Jilid 16
Sekilas melihat Lengkui, sukma
Cu Lui-ji seakan-akan terbang meninggalkan raganya, ia menjerit ngeri dan
takut, cepat ia memutar balik dan menjatuhkan diri di atas dipan batu.
Ia mendekap mukanya dan tidak
berani memandang lagi, tapi suasana di dalam gua sunyi senyap, tiada suara apa
pun.
Lama-lama ia merasa heran,
perlahan ia merenggangkan jarinya dan coba mengintip ke sana melalui sela-sela
jari...ia merasa pandangannya tidak terhalang oleh barang apapun, apalagi
makhluk aneh yang menakutkan itu.
Mau tak mau ia menjadi ragu
dan menyaksikan apa yang dilihatnya tadi hanya khayalan belaka. Padahal ia
sudah bertekad akan mati untuk menebus kesalahannya.
Maka untuk kedua kalinya ia
berbangkit, dengan nekat ia menerjang lagi ke dinding sana.
Akan tetapi, sama juga seperti
tadi, yang tertumbuk olehnya tetap benda dingin serupa es tipis itu, waktu ia
menengadah, kembali dilihatnya wajah seram Lengkui sedang menyeringai padanya.
Bedanya sekali ini adalah
Lengkui itu telah buka suara, "Lengkui paling takut mati, sebab itulah
iapun tidak menghendaki orang lain mati, lebih-lebih anak perempuan cantik
semacam kau ini."
Sedapatnya Lui-ji menabahkan
hati, ia mendongak dan berkata, "Tadi jelas-jelas kau tidak berada dalam
goa, mengapa sekarang kau berada di sini? Darimana kau muncul secara mendadak
begini?"
Lengkui tertawa, katanya,
"Rupanya kau lupa siapa diriku, aku ini Lengkui, setan ajaib, kalau mau
datang segera bisa datang, jika mau pergi seketika dapat pergi. Kalau tidak
percaya, boleh coba kau lihat lagi, sekarang."
Habis berkata, benarlah,
mendadak ia menghilang tanpa bekas, seperti telah berubah menjadi kabut asap
yang sukar diraba dan dilihat.
Tapi hanya sekejap kemudian,
tahu-tahu Lengkui sudah muncul kembali di bawah remang cahaya lampu yang seram
itu, berdiri di situ dengan tertawanya yang mengerikan itu.
"Jangan tertawa, jangan
tertawa" jerit Lui-ji terkejut. "Aku paling takut melihat tertawamu
itu."
"Tapi Lengkui hanya bisa
tertawa, kalau menangis tambah menakutkan," kata Lengkui tetap dengan
menyeringai.
"Jika begitu, lekas pergi
kau, lekas enyah!" teriak Lui-ji sambil mengucurkan airmata. "Ku jemu
melihat mukamu, muak melihat cecongormu!".
"Apakah kau tetap ingin
mati?" tanya Lengkui.
"Itu urusanku, perduli
apa dengan kau? Lekas enyah!" teriak Lui-ji.
"Tapi Lengkui harus
perduli, kalau tidak bila kepalamu hancur menumbuk dinding, kan segalanya bisa
runyam?"
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara "grat-gret" di atas gua, suara batu besar digeser.
"Siapa itu di luar?"
bentak Lengkui sambil mendongak.
Akan tetapi suasana lantas
sunyi senyap, tiada suara jawaban apapun.
Lengkui berpaling dan
memandang Lui-ji sekejap, dilihatnya anak dara itu juga lagi pasang telinga dan
mendengarkan dengan cermat, tampaknya juga heran dan terkejut.
Cepat Lengkui melompat keluar
gua untuk memeriksa apa yang terjadi. Tapi secara cerdik mendadak ia mendongak
dan menjengek, "Aha, sahabat jangan kau main licik, kau kira dengan akalmu
memancing harimau meninggalkan sarangnya, lalu dengan leluasa akan kau tolong
anak dara ini dan dibawa lari. Tapi nyatalah salah besar perhitunganmu, kaupun
salah sasaran, sebab selamanya Lengkui tidak dapat ditipu."
"Bagus, jika begitu,
biarlah ku turun ke situ dan coba-coba menempur kau," mendadak seseorang
menanggapi dengan suara ketus dibagian atas sana.
Tidak kepalang girang Lui-ji,
sebab segera dikenalnya suara itu, jelas itu suara Hong Sam, Hong saceknya.
Pada saat itulah
sekonyong-konyong menyambar tiba angin kencang, pelita minyak yang guram itu
hampir saja padam, lalu terang lagi. Habis itu didalam gua tahu-tahu sudah
bertambah satu orang lagi.
Memang betul, Hong Sam telah
muncul di situ.
"Sacek!....." teriak
Lui-ji dengan kegirangan meski air mata pun bercucuran.
Segera ia bermaksud menubruk
ke pelukan Hong Sam, akan tetapi Lengkui telah merintanginya sambil
menyeringai.
"Creng", Hong Sam
melolos pedangnya.
"Lekas kau lepaskan dia
dan akan kubawa pergi dia, kalau tidak, kau yang akan kubinasakan." bentak
Hong Sam sambil menuding Lengkui.
"Hahaha, rupanya kau
hendak menipu diri sendiri," jengek Lengkui, bukankah kau tahu dengan
jelas, Lengkui tidak mungkin mati, selamanya Lengkui tak dapat dibunuh
mati."
Lui-ji sangat cemas dan
gelisah, iapun lupa akan rasa takut, "bret", mendadak ia merangkul
Lengkui dari belakang sambil berteriak, "Lekas, Sacek, lekas turun tangan,
tabas kepalanya."
Tanpa ayal Hong Sam angkat
pedangnya dan menabas.
"Crat!" pedang Hong
Sam bekerja secepat kilat, dan kepala Lengkui lantas menggelinding ke tanah di
bawah berkelebatnya sinar pedang.
Tapi aneh benar, meski kepala
sudah jatuh di tanah, senyuman pada wajahnya itu tetap tidak berubah, masih
menyeringai terhadap Cu Lui-ji.
Tidak kepalang takut Lui-ji,
ia menjerit dan menubruk ke dalam rangkulan Hong Sam.
Sambil menepuk bahu anak dara
itu, Hong Sam berkata, "Lekas, kita harus cepat meninggalkan tempat
ini."
Lui-ji mengangguk dengan rada
gemetar, nyata rasa takutnya belum lagi hilang.
Segera Hong Sam menarik Lui-ji
dan melompat keluar gua, di luar dugaan, mendadak sesosok bayangan hitam sudah
menghadang lagi dimulut gua.
Kaget mereka tidak terperikan
ketika bentuk penghadang jalan itu dapat dilihat jelas oleh mereka.
Bajunya yang ringkas ketat
berwarna hitam dengan ikat pinggang berwarna merah darah, terutama wajahnya
yang seram dan selalu menyeringai itu.
Siapa lagi dia kalau bukan
Lengkui? Padahal jelas-jelas kepala Lengkui tadi sudah tertabas putus.
Hong Sam menyurut mundur
dua-tiga tindak, ia tuding Lengkui dan membentak, "Kepalamu
tadi....."
"Kepalaku berada di sini!"
jawab Lengkui sambil menuding kepala sendiri dan menyeringai sehingga kelihatan
baris giginya yang putih, "Kepala Lengkui selalu tumbuh di atas lehernya,
memangnya kau kira kepala Lengkui mudah dipenggal? Haha, apa yang kau lihat
tadi tidak lebih hanya khayalan belaka."
Mau-tak-mau Hong Sam jadi
melengak, menghadapi makhluk yang tak dapat dibunuh mati selama ini, sungguh ia
kehabisan akal dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya lagi.
Hong Sam coba membawa lari
Lui-ji dengan Gingkangnya yang tinggi, tapi usahanya tetap gagal, Lengkui tetap
masih membayanginya dari belakang, tetap sukar melepaskan diri dari kejarannya.
Dalam keadaan demikian, meski
menyadari ilmu pedangnya juga tiada gunanya menghadapi makhluk yang serba aneh
ini, terpaksa Hong Sam melakukan segala apa yang dapat dilakukannya dengan
harapan akan timbul keajaiban dan akhirnya dapat melepaskan diri dari
penguntitan lawan.
Ilmu pedang Hong Sam sekarang
sudah mencapai tingkatan yang paling sempurna, tertampaklah sinar pedang
gemerlapan berkelebat ke sana sini, hanya sekejap saja Lengkui sudah terkurung
rapat di bawah sinar pedangnya.
Akan tetapi Lengkui tetap
melayani ilmu pedangnya dengan cekatan, iapun memutar goloknya dengan sama
kencangnya. Bahkan jika kewalahan, iapun tidak segan-segan menerima tusukan dan
tebasan pedang Hong Sam.
Melihat pertarungan yang
berlangsung dengan sengit itu, Lui-ji juga cukup cerdik, pada waktu Lengkui
harus melayani serangan Hong Sam, diam-diam ia menggeser ke samping, lalu kabur
ke bawah gunung secepat terbang.
Tapi meski sedang bertempur
sengit, Lengkui tetap sempat berkata, "Hah, kau ingin lari di depan hidung
Lengkui? Hm, sungguh kau terlalu meremehkan Lengkui."
Baru habis ucapannya, seketika
bayangan Lengkui lantas lenyap di bawah kurungan sinar pedang Hong Sam,
tahu-tahu Lengkui sudah menghadang pula di depan Lui-ji.
Dalam keadaan demikian, ngeri
juga Hong Sam, makin lama bertempur makin seram rasanya.
Sekarang timbul semacam
pikirannya yang melemahkan semangat, jelas Lengkui tidak dapat ditumpas, dalam
hal ini berarti pula selamanya Lui-ji tak bisa ditolong, biarpun
Tangkwik-siansing datang sendiri juga tak berdaya.
Lalu dengan cara bagaimana
agar Lengkui dapat dibasmi? Apakah tidak ada jalan lain lagi?
Betapapun Hong Sam juga tahu
untuk menumpas Lengkui, yang utama harus menundukkan dulu Ki Pi-ceng yang
mengendalikan Lengkui ini.
Akan tetapi ia menyadari
kekuatan sendiri hanya dengan ilmu pedangnya jelas bukan tandingan Ki Pi-ceng
alias Bak-giok Hujin.
Mendadak didengarnya Lui-ji
menjerit, "Tolong... Sa ... Sacek ... tolong!..."
Kiranya waktu itu Lui-ji lagi
berusaha lari, tapi telah kena dibekuk oleh Lengkui dengan cara seperti elang
mencengkeram anak ayam. Bahkan dengan kecepatan luar biasa anak dara itu terus
dibawa lari ke atas gunung.
Keruan Hong Sam terkejut,
sekuatnya ia mengerahkan Ginkangnya dan menguber kesana.
Akan tetapi sayang Hong Sam
memang cepat. Lengkui ternyata terlebih cepat, seperti angin puyuh saja, hanya
dalam sekejap bayangannya sudah hilang tanpa bekas.
Kembali Hong Sam melengak.
Sayup-sayup ia mendengar suara
tangisan Lui-ji dari kejauhan suaranya sangat kecil, baru terdengar segera
hilang pula terbawa angin sehingga sukar baginya untuk menemukan arahnya yang
pasti.
Dengan cemas Hong Sam
memandang sekelilingnya sambil berlari.
Angin meniup kencang, malam
tambah kelam tiada terlihat sesuatu yang mencurigakan, juga tidak mendengar
sesuatu suara apa pun.
Semakin gelisah hati Hong Sam,
perasaannya tertekan dan mirip terjerumus ke dalam jurang yang tak terhitung dalamnya.
Pada saat itulah, ditengah
tiupan angin terdengar suara Ki Pi-ceng, "Hong-sam siansing, apakah tidak
kau rasakan agak kurang sopan main seruduk dan terjang tanpa aturan di tempatku
ini?"
Hanya terdengar suaranya, tapi
tidak kelihatan orangnya.
"Ki-hujin," seru
Hong Sam dengan suara lantang. "Kuharap kau perlihatkan dirimu dan bicara
berhadapan denganku."
"Hm, apakah kau kira hal
ini perlu?" jawab Ki Pi-ceng sambil mendengus.
"Sudah tentu perlu,"
kata Hong Sam, "Kuharap kau mau menjelaskan apa alasanmu menahan Lui-ji?”.
"Alasannya sangat
sederhana," kata Ki-Pi-ceng, "Karena ku kuatir Ji-kongcu tidak
menepati janji menurut waktu yang telah ditentukan"
Hong Sam menjengek, "Hm,
dengan nama kebesaran Ki-hujin di dunia persilatan sekarang, tapi perlu menahan
seorang anak perempuan sebagai sandera, apakah tindakanmu ini takkan
ditertawakan orang Kangouw?"
"Inipun perlu melihat
keadaan dan persoalannya," jawab Ki Pi-ceng. "Sekarang kuperlakukan
Cu Lui-ji sebagai tamu, sama sekali tidak kuperlakukan dia dengan kasar dan
juga tidak mengganggu seujung rambutnya, kenapa mesti takut ditertawakan orang
lain? Apalagi ...."
"Apalagi segala
perbuatanmu yang busuk sudah diketahui umum," tukas Hong Sam. "Apa
artinya jika sekarang kau lakukan lagi beberapa perbuatan busuk lainnya. Begitu
bukan?"
Ki Pi-ceng tertawa, katanya,
"Baiklah, anggaplah kau benar. Dan kalau kau tahu persoalannya, sekarang
lekas kau pergi saja. Asalkan Ji-kongcu sudah menepati janji, tentu anak dara
itu takkan kuganggu."
"Baiklah," teriak
Hong Sam dengan gemas, semoga ucapanmu dapat dipercaya, kuberani menjamin Ji
Pwe-giok pasti akan menepati janji pada waktunya nanti."
Habis berkata, sekali melayang
pergi, maka sekejap saja sudah menghilang.
- o oo OOO oo o -
Tepat lohor, sang surya memancarkan
cahayanya yang panas.
Di atas puncak gunung muncul
sesosok bayangan putih melayang kian kemari melintasi lereng dan menyusuri
selat, setelah melayang sekian lamanya, akhirnya bayangan putih itu hinggap di
sebuah tanah yang datar dipinggang gunung.
Itulah seorang pemuda berbaju
putih, siapa lagi kalau bukan Ji Pwe-giok.
Dia berdiri tegak di tanah
datar itu dan memandang sekelilingnya dengan sinar mata yang tajam.
Sunyi senyap suasana di
sekitarnya.
Pegunungan ini tandus, gundul,
tiada tetumbuhan apapun, yang terlihat hanya batu padas belaka, di sana sini di
kaki bukit sana berserakan gundukan pekuburan.
Sampai sekian lama Ji Pwe-giok
memandang sekitarnya dengan cermat, tapi tiada menemukan sesuatu yang
mencurigakan, musuh ternyata tidak memasang perangkap apapun.
Hal ini rada di luar dugaan
Pwe-giok, bahwa Ki Pi-ceng telah berjanji padanya akan menyelesaikan segala
persoalan pada lohor ini, adalah aneh kalau tidak melakukan persiapan dan
penjagaan seperlunya.
Pada saat Ji Pwe-giok merasa
sangsi itulah, dari kaki gunung kembali muncul tiga sosok bayangan kelabu,
semuanya menggunakan Ginkang yang tinggi, secepat terbang mereka berlari, hanya
sekejap saja mereka sudah mendekati Ji Pwe-giok dan berdiri tegak disampingnya.
Ketiga orang ini adalah kedua
Tangkwik bersaudara dan Hong-samsiansing.
Tangkwik Ko tidak lupa membawa
kucing hitam kesayangannya, binatang itu dipondongnya dan dibelai bulunya.
"Anak muda," tegur
Tangkwik-siansing kepada Pwe-giok, "Apakah kau periksa dengan teliti keadaan
di sekeliling sini?"
"Sudah, sudah ku
periksa," jawab Pwe-giok, "tapi tidak kutemukan sesuatu yang
mencurigakan"
Tangkwik siansing berkerut
kening, katanya, "Wah, kalau begitu kita harus tambah hati-hati, bisa jadi
mereka bertiga sedang main gila dan mengatur sesuatu."
Pwe-giok mengangguk, lalu ia
berseru dengan suara lantang ke atas puncak, "Ji Pwe-giok telah datang
menurut waktunya, silahkan kalian keluar saja."
Baru senyap suaranya, segera
sesosok bayangan orang muncul di puncak gunung, itulah dia Ji Hong-ho gadungan
alias Ji Tok-ho.
Menyusul dari balik batu
karang sana melayang keluar pula Ki Go-ceng dan Ki Pi-ceng, keduanya melayang
secepat terbang menuju ke sini.
Dengan suara tertahan
Tangkwik-siansing mendesis, "Kau tahu, di atas gunung ini tidak sedikit
liang tikus, dari liang tikus itulah mereka muncul."
Tidak lama, Ki Go-ceng dan Ku
Pi-ceng telah melayang tiba di hadapan mereka.
Dengan sorot mata tajam Ki
Pi-ceng memandang Ji Pwe-giok, ucapnya, "Apakah masih ingat apa yang
kukatakan padamu, di lorong bawah tanah sana ?"
"Maksudmu tentang
perintahmu agar kubunuh Tangkwik-siansing?" tanya Pwe-giok.
"Ya, kecuali itukan masih
ada urusan lain lagi," kata Ki Pi-Ceng.
"Tentu saja kuingat
dengan baik," ujar Pwe-giok, "kalau saja permainan sandiwara suamimu
yang pura-pura sudah mati itu tidak terbongkar dan juga catatan dalam buku
Giam-ong ceh yang cukup terang dan gamblang itu, mungkin sampai saat ini aku
tetap tidak dapat membedakan siapa kawan dan siapa lawan.
"Hm," dengus Ki
Pi-ceng, "kau masih muda belia, apakah urusan Giam ong ceh itu tidak kau
rasakan sebagai tindakan yang keterlaluan?"
"Tapi kalau dibandingkan
dengan cara kalian mengerjai ayahku yang kini sudah almarhum, kukira masih
selisih sangat jauh," jawab Pwe-giok dengan ketus.
"Juga tidak kau pikirkan
bahwa perbuatanmu itu akan menimbulkan rasa gusar setiap orang bulim yang
bersangkutan?" jengek pula Ki Pi-ceng.
"Sudah barang tentu telah
kupikirkan," kata Pwe-giok, "demi kebenaran dan keadilan, hakekatnya
tidak pernah kupikirkan apa akibatnya."
"Ya, apapun juga, lebih
dulu harus kukagumi kegagahanmu dan keberanianmu," kata Ki Pi-ceng.
"Tapi, sekarang dosamu sudah tak terampunkan, hari ini juga tidak dapat
kau lolos dari peradilan umum."
"Justru kuharap akan
mendapatkan peradilan umum," ujar Pwe-giok dengan tersenyum, "cuma,
segala urusan kalau sudah ada prasangka, tentu juga perlu dipikirkan
kemungkinan yang paling buruk. Untuk itu kukira Ki-hujin sudah memahami
maksudku."
"Maksudmu, apa bila hari
ini kami tidak dapat mengalahkan kau, lalu apa yang harus kami lakukan,
begitu?" tanya Ki Pi-ceng.
"Betul," jawab
Pwe-giok.
Ki Pi-ceng mendengus,
"Hm, itu kan urusan kami dan tidak perlu kau kuatir."
Sampai di sini ia lantas
berpaling ke arah Tangkwik siansing dan berkata padanya, "Pokoknya urusan
hari ini adalah perkara yang harus diselesaikan secara tuntas, betul tidak,
Tangkwik-siansing?"
"Tentu saja," jawab
Tangkwik-siansing, "memangnya kau kira aku sudah pikun sehingga tidak
dapat melihat keadaan?"
"Sebab itulah pada saat
terakhir masih ingin ku peringatkan padamu, mudah-mudahan kau tidak terlibat
dalam perkara yang tidak enak ini, hendaklah camkan dengan baik," kata Ki
Pi-ceng.
"Aku tidak perlu pikir,
juga tidak perlu mencamkan apa pun," jawab Tangkwik-siansing, "pendek
kata, urusan ini sudah pasti aku akan ikut campur."
"Baiklah jika
begitu," kata Ki Pi-ceng, "Yang pasti hari ini tiada satupun diantara
kalian yang dapat lolos."
Tangkwik-siansing tertawa
lebar, katanya "Orang tua semacam diriku ini masakan dapat digertak, kau
kira ucapan Ki-hujin barusan ini agak terlalu berlebihan."
Ki-Pi-ceng mendengus dan tidak
menghiraukannya lagi. Ia berpaling dan memberi isyarat tangan kepada Ji Hong-ho
gadungan yang berdiri diatas puncak sana.
Seketika Ji Hong-ho gadungan alias
Ji Tok-ho mengibarkan sebuah panji dan diayun tekanan dan ke kiri.
Itulah panji kebesaran Bu
lim-bengcu, ketua perserikatan dunia persilatan, panji kebesaran hanya
digunakan pada waktu perlu memberi perintah kepada para jago dunia persilatan.
Panji ini mewakili kekuasaan Bu-lim-bengcu, pada waktu panji itu berkibar dan
digoyangkan, setiap jago silat harus tunduk dan menurut perintah, disuruh
matipun tidak boleh menolak.
Dalam sekejap itu, berbareng
dengan berkibarnya panji kebesaran itu, serentak terompetpun berbunyi sahut
menyahut di sana sini, suasana pegunungan yang tadinya sunyi serentak
bergemuruh dengan munculnya jago silat yang tak terhitung banyaknya, mereka
muncul secara aneh seperti badan halus saja, entah muncul dari mana, jumlahnya
tampaknya tidak kurang daripada tiga-empat ratus orang.
Jago silat yang muncul ini
sangat lengkap, meliputi para ketua dari ke-13 aliran besar dunia persilatan
yang dahulu ikut hadir dalam pertemuan besar Wi-ti-tayhwe, inilah adegan paling
ramai semenjak pertemuan Wi-ti dahulu.
Air muka Ki-Pi-ceng
menampilkan perasaan senang dan bangga, katanya, "Nah sudah kau lihat
sendiri bukan, Tangkwik-siansing? Dalam keadaan demikian, bagaimana akibatnya
nanti tentu dapat kalian bayangkan sendiri."
Tangkwik-siansing mengelus
jenggotnya yang lebat itu, katanya seperti berguman, "Wah, tampaknya
pengaruh kalian masih cukup besar juga, sungguh sangat mengejutkan."
"Bisa jadi kau akan
menyesal nanti," ujar Ki Pi-ceng, "tapi akupun merasa menyesal
bagimu, sebab sekarang un sudah terlambat"
Habis berkata, panji kebesaran
Bu-lim tadi diayun pula berapa kali.
Inilah tanda memberi perintah
agar para jago Bu-lim siap bergerak, atau dengan perkataan lain perintah
melancarkan serangan, hanya boleh maju dan tidak boleh mundur.
Diam-diam pihak Ji Pwe-giok
sendiri sama terkejut. Apabila kawanan jago Bu-lim itu bergerak serentak dan
membanjir tiba, sungguh sukar dibayangkan entah betapa akan terjadi banjir
darah.
Akan tetapi, kejadian di luar
dugaan telah timbul.
Jago silat yang muncul
membanjiri lereng pegunungan itu ternyata tidak memperdulikan tanda kibaran
panji kebesaran itu, semuanya anggap sepi saja, seperti kedatangan mereka hanya
untuk menonton keramaian saja dan tiada sangkut paut apapun dengan keadaan ini,
Dengan kuat Ji Tok-ho telah
mengayun panjinya lagi dengan lebih keras sehingga menimbulkan suara menderu.
Akan tetapi, biarpun Ji Tok-ho
telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya sehingga panji itu hampir saja
tergetar patah, namun para jago silat yang muncul itu tetap tidak
menggubrisnya.
Mendadak Ji Tok-ho menggulung
panjinya dan meraung gusar, "Kurang ajar! Kalian berani membangkang
terhadap perintah Bu-lim-bengcu dan meremehkan panji kebesaran ini?"
Keras suaranya dan
mendengung-dengung sampai sekian lama diangkasa pegunungan, tentu saja dapat
didengar oleh setiap orang.
Namun semua orang tetap tidak
menghiraukan teriakan Ji Tok-ho itu, sejenak kemudian bahkan seorang menanggapi
dengan suara lantang ditengah orang banyak itu.
"Tapi sayang, kau bukan
Hong-ho Lojin yang tulen melainkan Ji Tok-ho, adiknya yang sudah diusir dan
terkenal sebagai bandit It-ko-yan di gurun pasir, malahan kau rela menjadi
boneka Ki Go-ceng dan Ki Pi-ceng suami-istri. Setelah kami tahu duduknya
perkara dan dapat membongkar rahasia dirimu yang sebenarnya, memangnya kau kira
kami masih dapat kau perintah dan kau peralat sesukamu?"
Seketika Ji Tok-ho melenggong
dan tidak sanggup bersuara.
Ki Pi-ceng dan Ki Go-ceng juga
melengak dengan air muka pucat, entah kejut entah gusar, yang jelas tubuh
mereka agak gemetar.
Semua ini menandakan bahwa
segala urusan Kangouw yang misterius dan serba rahasia, namun kebenaran dan
keadilan selalu hidup dengan abadi, pada detik yang paling gawat kebenaran dan
keadilan pasti akan muncul.
Tidak kepalang terharu Ji
Pwe-giok, emosinya bergolak, air matanya bercucuran, sudah cukup lama ia
menderita, sudah kenyang ia tersiksa lahir dan batin, dan baru sekarang semua
siksa derita itu mendapatkan keadilan.
Tangkwik-siansing mengelus
jenggotnya, sambil bergelak tertawa, katanya, "Nah, Ki-hujin, perubahan
yang luar biasa ini bukan saja bagiku, bahkan juga sangat diluar dugaanmu
bukan?"
Ki Pi-ceng mendengus, katanya
"Hm, kaupun tidak perlu bergembira dulu, kecuali darah Bak-giok Hujin
berhamburan di sini, berapapun utang-piutang ini tetap harus ku tuntut dan
perlu diselesaikan secara tuntas."
Mendadak Ki Go-ceng meraung
murka, ia menubruk maju terus menghantam Tangkwik-siansing sepenuh tenaga.
Tangkwik-siansing tidak
menangkis juga tidak balas menyerang, ia melayang mundur cukup jauh, matanya
yang kecil bulat itu mendelik, ejeknya "Eh, anak kecil, utang piutang ada
yang bertanggung jawab, kalau sekarang anak muda ini sudah tampil sendiri,
mengapa diriku yang kau jadikan sebagai sasarannya?"
Ucapan Tangkwik-siansing ini
membikin Ki Go-ceng melengak dan serba salah.
Pwe-giok lantas melangkah maju
dan berkata, "Ucapan Tangkwik-locianpwe memang betul, yang
bertanggung-jawab dalam urusan ini ialah diriku, silahkan kau serang saja
padaku."
Ki Go-ceng menyeringai, ucapnya,
"Baik, tidak nanti kumampuskan kau sekarang juga, pasti akan kubawa kau
kembali ke gua dan akan ku kerjai kau di sana, tempo hari aku telah satu kali
kehilangan kesempatan, sekali ini tidak nanti kusia-siakan lagi."
Habis berkata, mendadak kedua
tangannya menolak ke depan, begitu keras tenaga pukulannya sehingga menimbulkan
deru angin yang dahsyat, kontan ia hantam lawan tanpa kenal ampun lagi.
Akan tetapi Pwe-giok sudah
siap, segera ia sambut pukulan orang, kedua telapak tangannya juga mendorong ke
depan.
"Blang!"
Dua tenaga tak kelihatan
beradu dan menimbulkan getaran dahsyat......
Apa yang itu hanya berlangsung
dalam sekejap saja, terdengar jerit ngeri Ki Go-ceng seperti layangan yang
putus benangnya, tubuhnya mencelat ke sana dan jatuh terjungkal beberapa meter
jauhnya dengan tumpah darah dan binasa.
Pada waktu putus napasnya dia
masih juga mendelik, seakan-akan merasa penasaran mati terkena pukulan Ji
Pwe-giok itu.
Seketika Ki Pi-ceng berdiri
melenggong, terkesima seperti mendengar bunyi geledek disiang bolong.
Meski resminya dia dan Ki
Go-ceng adalah saudara sekandung, tapi juga ada hubungan erat sebagai
suami-istri, tentunya pedih hatinya menyaksikan kematian Ki Go-ceng yang
mengerikan itu.
Tapi ketenangannya sungguh
luar biasa dan mengherankan, kecuali kelihatan pundaknya gemetar sejenak, sama
sekali tidak ada pergolakan perasaan lagi.
Dia pandang Ji Pwe-giok dengan
penuh rasa benci dan dendam, ucapnya, "Baru berpisah beberapa hari,
ternyata kau sudah lain daripada dulu agaknya Bu-siang-sin-kang sudah berhasil
kau kuasai."
Betul, semua ini berkat
bantuan Tangkwik-lociapwe," jawab Pwe-giok.
"Wah, anak muda,"
teriak Tangkwik-siansing "masa sengaja kau alihkan urusanmu kepadaku,
kalau dia marah padaku dan mendadak melancarkan serangan dengan ilmu
kebanggaannya Sian-thian-ceng-gi, sekali pukul aku bisa dibuatnya
mencelat."
Pwe-giok dapat menangkap
maksud ucapan si kakek, yaitu sama dengan memperingatkan dia agar waspada
terhadap serangan mendadak Ki Pi-ceng.
Benar juga, seperti apa yang
diduga Tangkwik-siansing, pada saat itu Ki Pi-ceng telah mengerahkan tenaga
dalam Sian-thian-ceng-gi, dengan dahsyat ia hantam Pwe-giok.
Akan tetapi karena lebih dulu
sudah diperingatkan oleh Tangkwik-siansing, diam-diam Pwe-giok sudah siap,
segera ia sambut serangan lawan.
"Blang", terjadi
benturan keras antara dua tenaga yang maha dahsyat, suara yang menggelegar
memekak telinga.
Adu kekuatan ini jelas tidak
sama dengan serangan Ki Go-ceng tadi.
Sian-thian-ceng-gi dan
Bu-siang-sin-kang adalah tenaga dalam yang sama-sama maha dahsyat, kekuatan
benturan itu sungguh luar biasa seakan-akan menggoncang bumi, getaran yang
timbul juga sangat hebat dengan arusnya yang menyerupai angin lesus, debu pasir
bertebaran meliputi belasan meter di sekitar situ.
Perlahan kabut debu mulai
buyar, di tengah kabut yang mulai menipis itu kelihatan dua sosok bayangan yang
sama bergoyang-goyang berdiri Pwe-giok tampak kurang mantap, sebaliknya Ki
Pi-ceng merasa darah dalam rongga dadanya bergolak dan seakan-akan menumpah keluar.
Tangkwik-siansing menyaksikan
itu dengan tertawa lebar.
Meski sedapatnya Ki Pi-ceng
bersikap tenang dan berlagak seperti tidak terjadi apapun, tapi tidak urung
sorot matanya menampilkan juga rasa kejut luar biasa.
Sungguh sukar untuk dipercaya
bahwa yang dihadapinya adalah Ji Pwe-giok yang dilihatnya beberapa hari yang
lalu. Tidaklah mengherankan jika dalam waktu yang sesingkat ini Pwe-giok
berhasil meyakinkan Bu-siang-sin-kang, yang sukar dimengerti adalah dalam waktu
sesingkat ini dia sudah memiliki kekuatan sehebat ini, bagi orang lain hal ini
tidak mungkin terjadi tanpa melalui latihan selama berpuluh tahun lamanya.
Sian-thian-ceng-gi, ilmu
kebanggaan Ki Pi-ceng sebelum ini boleh dikatakan jarang ada tandingannya di
dunia persilatan kecuali seorang dua orang saja diantaranya Tangkwik-siansing
yang dapat melawannya, tapi sekarang dia benar-benar ketemu lagi seorang lawan
mau.
Pada saat itulah,
sekonyong-konyong terdengar suara orang membentak murka dari kejauhan, sesosok
bayangan kelabu melayang tiba dari puncak gunung, hanya sekejap saja bayangan
itu sudah hinggap di depan Ki Pi-ceng.
Nyata pendatang ini bukan lain
daripada Ji Tok-ho adanya.
Dia telah kehilangan wibawa
sebagai Bu-lim-bengcu, perintahnya tidak diturut lagi oleh jago persilatan, tentu
saja ia menjadi kalap, matanya merah membara, dengan sorot mata beringas ia
mendelik Ji Pwe-giok.
"Eh, tidak perlu kau
bersikap sebuas itu," ejek Tangkwik-siansing dengan tertawa.
"Jelek-jelek anak muda itu sudah banyak membantu padamu, selayaknya kau
berterima kasih padanya."
Mendadak Ji Tok-ho berpaling
dan mendamprat, "Tua bangka, apa maksud ucapanmu ini?"
Tangkwik-siansing menuding
mayat Ki Go-ceng, lalu berkata pula, "Anak muda itu telah membinasakan
sainganmu, selanjutnya kau dapat menggantikannya sebagai anggota keluarga Ki,
hubunganmu dengan Ki-hujin tidak perlu lagi dilakukan secara
gelap-gelapan."
Rupanya perkataan
Tangkwik-siansing itu terlalu menyinggung perasaan, Ki Pi-ceng tidak tahan lagi
dia lantas menyerang.
Karena Tangkwik-siansing dan
Ki Pi-ceng telah bergebrak, "creng", segera Ji Tok-ho juga melolos
pedangnya.
"Sret-sret-sret",
kontan pedangnya berputar dan melancarkan beberapa kali tebasan ke arah
Pwe-giok.
Sekarang dia telah kembali
lagi kepada kebuasannya sebagai bandit "It-ko-yan" digurun pasir, dia
menyerang dengan kalap seakan-akan Ji Pwe-giok hendak diganyangnya
mentah-mentah kalau bisa.
Sampai belasan kali Pwe-giok
harus berkelit kesana dan mengegos ke sini, lalu sempat meloloskan pedangnya.
Serentak ia putar pedangnya,
dengan jurus "Boan-thian-sing-tau" atau bintang bertaburan memenuhi
langit, tertampak cahaya pedang gemerlapan memburu ke arah musuh.
Seketika bergemuruhlah suara
sorakan orang banyak. Beratus pasang mata sama tertarik oleh pertarungan sengit
yang mendebarkan hati ini, semuanya mengikuti pertempuran maut itu dengan
menahan napas, suasana sunyi senyap sehingga deru angin yang ditimbulkan oleh
sambaran pedang terdengar dengan jelas.
"Sret-sret,
sret-sret-sret" sinar pedang sambar-menyambar.
Lambat-laun dua gulung cahaya
pedang seolah-olah terbaur menjadi satu dan terbentuk sinar tirai pedang yang
tebal. Ditengah tirai sinar pedang itu samar-samar hanya kelihatan dua sosok
bayangan yang bergeser kian kemari dan sukar lagi dibedakan mana bayangan Ji
Tok-ho dan Ji Pwe-giok.
Sekonyong-konyong ditengah
tabir sinar pedang itu terdengar suara nyaring.
Suaranya melengking seperti
bunyi ular naga, tertampak sejalur sinar putih menjulang tinggi ke angkasa,
bayangan orang dibalik tabir cahaya pedang lantas terpencar. Pedang yang
dipegang Ji Tok-ho ternyata sudah terkutung, hanya tinggal tangkainya saja yang
terpegang, ia berdiri melenggong dengan mandi keringat.
Rupanya dalam sekejab tadi Ji
Pwe-giok telah menggunakan tenaga sakti Bu-siang-sin-kang, kalau tidak, sukar
untuk menggetar patah pedang Ji Tok-ho yang juga tidak kurang lihainya itu.
Agaknya tenaga dalam antara
Siau-thian-ceng-gi Ki Pi-ceng dan Bu-siang-sin-kang Tangkwik-siansing sukar
ditentukan unggul dan asor, maka pertarungan kedua orang itu sudah berhenti dan
sedang mengawasi hasil pertarungan sebelah sini.
Saat itu tiada seorangpun yang
bersuara, semuanya terkesima sehingga suasana sunyi senyap.
"Tangkap pedang
ini," tiba-tiba Pwe-giok melemparkan pedangnya ke depan Ji Tok-ho.
Lalu dengan penuh rasa pedih
dan gemas anak muda itu berkata pula, "Kutahu engkau adalah pamanku, tapi
tindak-tandukmu, perbuatanmu, telah merusak nama baik keluarga Ji yang sudah
turun temurun."
Kedua mata Ji Tok-ho tampak
merah, seperti orang kalap, ia hanya mendelik dan tidak bersuara.
Pwe-giok lantas berkata pula,
"Mengingat leluhur keluarga Ji, baik atau jelek kau adalah keturunan orang
she Ji dan masih terhitung pamanku, maka aku tidak dapat turun tangan
membunuhmu, sekarang kuberikan pedangku, dan boleh kau bereskan dirimu
sendiri."
Air muka Ji Tok-ho tampak
berubah, sebentar merah, sebentar pucat dan saat lain menjadi hijau, siapapun
tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya dan apa yang hendak dilakukannya.
Suasana menjadi hening, tiada
seorangpun bersuara, semuanya menahan napas dan ingin tahu apa kelanjutan
daripada pertunjukan ini dan bagaimana pula akhirnya.
Akhirnya Ji Tok-ho menjemput
pedang di depannya dengan perlahan.
Sekonyong-konyong pada saat Ji
Pwe-giok tidak berjaga-jaga, mendadak ia menubruk maju, secepat kilat pedangnya
menusuk.
Serentak bergema teriakan
kaget orang banyak, suasana rada gempar.
Serangan yang dilakukan Ji
Tok-ho sangat cepat, yang digunakan juga jurus maut yang sukar diduga. Ji
Pwe-giok sendiri tidak siap siaga, maka banyak yang menduga anak muda itu pasti
akan termakan tusukan Ji Tok-ho, semuanya berkuatir baginya.
Di bawah berkelebatnya sinar
pedang, terdengar Pwe-giok mendengus tertahan. Berbareng itu semua orang
merasakan serangkum angin maha dahsyat menumbuk ke bahu kanan Ji Tok-ho, apa
yang terjadi ini hanya berlangsung dalam sekejap saja, sedetik kemudian lantas
berakhir.
Rupanya ada orang yang ikut
turun tangan, ialah Tangkwik-siansing.
Ia merasa Ji Pwe-giok takkan
sempat menghindarkan serangan licik Ji Tok-ho itu, mau tak mau ia harus turun
tangan menolongnya, maka cepat ia melancarkan pukulan Bu-siang-sin-kang.
Tenaga Bu-siang-sin-kang tak
terperikan hebatnya, Ji Tok-ho tergetar hingga terhuyung-huyung ke belakang,
dan karena itu pula Ji Pwe-giok hanya terluka ringan oleh sergapan Ji Tok-ho
itu, hanya lengannya luka tertusuk.
Mata Tangkwik-siansing yang
kecil bulat itu melototi Ji Tok-ho dengan sorot mata tajam, bentaknya: "Ji
Tok-ho, sungguh bagus seranganmu ini, jika kau berani mengaku sebagai seorang
ksatria, maka selayaknya lekas kau bunuh diri sekarang juga"
Kedua mata Ji Tok-ho merah
seakan-akan menyemburkan api, katanya sambil menyeringai: "Hmm, kau kira
aku akan mati begitu saja menurut kehendakmu? Andaikan mati, perlu juga kucari
dua orang pengganjal punggungku, dan orang pertama yang ku penujui ialah dirimu
ini."
"Haha, bagus, bagus
sekali!" seru Tangkwik-siansing sambil bergerak: "memangnya akupun
ingin memberi bantuan kepada anak muda ini, sekarang kau yang minta aku turun
tangan, biarlah kuwakilkan dia memberantas manusia tidak tahu malu dan sampah
dunia kangouw macam kau ini"
Ji Tok-ho tertawa latah,
teriaknya: "Hehe, baik juga, akan kukabulkan kehendakmu supaya leas kau
naik surga"
Baru habis ucapannya, kembali
ia berputar, sekaligus pedangnya ikut bekerja terus menabas ke atas kepala
Tangkwik-siansing.
Kakek kecil itu melayani musuh
dengan bertangan kosong, tapi sedikitpun dia tidak berani gegabah.
"Sret-sret-sret", Ji
Tok-ho melancarkan beberapa kali serangan maut, ia tahu pertarungan ini
menentukan mati dan hidupnya, sebab itulah segenap kepandaiannya telah
dikeluarkannya.
Dalam sekejap itu sinar pedang
berhamburan, angin pukulan menderu, kedua orang sama-sama melancarkan serangan
mematikan.
Terdengar pula gemuruh orang
menjerit kaget.
"Ciatt", ....
"Blang" dan "Bluk"
Seketika terdengar pula suara
ramai di sana sini, suara yang berbeda.
Inilah hasil serangan maut
kedua orang yang dilontarkan, akibatnya jubah kelabu Tangkwik-siansing tertabas
robek lengan bajunya, tapi tidak terluka, sebaliknya Ji Tok-ho dengan telak
terkena pukulan si kakek, tenaga pukulan Bu-siang-sin-kang yang dahsyat itu
telah membikin Ji Tok-ho mencelat jauh ke sana, darah segar tersembur dari
mulutnya, belum lagi terbanting jatuh ke tanah sudah mati lebih dulu dengan isi
perut hancur lebur.
Serentak terdengar suara
sorak-sorai gemuruh di lereng pegunungan itu.
Ji Pwe-giok berdiri tegak
dengan melenggong, tak keruan perasaannya dan sukar untuk dijelaskan.
Pada saat itulah,
sekonyong-konyong Ki Pi-ceng melayang pergi, dengan gerakan It-ho ciong-thian
atau burung bangau terbang ke langit, ia melayang tinggi ke depan sana untuk
kemudian terus meluncur ke bawah gunung.
Cepat Tangkwik-siansing
berteriak dengan kuatir: "Jite, hendaklah kau temani anak muda ini pergi
mencari Lengkui, anak dara she Cu itu masih berada dalam cengkeramannya dan
mungkin jiwanya terancam bahaya"
Ji Pwe-giok dan Tangkwik Ko
mengiakan bersama, segera mereka berlari pergi ke arah gua di bawah tanah sana.
Sedangkan Tangkwik-siansing
dan Hong Sam juga lantas melayang secepat terbang ke sana, mereka mengejar ke
arah larinya Ki Pi-ceng. Betapapun mereka tidak dapat membiarkan Ki Pi-ceng
lolos begitu saja.
Para jago Bu-lim yang ikut
menyaksikan pertarungan sengit itu kini secara otomatis telah terpecah menjadi
dua kelompok, yang satu kelompok ikut pergi bersama Ji Pwe-giok, sedangkan
kelompok lain ikut Tangkwik-siansing, semuanya ingin menyaksikan pula bagaimana
akhir dari permainan yang belum tamat ini.
00oo00oo00
Batu besar yang menutup mulut
gua di bawah tanah itu sangat menyolok sehingga dengan mudah dapat ditemukan
oleh Ji Pwe-giok.
Disekitar mulut gua itu
berserakan batu padas yang aneh ragamnya, suasana sepi dan sunyi.
Pwe-giok sangat menguatirkan
keselamatan Cu Lui-ji, ia tak sabar lagi, tanpa pikir ia hantam sekuatnya.
"Blang", suara
gemuruh menggetar lembah gunung, batu padas yang menutup mulut gua itu hancur
berkeping dan berserakan.
Di dalam gua sangat gelap,
meski mereka coba mengamati dengan segenap ketajaman mata mereka tetap tidak
melihat keadaan didalam.
Sekonyong-konyong dari dalam
gua berkumandang suara seorang yang dingin dan kaku, "Siapa itu yang
berada di luar, berani kau datang cari perkara kepada Lengkui?"
"Lekas lepaskan Cu
Lui-ji, kalau tidak, gua setan ini akan kuruntuhkan," ancam Pwe-giok
dengan gemas.
"Hah, memangnya kau kira
Lengkui dapat kau gertak?" jengek Lengkui di dalam gua, "Jika kau
tidak takut anak dara yang cantik ini akan ikut terkubur hidup-hidup disini,
boleh saja kau coba runtuhkan gua ini, tapi apapun juga sebentar tetap aku akan
keluar untuk belajar kenal denganmu."
"Sicek..." terdengar
teriakan Lui-ji dengan suara tersendat, mungkin menangis saking girangnya.
Mendadak dari dalam gua
mengepulkan asap hijau tebal, cepat Pwe-giok melompat mundur.
Sejenak kemudian setelah asap
hijau itu buyar, tahu-tahu Lengkui sudah berdiri di depan Pwe-giok. Cu Lui-ji
tampak berada di samping Lengkui, tapi urat nadi pergelangannya terpencet
olehnya sehingga tak dapat berkutik.
Di bawah terik matahari
Lengkui tetap kelihatan seram menakutkan, lebih-lebih mukanya yang pucat
seperti mayat itu, tetap menampilkan senyuman yang kaku atau lebih tepat
dikatakan menyeringai,
"Lepaskan dia!"
bentak Pwe-giok sambil menuding lawan.
"Haha, lepaskan dia, kau
kira harus ku turut perintahmu?" ejek Lengkui. "Apakah kau tahu bahwa
semalam Hong Sam telah datang dan pulang dengan tangan hampa, sekarang kaupun
coba-coba datang kemari?"
"Pendek kata, sekarang
juga harus kau lepaskan dia atau kubinasakan kau!" ancam pula Pwe-giok
dengan beringas.
"Hmm. boleh saja kau
coba," jawab Lengkui, untuk membebaskan anak dara ini lebih dulu harus kau
bunuh Lengkui, tapi hendaklah kau ketahui, selamanya Lengkui tak dapat mati
terbunuh."
Betapapun Pwe-giok menyadari
sukar menghadapi makhluk yang serba aneh ini, akan tetapi apa pun juga dia
ingin mencoba Bu-siang-sin-kang terhadap makhluk aneh yang tidak takut terhadap
senjata tajam ini, Namun karena Lengkui memegangi Lui-ji dengan erat, iapun
kuatir kalau-kalau Bu-siang-sin-kang akan mencelakai anak dara itu.
Lui-ji sendiri kelihatan
kuatir dan takut, tampak sangat kasihan, nyata, baru berpisah beberapa hari,
anak dara itu sudah jauh lebih kurus.
Dalam keadaan demikian
Pwe-giok benar-benar mati kutu dan tak berdaya, sebab itulah iapun sengaja main
ulur waktu untuk mencari kesempatan.
Pada saat itulah, tiba-tiba
kucing hitam yang selalu dibawa Tangkwik Ko itu bersuara
"meong-meong" beberapa kali terhadap Cu Lui-ji, agaknya binatang
kecil ini sudah kenal baik dengan anak dara itu.
Mendengar suara kucing hitam
itu, Lengkui kelihatan melengak.
Pwe-giok merasa ada kesempatan
baik, tanpa ayal lagi segera ia turun tangan.
Tenaga pukulannya menggoncang
bumi, sinar pedangnya mengejutkan setan.
Walaupun menyadari pedangnya
mungkin tak dapat melukai Lengkui, tapi dia tetap menggunakan pukulan dan
senjata sekaligus, sebab selain ini dia tidak mempunyai akal lain lagi.
Serangan hebat dan cepat ini
menimbulkan ancaman besar juga terhadap Lengkui, mau tak mau membuatnya rada
kelabakan.
Tapi Lengkui tetap Lengkui,
dengan gerakannya yang lincah dan cepat, terkadang menghilang dan lain saat
muncul, kalau terpaksa tidak dapat menghindar lagi, dengan tabah ia biarkan
dirinya dilukai oleh pedang Pwe-giok, bahkan ia terima serangan lawan dengan
tertawa.
Sungguh ngeri Pwe-giok menghadapi
lawan yang tidak kenal mati ini, sedangkan Cu Lui-ji ketakutan hingga
menjerit-jerit.
Dalam sekejap saja ratusan
jurus sudah berlangsung dan Ji Pwe-giok tetap tidak dapat mengalahkan lawan.
Sungguh celaka, kalau keadaan
demikian berlangsung terus, biarpun seribu jurus juga tetap begini, biarpun
sehari semalam juga tiada gunanya, sebaliknya tenaga Pwe-giok pasti akan
terkuras habis.
Wajah Lui-ji menampilkan rasa
putus asa, ia berteriak, "Sudahlah, lekas kau lari saja dan jangan...
jangan menghiraukan diriku lagi... kalian... kalian bisa kehabisan tenaga dan
roboh sendiri jika harus bertempur cara demikian."
Tangkwik Ko tampaknya sangat
prihatin, kucing hitam dalam pangkuannya tampak gelisah juga dan berulang
bersuara "meong-meong" terhadap Cu Lui-ji bahkan berlagak seperti
hendak menubruk ke arah Lengkui.
"Jangan kuatir,
Lui-ji!" seru Pwe-giok sambil bertempur, "tenanglah kau, apa pun juga
pasti akan kuselamatkan kau dari cengkeraman siluman ini."
"Oo...!" tidak
kepalang terharu Lui-ji, air matanya bercucuran seperti hujan.
Tangkwik Ko masih berdiri
termenung di tempat semula, melihat gelagatnya, agaknya dia juga memikirkan
akal agar dapat melayani Lengkui dengan tepat.
Sekonyong-konyong terjadi
sesuatu yang tidak terduga...
Lengkui kelihatan berdiri diam
di tempatnya, mulutnya tampak komat-kamit, entah lagi bicara dengan siapa,
sebaliknya tidak menghiraukan terhadap ancaman pedang Ji Pwe-giok.
Tentu saja Ji Pwe-giok jadi
melengak malah, segera iapun berhenti menyerang dan ingin tahu permainan apa
yang hendak dilakukan lawan.
Selang sejenak, setelah
berkomat-kamit pula dan termenung sejenak, lalu pandangan Lengkui perlahan
beralih ke arah Ji Pwe-giok, katanya, "Ji-kongcu, ingin kuberitahukan
sesuatu kabar buruk padamu."
"Kabar buruk apa?"
tanya Pwe-giok. "Persetan dengan kabar burukmu?!"
"Tadi Lengkui sedang
mendengarkan perintah dari Ki-hujin" tutur Lengkui. "Apakah kau tahu
perintah apa yang diberikannya kepadaku?"
"Huh, omongan setan yang
hanya dapat kau pahami sendiri, siapa perduli?" damprat Pwe-giok
Lengkui menuding Lui-ji yang
masih dipegangnya dan berkata: "Ki-hujin bilang anak dara ini sudah
kehilangan daya gunanya, maka tidak perlu dipikirkan lagi, Lengkui
diperintahkan segera membunuhnya"
Pwe-giok terkejut sehingga
menyurut mundur, ancamnya: "Kau berani?!"
"Hah, kenapa aku tidak
berani, memangnya ku takut padamu?" ucap Lengkui dengan tertawa,
"yang benar, aku rada tidak tega, tidak sampai hati membunuh seorang nona
secantik ini, sungguh kasihan."
Sembari bicara ia terus
melolos golok melengkung yang terselip pada ikat pinggangnya sehingga
menimbulkan cahaya gemerlapan.
"Tapi apa dayaku?"
ucap Lengkui pula sembari mengacungkan goloknya: "Lengkui harus
melaksanakan tugas, harus taat kepada perintah sang majikan"
Cara bicara makhluk aneh ini
masih tetap dingin dan kaku, di tengah bicara inilah, mendadak goloknya
membacok ke kuduk Cu Lui-ji.
Untunglah, pada detik
berbahaya itu, setitik sinar perak mendadak menyambar tiba secepat kilat.
Itulah pedang Ji Pwe-giok,
dengan kecepatan luar biasa, tepat pada waktunya ia tangkis golok melengkung
Lengkui.
"Creng", terjadi
benturan dan menimbulkan suara nyaring.
Seketika tangan Lengkui
bergetar kesemutan, dia tergetar oleh tenaga dalam Ji Pwe-giok yang tersalur ke
batang pedang dan mundur terhuyung-huyung.
Kejadian ini memberi
kesempatan kepada Cu Lui-ji untuk meloloskan diri. Pada saat Lengkui lagi
sempoyongan, sekonyong-konyong ia meronta sekuatnya dan melepaskan diri dari
pegangan Lengkui, segera ia membalik tubuh dan berlari ke arah Pwe-giok.
Tapi dengan segera Lengkui
sudah berdiri tegak lagi. Ia mendengus: "Hm, masakah ingin lari? Tidak ada
orang yang mampu lolos dari cengkeraman Lengkui!"
Berbareng itu, dengan gerakan
enteng dan cepat, seperti badan halus saja dia lantas melayang ke depan, selagi
Cu Lui-ji masih berjarak sekian jauhnya dengan Ji Pwe-giok, tahu-tahu Lengkui
sudah menyusul tiba.
Di tengah berkibarnya ikat
pinggang yang merah itu, sinar perak juga lantas berkelebat dan menyambar.
Sungguh cepatnya sukar
dilukiskan, sampai-sampai Pwe-giok juga tidak berdaya dan tidak sempat
menolongnya.
Syukurlah, pada detik yang
gawat itu, pada saat golok melengkung Lengkui menyambar tiba dan Lui-ji akan
tertabas.... "Siut", mendadak sesosok bayangan hitam kecil menubruk
ke arah Lengkui secepat anak panah.
Hah, kiranya si kucing hitam
yang selalu berada dalam pondongan Tangkwik Ko itu.
Saat itu golok Lengkui sedang
menabas ke bawah, tapi kucing hitam itupun tepat menubruk tiba, kontak kedua
belah pihak itu terjadi dalam sedetik saja.
"Crat, meong!"
Kucing hitam bersuara ngeri
dan jatuh terbanting!
Sungguh luar biasa, di tengah
berhamburnya darah, kepala kucing itu terbelah dan cakarnya juga putus
tertabas, dalam keadaan tidak terduga-duga, seluruh wajah Lengkui penuh
berlepotan darah kucing hitam yang muncrat itu.
Lui-ji sempat merangkul badan
binatang kecil itu, tapi binatang itu sudah tidak bergerak lagi.
Tak terduga, dalam sekejap itu
telah terjadi keajaiban.
Mendadak Lengkui menjerit
ngeri dan jatuh terguling-guling di tanah, tampaknya sangat tersiksa.
Kejadian ini membikin Lui-ji
dan Pwe-giok heran. Ketika mereka memandang Tangkwik Ko, orang tua itu
kelihatan berdiri tenang di sana dengan mengulum senyum dan berucap:
"Omitohud! Siancai...siancai...."
Hanya dalam sekejap itu, di
tengah kalangan telah terjadi pula perubahan yang lebih besar dan sama sekali
tak terduga.
Mendadak Lengkui menghilang,
telah luluh menjadi darah kental di atas tanah.
Pwe-giok memandang kian
kemari, ia coba periksa sekitarnya.
Maklumlah, menghilangnya
Lengkui itu adalah permainan yang biasa dilakukannya. Setelah menghilang
mendadak, tahu-tahu muncul lagi di tempat lain dalam waktu singkat.
Dalam pada itu Tangkwik Ko
telah mendekati Pwe-giok dan berkata padanya: "Jangan kuatir lagi, Ji-kongcu,
selamanya Lengkui akan hilang dan takkan muncul kembali."
Pwe-giok dan Lui-ji sama
melenggong, mereka memandang orang tua itu dengan bingung.
Sambil membelai badan kucing
hitam, Tangkwik Ko berkata: "Apa yang terjadi ini sungguh tak terduga oleh
siapapun. Lengkui ternyata musnah oleh kucing hitam ini, darah kucing hitam
inilah yang memusnahkan Lengkui secara tuntas"
Rupanya kepala kucing hitam
yang terluka itu tidak sampai pecah melainkan cuma kulit kepalanya yang
terkelupas, lukanya yang cukup parah adalah cakarnya yang tertabas buntung.
"Konon darah anjing hitam
dapat melawan ilmu hitam, apakah darah kucing hitam juga dapat memunahkan ilmu
sihir?" tanya Pwe-giok dengan heran.
"Tentu saja dapat, apa
yang terjadi barusan bukankah suatu bukti nyata?" ujar Tangkwik Ko.
Dalam pada itu kelihatan
Lui-ji lagi menggendong si kucing hitam dan berulang menciumnya dengan penuh
kasih sayang, gumamnya: "O, kucing sayang, demi membela diriku, akhirnya
kau menjadi korban dan cacat selama hidup"
"Meong, meong!" kucing
itu bersuara jinak seperti mengerti ada orang sedang menyatakan kasih sayang
padanya.
Pwe-giok memandang keadaan
sekeliling, lalu bersama Tangkwik Ko dan Cu Lui-ji berlari ke puncak gunung.
Sembari berlari Lui-ji
mengeluarkan obat luka untuk mengobati cakar kucing hitam yang buntung itu.
Setiba di atas gunung, cakar si kucing sudah dibalut dengan baik.
Dari kejauhan Pwe-giok dapat
melihat bayangan Tangkwik-siansing dan Hong Sam sedang berputar di lereng
gunung sana dengan ginkang mereka yang tinggi. Segera Pwe-giok bertiga memburu
ke sana.
Sesudah berhadapan, kejut dan
girang Hong Sam tak terkatakan demi melihat Lui-ji telah tertolong tanpa kurang
suatu apapun. Setelah diberitahu kejadian musnahnya Lengkui secara ajaib, mau
tak mau Hong Sam dan Tangkwik-siansing sama melongo heran.
"Di manakah Ki Pi-ceng
sekarang?" tanya Pwe-giok kemudian.
"Waktu kami menyusul
sampai di sini, mendadak kehilangan jejaknya, bayangannya lenyap di sekitar
sini, dapat dipastikan dia telah sembunyi lagi ke dalam liangnya" tutur
Tangkwik-siansing.
"Ayolah lekas kita
mencarinya, supaya tidak ada tempat yang terlampaui, marilah kita membagi diri
menjadi beberapa arah untuk mencarinya, kalau terlambat mungkin akan terjadi
hal lain yang tak terduga" kata Tangkwik Ko.
Serentak semua orang
menyatakan setuju dan segera mereka terpencar sendiri-sendiri untuk mencari
jejak Ki Pi-ceng, hanya Lui-ji saja yang mendampingi Pwe-giok.
ooOoo
Di tepi puncak gunung itu
adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya, sangat curam dengan macam-macam
batu karang yang aneh.
Melihat keadaan setempat,
dapat dipastikan puncak gunung ini hampir tidak pernah didatangi manusia, juga
bersih dari jejak burung dan binatang buas.
Dengan susah payah mereka
terus mencari, menyusur semak belukar....
Sekonyong-konyong terdengar
suara teriakan kaget Tangkwik-siansing: "Hai, lekas kalian kemari, Ki
Pi-ceng ternyata bersembunyi di sini"
Mendengar suara itu, cepat
semua orang memburu ke arahnya.
Setelah berkumpul di situ,
tertampaklah ada sebuah gua yang tertutup oleh semak rumput yang lebat, betapa
dalamnya gua itu sukar diduga.
"Ya, apa yang dikatakan
Tangkwik-locianpwe memang tidak salah, melihat semak rumput yang acak-acakan
ini, jelas di sini pernah dilalui orang" kata Pwe-giok.
"Kalau sudah tahu, ayolah
ikut kakek masuk ke sana untuk mencari pengalaman" ujar Tangkwik-siansing
dengan tertawa.
Dengan hati-hati dan sambil
menahan napas, semua orang ikut Tangkwik-siansing menerobos ke dalam gua.
Gua itu sangat gelap, seram
lagi, tercium bau lembab yang menusuk hidung.
Mereka menyalakan obor,
setelah membelok suatu tikungan di dalam goa, tiba-tiba tertampak Bak giok
hujin alias Ki Pi-ceng yang mereka cari.
Memang benar, nyonya cantik
dan juga keji ini memang bersembunyi di sini.
Anehnya Ki Pi-ceng tidak
menghiraukan kedatangan mereka, ia duduk bersila di atas sepotong batu hijau,
mata terpejam dan tanpa bergerak, sikapnya itu mengingatkan orang kepada kaum
paderi yang sedang meditasi atau semedi.
Semua orang merasa curiga,
merekapun siap siaga terhadap segala kemungkinan.
Jarak mereka dengan tempat
duduk Bak giok hujin semakin dekat, dan nyonya cantik itu tetap diam saja tanpa
memberi reaksi apa pun.
Setelah melenggong sejenak,
tiba-tiba Tangkwik-sianseng menghela napas panjang, katanya dengan menyesal
sambil menggeleng kepala: "Ai, tak tersangka dia telah membunuh
diri."
Semua orang sama melengak,
cepat mereka memburu maju dan memeriksanya dengan teliti.
Benarlah, Ki Pi-ceng atau
Bak-giok hujin sudah kaku walaupun masih tetap kelihatan sangat cantik, anggun,
serupa pada waktu masih hidup.
Semua orang sama menghela
napas menyesal, tak terduga perempuan cantik dan juga berhati keji itu
mengakhiri hidupnya dengan jalan pendek demikian.
Dengan berbagai macam perasaan
mereka lantas meninggalkan gua itu.
Setiba di mulut gua, tertampak
kawanan jago persilatan beramai-ramai muncul pula memenuhi lereng gunung sana.
Waktu mereka sampai di atas
puncak gunung, serentak terdengar gemuruh sorak-sorai orang banyak, sorak
gembira yang gegap gempita.
"Hidup Ji Pwe-giok,
Ji-kongcu!"
"Selamat Ji-kongcu!"
"Diharap Ji kongcu tampil
sebagai Bu-lim bengcu yang baru! Kami siap tunduk di bawah perintahnya!"
"Hidup Bu-lim Bengcu
baru!"
"Ji-kongcu harus
meneruskan cita-cita Hong-ho Lojin dan menuntun dunia persilatan ke tertib
baru!"
"Kami bersatu padu
mendukungnya demi mengembangkan semangat dunia persilatan yang baru!"
"Hidup
Bu-lim-bengcu!"
Demikian sorak sorai dan
teriakan dukungan orang banyak itu terhadap Ji Pwe-giok terus berlangsung
hingga sekian lamanya.
Tangkwik-siansing tersenyum
gembira sambil mengelus jenggotnya yang panjang.
Akhirnya berlalu juga badai
dunia persilatan yang cukup banyak menimbulkan korban itu.
Lalu bagaimana dengan dunia
persilatan yang akan datang?
Siapapun tidak dapat memberi
jawaban, manusia berusaha, Tuhan yang menentukan.
Hati manusia sukar diduga dan
dapat berubah setiap saat, segala sesuatu bergantung pada kondisi dan keadaan.
Kini sakit hati kematian ayah
Ji Pwe-giok sudah terbalas, biang keladi dari petaka ini sudah menerima
ganjarannya yang setimpal.
Legalah hati Pwe-giok di
samping timbul pula berbagai macam perasaan.
Teringat olehnya akan Lim
Tay-ih.
Teringat pula masa depan dunia
persilatan yang masih harus dibinanya.
Juga teringat olehnya tugasnya
yang berat selanjutnya.
Dia terus melangkah ke depan,
tidak jauh di belakangnya mengikut seorang nona dengan menggendong seekor
kucing hitam, dia Cu Lui-ji yang baru saja lolos dari renggutan elmaut.
Entah bagaimana perasaan nona
itu sekarang, akan tetapi satu hal yang pasti, yaitu, kemana pun Ji Pwe-giok
pergi, kesana pula dia akan ikut, biarlah laut akan kering dan gunung akan
runtuh, biarlah langit bertambah tua dan bumi bertambah gersang, biarlah segala
apa di dunia ini akan berubah, akan tetapi hati Lui-ji, cintanya terhadap Ji
Pwe-giok akan tetap abadi, takkan berubah selamanya.