18 Kesamaan Siasat Sepasang Naga
Tiba-tiba pandang matanya
bersinar gembira Ah, tentu saja! Perahu-perahu itu! Banyak perahu nelayan di
sana, dan perahu para pedagang yang lalu lalang. Kalau Liong-li tinggal di
dalam perahu, tentu tidak akan dicurigai siapapun dan ia dapat selalu dekat dengan
pantai di mana Hek-san berdiri, dapat selalu mengamati bukit itu.
Tak lama kemudian, kakek yang
agak bungkuk itu berhasil menyewa sebuah perahu kecil yang di dayungnya
sendiri. Perahu kecil itu didayungnya mendekati perahu-perahu lain sampai
akhirnya dia melihat sebuah perahu kecil yang didayung dua orang gadis yang
segera dikenalnya sebagai dua di antara para pembantu Liong-li. Di perahu itu
nampak pula panci-panci yang agaknya penuh masakan. Tentu kedua orang wanita
itu baru saja pulang membeli makanan ke pedusunan di tepi sungai, pikir
Pek-liong dan tanpa menimbulkan kecurigaan, diapun mendayung perahu mengikuti
perahu kecil itu.
Hek-liong-li sungguh
berhati-hati sekali, pikir Pek-liong. Untuk membeli makanan saja, yang
disuruhnya adalah Ang-hwa dan Pek-hwa, dua orang yang paling lihai dan paling
dipercaya di antara semua pembantunya. Ini tentu untuk menjamin agar tidak
terjadi sesuatu ketika mereka mencari makanan.
Perahu kecil yang didayung
Ang-hwa dan Pek-hwa itu mendekati sebuah perahu besar cat hitam. Ang-hwa
melemparkan tali yang ujungnya ada kaitannya dan kaitan itu membuat perahu
kecil terikat dengan perahu besar.
Seorang wanita pembantu
Liong-li lainnya menurunkan sebuah tangga kayu dan kedua orang wanita itu lalu
naik ke perahu besar melalui tangga kayu, membawa panci-panci yang kelihatannya
terisi makanan yang masih panas. Tentu saja kedua orang wanita itu tidak mau
melompat begitu saja ke perahu besar karena hal itu tentu akan menarik
perhatian orang-orang, yang berada di perahu-perahu lain.
Ang-hwa dan Pek-hwa disambut
para pelayan lain dengan gembira. “Wah, sungguh beruntung sekali kita hari ini
dapat makan masak daging sapi dan ayam panggang. Juga ada anggur merah yang
sedap,” kata Ang-hwa.
Tentu saja rekan-rekannya
merasa heran dan bertanya dari mana Ang-hwa dan Pek-hwa bisa mendapatkan
masakan-masakan mewah itu.
“Enci Ang-hwa, apakah ada
restoran besar di tepi sungai?” tanya seorang pembantu.
Ang-hwa tertawa. “Ihh, mana
ada restoran besar di tepi pantai yang hanya ada dusun? Restoran besar hanya
terdapat di kota besar. Kami berdua memang sedang mujur. Ketika kami
bertanya-tanya kepada penghuni dusun itu, kebetulan sekali yang kami tanyai
adalah sepasang suami isteri tua, yang dahulu di waktu mudanya pernah bekerja
sebagai juru masak di rumah makan besar di kota.
“Nah, mereka suka sekali
menolong dan kami memberi bahan dan bumbu, membeli daging sapi dan menyembelih
ayam dan merekapun memasakkan untuk kami dengan sedikit imbalan. Dan setelah
kami mencicipi sedikit, ternyata masakan mereka memang lezat bukan main.”
“Wah, kalau begitu kalian
telah mendahului makan?” para pelayan itu menggoda.
“Hussh, mana kami berani?”
kata Pek-hwa. “Sebelum li-hiap makan, kami tidak berani mendahuluinya. Kami
hanya mencicipi sedikit ketika mereka masak di dapur, lalu kami menunggu di
ruangan depan rumah mereka.”
Tiba-tiba muncul Liong-li dari
dalam bilik perahu besar itu. Alisnya berkerut ketika ia memandang kepada dua
orang pembantunya itu dan menegur mereka, “Ang-hwa, Pek-hwa, kalian terlalu
senang sehingga menjadi lengah.”
Dua orang pembantu itu saling
pandang, lalu memandang kepada Liong-li. Ang-hwa bertanya, “Li-hiap, apa yang
li-hiap maksudkan dengan kelengahan kami?”
“Dari atas perahu, aku melihat
bahwa kalian berdua dibayangi orang, dan kalian tetap tidak tahu. Bukankah itu
lengah namanya?”
“Ehh......!!” Mereka berdua
segera menengok dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak melihat hal yang
mencurigakan.
Perahu-perahu nelayan tetap
seperti tadi, juga perahu-perahu para pedagang yang hilir mudik. Seorang kakek
dengan caping lebar sedang duduk di perahu kecilnya, tak jauh dari situ, dan
dia mengail ikan.
“Maaf, li-hiap. Kami tidak
melihat hal-hal yang mencurigakan.”
“Lihat baik-baik pengail tua
itu. Di bagian air di mana dia mengail, arusnya begitu kuat, bagaimana mungkin
mendapatkan ikan mengail di air yang deras itu? Itu menunjukkan bahwa dia bukan
pengail atau memang sedang memancing perhatian kita,” kata Liong-li.
“Ah, li-hiap benar!” seru
Pek-hwa.
“Maafkan kelengahan kami, li-hiap.
Mungkin dia mata-mata musuh, maka biarlah saya membocorkan perahunya dengan
anak panah,” kata Ang-hwa, marah kepada kakek pengail itu. Liong-li hanya
tersenyum dan mengangguk, matanya bersinar-sinar.
Dari balik bangunan bilik
perahu, agar tidak kelihatan orang lain, Ang-hwa memasang dua batang anak panah
kecil yang busurnya dan sekali jepret, dua batang anak panah itu meluncur ke
arah perahu kecil, mengarah badan perahu bagian bawah karena Ang-hwa ingin
kedua batang anak panahnya menembus bagian itu sehingga perahu itu akan menjadi
bocor.
Akan tetapi, semua orang di
atas perahu besar itu melihat betapa pengail tua itu menggerakkan batang
kailnya dan tali kail itu menyambar ke arah anak-anak panah sehingga kedua
batang anak panah itu tertangkap di ujung tali kail. Dia mengangkat kailnya dan
memandang dua batang anak panah yang terkait atau terlibat itu, tertawa dan
berkata dengan suara lirih, namun karena digerakkan dengan khi-kang maka
terdengar jelas oleh mereka yang berada di perahu besar.
“Ha-ha-ha, di perahu besar
diadakan pesta makan enak, di perahu kecil aku hanya mendapatkan dua batang
anak panah. Mengail ikan mendapatkan anak panah, sungguh sungai yang aneh!”
Mendengar ejekan ini, tujuh
orang pembantu Liong-li memandang marah, akan tetapi Liong-li tersenyum.
“Ang-hwa dan Pek-hwa, aku memaafkan kelengahan kalian berdua. Tentu saja kalian
tidak tahu kalau Pek-liong yang membayangi kalian!”
“Dia..... dia.......
Pek-liong-eng.....?” Para pembantu itu berseru lirih.
Liong-li berdiri di tepi perahu
dan menjenguk ke bawah, lalu berkata sambil tersenyum. “Pengail tua, kami
mengundangmu untuk ikut makan enak, naiklah ke sini!”
Pengail tua yang bukan lain
adalah Pek-li-ong itu, menoleh, tersenyum dan berkata, “Terima kasih!” Dia
mendayung perahunya mendekat, tangga diturunkan dan diapun naik ke atas perahu
besar, disambut oleh Liong-li dengan senyum gembira dan mereka segera memasuki
bilik perahu.
Setelah duduk berhadapan dan
Pek-liong menanggalkan capingnya, mereka saling pandang sampai beberapa menit
lamanya, tanpa mengeluarkan suara, akan tetapi dua pasang mata itu saling tatap
dan dari sinar mata mereka seolah mereka dapat menjenguk isi hati
masing-masing.
“Liong-li, aku merasa ikut
prihatin melihat engkau kehilangan dua orang pembantumu.” Pek-liong akhirnya
berkata dengan suara serius.
Liong-li menghela napas
panjang. “Sekali ini, kita tidak menghadapi ancaman yang main-main dan boleh
dipandang ringan. Agaknya Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li dan Pek-bwe Coa-ong.
bekerja sama dan mati-matian mereka menyusun kekuatan untuk menghancurkan
kita.”
Mereka lalu saling
menceritakan pengalaman mereka semenjak mereka diganggu anak buah musuh di
rumah masing-masing sampai mereka menerima surat dari sahabat-sahabat mereka
yang telah ditawan oleh pihak musuh. Liong-li menceritakan pula tentang
tewasnya Bunga Biru dan Bunga Hijau dan tentang tekad sisa pembantunya yang
masih tujuh orang itu untuk membantunya menghadapi gerombolan musuh dengan
taruhan nyawa.
Ketika tiba giliran Pek-liong
menceritakan pengalamannya, pendekar ini menceritakan pula tentang Cian Hui dan
Cu Sui In. “Mereka, gerombolan musuh itu, telah mencoba pula untuk menawan Cian
Ciang-kun dan isterinya. Bahkan Pek-bwe Coa-ong sendiri yang turun tangan
memimpin anak buahnya untuk menculik Cian Hui dan Cu Sui In, akan tetapi untung
sekali bahwa Cian Ciang-kun amat cerdik dan telah mencurigai pihak musuh. Dia
telah mempersiapkan pasukan sehingga ketika dia dan isterinya akan diculik,
pasukannya menerjang dan gerombolan itupun melarikan diri.”
Liong-li merasa kagum. “Cian
Ciang-kun memang seorang yang cerdik sekali.”
“Ya, dan diapun menawarkan
diri untuk membantu kita menghadapi gerombolan dengan mengerahkan pasukan. Akan
tetapi tawaran itu kutolak. Aku tidak ingin melihat dia terlibat, apa lagi sampai
terancam bahaya kalau dia membantu kita. Tiga orang datuk sisa Kiu Lo-mo itu
mempunyai dendam dan perhitungan dengan kita berdua, maka tidak pantaslah kalau
kita sampai melibatkan Cian Ciang-kun dan membuat dia dan isterinya terancam
bahaya.
Liong-li menjulurkan tangannya
ke seberang meja dan menangkap tangan kanan pendekar itu. Liong-li memandang
kagum. Rekannya ini selalu memikirkan kepentingan orang lain! Betapa
bijaksananya.
Pek-liong dapat merasakan isi
hati Liong-li dan diapun membalas dengan memegang tangan pendekar itu.
“Liong-li, sekali ini kita harus berhati-hati. Pihak musuh amat lihai, juga
amat cerdik di samping mereka mempunyai banyak anak buah. Kita harus mencari
akal untuk lebih dahulu membebaskan kakak beradik Kam dan Song Tek Hin bersama
isterinya.”
“Engkau benar, Pek-liong.
Mereka ditawan karena kita, maka kita harus dapat menolong mereka sebelum kita
hadapi tiga orang datuk itu untuk membuat perhitungan sampai tuntas.”
Pada saat itu terdengar
ketukan perlahan di pintu ruangan. Mereka menoleh dan melihat Ang-hwa berdiri
di ambang pintu.
“Maafkan saya, Li-hiap,
Tai-hiap, kalau saya mengganggu. Akan tetapi masakan itu akan menjadi dingin
kalau tidak segera dihidangkan.”
Pek-liong dan Liong-li saling
pandang lalu tertawa. “Baik, bawa masuk hidangan itu dan karena sekarang kita
semua sedang berjuang, maka untuk sementara ini kalian adalah kawan-kawan
seperjuangan. Kalian semua boleh menemani kami berdua makan minum,” kata
Liong-li dan ajakan itu disambut dengan gembira oleh tujuh orang pembantunya.
Mereka adalah
pembantu-pembantu dan pelayan yang setia, akan tetapi juga amat mengagumi,
menghormati dan menyayang Liong-li, maka diajak makan semeja ini merupakan
suatu kehormatan dan kebahagiaan besar bagi mereka. Apa lagi di situ terdapat pula
Pek-liong-eng yang mereka kagumi.
Sayang enam orang pembantu
Pek-liong tidak ikut makan minum pula, pikir mereka. Kalau ada enam orang
pembantu Pek-liong, lengkaplah sudah pasukan mereka!
Sehabis makan, Pek-liong dan
Liong-li melanjutkan perundingan mereka untuk mengatur siasat.
“Keadaan sarang mereka kuat
sekali, akan sukar ditembus kalau kita menggunakan kekerasan saja, Pek-liong,”
kata Liong-li.
“Engkau benar, akupun sudah
melakukan penyelidikan. Selain mereka melakukan penjagaan kuat, agaknya empat
orang sahabat kita itupun dikeram dalam rumah tahanan dan tentu dijaga kuat.
Berusaha menyusup ke sana sama saja dengan membiarkan diri terperosok ke dalam
jebakan.”
“Pek-liong, bagaimanapun juga,
kita harus membebaskan mereka. Mari kita mencari siasat yang paling baik.
Bagaimana menurut pendapatmu? Akal apa yang harus kita pergunakan?”
“Liong-li, biasanya engkau
yang mendapatkan akal, bukan aku. Karena itu, pertanyaanmu itu ku kembalikan
kepadamu dan aku siap mendengar pendapatmu.”
Mereka saling pandang, penuh
pengertian dan keduanya tertawa. Mereka berdua itu sudah sehati dan sejalan
saling pandang saja cukup untuk membuat mereka dapat menjenguk isi hati
masing-masing. Mereka saling menghargai, saling mengagumi dan saling menyayang,
maka selalu saling merendahkan diri untuk membiarkan yang lain menonjol.
“Kita tuliskan saja akal kita
masing-masing lalu kita membuat perbandingan. Dengan demikian, tidak ada yang
menjadi orang pertama dan orang kedua. Bagaimana?”
“Setuju, akan kutuliskan akal
dan pendapatku itu di atas meja ini,” kata Pek-liong yang segera membuat
guratan dengan kuku jari telunjuk kanannya ke atas meja sambil menutupinya
dengan tangan kiri. Liong-li yang tersenyum juga melakukan hal yang sama.
Mereka selesai dalam saat yang
bersamaan pula dan sambil saling pandang, keduanya membuka tangan kiri yang
menutupi guratan pada papan meja di depan masing-masing. Keduanya memandang
tulisan itu dan keduanya tertawa gembira.
Dalam keadaan seperti itu,
lupalah mereka akan ancaman mereka. Ternyata guratan di depan masing-masing itu
hanya sebuah huruf yang sama, yaitu huruf
“API.”
Betapa sama jalan pikiran
mereka. Dalam saat yang genting dan gawat itupun mereka mempunyai akal yang
sama.
“Tepat sekali, Liong-li. Hanya
ini satu-satunya jalan bagi kita untuk dapat menyelundup masuk dan berusaha
membebaskan empat orang sahabat kita itu,” kata Pek-liong sambil menekan dengan
jarinya menghapus guratan di depannya. Hal yang sama dilakukan oleh Liong-li.
“Begitu melihat caramu
menolong kami dari kepungan musuh semalam, akupun tahu bahwa api merupakan
satu-satunya cara untuk menyerang musuh yang sarangnya demikian kuat,
Pek-liong. Akan tetapi, itu hanya kita lakukan untuk mengacaukan mereka.
Mungkin dalam kekacauan itu kita dapat menyelundup masuk, akan tetapi mengajak
empat orang sahabat kita lolos dari sana, itu merupakan hal lain yang jauh
lebih sukar.”
“Liong-li, tentu engkau pernah
melakukan penelitian terhadap sarang itu dari puncak bukit, bukan? Dan engkau
tentu melihat bahwa ada sebuah anak sungai mengalir melalui sebelah dalam
perkampungan gerombolan itu!”
Liong-li mengerutkan alisnya,
menunduk dan menggosok-gosok hidungnya dengan jari tangan, tanda bahwa ia
sedang mengasah otaknya. Kemudian ia mengangkat muka memandang kepada Pek-liong
dengan wajah berseri.
“Anak Sungai......? Anak
sungai, air dan...... ada kakak beradik Kam di sana! Ah, aku mengerti,
Pek-liong, dan memang tepat sekali!”
Pek-liong mengangguk dan
tersenyum kagum.
“Ada air, ada kakak beradik
Kam, dan pelarian mereka berempat itu akan dapat dilakukan dengan mudah tanpa
terlalu membahayakan mereka.”
Mereka lalu mengatur siasat.
Dua buah otak yang amat cerdas itu dikerjakan dengan cermat sehingga mereka
dapat menyusun rencana siasat yang akan mereka laksanakan malam nanti.
Mereka lalu bercakap-cakap
melepas rindu dan pertemuan antara mereka sekali ini terasa lain dari pada
pertemuan yang sudah-sudah. Sekali ini mereka sama-sama menyadari bahwa keadaan
mereka yang saling berpisah dan berjauhan itu membuat mereka tidak lengkap, mudah
diserang musuh dan hidup terasa timpang.
“Pek-liong, lama-lama aku
menjadi bosan juga. Rasanya semenjak aku menguasai ilmu silat, tiada hentinya
aku terlibat permusuhan dengan orang-orang kang-ouw dan terutama dengan
golongan sesat. Hemm, entah kapan hidup ini dapat kunikmati dengan tenteram dan
penuh damai.
Mendengar ucapan itu dan
melihat betapa wanita yang cantik jelita itu duduk termenung dengan pandang
mata yang biasanya mencorong itu kini agak sayu, mulut yang biasanya penuh
senyum cerah itu agak cemberut, tangan kiri bertopang dagu. Pek-liong tersenyum
lebar dan hatinya merasa geli, walaupun ucapan itu membuat dia terkejut karena
akhir-akhir ini dia juga mempunyai perasaan yang serupa!
“Liong-li, kiranya tidak perlu
kita mengeluh. Pada saat kita mempelajari ilmu silat, kita sudah terlibat dan
tergelincir masuk ke dalam dunia kekerasan. Masih untung bagi kita bahwa kita
berdiri di pihak yang membela kebenaran dan keadilan, membela yang lemah
tertindas, menentang yang jahat sewenang-wenang sehingga tidak percuma kita
mempelajari ilmu silat, dapat dipergunakan untuk hidup yang benar sebagai
seorang ahli silat.”
“Akan tetapi, Pek-liong,
apakah kalau tidak pandai ilmu silat lalu tidak ada persoalan? Aih, sebelum
pandai silat dahulu, aku malah menderita hebat sebagai korban kejahatan. Di
mana-mana terdapat orang jahat, di mana-mana terdapat kesengsaraan, di samping
kebaikan yang hanya sedikit, di dunia.ini agaknya kejahatan yang memegang peran
penting dalam segala lapangan. Di antara sepuluh orang, mungkin hanya dua yang
baik dan delapan yang jahat, hanya dua yang kaya dan delapan yang miskin, dua
yang pandai dan delapan yang bodoh.”
“Itu sudah merupakan keadaan
kehidupan manusia di dunia, Liong-li. Kenapa mesti dipersoalkan? Baik dan buruk
sudah menjadi pasangannya, seperti ada siang tentu ada malam, ada atas ada
bawah, ada kanan ada kiri. Kalau tidak ada susah di dunia ini, mana mungkin
kita mengenal senang? Kalau tidak ada yang dinamakan jahat di dunia ini, mana
mungkin kita tahu apa itu yang dinamakan baik?
“Sebaiknya kita tidak
membiarkan diri terseret ke dalam pergolakan antara baik dan buruk ini,
Liong-li, karena sekali terseret, kita akan menjadi mangsanya. Kalau kita tetap
sadar dan tidak terseret, akan nampaklah bahwa memang demikian keadaan hidup di
dunia. Hidup berarti perjuangan, Liong-li, perjuangan menghadapi segala macam
tantangan yang kita namakan persoalan. Seni kehidupan ini justeru menghadapi
dan menanggulangi semua tantangan itu! Barulah hidup itu berarti.”
“Hemm, apakah kita tidak boleh
mengharapkan untuk dapat hidup tenang?”
Pek-liong tertawa. “Tentu saja
boleh, siapa yang dapat melarang seseorang untuk mengharapkan sesuatu yang
baik? Akan tetapi harus menyadari bahwa justeru menginginkan sesuatu itulah
pangkal tolak terjadinya hal yang bertentangan dengan yang diinginkan. Kalau
kita menginginkan senang, sudah pasti kita bertemu pula dengan susah, kalau
kita menginginkan ketenangan, sudah pasti kita bertemu dengan ketidak-tenangan.
Keduanya itu tak terpisahkan. Keinginan adalah nafsu, dan nafsu pula penggerak
semua hal yang saling bertentangan itu.”