Tio Ci-keng adalah pemberang, sudah sejak tadi ia menahan
perasaannya, sekarang ia tidak tahan lagi, segera ia menanggapi "Dan ada
lagi Ong Ci-heng, Ong-sute yang berani bicara dan berani,berbuat! Kenapa tidak
kau calonkan sekalian?"
Ci-heng menjadi gusar, jawabnya: "Aku memang bodoh
dan selisih jauh kalau dibandingkan Suheng2 yang lain, tapi kalau dibandingkan
Tio-suheng, betapapun kuyakin masih unggul setingkat Ya, ilmu silatku mungkin
bukan tandingan Tio-suheng, tapi paling tidak aku pasti takkan menjadi
pengkhianat."
"Apa katamu? Kalau berani katakanlah lebih jelas,
siapa yang menjadi pengkhianat?" teriak Ci-keng dengan merah padam,
Begitulah kedua orang bertengkar semakin sengit dan siap berperang tanding.
"Kedua Suheng tidak perlu berdebat, dengankanlah
perkataanku," sela Ci-peng.
Meski kedua orang lantas diam, namun masih saling
melotot.
Lalu Ci-peng berkata pula: "Menurut peraturan kita,
pejabat ketua baru ditunjuk oleh ketua lama dan bukan diangkat secara be-ramai2
betul tidak?"
Setelah semua orang mengiakan, lalu Ci peng melanjutkan
"Karena itu, sekarang juga aku menunjuk Tio Ci-keng sebagai pejabat ketua
penggantiku. Nah, para hadirin tidak perlu bertengkar lagi. Tio-suheng, silakan
maju menerima pesan."
Dengan ber-seri2 Ci-keng lantas maju ke tengah dan
memberi hormat. Segera Ci heng dan Song Tek hong hendak bicara lagi, tapi Li
Ci-siang keburu menarik baju mereka dan mengedipi. Ci-heng berdua tahu Ci-siang
pasti mempunyai pandangan yang lebih baik, merekapun lantas diam.
"ln suheng pasti ditekan oleh Tio Ci-keng sehingga
tidak berani melawannya," kata Ci-siang dengan suara tertahan "Maka
kita harus membongkar muslihat Tio Ci-keng itu secara diam2, sekarang In-suheng
sudah memutuskan demikian, kalau kita bicara lagi akan kelihatan pihak kita
yang salah."
Ong dan Song mengiakan, mereka lantas ikut dalam upacara
penyerahan kedudukan pejabat ketua itu. Bahwa dalam sehari terjadi penyerahan
pejabat ketua dua kali, sungguh kejadian yang luar biasa.
Selesai upacara, dengan pongahnya Ci-keng lantas berdiri
di tengah didampingi oleh anak muidnya, lalu berseru: "Silakan utusan Sri
Baginda Raja MongoI hadir!"
Segera Ong Ci-heng hendak mendamperat lagi, tapi keburu
dicegah Li Ci-siang. Selang tak lama beberapa Tosu menyambut tamu telah datang
dengan membawa perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu.
Cepat Ci-keng memburu maju untuk menyambut dengan
munduk2. Perwira Mongol itu sudah mendongkol karena telah menunggu sekian lama,
kini In Ci-peng ternyata tidak menyambut kedatangannya, keruan mukanya tambah
bersungut.
Tapi segera seorang Tosu bagian protokol lantas
memberitahu bahwa mulai sekarang kedudukan pejabat ketua telah dilimpahkan
kepada Tio Ci-keng.
Perwira itu melengak kaget, tapi segera ia bergirang dan
mengucapkan selamat kepada Ci-keng. Siau-siang-cu berdiri di belakang perwira
Mongol itu dengan diam saja, mukanya kaku dingin, entah suka atau duka.
Dengan munduk2 pula Ci-keng membawa perwira Mongol itu ke
tengah pendopo, lalu berkata: "Silakan Tayjin membacakan titah raja."
Diam2 perwira itu bersyukur bahwa Coan cin kau sekarang
diketuai orang macam Tio Ci-keng.
ia lantas mengeluarkan Sengci (titah raja), Ci-keng. juga
lantas bertekuk lutut, lalu perwira itu mulai membaca titah raja: "Dengan
ini ketua Coar-cin-kau di..."
Melihat secara terangan Ci-keng menerima anugerah raja
Mongol, Ci-siang, Ci-heng dan lain2 tidak tahan lagi, serentak mereka melolos
pedang, Ci-heng dan Tek-hong terus melangkah maju dan mengancam punggung
Ci-keng dengan ujung pedang mereka, Ci-siang lantas berseru dengan lantang:
"Coan-cin-kau ini berdiri berdasarkan cita2 setia kepada negara dan bakti
kepada rakyat, se-kali2 kita tidak sudi menyerah kepada Mongol, Tio Ci-keng
telah mengkhianat dan setiap orang wajib mengutuknya, dia tidak boleh menjabat
ketua Coan-cin kau dan kitapun tidak mengakuinya lagi."
Sementara itu beberapa Tosu lain juga sudah mengelilingi
perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu dengan pedang terhunus.
Peristiwa ini terjadi dengan sangat mendadak,
Meski sebelumnya Ci-keng juga menduga Ci-siang dan
kawannya pasti tidak mau menyerah, tapi sama sekali tidak diduganya pihak lawan
berani menggunakan kekerasan terhadap pejabat ketua yang biasanya sangat
dihormati dan dijunjung tinggi.
Sekarang senjata lawan telah mengancam, ia menjadi kaget
dan gusar, tapi ia tidak gentar, segera ia membentak: "Kurangajar, kalian,
berani membangkang terhadap pimpinan?"
Tapi Ci-heng lantas balas membentak "Bangsat!
Pengkhianat! Berani kau bergerak, segera punggungmu akan tembus!"
Sebenarnya kepandaian Ci-keng terlebih tinggi daripada
kedua lawannya, tapi secara mendadak dia dikuasai selagi tengkurap, dengan
sendirinya dia mati kutu, sebelumnya dia juga menyiapkan belasan anak muridnya
yang bersenjata lengkap, namun pihak lawan bertindak lebih dulu, betapapun anak
buah Ci-keng itu tak sempat berkutik lagi.
Segera Li Ci-siang berkata kepada perwira MongoI itu:
"Mongol sudah menjadi musuh Song Raya kami, rakyat Song mana boleh
menerima anugerah dari pihak Mongol." Maka sekarang kalian silakan pulang
saja, kelak kalau bertemu di medan perang bolehlah kita selesaikan di
sana."
Walaupun terancam bahaya, perwira Mongol itu ternyata
tidak gentar sedikitpun, ia malah menjengek: "Hm kalian berani bertindak
secara semberono, tampaknya Coan-cin-kau yang sudah terpupuk kuat ini akan
musnah dalam sekejap saja, Sungguh harus disayangkan."
"Negara kami seluas ini saja sudah terancam musnah,
Coan-cin-kau yang cuma secuil ini apa pula artinya?" ujar Ci-siang.
"Jika kalian tidak lekas pergi, kalau sebentar kalian diperlakukan secara
kasar mungkin Siauto tidak dapat berbuat apa2 lagi."
Tiba2 Siau-sing-cu menimbrung: "Bagaimana perlakuan
kasarnya? Coba, aku ingin tahu!" - Mendadak kedua tangannya meraih, tahu2
pedang Ong Ci-heng dan Song Tek-hong yang mengancam punggung Ci-keng itu telah dirampasnya.
Cepat Ci~keng melompat bangun terus berdiri di samping
perwira Mongol itu, Siau-siang-cu lantas mengangsurkan sebuah pedang rampasan
di tangan kirinya itu kepada Ci-keng, sedang pedang lain terus menusuk ke arah
Li Ci-siang.
Trang", Ci-siang menangkis serangan itu, mendadak
tangan terasa kesemutan, tenaga lawan ternyata kuat luar biasa. Diam2 ia
mengeluh cepat iapun mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan, tapi cepat
terdengar suara gemerantang nyaring, kedua pedang patah semua dan jatuh ke lantai.
Tindakan Siau-siang-cu itu dilakukan dengan cepat luar
biasa, merampas pedang dan menyerang serta menggetar pedang hingga patah, semua
itu terjadi dalam sekejap saja, Menyusul lengan bajunya lantas mengebut dan
kedua tangan menyodok sekaligus ke depan sehingga empat murid tertua
Coan-cin-kau yang mengitarinya itu didesak mundur.
Keruan semua orang kaget, sungguh mereka tidak menyangka
bahwa orang yang mirip "mayat hidup" ini ternyata memiliki kepandaian
setinggi ini.
Biasanya Ci-keng suka meremehkan ilmu silat Ong Ci-heng,
Song Tek- hong dan lain2, sekarang di hadapan orang banyak dia telah diancam
hingga tak bisa berkutik selagi mendekam diatas tanah, tentu saja dia sangat
murka. Maka begitu dia menerima pedang dari Siau-siang-cu, segera pula dia menusuk
ke perut Ong Ci-heng.
Cepat Ci-heng mendoyong ke belakang, namun Ci-keng tidak
kenal ampun lagi, ia mendorongkan ujung pedang sehingga nasib Ci-heng tampaknya
sukar dihindarkan, semua orang ikut kuatir sehingga suasana menjadi hening.
Pada detik gawat itulah mendadak dari samping seorang
mengebaskan lengan bajunya, pedang Ci-keng tergulung dan tertarik ke samping,
"bret". lengan baju robek terpotong dan kesempatan itupun digunakan
Ci-heng untuk melompat mundur menyusul dua pedang terjulur pula dari samping
untuk menahan pedang Ci-keng. Ketika diawasi orang yang mengebutkan lengan baju
itu kiranya adalah In Ci-peng.
Ci-keng menjadi gusar, bentaknya sambil menuding Ci-peng:
"Kau....kau berani...."
"Tio-suheng," kata Ci-peng, "kau sendiri
menyatakan takkan menerima anugerah raja Mongol, karena itulah aku menyerahkan
pejabat ketua padamu, mengapa dalam waktu sekejap saja kau sudah ingkar
janji?"
"Bilakah pernah ku berjanji begitu?" jawab Ci
keng, "Tadi kau bertanya soal anugerah raja MongoI rni, aku menjawab:
"Aku tidak ingin kau menerima, anugerah raja Mongol! Nah, masakah aku
ingkar janji? Yang menerima anugerah sekarang kan aku dan bukan kau?"
"Oh, kiranya begitu, kiranya begitu?" Ci-peng
menggumam penuh rasa pedih, "Licik benar kau, Tio-suheng!"
Dalam pada itu Li Ci-siang sudah menerima pedang dari
seorang muridnya segera ia berseru: "Saudara2 di dalam agama, kita tetap
mengakui In-suheng sebagai pejabat ketua, marilah kita tangkap pengkhianat she
Tio ini." - Menyusul ia lantas menubruk maju dan menempur Ci-keng.
Ci-heng dan enam orang lainnya lantas memasang Pak-tau
Kiam-hoat mengepung Siau-siang-cu di tengah, Meski tinggi ilmu silat
Siau-siang-cu, tapi barisan pedang Coan-cin-kau yang terkenal itupun sangat
hebat, sekali bergebrak, daya tempurnya juga Iihay. Cepat Siau-siang-cu
mengeluarkan pentungnya untuk menangkis kerubutan lawan.
Perwira Mongol tadi sudah mundur ke pojok ruangan,
melihat gelagat jelek, segeia ia mengeluarkan tanduk kerbau dan ditiup keras2.
Ci-peng terkejut, ia tahu orang sedang mengundang bala
bantuan, menghadapi ancaman bahaya, semangatnya terbangkit, kemampuannya
memimpin biasanya Iantas timbul Iagi. Segera ia memberi perintah: "Ki
Ci-seng, kau tangkap perwira itu, Ih To-hoan Suheng, Ong Ci-kin Suheng, kalian
membawa tiga kawan dan lekas ke Giok-bi-tong di belakang gunung untuk membantu
Sun-suheng berjaga di sana agar kelima guru kita tidak terganggu serbuan musuh.
Tan Ci-ek Sute lekas kau membawa enam orang pergi berjaga
di depan gunung. Pang Ci ki Sute dengan enam orang berjaga di kiri gunung dan
Lau To-leng Sute bersama enam orang berjaga di kanan gunung."
Orang2 yang ditugaskan berjaga di kanan kiri dan muka
belakang itu adalah murid Ong Ju-ki semua, sedangkan Ih To-hian dan Ong Ci-kin
adalah murid paman gurunya yang dapat dipercaya dengan cara pengaturan
pertahanan ln Ci-peng ini, sekalipun musuh menyerbu secara besarkan juga sukar
menembusnya.
Akan tetapi sebelum semua orang yang diberi perintah itu
pergi, tiba2 terdengar suara teriakan ramai, belasan orang telah melompat
masuk, dari kanan nampak dipimpin ln Kik-si dan sebelah kiri dipimpin Nimo
Singh, dari depan dikepalai Be Kong-co, belasan orang yang dipimpin adalah
jago2 pilihan dari berbagai suku bangsa.
Kiranya Kubilai tidak berhasil memboboI pertahanan
Siangyang selama ber-bulan2, mendadak terjangkit wabah di tengah pasukannya,
maka setelah serangan terakhir pada Siangyang juga gagal, segera ia
mengundurkan pasukannya, Pasukan Mongol yang dilihat Siao-liong~li tempo hari
ketika bergerak ke selatan itu adalah serangan terakhir yang dilakukan Kubilai.
Berhubung sukarnya Siangyang direbut, dengan sendirinya
kerajaan Song juga sukar diruntuhkan, maka sebelum mengundurkan pasukannya
Kubilai sudah mengirim antek2nya untuk mendekati dan membeli orang2 gagah di
Tionggoan.
Raja Mongol sengaja merangkul pihak Coan-cin-kau juga
termasuk tipu muslihat Kubilai. Tapi dia tahu Coan-cin-kau belum tentu mau
menerima anugerah, maka Kim-lun Hoat-ong diperintahkan memimpin jago2 lainnya
bersembunyi di sekitar Cong-lam-san, bila Coan-cin-kau menolak titah raja,
segera digunakan kekerasan untuk menindasnya.
Biasanya penjagaan di Cong-Iam-san cukup ketat, tapi
lantaran sehari terjadi dua kali penggantian pejabat ketua, suasana di
Tiong-yang-kiong sedang kacau, anak murid yang bertugas berjaga di luar sama di
tarik ke dalam untuk ikut hadir dalam upacara, sebab itulah kedatangan
rombongan Nimo Singh, In Kik-si dan lain2 tidak diketahui
Kini musuh mendadak muncul, seketika orang2 Coan~cin-kau
menjadi panik, Perwira Mongol yang tadinya sudah ditawan Ki Ci-seng itu
sekarang lantas berteriak: "Para Totiang dari Coan-cin kau, kalau ingin
selamat, lekas kalian membuang senjata dan tunduk kepada perintah pejabat ketua
Tio-totiang."
Tapi Ci-peng lantas membentak: "Tio-Ci-keng telah berkhianat
dosanya tak terampunkan, dia bukan lagi pejabat ketua kita."
Meski menyadari keadaan sangat gawat, tapi Ci-peng
bertekad melawan musuh dengan mati2an, maka dia lantas memberi aba2 untuk
bertempur, Namun para Tosu sebagian tak membawa senjata dan terkepung pula,
maka hanya sebentar saja sudah belasan orang terkapar tak bernyawa lagi.
Menyusul Ci-peng sendiri, Li Ci-siang, 0ng-Ci-heng, Song
Tek-hong dan lain2 juga kecundang ada yang senjatanya terampas musuh dan ada
yang terluka dan menggeletak atau tak bisa bergerak karena Hiat-to tertutuk.
Sisa Tosu yang lain menjadi kelabakan seperti ular tanpa kepala, mereka
terdesak ke pojok ruangan dan tak dapat melawan lagi.
Perwira Mongol tadi tidak tinggi ilmu silatnya, tapi
pangkatnya sangat tinggi, maka In Kik-si, Siau-siang-cu dan lain2 harus tunduk
kepada perintahnya, Melihat pihaknya sudah menang total, perwira itu lantas
berseru kepada Ci-keng: "Tio cinjin, mengingat kesetiaanmu, tentang
pemberontakan Coan-cin-kau ini takkan kulaporkan kepada "Sri Baginda."
Ci-keng memberi hormat dan mengucapkan terima kasih,
Tiba2 teringat sesuatu olehnya, cepat ia membisiki Siau-siang-cu: "Masih
sesuatu urusan penting perlu bantuan cianpwe. Guruku dan para paman guruku
sedang menyepi di belakang gunung, kalau mereka menerima berita dan memburu
kesini..."
"Kebetulan kalau mereka ke sini, akan kubereskan
mereka bagimu," ujar Siau-siang-cu dengan tak acuh.
Ci-keng tak berani bicara pula, dalam hati ia mendongkol
karena orang berani meremehkan gurunya, namun iapun serba susah, kalau guru dan
para paman gurunya dapat mengusir orang2 Mongol berarti pula jiwanya sendiri
terancam.
Dalam pada itu perwira Mongol tadi telah berkata pula:
"Tio-cinjin, silakan kau terima dulu anugerah Sri Baginda, habis itu baru
kau selesaikan kawanmu yang membrontak itu."
Ci-keng mengiakan dan segera berlutut mendengarkan titah
raja Mongol. Ci-peng, Ci-siang dan lain2 dapat mengikuti kejadian itu dengan
dada se-akan2 meledak saking gusarnya.
Song Tek-hong berduduk di sebelah Li Ci-siang, ia coba
membisiki sang Suheng: "Li-suheng, harap lepaskan pengikat tanganku, biar
kuterjang keluar untuk melapor pada guru kita."
Ci-siang mengangguk punggungnya lantas dirapatkan di
punggung Tek-hong, ia mengerahkan tenaga dalam pada jarinya untuk membuka tali
pengikat tangan Song Tek-hong yang ditelikung itu. Setelah berhasil dengan
suara tertahan ia memberi pesan: "Kau harus hati2, jangan sampai kelima
guru kita terkejut."
Tek-hong mengangguk dan siap2 untuk meloloskan diri.
sementara itu pembacaan titah raja sudah selesai, Ci-keng telah berdiri,
perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu sedang mengucapkan selamat padanya.
Melihat semua orang sedang mengitari Tio Ci-keng, cepat
Song Tek-hong melompat ke sana, segera ia berlari ke balik altar pemujaan.
"Berhenti!" Nimo Singh membentak
Akan tetapi Tek-hong tidak ambil pusing, ia berlari
terlebih cepat.
Karena kedua kakinya sudah buntung, sukar bagi Nimo Singh
untuk mengejar, sebelah tangannya lantas mengambil sebuah Piau kecil berbentuk
ular terus disambitkan "PIok", dengan tepat kaki kiri Tek-hong
tertimpuk Piau itu.
Akan tetapi Tek-hong hanya sempoyongan sedikit saja dan
tetap kabur ke depan dengan menahan sakit. Beberapa jago Mongol segera
mengejar, namun bangunan rumah di kompIek Tiong-yang-kiong sangat banyak, hanya
memutar beberapa rumah saja Tek-hong sudah menghilang dari kejaran musuh.
Sampai di tempat sepi, dengan menahan sakit Tek hong
mencabut Piau yang masih menancap di kakinya itu, lalu membalut lukanya, ia
kembali dulu ke kamarnya untuk mengambil pedang, lalu berlari ke Giok-bi-tong
di belakang gunung, di mana guru dan para paman gurunya sedang menyepi.
Sesudah dekat, dari balik pepohonan ia memandang ke sana,
ia jadi mengeluh ketika dilihatnya lebih 20 orang Mongol sedang sibuk memindahkan
batu2 besar untuk menyumbat mulut gua Giok-hi-tong. Seorang , paderi Tibet
tinggi kurus mengawasi dan memberi petunjuk cara menyumbat gua itu. Di samping
itu terdapat pula dua orang lagi sedang sibuk mengatur ini dan itu.
Tek-hong kenal kedua orang di samping itu itu adalah
Darba dan Hotu yang dahulu pernah cari setori ke Tiong-yang-kiong, dengan
sendirinya iapun kenal ilmu silat kedua orang itu. Sedang paderi yang tinggi
itu jelas kepandaiannya lebih tinggi dari pada Darba dan Hotu, mulut gua Giok-hi~tong
sudah tinggal sedikit saja yang belum tersumbat batu, entah bagaimana keadaan
kelima guru dan paman gurunya?
Song Tek-hong menyadari tenaga sendiri tak berguna
andaikan menerjang maju untuk mengalangi perbuatan musuh itu, paling2 jiwa
sendiri juga akan ikut melayang, tapi mengingat keselamatan guru dan nasib Coan
cin-kau yang menghadapi kehancuran, mana boleh ia cuma memikirkan
keselamatannya sendiri.
Segera ia melompat keluar dari tempat sembunyinya,
secepat kilat ia menusuk paderi Tibet yang berdiri membelakanginya itu, ia
pikir kalau menyerang harus serang pimpinannya, kalau berhasil tentu pihak
musuh kacau lebih dulu.
Paderi Tibet itu adalah Kim lun Hoat-ong, tempo hari ia
sudah menanyai Tio Ci-keng mengenai seluk-beluk Coan cin-kau, maka begitu sampai
di Tiong-yang-kiong segera ia menuju belakang gunung untuk menyumbat
Giok-hi-tong serta mengurung kelima tokoh utama Coan-cin-kau itu di dalam gua,
dengan begitu sisa anak murid Coan-cin-kau yang lain tentu mudah diatasi.
Ketika ujung pedang Song Tek-hong hampir mengenai
punggungnya ternyata Hoat-ong tidak merasakan apa2, Tek-hong bergirang, Tak
terduga mendadak cahaya kuning berkelebat menyusul terdengar suara
"trang" sekali, sejenis senjata aneh paderi itu telah menyamber ke
belakang dan membentur pedangnya.
Tek-hong merasakan tangannya kesakitan, pedang terlepas
dari cekalan, hanya benturan itu saja telah membuat dia muntah darah dan
pandangan menjadi gelap. Dalam keadaan sadar-tak-sadar sayup2 ia dengar suara
teriakan orang ramai di ruangan pendopo, entah peristiwa apa lagi yang terjadi,
tapi segera ia tak ingat apa2, ia jatuh pingsan.
Kim-lun Hoat-ong juga mendengar suara teriakan ramai itu,
tapi ia pikir Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain2 berada di sana, tentu anak
murid Coan-cin-kau takkan mampu melawan mereka, maka ia tidak menjadi kuatir,
ia perintahkan para busu Mongol itu mempercepat penyumbatan gua itu dengan batu
agar Khu Ju-ki berlima tidak sempat menerjang keluar secara mendadak.
Di ruangan pendopo memang terjadi lagi sesuatu sesudah Song
Tek-hong pergi, Perwira Mo-ngol itu telah berkata kepada Ci-keng:
"Tio-cinjin, anggota kalian yang memberontak tampaknya tidak sedikit,
agaknya kedudukanmu tidak begitu enak bagimu."
Sudah tentu Ci-keng juga menyadari hal ini, namun keadaan
sudah telanjur, ibaratnya sudah berada di punggung macan, kalau melompat turun
tentu akan dicaplok sang harimau malah, Segera Ci-keng berteriak: "Menurut
undang2 kita, apa hukumannya bagi kaum pemberontak?"
Para Tosu diam2 saja, malahan dalam hati mereka pikir: Kau
sendiri pemberontak dan pengkhianat."
Ci-keng bertanya lagi satu kali dan tetap tiada yang
menggubrisnya, diam2 Ci-keng sangat mendongkol, ia bertanya lagi sekali sambil
memandangi muridnya sendiri, yaitu Ceng-kong, agar dia menjawab nya.
Ceng-kong ini adalah Tosu gemuk yang dahulu menganiaya
Nyo Ko itulah, ia lantas menjawab " pemberontak harus membunuh diri di
depan pemujaan Cousuya."
"Betul" seru Ci-keng. "Nah, In Ci-peng,
sudah tahu dosamu belum? Kau terima tidak?"
"Tidak!" jawab Ci-peng tegas, "Baik, bawa
dia ke sini!" kata Ci-keng.
Segera Ceng-kong mendorong Ci-peng ke depan dan berdiri
dihadapan arca pemujaan. Lalu Ci-keng menanyai Ci~siang, Ci-heng dan lain2,
semuanya juga menyatakan tidak terima. Di antaranya hanya tiga orang saja yang
ketakutan dan minta ampun, segera Ci-keng memerintahkan dibebaskan, sedang 20 -
an orang tetap berdiri tegak tidak mau menyerap malahan Ci-heng dan beberapa
Tosu yang berwatak keras segera mencaci-maki.
"Kalian teramat kepala batu dan sukar diampuni"
kata Ci-keng kemudian "Baiklah, Ceng-kong, boleh kau melaksanakan hukuman
bagi Coan-cin-kau kita."
Ceng-kong mengiakan, ia melangkah maju dan mengangkat
pedangnya, sekali tusuk ia binasakan In To-hian yang berdiri di ujung kiri.
Serentak para Tosu lantas berteriak murka dan
mencaci-maki lebih keras, suara riuh ramai inilah yang tadi di dengar oleh Song
Tek-hong dan Kim lun Hoat-ong di belakang gunung.
Ceng-kong adalah manusia yang berani pada yang lemah dan
takut pada yang keras, ia menjadi jeri mendengar suara ramai orang banyak.
"Lekas kerjakan, kenapa ragu2," bentak Ci-keng.
Terpaksa Ceng-kong mengiakan dan membunuh lagi dua orang,
Yang berdiri nomor empat ialah In Ci-peng, baru saja Ceng-kong angkat pedangnya
hendak menusuk dada Ci-peng, tiba2 suara seorang perempuan membentaknya:
"Nanti dulu?"
Waktu ia menoleh, dilihatnya seorang perempuan muda
berbaju putih sudah berdiri diambang pintu, siapa lagi dia kalau bukan
Siao-liong-li.
"Kau minggir ke sana, orang ini akan kubunuh
sendiri" demikian kata Siao-liong-li.
Ci-keng menjadi girang melihat Siao-liong-li mendadak
muncul, ia pikir di tengah tokoh2 sakti sebanyak ini, kedatanganmu ini berarti
mengantarkan kematianmu, maka ia lantas membentak: "perempuan siluman ini
bukan manusia baik2 tangkap saja!"
Akan tetapi para Busu Mongol itu tidak tunduk pada
perintahnya, semuanya tidak menggubris-nya. Hanya dua murid Ci-keng sendiri
lantas melompat maju, tanpa dipikir mereka terus hendak memegang lengan Siao
liong-Ii.
Siao-liong-li sama sekali tidak ambil pusing terhadap
serbuan para Busu MongoI serta kekacauan yang terjadi di antara orang
Coan-cin-pay sendiri. Hanya ketika melihat Ceng-kong hendak membunuh ln
Ci-peng, betapapun ia tidak mau membiarkan orang lain membinasakan Tosu itu,
maka ia lantas bersuara mencegah.
Belum lagi tangan kedua murid Ci-keng menyentuh bajunya,
tahu2 tangan mereda sendiri kesakitan, sinar perakpun berkelebat, cepat mereka
melompat mundur Waktu mereka mengawasi kiranya pedang mereka yang tergantung di
pinggang tahu2 sudah dilolos oleh Siao-liong-li dan dalam sekejap itu
pergelangan tangan merekapun telah dilukai.
Gerakan Siao liong-li ini sungguh cepat luar biasa,
sebelum orang lain melihat jelas cara bagaimana dia merebut pedang dan
menyerang, tahu2 kedua Tosu itu sudah terluka dan melompat mundur.
Keruan anak murid Ci-keng yang lain sama melengak kaget
Ceng-kong lantas berseru : "Hayo maju be-ramai2, kita berjumlah lebih
banyak, kenapa kita gentar padanya?" Segera dia mendahului menerjang dan
menusuk.
Tapi sebelum orang mendekat ujung pedang Siao liong-Ii
sudah bergetar, tahu2 pergelangan tangan kanan kiri Ceng-kong kedua kakinya
terkena tusukan pedang.
Sambil mengaung keras, Ceng kong terus menggeletak tak
bisa bangun.
Keempat kali tusukan Siao-liong-ii sungguh cepat luar
biasa, sampai tokoh kelas wahid seperti Siau-siaug-cu dan lain2 juga
tercengang. Mereka heran mengapa ilmu pedang si nona maju sepesat ini, padahal
tempo hari waktu dia bertempur melawan Kongsun Ci belum tampak sesuatu yang
luar biasa, apakah mungkin dia, sengaja menyimpan kepandaian?
Rupanya setelah mendapatkan ajaran Ciu Pek-thong,
sekaligus Siao liong-li dapat memainkan sepasang pedang dengan cara yang
berbeda, kini kepandaiannya memang sudah berlipat ganda.
Sudah sekian lama dia menguntit In Ci-peng dan Tio
Ci-keng dan merasa bingung cara bagaimana harus menyelesaikan kedua orang itu.
sekarang orang Coan cin-kau menyerangnya lebih dulu, kesempatan ini segera
digunakannya untuk balas menyerang dan sekali pedangnya berbau darah, serentak
dendam kesumatnya meledak. Di tengah berkelebatnya sinar pedang, dan bayangan
baju putih, dalam sekejap saja pedang para Tosu sama jatuh dilantai,
pergelangan tangan setiap orang sama tertusuk pedang tanpa diberi kesempatan
untuk menangkis atau mengelak.
Sungguh kejut para Tosu itu tak terkatakan. Bayangkan
saja, jika serangan Siao liong-li itu tidak mengarah tangan, tapi menusuk perut
mereka, maka jiwa para Tosu itu pasti sudah melayang sejak tadi.
Karuan Tosu2 itu ketakutan dan berlari menyingkir
sehingga di tengah2 ruangan pendopp itu tertinggal In Ci-peng dan kawan2nya
yang teringkus itu. Melihat mereka tak bisa berkutik dan tidak memusuhi
dirinya, untuk sementara Siao-liong-li juga tidak mencelakai mereka.
Diam2 iapun terkejut sendiri atas kepandaian yang
dipelajarinya dari Ciu Pek-thong itu, sungguh tak diduganya ilmu berkelahi yang
aneh itu mempunyai daya tempur selihay itu.
Melihat gelagat jelek, sambil menghunus pedang untuk
menjaga diri, diam2 Ci-keng menggeser mundur dan bila ada kesempatan segera
akan kabur. Namun Siao-liong-li sudah teramat benci padanya, sekali melompat ia
telah mencegat jalan mundur dan maju Tio Ci-keng dengan kedua pedangnya.
Dalam keadaan kepepet, Ci-keng putar pedangnya terus
hendak cari jalan lagi, Tiba2 terdengar suara "trang" nyaring, In Kik-si
berkata padanya : "Kau takkan berhasil, mundur saja sana!"
Kiranya In Kik-si telah menangkiskan pedang Siao-liong-li
dengan ruyung emasnya yaug lemas itu. Baru sekarang ada orang yang mampu
menangkis pedang Siao hong-li sejak berpuluh Tosu itu dilukainya.
"Tujuanku sekarang hanya ingin menuntut batas pada
Tosu Coan-cin-kau dan tiada sangkut pautnya dengan orang luar, lekas kau
menyingkir," seru Siao liong-Ii.
Meski rada jeri juga menyaksikan kelihayan ilmu pedang
Siao-liong-li tadi, namun In Kik-si adalah tokoh kelas wahid, betapapun dia tak
dapat mundur begitu saja hanya karena ucapan Siao-liong-li itu. Maka dengan
tertawa ia menjawab: "Orang Coan-cin-kau sangat banyak dan dengan
sendirinya ada yang baik dan ada yang busuk, ada sebagian memang pantas
dibinasakan Entah Tosu bangsat yang manakah yang telah bersalah kepada
nona?"
Akan tetapi Siao-liong-li hanya mendengus saja dan tidak
menjawabnya, sorot matanya tidak pernah meninggalkan diri In Ci-peng dan Tio
Ci-keng se-akan2 kuatir kaburnya kedua Tosu itu.
"Untuk apa nona marah kepada kawanan Tosu keparat
ini, asalkan nona memberi tanda Tosu mana yang harus dibereskan, segera Cayhe
wakili nona untuk membereskannya," kata In Kik-si.
"Baik, lebih dulu kau binasakan dia ini!" kata
Siao-liong-li sambil menuding Tio Ci-keng.
"Tapi Tio-cinjin ini cukup baik orangnya, mungkin
ada salah paham nona padanya, biarlah kusuruh dia minta maaf saja
kepadamu," kata In Kik-si.
Siao-liong-li mengernyitkan dahinya, mendadak pedangnya
menyamber ke depan secepat kilat, tampaknya menusuk In Kik-si. Dengan sendirian
In Kik-si angkat ruyungnya untuk menangkis. Tapi mendadak terdengar jeritan,
ternyata Tio Ci-keng yang berdiri tegak di belakang In Kik-si sudah terkena
tusukan di pundaknya.
Keruan In Kik-si terkejut, meski tusukan itu tidak
mengenai dirinya, tapi dirinya tidak mampu melindungi Ci-keng, rasanya sama
memalukan bagi-nya.
Cuma serangan lawan teramat cepat datangnya dan tak jelas
cara bagaimana Siao-Iiong-li memutar pedangnya untuk mengarah sasarannya, kalau
saja pertarungan demikian dilanjutkan, jelas dirinya pasti kalah, diam2 ia
menjadi jeri ia coba berseru pula. "Nona Liong, harap kau bermurah
hati!"
Namun Siao-liong-li tidak menjawabnya, sikapnya seperti
tidak mau bermusuhan tapi juga tidak ingin berkawan, ia menggeser pelahan ke
kiri, ln Kik-si juga ikut memutar dan tetap ingin membela Tio Ci-keng.
Tapi mendadak terdengar pula Ci-keng menjerit tertahan,
waktu ia melirik, ternyata bahu kiri Ci-keng sudah terluka pula.
Cara bagaimana Siao-liong-li menusuk Ci-keng lagi, orang
lain tetap tidak tahu dan sama melongo heran. Sungguh cepat luar biasa ilmu
pedangnya itu, bukan saja gerakannya tidak kentara, bahkan pedangnya seperti
bisa membelok sendiri.
Ber-turut2 tertusuk dua kali, Ci-keng menjadi ketakutan
setengah mati, ia mengira kepandaian ln Kik-si terlalu rendah dan tidak sanggup
dimintai perlindungan, segera ia melompat ke sana untuk berlindung di belakang
Siau-siang-cu.
Tapi Siao-ltong-Ii anggap seperti tidak tahu saja, ia
memutar tubuh, pedang di tangan kiri menusuk ke arah In Kik-si dan pedang
icanan menusuk Nimo Singh. Cepat Nimo Singh menggunakan tongkat kiri untuk
menahan tubuh, tangan kanan menangkis dengan senjata ular besi.
Namun kembali terdengar jeritan Ci-keng disusul dengan
suara nyaring jatuhnya pedang, rupanya pergelangan tangan Ci-keng kembali
terkena pedang lagi.
Serangan ini terlebih aneh daripada yang duluan tadi,
sudah jelas jarak Siao-liong-li dengan Ci-keng sangat jauh, ketika dia
menyerang In Kik-si dan Nimo Singh, tahu2 dia sempat pula melukai Ci-keng.
"Hm, hebat benar ilmu pedang nona, biarlah akupun
belajar kenal padamu," jengek Siau-siang-cu sambil mendorong dengan tangan
kirinya ke samping, kontan Ci-keng merasa ditolak oleh suatu tenaga raksasa dan
jatuh terguling hingga beberapa meter jauhnya, untung Lwekangnya cukup kuat.
Meski sudah terluka tiga tempat, tapi masih sanggup
bertahan dan merangkak bangun, Dalam pada itu pentung Siau-siang-cu juga lantas
menghantam ke arah Siao-liong-li.
Si dogol Be Kong-co selalu bersimpatik kepada Nyo Ko dan
Siao-liong-li, kiai iapun merasa tidak adil melihat Siao-liong-li diserang In
Kik-si dan Siau-siang-cu pula. Segera ia berteriak: "Huh, tidak tahu malu,
beberapa tokoh Bu-lim mengerubut seorang nona cilik!"
Sudah tentu Siau-siang-cu dan In Kik-si merasa jengah,
biarpun mereka tidak ambil pusing urusan harga diri segala, tapi biasanya
merekapun cukup angkuh, jangankan main keroyok, sekalipun satu lawan satu juga
mereka kurang terhormat berkelahi dengan seorang nona muda.
Tapi sekarang menyadari pasti bukan tandingan ilmu pedang
Siao-liong-li yang ajaib itu jika cuma mengandalkan kepandaian seorang saja,
maka mereka pura2 tidak tahu saja atas olok2 Be Kong-co itu, diam2 mereka
mengomel dalam hati terhadap si dogol yang malah - membela orang luar daripada
kawan sendiri
Mereka tidak berani lagi meremehkan Siao-liong-li, mereka
pikir kalau berlangsung lama, mungkin ilmu pedang Siao-liong-li itu akan dapat
ditemukan titik kelemahannya.
Karena itu mereka lantas memainkan segenap kepandaian
untuk menjaga diri, senjata mereka berputar sedemikian kencang sehingga yang
terlihat hanya selapis kabut belaka, yang mengelilingi tubuh mereka.
Siao-liong-li memandang tenang ketiga orang itu,
pikirnya: "Aku tiada permusuhan apa2 dengan kalian, siapa ingin bergebrak
dengan kalian?"
Dilihatnya Ci-keng sedang mengkeret ke sana dan hendak
mengeluyur pergi, segera ia melangkah maju. Tapi Nimo Singh dan Siau-siang-cu
lantas mengalanginya dengan rapat.
"Kalian mau menyingkir tidak?" bentak
Siao-liong-li dengan mendongkol.
"Tidak mau! Apa kemampuanmu keluarkan saja
semua!" tantang Nimo Singh yang berangasan itu. Karena kedua kakinya
buntung atas jarum berbisa Li Bok-chiu dan Nyo Ko, ia tahu Nyo Ko adalah
kekasih Siao-liong-li, maka rasa dendamnya itu sebisanya akan dilampiaskan atas
diri Siao-Iiong-li, maka pikirannya sekarang berbeda dengan Siau-siang-cu dan
In Kik-si, ia sudah nekad, kalau perlu hendak mengadu jiwa dengan
Siao-liong-li.
Sama sekali Siao-liong-li tidak menjadi marah, dilihatnya
Ci-keng sudah kabur ke ruangan belakang, ia mencoba memburu, tapi dirintangi
lagi oleh Nimo Singh dan Siau-siang-cu.
Watak Siao-liong-li adalah pendiam dan sabar, urusan
apapun tidak pernah membuatnya gelisah atau ter-buru2, seperti halnya
pengejarannya kepada ln Ci-peng dan Tio Ci-keng yang berlangsung bulanan dan
tetap hanya dikuntit belaka, sekarang iapun tetap sabar saja, ia biarkan ketiga
lawannya memutar senjata sekencangnya, ia sendiri malah menonton belaka seperti
tiada terjadi apa2.
Orang pertama yang tidak tahan lagi adalah Nimo Singh,
sambil meraung ia terus menerjang maju dengan senjata ular besinya. Tapi sekali
dia mulai menyerang, segera tempatnya menjadi luang, ketika Siao-liong-li putar
pedangnya, cepat Nimo Sing menangkis dengan tongkatnya sambil melompat mundur.
Namun begitu bahunya sudah terasa sakit, waktu ia
mengamati kiranya baju di bagian bahu kiri ada lima lubang kecil, darah segar
tampak me-rembes dari situ.
Sekali menyerang tidak berhasil dan berbalik ia sendiri
malah terluka, tentu saja Nimo Singh sangat penasaran, tapi juga tambah jeri,
ia tidak berani lagi sembarangan bertindak. Mereka hanya berdiri di tempatnya
sambil memutar senjatanya.
Siao-liong-li tetap berdiri di tengah dan tenang2 saja
menghadapi ketiga lawan yang memutar senjatanya seperti kitiran itu, Lama2
Siau-siang-cu bertiga menjadi gemas karena si nona diam saja tidak melayani
mereka.
Tidak lama kemudian, tiba2- In Kik-si mendapat akal, ia
berseru: "Siau-heng dan saudara Singh, marilah kita mendesak maju dengan
pelahan."
Nimo Singh dan Siau-siang-cu tidak paham maksud sang
kawan, tapi mereka kenal In Kik-si sebagai saudagar besar negeri Persi,
pengalamannya luas dan pengetahuannya tinggi, cerdik dan pintar pula, maka
mereka percaya tujuannya pasti bagus, segera mereka menurut dan melangkah maju
satu tindak. Berbareng In Kik-si juga melangkah maju-sambil memutar senjatanya
tanpa peluang sedikitpun.
Habis itu, setelah merasa pertahanan mereka tetap rapat
dan kuat, lalu In Kik-si menyerukan kawan2nya melangkah maju lagi setindak.
Baru sekarang Nimo Singh dan Siau-siang~cu melihat jelas bahwa lingkaran
kepungan mereka terhadap Siao liong-li sudah semakin ciut. walaupun begitu
mereka tikak berani menyerang melainkan cuma bertahan saja, mereka putar
senjata dengan kencang hingga mirip tembok baja yang tak tertembuskan dan
sebentar2 lantas mendesak maju lagi selangkah.
Melihat musuh semakin mendesak maju, lama2 dirinya tentu
akan tergencet mati di tengah, mau tak-mau Siao-liong-li harus bertindak,
mendadak kedua pedangnya menusuk ber-ulang2, terdengar suara
"trang-tring" yang ramai, setiap tusukannya selalu terbentur senjata
lawan.
Beberapa puluh kali ia menyerang dan selalu tertangkis
oleh lawan, sementara itu ketiga orang itu telah melangkah maju pula.
Siao-liong-li menjadi rada tak sabar waktu ia melangkah
mundur, terasa kakinya tersandung sesuatu dan tergeliat, untung Siau-siang-cu
bertiga cuma bertahan saja dan tidak menggunakan kesempatan itu untuk
menyerang, kalau tidak tentu Siao liong-li bisa celaka.
Di lantai banyak berserakan senjata2 para Tosu yang
terjatuh tadi, karena kesandungnya itu, tiba2 timbul pikiran Siao~1iong-Ii
untuk memanfaatkan senjata itu untuk membobolkan pertahanan ketiga musuh.
Karena pikiran itu, sedikit ia menggeser ke kanan, segera
kaki kiri mencukil sebatang pedang yang jatuh di lantai itu, secepat kilat
pedang itu menyamber ke arah Nimo Singh, menyusul kaki Siao-liong-li yang lain
mencukit pula dan sebatang pedang menyamber. lagi ke muka Siau-siang-cu dan
begitu seterusnya hingga belasan pedang dia hamburkan ke arah lawan.
Beberapa pedang yang menyamber tiba itu da-pit ditangkis
Nimo Singh dan kawannya hingga terbang balik ke arah Siao-liong-li, tapi sekali
sampuk dengan pedangnya, pedang tak bertuan itu kembali menyamber ke arah In
Kik-si.
Begitulah terjadi hujan pedang, keruan Siau-siang-cu
bertiga menjadi kelabakan, semula mereka masih dapat menyampuk dan menangkis
pedang yang menyamber tiba, tapi makin lama, makin cepat datangnya pedang2 itu
hingga mereka dibikin kerepotan
Suatu ketika In Kik-si sedang menangkis sebatang pedang
yang menyelonong ke mukanya, tahu2 pedang yang lain menyamber tiba pula ke
perutnya, supaya perutnya tidak tertembus, terpaksa In Kik-si melompat mundur
ke samping, Dan karena inilah pertahanan mereka lantas bobol, peluang itu
segera digunakan oleh Siao-Iiong-li untuk menyelinap ke ruangan belakang.
Ginkang Siao-liong-li jauh lebih tinggi daripada
Siau-siang-cu bertiga, begitu dia sudah lepas dari rintangan, secepat terbang
ia terus mengejar ke arah larinya Tio Ci-keng tadi.
Seketika Siau siang-cu bertiga masih sibuk melayani
berpuluh senjata yg dihamburkan Siao-Iiong-Ii tadi, sesudah senjata2 itu
dipukul jatuh barulah mereka dapat berhenti.
Sejenak kemudian dan belakang sana terdengar kumandangnya
suara benturan senjata, dari suara menderingnya senjata itu jelas Siao liong li
telah ke-pergok Kim lun Hoat-ong dan sudah mulai bertempur.
Sebenarnya ketiga orang itu sudah jeri menghadapi
Siao-Iiong-li, kini mereka lantas mendapat angin lagi karena Kim-lun Hoat-ong juga
sudah tiba, Segera ln Kik-si berseru: "Marilah kita susul kesana."
Segera ia mendahului berlari ke belakang di susul oleh
Siau-siang-cu dan Nimo Singh serta para Busu Mongol. Semua orang hanya pandang
Siao-liong-li sebagai musuh satu2nya sehingga tidak menaruh perhatian lagi
kepada para Tosu Coan cin-kau, Maka setelah semua musuh sudah pergi, Ci-peng,
Ci-siang dan lain2 lantas saling tolong melepaskan tali ikatan serta menjemput
pedang masing2, berbondong-bondong merekapun cepat menyusul kebelakang.
Begitu rombongan Siau-siang-cu sampai di depan
Giok-hi-tong, tertampaklah bayangan roda berkelebatan dan cahaya pedang
berseliweran, suara geraman Kim-lun Hoat-ong terdengar menggelegar sedangkan
Siao-liong-li dengan baju putihnya tampak lemah gemulai, kedua orang sedang
bertempur dalam jarak jauh.
Sementara itu rombongan In Ci-peng juga sudah menyusul
tiba, melihat mulut gua Giok~hi~ tong sudah tersumbat batu, nasib kelima guru
mereka tak diketahui, tentu saja mereka kuatir. Be-ramai2 mereka mendekati mulut
gua, tapi mereka lantas dicegat oleh Darba dan Hotu, hanya beberapa gebrakan
saja para Tosu Coan-cin-kau itu sudah didesak mundur.
"Suhu, Suhu! Baikkah engkau!" seru Ci-heng
kuatir se-akan2 orang hendak menangis.
Ci-peng pikir kepandaian kelima guru dan paman guru cukup
lihay dan tidak mudah dikurung begitu saja oleh musuh, mungkin sekali semadi
mereka sedang memuncak sehingga tidak sempat mengurus apa yang terjadi di luar
gua ini, sekarang Ci-heng ber~teriak2, jangan2 malah akan mengacaukan pikiran orang2
tua itu.
Maka cepat ia memberikan tanda kepada Ong Ci-heng agar
jangan bersuara lagi.
Ci-heng lantas menyadari hal itu, cepat ia membangunkan
Song Tek-hong yang menggeletak di samping gua sana, melihat lukanya cukup
parah, lekas ia memberi pertolongan seperlunya.
pertarungan Kim-lun Hoat-ong dan Siao-liong-li sedang
berlangsung dengan sengitnya, namun Hoat-ong tampak lebih banyak berjaga
daripada menyerang, cuma setiap diserang beberapa kali iapun balas menyerang
satu kali, kelima rodanya yang ber-beda2 daya tekanannya itu memaksa
Siao~liong~li tak berani terlalu mendekat.
Melihat pertempuran dahsyat itu, diam2 Siau-sian-g-cu
bertiga merasa kagum dan juga iri, mau-tak-mau merekapun mengakui kalau Kim-lun
Hoat-ong memang pantas diangkat menjadi jago nomor satu di negeri Mongol.
Semula mereka bermaksud membantu Hoat-ong, tapi demi teringat gelar "jago
nomor satu", karena rasa iri hati, seketika mereka tidak jadi membantu
Hoat ong.
Padahal meski tampaknya Hoat-ong dapat balas menyerang
dengan hebat, tapi sebenarnya dalam hati dia mengeluh. Cara Siao-liong-li
seorang memainkan dua pedang ternyata lebih lihay daripada kalau dia main ganda
bersama Nyo Ko.
Kim-lun Hoat-ong adalah seorang tokoh berbakat ilmu silat
yang sukar dicari bandingannya, sejak dia dikalahkan gabungan Nyo Ko dan
Siao-liong-li, senantiasa ia berusaha memecahkan cara mengatasi ilmu pedang
kedua muda-mudi itu.
Kebetulan di sini ia pergoki Siao-liong-li dalang
sendirian tanpa didampingi Nyo Ko, tentu saja ia bergirang, ia pikir jika Siao-liong-li
dibinasakan maka selanjutnya dia takkan ada tandingan lagi, siapa tahu setelah
bergebrak barulah ia merasakan ilmu pedang Siao-liong-li sendirian justeru
terlebih lihay daripada kalau dia main ganda bersama Nyo Ko.
Sebab itulah baru beberapa puluh jurus saja keadaan
Hoat-ong sudah terdesak dan ber-ulang2 hampir termakan oleh pedang lawan,
terpaksa ia tak berani main timpuk dengan roda lagi, ia tarik kembali rodanya
satu persatu sehingga akhirnya dia cuma berjaga diri saja dan tidak menyerang,
serupa dengan Siau-siang-cu bertiga tadi.
Pertarungan mereka semakin sengit dan cepat luar biasa,
sekalipun tokoh2 macam Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain2 juga sukar
mengikutinya.
Di tengah bayangan putih dan kelebat cahaya beraneka
warna kelima roda Kim-lun Hoat-ong itu, se-konyong2 Nimo Singh merasa mukanya
sakit sedikit seperti digigit nyamuk, ia terkejut dan coba meraba muka sendiri,
terasa tidak apa2, tapi pada jari tangan yang meraba itu ada setitik darah
segar. ia melengak, segera dilihatnya pula badan ln Kik-si juga terciprat
dua-tiga titik darah, baru sekarang ia tahu di antara kedua orang yang sedang
bertempur itu ada yang terluka.
Selang tak lama pakaian Siao-liong-li yang putih itu
tampak penuh oleh bintik2 merah darah sehingga seperti lukisan di atas kain
sutera putih.
"Hah, perempuan siluman itu sudah terluka,"
ojar Nimo Singh dengan gembira.
Di antara berkelebatnya sinar pedang segera terdengar
pula suara geraman Hoat-ong yang tertahan.
Siau-siang-cu lantas menanggapi ucapan Nimo Singh tadi:
"Tidak, Hwesio gede itu yang terluka!"
Setelah berpikir, Nimo Singh percaya ucapan Siau-siang-cu
itu memang tidak salah, darah segar itu memang terciprat dari tubuh Hoat-ong ke
baju Siao-liong-li. ia menjadi kuatir kalau Hoat-ong sampai terbunuh, tentu
sukar lagi untuk mengatasi Siao-liong-li, cepat ia berseru: "ln-heng dan
Siau-heng, dari kita maju sekalian." - Sambil memutar senjata ular besi
pelahan2 ia lantas raerunduk ke belakang Siao-liong-li.
Melihat gelagat jelek, mau tak-mau Siau-siang-cu dan In
Kik-si harus bertindak juga, segera merekapun menerjang maju dari kanan dan
kiri.
Keadaan lantas berubah seketika, betapapun tinggi
kepandaian Siao-liong-li juga tidak dapat menahan serentak keempat tokoh kelas
wahid itu, sekalipun yang menghadapi mereka adalah Ciu Pek-thong, Ui Yok-su
atau Kwe Cing juga sukar seorang melawan empat tokoh sehebat itu.
Hoat-ong sudah terluka dua kali, tapi tidak mengenai
tempat yang mematikan apalagi sekarang kedatangan bala bantuan, hatinya menjadi
lega dan serangannya segera bertambah gencar, kalau tadi dia cuma bertahan
saja, sekarang ia berebut menyerang bersama ketiga kawannya.
Pertarungan dahsyat ini membuat para Tosu Coan-cin-kau
dan kawanan Busu Mongol ikut berdebar, be-ratus pasang mata sama tertuju ke
tengah kalangan tempur, pada saat itulah mendadak terdengar suara gemuruh yang
dahsyat disertai berhamburnya batu pasir dan debu, berpuluh potong batu besar
yang tadinya menyumbat mulut gua Giok-hi tong itu telah runtuh, lima Tosu
berjubah kuning tampak melangkah keluar dari gua, mereka adalah Khu Ju-ki
berlima.
Dengan girang In Ci-peng, Li Ci-siang dan lain lantas
memapak maju dan berseru: "Suhu!"
Darba dan Hotu terkejut, mulut gua itu tersumbat batu
besar sebanyak itu, mengapa bisa dibobolkan seketika. Cepat mereka menerjang
maju dengan senjata masing2. Mendadak Khu Ju-ki berlima mengelak ke samping,
serentak sepuluh tangan mereka bergerak dan menahan di punggung Darba dan Hotu,
begitu terpegang terus di dorong, kontan kedua orang itu dilemparkan ke dalam Giok-hi-tong.
Padahal kepandaian Darba dan Hotu seimbang dengan Hek
Tay-thong dan Lau Ju-hian, walaupun lebih rendah daripada Khu Ju-ki dan Ong Ju
- it, tapi juga tidak kecundang hanya dalam satu kali gebrak saja.
Rupanya selama kelima tokoh Coan cin-kau itu bertapa di
dalam Giok-hi-tong untuk mencari ilmu cara mengalahkan Giok-li-sim-keng dari
Ko-bong-pay, selama itu mereka harus memeras otak dan merenungkan titik2
kelemahan ilmu silat Ko-bong-pay itu, namun apa yang pernah mereka lihat dari
permainan Nyo Ko dan Siao - liong - li itu ternyata teramat hebat, setiap
jurusnya se-akan2 merupakan maut bagi ilmu silat Coan-cin-pay, jadi tidak
mungkin di temukan lubang kelemahannya.
Tapi akhirnya Khu Ju-ki menemukan satu jalan, kalau kalah
dalam hal kebagusan jurus serangan, kelemahan ini harus ditambal dengan tenaga
gabungan lima orang. Maka langkah pertama yang mereka latih adalah cara
menyerang musuh secara serentak dengan tenaga gabungan mereka.
Karena menyadari di antara anak murid Coan-cin-kau
sekarang tiada tokoh yang menonjol, hanya dengan tenaga orang banyaklah mungkin
bisa bertahan, maka selama lebih sebulan ini mereka berhasil menciptakan satu
jurus yang disebut "Pek-joan-hui-hay" (beratus sungai mengalir ke
laut)
Waktu Kim-lun Hoat-ong bersama kawanan Busu Mongol
menyumbat gua, jurus Pek-joan-hui-hay itu sedang terlatih sampai titik yang
menentukan dalam keadaan begitu sedikitpun pikiran mereka tidak boleh
terpencar, karena itulah meski tahu jelas musuh sedang menyerang, terpaksa
mereka tidak menggubris.
Baru sesudah latihan mereka telah sampai pada puncaknya,
segala sesuatu sudah lancar, mendadak barulah mereka membobol mulut gua dan
keluar, Cuma sayang, karena ter-buru2 menghadapi musuh, kekuatan ilmu mereka
itu baru mencapai delapan bagian saja, walaupun begitu juga Darba dan Hotu
tidak dapat menahannya, mereka kena dilemparkan ke dalam gua dan terbanting
semaput
Waktu Khu Ju-ki memandang ke sana, ter-tampak Kim-lun
Hoat-ong berempat sedang mengerubuti Siao-liong-li. Hanya sebentar saja mereka
mengikuti pertarungan itu, segera mereka saling pandang dengan wajah pucat dan
semangat lesu, pikir mereka: "Sungguh celaka, kiranya ilmu silat
Ko-bong-pay sedemikian bagusnya, untuk mengalahkannya jelas tiada harapan
selama hidup ini."
Kepandaian Kim-lun Hoat-ong berempat jauh lebih tinggi
daripada kelima tokoh utama Coan-cin kau ini, menurut penilaian Khu Ju-ki,
kalau mendiang gurunya masih hidup tentu dapat mengungguli mereka, Ciu-susiok
(maksudnya Ciu Pek-thong) mungkin juga lebih tinggi setingkat daripada mereka
tapi kalau sekaligus dikeroyok empat orang ini, besal kemungkinan juga sukar
menandingi mereka.
Dalam pada itu pertarungan di tengah kalangan telah
berubah lagi keadaan nya, Siao-liong-li terus menyerang, tapi Kim-Iun Hoat-ong
berempat bertahan dengan rapat dan jarang balas menyerang, namun setindak demi
setindak mereka terus mendesak maju sehingga semakin tidak menguntungkan
Siao-liong-Ii.
Beberapakali Siao-liong-Ii bermaksud menjebol kepungan
musuh, namun penjagaan Hoat-ong berempat sangat rapat, setiap kali selalu
dipaksa mundur lagi, ia menyadari gelagat jelek, apalagi tenaga sendiri juga
semakin berkurang setelah bertempur sekian lama, sedangkan Khu-Ju-ki berlima
dilihatnya juga sudah berada di samping, kini di sekelilingnya adalah musuh
semua, sedangkan ia cuma sendirian, jiwanya mungkin akan melayang di tempat
orang Coan-cin-kau ini. Dalam keadaan demikian tiba2 terpikir olehnya:
"Begini sudah nasibku, biarpun mati juga tidak perlu disayangkan lagi,
Cuma... cuma dekat ajalku ini betapapun aku ingin dapat melihat muka Ko-ji
untuk penghabisan kalinya. Dimanakah dia saat ini? Ah, besar kemungkinan dia
sedang ber-mesra2an dengan nona Kwe, mereka tentu sedang dimabuk cinta, bisa
jadi mereka sudah menikah, sebagai pengantin baru mana dia ingat kepada perempuan
bernasib malang yang sedang dikerubut orang ini? Akan tetapi..."
"Ah, tidak, tidak! Ko-ji pasti takkan begitu,
sekalipun dia sudah menikah dengan nona Kwe juga pasti takkan melupakan daku,
Asalkan aku dapat bertemu sekali lagi dengan dia, ya, asal dapat bertemu sekali
lagi dengan dia..."
Ketika dia meninggalkan Siang-yang dahuIu, dia sudah
bertekad takkan menemui Nyo Ko lagi, tapi pada detik yang menentukan
mati-hidupnya sekarang ini hatinya semakin rindu kepada Nyo Ko, dan begitu
hatinya memikirkan Nyo Ko, seketika daya tempurnya menjadi lemah malah,
Mestinya dia dapat memainkan dua pedang dengan cara yang berlainan dengan kedua
tangan, sekarang pikirannya terganggu, permainan ilmu pedangnya menjadi rada
kacau.
Melihat perubahan serangan Siao-liong-li itu, semula Kim
lun Hoat ong mengira si nona sengaja hendak menjebaknya. Tapi setelah beberapa
jurus lagi dan tampaknya Siao-liong-li tidak menyadari kelemahannya sendiri
itu, segera Hoat-ong melangkah maju, roda perak digunakan menjaga diri dan roda
emas di tangan kanan terus menghantam ke batang pedang Siao-liong-li,
Terdengarlah suara "trang" yang keras, tahu2 pedang kiri si nona
mencelat ke udara dan patah menjadi dua.
Sungguh di luar dugaan Hoat-ong bahwa serangan
percobaannya ini membawa hasil, menyusul roda perak di tangan lain terus
mengepruk lagi ke depan, Dalam kagetnya lekas2 Siao-liong-li menenangkan diri
"sret-sret-sret", kontan ia balas menusuk tiga kali, Tapi sekarang ia
hanya menggunakan pedang tunggal, ilmu pedangnya sudah bukan lagi tandingan
Kim~lun Hoat~ong. Tentu saja keadaan ini dapat dilihat oleh Siau-siang cu
bertiga, serentak tiga macam senjata merekapun menyerang sekaligus.
Siao-liong-Ii hanya tersenyum hambar saja, kini dia tidak
berusaha melawan lagi, sekilas dilihatnya di sebelah sana ada tetumbuhan bunga
mawar yang sedang mekar dengan indahnya, Tiba2 terkekang olehnya dia bersama
Nyo Ko berlatih Giok-Ii~sim-keng di semak2 bunga dahulu, Katanya di dalam hati:
"Kalau aku tidak dapat bertemu lagi dengan Ko-ji, biarlah sebelum mati
kukenangkan dia di dalam hati saja."
Karena itu air mukanya berubah menjadi lembut, seketika
ia tenggelam dalam lamunannya dengan tersenyum simpul.
Dengan kepungan mereka yang semakin ciut, sekali serang
mestinya Hoat-ong berempat dapat membinasakan Siao-liong-li, tapi mendadak
mereka melihat sikap si nona sangat aneh, seperti lupa menghadapi musuh, Keruan
Hoat-ong berempat terkesiap heran dan mengira lawan memasang sesuatu perangkap,
ketika itu senjata mereka sudah terangkat dan seketika terhenti di tengah
jalan, Tapi sesudah merandek sejenak, segera ular besi Nimo Singh menghantam
pula ke depan.
Se-konyong2 Nimo Singh merasa angin menyambar dari
samping, ada orang menusukkan pedangnya, Cepat ia membaliki ular besinya untuk
menangkis, tapi mengenai tempat kosong, tahu2 sesosok bayangan menyelinap
lewat, kiranya In Ci-peng telah melompat ke depan Siao-liong-li serta
menyodorkan pedangnya yang dipegang terbalik, jadi garan pedang dia sodorkan ke
tangan si nona.
Saat itu Siao-liong-li seperti orang linglung yang
memandang tapi tidak melihat, mendengar tapi tidak kerungu, pertarungan sengit
tadi sudah tak dipedulikan lagi, ketika mendadak terasa tangannya berpegang
pedang lagi, sekenanya ia lantas menggenggam-nya,
Melihat In Ci-peng mendadak menerobos ke tengah
pertempuran antara kelima tokoh kelas wanid itu, tindakan ini sama saja seperti
mencari kematian.
Keruan para Tosu Coan-cin-kau sama menjerit kuatir.
Dari gerakan tubuh Ci-peng segera Hoat-ong tahu ilmu
silatnya tidak tinggi dia tidak ingin mencelakainya, segera ia menyodok bahu
orang dengan sikunya hingga Ci-peng terdorong ke pinggir. Menyusul rodanya
terus meagepruk pula ke muka Siao liong-li.
Ci-peng tergetar ke samping, tapi ia menjadi kuatir
melihat Siao-liong-li yang Iinglung itu terancam oleh hantaman roda Kim-lun
Hoat-ong, kalau saja kena pasti nona itu hancur binasa. Tanpa pikir lagi ia
lantas menubruk maju dan berseru:
"Awas, nona Liong!" - ia mengadang di depannya
dan menggunakan punggung sendiri untuk menyambut hantaman roda Hoatong itu.
Betapa dahsyatnya hantaman roda Hoat-ong itu tidak perlu
dijelaskan lagi, mana Ci-peng sanggup menahannya? "Blang", seketika
tubuhnya terhuyung ke depan. sementara itu Siao-liong-li masih ter-mangu2
sambit memegangi pedang yang disodorkan Ci-peng tadi, maka Ci peng yang
menyelonong, ke depan itu tepat menubruk ke ujung pedang itu sehingga menancap
di dadanya.
Siao - liong - li kaget, baru sekarang dia sadar bahwa
jiwanya telah diselamatkan oleh Ci-peng, dilikatnya punggung Ci-peng terkena
hantaman roda, dada tertusuk pedang pula, semuanya tempat yang mematikan,
sesaat itu rasa dendam kesumatnya yang memenuhi dada serentak berubah menjadi
rasa kasihan, katanya dengan suara tersebut: "Perlu apa kau bertindak
begini?"
Jiwa In Ci-peng sudah hampir tamat, ia menjadi kegirangan
luar biasa ketika mendengar kata. "Perlu apa kau bertindak demikian? yang
diucapkan Siao-liong-li itu, dengan suara lemah ia menjawab:
"Nona Liong, aku bersalah kepadamu, dosaku tak
terampunkan, apakah kau dapat memaafkan diriku?"
Siao-liong-li melenggong sejenak, teringat apa yang
dibicarakan antara Ci-peng dan Ci-keng di tempat Kwe Cing itu, sekilas timbul
pikirannya : "Sebabnya Ko-ji hendak meninggalkan aku dan bertekad menikah
dengan nona Kwe, tentu disebabkan dia mengetahui aku pernah dinodai oleh Tosu
ini."
Teringat akan hal ini, dari rasa kasihannya tadi seketika
berubah menjadi dendam dan benci, rasa gusarnya lantas memuncak lagi, tanpa
bicara pedangnya terus menikam ke dada Ci-peng.
Khu Ju-ki menyaksikan Ci-peng tertusuk pedang
Siao-liong-li, tapi ia tak sempat menolongnya, Sekarang dilihatnya
Siao-liong-li menusuk muridnya itu untuk kedua kalinya, tanpa pikir ia terus
melompat maju tangan kiri menyampuk pergelangan tangan si nona yang sedang
menusuk itu, tangan lain terus mencengkeram ke mukanya pula.
Karena tidak terduga tangan Siao-liong-Ii ter-sampuk
sehingga pedangnya mencelat ke samping, tapi betapa cepatnya, belum pedang
jatuh ke tanah sudah dapat disambernya kembali, berbareng itu iapun dapat mengelakkan
serangan Khu Ju-ki, pada saat lain pedangnya juga lantas mengancam dada Khu
Ju~ki.
Pada saat itu juga terdengar In Ci-peng menjerit keras,
lalu roboh dengan dada berlumuran darah. sementara itu pedang Siao-liong-li
yang lain juga lantas menusuk ke perut Khu Ju-ki.
Sekaligus diserang dengan dua pedang, betapapun hebat
kepandaian Khu Ju-ki juga kerepotan dan sukar menangkisnya. Syukur Ong Ju~it
dan lain2 lantai menubruk maju untuk membantu, dengan demikian Kim-lun Hoat-ong
berempat berbalik terdesak keluar kalangan.
Semula Hoat-ong rada heran melihat tokoh2 Coan-cin-kau
itu melabrak Siao-liong-li, tapi mengingat-hal ini sangat menguntungkan
pihaknya, segera ia memberi tanda kepada kawan2nya, mereka sama mundur untuk
menyaksikan pertarungan sengit itu.
Betapapun hebat kepandaian kelima tokon Coan-cin- pay itu
ternyata tidak lebih lihay daripada ilmu pedang Siao liong li, jurus "Pek
joan-hui-hay" hasil pemikiran mereka selama sebulan ini ternyata tidak
sempat dikeluarkan mereka. sebaliknya dalam sekejap saja Hek Tay-thong dan Lau
Ju-hian malah kena dilukai, namun mereka masih terus bertempur mati2an. Scjenak
kemudian, "cret" bahu Sun Put-ji juga terluka oleh pedang
Siao-liong-Ii, habis itu malahan mata kiri Ong Ju-it juga kena dilukai.
Lima tokoh Coan-cin-pay kini sudah terluka empat,
kalah-menang sudah jelas kelihatan. Dengan tertawa Kim lun Hoat-ong lantas
berseru: "Para To-heng silakan mundur saja, biar kubereskan Suu-yati-li
(perempuan siluman cilik) ini,"
Segera Hoat-ong memberi tanda kepada kawannya, serentak
mereka mengerubut maju dengan senjata masing2. Maka jadilah kini sembilan tokoh
terkemuka mengeroyok seorang nona jelita.
Begitu Hoat-ong berempat maju, segera Khu Ju-ki berlima
terlepas dan tekanan pedang Siao liong-li, sambil berteriak mereka lantas
berdiri sejajar sambil tangan berpegangan tangan, tenaga lima orang lantas
dipersatukan untuk menggunakan jurus "Pek-joan-hui-hay" itu.
Jurus serangan ini memang lain daripada lain kekuatannya,
cepat Siao-liong-li mengegos ke samping, "Blang", debu pasir
bertebaran kiranya serangan Coan-cin-ngo-cu (lima tokoh Coan-cin) itu telah
mengenai Nimo Singh sehingga terjungkal
Sebagaimana diketahui, kedua kaki Nimo Singh buntung dan
berdiri dengan tongkat menyerupai kaki palsu, dengan sendirinya bagian kaki itu
tidak kuat dan tidak tahan oleh hantaman keras itu, Untung dia sempat
mengelakkan tenaga pukulan dahsyat itu, meski terbanting jatuh, tapi tidak
sampai terluka, segera ia dapat melompat bangun dian berkaok-kaok murka, segera
ular besinya mengepruk ke kepala Lau Ju-hian, seketika terjadi pula pertempuran
sengit
Melihat Nimo Singh bertempur dengan Coan-cin-ngo-cu,
segera kesempatan itu hendak digunakan Siao-liong-li untuk angkat kaki. Tapi
sebelum ia melangkah pergi, tiba2 Kim-Iun Hoat-ong telah mengadangnya sambil
berseru: "Saudara Singh, hadapi Siau-yau-li ini lebih penting!"
Namun Nimo Singh sudah murka, teriakan Hoat ong itu tak
digubrisnya, ular besinya berputar lebih kencang serangannya seiafu ditujukan
kepada Coan cin-ogo-cu. Karena perubahan keadaan ini, kedua pedang
Siao-liong-li sempat melancarkan serangan, beberapa kali terhadap Kim-lun
Hoat-ong, sendirian Hoat-ong bukan tandingan nona, terpaksa ia mundur dua-tiga
tindak.
Pada saat itulah mendadak Siao-liong-li menjerit tajam
dengan wajah pucat, kedua pedangnya lantas terlepas jatuh pula ke tanah sambil
memandang terkesima ke arah semak2 bunga mawar di sebelah sana, mulutnya
berkomat-kamit: "Ko-ji! Apakah betul kau, Ko-ji?"
Hampir bersamaan saatnya roda emas Kim-un Hoat-ong juga
menghantam dari depan, sedangkan jurus "Pek-joan-hui-hay" yang
dikerahkan Coan-cin ngo-cu juga menghantam dari belakang. serangan tokoh2
Coan-cin-pay ini sebenarnya ditujukan kepada Nimo Singh, tapi si Hindu cebol
ini rupanya sudah kapok dan tak berani menangkisnya, cepat ia mengelak sehingga
tenaga pukulan dahsyat itu hampir seluruhnya mengenai punggung Siao-liong-li.
Ternyata Siao-liong-li seperti orang linglung saja sama
sekali ia tidak berusaha menghindar jadinya punggung terkena pukulan dahsyat,
dada juga terhantam roda, tubuh lemah lunglai seorang nona jelita sekaligus
menerima gencetan dua tenaga dahsyat namun begitu pandangannya masih saja tetap
terarah ke semak2 bunga mawar sana, dalam sekejap itu pikirannya melayang dan
jiwanya ter-guncang, gencetan dua tenaga raksasa itu se-akan2 tak dirasakan
olehnya.
Karena terpengaruh oleh sorot mata si nona tanpa terasa
semua orang juga berpaling ke arah semak2 bunga mawar dan ingin tahu keanehan
apa yang menarik perhatian Siao-liong-li sehingga tidak menghiraukan jiwanya
sendiri. Dan baru saja semua orang berpaling, se-konyong2 sesosok bayangan
orang berkelebat dari semak2 sana menerobos ke tengah2 Kim-lun Hoat-ong dan
Coan-cin-ngo-cu.
"trang" pedang dibuang ke tanah, tangan orang
itu melayang ke semak2 sana dan duduk dibawah pohon, di tepi semak2 bunga mawar
sambil memeluk Siao-liong-li.
Orang ini ternyata betul Kyo Ko adanya!
Siao-liong-Ii tertawa manis tapi air mata lantas
berlinang, katanya: "Oh, Ko-ji, betulkah kau ini? Bukan sedang
mimpi?"
Nyo Ko menunduk kepalanya dan mencium pipi si nona, lalu
menjawab dengan suara halus : "Bukan, bukan mimpi! Bukankah kau berada
dalam pelukanku?" Ketika melihat baju si nona berlepotan darah, ia menjadi
terkejut dan berseru kuatir: "He, lukamu parah tidak?"
Setelah terkena hantaman dahsyat dari muka belakang,
ketika mendadak melihat Nyo Ko muncul di situ, Siao-liong-li lupa rasa
sakitnya, tapi sekarang lantas terasa isi perutnya se-akan2 berjungkir balik,
ia merangkul kencang leher Nyo Ko dan berkata: "Aku... aku...." saking
sakitnya ia tidak sanggup melanjutkan lagi.
Melihat keadaan begitu, Nyo Ko merasa ikut menderita,
dengan suara pelahan ia berkata: "Kokoh, kedatanganku ini ternyata
terlambat sedikit!"
"Tidak, tidak, kau datang tepat pada
waktu-nya!" ujar Siao-liong-li lemah. "Tadinya kukira selama hidup
ini takdapat bertemu lagi dengan engkau."
Se-konyong2 ia merasa menggigil, lapat2 terasa sukma
se-akan2 meninggalkan raganya, tangannya yang merangkul Nyo Ko pelahan2 juga
melemah, Kata-nya pula dengan lirih "Ko-ji, peluklah aku!"
Nyo Ko mengencangkan tangan kirinya dan mendekap
Siao-liong-li di depan dadanya, macam2 pikiran berkecamuk air matapun
bercucuran dan menetes di atas pipi si nona.
"Kuingin kau mendekap aku, memeluk dengan kedua
tanganmu!" pinta Siao-liong-Ii. Tapi segera dilihatnya lengan baju kanan
anak muda itu kempis tak berisi, keadaannya luar biasa, seketika ia menjerit
kaget: "He, Koji kenapa lengan kananmu?"
Nyo Ko menggeleng dengan tersenyum getir, jawabnya dengan
lirih: "Jangan pikirkan diriku, lekas pejamkan matamu dan jangan
menggunakan tenaga, biar kubantu menyembuhkan lukamu."
"Tidak!" jawab Siao liong-li. "Kenapa
lengan kananmu itu? Mengapa tidak ada lagi? Mengapa?"
Meski jiwanya sendiri sedang bergulat dengan maut, tapi
sedikitpun ia tidak memikirkannya dan justeru ingin tahu sebab apa Nyo Ko
kehilangan sebelah lengannya, soalnya dalam hatinya anak muda yang cakap ini
betapapun jauh lebih penting daripada dirinya sendiri, segenap pikiran dan
perhatiannya dicurahkan untuk menjaga kepentingannya.
Hal ini sudah terjadi sejak mereka tinggal bersama di
kuburan kuno itu, cuma waktu itu Siao-Iiong-li tidak menyadari bahwa inilah
cinta kasih, Nyo Ko sendiri juga tidak tahu. Mereka merasa kasih sayang antara
mereka itu adalah kewajiban yang layak antara guru dan murid. Jadi sebenarnya
keduanya sudah lama cinta mencintai di luar tahu mereka sendiri.
Maka sekarang setelah mereka menyadari betapa cinta kasih
antara mereka, betapapun mereka tidak ingin hidup sendirian tanpa didampingi
kekasihnya, jiwa kekasih menjadi beribu kali lebih penting daripada jiwa
sendiri.
Bagi Siao-liong-li, sebelah lengan Nyo Ko itu jauh lebih
penting daripada soal jiwanya masih dapat hidup atau tidak, sebab itulah ia
berkeras ingin tahu. Dengan pelahan ia meraba lengan baju anak muda itu, dengan
pelahan, dan benar saja di dalam lengan baju memang kosong tak berisi.
Seketika ia melupakan keadaan sendiri yang parah itu,
hatinya penuh rasa kasih sayang dan haru, dengan suara lembut ia berkata:
"O, Ko-ji yang malang! Apakah sudah lama kehilangan lenganmu ini? Apakah
sekarang masih sakit?"
Nyo Ko menggeleng dan menjawab: "Sudah tidak sakit
lagi. Asalkan kudapat bertemu lagi dengan engkau dan takkan berpisah selamanya
dengan kau, apa artinya kehilangan sebelah lengan bagiku? Bukankah dengan
lengan kiri saja akupun dapat memeluk kau?"
Siao-liong-li tersenyum kecil, ia merasa ucapan Nyo Ko
sangat tepat, berbaring dalam pangkuan anak muda itu, meski hanya lengan kiri
saja yang merangkulnya juga terasa puas dan bahagia, Tadinya dia cuma berharap
sebelum ajalnya dapat bertemu sekali lagi dengan Nyo Ko, sekarang keinginannya
itu sudah terkabul, bahkan saling mendekap, sungguh bahagia melebihi
harapannya.
Di sebelah lain Kim-lun Hpat-ong, Siau-siang cu, In
Kik-si, Nimo Singh, Coan-cin-ngo-cu, para Tosu dan kawanan Busu Mongol,
semuanya terdiam dan melongo memandangi sepasang kekasih ini. sesaat itu tiada
seorangpun yang ingin menyerang mereka atau boleh dikatakan juga tiada
seorangpun yang berani menyerang mereka.
Meski dirubung oleh orang sebanyak itu, tapi bagi Nyo Ko
dan Siao-Iiong-Hi se-akan2 dunia ini mereka punya dan tiada orang lain di
sekitar mereka.
Cinta sejati, cinta yang murni, cinta yang mencapai
puncaknya, bukan saja kaya miskin, pangkat atau hidup mewah sama sekali tak
terpikir oleh mereka, bahkan mati atau hidup juga bukan soal bagi bagi mereka.
Kalau Nyo Ko dan Siao-liong-li tidak memikirkan soal mati
atau hidup lagi, maka biarpun semua tokoh disekelilingnya itu menyerang
serentak, bagi mereka juga tidak lebih hanya mati belaka dan seorang hanya mati
sekali.
Sudah tentu Kim-Iun Hoat-ong dan lain2 tidak takut kepada
Nyo Ko berdua, mereka cuma merasa heran dan luar biasa, jelas Siao-liong-Ii
terluka parah sebelah lengan Nyo Ko sudah buntung, mereka pasti takkan sanggup
melawan lagi, tapi kedua muda-mudi itu sedang asyik-masyuk dibuai cinta dengan
sendirinya timbul semacam hawa keangkeran yang membuat orang lain, tak berani
menindaknya secara sembarangan.
Akhirnya Siao-liong-li bertanya pula: "Sebab apakah
lenganmu buntung? Lekas katakan padaku."
Dengan tersenyum getir Nyo Ko menjawab: "Lengan
buntung, dengan sendirinya lantaran di-tabas orang."
Siao-Iiong li memandanginya dengan perasaan pedih, tiada
hasratnya buat bertanya lagi siapa yang mengutungi tangan sang kekasih, kalau
bernasib jelek, siapapun yang melakukannya kan sama saja.
Dalam pada itu luka di dada dan punggungnya terasa sakit
luar biasa, ia tahu jiwanya tak bisa tahan lama lagi, dengan suara pelahan ia
berkata: "Ko-ji, aku ingin memohon sesuatu padamu."
"Kokoh, masakah kau sudah lupa, ketika kita berdiam
di kuburan kuno kan sudah pernah kusanggupi kau bahwa apa yang kau ingin
kulakukan bagimu pasti akan kulaksanakan," jawab Nyo Ko.
"Ya, itu sudah lama berselang!" ujar
Siao-liong-li sambil menghela napas panjang.
"Tapi bagiku selamanya tetap begitu," jawab Nyo
Ko tegas.
Siao liong-li tersenyum pedih, katanya pula dengan lirih:
"Hidupku takkan lama lagi, kuingin kau mendampingi aku, menunggui aku dan
memandangi aku hingga kumati, jangan kau tinggal pergi mendampingi nonamu si
Kwe Hu itu."
Hati Nyo Ko menjadi berduka dan mendadak merasa gemas
pula, jawabnya: "Kokoh, sudah tentu aku akan mendampingi kau, Nona Kwe itu
ada sangkut-paut apa denganku? Justeru dia yang menabas kutung lenganku
ini!"
"Hah, dia. dia yang melakukan?" Siao liong li
menegas dengan kaget "Mengapa dia begitu keji? Apakah.... apakah
disebabkan kau tidak suka padanya?"
"Kita berdua begini baik, mengapa engkau meragukan
diriku?" kata Nyo Ko. "Selain kau, selamanya belum pernah kucintai
gadis lain, Tentang nona Kwe ini, hm...." tapi sebelum Siao-Iiong li
mendengar ucapannya ini, dia sudah pingsan dalam pangkuan Nyo Ko.
Lengan kanan Nyo Ko itu memang betul ditabas kutung oleh
Kwe Hu. sebagaimana sudah diceritakan waktu kedua orang bertengkar selagi Nyo
Ko masih berbaring di tempat tidurnya karena belum sembuh dari lukanya, saking
gusarnya Kwe Hu telah samber Ci-wi-kiam, pedang lemas yang terletak di meja
terus ditabaskan tanpa pikir.
Dalam keadaan kepepet, sekenanya Nyo Ko rampas
Siok-li-kiam yang dibawa ke situ oleh Kwe Hu itu untuk menangkis. Tapi pedang
yang dipegang Kwe Hu itu adalah senjata maha tajam dan sangat berat, yaitu
pedang yang pernah digunakan mendiang Tokko Kiu-pay untuk malang melintang di
dunia Kangouw tanpa ketemu tandingan walaupun Siok ii-kiam juga tergolong
pedang mestika, tapi tetap tertabas kutung oleh pedang Kwe Hu itu.
Malahan saking gemasnya si nona menabas sehingga sukar
baginya untuk menahan lajunya pedang, tahu2 sebelah lengan Nyo Ko juga ikut
tertabas kutung.
Sama sekali tak terduga bahwa serangan itu akan
mendatangkan akibat sehebat itu, kalau Nyo Ko kaget dan gusar, tak terkatakan,
Kwe Hu juga melongo kesima, ia menyadari telah berbuat sesuatu kesalahan yang
sukar diperbaiki lagi. Dilihatnya darah segar terus merembes-dari lengan Nyo Ko
yang sudah buntung itu, ia menjadi bingung dan tidak tahu apalagi yang harus
dilakukannya.
Selang sejenak mendadak ia menjerit dan menangis terus
berlari keluar sambil menutupi mukanya,
Setelah bingung sejenak, segera pula Nyo Ko dapat
menenangkan diri, cepat ia menggunakan tangan kiri untuk menutuk Ko-cing-hiat
di bahu kanan sendiri dan merobek kain seperei untuk membalut lengan buntung
itu agar darah tidak keluar lebih banyak, kemudian ia bubuhi obat luka pula, ia
pikir dirinya tidak dapat tinggal lebih lama lagi di situ dan harus lekas
pergi. pelahan ia berjalan beberapa langkah sambil berpegangan dinding, tapi
lantaran terlalu banyak kehilangan darah, mendadak pandangannya menjadi gelap
dan hampir saja jatuh pingsan.
Pada saat itulah didengarnya suara Kwe Cing sedang
berteriak: "Lekas, lekas! Bagaimana keadaannya? Darahnya sudah mampet
belum?" Nada suaranya penuh rasa kuatir dan cemas,
Nyo Ko tahu sang paman yang belum sehat itu sengaja
datang buat menjenguknya, tiba2 timbul pikirannya untuk tidak menemui Kwe Cing
lagi. Maka sekuatnya ia mengumpulkan tenaga terus menerjang keluar kamar.
Kwe Cing sendiri waktu itu belum sehat, ketika tiba2 Kwe
Hu datang memberi tahu dengan menangis bahwa nona itu telah menguntungkan
lengan Nyo Ko, Kwe Cing menjadi kaget, cepat ia samber palang pintu untuk
digunakan sebagai tongkat sambil menahan rasa sakit ia memburu ke kamar Nyo Ko.
Tapi sebelum masuk kamar, mendadak dilihatnya Nyo Ko berlari keluar dengan
berlumuran darah.
Tanpa menoleh Nyo Ko terus berlari keluar rumah, ia
cemplak ke atas kuda yang tertambat di depan rumah terus dilarikan ke pintu
gerbang benteng, penjaga pintu benteng pernah menyaksikan Nyo Ko dengan
tangkasnya menyelamatkan Kwe Cing dari serangan pasukan mongol, maka ia tidak
berani merintanginya walaupun melihat sikap anak muda itu rada aneh segera ia
membukakan pintu gerbang dan membiarkan Nyo Ko pergi.
Sementara itu pasukan Mongol sudah mundur beberapa puluh
li jauhnya dari benteng Siangyang, Nyo Ko tidak mengambil jalan raya melainkan
melarikan kudanya ke jalan kecil yang sepi. ia membatin. "Racun bunga
cinta yang mengeram di dalam diriku ternyata tidak mematikan aku meski -sudah
lewat batas waktunya, bisa jadi seperti apa yang dikatakan paderi sakti Than-tiok
itu bahwa racun bunga cinta mungkin dikalahkan oleh racun jarum berbisa milik
Li Bok-chiu yang kuisap itu sehingga jiwaku malah tertolong.
Dalam keadaan terluka parah seperti sekarang ini, kalau
kucari Kokoh ke Cong-lam-san yang jauh itu pasti tidak tahan, apakah memang
sudah ditakdirkan jiwaku harus melayang di tengah perjalanan begini?"
Teringat kepada nasib sendiri yang kenyang duka derita,
kecuali hidup tenteram bersama Siao liong-li di kuburan kuno itu boleh
dikatakan jarang hidup dalam keadaan gembira, sekarang jiwanya sudah dekat
ajalnya, satu2nya orang yang dikasihinya di dunia ini sekarang juga sudah
pergi, malahan anggota badannya dibikin cacat orang pula, terpikir semua ini,
tanpa terasa air matanya lantai bercucuran.
Dia mendekap di atas kuda dalam keadaan sadar-tak-sadar
ia terus melarikan kudanya kedepan, yang dia harap asalkan tidak ditemukan Kwe
Cing dan tidak kepergok pasukan Mongol, maka ke manapun tak menjadi soal
baginya.
Karena itu tanpa-sengaja dia telah menuju ke lembah
sunyi, di sana kemarin malam baru saja terjadi perkelahiannya dengan kedua
saudara Bu.
Sementara itu hari sudah gelap, sekeliling sunyi senyap
dan semak2 rumput belaka, ia pikir di sekitar situ pasti tiada orang lain,
segera ia turun dari kudanya terus merebahkan diri, ia sudah tidak memikirkan
mati hidupnya lagi, kemungkinan di serang binatang buas atau digigit ular
berbisa juga tak dihiraukannya, terus saja ia tertidur.
Akan tetapi sampai tengah malam ia sudah terjaga karena
kesakitan pada lukanya dan tak dapat pulas lagi. Paginya waktu ia berbangkit
terlihat di sisi tempat berbaringnya itu ada dua ekor kelabang besar
menggeletak kaku di situ, badan kelabang2 itu loreng merah hitam dan sangat
menyeramkan dengan kepala berlepotan darah.
Nyo Ko terkejut, dilihatnya pula di samping kedua bangkai
kelabang itu ada bekas lumuran darah. setelah dipikir sejenak, tahulah dia akan
persoalannya. Rupanya darah itu merembes keluar dari lukanya waktu dia tidur
tadi, sedangkan dalam darahnya itu mengandung kadar racun bunga cinta, kedua
ekor kelabang itu mati oleh darah beracun itu.
Nyo Ko menyeringai sendiri, tak terpikir olehnya bahwa
darahnya ternyata jauh lebih berbisa daripada binatang sehingga kelabangpun
tidak tahan. Hatinya terasa pedih, duka dan penasaran tak terlampiaskan, ia
menengadah dan tertawa keras2...
Tiba terdengar suara burung berkotek di atas bukit sana,
waktu ia memandang ke sana, terlihat si rajawali raksasa tempo hari itu berdiri
di puncak bukit dengan bersitegang leher dan membusungkan dada, meski tampang
burung itu jelek dan menakutkan, tapi juga membawa kegagahannya yang berwibawa.
Nyo-Ko sangat girang, seperti bertemu dengan kenalan lama
saja ia lantas berteriak: "He, kakak rajawali kita bertemu pula di
sini"
"Rajawali itu berbunyi panjang satu kali terus
menerjang turun dari bukit itu. Karena badannya besar dan kuat sayapnya pendek,
bulunya jarang2, maka rajawali itu tidak dapat terbang, tapi larinya sangat
cepat melebihi kuda, dalam sekejap saja ia sudah berada di samping Nyo Ko.
Ketika melihat sebelah lengan anak muda itu buntung,
dengan mata tak berkedip burung itu memandanginya sa-akan2 heran.
"Tiau-heng (kakak rajawali), aku sedang tertimpa
malang maka sengaja datang ke sini mencari kau," kata Nyo Ko dengan
menyeringai.
Entah rajawali itu paham ucapannya tidak, yang jelas
burung itu tampak manggut2, lalu memutar tubuh dan melangkah ke sana, Segera
Nyo Ko menuntun kudanya dan mengintil dari belakang.
Tapi baru beberapa langkah saja, mendadak raja wali sakti
itu membalik, se-konyong2 sebelah sayapnya menjulur dan "bluk",
dengan keras sayapnya menyabet punggung kuda.
Betapa hebat tenaga hantaman sayapnya itu, tanpa ampun
kuda itu meringkik terus roboh terkulai tak bernyawa lagi.
"Ya, benar, kalau aku sudah berada di tempat
Tiau-heng tentu tidak perlu pergi lagi dan apa gunanya kuda ini?" ujar Nyo
Ko.
BegituIah Nyo Ko lantas mengikuti lagi rajawali itu,
Tidak lama sampailah mereka di gua tempat menyepi Tokko Kiu-pay dahulu, Melihat
makam batu itu, menjadi sangat terharu, tokoh maha sakti yang tiada ketemukan
tandingan semasa hidupnya itu akhirnya toh meninggal juga di lembah sunyi ini.
Melihat tingkah lakunya ini, tentu ilmu silatnya maha
tinggi dan wataknya menjadi nyentrik dan sukar bergaul dengan orang lain,
makanya lantas menyepi bersama rajawali sakti ini. Cuma sayang rajawali ini
meski cerdik, tapi tak dapat bicara sehingga sukar diketahui kisah hidup Tokko
Kiu-pay yang pasti sangat menarik itu.
Selagi Nyo Ko duduk termenung di dalam gua, sementara itu
rajawali itu telah datang dari luar gua dengan membawa dua ekor kelinci. Cepat
Nyo Ko membuat api untuk memanggang dan dimakan nya dengan kenyang.
Cara begitulah beberapa hari telah berlalu, luka lengan
Nyo Ko yang buntung itu juga mulai merapat, kesehatannya semakin pulih, Setiap
kali terkenang pada Siao-liong-li tentu dadanya terasa sesak dan sakit, tapi
sudah jauh lebih ringan daripada dulu.
Dasar watak anak muda itu memang suka bergerak sepanjang
hari dia hanya berkawan rajawali itu di pegunungan yang sunyi, betapapun ia
menjadi iseng dan merasa kesepian.
Selang beberapa hari pula, kesehatan Nyo Ko sudah pulih
seluruhnya. Dilihatnya di belakang gua banyak pepohonan rindang dan pemandangan
indah, dalam isengnya ia lantas melangkah ke sana. Kira2 satu-dua li jauhnya,
sampailah dia di depan sebuah tebing yang sangat curam.
Tebing itu menjulang tinggi sehingga mirip sebuah pintu
angin raksasa, kira2 tiga puluh meter dibagian tengah tebing itu mencuat keluar
sepotong batu seluas beberapa meter persegi sehingga menyerupai panggung
terbuka.
Pada batu besar itu santar2 seperti ada ukiran huruf.
Waktu ia mengamati lebih cermat, agaknya kedua huruf itu berbunyi:
"Kiam-bong" (makam pedang)
Nyo Ko menjadi heran, masakah pedang juga dimakamkan
apakah barangkali pedang kesayangan Tokko Kiu-pay itu patah, lalu ditanam di
sini?
Ia coba mendekati tebing itu, dilihatnya dinding batunya
halus licin, sungguh sukar untuk dibayangkan cara bagaimana orang dahulu itu
dapat memanjat ke atas.
Sampai lama sekali ia memandangi panggung batu itu dan
semakin tertarik, ia pikir orang itu juga manusia, mengapa dapat memanjat ke
atas tebing setinggi itu, tentu ada sesuatu yang aneh dan rahasia.
Setelah diteliti lagi sejenak, tiba2 dilihatnya dinding
tebing itu memang ada sesuatu yang menang yaitu tumbuhan lumut hijau yang
berjumlah puluhan rumpun secara lurus dari bawah ke atas dalam jarak satu-dua
meter, Tergerak hati Nyo Ko. ia coba melompat ke atas, ia meraba rumput lumut
hijau yang paling rendah itu, hasilnya tangannya menggenggam secomot tanah,
jelas lumut itu tumbuh pada sebuah dekukan, agaknya dicukil oleh senjata tajam
oleh Tokko Kiu-pay dahulu, karena sudah ber-tahun2 kena air hujan, sinar
matahari, dekukan itu tertimbun kotoran dan tumbuhan lumut itu.
Karena iseng, Nyo Ko menjadi tertarik dan ingin tahu apa
yang terdapat pada makam pedang itu, Cuma sebelah tangannya buntung, untuk
memanjat kurang leluasa. Namun dia anak muda yang berkemauan keras, segera ia
kencangkan ikat pinggang, ia kumpulkan tenaga dan melompat setinggi-nya ke
atas, begitu sebelah kakinya menginjak dekukan dinding itu segera melompat lagi
ke atas, sebelah kakinya mendepak tepat pada rumpun lumut tingkat kedua,
ternyata tempatnya lunak, kakinya dapat menghinggap di situ.
Dan begitulah seterusnya ia melompat lebih 20 kali ke
atas dengan menggunakan tangga dekukan dinding itu, namun akhirnya terasa
tenaga mulai lemas, untuk memanjat lebih tinggi terasa tidak kuat, terpaksa ia
merosot ke bawah pula.
Ia lihat sudah tiga perempat anak tangga dekukan dinding
itu dipanjatinya, kalau diulangi lagi sekali pasti akan mencapai panggung batu
itu. Segera ia duduk mengumpulkan tenaga dalam, sesudah cukup kuat, dengan cara
seperti tadi ia memanjat pula ke atas dan sekaligus panggung batu itu dapat
dicapainya.
Diam2 Nyo Ko bersyukur bahwa Ginkang sendiri tenyata
tidak berkurang dari pada semula, meski kini tangannya buntung sebelah, ia
lihat di samping kedua hurup besar "makam pedang" itu ada pula ukiran
dua baris tulisan yang lebih kecil yang berbunyi: "Karena tidak menemukan
tandingan lagi di dunia ini, maka pedangpun kutanam di sini, Oho, semua
pahlawan tak berdaya, pedangpun tiada gunanya lagi, alangkah sedihnya
bagiku"
Heran dan kagum pula Nyo Ko terhadap tokoh sakti itu, ia
merasa Locianpwe itu tentu sangat angkuh dan mengagulkan kemampuannya sendiri.
Cuma untuk mencapai tingkatan tiada tandingan di seluruh dunia, jelas dirinya
tidak mampu, apalagi sekarang sebelah lengan sudah buntung, hal ini jelas tiada
harapan selama-lamanya.
Nyo Ko duduk termenung di situ, sebenarnya pingin sekali
mengetahui bagaimana macamnya senjata yang di makamkan itu, tapi ia tidak
berani merusak petilasan tokoh angkatan tua itu.
Tiba2 terdengar di bawah sana ada suara barang berkotek,
ia coba melongok ke bawah, tertampak rajawali sakti itu sedang melompat keatas
dengan menggunakan cakarnya yang tajam mencengkeram setiap dekukan dinding
tebing, Meski berat tubuhnya, tapi kakinya sangat kuat, sekali lompat dapat
mencapai beberapa meter tingginya, hanya sekejap saja ia sudah berada di
samping Nyo Ko.
Sesudah celingukan kian kemari sejenak, rajawali itu
manggut2 pada Nyo Ko sambil berbunyi beberapa kali dengan suara yang aneh,
Sudah tentu Nyo Ko melongo bingung karena tidak paham
maksud burung itu.
Setelah berbunyi lagi beberapa kali, lalu rajawali itu
menggunakan cakarnya yang kuat itu untuk mencakar batu2 di atas makam itu,
tiba2 timbul pikiran Nyo Ko, ia menduga di makam pedang itu mungkin tertanam
sebangsa kitab ilmu pedang tinggalan Tokko Kiu-pay yang maha sakti itu.
Dilihatnya rajawali itu terus mencakar dengan kedua
kakinya, sebentar saja batu itu sudah tersingkir semua dan tertumpuk lah tiga
batang pedang berjajar, di antara pedang pertama dan kedua terselip pula
sepotong lapisan batu tipis. Ketiga pedang dan batu tipis itu terletak berjajar
di atas batu hijau yang cukup besar.
Nyo Ko coba mengangkat pedang pertama di sebelah kiri
itu, dilihatnya di atas batu tempat pedang itu tertaruh ada terukir sebaris
tulisan. Setelah di baca, kiranya cuma catatan belaka yang menerangkan pedang
itu sangat tajam dan semasa mudanya pernah digunakan untuk menempur jago2
silat.
Waktu ia mengamat-amati pedang itu panjangnya satu
meteran itu, cahaya hijau tampak gemerdep dan memang senjata sangat tajam.
Ia coba berjongkok dan memegang batu tipis itu, di atas
batu besar tepat di bawah batu tipis itupun ada ukiran tulisan yang
menjelaskan: "Pedang lemas Ci~wi-kiam, digunakan semasa usia 30-an, salah
membunuh orang baik, senjata yang beralamat jelek, maka kubuang ke jurang
sunyi"
Tergetar hati Nyo Ko, ia pikir lengan sendiri justeru terkutung
oleh pedang Ci-wi-kiam itu, rupanya pedang itu dibuang di jurang sunyi itu oleh
Tokko Kiu-pay dan ditelan oleh ular raksasa, tapi secara kebetulan telah
diketemukan olehnya.
Kalau saja di dunia ini tiada pedang tajam itu, meski
dalam keadaan sakit juga lengannya takkan tertabas kutung oleh Kwe Hu.
Untuk sejenak ia ter-mangu2, ketika ia angkat juga pedang
kedua, baru saja terangkat sedikit, se-konyong2 terjatuh pula di atas batu
hingga menerbitkan suara keras dan mencipratkan lelatu api, keruan ia terkejut.
Padahal pedang itu berwarna gelap kotor dan tiada sesuatu
tanda aneh, namun bobotnya ternyata tidak kepalang beratnya, panjangnya tiada
satu meter, tapi beratnya ada 60-70 kati, beberapa kali lebih berat daripada
senjata panjang yang biasa digunakan orang di medan perang, ia pikir mungkin
tadi dirinya sendiri belum siap sehingga kurang kencang memegangi pedang itu.
Segera ia taruh kembali pedang pertama dan batu tipis
tadi, lalu ia angkat lagi pedang yang berat itu.
Karena sudah bersiap, pedang yang beratnya 60~70 kati itu
bukan soal lagi baginya, ia lihat ke dua mata pedang itu puntul semua, malahan
ujung pedang berbentuk setengah bundar dan tidak runcing seperti pedang
umumnya, ia menjadi heran, sudah begitu berat, ujung dan mata pedang juga
puntul segala apa gunanya?
Di atas batu di bawah pedang itupun ada ukiran dua baris
huruf yang artinya menjelaskan pedang puntul dan berat itu digunakan Tokko
Kiu-pay untuk malang melintang di dunia persilatan pada waktu berusia sekitar
40-an, ia menjadi heran pula cara bagaimana orang menggunakan pedang seberat
itu dan tidak tajam pula.
Selang sejenak, ia mengambil lagi pedang ke tiga, Sekali
ini dia kecele lagi, Disangkanya pedang itu pasti lebih berat daripada pedang
puntul itu maka sebelumnya ia telah kumpulkan tenaga untuk mengangkatnya.
Siapa tahu benda yang diangkatnya ternyata enteng sekali
seperti tidak berbobot.
Waktu ia mengamati, kiranya pedang itu terbuat dari kayu,
lantaran sudah terlalu tua, gagang dan batang pedangnya sudah lapuk, batu di
bawah, pedang itu juga terukir keterangan "Setelah berusia 40 tahun, tidak
mementingkan senjata lagi, segala benda dapat kugunakan sebagai pedang, sejak
itu latihanku semakin sempurna, mulai mencapai tingkatan tanpa pedang melebihi
memakai pedang"
Dengan khidmat Nyo Ko meletakkan kembali pedang kayu itu
ke tempat semula, ia sangat gegetun akan ilmu sakti tokoh Tokko Kiu-pay yang
sukar dibayangkan, ia pikir di bawah batu hijau yang besar itu bisa jadi
terpendam benda2 lain lagi. Maka se-kuatnya ia eoba menggeser batu itu, namun
di bawah batu bijau itupun cuma batu gunung saja tanpa sesuatu benda lain,
tanpa terasa ia menjadi sangat kecewa.
Mendadak rajawali raksasa itu berbunyi sekali, pedang
puntul yang berat itu tiba2 dipatuknya, lalu diangsurkan kepada Nyo Ko, habis
itu ia berkaok dua kali lagi.
"O, kakak rajawali apakah kau ingin menjajal
kepandaianku?" kata Nyo Ko dengan tertawa, "Baiklah, daripada iseng,
bolehlah kita main2 beberapa jurus."
Akan tetapi ia merasa sukar memainkan pedang puntul yang
berat itu, ia lemparkan pedang itu dan menjemput pedang tajam yang pertama
tadi.
Tak terduga, mendadak rajawali sakti menarik sayapnya,
lalu membalik tubuh ke sana tanpa menggubris Nyo Ko lagi, sikapnya seperti
mencemoohkan.
Sebagai anak muda yang cerdik pandai, segera Nyo Ko tahu
maksud rajawali itu, katanya dengan tetawa: "Apakah kau ingin kugunakan
pedang berat itu? Tapi kepandaianku sangat terbatas, apalagi bergebrak di
tempat yang berbahaya ini, tentu aku bukan tandinganmu, untuk ini perlu kau mengalah
sedikit."
Habis berkata ia terus menukar pedang, ia coba
mengerahkan segenap tenaga pada tangan kiri- lalu mulai menyerang, pedang
menusuk pelahan ke depan.
Rajawali itu tidak memutar tubuh lagi, mendadak sayapnya
membentang ke belakang dan tepat menyampuk pedang, untuk seketika Nyo Ko
merasakan arus tenaga yang maha dahsyat mendesaknya melalui batang pedang
sehingga napasnya terasa sesak.
Keruan Nyo Ko kaget, cepat ia kumpulkan tenaga untuk
melawan "brak", batang pedangnya bergetar seketika pandangannya
terasa gelap dan tak sadarkan diri lagi.
Entah sudah berapa lama barulah ia siuman kembali,
dirasakannya ada bekas cairan dalam mulutnya yang manis2 sedap, agaknya dalam
keadaan tak sadar ia telah makan sesuatu. Waktu ia membuka matanya, kiranya
rajawali sakti itu menggigit satu biji buah warna merah sedang dilolohkannya,
ia coba mengunyahnya, rasanya persis sisa rasa dalam mulutnya tadi, agaknya
sudah beberapa biji buah semacam itu telah dimakannya tanpa sadar.
Ketika ia coba mengumpulkan tenaga, rasanya pernapasan
sangat lancar dan badan juga segar, cepat ia berbangkit dan coba mengulur
tangan dan gerakkan kaki, rasanya malah lebih kuat daripada sebeIumnya.
Diam2 ia heran, pantasnya setelah berkelahi dan dipukul
lawan hingga pingsan, walaupun tidak terluka parah sedikitnya juga akan pegal
linu sekian lama, apakah barangkali buah merah yang dimakannya ini berkhasiat
sebagai obat penyembuh luka serta pemulih tenaga?
Waktu ia jemput lagi pedang puntul itu, rasanya sekarang
terlebih ringan daripada tadi, Pada saat itu juga kembali si rajawali sakti
berkaok lagi satu kali, sayapnya terus menyabet pula, ia tidak berani
menyambutnya, cepat ia mengegos, tapi burung itu terus mendesak maju dan kedua
sayapnya menampar sekaligus dengan tenaga dahsyat.
Nyo Ko tahu rajawali itu tidak bermaksud jahat padanya,
tapi betapapun baiknya juga tetap binatang, kalau dia takdapat menahan sabetan
sayapnya, bukankah jiwanya bisa melayang secara konyol? Karena itu cepat ia
mundur lagi dua tindak dan rasanya dia sudah berada di tepi panggung batu itu.
Namun rajawali itu sedikitpun tidak kenal ampun,
kepalanya menjulur, paruhnya yang bengkok besar itu malah terus mematuk kepala
Nyo Ko.
Karena sudah kepepet, tiada jalan lain terpaksa Nyo Ko
angkat pedangnya untuk menangkis. "Prak" batang pedang itu terpatuk
dengan tepat, Nyo Ko merasa tangannya tergetar dan pedang se-akan2 terlepas
dari cekalan.
Dilihatnya pula burung raja wali itu pentang sayap kanan
lagi terus menyabet dari samping.
Keruaa Nyo Ko terkejut, cepat ia melompat ke atas dan
melayang lewat di atas kepala rajawali itu, setiba di bagian dalam panggung
batu, kuatir burung itu menyusu ikan serangan lagi, segera ia memutar pedangnya
ke belakang, "brek", dengan tepat pedang beradu pula dengan paruh rajawali.
Nyo Ko berkeringat dingin karena sempat lolos dari
bahaya, cepat ia berseru: "He, Tiau-heng jangan kau anggap aku seperti
Tokko-tayhiap!"
Rajawali sakti itu berkaok dua kali dan tidak menyerang
pula, sebaliknya Nyo Ko lantas teringat kepada cara menyerang rajawali itu
tadi, burung raksasa itu pernah mendampingi Tokko Kiu-pay, besar kemungkinan
ketika Tokko Ktu-pay hidup terpencil di pegunungan ini, di waktu latihan
rajawali inilah yang dianggap sebagai lawannya.
Kini Tokko Kiu-pay sudah meninggal, ilmu silatnya yang
maha sakti itu sudah punah, tapi dari burung ini bisa jadi akan dapat ditemukan
bekas2 kesaktian tokoh angkatan lalu itu.
Berpikir demikian, ia menjadi girang dan segera, berseru:
"Tiau-heng, awas seranganku ini!" Begitulah ia lantas mendahului
menyerang malah ke dada rajawali itu, Sudah tentu burung itu tidak tinggal
diam, sayapnya terus balas menyabet.
Sehari penuh Nyo Ko terus berkutak-kutik dengan rajawali
sakti itu di atas panggung batu, tenaga rajawali itu sungguh sangat kuat,
sekali sayapnya menyabet, seketika berjangkit angin keras laksana tenaga
pukulan beberapa tokoh terkemuka sekaligus.
Dalam keadaan demikian segala ilmu pedang yang pernah
dipelajari Nyo Ko sama sekali tak dapat dikeluarkan, terpaksa ia hanya bertahan
dan menghindar secara gesit, kalau balas menyerang juga menusuk secara begitu2
saja tanpa sesuatu perubahan.
Sampai hari sudah gelap, keduanya lantas pulang ke gua.
sepanjang hari Nyo Ko bertempur, mestinya dia merasa lelah, tapi aneh,
sedikitpun dia tidak merasakannya, sebaliknya terasa lebih segar daripada
biasanya, ia pikir mungkin berkat khasiat buah merah itu.
Esok paginya waktu dia bangun, rajawali sakti itu sudah
membawakan pula beberapa biji buah merah, segera Nyo Ko memakannya, habis itu
ia duduk semadi mengatur pernapasan, terasa semuanya lancar dan tenaga penuh.
Girang sekali anak muda itu, cepat ia melompat bangun dan
membawa pedang berat itu ke panggung batu itu untuk berlatih pula dengan si
rajawali.
Kalau kemarin terasa sukar memanjat ke atas panggung itu,
sekarang dia membawa pedang seberat berpuluh kati malah dengan enteng saja
dapat naik kesitu, tahulah dia seharian kemarin tenaganya telah banyak lebih
kuat, maka dalam latihannya dengan rajawali itu sekarang menjadi lebih tangkas.
Begitulah dia terus berlatih beberapa hari ber turut2,
pedang yang tadinya terasa berat itu sekarang sudah mirip senjata biasa saja,
setiap gerak serangannya dapat dilakukan sesuka hatinya. Dasarnya memang
pintar, beberapa bulan yang lalu iapun sudah menciptakan aliran ilmu silatnya
sendiri, sekarang tenaganya berlipat ganda, setiap hari dia berlatih dengan
rajawali itu dengan menggunakan pedang yang berat, maka semakin dirasakan ilmu
pedang yang dipelajarinya dahulu terlalu banyak variasinya, terlalu banyak
perubahannya, sekarang dirasakannya setiap jurus serangannya yang tampaknya
begitu2 saja tanpa kembangan justeru lebih sukar ditangkis oleh pihak lawan.
Misalnya pedangnya menusuk lurus ke depan, asalkan
tenaganya maha kuat, maka daya tekanannya menjadi jauh lebih besar daripada
ilmu pedang Coan-cin-pay atau Ko-bong-pay yang banyak variasinya itu. Meski
sekarang dia cuma menggunakan tangan kiri saja, tapi setiap hari dia makan buah
merah yang dibawa si rajawali, maka tanpa terasa tenaga dalamnya bertambah
lipat ganda, hanya beberapa hari saja dia sudah sanggup melawan tenaga sakti si
rajawali yang luar biasa dahsyatnya itu.
Setelah ilmu silatnya mencapai tingkatan ini, maka dia
seperti berada tinggi di puncak gunung memandang bukit2 kecil di bawahnya, kini
dia merasakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dahulu seakan2 sama sekali
tiada artinya lagi.
"Pagi hari ini cuaca mendung, air hujan seperti
dituang dan langit Nyo Ko coba bertanya si rajawali: "Tiau-heng, hujan
sehebat ini, apa kita masih harus berlatih?"
Rajawah itu menggigit ujung bajunya dan diseretnya
berjalan ke arah timur laut, sesudah itu terus mendahului melangkah ke sana
dengan cepat.
Nyo Ko menjadi heran apakah di arah sana ada sesuatu
benda aneh lagi? Dengan membawa pedang berat itu ia lantas mengikutinya di
bawah hujan deras.
Beberapa li sudah mereka tempuh, terdengar suara gemuruh
yang keras, jelas itu suara gemuruhnya air bah.
Setelah membelok ke suatu selat gunung, suara gemuruh air
semakin memekak telinga, Terhhat diantara dua puncak gunung mengalir air terjun
laksana naga putih raksasa, air terjun itu menggerujuk masuk ke sebuah sungai
kecil di bawahnya, di antara air itu terselip pula tangkai kayu dan batu yang
ikut terjun ke sungai dan lenyap terbawa arus dalam waktu sekejap saja.
Sementara itu hujan semakin lebat pakaian Nyo Ko sudah
basah kuyup, melihat air bah yang semakin gemuruh itu, diam2 anak muda itu rada
jeri.
Rajawali itu menarik baju Nyo Ko lagi dan mengajaknya ke
tepi sungai kecil itu, melihat gelagatnya, burung itu seperti menyuruhnya turun
ke sungai.
"Untuk apa turun ke situ?" ujar Nyo Ko dengan
heran. "Air bah begini dahsyat, bisa terhanyut."
Tiba2 rajawali itu berbunyi satu kali dengan menegakkan
lehernya, lalu dia terjun ke tengah sungai, kedua kakinya tepat berdiri di atas
sepotong batu karang yang berada di tengah sungai, ketika sayap kirinya
menyampuk ke depan, kontan sebuah batu besar yang terhanyut air bah dari hulu
itu ter-tolak ke atas. Waktu batu itu menerjang tiba lagi terbawa arus, kembali
rajawali menyabet dengan sayapnya dan batu itu tertolak balik pula.
Begitulah terjadi beberapa kali, batu itu tetap tidak
dapat lewat di samping si rajawali. Ketika untuk sekali lagi batu itu terhanyut
tiba, mendadak rajawali itu menghantam sekuatnya dengan sayap, batu itu terus
mencelat dan jatuh di tepi sungai. Habis itu si rajawali lantas melompat
kembali ke samping Nyo Ko.
Sekarang Nyo Ko dapat menangkap maksud si rajawali, ia
tahu mendiang Tokko Kiu pay pasti sering berlatih pedang di tengah air bah ini
setiap hari hujan. Akan tetapi ia sendiri tidak mempunyai kemampuan sehebat
ini, maka tidak berani mencobanya.
Selagi sangsi, mendadak si rajawali mengebas pantat Nyo
Ko dengan sayapnya, karena keduanya berdiri sangat dekat, pula tidak terduga,
tanpa ampun tubuh Nyo Ko terus mencelat ke tengah sungai, Karena sudah
telanjur, terpaksa Nyo Ko mengincar baik2 dan tancapkan kakinya di atas batu
karang tempat berdiri si rajawali tadi, Begitu kedua kakinya tergenang air,
segera ia diterjang air bah hingga sempoyongan dan serasa mau terhanyut.
Tiba2 terpikir oleh Nyo Ko: "Tokko-locianpwe itu
adalah manusia, akupun manusia, kalau dia sanggup berdiri di sini, mengapa aku
tidak?"
Karena dorongan semangat ini, sekuatnya ia melawan
terjangan air bah, tapi untuk menggunakan pedang buat menyingkirkan batu yang
terbawa arus benar2 ia tidak mampu.
Cukup lama Nyo Ko bertahan di tengah damparan air bah
yang kuat hingga tenaganya terasa mulai lemas, segera ia gunakan pedangnya
untuk menahan di batu karang itu terus melompat ke tepi sungai.
Belum sempat ia mengaso, tahu2 sayap si rajawali telah
menyabet pantatnya lagi. Sekali ini Nyo Ko sudah waspada, maka sabetan itu
tidak kena, namun terpaksa ia harus melompat sendiri ke dalam sungai.
Diam2 ia mengakui rajawali itu benar2 merupakan "guru
yang keras dan sahabat yang baik", ia pikir kalau dia mau mendesak aku
giat berlatih tanpa kendur sedikitpun, masakah aku malah tidak mempunyai hasrat
ingin maju dan mengabaikan maksud baiknya?
Segera ia perkuat tenaga kakinya dan berdiri tegak, makin
lama semakin disadarinya cara menggunakan tenaganya, meski air bah juga semakin
deras hingga batas pinggangnya mulai tergenang, tapi dia malah tambah kuat dan
tidak goyah lagi.
Selang tak lama, air bah semakin membanjir dan mulai
menggenang sampai di dadanya, lalu naik lagi dekat muIutnya, Bisa2 mati
tenggelam kalau berdirinya tidak kukuh, Karena pikiran itu, segera Nyo Ko
melompat ke tepi sungai.
Tak terduga si rajawali yang berjaga di tepi sungai sudah
bersiap juga, begitu melihat Nyo Ko melompat naik, sebelum kakinya menyentuh
tanah, cepat sayapnya menyabet, terpaksa Nyo Ko menahannya dengan pedang dan
dengan sendirinya pula ia terdorong lagi ke dalam sungai, "plung", ia
kecebur pula ke dalam amukan air bah.
Baru saja kakinya menginjak batu karang di dalam sungai
tadi, terasa air sudah menggenangi kepalanya dan airpun masuk mulutnya, Kalau
dia menyemburkan air dan mengerahkan tenaga, tentu tenaga kakinya akan
berkurang dan bisa terhanyut oleh arus yang deras itu. Cepat ia berdiri
sekuatnya dengan menahan napas, selang sejenak, ia menutulkan kedua kakinya dan
meloncat ke atas, ia semburkan air yang sudah ditahannya sekian lama itu,
kemudian dia turun lagi ke bawah, sekali ini ia dapat berdiri dengan kukuh di
dalam air dan membiarkan dirinya diamuk oleh air bah yang dahsyat itu.
Sesudah pikirannya tenang, ia pikir kalau pedang tidak
kugunakan mencungkil batu, tentu akan dipandang hina oleh si rajawali, Dasar
watak Nyo Ko memang suka unggul, biarpun terhadap seekor burung juga dia tidak
mau kehilangan muka, segera ia bersiap, begitu melihat di antara air bah itu
ada batang kayu atau batu gunung, segera ia menjungkitnya atau menyampuknya
dengan pedang ke bagian hulu.
Di dalam air dengan sendirinya batupun berubah enteng,
pedang pantul itupun jauh lebih enteng karena tersanggah oleh tekanan air
sehingga Nyo Ko dapat memainkannya dengan leluasa. Begitulah ia terus menyampuk
dan menghantam, ia terus berlatih hingga otot lemas, dan tenaga habis, kakipun
terasa lunglai, dengan begitulah baru ia melompat ke atas tepi sungai.
Ia kuatir si rajawali akan mendorongnya ke dalam air
lagi, padahal dia sudah lemas betuI2, kalau tidak mengaso dulu tentu tidak
sanggup menahan damparen air bah yang dahsyat itu. Benar saja, rajawali itu
tidak membolehkan dia naik, begitu melihat dia melompat keluar dari air,
seketika sayapnya menyabetnya.
"Tiau heng, caramu ini bisa bikin mati aku!"
seru Nyo Ko dan terpaksa menceburkan diri ke dalam sungai lagi, ia berdiri lagi
sejenak dan sungguh2 terasa tidak tahan, tiada jalan lain kecuali melompat lagi
ke atas.
Di lihatnya si rajawali menyabetkan sayapnya lagi, karena
kepepet, terpaksa Nyo Ko balas menusuk dengan pedangnya, setelah tiga gebrakan
rajawali itu ternyata dapat didesaknya mundur setindak.
"Maaf, Tiau-heng!" seru Nyo Ko sambil
menusukkan pedangnya pula. Terdengar suara mendesing ujung pedangnya, ternyata
daya serangannya sudah jauh berbeda daripada biasanya, Malahan rajawali itupun
tidak berani menangkis lagi, begitu mendekat tusukan Nyo Ko itu, cepat burung
itu melompat mundur.
Tahulah Nyo Ko bahwa selama setengah harian berlatih di
tengah damparan air bah itu, kini tenaga tangan kirinya sudah tambah kuat,
keruan ia kejut2 girang, ia merasa untuk menumbuhkan tenaganya itu seharusnya
diperlukan waktu sepuluh atau dua puluh hari, ternyata cuma digembleng setengah
hari di dalam air sudah maju sepesat ini, ia pikir buah merah yang dibawakan si
rajawali setiap hari itu pasti berkhasiat memupuk tenaga dan mengikatkan otot
sehingga tanpa terasa tenaga dalamnya telah tambah sehebat ini.
Begitulah setelah duduk istirahat sejenak di tepi sungai
dan terasa tenaga segera pulih, kini tanpa dipaksa si rajawali lagi segera ia
melompat ke dalam sungai untuk berlatih pula. Ketika kemudian dia melompat
kembali ke atas sungai rajawali itu sudah tidak nampak di situ dan entah ke
mana perginya, sementara hujan sudah mulai mereda, ia pikir air bah tak lama
lagi pasti juga akan menyurut, kalau datang lagi besok belum tentu tenaga air
akan sekuat ini, mumpung sekarang tidak terasa telah, ada baiknya kulatih lebih
lama lagi Karena pikiran ini, segera ia melompat pula ke dalam sungai untuk
berlatih Iagi.
Waktu untuk keempat kalinya dia melompat kembali ke tepi
sungai, dilihatnya di situ tertaruh beberapa buah merah, sungguh ia sangat
berterima kasih atas kebaikan rajawali itu. sekaligus ia lantas habiskan buah2
itu, lalu berlatih pedang pula ke tengah sungai.
Ia terus berlatih hingga jauh malam, aneh juga bukannya
tambah capek, sebaliknya semakin bersemangat dan semakin kuat, namun air bah
sudah mulai surut.
Semalaman ia tidak tidur, ia terus merenungkan hasil
latihannya di dalam sungai itu, sekarang baru di pahaminya betapa cara
memainkan pedangnya dengan berbagai gaya dan gerakan di dalam air, dengan cara
begini ia memainkan pedangnya maka benda apapun juga pasti akan dihancurkannya,
dan jika sudah begitu, lalu apa gunanya pedang yang tajam.
BegituIah dari amukan air bah itu Nyo Ko telah berhasil
menyelami teori ilmu pedangnya, ia tahu cara bagaimana memainkan pedang puntul
yang berat itu kini sudah dikuasainya benar2 dan tidak perlu dilatih lagi, ia
pikir biarpun Tokko Kiu-pay itu hidup kembali, yang dapat diajarkan padanya
paling2 juga cuma begini saja.
Tiba2 terpikir olehnya apa gunanya dengan ilmu pedang
yang telah dipahaminya kalau saja dia tetap tinggal di pegunungan sunyi ini?
Kalau racun bunga cinta mendadak kumat dan membinasakannya, bukankah ilmu
pedang maha sakti ini akan lenyap pula dari dunia ini? Teringat begini seketika
terbangkit jiwa kesatriaannya.
"Tidak, aku harus juga meniru Tokko-locianpwe, harus
kugunakan ilmu pedang ini untuk mengalahkan semua jago silat di dunia ini,
dengan begitu barulah aku rela meninggalkan dunia fana ini," demikian ia
menggumam sendiri.
Tanpa terasa ia meraba lengan kanan sendiri yang buntung
itu. teringat dendamnya kepada Kwe Hu, tanpa terasa darahnya bergolak,
pikirnya: "Budak ini mengira ayah-ibunya berpengaruh dan di segani, sejak
dulu juga sudah memandang hina padaku, Waktu aku mondok di rumahnya dahulu
sudah kenyang aku di hina dan dianiaya, Bahwa aku berdusta pada kedua saudara
Bu sesungguhnya demi kebaikannya, kalau saja salah seorang kedua Bu itu mati
karena memperebutkan dia, bukankah dia sendiri yang berdosa? Hm, dia mengutungi
lenganku ini selagi aku sakit dan takbisa mengelakkannya, kalau tidak kubalas
sakit hati ini aku bukan lagi laki2 sejati."
Selamanya Nyo Ko paling tegas membedakan budi dan sakit
hati, waktu lengannya dibuntungi tempo hari dia terus sembunyi di lembah sunyi
ini untuk merawat lukanya, hal ini karena terpaksa.
Sekarang luka lengan sudah sembuh, ilmu silatnya berbalik
maju pesat, maka segenap pikirannya sekarang terpusat pada soal menuntut balas.
Begitulah setelah ambil keputusan, segera ia pulang ke
gua itu dan mohon diri kepada si rajawali dan menyatakan terima kasihnya atas
kebaikan burung itu, bila ada kesempatan ia menyatakan kelak akan datang lagi,
mengenai pedang puntul yang berat milik Tokko Kiu-pay itu akan dipinjamnya
untuk sementara.
Habis itu ia memberi hormat kepada rajawali itu serta
menyembah di depan makam batu Tokko Kiu-pay, lalu melangkah pergi. Rajawali itu
mengantarkan hingga mulut lembah barulah berpisah dengan perasaan berat.
Pedang puntul itu sangat berat, kalau digantungkan pada
pinggang tentu tali pinggang akan putus seketika, Nyo Ko mencari tiga utas
rotan tua dan dipuntir menjadi tali, ia ikat pedang itu dan digendongnya di
punggung, lalu pergilah dia ke Siangyang dengan Ginkangnya yang tinggi.
Setiba di luar kota Siangyang, hari dekat magrib, karena
semalaman tidak tidur, ia merasa perlu istirahat dulu untuk menghadapi
pertempuran dahsyat nanti terutama kalau kepergok tokoh2 semacam Kwe Cing dan
Ui Yong. Segera ia mencari suatu tempat sepi di tanah pekuburan, di semak2
rumput yang lebat ia merebahkan diri untuk tidur.
Waktu ia bangun, ia merasa tenaga cukup segar ia mencari
pula buah2an pula sekedar isi perut, menjelang tengah malam barulah dia
mendekati benteng kota.
Benteng kota Siangyang itu sangat megah dan tinggi, tempo
hari waktu Kim-Iun Hoat-ong dan Li Bok-chiu melompat turun juga perlu
menggunakan tubuh manusia sebagai batu loncatan, sekarang hendak memanjat ke
atas dari luar benteng tentu juga perbuatan yang tidak mudah.
Waktu masih mengaso di tanah pekuburan tadi Nyo Ko sudah
memikirkan cara melintasi benteng kota, ia pikir cara bagaimana Tokko-locianpwe
memanjat dinding tebing, dengan cara itu pula aku akan memanjati benteng kota.
Begitulah ia coba mendekati bagian yang sunyi di samping
pintu gerbang timur, dilihatnya perajurit penjaga sedang berjalan jauh ke sana,
segera ia melompat ke atas, dengan pedang berat itu ia menusuk dinding benteng.
Meski ujung pedang itu puntul, tapi tusukannya sangat
kuat, terdengailah suara "brak" yang keras, dinding benteng yang
tersusun dari batu2 besar itu pecah seketika dan berlubang.
Nyo Ko tidak menduga tusukannya itu membawa tenaga sekuat
itu, diam2 ia terkejut sendiri dan bergirang pula, Waktu ia melompat lagi,ke
atas untuk kedua kalinya, sebelah kakinya lantas berpijak pada lubang dinding
benteng itu lalu ia membuat lubang lagi di bagian atas, sekali ini dia menusuk
dengan pelahan saja agar tidak mengeluarkan suara keras dan mengejutkan
penjaga.
Dengan begitulah setindak demi setindak ia memanjat ke
atas benteng, Kira2 beberapa meter terakhir, tanpa membuat lubang lagi ia terus
merambat ke atas dengan "Pia-hou-yu-jiang-kang" atau ilmu cecak
merayap dinding, maka dengan enteng saja ia sudah berada di atas benteng dan
sembunyi di tempat yang gelap.
Di bagian dalam benteng itu ada undak2an batu, ia
menunggu penjaga berjalan lagi ke sana, cepat ia menyelinap ke bawah dan
berlari ke tempat tinggal Kwe Cing.
Sejak makan buah2an merah itu, tenaga dalam Nyo Ko telah
banyak bertambah, sekaligus gerak-geriknya juga lebih lincah dan gesit,
ginkangnya jauh lebih maju daripada dulu.
Tapi diapun tahu ilmu silat Kwe Cing bukan sembarangan
melulu Hang-liong-sip-pat-ciang (pukulan sakti penakluk naga) saja mungkin
tiada tandingannya di seluruh jagat, belum lagi ketambahan Pak-kau-pang-hoat Ui
Yong yang hebat itu.
Sebab itulah dia tidak berani sembrono setiba di luar
rumah kediaman keluarga Kwe, pelahan2 dan hati2 ia melintasi pagar tembok.
Dia cukup lama tinggal di situ, maka seluk-beluk rumah
itu sangat apal baginya, begitu mengitari taman bunga, segera tertampaklah
kamar yang pernah ditinggalinya tempo hari.
Sesudah dekat ia coba pasang kuping, terasa tiada
seorangpun di dalam, pelahan ia menolak pintu dan segera terbuka, segera ia
melangkah ke dalam kamar.
Dia dapat memandang di malam gelap seperti di siang hari,
maka dilihatnya segala sesuatu di dalam kamar itu masih tetap seperti dulu
tanpa perubahan, hanya selimut bantal di atas ranjang sudah di singkirkan ia
duduk di tepi ranjang, teringat lengan sendiri yang baik2 itu justeru tertabas
di tempat tidur itu, tanpa tertahan ia menjadi berduka dan gemas pula.
Nyo Ko dilahirkan dengan tampang cakap, wataknya juga
rada dugal dan sok romantis, meski cintanya kepada Siao-liong-Ii sangat
mendalam dan tak tergoyahkan, namun banyak perempuan cantik lain juga sama
jatuh cinta padanya, seperti Thia Eng, Liok Bu-siang, Wanyen Peng, Kongsun
Lik-oh dan lain2 semuanya kesemsem padanya baik secara samar2 maupun berterus
terang, sekarang dia meraba tangan sendiri yang sudah buntung itu, ia pikir
kalau ketemu lagi dengan gadis2 jelita itu, dalam pandangan mereka sekarang
dirinya pasti akan berubah menjadi manusia yang harus dikasihani dan lucu,
biarpun tinggi ilmu silatnya, paling2 juga cuma makhluk hidup yang aneh saja.
Begitulah dalam kegelapan ia duduk termenung pikirannya
timbul tenggelam mengenangkan kejadian-kejadian di masa lampau.
Pada saat itulah tiba2 dari sebelah sana samar2 ada suara
orang bertengkar jelas itulah suaranya Kwe Cing dan Ui Yong, Nyo Ko menjadi
heran dan ingin tahu apa yang sedang diributkan suami isteri itu.
Dengan pelahan ia merunduk ke kamar Kwe Cing, dari luar
jendela dapat didengarnya dengan jelas Ui Yong sedang berkata: "Sudah
jelas mereka membawa anak Yang kita ke Coat-ceng-kok untuk menukar obat penawar
racunnya, tapi kau masih terus bilang Nyo Ko itu adalah anak baik. Belum ada
satu jam orok itu lahir lantas jatuh di tangan mereka, saat ini masakah jiwanya
masih hidup?" Sampai disini, suaranya terdengar tersendat2 dan menangis.
"Ko-ji pasti bukan manusia begitu," terdengar
Kwe Cing menjawab "Pula dia telah menyelamatkan kita beberapa kali,
andaikan kita gunakan anak Yang untuk menukar jiwanya juga rela dan ikhlas
bagiku."
"Kau rela, aku yang tidak rela " belum habis
ucapan Ui Yong, tiba2 terdengar suara tangisan anak bayi, suaranya keras dan
nyaring.
Nyo Ko menjadi heran apakah bayi perempuan itu telah
direbutnya kembali dari tangan Li Bok-caju, tapi mengapa barusan Ui Yong
menyangsikan jiwa bayi itu apakah masih hidup?
Ia coba mengintip ke dalam kamar melalui celah2 jendela,
terlihat Ui Yong memondong seorang bayi, karena muka anak bayi itu menghadap
jendela, maka Nyo Ko dapat melihat jelas bayi itu bermuka lebar dan bertelinga
besar, kulit rada ke-hitam2an, jelas bukan bayi perempuan yang pernah
digendongnya itu.
Dalam pada itu terdengar Ui Yong sedang menina bobokkan bayi
itu, lalu berkata "Sepasang anak sebaik ini, sekarang cuma tinggal adiknya
saja, hendaklah kau lekas berusaha menemukan kakaknya kembali."
Baru sekarang Nyo Ko menyadari duduknya perkara, kiranya
Ui Yong melahirkan anak kembar, bayi yang lahir lebih dulu adalah perempuan
yang sebelumnya sudah disediakan nama oleh Kwe Cing, yaitu Kwe Yang, kemudian
menyusul lahir pula bayi lelaki yang diberi nama Kwe Be-loh. Ketika bayi lelaki
ini lahir, sementara itu bayi perempuan sudah dibawa pergi oleh Siao-liong-ii.
Begitulah Kwe Cing sedang mondar mandir di dalam kamar
dan berkata kepada sang isteri: "Yong-ji, biasanya kau sangat bijaksana
mengapa sekarang kau menjadi berpikiran sesempit ini mengenai urusan kanak-2
suasana sekarang sangat genting, mana boleh kutinggalkan kota ini hanya karena
seorang bayi?"
"Tapi kuhendak pergi mencari sendiri, kaupun tidak
mengidzinkan!" ujar Ui Yong, "Apakah kita harus membiarkan jiwa anak
kita itu melayang begitu saja?"
"Kesehatanmu belum pulih, mana boleh pergi?"
kata Kwe Cing.
"Habis bagaimana? Sang ayah tidak pedulikan anaknya,
ibunya yang harus menderita, apa boleh buat?" seru Ui Yong dengan gusar.
Biasanya Nyo Ko melihat suami-isteri itu hidup rukun dan
saling mencintai, sekarang keduanya bertengkar dan tidak mau saling mengalah,
jelas keduanya sudah bertengkar beberapa kali mengenai urusan ini. Kalau Ui
Yong bicara sambil menangis, maka Kwe Cing terus mondar mandir di dalam kamar
dengan muka bersungut.
Selang tak lama Kwe Cing membuka suara pula:
"sekalipun anak itu dapat ditemukan kembali, kalau kau tetap memanjakan
dia seperti anak Hu sehingga bertingkah semaunya, anak perempuan begitu lebih
baik tidak ada."
"Memangnya anak Hu kurang baik apa?" seru Ui
Yong. "Dia sayang pada adiknya sehingga wajar kalau dia menyerang secara
gemas, jika aku, mungkin lengan kiri Nyo Ko juga sudah kutabas bila dia tidak
mengembalikan anakku."
"Kau bilang apa Yong-ji?" bentak Kwe Cing
dengan gusar sambil menggebrak meja, seketika ujung meja sempal sebagian, Bayi
yang tadinya sedang menangis itu lantas berhenti oleh karena bentakan dan suara
gebrakan itu.
Saat itu juga Nyo Ko melihat di jendela sebelah sana ada
berkelebatnya bayangan orang, sambil munduk2 orang itu terus menyingkir pergi.
Nyo Ko menjadi ingin tahu siapakah orang Kwe Hu.
Dengan Ginkangnya yang tinggi ia coha menguntit
dilihatnya perawakan orang itu tinggi ramping, jelas Kwe Hu adanya, seketika
hati Nyo Ko terbakar, ia pikir kebetulan sekali, memang kau yang ingin kucari.
Tapi pada saat itu juga cahaya lampu di kamar Ui Yong
telah dipadamkan dan terdengar suaranya: "Kau keluar saja, membikin kaget
anak ini saja."
Nyo Ko tahu Kwe Cing akan segera keluar dan sukar
mengelabuhi mata sang paman, maka cepat ia melompat ke sana dan sembunyi di
balik gunung2an, lalu berputar menuju ke luar kamar Kwe Hu. ia melompat ke atas
pohon besar yang terletak di luar kamar dan sembunyi di balik daun pohon yang
lebat.
Sejenak kemudian terlihat Kwe Hu kembali di kamarnya
pelayan pribadinya telah membenahi bantal dan selimutnya, tapi tak berani
banyak bicara melihat si nona cemberut saja, ia hanya menyilakan si nona tidur,
lalu keluar kamar sambil merapatkan pintu.
Dari atas pohon Nyo Ko dapat melihat keadaan kamar dengan
jelas melalui jendela yang masih terbuka itu. Dilihatnya Kwe Hu sedang menghela
napas panjang dan berduduk dengan bertopang dagu.
Nyo Ko pikir "Apa yang kau sedihkan? Kau membikin
buntung lenganku, akupun balas membuntungi sebelah lenganmu. Cuma seorang
lelaki tidak pantas berkelahi dengan seorang perempuan, kalau sekarang kuhendak
membereskan kau adalah terlalu mudah bagiku, namun cara ini bukanlah perbuatan
seorang jantan sejati. Rasanya aku harus ber teriak2 lebih dulu agar paman Kwe
memburu ke sini, dia adalah tokoh silat pujaan masa kini, biar kukalahkan dia
dahulu baru nanti kubereskan anak perempuannya, dengan perbuatanku yang
terangan ini tentu takkan ditertawakan orang.
Akan tetapi ilmu silat paman Kwe teramat tinggi, apakah
aku dapat mengalahkan dia? Ah, mungkin tidak dapat. Lalu bagaimana, aku harus
menuntut balas atau tidak?"
BegituIah ia menjadi ragu2, tapi demi teringat pada
lengannya yang sudah buntung itu, seketika darahnya bergolak lagi dan segera ia
nekat hendak melompat ke dalam kamar Kwe Hu. Pada saat itulah tiba2 terdengar
suara tindakan orang sedang mendatang, ternyata bukan lain daripada Kwe Cing.
Setiba di luar kamar anak perempuannya, Kwe Cing mengetok
pelahan pintu kamar dan me-manggih "Anak Hu, apa kau sudah tidur?"
Kwe Hu berbangkit dan menjawab: "Kau kah,
ayah?" suaranya terdengar rada gemetar.
Nyo Ko terkesiap juga, ia pikir jangan2 paman Kwe sengaja
datang ke kamar si nona untuk melindunginya karena mengetahui kedatanganku ini?
Baik, biar kulabrak kau lebih duIu! Demikian tekad anak muda itu.
Daiam pada itu Kwe Hu telah membuka pintu kamarnya, ia
memandang sekejap pada sang ayah, lalu menunduk. Kwe Cing melangkah ke dalam
kamar dan menutup pintu, lalu duduk di kursi di depan tempat tidur dan terdiam
untuk sekian lamanya.
Setelah ayah-anak itu sama2 bungkam agak lama, akhirnya
Kwe Cing membuka suara: "Selama beberapa hari ini kemana saja kau?"
Kwe Hu melirik sang ayah sekejap, lalu menjawab dengan
tergagap: "Setelah ..... setelah melukai Nyo-toako, anak takut... takut
didamprat ayah, maka... maka..."
"Maka kau bersembunyi begitu?" sambung Kwe
Cing, Sambil menggigit bibirnya, terpaksa Kwe-Hu mengangguk
"Jadi maksudmu menunggu setelah kegusaranku mereda
barulah kau pulang?"
Kembali Kwe Hu manggut2, mendadak ia menubruk ke pangkuan
sang ayah dan berseru dengan ter-guguk: "Apakah engkau masih marah pada
anak, ayah?"
Dengan penuh rasa kasih sayang Kwe Cing membelai rambut
anak gadisnya, katanya dengan pelahan: "Tidak, aku tidak marah, selamanya
aku tak pernah marah, aku cuma sedih bagimu."
"O, ayah!" teriak Kwe Hu sambil mendekap sang
ayah dan menangis tersendat sendat.
Kwe Cing menengadah memandangi langit2 kamar tanpa bicara
lagi. Agak lama setelah tangis Kwe Hu mereda barulah dia berkata pula:
"Kakek Nyo Ko, namanya Nyo Thi-sim, dengan kakekmu Kwe Siau-thian,
keduanya adalah saudara angkat. Ayahnya dan ayahmu ini juga mengikat sebagai
saudara, semuanya ini kan sudah kau ketahui."
Kwe Hu mengiakan. Maka Kwe Cing lantas melanjutkan:
"Meski tingkah laku Nyo Ko itu ter-kadang suka dugal tapi pembawaannya
berbudi luhur, beberapa kali dia pernah menyelamatkan jiwa ayah-bundamu,
usianya masih muda, tapi jasanya cukup besar bagi negara dan bangsa, hal inipun
kau mengetahui,"
Karena nada ucapan sang ayah semakin bengis Kwe Hu tidak
berani menanggapi.
Tiba2 Kwe Cing berbangkit dan berkata pula:
"Selain itu ada lagi suatu hal yang tidak diketahui
olehmu, biarlah sekarang kuceritakan padamu. Bahwa ayah Ko-ji, yaitu Nyo Khong,
dahulu perbuatannya memang sangat tercela, sebagai kakak angkatnya aku tak
dapat menasehati dia dan menuntunnya ke jalan yang benar, akhirnya dia tewas
secara mengerikan di biara Thi-jio-bio di kota Kahin, Walaupun kematian paman
Nyo itu bukan dilakukan oleh ibumu, tapi matinya disebabkan oleh ibumu, jadi
sebenarnya keluarga Kwe kita utang cukup banyak kepada keluarga Nyo."
Untuk pertama kalinya sekarang Kyo Ko mendengar tentang
sebab musabab serta tempat kematian ayahnya itu, seketika dendam kesumat yang
terpendam dalam lubuk hatinya itu berkobar kembali.
Dalam pada itu terdengar Kwe Cing sedang berkata:
"Sebenarnya ada maksudku hendak menjodohkan kau pada Ko-ji sekadar
mengurangi penyesalanku dalam hidupku ini, siapa tahu... siapa tahu...
Ai!"
Mendadak Kwe Hu mendongak dan berkata: "Ayah, dia
telah menggondol lari adik dan telah banyak mengucapkan kata2 kotor yang
merendahkan anakmu ini, Coba ayah, biarpun keluarga Nyo mereka mempunyai
hubungan erat dengan keluarga Kwe kita, apakah anak boleh dihina dan dicerca
begitu saja olehnya dan tidak boleh membantah dan melawannya?"
Se-konyong2 Kwe Cing membentak: "Sudah jelas kau
telah mengutungi lengannya, cara bagaimana dia dapat menghina dan mencerca kau?
Dan di mana pedang itu?"
Kwe Hu tidak berani berbantah lagi, ia mengeluarkan
Ci-wi-kiam itu dari bawah kasur. Setelah memegang pedang itu, Kwe Cing
menggetarnya pe-lahan, seketika terdengar suara mendengung Lalu katanya dengan
pedih:
"Anak Hu, manusia hidup harus bisa mawas diri,
setiap tindak-tandak harus dilakukan dengan jujur tanpa merugikan siapapun
juga. Biasanya meski ayah sangat bengis padamu, tapi sayangku padamu tidak
kurang daripada ibumu."
Sampai dengan kalimat2 terakhir ini suaranya berubah
menjadi halus dan lunak.
Maka dengan suara pelahan Kwe Hu menanggapi "Ya,
anak juga tahu."
"Baiklah, sekarang ulurkan lengan kananmu,"
kata Kwe Cing tiba2. "Kau telah memotong sebelah lengan orang, akupun
memotong sebelah lenganmu. Selama hidup ayahmu jujur dan adil, biarpun puteriku
sendiri kalau berbuat salah juga takkan kubela."
Sebelumnya Kwe Hu juga menyadari dirinya pasti akan
dihukum oleh sang ayah, tapi sama sekali tak menduga bahwa ayahnya tega menabas
lengan-nya. Keruan ia ketakutan hingga muka pucat seperti mayat dan berteriak:
"Ayah!"
Nyo Ko juga tidak menduga bahwa Kwe Cing sedemikian
tinggi luhur budinya, iapun berdebar menyaksikan adegan luar biasa itu,
Terlihat wajah Kwe Cing yang kereng itu menatap puterinya dengan tajam,
mendadak pedangnya bergerak terus menabas.
Akan tetapi dengan cepat luar biasa mendadak seorang
melompat masuk kamar melalui jendela, belum tiba segera pentungnya menangkis
pedang Kwe Cing, siapa lagi dia kalau bukan Ui Yong.
Tanpa bicara Ui Yong menyerang tiga kali, semuanya tipu
serangan lihay dari Pak-kau-pang-hoat, karena ilmu permainan pentung itu memang
sangat hebat, pula Kwe Cing tidak ber-jaga2, mau-tak-mau ia terdesak mundur
dua-tiga tindak oleh sang isteri.
"Lekas lari, anak Hu!" satu Ui Yong.
Namun Kwe Hu tidak secerdik sang ibu, menghadapi
peristiwa luar biasa ini, ia menjadi melenggong dan berdiri mematung.
Dengan tangan kiri membopong bayi dan tangan kanan
memutar pentungnya, segera Ui Yong gunakan pentungnya untuk menolak tubuh Kwe
Hu sehingga terjungkal keluar jendela, "Lekas kembali ke Tho-hoa-to dan
mohon Kwa~kongkong (maksudnya Kwa Tin-ok) ke sini untuk mintakan ampun pada
ayahmu!" seru Ui Yong sambil memutar kembali pentungnya untuk mengalangi
Kwe Cing, lalu ia berseru pula: "Lekas pergi, kuda merah tertambat di
depan!"
Rupanya Ui Yong cukup kenal watak sang suami yang polos
dan jujur itu, bahkan terkadang juga kepala batu, tapi juga sangat mementingkan
setia kawan dan menghormati orang tua.
Sekali ini anak perempuannya telah berbuat salah besar,
tentu tak terhindar dari hukuman berat, maka sebelumnya ia telah suruh orang
menyiapkan kuda merah itu di luar pintu lengkap dengan pelana terpasang serta
perbekalan seperlunya, ia pikir kalau berhasil meredakan amarah suaminya, kalau
perlu biar Kwe Hu diomeli dan dipukul sekadarnya dan bereskan persoalannya,
kalau tidak terpaksa Kwe Hu disuruh lekas lari ke tempat yang jauh, kelak kalau
amarah sang suami sudah mulai kendur barulah puterinya itu akan disuruh pulang.
Tadi sehabis ribut mulut di kamar dan Kwe Cing terus
menuju kamar anak perempuannya, segera Ui Yong merasakan gelagat kurang enak,
cepat ia menyusul ke sana dan dapatlah menyelamatkan lengan puterinya ttu.
sebenarnya kepandaian Ui Yong sekali2 bukan tandingan Kwe Cing, tapi biasanya
Kwe Cing rada segan pada isterinya, pula melihat Ui Yong memondong bayi,
betapapun tidak tega menggunakan pukulan berat untuk menghalau sang isteri,
karena sedikit ragu dan teralang itulah Kwe Hu sempat kabur keluar rumah.
Sudah tentu semua kejadian itu dapat disaksikan oleh Nyo
Ko di tempat sernbunyinya, ketika Kwe Hu terlempar keluar jendela, kalau dia
terus melompat turun dan menyerangnya, terang Kwe Hu sudah binasa sejak tadi.
Tapi mengingat sekeluarga itu sedang kalang kabut dan pokok pangkalnya adalah
disebabkan diriku, kalau kubinasakan dia selagi orang dalam kesusahan,
betapapun rasanya tidak enak dan tidak tega.
Dalam pada itu Ui Yong masih terus memutar pentungnya dan
mendesak mundur Kwe Cing pula, kini Kwe Cing sudah kepepet di tepi ranjang dan
takdapat mundur lagu Mendadak Ui Yong berteriak "Terima ini!"
Berbareng bayi dalam pondongannya terus dilemparkan kepada sang suami.
Dengan melengak Kwe Cing menangkap bayi itu, Ui Yong
lantas mendekatinya dan membujuk dengan suara halus: "Kakak Cing, harap
kau mengampuni anak Hu."
Namun Kwe Cing menggeleng, jawabnya: "Yong ji,
masakah aku sendiri tidak sayang pada puterinya sendiri? Tapi dia telah berbuat
kesalahan sebesar itu, kalau tidak diberi hukuman setimpal, betapapun hati kita
takkan tenteram, pula cara bagaimana kita akan menghadapi Ko-ji? Ai, lengannya
buntung sebelah, tiada orang yang merawatnya pula, entah bagaimana keadaannya
sekarang?"
Mendengar ucapan yang penuh perasaan itu, Nyo Ko tahu
sang paman senantiasa memikirkan dirinya, tanpa terasa ia menjadi terharu dan
hampir meneteskan air mata.
"Sudah sekian hari kita mencarinya dan tak menemukan
jejaknya, kalau terjadi sesuatu tentu kita sudah menemukan bekas2nya."
kata Ui Yong.
"Apalagi kepandaian Ko-ji sudah tidak dibawah kita,
meski terluka parah juga takkan beralangan."
"Baiklah, akan kupanggil kembali anak Hu." kata
Kwe Cing.
"Saat ini dia sudan keluar kota dengan kuda merah,
mana dapat menyusulnya lagi?" kata Ui Yong dengan tertawa.
"Saat ini baru lewat tengah malam, tanpa Lengpay
(tanda perintah) dariku atau Lu-tayjin, tidak mungkin dia dapat keluar
kota," kata Kwe Cing pula.
"Baiklah, terserah kau," jawab Ui Yong sambil
menghela napas, lalu ia mendekati sang suami untuk menerima bayinya.
Tanpa sangsi Kwe Cing mengangsurkan bayi itu, di luar
dugaannya, baru saja kedua tangan Ui Yong menyentuh gurita si bayi, se-konyong2
tangannya terus menyelonong ke iga Kwe Cing, dengan ilmu Tiam-hiat yang khas
ajaran Ui Yok-su yang terkenal dengan nama "Lau-hoa-hut-hiat-jiu"
mendadak ia tutuk kedua Hiat-to penting di bagian iga sang suami.
Dengan kepandaian Kwe Cing yang maha sakti sekarang ini,
kalau Ui Yong tidak main licik, betapapun sukar hendak menutuk suaminya itu.
Rupanya ketika dia melemparkan Kwe Bo~loh kepada suaminya memang sudah diatur
rencananya ini, Menghadapi isterinya yang cerdik pandai ini Kwe Cing benar2
mati kutu, seketika dia kaku pegal dan menggeletak di atas ranjang tanpa bisa
berkutik.
Sambil membopong bayinya Ui Yong terus membukakan sepatu
dan baju luar sang suami dan dibaringkan di tempat tidur serta diberi bantal
pula agar dapat tidur dengan baik, lalu dari baju Kwe Cing diambilnya Lengpay.
Sudah tentu Kwe Cing menyaksikan ini tapi tak berdaya,
Kemudian Ui Yong merebahkan bayinya pula di samping sang
suami agar ayah dan anak itu tidur bersama, lalu mereka diselimuti pula dan
berkata: "Kakak Cing, maaf, nanti kalau anak Hu sudah kuantar keluar kota,
pulangnya akan kubuatkan beberapa macam daharan lezat untuk minta maaf
padamu."
Kwe Cing hanya menyeringai saja tanpa bisa menjawab,
isterinya yang sudah setengah umur ini ternyata masih nakal seperti dahulu.
Terlihat Ui Yong melangkah pergi dengan tersenyum. Dalam keadaan tertutuk
begitu, andaikan menggunakan tenaga dalam sendiri untuk membobol Hiat-to yang
tertutuk itu paling cepat diperlukan satu jam baru jadi, jelas betapapun sukar
lagi menyusul puterinya, persoalan ini benar2 membuatnya serba runyam.
Ui Yong sayang pada anak, ia kuatir Kwe Hu seorang diri
pergi ke Tho-toa-to mungkin akan mengalami kesulitan di tengah jalan, maka
cepat ia kembali ke kamarnya untuk mengambil kaos kutang pusaka yang biasa
dipakainya segera ia memburu ke pintu gerbang selatan, setiba di sana,
tertampak Kwe Hu sedang ribut dengan perwira penjaga yang tidak mau membukakan
pintu.
Perwira itu bicara dengan hormat dan berusaha menjelaskan
bahwa tanpa idzin khusus dari Lu-ciangkun dan Kwe-tayhiap, malam2 membuka pintu
gerbang pasti akan dihukum penggal kepala, sebab itulah perwira itu menyatakan
keberatan untuk mengeluarkan si nona.
Ui Yong kenal kecerobohan puterinya itu yang juga kurang
pengalaman itu, menghadapi kesukaran bukannya mencari akal, tapi malahan
mengumbar kemarahan dan berteriak2 yang tiada gunanya. Cepat ia mendekati mereka
dan memperlihatkan Lengpay yang diambilnya dari baju sang suami tadi.
Melihat Lengpay itu memang aslinya, pula dibawa sendiri
oleh Kwe-hujin, terpaksa perwira penjaga itu minta maaf dan membukakan pintu,
bahkan ia meminjamkan kudanya kepada nyonya Kwe itu.
Ui Yong merasa kebetulan dengan kuda pinjaman itu, Kwe Hu
juga sangat girang melihat kedatangan sang ibu, segera keduanya melarikan kuda
mereka keluar kota.
Karena merasa berat untuk berpisah dengan puterinya, Ui
Yong terus mengantar hingga cukup jauh dari kota, karena habis perang, beberapa
ratus li di utara kota Siangyang boleh dikatakan tandas tanpa penduduk,
sebaliknya di bagian selatan Siang-yang belum mengalami keganasan pasukan
Mongol, walaupun suasana juga kurang aman, tapi penghidupan rakyat tetap
berlangsung seperti biasa.
Kira2 sudah lebih 20 li, pagipun tiba, ibu dan anak itu
sampai di suatu kota kecil, beberapa toko sudah membuka dasar menanti tamu, Ui
Yong lantas mengajak puterinya masuk sebuah rumah makan untuk sarapan dan habis
itupun mereka terus berpisah.
Dengan mengembeng air mata Kwe Hu menuruti ajakan sang
ibu. Dalam hati ia sangat menyesalkan perbuatan sendiri yang telah mengutungi
lengan Nyo Ko sehingga mengakibatkan kemarahan ayahnya dan terpaksa harus
berpisah dengan ibunda pula kembali ke Tho-hoa-to, di sana hanya akan ditemani
seorang kakek buta saja, yaitu Kwe kongkong, ia membayangkan dirinya pasti
tidak betah hidup di pulau terpencil itu.
Begitulah kedua orang lantas pesan sarapan di rumah makan
itu, Ui Yong lantas menyerahkan kaos pusaka yang kebal senjata itu kepada Kwe
Hu dengan pesan supaya dipakai untuk menjaga segala kemungkinan, banyak pula
dia memberi nasihat agar ini dan itu bila di tengah jalan mengalami kesulitan.
Kasih sayang seorang ibu sedemikian besarnya, ketika
sekilas melihat tidak jauh dari rumah makan itu ada sebuah toko makanan dan
menjual buah2an, timbul hasrat Ui Yong untuk memberi bekal beberapa buah apel
pada puterinya untuk dimakan dalam perjalanan. Maka iapun berkata: "Anak
Hu, hendak-lah kau makan sekenyangnya agar nanti tidak kelaparan, suasana kacau
begini, bisa jadi di depan sukar ditemukan rumah makan lagi. Aku pergi sebentar
ke sana untuk membeli sedikit buah." - Habis ini ia lantas menuju ke toko
buah2an.
Sesudah memilih belasan buah apel yang merah besar, baru
saja mau membayar, tiba2 di belakang ada suara seorang perempuan sedang
berkata: "Berikan 20 kati beras, satu kati garam, masukkan pada karung
ini."
Ui Yong merasa tertarik oleh suara yang nyaring itu, ia
coba meliriknya, kiranya seorang To-koh berbaju kuning sedang membeli rangsum
di toko beras sebelah, Pada tangan kiri To-koh itu memondong seorang bayi
perempuan, tangan kanan sedang mengeluarkan uang. Popok yang dikenakan bayi itu
terbuat dari sutera merah dan tersulam seekor kuda, jelas itulah buah tangan Ui
Yong sendiri.
Seketika hati Ui Yong tergetar hebat sehingga buah apel
yang di pegangnya jatuh kembali ke keranjang penjualnya. Siapa lagi bayi itu
kalau bukan Kwe Yang, puteri kandung yang baru beberapa hari dilahirkannya itu.
Dari samping dapat dilihatnya pula To-koh itu ternyata
adalah Jik-lian-siancu Li Bok-chiu.
Ui Yong sendiri belum pernah bertemu dan bertempur dengan
iblis perempuan ini, tapi melihat pinggangnya terselip sebuah kebut, matanya
buta sebelah serta dandanannya, segera ia yakin pasti Li Bok-chiu adanya.
Sejak melahirkan Kwe Yang, dalam keadaan kacau dan gugup
ia cuma pernah memandang beberapa kejap kepada bayi itu. sekarang ia coba
mengamat-amati puterinya itu, ternyata mata alisnya sangat indah, dan mukanya
molek, meski orok yang baru berumur beberapa hari, namun jelas adalah calon
perempuan cantik kelak.
Dilihatnya pula air muka bayi itu ke-merah2an dan
tampaknya sangat sehat, padahal adiknya, si Kwe Bo-loh, yang disusuinya sendiri
juga tidak sesehat dan semontok ini.
Begitulah karena kejut dan girangnya, hampir saja Ui Yong
meneteskan air mata, Si penjual buah sampai melongo heran melihat Ui Yong
berdiri kesima dan tidak jadi membawa apel yang dibelinya itu.
Sementara itu Li Bok-chiu sudah selesai membayar dan
mengangkat karungnya terus bertindak pergi, Tanpa pikir Ui Yong lantas
menguntit ke sana. Karena keadaan, sudah mendesak, ia tidak sempat kembali ke
rumah makan untuk memberitahukan Kwe Hu, Yang dia kuatirkan hanya Kwe Yang
saja, ia pikir orok itu berada di tangan iblis keji itu, kalau merebutnya
kembali dengan kekerasan, bisa jadi akan membikin celaka bayi itu.
Karena itu ia tidak segera bertindak melainkan terus
mengintil di belakang Li Bok~chiu.
Rada cemas juga Ui Yong melihat Li Bok-chiu terus keluar
kota dan menuju ke arah barat, pikirnya: "lblis ini adalah Supek Nyo Ko,
walaupun kabarnya mereka tidak akur satu sama lain, tapi anak Hu telah
mengutungi lengan Nyo Ko, Ko~bong-pay mereka telah mengikat permusuhan dengan
keluarga Kwe, jika Ko-ji dan nona Liong sedang menunggu iblis ini di depan
sana, itu berarti aku harus melawan mereka bertiga dan rasanya sukar untuk
mengalahkan mereka, jalan paling baik adalah selekasnya aku harus
bertindak."
Dalam pada itu Li Bok-chiu telah membelok ke selatan dan
masuk ke sebuah hutan, cepat Ui Yong mengeluarkan Ginkangnya dan secepat
terbang mengitar ke samping hutan sana agar mendahului di depan Li Bok-chiu, di
situ mendadak ia melompat keluar dan menghadangnya.
Ketika mendadak di depannya muncul seorang nyonya muda
cantik, rada terkejut juga Li Bok chiu, akan tetapi segera ia dapat menenangkan
diri.
"Aha, yang kuhadapi sekarang tentulah Jik~
lian-siancu Li-totiang, selamat bertemu!" sapa Ui Yong dengan tertawa.
Dari gaya lompatan Ui Yong tadi, Li Bok-chiu yakin orang
pasti bukan tokoh sembarangan pula melihat orang bertangan kosong sebuah
pentung bambu hijau terselip di tali pinggangnya, seketika tergerak-pikirannya,
dengan tersenyum ia lantas menaruh karungnya dan memberi hormat sambil berkata.
"Sudah lama siaumoay (adik) mengagumi nama kebesaran Kwe-hujin dan baru
sekarang dapat berjumpa, sungguh beruntung dan menggembirakan."
Di dunia persilatan kini, tokoh wanita terkemuka hanya Ui
Yong dan Li Bok-chiu berdua saja yang paling termashur. Meski ilmu silat
Siao-liong-li juga lihay, tapi usianya masih muda, namanya belum begitu
terkenal, sedangkan Ui Yong adalah puteri kesayangan Tang-sia (si latah dari
timur) Ui Yok-su serta isteri tercinta Kwe Cing, jabatannya juga tinggi, yaitu
ketua Kay-pang, organisasi kaum jembel yang paling berpengaruh.
Sedangkan Li Bok-chiu terkenal dengan kebut mautnya,
jarum berbisa serta pukulan "panca-bisa" yang tidak kenal ampun.
Kini keduanya kepergok bersama, hati kedua-nya sama-sama
terkejut dan heran bahwa pihak lawan ternyata sedemikian cantik. Karena itu
dalam hati masing-masing sama was-was dan tidak berani meremehkan pihak lawan.
Maka dengan tertawa Ui Yong lantas berkata pula:
"Ah, Li-totiang terhitung kaum Cian-pwe, mengapa bicara secara begitu
sungkan?"
"Kwe-hujin sendiri adalah ketua Kay-pang, tokoh
dunia persilatan terkemuka, selama ini siaumoay sangat kagum dan hormat"
jawab Li Bok chiu.
Begitulah setelah kedua orang sama-sama bicara dengan
rendah hati, kemudian Ui Yong menuju sasarannya:."Wah, bayi dalam pondongan
Li-totiang ini sungguh sangat menyenangkan. Putera siapakah ini?"
"Kalau kukatakan, sungguh sangat memalukan harap
Kwe-hujin jangan mentertawakan diriku." kata Bok-chiu.
"Ah, mana kuberani," ujar Ui Yong, Diam2 ia
bersiap kalau segera saling bergebrak, tapi sebelum menggunakan kekerasan iapun
berusaha mencari akal untuk bisa merebut kembali puterinya itu.
Dalam pada itu terdengar Li Bok - chiu telah menjawabnya:
"Sungguh malang juga perguruan Ko-bong-pay kami dan mungkin juga aku
memang tidak becus mengajar Sumoayku, anak ini adalah puteri liong-sumoayku di
luar nikah...."
Sudah tentu Ui Yong sangat heran mendengar keterangan
ini, sudah jelas Siao-liong-li tidak pernah hamil, darimana bisa melahirkan di
luar nikah? Padahal bayi ini jelas puteriku, apa maksud tujuannya.
Sebenarnya bukanlah Li Bok-chiu sengaja hendak membohongi
Ui Yong, soalnya dia memang menyangka bayi itu adalah anak haram hasil hubungan
Siao-liong li dengan Nyo Ko.
Dia dendam pada mendiang gurunya karena dianggap pilih
kasih, pada sang Sumoay dan menurunkan pusaka Giok~li-sim-keng padanya.
Sekarang kebetulan Ui Yong bertanya tentang bayi itu, maka dia sengaja hendak
merusak nama baik Sumoaynya.
Begitulah Ui Yong lantas berkata pula: "Nona Liong
tampaknya sopan dan suci, masakah berbuat sejauh itu, sungguh sukar dibayangkan
Dan siapakah ayah anak ini?"
"Ayah anak ini?" Li Bok-cbiu mencgas.
"Hah, kalau disebut akan lebih memalukan lagi, ialah murid Sumoayku, si
Nyo Ko."
Meski Ui Yong pintar berlagak, tak urung mukanya menjadi
merah juga dan merasa gusar, Maklumlah, kalau anaknya dianggap anak haram
Siao-Iiong-Ii masih mendingan, tapi dikatakan ayah bayi itu ialah Nyo Ko, ini
berarti menghinanya.
Namun rasa gusar itu hanya sekilas saja terlintas
dimukanya, segera ia tenang kembali dan berkata.
"Anak ini sungguh sangat menyenangkan. Eh,
Li-totiang, bolehkah kupondong sebentar." Segera ia mendekatinya sambil
mulutnya ber~kecek2 untuk meminang anak bayi itu.
Sejak dapat merebut Kwe Yang, selama beberapa hari Li
Bok-chiu tinggal di pegunungan yang sepi dan hidup gembira dengan momong bayi
itu, setiap hari dia memeras susu macan tutul utk minuman si bayi.
Meski dia sudah banyak berbuat kejahatan tapi pembawaan
setiap manusia pada umumnya tidaklah jahat, soalnya dia patah hati dalam cinta,
dia menjadi benci kepada sesamanya dan sakit hati kepada kehidupan ini,
wataknya berubah menjadi nyentrik, dari nyentrik berubah menjadi keji.
Tapi Kwe Yang itu memang bayi yang cantik menyenangkan
sehingga mengetok hati keibuannya, terkadang kalau dia merenung di tengah malam
sunyi, terpikir olehnya andaikan Siao-liong-li akan menukar bayi itu dengan
Giok-li-sim-keng juga takkan diterimanya. sekarang Ui Yong dilihatnya hendak
memondong si bayi, ia menjadi senang sebagaimana layaknya seorang ibu akan merasa
gembira dan bangga kalau puteranya dipuji orang, maka tanpa pikir ia terus
menyodorkan Kwe Yang.
Ketika tangan Ui Yong sudah menyentuh popok dari Kwe
Yang, tanpa terasa air mukanya menampilkan rasa kasih sayang seorang ibu yang
tiada taranya.
Sudah sekian lama siang dan malam ia memikirkan
keselamatan anak perempuan ini, sekarang dia dapat menemukannya dan
memondongnya, tentu saja girangnya tak terlukiskan.
Li Bok-chiu juga seorang yang maha pintar dan cerdik,
melihat air muka Ui Yong luar biasa itu, seketika hatinya tergerak "Kalau
dia cuma suka pada anak kecil dan ingin memondongnya, mengapa hatinya
terguncang sedemikian rupa? Tentu dibalik hal ini ada sesuatu yang tidak beres.
Karena itulah mendadak ia menarik kembali Kwe Yang yang sudah disodorkan itu,
berbareng ia terus melompat mundur.
Baru saja kakinya menempel tanah dan hendak menegur apa
kehendak Ui Yong sebenarnya, tiba2 Ui Yong sudah membayanginya melompat maju.
Cepat Li Bok-chiu menyambutnya dengan karung yang dipanggulnya itu, seketika 20
kati beras dan satu kati garam berhamburan ke muka Ui Yong.
Sudah tentu sukar bagi Ui Yong untuk menghalau hujan
beras dan garam itu, sebisanya dia meloncat ke atas sehingga beras-garam itu
menyamber lewat di bawah kakinya. Pada kesempatan itu juga Li Bok -chiu lantas
melompat mundur Iagi, kebutnya lantas disiapkan dan berkata dengan tertawa:
"Kwe-hujin, apakah kau hendak merebut anak ini untuk Nyo Ko?"
Pikiran Ui Yong dapat bekerja dengan cepat, sekejap itu
dia sudah mengambil keputusan apa yang harus dilakukannya selanjutnya, kalau
lawan sudah curiga, terpaksa harus memakai kekerasan untuk merebut kembali si
Kwe Yang cilik itu.
Maka dengan tertawa ia menjawab: "Ah, aku cuma
tertarik pada anak yang montok ini dan ingin memondong-nya, tapi kau ternyata
tidak sudi dan terlalu merendahkan diriku."
"Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin termashur di seluruh
jagat, selamanya siaumoay sangat kagum, kini dapat menyaksikan sedikit gerak
tubuhmu dan ternyata memang tidak bernama kosong." kata Li Bok-chiu,
"Tapi siaumoay masih ada urusan lain, biarlah kumohon diri saja." -
Rupanya dia kuatir kalau Kwe Cing juga berada di sekitar situ, maka dia menjadi
jeri, setelah bicara begitu segera ia hendak melangkah pergi.
Ui Yong lantas meloncat maju, selagi tubuhnya masih
mengapung di udara, lebih dulu pentung bambu penggebuk anjing sudah dilolosnya
dan begitu kaki menyentuh tanah, segera ia menutulkan pentungnya ke punggung Li
Bok-chiu.
Diam2 Li Bok-chiu mendongkol padahal bicaranya cukup
ramah dan sungkan, kalau orang sudah mulai menyerangnya, terpaksa ia harus
melayaninya. Cepat kebutnya menyabet ke belakang untuk menangkis pentung lawan,
menyusul iapun balas menyerang satu kali,
Pak-kau-pang-hoat memang sangat hebat dan cepat luar
biasa, setelah beberapa jurus saja Li Bok-chiu sudah merasa kewalahan. Dasar
ilmu silatnya memang lebih rendah sedikit daripada Ui Yong, apalagi sekarang
dia memondong bayi, tentu saja gerak-geriknya lebih2 tidak leluasa.
Dalam pada itu Ui Yong terus bergerak mengitarnya,
pentungnya menyerang dengan lebih kencang hanya sekejap saja Li Bok-chiu sudah
terdesak hingga kelabakan.
Namun Li Bok-chiu juga cerdik, melihat serangan pentung
Ui Yong itu selalu menjauhi si bayi, maka tahulah dia akan kelemahan lawan,
seperti juga waktu menempur Nyo Ko, bayi ini malah menjadi perisai yang baik
baginya. Dengan tertawa ia lantas berkata: "Kwe-hujin, jika engkau ingin
menjajal kepandaianku kukira masih banyak kesempatan di lain waktu saja, kenapa
mesti kau paksakan sekarang ini? Kalau sampai salah seorang antara kita salah
tangan, bukankah anak yang menyenangkan ini akan menjadi korban?"
Melihat Li Bok-chiu mulai menggunakan anak itu sebagai
tameng, Ui Yong menjadi ragu apakah orang memang benar2 tidak tahu bayi itu
adalah anakku atau cuma pura2 saja? Karena pikiran ini segera ia sengaja
memancingnya dengan berkata.
"Demi keselamatan anak ini, sudah belasan jurus
kuberi kelonggaran padamu, kalau tidak lekas kau taruh anak itu, terpaksa aku
tidak pedulikan mati-hidupnya lagi." Sembari berkata pentungnya terus
menutuk kaki kiri lawan.
Ketika Li Bok-chiu hendak menangkis dengan kebutnya,
namun pentung Ui Yong lantas memutar ke atas untuk menjojoh dada orang. Tikaman
ini cukup cepat lagi jitu, yang diarah justeru adalah tubuh si Kwe Yang kecil
yang berada dalam pondongan Li Bok-chiu.
Kalau saja serangan ini mengenai sasarannya, sekalipun Li
Bok chiu sendiri juga akan ikut terluka parah, apalagi Kwe Yang kecil itu,
pasti jiwanya akan melayang seketika.
Namun Ui Yong benar2 sudah menguasai pentungnya dengan
sesuka hati, meski tampaknya ujung pentung sudah menempel popok bayi, tapi
sedikitpun bayi itu tak terluka kalau pentung itu tidak disodorkan lebih maju
lagi.
Tentu saja Li Bok-chiu tidak tahu, ia kuatirkan
keselamatan si bayi, maka cepat ia melompat ke samping dan karena itu juga ia
sendiripun tak terjaga, tahu2 kaki kirinya keserempet pentung dan hampir
terjungkal setelah sempoyongan dan dapat berdiri tegak, lalu ia berpaling dan
berkata:
"Kwe-hujin, percuma saja kau terkenal sebagai
pendekar berbudi, mengapa kau tega melukai seorang bayi, apa kau tidak
malu?"
Melihat sikap orang tidaklah pura2, diam2 Ui Yong
bergirang karena orang terjebak oleh akalnya, dengan tertawa iapun menjawab:
"Anak ini toh bukan bibit yang baik, buat apa dibiarkan hidup di dunia
ini?"
Habis berkata ia terus menyerang pula dan sengaja
mengincar Kwe Yang saja.
Dibawa lompat kian kemari oleh Li Bok-chiu, agaknya Kwe
Yang kecil itu merasa tidak enak, mendadak ia menangis keras2.
Diam2 Ui Yong merasa kasihan, tapi serangannya justeru
bertambah kencang, kalau saja Li Bo-k-chiu tidak berusaha bertahan sekuatnya,
tampaknya setiap jurus serangan Ui Yong bisa menewaskan bayi itu.
Li Bok-chiu menjadi serba susah, mendadak ia menangkis
dengan kebutnya. lalu berseru: "Kwe-hujin, sebenarnya apa kehendakmu?"
Dengan tertawa Ui Yong menjawab: "Li-lotiang, kata
orang, di dunia Kangouw saat ini hanya Li-totiang dan diriku saja tergolong
tokoh wanita terkemuka, kebetulan kita bertemu di sini, bagaimana kalau kita
coba2 menentukan siapa yang lebih unggul."
Diam2 Li Bok-chiu mendongkol dengusnya: "Hm, kalau
Kwe-hujin sudi memberi pengajaran, sungguh kebetulan bagiku."
"Tapi kau membawa anak kecil itu, kalau ku-menang
juga kurang berharga," ujar Ui Yong "Sebaiknya kau taruh dulu bayi
itu, lalu kita bertanding dengan segenap kemahiran masing2."
Li Bok-chiu pikir ucapan Ui Yong itu ada benarnya juga,
apalagi melihat cara menyerang Ui Yong tadi, tampaknya tidak kenal ampun
sedikitpun terhadap anak sekecil itu. ia coba memandang sekelilingnya, terlihat
di sebelah kanan sana di tengah2 beberapapohon besar ada tanah rumput yang
tumbuh lebat - tanah rumput itu cocok sekali sebagai kasuran, segera ia membawa
Kwe Yang ke sana dan ditaruh di atas rumput, lalu memutar balik dan berkata:
"Baiklah, mari kita mulai!"
Setelah saling gebrak belasan jurus tadi: Ui Yong tahu
kepandaian Li Bok-chiu seimbang dengan dirinya, kalau sekarang puterinya
direbut kembali, untuk kabur juga sukar jika Li Bok chiu balas menyerang
seperti perbuatan dirinya tadi, malahan kalau lengah sedikit saja mungkin Kwe
Yang kecil itu bisa celaka, jalan paling baik hanya kalau mengalahkan Li
Bok-chiu, membinasakan dia atau melukainya dengan parah, habis itu barulah
puterinya itu dapat di rebut kembali dengan selamat.
Apalagi iblis ini sudah banyak berbuat kejahatan, kalau
kubinasakan dia juga setimpal dengan perbuatannya, Berpikir begini, seketika
timbui hasratnya membunuh Li Bok-chiu.
Sudah biasa Li Bok-chiu menjalankan keganasannya, segala
cara keji juga tak segan digunakannya, dalam hal ini ia suka ukur orang lain
dengan dirinya sendiri. Ketika dia melihat Ui Yong selalu melirik ke arah si
bayi, timbul sangkaannya kalau Ui Yong sukar mengalahkan dia, bisa jadi memulai
menyerang bayi itu untuk memencarkan perhatiannya. Sehab itulah ia terus
mengadang di depan Ui Yong sehingga sukar juga bagi Ui Yong untuk merebut
kembali puterinya itu.
Dalam sekejap itu Ui Yong juga sudah memikirkan beberapa
macam akal, ia yakin setiap akalnya dapat membinasakan Li Bok-chiu, tapi
betapapun juga akan membahayakan si Kwe Yang kecil, karena itulah ia menjadi
ragu2. Pikirnya: "Melihat sikap iblis ini, tampaknya dia sangat sayang
pada anak Yang, andaikan sementara ini Yang- ji tak dapat kurebut kembali, tapi
keselamatannya juga tidak perlu dikuatirkan maka sebaiknya aku jangan
sembarangan bertindak agar tidak keliru mencelakai Yang-ji."
Setelah berpikir lagi, Ui Yong lantas berkata.
"Li-totiang, kepandaian kita berselisih tidak jauh dan sukar untuk
menentukan kalah menang dalam waktu singkat. Dalam pertempuran kita nanti kalau
mendadak ada binatang buas dan hendak makan anak itu, bukankah kita juga akan
ikut terganggu. Kukira bayi kita bereskan saja dulu dan kitapun dapat bertempur
se-puas2nya," - Habis berkata ia memungut sepotong batu kecil terus
diselentikkan kearah Kwe Yang dengan mengeluarkan suara mendesing.
Itulah ilmu silat tenaga jari sakti Tho-hoa-to yang
terkenal, Li Bok-chiu sendiri pernah melihat Ui Yok-su memainkan ilmu ini, ia
tahu tenaga selentikan ini luar biasa hebatnya. Maka cepat ia gunakan kebutnya
untuk menyampuk sambil membentak "Apa alangannya bayi itu bagimu? Mengapa
berulang kali kau ingin mencelakai dia?"
Diam2 Ui Yong merasa geli, padahal cara menyelentik batu
itu tampaknya lihay, tapi sebenarnya dia menggunakan gerakan memelintir,
seumpama Li Bok~chiu tidak menyampuknya juga batu itu akan mencelat ke samping
bila menyentuh tubuh Kwe Yang takkan melukainya.
Tapi supaya Li Bok-chiu tidak curiga, Ui Yong sengaja
meng-olok2 malah: "Hah, sedemikian sayang Li-totiang terhadap bocah ini,
orang yang tidak tahu boleh jadi akan... akan mengira kau... haha..."
"Mengira aku apa, memangnya mengira dia
anakku?" damperat Li Bok-chiu dengan gusar, mukanya menjadi merah jengah
pula.
"Kau adalah To-koh (pendeta agama To/Tao, lelaki
disebut Tosu dan wanita disebut Tokoh) dengan sendirinya tidak mungkin
melahirkan anak, orang lain tentu mengira bocah ini adalah anak...anak adik
perempuanmu," ujar Ui Yong dengan tertawa, ia cukup licin, dalam adu mulut
iapun tidak mau rugi, bahwasanya Kwe Yang dikatakan sebagai anak adik perempuan
Li Bok-chiu, hal ini sama halnya dengan mengatakan Li Bok-chiu adalah anak Ui
Yong dan Kwe Cing, dia sengaja mengucap begini untuk membalas perkataan Li
Bok-chiu tadi yang mengatakan bahwa Nyo Ko adalah ayah Kwe Yang.
Sudah tentu Li Bok-chiu tidak tahu maksud Ui Yong, iapun
tidak menaruh perhatian melainkan cuma mendengus saja, lalu berkata:
"Baiklah, silakan Kwe-hujin mulai maju saja!"
"Kutahu kau selalu menguatirkan keselamatan bocah
itu, di waktu bertempur tentu juga perhatianmu akan terpencar sekalipun
kukalahkan kau juga kurang berharga," kata Ui Yong. "Begini saja,
akan kucari beberapa tali rotan untuk mengelilingi anak itu agar binatang buas
tidak dapat mendekatinya, habis itu kita boleh bertempur sepuasnya."
Habis berkata ia lantas mengeluarkan sebuah
pisau kecil berangkai emas, ia memotong rotan2 yang
banyak tumbuh di sekitar situ. Semula Li Bok-chiu merasa sangsi dan berjaga
dengan rapat agar Ui Yong tidak menyerobot bayi itu, tapi kemudian dilihatnya
orang melingkari rotan itu pada beberapa pohon di sekelilingnya Kwe Yang cilik,
jaraknya cukup jauh, dengan demikian binatang buas memang teralang untuk
mendekati bocah nu. Diam2 ia mengakui akal Ui Yong yang baik itu.
Dilihatnya Ui Yong terus melingkari pohon2 itu dengan
rotan sebaris demi, sebaris selapis demi selapis pula, makin lama makin banyak,
tertampak pula wajah Ui Yong tersenyum aneh seperti orang bermaksud buruk,
mau-tak-mau Li Bok-chiu menjadi kuatir, cepat ia berseru: "Sudahlah,
cukup!"
"Baiklah jika kau bilang cukup," kata Ui Yong
dengan tertawa, "Nah, Li-totiang, kau pernah bertemu dengan ayahku,
bukan?"
"Benar," jawab Li Bok-chiu.
"Kudengar dari Nyo Ko, katanya kau pernah menulis
empat kalimat olok2 terhadap ayahku beserta anak muridnya, apakah betul?"
tanya Ui Yong.
Li Bok-chtu terkesiap, ia pikir kiranya untuk urusan
inilah Ui Yong sengaja merecokinya sekarang, Dengan nada dingin iapun menjawab:
"Ketika itu mereka berlima mengerubuti aku seorang, ini juga fakta."
"Hm sekarang kita boleh satu lawan satu dan lihat saja
nanti siapakah yang akan ditertawakan orang Kangouw?" jengek Ui Yong.
Dengan gusar Li Bok-chiu lantas membentak;
"janganlah kau temberang, ilmu silat Tho-hoa-to sudah banyak kulihat,
paling2 juga begitu2 saja dan tiada sesuatu yang istimewa."
"Huh, jangankan ilmu silat Tho-hoa-to, sekalipun
bukan ilmu silatnya juga belum tentu kau mampu melayaninya," jengek Ui
Yong pula, "Lihatlah, kalau kau mampu, coba saja keluarkan orok itu.
Diam2 Li Bok-chiu terkejut "Apakah dia telah
mencelakai anak itu?" Segera ia melompat ke sana, setelah melintasi
sebaris lingkaran rotan itu dan membelok kekiri, tiba2 terlihat pagar rotan
mengalang di depan, yang terbuka adalah jalan yang membelok ke kanan, tanpa
pikir ia terus menyusur ke sana, terdengar suara Kwe Yang cilik sedang
menangis, hatinya rada lega, tapi setelah membelok dan memutar lagi beberapa
kali, aneh, tahu2 dia berputar ke luar pagar rotan lagi. Keruan ia menjadi
bingung, jelas dia terus memutar ke bagian dalam, mengapa sekarang berbalik
berputar keluar?
Tanpa pikir lagi ia terus melompat pula ke bagian dalam
pagar rotan itu, namun tali rotan berjari itu melingkar ke sana-sini secara
serabutan, sedikit lena, "bret" ujung jubahnya terobek sebagian
tercantol duri rotan itu, Maka ia tidak berani gegabah lagi, kini ia bertindak
dengan lebih hati-2, baru saja ia mengamat-amati lingkaran2 rotan itu dengan
lebih teliti, mendadak dilihatnya Ui Yong sudah berada di dalam pagar rotan dan
sedang memondong si orok.
Kejadian ini sungguh membuatnya terkejut luar biasa, cepat
ia berseru: "Hei, lepaskan anak itu!"
Segera ia menyusuri lingkaran pagar rotan itu dengan
lebih cepat, lingkaran seluas beberapa meter persegi antara beberapa pohon itu
ternyata sukar diterobosnya, dia ber-lari2 ke kanan dan ke kiri, setelah maju
kemudian memutar mundur lagi, setelah mengitar beberapa kali, akhirnya dia
berada lagi di luar pagar rotan itu.
Sudah banyak pengalaman Li Bok-chiu, tapi belum pernah
menemukan kejadian seaneh ini, ia menjadi heran apakah di dunia ini benar2 ada
"lingkaran setan"? Lalu cara bagaimana mengatasinya?
Selagi dia merasa bingung, dilihatnya Ui Yong telah
menaruh kembali anak itu, lalu memutar ke sana dan membelok ke sini, dengan
bebas dan seenaknya saja Ui Yong dapat keluar dari lingkaran pagar rotan itu.
Tiba2 Li Bok-chiu menyadari duduknya perkara, teringat
olehnya kejadian malam itu ketika melawan Nyo Ko, Thia Eng dan Liok Bu siang,
keliga muda-mudi itu telah memasang gundukan tanah di luar gubuk mereka dan
dirinya ternyata tidak mampu menyerang dari depan. sekarang lingkaran rotan
yang dibuat Ui Yong ini tentu juga berdasarkan ilmu hitung Kiu-kiong-pat-kwa
khas Tho-hoa-to.
Setelah merenung sejenak, segera ia dapat mengambil
keputusan harus menghalau musuh dulu, habis itu barulah menyingkirkan tali
rotan itu satu persatu. Kalau sekarang, menerobos begitu saja dan musuh
menyerang dari arah yang lebih menguntungkan tentu dirinya akan terjebak dan
kalah.
Karena pikiran ini, segera ia melompat pergi beberapa
meter jauhnya, ia malah sengaja menjauhi pagar rotan itu untuk mengawasi setiap
gerik-gerik lawan, sementara ia tidak menghiraukan urusan Kwe Yang lagi.
Tadi Ui Yong sudah bergirang ketika melihat Li Bok-chiu
tersesat di tengah lingkaran rotan, tapi mendadak terlihat iblis itu melompat
pergi diam2 iapun merasa kagum akan keputusan lawan yang cepat dan tegas itu.
Oleh karena keselamatan Kwe Yang sekarang sudah terjamin,
ia tidak perlu membagi pikiran lagi, segera pentung bambunya bergerak, dengan
jurus "An-kau-keb-tau (tahan kepala anjing mengangguk ke bawah), segera ia
menyabet leher Li Bok-chiu.
Akan tetapi kebut Li Bok-chiu lantas melingkar ke batang
pentung, "sret", berbareng ujung kebut terus menyabet ke muka Ui
Yong. BegituIah keduanya saling serang dengan cepat dan sama2 mengeluarkan
segenap kemampuan masing2, hanya sekejap saja mereka sudah bergebrak sepuluh
kali.
Usia Li Bok-chiu lebih tua daripada Ui Yong, dengan
sendirinya iapun lebih ulet, namun gerak serangan Pak-kau-pang-hoat lawan
sungguh hebat sekali, bahwa dia mampu bertahan berpuluh jurus serangan Ui Yong
boleh dikatakan jarang terjadi di dunia persilatan ia menyadari kalau
berlangsung lebih lama lagi, tidak lebih dari sepuluh gebrakan pula dirinya
pasti akan kalah.
Pentung bambu Ui Yong itu bukan senjata tajam, tapi
setiap Hiat-to di tubuhnya selalu menjadi incaran, kalau tertutuk mustahil
jiwanya tidak melayang?
Setelah menangkis beberapa jurus lagi, dahi li Bok-chiu
sudah mulai berkeringat, sebisanya ia menyabet dua-tiga kali dengan kebutnya,
habis itu ia terus melompat mundur dan berseru: "Pang - hoat Kwe-hujm
memang hebat, aku mengaku kalah. Hanya saja ada sesuatu yang kutidak paham dan
perlu minta penjelasanmu"
"Ah, masakah pakai penjelasan segala?" ujar Ui
Yong dengan tertawa.
"Semua orang tahu ilmu permainan pentungmu ini
adalah kepandaian khas Kiu-ci-sin-kay (pengemis sakti berjari sembilan) Ang
Cit-kong, kalau ilmu silat Tho-hoa-to juga hebat, mengapa Kwe-hujin tidak
belajar ilmu silat dari ayah sendiri, tapi malah belajar kepandaian orang
lain?"
Ui Yong tahu maksud Li Bok-chiu, karena tidak dapat
menandingi permainan pentungnya, maka sengaja meng-olok2 agar dia menggunakan
ilmu silat lain. Maka ia lantas menjawab dengan tertawa: "Kalau kau sudah
tahu Pang-boat ini adalah ajaran khas Kiu-ci-sin-kay, tentunya kaupun kenal
nama ilmu permainan pentung ini."
Li Bok-chiu hanya mendengus saja dengan muka cemberut
tanpa menjawab..
Dengan tertawa Ui Yong lantas berkata pula:
"permainan pentung ini disebut penggebuk anjing, maksudnya asal melihat
anjing boleh gebuk saja, hanya inilah soalnya masakah perlu penjelasan
pula?"
Melihat akalnya tidak berhasil menipu Ui Yong menggunakan
ilmu silat lain, kalau adu mulut dirinya juga kalah, segera ia selipkan
kebutnya pada tali pinggang, lalu menjengek: "Hm, di-mana2 pengemis memang
pintar me-rengek2, nyatanya sang pangcu juga pintar main mulut, baru sekarang
aku kenal!" Habis ini ia terus menuju ke sana dan duduk di bawah pohon.
Kalau Li Bok-chiu mau mengaku kalah dan terus pergi,
tentu inilah yang diharapkan Ui Yong, Tapi ibu itu ternyata cuma duduk saja di
sana, setelah berpikir segera Ui Yong tahu maksudnya. jelas iblis itu merasa
berat meninggalkan anak Yang yang mungil itu, kalau sekarang dirinya mengambil
bocah itu, pasti Li Bok-chiu yang bergantian mengganggu-nya, dalam keadaan
begitu tentu dirinya akan serba susah pula.
Tampaknya kalau Li Bok-chiu tidak dibinasakan atau
dilukai, sekalipun anak Yang dapat ditemukan juga sukar membawanya pulang
dengan selamat.
Segera ia mendekati Li Bok-chiu dengan langkah yang
memakai hitung Pat-kwa, tampaknya mengarah ke kanan dan membelok lagi ke kiri
tanpa sesuatu yang aneh, tapi kalau mendadak Li Bok-chiu berusaha kabur, tak
peduli melompat ke arah manapun pasti sukar terhindar dari cegatan Ui Yong.
Begitulah pentung Ui Yong lantas menutul ke muka Li Bok chiu.
Li Bok-chiu menangkis dengan sebelah tangan sambil
membentak: "Hah, sejak matinya Tan Hian-hong dan Bwe Ciau-hong, nyatanya
Ui Yok-su memang benar tiada ahli waris lagi."
Ucapan ini meng-olok2 pula mendiang murid Ui Yok-su yang
berkelakuan jahat itu dan sekaligus juga menyindir Ui Yong yang cuma mampu
menggunakan Pak-kau -pang-hoat dari Kay-pang melulu.
Padahal Giok-siau-kiam-hoat, ilmu pedang seruling kemala,
kepandaian khas Tho-hoa-to juga sudah dilatih Ui Yong dengan baik, soalnya dia
tidak membawa pedang, kalau pentung digunakan sebagai pedang, senjata yang
dipakai tidak cocok, boleh jadi sukar mengalahkan lawan tangguh seperti Li
Bok-chiu ini.
Karena itu ia hanya menjawab dengan tertawa: "Ya,
memang brengsek juga beberapa murid busuk ayahku itu, mereka mana dapat
dibandingkan dengan Li-totiang dan nona liong yang sama2 suci bersih dari suatu
perguruan."
Li Bok-cbiu menjadi murka, mukanya yang putih itu berubah
merah padam, begitu lengan bajunya mengebas, dua jarum berbisa segera menyamber
perut Ui Yong.
Perlu diketahui bahwa Li Bok-chiu meski jahat dan
membunuh orang tak terhitung banyaknya, tapi dia tetap bertubuh perawan suci
bersih, dia anggap Siao-liong-li berbuat tidak baik, maka ia menjadi gusar
mendengar Ui Yong mempersamakan dia dengan sang Sumoay dan segera menyerang
dengan jarum berbisa yang keji.
Berdirinya Ui Yong dengan Li Bok-chiu kini sangat dekat,
untuk mengelak jelas tidak keburu lagi, terpaksa ia memutar pentung bambu
sekencangnya untuk menyampuk jatuh jarum2 berbisa itu. Syukur permainan
pentungnya sudah dikuasainya sedemikian sempurna sehingga jarum yang kecil itu
dapat di-tangkisnya, walaupun begitu ketika jarum itu menyamber lewat di
mukanya, terendus juga bau amis yang memuakkan.
Selagi Ui Yong terkesiap, dilihatnya dua buah jarum musuh
menyamber tiba pula. Cepat ia melengos ke samping sehingga jarum2 itu menyamber
lewat di tepi telinganya.
Diam2 ia menjadi kuatir kalau jarum2 yang beterbangan
akan nyasar mengenai Kwe Yang, maka cepat ia berlari keluar hutan itu.
Segera Li Bok-chiu mengudaknya, ia sangka Ui Yong hanya
mahir memainkan pentung bambu saja, ilmu silat jenis lain bukan tandingannya,
maka begitu melompat keluar hutan ia lantas membentak: "Kalah menang belum
jelas, mengapa kau hendak pergi begitu saja?"
Ui Yong memutar balik dan menghadapinya dengan tersenyum,
Li Bok-chiu lantas meng-olok2 lagi: "Kwe-hujin, caramu menangkis jarumku
tetap juga memakai pentungmu?" Berbareng ia terus menubruk maju lagi.
Ui Yong pikir kalau pentung bambu tidak disimpan kembali,
kalahpun Li Bok-chiu tetap merasa penasaran. Maka ia lantas menyelipkan pentung
bambu pada tali pinggang, lalu menjawab dengan tertawa: "Baiklah, sudah
lama kudengar Ngo-tok-sin-ciang (pukulan sakti panca bisa) Li-totiang telah
banyak membunuh orang, sekarang kucoba belajar kenal dengan ilmu pukulanmu
itu."
Li Bok chiu menjadi melengak malah, ia heran kalau orang
sudah tahu betapa lihay ilmu pukulannya yang berbisa itu malah menantang
bertanding pukulan, bukan mustahil dibalik ini ada sesuatu yang tidak beres.
Tapi iapun tidak menjadi jeri, segera ia menjawab:
"Baik, akupun ingin belajar Lok-eng-ciang-hoat dari Tho-hoa-to yang
hebat."
Dilihatnya Ui Yong melancarkan pukulannya, segera ia
memapaknya dengan telapak tangan kiri, menyusul tangan kanannya juga menghantam
pundak lawan, Kedua pukulan sekaligus ini cukup keras dan lihay, tampaknya
tidak mudah bagi Ui Yong untuk menangkis.
Tak terduga ketika menghantam dengan tangan kanan, bahkan
Li Bok-chiu tambahi pula dengan menyambitkan dua buah jarum berbisa ke bagian
perut Ui Yong.
Sungguh lihay luar biasa antara pukulan itu disertai
dengan jarum berbisa, pada umumnya orang tentu hanya berjaga terhadap
pukulannya yang berbisa itu, siapa tahu kalau dari jarak sedekat itu
menggunakan senjata rahasia, Sebab itulah banyak tokoh2 terkenal kena
dirobohkan olehnya.
Akan tetapi Ui Yong tidak menjadi gngup cepat ia tarik
kembali pukulannya tadi untuk menangkis pukulan tangan kanan Li Bok-chiu,
berbareng sebelah tangannya merogoh baju seperti hendak mengambil senjata
rahasia buat balas menyerang.
Namun kelihatannya sudah terlambat, baru saja tangannya
mau ditarik keluar dari bajunya, kedua jarum berbisa dari Li Bok-chiu sudah
tinggal beberapa senti jauhnya di perutnya.
Dalam keadaan begitu, biarpun Ui Yong mempunyai
kepandaian setinggi langit juga tidak sempat menghindar lagi, Tentu saja Li
Bok-chiu sangat girang, dilihatnya dengan jelas jarum2 itu menembus baju dan
menancap ke dalam tubuh Ui Yong.
"Aduuh!" Ui Yong menjerit sambil memegangi
perutnya dan menungging, tapi mendadak tangan kirinya terus memukul juga ke
dada Li Bok-chiu.
Pukulan Ui Yong sungguh sangat cepat dan di luar dugaan.
"Bagus!" Li Bok-chiu berseru sambil mendoyongkan tubuhnya ke
belakang, berbareng kedua tangannya juga lantas dipukulkan ke dada Ui Yong.
Ia yakin setelah Ui Yong terkena jarumnya, dengan cepat
racun jarum itu pasti akan bekerja dan menjalar, maka pukulannya ini cuma
berharap akan mendorong Ui Yong sejauhnya dan biarkan lawan mati keracunan.
Tak terduga, Ui Yong ternyata tidak berusaha menangkis
kedua tangan Li Bok-chiu melainkan tubuh bagian atasnya tampak sedikit
bergerak, Li Bok-chiu mengira mungkin badan Ui Yong mulai kaku setelah terkena
jarumnya. Tapi ketika kedua tangannya menempel baju di dada lawan, mendadak
kedua telapak tangannya terasa kesakitan seperti tercocok benda tajam sebangsa
jarum.
Dalam kagetnya cepat Li Bok-chiu melompat mundur, waktu
ia berikan kedua tangannya, terlihat di tengah kedua telapak tangan ada luka
tusukan yang kecil, sekitar luka itu berwarna hitam, jelas itulah tanda terkena
jarum berbisanya sendiri.
Keruan ia terkejut dan gusar pula, tapi juga bingung dan
heran mengapa bisa terjadi begitu?
Segera dilihatnya Ui Yong telah mengeluarkan dua buah
apel dari bajunya, pada kedua apel itu masing2 tertancap jarum perak, Baru
sekarang Li Bok-chiu tahu duduknya perkara, Kiranya di dalam baju UiYong
tersimpan dua buah apel, yaitu sebagian apel yang dibelinya dan sempat
dibawanya tadi.
Ketika Li Bok-chui menyambitkan jarum, Ui Yong tidak
mengelak, tapi tangannya dimasukkan ke baju untuk menggeser apel ke tempat yang
tepat menjadi sasaran jarum musuh. Habis itu Li Bok-chiu dipancingnya pula
untuk memukul pada jarum yang menancap di buah apel.
Sesungguhnya Li Bok-chiu juga cerdik pandai tapi sekarang
ia benar-2 rnati kutu menghadapi lawan yang banyak tipu akalnya seperti Ui Yong
ini mau-tak-mau ia harus mengaku kalah, ia merogoh saku dengan maksud mengambil
obat penawari tapi segera didengarnya angin keras menyamber tiba, kedua tangan
Ui Yong telah menghantam ke mukanya.
Cepat menangkis dengan tangan kiri, tiba2 dilihatnya
kelima jari tangan Ui Yong terbuka dari mengebut ke bagian iganya, kelima jari
terbuka dengan gaya yang indah seperti bunga anggrek.
Hati Li Bok-chiu tergerak, ia pikir mungkin inilah Lan-hoa-hut-hiat-jtu
(mengebut Hiat to dengan gaya bunga anggrek) yang terkenal itu, Cepat ia
menangkis dan urung mengambil obat, dengan kuku jari ia coba mencakar jari
musuh.
Ui Yong lantas menarik kembali tangannya, menyusul tangan
lain dengan jari terbuka mengebut pula ke Hiat to di pundaknya, Habis itu jari
merapat menjadi telapak tangan, segera Ui Yong memukul lagi dengan tangan
satunya dan begitu seterusnya secara bergantian.
Muka Li Bok-chiu menjadi pucat, baru sekarang ia
mengetahui ilmu sakti Tho-hoa-to memang benar2 luar biasa jangankan dirinya
sudah terkena racun, sekalipun dalam keadaan sehat juga bukan tandingan Ui
Yong.
Begitulah ia ingin lekas2 meloloskan diri untuk mengambil
obat penawar, tapi Ui Yong terus menyerangnya tanpa kendur sedikitpun Padahal
racun jarumnya itu sangat lihay, sementara itu kadar racun sudah mulai menjalar
dari lengannya ke atas, asalkan menjalar sampai ulu hati, maka binasalah dia
tak tertolong Iagi.
Melihat wajah orang semakin pucat, gerakannya juga
semakin lemah, Ui Yong tahu kalau menyerang lagi sebentar tentu lawan takkan
tahan ia pikir kejahatan orang sudah lewat takaran, kalau sekarang mati oleh
jarumnya sendiri juga pantas dan kebetulan dapat membalas sakit hati kematian
ibu kedua Bu cilik.
Karena itulah ia menyerang lebih cepat tanpa kendur
sedikitpun berbareng iapun jaga rapat agar tiada kesempatan bagi lawan untuk
melancarkan serangan balasan.
Li Bok-chiu merasa lengannya mulai kaku pegal, sejenak
kemudian rasa kaku itu sudah sampai ketiak, kini kedua tangannya sudah tidak
mau menurut perintah lagi, Cepat ia berseru: "Berhenti dulu"
Berbareng ia melompat ke samping, lalu berkata pula dengan putus asa.
"Kwe-hujin, selama hidupku membunuh orang tak
terhitung banyaknya, memangnya tidak kuharapkan hidup sampai sekarang, mengadu
tenaga maupun mengadu akal memang aku bukan tandinganmu kalau sekarang kumati
di tangan mu juga tidak perlu penasaran Hanya saja aku ingin memohon sesuatu
padamu, entah kau sudi menerima tidak?"
"Urusan apa?" tanya Ui Yong sambil mengawasi
lawan, ia kuatir Li Bok-chiu sengaja mengulur waktu untuk mengambil obat
penawar.
Namun terlihat kedua tangan Li Bok-chiu sudah kaku lurus
melambai ke bawah, terdengar ia berkata: "Kwe~hujin, aku tidak akur dengan
sumoayku tapi anak itu sungguh sangat menyenangkan maka kumohon kemurahan
hatimu agar kau suka merawatnya dan jangan mencelakai jiwanya."
Hati Ui Yong tergetar mendengar permohonan Li Bok-chiu
yang diucapkan dengan hati tulus itu, sungguh tak tersangka olehnya bahwa iblis
yang sudah menggunung kejahatannya itu mendekati ajal juga ternyata bisa
mengeluarkan kasih sayangnya kepada seorang bayi, Maka iapun lantas menjawab:
"Ayah-ibu anak ini bukanlah orang biasa, kalau diberikan hidup di dunia
bisa jadi akan membikin susah saja padaku, maka lebih baik..."
"Kumohon kemurahan hatimu..." kembali Li
Bok-chiu memohon.
Ui Yong sengaja hendak mencoba lagi, ia mendekati iblis
itu dan mengebut Hiat-to yang membuatnya takbisa berkutik lagi, lalu merogoh
bajunya serta mengeluarkan botol obat, lalu bertanya: "Apakah ini obat
penawar racun jarummu itu?"
Tanpa pikir Li Bok-chiu mengiakan, Lalu Ui Yong berkata
pula: "Dalam satu hari aku tak dapat membunuh dua orang, jika ingin
kuampuni jiwamu, maka anak itu harus kubunuh-, sebaliknya kalau kau rela mati,
jiwa anak itu dapat kuampuni."
Sama sekali tak terpikir oleh Li Bok-chiu bahwa dia masih
diberi kesempatan untuk hidup, tapi kalau minta Ui Yong membunuh saja anak itu
terasa tidak tega, sebaliknya menggunakan jiwa sendiri untuk menukar jiwa anak
itupun terasa tidak rela.
Dalam pada itu dilihatnya Ui Yong telah menuang sebutir
obat dari botol dan diperlihatkan padanya, yang ditunggu hanyalah jawabannya
saja. Karena itu ia menjadi nekat: "Baik, aku...."
Tapi Ui Yong ternyata sudah mempunyai pertimbangannya
sendiri, ia lihat Li Bok-chiu ragu2 sekian lama, betapapun hal ini menandakan
ada pertentangan batin dalam hati nurani iblis itu.
Bagaimanapun dia akan menjawab, melulu tentu pikiran
bajik ini saja sudah pantas untuk mengampuni jiwanya, Bahwa dia sudah
berlumuran darah dan penuh dosa, tentu kelak ada orang membinasakan dia.
Maka ia terus memotong ucapan Li Bok -chiu tadi dengan
tertawa: "Li-totiang, sesungguhnya aku harus berterima kasih atas
perhatianmu terhadap anak Yang."
"Apa katamu? Anak Yang siapa?" tanya Li
Bok-chiu dengan bingung.
"Ketahuilah bahwa anak ini she Kwe bernama Yang, dia
adalah puteri Kwe-tayhiap dan diriku baru lahir dia sudah jatuh ke tangan nona
Liong, entah cara bagaimana terjadinya sehingga engkau salah paham mengira dia
itu puteri nona Liong. Berkat perawatanmu selama ini sehingga anak Yang tampak
bertambah sehat dan kuat, sungguh aku merasa berterima kasih." -- Habis
berkata ia lantas memberi hormat dan menjejalkan obat yang dipegangnya itu ke
mulut Li Bok-chiu, lalu bertanya: "Apakah cukup?"
"Racun itu sudah mulai menjalar harus kuminum tiga
biji obat itu," jawab Bok-chiu dengan cepat.
Segera Ui Yong menyuapi dua biji obat ke mulut Li
Bok-chiu, ia pikir obat penawar ini mungkin ada gunanya kelak, maka tidak
dikembalikan kepada iblis itu melainkan dimasukkan ke saku sendiri, lalu
berkata dengan tertawa: "Setelah tiga jam Hiat-to yang kututuk akan punah
sendiri dan kau dapat pergi sesukamu."
Habis itu cepat ia berlari ke dalam hutan tempat ia
menaruh Kwe Yang tadi, ia pikir "Sudah selang sekian lama, entah anak Hu
sudah pergi belum, kalau dia sempat melihat adik perempuannya tentu dia akan
sangat gembira."
Cepat ia memutar masuk ke tengah pagar rotan. Akan tetapi
setelah tiba di tempatnya seketika ia melongo kaget, sekujur badan lantas
menggigil seperti kejeblos ke dalam liang es.
Kiranya lingkaran pagar rotan yang dibuatnya itu masih
tetap utuh tanpa sesuatu tanda yang mencurigakan, namun bayangan Kwe Yang sudah
tak tertampak lagi. Keruan jantungnya ber debar2 seperti mau rontok, sekalipun
biasanya dia banyak tipu akalnya, sekarang ia menjadi bingung dan kelabakan
sebisanya ia berusaha menenangkan diri: "Jangan gugup, tenang, tenang!
Hanya sebentar saja aku bertempur dengan Li Bok-chiu di Iuar sana, anak Yang
digondol orang, tentu orang itupun belum jauh perginya."
Segera ia memanjat ke pucuk pohon yang paling tinggi di
situ dan coba memandang sekeliling, Tanah di luar kota Siangyang cukup datar,
dipandang dari pucuk pohon itu dapat mencapai belasan li jauhnya tapi ternyata
tiada terlihat sesuatu tanda yang mencurigakan. sementara ini pasukan Mongol
sudah mundur jauh ke utara, tanah datar yang luas ini tiada orang berlalu
lalang, kalau saja ada seorang dan seekor kuda tentu akan kelihatan meski dalam
jarak yang jauh.
Ui Yong pikir kalau pencuIik itu belum pergi jauh tentu
masih berada di sekitar sini saja. Segera ia berusaha mencari di sekitar pagar
rotan, ia berharap dapat menemukan sesuatu jejak pencuIik itu, Tapi keadaan
tali rotan itu sedikitpun tiada tergeser atau rusak, hilangnya anak itu pasti
bukan digondol oleh binatang buas dan sebagainya.
Padahal pagar rotan yang dilingkari menurut perhitungan
tai tong~pat~kwa khas Tho-hoa~to itu, di dunia ini kecuali anak murid
Tho-hoa-to sendiri tiada orang luar yang memahaminya, sekalipun tokoh sebesar
macam Kim-lun Hoat-ong juga takdapat bergerak bebas di tengah pagar rotan yang
diaturnya-ini, apakah mungkin ayah sendiri yang datang?
Begitulah ia menjadi sangsi Mendadak ia menjerit-di dalam
hati: "Ah, celaka!" Tiba2 teringat olehnya ketika kepergok Kim-lun
Hoat ong beberapa waktu yang lalu, dalam keadaan kepepet ia telah mengatur
barisan batu untuk menahan musuh, tatkala itu Nyo Ko datang menolongnya, maka
ia lantas menguraikan secara ringkas garis besar barisan batu yang diaturnya
itu kepada anak muda itu.
Teringat kepada Nyo Ko, seketika kepala Ui Yong menjadi
pusing dan menambah rasa kuatirnya, Anak muda itu sangat pintar, diberitahu
satu dapat dipahaminya tiga, walaupun hitungan Kiu-kiong-pat-kwa itu tidak
mudah dipelajari dalam waktu singkat, tapi setelah tahu garis besarnya, untuk
memecahkan pagar rotan itu tidaklah sulit.
"Anak Hu telah menabas kutung sebelah lengannya,
sakit hatinya kepada keluarga Kwe semakin mendalam, sekali anak Yang jatuh
ditangannya, maka pasti tamatlah jiwanya"
Begitulah Ui Yong menjadi sedih teringat kepada puteri
yang baru lahir beberapa hari itu sudah akan mengalami nasib seburuk itu, tanpa
terasa ia meneteskan air mata.
Namun Ui Yong sudah banyak pengalaman dan kenyang
gemblengan, pintar lagi cerdik, dia bukan perempuan biasa yang tak berdaya bila
sedang berduka. Setelah berpikir sejenak, cepat ia menghapus air mata, lalu
mulai mencari lagi jejak datang perginya Nyo Ko.
Akan tetapi aneh juga, di sekitar situ ternyata tiada
sesuatu bekas kaki yang dapat ditemukan. Ia menjadi heran, biarpun Ginkang Nyo
Ko sudah maha tinggi, kalau menginjak ditanah pasti akan meninggalkan bekas,
memangnya dia datang-pergi dengan terbang?
Dugaan Ui Yong ini ternyata cukup mendekati kebenaran,
Kwe Yang memang telah dibawa pergi oleh Nyo Ko dan datang perginya anak muda
itu juga menyerupai terbang di udara.
Seperti telah diceritakan, malam itu Nyo Ko menyaksikan
Ui Yong menutuk tokoh Kwe Ceng dan menyuruh Kwe Hu pulang ke Tho-hoa-to, maka
Nyo Ko lantas menguntit dari kejauhan, lantaran merasa berat harus berpisah
dengan puterinya, maka Ui Yong tidak memperhatikan penguntitan NyoKo itu.
Ketika Ui Yong memergoki Li Bok-chiu, lalu kedua tokoh
perempuan itu bertempur keluar hutan, diam2 Nyo Ko sudah merancang tindakan apa
yang harus dilakukannya. Dia memanjat ke atas pohon besar dan meraih seutas
rotan tua dan panjang, ujung rotan ia ikat pada dahan pohon, lalu ia menggandul
pada tali rotan serta diayun ke tengah lingkaran pagar rotan yang dibuat Ui
Yong untuk mengurung Kwe Yang cilik itu.
Kuatir kalau Ui Yong dan Li Bok-chiu akan segera masuk
kembali ke hutan itu, maka Nyo Ko lantas menggunakan kedua kakinya mengepit
tubuh Kwe Yang kecil itu dan sekali ayun dia keluar lagi dari pagar rotan itu,
Dilihatnya UiYong masih bertempur dengan Li Bok-chiu, cepat ia menyelinap
keluar hutan dan kabur pergi
Ginkang Nyo Ko sekarang boleh dikatakan tiada
tandingannya lagi di dunia ini, hanya sekejap saja sudah tiba kembali di kota
kecil itu, dilihatnya Kwe Hu sedang celingukan sambil menuntun kuda merah
menunggu kembalinya sang ibu. setelah dekat, mendadak Nyo Ko terus mencemplak
ke atas kuda merah itu dari belakang.
Keruan Kwe Hu terkejut, ia menoleh dan melihat yang
menunggangi kuda merah ternyata Nyo Ko adanya, ia menjerit kaget ia melihat Nyo
Ko menyeringai padanya, "sret" cepat ia melolos pedang Ci-wi-kiam
yang lemas tajam milik Tokko Kiu-pay itu telah dirampas oleh Kwe Cing, maka
yang dibawa Kwe Hu sekarang cuma pedang biasa saja, kalau Nyo Ko mau membinasakan
dia boleh dikatakan teramat mudah, akan tetapi ketika melihat si nona ketakutan
hingga muka pucat, Nyo Ko hanya mendengus saja, lengan baju kanannya yang
kosong itu terus dikebaskan dan membelit pedang Kwe Hu, tangan kirinya terus
merebut tali kendati kuda, kedua kakinya mengepit kencang, terus saja kuda
merah itu membedal cepat ke depan.
Kwe Hu terkesima menyaksikan perginya Nyo-Ko itu, ketika
ia periksa pedang sendiri, ternyata batang pedangnya sudah bengkok seperti
arit. Nyata tindakan Nyo Ko tadi hanya sebagai "pamer kekuatan" saja,
maksudnya ingin memberi tahu bahwa kalau dia mau, biarpun lengan kanannya sudah
buntung, hanya sekali kebas lengan baju saja cukup membikin jiwanya melayang!
BegituIah Nyo Ko melarikan kuda merah itu cepat ke utara
dengan membawa Kwe Yang cilik, hanya sebentar saja berpuluh li sudah
dilaluinya, sebab itulah ketika Ui Yong memandang dari pucuk pohon juga tidak
melihat bayangannya.
Keadaan Nyo Ko sekarang benar2 serba susah dan sukar
mengambil keputusan, mestinya iapun bermaksud menabas sebelah lengan Kwe Hu
untuk membalas dendam, tapi sampai detik terakhir dia ternyata tidak tega turun
tangan. ia coba memandang Kwe Yang cilik, bayi itu sedang tidur dengan lelapnya
dan wajahnya yang cantik mungil.
Tiba2 timbul pikirannya: "Paman dan bibi Kwe
kehilangan puterinya ini, biar kubawa pergi dan takkan kukembalikan mereka
sebagai pembalasan dendamku, penderitaan batin mereka saat ini mungkin jauh
melebihi aku."
Sekaligus Nyo Ko melarikan kudanya hingga dua tiga ratus
li jauhnya, sepanjang jalan mulai banyak rumah penduduk, ia lantas meminta
sedikit susu sapi atau susu kambing dari petani yang ditemukan untuk menyuapi
Kwe Yang, Kini dia mempunyai kuda bagus, maka ia bertekat akan langsung pulang
ke kuburan kuno untuk mencari Siao-liong-li.
Hanya beberapa hari saja ia sudah sampai di Cong-lam-san.
Teringat kepada masa lalu, terharulah hati Nyo Ko. Setiba di depan kuburan
kuno, ia lihat batu nisan kuburan besar itu masih berdiri dengan tegaknya
seperti dahulu. Tapi pintu kuburan sudah tertutup rapat ketika diserbu oleh Li
Bok-chiu dahulu, untuk masuk ke dalam kuburan tiada jalan lagi selain melalui
jalan di bawah tanah dan harus selulup ke dasar sungai.
Dengan kesaktian Nyo Ko sekarang, menyelam air dan
menyusun jalan bawah tanah itu tentu bukan soal lagi baginya, akan tetapi
bagaimana dengan Kwe Yang, ia menjadi serba susah, kalau orok dibawa menyelam,
jelas takkan tahan dan pasti mati.
Tapi bila teringat kalau Siao-liong-li berada dalam
kuburan dan segera akan dapat bertemu dengan kekasihnya itu, ia menjadi tidak
sabar lagi.
Segera ia menaruh Kwe Yang di dalam sebuah gua di dekat
kuburan itu, ia menguruki mulut gua dengan ranting kayu dan belukar kering, ia
pikir baik Siao-liong-li dapat ditemukan dalam kuburan atau tidak, yang pasti
dia akan segera keluar lagi untuk mengatur Kwe Yang.
Selesai memasang perintang di mulut gua, lalu ia memutar
ke belakang kuburan, Tapi baru belasan langkah, tiba2 terdengar samar2
beradunya senjatar terbawa desiran angin, ia terkesiap, ia yakin arahnya tepat
Tiong-yang-kiong, ia menjadi ragu2.
Pada saat lain tiba2 terdengar mendengungnya roda perak
yang mencelat ke udara, segera ia mengenali roda itu adalah senjata khas milik
Kim lun Hoat-ong.
Sekali ini Nyo Ko tidak tahan akan rasa ingin tahunya, cepat
ia mengeluarkan Ginkang dan lari ke tempat datangnya suara, yaitu Giok~hi--tong
di belakang istana Tiong-yang~kiong. Pada saat itulah Siao-liong-li tergencet
oleh pukulan dahsyat kei lima tokoh Coan-cin-kau dan roda emas Kim lun Hoat-ong
sehingga terluka parah.
Kalau saja Nyo Ko datang lebih dini sejenak tentu
Siao-liong-li akan terhindar dari malapetaka itu. Tapi apa mau dikata lagi,
segala apa memang tak dapat seluruhnya memenuhi kehendak manusia.
Nasib orang, suka-duka kehidupan manusia dan dengan
segala segi2nya acapkali terjadi hanya karena selisih dalam sedetik itu saja.
Begitulah ketika mendadak Siao liong-li melihat sebelah
lengan Nyo Ko buntung, seketika ia lupa pada luka sendiri yang parah, dengan
penuh perhatian dan kasih sayang ia menanyai sebab2 buntungnya lengan anak muda
itu.
Dengan bersemangat Nyo Ko berkata: "Kokoh, memang
sudah kuduga, setelah lenganku buntung, kau tentu akan semakin sayang
padaku."
Siao-liong-li hanya tertawa manis saja dan tidak menjawab
sebenarnya ia cuma ingin bertemu sekali lagi dengan Nyo Ko sebelum ajalnya,
kini angan2 nya itu sudah tercapai, tiada lain lagi yang diharapkannya.
Kedua muda-mudi itu saling pandang dengan mesranya,
perasaan mereka seperti terlebur menjadi satu, biarpun dikelilingi musuh2 tangguh,
namun keduanya sama sekali tidak ambil pusing.
Melihat Nyo Ko muncul tiba2, Coan-cin-ngo-su merasa
urusan ini tambah sukar diselesaikan Segera Khu Ju-ki berseru:
"Tiong-yang-kiong adalah tempat suci dan keramat, sebenarnya apa maksud
kalian mengacau ke sini?"
Dengan gusar Ong Ju-it juga ikut membentak.
"Nona Liong, meski Ko-bong-pay kalian dan
Coan-cin-pay kami ada selisih paham, untuk itu kita dapat menyelesaikannya
sendiri, mengapa kau sengaja mengundang orang2 asing dan kaum perusuh ini
hingga mencelakai anak murid kami sebanyak ini?"
Siao-liong-li terluka parah, mana dia dapat menjelaskan
duduknya perkara dan berdebat dengan mereka.
Dengan pelahan Nyo Ko mendukung pinggang Siao-liong-li
dan berkata dengan suara halus: "Kokoh, marilah kita pulang ke kuburan
kuno dan jangan urus orang2 ini."
"Lenganmu masih sakit tidak?" tanya
Siao~liong-li.
Nyo Ko menggeleng, jawabnya dengan tertawa: "Tidak,
sudah lama sembuh."
"Apakah racun bunga cinta ditubuhmu itu tidak
kumat?" tanya pula si nona.
"Terkadang juga kumat, tapi tidak begitu lihay
seperti dulu," ujar Nyo Ko.
Setelah dilukai Siao-liong-li, sejak tadi Ci-keng
sembunyi di belakang dan tak berani nongol, kemudian muncul Coan-cin-ngo-Cu
keluar dari tempat menyepinya, ia menjadi kuatir kalau guru dan paman guru itu
mengusut persoalannya, tentu jabatan ketua dirinya akan gagal dan bahkan akan
dihukum berat.
Karena itu ia menjadi nekad, ia pikir keadaam ini harus
dibakar lebih lanjut agar tambah kacau sehingga kelima orang tua itu tidak
sempat mengurut persoalannya, dengan begitu barulah ada kesempatan baginya
untuk menang kalau Kim-tun Hoat-ong dapat menumpas Coan-cin-ngocu akan lebih
baik lagi baginya sehingga selamanya dia tidak perlu kuatir lagi.
Ci-keng tahu akan ilmu silat Nyo Ko sudah jauh diatas
dirinya, tapi kini melihat anak muda itu buntung sebelah lengannya, tangan kiri
yang baik itu digunakan memegang Siao-liong-ii sehingga keadaannya itu hampir
boleh dikatakan tak bisa berkutik kalau diserang.
Selama ini Ci-keng paling benci kepada bekas murid murtad
ini, kini ada kesempatan baik, tentu tak dilalukan begitu saja. Segera ia
mengedipi muridnya, yaitu Ceng-kong, lalu membentak: "Murid murtad Nyo Ko,
kedua Cosuya menanyai kau, mengapa kau diam saja?"
Nyo Ko menoleh dan memandangnya dengan sorot mata penuh
kebencian pikirnya: "Kokoh telah dilukai kalian para Tosu busuk ini,
sementara ini takkan ku urus, kelak saja akan kubikin perhitungan dengan
kalian." ia memandang sekejap pula pada pihak Tosu Coan-cin-kau itu, lalu
memayang Siao liong-Ii dan melangkah pergi.
"Maju!" bentak Ci-keng, berbareng Ceng-kong
terus menubruk maju dan menusuk pedang mereka di iga kanan Nyo Ko.
Ci-keng adalah tokoh terkemuka dari angkatan ketiga
Coan-cin-kau, meski ia sendiri terluka, tapi tidak begitu parah, sekarang ia
menyerang ke bagian lengan Nyo Ko yang buntung itu, yakin lawan pasti tidak
mampu balas menyerang, tentu saja serangannya sangat berbahaya.
Meski Khu Ju-ki juga tidak senang atas sikap Nyo Ko yang
angkuh dan tidak menghormati orang tua itu, tapi mengingat pesan Kwe Cing serta
teringat kepada hubungan baik antara guru dan murid (ayah Nyo Ko, Nyo Khong dan
Kwe Cing adalah murid Khu Ju-ki), mau-tak-mau ia harus mencegah serangan
Ci-keng yang lihay itu, cepat ia membcntak: "Berhenti, Ci~keng!"
Sedangkan si dogol Be Kong-co juga lantas berteriak2
memaki: "Huh, Tosu koparat tidak tahu malu, kenapa kau menusuk bagian
lengan orang yang buntung?"
Akan tetapi di luar dugaan semua orang, mendadak tubuh
Ceng-kong yang besar itu mencelat ke udara sambil ber-kaok2, "blang",
dengan tepat Ceng-kong menumbuk tubuh Nimo Singh.
Dengan kepandaian Nimo Singh sebenarnya tubrukan
Ceng-kong bukan soal baginya, tapi lantaran kedua kakinya sudah buntung dan
menggunakan tongkat saja, dengan sendirinya tangannya tak dapat pula menolak,
maka tumbukan itu membuat Nimo Singh jatuh terjungkal.
Tapi begitu punggungnya menempel tanah, seketika ia
melompat bangun lagi menegak sebelah tongkatnya terus mengemplang sehingga
punggung Ceng-kong terhantam dengan keras dan jatuh semaput.
Dalam pada itu tahu2 pedang Ci-keng juga terinjak oleh
kaki Nyo Ko, Ci-keng berusaha menarik sekuatnya hingga muka merah padam, tapi
pedangnya tidak bergeming sedikitpun.
Kejadian ini berlangsung dengan cepat luar biasa, orang
yang berkepandaian sedikit rendah hampir tidak tahu cara bagaimana Nyo Ko
mengatasi kedua penyerang itu. Tapi Kim-lun Hoat~ong, Siau siang-cu, In Kik si
dan Coan-cin-ngo cu dapat melihatnya dengan jelas.
Rupanya waktu kedua pedang penyerangnya mendadak lengan
baju kanan Nyo Ko yang kosong itu mengebas dengan tenaga dahsyat sehingga tubuh
Ceng-kong yang gemuk itu terlempar tinggi dan menumbuk Nimo Singh, sedangkan
Ci-keng memang tidak dapat dipersamakan dengan muridnya itu, ketika mendadak
merasa lengan baju orang menyambar dengan kuat, sebisanya ia menahan tubuhnya
di tempat sehingga kebasan Nyo Ko itu tidak dapat mengguncangnya. Akan tetapi
pedangnya yang terjulur itu lantas tertekan ke bawah sehingga kena diinjak oleh
kaki Nyo Ko.
Karena sudah digembleng oleh arus air bah, dengan sendiri
tenaga kaki Nyo Ko luar biasa kuatnya, injakannya itu sungguh laksana tindihan
gunung, meski Ci-keng berusaha menarik pedangnya sepenuh tenaga tetap tak
bergoyang sama sekali
"Tio-totiang," kata Nyo Ko dengan dingin,
"dahulu di depan Kwe-tayhiap sudah kau katakan bukan lagi guruku, kenapa
sekarang kau mengungkap soal guru dan murid! mengingat pernah kupanggil kau
sebagai guru, biar kuampuni kau saja!" - Habis berkata, mendadak ia tarik
kembali tenaga injakannya.
Padahal saat itu Ci keng sedang menarik sekuatnya, keruan
tenaga tarikannya serentak terbetot kembali seluruhnya "blang",
dengan tepat gagang pedang menyodok dada sendiri, kontan ia muntah darah,
pandangannya menjadi gelap dan jatuh terlentang.
Melihat itu, Ong Ju-it dan Lau Ju-hian lantai menyerang
dari kanan kiri, tapi mendadak sesosok bayangan menerjang tiba dari samping,
"trang-trang" kedua pedang sama terguncang pergi.
Kiranya yang menerjang tiba itu adalah Nimo Singh, dia
ditubruk terjungkal oleh Ceng-kong walaupun Ceng-kong juga digebuknya hingga
kelengar, tapi rasa gusarnya masih belum terlampias, ia pikir pangkal pokoknya
adalah gara2 Nyo Ko, maka ia lantas menerjang maju lagi, tongkat kirinya
menangkis kedua pedang kedua Tosu itu, tongkat kanan terus mengemplang ke kepala
Nyo Ko dan Siao-liong-li.
Saat itu Siao-liong-li sama sekali tak bertenaga, dengan
lemas ia menggelendot di tubuh Nyo Ko, sedangkan Nyo Ko juga tahu kepandaian
Nimo Singh tak dapat di samakan dengan Ci-keng dan Ceng-kong, bila mengebas
dengan lengan baju saja mungkin sukar menghalau hantaman tongkat yang hebat
itu. Maka cepat ia menggeser sedikit kekiri lengan baju kanan digunakan melibat
pinggang Siao-liong-li yang ramping agar si nona menggelendot di sisi kanan
dadanya, lalu tangan kiri di gunakan menarik Hian-tian-po-kiam, itu pedang
pusaka tumpul dan berat terus di angkat ke atas.
Terdengar suara "bluk" yang keras, tangan Nimo
Singh tergetar sakit, tongkat besinya mencelat ke udara dan jatuh ke belakang
gua Giok-bi-tong sana.
Nyo Ko sendiri juga kaget karena tidak mengira pedang
tumpul milik Tokko Kiu-pay memiliki kekuatan begitu hebat dalam pada itu meski
sebelah tangan Nimo Singh serasa kaku, tapi dasarnya memang tangkas dan nekat,
ia mengerang terus meloncat ke atas dengan bantuan sebelah tongkatnya, menyusul
tongkat itu terus menghantam pula ke bawah.
Kembali Nyo Ko menangisnya dengan pedang tumpul itu. ia
pikir tadi sudah mencoba tenaga kekerasan, biarlah sekarang kucoba tenaga
lunak, maka begitu menyentuh senjata musuh, pedangnya terus melengket dengan
tongkat, kalau saja dia mau mengerahkan tenaganya, seketika Nimo Singh dapat
dilemparkan, jika dibanting ke dinding karang, pasti tubuh Nimo Singh akan
hancur.
Sebenarnya Nyo Ko juga tidak kenal ampun lagi apabila
mengingat Siao-liong-li telah dilukai sedemikian rupa, ia merasa manusia2 jahat
ini pantas dibinasakan semua.
Tapi ketika dia hendak mengerahkan tenaga, tiba2
dilihatnya tubuh Nimo Singh yang terapung di udara itu tidak mempunyai kaki
lagi, ia menjadi teringat kepada dirinya sendiri yang juga buntung sebelah
tangan.
Dasar hati nuraninya memang baik, tiba2 timbul rasa
senasib nya, pedangnya tidak jadi dicungkit ke atas, sebaliknya terus ditekan
ke bawah sehingga tongkat besi Nimo Singh itu menancap ke dalam tanah hampir
separohnya.
Dengan masih memegangi tongkatnya Nimo Singh bermaksud
mencabutnya, akan tetapi tangan kanan yang tergetar tadi masih kaku kesakitan
sehingga sukar mangeiuarkan tenaga.
"Biarlah kuampuni jiwamu sekarang, apakah kau masih
mempunyai muka buat tinggal lebih lama di Tionggoan?" jengek Nyo Ko.
Muka Nimo Singh merah padam tak bisa menjawab selain
berdiri melongo saja di tempatnya.
Walaupun kekalahan Nimo Singh secara luar biasa itu juga
di luar dugaan Siau-siang-cu dan In Kik-si, tapi mereka tidak mengira bahwa
cuma dalam sebulan saja kekuatan Nyo Ko telah maju sepesat ini, mereka malah
menyangka Nimo Singh yang tidak becus setelah kedua kakinya buntung. Segera In
Kik-si memburu maju dan mencabutkan tongkat serta diserahkan kembali pada Nimo
Singh.
Setelah menerima tongkat, segera Nimo Singh menahan
tubuhnya lagi dan bermaksud melompat jauh menyingkir ke sana, tak terduga rasa
kaku lengannya ternyata belum hilang, baru saja menekan "bluk",
kembali ia jatuh terjungkal pula.
Siau-siang-cu adalah manusia yang culas, asal orang lain
celaka, baik kawan ataupun lawan baginya bukan soal, yang pasti ia justeru
merasa senang, ia pikir si cebol Hindu sekali ini pasti tamat riwayatnya,
selekasnya Nyo Ko yang sudah cacat badan ini kutangkap lebih dulu, inilah
kesempatan baik untuk mencari jasa dan menyohorkan nama. Maka ia lantas
melompat maju dan berseru: "Hai, bocah she Nyo, beberapa kali kau sudah
mengacaukan pekerjaan Ongya, sekarang lekas kau ikut pergi saja."
Mengingat luka Siao- liong-Ii yang parah, Nyo Ko pikir
kalau musuh2 ini tidak lekas dihalau tentu sebentar akan sukar menyelamatkan
sang Kokoh, maka dengan suara pelahan ia coba tanya Siao liong-Ii: "Apakah
kau kesakitan, Kokoh?"
"Mendingan, tidak begitu sakit," jawab Siao-
liong-li.
Nyo Ko lantas menoleh kepada Siau-siang-cu dan berkata:
"Baiklah maju!"
Siau-siang-cu menyeringai seram, katanya: "K^tu cuma
bertangan satu, kalau kukalahkan kau dengan dua tangan rasanya tidak
adil." Segera ia sisipkan tangan kirinya pada tali pinggang, tangan kanan
memutar pentungnya dan berkata pula: "Akupun menggunakan sebelah tangan
saja agar matipun kau takkan menyesali."
Nyo Ko ingin lekas menyelesaikan persoalan, ia tidak
ingin banyak omong, mendadak pedang tumpul di tangan kiri terus mengarah lurus
pinggang Siau-siang-cu.
Melihat pedang yang kasar ke~hitam2an serta tumpul
laksana sepotong besi tua saja, Siau-siang-cu percaya senjata ini tentu ada
sesuatu yang istimewa, akan tetapi di mulut ia tetap menghina, ka-tanya,
"Huh, darimana kau menemukan besi tua ini?" Habis berkata ia terus
menghantarkan pentungnya pada pedang tumpul.
Tanpa menggoyangkan pedangnya, Nyo Ko hanya mengerahkan
tenaga saja ke batang pedang itu, maka terdengarlah suara "bluk"
sekali, tahu2 pentung Siau-siang-cu itu patah menjadi beberapa potong dan
mencelat betebaran.
"Celaka," keluh Siau-siang-cu sambil mundur
dengan cepat
Akan tetapi Nyo Ko tidak tinggal diam, pedangnya menjulur
kedepan, ia sodok ke kanan satu kali dan pukul ke kiri satu kali, kontan kedua
lengan Siau-siangcu patah semua.
Melihat gelagat jelek, cepat ln Kik-si menubruk maju
sambil putar ruyungnya terus mengadang di depan Siau-siang-cu.
ln Kik-si adalah saudagar besar batu permata negeri
Persia, dengan sendirinya pandangannya sangat tajam, terutama dalam hal ngekir
benda mestika, ketika menyaksikan pedang Nyo Ko itu menggetar terbang tongkat
Nimo Singh tadi, dia sudah yakin pedang Nyo Ko itu pasti benda mestika, dari
warnanya yang aneh ia menaksir pedang itu mungkin terbuat dari besi murni yang
jarang ditemukan Kemudian dilihatnya lagi pentung Siau~siang-cu juga tergetar
hingga patah menjadi beberapa potong, ia tambah yakin pedang itu pasti benda
pusaka.
Pada umumnya In Kik-si tidak terlalu jahat, cuma sejak
kecil ia telah berdagang intan permata, maka setiap kali melihat benda mestika
yang aneh, tentu dia ketarik dan dengan segala jalan ia ingin memilikinya,
apakah harus dibeli, ditipu atau kalau perlu direbut dan dicuri.
Pedang pusaka Nyo Ko sekarang juga sangat menarik
perhatiannya, seketika timbul keserakahannya ingin memiliki, segera ia putar
ruyungnya yang lemas itu terus membelit pedang lawan.
Nyo Ko sendiri tidak terlalu benci pada In Kik-si karena
sikapnya yang cukup ramah dan sopan, ketika melihat ruyung orang menyamber
tiba, di atas ruyung tertampak penuh bertatahkan batu permata, maka ia lantas
membiarkan pedangnya dibelit oleh ruyung orang, katanya: "ln-heng, selama
ini kita tiada permusuhan apa2, sebaiknya lekas tarik kembali ruyungmu dan
memberi jalan padaku, Ruyungmu penuh batu mestika, sungguh sayang kalau sampai
rusak."
"Apakah betul begitu?", ujar In Kik-si dengan
tertawa, sekuat nya ia terus membetot. Akan tetapi Nyo Ko tetap berdiri tegak
seperti tonggak tanpa bergeming sedikitpun
In Kik-si menjadi penasaran, tapi iapun tahu kepandaian
lawan sangat lihay, kalau tidak menggunakan akal tentu pedang mustika itu sukar
direbut Dengan tertawa ia lantas berkata: "Kepandaian Nyo-heng maju
sepesat ini, sungguh harus diberi selamat dan menggembirakan, Siaute menyerah
kalah" Sambil mengucap begitu, mendadak tangan lain mengeluarkan sebilah
belati terus menikam ke dada Siao-liong-li.
Tujuan In Kik-si sebenarnya tidak hendak mencelakai nyawa
Siao-liong li, soalnya ia tahu Nyo Ko sangat memperhatikan si nona, kalau
melihat nona itu terancam bahaya, tentu akan menolongnya mati2an maka
tikamannya pada Siao-liong-li sesungguhnya cuma gertakan belaka, dengan begitu
dia akan berhasil merebut pedang pusaka Nyo Ko.
Benar juga, Nyo Ko menjadi kaget melihat Siao lior.g-li
diserang, Pada saat itulah In Kik-si lantas membentak: "Lepas pedang!"
Sekuatnya ia lantas membetot rayungaya untuk merampas pedang lawan.
Ternyata Nyo Ko lantas menuruti kehendaknya dan
melepaskan pedangnya, cuma sekalian di dorong ke depan, pedang panjang dan
belati pendek, karena dorongan itu, jarak kedua orang bertambah jauh sehingga
belati yang pendek itu tidak dapat mencapai tubuh Siao-liong-li. Rupanya karena
kuatirnya Nyo Ko telah mendorong pedangnya cukup keras sehingga membuat In
Kik-si ter-huyung ke belakang, pedang yang berat itu berikut ruyung yang masih
melibat itu terus menumbuk ke tubuh In Kik~si.
Meski Nyo Ko juga tiada maksud melukai jiwa In Kik-si,
tapi untuk menyelamatkan Siao-liong-li, tenaga dorongan yang dikeluarkannya
tidak kepalang hebatnya, In Kik-si merasa seperti di tolak oleh tangan maha dahsyat,
Sekuatnya dia mengerahkan tenaga dan mendorong ke depan namun begitu ia tetap
tergentak mundar lagi beberapa langkah baru kemudian dapat berdiri tegak.
Mukanya berubah pucat, tampaknya tetap tersenyum, namun
senyuman yang getir.
Kiranya In Kik-si merasa isi perutnya se-akan2 jungkir
balik, seluruh urat nadinya serasa kacau balau, ia tidak berani sembarangan
bergerak lagi dan juga tidak berani menggunakan tenaga, Nyo Ko teIah melangkah
maju dan mengambil kembali pedangnya, ketika ia angkat pedang itu, di bawah
cahaya sang surya, pandangan semua orang menjadi silau, batu permata telah
berhamburan berserakan.
Rupanya ketika kedua orang sama2 mengerahkan tenaga, batu
permata yang tertatah pada ruyung In Kik si itu telah tergetar hancur dan
rontok.
Dibandingkan Nimo Singh dan Siau-siang-cu, pribadi In
Kik-si terlebih baik, namun karena keserakahannya, luka yang dideritanya
menjadi lebih parah daripada kedua kawannya itu.
Nyo Ko gemas karena In Kik-si hendak menikam
Siong-liong-li dengan belatinya, maka ia tidak perdulikan luka saudagar persi
yang cukup berat itu, segera ia berseru: "Kim-lun Hoat-ong, utang-piutang
kita perlu diselesaikan sekarang atau ditunda saja lain hari?"
Kim lun Hoat-ong sangat licik, dilihatnya Nyo Ko
ber-turut2 mengalahkan Nimo Singh, Siau-siang-cu dan In Kik-si yang semuanya
hanya berlangsung dalam sekali dua gebrak saja, betapa tinggi ilmu silat anak
muda itu sungguh sukar diukur lagi.
Kalau dirinya juga memandangi sekarang, meski tidak
sampai kalah seperti ketiga kawannya, tapi untuk menang rasanya juga tidak
gampang.
Namun begitu berada di depan orang sebanyak ini, kalau
dirinya kena di gertak begitu saja lantas pergi, betapapun ia ingin menjaga
harga diri. ia pikir: "Bocah ini sudah buntung sebelah lengannya, meski
tangan kirinya juga lihay, bagian kanan yang buntung pasti lemah, kalau
kuserang saja bagian kanan. dia tentu juga menguatirkan keadaan Siao-liong-li,
jika berlangsung agak lama, tentu pikirannya akan kacau."
Setelah ambil keputusan demikian, ia lantas menyiapkan
kelima rodanya, ia tahu pertarungan sekarang ini sesungguhnya mengenai
mati-hidup dan dipuji atau terhina selamanya, sedikitpun tidak boleh gegabah.
Segera ia melangkah maju, dengan tertawa ia berkata:
"Saudara Nyo, kuucapkan selamat padamu atas penemuan istimewa yang kau
dapatkan ini sehingga kau memiliki pedang sakti yang tiada tandingannya
ini"
Siao liong li menggelendot dalam rangkulan Nyo Ko, samar2
ia melihat Kim-lun Hoat-ong telah maju dengan rodanya, ia pikir melulu tenaga
Nyo-Ko seorang pasti tak dapat menandingi paderi itu, dengan suara pelahan ia
lantas berkata: "Ko-ji, berikanlah pedang padaku, marilah kita binasakan
dia dengan Giok-li-kiam-hoat kita."
Nyo Ko menjadi terharu, jawabnya: "Jangan kuatir
Kokoh, aku sendiri mampu melayani dia."
Siao-Iiong-li lantas cepat menggeser ke kanan sedikit
agar dapat mengaling lebih banyak di depan Nyo Ko. Sungguh terharu dan terima
kasih pula Nyo Ko, serunya: "Kokoh, sekarang kita menempur kawanan iblis
ini. andaikan matipun kita tidak menyesal lagi." - Segera pedangnya
mengacung ke depan.
Hoat-ong tidak berani menghadapinya dari depan, cepat ia
melompat mundur, menyusul lantas terdengar suara mendengung, roda timahnya
telah menyamber. Waktu Nyo Ko angkat pedangnya menabas, roda itu terus memutar
ke belakangnya dan terbang kembali ke arah Hoat-ong sehingga tabasan Nyo Ko
mengenai tempat kosong.
Habis itu suara mendengung lantas bergemuruh dengan
gemerdapnya sinar perak dan cahaya emas.
Hnta buah roda K,im-lun Hoat-ong telah dihamburkan
sekaligus dari jurusan yang ber-beda2.
Kuatir menambah parah luka Siao~liong-li, Nyo Ko tidak
berani banyak bergerak, ia terus berdiri saja di tempatnya. Ternyata hamburan
kelima roda Kim-lun Hoat-ong itupun cuma serangan percobaan saja, setelah roda2
itu berputar sekeliling,lalu terbang kembali lagi ke tangan Hoat-ong.
Melihat Nyo Ko tidak mau bergeser dari tempatnya, tahulah
Hoat-ong akan jalan pikiran anak muda itu, ia menjadi girang dan yakin dirinya
pasti akan berada pada pihak yang lebih menguntungkan kalau saja menyerang dari
jauh dan terus berpisah tempat, dengan cara inipun dirinya pasti takkan kalah,
Dengan kedudukan Kim-lun Hoat-ong sebenarnya tidak layak
menempur Nyo Ko yang cacat badan-serta harus melindungi seorang yang terluka
parah. Namun Hoat-ong juga tahu kesempatan baik sekarang ini sukar dicari lagi
di kemudian bari, kalau saja luka Siao-liong-ti sudah sembuh, dengan gabungan
kedua muda-mudi itu jelas dirinya bukan tandingannya, andaikan Siao-liong-li
tewas oleh luka-nya, sesudah Nyo Ko tida mempunyai tanggungan lagi, dirinya
juga bukan tandingan anak muda itu.
Sebab itulah ia bertekad harus membinasakan kedua
muda-mudi itu sekarang mumpung ada kesempatan bagus, bahwa cara bertempur
sekarang ini pantas dan adil atau tidak bukan soal baginya.
Keadaan demikian juga cukup dipahami semua orang,
merekapun merasa Kim-lun Hoat-ong kurang terhormat menempur Nyo Ko sekarang,
segera si dogol Be Kong-co berteriak: "Hai, Hwesio gede, kau terhitung
ksatria atau bukan? Kau tahu malu tidak?"
Akan tetapi Hoat-ong berlagak pilon saja, kelima rodanya
tetap beterbangan pulang pergi dan kian kemari mengitari Nyo Ko berdua, begitu
roda2 itu ditangkap kembali segera disambitkan pula oleh Hoat-ong, terkadang
tinggi mendadak bisa rebah, lain saat lurus ke depan, tapi tahu2 membelok lagi
ke samping, suara yang ditimbulkan juga berbeda, ada yang mendengung keras, ada
yang mendenging nyaring.
Se-konyong2 terdengar Be Kong-co menjerit kaget, kiranya
sebuah roda mendadak menyamber dari samping terus membelok menyerempet kepalanya
sehingga kulit kepalanya terkelupas sebagian berikat secomot rambutnya dan
berdarah jatuh ke tanah. Roda itu cukup besar dan berat pula, tapi ketika
mengupas kulit kepalanya se~akan2 sebuah pisau cukur saja yang tipis, yang
hebat adalah serempetan itu sedemikian tepatnya hingga tiba pas mengupas kulit
berikut rambut saja, kalau lebiti tinggi sedikit tentu takkan mengupas kulit
kepalan sebaliknya kalau kerendahan sedikit tentu jiwa Be Kong co sudah
melayang, Semua orang sama melongo ngeri melihat kehebatan roda Kim-lun
Hoat-ong itu.
Nyo Ko menguatirkan keadaan Siao-liong-li, tambah lama
tertahan di situ berarti berkurang pula kesempatan menyembuhkannya, segera kaki
kirinya melangkah maju, tubuh Siao-liong-li dibawanya maju sedikit, menysul
kaki kanan juga melangkah lagi.
"Awas"! tiba2 Kim-lun Hoat-ong berseru, tahu2
kelima rodanya bergabung menjadi satu dan terbagi menjadi dua baris terus
menyamber dari depan kepada Nyo Ko berdua.
Namun Nyo Ko juga mengerahkan tenaga pada tangan kirinya,
sedikit ujung pedangnya bergetar "trang trang-trang", ketiga roda
emas, tembaga dan besi kena dicungkit ke samping, menyusul pedangnya terus
menghantam ke bawah, pandangan semua orang terasa silau, menyusul debu pasir
lantas mengepul roda perak dan roda timah telah tertabas pecah menjadi dua oleh
pedang Nyo Ko dan jatuh ke tanah.
Pada saat itu juga Hoai-ong juga membentak sambil
menubruk maju, tangan kirinya memotong miring ke tepi roda tembaga sedangkan
roda emas dan besi terus ditangkapnya, menyusul lantas dihantamkan ke kepala
Nyo Ko.
Nyo Ko tidak menangkis, sebaliknya pedang pusakanya terus
menusuk lurus ke dada musuh, Pedang lebih panjang daripada roda, sebelum roda
lawan sempat menghantam kepada Nyo Ko, ujung pedang anak muda itu sudah
mengancam dan cuma beberapa senti saja di depan dada Hoat-ong.
Akan tetapi maju mundurnya Hoat-ong sungguh cepat luar
biasa, tak kelihatan bergerak, tahu2 tubuhnya mencelat beberapa meter ke
samping.
Nyo Ko juga bergerak dengan cepat, segera pula ia menarik
pedangnya ke belakang, "trang", roda tembaga yang menyamber lagi dari
belakang ditebasnya menjadi dua, bahkan sebelum kedua potong roda itu jatuh,
pedangnya menyabet pula dari samping sehingga kedua potong roda tembaga
tertabas lagi menjadi empat, walaupun pedang itu tumpul, tapi digunakan dengan
tenaga dalam yang kuat, ternyata tajamnya tidak alang kepalang.
Hanya sekejap saja tiga antara lima roda Kim-lun Hoat-ong
telah dihancurkan namun paderi Tibet ini. benar2 tangkas luar biasa, makin
kalah semakin bersemangat ia putar roda emas dan besi dan menyerang pula lebih
kencang. Namun Nyo Ko bertahan dengan tenang2 saja, betapa Hoat-ong
mengitarinya dan menyerang dari arah manapun tetap tak dapat mendekatinya.
Setelah berpuluh jurus lagi, mendadak kedua roda Hoat-ong
itu saling bentur, menyusul terus di tolak ke depan, dihantamkan ke tubuh
Siao-liong-li.
Cepat pedang Nyo Ko juga menusuk ke depan,
"creng", dengan tepat pedang itu menahan di tepi roda emas, tenaga
dalam kedua orang sama2 di kerahkan pada senjata masing2 hingga keduanya sama
tergetar, seketika kedua orang hanya berdiri saja, dan saling bertahan.
Nyo Ko merasa tenaga lawan terus menerjang tiba secara
bergelombang dan tak putus2, makin lama makin kuat, diam2 ia terkejut, tak
disangkanya tenaga dalam lawan ternyata sehebat ini, meski sebelum ini mereka
pernah bertarung beberapa kali, tapi baru sekali ini mereka mengadu Lwekang.
Karena sekarang mereka mengadu tenaga dalam, dengan
sendirinya kehebatan pedang tumpul Nyo Ko itu sukar digunakan sebaliknya sudah
berpuluh tahun Kim-Iun Hoatrong menggembleng diri, tentu saja dia lebih ulet
daripada Nyo Ko, jika berlangsung lama, akhirnya Nyo Ko yang kewalahan.
Ia pikir tiada gunanya main ngotot begini, akan kupancing
dia mendekat, lalu kukebut mukanya dengan lengan baju kanan secara mendadak.
Karena pikiran ini, pelahan Nyo Ko menarik pedangnya ke
belakang, jarak kedua orang tadinya hampir dua meter, lambat laun mengkeret
menjadi, satu setengah meter, lalu satu meter dan semakin dekat pula.
Kedua murid Hoat-ong, yaitu Darba dan Hotu, sejak tadi
juga mengawal di samping sang guru, mereka menjadi girang melihat gurunya
berada di atas angin, tapi merekapun prihatin melihat sang guru mengadu Lwekang
dengan Nyo Ko, maklumlah mengadu tenaga dalam secara begitu tidak mungkin main
licik atau bermaksud menghindar kalau meleng bahkan jiwa bisa melayang.
Darba berhati jujur dan berpikir sederhana, yang
diperhatikan hanya keselamatan sang guru, maka tanpa terasa ia ikut melangkah
maju melihat gurunya semakin mepet lawannya, sedangkan Hotu juga ikut melangkah
maju dua-tiga tindak, tapi yang menjadi tujuannya adalah mencari kesempatan
untuk menyerang Nyo Ko, dia main kipas-kipas seperti orang mencari angin, tapi
kalau lawan meleng sedikit saja segera senjata rahasia pada kipasnya itu akan
segera dihamburkan.
Namun disebelah sana Khu Ju-ki dan Ong Ju-it juga tidak
tinggal diam, mereka sudah berpengalaman melihat gelagatnya segera mereka
menduga Hotu dan Darba bermaksud ikut menyerang membantu sang guru, mereka
saling pandang sekejap dan berpikir "Meski Nyo Ko memusuhi Coan-cin-kau,
tapi seorang lelaki sejati harus bertindak secara terang2an, baik kalah atau
menang harus ditentukan menurut kepandaian sejati, mana boleh kaum durjana
berbuat sesukanya di atas Cong-lam san sini."
Begitulah mereka lantas melangkah maju juga dengan pedang
terhunus dan menatap tajam mengawasi gerak-gerik Hotu. Biarpun, sudah ubanan
semua, namun wajah kedua Tosu tokoh Coan-cin-kau ini masih merah segar, sorot
mata mereka yang tajam membuat Hotu keder dan tidak berani sembarangan
bergerak.
Dalam pada itu tangan Nyo Ko sudah semakin mengkeret,
jarak Hoat-ong dengan dia sekarang kurang dari satu meter, ia pikir kalau
Hwesio tua mendesak maju lagi sedikit segera-akan kusabet dia dengan lengan
baju kanan, andaikan tak dapat membinasakan dia, sedikitnya juga akan membikin
dia kepala pusing dan mata ber-kunang2.
Hoat-ong terkesiap juga ketika melihat bahu kanan Nyo Ko
bergerak sedikit, sebagai orang yang maha cerdik segera ia tahu maksud si anak
muda, pikirnya: "Kebasan lengan bajumu memang hebat tapi biarlah kutahan
disabet oleh lengan bajurmu ketika itu tenaga tangan kirimu tentu akan
berkurang, kalau aku menyerang sepenuh tenaga secara mendadak tentu kaupun akan
terluka parah."
Selama menggelendot di tubuh Nyo Ko, keadaan Siao-liong-li
semakin lemah hingga hampir tak sadarkan diri, ketika anak muda itu mengerahkan
tenaga dalam, jalan darahnya bertambah cepat, suhu badannya semakin panas,
karena rasa panas badan anak muda itu semakin bertambah, Siao-liong-li lantas
membuka mata, dilihatnya dahi Nyo Ko ada butiran keringat, ia coba mengusapnya
dengan lengan baju.
Ketika melihat anak muda itu menatap tajam ke depan
dengan sikap prihatin iapun mengikuti arah yang dipandang itu, tapi ia menjadi
kaget, dilihatnya sepasang mata Kim-lun Hoat-ong-melotot seperti gundu dengan
sorot mata yang buas, jaraknya sangat dekat di depannya.
Dengan rada takut Siao-liong-li memejamkan lagi matanya,
waktu membuka mata pula dilihatnya wajah Hoat-ong dengan4 mata melotot itu
bertambah dekat lagi, Akhirnya ia mendongkol dia menggelendot dalam pelukan
kekasih, justeru orang melototnya secara menjemukan!
Tak terpikir olehnya bahwa saat itu Hoat-ong sedang
menempur Nyo Ko, ia hanya anggap Hwesio itu adalah musuh dan juga tidak ingin
Hwesio itu mengganggu kebahagiaannya disamping Sang kekasih, maka ia lantas
mengeluarkan sebuah jarum tawon putih, pelahan2 ia mencolokkan jarum itu ke
mata kiri Hoat-ong.
Jangankan jarum itu berbisa, biarpun jarum biasa, kalau
bola mata tertusuk juga pasti buta seketika. Hanya saja tujuan Siao-liong-li
cuma ingin menghalau pandangan mata musuh yang menjemukan itu, pula dia terluka
parah, maka waktu menjulurkan jarumnya itu menjadi tak bertenaga dan maju
dengan sangat pelahan.
Namun saat itu Hoat-ong sedang mengadu tenaga dalam
dengan Nyo Ko, sedikit bergeser saja pasti akan celaka, Maka ketika jarum
Siao-liong-li itu menusuk tiba dengan pelahan, sama sekali ia tidak dapat
mengelak atau melawannya.
Tertampaklah jarum sudah semakin mendekat dan makin
mendekat, dari belasan senti menjadi beberapa senti di depan matanya dan kini
tinggal satu dua senti saja, Mendadalc Hoat-ong berteriak keras2, kedua rodanya
didorong ke depan, ia sendiri lantas berjumpalitan ke belakang, namun begitu
tenaga Nyo Ko yang terkumpul pada pedangnya itu sukar dielakan semua, baru saja
Hoat-ong dapat berdiri, tubuhnya lantas tergeliat dan akhirnya jatuh terduduk.
"Suhu!" teriak Darba dan Hotu berbareng, mereka
terus menubruk maju hendak memayang bangun sang guru.
Sementara itu Nyo Ko telah ayun pedangnya hingga roda
emas dan besi lawan terbelah menjadi dua, menyusul ia terus memburu maju,
pedangnya memotong ke tubuh Kim-Iun Hoat-ong yang terduduk itu.
Hoat-ong belum mampu menghimpun kembali tenaganya, dia
terduduk dengan lunglai dan tidak sanggup melawan sedikitpun Cepat Darba angkat
gadanya dan Hotu juga angkat kipas bajanya ke atas untuk menahan bacokan pedang
Nyo Ko.
Namun tenaga bacokan Nyo Ko itu sangat hebat, apalagi
bobot pedangnya memang juga berat, seketika Darba dan Hotu merasa kaki lemas
dan tidak tahan, serentak mereka bertekuk lutut, walau pun begitu mereka tetap
bertahan mati2an demi untuk menyelamatkan sang guru.
Daya tekanan Nyo Ko semakin kuat, Darba dan Hotu angkat
senjata mereka dan bertahan sepenuh tenaga, tulang punggung mereka serasa mau
patah, rasa tulang sekujur badan berbunyi berkeriukan: Tiba2 Hotu berkata:
"Suheng, tahanlah sejenak, biar ku tolong Suhu, habis itu segera kubantu
kau lagi."
Dengan gabungan tenaga kedua orang saja tidak mampu
menahan, apalagi cuma Darba sendirian, mana dia mampu menahan daya tekanan
pedang Nyo Ko itu. Tapi dia m,emang orang yang polos dan berbudi, demi
keselamatan sang guru ia rela mengorbankan segalanya, segera ia mengiakan
ucapan Hotu itu dan sekuamya mengangkat gadanya ke atas.
Hotu dan Darba bicara dalam bahasa Tibet, sehingga Nyo Ko
tidak paham apa artinya, hanya tiba2 dirasakan tenaga gada lawan bertambah,
ketika dia hendak menekan ke bawah lebih kuat, saat itulah Hotu melompat
mundur.
Nyata Hotu adalah manusia licik dan licin mana dia
bermaksud menyelamatkan sang guru, yang benar adalah ingin menyelamatkan diri
sendiri. Begitu lolos segera ia berseru: "Suheng, siaute akan pulang untuk
berlatih lagi, sepuluh tahun kemudian akan kucari bocah she Nyo ini untuk
membalas sakit hati Suhu dan kau!"
Habis berkata ia terus berlari pergi secepat terbang dan
menghilang dalam sekejap saja.
Merasa diakali Sutenya Darba menjadi murka, diingatnya
Nyo Ko adalah retnkarnasi (penjelmaan) Toasuhengnya, ia heran mengapa orang
berbuat begini terhadap guru sendiri? Segera ia berseru: "Toasuheng, harap
engkau ampuni jiwaku, nanti setelah kuantar pulang Suhu dengan selamat, akan
kucari Sute yang durhaka itu untuk kucincang hingga hancur lebur, habis itu
akan kuserahkan diriku dan terserah cara bagaimana Toasuheng akan berbuat
padaku, baik mau dibunuh atau dibakar, sedikitpun siaute pasti takkan
melawan."
Dengan sendirinya Nyo Ko tidak paham apa arti ocehan
Darba itu, tapi dilihatnya Hotu lari meninggalkan Suhu dan Subeng yang sedang
terancam bahaya maut, betapapun ia juga bersimpatik pada Darba yang setia dan
jujur itu. Waktu ia menoleh sedikit, dilihatnya Siao-liong-li sedang memandang
padanya dengan penuh rasa kasih mesra.
Alangkah bahagia perasaan Nyo Ke, seketika rasa ingin
membunuh untuk menuntut batas sakit hati segala terlempar ke awang2, terasa
segala dendam dan benci di dunia ini bukan apa2 lagi, segera ia angkat
pedangnya dan berkata kepada Darba: "Baiklah, kau pergi saja!"
Segera Darba berbangkit tapi lantaran terlalu banyak
keluar tenaga, seluruh tubuh menjadi lemas ia tidak kuat memegangi gadanya lagi
dan jatuh ke tanah. Cepat ia menyembah beberapa kali pada Nyo Ko sebagai tanda
terima kasihnya, sementara itu Kim-lun Hoat-ong masih duduk di tanah tak bisa
berkutik, tanpa bicara lagi Darba lantas memanggul sang guru dan dibawa pergi
tanpa menjemput kembali gadanya.
Menyaksikan Nyo Ko hanya dengan satu tangan saja dapat
mengalahkan semua tokoh terkemuka pihak MongoI, para Busu Mongol menjadi
ketakutan, serentak mereka berteriak dan be-ramai2 membawa Siau-siang-cu, In
Kik-si dan Ntano Singh yang terluka parah, hanya sekejap saja merekapun kabur.
Hanya Be Kong~co saja yang tetap berdiri di situ, ia
mendekati Nyo Ko dan mengangkat ibu jarinya, katanya: "Adik cilik, sungguh
hebat."
"Be-toako" jawab Nyo Ko, "kawan2mu adalah
manusia2 busuk semua, kau pasti rugi jika berkumpul dengan mereka, kukira lebih
baik kau mohon diri pada Kubilai dan pulang saja ke kampung halamanmu."
"Ucapanmu memang betuI," ujar Be Kong-eo, ia
memandang sekejap pada Siao-liong-li yang tetap cantik motek itu meski dalam
keadan terluka parah, lalu berkata pula: "Kapan kau akan menikah dengan
nona ini, bagaimana kalau kutinggal di sini untuk meramaikan pestamu?"
Nyo Ko tersenyum getir sambil memggeleng kepala, lalu ia
memandang sekeliling, beberapa ratus Tosu yang masih merubung disekitarnya itu.
"Aha, betul, masih ada kawanan Tosu busuk ini,
bagaimana kalau kubantu kau membereskan mereka?" kata Be Kong-co.
Sudah tentu Nyo Ko tidak ingin orang lain ikut
menyerempet bahaya baginya, segera ia berseru: "Kau lekas pergi saja, aku
sendiri dapat melayani mereka."
Be Kong-co melengak, tapi cepat ia mengerti, serunya
sambil bertepuk tangan: "Benar, benar! Bahkan Hwesho gede dan mayat hidup
yang lain itupun bukan tandinganmu kawanan Tosu busuk ini masakah mampu melawan
kau? Eh, adik cilik dan nona cantik, aku Be Kong-co mohon diri!"
Habis itu ia terus melangkah pergi sambil menyeret
toyanya hingga menimbulkan bunyi gemerantang ketika toya tembaganya menggesek
batu di sepanjang jalan.
Be Kong-co tidak tahu bahwa ada "perang dingin"
antara Kim-lun Hoat-ong dan kawannya sendiri, waktu Nyo Ko menempur mereka satu
per-satu, mereka masing2 sengaja menonton belaka dengan harapan akan menarik
keuntungan dari hasil pertarungan itu.
Coba kalau mereka mengerubut maju sekaligus, biarpun
kepandaian Nyo Ko setinggi langit juga sukar melayani keroyokan lawan sebanyak
itu. Apalagi sekarang kalau harus menghadapi pihak Coan-cin-kau, kawanan Tosu
itu sudah terlatih dan penuh disiplin, kalau Khu Ju-ki sudah memberi perintah,
daya tempur mereka bahkan jauh lebih hebat daripada Kim-lun Hoat-ong dan
begundalnya itu.
Begitulah dengan pedang menahan tanah, Nyo Ko pandang
kawanan Tosu itu dengan dingin.
Dengan suara lantang Khu Ju-ki lantas berkata : "Nyo
Ko, kepandaianmu sudah terlatih sedemikian tinggi dan sudah melebihi kaum kita,
Namun ibegitu, menghadapi Coan-cin-kau kami yang berjumlah beberapa ratus orang
ini, apakah kau kira mampu meloloskan diri?"
Sejauh Nyo Ko memandangi yang tertampak memang gemerdepnya
pedang belaka, setiap tujuh orang Tosu terbentuk menjadi satu regu ber-deret2
susun menyusun sehingga dirinya dan Siao-liong-li terkepung di tengah, walaupun
setiap barisan pedang itu terbentuk dari tujuh Tosu yang berkepandaian biasa
saja, namun daya tempurnya cukup menandingi seorang tokoh kelas satu, kini di
sekitar Nyo Ko sedikitnya ada beberapa puluh barisan pedang.
Sudah tentu anak muda itu pantang menyerah, ia coba
melangkah maju, serentak tujuh Tosu itu mengadangnya dengan ujung pedang siap
menusuk. Waktu Nyo Ko menusukkan pedangnya, seketika ke tujuh Tosu itu
menangisnya dengan tujuh pedang pula, terdengarlah suara gemerantang ramai,
tujuh pedang patah semua, yang terpegang di tangan para Tosu itu tertinggal
garan pedang saja, keruan para Tosu itu kaget dan cepat meloncat ke samping.
Cepat Ong Ju-it memberi komando dan segera barisan pedang
lain mengadang pula kedepan Nyo Ko. Namun sekali pedang anak muda itu menyabet,
biarpun kawanan Tosu itu juga bergerak cepat menggeser tempat, tidak urung dua
Tosu telah menjerit, seorang terluka pinggang dan yang lain tertabas pahanya
keduanya lantas roboh terguling.
Pada saat kun Khu Ju-ki juga telah memberi perintah,
empat belas pedang sekaligus mengancam bagian belakang Nyo Ko dan
Siao-liong-li. Kalau Nyo Ko putar pedangnya ke belakang, andaikan sekaligus
dapat mengguncang pergi senjata2 itu, tapi kalau salah satu pedang itu
tertinggal tentu Siao-liong-li akan terluka pula. Karena sedikit ragu itulah,
segera tujuh pedang lain kembali mengancam pula dari samping.
Dalam keadaan begini sekalipun Nyo Ko berjuang mati2an
juga sukar untuk menyelamatkan Siao-liong-li, untunglah Khu Ju-ki lantas
berseru memberi perintah sehingga ke-21 pedang yang geroerdep itu cuma
mengancam di depan tubuh Nyo Ko berdua.
"Nona Liong dan Nyo Ko, guru2 kita dahulu mempunyai
hubungan yang erat, Coan-cin-kau kami sekarang mengalahkan kalian karena jumlah
orang banyak, menangpun tidak gemilang rasanya, apalagi t nona Liong dalam
keadaan terluka parah," demikian kata Khu Ju-ki. "Sejak dulu orang
bilang: permusuhan lebih baik di bereskan daripada diributkan. Bagaimana kalau
perselisihan kita sekarang juga kita anggap selesai mulai sekarang tanpa
mempersoalkan siapa benar dan salah?"
Sebenarnya antara Nyo Ko dan Coan-cin-kau juga tiada
sesuatu dendam yang mendalam, dahulu Hek Tay-thong salah mencelakai Sun-popoh,
untuk itu Hek Tay-thong sangat menyesal dan rela menebus kesalahan itu dengan
jiwanya, jadi persolan itu sudah beres. sekarang kedatangannya juga untuk
mencari Siao-liong-li saja dan tiada maksud memusuhi Coan-cin-kau, karena itu
apa yang dikatakan Khu Ju-ki itu dapat diterimanya, iapun berpikir tiada
artinya bertempur dengan orang2 Coan-cin-kau, yang paling penting harus
menyelamatkan jiwa sang Kokoh lebih dulu.
Belum ia menjawab, tiba2 sorot mata Siao-liong-li pelahan
memandang sekeliling kawanan Tosu itu, lalu bertanya dengan suara pelahan:
"Mana In Ci-peng?"
Setelah terhantam roda punggungnya serta dada tertusuk
pedang, luka In Ci-peng cukup parah, cuma seketika belum mati, ia menggeletak
di samping sana dalam keadaan kempas~kempis. Ketika samar2 ia mendengar namanya
disebut oleh suara yang lembut seketika hatinya tergetar hebat, entah darimana
datangnya tenaga, serentak ia berbangkit dan menerobos ke tengah barisan pedang
sambil berseru: "Aku berada di sini, nona Liong!"
Sejenak Siao-liong-li menatapnya, tertampak jubah Ci-peng
penuh berlumuran darah dan bermuka pucat, putus asa dan remuk redam hati
Siao-liong-li katanya dengan gemetar kepada Nyo Ko: "Ko ji, kesucianku telah
dinodai orang ini, biarpun sembuh juga takdapat kuhidup bersamamu. Namun dia
dia menyelamatkan aku dengan mati2an, maka kau tidak perlu... tidak perlu lagi
membuat susah dia. pendek kata, nasibku sendiri yang buruk."
Dasar hatinya memang suci bersih, ia tidak pantang omong
apapun dihadapan orang, meski di depan be-ratus2 orang tetap diucapkannya
pengalamannya yang pahit itu. setelah merandek sejenak, ia tersenyum manis dan
berkata pula pada Nyo Ko dengan lirih: "Kini, mati di sisimu, hatiku... hatiku
terasa sangat bahagia."
Sampai di sini tiba2 teringat sesuatu olehnya, disambung
pula: "Puteri Kwe-tayhiap itu telah mengutungi lenganmu, dia pasti tak
dapat meladeni kau dengan baik, lalu siapa yang akan menjaga kau kelak?"
Teringat pada persoalan ini, ia menjadi sedih, dengan
suara lemah ia berkata pu!a: "Ko-ji, selanjutnya kau akan hidup sendirian,
tiada... tiada seorangpun menemani kau..."
"Jangan kuatir, kau takkan meninggal," kata Nyo
Ko dengan suara halus, "Kita pasti akan berada bersama untuk selamanya."
Tadi ketika mendengar pesan Siao-liong-li pada Nyo Ko
agar jangan membikin susah padanya, semuanya dianggap nasibnya sendiri yang
buruk, ucapan Siao-liong-li itu membikin perasaan In Ci-peng sangat terharu,
hatinya seperti di-sayat2, tidak kepalang menyesalnya atas perbuatannya yang
salah itu sehingga mengakibatkan si nona menderita batin selama hidup, sungguh
matipun sukar menebus dosanya itu.
Segera ia berseru kepada Coan-cin-ngo-cu: "Suhu dan
para Susiok, semua ini adalah karena perbuatanku dosaku teramat besar,
hendaklah kalian jangan sekali membikin susah nona Liong dan
Nyo-siauhiap." - Habis berkata, ia melompat maju dan menubruk ke ujung
barisan pedang para Tosu itu, seketika tubuhnya tertembus oleh beberapa pedang
dan binasa.
Kejadian ini sama sekali di luar dugaan semua orang,
keruan para Tosu itu berteriak kaget, Tapi mereka menjadi paham setelah
mendengar ucapan Siao-Hong-li serta pengakuan In Ci-peng tadi, jelas In Ci-peng
telah melanggar kesucian Siao-liong-li dengan cara2 yang rendah.
Karena kesalahan ternyata terletak pada pihak sendiri,
Coan-cin-ngo-cu menjadi malu, namun serba susah juga, untuk menyatakan
penyesalan mereka dan minta maaf.
Setelah memandang sekejap kepada para Sute-nya, segera
Khu Ju-ki memberi perintah agar barisan pedang itu membubarkan diri. seketika
terdengarlah suara gemerincing nyaring pedang dimasukkan ke-sarungnya serta
terluang sebuah jalan bagi kepergian Siao-liong-li dengan Nyo Ko.
Nyo Ko masih merangkul pinggang Siao-Iiong-li dengan
lengan bajunya yang tak berlengan itu, tiba2 teringat olehnya bahwa jiwa sang
Kokoh tinggal beberapa saat saja, apakah dapat tertolong sungguh sukar
dibayangkan. Dahulu dia pernah tanya padaku apakah aku mau mengambil dia
sebagai isteri waktu itu aku bingung dan tidak menjawabnya sehingga kemudian
timbul macam2 kejadian yang merisaukan. Kini keadaan sudah mendesak, waktu
tidak banyak lagi, harus kubikin Kokoh merasa senang dan puas.
Maka dengan suara keras ia lantas bersuara:
"Kokoh, persetan tentang guru dan murid atau soal
kebersihan nama segala, asalkan kita berdua saling mencintai, masakah di dunia
ini ada soal nasib buruk segala? Bagaimana orang lain akan berpikir dan bicara
mengenai diri kita, peduli amat, biarkan mereka pusing kepala sendiri."
Senang sekali hati Siao-liong-li, ia pandang anak muda
itu dan bertanya: "Ucapanmu ini apakah timbul dari lubuk hatimu sungguh2
atau demi untuk menyenangkan aku sengaja kau ucapkan kata2 enak didengar
ini?"
"Sudah tentu sungguh2," jawab Nyo Ko.
"Tanganku buntung dan kau tambah kasih sayang padaku. Kau mengalami
bencana, akupun semakin kasih sayang padamu."
"Benar, di dunia ini kecuali kita berdua sendiri
memang tiada orang lain yang mau perhatikan kita," ujar Siao-Iiong-li
dengan pelahan.
Beberapa ratus Tosu yang sudah lama tirakat dan jauh dari
urusan kehidupan manusia itu menjadi serba runyam ketika mendadak mendengar
u-capan kedua muda mudi yang penuh kasih mesra itu, semuanya saling pandang
dengan wajah merah jengah.
Segera Sun Put-ji membentak: "Lekas kalian pergi
saja dari sini, Tiong-yang-kiong adalah tempat suci, tidak pantas kalian
mengucapkan kata2 tidak sopan di sini."
Akan tetapi Nyo Ko malah berseru pula: "Dahulu
Tiong-yang Cosu dan Lim-cosu sebenarnya adalah suatu pasangan yang setimpal,
tapi entah sebab tata adat apa yang menyebabkan gagalnya perjodohan mereka dan
meninggalkan penyesalan selama hidup, Kokoh justeru kita menikah di hadapan
pemujaan Tiong-yang Cosu untuk melampiaskan rasa dongkol Lim-cosu kita."
Siao-liong-li tertawa manis, ia menghela napas dan menjawab:
"Ko~ji, kau sungguh baik padaku,"
Tentang hubungan cinta antara mendiang Ong Tiong-yang dan
Lim Tiau-eng, hal ini cukup diketahui oleh Coan-cin-ngo-cu. Maka hati mereka
tergetar demi mendengar Nyo Ko mengungkat urusan itu. Sun Put-ji lantas membentak
pula: "Mendiang guru kami mendirikan Coan-cia-kau ini dengan kepintaran
dan keyakinan yang penuh, jika kau berani sembarangan omong dan bertindak di
sini, jangan menyesal jika pedangku tidak kenal ampun padamu," ~Sret,
segera ia melolos pedangnya.
padahal melulu kepandaian Sun Put-ji sendiri sejak dulu
juga bukan tandingnan Nyo Ko, tapi sekali bergerak, tentu be-ratus2 Tosu itu
takkan tinggal diam. Maka Nyo Ko hanya melirik sekejap saja padanya dan tidak
menggubris, ia membatin : "Betapapun aku harus segera menikah dengan
Kokoh, Kalau tidak dilaksanakan di sini, jangan2 setelah meninggalkan
Tiong-yang-kiong ini Kokoh lantas tak tertolong lagi, tentu Kokoh akan
meninggal dengan menyesali
Biasanya Nyo Ko memang suka bertindak menuruti
kehendaknya, sekali dia menyatakan ingin menikah di hadapan pemujaan Tiong-yang
Cosu, maka apapun yang akan terjadi pasti akan dilaksanakannya.
Dilihatnya sebagian besar kawanan Tosu itu sudah
menghunus pedangnya dan siap tempur ia lantas berkata : "Sun- totiang,
jadi kau sengaja mengusir kami?"
Dengan suara ketus Sun Put-ji membentak pula:
"Pergi, lekas pergi! selanjutnya Coan-cin-kau putus hubungan dengan
Ko-bong-pay, paling baik kalau kita tidak bertemu lagi!"
Tadinya Nyo Ko berdiri menghadapi Tiong-yang-kiong, ia
menghela napas panjang mendengar ucapan Sun Put-ji yang tegas itu, ia membalik
tubuh dan melangkah ke kuburan kuno, dua langkah ia berjalan, berbareng ia
mengembalikan pedang pada pinggangnya, lengan baju kanan mengebas dan memayang
Siao-liong-Ii. Tiba2 ia menengadah dan tertawa ter-bahak2. Begitu keras suara
tertawanya hingga mengejutkan semua orang.
Baru selesai tertawa, mendadak ia melepaskan
Siao-Iiong-Ii-dan melompat mundur, tahu2 Hjat-to bagian pergelangan tangan
kanan Sun Put-ji kena dipegangnya, Ketika Siao Iiong-ir kehilangan sang-gahan
dan mulai sempoyongan pada saat itu juga Nyo Ko sudah melompat tiba pula dengan
membawa Sun Put-ji.
Gerakan melompat mundur dan maju sungguh cepat dan gesit
luar biasa, belum lagi para Tosu menyadari apa yang terjadi, tahu2 Sun Put-ji
sudah berada dalam cengkeraman Nyo Ko dan tak bisa berkutik.
Sebenarnya tokoh berpengalaman sebagai Khu Ju-ki, Ong
Ju-it, Sun Put-ji dan lain2 juga sudah waswas sebelumnya kalau mendadak Nyo Ko
melancarkan serangan dan menawan salah seorang kawannya untuk dijadikan
sandera. Mereka menyaksikan Nyo Ko menyimpan kembali senjatanya dan melangkah
pergi, tangan satunya digunakan pula untuk memayang Siao-liong-li, siapa tahu
anak muda itu sengaja mengacaukan perhatian lawan dengan tawanya, lalu mendadak
melakukan sergapan dan berhasil menawan Sun Put-ji.
Serentak para Tosu itu ber-teriak2 dan merubung maju
dengan pedang terhunus, tapi mereka menjadi mati kutu dan tidak berani
sembarangan bertindak karena Sun Put-ji berada dalam genggaman musuh.
Dengan suara pelahan Nyo Ko berkata: "Maaf,
Sun-totiang, terpaksa kulakukan begini dan membikin susah kau." ia terus
gandeng tangan Sun Put-ji itu, bersama Siao-liong-Ii mereka lantas melangkah
pelahan ke pendopo Tiong-yang-kiong, Para Tosu mengikut dari belakang, semuanya
merasa gusar dan kuatir pula, tapi tidak berani bertindak.
Setelah memasuki pintu halaman dan menyusun serambi
samping, akhirnya Nyo Ko dan Siao-liong-li sampai di ruangan induk
Tiong-yang-kiong dengan Sun Put-ji sebagai sanderanya, Nyo Ko menoleh dan
berseru kepada para Tosu: "Hendaknya kalian menunggu di luar ruangan,
siapapun dilarang masuk, Kami berdua sudah tidak memikirkan jiwa lagi, kalau
sampai bergebrak, biarlah kami gugur bersama Sun-totiang sekaligus."
"Bagaimana, Khu suheng?" tanya Ong Ju-it
pelahan.
"Tenang saja dan bertindaklah menurut keadaan"
jawab Khu Ju-ki. "Tampaknya dia tidak bermaksud jahat pada
Sun-sumoay."
Coan-cin-ngo-cu selamanya malang melintang di dunia
Kangouw, namanya dihormati kawan dan disegani lawan, tak tersangka sekarang
mereka malah mati kutu menghadapi seorang anak muda yang masih hijau begitu,
sungguh mereka mendongkol tapi juga geli sendiri.
Nyo Ko lantas mengambil sebuah kasuran bundar untuk
tempat duduk Sun Put-ji sambil menutuk pula Hiat-to bagian punggungnya,agar
tidak dapat bergerak, Para Tosu ternyata tidak berani masuk sebagaimana telah
diperingatkannya tadi, lalu ia memayang Siao-liong-li ke depan lukisan Ong
Tiong yang, mereka berdiri berjajar.
Karena waktu kecilnya pernah belajar di Tiong-yang-kiong,
bagi Nyo Ko lukisan Ong Tiong-yang itu sudah tidak asing lagi, sekarang ia coba
memandang beberapa kali lukisan itu, terlihat Tojin yang terlukis itu menghunus
pedang dengan gagahnya, usianya antara 30 tahun, di tepi lukisan ada tiga
huruf: "Hoat-su-jin" (orang hidup mati, artinya orang yang hidup ini
tiada ubahnya seperti orang sudah mati), Lukisan itu cuma terdiri dari beberapa
goresan saja, tapi orang yang terlukis itu tampak gagah perkasa, jelas goresan
itu berasal dari tangan pelukis yang mahir.
Tiba2 Nyo Ko teringat bahwa di dalam kuburan kuno itu
juga ada sebuah lukisan diri Ong Tiong-yang, meski lukisan di Tiong-yang-kiong,
ini tokoh yang dilukiskan ini berdiri menghadap ke depan dan lukisan di kuburan
itu bagian samping, namun gaya goresan pelukisnya jelas sama, Segera ia
berkata: "Kokoh, lukisan inipun buah tangan Lim cosu."
Siao-liong-li mengangguk dan tersenyum manis padanya,
katanya dengan suara lirih: "Kita menikah di hadapan lukisan Tiong-yang
Cosu, sedangkan lukisan ini adalah buah tangan Lim-cosu, sungguh sangat
kebetulan dan baik sekali."
Nyo Ko lantas menggeser dua buah kasuran bundar dan
dijajarkan di depan lukisan, lalu berseru: "Tecu Nyo Ko dan perempuan she
Liong sekarang mengikat menjadi suami- isteri di depan Tiong~yang-Cosu,
beberapa ratus Totiang dari Coan-cin-kau yaing hadir di sini adalah saksi
semua." - Sembari berkata ia terus berlutut di atas sebuah kasuran, ketika
melihat Siao-liong-li masih berdiri tegak, segera ia berkata puIa: "Kokoh,
sekarang juga kita melangsungkan upacara nikah, hendaklah kaupun berlutut di
sini!" .
Siao-liong-li termenung diam, kedua matanya tampak merah
dengan air mata ber~Iinang2. sejenak barulah ia berkata: "Ko-ji, tubuhku
sudah tidak bersih lagi, pula ajalku sudah dekat, buat apa.... buat apa kau
begini baik padaku?"
Sampai di sini tak tertahankan lagi air matanya
bercucuran laksana butiran mutiara.
Nyo Ko lantas berdiri lagi dan mengusapkan air mata si
nona, katanya dengan tertawa: "Kokoh, masakah kau masih belum memahami
hatiku?"
Siao-liong-li mengangkat kepalanya memandangi Nyo Ko,
terdengar anak muda itu berkata pula: "Sungguh kuharap kita berdua dapat
hidup seratus tahun lagi agar kusempat membalas budi kebaikanmu dahulu padaku,
andaikan tidak dapat, kalau Thian (Tuhan) cuma berkenan memberi hidup satu hari
saja kepada kita, maka bolehlah kita menjadi suami-isteri satu hari, jika cuma
diberi hidup lagi satu jam, biarlah kitapun menjadi suami-isteri satu
jam."
Tidak kepalang rasa haru Siao-Siong-li melihat
kesungguhan hati anak muda itu dengan sorot matanya yang penuh kasih mesra,
wajahnya yang pedih pelahan2 menampilkan senyuman manis, air mata masih meleleh
di pipinya, namun jelas tak terkatakan rasa bahagianya, pelahan iapun berlutut
di atas kasuran itu.
Nyo Ko lantas berlutut pula, keduanya lantas menyembah
kepada lukisan itu, hati mereka merasa bahagia, segala duka derita di masa lalu
serta ajal yang sudah dekat sama sekali tidak berarti apa2 bagi mereka.
BegituIah mereka saling pandang dengan tersenyum, dengan suara pelahan Nyo Ko
ber-doa: "Tecu Nyo Ko dan Siao-liong-li saling mencintai dengan setulus
hati, semoga selalu dilahirkan menjadi suami isteri, kekal dan abadi."
Dengan suara pelahan Siao-liong-li juga mengikuti doa Nyo
Ko itu dengan khidmat.
Sun Put-ji duduk di sebelah mereka, meski tubuh tak bisa
bergerak, tapi dia dapat melihat dan mendengar, sikap dan ucapan,kedua anak
muda itu dapat diikutinya dengan jelas. Semakin melihat semakin dirasakannya
tindak tanduk kedua orang muda itu sungguh suci murni, biarpun perbuatan mereka
itu melanggar adat, namun semua itu timbul dari pikiran yang bersih, dari jiwa
yang luhur.
"Kini kami sudah terikat menjadi suami-isteri,
sekalipun harus mati dengan segera juga tidak menyesal lagi," demikian
pikir Nyo Ko. Semula ia kuatir kawanan Tosu itu akan menyerbu ke dalam ruangan
untuk merintangi perbuatan mereka itu, kini rasa kuatir itu telah lenyap
semuanya. Dengan tertawa ia berkata: "Kokoh, diriku adalah murid yang
murtad Coan-cin-pay, hal ini sudah terkenal di dunia persilatan Engkau sendiri
ternyata juga seorang murid maha murtad."
"Benar," jawab Siao-liong-li.
"Suhu,melarang aku memikirkan cinta, melarang aku menerima murid lelaki,
lebih2 dilarang menikah, tapi sebuahpun aku tidak mematuhinya, jadi penderitaan
kita ini memang juga setimpal."
"Biarlah, sekali murtad tetaplah murtad," seru
Nyo Ko. "Ong-cosu dan Lim-cosu jauh lebih perkasa, lebih ksatria daripada
kita, namun mereka justeru tidak berani menikah. Kalau kedua Cosu itu
mengetahui di alam baka belum tentu beliau2 itu akan menyalahkan kita."
Selagi Nyo Ko menyatakan tekadnya itu dengan penuh
bersemangat dan bangga, pada saat itulah se-konyong2 terdengar suara gemuruh di
atap rumah disertai dengan berhamburnya genting pecah dan kasxti pecah,
menyusul sebuah genta seberat beberapa ratus kati anjlok dari atas tepat di
atas kepala Sun Put-ji.
Tergerak hati Nyo Ko dan seketika iapun paham duduknya
perkara, secepatnya ia melompat maju, tangan kiripun sudah melolos
Hian-tiat-pokiam, pedang tumpul yang berat itu.
Kiranya perbuatan Nyo Ko dan Siao-liong-li yang
melangsungkan upacara nikah di ruangan besar Tiong-yang-kiong itu telah
menimbulkan rasa gusar para Tosu Coan-cin~kau. Diantara Coan-cin ngo-cu itu Lau
Ju-hian paling banyak tipu akalnya, ia tahu kalau menyerbu ke dalam mungkin Sun
Put-ji akan menjadi korban lebih dulu.
Tiba2 ia mendapatkan akal, ia bisik2 berunding dengan Ong
Ju-it, Khu Ju ki dan Hek Tay-thong bertiga, habis itu ia memberi pesan kepada
anak muridnya agar mengambil genta raksasa yang beratnya ribuan kati di
belakang istana, Khu Ju-ki berempat lantas menggotong genta raksasa itu dan
meloncat ke atas wuwungan, lalu mendadak genta itu dijatuhkannya ke bawah
sehingga atap rumah berlubang, genta itu dijatuhkan tepat di atas tubuh Sun
Put~ ji.
Asalkan Sun Put-ji tertutup di dalam genta dan Nyo Ko
tidak dapat mencelakai dia, maka be-ramai2 kawanan Tosu itu akan dapat
mengerubut dan menawan Nyo Ko berdua.
Akal itu sebenarnya sangat bagus, tapi Lau Ju-hian tidak
tahu bahwa kini ilmu pedang Nyo Ko benar2 sudah maha sakti, tenaga dalamnya
juga maju banyak, sekali pedang tumpul itu ditusukkan ke depan,
"trang", tahu2 genta raksasa itu tergeser menceng sedikit ke samping
dan jatuhnya tepat akan menindih tubuh Sun Put-ji.
Kejadian ini dapat disaksikan dengan jelas Lau Ju-hian
berempat dari atas, mereka sama menjerit kaget dan berduka, sama sekali mereka
tidak mengira tenaga anak muda itu sedemikian hebatnya, Lau Ju-hian sampai
memejamkan matanya untuk menyaksikan nasib buruk Sun Put-ji yang akan tertimpa
genta itu.
Tak terduga segera terdengar Khu Ju-ki berseru:
"Terima kasih atas kemurahan hatimu!"
Waktu Lau Ju-hiaa membuka kembali matanya, ia menjadi
heran, ternyata genta itu telah mengurung rapat Sun Put-ji di dalamnya, di
samping genta tiada sesuatu tanda bekas tertindihnya Sun Put-ji bahkan ujung
jubahnya juga tidak kelihatan.
Rupanya waktu Nyo Ko melihat genta yang ditolak oleh
pedangnya itu bakal menimpa Sun Put-ji dan pasti akan membuatnya binasa, tiba2
teringat olehnya bahwa baru saja kami menikah, tidaklah baik kalau mencelakai
jiwa orang, apalagi To-koh tua itu juga tidak jahat, hanya wataknya saja yang
rada aneh.
Karena pikiran itulah, secepat kilat ia mengebaskan
lengan bajunya untuk mendorong kasur yang diduduki Sun Put ji itu sehingga
tepat tertutup rapat di dalam genta.
Khu Ju-ki berempat menjadi serba salah sekarang, mereka
merasa tidak pantas lagi memusuhi Nyo Ko, namun anak muridnya tadi sudah diberi
pesan bila genta itu sudah dijatuhkan ke bawah, serentak mereka harus menyerbu
ke dalam pendopo, Anak murid mereka tentu tidak dapat menyaksikan apa yang
terjadi di bagian dalam, maka saat itu kawanan Tosu itu be-ramai2 sudah mulai
menyerbu.
Melihat suasana rada gawat, cepat Nyo Ko gantungkan
pedang pada pinggangnya, ia rangkul Siao-liong-li terus dibawa, lari ke ruangan
belakang.
"Perhatian para anak murid, jangan sekali2
mencelakai jiwa mereka berdua," seru Khu Ju-ki dengan suara lantang.
Dalam pada itu para Tosu itu lantas mengudak ke belakang
sambil ber-teriak2. Sebelum itu Lau Ju-hian juga sudah menyiapkan 21 murid
pilihan di halaman belakang pendopo, baru saja Nyo Ko keluar, tertampak sinar
pedang gemerdapan, mereka telah dipapak oleh barisan pedang.
Tiba2 Nyo Ko berpikir bahwa lebih baik menerjang keluar
melalui lubang atap yang jebol oleh genta raksasa tadi, meski di atas atap ada
dijaga oleh keempat tokoh utama Coan cin-pay, tampaknya mereka berempat takkan
melancarkan serangan maut padaku. Karena pikiran ini, segera ia berlari kembali
ke ruangan pendopo,
Kedua tangan Siao-liong-li merangkul kencang di leher Nyo
Ko, katanya dengan suara lembut: "Kita sudah terikat menjadi suami-isteri,
cita2 hidup kita sudah tercapai. Adalah baik kalau kita dapat menerjang keluar,
andaikan tidak dapat juga tidak menjadi soal."
"Benar," kata Nyo Ko, begitu kakinya bekerja .
"blak~bluk", kontan dua Tosu yang mengadangnya didepaknya hingga
terjungkal
sementara itu ruangan pendopo itu sudah penuh berjubel
kawanan Tosu, karena itu barisan pedang Coan-cin-pay itu sukar dikerahkan Namun
lengan kiri Nyo Ko digunakan memondong Siao-liong-li, hanya dengan kakinya saja
ia dapat merobohkan musuh dan dengan sendirinya sukarlah baginya untuk lolos
dari kepungan.
Diam2 ia menjadi gemas terhadap para Tosu itu.
"Blang", kembali seorang Tojin ditendangnya terjungkal dan menumbuk
jatuh pula dua kawannya.
Tengah ribut2 se~konyong2 dari luar sana berlari masuk
seorang tua berjenggot dan berambut ubanan semua, di belakang si kakek mengikut
suatu gerombolan besar tawon madu, orang itu ternyata Ciu Pek-thong adanya.
Pendopo Tiong-yang-kiong itu kacau balau sehingga
bertambah seorang Ciu Pek-thong juga tidak menjadi perhatian orang
Coan-cin-kau.
Tapi begitu tiba, segera kawanan tawon mencari sasarannya
untuk disengat, keruan keadaan tambah gaduh, Ka-wanan tawon madu itu bukanlah
tawon biasa, tapi adalah tawon putih piaraan Siao-liong-li di kuburan kuno itu.
Begitu tersengat tawon itu, seketika timbul rasa sakit
dan gatal yang tak tertahankan. saking tidak tahan, sebagian Tosu itu sama
ber-guling2 di lantai sambil ber-teriak2, keruan suasana tambah kacau.
Kiranya Ciu Pek-thong teramat kagum dan tertarik setelah
menyaksikan Siao-liong-li dapat mengundang dan memimpin gerombolan tawon di
luar kota Siangyang tempo hari, di luar tahu Siao-liong-li ia telah mencuri
botol madu tawon nona itu dengan maksud akan menirukan kepandaian Siao-liong-li
mengumpulkan barisan tawon.
Tak terduga, biarpun beberapa puluh ekor tawon dapat
dipancing datang, tapi lantaran caranya tidak tepat, segerombolan tawon itu
tidak mau tunduk pada perintahnya.
Ketika permainannya itu kemudian kepergok Siao-liong-li,
Ciu pek-thong jadi malu dan cepat2 kabur. Tadinya dia bermaksud mencari Kwe
Cing, tapi kuatir ketemu Siao-liong-li lagi di sana, ia batalkan maksudnya ke
kota itu, setelah ditimbang, akhirnya ia ambil keputusan mengunjungi
Cong-lam-san, tujuan utama dapat bertemu dengan para Sutit (murid keponakan)
yang sudah belasan tahun tidak bcrjumpa, selain itu iapun ingin mencari Tio
Ci-keng untuk ditanyai mengapa berani mengapusi dan mencelakai sang Susiokco?
Sepanjang jalan Ciu Pek'thong mempelajari madu tawon yang
dicurinya dari Siao-liong-li itu, lama2 iapun dapat meraba sedikit cara2
memerintah kawanan tawon.
Perlu diketahui bahwa sifat Ciu Pek-thong memang kocak,
ke-kanak2an, suka humor, senang gara2 dan cari perkara serta ugal2an, sebab
itulah dia di beri julukan "Lo wan-tong" atau si anak tua nakal, tapi
sesungguhnya dia bukan orang bodoh, bahkan sebenarnya otaknya sangat cerdas dan
pintar, kalau tidak masakah ilmu silatnya dapat mencapai setinggi itu?
Begitulah karena hasratnya ingin meniru Siao-liong-li
main-main dengan tawon, setibanya di Conglam-san ia benar2 ketemu batunya.
Tawon putih itu berbeda daripada tawon madu biasa, bentuk badannya lebih besar,
sengatannya juga berbisa, begitu mencium bau madu yang dibawa Ciu Pek-thong,
serentak datanglah kawanan tawon itu sehingga membikin Ciu Pek-thong merasa
kewalahan malah.
Kawanan tawon putih itu sudah biasa mengikuti suara dan
gerak tangan Siao-liong-li, dengan sendirinya sukar bagi Ciu Pek-thong untuk
menghalaunya, tidak hanya itu saja, bahkan terus mengikutinya. Melihat gelagat
jelek, Ciu Pek-thong berlari ke Tiong-yang-kiong dengan tujuan mencari suatu
tempat sembunyi yang baik. Kebetulan saat itu Tiong-yang-kiong sedang kacau
balau dan ramainya bukan main:
Sekilas ia melihat Siao-liong-li berada di situ, ia
terkejut dan bergirang pula, cepat ia melemparkan botol madu kepada
Siao-liong-li sambil berseru. "Wah, celaka, aku tidak sanggup melayani
tuan2 besar tawon ini, lekas kau menolong aku!"
Sekali kebas lengan bajunya dapatlah Nyo Ko menangkap
botol madu itu, dengan tersenyum Siao liong-li menerima botol itu. Dalam pada
itu gerombolan tawon itu beterbangan memenuhi ruangan pendopo, Khu Ju-ki
berempat cepat melompat turun dari atap rumah untuk memberi hormat kepada sang
Susiok.
Segera Hek Tay-thong berseru: "Lekas ambil obor,
ambil obor!"
Para anak murid Coan-cin-kau menjadi sibuk, ada yang
memutar pedang untuk mengusir kawanan tawon, ada yang cari selamat dengan
menutupi muka dan kepala dengan lengan jubah, ada pula yang berlari pergi
mengambil obor.
Ciu Pek-thong tidak pedulikan Khu Ju-ki dan lain2, batok
kepala anak tua nakal itu sendiri sudah benjal-benjol tersengat tawon, yang dia
harapkan adalah mencari suatu tempat sembunyi yang ia dapat diselundupi oleh
tawon, Ketika tiba2 melihat sebuah genta besar terletak di situ, ia menjadi
girang, Cepat ia mengungkap genta itu, tapi dilihatnya di bawahnya sudah ada
seorang, tanpa diperhatkan siapa orang itu, ia lantas berkata: "Maaf,
silakan menyingkir dulu."
Berbareng ia dorong Sun Putji keluar, ia sendiri lantas
menyusup ke dalam genta, sekali lepas tangan, "blang", genta itu
segera menutup rapat lagi. Girang luar biasa Ciu Pek thong berada di dalam
genta, ia pikir biarpun gerombolan tawon yang ber-laksa2 jumlahnya juga tak
dapat mengejarnya serta menyengatnya lagi.
Dalam pada itu Nyo Ko telah membisiki Siao liong-li:
"Cepat kau memerintahkan bantuan tawon, kita terjang keluar saja,"
Biasanya yang selalu memberi perintah adalah
Siao-liong-li, sekarang baru saja menjadi isterinya, untuk pertama kalinya ia
dengar si Nyo Ko bicara seperti memberi perintah padanya, hati Siao-liong-li
merasa sangat bahagia, pikirnya: "Ternyata dia tidak anggap aku sebagai
gurunya lagi dan sungguh2 menganggap diriku sebagai isterinya."
Segera Siao-liong-li mengiakan dengan suara lembut dan
penurut, ia lantas angkat botol madu dan diguncangkan beberapa kali sembari
berseru beberapa kali. Karena bertemu dengan majikannya, kawanan tawon lantas
bergerombol menjadi satu dalam waktu sekejap saja, Siao-liong-li terus memberi
tanda dan membentak pula, gerombolan tawon itu lantas terbagi menjadi dua
barisan, baris pertama mendahului di depan, barisan lain berjaga di belakang,
Siao-liong-li dan Nyo Ko se-akan2 di-kawal oleh kedua barisan tawon itu terus
menerjang ke belakang Tiong-yang-kiong.
Karena gara2 kedatangan Ciu Pek-thong, Khu Ju-ki dan
kawan2nya menjadi serba runyam, tampaknya Nyo Ko berdua sudah mundur ke
belakang istana, segera ia memberi perintah agar anak muridnya tidak mengejar.
Ong Ju-it lantas membuka Hiat-to Sun Put-ji yang tertutuk itu, sedang Khu Ju-ki
berusaha membuka genta.
Ciu Pek-thong yang sembunyi di dalam genta dengan
sendirinya tidak tahu apa yang terjadi di luar, ketika merasakan genta itu
hendak dibuka orang, ia menjadi kuatir dan berteriak: "Haya, celaka!
Dengan kedua tangannya ia menahan dinding genta dan ditekan ke bawah.
Karena tenaga dalam Khu Ju-ki tidak lebih kuat daripada
sang Susiok, "trang", baru tersingkap sedikit, segera genta itu jatuh
lagi ke bawah.
Dengan tertawa Khu Ju-ki berkata kepada para Sutenya:
"Susiok kembali bergurau lagi. Ma-rilah kita bekerja sama."
Segera Khu Ju-ki, Ong Ju-it, Lan Ju-hian dan Hek
Tay-thong berempat sama sama menggunakan sebelah tangan untuk menahan genta itu,
sekali bentak seketika genta itu terangkat ke atas, Tapi mereka lantas bersuara
heran ketika tidak melihat bayangan seorangpun di bawah genta, Ciu Pek-thong
ternyata sudah lenyap entah ke mana.
Selagi mereka melongo heran, tiba2 sesosok bayangan
menyelinap keluar, Ciu Pek-thong sudah berdiri di situ dengan bergelak tertawa,
Rupanya tadi dia sengaja pentang kaki dan tangannya menahan di dinding genta
bagian dalam sehingga tubuhnya ikut terangkat ke atas, kalau genta itu tak di
jungkir atau orang melongok ke bagian dalam genta tentu takkan melihatnya.
Khu Ju-ki dan lain2 lantas mengulangi lagi memberi
hormat, tapi Ciu Pek-thong telah goyang2 tangannya dan bersem: "Sudah,
anak2 tidak perlu banyak adat" padahal usia Khu Ju-ki dan kawan2 nya itu
sudah berusia lanjut, tapi Ciu Pek-thong masih tetap menyebut mereka
"anak2" saja.
Baru saja mereka hendak tanya sang Susiok, sekilas Ciu
Pek-thong melihat Tio Ci-keng hendak mengeluyur pergi, sambil membentak segera
ia melompat ke sana dan membekuknya seraya memaki: "Eh, hendak lari kau?
jangan kau harap, hidung kerbau bangsat!"
Segera ia menyingkap genta raksasa itu -Ci~keng terus
dilemparkan ke dalam, sekali lepas tangan, genta itu lantas menutup rapat lagi,
malahan mulut Ciu Pek-thong belum berhenti memaki: "Hidung kerbau bangsat,
hidung kerbau maling!"
"Hidung kerbau" adalah istilah olok2 pada kaum
Tosu, Padahal yang hadir di situ sekarang, kecuali Ciu Pek-thong sendiri,
selebihnya adalah Tosu semua, maka makian Ciu Pek-thong itu sama saja -memaki
seluruh anggota Coau-ciu kau, Tapi lantaran sudah kenal sifat sang Susiok, Khu
Ju-ki berlima hanya saling pandang dengan menyengir saja.
"Susiok," Ong Ju-it coba bertanya, "entah
cara bagaimana Ci-keng bersalah kepada Susiok? Tecu pasti akan memberi hukuman
setimpal padanya."
"Hehe, hidung kerbau bangsat ini memancing aku ke
gua itu untuk mencuri panji, tapi di sana banyak tersembunyi labah2 besar,
untung ada nona cilik itu, wah mana nona cilik itu? Nyo Ko mana pula?"
begitulah Ciu Pek-thong menutur dengan tidak teratur
Sudah tentu Ong Ju-it tidak paham apa yang dimaksudkan
sang Susiok, hanya kelihatan orang tua itu celingukan kian kemari ingin mencari
Siao-hong-li. Pada saat itulah ada murid memberi laporan bahwa Nyo Ko dan
Siao-liong-Ii telah mengundurkan diri ke belakang gunung dan masuk ke
Cong-keng-kok (ruangan perpustakaan)
Keruan Khu Ju-ki berlima terkejut, Cong-keng-kok adalah
tempat penting Coan-cin-kau, di mana tersimpan berbagai kitab pusaka serta
dokumen2-rahasia yang menyangkut kepentingan agama mereka, kalau terjadi
sesuatu akan berarti bahaya besar bagi nasib Coan-cin-kau mereka.
Cepat Khu Ju-ki berseru: "Marilah kita menyusul ke
sana! Tadi Nyo Ko itu tidak melukai Sun-sumoay, sebaiknya permusuhan ini diubah
menjadi persahabatan."
Sun Put-ji mengiakan, be-ramai2 mereka lantas berlari ke
belakang. Hanya Ong Ju-it saja merasa kuatir Ci-keng mati sesak napas di dalam
genta, betapapun Ci-keng adalah muridnya yang tertua, apalagi tindak tanduk
sang Susiok biasanya terkenal angin2an, dalam urusan ini belum pasti Ci-keng
yang bersalah, maka nanti masih harus ditanyai lebih jelas.
Karena itu ia lantas mengambil sepotong batu, ia singkap
sedikit genta itu dan batu itu diganjalkan di bawahnya sebagai jalan hawa.
Habis itu barulah ia berlari menyusul ke sana.
Setiba di depan Cong-keng-kok, terlihat ber-ratus2 anak
murid sedang ber-kaok2, tapi tiada seorangpun yang berani naik ke loteng
Cong-keng~ kok itu. Segera Khu Ju-ki berseru: "Nona Liong dan
Nyo-siauhiap, segala persoalan biarlah kita anggap selesai dan marilah kita
berkawan saja bagai-mana?"
Selang sejenak ternyata tidak terdengar sesuatu suara
jawab, Khu Ju-ki lantas berkata pula: "Nona liong terluka, silakan turun
saja dan berdaya untuk menyembuhkannya. Kami berjanji pasti takkan membikin
susah kalian."
Akan tetapi sekian lamanya tetap tiada sesuatu suara
apapun, pikiran Lau lu-hian tergerak, katanya: "Khu-suko, tampaknya mereka
sudah pergi."
"Lihatlah kawanan tawon yang beterbangan serabutan
itu," kata Ju-hian sambil mengambil sebuah obor dari seorang muridnya,
lalu ia mendahului berlari ke atas loteng.
Be-ramai2 Khu Ju-ki dan lain2 juga ikut ke sana, benar
juga ruangan perpustakaan itu ternyata kosong tiada seorangpun, di meja tengah
ruangan itu tertaruh botol madu tawon itu, Seperti menemukan jimat saja, cepat
Ciu Pek-thong menyamber botol itu dan dimasukkan bajunya.
Semua orang coba memeriksa sekitar Cong-keng-kok, tetap
tiada menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan, hanya pada lantai di pojok
ruangan sana ada setumpuk kitab, namun tiada tanda berkurangnya jumlah kitab,
hanya peti tempat kitab2 itu sudah lenyap,
Tiba2 Hek Tay-thong berseru: "He, mereka kabur
melalui sini" .
Semua orang mendekati jendela itu di bagian belakang
loteng itu, terlihat seutas tali terikat pada jendela itu, ujung tali yang lain
terikat pada pohon di tebing sebelah sana. Antara Cong-keng-kok dan tebing sana
teralang oleh sebuah jurang yang lebarnya belasan meter, sebenarnya buntu tiada
jalan tembus, sama sekali tak terduga bahwa Nyo Ko dapat menyeberang ke sana
dengan melalui seutas tali itu dengan Ginkangnya yang hebat.
Nyo Ko dan Siao-liong-li melangsungkan upacara nikah di
pendopo Tiong-yang-kiong, betapapun orang2 Coan-cin-kau merasa kehilangan muka
karena takdapat mencegah perbuatan kedua muda-mudi itu kini kedua lawan telah
pergi, Coan-cin-ngo-cu saling pandang dengan senyum kecut, namun hati terasa
lega juga.
Yang paling dongkol dan penasaran sebenarnya adalah Sun
Put-ji, tapi setelah menyaksikan cinta kasih Nyo Ko dan Siao-liong-li yang suci
murni itu, pula pada detik yang berbahaya Nyo Ko juga menyelamatkan dia, tanpa
terasa Sun Put-ji seperti kehilangan apa2 dan bungkam saja.
BegituIah Coan-cin-ngo-cu dan Ciu Pek-thong lantas
kembali lagi ke ruangan pendopo untuk menanyai seluk-beluk datangnya utusan
raja Mongol kita pertengkaran antara golongan In Ci-peng dengan komplotan Tio
Ci-keng dan mendadak Siao-liong-li muncul sehingga terjadi pertarungan sengit
itu.
Dengan sejujurnya Li Ci-siang dan Song Tek-hong lantas
memberikan laporan secara jelas. Khu Ju-ki meneteskan air mata dan berkata:
"Meski Ci-peng berbuat salah, tapi dia juga telah membela Coan-cin-kau
dengan mati2an dan tidak sudi menyerah pada Mongol, jasanya juga tidak
kecil."
"Benar, kesalahan Ci-peng tidak lebih besar daripada
jasanya, betapapun kita tetap mengakui dia sebagai pejabat lama," kata Ong
Ju-it dan di-tunjang oleh Lau Ju-hian dan Iain2.
Kalau Khu Ju-ki dan lain2 sedang sibuk menanyai Li
Ci-siang untuk membereskan persoalan selanjutnya, Ciu Pek-thong ternyata tidak mau
ambil pusing, ia lagi sibuk memainkan botol madu itu, beberapa kali ingin
membuka botol itu untuk memancing kedatangan kawanan tawon, tapi iapun takut
kalau sekali tawon sudah datang tak bisa di balau pergi lagi.
Dalam pada itu seorang murid memberi laporan bahwa ada
lima orang murid lainnya sedang menderita tersengat tawon dan mohon paraguru
berusaha mengobatinya, Hek Tay-thong lantas teringat pada pemberian madu tawon
oleh Sun-popoh dahulu! Segera mendekati Ciu Pek-thong dan berkata:
"Kebetulan Susiok membawa sebotol madu tawon ini, mohon kemurahan hati
Susiok agar sudi membagikan madu ini untuk para cucu murid yang tersiksa
itu."
Mendadak Ciu Pek-thong mengangkat kedua tangannya,
ternyata botol madu tadi sudah tak kelihatan lagi, katanya: "Aneh, entah
mengapa, botol madu itu lenyap mendadak."
Padahal dengan jelas Hek Tay-thong melihat barusan saja
botol madu itu masih dipegangi sang Susiok, mana bisa hilang mendadak, tentu
sang Susiok sengaja tidak mau memberi, namun terhadap paman guru dengan sendirinya
tidak sopan mendesaknya dengan kata-, maka Hek Tay-thong menjadi serba sulit.
Kembali Ciu Pek-thong tepuk2 bajunya dan mengebas lengan
baju beberapa kali, lalu berkata pula: "Nak, aku kan tidak menyembunyikan
botol madu itu. jangan kau anggap aku pelit dan tidak mau memberi!"
Rupanya si "anak tua nakal" ini memang suka
jahil dan gemar mainan seperti anak kecil, sampai tua sifatnya ini tetap tidak
berubah, ia pikir kalau cuma disengat tawon saja, paling2 cuma kesakitan dan
takkan mampus, sebaliknya madu tawon yang sukar dicari ini tidak boleh
diberikan begitu saja.
Sebab itulah baru saja Hek Tay-thong membuka mulut segera
ia selusupkan botol madu itu ke lengan baju, ketika ia mengangkat tangannya,
botol itu terus menyusup ke kelek dan menerobos ke dada sampai ke perut, waktu
ia kerut kan perutnya, kembali botol itu menerobos ke dalam celananya dan dari
kaki celana botol itu jatuh pelahan di belakang tungkak kaki, Karena Lwekang
Ciu Pek-thong sudah sangat tinggi sehingga kulit daging sekujur badannya dapat
dikuasai dengan sesukanya, maka sedikitpun tidak mengeluarkan suara ketika
botol madu yang kecil itu diselundupkannya sampai di lantai.
Melihat sang Susiok tidak mau memberi, Ong Ju-it dan
lain2 tidak berani memaksa, ia pikir tunggu nanti saja kalau sang paman guru
lagi memainkan botol madu itu, lalu secara mendadak diminta lagi, tentu tiada
alasan baginya untuk menolak, ia pikir urusan penting sekarang adalah
menyelesaikan dulu soal penghianatan Tio Ci-keng.
Maka dengan tegas ia lantas menyatakan pendiriannya itu:
"Hek-sute, urusan lain kita tunda dahulu, kita harus membereskan dulu soal
murid khianat Tio Ci-keng."
Serentak semna orang menyatakan setuju. Semua saudara
seperguruannya cukup kenal watak Ong Ju-it yang jujur dan adil, biarpun murid
sendiri juga pasti tidak dibela kalau berbuat kesalahan, apalagi sekarang
melakukan penghianatan yang tak terampunkan.
Tapi pada saat itu juga dari bawah genta tiba2 Ci-keng
berkata dengan suara lemah: "Ciu-susiok-co, jika engkau menolong jiwaku,
segera akan kukembalikan madu tawon ini, kalau tidak akan kuminum habis,
bagaimanapun juga aku toh akan mati."
Ciu Pek-thong terkejut, cepat ia membalik ke belakang,
benar juga botol madu itu sudah lenyap. Kiranya dia berdiri tepat di samping
genta raksasa itu. Ci-keng mendekam di dalam genta dan botol madu kebetulan
jatuh di depannya, ia dengar Hek Tay-thong memohon madu pada Ciu Pek-thong dan
tidak berhasil, maka botol itu lantas dicomotnya melalui lubang genta yang
diganjal batu itu.
Dengan botol madu itu sebagai alat pemerasan untuk
menyelamatkan jiwanya, cara ini sebenarnya terlalu ke-kanak2an dan tipis
harapan, tapi di antara putus harapan itu sedikitnya masih ada setitik harapan
untuk hidup, untuk itulah Ci-kcng berusaha sebisanya
Ternyata Ciu Pek-thong menjadi kuatir mendengar ancaman
Ci-keng itu, cepat ia berseru: "He, he, jangan kau minum madu itu, segala
urusan dapat kita rundingkan."
"Jika begitu engkau harus berjanji akan
menyelamatkan jiwaku," kata Ci-keng pula.
Khu Ju-ki dan lain2 juga terkejut, mereka kenal sang
Susiok yang berjuluk "Lo-wan-tong" itu berwatak lain daripada yang
lain, kalau saja paman guru itu menyanggupi permintaan Ci-keng itu, maka sukar
lagi menghukum murid murtad itu, Cepat Ju-ki bicara: "Susiok, dosa murid
murtad ini tak terampunkan, jangan sekali engkau mengampuni dia."
Ciu Pek-thong berjongkok dan mendekatkan kepalanya ke
celah genta dan berseru pula "He... he, jangan kau minum madu
itu""
"Jangan gubris dia, Susiok," kata Lau Ju-hian.
"Apa sulitnya jika Susiok ingin mendapatkan madu itu, kini permusuhan kita
dengan nona Liong sudah berakhir, sebentar kita dapat pergi ke tempatnya untuk
memohon beberapa botol madu seperti itu, Kalau nona Liong sudah mau memberi
sebotol padamu, tentu dia akan memberi lagi sebotol sedikitnya."
Tapi Ciu Pek-thong menggeleng dan menjawab: "Belum
tentu, belum tentu!" Sudah tentu ia tak berani memberitahu bahwa madu itu
adalah hasil copetannya dari Siao-liong~li dan tadi setelah dikembalikan kepada
si nona, rupanya botol itu tertinggal di Cong-keng-kok, kalau meminta pada
Siao-liong-li lagi belum tentu nona itu mau memberi lagi, andaikan diberi juga
akan digunakan sebagai obat dan dia takkan mendapatkan bagian.
Dalam pada itu tiba2 terdengar suara mendengung pelahan,
ada beberapa ekor tawon putih tampak terbang masuk ke pendopo situ dan
mengitari genta.
Pikiran Ciu Pek thong tergerak, cepat ia melongok lagi ke
bawah genta dan berseru: "Ci-keng yang kau ambil itu mungkin bukan madu
tawon."
"Benar, benar madu tulen, mengapa bukan?" ujar
Ci~keng gugup.
"Kukira bukan, bisa jadi madu palsu," ujar Ciu
Pek-thong. "Supaya aku percaya, coba kau buka tutup botol agar aku dapat
mencium baunya, tulen atau palsu segera akan terbukti.
Tanpa pikir Ci-keng membuka sumbat botol dan berkata:
"Baiklah, coba kau menciumnya! Wah, harum dan sedap baunya, masakah
palsu?"
Ciu Pek-thong sengaja menarik napas panjang beberapa kali
dengan hidungnya, lalu berkata: "Uh, rasa2nya bukan madu, seperti bau
sirup! Coba ku-cium beberapa kali!"
Ci-keng genggam botol madu itu sekcncangnya dengan kedua
tangannya, kuatir kalau orang mendadak menyingkap genta terus merampas
botolnya, berulang ia menyatakan "Harum dan sedap sekali, betul
tidak?"
Dalam pada itu bau harum madu tawon itu sudah teruar
memenuhi ruangan pendopo itu, Ciu iPek-thong sengaja bersin satu kali dan
berkata dengan tertawa: "Wah, aku sedang pilek, hidungku mampet!" -
Sembari bicara iapun kucek hidung dan memicingkan sebelah mata kepada Khu Ju-ki
dan lain-lain.
Sudah tentu Ci~keng juga menduga orang sedang main akal
ulur waktu, segera ia mengancam pula: "Awas, jangan kau menyentuh genta
ini, sekali tanganmu memegang genta segera kuminum habis madu ini."
sementara itu tawon putih yang berdatangan sudah tambah
menjadi puluhan ekor dan sedang mengitari genta besar itu dengan suaranya yang
mendengung, Mendadak Ciu Pek-thong mengebaskan lengan bajunya sambil membentak:
"Masuk ke sana dan sengat dia!"
Kawanan tawon itu belum tentu mau tunduk pada
perintahnya, tapi saat itu bau harum madu itu semakin keras, benar saja
beberapa ekor tawon itu lantas menerobos ke dalam genta melalui celah2 yang
diganjal batu itu.
Segera terdengar Ci-keng menjerit, menyusul terdengar
suara jatuhnya benda pecah disertai bau harum yang semakin keras, nyata Ci-keng
telah kena disengat tawon, saking kesakitan botol madu yang dipegangnya
terjatuh dan hancur berantakan.
"Bangsat keparat!" bentak Ciu Pek-thong dengan
gusar, "Memegang botol saja tidak becus!"
Segera ia bermaksud menyingkap genta itu untuk memberi
beberapa kali tamparan pada Ci-keng yang dianggapnya tak becus, tiba2
segerombol tawon putih membanjir tiba karena tertarik oleh bau madu yang harum
itu, be ramai2 kawanan tawon itu lantas menyusup ke dalam genta.
Ciu Pek-thong sudah merasakan betapa lihay sengatan tawon
itu, ia sudah kapok mendekatinya, Dilihatnya tawon yang menyusup ke dalam genta
itu bertambah banyak, sedangkan tempat luang di dalam genta itu terbatas, tubuh
Ci-keng berlepotan madu tawon, setiap kali bergerak pasti menyenggol kawanan
tawon itu, keruan berpuluh, beratus bahkan beribu sengatan tawon memenuhi
badannya.
Semula orang masih mendengar jeritan ngerinya, sebentar
kemudian suaranya menjadi lemah dan akhirnya tak terdengar lagi, jelas karena
terlalu hebat kena racun sengatan dan telah melayang jiwanya.
Mendadak Ciu Pek-thong pegang baju dada Lau Ju-hian dan
berteriak: "Baik, Ju-hian, sekarang kau harus memohonkan sebotol madu
kepada nona Liong bagiku."
Lau Ju-hian menyeringai serba susah, tadi dia cuma
berharap Ciu Pek-thong jangan mudah menyanggupi pemerasan Ci-keng, maka dia
menyatakan akan memintakan madu tawon kepada Siao liong-li bagi sang Susiok,
sekarang dia dicengkeram, terpaksa ia menjawab: "Susiok, lepaskan
tangahmu, akan kumintakan niadunya." Lalu ia membetuIkan bajunya dan
melangkah ke arah kuburan kuno
Khu Ju-ki tahu kepergian Lau Ju-bian ini sangat
berbahaya, kalau Siao- liong-li selamat tidaklah menjadi soal, tapi kalau
lukanya parah dan tak bisa sembuh, entah berapa banyak orang Coan-cin-kau yang
akan dibunuh lagi oleh Nyo Ko. Karena itu ia lantas berseru: "Marilah kita
ber-sama2 ikut ke sana!"
Hutan di dekat kuburan kuno itu sudah lama dilarang masuk
oleh anak murid Coan-cin-kau sesuai ketentuan mendiang Ong Tiong-yang, maka
setiba di pinggir hutan itu, dengan suara lantang Khu Ju-ki berseru:
"Nyo-siauhiap, apakah luka nona sudah baikan? Di sini adalah beberapa biji
obat, silakan ambil ini!"
Akan tetapi sampai sekian lama tiada terdengar jawaban
orang. Khu Ju-ki mengulangi lagi seruannya dan tetap sunyi senyap saja
keadaannya hutan.
Kelihatan rimbun dengan pohon2 tua yang tumbuh di bawah
pohon juga penuh semak beluka, mereka coba menyusuri tepian hutan itu dan tidak
tampak tanda ada orang menuju ke arah kuburan kuno, tampaknya Nyo Ko dan
Siao-Iiong-li tidak pulang ke sana melainkan meninggalkan Cong-Iam-san.
Dengan girang dan kuatir pula semua orang kembali ke
Tiong-yang-kiong, mereka bergirang karena Nyo Ko dan Siao liong-Ii sudah pergi
jauh, tapi juga kuatir kalau luka Siao-liong-li tak bisa disembuhkan, untuk itu
tentu Nyo Ko akan membalas dendam dan celakalah Coan-cin-kau.
Ternyata si anak tua nakal Ciu Pek-thong juga tampak
senang dan sedih, dia sedih karena tidak berhasil mendapatkan madu tawon,
senangnya karena dia tidak perlu bertemu lagi dengan Siao-liong-li sehingga
perbuatannya mencopet madu takkan terbongkar.
Selama berpuluh tahun tinggal di Cong-lam~san ternyata
orang2 Coan-cin-kau itu sama sekali tidak dapat menerka ke mana perginya Nyo Ko
dan Siao~liong~li.
Kiranya waktu suasana di Tiong-yang-kiong menjadi kacau
oleh datangnya gerombolan lebah, segera-Siao-liong-li memimpin barisannya
sebagai pengaman dan menerjang ke belakang gunung, dilihatnya ada sebuah
bangunan kecil berloteng di atas bukit situ, Nyo Ko tahu itulah Cong-keng-kok
yang merupakan salah satu tempat penting di Tiong-yang kiong ini, segera ia
pondong Siao-liong-li ke atas loteng itu.
Baru saja mereka sempat mengaso sejenak, segera terdengar
pula suara hiruk pikuk di bawah, berpuluh Tosu sudah menyusul tiba, cuma tangga
loteng itu rada sempit dan sukar memainkan barisan pedang, maka kawanan Tosu
itu tidaki berani sembarangan menyerbu ke atas.
Setelah mendudukkan Siao-liong-li di atas kursi, Nyo Ko
coba memeriksa keadaan sekitar loteng itu, dilihatnya di belakang Cong-keng-kok
itu adalah sebuah sungai gunung yang dalam, namun sungai itu tidak begitu
lebar, Tiba2 ia mendapatkan akal, ia keluarkan tali yang biasanya diikat pada
dua batang pohon digunakan tempat tidur, ia ikat ujung tali itu pada tiang
Cong-keng-kok dan ujung tali yang lain dibawanya melompat ke seberang sungai
dan diikat pada sebatang pohon.
Lalu ia melompat kembali ke Cong-keng-kok dan bertanya
kepada Siao-Iiong-li: "Sebaiknya kita pulang ke mana?",
"Kau bilang ke mana, aku hanya ikut saja
padamu," jawab Siao liong-li sambil menghela napas.
Dari air muka si nona dapat lah Nyo Ko menerka
pikirannya, tentu yang diharapkannya adalah pulang kembali ke kuburan kuno itu.
Cuma cara bagaimana masuk ke sana, inilah yang menjadi persoalan Dalam pada itu
suara ribut di bawah sana tambah ramai rasanya tak dapat tahan lebih lama lagi
di sini.
Nyo Ko dapat memahami pikiran Siao~liong-li, tapi si nona
juga dapat meraba pikiran anak muda itu, dengan suara halus ia berkata:
"Akupun tidak harus pulang ke kuburan kuno itu, jangan kau pikirkan hal
ini." - ia tersenyum manis, lalu menambahkan "Asalkan senantiasa
berada bersamamu, ke manapun aku setuju,"
Inilah cita2 Siao-liong-li yang pertama setelah mereka
menikah, maka Nyo Ko bertekad akan melaksanakan keinginan si nona, kalau tidak
ia merasa tidak sesuai sebagai suaminya ia coba memandang ruangan loteng itu,
dilihatnya di belakang rak buku di sudut sana ada sebuah peti kayu, tiba2
tergerak pikirannya, cepat ia mendekati peti itu, ternyata peti itu digembok
dengan sebuah gembok besi.
"Dengan mudah saja Nyo Ko puntir patah gembok itu
dan membuka tutup peti ternyata penuh terisi kitab dan sejenisnya. Segera ia
angkat peti itu sehingga isi peti itu tertumplek semua di lantai.
Peti itu terbuat dari kayu kamper, tebalnya lima senti
dan sangat kukuh, ia coba melompat dan meraba atas rak buku, benar juga penuh
tertutup oleh kain minyak. yaitu untuk menjaga kalau kebocoran agar tidak
merusak kitab2 itu.
Dia tarik dua helai kain minyak itu dan dimasukkan ke
dalam peti, lalu peti itu diseberangkan lebih dulu dengan melalui jembatan tali
tadi, kemudian ia kembali lagi untuk memondong Siao-Iiong-ii ke sana,
"Marilah, kita pulang ke rumah asal" katanya dengan tertawa.
Siao-liong-li sangat girang, jawabnya dengan tersenyum:
"Bagus sekali caramu mengatur!"
Kuatir si nona berkuatir, Nyo Ko lantas menambahkan:
"Pedangku ini sangat hebat, apapun di dasar sungai yang merintangi peti
ini tentu dapat kubereskan dengan pedang ini, aku akan berjalan dengan cepat,
engkau pasti takkan sumpek di dalam peti,"
"Cuma ada sesuatu yang tidak baik bagiku"
"Apa itu?" tanya Nyo Ko dengan me1engak.
"Untuk waktu tertentu aku takdapat melihat
kau," jawab si nona.
Sambil bicara merekapun sudah sampai di seberang. Nyo Ko
jadi teringat kepada Kwe Yang yang tertinggal di gua itn, katanya segera: "Nona
keluarga Kwe juga kubawa ke sini. Apa yang harus kulakukan menurut
pendapatmu?"
Siao-liong-li melenggong, tanyanya dengan suara rada
gemetar: "Apa katamu? Kau.. kau membawa puteri Kwe-tayhiap itu ke
sini?"
Melihat sikap si nona yang aneh itu, Nyo Ko melengak
juga, tapi cepat ia paham sebab musababnya, tentu Siao-liong-li salah paham dan
mengira dia membawa Kwe Hu ke sini, segera ia mencium pelahan pipi si nona dan
berkata: "Ya, puteri Kwe-tayhiap yang kubawa ke sini, tapi bukan nona yang
membuntungi lenganku melainkan orok yang baru lahir tiada sebulan itu."
Muka Siao-liong-li menjadi merah jengah, ia rangkul Nyo
Ko kencang2 dan tak berani memandangnya, selang sejenak barulah ia berkata:
"Bolehlah kita membawanya serta ke kuburan kuno. Jika ditinggalkan lebih
lama di hutan ini, boleh jadi jiwanya akan melayang."
Nyo Ko menjadi kuatir juga, sudah sekian lama dia
teralang di Tiong-yang-kiong, entah bagaimana keadaan Kwe Yang yang
disembunyikan di dalam gua itu. Cepat ia menuju ke gua itu, ternyata keadaan
sunyi sepi tiada suara tangisan anak kecil, ia tambah kuatir, lekas2 ia
menyingkirkan belukar kering dan masuk ke gua, dilihatnya Kwe Yang sedang tidur
dengan lelapnya, kedua pipi bayi itu kelihatan ke-merah2an menyenangkan
"Biar kubopong dia," kata Siao liong-li.
kuatir si nona kurang tenaga karena belum sehat, Nyo Ko
mengusulkan anak itu ditaruh saja di dalam peti, lalu ia mencari belasan Lamkwa
(wa-toh, sebangsa labu besar warna kuning) hasil tanaman kawanan Tosu
Coan-cin-kau, ia memasukkan waloh itu ke dalam peti dan diseret ke tepi sungai.
Setelah Siao-liong-li juga didudukkan di dalam peti
sambil memondong Kwe Yang, pelahan Nyo Ko lantas menutup peti itu dan dibungkus
pula dengan kain minyak, habis itu barulah memasukkan peti itu ke sungai. ia menarik
napas panjang terus menyelam ke dasar sungai sambil menarik peti itu melalui
jalan waktu keluar dari kuburan kuno itu tempo hari.
Sejak digembleng di bawah air terjun itu, kini tenaga
dalam Nyo Ko boleh dikatakan tiada taranya, berjalan di bawah sungai kecil itu
bukan soal lagi baginya.
Dasar sungai itu ternyata tidak rata, terkadang meninggi,
lalu merendah lagi. Nyo Ko terus menyusuri sungai itu, kalau teralang oleh batu
karang sehingga peti itu tak dapat lewat, segera ia menahannya dengan pedang dan
segala rintangan dapatlah dibereskan, ia kuatir Siap-liong-li sumpek di dalam
peti, maka jalannya sangat cepat, tidak lama kemudian ia sudah timbul lagi ke
atas sungai dan sampai di jalan rahasia di bawah tanah yang menuju ke kuburan
kuno.
Lekas2 ia membuka peti itu, dilihatnya Siao-Ijong-li
dalam keadaan lemas dan setengah sadar, mungkin karena terluka parah sehingga
tidak tahan dikurung dalam peti yang rapat itu, sebaliknya Kwe Yang tampak
ber-teriak2 dan menangis penuh semangat. Rupanya orok itu diberi minum susu
macan selama sebulan sehingga jauh lebih sehat daripada bayi biasa.
Dengan lemah Siao liong-li tersenyum bahagia dan berkata:
"Akhirnya kita pulang juga ke rumah!" - Habis berkata ia tak tahan
lagi dan memejamkan mata
Nyo Ko tidak memandangnya lagi dan mem-biarkannya tetap
duduk di dalam peti, ia seret peti itu ke tempat tinggal mereka di dalam
kuburan kuno itu. Dilihatnya segala sesuatu di situ masih tetap serupa seperti
waktu ditinggalkan dahulu, Sambil memeriksa kamar2 batu di situ dan mengamat-amari
pula barang2 yang pernah dipakainya sejak kecil, tiba2 anak muda itu timbul
semacam perasaan yang sukar dilukiskan, seperti girang rasanya, tapi juga
mengandung rasa haru dan duka.
Waktu ia menoleh, dilihatnya Siao liong-li berdiri
berpegang pada samakan kursi dengan air mata berlinang-linang.
Kini kedua orang sudah terikat menjadi suami-isteri,
cita2 yang terkandung selama ini sudah terkabul merekapun sudah pulang di
kediaman lama, selanjutnya tidak akan tersangkut pula dengan macam2 suka-duka
dan permusuhan di dunia fana, namun dalam hati kedua orang sama2 merasa berduka
dan sedih tak terkatakan.
Keduanya sama tahu bahwa luka Siao-liong-li teramat
parah, sudah terkena hantaman roda Kim-lun Hoat ong, terkena pula pukulan
gabungan Coan-cin-ngo-cu yang hebat itu, dengan tubuhnya yang lemah gemulai itu
jelas tidak tahan.
Walaupun sebelumnya kedua orang sudah berulang2
memikirkan asalkan cita2 mereka terkabul dan dapat berkumpul kembali, sekalipun
harus mati seketika juga rela. Tapi setelah keduanya benar2 sudah menikah dan
berkumpul menjadi satu, rasanya menjadi berat sekali untuk berpisah dan mati.
Mereka sama2 masih muda dengan kisah hidup yang
menderita, selama ini belum pernah merasakan bahagianya orang hidup, kini
mendadak mencapai cita2 paling utama orang hidup, tapi dengan segera mereka
akan berpisah puIa.
Nyo Ko termangu sejenak, ia ke kamar Sun-popoh dan
membongkar tempat tidurnya untuk di pindahkan ke samping "dipan kemala
dingin", ia atur bantal kasurnya dengan baik dan membaringkan
Siao-liong-li di situ.
Sisa bahan makanan sudah rusak, namun ber-botol2 madu
tawon yang dikumpulkan Siao liong-li dahulu tetap baik, Nyo Ko menuang setengah
mangkuk madu yang kental itu dan dicampur dengan air untuk diminumkan pada
Siao-liong-li serta Kwe Yang cilik, habis itu ia sendiri juga minum satu
mangkuk.
Ia coba memandang sekeliling kamar batu itu, pikirnya:
"Aku harus bersemangat untuk menggirangkan hati Kokoh, kesedihanku tidak
boleh kentara sedikitpun pada wajahku."
Begitulah ia lantas mencari dua batang lilin yang paling
besar serta dibungkusnya dengan kain merah, lalu disulutkan dan ditancapkan di
atas meja, katanya dengan tertawa: "lnilah kamar pengantin kita dengan
lilin bahagianya."
Cahaya lilin menambah semaraknya kamar batu itu. Siao
liong-li duduk di tempat tidurnya, terlihat tubuh sendiri penuh kotoran dan
noda darah, dengan tersenyum ia berkata: "Macamku ini mana mirip pengantin
baru!"
Tiba2 ia ingat sesuatu, katanya pu'a: "Ko-ji, coba
kau ke kamarnya Lim-cosu dan bawa kemari peti berlapis emas itu."
Meski pernah tinggal beberapa tahun di kuburan ini, tapi
kamar bekas tempat tinggal Lim Tiau-eng tak berani dimasukinya, apalagi barang2
tinggalannya, tentu saja tidak berani dijamahnya. Kini Siao-liong-li
menyuruhnya, segera Nyo Ko ke sana dan mengambilkan peti yang diminta itu.
Peti itu tidak terlalu berat, juga tidak digembok, tapi
tepian peti dilapis emas dan banyak ukiran yang indah. "Menurut Sun-popoh,
katanya peti ini berisi pakaian pengantin Lim-cosu, tapi kemudian beliau urung
menikah, maka barang2 inipun tidak jadi dipakai," kata Siao-liong~li.
Nyo Ko mengiakan saja dan meletakkan peti itu di batu
kemala dingin itu, setelah tutup peti di buka, benarlah di dalamnya tersimpan
sebuah kopiah berukir burung Hong dengan hiasan mutiara, ada sepotong baju
sulaman emas serta gaun sutera merah.
Semuanya terbuat dari bahan pilihan, meski sudah selang
berpuluh tahun, tapi tampaknya masih seperti baru.
"Coba keluarkan isinya, ingin kulihat." kata
Siao-liong-li.
Nyo Ko lantas mengeluarkan satu persatu isi peti itu, di
bawah pakaian pengantin ternyata ada sebuah kotak rias dan sebuah kotak barang2
perluasan Gincu dan pupur dalam kotak rias itu sudah kering, tapi minyak
wanginya ternyata masih ada sisa setengah botol kecil.
Ketika kotak perhiasan dibuka, seketika pandangan mereka
menjadi silau, macam2 perhiasan yang jarang terlihat, ada tusuk kundai
bermutiara, gelang kemala dan mutu manikam yang lain.
Biasanya Siao-liong-li dan Nyo Ko jarang melihat benda2
mestika seperti itu, merekapun tidak tahu betapa bernilainya barang2 perhiasan
itu, yang jelas mereka melihat barang2 itu terbuat dengan sangat halus dan
indah, maka merekapun sangat tertarik.
"Bagaimana kalau kubersolek menjadi pengantin
baru?" ujar Siao-liong-li dengan tersenyum.
"Kau sudah terlalu lelah, mengasoJsip^leBaf latti,
bersoleklah besok," kata Nyo Ko.
Siao-liong-Ii menggeleng, katanya: "Tidak, inilah
hari bahagia pernikahan kita, Aku suka menjadi pengantin baru, Tempo hari di
Coat-ceng-kok itu Kongsun Ci ingin menikah dengan aku dan akupun urung
berdandan sebagai pengantin baru."
"Hah, masakah itu dapat dianggap menikah? itukan
cuma khayalan Kongsun Ci saja!" ujar Nyo Ko dengan tersenyum
Begitulah Siao-liong-li lantas mencampuri bedak dan Gincu
dengan sedikit air dan mulailah bersolek menghadap cermin. Selama hidup untuk
pertama kali inilah dia memakai pupur dan gincu.
Air mukanya sebenarnya memang putih bersih dan tidak
perlu berbedak lagi, cuma dia habis terluka parah, mukanya pucat pasi, setelah
kedua pipinya diberi pupur dan sedikit gincu, sungguh kecantikannya sukar
dilukiskan.
Ia berhenti sejenak, lalu menyisir rambut, katanya dengan
gegetun: "Bicara menyisir rambut, sama sekali aku tidak bisa, Ko-ji, kau
bisa tidak?"
"Akupun tidak bisa! Kukira engkau lebih cantik jika
rambut tidak tersisir," ujar Nyo Ko.
"Apa ya?" Siao-liong-Ii tersenyum. ia lantas
memakai anting2 dan gelang serta perhiasan kepala lainnya, di bawah cahaya
lilin sungguh cantik molek tak terperikan. Dengan ber-seri2 ia menoleh pada Nyo
Ko, maksudnya supaya dipuji beberapa patah kata oleh anak muda itu.
Tapi dilihatnya wajah Nyo Ko ada bekas air mata, jelas
anak muda itu sedang berduka, Siao-liong-li berusaha menahan perasaan dan
anggap tidak tahu, dengan tersenyum ia bertanya pula: "Ko-ji, bagus tidak
dandananku ini?"
"Ba... bagus sekali!" jawab Nyo Ko dengan rada
terguguk, "lni kupasangkan kopiahnya."
Segera ia angkat kopiah pengantin ke belakang si nona dan
dipasang di atas kepalanya.
Dari bayangan cermin dapatlah Siao-liong-li melihat anak
muda itu telah mengusap air matanya dengan lengan baju, ketika berada di
belakangnya anak muda itu sengaja memperlihatkan wajah riang-nya serta berkata:
"Selanjutnya kupanggil engkau "Niocu" (isteriku) atau tetap
menyebut Kokoh padamu?"
Dalam hati Siao-Iiong-Ii membatin: "Masakah masih
ada "selanjutnya" segala bagi kita? Akan tetapi ia berusaha
memperlihatkan rasa gembiranya dan menjawab dengan tersenyum: "Rasanya
tidak pantas jika tetap memanggil Kokoh. sebaliknya sebutan Niocu, Hujin dan
sebagainya terasa agak ke-tua-an!"
"Baiklah, selanjutnya engkau memanggil Ko-ji padaku
dan akan kupanggil Liong-ji padamu, jadinya adil, tiada yang rugi," ujar
Nyo Ko dengan tertawa, "Kdak kalau sudah punya anak, lalu ganti panggilan:
He, pakne bocah atau ibunya anak dan... dan kalau anak itu sudah besar dan
beristeri atau bersuami "
Semu!a Siao liong-li hanya tersenyum saja mendengarkan
ocehan Nyo Ko yang ngalor-ngidul itu, akhirnya ia tidak tahan dan mendadak
mendekam di atas peti dan menangis sedih.
Nyo Ko tahu perasaan si nona, ia mendekati dan
memeluknya, katanya dengan suara halus: "Liong-ji. kau tidak baik, buat
apa kita pedulikan urusan selanjutnya, Yang jelas saat ini kau takkan mati dan
akupun takkan mati, marilah kita bergembira ria, siapapun tidak perlu
memikirkan urusan esok."
Siao-Iiong li mengangkat kepalanya dan mengangguk dengan
tersenyum.
"Lihatlah betapa indahnya sulaman burung Hong pada
gaun pengantin ini,,biarlah kubantu kau mengenakannya." kata Nyo Ko pula,
lalu ia menegakkan tubuh si nona dan bantu mengenakan pakaian pengantin merah
itu.
Siao-liong-Ii mengusap air matanya dan pipinya diberi
lagi sedikit pupur, dengan tersenyum bahagia ia lantas duduk di samping lilin
merah.
Dalam pada itu Kwe Yang terbaring di ujung tempat tidur
itupun mementang kedua biji matanya yang hitam itu sedang memandangi dengan
penuh keheranan, Mungkin dalam hati kecilnya itupun merasakan dandanan
Siao-liong-li itu sangat cantik dan menarik.
"Aku sudah selesai berdandan, cuma sayang di dalam
peti ini tiada pakaian pengantin laki2. terpaksa kau harus begini saja,"
ujar Siao-liong-li.
"Coba kucari lagi, mungkin ada barang2 lain yang
indah," kata Nyo Ko sembari membongkar isi peti yang lain dan dipindahkan
ke atas tempat tidur, Melihat ada sebuah bunga2an buatan emas, Siao liong-li
lantas mengambilnya dan diselipkan di atas rambut Nyo Ko.
"Ya, begini barulah mirip2 pengantin baru,"
ujar Nyo Ko dengan tertawa.
Ia terus membongkar isi peti itu, sampai di dasar peti,
dilihatnya ada satu tumpuk surat yang diikat dengan benang merah, benang merah
itu sudah luntur, sampul surat juga sudah ke-kuning2an. "Ku-temukan surat2
ini," seru Nyo Ko sambil mengangkat tumpukan surat itu.
"Coba dilihat surat apa itu?" kata
Siao-Iiong-li.
Setelah ikatannya dilepas, Nyo Ko melihat sampul surat
pertama itu tertulis: "Kepada sayangku Lim Tiau-heng, pribadi!" dan
pada sudut lain ada sebuah huruf "Say". Surat2 itu berjumlah lebih 20
pucuk, semuanya sama tertulis begitu.
Nyo Ko tahu sebelum Ong Tiong-yang terikat menjadi Tosu,
nama partikelirnya adalah "Say", lengkapnya Ong Say, Dengan tertawa
ia berkata : "Tampaknya surat2 ini adalah surat cinta Ong-cosu kepada
Lim-cosu kita, apakah boleh kita membacanya?"
Sejak kecil Siao-liong-li menghormati sang cakal bakal
itu sebagai malaikat dewata, maka cepat ia menjawab: "Tidak, tidak
boleh!"
Nyo Ko tertawa dan mengikat kembali bundel surat itu,
katanya kemudian:."Kawanan Tosu Coan-cin-kau itu sungguh terlalu kolot,
melihat kita menikah dihadapan lukisan Tiong-yang Cosu, lalu kita dianggap seperti
berdosa dan tidak dapat diampuni." Aku justeru tidak percaya bahwa
Tiong-yang Cosu tidak mencintai Lim-cosu kita, Kalau saja kita perlihatkan
surat2 cinta Ong-cosu ini pasti kawanan Tosu tua itu akan meringis."
Sembari berkata iapun memandangi Siao-liong li dan merasa
berduka bagi Lim Tiau-eng. Pikirnya: "Lim-cosu hidup sunyi di dalam
kuburan ini, tentunya beliau ingin sekali dapat memakai baju pengantin ini dan
selalu gagal, jaai kami berdua ini ternyata jauh lebih beruntung daripada
beliau."
Tiba2 terdengar Siao-liong-li berkata: "Ya, kita
memang lebih beruntung daripada Lim-cosu, tapi mengapa kau menjadi tidak
gembira?"
Nyo Ko mengiakan, mendadak iapun melengak dan bcrtanya:
"He, kau tidak bicara, mengapa engkau mengetahui pikiranku?"
"Kalau tidak dapat mengetahui jalan pikiranmu mana
sesuai untuk menjadi isterimu?" jawab Siao-liong-li dengan tertawa.
Nyo Ko mendekatinya dan duduk ditepi tempat tidur, dengan
lengan kiri ia merangkul Siau liong li, tak terbilang rasa gembira dan bahagia
mereka, diharapkan semoga saat2 demikian ini takkan berubah selamanya, kekal
abadi.
Sampai sekian lama keduanya guling peluk dan terdiam.
Selang sebentar lagi, keduanya sama memandang pada bundel surat tadi dengan
penuh pandang dengan tertawa, keduanya sama2 menyorotkan sorot mata yang nakal.
Maklumlah, usia mereka masih sama2 muda, sehingga belum
hilang sifat anak2 mereka, walaupun tahu tidak pantas membaca surat pribadri
mendiang cakal bakal, tapi rasa ingin tahu sukarlah dibendung.
Tiba2 Nyo Ko berkata: "Bagaimana kalau kita hanya
membaca sepucuk saja? Pasti tidak membaca lebih dari itu."
"Ya, akupun ingin sekali mengetahui isi
surat-itu," jawab Siao-liong-li. "Baiklah, kita hanya membaca sepucuk
saja."
Dengan girang Nyo Ko lantas membuka ikatan bundel surat
tadi. Siao-liong-li berkata pula: "Kalau isi surat itu membikin orang
berduka, hendaknya kau jangan bersuara membacanya bagiku."
Nyo Ko mengiakan, ia coba mengambil sampul pertama dan
dilolos keluar suratnya, lalu mulai membacanya: "Adik Eng, kemarin dulu pasukan
kita bertempur dengan pasukan musuh dan mengalami kekalahan kecil dengan
kerugian beberapa ratus orang..." ternyata isi surat itu
memberitahukan-keadaan medan perang dan bagian akhir surat itu Ong Tiong-yang
minta agar Lim Tiau-eng suka menjual sebagian harta benda untuk dijadikan
perbekalan pasukan. Ber-turut2 ia membaca lagi dua-tiga pucuk surat lain dan
isinya hampir semuanya sama, yakni mengenai situasi medan perang belaka, hampir
tidak pernah menyinggung urusan pribadi mereka.
Nyo Ko menghela napas dan berkata pula: "Tiong-yang
Cosu benar2 seorang pahlawan teladan dan ksatria sejati, segenap jiwa raganya
dicurahkan bagi perjuangan sehingga melupakan kepentingan pribadi, pantaslah
kalau Lim-cosu menjadi dingin hatinya,"
"Tidak!" ujar Siao-liong~Ii. "Ketika
menerima surat2 ini, justeru Lim-cosu merasa sangat senang."
"Darimana kau tahu?" tanya Nyo Ko heran.
"Sudah tentu aku tidak tahu, aku cuma menafsirkan
menurut hati sesama orang perempuan saja." jawab Siao-liong-li.
-"Coba kau, lihat isi surat itu, yang diuraikan selalu situasi medan
perang yang makin genting, namun Ong cosu tetap tidak lupa menulis surat kepada
Lim-cosu dalam keadaan yang gawat dan sulit itu, coba katakan, apakah itu tidak
berarti senantiasa Ong-cosu terkenang kepada Lim-cosu?"
"Ya, benar, memang betul," sahut Nyo Ko sambil
mengangguk Lalu ia membaca lagi surat yang lain. Surat itupun mengabarkan
pasukan yang dipimpin Ong Tiong-yang mengalami kekalahan lagi karena jumlah
pasukan musuh jauh lebih besar. Selain itu pada akhir surat juga ditanyakan
keadaan luka Lim Tiau-eng, meski singkat saja, tapi penuh simpatik dan
perhatian
Siao-liong-li hanya tersenyum hambar, ia menyadari betapa
parah lukanya sendiri, namun iapun tidak ingin membikin kecewa anak muda itu,
katanya kemudian: "Tampaknya surat2 itu tiada yang menyangkut rahasia
pribadi, boleh kau membacanya semua."
Nyo Ko lantas membuka lagi surat2 yang lain, kebanyakan
juga berceritera tentang pengalaman tempur di medan perang, tapi selanjutnya
lebih sering lagi kalahnya sehingga nada Ong Tiong-yang semakin guram dan putus
asa.
"isi surat ini cuma memerosotkan semangat orang
saja, biarlah kita bicara urusan lain saja."
"Eh, apa ini?" mendadak nada Nyo Ko berubah
menjadi bersemangat, tangan yang memegang surat itupun rada gemetar, lalu ia
membacanya dengan suara lebih keras: "kudengar di kutub utara yang maha
dingin sana ada batu dengan nama Han-giok (kemala dingin), khasiatnya dapat
menghilangkan penyakit lama dan menyembuhkan luka yang sukar diobati, untuk itu
akan kuusahakan mendapatkannya bagi adik Eng..."
He, Liong-ji yang dimaksudkan ini apakah bukan
Han-giok~joan (dipan kemala dingin) ini?"
Melihat wujih Nyo Ko yang menampilkan rasa girang seperti
orang yang putus asa mendadak menemukan titik sinar harapan itu, dengan suara
gemetar Siau-liong-Ii pun menjawab: "Apakah... apakah... maksudmu kemala
dingin ini dapat menyembuhkan lukaku ini-?"
"Akupun tidak tahu," jawab Nyo Ko. "Tapi
Tiong-yang Cosu berkata demikian, tentu ada alasannya. Dan nyatanya kemala
dingin ini kan sudah didapatkannya dan berada di sini? Bukankah memang sudah
menjadikannya menjadi dipan untuk tempat tidur? bukankah luka beliau yang parah
itu akhirnya juga sembuh?"
Cepat2 Nyo Ko membuka lagi surat yang lain dengan harapan
kalau2 isi surat lain ada, yang menguraikan tentang cara penyembuhan dengan
kemala dingin itu, tapi istilah "kemala dingin" ternyata tidak pernah
disebut lagi kecuali di dalam surat tadi."
Nyo Ko mengikat kembali bundel surat itu dan ditaruh ke
dalam pcti, lalu ia duduk termenung. Ia pikir kalau dipan kemala dingin itu
memang mempunyai khasiat sehebat itu, tentu juga dapat menyembuhkan luka
Siao-liong-li, hanya caranya saja yang belum di ketahui.
"He, apa yang kau renungkan?" tegur
Siao-liong-li dengan tertawa.
"Sedang kupikirkan cara bagaimana menyembuhkan kau
dengan dipan ini, apa harus dihancurkan dan dicampur dengan obat lain,
entahlah!" gumam Nyo Ko.
"Tentunya kau masih ingat pada Sun-popoh? Sekiranya
dipan kemala dingin ini dapat menyembuhkan Iuka dalam yang parah, masakah Sun
popoh tidak tahu?
Harapan Nyo Ko yang tadinya berkobar2 itu seketika padam
seperti di siram air dingin demi mendengar ucapan Siao liong-li itu.
Perlahan Siao liong-li membelai rambut Nyo Ko, katanya
dengan suara lembut "Ko-ji tidak perlu kau memikirkan lukaku, buat apa kau
membikin susah sendiri? sekarang akan kuceritakan sesuatu mengenai
guruku."
Meski cukup lama tinggal bersama Siao-liong-li, tapi
jarang sekali Nyo Ko mendengar si nona bercerita tentang mendiang gurunya itu,
maka cepat ia menanggapi "Ya,lekas ceritakan!"
"Tahukah kau sebab apa meninggalnya Suhuku?"
tanya Siao-Iiong-li.
Nyo Ko menggeleng, Siao-Iiong-li lantas melanjutkan
"Beliau menyepi di sini dan jarang keluar, tapi pada suatu ketika beliau
pernah keluar menyelesaikan sesuatu urusan penting mengenai Suci sehingga kena
dipedayai seorang jahat. Suhu tidak mau banyak urusan meski mengalami
kesukaran. Siapa tahu orang jahat itu diberi hati justeru minta rempala, Suci
diculiknya pula, sebenarnya kepandaian Suhu jauh melebihi orang jahat itu, cuma
dalam hal Am-gi (senjata rahasia) saja orang jahat itu memang lebih lihay.
Suhuku adalah pelayan pribadi Lim-cosu, sifatnya ramah
dan penurut, hatinya bajik dan jarang marah, tapi demi membela Suci, beliau
terpaksa membuat dua macam senjata rahasia, yakni Giok-hong-kim-ciam (jarum
emas tawon putih) dan Peng pok-gin-ciam (jarum perak inti es) yang berbisa itu,
akhirnya Suci dapat direbut kembali setelah mengalahkan musuh.
Tapi dalam pertarungan itu Suhu juga terluka parah,
walaupun bertahan sampai beberapa tahun, akhirnya juga tak-dapat disembuhkan,
ilmu pukulan Panca Bisa andalan Suci itu adalah ajaran orang jahat itu, Suci
(Li Bok-chiu) berkumpul sekian lama dengan orang itu sehingga tanpa terasa
terpengaruh juga oleh sifat jahatnya. Lantaran ini, sampai meninggalnya Suhu
tetap merasa sedih."
Terkenang kepada gurunya yang berbudi itu, tanpa terasa
hati Siao-liong-li menjadi terharu.
Pikiran Nyo Ko sendiri terasa kusut, tadinya ia merasa
menemukan titik harapan dapat menyembuhkan Siao-liong-li, tapi lantas tenggelam
pula dalam kegelapan, ia pikir memang juga masuk diakal, andaikan dipan kemala
dingin itu dapat menyembuhkan luka dalam yang parah, mengapa Sun-popoh dan guru
Siao-liong-li itu tidak menggunakan untuk menyembuhkan diri mereka?"
Karena urusan sudah begini, ia pikir sebaiknya jangan
dirisaukan lagi, akan lebih baik jika bicara hal2 yang menyenangkan saja dengan
si nona agar hatinya gembira.
Begitulah ia lantas berkata: "Jarum emas lebih
lembut dan jarum perak lebih panjang, tapi menghadapi musuh ternyata jarum emas
lebih berguna daripada jarum perak. Tampaknya kakek guru memang lebih sayang
padamu, makanya jarum emas diajarkan padamu dan jarum perak diturunkan pada
Li-supek."
Siao-liong-li tersenyum, katanya: "Suhu memang
sangat baik padaku, ya guru ya seperti ibu, kalau beliau mengetahui aku
mendapatkan suami sebaik ini, entah betapa beliau akan bergirang."
"Ah, juga belum tentu, beliau kan melarang anak
muridnya menikah," ujar Nyo Ko.
"Tapi guruku sangat baik hati dan sayang padaku,
mula2 mungkin beliau tidak mengidzinkan, lama2 kalau melihat keteguhan hatiku,
tentu beliau juga akan menuruti permintaanku," kata Siao-liong-li.
"Hanya, hanya Li-suci saja yang berdosa kepada
Suhu".
"Bagaimana?" tanya Nyo Ko.
"Waktu Suhu bertarung dengan orang jahat itu,
sebenarnya orang itu sudah tertutuk oleh Suhu dan takbisa berkutik, siapa tahu
secara diam-2 Suci telah membebaskan orang itu, rupanya Suci ingat kepada budi
orang itu yang telah mengajarkan ilmu pukulan berbisa padanya. Setelah orang
itu dapat bcrgerak, secara mendadak dia menyerang Suhu, karena tidak ber-jaga2,
maka Suhu terkena pukulannya."
"Siapakah nama orang jahat itu? Dia mampu menandingi
Suco (kakek guru), tenlu iapun tokoh silat terkemuka jaman ini."
"Suhu tidak pernah memberitahukan nama orang itu
padaku, Dia ingin hatiku bebas dari segala cita rasa dan tidak kenal suka duka
dan budi atau dendam, menurut Suhu, kalau nama orang ini kuketahui, tentu akan
kuingat selalu dan boleh jadi kelak akan kucari dan menuntut balas
pudanya."
"Ai. Suco sungguh orang baik budi," ujar Nyo Ko
dengan gegetun.
Lalu Siao-Iiong-li berkata pula: "Setelah terluka,
Suhu lantas berpindah kamar dan menjauhi dipan kemala dingin ini. Menurut
beliau, dingin akan mengalangi kemajuan ilmu Ko-bong-pay kita, maka bagus
sekali jika menggunakan dipan kemala dingin ini untuk membantu berlatih
Lwe-kang, akan tetapi orang yang terluka tentu tidak tahan."
Melihat Siao-liong-li ada tanda2 lelah Nyo Ko berkuta:
"Silakan tidur saja, akan kutunggui kau di sini."
"Tidak, aku tidak lelah, malam ini kita tidak
tidur," jawab Siao-Iiong-li sambil pentang lebar2 matanya. sesungguhnya
dalam hati kecilnya berkuatir akan luka sendiri yang parah itu, kalau sampai
tertidur dan untuk seterusnya tidak pernah mendusin lagi, itu berarti takkan
bertemu lagi dengan Nyo Ko selamanya, Karena itulah ia lantas menambahkan
"Ajaklah aku bicara saja, Eh, kau sendiri tampaknya lelah?"
"Tidak, aku tidak lelah," jawab Nyo Ko
menggeleng, "Jika tidak ingin tidur, bolehlah kau memejamkan mata untuk
menghilangkan kantuk."
Siao-liong-li mengiakan dan pelahan memejamkan matanya,
lalu berkata dengan suara pelahan. "Suhu sering berkata padaku bahwa ada
satu hal yang tidak dipahaminya sampai akhir hayatnya. Ko-ji, kau sangat
pintar, coba ikut memikirkan soal ini."
"Ketika orang jahat itu tertutuk oleh Suhu dengan
ilmu Tiam-hiat khas ciptaan Lim-cosu, selama hidup Lim-cosu hanya diajarkan
kepada Suhuku dan Suhuku tak mengajarkannya kepada Li-suci, entah cara
bagaimana Li-suci dapat membukakan Hiat-to orang jahat yang tertutuk itu."
"Mungkin waktu suco berlatih sendiri, di luar tahu
beliau Li-suci telah mengintip dan mempelajarinya secara diam2," kata Nyo
Ko.
"Tidak, tidak bisa, kau sendiripun tahu," ujar
Siao-long-li.
Nyo Ko pikir ilmu Tiam-hiat perguruan sendiri memang
sangat aneh dan ruwet, betapapun sukar-dipelajari dari mengintip. Selagi ia
hendak bicara pu!a, terasa Siao-liong-li yang bersandar pada badannya itupun
berdiam, napasnya terhembus halus, ternyata sudah tertidur.
Sambil termangu memandangi wajah si nona, pikiran Nyo Ko
bergolak, selang tak lama, sebuah lilin telah padam karena sudah habis
tersulut, tidak lama kemudian lilin kedua juga padam.
Tiba2 Nyo Ko membayangkan kedua lilin itu seperti dirinya
dan Siao-liong-li, setelah tersulut habis, akhirnya lantas padam, tamat
Selagi ter mangu2, didengarnya Siao liong li menghela
napas panjang dan berkata: "Tidak, aku tidak mau mati, Ko ji, aku tidak
mau mati! kita harus hidup terus, hidup untuk selamanya."
"Benar, kita takkan mati, engkau pasti akan sehat
kembali setelah istirahat beberapa hari lagi," kata Nyo Ko.
"Bagaimana rasa dadamu sekarang?"
Tapi Siao-Iiong li tidak menjawab, rupanya ucapannya tadi
hanya mengigau saja, Nyo Ko coba meraba kening si nona, ternyata panas sekali,
ia menjadi kuatir dan sedih pula. pikirnya dalam hati: "Li-Bok-chiu yang
jahatnya kelewat takaran sampai saat ini masih hidup segar bugar, sebaliknya
Liong ji selama hidup tidak pernah berbuat sesuatu.apa yang merugikan orang
lain kini sudah dekat dengan ajalnya. Oh, Thian yang maha kasih, dimanakah
letak keadilanmu?"
Selamanya Nyo Ko tidak gentar apapun juga, dalam keadaan
tak berdaya, tanpa terasa ia geser tubuh Siao-liong-li ke sampingnya sendiri
lantas-berlutut dan berdoa di dalam batin: "Thian yang welas asih semoga
memberi berkah selamat kepada Liong-ji, untuk itu aku rela.... aku
rela..." Pada hal untuk keselamatan Siao-liong-li, tiada- sesuatupun yang
diragukannya untuk diperbuat guna menebus jiwa si nona.
BegituIah sedang dia berdoa dengan khidmat-nya, tiba2
terdengar Siao-liong-li berkata: "Ya benar Auyang Hong, Sun-popoh bilang
pasti Auyang Hong adanya, Ko-ji, eh, Ko-ji, ke mana kau?" Sambil berseru
mendadak iapun bangun berduduk.
Karena itu cepat Nyo Ko kembali berduduk di samping si
nona dan memegangi tangannya sambil berkata: "Aku berada di sini."
DaIam tidurnya mendadak merasa kehilangan sandaran,
seketika Siao-liong-li terjaga bangun, tapi ia menjadi girang dan lega, setelah
melihat Nyo Ko masih tetap berada di sampingnya.
"Jangan kuatir, aku takkan meninggalkan kau untuk
se-lama2nya," kata Nyo Ko. " seumpama kelak kita harus keluar dari
kuburan kuno ini, aku akan tetap berjaga di sampingmu tanpa berpisah
selangkahpun":
Di dunia luar sana sesungguhnya memang jauh lebih bagus
daripada tempat yang sunyi dan seram ini" ujar Siao Iiong-li, "Cuma
aku lantas takut begitu berada di luar sana."
"Kini kita tidak perlu takut lagi," kata
Nyo-Ko, "beberapa bulan pula bila kesehatanmu sudah pulih, kita berdua
akan pergi ke selatan. Konon cuaca di sana selalu cerah dan pemandangan indah.
Di sana kita tidak perlu lagi main senjata segala, kita akan bercocok tanam,
berkebun dan beternak, kita juga akan punya anak banyak..."
Siao-liong-li juga membayangkan kehidupan yang indah itu,
katanya: "Ya, selamanya - kita takkan main senjata segala, tiada orang
memusuhi kita dan kitapun takkan berkelahi dengan orang lain, kita berkebun dan
piara ayam, piara itik. Ai apabila aku boleh tetap hidup..."
Begitulah keduanya terdiam sejenak, meski berada di dalam
kuburan kuno, tapi dua buah hati mereka selalu melayang jauh ke selatan yang
alamnya indah permai itu, selamanya mereka belum pernah menginjak daerah
selatan, tapi hidung serasa sudah mencium bau harum bunga dan telinga mendengar
kicauan burung merdu.
Siao-liong-li benar2 tidak tahan lagi, lapat2 ia hendak
pulas pula, tapi sesungguhnya ia tidak ingin tidur, katanya: "Aku tidak
ingin tidur, bicaralah padaku!"
"Tadi dalam tiduran kau mengigau tentang Auyang
Hong, mengenai urusan apa itu?" tanya Nyo Ko.
Seperti diketahui, waktu kecilnya Nyo Ko pernah mengakui
Auyang Hong sebagai ayah angkat, kemudian didengarnya dari orang Coan-cin-kau
bahwa Auyang Hong itu berjuluk "Se-tok" (si racun barat), namanya
sangat busuk di dunia persilatan malahan Tam Jutoan, salah satu dari tujuh
tokoh Coan-cin-pay itu tewas di tangannya.
Kemudian Nyo Ko masuk perguruan Ko-bong-pay dan tak
berani lagi bicara mengenai Auyang Hong. sekarang dia sudah menikah dengan
Siao-liong-li dan segala apapun boleh dibicarakan, maka iapun ter-heran2
mendengar igauan Siao-liong-li tadi.
"Apakah aku menyebut Auyang Hong?" demikian
jawab Siao-liong-li.
"Kau juga mengatakan bahwa Sun-popoh bilang pasti
dia," kata Nyo Ko pula.
Baru sekarang Siao-liong-li teringat, katanya:
"Ah, ya, menurut Sun-popoh, katanya orang yang
melukai Suhuku pasti Se-tok Auyang Hong, Katanya di dunia ini yang mampu
melukai guruku boleh dikatakan dapat dihitung dengan jari, sedangkan ilmu
pukulan keji seperti Ngo-tok~sin-ciang itu selain Auyang Hong pasti tiada orang
lain yang sudi menggunakannya. Tapi sampai detik terakhir ajalnya guruku tetap
tidak mau mengatakan penjahat yang melukainya itu. Sun-popoh bertanya kepadanya
apakah penyerang itu Auyang Hong adanya? Namun Suhu tetap menggeleng dan tersenyum
saja, lalu menghembuskan napasnya yang penghabisan."
"Auyang Hong adalah ayah angkatku," kata Nyo Ko
kemudian.
"He apa betul? Mengapa aku tidak tahu?" seru
Siao-liong-li heran.
Nyo Ko lantas menceritakan pengalamannya dahulu ketika
dia terkena racun jarum berbisa Li Bok chiu, berkat pertolongan Auyang Hong,
dapatlah dia diselamatkan sebab itulah ia mengakui Auyang Hong sebagai ayah
angkat, Akhirnya ia berkata pula: "Kini ayah angkatku sudah meninggal,
Suco dan Sun-popoh juga sudah wafat, Tiong-yang Cosu pun sudah tak ada, segala
budi dan dendam, suka dan duka sampai saatnya telah dihapus seluruhnya oleh
Thian yang maha kuasa, Malahan sampai saat terakhir Suco tetap tidak mau
menyebut nama ayah-angkatku. Ah, kiranya begitu!"
Melihat anak muda itu seperti mendadak menyadari kejadian
sesuatu, cepat Siao-liong-li bertanya: "Kiranya begitu apa?"
"Tentang ayah angkatku tertutuk oleh Suco bukan
Li-supek yang menolongnya, tapi dia membebaskan dirinya sendiri," tutur
Nyo Ko.
"Membebaskan dirinya sendiri? Bagaimana bisa
begitu?"
"Ayah angkatku memiliki semacam kepandaian khas,
yakni dapat memutar balik jalan urat nadi seluruh tubuh, sekali urat nadi sudah
terbalik, segenap Hiat-to juga berubah tempat, sekalipun ter-tutuk juga dapat
melepaskan diri."
"Di dunia ini masakah ada kepandaian seaneh ini,
sungguh sukar dibayangkan."
"lni akan kuperlihatkan padamu," kata Nyo Ko
sambil berbangkit lalu ia berjungkir dengan kepala dibawah terus berputar
beberapa kali sambil mengatur pernapasan. Mendadak ia melompat bangun, ubun2
kepalanya terus ditumbukkan pada ujung meja di depan dipan sana.
"Hai, awas!" seru Siao-liong-li kuatir.
Hiat-to yang tepat di ubun2 kepala itu disebut
"Pek-hwe-hiat" dan merupakan salah satu Hiat-to paling penting di
tubuh manusia, Tapi meski tertumbuk ujung meja batu, ternyata sedikitpun Nyo Ko
tidak terluka dan sakit, malahan anak muda itu tetap berdiri tegak dan berkata
dengan tertawa: "Lihatlah, sekali jalan urat nadi terbalik, seketika
Pek-hwe-hiat juga berpindah tempat."
Kagum sekali Siao-liong-li, katanya dengan heran:
"Sungguh aneh, hanya dia yang mampu memikirkan kepandaian ini."
Walaupun tidak terluka, tapi lantaran terlalu keras
menggunakan tenaga, Nyo Ko merasa rada pening juga kepalanya, tapi dalam
keadaan samar2 tiba2 ia seperti menemukan sesuatu yang maha penting, cuma
seketika sukar dikatakan urusan penting apa yang ditemukan itu.
Sampai sekian lama tetap sukar memecahkan persoalannya,
ia menjadi kesal, ingin dikesampingkan tapi berat pula urusannya Akhjrnya ia
cakar2 kepala sendiri dengan perasaan sangat masgul, katanya kemudian:
"Liong-ji, ku-ingat sesuatu yang sangat penting, tapi tidak tahu apakah
itu. Dapatkah kau membantu?"
Sebenarnya tidaklah masak diakal bahwa pikiran seseorang
yang kusut dan tak dapat menyimpulkan sesuatu ditanyakan kepada orang lain.
Tapi lantaran mereka berdua sudah berkumpul lama, sudah ada kontak batin yang
mendalam, apa yang dipikirkan pihak lain biasanya dapat diterka sebagian besar.
Maka Siao-Iiong-li lantas bertanya: "Apakah urusan ini sangat
penting."
Nyo Ko mengiakan Siao-liong-li menegas pula: "Apakah
ada sangkut-pautnya dengan keadaan lukaku?"
"Benar, benar! Apakah itu? Urusan apa yang teringat
olehku?"
"Tadi kau bicara tentang ayah-angkatmu Auyang Hong
serta caranya memutar balik letak hiat-to, ada sangkut paut apakah soal ini
dengan lukaku? Kan bukan dia yang melukai aku..."
Mendadak Nyo Ko melonjak dan berteriak: "Aha,
benar!"
Begitu keras teriakannya sehingga bergemalah kumandang
suaranya dari kamar2 batu di kuburan kuno itu. Habis itu Nyo Ko terus pegang
lengan Siao-liong-li dan berseru pula: "Engkau tertolong, Liong-ji! Engkau
tertolong! Hanya sekian saja ucapannya, saking girangnya air matapun
ber-linang2 dan tak dapat melanjutkan ucapan-nya.
Melihat anak muda itu sedemikian gembiranya,
Siao-liong-li juga ikut senang dan bangkit berduduk.
"Coba dengarkan Liong-ji," kata Nyo Ko
kemudian, "kau terluka dan tak dapat menggunakan Lwekang dari perguruan
kita sehingga sukar disembuhkan tapi engkau dapat memutar balik urat nadimu
untuk penyembuhanmu dan dipan kemala dingin itu adalah alat pembantu yang
ajaib."
"Tapi... tapi aku masih belum paham!" sahut si
nona dengan bingung.
"Bahwa Giok-li-sim-keng aslinya adalah Ci-im
negatip, dingin), kebalikannya adalah Sun-yang (panas, positip)," tutur
Nyo Ko. "Ketika membicarakan kepandaian membalikkan urat nadi ayahku tadi
samar2 sudah kurasakan bahwa lukamu ini pasti tertolong. Cuma cara bagaimana
menyembuhkannya yang masih membingungkanku. Akhirnya setelah ingat pada kemala
dingin yang disebut dalam surat Tiong-yang Cosu barulah aku memahami
persoalannya dengan jelas, sekarang jangan kita menunda lebih lama lagi,
marilah... Marilah..."
Begitulah ia lantas pergi mencari beberapa ikat kayu
bakar, lalu dibakar di pojok kamar, kemudian dia mengajarkan pengantar dasar
ilmu membalikkan urat nadi itu kepada Siao-liong-li, si nona dibiarkan duduk,
di atas dipan kemala dingin, ia sendiri duduk di samping api unggun, tangan
kirinya menahan telapak tangan kanan Siao-liong-li.
"Akan kutarik hawa panas ini untuk menerobos-segenap
Hiat-to di tubuhmu, sekuatnya engkau mengerahkan tenaga secara jalan terbalik,
satu satu Hiat-to itu akan di terobos, kalau hawa panas itu sudah sampai ke
dipan kemala dingin, maka keadaan lukamu menjadi berkurang pula parahnya."
"Apakah akupun harus berjungkir dan berputar seperti
kau tadi?." tanya Siao-liong-li dengan tertawa.
"Sekarang belum perlu, nanti kalau sembilan Hiat-to
besar sudah diterobos, cara berjungkir dan mengerahkan tenaga menjadi jauh
lebih mudah,"
Siao-liong-li berkata pula dengan tertawa: "Untung
kedua lenganmu tidak terkutung semua, nona Kwe itu ternyata tidak terlalu
jelek."
"Setelah mengalami detik2 maut tadi, mengenai
buntungnya tangan bagi mereka sudah bukan soal lagi, makanya Siao-Iiong li menggunakan
hal ini untuk bergurau.
Dengan tertawa Nyo Ko menjawab: "Kalau tanganku
buntung semua, masih ada dua kaki. Hanya kalau membantu menyembuhkan dengan
telapak kaki, bau keringat kaki tentu memualkan kau."
Sementara itu api unggun sudah mulai berkobar selagi Nyo
Ko bersiap akan mengerahkan tenaga dalam dan mulai penyembuhannya-pada
Siao-liong-ti, mendadak ia berteriak: "Haya, hampir saja celaka!"
"Ada apa?" tanya Siao-liong-li
Nyo Ko menuding Kwe Yang yang tertaruh di ujung tempat
tidur sana dan berkata- "Kalau latihan kita sedang memuncak pada titik
yang genting dan mendadak setan cilik ini berkaok, kan segalanya bisa
runyam?"
"Ya, sungguh berbahaya, hampir saja!"
Siao-liong-Iipun bersyukur.
Maklumlah, orang yang asyik berlatih lwekang paling pantang
akan gangguan dari luar, seperti dahulu ketika Siao-liong-li dan Nyo Ko sedang
berlatih Giok-li-sim-keng, tanpa sengaja mereka telah terganggu oleh datangnya
In Ci-peng dan Tio Ci-keng sehingga akibatnya hampir saja menewaskan
Siao-Iiong-li.
Cepat Nyo Ko mengaduk setengah mangkuk madu untuk Kwe
Yang kecil, lalu membawanya ke suatu kamar yang agak jauh, pintu kamar itu
ditutup pula sehingga jerit tangisnya takkan terdengar, Habis itu barulah ia
kembali ke tempat semula dan berkata: "Seluruhnya Hiat-to penting di
tubuhmu kukira dalam waktu tujuh hari sampai setengah bulan dapatlah diterobos
seluruhnya, selama itu tentu sukar menghindari gangguan dari luar, tapi tempat
ini sama sekali terpisah dengan dunia luar, sungguh suatu tempat yang sangat
bagus."
"Lukaku ini dipukul kawanan Tosu Coan-cin kau, tapi
cakal bakal mereka yang membangun kuburan ini serta menyediakan dipan kemala
dingin ini bagiku sehingga kesehatanmu dapat dipulihkan, rasanya dosa dan jasa
mereka dapatlah dianggap sama."
"Dan bagaimana dengan Kim-lun Hoat-ong? Kita takkan
ampuni dia," kata Nyo Ko.
"Asalkan aku tetap hidup, apalagi yang tak memuaskan
kau?"
"Ya, benar juga ucapanmu," kata Nyo Ko sambil
memegang tangan si nona yang putih halus itu, "Setelah kau sembuh,
selanjutnya kita takkan berkelahi lagi dengan siapapun."
"Kita akan pergi keselatan dan bercocok tanam di
sana memiara ayam dan itik serta..." dia termenung sejenak, tiba2 terasa
suatu bawa panas tersalur tiba melalui telapak tangannya, hatinya terkesiap
cepat ia melancarkan jalan darah dan mulai berlatih sesuai ajaran Nyo Ko.
Penyembuhan dengan cara membalikkan jalan darah dibantu
dengan khasiat dipan kemala dingin itu ternyata sangat besar manfaatnya, Sudah
tentu cara penyembuhan ini tidak dapat segera berhasil melainkan memerlukan
ketekunan dan kesabaran
Kembali bercerita tentang Ui Yong, sesudah membuat Li
Bok-chiu tak bisa berkutik, namun dilihatnya Kwe Yang cilik sudah tidak berada
di tempatnya lagi, tentu saja dia kelabakan, ia coba membentak pada Li Bok-chiu
dan bertanya: "Kau main tipu muslihat keji apa, ke mana kau sembunyikan
anakku?"
"Bukankah nona cilik itu terkurung baik2 di tengah
pagar rotan yang kau buat itu?" jawab Li Bok-chiu heran.
"Mana ada? Sudah lenyap!" kata Ui Yong, hampir
saja ia: menangis saking cemasnya.
Karena sudah sekian lama momong Kwe Yang, maka Li
Bok-chiu juga sangat menyukai orok itu, iapun terkejut demi mendengar anak itu
lenyap tercetus ucapannya: "Kalau bukan Nyo Ko tentu-Kim lun
Hoat-ong."
"Apa maksudmu?" tanya Ui Yong.
Li Bok-chiu lantas menceritakan kejadian perebutan Kwe
Yang antara dia, Nyo Ko dan Kim-lun Hoat-ong tempo hari, dari cara Li Bok-chiu
menguraikan itu jelas kelihatan dia sangat menguatirkan anak itu.
Kini Ui Yong percaya penuh hilangnya Kwe Yang itu memang
di luar tahu Li Bok-chiu, segera ia membuat Hiat-to yang ditutuknya tadi, cuma
pelahan ia ketuk Soan ki-hiat di dada orang, dengan demikian Li Bok-chiu dapat
bergerak seperti biasa, tapi dalam waktu 12 jam dia belum kuat mencelakai orang
lain.
Li Bok-chiu berbangkit dengan tersenyum getir dan
membersihkan debu dibajunya, ialu berkata:
"Kalau jatuh di tangan Nyo Ko rasanya tidak
beralangan, kuatirnya kalau digondol lari si bangsat gundul Kim-lun
Hoat-ong."
"Apa sebabnya?" tanya Ui Yong, "Nyo Ko
sangat baik kepada anak itu, kuyakin dia takkan membikin celaka padanya, sebab
itulah tadinya kukira orok itu adalah anaknya."
Mendadak Li Bok-chiu berhenti, kuatir Ui Yong tersinggung
dan marah lagi.
Tapi dalam hati Ui Yong justeru sedang memikir soal lain,
ia sedang membayangkan betapa susah payahnya Nyo Ko berusaha menempur Li
Bok-chiu dan Kim-lun Hoat-ong demi menyelamatkan Kwe cilik, tapi dirinya dan
Kwe Hu justeru salah sangka jelek padanya sehingga mengakibatkan sebelah lengan
anak muda itu ditabas kutung oleh Kwe Hu.
Teringat itu, hati Ui Yong merasa sangat menyesal,
pikirnya: "Ko-ji pernah menyelamatkan jiwa kakak Cing, menyelamatkan aku
dan kedua Bu. sekarang dia menyelamatkan anak Yang, tapi... tapi lantaran
pikiranku sudah menarik kesimpulan keburukan ayahnya dan menganggap
"kacang tidak meninggalkan Ianjarannya", serigala tentu beranak
serigala, maka selama ini aku tidak pernah percaya padanya, meski terkadang
agak baik padanya, selang tak lama aku lantas memakinya lagi.
Ai percumalah diriku maha pintar dan cerdik, kalau bicara
tentang kejujuran dan ketulusan terhadap orang lain mana aku dapat dibandingkan
dengan kakak Cing."
Melihat nyonya Kwe itu termangu dan mengembeng air mata,
Li Bok-chiu menyangka orang sedang menguatirkan keselamatan anaknya, maka ia
berusaha menghiburnya: "Kwe-hujin, puterimu belum sebulan terlahir dan
sudah mengalami bencana begini, namun tetap selamat tak kurang sesuatupun apa.
Bayi mungil menyenangkan seperti dia itu, biarpun momok yang ditakuti orang
macamku ini juga jatuh hati padanya, maka dapat dipahami kalau bayi itu
mempunyai rejeki besar, Hendaknya kaupun berdoa saja bagi keselamatannya,
marilah pergi mencari nya"
Ui Yong mengusap air mata, ia pikir ucapan Li Bok-chiu
itu ada benarnya juga, maka ia lantas membuka lagi Hiat-to orang yang
ditutuknya tadi dan berkata: "Terima kasih banyak bahwa kau suka pergi
bersamaku untuk mencari puteriku itu. Tapi kalau engkau ada urusan lain,
biarlah kita berpisah saja aisini, sampai berjumpa pula kelak,"
"Urusan penting lain apa? Kalau ada urusan penting,
kiranya tidak lebih penting daripada mencari anak itu. Eh, tunggu
sebentar!" habis ini Li Bok-chiu terus menyusup lagi ke dalam gua di balik
pepohonan sana untuk membuka tali pengikat kaki macan tutul.
Begitu merasa bebas, dengan meraung sekali macan tutul
itu terus melompat pergi dengan cepat. Tentu saja Ui Yong heran. "Untuk
apa kau menawan macan tutul itu?" tanyanya.
"Dia itulah mak inang puterimu," tutur Li
Bok-chiu dengan tertawan.
Baru sekarang Ui Yong paham, ia tersenyum, keduanya
lantas kembali ke kota kecil itu untuk mencari jejak Nyo Ko. Setiba di sana,
tertampak Kwe Hu sedang celingukan dan bingung. Nona itu menjadi girang melihat
datangnya sang ibu, segera ia berseru: "lbu, adik dibawa..." belum
habis ucapannya, ia kaget karena melihat yang mengikut di belakang sang ibu
ternyata Li Bok-chiu adanya.
"Bibi Li akan bantu kita mencari adikmu," tutur
Ui Yong kemudian, "Bagaimana dengan adikmu?"
"Adik dibawa lari Nyo Ko, malahan kuda merah kita
juga dirampasnya." jawab Kwe Hu.
"Lihatlah pedangku ini. Dengan kebasan lengan
bajunya yang tak berlengan itu, segera pedangku jadi begini."
"Hanya dengan lengan baju?" tanya Ui Yong dan
Li Bok-chiu berbareng.
"Ya, sekali kebas saja pedang ini lantas bengkok,
sungguh aneh, entah ilmu hitam apa yang berhasil dikuasainya pula," kata
Kwe Hu.
Ui Yong dan Li Bok-chiu saling pandang sekejap dengan
terkesiap." Mereka tahu kalau, tenaga dalam seorang sudah terlatih
sempurna, maka dengan sesuatu benda yang lunak pun dapat digunakan untuk menghantam
benda lawan yang keras, untuk mencapai tingkatan itu sedikitnya juga perlu
waktu beberapa puluh tahun kalau mendapatkan guru yang mahir, namun usia Nyo Ko
masih muda belia, masakah Lwekangnya sudah mencapai puncaknya seperti
ini?"
Hati Ui Yong merasa lega juga ketika mengetahui Kwe Yang
memang digondol oleh Nyo Ko. sedangkan Li Bok-chiu berpikir tentang kehebatan
Kang hu anak muda itu tentulah berkat ilmu yang diperolehnya dari
Giok-li-sim-keng, kalau saja sekarang dirinya membantu Kwe-hujin merebut
kembali puterinya, sebagai imbalannya tentu nyonya Kwe itupun mau membantunya
rebut kembali kitab pusaka itu.
Bcgitutah setelah tanya arah perginya Nyo Ko, kemudian Ui
Yong berkata pula kepada Kwe Hu: "Kaupun tidak perlu lagi pulang ke
Tho-hoa-to marilah ikut pergi mencari Nyo-toako."
Tentu saja Kwe Hu kegirangan dan mengiakan berulang2.
Tiba2 Ui Yong menarik muka dan berkata pula: "Kau harus bertemu dengan
dia, tak peduIi dia mau-mengampuni kau atau tidak, kaulah yang harus minta maaf
padanya dengan setulus hati."
"Tapi Kwe Hu tidak dapat menerima, katanya:
"Mengapa begitu? Bukankah dia telah mencuik adik?"
Ui Yong lantas menceritakan secara ringkas apa yang
didengarnya dari Li Bok-chiu, dan menambahkan "Kalau dia bermaksud jahat,
mana bisa adikmu hidup sampai sekarang? Lagi pula, dengan kebutan lengan
bajunya itu, kalau saja yang diincar adalah kepalamu, coba bayangkan, bagaimana
keadaanmu sekarang?"
Ngeri juga hati Kwe Hu mendengar ucapan sang ibu, ia
pikir betul juga omongan ibunya, "tapi apakah benar Nyo Ko sengaja
bermurah hati padanya? Dasar anak manja, betapapun mulutnya tidak mau kalah,
katanya pula: "Dia menggondol adik ke arah utara, tentu dia menuju ke
Coat-ceng-kok."
"Tidak, dia pasti pulang ke Cong-lam-san." ujar
Ui Yong.
Kwe Hu masih penasaran, jawabnya: "lbu selalu
membantu dia saja, Padahal kalau dia bertujuan baik, untuk apa dia membawa adik
ke Cong-Iam-san "
Ui Yong menghela napas katanya: "Kau dibesarkan
bersama Nyo~toako, ternyata kau masih belum kenal wataknya, selamanya dia bertinggi
hati dan angkuh, tidak tahan dihina orang, Ketika mendadak kau mengutungkan
lengannya, dia merasa tidak sampai hati hendak balas membuntungi lenganmu tapi
iapun tidak rela kalau menyudahi begitu saja urusan ini, dia sengaja membawa
pergi adikmu agar kita dibuatnya kelabakan dan bersedih.
Selang sementara waktu, kalau dongkolnya sudah mereda,
kuyakin dia pasti akan mengembalikan adikmu itu, Nah, paham tidak
sekarang?" Tegasnya.
"Karena kau memfitnah dia menculik adikmu, maka ia
betul2 lantas sengaja menculiknya."
Ui Yong memang sangat cerdas dan pintar, setelah
mendengarcerita Li Bok-chiu, jalan pikiran Nyo Ko ternyata dapat diraba dan
diukurnya dengan tepat padahal Siao-liong-li dan Kwe Cing menganggap Nyo Ko
teramat baik, sebaliknya Li Bok-chiu dan Kwe Hu justeru menganggap anak muda
itu terlampau busuk. Sampai saat ini, satu2-nya yang betul2 memahami jalan
pikiran dan watak Nyo Ko ternyata hanya Ui Yong saja.
Begitulah akhirnya Kwe Hu tak berani bicara Iagi. Mereka
lantas mendatangi warung makan semula untuk meminjam alat tulis, Ui Yong
menulis suatu surat singkat dan memberi persen kepada pelayan agar segera
mengirimkan surat itu kepada Kwe Cing di Siangyang. Habis itu mereka bertiga
lantas membeli kuda dan berangkatlah ke Cong-lam-san.
Kwe Hu tidak menyukai Li Bok-chiu, sepanjang jalan
sikapnya dingin dan jarang bicara dengan dia.
Hari itu lewat lohor, tengah mereka melanjutkan
perjalanan, tiba2 dari depan seorang penunggang kuda mendatangi secepat terbang
"Hei, itulah kuda merah kita...." seru Kwe Hu,
belum habis ucapannya, penunggang kuda itu mendekat dan segera Kwe Hu melompat
maju.
Kuda itu memang betul kuda Kwe Hu yang dirampas Nyo Ko
itu, sebelum Kwe Hu meraih tali kendali, kuda merah itu sudah lantas-berhenti
mendadak sambil berjingkrak dan meringkik kegirangan karena mengenali sang
majikan.
Waktu Kwe Hu mengamati penunggangnya, kiranya seorang
nona berbaju hitam yang pernah berjumpa satu kali dahulu waktu bersama
mengeroyok Li Bok-chiu yaitu Wanyan Peng.
Rambut nona itu tampak kusut masai, wajahnya pucat,
keadaannya mengenaskan.
"He, kenapa kau, Wanyan-taci?" tanya Kwe Hu
cepat.
"Di sana, lekas..." jawab Wanyan Peng dengan
suara ter-putus2 sambil menuding ke belakang, mendadak tubuhnya tergeliat terus
terperosot jatuh ke bawah kuda.
Cepat Kwe Hu melompat turun untuk membangunkan nona itu,
ternyata Wanyan Peng sudah pingsan, pundaknya terluka dan merembes darah segar.
Segera Kwe Hu membubuhi obat luka dan merobek kain baju untuk membalut lukanya
sambil berkata kepada sang ibu: "iniiah Wayan-cici yang pernah kukatakan
itu." Habis berkata ia melotot sekali pada Li Bok-chiu.
Ui Yong pikir sebelum jatuh pingsan Wayan Peng sempat
menuding ke sana, tentu di sana terjadi sesuatu dan mungkin ada kawannya yang
masih perlu ditolong. Cepat ia suruh Kwe Hu memonong Wayan Peng ke atas kuda
merah dan memberi pesan agar mengikutinya dari belakang. Habis ini ia memberi
tanda kepada Li Bok-chiu dan mengajaknya berlari ke arah utara dengan Ginkang
mereka yang tinggi.
Sekaligus mereka berlari belasan li tanpa berhenti benar
juga sayup2 terdengar suara beradunya senjata di lereng bukit sana. Mereka
mempercepat langkah, setelah melintasi bukit itu, terlihatlah ada lima orang
sedang bertempur sengit di suatu tanah datar di depan sana.
Dua di antara lima orang itu, adalah kedua saudara Bu,
selain itu ada lagi seorang pemuda dan seorang pemudi yang tak dikenal,
berempat sedang mengerubuti seorang lelaki setengah umur.
Meski empat mengeroyok satu, tapi tampaknya masih
kewalahan, lebih banyak terserang daripada menyerang.
Tampaknya kedua, saudara Bu sudah terluka, hanya pemuda
itu dengan pedangnya yang berputar dengan cepat hampir menangkis sebagian besar
serangan lelaki setengah umur itu, di samping sana tampak menggeletak pula
seorang berewok dan berlumuran darah, ternyata Bu Sam-thong adanya.
Yang aneh adalah senjata lelaki itu, tangan satu
menggunakan golok emas, tangan lain memainkan pedang panjang lentik warna
hitam, gerak serangannya aneh, tapi luar biasa.
Ui Yong pikir kalau tidak lekas turun tangan, tentu kedua
saudara Bu itu bisa celaka, Segera ia berkata kepada Li Bok-chiu: "Kedua
anak muda itu adalah muridku."
Li Bok-chiu hanya tersenyum saja, sudah tentu ia kenal
kedua Bu cilik itu sebab ibu mereka terbunuh olehnya, ia lihat ilmu silat lelaki
setengah umur itu sangat tinggi, diam2 ia terkejut, segera ia siapkan kebutnya
dan berkata: "Marilah kita maju bersama!"
Ui Yong juga keluarkan pentungnya, dua orang terus
menerjang maju dari kanan-kiri, kebut Li Bok-chiu melayani pedang hitam lawan dan
Ui Yong menghadapi golok emas musuh.
Leaki itu bukan lain daripada Kongsun Ci, ia terkejut
juga ketika mendadak dua wanita setengah baya dan cantik mengerubutnya
sekaligus. Terdengar Li Bok-chiu berseru: "Satu!"
Ketika kebutnya menyabet lagi segera ia berseru pula:
"Dua!"
Rupanya diam2 ia ingin berlomba dengan Ui Yong untuk
mendahului menjatuhkan senjata lawan, Tapi meski dia sudah berteriak sampai
hitungan ke sepuluh, ternyata Kongsun Ci masih tetap dapat menahan dan balas
menyerang juga.
Anak muda yang berpedang tadi melihat ada kesempatan,
ber-turut2 ia terus menyerang tiga kali ke punggung Kongsun Ci, serangan2 lihay
ini membuat Kongsun Ci rada kerepotan karena dia tidak mau menangkisnya,
terpaksa ia melompat maju untuk melepaskan diri dari kerubutan itu.
la tahu kalau pertempuran dilanjutkan tentu dirinya akan
celaka. mendadak kedua senjata sendiri ia adu hingga menguarkan suara
mendenging dan bergaya hendak menerjang lagi.
Ui Yong dan Li Bok-chiu juga menyadari kelihayan lawan,
mereka tidak berani gegabah dan siap bertahan. Tak terduga baru saja tubuh
Kongsun Ci terangkat ke atas, ternyata tidak melompat maju melainkan menyurut
mundur malah, hanya beberapa kali lompatan saja ia sudah lari sampai diatas
bukit.
Diam2 Ui Yong dan Li Bok-chiu mengakui kclicinan orang
itu dan tinggi pula ilmu silatnya, kalau saja kepergok satu lawan satu mungkin
diri sendiri bukan tandingannya.
Dalam pada itu kedua saudara Bu lantas memberi hormat
kepada sang ibu guru, sesudah itu mereka terus melotot kepada Li Bok-chiu
dengan sikap memusuhi.
"Dendam Iama sementara ini kesampingkan
dahulu," kata Ui Yong.. "Luka ayahmu parah tidak? Eh, siapakah kedua
anak muda ini? Wah, celaka, Lekas ikut aku ke sana, Li-cici!" - Habis
berseru ia terus mendahului lari ke arah kedatangannya tadi.
Li Bok-chiu tidak paham maksud seruan Ui Yong itu, namun
ia tetap ikut lari kesana sambil berteriak: "Ada apa?"
"Anak Hu," jawab Ui Yong sambi lari, "Anak
Hu kebetulan akan kepergok orang tadi."
Begitulah mereka terus berlari sekencangnya, namun
Kongsun Ci juga tidak kurang cepatnya, sementara itu ia sudah meninggalkan satu
- dua li jauhnya. Baru saja Ui Yong berdua sampai di atas bukit, Kongsun Ci
sendiri sudah berada di kaki bukit, tertampak Kwe Hu yang membawa Wanyan Peng
dengan menunggang kuda merah itu sedang menanjak ke atas dengan pelahan.
"Awas, Hu-ji!" seru Ui Yong dari jauh, Belum
lenyap suaranya mendadak kelihatan Kongsun Ci mencemplak ke atas kuda merah,
sekaligus Kwe Hu telah di bekuk olehnya, menyusul tali kendali kuda merah itu
ditarik hendak dibelokkan ke sana.
"Ui Yong yang menjadi kuatir, harapannya kini hanya
terletak pada kuda merah itu, cepat ia bersuit untuk mengundang kuda itu. Dasar
kuda merah itu memang binatang cerdik, begitu mendengar suara panggilan sang
majikan, terus saja kabur ke atas bukit secepat terbang.
Keruan Kongsun Ci terkejut, pikirnya: "Sungguh sial,
masakah seekor kuda saja takdapat ku-kuasai?" Sekuatnya ia berusaha
menarik tali kendali, tapi karena sentakan mendadak itu, kuda merah lantas
berjingkrak dan meringkik.
Sebisanya Kongsun Ci berusaha memutar kuda itu ke arah
lain,namun kuda merah itu lantas mendepak2 sambil mundur2 ke atas bukit malah.
Tentu saja Ui Yong bergirang, cepat ia memburu maju.
Merasa tidak sanggup mengatasi kebandelan kuda merah itu,
sedangkan kedua lawan tangguh sudah memburu tiba, terpaksa Kongsun Ci menyimpan
senjatanya, tangan yang satu ia kempit Kwe-Hu dan tangan lain mengempit Wanyan
Peng, ia terus melompat turun dari kuda dan kabur dengan cepat.
Kongsun Ci sungguh lihay, biarpun membawa dua nona
larinya tetap secepat terbang. Tapi Gin-kang Ui Yong dan Li Bok-chiu juga kelas
wahid, tidak seberapa lama dapatlah mereka menyusul tiba. jaraknya tinggal
belasan meter saja. Se-konyong2 Kongsun Ci berhenti dan membalik tubuh sambil
berkata: "Heh, kalau kupiting sekuatnya, kukira kedua anak perempuan
cantik ini akan menghadapi Giam-lo-ong (raja akhirat)."
Ui Yong terkesiap, tanyanya kemudian: "Siapakah kau?
selamanya kita tidak kenal, mengapa kau menawan puteriku?" .
"O, inikah puterimu? jadi kau ini nyonya
Wan-yan?" tanya Kongsun Ci dengan tertawa.
"Yang inilah puteriku," kata Ui Yong sambil
menunjuk Kwe Hu.
Kongsun Ci memandang sekejap pada KweHu, lalu memandang
Ui Yong pula, dengan cengar-cengir lalu berkata: "Wah, sangat cantik, ibu
dan anak sama2 cantiknya, sungguh cantik!"
Tentu saja Ui Yong sangat gusar, tapi apa daya, puterinya
berada dalam cengkeraman musuh, terpaksa harus bersabar dan mencari akal.
Selagi hendak bicara pula, mendadak terdengar suara
mendesir dari belakang, dua anak panah menyamber lewat di pipi kirinya dan
langsung mengarah muka Kongsun Ci.
Kekuatan kedua anak panah itu sungguh luar biasa, suara
mendesingnya sangat keras, dari suara mendesing panah itu hampir saja Ui Yong
berteriak kegirangan, sebab disangkanya sang suami (Kwe-Cing) sudah tiba.
Maklumlah kemahiran memanah jarang dimiliki tokoh
persilatan daerah Tionggoan, sedangkan jago panah Mongol banyak yang tidak
memiliki tenaga dalam yang kuat dan sukar mencapai jauh, maka dari suara
mendesingnya panah yang keras tadi, Ui Yong merasa tiada orang lain lagi
kecuali Kwe Cing yang mampu memanah sehebat itu.
Kongsun Ci itu juga maha lihay, kedua tangannya tak dapat
digunakan menangkap anak panah yang menyambar tiba itu, mendadak ia membuka
mulut dan menggigit tepat ujung panah pertama menyusul kepalanya sedikit
menggeleng sehingga panah kedua dapat disampuk jatuh dengan panah yang
digigitnya itu.
Ui Yong menjadi ragu, apakah sang suami yang memanah, sebab
ia yakin jika Kwe Cing yang-memanah dan musuh berani menggigit dengan mulutnya,
mustahil tenggorokannya takkan tembus oleh anak panah itu.
Dalam pada itu terdengar pula suara mendesing ber turut2,
sekaligus sembilan panah menyamber pula ke muka Kongsun Ci secara susul
menyusul. Mau-tak-mau Kongsun Ci menjadi kelabakan terpaksa ia lepaskan kedua
nona dan meloIos senjata untuk menangkis.
Selagi Ui Yong hendak menubruk maju untuk menyelamatkan
puterinya, tahu2 sesosok bayangan telah menggelinding ke depan, Kwe Hu
dirangkulnya terus berguling lagi ke samping, Tapi sebelum orang itu melompat
bangun, tangan Kongsun Ci yang lain terus menghantam kepala orang itu.
Dalam keadaan masih telentang orang yang menolong Kwe Hu
itu sempat menangkis dengan tangannya, "blang", debu pasir
berhamburan Kong-sun Ci berseru: "Bagus!" - Menyusul pukulan ke dua
dilontarkan pula dengan lebih dahsyat.
Tampaknya orang itu sukar menangkis lagi, cepat Ui Yong
mengulur pentung bambunya dan menangkiskan pukulan itu. Merasa dirinya pasti
takkan mampu menghadapi kerubutan orang banyak itu, Kongsun Ci tidak menyerang
pula, ia terbahak dan melompat mundur terus melangkah pergi. Gayanya indah,
caranya tangkas pula dan ternyata tiada yang berani mengejarnya Iagi.
Setelah berbangkit, orang yang merangkul Kwe Hu tadi
lantas melepaskan si nona, pinggang orang itu membawa busur, perawakannya
tinggi dan bahunya lebar, segera Ui Yong mengenalinya scbapai pemuda yang
berpedang tadi, ke-11 anak panah yang dibidikkan secara berantai itu tentu pula
dilakukan oleh anak muda ini.
Meski tertawan Kongsun Ci, tapi Kwe Hu tidak mengalami
luka, segera ia menyapa pemuda yang menolongnya itu dengan muka merah jengah:
"Eh, kiranya Yalu-toako, terima kasih atas pertolonganmu! "
Dalam pada itu Bu Siu-bun dan nona satunya lagi sudah
memburu tiba, hanya Bu Tun-si saja yang tinggal di sana menjaga
ayahnya.Pantasnya Bu Siu-bun mesti memperkenalkan mereka, tapi dia ternyata
tidak dapat menahan marah dan dendamnya, kedua matanya melotot benci kepada Li
Bok-chiu dan lupa keadaan sekitarnya, dua kali Ui Yong memanggilnya juga tidak
mendengar
Kwe Hu lantas bicara pada sang ibu sambil menunjuk pemuda
yang menolongnya itu: "Mak inilah Yalu-toako!" Lalu ia tuding pula
nona yang datang bersama Bu Siu-bun dan menambahkan: "Dan ini
Yalu-cici."
"Oh, hebat benar kepandaian kalian berdua!"
puji Ui Yong.
Kedua saudara Yalu itu mengucapkan kata2 rendah hati
sambil memberi hormat sedangkan Li Bok chiu berdiri menjauhi di sana tanpa urus
orang2 lain.
"Gaya ilmu silat kalian nampaknya dari Coan-cin-pay,
entah kalian ini murid Coan-cin-jit-cu yang mana?" tanya Ui Yong pula, ia
menyaksikan kepandaian Yalu Ce yang hebat, antara angkatan muda yang pernah
dilihatnya, kecuali Nyo Ko saja boIeh dikatakan tiada bandingannya lagi maka ia
yakin Yalu Ce pasti bukan anak murid -Coan-cin-pay angkatan ketiga atau
keempat.
Dengan rendah hati Yalu Yan berkata: "Kepandaianku
sih ajaran kakak"
Ui Yong mengangguk dan memandang Yalu Ce. Tampaknya Yalu
Ce- merasa sungkan untuk menerangkan, jawabnya kemudian: "Pantasnya Wanpwe
harus menjelaskan pertanyaan Cianpwe, cuma Suhu pernah memberi pesan agar
jangan se-kali2 menyebut nama beliau, sebab itulah mohon Kwe-hujin sudi
memaafkan."
Semula Ui Yong terkesiap, ia heran mulai kapan Coan cin
jit-cu memakai peraturan aneh yang melarang anak murid menyebut nama gurunya?
Tapi cepat tergerak pikirannya, mendadak ia tertawa ter-pingkal2 seperti
teringat kepada sesuatu yang sangat lucu.
"He. apakah yang menggelikan engkau, bu" tanya
Kwe Hu heran.
Akan tetapi Ui Yong tidak menjawab dan tetap tertawa Yalu
Ce ternyata tidak tersinggung, malahan iapun tersenyum dan akhirnya berkata:
"Kiranya Kwe-hujin, dapat menerkanya."
Kwe Hu tetap bingung, waktu ia pandang Yalu Yan, nona
itupun merasa tidak paham apa yang ditertawakan kedua orang itu.
Di samping sana Bu Siu-bun telah membalut luka Wanyan
Peng yang menjadi pecah lagi karena ditawan dan dibanting pula oleh Kongsun Ci
tadi.
"Bagaimana keadaan ayahmu Siu-bun?" tanya Ui
Yong.
Belum Siu-bun menjawab, tiba2 Yalu Yan berseru terus
berlari ke tempat-Bu Sam-thong menggeletak.
"Luka ayah terletak di paha kiri, terkena serangan
tua bangka Kongsun itu," tutur Siu-bun.
Ui Yong mengangguk lalu ia mendekati kuda merah dan
mengelus bulu surinya yang panjang itu, katanya dengan terharu: "Oh,
kudaku sayang, sungguh besar jasamu terhadap keluarga Kwe kami."
Ternyata Bu Siu-bun tidak lagi bersikap akrab terhadap
Kwe Hu, sebaliknya tampak sangat simpatik kepada Wanyan Peng, entah sengaja
hendak membikin sirik Kwe Hu atau memang pemuda itu jatuh hati kepada Wanyan
Peng, betapapun Ui Yong juga tidak sempat urus persoalan anak2 muda itu, segera
ia berlari ke tempat Bu Sam-thong untuk memeriksa keadaannya.
Melihat Ui Yong, Bu Sam-thong bermaksud berdiri, tapi
karena kakinya terluka, tubuhnya menjadi sempoyongan, cepat Bu Tun-si dan Yalu
Yan memegangi orang tua, ketika jadi kedua muda-mudi itu saling sentuh,
keduanya saling pandang dan tersenyum penuh arti.
Diam2 Ui Yong geli, pikirnya: "Rupanya ada satu
pasangan lagi, padahal beberapa hari yang lalu kedua saudara Bu cilik itu baru
berkelahi mati2an berebut anak Hu tanpa menghiraukan hubungan baik saudara
sekandung, sekarang setelah menemukan nona cantik lain, seketika segala
kejadian yang lalu terlupa sama sekali"
Bahwasanya kedua saudara Bu jatuh hati kepada Kwe Hu
sebenarnya bukanlah sesuatu yang aneh, soalnya mereka dibesarkan bersama di
Tho-hoa-to, di pulau terpencil itu tiada anak perempuan lain, lama2 tentu saja
menimbulkan bibit cinta antara mereka.
Tapi kemudian setelah mengetahui Kwe Hu ternyata tidak
mencintai mereka, dengan sendirinya kedua Bu cilik itu sangat kecewa dan putus
asa, hidup mereka terasa himpa dan tiada artinya, Tak terduga tidak iama
kemudian mereka lantas ketemukan Yalu Yan dan Wanyan Peng, masing2 ternyata
rada cocok dengan kedua saudara Bu itu.
Kini mereka saling bertemu lagi, diam2 kedua Bu cilik
membandingkan Kwe Hu dengan buah hati mereka yang baru, Dan pameo "cinta
buta" juga berlaku di sini, dalam anggapan mereka tentu segala sesuatu
kekasihnya jauh lebih baik.
Sebenarnya kedua saudara Bu sudah bersumpah takkan
menemui Kwe Hu lagi, tapi pertemuan ini terjadi mendadak dan kepergok, jadi
bukan sengaja hendak bertemu, mereka anggap bukan melanggar sumpah.
Dalam hati Kwe Hu sendiri sedang membayangkan kejadian
Yalu Ce menolongnya tadi, beberapa kali ia melirik anak muda yang gagah dan
cakap itu, ia menjadi heran ilmu silatnya ternyata begini hebat, dan anak muda
itupun saling pandang dan tertawa geli, entah apa pula yang ditertawakan
mereka.
Begitulah setelah memeriksa luka Bu Sam-thong dan
ternyata tidak parah, Ui Yong merasa lega, mereka lantas ambil tempat duduk di
batu karang dan saling menceritakan pengalaman masing2 selama berpisah.
Kiranya tempo hari ketika Cu Cu-Iiu ikut paman gurunya,
yaitu si paderi Hindu itu mencari obat ke Coat-ceng-kok, secara diam2 Bu
Sam-thong juga mengikut ke sana demi untuk membalas budi kebaikan Nyo Ko.
Tapi baru saja sampai di luar kota, dilihatnya kedua
puteranya juga keluar kota bersama, ia terkejut dan kuatir kalau kedua saudara
sekandung itu akan duel pula, cepat ia menegur dan menanyai kedua puteranya
itu, akhirnya baru diketahui bahwa kedua Bu cilik telah bersumpah takkan
bertemu lagi dengan Kwe Hu, maka mereka tidak ingin tinggal lagi di Siangyang.
Karena itulah mereka bertiga lantas menuju ke Coat-ceng-kok.
Tapi Coat-ceng-kok itu mirip suatu dunia lain, meski Nyo
Ko telah memberitahukan keadaan tempat itu secara garis besar, tapi sungguh
sukar menemukan jalan masuknya, Mereka ber-putar2 kian kemari dan beberapa kali
kesasar, akhirnya dapat juga menemukan mulut lembah itu.
Tak terduga paderi Hindu dan Cu Cu-liu berdua ternyata
sudah tertawan oleh Kiu Jian-jio. Bcberapa kali Bu Sam-thong bertiga berusaha
menolong mereka, tapi selalu gagal dan terpaksa keluar dari lembah itu dengan
maksud pulang Siangyang untuk mencari bala bantuan, tak tahunya di tengah jalan
mereka kepergok pula dengan Kongsun Ci, mereka dituduh sengaja berkeliaran di
lembah itu sehingga terjadilah pertarungan sengit.
Bu Sam-thong bukan tandingan Kongsun Ci dan kakinya
tertusuk pedang, sebenarnya Kongsun Ci juga tidak bermaksud mencelakai jiwa
mereka, dia ingin mengusir mereka saja dan melarang mereka datang lagi ke situ.
Justeru pada saat itu juga Yalu Ce dan Yalu Yan serta
Wanyan Peng juga lewat di situ, Ketiga muda-mudi itu pernah bertemu satu kali
dengan kedua Bu cilik, mereka lantas berhenti dan sapa menyapa.
Kongsun Ci baru saja gagal menikahi Siao-liong-li dan
habis di usir sang isteri, dia sedang kesepian dan mendongkol tiba2 dilihatnya
Wanyan Peng berwajah cantik, seketika timbul napsu jahatnya, mendadak ia turun
tangan dan hendak menawan Wanyan Peng. Tentu saja kedua saudara Yalu dan kedua
Bu cilik tidak tinggal diam, serentak mengerubut Kongsun Ci.
Kalau saja Bu Sam-thong tidak terluka lebih dulu, dengan
gabungan mereka berenam mestinya dapat menandingi Kongsun Ci, kini yang dapat
diandalkan hanya Yalu Ce saja, biarpun mereka main keroyok juga sukar
menandingi musuh yang lihay itu.
Untunglah pada saat itu kuda merah yang-tempo hari dibawa
Nyo Ko dan dilepas di Cong-Iam-san itu kini telah lari pulang, Cepat Siu-bun
mencegat kuda itu dan membiarkan Wanyan Peng kabur dengan menunggang kuda
merah, tapi Wanyan Pcng telah bertemu dengan Ui Yong dan Li Bok-chiu dan
akhirnya Kongsun Ci dihalau pergi.
Kemudian Ui Yong juga menceritakan secara ringkas tentang
buntungnya lengan Nyo Ko serta membawa lari Kwe Yang, Bu Sam-thong terkejut,
cepat ia menjelaskan sebabnya Nyo Ko mengaku telah bertunangan dengan Kwe Hu
adalah ingin menolong kedua Bu cilik agar tidak saling membunuh antara saudara
sendiri, siapa duga akibatnya malah membikin susah Nyo Ko.
Dasar watak Bu Sam-thong memang keras dan pemberang,
mengingat buntungnya Nyo Ko itu adalah gara2 kedua anaknya itu, makin dipikir
makin marah, mendadak ia terus menuding Siu-bun dan Tun-si terus dicaci maki,
kalau kakinya tidak terluka, bisa jadi ia terus mendekati kedua Bu cilik dan
menggamparnya.
Saat itu Tun-si dan Siu-bun sedang asyik-bicara dengan
Yalu Yan dan Wanyan Peng, tidak lama Kwe Hu dan Yalu Ce ikut bicara, usia
keenam orang sebaya, tapi bahu membahu bertempur pula maka obrolan mereka
menjadi bersemangat.
Siapa tahu mendadak Bu Sam-thong terus mencaci-maki,
keruan Siu-bun dan Tun-si menjadi bingung, mereka tidak tahu apa sebabnya sang
ayah mendadak marah, mereka sama melirik Yalu Yan dan Wanyan Peng, betapapun
mereka merasa malu mendapatkan damperatan begitu di depan si nona jelita.
Apalagi kalau sampai sang ayah membongkar rahasia
hubungan mereka dengan Kwe Hu, tentu akan membikin mereka tambah runyam.
Melihat keadaan serba kikuk, cepat Ui Yong menyela,
katanya: "Sudahlah, hendaklah Bu-heng jangan gusar lagi, buntungnya tangan
Nyo Ko adalah karena kekurangajaran puteriku, tatkala mana kakak Cing juga
sangat murka dan hampir saja tangan anak Hu juga dikutunginya."
"Bagus, seharusnya begitu!" seru Bu Sam-thong.
Kwe Hu mendelik sekejap kepada orang tua yang sok tahu
itu, kalau saja ibunya tidak di situ, mungkin dia sudah balas olok2 Bu
Sam-thong.
Ui Yong lantas berkata pula: "Bu-heng, sekarang
urusannya sudah jelas, jadi kita telah salah menuduh si Nyo Ko. Paling penting
sekarang kita harus menemukan Nyo Ko dan minta maaf padanya."
"Benar benar!" ber-ulang2 Sam-thong menyatakan
setuju.
"Selain itu kita harus pergi ke Coat-ceng-kok untuk
menolong susiokmu dan Cu-toako. berbareng itu, kita akan memintakan obat
penawar bagi Nyo Ko. Cuma tidak diketahui mengapa Cu-toako sampai terkurung
musuh dan bagaimana keadaannya sekarang?".
"Susiok dan Sute tertawan oleh barisan jaring musuh
dan sekarang terkurung di suatu kamar batu, tampaknya jiwa mereka tidak begitu
menguatirkan,"
"Jika begitu biarlah kita mencari Nyo Ko dahulu baru
pergi ke Coat ceng-kok, dengan kepandaiannya yang tinggi itu anak muda itu
merupakan pembantu yang terkuat apalagi obat penawar didapatkan segera bisa
diminum olehnya dan tidak perlu membuang waktu lagi," kata Ui Yong.
"Benar, benar," seru Sam-thong. "Cuma
tidak diketahui sekarang Nyo Ko berada di mana?"
Sambil menuding kuda merah, Ui Yong menjawab: "Kuda
ini baru saja di pinjam si Nyo Ko, kuda ini akan menjadi petunjuk jalan, kita
pasti dapat menemukan tempat tinggalnya."
Bu Sam thong sangat girang, serunya: "Untung
Kwe-hujin berada di sini, kalau tidak, tentu aku akan kelabakan setengah mati
tanpa berdaya."
Ui Yong pikir kalau Bu Sam-thong dan kedua puteranya ikut
pergi, besar kemungkinan ketiga muda-mudi yang lain juga akan ikut, akan terasa
lebih aman jika ada pembantu lebih banyak Segera ia berkata kepada Yalu Ce:
"Bagaimana kalau kalian juga ikut bersama kami?"
Belum lagi Yalu Ce menjawab, cepat Yalu Yan mendahului
bersorak: "Baiklah, kakak, kita ikut pergi."
Tanpa terasa Yalu Ce memandang sekejap kepada Kwe Hu dan
terlihat sorot mata nona itu juga memberi dorongan padanya, ketika ia berpaling
ke arah Wanyan Peng, nona itu juga tersenyum, maka iapun menjawab dengan
menghormat.
"Kami tunduk saja kepada pesan Bu-locianpwe dan
Kwe-hujin, kalau kami bisa, selalu mendapat petunjuk kalian, itulah yang kami
harapkan"
Ui Yong lantas berkata pula: "Meski tidak banyak
jumlah kita, tapi kita perlu juga seorang komandan sebagai pimpinan. Bu-heng,
biarlah kami tunduk kepada pimpinanmu dan takkan membantah perintahmu."
Namun Bu Sam-thong lantas geleng kepala dan menjawab:
"Tidak, jelas seorang Kunsu (juru pikir) wanita seperti kau berada di
sini, siapa lagi yang berani main perintah segala? Sudah tentu mandat penuh
kuserahkan padamu."
"Apa sudah betul pilihanmu?" Ui Yong menegas
dengan tertawa.
"Masakah aku bergurau?" jawab Sam-thong.
"Anak2 sih tidak menjadi soaV, yang kukuatirkan
adalah kau. si tua ini tidak mau tunduk pada perintahku," kata Ui Yong.
"Apa perintahmu, apa pula yang kulaksanakan,"
seru Sam-thong, "Sekalipun masuk lautan api atau terjun ke rawa mendidih
juga takkan kutolak."
"Di hadapan anak2 muda ini, apa yang sudah kau
katakan harus kau tepati," ujar Ui Yong.
"Sudah tentu," jawab Sam-thong dengan muka
merah padam "Memangnya kalau tiada orang lain pernah kuingkar janji?"
"Bagus! itulah yang kuinginkan darimu," kata Ui
Yong. "Keberangkatan kita nntuk mencari Nyo Ko, meminta obat dan menolong
kawan, semuanya harus dilakukan dengan cara gotong royong maka segala dendam
sakit hati dimasa- lampau untuk sementara ini harus dikesampingkan. Jadi
maksudku, Bu-heng, untuk sementara ini kalian sekali-kali tidak boleh merecoki
Li Bok-chiu, nanti kalau urusan sudah bcres, bolehlah kalian melabrak dia untuk
menuntut balas."
Bu Sam-thong melengak, baru sekarang ia tahu tujuan kata2
Ui Yong tadi hanya untuk memancing pernyataannya saja. Padahal Li Bok-chiu
adalah pembunuh isterinya, sakit hati ini mana boleh dibiarkan?
Belum lagi Sam-thong menjawab, Ui Yong membuka suara pula
dengan lirih: "Bu-heng, kakimu terluka, sementara ini tentu juga tak dapat
berbuat banyak. Untuk menuntut balas kukira juga tidak perlu terburu-buru saat
ini juga."
Terpaksa Bu Sam-thong berkata: "Baiklah, apa yang
kau katakan, apa yang kulakukan."
Ui Yong lantas berseru memanggil Li Bok-chiu:
"Li-cici marilah kita berangkat!"
Begitulah kuda merah itu dibiarkan jalan di depan dan
mereka ikut dari belakang, Benar juga kuda itu ternyata menuju ke arah
Cong-lam-san.
Lantaran Bu Sam-thong dan Wanyan Peng terluka dan tak
dapat jalan cepat, setiap hari mereka cuma menempuh ratusan li saja lantas
istirahat. Diam2 Li Bok-chiu waspada menjaga segala kemungkinan, di waktu
istirahat ia sengaja menjauhi semua orang. Waktu menempuh perjalanan iapun
mengintil dari kejauhan.
Sepanjang jalan yang paling gembira adalah ke. enam
muda-mudi itu, mereka bicara dan bergurau dengan akrab sekali, Sejak kecil
kedua saudara Bu saling bersaing mencari muka pada Kwe Hu sehingga hubungan
mereka sedikit-banyak kurang baik, tapi sekarang masing2 sudah menemukan gadis
idaman, kedua saudara menjadi sangat rukun dan sayang menyayang.
Tentu saja Bu Sam-thong sangat senang melihat itu dan
tambah terima kasihnya kepada Nyo Ko yang telah menyelamatkan kedua Bu cilik
itu dari saling membunuh memperebutkan seorang gadis.
Suatu hari sampailah mereka di Cong-lam-san. Ui Yong dan
Bu Sam-thong membawa anak muda itu berkunjung kepada Coan-cin-jit-cu di
Tiong-yang-kiong. Li Bok-chiu berhenti jauh di luar istana Coan-cin-pay dan
menyatakan hendak menunggu saja di situ.
Dengan sendirinya Ui Yong tidak memaksa karena tahu iblis
itu bermusuhan dengan pihak Coan-cin-pay, rombongan mereka lantas menuju
Tiong-yang~kiong. Ketika mendapat laporan, cepat Khu Ju-ki dan lain2 menyambut
keluar.
Sesudah rombongan tamu disilakan masuk dan berduduk di
pendopo agung, baru saja mereka beramah-tamah sejenak, tiba2 di ruangan
belakang ada suara orang mem~bentak2. seketika Ui Yong mengenali suara orang
itu, segera ia berseru: "Hai, Lo-wan-tong, lihatlah siapakah ini yang
datang?"
Selama beberapa hari ini memang Ciu Pek-thong lagi sibuk
mempelajari cara2- mengundang dan memimpin kawanan tawon putih, Dasarnya memang
pintar, tekun pula, maka sedikit-banyak sudah ada kemajuan, saat itu dia sedang
asyik dengan permainannya itu, ketika tiba2 didengarnya orang memanggil
julukannya, segera ia kenal itulah suaranya Ui Yong.
"Aha, kiranya bininya adik angkatku yang genit dan
jahil itu telah datang!" sambil ber-teriak2 ia terus berlari ke depan.
Serentak Yalu Ce memampak maju dan menyembah kepada Ciu
Pek-thong sambil mengucapkan doa selamat, Dengan tertawa Ciu Pek-thong
menjawab: "Sudahlah, lekas bangun. Kaupun selamat-selamat ya!"
Menyaksikan itu semua orang jadi ter-heran2.
Sungguh tidak tersangka bahwa Yalu Ce adalah, muridnya
Ciu Pek-thong, padahal tingkah lakunya Anak Tua Nakal itu suka ugal2an dan
angin2an, tapi murid didiknya ternyata pintar dan tangkas, jujur-dan sopan,
sama sekali berbeda antara guru dan murid.
Khu Ju-ki dan lain2 juga sangat senang melihat sang
Susiok sudah mempunyai ahli waris, be-ramai2 mereka lantas mengucapkan selamat
kepada Ciu Pek-thong. Baru sekarang juga Kwe Hu menyadari sebab musababnya
tempo hari sang ibu dan Yalu Ce saling pandang dengan bergelak tertawa ketika
anak muda itu tidak mau menerangkan siapa gurunya, rupanya waktu itu Ui Yong
sudah dapat menerka bahwa guru Yal-u Ce adalah si Anak Tua Nakal Ciu Pek-thong.
Tengah ramai2, mendadak di bawah gunung ada suara
terompet, itulah pemberitahuan para anak murid yang bertugas jaga bahwa musuh
datang menyerang secara besar2an.
Seketika air muka Khu Ju-ki berubah, ia tahu pasti
pasukan Mongol yang datang akibat kegagalan usaha Kim lun Hoat-ong dan
begundalnya menaklukkan Coan-cin-kau tempo hari.
Walaupun orang2 Coan-cin-kau mahir ilmu silat, tapi tidak
mungkin bertempur secara terbuka melawan pasukan Mongol, maka sebelumnya mereka
sudah mengatur siasatnya, kalau perlu akan mundur teratur dengan meninggalkan
gunung.
Tugas ini sebenarnya adalah tanggung jawab Li Ci-siang
yang kini diangkat sebagai pejabat ketua menggantikan In Ci-peng yang sudah
meninggal itu. Tapi menghadapi suasana gawat ini, dengan sendirinya pimpinan
dipegang lagi oleh Coan-cin-ngo-cu.
Segera Khu Ju-ki berkata kepada Ui Yong tentang keadaan
genting dan menyesal tak dapat memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah terhadap
tetamunya.
Dalam pada itu suara gemuruh serbuan pasukan terdengar di
bawah gunung, Rupanya pasukan Mongol menyerbu dari arah utara gunung, sedangkan
rombongan Ui Yong datang dari bagian selatan, selisihnya cuma setengah jam
saja.
"Oh jadi ada musuh datang? Hah, sangat
kebetulan." seru Ciu Pek-thong "Hayolah, anak Ce, inilah kesempatan
baik bagimu untuk memperlihatkan kepandaian ajaran gurumu ini kepada para
Suheng di sini!"
Seperti anak kecil, apabila mempunyai barang mainan
kesayangannya, tentu suka pamer untuk mendapatkan pujian orang lain. Begitu
pula si Anak Tua Nakal, dia mempunyai seorang murid baik, tentu iapun ingin
membikin kagum orang Iain.".
Kalau dahulu dia pesan Yalu Ce agar jangan membocorkan
nama gurunya, maksud tujuannya adalah untuk mengejutkan dunia Kangouw saja agar
semua orang kaget demi kemudian mengetahui Ciu Pek-thong mempunyai seorang
murid lihay.
Begitulah Khu Ju-ki lantas memberi laporan sekadarnya
kepada Ciu Pek-thong tentang siasatnya akan mengundurkan diri demi untuk
menjaga keutuhan Coan-cin-kau. Habis itu ia lantas memberi perintah agar setiap
orang membawa barang2 keperluan dan meninggalkan gunung menurut arah yang sudah
ditentukan, ber-bondong2 anak murid Coan-cin-kau lantas melaksanakan tugas
masing2 secara teratur.
"Khu-totiang," kata Ui Yong kemudian,
"cara pengaturanmu sungguh hebat, kuyakin sedikit alangan ini pasti takkan
menjadi soal bagi kalian, Kelak Coan-cin-kau pasti akan bangkit kembali dan
lebih jaya daripada sekarang, Kedatangan kami ini adalah untuk mencari Nyo Ko,
maka sekarang juga kami mohon diri."
"Nyo Ko?" Khu Ju-ki meIengak. "Apakah dia
masih berada di pegunungan ini?"
"Ada seorang teman mengetahui tempat
kediamannya," ujar Ui Yong dengan tertawa. Habis itu ia lantas berangkat
dengan rombongannya menuju ke belakang Tiong-yang-kiong dan kemudian menemukan
Li Bok-chiu.
"Li-cici, sekarang silakan memberi petunjuk cara
masuk ke kuburan itu," kata Ui Yong.
"Darimana kau mengetahui dia pasti berada didalam
kuburan?" jawab Bok-chiu.
"Seumpama Nyo Ko tidak berada di sana, Giok
li-sim-keng pasti ada," ujar Ui Yong.
Diam2 Li Bok-chiu terkesiap dan mengakui kelihayan nyonya
Kwe itu, sampai2 isi hatinya ingin mendapatkan kitab pusaka itupun dapat
diterkanya dengan jitu.
Karena tujuannya toh sudah diketahui orang, Li Bok-chiu
lantas berkata sekalian secara terang2an. "Baiklah, biar kita bicara di
muka, kubantu kau menemukan puterimu dan kau harus bantu aku merebut kitab
pusaka perguruanku, Kau adalah ketua Kay-pang, pendekar wanita yang termashur,
kau harus pegang janji."
"Tapi Nyo Ko adalah putera saudara angkat tuan Kwe
kami, meski ada sedikit selisih paham dengan kami, kalau sudah bertemu tentu
segalanya dapat dijernihkan dan puteriku pasti juga akan dikembalikan padaku
jika memang betul anak itu berada padanya, Jadi tak dapat dikatakan rebut
berebut segala."
"O, kalau begitu, baiklah kita menuju ke arah
masing2 dan berpisah saja di sini," habis ini Li Bok~ chiu terus putar
tubuh hendak pergi.
Ui Yong lantas mengedipi Bu Siu-bun, "sret" si
Bu cilik itu segera melolos pedang dan membentak "Li Bok-chiu, hari ini
jangan kau harap dapat meninggalkan Cong-lam-san dengan hidup!"
Li Bok-chiu menyadari keadaan sendiri yang kepepet,
seorang Ui Yong saja sukar diiawan, apalagi ada Bu Sam-thong dan anak muda yang
cukup lihay itu. Biasanya iapun banyak tipu akalnya, tapi menghadapi Ui Yong ia
benar2 menjadi bodoh dan mati kutu. sedapatnya ia berlaku tenang dan berkata
dengan dingin: "Kwe-hujin maha pintar, kalau berada di sini, masakah
Kwe-hujin kuatir tak-dapat menemukan dia dan masakah perlu petunjuk jalan
dariku?"
"Untuk mencari jalan masuk kuburan kuno, terus
terang aku tidak mampu," jawab Ui Xong. "Tapi kalau kami berdelapan
orang secara sabar menunggu dan bergilir mengawasi sekitar sini, akhirnya kami
pasti akan pergoki mereka apabila Nyo Ko dan nona Liong benar2 sembunyi di
dalam kuburan kuno, masakah pada suatu hari mereka tidak keluar untuk belanja
keperluan hidup mereka?"
Ucapan ini dengan jelas memojokkan Li Bok-chiu agar lebih
baik menunjukkan jalannya, kalau tidak segera akan dibunuhnya.
Li Bok-chiu menjadi serba susah, apa yang di katakan Ui
Yong itu memang masuk di akal, kalau mereka menunggu saja di sekitar sini,
akhirnya Nyo Ko tentu juga akan keluar, Untuk bertempur jelas dirinya bukan
tandingan mereka yang berjumlah banyak, tapi kalau memancing mereka masuk ke
kuburan kuno itu. di tempat yang sudah dikenalnya benar2 itu tentu dapat
mencari akal untuk membinasakan musuh2 ini satu persatu, Begitulah ia lantas
menjawab:
"Baiklah, apa mau dikatakan lagi, aku toh tidak
mampu menandingi kalian. Memangnya aku juga akan mencari si bocah she Nyo itu?
Marilah. kalian ikut padaku."
Segera ia menyingkap semak belukar dan menyusup ke tengah
pepohonon yang lebat diikuti Ui Yong dan lain2 dari dekat karena kuatir dia
melarikan diri mendadak Setelah menyusup ke sana dan menyusur sini, tidak lama
sampailah mereka di tepi sebuah sungai kecil.
Sudah lama Li Bok-chiu bertekat hendak rebut
Giok-li-sim-keng, tempo hari dia hampir mampus ketika lolos keluar dari kuburan
itu melalui dasar sungai, maklum dia memang tidak mahir berenang dan menyelam.
Karena itu akhir2 ini dia telah berlatih renang dan kini
sudah siap. Berdiri di tepi sungai berkatalah dia: "Pintu depan kuburan
itu sudah tertutup, untuk membukanya secara paksa di perlukan waktu ber~bulan2,
bahkan tahunan. Sedang pintu belakangnya harus selulup melalui sungai ini. Nah,
siapa2 di antara kalian yang akan ikut aku masuk ke sana?"
Kwe Hu dan kedua saudara Bu dibesarkan di Tho-hoa-to,
setiap hari hampir selalu berkecimpung di tengah gelombang laut, kepandaian
berenang mereka dapat diandalkan, serentak mereka bertiga menyatakan ikut, Bu
Sam-thong juga bisa-berenang, maka iapun ingin ikut serta.
Ui Yong tahu Li Bok-chiu sangat keji, kalau mendadak dia
menyerang dikuburan-kunb itu, pasti Bu Sam-thong dan lain2 tidak mampu
melawannya, seharusnya dirinya sendiri ikut mengawasi kesana, namun kesehatan
sendiri yang baru melahirkan terasa tidak sanggup bertahan menyelam lama di
dalam air yang dingin.
Tengah ragu2, tiba2 Yalu Ce berkata: "Kwe pekbo
boleh tunggu saja di sini, biar siautit ikut paman Bu ke sana."
"Kau mahir berenang?" tanya Ui Yong girang.
"Berenang sih tidak begitu mahir, kalau menyelam
kukira boleh juga," jawab Yalu Ce.
Dalam pada itu Li Bok-chiu sudah bebenah seperlunya dan
siap akan terjun ke dalam sungai, Ui Yong lantas mendekati Bu Sam-thong dan
memberi pesan agar hati2 dan waspada, Begitulah Yalu Ce dan Bu Sam-thong
berlima lantas ikut Li Bok-chiu menyusun sungai itu.
Sungai di bawah tanah itu terkadang sempit dan terkadang
luas, arusnya juga kadang2 keras tempo2 lambat, Ada kalanya dasar sungai sangat
dalam hingga tinggi air melebihi kepala dan harus menyelam, tapi lain saat air
sungai berubah menjadi cetek cuma sebatas pinggang.
Setelah berjalan sekian lama, akhirnya mereka sampai di
lubang masuk ke kuburan itu. Li Bok-chiu menarik batu penyumbat dan menerobos
ke dalam, yang lain lantas ikut masuk ber-turut2. Meski sekarang tidak terbenam
lagi dalam air, tapi keadaan gelap gulita, semua orang bergandengan tangan agar
tidak terpencar dan mengikuti Li Bok-chiu ke depan secara ber-liku2 sehingga
sukar lagi membedakan arah.
Tidak lama kemudian terasa mulai menanjak, tanah yang
terpijak juga kering, Tiba2 terdengar suara berkeriutan, sebuah pintu batu
didorong oleh Li Bok-chiu, semua orang lantas ikut masuk ke situ.
"Di sini sudah berada di tengah2 kuburan kuno, kita
berhenti sebentar lalu pergi mencari Nyo Ko," kata Li Bok-chiu.
Sejak memasuki kuburan itu itu selangkahpun Bu Sam-thong
dan Yalu Ce tidak tertinggal di belakang Li Bok-chiu, tapi keadaan sangat
gelap, terpaksa mereka hanya mengandalkan indera pendengaran saja untuk menjaga
segala kemungkinan.
Dalam kegelapan itu semua orang lantas berdiam: Tiba2 Li
Bok-chiu berkata pula: "Eh, kedua tanganku sudah menggenggam Peng-pok-gin-ciam,
kenapa kalian bertiga orang she Bu ini tidak mau maju untuk merasakan enaknya
jarum ini?"
Bu Sam-thong terkejut, sebelumnya iapun tahu orang pasti
mengandung maksud jahat, tapi tidak menyangkanya musuh akan mulai bertindak
sekarang ini. Mereka sudah pernah merasakan betapa lihaynya jarum orang,
betapapun mereka tidak berani gegabah.
Segera mereka pegang senjata dan siap menangkis bila
mendengar suara mendesingnya senjata rahasia. Namun tempatnya terlalu sempit,
jarum musuh hanya dapat dipukul ke tanah, kalau di sampuk bisa jadi akan
mengenai kawan sendiri.
Yalu Ce juga menyadari keadaan sangat berbahaya, kalau
sampai musuh sembarangan menyambitkan jarumnya, pihak sendiri yang berlima ini
pasti ada yang terluka atau binasa, jalan paling baik harus melabraknya dari
dekat agar orang tidak sempat menggunakan jarum berbisanya.
Ternyata Kwe Hu juga berpendapat sama seperti dia, jadi
tanpa berjanji keduanya mendadak menubruk bersama ke arah suara Li Bok-chiu.
Padahal setelah bicara tadi, selagi orang2 ter-kesiap,
diam2 Li Bok-chiu telah mundur ke tepi pintu, Maka waktu Yalu Ce dan Kwe Hu
menubruk tempat kosong, sebaliknya tangan kedua orang saling berpegang sehingga
Kwe Hu menjerit kaget.
Kepandaian Yalu Ce lebih tinggi, begitu memegang tangan
yang halus serta mencium bau harum dan disertai suara Kwe Hu, segera ia tahu
apa yang terjadi.
Dalam pada itu terdengar suara keriat-keriut bergesernya
pintu, Yalu Ce dan Bu Sam-thong terus melompat pula ke sana, terdengar suara
mendesing, dua jarum perak telah menyamber tiba, cepat mengelak, waktu mereka
mendorong pintu, ternyata pintu itu sudah tertutup rapat dan tak bergeming
lagi.
Yalu Ce coba meraba pintu batu itu, ternyata halus licin
tiada sesuatu alat pegangan pintu, ia berjalan merambat dinding sekeliling, ia
menaksir ruangan itu kira2 empat persegi, dinding terbuat seluruhnya dari batu,
ia coba mengetok dinding dengan pedangnya, terdengar suara keras dan berat,
jelas batu dinding itu sangat tebal.
"Wah, bagaimana? jangan2 kita akan mati terkurung di
sini?" kata Kwe Hu dengan kuatir dan hampir2 menangis.
"Jangan kuatir, kita pasti akan menemukan
jalannya," cepat Yalu Ce menghiburnya "Apalagi Kwe-hujin menunggu di
luar, beliau pasti akan berdaya menolong kita."
Habis berkata ia coba meraba pula sekeliling kamar itu
untuk mencari jalan keluar.
Li Bok-chiu sangat girang setelah berhasil menyekap Bu
Sam-thong berlima di kamar batu itu, ia pikir setelah lawan2 itu dienyahkan,
tentu akan lebih mudah untuk menyergap Siao-liong-li dan Nyo Ko.
Ia menyadari kalau bertempur secara terang2an pasti bukan
tandingan sang Sumoay, maka ia harus menyergapnya secara mendadak. ia lantas
menggenggam jarum berbisa, sepatu ditanggalkannya, hanya dengan berkaos kaki
saja ia melangkah ke depan dengan pelahan.
Selama beberapa hari ini Siao-Iiong-Ii, berduduk di depan
kemala dingin itu menerima penyembuhan dari Nyo Ko dengan menerobos Hiat-to
secara terbalik. Saat itu mereka sedang mengerahkan segenap tenaga untuk
menerobos Tam-tiong-hiat, Hiat-to penting yang terletak di bagian dada, kalau
Hiat-to ini sudah diterobos dengan lancar, maka berarti delapan bagian lukanya
sudah tersembuhkan, Akan tetapi Hiat-to ini memang sangat gawat, salah sedikit
saja akan menyebabkan kelumpuhan total, sebab itu harus dilakukan dengan hati2
dan sabar, sedikitpun tidak boleh gegabah.
Watak Siao-liong-li memang sangat sabar, baginya bukan
soal apakah penyembuhannya itu dapat dirampungkan secepatnya atau berapa lama
Iagi. Sebaliknya Nyo Ko berwatak tidak sabaran, dia berharap Siao-liong-li
dapat lekas sembuh. Akari tetapi iapun tahu bahayanya cara penyembuhan begitu,
kalau ter-buru2 napsu, bisa jadi malah-runyam.
Begitulah Nyo Ko merasa denyut nadi Siao-liong-li
terkadang keras dan lain saat lemah, meski tidak stabil, tapi tiada tanda2
buruk, Diam2 ia mengerahkan tenaga dan mempercepat usahanya menyembuhkan si
nona.
Dalam keadaan sunyi senyap itulah, tiba2 dari jauh ada
suara "tek" satu kali, suara itu sangat lirih kalau saja Nyo Ko tidak
sedang memusatkan pikiran tentu tak mendengar suara itu.
Apalagi kuburan kuno itu terletak jauh di bawah tanah,
kecuali suara pernapasan mereka bertiga (termasuk Kwe Yang), sedikit kelainan
suara tentu akan ketahuan.
Selang tak lama, suara "tek" itu kembali
berbunyi lagi sekali, kini jaraknya bertambah dekat, Nyo Ko tahu pasti ada
sesuatu yang tidak beres, tapi kuatir perhatian Siao-liong-li terganggu dan
membahayakan nona itu, maka ia sengaja berlagak tidak tahu.
Tak lama, lagi2 suara itu berbunyi, kini terlebih dekat
pula, Maka yakinlah Nyo Ko bahwa ada orang menyusup ke kuburan kuno itu,
agaknya orang itu tidak berani menerobos datang begitu saja dan sengaja
merunduk maju dengan pelahan. ia pikir maksud kedatangan orang ini pasti tidak
baik, kalau orang mampu masuk ke situ, tentu juga bukan sembarangan orang. Celakanya
keadaan Siao-liong-li tidak boleh terganggu ia menjadi serba susah.
"Tek", ternyata suara itu semakin mendekat Nyo
Ko menjadi bingung dan sukar menahan pi-kiranaya, mendadak tangannya tergetar,
suatu arus hawa panas tertolak balik, kiranya Siao-liong-li juga terkejut oleh
suara itu.
Lekas2 Nyo Ko menghimpun tenaga dan mendorong kembali
tenaga dalam Siao-liong-li sambil memberi isyarat agar si nona tenangkan diri.
Tatkala itu di luar kuburan adalah siang hari, meski
musim dingin, tapi sang surya sedang memancarkan cahayanya di tengah cakrawala,
sebaliknya di dalam kuburan gelap gulita seperti tengah malam belaka.
Terdengar suara tadi semakin dekat lagi. Diam2 Nyo Ko
mengeluh, ia pikir sejak jalan masuk kuburan itu tertutup rapat, di dunia ini
hanya Li Bok-chiu dan Ang Leng-po saja yang tahu jalan masuk melalui dasar
sungai itu, maka dapat dipastikan yang datang tentu satu diantara mereka.
Dengan kepandaian Nyo Ko sekarang sedikitpun tidak perlu
takut biarpun Li Bok-chiu dan muridnya itu datang semua sekaligus, Celakanya
kedatangannya itu tidak lebih cepat dan tidak lebih lambat, tapi justeru pada
saat penting bagi keselamatan Siao-liong-li ini, seketika Nyo Ko menjadi
bingung dan serba susah.
Selang sejenak, dengan jelas Siao-liong-li juga dapat
mendengar suara kedatangan musuh, iapun buru2 ingin menerobos Hiat-to sendiri
yang penting itu, tapi karena bingung, tenaganya menjadi kacau, terkadang
lancar terkadang berontak, dada sendiri menjadi sesak malah.
Pada saat itulah suara tindakan seorang yang halus dan
cepat menerobos masuk, menyusul terdengarlah suara mendesirnya benda kecil,
beberapa jarum telah menyamber tiba.
Waktu itu keadaan Siao-liong-li dan Nyo Ko mirip orang
yang tak bisa ilmu silat saja, untungnya mereka sudah siap, sedia sebelumnya,
begitu melihat jarum musuh menyambar tiba, serentak mereka mendoyong ke
belakang tanpa melepaskan tangan mereka yang saling menempel itu, jarum2 itu
me-nyamber lewat di sisi mereka.
Li Bok~chiu sendiri tidak menyangka kedua orang sedang
mencurahkan segenap perhatian untuk penyembuhkan Siao-liong-Ii, kuatir kedua
lawannya balas menyerang, maka begitu jarum disambitkan segera ia melompat ke
samping, Kalau saja dia tidak jeri kepada lawannya dan segera menyusulkan lagi
jarum2 lain, maka Nyo Ko berdua pasti celaka.
Ketajaman mata Li Bok-chiu di tempat gelap jauh
dibandingkan Nyo Ko berdua, samar2 ia cuma melihat kedua muda-mudi itu duduk
berjajar di Han-giok-jeng dipan kemala dingin, ia menjadi kebat-kebit ketika
sergapannya tidak mengenai sasarannya, Tapi ia menjadi ragu2 pula ketika
melihat lawan tidak berbangkit dan balas menyerangnya. Cepat ia menggeser ke
samping pintu dengan kebut siap di tangan, lalu menegur "Hm, baik2kah
kalian selama berpisah!"
"Apa kehendakmu?" tanya Nyo Ko.
"Masakah perlu tanya lagi kehendakku disaat
ini?" jawab Bok-chiu.
"Ah, Giok-Ii-sim-keng yang kau inginkan bukan?"
ujar Nyo Ko "Baiklah, memangnya kitab itupun tidak berguna bagi kami yang
ingin hidup tirakat di tempat ini. Nah, boleh kau ambil saja."
Sudah tentu Li Bok-chiu setengah percaya dari setengah
sangsi, katanya: "Mana? Bawa ke sini!"
Giok-li-sim-keng tersimpan dalam buntalan Siao~Iiong-li,
dengan seodirinya mereka tidak dapat menyodorkannya, "ltu berada dalam
bungkusan di atas meja, ambil saja sendiri," demikian jawab Nyo Ko
Li Bok-chiu tambah curiga, pikirnya: "Aneh, mengapa
mereka berubah penurut begini? Di dalam bungkusan itu tentu ada sesuatu yang
tidak beres. Apa barangkali dia sengaja memancing aku lebih dekat, lalu
mendadak menyerang dan mencegat jalan lariku" ..
Ia menyadari bukan tandingan Siao-liong-li, maka segala
sesuatu harus ditimbangnya dengan masak, ia coba mengawasi sang Sumoay,
terlihat sebelah tangannya mendempel dengan telapak tangan Nyo Ko. Seketika
tergerak pikirannya: "Ah, rupanya tangan Nyo Ko buntung dan parah, maka
perempuan hina ini sedang membantu menyembuhkannya dengan tenaga dalam sendiri.
Saat ini mereka sedang menghadapi detik genting, inilah kesempatan baik bagiku
untuk membinasakan mereka."
Walaupun cuma betul separuh saja terkaannya, namun rasa
jerinya seketika lenyap, segera ia menubruk maju, kebutnya terus menyabet
kepala Siao-Iiong-li.
Dalam keadaan demikian kalau Siao-liong-li mengangkat
tangan untuk menangkis, serentak tenaga dalamnya akan terguncang dan bisa
binasa seketika dengan muntah darah, sebaliknya kalau serangan itu tidak
ditangkis, maka batok kepalanya juga pasti akan hancur.
Syukurlah pada saat itulah mendadak Nyo Ko membuka mulut
dan meniup hawa ke muka Li Bok-chiu, sebenarnya tiupan hawa ini sama sekali
tidak bertenaga, tapi Li Bok-chiu tahu si Nyo Ko banyak tipu akalnya, ketika
mendadak mukanya terasa hangat oleh hawa yang disebul anak muda itu, ia kaget
dan lekas melompat mundur, Ketika merasa muka tiada sesuatu kelainan barulah ia
tahu tertipu, segera ia mcmbentak: "Kau cari mampus ya."
""Eh, baju yang kupinjamkan padamu tempo hari
itu, apakah sekarang kau bawa untuk dikembalikan padaku?" tanya Nyo Ko
dengan tertawa.
Li Bok-chiu jadi teringat waktu bertempur melawan Pang
Bik-hong, pakaiannya terbakar oleh palu si pandai besi- tua yang berapi itu,
kalau Nyo Ko tidak menanggalkan jubahnya untuk dia, maka pasti akan telanjang
dan malu, sepantasnya kalau mengingat pemberian jubah itu dahulu tidak
seharusnya dia mencelakai jiwa Nyo Ko sekarang, tapi jika hatinya sedikit
lunak, bahaya dikemudian hari tentu sukar dibayangkan. Segera ia menubruk maju,
tangan kirinya menghantam pula.
Dalam keadaan kepepet tiba2 Nyo Ko mendapat akal,
se-konyong2 dia berjungkir dengan kedua kaki di atas dan kepala di bawah,
sekali kakinya memancal, sepatu dan kaos kaki lantas terlepas serunya:
"Liong-ji, pegang kakiku!" - Berbareog itu sebelah tangannya terus
dipukulkan untuk memapak hantaman Li Bok-chiu tadi. Dalam pada itu
Siao-liong-li juga telah memegang kaki Nyo Ko.
Meski Ngo-tok-sin-ciang yang lihay itu diperoleh dari
Auyang Hong, tapi ilmu menjungkir berasal dari Kiu-im-Cin-keng yang merupakan
kepandaian khas Auyang Hong ini tidak pernah dilihat Li-Bok-chiu, ia terkejut
menyaksikan perbuatan Nyo Ko yang aneh itu, ia mengerahkan tenaga sekuat-nya
dan ingin membinasakan lawan selekasnya, seketika Nyo Ko merasakan arus hawa
panas menerjang dari telapak tangan musuh, tergerak pikirannya, sama sekali ia
tidak menahan tenaga lawan itu, sebaliknya tenaga sendiri malah ditambahkan pada
tenaga musuh dan disalurkan seluruhnya ke tubuh Siao-liong-li.
Dengan demikian jadinya Li Bok-chiu se-akan2 membantu Nyo
Ko menerobos Hiat-to dan urat nadi Siao-liong-li. Walapun apa yang dipelajari
Li Bok-chiu tidak seluas Nyo Ko berdua, tapi bicara tentang kekuatan sendiri,
karena sudah berlatih berpuluh tahun lamanya, dengan sendirinya bukan main
lihaynya.
Siao-liong-li mendadak merasakan suatu arus tenaga maha
kuat menerjang tiba, Tam-tiong hiat seketika diterobos tembus, napas terasa
lancar, hawa panas yang tadinya macet di dada seketika tersalur ke bagian
perut, semangat terasa segar, serentak ia bersorak: "Aha, terima kasih,
Suci!" Segera ia melepaskan kaki Nyo Ko dan melompat turun dari dipan
kemala dingin.
Tentu saja Li Bok-chiu melengak, Tadinya ia mengira Siao
liong-li yang sedang membantu menyembuhkan Nyo Ko, sebab ituIah ia mengerahkan
tenaga sekuatnya dengan maksud merontokkan urat nadi Nyo Ko, siapa tahu tanpa
sengaja malah telah membantu pihak lawan.
Nyo Ko juga sangat girang, sekuatnya ia menolak mundur
musuh, lalu ia melompat bangun dan berdiri dengan kaki telanjang, katanya
dengan tertawa: "Kalau engkau tidak keburu datang membantuku. sungguh
sulit menerobos Tam- Tiong hiat Sumoay mu."
Belum lagi Li Bok-chiu menja-wab, tiba2 Siao liong-!i
menjerit sambil memegangi ulu hatinya terus jatuh ke atas dipan pula..
"He, ada apa?" tanya Nyo Ko kuatir.
"Dia... dia... tangannya beracun!" ucap
Siao-liong-Ii dengan ter putus2.
Nyo Ko sendiri juga lantas merasakan kepala rada pusing,
Rupanya tanpa disadarinya ketika tangan beradu tangan tadi racun pukulan
berbisa Li Bok-chiu telah menyalur ke tubuh anak muda itu dan terus merembes
pula ke tubuh Siao-liong li.
"Serahkan obat penawarnya!" bentak Nyo Ko
segera sambil angkat Hian-tiat-pokiam, pedang pusaka yang maha berat itu.
Habis itu pedangnya terus membacok "Trang", Li
Bok-chiu menangkis dengan kebutnya, akan tetapi batang kebutnya yang terbuat
dari baja itu kontan terkutung mendjadi dua, tangan juga tergetar hingga lecet
dan sakit.
Kebut yang pernah merontokkan nyali tokoh dunia
persilatan itu ternyata sekali tabas saja telah dihancurkan lawan, sungguh
kejadian ini membuatnya terkejut luar biasa, lekas2 ia melompat keluar kamar
batu itu.
Segera Nyo Ko mengejar, tampaknya sudah dekat dan baru pedangnya
disodorkan ke depan dan Li Bok-chiu pasti tidak dapat menangkisnya, siapa tahu
racun yang sudah bersarang dalam tubuhnya itu mendadak bekerja, matanya menjadi
ber-kunang2 dan tangan terasa lemas, "trang", pedang jatuh ke tanah.
Li Bok-chiu tidak berani berhenti, ia melompat jauh ke
depan, habis itu baru menoleh, dilihatnya Nyo Ko ter-huyung2 sambil berpegangan
dinding, tampaknya sekuatnya sedang menahan serangan racun dalam tubuh.
Merasa bukan tandingan anak muda itu, Li-Bok-chiu tak
berani mendekatinya, ia pikir tunggu saja sementara, nanti kalau anak muda itu
sudah roboh. barulah kudekati dia.
Tenggorokan Nyo Ko terasa kering, kepala, serasa mau
pecah, sekuatnya ia kumpulkan tenaga pada tangan kiri, kalau Li Bok-chiu
mendekat, segera ia hendak membinasakannya dengan sekali hantam. Tapi lawan,
itu sungguh licik dan tetap berdiri di sana.
Akhirnya Nyo Ko harus ambil keputusan, ia pikir semakin
lama tentu semakin meluas racun yang mengeram di tubuhnya dan tambah
menguntungkan pihak musuh, Sekuatnya ia menarik napas segar, habis itu mendadak
ia melompat balik ke sana dan merangkul pinggang Siao-liong-li, dengan ujung
pedang ia cungkit bungkusan di atas meja, lalu melangkah keluar sambil
membentak: "Minggir!" .
Melihat perbawa Nyo Ko itu, Li Bok-chiu ternyata tidak
berani mengadangnya, Yang diharapkan Nyo Ko sekarang adalah mencari suatu kamar
batu yang dapat ditutup rapat sehingga untuk sementara Li Bok-chiu tidak mampu
masuk mengganggu-nya, dengan begitu mereka dapat berusaha mendesak keluar kadar
racun yang berada dalam tubuhnya.
Cara mengusir racun ini jauh lebih mudah daripada cara
penyembuhan Siao-Iiong Ii tadi, waktu kecilnya Nyo Ko sudah pernah kena racun
jarum Li Bok chiu dan mendapat pertolongan Auyang Hong, sekarang kepandaiannya
sedemikian tinggi, begitu pula Hiat-to Siao-Iiong-li juga sudah lancar, tentu
tidak sulit mengeluarkan racun dalam tubuh asalkan tidak direcoki Li Bok-chiu.
Li Bok chiu juga tahu maksud tujuan Nyo Ko ketika melihat
anak muda, itu menerjang keluar dengan membopong Siao-liong li dengan
sendirinya ia tidak membiarkan Nyo Ko mencapai tujuannya, cuma ia tidak berani
mendekat dan menyerang, ia terus menguntit saja dari belakang dalam jarak
dua-tiga meter jauhnya.
Bila Nyo Ko berhenti dan menunggu dia mendekat, dia justeru
berhenti juga dan menunggu.
Nyo Ko merasa debar jantungnya semakin keras dan tak
sanggup bertahan lagi, dengan sempoyongan ia berlari masuk sebuah kamar dan
mendudukkan Siao liog- li di atas meja batu, ia sendiri lantas ter-engah2
sambil berpegang tepi meja tanpa menghiraukan Li Bok-chiu tetap mengintil
dibelakang.
Karena Li Bok chiu juga pernah tinggal di dalam kuburan
kuno ini, meski ketajamannya memandang di tempat gelap tidak sebaik Nyo Ko
berdua, tapi iapun dapat melihat jelas bahwa di kamar itu berjajar lima buah
peti mati.
"Suhu benar2 pilih kasih, selamanya aku tidak
diberitahu tempat2 rahasia seperti ini, kiranya di sini ada lima buah peti
mati," demikian Li Bok-chiu berpikir, ia tidak tahu bahwa kamar ini adalah
makam guru dan kakek gurunya.
Selama hidup Li Bok-chiu telah membunuh orang tak
terbilang jumlahnya, maka tentang peti mati, mayat dan sebagainya tidak
membuatnya heran. Diam2 iapun bergirang melihat keadaan Nyo Ko yang sudah payah
itu, ia lantas menyindir "Hehe, tempat pilihanmu ini sungguh bagus sekali
sebagai kuburanmu."
Pandangan Nyo Kb sebenarnya sudah samar2, mendengar
ucapan Li Bok-chiu itu, ia coba meng-amat-amati kamar itu, ternyata tangannya
bukan menahan di atas meja batu segala melainkan sebuah peti mati batu, jadi
Siao-liong-li juga berduduk di atas peti batu.
Tanpa terasa ia merasa ngeri, pikirnya: "Tempo hari
Liong-ji ingin aku mati bersamanya di sini, sekuatnya aku melarikan diri, siapa
tahu akhirnya kami mati juga di sini, mungkin memang sudah suratan nasib dan
takdir ilahi."
Keadaan Siao-liong-li juga lemah dan setengah sadar, tapi
samar2 iapun mengetahui dirinya berada di samping peti mati sang guru, Teringat
bahwa dirinya sudah berdekatan dengan gurunya, hatinya terasa lega, ia menghela
napas panjang se-akan2 orang yang pergi jauh baru pulang kampung halaman dengan
aman.
Begitulah mereka bertiga diam, seorang berdiri dan
seorang berduduk, seorang lagi setengah bersandar kecuali suara hembusan napas
tiada terdengar suara lain di kamar batu itu.
"Andaikan aku dan Liong-ji harus mati sekarang,
sebisanya harus kucegah agar iblis ini tidak mendapatkan kitab pusaka ini dan
berbuat lebih jahat lagi dunia luar," demikian pikir Nyo Ko.
Tiba2 ia mendapat satu akal, ia tahu di antara lima buah
peti mati batu itu tiga diantaranya sudah terisi, yaitu jenazah Lim Tiau-eng
dan muridnya serta Sun-popoh, dua peti lainnya masih kosong dan tersedia bagi
Siao-liong-li dan Li Bok-chiu.
Tutup kedua peti mati yang kosong itu belum dirapatkan
dan masih terlihat celah selebar satu meteran. mendadak Nyo Ko angkat pedangnya
dan mencukil bungkusan berisi Giok-li-sim-keng itu sehingga mencelat ke dalam
satu peti yang kosong itu, berbareng iapun membentak: "Hm, keparat
betapapun kitab pusaka ini takkan kuserahkan padamu, aduuh..." tiba2 ia menjerit
terus roboh.
Li Bok-chiu terkejut dan bergirang, ia kuatir jangan2 Nyo
Ko hendak memancingnya, maka dia menunggu sejenak, ketika melihat anak muda itu
sama sekali tidak bergerak lagi barulah ia mendekatinya dan coba meraba
mukanya, rasanya dingin dan jelas sudah mati.
"Hahaha, betapapun licik dan licinmu, akhirnya kau
mampus juga!" serunya kemudian sambil berbahak, lalu ia mendekati peti
batu dan menjulurkan tangan dengan maksud hendak mengambil bungkusan yang
terlempar ke dalam peti tadi.
Namun bungkusan itu oleh Nyo Ko ternyata dilemparkan ke
ujung peti yang tertutup sana, Kebut Li Bok-chiu sudah putus, kalau tidak tentu
ujung kebut dapat digunakan untuk meraih sebisanya ia mengulur tangan dan me
raba2, namun hasilnya tetap nihil, Akhirnya ia tidak sabar, ia terus menyusup
ke dalam peti, dengan begitu barulah bungkusan itu dapat dipegangnya.
Akan tetapi pada saat itulah Nyo Ko berbangkit tangan
kirinya mendorong sekuatnya, kontan tutup peti itu terus merapat, seketika Li
Bok-chiu terkurung di dalam peti batu itu.
Kiranya jatuh dan jeritan Nyo Ko tadi cuma pura2 saja,
serentak ia nembikin ruwet denyut nadinya sehingga mukanya menjadi dingin
laksana orang mati. Padahal orang mati sebagaimanapun tidak mungkin jasadnya
lantas kaku dingin seketika, untuk itu sedikitnya makan waktu setengah jam.
Tapi rupanya saking girangnya Li Bok-chiu menjadi kurang teliti dan terjebak
oleh akal Nyo Ko.
Begitu Li Bok-chiu sudah terpancing masuk peti dan
ditutup rapat, segera Nyo Ko menggunakan pedangnya untuk menyungkit sekuatnya
peti mati kosong satunya lagi untuk ditindihkan di atasnya, dengan demikian,
berat tutup ditambah peti batu sedikitnya setengah ton, betapapun tak bisa
keluar biarpun memiliki kepandaian setinggi langit.
Nyo Ko sendiri sebenarnya dalam keadaan payah hanya
terdorong oleh tekad ingin bertahan sampai detik terakhir, maka sekuatnya ia,
mcncungkit peti batu tadi, habis itu ia benar2 kehabisan tenaga, pedang
dilemparkan kelantai, dengan sempoyongan ia mendekati Siao-liong-li, lebih dulu
ia menggunakan ilmu ajaran Auyang Hong dahulu untuk menguras keluar sebagian
racun dalam tubuh sendiri, habis itu barulah ia menempelkan tangan sendiri pada
tangan Siao liong li untuk bantu penyembuhan nona itu.
Sementara itu Kwe Hu dan Yalu Ce berlima sedang kelabakan
terkurung di kamar batu itu.
Mereka sama duduk dilantai tanpa berdaya, semakin dipikir
semakin mendongkol dan penasaran tiada hentinya Bu Sam-thong mencaci maki Li
Bok chiu yang kejam itu.
Dalam keadaan gelisah, Kwe Hu menjadi sebal mendengar
makian Bu Sam-thong yang tiada berhenti itu, tanpa pikir ia berkata padanya:
"Bu-pepek kekejian perempuan she Li itu kan sudah lama kau ketahui, apa
gunanya sekarang kau mencaci maki dia?"
Bu Sam-thong melengak dan tak bisa menjawab, sebaliknya
Bu Siu-bun menjadi marah karena ayahnya diomeli si nona, segera ia menanggapi
"Kedatangan kita ke kuburan ini kan demi menolong adikmu, kalau tidak
beruntung mengalami kesukaran, biarlah kita mati bersama saja, kenapa kau
marah2 segala..."
"Diam, adik Bun!" cepat Bu Tun-si menghardik
sehingga Siu-bun tidak melanjutkan ucapannya.
Ucapan Siu-bun itu sebenarnya cuma terdorong oleh ingin
membela sang ayah saja, begitu tercetus katanya itu, segera ia sendiripun
merasa heran. Padahal biasanya dia sangat penurut kepada Kwe Hu, malahan
se-dapat2nya ia ingin mengerjakan apapun bagi si nona, mana berani dia
berbantah dengan dia, siapa tahu sekarang dia ternyata berani menjawabnya
dengan sama kerasnya.
Kwe Hu juga melenggong karena tidak pernah menyangka si
Bu cilik berani berbantah dengan dia, ingin dia bicara lagi, tapi rasanya tiada
sesuatu alasan kuat yang dapat dikemukannya, Teringat bahwa dirinya akan mati
terkurung di kuburan kuno ini dan takkan bertemu lagi selamanya dengan ayah
bunda, ia menjadi sedih dan mcnangis.
Dalam kegelapan dan tidak dapat memandang keadaan
sekitarnya, tanpa terasa ia mendekap di atas sesuatu dan menangislah dia
ter-guguk2.
Mendadak si nona menangis, Siu-bun merasa tidak enak,
katanya: "Baiklah, aku mengaku salah, biarlah kuminta maaf padamu."
"Apa gunanya minta maaf!" jawab Kwe Hu dan
tangisnya semakin menjadi sekenanya ia tarik sepotong kain untuk mengusap
ingusnya, tapi mendadak disadarinya ternyata..dia mendekap di atas paha seorang
dan kain yang dibuat mengusap ingus itu kiranya ujung baju orang itu.
Dengan terkejut cepat Kwe Hu menegakkan tubuhnya, dari
persiapan Bu Sam-thong dan kedua anaknya tadi, jelas mereka bertiga duduk di
sebelah sana, hanya Yalu Ce saja yang berdiam tanpa bersuara, jelas orang ini
adalah dia.
Keruan Kwe Hu menjadi malu. "Aku....aku....",
katanya dengan ter-sipu2.
Pada saat itulah tiba2 Yalu Ce berkata: "He,
dengarkan, suara apakah itu?"
Waktu mereka pasang kuping yang cermat, ternyata tiada
mendengar sesuatu, Tapi Yalu Ce berkata pula: "Ehm, itukah suara tangisan anak
kecil, nona Kwe, pasti suara adikmu itu."
Karena teraling oleh dinding batu, suara itu sangat halus
kalau bukan indera pendengaran Yalu Ce sangat tajam pasti tidak mendengarnya.
Cepat ia berbangkit dan melangkah ke sana, tapi suara itu lantas terdengar
Iemah, ia coba membalik ke sebelah lain, ternyata suara itu tambah jelas,
Segera ia menuju ke ujung sana, ia gunakan pedangnya untuk menusuk dan
mencungkil pelahan, terdengar suaranya agak lain. agaknya dinding di situ rada
tipis.
Segera ia menyimpan pedangnya, kedua tangannya coba
menahan di dinding batu itu dan didorongnya, namun tidak bergeming sedikitpun.
Ia coba ganti haluan, ia menarik "napas kuat2, lalu kedua tangan menolak
pula, menyusul terus aipomir daya tarik dengan gaya "lengket"
mendadak "blang" satu kali. sepotong batu kena ditarik lepas oleh
tenaga sedotan tangannya dan jatuh ke lantai.
Tentu saja Kwe Hu dan lain sangat girang, sambil bersorak
mereka terus memburu maju dan ikut menarik dan membongkar, sebentar saja
beberapa potong batu kena dilepaskan pula dan kini sebuah lubang sudah cukup
digunakan untuk menerobos. Ber-turut2 mereka lantas menerobos ke -sana, Kwe Hu
terus mencari dengan mengikuti arah suara, akhirnya mereka sampai di suatu
kamar batu yang kecil, dalam kegelapan suara tangisan anak itu terdengar sangat
keras, cepat Kwe Hu mendorongnya.
Bayi itu memang betul Kwe Yang adanya, Demi menyembuhkan
Siao liong-li, pula harus menempur Li Bok-chiu, maka Nyo Ko tidak sempat
menyuap orok itu, karena lapar, anak itu menangis sejadinya.
Kwe Hu berusaha meminang dan membujuki tapi saking
kelaparan, bukannya diam, sebaliknya tangis Kwe Yang semakin keras.
Akhirnya Kwe Hu menjadi tidak sabar dan menyodorkan
kepada Bu Sam-thong, katanya: "Paman Bu, coba kau memeriksanya apakah ada
sesuatu yang tidak beres."
Dalam pada itu Yalu Ce sedang me-raba2 ke-sana kemari,
akhirnya di atas meja dapat ditemukan sebuah Caktay (tatakan lilin), menyusul
teraba pula batu api dan alat ketiknya, setelah membuat api dan menyulut lilin,
seketika pandangan semua orang terbeliak. setelah terkurung di tempat gelap
sekian lamanya, baru sekarang dada mereka merasa lapang oleh cahaya terang.
Betapapun Bu Sam-thong adalah orang tua yang
berpengalaman dari suara tangisan Kwe Yang itu, ia tahu anak ini pasti merasa lapar,
Dilihatnya di atas meja ada setengah mangkuk air madu, pula sebuah sendok kayu
kecil, segera ia menyuapi anak itu dengan air madu dengan sedikit2. Benar saja,
begitu air masuk mulutnya, Kwe Yang lantas berhenti menangis.
"Kalau nona Kwe cilik ini tidak menangis kelaparan,
mungkin kita akan mati semua di kamar batu itu," ujar Yalu Ce dengan
tertawa.
"Segera kita pergi mencari jahanam Li
Bok-chiu." kata Bu Sam-thong dengan penuh dendam.
Mereka masing2 lantas memotong kaki kunsi untuk digunakan
sebagai obor, lalu menyusun Iorong2, setiap ada pengkolan Bu Tun si lantas
memberi tanda dengan ujung pedang agar nanti kembalinya tidak tersesat.
Begitulah mereka terus mencari jejak Li Bok-chiu dari
sebuah ruangan ke ruangan yang lain. Rupanya dahulu Ong Tiong-yang gagal
memimpin pasukannya melawan pasukan Kim, lalu dia dan anak buahnya membangun
kuburan raksasa ini di lereng Cong-Iam-san ini sebagai tempat tirakatnya.
Sudah tentu Yalu Ce dan lain- sama ter-heran2 melihat
betapa luasnya kuburan ini, sungguh tak tersangka bahwa dibawah sungai kecil
itu terdapat bangunan raksasa begitu.
Ketika mereka sampai di kamar Siao-Iiong-li tertampak
kebut Li Bok-chiu yang putus itu berserakan di lantai, di samping sana ada pula
dua jarum perak milik Li Bok-chiu, Kwe Hu membungkus tangannya dan menjemput
jarum itu, katanya dengan tertawa: "Sebentar akupun gunakan jarum berbisa
ini untuk balas menusuk iblis keparat itu."
Dalam pada itu Nyo Ko sedang bantu mendesak keluar racun
dalam tubuh Siao-Iiong li, dari jari si nona telah merembes keluar air hitam,
asal setanakan nasi lagi mungkin usahanya, akan berhasil Pada saat itulah
tiba-tiba dari lorong sana ada suara undakan orang, seluruhnya ada lima orang
sedang mendatangi.
Diam2 Nyo Ko terkejut, dalam keadaan genting begitu,
andaikan diserang seorang Li Bok-chiu saja sukar melawannya, apalagi sekarang
musuh berjumlah lima orang.
Selagi bingung dan gelisah, mendadak terlihat cahaya api
berkelebat di kejauhan, kelima orang itu sudah semakin dekat. Tanpa pikir Nyo
Ko rangkul Siao-liong-li dan melompat masuk ke dalam peti batu yang menindih di
atas Li Bok-chiu itu, lalu ia menggeser sekuatnya tutup peti, hanya saja tidak
dirapatkan agar nanti tidak mengalami kesukaran jika hendak keluar.
Baru saja mereka sembunyi di dalam peti batu, serentak
Yalu Ce berlima lantas masuk juga ke kamar itu. Mereka terkesiap melihat di
kamar itu ditaruh lima buah peti mati, samar2 mereka merasakan hal ini sungguh
teramat kebetulan, mereka berlima dan jumlah peti mati di situ juga lima,
sungguh alamat jelek.
Tanpa terasa Kwe Hu bergumam: "Hm, kita berlima peti
mati inipun lima!"
Nyo Ko dan Siao-Iiong-Ii dapat mendengar suara Kwe Hu
itu, mereka sama heran bahwa yang datang ini di antaranya ternyata nona Kwe
ini.
Yalu Ce juga mendengar di dalam peti itu ada suara napas
orang, ia pikir pasti Li Bok-cbiu yang sembunyi di situ, Segera ia memberi
tanda agar kawannya mengelilingi peti itu.
Dari sela2 peti yang belum tertutup rapat itu samar2 Kwe
Hu dapat melihat ujung baju orang yang sembunyi di dalamnya, ia yakin orang itu
pasti Li Bok-chiu adanya, Dengan tertawa ia lantas membentak: "lnilah
senjata makan tuan!" Sekali ia dorong tutup peti, berbareng dua buah jarum
berbisa yang dijemputnya tadi terus disambitkan kedalam.
Meski Nyo Ko sembunyi di dalam peti dengan merangkul
Siao-liong-li, tapi tangan kirinya tetap menempel tangan kanan nona itu dan
berusaha menguras bersih racun melalui tubuhnya dalam waktu singkat yang
menentukan mati-hidup mereka itu.
Walaupun heran ketika mendengar antara pendatang2, itu
juga terdapat Kwe Hu, tapi hatinya merasa lega juga karena yang datang itu
bukan musuh.
Sudah tentu tak disangkanya pula bahwa mendadak Kwe Hu
akan menyerangnya, maka dengan diam saja meneruskan penyembuhannya pada Siao
liong-it dengan tekun, Siapa tahu Kwe Hu justeru menyangka mereka sebagai Li
Bok-chiu dan menyerang dengan jarum berbisa. Karena jaraknya sangat dekat, di
dalam peti itupun sukar bergerak tiada peluang untuk menghindar, seketika Nyo
Ko berdua menjerit, jarum yang satu mengenai paha kanan anak muda itu dan jarum
lain mengenai bahu kiri Siao-liong-Ii..
Setelah menyambitkan jarum, hati Kwe Hu sangat senang,
tapi mendadak terdengar suara jeritan lelaki dan perempuan di dalam peti,
seketika iapun menjerit kaget, Segera Yalu Ce mendepak tutup peti itu hingga
terjatuh ke tantai, dengan pelahan Nyo Ko dan Siao-Iiong-Ii lantas berdih, di
bawah cahaya obor tertampak muka mereka pucat pasi dan saling pandang dengan
pedih.
Kwe Hu sendiri belum menyadari kesalahan yang
diperbuatnya sekali ini jauh lebih hebat daripada mengutungi sebelah lengan Nyo
Ko, dia cuma merasa menyesal saja dan coba meminta maaf, ka-tanya:
"Nyo-toako dan Liong-cici, kiranya engkau yang berada di situ sehingga
kusalah melukai kalian, untunglah ibuku menyimpan obat mujarab penawar racun
jarum ini, dahulu dua ekor rajawaliku juga pernah terluka oleh jarum ini dan
dapat disembuhkan oleh ibuku. Aneh juga, mengapa kalian sembunyi di dalam peti?
Tentu saja aku tidak menyangka akan kalian?"
Kiranya urusan membuntungi lengan Nyo Ko itu sudah
selesai dengan dibengkokkan pedangnya oleh oleh anak muda itu tempo hari,
apalagi ayah bundanya juga sudah cukup mencaci-makinya habis2 an, maka dalam
anggapan Kwe Hu: "Biarlah takkan kusalahkan kau dan anggap beres persoalan
ini."
Demikianlah jalan pikiran nona manja macam Kwe Hu ini,
selama hidupnya selalu disanjung orang, lantaran menghormati ayah-ibunya, maka
orang lain juga suka menghormat dan mengalah padanya, sebab itulah segala
urusan yg terpikir selalu dirinya sendiri yang diutamakan dan jarang memikirkan
kepentingan orang lain, Dari nada ucapannya tadi malahan akhirnya se-akan2
anggap salah sendiri Nyo Ko berdua yang sembunyi di dalam peti batu
itu'sehingr: ga membuatnya kaget malah.
Mana dia mau tahu bahwa tatkala terkena sambitan jarumnya
itu, ketika itu kadar racun dalam tubuh Siao-iiong-li justeru sedang mengalif
keluar, tapi mendadak terguncang oleh serangan dari luar sehingga seluruh racun
itu mengalir balik merasuk segenap Hiat-to di tubuh nona itu, dengan demikian
sekalipun ada obat mujarab malaikat dewata juga sukar menolongnya lagi.
Sesaat itu Siao-liong-Ii merasa dadanya seperti kosong
melompong, hampa dan linglung, ia menoleh dan melihat sorot mata si Nyo Ko
penuh rasa duka, gemas dan penasaran, tubuhnya juga gemetaran se-akan2 segenap
siksa derita yang pernah dialami nya hendak dilampiaskannya sekarang juga.
Siao-liong-li tidak tega melihat kepedihan hati anak muda
itu dan kuatir dia bertindak nekad, cepat ia menghiburnya: "Ko-ji, agaknya
sudah suratan nasib kita harus begini, janganlah kau salahkan, orang lain dan
bersedih."
Lebih dulu ia mencabut jarum di paha anak muda itu, lalu
mencabut jarum yang menancap di bahu sendiri, jarum berbisa itu berasal dari
perguruannya dan berbeda daripada racun pukulan berbisa ajaran Auyang Hong,
jadi dapat disembuhkan dengan obat perguruan yang selalu dibawanya. Segera ia
mengeluarkan satu biji obat kepada Nyo Ko, lalu ia sendiripun minum satu biji.
Hati Nyo Ko tak terperikan pedih dari gemas-nya,
"berrrr", ia menyemburkan obat penawar itu ke tanah.
Kwe Hu jadi gusar, serunya: "Aduh, besar amat
lagakmu!,Memangnya aku sengaja hendak membikin celaka kalian? Kan sudah kuminta
maaf pada-mu, mengapa kau masih marah2 saja?"
Dari air muka Nyo Ko yang penuh rasa duka nestapa, lalu
rasa gusarnya semakin memuncak serta menjemput kembali pedangnya yang
ke-hitam2an itu, Bu Sam-thong tabu gelagat bisa runyam, maka cepat ia menghibur
anak muda itu: "Janganlah marah adik Nyo, soalnya kami berlima terkurung
oleh iblis she Li itu di kamar batu sana dan dengan susah payah akhirnya
berhasil lolos, karena kecerobohan nona Kwe sehingga dia..."
"Mengapa kau anggap aku yang ceroboh?" sela Kwe
Hu mendadak, "Salah siapa dia sembunyi di situ dan diam saja, malahan kau
sendiripun mengira dia Li Bok chiu:"
Bu Sam-thong menjadi serba salah, ia pandang NyoKo dan
pandang pula Kwe Hu dengan bingung.
Siao liong-li lantas mengeluarkan pula satu butir
obatnya, katanya dengan suara lembut: "Ko-ji, minumlah obat ini. Masakah
perkataanku juga tak-kan kau turut?"
Tanpa pikir Nyo Ko lantas minum obat itui Suara
Siao-liong-Ii yang lembut dan penuh kasih sayang itu mengingatkannya selama
ber-hari2 ini mereka berdua senantiasa bergulat antara mati dan hidup, tapi
akhirnya semua harapannya telah buyar, sungguh sedihnya tak terkatakan, ia
tidak tahan lagi, ia mendekap di atas peti batu itu dan menangis keras2.
Bu Sam-thong dan lain2 saling pandang dengan bingung,-
biasanya hati Nyo Ko sangat terbukaj menghadapi urusan apapun tidak mudah
menyerah, mengapa sekarang cuma terkena sebuah jarum saja lantas menangis sedih
begitu?
Dengan pelahan Siao-"iong-li membelai rambut Nyo Ko,
katanya: "Ko-ji, boleh kau suruh mereka itu pergi saja, aku tidak akan
kumpul bersama mereka."
Selamanya Siao-liong~li tidak pernah bicara keras,
kalimat "aku tidak suka berkumpul bersama mereka" sudah cukup
menunjukkan rasa jemu dan marahnya, Segera Nyo Ko berbangkit dimulai dari Kwe
Hu, sorot matanya terus menyapu setiap orang itu, biarpun marah dan gemas, tapi
iapun tahu bahwa serangan Kwe Hu tadi sesungguhnya tidaklah sengaja, kecuali
ceroboh, rasanya tiada kesalahan lain, apalagi seumpama nona itu dibunuh juga
tak-dapat lagi menyelamatkan jiwa Siao-liong-li.
Begitulah Nya Ko berdiri dengan sinar mata berapi dan
menghunus pedang, mendadak pedangnya membacok sekuatnya, "trang",
tahu2 peti batu yang dibuatnya sembunyi tadi telah ditabasnya menjadi dua
potong, bukan saja tenaganya maha kuat bacokannya itu, bahkan mengandung penuh
rasa duka dan marah,
Yalu Ce dan lain-2 sama melenggong melihat betapa dahsyatnya
pedang Nyo Ko itu, Padahal peti batu itu tebal dan kuat, tapi sekali bacok saja
pedang ke-hitam2an itu ternyata mampu memotongnya, bahkan jauh lebih mudah
memotong sebuah peti mati kayu.
Melihat kelima orang itu saling pandang dengan bingung
Nyo Ko lantas membentak dengan bengis.
"Untuk apa kalian datang ke sini?"
"Adik Nyo, kami ikut Kwe-hujin ke sini untuk mencari
kau," jawab Sam-thong
"Hm, kalian ingin merebut kembali puterinya betul
tidak?" bentak Nyo Ko pula dengan gusar. "Demi anak kecil ini, kalian
tega menewaskan isteri kesayanganku."
"lsteri kesayanganmu?" Sam-thong menegas,
"O ya, nona Liong ini! Dia terkena racun jarunr untung Kwe hujin mempunyai
obat penawarnya, beliau sedang menunggu diluar sana."
"Huh, kalau ada Kwe-hujin lantas bisa apa? Memangnya
dia mempunyai kepandaian menghidupkan orang yang jelas pasti akan mati?"
jengek Nyo Ko dengan gusar.
"Justeru gangguan kedatangan kalian serta jarum
berbisa tadi, kadar racun sudah mengeram di segenap Hiat-to penting
tubuhnya,"
Lantaran utang budi, maka Bu Sam-thong sangat hormat dan
segan kepada Nyo Ko, biarpun didamperat juga diterimanya, ia menggumam kaget:
"Kadar racun telah mengeram di tubuhnya? Wah lantas bagaimana
baiknya?"
Ternyata Kwe Hu tidak menyadari kesalahannya. sebaliknya ia
menjadi marah karena ucapan Nyo Ko tadi kurang menghormat pada ibunya, dengan
gusar ia lantas membentak: "Memangnya salah apa ibuku padamu? Waktu kecil
kau terluntang Iantung seperti orang gelandangan, bukankah ibu yang membawa kau
ke rumah, diberi makan dan diberi baju, tapi kau justeru lupa budi dan tak tahu
diri, malah mau menculik adik perempuanku."
Padahal sekarang iapun tahu jelas sebabnya Kwe Yang
berada di tangan Nyo Ko bukanlah karena anak muda itu bermaksud jahat, soalnya
dia telah telanjur mengomel maka segala apa yang dapat mencemoohkan Nyo Ko
lantas diucapkannya.
Nyo Ko lantas mendengus pula: "Hm, memang aku
sengata lupa budi dan tidak tahu diri, kau menuduh kuculik adikmu, maka benar2
akan kuculik anak ini dan takkan kukembalikan selamanya, ingin kulihat kau
dapat mengapakan diriku?"
Karena ancaman itu, segera Kwe Hu memondong adiknya
dengan kencang, tangan lain memegang obor dan diacungkan ke depan, Bu Sam-thong
berseru: "Adik Nyo, jika isterimu keracunan, sebaiknya lekas berusaha
menolongnya "
"Tak berguna lagi, Bu-heng." kata Nyo Ko dengan
pedih, mendadak ia bersuit panjang," lengan baju kanannya terus mengebas.
Seketika Kwe Hu dan kedua saudara Bu mera-sakan angin
keras menyamber, muka mereka panas^ pedas seperti tcrsayat, lima buah obor
padam serentak dan keadaan menjadi gelap gulita.
"Celaka!" jerit Kwe Hu. Kuatir nona itu
dicelakai Nyo Ko, cepat Yelu Ce menubruk maju, Tapi lantas terdengar pekik
tangis Kwe Yang, suaranya sudah berada di luar kamar sana.
Keruan semua orang terkejut, ketika mereka menyadari apa
yang terjadi, tahu2 suara tangisan tadi sudah berada sejauh ratusan meter,
betapa cepat gerakan Nyo Ko itu sungguh laksana hantu saja.
"Adik telah dirampas lagi olehnya," seru Kwe Hu
cemas.
"Adik Nyo! Nona Liong!" ber-ulang2 Bu Sam,
thong memanggil Akan tetapi tiada sesuatu jawaban.
"Lekas keluar, jangan sampai kita terkurung di
sini," seru Yalu Ce.
Dengan gusar Bu Sam-thong berkata: "Adik Nyo adalah
orang berbudi, manabisa dia berbuat demikian,"
"Lebih baik lekas keluar, buat apa tinggal di
sini?" ujar Kwe Hu. Baru habis ucapannya, tiba2 terdengar suara
"kxek-krek" beberapa kali, suara itu timbul dari peti mati itu. cuma
teraling oleh tutup peti sehingga suaranya kedengaran agak tersumbat dan seram.
"Ada setan!" teriak Kwe Hu sambil memegangi
tangan Yalu Ce.
Dengan jelas Bu Sam-thong dan lain2 juga mendengar suara
itu keluar dari peti mati itu seakan2 ada mayat hidup akan merangkak keluar,
keruan mereka sama merinding.
Yalu Ce berbisik pada Bu Sam-thong: "Bu-siok-siok,
kau jaga di situ dan aku di sini, jika mayat hidup itu keluar, serentak kita
menghantam-nya, mustahil dia takkan hancur luluh."
Berbareng itu ia tarik Kwe Hu ke belakangnya agar tidak
dicelakai setan yang mendadak muncul.
Pada saat itulah, "blang", terdengar suara
keras, dari dalam peti mati mendadak melayang keluar sesuatu, serentak Yalu Ce
dan Bu Sam-thong memukulkan tangan2 mereka, Tapi begitu tangan menyentuh benda
itu, berbareng mereka berseru: "Celaka!" - Kiranya benda yang kena
hantam itu adalah sepotong batu, yaitu bantalan batu didalam peti mati itu.
Kontan bantal batu itu hancur membentur peti batu, hampir
pada saat yang sama sesuatu benda melayang lewat puIa, baru saja Yalu Ce dan Bu
Sam-thong hendak memukuI, namun benda itu sudah melayang jauh ke sana,
terdengar suara tertawa orang mengekek, lalu lenyap dan sunyi kembali.
"He, Li Bok-chiu." seru Sam-thong kaget.
"Bukan, tapi mayat hidup!" ujar Kwe Hu.
"Mana bisa Li Bok-chiu berada di dalam peti mati
ini.".
Yalu Ce tidak ikut menanggapi, ia tidak percaya di dunia
ini ada setan segala, tapi bilang Li Bok-chiu rasanya juga tidak masuk diakal
Jelas Li Bok-chiu datang bersama mereka, sedangkan Nyo Ko dan Siao-liong-li
sudah tinggal sekian lama di kuburan kuno ini, mana bisa terjadi Li Bok-chiu
sembunyi di dalam peti mati yang terletak di bawah tempat sembunyi Nyo Ko tadi?
"Habis ke mana perginya Li Bok-chiu?" tanya Bu
Sam-thong.
"Banyak keanehan di dalam kuburan ini sebaiknya
lekas kita keluar saja," ajak Yalu Ce.
"Bagaimana dengan adikku?" tanya Kwe Hu.
"lbumu banyak tipu dayanya tentu dia mempunyai akal
yang baik, marilah kita keluar ke sana dan minta petunjuknya," ujar
Sam-thong.
Begitulah mereka lantas mencari jalan keluar dengan
melalui sungai itu. Tapi baru saja mereka muncul di permukaan air, pemandangan
yang mereka lihat adalah merah membara, pepohonan di kanan kiri sungai ternyata
sudah terbakar semua, hawa panas serasa membakar muka mereka.
"lbu, ibu!" teriak Kwe Hu kuatir, tapi tidak
mendapatkan jawaban,
Se-konyong2 sebatang pohon yang sudah terbakar roboh dan
mengeluarkan suara gemuruh, Melihat keadaan sangat berbahaya, cepat Yalu Ce
menarik Kwe Hu dan berenang ke hulu menjauhi tempat pohon roboh itu.
Tatkala itu adalah musim kerirrg, pepohonan dan
rerumputan mudah terbakar, di-mana2 api me-ngamuk, seluruh gunung sudah menjadi
lautan api, Meski mereka terendam di dalam air sungai, muka merekapun terasa
panas tergarang oleh api yang berkobar dengan hebat itu.
"Pasti pasukan Mongol yang gagal menyerang
Tiong-yang-kiong itu yang melampiaskan dendam dengan membakar Cong-lam-san
ini." kata Bu Sam thong.
"lbu, ibu! Di mana kau?" teriak Kwe Hu pula
kuatir.
Tiba2 di kiri sungai sana ada bayangan seorang perempuan
sedang ber lompat2 kian kemari menghindari api. Kwe Hu menjadi girang dan
berseru: "lbu!" Tanpa pikir ia terus melompat keluar dari sungai dan
memburu ke sana.
"He, awas!" seru Sam-thong. Mendadak dua pohon
besar roboh pula dan mengalingi pemandangan Bu Sam-thong.
Kwe Hu terus berlari ke sana, di bawah gumpalan asap dan
menerjang api. Karena ingin menemukan ibunya, maka tanpa pikir ia memburu maju,
sesudah dekat barulah ia merasa bayangan orang itu menoleh dan ternyata Li
Bok-chiu adanya. Keruan kejut Kwe Hu tak terkatakan.
Sebenarnya Li Bok-chiu benar2 sudah putus asa setelah
tertutup di dalam peti batu itu dan di-tindih lagi peti lainnya oleh Nyo Ko.
Tapi kemudian dalam gusarnya tanpa sengaja Nyo Ko telan membacok peti batu yang
menindihnya itu hingga tutup peti bagian bawah juga ikut retak terbacok. Li Bok
chiu benar2 lolos dari renggutan maut, kesempatan itu tidak di-sia2kan olehnya,
lebih dulu ia melemparkan keluar bantal batu, habis itu iapun melompat keluar
Meski belum lama ia terkurung di dalam peti mati itu,
tapi rasanya orang akan mati sesak napas itu benar2 keadaan yang paling
menderita dan paling mengenaskan dalam waktu yang singkat itu pikirannya
diliputi penuh rasa dendam, ia benci kepada setiap manusia yang hidup di dunia
ini, pikirnya: "Setelah mati aku pasti menjadi hantu yang jahat, akan kubinasakan
Nyo Ko, bunuh Siao~liong-li, Bu Sam-thong, Ui, Yong dan lain2..."
Begitulah setiap orang akan dibunuhnya untuk membalas
sakit hatinya. Meski kemudian dia berhasil lolos dengan selamat meski secara
kebetulan, tapi rasa dendam dan bencinya tidak menjadi ber-kurang.
Kini mendadak Kwe Hu muncul sendiri di-badapannya, ia
menjadi girang dengan tersenyum ia menegurnya- "Eh kiranya kau, nona Kwe!
Api berkobar dengan hebatnya, kau harus hati2."
Kwe Hu tidak menyangka orang akan bersikap begini ramah
padanya-, segera ia bertanya: "Apakah engkau melihat ibuku?"
Waktu Kwe Hu memandang ke arah yang di tunjuk, mendadak
Li Bck-chiu menubruk tiba, sekali tangannya bekerja, Hiat-to di pinggang Kwe Hu
sudah tertutuk olehnya, dengan tertawa Li Bok-chiu berkata: "Sabarlah, kau
tunggu saja di sini, segera ibumu akan datang."
Sementara itu api berkobar semakin hebat dan mendesak
dari berbagai jurusan, kalau lebih lama di situ mungkin jiwa sendiripun akan
melayang, Karena itulah Li Bok-chiu lantas melompat ke sana dan berlari cepat
ke arah yang belum terjilat api.
Kwe Hu tergeletak tak bisa berkutik menyaksikan kepergian
Li Bok-chiu. Mendadak segumpal asap menyamber tiba, napasnya menjadi sesak, ia
ter-batuk2 hebat.
Bu Sam-thong dan Yalu Ce berempat masih berdiri di tengah
sungai, muka dan kepala mereka penuh hangus, antara Kwe Hu dan sungai kecil itu
telah teraling oleh api yang berkobar dengan hebatnya.
Meski mereka mengetahui si nona berada dalam bahaya, tapi
jiwa mereka pasti akan ikut melayang kalau mereka memburu maju untuk
menoIongnya.
Dalam keadaan sesak napas dan rasa panas seperti
dipanggang, Kwe Hu hampir2 tak sadarkan diri Iagi. Pada saat itulah tiba2 dari
jurusan timur sana ada suara men-deru2, waktu ia berpaling, dilihatnya sesosok
bayangan seperti angin lesus saja ber-gulung2 menyamber tiba.
Waktu Kwe Hu mengawasi, kiranya bayangan itu adalah Nyo
Ko. Pemuda itu telah menanggalkan jubahnya yang basah kuyup untuk membungkus
Hiat-tiat-po-kiam, dengan tenaga dalam yang kuat ia ayun2kan pedang itu untuk
menyingkirkan kobaran api.
Tadinya Kwe Hu bergirang karena ada orang datang
menolongnya, tapi setelah mengetahui orang itu adalah Nyo Ko, seketika
perasaannya seperti di-siram air dingin meski di luar tubuh panas seperti
dipanggang, Pikirnya: "Sudah dekat ajalku toh dia sengaja datang buat
menghina diriku."
Betapa pun dia adalah anak Kwe Cing, dengan gemas ia
melototi Nyo Ko tanpa gentar,
Tak terduga, bagitu sampai di samping Kwe Hu, segera Nyo
Ko membuka Hiat-to si nona ydog tertutuk itu, pedangnya terus menusuk, tapi
bukan menembus tubuhnya melainkan menerobos lewat di pinggangnya, sekali
bentak: "Awas!" Tangan kirinya terus mengayun sekuatnya ke sana,
bobot pedang pusaka yang amat berat itu ditambah tenaga dalamnya yang maha
kuat, seketika Kwe Hu melayang ke udara seperti terbang di awang2 dan melintasi
belasan pohon besar yang terbakar, "plung", akhirnya ia jatuh ke
dalam sungai.
Lekas2 Yaiu Ce memburu maju untuk membangunkan Kwe Hu,
tapi nona itu masih kepala pening dan mata ber-kunang2, ia serba runyam, entah
senang entah sedih.
Kiranya setelah Nyo Ko dan Siao-liong-li keluar dari
kuburan kuno itu dengan membawa Kwe Yang, terlihat pasukan Mongol sedang
membakar hutan di lereng Cong-lam-san itu. Sudah ber-tahun2 mereka hidup
disekitar hutan yang rindang itu, mereka menjadi menyesal dan merasa sayang
menyaksikan kebakaran hebat itu, tapi pasukan Mongol terlalu kuat dan sukar
dilawan, terpaksa mereka tidak dapat berbuat sesuatu.
Nyo Ko tidak tahu Siao-liong-li sanggup bertahan berapa
lama setelah racun bersarang dalam segenap Hiat-to penting, segera ia mencari
suatu gua-yang jauh dari tetumbuhan untuk bersembunyi sementara, dari jauh
mereka menyaksikan Kwe Hu dirobohkan Li Bok-chiu dan tampaknya segera akan
terbakar mati. Dengan gegetun Nyo Ko berkata kepada Siao-Iiong-li:
"Liong-ji, nona itu telah membikin sengsara padaku dan mencelakai kau
pula, akhirnya dia mendapatkan ganjarannya yang setimpal seperti sekarang
ini."
Dengan heran Siao-liong-li memandang Nyo Ko dengan sorot
matanya yang tajam: "Ko-ji, masakah kau tak pergi menolongnya?"
"Dia telah membikin susah hingga begini, kalau tidak
kubunuh dia sudah cukup baginya." ujar Nyo Ko dengan gemas.
"Ah, kita sendiri tidak beruntung, semua itu
disebabkan suratan nasib, biarkan orang lain gembira dan bahagia, kan lebih
baik begitu?" ujar Siao-liong-li.
Walaupun di mulutnya Nyo Ko berkata begitu, tapi dalam
hati merasa tidak tega ketika menyaksikan api sudah menjalar sampai di dekat
Kwe Hu, Akhirnya ia berkata dengan pedih: "Baiklah, nasib kita yang buruk,
nasib orang lain yang beruntung!"
Segera ia membungkus pedang pusakanya dengan jubah
sendiri yang basah itu dan setelah melemparkan Kwe Hu ke sungai, dia berlari
kembali ke dekat Siao liong-li dengan baju dan rambut hangus, celananya juga
terbakar sebagian, malahan pahanya telah timbul gelembung2 air akibat terbakar.
Siao-Iiong-li membawa Kwe Yang mundur ke tempat yang
lebih jauh dari hawa panas, lalu ia membelai rambut Nyo Ko serta membetulkan
pakaiannya, tidak kepalang rasa bangganya mendapatkan seorang suami ksatria dan
gagah perkasa demikian ini, ia bersandar pada tubuh Nyo Ko dengan perasaan yang
gembira dan bahagia.
Nyo Ko merangkul pinggang Siao-liong li dan memandangi
dengan terkesima, si nona yang tersorot cahaya api itu bertambah molek, sesaat
itu mereka sama sekali melupakan segala duka derita di dunia ini.
Mereka berdua berada di tempat lebih tinggi, Bu
Sam-thong, Kwe Hu dan Yaiu Ce berlima yang berada di sungai itu memandang dari
balik api yang ber-kobar2, tertampak pakaian kedua suami isteri itu berkibar2
tertiup angin, sikapnya agung berwibawa laksana malaikat dewata. Biasanya Kwe
Hu suka memandang hina si Nyo Ko, tapi sekarang ia menjadi malu diri.
Sejenak Nyo Ko berdua berdiri, sambil memandangi api yang
mengamuk itu, Siao-Iiong-li berkata dengan gegetun: "Setelah terbakar
habis bersih, kelak kalau pepohonan tumbuh lagi di sini, entah bagaimana
wujudnya nanti?"
"Api yang dibakar pasukan Mongol ini mungkin
merupakan pesta bagi pernikahan kita," ujar Nyo Ko dengan tertawa,
"Mari!ah kita mengaso saja ke gua sebelah sana."
Siao-liong-li mengiakan Keduanya lantas ber-jalan ke
balik gunung sana. Tiba2 Bu Sam-tisong ingat sesuatu, cepat ia berteriak:
"Adik Nyo Susiok dan Cu-sute terkurung di Coat-ceng-kok, engkau mau
menolong mereka tidak?"
Nyo Ko rada melengak, ia menggumam sendiri: "Peduli
amat urusan orang lain." Sambii berkata begitu ia terus melangkah ke sana.
Meski racun mengeram hebat dalam tubuhnya, namun
sementara ini belum bekerja, sebaliknya ilmu silatnya mulai pulih karena
Hiat-to yang tadinya terganggu itu telah berhasil diterobos semuanya, Dengan
memondong Kwe Yang ia dapat melangkah cepat ke depan.
Lebih satu jam mereka berjalan dan makin jauh
meninggalkan Tiong-yang-kiong, dipandang dari jauh api masih berkobar di
pegunungan itu.
Angin utara meniup semakin kencang sehingga muka si Kwe
Yang cilik kedinginan ke-merah2an. "Marilah kita mencari sesuatu makanan,
anak ini kedinginan dan lapar pula, mungkin tidak tahan" kata
Siao-liong-Ii.
"Ya, aku ini sungguh tolol, entah untuk apa kurebut
anak ini, hanya menambah beban saja," ujar Nyo Ko.
Siao-liong-li mencium muka Kwe Yang yang memerah apel
itu, katanya: "Adik cilik ini sangat menyenangkan, apakah kau tidak suka
padanya?"
"Anak orang lain, tetap anak orang Iain, paling baik
kalau kita dapat melahirkan anak sendiri," kata Nyo Ko dengan tertawa.
Wajah Siao-liong-li menjadi merah, ucapan Nyo Ko ini
menyentuh sifat keibuan lubuk hatinya, pikirnya: "Ya, alangkah baiknya
kalau kudapat melahirkan anak bagimu, akan tetapi ai...."
Kuatir si nona berduka, Nyo Ko tak berani mengadu
pandang, ia menengadah memandangi langit tertampak awan tebal menggumpal
bergeser dan sebelah barat-laut, begitu tebal dan luas gumpalan awan itu
se~akan2 jatuh menimpa kepala saja, katanya: "Melihat gelagatnya, mungkin
segera akan turun salju, kita perlu mencari rumah penduduk untuk mondok."
Tapj arah yang mereka tempuh adalah lereng pegunungan
yang sunyi, di mana2 hanya batu padat dan semak belukar belaka, mana ada rumah
penduduk segala.
"Wah, tampaknya salju yang turun nanti pasti sangat
lebat, agar jalan kita tidak tertutup, sebaiknya kita harus memburu waktu dan
turun gunung sekarang juga," kata Nyo Ko sambil mempercepat langkahnya.
"Paman Bu dan nona Kwe mereka akan ke-pergok pasukan
Mongol tidak? Para Tosu Coan-cin-kau itu entah dapat lolos dengan selamat
tidak?" Demikian Siao liong-li berucap dengan nada yang simpatik.
"Kau benar2 mempunyai Liangsim (hati nurani), orang2
itu berbuat jahat padamu, tapi kau tetapi tidak melupakan keselamatan mereka,
pantas dahulu kakek guru mengharuskan kau berlatih ilmu yang bebas dari segala
cinta rasa, urusan apapun tidak peduli dan tidak ambil pusing, akan tetapi
karena kau menaruh perhatian padaku, hasil latihanmu selama 20-an tahun telah
hanyut seluruhnya dan mulailah kau menaruh perhatian terhadap siapapun"
Siao-liong-li tersenyum, katanya: "Sesungguhnya,
pahit getir penderitaanku bagimu juga mendatangkan rasa mnais, yang kukuatirkan
adalah kau tidak mau terima perhatianku kepadamu."
"Ya, merasakan pahit dan manis jauh lebih baik
daripada tidak merasakan apa2!" kata Nyo Ko.
"Aku sendiri hanya suka ugal2an dan angin2an, tidak
pernah hidup tenang dan aman tenteram."
"Bukankah kau mengatakan kita akan pergi ke selatan,
di sana kita akan bercocok tanam dan beternak?" tanya si nona dengan
tersenyum.
"Benar, semoga terkabul harapan kita," ujar Nyo
Ko dengan menghela napas.
Sampai di sini, tertampaklah kapas tipis mulai
beterbangan dari udara, bunga salju sudah mulai turun. Dengan Lwekang mereka
yang tinggi, dengan sendirinya hawa dingin itu tidak menjadi soal bagi mereka,
segera mereka melangkah dengan cepat.
"Eh, Ko-ji, coba kau terka ke mana perginya Suciku
sekarang?"
"Kembali kau memperhatikan dia lagi, Akhirnya
Giok-li-sim-keng dibawa lari olehnya dan terkabul cita2nya. Kuatirnya kalau isi
kitab itu berhasil diyakinkan dan ilmu silatnya maju pesat, bisa jadi
kejahatannya juga akan bertambah hebat."
"Sebenarnya Suci juga harus dikasihani," ujar
Siao-liong-li.
"Tapi dia sendiri tidak rela dan ingin membikin
setiap orang di dunia ini juga berduka dan merana seperti dia, "kata Nyo
Ko.
Tengah bicara, cuaca semakin gelap. Setelah membelok ke
lereng sana, tiba2 terlibat di antara dua pohon Siong tua terdapat dua buah
rumah gubuk, atap rumah itu sudah tertimbun salju setebal jari manusia,
"Aha, di sinilah kita lewatkan malam ini," seru Nyo Ko kegirangan.
Setiba di depan gubuk2 itu, terlihat daun pintunya
setengah tertutup tanah salju di situ tiada tanda2 bekas kaki, ia coba berseru:
"Permisi! Karena hujan salju, kami mohon mondok semalam saja."
Tapi sampai sekian lama ternyata tiada suara jawaban,
Nyo Ko lantas mendorong pintu di dalam rumah, tiada
seorangpun. Di atas meja kursi penuh debu, agaknya sudah lama tiada
penghuninya, segera ia memanggil Siao liong li masuk, setelah menutup pintu,
mereka lantas membuat api unggun.
"Dinding papan rumah itu tergantung busur dan anak
panah, di pojok rumah sana ada sebuah alat perangkap kelinci, Tampaknya rumah
ini adalah pondok darurat kaum pemburu.
Dengan busur dan anak panah itu Nyo Ko keluar berburu dan
mendapatkan buruan, maka mulailah mereka berpesta rusa panggang.
Sementara itu salju turun semakin lebat, namun hawa dalam
rumah cukup hangat oleh api unggun. Siao liong li mengunyah sedikit daging rusa
dan dan menyuapi si Kwe yang cilik, dengan menikmati daging rusa panggang itu,
Nyo Ko memandangi mereka berdua dengan tersenyum simpuI, suasana hangat dan
mesra laksana pengantin baru yang sedang bertamasya.
Se-konyong2 dari arah timur tanah salju itu berkumandang
suara tindakan orang yang cepat, jelas itulah ginkang orang yang mahir ilmu
silat. Nyo Ko berdiri dan melongok ke sana melalui jendela, dilihatnya dua
kakek mendatang ke arah gubuk ini, seorang gemuk dan yang lain kurus, pakaian
mereka rombeng, kakek kurus menyanggul sebuah HioIo-(buli2 dari sejenis labu
besar) besar warna merah.
Hati Nyo Ko tergetar, teringat olehnya bahwa benda itu
adalah milik Ang Jit-kong.
Dahulu Ang Jit-kong, itu ketua Kaypang yang berjuluk
pengemis sakti berjari sembilan, bertempur mati2an dengan Auyang Hong di puncak
tertinggi Thian san, akhirnya kedua orang sama2 kehabisan tenaga dan gugur
bersama.
Nyo Ko yang mengubur kedua orang tua itu dan Holo besar
merah itupun ditanam di samping jasad Ang Jit-kong. Kemudian dalam pertemuan
besar para ksatria, seorang pengemis tua pernah membawa Holo merah itu sebagai
tanda perintah Ang Jit-kong, katanya sang ketua itu belum meninggal, bahkan
menganjurkan kaum jembel berbangkit membela tanah air dan mengusir musuh.
Tatkala mana Nyo Ko sangat heran darimana munculnya Holo
merah itu? Tapi dalam pertemuan besar itu banyak terjadi persoalan sehingga
tidak sempat mengusut urusan itu, kemudian juga tidak bertemu lagi dengan orang
Kaypang, maka urusan itupun sudah terlupa, sekarang dandanan kedua kakek ini
jelas juga anggota Kaypang.
Nyo Ko jadi tertarik demi ingat kejadian dahulu itu,
segera ia membisiki Siao-Iiong li: "Di luar ada orang, kau rebah saja di
pembaringan dan pura2 sedang sakit?"
Siao-liong-li menurut, ia pondong Kwe Yang dan berbaring
di atas ranjang, ditariknya selimut butut yang terletak di ujung tempat tidur
itu.
Nyo Ko lantas xnemolesi mukanya dengan hangus, topinya
ditariknya hingga hampir menutupi mukanya, pedang pusaka juga disembunyikan.
Dalam pada itu kedua orang tadi sudah mengetok pintu. Cepat Nyo Ko meng-gosok2
tangannya yang berlepotan minyak daging rusa yang baru dimakannya itu sehingga
lebih mirip seorang pemburu yang kotor, habis itu pintu lantas dibukanya.
Dengan tertawa si kakek gemuk lantas berkata: "Hujan
salju ini sangat hebat dan sukar meneruskan perjalanan, mohon kemurahan hati
tuan sudi menerima pengemis untuk mondok semalam."
"Ah, pemburu macamku tidak perlu dipanggil tuan
segala, silakan Lotiang (bapak) masuk dan bermalam di sini," jawab Nyo Ko.
Ber-ulang2 pengemis gemuk itu mengucapkan terima kasih,
Segera Nyo Ko lantas mengenali juga si pengemis kurus itu, jelas dia orang yang
pernah menyampaikan perintah Ang Jit-kong dahulu dengan membawa Holo besar
merah, diam2 ia menjadi kuatir kalau2 dirinya akan dikenali pengemis kurus itu,
cepat ia merobek dua potong daging panggang dan diberikan kepada kedua orang
itu, katanya:
"Mumpung masih hangat2, silakan makan seadanya,
hujan salju begini kebetulan bagiku untuk menambah penghasilan. Besok pagi2
harus kupergi memasang perangkap untuk menangkap rase, maafkan aku tidak temani
kalian lebih lama,"
"Oh, jangan sungkan2, silakan saja," jawab si
pengemis gemuk tadi.
Segera Nyo Ko sengaja berseru dengan suara keras:
"He, ibunya bocah, apakah batukmu sudah baikan?"
"Wah, pergantian musim menambah dadaku makin sesak
saja," jawab Siao-liong-li sambil batuk lebih keras, berbareng ia sengaja
menggoyangi si Kwe Yang sehingga anak itu terjjaga bangun, maka di antara suara
batuk lantas terseling suara tangisan anak bayi, sandiwara keluarga pemburu
benar2 dimainkan mereka dengan sangat hidup.