncat ke atas dengan bantuan sebelah tongkatnya, menyusul tongkat itu terus menghantam pula ke bawah.

Kembali Nyo Ko menangisnya dengan pedang tumpul itu. ia pikir tadi sudah mencoba tenaga kekerasan, biarlah sekarang kucoba tenaga lunak, maka begitu menyentuh senjata musuh, pedangnya terus melengket dengan tongkat, kalau saja dia mau mengerahkan tenaganya, seketika Nimo Singh dapat dilemparkan, jika dibanting ke dinding karang, pasti tubuh Nimo Singh akan hancur.

Sebenarnya Nyo Ko juga tidak kenal ampun lagi apabila mengingat Siao-liong-li telah dilukai sedemikian rupa, ia merasa manusia2 jahat ini pantas dibinasakan semua.

Tapi ketika dia hendak mengerahkan tenaga, tiba2 dilihatnya tubuh Nimo Singh yang terapung di udara itu tidak mempunyai kaki lagi, ia menjadi teringat kepada dirinya sendiri yang juga buntung sebelah tangan.

Dasar hati nuraninya memang baik, tiba2 timbul rasa senasib nya, pedangnya tidak jadi dicungkit ke atas, sebaliknya terus ditekan ke bawah sehingga tongkat besi Nimo Singh itu menancap ke dalam tanah hampir separohnya.

Dengan masih memegangi tongkatnya Nimo Singh bermaksud mencabutnya, akan tetapi tangan kanan yang tergetar tadi masih kaku kesakitan sehingga sukar mangeiuarkan tenaga.

"Biarlah kuampuni jiwamu sekarang, apakah kau masih mempunyai muka buat tinggal lebih lama di Tionggoan?" jengek Nyo Ko.

Muka Nimo Singh merah padam tak bisa menjawab selain berdiri melongo saja di tempatnya.

Walaupun kekalahan Nimo Singh secara luar biasa itu juga di luar dugaan Siau-siang-cu dan In Kik-si, tapi mereka tidak mengira bahwa cuma dalam sebulan saja kekuatan Nyo Ko telah maju sepesat ini, mereka malah menyangka Nimo Singh yang tidak becus setelah kedua kakinya buntung. Segera In Kik-si memburu maju dan mencabutkan tongkat serta diserahkan kembali pada Nimo Singh.

Setelah menerima tongkat, segera Nimo Singh menahan tubuhnya lagi dan bermaksud melompat jauh menyingkir ke sana, tak terduga rasa kaku lengannya ternyata belum hilang, baru saja menekan "bluk", kembali ia jatuh terjungkal pula.



Siau-siang-cu adalah manusia yang culas, asal orang lain celaka, baik kawan ataupun lawan baginya bukan soal, yang pasti ia justeru merasa senang, ia pikir si cebol Hindu sekali ini pasti tamat riwayatnya, selekasnya Nyo Ko yang sudah cacat badan ini kutangkap lebih dulu, inilah kesempatan baik untuk mencari jasa dan menyohorkan nama. Maka ia lantas melompat maju dan berseru: "Hai, bocah she Nyo, beberapa kali kau sudah mengacaukan pekerjaan Ongya, sekarang lekas kau ikut pergi saja."

Mengingat luka Siao- liong-Ii yang parah, Nyo Ko pikir kalau musuh2 ini tidak lekas dihalau tentu sebentar akan sukar menyelamatkan sang Kokoh, maka dengan suara pelahan ia coba tanya Siao liong-Ii: "Apakah kau kesakitan, Kokoh?"

"Mendingan, tidak begitu sakit," jawab Siao- liong-li.

Nyo Ko lantas menoleh kepada Siau-siang-cu dan berkata: "Baiklah maju!"

Siau-siang-cu menyeringai seram, katanya: "K^tu cuma bertangan satu, kalau kukalahkan kau dengan dua tangan rasanya tidak adil." Segera ia sisipkan tangan kirinya pada tali pinggang, tangan kanan memutar pentungnya dan berkata pula: "Akupun menggunakan sebelah tangan saja agar matipun kau takkan menyesali."

Nyo Ko ingin lekas menyelesaikan persoalan, ia tidak ingin banyak omong, mendadak pedang tumpul di tangan kiri terus mengarah lurus pinggang Siau-siang-cu.

Melihat pedang yang kasar ke~hitam2an serta tumpul laksana sepotong besi tua saja, Siau-siang-cu percaya senjata ini tentu ada sesuatu yang istimewa, akan tetapi di mulut ia tetap menghina, ka-tanya, "Huh, darimana kau menemukan besi tua ini?" Habis berkata ia terus menghantarkan pentungnya pada pedang tumpul.

Tanpa menggoyangkan pedangnya, Nyo Ko hanya mengerahkan tenaga saja ke batang pedang itu, maka terdengarlah suara "bluk" sekali, tahu2 pentung Siau-siang-cu itu patah menjadi beberapa potong dan mencelat betebaran.

"Celaka," keluh Siau-siang-cu sambil mundur dengan cepat

Akan tetapi Nyo Ko tidak tinggal diam, pedangnya menjulur kedepan, ia sodok ke kanan satu kali dan pukul ke kiri satu kali, kontan kedua lengan Siau-siangcu patah semua.

Melihat gelagat jelek, cepat ln Kik-si menubruk maju sambil putar ruyungnya terus mengadang di depan Siau-siang-cu.

ln Kik-si adalah saudagar besar batu permata negeri Persia, dengan sendirinya pandangannya sangat tajam, terutama dalam hal ngekir benda mestika, ketika menyaksikan pedang Nyo Ko itu menggetar terbang tongkat Nimo Singh tadi, dia sudah yakin pedang Nyo Ko itu pasti benda mestika, dari warnanya yang aneh ia menaksir pedang itu mungkin terbuat dari besi murni yang jarang ditemukan Kemudian dilihatnya lagi pentung Siau~siang-cu juga tergetar hingga patah menjadi beberapa potong, ia tambah yakin pedang itu pasti benda pusaka.

Pada umumnya In Kik-si tidak terlalu jahat, cuma sejak kecil ia telah berdagang intan permata, maka setiap kali melihat benda mestika yang aneh, tentu dia ketarik dan dengan segala jalan ia ingin memilikinya, apakah harus dibeli, ditipu atau kalau perlu direbut dan dicuri.

Pedang pusaka Nyo Ko sekarang juga sangat menarik perhatiannya, seketika timbul keserakahannya ingin memiliki, segera ia putar ruyungnya yang lemas itu terus membelit pedang lawan.

Nyo Ko sendiri tidak terlalu benci pada In Kik-si karena sikapnya yang cukup ramah dan sopan, ketika melihat ruyung orang menyamber tiba, di atas ruyung tertampak penuh bertatahkan batu permata, maka ia lantas membiarkan pedangnya dibelit oleh ruyung orang, katanya: "ln-heng, selama ini kita tiada permusuhan apa2, sebaiknya lekas tarik kembali ruyungmu dan memberi jalan padaku, Ruyungmu penuh batu mestika, sungguh sayang kalau sampai rusak."

"Apakah betul begitu?", ujar In Kik-si dengan tertawa, sekuat nya ia terus membetot. Akan tetapi Nyo Ko tetap berdiri tegak seperti tonggak tanpa bergeming sedikitpun

In Kik-si menjadi penasaran, tapi iapun tahu kepandaian lawan sangat lihay, kalau tidak menggunakan akal tentu pedang mustika itu sukar direbut Dengan tertawa ia lantas berkata: "Kepandaian Nyo-heng maju sepesat ini, sungguh harus diberi selamat dan menggembirakan, Siaute menyerah kalah" Sambil mengucap begitu, mendadak tangan lain mengeluarkan sebilah belati terus menikam ke dada Siao-liong-li.

Tujuan In Kik-si sebenarnya tidak hendak mencelakai nyawa Siao-liong li, soalnya ia tahu Nyo Ko sangat memperhatikan si nona, kalau melihat nona itu terancam bahaya, tentu akan menolongnya mati2an maka tikamannya pada Siao-liong-li sesungguhnya cuma gertakan belaka, dengan begitu dia akan berhasil merebut pedang pusaka Nyo Ko.

Benar juga, Nyo Ko menjadi kaget melihat Siao lior.g-li diserang, Pada saat itulah In Kik-si lantas membentak: "Lepas pedang!" Sekuatnya ia lantas membetot rayungaya untuk merampas pedang lawan.

Ternyata Nyo Ko lantas menuruti kehendaknya dan melepaskan pedangnya, cuma sekalian di dorong ke depan, pedang panjang dan belati pendek, karena dorongan itu, jarak kedua orang bertambah jauh sehingga belati yang pendek itu tidak dapat mencapai tubuh Siao-liong-li. Rupanya karena kuatirnya Nyo Ko telah mendorong pedangnya cukup keras sehingga membuat In Kik-si ter-huyung ke belakang, pedang yang berat itu berikut ruyung yang masih melibat itu terus menumbuk ke tubuh In Kik~si.

Meski Nyo Ko juga tiada maksud melukai jiwa In Kik-si, tapi untuk menyelamatkan Siao-liong-li, tenaga dorongan yang dikeluarkannya tidak kepalang hebatnya, In Kik-si merasa seperti di tolak oleh tangan maha dahsyat, Sekuatnya dia mengerahkan tenaga dan mendorong ke depan namun begitu ia tetap tergentak mundar lagi beberapa langkah baru kemudian dapat berdiri tegak.

Mukanya berubah pucat, tampaknya tetap tersenyum, namun senyuman yang getir.

Kiranya In Kik-si merasa isi perutnya se-akan2 jungkir balik, seluruh urat nadinya serasa kacau balau, ia tidak berani sembarangan bergerak lagi dan juga tidak berani menggunakan tenaga, Nyo Ko teIah melangkah maju dan mengambil kembali pedangnya, ketika ia angkat pedang itu, di bawah cahaya sang surya, pandangan semua orang menjadi silau, batu permata telah berhamburan berserakan.

Rupanya ketika kedua orang sama2 mengerahkan tenaga, batu permata yang tertatah pada ruyung In Kik si itu telah tergetar hancur dan rontok.

Dibandingkan Nimo Singh dan Siau-siang-cu, pribadi In Kik-si terlebih baik, namun karena keserakahannya, luka yang dideritanya menjadi lebih parah daripada kedua kawannya itu.

Nyo Ko gemas karena In Kik-si hendak menikam Siong-liong-li dengan belatinya, maka ia tidak perdulikan luka saudagar persi yang cukup berat itu, segera ia berseru: "Kim-lun Hoat-ong, utang-piutang kita perlu diselesaikan sekarang atau ditunda saja lain hari?"

Kim lun Hoat-ong sangat licik, dilihatnya Nyo Ko ber-turut2 mengalahkan Nimo Singh, Siau-siang-cu dan In Kik-si yang semuanya hanya berlangsung dalam sekali dua gebrak saja, betapa tinggi ilmu silat anak muda itu sungguh sukar diukur lagi.



Kalau dirinya juga memandangi sekarang, meski tidak sampai kalah seperti ketiga kawannya, tapi untuk menang rasanya juga tidak gampang.

Namun begitu berada di depan orang sebanyak ini, kalau dirinya kena di gertak begitu saja lantas pergi, betapapun ia ingin menjaga harga diri. ia pikir: "Bocah ini sudah buntung sebelah lengannya, meski tangan kirinya juga lihay, bagian kanan yang buntung pasti lemah, kalau kuserang saja bagian kanan. dia tentu juga menguatirkan keadaan Siao-liong-li, jika berlangsung agak lama, tentu pikirannya akan kacau."

Setelah ambil keputusan demikian, ia lantas menyiapkan kelima rodanya, ia tahu pertarungan sekarang ini sesungguhnya mengenai mati-hidup dan dipuji atau terhina selamanya, sedikitpun tidak boleh gegabah.

Segera ia melangkah maju, dengan tertawa ia berkata: "Saudara Nyo, kuucapkan selamat padamu atas penemuan istimewa yang kau dapatkan ini sehingga kau memiliki pedang sakti yang tiada tandingannya ini"

Siao liong li menggelendot dalam rangkulan Nyo Ko, samar2 ia melihat Kim-lun Hoat-ong telah maju dengan rodanya, ia pikir melulu tenaga Nyo-Ko seorang pasti tak dapat menandingi paderi itu, dengan suara pelahan ia lantas berkata: "Ko-ji, berikanlah pedang padaku, marilah kita binasakan dia dengan Giok-li-kiam-hoat kita."

Nyo Ko menjadi terharu, jawabnya: "Jangan kuatir Kokoh, aku sendiri mampu melayani dia."

Siao-Iiong-li lantas cepat menggeser ke kanan sedikit agar dapat mengaling lebih banyak di depan Nyo Ko. Sungguh terharu dan terima kasih pula Nyo Ko, serunya: "Kokoh, sekarang kita menempur kawanan iblis ini. andaikan matipun kita tidak menyesal lagi." - Segera pedangnya mengacung ke depan.

Hoat-ong tidak berani menghadapinya dari depan, cepat ia melompat mundur, menyusul lantas terdengar suara mendengung, roda timahnya telah menyamber. Waktu Nyo Ko angkat pedangnya menabas, roda itu terus memutar ke belakangnya dan terbang kembali ke arah Hoat-ong sehingga tabasan Nyo Ko mengenai tempat kosong.

Habis itu suara mendengung lantas bergemuruh dengan gemerdapnya sinar perak dan cahaya emas.

Hnta buah roda K,im-lun Hoat-ong telah dihamburkan sekaligus dari jurusan yang ber-beda2.

Kuatir menambah parah luka Siao~liong-li, Nyo Ko tidak berani banyak bergerak, ia terus berdiri saja di tempatnya. Ternyata hamburan kelima roda Kim-lun Hoat-ong itupun cuma serangan percobaan saja, setelah roda2 itu berputar sekeliling,lalu terbang kembali lagi ke tangan Hoat-ong.

Melihat Nyo Ko tidak mau bergeser dari tempatnya, tahulah Hoat-ong akan jalan pikiran anak muda itu, ia menjadi girang dan yakin dirinya pasti akan berada pada pihak yang lebih menguntungkan kalau saja menyerang dari jauh dan terus berpisah tempat, dengan cara inipun dirinya pasti takkan kalah,

Dengan kedudukan Kim-lun Hoat-ong sebenarnya tidak layak menempur Nyo Ko yang cacat badan-serta harus melindungi seorang yang terluka parah. Namun Hoat-ong juga tahu kesempatan baik sekarang ini sukar dicari lagi di kemudian bari, kalau saja luka Siao-liong-ti sudah sembuh, dengan gabungan kedua muda-mudi itu jelas dirinya bukan tandingannya, andaikan Siao-liong-li tewas oleh luka-nya, sesudah Nyo Ko tida mempunyai tanggungan lagi, dirinya juga bukan tandingan anak muda itu.

Sebab itulah ia bertekad harus membinasakan kedua muda-mudi itu sekarang mumpung ada kesempatan bagus, bahwa cara bertempur sekarang ini pantas dan adil atau tidak bukan soal baginya.

Keadaan demikian juga cukup dipahami semua orang, merekapun merasa Kim-lun Hoat-ong kurang terhormat menempur Nyo Ko sekarang, segera si dogol Be Kong-co berteriak: "Hai, Hwesio gede, kau terhitung ksatria atau bukan? Kau tahu malu tidak?"

Akan tetapi Hoat-ong berlagak pilon saja, kelima rodanya tetap beterbangan pulang pergi dan kian kemari mengitari Nyo Ko berdua, begitu roda2 itu ditangkap kembali segera disambitkan pula oleh Hoat-ong, terkadang tinggi mendadak bisa rebah, lain saat lurus ke depan, tapi tahu2 membelok lagi ke samping, suara yang ditimbulkan juga berbeda, ada yang mendengung keras, ada yang mendenging nyaring.

Se-konyong2 terdengar Be Kong-co menjerit kaget, kiranya sebuah roda mendadak menyamber dari samping terus membelok menyerempet kepalanya sehingga kulit kepalanya terkelupas sebagian berikat secomot rambutnya dan berdarah jatuh ke tanah. Roda itu cukup besar dan berat pula, tapi ketika mengupas kulit kepalanya se~akan2 sebuah pisau cukur saja yang tipis, yang hebat adalah serempetan itu sedemikian tepatnya hingga tiba pas mengupas kulit berikut rambut saja, kalau lebiti tinggi sedikit tentu takkan mengupas kulit kepalan sebaliknya kalau kerendahan sedikit tentu jiwa Be Kong co sudah melayang, Semua orang sama melongo ngeri melihat kehebatan roda Kim-lun Hoat-ong itu.

Nyo Ko menguatirkan keadaan Siao-liong-li, tambah lama tertahan di situ berarti berkurang pula kesempatan menyembuhkannya, segera kaki kirinya melangkah maju, tubuh Siao-liong-li dibawanya maju sedikit, menysul kaki kanan juga melangkah lagi.

"Awas"! tiba2 Kim-lun Hoat-ong berseru, tahu2 kelima rodanya bergabung menjadi satu dan terbagi menjadi dua baris terus menyamber dari depan kepada Nyo Ko berdua.

Namun Nyo Ko juga mengerahkan tenaga pada tangan kirinya, sedikit ujung pedangnya bergetar "trang trang-trang", ketiga roda emas, tembaga dan besi kena dicungkit ke samping, menyusul pedangnya terus menghantam ke bawah, pandangan semua orang terasa silau, menyusul debu pasir lantas mengepul roda perak dan roda timah telah tertabas pecah menjadi dua oleh pedang Nyo Ko dan jatuh ke tanah.

Pada saat itu juga Hoai-ong juga membentak sambil menubruk maju, tangan kirinya memotong miring ke tepi roda tembaga sedangkan roda emas dan besi terus ditangkapnya, menyusul lantas dihantamkan ke kepala Nyo Ko.

Nyo Ko tidak menangkis, sebaliknya pedang pusakanya terus menusuk lurus ke dada musuh, Pedang lebih panjang daripada roda, sebelum roda lawan sempat menghantam kepada Nyo Ko, ujung pedang anak muda itu sudah mengancam dan cuma beberapa senti saja di depan dada Hoat-ong.

Akan tetapi maju mundurnya Hoat-ong sungguh cepat luar biasa, tak kelihatan bergerak, tahu2 tubuhnya mencelat beberapa meter ke samping.

Nyo Ko juga bergerak dengan cepat, segera pula ia menarik pedangnya ke belakang, "trang", roda tembaga yang menyamber lagi dari belakang ditebasnya menjadi dua, bahkan sebelum kedua potong roda itu jatuh, pedangnya menyabet pula dari samping sehingga kedua potong roda tembaga tertabas lagi menjadi empat, walaupun pedang itu tumpul, tapi digunakan dengan tenaga dalam yang kuat, ternyata tajamnya tidak alang kepalang.

Hanya sekejap saja tiga antara lima roda Kim-lun Hoat-ong telah dihancurkan namun paderi Tibet ini. benar2 tangkas luar biasa, makin kalah semakin bersemangat ia putar roda emas dan besi dan menyerang pula lebih kencang. Namun Nyo Ko bertahan dengan tenang2 saja, betapa Hoat-ong mengitarinya dan menyerang dari arah manapun tetap tak dapat mendekatinya.

Setelah berpuluh jurus lagi, mendadak kedua roda Hoat-ong itu saling bentur, menyusul terus di tolak ke depan, dihantamkan ke tubuh Siao-liong-li.

Cepat pedang Nyo Ko juga menusuk ke depan, "creng", dengan tepat pedang itu menahan di tepi roda emas, tenaga dalam kedua orang sama2 di kerahkan pada senjata masing2 hingga keduanya sama tergetar, seketika kedua orang hanya berdiri saja, dan saling bertahan.

Nyo Ko merasa tenaga lawan terus menerjang tiba secara bergelombang dan tak putus2, makin lama makin kuat, diam2 ia terkejut, tak disangkanya tenaga dalam lawan ternyata sehebat ini, meski sebelum ini mereka pernah bertarung beberapa kali, tapi baru sekali ini mereka mengadu Lwekang.

Karena sekarang mereka mengadu tenaga dalam, dengan sendirinya kehebatan pedang tumpul Nyo Ko itu sukar digunakan sebaliknya sudah berpuluh tahun Kim-Iun Hoatrong menggembleng diri, tentu saja dia lebih ulet daripada Nyo Ko, jika berlangsung lama, akhirnya Nyo Ko yang kewalahan.

Ia pikir tiada gunanya main ngotot begini, akan kupancing dia mendekat, lalu kukebut mukanya dengan lengan baju kanan secara mendadak.

Karena pikiran ini, pelahan Nyo Ko menarik pedangnya ke belakang, jarak kedua orang tadinya hampir dua meter, lambat laun mengkeret menjadi, satu setengah meter, lalu satu meter dan semakin dekat pula.

Kedua murid Hoat-ong, yaitu Darba dan Hotu, sejak tadi juga mengawal di samping sang guru, mereka menjadi girang melihat gurunya berada di atas angin, tapi merekapun prihatin melihat sang guru mengadu Lwekang dengan Nyo Ko, maklumlah mengadu tenaga dalam secara begitu tidak mungkin main licik atau bermaksud menghindar kalau meleng bahkan jiwa bisa melayang.

Darba berhati jujur dan berpikir sederhana, yang diperhatikan hanya keselamatan sang guru, maka tanpa terasa ia ikut melangkah maju melihat gurunya semakin mepet lawannya, sedangkan Hotu juga ikut melangkah maju dua-tiga tindak, tapi yang menjadi tujuannya adalah mencari kesempatan untuk menyerang Nyo Ko, dia main kipas-kipas seperti orang mencari angin, tapi kalau lawan meleng sedikit saja segera senjata rahasia pada kipasnya itu akan segera dihamburkan.

Namun disebelah sana Khu Ju-ki dan Ong Ju-it juga tidak tinggal diam, mereka sudah berpengalaman melihat gelagatnya segera mereka menduga Hotu dan Darba bermaksud ikut menyerang membantu sang guru, mereka saling pandang sekejap dan berpikir "Meski Nyo Ko memusuhi Coan-cin-kau, tapi seorang lelaki sejati harus bertindak secara terang2an, baik kalah atau menang harus ditentukan menurut kepandaian sejati, mana boleh kaum durjana berbuat sesukanya di atas Cong-lam san sini."

Begitulah mereka lantas melangkah maju juga dengan pedang terhunus dan menatap tajam mengawasi gerak-gerik Hotu. Biarpun, sudah ubanan semua, namun wajah kedua Tosu tokoh Coan-cin-kau ini masih merah segar, sorot mata mereka yang tajam membuat Hotu keder dan tidak berani sembarangan bergerak.

Dalam pada itu tangan Nyo Ko sudah semakin mengkeret, jarak Hoat-ong dengan dia sekarang kurang dari satu meter, ia pikir kalau Hwesio tua mendesak maju lagi sedikit segera-akan kusabet dia dengan lengan baju kanan, andaikan tak dapat membinasakan dia, sedikitnya juga akan membikin dia kepala pusing dan mata ber-kunang2.

Hoat-ong terkesiap juga ketika melihat bahu kanan Nyo Ko bergerak sedikit, sebagai orang yang maha cerdik segera ia tahu maksud si anak muda, pikirnya: "Kebasan lengan bajumu memang hebat tapi biarlah kutahan disabet oleh lengan bajurmu ketika itu tenaga tangan kirimu tentu akan berkurang, kalau aku menyerang sepenuh tenaga secara mendadak tentu kaupun akan terluka parah."

Selama menggelendot di tubuh Nyo Ko, keadaan Siao-liong-li semakin lemah hingga hampir tak sadarkan diri, ketika anak muda itu mengerahkan tenaga dalam, jalan darahnya bertambah cepat, suhu badannya semakin panas, karena rasa panas badan anak muda itu semakin bertambah, Siao-liong-li lantas membuka mata, dilihatnya dahi Nyo Ko ada butiran keringat, ia coba mengusapnya dengan lengan baju.

Ketika melihat anak muda itu menatap tajam ke depan dengan sikap prihatin iapun mengikuti arah yang dipandang itu, tapi ia menjadi kaget, dilihatnya sepasang mata Kim-lun Hoat-ong-melotot seperti gundu dengan sorot mata yang buas, jaraknya sangat dekat di depannya.

Dengan rada takut Siao-liong-li memejamkan lagi matanya, waktu membuka mata pula dilihatnya wajah Hoat-ong dengan4 mata melotot itu bertambah dekat lagi, Akhirnya ia mendongkol dia menggelendot dalam pelukan kekasih, justeru orang melototnya secara menjemukan!

Tak terpikir olehnya bahwa saat itu Hoat-ong sedang menempur Nyo Ko, ia hanya anggap Hwesio itu adalah musuh dan juga tidak ingin Hwesio itu mengganggu kebahagiaannya disamping Sang kekasih, maka ia lantas mengeluarkan sebuah jarum tawon putih, pelahan2 ia mencolokkan jarum itu ke mata kiri Hoat-ong.

Jangankan jarum itu berbisa, biarpun jarum biasa, kalau bola mata tertusuk juga pasti buta seketika. Hanya saja tujuan Siao-liong-li cuma ingin menghalau pandangan mata musuh yang menjemukan itu, pula dia terluka parah, maka waktu menjulurkan jarumnya itu menjadi tak bertenaga dan maju dengan sangat pelahan.

Namun saat itu Hoat-ong sedang mengadu tenaga dalam dengan Nyo Ko, sedikit bergeser saja pasti akan celaka, Maka ketika jarum Siao-liong-li itu menusuk tiba dengan pelahan, sama sekali ia tidak dapat mengelak atau melawannya.

Tertampaklah jarum sudah semakin mendekat dan makin mendekat, dari belasan senti menjadi beberapa senti di depan matanya dan kini tinggal satu dua senti saja, Mendadalc Hoat-ong berteriak keras2, kedua rodanya didorong ke depan, ia sendiri lantas berjumpalitan ke belakang, namun begitu tenaga Nyo Ko yang terkumpul pada pedangnya itu sukar dielakan semua, baru saja Hoat-ong dapat berdiri, tubuhnya lantas tergeliat dan akhirnya jatuh terduduk.



"Suhu!" teriak Darba dan Hotu berbareng, mereka terus menubruk maju hendak memayang bangun sang guru.

Sementara itu Nyo Ko telah ayun pedangnya hingga roda emas dan besi lawan terbelah menjadi dua, menyusul ia terus memburu maju, pedangnya memotong ke tubuh Kim-Iun Hoat-ong yang terduduk itu.

Hoat-ong belum mampu menghimpun kembali tenaganya, dia terduduk dengan lunglai dan tidak sanggup melawan sedikitpun Cepat Darba angkat gadanya dan Hotu juga angkat kipas bajanya ke atas untuk menahan bacokan pedang Nyo Ko.

Namun tenaga bacokan Nyo Ko itu sangat hebat, apalagi bobot pedangnya memang juga berat, seketika Darba dan Hotu merasa kaki lemas dan tidak tahan, serentak mereka bertekuk lutut, walau pun begitu mereka tetap bertahan mati2an demi untuk menyelamatkan sang guru.

Daya tekanan Nyo Ko semakin kuat, Darba dan Hotu angkat senjata mereka dan bertahan sepenuh tenaga, tulang punggung mereka serasa mau patah, rasa tulang sekujur badan berbunyi berkeriukan: Tiba2 Hotu berkata: "Suheng, tahanlah sejenak, biar ku tolong Suhu, habis itu segera kubantu kau lagi."

Dengan gabungan tenaga kedua orang saja tidak mampu menahan, apalagi cuma Darba sendirian, mana dia mampu menahan daya tekanan pedang Nyo Ko itu. Tapi dia m,emang orang yang polos dan berbudi, demi keselamatan sang guru ia rela mengorbankan segalanya, segera ia mengiakan ucapan Hotu itu dan sekuamya mengangkat gadanya ke atas.

Hotu dan Darba bicara dalam bahasa Tibet, sehingga Nyo Ko tidak paham apa artinya, hanya tiba2 dirasakan tenaga gada lawan bertambah, ketika dia hendak menekan ke bawah lebih kuat, saat itulah Hotu melompat mundur.

Nyata Hotu adalah manusia licik dan licin mana dia bermaksud menyelamatkan sang guru, yang benar adalah ingin menyelamatkan diri sendiri. Begitu lolos segera ia berseru: "Suheng, siaute akan pulang untuk berlatih lagi, sepuluh tahun kemudian akan kucari bocah she Nyo ini untuk membalas sakit hati Suhu dan kau!"

Habis berkata ia terus berlari pergi secepat terbang dan menghilang dalam sekejap saja.

Merasa diakali Sutenya Darba menjadi murka, diingatnya Nyo Ko adalah retnkarnasi (penjelmaan) Toasuhengnya, ia heran mengapa orang berbuat begini terhadap guru sendiri? Segera ia berseru: "Toasuheng, harap engkau ampuni jiwaku, nanti setelah kuantar pulang Suhu dengan selamat, akan kucari Sute yang durhaka itu untuk kucincang hingga hancur lebur, habis itu akan kuserahkan diriku dan terserah cara bagaimana Toasuheng akan berbuat padaku, baik mau dibunuh atau dibakar, sedikitpun siaute pasti takkan melawan."

Dengan sendirinya Nyo Ko tidak paham apa arti ocehan Darba itu, tapi dilihatnya Hotu lari meninggalkan Suhu dan Subeng yang sedang terancam bahaya maut, betapapun ia juga bersimpatik pada Darba yang setia dan jujur itu. Waktu ia menoleh sedikit, dilihatnya Siao-liong-li sedang memandang padanya dengan penuh rasa kasih mesra.

Alangkah bahagia perasaan Nyo Ke, seketika rasa ingin membunuh untuk menuntut batas sakit hati segala terlempar ke awang2, terasa segala dendam dan benci di dunia ini bukan apa2 lagi, segera ia angkat pedangnya dan berkata kepada Darba: "Baiklah, kau pergi saja!"

Segera Darba berbangkit tapi lantaran terlalu banyak keluar tenaga, seluruh tubuh menjadi lemas ia tidak kuat memegangi gadanya lagi dan jatuh ke tanah. Cepat ia menyembah beberapa kali pada Nyo Ko sebagai tanda terima kasihnya, sementara itu Kim-lun Hoat-ong masih duduk di tanah tak bisa berkutik, tanpa bicara lagi Darba lantas memanggul sang guru dan dibawa pergi tanpa menjemput kembali gadanya.

Menyaksikan Nyo Ko hanya dengan satu tangan saja dapat mengalahkan semua tokoh terkemuka pihak MongoI, para Busu Mongol menjadi ketakutan, serentak mereka berteriak dan be-ramai2 membawa Siau-siang-cu, In Kik-si dan Ntano Singh yang terluka parah, hanya sekejap saja merekapun kabur.

Hanya Be Kong~co saja yang tetap berdiri di situ, ia mendekati Nyo Ko dan mengangkat ibu jarinya, katanya: "Adik cilik, sungguh hebat."

"Be-toako" jawab Nyo Ko, "kawan2mu adalah manusia2 busuk semua, kau pasti rugi jika berkumpul dengan mereka, kukira lebih baik kau mohon diri pada Kubilai dan pulang saja ke kampung halamanmu."

"Ucapanmu memang betuI," ujar Be Kong-eo, ia memandang sekejap pada Siao-liong-li yang tetap cantik motek itu meski dalam keadan terluka parah, lalu berkata pula: "Kapan kau akan menikah dengan nona ini, bagaimana kalau kutinggal di sini untuk meramaikan pestamu?"

Nyo Ko tersenyum getir sambil memggeleng kepala, lalu ia memandang sekeliling, beberapa ratus Tosu yang masih merubung disekitarnya itu.

"Aha, betul, masih ada kawanan Tosu busuk ini, bagaimana kalau kubantu kau membereskan mereka?" kata Be Kong-co.

Sudah tentu Nyo Ko tidak ingin orang lain ikut menyerempet bahaya baginya, segera ia berseru: "Kau lekas pergi saja, aku sendiri dapat melayani mereka."

Be Kong-co melengak, tapi cepat ia mengerti, serunya sambil bertepuk tangan: "Benar, benar! Bahkan Hwesho gede dan mayat hidup yang lain itupun bukan tandinganmu kawanan Tosu busuk ini masakah mampu melawan kau? Eh, adik cilik dan nona cantik, aku Be Kong-co mohon diri!"

Habis itu ia terus melangkah pergi sambil menyeret toyanya hingga menimbulkan bunyi gemerantang ketika toya tembaganya menggesek batu di sepanjang jalan.

Be Kong-co tidak tahu bahwa ada "perang dingin" antara Kim-lun Hoat-ong dan kawannya sendiri, waktu Nyo Ko menempur mereka satu per-satu, mereka masing2 sengaja menonton belaka dengan harapan akan menarik keuntungan dari hasil pertarungan itu.

Coba kalau mereka mengerubut maju sekaligus, biarpun kepandaian Nyo Ko setinggi langit juga sukar melayani keroyokan lawan sebanyak itu. Apalagi sekarang kalau harus menghadapi pihak Coan-cin-kau, kawanan Tosu itu sudah terlatih dan penuh disiplin, kalau Khu Ju-ki sudah memberi perintah, daya tempur mereka bahkan jauh lebih hebat daripada Kim-lun Hoat-ong dan begundalnya itu.

Begitulah dengan pedang menahan tanah, Nyo Ko pandang kawanan Tosu itu dengan dingin.

Dengan suara lantang Khu Ju-ki lantas berkata : "Nyo Ko, kepandaianmu sudah terlatih sedemikian tinggi dan sudah melebihi kaum kita, Namun ibegitu, menghadapi Coan-cin-kau kami yang berjumlah beberapa ratus orang ini, apakah kau kira mampu meloloskan diri?"

Sejauh Nyo Ko memandangi yang tertampak memang gemerdepnya pedang belaka, setiap tujuh orang Tosu terbentuk menjadi satu regu ber-deret2 susun menyusun sehingga dirinya dan Siao-liong-li terkepung di tengah, walaupun setiap barisan pedang itu terbentuk dari tujuh Tosu yang berkepandaian biasa saja, namun daya tempurnya cukup menandingi seorang tokoh kelas satu, kini di sekitar Nyo Ko sedikitnya ada beberapa puluh barisan pedang.



Sudah tentu anak muda itu pantang menyerah, ia coba melangkah maju, serentak tujuh Tosu itu mengadangnya dengan ujung pedang siap menusuk. Waktu Nyo Ko menusukkan pedangnya, seketika ke tujuh Tosu itu menangisnya dengan tujuh pedang pula, terdengarlah suara gemerantang ramai, tujuh pedang patah semua, yang terpegang di tangan para Tosu itu tertinggal garan pedang saja, keruan para Tosu itu kaget dan cepat meloncat ke samping.

Cepat Ong Ju-it memberi komando dan segera barisan pedang lain mengadang pula kedepan Nyo Ko. Namun sekali pedang anak muda itu menyabet, biarpun kawanan Tosu itu juga bergerak cepat menggeser tempat, tidak urung dua Tosu telah menjerit, seorang terluka pinggang dan yang lain tertabas pahanya keduanya lantas roboh terguling.

Pada saat kun Khu Ju-ki juga telah memberi perintah, empat belas pedang sekaligus mengancam bagian belakang Nyo Ko dan Siao-liong-li. Kalau Nyo Ko putar pedangnya ke belakang, andaikan sekaligus dapat mengguncang pergi senjata2 itu, tapi kalau salah satu pedang itu tertinggal tentu Siao-liong-li akan terluka pula. Karena sedikit ragu itulah, segera tujuh pedang lain kembali mengancam pula dari samping.

Dalam keadaan begini sekalipun Nyo Ko berjuang mati2an juga sukar untuk menyelamatkan Siao-liong-li, untunglah Khu Ju-ki lantas berseru memberi perintah sehingga ke-21 pedang yang geroerdep itu cuma mengancam di depan tubuh Nyo Ko berdua.

"Nona Liong dan Nyo Ko, guru2 kita dahulu mempunyai hubungan yang erat, Coan-cin-kau kami sekarang mengalahkan kalian karena jumlah orang banyak, menangpun tidak gemilang rasanya, apalagi t nona Liong dalam keadaan terluka parah," demikian kata Khu Ju-ki. "Sejak dulu orang bilang: permusuhan lebih baik di bereskan daripada diributkan. Bagaimana kalau perselisihan kita sekarang juga kita anggap selesai mulai sekarang tanpa mempersoalkan siapa benar dan salah?"

Sebenarnya antara Nyo Ko dan Coan-cin-kau juga tiada sesuatu dendam yang mendalam, dahulu Hek Tay-thong salah mencelakai Sun-popoh, untuk itu Hek Tay-thong sangat menyesal dan rela menebus kesalahan itu dengan jiwanya, jadi persolan itu sudah beres. sekarang kedatangannya juga untuk mencari Siao-liong-li saja dan tiada maksud memusuhi Coan-cin-kau, karena itu apa yang dikatakan Khu Ju-ki itu dapat diterimanya, iapun berpikir tiada artinya bertempur dengan orang2 Coan-cin-kau, yang paling penting harus menyelamatkan jiwa sang Kokoh lebih dulu.

Belum ia menjawab, tiba2 sorot mata Siao-liong-li pelahan memandang sekeliling kawanan Tosu itu, lalu bertanya dengan suara pelahan: "Mana In Ci-peng?"

Setelah terhantam roda punggungnya serta dada tertusuk pedang, luka In Ci-peng cukup parah, cuma seketika belum mati, ia menggeletak di samping sana dalam keadaan kempas~kempis. Ketika samar2 ia mendengar namanya disebut oleh suara yang lembut seketika hatinya tergetar hebat, entah darimana datangnya tenaga, serentak ia berbangkit dan menerobos ke tengah barisan pedang sambil berseru: "Aku berada di sini, nona Liong!"

Sejenak Siao-liong-li menatapnya, tertampak jubah Ci-peng penuh berlumuran darah dan bermuka pucat, putus asa dan remuk redam hati Siao-liong-li katanya dengan gemetar kepada Nyo Ko: "Ko ji, kesucianku telah dinodai orang ini, biarpun sembuh juga takdapat kuhidup bersamamu. Namun dia dia menyelamatkan aku dengan mati2an, maka kau tidak perlu... tidak perlu lagi membuat susah dia. pendek kata, nasibku sendiri yang buruk."

Dasar hatinya memang suci bersih, ia tidak pantang omong apapun dihadapan orang, meski di depan be-ratus2 orang tetap diucapkannya pengalamannya yang pahit itu. setelah merandek sejenak, ia tersenyum manis dan berkata pula pada Nyo Ko dengan lirih: "Kini, mati di sisimu, hatiku... hatiku terasa sangat bahagia."

Sampai di sini tiba2 teringat sesuatu olehnya, disambung pula: "Puteri Kwe-tayhiap itu telah mengutungi lenganmu, dia pasti tak dapat meladeni kau dengan baik, lalu siapa yang akan menjaga kau kelak?"

Teringat pada persoalan ini, ia menjadi sedih, dengan suara lemah ia berkata pu!a: "Ko-ji, selanjutnya kau akan hidup sendirian, tiada... tiada seorangpun menemani kau..."

"Jangan kuatir, kau takkan meninggal," kata Nyo Ko dengan suara halus, "Kita pasti akan berada bersama untuk selamanya."

Tadi ketika mendengar pesan Siao-liong-li pada Nyo Ko agar jangan membikin susah padanya, semuanya dianggap nasibnya sendiri yang buruk, ucapan Siao-liong-li itu membikin perasaan In Ci-peng sangat terharu, hatinya seperti di-sayat2, tidak kepalang menyesalnya atas perbuatannya yang salah itu sehingga mengakibatkan si nona menderita batin selama hidup, sungguh matipun sukar menebus dosanya itu.

Segera ia berseru kepada Coan-cin-ngo-cu: "Suhu dan para Susiok, semua ini adalah karena perbuatanku dosaku teramat besar, hendaklah kalian jangan sekali membikin susah nona Liong dan Nyo-siauhiap." - Habis berkata, ia melompat maju dan menubruk ke ujung barisan pedang para Tosu itu, seketika tubuhnya tertembus oleh beberapa pedang dan binasa.

Kejadian ini sama sekali di luar dugaan semua orang, keruan para Tosu itu berteriak kaget, Tapi mereka menjadi paham setelah mendengar ucapan Siao-Hong-li serta pengakuan In Ci-peng tadi, jelas In Ci-peng telah melanggar kesucian Siao-liong-li dengan cara2 yang rendah.

Karena kesalahan ternyata terletak pada pihak sendiri, Coan-cin-ngo-cu menjadi malu, namun serba susah juga, untuk menyatakan penyesalan mereka dan minta maaf.

Setelah memandang sekejap kepada para Sute-nya, segera Khu Ju-ki memberi perintah agar barisan pedang itu membubarkan diri. seketika terdengarlah suara gemerincing nyaring pedang dimasukkan ke-sarungnya serta terluang sebuah jalan bagi kepergian Siao-liong-li dengan Nyo Ko.

Nyo Ko masih merangkul pinggang Siao-Iiong-li dengan lengan bajunya yang tak berlengan itu, tiba2 teringat olehnya bahwa jiwa sang Kokoh tinggal beberapa saat saja, apakah dapat tertolong sungguh sukar dibayangkan. Dahulu dia pernah tanya padaku apakah aku mau mengambil dia sebagai isteri waktu itu aku bingung dan tidak menjawabnya sehingga kemudian timbul macam2 kejadian yang merisaukan. Kini keadaan sudah mendesak, waktu tidak banyak lagi, harus kubikin Kokoh merasa senang dan puas.

Maka dengan suara keras ia lantas bersuara:

"Kokoh, persetan tentang guru dan murid atau soal kebersihan nama segala, asalkan kita berdua saling mencintai, masakah di dunia ini ada soal nasib buruk segala? Bagaimana orang lain akan berpikir dan bicara mengenai diri kita, peduli amat, biarkan mereka pusing kepala sendiri."

Senang sekali hati Siao-liong-li, ia pandang anak muda itu dan bertanya: "Ucapanmu ini apakah timbul dari lubuk hatimu sungguh2 atau demi untuk menyenangkan aku sengaja kau ucapkan kata2 enak didengar ini?"



"Sudah tentu sungguh2," jawab Nyo Ko. "Tanganku buntung dan kau tambah kasih sayang padaku. Kau mengalami bencana, akupun semakin kasih sayang padamu."

"Benar, di dunia ini kecuali kita berdua sendiri memang tiada orang lain yang mau perhatikan kita," ujar Siao-Iiong-li dengan pelahan.

Beberapa ratus Tosu yang sudah lama tirakat dan jauh dari urusan kehidupan manusia itu menjadi serba runyam ketika mendadak mendengar u-capan kedua muda mudi yang penuh kasih mesra itu, semuanya saling pandang dengan wajah merah jengah.

Segera Sun Put-ji membentak: "Lekas kalian pergi saja dari sini, Tiong-yang-kiong adalah tempat suci, tidak pantas kalian mengucapkan kata2 tidak sopan di sini."

Akan tetapi Nyo Ko malah berseru pula: "Dahulu Tiong-yang Cosu dan Lim-cosu sebenarnya adalah suatu pasangan yang setimpal, tapi entah sebab tata adat apa yang menyebabkan gagalnya perjodohan mereka dan meninggalkan penyesalan selama hidup, Kokoh justeru kita menikah di hadapan pemujaan Tiong-yang Cosu untuk melampiaskan rasa dongkol Lim-cosu kita."

Siao-liong-li tertawa manis, ia menghela napas dan menjawab: "Ko~ji, kau sungguh baik padaku,"

Tentang hubungan cinta antara mendiang Ong Tiong-yang dan Lim Tiau-eng, hal ini cukup diketahui oleh Coan-cin-ngo-cu. Maka hati mereka tergetar demi mendengar Nyo Ko mengungkat urusan itu. Sun Put-ji lantas membentak pula: "Mendiang guru kami mendirikan Coan-cia-kau ini dengan kepintaran dan keyakinan yang penuh, jika kau berani sembarangan omong dan bertindak di sini, jangan menyesal jika pedangku tidak kenal ampun padamu," ~Sret, segera ia melolos pedangnya.

padahal melulu kepandaian Sun Put-ji sendiri sejak dulu juga bukan tandingnan Nyo Ko, tapi sekali bergerak, tentu be-ratus2 Tosu itu takkan tinggal diam. Maka Nyo Ko hanya melirik sekejap saja padanya dan tidak menggubris, ia membatin : "Betapapun aku harus segera menikah dengan Kokoh, Kalau tidak dilaksanakan di sini, jangan2 setelah meninggalkan Tiong-yang-kiong ini Kokoh lantas tak tertolong lagi, tentu Kokoh akan meninggal dengan menyesali

Biasanya Nyo Ko memang suka bertindak menuruti kehendaknya, sekali dia menyatakan ingin menikah di hadapan pemujaan Tiong-yang Cosu, maka apapun yang akan terjadi pasti akan dilaksanakannya.

Dilihatnya sebagian besar kawanan Tosu itu sudah menghunus pedangnya dan siap tempur ia lantas berkata : "Sun- totiang, jadi kau sengaja mengusir kami?"

Dengan suara ketus Sun Put-ji membentak pula: "Pergi, lekas pergi! selanjutnya Coan-cin-kau putus hubungan dengan Ko-bong-pay, paling baik kalau kita tidak bertemu lagi!"

Tadinya Nyo Ko berdiri menghadapi Tiong-yang-kiong, ia menghela napas panjang mendengar ucapan Sun Put-ji yang tegas itu, ia membalik tubuh dan melangkah ke kuburan kuno, dua langkah ia berjalan, berbareng ia mengembalikan pedang pada pinggangnya, lengan baju kanan mengebas dan memayang Siao-liong-Ii. Tiba2 ia menengadah dan tertawa ter-bahak2. Begitu keras suara tertawanya hingga mengejutkan semua orang.

Baru selesai tertawa, mendadak ia melepaskan Siao-Iiong-Ii-dan melompat mundur, tahu2 Hjat-to bagian pergelangan tangan kanan Sun Put-ji kena dipegangnya, Ketika Siao Iiong-ir kehilangan sang-gahan dan mulai sempoyongan pada saat itu juga Nyo Ko sudah melompat tiba pula dengan membawa Sun Put-ji.

Gerakan melompat mundur dan maju sungguh cepat dan gesit luar biasa, belum lagi para Tosu menyadari apa yang terjadi, tahu2 Sun Put-ji sudah berada dalam cengkeraman Nyo Ko dan tak bisa berkutik.

Sebenarnya tokoh berpengalaman sebagai Khu Ju-ki, Ong Ju-it, Sun Put-ji dan lain2 juga sudah waswas sebelumnya kalau mendadak Nyo Ko melancarkan serangan dan menawan salah seorang kawannya untuk dijadikan sandera. Mereka menyaksikan Nyo Ko menyimpan kembali senjatanya dan melangkah pergi, tangan satunya digunakan pula untuk memayang Siao-liong-li, siapa tahu anak muda itu sengaja mengacaukan perhatian lawan dengan tawanya, lalu mendadak melakukan sergapan dan berhasil menawan Sun Put-ji.

Serentak para Tosu itu ber-teriak2 dan merubung maju dengan pedang terhunus, tapi mereka menjadi mati kutu dan tidak berani sembarangan bertindak karena Sun Put-ji berada dalam genggaman musuh.

Dengan suara pelahan Nyo Ko berkata: "Maaf, Sun-totiang, terpaksa kulakukan begini dan membikin susah kau." ia terus gandeng tangan Sun Put-ji itu, bersama Siao-liong-Ii mereka lantas melangkah pelahan ke pendopo Tiong-yang-kiong, Para Tosu mengikut dari belakang, semuanya merasa gusar dan kuatir pula, tapi tidak berani bertindak.

Setelah memasuki pintu halaman dan menyusun serambi samping, akhirnya Nyo Ko dan Siao-liong-li sampai di ruangan induk Tiong-yang-kiong dengan Sun Put-ji sebagai sanderanya, Nyo Ko menoleh dan berseru kepada para Tosu: "Hendaknya kalian menunggu di luar ruangan, siapapun dilarang masuk, Kami berdua sudah tidak memikirkan jiwa lagi, kalau sampai bergebrak, biarlah kami gugur bersama Sun-totiang sekaligus."

"Bagaimana, Khu suheng?" tanya Ong Ju-it pelahan.

"Tenang saja dan bertindaklah menurut keadaan" jawab Khu Ju-ki. "Tampaknya dia tidak bermaksud jahat pada Sun-sumoay."

Coan-cin-ngo-cu selamanya malang melintang di dunia Kangouw, namanya dihormati kawan dan disegani lawan, tak tersangka sekarang mereka malah mati kutu menghadapi seorang anak muda yang masih hijau begitu, sungguh mereka mendongkol tapi juga geli sendiri.

Nyo Ko lantas mengambil sebuah kasuran bundar untuk tempat duduk Sun Put-ji sambil menutuk pula Hiat-to bagian punggungnya,agar tidak dapat bergerak, Para Tosu ternyata tidak berani masuk sebagaimana telah diperingatkannya tadi, lalu ia memayang Siao-liong-li ke depan lukisan Ong Tiong yang, mereka berdiri berjajar.

Karena waktu kecilnya pernah belajar di Tiong-yang-kiong, bagi Nyo Ko lukisan Ong Tiong-yang itu sudah tidak asing lagi, sekarang ia coba memandang beberapa kali lukisan itu, terlihat Tojin yang terlukis itu menghunus pedang dengan gagahnya, usianya antara 30 tahun, di tepi lukisan ada tiga huruf: "Hoat-su-jin" (orang hidup mati, artinya orang yang hidup ini tiada ubahnya seperti orang sudah mati), Lukisan itu cuma terdiri dari beberapa goresan saja, tapi orang yang terlukis itu tampak gagah perkasa, jelas goresan itu berasal dari tangan pelukis yang mahir.

Tiba2 Nyo Ko teringat bahwa di dalam kuburan kuno itu juga ada sebuah lukisan diri Ong Tiong-yang, meski lukisan di Tiong-yang-kiong, ini tokoh yang dilukiskan ini berdiri menghadap ke depan dan lukisan di kuburan itu bagian samping, namun gaya goresan pelukisnya jelas sama, Segera ia berkata: "Kokoh, lukisan inipun buah tangan Lim cosu."

Siao-liong-li mengangguk dan tersenyum manis padanya, katanya dengan suara lirih: "Kita menikah di hadapan lukisan Tiong-yang Cosu, sedangkan lukisan ini adalah buah tangan Lim-cosu, sungguh sangat kebetulan dan baik sekali."



Nyo Ko lantas menggeser dua buah kasuran bundar dan dijajarkan di depan lukisan, lalu berseru: "Tecu Nyo Ko dan perempuan she Liong sekarang mengikat menjadi suami- isteri di depan Tiong~yang-Cosu, beberapa ratus Totiang dari Coan-cin-kau yaing hadir di sini adalah saksi semua." - Sembari berkata ia terus berlutut di atas sebuah kasuran, ketika melihat Siao-liong-li masih berdiri tegak, segera ia berkata puIa: "Kokoh, sekarang juga kita melangsungkan upacara nikah, hendaklah kaupun berlutut di sini!" .

Siao-liong-li termenung diam, kedua matanya tampak merah dengan air mata ber~Iinang2. sejenak barulah ia berkata: "Ko-ji, tubuhku sudah tidak bersih lagi, pula ajalku sudah dekat, buat apa.... buat apa kau begini baik padaku?"

Sampai di sini tak tertahankan lagi air matanya bercucuran laksana butiran mutiara.

Nyo Ko lantas berdiri lagi dan mengusapkan air mata si nona, katanya dengan tertawa: "Kokoh, masakah kau masih belum memahami hatiku?"

Siao-liong-li mengangkat kepalanya memandangi Nyo Ko, terdengar anak muda itu berkata pula: "Sungguh kuharap kita berdua dapat hidup seratus tahun lagi agar kusempat membalas budi kebaikanmu dahulu padaku, andaikan tidak dapat, kalau Thian (Tuhan) cuma berkenan memberi hidup satu hari saja kepada kita, maka bolehlah kita menjadi suami-isteri satu hari, jika cuma diberi hidup lagi satu jam, biarlah kitapun menjadi suami-isteri satu jam."

Tidak kepalang rasa haru Siao-Siong-li melihat kesungguhan hati anak muda itu dengan sorot matanya yang penuh kasih mesra, wajahnya yang pedih pelahan2 menampilkan senyuman manis, air mata masih meleleh di pipinya, namun jelas tak terkatakan rasa bahagianya, pelahan iapun berlutut di atas kasuran itu.

Nyo Ko lantas berlutut pula, keduanya lantas menyembah kepada lukisan itu, hati mereka merasa bahagia, segala duka derita di masa lalu serta ajal yang sudah dekat sama sekali tidak berarti apa2 bagi mereka. BegituIah mereka saling pandang dengan tersenyum, dengan suara pelahan Nyo Ko ber-doa: "Tecu Nyo Ko dan Siao-liong-li saling mencintai dengan setulus hati, semoga selalu dilahirkan menjadi suami isteri, kekal dan abadi."

Dengan suara pelahan Siao-liong-li juga mengikuti doa Nyo Ko itu dengan khidmat.

Sun Put-ji duduk di sebelah mereka, meski tubuh tak bisa bergerak, tapi dia dapat melihat dan mendengar, sikap dan ucapan,kedua anak muda itu dapat diikutinya dengan jelas. Semakin melihat semakin dirasakannya tindak tanduk kedua orang muda itu sungguh suci murni, biarpun perbuatan mereka itu melanggar adat, namun semua itu timbul dari pikiran yang bersih, dari jiwa yang luhur.

"Kini kami sudah terikat menjadi suami-isteri, sekalipun harus mati dengan segera juga tidak menyesal lagi," demikian pikir Nyo Ko. Semula ia kuatir kawanan Tosu itu akan menyerbu ke dalam ruangan untuk merintangi perbuatan mereka itu, kini rasa kuatir itu telah lenyap semuanya. Dengan tertawa ia berkata: "Kokoh, diriku adalah murid yang murtad Coan-cin-pay, hal ini sudah terkenal di dunia persilatan Engkau sendiri ternyata juga seorang murid maha murtad."

"Benar," jawab Siao-liong-li. "Suhu,melarang aku memikirkan cinta, melarang aku menerima murid lelaki, lebih2 dilarang menikah, tapi sebuahpun aku tidak mematuhinya, jadi penderitaan kita ini memang juga setimpal."

"Biarlah, sekali murtad tetaplah murtad," seru Nyo Ko. "Ong-cosu dan Lim-cosu jauh lebih perkasa, lebih ksatria daripada kita, namun mereka justeru tidak berani menikah. Kalau kedua Cosu itu mengetahui di alam baka belum tentu beliau2 itu akan menyalahkan kita."

Selagi Nyo Ko menyatakan tekadnya itu dengan penuh bersemangat dan bangga, pada saat itulah se-konyong2 terdengar suara gemuruh di atap rumah disertai dengan berhamburnya genting pecah dan kasxti pecah, menyusul sebuah genta seberat beberapa ratus kati anjlok dari atas tepat di atas kepala Sun Put-ji.

Tergerak hati Nyo Ko dan seketika iapun paham duduknya perkara, secepatnya ia melompat maju, tangan kiripun sudah melolos Hian-tiat-pokiam, pedang tumpul yang berat itu.

Kiranya perbuatan Nyo Ko dan Siao-liong-li yang melangsungkan upacara nikah di ruangan besar Tiong-yang-kiong itu telah menimbulkan rasa gusar para Tosu Coan-cin~kau. Diantara Coan-cin ngo-cu itu Lau Ju-hian paling banyak tipu akalnya, ia tahu kalau menyerbu ke dalam mungkin Sun Put-ji akan menjadi korban lebih dulu.

Tiba2 ia mendapatkan akal, ia bisik2 berunding dengan Ong Ju-it, Khu Ju ki dan Hek Tay-thong bertiga, habis itu ia memberi pesan kepada anak muridnya agar mengambil genta raksasa yang beratnya ribuan kati di belakang istana, Khu Ju-ki berempat lantas menggotong genta raksasa itu dan meloncat ke atas wuwungan, lalu mendadak genta itu dijatuhkannya ke bawah sehingga atap rumah berlubang, genta itu dijatuhkan tepat di atas tubuh Sun Put~ ji.

Asalkan Sun Put-ji tertutup di dalam genta dan Nyo Ko tidak dapat mencelakai dia, maka be-ramai2 kawanan Tosu itu akan dapat mengerubut dan menawan Nyo Ko berdua.

Akal itu sebenarnya sangat bagus, tapi Lau Ju-hian tidak tahu bahwa kini ilmu pedang Nyo Ko benar2 sudah maha sakti, tenaga dalamnya juga maju banyak, sekali pedang tumpul itu ditusukkan ke depan, "trang", tahu2 genta raksasa itu tergeser menceng sedikit ke samping dan jatuhnya tepat akan menindih tubuh Sun Put-ji.

Kejadian ini dapat disaksikan dengan jelas Lau Ju-hian berempat dari atas, mereka sama menjerit kaget dan berduka, sama sekali mereka tidak mengira tenaga anak muda itu sedemikian hebatnya, Lau Ju-hian sampai memejamkan matanya untuk menyaksikan nasib buruk Sun Put-ji yang akan tertimpa genta itu.

Tak terduga segera terdengar Khu Ju-ki berseru: "Terima kasih atas kemurahan hatimu!"

Waktu Lau Ju-hiaa membuka kembali matanya, ia menjadi heran, ternyata genta itu telah mengurung rapat Sun Put-ji di dalamnya, di samping genta tiada sesuatu tanda bekas tertindihnya Sun Put-ji bahkan ujung jubahnya juga tidak kelihatan.

Rupanya waktu Nyo Ko melihat genta yang ditolak oleh pedangnya itu bakal menimpa Sun Put-ji dan pasti akan membuatnya binasa, tiba2 teringat olehnya bahwa baru saja kami menikah, tidaklah baik kalau mencelakai jiwa orang, apalagi To-koh tua itu juga tidak jahat, hanya wataknya saja yang rada aneh.

Karena pikiran itulah, secepat kilat ia mengebaskan lengan bajunya untuk mendorong kasur yang diduduki Sun Put ji itu sehingga tepat tertutup rapat di dalam genta.

Khu Ju-ki berempat menjadi serba salah sekarang, mereka merasa tidak pantas lagi memusuhi Nyo Ko, namun anak muridnya tadi sudah diberi pesan bila genta itu sudah dijatuhkan ke bawah, serentak mereka harus menyerbu ke dalam pendopo, Anak murid mereka tentu tidak dapat menyaksikan apa yang terjadi di bagian dalam, maka saat itu kawanan Tosu itu be-ramai2 sudah mulai menyerbu.

Melihat suasana rada gawat, cepat Nyo Ko gantungkan pedang pada pinggangnya, ia rangkul Siao-liong-li terus dibawa, lari ke ruangan belakang.



"Perhatian para anak murid, jangan sekali2 mencelakai jiwa mereka berdua," seru Khu Ju-ki dengan suara lantang.

Dalam pada itu para Tosu itu lantas mengudak ke belakang sambil ber-teriak2. Sebelum itu Lau Ju-hian juga sudah menyiapkan 21 murid pilihan di halaman belakang pendopo, baru saja Nyo Ko keluar, tertampak sinar pedang gemerdapan, mereka telah dipapak oleh barisan pedang.

Tiba2 Nyo Ko berpikir bahwa lebih baik menerjang keluar melalui lubang atap yang jebol oleh genta raksasa tadi, meski di atas atap ada dijaga oleh keempat tokoh utama Coan cin-pay, tampaknya mereka berempat takkan melancarkan serangan maut padaku. Karena pikiran ini, segera ia berlari kembali ke ruangan pendopo,

Kedua tangan Siao-liong-li merangkul kencang di leher Nyo Ko, katanya dengan suara lembut: "Kita sudah terikat menjadi suami-isteri, cita2 hidup kita sudah tercapai. Adalah baik kalau kita dapat menerjang keluar, andaikan tidak dapat juga tidak menjadi soal."

"Benar," kata Nyo Ko, begitu kakinya bekerja . "blak~bluk", kontan dua Tosu yang mengadangnya didepaknya hingga terjungkal

sementara itu ruangan pendopo itu sudah penuh berjubel kawanan Tosu, karena itu barisan pedang Coan-cin-pay itu sukar dikerahkan Namun lengan kiri Nyo Ko digunakan memondong Siao-liong-li, hanya dengan kakinya saja ia dapat merobohkan musuh dan dengan sendirinya sukarlah baginya untuk lolos dari kepungan.

Diam2 ia menjadi gemas terhadap para Tosu itu. "Blang", kembali seorang Tojin ditendangnya terjungkal dan menumbuk jatuh pula dua kawannya.

Tengah ribut2 se~konyong2 dari luar sana berlari masuk seorang tua berjenggot dan berambut ubanan semua, di belakang si kakek mengikut suatu gerombolan besar tawon madu, orang itu ternyata Ciu Pek-thong adanya.

Pendopo Tiong-yang-kiong itu kacau balau sehingga bertambah seorang Ciu Pek-thong juga tidak menjadi perhatian orang Coan-cin-kau.

Tapi begitu tiba, segera kawanan tawon mencari sasarannya untuk disengat, keruan keadaan tambah gaduh, Ka-wanan tawon madu itu bukanlah tawon biasa, tapi adalah tawon putih piaraan Siao-liong-li di kuburan kuno itu.

Begitu tersengat tawon itu, seketika timbul rasa sakit dan gatal yang tak tertahankan. saking tidak tahan, sebagian Tosu itu sama ber-guling2 di lantai sambil ber-teriak2, keruan suasana tambah kacau.

Kiranya Ciu Pek-thong teramat kagum dan tertarik setelah menyaksikan Siao-liong-li dapat mengundang dan memimpin gerombolan tawon di luar kota Siangyang tempo hari, di luar tahu Siao-liong-li ia telah mencuri botol madu tawon nona itu dengan maksud akan menirukan kepandaian Siao-liong-li mengumpulkan barisan tawon.

Tak terduga, biarpun beberapa puluh ekor tawon dapat dipancing datang, tapi lantaran caranya tidak tepat, segerombolan tawon itu tidak mau tunduk pada perintahnya.

Ketika permainannya itu kemudian kepergok Siao-liong-li, Ciu pek-thong jadi malu dan cepat2 kabur. Tadinya dia bermaksud mencari Kwe Cing, tapi kuatir ketemu Siao-liong-li lagi di sana, ia batalkan maksudnya ke kota itu, setelah ditimbang, akhirnya ia ambil keputusan mengunjungi Cong-lam-san, tujuan utama dapat bertemu dengan para Sutit (murid keponakan) yang sudah belasan tahun tidak bcrjumpa, selain itu iapun ingin mencari Tio Ci-keng untuk ditanyai mengapa berani mengapusi dan mencelakai sang Susiokco?

Sepanjang jalan Ciu Pek'thong mempelajari madu tawon yang dicurinya dari Siao-liong-li itu, lama2 iapun dapat meraba sedikit cara2 memerintah kawanan tawon.

Perlu diketahui bahwa sifat Ciu Pek-thong memang kocak, ke-kanak2an, suka humor, senang gara2 dan cari perkara serta ugal2an, sebab itulah dia di beri julukan "Lo wan-tong" atau si anak tua nakal, tapi sesungguhnya dia bukan orang bodoh, bahkan sebenarnya otaknya sangat cerdas dan pintar, kalau tidak masakah ilmu silatnya dapat mencapai setinggi itu?

Begitulah karena hasratnya ingin meniru Siao-liong-li main-main dengan tawon, setibanya di Conglam-san ia benar2 ketemu batunya. Tawon putih itu berbeda daripada tawon madu biasa, bentuk badannya lebih besar, sengatannya juga berbisa, begitu mencium bau madu yang dibawa Ciu Pek-thong, serentak datanglah kawanan tawon itu sehingga membikin Ciu Pek-thong merasa kewalahan malah.

Kawanan tawon putih itu sudah biasa mengikuti suara dan gerak tangan Siao-liong-li, dengan sendirinya sukar bagi Ciu Pek-thong untuk menghalaunya, tidak hanya itu saja, bahkan terus mengikutinya. Melihat gelagat jelek, Ciu Pek-thong berlari ke Tiong-yang-kiong dengan tujuan mencari suatu tempat sembunyi yang baik. Kebetulan saat itu Tiong-yang-kiong sedang kacau balau dan ramainya bukan main:

Sekilas ia melihat Siao-liong-li berada di situ, ia terkejut dan bergirang pula, cepat ia melemparkan botol madu kepada Siao-liong-li sambil berseru. "Wah, celaka, aku tidak sanggup melayani tuan2 besar tawon ini, lekas kau menolong aku!"

Sekali kebas lengan bajunya dapatlah Nyo Ko menangkap botol madu itu, dengan tersenyum Siao liong-li menerima botol itu. Dalam pada itu gerombolan tawon itu beterbangan memenuhi ruangan pendopo, Khu Ju-ki berempat cepat melompat turun dari atap rumah untuk memberi hormat kepada sang Susiok.

Segera Hek Tay-thong berseru: "Lekas ambil obor, ambil obor!"

Para anak murid Coan-cin-kau menjadi sibuk, ada yang memutar pedang untuk mengusir kawanan tawon, ada yang cari selamat dengan menutupi muka dan kepala dengan lengan jubah, ada pula yang berlari pergi mengambil obor.

Ciu Pek-thong tidak pedulikan Khu Ju-ki dan lain2, batok kepala anak tua nakal itu sendiri sudah benjal-benjol tersengat tawon, yang dia harapkan adalah mencari suatu tempat sembunyi yang ia dapat diselundupi oleh tawon, Ketika tiba2 melihat sebuah genta besar terletak di situ, ia menjadi girang, Cepat ia mengungkap genta itu, tapi dilihatnya di bawahnya sudah ada seorang, tanpa diperhatkan siapa orang itu, ia lantas berkata: "Maaf, silakan menyingkir dulu."

Berbareng ia dorong Sun Putji keluar, ia sendiri lantas menyusup ke dalam genta, sekali lepas tangan, "blang", genta itu segera menutup rapat lagi. Girang luar biasa Ciu Pek thong berada di dalam genta, ia pikir biarpun gerombolan tawon yang ber-laksa2 jumlahnya juga tak dapat mengejarnya serta menyengatnya lagi.

Dalam pada itu Nyo Ko telah membisiki Siao liong-li: "Cepat kau memerintahkan bantuan tawon, kita terjang keluar saja,"

Biasanya yang selalu memberi perintah adalah Siao-liong-li, sekarang baru saja menjadi isterinya, untuk pertama kalinya ia dengar si Nyo Ko bicara seperti memberi perintah padanya, hati Siao-liong-li merasa sangat bahagia, pikirnya: "Ternyata dia tidak anggap aku sebagai gurunya lagi dan sungguh2 menganggap diriku sebagai isterinya."



Segera Siao-liong-li mengiakan dengan suara lembut dan penurut, ia lantas angkat botol madu dan diguncangkan beberapa kali sembari berseru beberapa kali. Karena bertemu dengan majikannya, kawanan tawon lantas bergerombol menjadi satu dalam waktu sekejap saja, Siao-liong-li terus memberi tanda dan membentak pula, gerombolan tawon itu lantas terbagi menjadi dua barisan, baris pertama mendahului di depan, barisan lain berjaga di belakang, Siao-liong-li dan Nyo Ko se-akan2 di-kawal oleh kedua barisan tawon itu terus menerjang ke belakang Tiong-yang-kiong.

Karena gara2 kedatangan Ciu Pek-thong, Khu Ju-ki dan kawan2nya menjadi serba runyam, tampaknya Nyo Ko berdua sudah mundur ke belakang istana, segera ia memberi perintah agar anak muridnya tidak mengejar. Ong Ju-it lantas membuka Hiat-to Sun Put-ji yang tertutuk itu, sedang Khu Ju-ki berusaha membuka genta.

Ciu Pek-thong yang sembunyi di dalam genta dengan sendirinya tidak tahu apa yang terjadi di luar, ketika merasakan genta itu hendak dibuka orang, ia menjadi kuatir dan berteriak: "Haya, celaka! Dengan kedua tangannya ia menahan dinding genta dan ditekan ke bawah.

Karena tenaga dalam Khu Ju-ki tidak lebih kuat daripada sang Susiok, "trang", baru tersingkap sedikit, segera genta itu jatuh lagi ke bawah.

Dengan tertawa Khu Ju-ki berkata kepada para Sutenya: "Susiok kembali bergurau lagi. Ma-rilah kita bekerja sama."

Segera Khu Ju-ki, Ong Ju-it, Lan Ju-hian dan Hek Tay-thong berempat sama sama menggunakan sebelah tangan untuk menahan genta itu, sekali bentak seketika genta itu terangkat ke atas, Tapi mereka lantas bersuara heran ketika tidak melihat bayangan seorangpun di bawah genta, Ciu Pek-thong ternyata sudah lenyap entah ke mana.

Selagi mereka melongo heran, tiba2 sesosok bayangan menyelinap keluar, Ciu Pek-thong sudah berdiri di situ dengan bergelak tertawa, Rupanya tadi dia sengaja pentang kaki dan tangannya menahan di dinding genta bagian dalam sehingga tubuhnya ikut terangkat ke atas, kalau genta itu tak di jungkir atau orang melongok ke bagian dalam genta tentu takkan melihatnya.

Khu Ju-ki dan lain2 lantas mengulangi lagi memberi hormat, tapi Ciu Pek-thong telah goyang2 tangannya dan bersem: "Sudah, anak2 tidak perlu banyak adat" padahal usia Khu Ju-ki dan kawan2 nya itu sudah berusia lanjut, tapi Ciu Pek-thong masih tetap menyebut mereka "anak2" saja.

Baru saja mereka hendak tanya sang Susiok, sekilas Ciu Pek-thong melihat Tio Ci-keng hendak mengeluyur pergi, sambil membentak segera ia melompat ke sana dan membekuknya seraya memaki: "Eh, hendak lari kau? jangan kau harap, hidung kerbau bangsat!"

Segera ia menyingkap genta raksasa itu -Ci~keng terus dilemparkan ke dalam, sekali lepas tangan, genta itu lantas menutup rapat lagi, malahan mulut Ciu Pek-thong belum berhenti memaki: "Hidung kerbau bangsat, hidung kerbau maling!"

"Hidung kerbau" adalah istilah olok2 pada kaum Tosu, Padahal yang hadir di situ sekarang, kecuali Ciu Pek-thong sendiri, selebihnya adalah Tosu semua, maka makian Ciu Pek-thong itu sama saja -memaki seluruh anggota Coau-ciu kau, Tapi lantaran sudah kenal sifat sang Susiok, Khu Ju-ki berlima hanya saling pandang dengan menyengir saja.

"Susiok," Ong Ju-it coba bertanya, "entah cara bagaimana Ci-keng bersalah kepada Susiok? Tecu pasti akan memberi hukuman setimpal padanya."

"Hehe, hidung kerbau bangsat ini memancing aku ke gua itu untuk mencuri panji, tapi di sana banyak tersembunyi labah2 besar, untung ada nona cilik itu, wah mana nona cilik itu? Nyo Ko mana pula?" begitulah Ciu Pek-thong menutur dengan tidak teratur

Sudah tentu Ong Ju-it tidak paham apa yang dimaksudkan sang Susiok, hanya kelihatan orang tua itu celingukan kian kemari ingin mencari Siao-hong-li. Pada saat itulah ada murid memberi laporan bahwa Nyo Ko dan Siao-liong-Ii telah mengundurkan diri ke belakang gunung dan masuk ke Cong-keng-kok (ruangan perpustakaan)

Keruan Khu Ju-ki berlima terkejut, Cong-keng-kok adalah tempat penting Coan-cin-kau, di mana tersimpan berbagai kitab pusaka serta dokumen2-rahasia yang menyangkut kepentingan agama mereka, kalau terjadi sesuatu akan berarti bahaya besar bagi nasib Coan-cin-kau mereka.

Cepat Khu Ju-ki berseru: "Marilah kita menyusul ke sana! Tadi Nyo Ko itu tidak melukai Sun-sumoay, sebaiknya permusuhan ini diubah menjadi persahabatan."

Sun Put-ji mengiakan, be-ramai2 mereka lantas berlari ke belakang. Hanya Ong Ju-it saja merasa kuatir Ci-keng mati sesak napas di dalam genta, betapapun Ci-keng adalah muridnya yang tertua, apalagi tindak tanduk sang Susiok biasanya terkenal angin2an, dalam urusan ini belum pasti Ci-keng yang bersalah, maka nanti masih harus ditanyai lebih jelas.

Karena itu ia lantas mengambil sepotong batu, ia singkap sedikit genta itu dan batu itu diganjalkan di bawahnya sebagai jalan hawa. Habis itu barulah ia berlari menyusul ke sana.

Setiba di depan Cong-keng-kok, terlihat ber-ratus2 anak murid sedang ber-kaok2, tapi tiada seorangpun yang berani naik ke loteng Cong-keng~ kok itu. Segera Khu Ju-ki berseru: "Nona Liong dan Nyo-siauhiap, segala persoalan biarlah kita anggap selesai dan marilah kita berkawan saja bagai-mana?"

Selang sejenak ternyata tidak terdengar sesuatu suara jawab, Khu Ju-ki lantas berkata pula: "Nona liong terluka, silakan turun saja dan berdaya untuk menyembuhkannya. Kami berjanji pasti takkan membikin susah kalian."

Akan tetapi sekian lamanya tetap tiada sesuatu suara apapun, pikiran Lau lu-hian tergerak, katanya: "Khu-suko, tampaknya mereka sudah pergi."

"Mana bisa?" ujar Ju-ki.

"Lihatlah kawanan tawon yang beterbangan serabutan itu," kata Ju-hian sambil mengambil sebuah obor dari seorang muridnya, lalu ia mendahului berlari ke atas loteng.

Be-ramai2 Khu Ju-ki dan lain2 juga ikut ke sana, benar juga ruangan perpustakaan itu ternyata kosong tiada seorangpun, di meja tengah ruangan itu tertaruh botol madu tawon itu, Seperti menemukan jimat saja, cepat Ciu Pek-thong menyamber botol itu dan dimasukkan bajunya.

Semua orang coba memeriksa sekitar Cong-keng-kok, tetap tiada menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan, hanya pada lantai di pojok ruangan sana ada setumpuk kitab, namun tiada tanda berkurangnya jumlah kitab, hanya peti tempat kitab2 itu sudah lenyap,

Tiba2 Hek Tay-thong berseru: "He, mereka kabur melalui sini" .

Semua orang mendekati jendela itu di bagian belakang loteng itu, terlihat seutas tali terikat pada jendela itu, ujung tali yang lain terikat pada pohon di tebing sebelah sana. Antara Cong-keng-kok dan tebing sana teralang oleh sebuah jurang yang lebarnya belasan meter, sebenarnya buntu tiada jalan tembus, sama sekali tak terduga bahwa Nyo Ko dapat menyeberang ke sana dengan melalui seutas tali itu dengan Ginkangnya yang hebat.



Nyo Ko dan Siao-liong-li melangsungkan upacara nikah di pendopo Tiong-yang-kiong, betapapun orang2 Coan-cin-kau merasa kehilangan muka karena takdapat mencegah perbuatan kedua muda-mudi itu kini kedua lawan telah pergi, Coan-cin-ngo-cu saling pandang dengan senyum kecut, namun hati terasa lega juga.

Yang paling dongkol dan penasaran sebenarnya adalah Sun Put-ji, tapi setelah menyaksikan cinta kasih Nyo Ko dan Siao-liong-li yang suci murni itu, pula pada detik yang berbahaya Nyo Ko juga menyelamatkan dia, tanpa terasa Sun Put-ji seperti kehilangan apa2 dan bungkam saja.

BegituIah Coan-cin-ngo-cu dan Ciu Pek-thong lantas kembali lagi ke ruangan pendopo untuk menanyai seluk-beluk datangnya utusan raja Mongol kita pertengkaran antara golongan In Ci-peng dengan komplotan Tio Ci-keng dan mendadak Siao-liong-li muncul sehingga terjadi pertarungan sengit itu.

Dengan sejujurnya Li Ci-siang dan Song Tek-hong lantas memberikan laporan secara jelas. Khu Ju-ki meneteskan air mata dan berkata: "Meski Ci-peng berbuat salah, tapi dia juga telah membela Coan-cin-kau dengan mati2an dan tidak sudi menyerah pada Mongol, jasanya juga tidak kecil."

"Benar, kesalahan Ci-peng tidak lebih besar daripada jasanya, betapapun kita tetap mengakui dia sebagai pejabat lama," kata Ong Ju-it dan di-tunjang oleh Lau Ju-hian dan Iain2.

Kalau Khu Ju-ki dan lain2 sedang sibuk menanyai Li Ci-siang untuk membereskan persoalan selanjutnya, Ciu Pek-thong ternyata tidak mau ambil pusing, ia lagi sibuk memainkan botol madu itu, beberapa kali ingin membuka botol itu untuk memancing kedatangan kawanan tawon, tapi iapun takut kalau sekali tawon sudah datang tak bisa di balau pergi lagi.

Dalam pada itu seorang murid memberi laporan bahwa ada lima orang murid lainnya sedang menderita tersengat tawon dan mohon paraguru berusaha mengobatinya, Hek Tay-thong lantas teringat pada pemberian madu tawon oleh Sun-popoh dahulu! Segera mendekati Ciu Pek-thong dan berkata: "Kebetulan Susiok membawa sebotol madu tawon ini, mohon kemurahan hati Susiok agar sudi membagikan madu ini untuk para cucu murid yang tersiksa itu."

Mendadak Ciu Pek-thong mengangkat kedua tangannya, ternyata botol madu tadi sudah tak kelihatan lagi, katanya: "Aneh, entah mengapa, botol madu itu lenyap mendadak."

Padahal dengan jelas Hek Tay-thong melihat barusan saja botol madu itu masih dipegangi sang Susiok, mana bisa hilang mendadak, tentu sang Susiok sengaja tidak mau memberi, namun terhadap paman guru dengan sendirinya tidak sopan mendesaknya dengan kata-, maka Hek Tay-thong menjadi serba sulit.

Kembali Ciu Pek-thong tepuk2 bajunya dan mengebas lengan baju beberapa kali, lalu berkata pula: "Nak, aku kan tidak menyembunyikan botol madu itu. jangan kau anggap aku pelit dan tidak mau memberi!"

Rupanya si "anak tua nakal" ini memang suka jahil dan gemar mainan seperti anak kecil, sampai tua sifatnya ini tetap tidak berubah, ia pikir kalau cuma disengat tawon saja, paling2 cuma kesakitan dan takkan mampus, sebaliknya madu tawon yang sukar dicari ini tidak boleh diberikan begitu saja.

Sebab itulah baru saja Hek Tay-thong membuka mulut segera ia selusupkan botol madu itu ke lengan baju, ketika ia mengangkat tangannya, botol itu terus menyusup ke kelek dan menerobos ke dada sampai ke perut, waktu ia kerut kan perutnya, kembali botol itu menerobos ke dalam celananya dan dari kaki celana botol itu jatuh pelahan di belakang tungkak kaki, Karena Lwekang Ciu Pek-thong sudah sangat tinggi sehingga kulit daging sekujur badannya dapat dikuasai dengan sesukanya, maka sedikitpun tidak mengeluarkan suara ketika botol madu yang kecil itu diselundupkannya sampai di lantai.

Melihat sang Susiok tidak mau memberi, Ong Ju-it dan lain2 tidak berani memaksa, ia pikir tunggu nanti saja kalau sang paman guru lagi memainkan botol madu itu, lalu secara mendadak diminta lagi, tentu tiada alasan baginya untuk menolak, ia pikir urusan penting sekarang adalah menyelesaikan dulu soal penghianatan Tio Ci-keng.

Maka dengan tegas ia lantas menyatakan pendiriannya itu: "Hek-sute, urusan lain kita tunda dahulu, kita harus membereskan dulu soal murid khianat Tio Ci-keng."

Serentak semna orang menyatakan setuju. Semua saudara seperguruannya cukup kenal watak Ong Ju-it yang jujur dan adil, biarpun murid sendiri juga pasti tidak dibela kalau berbuat kesalahan, apalagi sekarang melakukan penghianatan yang tak terampunkan.

Tapi pada saat itu juga dari bawah genta tiba2 Ci-keng berkata dengan suara lemah: "Ciu-susiok-co, jika engkau menolong jiwaku, segera akan kukembalikan madu tawon ini, kalau tidak akan kuminum habis, bagaimanapun juga aku toh akan mati."

Ciu Pek-thong terkejut, cepat ia membalik ke belakang, benar juga botol madu itu sudah lenyap. Kiranya dia berdiri tepat di samping genta raksasa itu. Ci-keng mendekam di dalam genta dan botol madu kebetulan jatuh di depannya, ia dengar Hek Tay-thong memohon madu pada Ciu Pek-thong dan tidak berhasil, maka botol itu lantas dicomotnya melalui lubang genta yang diganjal batu itu.

Dengan botol madu itu sebagai alat pemerasan untuk menyelamatkan jiwanya, cara ini sebenarnya terlalu ke-kanak2an dan tipis harapan, tapi di antara putus harapan itu sedikitnya masih ada setitik harapan untuk hidup, untuk itulah Ci-kcng berusaha sebisanya


Ternyata Ciu Pek-thong menjadi kuatir mendengar ancaman Ci-keng itu, cepat ia berseru: "He, he, jangan kau minum madu itu, segala urusan dapat kita rundingkan."

"Jika begitu engkau harus berjanji akan menyelamatkan jiwaku," kata Ci-keng pula.

Khu Ju-ki dan lain2 juga terkejut, mereka kenal sang Susiok yang berjuluk "Lo-wan-tong" itu berwatak lain daripada yang lain, kalau saja paman guru itu menyanggupi permintaan Ci-keng itu, maka sukar lagi menghukum murid murtad itu, Cepat Ju-ki bicara: "Susiok, dosa murid murtad ini tak terampunkan, jangan sekali engkau mengampuni dia."

Ciu Pek-thong berjongkok dan mendekatkan kepalanya ke celah genta dan berseru pula "He... he, jangan kau minum madu itu""

"Jangan gubris dia, Susiok," kata Lau Ju-hian. "Apa sulitnya jika Susiok ingin mendapatkan madu itu, kini permusuhan kita dengan nona Liong sudah berakhir, sebentar kita dapat pergi ke tempatnya untuk memohon beberapa botol madu seperti itu, Kalau nona Liong sudah mau memberi sebotol padamu, tentu dia akan memberi lagi sebotol sedikitnya."

Tapi Ciu Pek-thong menggeleng dan menjawab: "Belum tentu, belum tentu!" Sudah tentu ia tak berani memberitahu bahwa madu itu adalah hasil copetannya dari Siao-liong~li dan tadi setelah dikembalikan kepada si nona, rupanya botol itu tertinggal di Cong-keng-kok, kalau meminta pada Siao-liong-li lagi belum tentu nona itu mau memberi lagi, andaikan diberi juga akan digunakan sebagai obat dan dia takkan mendapatkan bagian.



Dalam pada itu tiba2 terdengar suara mendengung pelahan, ada beberapa ekor tawon putih tampak terbang masuk ke pendopo situ dan mengitari genta.

Pikiran Ciu Pek thong tergerak, cepat ia melongok lagi ke bawah genta dan berseru: "Ci-keng yang kau ambil itu mungkin bukan madu tawon."

"Benar, benar madu tulen, mengapa bukan?" ujar Ci~keng gugup.

"Kukira bukan, bisa jadi madu palsu," ujar Ciu Pek-thong. "Supaya aku percaya, coba kau buka tutup botol agar aku dapat mencium baunya, tulen atau palsu segera akan terbukti.

Tanpa pikir Ci-keng membuka sumbat botol dan berkata: "Baiklah, coba kau menciumnya! Wah, harum dan sedap baunya, masakah palsu?"

Ciu Pek-thong sengaja menarik napas panjang beberapa kali dengan hidungnya, lalu berkata: "Uh, rasa2nya bukan madu, seperti bau sirup! Coba ku-cium beberapa kali!"

Ci-keng genggam botol madu itu sekcncangnya dengan kedua tangannya, kuatir kalau orang mendadak menyingkap genta terus merampas botolnya, berulang ia menyatakan "Harum dan sedap sekali, betul tidak?"

Dalam pada itu bau harum madu tawon itu sudah teruar memenuhi ruangan pendopo itu, Ciu iPek-thong sengaja bersin satu kali dan berkata dengan tertawa: "Wah, aku sedang pilek, hidungku mampet!" - Sembari bicara iapun kucek hidung dan memicingkan sebelah mata kepada Khu Ju-ki dan lain-lain.

Sudah tentu Ci~keng juga menduga orang sedang main akal ulur waktu, segera ia mengancam pula: "Awas, jangan kau menyentuh genta ini, sekali tanganmu memegang genta segera kuminum habis madu ini."

sementara itu tawon putih yang berdatangan sudah tambah menjadi puluhan ekor dan sedang mengitari genta besar itu dengan suaranya yang mendengung, Mendadak Ciu Pek-thong mengebaskan lengan bajunya sambil membentak: "Masuk ke sana dan sengat dia!"

Kawanan tawon itu belum tentu mau tunduk pada perintahnya, tapi saat itu bau harum madu itu semakin keras, benar saja beberapa ekor tawon itu lantas menerobos ke dalam genta melalui celah2 yang diganjal batu itu.

Segera terdengar Ci-keng menjerit, menyusul terdengar suara jatuhnya benda pecah disertai bau harum yang semakin keras, nyata Ci-keng telah kena disengat tawon, saking kesakitan botol madu yang dipegangnya terjatuh dan hancur berantakan.

"Bangsat keparat!" bentak Ciu Pek-thong dengan gusar, "Memegang botol saja tidak becus!"

Segera ia bermaksud menyingkap genta itu untuk memberi beberapa kali tamparan pada Ci-keng yang dianggapnya tak becus, tiba2 segerombol tawon putih membanjir tiba karena tertarik oleh bau madu yang harum itu, be ramai2 kawanan tawon itu lantas menyusup ke dalam genta.

Ciu Pek-thong sudah merasakan betapa lihay sengatan tawon itu, ia sudah kapok mendekatinya, Dilihatnya tawon yang menyusup ke dalam genta itu bertambah banyak, sedangkan tempat luang di dalam genta itu terbatas, tubuh Ci-keng berlepotan madu tawon, setiap kali bergerak pasti menyenggol kawanan tawon itu, keruan berpuluh, beratus bahkan beribu sengatan tawon memenuhi badannya.

Semula orang masih mendengar jeritan ngerinya, sebentar kemudian suaranya menjadi lemah dan akhirnya tak terdengar lagi, jelas karena terlalu hebat kena racun sengatan dan telah melayang jiwanya.

Mendadak Ciu Pek-thong pegang baju dada Lau Ju-hian dan berteriak: "Baik, Ju-hian, sekarang kau harus memohonkan sebotol madu kepada nona Liong bagiku."

Lau Ju-hian menyeringai serba susah, tadi dia cuma berharap Ciu Pek-thong jangan mudah menyanggupi pemerasan Ci-keng, maka dia menyatakan akan memintakan madu tawon kepada Siao liong-li bagi sang Susiok, sekarang dia dicengkeram, terpaksa ia menjawab: "Susiok, lepaskan tangahmu, akan kumintakan niadunya." Lalu ia membetuIkan bajunya dan melangkah ke arah kuburan kuno

Khu Ju-ki tahu kepergian Lau Ju-bian ini sangat berbahaya, kalau Siao- liong-li selamat tidaklah menjadi soal, tapi kalau lukanya parah dan tak bisa sembuh, entah berapa banyak orang Coan-cin-kau yang akan dibunuh lagi oleh Nyo Ko. Karena itu ia lantas berseru: "Marilah kita ber-sama2 ikut ke sana!"

Hutan di dekat kuburan kuno itu sudah lama dilarang masuk oleh anak murid Coan-cin-kau sesuai ketentuan mendiang Ong Tiong-yang, maka setiba di pinggir hutan itu, dengan suara lantang Khu Ju-ki berseru: "Nyo-siauhiap, apakah luka nona sudah baikan? Di sini adalah beberapa biji obat, silakan ambil ini!"

Akan tetapi sampai sekian lama tiada terdengar jawaban orang. Khu Ju-ki mengulangi lagi seruannya dan tetap sunyi senyap saja keadaannya hutan.

Kelihatan rimbun dengan pohon2 tua yang tumbuh di bawah pohon juga penuh semak beluka, mereka coba menyusuri tepian hutan itu dan tidak tampak tanda ada orang menuju ke arah kuburan kuno, tampaknya Nyo Ko dan Siao-Iiong-li tidak pulang ke sana melainkan meninggalkan Cong-Iam-san.

Dengan girang dan kuatir pula semua orang kembali ke Tiong-yang-kiong, mereka bergirang karena Nyo Ko dan Siao liong-Ii sudah pergi jauh, tapi juga kuatir kalau luka Siao-liong-li tak bisa disembuhkan, untuk itu tentu Nyo Ko akan membalas dendam dan celakalah Coan-cin-kau.

Ternyata si anak tua nakal Ciu Pek-thong juga tampak senang dan sedih, dia sedih karena tidak berhasil mendapatkan madu tawon, senangnya karena dia tidak perlu bertemu lagi dengan Siao-liong-li sehingga perbuatannya mencopet madu takkan terbongkar.

Selama berpuluh tahun tinggal di Cong-lam~san ternyata orang2 Coan-cin-kau itu sama sekali tidak dapat menerka ke mana perginya Nyo Ko dan Siao~liong~li.

Kiranya waktu suasana di Tiong-yang-kiong menjadi kacau oleh datangnya gerombolan lebah, segera-Siao-liong-li memimpin barisannya sebagai pengaman dan menerjang ke belakang gunung, dilihatnya ada sebuah bangunan kecil berloteng di atas bukit situ, Nyo Ko tahu itulah Cong-keng-kok yang merupakan salah satu tempat penting di Tiong-yang kiong ini, segera ia pondong Siao-liong-li ke atas loteng itu.

Baru saja mereka sempat mengaso sejenak, segera terdengar pula suara hiruk pikuk di bawah, berpuluh Tosu sudah menyusul tiba, cuma tangga loteng itu rada sempit dan sukar memainkan barisan pedang, maka kawanan Tosu itu tidaki berani sembarangan menyerbu ke atas.

Setelah mendudukkan Siao-liong-li di atas kursi, Nyo Ko coba memeriksa keadaan sekitar loteng itu, dilihatnya di belakang Cong-keng-kok itu adalah sebuah sungai gunung yang dalam, namun sungai itu tidak begitu lebar, Tiba2 ia mendapatkan akal, ia keluarkan tali yang biasanya diikat pada dua batang pohon digunakan tempat tidur, ia ikat ujung tali itu pada tiang Cong-keng-kok dan ujung tali yang lain dibawanya melompat ke seberang sungai dan diikat pada sebatang pohon.

Lalu ia melompat kembali ke Cong-keng-kok dan bertanya kepada Siao-Iiong-li: "Sebaiknya kita pulang ke mana?",



"Kau bilang ke mana, aku hanya ikut saja padamu," jawab Siao liong-li sambil menghela napas.

Dari air muka si nona dapat lah Nyo Ko menerka pikirannya, tentu yang diharapkannya adalah pulang kembali ke kuburan kuno itu. Cuma cara bagaimana masuk ke sana, inilah yang menjadi persoalan Dalam pada itu suara ribut di bawah sana tambah ramai rasanya tak dapat tahan lebih lama lagi di sini.

Nyo Ko dapat memahami pikiran Siao~liong-li, tapi si nona juga dapat meraba pikiran anak muda itu, dengan suara halus ia berkata: "Akupun tidak harus pulang ke kuburan kuno itu, jangan kau pikirkan hal ini." - ia tersenyum manis, lalu menambahkan "Asalkan senantiasa berada bersamamu, ke manapun aku setuju,"

Inilah cita2 Siao-liong-li yang pertama setelah mereka menikah, maka Nyo Ko bertekad akan melaksanakan keinginan si nona, kalau tidak ia merasa tidak sesuai sebagai suaminya ia coba memandang ruangan loteng itu, dilihatnya di belakang rak buku di sudut sana ada sebuah peti kayu, tiba2 tergerak pikirannya, cepat ia mendekati peti itu, ternyata peti itu digembok dengan sebuah gembok besi.

"Dengan mudah saja Nyo Ko puntir patah gembok itu dan membuka tutup peti ternyata penuh terisi kitab dan sejenisnya. Segera ia angkat peti itu sehingga isi peti itu tertumplek semua di lantai.

Peti itu terbuat dari kayu kamper, tebalnya lima senti dan sangat kukuh, ia coba melompat dan meraba atas rak buku, benar juga penuh tertutup oleh kain minyak. yaitu untuk menjaga kalau kebocoran agar tidak merusak kitab2 itu.

Dia tarik dua helai kain minyak itu dan dimasukkan ke dalam peti, lalu peti itu diseberangkan lebih dulu dengan melalui jembatan tali tadi, kemudian ia kembali lagi untuk memondong Siao-Iiong-ii ke sana, "Marilah, kita pulang ke rumah asal" katanya dengan tertawa.

Siao-liong-li sangat girang, jawabnya dengan tersenyum: "Bagus sekali caramu mengatur!"

Kuatir si nona berkuatir, Nyo Ko lantas menambahkan: "Pedangku ini sangat hebat, apapun di dasar sungai yang merintangi peti ini tentu dapat kubereskan dengan pedang ini, aku akan berjalan dengan cepat, engkau pasti takkan sumpek di dalam peti,"

"Cuma ada sesuatu yang tidak baik bagiku"

"Apa itu?" tanya Nyo Ko dengan me1engak.

"Untuk waktu tertentu aku takdapat melihat kau," jawab si nona.

Sambil bicara merekapun sudah sampai di seberang. Nyo Ko jadi teringat kepada Kwe Yang yang tertinggal di gua itn, katanya segera: "Nona keluarga Kwe juga kubawa ke sini. Apa yang harus kulakukan menurut pendapatmu?"

Siao-liong-li melenggong, tanyanya dengan suara rada gemetar: "Apa katamu? Kau.. kau membawa puteri Kwe-tayhiap itu ke sini?"

Melihat sikap si nona yang aneh itu, Nyo Ko melengak juga, tapi cepat ia paham sebab musababnya, tentu Siao-liong-li salah paham dan mengira dia membawa Kwe Hu ke sini, segera ia mencium pelahan pipi si nona dan berkata: "Ya, puteri Kwe-tayhiap yang kubawa ke sini, tapi bukan nona yang membuntungi lenganku melainkan orok yang baru lahir tiada sebulan itu."

Muka Siao-liong-li menjadi merah jengah, ia rangkul Nyo Ko kencang2 dan tak berani memandangnya, selang sejenak barulah ia berkata: "Bolehlah kita membawanya serta ke kuburan kuno. Jika ditinggalkan lebih lama di hutan ini, boleh jadi jiwanya akan melayang."

Nyo Ko menjadi kuatir juga, sudah sekian lama dia teralang di Tiong-yang-kiong, entah bagaimana keadaan Kwe Yang yang disembunyikan di dalam gua itu. Cepat ia menuju ke gua itu, ternyata keadaan sunyi sepi tiada suara tangisan anak kecil, ia tambah kuatir, lekas2 ia menyingkirkan belukar kering dan masuk ke gua, dilihatnya Kwe Yang sedang tidur dengan lelapnya, kedua pipi bayi itu kelihatan ke-merah2an menyenangkan "Biar kubopong dia," kata Siao liong-li.

kuatir si nona kurang tenaga karena belum sehat, Nyo Ko mengusulkan anak itu ditaruh saja di dalam peti, lalu ia mencari belasan Lamkwa (wa-toh, sebangsa labu besar warna kuning) hasil tanaman kawanan Tosu Coan-cin-kau, ia memasukkan waloh itu ke dalam peti dan diseret ke tepi sungai.

Setelah Siao-liong-li juga didudukkan di dalam peti sambil memondong Kwe Yang, pelahan Nyo Ko lantas menutup peti itu dan dibungkus pula dengan kain minyak, habis itu barulah memasukkan peti itu ke sungai. ia menarik napas panjang terus menyelam ke dasar sungai sambil menarik peti itu melalui jalan waktu keluar dari kuburan kuno itu tempo hari.

Sejak digembleng di bawah air terjun itu, kini tenaga dalam Nyo Ko boleh dikatakan tiada taranya, berjalan di bawah sungai kecil itu bukan soal lagi baginya.

Dasar sungai itu ternyata tidak rata, terkadang meninggi, lalu merendah lagi. Nyo Ko terus menyusuri sungai itu, kalau teralang oleh batu karang sehingga peti itu tak dapat lewat, segera ia menahannya dengan pedang dan segala rintangan dapatlah dibereskan, ia kuatir Siap-liong-li sumpek di dalam peti, maka jalannya sangat cepat, tidak lama kemudian ia sudah timbul lagi ke atas sungai dan sampai di jalan rahasia di bawah tanah yang menuju ke kuburan kuno.

Lekas2 ia membuka peti itu, dilihatnya Siao-Ijong-li dalam keadaan lemas dan setengah sadar, mungkin karena terluka parah sehingga tidak tahan dikurung dalam peti yang rapat itu, sebaliknya Kwe Yang tampak ber-teriak2 dan menangis penuh semangat. Rupanya orok itu diberi minum susu macan selama sebulan sehingga jauh lebih sehat daripada bayi biasa.

Dengan lemah Siao liong-li tersenyum bahagia dan berkata: "Akhirnya kita pulang juga ke rumah!" - Habis berkata ia tak tahan lagi dan memejamkan mata

Nyo Ko tidak memandangnya lagi dan mem-biarkannya tetap duduk di dalam peti, ia seret peti itu ke tempat tinggal mereka di dalam kuburan kuno itu. Dilihatnya segala sesuatu di situ masih tetap serupa seperti waktu ditinggalkan dahulu, Sambil memeriksa kamar2 batu di situ dan mengamat-amari pula barang2 yang pernah dipakainya sejak kecil, tiba2 anak muda itu timbul semacam perasaan yang sukar dilukiskan, seperti girang rasanya, tapi juga mengandung rasa haru dan duka.

Waktu ia menoleh, dilihatnya Siao liong-li berdiri berpegang pada samakan kursi dengan air mata berlinang-linang.

Kini kedua orang sudah terikat menjadi suami-isteri, cita2 yang terkandung selama ini sudah terkabul merekapun sudah pulang di kediaman lama, selanjutnya tidak akan tersangkut pula dengan macam2 suka-duka dan permusuhan di dunia fana, namun dalam hati kedua orang sama2 merasa berduka dan sedih tak terkatakan.

Keduanya sama tahu bahwa luka Siao-liong-li teramat parah, sudah terkena hantaman roda Kim-lun Hoat ong, terkena pula pukulan gabungan Coan-cin-ngo-cu yang hebat itu, dengan tubuhnya yang lemah gemulai itu jelas tidak tahan.

Walaupun sebelumnya kedua orang sudah berulang2 memikirkan asalkan cita2 mereka terkabul dan dapat berkumpul kembali, sekalipun harus mati seketika juga rela. Tapi setelah keduanya benar2 sudah menikah dan berkumpul menjadi satu, rasanya menjadi berat sekali untuk berpisah dan mati.

Mereka sama2 masih muda dengan kisah hidup yang menderita, selama ini belum pernah merasakan bahagianya orang hidup, kini mendadak mencapai cita2 paling utama orang hidup, tapi dengan segera mereka akan berpisah puIa.

Nyo Ko termangu sejenak, ia ke kamar Sun-popoh dan membongkar tempat tidurnya untuk di pindahkan ke samping "dipan kemala dingin", ia atur bantal kasurnya dengan baik dan membaringkan Siao-liong-li di situ.

Sisa bahan makanan sudah rusak, namun ber-botol2 madu tawon yang dikumpulkan Siao liong-li dahulu tetap baik, Nyo Ko menuang setengah mangkuk madu yang kental itu dan dicampur dengan air untuk diminumkan pada Siao-liong-li serta Kwe Yang cilik, habis itu ia sendiri juga minum satu mangkuk.

Ia coba memandang sekeliling kamar batu itu, pikirnya: "Aku harus bersemangat untuk menggirangkan hati Kokoh, kesedihanku tidak boleh kentara sedikitpun pada wajahku."

Begitulah ia lantas mencari dua batang lilin yang paling besar serta dibungkusnya dengan kain merah, lalu disulutkan dan ditancapkan di atas meja, katanya dengan tertawa: "lnilah kamar pengantin kita dengan lilin bahagianya."

Cahaya lilin menambah semaraknya kamar batu itu. Siao liong-li duduk di tempat tidurnya, terlihat tubuh sendiri penuh kotoran dan noda darah, dengan tersenyum ia berkata: "Macamku ini mana mirip pengantin baru!"

Tiba2 ia ingat sesuatu, katanya pu'a: "Ko-ji, coba kau ke kamarnya Lim-cosu dan bawa kemari peti berlapis emas itu."

Meski pernah tinggal beberapa tahun di kuburan ini, tapi kamar bekas tempat tinggal Lim Tiau-eng tak berani dimasukinya, apalagi barang2 tinggalannya, tentu saja tidak berani dijamahnya. Kini Siao-liong-li menyuruhnya, segera Nyo Ko ke sana dan mengambilkan peti yang diminta itu.

Peti itu tidak terlalu berat, juga tidak digembok, tapi tepian peti dilapis emas dan banyak ukiran yang indah. "Menurut Sun-popoh, katanya peti ini berisi pakaian pengantin Lim-cosu, tapi kemudian beliau urung menikah, maka barang2 inipun tidak jadi dipakai," kata Siao-liong~li.

Nyo Ko mengiakan saja dan meletakkan peti itu di batu kemala dingin itu, setelah tutup peti di buka, benarlah di dalamnya tersimpan sebuah kopiah berukir burung Hong dengan hiasan mutiara, ada sepotong baju sulaman emas serta gaun sutera merah.

Semuanya terbuat dari bahan pilihan, meski sudah selang berpuluh tahun, tapi tampaknya masih seperti baru.

"Coba keluarkan isinya, ingin kulihat." kata Siao-liong-li.

Nyo Ko lantas mengeluarkan satu persatu isi peti itu, di bawah pakaian pengantin ternyata ada sebuah kotak rias dan sebuah kotak barang2 perluasan Gincu dan pupur dalam kotak rias itu sudah kering, tapi minyak wanginya ternyata masih ada sisa setengah botol kecil.

Ketika kotak perhiasan dibuka, seketika pandangan mereka menjadi silau, macam2 perhiasan yang jarang terlihat, ada tusuk kundai bermutiara, gelang kemala dan mutu manikam yang lain.

Biasanya Siao-liong-li dan Nyo Ko jarang melihat benda2 mestika seperti itu, merekapun tidak tahu betapa bernilainya barang2 perhiasan itu, yang jelas mereka melihat barang2 itu terbuat dengan sangat halus dan indah, maka merekapun sangat tertarik.

"Bagaimana kalau kubersolek menjadi pengantin baru?" ujar Siao-liong-li dengan tersenyum.

"Kau sudah terlalu lelah, mengasoJsip^leBaf latti, bersoleklah besok," kata Nyo Ko.

Siao-liong-Ii menggeleng, katanya: "Tidak, inilah hari bahagia pernikahan kita, Aku suka menjadi pengantin baru, Tempo hari di Coat-ceng-kok itu Kongsun Ci ingin menikah dengan aku dan akupun urung berdandan sebagai pengantin baru."

"Hah, masakah itu dapat dianggap menikah? itukan cuma khayalan Kongsun Ci saja!" ujar Nyo Ko dengan tersenyum

Begitulah Siao-liong-li lantas mencampuri bedak dan Gincu dengan sedikit air dan mulailah bersolek menghadap cermin. Selama hidup untuk pertama kali inilah dia memakai pupur dan gincu.

Air mukanya sebenarnya memang putih bersih dan tidak perlu berbedak lagi, cuma dia habis terluka parah, mukanya pucat pasi, setelah kedua pipinya diberi pupur dan sedikit gincu, sungguh kecantikannya sukar dilukiskan.

Ia berhenti sejenak, lalu menyisir rambut, katanya dengan gegetun: "Bicara menyisir rambut, sama sekali aku tidak bisa, Ko-ji, kau bisa tidak?"

"Akupun tidak bisa! Kukira engkau lebih cantik jika rambut tidak tersisir," ujar Nyo Ko.

"Apa ya?" Siao-liong-Ii tersenyum. ia lantas memakai anting2 dan gelang serta perhiasan kepala lainnya, di bawah cahaya lilin sungguh cantik molek tak terperikan. Dengan ber-seri2 ia menoleh pada Nyo Ko, maksudnya supaya dipuji beberapa patah kata oleh anak muda itu.

Tapi dilihatnya wajah Nyo Ko ada bekas air mata, jelas anak muda itu sedang berduka, Siao-liong-li berusaha menahan perasaan dan anggap tidak tahu, dengan tersenyum ia bertanya pula: "Ko-ji, bagus tidak dandananku ini?"

"Ba... bagus sekali!" jawab Nyo Ko dengan rada terguguk, "lni kupasangkan kopiahnya."

Segera ia angkat kopiah pengantin ke belakang si nona dan dipasang di atas kepalanya.

Dari bayangan cermin dapatlah Siao-liong-li melihat anak muda itu telah mengusap air matanya dengan lengan baju, ketika berada di belakangnya anak muda itu sengaja memperlihatkan wajah riang-nya serta berkata: "Selanjutnya kupanggil engkau "Niocu" (isteriku) atau tetap menyebut Kokoh padamu?"



Dalam hati Siao-Iiong-Ii membatin: "Masakah masih ada "selanjutnya" segala bagi kita? Akan tetapi ia berusaha memperlihatkan rasa gembiranya dan menjawab dengan tersenyum: "Rasanya tidak pantas jika tetap memanggil Kokoh. sebaliknya sebutan Niocu, Hujin dan sebagainya terasa agak ke-tua-an!"

"Baiklah, selanjutnya engkau memanggil Ko-ji padaku dan akan kupanggil Liong-ji padamu, jadinya adil, tiada yang rugi," ujar Nyo Ko dengan tertawa, "Kdak kalau sudah punya anak, lalu ganti panggilan: He, pakne bocah atau ibunya anak dan... dan kalau anak itu sudah besar dan beristeri atau bersuami "

Semu!a Siao liong-li hanya tersenyum saja mendengarkan ocehan Nyo Ko yang ngalor-ngidul itu, akhirnya ia tidak tahan dan mendadak mendekam di atas peti dan menangis sedih.

Nyo Ko tahu perasaan si nona, ia mendekati dan memeluknya, katanya dengan suara halus: "Liong-ji. kau tidak baik, buat apa kita pedulikan urusan selanjutnya, Yang jelas saat ini kau takkan mati dan akupun takkan mati, marilah kita bergembira ria, siapapun tidak perlu memikirkan urusan esok."

Siao-Iiong li mengangkat kepalanya dan mengangguk dengan tersenyum.

"Lihatlah betapa indahnya sulaman burung Hong pada gaun pengantin ini,,biarlah kubantu kau mengenakannya." kata Nyo Ko pula, lalu ia menegakkan tubuh si nona dan bantu mengenakan pakaian pengantin merah itu.

Siao-liong-Ii mengusap air matanya dan pipinya diberi lagi sedikit pupur, dengan tersenyum bahagia ia lantas duduk di samping lilin merah.

Dalam pada itu Kwe Yang terbaring di ujung tempat tidur itupun mementang kedua biji matanya yang hitam itu sedang memandangi dengan penuh keheranan, Mungkin dalam hati kecilnya itupun merasakan dandanan Siao-liong-li itu sangat cantik dan menarik.

"Aku sudah selesai berdandan, cuma sayang di dalam peti ini tiada pakaian pengantin laki2. terpaksa kau harus begini saja," ujar Siao-liong-li.

"Coba kucari lagi, mungkin ada barang2 lain yang indah," kata Nyo Ko sembari membongkar isi peti yang lain dan dipindahkan ke atas tempat tidur, Melihat ada sebuah bunga2an buatan emas, Siao liong-li lantas mengambilnya dan diselipkan di atas rambut Nyo Ko.

"Ya, begini barulah mirip2 pengantin baru," ujar Nyo Ko dengan tertawa.

Ia terus membongkar isi peti itu, sampai di dasar peti, dilihatnya ada satu tumpuk surat yang diikat dengan benang merah, benang merah itu sudah luntur, sampul surat juga sudah ke-kuning2an. "Ku-temukan surat2 ini," seru Nyo Ko sambil mengangkat tumpukan surat itu.

"Coba dilihat surat apa itu?" kata Siao-Iiong-li.

Setelah ikatannya dilepas, Nyo Ko melihat sampul surat pertama itu tertulis: "Kepada sayangku Lim Tiau-heng, pribadi!" dan pada sudut lain ada sebuah huruf "Say". Surat2 itu berjumlah lebih 20 pucuk, semuanya sama tertulis begitu.

Nyo Ko tahu sebelum Ong Tiong-yang terikat menjadi Tosu, nama partikelirnya adalah "Say", lengkapnya Ong Say, Dengan tertawa ia berkata : "Tampaknya surat2 ini adalah surat cinta Ong-cosu kepada Lim-cosu kita, apakah boleh kita membacanya?"

Sejak kecil Siao-liong-li menghormati sang cakal bakal itu sebagai malaikat dewata, maka cepat ia menjawab: "Tidak, tidak boleh!"

Nyo Ko tertawa dan mengikat kembali bundel surat itu, katanya kemudian:."Kawanan Tosu Coan-cin-kau itu sungguh terlalu kolot, melihat kita menikah dihadapan lukisan Tiong-yang Cosu, lalu kita dianggap seperti berdosa dan tidak dapat diampuni." Aku justeru tidak percaya bahwa Tiong-yang Cosu tidak mencintai Lim-cosu kita, Kalau saja kita perlihatkan surat2 cinta Ong-cosu ini pasti kawanan Tosu tua itu akan meringis."

Sembari berkata iapun memandangi Siao-liong li dan merasa berduka bagi Lim Tiau-eng. Pikirnya: "Lim-cosu hidup sunyi di dalam kuburan ini, tentunya beliau ingin sekali dapat memakai baju pengantin ini dan selalu gagal, jaai kami berdua ini ternyata jauh lebih beruntung daripada beliau."

Tiba2 terdengar Siao-liong-li berkata: "Ya, kita memang lebih beruntung daripada Lim-cosu, tapi mengapa kau menjadi tidak gembira?"

Nyo Ko mengiakan, mendadak iapun melengak dan bcrtanya: "He, kau tidak bicara, mengapa engkau mengetahui pikiranku?"

"Kalau tidak dapat mengetahui jalan pikiranmu mana sesuai untuk menjadi isterimu?" jawab Siao-liong-li dengan tertawa.

Nyo Ko mendekatinya dan duduk ditepi tempat tidur, dengan lengan kiri ia merangkul Siau liong li, tak terbilang rasa gembira dan bahagia mereka, diharapkan semoga saat2 demikian ini takkan berubah selamanya, kekal abadi.

Sampai sekian lama keduanya guling peluk dan terdiam. Selang sebentar lagi, keduanya sama memandang pada bundel surat tadi dengan penuh pandang dengan tertawa, keduanya sama2 menyorotkan sorot mata yang nakal.

Maklumlah, usia mereka masih sama2 muda, sehingga belum hilang sifat anak2 mereka, walaupun tahu tidak pantas membaca surat pribadri mendiang cakal bakal, tapi rasa ingin tahu sukarlah dibendung.

Tiba2 Nyo Ko berkata: "Bagaimana kalau kita hanya membaca sepucuk saja? Pasti tidak membaca lebih dari itu."

"Ya, akupun ingin sekali mengetahui isi surat-itu," jawab Siao-liong-li. "Baiklah, kita hanya membaca sepucuk saja."

Dengan girang Nyo Ko lantas membuka ikatan bundel surat tadi. Siao-liong-li berkata pula: "Kalau isi surat itu membikin orang berduka, hendaknya kau jangan bersuara membacanya bagiku."

Nyo Ko mengiakan, ia coba mengambil sampul pertama dan dilolos keluar suratnya, lalu mulai membacanya: "Adik Eng, kemarin dulu pasukan kita bertempur dengan pasukan musuh dan mengalami kekalahan kecil dengan kerugian beberapa ratus orang..." ternyata isi surat itu memberitahukan-keadaan medan perang dan bagian akhir surat itu Ong Tiong-yang minta agar Lim Tiau-eng suka menjual sebagian harta benda untuk dijadikan perbekalan pasukan. Ber-turut2 ia membaca lagi dua-tiga pucuk surat lain dan isinya hampir semuanya sama, yakni mengenai situasi medan perang belaka, hampir tidak pernah menyinggung urusan pribadi mereka.

Nyo Ko menghela napas dan berkata pula: "Tiong-yang Cosu benar2 seorang pahlawan teladan dan ksatria sejati, segenap jiwa raganya dicurahkan bagi perjuangan sehingga melupakan kepentingan pribadi, pantaslah kalau Lim-cosu menjadi dingin hatinya,"



"Tidak!" ujar Siao-liong~Ii. "Ketika menerima surat2 ini, justeru Lim-cosu merasa sangat senang."

"Darimana kau tahu?" tanya Nyo Ko heran.

"Sudah tentu aku tidak tahu, aku cuma menafsirkan menurut hati sesama orang perempuan saja." jawab Siao-liong-li. -"Coba kau, lihat isi surat itu, yang diuraikan selalu situasi medan perang yang makin genting, namun Ong cosu tetap tidak lupa menulis surat kepada Lim-cosu dalam keadaan yang gawat dan sulit itu, coba katakan, apakah itu tidak berarti senantiasa Ong-cosu terkenang kepada Lim-cosu?"

"Ya, benar, memang betul," sahut Nyo Ko sambil mengangguk Lalu ia membaca lagi surat yang lain. Surat itupun mengabarkan pasukan yang dipimpin Ong Tiong-yang mengalami kekalahan lagi karena jumlah pasukan musuh jauh lebih besar. Selain itu pada akhir surat juga ditanyakan keadaan luka Lim Tiau-eng, meski singkat saja, tapi penuh simpatik dan perhatian

Siao-liong-li hanya tersenyum hambar, ia menyadari betapa parah lukanya sendiri, namun iapun tidak ingin membikin kecewa anak muda itu, katanya kemudian: "Tampaknya surat2 itu tiada yang menyangkut rahasia pribadi, boleh kau membacanya semua."

Nyo Ko lantas membuka lagi surat2 yang lain, kebanyakan juga berceritera tentang pengalaman tempur di medan perang, tapi selanjutnya lebih sering lagi kalahnya sehingga nada Ong Tiong-yang semakin guram dan putus asa.

"isi surat ini cuma memerosotkan semangat orang saja, biarlah kita bicara urusan lain saja."

"Eh, apa ini?" mendadak nada Nyo Ko berubah menjadi bersemangat, tangan yang memegang surat itupun rada gemetar, lalu ia membacanya dengan suara lebih keras: "kudengar di kutub utara yang maha dingin sana ada batu dengan nama Han-giok (kemala dingin), khasiatnya dapat menghilangkan penyakit lama dan menyembuhkan luka yang sukar diobati, untuk itu akan kuusahakan mendapatkannya bagi adik Eng..."

He, Liong-ji yang dimaksudkan ini apakah bukan Han-giok~joan (dipan kemala dingin) ini?"

Melihat wujih Nyo Ko yang menampilkan rasa girang seperti orang yang putus asa mendadak menemukan titik sinar harapan itu, dengan suara gemetar Siau-liong-Ii pun menjawab: "Apakah... apakah... maksudmu kemala dingin ini dapat menyembuhkan lukaku ini-?"

"Akupun tidak tahu," jawab Nyo Ko. "Tapi Tiong-yang Cosu berkata demikian, tentu ada alasannya. Dan nyatanya kemala dingin ini kan sudah didapatkannya dan berada di sini? Bukankah memang sudah menjadikannya menjadi dipan untuk tempat tidur? bukankah luka beliau yang parah itu akhirnya juga sembuh?"

Cepat2 Nyo Ko membuka lagi surat yang lain dengan harapan kalau2 isi surat lain ada, yang menguraikan tentang cara penyembuhan dengan kemala dingin itu, tapi istilah "kemala dingin" ternyata tidak pernah disebut lagi kecuali di dalam surat tadi."

Nyo Ko mengikat kembali bundel surat itu dan ditaruh ke dalam pcti, lalu ia duduk termenung. Ia pikir kalau dipan kemala dingin itu memang mempunyai khasiat sehebat itu, tentu juga dapat menyembuhkan luka Siao-liong-li, hanya caranya saja yang belum di ketahui.

"He, apa yang kau renungkan?" tegur Siao-liong-li dengan tertawa.

"Sedang kupikirkan cara bagaimana menyembuhkan kau dengan dipan ini, apa harus dihancurkan dan dicampur dengan obat lain, entahlah!" gumam Nyo Ko.

"Tentunya kau masih ingat pada Sun-popoh? Sekiranya dipan kemala dingin ini dapat menyembuhkan Iuka dalam yang parah, masakah Sun popoh tidak tahu?

Harapan Nyo Ko yang tadinya berkobar2 itu seketika padam seperti di siram air dingin demi mendengar ucapan Siao liong-li itu.

Perlahan Siao liong-li membelai rambut Nyo Ko, katanya dengan suara lembut "Ko-ji tidak perlu kau memikirkan lukaku, buat apa kau membikin susah sendiri? sekarang akan kuceritakan sesuatu mengenai guruku."

Meski cukup lama tinggal bersama Siao-liong-li, tapi jarang sekali Nyo Ko mendengar si nona bercerita tentang mendiang gurunya itu, maka cepat ia menanggapi "Ya,lekas ceritakan!"

"Tahukah kau sebab apa meninggalnya Suhuku?" tanya Siao-Iiong-li.

Nyo Ko menggeleng, Siao-Iiong-li lantas melanjutkan "Beliau menyepi di sini dan jarang keluar, tapi pada suatu ketika beliau pernah keluar menyelesaikan sesuatu urusan penting mengenai Suci sehingga kena dipedayai seorang jahat. Suhu tidak mau banyak urusan meski mengalami kesukaran. Siapa tahu orang jahat itu diberi hati justeru minta rempala, Suci diculiknya pula, sebenarnya kepandaian Suhu jauh melebihi orang jahat itu, cuma dalam hal Am-gi (senjata rahasia) saja orang jahat itu memang lebih lihay.

Suhuku adalah pelayan pribadi Lim-cosu, sifatnya ramah dan penurut, hatinya bajik dan jarang marah, tapi demi membela Suci, beliau terpaksa membuat dua macam senjata rahasia, yakni Giok-hong-kim-ciam (jarum emas tawon putih) dan Peng pok-gin-ciam (jarum perak inti es) yang berbisa itu, akhirnya Suci dapat direbut kembali setelah mengalahkan musuh.

Tapi dalam pertarungan itu Suhu juga terluka parah, walaupun bertahan sampai beberapa tahun, akhirnya juga tak-dapat disembuhkan, ilmu pukulan Panca Bisa andalan Suci itu adalah ajaran orang jahat itu, Suci (Li Bok-chiu) berkumpul sekian lama dengan orang itu sehingga tanpa terasa terpengaruh juga oleh sifat jahatnya. Lantaran ini, sampai meninggalnya Suhu tetap merasa sedih."

Terkenang kepada gurunya yang berbudi itu, tanpa terasa hati Siao-liong-li menjadi terharu.

Pikiran Nyo Ko sendiri terasa kusut, tadinya ia merasa menemukan titik harapan dapat menyembuhkan Siao-liong-li, tapi lantas tenggelam pula dalam kegelapan, ia pikir memang juga masuk diakal, andaikan dipan kemala dingin itu dapat menyembuhkan luka dalam yang parah, mengapa Sun-popoh dan guru Siao-liong-li itu tidak menggunakan untuk menyembuhkan diri mereka?"

Karena urusan sudah begini, ia pikir sebaiknya jangan dirisaukan lagi, akan lebih baik jika bicara hal2 yang menyenangkan saja dengan si nona agar hatinya gembira.

Begitulah ia lantas berkata: "Jarum emas lebih lembut dan jarum perak lebih panjang, tapi menghadapi musuh ternyata jarum emas lebih berguna daripada jarum perak. Tampaknya kakek guru memang lebih sayang padamu, makanya jarum emas diajarkan padamu dan jarum perak diturunkan pada Li-supek."

Siao-liong-li tersenyum, katanya: "Suhu memang sangat baik padaku, ya guru ya seperti ibu, kalau beliau mengetahui aku mendapatkan suami sebaik ini, entah betapa beliau akan bergirang."

"Ah, juga belum tentu, beliau kan melarang anak muridnya menikah," ujar Nyo Ko.

"Tapi guruku sangat baik hati dan sayang padaku, mula2 mungkin beliau tidak mengidzinkan, lama2 kalau melihat keteguhan hatiku, tentu beliau juga akan menuruti permintaanku," kata Siao-liong-li.

"Hanya, hanya Li-suci saja yang berdosa kepada Suhu".

"Bagaimana?" tanya Nyo Ko.



"Waktu Suhu bertarung dengan orang jahat itu, sebenarnya orang itu sudah tertutuk oleh Suhu dan takbisa berkutik, siapa tahu secara diam-2 Suci telah membebaskan orang itu, rupanya Suci ingat kepada budi orang itu yang telah mengajarkan ilmu pukulan berbisa padanya. Setelah orang itu dapat bcrgerak, secara mendadak dia menyerang Suhu, karena tidak ber-jaga2, maka Suhu terkena pukulannya."

"Siapakah nama orang jahat itu? Dia mampu menandingi Suco (kakek guru), tenlu iapun tokoh silat terkemuka jaman ini."

"Suhu tidak pernah memberitahukan nama orang itu padaku, Dia ingin hatiku bebas dari segala cita rasa dan tidak kenal suka duka dan budi atau dendam, menurut Suhu, kalau nama orang ini kuketahui, tentu akan kuingat selalu dan boleh jadi kelak akan kucari dan menuntut balas pudanya."

"Ai. Suco sungguh orang baik budi," ujar Nyo Ko dengan gegetun.

Lalu Siao-Iiong-li berkata pula: "Setelah terluka, Suhu lantas berpindah kamar dan menjauhi dipan kemala dingin ini. Menurut beliau, dingin akan mengalangi kemajuan ilmu Ko-bong-pay kita, maka bagus sekali jika menggunakan dipan kemala dingin ini untuk membantu berlatih Lwe-kang, akan tetapi orang yang terluka tentu tidak tahan."

Melihat Siao-liong-li ada tanda2 lelah Nyo Ko berkuta: "Silakan tidur saja, akan kutunggui kau di sini."

"Tidak, aku tidak lelah, malam ini kita tidak tidur," jawab Siao-Iiong-li sambil pentang lebar2 matanya. sesungguhnya dalam hati kecilnya berkuatir akan luka sendiri yang parah itu, kalau sampai tertidur dan untuk seterusnya tidak pernah mendusin lagi, itu berarti takkan bertemu lagi dengan Nyo Ko selamanya, Karena itulah ia lantas menambahkan "Ajaklah aku bicara saja, Eh, kau sendiri tampaknya lelah?"

"Tidak, aku tidak lelah," jawab Nyo Ko menggeleng, "Jika tidak ingin tidur, bolehlah kau memejamkan mata untuk menghilangkan kantuk."

Siao-liong-li mengiakan dan pelahan memejamkan matanya, lalu berkata dengan suara pelahan. "Suhu sering berkata padaku bahwa ada satu hal yang tidak dipahaminya sampai akhir hayatnya. Ko-ji, kau sangat pintar, coba ikut memikirkan soal ini."

"Soal apa?" tanya Nyo Ko

"Ketika orang jahat itu tertutuk oleh Suhu dengan ilmu Tiam-hiat khas ciptaan Lim-cosu, selama hidup Lim-cosu hanya diajarkan kepada Suhuku dan Suhuku tak mengajarkannya kepada Li-suci, entah cara bagaimana Li-suci dapat membukakan Hiat-to orang jahat yang tertutuk itu."

"Mungkin waktu suco berlatih sendiri, di luar tahu beliau Li-suci telah mengintip dan mempelajarinya secara diam2," kata Nyo Ko.

"Tidak, tidak bisa, kau sendiripun tahu," ujar Siao-long-li.

Nyo Ko pikir ilmu Tiam-hiat perguruan sendiri memang sangat aneh dan ruwet, betapapun sukar-dipelajari dari mengintip. Selagi ia hendak bicara pu!a, terasa Siao-liong-li yang bersandar pada badannya itupun berdiam, napasnya terhembus halus, ternyata sudah tertidur.

Sambil termangu memandangi wajah si nona, pikiran Nyo Ko bergolak, selang tak lama, sebuah lilin telah padam karena sudah habis tersulut, tidak lama kemudian lilin kedua juga padam.

Tiba2 Nyo Ko membayangkan kedua lilin itu seperti dirinya dan Siao-liong-li, setelah tersulut habis, akhirnya lantas padam, tamat

Selagi ter mangu2, didengarnya Siao liong li menghela napas panjang dan berkata: "Tidak, aku tidak mau mati, Ko ji, aku tidak mau mati! kita harus hidup terus, hidup untuk selamanya."

"Benar, kita takkan mati, engkau pasti akan sehat kembali setelah istirahat beberapa hari lagi," kata Nyo Ko. "Bagaimana rasa dadamu sekarang?"

Tapi Siao-Iiong li tidak menjawab, rupanya ucapannya tadi hanya mengigau saja, Nyo Ko coba meraba kening si nona, ternyata panas sekali, ia menjadi kuatir dan sedih pula. pikirnya dalam hati: "Li-Bok-chiu yang jahatnya kelewat takaran sampai saat ini masih hidup segar bugar, sebaliknya Liong ji selama hidup tidak pernah berbuat sesuatu.apa yang merugikan orang lain kini sudah dekat dengan ajalnya. Oh, Thian yang maha kasih, dimanakah letak keadilanmu?"

Selamanya Nyo Ko tidak gentar apapun juga, dalam keadaan tak berdaya, tanpa terasa ia geser tubuh Siao-liong-li ke sampingnya sendiri lantas-berlutut dan berdoa di dalam batin: "Thian yang welas asih semoga memberi berkah selamat kepada Liong-ji, untuk itu aku rela.... aku rela..." Pada hal untuk keselamatan Siao-liong-li, tiada- sesuatupun yang diragukannya untuk diperbuat guna menebus jiwa si nona.

BegituIah sedang dia berdoa dengan khidmat-nya, tiba2 terdengar Siao-liong-li berkata: "Ya benar Auyang Hong, Sun-popoh bilang pasti Auyang Hong adanya, Ko-ji, eh, Ko-ji, ke mana kau?" Sambil berseru mendadak iapun bangun berduduk.

Karena itu cepat Nyo Ko kembali berduduk di samping si nona dan memegangi tangannya sambil berkata: "Aku berada di sini."

DaIam tidurnya mendadak merasa kehilangan sandaran, seketika Siao-liong-li terjaga bangun, tapi ia menjadi girang dan lega, setelah melihat Nyo Ko masih tetap berada di sampingnya.

"Jangan kuatir, aku takkan meninggalkan kau untuk se-lama2nya," kata Nyo Ko. " seumpama kelak kita harus keluar dari kuburan kuno ini, aku akan tetap berjaga di sampingmu tanpa berpisah selangkahpun":

Di dunia luar sana sesungguhnya memang jauh lebih bagus daripada tempat yang sunyi dan seram ini" ujar Siao Iiong-li, "Cuma aku lantas takut begitu berada di luar sana."

"Kini kita tidak perlu takut lagi," kata Nyo-Ko, "beberapa bulan pula bila kesehatanmu sudah pulih, kita berdua akan pergi ke selatan. Konon cuaca di sana selalu cerah dan pemandangan indah. Di sana kita tidak perlu lagi main senjata segala, kita akan bercocok tanam, berkebun dan beternak, kita juga akan punya anak banyak..."

Siao-liong-li juga membayangkan kehidupan yang indah itu, katanya: "Ya, selamanya - kita takkan main senjata segala, tiada orang memusuhi kita dan kitapun takkan berkelahi dengan orang lain, kita berkebun dan piara ayam, piara itik. Ai apabila aku boleh tetap hidup..."

Begitulah keduanya terdiam sejenak, meski berada di dalam kuburan kuno, tapi dua buah hati mereka selalu melayang jauh ke selatan yang alamnya indah permai itu, selamanya mereka belum pernah menginjak daerah selatan, tapi hidung serasa sudah mencium bau harum bunga dan telinga mendengar kicauan burung merdu.

Siao-liong-li benar2 tidak tahan lagi, lapat2 ia hendak pulas pula, tapi sesungguhnya ia tidak ingin tidur, katanya: "Aku tidak ingin tidur, bicaralah padaku!"

"Tadi dalam tiduran kau mengigau tentang Auyang Hong, mengenai urusan apa itu?" tanya Nyo Ko.

Seperti diketahui, waktu kecilnya Nyo Ko pernah mengakui Auyang Hong sebagai ayah angkat, kemudian didengarnya dari orang Coan-cin-kau bahwa Auyang Hong itu berjuluk "Se-tok" (si racun barat), namanya sangat busuk di dunia persilatan malahan Tam Jutoan, salah satu dari tujuh tokoh Coan-cin-pay itu tewas di tangannya.



Kemudian Nyo Ko masuk perguruan Ko-bong-pay dan tak berani lagi bicara mengenai Auyang Hong. sekarang dia sudah menikah dengan Siao-liong-li dan segala apapun boleh dibicarakan, maka iapun ter-heran2 mendengar igauan Siao-liong-li tadi.

"Apakah aku menyebut Auyang Hong?" demikian jawab Siao-liong-li.

"Kau juga mengatakan bahwa Sun-popoh bilang pasti dia," kata Nyo Ko pula.

Baru sekarang Siao-liong-li teringat, katanya:

"Ah, ya, menurut Sun-popoh, katanya orang yang melukai Suhuku pasti Se-tok Auyang Hong, Katanya di dunia ini yang mampu melukai guruku boleh dikatakan dapat dihitung dengan jari, sedangkan ilmu pukulan keji seperti Ngo-tok~sin-ciang itu selain Auyang Hong pasti tiada orang lain yang sudi menggunakannya. Tapi sampai detik terakhir ajalnya guruku tetap tidak mau mengatakan penjahat yang melukainya itu. Sun-popoh bertanya kepadanya apakah penyerang itu Auyang Hong adanya? Namun Suhu tetap menggeleng dan tersenyum saja, lalu menghembuskan napasnya yang penghabisan."

"Auyang Hong adalah ayah angkatku," kata Nyo Ko kemudian.

"He apa betul? Mengapa aku tidak tahu?" seru Siao-liong-li heran.

Nyo Ko lantas menceritakan pengalamannya dahulu ketika dia terkena racun jarum berbisa Li Bok chiu, berkat pertolongan Auyang Hong, dapatlah dia diselamatkan sebab itulah ia mengakui Auyang Hong sebagai ayah angkat, Akhirnya ia berkata pula: "Kini ayah angkatku sudah meninggal, Suco dan Sun-popoh juga sudah wafat, Tiong-yang Cosu pun sudah tak ada, segala budi dan dendam, suka dan duka sampai saatnya telah dihapus seluruhnya oleh Thian yang maha kuasa, Malahan sampai saat terakhir Suco tetap tidak mau menyebut nama ayah-angkatku. Ah, kiranya begitu!"

Melihat anak muda itu seperti mendadak menyadari kejadian sesuatu, cepat Siao-liong-li bertanya: "Kiranya begitu apa?"

"Tentang ayah angkatku tertutuk oleh Suco bukan Li-supek yang menolongnya, tapi dia membebaskan dirinya sendiri," tutur Nyo Ko.

"Membebaskan dirinya sendiri? Bagaimana bisa begitu?"

"Ayah angkatku memiliki semacam kepandaian khas, yakni dapat memutar balik jalan urat nadi seluruh tubuh, sekali urat nadi sudah terbalik, segenap Hiat-to juga berubah tempat, sekalipun ter-tutuk juga dapat melepaskan diri."

"Di dunia ini masakah ada kepandaian seaneh ini, sungguh sukar dibayangkan."

"lni akan kuperlihatkan padamu," kata Nyo Ko sambil berbangkit lalu ia berjungkir dengan kepala dibawah terus berputar beberapa kali sambil mengatur pernapasan. Mendadak ia melompat bangun, ubun2 kepalanya terus ditumbukkan pada ujung meja di depan dipan sana.

"Hai, awas!" seru Siao-liong-li kuatir.

Hiat-to yang tepat di ubun2 kepala itu disebut "Pek-hwe-hiat" dan merupakan salah satu Hiat-to paling penting di tubuh manusia, Tapi meski tertumbuk ujung meja batu, ternyata sedikitpun Nyo Ko tidak terluka dan sakit, malahan anak muda itu tetap berdiri tegak dan berkata dengan tertawa: "Lihatlah, sekali jalan urat nadi terbalik, seketika Pek-hwe-hiat juga berpindah tempat."

Kagum sekali Siao-liong-li, katanya dengan heran: "Sungguh aneh, hanya dia yang mampu memikirkan kepandaian ini."

Walaupun tidak terluka, tapi lantaran terlalu keras menggunakan tenaga, Nyo Ko merasa rada pening juga kepalanya, tapi dalam keadaan samar2 tiba2 ia seperti menemukan sesuatu yang maha penting, cuma seketika sukar dikatakan urusan penting apa yang ditemukan itu.

Sampai sekian lama tetap sukar memecahkan persoalannya, ia menjadi kesal, ingin dikesampingkan tapi berat pula urusannya Akhjrnya ia cakar2 kepala sendiri dengan perasaan sangat masgul, katanya kemudian: "Liong-ji, ku-ingat sesuatu yang sangat penting, tapi tidak tahu apakah itu. Dapatkah kau membantu?"

Sebenarnya tidaklah masak diakal bahwa pikiran seseorang yang kusut dan tak dapat menyimpulkan sesuatu ditanyakan kepada orang lain. Tapi lantaran mereka berdua sudah berkumpul lama, sudah ada kontak batin yang mendalam, apa yang dipikirkan pihak lain biasanya dapat diterka sebagian besar. Maka Siao-Iiong-li lantas bertanya: "Apakah urusan ini sangat penting."

Nyo Ko mengiakan Siao-liong-li menegas pula: "Apakah ada sangkut-pautnya dengan keadaan lukaku?"

"Benar, benar! Apakah itu? Urusan apa yang teringat olehku?"

"Tadi kau bicara tentang ayah-angkatmu Auyang Hong serta caranya memutar balik letak hiat-to, ada sangkut paut apakah soal ini dengan lukaku? Kan bukan dia yang melukai aku..."

Mendadak Nyo Ko melonjak dan berteriak: "Aha, benar!"

Begitu keras teriakannya sehingga bergemalah kumandang suaranya dari kamar2 batu di kuburan kuno itu. Habis itu Nyo Ko terus pegang lengan Siao-liong-li dan berseru pula: "Engkau tertolong, Liong-ji! Engkau tertolong! Hanya sekian saja ucapannya, saking girangnya air matapun ber-linang2 dan tak dapat melanjutkan ucapan-nya.

Melihat anak muda itu sedemikian gembiranya, Siao-liong-li juga ikut senang dan bangkit berduduk.

"Coba dengarkan Liong-ji," kata Nyo Ko kemudian, "kau terluka dan tak dapat menggunakan Lwekang dari perguruan kita sehingga sukar disembuhkan tapi engkau dapat memutar balik urat nadimu untuk penyembuhanmu dan dipan kemala dingin itu adalah alat pembantu yang ajaib."

"Tapi... tapi aku masih belum paham!" sahut si nona dengan bingung.

"Bahwa Giok-li-sim-keng aslinya adalah Ci-im negatip, dingin), kebalikannya adalah Sun-yang (panas, positip)," tutur Nyo Ko. "Ketika membicarakan kepandaian membalikkan urat nadi ayahku tadi samar2 sudah kurasakan bahwa lukamu ini pasti tertolong. Cuma cara bagaimana menyembuhkannya yang masih membingungkanku. Akhirnya setelah ingat pada kemala dingin yang disebut dalam surat Tiong-yang Cosu barulah aku memahami persoalannya dengan jelas, sekarang jangan kita menunda lebih lama lagi, marilah... Marilah..."


Begitulah ia lantas pergi mencari beberapa ikat kayu bakar, lalu dibakar di pojok kamar, kemudian dia mengajarkan pengantar dasar ilmu membalikkan urat nadi itu kepada Siao-liong-li, si nona dibiarkan duduk, di atas dipan kemala dingin, ia sendiri duduk di samping api unggun, tangan kirinya menahan telapak tangan kanan Siao-liong-li.

"Akan kutarik hawa panas ini untuk menerobos-segenap Hiat-to di tubuhmu, sekuatnya engkau mengerahkan tenaga secara jalan terbalik, satu satu Hiat-to itu akan di terobos, kalau hawa panas itu sudah sampai ke dipan kemala dingin, maka keadaan lukamu menjadi berkurang pula parahnya."



"Apakah akupun harus berjungkir dan berputar seperti kau tadi?." tanya Siao-liong-li dengan tertawa.

"Sekarang belum perlu, nanti kalau sembilan Hiat-to besar sudah diterobos, cara berjungkir dan mengerahkan tenaga menjadi jauh lebih mudah,"

Siao-liong-li berkata pula dengan tertawa: "Untung kedua lenganmu tidak terkutung semua, nona Kwe itu ternyata tidak terlalu jelek."

"Setelah mengalami detik2 maut tadi, mengenai buntungnya tangan bagi mereka sudah bukan soal lagi, makanya Siao-Iiong li menggunakan hal ini untuk bergurau.

Dengan tertawa Nyo Ko menjawab: "Kalau tanganku buntung semua, masih ada dua kaki. Hanya kalau membantu menyembuhkan dengan telapak kaki, bau keringat kaki tentu memualkan kau."

Sementara itu api unggun sudah mulai berkobar selagi Nyo Ko bersiap akan mengerahkan tenaga dalam dan mulai penyembuhannya-pada Siao-liong-ti, mendadak ia berteriak: "Haya, hampir saja celaka!"

"Ada apa?" tanya Siao-liong-li

Nyo Ko menuding Kwe Yang yang tertaruh di ujung tempat tidur sana dan berkata- "Kalau latihan kita sedang memuncak pada titik yang genting dan mendadak setan cilik ini berkaok, kan segalanya bisa runyam?"

"Ya, sungguh berbahaya, hampir saja!" Siao-liong-Iipun bersyukur.

Maklumlah, orang yang asyik berlatih lwekang paling pantang akan gangguan dari luar, seperti dahulu ketika Siao-liong-li dan Nyo Ko sedang berlatih Giok-li-sim-keng, tanpa sengaja mereka telah terganggu oleh datangnya In Ci-peng dan Tio Ci-keng sehingga akibatnya hampir saja menewaskan Siao-Iiong-li.

Cepat Nyo Ko mengaduk setengah mangkuk madu untuk Kwe Yang kecil, lalu membawanya ke suatu kamar yang agak jauh, pintu kamar itu ditutup pula sehingga jerit tangisnya takkan terdengar, Habis itu barulah ia kembali ke tempat semula dan berkata: "Seluruhnya Hiat-to penting di tubuhmu kukira dalam waktu tujuh hari sampai setengah bulan dapatlah diterobos seluruhnya, selama itu tentu sukar menghindari gangguan dari luar, tapi tempat ini sama sekali terpisah dengan dunia luar, sungguh suatu tempat yang sangat bagus."

"Lukaku ini dipukul kawanan Tosu Coan-cin kau, tapi cakal bakal mereka yang membangun kuburan ini serta menyediakan dipan kemala dingin ini bagiku sehingga kesehatanmu dapat dipulihkan, rasanya dosa dan jasa mereka dapatlah dianggap sama."

"Dan bagaimana dengan Kim-lun Hoat-ong? Kita takkan ampuni dia," kata Nyo Ko.

"Asalkan aku tetap hidup, apalagi yang tak memuaskan kau?"

"Ya, benar juga ucapanmu," kata Nyo Ko sambil memegang tangan si nona yang putih halus itu, "Setelah kau sembuh, selanjutnya kita takkan berkelahi lagi dengan siapapun."

"Kita akan pergi keselatan dan bercocok tanam di sana memiara ayam dan itik serta..." dia termenung sejenak, tiba2 terasa suatu bawa panas tersalur tiba melalui telapak tangannya, hatinya terkesiap cepat ia melancarkan jalan darah dan mulai berlatih sesuai ajaran Nyo Ko.

Penyembuhan dengan cara membalikkan jalan darah dibantu dengan khasiat dipan kemala dingin itu ternyata sangat besar manfaatnya, Sudah tentu cara penyembuhan ini tidak dapat segera berhasil melainkan memerlukan ketekunan dan kesabaran

* * *

Kembali bercerita tentang Ui Yong, sesudah membuat Li Bok-chiu tak bisa berkutik, namun dilihatnya Kwe Yang cilik sudah tidak berada di tempatnya lagi, tentu saja dia kelabakan, ia coba membentak pada Li Bok-chiu dan bertanya: "Kau main tipu muslihat keji apa, ke mana kau sembunyikan anakku?"

"Bukankah nona cilik itu terkurung baik2 di tengah pagar rotan yang kau buat itu?" jawab Li Bok-chiu heran.

"Mana ada? Sudah lenyap!" kata Ui Yong, hampir saja ia: menangis saking cemasnya.

Karena sudah sekian lama momong Kwe Yang, maka Li Bok-chiu juga sangat menyukai orok itu, iapun terkejut demi mendengar anak itu lenyap tercetus ucapannya: "Kalau bukan Nyo Ko tentu-Kim lun Hoat-ong."

"Apa maksudmu?" tanya Ui Yong.

Li Bok-chiu lantas menceritakan kejadian perebutan Kwe Yang antara dia, Nyo Ko dan Kim-lun Hoat-ong tempo hari, dari cara Li Bok-chiu menguraikan itu jelas kelihatan dia sangat menguatirkan anak itu.

Kini Ui Yong percaya penuh hilangnya Kwe Yang itu memang di luar tahu Li Bok-chiu, segera ia membuat Hiat-to yang ditutuknya tadi, cuma pelahan ia ketuk Soan ki-hiat di dada orang, dengan demikian Li Bok-chiu dapat bergerak seperti biasa, tapi dalam waktu 12 jam dia belum kuat mencelakai orang lain.

Li Bok-chiu berbangkit dengan tersenyum getir dan membersihkan debu dibajunya, ialu berkata:

"Kalau jatuh di tangan Nyo Ko rasanya tidak beralangan, kuatirnya kalau digondol lari si bangsat gundul Kim-lun Hoat-ong."

"Apa sebabnya?" tanya Ui Yong, "Nyo Ko sangat baik kepada anak itu, kuyakin dia takkan membikin celaka padanya, sebab itulah tadinya kukira orok itu adalah anaknya."

Mendadak Li Bok-chiu berhenti, kuatir Ui Yong tersinggung dan marah lagi.

Tapi dalam hati Ui Yong justeru sedang memikir soal lain, ia sedang membayangkan betapa susah payahnya Nyo Ko berusaha menempur Li Bok-chiu dan Kim-lun Hoat-ong demi menyelamatkan Kwe cilik, tapi dirinya dan Kwe Hu justeru salah sangka jelek padanya sehingga mengakibatkan sebelah lengan anak muda itu ditabas kutung oleh Kwe Hu.

Teringat itu, hati Ui Yong merasa sangat menyesal, pikirnya: "Ko-ji pernah menyelamatkan jiwa kakak Cing, menyelamatkan aku dan kedua Bu. sekarang dia menyelamatkan anak Yang, tapi... tapi lantaran pikiranku sudah menarik kesimpulan keburukan ayahnya dan menganggap "kacang tidak meninggalkan Ianjarannya", serigala tentu beranak serigala, maka selama ini aku tidak pernah percaya padanya, meski terkadang agak baik padanya, selang tak lama aku lantas memakinya lagi.

Ai percumalah diriku maha pintar dan cerdik, kalau bicara tentang kejujuran dan ketulusan terhadap orang lain mana aku dapat dibandingkan dengan kakak Cing."

Melihat nyonya Kwe itu termangu dan mengembeng air mata, Li Bok-chiu menyangka orang sedang menguatirkan keselamatan anaknya, maka ia berusaha menghiburnya: "Kwe-hujin, puterimu belum sebulan terlahir dan sudah mengalami bencana begini, namun tetap selamat tak kurang sesuatupun apa. Bayi mungil menyenangkan seperti dia itu, biarpun momok yang ditakuti orang macamku ini juga jatuh hati padanya, maka dapat dipahami kalau bayi itu mempunyai rejeki besar, Hendaknya kaupun berdoa saja bagi keselamatannya, marilah pergi mencari nya"

Ui Yong mengusap air mata, ia pikir ucapan Li Bok-chiu itu ada benarnya juga, maka ia lantas membuka lagi Hiat-to orang yang ditutuknya tadi dan berkata: "Terima kasih banyak bahwa kau suka pergi bersamaku untuk mencari puteriku itu. Tapi kalau engkau ada urusan lain, biarlah kita berpisah saja aisini, sampai berjumpa pula kelak,"



"Urusan penting lain apa? Kalau ada urusan penting, kiranya tidak lebih penting daripada mencari anak itu. Eh, tunggu sebentar!" habis ini Li Bok-chiu terus menyusup lagi ke dalam gua di balik pepohonan sana untuk membuka tali pengikat kaki macan tutul.

Begitu merasa bebas, dengan meraung sekali macan tutul itu terus melompat pergi dengan cepat. Tentu saja Ui Yong heran. "Untuk apa kau menawan macan tutul itu?" tanyanya.

"Dia itulah mak inang puterimu," tutur Li Bok-chiu dengan tertawan.

Baru sekarang Ui Yong paham, ia tersenyum, keduanya lantas kembali ke kota kecil itu untuk mencari jejak Nyo Ko. Setiba di sana, tertampak Kwe Hu sedang celingukan dan bingung. Nona itu menjadi girang melihat datangnya sang ibu, segera ia berseru: "lbu, adik dibawa..." belum habis ucapannya, ia kaget karena melihat yang mengikut di belakang sang ibu ternyata Li Bok-chiu adanya.

"Bibi Li akan bantu kita mencari adikmu," tutur Ui Yong kemudian, "Bagaimana dengan adikmu?"

"Adik dibawa lari Nyo Ko, malahan kuda merah kita juga dirampasnya." jawab Kwe Hu.

"Lihatlah pedangku ini. Dengan kebasan lengan bajunya yang tak berlengan itu, segera pedangku jadi begini."

"Hanya dengan lengan baju?" tanya Ui Yong dan Li Bok-chiu berbareng.

"Ya, sekali kebas saja pedang ini lantas bengkok, sungguh aneh, entah ilmu hitam apa yang berhasil dikuasainya pula," kata Kwe Hu.

Ui Yong dan Li Bok-chiu saling pandang sekejap dengan terkesiap." Mereka tahu kalau, tenaga dalam seorang sudah terlatih sempurna, maka dengan sesuatu benda yang lunak pun dapat digunakan untuk menghantam benda lawan yang keras, untuk mencapai tingkatan itu sedikitnya juga perlu waktu beberapa puluh tahun kalau mendapatkan guru yang mahir, namun usia Nyo Ko masih muda belia, masakah Lwekangnya sudah mencapai puncaknya seperti ini?"

Hati Ui Yong merasa lega juga ketika mengetahui Kwe Yang memang digondol oleh Nyo Ko. sedangkan Li Bok-chiu berpikir tentang kehebatan Kang hu anak muda itu tentulah berkat ilmu yang diperolehnya dari Giok-li-sim-keng, kalau saja sekarang dirinya membantu Kwe-hujin merebut kembali puterinya, sebagai imbalannya tentu nyonya Kwe itupun mau membantunya rebut kembali kitab pusaka itu.

Bcgitutah setelah tanya arah perginya Nyo Ko, kemudian Ui Yong berkata pula kepada Kwe Hu: "Kaupun tidak perlu lagi pulang ke Tho-hoa-to marilah ikut pergi mencari Nyo-toako."

Tentu saja Kwe Hu kegirangan dan mengiakan berulang2. Tiba2 Ui Yong menarik muka dan berkata pula: "Kau harus bertemu dengan dia, tak peduIi dia mau-mengampuni kau atau tidak, kaulah yang harus minta maaf padanya dengan setulus hati."

"Tapi Kwe Hu tidak dapat menerima, katanya: "Mengapa begitu? Bukankah dia telah mencuik adik?"

Ui Yong lantas menceritakan secara ringkas apa yang didengarnya dari Li Bok-chiu, dan menambahkan "Kalau dia bermaksud jahat, mana bisa adikmu hidup sampai sekarang? Lagi pula, dengan kebutan lengan bajunya itu, kalau saja yang diincar adalah kepalamu, coba bayangkan, bagaimana keadaanmu sekarang?"

Ngeri juga hati Kwe Hu mendengar ucapan sang ibu, ia pikir betul juga omongan ibunya, "tapi apakah benar Nyo Ko sengaja bermurah hati padanya? Dasar anak manja, betapapun mulutnya tidak mau kalah, katanya pula: "Dia menggondol adik ke arah utara, tentu dia menuju ke Coat-ceng-kok."

"Tidak, dia pasti pulang ke Cong-lam-san." ujar Ui Yong.

Kwe Hu masih penasaran, jawabnya: "lbu selalu membantu dia saja, Padahal kalau dia bertujuan baik, untuk apa dia membawa adik ke Cong-Iam-san "

Ui Yong menghela napas katanya: "Kau dibesarkan bersama Nyo~toako, ternyata kau masih belum kenal wataknya, selamanya dia bertinggi hati dan angkuh, tidak tahan dihina orang, Ketika mendadak kau mengutungkan lengannya, dia merasa tidak sampai hati hendak balas membuntungi lenganmu tapi iapun tidak rela kalau menyudahi begitu saja urusan ini, dia sengaja membawa pergi adikmu agar kita dibuatnya kelabakan dan bersedih.

Selang sementara waktu, kalau dongkolnya sudah mereda, kuyakin dia pasti akan mengembalikan adikmu itu, Nah, paham tidak sekarang?" Tegasnya.

"Karena kau memfitnah dia menculik adikmu, maka ia betul2 lantas sengaja menculiknya."

Ui Yong memang sangat cerdas dan pintar, setelah mendengarcerita Li Bok-chiu, jalan pikiran Nyo Ko ternyata dapat diraba dan diukurnya dengan tepat padahal Siao-liong-li dan Kwe Cing menganggap Nyo Ko teramat baik, sebaliknya Li Bok-chiu dan Kwe Hu justeru menganggap anak muda itu terlampau busuk. Sampai saat ini, satu2-nya yang betul2 memahami jalan pikiran dan watak Nyo Ko ternyata hanya Ui Yong saja.

Begitulah akhirnya Kwe Hu tak berani bicara Iagi. Mereka lantas mendatangi warung makan semula untuk meminjam alat tulis, Ui Yong menulis suatu surat singkat dan memberi persen kepada pelayan agar segera mengirimkan surat itu kepada Kwe Cing di Siangyang. Habis itu mereka bertiga lantas membeli kuda dan berangkatlah ke Cong-lam-san.

Kwe Hu tidak menyukai Li Bok-chiu, sepanjang jalan sikapnya dingin dan jarang bicara dengan dia.

Hari itu lewat lohor, tengah mereka melanjutkan perjalanan, tiba2 dari depan seorang penunggang kuda mendatangi secepat terbang

"Hei, itulah kuda merah kita...." seru Kwe Hu, belum habis ucapannya, penunggang kuda itu mendekat dan segera Kwe Hu melompat maju.

Kuda itu memang betul kuda Kwe Hu yang dirampas Nyo Ko itu, sebelum Kwe Hu meraih tali kendali, kuda merah itu sudah lantas-berhenti mendadak sambil berjingkrak dan meringkik kegirangan karena mengenali sang majikan.

Waktu Kwe Hu mengamati penunggangnya, kiranya seorang nona berbaju hitam yang pernah berjumpa satu kali dahulu waktu bersama mengeroyok Li Bok-chiu yaitu Wanyan Peng.

Rambut nona itu tampak kusut masai, wajahnya pucat, keadaannya mengenaskan.

"He, kenapa kau, Wanyan-taci?" tanya Kwe Hu cepat.

"Di sana, lekas..." jawab Wanyan Peng dengan suara ter-putus2 sambil menuding ke belakang, mendadak tubuhnya tergeliat terus terperosot jatuh ke bawah kuda.

Cepat Kwe Hu melompat turun untuk membangunkan nona itu, ternyata Wanyan Peng sudah pingsan, pundaknya terluka dan merembes darah segar. Segera Kwe Hu membubuhi obat luka dan merobek kain baju untuk membalut lukanya sambil berkata kepada sang ibu: "iniiah Wayan-cici yang pernah kukatakan itu." Habis berkata ia melotot sekali pada Li Bok-chiu.



Ui Yong pikir sebelum jatuh pingsan Wayan Peng sempat menuding ke sana, tentu di sana terjadi sesuatu dan mungkin ada kawannya yang masih perlu ditolong. Cepat ia suruh Kwe Hu memonong Wayan Peng ke atas kuda merah dan memberi pesan agar mengikutinya dari belakang. Habis ini ia memberi tanda kepada Li Bok-chiu dan mengajaknya berlari ke arah utara dengan Ginkang mereka yang tinggi.

Sekaligus mereka berlari belasan li tanpa berhenti benar juga sayup2 terdengar suara beradunya senjata di lereng bukit sana. Mereka mempercepat langkah, setelah melintasi bukit itu, terlihatlah ada lima orang sedang bertempur sengit di suatu tanah datar di depan sana.

Dua di antara lima orang itu, adalah kedua saudara Bu, selain itu ada lagi seorang pemuda dan seorang pemudi yang tak dikenal, berempat sedang mengerubuti seorang lelaki setengah umur.

Meski empat mengeroyok satu, tapi tampaknya masih kewalahan, lebih banyak terserang daripada menyerang.

Tampaknya kedua, saudara Bu sudah terluka, hanya pemuda itu dengan pedangnya yang berputar dengan cepat hampir menangkis sebagian besar serangan lelaki setengah umur itu, di samping sana tampak menggeletak pula seorang berewok dan berlumuran darah, ternyata Bu Sam-thong adanya.

Yang aneh adalah senjata lelaki itu, tangan satu menggunakan golok emas, tangan lain memainkan pedang panjang lentik warna hitam, gerak serangannya aneh, tapi luar biasa.

Ui Yong pikir kalau tidak lekas turun tangan, tentu kedua saudara Bu itu bisa celaka, Segera ia berkata kepada Li Bok-chiu: "Kedua anak muda itu adalah muridku."

Li Bok-chiu hanya tersenyum saja, sudah tentu ia kenal kedua Bu cilik itu sebab ibu mereka terbunuh olehnya, ia lihat ilmu silat lelaki setengah umur itu sangat tinggi, diam2 ia terkejut, segera ia siapkan kebutnya dan berkata: "Marilah kita maju bersama!"

Ui Yong juga keluarkan pentungnya, dua orang terus menerjang maju dari kanan-kiri, kebut Li Bok-chiu melayani pedang hitam lawan dan Ui Yong menghadapi golok emas musuh.

Leaki itu bukan lain daripada Kongsun Ci, ia terkejut juga ketika mendadak dua wanita setengah baya dan cantik mengerubutnya sekaligus. Terdengar Li Bok-chiu berseru: "Satu!"

Ketika kebutnya menyabet lagi segera ia berseru pula: "Dua!"

Rupanya diam2 ia ingin berlomba dengan Ui Yong untuk mendahului menjatuhkan senjata lawan, Tapi meski dia sudah berteriak sampai hitungan ke sepuluh, ternyata Kongsun Ci masih tetap dapat menahan dan balas menyerang juga.

Anak muda yang berpedang tadi melihat ada kesempatan, ber-turut2 ia terus menyerang tiga kali ke punggung Kongsun Ci, serangan2 lihay ini membuat Kongsun Ci rada kerepotan karena dia tidak mau menangkisnya, terpaksa ia melompat maju untuk melepaskan diri dari kerubutan itu.

la tahu kalau pertempuran dilanjutkan tentu dirinya akan celaka. mendadak kedua senjata sendiri ia adu hingga menguarkan suara mendenging dan bergaya hendak menerjang lagi.

Ui Yong dan Li Bok-chiu juga menyadari kelihayan lawan, mereka tidak berani gegabah dan siap bertahan. Tak terduga baru saja tubuh Kongsun Ci terangkat ke atas, ternyata tidak melompat maju melainkan menyurut mundur malah, hanya beberapa kali lompatan saja ia sudah lari sampai diatas bukit.

Diam2 Ui Yong dan Li Bok-chiu mengakui kclicinan orang itu dan tinggi pula ilmu silatnya, kalau saja kepergok satu lawan satu mungkin diri sendiri bukan tandingannya.

Dalam pada itu kedua saudara Bu lantas memberi hormat kepada sang ibu guru, sesudah itu mereka terus melotot kepada Li Bok-chiu dengan sikap memusuhi.

"Dendam Iama sementara ini kesampingkan dahulu," kata Ui Yong.. "Luka ayahmu parah tidak? Eh, siapakah kedua anak muda ini? Wah, celaka, Lekas ikut aku ke sana, Li-cici!" - Habis berseru ia terus mendahului lari ke arah kedatangannya tadi.

Li Bok-chiu tidak paham maksud seruan Ui Yong itu, namun ia tetap ikut lari kesana sambil berteriak: "Ada apa?"

"Anak Hu," jawab Ui Yong sambi lari, "Anak Hu kebetulan akan kepergok orang tadi."

Begitulah mereka terus berlari sekencangnya, namun Kongsun Ci juga tidak kurang cepatnya, sementara itu ia sudah meninggalkan satu - dua li jauhnya. Baru saja Ui Yong berdua sampai di atas bukit, Kongsun Ci sendiri sudah berada di kaki bukit, tertampak Kwe Hu yang membawa Wanyan Peng dengan menunggang kuda merah itu sedang menanjak ke atas dengan pelahan.

"Awas, Hu-ji!" seru Ui Yong dari jauh, Belum lenyap suaranya mendadak kelihatan Kongsun Ci mencemplak ke atas kuda merah, sekaligus Kwe Hu telah di bekuk olehnya, menyusul tali kendali kuda merah itu ditarik hendak dibelokkan ke sana.

"Ui Yong yang menjadi kuatir, harapannya kini hanya terletak pada kuda merah itu, cepat ia bersuit untuk mengundang kuda itu. Dasar kuda merah itu memang binatang cerdik, begitu mendengar suara panggilan sang majikan, terus saja kabur ke atas bukit secepat terbang.

Keruan Kongsun Ci terkejut, pikirnya: "Sungguh sial, masakah seekor kuda saja takdapat ku-kuasai?" Sekuatnya ia berusaha menarik tali kendali, tapi karena sentakan mendadak itu, kuda merah lantas berjingkrak dan meringkik.

Sebisanya Kongsun Ci berusaha memutar kuda itu ke arah lain,namun kuda merah itu lantas mendepak2 sambil mundur2 ke atas bukit malah.

Tentu saja Ui Yong bergirang, cepat ia memburu maju.

Merasa tidak sanggup mengatasi kebandelan kuda merah itu, sedangkan kedua lawan tangguh sudah memburu tiba, terpaksa Kongsun Ci menyimpan senjatanya, tangan yang satu ia kempit Kwe-Hu dan tangan lain mengempit Wanyan Peng, ia terus melompat turun dari kuda dan kabur dengan cepat.

Kongsun Ci sungguh lihay, biarpun membawa dua nona larinya tetap secepat terbang. Tapi Gin-kang Ui Yong dan Li Bok-chiu juga kelas wahid, tidak seberapa lama dapatlah mereka menyusul tiba. jaraknya tinggal belasan meter saja. Se-konyong2 Kongsun Ci berhenti dan membalik tubuh sambil berkata: "Heh, kalau kupiting sekuatnya, kukira kedua anak perempuan cantik ini akan menghadapi Giam-lo-ong (raja akhirat)."

Ui Yong terkesiap, tanyanya kemudian: "Siapakah kau? selamanya kita tidak kenal, mengapa kau menawan puteriku?" .

"O, inikah puterimu? jadi kau ini nyonya Wan-yan?" tanya Kongsun Ci dengan tertawa.

"Yang inilah puteriku," kata Ui Yong sambil menunjuk Kwe Hu.

Kongsun Ci memandang sekejap pada KweHu, lalu memandang Ui Yong pula, dengan cengar-cengir lalu berkata: "Wah, sangat cantik, ibu dan anak sama2 cantiknya, sungguh cantik!"



Tentu saja Ui Yong sangat gusar, tapi apa daya, puterinya berada dalam cengkeraman musuh, terpaksa harus bersabar dan mencari akal.

Selagi hendak bicara pula, mendadak terdengar suara mendesir dari belakang, dua anak panah menyamber lewat di pipi kirinya dan langsung mengarah muka Kongsun Ci.

Kekuatan kedua anak panah itu sungguh luar biasa, suara mendesingnya sangat keras, dari suara mendesing panah itu hampir saja Ui Yong berteriak kegirangan, sebab disangkanya sang suami (Kwe-Cing) sudah tiba.

Maklumlah kemahiran memanah jarang dimiliki tokoh persilatan daerah Tionggoan, sedangkan jago panah Mongol banyak yang tidak memiliki tenaga dalam yang kuat dan sukar mencapai jauh, maka dari suara mendesingnya panah yang keras tadi, Ui Yong merasa tiada orang lain lagi kecuali Kwe Cing yang mampu memanah sehebat itu.

Kongsun Ci itu juga maha lihay, kedua tangannya tak dapat digunakan menangkap anak panah yang menyambar tiba itu, mendadak ia membuka mulut dan menggigit tepat ujung panah pertama menyusul kepalanya sedikit menggeleng sehingga panah kedua dapat disampuk jatuh dengan panah yang digigitnya itu.

Ui Yong menjadi ragu, apakah sang suami yang memanah, sebab ia yakin jika Kwe Cing yang-memanah dan musuh berani menggigit dengan mulutnya, mustahil tenggorokannya takkan tembus oleh anak panah itu.

Dalam pada itu terdengar pula suara mendesing ber turut2, sekaligus sembilan panah menyamber pula ke muka Kongsun Ci secara susul menyusul. Mau-tak-mau Kongsun Ci menjadi kelabakan terpaksa ia lepaskan kedua nona dan meloIos senjata untuk menangkis.

Selagi Ui Yong hendak menubruk maju untuk menyelamatkan puterinya, tahu2 sesosok bayangan telah menggelinding ke depan, Kwe Hu dirangkulnya terus berguling lagi ke samping, Tapi sebelum orang itu melompat bangun, tangan Kongsun Ci yang lain terus menghantam kepala orang itu.

Dalam keadaan masih telentang orang yang menolong Kwe Hu itu sempat menangkis dengan tangannya, "blang", debu pasir berhamburan Kong-sun Ci berseru: "Bagus!" - Menyusul pukulan ke dua dilontarkan pula dengan lebih dahsyat.

Tampaknya orang itu sukar menangkis lagi, cepat Ui Yong mengulur pentung bambunya dan menangkiskan pukulan itu. Merasa dirinya pasti takkan mampu menghadapi kerubutan orang banyak itu, Kongsun Ci tidak menyerang pula, ia terbahak dan melompat mundur terus melangkah pergi. Gayanya indah, caranya tangkas pula dan ternyata tiada yang berani mengejarnya Iagi.

Setelah berbangkit, orang yang merangkul Kwe Hu tadi lantas melepaskan si nona, pinggang orang itu membawa busur, perawakannya tinggi dan bahunya lebar, segera Ui Yong mengenalinya scbapai pemuda yang berpedang tadi, ke-11 anak panah yang dibidikkan secara berantai itu tentu pula dilakukan oleh anak muda ini.

Meski tertawan Kongsun Ci, tapi Kwe Hu tidak mengalami luka, segera ia menyapa pemuda yang menolongnya itu dengan muka merah jengah: "Eh, kiranya Yalu-toako, terima kasih atas pertolonganmu! "

Dalam pada itu Bu Siu-bun dan nona satunya lagi sudah memburu tiba, hanya Bu Tun-si saja yang tinggal di sana menjaga ayahnya.Pantasnya Bu Siu-bun mesti memperkenalkan mereka, tapi dia ternyata tidak dapat menahan marah dan dendamnya, kedua matanya melotot benci kepada Li Bok-chiu dan lupa keadaan sekitarnya, dua kali Ui Yong memanggilnya juga tidak mendengar

Kwe Hu lantas bicara pada sang ibu sambil menunjuk pemuda yang menolongnya itu: "Mak inilah Yalu-toako!" Lalu ia tuding pula nona yang datang bersama Bu Siu-bun dan menambahkan: "Dan ini Yalu-cici."

"Oh, hebat benar kepandaian kalian berdua!" puji Ui Yong.

Kedua saudara Yalu itu mengucapkan kata2 rendah hati sambil memberi hormat sedangkan Li Bok chiu berdiri menjauhi di sana tanpa urus orang2 lain.

"Gaya ilmu silat kalian nampaknya dari Coan-cin-pay, entah kalian ini murid Coan-cin-jit-cu yang mana?" tanya Ui Yong pula, ia menyaksikan kepandaian Yalu Ce yang hebat, antara angkatan muda yang pernah dilihatnya, kecuali Nyo Ko saja boIeh dikatakan tiada bandingannya lagi maka ia yakin Yalu Ce pasti bukan anak murid -Coan-cin-pay angkatan ketiga atau keempat.

Dengan rendah hati Yalu Yan berkata: "Kepandaianku sih ajaran kakak"

Ui Yong mengangguk dan memandang Yalu Ce. Tampaknya Yalu Ce- merasa sungkan untuk menerangkan, jawabnya kemudian: "Pantasnya Wanpwe harus menjelaskan pertanyaan Cianpwe, cuma Suhu pernah memberi pesan agar jangan se-kali2 menyebut nama beliau, sebab itulah mohon Kwe-hujin sudi memaafkan."

Semula Ui Yong terkesiap, ia heran mulai kapan Coan cin jit-cu memakai peraturan aneh yang melarang anak murid menyebut nama gurunya? Tapi cepat tergerak pikirannya, mendadak ia tertawa ter-pingkal2 seperti teringat kepada sesuatu yang sangat lucu.

"He. apakah yang menggelikan engkau, bu" tanya Kwe Hu heran.

Akan tetapi Ui Yong tidak menjawab dan tetap tertawa Yalu Ce ternyata tidak tersinggung, malahan iapun tersenyum dan akhirnya berkata: "Kiranya Kwe-hujin, dapat menerkanya."

Kwe Hu tetap bingung, waktu ia pandang Yalu Yan, nona itupun merasa tidak paham apa yang ditertawakan kedua orang itu.

Di samping sana Bu Siu-bun telah membalut luka Wanyan Peng yang menjadi pecah lagi karena ditawan dan dibanting pula oleh Kongsun Ci tadi.

"Bagaimana keadaan ayahmu Siu-bun?" tanya Ui Yong.

Belum Siu-bun menjawab, tiba2 Yalu Yan berseru terus berlari ke tempat-Bu Sam-thong menggeletak.

"Luka ayah terletak di paha kiri, terkena serangan tua bangka Kongsun itu," tutur Siu-bun.

Ui Yong mengangguk lalu ia mendekati kuda merah dan mengelus bulu surinya yang panjang itu, katanya dengan terharu: "Oh, kudaku sayang, sungguh besar jasamu terhadap keluarga Kwe kami."

Ternyata Bu Siu-bun tidak lagi bersikap akrab terhadap Kwe Hu, sebaliknya tampak sangat simpatik kepada Wanyan Peng, entah sengaja hendak membikin sirik Kwe Hu atau memang pemuda itu jatuh hati kepada Wanyan Peng, betapapun Ui Yong juga tidak sempat urus persoalan anak2 muda itu, segera ia berlari ke tempat Bu Sam-thong untuk memeriksa keadaannya.

Melihat Ui Yong, Bu Sam-thong bermaksud berdiri, tapi karena kakinya terluka, tubuhnya menjadi sempoyongan, cepat Bu Tun-si dan Yalu Yan memegangi orang tua, ketika jadi kedua muda-mudi itu saling sentuh, keduanya saling pandang dan tersenyum penuh arti.

Diam2 Ui Yong geli, pikirnya: "Rupanya ada satu pasangan lagi, padahal beberapa hari yang lalu kedua saudara Bu cilik itu baru berkelahi mati2an berebut anak Hu tanpa menghiraukan hubungan baik saudara sekandung, sekarang setelah menemukan nona cantik lain, seketika segala kejadian yang lalu terlupa sama sekali"



Bahwasanya kedua saudara Bu jatuh hati kepada Kwe Hu sebenarnya bukanlah sesuatu yang aneh, soalnya mereka dibesarkan bersama di Tho-hoa-to, di pulau terpencil itu tiada anak perempuan lain, lama2 tentu saja menimbulkan bibit cinta antara mereka.

Tapi kemudian setelah mengetahui Kwe Hu ternyata tidak mencintai mereka, dengan sendirinya kedua Bu cilik itu sangat kecewa dan putus asa, hidup mereka terasa himpa dan tiada artinya, Tak terduga tidak iama kemudian mereka lantas ketemukan Yalu Yan dan Wanyan Peng, masing2 ternyata rada cocok dengan kedua saudara Bu itu.

Kini mereka saling bertemu lagi, diam2 kedua Bu cilik membandingkan Kwe Hu dengan buah hati mereka yang baru, Dan pameo "cinta buta" juga berlaku di sini, dalam anggapan mereka tentu segala sesuatu kekasihnya jauh lebih baik.

Sebenarnya kedua saudara Bu sudah bersumpah takkan menemui Kwe Hu lagi, tapi pertemuan ini terjadi mendadak dan kepergok, jadi bukan sengaja hendak bertemu, mereka anggap bukan melanggar sumpah.

Dalam hati Kwe Hu sendiri sedang membayangkan kejadian Yalu Ce menolongnya tadi, beberapa kali ia melirik anak muda yang gagah dan cakap itu, ia menjadi heran ilmu silatnya ternyata begini hebat, dan anak muda itupun saling pandang dan tertawa geli, entah apa pula yang ditertawakan mereka.

Begitulah setelah memeriksa luka Bu Sam-thong dan ternyata tidak parah, Ui Yong merasa lega, mereka lantas ambil tempat duduk di batu karang dan saling menceritakan pengalaman masing2 selama berpisah.

Kiranya tempo hari ketika Cu Cu-Iiu ikut paman gurunya, yaitu si paderi Hindu itu mencari obat ke Coat-ceng-kok, secara diam2 Bu Sam-thong juga mengikut ke sana demi untuk membalas budi kebaikan Nyo Ko.

Tapi baru saja sampai di luar kota, dilihatnya kedua puteranya juga keluar kota bersama, ia terkejut dan kuatir kalau kedua saudara sekandung itu akan duel pula, cepat ia menegur dan menanyai kedua puteranya itu, akhirnya baru diketahui bahwa kedua Bu cilik telah bersumpah takkan bertemu lagi dengan Kwe Hu, maka mereka tidak ingin tinggal lagi di Siangyang. Karena itulah mereka bertiga lantas menuju ke Coat-ceng-kok.

Tapi Coat-ceng-kok itu mirip suatu dunia lain, meski Nyo Ko telah memberitahukan keadaan tempat itu secara garis besar, tapi sungguh sukar menemukan jalan masuknya, Mereka ber-putar2 kian kemari dan beberapa kali kesasar, akhirnya dapat juga menemukan mulut lembah itu.

Tak terduga paderi Hindu dan Cu Cu-liu berdua ternyata sudah tertawan oleh Kiu Jian-jio. Bcberapa kali Bu Sam-thong bertiga berusaha menolong mereka, tapi selalu gagal dan terpaksa keluar dari lembah itu dengan maksud pulang Siangyang untuk mencari bala bantuan, tak tahunya di tengah jalan mereka kepergok pula dengan Kongsun Ci, mereka dituduh sengaja berkeliaran di lembah itu sehingga terjadilah pertarungan sengit.

Bu Sam-thong bukan tandingan Kongsun Ci dan kakinya tertusuk pedang, sebenarnya Kongsun Ci juga tidak bermaksud mencelakai jiwa mereka, dia ingin mengusir mereka saja dan melarang mereka datang lagi ke situ.

Justeru pada saat itu juga Yalu Ce dan Yalu Yan serta Wanyan Peng juga lewat di situ, Ketiga muda-mudi itu pernah bertemu satu kali dengan kedua Bu cilik, mereka lantas berhenti dan sapa menyapa.

Kongsun Ci baru saja gagal menikahi Siao-liong-li dan habis di usir sang isteri, dia sedang kesepian dan mendongkol tiba2 dilihatnya Wanyan Peng berwajah cantik, seketika timbul napsu jahatnya, mendadak ia turun tangan dan hendak menawan Wanyan Peng. Tentu saja kedua saudara Yalu dan kedua Bu cilik tidak tinggal diam, serentak mengerubut Kongsun Ci.

Kalau saja Bu Sam-thong tidak terluka lebih dulu, dengan gabungan mereka berenam mestinya dapat menandingi Kongsun Ci, kini yang dapat diandalkan hanya Yalu Ce saja, biarpun mereka main keroyok juga sukar menandingi musuh yang lihay itu.

Untunglah pada saat itu kuda merah yang-tempo hari dibawa Nyo Ko dan dilepas di Cong-Iam-san itu kini telah lari pulang, Cepat Siu-bun mencegat kuda itu dan membiarkan Wanyan Peng kabur dengan menunggang kuda merah, tapi Wanyan Pcng telah bertemu dengan Ui Yong dan Li Bok-chiu dan akhirnya Kongsun Ci dihalau pergi.

Kemudian Ui Yong juga menceritakan secara ringkas tentang buntungnya lengan Nyo Ko serta membawa lari Kwe Yang, Bu Sam-thong terkejut, cepat ia menjelaskan sebabnya Nyo Ko mengaku telah bertunangan dengan Kwe Hu adalah ingin menolong kedua Bu cilik agar tidak saling membunuh antara saudara sendiri, siapa duga akibatnya malah membikin susah Nyo Ko.

Dasar watak Bu Sam-thong memang keras dan pemberang, mengingat buntungnya Nyo Ko itu adalah gara2 kedua anaknya itu, makin dipikir makin marah, mendadak ia terus menuding Siu-bun dan Tun-si terus dicaci maki, kalau kakinya tidak terluka, bisa jadi ia terus mendekati kedua Bu cilik dan menggamparnya.

Saat itu Tun-si dan Siu-bun sedang asyik-bicara dengan Yalu Yan dan Wanyan Peng, tidak lama Kwe Hu dan Yalu Ce ikut bicara, usia keenam orang sebaya, tapi bahu membahu bertempur pula maka obrolan mereka menjadi bersemangat.

Siapa tahu mendadak Bu Sam-thong terus mencaci-maki, keruan Siu-bun dan Tun-si menjadi bingung, mereka tidak tahu apa sebabnya sang ayah mendadak marah, mereka sama melirik Yalu Yan dan Wanyan Peng, betapapun mereka merasa malu mendapatkan damperatan begitu di depan si nona jelita.

Apalagi kalau sampai sang ayah membongkar rahasia hubungan mereka dengan Kwe Hu, tentu akan membikin mereka tambah runyam.

Melihat keadaan serba kikuk, cepat Ui Yong menyela, katanya: "Sudahlah, hendaklah Bu-heng jangan gusar lagi, buntungnya tangan Nyo Ko adalah karena kekurangajaran puteriku, tatkala mana kakak Cing juga sangat murka dan hampir saja tangan anak Hu juga dikutunginya."

"Bagus, seharusnya begitu!" seru Bu Sam-thong.

Kwe Hu mendelik sekejap kepada orang tua yang sok tahu itu, kalau saja ibunya tidak di situ, mungkin dia sudah balas olok2 Bu Sam-thong.

Ui Yong lantas berkata pula: "Bu-heng, sekarang urusannya sudah jelas, jadi kita telah salah menuduh si Nyo Ko. Paling penting sekarang kita harus menemukan Nyo Ko dan minta maaf padanya."

"Benar benar!" ber-ulang2 Sam-thong menyatakan setuju.

"Selain itu kita harus pergi ke Coat-ceng-kok untuk menolong susiokmu dan Cu-toako. berbareng itu, kita akan memintakan obat penawar bagi Nyo Ko. Cuma tidak diketahui mengapa Cu-toako sampai terkurung musuh dan bagaimana keadaannya sekarang?".

"Susiok dan Sute tertawan oleh barisan jaring musuh dan sekarang terkurung di suatu kamar batu, tampaknya jiwa mereka tidak begitu menguatirkan,"

"Jika begitu biarlah kita mencari Nyo Ko dahulu baru pergi ke Coat ceng-kok, dengan kepandaiannya yang tinggi itu anak muda itu merupakan pembantu yang terkuat apalagi obat penawar didapatkan segera bisa diminum olehnya dan tidak perlu membuang waktu lagi," kata Ui Yong.

"Benar, benar," seru Sam-thong. "Cuma tidak diketahui sekarang Nyo Ko berada di mana?"

Sambil menuding kuda merah, Ui Yong menjawab: "Kuda ini baru saja di pinjam si Nyo Ko, kuda ini akan menjadi petunjuk jalan, kita pasti dapat menemukan tempat tinggalnya."

Bu Sam thong sangat girang, serunya: "Untung Kwe-hujin berada di sini, kalau tidak, tentu aku akan kelabakan setengah mati tanpa berdaya."

Ui Yong pikir kalau Bu Sam-thong dan kedua puteranya ikut pergi, besar kemungkinan ketiga muda-mudi yang lain juga akan ikut, akan terasa lebih aman jika ada pembantu lebih banyak Segera ia berkata kepada Yalu Ce: "Bagaimana kalau kalian juga ikut bersama kami?"

Belum lagi Yalu Ce menjawab, cepat Yalu Yan mendahului bersorak: "Baiklah, kakak, kita ikut pergi."

Tanpa terasa Yalu Ce memandang sekejap kepada Kwe Hu dan terlihat sorot mata nona itu juga memberi dorongan padanya, ketika ia berpaling ke arah Wanyan Peng, nona itu juga tersenyum, maka iapun menjawab dengan menghormat.

"Kami tunduk saja kepada pesan Bu-locianpwe dan Kwe-hujin, kalau kami bisa, selalu mendapat petunjuk kalian, itulah yang kami harapkan"

Ui Yong lantas berkata pula: "Meski tidak banyak jumlah kita, tapi kita perlu juga seorang komandan sebagai pimpinan. Bu-heng, biarlah kami tunduk kepada pimpinanmu dan takkan membantah perintahmu."

Namun Bu Sam-thong lantas geleng kepala dan menjawab: "Tidak, jelas seorang Kunsu (juru pikir) wanita seperti kau berada di sini, siapa lagi yang berani main perintah segala? Sudah tentu mandat penuh kuserahkan padamu."

"Apa sudah betul pilihanmu?" Ui Yong menegas dengan tertawa.

"Masakah aku bergurau?" jawab Sam-thong.

"Anak2 sih tidak menjadi soaV, yang kukuatirkan adalah kau. si tua ini tidak mau tunduk pada perintahku," kata Ui Yong.

"Apa perintahmu, apa pula yang kulaksanakan," seru Sam-thong, "Sekalipun masuk lautan api atau terjun ke rawa mendidih juga takkan kutolak."

"Di hadapan anak2 muda ini, apa yang sudah kau katakan harus kau tepati," ujar Ui Yong.

"Sudah tentu," jawab Sam-thong dengan muka merah padam "Memangnya kalau tiada orang lain pernah kuingkar janji?"

"Bagus! itulah yang kuinginkan darimu," kata Ui Yong. "Keberangkatan kita nntuk mencari Nyo Ko, meminta obat dan menolong kawan, semuanya harus dilakukan dengan cara gotong royong maka segala dendam sakit hati dimasa- lampau untuk sementara ini harus dikesampingkan. Jadi maksudku, Bu-heng, untuk sementara ini kalian sekali-kali tidak boleh merecoki Li Bok-chiu, nanti kalau urusan sudah bcres, bolehlah kalian melabrak dia untuk menuntut balas."

Bu Sam-thong melengak, baru sekarang ia tahu tujuan kata2 Ui Yong tadi hanya untuk memancing pernyataannya saja. Padahal Li Bok-chiu adalah pembunuh isterinya, sakit hati ini mana boleh dibiarkan?

Belum lagi Sam-thong menjawab, Ui Yong membuka suara pula dengan lirih: "Bu-heng, kakimu terluka, sementara ini tentu juga tak dapat berbuat banyak. Untuk menuntut balas kukira juga tidak perlu terburu-buru saat ini juga."

Terpaksa Bu Sam-thong berkata: "Baiklah, apa yang kau katakan, apa yang kulakukan."

Ui Yong lantas berseru memanggil Li Bok-chiu: "Li-cici marilah kita berangkat!"

Begitulah kuda merah itu dibiarkan jalan di depan dan mereka ikut dari belakang, Benar juga kuda itu ternyata menuju ke arah Cong-lam-san.

Lantaran Bu Sam-thong dan Wanyan Peng terluka dan tak dapat jalan cepat, setiap hari mereka cuma menempuh ratusan li saja lantas istirahat. Diam2 Li Bok-chiu waspada menjaga segala kemungkinan, di waktu istirahat ia sengaja menjauhi semua orang. Waktu menempuh perjalanan iapun mengintil dari kejauhan.

Sepanjang jalan yang paling gembira adalah ke. enam muda-mudi itu, mereka bicara dan bergurau dengan akrab sekali, Sejak kecil kedua saudara Bu saling bersaing mencari muka pada Kwe Hu sehingga hubungan mereka sedikit-banyak kurang baik, tapi sekarang masing2 sudah menemukan gadis idaman, kedua saudara menjadi sangat rukun dan sayang menyayang.

Tentu saja Bu Sam-thong sangat senang melihat itu dan tambah terima kasihnya kepada Nyo Ko yang telah menyelamatkan kedua Bu cilik itu dari saling membunuh memperebutkan seorang gadis.

Suatu hari sampailah mereka di Cong-lam-san. Ui Yong dan Bu Sam-thong membawa anak muda itu berkunjung kepada Coan-cin-jit-cu di Tiong-yang-kiong. Li Bok-chiu berhenti jauh di luar istana Coan-cin-pay dan menyatakan hendak menunggu saja di situ.

Dengan sendirinya Ui Yong tidak memaksa karena tahu iblis itu bermusuhan dengan pihak Coan-cin-pay, rombongan mereka lantas menuju Tiong-yang~kiong. Ketika mendapat laporan, cepat Khu Ju-ki dan lain2 menyambut keluar.

Sesudah rombongan tamu disilakan masuk dan berduduk di pendopo agung, baru saja mereka beramah-tamah sejenak, tiba2 di ruangan belakang ada suara orang mem~bentak2. seketika Ui Yong mengenali suara orang itu, segera ia berseru: "Hai, Lo-wan-tong, lihatlah siapakah ini yang datang?"

Selama beberapa hari ini memang Ciu Pek-thong lagi sibuk mempelajari cara2- mengundang dan memimpin kawanan tawon putih, Dasarnya memang pintar, tekun pula, maka sedikit-banyak sudah ada kemajuan, saat itu dia sedang asyik dengan permainannya itu, ketika tiba2 didengarnya orang memanggil julukannya, segera ia kenal itulah suaranya Ui Yong.

"Aha, kiranya bininya adik angkatku yang genit dan jahil itu telah datang!" sambil ber-teriak2 ia terus berlari ke depan.

Serentak Yalu Ce memampak maju dan menyembah kepada Ciu Pek-thong sambil mengucapkan doa selamat, Dengan tertawa Ciu Pek-thong menjawab: "Sudahlah, lekas bangun. Kaupun selamat-selamat ya!"

Menyaksikan itu semua orang jadi ter-heran2.

Sungguh tidak tersangka bahwa Yalu Ce adalah, muridnya Ciu Pek-thong, padahal tingkah lakunya Anak Tua Nakal itu suka ugal2an dan angin2an, tapi murid didiknya ternyata pintar dan tangkas, jujur-dan sopan, sama sekali berbeda antara guru dan murid.



Khu Ju-ki dan lain2 juga sangat senang melihat sang Susiok sudah mempunyai ahli waris, be-ramai2 mereka lantas mengucapkan selamat kepada Ciu Pek-thong. Baru sekarang juga Kwe Hu menyadari sebab musababnya tempo hari sang ibu dan Yalu Ce saling pandang dengan bergelak tertawa ketika anak muda itu tidak mau menerangkan siapa gurunya, rupanya waktu itu Ui Yong sudah dapat menerka bahwa guru Yal-u Ce adalah si Anak Tua Nakal Ciu Pek-thong.

Tengah ramai2, mendadak di bawah gunung ada suara terompet, itulah pemberitahuan para anak murid yang bertugas jaga bahwa musuh datang menyerang secara besar2an.

Seketika air muka Khu Ju-ki berubah, ia tahu pasti pasukan Mongol yang datang akibat kegagalan usaha Kim lun Hoat-ong dan begundalnya menaklukkan Coan-cin-kau tempo hari.

Walaupun orang2 Coan-cin-kau mahir ilmu silat, tapi tidak mungkin bertempur secara terbuka melawan pasukan Mongol, maka sebelumnya mereka sudah mengatur siasatnya, kalau perlu akan mundur teratur dengan meninggalkan gunung.

Tugas ini sebenarnya adalah tanggung jawab Li Ci-siang yang kini diangkat sebagai pejabat ketua menggantikan In Ci-peng yang sudah meninggal itu. Tapi menghadapi suasana gawat ini, dengan sendirinya pimpinan dipegang lagi oleh Coan-cin-ngo-cu.

Segera Khu Ju-ki berkata kepada Ui Yong tentang keadaan genting dan menyesal tak dapat memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah terhadap tetamunya.

Dalam pada itu suara gemuruh serbuan pasukan terdengar di bawah gunung, Rupanya pasukan Mongol menyerbu dari arah utara gunung, sedangkan rombongan Ui Yong datang dari bagian selatan, selisihnya cuma setengah jam saja.

"Oh jadi ada musuh datang? Hah, sangat kebetulan." seru Ciu Pek-thong "Hayolah, anak Ce, inilah kesempatan baik bagimu untuk memperlihatkan kepandaian ajaran gurumu ini kepada para Suheng di sini!"

Seperti anak kecil, apabila mempunyai barang mainan kesayangannya, tentu suka pamer untuk mendapatkan pujian orang lain. Begitu pula si Anak Tua Nakal, dia mempunyai seorang murid baik, tentu iapun ingin membikin kagum orang Iain.".

Kalau dahulu dia pesan Yalu Ce agar jangan membocorkan nama gurunya, maksud tujuannya adalah untuk mengejutkan dunia Kangouw saja agar semua orang kaget demi kemudian mengetahui Ciu Pek-thong mempunyai seorang murid lihay.

Begitulah Khu Ju-ki lantas memberi laporan sekadarnya kepada Ciu Pek-thong tentang siasatnya akan mengundurkan diri demi untuk menjaga keutuhan Coan-cin-kau. Habis itu ia lantas memberi perintah agar setiap orang membawa barang2 keperluan dan meninggalkan gunung menurut arah yang sudah ditentukan, ber-bondong2 anak murid Coan-cin-kau lantas melaksanakan tugas masing2 secara teratur.

"Khu-totiang," kata Ui Yong kemudian, "cara pengaturanmu sungguh hebat, kuyakin sedikit alangan ini pasti takkan menjadi soal bagi kalian, Kelak Coan-cin-kau pasti akan bangkit kembali dan lebih jaya daripada sekarang, Kedatangan kami ini adalah untuk mencari Nyo Ko, maka sekarang juga kami mohon diri."

"Nyo Ko?" Khu Ju-ki meIengak. "Apakah dia masih berada di pegunungan ini?"

"Ada seorang teman mengetahui tempat kediamannya," ujar Ui Yong dengan tertawa. Habis itu ia lantas berangkat dengan rombongannya menuju ke belakang Tiong-yang-kiong dan kemudian menemukan Li Bok-chiu.

"Li-cici, sekarang silakan memberi petunjuk cara masuk ke kuburan itu," kata Ui Yong.

"Darimana kau mengetahui dia pasti berada didalam kuburan?" jawab Bok-chiu.

"Seumpama Nyo Ko tidak berada di sana, Giok li-sim-keng pasti ada," ujar Ui Yong.

Diam2 Li Bok-chiu terkesiap dan mengakui kelihayan nyonya Kwe itu, sampai2 isi hatinya ingin mendapatkan kitab pusaka itupun dapat diterkanya dengan jitu.

Karena tujuannya toh sudah diketahui orang, Li Bok-chiu lantas berkata sekalian secara terang2an. "Baiklah, biar kita bicara di muka, kubantu kau menemukan puterimu dan kau harus bantu aku merebut kitab pusaka perguruanku, Kau adalah ketua Kay-pang, pendekar wanita yang termashur, kau harus pegang janji."

"Tapi Nyo Ko adalah putera saudara angkat tuan Kwe kami, meski ada sedikit selisih paham dengan kami, kalau sudah bertemu tentu segalanya dapat dijernihkan dan puteriku pasti juga akan dikembalikan padaku jika memang betul anak itu berada padanya, Jadi tak dapat dikatakan rebut berebut segala."

"O, kalau begitu, baiklah kita menuju ke arah masing2 dan berpisah saja di sini," habis ini Li Bok~ chiu terus putar tubuh hendak pergi.

Ui Yong lantas mengedipi Bu Siu-bun, "sret" si Bu cilik itu segera melolos pedang dan membentak "Li Bok-chiu, hari ini jangan kau harap dapat meninggalkan Cong-lam-san dengan hidup!"

Li Bok-chiu menyadari keadaan sendiri yang kepepet, seorang Ui Yong saja sukar diiawan, apalagi ada Bu Sam-thong dan anak muda yang cukup lihay itu. Biasanya iapun banyak tipu akalnya, tapi menghadapi Ui Yong ia benar2 menjadi bodoh dan mati kutu. sedapatnya ia berlaku tenang dan berkata dengan dingin: "Kwe-hujin maha pintar, kalau berada di sini, masakah Kwe-hujin kuatir tak-dapat menemukan dia dan masakah perlu petunjuk jalan dariku?"

"Untuk mencari jalan masuk kuburan kuno, terus terang aku tidak mampu," jawab Ui Xong. "Tapi kalau kami berdelapan orang secara sabar menunggu dan bergilir mengawasi sekitar sini, akhirnya kami pasti akan pergoki mereka apabila Nyo Ko dan nona Liong benar2 sembunyi di dalam kuburan kuno, masakah pada suatu hari mereka tidak keluar untuk belanja keperluan hidup mereka?"

Ucapan ini dengan jelas memojokkan Li Bok-chiu agar lebih baik menunjukkan jalannya, kalau tidak segera akan dibunuhnya.

Li Bok-chiu menjadi serba susah, apa yang di katakan Ui Yong itu memang masuk di akal, kalau mereka menunggu saja di sekitar sini, akhirnya Nyo Ko tentu juga akan keluar, Untuk bertempur jelas dirinya bukan tandingan mereka yang berjumlah banyak, tapi kalau memancing mereka masuk ke kuburan kuno itu. di tempat yang sudah dikenalnya benar2 itu tentu dapat mencari akal untuk membinasakan musuh2 ini satu persatu, Begitulah ia lantas menjawab:

"Baiklah, apa mau dikatakan lagi, aku toh tidak mampu menandingi kalian. Memangnya aku juga akan mencari si bocah she Nyo itu? Marilah. kalian ikut padaku."

Segera ia menyingkap semak belukar dan menyusup ke tengah pepohonon yang lebat diikuti Ui Yong dan lain2 dari dekat karena kuatir dia melarikan diri mendadak Setelah menyusup ke sana dan menyusur sini, tidak lama sampailah mereka di tepi sebuah sungai kecil.

Sudah lama Li Bok-chiu bertekat hendak rebut Giok-li-sim-keng, tempo hari dia hampir mampus ketika lolos keluar dari kuburan itu melalui dasar sungai, maklum dia memang tidak mahir berenang dan menyelam.



Karena itu akhir2 ini dia telah berlatih renang dan kini sudah siap. Berdiri di tepi sungai berkatalah dia: "Pintu depan kuburan itu sudah tertutup, untuk membukanya secara paksa di perlukan waktu ber~bulan2, bahkan tahunan. Sedang pintu belakangnya harus selulup melalui sungai ini. Nah, siapa2 di antara kalian yang akan ikut aku masuk ke sana?"

Kwe Hu dan kedua saudara Bu dibesarkan di Tho-hoa-to, setiap hari hampir selalu berkecimpung di tengah gelombang laut, kepandaian berenang mereka dapat diandalkan, serentak mereka bertiga menyatakan ikut, Bu Sam-thong juga bisa-berenang, maka iapun ingin ikut serta.

Ui Yong tahu Li Bok-chiu sangat keji, kalau mendadak dia menyerang dikuburan-kunb itu, pasti Bu Sam-thong dan lain2 tidak mampu melawannya, seharusnya dirinya sendiri ikut mengawasi kesana, namun kesehatan sendiri yang baru melahirkan terasa tidak sanggup bertahan menyelam lama di dalam air yang dingin.

Tengah ragu2, tiba2 Yalu Ce berkata: "Kwe pekbo boleh tunggu saja di sini, biar siautit ikut paman Bu ke sana."

"Kau mahir berenang?" tanya Ui Yong girang.

"Berenang sih tidak begitu mahir, kalau menyelam kukira boleh juga," jawab Yalu Ce.

Dalam pada itu Li Bok-chiu sudah bebenah seperlunya dan siap akan terjun ke dalam sungai, Ui Yong lantas mendekati Bu Sam-thong dan memberi pesan agar hati2 dan waspada, Begitulah Yalu Ce dan Bu Sam-thong berlima lantas ikut Li Bok-chiu menyusun sungai itu.

Sungai di bawah tanah itu terkadang sempit dan terkadang luas, arusnya juga kadang2 keras tempo2 lambat, Ada kalanya dasar sungai sangat dalam hingga tinggi air melebihi kepala dan harus menyelam, tapi lain saat air sungai berubah menjadi cetek cuma sebatas pinggang.

Setelah berjalan sekian lama, akhirnya mereka sampai di lubang masuk ke kuburan itu. Li Bok-chiu menarik batu penyumbat dan menerobos ke dalam, yang lain lantas ikut masuk ber-turut2. Meski sekarang tidak terbenam lagi dalam air, tapi keadaan gelap gulita, semua orang bergandengan tangan agar tidak terpencar dan mengikuti Li Bok-chiu ke depan secara ber-liku2 sehingga sukar lagi membedakan arah.

Tidak lama kemudian terasa mulai menanjak, tanah yang terpijak juga kering, Tiba2 terdengar suara berkeriutan, sebuah pintu batu didorong oleh Li Bok-chiu, semua orang lantas ikut masuk ke situ.

"Di sini sudah berada di tengah2 kuburan kuno, kita berhenti sebentar lalu pergi mencari Nyo Ko," kata Li Bok-chiu.

Sejak memasuki kuburan itu itu selangkahpun Bu Sam-thong dan Yalu Ce tidak tertinggal di belakang Li Bok-chiu, tapi keadaan sangat gelap, terpaksa mereka hanya mengandalkan indera pendengaran saja untuk menjaga segala kemungkinan.

Dalam kegelapan itu semua orang lantas berdiam: Tiba2 Li Bok-chiu berkata pula: "Eh, kedua tanganku sudah menggenggam Peng-pok-gin-ciam, kenapa kalian bertiga orang she Bu ini tidak mau maju untuk merasakan enaknya jarum ini?"

Bu Sam-thong terkejut, sebelumnya iapun tahu orang pasti mengandung maksud jahat, tapi tidak menyangkanya musuh akan mulai bertindak sekarang ini. Mereka sudah pernah merasakan betapa lihaynya jarum orang, betapapun mereka tidak berani gegabah.

Segera mereka pegang senjata dan siap menangkis bila mendengar suara mendesingnya senjata rahasia. Namun tempatnya terlalu sempit, jarum musuh hanya dapat dipukul ke tanah, kalau di sampuk bisa jadi akan mengenai kawan sendiri.

Yalu Ce juga menyadari keadaan sangat berbahaya, kalau sampai musuh sembarangan menyambitkan jarumnya, pihak sendiri yang berlima ini pasti ada yang terluka atau binasa, jalan paling baik harus melabraknya dari dekat agar orang tidak sempat menggunakan jarum berbisanya.

Ternyata Kwe Hu juga berpendapat sama seperti dia, jadi tanpa berjanji keduanya mendadak menubruk bersama ke arah suara Li Bok-chiu.

Padahal setelah bicara tadi, selagi orang2 ter-kesiap, diam2 Li Bok-chiu telah mundur ke tepi pintu, Maka waktu Yalu Ce dan Kwe Hu menubruk tempat kosong, sebaliknya tangan kedua orang saling berpegang sehingga Kwe Hu menjerit kaget.

Kepandaian Yalu Ce lebih tinggi, begitu memegang tangan yang halus serta mencium bau harum dan disertai suara Kwe Hu, segera ia tahu apa yang terjadi.

Dalam pada itu terdengar suara keriat-keriut bergesernya pintu, Yalu Ce dan Bu Sam-thong terus melompat pula ke sana, terdengar suara mendesing, dua jarum perak telah menyamber tiba, cepat mengelak, waktu mereka mendorong pintu, ternyata pintu itu sudah tertutup rapat dan tak bergeming lagi.

Yalu Ce coba meraba pintu batu itu, ternyata halus licin tiada sesuatu alat pegangan pintu, ia berjalan merambat dinding sekeliling, ia menaksir ruangan itu kira2 empat persegi, dinding terbuat seluruhnya dari batu, ia coba mengetok dinding dengan pedangnya, terdengar suara keras dan berat, jelas batu dinding itu sangat tebal.

"Wah, bagaimana? jangan2 kita akan mati terkurung di sini?" kata Kwe Hu dengan kuatir dan hampir2 menangis.

"Jangan kuatir, kita pasti akan menemukan jalannya," cepat Yalu Ce menghiburnya "Apalagi Kwe-hujin menunggu di luar, beliau pasti akan berdaya menolong kita."

Habis berkata ia coba meraba pula sekeliling kamar itu untuk mencari jalan keluar.

Li Bok-chiu sangat girang setelah berhasil menyekap Bu Sam-thong berlima di kamar batu itu, ia pikir setelah lawan2 itu dienyahkan, tentu akan lebih mudah untuk menyergap Siao-liong-li dan Nyo Ko.

Ia menyadari kalau bertempur secara terang2an pasti bukan tandingan sang Sumoay, maka ia harus menyergapnya secara mendadak. ia lantas menggenggam jarum berbisa, sepatu ditanggalkannya, hanya dengan berkaos kaki saja ia melangkah ke depan dengan pelahan.

Selama beberapa hari ini Siao-Iiong-Ii, berduduk di depan kemala dingin itu menerima penyembuhan dari Nyo Ko dengan menerobos Hiat-to secara terbalik. Saat itu mereka sedang mengerahkan segenap tenaga untuk menerobos Tam-tiong-hiat, Hiat-to penting yang terletak di bagian dada, kalau Hiat-to ini sudah diterobos dengan lancar, maka berarti delapan bagian lukanya sudah tersembuhkan, Akan tetapi Hiat-to ini memang sangat gawat, salah sedikit saja akan menyebabkan kelumpuhan total, sebab itu harus dilakukan dengan hati2 dan sabar, sedikitpun tidak boleh gegabah.

Watak Siao-liong-li memang sangat sabar, baginya bukan soal apakah penyembuhannya itu dapat dirampungkan secepatnya atau berapa lama Iagi. Sebaliknya Nyo Ko berwatak tidak sabaran, dia berharap Siao-liong-li dapat lekas sembuh. Akari tetapi iapun tahu bahayanya cara penyembuhan begitu, kalau ter-buru2 napsu, bisa jadi malah-runyam.

Begitulah Nyo Ko merasa denyut nadi Siao-liong-li terkadang keras dan lain saat lemah, meski tidak stabil, tapi tiada tanda2 buruk, Diam2 ia mengerahkan tenaga dan mempercepat usahanya menyembuhkan si nona.



Dalam keadaan sunyi senyap itulah, tiba2 dari jauh ada suara "tek" satu kali, suara itu sangat lirih kalau saja Nyo Ko tidak sedang memusatkan pikiran tentu tak mendengar suara itu.

Apalagi kuburan kuno itu terletak jauh di bawah tanah, kecuali suara pernapasan mereka bertiga (termasuk Kwe Yang), sedikit kelainan suara tentu akan ketahuan.

Selang tak lama, suara "tek" itu kembali berbunyi lagi sekali, kini jaraknya bertambah dekat, Nyo Ko tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres, tapi kuatir perhatian Siao-liong-li terganggu dan membahayakan nona itu, maka ia sengaja berlagak tidak tahu.

Tak lama, lagi2 suara itu berbunyi, kini terlebih dekat pula, Maka yakinlah Nyo Ko bahwa ada orang menyusup ke kuburan kuno itu, agaknya orang itu tidak berani menerobos datang begitu saja dan sengaja merunduk maju dengan pelahan. ia pikir maksud kedatangan orang ini pasti tidak baik, kalau orang mampu masuk ke situ, tentu juga bukan sembarangan orang. Celakanya keadaan Siao-liong-li tidak boleh terganggu ia menjadi serba susah.

"Tek", ternyata suara itu semakin mendekat Nyo Ko menjadi bingung dan sukar menahan pi-kiranaya, mendadak tangannya tergetar, suatu arus hawa panas tertolak balik, kiranya Siao-liong-li juga terkejut oleh suara itu.

Lekas2 Nyo Ko menghimpun tenaga dan mendorong kembali tenaga dalam Siao-liong-li sambil memberi isyarat agar si nona tenangkan diri.

Tatkala itu di luar kuburan adalah siang hari, meski musim dingin, tapi sang surya sedang memancarkan cahayanya di tengah cakrawala, sebaliknya di dalam kuburan gelap gulita seperti tengah malam belaka.

Terdengar suara tadi semakin dekat lagi. Diam2 Nyo Ko mengeluh, ia pikir sejak jalan masuk kuburan itu tertutup rapat, di dunia ini hanya Li Bok-chiu dan Ang Leng-po saja yang tahu jalan masuk melalui dasar sungai itu, maka dapat dipastikan yang datang tentu satu diantara mereka.

Dengan kepandaian Nyo Ko sekarang sedikitpun tidak perlu takut biarpun Li Bok-chiu dan muridnya itu datang semua sekaligus, Celakanya kedatangannya itu tidak lebih cepat dan tidak lebih lambat, tapi justeru pada saat penting bagi keselamatan Siao-liong-li ini, seketika Nyo Ko menjadi bingung dan serba susah.

Selang sejenak, dengan jelas Siao-liong-li juga dapat mendengar suara kedatangan musuh, iapun buru2 ingin menerobos Hiat-to sendiri yang penting itu, tapi karena bingung, tenaganya menjadi kacau, terkadang lancar terkadang berontak, dada sendiri menjadi sesak malah.

Pada saat itulah suara tindakan seorang yang halus dan cepat menerobos masuk, menyusul terdengarlah suara mendesirnya benda kecil, beberapa jarum telah menyamber tiba.

Waktu itu keadaan Siao-liong-li dan Nyo Ko mirip orang yang tak bisa ilmu silat saja, untungnya mereka sudah siap, sedia sebelumnya, begitu melihat jarum musuh menyambar tiba, serentak mereka mendoyong ke belakang tanpa melepaskan tangan mereka yang saling menempel itu, jarum2 itu me-nyamber lewat di sisi mereka.

Li Bok~chiu sendiri tidak menyangka kedua orang sedang mencurahkan segenap perhatian untuk penyembuhkan Siao-liong-Ii, kuatir kedua lawannya balas menyerang, maka begitu jarum disambitkan segera ia melompat ke samping, Kalau saja dia tidak jeri kepada lawannya dan segera menyusulkan lagi jarum2 lain, maka Nyo Ko berdua pasti celaka.

Ketajaman mata Li Bok-chiu di tempat gelap jauh dibandingkan Nyo Ko berdua, samar2 ia cuma melihat kedua muda-mudi itu duduk berjajar di Han-giok-jeng dipan kemala dingin, ia menjadi kebat-kebit ketika sergapannya tidak mengenai sasarannya, Tapi ia menjadi ragu2 pula ketika melihat lawan tidak berbangkit dan balas menyerangnya. Cepat ia menggeser ke samping pintu dengan kebut siap di tangan, lalu menegur "Hm, baik2kah kalian selama berpisah!"

"Apa kehendakmu?" tanya Nyo Ko.

"Masakah perlu tanya lagi kehendakku disaat ini?" jawab Bok-chiu.

"Ah, Giok-Ii-sim-keng yang kau inginkan bukan?" ujar Nyo Ko "Baiklah, memangnya kitab itupun tidak berguna bagi kami yang ingin hidup tirakat di tempat ini. Nah, boleh kau ambil saja."

Sudah tentu Li Bok-chiu setengah percaya dari setengah sangsi, katanya: "Mana? Bawa ke sini!"

Giok-li-sim-keng tersimpan dalam buntalan Siao~Iiong-li, dengan seodirinya mereka tidak dapat menyodorkannya, "ltu berada dalam bungkusan di atas meja, ambil saja sendiri," demikian jawab Nyo Ko

Li Bok-chiu tambah curiga, pikirnya: "Aneh, mengapa mereka berubah penurut begini? Di dalam bungkusan itu tentu ada sesuatu yang tidak beres. Apa barangkali dia sengaja memancing aku lebih dekat, lalu mendadak menyerang dan mencegat jalan lariku" ..

Ia menyadari bukan tandingan Siao-liong-li, maka segala sesuatu harus ditimbangnya dengan masak, ia coba mengawasi sang Sumoay, terlihat sebelah tangannya mendempel dengan telapak tangan Nyo Ko. Seketika tergerak pikirannya: "Ah, rupanya tangan Nyo Ko buntung dan parah, maka perempuan hina ini sedang membantu menyembuhkannya dengan tenaga dalam sendiri. Saat ini mereka sedang menghadapi detik genting, inilah kesempatan baik bagiku untuk membinasakan mereka."

Walaupun cuma betul separuh saja terkaannya, namun rasa jerinya seketika lenyap, segera ia menubruk maju, kebutnya terus menyabet kepala Siao-Iiong-li.

Dalam keadaan demikian kalau Siao-liong-li mengangkat tangan untuk menangkis, serentak tenaga dalamnya akan terguncang dan bisa binasa seketika dengan muntah darah, sebaliknya kalau serangan itu tidak ditangkis, maka batok kepalanya juga pasti akan hancur.

Syukurlah pada saat itulah mendadak Nyo Ko membuka mulut dan meniup hawa ke muka Li Bok-chiu, sebenarnya tiupan hawa ini sama sekali tidak bertenaga, tapi Li Bok-chiu tahu si Nyo Ko banyak tipu akalnya, ketika mendadak mukanya terasa hangat oleh hawa yang disebul anak muda itu, ia kaget dan lekas melompat mundur, Ketika merasa muka tiada sesuatu kelainan barulah ia tahu tertipu, segera ia mcmbentak: "Kau cari mampus ya."

""Eh, baju yang kupinjamkan padamu tempo hari itu, apakah sekarang kau bawa untuk dikembalikan padaku?" tanya Nyo Ko dengan tertawa.

Li Bok-chiu jadi teringat waktu bertempur melawan Pang Bik-hong, pakaiannya terbakar oleh palu si pandai besi- tua yang berapi itu, kalau Nyo Ko tidak menanggalkan jubahnya untuk dia, maka pasti akan telanjang dan malu, sepantasnya kalau mengingat pemberian jubah itu dahulu tidak seharusnya dia mencelakai jiwa Nyo Ko sekarang, tapi jika hatinya sedikit lunak, bahaya dikemudian hari tentu sukar dibayangkan. Segera ia menubruk maju, tangan kirinya menghantam pula.

Dalam keadaan kepepet tiba2 Nyo Ko mendapat akal, se-konyong2 dia berjungkir dengan kedua kaki di atas dan kepala di bawah, sekali kakinya memancal, sepatu dan kaos kaki lantas terlepas serunya: "Liong-ji, pegang kakiku!" - Berbareog itu sebelah tangannya terus dipukulkan untuk memapak hantaman Li Bok-chiu tadi. Dalam pada itu Siao-liong-li juga telah memegang kaki Nyo Ko.



Meski Ngo-tok-sin-ciang yang lihay itu diperoleh dari Auyang Hong, tapi ilmu menjungkir berasal dari Kiu-im-Cin-keng yang merupakan kepandaian khas Auyang Hong ini tidak pernah dilihat Li-Bok-chiu, ia terkejut menyaksikan perbuatan Nyo Ko yang aneh itu, ia mengerahkan tenaga sekuat-nya dan ingin membinasakan lawan selekasnya, seketika Nyo Ko merasakan arus hawa panas menerjang dari telapak tangan musuh, tergerak pikirannya, sama sekali ia tidak menahan tenaga lawan itu, sebaliknya tenaga sendiri malah ditambahkan pada tenaga musuh dan disalurkan seluruhnya ke tubuh Siao-liong-li.

Dengan demikian jadinya Li Bok-chiu se-akan2 membantu Nyo Ko menerobos Hiat-to dan urat nadi Siao-liong-li. Walapun apa yang dipelajari Li Bok-chiu tidak seluas Nyo Ko berdua, tapi bicara tentang kekuatan sendiri, karena sudah berlatih berpuluh tahun lamanya, dengan sendirinya bukan main lihaynya.

Siao-liong-li mendadak merasakan suatu arus tenaga maha kuat menerjang tiba, Tam-tiong hiat seketika diterobos tembus, napas terasa lancar, hawa panas yang tadinya macet di dada seketika tersalur ke bagian perut, semangat terasa segar, serentak ia bersorak: "Aha, terima kasih, Suci!" Segera ia melepaskan kaki Nyo Ko dan melompat turun dari dipan kemala dingin.

Tentu saja Li Bok-chiu melengak, Tadinya ia mengira Siao liong-li yang sedang membantu menyembuhkan Nyo Ko, sebab ituIah ia mengerahkan tenaga sekuatnya dengan maksud merontokkan urat nadi Nyo Ko, siapa tahu tanpa sengaja malah telah membantu pihak lawan.


Nyo Ko juga sangat girang, sekuatnya ia menolak mundur musuh, lalu ia melompat bangun dan berdiri dengan kaki telanjang, katanya dengan tertawa: "Kalau engkau tidak keburu datang membantuku. sungguh sulit menerobos Tam- Tiong hiat Sumoay mu."

Belum lagi Li Bok-chiu menja-wab, tiba2 Siao liong-!i menjerit sambil memegangi ulu hatinya terus jatuh ke atas dipan pula..

"He, ada apa?" tanya Nyo Ko kuatir.

"Dia... dia... tangannya beracun!" ucap Siao-liong-Ii dengan ter putus2.

Nyo Ko sendiri juga lantas merasakan kepala rada pusing, Rupanya tanpa disadarinya ketika tangan beradu tangan tadi racun pukulan berbisa Li Bok-chiu telah menyalur ke tubuh anak muda itu dan terus merembes pula ke tubuh Siao-liong li.

"Serahkan obat penawarnya!" bentak Nyo Ko segera sambil angkat Hian-tiat-pokiam, pedang pusaka yang maha berat itu.

Habis itu pedangnya terus membacok "Trang", Li Bok-chiu menangkis dengan kebutnya, akan tetapi batang kebutnya yang terbuat dari baja itu kontan terkutung mendjadi dua, tangan juga tergetar hingga lecet dan sakit.

Kebut yang pernah merontokkan nyali tokoh dunia persilatan itu ternyata sekali tabas saja telah dihancurkan lawan, sungguh kejadian ini membuatnya terkejut luar biasa, lekas2 ia melompat keluar kamar batu itu.

Segera Nyo Ko mengejar, tampaknya sudah dekat dan baru pedangnya disodorkan ke depan dan Li Bok-chiu pasti tidak dapat menangkisnya, siapa tahu racun yang sudah bersarang dalam tubuhnya itu mendadak bekerja, matanya menjadi ber-kunang2 dan tangan terasa lemas, "trang", pedang jatuh ke tanah.

Li Bok-chiu tidak berani berhenti, ia melompat jauh ke depan, habis itu baru menoleh, dilihatnya Nyo Ko ter-huyung2 sambil berpegangan dinding, tampaknya sekuatnya sedang menahan serangan racun dalam tubuh.

Merasa bukan tandingan anak muda itu, Li-Bok-chiu tak berani mendekatinya, ia pikir tunggu saja sementara, nanti kalau anak muda itu sudah roboh. barulah kudekati dia.

Tenggorokan Nyo Ko terasa kering, kepala, serasa mau pecah, sekuatnya ia kumpulkan tenaga pada tangan kiri, kalau Li Bok-chiu mendekat, segera ia hendak membinasakannya dengan sekali hantam. Tapi lawan, itu sungguh licik dan tetap berdiri di sana.

Akhirnya Nyo Ko harus ambil keputusan, ia pikir semakin lama tentu semakin meluas racun yang mengeram di tubuhnya dan tambah menguntungkan pihak musuh, Sekuatnya ia menarik napas segar, habis itu mendadak ia melompat balik ke sana dan merangkul pinggang Siao-liong-li, dengan ujung pedang ia cungkit bungkusan di atas meja, lalu melangkah keluar sambil membentak: "Minggir!" .

Melihat perbawa Nyo Ko itu, Li Bok-chiu ternyata tidak berani mengadangnya, Yang diharapkan Nyo Ko sekarang adalah mencari suatu kamar batu yang dapat ditutup rapat sehingga untuk sementara Li Bok-chiu tidak mampu masuk mengganggu-nya, dengan begitu mereka dapat berusaha mendesak keluar kadar racun yang berada dalam tubuhnya.

Cara mengusir racun ini jauh lebih mudah daripada cara penyembuhan Siao-Iiong Ii tadi, waktu kecilnya Nyo Ko sudah pernah kena racun jarum Li Bok chiu dan mendapat pertolongan Auyang Hong, sekarang kepandaiannya sedemikian tinggi, begitu pula Hiat-to Siao-Iiong-li juga sudah lancar, tentu tidak sulit mengeluarkan racun dalam tubuh asalkan tidak direcoki Li Bok-chiu.

Li Bok chiu juga tahu maksud tujuan Nyo Ko ketika melihat anak muda, itu menerjang keluar dengan membopong Siao-liong li dengan sendirinya ia tidak membiarkan Nyo Ko mencapai tujuannya, cuma ia tidak berani mendekat dan menyerang, ia terus menguntit saja dari belakang dalam jarak dua-tiga meter jauhnya.

Bila Nyo Ko berhenti dan menunggu dia mendekat, dia justeru berhenti juga dan menunggu.

Nyo Ko merasa debar jantungnya semakin keras dan tak sanggup bertahan lagi, dengan sempoyongan ia berlari masuk sebuah kamar dan mendudukkan Siao liog- li di atas meja batu, ia sendiri lantas ter-engah2 sambil berpegang tepi meja tanpa menghiraukan Li Bok-chiu tetap mengintil dibelakang.

Karena Li Bok chiu juga pernah tinggal di dalam kuburan kuno ini, meski ketajamannya memandang di tempat gelap tidak sebaik Nyo Ko berdua, tapi iapun dapat melihat jelas bahwa di kamar itu berjajar lima buah peti mati.

"Suhu benar2 pilih kasih, selamanya aku tidak diberitahu tempat2 rahasia seperti ini, kiranya di sini ada lima buah peti mati," demikian Li Bok-chiu berpikir, ia tidak tahu bahwa kamar ini adalah makam guru dan kakek gurunya.

Selama hidup Li Bok-chiu telah membunuh orang tak terbilang jumlahnya, maka tentang peti mati, mayat dan sebagainya tidak membuatnya heran. Diam2 iapun bergirang melihat keadaan Nyo Ko yang sudah payah itu, ia lantas menyindir "Hehe, tempat pilihanmu ini sungguh bagus sekali sebagai kuburanmu."

Pandangan Nyo Kb sebenarnya sudah samar2, mendengar ucapan Li Bok-chiu itu, ia coba meng-amat-amati kamar itu, ternyata tangannya bukan menahan di atas meja batu segala melainkan sebuah peti mati batu, jadi Siao-liong-li juga berduduk di atas peti batu.

Tanpa terasa ia merasa ngeri, pikirnya: "Tempo hari Liong-ji ingin aku mati bersamanya di sini, sekuatnya aku melarikan diri, siapa tahu akhirnya kami mati juga di sini, mungkin memang sudah suratan nasib dan takdir ilahi."



Keadaan Siao-liong-li juga lemah dan setengah sadar, tapi samar2 iapun mengetahui dirinya berada di samping peti mati sang guru, Teringat bahwa dirinya sudah berdekatan dengan gurunya, hatinya terasa lega, ia menghela napas panjang se-akan2 orang yang pergi jauh baru pulang kampung halaman dengan aman.

Begitulah mereka bertiga diam, seorang berdiri dan seorang berduduk, seorang lagi setengah bersandar kecuali suara hembusan napas tiada terdengar suara lain di kamar batu itu.

"Andaikan aku dan Liong-ji harus mati sekarang, sebisanya harus kucegah agar iblis ini tidak mendapatkan kitab pusaka ini dan berbuat lebih jahat lagi dunia luar," demikian pikir Nyo Ko.

Tiba2 ia mendapat satu akal, ia tahu di antara lima buah peti mati batu itu tiga diantaranya sudah terisi, yaitu jenazah Lim Tiau-eng dan muridnya serta Sun-popoh, dua peti lainnya masih kosong dan tersedia bagi Siao-liong-li dan Li Bok-chiu.

Tutup kedua peti mati yang kosong itu belum dirapatkan dan masih terlihat celah selebar satu meteran. mendadak Nyo Ko angkat pedangnya dan mencukil bungkusan berisi Giok-li-sim-keng itu sehingga mencelat ke dalam satu peti yang kosong itu, berbareng iapun membentak: "Hm, keparat betapapun kitab pusaka ini takkan kuserahkan padamu, aduuh..." tiba2 ia menjerit terus roboh.

Li Bok-chiu terkejut dan bergirang, ia kuatir jangan2 Nyo Ko hendak memancingnya, maka dia menunggu sejenak, ketika melihat anak muda itu sama sekali tidak bergerak lagi barulah ia mendekatinya dan coba meraba mukanya, rasanya dingin dan jelas sudah mati.


"Hahaha, betapapun licik dan licinmu, akhirnya kau mampus juga!" serunya kemudian sambil berbahak, lalu ia mendekati peti batu dan menjulurkan tangan dengan maksud hendak mengambil bungkusan yang terlempar ke dalam peti tadi.

Namun bungkusan itu oleh Nyo Ko ternyata dilemparkan ke ujung peti yang tertutup sana, Kebut Li Bok-chiu sudah putus, kalau tidak tentu ujung kebut dapat digunakan untuk meraih sebisanya ia mengulur tangan dan me raba2, namun hasilnya tetap nihil, Akhirnya ia tidak sabar, ia terus menyusup ke dalam peti, dengan begitu barulah bungkusan itu dapat dipegangnya.

Akan tetapi pada saat itulah Nyo Ko berbangkit tangan kirinya mendorong sekuatnya, kontan tutup peti itu terus merapat, seketika Li Bok-chiu terkurung di dalam peti batu itu.

Kiranya jatuh dan jeritan Nyo Ko tadi cuma pura2 saja, serentak ia nembikin ruwet denyut nadinya sehingga mukanya menjadi dingin laksana orang mati. Padahal orang mati sebagaimanapun tidak mungkin jasadnya lantas kaku dingin seketika, untuk itu sedikitnya makan waktu setengah jam. Tapi rupanya saking girangnya Li Bok-chiu menjadi kurang teliti dan terjebak oleh akal Nyo Ko.

Begitu Li Bok-chiu sudah terpancing masuk peti dan ditutup rapat, segera Nyo Ko menggunakan pedangnya untuk menyungkit sekuatnya peti mati kosong satunya lagi untuk ditindihkan di atasnya, dengan demikian, berat tutup ditambah peti batu sedikitnya setengah ton, betapapun tak bisa keluar biarpun memiliki kepandaian setinggi langit.

Nyo Ko sendiri sebenarnya dalam keadaan payah hanya terdorong oleh tekad ingin bertahan sampai detik terakhir, maka sekuatnya ia, mcncungkit peti batu tadi, habis itu ia benar2 kehabisan tenaga, pedang dilemparkan kelantai, dengan sempoyongan ia mendekati Siao-liong-li, lebih dulu ia menggunakan ilmu ajaran Auyang Hong dahulu untuk menguras keluar sebagian racun dalam tubuh sendiri, habis itu barulah ia menempelkan tangan sendiri pada tangan Siao liong li untuk bantu penyembuhan nona itu.

Sementara itu Kwe Hu dan Yalu Ce berlima sedang kelabakan terkurung di kamar batu itu.

Mereka sama duduk dilantai tanpa berdaya, semakin dipikir semakin mendongkol dan penasaran tiada hentinya Bu Sam-thong mencaci maki Li Bok chiu yang kejam itu.

Dalam keadaan gelisah, Kwe Hu menjadi sebal mendengar makian Bu Sam-thong yang tiada berhenti itu, tanpa pikir ia berkata padanya: "Bu-pepek kekejian perempuan she Li itu kan sudah lama kau ketahui, apa gunanya sekarang kau mencaci maki dia?"

Bu Sam-thong melengak dan tak bisa menjawab, sebaliknya Bu Siu-bun menjadi marah karena ayahnya diomeli si nona, segera ia menanggapi "Kedatangan kita ke kuburan ini kan demi menolong adikmu, kalau tidak beruntung mengalami kesukaran, biarlah kita mati bersama saja, kenapa kau marah2 segala..."

"Diam, adik Bun!" cepat Bu Tun-si menghardik sehingga Siu-bun tidak melanjutkan ucapannya.

Ucapan Siu-bun itu sebenarnya cuma terdorong oleh ingin membela sang ayah saja, begitu tercetus katanya itu, segera ia sendiripun merasa heran. Padahal biasanya dia sangat penurut kepada Kwe Hu, malahan se-dapat2nya ia ingin mengerjakan apapun bagi si nona, mana berani dia berbantah dengan dia, siapa tahu sekarang dia ternyata berani menjawabnya dengan sama kerasnya.

Kwe Hu juga melenggong karena tidak pernah menyangka si Bu cilik berani berbantah dengan dia, ingin dia bicara lagi, tapi rasanya tiada sesuatu alasan kuat yang dapat dikemukannya, Teringat bahwa dirinya akan mati terkurung di kuburan kuno ini dan takkan bertemu lagi selamanya dengan ayah bunda, ia menjadi sedih dan mcnangis.

Dalam kegelapan dan tidak dapat memandang keadaan sekitarnya, tanpa terasa ia mendekap di atas sesuatu dan menangislah dia ter-guguk2.

Mendadak si nona menangis, Siu-bun merasa tidak enak, katanya: "Baiklah, aku mengaku salah, biarlah kuminta maaf padamu."

"Apa gunanya minta maaf!" jawab Kwe Hu dan tangisnya semakin menjadi sekenanya ia tarik sepotong kain untuk mengusap ingusnya, tapi mendadak disadarinya ternyata..dia mendekap di atas paha seorang dan kain yang dibuat mengusap ingus itu kiranya ujung baju orang itu.

Dengan terkejut cepat Kwe Hu menegakkan tubuhnya, dari persiapan Bu Sam-thong dan kedua anaknya tadi, jelas mereka bertiga duduk di sebelah sana, hanya Yalu Ce saja yang berdiam tanpa bersuara, jelas orang ini adalah dia.

Keruan Kwe Hu menjadi malu. "Aku....aku....", katanya dengan ter-sipu2.

Pada saat itulah tiba2 Yalu Ce berkata: "He, dengarkan, suara apakah itu?"

Waktu mereka pasang kuping yang cermat, ternyata tiada mendengar sesuatu, Tapi Yalu Ce berkata pula: "Ehm, itukah suara tangisan anak kecil, nona Kwe, pasti suara adikmu itu."

Karena teraling oleh dinding batu, suara itu sangat halus kalau bukan indera pendengaran Yalu Ce sangat tajam pasti tidak mendengarnya. Cepat ia berbangkit dan melangkah ke sana, tapi suara itu lantas terdengar Iemah, ia coba membalik ke sebelah lain, ternyata suara itu tambah jelas, Segera ia menuju ke ujung sana, ia gunakan pedangnya untuk menusuk dan mencungkil pelahan, terdengar suaranya agak lain. agaknya dinding di situ rada tipis.

Segera ia menyimpan pedangnya, kedua tangannya coba menahan di dinding batu itu dan didorongnya, namun tidak bergeming sedikitpun. Ia coba ganti haluan, ia menarik "napas kuat2, lalu kedua tangan menolak pula, menyusul terus aipomir daya tarik dengan gaya "lengket" mendadak "blang" satu kali. sepotong batu kena ditarik lepas oleh tenaga sedotan tangannya dan jatuh ke lantai.



Tentu saja Kwe Hu dan lain sangat girang, sambil bersorak mereka terus memburu maju dan ikut menarik dan membongkar, sebentar saja beberapa potong batu kena dilepaskan pula dan kini sebuah lubang sudah cukup digunakan untuk menerobos. Ber-turut2 mereka lantas menerobos ke -sana, Kwe Hu terus mencari dengan mengikuti arah suara, akhirnya mereka sampai di suatu kamar batu yang kecil, dalam kegelapan suara tangisan anak itu terdengar sangat keras, cepat Kwe Hu mendorongnya.

Bayi itu memang betul Kwe Yang adanya, Demi menyembuhkan Siao liong-li, pula harus menempur Li Bok-chiu, maka Nyo Ko tidak sempat menyuap orok itu, karena lapar, anak itu menangis sejadinya.

Kwe Hu berusaha meminang dan membujuki tapi saking kelaparan, bukannya diam, sebaliknya tangis Kwe Yang semakin keras.

Akhirnya Kwe Hu menjadi tidak sabar dan menyodorkan kepada Bu Sam-thong, katanya: "Paman Bu, coba kau memeriksanya apakah ada sesuatu yang tidak beres."

Dalam pada itu Yalu Ce sedang me-raba2 ke-sana kemari, akhirnya di atas meja dapat ditemukan sebuah Caktay (tatakan lilin), menyusul teraba pula batu api dan alat ketiknya, setelah membuat api dan menyulut lilin, seketika pandangan semua orang terbeliak. setelah terkurung di tempat gelap sekian lamanya, baru sekarang dada mereka merasa lapang oleh cahaya terang.

Betapapun Bu Sam-thong adalah orang tua yang berpengalaman dari suara tangisan Kwe Yang itu, ia tahu anak ini pasti merasa lapar, Dilihatnya di atas meja ada setengah mangkuk air madu, pula sebuah sendok kayu kecil, segera ia menyuapi anak itu dengan air madu dengan sedikit2. Benar saja, begitu air masuk mulutnya, Kwe Yang lantas berhenti menangis.

"Kalau nona Kwe cilik ini tidak menangis kelaparan, mungkin kita akan mati semua di kamar batu itu," ujar Yalu Ce dengan tertawa.

"Segera kita pergi mencari jahanam Li Bok-chiu." kata Bu Sam-thong dengan penuh dendam.

Mereka masing2 lantas memotong kaki kunsi untuk digunakan sebagai obor, lalu menyusun Iorong2, setiap ada pengkolan Bu Tun si lantas memberi tanda dengan ujung pedang agar nanti kembalinya tidak tersesat.

Begitulah mereka terus mencari jejak Li Bok-chiu dari sebuah ruangan ke ruangan yang lain. Rupanya dahulu Ong Tiong-yang gagal memimpin pasukannya melawan pasukan Kim, lalu dia dan anak buahnya membangun kuburan raksasa ini di lereng Cong-Iam-san ini sebagai tempat tirakatnya.

Sudah tentu Yalu Ce dan lain- sama ter-heran2 melihat betapa luasnya kuburan ini, sungguh tak tersangka bahwa dibawah sungai kecil itu terdapat bangunan raksasa begitu.

Ketika mereka sampai di kamar Siao-Iiong-li tertampak kebut Li Bok-chiu yang putus itu berserakan di lantai, di samping sana ada pula dua jarum perak milik Li Bok-chiu, Kwe Hu membungkus tangannya dan menjemput jarum itu, katanya dengan tertawa: "Sebentar akupun gunakan jarum berbisa ini untuk balas menusuk iblis keparat itu."

Dalam pada itu Nyo Ko sedang bantu mendesak keluar racun dalam tubuh Siao-Iiong li, dari jari si nona telah merembes keluar air hitam, asal setanakan nasi lagi mungkin usahanya, akan berhasil Pada saat itulah tiba-tiba dari lorong sana ada suara undakan orang, seluruhnya ada lima orang sedang mendatangi.

Diam2 Nyo Ko terkejut, dalam keadaan genting begitu, andaikan diserang seorang Li Bok-chiu saja sukar melawannya, apalagi sekarang musuh berjumlah lima orang.

Selagi bingung dan gelisah, mendadak terlihat cahaya api berkelebat di kejauhan, kelima orang itu sudah semakin dekat. Tanpa pikir Nyo Ko rangkul Siao-liong-li dan melompat masuk ke dalam peti batu yang menindih di atas Li Bok-chiu itu, lalu ia menggeser sekuatnya tutup peti, hanya saja tidak dirapatkan agar nanti tidak mengalami kesukaran jika hendak keluar.

Baru saja mereka sembunyi di dalam peti batu, serentak Yalu Ce berlima lantas masuk juga ke kamar itu. Mereka terkesiap melihat di kamar itu ditaruh lima buah peti mati, samar2 mereka merasakan hal ini sungguh teramat kebetulan, mereka berlima dan jumlah peti mati di situ juga lima, sungguh alamat jelek.

Tanpa terasa Kwe Hu bergumam: "Hm, kita berlima peti mati inipun lima!"

Nyo Ko dan Siao-Iiong-Ii dapat mendengar suara Kwe Hu itu, mereka sama heran bahwa yang datang ini di antaranya ternyata nona Kwe ini.

Yalu Ce juga mendengar di dalam peti itu ada suara napas orang, ia pikir pasti Li Bok-cbiu yang sembunyi di situ, Segera ia memberi tanda agar kawannya mengelilingi peti itu.

Dari sela2 peti yang belum tertutup rapat itu samar2 Kwe Hu dapat melihat ujung baju orang yang sembunyi di dalamnya, ia yakin orang itu pasti Li Bok-chiu adanya, Dengan tertawa ia lantas membentak: "lnilah senjata makan tuan!" Sekali ia dorong tutup peti, berbareng dua buah jarum berbisa yang dijemputnya tadi terus disambitkan kedalam.

Meski Nyo Ko sembunyi di dalam peti dengan merangkul Siao-liong-li, tapi tangan kirinya tetap menempel tangan kanan nona itu dan berusaha menguras bersih racun melalui tubuhnya dalam waktu singkat yang menentukan mati-hidup mereka itu.

Walaupun heran ketika mendengar antara pendatang2, itu juga terdapat Kwe Hu, tapi hatinya merasa lega juga karena yang datang itu bukan musuh.

Sudah tentu tak disangkanya pula bahwa mendadak Kwe Hu akan menyerangnya, maka dengan diam saja meneruskan penyembuhannya pada Siao liong-it dengan tekun, Siapa tahu Kwe Hu justeru menyangka mereka sebagai Li Bok-chiu dan menyerang dengan jarum berbisa. Karena jaraknya sangat dekat, di dalam peti itupun sukar bergerak tiada peluang untuk menghindar, seketika Nyo Ko berdua menjerit, jarum yang satu mengenai paha kanan anak muda itu dan jarum lain mengenai bahu kiri Siao-liong-Ii..

Setelah menyambitkan jarum, hati Kwe Hu sangat senang, tapi mendadak terdengar suara jeritan lelaki dan perempuan di dalam peti, seketika iapun menjerit kaget, Segera Yalu Ce mendepak tutup peti itu hingga terjatuh ke tantai, dengan pelahan Nyo Ko dan Siao-Iiong-Ii lantas berdih, di bawah cahaya obor tertampak muka mereka pucat pasi dan saling pandang dengan pedih.

Kwe Hu sendiri belum menyadari kesalahan yang diperbuatnya sekali ini jauh lebih hebat daripada mengutungi sebelah lengan Nyo Ko, dia cuma merasa menyesal saja dan coba meminta maaf, ka-tanya: "Nyo-toako dan Liong-cici, kiranya engkau yang berada di situ sehingga kusalah melukai kalian, untunglah ibuku menyimpan obat mujarab penawar racun jarum ini, dahulu dua ekor rajawaliku juga pernah terluka oleh jarum ini dan dapat disembuhkan oleh ibuku. Aneh juga, mengapa kalian sembunyi di dalam peti? Tentu saja aku tidak menyangka akan kalian?"

Kiranya urusan membuntungi lengan Nyo Ko itu sudah selesai dengan dibengkokkan pedangnya oleh oleh anak muda itu tempo hari, apalagi ayah bundanya juga sudah cukup mencaci-makinya habis2 an, maka dalam anggapan Kwe Hu: "Biarlah takkan kusalahkan kau dan anggap beres persoalan ini."

Demikianlah jalan pikiran nona manja macam Kwe Hu ini, selama hidupnya selalu disanjung orang, lantaran menghormati ayah-ibunya, maka orang lain juga suka menghormat dan mengalah padanya, sebab itulah segala urusan yg terpikir selalu dirinya sendiri yang diutamakan dan jarang memikirkan kepentingan orang lain, Dari nada ucapannya tadi malahan akhirnya se-akan2 anggap salah sendiri Nyo Ko berdua yang sembunyi di dalam peti batu itu'sehingr: ga membuatnya kaget malah.



Mana dia mau tahu bahwa tatkala terkena sambitan jarumnya itu, ketika itu kadar racun dalam tubuh Siao-iiong-li justeru sedang mengalif keluar, tapi mendadak terguncang oleh serangan dari luar sehingga seluruh racun itu mengalir balik merasuk segenap Hiat-to di tubuh nona itu, dengan demikian sekalipun ada obat mujarab malaikat dewata juga sukar menolongnya lagi.

Sesaat itu Siao-liong-Ii merasa dadanya seperti kosong melompong, hampa dan linglung, ia menoleh dan melihat sorot mata si Nyo Ko penuh rasa duka, gemas dan penasaran, tubuhnya juga gemetaran se-akan2 segenap siksa derita yang pernah dialami nya hendak dilampiaskannya sekarang juga.

Siao-liong-li tidak tega melihat kepedihan hati anak muda itu dan kuatir dia bertindak nekad, cepat ia menghiburnya: "Ko-ji, agaknya sudah suratan nasib kita harus begini, janganlah kau salahkan, orang lain dan bersedih."

Lebih dulu ia mencabut jarum di paha anak muda itu, lalu mencabut jarum yang menancap di bahu sendiri, jarum berbisa itu berasal dari perguruannya dan berbeda daripada racun pukulan berbisa ajaran Auyang Hong, jadi dapat disembuhkan dengan obat perguruan yang selalu dibawanya. Segera ia mengeluarkan satu biji obat kepada Nyo Ko, lalu ia sendiripun minum satu biji.

Hati Nyo Ko tak terperikan pedih dari gemas-nya, "berrrr", ia menyemburkan obat penawar itu ke tanah.

Kwe Hu jadi gusar, serunya: "Aduh, besar amat lagakmu!,Memangnya aku sengaja hendak membikin celaka kalian? Kan sudah kuminta maaf pada-mu, mengapa kau masih marah2 saja?"

Dari air muka Nyo Ko yang penuh rasa duka nestapa, lalu rasa gusarnya semakin memuncak serta menjemput kembali pedangnya yang ke-hitam2an itu, Bu Sam-thong tabu gelagat bisa runyam, maka cepat ia menghibur anak muda itu: "Janganlah marah adik Nyo, soalnya kami berlima terkurung oleh iblis she Li itu di kamar batu sana dan dengan susah payah akhirnya berhasil lolos, karena kecerobohan nona Kwe sehingga dia..."

"Mengapa kau anggap aku yang ceroboh?" sela Kwe Hu mendadak, "Salah siapa dia sembunyi di situ dan diam saja, malahan kau sendiripun mengira dia Li Bok chiu:"

Bu Sam-thong menjadi serba salah, ia pandang NyoKo dan pandang pula Kwe Hu dengan bingung.

Siao liong-li lantas mengeluarkan pula satu butir obatnya, katanya dengan suara lembut: "Ko-ji, minumlah obat ini. Masakah perkataanku juga tak-kan kau turut?"

Tanpa pikir Nyo Ko lantas minum obat itui Suara Siao-liong-Ii yang lembut dan penuh kasih sayang itu mengingatkannya selama ber-hari2 ini mereka berdua senantiasa bergulat antara mati dan hidup, tapi akhirnya semua harapannya telah buyar, sungguh sedihnya tak terkatakan, ia tidak tahan lagi, ia mendekap di atas peti batu itu dan menangis keras2.

Bu Sam-thong dan lain2 saling pandang dengan bingung,- biasanya hati Nyo Ko sangat terbukaj menghadapi urusan apapun tidak mudah menyerah, mengapa sekarang cuma terkena sebuah jarum saja lantas menangis sedih begitu?

Dengan pelahan Siao-"iong-li membelai rambut Nyo Ko, katanya: "Ko-ji, boleh kau suruh mereka itu pergi saja, aku tidak akan kumpul bersama mereka."

Selamanya Siao-liong~li tidak pernah bicara keras, kalimat "aku tidak suka berkumpul bersama mereka" sudah cukup menunjukkan rasa jemu dan marahnya, Segera Nyo Ko berbangkit dimulai dari Kwe Hu, sorot matanya terus menyapu setiap orang itu, biarpun marah dan gemas, tapi iapun tahu bahwa serangan Kwe Hu tadi sesungguhnya tidaklah sengaja, kecuali ceroboh, rasanya tiada kesalahan lain, apalagi seumpama nona itu dibunuh juga tak-dapat lagi menyelamatkan jiwa Siao-liong-li.

Begitulah Nya Ko berdiri dengan sinar mata berapi dan menghunus pedang, mendadak pedangnya membacok sekuatnya, "trang", tahu2 peti batu yang dibuatnya sembunyi tadi telah ditabasnya menjadi dua potong, bukan saja tenaganya maha kuat bacokannya itu, bahkan mengandung penuh rasa duka dan marah,

Yalu Ce dan lain-2 sama melenggong melihat betapa dahsyatnya pedang Nyo Ko itu, Padahal peti batu itu tebal dan kuat, tapi sekali bacok saja pedang ke-hitam2an itu ternyata mampu memotongnya, bahkan jauh lebih mudah memotong sebuah peti mati kayu.

Melihat kelima orang itu saling pandang dengan bingung Nyo Ko lantas membentak dengan bengis.

"Untuk apa kalian datang ke sini?"

"Adik Nyo, kami ikut Kwe-hujin ke sini untuk mencari kau," jawab Sam-thong

"Hm, kalian ingin merebut kembali puterinya betul tidak?" bentak Nyo Ko pula dengan gusar. "Demi anak kecil ini, kalian tega menewaskan isteri kesayanganku."

"lsteri kesayanganmu?" Sam-thong menegas, "O ya, nona Liong ini! Dia terkena racun jarunr untung Kwe hujin mempunyai obat penawarnya, beliau sedang menunggu diluar sana."

"Huh, kalau ada Kwe-hujin lantas bisa apa? Memangnya dia mempunyai kepandaian menghidupkan orang yang jelas pasti akan mati?" jengek Nyo Ko dengan gusar.

"Justeru gangguan kedatangan kalian serta jarum berbisa tadi, kadar racun sudah mengeram di segenap Hiat-to penting tubuhnya,"

Lantaran utang budi, maka Bu Sam-thong sangat hormat dan segan kepada Nyo Ko, biarpun didamperat juga diterimanya, ia menggumam kaget: "Kadar racun telah mengeram di tubuhnya? Wah lantas bagaimana baiknya?"

Ternyata Kwe Hu tidak menyadari kesalahannya. sebaliknya ia menjadi marah karena ucapan Nyo Ko tadi kurang menghormat pada ibunya, dengan gusar ia lantas membentak: "Memangnya salah apa ibuku padamu? Waktu kecil kau terluntang Iantung seperti orang gelandangan, bukankah ibu yang membawa kau ke rumah, diberi makan dan diberi baju, tapi kau justeru lupa budi dan tak tahu diri, malah mau menculik adik perempuanku."

Padahal sekarang iapun tahu jelas sebabnya Kwe Yang berada di tangan Nyo Ko bukanlah karena anak muda itu bermaksud jahat, soalnya dia telah telanjur mengomel maka segala apa yang dapat mencemoohkan Nyo Ko lantas diucapkannya.

Nyo Ko lantas mendengus pula: "Hm, memang aku sengata lupa budi dan tidak tahu diri, kau menuduh kuculik adikmu, maka benar2 akan kuculik anak ini dan takkan kukembalikan selamanya, ingin kulihat kau dapat mengapakan diriku?"

Karena ancaman itu, segera Kwe Hu memondong adiknya dengan kencang, tangan lain memegang obor dan diacungkan ke depan, Bu Sam-thong berseru: "Adik Nyo, jika isterimu keracunan, sebaiknya lekas berusaha menolongnya "

"Tak berguna lagi, Bu-heng." kata Nyo Ko dengan pedih, mendadak ia bersuit panjang," lengan baju kanannya terus mengebas.

Seketika Kwe Hu dan kedua saudara Bu mera-sakan angin keras menyamber, muka mereka panas^ pedas seperti tcrsayat, lima buah obor padam serentak dan keadaan menjadi gelap gulita.



"Celaka!" jerit Kwe Hu. Kuatir nona itu dicelakai Nyo Ko, cepat Yelu Ce menubruk maju, Tapi lantas terdengar pekik tangis Kwe Yang, suaranya sudah berada di luar kamar sana.

Keruan semua orang terkejut, ketika mereka menyadari apa yang terjadi, tahu2 suara tangisan tadi sudah berada sejauh ratusan meter, betapa cepat gerakan Nyo Ko itu sungguh laksana hantu saja.

"Adik telah dirampas lagi olehnya," seru Kwe Hu cemas.

"Adik Nyo! Nona Liong!" ber-ulang2 Bu Sam, thong memanggil Akan tetapi tiada sesuatu jawaban.

"Lekas keluar, jangan sampai kita terkurung di sini," seru Yalu Ce.

Dengan gusar Bu Sam-thong berkata: "Adik Nyo adalah orang berbudi, manabisa dia berbuat demikian,"

"Lebih baik lekas keluar, buat apa tinggal di sini?" ujar Kwe Hu. Baru habis ucapannya, tiba2 terdengar suara "kxek-krek" beberapa kali, suara itu timbul dari peti mati itu. cuma teraling oleh tutup peti sehingga suaranya kedengaran agak tersumbat dan seram.

"Ada setan!" teriak Kwe Hu sambil memegangi tangan Yalu Ce.

Dengan jelas Bu Sam-thong dan lain2 juga mendengar suara itu keluar dari peti mati itu seakan2 ada mayat hidup akan merangkak keluar, keruan mereka sama merinding.

Yalu Ce berbisik pada Bu Sam-thong: "Bu-siok-siok, kau jaga di situ dan aku di sini, jika mayat hidup itu keluar, serentak kita menghantam-nya, mustahil dia takkan hancur luluh."

Berbareng itu ia tarik Kwe Hu ke belakangnya agar tidak dicelakai setan yang mendadak muncul.

Pada saat itulah, "blang", terdengar suara keras, dari dalam peti mati mendadak melayang keluar sesuatu, serentak Yalu Ce dan Bu Sam-thong memukulkan tangan2 mereka, Tapi begitu tangan menyentuh benda itu, berbareng mereka berseru: "Celaka!" - Kiranya benda yang kena hantam itu adalah sepotong batu, yaitu bantalan batu didalam peti mati itu.

Kontan bantal batu itu hancur membentur peti batu, hampir pada saat yang sama sesuatu benda melayang lewat puIa, baru saja Yalu Ce dan Bu Sam-thong hendak memukuI, namun benda itu sudah melayang jauh ke sana, terdengar suara tertawa orang mengekek, lalu lenyap dan sunyi kembali.

"He, Li Bok-chiu." seru Sam-thong kaget.

"Bukan, tapi mayat hidup!" ujar Kwe Hu.

"Mana bisa Li Bok-chiu berada di dalam peti mati ini.".

Yalu Ce tidak ikut menanggapi, ia tidak percaya di dunia ini ada setan segala, tapi bilang Li Bok-chiu rasanya juga tidak masuk diakal Jelas Li Bok-chiu datang bersama mereka, sedangkan Nyo Ko dan Siao-liong-li sudah tinggal sekian lama di kuburan kuno ini, mana bisa terjadi Li Bok-chiu sembunyi di dalam peti mati yang terletak di bawah tempat sembunyi Nyo Ko tadi?

"Habis ke mana perginya Li Bok-chiu?" tanya Bu Sam-thong.

"Banyak keanehan di dalam kuburan ini sebaiknya lekas kita keluar saja," ajak Yalu Ce.

"Bagaimana dengan adikku?" tanya Kwe Hu.

"lbumu banyak tipu dayanya tentu dia mempunyai akal yang baik, marilah kita keluar ke sana dan minta petunjuknya," ujar Sam-thong.

Begitulah mereka lantas mencari jalan keluar dengan melalui sungai itu. Tapi baru saja mereka muncul di permukaan air, pemandangan yang mereka lihat adalah merah membara, pepohonan di kanan kiri sungai ternyata sudah terbakar semua, hawa panas serasa membakar muka mereka.

"lbu, ibu!" teriak Kwe Hu kuatir, tapi tidak mendapatkan jawaban,

Se-konyong2 sebatang pohon yang sudah terbakar roboh dan mengeluarkan suara gemuruh, Melihat keadaan sangat berbahaya, cepat Yalu Ce menarik Kwe Hu dan berenang ke hulu menjauhi tempat pohon roboh itu.

Tatkala itu adalah musim kerirrg, pepohonan dan rerumputan mudah terbakar, di-mana2 api me-ngamuk, seluruh gunung sudah menjadi lautan api, Meski mereka terendam di dalam air sungai, muka merekapun terasa panas tergarang oleh api yang berkobar dengan hebat itu.

"Pasti pasukan Mongol yang gagal menyerang Tiong-yang-kiong itu yang melampiaskan dendam dengan membakar Cong-lam-san ini." kata Bu Sam thong.

"lbu, ibu! Di mana kau?" teriak Kwe Hu pula kuatir.

Tiba2 di kiri sungai sana ada bayangan seorang perempuan sedang ber lompat2 kian kemari menghindari api. Kwe Hu menjadi girang dan berseru: "lbu!" Tanpa pikir ia terus melompat keluar dari sungai dan memburu ke sana.

"He, awas!" seru Sam-thong. Mendadak dua pohon besar roboh pula dan mengalingi pemandangan Bu Sam-thong.

Kwe Hu terus berlari ke sana, di bawah gumpalan asap dan menerjang api. Karena ingin menemukan ibunya, maka tanpa pikir ia memburu maju, sesudah dekat barulah ia merasa bayangan orang itu menoleh dan ternyata Li Bok-chiu adanya. Keruan kejut Kwe Hu tak terkatakan.

Sebenarnya Li Bok-chiu benar2 sudah putus asa setelah tertutup di dalam peti batu itu dan di-tindih lagi peti lainnya oleh Nyo Ko. Tapi kemudian dalam gusarnya tanpa sengaja Nyo Ko telan membacok peti batu yang menindihnya itu hingga tutup peti bagian bawah juga ikut retak terbacok. Li Bok chiu benar2 lolos dari renggutan maut, kesempatan itu tidak di-sia2kan olehnya, lebih dulu ia melemparkan keluar bantal batu, habis itu iapun melompat keluar

Meski belum lama ia terkurung di dalam peti mati itu, tapi rasanya orang akan mati sesak napas itu benar2 keadaan yang paling menderita dan paling mengenaskan dalam waktu yang singkat itu pikirannya diliputi penuh rasa dendam, ia benci kepada setiap manusia yang hidup di dunia ini, pikirnya: "Setelah mati aku pasti menjadi hantu yang jahat, akan kubinasakan Nyo Ko, bunuh Siao~liong-li, Bu Sam-thong, Ui, Yong dan lain2..."

Begitulah setiap orang akan dibunuhnya untuk membalas sakit hatinya. Meski kemudian dia berhasil lolos dengan selamat meski secara kebetulan, tapi rasa dendam dan bencinya tidak menjadi ber-kurang.

Kini mendadak Kwe Hu muncul sendiri di-badapannya, ia menjadi girang dengan tersenyum ia menegurnya- "Eh kiranya kau, nona Kwe! Api berkobar dengan hebatnya, kau harus hati2."

Kwe Hu tidak menyangka orang akan bersikap begini ramah padanya-, segera ia bertanya: "Apakah engkau melihat ibuku?"

Waktu Kwe Hu memandang ke arah yang di tunjuk, mendadak Li Bck-chiu menubruk tiba, sekali tangannya bekerja, Hiat-to di pinggang Kwe Hu sudah tertutuk olehnya, dengan tertawa Li Bok-chiu berkata: "Sabarlah, kau tunggu saja di sini, segera ibumu akan datang."

Sementara itu api berkobar semakin hebat dan mendesak dari berbagai jurusan, kalau lebih lama di situ mungkin jiwa sendiripun akan melayang, Karena itulah Li Bok-chiu lantas melompat ke sana dan berlari cepat ke arah yang belum terjilat api.



Kwe Hu tergeletak tak bisa berkutik menyaksikan kepergian Li Bok-chiu. Mendadak segumpal asap menyamber tiba, napasnya menjadi sesak, ia ter-batuk2 hebat.

Bu Sam-thong dan Yalu Ce berempat masih berdiri di tengah sungai, muka dan kepala mereka penuh hangus, antara Kwe Hu dan sungai kecil itu telah teraling oleh api yang berkobar dengan hebatnya.

Meski mereka mengetahui si nona berada dalam bahaya, tapi jiwa mereka pasti akan ikut melayang kalau mereka memburu maju untuk menoIongnya.

Dalam keadaan sesak napas dan rasa panas seperti dipanggang, Kwe Hu hampir2 tak sadarkan diri Iagi. Pada saat itulah tiba2 dari jurusan timur sana ada suara men-deru2, waktu ia berpaling, dilihatnya sesosok bayangan seperti angin lesus saja ber-gulung2 menyamber tiba.

Waktu Kwe Hu mengawasi, kiranya bayangan itu adalah Nyo Ko. Pemuda itu telah menanggalkan jubahnya yang basah kuyup untuk membungkus Hiat-tiat-po-kiam, dengan tenaga dalam yang kuat ia ayun2kan pedang itu untuk menyingkirkan kobaran api.

Tadinya Kwe Hu bergirang karena ada orang datang menolongnya, tapi setelah mengetahui orang itu adalah Nyo Ko, seketika perasaannya seperti di-siram air dingin meski di luar tubuh panas seperti dipanggang, Pikirnya: "Sudah dekat ajalku toh dia sengaja datang buat menghina diriku."

Betapa pun dia adalah anak Kwe Cing, dengan gemas ia melototi Nyo Ko tanpa gentar,

Tak terduga, bagitu sampai di samping Kwe Hu, segera Nyo Ko membuka Hiat-to si nona ydog tertutuk itu, pedangnya terus menusuk, tapi bukan menembus tubuhnya melainkan menerobos lewat di pinggangnya, sekali bentak: "Awas!" Tangan kirinya terus mengayun sekuatnya ke sana, bobot pedang pusaka yang amat berat itu ditambah tenaga dalamnya yang maha kuat, seketika Kwe Hu melayang ke udara seperti terbang di awang2 dan melintasi belasan pohon besar yang terbakar, "plung", akhirnya ia jatuh ke dalam sungai.

Lekas2 Yaiu Ce memburu maju untuk membangunkan Kwe Hu, tapi nona itu masih kepala pening dan mata ber-kunang2, ia serba runyam, entah senang entah sedih.

Kiranya setelah Nyo Ko dan Siao-liong-li keluar dari kuburan kuno itu dengan membawa Kwe Yang, terlihat pasukan Mongol sedang membakar hutan di lereng Cong-lam-san itu. Sudah ber-tahun2 mereka hidup disekitar hutan yang rindang itu, mereka menjadi menyesal dan merasa sayang menyaksikan kebakaran hebat itu, tapi pasukan Mongol terlalu kuat dan sukar dilawan, terpaksa mereka tidak dapat berbuat sesuatu.

Nyo Ko tidak tahu Siao-liong-li sanggup bertahan berapa lama setelah racun bersarang dalam segenap Hiat-to penting, segera ia mencari suatu gua-yang jauh dari tetumbuhan untuk bersembunyi sementara, dari jauh mereka menyaksikan Kwe Hu dirobohkan Li Bok-chiu dan tampaknya segera akan terbakar mati. Dengan gegetun Nyo Ko berkata kepada Siao-Iiong-li: "Liong-ji, nona itu telah membikin sengsara padaku dan mencelakai kau pula, akhirnya dia mendapatkan ganjarannya yang setimpal seperti sekarang ini."

Dengan heran Siao-liong-li memandang Nyo Ko dengan sorot matanya yang tajam: "Ko-ji, masakah kau tak pergi menolongnya?"

"Dia telah membikin susah hingga begini, kalau tidak kubunuh dia sudah cukup baginya." ujar Nyo Ko dengan gemas.

"Ah, kita sendiri tidak beruntung, semua itu disebabkan suratan nasib, biarkan orang lain gembira dan bahagia, kan lebih baik begitu?" ujar Siao-liong-li.

Walaupun di mulutnya Nyo Ko berkata begitu, tapi dalam hati merasa tidak tega ketika menyaksikan api sudah menjalar sampai di dekat Kwe Hu, Akhirnya ia berkata dengan pedih: "Baiklah, nasib kita yang buruk, nasib orang lain yang beruntung!"

Segera ia membungkus pedang pusakanya dengan jubah sendiri yang basah itu dan setelah melemparkan Kwe Hu ke sungai, dia berlari kembali ke dekat Siao liong-li dengan baju dan rambut hangus, celananya juga terbakar sebagian, malahan pahanya telah timbul gelembung2 air akibat terbakar.

Siao-Iiong-li membawa Kwe Yang mundur ke tempat yang lebih jauh dari hawa panas, lalu ia membelai rambut Nyo Ko serta membetulkan pakaiannya, tidak kepalang rasa bangganya mendapatkan seorang suami ksatria dan gagah perkasa demikian ini, ia bersandar pada tubuh Nyo Ko dengan perasaan yang gembira dan bahagia.

Nyo Ko merangkul pinggang Siao-liong li dan memandangi dengan terkesima, si nona yang tersorot cahaya api itu bertambah molek, sesaat itu mereka sama sekali melupakan segala duka derita di dunia ini.

Mereka berdua berada di tempat lebih tinggi, Bu Sam-thong, Kwe Hu dan Yaiu Ce berlima yang berada di sungai itu memandang dari balik api yang ber-kobar2, tertampak pakaian kedua suami isteri itu berkibar2 tertiup angin, sikapnya agung berwibawa laksana malaikat dewata. Biasanya Kwe Hu suka memandang hina si Nyo Ko, tapi sekarang ia menjadi malu diri.

Sejenak Nyo Ko berdua berdiri, sambil memandangi api yang mengamuk itu, Siao-Iiong-li berkata dengan gegetun: "Setelah terbakar habis bersih, kelak kalau pepohonan tumbuh lagi di sini, entah bagaimana wujudnya nanti?"

"Api yang dibakar pasukan Mongol ini mungkin merupakan pesta bagi pernikahan kita," ujar Nyo Ko dengan tertawa, "Mari!ah kita mengaso saja ke gua sebelah sana."

Siao-liong-li mengiakan Keduanya lantas ber-jalan ke balik gunung sana. Tiba2 Bu Sam-tisong ingat sesuatu, cepat ia berteriak: "Adik Nyo Susiok dan Cu-sute terkurung di Coat-ceng-kok, engkau mau menolong mereka tidak?"

Nyo Ko rada melengak, ia menggumam sendiri: "Peduli amat urusan orang lain." Sambii berkata begitu ia terus melangkah ke sana.

Meski racun mengeram hebat dalam tubuhnya, namun sementara ini belum bekerja, sebaliknya ilmu silatnya mulai pulih karena Hiat-to yang tadinya terganggu itu telah berhasil diterobos semuanya, Dengan memondong Kwe Yang ia dapat melangkah cepat ke depan.

Lebih satu jam mereka berjalan dan makin jauh meninggalkan Tiong-yang-kiong, dipandang dari jauh api masih berkobar di pegunungan itu.

Angin utara meniup semakin kencang sehingga muka si Kwe Yang cilik kedinginan ke-merah2an. "Marilah kita mencari sesuatu makanan, anak ini kedinginan dan lapar pula, mungkin tidak tahan" kata Siao-liong-Ii.

"Ya, aku ini sungguh tolol, entah untuk apa kurebut anak ini, hanya menambah beban saja," ujar Nyo Ko.

Siao-liong-li mencium muka Kwe Yang yang memerah apel itu, katanya: "Adik cilik ini sangat menyenangkan, apakah kau tidak suka padanya?"

"Anak orang lain, tetap anak orang Iain, paling baik kalau kita dapat melahirkan anak sendiri," kata Nyo Ko dengan tertawa.

Wajah Siao-liong-li menjadi merah, ucapan Nyo Ko ini menyentuh sifat keibuan lubuk hatinya, pikirnya: "Ya, alangkah baiknya kalau kudapat melahirkan anak bagimu, akan tetapi ai...."

Kuatir si nona berduka, Nyo Ko tak berani mengadu pandang, ia menengadah memandangi langit tertampak awan tebal menggumpal bergeser dan sebelah barat-laut, begitu tebal dan luas gumpalan awan itu se~akan2 jatuh menimpa kepala saja, katanya: "Melihat gelagatnya, mungkin segera akan turun salju, kita perlu mencari rumah penduduk untuk mondok."

Tapj arah yang mereka tempuh adalah lereng pegunungan yang sunyi, di mana2 hanya batu padat dan semak belukar belaka, mana ada rumah penduduk segala.

"Wah, tampaknya salju yang turun nanti pasti sangat lebat, agar jalan kita tidak tertutup, sebaiknya kita harus memburu waktu dan turun gunung sekarang juga," kata Nyo Ko sambil mempercepat langkahnya.

"Paman Bu dan nona Kwe mereka akan ke-pergok pasukan Mongol tidak? Para Tosu Coan-cin-kau itu entah dapat lolos dengan selamat tidak?" Demikian Siao liong-li berucap dengan nada yang simpatik.

"Kau benar2 mempunyai Liangsim (hati nurani), orang2 itu berbuat jahat padamu, tapi kau tetapi tidak melupakan keselamatan mereka, pantas dahulu kakek guru mengharuskan kau berlatih ilmu yang bebas dari segala cinta rasa, urusan apapun tidak peduli dan tidak ambil pusing, akan tetapi karena kau menaruh perhatian padaku, hasil latihanmu selama 20-an tahun telah hanyut seluruhnya dan mulailah kau menaruh perhatian terhadap siapapun"

Siao-liong-li tersenyum, katanya: "Sesungguhnya, pahit getir penderitaanku bagimu juga mendatangkan rasa mnais, yang kukuatirkan adalah kau tidak mau terima perhatianku kepadamu."

"Ya, merasakan pahit dan manis jauh lebih baik daripada tidak merasakan apa2!" kata Nyo Ko.

"Aku sendiri hanya suka ugal2an dan angin2an, tidak pernah hidup tenang dan aman tenteram."

"Bukankah kau mengatakan kita akan pergi ke selatan, di sana kita akan bercocok tanam dan beternak?" tanya si nona dengan tersenyum.

"Benar, semoga terkabul harapan kita," ujar Nyo Ko dengan menghela napas.

Sampai di sini, tertampaklah kapas tipis mulai beterbangan dari udara, bunga salju sudah mulai turun. Dengan Lwekang mereka yang tinggi, dengan sendirinya hawa dingin itu tidak menjadi soal bagi mereka, segera mereka melangkah dengan cepat.

"Eh, Ko-ji, coba kau terka ke mana perginya Suciku sekarang?"

"Kembali kau memperhatikan dia lagi, Akhirnya Giok-li-sim-keng dibawa lari olehnya dan terkabul cita2nya. Kuatirnya kalau isi kitab itu berhasil diyakinkan dan ilmu silatnya maju pesat, bisa jadi kejahatannya juga akan bertambah hebat."

"Sebenarnya Suci juga harus dikasihani," ujar Siao-liong-li.

"Tapi dia sendiri tidak rela dan ingin membikin setiap orang di dunia ini juga berduka dan merana seperti dia, "kata Nyo Ko.

Tengah bicara, cuaca semakin gelap. Setelah membelok ke lereng sana, tiba2 terlibat di antara dua pohon Siong tua terdapat dua buah rumah gubuk, atap rumah itu sudah tertimbun salju setebal jari manusia, "Aha, di sinilah kita lewatkan malam ini," seru Nyo Ko kegirangan.

Setiba di depan gubuk2 itu, terlihat daun pintunya setengah tertutup tanah salju di situ tiada tanda2 bekas kaki, ia coba berseru: "Permisi! Karena hujan salju, kami mohon mondok semalam saja."

Tapi sampai sekian lama ternyata tiada suara jawaban,

Nyo Ko lantas mendorong pintu di dalam rumah, tiada seorangpun. Di atas meja kursi penuh debu, agaknya sudah lama tiada penghuninya, segera ia memanggil Siao liong li masuk, setelah menutup pintu, mereka lantas membuat api unggun.

"Dinding papan rumah itu tergantung busur dan anak panah, di pojok rumah sana ada sebuah alat perangkap kelinci, Tampaknya rumah ini adalah pondok darurat kaum pemburu.

Dengan busur dan anak panah itu Nyo Ko keluar berburu dan mendapatkan buruan, maka mulailah mereka berpesta rusa panggang.

Sementara itu salju turun semakin lebat, namun hawa dalam rumah cukup hangat oleh api unggun. Siao liong li mengunyah sedikit daging rusa dan dan menyuapi si Kwe yang cilik, dengan menikmati daging rusa panggang itu, Nyo Ko memandangi mereka berdua dengan tersenyum simpuI, suasana hangat dan mesra laksana pengantin baru yang sedang bertamasya.

Se-konyong2 dari arah timur tanah salju itu berkumandang suara tindakan orang yang cepat, jelas itulah ginkang orang yang mahir ilmu silat. Nyo Ko berdiri dan melongok ke sana melalui jendela, dilihatnya dua kakek mendatang ke arah gubuk ini, seorang gemuk dan yang lain kurus, pakaian mereka rombeng, kakek kurus menyanggul sebuah HioIo-(buli2 dari sejenis labu besar) besar warna merah.

Hati Nyo Ko tergetar, teringat olehnya bahwa benda itu adalah milik Ang Jit-kong.

Dahulu Ang Jit-kong, itu ketua Kaypang yang berjuluk pengemis sakti berjari sembilan, bertempur mati2an dengan Auyang Hong di puncak tertinggi Thian san, akhirnya kedua orang sama2 kehabisan tenaga dan gugur bersama.

Nyo Ko yang mengubur kedua orang tua itu dan Holo besar merah itupun ditanam di samping jasad Ang Jit-kong. Kemudian dalam pertemuan besar para ksatria, seorang pengemis tua pernah membawa Holo merah itu sebagai tanda perintah Ang Jit-kong, katanya sang ketua itu belum meninggal, bahkan menganjurkan kaum jembel berbangkit membela tanah air dan mengusir musuh.



Tatkala mana Nyo Ko sangat heran darimana munculnya Holo merah itu? Tapi dalam pertemuan besar itu banyak terjadi persoalan sehingga tidak sempat mengusut urusan itu, kemudian juga tidak bertemu lagi dengan orang Kaypang, maka urusan itupun sudah terlupa, sekarang dandanan kedua kakek ini jelas juga anggota Kaypang.

Nyo Ko jadi tertarik demi ingat kejadian dahulu itu, segera ia membisiki Siao-Iiong li: "Di luar ada orang, kau rebah saja di pembaringan dan pura2 sedang sakit?"

Siao-liong-li menurut, ia pondong Kwe Yang dan berbaring di atas ranjang, ditariknya selimut butut yang terletak di ujung tempat tidur itu.

Nyo Ko lantas xnemolesi mukanya dengan hangus, topinya ditariknya hingga hampir menutupi mukanya, pedang pusaka juga disembunyikan. Dalam pada itu kedua orang tadi sudah mengetok pintu. Cepat Nyo Ko meng-gosok2 tangannya yang berlepotan minyak daging rusa yang baru dimakannya itu sehingga lebih mirip seorang pemburu yang kotor, habis itu pintu lantas dibukanya.

Dengan tertawa si kakek gemuk lantas berkata: "Hujan salju ini sangat hebat dan sukar meneruskan perjalanan, mohon kemurahan hati tuan sudi menerima pengemis untuk mondok semalam."

"Ah, pemburu macamku tidak perlu dipanggil tuan segala, silakan Lotiang (bapak) masuk dan bermalam di sini," jawab Nyo Ko.

Ber-ulang2 pengemis gemuk itu mengucapkan terima kasih, Segera Nyo Ko lantas mengenali juga si pengemis kurus itu, jelas dia orang yang pernah menyampaikan perintah Ang Jit-kong dahulu dengan membawa Holo besar merah, diam2 ia menjadi kuatir kalau2 dirinya akan dikenali pengemis kurus itu, cepat ia merobek dua potong daging panggang dan diberikan kepada kedua orang itu, katanya:

"Mumpung masih hangat2, silakan makan seadanya, hujan salju begini kebetulan bagiku untuk menambah penghasilan. Besok pagi2 harus kupergi memasang perangkap untuk menangkap rase, maafkan aku tidak temani kalian lebih lama,"

"Oh, jangan sungkan2, silakan saja," jawab si pengemis gemuk tadi.

Segera Nyo Ko sengaja berseru dengan suara keras: "He, ibunya bocah, apakah batukmu sudah baikan?"

"Wah, pergantian musim menambah dadaku makin sesak saja," jawab Siao-liong-li sambil batuk lebih keras, berbareng ia sengaja menggoyangi si Kwe Yang sehingga anak itu terjjaga bangun, maka di antara suara batuk lantas terseling suara tangisan anak bayi, sandiwara keluarga pemburu benar2 dimainkan mereka dengan sangat hidup.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar