"Orang goblok, lekas
kau enyah dari sini!" damperat Nyo Ko sambil melancarkan pula beberapa
kali tusukan sehingga Be Kong-co kelabakan berusaha mengelak dan terpaksa
melompat mundur sehingga cukup jauh dari kalangan pertempuran Kwe Cing berempat.
Setelah mendesak lagi
beberapa langkah, kemudian Nyo Ko membisiki Be Kong-co dengan suara tertahan:
"Be-toako, jiwamu sudah kuselamatkan, kau tahu tidak?"
"Apa katamu?"
tanya Be Kong-co dengan bingung.
"Ssst, jangan keras2,
nanti didengar mereka," desis Nyo Ko.
"Ada apa?"
kembali Be Kong-co menegas dengan mata terbelaIak. "Apa yang mesti
kutakuti terhadap Hwesio gede piaraan biang anjing itu?" - suaranyatetap
keras, bahaya adalah bicara biasa,namun bagi orang lain sudah serupa orang
berteriak.
"Baiklah, kalau begitu
kau jangan bicara lagi, turut saja perkataanku," kata Nyo Ko.
Penurut juga Be Kong-co,
ia mengangguk dan tidak bersuara pula.
Nyo Ko lantas berkata
padanya: "Kwe Cing bisa ilmu sihir, begitu dia membaca mantera segera
kepala lawan dapat dipenggalnya. Maka lebih baik kau berdiri sejauhnya dari
dia.
Mata Be Kong-co terbelalak
lebar, setengah percaya dan setengah tidak.
Karena ingin menolong jiwa
si dogol, Nyo-Ko tahu jalan paling baik adalah mengibulinya, kalau dikatakan
ilmu silat Kwe Cing sangat hebat tentu dia tidak mau menyerah kalah, tapi kalau
bilang Kwe Cing mahir ilmu sihir, besar kemungkinan si dogol mau percaya.
Karena itu, untuk lebih
meyakinkan kepercayaan Be Kong-co, Nyo-Ko berkata pula: "Tadi kau
mengemplangnya dengan toyamu, toyamu tidak membentur apa2 terus terpental balik
malah, kan aneh bukan? saudagar Persi itu sangat tinggi ilmu silatnya, mengapa
sekali gebrak juga dilukainya?"
Be Kong-co mau percaya
ucapan Nyo Ko ini, ia manggut2, lalu memandang Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan
Iain2 deogan agak ragu.
Nyo Ko tahu apa yang
sedang dipikirkan Be-Kong-co, segera ia menambahi pula. "Hwesio gede itu
punya jimat dan telah diberikan kepada mayat hidup serta setan cebol itu,
mereka membawa jimat, dengan sendirinya tidak gentar terhadap ilmu sihir
lawannya. Apa Hwesio gede itu tidak memberi jimatnya padamu?"
Dengan gemas Be Kong-co
menjawab "Tidak!"
"Ya, bangsat gundul
itu memang tidak dapat diajak bersahabat, ia juga tidak memberi jimatnya
padaku, biarlah nanti kita bikin perhitungan dengan dia," kata Nyo Ko.
"Benar!" seru Be
Kong-co, "Lantas bagaimana sekarang?"
"Kita menonton saja,
makin jauh makin baik," ujar Nyo Ko.
"Kau memang orang
baik, adik Nyo," kata Be Kong-co. "Syukur kau mau memberitahukan
padaku."
Segera ia seret toyanya
dan mundur lebih jauh untuk mengikuti pertarungan Kwe Cing berempat itu.
Sementara itu Kwe Cing
sedang mengeluarkan ilmu silat yang terkenal:
"Hang-liong-cap-pek-ciang" (delapan belas jurus penakluk naga), meski
tinggi juga ilmu silat Hoat-ong bertiga, tapi biasanya mereka tinggal terpencil
di daerah yang jarang bergaul dengan orang luar, pengalaman dan pengetahuan
mereka terbatas, dibandingkan In Kik-si jelas pengetahuan mereka boleh
dikatakan teramat dangkal.
Melihat ilmu pukulan yang
dahsyat itu, mereka bertiga sama sekali tidak kenal asal-usulnya, mereka hanya
mengepung Kwe Cing di tengah, mereka pikir asalkan mereka mengepung sekuatnya,
tentu lawan takkan tahan lama mengerahkan tenaga pukulan sehebat itu.
Pendapat mereka memang
masuk diakal, umumnya angin badai tak pernah berlangsung sepanjang hari, hujan
keras juga jarang semalam suntuk, semakin keras tenaga yang dikeluarkan semakin
sukar pula berlangsung lama.
Tak tahunya selama 20-an
tahun Kwe Ong giat berlatih "Kiu-im-cin-keng?" itu kitab pusaka kunci
saripati ilmu silat yang tak terkatakan hebatnya, semula tenaga yang
dikeluarkannya tidak begitu menonjol, tapi setelah belasan jurus, tahu- tenaga
pukulan Hang-liong-cap-pek-ciang bisa ber-ubah kadang2 kuat, tiba2 menjadi
enteng lagi, mendadak membadai, tahu2 mereda lagi, dari maha kuat bisa berubah
menjadi maha lunak, inilah ilmu sakti yang belum sempat dipahami oleh mendiang
Ang Chit-kong dahulu.
Nyata sedikitpun dia tidak
terdesak oleh ketiga lawannya yang amat tangguh itu, sebaliknya Kwe Cing malah
terus menyerang, makin bertempur makin leluasa.
Sungguh kejut dan kagum
Nyo Ko tak terhingga, Ketika di kuburan kuno dahulu pernah juga dia mempelajari
"Kiu-im-cin-keng", cuma tiada petunjuk dari orang lain sehingga tidak
diketahui kehebatan kitab pusaka yang begini luar biasa, ia coba mengikuti ilmu
pukulan Kwe Cing itu dan dicocokkan dengan kunci ilmu yang dipelajarinya dari
Kiu-im-cin-keng itu, seketika ia banyak mendapatkan teori baru yang sangat
bermanfaat dan diingatnya dengan baik2, seketika iapun lupa akan membunuh Kwe
Cing untuk menuntut balas sakit hatinya.
Ilmu silat antara Kim -
lun Hoat-ong dan Kwe Cing sebenarnya setingkat, meski Kwe Cing lebih banyak
mendapatkan penemuan aneh, tapi usia Hoat-ong lebih tua 20-an tahun, itu berarti
keuletannya lebih tua 20 tahun pula, kalau satu lawan satu sedikitnya ribuan
jurus baru dapat menentukan menang kalah.
Hoat-ong dibantu
Siau-siang-cu dan Nimo Singh, sebenarnya tidak ada baginya mengalahkan
lawannya, cuma Hang liong-cap-pek-ciang yang dimainkan Kwe Cing itu teramat
lihay, ditambah lagi langkah Pak~tau-tin ajaran Coan-cin-kau yang digunakan Kwe
Cing itu sukar diraba arahnya, seorang se-akan2 berubah menjadi tujuh orang,
selain itu pertama kali In Kik-si sudah dilukainya lebih dulu, hal ini telah
membikin jeri lawan pula, maka Hoat-ong bertiga menjadi tidak berani
sembarangan menyerang, dengan begitu Kwe Cing dapat bertahan dengan satu lawan
ketiga orang itu.
Setelah beberapa puluh
jurus lagi, lambat-laun roda emas Kim-lun Hoat-ong mulai memperlihatkan daya
tekanannya, ular besi Nimo Singh juga makin kencang menyerang, diam2 Kwe Cing
mengeluh kalau pertarungan berlangsung lebih lama dan tiba2 pihak lawan datang
lagi seorang pembantu, maka pasti dirinya tak sanggup bertahan lagi, sedangkan
Nyo Ko yang menempur si gede itu entah bagaimana keadaannya.
Maklumlah, terpaksa ia
harus memusatkan perhatian untuk melayani lawannya sehingga tidak sempat
mengikuti pertarungan Nyo, Ko melawan Be Kong co di sebelah sana itu.
Tiba2 terdengar suara suitan
aneh, kedua kaki Siau-siang-cu kaku menegak dan meloncat ke atas, dari udara
pentungnya terus menutuk. Cepat Kwe Cing mengegos ke samping, mendadak
pandangannya terasa gelap, dari ujung pentung orang tersembur keluar asap
hidup, seketika hidungnya mencium bau busuk amis, kepala menjadi rada pening
Kwe Cing mengeluh, ia tahu pentung lawan itu tersimpan barang racun, cepat ia
melangkah mundur.
Siau-siang-cu menjadi
heran sekali, sudah jelas Kwe Cing telah mengendus racun yang disemburkan dari
pentungnya, tapi tidak jatuh kelengar dan bahkan seperti tidak berhalangan
apa2, padahal biarpun singa harimau atau binatang buas apapun juga akan jatuh
pingsan jika tersembur oleh racun yang disemburkannya itu.
Segera ia meloncat lagi ke
atas, untuk kedua kalinya ia menutuknya pula dengan pentungnya yang berbisa
itu.
Dahulu waktu dia berlatih
ilmu "mayat hidup" di daerah pegunungan yang sunyi, kebetulan
dilihatnya seekor katak kecil sedang bertempur melawan seekor ular besar, katak
pura itu menyemburkan hawa berbisa dan merobohkan lawannya yang jauh lebih
besar itu.
Dari situlah Siau-siang-cu
mendapatkan ilham, ia menangkap katak puru dan diambil lendir berbisanya untuk
disembunyikan di dalam pentungnya.
Pangkal pentung ini ada
pesawat rahasianya, sekali ditekan dengan jari akan segera menyemburkan asap
berbisa, waktu menyemburkan asap berbisa itu Siau-siang-cu sengaja meloncat ke
atas supaya daya guna racun itu tambah keras.
Biasanya asap berbisa itu
tidak pernah meleset merobohkan musuh, siapa tahu tenaga dalam Kwe Cing
sedemikian kuatnya dan sanggup bertahan.
Kim-lun Hoat-ong dan Nimo
Singh meski bukan sasaran racun Siau-siang-cu itu, tapi merekapun ikut
mengendus racun dan terasa muak, cepat mereka melompat mundur, Siau-siang-cu
sendiri sudah memakai obat penawar sehingga tidak kuatir keracunan, ia angkat
pentungnya dan menubruk maju lagi.
Sebelum lawan menggunakan
racun pula, mendadak Kwe Cing menyambutnya dengan pukulan dahsyat ke dengkul
musuh. Terpaksa Siau-siang-cu tarik kembali pentungnya untuk menangkis,
walaupun begitu tidak urung tubuhnya tergentak mundur beberapa langkah oleh
tenaga pukulan Kwe Cing yang lihay itu.
Waktu Kwe Cing berpaling
ke sana, dilihatnya senjata ular Nimo Singh sedang menyambar tiba.
di siang hati bolong jelas
kelihatan ular besi lawan itu dapat mulur mengkeret, tampaknya juga ada sesuatu
yang aneh, jika mendadak membidikkan senjata rahasia, seketika sukar ditahan.
Cepat Kwe Cing mendahului menghantam ke dada musuh sebelum senjata ular lawan
itu mendekat.
Nimo Sing menyadari betapa
hebat tenaga pukulan Kwe Cing, lekas2 ia tarik kembali senjata ularnya, kedua
tangan memegangi kedua ujung senjata dan berusaha menangkis pukulan lawan. Akan
tetapi cara Kwe Cing menggunakan tenaga pukulannya ternyata lain daripada yang
lain, bagian tengah tidak membawa tenaga, sebaliknya tenaga pakaiannya memencar
ke sekeliling titik sasaran jadi tangkisan Nimo Singh lantas terasa hampa,
sebaliknya perut dan muka segera merasakan samberan tenaga pukulan yang
dahsyat.
Untung gerak-gerik Nimo
Singh juga cepat dan gesit, pula tubuhnya pendek kecil, lekas ia menjatuhkan
diri, disertai dengan beberapa kali jumpalitan laksana boIa saja ia
menggelinding ke sana sehingga luput dari hantaman Kwe Cing itu.
Melihat ada kesempatan
baik, cepat Kwe Cing melompat pergi saja - Tanpa ayal ia melangkah ketempat
peluang yang di tinggalkan Nimo Sing tadi.
Kim-lun Hoat-ong terkejut
melihat musuhnya loIos dari kepungan, cepat ia menubruk maju.
Sementara itu Kwe Cing
telah dicegat oleh barisan pasukan Mongol, belasan tumbak telah di tusukkan
kearahnya, Mendadak Kwe Cing angkat kedua tangannya, beberapa tombak disampuk
pergi, sekali tangannya membalik, dua prajurit kena dicengkeramnya terus
dilemparkan ke arah Hoat ong sambil berseru: "Awas, tangkap ini."
Kalau Kim-lun Hoat-ong
tidak pegang kedua perajurit Mongol itu, tentu keduanya akan terbanting mampus,
sebaliknya kalau kedua orang itu di tangkapnya, itu berarti dia teralang dan
kesempatan itu akan digunakan Kwe Cing untuk kabur lebih jauh.
Dasarnya memang keji,
tanpa pikir Hoat-ong terus memiringkan tubuh ke samping dan ditunjuknya kedua
perajurit itu dengan bahunya, kontan kedua orang itu terpental beberapa meter
jauhnya dan terguling binasa. Segera pula roda emas mengepruk ke punggung Kwe
Cing. Asalkan Kwe Cing menangkis atau balas menyerang maka sukar lagi untuk
kabur.
Cepat Kwe Cing merampas
dua tumbak dan menusuk ke belakang, Caranya merampas dan menyerang dilakukannya
dalam sekejap saja, sedang kakinya tidak pernah berhenti, tusukannya ke
belakang seperti punggungnya bermata saja, tumbak yang satu menusuk bahu kanan
Hoat-ong sedang tombak lain menusuk kaki kirinya, jitu lagi keras.
Diam2 Hoat-ong memuji
ketangkasan lawan, segera menggunakan roda emas untuk menghantam,
"krak-krak", kedua tumbak itu patah semua, karena sedikit merandek
itulah Kwe Cing sempat menyusup ke tengah pasukan MongoI.
Pasukan Mongol itu
mendapat perintah Kubilai agar menawan hidup2 Kwe Cing, sekarang sasarannya itu
malah menerobos ke tengah barisan, dengan sendirinya mereka menjadi serba
salah, menawannya sukar, melukainya tidak boleh.
Yang terdengar hanya suara
benturan senjata dan bentakan di sana-sini yang riuh, keadaan menjadi kacau dan
Hoat-ong bertiga malah teralang.
Dengan sembunyi di tengah
pasukan musuh. Kwe Cing malah dapat lolos dengan leluasa seperti menyusup ke
tengah rimba lebat saja. Beberapa kali lompat dapatlah dia mendekati seorang
Pek-hu-tiang, sekali betot ia seret orang itu dari kudanya segera ia cemplak ke
atas kuda rampasan itu terus menerjang ke sana-sini, sebentar saja ia sudah
menerobos keluar barisan musuh dan membedakan kudanya secepat terbang.
Waktu ia bersuit, kuda
merah kesayangan yang menunggu jauh disana itu lalu berlari mendatangi. Asalkan
Kwe Cing sudah berada di atas kuda mestikanya, biarpun Kubilai mengerahkan
segenap pasukannya yang paling tangkas juga sukar menyusulnya lagi
Dari jauh Nyo Ko dapat
melihat kuda merah itu sedang menghampiri Kwe Cing, diam2 ia me-ngeluh, tiba2
ia mendapat akal, oepat ia berteriak: "Aduh, mati aku!"- Habis ini ia
sengaja sempoyongan seperti akan roboh, berbareng ia membisiki Be Kong-oo:
"Lekas menyingkir, jangan bicara padaku, lekas pergi sejauhnya!"
Jeritannya mengaduh itu
dilakukan dengan tenaga dalam yang kuat, meski di medan perang yang gaduh itu
juga pasti didengar oleh Kwe Cing, ia yakin sang paman pasti akan putar balik
untuk menolongnya, tapi kalau Be Kong-co masih berada jadi sekali dipukul oleh
Kwe Cing jiwanya dogol itu akan melayang, sebab itulah dia suruh Be Kong-co
lekas pergi.
SemuIa Be Kong-co melengak
heran, tapi segera ia pikir Nyo Ko pasti mempunyai maksud tertentu, tanpa
membantah lagi terus angkat langkah seribu dan berlari ke kemah Kubilai.
Benar juga setelah
mendengar jeritan Nyo Ko tadi Kwe Cing menjadi kuatir, tanpa menunggu mendekatnya
kuda merah segera ia putar kuda rampasannya tadi dan menerjang lagi ke tengah
pasukan, ke arah beradanya Nyo Ko.
Sedikit pikir saja Kim-lun
Hoat-ong lantas paham maksud tujuan Nyo Ko itu, maka ia tidak merintanginya
melainkan membiarkan Kwe Cing menerjang lewat di sampingnya, tapi kemudian baru
ia mencegat jalan mundur lawan itu.
Setiba di dekat Nyo Ko,
dengan kuatir Kwe Cing lantas berseru: "Ko-ji, bagaimana kau?"
Nyo Ko pura2 sempoyongan
dan menjawab: "sebenarnya orang gede itu bukan tandinganku tapi entah
mengapa, mendadak dadaku sesak dan perutku sakit" Alasannya ini cukup
masuk diakal, sebab ilmu silat Be Kong-co tidak tinggi, kalau dia bilang
dikalahkan orang dogol itu tentu Kwe Cing takkan percaya, tapi kalau menyatakan
tenaganya mau-tak-mau Kwe Cing akan percaya terutama dihubungkan dengan
kejadian semalam, di mana Kwe Cing menyangka lwekang anak muda jta mengalami
kemacetan, kalau sekarang penyakitnya komat lagi adalah lazim.
Segera Kwe Cing melompat
turun dari kudanya dan berseru: "lekas naik di punggungku, biar kugendong
kau!"
"Tidak,
Kwe-pepek," jawab Nyo Ko pucat "jiwaku tidak soal, tapi engkau adalah
tulang punggung pertahanan kota Siangyang, segenap perajurjt dan rakyat jelata
di sana sedang menantikan kepulanganmu, engkaulah tumpuan harapan mereka."
"Kau datang
bersamaku, mana boleh kutinggalkan kau di sini?" ujar Kwe Cing," hayo
lekas menggemblok di punggungku."
Ketika nampak Nyo Ko masih
ragu2, segera Kwe Cing berjongkok dan menarik anak muda-itu ke atas
punggungnya. Pada saat itu juga kuda rampasannya tadi telah roboh binasa oleh
beberapa panah musuh.
Sudah biasa Kwe Cing
menyerempet bahaya, semakin gawat keadaannya semakin gagah berani pula dia dan
menghadapinya dengan tenang. "Jangan takut, Ko ji, kita pasti dapat
menerjang keluar." demikian katanya kepada Nyo Ko, segera ia berdiri dan
menerjang ke sebelah utara.
Sementara itu Hoat-ong,
Nimo Singh dan Siau siang~cu juga sudah menyusul tiba, Kwe Cing melihat
kepungan musuh di sekelilingnya terlebih rapat daripada tadi. Di bawah panji
kebesaran di depan kemah sana tampak Kubilai sedang menyaksikan pertarungan
sengit itu sambil bicara dengan seorang Hwesio, melihat sikapnya yang
"adem ayem" itu jelas Kubilai yakin kemenangan sudah pasti berada
ditangannya.
Kwe Cing menjadi gusar, ia
menggertak keras dan mendadak menerjang ke arah Kubilai dengan menggendong Nyo
Ko, hanya beberapa kali lompatan saja ia sudah sampai di depan Kubilai. Keruan
para pengawal Kubilai terkejut, be-ramai2 mereka mengacungkan tumbak untuk
menerjang Kwe Cing
Akan tetapi pukulan Kwe
Cing luar biasa dahsyatnya, siapa yang berani merintanginya pasti celaka,
Ketika seorang pengawal pribadi Kubilai kena dihatiam terpental asal dia
menyerobot maju lagi beberapa langkah, tentu pukulannya dapat mengena.
Beberapa pengawal itu
berusaha mengadang dengan mati-matian, namun sukar juga menandingi Kwe Cing
yang perkasa itu. Melihat keadaan berbahaya, cepat Kim-lun Hoat-ong
menyambitkan toda emasnya dari kejauhan. Namun sedikit menunduk kepala dapatlah
roda itu dihindari oleh Kwe Cing sambil masih terus menerjang maju.
Nyo Ko pikir sampai
Kubilai kena ditawan Kwe Cing sebagai sandera, dalam keadaan terpaksa tentu
pihak Mongol akan melepaskannya. Kalau sekarang aku tidak turun tangan, mau
tunggu kapan lagi? Dalam keadaan agak ragu2 ia toh bertanya lagi: "Paman
Kwe, apakah ayahku berniat amat jahat dan berdosa sehingga engkau harus
membinasakan dia?"
Melengak juga Kwe Cing
atas pertanyaan itu, tapi keadaan tidak mengidzinkannya untuk berpikir ia
menjawab: "Dia mengaku musuh sebagai ayah, berkhianat dan melakukan
kejahatan setiap orang dapat membunuhnya,"
"O, begituI"
kata Nyo Ko, tanpa ragu ia terus angkat pedangnya dan hendak menikam ke kuduk
sang paman.
Pada saat itulah mendadak
bayangan berkelebat, sebuah pentung menghantam pedangnya sehingga pedangnya
tertangkis ke samping. Waktu Nyo Ko melirik, kiranya yang bertindak itu adalah
Siau~siang-cu. ia menjadi heran mengapa oranj| berbuat begitu, tapi segera
iapun sadar: "Ya, kail sengaja menggagalkan usahaku membunuh Kwe Cing agar
gelar jago nomor satu itu tidak jatuh kepadaku, Huh, kau mayat hidup ini mana
tahu tujuanku hanya ingin menuntut balas saja, tentang nama kosong itu masakah
pernah kupikirkan?".
Segera ia putar pedangnya,
beberapa kali gebrakan ia desak pentung Siau-siang-cu ke samping menyusul ia
hendak menikam lagi ke punggung Kwe Cing.
Waktu itu Kwe Cing lagi
melayani gempuran kim-Iun Hoat-ong dan Nimo Singh, ia tidak maut tahu Nyo Ko
sedang main gila di atas punggungnya disangkanya anak muda itu lagi menempur
Siau~ siang cu dengan mati2an, malahan ia lantas memperingatkan Nyo Ko:
"Awas, Ko-ji, pentungnya itu dapat menyemburkan asap berbisa!"
Nyo Ko mengiakan,
sementara itu pentung Siau-siang-cu menyambar tiba pula. Keadaan itu dapat
dilihat dengan jelas oleh Kim-lun Hoat-ong.
Nimo Singh yang berdiri di
depan sana, jelas Nyo Ko akan berhasil, tapi selalu digagalkan.oleh Siau-siang
cu, dengan gusar mereka lantas membentak: "Hai, Siau-siang cu, kau main
gila apa?"
Siau-siang-cu menyeringai
seram, mendadak pentungnya menghantam Kwe Cing, ketika untuk ketiga kalinya Nyo
Ko hendak menikam punggung Kwe Cing, mendadak Siau-siang~cu menangkis lagi
pedangnya.
Mengingat Nyo Ko lagi
kurang sehat, Kwe Cing menguatirkan anak muda itu tidak sanggup melayani
serangan Siau-siang-cu, segera ia membaiki tangan kiri dan menghantam ke dada
musuh itu, seketika tubuh Siau-siang-cu tergetar dan terpaksa mundur dua-tiga
tindak.
Dalam keadaan bebas tanpa
rintangan, asal ditikam lagi tujuan Nyo Ko pasti akan tercapai tapi dilihatnya
iga kiri Kwe Cing menjadi tidak terjaga karena serangannya kepada
Siau-siang-cu, kesempatan itu telah digunakan Nimo Simgh untuk menerobos maju,
senjata ularnya terus me-nusuk.
Karena kuatir tikaman akan
berhasil setelah mundur segera Siau-siang-cu menubruk lagi dengan cepat,
pentungnya terus menutuk hiatto maut di punggung Nyo Ko untuk membuat anak muda
itu mau-tak-mau harus menjaga lebih dulu.
Sementara itu tangan kanan
Kwe Cing sedang melayani Hoat-ong, kedua orang sedang mengadu tenaga dalam,
tapi dia dan Nyo Ko justeru terancam bahaya sekaligus, dasar watak Kwe Cing
memang berbudi luhur, dia tidak menyelamatkan diri sendiri, tapi menolong Nyo
Ko lebih dulu, tangan kirinya terus menyampuk dengan jurus
Sin-Iiong-pah-bwe" (naga sakti goyang ekor), dengan tepat pentung
Siau-siang-cu terhantam, sekujur badan Siau-siang~cu terasa panas, mukanya yang
pucat seketika berubah merah.
Tapi pada saat yang sama,
senjata ular Nimo Singh juga sudah menyamber tiba, Kwe Cing sedang mengerahkan
sebagian besar tenaganya untuk melayani Kim-lun Hoat-ong serta menghantam
Siau-siang-cu sehingga tiada sisa tenaga untuk menahan serangan Nimo Singh itu,
dalam keadaan kepepet sedapatnya menarik tubuhnya sedikit ke belakang.
Serangan Nimo Singh itu
dapat dielakkan, walaupun begitu kepala ular besi itu toh masuk juga pada
iganya sedalam dua tiga senti-seketika Kwe Cing mengerahkan tenaga dan otot
tangannya mengencang, daya tusuknya senjata ular tertahan dan sukar menancap
lebih dalam dan sebelah kaki Kwe Cing lantas menendang hingga Nimo Singh
terjungkal.
Tadinya Nimo Sing sudah
bergirang melihat serangannya berhasil mengenai sasarannya dan yakin Kwe Cing
pasti akan binasa dan gelar jago nomor satu akan jatuh padanya, sungguh tak
terduga. bahwa dalam keadaan kepepet Kwe Cing sanggup mengeluarkan kepandaian
lihay dan ia sendiri malah kena di tendang tepat pada dadanya kontan tiga
tulang rusuknya patah.
Kalau disebelah sini
ber-turut2 Siau-siang-cu dan Nimo Singh kecundang, di sebelah sana Kim-lun
Hoat-ong terus mendesak lebih kuat dengan tenaga pukuIannya, lantaran luka pada
iga kiri sehingga tenaga dalam Kwe Cing banyak terkuras, Kwe Cing tidak sanggup
bertahan lagi, terasa suatu tenaga maha dahsyat menimpanya, kalau paksakan diri
mengadu tenaga tentu jiwa sendiri akan melayang Terpaksa dilepaskan
pertahanannya dan menerima sebuah pukulan dengan Lwekang tingkat tinggi telah
dilatih selama sepuluh tahun ini. "Wuaakkk", tumpahlah darah segar
keluar dari muIutnya.
Walaupun jiwa sendiri
terancam bahaya namun Kwe Cing masih tetap memikirkan keselamatan Nyo Ko,
serunya: "Lekas rebut kuda dan lari, Ko-ji, akan kutahan kejaran musuh
bagimu!"
Betapapun hati Nyo Ko
tergetar dan darah bergolak dalam rongga dadanya demi menyaksikan sang paman
membelanya mati2an tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, tak terpikir lagi
olehnya tentang dendam kesumat segala, ia pikir sedemikian luhur budi paman
Kwe, kalau aku tidak membalas budi kebaikannya ini berarti percumalah hidupku
ini.!
Segera ia melompat turun
dari gendongan sang paman, ia putar pedangnya sedemikian kencang untuk
melindungi Kwe Cing. ia mengamuk seperti banteng ketaton, ia menyerang
mati2an.."
Kim-lun Hoat ong dan
Siau-siang-cu tercengang melihat tindakan anak muda itu, seru mereka:
"Hai, Nyo Ko, apa2an kau ini?"
Nyo Ko tidak menjawab
"sret", ia menusuk Hoat-ong, begitu musuh mengelak "sret"
serangannya beralih ke arah Siau-siang-cu.
Melihat Nyo Ko seperti
orang kalap, tanpa terasa mereka sama melompat mundur.
"Jangan urus diriku,
Ko-ji, lekas kau menyelamatkan dirimu!" seru Kwe Cing.
"Kwe-pepek, akulah
yang bikin susah padamu, biarlah aku mati bersama kau saja," teriak Nyo Ko
sambil putar pedangnya dengan kencang dia hanya melindungi Kwe Cing saja tanpa
menghiraukan bahaya yang mengancam dirinya sendiri
Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu
sama2 ingin berebut gelar "jago nomor satu", karena itu mereka saling
berlomba menawan atau membunuh Kwe Cing, senjata mereka berbareng menyerang.
Tapi Nyo Ko telah putar pedangnya begitu hebat sehingga kedua orang itu tak
dapat mendekat.
Di sekeliling mereka
be-ribu2 perajurit Mangol bersorak sorai riuh rendah mengikuti pertarungan
sengit itu. Ber-ulang2 Kwe Cing mendesak Nyo Ko lekas lari, tapi anak muda itu
tetap bertempur membelanya, ia menjadi cemas dan berterima kasih pula, akhirnya
ia merasa lemah dan tidak sanggup bertahan Iagi, kedua kakinya terasa
lemas,jatuh terduduk.
Nimo Singh benar2 tangkas,
meski tulang rusuknya patah tiga buah, ia angkat senjata ular dan mendekat
dengan pelahan untuk membunuh Kwe Cing, Sekuatnya Nyo Ko menghalau ini, ia tahu
sendirian sukar menahan tiga lawan, mendadak ia menarik Kwe Cing ke punggungnya
dengan nekat ia terus menerjang keluar.
Kepandaian Nyo Ko
memangnya bukan tandingan Kim-lun Hoat-ong, kini dia menggendong Kwe Cing,
tentu saja dia tidak sanggup bertahan, Beberapa gebrakan kemudian lengan
kirinya telah kena dilukai oleh roda emas Hoat-ong.
Pada detik yang berbahaya
itulah se-konyong2 pasukan Mongol yang mengepung itu tersiak ke samping,
seorang tua berkaki pincang bertongkat besi tampak menerjang datang dengan
memutar senjatanya yang berbentuk palu besar.
"Lekas terjang
keluar, Nyo Ko, akan kulindungi kau dari belakang!" seru kakek pincang
itu. Kiranya dia adalah Pang Bik-hong, murid Ui Yok-su.
Seperti diketahui, dia
dipaksa wajib kerja bagi pasukan Mongol untuk menggembleng dan membuat senjata,
tapi diam2 ia bercita2 akan membunuh beberapa perwira Mongol namun selama ini
belum ada kesempatan. Kebetulan hari ini ia terdengar suara pertempuran yang
sengit, dari tempat ketinggian ia melihat Kwe Cing dan Nyo Ko dikepung, segera
ia menerjang ke sisi untuk membantu merek.,
Ia putar palunya yang
besar itu dengan kencang, siapa yang kebentur pasti kepala remuk dan tulang
patah, karena itu dia berhasil membuka suatu jalan berdarah, Tentu saja Nyo Ko
bergirang, cepat ia menerobos ke sana. Tapi Kim-lun Hoat ong tidak tinggal
diam, ia putar rodanya dan sekaligus mengadang di depan Nyo Ko dan Pang
Bik-hong, ia sambut semua serangan kedua orang itu..
Hanya kalau pentung
Siau-siang-ou menghantam ke punggung Kwe Cing, maka Hoat-ong lantas memberi
kesempatan pada Nyo Ko untuk menangkisnya agar serangan Siau-siang-cu itu gagal
mengenai Kwe Cing.
Tapi jika rodanya
mengepruk Kwe Cing, Siau-siang-cu juga lantas ayun pentungnya untuk
menangkiskannya, untunglah kedua orang itu saling berlomba membunuh Kwe Cing,
kalau tidak biarpun Nyo Ko bertempur mat2an juga sukar untuk menyelamatkan jiwa
Kwe Cing.
sementara itu Kwe Cing dan
Nyo Ko sudah bertempur sekian lamanya di tengah kepungan musuh yang ketat itu,
Kim-lun Hoat-ong tidak sangsi lagi, cepat ia menubruk maju, rodanya terus
menghantam dan beradu dengan pedang Nyo-Ko Kun-cu-kiam yang didapatkan Nyo Ko
dari Coat-ceng-kok itu sangat tajam, roda Hoat-ong tertabas secuil, tapi
Hoat-ong terus mendorong rodanya ke depan dengan tenaga kuat, kuatir Kwe Cing
terluka, Nyo Ko tak berani mengegos ke samping, terpaksa ia menangkis pula
dengan pedangnya, karena roda itu sudah menyerang dulu ke samping belakangnya,
maka lengannya kembali tergores luka dan mengucurkan darah.
Meski lukanya tidak parah,
namun sekali ini, pembuluh darah teriris oleh tepian roda yang tajam, darah
terus mengalir, lambat laun Nyo Ko merasa lemas, tenaga juga semakin kurang,
sedangkan musuh menyerang lebih gencar sehingga tak sempat membalut lukanya.
Dengan putar tongkat dan
palunya Pang Bik-hong bermaksud membantu, namun pukulan Hoat-ong telah
membuatnya kelabakan.
Melihat kesempatan baik,
mendadak Siau-siang cu melompat ke atas, pentungnya terus menutuk kepala Kwe
Cing, segera ia hendak menggunakan asap berbisa. Tentu saja Nyo Ko terkejut,
dengan menggendong Kwe Cing, gerak-geriknya menjadi kurang gesit, tanpa pikir
ia mengulur tangan kiri untuk menangkap ujung pentung musuh menyusul pedang di
tangan kanan terus menusuk.
Keadaan Nyo Ko sekarang sama
sekali tidak terjaga, kalau mau dengan mudah saja Hoat-ong dapat membinasakan
anak muda itu, tapi Hoat-ong sengaja hendak memperalat Nyo Ko untuk menghalau
serangan Siau-siang-cu, maka setelah mendesak mundur Pang Bik-hong, segera ia
mencengkeram punggung Kwe Cing, dengan menawan Kwe Cing hidup2 berarti suatu
jasa maha besar.
Dalam pada itu Nyo Ko
telah mengeluarkan segenap kemahirannya, ia merebut pentung dan menusuk dengan
pedang, kedua gerakan ini dilakukan dengan sekaligus belum lagi kaki Siau-siang-cu
menancap kembali di atas tanah, tahu2 pentungnya sudah dipegang lawan, malahan
pandangannya menjadi silau, ujung pedang Nyo Ko sudah nyamber tiba di depan
Dalam keadaan kepepet,
tiada jalan lain kecuali pentung diIepaskannya, tubuhnya terus balik ke belakang
dan dengan begitu jiwanya dipertahankan.
Sementara itu Pang
Bik-hong menjadi melihat keadaan cukup gawat, kembali tongkat dan palunya
menghantam ke punggung Kim-Iun Hoat-ong, Terpaksa Hoat-ong membaliki rodanya
untuk menangkis, "trang~trang", tangan tergetar sakit namun sebelah
tangannya masih terus mencengkeram ke punggung Kwe Cing.
Pang Bik-hong meraung
keras, tongkat dan palu dibuangnya terus menubruk maju dengan kalap, ia rangkul
tubuh Kim-Iun Hoat-ong se-kencang2nya, seketika kedua orang jatuh terguling,
Tidak kepalang gusar Hoat-ong, "blang". ia hantam pundak Pang
Bik-hong hingga isi perut murid Ui Yok su itu serasa terjungkir balik dan
rontok.
Namun Pang Bik-hong benar2
sudah nekat, ia telah menyaksikan keganasan pasukan Mongol dan betapa hebatnya
Siangyang digempur serta cara Kwe Cing berusaha menghalau musuh dengan mati2an,
ia tidak kenal Kwe Cing dan juga tidak orang adalah menantu gurunya, cuma ia
pikir kalau Kwe Cing mati, tentu kota Siangyang juga jatuh, sebab itulah ia
sudah bertekad akan menoIong Kwe Cing sekalipun jiwa sendiri harus terbunuh...
Begitulah tanpa ampun
Kim-lun Hoat-ong menghantam beberapa kali, seketika otot Pang Bik-hong putus
dan tulang remuk, walaupun terluka parah, namun rangkulannya tidak menjadi
kendur, bahkan semakin kencang sehingga kesepuluh jarinya ambles ke dalam
daging tubuh Kim-lun Hoat-ong.
Tadinya perwira dan
perajurit Mongol hanya menyaksikan pertarungan sengit itu, mereka yakin Kim-lun
Hoat-ong dan Lain2 pasti akan berhasil kini mendadak tampak Hoat-ong terguling
dan Siau-siang-cu melompat mundur, serentak mereka terus mengerubut maju. Dalam
keadaan demikian, sekalipun tidak terluka juga Kwe Cing dan Nyo Ko sukar
menahan terjangan beribu2 orang itu.
Diam2 Nyo Ko mengeluh
nasibnya sekali ini pasti akan tamat Tapi sebelum ajal ia pantang menyerah,
tanpa pikir ia putar pentung rampasannya dari Siau-siang-cu. Mendadak terdengar
mendesis dari ujung pentung itu tersembur keluar asap, kontan sepuluh perajurit
Mongol yang paling depan itu roboh terguIing.
Kiranya tanpa sengaja Nyo
Ko telah menyentuh pesawat rahasianya itu dan menyemprotkan asap berbisa yang
tersimpan di dalamnya.
Tercengang juga Nyo Ko,
tapi segera iapun sadar apa artinya itu, cepat ia gendong Kwe Cing dan
melangkah ke depan. Dilihatnya pasukan musuh membanjir tiba pula dari
kanan-kiri, cepat ia tekan pesawat rahasia pentung itu, asap hitam tersembul
keluar lagi dan berpuluh perajurit musuh kembali terguling.
Meski perwira dan
perajurit Mongol, pada umumnya sangat tangkas di medan perang, tapi rata2
percaya tahayul, serentak mereka ber-teiak2: "Awas, dia bisa ilmu sihir,
lekas menyingkir lekas!.."
Dengan leluasa dapatlah
Nyo Ko menerjang lagi ke depan, ketika ia persuit, kudanya yang kurus itu
mendekatinya dari sana, Nyo Ko sendiri sudah lelah, ia taruh Kwe Cing di atas
kuda, ia sendiri tidak sanggup lagi lomoat ke atas kudanya, ia hanya tepuk
pelahan pantat kuda itu dan berkata: "Kuda baik, lekas lari !"
Kuda itu sangat cerdik
pula, dahulu Nyo Ko menyelamatkan jiwanya maka iapun cinta kepada majikannya,
sebelum sang majikan naik di punggungnya, ia hanya angkat kepala dan meringkik
saja, betapapun tidak mau lari dengan cepat.
Karena keadaan sangat
gawat, pasukan Mongol sedang mengejar datang, terpaksa Nyo Ko gunakan
pentungnya untuk menjojoh pantat kuda agar berlari, "Lekas kabur, kuda
baik." serunya
Tak terduga karena
ulahnya, tutukan pentung itu rada menceng dan mengenai kaki Kwe Ceng.
sebenarnya Kwe Cing dalam keadaan hampir tak sadar, tutukan pentung itu
membuatnya membuka matanya, segera ia tarik Kyo Ko ke atas kuda.
Merasakan sang majikan
sudah berada di punggungnya, kuda itu meringkik girang dan membeda secepat
terbang.
Terdengar suara tiupan
tanduk riuh rendah di sana sini, pasukan Mongol mengejar dengan kencang, segera
Kwe Cing bersuit, kuda merahnya berlari mendekati kuda kurus itu dan
menggosokkan moncongnya pada tubuh Kwe Cing...
Nyo Ko tahu kuda sendiri
itu betapapun tak dapat menandingi kecepatan kuda merah Kwe Cing itu, sementara
itu pasukan Mongol melepaskan panah dari belakang. ia rangkul Kwe Cing dan
sekuatnya melompat keatas kuda merah.
Pada saat itu juga
terdengar suara mendengung di belakang, roda emas Hoat-ong sedang menyambar
tiba.
Sedih juga Nyo Ko, ia tahu
si pandai besi she Pang jelas telah menjadi korban keganasan Kim-lun Hoat-ong.
Dalam pada itu roda musuh sudah semakin mendekat, ia berusaha mendekam di atas
kuda dengan harapan roda itu menyamber lewat di atas tubuhnya, Tapi dari suara
mendengung itu kedengaran berada di bagian bawah, agaknya sasaran roda itu
adalah kaki kuda.
Serangan Kim-lun Hoat-ong
ini sungguh keji, Setelah memukul mati Pang Bik-hong tadi, waktu ia berdiri
kembali, dilihatnya Kwe Cing dan Nyo Ko sudah menyemplak ke atas kuda, untuk
mengubernya jelas tidak keburu lagi segera ia mengumpulkan tenaga dan
menyambitkan roda emasnya.
Yang diarah adalah kaki
kuda, ia pikir andaikan Nyo Ko atau Kwe Cing tentu korbannya akan tetap dibawa
lari oleh kuda itu, hanya kalau kaki tertabas patah barulah maksud tujuannya
akan tercapai
Begitulah ketika mendengar
roda musuh semakin mendekat, terpaksa Nyo Ko membaliki pedang ke belakang untuk
menangkis, ia menyadari tenaga sendiri sudah lemah, tangkisan itu tetap sukar
menahan roda musuh, soalnya sudah kepepet ia hanya berbuat sebisanya saja.
Tampaknya roda itu semakin
mendekati tinggal satu meteran saja dari kaki kuda, suara mendengungnya
terdengar mengejutkan Nyo Ko coba, mengacungkan pedangnya ke bawah untuk
melindungi kaki kuda. Siapa duga kuda merah itu seperti sudah keranjingan setan
saja, larinya semakin kencang, sekejap kemudian jarak roda dan kaki itu-tetap
semeteran dan tidak bertambah dekat
Sungguh girang Nyo Ko tak
terpikirkan, ia tahu samberan roda emas musuh itu makin lama tentu ma-kin
lemah. Benar juga, sejenak pula jarak roda ini dengan kaki kuda itu sudah
bertambah jauh, kini sudah ada dua meteran, habis itu lantas tiga meter, empat
meter dan semakin jauh tertinggal di belakang Akhirnya "trang" roda
emas itu jauh ke tanah.
Selagi bergirang, Yo Ko
mendengar suara ringkikan kuda, waktu ia menoleh ke belakang, dilihatnya
kudanya sendiri tadi telah terkapar dengan panah menancap di perut. Hati Nyo Ko
menjadi pedih dan tanpa terasa mencucurkan air mata mengingat jasa kuda kurus
itu.
Dalam pada itu kuda merah
masih terus membedal secepat terbang, dalam sekejap saja pasukan Mongol yang
mengejar itu sudah jauh tertinggal di belakang. Sambil merangkul tubuh Kwe
Cing, kemudian Nyo Ko bertanya "Bagaimana keadaanmu Kwe-pepek?"
Kwe Cing hanya bersuara
lemah sekali dan tidak menjawabnya. Waktu Nyo Ko memeriksa pernapasannya,
terasa napasnya cukap keras, agaknya tidak menjadi soal sementara ini, hatinya
terasa lega dan ia sendiri lantas pingsan malah.
Entah berapa lama ia
mendekap di atas kuda dalam keadaan lelap, ketika mendadak dilihatnya di depan
be-ribu2 perajurit musuh mengadang pula hendak menangkap Kwe Cing, segera ia
memutar pedangnya sambil ber-teriak2: "Jangan mencelakai paman Kwe!"
- ia memudar pedangnya serabutan dan mendadak pandangannya menjadi samar2 di
sana-sini banyak wajah orang yang sedang memperhatikannya, waktu ia mengawasi
lebih jelas, tiba2 sebuah wajah yang sangat dikenalnya tampak tersenyum
padanya. Siapa lagi dia kalau bukan Siao~liong li.
Nyo Ko merasa sepeiti
dalam mimpi saja, serunya: "He, Kokoh, engkau juga berada disini. Lekas -
lari, jangan pikirkan diriku, Kwe~pepek, mana Kwe-pepek?"
"Tenanglah, Ko-ji,
kau sudah pulang di sini, Kwe-pepekmu juga selamat, jangan kuatir," kata
Siao-liong-li dengan suara lembut
Sangat lega hati Nyo Ko
mendengar keterangan itu, baru sekarang ia merasakan tubuhnya lemas lunglai,
ruas tulangnya se-akan2 terlepas semua, segera ia pejamkan mata pula.
Didengarnya suara Ui Yong
sedang berkata: "Dia sudah siuman dan tak beralangan lagi, engkau masih
mengawasi dia di sini."
Terdengar Siao-liong-li
mengiakan, lalu Ui Yong melangkah pergi. Tapi sebelum keluar kamar, tiba2
terdengar suara kresek di atap ramah, air muka Ui Yong berubah, sekali ayun
tangannya tiup padam api lilin.
Nyo Ko juga kaget dan
cepat berduduk, dia cuma terluka luar lantaran banyak mengeluarkan tenaga pula
terlalu seIama daIam pertempuran, sebab itulah dia jatuh pingsan. Tapi setelah
istirahat sekian lama, pula Ui Yong telah memberi obat mujarab buatan
Tho-hoa-to. tenaganya sudah pulih sebagian besar, maka begitu mendengar suara
mencurigakan segera ia berbangkit hendak menghadapi musuh.
Namun dalam keadaan gelap
Siao-liong-li sudah mengadang di depannya dengan pedang terhunus desisnya
kepada Nyo Ko: "jangan bergerak, Ko-ji, kujaga kau di sini!"
Dalam pada itu terdengar
suara gelak tertawa seorang di atas rumah, katanya: "kedatangan ku adalah
untuk menyampaikan surat, tak kuduga bahwa menurut adat menerima tamu kalian
adalah dalam keadaan gelap gulita." -Dari suaranya dapat dikenali orang
ini adalah murid Kim-lun Hoat-ong, yakni pangeran Hotu.
"Menurut adat
istiadat bangsa kami, menerima tamu yang terhormat harus di tempat yang terang,
untuk menghadapi tamu yang suka main sembunyi paling baik dilakukan pada malam
gelap gulita," jawab Ui Yong.
Seketika Hotu tak dapat
berdebat lagi, pelahan ia melompat turun ke pelataran dan berscru:
"Sepucuk surat ini diaturkan kepada: Kwe-Tayhiap."
Ui Yong membuka pintu
kamar dan menjawab: "Baiklah, silakan masuk!"
Namun Hotu ragu2 karena
kamar itu gelap gulita, ia berdiri di luar kamar dan berkata pula: "lnilah
suratnya, harap diterima saja?"
"Kau mengaku sebagai
tamu, mengapa tidak mau masuk kemari?" tanya Ui Yong.
"Laki2 sejati tidak
sudi tersudut di tempat berbahaya, perlu waspada kemungkinan di jebak"
ujar Hotu.
"Huh, masakah ada
laki2 sejati mengukur orang lain dengan jiwa rendah seorang pengecut?"
jengek Ui Yong.
Muka Hotu menjadi merah,
diam2 ia mengakui ketajaman mulut Ui Yong, kalau berdebat pasti bakal kalah,
daripada malu lebih baik mundur teratur saja. Maka ia tidak bicara pula, dengan
pandangan tajam ke arah pintu ia menyodorkan surat yang dibawanya itu.
Ui Yong menjulurkan
pentung bambunya dan mendadak menutuk kemuka orang, keruan Hotu terkejut dan
cepat melompat mundur, tahu2 tangannya terasa kosong, surat yang dipegangnya
entah kabur kemana?
Kiranya ketika pentingnya
menutuk, berbareng Ui Yong terus memutar ujung pentung ke bawah untuk
menyanggah surat yang disodorkan Hotu itu, ketika Hotu melompat mundur, surat
itu seperti meiengket di ujung pentung dapat ditarik oleh Ui Yong. soalnya dia
sedang hamil tua dan tidak ingin menemui tamu, sebab itulah dia tidak mau
berhadapan dengan musuh.
Setelah terkejut segera
pula dia berubah menjadi lesu, semangatnya yang menyala ketika memasuki
Siangyang seketika lenyap sebagian besar menghadapi kelihayan Ui Yong itu,
segera ia berseru: "Surat sudah kuserahkan sampai bertemu pula petang
besok!"
Diam2 Ui Yong mendongkol
atas kekurang-ajaran orang yang berani datang dan pergi sesukanya di kota
Siangyang mi, mendadak ia ambil poci teh yang terletak di atas meja itu, air
teh yang masih panas didalam poci itu terus dipancur-kan ke sana.
Sebenarnya sejak tadi Hotu
sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan kalau ada senjata rahasia
menyambar keluar dari dalam kamar, akan tetapi pancuran air teh panas itu
datangnya tanpa suara apa2, tiada suara mendenging seperti senjata rahasia
tajam umum nya, maka ketika dia mengetahui apa yang terjadi, tahu2 leher, dada
dan lengannya sudah basah kuyup oleh air teh yang panas itu, ia menjerit
terkejut dan cepat mengegos puja ke samping.
Namun Ui Yong sudah
berdiri ditepi pintu sebelum Hotu berdiri tegak, cepat pentung bambunya
menjulur ke lengan gaya "menjegal" dari Pak~kau-pang-hoat (ilmu
permainan pentung penggebuk anjing), "plok", ia sabet kaki Hotu
hingga pangeran Mongol itu jatuh terjungkal.
Cepat Hctu melompat
bangun, tapi gaya menjegal pentung Ui Yong masih terus bekerja dengan cepat,
belum lagi dia berdiri sudah dirobohkan pula dan begitu seterusnya dia jatuh
bangun hingga kepala pusing tujuh keliling.
Sebenarnya ilmu silat Hotu
tidaklah rendah, kalau bertempur benar2 dengan Ui Yong rasanya takkan
dirobohkan secara begitu mengenaskan walaupun kepandaiannya memang masih kalah
tinggi dan dibawah pangcu kaum jembel yang sedang hamil tua ini. Tapi lantaran mendadak
dia disembur air teh panas, dia mengira kena serangan obat berbisa yang sangat
lihay dan bisa jadi jiwanya akan melayang, kalau tertahan lebih lama dan air
racun itu bekerja, bukan mustahil badannya akan membusuk dan entah bagaimana
dia akan tersiksa.
Dalam keadaan kejut dan
ragu2 itulah mendadak Ui Yong menyerangnya pula, bahkan pentungnya menyambet
ber-turut2 tanpa berhenti, sama sekali dia tidak sempat balas menyerang, keruan
dalam kegelapan itu ia jatuh bangun hingga hidung bocor kepala benjut.
Sementara kedua saudara Bu
juga mendengar keributan itu dan memburu tiba, segera Ui Yong menyuruh mereka
meringkus Hotu.
Mendadak Hotu mendapat
akal, ia tahu kalau bangun lagi pasti akan di jegal jatuh pula, maka ia pura2
menjerit dan terbanting jatuh, padahal tubuhnya memang sudah kesakitan maka
sekalian ia lantas berbaring di situ untuk mengaso, Ketika kedua saudara Bu
menubruk maju hendak menawannya, se-konyong2 Hotu menjulurkan kipasnya dan
sekaligus tutuk Hiat-to kaki kedua orang, menyusul ia dorong tubuh kedua
saudara Bu untuk merintangi pentung Ui Yong, ia sendiri terus melompat ke sana
dan naik ke atas pagar tembok.
"Ui pangcu, lihay
benar permainan pentung-mu, tapi goblok amat anak didikmu!" serunya dengan
tertawa.
"Huh, tubuhmu sudah
terkena air beracun, mana orang lain mau menyentuh tubuhmu?" jengek Ui
Yong.
Seketika Hotu melengak
kaget, ia merasa air panas yang mengenai tubuhnya itu berbau teh, entah air
racun macam apa?
Rupanya Ui Yong dapat
menerka pikirannya, ia berkata pula: "Kau terkena racun, tapi sama sekali
kau tak tahu nama racunnya, tentu matipun kau tidak rela, Baiklah, biar
kuberitahukan, air racun itu bernama Cu-ngo-kian-kut teh (teh pembusuk tulang
sampai lohor)."
"Cu-ngo-kian-kut-teh?"
Hotu mengulang istilah itu..
"Benar," ujar Ui
Yong. "Setetes saja racun itu mengenai tubuh, maka sekujur badan akan
membusuk hingga kelihatan tulangnya pada waktu Iohor. Nah, kau masih ada waktu
beberapa jam, lekas pulang saja untuk mengurus tempat kuburanmu."
Hotu tahu Ui-pangcu dari
Kay-pang ini terkenal lihay dan cerdik, bahwa dia mampu meracik obat racun
seperti apa yang dikatakan itu memang tidak perlu disangsikan lagi, seketika ia
menjadi termangu bingung, apa mesti pulang menanti ajal atau merendah diri
untuk mohon obat penawarnya?
Ui Yong juga tahu pangeran
Mongol itu bukan orang bodoh, tentang air racun segala hanya dapat menipunya
sementara, lama2 tentu juga akan diketahui kebohongannya. Maka ia lantas
berkata pula. "Sebenarnya kita tiada dendam apa2, kalau kata2mu tidak kasar,
tentu jiwamu takkan melayang."
Dari naga ucapan orang
Hotu merasa ada setitik sinar harapan untuk hidup, tanpa pikir harga diri lagi
segera ia melompat turun dari pagar tembok, ia memberi hormat dan berkata:
"Ya,Cayhe-tadi berlaku kasar padamu, mohon Ui-pangcu sudi memaafkan."
Berdin di belakang pintu
dapatlah Ui Yong meraba secomot kotoran debu, lebih dulu ia ludahi dan
dipelintir menjadi butiran, Dengan pelahan ia selentikkan "obat pil"
itu kepada Hotu sambil feerkata: "Baiklah, lekas minum!"
Cepat Hotu menangkap
"pil" itu dan tanpa pikir terus ditelan mentah2, walaupun rasanya
agak pahit namun jiwa selamat paling perlu, ia memberi hormat pula dan
mengucapkan terima kasih kepada Ui Yong, Kini ia sudah patah semangat ia
mundur2 ke tepi pagar tembok baru melompat ke atas dan angkat kaki.
Ui Yong menghela napas
gegetun setelah Ho tu pergi, dibukanya Hiat-to kedua saudara Bu yang terkutuk
tadi. Teringat olehnya kata2 ejekan Hotu tadi, "Iihay sangat permainan
pentung Ui-pangcu, tapi goblok amat anak didikmu", ia menjadi sedih
melihat kedua saudara Bu. Meski caranya menjatuhkan Hotu tadi tidak menggunakan
tenaga, tapi perutnya terasa rada sakit juga, ia duduk mengaso di kursi.
Sementara itu
Siao-liong-li telah menyalakan api lilin, Ui Yong coba membuka surat antaran
Hotu itu dan dibacanya, Kiranya surat itu dari Kim-lun Hoat ong yang menyatakan
kagum atas ketangkasan Kwe Cing, yang dapat datang dan pergi di tengah pasukan
Mongol itu, untuk itulah Kim-lun Hoat-ong menyatakan hendak mengadakan
kunjungan balasan ke Siangyang besok.
Tentu saja Ui Yong
terkejut, ia perlihatkan surat itu kepada Nyo Ko dan Siao-liang li- Katanya:
"Meski tembok benteng Siangyang sangat kuat, tapi sukar menahan tokoh2
persilatan. Paman Kwe terluka parah, akupun tidak mampu berbuat banyak,
sedangkan musuh akan datang secara benar2 bagaimana baiknya nanti?"
"Paman Kwe..."
belum lanjut ucapan Nyo-Ko, tiba2 dilihatnya Siao liong li melirik padanya
dengan sinar mata yang mengandung arti menyalahkannya menyelamatkan jiwa Kwe
Cing, seketika ia tidak melanjutkan perkataannya.
Ui Yong menjadi curiga, ia
tanya pula: "Nona-Liong, kesehatan Ko-ji juga belum pulih, nanti terpaksa
harus mengandalkan engkau dan Cu Cu-liu, Cu-toako menghadapi kedatangan
musuh."
Siao-liong-li tidak biasa
berdusta dan ber-pura2, apa yang dipikirkan. itu pula yang dikatakan, dengan
tak acuh ia lantas menjawab: "Aku cuma melindungi Ko-ji seorang,
mati-hidup orang lain tiada sangkut paut dengan kami.."
Tentu saja Ui Yong
bertambah heran, seketika iapun tidak dapat bertanya lebih banyak, hanya
dikatakan kepada Nyo Ko: "Menurut paman Kwe, semuanya berkat
perjuanganmu."
Teringat kepada maksudnya
hendak membunuh Kwe Cing, Nyo Ko merasa malu diri, jawabnya: "Ah siautit
tidak becus hingga membikin Kwe pepek terluka."
"Kau sendiri
istirahat dulu, kalau musuh datangi jika tidak mampu melawan dengan tenaga
dapatkah kita mengalahkan mereka dengan akal," ujar Ui Yong, Lalu ia
berpaling kepada Siao-liontg-Ii "Nona Liong, marilah ikut padaku, aku
ingin bicara sebentar dengan kau."
"Tapi dia....."
Siao-liong-li ragu2 memandangi Nyo Ko. Sejak pulangnya anak muda itu,
Siao-liong-li terus menunggunya di situ, maka ia merasa berat meninggalkan anak
muda itu.
"Musuh menyatakan
akan datang besok, ku-yakin malam ini pasti takkan terjadi sesuatu," ujar
Ui Yong, "Marilah ikut, apa yang hendak kubicarakan ada hubungannya dengan
Ko-ji."
Siao-liong-li mengangguk.
Lebih dulu ia membisik beberapa pesan kepada Nyo Ko, habis itu baru ikut Ui
Yong keluar kamar, Ui Yong membawanya ke kamarnya sendiri, letelab menutup
pintu kamar barulah ia berkata: "Nona Liong, kau bermaksud membunuh kami
suami istri, bukan?"
Walaupun watak
siao-liong-li polos bersih, tapi dia bukanlah orang bodoh, dia bertekad akan
membunuh Kwe Cing dan Ui Yong untuk menolong jiwa Nyo Ko, kalau Ui Yong
memancingnya dengan kata2 mana dapat mengelabuinya, tapi sekarang Ui Yong dapat
meraba wataknya yang lugu, tanpa tedeng aling2 ia tanya secara langsung, Karuan
Siao-liong-li menjadi melengak dan menjawab dengan tergagap "Ka... kalian
baik kepada kami, mengapa kami...kami membunuh kalian?"
Melihat sikap orang, Ui
Yong tambah yakin akan dugaannya segera ia berkata pula: "Kau tidak perlu
merahasiakannya lagi, sudah kuketahui maksud kalian, Ko-ji menganggap kami yang
membinasakan ayahnya, maka dia ingin membunuh kami untuk menuntut balas, Kau
suka kepada Ko-ji dan hendak membantu terlaksana cita2nya itu."
Karena isi hatinya dengan
jitu kena dikatai, dasar Siao-liong-li memang tidak bisa berdustai, seketika ia
terdiam, sejenak kemudian barulah ia menghela napas dan berkata: "Sungguh
aku tidak paham!"
"Tidak paham apa?
tanya Ui Yong.
"Sebab apa tadi Ko ji
menyelamatkan Kwe-tayhiap dengan mati2an, padahal dia sudah berjanji dengan
Kim-lun Hoat-ong akan membunuh Kwe- tayhiap," kata Siao-liong-li.
Terkejut juga Ui Yong
mendengar keterangan itu, bahwa dia sudah menduga ada maksud jahat pada Nyo Ko,
tapi sama sekali tak tersangka anak muda itu akan bersekongkol dengan pihak
Mongol. Maka iapun tenang2 saja dan berlagak sudah mengetahui semuanya,
katanya: "Mungkin dia melihat Kwe-tayhiap sangat baik hati padanya,
akhirnya dia sendiri tidak tega turun tangan."
Siao-liong-li mensangguk,
katanya dengan sedih: "Urusan sudah telanjur begini, apa mau dikatakan
lagi? Kalau dia tidak memikirkan jiwanya sendiri, ya terserah padanya, Aku
sudah tahu dia adalah orang paling baik di dunia ini, dia lebih suka mati
sendiri daripada mencelakai musuhnya."
Sekilas timbul beberapa
pertanyaan dalam benak Ui Yong, tapi sukar juga menarik kesimpulan dari arti
ucapan Siao-liong-li itu. Dilihatnya air muka si nona sangat sedih dan cemas,
sedapatnya iapun menghiburnya: "Tentang kematian ayah Ko-ji itu memang
banyak lika-likunya, biarlah kelak kita membicarakannya secara lebih jelas,
Lukanya tidak parah, setelah istirahat beberapa hari tentu akan sehat kembali,
kau tidak perlu berduka."
Siao-liong-li memandangi
Ui Yong dengan ter-mangu2, sejenak kemudian mendadak air matanya bercucuran,
katanya dengan ter-gagap2: "Tapi... tapi jiwanya hanya... hanya tinggal
tujuh hari, mana mungkin istirahat lagi hehe... beberapa hari segala..."
"Jiwanya tinggal
tujuh hari apa maksudmu?" Ui Yong menegas dengan terkejut "Lekas
jelaskan. kita pasti dapat menolongnya."
Siao-liong-li menggeleng
pelahan, tapi akhirnya ia menceritakan juga kejadian di Cui-sian-kok itu
tentang cara bagaimana Nyo Ko terkena racun bunga cinta dan Kiu Jian-jio cuma
memberinya setengah butir pil Coat-ceng-tan serta memberi waktu 18 hari untuk
membunuh Kwe Cing dan Ui Yong, habis itu baru setengah butir Coat-ceng-tan yang
lain akan diberikan lagi.
Diceritakan juga betapa
tersiksanya apabila racun bunga cinta itu mulai bekerja dan bahwa di dunia ini
hanya tersisa separoh Coat-ceng-tan itu yang dapat menolong jiwa Nyo Ko.
Semakin kejut dan heran Ui
Yong oleh cerita itu, sama sekali tak terduga olehnya bahwa Kiu Jian-jiu itu
tokoh Bu-Iim yang terkenal belasan tahun yang lalu itu masih mempunyai seorang
adik perempuan serta membangkitkan malapetaka sehebat itu.
Setelah bercerita secara
ringkas, akhirnya Siao liong-li berkata: "Jadi umurnya tinggal tujuh hari
lagi, seumpama malam ini kalian suami-istri dapat dibunuh juga tak sempat lagi
untuk kembali ke Coat-ceng-kok, lalu untuk apa lagi kubikin celaka kalian?
Tujuanku hanya menolong Ko-ji, mengenai dendam kematian ayahnya segala aku
tidak urus."
SemuIa Ui Yong mengira
maksud tujuan Nyo-Ko hanya ingin menuntut balas kematian ayahnya jtu, siapa
tahu di dalam urusan ini masih banyak lika-liku soal lain, jika begitu berarti
anak muda itu membunuh diri kalau dia batalkan niatnya membunuh Kwe Cing,
sungguh luhur pengorbanan Nyo Ko yang tiada bandingannya ini.
Begitulah Ui Yong mondar
mandir di dalam kamar dengan bingung, betapapun cerdik pandainya, tak berdaya
juga menghadapi keadaan yang serba sulit ini ia pikir beberapa jam lagi musuh
akan menyerbu tiba secara besar2an, meski tadi ia menghibur Nyo Ko agar jangan
kuatir dan bahwa dapat mengalahkan musuh dengan akal andaikan tidak mau
melawannya dengan kekuatan. Tapi bagaimana akalnya itu sungguh sukar diperoleh.
Bahwasanya Siao-liong-li
hanya memikir dan mencintai Nyo Ko dengan setulus hatinya, sedangkan pikiran Ui
Yong justeru bercabang dua, setengahnya ia berikan kepada sang suami dan
separuh lain terbagi kepada anak perempuannya. Yang dipikirkannya kini hanya
"Bagaimana caranya menyelamatkan kakak Cing dan anak Hu?"
Tiba2 terpikir olehnya:
Kalau Ko-ji dapat mengorbankan dirinya sendiri demi orang lain, mengapa aku
tidak? Karena pikiran ini, segera ia berpaling kepada Siao-liong-Ii dan
berkata, dengan ikhlas: "Nona Liong, aku mempunyai akal yang dapat
menolong jiwa Ko-ji, apakah kau mau menurut padaku?"
Saking girangnya tubuh
Siao-liong-li sampai gemetar, jawabnya "Biarpun aku harus.... harus
matipun... Ai, sebenarnya matipun bukan apa2 bagiku, sekalipun berpuluh kali
lebih susah daripada mati juga aku... aku akan menurut."
"Baik," kata Ui
Yong, "Urusan ini hanya kau dan aku saja yang tahu, jangan sekali2 kau
bocorkan kepada orang lain, Ko-ji sekalipun tidak boleh kau beritahu. Kalau
tidak semuanya akan gagal total."
Ber-uIang2 Siao-liong-li
mengiakan lalu Ui Yong berkata pula: "Jika musuh datang nanti, hendaklah
kau dan Ko-ji melindungi Kwe-tayhiap sekuat tenaga, bila bahaya ini sudah lalu,
segera kuserahkan kepalaku ini padamu dan Ko-ji dapat menggunakan kuda merah ke
Coat-ceng-kok untuk menukarkan sisa obat yang diperlukannya itu.
Siao-liong-li melengak,
"Apa katamu?" ia menegas karena belum paham apa maksudnya.
Dengan suara halus Ui Yong
menjelaskan "Cintamu kepada Ko-ji melebihi jiwamu sendiri, bukan? Asalkan
dia selamat, biarpun kau sendiri akan mati juga kau rela dan gembira,
bukan?"
Ucapan Ui Yong dengan jitu
mengenai lubuk hati Siao liong-li, nona itu mengangguk dan berkata.
"Sebab serupa kau,
akupun cinta kepada suamiku," ucap Ui Yong dengan tersenyum hambar. Kau
tidak punya anak sehingga tidak tahu perasaan kasih sayang seorang ibu kepada
anaknya sesungguhnya tidak kurang daripada kasih sayang antara suami isteri.
Aku cuma minta kau melindungi keselamatan suami dan putriku, selebihnya apa
lagi yang kuharapkan?"
Siao-liong-li berpikir
sejenak, belum lagi ia menjawab Ui Yong telah berkata pula: "Kalau kau mau
bergabung dengan Ko-ji tentu tidak sukar mengalahkan si gundul Kin lun
Hoat-ong, Sudah beberapa kali Ko-ji menolong jiwa kami suami istri, masakah
sekali saja aku tak dapat menolong jiwanya? Kuda merah itu sehari dapat berlari
ratusan li, tidak sampai tiga hari tentu dapat mencapai Coat~ceng-kok, ingin
kukatakan padamu, Kiu Jian-li dan Nyo Khong semuanya mati di tanganku dan tiada
sangkut pautnya dengan Kwe-tayhiap. jika kepalaku sudah diserahkan, walaupun
masih belum puas tentu juga Kiu Jian-jio akan memberikan obatnya kepada Ko-ji.
selanjutnya kalian berdua semoga dapat berjuang bagi negara dan bangsat
andaikan tidak dapat dan ingin mengasingkan diri dipegunungan sunyi juga aku
merasa berterima kasih."
Cukup tegas ucapan Ui
Yong, kecuali itu memang tiada jalan lain lagi, Beberapa hari terakhir ini
Siao-liong-li selalu memikirkan cara bagaimana akan membunuh Kwe Cing dan Ui
Yong untuk menyelamatkan jiwa Nyo Ko, tapi sekarang hal itu terucap dari mulut
Ui Yong sendiri, ia menjadi merasa tidak enak malah ber-ulang2 ia menggeleng
dan berkata: "Tidak, tidak bisa!"
Selagi Ui Yong hendak
membujuknya lebih lanjut, tiba2 terdengar Kwe Hu berseru di luar kamar
"lbu, ibu! Engkau di mana?"suaranya kedengaran gelisah dan bingung.
Ui Yong terkejut cepat ia
menjawab: "Ada urusan apa, Hu-ji?"
Kwe Hu mendorong pintu dan
melangkah masuk, tanpa pedulikan hadirnya Siao-lieng-li di situ, ia terus
menubruk ke dalam pelukan sang ibu dan berseru: "lbu, kedua kakak Bu
telah..." mendadak ia menangis dan tidak dapat melanjutkan.
"Ada api lagi?"
tanya Ui Yong sambil mengerutkan dahi.
"Mereka . . . mereka
kakak beradik telah keluar... keluar benteng untuk ber... berkelahi,"
tutur Kwe Hu dengan ter sendat2.
"Berkelahi apa?"
bentak Ui Yong dengan bengis saking gusarnya. "Maksudmu mereka kakak
beradik saling berhantam?"
Jarang sekali Kwe Hu
melihat ibunya marah, ia menjadi takut, jawabnya dengan suara gemetar:
"Ya... ya, kuminta
mereka jangan berkelahi tapi mereka tidak mau menurut Katanya akan berkelahi
mati2an, mereka menyatakan diantara mereka hanya akan pulang seorang saja, yang
kalah, andaikan tidak mati juga takkan pulang Idgi untuk menemuiku."
Ui Yong tambah gusar, ia
pikir musuh berada di depan mata, jiwa segenap penduduk kota berada di ujung
tanduk, tapi kedua saudara Bu itu masih sempat saling bunuh untuk berebut
seorang nona. Saking gusarnya hingga mengganggu kandungannya yang sudah besar
itu, seketika keringat dingin memenuhi dahinya.
"Tentu kau lagi yang
mengacau." kata Ui Yong dengan suara berat "coba ceritakan yang
jelas, apa yang telah kau lakukan, sedikitpun tidak boleh dusta."
Kwe Hu melirik sekejap ke
arah Siao-Iiong-!i, mukanya berubah merah dan ragu2 untuk bicara.
Siao-liong-li sendiri lagi
memikirkan Nyo Ko dan tiada minat buat mendengarkan cerita tentang saling
hantamnya kedua saudara Bu itu, segera ia mohon diri dan menuju ke kamar Nyo
Ko, sepanjang jalan ia terus merenungkan apa yang diuraikan Ui Yong tadi.
Sesudah Siao-liong-Ii
pergi barulah Kwe Hu berkata pula: "Bu, setelah kedua kakak Bu gagal
berusaha membunuh Kubilai dan tertawan musuh sehingga membikin susah ayah,
semua itu adalah kesalahan anak. Kalau persoalan ini tidak ku tuturkan bukankah
sia2 saja kasih sayang ayah-ibu padaku?"
BegttuIah ia lantas
bercerita tentang persaingan kedua saudara Bu kepadanya dan cara bagaimana dia
menyuruh mereka membunuh musuh sebagai syarat utama untuk mendapatkan dirinya,
tapi akibatnya kedua pemuda itu tertawan musuh.
Ui Yong tahu anak
perempuannya ini terlalu dimanjakan sejak kecil, meski berbuat salah juga tidak
mau mengaku salah, Maka iapun tidak mengungkat kejadian yang sudah lalu itu, ia
hanya berkata: "Mereka sudah pulang dengan selamat, mengapa keluar benteng
lagi untuk berkelahi?"
"Hal ini adalah
salahmu, Bu," ujar Kwe Hu.
"Sebab engkau
mengatakan mereka adalah murid yang goblok."
"Kapan pernah
kukatakan demikian?" jawab Ui Yong melengak.
"Menurut cerita
mereka, tadi Hotu datang menyampaikan surat tantangan, ibu menyuruh mereka
menangkap Hotu, tapi Hiat-to mereka malah kena ditutuk dan engkau mengomeli
mereka sebagai "murid goblok"
Ui Yong menghela napas,
katanya: "Kepandaian mereka memang kalah tinggi, apa mau di-katakan lagi?
"Mund goblok" adalah olok2 yang diucapkan Hotu,"
"Pantas," ucap
Kwe Hu "lbu tidak membalas olok2 Hotu itu berarti mengakui kebenaran -
ucapannya, Maka kedua saudara Bu merasa penasaran keduanya bertengkar sendiri
dan saling menyalahkan, yang satu bilang saudaranya kurang cepat menawan Hotu,
yang lain menuduh sang kakak merintangi pandangannya sehingga sukar bertindak.
Dari ribut mulut akhirnya
mereka meloIos senjata, Aku mengomeli mereka, jika perbuatan mereka dilihat
orang dan dilaporkan kepada ayah, kuancam akan menghajar mereka, Karena itu
mereka menyatakan akan berkelahi keluar benteng saja."
"Banyak persoalan
penting yang harus kuselesaikan, urusan mereka tak dapat kupikirkan lagi,
mereka suka ribut, biarkan saja," ujar Ui Yong.
"Tapi... tapi kalau
terjadi apa2 antara mereka, lantas bagaimana, ibu"? kata Kwe Hu sambil
merangkul pundak sang ibu.
"Kalau mereka terluka
di medan perang barulah perlu dikuatirkan sekarang mereka saling berhantam
antara saudara sendiri, biar mampus juga syukur," kata Ui Yong dengan
gusar.
Melihat sikap sang ibu
yang bengis itu berbeda sekali dengan biasanya yang sangat memanjakan dirinya,
Kwe Hu tidak berani bicara lagi, ia menangis dan berlari pergi...
Sementara itu fajar sudah
tiba, Ui Yong berduduk sendiri di dalam kamar, meski dalam hati sangat gemas
terhadap perbuatan kedua saudara Bu, tapi mengingat kedua kedua anak muda itu
dibesarkannya sejak kecil, betapapun ia merasa kuatir.
Teringat pula bencana yang
bakal menimpa, tanpa terasa ia mencucurkan air mata, Kemudian iapun teringat kepada
keadaan Kwe Cing, cepat ia menuju kamar sang suami untuk menjenguknya.
Dilihatnya Kwe Cing sedang
duduk semadi di atas ranjang, walau mukanya rada pucat, tapi napasnya teratur,
tampaknya setelah istirahat beberapa hari lagi dapatlah sehat kembali.
Pelahan2 Kwe Cing membuka
matanya, ketika melihat sang isteri ada tanda bekas air mata, namun tersenyum
simpul, ia lantas berkata: "Yong-ji, kau tahu lukaku tidak beralangan,
kenapa kau berkuatir?, kukira kau sendiri yang perlu mengaso se-baik2nya."
"Ya, beberapa hari
terakhir ini perutku terasa mengencang, agaknya putera atau puterimu segera
akan berjumpa ayah,-" ujar Ui Yong dengan tertawa. Agar Kwe Cing tidak
berkuatir, maka soal Hotu datang menyampaikan surat tantangan dan kepergian
kedua saudara Bu untuk berkelahi itu sama sekali tak diceritakannya.
"Hendaklah kau suruh
kedua saudara Bu perketat patroli di atas benteng, musuh tahu aku terluka,
mungkin kesempatan ini akan digunakan mereka untuk menyerang," ujar Kwe
Cing.
Ui Yong mengiakan. Lalu
Kwe Cing bertanya pula tentang keadaan Nyo Ko.
Bclum lagi Ui Yong
menjawab, terdengar suara tindakan orang dari luar, suara Nyo Ko telah
menanggapi "Kwe-pepek, aku cuma terluka luar saja, setelah minum obat
pemberian Kwe-pekbo, kini sudah sehat kembali" Habis itu anak muda itupun
melangkah masuk dan berkata pula- "Baru saja kuperiksa keadaan penjagaan
di atas benteng, tampaknya semangat tempur segenap saudara kita ber-kobar2,
hanya kedua saudara..." Sampai di sini mendadak Ui Yong berdehem dan mengedipinya,
Nyo Ko dapat menerima arti isyarat itu,cepat ia menyambung: "kedua saudara
Bu menyatakan bahwa paman terluka demi menolong jiwa mereka, kalau musuh berani
menyatron ke sini, mereka pasti akan bertempur mati2an untuk membalas budi
kebaikan paman."
"Ai, setelah
peristiwa itu tentunya merekapun bertambah pengalaman sedikit dan tidak terlalu
meremehkan orang lain," kata Kwe Cing.
Tiba2 Nyo Ko bertanya:
"Kwe-pekbo, apakah Kokoh tidak datang ke sini?"
Tadi kami bicara sebentar,
mungkin dia kembali ke kamarnya untuk mengaso." jawab Ui Yong, "Sejak
kau terluka dia terus menunggui kau tanpa tidur."
Nyo Ko pikir apa yang
dibicarakan antara Siao-liong li dengan Ui Yong itu tentu akan diberitahukan
padanya, bisa jadi kembalinya Siao-liong-li tadi kebetulan dirinya sedang pergi
tidak bertemu.
Rupanya setelah berkumpul
lagi beberapa hari dengan Kwe Cing dan Ui Yong, Nyo Ko merasa suami-isteri itu
benar2 berjuang bagi negara dan bangsa tanpa memikirkan kepentingan pribadi,
hati Nyo Ko menjadi sangat terharu, apalagi setelah kejadian di tengah pasukan
Mongol itu, di mana Kwe Cing telah menyelamatkannya dengan mati2an, maka
maksudnya hendak membunuh Kwe Cing seketika dibuang seluruhnya dan berbalik ia
bertekad akan membalas budi kebaikan Kwe Cing dengan segenap tenaganya.
Ia tahu racun bunga cinta
dalam tubuhnya akan bekerja tujuh hari lagi, tapi ia sengaja melupakannya dan
sedapatnya ingin berbuat sesuatu yang baik di dalam tujuh hari ini agar tidak
sia2 menjadi manusia. Sebab itulah begitu dia sadar kembali dan merasa sehat,
segera ia ikut ronda akan kemungkinan serbuan musuh.
Begitulah ia menjadi
kuatir akan diri Siao-liong-li, segera ia hendak pergi mencarinya. Pada saat
itulah tiba2 di atas wuwungan rumah sana seorang bergelak tertawa dengan
suaranya yaag nyaring menggetar telinga, menyusul terdengar pula suara benturan
logam yang mendengking, jelas Kim-lun Hoat-ong yang telah tiba.
Air muka Kwe Cing berubah
seketika, cepat ia tarik Ui Yong ke belakangnya. Dengan suara tertahan Ui Yong
berkata: "Engkoh Cing mana lebih penting mempertahankan Siangyang atau
cinta kasih kita? Lebih penting keselamatanmu atau ke-sdamatanku?"
"Benar, kepentingan
negara lebih utama," jawab Kwe Cing sambil melepaskan pegangannya kepada
sang isteri
Segera Ui Yong siapkan
pentung bambu dan mengadang diambang pintu, ia menjadi ragu2 pula pada Nyo Ko,
anak muda ini entah akan ikut menghalau musuh atau berbalik akan menuntut batas
dendam pribadi pada saat orang sedang terancam bahaya.
Karena itulah meski dia
berjaga di ambang pintu, tapi pandangannya justeru mengawasi gerak-gerik Nyo
Ko.
Tanya jawab singkat Kwe
Cing dan Ui Yong tadi ternyata seperti bunyi guntur yang menggelegar dalam
pendengaran Nyo Ko, Bahwa dia sebenarnya sudah bertekad akan membantu Kwe Cing
hanya disebabkan dia terharu oleh budi luhur sang paman dan rela berkorban
baginya.
Tapi kini mendadak
didengarnya sang paman menyatakan: "Kepentingan negara lebih utama",
segera teringat pula ucapan Kwe Cing di luar Siangyang kemarin yang
menganjurkannya mengabdi bagi rakyat dan negara, seketika pikiran Nyo Ko
terbuka dan paham arti semua luapan itu.
Dilihatnya betapa kasih
sayang paman dan bibinya itu, disaat menghadapi bahaya mereka tetap
mengutamakan kepentingan negara dan bangsa, sebaliknya dirinya senantiasa
melulu memikirkan sakit hati pribadi dan tidak melupakan cinta ibunya dengan
Siao liong-Ii, bilakah dirinya pernah ingat kepada kepentingan negara yang
lebih utama dan penderitaan rakyat jelata di bawah keganasan musuh? Kalau
dibandingkan, maka dirinya sendiri sungguh rendah dan memalukan sekali.
Setelah menginsafi semua
itu, seketika lega dadapun lapang terngiang kembali ajaran Ui Yong di
Tho-hoa-to dahulu yang mengutamakan pendidikan budi pekerti itu, semua itu kini
menjadi sangat jalas dan terang dalam benaknya, tanpa terasa ia menjadi malu,
tapi bangkit juga semangatnya.
Maklumlah watak Nyo Ko
memang ekstrim, sejak kecil kenyang siksa derita, sebab itu tindak tanduknya
sering rada nyentrik. Tapi setelah mendengar percakapan Ui Yong dan Kwe Cing
tadi, kepalanya seperti mendadak dikemplang, pikirannya menjadi terbuka,
seketika dia memasuki hidup baru.
Meski apa yang dipikirnya
itu hanya terjadi sekilas saja, tapi Ui Yong dapat melihat perobahan air muka
Nyo Ko itu dari rasa bimbang menjadi malu, dari bersemangat berubah menjadi
tenang, tapi entah apa yang dipikirkan anak muda itu.
"Jangan kuatir,"
tiba2 Nyo Ko mendesis kepada Ui Yong, mendadak ia bersuit nyaring dan menuju ke
depan pintu dengan pedang terhunus- Dilihatnya Kim-lun Hoat-ong berdiri di atas
rumah dengan memegang sepasang rodanya.
"Adik Nyo, kau suka
miring ke sana dan doyong ke sini, pagi merah sore biru, bagus ya rasanya
menjadi pengecut yang. bolak-balik?" ejek Hoat-ong.
0i waktu biasa tentu Nyo
Ko akan gusar mendengar ejekan itu, tapi sekarang pikirannya sudah terang, ia
tidak gubris sindiran orang, dengan tertawa malahan ia menjawab :
"Ucapanmu memang benar, Hoat-ong, entah mengapa aku menjadi kesetanan dan
membantu Kwe Cing lari ke sini, Begitu sampai dt sini ia lantas menghilang
entah ke mana dan tak dapat kuketemukan Iagi. Aku menjadi menyesal, apakah kau
tahu dia sembunyi di mana?"
Habis itu ia lantas
melompat ke atas rumah dan berdiri tidak jauh di sebelah Hoat-ong.
Dengan perasaan sangsi Kim
- lun Hoat - ong melirik Nyo Ko, ia pikir anak muda ini banyak tipu akalnya,
entah benar tidak ucapannya itu, dengan tertawa ia lantas berkata: "Dan
bagaimana kalau dapat menemukan dia?"
"Segera kutusuk
dengan pedangku ini," jawali Nyo Ko.
"Hm, kau berani
menusuk dia?" jengek Hoat-ong.
"Siapa bilang menusuk
dia?" ujar Nyo Ko.
"Habis menusuk
siapa?" Hoat-ong menegas dengan bingung.
"Sret", mendadak
Kun~cu~kiam yang terhunus di tangan Nyo Ko itu menusuk iga kiri Hoat-ong dengan
cepat luar biasa. "Sudah tentu menusuk kau!" seru Nyo Ko sekaligus
Di tengah sendau guraunya
mendadak Nyo Ko melancarkan serangan lihay itu, kalau saja Kim-lun Hoat-ong
kurang tinggi kepandaiannya tentu jiwanya sudah melayang oleh tusukan itu.
Untung dia dapat bergerak dengan cepat, dalam keadaan bahaya itu dia kerahkan
tenaga pada lengan kiri dan menyampuk ke samping, dengan demikian ujung pedang
Nyo Ko dapat ditangkis, walaupun begitu tidak urung lengannya terluka juga oleh
pedang pusaka itu, darahpun bercucuran.
Meski sudah tahu Nyo Ko
banyak tipu akalnya, tapi sama sekali Hoat-ong tidak menduga anak muda itu akan
menyerangnya sekarang secara mendadak, segera roda emas ditangan kanannya
bergerak dan ber-turut2 ia balas menyerang dua kali, berbareng itu roda perak
di tangan kiri juga menghantam.
Nyo Ko tidak gentar
sedikitpun, musuh menyerang tiga kali, kontan iapun batas menusuk tiga kali,
katanya dengan tertawa: "Ketika di tengah pasukan Mongol kau telah melukai
aku dengan rodamu, sekarang beruntung aku dapat membalas kau dengan sekali
tusukan, Cuma ujung pedangku ini ada sesuatu yang aneh, kau tahu tidak?"
Dengan gusar Hoat-ong
melancarkan serangan gencar sambil bertanya: "Sesuatu yang aneh apa
maksudmu?"
"Kau tahu pedangku
ini kuperoleh dari Coat-ceng-kok tempat Kongsun Ci yang mahir menggunakan racun
itu," kata Nyo Ko dengan ber-seri2. "Nah, kelak kau boleh mencari dia
untuk membikin perhitungan."
Hoat-ong terkejut, ia
menjadi sangsi apakah benar Kongsun Ci telah memoles racun pada ujung pedang,
karena bimbang hatinya, serangannya menjadi rada kendur.
Padahal pedang Nyo Ko itu
sama sekali tidak berbisa. soalnya ia ingat pada cara Ui Yong menggertak lari
Hotu dengan air teh itu, maka iapun menirukan cara itu untuk mengacaukan
pikiran musuh yang lihay ini.
Meski lukanya tidak
terlalu parah, tapi darah mengucur terus, seumpama pedang Nyo Ko itu tidak
berbisa, lama2 kalau darah keluar terlalu banyak tentu akan lemah tenaganya,
maka Kim-lun Hoat-ong lantas menyerang dengan lebih gencar agar bisa
mengalahkan Nyo Ko.
Namun Nyo Ko cukup cerdik,
ia bertahan dengan rapat sedangkan serangan roda Hoat- ong itu semakin dahsyat.
Mendadak roda emasnya itu menghantam bagian atas dan roda peraknya menyabet
dari samping. Merasa tidak sanggup menangkisnya, cepat Nyo Ko melompat mundur.
Kcsempatan itu segera
digunakan Hoat-ong untuk merobek kain baju buat membalut luka, akan tetapi Nyo
Ko segera menubruk maju dan menyerang lagi, sedapatnya ia mengganggu Hoat-ong
agar tidak sempat mengurus lukanya, Begitulah beberapa, kali Hoat-ong tidak
berhasil membalut lukanya, tiba2 ia mendapat akal, ketika Nyo Ko dipaksa
melompat mundur, ia sendiri juga lantas melompat - mundur, menyusul ia
menimpukkan roda emas untuk mendesak Nyo Ko terpaksa harus menghindari lagi,
dengan begitu jarak kedua orang bertambah jauh, ketika Nyo Ko memburu maju
lagi, sekejap itu telah dapat digunakan Hoat-ong untuk membalut lukanya.
Pada saat itu juga di
sebelah sana terdengar suara nyaring benturan senjata, waktu Nyo Ko memandang
ke sana, dilihatnya Siao-liong-li sedang menandingi kerubutan Siau-siang-cu dan
Nimo Singh. Meski pentung Siau-siang-cu sudah dirampas Nyo Ko kemarin, tapi
sekarang dia memegang pentung yang serupa, hanya pentung ini entah juga berbisa
atau tidak.
Nyo Ko pikir Kwe Cing dan
Ui Yong berada dalam kamar di bawah, kalau diketahui Kim-Iun Hoat-ong tentu
urusan bisa runyam, ia pikir Hoat-ong harus dipancing pergi sejauhnya, cuma
tindakan ini harus dilakukan, secara wajar tanpa menimbulkan curiga musuh,
Karena itulah ia sengaja berseru: "Jangan kuatir, Kokoh, akan kubantu
kau!" Habis ini ia sengaja meninggalkan Kim-lun Hoat-ong dan melompat ke
sana, begitu sampai di belakang Nimo Singh. segera pedangnya menusuk punggung
musuh itu.
Setelah dilukai Nyo Ko
sudah tentu hati Kim lun Hoat-ong sangat gusar, kalau orang lain tentu akan
menguber Nyo Ko untuk membalas dendam.
Tapi dia memang seorang
pemimpin besar, setiap tindak tanduknya selalu dipikir secara panjang, ia pikir
tujuan utama kedatangannya ini adalah membunuh ICwe Cing, sakit hati pada anak
muda nakal yang telah melukainya ini biarlah kubalas kelak. Begitulah ia lantas
berteriak keras2: "Wahai, Kwe Cing? Ada tamu datang dari jauh, mengapa kau
tidak sudi menemuinya?"
Dia berteriak beberapa
kali dan tetap tiada jawaban orang, hanya dari sebelah lain ada suara orang
bertempur yaitu kedua muridnya, Darba dan Hotu, sedang mengeroyok Cu Cu-Iiu.
Dilihatnya pertempuran antara Siau-siang-cu dan Nimo Singh melawan Nyo Ko serta
Siao liong-li juga sukar di tentukan kalah menang dalam waktu singkat,
sementara itu di bawah rumah sudah ramai orang banyak, agaknya pasukan penjaga
benteng juga mendengar datangnya musuh, maka dikerahkan ke sini untuk menangkap
musuh penyelundup ini.
Biarpun tidak gentar
terhadap perajurit yang tidak mahir ilmu silat itu, tapi kalau berjumlah banyak
tentu juga repot menghadapinya, segera Hoat-ong berteriak pula: "Wahai Kwe
Cing, percumalah nama kepahlawananmu yang termashur selama ini, mengapa
sekarang kau terima menjadi kura2 yang mengerutkan kepala!"
Ia ber-teriak2 dengan
tujuan memancing keluar Kwe Cing, akan tetapi Kwe Cing tetap tidak mau muncul
Tiba2 Hoat-ong mendapat akal keji, ia melompat turun ke pekarangan belakang, di
situ ada kayu bakar yang mudah dijilat api, segera ia mengeluarkan alat ketikan
api dan membakar kayu dan benda2 lain yang mudah terbakar, Dengan gesit ia lari
kian kemari, ber-turut2 ia menyalakan api di beberapa tempat, lalu ia melompat
lagi ke atas rumah, ia pikir kalau api sudah berkobar masakah kau Kwe Cing
takkan menongol ?
Walaupun Nyo Ko sedang
menempur Siau~ siang-cu berdua, tapi pandangannya tidak pernah meninggalkan
gerak-gerik Kim-lun Hoat-ong, ketika melihat orang mulai membakar rumah, bagian
utara dan selatan tempat berdiam Kwe Ciag itupun mengepulkan asap api, ia
menjadi kuatir, karena sedikit lengah hampir saja dadanya tersabet oleh ular
baja Nimo Singh, syukur pada detik terakhir ia sempat menarik dadanya sedikit
hingga terhindar dari maut
Diam2 Nyo Ko berkeringat
dingin dan bersyukur dapat menyelamatkan diri., Segera terpikir pula olehnya
Kwe pepeknya terluka parah dan sang bibi sedang menantikan kelahirannya, di
tengah api yang sudah berkobar itu, kalau tidak lekas lari tentu akan terkurung
oleh api. Tapi kalau lari keluar tentu pula akan dipergoki oleh Kim-lun
Hoat-ong.
Terpaksa ia meninggalkan
Siao-liong-li sendiri menghadapi kedua lawan tangguhnya lebih duIu ia menyerang
Siau-siang-cu, habis itu ia terus melompat turun ke rumah dan maju ke tengah
asap api itu, untuk mencari Kwe Cing.
Dilihatnya Ui Yong
berduduk di tepi ranjang menjagai Kwe Cing, asap tebal ber-gulung2 me-rembes ke
dalam kamar. Kwe Cing memejamkan mata sedang menghimpun tenaga, kedua alis
Ui-Yong berkerut rapat, namun air mukanya tampak tenang2 saja, ia tersenyum
ketika melihat Nyo Ko.
Hati Nyo Ko rada lega
melihat kedua orang itu tidak merasa cemas atau gugup, segera ia berkata kepada
Ui Yong: "Akan kupancing pergi musuh, harap bibi memindahkan paman ke
tempat yang aman."
Habis berkata dengan
pelahan ia menanggalkan kopiah Kwe Cing, cepat pula ia berlari keluar ruang.
Ui Yong tercengang dan
tidak paham tingkah itu, tapi ia tahu anak muda itu banyak tipu akal2 nya,
dilihatnya api sudah semakin berkobar mendekati kamar, cepat ia memayang Kwe
Cing dan berkata: "Marilah kita pindah ke tempat lain." -Tapi baru
saja ia mengangkat sang suami, tiba2 perutnya kesakitan keras, tanpa tertahan
ia mengaduh dan terduduk kembali di tepi ranjang.
Diam2 ia mendongkol
terhadap jabang bayi yang berada dalam kandungannya itu, sungguh brengsek,
tidak lambat tidak cepat, justeru mau lahir pada saat segenting ini, bukankah
sengaja hendak bikin celaka kedua orang tua?
Padahal hari lahirnya
sebenarnya masih beberapa hari lagi, tapi lantaran beberapa hari terakhir ini
ia terus sibuk sehingga menggoncangkan janin dalam kandungannya itu lahir
terlebih cepat...
Begitulah Nyo Ko keluar
kamar Kwe Cing dilihatnya para perajurit sedang ber-teriak2 dan sibuk
memadamkan api, ada pula yang memanah ke atas rumah dan ada pula yang memutar
senjata berjaga di bawah rumah.
Ia incar seorang pemira
muda yang sedang memanah, mendadak ia tutuk Hiat-to perwira itu, menyusul
kopiah Kwe Cing terus dipasang pada kepala perwira itu, kemudian ia
menggendongnya terus melompat ke atas rumah.
Saat itu Siau-siang-cu dan
Nimo Singn yang mengerubut Siao-liong-li serta Darba dan Hotu mengroyok Cu
Cu-Iiu sudah tampak unggul, sedangkan Kim-lun Hoat ong sedang mempermainkan Kwe
Hu dengan ancaman sepasang rodanya, ia sengaja tidak mencelakai jiwa nona itu,
hanya tepian roda yang tajam sengaja mengiris kian kemari di depan wajah Kwe
Hu, jaraknya cuma satu-dua senti meter saja, kalau tersenggol pasti rusaklah
muka Kwe Hu yang cantik itu, dengan begitu ber-ulang Kim-lun Koat-ong membentak
agar nona itu mengaku di mana ayah-bundanya bersembunyi.
Rambut Kwe Hu tampak
semerawut, pedangnya sudah kutung sebagian, tapi ia masih terus bertahan dengan
nekat, ia anggap tidak mendengar semua pertanyaan Kim-lun Hoat-ong.
Selagi Kim-lun Hoat-ong
berusaha memaksa pengakuan Kwe Hu, se-konyong2 dilihatnya Nyo Ko menggendong
seorang dan berlari cepat ke barat-laut. Ah, Orang yang digendongnya itu tidak
bergerak, tentu Kwe Cing adanya.
Sambil bersiul panjang
Hoat-ong terus meninggalkan Kwe Hu dan mengudak kesana.
Melihat itu,
Siau-siang-cu, Nimo Singh, Darba dan Hotu berempat juga meninggalkan lawan
mereka dan ikut mengejar, Cu Cu liu menguatirkan Nyo Ko yang sendirian itu
pasti bukan tandingan musuh sebanyak itu, cepat iapun menyusul ke sana untuk
membantu Nyo Ko dan melindungi Kwe Cing.
Waktu melompat ke atas
rumah dan lewat di samping Siao-liong-li tadi, Nyo Ko sempat mengedipi
Siao-liong-li disertai senyuman yang aneh penuh arti, Siao-liong li tahu anak
muda itu sedang "main" lagi, hanya tidak tahu tipu daya apa yang
sedang dilakukannya.
Tampaknya kekuatan musuh
terlalu besar, maka iapun bermaksud mengejar kesana untuk membantunya. Tapi
pada saat itu juga tiba2 di bawah rumah ada suara tangisan jabang bayi.
"He, ibu telah
melahirkan adik!" seru Kwe Hu dengan girang sambil melompat turun.
Siao-liong-li menjadi
tertarik dan ingin tahu orang melahirkan, pula ia yakin isyarat Nyo Ko yang
banyak tipu akalnya itu pasti mempunyai makna tertentu, maka segera iapun ikut
ke dalam rumah untuk melihat anak yang dilahirkan Ui Yong.
Sementara itu Kim-lun
Hoat-ong mengejar dengan kencang, tampaknya jaraknya dengan Nyo Ko makin dekat,
ia menjadi gjrang, pikirnya: "Coba sekali ini apakah kau mampu lolos dari
tangan ku!"
Ginkang aliran Ko-bong pay
(kuburan kuno) yang dipelajari Nyo Ko itu boleh dikatakan tiada tandingannya di
dunia ini, meski dia menggendong seorang, tapi mengingat semakin jauh
meninggalkan Kwe-pepeknya berarti keselamatan sang paman ter-jamin, karena itu
ia berlari secepatnya seperti kesetanan, seketika Kim-lun Hoat-ong tak dapat
menyusulnya.
Begitulah Nyo Ko terus
ber-Iari2 di atas deretan rumah, ketika kemudian mendengar langkah orang
dibelakangnyn semakin mendekat, segera ia melompat ke bawah rumah, lalu dia
berputar kian kemari diantara gang2 sempit dan main kucing2an dengan Kim-lun
Hoat-ong.
Meski Ginkang Nyo Ko lebih
tinggi setingkat daripada Hoat-ong, tapi dia dibebani menggendong seorang, kalau
kejar mengejar ditanah datar tentu sejak tadi sudah disusul oleh Hoat-ong,
untung dia lari putar sini-dan belok sana di antara gang dan lorong sempit
rumah2 penduduk sehingga Hoat-ong tetap tak dapat menangkapnya.
Segera Hoat-ong berkata:
"Saudara Sing, cepat jaga dimulut gang ini, biar kumasuk ke sana untuk
menangkap setan cilik itu."
Mendadak Nimo Singh
mendelik dan menjawab: "Memangnya aku mesti tunduk kepada
perintahmu?"
Hoat-ong pikir si Hindu
cebol ini sukar di-ajak berunding, tanpa berkata lagi ia terus melompat ke atas
rumah, dari ketinggian ia memandang sekitarnya, kebetulan dilihatnya Nyo Ko
meringkuk pada pojok tembok dengan menggendong "Kwe Cing", agaknya
sedang melepas lelah.
Girang sekali Hoat-ong,
dengan ber-jinjit, ia merunduk maju, bara saja ia hendak menubruk ke bawah,
mendadak Nyo Ko menjerit sekali, dengan cepat sekali anak muda itu menyusup ke
tengah kabut asap yang tebal dan seketika kehilangan jejaknya.
Tujuannya Hoat-eng
mengobarkan api adalah untuk memaksa keluarnya Kwe Cing, sekarang dimana2 api
berkobar dan asap tebal ber-gulung2, jadinya malah sukar menemukan Kwe Cing.
Selagi dia celingukan ke
sana-sini, tiba2 terdengar seruan Darba: "lni dia, di sini!"
Cepat Hoat-ong memburu ke
sana, dilihatnya Darba dengan gadanya yang berat itu sedang kececar oleh
serangan pedang Kyo Ko. Dua kali lompatan saja dapatlah Hoat-ong tiba di sana
dan mencegatnya dulu jalan lari anak muda itu.
Diluar dugaan mendadak Nyo
Ko menerjang ke depan, "bluk", tahu2 Darba diterjangnya hingga
terjungkal pada saat itu juga roda perak Hoat-ong juga sudah disambitkan
Samberan roda perak itu
cepat luar biasa, Nyo Ko tidak sempat mengelak, "cret", dengan tepat
pundak Kwe Cing tergores luka yang cukup dalam.
Dengan girang Hoat-ong
berseru: "Kena kau sekali ini!"
Tak tahunya Nyo Ko
sedikitpun tidak peduli- akan mati hidupnya Kwe Cing dan masih terus ber-Uri ke
depan. Tapi begitu sampai di ujung lorong sana, mendadak seorang bersuara seram
menghaIanginya: "Menyerahlah, anak kecil!" - Kiranya Siao-siang -cu
adanya.
Keadaan Nyo Ko sekarang
benar2 kepepet bagian depan diadang musuh, jalan mundur juga tersumbat, waktu
ia mendongak, diatas pagar tembok pun berdiri Nimo Singh, Tanpa Nyo Ko melompat
ke atas, kontan Nimo Singh mengemplangnya dengan ular bajanya, untuk mendesak
anak muda itu turun ke lorong buntu lagi.
Nyo Ko pikir setelah
sekian lamanya tentu Kwe Cing dan Ui Yong sudah lolos dari bahaya, segera ia
cengkeram perwira yang digendongnya itu terus disodorkan kepada Nimo Sinnh
sambil terseru: "lni, kuserahkan Kwe Cing padamu!"
Kaget bercampur girang
Nimo Singh, disangkanya Nyo Ko memang suka bolak-balik memihak sana-sini dan
sekarang mendadak anak muda itu berputar haluan lagi serta memberikan pahala
besar padanya, maka tanpa pikir ia terus tangkap tubuh orang yang dilemparkan
padanya itu.
Tak terduga Nyo Ko terus
menyusuli dengan sekali tendang dan tepat mengenai pantat Nimo-Singh, kontan
Hindu cebol terjungkal ke bawah tembok dan tentu pula kesaktiannya, tapi
Nimo-Singh sama sekali tidak memusingkan sakit atau tidak, bahkan ia terus
ber-teriak2 girang: "Kwe Cing berhasil kutangkap! Kwe Cing sudah
kutangkap!"
Tentu saja Siau-siang-su
dan Darba tidak membiarkan pahala besar itu dicaplok sediri oleh Nimo Singh,
cepat mereka memburu maju untuk merebut, ketiga orang sama memegangi anggota
badan perwira tadi, ada yang pegang tangan, ada yang memegang kaki, sekali
mereka membetot, karena tenaga mereka sama2 kuat, seketika tubuh perwira itu
terbeset menjadi tiga bagian.
Kopiah yang dipakainya
lantas terjatuh, Nimo Singh bertiga dapat melihat jelas orang yang mereka
rebut-kan itu ternyata bukan Kwe Cing adanya, keruan mereka melengak dan tak
dapat bersuara.
Ketika melihat Nyo Ko
membuang Kwe Cing yang digendongnya terus melarikan diri, segera Hoat-ong
menduga pasti ada sesuatu yang tidak beres, maka waktu melihat ketiga kawannya
itu melengak kesima, ia lantas memaki: "Goblok"
Segera Hoat-ong mengudak
lagi ke arah Nyo Ko, ia pikir andaikan Kwe Cing, tidak berhasil ditangkap,
kalau dapat menawan Nyo Ko juga tidak sia2 kedatangannya ke Siangyang ini.
Namun sementara itu Nyo Ko
entah sudah kabur ke mana, jelas sukar menemukannya. Hoat-ong berpikir sejenak,
segera ia dapat menarik kesimpulan "Bocah itu sengaja menggendong seorang
Kwe Cing palsu dan main kucing2an dengan aku, tentu tujuannya memancing aku
mengejarnya, jika begitu jelas Kwe Cing pasti berada ditempat yang kubakar
tadi. Dia memakai akal licik, biarlah akupun menggunakan akalnya itu untuk
menjebak dia." - Karena itu ia tidak peduli lagi ke mana kaburnya Nyo Ko,
ia terus menuju ke tempat yang paling ganas dimakan api.
Padahal saat itu Nyo Ko
sedang mengawasi gerak-gerik Hoat-ong, ia bergelantungan di bawah emper rumah,
ketika melihat Hoat-ong berlari cepat ke tempat sembunyi Kwe Cing, ia menjadi
kuatir, ia tidak tahu waktu itu Ui Yong sudah memindahkan suaminya ke tempat
lain atau belum, maka cepat iapun mengintil Hoat-ong.
Setiba di dekat tempat Kwe
Cing tadi, mendadak Hoat-ong melompat ke bawah sambil membentak: "Bagus,
kau Kwe Cing! Kiranya kau berada di sini, lekas ikut saja padaku?"
Keruan Nyo Ko kaget,
selagi hendak melompat turun, tiba2 terdengar suara gemerincing, suara
beradunya senjata, lalu terdengar pula suara bentakan Hoat-ong: "Nah, Kwe
Cing lekas menyerah saja kau."
Menyusul suara mendering
benturan senjata berbunyi pula ber-turut2. seketika Nyo Ko tahu apa yang
terjadi, ia tertawa sendiri dan mengomel di daIam hati: "Setan gundul,
hampir saja kuterjebak olehmu, Sayang akalmu yang busuk itu kurang cermat, kau
pura2 mengeluarkan suara benturan senjata segala, padahal dalam keadaan terluka
mana Kwe~ pepek sanggup menempur kau dengan senjata, Hnw kau ingin menipu aku,
aku justeru sembunyi di sini untuk menonton sandiwaramu."
Begitulah mendadak
terdengar Hoat-ong berteriak pula: "Aha, sekali ini kau pasti mampus,
NyoKo!"
Tentu saja Nyo Ko
terkejut, ia heran mengapa dirinya dikatakan pasti mampus? Tapi segera ia paham
maksudnya, agaknya Kim - lun Hoat - ong tidak berhasil memancing dirinya
keluar, sekarang berbalik hendak memancing munculnya Kwe Cing muncul
menolongnya.
Terdengar Hoat-ong
bergelak tertawa dan berkata pula: "Hahaha, Nyo Ko, sekali ini jiwamu
melayang di tanganku, agaknya memang nasibmu begini."
Belum habis ucapannya^
se-kenyong2 bayangan putih berkelebat seorang gadis menerobos keluar dari
tengah gumpalan asap sana dan menubruk ke arah Hoat-ong, Cepat Nyo Ko berseru:
"Aku berada di sini, Kokoh!"
Gadis itu memang
Siao-liong-li adanya, Hoat ong lantas putar rodanya dan mencegat di depan
Siao-liong-li. Rupanya suara Hoat-ong yang mengatakan jiwa Nyo Ko pasti akan
melayang itu telah membikin kuatir Siao - liong - li, tanpa pikir ia terus
menerjang keluar untuk menolongnya.
Terpaksa Nyo Ko ikut
menerjang maju untuk mengerubuti Hoat-ong, Kedua muda-mudi saling pandang
dengan tersenyum bahagia, seketika Giok-ii-kiam-hoat dimainkan dengan sangat
indah, sinar pedang mereka mengurung rapat Kim-lun Hoat~ong.
Diam2 Hoat-ong mengeluh:
"CeIaka, ini benar2 mengundang bahaya untuk mencelakai diri sendiri!"
Sementara itu api masih
berkobar dengan hebatnya, banyak tiang dan belandar berjatuhan Mendadak
Hoat-ong perlihatkan keperkasaannya, sekali kedua rodanya diangkar sekaligus ia
tangkis kedua pedang lawannya, habis itu cepat ia mundur ke kiri sana.
"Sekali ini jangan
membiarkan dia lolos lagi, harus binasakan bibit bencana ini!" seru Nyo Ko
kepada Siao-liong-Ii sambil memburu maju, "sret", kontan ia menusuk
punggung Hoat-ong.
Sejak kecundang oleh
Giok-li-kiam-hoat tempo hari dengan tekun lioat-ong telah merenungkan sejurus
ilmu silat yang dapat mematahkan ilmu pedang itu, walaupun begitu ia mengakui
Giok-li-kiam-hoat yang dimainkan secara berganda itu teramat lihay, apakah
dirinya dapat mematahkannya atau tidak sesungguhnya iapun tidak berani
memastikannya, sekarang keadaan berbahaya tanpa pikir ia keluarkan ilmu silat
ciptaannya yang baru itu: Ngo-lun-tay-coan" (putaran Iima roda sekaligus)
untuk mencobanya,
Begitulah serentak ia
keluarkan semua senjata rodanya, terdengar suara gemerincing nyaring, tiga buah
rodanya terus melayang di udara, sedangkan setiap tangannya tetap memegangi
sebuah roda pula.
Kelima rodanya itu terbuat
dari emas, perak, besi, tembaga dan-timah, bobotnya tidak sama, besar kecilnya
juga rada berbeda, akan tetapi secara bergiliran ia menyambitkan dan menangkap
kembali rodanya, lalu disambitkan pula dan begitu seterusnya, samberan roda itu
terkadang lurus dan terkadang miring, seketika Nyo Ko dan Siao-liong-Ii dibikin
bingung.
Melihat cara serangan
musuh sangat aneh dan lihay, sedapatnya Nyo Ko dan Siao liong-li mendempel
punggung, mereka berjaga sedapatnya untuk mengamati serangan musuh, habis itu
baru mencari jalan untuk mematahkannya.
Kelima roda Kim-lun
Hoat-ong itu terus beterbangan, akan tetapi Nyo Ko dan Siao-Iiong-li telah
memutar pedangnya hingga berwujud sebuah jaringan sinar perak, betapapun
hebatnya roda Hoat-ong itu tetap sukar menembus pertahanan lawan. Diam2
Hoat-ong patah semangat, ia pikir percumalah latihanku selama ini, ternyata
lima rodaku sekaligus juga sukar menandingi permainan ganda ilmu pedang mereka.
Selagi Hoat-ong merasa
lesu, se-konyong dari pangkuan Siao-liong~li ada suara menguak beberapa kali,
itulah suara tangisan jabang bayi.
Hal ini tidak saja membuat
Hoat-ong terkejut, bahkan Nyo Ko juga melengak heran. Ketiga orang sama
tertegun sehingga pertarungan mereka menjadi mengendur dengan sendirinya.
Dengan tangan kiri
Siao-liong-li menepuk pelahan pangkuannya sambil berkata: "Jangan menangis
sayang, lihatlah kuhajar Hwesio tua ini." -Tak tahunya bayi itu malah
menangis semakin keras.
"Anak
Kwe-pekbo?" tanya Nyo Ko dengan suara lirih.
Siao-liong-li mengangguk
dan menusuk satu kali pada Kim-lun Hoat-ong.
Kim-lun Hoat-ong menangkis
dengan roda emasnya ia tidak dengar jelas pertanyaan Nyo Ko tadi seketika ia
tidak paham untuk apakah Siao-liong-Ii membawa seorang bayi, tapi mengingat
nona itu dibebani seorang bayi, tentu daya ilmu pedangnya akan berkurang dan
sebaliknya sangat menguntungkan dirinya, maka cepat ia lancarkan serangan
gencar kepada Siao-liong-li.
Lekas Nyo Ko balas
menyerang beberapa kali agar tekanan musuh kepada Siao-liong li berkurang
berbareng ia mendesis pula kepada Siao-liong-li.
"Apa paman dan bibi
Kwe baik2 saja?"
"Ui-pangcu sempat
memayang Kwe-tayhiap menyelamatkan diri dari lautan api....." trang"
ia tangkis roda musuh yang menyerangnya, lalu menyambung: "Keadaan waktu
itu sangat gawat, belandar rumah sudah hampir runtuh, syukur aku sempat
menyelamatkan anak perempuan ini dari tempat tidur.
"Anak ini
perempuan?" Nyo Ko menegas sambil menabas kaki Hoat-ong untuk memaksa
musuh menarik kembali serangannya kepada Siao-liong-li.
Tadinya ia pikir Kwe Cing
sudah punya anak perempuan, anaknya yang bakal lahir tentu anak laki2, siapa
tahu kembali mendapatkan anak perempuan, hal ini rada diluar dugaannya.
Siao-liong-Ii mengangguk
dan menjawab: "Ya, perempuan, lekas kau membawanya..." sembari
berkata tangan kirinya terus menjulur ke pangkuannya dan bermaksud menyerahkan
orok itu kepada Nyo Ko.
Akan tetapi bayi itu
menangis keras, sedang saat serangan Hoat-paig semakin gencar, tiga buah roda
ber-putar2 di atas kepala, begitu ada peluang lantas menyerang ke bawah, kedua
roda yang di-peganginya terlebih lihay pula cara menyerangnya, Nyo Ko juga cuma
dapat bertahan sekadarnya dengan segenap tenaganya, sehingga sukar menerima penyerahan
bayi dari Siao-liong-li. .
Karena itu ber-ulang2
Siao-liong-li berseru pula "Lekas bawa bayi ini dan gunakan kuda merah itu
ke..." trang-trang, roda Hoat-ong menyerang lebih gencar hingga
Siao-liong-li tidak dapat melanjutkan ucapannya.
Dalam keadaan demikian,
apa yang terpikir oleh Nyo Ko dan Siao-liong-li menjadi berbeda sehingga daya
tempur Giok-li-kiam-hoat sukar dikerahkan.
Nyo Ko pikir bayi itu
harus diterima dulu agar Siao-liong-li tidak terpencar perhatiannya, maki
pelahan ia menggeser ke sana, Siao - liong-li juga ingin menyerahkan bayi itu
kepada Nyo Ko, jadi kedua orang ada perpaduan pikiran, segera daya tempur ilmu
pedang mereka bertambah kuat, Kim lun Hoat-ong terdesak mundur lagi.
Segera Siao - liong - li
menyodorkan bayi itu kepada Nyo Ko dan baru saja anak muda itu mengulur tangan
hendak menerimanya, se-konyong2 bayangan hitam berkelebat roda besi Hoat-ong
menghitam ke badan bayi itu, Kuatir bayi itu terluka, Siao-liong-li lepaskan
bayi itu, berbareng tangannya Iurus memutar ke atas untuk mencengkeram roda isi
itu.
Samberan roda besi itu
sangat keras, pula tepian cukup tajam, kalau orang lain pasti tidak berani
menyentuhnya, tapi Siao-liong-li memakai sarung tangan buatan dari benang emas
yang halus, sekalian pedang dan golok pusaka juga berani dipegangnya dan
dipatahkan olehnya.
Maka waktu menempel roda
musuh, sekapan ia tolak ke samping lalu dengan gerakan miring ia hentikan
putaran roda.
Pada saat itu juga Nyo Ko
sudah dapat memondong bayi tadi dan berseru memuji demi menyaksikan
Siao-liong-li merampas roda musuh, Kalau saja roda itu langsung menghantam
Siao-liong-Ii tentu sukar dipegangnya tapi lantaran sasaran roda itu adalah si
bayi, maka Siao-liong-li berhasil menangkapnya dari samping, Tampaknya inilah
kelemahan permainan "panca-roda" Kim-lun Hcat-ong,
Siao liong-li sangat
senang karena dapat menangkap senjata lawan, tiba2 ia menirukan gaya permainan
Hoat-ong, roda besi itu terus menghantam musuh, ia pikir biar "senjata
makan tuannya".
Hoat-ong menjadi kejut dan
malu karena senjatanya terampas musuh, dengan sendirinya pula ii tidak dapat
memainkan "panca roda" dengan begitu ia terus simpan kembali kedua
roda yang lain, hanya dua roda saja yang dipegangnya untuk menyerang.
Sambil merangkul bayi itu,
Nyo Ko berseri kepada Siao-liong-li agar membinasakan dulu musuh gundul itu.
Siao-liong-li mengiakan, segera mereka menyerang dengan sepasang pedang
ditambah lagi roda rampasan.
Tak terduga, makin Iaraa
daya serangan mereka bukanlah bertambah kuat, sebaliknya malal sering kacau,
kerja sama terasa kurang "sreg", keruan Siao-liong-li merasa bingung,
ia tidak tahu apa sebabnya.
Ia lupa bahwa
Giok-li-kiam-hoat itu memiliki daya tempur yang hebat adalah karena adanya
perpaduan perasaan antara pasangan yang memainkan ilmu pedang itu. sekarang di
antara sepasang pedang mereka bertambah lagi roda besi, hal ini menjadi seperti
di antara sepasang kekasih telah di susupi oleh orang ketiga yang menimbulkan
gangguan, dengan sendirinya paduan pikiran "menreka menjadi teralang dan
kerja sama merekapun menjadi kacau.
Setelah beberapa jurus
lagi dan terasa semakin payah, Siao-liong-li menjadi gelisah, katanya kepada
Nyo Ko: "Hari ini kita tak dapat mengalahkan dia, lekas kau membawa anak
ini ke Coat-ceng-kok..."
Segera Nyo Ko paham maksudnya,
kalau sekarang juga berangkat dengan kuda merah itu tentu dalam tujuh hari
dapat mencapai Coat-ceng-kok, meski kepala Kwe Cing dan Ui Yong tak dapat di
bawanya, tapi anak perempuan mereka yang dibawa ke sana, tentu Kwe Cing dan
isterinya akan segera menyusul ke sana dan Kiu Jian-jio dapat berusaha menuntut
batas kepada mereka.
Dalam keadaan begitu mau
tak-mau Kiu Jian-jio harus memberikan separoh obatnya kepada Nyo Ko dan bila
racun dalam tubuhnya sudah punah, kelak ia masih dapat berdaya untuk menyelamatkan
anak bayi ini.
Usaha mengulur waktu ini
rasanya dapat diterima oleh Kiu Jian-jio, sebab kalau Kwe Cing dan Ui Yong
datang kesana untuk mencari anaknya, dalam keadaan lumpuh dan ingin menuntut
balas, mau-tak-maii Kiu Jian-jio mengharapkan bantuan Nyo Ko, sebab itulah sisa
obat yang masih ada itu betapapun harus diberikan kepada anak muda itu.
Jika hal ini terjadi dua
hari yang lalu tentu tanpa ragu2 Nyo Ko akan melaksanakannya, tapi sekarang dia
benar2 sangat kagum dan hormat kepada jiwa kepahlawanan Kwe Cing, sungguh ia
tidak ingin membikin susah anak perempuan orang demi untuk kepentingannya
sendiri, karena itulah ia menjadi ragu dan berkata: "Kokoh, urusan ini
tidak boleh begitu..."
"Kau... kau..."
belum lanjut ucapan Siao-liong li, "bret", mendadak baju bahu kirinya
ter-robek oleh roda emas Kim-lun Hoat ong.
"Jika kulakukan hal
ini, sungguh aku malu terhadap Kwe-pepek," kata Nyo Ko pula. "Pula
aku tidak sesuai lagi untuk menggunakan pedangku ini!" Sembari berkata
iapun acungkan Kun-cu-kiam (pedang laki2 sejati) ke atas.
Sudah tentu Siao-liong-li
sama sekali tidak tahu bahwa jalan pikiran Nyo Ko telah berubah mendadak
segenap usahanya hanya ditujukan untuk menyelamatkan Nyo Ko, sekarang mendengar
anak muda itu segan kepada musuh pembunuh ayahnya dan ingin menjadi laki2
sejati, sejenak Siao~liong-li menjadi bingung.
Dan karena tiada kesatuan
pikiran antara mereka, ilmu pedang yang mereka mainkan menjadi kurang baik,
segera Hoat-ong melangkah maju, sikutnya lantas menyodok bahu kiri Nyo Ko.
Betapa lihay tenaga
Hoat-ong, keruan saja Nyo Ko merasakan setengah tubuhnya kaku kesemutan, bayi
yang dipondongnya itu terlepas dan jatuh. Padahal waktu itu mereka bertempur di
atas rumah, langsung saja orok itu terbanting ke bawah.
Nyo Ko dan Siao-liong-li menjerit
kaget dan segera bermaksud melompat ke sana untuk menyelamatkan bayi itu, namun
sudah terlambat.
Sementara itu dari
percakapan Nyo Ko berdua. dapatlah Hoat-ong mengetahui bahwa bayi itu adalah
anak Kwe Cing dan Ui Yong, ia pikir bila Kwe Cing tak dapat ditangkap, boleh
juga anak perempuannya diculik untuk di jadikan sandera agar dia menyerah, dan
sama saja suatu jasa besar bagiku?
Dalam pada itu keadaan
bayi yang terjatuh ibawah itu tampaknya sangat berbahaya, cepat ia sambitkan
roda emasnya ke sana, dengan tepat roda itu menyangah di bawah gurita bayi itu
dan terus melayang ke sana satu meteran di atas permukaan tanah, bayi itu
tersanggah di atas dengan antengnya.
Serentak tiga orang
melompat turun buat berebut roda itu, Tempat berdiri Nyo Ko paling dekat.
Ginkangnya juga tinggi, ia melihat roda itu makin melayang makin rendah,
sebentar bagi pasti akan jatuh ke tanah. Cepat ia menubruk ka sana, badannya
berguling maju roda bayi itu hendak dirangkulnya sekaligus agar bayi itu tidak
terluka.
Ketika tangannya hendak
meraih, mendadak roda emas Hoat-ong itu mengapung ke atas, sebuah tangan
menjulur dari samping, roda emas itu terpegang dan bayi itupun diserobot lagi..
Waktu Nyo Ko melompat
bangun, sementara itu Hoat-ong dan Siao-liong-li juga sudah memburu tiba,
"He, itulah Suciku!" seru Siao-liong-li.
Dari jubah orang yang
berwarna kuning dan tangan lain membawa kebut, Nyo Ko juga tidak sangsi lagi
memang benar penyerobot bayi itu ia adalah Li Bok chiu. Mengingat watak Li
Bok-chiu yang kejam, nasib bayi itu pasti celaka bila berada dalam cengkeraman
iblis itu, tanpa pikir ia terus mengudak ke sana.
Siao-liong-li juga lantas
ber-teriak2. "Suci, Suci bayi itu besar artinya bagiku, untuk apa kau
menyerobotnya?"
Li Bok-chiu tidak menoleh,
dari jauh ia menjawab: "Hm, turun temurun ahli waris Ko-bong pay kita
adalah perawan yang suci bersih, tapi anak saja sudah kau iahirkan, sungguh
tidak tahu malu."
"ltu bukan anakku,
lekas kau kembalikan padaku" teriak Siao-liong-li.
Selagi dia hendak mengejar
sekuat tcnaga, tiba2 sesosok bayangan melompat keluar dari samping sambil
berseru: "Selamat bertemu pula, nona Liong!"
Sama sekali Siao-liong-li
tidak memandang siapa gerangan orang ini, sedikit mengegos segera ia bermaksud
menyelinap lewat di sebelah orang.
Tapi orang itu telah
mengulur kipasnya dan menutuk pelahan ke Koh-eng-hiat dibahunya sambil berseru:
"Ah, masakah nona cantik bersikap dingin"
"Jangan merecoki
aku!" bentak Siao-liong-li sambil menangkis dengan pedang dan tetap tidak
memandang orang itu.
Kembali kipas orang itu
menutuk lengannya katanya sambil tertawa: "Sungguh malang, mengharapkan
pandangan mesra si cantik sekejap saja tak dapat kuperoleh."
Sementara itu Li Bok-chiu,
Hoat-ong dan Nyo Ko sudah cukup jauh di depan, tampaknya sukar untuk menyusul
mereka, baru sekarang Siao liong-li berpaling, kiranya orang yang mengadangnya
dengan memegang kipas ini adalah pangeran Hotu,
Biasanya Siao-liong-li
memang tidak pernah unjuk rasa gusar atau gembira, kecuali cinta kasihnya
kepada Nyo Ko, urusan lain sama sekali tak pernah terpikir olehnya. Maka
melihat Hotu bicara dengn cengar-cengir, iapun tidak ambil pusing, hanya
dikatakannya dengan tak acuh: "Aku lagi ada urusan penting, masakah kau
tidak melihatnya?"
Melihat sikap si nona
ramah tamah tanpa marah, Hotu bergirang, segera ia berkata pular.
"Sejak berpisah,
betapa rindu hatiku akan dikau, Siau-ong ingin bicara sesuatu, entah nona sudi
mendengarkan tidak?"
Tapi Siao-liong-li sedang
menguatirkan Nyo Ko serta bayi itu, ia hanya mendengus saja dan tidak
menggubrisnya lagi sekali mengegos segera ia menyelinap lewat samping orang.
Sejak pertama kali Hotu
mengunjungi Cong-lam-san untuk meminang Siao - liong - li, sebelum bertemu muka
si nona dia sudah lari ter-birit2 karena diusir oleh gerombolan tawon, hal ini
sungguh membikin pamornya merosot habiskan, kemudian di perjamuan Eng - hiong -
yan dia melihat sendiri wajah Siao-liong-li yang cantik molek, dia benar2
kesemsem dan rindu kasmaran pula siang dan malam, sekarang kebetulan dapat
berjumpa berhadapan sendirian, mana dia mau membiarkan si nona pergi begitu
saja tanpa mengutarakan isi hatinya yang rindu dendam itu.
BegituIah ketika Siao -
liong - li hendak tewat, cepat ia pentang kedua tangannya dan
mengadangnya-katanya sambil tertawa: "Siau - ong benar2 ingin mengutarakan
cinta pada nona, masakah nona sama sekali tidak sudi mendengarkan?"
Siao-liong-li menjadi
aseran melihat orang merecokinya, "sret", segera ia menusuk kekiri
dan mendadak berputar pula ke kanan, kontan pundak kanan Hotu berlumuran darah.
Sambil menahan sakit Hotu
balas menyerang satu kali sambil berkata: "Mcngapa engkau setega
ini?"
Kembali Siao-liong-Ii
hanya mendengus saja, pedangnya berputar pula, sekali ini menusuk pinggang
lawan.
Melihat tipu serangan si
nona cukup keji, tapi air mukanya tetap tenang dan ramah tamah, Hotu menyangka
orang sengaja hendak menguji ketulusan cintanya, maka ia sengaja menurunkan
kipasnya dan tidak balas menyerang pula, namun masih mengadang di depan si
nona.
Kembali Siao-liong-li
menusuk pula, tapi Hotu malah membusungkan dada menyambut serangan itu, ia
pikir si nona pasti takkan membunuhnya. Keruan Siao-liong-li menjadi melengak
malah dan tidak tahu apa maksud orang, sedikit ia miringkan ujung pedang,
"cret", bahu Hotu yang tertusuk pedangnya.
Tusukan ini cukup parah,
seketika Hotu merasa kesakitan luar biasa, tapi hatinya malah bergirang,
pikirnya: "Nyata dia memang sengaja menguji ketulusan hatiku dan tidak
menusuk dadaku."
Sementara itu
Siao-liong-li lantas menggeser cepat ke belakang Hotu, kuatir digoda lagi,
pedangnya terus membalik lagi menusuk, sedangkan kakinya melangkah tanpa
berhenti.
Dari suara angin yang
keras itu Hotu merasa tusukan si nona sekali ini tampaknya bukan cuma menguji
saja, tapi bila kena bukan mustahil jiwa akan melayang, maka cepat ia
mendoyongkan tubuh ke belakang, waktu ia berdiri tegak lagi, ternyata
Siao-liong-li sudah kabur jauh dan sukar disusul.
Walaupun pedang
Siao-liong-li berhasil menusuk Hotu, tapi pikirannya lagi tertuju kepada
keselamatan Nyo Ko, apa yang terjadi dengan Hotu itu sama sekali tidak
diperhatikan olehnya. ia lihat Li Bok-chiu bertiga berlari menuju ke utara,
maka cepat iapun memburu ke jurusan sana.
Sementara itu suasana
dalam kota sedang ribut, di mana2 pasukan dikerahkan menangkap mata2 musuh,
Namun, Siao-liong-li tidak ambil pusing semua ituy ia terus berlari ke pintu
benteng-
waktu itu Loh Yu-kah
sedang ronda dengan sekelompok anggota Kay-pang. Melihat Siao-liong-li, segera
Loh Yu-kah bertanya: "Nona Liong, apakah Ui pangcu dan Kwe-tayhiap baik2
saja?"
Siao-liong-li tidak
menjawab, sebaliknya ia malah bertanya: "Apakah kau melihat Nyo-kongcu dan
Kim-lun Hoat~ong serta seorang tokoh yang membawa anak bayi?"
"Semuanya melompat ke
sana," jawab Loh-Yu-kah sambil menuding keluar benteng.
Siao-Iiong-li melengak, ia
pikir tembok benteng begitu tinggi, cara bagaimana ketiga orang itu turun ke
sana, apakah mereka takkan patah tulang dan pecah kepala?
Sekilas dilihatnya seorang
perajurit sedang menyikat bulu kuda merah, itu kuda mestika kesayangan Kwe
Cing, terkesiap hati Siao-liong-Ii, ia pikir kalau Nyo Ko tidak menggunakan
kuda mestika ini jelas sukar mencapai Coat-ceng-kok dalam waktu singkat, segera
ia memburu maju dan menarik tali kendali kuda itu, katanya kepada Loh Yu-kah: "Aku
ada urusan penting keluar kota, sementara ku pinjam pakai kuda ini."
Yang dikuatirkan Loh
Yu-kah hanya keselamatan Ui Yong dan Kwe Cing saja, kembali ia tanya:
"Apakah Ui-pangcu dan Kwe-tayhiap baik2 saja!"
"Mereka tidak kurang
apa2," jawab Siao-Iiong li. "Bayi yang baru dilahirkan Ui- pangcu
telah di culik orang, aku harus merampasnya kembali."
Loh Yu-kah terkejut cepat
ia memerintahkan membuka pintu benteng, baru saja pintu geybang terbuka sedikit
dan sebelum jembatan gantung di-turunkan lurus, cepat sekali Siao-lion-li sudah
membedakan kuda merah itu keluar benteng secepat terbang,
Waktu Siao-liong-li
memandang ke kaki tembok benteng sana, di lihatnya dua mayat perajurit hancur
mumur menggeletak di saaa, di sebelahnya ada pula bangkai seekor kuda juga terbanting
hancur, selain itu tiada sesuatu tanda lain yang men-curigakan. Diam2 ia merasa
heran cara bagai mana Nyo Ko, Hoat-ong dan Li Bok-chiu melompat turun tembok
benteng yang tinggi itu.
Tapi mengingat Nyo Ko
bertiga tidak beralangan apa2, segera ia mengejar ke sana cepat untuk membantu
anak muda itu merebut kembali anak bayi itu.
Akan tetapi sejauh
pandangannya ke depan suasana sunyi senyap tiada bayangan seorang, entah ketiga
orang itu sudah lari ke mana. Dalam keadaan bingung tak berdaya, Siao-liong-li
tepuk2 leher kuda merah itu sambil berguman: "Wahai kudaku sayang, aku
hendak menyelamatkan majikan mudamu yang baru lahir itu, lekas membawaku ke
sana."
Entah kuda itu benar2
paham perkataannya atau tidak, mendadak kuda merah itu menegak kepala dan
meringkik keras, segera pula membelai ke arah timur laut sana.
Kiranya waktu Nyo Ko dan
Hoat-ong mengejar Li Bok-chiu, sampai di atas benteng, mereka pikir menghadapi
jalan buntu, Li Bok-chiu pasti akan dapat di bekuk.
Tak terduga Li Bok-chiu
memang kejam tapi juga cerdik, setiba diatas benteng, se-konyong2 ia tangkap
seorang perajurit terus dilemparkan kebawah, menyusul iapun melompat turun.
Ketika perajurit itu hampir menyentuh tanah, pada saat itulah sebelah kaki Li
Bok-chiu menutul pada punggung perajurit itu sehingga daya turunnya itu
berkurang, habis itu ia terus melompat ke depan dan turun diatas tanah dengan
enteng, bahkan bayi dalam pangkuan nya juga tidak terkaget sementara itu
perajurit tadi telah terbanting mampus.
Diam2 Heat-ong mengakui kelihayan
Li Bok chiu, iapun menirukan cara orang, iapun mencengkeram seorang perajurit
dan dilemparkan ke bawah benteng, akhirnya iapun dapat melompat turun dengan
selamat.
Nyo Ko menjadi ragu2
menyaksikan kejadian itu, kecuali dahulu ia membinasakan seorang anggota
Kay-pang secara tidak sengaja, selama ini dia belum pernah lagi membunuh
seorangpun, apalagi harus mengorbankan jiwa orang lain untuk dipakai sebagai
batu loncatan dirinya, betapapun ia tak tega.
Namun keadaan sudah
mendesak, tiba2 ia mendapat akal, ia dorong seekor kuda keluar benteng, ketika
kuda itu hampir jatuh ke tanah barulah dia menutul punggung kuda terus mengejar
ke sana mengikuti jejak Hoat-ong.
Sebenarnya keadaan Nyo Ko
rada lemah karena sebelumnya telah bertempur sengit di tengah pasukan Mongol
dan terluka oleh roda Kim-lun Hoat-ong, darah mengucur cukup banyak, apalagi
tadi bertempur lagi sekian lama, sesungguhnya ia hampir tidak kuat.
Tapi mengingat puteri Kwe
Cing diculik musuh, ia pikir apapun yang terjadi bayi itu harus direbut
kembali.
Sebenarnya kekuatan lari
ketiga orang sangat cepatnya, Li Bok-chiu dibebani seorang bayi, Hoat-ong
terluka dan kuatir racun bekerja pada lukanya itu, maka ia tidak berani
mengerahkan segenap tenaga untuk mengejar. Sebab itulah kecepatan lari mereka
bertiga tidak seperti biasanya, setelah belasan li meninggalkan kota Siangyang,
jarak mereka bertiga tetap bertahan belasan meter jauhnya, Hoat-ong tidak
sanggup menyusul Li Bok chiu, Nyo Ko juga tidak mampu menyusul Hoat-ong.
Setelah ber-lari2 pula, Li
Bok-chiu melihat Hoat-ong dan Nyo Ko masih terus mengintil di belakangnya
dilihatnya di depan sana banyak bukit2an. beberapa li lagi akan dapat mencapai
lereng bukit itu, maka ia percepat larinya, ia pikir kalau sudah masuk ke
lembah pegunungan sana tentu akan mudah mencari tempat sembunyi.
Meski Siao-liong-li
menyatakan bayi itu bukan anaknya, tapi melihat cara Nyo Ko mengudaknya dengan
mati2an, ia menduga bayi itu pasti anak haram hasil hubungan gelap antara Nyo
Ko dengan siao-liong-li, asalkan bayi ini dipegangnya sebagai sandera, rasanya
kitab pusaka Giok-li-sim-keng oleh sumoay akan terpaksa ditukarkan pada bayi
itu.
Begitulah makin lama
mereka makin menanjak ke dataran yang tinggi, sekitar pepohonan lebat melulu,
jalan juga lika-liku. Hoat-ang menjadi kuatir kalau sebentar lagi Li Bok-chiu
akan menyusup ke semak2 pepohonan itu sukar lagi ditemukan.
Selama ini Hoat-ong belum
pernah bergebrak dengan Li Bok-chiu, tapi dari Ginkangnya yang tinggi itu, ia
yakin orang pasti seorang lawan yang tangguh. Dia sudah kehilangan dua rodanya,
sebenarnya tidak ingin menyambitkan roda yang bersisa tiga itu, namun keadaan
sudah mendesak dan tidak boleh ragu2 lagi, segera ia membentak sekerasnya:
"Hai perempuan itu, lekas taruh anak itu dan jiwamu akan kuampuni, kalau
tidak menurut, jangan kau salahkan aku tidak kenal kasihan!"
Tapi Li Bok-chiu menyambut
dengan ngikik tawa, larinya bahkan tambah cepat.
Dengan gemas Hoat ong
mengayun tangannya sebuah rodanya terus menyamber ke punggung Li Bok-chiu,
samberan itu sungguh amat dahsyat, mau tak-mau Li Bik-chiu harus menyelamatkan
diri, terpaksa ia membalik dan memutar kebutnya, baru saja kebutan hendak
mengebas ke roda musuh, dilihatnya roda itu berputar dan memancarkan cahaya
kemilau, kalau kebut sendiri kebentur bukan mustahil akan terhantam putus,
cepat ia mengegos ke samping untuk menghindari serangan roda itu.
Saat itu juga Hoat-ong
telah menubruk maju, roda tembaganya menyamber pula, sekali ini roda itu
terbanting ke samping lebih dulu, habis itu memutar balik dan menyambar ke arah
Li Bok-chiu.
Li Bok-chiu juga belum
berani menangkis roda itu, ia melompat mundur dan sedikit membungkuk, kembali
samberan roda itu dapat dihindari dengan Ginkang yang tinggi. Sementara itu
Hoat-ong sudah menubruk maju lagi, roda perak tadi ditangkapnya kembali lebih
dulu, sedangkan roda timah terus mengepruk ke pundak musuh..
Namun kebut Li Bok-chiu
juga lantas mengebas hingga bulu kebut itu berubah menjadi be-ribu bintik emas
dan bertebaran ke muka Hoat-ong, Terpaksa Hoat ong lemparkan roda timah tadi ke
atas untuk menangkis kebut lawan berbareng ia tangkap kembali roda tembaga,
menyusul ia benturkan roda tembaga dan roda perak yang dipegangnya itu hingga
menerbitkan suara nyaring menggetar sukma, suaranya berkumandang jauh di lembah
pegunungan itu sahut-menyahut hingga lama.
Habis itu Hoat ong putar
kedua rodahya dan menyerang lebih gencar lagi.
Menghadapi lawan tangguh,
semangat Li Bok chiu terbangkit, tak diduganya Hwesio gemuk besar ini memiliki
tenaga sekuat ini, bahkan tipu serangannya juga cepat lagi lihay. Segera ia
mengeluarkan segenap kemahirannya untuk menempurnya.
Dalam pada itu Nyo Ko juga
sudah menyusul tiba, dilihatnya kedua orang sedang bertempur dengan sengit,
tiga buah roda terbang kian kemari diselingi sebuah kebut yang naik turun
dengan cepat-nya. Untuk sementara Nyo Ko hanya mengikuti pertarungan mereka
sambil melepaskan lelah serta cari kesempatan baik untuk merebut kembali si
bayi.
Bicara tentang tenaga
dalam dan ilmu silat sebenarnya Hoat-ong lebih tinggi setingkat daripada li
Bok-chiu, apalagi Li Bok-chiu memondong seorang bayi, sepantasnya dalam
beberapa puluh jurus saja dia pasti akan keok.
Tak di sangkanya bayi yang
tadinya selalu dilindunginya dan kuatir di celakai oleh Hoat-ong, setiap kali
bila roda mendekati badan bayi itu, cepat lawan lantas menarik kembali
serangannya malah.
Sedikit berpikir saja Li
Bok-chiu lantas paham duduknya perkara, rupanya Hwesio gede ingin merebut bayi
ini, makanya tidak ingin mencelakainya, dasar watak Li Bok-chiu memang keji dan
kejam.
Sudah tentu ia tidak
pedulikan mati hidup orang lain, apalagi sekarang setelah mengetahui jalan
pikiran Hoat-ong, diam2 ia bergirang, Setiap kali bila dia terdesak seperti
tidak sengaja ia lantas menggunakan si jabang bayi sebagai tameng untuk
menggagalkan serangan maut musuh.
Dengan demikian bayi ini
bukan lagi merupakan beban, bahkan berubah menjadi perisai yang sangat berguna
baginya, asalkan dia angkat bayi itu untuk menangkis betapapun lihay jurus
serangan musuh juga akan di gagalkan seluruhnya.
Begitulah beberapa kali
serangan maut Hoat Ong telah di tangkis oleh perisai bayi Li Bok-chiu, karuan
Nyo Ko kelabakan, ia kuatir kalau terjadi sedikit kekeliruan antara kedua orang
itu, maka bayi yang berusia belum genap satu hari itu pasti akan melayang
jiwanya.
Baru mencari akal buat
rebut kembali bayi itu, dilihatnya roda perak Hoat-ong ditengah kanan mendadak
menghantam dari luar ke bagian dalam, sedangkan roda tembaga di tengah kiri
menyodok ke depan. Gerakan kedua roda seperti merangkul hingga Li Bok-chiu
terkurung antara kedua tangan Hoat-ong.
Muka Li Bok-chiu menjadi
merah dan memaki gerakan serangan si Hwesio yang kurang ajar itu, cepat
kebutnya menyabet ke belakang untuk menangkis roda perak, sedangkan bayi di
bawa di depan dada untuk membela diri, Namun sebelumnya Hoat-ong sudah
memperhitungkan gerakan susulannya, mendadak tangan kiri melepaskan roda
tembaga ke atas untuk menyerang muka Li Bok-chiu.
Jarak roda itu dengan Li
Bok-chiu hanya satu-dua kaki saja dan mendadak disambitkan dengan cepat sekali,
tentu saja sukar di tangkis, untung Li Bok-chiu sudah berpengalaman luas, sudah
berpuluh tahun malang melintang di dunia Kangouw, dalam keadaan gawat mendadak
ia doyongkan tubuhnya ke belakang, kedua kakinya memaku kencang di tanah, kebutnya
terus balas menyerang pundak musuh.
Hoat-ong sempat mengegos
hingga kebut itu menyerempet lewat pundaknya sementara itu tangan kiri yang
kosong itu sempat memotong ke lengan kiri Li Bok-chiu, seketika Li Bok-chiu
merasakan lengannya kaku linu, ia menjerit tertahan dan melompat mundur, namun
tangannya sudah terasa kosong, bayi itu sudah direbut oleh Kim-lun Hoat-ong.
Selagi Hoat-ong bergirang,
se-konyong2 dari samping menubruk tiba seorang, Nyo Ko telah samber bayi itu
dari tangan Hoat-ong terus bergulingan ke tanah, pedangnya diputar kencang
untuk melindungi anak bayi itu, lalu melompat bangun dan siap menghadapi musuh.
Rupanya Nyo Ko melihat
saat yang bagus sebelum Hoat-ong dapat memondong si bayi dengan baik, tanpa
menghiraukan jiwa sendiri ia terus menerjang maju dan sekali serobot ternyata
berhasil dengan baik.
Begitulah dalam sekejap
saja bayi itu telah berpindah tangan antara ketiga orang itu, Li Bok~ chiu
berseru memuji: "Bagus, Ko-ji!"
Hoat-ong menjadi gusar,
benturan rodanya menerbitkan suara berdering pula, menyusul roda di tangan
kanan terus menghantam, Sambil mengegos segera Nyo Ko bermaksud angkat kaki
Tiba2 terdengar suara angin menyamber, kiranya Li Bok-chiu dengan mengayun
kebutnya telah mengadangnya sambil berkata dengan tertawa: "Jangan pergi
dulu, Ko-ji, kita harus melabrak Hoat ong ini!?
Karena roda Hoat-ong sudah
menghatam pula, terpaksa Nyo Ko memutar pedangnya untuk menangkis. Setelah
bertempur beberapa hari ber-turut2 kedua pihak sudah sama apal tipu serangan
masing2, begitu saling labrak segera terjadilah serangan kilat, dalam sekejap
saja berpuluh jurus sudah berlangsung.
Diam2 Li Bok-chiu
terkejut, ia heran mengapa dalam waktu sesingkat ini kepandaian Nyo Ko sudah
maju sedemikian pesat, tampaknya aku bukan lagi tandingannya, bahkan mendiang
Suhu juga belum tentu bisa melebihi dia.
Akan tetapi karena Nyo Ko
harus memikirkan keselamatan si bayi, betapapun dayi itu adalah puteri sang
paman yang dihormatinya itu, maka sedikitpun ia tak berani menirukan cara Li
Bok-chiu memperalat bayi itu sebagai tameng. Dan justeru inilah akhirnya
Hoat-ong dapat melihat kelemahannya, kini ia lebih banyak mengerahkan
serangannya kepada si bayi, dengan demikian Nyo Ko menjadi kelabakan dan sukar
bertahan.
"Li-supek, lekas
bantu aku rnenghalau bangsat gundul ini, urusan lain boleh kita bicarakan
nanti"
-Sekilas Hoat-ong melirik
Li Bok-chiu, tertampak perawakan yang ramping menggiurkan meski usianya sudah
lewat setengah umur, tapi gayanya tetap menarik, dengan tersenyum simpul ia
mengikuti pertarungan mereka dan tampaknya tidak bermaksud membantu pihak
manapun.
Diam2 Hoat ong sangat
heran bahwa To-koh ini ternyata paman guru si Nyo Ko, tapi mengapa tidak
membantu anak muda itu? jangan2 ada rencana licin di balik persoalan ini?
Paling penting sekarang bocah she Nyo ini harus lekas dikalahkan dan bayi itu
direbut kembali.
Begitulah Hoat-ong lantas
pergencar serangannya sehingga Nyo K-o terkurung rapat di bawah cahaya rodanya.
Li Bok-chiu tahu musuh
takkan mencelakai si bayi maka ia tidak ambil pusing terhadap teriakan minta
tolong Nyo Ko itu, ia hanya, tersenyum saja sambil bersimpuh tangan dengan adem
ayem.
Setelah bertempur lagi
sebentar, dada Nyo Ko mulai terasa sakit, ia tahu tenaga dalam sendiri tak
dapat menandingi lawan, kalau bertempur lebih lama lagi jelas sukar bertahan.
Sudah sekian lama ia tidak mendengar suara tangis si bayi, ia menjadi takut
terjadi apa2, dalam seribu kesibukannya itu ia coba memandang sekejap kepada si
bayi, tertampak wajah si kecil itu putih bersemu merah, molek menyenangkan,
kedua matanya yang hitam itu sedang memandang padanya.
Padahal bayi itu belum
genap satu hari dilahirkan dengan sendirinya belum tahu apa2 tapi air mukanya
kelihatan tenang dan tenteram, sama sekali tak mirip seorang bayi yang baru
saja dilahirkan.
Biasanya Nyo Ko tidak
cocok dengan Kwe Hu, tapi menghadapi orok dalam pangkuannya ini, tiba2 timbul
semacam pikiran aneh dalam benaknya: "Kini aku membelanya mati2an, kalau
nasibnya mujur dan jiwanya dapat diselamatkan, tujuh hari lagi aku sendiri akan
mati, kelak kalau dia sudah sebesar kakaknya itu entah dia akan teringat
kepadaku atau tidak?"
Karena rangsangan
perasaannya itu, entah dari mana datangnya kesedihan, tiba2 matanya menjadi
merah dan hampir2 meneteskan air mata.
Bahwa Nyo Ko sudah
kewalahan melayani serangan Hoat-ong itu juga disaksikan oleh Li Bok-chiu,
semula ia merasa tidak tega dan bermaksud maju membantu, tapi segera terpikir
pula olehnya bahwa kepandaian Nyo Ko sudah lebih tinggi daripada dia, jika
sekarang tidak meminjam kepandaian si Hwesio ini untuk membunuhnya, kelak tentu
akan mendatangkan bencana baginya. Karena itu ia tetap menonton saja tanpa
membantu.
Di antara tiga orang ini
ilmu silat Hoat-ong paling tinggi, Li Bok-chiu paling kejam, tapi bicara
tentang tipu akal adalah Nyo Ko. Setelah bersedih sebentar segera pula ia
memikirkan akal cara meloloskan diri, ia jadi teringat kepada tipu akal Khong
Bheng di jaman Sam-kok, waktu itu di antara tiga negara, Co jo dari negeri Gui
terhitung paling kuat dan negeri Han pimpinan Lau Pi paling lemah, untuk
melawan Co Jo terpaksa Lau Pi berterikat dengan Lun Koan dari negeri Go.
Kalau sekarang Li Bok-chiu
tidak mau membantu terpaksa dirinya sendiri yang harus membantu Li Bok-chiu,
untuk ini segera Nyo Ko menyerang dua kali untuk menahan Hoat-ong, habis itu
cepat ia melompat mundur dan mendadak menyodorkan bayi itu kepada Li Bok-chiu
sambil berseru: "Terima ini!"
Kejadian ini benar2 di
luar dugaan Li Bok-chiu, seketika ia tidak paham apa maksud Nyo Ko, tapi tanpa
pikir ia terima jabang bayi itu.
Dalam pada itu Nyo Ko
telah berseru pula "Li Supek, lekas lari membawa anak itu, biar kutahan
bangsat gundul inil" Berbareng ia melancarkan serangan maut untuk mendesak
mundur Hoat-ong.
Lik Bok-chiu mengira si
Nyo Ko mengharapkan bantuannya sebagai sang paman guru dan tentu takkan
membikin susah anaknya, maka dalam keadaan bahaya bayi itu diserahkan lagi
padanya, tentu saja ia bergirang dan anggap sangat kebetulan baginya.
Sama sekali tak terpikir
olehnya bahwa cara itu adalah tipu akal Nyo Ko, begitu Li Bok-chiu hendak
angkat kaki, mendadak Hoat-ong menghantamnya pula dengan roda perak, Karena
tiada jalan lain, terpaksa Li Bok-chiu memutar balik kebutnya untuk menangkis.
Melihat maksud tujuannya
sudah tercapai Nyo Ko menghela napas lega. Tapi dia tetap memikirkan
keselamatan si orok dan tidak dapat berpeluk tangan tanpa urus seperti Li Bok -
chiu tadi, Setelah istirahat sejenak, segera ia angkat pedang dan menerjang
Hoat-ong dari samping.
Sementara itu sang surya
sedang memancarkan cahaya yang terang, di tengah hutan lebat itu tetap tembus
oleh cahaya matahari, semangat Nyo Ko terbangkit, ia mainkan pedangnya terlebih
keras. "trang, trang", tiba2 roda perak Hoat-ong terkupas sebagian
oleh Kun~cu-kiam yang tajam itu.
Kim-lun Hoat-ong juga
tidak kurang saktinya, meski terkejut, namun gerak serangannya semakin lihay.
Tiba2 Nyo Ko mendapat
akal, serunya: "Li-supek, awas roda tembaganya itu, bagian yang terkupas
itu ada racunnya, jangan kau tersentuh olehnya."
"Memangnya
kenapa?" ujar Li Bok-chiu tak acuh.
"Racun yang terpoles
di pedangku ini sangat lihay" kata Nyo Ko.
Tadi Hoat-ong dilukai oleh
pedang Nyo Ko, memangnya dia berkaatir kalau pedang anak muda itu beracun, tapi
setelah sekian lama bertempur tiada terasa tanda aneh pada lukanya, maka ia
tidak berkuatir lagi, Sekarang Nyo Ko menyebutnya pula, mau-tak-mau hatinya
tergetar dan semangatnya menjadi lesu mengingat kekejian Kongsun Ci itu,
mustahil pedang Nyo Ko yang diambil dari tempatnya itu tidak -dipoles dengan
racun.
Mendadak Li Bok chiu
berseru "Tusuk dia dengan pedangmu yang beracun itu, Ko-ji!"
-Berbareng ia mengayun tangannya seperti menyambitkan senjata rahasia.
Cepat Hoat-ong memutar
rodanya menjaga rapat tubuhnya, tapi gerakan Li Bok-chiu itu ternyata gertakan
belaka, kesempatan itu telah di gunakannya untuk berlari ke sana secepat
terbang.
Walaupun meragukan terkena
racun, tapi Hoat-ong sangat tangkas, ia merasa lukanya tidak geli dan juga
tidak bengkak, betapapun ia tak mau pulang dengan tangan hampa, maka cepat ia
terus mengudak ke jurusan Li Bok-chiu.
Nyo Ko pikir kalau
sebentar bertempur dan sebentar udak-mengudak, akhirnya tentu akan membikin
susah orok yang baru dilahirkan itu, jalan keluar yang baik adalah menghalau
Hoat-ong dengan gabungan tenaga mereka berdua dan urusan lain dapat
diselesaikan belakang. Maka ia lantas berteriak: "Tak perlu lari,
Li-supek, bangsat gundul ini terkena racun jahat, hidupnya tak tahan lama
lagi"
Baru habis ucapamrya,
dilihatnya. Li Bok-chiu sedang melompat ke depan dan menyusup ke arah sebuah
gua di bukit sana. Hoat-ong kelihatan merandek kesima dan tidak berani ikut
menerobos ke dalam gua.
Karena tidak tahu apa
tujuan Li Bok-chiu membawa lari bayi itu, kuatir kalau mendadak bayi itu
dibinasakan maka tanpa pikirkan keselamatan sendiri Nyo Ko terus menguber ke
sana, ia putar pedangnya untuk menjaga diri, segera ia menerjang ke dalam gua,
Terdengarlah suara gemerincing beberapa kali, pedangnya menyampuk jatuh tiga
buah Peng-pok-sin-ciam, jarum berbisa yang dihamburkan Li Bok-chiu.
"Aku, Li-supek!"
seru Nyo Ko. Di dalam gua gelap guiita, tapi Nyo Ko sudah biasa memandang lalam
kegelapan, dilihatnya Li Bok-chiu merangkul si bayi dan tangan lain sudah
siapkan segenggam jarum berbisa lagi.
Untuk meyakinkan orang
bahwa dia tidak bermaksud jahat Nyo Ko sengaja membalik tubuh dan menghadap
kesana, lalu berkata: "Biarlah kita bersatu untuk menghalau bangsat gundul
itu?" Segera ia berjaga di mulut gua dengan pedang terhunus.
Hoat~ong menduga sementara
ini kedua lawan takkan berani menerobos keluar lagi, ia lantas berduduk
disamping gua dan membuka baju untuk memeriksa lukanya.
Dilihatnya bagian luka
merah segar, tiada tanda2 keracunan, waktu ia pencet terasa sakit sedikit.
Waktu ia mengerahkan tenaga dalam terasa tiada sesuatu alangan apapun juga.
Girang bercampur gemas
juga Hoat ong, girangnya karena pedang si Nyo Ko ternyata tidak berbisa
sebagaimana dikatakan anak muda itu, gemasnya karena dia telah dikibuli oleh
bocah itu sehingga dia berkuatir percuma sekian lama.
Ia coba mengawasi gua itu,
mulut gua itu ter-aling2 rerumputan lebar gua itu hanya tiba cukup dimasuki
seorang, padahal tubuhnya sendiri tinggi besar, kalau menerjang kesana dan
bergerak kurang leluasa, mungkin akan disergap malah oleh kedua lawan di dalam
gua itu.
Seketika ia tidak
mendapatkan akal yang baik, pada saat itulah tiba2 ada suara orang berseru
padanya: "He, Hwesio gede, apa yang kau lakukan disitu?"
Hoat-ong mengenali itulah
suara si Hindu cebol Nimo Smgh, ia tetap mengawasi gua itu sambil menjawab
"Tiga ekor kelinci menyusup ke dalam gua, aku hendak menghalaunya
keluar."
Rupanya dari jauh Nimo
Singh melihat berkelebatnya roda Kim-lun Hoat-ong" yang beterbangan di
udara, ia tahu pasti Hoat-ong sedang bertempur dengan musuh, maka cepat ia
menyusul kesini, Waktu tiba di tempat sementara Nyo Ko berdua sudah menyusup ke
dalam gua.
Melihat Hoat - ong sedang
mengawasi dengan penuh perhatian,Nimo Sing menjadi girang, tanyanya cepat:
"Kwe Ceng lari ke dalam gua?"
Hoat-ong mendengus dan
berkata: "Ada seekor kelinci jantan dan seekor kelinci betina ada pula
seekor anakan kelinci"
"Hahaa, jadi selain
Kwe Cing dan isterinya, si bocah Nyo Ko itu juga berada di situ," seru
Nemo Singh kegirangan.
Hoat-ong tidak
menggubrisnya dan membiarkan dia mengoceh sendirian ia memandang sekelilingnya,
segera ia mendapatkan akal, ia mengumpulkan ranting kayu dan rumput kering
serta di tumpuk di mulut gua, lalu dibakarnya rumput kering itu. Kala itu angin
sedang meniup dengan kencangnya, tanpa ayal asap tebal lantas tertiup ke dalam
gua.
Waktu Hoat-ong mulai
menimbun kayu dan rumput kering, Nyo Ko tahu maksud keji orang, sedangkan pihak
musuh telah bertambah pula dengan datangnya Nimo Singh, Dengan suara pelahan ia
berkata kepada Li Bok-chiu: "Akan kuperiksa apakah gua ini ada jalan tembus
atau tidak."
Segera ia merunduk ke
dalam sana, kira2 belasan meter jauhnya, ternyata gua itu sudah buntu, ia putar
balik dan berkata pula dengan suara terta han: "Li-supek, mereka menyerang
dengan asap bagaimana kita harus bertindak?"
Li Bok-chiu pikir
menerjang dengan kekerasan jelas sukar loIos.dari kejaran Hoat-ong, sembunyi di
dalam gua bukan cara penyelesaian yang baik, jika keadaan benar2 mendesak,
jalan satunya terpaksa melarikan diri dengan meninggalkan anak orok toh Karena
pikiran ini, sedikitpun ia tidak cemas, ia menyeringai dan tidak menjawab
pertanyaan Nyo Ko itu.
Tidak lama gumpalan asap
yang membanjir ke dalam gua semakin tebal, untuk sementara mereka dapat menahan
napas, tapi bayi itu tidak tahan lagi, ya batuk ya menangis tiada hentinya.
"Hehe, kau kasihan
padanya, bukan?" jengek Li Bok-chiu pada Nyo Ko.
Setelah mengalami
perjuangan mati2an, dalam hati Nyo Ko memang sudah timbul kasih sayang kepada
bayi perempuan itu, ia menjadi tidak tega mendengar tangisnya yang semakin
keras itu.
"Biar kupondong
dia!" katanya sambil mengulurkan kedua tangan dan mendekati Li Bok-chiu.
Tapi Li Bok-chiu lantas
menyabetnya dengan kebut sambil membentak: "Jangan mendekat aku? apa kau
tidak takut pada Peng-pok-sin-ciam!"
Cepat Nyo Ko melompat
mundur, nama jarum nerbisa itu mengingatkannya masa kecilnya dahulu ketika
untuk pertama kalinya bertemu dengan, Li-Bok-chiu, hanya sebentar saja ia
memegang jarum perak itu, tapi racun sudah menjalar ke tubuhnya, syukur ayah
angkatnya, yaitu Auyang Hong, telah menolongnya dengan mengajarkan Lwekang
yangj istimewa itu sehingga racun dapat didesak keluar.
Tiba2 ia mendapat akal, ia
membalut tangannya dengan robekan kain baju, ia menuju, ke mulut gua dan
menjemput ketiga jarum berbisa yang disambitkan Li Bok-chiu tadi, ia tancapkan
jarum2 itu pada tanah dengan ujung runcing ke atas, habis itu ujung jarum yang
menongol sedikit itu diculik pula dengan pasir tanah agar gemilapnya jarum itu
tidak kelihatan. Saat itu mulut gua tertutup oleh asap tebal sehingga tindakan
Nyo Ko itu tidak dilihat oleh Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh.
Selesai mengatur lalu Nyo
Ko mundur lagi ke dalam gua dan membisiki pada Li Bok-chiu: "Aku sudah ada
akal menghalau musuh, harap Li-supek pura2 menimang bayi itu supaya jangan
me-nangis." Habis berkata, mendadak ia berteriak: "Aha, di belakang
gua ini ada jalan tembusnya, Ii-supek, lekas kita pergi!"
Semula Li Bok-chiu
melengak dan mengira apa yang dikatakan Nyo Ko itu memang betul, tapi Nyo Ko
lantas membisikinya pula: "Hanya pura2 saja agar bangsat gundul itu
terjebak olehku."
Sudah tentu teriakan Nyo
Ko itu dapat didengar oleh Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh, mereka terkejut,
mereka coba pasang kuping, di dalam gua sunyi senyap, suara tangisan bayi juga
sayup2 semakin lirih, mereka tidak tahu bahwa mulut si bayi telah sengaja
ditutup oleh lengan baju Nyo Ko, keruan mereka mengira Nyo Ko bersama Li
Bdk-chiu benar2 sudah kabur melalui belakang gua.
Watak Nimo Singh tidak
sabaran, tanpa pikir ia terus berlari memutar ke belakang gua, maksudnya hendak
mencegat musuh, Tapi pikiran Hoat-ong terlebih cermat, setelah mendengarkan
dengan teliti, ia merasa suara tangisan anak bayi itu cuma lirih tertahan saja
dan tiada tanda2 semakin menjauh, ia tahu pasti si Nyo Ko sedang main gila
hendak menipunya ke belakang gua, lalu anak muda itu akan menerjang keluar dari
mulut gua.
Diam2 ia mentertawai akal
Nyo Ko yang dangkal itu, ia pikir biar kusembunyi saja di samping mulut gua,
begitu kalian keluar segera kumampuskan kalian.
Namun Nyo Ko juga tidak
kalah cerdiknya, kembali ia berteriak pula: "He, cepat Li-supek, bangsat
gundul itu sudah pergi, marilah kita lari keluar !" Habis ini tiba2 ia
membisiki pula "marilah kita menjerit bersama untuk memancing dia masuk ke
sini."
Li Bok-chiu tidak tahu
akal bulus apa yang pedang diatur Nyo Ko itu, tapi ia tahu anak muda itu sangat
licin, ia sendiri beberapa kali pernah dikibuli kalau dia sudah mengatur
perangkap, rasanya pasti akan berhasil, betapapun ia mempunyai sandera anak
bayi itu. asalkan Hoat-ong sudah dihalau pergi, akhirnya Nyo Ko harus menukar
si bayi dengan Giok-li-sim-keng.
Maka ia lantas mengangguk
tanda setuju, kedua orang segera menjerit berbareng "Aduh!"
Nyo Ko pura2 terluka parah
dan merintih keras2, teriaknya: "Keparat, mengapa kau bertindak sekeji ini
padadaku?" - Lalu ia mendesis pula dengan suara tertahan: "Lekas
engkau berlagak terancam jiwamu!"
Cepat Li Bok-chiu
melakukan permintaan itu, iapun berteriak dengan nada murka: "Bagus, biar
kumati di... ditanganmu, betapapun, kau si.bangsat kecil ini juga... juga harus
mampus di tanganku," ia membikin suaranya semakin lemah sehingga kalimat
terakhir se-akan diucapkan dengan napas ter-engah2.
Mendengar itu, Hoat-ong
sangat girang, ia pikir kedua orang sedang berebut si bayi dan mulai saling
membunuh, tampaknya keduanya sama terluka parah. ia menjadi kuatir si bayi juga
ikut tewas, jika terjadi begini berarti akan kehilangan alat pemerasan terhadap
Kwe Cing.
Tanpa pikir lagi ia
menyingkirkan onggokan kayu dan rumput kering yang terbakar itu terus menerjang
ke dalam gua. Tapi baru dua-tiga langkah, mendadak telapak kaki kiri terasa
sakit, untung ilmu silatnya memang tinggi dan dapat memberi reaksi dengan
cepat, sebelum kaki menginjak sepenuhnya ke bawah, cepat kaki yang lain
menggunakan tenaga terus melompat mundur lagi keluar gua, Waktu kaki menginjak
tanah, terasa kaku kesemutan dan hampir saja jatuh terjungkal.
Dengan Lwekangnya yang
tinggi itu, biarpun kakinya dibacok beberapa kali juga takkan sempoyongah
berdirinya, karena itu segera ia menyadari apa yang telah terjadi, ia tahu
telapak kakinya pasti tertusuk oleh benda berbisa. Baru dia hendak membuka
sepatu dan kaos kaki untuk memeriksanya, dilihatnya Nimo Singh sudah putar
balik dari belakang gua dan sedang mengomel. "Kurangajar! Bangsat kecil
itu berdusta, di belakang gua tiada lubang tembusan apapun, Kwe Cing dan
isterinya masih di alam gua."
Hoat-ong tidak menanggapi
apapun, iapun urung membuka sepatu, katanya: "Memangnya tidak salah
dugaanmu, sudah sekian lama tiada suatu suara, bisa jadi mereka telah pingsan
semua oleh asap tebal tadi."
Diam2 Nimo Singh
bergirang, ia pikir jasa menangkap Kwe Cing sekali ini pasti akan jatuh di
tangannya, iapun tidak berpikir mengapa Kim lun Hoat-ong tidak merebut jasa
itu, tanpa bicara lagi ia putar senjata ular bajanya untuk menjaga diri, ia
terus menerobos ke dalam gua.
Ketiga buah jarum berbisa
itu diatur oleh Nyo Ko tepat di tengah jalan yang harus dilalui, tak peduli
langkah orang yang akan masuk itu lebar atau cekak, ialah satu jarum itu pasti
akan diinjaknya, perawakan Nimo Singh sangat pendek dan langkahnya cekak, tapi
ia bertindak dengan cepat, ketika kaki kanan menginjak sebuah jarum itu, begitu
terasa sakit dan belum sempat menarik kakinya, tahu2 kaki kiri sudah menginjak
lagi pada jarum yang lain.
Negeri Thian-tiok (lndia)
terkenal negeri berhawa panas, rakyat umumnya suka telanjang kaki, maka Nimo
Singh juga tidak bersepatu, meski kulit telapak kakinya sudah terlatih dan
tebalnya seperti kulit banteng, namun betapa tajamnya Peng-pok-sin-ciam itu,
sedikitnya dua senti menancap ke dalam telapak kakinya itu.
Tapi Nitno Singh memang
kuat dan perkasa, sedikit luka itu sama sekali tak diperhatikan olehnya, ia
ayun senjata ular baja dan menyapu ketanah, ia yakin di depan pasti tak ada
jarum lagi dan baru saja hendak menerjang masuk untuk menangkap Kwe Cing, tiba2
kedua kakinya terasa lemas dan tidak sanggup berdiri tegak lagi, kontan ia
jatuh terguling.
Baru sekarang ia tahu
racun pada jarum yang tertancap kakinya itu sangat lihay, lekas2 ia berguling disertai
merangkak keluar gua, dilihatnya Hoat-ong sedang memegangi sebelah kakinya yang
hitam bengkak.
Segera Nimo Singh tahu
duduknya perkara, dengan gusar ia membentak: "Bangsat gunduI, sudah tahu
kau sendiri terluka oleh jarum berbisa, mengapa kau tidak memberi tahu padaku,
sebaliknya sengaja membiarkan aku ikut terperangkap?"
"Aku terjcbak, kaupun
terperangkap, ini namanya seri, satu-satu!" jawab Hoat-ong dengan tertawa.
Tidak kepalang gusar Nimo
Singh, ia memaki "Keparat, menangkap Kwe Cing apa segala tak berarti lagi
bagiku, biarlah aku mengadu jiwa dengan kau."
Sebenarnya kakinya sudah
tak bertenaga lagi, tapi tangannya menahan tanah, sekaligus ia menubruk ke arah
Hoat-ong, senjata ular baja terus mengetok kepala lawan itu.
Hoat-ong mengangkat roda
tembaganya untuk menangkis, menyusul tangan yang lain terus menyikut Tubuh Nimo
Singh lagi menubruk maju sehingga sukar menghindar, apalagi serangan Hoat-ong
inipun sangat cepat, seketika bahu Ntmo Singh kena disikut dengan keras,
walaupun otot daging Nimo Singh sangat kuat, tidak urung iapun kesakitan
setengah mati.
Saking murkanya Nimo Singh
tidak lagi memikirkan mati-hidupnya sendiri, ia tetap menubruk ke depan dan
merangkul tubuh Hoat-ong se-kencang2nya, malah mulutnya terus menggigit dan
kebetulan Hiat-to bagian leher kena dikertak.
Jika dalam keadaan biasa,
betapapun tidak mungkin Nimo Singh dapat mendekati Hoat-ong yang berkepandaian
setinggi itu, apalagi hendak merangkul tubuhnya dan menggigit lehernya, Tapi
sekarang Hoat-ong sedang mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk menahan
menjalarnya racun yang mengenai telapak kakinya itu, sebab itulah waktu Nimo
Singh menusuk maju, Hoat-ong sendiri sudah tidak cukup tenaga dalamnya dan
hanya dapat melawannya dengan kekuatan luar.
Sebaliknya Nimo Singh
menyerang dengan sepenuh tenaga, begitu berhasil menggigitnya, maka giginya
tidak mau kendur lagi.
Cepat Hoat-ong menggunakan
kaki kanan untuk menjegal karena kedua kaki Nimo Singh sudah lemas, ia tidak
tahan dan terjerembab ke depan sambil menarik Hoat-ong, jadinya kedua orang
sama terguling di tanah.
Hoat-ong bermaksud menarik
orang, namun hiat-to penting tergigit, tenaga tangannya juga berkurang, sukar
baginya untuk melepaskan diri, terpaksa tangannya digunakan mencengkeram
Tay-hi-hiat dikuduk Nimo Singh, tempat inipun melupakan-Hiat-to penting di
tubuh manusia, dengan cengkeraman ini dapatlah ia berjaga agar tidak dikerjai
lebih lanjut oleh Nimo Singh.
Sebenarnya kedua orang
sama2 jago kelas wahid dalam dunia persilatan, tapi mereka sama2 keracunan dan
sekarang berkelahi dari jarak dekat secara bergumul keadaan mereka menjadi
seperti tukang berkelahi kampungan tanpa harga diri, ke duanya ber-guling2 dan
lambat laun mendekati tepi jurang.
Hal ini dapat dirasakan
oleh Hoat~ong cepat ia berteriak: "Lepaskan tanganmu, kalau terguling lagi
ke sana, kita berdua sama2 hancur terjerumus!"
Akan tetapi Nimo Singh
sudah kalap, iapun tidak berusaha menolak racun dalam tubuhnya maka tenaganya
menjadi lebih kuat daripada Hoat-ong, ia terus mendorong ke depan sehingga Hoat
-ong tidak dapat menahannya.
Tampaknya sedikit lagi
mereka pasti akan ter getincir ke dalam jurang, dalam keadaan kuati tiba2
Hoat-ong mendapat akal, cepat ia berteriak "He, Kwe Cing datang!"
"Di mana?" tanya
Nimo Singh melengak kaget. Dan karena ucapannya ini dengan sendirinya mulutnya
lantas terbuka sehingga gigitannya pada Hiat to Kim-lun Hoat-ong dilepaskan
Kesempatan itu segera
digunakan Hoat-ong untuk menghantam. Baru sekarang Nimo Singh menari tertipu,
cepat ia mengelak dan kembali menyeruduk lagi.
Hantaman Hoat-ong itu
sebenarnya hendak memaksa Nimo Singh melompat mundur, tapi ia lupa kedua kaki
Nimo Singh sudah tak dapat digunakan lagi karena keracunan oleh jarum tadi
sehingga tidak mampu bergerak, jadinya bukan melompat mundur sebaliknya malah
menyeruduk maju, Keruan Hoat-ong kaget dan kedua orang kembali bergumul menjadi
satu, se-konyong2 dibawah tubuh terasa hampa, tanpa ampun kedua orang
terjerumus ke dalam jurang.
Melihat akal si Nyo Ko
berhasil dengan baik, diam2 Li Bok-chiu mengakui kehebatan anak muda itu. Waktu
mendengar suara perkelahian kedua orang diluar, segera Li Bok-chiu bermaksud
mengeluyur pergi, tapi mendadak terdengar pula suara jeritan kaget kedua orang,
suaranya sangat aneh, itu suara jeritan waktu kedua orang terjatuh ke dalam
jurang, tapi lantaran jarak tepi jurang dengan gua itu agak jauh, pula
ter-aling2 oleh batu2 dan semak2 sehingga apa yang terjadi di luar itu tidaklah
jelas.
"He, apa yang mereka
lakukan itu" tanya Li Bok-chiu.
Nyo Ko juga tidak menyangka
Hoat-ong dan Nimo Singh bisa terjerumus ke dalam jurang, setelah termenung
sejenak, lalu menjawab "Bangsat gundul itu sangat licin, jangan2 iapun
menirukan cara kita ber-pura2 saling melukai tadi, maksudnya supaya kita
terpancing keluar."
"Ya, benar, tentu dia
ingin memancing aku keluar untuk merampas obat penawar," ujar Li-Bok-chiu.
Pelahan ia mendekati mulut gua dan bermaksud melongok keadaan di luar sana.
"Awas jarum di atas
tanah itu," seru Nyo Ko.
Li Bok-chiu terkejut dan
cepat menarik kembali langkahnya. sementara itu api di mulut gua sudah padam,
asap sudah buyar sehingga didalam gua kembali gelap gulita, ia tidak dapat
memandang dalam kegelapan seperti Nyo Ko sehingga tidak tahu ketiga jarum itu
di tancapkan di bagian mana oleh anak muda itu, kalau sembarangan bertindak
bukan mustahil iapun akan menginjaknya! Meski ia sendiri mempunyai obat
penawarnya tapi bila kesempatan itu digunakan Nyo Ko untuk menyerangnya, maka
sukarlah untuk melawannya andaikan jiwa sendiri tidak melayang oleh racun
jarumnya sendiri
Karena itulah ia lantas
berkata: "Lekas kau cabut jarum2 itu, buat apa kita berdiam terus di
sini"
"Tunggu sebentar
lagi, biar mereka mati keracunan barulah kita keluar," ujar Nyo Ko.
Li Bok-chiu mendengus satu
kali, dalam hati ia seperti jeri kepada Nyo Ko, sama2 berdiam di dalam gua yang
gelap, sedangkan ilmu silat sendiri belum tentu bisa mengalahkan anak muda itu,
bicara tentang tipu akal malahan sudah jelas bukan tandingannya. Karena itulah
ia coba merenungkan akal baik untuk meloloskan diri.
Sementara itu keadaan di
luar gua sudah sunyi sepi, kedua orang di dalam gua juga sedang merenungkan
kepentingan masing2 dan sama2 tidak bersuara. Pada saat itulah mendadak anak
bayi itu menangis keras, agaknya bayi itu kelaparan, maklumlah, sejak lahir
sama sekali belum pernah disusui.
Tiba2 Li Bok-chiu
menjengek: "Di mana Sumoay? Kenapa dia tidak ambil pusing pada anaknya
sendiri yang mungkin mati kelaparan."
"Siapa bilang bayi
ini anak Kokoh?? jawab Nyo Ko, ini adalah puteri Kwe Cing, Kwe-tayhiap,
tahu?"
"Hm, kau tidak perlu
menggertak aku dengan namanya Kwe-tayhiap, memangnya kau kira aku lantas
takut?" kata Li Bok-chiu. "Jika bayi ini anak orang lain, betapun kau
takkan berusaha merebutnya dengan mati2an, pasti anak ini adalah hasil hubungan
kalian berdua."
"Ya, aku memang
bertekad akan memperisteri Kokoh" teriak Nyo Ko dengan gusar "Tapi
kami belum menikah, cara bagaimana bisa mendapatkan anak? Hm, mulutmu harus
dicuci bersih sedikit."
Kembaii Li Bok-chiu
mengejek: "Huh, kau suruh mulutku bersih sedikit, kan seharusnya perbuatan
kalian berdua diherankan lebih dulu."
Selama hidup Nyo Ko
menghormati Siao-Iiong li sebagai malaikat dewata, mana ia tahan sang Koko
difitnah dan dinista secara kotor, dengan murka membentak: "Suhuku suci bersih,
kan perempuan buta ini janganlah mengoceh semaunya."
"Hah, suci bersih,
cuma sayang Su-kiong-se (andeng2 cecak merah) pada lengannya sudah punah,"
jengek Li Bok-chiu pula.
"Sret," pedang
Nyo Ko terus menusuk ke dada orang sambil membentak: "Tak soal jika kau
memaki aku, tapi kata2mu menghina Suhuku, biar aku mengadu jiwa dengan
kau."
"Sret~sret-sret,"
ber-turut2 ia menyerang lagi tiga kali.
ilmu pedang Nyo Ko memang
hebat, pula dapat melihat dalam kegelapan, Li Bok-chiu hanya dapat menangkis
berdasarkan kepandaian "mendegarkan suara angin dan membedakan arah",
meski tangkisannya tidak meleset, tapi beberapa jurus kemudian iapun mulai
kewalahan.
Untung Nyo Ko memikirkan
keselamatan anak bayi itu, ia kuatir kalau serangannya terlalu gencar, dalam keadaan
kepepet bukan mustahil Li Bok-chiu akan mencelakai bayi itu, sebab itulah dia
tidak melancarkan serangan maut.
Begitulah sampai belasan
jurus mereka bergebrak di dalam gua, se-koyong2 anak bayi itu menangis satu
kali, habis itu lantas diam, sampai lama letap tak bersuara Iagi.
"Bagaimana bayi itu,
kau mencelakai dia?" kata Nyo Ko dengan suara kuatir.
Melihat si Nyo Ko begitu
memperhatikan si bayi, ia tambah yakin bayi itu pasti anak kandung
Siao-liong-li, ia tangkis pedang Nyo Ko dengan kebutnya sambil berkata:
"Sekarang belum mati, tapi kalau kau membantah perkataanku, memang nya kau
kira aku tidak berani mencekik mampus setan cilik ini."
Nyo Ko bergidik, ia kenal
watak Li Bok-chiu yang kejam itu, jangankan membunuh seorang bayi malahan
membunuh segenap keluarga juga perbuatan biasa baginya, Cepat ia menarik
kembali pedangnya dan berkata: "jelek2 kau adalah Supekku, asalkai kau
tidak memaki Suhuku, dengan sendirinya aku menurut padamu"
"Baik, aku takkan
memaki gurumu lagi dan kau harus turut perkataanku," kata Li Bok-chhi
"Nah, sekarang kau melongok keluar sana, coba lihat bagaimana kedua
bangsat itu."
Nyo Ko menurut, ia
memeriksa sekeliling di luar gua, tapi tidak nampak bayangan Kim-lun Hoat-ong
dan Nimo Singh, ia kuatir Hoat-ong menjebaknya, ia coba menggunakan pedangnya
dan membabati semak2 rumput yang mungkin dibuat sembunyi musuh, tapi ternyata
tiada sesuatu jejak apa2. Segera ia masuk gua lagi dan berkata: "Kedua
orang itu menghilang, mungkin mereka sudah kabur,"
"Hm, setelah terkena
jarumku, seumpama kabur juga takkan mencapai jauh," jengek Li-Bok-chiu,
"sekarang cabutlah semua jarum yang kau tancapkan di mulut gua tadi dan
taruh di depanku sini."
Karena bayi itu masih
terus menangis, Nyo Ko pikir harus lekas mencarikan sesuatu makanan baginya,
maka ia turut perintah Li Bok-chiu itu, dengan tangan terbalut ia cabuti jarum2
itu dan di kembalikan kepada yang empunya.
Setelah memasukkan jarum
berbisa itu ke kantungnya. segera Li Bok-chiu melangkah keluar, Styo Ko
mengintilnya dengan cepat dan bertanya "Hendak kau bawa ke mana bayi
itu?"
"Pulang ke
rumahku," jawab Bok-chiu.
"Untuk apa kau
membawa pulang anak ini? Kan bukan kau yang melahirkannya," seru Nyo Ko
tanpa pikir.
Muka Li Bok-chiu menjadi
merah dan men-lamperat: "Ngaco-belo tak keruan! Asalkan kau mengantar
Giok-li-sim-keng dari Ko-bong pay kita kepadaku segera kukembalikan anak ini
padamu, ku jamin takkan mengganggu seujung rambutnya."
Habis berkata ia terus
berlari secepat terbang ke utara dengan Ginkang yang tinggi.
"He, harus kau susui
dia dulu!" seru Nyo Ko sambil mengikutinya lari.
Dengan muka merah padam Li
Bok-chiu berpaling dan membentak: "Keparat, kau bicara tidak keruan dan
selalu meng-olok2 saja."
"Hm, meng-olok2
bagaimana?" ujar Nyo Ko dengan heran, "Bukankah anak itu akan mati
kelaparan jika tidak disusui?"
"Aku masih gadis suci
bersih, cara bagaimana dapat menyusui setan cilik ini?" omel Li Bok-chiu
Baru sekarang Nyo Ko tahu
apa sebabnya muka orang merah, dengan tersenyum ia menjawab: "Li supek,
bukan maksudku menyuruh engkau menyusui bocah ini, tapi: kuminta engkau
berusaha mencarikan susu baginya."
Li Bok-chiu menjaga diri
dengan suci bersih dan tidak pernah menikah, selama hidup berkecimpung di dunia
Kangouw, mengenai urusan merawat bayi segala sedikitpun ia tidak paham.
la menjadi bingung,
setelah berpikir sejenak, kemudian ia tanya: "Mencari susu ke mana? Makan
nasi saja, bagaimana?"
"Boleh kau periksa
dia bergigi atau tidak?" katanya.
Li Bok-chiu coba pentang
mulut si orok yang mungil itu, lalu menggeleng dan berkata: "Tidak ada,
satu bijipun tidak ada,"
"Hei, kita dapat
mencari seorang perempuan yg sedang menyusui anaknya di kampung sana, kita
suruh perempuan itu menyusui orok ini, bagus tidak"
^Ya, kau memang cerdik dan
banyak akal," kata Bok-chiu dengan girang, ia coba memandang jauh ke sana
dari tempat tinggi, kelihatan di sebelah barat sana ada asap mengepul. Segera
mereka sama berlari ke sana, dalam waktu singkat sampailah mereka di suatu
kampung kecil.
Sudah lama peperangan
melanda kota Siang-yang, maka kota2 kecil sekitarnya juga telah men-jadi korban
api peperangan itu dan setelah dihancurkan oleh keganasan pasukan Mongol, hanya
di tempat pegunungan yang sunyi ini masih ada sedikit rumah penduduk.
"Dari rumah ke rumah
Li Bok-chiu memeriksa dengan teliti, sampai rumah petani ke empat barulah
dilihatnya seorang perempuan muda sedang menyusui anaknya yang berumur
setahunan.
Bok-chiu sangat girang,
tanpa permisi ia tarik anak perempuan muda itu dan dilemparkan ke atas dipan
sana, habis itu bayi yang dipondongnya ia lantas ditaruh pada pangkuan
perempuan itu sambil berkata: "Anak ini lapar, lekas kau menyusui
dia."
Anak kecil yang
dilemparkan ke dipan itu terbanting cukup keras, karena kesakitan seketika
terdengarlah jerit tangis, Adalah lazim seorang ibu sayang pada anaknya
sendiri, lekas2 ia menggendong kembali anaknya itu.
Melihat bagian dada
perempuan muda itu terbuka, cepat Nyo Ko berpaling keluar rumah. Segera
didengarnya bentakan Li Bok chiu "Kusuruh kau menyusui anakku, apa kau
tidak dengar? Siapa suruh kau memondong anakmu sendiri?" - Menyusul
terdengar kebut menyabet, lalu terdengar suara "Blang" sekali.
Nyo Ko terkejut dan
menoleh, dilihatnya anak perempuan petani itu telah dibanting oleh Li Bok -chiu
di dekat kaki tembok sana kepalanya berlumuran darah, entah mati atau masih
hidup.
Tentu saja tidak kepalang
pedih hati si perempuan petani, cepat ia menaruh anak Kwe Cing itu diatas dipan
dan segera menubruk maju untuk memondong anaknya sendiri sambil menjerit dan
menagis. Li Bok-chiu tambah gusar, ia angkat kebutnya hendak menyabet kepala
perempuan itu.
Syukur Nyo Ko sempat
menangkis kebut itu dengan pedangnya, dalam hati ia pikir Li Bok-chiu ini
sungguh wanita yang paling kejam dan se-wenang2. tapi dimulut ia berkata:
"Li-supek, kalau mau membinasakan dia, orang mati tak dapat lagi
menyusui."
"Persetan!" omel
Bok-chiu dengan gusar, "Apa toh. kulakukan adalah demi kebaikan anakmu,
mengapa kau malah ikut campur urusan tetek bengek."
Diam2 Nyo Ko mendongkol
sudah jelas bukan anaknya, tapi Li Bok-chiu terus menerus mengatakan bayi itu
anaknya, Tapi kalau benar anaknya, mengapa dikatakan pula Nyo Ko ikut campur
urusan tetek bengek.
Tapi Nyo Ko tidak
membantah, katanya dengan tersenyum: "Anak ini sudah kelaparan, paling
penting disusui dulu." - Berbareng ia terus hendak membopong bayi di atas
dipan itu.
Namun Li Bok-chiu telah
mengadangnya dengan ancaman kebut dan berseru: "Kau berani merebut anak
itu?"
Terpaksa Nyo Ko melangkah
mundur lagi dan berkata: "Baik, takkan kupondong dia."
Li Bok-chiu sendiri lantas
pondong bayi itu dan baru saja akan disodorkan lagi kepada perempuan petani
tadi, tapi perempuan itu ternyata sudah menghilang entah ke mana. Rupanya
selagi mereka berdua bertengkar, perempuan itu terus kabur melalui pintu
belakang dengan membawa puteranya yang terluka itu.
Dengan murka Li Bok-chiu
menerjang keluar pintu, dilihatnya perempuan tadi sedang lari kesetanan ke
depan sana dengan anaknya, sekali Li Bok-chiu menjengek, ia melompat ke sana,
kebutnya terus menyabet, tahu2 perempuan petani brtsama anaknya sudah
menggeletak tak bernyawa dengan tulang kepala pecah berantakan.
Masih belum puas dengan
itu, Li Bok-chiu terus menyalakan api dan membakar rumah petani itu hingga
habis menjadi abu, habis itu barulah ia melangkah pergi..
Diam2 Nyo Ko menyesali Li
Bok-chiu yang teramat kejam dan keji itu, ia terus mengintil di belakangnya.
Kedua orang sama2 diam dan berjalan di ladang pegunungan, sampai berpuluh li
jauhnya, rupanya saking lelahnya bayi itu telah terpulas dalam pondongan Li
Bok-chiu.
Tengah berjalan, tiba2 Li
Bok-chiu bersuara heran dan berhenti, dilihatnya dua ekor anakan macan tutul
sedang bersenda gurau di bawah sinar matahari, ia melangkah maju dan baru
hendak mendepak minggir kedua ekor macan tutul kecil itu, se-konyong2 terdengar
suara meraung dari semak2 di samping sana, seekor induk macan tutul yabg besar
menubruk tiba.
Biarpun tinggi ilmu silat
Li Bok-chiu juga kaget melihat betapa besarnya macan tutul itu, cepat ia
melompat ke samping untuk menghindar.
Macan tutul itu kelihatan
sangat buas, sekali tubruk tidak kena, segera ia memutar balik hendak mencakar,
gerakannya sangat gesit seperti jago silat saja, Segera Li Bok-chiu angkat
kebutnya dan menyabet, tapi mengenai batok kepala macan tutul itu sehingga
binatang itu marah dan semakin buas, macan tutul itu mendekam di tanah dengan
menyeringai hingga kelihatan kedua baris giginya yang putih tajam, kedua
matanya terus mengincar mangsanya dan siap menerkam pula.
Cepat Li Bok-chiu
menyambitkan kedua buah jarum untuk menyerang kedua mata harimau itu. Mendadak
Nyo Ko berseru: "Nanti dulu!" -Berbareng kedua jarum itu disampuknya
dengan pedangnya.
Pada saat itu juga macan
tutul itu sudah melompat ke atas dan menubruk tiba pula, Namun pada saat yang
sama Nyo Ko juga melompat keatas, lebih dulu ia sampok pula dua jarum yang
sementara itu disambitkan lagi oleh Li Bok-chiu.
Menyusul kepalan kanan
dengan cepat menghantam pada tulang punggung di dekat gitok macan itu.
Macan tutul itu mengaung
kesakitan dan terjatuh, tapi segera menubruk lagi ke arah Nyo Ko. Cepat anak
muda itu mengegos sambil menghantamkan sebelah tangannya, betapapun kuatnya
binatang itu juga tidak tahan oleh genjotan Nyo Ko dan jatuh terjungkal.
Li Bok-chiu menjadi heran
mengapa dia menolong harimau itu dari serangan jarumnya, sebaliknya sekarang
anak muda itu berkelahi dengan binatang itu.
Dilihatnya susul menyusul
Nyo Ko memukul macan tutul yang jatuh bangufn itu, hanya tempat yang
dihantamnya itu bukan tempat mematikan melainkan tempat yang membuat binatang
itu jatuh dan kesakitan melulu.
Suara macan tutul itu
makin Iama makin perlahan, meski tidak terluka, tapi sudah belasan kali ia
dipukul oleh Nyo Ko dan tidak tahan lagi segera ia melompat ke atas lereng
bukit Tapi Nyo Ko sudah menduga akan itu, segera ekor harimau itu hendak
ditariknya.
Tak terduga macan tutul
itu mendadak mencawat ekornya di sela2 kaki sehingga tarikan Nyo Ko tidak kena
pada sasarannya.
Selagi Nyo Ko hendak
mengejar, mendadak macan tutul itu berpaling dan meraung seperti memanggil
kedua ekor anaknya agar ikut lari. Pikiran Nyo Ko tergerak cepat ia pegang
kuduk kedua anakan macan tutul dan diangkat tinggi ke atas.
Tampaknya induk macan juga
sayang kepada anaknya, tanpa hiraukan keselamatan sendiri kembali macan tutul
besar itu menubruk ke arah Nyo Ko. Cepat Nyo Ko melempar kedua anak harimau itu
kepada Li Bok-chiu sambil berseru "peganglah ini, jangan dimatikan!"
Berbareng itu ia terus
meloncat ke atas, bahkan lebih tinggi daripada macan tutul itu, ia incar dengan
tepatnya, jatuh ke bawah dengan persis dapat menunggangi punggung macan tutul,
kedua tangannya terus mencengkeram kencang telinga binatang itu dan ditahan ke
bawah sekuatnya.
Macan tutul itu meronta
sekuatnya, namun seluruh badannya sudah diatasi lawan, mulutnya yang terpentang
lebar juga ambles terbenam ke dalam tanah.
"Li-supek, lekas
membuat tali dengan kulit pohon dan mengikat keempat kakinya," seru Nyo
Ko.
"Hm, aku tiada tempo
ikut memain dengan kau," jengek Li Bok-chiu, habis itu segera ia hendak
melangkah pergi
Nyo Ko menjadi ribut,
teriaknya pula: "Hei, memangnya siapa mengajak kau main2? Maksudku macan
tutul ini punya susu!"
Baru sekarang Li Bok-chiu
paham maksud Nyo Ko, dengan girang ia berkata: "He, betul, Hanya kau yang
dapat memikirkan hal ini." - Cepat mengambil belasan lempeng kulit pohon
dan dipelintir menjadi tali yang kuat, lebih dulu ia ikat moncong macan tutul
itu dengan kencang, habis itulah meringkus keempat kakinya.
Dengan tersenyum barulah
Nyo Ko melepaskan pegangan pada harimau itu, ia berbangkit sambil kebut debu
pasir di tubuhnya.
Harimau itu tidak dapat
berkutik lagi, sinar matanya memancarkan rasa takut. Nyo Ko me-raba2 kepalanya
dan berkata dengan tertawa: "jangan kuatir, jiwamu takkan kami ganggu,
kami cuma minta kau menjadi mak inang sementara."
Segera Li Bok-chiu
mendekatkan mulut si bayi pada punting susu harimau itu. Bayi itu sudah sangat
kelaparan, begitu punting susu harimau masuk mulutnya, sekuatnya ia lantas
menyedot
Air susu harimau tutul itu
beberapa kali lipat lebih banyak daripada air susu manusia, tidak berapa lama
kenyanglah.bayi itu dan terpulas pula dengan nyenyaknya.
Selama bayi itu menyusu
hingga tertidur, selama itu pula pandangan Nyo Ko dan Li Bok-chiu tak pernah
meninggalkan wajah si kecil yang molek itu, setelah menyaksikan bayi itu
kenyang menyusu dan terpulas, air mukanya yang lembut itu tersenyum simpuI,
hati kedua orang menjadi girang dab tanpa terasa mereka saling pandang dan
tertawa.
Saling tertawa ini banyak
membawa kedamaian bagi mereka, rasa waswas yang tadinya meliputi perasaan
mereka seketika lenyap sebagian, Dengan wajah yang penuh perasaan lembut Li
Bok-chiu memondong kembali bayi itu lambil ber-nyanyi2 kecil dengan suara
pelahan.
Nyo Ko lantas mencari
rumput yang lunak dan membuat sebuah "kasur" kecil dibawah pohon
katanya: "Rebahkan di sini biar dia tidur lebih lelap.
"Sssst!" tiba2
Li Bok-chiu mendesis sambil memberi tanda agar anak muda itu jangan berisik.
Nyo Ko melelet lidah
dengan muka jenaka, Terlihat si bayi telah tertidur dengan tenteram, bara
sekarang ia dapat menghela napas lega.
Sementara itu kedua ekor
anakan macan tutul juga sedang sibuk menyusu pada induknya, Suasana sekeliling
aman tenteram, angin meniup sepoi2 manusia dan binatang berdampingan dengan
damai Setelah mengalami banyak peristiwa selama beberapa hari ini, baru
sekarang Nyo Ko merasakan longgar.
Li Bok-chiu duduk
menunggui anak bayi itu, kebutnya mengebas pelahan mengusir lalat dan nyamuk
yang menghinggapi si kecil, Di bawah kebut ini entah sudah berapa banyak
melayang jiwa manusia, untuk pertama kalinya sekarang kebut itu digunakan untuk
yang baik dengan perasaan kasih.
Nyo Ko melihat Li Bok-chiu
terus memandangi si kecil dengan terkesima, terkadang mengulum senyum, lain
saat tampak sedih, mendadak kelihatan terangsang, tapi segera kelihatan
tenteram lagi. Mungkin batin iblis perempuan ini sedang bergolak dengan
hebatnya dan teringat kepada pengalamannya selama ini.
Memang Nyo Ko tidak jelas
kisah hidup Li Bok-chiu, hanya sekadarnya pernah didengarnya dari Thia Eng dan
Liok Bu-siang, bahwa tindak-tanduknya sangat keji dan benci kepada sesamanya,
tentu pernah ia pernah mengalami kedukaan yang luar biasa. Selama ini Nyo Ko
benci padanya, sekarang terasa timbul juga rasa kasihan nya.
Selang agak lama, Li
Bok-chiu angkat kepalanya, beradu pandang dengan Nyo Ko, melihat air muka anak
muda itu tenang ramah, hati Li Bok-chiu rada tercengang, dengan suara pelahan
ia berkat "Hari hampir gelap, bagaimana baiknya malam nanti?"
Nyo Ko memandang
sekeliling situ. katanya kemudian: "Kita juga tak dapat membawa "mak
inang" raksasa ini dalam perjalanan, sebaiknya kita mencari sebuah gua
untuk bermalam, segala persoalan kita tentukan saja besok."
Li Bok-chiu mengangguk
setuju. Nyo Ko lantas memeriksa sekitar tempat itu menemukan sebuah gua yang
sekadarnya cukup untuk berteduh, ia mengumpulkan sedikit rerumputan dan
dijereng menjadi dua kasuran besar dan kecil di dalam gua itu lalu berkata:
"Li-supek, silahkan mengaso dulu, aku pergi mencari barang makanan."
Tidak lama kemudian Nyo Ko
sudah kembali dengan membawa tiga ekor kelinci dan belasan buah buahan. ia
melepaskan tali yang membelenggu moncong harimau tutul itu dan memberinya makan
seekor kelinci, lalu ia membuat api unggun untuk memanggang kedua ekor kelinci
yang lain dan dimakan bersama dengan Li Bok-chiu.
"Li supek, silakan
tidur saja, akan ku jaga di sini" kata Nyo Ko kemudian. ia ambil seutas
tali diikat pada dua batang pohon, di atas tali itulah ia tidur secara
terapung.
"Cara tidur Nyo Ko
itu adalah latihan utama dari Ko~bong-pay. dengan sendirinya Li Bck-chiu tak
merasa heran. Selama ini selain terkadang dalam perjalanan bersama muridnya,
Ang Leng-po, biasanya Li Bok-chiu pergi datang sendirian, sekarang Nyo Ko
menemani dan melayani dia dengan baik dan rapi.
lnilah berbeda rasanya
daripada hidup sendirian di pergunungan sunyi di masa lalu, tanpa terasa Li
Bok-chiu menghela napas gegetun.
Tertidur sampai tengah
malang tiba2 Nyo Ko mendengar suara burung berkicau di jurusan tenggara sana,
suaranya nyaring halus dan terasa sangat enak didengar. ."
Dia pasang telinga
mendengarkan sejenak, ia tidak tahu bunyi burung jenis apakah yang sedemikian
merdunya. Karena ingin tahu, pelahan ia melompat turun dari ranjang tali dan
merunduk ke arah datangnya suara burung itu.
Didengarnya suara burung
itu terkadang meninggi dan mendadak rendah, tempo cepat dan lain jadi lambat,
mirip sekali dengan orang yang sedang memainkan alat musiknya. Mau tak mau
timbul hasratnya untuk menangkap burung aneh itu.
Begitulah ia terus
menyusur maju ke sana, makin lama makin menurun tempatnya, akhirnya ia sama di
sebuah lembah yang dalam, terdengar suara burung itu berada tidak jauh di
depannya, kuatir mengejutkan burung itu, ia berjalan dengan pelahan dan
langkahnya dibuat enteng, hati2 sekali ia menyingkap semak2 dan melongok ke
sana, tapi ia menjadi kecewa, heran dan geli pula.
Kiranya burung yang
berkicau dengan suara yang merdu tadi, bentuknya justeru sangat jelek badannya
tinggi besar, malahan lebih tinggi satu kepala kalau berdiri berjajar dengan
Nyo Ko. Bulu di sekujur badannya jarang2 sehingga mirip dicabut orang, warna
bulunya kuning bercampur hitam dan kelihaian kotor, tampangnya rada mirip
dengan sepasang rajawali piaraan Ui Yong di Tho-hoa-to itu, cuma kedua rajawali
itu sangat cakap, sebaliknya rajawali aneh ini jelek, bedanya seperti langit
dan bumi.
Malahan paruhnya besar
membengkok, dibatok kepalanya tumbuh sebuah gumpalan daging merah sehingga
menyerupai jengger, di antara beribu-ribu jenis burung di dunia ini, rasanya
tiada lagi yang lebih jelek rupanya dari pada burung raksasa yang ini.
Rajawali jelek ini sedang
melangkah kian kemari, terkadang menjulurkan sayap, ternyata sayap juga ada
kelainan, sebelah kanan pendek sebelah kiri panjang, entah cara bagaimana ini
bisa terbang. Sikap Rajawali aneh ini sangat angkuh, dengan bersitegang leher
ia berjalan mondar mandir.
Setelah berkicau sejenak,
mendadak suaranya berubah, dari halus merdu berubah menjadi galang menantang,
tiba2 di sela-sela sana ada suara mendesis.
Sejak kecil Nyo Ko ikut
ibunya menangkap ular, maka mendengar suara itu segera ia tahu ada tujuh atau
delapan ekor ular berbisa besar sedang menyusur tiba. Sudah tentu dia tidak
takut pada ular berbisa, tapi jumlah ular cukup banyak, mau tak-mau ia harus
ber-jaga2.
Baru timbul rasa
waswasnya, di bawah cahaya rembulan kelihatanlah warna loreng2, delapan ekor
ular berbisa sekaligus menyambar ke arah si rajawali jelek tadi, tapi rajawali
itu telah pentang paruhnya yang bengkok itu, ber-turut2 ia mencocok delapan
kali, kontan kedelapan ekor ular m tercocok mati.
Betapa cepat dan jitu
caranya memaruh luar biasa, sekalipun jago silat kelas satu sebangsa Kwe Cing
atau Kim-lun Hoat-ong juga tidak lebih dari itu.
Nyo Ko terkesima
menyaksikan kesaktian rajawali jelek itu, sekejap itu lenyaplah perasaan
meremehkan dan mentertawakan rajawali yang buruk rupa itu, sekarang timbul
perasaan kagum dan heran.
Sementara itu, rajawali
aneh itu sedang melalap ular2 berbisa tadi satu demi satu, dari suaranya
mengunyah itu se-akan2 mulut burung itu bergigi saja.
Semakin heran Nyo Ko
menyaksikan itu, ia pikir kalau kejadian ini diceritakan pada orang lain, tentu
orang takkan percaya, Selagi ia terpesona oleh kesaktian rajawali yang aneh
itu, tiba2 hidungnya mengedus bau amis busuk, nyata ada ular menyusur tiba
pula.
Agaknya rajawali itupun
tahu datangnya ular, dia berkaok tiga kali se-akan sedang menarik perhatian.
Mendadak terdengar suara bergedebuk dari atas pohon di depan sana menggelatung
turun seekor ular sawa (Python) yang bulat tengahnya sebesar mangkuk, kepalanya
bentuk segi tiga, begitu buka mulut, seketika segumpal kabut merah bisa
menyembur ke arah rajawali tadi.
Namun rajawali itu sama
sekali tidak gentar, sebaliknya ia malah memapak maju, mulutnya membuka, kabut
berbisa tadi dihirupnya semua ke dalam perut. Berulang tiga kali ular sawa ini
menyemburkan kabut racun, tapi seluruhnya dapat diisap oleh rajawali jelek itu.
Rupanya ular sawa itu tahu
gelagat jelek dan ada tanda takut dan hendak mengerat mundur, namun rajawali
itu cepat sekali mematuk sehingga sebuah mata ular itu terpatuk buta.
Tampaknya leher rajawali
itu cekak lagi kasar, gerak-geriknya seperti kurang leluasa, tapi mulur
mengkeretnya ternyata secepat kilat sehingga Nyo Ko tidak sempat melihat jelas
cara bagaimana rajawali itu membutakan mata lawannya.
Karena kehilangan sebuah
matanya, ular sawa-kesakitan sekali ia pentang mulut dan -"crat"
jengger merah diatas kepala rajawali itu terus dipatuknya. Kejadian yang tak
terduga ini ikut menjerit kaget.
Setelah menyerang berhasil,
segera ular sawa itu merambat ke bawah, tubuhnya melilit beberapa kali di badan
rajawali terus mengencang sekuatnya, tampaknya jiwa rajawali itu pasti sukar
dipertahankan.
Lantatan ibunya tewas oleh
pagutan ular berbisa, maka selama hidup Nyo Ko sangat benci pada ular, meski
dia tidak menaruh simpatik terhadap rajawali buruk rupa itu, tapi iapun tidak
ingin burung itu dicelakai ular jahat, cepat ia melompat keluar, pedangnya
terus membacok tubuh ular itu. Terdengarlah suara "blang" yang nyaring
pedang nya ternyata terpental balik.
Sungguh tak kepalang
terkejut "Nyo Ko, Kun cu-kiam yang diperolehnya dari tempat Kongsun Ci itu
sangat tajam, sampai roda perak Kim-lun Hoat ong juga terkupas sebagian,
betapapun buas dan ganasnya ular sawa ini juga terdiri dari daging darah,
mengapa Kun cu-kiam malah terpental.
Karena heran dan kejutnya,
segera ia tambahi tenaga dan berturut membacok lagi tiga kali, kemudian
terdengar "trang-trang-trang" tiga kali, suara nyaring beradunya
logam, jelas bukan suara penuh sisik ular.
Waktu Nyo Ko periksa
pedangnya, ternyata mata pedangnya ada tiga tempat gempilan kecil, bahwa badan
ular dapat membikin pedangnya mental sudah aneh, malahan mata pedangnya gumpil,
hal ini sungguh sukar dipercaya, diantara mata pedangnya itu jelas ada noda
darah ular, terang ular sawa itu terluka oleh bacokannya
Sementara itu pergulatan
antara ular dan rajawali sudah mengalami perubahan keadaan, Ular sawa itu
semakin kencang melilit lawannya, sedangkan bulu rajawali itu tampak menegak
dan melakukan perlawanan sekuat tenaga.
Diam2 Nyo Ko berkuatir
bagi keselamatan rajawali itu, kalau sebentar ular sawa itu membinasakan
rajawali, sasarannya selanjutnya tentu adalah dirinya, sedangkan badan ular itu
lebih keras dar| pedang, lalu cara bagaimana akan melawannya.
Kalau melarikan diri
sekarang jelas dapat lolos dengan selamat, tapi dasar wataknya memang berbudi
luhur dan berjiwa pendekar, sekali ia sudah membacok ular sawa, ini berarti dia
sudah memihak pada si rajawali untuk menghadapi musuh yang sama, kalau kabur
sendirian, betapapun ia merasa tindakan demikian terlalu rendah dan pengecut.
Segera ia mengerahkan
segenap tenaganya, "trang", kembali pedangnya membacok tubuh ular.
Tapi mendadak tangannya terasa enteng, Kun cu kiam itu tinggal setengah saja yang
terpegang di tangannya, badan ular juga lantas menyemburkan darah merah segar,
namun tubuhnya belum tertabas putus.
Karena lukanya cukup
parah, lilitan badan ular nampak agak mengendur, kesempatan ini segera gunakan
rajawali sakti itu untuk memberosot keluar, waktu turun ke bawah paruhnya yang
bengkok itu secepat kilat mematuk sehingga mata ular yang satunya juga terpatuk
buta.
Ular itu pentang mulutnya
yang lebar dan memagut kian kemari secara ngawur, kini kedua matanya sudah
buta, tentu saja tidak dapat menggigit sasarannya.
Siapa tahu rajawali itu
justeru sengaja menyodorkan kepalanya dau membiarkan jengger merahnya digigit
lagi oleh ular.
Kembaii Nyo Ko terkesiap,
tapi setelah dipikir segera ia paham maksud tujuan si rajawali, tentunya
jengger merah burung itu adalah benda berbisa atau mungkin merupakan bagian
yang anti ular.
Kalau ular sawa itu tidak
mempan ditabas senjata tajam, jalan paliag baik adalah membinasakannya dengan
racun.
Taring ular tampak
menggigit jengger, gumpalan daging kepala rajawali itu, tubuhnya lantas terus
melingkar pula, tapi sekali ini rajawali itu tidak membiarkan badahnya terbelit
lagi. cakarnya bekerja, ekor ular dicengkeram dan dibetot hingga putus.
Sementara itu ular sawa
sudah keracunan hebat, mendadak badannya terguling dan melepaskan gumpalan
daging yang digigitnya itu. Meski rajawali itu tahu si ular sudah dekat
ajalnya, tapi dia tidak membiarkan lawannya main gila lagi, kepala ular terus
dicengkeram dan ditekan ke dalam tanah.
Rajawali itu buruk rupa,
tapi tenaga saktinya sungguh kuat luar biasa, ular sawa itu tak bisa berkutik
lagi dan tidak lama kemudian matilah ular itu.
Si rajawali lantas
mengangkat kepala dan berbunyi tiga kali, habis itu ia berpaling kepada Nyo Ko
dan berkicau dengan suara halus. Dari suara burung itu Nyo Ko merasakan nada
persahabatan pelahan ia mendekatinya dan berkata: "Tiau-heng (kakak
rajawali), tenaga saktimu sungguh mengejutkan aku sangat kagum."
Entah burung itu paham
ucapannya atau tidak, hanya terdengar dia "berkicau" lagi beberapa
kali, mendadak ia melangkah maju dan mematuk setengah potong Kun-cu-kiam yang
dipegang Nyo Ko itu, tahu2 pedang itu sudah direbutnya.
Padahal kepandaian Nyo Ko
sekarang sudah tokoh kelas satu, biarpun jago silat tertinggi juga tidak dapat
merampas senjatanya dalam sekali gebrak saja, akan tetapi sekarang rajawali
buruk rupa ini ternyata dapat menaklukannya dengan cepat luar biasa...
Tentu saja Nyo Ko terkejut
dan cepat melompat mundur, ia bersiap siaga kalau itu burung menubruk maju
Iagi. Tapi dilihatnya rajawali itu telah membuang Kun-cu-kiam kutung itu dengan
sikap yang menghina.
Pahamlah Nyo Ko akan
maksud rajawali itu, katanya: "Aha, tahulah aku. Kau melarang aku
mendekati kau dengan bersenjata. padahal kita membunuh musuh bersama, mana aku
dapat membikin susah padamu."
Rajawali itu bersuara
pelahan dan mendekati Nyo Ko sambil menjulurkan sayapnya dan menepuk pelahan
beberapa kali di punggung anak muda itu.
Melihat burung itu sangat
cerdik dan dapat memahami ucapan manusia, Nyo Ko sangat girang iapun balas
me-raba2 punggungnya.
Melihat bangkai ular sawa
yang masih menggeletak di situ, Nyo Ko menjadi heran apa sebabnya ular itu
mampu mematahkan Kun-cu-kiam, Segera ia memotong sepotong ranting kayu, ia
menusuk bangkai ular, rasanya lunak, tiada sesuatu yang aneh.
Ketika kayu itu ia tusuk
ke luka bekas bacokan pedang, tiba2 terbentur pada sesuatu benda yang keras,
sedangkan bagian itu adalah perut dan bukan bagian tulang ular.
Nyo Ko bertekad mencari
tahu sejelasnya, sekuatnya ia tusukan kayunya, waktu ia tarik kembali ujung
kayu itu ternyata sudah terbelah menjadi dua, tampaknya di dalam tubuh ular itu
pasti ada sesuatu benda yang tajam.
Ia coba berjongkok dan
mengamati lebih teliti, dilihatnya di antara rembesan darah yang merah itu
samar2 memancarkan kabut ungu yang tipis, jarak muka Nyo Ko dengan bangkai ular
cukup jauh, tapi merasakan semacam hawa dingin yang aneh, semakin mendekat
kepalanya ke bangkai rasa dingin itu semakin keras.
Segera Nyo Ko menjemput
kembali kutungan Kun-cu-kiam tadi, ia mengupas kulit daging ular bagian yang
terluka itu, seketika hawa dingin tadi bertambah kuat. la terkejut disangkanya
ada benda berbisa yang sangat lihay, cepat ia gunakan kutungan Kun-cu-kiam
untuk membacok. "trang", tahu2 pedang yang sudah kutung itu patah
lagi menjadi dua.
Sekarang Nyo Ko sudah
dapat menduga duduknya perkara, pasti di dalam tubuh ular itu terdapatsesuatu
senjata tajam. Segera ia gunakan pedang kutung untuk mengupas kulit daging ular
agar lebih bersih, akhirnya kelihatanlah sebatang pedang panjang satu meter
yang bercahaya ungu.
Dengan girang Nyo Ko
menggunakan pedang, kutung untuk mencungkil batang pedang ungu itu, mendadak
"srrr,... ,cret", pedang ungu itu tercungkil mencelat dan menancap
pada batang pohon di sebelah sana hingga lebih setengah batang pedang yang
ambles. padahal cara mencungkil tadi tidak terlalu keras, namun pedangnya itu
dapat menancap ke batang pohon seperti batang pisang saja empuknya, sungguh
senjata yang maha tajam dan belum pernah dilihat Nyo Ko.
Waktu Nyo Ko menyembelih
ular dan mengambil pedang ungu, selama itu si rajawali sakti juga terus
mengawasi iapun tertarik melihat pedang ungu yang luar biasa itu, se-konyong2
ia menyerobot maju, gagang pedang digigitnya dan dicabut jenis dibawa lari ke
tebing gunung sana.
Dalam semalam Nyo Ko telah
berulang mengalami peristiwa aneh, ia merasa rajawali buruk rupa itu tak dapat
diduga, segera ikut melompat turun ke bawah sana, Dilihatnya tepi tebing sana
ada sebuah sungai kecil, dengan menggigit pedang ungu tadi, rajawali itu lantas
rendam pedang itu dalam air sungai, agaknya untuk mencucinya.
Diam2 Nyo Ko mengangguk
dan paham maksud si rajawali, pedang itu sudah lama mengeram di dalam perut
ular berbisa. dengan sendirinya racun juga melekat pada batang pedang itu.
Setelah sekian lamanya si
rajawali mencuci pedang, kemudian ia berpaling dan melemparkan pedang itu
kepada Nyo Ko. Pedang itu se-akan2 berbentuk selarik sinar ungu menyambar ke
arah Nyo Ko, tapi dengan cepat anak muda itu dapat menangkap gagang pedang,
katanya dengan tertawa "Terima kasih atas kebaikan Tiau-heng." ia
periksa, dilihatnya gagang pedang itu tertulis dua huruf Hindu kuno:
"Ci-wi" atau mawar ui
Nyo Ko pegang pedang itu
lurus ke depan menyendalnya perlahan, seketika batang pedang bergetar dan
mengeluarkan suara mendengung, nyata batang pedang itu sangat lemas. Barulah
mengerti akan persoalannya. "Ah lantaran pedang sangat lemas sehingga
dapat mengikuti lenggak-lenggok tubuh ular, makanya tidak sampai mencelakai dan
menembus perut ular meski mengeram sekian lamanya di dalam perut ular itu.
la coba mengayun pedang
ungu itu ke samping, sebatang pohon yang cukup besar kontan tertabas putus,
sedikitpun tidak memerlukan tenaga.
Rajawali tadi bersuara
pelahan beberapa kali pula dan mendekati Nyo Ko, dengan paruhnya yang bengkok
itu ia tarik2 ujung baju Nyo Ko, lalu mendahului melangkah ke sana.
Nyo Ko menduga perbuatan
rajawali itu pasti mengandung arti yang daiara, ia segera mengikuti
dibelakangnya. Langkah rajawali itu sangat cepat seperti kuda lari saja meski
berjalan di antara batu pegunungan dan semak belukar, Nyo Ko keluarkan
kemahiran Ginkangnya, tapi rasanya sukar menyusulnya, syukur rajawali itu
lantas menunggunya kalau Nyo Ko ketinggalan jauh.
Makin lama tempat yang
mereka tuju itu makin rendah dan akhirnya sampai di suatu lembah gunung yang
dalam, Tidak lama kemudian sampailah mereka di sebuah gua besar, Rajawali
itumengangguk kepala tiga kali di depan gua dan bersuara tiga kali, lalu
menoleh, memandangi Nyo Ko.
Dari sikap rajawali itu
Nyo Ko menduga, binatang itu seperti sedang menjalankan penghormatan ke dalam
gua, ia pikir gua ini pasti didiami oleh orang kosen angkatan tua dan rajawali
ini tentunya adalah piaraannya, jika demikian aku harus menurut adat istiadat.
Maka Nyo Ko lantas
berlutut dan menyembah beberapa kali di depan gua dan berkata: "Tecu Nyo
Ko menyampaikan salam hormat kepada cianpwe, agar sudi memaafkan kedatanganku
yang sembrono ini."
Selang sejenak, tiada
terdengar sesuatu jawaban apapun, Rajawali itu menarik lagi ujung bajunya terus
melangkah ke depan gua.
Keadaan dalam gua gelap
gulita, entah betul dihuni oleh orang kosen tokoh persilatan atau didiami oleh
setan gendruwo, meski hatinya kebat-kebit, tapi mati-hidup tidak dipikirkan
lagi, dengan menjinjing pedang pusaka "Ci-wi-kiam yang ditemunya itu, ia
terus mengintil di belakang si rajawali sakti.
Sebenarnya gua itu sangat
cetek, hanya beberapa langkah sudah buntu. di dalam gua, selain sebuah meja dan
sebuah bangku batu tiada sesuatu benda lain Iagi.
Rajawali tadi berkaok tiga
kali ke pojok gua sana, waktu Nyo Ko memandangnya tertampak di sudut sana ada
segundukan batu yang menyerupai kuburan, ia pikir: "Tampaknya ini adalah
makam seorang kosen, cuma sayang burung ini takdapat bicara sehingga sukar
diketahui asal-usul tokoh ini"
Ketika ia menengadah,
tiba2 dilihatnya dinding gua seperti ada tulisan, cuma lembab dan berlumut
dinding itu, pula gelap, maka tidak tertampak jelas, Segera Nyo Ko membuat api
dan menyalakan sebatang kayu kering, ia kesut lumut dinding gua, benar di situ
ada tiga baris huruf. Goresan tulisan sangat halus, tapi melekuk dalam pada
batu dinding, tampaknya diukir dengan senjata yang sangat tajam, besar
kemungkinan diukir dengan Ci-wi-kiam ini.
Ketiga baris tulisan itu
kira2 berarti "Malang melintang lebih 30 tahun di dunia Kangouw, membunuh
habis semua musuh, mengalahkan seluruh jago di dunia ini tidak menemukan lawan
lagi, maka bertirakat di lembah sunyi ini memperisterikan dan berkawankan
rajawali Oho, sungguh sayang, selama hidup hanya mengharapkan seorang lawan
sama kuat pun sukar ditemukan, pada bawah ketiga baris huruf itu disebut pula
nama penulisnya, yakni: "Kiam-mo Tokko Kiu-pay"
"Kiam-mo Tokko
Kiu-pay", demikian Nyo Ko mengulangi kata2 ini beberapa kali, hatinya
merasakan sesuatu yang sukar dilukiskan, dari tulisan di dinding gua itu dapat
ditarik kesimpulan bahwa orang kosen itu lantaran tidak mendapatkan tandingan
karena jengkel lalu dia mengasingkan diri dilembah sunyi ini, maka dapat
dibayangkan betapa tinggi ilmu silat orang ini tentu sukar diukur.
Bahwa orang kosen itu
berjuluk Kiam-mo (iblis pedang), dengan sendirinya ilmu pedangnya maha sakti,
dia she Tokko dan bernama Kiu-pay (minta dikalahkan), mungkin dia telah
menjelajahi seluruh jagat untuk mencari seorang yang mampu mengalahkan dia dan
cita2nya itu tidak pernah terkabul, sebab itulah dia merasa masgul dan hidup
menyendiri.
Membayangkan betapa hebat
tokoh yang entah hidup di jaman apa itu, tanpa terasa Nyo Ko sangat kagum.
Nyo Ko angkat obornya dan
memeriksa pula keadaan dalam gua, namun tidak ditemukan lagi sesuatu bekas
lain, diatas makam itupun tidak ada tanda2 lain pula, Ia menduga mungkin
setelah tokoh kosen itu meninggal lalu rajawali sakti inilah yang menguruki
jenasahnya dengan batu. Mengenai pedang pusaka "mawar ungu" bisa
tertelan ke perut ular sawa itu, karena rajawali sakti ini tidak dapat bicara,
tampaknya teka-teki ini ta kkan terungkap selamanya.
Begitulah Nyo Ko
ter-menung2 sejenak di situ, kemudian ia padamkan api obor, dalam kegelapan
pedang pusaka yang dipegangnya itu memancarkan canana ungu yang remang2,
teringat olehnya pedang ini pernah digunakan orang kosen Tokko Kiu-pay malang
melintang di dunia persilatan tanpa terkalahkan, dan sekarang pedang pusaka ini
jatuh ke tangannya, maka ia lantas berlutut dan menyembah lagi beberapa kali di
depan makam batu tadi.
Melihat Nyo Ko sangat
menghormati makam batu itu, rupanya rajawali sakti sangat senang, kembali ia
menjulurkan sayapnya menepuk pundak anak muda itu.
Nyo Ko menjadi teringat
tulisan tadi, dimasa Tokko Kiu-pay menyebut si rajawali sakti ini sebagai
kawannya, jadi rajawali ini meski binatang kan terhitung angkatan tua pula,
kalau kusebut dia Tiau-heng" (kakak rajawali) rasanya juga tak berlebihan.
BegituIah ia lantas
berkata kepada burung itu: "Tiau-heng, tanpa sengaja kita bertemuu,
agaknya memang ada jodoh antara kita, sekarang kumohon diri untuk pergi. Engkau
ingin mendampingi makam Tokko-locianpwe di sini atau hendak berangkat saja
bersamaku?"
Rajawali itu berbunyi
beberapa kali sebagai jawaban. Sudah tentu Nyo Ko tidak paham artinya, yang
jelas burung itu tetap berdiam saja di samping makam, maka Nyo Ko menarik
kesimpulan rajawali itu merasa berat untuk meninggalkan kediaman yang sudah
ratusan tahun dihuninya ini.
Segera ia merangkul leher
rajawali itu dan ber-mesra2an sekian lama dengan dia barulah tinggal pergi.
Selama hidup Nyo Ko tiada
mempunyai seorang sahabat karib kecuali saling cinta dengan Siau-liong-li,
sekarang bertemu dengan rajawali sakti ini secara kebetulan, walaupun manusia dan
binatang, tapi entah mengapa, rasanya sangat cocok sekali, sekeluarnya dari gua
itu, terasa berat untuk meninggalkannya, maka setiap melangkah beberapa tindak
ia lantas menoleh.
Akhirniya setiap kali ia
menoleh, selalu si rajawali sakit berbunyi satu kali sebagai tanggapan
menolehnya itu, meski jaraknya sudah semakin jauh, tapi rajawali itu dapat
melihat dengan jelas dalam kegelapan dan selalu menjawab dengan berbunyi satu
kali bila Nyo Ko menoleh.
Sungguh hati Nyo Ko sangat
terharu, mendadak ia berseru: "O, Tiau-heng, jiwaku sudah tidak lama lagi,
nanti kalau urusan puteri Kwe - pepeh sudah selesai dan setelah kumohon diri
pada Kokoh? segera kudatang ke sini, rasanya tidak sia2 hidupku ini apabila aku
dapat terkubur di samping Tokko locianpwe."
Habis berkata ia
memasukkan Ci-wi-kiam ke dalam sarung Kun-cu-kiam, lalu melangkah pergi dengan
cepat
Sambil berjalan, dalam
hati Nyo Ko terus merenungkan pengalaman aneh tadi, terpikir pula olehnya
Kun-cu-kiam dan Siok-li-kiam yang dimilikinya bersama Siao-liong-li itu,
sepasang pedang ini sebenarnya memberi ramalan yang baik, siapa tahu
Kun-cu-kiam akhirnya patah, tampaknya dirinya memang sudah ditakdirkan tak
dapat hidup bersama Siao-liong-Ii sampai hari tua, berpikir sampai di sini ia
berduka dan tanpa terasa mencucurkan air mata.
Tengah berjalan, mendadak
dari sebelah kanan menyambar tiba sesuatu senjata warna hitam, menyusul dari
sebelah kiri juga ada orang menyergapnya. Saat itu pikiran Nyo Ko sedang
bergolak dan sama sekali tidak menduga akan diserang oleh musuh dilembah sunyi
begini.
Apalagi serangan dari
kanan kiri ini juga sangat cepat, dapat menghindarkan yang kiri tentu sukar
mengelakkan yang kanan.
Dalam keadaan kepepet Nyo
Ko juga tidak sempat melolos pedang, sepat ia meloncat setinggi nya, ia menduga
musuh pasti akan melancarkan serangan susulan waktu ia turun ke bawah, maka
selagi terapung di atas, sekaligus ia cabut Ci- wi-kiam dan diputar dengan
kencang untuk menjaga diri, dengan begitulah ia turun ke bawah.
Akan tetapi sebelum dia
melabrak lawannya, se-konyong2 sesosok bayangan menubruk tiba dari belakang,
ternyata si rajawali sakti itu. Dengan cepat rajawali itu menubruk ke semak2 di
sebelah kanan, sekali patuk segera seekor ular tergigit olehnya terus
dilemparkan ke tanah, menyusul ia lantas menubruk pula ke sebelah kiri,
tertampak sinar emas berkelebat, sebuah roda emas menghantamnya rajawali itu
bermaksud mematuk roda itu untuk merampasnya, tapi tidak berhasil, sedikit
berputar segera paruhnya mematuk lagi. .
Dari semak2 pohon situ
lantas melompat keluar seorang dengan sepasang rodanya, kiranya Kim-lun
Hoat-ong adanya.
Kuatir rajawali itu
dicelakai Hoat-ong yang lihay, cepat Nyo Ko berseru: "Silahkan mundur,
Tiau-heng, biar aku yang melayani dia."
Namun sayap kiii si
rajawali mendadak membentang ke belakang untuk mencegah Nyo Ko, sedangkan sayap
kanan terus menyampuk ke depan.
Serangkum angin keras
terus menyamber ke muka Hoat-ong, luar biasa tenaga sabetan sayap itu, biarpun
jago silat kelas satu juga tidak sekuat itu.
Kiranya Hoat-ong dan Nimo
Singh bergumul dan terjerumus ke jurang, untung ditepi jurang ada sebatang
pohon besar, pada detik berbahaya itu Hoat-ong sempat menggunakan sebelah
tangannya untuk merangkul batang pohon.
Saat itu Nimo Singh sudah
dalam keadaan setengah sadar, namun dia masih tetap merangkul tubuh Hoat-ong
dengan mati2an, setelah Hoat-ong mengawasi keadaan sekitarnya, kemudian ia
lepaskan rangkulannya pada batang pohon sambil kakinya memancal, dengan tepat
kedua orang jatuh pada onggokan semak2 rumput yang lebat terus menggelinding ke
bawah mengikuti tebing yang miring itu.
Belasan meter jauhnya
mereka ber guling dan baru berhenti setelah sampai di dasar lembah yang dalam
itu. Tentu saja sekujur badan mereka babak belur oleh duri dan batu kerikil.
Segera Hoat-ong
menggunakan Kim-na-jiu-hoat untuk menelikung tangan Nimo Singh sambil membentak
"Lepaskan tidak?"
Dalam keadaan setengah
sadar Nimo Singh merasa tidak bertenaga lagi untuk melawan, terpaksa ia
lepaskan sebelah tangan dan tangan lain masih mencengkeram punggung orang.
"Hm, kedua kakimu
sendiri keracunan hebat dan tidak lekas berusaha menolongnya masih main gila
apa kau?" jengek Hoat-ong.
Ucapan ini seperti
kemplangan diatas kepala Nimo Singh, cepat ia menunduk, tertampak kedua kaki
sendiri sudah membengkak besar dua kali lipat daripada biasanya, ia tahu bila
tidak lekas ditolong sebentar lagi kalau racun menjalar keatas tentu jiwanya
melayang, ia menjadi nekat, ia melolos ular baja yang terselip di tali
pinggang, sambil menggertak gigi ia bacok putus kedua kakinya itu sebatas lutut
Seketika darah segar memuncrat, kontan iapun semaput.
Melihat betapa tegas dan
perkasanya Nimo Singh, mau-tak-mau Hoat-ong merasa kagum juga. Mengingat orang
sudah cacat kedua kaki dan tidak bakalan bersaing lagi dengan dirinya, segerat
Hoat - ong menutup beberapa Hiat-to di kaki Nimo Smgh untuk menghentikan
cucuran darahnya, habis itu ia mengeluarkan pula obat dibubuhkan pada lukanya
serta membalutnya dengan robekan kain baju Nimo Singh.
Pada umumnya Busu (jago
silat, Bushu kata orang Jepang) di negeri Thian-tiok mengalami gemblengan fisik
yang hebat, rata2 pernah berlatih tidur di atas papan berpaku atau berpisau dan
jenis2 ilmu yang menyakitkan lainnya.
Nimo Singh juga ahli dalam
ilmu2 itu, maka begitu darahnya mampet, segera ia sanggup bangkit berduduk dan
berkata kepada Hoat-ong. "Baiklah, kau telah menolong aku segala sengketa
kita yang sudah lalu tak perlu di-ungkat lagi."
Hoat-ong tersenyum getir,
dalam hati ia merasa keadaan sendiri malahan lebih buruk daripada Nimo Singh
yang sudah buntung itu, meski buntung, tapi Nimo Singh sudah bebas dari
keracunan. Maka Hoat-ong lantas duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam
untuk mendesak keluar hawa beracun di telapak kakinya itu.
Lebih satu jam barulah
beberapa tetes air hitam dapat ditolak keluar, itupun sudah membuatnya jantung
berdebar dan napas terengah.
Seharian itu mereka lantas
istirahat di dasar-lembah itu. Tak terduga menjelang tengah malam. tiba2
terdengar suara tindakan orang mendatang dari kejauhan. Cepat Hoat-ong gusur
tubuh Nimo Singh ke dalam semak2, ia sendiri lantas sembunyi di balik pohon.
Sesudah dekat, dikenalinya
pendatang itu adalah Nyo Ko, anak muda itu mengintil di belakang seekor burung
raksasa aneh, sekejap saja sudah lewat ke sana.
Mengingat racun dalam
tubuhnya seketika sukar dibersihkan, timbul pikiran Hoat-ong hendak merobohkan
Nyo Ko untuk merampas obat penawarnya, Sebab itulah mereka lantas sembunyi di
situ begitu Nyo Ko kembali lagj, segera mereka menyergapnya. Untung kedua orang
itu habis terluka dan banyak berkurang tenaganya, kalau tidak pasti Nyo Ko bisa
celaka.
Begitulah sesudah Nyo Ko
terhindar dari sergapan, dilihatnya si rajawali sakti pedang melabrak Hoat-ong
dengan sengit, caranya menubruk dan menyabet dengan sayapnya serta caranya
mengelak seluruhnya bergaya dan beraturan, tentunya burung ini sudah lama
mengikuti orang kosen yang tak terkalahkan sebagai Tokko Kiu-pay, maka sudah
apal sekali semua jurus ilmu silat sehingga tokoh semacam Hoat-ong juga cuma
bertempur sama kuatnya saja melawan rajawali.
Makin lama Hoat-ong makin
heran dan kuatir Nyo Ko berdiri di samping dengan pedang terhunus, kalau anak
muda itu ikut mengerubutnya pasi dirinya bisa celaka, iapun heran darimana
datangnya burung raksasa, kalau saja majikannya juga muncul maka tamatlah
riwayatnya hari ini.
Berpikir sampai di sini,
mendadak kedua roda-nya menyilang di depan dada untuk menahan patokan si
rajawali, habis itu cepat ia melompat mundur sambil berseru: "Bocah she
Nyo, darimanakah kau mendatangkan makhluk ini?"
Sebelah tangan Nyo Ko
merangkul leher rajawali dengan mesra, lalu menjawab: "Ini adalah sahabat
karibku, kakak Sin-tiau (rajawali sakti), Hendaknya jangan kau bikin marah dia.
kalau dia terbang dan menubruk dari atas, sekali patuk tentu kepalamu akan
berlubang besar."
Hoat-ong percaya ucapan
Nyo Ko itu, berdiri saja sudah begitu tinggi rajawali itu, apalagi kalau
terbang ke atas, cara bagaimana melawannya nanti? Karena itu ia cuma berdiri
saja dan bungkam.
Terdengar Nyo Ko berkata
pula: "Tiau-heng, engkau mengantar aku ke sini, kawanan penjahat ini
menjadi ketakutan melihat kesaktianmu, rasanya tiada aral melintang lagi di
depan sana, bolehlah kita berpisah di sini saja."
Sin-tiau itu memandang
sekejap ke arah Hoat-ong dan Nimo Singh, habis itu cuma diam saja.
"Baiklah, jika engkau
suka boleh awasi kedua orang ini, aku mohon diri buat berangkat lebih
dulu:" kata Nyo Ko sambil memberi hormat dan melangkah pergi.
Karena kuatirkan bayi
puteri Kwe Cing itu, maka ia berlari secepatnya ke gua itu, baru sampai di
mulut gua sudah terdengar suara Li Bok-chiu menegurnya: "Ke mana kau sejak
tadi? Di sini ada setan gentayangan yang terus menerus menangis saja, sungguh
mengganggu dan menjemukan."
"Mana ada
setan?" ujar Nyo Ko. Belum lenyap suaranya, tiba2 dari jauh berkumandang
suara orang-menangis keras, Keruan ia terkejut, ia pikir masakah di dunia ini
benar2 adalah setan segala?
Suara tangisan yang tadi
kedengaran sangat jauh itu, dalam sekejap saja sudah mendekat, rasanya cuma
beberapa puluh meter saja di luar gua sana.
Segera Nyo Ko melolos
pedang Ci-wi-kiam dan mendesis pada Li Bok-chiu: "Kau jaga anak itu, biar
kubereskan dia, Li-supek."
Serentak Li Bok-chtu
merasakan hawa dingin dilihatnya sinar ungu yang samar2 dalam kegelapan, jelas
senjata yang dipegang Nyo Ko adalah sebuah pedang mestika, Dengan heran ia
tanya.
"Darimana kau
mendapat pedang ini?"
Belum lagi Nyo Ko
menjawab, tiba2 terdengar orang di luar gua itu sedang berteriak dan menangis.
"Oh, buruk amat nasibku ini isteriku dibunuh orang, kedua putraku hendak
saling bunuh membunuh pula."
Mendengar itu, legalah
hati Nyo Ko, jelas itulah suara manusia dan sama sekali bukan setan segala. ia
coba melongok keluar, di bawah cahaya bintang yang remang2 kelihatan seorang
lelaki tinggi besar dengan rambut semerawut, pakaiannya robek dan compang
camping, tangan menutupi muka sambil menangis dan ber-putar2 dengan cepat di
situ, bagaimana wajahnya tak terlihat jelas.
"Huh, rupanya seorang
gila, lekas usir dia agar tidak mengganggu tidur anak ini," jengek Li
Bok-chiu.
Sementara itu lelaki tadi
sedang menangis dan sesambatan pula: "di dunia ini aku cuma mempunyai dua
anak ini, tapi mereka justeru hendak saling membunuh, lalu apa artinya hidupku
ini?"
Sambil berkata ia terus
menangis ter-gerung2 dengan sedihnya.
Hati Nyo Ko tergerak, ia
pikir mungkin inilah dia? Segera ia memasukkan pedang kesarungnya: "Apakah
di situ Bu-locianpwe adanya...?"
Orang itu menangis di
ladang sunyi, soalnya karena hatinya teramat berduka, tak diduganya di lereng
pegunungan ini ada orang lain, segera berhenti menangis balas menegur dengan
suara bengis: "Siapa kau? Apa yang kau lakukan secara sembunyi2 di
sini?"
Nyo Ko memberi hormat dan
menjawab: "Cayhe bernama Nyo Ko, apakah cianpwe she Bu dan bernama
Sam-thong?"
Orang ini memang betul
adalah Bu Sam thong, dahulu dia dilukai Li Bok-chiu dengan jarum berbisa dan
jatuh kelengar, waktu siuman kembali, dilihatnya Bu Sam-nio, isterinya sendiri
sedang mengisap darah beracun dari lukanya itu, ia terkejut dan berseru
mencegah sambil mendorong sang isteri.
Akan tetapi sudah
terlambat, air muka sang isteri kelihatan hitam membiru. Nyata Bu Sam-nio telah
mengorbankan diri sendiri demi untuk menyelamatkan sang suami, ia tahu ajalnya
sudah dekat, sambil mengelus kepala kedua puteranya ia menyatakan penyesalannya
yang tidak dapat membahagiakan suami sejak mereka menikah, sebab sang si suami
mencintai perempuan lain. Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur, harapannya
sekarang hanya memohon sang suami suka jadi manusia berguna bagi negara dan
bangsa serta hidup rukun selamanya.
Habis meninggalkan pesan
itu Bu Sam-nio lantas menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Karena kematian isterinya
itu, saking berdukanya penyakit Bu Sam-thong kembali kumat, melihat kedua
puteranya mendekap diatas mayat ibunya dan sedang menangis sedih, pikiran Bu
Sam-thong serasa kosong, apapun tidak tahu lagi dan segera pergi tanpa arah
tujuan.
Begitulah ia terus luntang
lantung selama beberapa tahun di dunia Kangouw dalam keadaan tidak waras,
It-teng Taysu mendapat berita itu dan mengirim anak muridnya untuk menjemput Bu
Sam-thong ke Tayli, disitulah Bu Sam-thong akhirnya dapat disembuhkan.
Kemudian Bu Sam-thong
mendapat kabar pula dari Cu Cu-liu yang menghadiri pertemuan besar para
ksatria, bahwa kedua puteranya itu kini sudah dewasa serta sudah diajari
It-yang-ci oleh Cu Cu-liu.
Tentu saja Bu Sam-thong
sangat girang dan terkenang kepada putera2nya, ia lantas mohon diri pada sang
guru dan berangkat ke Siangyang untuk menjenguk anak2nya.
Setiba Bu Sam-thong di
Siangyang, kebetulan Kim lun Hoat-ong habis mengacau di kota itu, Kwe Cing
terluka dan Ui Yong baru melahirkan, setelah menemui Cu Cu-liu dan Kwe Hu, Bu
Sam-thong mendapat keterangan bahwa kedua puteranya itu telah minggat untuk
saling berkelahi.
Tentu saja Sam-thong
sangat berduka dan teringat kepada pesan sang isteri, cepat ia memburu keluar
kota untuk mencari Bu Siu-bun dan Bu Tun-si.
Akhirnya Bu Sam-thong
dapat menemukan kedua puteranya disuatu kelenteng rusak. Sudah tentu kedua
saudara Bu sangat gembira dapat bertemu kembali dengan sang ayah. Tapi ketika
persoalan Kwe Hu dibicarakan, kedua bersaudara itu tidak mau mengalah.
Meski didamperat atau
dibujuk dengan halus oleh sang ayah agar kedua pemuda itu jangan memikirkan Kwe
Hu lagi, namun sukar terlaksana gagasan demikian. Di depan sang ayah memang
kedua saudara Bu tidak berani bermusuhan, tapi dibelakang ayahnya mereka lantas
ribut.
Malamnya kedua saudara itu
berjanji akan mengadakan pertarungan menentukan di tempat sepi.
Bu Sam-thong sangat mendongkol
dan berduka setelah mencuri dengar pembicaraan kedua anaknya serta mendahului
mendatangi tempat yang telah ditentukan kedua anak muda itu dengan maksud
mencegah pertarungan mereka. Semakin dipikir semakin berduka hatinya hingga
akhirnya Bu Sam thong menangis sesambatan di ladang pegunungan yang sunyi itu.
Bu Sam-thong belum pernah
kenal Nyo Ko, dalam keadaan sedih, tanpa terasa ia menjadi gusar karena merasa
terganggu, segera ia membentak "Siapa kau? Darimana kau kenal
namaku?"
"Paman Bu," jawab
Nyo Ko, "Siautit (keponakan) pernah mondok di tempat Kwe-tayhiap di
Thoa-ho-to bersama kedua saudara Tun-si dan Siu-bun waktu kami sama2 kecil.
Selama ini nama paman sudah kukenal dan kukagumi."
Bu Sam-thong mengangguk.
"Dau apa yang kau lakukan di sini? Aha, tentu kau hendak menjadi wasit
dalam pertandingan Siu~bun dan Tun si ini. Hm, kau mengaku sahabat mereka,
mengapa kau tidak berusaha melerai, sebaliknya malah mendorong dan ingin
melihat keramaian, macam sahabat apa kau ini?"
Makin bicara makin bengis,
segenap rasa gusarnya se-akan2 hendak di-lampiaskan atas diri Nyo Ko, maka
sambil mendamprat terus melangkah maju dan angkat telapak tangan.
Melihat berewok orang
se-akan2 menegak, sikapnya garang, Nyo Ko pikir sebagai murid It-teng Taysii,
tentu ilmu silat orang sangat tinggi, kenapa mesti bergebrak dengan dia tanpa
sebab. Karena itu ia lantas menyurut mundur dan berkata: "Sesungguhnya
siautit tidak tahu kedua saudara Bu hendak bertanding di sini, harap paman
jangan salah paham padaku."
"Omong kosong!"
bentak Bu Sam-thong. "Kalau kau tidak tahu, mengapa kau berada di sini?
Dunia sebesar ini, kenapa kau justeru berada di lembah sunyi ini?"
Diam2 Nyo Ko mendongkol,
ia pikir orang ini benar2 gila dan sukar diajak bicara, apalagi pertemuan-nya
di tempat sunyi ini memang betul jaga sangat kebetuIan, karena itu ia menjadi
serba susah untuk menjawab.
Melihat orang ragu2 dan
diam saja, Bu Sam-thong menganggap bocah ini pasti bukan orang baik2, dasar
otaknya pernah terganggu, pula, sudah pernah patah hati, maka setiap kali
melihat pemuda cakap tentu timbul rasa jemunya. Apalagi dia sedang gemas dan
tak terlampiaskan, tanpa bicara lagi segera menabok ke pundak Nyo Ko.
Namun Nyo Ko sempat
mengegos sehingga serangan tangan Bu Sam-thong itu mengenai tempat kosong"
Cepat Bu Sam-thong tarik tangannya terus menyikut.
Nyo Ko tidak berani ayal,
melihat serangan orang yang keras itu, cepat ia menggeser ke samping untuk
menghindar lagi.
"Hebat juga
Ginkangmu," seru Bu Sam-thong "Hayolah lekas keluarkan
pedangmu!"
Pada saat itulah tiba2
bayi di dalam gua terjaga bangun dan menangis pula, pikiran Nyo Ko tergerak ia
tahu Bu Sam-thong sangat benci kepada Li Bok chiu yang telah membunuh
isterinya, kalau kepergok pasti akan bergebrak mati2an. sedangkan kedua orang
sama2 lihaynya, sekali mulai bertarung pasti tidak kenal ampun lagi, bisa jadi
si bayi akan keserempet bahaya.
Karena itu Nyo Ko lantas
berkata dengan tertawa: "Paman Bu, siautit mana berani bergebrak dengan
engkau? Tapi kalau engkau tetap menyangsikan pribadiku, akupun tidak berdaya,
Begini, asal kubiarkan engkau menyerang tiga kali dan Siautit pasti takkan
balas menyerang, jika engkau tidak berhasil membinasakan aku, maukah engkau
segera pergi dari sini"
Bu Sam-thong menjadi
marah, bentaknya: "Anak setan, temberang benar kau ini, tadi aku sengaja
menahan diri dan tidak menyerang sungguh2, lalu kau berani memandang enteng
padaku?" Mendadak jari telunjuk kanan menutuk ke depan, ia telah
mengeluarkan ilmu jari sakti It - yang - ci ajaran It-teng Taysu.
Diam2 Nyo Ko prihatin,
tertampak jari orang bergerak pelahan, tapi Hiat-to setengah badan sendiri
se-akan2 terkurung oleh jarinya ini, bahkan sukar diketahui Hiat-to mana yang
akan diarah jari orang, justeru tidak diketahui arah serangan lawan, terpaksa
janji "takkan balas menyerang44 tidak dapat ditepati lagi, Dalam keadaan
tiada jalan lain, cepat Nyo-Ko menyelentik dengan kedua jarinya, inilah
Sian-ci-sin-thong" (selentikan jari sakti) ajaran Ui Yok-su.
Sian-ci-sin-thong dan
lt-yang-ci sama2 terkenal selama berpuluh tahun ini dan masing2 mempunyai
keunggulannya sendiri. Tapi latihan Nyo Ko masih cetek, dengan sendirinya sukar
menandingi latihan Bu Sam-thong yang sudah berpuluh tahun lamanya itu.
Maka begitu jari kedua
orang saling bentrok, seketika lengan kanan Nyo Ko tergetar, sekujur badan
terasa panas dan terdesak mundur beberapa tindak barulah dapat berdiri tegak
kembali.
Bu Sam-thong bersuara
heran, katanya: "Eh, tampaknya kau memang pernah berdiam di
Tho-hoa-to." Dan karena merasa segan terhadap Ui Yok~su, pula merasa
sayang terhadap Nyo Ko yang masih muda tapi sudah mampu menandinginya, maka
ketika serangan kedua kalinya ia lantas memperingatkan lebih dulu: "Awas
tutukan kedua ini, kalau tidak mampu menangkis janganlah menangkis agar tidak
rusak badanmu, aku takkan mencelakai jiwamu."
Habis berkata ia terus
menubruk maju dan jarinya kembali menutuk pula, sekali ini yang di arah adalah
perut Nyo Ko yang meliputi berbagai Hiat-to di bagian itu.
Nyo Ko merasa tidak
sanggup menahan lagi dengan Sian-ci-sin-thong apabila jarinya tidak mau
dipatahkan, dalam keadaan kepepet, tiba2 ia tarik pedang Ci-wi-kiam dan dibuat
tameng di depan perutnya.
Batang pedang Ci-wi-kiam
cuma beberapa senti lebarnya, namun berhawa dingin dan berbatang lemas, sedikit
tergetar saja, sudah memancarkan cahaya ungu. Ketika jari Bu Sam-thong mendekat
dan merasakan ketajaman pedang itu, cepat ia menarik kembali jarinya.
Hanya terkejut sebentar
saja, menyusul tutukan ketiga kalinya dilontarkan lagi oleh Bu Sam-thong,
sekali ini secepat kilat mengarah batok kepala di tengah alis Nyo Ko, ia
menduga betapa hebat pedangnya, juga tidak sempat diangkat untuk membela diri.
Tak terduga, sekilas
timbul akal aneh dalani benak Nyo Ko, mendadak ia memutar Ci-wi-kiam ke atas,
bukannya untuk menangkis, sebaliknya ujung pedang diacungkan ke dada sendiri
terus di-tusukkannya.
Gerakan ini sangat
berbahaya, Bu Sam-thong terkejut, cepat tutukan jarinya itu diurungkan dan
tangannya menyamber ke bawah dengan maksud merebut pedang Nyo Ko untuk
menyelamatkan jiwanya.
Ternyata gerakan menusuk
dada sendiri ini adalah tipuan Nyo Ko belaka, ketika ujung pedang menyentuh
bajunya, segera ia tarik ke bawah dan segera diputar pula untuk melindungi
seluruh tubuh nya, betapapun cepat gerakan Bu Sam-thong ini tetap terlambat sedetik
sehingga tangannya hampir saja tertabas oleh pedang pusaka Nyo Ko itu.
Sekarang Nyo Ko benar2
telah mengalah tiga kali serangan tanpa balas menyerang, ia mulai mengeluarkan
ilmu pedangnya, seketika Bu Sam thong merasa terkurung oleh hawa dingin yang
tak tertahankan meski lihay It-yang-ci juga tidak dapat menghadapi pedang-
mestika Nyo Ko ini.
Setelah melengak dan
merasa kewalahan, Bu Sam-thong melompat mundur, dengan lesu ia berkata:
"Hai, benar2 ksatria timbul dari kaum muda, tua bangka macamku sudah tak
berguna lagi."
Nyo Ko merasa rikuh karena
telah mengibul orang tua itu, cepat ia simpan kembali pedangnya, katanya sambil
memberi hormat: "Kalau paman tidak bermaksud baik merampas pedang untuk
menyelamatkan jiwaku, tentu siautit sukar menghindari tutukan ketiga kalinya
tadi."
Hati Bu Sam thong rada
terhibur karena Nyo Ko membeberkan sendiri tipu akalnya tadi, katanya gegetun:
"Dahulu Ui Yong telah mengalahkan aku dengan akalnya, sekarang aku
dikalahkan pula olehmu, ya orang kasar macam kami ini, memang bukan tandingan
kaum muda yang cerdik pandai..."
Belum habis ucapannya,
tiba2 dari jauh ada suara orang mendatangi jelas yang datang ada dua orang.
Cepat Nyo Ko menarik Bu Sam thong sembunyi di balik semak2 pohon sana. Sesudah
dekat, nyata kedua pendatang itu memang betul Bu Tun-si dan Bu Siu-bun.
Siu-bun berhenti dulu di
sini dan memandang sekitarnya, lalu berkata: "Toako, tempat ini cukup
lapang, boleh di sini saja,"
"Baik," jawaban
Tun-si. Dia tidak suka banyak bicara, sret, segera pedang diIolosnya.
sebaliknya Siu-bun tidak
lantas mencabut pe-dangnya, katanya pula: "Toako, pertarungan ini andaikan
aku kalah dan kau tidak mau membunuh aku, apapun juga adikmu ini juga tak ingin
hidup lagi di dunia ini. Mengenai menuntut balas kematian ibu dan merawat ayah
serta melindungi adik Hu, ketiga tugas besar ini hendaklah Toako yang
memikulnya semua,"
Mendengar ini, hati Bu
Sam-thong menjadi pedih dan meneteskan ar mata.
Sementara itu Bu Tun-si
lagi menjawab "Asal kan sama2 tahu, buat apa banyak bicara lagi. Kalau aku
yang kalah, juga begitulah harapanku." Habis ini ia angkat pedangnya dan
pasang kuda.
Namun Bu Siu-bun tetap
tidak melolos pedangnya, tiba2 ia melangkah maju beberapa tindak dan berkata:
"Toako, sejak kecil kita sudah kehilangan ibu dan jauh berpisah dengan
ayah, kita kakak beradik hidup berdampingan dan tak pernah bertengkar bahwa
sampai terjadi seperti sekarang ini, apakah Toako marah kepada adik?"
Tun-si menjawab:
"Agaknya kejadian ini sudah takdir adikku, kita tidak berkuasa."
"Baiklah, tak peduli
siapa yang hidup dari mati, selamanya jangan membocorkan rahasia kejadian ini
agar ayah dan adik Hu tidak berduka," kata Siu-bun.
Bu Tun-si mengangguk dan
menggenggam tangan Siu-bun dengan erat, kedua bersaudara berdiri berhadapan
tanpa bicara sampai sekian lama.
Bu Sam-thong tak dapat
menahan- perasaan nya dan bermaksud melompat keluar untuk menegur perbuatan
bodoh kedua anak muda itu, tiba2 terdengar kedua orang itu sama2 berseru:
"Baiklah, mulai!" - Berbareng mereka lantas melompat mundur.
Cepat sekali Siu-bun
lantas melolos pedangnya dan "sret-sret-sret" tiga kali tanpa bicara
lagi ia menyerang dengan cepat. Namun Tun-si dapat menangkisnya dan balas
menyerang dua kali ke tempat mematikan di tubuh adiknya.
Bu Sam-thong berkuatir
melihat serangan lihay itu, dilihatnya Siu-bun dapat mengelakkan serangan maut
itu dengan mudah. Di lembah sunyi itu terdengar suara benturan pedang yang
nyaring, kedua kakak beradik ternyata bertempur dengan mati2an tanpa kenal
ampun.
Tentu saja Bu Sam-thong
jadi sedih dan kuatir pula, keduanya sama2 putera kesayangannya, selamanya ia
pandang sama, tidak pernah pilih kasih.
Serang menyerang kedua
anak muda itu semakin ganas seperti menghadapi musuh saja layaknya, kalau
pertarungan itu berlangsung terus, akhirnya pasti ada yang celaka, Saat ini
kalau Bu Sam-thong mau perlihatkan dirinya dan mencegah, pasti kedua anak muda
itu akan berhenti bertempur. Tapi sekarang ini, besok juga pasti akan mengadu
jiwa puIa, betapapun ia tak dapat senantiasa mengawasi kedua anak muda itu.
Begitulah Bu Sam-thong semakin sedih memikirkan betapa malang nasib keluarganya
itu, tanpa terasa air matanya bercucuran.
Sejak kecil Nyo Ko memang
tidak akur dengan kedua saudara Bu kecil itu, sesudah dewasa dan bertemu juga
tetap tidak cocok. Seperti juga umumnya manusia, kalau melihat orang lain
susah, maka timbul rasa senangnya.
Semula Nyo Ko juga
bersyukur kedua saudara Bu itu saling genjot sendiri Tapi ketika melihat Bu
Sam-thong sangat berduka, tiba2 timbul rasa bajiknya, terutama bila mengingat
jiwa sendiri sudah tidak panjang lagi, pikirnya: "Selama hidupku tidak
pernah berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, setelah kumati tentu
Kokoh akan berduka, selain itu yang akan teringat pada diriku paling2 juga cuma
Thia Eng, Liok Bu-siang dan Kongsun Lik-oh beberapa nona cantik itu saja.
Apakah tidak lebih baik sekarang kulakukan sesuatu yang berguna agar paman Bu
ini selama hidup akan selalu ingat pada kebaikanku ini?"
Setelah ambil keputusan
itu, segera ia membisiki-Bu Sam-thong: "Paman Bu, aku ada suatu akal yang
dapat menghentikan pertarungan kedua kakak Bu."
Hati Bu Sam-thong
bergetar, ia berpaling dengan penuh rasa terima kasih dan air matanya masih
bercucuran namun tampaknya ia masih ragu2 karena tidak tahu Nyo Ko mempunyai
akal bagus apa untuk memecahkan persoalan pelik ini?
"Cuma terpaksa aku
harus bikin susah kedua saudara Bu, hendaknya paman jangan marah padaku,"
bisik Nyo Ko pula.
Dengan kencang Bu
Sam-thong genggam kedua tangan Nyo Ko, saking terharu hatinya hingga tidak
sanggup bicara, Sejak muda ia sudah tergoda oleh urusan cinta, tapi sejak
isterinya meninggal rasa terharu atas budi kebaikan sang isteri yang rela
mengorbankan jiwa sendiri untuk menyelamatkannya itu lambat laun membuat cinta
kepayangnya kepada kekasihnya dahulu mulai hambar setelah tambah tua harapannya
hanya tercurah pada kedua puteranya saja, biarpun jiwa sendiri harus
dikorbankan iapun rela.
Karena itu ketika
mendengar ucapan Nyo Ko tadi pada saat ia sudah putus harapan, tentu saja ia sangat
girang se-akan2 mendapatkan wahyu.
Melihat sikap Bu
Sam~thong, Nyo Ko menjadi terharu dan pedih hatinya, ia pikir kalau ayahku
masih hidup, tentu beliau juga sayang padaku seperti ini.
Dengan suara tertawa ia
lantas berkata pula: "Hendaklah paman Bu diam saja di sini dan jangan
se-kali2 diketahui mereka, kalau tidak akalku akan gagal total,"
Dalam pada itu pertarungan
kedua saudara Bu semakin sengit dan benar2 mengadu jiwa, Walaupun begitu dalam
pandangan Nyo Ko, kepandaian kedua Bu cilik itu sesungguhnya belum ada tiga
bagian daripada seluruh kepandaian Kwe Cing.
Pada saat itulah mendadak
Nyo Ko bergelak tertawa terus memperlihatkan dirinya.
Tentu saja kedua saudara
Bu terkejut, berbareng mereka melompat mundur, bentak mereka sambil menatap
tajam kepada Nyo Ko: "Untuk apa kau datang ke sini?"
"Kalian sendiri untuk
apa berada di sini?" jawab Nyo Ko dengan tertawa.
Bu Siu-bun ter-bahak2,
katanya: "Karena iseng di malam sunyi im, maka kami bersaudara berlatih
ilmu pedang di sini."
Diam2 Nyo Ko mengakui Bu
cilik itu lebih cerdik, meski berdusta tapi cara, bicaranya seperti sungguh2,
segera ia menjengek. "Hm, berlatih kok serang menyerang secara mati2-an?
Hehe, giat amat cara kalian terlatih?"
Bu Tun-si menjadi gusar
damperatnya: "Enyah lah kau, urusan kami tidak perlu kau ikut urus!"
"Ha, kalau benar2
berlatih sudah tentu aku tidak perlu urus," jengek Nyo Ko pula, "Tapi
setiap kali kalian serang menyerang, yang kalian pikirkan melulu adik Hu
belaka, mau-tak-mau aku harus ikut urus,"
Mendengar ucapan
^"adik Hu" yang sengaja dibikin mesra oleh Nyo Ko itu, seketika hati
kedua saudara Bu itu tergetar Dengan gusar Siu-bun lantas mendamperat pula:
"Kau mengaco belo apa?"
Dengan tegas Nyo Ko
berucap lagi: "Adik Hu... kau dengar tidak? Adik Hu-ku tersayang itu
puteri kandung paman dan bibi Kwe, betul tidak? urusan perjodohan harus
berdasarkan idzin ayah ibu, benar tidak? sedangkan paman Kwe sudah lama
menjodohkan adik Hu kepadaku, hal ini kan sudah kalian ketahui, tapi kalian
malah bertanding pedang di sini untuk memperebutkan bakal isteriku itu,
memangnya kalian ini anggap aku Nyo Ko ini manusia atau bukan?"
Kata2 Nyo Ko tegas dan
bengis, seketika dua saudara Bu tak mampu menjawab. Mereka memang tahu Kwe Cing
ada maksud memungut Nyo Ko sebagai menantu, tapi Ui Yong dan Kwe Hu sendiri
tidak suka padanya.
Kini isi hati mereka
mendadak dibongkar oleh Nyo Ko, kedua saudara Bu itu menjadi saling pandang
dengan bingung.
Dasar Siu-bun memang lebih
cerdik, segera ia belas mendengus: "Huh, bakal isteri apa? Berani juga kau
mcngucapnya! Apa buktinya kau sudah dijodohkan dengan adik Hu? Adakah
comblangnya? Apa kau sudah memberi panjer? sudahkah ber-tunangan?"
"Haha, memangnya
kalian berdua yang sudah dijodohkan dengan dia, sudah ada comblangnya dan telah
diluluskan orang tuanya?" balas Nyo Ko menjengek.
Maklumlah pada jaman
dinasti Song, adat istiadat urusan perkawinan dipandang sangat penting, setiap
perjodohan harus seidzin orang tua dan harus ada saksi2 comblangnya.
Sudah tentu hubungan kedua
saudara Bu dengan Kwe Hu belum sampai sejauh itu, mereka menjadi bungkam oleh
pertanyaan Nyo Ko.
Setelah berpikir sejenak,
kemudian Siu-bun menjawab: "Bahwa Suhu bermaksud menjodohkan adik Hu
padamu, hal itu memang betul. Nantun Subo (ibu guru) justeru menjatuhkan
pilihannya atas satu diantara kami berdua. jadi sesungguhnya kedudukan kita
bertiga sekarang adalah sama, siapapun belum punya hak. Soal siapa yang keluar
sebagai pemenang kelak adalah sukar diramalkan.?"
Nyo Ko tidak menjawab, ia
menengadah dan bergelak tertawa, "Apa yang kau tertawakan?" damperat
Siu-bun dengan gusar. "Memangnya ucapanku salah?"
"Ya, salah, salah
besar!" jawab Nyo Ko, "Bahwa paman Kwe suka padaku sudah tidak perlu
di sangsikan lagi, malahan bibi Kwe juga sangat suka padaku, kalian berdua mana
dapat di bandingkan dengan diriku."
"Hm, yang penting
kenyataannya tiada berguna beromong kosong," jengek Siu-bun pula.
"Haha, untuk apa aku
beromong kosong?" ujar Nyo Ko, "Bibi Kwe diam2 sudah menjodohkan
puterinya padaku, kalau tidak buat apa kutolong ayah dan ibu mertuaku dengan
mati2an, itu lantaran mengingat akan adik Hu itulah. Nah, coba katakan, apakah
Subomu pernah berjanji kepada kalian?"
Kedua Ba cilik itu saling
pandang dengan bingung, mereka merasa sang ibu guru memang tidak pernah memberi
janji ucapan apapun, malahan hanya saja belum pernah mengunjuk keinginan hendak
memungut menantu salah seorang di antara mereka. jangan2 ibu gurunya itu memang
betul telah menjodohkan Kwe Hu kepada bocah she Nyo ini?
Tadinya kedua saudara itu
hendak mengadu jiwa sendiri, tapi sekarang mendadak diantara mereka diselipi
seorang lawan, seketika timbul rasa persatuan kedua saudara itu untuk
menghadapi musuh bersama.
Seperti diketahui Nyo Ko
pernah mengintip dan mendengar percakapan Kwe Hu dengan kedua saudara Bu itu,
maka ia sengaja hendak memancing rasa cemburu mereka, dengan tertawa ia berkata
pula "Adik Hu pernah berkata padaku bahwa kedua kakak Bu bersaing
memperebutkan dia, karena tak dapat menolak, terpaksa adik Hu menyatakan
menyukai ke-dua2nya. Padahal, hahaha, masa ada perempuan baik2 di dunia ini
sekaligus mencintai dua orang lelaki. Adik Hu adalah gadis yang suci bersih,
tidak mungkin terjadi begitu, Nah biar kukatakan sejujurnya pada kalian, bahwa
menyukai ke-dua2nya berarti satupun tidak disukainya."
Lalu ia sengaja menirukan
lagak lagu ucapan Kwe Hu pada malam itu: "O, Kakak Bu cilik, mengapa
engkau selalu merecoki aku, masakah kau tidak tahu perasaanku padamu? O, kakak
Bu besar rasanya lebih baik aku mati saja."
Seketika air muka kedua
saudara Bu berubah ucapan Kwe Hu dikatakan kepada mereka secara tersendiri
tatkala itu tiada orang ketiga yang hadir disitu. Kalau saja Kwe Hu tidak
menceritakan kembali padanya, darimana Nyo Ko mengetahuinya? Hati mereka terasa
sakit seperti disayat, rupa nya memang beginilah makanya selama ini Kwe Hu
tidak mau menerima lamaran mereka...
Paras air muka kedua
saudara Bu itu dapatlah Nyo Ko mengetahui bahwa akalnya telah mencapai
sasarannya, segera ia berkata pula dengan sungguh2- "Pendek kata, adik Hu
adalah bakal isteriku, sesudah menikah kami akan hidup bahagia sampai kakek2
dan nenek2..." - Sampai di sini, tiba2 terdengar di belakang ada suara
orang menghela napas pelan, kedengarannya mirip benar dengan suara
Siao-liong-li.
Nyo Ko terkejut dan
hampir2 saja berseru memanggil, tapi segera ia menyadari suara itu adalah suara
Li Bok chiu di dalam gua, orang ini se-kali2 tidak boleh dipertemukan dengan
keluarga Bu ini.
Segera ia berkata pula
kepada kedua saudara Bu: "Nah, makanya kalian jangan bermimpi dan buang2
tenaga percuma, Mengingat kebaikan bakal ayah dan ibu mertuaku, biarlah urusan
kalian ini tidak kupikirkan lagi, kalian boleh pulang saja ke Siangyang untuk
membantu ayah mertuaku menjaga benteng itu, kukira itulah tugas yang lebih
utama bagi kalian."
BegituIah terus menerus ia
menyebut Kwe Cing dan Ui Yong sebagai bakal ayah dan ibu mertuanya.
Sedih dan lesu kedua
saudara Bu dan saling genggam tangan dengan kencang, kata Siu-bun dengan lemah:
"Baiklah, Nyo-toako, kudoakan semoga engkau dan Kwe-sumoay hidup bahagia,
kami bersaudara akan pergi jauh di rantau dan anggaplah di dunia ini- tak
pernah ada kami berdua ini."
Habis berkata mereka
lantas membalik tubuh, diam2 Nyo Ko bergirang karena maksud tujuannya kelihatan
akan tercapai ia pikir meski kedua Bu cilik itu akan dendam padanya, tapi kelak
keaua bersaudara itu pasti akan rukun dan saling sayang sebagaimana yang
diharapkan Bu Sam~thong.
Bu Sam-thong juga
bergirang setelah menyaksikan Nyo Ko berhasil membikin kedua puteranya berhenti
bertempur sendiri, dilihatnya kedua anak muda itu bergandengan tangan dan
melangkah pergi, tanpa tertahan ia terus berseru: "Anak Bun dan anak Si,
marilah kita berangkat bersama."
Kedua Bu cilik melengak
kaget, mereka menoleh dan memanggil "ayah" berbareng, Bu Sam-thong lantas
memberi hormat kepada Nyo Ko dan berkata: "Adik Nyo, selama hidupku ini
takkan melupakan budi pertolonganmu."
Nyo Ko mengerut kuning, ia
pikir sungguh sembrono orang tua ini berbicara demikian di hadapan kedua Bu
cilik, baru saja ia hendak membingungkan mereka dengan perkataan lain, namun Bu
Siu bun sudah mulai curiga, katanya tiba2 kepada Tun-si.
"Toako, apa yang
dikatakan bocah she Nyo tadi belum tentu betul."
Meski Bu Tun-si tidak
banyak omong, tapi kecerdasannya tidak di bawah sang adik, ia pandang sekejap
kepada ayahnya, lalu mengangguk kepada Siu-bun.
Melihat urusan bisa
runyam, cepat Bu Sam~thong menambahkan: "Eh, kalian jangan salah wesel,
sama sekali aku tidak minta adik Nyo ini untuk melerai kalian."
Sebenarnya kedua Bu cilik
cuma curiga saja dan belum tahu persis urusan yang sesungguhnya, tapi mereka
menjadi curiga setelah sang ayah bermaksud menutupi persoalannya, segera mereka
ingat hubungan Nyo Ko dengan Kwe Hu biasanya tidak cocok pula Nyo Ko sangat
mencintai Siao-liong-li, jadi apa yang dikatakan Nyo Ko besar kemungkinan tidak
betul.
"Toako," kata
Siu-bun kemudian, "Marilah kita pulang ke Siangyang untuk menanyai adik Hu
sendiri."
"Benar," jawab
Tun-si. "Ocehan orang lalu masakah dapat menipu kita,"
Segera Siu-bun berkata
kepada Bu Sam-thong: "Ayah, marilah engkau ikut juga ke Siangyang,
Temuilah Suhu dan Subo, mereka kan sahabatmu."
"Aku... aku..."
muka Bu Sam-thong menjadi merah, ia bermaksud memperlihatkan wibawa seorang
ayah untuk mengomeli kedua. ,puteranya, tapi kuatir kedua anak muda itu hanya
mengiakan di depannya, tapi di belakangnya akan bertarung mati2an pula.
Nyo Ko lantas menjengek:
"Saudara Bu, memangnya sebutan "adik Hu" boleh kau panggil
se-sukamu? selanjutnya kularang kau menyebutnya, bahkan dalam hatipun tidak boleh
kau pikirkan dia."
Siu-bun menjadi gusar,
teriaknya: "Bagus, di dunia ini ternyata ada manusia se-wenang2 macam kau.
"Adik Hu" sudah kusebut selama sepuluh tahun, mengapa kau berani
melarang aku menyebutnya"?
"Hm, bukan saja
sekarang aku tetap memanggil adik Hu, bahkan besok, lusa dan selanjutnya aku
tetap akan memanggilnya. Adik Hu, adik Hu, adik Hu, ....." belum habis
ucapannya, "plok", mendadak pipinya kena ditempeleng satu kali oleh
Nyo Ko.
Segera Siu-bun
mengacungkan pedangnya dan berkata dengan geram: "Baik, orang she Nyo,
sudah lama kita tidak berkelahi, ya?
"He, anak Bun,
berkelahi apa maksudmu?" cepat Bu Sam-thong mencegahnya.
Mendadak Nyo Ko berpaling
kepada Bu Sam-thong dan bertanya: "Paman Bu, kau membantu pihak
mana?"
Menurut aturan, adalah
wajar kalau Bu Sam-thong membela anaknya sendiri, tapi tindakan Nyo Ko sekarang
jelas demi untuk mencegah saling bunuh antara kedua bersaudara itu, karena
itulah Bu-: Sam-thong menjadi serba salah dan melongo belaka.
"Begini saja,"
kata Nyo Ko pula, "Silahkan paman Bu duduk tenang di situ, aku takkan
mencelakai jiwa mereka, rasanya merekapun tidak mampu mencelakai aku, engkau
boleh menonton pertunjukan menarik ini saja."
Usia Nyo Ko berselisih
jauh daripada Bu Sam thong, tapi pintarnya dan cerdiknya jauh di atas-nya, jadi
apa yang dikatakan tanpa kuasa terus di turut saja oleh Bu Sam~thong, segera ia
berduduk di atas batu padas di samping sana.
Nyo Ko lantas melolos Ci
wi-kiam, seketika cahaya dingin gemerlapan, ia menyabet pelahan pedang lemas
itu, terdengar suara mendesir, sepotong batu besar di sebelahnya di sabetnya
cara bersilang, waktu kakinya mendepak, kontan batu besar itu pecah menjadi
empat bagian, bagian yang retak itu halus licin seperti insan tahu saja.
Melihat betapa tajamnya
pedang orang, kedua saudara Bu saling pandang dengan jeri, mereka menjadi ragu
cara bagaimana akan dapat menandingi Nyo Ko dengan pedang selihay itu.
Tapi Nyo Ko lantas
menyimpan kembali pedangnya, lalu berkata dengan tertawa. "Pedangku ini
masakah kugunakan untuk menghadapi kalian?? sekenanya ia memotong sebatang
dahan pohon, ia buang daunnya hingga berwujud. sebatang pentung sepanjang satu
meteran, lalu berkata pula: "Tadi sudah kukatakan bahwa ibu mertua condong
padaku, tapi kalian tidak percaya. sekarang boieh kalian saksikan, aku akan
menggunakan pentung ini untuk melayani pedang kalian, kalian boleh maju
sekaligus dan mengeluarkan segenap kepandaian ajaran ayah ibu mertuaku serta
ajaran paman Cu Cu-liu, Sebaliknya aku hanya akan menggunakan ilmu silat ajaran
ibu mertuaku saja, asalkan aku salah menggunakan sejurus dari aliran lain,
segera anggap saja aku kalah."
Kedua saudara Bu
sebenarnya jeri pada kepandaian Nyo Ko yang hebat, mereka sudah menyaksikan dia
menempur Kim-lun Hoat-ong dengan cara aneh, tapi mereka menjadi naik pitam pula
demi mendengar ucapan Nyo Ko yang ber-ulang2 menyebut "ayah dan ibu
mertua" segala, se-akan2 Kwe Hu benar2 sudah menjadi isterinya, sungguh
gemas mereka tidak kepalang. Malahan dengan sombongnya Nyo Ko menyatakan
bersedia dikerubuti serta melayani pedang mereka dengan pentung, bahkan
terbatas pada ilmu silat ajaran Ui Yong melulu.
Dalam keadaan begini kalau
mereka tidak dapat mengalahkan Nyo Ko juga keterlaluan dan buat apalagi hidup
di dunia ini.
Maka cepat Siu-bun menegas:
"Baik, kau sendiri yang berkata begitu dan bukan kami yang minta. Kalau
kau salah menggunakan ilmu silat dari golongan lain, lalu bagaimana?"
"Pertandingan kita
ini bukan disebabkan permusuhan di masa lampau atau karena kebencian sekarang,
kita bertempur demi adik Hu," kata Nyo-Ito. "Maka kalau aku kalah,
asalkan aku memandang sekecap padanya atau bicara sepatah saja dengan dia,
katakanlah aku ini manusia rendah yang tidak tahu malu. Tapi bagaimana pula
jika kalian yang kalah?"
Pertanyaan Nyo Ko sengaja
memaksa kedua saudara Bu itu harus menyatakan janji yang sama Ialu Siu-bun
telah menjawab "Jika kami kalah, kamipun takkan menemui adik Hu untuk
selamanya."
"Bagaimana kau,
setuju?" tanya Nyo Ko kepada Tun Si.
"Kami bersaudara
bersatu hati dan satu tujuan, tak ada perbedaan pendirian?" jawab Tun-si
dengan gusar.
"Bagus, setelah kalah
nanti, kalau kalian tidak pegang janji, maka kalian akan dianggap manusia tidak
tahu malu yang melebihi binatang, begitu bukan?" Nyo Ko menegas pula.
"Benar," jawab
Siu-bun. "Tidak perlu banyak bicara lagi, orang she Nyo, marilah
mulai."
Habis berkata ia terus
mendahulu menusuk dari sebelah kanan, berbareng Bu Tun-si juga bergerak dari
sebelah kiri, asalkan Nyo Ko berusaha menghindar serangan Siu-Bun berarti akan
dimakan oleh serangan Tun-si itu.
Akan tetapi dengan gesit
Nyo Ko dapat menghindari beberapa kali serangan kedua Bu cilik itu sambil
meng-olok2. Keruan kedua saudara Bu tambah murka dan menyerang terlebih gencar,
"Kau mengaco apa? Mengapa kepandaian ajaran Subo tidak lekas kau
keluarkan?"
"Baik, kaumeminta
tentu akan kuperlihatkan. Nah, awasi inilah kepandaian asli ajaran ibu
mertuaku!" seru Nyo Ko. Pentungnya menyabet serta diputar ke atas itulah
gaya "menjegal" dari Pak kau-pang-hoat, berbareng jari tangan lain
pura2 hendak menutuk Hiat-to di tubuh Bu Tun-si.
Ketika Tun-si melompat
mundur, "bluk", tahu2 Bu Siu-bun sudah jatuh kesandung pentung.
Nampak adiknya kecundang,
cepat Tun-si menubruk maju lagi dan menyerang dengan gencar.
"Benar, adik ada kesulitan,
sang kakak yang menolong." demikian sambil meng-olok2, sekali pentungnya
berkelebat tahu2 Nyo Ko sudah menggeser ke belakang Tun-si dan
"plok", dengan tepat pantat Tun-si kena disabet sekali.
Gerakan pentung Nyo Ko itu
tampaknya lamban, tapi tepat yang diarah adalah bagian yang sama sekali tak
terduga. Dan memang di situlah letak keistimewaan Pak-kau-pang-hoat yang
termashur itu.
Setelah merasakan gebukan
pada pantatnya, walaupun tidak terlalu sakit, tapi jelas iapun sudah kecundang,
karena itu diam2 timbul rasa kedernya. Dalam pada itu Bu Su-bun telah melompat
bangun dan berseru: "Ini adalah Pak to-pau hoat, macam mana Subo
mengajarkan kau secara diam2. jelas kau mencuri belajar beberapa jurus ketika
kita sama2 menyaksikan Subo mengajarkan ilmu permainan pentung ini kepada
Loh-tianglo tempo hari."
Mendadak pentung Nyo Ko
menjulur dan "bluk" kembali Siu-bun dijegal hingga terbanting lagi,
cepat Bu Tun-si menabas dengan pedangnya untuk menolong sang adik.
Nyo Ko menunggu Siu-bun
merangkak bangun, lalu berkata dengan tertawar "Kalau kita menyaksikan
bersama waktu ibu mertuaku mengajarkan pada loh-tianglo, kenapa aku bisa dan
kalian tidak bisa? padahal yang diajarkan ibu mertuaku kepada Loh-tianglo hanya
kuncinya saja secara lisan, bagaimana cara memainkan nya beliau telah
mengajarkan padaku secara diam2, bahkan adik Hu juga tidakbisa, apalagi kalian
ini."
Bu Siu-bun tidak tahu
bahwa secara kebetulan Nyo Ko pernah mendapatkan ajaran dari Ang Chit-kong
ketika pengemis sakti itu bertanding dengan Auyang Hong dipuncak Hoasan dahulu,
maka dalam hati sebenarnya ia percaya apa yang dikatakan Nyo Ko, cuma di mulut
ia tetap tidak mau kalah, katanya: "Huh, setiap orang memang berbeda.
Bahwa secara kebetulan kami mendengar ajaran Subo kepada Loh tianglo itu, namun
ilmu pentung mana boleh digunakan selain pangcu dari Kay-pang sendiri, sebelum
ada perintah Subo, mana kami berani melatihnya? Hanya manusia rendah saja mau
berbuat begitu? Hm. kau sendiri tidak tahu malu, tapi malah meng-okok2 orang
lain."
Nyo Ko ter-bahak2,
pentungnya berputar puIa dan "plok-plok" dua kali, tahu2 punggung
Siu-bun dan Tun-si tersabet pula, Cepat kedua saudara Bu melompat ke samping
dengan muka merah padam.
"Baiklah, karena
tiada bukti dan saksi, meski kukalahkan kalian dengan Pak kau pang-hoat juga
kalian belum mau mengaku kalah," ujar Nyo Ko, "Nah, sekarang akan
kugunakan pula sejurus kepandaian lain ajaran Subo, coba lihat.
Habis ini ia pandang
Siu-bun, kemudian menatap Tun-Si pula, lalu bertanya: "Katakan lebih dulu,
ilmu silat ibu mertuaku berasal ajaran siapa?"
Dengan gusar Siu-bun
menjawab. "Kalau kau tanpa malu2 menyebut lagi ibu mertua segala, maka
kami tidak sudi bicara pula dengan kau."
"Ah, kenapa kalian
berjiwa sesempit ini," kata Nyo Ko dengan tertabak "Baiklah, coba jawab
pertanyaanku, ilmu silat Subomu berasal dari siapa?"
"Subo kami adalah
puteri kesayangan Ui-tocu dari Tho-hoa-to, sudah tentu ilmu silatnya berasal
ajaran ayahnya sendiri, masakah perlu kau tanyakan puia?" jawab Siu-bun.
"Benar"^ kata
Nyo Ko, "Kaltan sendiri pernah tinggal beberapa tahun di Tho-hoa-to,
apakah kalian tahu kepandaian khas Ui-tocu, terutama ilmu pedangnya, apa nama
ilmu pedang kebanggaan beliau itu?".
Dengan bersemangat Bu
Siu-hun menjawab "Ui-tocu terkenal maha sakti dan serba pintar segala
apapun diketahui oleh beliau, Semua kepandaiannya juga diketahui olehmu,
mengapa kau bertanya padaku, Giok-siau-kiam-hoat beliau termashur di seluruh
dunia, tiada seorangpun di dunia Kangouw yang tidak tahu."
"Dan kalian pernah
berjumpa dengan Vi tocu Sdak?" tanya Nyo Ko pula.
"Tidak pernah."
jawab Siu~bun. "Ui-tocu suka mengembara, bahkan Suhu dan Subo sendiri
jarang bertemu dengan beliau, apalagi orang muda seperti kami ini."
"O, jika begitu
Giok-siau-kiam-hoat Ui-tocu itu tak pernah kalian lihat?" kata Nyo Ko.
"Melihat langsung
memang belum pernah," jawab Siu-bun dengan mendengus "Tapi ketika
hari ulang tahun Ui~tocu, Subo telah merayakannya dan berdoa dari jauh bagi
kesehatan beliau, dalam pesta itu Subo telah memperlihatkan ilmu pedang kebanggaan
Ui-tocu itu. Tatkala itu Nyo-heng sendiri sudah berangkat ke Cong-lam-san untuk
mencari guru lain."
"Benar," ujar
Nyo Ko sambil tertawa. Kemudian ibu mertuaku... ooh, baikiah, kemudian Subo
kalian diam2 telah mengajarkan ilmu pedang itu padaku."
Kedua saudara Bu itu
saling pandang, sudah tentu mereka tidak percaya, sedangkan Kwe Hu saja yang
merupakan puteri tunggal kesayangan Ui Yong juga tidak diajari ilmu pedang,
masakan bisa jadi Nyo Ko malah diberi pelajaran di luar tahu mereka.
"Kalian tentu tidak
percaya, bukan?" kata Nyo Ko."Baiklah, coba lihat jurus serangan
ini?"
Mendadak pentungnya
digunakan sebagai pedang, "cret" tahu2 dada Bu Tun~si sudah tertusuk
oleh ujung pedang.
Kalau saja pentung itu
adalah pedang yang tajam, maka dada Bu Tun-si pasti sudah tembus dan jiwanya
tentu sudah melayang.
Siu-bun cukup cekatan,
melihat Nyo Ko mulai menyerang, secepat kilat iapun menusukkan pedangnya ke iga
kanan Nyo Ko. Akan tetapi tetap terlambat sedikit, pentung Nyo Ko sempat
diputar balik dan tahu2 menusuk ke pergelangan tangannya.
Serangan Nyo Ko ternyata
mencapai sasarannya lebih cepat daripada serangan Siu~bun itu, belum lagi ujung
pedang Siu-bun mengenai tubuh lawan atau pergelangan tangannya sudah tertusuk
lebih dulu oleh ujung pentung Nyo Ko dan pedangnya pasti akan terlepas dari
cekalan.
Cepat Siu-bun menarik
kembali pedangnya dan berganti serangan lain, sambil memutar balik pedangnya,
kaki kirinya terus menendang, sementara itu pentung Nyo Ko telah ditusukkan ke
bahu Bu Tun-si sembari melangkah maju, tendangan Siu-buo se-akan2 tak
dihiraukannya.
Dengan sendirinya
tendangan Siu-bun menjadi mengenai tempat kosong, sedangkan keadaan Bu Tun si
menjadi berbahaya, cepat ia putar pedangnya dengan kencang utk bertahan dengan
dgn rapat, begitu terhindarlah dia dari tusukan pentung lawan.
Hanya beberapa jurus saja
kedua saudara Bu itu sudah dibikin kelabakan oleh Nyo Ko, bertahannya terasa
sulit, jangankan hendak balas menyerang. Sama sekali kedua Bu cilik itu tidak
menyangka bahwa Giok-siau-kiara-noat yang pernah dipertunjukkan oleh Ui Yong
itu ternyata memiliki gerak perubahan yang begini indah dan hebat pula untuk
digunakan.
Karena kecundang kedua
saudara Bu menjadi malu dan berduka pula, mereka mengira Giok siau-kiam hoat
itu benar2 diajarkan oleh Ui Yong kepada Nyo Ko. Sudah tentu tak pernah mereka
bayangkan bahwa Nyo Ko pernah berkumpul cukup lama dengan Ui Yok-su dan
mendapatkan ajaran langsung kedua macam ilmu silatnya yang maha sakti itu.
Melihat kedua orang itu
sedih dan lesu, hati Nyo Ko menjadi tidak tega. Tapi mengingat maksud tujuannya
justeru hendak menyelamatkan jiwa mereka, kalau sekarang keduanya tidak dibikin
menyerah betul2 agar selamanya takkan menemui Kwe Hu lagi, maka kelak keduanya
pasti akan berkelahi mati2an lagi bagi nona itu, karena inilah dia mempergencar
serangannya tanpa kenal ampun lagi.
Keruan kedua saudara Bo
semakin keder, bayangan pentung" berkelebat mengelilingi mereka, segenap
Hiat-to penting ditubuh mereka seluruhnya terancam oleh pentung Nyo Ko itu.
Terpaksa mereka mengertak
gigi dan bertahan mati2an.
Sebenarnya kepandaian
kedua Bu cilik itu tidak terlalu rendah, akan tetapi kalau dibandingkan Nyo to
yang kini sudah menyamai jago kelas satu, dengan sendirinya mereka bukan
tandingannya. Apalagi sekarang mereka menjadi gelisah, cara bertempur mereka
menjadi ngawur. sebaliknya Nyo Ko tidak penggunakan serangan maut melainkan
melayaninya dengan tenang.
Lambat-laun kedua saudara
merasa pentung lawan itu se-akan2 membawa semacam kekuatan mengisap yang amat
kuat, pedang mereka seperti melengket ikut bergoyang kian jemari tanpa kuasa.
Sampai akhirnya kedua
saudara itu seperti saling tempur sendiri, pedang Bu Tun-si yang menusuk Nyo Ko
terkadang hampir mengenai adiknya sendiri, begitu pula tabasan pedang Bu
Siu-bun terpaksa harus ditangkis oleh Tun~si.
"Kebagusan
Giok-siau-kiam-hoat tidak cuma begini saja, lihatlah" kata Nyo Ko
"Trak"
pentungnya beradu dengan pedang Tun-si, cuma yang terbentur adalah bagian
samping batang pedang sehingga pentung kayu ttu tidak rusak.
Seketika Tun-si merasa
dibetot oleh suatu tenaga kuat, pedang hampir terlepas dari cekalannya. Lekas
ia menarik balik sekuatnya, tapi Nyo Ko terus ikut mendorongkan pentungnya dan
tahu2 pedang Bu Siu-bun juga ikut melengket pada pentungnya, ketika pentung Nyo
Ko menahan ke bawah, segera ujung kedua pedang tertindih ke atas tanah.
Cepat kedua Bu cilik
menarik pedang sekuat-nya, baru terasa sedikit kendur, tahu2 Nyo Ko melangkah
maju, pentung kayu diangkat, tapi sebelah kakinya telah menggantikan pentung untuk
menginjak ujung kedua pedang.Tahu2 tenggorokan kedua saudara Bu telah terancam
oleh ujung pentung, kalau saja bertempur sungguh2, pasti leher mereka sudah
ditembus oleh senjata musuh.
"Bagaimana, menyerah
tidak?" tanya Nyo Ko dengan tertawa.
Seketika wajah kedua Bu
cilik pucat pasi seperti mayat, mereka bungkam tak dapat menjawab. Segera Nyo
Ko angkat kakinya dan mundur dua tiga tindak, melihat kedua saudara yang serba
konyol itu, ia menjadi teringat kepada masa kecilnya dahulu, ketika dia kenyang
dihina dan dikerubut oleh kedua Bu cilik itu dan baru sekarang dia dapat
melampiaskan rasa dongkol itu, tanpa terasa mukanya memperlihatkan perasaan
senang dan puas.
Kedua saudara Bu itu sama
sekali tidak menduga bahwa Nyo Ko benar2 telah mendapatkan ajaran kepandaian Ui
Yong. Namun mereka tetap penasaran mereka merasa waktu bertempur tadi telah
didahului oleh lawan sehingga mereka tidak sempat mengeluarkan segenap
kepandaian yang diperoleh dan Kwe Cing, malahan lt-yang-ci yang baru mereka
pelajari juga sama sekali tidak sempat dimainkan.
Bu Tun-si menjadi putus
asa, ia menghela napas panjang, pedang bermaksud dibuangnya dan akan pergi,
tapi mendadak Bu Siu-bun berseru padanya: "Toako, jika kita sudahi sampai
di sini saja, lalu apa artinya hidup kita di dunia ini? Tidakkah lebih baik
kita adu jiwa saja dengan dia!"
Hati Tun-si terkesiap,
segera iapun menjawab: "Benar!"
Serentak kedua bersaudara
memutar pedang dan mengerubut maju lagi, sekarang mereka sudah nekat sehingga
tidak perlu menjaga diri, yang mereka utamakan adalah menyerang saja dan selalu
mengincar tempat yang mematikan perubahan ini ternyata hebat juga.
Keduanya, tidak berjaga
diri lagi melainkan menyerang, mereka rela mati di bawah pentung Nyo Ko asalkan
dapat gugur bersama musuh, Malahan disamping menyerang dengan pcdang, tangan
kiri kedua Bu cilik juga memainkan It-yang-ci yang lihay itu.
"Bagus, pertarungan
begini barulah nikmat!" kata Nyo Ko dengan tertawa.Malahan ia terus
membuang pentungnya, dengan bertangan kosong ia berlari kian kemari di antara
samberan pedang musuh, Meski kedua saudara Bu menyerangnya dengan tidak kenal
ampun, namun tetap sukar mengenai sasarannya.
Bu Sam-thong merasa serba
susah menyaksikan pertarungan itu, sebentar ia berharap Nyo Ko yang menang agar
kedua puteranya takkan memikirkan dan memperebutkan Kwe Hu lagi. Tapi bila
melihat Bu cilik mengalami bahaya, tanpa terasa timbul juga keinginannya agar
mereka dapat mengalahkan Nyo Ko.
Tiba2 terdengar Nyo Ko
bersuit nyaring, "cring-cring", jarinya menyelentik batang pedang
kedua lawannya, seketika lengan kedua saudara Bu merasa pegal linu,
genggamannya juga kesakitan, setengah badan juga tergetar kaku, pedang mereka
serentak mencelat mundur.
Dengan gesitnya Nyo Ko
lantas melompat ke atas dan berhasil menangkap kedua pedang itu, lalu katanya
dengan tertawa: "Nah, inilah ilmu sakti Sian ci-sin-thong dari Tho-hoa-to,
kalian pernah melihat nya belum?"
Sampai di sini,
mau~tak-mau kedua saudara Bu juga menyadari bila pertarungan diteruskan, tentu
mereka akan tambah konyol.
"Maaf!" kata Nyo
Ko kemudian sambil menyodorkan kedua pedang rampasannya itu.
Siu-bun menerima kembali
pedangnya dan berkata dengan pedih: "Ya, selamanya aku takkan menemui adik
Hu lagi." - Habis berkata ia terus melintangkan pedang dan menggorok ke
lehernya sendiri
Pikiran Bu Tun-si ternyata
sama dengan adiknya, pada saat yang sama pula iapun angkat pedangnya hendak
membunuh diri.
Tentu saja Nyo Ko
terkejut, secepat terbang ia menubruk maju, "cring-cring" dua kali,
kembali kedua pedang itu kena diselentiknya dan mencelat ke atas,
"trang", kedua pedang saling bentur dan patah.
Pada saat itu Bu Sam-thong
juga melompat maju, satu tangan satu orang, ia cengkeram gitok kedua anaknya
sambil membentak dengan suara bengis: "Demi memperebutkan seorang
perempuan kalian berdua lantas berpikiran pendek, sungguk percumalah kalian
menjadi laki2"
Siu-bun mengangkat
kepalanya dan menjawab: "Ayah, engkau sendiri bukankah juga merana selama
hidup demi seorang perempuan? Aku......"
Belum habis ucapannya ia
melihat muka sang ayah penuh dengan air mata, rasa dukanya tidak kepalang,
seketika teringat olehnya perbuatan mereka bersaudara sesungguhnya teramat
melukai perasaan sang ayah, tanpa terasa ia lantas menangis keras2.
Pegangan Bu Sam~thong
menjadi kendur, segera ia merangkul kedua puteranya itu dan menangislah
ketiganya berpelukan menjadi satu.
Merasa usahanya telah
berhasil, hati Nyo Ko sangat senang, ia pikir meski jiwanya takkan tahan lama
lagi, paling tidak ia telah berbuat sesuatu kebajikan.
Dalam pada itu terdengar
Bu Sam-thong lagi berkata: "Anak bodoh, laki2 sejati masakah takut tidak
mendapatkan bini? Bocah perempuan she Kwe itu tidak menyukai kalian, lalu untuk
apa kalian memikirkan dia? Tugas utama kita sekarang ini apa, coba
katakan?"
"Menuntut balas
kematian ibu," seru Siu-bun
"Benar," kata Bu
Sam thong sambil beringas.
"Meskipun menjelajahi
ujung langit juga akan kita temukan Jik-lian-siancu Li Bok-chiu yang jahat
itu."
Nyo Ko menjadi kuatir
kalau ucapan merekah itu didengar oleh Li Bok chiu, kalau mereka tidak lekas
dipancing pergi, tentu urusan bisa runyam.
Benar juga, sebelum ia
berbuat sesuatu, tiba2 terdengar suara Li Bok-chiu mengekek tawa dan berkata:
"Tidak perlu kalian menjelajahi ujung langit segala, sekarang juga Li Bok
chiu menunggu di sini." - Sembari bicara ia terus melangkah ke-luar gua
dengan tangan kiri membopong seorang bayi dan tangan kanan memegang kebut.
Sama sekali Bu Sam-thong
dan kedua putera-nya tidak menduga iblis yang mereka sebut tadi akan muncul di
situ secara mendadak, Dengan menggerang murka Bu Sam-thong terus menerjang dulu
ke depan.
Pedang kedua saudara Bu
sudah patah, cepat mereka menjembut pedang patah mereka dan ikut mengerubut
dari kanan-kiri.
"Hei, jangan bergerak
dulu, dengarkan penuturanku!" seru Nyo Ko.
Namun mata Bu Sam-thong
sudah kadang merah membara, teriaknya: "Adik Nyo, bicara nanti saja,
setelah kubunuh iblis ini." Sembari bicara ia lantas menyerang tiga, kali
ber~turut2. Meski dia dengan pedang kutung, namun daya serangan kedua saudara
Bu juga tidak dapat dipandang ringan, mereka, terus menyerang dengan nekat.
Nyo Ko tahu dendam kesumat
mereka terlalu mendalam, betapapun pasti sukar dilerai, tapi kalau tidak
berusaha menengahi, bisa jadi mereka akan mencelakai si bayi. Maka cepat ia
berseru pula: "Li-supek, biarlah kupendong anak itu!"
Bu Sam-thong melengak.
"Mengapa kau panggil dia Supek?" tanyanya bingung.
"Sutit yang baik,
boleh kau serang bagian belakang orang gila ini, bayi ini akan kupondong
sendiri dan tanggung tak apa," jawab Li Bok-chiu dengan tertawa.
Kiranya Li Bok-chiu juga
merasakan kelihayan Bu Sam-thong, setelah bergebrak beberapa kali terasa jauh
lebih kuat daripada dahulu, sedangkan kedua saudara Bu cilik juga tidak lemah,
kerubutan ketiga orang agak sukar dilayani, sebab itulah ia sengaja memanggil
Nyo Ko sebagai "Sutit yang baik" untuk mengacaukan pikiran ketiga
lawan.
Ternyata Bu Sam-thbng
terjebak oleh akal Li Bok-chiu itu, cepat ia berseru: "Anak Si dan Bun,
kalian awasi bocah she Nyo itu, biar aku sendiri melabrak iblis ini."
Nyo Ko lantas melangkah
mundur dan ber-kata: "Aku takkan membantu pihak manapun, tapi kalian
jangan sekali2 membikin celaka anak bayi itu."
Hati Bu Sam-thong merasa
lega melihat Nyo Ko sudah mundur, segera ia melancarkan serangan lebih gencar.
Sambil putar kebutnya
menahan serangan lawan. Li Bok-chiu berseru: "Kedua Bu cilik, melihat
pri-laku kalian tadi, kalian ini tergolong laki2 yang punya perasaan, berbeda
dengan laki2 yang tak ber-budi dan ingkar janji yang kejam itu, Mengingat hal
ini, biarlah kuampuni jiwa kalian, nah, lekas kalian pergi saja."
Tapi Bu Siu-bun lantas
memaki: "Bangsat keparat, kau perempuan keji yang maha jahat, berdasarkan
apa kau juga bicara tentang budi dan kebaikan" - Berbareng itu ia terus
menyerang mati2an.
Ketika pedang kutung kedua
Bu cilik terbentur kebut, dada mereka terasa sesak dan pedang kutung hampir
terlepas, dari tangan, Cepat Bu Sam-thong menghantam, terpaksa Li Bok-chiu
menangkisnya, dengan begitu kedua Bu cilik dapat diselamatkan.
Pelahan Nyo Ko mendekati belakang
Li Bok-chiu, ia tunggu bila ada peluang segera akan menubruk maju untuk merebut
bayi dalam pelukan iblis itu. Akan tetapi ayah beranak she Bu itu sedang
menyerang dengan sengit sehingga Li Bok-chiu terpaksa memutar kencang kebutnya
untuk menjaga diri, sedikitpun tidak ada lubang yang dapat dimasuki Nyo Ko.
Nampak serangan Bu
Sam-thong bertiga tanpa menghiraukan keselamatan anak bayi Nyo Ko menjadi
kuatir, cepat ia berseru pula: "Berikan anak itu padaku, Li-supek!"
~Sambil menunduk segera ia bermaksud menerobos maju untuk merebut bayi itu.
Akan tetapi Li Bok-chiu
keburu membentak:nya: "Kau berani maju, sedikit kupiting anak ini, masakah
jiwanya takkan melayang?"
Nyo Ko melengak dan tidak
jadi menubruk maju. Pada saat Li Bok-chiu sedikit meleng itulah secepat kilat
It-yang~ci Bu Sam-thong telah bekerja dengan baik, pinggang Li Bok-chiu
tertutuk satu kali oleh jarinya.
Seketika Li Bok-chiu
merasakan tempat yang tertutuk itu sakit luar biasa dan hampir jatuh terguling,
sebisanya ia angkat sebelah kakinya menendang terlepas pedang kutung di tangan
Bu Tun-si, menyusul kebutnya menyabet pula ke kepala Bu-Siu-bun.
Melihat anaknya terancam
bahaya, cepat Bu-Sam-thong tarik Siu-bun ke belakang sehingga terhindar dari
sabetan maut tadi.
Sesudah terluka oleh
tutukan tadi, Li Bok-chiu merasa sukar bertahan lebih lama lagi, sekuatnya ia
putar kebutnya, berbareng ia melompat kesana dan berlari masuk ke dalam gua.
Dengan girang Bu Sam-thong
berseru: "Perempuan bangsat itu sudah kena tutukanku, sekali ini jiwanya
pasti melayang."
Segera kedua Bu cilik
hendak mengejar ke dalam gua dengan pedang terhunus, Tapi Sam-thong telah
mencegahnya: "Awas, jarumnya berbahaya, dijaga saja di sini dan mencari
akal..."
Baru saja kedua Bu cilik
hendak melangkah mundur, se-konyong2 terdengar suara mengaum, dari dalam gua
menerjang keluar seekor binatang buas.
Keruan Bu Sam-thong
terkejut, sungguh di-luar dugaannya bahwa di dalam gua tempat sembunyi Li Bok
chiu itu terdapat pula binatang buas begitu, Baru saja dia melengak, tahu2
cahaya perak gemerdep, dari bawah perut binatang buas itu menyambar beberapa
buah jarum perak.
Hal ini lebih tak terduga
oleh Bu Sam-thong, untung kepandaiannya cukup tinggi, sebisanya dia melompat ke
atas sehingga jarum2 berbisa itu me-nyamber lewat di bawah kakinya, Tapt lantas
terdengar jeritan kedua Bu cilik.
Sungguh kaget Bu Sam-thong
tak terkatakan, sementara itu terlihat Li Bok-chiu telah memutar dari bawah
perut macan tutul itu ke atas pung-gungnya, kebut terselip di kuduk baju,
tangan kiri memeluk bayi dan tangan kanan memegangi gitok harimau, Binatang itu
melompat beberapa kali dan menghilang di balik semak2 sana.
Lolosnya Li Bok-chiu
dengan menunggang macan tutul juga sama sekali tak terduga oleh Nyo Ko:
"Li~supek...."..." segera ia berseru dan hendak mengejar.
Tapi Bu Sam-thong tidak
membiarkan Nyo Ko pergi begitu saja, ia sangat berduka melihat kedua
putera-kesayangannya menggeletak tak bisaba ngun lagi, tanpa pikir ia rangkul
Nyo Ko sambi berteriak: "Biarlah aku mengadu jiwa dengan kau."
Sama" sekali Nyo Ko
tak mengira" Bu Sam^ thong akan bertindak padanya, maka sedikitpun ia tak
berjaga sehingga dia terangkuI dengan kencang. Cepat ia berseru: "He,
lepaskan! Aku harus merebut kembali bayi itu!"
"Bagus! Biar kita be
ramai2 mati bersama saja!" teriak Bu Sam-thong pula.
Nyo Ko menjadi kelabakan,
ia coba menggunakan Kim-na-jiu-hoat untuk mementang tangan orang yang
merangkulnya itu, tak terduga bahwa meski Bu Sam-thong dalam keadaan bingung
dan sinting tapi ilmu silatnya tidak menjadi kurang, dengan kencang ia mengunci
rangkulannya itu sehingga usaha Nyo Ko melepaskan diri sama sekali tidak
berhasil.
Melihat Li Bolc-chiu sudah
menghilang dengan menunggang macan tutul, untuk mengejarnya jelas tidak keburu
Iagi, Nyo Ko menghela napas dan berkata: "Paman Bu, buat apa kau merangkul
aku? Kau lebih penting menolong mereka itu?
"Ya, ya, benar,"
seru Bu Sam-thong girang. Sambil melepas rangkulannya "Apakah kau dapat
menyembuhkan luka jarum berbisa itu?"
Nyo Ko berjongkok
memeriksa kedua Bu cilik, kelihatan dua jarum perak menancap di bahu kiri dan
kaki kanan masing2, sementara itu racun sudah mulai menjalar, napas kedua anak
muda itu tampak sesak dan dalam keadaan tak sadar.
Cepat Nyo Ko menyobek
sebagian baju Bu Tun-si sebagai pembungkus tangan, lebih dulu ia cabut kedua
jarum berbisa itu.
"Apakah kau punya
obat penawar racuuoya?" tanya Bu Sam-thong kuatir.
Dahulu waktu Nyo Ko
berkumpul dengan Thia Eng dan Liok Bu-siang, ia pernah membaca dan mengapalkan
isi kitab pusaka "Panca Bisa" milik Li Bok-chiu yang dicuri Bu-siang
itu, maka ia paham cara bagaimana menawarkan racun jarum berbisa itu cuma untuk
membuat obatnya tentu makan waktu, sedangkan sekarang mereka berada dilembah
pegunungan sunyi, ke mana mendapatkan bahan obat sebanyak itu? Karena itu Nyo
Ko cuma menggeleng saja menyaksikan keadaan kedua Bu cilik yang sudah payah
itu.
Perasaan Bu Sam-thong
seperti di-iris2 menyaksikan keadaan kedua puteranya itu, ia jadi teringat
kepada isterinya yang mati demi mengisap darah beracun dari lukanya dahulu itu,
mendadak ia menubruk ke atas badan Bu Siu-bun dan menempel mulutnya pada luka
di kaki anaknya itu.
Tentu saja Nyo Ko
terkejut, cepat ia bersemi "Hei, jangan!" Segera ia menutuk
Tay~cui-hiaf di pinggang orang tua itu.
Karena tidak ter-duga2,
seketika Bu Sam-thong roboh terguling dan takdapat berkutik melainkan
memandangi kedua putera kesayangan dengan air mata bercucuran.
Tergerak perasaan Nyo Ko,
ia pikir jiwanya sendiri juga akan melayang apabila racun bunga cinta itu mulai
bekerja, baginya terasa tiada bedanya hidup lima hari lagi atau mati lebih
cepat lima hari, JP-ril kedua Bu cilik ini memang tiada menonjol, tapi pasti Bu
ini adalah orang yang berperasaan dan berbudi luhur, nasibnya juga kurang
beruntung selama seperti diriku, Biarlah kukorban kehidupanku yang cuma tinggal
beberapa hari ini untuk membahagiakan kehidupan mereka ayah beranak.
Karena pikiran itu,
mendadak ia mencucup luka di kaki Bu Siu-bun, setelah mengusap darah berbisanya
dan diludahkan beberapa kali, kemudian ia mencucup pula darah berbisa dari luka
Bu Tun-si.
Begitulah secara
bergiliran Nyo Ko menyedot darah berbisa dari luka kedua saudara Bu itu, tentu
saja Bu Sam-thong sangat berterima kasih dan merasa bingung menyaksikan
perbuatan Nyo Ko itu, susahnya dia tak bisa berkutik karena Hiat-to tertutup.
Setelah mengisap sebentar
pula, rasa pahit dalam mulut Nyo Ko mulai berubah menjadi rasa asin.
Sedangkan kepalanya
semakin pusing dan terasa berat, ia menyadari dirinya telah keracunan hebat,
sekuatnya ia berusaha mengisap lagi beberapa kali dan meludahkan air berbisa
itu, tiba2 pandangannya menjadi gelap dan jatuh pingsanlah dia...
Entah berapa lamanya Nyo
Ko tak sadarkan diri, ketika pelahan2 ia merasa ada bayangan orang yang samar2
bergoyang kian kemari di depannya, ia bermaksud mementangkan matanya untuk
memandang lebih jelas, akan tetapi semakin berusaha semakin kabur rasanya.
Entah lewat berapa lama
lagi barulah Nyo Ko membuka matanya, segera dilihatnya Bu Sam-thong sedang
memandangi dirinya dengan rasa girang.
"Sudah baik dia,
sudah baik!" terdengar orang tua itu berseru, mendadak berlutut dan
menyembah beberapa kali padanya sambil berkata: "Adik Nyo, kau.... kau
telah menyelamatkan... menyelamatkan kedua puteraku dan juga telah
menyelamatkan jiwaku yang tua bangka ini."
Lalu dia merangkak bangun
dan segera pula menyembah kepada seorang lagi sambil berseru : "Terima
kasih, Susiok, terima kasih!"
Waktu Nyo Ko memandang
orang itu, terlihat lah mukanya hitam, hidung besar dan mata cekung, tertampak
rada2 mirip dengan Nimo Singh, rambutnya juga keriting, cuma sebagian sudah
ubanan, usianya sudah tua.
Nyo Ko hanya tahu Bu
Sam-thong adalah murid It-teng Taysu, tapi tidak tahu bahwa dia masih mempunyai
seorang paman guru dari negeri Thian tok. Ia bermaksud bangun berduduk, tapi
pinggang terasa lemas pegal, sedikitpun tak bertenaga, ia coba memandang
sekitarnya ternyata berada di tempat tidur, di dalam kamarnya sendiri di kota
Siangyang.
Baru sekarang dia benar
yakin bahwa dirinya belum mati dan masih dapat berjumpa dengan Siao liong-li,
tanpa terasa ia terus berseru: "Kokoh! Mana Kokoh?"
Seorang lantas
mendekatinya dan meraba dahinya sambil berkata: "Tenanglah, Ko-ji, Kokohmu
sedang keluar kota untuk sesuatu urusan."
Nyo Ko melihat orang ini
adalah Kwe Cing.
Ia merasa terhibur melihat
sang paman sudah sehat kembali. Segera teringat olehnya bahwa untuk memulihkan
kesehatan sang paman diperlukan waktu tujuh hari tujuh malam masakah ketidak
sadaranku ini sudah berselang sekian hari pula? jika begitu mengapa racun bunga
cinta dalam tubuhku tidak kumat? Ia. menjadi bingung, pikiran menjadi kacau dan
kembali ia tak sadarkan diri.
Waktu ia sadar kembali
untuk kedua kalinya-sementara itu sudah jauh malam, di depan tempat tidur
tersulut sebatang lilin merah, Bu Sam-thong kelihatan masih menungguinya dengan
berduduk di depan situ dan memandangnya dengan penuh perhatian.
"Aku tidak apa2,
paman Bu, jangan kuatir kau" kata Nyo Ko dengan tersenyum hambar,
"-Dan kedua saudara Bu tentunya baik2 saja,"
Air mata Bu Sam-thong
bercucuran, ia tak dapat berbicara saking terharunya, maka ia cuma menjawab
dengan manggut2 saja.. Selama hidup Nyo Ko tak pernah merasakan terima kasih
sedemikian dari orang lain, maka ia menjadi rikuh, cepat ia belokan
pembicaraannya dan bertanya: "Cara bagaimana kita dapat pulang ke
Siangyang sini?"
Bu Sam-thong mengusap air
matanya, lalu menutur: "Atas permintaan nona Liong gurumu itu, Cu-sute
telah mengantar kuda merah itu ke lembah sunyi untukmu, ketika melihat kita
berempat sama2 tergeletak di situ, cepat2 dia menolong kita pulang ke
sini"
"Darimana suhuku
mengetahui aku berada di mana?" ujar Nyo Ko dengan heran, "Dan urusan
apa yang membuatnya tidak dapat mencari aku dan perlu minta pertolongan paman
Cu untuk mengantarkan kuda merah padaku?"
"Setibaku lagi di
sini, akupun tidak sempat bertemu dengan nona Liong gurumu itu," tutur Bu
Sam-thong. "Menurut Cu-sute, katanya usia nona Liong masih muda, cantik
rupawan pula dan ilmu silatnya juga maha tinggi, sayang aku belum bisa
berkenalan dengan beliau, Ai memang kaum ksatria selalu timbul dari kalangan
angkatan muda, kukatakan kepada Cu-sute bahwa seumur kita ini seperti hidup
pada tubuh babi belaka."
Nyo Ko sangat senang
karena Bu Sam-thong memuji dan mengagumi Siao-liong-li dengan setulus hati,
bicara tentang umur, menjadi ayah Siao-liong-li juga pantas bagi Bu Sam-thong,
tapi dia ternyata begitu menghormati nona itu, jelas disebabkan dia menghormati
si murid dan dengan sendirinya menghormat pulakepada sang guru.
Dengan tersenyum Nyo Ko
lantas berkata. "luka siautit ini..."
"Adik Nyo,"
tiba2 Bu Sam-thong memotong "menolong sesamanya di dunia persilatan adalah
kejadian yang biasa, tapi menyelamatkan orang lain tanpa memikirkan jiwa
sendiri seperti engkau ia pula yang kau tolong adalah kedua puteraku yang
sebelumnya bersikap kasar padamu, Tindakanmu ini selain guruku rasanya tiada
orang ketiga lagi yang sanggup melakukannya.
Ber-ulang2 Nyo Ko
menggeleng kepala, maksudnya minta Bu Sam-thong tidak meneruskan lagi ucapannya
itu.
Namun Bu Sam-thong tidak
menggubrisnya, dia tetap berucap: "Jika kupanggil engkau dengan sebutan
"ln-kong" (tuan penolong) tentunya engkau juga tidak mau terima. Tapi
kalau engkau tetap menyebut aku sebagai paman, itupun jelas kau teramat
menghina kepadaku Bu Sam-thong ini."
Watak Nyo Ko memang suka
terus terang dan tidak merecoki soal tetek bengek, seperti halnya
Siao-liong-li, sekali dia anggap nona itu sebagai isteri maka soal pelanggaran
tata adat umum dan panggilan yang tidak menurut aturan, semuanya suka dilakukan
jika ada orang yang minta.
Karena itu tanpa pikir ia
lantas menjawab: "Baiklah, aku akan panggil kau Bu-toako-saja, cuma kalau
ketemu kedua saudara Tun-si dan Siu-bun. kurasa agak kurang enak dan entah cara
bagaimana harus ku-sebut mereka."
"Sebut apa
segala?" ujar Bu Sam-thong. "Jiwa mereka diselamatkan olehmu, jika
mereka menjadi kerbau atau kudamu juga pantas."
"Engkau tidak perlu
berterima kasih padaku, Bu-toako," kata Nyo Ko, "Memangnya aku sudah
kena racun bunga cinta yang jahat dan jiwaku sukar diselamatkan, maka caraku
cucup racun dari luka kedua saudara Bu itu sebenarnya tiada artinya sedikitpun
bagiku."
"Soalnya bukan
begitu, adik Nyo," kata Ba Sam-thong sambil menggeleng. "jangankan
racun yang mengeram dalam tubuh itu belum pasti sukar diobati seumpama betul
tak dapat disembuhkan namun tiap manusia tentu berharap akan tetap hidup
biarpun cuma tahan sehari atau dua hari saja, sekalipun cuma sejam dua jam juga
tetap ingin hidup. Di dunia ini memang tiada manusia dapat hidup abadi, baik
nabi maupun orang biasa, akhirnya juga akan kembali kepada asalnya, namun
begitu mengapa setiap orang tetap suka hidup dan enggan mati."
Nyo Ko tertawa dan tidak
menanggapi jalan pikiran orang tua itu, tanyanya kemudian: "Sudah berapa
hari kita pulang ke Siangyang sini?".
"Sampai sekarang
sudah hari ketujuh," jawab Bu Sam thong.
Nyo Ko menjadi heran dan
tidak habis mengerti katanya: "Pantasnya aku akan mati karena bekerjanya
racun dalam tubuhku, mengapa aku masih hidup sampai sekarang, sungguh aneh dan
ajaib."
Dengan girang Bu Sam-thong
bertutur: "Susiokku itu adalah paderi sakti dan negeri Thian-tiok, nomor
satu di dunia ini dalam hal mengobati keracunan. Dahulu guruku salah minum
racun yang dikirim nyonya Kwe juga telah disembuhkan oleh beliau, sekarang juga
akan kuundang dia ke sini."
Habis berkata ber-gegas2
ia terus keluar kamar.
Diam2 Nyo Ko bergirang, ia
pikir jangan2 waktu aku jatuh pingsan, paderi sakti itu telah meminumkan
sesuatu obat mujarab kepadaku sehingga racun bunga cinta itu dapat dipunahkan
Ai, entah Kokoh berada di mana saat ini? Kalau dia mengetahui aku takkan mati,
entah betapa gembiranya dia.
Teringat kepada hal2 yang
meresap dan mesra itu, mendadak dadanya terasa seperti dipalu dengan keras dan
sakitnya tidak kepalang, tak tertahankan iapun menjerit keras.
Sejak minum setengah butir
obat pemberian Kiu Jian~jio itu, belum pernah dia mengalami kesakitan sehebat
ini, bisa jadi kasiat setengah biji obat itu sudah bilang, sedangkan kadar
racun dalam tubuhnya belum lagi punah seluruhnya. Sambil memegangi dada,
keringat membasahi dahi Nyo Ko saking sakitnya.
Tengah tersiksa dengan
hebatnya, tiba2 Nyo-Ko mendengar suara seorang bersabda: "Namo
Budaya!" - Sambil merangkap kedua tangan di depan dada, paderi Thian-tiok
itu tampak masuk ke kamar.
Bu Sam-thong ikut di
belakang paderi Hindu itu, melihat keadaan Nyo Ko itu, ia terkejut dan cepat
bertanya: "Adik Nyo, kenapa kau" - Lalu ia berpaling kepada paderi
itu dan, memohon: "Susiok, racunnya kumat lagi, lekas memberikan obat
padanya."
Paderi Hindu itu tidak
paham ucapannya, tapi dia lantas mendekati Nyo Ko dan memeriksa nadinya. Bu
Sam-thong sendiri lantas keluar kamar untuk mengundang Cu Cu-Iiu.
Cu Cu-liu adalah bekas
Conggoan (gelar ahli sastra tertinggi), dia paham bahasa dan tulis Hindu kuno,
hanya dia saja yang dapat berbicara dengan paderi itu, maka Bu Sam-thong
mengundangnya untuk dijadikan juru bahasa.
Setelah tenangkan diri,
rasa sakit Nyo Ko mulai hilang, lalu dia menceritakan asal usulnya keracunan
bunga cinta itu.
Dengan teliti paderi hindu
itu bertanya tentang bentuk bunga cinta itu, tampak dia terkejut dan
ter-heran2, katanya: "Bunga cinta itu adalah bunga ajaib jaman purba,
konon sudah lama lenyap dari permukaan bumi ini, siapa kira daerah Tionggoan
sini masih ada tetumbuhan itu. Aku belum pernah melihat bunga itu, maka
sesungguhnya tidak tahu cara bagaimana memunahkan kadar racunnya."
Setelah Cu Cu-liu
menterjemahkan ucapan paderi Hindu itu, segera Bu Sam-thong ber-teriak2
memohon: "Kasihanilah Susiok! Tolonglah!"
Paderi itu menyebut nama
Budha pula, lalu memejamkan mata dan menunduk merenung suasana dalam kamar
menjadi sunyi senyap, siapapun tiada yang berani buka suara. Selang agak lama
baruIah paderi Hindu itu membuka mata dan berkata: "Nyo kisu telah
mencucup darah berbisa bagi kedua cucu muridku, pada hal racun jarum itu sangat
jahat terisap sedikit saja akan mengakibatkan jiwa melayang, tapi Nyo-kisu
ternyata masih sehat2 saja, sedangkan racun bunga cinta juga tidak bekerja pada
waktunya, jangan2 terjadi racun menyerang racun sehingga Nyo-kisu malah
mendapat berkahnya dan sembuh."
Cu Cu-liu dan Nyo Ko
adalah orang2 yang pintar dan cerdik, mereka pikir uraian paderi Hindu itu
memang masuk di akal, maka mereka sama mengangguk.
Paderi itu berkata pula:
"Orang baik tentu mendapatkan pembalasan baik, Nyo-kisu mengorbankan diri
demi menolong orang lain, inilah perbuatan bajik yang luhur, racun ini pasti
dapat dipunahkan.
"Jika begitu, mohon
Susiok lekas menolong nya," seru Bu Sam-thong girang.
"Untuk itu perlu
kudatangi Coat-ceng-kok dan melihat sendiri bentuk bunga cinta itu, habis itu
baru dapat mencari obat penyembuhnya yang tepat," tutur si paderi,
"Yang penting selama ini hendaklah Nyo- kisu jangan timbul perasaan cinta,
kalau tidak, maka rasa sakit akan semakin menghebat setiap kali kumat"
"Akan lebih baik lagi
apabila Nyo-kisu daptit memutuskan perasaan cinta itu dan racun inipun akan
punah dengan sendirinya tanpa diobati."
Nyo Ko pikir kalau harus
memutuskan cinta kasihnya kepada Kokoh, lebih baik kumati saja, Tapi sebelum
dia menanggapi cepat Bu Sam-thong mengajak Cu Cu-liu ikut paderi Hindu itu ke
Coat ceng-kok, sudah tentu Cu Cu-liu menerima ajakan itu karena diapun utang
budi kepada Nyo Ko.
Lalu Bu Sam-thong berkata
pula kepada Nyp-Ko: "Adik Nyo, harap engkau istirahat saja dengan tenang,
segala sesuatu pasti akan beres. Besok juga kami akan berangkat dan kembali
selekasnya utk menyembuhkan penyakitmu, kelak aku masih harus minum arak pesta
pernikahanmu dengan nona Kwe."
Nyo Ko melengak, ia pikir
persoalan Kwe Hu sukar dijelaskan dalam waktu singkat, maka tanpa pikir ia
hanya mengiakan saja. sesudah ketiga orang itu pergi, ia sendiri lantas
berbaring untuk tidur.
Waktu mendusin, terdengar
suara burung ber-kicau, rupanya fajar sudah menyingsing, Sudah beberapa hari
Nyo Ko tidak makan, perut terasa lapar, dilihatnya di atas meja dekat
pembaringannya ada empat piring penganan, segera ia ambil beberapa gotong kue
dan dimakan.
Belum sepotong kue itu
termakan habis, terdengar orang mengetuk pintu, lalu masuklah seorang berbaju
merah jambon dengan air muka tampak marah, ternyata yang datang ini adalah Kwe
Hu.
Nyo Ko meIongo sejenak,
lalu menyapa "Pagi benar, nona Kwe."
Kwe Hu hanya mendengus
pelahan saja dan tidak menjawab, ia lantas berduduk pada kursi di depan tempat
tidur dengan alis menegak dan melotot gusar kepada Nyo Ko, sampai lama sekali
masih tetap tidak berbicara.
Tentu saja hati Nyo Ko
tidak enak, dengan tersenyum ia berkata pula: "Apa paman Kwe menyuruh kau
menyampaikan sesuatu pesan padaku?"
"Tidak!" jawab
Kwe Hu singkat dan ketus
Ber-ulang2 Nyo Ko
mendapatkan sikap dingin begitu, kalau hari2 biasa tentu dia tak mau menggubris
lagi nona itu, Tapi sekarang melihat sikap orang rada aneh, ia menjadi heran
dan ingin tahu sebab apakah pagi2 nona itu sudah mendatangi kamarnya. Maka
dengan mengering tawa ia bertanya pula: "Setelah melahirkan tentunya Kwe-
pekbo juga sehat2 saja?"
"Sehat atau tidak
ibuku, tidak perlu kau ber-kuatir," jawab Kwe Hu dengan lebih ketus.
Selain Siao-liong-li,
tidak pernah Nyo Ko mau mengalah terhadap orang lain, tapi sekarang dia telah
diperlakukan kasar oleh Kwe Hu, mau-tak mau timbul juga rasa dongkolnya. Segera
iapun batas mendengus, lalu memejamkan mata dan tak menggubrisnya lagi.
"Kau mendengus
apa?" tanya Kwe Hu gemas.
Kembali Nyo Ko mendengus
lagi dan tetap tidak menggubrisnya.
"Kau dengar tidak,
kutanya apa yang kau de-nguskan" bentak Kwe Hu.
Diam2 Nyo Ko geli melihat
si nona menjadi kelabakan, jawabnya kemudian: "Badanku tidak enak,
kudengus dua kali supaya merasa segar."
"Kau bohong, lain
kata lain perbuatan, se-hari2 hanya mengacau, sungguh manusia rendah tidak tahu
malu." damperat Kwe Hu dengan gusar.
Hati Nyo Ko tergerak
karena tanpa sebab musabab si nona mendamperatnya secara sengit, ia pikir
jangan2 ucapanku yang kugunakan untuk membohongi kedua saudara Bu telah
diketahui nona ini. Melihat dalam keadaan marah wajah Kwe Hu tetap cantik
molek, tanpa terasa timbul rasa kasihannya.
Dasar watak Nyo Ko memang
rada dugal, segera ia berkata pula dengan tertawa: "Nona Kwe, apakah kau
maksudkan apa yang kukatakan kepada kedua saudara Bu itu?"
"Apa yang kau katakan
kepada mereka, hayo lekas mengaku," bentak Kwe Hu pula dengan suara
tertahan.
"Tujuanku adalah demi
kebaikan mereka agar mereka tidak saling membunuh dan membikin sedih hati
ayahnya," ucap Nyo Ko dengan tertawa. "Apa yang kukatakan itu telah
disampaikan oleh paman Bu padamu, bukan?"
"Dia..... dia begitu
bertemu aku lantas mengucapkan selamat padaku dan memuji kau setinggi
langit," tutur itwe Hu. "Nama baik anak... anak perempuan seperti
diriku yang putih bersih masakah boleh sembarangan kau nista?" - Sampai di
sini suaranya menjadi ter-sendat2 dan air matapun ber-linang2.
Nyo Ko menjadi sangat
menyesal pada diri sendiri yang sembarangan omong tanpa pikir bahwa ucapannya
yang bermaksud baik itu justeru akan merusak nama baik Kwe Hu, apapun juga
memang perkataannya itu memang keterlaluan, rasanya persoalan ini akan sukar
diselesaikan.
Melihat Nyo Ko diam saja,
hati Kwe jadi tambah panas, katanya sambil menangisi "Menurut paman Bu,
katanya kau telah mengalahkan kedua kakak Bu, mereka kau paksa berjanji takkan
menemuiku untuk selamanya, apakah hal ini memang betul?"
Diam2 Nyo Ko menyesali Bu
Sam-thong yang tidak genah itu, masakah kata2 itu perlu disampaikan kepada Kwe
Hu, Terpaksa ia tidak membantah dan menjawab dengan mengangguk "Ya, memang
tidak sepatutnya aku sembarangan omong, cuma maksud tujuanku sama sekali tidak
jahat, harap kau memaklumi hal ini."
Kwe Hu mengusap air
matanya, lalu bertanya pula: "Dan apa yang kau katakan semalam, untuk
maksud apa pula?"
Nyo Ko melengak dan
menegas: "Kukatakan apa semalam?"
"Paman Bu bilang
setelah kau sembuh, dia berharap akan minum arak pesta pernikahanmu dan aku
ken,....kenapa kan mengiakan tanpa malu?"
Wah, celaka, jadi ucapanku
semalam juga terdengar olehnya, demikian Nyo Ko mengeluh dalam hati. Terpaksa
ia membantah: "Semalam aku dalam keadaan setengah sadar dan tidak jelas
apa yang dikatakan paman Bu padaku."
Kwe Hu dapat melihat anak
muda itu sengaja berdusta, dengan suara keras ia berteriak: "Kau bilang
ibuku mengajarkan ilmu silat padamu secara diam2 karena beliau penujui kau dan
ingin memungut kau sebagai menantu, betul tidak ucapanmu ini?"
Muka Nyo Ko menjadi merah
diberondong pertanyaan2 itu, ia pikir kelakarnya mengenai Kwe Hu paling2 akan
dianggap dugal saja oleh orang lain, dasarnya aku juga bukan ksatria yang suci
dan alim, tapi aku berdusta tentang diajari ilmu silat secara diam2 oleh
Kwe-pekbo. persoalan ini bisa kecil bisa besar dan sekali2 jangan sampai
diketahui bibi Kwe. Maka cepat ia meminta:
"Nona Kwe, memang
salahku sembarangan omong, harap kau suka menutupi hal ini dan jangan sampai
diketahui ayahmu."
"Hm jika kau takut
pada ayahku, kenapa kau berani berdusta dan menghina ibuku?" jengek Kwe Hu.
Cepat Nyo Ko menyatakan:
"Terhadap ibumu" sedikitpun tiada maksudku untuk menistanya, waktu
itu tujuanku cuma ingin membikin kedua Bu putus harapan atas dirimu supaya
mereka tidak saling membunuh sehingga bicaraku rada2 kelewatan."
Sejak kecil Kwe Hu dibesarkan
bersama kedua saudara Bu, kini mendengar Nyo Ko berdusta dan membikin kedua
anak muda itu putus asa terhadap dirinya serta berjanji takkan menemuinya
keruan rasa gusarnya tak terperikan. Dengan suara keras ia bertanya pula:
"Baik, urusan ini akan
kubereskan nanti dengan kau, sekarang yang penting adalah Moaymoayku, kemana
kau membawanya pergi?"
"Ya, lekas mengundang
ayahmu ke sini, aku justeru hendak membicarakannya dengan beliau," seru
Nyo Ko.
"Ayahku sudah keluar
kota untuk mencari adikku itu," jawab Kwe Hu. "Kau ini memang.....
memang manusia yang tidak tahu malu, kau hendak menggunakan adikku untuk
menukar obat penawar. Hm, rupanya jiwamu berharga dan jiwa adikku tidak
berharga sepeserpun."
Sejak tadi Nyo Ko memang
merasa menyesal dan malu diri karena terlanjur berbuat hal2 yang merusak nama
baik Kwe Hu, tapi dituduh hehdak menggunakan anak bayi itu untuk menukar obat
baginya, hal ini betapapun dia tak dapat menerima, dengan suara lantang ia
berkata: "Dengan tekad bulat aku hendak merebut kembali adik perempuanmu
untuk dikembalikan kepada ayah-bundamu, kalau dikatakan hendak kugunakan adikmu
untuk menukar obat, hal ini sekali2 tidak pernah timbul dalam pikiranku.
"Habis kemana
perginya adik ku?" tanya Kwe Hu.
"Dia telah dibawa
lari Li Bok-chiu, aku merasa malu karena tak berhasil merampas nya
kembali," tutur Nyo Ko. "Tapi bila tenagaku sudah pulih dan tidak
mati, segera aku akan pergi mencarinya."
"Hm Li Bok-chiu itu
adalah paman gurumu, betul tidak?" jengek Kwe Hu. "Tadinya kalian sembunyi
di satu gua, betul tidak?"
"Benar, meski dia
adalah paman guruku, tapi selamanya dia tidak akur dengan guruku," jawab
Nyo Ko.
"Hm, tidak akur
apa?" jengek Kwe Hu. "Tapi mengapa dia mau menuruti permintaanmu
dengan membawa adikku pergi menukar obat bagimu?"
Nyo Ko melonjak bangun
dengan gusar, katanya "Kau jangan sembarangan omong nona Kwe, meski aku
Nyo Ko bukan manusia yang terpuji, tapi sama sekali tiada maksud berbuat
begitu."
"Tiada bermaksud
berbuat begitu? Hm, enak saja kau bicara," jawab Kwe Hu. "Gurumu
sendiri yang mengatakan hal itu, memangnya aku yang fitnah dan sembarangan
omong?"
"Guruku bilang apa
lagi?" tanya Nyo Ko.
Serentak Kwe Hu berdiri
dan menuding hidung Nyo Ko, katanya: "Gurumu berkata sendiri kepada paman
Cu bahwa kau dan Li Bok-chiu sama2 berada di lembah sunyi sana, dia minta paman
Cu suka mengantarkan kuda merah milik ayah untuk dipinjamkan padamu agar kau
sempat membawa adikku ke Coat-ceng-kok untuk.... "
Kaget dan sangsi hati Nyo
Ko, cepat memotong: "Benar, memang guruku mempunyai maksud begitu agar aku
mengantar adikmu ke sana untuk mendapatkan separoh obat yang masih dipegang Kiu
Jian-jio itu, tapi cara ini hanya untuk sementara saja dan takkan membikin
susah adikmu..."
"Adikku baru lahir
sehari dan telah kau serah-kan kepada seorang iblis yang kejam, masakah kau
berani mengatakan takkan membikin susah adikku," kata Kwe Hu dengan gusar,
"Kau ini bangsat keparat, manusia berhati binatang! Waktu kecilmu kau
terluntang-lantung sebatangkara dan cara bagaimana ayah-ibuku telah
memperlakukan kau? Kalau ayah ibu tidak memelihara kau hingga besar di
Tho-hoa-to masakah kau dapat menjadi seperti sekarang ini? Siapa tahu air susu
kau balas dengan air tuba, kau sekongkol dengan musuh dan ketika ayah - ibuku
kurang sehat, kau telah menculik adikku."
Semakin mendamperat
semakin beringas nona itu sehingga Nyo Ko sama sekali tidak diberi kesempatan
untuk membantah. Keruan tidak kepalang gusar dan dongkoInya Nyo Ko,
"bliik", saking tak tahan ia terus jatuh pingsan di atas tempat tidur.
Selang agak lama,
lambat-laun Nyo Ko siuman kembali, diiihatnya Kwe Hu masih menatapnya dengan
muka merengut dan segera mengomeli pula: "Hm, tak tersangka kau masih
mempunyai rasa malu, rupanya kaupun tahu kesalahan perbuatanmu yang terkutuk
itu."
Nyo Ko menghela napas
panjang, katanya: "Jika aku mempunyai pikiran begitu, mengapa aku tidak
membawa adikmu langsung ke Coat-ceng-kok saja."
Racun dalam tubuhmu kumat
dan tak dapat berjalan, makanya kau minta tolong paman gurumu." kata Kwe
Hu. "Hehe, tapi maksud tujuanmu akhirnya toh gagal, biar kukatakan terus
terang, begitu kudengar permintaan gurumu kepada paman Cu, segera kusembunyikan
kuda merah itu sehingga muslihat jahat kalian guru dan murid menjadi gagal
total."
"Baik, baik, apa yang
kau suka katakan boleh silakan katakan saja, akupun tidak ingin
membantah." kata Nyo Ko dengan mendongkol "Dan di mana guruku ? Ke
mana dia?"
Muka Kwe Hu tiba2 rada
merah, katanya:" Huh, ini namanya gurunya begitu dengan sendirinya
muridnya juga begitu, gurumu juga bukan manusia baik2."
Dengan gusar Nyo Ko
melonjak bangun pula dan berkata: "Kau memaki dan menghina aku, mengingat
ayah-bundamu, takkan kupersoalkan pada-mu. Tapi mengapa mencerca guruku?"
"Cis, memangnya kalau
gurumu kenapa?" semprot Kwe Hu pula. "Soalnya dia sendiri yang bicara
secara tidak senonoh."
Sudah tentu Nyo Ko tidak
percaya Siao-liong-li yang dianggapnya suci bersih dan polos itu dapat
mengeluarkan kata2 yang tidak pantas segera ia balas mendengus "Hm, besar
kemungkinan pikiranmu sendiri tidak benar, maka ucapan guruku juga kau terima
dengan menyimpang."
Sebenarnya Kwe Hu tidak
ingin mengulangi perkataan Siao-liong-li, tapi ia tidak tahan oleh olok2 Nyo Ko
itu, tanpa pikir ia terus berkata:
"Gurumu bilang
padaku: "Nona Kwe, hati Ko-ji sangat baik, hidupnya sebatangkara dan
menderita, kau harus meladeni dia dengan baik," Lalu katanya pula:
"Kalian memang pasangan yang setimpal suruhlah dia melupakan diriku, sama
sekali aku tidak menyalahkan dia."
Kemudian dia memberikan
pula pedangnya padaku, katanya pedang ini bernama Siok-Ii-kiam dan merupakan
pasangan dengan Kun-cu-kiam milikmu. Apalagi namanya kalau perkataannya ini
bukan tidak senonoh."
Setiap mendengarkan suatu
kalimat itu, setiap kali perasaan Nyo Ko seperti disayat, pikirannya menjadi bingung,
ia tidak tahu mengapa Siao-liong-li mengemukakan ucapan begitu. Habis Kwe Hu
ber-kata, pelahan ia angkat kepalanya, mendadak matanya memancarkan cahaya
aneh, bentaknya gusar.
"Kau berdusta, kau
penipu. Mana mungkin guruku berkata begitu? Mana itu Siok-li-kiam? Mana? jika
tak dapat kau perlihatkan, maka jelas kau berdusta?"
Kwe Hu mendengus, mendadak
sebelah tangan mengeluarkan sebatang pedang dari belakang punggungnya, pedang
itu hitam mulus, jelas itulah Siok li kiam yang diperoleh di Coat-ceng-kok
itu"
Tidak kepalang rasa kecewa
Nyo Ko, bicaranya sudah tanpa pikir lagi, segera ia berteriak: "Siapa
ingin menjadi pasangan setimpal dengan kau? Kun-cu-kiamku sudah patah, Pedang
ini memang betul milik guruku, pasti kau mencurinya, ya, kau mencurinya ya, kau
mencurinya!"
Sudah sejak kecil Kwe Hu
sangat dimanjakan, sekalipun ayah-bundanya juga mau mengalah padanya, apalagi
kedua saudara Bu, mereka munduk2 belaka terhadap si nona, sekarang Nyo Ko
bicara sekasar ini padanya, tentu saja ia tidak tahan. Apalagi nada ucapan Nyo
Ko itu se-akan2 menuduh-nya sengaja mengarang ucapan Siao-liong-li itu agar si
Nyo Ko mau menjadi pasangannya dan si Nyo Ko justeru tidak sudi.
BegituIah segera Kwe Hu
pegang pedangnya, dia bermaksud meloiosnya terus menabas, tapi segera timbul
keinginannyaakan membikin panas hati Nyo Ko, ia tahu anak muda itu sangat
menghormat dan mencintai gurunya, kalau kejadian ini diceritakannya pasti anak
muda itu akan marah setengah mati. . .
Dalam keadaan murka sama
sekali Kwe Hu tidak menimbang lagi bagaimana akibatnya jika dia menguraikan apa
yang hendak dikatakannya itu. Segera ia masukkan kembali pedang yang sudah
hampir ditotoknya tadi, lalu berduduk dan berkata dengan tertawa dingin:
"Ya, gurumu memang
cantik dan tinggi pula ilmu silatnya, sungguh wanita yang jarang ada
bandingannya di dunia ini, Cuma saja, ada sesuatu yang tidak beres."
"Sesuatu apa yang
tidak beres?" tanya Nyo Ko, "cuma kelakuannya tidak beres, suka
bergaul secara sembunyi2 dengan kaum Tosu Coan-cin-kau," tutur Kwe Hu.
Dengan gusar Nyo Ko
menyanggah: "Guruku bermusuhan dengan Coan-cin-kau, mana mungkin
berhubungan secara gelap dengan mereka?"
Kalimat bergaul secara
sembunyi yang kukatakan ini sesungguhnya masih terlalu sopan, malahan ada
lainnya lagi yang tidak pantas diucapkan anak perempuan seperti diriku
ini" kata Kwe Hu pula dengan tertawa dingin.
Nyo Ko tambah gusar,
teriaknya: "Guruku suci bersih, jika kau sembarangan omong lagi, awal
kalau mulutmu tidak kuremas."
Akan tetapi Kwe Hu tetap
dingin2 saja dan berkata: "Ya, dia berani berbuat, aku yang berani
mengatakan Huh, bagus amat nona yang suci bersih, tapi bergaul dengan seorang
Tosu busuk." .
"Apa katamu?"
hardik Nyo Ko dengan muka merah padam.
"Aku mendengar dengan
telingaku sendiri, masakah bisa keliru?" kata Kwe Hu pu!a, "Enam
orang Tosu Coan-cin-kau berkunjung kepada ayahku, tatkala mana dalam kota
sedang kacau menghadapi serangan musuh, ayah ibu kurang sehat dan tidak dapat
menemui mereka, maka akulah yang menyambut tetamunya...."
"Lantas bagaimana?"
bentak Nyo Ko pula dengan gusar.
Melihat mata anak muda itu
melotot merah, otot hijau sama menonjol di dahinya, Kwe Hu bergirang karena
tujuannya tercapai, dengan ber-seri2 ia berkata pula: "Kedua Tosu itu
masing2 bernama Tio Ci-keng dan In Ci~peng, ada tidak Tosu Coan -cin~kau yang
bernama begitu?"
"Kalau ada lantas
bagaimana?" bentak Nyo-Ko pula.
Dengan tersenyum Kwe Hu
menyambangi "Setelah kuatur pondokan untuk mereka, lalu aku tidak mengurus
mereka lagi, Siapa duga tengah malam seorang murid Kay pang melapor padaku,
katanya kedua Tosu itu sedang bertengkar sendiri di dalam kamar."
Nyo Ko mendengus sekali,
ia pikir Ci-keng dan Gi-peng memangnya tidak akur satu sama lain, bahwa mereka
bertengkar kenapa mesti diherankan?
Dalam pada itu Kwe Hu sedang
menutur pula: "Karena ingin tahu, diam2 aku mendekati jendela kamar
mereka, kulihat mereka tidak berkelahi lagi, tapi masih ribut mulut. Orang she
Tio bilang orang she In, berbuat begini dan begitu dengan gurumu, sedangkan
Tosu she In itu tidak menyangkal hanya menyesalkan temannya itu tidak
seharusnya bergembar-gembor..."
Mendadak Nyo Ko berbangkit
dan duduk di tepi tempat tidur sambil membentak: "Berbuat begini dan
begitu apa maksudmu?"
Muka Kwe Hu tampak merah,
sikapnya rada kikuk untuk menjawab, katanya kemudian: "Mana aku tahu? Yang
pasti masakah, perbuatan yang baik? Apa yang dilakukan guru kesayanganmu itu
hanya dia sendiri yang tahu."
Nadanya penuh mengandung
perasaan jijik dan menghina.
Saking gusar dan gugupnya,
pikiran Nyo Ko menjadi kacau, tanpa pikir sebelah tangannya terus menampar,
"plok", dengan tepat pipi Kwe Hu kena ditempeleng.
Dalam keadaan gusar,
pukulan Nyo Ko itu cukup keras, keruan mata Kwe Hu ber-kunang2 dan sebelah
pipinya lantas bengkak, kalau saja Nyo Ko tidak habis sakit, mungkin giginya
rontok digampar oleh anak muda itu.
Selama hidup Kwe Hu mana
pernah terhina secara begitu? sesungguhnya dia tidak tahu bahwa Siao-liong-li
adalah satu2nya orang yang paliug dihormati dan dicintai Nyo Ko, mencemar nama
baik Siao-liong-li adalah melebihi dia ditusuk pedang tiga kali. Tapi Kwe Hu
juga seorang nona yang tidak pikir apalagi jika sudah murka, segera dia melolos
Siok-li-kiam terus menusuk ke leher Nyo Ko.
Habis menampar Kwe Hu, Nyo
Ko pikir persoalan ini pasti sukar diselesaikan, nona ini adalah puteri
kesayangan paman dan bibi Kwe, seumpama mereka tidak menyalahkan dia, rasanya
juga tidak betah tinggal lebih lama di kota ini.
Karena ia lantas turun
hendak memakai sepatu dan ketika itulah dilihatnya pedang Kwe Hu menusuk tiba,
Sambil mendengus sebelah tangan Nyo Ko meraih dan tangan yang lain terus
menutuk dan memegang, dengan mudah saja Siok-Ii-kiam itu dapat direbutnya.
Ber-turut2 kecundang, Kwe
Hu tambah murka? dilihatnya di atas ranjang ada pula sebatang pedang, ia terus
menubruk maju dan merampasnya, segera pedang itu dilolosnya terus ditabaskan ke
kepala Nyo Ko.
Seketika pandangan Nyo Ko
menjadi silau tidak kepalang kagetnya melihat nona itu menabas-nya dengan
Ci-wi-kiam, ia tidak berani merebutnya dengan tangan, sebisanya ia angkat Siok-
li-kiam untuk menangkis.
Tak terduga karena dia
habis sakit selama tujuh hari, tenaga belum pulih, baru saja Siok li kiam
terangkat sedikit segera lengannya tidak sanggup terangkat lebih tinggi lagi.
Sementara itu tabasan pedang
Kwe Hu sudah tiba, "Trang", kedua pedang beradu, Siok~li~kiam kutung
menjadi dua. Kwe Hu sendiri terkejut, sama sekali tak disangkanya Ci-wi-kiam
itu begitu lihay. Dalam keadaan unggul dan dendam atas tamparan Nyo Ko tadi.
Kwe Hu pikir biarpun
kubunuh kau juga rasanya ayah-ibu takkan menyalahkan aku mengingat jiwa adikku
juga dicelakai olehmu, Ketika itu kaki Nyo Ko juga terasa lemas dan jatuh
terduduk di lantai tanpa bisa melawan lagi, hanya tangan kanan saja yang
terangkat di depan dada untuk menjaga diri, tapi sorot matanya sama sekali
tiada menampilkan keinginan mohon dikasihani Kwe Hu menjadi gemas, segera
pedangnya ditabaskan lebih ke bawah lagi....
Bagaimana akibat dari
tabasan pedang Kwe Hu itu merupakan kunci utama cerita ini maka untuk sementara
ini kita tinggalkan dahulu, Marilah kita kembali dulu pada Siao-liong-li ketika
dia menunggang kuda merah menyusul Nyo Ko dan Kim-lun Hoat-ong, tapi dia telah
kesasar ke jurusan yang lain.
Kuda merah itu teramat
cepat jarinya, sekejap sudah belasan li jauhnya, ketika dia putar balik,
sementara itu Nyo Ko sudah menghilang di lembah pegunungan itu.
Tanpa kenal lelah
Siao-liong-li terus mencari di sekitar Siangyang, Sampai tengah malam barulah
ia mendengar suara raung tangis Bu Sam-thong di kejauhan. Cepat Siao~liong-li
mencari ke arah datangnya suara, tidak lama dapatlah didengarnya suara
pertempuran kedua saudara Bu, menyusul terdengar pula suara bicara Nyo Ko.
Tentu saja ia girang, ia
kuatir Nyo Ko ketemukan musuh tangguh, maka ia ingin membantunya secara diam2
saja, segera ia turun dari kudanya, ia tambat kuda merah itu pada sebatang
pohon, lalu merunduk ke sana dan sembunyi di balik sepotong batu padas untuk
mengintip cara bagaimana Nyo Ko menghadapi musuh.
Celakanya yang terdengar
adalah ucapan Nyo Ko yang ber-ulang2 menyatakan sudah dijodohkan dengan Kwe Hu,
nona itu disebutnya sebagai bakal isterinya, Kwe Cing dan Ui Yong dipanggilnya
ayah dan ibu mertua. Didengarnya pula Nyo Ko mengaku menerima ajaran ilmu silat
secara diam2 dari Ui Yong, dilihatnya pula Nyo Ko sangat marah kepada kedua
saudara Bu, serta melarang kedua anak muda itu kemudian menyebut nama Kwe Hu.
Begitulah setiap Nyo Ko
mengucapkan hal itu, setiap kali pula Siao liong-Ii seperti disambar petir,
pikirannya menjadi kacau, dunia mendadak dirasakan seperti sudah kiamat.
Kalau orang lain, tentu
akan timbul rasa sangsinya melihat kata dan perbuatan Nyo Ko itu sama berbeda,
namun Siao-liong li memang orang yang lugu, hatinya bersih, pikirannya
sederhana, sedikitpun tidak paham seluk beluk kepalsuan kehidupan manusia.
Biasanya Nyo Ko juga tidak
pernah membual sedikitpun padanya sekalipun terhadap orang lain anak muda itu
memang suka juga, sebab itulah Siao-liong-li menaruh kepercayaan penuh terhadap
apa yang diucapkan Nyo Ko.
Begitulah ketika melihat
kedua Bu cilik bukan tandingan NyoKo, Siao-liong-Ii yang sedang berduka dan
menyesali nasibnya itu tanpa terasa mengeluarkan suara tarikan napas panjang
sebagaimana yang didengar oleh Nyo Ko itu sehingga dia hampir saja berseru
memanggilnya. Pada saat itu juga Siao-liong-li lantas pergi dengan berlinangan
air mata.
Sambil menuntun kuda merah
itu Siao-liong-li berkeliaran semalaman di ladang sunyi itu, pikirannya kacau
dan bingung. Usianya sudah lebih 20 tahun, tapi selama hidupnya berdiam di
dalam kuburan kuno itu, seluk-beluk kehidupan manusia sedikitpun tidak
dipahaminya, hakekatnya jalan pikirannya masih polos dan bersih seperti anak
kecil. ia pikir: "Nyo Ko sudah terikat jodoh dengan nona Kwe, dengan
sendirinya tak dapat menikahi diriku lagi. Pantas Kwe-tayhiap suami-isteri
ber-ulang2 merintangi hasrat Ko-ji yang ingin menikahi aku, Bahwa selama ini
Ko-ji tidak memberitahukan padaku tentang ikatannya dengan nona Kwe, tentunya
karena dia kuatir aku akan berduka, Ai dia memang sangat baik padaku."
Begitulah lantaran dia
juga mencintai Nyo Ko, walaupun dengan mata telinga sendiri mendengar anak muda
itu mengatakan hendak menikah dengan Kwe Hu, namun ia tidak dendam sedikitpun
kepada anak muda itu, ia hanya berduka dan menyesali nasibnya sendiri Malahan
lantas terpikir lagi olehnya: "Sebabnya Ko-ji tidak cepat2 membunuh
Kwe~tayhiap untuk membalas sakit hati kematian ayahnya, kiranya persoalan nona
Kwe inilah yang membuatnya bimbang, jika begitu tampaknya dia juga sangat baik
kepada nona Kwe. Kalau sekarang kuberikan kuda merah ini padanya, bisa jadi dia
akan teringat lagi kepada kebaikanku dan perjodohannya dengan nona Kwe mungkin
akan terganggu lagi. Rasanya lebih baik kupulang sendirian saja ke kuburan kuno
itu, dunia yang fana ini cuma membikin kacau dan membingungkan pikiranku
saja."
Setelah berpikir pula,
akhirnya ia membulatkan tekad, meski hatinya terasa di-sayat2, cintanya kepada
Nyo Ko terasa berat sekali untuk diputuskan, tapi terpikir pula olehnya
menyelamatkan jiwa anak muda itu terlebih penting.
Karena itulah malam itu
juga dia pulang ke Siangyang dan minta pertolongan Cu Cu-liu agar suka
mengantarkan kuda merah kepada Nyo Ko yang masih berada di lembah sunyi itu.
Waktu itu Siangyang belum
tenang kembali, Kwe Cing serta Ui Yong belum sehat pula, maka tugas pertahanan
kota diurus oleh Loh Yu-kah dibantu oleh Cu Cu-liu.
Di tengah kemelut itulah
Siao-liong-li membawa kuda merah datang pada Cu Cu-liu dan minta bantuannya
mengantar kuda itu kepada Nyo Ko agar anak muda itu lekas pergi ke
Coat~ceng~kok dan menukar obat penawar dengan bayi yang baru dilahirkan Ui
Yong. Sudah tentu Cu Cu-liu merasa bingung oleh penuturan yang tak diketahui
awal mulanya itu, la, coba bertanya lebih jelas, tapi Siao liong li sendiri
sedang kesal dan tidak ingin banyak bicara, dia hanya mendesak Cu Cu-liu lekas
berangkat, katanya kalau terlambat bisa jadi jiwa Nyo Ko akan melayang.
Sama sekali Siao-liong-li
tidak pedulikan bahwa waktu itu Kwe Hu juga berada di sebelah Cu Cu-liu, ia
pikir adikmu itu dibawa sementara ke Coat-ceng-kok, tentu tidak beralangan,
apalagi demi menyelamatkan jiwa bakal suamimu.
Biasanya Siao-Iiong-li
dapat menguasai perasaanya, suka atau duka jarang dipikirkan olehnya, tapi
sejak jatuh cinta kepada Nyo Ko, segala ilmu menguasai perasaan sendiri yang
dilatihnya sejak kecil hampir tak dapat digunakan lagi, guncangan perasaannya
bahkan jauh lebih hebat daripada orang biasa.
Maka sesudah memberi pesan
kepada Cu Cu liu lantaran beberapa kali menyebut nama Nyo Ko, tanpa terasa air
matanya lantas bercucuran, cepat ia lari kembali kekamar sendiri dan menangis
sedih di tempat tidur.
Biarpun Cu Cu-liu adalah
seorang cerdik pandai, tapi lantaran tidak tahu seluk-beluknya persoalan,
uraian Siao-Iiong-li yang tak keruan juntrungannya itu membuatnya bingung. Tapi
ingat bahwa kalau terlambat bisa jadi jiwa Nyo Ko akan melayang", ia pikir
terpaksa harus cepat ke lembah itu dan bertindak menurut keadaan di sana.
Tetapi ketika dia mau
berangkat ternyata kuda merah yang dibawakan Siao-liong-Ii itu sudah hilang,
waktu ditanyakan penjaga, katanya nona Kwe yang membawanya pergi. Ketika Kwe Hu
dicari bayangan nona itupun tak dapat diketemukan.
Karena menguatirkan
keselamatan Nyo Ko, terpaksa Cu Cu-liu menunggang kuda lain dan membawa belasan
anggota Kay-pang menuju ke lembah yang ditunjuk Siao-liong-li itu. Di situ
dilihatnya Nyo Ko dan ayah beranak keluarga Bu itu sama menggeletak tak bisa
berkutik.
Cepat mereka dibawa pulang
ke Siangyang dan kebetulan paman gurunya, yaitu si paderi Hindu datang dari
negeri Tayli, paderi inilah yang menyadarkan Nyo Ko dan lain2.
Begitulah Siao-liong-li
terus menangis di kamarnya, makin dipikir makin sedih, air matapun sukar
dibendung lagi sehingga membasahi baju dan tempat tidurnya, ia bermaksud
mengambil saputangan untuk mengusap air mata, tiba2 tangannya menyentuh
Siok-li-kiam yang terselip di tali pinggangnya.
Tiba2 timbul pikirannya
akan memberikan pedang itu kepada Kwe Hu agar nona itu dan Nyo Ko benar2
menjadi suatu pasangan yang setimpal. Maklumlah, Siao-liong-li teramat cinta
kepada Nyo Ko, segala apa yang bermanfaat bagi anak muda itu rela dilakukannya
Karena itulah ia lantas menuju ke kamar Kwe Hu.
Tatkala itu sudah lewat
tengah malam, Kwe Hu sudah tidur, Tanpa mcngetok pintu segala segera
Siao-liong-ii membuka daun jendela dan melompat masuk ke kamar serta
membangunkan Kwe Hu serta mengatakan "kalian memang pasangan setimpal
sebagaimana diuraikan kembali oleh Kwe Hu kepada Nyo Ko itu. setelah
menyerahkan Siok-li-kiam kepada Kwe Hu segeru Siao-liong-li tinggal pergi.
Sudah tentu Kwe Hu
ter-heran2 dan bertanya apa yang dimaksud, Namun Siao-Iiong li tidak menjawab
terus melompat keluar jendela pula.
"Kembalilah,
Liong-kokoh!" cepat Kwe Hu teriaknya sambil melongok keluar, tapi terlihat
Siao-liong-li sudah melangkah pergi tanpa berpaling pula.
Dengan menunduk kepala
menahan rasa sedih Siao-liong-li masuk ke taman bunga, bau bunga mawar yang
sedang mekar mewangi mengingatkan dia ketika bersama Nyo Ko berlatih
Giok-li-sim-keng diseling oleh semak2 bunga dahulu. Untuk berkumpul lagi
seperti dahulu itu rasanya sukar terjadi lagi.
Selagi melayang
pikirannya, tiba2 dari pojok rumah di sebelah kiri sana ada seorang sedang
ber-kata: "Kau sebentar2 mengucap Siao-liong-li, apakah kau tidak dapat
berhenti menyebutnya?"
Keruan Siao-liong-li
terkejut, ia heran siapakah yang selalu menyebut namaku? Segera ia berhenti di
situ untuk mendengarkan lebih cermat.
Segera terdengar pula
suara seorang lain tertawa mengejek dan berkata: "Kau sendiri boleh
berbuat, masakah aku tidak boleh menyebutnya?"
Terdengar orang- pertama
tadi -menjawab: "lni adalah rumah orang lain, mata telinga teramat banyak
kalau didengar orang lain, ke mana lagi nama baik Coan-cin-kau kita akan
ditaruh?"
"Hehe, ternyata kau
masih ingat kepada nama baik Coan-cin-kau kita?" jengek pula orang kedui
tadi, "Hehe, malam itu di tepi semak bunga mawar di Cong-lam-san, rasa
nikmat naik surga itu .... Wah, hahahaha!" Sampai disini ia hanya
terkekeh2 saja dan tidak melanjutkan.
Siao-liong-Ii tambah kaget
dan sangat curiga, ia pikir apakah mungkin malam itu waktu Ko-ji melaksanakan
cintanya padaku telah dapat diintip oleh kedua Tosu ini?
Dari suara kedua orang itu
Siao-liong-li sudah tahu mereka adalah In Ci-peng dan Tio Ci-keng. Maka diam2
ia mendekati jendela rumah itu dan berjongkok di situ untuk mendengarkan lebih
Ianjut.
Sementara itu suara bicara
kedua orang itu berubah menjadi lirih, tapi jarak Siao-liong-li sekarang sangat
dekat, pendengarannya tajam pula, biarpun kedua orang bisik2 cara bicaranya
juga dapat didengarnya dengan jelas.
Terdengar Ci-peng lagi
berkata: "Tio-suheng, setiap hari siang dan malam kau selalu menyiksa aku,
sebenarnya apa tujuanmu?"
"Kau sendiri paham,
masakah perlu kuterangkan?" jawab Ci-keng.
"Apa yang kau
kehendaki dariku telah kusanggupi aku cuma memohon urusan ini jangan kau sebut
lagi, tapi makin lama makin sering kau mengungkatnya, apakah sengaja hendak
menyiksa aku sampai mati seketika di depanmu sini?"
"Hm, akupun tidak
tahu, yang jelas aku tidak tahan dan harus kuucapkan," jengek Ci-keng
pula.
Mendadak In Ci-peng
perkeras suaranya dan berkata: "Hm, memangnya kau kira aku tidak tahu?
Yang benar kau cemburu, kau cemburu padaku pada saat menikmati surga dunia
itu."
Ucapan Ci-peng ini sangat
aneh, Ci-keng ternyata tidak menjawab seperti hendak mengejek, tapi tak
terucapkan.
Selang sebentar kembali
Ci-peng bicara lagi:
"Ya, memang benar,
malam itu di balik semak2 bunga mawar itu dia tak bisa berkutik karena Hiat-to
tertutuk oleh Auyang Hong sehingga cita2ku dapat terpenuhi. Ya, tidak perlu aku
menyangkal didepanmu, andaikan tak kukatakan padamu juga kau takkan tahu, betul
tidak? Karena sudah terlanjur kuberitahukan padamu, lalu kau terus menerus
menggoda aku dan menyiksa pikiranku. Akan tetapi, akan tetapi aku tidak menyesal,
tidak, sedikitpun tidak menyesal...." sampai akhirnya suaranya berubah
menjadi halus dan lembut se-akan2 orang sedang mengingat.
Sambil mendengarkan hati
Siao-liong-li serasa mendelung ke bawah, otaknya serasa mengingat "Masakah
dia dan bukan Ko-ji yang kucintai itu? Tidak, tidak mungkin pasti Ko-ji adanya,
dia berdusta, dusta!"
Terdengar Ci-keng berkata
pula dengan suara kaku dingin: "Ya, dengan sendirinya kau tidak menyesal
sedikitpun, sebenarnya kau tidak perlu katakan padaku, akan tetapi saking senangnya
karena kau telah melakukan hal itu dan merasa perlu diutarakan pada seseorang.
Nah, karena itu akupun membicarakan hal itu padamu setiap hari, setiap saat aku
mengingatkanmu, tapi mengapa kau menjadi takut mendengarnya?"
Mendadak terdengar suara
"blang-blung" beberapa kali, kiranya Ci-peng mem-bentur2kan kepala
sendiri pada tembok, lalu berkata: "Baiklah, bicaralah, bicara lagi agar
setiap orang di dunia ini tahu semua, akupun tidak takut. .. .tidak...
tidak..."
"O, Tio-suheng, aoa
yang kau inginkan dariku sudah kusanggupi, yang kumohon sukalah kau jangan
mengungkapnya lagi."
Dalam waktu yang singkat
saja ber-turut2 Siao-liong-li mendengar dua pertanyaan yang membuat hancur
hatinya, seketika dia berdiri ter-mangu2 di luar jendela, meski dapat mendengar
jelas pembicaraan Ci-peng dan Ci-keng itu, tapi arti percakapan mereka itu
seketika sukar dipahami.
Sementara terdengar
Ci-keng lagi berkata dengan tertawa: "Orang beragama seperti kita ini
sekali kejeblos harus dapat mengendalikan diri agar bisa kembali kearah yang
terang, bahwa senantiasa aku mengingatkanmu akan nama Siao-liong-li supayai kau
menjadi biasa mendengarnya dan kemudian menjadi jemu, dari jemu menjadi benci,
ini kan maksud baikku untuk menyelamatkanmu dari jalan tersesat."
"Dia adalah jelmaan
bidadari manabisa kujemu dan benci padanya?" ujar Cipeng, Habis ini
mendadak suaranya berubah keras: "Hm, tidak perlu kau bicara muluk2,
pikiranmu yang keji dan berbisa masakah aku tidak tahu? Yang benar adalah kau
iri kepadaku, kedua karena kau dendam pada Nyo Ko, kau ingin mengungkapkan
peristiwa ini untuk menghancurkan kehidupan mereka guru dan murid, menyesal
selama hidup."
Hati Siao-liong-li
berdetak keras demi mendengar nama Nyo Ko disebut, tanpa terasa iapun menggumam
pelahan nama anak muda itu dan timbul semacam perasaan bahagia yang tak
terhingga, dia berharap kedua Tosu akan terus membicarakan si INyo Ko, asal ada
orang menyebut nama anak muda itu maka gembiralan hatinya.
Terdengar Ci-keng juga
perkeras suaranya dan berkata dengan gemas: "Hm, kalau aku tak dapat
membikin anak jadah itu sekarat, hm, rasanya tak terlampias dendamku ini.
Cuma.. cuma..."
"Cuma ilmu silatnya
teramat tinggi dan kita bukan tandingannya begitu bukan?" jengek Ci peng.
"ltuIah belum
pasti," kata Ci - keng. "Sedikit ilmu silat golongannya yang liar itu
kenapa mesti di-herankan? In-sute, boleh kau lihat saja. suatu ketika kalau dia
kepergok olehku, hm, tentu dia akan tahu rasa, tidak nanti kubiarkan dia mati
dengan enak saja, kalau bukan kedua biji matanya tentu akan kukutungi kedua
tangannya agar mati tidak hidup tidak, tatkala mana nonamu si Siao-liong-li itu
boleh menyaksikannya supaya senang hatinya."
Siao-liong-li bergidik
mendengar itu, kalau waktu biasa tentu dia sudah menerjang ke situ dan
menghabisi jiwa kedua orang itu, tapi sekarang pikirannya lagi bingung, kaki
tangan terasa lemas tak bertenaga. .
Sementara itu In Ci-peng
sedang mendengus "Hm, kau cuma mimpi kosong belaka, ilmu silat golongan
kita rasanya sukar menandingi ilmu silat golongan liar macam mereka itu."
"Keparat, kau ada
main dengan Siao-liong-li, lantas ilmu silatnya juga kan puji setinggi
langit," damperat Ci~keng.
Rupanya Ci-peng sudah
kenyang dihina selama ini, sekarang iapun tidak tahan lagi, segera ia balas
membentak: "Apa katamu? Kau punya perasaan tidak, jadi manusia harus tahu
batas2 tertentu."
Ci-keng merasa titik
kelemahan orang sudah tergenggam dalam tangannya, asalkan hal itu di-umumkan di
Tiong-yang-kiong, akibatnya In Ci-peng pasti akan dijatuhi hukuman mati, sebab
itulah dia menghina In Ci-peng dengan segala macam cara dan selama ini Ci-peng
tak berani melawan Sedikitpun.
Tapi sekarang Ci-peng
ternyata berani melawannya dengan kata2 kasar, ia menjadi gusar, mendadak ia
melangkah maju terus menggampar.
Ci-peng tidak menduga sang
Suheng akan meng-hantamnya, cepat ia menunduk, "plok", dengan tepat
kuduknya yang kena tampar.
Betapapun Ci-keng adalah
jago kelas satu dari Coan-cin-kau angkatan ketiga, tentu saja pukulanya itu
cukup berat, tubuh Ci-peng sempoyongan dan hampir jatuh terjerungkup. Saking
gemasnya ia cabut pedang dan balas menusuk.
Tapi Ci-keng sempat
mengegos ke samping dan mengejek: "Bagus, ternyata kau berani bergebrak
dengan aku." Segera iapun mencabut pedangnya dan balas menyerang.
"Setiap hari kau
menyiksa aku, paling2 juga cuma mati, biarlah sekarang kau bunuh aku saja dan
bereslah segalanya," ucap Ci peng dengan geram.
Habis itu ia terus
melancarkan serangan, Dia adalah murid tertua Khu Ju-ki, kepandaiannya dengan
Tio Ci-keng tidak berbeda banyak, apa yang mereka pelajari juga sama, maka
sebenarnya sukar dibedakan unggul dan asot. Tapi lantaran dendamnya sudah
menumpuk, yang diharapkan sekarang biarlah mati bersama saja.
Akan tetapi Ci-keng
mempunyai perhitungan lain, dia tidak mau mencelakai jiwa Ci-peng, sebab itulah
setelah dua-tiga puluh gebrakan, akhirnya Ci-keng sendiri malah terdesak ke
pojok kamar.
Dengan sendirinya suara
pertengkaran kedua Tosu itu segera diketahui anggota Kay-pang yang dinas jaga
dan cepat pula dilaporkan kepada Kwe Hu. Lekas2 nona itu mendatangi tempat itu,
dilihatnya Siao-liong-li berdiri di luar jendela, ia lantas menyapanya:
"Liong-Kokoh!"
Siao liong-Ii berdiri
ter-mangu2 saja di situ seperti tidak mendengar teguran Kwe Hu itu.
Tentu saja Kwe Hu heran,
iapun tidak lantas masuk ke rumah itu melainkan ikut berdiri di situ, maka
terdengarlah suara olok2 dan sindiran kasar Ci keng sambil menangkis serangan
Ci-peng, setiap ucapannya semuanya menyangkut diri Siao-liong-li.
Sebagai nona muda yang
sopan, Kwe Hu merasa tidak pantas berdiri di situ mendengarkan kata2 kotor
kedua orang yang bertempur di dalam rumah itu, segera ia bermaksud tinggal
pergi saja.
Tapi dilihatnya
Siao-liong-li tetap berdiri terkesima, kata2 kotor kedua orang itu se-akan2 tak
dihiraukan-nya sama sekali, Kwe Hu menjadi heran, ia coba tanya dengan suara
pelahan: "Apakah betul apa yang mereka katakan itu?"
"Aku... akupun tidak
tahu." jawab Siao-liong-li dengan bingung, "Tampaknya memang
begitu." .
Seketika timbul perasaan
menghina dalam hati Kwe Hu, ia mendengus sekali terus tinggal pergi tanpa
bicara lagi.
Ci-peng dan Ci-keng
tergolong jago silat pilihan, meski dalam pertempuran sengit selera mereka
mendengar ada suara orang bicara diluar, "Trang" begitu kedua pedang
beradu terus ditariknya kembali bersama dan serentak bertanya: "Siapa
itu?"
"Aku," jawab
Siao-liong-li.
Seketika seluruh badan
Ci-peng merinding, ia menegas dengan suara gemetar "Kau? Kau siapa?"
"Siao-liong-li!"
Begitu nama ini diucapkan,
bukan saja In Ci-peng terkesima seperti patung, bahkan Ci-keng juga kaget
setengah mati dan menggigil ketakutan.
Dengan mata kepala sendiri
Ci-keng menyaksikan betapa Siao-liong-li telah mengobrak-abrik
Tiong-yang-kiong, sampai paman gurunya yang lihay seperti Hek Tay-thong juga
kalah dan hampir saja mati bunuh diri.
Sama sekali ia tak menduga
bahwa Siao-liong-li juga berada di Siangyang, ia pikir ucapannya sendiri tadi
besar kemungkinan telah didengar semua oleh si nona. Seketika ia menjadi
ketakutan setengah mati dan entah cara bagaimana harus melarikan diri.
Perasaan In Ci-peng aneh
luar biasa sehingga tak terpikir olehnya akan menyelamatkan diri, sebaliknya ia
terus membuka daun jendela, Dilihatnya di situ berdiri seorang perempuan jelita
berbaju putih, siapa lagi kalau bukan Siao-liong-li yang dirindukannya siang
dan malam itu.
"Kau....kau"
Ci-peng menegas dengan melongok
"Benar, aku."
jawab Siao-liong-li. "Apa yang kalian katakan tadi apakah betul
seluruhnya?"
"Be.... betul"
Ci-peng mengangguk, "Boleh kau bunuh saja diriku!"
Habis berkata ia terus
menyodorkan pedangnya keluar jendela. Sorot mata Siao-liong li memancarkan
sinar yang aneh, hatinya pedih dan pilu tak terperikan, begitu sedih dan begitu
gemas, rasanya biarpun membunuh seratus orang atau seribu orang juga dirinya
bukan lagi seorang nona yang suci bersih dan tak dapat lagi mencintai Nyo Ko
secara mendalam seperti dahulu.
Ketika Ci-peng menyodorkan
pedangnya, Siao-liong-li tidak menerimanya, ia hanya pandang kedua Tosu itu
dengan bingung.
Ci-keng melihat kesempatan
baik, ia pikir perempuan ini dalam keadaan kurang waras, mungkin sudak gila,
kalau sekarang tidak lekas kabur hendak tunggu kapan lagi? Maka cepat ia tarik
Ci-peng dan berkata dengan menyeringai: "Lekas pergi saja, tampaknya dia
merasa berat untuk membunuh kau-"
Habis berkata ia menarik
Ci-peng sekuatnya dan berlari keluar pintu sana.
Ci-peng menjadi linglung
melihat wajah Siao-liong-Ii, seluruh badan terasa lemas tak bertenaga, karena
tarikan Ci-keng itu ia menjadi ter-huyung2 dan ikut berlari keluar.
Cepat Ci-keng mengeluarkan
Ginkangnya untuk berlari cepat, semula Ci-peng ditarik oteh Ci-keng tapi segera
iapun dapat mengeluarkan Ginkang sendiri. Kedua adalah jagoan Coan-cin-pay
angkatan ke tiga, maka lari mereka ini sungguh cepat melebihi lari kuda, mereka
menyusur kian kemari di jalan2 dalam kota, sebentar saja mereka sudah sampai di
pintu gerbang sebelah timur.
Di pintu gerbang itu ada
penjaga belasan anggota Kay-pang dan dua regu perajurit, anggota Kay-pang yang
menjadi pemimpin kenal pada Ci-keng dan Ci-peng sebagai Tosu dari Coan - cin -
pay, bicara tentang kedudukan kedua Tosu itu terhitung Suheng Kwe Cing, maka
demi mendengar Ci-keng bilang ada urusan penting harus keluar benteng,
kebetulan waktu ku tiada serangan dari pasukan musuh, maka cepat diperintahkan membuka
pintu benteng.
Begitu pintu gerbang baru
terbuka sedikit, cepat sekali Ci-keng lantas melompat keluar disusul oleh
Ci-peng, Selagi orang Kay-pang itu memuji kehebatan Ginkang kedua Tosu itu,
mendadak sesosok bayangan putih berkelebat keluar benteng pula, dengan terkejut
ia membentak: "Siapa itu?"
Namun bayangan orang itu
sudah lenyap, waktu ia melongok keluar benteng, karena fajar baru menyingsing,
belasan meter di depan masih remang2 tertutup oleh kabut, maka tiada sesuatupun
yang kelihatan. Diam2 anggota Kay-pang itu mengomel.
Ia pikir barangkali
matanya sendiri yang mulai lamur sehingga pandangannya kabur.
Ci-keng berdua masih terus
berlari hingga belasan li jauhnya baru berani melambatkan lari mereka.
Dengan kuatir dan
bersyukur pula Ci-keng mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya sambil
menggumam: "Wah, bahaya, sungguh bahaya!"
Tapi waktu ia berpaling ke
belakang, tanpa terasa kakinya menjadi lemas, hampir saja jatuh ter-jungkal.
Kiranya tidak jauh di belakangnya itu sudah berdiri seorang perempuan muda
berbaju putih dan sedang memandangnya dengan melenggong, siapa lagi dia kalau
bukan Siau-liong-li.
Sungguh kaget Ci-keng tak
terperikan, ia menjerit satu kali dan segera menarik tangan Ci-peng untuk
diajak lari pula, Sungguh tak tersangka olehnya bahwa Siao-liong-li yang
dikiranya sudah jauh ditinggalkan di kota Siangyang sana tahu2 masih mengintil
dibelakangnya, cuma cara berjalan nona itu tidak bersuara, meski mengintil
dalam jarak dekat juga tidak diketahuinya.
Sekaligus ia berlari agak
jauh barulah dia coba menoleh ke belakang, dilihatnya Siao-liong li menguntit
di belakang dalam jarak tetap, seperti tadi.
Dengan pikiran bingung dan
takut Ci-keng segera "tancap gas" lebih kencang sambil menyeret
Ci-peng. Dia tidak berani lagi sering2 menoleh, sebab setiap kali memandang
kebelakang, setiap kali pula hatinya bertambah takut, lambat-laun kakinya mulai
lemas, rasanya tangan yang memegangi lengan Ci-peng mulai tak bertenaga lagi.
"ln-sute,"
katanya kemudian, "kalau sekarang dia mau membunuh kita boleh dikatakan
sangat mudah, tapi dia tidak melakukan hal ini, kukira dia pasti mempunyai
maksud tertentu."
"Maksud tertentu
apa?" tanya Ci-peng. . ,
"Kukira dia ingin
menawan kita, lalu membongkar perbuatanmu yang kotor itu di depan para ksatria
agar nama baik Coan-cin-pay akan runtuh habis2an."
Hati Ci-peng terkesiap,
terhadap mati-hidupnya sendiri sebenarnya tak terpikir lagi olehnya, kalau saja
Siao-liong-li akan membunuhnya pasti dia takkan melawan, tapi jika mengenai
nama baik Coan-cin-pay, betapapun ia harus membelanya mati2an, apalagi jika
runtuhnya kehormatan Coan-cin pay itu disebabkan oleh perbuatannya.
Teringat alasan ini dia
menjadi kuatir juga, segera larinya bertambah cepat mendampingi Ci-keng.
Kedua orang berlari ke
daerah yang sunyi dan sukar dicapai orang lain, terkadang mereka menoleh, tapi
Siao-liong-Ii selalu berada dalam jarak puluhan meter di belakang, Dengan
Ginkang Ko-bong-pay yang tiada tandingannya itu, kalau mau sebenarnya dengan
mudah Siao-liong-li dapat melampaui kedua buruannya.
Cuma dia memang masih
polos, jalan pikirannya sederhana, menghadapi persoalan maha besar ini dia
menjadi bingung dan tidak tahu cara bagaimana harus bertindak. Karena itu
terpaksa ia hanya mengintil saja di belakang mereka, selalu dalam jarak itu2
saja tapi juga tidak membiarkan lolosnya kedua orang itu.
Pikiran Ci-peng dan
Ci-keng memangnya sangat bingung, apalagi Siao-liong-li terus menguntit dan
tidak diketahui apa maksud tujuannya, makin dipikir makin takut mereka.
Mereka berlari dari pagi
hingga siang, dari siang hingga sore hari sudah 6-7 jam mereka ber-lari2
kesetanan, betapapun kuatnya tenaga dalam mereka akhirnya juga terempas-empis,
langkahpun mulai sempoyongan dan tidak sanggup berlari cepat lagi.
Dalam pada itu panas matahari
yang menyengat itu telah membuat mereka mandi keringat, malahan juga lapar dan
haus, ketika tiba2 nampak di depan ada sebuah sungai kecil, mereka menjadi
nekat.
Mereka pikir andaikan akan
tertangkap di situ masa-bodohlah, Begitulah mereka terus menjatuhkan diri di
tepi sungai kecil itu dan minum air sekenyangnya.
Dengan pelahan
Siao-liong-li juga mendekati sungai bagian hulu, iapun meraup air untuk
diminum, permukaan air sungai mencerminkan seorang nona jelita berbaju putih
dengan ikal rambut hitam dan wajah cantik molek laksana dewi kahyangan.
Tapi, perasaan
Siao-liong-li serasa hampa, dukanya tidak kepalang sehingga cermin dirinya itu
tidak menariknya melainkan termangu2 saja memandangi bayangan sendiri di dalam
air itu.
Sambil minum air, Ci-keng berdua
senantiasa, melirik Siao- liong li, melihat nona itu ter-mangu2 se-akan2 lupa
daratan pada dunia fana ini, cepat mereka saling memberi i syarat, dengan
pelahan mereka berbangkit dan berjalan ber-jengket2 menjauh ke sana. Beberapa
kali mereka menoleh dan melihat si nona masih termenung memandang air sungai,
segera mereka percepat langkah terus berlari ke depan.
Mereka mengira sekali ini
pasti dapat lolos dari kuntitan Siao-liong-li, siapa duga, ketika kebetulan
Ci-peng berpaling, ternyata si nona sudah mengintil lagi di belakang mereka.
Seketika muka Ci-peng
pucat pasi seperti mayat, serunya: "Sudahlah, sudahlah Tio suheng, kita
toh tak dapat lolos, terserah saja apakah dia akan membunuh atau mencincang
kita." Habis berkata ia terus berhenti dan berdiri di situ.
Ci-keng menjadi gusar dan
membentak: "Kau mati juga pantas, tapi mengapa aku harus mati
bersamamu?" Segera ia tarik tangan sang Sute untuk diajak lari pula.
Akan tetapi Ci-peng sudah
putus asa dan tidak ingin lari lagi, Dasar Ci-keng memang pemberang, tanpa
bicara lagi sebelah tangannya terus menggampar.
"Mengapa kau pukul
aku?" teriak Ci - peng dengan gusar.
Melihat kedua orang itu
saling hantam lagi, Siao-liong-li menjadi heran.
Pada saat itulah dari
depan sana tampak mendatangi dua penunggadg kuda, rupanya dua kurir Mongol yang
bertugas mengirim surat atau berita. pikiran Ci-keng bergerak, dengaa suara
tertahan ia berkata pada Ci-peng: "Mari kita rebut kuda mereka. Kita pura2
berkelahi supaya tidak menimbulkan curiga Siao-liong-li."
Ci-peng-menurut, mereka
pura2 berhantam lagi sambil menggeser ke jalan raya, Karena jalan terhalang,
kedua perajurit MongoI itu menahan kuda mereka sambil mem-bentak2.
Tapi Ci-keng mendadak
melompat ke atas, seorang satu seketika kedua perajurit Mongol itu disodok
terjungkal ke bawah kuda rampasan itulah mereka terus kabur cepat ke utara.
Kedua ekor kuda itu adalah
kuda perang piIihan, perawakannya gagah dan larinya cepat. Waktu mereka
menoleh, ternyata Siao-liong-li tidak mengejar lagi, maka legalah hati mereka.
Mereka terus melarikan kuda ke utara, belasan li kemudian sampailah mereka pada
jalan persimpangan tiga.
"Dia melihat kita
kabur ke utara, sekarang justeru membelok ke timur," kata Ci-keng sambil
membelokkan kuda ke kanan dan diikuti Ci-peng.
Menjelang magrib,
sampailah mereka di suatu kota kecil. Sehari suntuk mereka berlari tanpa
mengisi perut barang sedikitpun, sudah tentu mereka sudah lelah dan lapar.
Segera mereka mencari suatu warung makan dan pesan satu piring daging dan
beberapa bakpau.
Sambil duduk menunggu
daharan, hati Ci-keng masih berdebar-debar mengenang bahaya yang dihadapi nya
tadi, ia tidak tahu mengapa Siao liong-li melulu menguntit saja dan tidak
segera turun tangan.
Dilihatnya Ci-peng juga
duduk menunduk dengan muka pucat dan seperti orang linglung.
Tidak lama makanan yang
dipesan telah disuguhkan, segera mereka makan minum. Belum seberapa lama, tiba2
terdengar suara ribut di luar, seorang sedang mem-bentak2 dan bertanya
"Siapa pemilik kedua ekor kuda ini? Mengapa berada di sini?" Dari
logat suaranya agaknya orang Mongol.
Ci-keng berdiri dan
mendekati pintu, dilihatnya seorang perwira Mongol dengan beberapa anak buah
sedang bertanya mengenai kedua ekor kuda rampasan Ci-keng berdua itu, pelayan
rumah makan tampak ketakutan dan menyembah.
Lantaran seharian diuber
Siao-liong-li dan rasa dongkol Ci-keng belum terlampiaskan kini ada orang
mencari gara2, segera ia tampil ke muka dan berteriak: "Kudaku, ada
apa?"
"Dapat
darimana?" tanya perwira itu. "milikku sendiri, peduIi apa dengan
mu?" jawab Ci-keng.
Tatkala mana di utara
Siangyang sudah berada dalam pendudukan pasukan Mongol, rakyat Song hidup di
bawah penindasan secara kejam, mana ada orang berani bersikap kasar terhadap
perwira Mongol?
Tapi lantaran melihat
perawakan Ci-keng gagah dan kuat, membawa pedang pula, diam2 perwira itu rada
jeri, ia lantas tanya pula: "Kau dapat beli atau mencuri?"
"Beli atau mencuri
apa?" jawab Ci-keng dengan gusar. "Kuda ini adalah piaraanku
sendiri."
"Tangkap"
mendadak perwira itu memberi aba2. serentak beberapa perajurit itu mengerubut
maju dengan senjata terhunus.
"Hm, berdasarkan apa
kalian menangkap orang." bentak Ci keng sambit meraba pedangnya.
"Berani kau melawan,
maling kuda?" jengek perwira Mongol itu. "Haha, barangkali kau sudah
makan hati macan, maka berani melawan perwira markas besar? Hayo kau mengaku
mencuri tidak?" ~- Berbareng ia menyingkap bulu paha belakang kuda hingga
kelihatan cap bakar dua huruf Mongol.
Rupanya setiap kuda perang
Mongol pasti di tandai dengan cap bakar untuk menjelaskan kuda itu termasuk
pasukan dan kelompok mana, Ci-keng merampas kuda itu di tengah jalan, sudah
tentu ia tidak tahu seluk-beluk tanda cap bakar sega!a.
Karena itu ia menjadi tak
bisa menjawab. Tapi dia sengaja berdebat secara ngotot: "Siapa bilang kuda
perang Mongol? Di tempat kami banyak juga kuda yatg kami beri cap bakar seperti
ini? Memangnya tidak boleh dan melanggar aturan?"
"Perwira itu menjadi
gusar, belum pernah ada orang yang berani membantah padanya, masakah sekarang
ada maling kuda yang malah menantang-nya. Segera ia melangkah maju terus hendak
mencengkeram baju dada Ci-keng.
Akan tetapi tangan kiri
Ci-keng menagkis dan membalik, tangan perwira itu berbalik kena dipegangnya.
Menyusul tangan kanan Ci-keng terus mencengkram punggung perwira itu dan
diangkat ke atas, setelah diputar beberapa kali terus dilemparkan
Tanpa ampun -perwira itu
terbanting ke dalam sebuah toko barang pecah belah, seketika terdengarlah suara
gemerantang nyaring ber-turut2, rak mangkok piring dan barang2 porselin lain
sama roboh dan hancur berantakan...
Muka perwira itupun babak
belur terluka oleh pecahan beling serta tertindih oleh rak yang ambruk.
Cepat para perajurit
Mongol memberi pertolongan sehingga lupa menangkap orang.
Ci-keng ter-bahak2 gembira
dan masuk kembali ke warung makan untuk meneruskan daharannya tadi.
Karena ribut2 itu, toko2
yang tadinya buka dasar seketika sama tutup pintu. Tetamu yang sedang makan
diwarung itupun segera buyar. Maka jumlah tentara Mongol terkenal ganas dan
kejam, tapi sekarang ada orang Han memukuli perwira Mongol, maka akibatnya
dapatlah dibayangkan, bukan mustahil seluruh kota akan dibumi-hanguskan.
Belum banyak Ci-keng
mengisi perutnya, tiba2 kuasa rumah makan itu mendekatinya dan berlutut di
depannya. Ci-keng tahu maksud orang, pasti kuatir perusahaannya ikut terkena
getahnya, maka minta penyelesaian se-baik2nya.
Dengah tertawa ia lantas
berkata: "jangan kuatir kau, setelah makan kenyang segera kami angkat kaki
dari sini."
Tapi kuasa rumah makan itu
tetap menyembah dengan muka pucat.
Ci-peng lantas berkata
kepada Ci-keng: "Rupanya dia takut bila kita pergi, sebentar lagi pasukan
Mongol akan datang minta pertanggungan jawabnya."
Ia memang lebih cerdik
daripada Ci-keng, setelah berpikir sejenak," segera ia berkata pula kepada
kuasa rumah makan itu. "Lekas ambilkan lagi dataran yang lezat, apa yang
telah kami perbuat, adalah tanggung jawab kami sendiri, kenapa mesti
takut?"
Kuasa rumah makan itu
mengiakan dengan girang, cepat ia merangkak bangun dan memerintahkan daharan
ditambah dan membawakan arak pula.
Sementara itu perwira
Mongol yang babak belur itu telah dibangunkan anak buahnya dan dibawa pergi.
Dengan tertawa Ci-keng berkata kepada Ci-peng: "ln-sute, sudah seharian
kita kenyang tersiksa, sebentar biarlah kita labrak mereka sepuasnya."
Ci-peng hanya mendengus
saja tanpa menanggapi sementara itu pelayan sibuk membawakan daharan, Sesudah
makan lagi sekadarnya, mendadak Ci-peng berbangkit, pelayan yang ladeni
disebelah-nya dihantamnya hingga terjungkal.
Keruan si kuasa rumah
makan kaget, cepat ia mendekati dan minta maaf bila ada kesalahan pelayanan
Tapi kaki Ci-peng lantas melayang pula, dengan tepat dengkul kuasa rumah makan
itu didepak sehingga jatuh terguling.
Ci-keng tidak tahu maksud
tujuan sang Sute, disangkanya rasa dongkol Ci-peng itu sengaja dilampiaskan
atas diri si pelayan. Ja berusaha mencegahnya tapi mendadak Ci-peng
mendomplangkan meja yang penuh mangkok piring makanan itu, menyusul dua orang
pelayan dipukul roboh lagi.
Cara memukul Ci-peng itu
disertai dengan tutukan Hiat-to, maka setelah jatuh, orang2 itu sama tergeletak
tak bisa berkutik. Habis "ngamuk", Ci-peng kebut2 baju sendiri, lalu
berkata: "sebentar kalau pasukan Mongol datang dan melihat kalian ku
labrak sedemikian rupa, tentu kalian takkan di-marahi, Nah, paham tidak? Kalau
perlu kalian boleh saling hantam lagi agar kelihatan lebih babak belur."
Baru sekarang orang2 itu
mengerti apa maksud tujuan Ci-peng memukuli mereka, setelah menyatakan akal
bagus. segera mereka saling hantam pula hingga baju robek dan hidung bengkak.
Pada saat itulah terdengar
suara derapan kaki kuda, ada beberapa orang mendatang pula, serentak orang2
rumah makan itu sama merebabkan diri sambil berteriak mengaduh kesakitan serta
minta ampun segala.
Setiba di depan rumah
makan itu, benar juga penunggang2 kuda itu lantas berhenti dan masuklah empat
perwira Mongol, dibelakangnya ikut pula seorang paderi Tibet yang bertubuh
tinggi kurus dan seorang asing yang pendek dan hitam, orang asing itu sudah
buntung kedua kakinya, kedua tangan memegang tongkat penyanggah ketiak.
Melihat keadaan rumah
makan yang porak poranda itu, para perwira Mongol itu sambil me-ngerut kering,
segera pula mereka membentak: "Lekas bawakan santapan enak, kami buru2 mau
berangkat lagi!"
Kuasa rumah makan tadi
melengak, baru sekarang ia tahu rombongan ini bukanlah kawan rombongan pertama
tadi, ia menjadi bingung, kalau perwira Mongol yang dilabrak In Ci-peng tadi
datang kembali, lalu cara bagaimana akan menghadapinya?
Tengah sangsi, perwira2
Mongol itu menjadi tidak sabar dan menyabetkan cambuk kudanya, Kuasa rumah
makan itu terpaksa mengiakan dengan menahan rasa sakit, celakanya dia tak dapat
bangun, syukur ada pegawai lain telah melayani kawanan Mongol itu dan
mengaturkan meja kursi.
Paderi Tibet itu bukan
lain daripada Kim-lun Hoat-ong dan orang asing hitam pendek dan kaki buntung
itu adalah Nimo Singh. Mereka merawai diri beberapa hari di lembah sunyi itu.
sesudah Hoat-ong mengeluarkan sisa racun dalam tubuh dan luka kaki Nimo Singh mulai
sembuh barulah mereka meninggalkan lembah itu serta bertemu dengan perwira2
Mongol itu di tengah jalan, lalu bersama2 pulang ke markas besar Kubilai.
Tentu saja Ci-peng dan
Ci-keng terkejut melihat datangnya Kim-lun Hoat-ong, mereka sudah pernah menyaksikan
kelihayan paderi Tibet itu, malahan kedua muridnya saja, yaitu Darba dan Hotu
yang dulu pernah menyatroni Tiong-yang-kiong, sukar ditandingi tokoh2
Coan-cin-pay, apalagi sekarang kepergok Kim-lun Hoat-ong sendiri, diam2 mereka
kebat-kebit. Mereka saling memberi tanda dan segera mencari jalan buat
meloloskan diri.
Meski Ci-keng berdua kenal
Kim-lun Hoat-ong, sebaliknya Hoat-ong tidak kenal kedua Tosu itu, Walaupun
keadaan rumah makan itu berantakan, namun suasana perang tatkala itu tidak
membuatnya heran jika menyaksikan keadaan rusak itu.
Karena kepergiannya ke
Siangyang sekali ini mengalami kekalahan, ia merasa malu bila nanti bertemu
dengan Kubilai, maka yang dia pikirkan sekarang adalah cara bagaimana harus
bicara kepada tuannya itu, sehingga kehadiran dua orang Tosu di rumah makan ini
tidak digubris olehnya.
Pada saat itu tiba2
terjadi kegaduhan di luar rumah makan. sekawanan perajurit Mongol menerjang
masuk, begitu melihat Ci-keng berdua, sambil mem-bentak2 terus hendak
menangkapnya.
"Lari melalui pintu
belakang". demikian kata Ci-peng dengan suara tertahan kepada Ci-keng
sembari mendomplangkan sebuah meja sehingga mangkuk piring berserakan di
lantai, berbareng mereka terus melompat menuju ke pintu belakang.
Sebab Kim-lun Hoat-ong
duduk dekat pintu depan, kalau lari lewat di sebelahnya bisa jadi dia akan
mengalangi mereka.
Ketika hampir menuju ke
ruangan belakang, sekilas Ci-peng menoleh dan melihat Hoat-ong masih asyik
minum tanpa gubris kekacauan di rumah makan itu, diam2 ia tergirang, asalkan
paderi itu tidak ikut campur tentu tidak sukar untuk kabur.
Tak terduga mendadak
sesosok bayangan melayang tiba, orang cebol buntung tahu2 melompat ke sana,
sebelah tongkatnya lantas menghantam sekaligus Ci-peng dan Ci-keng.
Sudah tentu Ci-pehg berdua
belum kenal siapa Nimo Singh, cepat mereka mengelak. Heran juga Nimo Singh
karena serangannya tidak mengenai sasarannya, ia merasa kedua Tosu ini ternyata
bukan jago Iemah.
Segera kedua tongkatnya
bergantian yang satu dibuat menyanggah tubuh dan yang lain digunakan menyerang,
dari bagian luar ia terus desak mundur Ci-peng berdua dan dengan sendirinya:
Ci-peng berdua balas menyerang dan berusaha meloloskan diri.
Meski kepandaian Nimo
Singh lebih tinggi dari pada Ci-peng berdua, tapi lantaran kedua kakinya
buntung belum lama, tenaganya belum pulih seluruhnya, apalagi belum biasa
memakai tongkat begitu, lama2 ia sendiri menjadi kewalahan dikerubuti Ci-peng
dan Ci-keng.
Melihat kawannya rada
kerepotan, pelahan Hoat-ong mendekati mereka, ketika pedang Ci-keng menusuk
dada Nimo Singh dan orang Keling ini menangkisnya dengan tongkat, namun pedang
Ci-peng sekaligus juga mengancam iga kanan Singh yang tak terjaga, kalau tidak
ingin tertembus perutnya terpaksa Nimo Singh harus melompat ke samping.
Ketika Hoat-ong melangkah
tiba, kebetulan Nimo Singh melompat ke atas, maka tangan kiri Hoat-ong lantas
digunakan mendukung bokong Nimo Singh dan memondongnya, sedang tangan kanan
memegangi lengannya. Saat itu tongkatnya masih menempel pedang Ci-keng, ketika
Hoat-ong menyalurkan tenaga dalamnya melalui tongkat Nimo Singh, seketika
Ci-keng merasa tangan kanan tergetar dan dada terasa sesak. "trang",
pedang terpaksa dilepaskan dan jatun ke lantai.
Meski tenaganya belum
cukup kuat, namun perubahan serangan Nimo Singh sangat cepat begitu pedang
Ci-keng jatuh, segera ia memutar tongkatnya dan menempel pula pedang Ci-peng.
Ketika Hoat-ong menyalurkan lagi tenaga dalamnya, sekuatnya Ci-peng juga
melawan tenaga dalam, akan tetapi cara menguasai tenaga dalam Kim-lun Hoat-ong
memang luar biasa bisa keras bisa lunak, "krek", tahu2 pedang Ci-peng
juga patah, yang terpegang-olehnya hanya setengah potong pedang saja.
Dengan pelahan Hoat-ong
menurunkan Nimo Singh, begitu kedua tangannya meraih, tahu2 pundak kedua Tosu
sudah terpegang olehnya, katanya dengan tertawa: "Kita belum pernah kenal,
kenapa saling labrak? Kepadaian kalian boleh dikatakan Jagopedang kelas satu di
sini, Bagaimana kalau duduk dulu dan marilah omong2."
Cara memegang Hoat-ong itu
biasa saja, tapi ternyata sukar dielakkan Ci-peng berdua, mereka merasa
ditindih oleh tenaga maha kuat cepat mereka mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan dan tidak berani menjawab.
Sementara itu pasukan
Mongol yang menerjang masuk itu telah mengepung semua orang, perwira yang
memimpin adalah seorang Cian-hu-tiang komandan seribu orang, dia kenal Kim-Iun
Hoat-ong sebagai Koksu atau Imam Negara yang sangat dihormati pangeran Kubilai,
cepat ia mendekati dan memberi hormat sambil menyapa: "Koksuya, kedua Tosu
ini mencuri kuda perang dan memukul anggota tentara kita, harap Koksuya
suka..." sampai di sinj, tiba2 ia mengamat-amati In Ci-peng, lalu berkata
mendadak: "Hei, bukankah engkau ini In Ci-peng, In-totiang?"
Ci-peng mengangguk dan
tidak menjawab, ia merasa tidak kenal perwira Mongol yang menegurnya ini.
Pegangan Hoat-ong lantas
dikendurkan, diam2 iapun mengakui Lwekang kedua Tosu itu ternyata cukup hebat
meski usia mereka rata2 baru 40-an.
Perwira Mongol itu lantas
berkata pula dengan tertawa: "Apakah In-totiang sudah pangling padaku? 19
tahun yang lalu kita pernah berkumpul di gurun pasir sana dan makan panggang
kambing, masakah sudah lupa, Namaku Sato!"
Setelah mengamati dan
mengingat sejenak, Ci-peng menjadi girang dan berseru: "Aha, betul, betul!
sekarang kau berewok lebat sehingga aku pangling padamu."
"Selama ini kami
terus berjuang kian kemari sehingga rambut dan jenggot juga putih semua, tapi
wajah Totiang ternyata tidak banyak berubah," ujar Sato dengan tertawa,
"Pantas Jengis Khan Agung kami mengatakan kaum beragama seperti kalian ini
hidup laksana malaikat dewata,"
Lalu ia berpaling kepada
Hoat-ong dan menutur: "Koksuya, In-totiang ini dahulu pernah berkunjung ke
negeri kami atas undangan Jengis Khan Agung kita, kalau dibicarakan kita adalah
orang sendiri"
Hoat-ong manggut2, lalu
melepaskan pundak Ci-peng berdua.
Supaya diketahui, dahulu
waktu Jengis Khan mulai jaya, dia pernah mengundang kaum Tosu dari Coan-cinkau
ke Mongol agar mengajarkan ilmu panjang umur kepadanya. Untuk itu Khu Ju-ki
telah berangkat ke sana dengan membawa 18 anak muridnya, In Ci-peng adalah
murid tertua dengan sendirinya ia ikut serta.
Untuk mereka, Jengis Khan
telah mengutus 200 perajurit sebagai pengawal rombongan Khu Ju-ki itu, tatkala
mana Sato cuma seorang perajurit biasa saja dan termasuk dalam pasukan pengawal
itu, sebab itulah dia kenal In Ci-peng.
Selama 20 tahun Sato terus
naik pangkat hingga menjadi Cian-hu-tiang dan secara kebetulan bertemu kembali
dengan Ci-peng, tentu saja ia sangat gembira, segera ia suruh menyediakan
makanan untuk menghormati Ci-peng, urusan kuda dan memukuli perajurit Mongol
dengan sendirinya tak diusut pula.
Kim-Iun Hoat-ong juga
pernah mendengar nama Khu Ju-ki dan mengetahui dia adalah tokoh nomor satu
Coan-cin-pay, sekarang dilihatnya kepandaian Ci-peng berdua juga tidak lemah,
diam2 ia mengakui ilmu pedang dan Lwekang Coan-cin-pay memang lihay.
Dalam pada itu Sato sibuk
menanyai Ci-peng tentang kesehatan ke-18 murid Coan-cin-kau yang lain, bicara
kejadian dimasa lalu, Sato menjadi bersemangat dan sangat gembira,
Pada saat itulah tiba2
masuk seorang perempuan muda berbaju putih. serentak Hoat-ong, Nimo Singh,
Ci-peng dan Ci-keng sama terkesiap, Ternyata pendatang ini adalah
Siao-liong-Ii.
Diantara orang2 itu hanya
Nimo Singh yang tidak punya rasa dendam, segera ia menegur. "Hai,
pengantin perempuan Cui-sian-kok, baik2 ya kau?"
Siao-liong-li hanya
mengangguk saja tanpa menjawab, ia pilih meja dipojok sana dan berduduk tanpa
gubris orang lain, ia memberi pesan seperlunya kepada pelayan agar membuatkan
santapan.
Air muka Ci-peng berdua
menjadi pucat dan hati berdebar, Hoat-ong juga kuatir kalau segera Nyo Ko
menyusul tiba, selamanya dia tidak gentar apapun kecuali permainan ganda ilmu
pedang Nyo Ko dan Siao-liong-li.
Begitulah ketiga orang
sama memikirkan urusan sendiri dan tidak bicara lagi melainkan makan saja,
Ci-peng berdua sebenarnya sudah kenyang makan, tapi kalau mendadak terdiam bisa
jadi akan menimbulkan curiga orang lain, terpaksa mereka makan lagi tanpa
berhenti agar mulut tidak mengangur.
Hanya Sato saja yang tetap
gembira ria, ia tanya Ci-peng : "ln-totiang, apakah engkau pernah bertemu
dengan Pangeran kami?"
Ci-peng hanya menggeleng
saja tanpa bicara. Sato lantas menyambung: "Wah, pangeran kita ini sungguh
pintar dan bijaksana, beliau adalah putera keempat pangeran Tulai, setiap
perajurit sayang padanya, sekarang aku hendak menghadap beliau memberi laporan
keadaan, kalau kedua Totiang tiada urusan lain, bagaimana kalau ikut serta
menghadap beliau?"
Ci-peng sedang bingung,
maka tanpa pikir ia menggeleng pula, Tapi pikiran Ci~keng lantas tergerak ia
tanya Hoat-ong: "Apakah Taysu juga hendak menghadap Ongya?"
"Ya," jawab
Hoat-ong "Pangcran Kubilai adalah pahlawan yang tiada bandingannya di
jaman ini, kalian harus berkunjung dan berkenalan dengan beliau."
"Baiklah," cepat
Ci-keng menanggapi "Kami akan ikut Taysu dan Sato-ciangkun ke sana."
~ Habis ini kakinya menyenggol pelahan kaki Ci-peng serta mengedipinya.
Sebenarnya Ci-peng
terlebih cerdik daripada Ci-keng, cuma saja begitu melihat Siao-liong-li seketika
ia menjadi linglung, Selang sejenak barulah dia ingat apa maksud tujuan Ci-keng
itu, rupanya ingin meloloskan diri dari kejaran Siao liong-li dengan bernaung
di bawah lindungan Kim-lun Hoat-ong.
Begitulah setelah makan,
ber-turut2 semua orang lantas berangkat. Diam2 Hoat-ong merasa lega karena
selama ini Nyo Ko tidak kelihatan muncul, pikirnya: "Coan-cin-kau adalah
suatu sekte agama berpengaruh di Tionggoan, kalau saja dapat dirangkul tentu
akan banyak bermanfaat bagi pihak Mongol. Apalagi tujuannya ke Siangyang telah
mengalami kegagalan total, kalau dapat mengajak pulang kedua Tosu Coau-cin-kau
ini kan juga suatu jasa besar."
Sementara itu hari sudah
mulai gelap, mereka terus melarikan kuda dengan cepat, ketika di belakang
terdengar pula derapan kaki binatang, Ci-keng menoleh dan samar2 kelihatan
Siao-liong-li masih mengikuti dari jauh dengan menunggang seekor keledai.
Kim-luo Hoat-ong juga
merinding setelah mengetahui Siao-liong-li membuntuti mereka, Diam2 iapun heran
mengapa Siao-liong-li berani mengikutinya sendirian, padahal satu-lawan-satu
jelas nona itu pasti bukan tandinganku, jangan2 dia membawa bala bantuan secara
tersembunyi?
Demikianlah Kim-lun
Hoat-ong menjadi sangsi, padahal kalau sekarang dia berani menyongsong
kedatangan Siao-liong-li dan melabraknya, tentu nona itu akan celaka, kalau
tidak terbunuh juga tertawan, Tapi Hoat-ong baru saja berkenalan dengan Ci-peng
berdua dari Coan~ cin-pay, ia menjadi kuatir kalau kebetulan kecundang, hal ini
tentu akan menurunkan pamornya, sebab itulah dia lebih suka cari selamat dan
pura2 tidak tahu penguntitan Siao-liong-li.
Setelah menempuh
perjalanan setengah malaman, sampai di suatu hutan, Sato memerintahkan pasukan
berhenti mengaso, Masing2 duduk istirahat di bawah pohon, kelihatan Siao-liong-li
juga turun dari keledainya dan duduk di sana dalam jarak beberapa puluh meter
jauhnya.
Semakin misterius
gerak-gerik si nona, semakin menimbulkan curiga Kim-lun Hoat-ong dan tidak
berani sembarangan bertindak
Yang paling ketakutan
tentu saja, In Ci-peng, memandang saja dia tidak berani: sesudah cukup mengaso,
kemudian pasukan berangkat lagi, setelah jauh meninggalkan hutan itu, terdengar
suara "keteplak-keteplak" yang samar2, ternyata Siao-liong~li tetap
menguntit di belakang dengan keledainya.
Sampai pagi mendatang,
Siao-liong-li tetap mengintil di belakang dalam jarak itu2 juga.
Sementara itu rombongan
mereka sampai di suatu tanah datar yang luas, sepanjang mata memandang tiada
menampak suatu bayangan apapun. Diam2 timbul pikiran jahat Kim-lun Hoat-ong, ia
membatin: "Sejak kudatang ke Tionggoan belum pernah ketemu tandingan, tapi
akhir2 ini ber-turut2 dikalahkan oleh ilmu pedang gabungan Nyo-Ko dan nona ini.
sekarang dia terus membuntuti aku, tentu dia mempunyai maksud buruk, sebelum
dia bertindak, kenapa tidak kubinasakan dia dahulu secara tak terduga olehnya,
seumpama nanti bala bantuannya tiba tentu juga tidak keburu menoIongnya. Dan
jika nona ini sudah mati, di dunia ini tiada orang lain lagi yang mampu
melebihi aku."
Setelah ambil keputusan
itu, baru saja dia mau menahan kudanya untuk menantikan datangnya
Siao-liong-li, tiba2 dari depaa ada suara gemuruh datangnya serombongan orang
disertai debu mengepul dan suara keleningan kuda atau unta.
"Wah, terlambat jika
tahu bala bantuannya akan datang sekarang, tentu sejak tadi kubinasakan
dia," demikian Hoat-ong membatin karena tidak sempat lagi menindak
Siao-liong-li.
Pada saat lain tiba2
terdengar Sato berseru menyatakan herannya, Waktu Hoat-ong melongok jauh ke
sana, terlihat rombongan yang datang itu sangat aneh, seluruhnya empat ekor
unta tanpa penunggang, pada punggung unta pertama di sisi kanan terpancang
sebuah bendera besar, ujung tiang bendera itu ikut berkibaran pula tujuh ikat
bulu putih, itulah panji pengenal Kubilai.
"Barangkali Ongya
yang datang?" guman Sato sambil keprak kudanya menyongsong ke depan, Kira2
beberapa puluh meter dari rombongan unta itu. Sato lantas turun dari kudanya
dan berdiri di tepi jalan dengan hormat.
Kim-lun Hoat-ong merasa
tidak leluasa lagi untuk membunuh Siao-liong-li jika betul Kubilai yang datang,
ia ingin menjaga harga diri, sebab kalau sampai dilihat Kubilai bahwa dia
membunuh seorang perempuan muda, tentu dia akan dipandang hina.
Sementara itu keempat unta
tadi masih terus berlari cepat mendatangi tapi Hoat-ong tidak turun dari
kudanya melainkan pelahan2 memapak kedepan. Terlihat di antara tempat luang
keempat ekor unta itUi ada berduduk seorang secara terapung, orang itu
berjenggot dan beralis putih dengan wajah selalu tersenyum, kiranya adalah Ciu
Pek-thong yang baru mengacaukan Cui-sian-kok itu.
Terdengar Ciu Pek-thong
berteriak dari jauh: "Bagus, bagus! Hwesio gede dan si cebol hitam, kita
berjumpa kembali di sini, ada lagi nona cilik yang cantik molek itu!"
Hoat-ong sangat heran, ia
tidak mengerti mengapa Cui Pek-thong bisa duduk terapung di tengah2 keempat
unta itu. Tapi sesudah dekat barulah dia tahu duduknya perkara, kiranya di
antara unta2 itu terbentang beberapa utas tali yang ujungnya terikat pada punuk
tiap2 unta dan di tengah - tengah persilangan tali itulah Ciu Pek-thong
berduduk.
Ciu Pek-thong adalah Sute
cikal-bakal Coan-cin-kau, yaitu Ong Tiong-yang yang pernah menjalin cinta
dengan nenek guru Siao-liong-li, bicara tentang kedudukan di Coan-cin-kau
sekarang dialah paling top, tapi selangkahpun dia tidak pernah menginjak
Tiong-yang-kiong dan jarang pula berhubungan dengan Ma Giok, Khu Ju-ki dan
lain2, sebab itulah Ci-peng dan Ci-keng tidak mengenalnya.
Meski, mereka pernah
mendengar cerita dari guru masing2 bahwa mereka mempunyai seorang Susiokco
(kakek guru muda), tapi sudah lama tidak ada kabar beritanya, besar kemungkinan
sudah meninggal dunia, maka sekarang merekapun tidak menduga bahwa tokoh aneh
ini adalah sang Susiokco yang maha sakti itu.
BegituIah Hoat-ong
mengernyitkan dahinya melihat kelakuan Ciu Pek-thong itu, ia pikir ilmu silat
orang ini teramat tinggi dan sukar dilawan, ia coba menanyainya: "Apakah
Ongya berada di belakang sana?"
"Kira2 40 li
dibelakang sana adalah perkemahannya," jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa
sambil menuding ke belakang "Eh, Toa-hwesio, kunasehati kau sebaiknya kau
jangan pergi ke sana,"
"Sebab apa?"
tanya Hoat-ong heran, "Sebab dia sedang marah2. jika kau ke sana, mungkin
kepalamu yang gundul itu akan dipenggal olehnya," ujar Pek thong.
"Ngaco-balo!"
omel Hoat-ong dengan mendongkoI. "Sebab apa Ongya marah?"
Sambil menuding panji
tanda pengenal Kubilai itu, Pek-thong berkata dengan tertawa: "Lihat ini,
panji kebesaran Ongyamu ini kena kucuri, mustahil dia tidak marah2 ya"
Hoat-ong meIengak, diam2
iapun percaya apa yang dikatakan itu, ia yakin Ciu Pek-thong pasti tidak
berdusta, Segera ia tanya pula: "Untuk apa kau mencuri panji kebesaran
Ongya?"
"Kau kenal Kwe Cing
bukan?" tanya Pek-thong
"Ya, ada apa?"
Hoat-ong mengangguk.
"Dia adalah saudara
mudaku." tutur Pek thong dengannya sudah belasan tahun kami tidak bertemu,
aku sangat kangen padanya, maka aku buru2 hendak menjenguk kesana. Kudengar dia
sedang berperang dengan orang Mongol di Siang-yang, maka aku sengaja mencuri
panji kebesaran pangeran Mongol ini sebagai kado untuk saudara-angkatku
itu."
Hoat-ong kaget. ia pikir
urusan bisa celaka, sedang Siangyang belum dapat dibobol, sekarang panji
kebesaran panglimanya direbut musuh, hal ini teramat memalukan. "Hm ia
harus mencari akal untuk merampas kembali panji ini."
Mendadak terdengar Ciu
Pek-thong membentak, empat ekor unta itu terus bergerak dan berbondong2 berlari
ke sana, setelah mengitar satu lingkaran, lalu berlari kembali, panji besar itu
berkibar tertiup angin Ciu Pek-thong berdiri menegak di tengah persilangan
tali, dengan tangan memegang tali kendali keempat unta, lagaknya seperti
panglima besar saja, dengan ber-seri2 ia melarikan kawanan unta itu, sesudah
dekat, "tarrr", cambuknya berbunyi dan serentak unta2 itu lantas
berhenti, entah dengan cara bagaimana Ciu Pek-thong ternyata dapat
mengendalikan unta2 itu dengan sangat penurut
"Toa-hwesio, bagus
tidak barisan unta pimpinanku ini?" tanya Pek-thong dengan tertawa.
"Bagus sekali!"
jawab Hoat-ong sambil mengacungkan ibu jarinya, tapi diam2 ia sedang memikirkan
cara bagaimana merebut kembali panji itu.
Tiba2 Ciu Pek-thong
mengangkat tangannya dan berseru: "Toahwesio, nona cilik, Lo wan-tong mau
berangkat!"
Mendengar sebutan
"Lo-wan-tong" itu, serentak Ci-peng dan Ci-keng berseru:
"Susiokco!" - Berbareng merekapun melompat turun dari kudanya.
"Apakah ini
Ciu-locianpwe dari Coan-cin-pay?" tanya Ci-peng.
Biji mata Ciu Pek-thong4
tampak ber-putar2, lalu menjawab: "Hm, ada apa? Kalian ini anak murid
"hidung kerbau" yang mana?"
Dengan hormat Ci-peng
menjawab: "Tio Ci-keng adalah murid Giok-yang-cu Ong-totiang dan Tecu
sendiri In Ci-peng murid Tiang-jun-cu Khu-totiang."
"Huh, Tosu kecil
Coan-cin-kau makin lama makin tidak keruan, tampaknya kalian juga tidak
becus," dengus Pek-thong, mendadak kedua kakinya memancal ke depan,
sepasang sepatunya terus me-nyamber ke muka Ci-peng berdua.
Ci-keng terkejut, cepat ia
hendak menangkapnya. Tapi Ci-peng sudah yakin orang tua ini pasti Ciu Pek-thong
adanya, ia pikir kalau Susiokco mau memberi hukuman, betapapun tidak boleh
menghindar apalagi tenaga samberan sepatu itu tampaknya juga tidak keras, kalau
kena rasanya tidak terlalu sakit, karena itulah ia tidak ambil pusing samberan
sepatu dan tetap memberi hormat.
Di luar dugaan, ketika
sepatu itu menyamber sampai di degan muka Ci peng berdua, se-konyong2 dapat
memutar balik. Tangan Ci-keng menangkap tempat kosong, sementara itu kedua buah
sepatu telah masuk kembali ke kaki Ciu Pek-thong.
Meski perbuatan Ciu
Pek-thong itu lebih menyerupai permainan jahil, tapi kalau tidak memiliki
tenaga dalam yang maha sakti pasti tidak dapat melakukannya. Kim-lun Hoat-ong
dan Nimo Singh sudah pernah menyaksikan Anak Tua Nakal itu mempermainkan orang
di kemah Kubilai dengan pura2 menimpukkan ujung tumbak, maka mereka tidak
merasa heran, sebab dasarnya sama saja seperti permainan sepatu terbang ini.
Akan tetapi Ci-keng
menjadi amat kaget tak terhingga, dengan kepandaiannya sekarang, betapapun
lawan menyerangnya dengan senjata rahasia juga pasti dapat ditangkapnya tanpa
meleset, siapa tahu sebuah sepatu butut yang tampaknya menyamber tiba dengan
pelahan itu ternyata takdapat ditangkapnya, Keruan ia tidak berani ragu lagi,
segera ia ikut menyembah dan memperkenalkan namanya.
"Hahaha," Ciu
Pek-thong tertawa, "Penilaian Khu Ju-ki dan Ong Ju-it sungguh rendah,
mengapa menerima murid2 tak becus begini? Sudahlah, siapa minta disembah
kalian?" - Habis ini mendadak ia membentak: "Serbu!" - serentak
keempat ekor unta terus membedal cepat ke depan.
Namun secepat burung terbang
Hoat-ong lantas melayang ke sana dan mengadang di depan kawanan unta sambil
berseru: "Nanti dulu!" Kedua tangannya menahan di batok kepala dua
ekor unta yang di depan, seketika pula unta2 yang sedang berlari itu dapat
dihentikan dan bahkan didorong mundur beberapa langkah.
Ciu Pek-thong menjadi
gusar, teriaknya: "Toa-hwesio, apakah kau mengajak berkelahi? Sudah
belasan tahun Lo-wan-tong tidak menemukan tandingan kepalanku memang sedang
gatal, marilah kita coba2 beberapa jurus!"
Sifat Ciu Pek-thong memang
keranjingan ilmu silat, semakin tua bukannya semakin loyo, tapi kepandaiannya
semakin tinggi sehingga tiada seorangpun yang berani bergebrak dengan dia. Tapi
iapun tahu ilmu silat Kim-lun Hoat-ong cukup lihay dan dapat diajak berkelahi
maka segera ia gosok kepalan dan ingin bergebrak
Namun Hoat-ong
meng-goyang2 tangannya dan berkata: "Tidak, selamanya aku tidak sudi
bergebrak dengan manusia tidak tahu malu, kalau kau memaksa, silakankau pukul
saja dan pasti takkan kubalas."
Tentu saja Pek-thong menjadi
gusar, damperat-nya: "Mengapa kau berani menganggap aku adalah manusia
tidak tahu malu?"
"Habis, sudah jelas
kau tahu aku tidak berada di tempat, kau mencuri panji kebesaran ini, apa
namanya perbuatanmu ini kalau bukan tak tahu malu?", jawab Hoat-ong.
"Huh, kau merasa
bukan tandinganku maka ketika aku pergi, kesempatan baik lantas kau gunakan.
Hehe, Ciu Pek-thong, kau benar2 tidak punya muka."
"Baik, aku dapat
menandingi kau atau tidak marilah kita berkelahi saja dan segera dapat di
ketahui," tantang Pek-thong.
Hoat-ong sengaja
menggeleng dan menjawab. "Sudah kukatakan aku tidak sudi bertempur dengan
manusia tidak tahu malu, kau tak dapat memaksa aku. Kepalanku cukup terhormat
kalau menghantam badan manusia tidak tahu malu, kepalaku bisa berbau busuk dan
takkan hilang bau busuknya selama 3 tahun 3 bulan."
Ciu Pek-thong tambah
murka, teriaknya: "Habis bagaimana menurut kau?"
"Kau harus
menyerahkan kembali panji itu padaku dan malam nanti boleh kau coba mencuri nya
lagi." ujar Hoat-ong, "Aku akan berjaga di markas sana, kau boleh
merebutnya secara terang2an atau mencurinya secara gelap2an, asalkan kau dapat
memegangnya lagi, segera aku menyerah dan mengakui kau memang pahlawan besar
dan ksatria terhormat!"
Watak Ciu Pek-thong paling
kaku, mudah dibakar, sesuatu urusan, semakin sulit semakin ingin diiakukannya.
Segera ia cabut panji besar itu terus dilemparkan pada Hoat-ong sambil berseru:
"Baik, terimalah, malam nanti akan kucuri kembali,"
Begitu tangan Hoat-ong
menangkap panji itu, segera diketahui tenaga lemparan Ciu Pek-thong sangat
kuat, cepat ia bertahan, tapi tidak urung tergetar mundur dua-tiga tindak,
Karena pegangan Hoat-ong pada unta tadi dilepaskan, serentak ke-empat unta itu
lantas berjingkrak terus membedal lagi ke depan.
Semua orang mengikuti
bayangan Ciu Pek-thong dengan barisan unta yang aneh itu hingga jauh dan
menghilang.
Sejenak Hoat-ong tertegun,
kemudian ia serahkan panji kebesaran itu kepada Soto dan mengajaknya berangkai
Iagi, Diam2 iapun merenungkan cara bagaimana harus menghadapi Lo-wan-tong yang
tindak tanduknya aneh dan sukar diraba itu.
Tapi seketika ia takdapat
menemukan akal yang bagus. Ketika tanpa sengaja ia menoleh, dilihatnya Ci-peng
dan Ci-keng sedang bicara bisik2 sambil beberapa kali, berpaling dan melirik
Siao-liong-li, tampaknya kedua Tosu itu sangat takut.
Tergerak hati Hoat-ong, ia
pikir jangan2 penguntilan nona itu ditujukan kepada kedua Tosu ini. Segera ia
coba memancing dengan kata2: "In-toheng, apakah kau memang kenal nona
Liong itu?"
Air muka Ci-peng tampak
berubah dan mengiakan pelahan, Hoat-ong tambah yakin akan dugaan tadi, Segera
ia tanya pula: "Kalian telah berbuat salah padanya dan dia hendak mencari
perkara kepada kalian, begitu bukan? Nona itu memang sangat lihay, kalian
memusuhi dia, lebih banyak celaka daripada selamatnya."
Sudah tentu Hoat-ong tidak
tahu menahu pertengkaran antara kedua Tosu itu, cuma dilihatnya kedua orang itu
merasa gelisah dan bisik2, maka dia sengaja memancingnya dan dugaannya memang
tidak meleset"
Namun Ci-keng juga lantas
menanggapi: "Tapi nona itupun pernah berselisih dengan Taysu, malahan
Taysu pernah kecundang di tangannya, masakah kekalahan itu tidak Taysu
balas?"
"Darimana kau
tahu?" dengus Hoat-ong.
"Kejadian itu tersiar
di seluruh jagat, siapa yang tidak tahu?" ujar Ci-keng.
Diam2 Hoat-ong mengakui
kelihayan kedua Tosu itu, maksudnya hendak menakutinya, ternyata Ci~keng
berbalik hendak memperalatnya. Rasanya urusan ini lebih baik dibicarakan secara
terus terang saja. Maka ia lantas berkata: "Nona Liong itu hendak membunuh
kalian dan kalian merasa bukan tandingannya, maka kalian ingin perlindunganku,
bukan?"
Dengan gusar Ci-peng
menjawab: "Biarpun mati juga aku tidak perlu minta perlindungan orang,
apalagi Taysu juga belum tentu bisa mengalahkan dia."
Melihat sikap Ci-peng yang
tegas dan berani itu, Hoat-ong menjadi sangsi, jangan2 perkiraannya tidak
betul. Tapi dengan tertawa ia lantas berkata: "Jika dia main berganda
dengan Nyo Ko, tentu saja ilmu pedang mereka cukup lihay. Tapi sekarang dia
sendirian, kaIau mau dapat kubinasakan dia dengan mudah."
"Belum tentu
bisa," ujar Ci-keng sambil menggeleng. "Setiap orang Kangouw sama
tahu bahwa Kim-lun Hoat-ong sudah pernah dikalahkan oleh Siao-liong-Ii!"
"Haha, sudah lama aku
bertapa, tiada gunanya kau membakar aku dengan perkataanmu itu?" jawab
Hoat-ong. Dari ucapan Ci-keng itu kini ia yakin benar bahwa Tosu itu memang
berharap dirinya bergebrak dengan Siao-;iong-li.
Scbelnm Ciu Pek-thong
muncul tadi sebenarnya ada maksud Kim-lun Hoat-ong untuk membinasakan Siao-liong-li,
tapi sekarang dia telah berjanji dengan Ciu Pek-thong agar mencuri lagi panji
kebesaran Kubilai, untuk itu tenaga kedua Tosu rasanya ada gunanya, jka
Siao-liong-li dibunuh lebih dulu berarti hilanglah alat pemerasnya terhadap
kedua Tosu ini.
Maka dengan sikap tak acuh
ia lantas berkata pula: "Jika begitu, baiklah kuberangkat lebih dulu,
nanti kalau kalian sudah selesaikan urusan nona itu, silakan berkunjung ke
kemah Ongya sana."
Habis berkata ia terus
melarikan kudanya ke depan, jelas tujuannya agar kedua Tosu itu tidak mengikuti
dia.
Tentu saja Ci~keng menjadi
gelisah, kalau paderi Tibet itu pergi dan Siao-liong-li memburu tiba, entah
cara bagaimana dirinya akan disiksa oleh nona itu, apalagi kalau ingat betapa
sakitnya sengatan tawon di Cong lam-san dahulu, tanpa terasa nyalinya menjadi
pecah.
Tanpa memikirkan harga
diri lagi segera ia melarikan kudanya menyusul ke depan sambil berseru:
"Nanti dulu, Taysu! Jalanan di sini kurang kupahami, kalau sudi memberi
petunjuk tentu takkan kulupakan budi pertolonganmu?"
Diam2 Hoat-ong tertawa
geli mendengar seruan Ci-keng itu, ia pikir tentu Tosu ini bersalah pada nona
Liong itu sehingga ketakutan sedemikian rupa.
Sedangkan Tosu she In itu
tampaknya adem ayem saja rupanya tidak tersangkut dalam persoalan mereka,
dengan tertawa ia lantas menjawab: "Baiklah, bisa jadi nanti akupun perlu
bantuanmu."
"Jika Taysu
memerlukan tenagaku, pasti akan kulakukan," cepat Cikeng menanggapi.
Hoat ong lantas meneruskan
perjalanan dengaft berjajar dengan Ci-keng sambil menanyai keadaan Coan-cin-kau
Sekaratig dan dijawab seperlunya saja oleh Ci-keng.
Dengan pikiran linglung
Ci-peng mengikut dari belakang tanpa memperhatikan apa yang dibicarakan kedua
orang itu.
Sementara itu Hoat-ong
sedang berkata: "Konoti Ma-totiang sudah mengundurkan diri dari tugasnya
dan menyerahkan jabatan ketua kepada Khu-totiang yang kabarnya juga sudah tua,
kukira jabatan ketua berikut tentu akan jatuh pada gurumu, Ong-totiang."
Agaknya perkataan Hoat-ong
itu rada menyentuh isi hati Ci-keng, tiba2 air mukanya rada berubah, jawabnya:
"Usia guruku juga sudah lanjut sehingga beliau akhir2 ini jarang mengurusi
pekerjaan umum, besar kemungkinan jabatan ketua nanti akan dilanjutkan oleh
In-sute ini."
Melihat air muka Ci-keng
menampilkan rasa penasaran, dengan suara lirih Hoat-ong coba membakarnya:
"tampaknya ilmu silat Ih-foheng ini juga tak melebihi Tio-toheng sendiri,
mengenai kecerdikan dan kecekatan kerja tentu juga selisih jauh dengan dirimu,
kan jabatan ketua yang penting itu seharusnya diserahkan kepadamu."
Hal ini sebenarnya sudah
terpendam selama beberapa tahun dalam hati Ci-keng, sekarang Hoat-ong yang
membeberkan isi hatinya, tentu saja rasa dendam dongkolnya semakin kentara,
padahal secara Iisan In Ci-peng sudah ditetapkan sebagai pejabat ketua yang
akan datang, semula Ci-keng hanya penasaran dan iri saja, tapi sejak dia
mengenai kesalahan Ci-peng, segera ia berdaya upaya hendak merebut
kedudukannya.
Ci-keng yakin kalau dia
membeberkan rahasia In Ci-peng yang diam2 jatuh cinta dan bahkan telah menodai
Siao-liong-li, akibatnya Ci-peng pasti akan dihukum mati. Tapi iapun menyadari
dirinya kurang disukai para paman gurunya, antar sesama saudara seperguruan
juga banyak yang tidak cocok padanya, ia pikir akhirnya jabatan ketua itu toh juga
takkan jatuh padanya, sebab itulah sampai sekarang ia belum membongkar dosa
Ci-peng itu.
Dari gerak dan sikap kedua
Tosu ini Hoat-ong dapat menerka jalan pikiran Ci-keng, ia pikir: "Kalau
kubantu dia merebut jabatan ketuanya, tentu kelak dapat kuperalat dengan baik,
pengaruh Coan- Cin~kau cukup besar dan tentu akan bermanfaat bagi penyerbuan
Ongya ke selatan, bagiku berarti pula suatu jasa besar dan mungkin lebih besar
daripada jasa membunuh Kwe Cing."
Begitulah diam2 Hoat-ong
merancangkan tindakan selanjutnya, menjelang lohor, sampailah rombongan mereka
di markas besar Kubilai, sebelum masuk ke kemah, Hoat ong coba berpaling,
dilihatnya Siao-liong-li dengan keledainya berdiri jauh di sana dan tidak
mendekat lagi, ia pikir dengan beradanya nona itu, mustahil kedua Tosu ini
takkan masuk perangkapku.
Setelah berhadapan dengan
Kubilai, ternyata pangeran Mongol itu sedang uring2an berhubung panji
kebesarannya dicuri orang, padahal panji itu adalah simbol kebesaran dan
kepemimpinan, maju mundurnya pasukan selalu mengikuti arah kibaran panji itu,
tapi sekarang dicuri orang tanpa berdaya, hal ini sama saja mengalami kalah
perang besar2an.
Kubilai sangat girang
melihat Kim-lun Hoat ong sudah kembali, cepat ia berdiri menyambut Kubilai
memang seorang pemimpin berbakat dan bijaksana melebihi sang kakek, yaitu
Jengis Khan, untuk sementara dikesampingkan urusan kehilangan panji itu, tapi
lantas menerima Ci-peng berdua yang diperkenalkan oleh Hoat-ong itu sebagai
tanda simpatiknya terhadap kaum ksatria, Segera pula ia menyuruh menyediakan
perjamuan.
In Ci-peng tetap lesu
Iinglung, segenap pikiran-nya hanya melayang kepada diri Siao-liong-li,
sebaliknya Ci-keng adalah manusia yang kemaruk kedudukan, melihat raja Mongol
sedemikian menghormatinya, ia menjadi kegirangan.
Sama sekali Kubilai tidak
menyinggung tentang kegagalan usaha Hoat-ong membunuh Kwe Cing, "ia hanya
terus memuji kesetiaan Nimo Singh pada tugasnya sehingga kedua kakinya menjadi
korban, Maka dalam perjamuan ini Nimo Singh diberi tempat utama dan ber-ulang2
mengajak minum padanya.
Dengan demikian bukan saja
Nimo Singh menjadi lebih bulat kesetiaannya, orang lain juga merasakan budi
kebaikan pangeran Mongol itu sungguh sangat luhur.
Selesai perjamuan Hoat-ong
mengiringi Ci-peng dan Ci-keng mengaso ke perkemahan di samping sana. Ci-peng
sudah lelah lahir batin, maka begitu membaringkan diri ia terus pulas tertidur
"Tio-toheng, daripada
iseng, marilah kita jalan keluar," ajak Hoat-ong.
Mereka lantas berjalan
keluar kemah, Dari jauh kelihatan Siao-liong-li berduduk di bawah pohon dan
keledainya juga tertambat di sana, Tanpa terasa air tbuka Ci-keng berubah lagi,
Tapi Hoat-ong pura2 tidak tahu, malahan ia sengaja mengajak omong yang dan
menanyai berbagai keadaan Coan-cin-kau.
Lantaran sudah anggap
Hoat-ong sebagai teman karibnya, Ci-keng lantas menjawab dengan terus terang.
Sambil bicara sambil
berjalan terus ke depan, lambat-laun mereka sampai di tempat yang sepi, tiba2
Hoat-ong menghela napas dan berkata: "Tio-toheng, sungguh tidak mudah
Coan-cin-kau kalian dapat berkembang sebaik ini, tapi terus terang ingin
kukatakan bahwa para paman gurumu itu mengapa begitu gegabah untuk menyerahkan
jabatan ketua yang penting itu kepada In-toheng?"
Sebenarnya sudah lama
Ci-keng menginginkan kedudukan itu, akan tetapi ia sendiri menyadari harapannya
terlalu tipis, maka iapun menghela napas demi mendengar Hoat-ong menyebut hal
itu, lalu iapun memandang sekejap ke arah Siao-Iiong-li.
"Urusan nona Liong
itu adalah soal kecil, asalkan aku mau turun tangan, dengan mudah saja dapat
kubereskan dia dan kau tak perlu lagi kuatir." kata Hoat-ong,
"Justeru yang penting adalah jabatan ketua agama kalian itu tidak boleh
jatuh di tangan orang yang kurang tepat."
"Kalau Taysu dapat
memberi petunjuk jalan yang baik, selama hidupku rela menuruti perintahmu"
jawab Ci keng.
Tentu saja janji inilah
yang di-harap2kan Kim lun Hoat-ong, segera ia menegas: "Kata2 seorang
lelaki sejati harus ditepati dan tidak boleh menyesal di belakang hari."
"Sudah tentu,"
jawab Ci~keng.
"Baik, dalam waktu
tiga bulan akan ku usahakan kau diangkat menjadi ketua Coan-cin-kau" kata
Hoat-ong.
Girang sekali Ci-keng,
tapi mengingat urusan ini sesungguhnya amat suIit, mau-tak-mau ia menjadi
ragu2.
"Apakah kau
percaya?" tanya Hoat-ong.
"Percaya, pasti percaya,"
jawab Ci-keng. "Kepandaian Taysu maha sakti, tentu engkau mempunyai daya
upaya yang bagus."
"Sebenarnya aku tiada
sangkut paut apapun dengan agama kalian, siapapun yang menjadi ketuanya juga
sama saja bagiku, tapi entah mengapa, baru berkenalan rasanya aku sudah cocok
dengan kau dan ingin membantu kau," kata Hoat-ong dengan tertawa,
"Maka langkah pertama
kita harus diusahakan ada seorang kuat di dalam agamamu yang akan menjadi
pendukungmu. Saat ini siapakah yang paling tinggi menurut angkataanya di
agamamu!"
"lalah Ciu susiokco
yang kita jumpai di tengah jalan tadi," jawab Ci-keng.
"Benar, kalau dia
membantu kau dengan sepenuh tenaga, maka tiada seorangpun yang dapat menandingi
kau lagi," ujar Hoat-ong.
"Betul, apa yang
dikatakan Susiokco sudah tentu mempunyai bobot dan harus diturut oleh Ma-supek,
Khu~supek dan lain!" kata Ci-keng dengan girang, "Tapi dengan cara
bagaimana Taysu akan membuat Ciu~susiokco memihak diriku?"
"Tadi dia telah
berjanji padaku akan datang ke sini untuk mencuri panji kebesaran Ongya,"
tutur Hoat-ong, "Nah menurut pendapatmu, dia datang atau tidak?"
"Tentu saja
datang," jawab Ci-keng.
"Tapi panji ini
justeru tidak kita kerek pada tiangnya melainkan kita sembunyikan di suatu
tempat yang dirahasiakan Di tengah perkemahan yang beratus buah ini, biarpun
Ciu Pek-thong mempunyai kepandaian setinggi langit juga takkan menemukan panji
itu hanya dalam semalam saja."
"Ya, memang,"
ujar Ci-keng, Tapi dalam hati ia anggap cara bertaruh begitu kurang jujur,
andaikan menang juga kurang terhormat.
"Tentunya kau anggap
pertaruhan cara demikian kalau menang juga kurang terhormat begitu bukan?"
tanya Hoat-ong tiba2. "Tapi semua ini adalah demi kepentinganmu."
Ci-keng jadi melenggong
memandang Hoat-ong, lebih tidak paham seluk beluknya.
Hoat-ong menepuk pelahan
pundak Ci-keng, dan berkata pula: "Begini, akan kukatakan padamu tempat
penyimpanan panji itu, kemudian secara diam2 kau memberitahukannya kepada Ciu
Pek-thong agar dia menemukan panji itu, jadi kau akan berjasa besar baginya."
"Benar, benar, dengan
demikian Ciu-susiokco pasti akan senang," seru Ci - keng dengan girang.
tapi segera berpikir olehnya, katanya lagi: "Namun pertaruhan Taysu itu
kan menjadi kalah?"
"Yang penting adalah
persahabatan kita, soal kalah menang urusan pribadi bukan apa2 bagiku"
kata Hoat-ong.
Tentu saja Ci-keng sangat
berterima kasih, katanya: "Budi kebaikan Taysu entah cara bagaimana harus
kubalas."
Hoat-ong tersenyum,
katanya: "Asalkan kau sudah mendapatkan bantuan Ciu Pek-thong, lalu
kubantu lagi dengan perencanaan yang lebih sempurna, dengan begitu jabatan
ketua pasti akan jatuh ditanganmu." - Habis ini dia menuding bukit di
sebelah sana dan berkata: "Marilah kita lihat2 ke bukit sana."
Kira2 beberapa li dari
perkemahan Kubilai itu memang ada beberapa buah bukit, dengan cara jalan cepat
mereka, hanya sekejap saja sudah sampai di tempat tujuan.
"Marilah kita mencari
suatu gua sebagai tempat menyimpan panji," kata Hoat-ong.
Bukit pertama tandus dan
tiada sesuatu gua, ber-turut2 mereka melintasi dua-tiga bukit, sampai bukit
ketiga yang banyak pepohonan itu, malahan banyak pula guanya.
"Bagus sekali bukit
ini," ujar Hoat-ong. Dilihatnya diantara celah2 dua batang pohon besar ada
sebuah gua, mulut gua ter-aling2 oleh pohon sehingga tidak mudah terlihat.
Segera ia berkata pula: "Nah ingatlah tempat ini, sebentar kusembunyikan
panji itu, di dalam gua ini, malam nanti kalau Ciu Pek thong datang boleh kau
membawanya ke sini."
Dengan gembira Ci-keng
mengiakan saja, ia mengamat-amati pula kedua pohon besar dan ingat baik2 tempat
itu, ia pikir pasti takkan salah.
Setiba kembali di
perkemahan, setelah makan malam, Ci-keng berusaha mengajak bicara dengan
Ci-peng, tapi Ci-peng masih lesu saja dan sungkan bicara.
Sementara itu malam sudah
tiba, mendekat tengah malam, Ci-keng terus ngeluyur keluar dan duduk di samping
sebuah gundukan pasir, Dilihatnya penjaga berkuda meronda kian kemari dengan
ketat, dalam hati ia sangat kagum atas kepandaian Ciu Pek-thong yang maha sakti
itu, di tengah penjagaan sekeras itu orang tua itu ternyata mampu pergi datang
sesukanya dan berhasil mencuri panji kebesaran Kubilai.
Suasana sunyi senyap,
langit membiru kelam hanya kelap-kelip bintang yang jarang2. Tiba2 terpikir
oleh Ci-keng: "Kalau apa yang dikatakan Hoat-ong terlaksana, tiga bulan
kemudian aku akan menjadi ketua Coan-cin-kau, tatkala mana namaku akan
termashur di segenap penjuru, beribu Tokoan (kuil agama To) dengan penganut
yang tak terhitung jumlahnya akan tunduk semua pada perintahku Hm, tatkala itu
kalau mau mencabut nyawa bocah she Nyo itu boleh dikatakan mudah seperti
merogoh barang di saku sendiri."
Begitulah makin dipikir
makin senang hatinya sehingga dia berdiri dan memandang jauh ke sana, samar2
tertampak Siao-liong-li masih duduk di bawah pohon itu, segera terpikir pula
olehnya: "Nona Liong itu memang cantik luar biasa dan setiap orang pasti
suka padanya, pantas Ci-peng edan kasmaran padanya, Tapi seorang ksatria sejati
yang mengutamakan tugas besar mana boleh hilang akal dan tergoda oleh
kecantikan wanita?"
Pada saat itulah tiba2
terlihat sesosok bayangan orang berlari datang dengan cepat dan menyusuri kian
kemari di antara perkemahan itu, hanya sekejap saja bayangan itu sudah sampai
di bawah tiang bendera, orang itu berjubah longgar, jenggotnya yang putih bergoatsi
tertiup angin, siapa lagi kalau bukan Ciu Pek-thong.
Melihat tiang itu kosong
tiada benderanya, Pek-thong terkesiap, tadinya ia menyangka Kim-hin Hoat-ong
pasti menyembunyikan jago2 di sekitar situ untuk mencegatnya dan inilah yang
dia harap, sebab dengan demikian dia dapat berkelahi sepuasnya, siapa tahu
tiang bendera itu ternyata kosong, ia coba memandang sekeliling, tertampak
be-ribu2 kemah ber-deret2 dan kemana harus mencari panji kebesaran Kubilai.
Segera Ci-keng menyongsong
ke depan, bara saja ia hendak menyapa, tapi lantas terpikir jika begitu saja
dia memberitahu tempat bendera itu, pasti akan menimbulkan rasa sangsi orang
malah, sebaiknya dibiarkan orang tua itu mencari dengan kelabakan, nanti kalau
sudah tak dapat menemukannya barulah kumuncul dan memberitahukan tempat
penyimpanan bendera, dengan begitu dia batu merasakan betapa berharganya
bantuanku dan pasti ikan sangat berterima kasih padaku.
Segera ia sembunyi di
balik sebuah kemah untuk mengawasi gerak-gerik Ciu Pek-thong, dilihatnya sekali
lompat saja orang tua itu telah memanjat ke atas tiang bendera, hanya beberapa
kali kedua tangannya bekerja, segesit kera pucuk tiang bendera itu telah
dicapainya, Diam2 Ci-keng melongo kaget, padahal usia Ciu Pek-thong itu
sedikitnya sudah lebih 90 jika belum genap seabad, tapi gerak-gerik-nya
ternyata masih gesit dan tangkas seperti orang muda, sungguh luar biasa.
Setiba di atas pucuk tiang
bendera, Ciu Pek-thong memandang sekelilingnya, yang terlihat cuma ribuan panji
kecil yang berkibaran, hanya panji helai milik Kubilai itulah yang tidak
nampak, ia menjadi gusar dan berteriak: "Hai, Kim-lun Hoat-ong, ke mana
kau menyembunyikan Ongki (panji raja) itu?"
Bcgitu keras dan nyaring
suaranya sehingga berkumandang jauh dan didengar oleh segenap perajurit Mongol,
bahkan suara kumandang juga sayup2 terdengar membalik dari kejauhan sana.
Sebelumnya Hoat-ong sudah
lapor pada Kubilai tentang urusan ini, maka perkemahan pasukan Mongol itu tetap
sunyi senyap saja meski mendengai suara teriakan Ciu Pek-thong itu.
Terdengar Ciu Pek-thong
menggembor lagi. "Wahai, Kim-lun Hoat-ong, kalau kau tidak menjawab,
segera akan kumaki kau!"
Selang sebentar pula dan
tetap tiada orang menggubris, terus saja Ciu Pek-thong mencaci-maki
"Kim-lun busuk, Hoat-ong anjing, kau ini ksatria macam apa? Kau lebih
tepat disebut kura2 yang mengerutkan kepala?"
Se-konyong2 di sebelah
timur sana ada orang berseru: "Lo-wan-tong, Ongki yang kau cari beradij di
sini, kalau mampu bolehlah kau mencurinya,"!
Secepat terbang Ciu
Pek-thong terus melayang turun dan berlari ke sana sambil membentak:
"Kemana?,"
Tapi sesudah berseru tadi,
lalu orang itu tidak bersuara lagi, sambil memandangi kemah yang tak terhitung
banyaknya itu, Ciu Pek-thong merasa bingung dan tidak tahu cara bagaimana harus
bertindak.
Pada saat itulah mendadak
di sebelah barat sana ada suara melengking teriakan orang macam menguiknya babi
disembelih: "Ongki berada di sini!"
Seperti kesetanan Ciu
Pek-tbong terus memburu ke sana, Suara orang itu masih terdengar tanpa berhenti,
tapi makin lama makin lirih dan akhirnya lenyap tak terdengar lagi.
Dengan ter-bahak2 Ciu Pek
- thong berteriak pula: "Hahaha, Hoat-ong busuk, memangnya kau sengaja
main kucing2an dengan aku ya? Haha, sebentar kalau kubakar perkemahan kalian
ini barulah kau nyaho!"
Diam2 Ci-keng berkuatir,
kalau betul orang tua ini main bakar, urusan memang bisa berubah runyam Cepat
ia melompat keluar dari tempat sembunyinya dan mendesis: "Ssst!
Ciu-susiokco, tidak boleh main bakar.
"Eh, kau, Tosu
kecil!" tegur Pek-thong. "Kenapa kau bilang tidak boleh main
bakar."
"Mereka justeru
sengaja memancing kau menyalakan api," demikian Cikeng sengaja membual
"Di tengah perkemahan ini penuh tersimpan bahan peledak, sekali engkau
menyalakan api. seketika semuanya-akan meledak dan badanmu akan hancur
lebur."
Ciu Pek-thong menjadi
kaget dan memaki. "Keji juga muslihat busuk mereka ini."
Ci-keng bergirang karena
orang tua itu percaya kepada ocehannya, Segera ia berkata pula: "Cucu
murid mengetahui muslihat mereka dan kuatir Susiokco terjebak, maka sejak tadi
hati cucu murid sangat cemas dan gelisah, sebab itulah kutunggu di sini"
Wo, baik hati juga
kau," ujar Ciu Pek-thong--"Untung kau memberitahu padaku, kalau tidak
kan Lo-wan-tong sudah mampus."
"Malahan cucu murid
dengan menyerempet bahaya mendapat keterangan tempat penyimpanan Ongki itu,
marilah Susiokco ikut padaku," bisik Ci-keng.
Akan tetapi Ciu Pek-thong
lantas menggeleng dan berkata: "Jangan, jangan kau katakan padaku, kalau
aku tak dapat menemukannya, anggaplah aku kalah."
Rupanya pertaruhan mencuri
panji ini bagi Ciu Pek-thong adalah suatu permainan yang sangat menarik,"
kalau saja Ci-keng memberi petunjuk, andaikan berhasil juga terasa kurang
nikmat baginya, apalagi setiap perbuatannya selamanya dilakukan secara terang2an
dan tidak suka main sembunyi2an.
Karena bujukannya tidak
berhasil, Ci-keng menjadi kelabakan, mendadak teringat bahwa kelakuan sang
Susiokco ini lain daripada yang lain, untuk bisa berhasil harus dengan cara
memancingnya. Segera ia berkata pula: "Susiokco, jika begitu akan kucari
sendiri Ongki itu, lihat saja nanti kau lebih dulu berhasil atau aku."
Habis berkata ia ierus mendahului berlari kearah bukit2.
Tidak jauh berlari,
Ci-keng coba melirik kebe-lakang dan dilihatnya Ciu Pek-thong juga mengintilnya,
langsung saja ia berlari ke bukit ketiga yang ada pepohonan itu, di situ ia
menggumam sendiri: "mereka mengatakan Ongki itu disembunyikan dalam gua
yang teraling oleh dua pohon besar, mana ada dua pohon besar yang dikatakan
itu?"
Ia sengaja pura2
celingukan kian kemari, tapi tidak mendekati gua yang dikatakan Kim-lun
Hoat-ong.
Tiba2 terdengar Ciu
Pek-thong berseru gembira. "Aha, kutemukan lebih dulu di sini!"
Berbareng ia terus menerobos ke sela2 kedua pohon.
Diam2 Ci-keng tersenyum
karena maksud tujuannya sudah tercapai, ia pikir setelah sang Susiokco berhasil
menemukan Ongki, pasti dia akan berterima kasih padaku, apalagi dia pasti
merasa utang budi padaku karena aku telah menghindarkan dia dari kematian
apabila dia jadi menyalakan api.
Dengan hati senang ia
lantas mendekati gua itu tapi mendadak terdengar jeritan Ciu Pek-thong,
suaranya ngeri menyeramkan, menyusul terdengal teriakannya: "Ular! Ular
berbisa!"
Keruan Ci-keng kaget,
sebelah kaki yang sudah melangkah ke dalam gua itu cepat di tariknya kembali,
lalu berseru: "Susiokco, masakah di situ ada ular berbisa?"
"Buk... bukan
ular.... bukan ular..."
Terdengar teriakan Ciu
Pek-thong, suaranya sudah jauh lebih lemah.
Kejadian ini sama sekali
di luar dugaan Tio Ci Keng, cepat ia menjemput sepotang kayu kering dan
dinyalakan sebagai obor, lalu digunakan menerangi kedalam gua, Dilihatnya Ciu
Pek-thong tergeletak di tanah, tangan kiri memegangi sehelai-bun panji dan
ber-ulang2 dikebutkan seperti sedang menghalau sesuatu makhluk aneh.
"Susiokco, ada apakah
?" tanya Ci-keng kuatir.
"Aku digigit...
digigit makhluk ber... makhluk berbisa...." kata Pek thong dengan suara
lemah dan ter-putus2 sampai di sini tangannya juga lantas melambai ke bawah dan
tidak kuat mengebutkan kain bendera lagi...
Ci-keng heran, makhluk
berbisa apakah yang sedemikian lihaynya sehingga dapat membuat Ciu Pek-thong
yang maha sakti itu tak dapat berkutik dalam waktu sesingkat itu? Segera
dilihatnya kain panji yang dipegang Ciu Pek-thong itu ternyata sebuah panji
tentara biasa dan bukan panji kebesaran Kubilai yang di cari itu.
Diam2 ia tambah ngeri.
Kiranya paderi Tibet itu sengaja menipu aku memancing Susiokco ke sini, tapi di
dalam gua ini telah disebarkan makhluk berbisa."
Dalam keadaan demikian,
bagi Ci-keng yang penting adalah menyelamatkan jiwanya sendiri, mana sempat dia
sempat memikirkan mati-hidupnya Ciu Pek-thong, iapun tidak berani memeriksa
keadaan sang Susiokco dan makhluk berbisa apa yang menggigitnya itu, tanpa
bicara lagi ia membuang obofnvl dan melarikan diri.
Tapi sebelum obor itu
jatuh ke tanah, mendadak berhenti di tengah jalan, rupanya kena ditangkap oleh
tangan seseorang, terdengar orang itu berkata: "Kenapa, masakah orang tua
ditinggalkan begitu saja?" suaranya halus nyaring, tertampak baju putih berkelebat
jelas itulah Siao-liong-li, di bawah cahaya obor wajahnya yang moIek itu tampak
tidak mengunjuk perasaan girang atau gusar.
Sungguh kejut Ci-keng tak
terkatakan. Sama sekali tak terduga bahwa Siao~liong~li berada begitu dekat di
belakangnya, ingin sekali ia melarikan diri, tapi kakinya terasa berat dan
sukar melangkah.
Padahal dari jauh
Siao-liong-li mengawasi dia, setiap gerak gerik Tio Ci-keng tak pernah terlepas
dari pengamatannya, Ketika Ci-keng memancing Ciu Pek-thong ke bukit ini, diam2
Siao-liong-li juga menguntit di belakangnya. Sudah tentu Ciu Pek-thong
mengetahuinya, tapi ia tidak ambil pusingi hanya Ci-keng saja yang tidak tahu.
Dengan obor yang
dipegangnya itu Siao~liong-li lantas menerangi tubuh Ciu Pek-thong, terlihat
muka orang tua itu samar2 bersemu hijau, segera ia Iepaskan sarung tangan
benang emas, lalu memegang tangan Ciu Pek-thong dan diperiksa. Seketika
Siao-liong-li terperanjat ternyata ada tiga ekor labah2 sebesar ibu jari sedang
menggigit tiga jari tangan kiri Ciu Pek-thong.
Bentuk ketiga ekor labah2
itu sangat aneh, seluruh badan berloreng merah dan hijau menyolok, sekali
pandang saja orang akan merasa ngeri.
Siao-liong-li tahu makhluk
berbisa apapun semakin bagus warnanya semakin jahat racunnya, apa lagi labah2
ini belum pernah dilihatnya, biarpun memakai sarung tangan juga tak berani
ditangkapnya, cepat ia ambil sepotong ranting kayu dan bermaksud pencukit
ketiga ekor labah2 itu.
Tak terduga labah2 itu
ternyata menggigit kencang sekali di jari Ciu Pek-thong, beberapa kali Siao
liong-li mencukitnya tetap tak terlepas: Tanpa pikir lantas menyambitkan tiga
buah Giok~hong-ciam (jarum tawon putih), kontan ketiga ekor labah2 tertembus
perutnya dan mati seketika.
Cara Siao-liong-Ii
menyambitkan jarumnya itu sangat bagus sekali, tenaga yang digunakan begitu
tepat, labah2 itu mati tertusuk jarum, tapi tidak sampai melukai Ciu Pek-thong.
Kiranya labah2 itu disebut
"Cay swat-tu" (labah2 salju panca warna) dan hidup di pegunungan
bersalju daerah Tibet, tergolong satu di antara tiga jenis makhluk berbisa
paling jahat di dunia ini. Kim-lun Hoat-ong membawa labah2 berbisa ini ke
Tionggoan maksudnya hendak mengadu kepandaian menggunakan racun dengan ahli
racun di Tionggoan.
Tempo hari waktu dia
berusaha membunuh Kwe Cing, karena tiada rencana menggunakan racun, maka dia
tidak membawa labah2 berbisa ini. Tak terduga ia sendiri malah kena jarum
berbisa Li Bok chiu.
Saking gemasnya setiba
kembali di markas Kubilai ia lantas keluarkan kotak penyimpan labah2 itu dan
disiapkan untuk menghadapi Li Bok-chiu apabila kepergok lagi setiap saat.
Kini dia bertaruh mencuri
bendera dengan Ciu Pek thong dan juga bertemu dengan orang yang kemaruk menjadi
ketua agama seperti Tio Ci-keng ini, maka diam2 ia telah mengatur tipu muslihat
kejii lebih dulu dia menaruh sebuah bendera di daiarrt gua itu, di dalam
bendera terbungkus tiga ekor labah2 berbisa.
Labah2 panca warna itu
sangat ganas, sekali menggigit dan merasakan darah, maka takkan dilepaskan
sebelum kenyang mengisap darah korban-nya. Kadar racunnya juga sangat jahat dan
tak dapat disembuhkan dengan obat, sekalipun Hoat-ong sendiri juga tidak
mempunyai obat penawarnya.
Sebabnya dia tak berani
selalu membawa labah2 itu adalah untuk menjaga segala kemungkinan kelengahan
diri sendiri, sebab akibatnya sukar di bayangkan.
Tak tersangka sambitan
tiga buah jarum Siao-liong-li itu dengan tepat telah mengenai sasarannya dan
sekaligus juga telah menyelamatkan nyawa Ciu Pek thong. Soalnya begini:
Giok-hong-ciam itu mengandung racun tawon putih, meski kadar racunnya tidak
sejahat labah2 panca warna itu, tapi begitu tertusuk oleh jarum itu, sebelum
ajalnya labah itu telah mengeluarkan serum penangkis racun.
Perlu diketahui bahwa
berkat memiliki serum penangkis racun itu dalam tubuhnya, maka labah2 tidak
sampai mati sendiri oleh racun yang terkandung dalam badannya itu.
Ketika serum anti racun
itu menyemprot keluar dari mulut labah2 dan masuk dalam darah Ciu Pek-thong,
hanya sebentar saja labah2 itu jatuh dan mati. Bayangkan saja, kalau racun
labah2 itu juga cuma dapat ditawarkan olehnya sendiri dan lain cara pengobatan
lain, tatkala itu belum ada cara pembuatan serum anti racun seperti jaman
sekarang, dengan sendirinya juga tidak dapat mengambil serum anti racun itu
dari tubuh labah2.
Untunglah Siao Iiong- li buru2
ingin menolong Ciu Pek-thong, fmla seram melihat bentuk labah2 yang mengerikan
itu, maka dia telah menggunakan senjata rahasianya yang halus itu, tapi justeru
kebetulan telah menyelamatkan nyawa orang tua itu.
Setelah ketiga ekor labah2
itu jatuh ke tanah dan mati, melihat warnanya yang loreng2 itu, Siao-liong-li
tetap merasa ngeri.
Ciu Pek-thong yang tadinya
menggeletak kaku itu sekarang mendadak dapat menggerakkan tangan kirinya dan
bertanya dengan suara pelahan: "Barang apakah yang menggigit aku, sungguh
lihay amat."
Tampaknya dia hendak
bangun, tapi baru sedikit mengangkat badannya kembali ia jatuh terbaring lagi.
Siao-liong-li sangat
girang melihat Ciu Pek-thong tidak mati, ia coba memeriksa sekitar gua dengan
obor, ia merasa lega setelah tidak lagi menemukan labah2 berbisa seperti tadi,
ia coba tanya: "Ciu-loyacu, engkau tidak mati kan?"
"Rasanya belum mati
sama sekali, baru mati separoh dan hidup setengah, haha haha..."
Ciu Pek-thong ingin
tertawa keras, tapi segera terasa kaki dan tangannya kaku kejang sehingga suara
tertawanya kedengaran aneh.
Pada saat itulah tiba2
seorang bergelak tertawa di luar gua, suaranya keras menggetar telinga, lalu
terdengar ucapannya: "He, Lo-wan-tong! Ongki itu sudah dapat kau curi
belum? pertaruhan kita ini dimenangkan kau atau aku?" - jelas itulah
suaranya Kim-lun Hoat-ong.
Cepat Siao-liong-li
memadamkan api obor dengan tangannya yang memakai sarung benang mas yang tidak
takut senjata tajam maupun api. sedangkan Ciu Pek-thong lantas berkata dengan
suara lemah: "Permainan ini sudah jelas Lo-wan-thong yang kalah, bisa jadi
jiwaku juga akan kuserahkan padamu. He, Hoat-ong busuk barang apakah labah2
yang kau sebarkan ini, sungguh jahat amat."
Meski suaranya kedengaran
lemah, tapi suara tertawa Hoat-ong yang keras ternyata tak dapat melenyapkan
suara perkataannya itu. Keruan Hoat-ong terkejut, sudah jelas dia tergigit oleh
labah2, tapi ternyata belum mati.
Dalam pada itu Ciu
Pek-thong berkata pula. "Kau Tio Ci-keng si Tosu brengsek, kau makan dalam
bela luar, terlalu, Boleh katakan kepada Khu supekmu, suruh dia bunuh saja
kau!"
Tentu saja Ci-keng sangat
ketakutan dan bersembunyi di belakang Kim-lun Hoat-ong.
"Eh, Tosu she Tio ini
sangat baik, malahan Ongya kami akan memohon pada Sri Baginda agar mengangkat
dia menjadi ketua Coan-cin-kau," kata Hoat-ong dengan-tertawa.
Ciu Pek-thong menjadi
gusar, segera ia hendak mcndamperat pula, tapi racun labah2 itu sungguh luar
biasa jahatnya, meski sebagian kadar racunnya sudah hilang, namun sedikit sisa
saja sudah cukup membinasakan orang, untung tenaga dalam Ciu Pek-thong sangat
kuat, tapi sedikit kendur saja tenaganya segera ia jatuh pingsan Iagi.
"Kim-lun
Hoat-ong." tiba2 Siao-liong-li ikut bicara, "Kau adalah mahaguru satu
aliran tersendiri namun kau menggunakan makhluk berbisa begini apakah kau tidak
malu? Lekas keluarkan obat penawar untuk menyembuhkannya."
Melihat Ciu Pek-thong
jatuh pingsan, Hoat-ong mengira racun dalam tubuh orang tua itu telah bekerja
dan orangnya mati, diam2 ia sangat girang dan merasa tidak perlu lagi gentar
terhadap Siao-liong~li. Apalagi bila teringat ucapan Tio Ci-keng siang tadi
yang mengatakan semua orang mengetahui dia pernah dikalahkan Siao-liong-li,
maka sekarang dia bertekad akan menawan si nona untuk memperlihakan
kemampuannya.
Mendadak tangan kiri
Hoat-ong disodorkan sedangkan tangan kanan terus mencengkeram Siao liong li
sambil berseru: "Ini obat penawarnya, terimalah kau."
Siao-liong-li terkejut,
cepat iapun bergerak, terdengar suara "tring" nyaring, selendang
berkeleningan segera mengetok Hiat-to pergelangan tangan musuh.
"Hm, kalau aku sampai
bergebrak ber-jurus2 dengan kau kan akan ditertawakan oleh Tosu she Tio
itu," demikian Hoat-ong membatin sambil menghindari serangan
Siao-liong-li, menyusul iapun mengeluarkan sepasang rodanya, sekali digesekkan,
terdengarlah suara nyaring mengilukan.
Cepat Siao-liong-li
menarik balik tali sutera-nya setelah serangannya luput, segera ia menghantam
pula Tay-cui-hiat di punggung lawan, serangan kedua ini sangat cepat dan ganas
pula, tampaknya sukar untuk dielakkan.
Akan tetapi Hoat-ong terus
meloncat ke atas sambil memuji: "Kepandaianmu ini sungguh jarang ada
bandingannya di kalangan wanita."
BegituIah kedua orang
bertempur di lorong gua yang sempit itu, dalam sekejap saja belasan jurus sudah
lalu, kalau Hoat-ong menyerang sekuatnya sebenarnya sukar bagi Siao-liong-li
untuk menahan nya, tapi beberapa hari yang lalu Hoat-ong baru saja terluka oleh
jarum berbisa, bahkan jiwanya hampir melayang, sekarang dilihatnya gaya ilmu
silat Siao-liong-li serupa dengan Li Bok-chiu, malahan jurus serangannya
terlebih bagus dan lihay daripada Li Bok-chiu, sudah tentu ia menjadi waswas
dan tidak ingin kejeblos untuk kedua kalinya.
Sebab itulah hatinya
sangat gelisah karena tak dapat mengalahkan lawan dengan cepat, tapi iapun
tidak berani menyerang secara sembrono. Dalam kegelapan terdengarlah suara
mendering benturan roda emas dan perak terseling oleh suara
"tring-ting" genta kecil pada ujung senjata Siao-liong-li, bagi orang
yang tidak tahu mungkin malah menyangka kedua orang sedang menabuh alat musik.
Ci-keng berdiri menonton
dari tempat rada jauh, setiap kali mendengar suara nyaring benturan senjata,
setiap kali pula jantungnya berdebar.
Teringat kematian sang
Susiokco itu biarpun bukan direncanakan oleh dirinya, tapi apapun juga tak
terlepas dari ikut tersangkut dosa membunuh orang tua demikian ini tiada ampun
dalam dunia persilatan, kalau saja Hoat-ong dapat membunuh Siao liong-li tentu
saja urusan menjadi beres seluruhnya, tapi kalau Siao-Iiong-li yang menang,
akibatnya tentu bisa runyam.
Karena Hoat-ong tidak
dapat menyerbu ke dalam gua, dengan sendirinya sukar pula baginya untuk
mengalahkan Siao-liong-li, sebentar saja mereka sudah bergebrak beberapa puluh
jurus dan tetap belum bisa dibedakan unggul dan asor.
Siao-liong-li menjadi
gelisah dan kuatir, dilihatnya Ciu Pek-thong menggeletak tak bergerak
sedikitpun, besar kemungkinan jiwanya akan melayang, pikirnya hendak
menolongnya, tapi serangan Hoat-ong teramat gencar dan sukar menarik diri.
Pertarungan di tempat
gelap itu sudah tentu lebih menguntungkan Siao-Iiong-li karena dia sudah lama
hidup di kuburan kuno yang gelap itu.
Ketika dilihatnya Hoat-ong
menyerang dari sisi kanan dan sebelah kirinya tak terjaga, cepat ia memutar
tali sutera bergenta emas itu untuk mengetok iga kirinya, berbareng belasan
jarum Giok-hong-ciam lantas dihamburkan.
Karena jaraknya teramat
dekat, pula samberan jarum itu tak mengeluarkan suara, ketika Hoat-ong
merasakan gelagat jelek, sementara itu jarak jarum sudah tinggal beberapa senti
saja di depan tubuhnya.
Syukur ilmu silatnya
memang maha tinggi, dalam detik berbahaya itu roda peraknya terus berputar dan
tepat menggulung tali sutera bergenta Iawan, berbareng itu kedua kakinya terus
memancar sekuat nya dia mengapung ke atas sehingga belasan jarum berbisa itu
menyamber lewat dr bawah kakinya.
Dalam keadaan kepepet,
saking kerasnya dia menggunakan tenaga, ketika tubuhnya mengapung ke atas,
kedua tangannya juga ikut terangkat, maka sepasang roda berikut tali sutera bergenta
milik Siao-liong-li itu juga ikut terbetot lepas dari cekalannya dan mencelat
ke udara dengan menerbitkan suara nyaring gemerincing..
Sebelum tubuh lawan turun
kembali, segera Siao-liong-li menghamburkan pula segenggam Giok-hong-ciam.
Dalam keadaan masih terapung di udara, betapapun tinggi ilmu silatnya juga
sukar menghindari apalagi jaraknya sekarang juga sangat dekat, keadaannya
menjadi terlebih bahaya daripada tadi.
Namun Hoat-ong benar2 maha
sakti, ketika meloncat ke atas tadi sudah terpikir olehnya kemungkinan pihak
lawan akan menyusulkan serangan lagi, maka kedua tangannya sudah siap menarik
baju sendiri, begitu dipentang, seketika jubahnya terobek menjadi dua bagian,
pada saat itu juga jarum Siao-liong-li sudah menyamber tiba pula, namun kain
baju yang dipegangnya lantas di-kebut2kan sehingga jarum2 berbisa itu tergulung
seluruhnya ke dalam baju.
Sambil terbahak2 Hoat-ong
tancap kakinya ke bawah dan melemparkan baju robek, tangan di ulurkan untuk
menangkap sepasang roda yang baru jatuh dari atas. Dua kali dia lolos dari
ancaman maut, semuanya berkat kehebatan ilmu silatnya dan juga kecerdikannya
sehingga pada detik terakhir dia masih dapat menyelamatkan diri, malahan dengan
begitu senjata Siao-liong-li dapat direbutnya.
Setelah unggul, segera
Hoat-ong mengadang di mulut gua, katanya dengan tertawa: "Nah, nona Liong,
masakah kau tidak lekas menyerah?"
Tapi dia masih kuatir
kalau Siao~liong~li memasang perangkap apa2 di dalam gua, maka dia tidak berani
menyerbu ke dalam, Dia tidak tahu bahwa saat itu Siao-liong-li justeru lagi
kelabakan, senjatanya hilang, jarum juga sudah terpakai sebagian besar, kini
tangannya cuma bersisa satu genggam jarum berbisa itu dan sembunyi di samping
mulut gua.
Hoat-ong menunggu sebentar
dan tidak nampak Sesuatu apa, tiba2 timbul akalnya, dia jemput kedua potong
robekau bajunya tadi, lalu kedua rodanya dilemparkan ke dalam gua, selagi roda2
itu menggelinding, ia terus melompat dan berdiri di atas roda.
Tindakannya ini adalah
untuk menjaga kemungkinan jarum berbisa di atas tanah, menyusul ia terus putar
kain bajunya untuk melindungi tubuhnya, kira2 dua-tiga meter di dalam gua,
sebelah tangannya lantas meraih untuk menangkap lawan.
Robekan bajunya tercocok
berpuluh jarum berbisa yang disambitkan Siao-liong-li tadi sehingga berubah
menjadi semacam senjata yang lihay, dengan tertawa ia berkata: "Nah, nona
Liong, boleh kau coba senjataku yang menyerupai kulit landak ini"
Belum lenyap suaranya,
se-konyong2 tangannya terasa kencang, ujung kain baju yang diputarnya itu mendadak
terpegang oleh Siao liong-li. Maklumlah ia memakai sarung tangan benang emas
yang tidak mempan ditabas senjata tajam, jangankan cuma kain baju yang penuh
jarum, sekalipun pedang juga berani direbutnya.
Karena tak ter~duga2,
dengan kaget cepat Hoat ong membetot sekuatnya, tapi sedikit merandek itu ia
telah memberi kesempatan kepada Siao-liong~li untuk menghamburkan genggaman
jarumnya. Ti-dak kepalang kaget Hoat-ong, dalam keadaan kepepet timbul juga
akalnya, sebisanya dia tarik tubuh Ciu Pek-thong yang menggeletak di atas tanah
itu untuk digunakan sebagai tameng, menyusul ia terus melompat keluar gua
dengan mandi keringat dingin dan napas ter-engah2, diam2 ia bersyukur jiwanya
dapat lolos dari lubang jarum.
Sementara itu berpuluh
jarum berbisa Siao-Iiong-li telah menancap semua pada tubuh Ciu Pek-thong.
Mau-tak-mau nona itu merasa menyesal karena orang yang sudah mati masih harus
tersiksa oleh jarumnya itu.
Di luar dugaannya, tiba2
Ciu Pek-thong terus berteriak: "Aduh, sakitnya! Barang apalagi yang menggigit
aku ini?"
Keruan Siao-liong-li kaget
dan bergirang pula, cepat ia tanya: "He, Ciu Pek-thong, jadi kau belum
mati?" Dasar nona yang masih polos dan tidak tahu tata kehidupan, sama
sekali ia tidak paham cara bagaimana seharusnya memanggil seorang tua seperti
Ciu Pek-thong, maka langsung saja ia sebut namanya.
Ciu Pek-thong lantas
menjawab: "Tadi rasanya sudah mati dan sekarang telah hidup kembali. Entah
matinya kurang beres atau hidupnya belum cukup?"
"Syukurlah kalau kau
tidak mati," ujar Siao-liong-li "Hoat-ong itu sangat ganas, aku tidak
dapat menandingi dia." Segera ia keluarkan batu sembrani untuk mencabuti
jarum2 yang menancap di tubuh Ciu Pek-thong itu.
Ciu Pek-thong terus
mencaci-maki: "Bangsat Hoat-ong itu sungguh pengecut, selagi aku mati
belum siuman kembali, dia malah mencocoki aku dengan jarum sehalus ini."
Dengan tersenyum
Siao~liong~li menjelaskan: "Ciu Pek-thong, akulah yang mencocoki kau
dengan jarum ini." Lalu secara ringkas ia ceriterakan pertarungan tadi,
kemudian ditambahkan pula: "Jarumku ini berbisa, apakah kau
kesakitan?"
"O, tidak, malahan
rasanya sangat enak, coba kau cocoki aku lagi" jawab Ciu Pek-thong.
Sudah tentu Siao-liong-Ii
mengira orang tua itu cuma bergurau saja, ia lantas mengeluarkan satu botol
porselen kecil dan berkata pula: "lni adalah madu tawon yang khusus dapat
menyembuhkan racun jarumku ini, coba kau minum sedikit."
"Tidak, tidak!"
Ciu Pek - thong menggeleng. "Enak rasanya jika dicekoki oleh jarummu ini,
rasanya jarum ini adalah lawan labah2 berbisa ini"
Siao-liong-li tidak
sependapat, tapi orang tidak mau menerima, maka iapun tidak memaksa. ia pikir
lwekang orang tua ini sukar diukur, racun labah2 itu saja tidak dapat
membunuhnya, tentu juga takkan beralangan hanya terkena racun jarum tawon putih.
Padahal racun tawon meski
cukup libay, tapi juga dapat digunakan menyembuhkan macam2 penyakit seperti
encok dan lain2, sebab itulah tiada peternak tawon yang mengidap penyakit
encok, Namun Siao-Iiong-li dan Ciu Pek-thong tidak paham ilmu pengobatan, mereka
tidak tahu racun dapat menawarkan racun, ternyata racun labah2 dalam tubuh Ciu
Pek-thong telah banyak dipunahkan oleh racun jarum tawon Siao-liong-li itu.
Dari luar gua Kim-lun
Hoat-ong dapat mendengar suara pembicaraan Ciu Pek-thong, terdengar suaranya
penuh tenaga seperti orang sehat, tentu saja Hoat-ong kaget, ia pikir apakah
orang ini memiliki tubuh malaikat sehingga tidak mempan segala macam racun?
Mumpung tenaga dalam orang
ini belum pulih seluruhnya harus segera kubinasakan, kalau tidak kelak pasti
akan mendatangkan bahaya besar. Akan tetapi sepasang rodanya sudah terlempar ke
dalam gua, terpaksa ia putar tali sutera berkelening milik Siao-liong-li dan
berseru: "Nona liong, ku pinjam saja senjatamu ini." - Sekuatnya ia
ayun tali sutera itu ke dalam gua.
Karena ilmu silatnya sudah
mencapai tingkatan yang tiada tara-nya, segala jenis senjata dapat dimainkannya
dengan sesuka hati, maka tali sutera itupun dapat digunakannya sebagai cambuk,
bahkan sangat baik untuk menyerang dari jauh dan tidak perlu lagi kuatir
disambit oleh jarum berbisa Siao-liong-li
Seketika timbul hati
kanak2 Siao-liong-li, iapun jemput roda emas dan perak milik Kim-lun Hoat-ong
itu, "creng", ia benturkan kedua roda dan menerbitkan suara nyaring,
lalu berseru: "Baik, kita boleh bertukar senjata dan bertempur lagi."
Tapi baru saja dia angkat
kedua roda itu, ternyata bobotnya luar biasa, terlalu berat baginya untuk
digunakan Rupanya roda emas itu terbuat dari emas murni, beratnya lebih 30
kati, terpaksa Siao-liong-li menarik kedua roda itu untnk menjaga di depan
dada.
Hoat-ong melihat
kesempatan baik, segera ia menubruk maju, tangannya terus meraih hendak merebut
kedua roda itu. Tapi Siao Iiong-li lantas menyurut mundur satu langkah,
berbareng roda perak yang lebih enteng itu terus disambitkan
Sebenarnya sambitan roda
perak ini cuma gertakan saja, pada saat lain segera iapun menghamburkan lagi
berpuluh Giok-hong-ciam, jarum2 ini berasal dari tubuh Ciu Pek-thong yang
dicabutnya sudah hilang kadar racunnya, andaikan tercocok juga tidak
beralangan.
Tapi Hoat-ong sudah kapok,
dia tidak berani menangkap roda perak melainkan terus melompat mundur ke atas
sehingga terluput dari tancapan jarum2 itu.
Ciu Pek-thong bergelak
tertawa dan berseru. "Bagus, kalau bangsat gundul itu berani mendekap
boleh kau serang dia dengan jarum. sebentar kalau tenagaku sudah pulih, segera
kukeluar, menangkapnya dan nanti kita gebuki pantatnya."
"Tapi, ah, jarumku
sudah habis sama sekali," kata Siao-Iiong-li.
"Wah, kalau begitu
bisa konyol," ujar Ciu Pek-thong sambil garuk2 kepala.
Kedua orang, yang satu tua
bangka dan yang lain muda jelita, mereka sama2 lugu dan polos, sama sekali
tidak punya pikiran buruk terhadap orang lain, apa yang mereka pikirkan, itu
pula yang mereka ucapkan.
Sebaliknya Kim-lun
Hoat-ong adalah manusia yang cerdik dan banyak tipu akal, hanya dia tidak kenal
watak Ciu Pek-thong dan Siao liong-Ii, ia tidak percaya bahwa di dunia ini ada
orang yang mau berterus terang akan kelemahannya sendiri.
Menurut jalan pikirannya,
kalau kedua orang itu mengatakan habis jarumnya, tentu adalah sebaliknya dan
sengaja memancing dia mendekat untuk kemudian menyerangnya dengan cara yang tak
terduga, Apalagi kalau ingat pada kedua kaki Nimo Singh yang sudah buntung itu
akibat terkena jarum berbisa Li Bok-chiu, betapapun dia masih ngeri dan setiap
tindakannya menjadi terlebih hati2....
Setelah berkutak-kutek
sekian lama, lambat laun fajarpun menyingsing, Ciu Pek-thong duduk bersila dan
mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendesak keluar sisa racun yang masih
mengeram dalam tubuhnya.
Tapi racun labah2 itu
sungguh ganas luar biasa, setiap kali ia mengerahkan tenaga tentu dada terasa
sesak dan muak, sekujur badan juga terasa gatal pegal, kalau diam saja tanpa
mengerahkan tenaga malah terasa aman, ia mencoba beberapa kali namun tetap
begitu, akhirnya ia putus asa dan berkata: "racun labah2 ini rasanya sukar
disembuhkan."
Sudah tentu Hoat-ong yang
mengintai di luar gua tidak tahu, kesukaran Ciu Pek-thong ini, sebaliknya ia
menjadi kuatir melihat orang tua itu sedang menghimpun tenaga, Tiba2 timbul
akalnya yang keji, segera ia mengeluarkan kotak yang berisi labah2 panca warna
itu. Begitu tutup kotak dibuka, terlihatlah belasan ekor labah2 itu ber-gerak2
dengan warna warni yang menarik.
Hoat-ong mengambil satu
jepitan terbuat dari tungu badak, dengan jepitan itu dijepitnya seutas benang
labah2 dan dikibaskan pelahan, benang lipas itu membawa serta seekor labah2
loreng itu dan menempel pada dinding muIut gua sebelah kiri.
Beberapa kali Hoat-ong
berbuat dengan cara yang sama, ia lepaskan seluruh labah2 itu, setiap ekor
labah2 membawa seutas benang lipas dan penuh menempel sekitar mulut gua..
Mungkin sudah lama labah2
itu tidak diberi makan dan tentu saja kelaparan dan perlu segera mencari
mangsa, maka dalam waktu singkat saja kawanan labah2 ini lantas membuat sarang
di mulut gua, hanya sebentar saja mulut gua itu sudah tertutup oleh bentangan
belasan sarang labah2, kalau labah2 loreng itu sangat berbisa, tentu sarangnya
itu juga berbisa, dengan demikian Siao-liong-li dan Ciu Pek-thong menjadi
terkurung di dalam gua.
Waktu kawanan labah2 itu
membuat sarang, Siao-liong-li dan Ciu Pek-thong sangat tertarik dan hanya
menonton belaka tanpa peduli sampai akhirnya lubang gua yang cukup lebar itu
penuh sarang labah2, sedangkan labah2 berbisa berwarna loreng pun merayap kian
kemari.
"Sayang jarumku sudah
habis, kalau tidak tentu akan kubersihkan semua," ujar Siao-liong-li
dengan suara tertahan.
Segera Ciu Pek-thong
menjemput sepotong kayu dan bermaksud membobolkan sarang labah2 itu, tapi
mendadak terlihat seekor kupu2 besar terbang mendekat dan tahu2 telah
terperangkap oleh sarang labah2.
Seharusnya serangga yang
terjebak sarang labah2 itu akan meronta-ronta dan sebisanya berusaha lari
dengan membobol sarang labah2, tapi kupu2 yang besar ini seketika tak bisa
bergerak lagi begitu lengket dengan benang sarang tabah2 itu.
Karena itulah cepat
Siao-liong-li berseru kepada Ciu Pek-thong: "Awas, jangan mendekatinya,
sarang labah2 itupun berbisa!"
Ciu Pek-thong terkejut,
cepat ia mundur kembali, ia pikir tenaga sendiri sukar dipulihkan dalam waktu
singkat, boleh juga berduduk lagi lebih lama di dalam gua ini. Tapi
Siao-liong-li menjadi gelisah, ia tidak tahu keadaan yang serba tak bisa ini
entah akan berlangsung hingga kapan, apalagi tidak diketahui sisa racun dalam
tubuh orang tua ini apakah sudah terkuras bersih atau belum.
Karena itu ia lanH tas
bertanya: "Ciu Pek-thong, caramu mengerahkan tenaga untuk menguras racun
apakah cukup sehari semalam Iagi?"
Ciu Pek-thong menggeleng,
jawabnya: "Wah, jangankan cuma sehari semalam, biarpun seratus hari
seratus malam juga tak berguna."
"Ah, lalu bagaimana
baiknya?" kata Siao-Iiong-li kuatir.
"Kalau saja bangsat
gundul itu mau mengantar rangsum kepada kita, apa jeleknya kalau kita tinggal
beberapa tahun lagi di sini," ujar Ciu Pek thong dengan tertawa.
Siao-liong-li menghela
napas, katanya: "apabila Nyo Ko berada di sini, sekalipun tinggal
selamanya di sini juga aku mau."
Ciu Pek-thong menjadi
gusar, katanya: "Persetan dengan Nyo Ko segala, memangnya orang seperti
aku ini kurang menarik dibandingkan si Nyo Ko itu? Apakah ilmu silatnya lebih
tinggi daripadaku. Kurang apalagi jika aku yang menemani kau di sini?"
Pada dasarnya kedua orang
ini lugu dan polos, sebab itulah meski ucapan Ciu Pek-thong itu rada2 tak
genah, tapi Siao-liong-li juga tidak ambil pusing, deengan tersenyum ia
menjelaskan: "Soalnya Nyo Ko mahir memainkan ilmu pedang Coan-cin-pay yang
lihay itu, kalau dia main berpasangan dengan aku akan dapat mengalahkan Hwesio
Tibet ini."
"Hahaha, bicara
tentang ilmu pedang Coan-cin-pay, memangnya si Nyo Ko bisa melebihiku"
ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa.
Tapi permainan ganda kami
ini disebut Giok-li kiam-hoat, untuk ini harus cinta mencintai antara dia dan
aku, dengan adanya paduan perasaan baiklah dapat mengalahkan musuh," tutur
Siao-liong-li.
Bicara tentang cinta,
seketika hati Ciu Pek-phong kebat-kebit, cepat ia menggeleng dan berkata:
"Stop... stop! jangan kau ucapkan lagi, Hanya ingin kukatakan padamu bahwa
tinggal selama beberapa di dalam gua ini, sebenarnya bukan soal, Dulu aku
pernah berdiam di dalam sebuah gua di Tho hoa-to selama belasan tahun, aku
sendirian tanpa seorang teman, terpaksa aku berkelahi dengan diriku sendiri,
tapi sekarang kita tinggal berdua, berbicara dan dapat tertawa, keadaan jelas
sangat berbeda."
"Aneh, berkelahi
dengan dirinya sendiri, bagai mana caranya itu?" tanya Siao-Iiong-li
ter-heran2.
Chiu Pek-thong sangat
senang ada orang tertarik pada kepandaiannya yang khas itu, segera ia menjelaskan
secara ringkas ilmu ciptaannya itu, yakni cara berkelahi dengan tangan kanan
melawan tangan kiri satu orang melakonkan peranan dua orang.
Hati Siao-Iiong-Ji
tergerak, ia pikir kalau ilmu aneh ini dapat kupelajari dengan tangan kiri ku
mainkan Coan-cin-kiam hoat dan tangan kanan memainkan Giok-li-kiam-hoat,
sehingga jadilah gabungan ilmu pedang dari dua orang.
Hanya saja kepandaian khas
ini mungkin sukar dipelajari dalam waktu singkat. Segera ia bertanya:
"Apakah ilmu ini sukar dipelajari?"
Dibilang sukar memang
sangat sukar, dikatakan mudah juga sangat mudah," ujar Ciu Pek-thong.
"Ada orang ingin belajar, tapi selama hidup tak berhasil, sebaliknya ada
orang yang dapat mempelajarinya dengan baik hanya dalam waktu beberapa hari
saja, Nah, kau kenal suami isteri yang bernama Kwe Ceng dan Ui Yong
bukan?"
Siau-liong-li mengangguk.
"Nah, coba katakan,
siapa yang lebih pintar diantara mereka suami dan isteri itu?"
"Kwe-hujin sangat
pintar dan cerdas, diberitahu satu segera paham seratus, menurut Ko-ji, katanya
di jaman ini mungkin tiada manusia lain yang lebih cerdas daripadanya.
Sedangkan Kwe~ tayhiap memang tinggi ilmu silatnya, tapi soal kecerdasan hanya
biasa saja."
"Hanya biasa
apa?" ujar Ciu Pek thong dengan tertawan "Lebih tepat dikatakan
goblok. Nah, coba katakan, aku ini pintar atau goblok?"
"Kau sudah, tua, tapi
masih ketololan dan dari cara bicaramu juga angin2an," jawab Siao-liong li
dengan tertawa.
"Benar ucapanmu
memang, tidak salah" kata Pek-thong, "llmu kanan kiri saling
berkelahi itu adalah, hasil pemikiranku kemudian kuajarkan adik Kwe dan cuma
beberapa hari saja sudah dikuasainya. Lalu dia mengajarkan lagi kepada
istrinya, tapi apa yang terjadi? Haha, jangan kau kira si Ui Yong itu pintarnya
seperti setan, tapi ilmu ciptaanku itu justeru tidak berhasil dipelajari
olehnya. Tadinya kukira Kwe Cing keliru mengajarnya, maka aku sendiri juga
memberi petunjuk, namun pada pelajaran pertama saja dia gagal, coba, kan aneh
dan lucu toh?"
"Bagaimanakah
pelajaran pertama ilmu kepandaianmu itu?" tanya si nona.
Pertama kali adalah
"tangan kiri melukis per-pegi dan tangan kanan menggambar bundaran",
tapi meski ber-ulang2 ia menggambar tetap tidak jadi, Sebab ituIah kukatakan
ada orang segera berhasil sekali belajar, tapi juga ada yang belajar selama
hidup tetap tidak menguasai. Mungkin semakin pintar orang nya semakin tidak
jadi."
"Masakah dunia ini
ada orang bodoh lebih unggul belajar kepandaian daripada orang pintar? Heh, aku
tidak percaya," kata Siao-liong-li.
Dengan tertawa Ciu
Pek-thong berkata pula: "Kulihat kecerdasanmu dan kecantikanmu seimbang
dengan si Ui Yong, ilmu silatmu juga selisih tidak jauh daripada dia. Kalau kau
tidak percaya, sekarang kau boleh coba melukis sebuah persegi dengan tangan
kirimu dan berbareng menggambar pula sebuah bundaran dengan tangan
kananmu."
Sudah tentu Siao-liong-li
ingin mencobanya, segera ia mengulurkan kedua jari telunjuk dari kedua
tangannya dan berbareng menggambar di tanah, tapi hasilnya memang sangat
mengecewakan gambar persegi lebih tepat dikatakan jorong dan gambar bundaran
malahan mirip persegi.
Ciu Pek-thong ter-bahak2,
katanya: "Nah, apa kataku? Kau anggap dirimu sangat pintar, nyatanya
pekerjaan sepele begitu juga tidak bisa."
Siao-liong-li tersenyum,
ia coba menghimpun semangat dan memusatkan pikiran, ia mengulurkan kedua jari
pula dan sekenanya menggambar lagi sebuah persegi dan sebuah bundaran, sekali
ini perseginya benar2 persegi dan yang bundar benar2 bundar-dar.
"He, kau....
kau..." tidak kepalang kejut Ciu Pek-thong. Sejenak baru disambungnya
lagi: "Apakah sebelum ini kau sudah pernah mempelajarinya?"
"Belum pernah,"
jawab Siao liong-li. "Memangnya apa sulitnya?"
"Habis cara bagaimana
kau bisa melukisnya sebaik ini?" ujar Ciu Pek-thong sambil garuk2 kepala.
"Aku sendiripun tidak
tahu caranya," jawab Siao liong-li. "Yang pasti aku tidak memikirkan
apa2 dan sekali jariku menggores lantas jadi."
Segera ia memberi
demonstrasi lagi, kembali kedua tangannya mencorat-coret di tanah,
-"tangan kiri menuliskan "Lo-wan-thong" dan tangan kanan menulis
"Siao-Iiobg-li" kedua tangan menulis berbareng, tulisannya rajin dan
indah laksana tertulis dari satu tangan saja.
Ciu Pek-thong menjadi
girang, katanya: "Wah, tampaknya kepandaian ini sudah kau pelajari sejak
kau bjerada di dalam kandungan ibumu."
BegituIah Ciu Pek thong
lantas mengajari Siao liong-li ilmu berkelahi "Satu orang melakukan dua
peranan", kalau tangan kiri menyerang tangan kanan lantas bertahan dan
begitu pula sebaliknya, ia ajarkan seluruhnya kepada si nona segenap teori kanghu
(Kungfu) hasil pemikirannya ketika terkurung di gua Tho-hoa-to dahulu itu..
Sebenarnya Kanghu ciptaan
Ciu Pek thong ini kuncinya terletak pada "Hun-sim-ji-yong" (membagi
perhatian untuk dua peranan). Justeru orang yang cerdik pandai, orang yang
banyak berpikir dan suka berpikir, malahan sulit disuruh belajar ilmu berkelahi
ini. .
Adapun Siao-liong-li sejak
kecil sudah digembleng menghilangkan perasaan dan napsu, ilmu dasar itu sudah
terpupuk dengan kuat, meski kemudian dia jatuh cinta kepada Nyo Ko sehingga
banyak mengganggu ilmunya itu, tapi sekarang hatinya lagi terluka dan
membuatnya patah hati dan putus asa, maka sebagian besar ilmunya yang telah
dikuasainya dahulu itu telah pulih kembali dalam keadaan lapang pikiran dan
benak kosong, sedikit diberi petunjuk oleh Ciu Pek-thong segera dapat
dipahaminya.
Clu Pek-thong sendiri
belum sembuh, tapi ia dapat memberi petunjuk dengan ucapan dan gerakan tangan
secara mengasyikkan, Siao-liong li juga tertarik dan ber-ulang2 mengangguk
sambil merentangkan tangan kanan menggunakan Giok-li-kiam-hoat dari-
Ko-bong-pay dan tangan kiri menggunakan Coan-cin-kiam-hoat dari Coan-cin-pay,
hanya dalam waktu beberapa jam saja sudah dapat dipahami seluruhnya.
"Cukuplah, aku sudah
paham semua," kata Siao-liong-li, kedua tangannya lantas coba2 main
beberapa jurus dan ternyata sangat tepat tanpa sesuatu kesalahan.
Keruan Ciu Pek-thong
melongo bingung, berulang2 ia menyatakan herannya.
Dalam pada itu Kim-lun
Hoat-ong dan Tio Ci-keng masih terus berjaga di luar gua, mereka cuma mendengar
suara Ciu Pek-thong dan Siao liong-li yang berbicara tak ber-henti2 sampai
sekian lama, ada omong ada tawa, sedikitpun tidak kesal sebagaimana orang
tahanan umumnya.
Tentu saja merekapun
heran, mereka coba pasang kuping ikut mendengarkan tapi secara terputus mereka
hanya dapat menangkap beberapa kalimat pembicaraan Ciu Pek-thong berdua,
malahan sama sekali tidak paham arti ucapannya.
Suatu ketika Siao-liong-li
berpaling dan kebetulan melihat Hoat-ong dan Ci-keng sedang melongak-longok ke
dalam gua seperti maling mengincar jemuran, segera ia berbangkit dan mengajak
Ciu Pek-thong: "Marilah kita pergi."
"Kemana?" tanya
Pek-thong melengak.
"Keluar sana dan
membekuk bangsat gundul itu untuk memberikan obat penawar padamu,"
"Apakah kau yakin dapat
mengalahkan dia?" Pek-thong bertanya sambil tarik2 janggutnya sendiri.
Belum lagi Siao-liong-li
menjawab, tiba2 terdengar suara mengaungnya tawon, seekor tawon madu tampak
terjebak ke dalam sarang labah2 di mulut gua dan meronta2 berusaha melepaskan
diri, Kalau tadi kupu2 yang besar itu seketika mati begitu menyentuh benang
sarang labah2, ternyata tawon madu ig kecil ini tidak takut pada racun labah2
loreng setelah me-ronta2, akhirnya sarang labah2 itu malah kebobolan satu
lubang, Seekor labah2 lorong mengawasi dengan garangnya didekat tawon kecil tu,
tapi tidak berani maju untuk menyerangnya.
Ketika tinggal di kuburan
kuno itu dahulu, Siao-liong li pernah memiara gerombolan tawon madu dan dapat
menguasainya dengan baik, malahan dia anggap kawanan tawon itu sebagai sahabat
baik, sekarang melihat tawon kecil terperangkap, ia menjadi tidak tega dan
ingin menolongnya.
Tiba2 terpikir olehnya:
"Meski bentuk labah2 ini sangat menakutkan, tapi tawonku mungkin tidak
takut pada-nya." - Segera ia mengeluarkan botol porselen dan membuka
tutupnya, ia kerahkan tenaga dalam maka hawa panas tersalur dari telapak
tangannya. botol itu.
Hanya sebentar saja
Siao-liong-li menggenggam botol kecil itu, lalu teruar bau harum madu tawon
keluar gua menembus sarang labah2.
Ciu Pek-thong menjadi
heran dan bertanya "Apa yang kau lakukan?"
"Ini permainan
suiapan yang menarik, kau ingin tahu tidak?" jawab Siao-liong li.
"Wah, bagus, bagus
sekali" seru Pek-thong kegirangan. Tapi sulapan apakah itu.
Siao-liong li cuma
tersenyum saja tanpa menjawab, diam2 ia mengerahkan tenaga dalamnya lebih kuat
untuk menambah panasnya botol porselen agar bau harum madu teruar lebih cepat
dan lebih keras.
Tatkala itu adalah musim
panas, bunga hutan di lembah pegunungan sedang mekar semerbak, di mana2
terdapat gerombolan tawon liar yang mencari sari bunga. Ketika mencium bau
harum madu serentak kawanan tawon membanjir dari segenap penjuru.
Setiap tawon sama
menerjang isi dalam gua, tapi begitu menempel benang jaring labah2 lantas
melengket dan berontak sekuatnya untuk membebaskan diri, ada sebagian tergigit
mati oleh labah2 berbisa itu, tapi ada juga tawon yang sempat menyengat tubuh
labah2. Meski labah2 adalah makhluk maha berbisa, tapi makhluk yang satu
dimatikan oleh makhluk yang lain, agaknya tawon adalah musuh besar labah2 itu,
begitu tersengat dan kena racun tawon, pelahan labah2 itupun kaku dan mati
akhirnya.
Begitulah terjadi perang
tanding antara kawanan tawon dengan labah2 berbisa itu, yang paling senang
adalah Ciu Pek-thong, ia berjingkrak kegirangan menonton pertempuran aneh itu,
sebaliknya Kim~lun Hoat-ong dan Ci-keng yang berada di luar gua menjadi melongo
kesima dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Waktu itu kawanan labah2
masih di atas angin, hanya dua ekor saja yang mati, sebaliknya kawanan tawon
sudah binasa beberapa puluh ekor, Namun tawon liar itu makin membanjir tiba,
semula cuma beberapa ekor saja, lalu beberapa puluh, bertambah lagi beberapa
ratus dan akhirnya be-ribu2, hanya sekejap saja jaring labah2 yang memenuhi mulut
gua itu menjadi bobol sama sekali, belasan ekor labah2 berbisa itu mampus semua
tersengat tawon.
Ci-keng sudah kapok karena
dahulu pernah merasakan siksaan sengatan tawon, maka begitu melihat gelagat
jelek, diam2 ia mengeluyur ke semak2 pohon sana, Hoat-ong sendiri cuma
menyayangkan matinya labah2 itu, kehancuran barisan labah2 yang sukar
dimengerti itu disangkanya karena dikerubut oleh kawanan tawon liar, ia pikir
mungkin tawon suka bergerombol dan bersatu menghadapi musuh bersama sehingga
kawanan Iabah2 itu dibinasakan seluruhnya ia tidak tahu bahwa datangnya
gerombolan tawon itu sebenarnya sengaja dipancing oleh bau madu yang disiarkan
oleh Siao-liong-li.
Malahan Hoat-ong
memikirkan pula cara bagaimana agar dapat memaksa Ciu Pek-thong dan Siao-Iiong-li
keluar gua untuk kemudian dibinasakan semua.
Namun Siao-Iiong-li sudah
bertindak lebih dulu dengan kuku jarinya ia mencukil sedikit madu tawoni lalu
disentilkan ke arah Hoat-ong, lalu jari telunjuk menuding ke kanan sekali dan
ke kiri sekali, berbareng mulutnya juga mem-bentak2 dua kali, Mendadak kawanan
tawon yang be-ribu2 jumlahnya itu terus menyamber keluar gua, ke arah Hoat-ong.
Keruan kaget Hoat-ong
tidak kepalang, cepat ia membalik tubuh dan sekuatnya melompat ke sana hingga
beberapa meter jauhnya, Ginkangnya memang sudah mencapai tingkatan maha tinggi,
betapapun cepat terbang kawanan tawon itu ternyata masih kalah cepat daripada
lompatan Hoat-ong. Sekejap saja ia sudah jauh meninggalkan kejaran kawanan
tawon itu. Karena tidak dapat menyusul sasarannya pawanan tawon itupun lantas
buyar sendiri2.
Ber-uIang2 Siao-liong-Ii
membanting kaki dan menyatakan sayang.
"Sayang apa?"
tanya Ciu Pek-thong.
"Dia berhasil kabur,
kita tak dapat lagi merebut obat penawarnya," kata Siao-liong li
Kiranya tadi Siao-liong-li
mengerahkan kawanan tawon hendak mengurung Kim-lun Hoat-ong dari kanan dan
kiri, tak terpikir olehnya bahwa kawanan tawon itu bergabung secara liar dan
bukan terdiri dari satu sarang, dengan sendirinya tidak penurut sebagaimana
tawon putih yang di kuburan kuno itu.
Kalau sekadarnya disuruh
mengejar dan menyengat musuh sih bisa, lebih dari itu jelas tidak mungkin.
Namun begitu CiuPek-thong
juga sudah kagum luar biasa terhadap kesaktian Siao liong~li yang lahir
mengendalikan kawanan tawon itu, ia merasa permainan ini jauh lebih menarik
daripada semua permainan yang pernah dilihatnya, seketika ia menjadi lupa pada
badan sendiri apakah sisa racunnya dapat dipunahkan seluruhnya atau tidak.
Karena sarang labah2 di
mulut gua sudah hapus, segera Siao-Iiong-li melompat keluar, lalu ia memanggil
Ciu Pek-thong agar ikut keluar.
Menyusul Ciu Pek-thong
juga melompat keluar, tapi segera ia terbanting jatuh, "Wah, cialat!
Tenaga sukar dikeluarkan!" katanya dengan gegetun, Mendadak sekujur badan
gemetar dan gigi berkertukan.
Kiranya jatuhnya itu telah
memancing bekerjanya sisa racun labah2 yang masih mengeram dalam tubuhnya,
seketika ia menggigil kedinginan seperti kejeblos ke dalam peti es, bibir dan
mukanya menjadi pucat pasi.
"He, Ciu Pek-thong,
kenapa kau?" tanya Siao-liong-li kaget.
Ciu Pek-thong masih
menggigil jawabnya dengan suara gemetar: "Lekas.... lekas kau cocok aku
dengan.... dengan jarum itu."
"Tapi jarumku ini
berbisa," kata Siao-liong-li.
"Ya, justeru....
justeru karena berbisa itulah, lekas!" pinta Pek thong pula.
Tergerak pikiran
Siao-liong-li, teringat pertempuran antara kawanan tawon dengan labah2 berbisa
tadi, ia pikit jangan2 racun tawon merupakan lawan racun labah2 itu? Segera ia
jemput sebuah jarum dan mencoba mencocoki lengan Ciu Pek-thong.
Mendadak Pek-thong
berteriak: "Bagus! Lekas tusuk beberapa kali lagi!"
Ber-turut2 Siao-liong-ii
mencocoki beberapa kali lagi dan ber-ulang Ciu Pek-thong berteriak bagus.
tampaknya kadar racun di jarum itu sudah lenyap, lalu Siao-Iiong-li berganti
jarum yang lain, seluruhnya belasan jarum digunakan mencocoki tubuh Ciu
Pek-thong, Akhirnya orang tua itu tidak menggigil lagi, ia menghela napas lega
dan berkata: "Ehm, menyerang racun dengan racun, memang resep paling
mujarab."
Habis itu ia coba
mengerahkan tenaga dalam, tapi masih ada sisa racun yang belum hilang, mendadak
ia menepuk paha dan bersemi "Aha, tahukah aku. Nona Liong, racun tawon
pada jarummu itu agaknya kurang segar, sudah basi."
"Jika begitu, apakah
kau mau kalau kusuruh |awanan tawon liar itu untuk menyengat kau?" ujar
Siao-liong-li dengan tertawa.
"Aha, terima kasih
sebelumnya, lekas kau mengundangnya, lekas!" seru Giu Pek-thong.
Siao-liong-li lantas
membuka pula botol madunya untuk memancing kedatangan kawanan tawon liar, setiap
tawon itu sama mengantupi badan Ciu Pek-thong, bukannya mengeluh sakit,
sebaliknya, Anak Tua Nakal itu malah tertawa gembira, ia membuka bajunya
sekalian, punggung yang telanjang itu sengaja dibiarkan disengat oleh kawanan
tawon, berbareng iapun mengerahkan tenaga dalam untuk melancarkan jalan darah
dan menghalau sisa racun labah2.
Agak lama juga ia diantupi
tawon sehingga punggungnya penuh bintik merah bekas sengatan, akhirnya sisa
racun dapat dihilangkan semua, kalau disengat lagi lantas terasa sakit, Maka
berteriaklah Ciu Pek-thong: "Cukup, sudah cukup! Kalau diantupi lagi
jiwaku bisa melayang!"
Siao-liong-li tersenyum
dan menghalau pergi kawanan tawon itu. Lalu ia menjemput tali sutera
berkeleningan yang terjatuh di samping sana, kemudian ia tanya Ciu Pek-thong:
"Aku akan pergi ke Cong-Iam-san, kau ikut tidak?"
Ciu Pek-thong menggeleng
dan menjawab: "Tidak, aku masih ada urusan lain, silakan engkau pergi
sendiri saja."
"Oya, kau perlu ke
Siangyang untuk membantu Kwe-tayhiap," kata Siao-Iiong-li. Menyebut nama
"Kwe-tayhiap" ia lantas ingat pula kepada Kwe Hu, dari Kwe Hu lantas
terkenang kepada Nyo Ko.
"Ciu Pek-thong,"
katanya kemudian dengan muram, "jika kau bertemu dengan Nyo Ko, janganlah
kau bilang pernah bertemu dengan diriku."
Akan tetapi Ciu Pek-thong
tidak menjawabnya, waktu Siao-liong-li mengawasi, tertampak orang tua itu
sedang berkomat-kamit, entah apa yang sedang di gumamkan, malahan mimik
wajahnya sangat aneh, entah lagi main gila apa?
Selang sejenak barulah
mendadak Ciu Pek-thong mendongak dan bertanya: "Apa katamu tadi?"
"O, tidak apa2,"
jawab Siao-liong-li. "Sampai bertemu pula."
Tampaknya Ciu Pek-thong
tidak menaruh perhatian kepada ucapan Siao-liong-li itu, ia cuma mengiakan,
lalu berkomat-kamit lagi.
Tanpa-bicara lagi Siao-liong-li
lantas berangkat sendiri, setelah melintasi suatu tanah tanjakan sana, tiba2
terdengar suara bentakan Ciu Pek-thong, suaranya seperti lagi menirukan
Siao-liong-Ii ketika mengendalikan kawanan tawon.
Siao-liong-li sangat
heran, diam2 ia memutar balik ke tempat, tadi dan mengintai dari balik pohon.
dilihatnya Ciu Pek-thong memegangi sebuah botol porselen kecil dan sedang
ber-jingkrak2 sambil ber-kaok2 aneh, Waktu Siao-liong-li meraba sakti sendiri,
ternyata botol madunya itu sudah lenyap entah sejak kapan telah dicuri si Anak
Tua Nakal itu.
Rupanya suara Ciu
Pek-thong itu rada2 mirip cara Siao-liong-li memberi perintah kepada kawanan
tawon, tapi lebih banyak salahnya, meski ada juga beberapa ekor tawon yang
muncul karena mencium bau harum madu, tapi tiada satupun yang tunduk kepada
perintah Ciu-Pek-thong, tawon2 itu cuma terbang kian kemari mengitari botol
porselen.
Siao-liong-li tertawa geli
melihat tingkah Anak Tua Nakal itu, segera ia menampakkan diri dan berseru
"Sini, kuajarkan kau!"
Melihat rahasianya
terbongkar dan ketangkap basah dengan bukti barang curiannya, Ciu Pek thong
menjadi malu, tanpa bicara lagi ia terus berlari pergi dan dalam sekejap saja
sudah menghilang.
Siao-liong-li bergelak
tertawa melihat tingkah laku si tua yang lucu itu, Suara tertawanya
berkumandang membalik, mendadak ia merasa hampa dan kesepian, tanpa terasa ia
meneteskan air mata.
Bilamana ia mengadu
kecerdasan dan tenaga dengan Kim-lun Hoat-ong, kemudian ia ditemani Lo-wab-tong
dan bercanda sekian lama, kini musuh sudah kabur, kawan pun sudah pergi, di
dunia ini bisanya tertinggal ia seorang diri saja.
Sepanjang jalan ia
menguntit Ci-keng dan Ci-peng, ia merasa kedua Tosu itu sangat busuk, biarpun
dicincang hingga hancur lebur juga sukar terlampias rasa dendamnya. padahal
sekali dia turun jangan saja kedua orang itu pasti akan binasa, namun hati
selalu enggan, rasanya sekalipun mereka dibinasakan, habis mau apa lagi?
Sendirian ia duduk
ter-mangu2 di bawah pohon, akhirnya ia menggumam sendiri: "Agaknya harus
mencari mereka lagi!"
Ia lantas turun dari bukit
itu dan mencemplak atas keledai yang dilepas untuk makan rumput bawah bukit
itu, baru saja ia mau berangkat ke arah pasukan Mongol, tiba2 di depan debu
mengepul tinggi disertai suara terompet bergema riuh, pasukan tampak sedang
bergerak ke selatan secara besar2an, jelas pihak Mongol mulai menggempur
Siangyang lagi.
Siao-liong-li menjadi
ragu2, di tengah pasukan besar itu, cara bagaimana mencari kedua Tosu itu. Tapi
pada saat itu juga, se-konyong2 tiga penunggang kuda berlari lewat di bawah
bukit, para penunggang kuda itu jelas berjubah kuning dan berkopiah kaum Tosu.
Siao-liong-li menjadi
heran mengapa bisa bertambah seorang Tosu lagi, ia coba mengamati dari jauh,
jelas yang paling belakang adalah Ci-peng sedangkan Ci-keng mengaburkan kudanya
bersama Tosu ketiga yang berusia jauh lebih muda.
Tanpa pikir Siao-liong-li
lantas keprak keledainya menyusul ke sana.
Ketika mendengar suara
ketoprakan kaki kuda In Ci~peng menoleh ke belakang dan ternyata Siao liong-li
sudah mengintil lagi, keruan air mukanya berubah pucat. segera Ci-keng dan Tosu
yang muda juga mengetahui penguntilan Siao-liong-li.
"Siapakah perempuan
muda ini, Tio~supek?" tanya Tosu muda itu.
"Dia adalah musuh
besar Coan-cin-kau kita, sutit jangan banyak bertanya," jawab Ci-keng.
Toso muda itu terkejut,
tanya pula dengan suara rada gemetar: "Apakah dia ini Jik-lian siancu Li
Bok-chiu?"
"Bukan, tapi
Sumoaynya," kata Ci-keng.
Kiranya Tosu muda itu
bernama Ki Ci-seng, meski namanya juga pakai "Ci", tapi dia termasuk
anak murid Coan-cin-kau angkatan ke empat, lebih rendah satu angkatan daripada
In Ci-peng dan Tio ci-keng.
Yang diketahuinya hanya Li
Bok-chiu telah beberapa kali bertengkar dengan para kakek-gurunya malahan pihak
Coan-cin mereka beberapa kali kecundang.
Begitulah Ci-keng lantas
cambuk kudanya agar berlari lebih cepat dan diikuti oleh Ci-peng berdua. Kanya
sekejap saja Siao-liong-li sudah tertinggal jauh. Namun keledai belang yang
ditunggangi Siao-jong-li itu sangat kuat larinya, meski tidak cepat namun dapat
berlari secara teratur tanpa lelah, Sedangkan kuda2 itu setelah berlari cepat,
kemudian megap2 napasnya dan mulai lamban larinya sehingga keledai belang dapat
menyusulnya lagi.
Waktu Ci-keng menoleh dan
melihat Siao-liong li sudah mendekat, cepat ia cambuk kudanya lagi, tapi
kudanya cuma lari kencang sebentar, lalu lari lambat pula.
"Tio-supek, tampaknya
kita tak dapat lari, marilah kita membalik kesana untuk mencegatnya dan biar
In-supek lolos sendiri," kata Ki Ci-seng.
Dengan wajah geram Ci-keng
menjawab: "Hm mudah saja kau bicara, memangnya kau tidak ingin hidup
lagi?"
"Tapi... tapi
In-supek mengemban tugas berat sebagai pejabat ketua, kita harus berusaha
menyelamatkan dia," ujar Ci-seng.
Ci-keng sangat mendongkol
ia hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Melihat air muka sang
paman guru yang marah itu, Ci-seng tidak berani bicara lagi, ia tunggu setelah
Ci~peng mendekat, lalu berbisik padanya "In-supek, paling penting engkau
harus jalan lebih dulu."
"Ah, biarkan saja dia
menyusul ke sini," jawab Ci-peng tak acuh.
Diam2 Ci-seng sangat kagum
melihat sikap sang paman guru yang sangat tenang itu, ia pikir sikap ksatria
demikian sungguh sukar dicari bandingannya di antara tokoh angkatan ketiga,
pantas para kakek guru memilih In-supek sebagai pejabat ketua, betapapun ia
tidak tahu bahwa perasaan Ci-peng saat ini sungguh aneh luar biasa, andaikan
Siao-liong-li ingin membunuhnya, maka iapun sudah siap memasangkan lehernya di
depan si nona, sedikitpun tiada pikirannya buat melawan lagi.
Melihat kedua kawannya
tidak cemas akan datangnya musuh, Ci-keng menjadi serba susah, hendak lari
lebih dulu terasa malu, untunglah sementara ini tiada tanda2 Siao-liong-li akan
bertindak kepada mereka. Namun hatinya tetap kebat-kebit, sebentar ia lantas
menoleh ke belakang.
Begitulah tiga orang di
depan dikuntit seorang dari belakang, mereka meneruskan perjalanan ke utara
tanpa bicara lagi, sementara itu suara gemuruh gerakan pasukan Mongol ke
selatan sudah Ienyap, hanya terkadang samar2 terdengar suara riuh umatnya
pertempuran di kejauhan yang terbawa angin, tapi setelah arah angin berganti,
suara itupun tak terdengar.
Sepanjang jalan, karena
menghindari gangguan pasukan tentara yang besar itu, semua rumah penduduk boleh
dikatakan kosong melompong, bahkan ayam dan anjingpun tak tertampak seekorpun,
Kalau tempo hari Ci-peng dan Ci-keng berlari ke jurusan yang sepi, malahan
terkadang dapat ditemukan rumah makan kecil yang sederhana dipedusunan, kini
mereka melalui jalan besar, jangankan rumah makan, sebuah rumah penduduk yang
utuh pun sukar ditemukan.
Malamnya Ci~peng bertiga
lantas mondok di sebuah rumah bobrok yang tiada daun pintu dan jendela, Sekali2
Ci~keng coba mengintip keluar, di lihatnya Siao-liong-li telah memasang seutas
tali antara dua batang pohon besar, di atas tali yang terbentang itulah si nona
berbaring..
Ci-seng juga ikut
mengintai, melihat betapa hebat kepandaian Siao-liong-li, hatinya menjadi
takut. Hanya Ci-peng tidur dengan nyenyaknya, tanpa perdulikan urusan lain,
semalaman Ci-keng tidak bisa pulas, sebentar bangun sebentar berbaring, ia
sudah ber-siap2 apabila ada suara yang mencurigakan segera ia akan kabur lebih
dulu.
Esok paginya mereka
melanjutkan perjalanan lagi, karena semalam suntuk tidak tidur, ditambahi rasa
takutnya yang menumpuk, ia menjadi rada pusing kepala di atas kudanya. Ci-seng
mendampingi
Ci-peng ketinggalan di
belakang, dengan lesu Ci-peng menanyai Ci-seng tentang keadaan di Cong-lam-san
akhir2 ini serta kesehatan para paman guru dan gurunya.
Menurut Ci-seng,
Coan-cin-ngo-cu kelima murid utama Coan cin-kau, tadinya tujuh orang, Tam
Ju-hoat dan Ma Giok sudah meninggal sehingga tinggal lima orang) sekarang mulai
bertapa atau menyepi untuk waktu yang cukup lama, bisa setahun atau paling
sedikit tiga bulan, sebab itulah ln Ci-peng diharapkan pulang ke
Tiong-yang-kiong untuk menerima tugas sebagai pejabat ketua.
Ci-peng ter-mangu2
mendengar cerita itu, ia menggumam sendiri: "Kepandaian beliau2 itu tiada
taranya, entah apalagi yang hendak mereka latih?"
Dengan suara tertahan
Ci-seng membisiki: "Konon kelima kakek guru bertekad menyelami dan
menciptakan semacam ilmu yang dapat mengalahkan jlimu silat Ko-bong-pay."
"Oh," Ci-peng
bersuara singkat dan tanpa terasa menoleh memandang sekejap kepada
Siao-liong-li.
Kiranya sesudah
Siao-liong-li bergabung dengan Nyo Ko mengalahkan Kim-Iun Hoat-ong di
pertempuran besar ksatria dahulu, ilmu silat kedua muda-mudi telah
menggemparkan dunia persilatan, Tapi lantaran Nyo Ko berdua sedang mabok
kepayang mereka tidak lagi memikirkan kejadian itu.
Namun dunia persilatan
sudah kadung geger, katanya ilmu silat di dunia ini tiada yang dapat menandingi
pewaris dari Ko-bong-pay. Sudah tentu desas-desus begitu, banyak di-bumbui
pula.
Apalagi kejadian itu juga
disaksikan oleh Hek Tay-thong, Sun Put-ji, Ci peng dan Ci-keng, ditambah pula
berita kemudian mengatakan Kim-lun Hoat-ong sekali lagi dikalahkan Nyo Ko dan
Siao-liong-li sehingga paderi itu lari ter-birit2, tentu saja semua itu sangat
mencemaskan pimpinan Coan-cin-kau, terutama kalau teringat pada suatu ketika Li
Bok-chiu, Siao-liong-li atau Nyo Ko pasti akan menuntut balas kepada mereka.
Menghadapi Li Bok-chiu
seorang saja sukar, apalagi ditambah Nyo Ko dan Siao-liong-li berdua, Bahwa
diantara Li Bok-chiu dan Siao-liong-li juga terjadi sengketa ternyata tidak
diketahui oleh pihak Coan cin-kau.
Kini pucuk pimpinan
Coan-cin-kau hanya tinggal lima orang saja, semuanya sudah sama tua dan loyo,
sedangkan anak murid angkatan muda juga tiada tokoh yang menonjol, kalau nanti
pihak Ko-bong-pay datang, pasti Coan-cin-pay mereka akan kalah habis2an.
Sebab itulah kelima tokoh
Coan-cin-kau itu memutuskan menyepi untuk memikirkan satu macam ilmu silat maha
hebat sebagai persiapan untuk menghadapi pihak Ko-bong-pay. Lantaran itu pula
In Ci-peng dipanggil pulang ke Cong-lam-san untuk menerima tugas sebagai
pejabat ketua.
Begitulah mereka terus
melanjutkan perjalanan ke barat laut, Siao-liong-li masih tetap menguntit di
belakang dalam jarak tertentu.
Suatu hari sampailah
mereka di wilayah Siam-say, sudah dekat dengan Cong-lam-san. Ci-peng tidak
mengerti apa kehendak Siao-liong-li itu yang menguntitnya terus menerus,
pikirnya: "Apakah dia hendak melapor kepada Suhuku tentang perbuatanku
yang rendah itu atau dia akan mengobrak-abrik Coan-cin-kau lagi untuk menuntut
balas sakit hatinya? Atau bisa jadi dia akan pulang ke Ko-bong pay yang satu
jurusan dengan kami ini atau... atau...." sampai di sini ia tidak berani
melanjutkan pikirannya lagi, yang jelas ia sudah tidak memikirkan mati- hidup
selanjutnya, maka rasa takutnya menjadi banyak berkurang pula.
Selang beberapa hari,
akhirnya mereka sampai di kaki gunung Cong lam, segera Ci-seng melepaskan
sebuah anak panah berwarna. Tak lama kemudian empat Tosu tampak berlari turun
dari atas gunung dan memberi hormat kepada Ci-peng serta menyambut kembalinya
dengan hangat.
Tosu yang tertua lantas
berkata: "Menurut keputusan kelima paman guru, begitu Jing-ho Cin-Jti
(gelar agama In Ci-peng) tiba diharuskan segera bertugas sebagai pejabat ketua,
tentang upacara serah terima boleh menunggu nanti sehabis Khu-susiok selesai
menyepi."
"Apakah kelima paman
guru sudah mulai menyepi," tanya Ci-peng.
"Sudah mulai 20 hari
lebih," jawab Tosu itu".Tengah bicara, ber-turut2 datang pula belasan
Tosu yang lain dan menyambut pulangnya ln Ci peng dengan tetabuhan, berbondong2
Ci-peng lantas di arak ke atas gunung sehingga Ci-keng tertinggal di belakang
tanpa diperhatikan.
Tentu saja Ci-keng
mendongkol dan gemas serta iri pula, namun dalam hati iapun bergirang
"Nanti kalau kedudukan pejabat ketua sudah kupegang barulah "kalian
tahu rasa."
Menjelang petang sampailah
rombongan mereka di depan Tiong-yang-kiong, penghuni istana agama yang
berjumlah lebih 500 orang itu sama berbaris memanjang di luar pintu disertai
suara genta dan tambur yang ditabuh ber-taIu2.
Melihat keadaan yang
khidmat itu, Ci-peng yang tadinya lesu itu seketika bersemangat kembali. Di
bawah iringan 16 murid tertua ia masuk ke ruangan pendopo untuk memberi sembah
kepada lukisan Ong Tiong-yang, yaitu cakal-bakal Coan-cin-kau, lalu masuk lagi
ke ruangan berikutnya untuk memberi hormat kepada tujuh kursi yang biasanya
menjadi tempat duduk Coan-cin-jit-cu jika berkumpul. Habis itu ia balik lagi ke
ruangan pendopo di depan.
Murid Khu Ju-ki yang
kedua, yakni Li Ci-iang, lantas mengeluarkan surat keputusan sang ketua dan
dibacakan di depan orang banyak, menurut surat keputusan itu, In Ci-peng
diperintahkan nenerima jabatan ketua.
Dengan sendirinya Ci-peng
berlutut dan menerima perintah itu dengan perasaan terima kasih dan malu.
Sekilas ia melihat Ci-keng berdiri di sebelah, air mukanya tersenyum mengejek,
seketika hati Ci-peng tergetar.
Sehabis menerima surat
perintah itu, Ci-peng berdiri dan hendak memberikan kata sambutan sekadarnya,
pada saat itulah tiba2 masuk seorang Tosu penjaga dan melapor: "Lapor
ketua, ada tamu di luar."
Ci-peng melengak, sama
sekali tak diduganya bahwa Siao-liong-ii akan berkunjung padanya secara
terang2an begitu, ia menjadi bingung cara bagaimana harus menghadapinya? Namun
urusan sudah telanjur begini, hendak laripun tidak bisa lagi, terpaksa ia
berkata: "Silakan tamunya masuk ke sini."
Tosu itu berlari keluar,
tidak lama ia masuk lagi dengan membawa dua orang. Tapi semua orang menjadi
heran melihat kedua tamu ini, lebih2 Ci-peng, ia tidak tahu untuk maksud apakah
kedatangan kedua orang ini.
Kiranya kedua tamu ini
yang seorang berdandan sebagai perwira Mongol dan seorang lagi adalah
Siau-siang-cu yang pernah dilihatnya di markas Kubilai tempo hari.
"Ada titah Sri
Bagtnda Raja memberi anugrah kepada pejabat ketua Coan-cin-kau!" segera
perwira Mongol itu berseru lantang, ia terus maju ke tengah dan mengeluarkan
segulungan sutera kuning dan di bentang, lalu membaca: "Pejabat ketua
Coan-cin-kau dengan ini dianugrahi sebagai pemimpin besar golongan agama To
dengan gelar ....." sampai di sini dilihatnya tiada seorangpun berlutut
untuk menerima anugrah itu, maka ia lantas berteriak: "Silakan pejabat
ketua menerima titah Sri Baginda ini!"
Ci-peng melangkah maju dan
memberi hormat kepada perwira itu, lalu berkata: "Ketua kami Khu-cinjin
saat ini sedang menyepi, maka untuk sementara Siauto ditugaskan sebagai pejabat
ketua, Anugrah raja Mongol ini bukan ditujukan kepadaku maka Siauto tidak
berani menerimanya."
"Sri Baginda memberi
pesan bahwa Khu-cinjin adalah tokoh yang dihormatinya dan diketahui usianya
sudah lanjut serta tidak tahu apakah beliau masih sehat atau sudah wafat, sebab
itulah anugrah ini bukan ditujukan kepada Khu-cinjin pribadi melainkan
ditujukan kepada pejabat ketua Coan-cin-pay sekarang," demikian kata
perwira Mongol itu dengan tertawa.
"Tapi... tapi Siauto
tidak berjasa apa2. sesungguhnya tidak berani terima anugerah," ujar
Ci-peng dengan ragu2. Tapi perwira itu mendesak akhirnya Ci-peng menambahkan:
"Karena persoalan ini cukup penting dan datangnya mendadak, silakan Tayjin
duduk minum sebentar di ruangan dalam, biarlah Siauto mengadakan perundingan
dahulu dengan para saudara seperguruan."
Perwira itu tampak kurang
senang, apa boleh buat, terpaksa ia menurut bersama Siau-siang-cu mereka lantas
dibawa ke ruangan belakang.
Ci-peng sendiri lantas
mengundang ke-16 murid tertua Coan-cin-kau untuk berunding di ruangan samping,
ia berkata setelah semua orang berduduk: "Urusan ini sangat penting dan
Siauto tidak berani memutuskannya sendiri, untuk itu kuingin mendengar
bagaimana pendapat saudara2."
Segera Ci-keng mendahului
bicara: "Maksud baik raja MongoI ini harus diterima, hal inipun menandakan
Coan-cin-kau semakin jaya, sampai raja Mongol juga tidak berani memandang
enteng kepada kita." Habis berkata, dengan sikap yang gembira ia lantas
bergelak tertawa.
"Kukira tidak
demikian," Ci-siang ikut bicara. "Bangsa Mongol menyerbu negeri kita,
rakyat jelata kita banyak menjadi korban, mana boleh kita menerima
anugrahnya?"
"DahuIu Khu - supek
sendiri juga menerima undangan cakal-bakal kerajaan Mongol yang bernama Jengis
Khan itu dan jauh2 menuju ke daerah barat sana, tatkala itu In-ciangkau dan
Li-suheng juga ikut serta, berdasarkan kejadian itu, apa salahnya kalau
sekarang kita menerima anugerah raja Mongol?" ujar Ci-keng.
"Waktu itu dan
keadaan sekarang sangat berbeda." jawab Ci-siang. "Ketika itu pihak
Mongol hanya memusuhi kerajaan Kim dan belum menyerbu negara kita, kedua hal
ini mana boleh di sama-ratakan?"
"Cong-Iam-san kita
ini termasuk wilayah kekuasaan Mongol, kuil kita juga banyak yang tersebar
dalam daerah kekuasaan pemerintah Mongol, kalau kita menolak anugerah ini,
jelas Coan-cin-kau kita akan segera menghadapi bahaya," kata Ci-ikeng
pula.
"Salah ucapan
Tio-suheng ini," kata Ci-siang.
"Di mana letak
salahnya, coba jelaskan." seru Ci keng aseran.
"Harap Tio-suheng
menjawab dulu, siapakah Tiong-yang Cin-jin, cakal bakal agama kita ini?"
Dan siapa pula guru kita yang termasuk dalam Coan cin jit-cu ini?" tanya
Li Ci-siang dengan tenang.
"Kakek guru dan Suhu
kita adalah para pendeta agama yang setia, mereka adalah tokoh termashur di
dunia Kangouw, siapa yang tidak menghormat dan mengagumi mereka." jawab
Ci-keng.
"Bagus! Malahan dapat
kutambahkan mereka adalah lelaki sejati, pahlawan besar yang cinta negeri dan
pembela bangsa, semuanya pernah berjuang mati2an dan bertempur melawan penyerbu
dari negeri Kim" seru Ci-siang. "Nah, kalau angkatan tua Coan-cin-kau
kita tiada seorangpun gentar menghadapi musuh, sekarang biarpun Coan-cin-kau
akan tertimpa bahaya, kenapa kita harus takut. Harus diketahui bahwa kepala
kita boleh dipenggal, tapi cita2 kita tidak boleh luntur"
Ucapan Ci-siang ini tegas
dan gagah berani sehingga In Ci-peng dan belasan orang lainnya sama terbangkit
semangatnya.
"Hm, memangnya cuma
Li-suheng saja yang tidak takut mati dan kami ini adalah manusia pengecut
semua." jengek Ci-keng. "Yang perlu kukemukakan adalah jerih payah
Cousuya (cakal-bakal) kita, bahwa Coan-cin-kau bisa berkembang seperti sekarang
ini, betapa banyak Co-suya dan ketujuh guru dan paman guru kita telah
menegcurkan darah dan keringatnya? Kalau tindakan kita kurang benar sehingga
menghancurkan Coau-cin-kau yang ini dalam sekejap mata saja, lalu cara
bagaimana kita akan bertanggung-jawab terhadap Cosuya kita di alam baka?. Dan,
cara bagaimana pula kita akan memberi alasan bila kelima guru kita nanti habis
menyepi?"
Karena ucapannya cukup
beralasan, segera ada dua-tiga tosu lain mendukungnya, Segera Ci~keng berkata
puIa: "Bangsa Kim adalah musuh bebuyutan Coan-cin-kau kita. bahwa orang
Mongol telah menghancurkan kerajaan Kim, hal ini sangat cocok dengan tujuan
kita. Kalau saja Cosuya mengetahui hal ini, entah betapa beliau akan
bergembira."
Tiba2 salah seorang murid
Khu Ju-ki yang lain yakni Ong Ci-heng, ikut bicara: "Jika sehabis
menghancurkan kerajaan Kim, lalu orang Mongol bersahabat dengan negeri Song
kita, dengan sendirinya kita akan menerima mereka sebagai negeri tetangga yang
terhormat. Tapi sekarang pasukan Mongol menyerbu ke selatan dan sedang
menggempur Siangyang, tanah air kita terancam bahaya, adalah rakyat jelata Song
Raya, mana boleh menerima anugerah raja pihak musuh?"
Sampai di sini ia terus
berpaling kepada In Ci-peng dan menegaskan: "Ciangkau-suheng (kakak guru
pejabat ketua), kalau saja engkau menerima anugrah raja MongoI, itu berarti
engkau adalah penghianat bangsa, orang berdosa dalam agama kita. Untuk itu
sekalipun aku orang she Ong harus mengalirkan darah juga takkan mengampuni
kau."
Mendadak Tio Ci-keng
berdiri sambil menggebrak meja, bentaknya: "Ong-sute, apakah kau ingin
main kasar? Kau berani bersikap kurangajar, begini terhadap pejabat
ketua?"
"Yang kita utamakan
adalah kebenaran, kalau perlu main kasar, memangnya kutakut padamu?" jawab
Ong Ci-heng dengan suara keras.
Karena sama2 ngotot,
tampaknya kedua pihak segera akan main kepalan dan adu senjata.
Tiba2 seorang Tosu
bertubuh pendek kecil membuka suara: "Sungguh sayang bahwa di antara kita
sendiri. harus berbeda pendapat. Padahal keadaan sekarang berbeda dengan masa
dahuIu, Waktu itu Siaute juga ikut ke barat bersama Suhu untuk menemui Jengis
Khan, dan menyaksikan sendiri keganasan perajurit Mongol. Kalau sekarang kita
menerima anugerah dan menyerah pada Mongol, ini berarti kita membantu pihak
yang lalim dan ikut berbuat jahat."
Tosu pendek kecil ini
bernada Song Tek-hai, dia termasuk salah seorang dari ke-18 anak murid yang
ikut Khu Ju-ki melawat ke Mongol dahuIu.
Ci-keng lantas menjengek:
"Hm, kau pernah bertemu dengan Jengis Khan, lantas kau anggap hebat begitu?
Sekali ini akupun bertemu sendiri dengan jklik raja Mongol, yaitu Kubilai,
Pangeran ini sangat baik hati dan bijaksana, tiada sedikitpun tanda2 ganas dan
kejam."
"Aha, bagus! jadi kau
mengemban tugas bagi Kubilai untuk menjadi mata2 di sini?" teriak Ong
Ci-heng.
Ci-keng menjadi gusar
"Apa katamu?" bentaknya.
"Siapa yang bicara
bagi orang Mongol, dia adalah pengkhianat!" teriak Ong Ci-heng pula.
Dengan murka Ci-keng terus
melompat maju, sebelah tangannya terus menghantam kepala Ong Ci-heng. Namun
dari samping dua orang murid Khu Ju-ki yang lain telah menangkis pukulannya
ini.
"Bagus!" Ci-keng
ber-kaok2 terlebih murka. "Anak murid Khu-supek memang banyak, jadi kalau
hendak menang2an?"
Dalam keadaan tegang itu,
Ci-peng menepuk tangan dan berseru: "Harap para Suheng dan Sute berduduk
dengan tenang, dengarkanlah ucapanku."
Pejabat ketua Coan-cin-kau
biasanya memegang kekuasaan tertinggi dan berwibawa, maka para Tosu itu lantas
berduduk kembali dan tidak berani bersuara pula.
"Ya, memang
seharusnya kita mendengarkan petua pejabat ketua, kalau dia menerima
anugerahnya ya terimalah, kalau tidak ya tolak saja, Yang dianugerahi raja
Mongol adalah dia dan bukan kau! atau aku, untuk apa kita ribut?" demikian
Ci-keng berkata, ia yakin bahwa In Ci-peng pasti akan mengikuti kehendaknya
karena rahasia orang sudah terpegang olehnya...
Maka dengan pelahan
Ci-peng mulai bicara: "Siaute memang tidak mampu, baru saja diberi tugas
pejabat ketua, hari pertama saja ternyata sudah menghadapi persoalan maha
penting dan sulit ini. ia merandek sejenak dan ter-mangu2. Sorot mata semua
orang sama tertuju padanya, suasana di ruangan itu menjadi hening.
Kemudian Ci-peng
melanjutkan "Coan-cin-kau kita didirikan oleh Tiong-yang Cinjin dan
dikembangkan oleh Ma-cinjin dan Khu-cinjin, sekarang Siaute menjabat ketua,
mana kuberani menentangkan ajaran ketiga Cinjin itu? Coba para Suheng jawab
sendiri, selagi negeri kita berada di bawah penindasan pihak Mongol, andaikan
ketiga cianpwe kita itu berada disini, mereka akan menerima anugerah raja
MongoI ini atau tidak?"
Semua orang terdiam dan
sama memikirkan tindak tanduk kaum tua yang disebut itu. Ong Tiong-Sudah lama
wafat dan banyak di antara murid angkatan ketiga ini tidak pernah melihatnya,
sedangkan Ma Giok juga sudah meninggal dan pribadinya terkenal ramah-tamah,
setiap keputusan yang diambil mengutamakan ketenangan.
Tapi Khu Ju-ki berwatak
keras, namun berbudi luhur dan berjiwa setia, Teringat kepada Khu Ju-ki,
serentak semua orang berteriak: "Khu-cinjin pasti takkan menerima anugerah
raja Mongol ini."
Dengan suara keras Ci-keng
lantas berteriak pula: "Tapi pejabat ketua sekarang adalah kau dan bukan
Khu-supek."
"Namun Siauto harus
taat kepada ajaran guru, apalagi dosaku teramat besar, matipun belum cukup
penebus dosaku," jawab Ci peng, lalu ia menunduk.
Sudah tentu Tosu Iain
tidak tahu arti yang terkandung dalam ucapan Ci-peng itu, hanya Ci-keng yang
dapat menangkap maksudnya, ia lantas berbangkit dan menjengek: "Jika
begitu, jadi sudah pasti kau tak mau terima?"
"Jiwaku sesungguhnya
tidak berarti, yang utama adalah nama baik Coan cin-kau kita," jawab Ci
peng dengan suara pedih, tapi kemudian suaranya berubah bersemangat ia
menyambung pula. "Apalagi saat ini setiap ksatria perlu bersatu untuk
melawan musuh dari Iuar. Coan-cin-pay kita terkenal sebagai tulang punggungnya
dunia persilatan, kalau kita takluk kepada Mongol, ke mana lagi muka kita ini
harus ditaruh?"
Serentak para Tosu itu
bersorak gemuruh memuji ketegasan Ci - peng. Yang marah adalah Ci keng, segera
ia melangkah pergi. Setiba di ambang pintu ia menoleh dan mendengus:
"Goankau-suheng cara bicaramu terdengar bagus sekali, tapi hehe, bagai
mana akibatnya persoalan ini tentu kau sendiri sudah memikirkannya."
Habis berkata ia terus
melangkah pergi tanpa berpaling lagi. Beberapa Tosu yang mendukung Tio Ci-keng
tadi juga cepat mengeluyur pergi di tengah sanjung puji Tosu yang larut kepada
sikap In Ci-peng itu.
Ci-peng tidak bicara lagi,
dengan muram ia kembali ke kamarnya sendiri, ia tahu setelah mengalami
kegagalan tadi, Ci-keng pasti takkan menyerah begitu saja, tentu akan
membongkar rahasia perbuatannya yang kotor terhadap Siao-liong-li itu.
Sebenarnya Ci-peng sudah
bertekad mati ketika dia menolak anugerah Mongol tadi, selama beberapa bulan
ini dia sudah kenyang menahan rasa takut ia tersiksa batinnya, teringat olehnya
jika sudah mati maka segala apapun tidak perlu dikuatirkan lagi, maka hatinya
menjadi lega malah.
Segera ia menutup pintu
kamar dan dipalang, dengan iklas ia melolos pedang terus di gorokkan ke
lehernya sendiri.
Mendadak dari belakang rak
buku muncul seorang dan cepat merampas pedang In Ci-peng, karena tidak
ber-jaga2, tahu2 pedang Ci-peng ini terampas begitu saja.
Keruan Ci-peng terkejut
dan cepat menoleh, kiranya yang merampas pedangnya bukan lain daripada Tio
Ci-keng.
"Setelah kau merusak
nama baik Coan-cin-kau kita, sekarang kau ingin bunuh diri dan habis perkara,
begitu?" jengek Ci-keng, "Nona Liong masih menunggu di luar sana,
sebentar kalau dia datang akan meminta keadilan, lalu cara bagaimana kita akan
menjawabnya?"
"Baik, akan kutemui
dia dan bunuh diri dihadapannya untuk menebus dosaku," kata Ci-peng.
"Biarpun kau sudah
bunuh diri juga urusan tak dapat diselesaikan," ujar Ci-keng. "Nanti
sesudah keluar dari menyepi tentu kelima guru kita akan mengusut persoalanmu.
Sekali nama baik Coan-cin kau kita runtuh, maka selamanya kau akan menjadi
orang berdosa."
Ci-peng merasa terdesak
dan bingung, ia metutupi mukanya dan mendadak duduk di lantai, menggumam
sendiri: "Habis apa yang harus kulakukan sekarang? Apa yang harus
kulakukan?"
Kalau tadi di depan orang
banyak ia dapat bicara dengan lancar, sekarang setelah berhadapan sendirian
dengan Tio Ci-keng ternyata sedikitpun tidak dapat menguasai diri.
"Baik, asalkan kau
tunduk kepada syaratkan persoalan mengenai nona Liong akan kututup rapat, nama
baikmu dan Coan-Cin-kau kita juga dapat di pertahankan," kata Ci~keng.
"Kau ingin kuterima
anugerah raja Mongol itu?" tanya Ci-peng.
"Tidak, tidak! Aku
tidak ingin kau menerima anugerahnya," jawab Ci-keng.
Hati Ci-peng terasa lega,
tanyanya pula: "Habis apa keinginanmu? Lekas katakan pasti akan
kuturuti."
* * * *
Tidak lama kemudian,
terdengar riuh ramai suara genta dan tambur di pendopo Tiong-yang kiong sebagai
tanda segenap anggauta harus berkumpul.
Li Ci siang memerintahkan
anak buahnya membawa senjata di dalam jubah untuk menjaga segala kemungkinan.
Ruangan besar itu penuh
ber-jubel Tosu tua dan muda, semuanya tegang ingin tahu apa yang bakal terjadi.
Kemudian tampak Ci-peng melangkah keluar dari belakang, wajahnya pucat dan tak
bersemangat, begitu berdiri di tengah ruangan segera ia berseru: "Para
Toheng, atas perintah Khu~ciangkau tadi Siauto telah ditunjuk sebagai pejabat
ketua, siapa tahu Siauto mendadak menderita penyakit maut dan takdapat disembuhkan..."
karena keterangan yang tak ter-duga2 ini, seketika gemparlah para Tosu.
Kemudian Ci-peng
menyambung: "Oleh karena itu, tugas sebagai pejabat ketua yang maha
penting ini sukar dipikul, sekarang juga aku menunjuk murid tertua dari
Ong-susiok, yakni Tio Ci-keng, sebagai pejabat ketua."
Seketika suasana menjadi
hening, namun keadaan sunyi ini cuma berlangsung sekejap saja, segera
terdengarlah suara protes beberapa orang, seperti Li Ci-siang, Ong Ci-heng,
Song Tek-hong dan lain2. Be-ramai2 mereka berteriak "Tidak! tidak! bisa!
Khu-cinjin menunjuk In-suheng sebagai pejabat ketua, tugas penting ini mana
boleh diserahkan lagi kepada orang lain? - Ya, tanpa sebab, mana bisa In-suheng
terserang penyakit maut seoara mendadak? Betul, di balik urusan ini tentu ada
sesuatu intrik keji, kita harap Ciangkau- suheng jangan terjebak oleh tipu
muslihat kaum pengkhianat.?
Begitulah seketika seluruh
ruangan menjadi panik, Li Ci-siang dan kawan2nya sama melotot pada Tio Ci-keng,
tapi Ci-keng tampaknya tenang2 saja dari anggap sepi sikap pihak lawan.
In Ci-peng lantas memberi
tanda agar semua diam, lalu berkata: "Datangnya urusan ini terlalu
mendadak, pantas kalau saudara2 tidak paham persoalannya. Coan cin-kau kita
sedang menghadapi malapetaka, Siauto telah berbuat pula sesuatu kesalahan
besar, sekalipun mati juga sukar bagiku, untuk menebus dosaku dan sukar
menghindari bahaya yang mengancam."
Sampai di sini, air
mukanya tampak sedih sekali, sejenak kemudian ia menyambung pula: "Sudah
kupikirkan dengan masak2, kurasa hanya Tio-suheng yang berpengetahuan luas yang
dapat membawa Coan-cin-kau terhindar dari bahaya ini. Untuk itu di antara para
Suheng dan Sute harus kesampingkan pendirian pribadi dan ber-sama2 membantu
Tio-suheng melaksanakan tugas bagi keselamatan dan kejayaan Coan~cin~kau kita
ini."
Li Ci-siang menjadi sangat
curiga, dari sikap In Ci-peng itu jelas sang Suheng menahan sesuatu rahasia
yang sukar diuraikan, kalau sang Suheng yang menjabat ketua sudah memohon
kerelaan para Sute, iapun tidak enak untuk ngotot, terpaksa ia menunduk dan tak
bersuara lagi selain diam2 memikirkan langkah selanjutnya yang perlu diambil.
Watak Ong Ci-heng sangat
jujur, tanpa pikir ia berteriak: "Kalau Ciangkau-suheng betul2 mau
mengundurkan diri juga perlu menunggu selesainya guru2 kita habis menyepi,
setelah dilaporkan barulah diambil keputusan yang lebih bijaksana."
"Tapi urusannya sudah
terlalu mendesak, tidak dapat menunggu lagi," ujar Ci-peng dengan muram.
"Baiklah, seumpama
memang begitu, di antara sesama saudara seperguruan kita, baik mengenai budi
pekerti maupun mengenai Kanghu, rasanya yang melebihi Tio-suheng masih cukup
banyak," kata Ci-seng pula. "Misalnya Li-suheng atau Song-sute,
mereka terlebih pintar dan tangkas, kenapa mesti serahkan tugas maha penting
kepada Tio-suheng yang tidak dapat diterima oleh semua orang."