15 Siasat Pengacauan Hek-liong-li
Pek-liong meraba dagunya. Ini
berarti bahwa suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing, juga kakak beradik Kam
tertawan semua. Makin jelaslah kini bahwa yang berada di belakang semua
peristiwa ini, yang menjadi dalangnya, tentu seorang di antara sisa Kiu Lo-mo,
atau mungkin bahkan ketiga-tiganya. Yang ditawan adalah teman-teman yang pernah
terlibat ketika dia dan Liong-li membasmi orang-orang Kiu Lo-mo dan tiba-tiba
dia teringat bahwa ketika dia dan Liong-li membasmi Lam-hai Mo-ong dan
Tiat-thouw Kui-bo dalam peristiwa Bayangan Iblis, terlibat pula Cian Hui dan Cu
Sui In!
Kenapa kedua orang yang kini
menjadi suami isteri itu tidak tertawan? Dia harus cepat menghubungi Cian Hui
di kota raja!
Karena khawatir akan keadaan
panglima muda dan isterinya itu, Pek-liong melakukan perjalanan cepat ke kota
raja. Dia tidak khawatir akan keadaan Liong-li karena dia percaya sepenuhnya akan
kelihaian dan kecerdikan Liong-li, apa lagi ia dibantu oleh sembilan orang
pembantunya, para gadis yang amat lihai itu. Dia lebih mengkhawatirkan keadaan
Cian Hui.
Setelah tiba di kota raja, dia
langsung ke rumah panglima muda itu dan betapa lega hatinya melihat Cian Hui
dan Cu Sui In menyambutnya dengan gembira. Suami isteri itu tidak kalah lega
dan gembiranya melihat pendekar pujaan mereka dalam keadaan selamat dan sehat.
“Aih, tai-hiap! Engkau sudah
menerima suratku?” tanya Cian Hui dengan heran karena menurut perhitungannya,
utusannya yang mengirim surat itu tentu belum tiba di tempat kediaman pendekar
ini.
Pek-liong menggeleng kepala
dan pandang matanya yang serius membuat suami isteri itu dapat menduga bahwa
tentu telah terjadi sesuatu yang penting, maka mereka segera mempersilakan
pendekar itu untuk masuk dan diajak bicara di ruangan sebelah dalam.
Setelah mereka semua duduk
dalam ruangan tertutup itu, Pek-liong segera bertanya, “Ciang-kun, apakah tidak
terjadi sesuatu kepada kalian berdua?”
Dia memandang kepada Cu Sui
In. Wanita yang pernah jatuh cinta kepadanya ini, dan yang kini menjadi isteri
Cian Hui dan kabarnya telah mempunyai seorang putera, masih nampak cantik
jelita, akan tetapi wajah yang cantik itu kini dibayangi kegelisahan.
“Benar dugaanmu, tai-hiap.
Pek-bwe Coa-ong, seorang di antara Kiu Lo-mo telah datang untuk melawanku, akan
tetapi masih untung kami dapat menghindarkan diri,” kata Cian Hui dan diapun
menceritakan peristiwa yang menimpa dia dan isterinya.
Diam-diam Pek-liong bersyukur
dan kagum akan kecerdikan panglima ini sehingga usaha seorang di antara Kiu
Lo-mo itu gagal.
“Setelah terjadi peristiwa
itu, aku menduga bahwa tentu tai-hiap dan li-hiap terancam bahaya pula, maka
cepat-cepat aku menulis dua pucuk surat untuk kalian dan mengirimkannya melalui
seorang pembantu yang kupercaya. Agaknya tai-hiap bersimpang jalan dengannya.
Syukur bahwa tai-hiap dalam keadaan selamat, dan entah bagaimana dengan
Hek-liong-li. Mudah-mudahan iapun dalam selamat.”
Dengan singkat Pek-liong
menceritakan tentang penyerangan yang dilakukan musuh kepadanya dan kepada
Liong-li, juga tentang surat-surat yang menyatakan bahwa dua pasangan yang
menjadi sahabat-sahabat baik dia dan Liong-li telah menjadi tawanan dan mereka
itu minta pertolongan dia dan Liong-li. Diceritakannya pula bahwa ketika dia
singgah di rumah Liong-li, pendekar wanita itu telah pergi bersama sembilan
orang pelayannya yang lihai.
Mendengar ini, Cian Hui
menjadi khawatir sekali. “Aih, jelas bahwa surat-surat itu tentu dimaksudkan
untuk memancing tai-hiap dan li-hiap untuk datang ke tempat mereka ditawan. Di
mana tempat itu?”
“Di pegunungan Hitam lembah
Sungai Kuning.”
“Hemm, tempat itu berbahaya
sekali, dan sejak dahulu memang terkenal menjadi tempat pelarian para penjahat
yang menjadi buronan!” kata Cian Hui. “Akan kurundingkan dengan para panglima
dan kalau perlu kami akan memimpin pasukan besar untuk membasmi gerombolan
mereka!” katanya penuh semangat.
“Jangan dulu, Ciang-kun!” kata
Pek-liong.
“Akan tetapi, kenapa engkau melarangnya,
tai-hiap? Keadaan dapat berbahaya sekali karena menurut dugaanku, bukan hanya
Pek-bwe Coa-ong seorang yang menjadi dalangnya. Mungkin sekali semua sisa Kiu
Lo-mo, yaitu dia, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li telah mengambil keputusan
untuk membalas dendam kepada tai-hiap dan li-hiap. Dan ini bisa berbahaya
sekali, mereka pantas dibasmi dengan kekuatan pasukan!”
Pek-liong tersenyum, diam-diam
merasa iba kepada tiga orang dari Kiu Lo-mo itu. Agaknya mereka itu tidak
memperhitungkan adanya Cian Ciang-kun ini yang dapat merupakan lawan yang amat
tangguh dengan adanya kekuasaannya atas pasukan keamanan kerajaan! Juga
panglima ini amat cerdik sehingga bukan hanya dia dan Liong-li yang dapat
menduga siapa yang mendalangi semua peristiwa itu.
“Ada dua hal yang membuat aku
terpaksa tidak menyetujui rencanamu untuk menyerbu dengan pasukanmu, Ciang-kun.
Pertama, urusan ini adalah urusan pribadi, permusuhan antara Kiu Lo-mo dengan
kami berdua. Mereka hendak membalas dendam maka demi kehormatan, harus kami hadapi
tanpa campur tangan pasukan pemerintah. Kedua, kalau pasukan menyerbu, sukar
untuk dapat menyelamatkan empat orang tawanan, para sahabat kami itu.”
Cian Hui termenung. Dia maklum
akan harga diri dan kehormatan seorang pendekar yang sekali-kali tidak mau
berbuat curang mengandalkan pengeroyokan untuk mencari kemenangan.
“Akan tetapi, itu berbahaya
sekali, tai-hiap! Kalau benar mereka itu bertiga, dibantu pula oleh orang-orang
pandai seperti dua orang yang menyerang kami, dan tentu mereka telah siap pula
dengan banyak anak buah, maka tai-hiap dan li-hiap akan masuk perangkap,” kata
Cian Hui.
“Apa yang dikatakan suamiku
benar, tai-hiap,” kata pula Cu Sui In. “Saya tahu bahwa tai- hiap dan li-hiap
memang harus bersikap jantan dan demi kehormatan seorang pendekar, namun
kiranya sikap seperti itu hanya dapat dipakai kalau kita menghadapi orang-orang
yang juga menghargai kegagahan. Akan tetapi, menghadapi iblis-iblis berbentuk
manusia yang tidak segan mempergunakan segala macam kecurangan, seperti
dilakukan mereka, dengan menawan empat orang itu, untuk memancing tai-hiap dan
li-hiap, masih perlukah tai-hiap mempergunakan kehormatan pendekar itu? Biarkan
suamiku memimpin pasukan besar untuk menyerbu mereka dan membasmi mereka demi
keselamatan tai-hiap dan li-hiap!”
Pek-liong menggeleng kepala
dan tersenyum.
“Cian Ciang-kun, kalau kau
melakukan penyerbuan itu, tidak memenuhi permintaanku, tentu Liong-li akan
merasa tidak senang sekali, dan aku sendiri akan merasa kecewa. Ketahuilah
bahwa tadi aku menceritakan semua yang terjadi kepada kalian berdua bukan
dengan maksud minta bantuan, melainkan karena aku percaya kepada kalian sebagai
sahabat-sahabat kami yang baik. Nah, sekali lagi, kuharap engkau tidak
mengerahkan pasukan. Setidaknya, sebelum kami berusaha menghadapi mereka secara
jantan. Setelah itu, terserah kepadamu, akan tetapi dengan alasan bahwa
pasukanmu itu bukan untuk membantu kami, melainkan sebagai tugas dari hamba
pemerintah untuk menumpas kejahatan.”
Tentu saja Cian Hui dan Cu Sui
In sama sekali tidak ingin membikin kecewa dan tidak senang hati Pek-liong dan
Liong-li, maka Cian Hui lalu berjanji bahwa dia akan menahan diri. “Baiklah,
tai-hiap. Akan tetapi, aku akan melakukan penyelidikan dan siap dengan
pasukanku, bukan untuk mengeroyok, melainkan untuk membasmi kejahatan yang
mengancam keamanan negara dan rakyat “
Setelah bercakap-cakap dan
beramah-tamah, Pek-liong lalu meninggalkan rumah Cian Hui. Setelah pendekar itu
pergi, Cian Hui termenung. Isterinya segera menghiburnya.
“Kurasa tidak perlu engkau
terlalu mengkhawatirkan mereka. Pek-liong dan Liong-li bukanlah orang-orang
yang akan mudah dicelakakan begitu saja, biar oleh tiga orang datuk sesat itu
sekalipun! Mereka berdua sakti dan amat cerdik, dan tentu telah membuat
persiapan sebelum berusaha untuk menolong empat orang tawanan itu.”
“Tapi, untuk menyelamatkan
empat orang, mereka mempertaruhkan keselamatan nyawa mereka!”
“Tentu saja! Ingat, andaikata
kita berdua sampai tertawan pula oleh para penjahat, tentu mereka berdua pun
akan rela mempertaruhkan nyawa untuk menolong kita, bukan?”
Cian Hui menghela napas
panjang dan mengangguk-angguk. “Engkau benar, dan inilah yang menggelisahkan
hatiku. Aku akan membawa pembantu-pembantu yang pandai dan menyelidiki
pegunungan Hitam itu untuk mencari letak sarang mereka dan siap untuk menyerbu
andaikata kedua orang pendekar itu gagal atau bahkan kalau mereka terancam.”
Cu Sui In mengangguk. “Aku
akan menyertaimu.”
“Sebaiknya engkau tinggal di
rumah menjaga Hong-ji (anak Hong),” cegah suaminya, “walaupun aku dapat
memaklumi bahwa engkau mengkhawatirkan keselamatan Pek-liong.” Dia teringat
betapa isterinya ini, sebelum menjadi isterinya, adalah seorang pendekar wanita
tokoh Kun-lun-pai yang pernah jatuh cinta kepada Pek-liong.
Sui In mengerling kepada
suaminya penuh arti dan tersenyum. “Engkau salah sangka! Sekali ini, seperti
engkau mengkhawatirkan aku dan menyuruh aku tinggal di rumah, akupun
mengkhawatirkan keselamatanmu di atas keselamatan seluruh manusia di dunia ini.
Aku tidak ingin kehilangan suami yang tercinta.”
Cian Hui terbelalak, tertawa
dan merangkul isterinya. “Maafkan aku, bukan maksudku untuk..... cemburu......”
“Akupun tidak cemburu kepada
Liong-li. Kita sudah suami isteri dan ayah ibu anak kita bukan?”
Suami isteri itu membuat persiapan
untuk melakukan penyelidikan bersama para pembantu yang dipilih oleh Cian Hui,
dan pada keesokan harinya, setelah melapor kepada rekan dan atasannya, Cian Hui
dan rombongannya berangkat ke lembah Huang-ho untuk melakukan penyelidikan.
◄Y►
Tiga orang tokoh Kiu Lo-mo itu
memang telah membuat persiapan yang amat baik. Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li
dan Pek-bwe Coa-ong sekali ini ingin membuat pembalasan yang berhasil terhadap
Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Mereka bukan saja dibantu oleh Thai-san Ngo-kwi,
lima orang murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi, akan tetapi juga lima orang ini
mengerahkan para tokoh sesat yang pernah takluk kepada mereka, dibawa ke lembah
Huang-ho itu.
Juga tiga orang datuk besar
golongan sesat itu mengajak anak buah mereka sehingga di lembah itu sekarang
berkumpul tidak kurang dari seratus orang anak buah, yang rata-rata merupakan
orang-orang kang-ouw yang lihai! Pendeknya, mereka telah membuat persiapan
sehingga sekali Pek-liong dan Liong-li berani memasuki daerah itu, sepasang pendekar
ini akan disambut secara dahsyat dan mereka berdua pasti akan dapat ditangkap
atau dibunuh!
Bukan hanya kekuatan orang
yang mereka miliki, juga keadaan alam di lembah Huang-ho itu, di pegunungan
Hitam amat membantu. Daerah itu amat berbahaya dan sukar dilalui manusia. Penuh
dengan jurang-jurang yang curam, rawa-rawa yang berbahaya, bahkan di situ
terdapat beberapa buah hutan di mana terdapat binatang buas. Terutama sekali
binatang sejenis harimau besar yang amat ditakuti mereka yang lewat dekat daerah
itu, karena harimau-harimau ini besar, kuat dan buas.
Daerah yang berbahaya ini oleh
tiga orang sisa Sembilan Iblis Tua itu dimanfaatkan dan menjadi semakin
berbahaya karena mereka pasangi banyak perangkap dan jebakan yang berbahaya.
Lubang-lubang besar yang ditutupi ranting dan daun kering. Lumpur-lumpur
berpusing yang di tutupi daun-daun pohon rumput hidup. Anak-anak panah beracun
yang dipasang di antara daun-daun pohon yang siap meluncur dari busurnya yang
terpentang dan dihubungkan dengan tali yang direntang di antara semak belukar,
dan masih banyak alat rahasia lainnya.
Pendeknya, sekali ini tiga
orang Iblis Tua itu siap untuk perang! Di sekeliling daerah sarang mereka di
bukit yang berada di tengah-tengah antara semua perbukitan Hitam, telah dijaga
oleh anak buah mereka sambil bersembunyi, akan tetapi siang malam selalu ada
penjaga yang mengawasi daerah itu sehingga tidak mungkin ada yang lewat tanpa
diketahui. Pendeknya, Pek-liong dan Liong-li tidak akan dapat memasuki daerah
itu dari arah manapun tanpa diketahui para penjaga.
Liong-li dan sembilan orang
pembantunya sudah sampai di sebuah tempat tersembunyi, tidak jauh dari
perbatasan sarang musuh! Dengan kepandaiannya yang tinggi dan kecerdikannya
yang luar biasa, Liong-li berhasil memimpin sembilan orang pembantunya melewati
jurang dan melalui hutan-hutan yang berbahaya itu tanpa cedera. Memang beberapa
kali, di antara pembantunya ada yang hampir terperosok ke dalam perangkap
musuh, namun selalu dapat ia tolong dan selamatkan, sampai akhirnya mereka tiba
di dekat daerah sarang musuh.
Berhari-hari mereka sepuluh
orang wanita yang lihai itu telah mempelajari daerah itu, dan mereka maklum
bahwa sarang musuh merupakan benteng alam yang amat kuat dan terjaga ketat.
Bahkan bagian yang tidak terjagapun tak mungkin dijadikan jalan masuk, karena
terhalang jurang yang lebarnya tidak mungkin dapat dilompati manusia, betapapun
lihainya.
Kini mereka, atas isyarat
Liong-li, berkumpul di balik semak belukar yang lebat, dan sembilan orang
wanita itu, masing-masing dengan perbekalan dalam buntalan tergantung di
punggung dan pedang di bawah buntalan, berjongkok mengeliling Liong-li yang
duduk di atas rumput. Satu demi satu, sembilan orang itu memberi laporan
tentang hasil penyelidikan mereka masing-masing sehingga yakinlah Liong-li
bahwa memang tidak ada jalan masuk kecuali menyerbu melalui tempat-tempat yang
terjaga. Setelah meraba dan menggosok hidungnya untuk mencurahkan pikirannya,
ia lalu berkata dengan suara lirih.
“Sekarang tiba saatnya yang
paling gawat dan berbahaya. Sekali salah langkah dan kurang berhati-hati, nyawa
taruhannya. Dari pengumpul hasil penyelidikan kita semua, jelas bahwa pihak
musuh mempunyai anak buah yang puluhan orang banyaknya, mungkin ada seratus
orang. Sarang mereka terjaga ketat, dan bagian yang tidak terjaga dihalangi
jurang yang lebar dan curam. Aku tidak ingin mengorbankan kalian. Kalau ada
yang ragu-ragu dan jerih, masih belum terlambat untuk mundur dan pulang ke
Lok-yang.”
Liong-li memendang kepada
sembilan orang pembantu yang berjongkok dan mengelilinginya dalam setengah
lingkaran di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik.
Sembilan orang gadis yang
usianya antara duapuluh lima sampai tigapuluh tahun dan rata-rata cantik dan
lihai itu terkejut dan saling pandang, lalu mereka memperlihatkan wajah
penasaran. Ang-hwa (Bunga Merah), yaitu nama sebutan gadis yang berpakaian
merah dan yang merupakan pembantu utama karena ia merupakan pembantu yang
paling lihai di antara sembilan orang gadis itu, mewakili semua rekannya.
“Li-hiap, bagaimana li-hiap
dapat berkata seperti itu? Apakah li-hiap masih belum yakin akan kesetiaan kami
sembilan orang yang menjadi pelayan, pembantu, sahabat, juga murid dari
li-hiap? Li-hiap sudah mendidik kami, melatih kami, melimpahkan segala kebaikan
kepada kami. Li-hiap selalu menolak kalau kami mohon untuk membantu li-hiap
menghadapi lawan. Sekarang, pada saat li-hiap menghadapi ancaman dari
lawan-lawan yang jauh lebih banyak dan berat, li-hiap menganjurkan kami untuk
pulang! Li-hiap, berilah kesempatan kepada kami untuk membalas semua kebaikan
li-hiap kepada kami dan kami rela berkurban nyawa kalau perlu, demi untuk
li-hiap!”
Liong-li tersenyum. Ia memang
sudah dapat menjenguk isi hati mereka, akan tetapi ia tahu benar betapa
bahayanya tugas sekali ini, maka ia merasa tidak tega kalau sampai para
pembantunya itu terancam bahaya maut karena dirinya. Kini mendengar jawaban
itu, iapun berkata,
“Terima kasih! Kalian memang
para sahabatku yang baik. Memang dalam perjuangan melawan kejahatan, yang ada
hanyalah menang atau kalah, hidup atau mati. Matipun tidak akan penasaran kalau
kita tewas dalam membela kebenaran dan menentang kejahatan. Nah, kalau begitu,
dengarkan baik-baik rencana siasatku. Kita harus dapat mengacaukan pertahanan
mereka dengan gangguan dari beberapa tempat. Aku hanya ingin agar mendapat
kesempatan menyusup ke dalam dan kalau aku sudah berada di depan sarang mereka,
aku akan menantang ketiga datuk sesat itu untuk mengadu ilmu secara gagah.”
Mereka lalu berbisik-bisik dan
Liong-li membagi-bagi tugas. Kemudian, sesuai dengan siasat yang telah diatur
oleh Liong-li, di balik semak belukar itu, sembilan orang pelayan menanggalkan
pakaian luar mereka dan berganti pakaian. Ketika akhirnya mereka itu satu demi
satu menyelinap keluar dari semak-semak, maka yang nampak hanyalah
berkelebatnya sembilan sosok bayangan hitam! Liong-li sendiri juga menyelinap
keluar.
Mula-mula para penjaga yang
bersembunyi dan mengamati bagian barat daerah tapal batas penjagaan mereka,
yang terkejut melihat berkelebatnya bayangan hitam, tak jauh dari tempat mereka
bersembunyi. Tak lama kemudian, bayangan hitam yang memiliki gerakan cepat itu
nampak berdiri di atas sebongkah batu besar dan memandang ke arah belakang
mereka, ke arah sarang mereka yang tertutup pohon-pohon dan tidak nampak dari
situ.
“Hek-liong-li......!” mereka
berbisik dan jantung mereka berdebar tegang.
Mereka sudah mendapat
peringatan dari para pimpinan agar berhati-hati kalau melihat seorang wanita
cantik berpakaian hitam dan memakai tusuk sanggul perak berbentuk naga kecil di
atas bunga teratai. Dan kini mereka melihat wanita itu tak jauh dari tempat
mereka bersembunyi.
Hanya sebentar wanita itu
nampak karena sekali berkelebat iapun menghilang kembali. Tentu saja tiga orang
penjaga itu menjadi panik dan seorang di antara mereka cepat melapor bahwa di
bagian sebelah barat itu telah muncul Hek-liong-li, seorang di antara dua musuh
yang ditunggu-tunggu, yaitu Hek-liong-li dan Pek liong-eng.
Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li
dan Pek-bwe Coa-ong tentu saja menjadi girang akan tetapi juga merasa tegang
hati mereka ketika mendengar laporan dari para penjaga bahwa Hek-liong-li telah
muncul di bagian barat. Cepat mereka menyuruh Thai-san Ngo-kwi untuk membagi
anak buah mereka dan sekelompok besar terdiri dari duapuluh orang dipimpin oleh
Ngo-kwi (Setan kelima) segera menuju ke daerah itu untuk melakukan penjagaan.
Akan tetapi baru saja kelompok
itu berangkat, dari timur datang penjaga melapor bahwa Hek-liong-li nampak di
daerah timur! Tiga orang datuk itu merasa heran. Bagaimana mungkin Hek-liong-li
dapat bergerak secepat itu? Thai-san Ngo-kwi kembali mengirim Su-kwi memimpin
duapuluh orang anak buah lari ke timur untuk memperkuat penjagaan.
Dan berdatanganlah para
penjaga melaporkan bahwa mereka melihat Hek-liong-li di tempat-tempat penjagaan
yang terpisah-pisah.
“Aih, tidak mungkin ini!”'seru
Ang I Sian-li penasaran.
“Ia bukan manusia tetapi
setan!” kata Kim Pit Siu-cai dan wajahnya agak berubah. “Bagaimana mungkin
seseorang dapat bermunculan di berbagai tempat dalam waktu hampir bersamaan?
Kecuali setan yang pandai menghilang!”
“Jangan panik,” kata Pek-bwe
Coa-ong. “Biarpun kita belum pernah jumpa dan bertanding melawan Hek-liong-li,
kecuali Sian-li yang hanya bentrokan sejenak, kita tahu bahwa ia seorang yang
amat lihai. Entah siasat apa yang ia pergunakan, karena kabarnya selain lihai
ilmu silatnya, juga ia amat cerdik. Kita harus waspada dan mari kita selidiki
sendiri keanehan ini!” kata-kata ini menyadarkan dua orang rekannya dan
merekapun berpencar melakukan penyelidikan.
Liong-li menggunakan
kepandaiannya untuk menyusup ke depan. Ia telah melihat hasil dari pengacauan
yang dilakukan para pembantunya. Nampak banyak anak buah penjahat
berbondong-bondong berlari-larian ke berbagai jurusan, dan ia melihat dari atas
puncak pohon yang tinggi betapa di puncak bukit itu terdapat sebuah
perkampungan atau perumahan yang terdiri dari sebuah rumah besar dengan banyak
rumah kecil di sekitarnya.
Tak lama kemudian, ia telah
tiba di pintu gerbang pagar tembok yang mengelilingi tempat itu dan melihat
bahwa di situ hanya terdapat lima orang penjaga yang bersenjata tombak dan
golok. Seorang penjaga yang tinggi besar dan ada codet di pipi kirinya berjaga
paling depan dan dia kelihatan sombong, bahkan dengan dada dibusungkan dia
mengeluarkan ucapan yang cukup nyaring untuk membual kepada empat orang
kawannya.
“Kenapa sih ribut-ribut hanya
karena munculnya Hek-liong-li? Kabarnya ia hanya seorang wanita muda yang
cantik jelita! Hem, kalau ia muncul ke sini, tentu akan kutangkap dan kubawa ke
pondokku untuk menemaniku malam ini, ha-ha!”
“Tukk!!” Laki-laki itu roboh
dan matanya mendelik karena tepat di antara kedua matanya nampak tanda merah
dan ketika empat orang kawannya menghampiri, si pembual itu telah tewas dengan
dahi tertembus sebuah batu kerikil yang masuk ke dalam kepalanya.
Gegerlah empat orang itu, apa
lagi ketika muncul seorang wanita cantik berpakaian hitam di depan mereka.