23 Aihh....... apakah dunia sudah kiamat?
Secepat mungkin mereka lalu
berpencar dan mengadakan gerakan mendahului dua orang pelarian itu sehingga
ketika mereka tiba di tepi hutan, tiba-tiba saja dari dalam hutan muncul tujuh
orang ini dengan sebagian anak buah, menghadang dari sebelah kiri dan sebelah
belakang. Hanya sebelah kanan yang kurang kuat penghadangnya, dan dengan
sendirinya, Liong-li dan Pek-liong bergerak menuju ke kanan, bagian bukit yang
penuh dengan ilalang tebal dan tinggi.
Dalam keadaan terkepung dan
terjepit itu, sekali ini Liong-li dan Pek-liong tidak dapat mencari jalan
keluar lain kecuali menyusup ke dalam rumpun ilalang. Akan tetapi, dapat
dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika tiba-tiba dari dalam rumpun ilalang
itu muncul banyak ular yang mendesis-desis dan menyerang ke arah mereka.
Terdengar siulan dengan naga
meninggi maka tahulah sepasang pendekar itu bahwa Pek-bwe Coa-ong Si Raja Ular
telah mempergunakan kepandaiannya sebagai pawang ular untuk menyerang mereka
dengan ular-ularnya! Liong-li memutar pedang hitamnya, membunuh belasan ekor
ular, sedangkan Pek-liong memutar pedang sehingga gulungan sinar putih dari
pedangnya melindungi tubuh mereka berdua dari serangan lawan.
Akan tetapi pada saat yang
amat gawat bagi sepasang pendekar itu, ketika mereka diserang aanak panah dan
senjata rahasia dari atas, dan di serang ular dari bawah, tiga orang Iblis Tua
kini sudah menyerang lagi dengan senjata mereka, mengeroyok Pek-liong!
Ular-ular itu tidak perlu dikendalikan lagi karena kematian belasan ekor itu
saja sudah cukup membuat yang lain menjadi marah dan galak, menyerang siapa
saja yang mendekati mereka!
Dan kedua orang pendekar itu
terkepung di tengah-tengah. Liong-li tidak dapat membantu Pek-liong karena ia
masih sibuk melindungi diri sendiri dan rekannya dari serangan ular-ular.
Sementara itu, Pek-liong
diserang dari tiga jurusan oleh tiga orang Iblis Tua. Dia berusaha melindungi
dirinya dengan sinar pedang, akan tetapi tiga orang pengeroyoknya adalah
orang-orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi.
Biarpun dia sudah membentengi
tubuhnya dengan sinar pedang, tidak urung tiga batang jarum yang meluncur dari
kipas Kim Pit Siu-cai, dapat menerobos gulungan sinar pedangnya dan menancap di
punggung kanan, di bawah pundak. Dia terkejut dan terhuyung sehingga pada saat
itu, Ang I Sian-li sudah berhasil memukulnya dengan telapak tangannya yang
berubah hitam. Itulah satu di antara pukulan beracun dari Ang I Sian-li.
“Plakk!!” kelihatan tidak
terlalu kuat pukulan yang mengenai lambung itu, dan biarpun Pek-liong sudah
melindungi tubuh yang terpukul dengan pengerahan sin-kang, tetap saja dia
merasa isi lambung itu seperti dibakar dan diapun terpelanting.
“Pek-liong......!” Liong-li
terkejut dan cepat sekali ia meloncat dan menyambar tubuh Pek-liong yang
pingsan, meloncat jauh ke depan. Dengan pedangnya, ia merobohkan dua orang
penghalang, kemudian melarikan diri ke dalam hutan ilalang. Tidak ada yang
menghalang lagi di depannya, akan tetapi dari belakang mereka mengejar dan
berteriak-teriak.
Liong-li sambil memondong
tubuh Pek-liong meloncat ke depan dan...... terlambat ia menyadari bahwa di
depannya terdapat sebuah jurang yang tertutup ilalang! Tubuhnya bagaikan terjun
ke dalam jurang itu dan tak dapat dihindarkan lagi, tubuhnya meluncur ke bawah
dengan Pek-liong masih dipanggulnya. Liong-li mengeluarkan teriakan panjang
melengking, bukan teriakan karena takut, melainkan teriakan karena marah dan
penyesalan.
Melihat betapa Liong-li yang
memanggul tubuh Pek-liong terjerumus ke dalam jurang dan terdengar suara wanita
perkasa itu berteriak panjang melengking, tiga orang Iblis Tua berdiri di tepi
jurang dan mereka bertiga tertawa bergelak kegirangan. Jurang itu amat dalam,
dan tidak mungkin dapat dituruni manusia, betapapun lihainya. Tak dapat
disangsikan lagi, siapa yang terjerumus ke dalam jurang itu pasti akan mati
dengan tubuh remuk.
Mereka tidak dapat turun atau
menyuruh anak buah untuk turun menyelidiki keadaan dua orang musuh besar itu.
Akan tetapi mereka yakin bahwa dua orang musuh besar itu tentu tewas seketika.
Sejak semula mereka sudah mengetahui tentang jurang yang tertutup padang
ilalang ini. Karena itu, sengaja mereka tidak melakukan penghadang di bagian
ini, seolah membiarkannya terbuka dan tempat ini merupakan perangkap alam yang
amat berbahaya.
“Ha-ha-ha, Pek-liong-eng Tan
Cin Hay dan Hek-liong-li Lie Kim Cu! Akhirnya kalian mampus juga di tangan
kami! Sayang kami tidak dapat mencabut jantung kalian dan memenggal kepala
kalian untuk kami jadikan korban sembahyang!” kata Pek-bwe Coa-ong Gan Ki
dengan gembira.
“Kita dapat melakukan
sembahyangan di tepi jurang ini!” kata Kim Pit Siu-cai. “Arwah para rekan kita
sudah cukup senang kalau disembahyangi di tempat di mana Pek-liong-eng dan
Hek-liong-li tewas, walaupun kita tidak dapat menaruh mayat mereka di atas meja
sembahyang!”
“Hi-hik, kenapa kalian begini
bodoh?” tiba-tiba Ang I Sian-li menertawai kedua orang rekannya. “Apakah kalian
lupa bahwa kita masih menahan sembilan orang yang menjadi sahabat baik dan
pembantu-pembantu setia dari Pek-liong-eng dan Hek-liong-li? Kita adakan
sembahyangan besar di tempat ini, di tepi jurang dan yang dijadikan korban
adalah sembilan orang yang disayang oleh Pek-liong-eng dan Hek-liong-li itu!
Kita sembelih dan siksa mereka satu demi satu sampai mati dan kita jadikan
korban sembahyang. Arwah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li tentu akan menangis
sedih melihat keadaan orang-orang yang mereka cinta, dan arwah enam orang rekan
kita akan bergembira!
“Bagus, itu pikiran yang bagus
sekali! Ha-ha-ha, engkau semakin tua semakin pintar, Sian-li!” kata Pek-bwe
Coa-ong sambil tertawa bergelak.
Kim Pit Siu-cai
mengangguk-angguk. “Memang pikiran yang bagus sekali! Kita akan puas melakukan
balas dendam, juga arwah para rekan kita akan puas di sana. Akan tetapi, empat
orang wanita itu cantik-cantik, sayang kalau mereka dibunuh begitu saja,
heh-heh-heh!” Kim Pit Siu-cai, di samping berhati kejam, juga terkenal sebagai
seorang penjahat cabul.
“Hemm, aku mengerti, Siu-cai
mata keranjang. Engkau tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Akan
tetapi kalau engkau mempermainkan mereka, hal itu berarti juga suatu siksaan
terhadap mereka, asal jangan kaubunuh karena mereka semua harus mati di atas
meja sembahyang!” kata Ang I Sian-li.
“Jangan tergesa-gesa dan merusak
suasana dengan seleramu yang rakus itu, Siu-cai!” kata Pek bwe Coa-ong. “Kita
pikirkan dulu tempat sembahyang di sini, membersihkan ilalang ini, kemudian
memilih hari baik untuk melakukan sembahyangan. Setelah harinya ditentukan,
baru engkau boleh sesukamu bersenang-senang. Aku khawatir, mereka itu akan
lebih dahulu membunuh diri setelah kau permainkan sehingga kita tidak dapat
membunuh mereka di atas meja sembahyang. Bersabarlah barang sehari dua hari.”
“Ha-ha, aku akan bersabar,
Coa-ong. Orang yang akan menikmati makanan lezat sebaiknya kalau perutnya
kelaparan dulu. Akupun akan membiarkan hasratku kelaparan dan berkobar sampai
tiba saatnya!”
Dengan gembira karena merasa
telah mendapatkan kemenangan atas dua orang musuh besar mereka, tiga orang Iblis
Tua ini kembali ke sarang mereka dan berpesta pora. Anak buah merekapun
berpesta pora merayakan kemenangan. Tepi jurang itu selalu dijaga oleh belasan
orang anak buah gerombolan, dan di tempat itu mulai dibersihkan, ilalangnya
dibabat dan didirikan panggung untuk menjadi tempat sembahyangan besar yang
akan diadakan oleh mereka.
◄Y►
Bagi seorang manusia biasa,
jatuh meluncur ke dalam jurang yang tak diketahui dasarnya seperti itu, tentu
akan membuatnya ketakutan, kehilangan akal, bahkan akan pingsan sebelum
tubuhnya terbanting pada batu-batu di dasar jurang.
Dalam menurut perhitungan
manusia, tak mungkin seorang manusia akan mampu meloloskan diri dari kematian
kalau tergelincir jatuh ke dalam jurang yang amat dalam itu, yang merupakan
tebing yang terjal sekali. Akan tetapi, kalau Tuhan belum menghendaki seseorang
mati, akan mudah bagi kekuasaannya untuk menyelamatkan orang itu. Hal yang
tidak mungkin bagi akal manusia, akan menjadi mungkin dan mudah saja. Banyak
sekali di dunia ini terjadi hal-hal yang membuktikan akan kekuasaan Tuhan ini.
Malapetaka yang menimpa
sekelompok orang mengakibatkan tewasnya puluhan orang manusia dewasa yang kuat
dan berakal, akan tetapi dalam mala petaka itu, seorang bayi yang lemah dan
belum berakal, malah selamat dari maut! Seolah-olah bayi itu menyelinap di
antara kuku-kuku jari maut yang kejam.
Hal seperti ini terjadi dengan
istilah manusia “kebetulan”, yang pada hakekatnya membuktikan adanya kekuasaan
Tuhan yang mutlak! Kalau Tuhan belum menghendaki seseorang mati, biar dicengkeram
seribu tangan maut, akan lolos juga dan selamat. Sebaliknya, kalau Tuhan
menghendaki seseorang mati, dia tidak dapat bersembunyi ke manapun, tidak dapat
dilindungi oleh apapun. Dia akan mati pada saatnya yang telah ditentukan!
Agaknya memang belum saatnya
Hek-liong-li Lie Kim Cu dan Pek-liong-eng Tan Cin Hay harus mati di dasar
jurang itu. Dan Liong-li juga bukan seorang manusia biasa. Ia memiliki
ketenangan dan ketabahan yang luar biasa.
Dalam keadaan meluncur jatuh
itu, lengan kirinya semakin kuat merangkul pinggang Pek-liong yang dipanggul di
atas pundaknya, kemudian ia cepat menyarungkan pedang Hek-liong-kiam dan
melolos sabuk sutera hitamnya. Sabuk ini bukan untuk pengikat pinggang,
melainkan untuk penghias dan terutama sekali merupakan perlengkapan karena
sabuk sutera hitam ini kuat untuk menjadi tali pengikat, dapat pula dijadikan
senjata ampuh dan lain kegunaan lagi.
Pada saat itu, Liong-li
melolos sabuk sutera hitam yang panjang itu. Ujung sabuk ini memang dipasangi
bola kaitan baja karena dengan demikian akan menjadi senjata ampuh, dan pada
saat itu, ia mehgharapkan dapat tertolong dengan sabuk itu.
Setelah meloloskan sabuk yang
dilibatkan di tangan kanan, ia lalu menggerakkan tangan kanan dengan pengerahan
tenaga ke arah dinding tebing. Sekali, tidak menyangkut sesuatu, dua kali juga
gagal. Akan tetapi yang ketiga kalinya, ujung sabuk itu mengait akar pohon yang
tumbuh di tebing. Liong-li mengerahkan tenaganya pada tangan kanan yang dilibat
ujung sabuk dan lengan kanannya seperti hendak terenggut lepas dari tubuhnya
ketika sabuk sutera yang mengait dan melibat akar itu menahan luncuran
tubuhnya.
“Wuuuuuttt.......
settt.....!!” Liong-li menahan diri untuk tidak menjerit. Lengan kanannya
terasa nyeri, dari pergelangan yang terlibat sabuk sampai ke pundak dan tulang
belikat.
Dan lengan kirinya gemetar
karena harus menahan berat tubuh Pek-liong. Ia melihat ke bawah, kepalanya
pening. Ternyata ia telah hampir sampai di dasar jurang itu. Dasarnya nampak
seperti tanah lembab dan tidak berbatu, akan tetapi kalau saja ia tadi
terbanting ke dasar jurang, tentu tubuhnya akan remuk bersama tubuh Pek-liong.
Kepalanya semakin pening dan
denyut kenyerian di kedua tangannya menjalar ke seluruh tubuh. Akhirnya iapun
tidak ingat apa-apa lagi, tidak tahu bahwa libatan pada tangan kanannya
perlahan-lahan merosot lepas dan iapun jatuh ke bawah bersama tubuh Pek-liong.
Untung bagi mereka, lantai
dasar jurang itu hanya tinggal dua tiga meter lagi dalamnya, maka ketika mereka
berdebuk jatuh, tubuh mereka tidak terbanting terlalu keras. Mereka menggeletak
pingsan di dasar jurang, Pek-liong di bawah dan tubuh Liong-li melintang di
atas dadanya, menelungkup.
Hampir satu jam lamanya
Liong-li rebah pingsan. Akhirnya ia mengeluarkan rintihan lirih, dan begitu
kesadarannya pulih, seketika ia menghentikan rintihan yang timbul dari tubuh
yang seluruhnya terasa nyeri.
Ia menjadi waspada kembali
membuka mata, mengejap-ngejapkan matanya dan melihat dirinya rebah menelungkup
di atas dada Pek-liong, iapun seketika teringat akan semua yang baru saja
dialaminya. Ia cepat bangkit duduk menggigit bibir yang akan mengeluh
kesakitan.
Seluruh tubuh terasa nyeri,
yang berpangkal kepada lengan kanan dan pundak kirinya Akan tetapi bukan itu
yang menjadi pusat perhatiannya, melainkan Pek-liong. Ketika ia melihat wajah
Pek-liong, Liong-li menahan jeritnya dan matanya terbelalak, mukanya berubah
pucat seicali.
“Pek-liong......!!” Ia menahan
jeritnya, kewaspadaannya memaksa ia agar tidak membuat gaduh karena ia dan
Pek-liong sedang dalam keadaan yang gawat dan lemah sehingga kalau pada saat
itu muncul musuh, ia tidak berdaya sama sekali. Akan tetapi kekhawatirannya
melihat rekannya rebah telentang dengan wajah pucat seperti mayat, membuat ia
cepat memeriksa keadaan Pek-liong. Dirabanya pergelangan lengan kiri pria itu,
untuk merasakan denyut nadinya.
Tidak ada denyut! Ia
terbelalak, mukanya menjadi semakin pucat dan di robeknya baju Pek-liong dengan
jari-jari tangan menggigil, kehilangan ketenangannya. Lalu diperiksanya seluruh
tubuh Pek-liong bagian atas, di balikkan tubuh yang sudah lemas itu, sehingga
nampak tiga titik hitam kehijauan di punggung kanan bawah pundak, sedangkan di
lambung kiri nampak bekas telapak tangan yang merah!
“Pek-liong......!!” Liong-li
mengguncangnya beberapa kali, menotok beberapa jalan darah untuk membuat pemuda
itu siuman. Akan tetapi semua usahanya sia-sia. Agaknya Pek-liong telah tewas.
“Pek-liong......!!” Kini ia
menjerit dan menubruk tubuh itu, tidak perduli lagi apakah jeritnya akan
terdengar orang, “Pek-liong...... ahh, Pek-liong, jangan mati....... jangan
tinggalkan aku......!”
Ia mengguncang, menciumi tubuh
itu, membasahi wajah itu dengan air matanya, mendekapnya, namun tetap saja
tubuh itu lemas dan diam saja. Dunia bagai kiamat bagi Hek-liong-li Lie Kim Cu,
dan baru sekarang ia melihat kenyataan betapa ia dan Pek-liong telah membuat
kesalahan besar dalam hidup mereka!
Mengapa ia tidak menyadari
sepenuhnya bahwa ia mencinta Pek-liong Tan Cin Hay sepenuh jiwa raganya,
mencinta pria ini saja seorang dan tidak ada pria lagi di dunia ini yang
dicintanya? Mengapa ia dan Pek-liong tidak menyadari hal ini dan membiarkan
nafsu menyeret mereka saling berjauhan, mencari-cari dan mencari-cari di antara
pria-pria dan wanita-wanita lain yang hanya membangkitkan gairah mereka belaka?
Mereka seharusnya bersatu,
bukan hanya dalam bentuk kerja sama menghadapi lawan, melainkan bersatu dalam
kehidupan rumah tangga, menjadi suami isteri, membentuk keluarga, anak-anak
mereka. Mengapa mereka sejak dahulu tidak menjadi suami isteri dan ayah ibu
anak-anak mereka?
Kalau hal itu mereka lakukan,
tentu kini mereka telah menjadi suami isteri dengan beberapa orang anak, hidup
tenteram tidak menjadi petualang-petualang dan tidak mempunyai musuh sehingga
tidak mengakibatkan Pek-liong tewas!
“Pek-liong......!” Liong-li
menjerit lagi dan menangis mengguguk, menempelkan mukanya di dada pria itu yang
kini telanjang karena bajunya ia robek tadi.
Tanpa disengaja kini telinga
kiri Liong-li menempel di dada tubuh yang sudah seperti mayat itu dan ia
merasakan sesuatu yang membuat ia berhenti menangis dan menahan napas. Tubuh
itu masih hangat sekali, masih ada getaran kehidupan. Telinganya masih
menangkap denyut jantung walaupun lemah sekali.
Pek-liong belum mati! Akan
tetapi tidak banyak selisihnya. Otak Liong-li yang cemerlang itu segera dapat
menduga. Agaknya begitu terkena jarum beracun dan pukulan beracun, Pek-liong
segera menghentikan jalan darah untuk mencegah menjalarnya racun dalam
tubuhnya. Akan tetapi dia keburu pingsan setelah melakukan hal itu, maka dia
sama dengan membunuh diri perlahan-lahan!
“Pek-liong, ya Tuhan......
tolonglah hamba......!”
Seketika Liong-li tidak
menangis lagi walaupun air matanya masih mengalir membasahi kedua pipinya. Ia
menggunakan jari tangan membuka mulut Pek-liong, mengangkat leher itu agak ke
atas lalu ia menempelkan mulutnya sepenuhnya ke mulut Pek-liong yang terbuka,
lalu meniup sambil mengerahkan sin-kang. Ia membantu pernapasan Pek-liong,
mencoba untuk menghidupkan kembali paru-paru yang sudah tidak bekerja itu
dengan hembusan napasnya yang kuat.
Pek-liong adalah seorang
pendekar yang memiliki tubuh amat kuat dan terlatih. Tubuh yang demikian
kuatnya tentu saja memiliki anggauta yang kuat pula dan tidak mudah rusak.
Agaknya inilah yang menyelamatkannya, ditambah dengan kecerdikan Liong-li dan
tentu saja yang mutlak adalah bahwa Tuhan belum menghendaki dia mati. Riwayat
hidupnya belum tiba saatnya untuk tamat.
Setelah meniupkan pernapasan
beberapa kali, akhirnya paru-paru pria itu dapat digerakkan dan mulai bekerja,
walaupun masih lemah. Liong-li hampir bersorak. Iapun cepat menotok sana sini
untuk melancarkan jalan darah, lalu menekan-nekan dada Pek-liong untuk
mendorong agar jantungnya bekerja lebih kuat.
Akhirnya, dada yang bidang itu
naik turun dengan kuatnya, dan denyut jantungnya seolah-olah terdengar oleh
telinga Liong-li. Dengan air mata masih bercucuran, Liong-li mengamati wajah
Pek-liong dan iapun tersenyum sambil menangis.
“Pek-liong, ahh,
Pek-liong......! Terima kasih, Tuhan......!!” Liong-li kini menangis
sungguh-sungguh, menangis seperti anak kecil, sesenggukan sambil memeluk dada
Pek-liong, menangis karena bahagia.
“Aihh....... apakah dunia
sudah kiamat......?”
Suara Pek-liong-eng ini lemah,
akan tetapi mengandung keheranan besar. “Liong-li, kalau engkau menangis
seperti ini, hanya satu artinya, yaitu dunia sudah kiamat......”
Liong-li mengangkat mukanya,
dengan air mata masih mengalir di sepanjang kedua pipinya, ia memandang dan
tersenyum. “Memang dunia tadi hampir kiamat, akan tetapi sekarang tidak lagi,
Pek-liong, tidak lagi......”
Pek-liong segera teringat akan
keadaan mereka. “Kita di mana sekarang? Aku...... terluka.......” Dia mencoba
untuk bangkit duduk, akan tetapi dia menyeringai kesakitan.
“Tenanglah, Pek-liong. Engkau
memang terluka jarum dan pukulan beracun. Aku akan memeriksa dan mengobatinya.”
Kini Liong-li sudah pulih
kembali, seperti Liong-li yang biasanya, cekatan, cerdik, waspada dan tenang.
Ia maklum sepenuhnya bahwa Pek-liong baru saja terlepas dari cengkeraman maut,
akan tetapi bukan berarti bahwa dia telah lepas dari ancaman. Ia cepat
memeriksa lagi punggung bawah pundak kanan itu.
“Hemm, jarum ini beracun,
harus kubuka kulitnya dan kusedot keluar. Kau tahanlah!” Liong-li tidak banyak
cakap karena ia tahu bahwa Pek-liong tentu telah pulih kesadaran dan
kewaspadanya. Seperti biasa, mereka tidak perlu banyak cakap karena mereka
saling dapat menyelami hati dan pikiran masing-masing.
Liong-li mencabut pedang
hitamnya dan dengan ujung pedang ia membuka kulit di bagian yang terkena jarum
setelah menotok sekeliling luka itu. Tidak banyak darah keluar dan tanpa ragu
iapun menempelkan mulutnya pada bagian yang terluka, dan menggunakan sin-kang
menyedot.
Tentu saja perbuatan seperti
ini amat berbahaya. Namun, Liong-li adalah seorang wanita muda yang sehat,
mulutnya bersih dan tidak ada luka, maka ia berani melakukan itu. Tidak begitu
sukar baginya menyedot keluar tiga batang jarum itu dan meludahkannya bersama
darah yang hitam menghijau. Beberapa kali ia menghisap sampai akhirnya keluar
darah merah bersih.
Ia mengeluarkan bungkusan dari
saku bajunya, mengambil sedikit obat bubuk hijau dan menempelkannya pada luka
itu, lalu membalutnya dengan robekan ujung bajunya bagian dalam, kemudian
membebaskan totokannya agar darah di bagian tubuh itu dapat berjalan dengan
lancar. Ketika Liong-li melakukan semua itu, walaupun torehan ujung pedang dan
penyedotan jarum-jarum mendatangkan rasa nyeri yang amat hebat sehingga dahi
Pek-liong berkeringat, tidak sedikitpun keluhan keluar dari mulut pendekar itu.
“Nah, sekarang luka akibat
pukulan iblis betina itu di lambungmu, Pek-liong. Sekarang duduklah dan
bersila, biar kubantu engkau dengan sin-kang agar hawa beracun dari pukulan itu
terusir keluar.”
Tanpa berkata apapun, Pek-liong
duduk bersila dan Liong-li duduk di sampingnya, lalu wanita itu menempelkan
telapak tangan kirinya ke atas lambung yang terpukul, di atas telapak tangan
merah, kemudian ia mengerahkan sin-kang perlahan-lahan untuk membantu.
Pek-liong juga memejamkan mata dan mengatur pernapasannya.
Untung bahwa kekuatan sin-kang
yang dimiliki Pek-liong sudah mencapai tingkat tinggi dan ketika akan dipukul,
dia sudah mengerahkan sin-kang melindungi lambungnya sehingga tidak ada bagian
yang rusak dan hawa beracun itu hanya masuk ke bawah kulit saja. Biarpun
demikian, membutuhkan waktu beberapa jam bagi Liong-li dan Pek-liong untuk
mengusir semua hawa beracun dan memulihkan kesehatan Pek-liong.
Tanda telapak tangan merah itu
menghilang dan keadaan Pek-liong sudah pulih kembali, walaupun masih agak
lemah. Liong-li memandang dengan sinar mata penuh kelegaan hati ketika
Pek-liong menelan beberapa butir obat pel miliknya sendiri.