14 Ancaman Mengerihkan Iblis Tua
“Tentu saja saya mau!” kata
anak itu, heran dan tidak percaya bahwa orang itu akan memberi uang sedemikian
banyaknya.
“Bagus, kalau begitu, berikan
surat-surat ini kepada Pek-liong-eng, dan semua uang ini menjadi milikmu.
Maukah engkau?”
“Mau, tentu saja saya mau!”
kata anak itu, melepaskan pancingnya saking girang hatinya.
“Nah, simpanlah surat ini
baik-baik dan terimalah uang ini. Akan tetapi hati-hati kau, kalau engkau
berbohong dan tidak menyampaikan surat ini kepada Pek-liong-eng, aku akan
datang lagi dan akan kuhancurkan kepalamu seperti ini!” Orang itu meninju
sebongkah batu sebesar kepala anak itu dan batu itupun hancur!
Tentu saja A-sam menjadi pucat
dan dengan suara gemetar dia berkata. “Akan saya sampaikan, saya tidak berani
berbohong.”
Demikianlah keterangan A-sam
ketika dia menyerahkan surat kepada Pek-liong dan menjawab pertanyaan pendekar
itu. Ketika ditanya tentang gambaran orang itu, A-sam hanya ingat bahwa orang
itu tinggi besar bermuka hitam. Itu saja.
Pek-liong memberi upah,
menyuruh A-sam pergi dan dia lalu membaca dua buah surat itu. Tulisannya
berbeda, namun nadanya sama. Sebuah surat ditulis oleh Su Hong Ing, dan yang
kedua oleh Kam Cian Li, dan keduanya memberitahukan bahwa mereka ditawan musuh
di lembah Huang-ho dan mereka mengharapkan pertolongan Pek-liong. Hanya itu
saja.
Seperti yang dilakukan
Liong-li, Pek-liong tenggelam dalam lamunan ketika membaca kedua buah surat
itu. Dua orang gadis yang pernah menjadi kekasihnya, yang mencintanya. Dia
mendengar bahwa Su Hong Ing telah menjadi isteri Song Tek Hin, dan Su Hong Ing
adalah murid Bu-tong-pai yang pandai dan lihai. Juga Kam Cian Li telah menjadi
gadis hartawan di samping kakaknya, Kam Sun Ting.
Bagaimana kedua orang wanita
itu kini menjadi tawanan musuh? Siapakah musuh itu? Tidak mereka sebutkan dalam
surat.
Dan dia tahu benar bahwa dua
orang wanita itu amat mengagumi dan mencintanya, sehingga tidak mungkin mereka
mau mencelakakan dia. Akan tetapi kenapa mereka membuat surat seperti itu? Pada
hal, jelas surat itu merupakan pancingan agar dia datang menolong mereka dan
musuh itu tentu akan menyambutnya dengan perangkap.
Pek-liong masih terbenam dalam
lamunan setelah menerima surat itu dan kembali dia meraba-raba dagunya. Otaknya
yang cerdik bekerja keras. Merupakan hal yang amat mencurigakan betapa dua
orang wanita itu, Su Hong Ing dan Kam Cian Li dapat menjadi tawanan dalam waktu
yang bersamaan, dan keduanya juga bersama-sama menyurati dia.
Yang seorang tinggal di dekat
kota Cin-an, yang kedua tinggal di Nan-cang dekat telaga Po-yang, terpisah
jauh. Bagaimana kini mereka dapat berkumpul sebagai tawanan? Apa yang membuat
musuh-musuh itu menawan kedua orang wanita ini?
Jelas, surat itu untuk
memancingnya agar dia mau datang ke lembah Huang-ho untuk menolong mereka. Akan
tetapi mengapa kedua orang itu? Pada hal, teman-temannya banyak. Mengapa
justeru mereka?
Dia mengingat kembali
pertemuannya dengan mereka. Su Hong Ing dijumpainya ketika dia bersama Liong-li
membasmi Hek-sim Lo-mo, dan Kam Cian Li dijumpainya ketika dia bersama Liong-li
membasmi Siauw-bin Ciu-kwi! Dan Liong-li diserang oleh Thai-san Ngo-kwi,
murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi. Dalam suratnya, secara singkat Liong-li
juga menyebut adanya nenek berpakaian merah yang amat lihai, yang membantu
Thai-san Ngo-kwi.
“Ah, tidak salah lagi. Tentu
mereka yang mendalangi semua ini. Sisa Kiu Lo-mo tinggal tiga, Ang I Sian-li,
Kim Pit Siu-cai, dan Pek-bwe Coa-ong! Siapa lagi kalau bukan mereka yang hendak
membalas dendam atas kematian empat orang rekan mereka yang kubasmi bersama
Liong-li? Ini berbahaya, mereka adalah orang-orang lihai yang amat jahat!”
Tiba-tiba dia teringat. Ketika
dia bersama Liong-li membasmi Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo, juga ada
dua orang yang terlibat, yaitu Cian Hui dan Cu Sui In. Kalau memang sisa Kui
Lo-mo hendak menangkap orang-orang yang terlibat tentu Cian Hui dan Sui In yang
menjadi isterinya itu akan terancam pula. Akan tetapi dia teringat betapa
cerdiknya Cian Hui dan sebagai seorang panglima muda yang berkedudukan di kota
raja, kedudukannya kuat karena dia memiliki pasukan.
Selain itu, Cian Hui jauh
lebih lihai dibandingkan dua orang wanita yang ditawan musuh, bahkan isterinya,
Cu Sui In yang murid Kun-lun-pai, lebih lihai lagi. Agaknya kawanan penjahat
tidak dapat menawan Cian Hui dan isterinya, maka tidak ada surat dari mereka
kepadanya!
Pek-liong berpendapat bahwa
bukan hanya dua orang wanita itu saja yang terancam bahaya seperti tertulis
dalam surat mereka, walaupun dia belum yakin apakah surat-surat itu tidak
palsu, melainkan juga Liong-li terancam bahaya. Dia harus bertindak, dan karena
sekali ini, kalau perhitungannya tepat, dia akan berhadapan dengan sisa Kiu
Lo-mo, yaitu tiga orang datuk sesat yang lihai, dia membutuhkan bantuan enam
orang pelayan yang juga menjadi pembantunya, juga boleh dibilang murid-muridnya
karena dia telah menggembleng mereka menjadi pembantu-pembantu yang dapat
diandalkan dan pandai ilmu silat, juga cerdik dan setia.
Cepat dia mengumpulkan enam
orang pembantunya dan menceritakan kepada mereka semua yang terjadi, lalu
mengatur siasat dan membagi tugas. Enam orang pembantunya itu secara berpencar
dia beri tugas untuk melakukan penyelidikan ke lembah Huang-ho yang patut
dicurigai menjadi sarang musuh-musuh itu, kemudian menanti dia di sana, siap
untuk membantunya. Dia sendiri akan lebih dahulu singgah ke Lok-yang di selatan
Sungai Kuning (Huang-ho) untuk mencari Liong-li sebelum berangkat pula ke
lembah Huang-ho.
Di dalam surat kedua orang
wanita itu, hanya minta agar dia datang menolong mereka yang ditawan di lembah
Huang-ho di perbukitan Hek-san (Bukit Hitam). Pada hal perbukitan itu panjang
dan luas, maka harus diselidiki di mana kiranya sarang mereka yang menawan dua
orang wanita itu.
◄Y►
Bagaimana dua pasang suami
isteri dan kakak beradik yang ditawan itu sampai mau mengirim surat kepada
Liong-li dan Pek-liong? Pada hal, mereka berempat adalah orang-orang gagah yang
tidak akan sudi membantu penjahat untuk menjadi umpan dan memancing datangnya
dua orang yang mereka sayangi dan hormati itu masuk dalam perangkap penjahat.
Perkembangan yang tidak
menguntungkan mereka telah terjadi di tempat tawanan itu. Baru sehari setelah
menjadi tawanan di situ, Song Tek Hin dan Su Hong Ing yang mendapat kebebasan
walaupun selalu diawasi, tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk meloloskan
diri atau memberontak kalau perlu.
Mereka melihat ketika kakak
beradik Kam datang sebagai tawanan pula dan ditempatkan di kamar nomor dua, tak
jauh dari kamar mereka. Mereka memang tidak saling mengenal, akan tetapi dari
sikap masing-masing, mereka dapat saling menduga bahwa mereka berempat
mempunyai nasib yang sama.
Kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh Su Hong Ing yang melakukan pendekatan kepada Kam Cian Li.
Para penjaga tidak melarang ketika dua orang wanita ini bercakap-cakap dan
dalam percakapan itu, dengan hati-hati mereka saling bertanya dan betapa kaget
hati mereka bahwa mereka benar-benar mengalami nasib yang sama. Keduanya
ditangkap untuk dijadikan umpan bagi Pek-liong dan Liong-li!
“Kita harus menggunakan
kesempatan ini untuk meloloskan diri! Kita tidak boleh menjadi umpan untuk
mencelakai Pek-liong dan Liong-li,” bisik Su Hong Ing.
“Engkau benar, enci. Akan
tetapi bagaimana caranya? Mereka amat lihai, kita tidak mungkin dapat menang,
tidak mungkin dapat lolos dari tempat ini,” jawab Kam Cian Li sambil berbisik
pula.
“Kita harus berani mencoba.
Memang kami berdua juga tertawan karena kalah oleh iblis betina itu, dan tentu
kakek yang menawan kalian itu lihai pula karena mereka adalah para tokoh Kiu
Lo-mo. Akan tetapi kalau kita berempat bersatu, tentu kita akan menjadi lebih
kuat. Bagaimana mungkin kita berdiam diri saja dan membiarkan kita dijadikan
umpan yang akan mencelakakan dua orang yang kita sayang dan hormati, lebih dari
pada lain orang?”
Cian Li mengangguk-angguk,
bangkit semangatnya. Tentu saja gadis yang masih selalu terkenang dengan penuh
kerinduan kepada Pek-liong, kekasih pertamanya itu, tidak rela melihat
Pek-liong celaka.
“Aku siap, enci, dan akan
kuberitahu kakakku. Tapi kapan dan bagaimana?”
“Malam nanti. Yang bertugas
adalah penjaga-penjaga biasa. Kita menyelinap keluar dan kita bunuh kalau ada
penjaga yang mencoba menghalangi. Memang berbahaya. Akan tetapi siapa berani
menjamin bahwa kita akan dibebaskan kalau Pek-liong dan Liong-li sudah
terpancing ke sini, kemudian kedua orang pendekar itu dapat mereka tangkap?
Mungkin kita semua juga akan dibunuh. Dari pada dibunuh seperti babi, bukankah
lebih baik mati seperti harimau yang melawan dengan gagah?”
Ucapan Su Hong Ing yang
membakar semangat itu membuat Kam Cian Li berkobar dan gadis ini lalu
membisikkan rencana untuk kabur itu kepada kakaknya, dan Hong Ing juga membujuk
suaminya. Dua orang pria itupun akhirnya setuju karena mereka yakin apakah
kalau Pek-liong dan Liong-li dapat tertawan atau terbunuh oleh para penjahat,
mereka akan dibiarkan pergi.
Demikianlah, malam itu
kebetulan gelap gulita Dua pasang pria wanita itu saling memberi isyarat, lalu
bersama-sama menyelinap keluar dari kamar mereka. Yang bertugas jaga di dekat
kamar mereka masing-masing hanya dua orang. Dengan sigap dan tidak banyak
kesukaran, dua pasang tawanan itu dapat merobohkan empat orang penjaga itu dan
merampas pedang mereka. Kemudian mereka menyusup-nyusup mencari jalan keluar
melalui tempat-tempat yang gelap dalam kompleks bangunan itu.
Keadaan nampak sunyi sehingga
melegakan hati empat orang buronan itu. Mereka menyelinap dengan hati-hati dan
akhirnya dapat tiba di dekat pintu gerbang di depan.
Hanya dari pintu itulah mereka
dapat melarikan diri karena pagar tembok yang mengitari perumahan itu amat
tinggi dan di atas pagar tembok itu dipasangi besi-besi runcing. Tak mungkin
melompati pagar tembok itu. Juga tidak ada tali yang panjang untuk memanjat.
Satu-satunya jalan hanyalah menyerbu keluar melalui pintu gerbang.
Song Tek Hin dan Su Hong Ing
mengintai dari sebelah kiri pintu gerbang, sedangkan kakak beradik Kam
mengintai dari sebelah kanan. Jantung mereka berdebar tegang. Hanya ada dua
kemungkinan: Sekarang berhasil atau selamanya gagal. Hidup atau mati. Mereka
sudah nekat.
Di pintu gerbang itu terdapat
selosin orang penjaga. Kalau kepandaian mereka hanya biasa saja, tentu mereka
berempat akan mampu mengalahkan selosin orang itu dan ini berarti lolos! Song
Tek Hin yang kini menjadi pimpinan, memberi isyarat, lalu bersama isterinya dia
melompat keluar, menyerbu ke arah para penjaga yang sedang mengobrol. Kakak
beradik Kam juga berloncatan keluar dan menyerbu.
Tentu saja para penjaga
menjadi kaget dan kacau balau. Namun seorang di antara mereka meniup peluit
berkali-kali sedangkan teman-temannya melakukan perlawanan dengan golok mereka.
Empat orang buronan itu
mengamuk, akan tetapi diam-diam mereka mengeluh karena ternyata selosin orang
itu bukan lawan yang lunak dan dapat mereka robohkan dalam waktu singkat.
Setelah bertempur beberapa lamanya, mereka baru berhasil merobohkan empat
orang.
Tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring, “Mundur kalian semua!”
Para penjaga mundur dan cepat
mereka menyalakan lebih banyak obor untuk menerangi tempat itu. Ketika empat
orang buronan itu mengangkat muka memandang, mereka melihat lima orang yang
bersikap bengis berdiri menghadang di depan mereka. Empat orang buronan itu
merasa lega karena tidak nampak si nenek pakaian merah dan kakek sastrawan
pakaian putih yang amat lihai itu.
Tidak ada dua orang dari Kiu
Lo-mo. Maka, dengan nekat dan semangat berkobar empat orang buronan itu
menggerakkan pedang rampasan dan menyerang ke arah lima orang yang berdiri
menghadang itu.
Mereka sama sekali tidak tahu
bahwa mereka berhadapan dengan Thai-san Ngo-kwi yang lihai bukan main. Biarpun
tingkat kepandaian Thai-san Ngo-kwi belum setinggi tingkat Kiu Lo-mo, akan
tetapi jelas mereka ini jauh lebih kuat dari pada empat orang buronan itu.
Thai-san Ngo-kwi tertawa
mengejek, mereka sudah mencabut golok dan menyambut serangan dua pasang tawanan
itu. Dalam waktu belasan jurus saja, empat batang pedang rampasan itu
patah-patah dan dua pasang tawanan itupun roboh dan diringkus kembali. Dalam
keadaan terbelenggu mereka digiring kembali ke dalam kamar mereka, didorong
masuk ke dalam kamar dalam keadaan terbelenggu dan kamar mereka dikunci dari
luar!
Gagallah usaha pelarian itu
dan pada keesokan harinya, mereka berempat di seret satu demi satu dihadapkan
kepada Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li, dan Pek-bwe Coa-ong, sedangkan Thai-san
Ngo-kwi juga hadir di ruangan itu.
Biarpun dihadapkan seorang
diri saja di depan pimpinan gerombolan penjahat itu, empat orang gagah ini
tidak bersikap takut. Dengan gagah mereka itu memiliki sikap yang sama, yaitu
menentang dan tidak sudi dijadikan umpan untuk memancing datangnya Pek-liong
dan Liong-li!
Ang I Sian-li tidak menjadi
marah-marah seperti dua orang rekannya menghadapi kekerasan kepala empat orang
itu. Ia memerintahkan kepada Thai-san Ngo-kwi untuk menghadapkan para tawanan
itu sepasang, pertama dimulai dengan pasangan suami isteri Song Tek Hin dan Su
Hong Ing.
Setelah dua orang yang
terbelenggu ini dihadapkan mereka, suami isteri itu berdiri tegak dan memandang
dengan mata penuh kemarahan dan kebencian, sedikitpun tidak mau tunduk.
Ang I Sian-li lalu berkata
kepada mereka. “Kalian berdua suami isteri memang mengagumkan sekali dan
pantaslah menjadi sahabat-sahabat baik Pek-liong dan Liong-li. Akan tetapi,
sikap kalian ini hanya merugikan kalian sendiri. Kami hanya menghendaki agar
kalian menulis surat dan minta pertolongan kepada Pek-liong dan Liong-li. Itu
saja. Kenapa kalian berkeras kepala menolak? Apakah kalian lebih suka mati dari
pada menuruti permintaan kami dan mendapat kebebasan setelah itu?”
“Kami tidak takut mati!”
bentak Su Hong Ing
“Lebih baik kami mati dari
pada harus mengkhianati Pek-liong dan Liong-li!” kata pula Song Tek Hin dengan
sikap gagah.
Ang I Sian-li terkekeh genit.
“Bagus, bagus, kalian memang gagah perkasa. Akan tetapi dengarlah baik-baik,
buka telinga dan perhatikan kata-kataku. Kalau kalian mau menulis surat yang
kami butuhkan itu, setelah Pek-liong dan Liong-li dapat kami bunuh, kalian akan
kami bebaskan, dan ini janji seorang datuk persilatan yang tidak akan kami
langgar! Akan tetapi, sebaliknya kalau kalian berkeras tidak mau bekerja sama
dengan kami, terpaksa kami akan melakukan hukuman yang akan membuat kalian
menyesal telah dilahirkan di dunia ini.”
“Kami tidak takut!” seru suami
isteri itu hampir berbareng.
“Benarkah? Dengar, pertama aku
akan menyiksa si suami di depan si isteri, dengan membuntungi seluruh jari
tangan dan kakinya satu demi satu! Kami akan menyiksanya akan tetapi membiarkan
dia hidup agar dia dapat menyaksikan ketika kami menyuruh anak buah kami
memperkosa si isteri di depan si suami sampai si isteri mati.”
Song Tek Hin dan Su Hong Ing
menjadi pucat mendengar ini, akan tetapi mereka masih berusaha mengeraskan
hati. “Gertak kosong!” teriak mereka.
Ang I Sian-li dengan cerdiknya
menggiring suami isteri itu ke tepi jurang kengerian dengan ancaman-ancaman
yang lebih mengerikan dari pada maut, sampai akhirnya mereka tidak tahan dan
tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali menyerah dan membuatkan surat itu.
Song Tek Hin menulis surat kepada Hek-liong-li dan Su Hong Ing menulis surat
kepada Pek-liong-eng, isinya minta bantuan mereka karena suami isteri itu
ditawan musuh di pegunungan Hitam lembah Sungai Kuning.
Demikian pula dengan kakak
beradik Kam. Mereka kalah jauh dalam hal siasat oleh Kiu Lo-mo, dan akhirnya
semangat merekapun dapat dipatahkan dan untuk saling menjaga, kakak beradik ini
terpaksa membuat pula surat seperti yang telah dilakukan suami isteri itu.
Empat orang ini tidak dapat
terlalu disalahkan. Mereka bukan orang-orang yang suka berkhianat demi
keuntungan sendiri. Akan tetapi di bawah ancaman mengerikan itu, tentu saja
mereka tidak berdaya. Apa lagi mereka berpikir bahwa orang-orang sakti seperti
Pek-liong dan Liong-li tidak mungkin dapat dijebak begitu saja. Bahkan
diam-diam mereka mengharapkan agar sepasang pendekar sakti itu benar-benar akan
dapat menolong dan membebaskan mereka.
Bagaimanapun juga, Ang I
Sian-li memegang janji. Setelah dua pasang tawanan itu menulis surat, merekapun
dibebaskan berkeliaran di perumahan yang terkurung tembok tinggi dan terjaga
kuat itu, tidak lagi dibelenggu.
Memang, bagi tiga orang tokoh
Kiu Lo-mo, empat orang ini tidak ada artinya. Yang penting bagi mereka adalah
Pek-liong dan Liong-li. Dua pasang tawanan itu hanya umpan, dan kalau sudah
tidak dibutuhkan lagi, di lepas juga tidak mengapa bagi mereka.
Walaupun kini mereka bebas
dalam perumahan itu, tetap saja dua pasang tawanan itu selalu merasa gelisah
dan tidak berani lagi mencoba untuk melarikan diri. Mereka gelisah dan perasaan
hati mereka tegang menanti munculnya Pek-liong dan Liong-li, gelisah
membayangkan betapa kedua orang yang mereka sayang itu akan tertangkap pula dan
disiksa dibunuh di depan mata mereka!
◄Y►
Sesosok bayangan putih
berkelebat dan lenyap di balik pagar tembok yang mengelilingi pekarangan rumah
mungil milik Hek-liong-li. Kalau pun kebetulan ada yang melihatnya pada senja
hari itu, tentu orang ini akan mengira bahwa bayangan putih yang berkelebat itu
bukan manusia, saking cepatnya gerakan orang itu.
Pada hal, bayangan putih itu
adalah Pek-liong-eng Tan Cin Hay. Sebelum dia pergi melakukan penyelidikan ke
pegunungan Hitam di Lembah Huang-ho (Sungai Kuning), dia ingin berkunjung lebih
dulu ke tempat kediaman Liong-li. Akan tetapi, seperti sudah diduganya, tentu
terjadi sesuatu pula dengan Liong-li, dia melihat tempat itu sunyi dan kosong
ketika beberapa kali dia melewati jalan di depan rumah itu.
Dan pintu gerbang depan
tertutup. Maka, pada senja hari itu diapun menyelinap dan melompati pagar
tembok yang tinggi dengan gerakan ringan dan cepat sehingga tidak ketahuan
orang lain.
Begitu menghampiri halaman
depan, dia terbelalak memandang ke arah kolam ikan di halaman depan. Biasanya,
dia amat menyukai kolam itu, terutama arca putri menunggang angsa, arca yang
buatannya halus dan indah sekali.
Kini, hanya tinggal batu
berserakan. Arca itu telah pecah berantakan! Dan agaknya Liong-li tidak sempat
membangun kembali arca itu, bahkan membiarkan batu-batu bekas arca itu
berserakan. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, pikirnya dan hatinya mulai
khawatir.
Tidak mungkin Liong-li
tertimpa bencana. Tempat ini sunyi, jelas ditinggalkan dan tidak ada
manusianya. Sembilan orang pelayan Liong-li juga tidak berada di situ. Ini
hanya berarti bahwa Liong-li menghadapi peristiwa besar seperti diceritakan
dalam suratnya kepadanya, peristiwa besar yang membutuhkan seluruh tenaga
Liong-li untuk menghadapinya, dibantu oleh sembilan orang pelayannya. Tak salah
lagi, tentu Liong-li menerima pula surat-surat seperti yang diterimanya dari
Hong Ing dan Cian Li.
Tanpa ragu lagi Pek-liong
menghampiri sebuah arca singa yang berada di sebelah kiri pintu beranda.
Dikerahkannya tenaganya dan didorongnya singa batu itu dengan tangan kanan.
Ketika arca itu miring, dia mengambil sehelai surat di bawahnya. Itulah tempat
rahasia kalau Liong-li meninggalkan pesan kepadanya, yang hanya mereka ketahui
berdua. Dia segera membacanya.
Tepat seperti yang diduganya.
Liong-li menerima surat dari Song Tek Hin dan Kam Sun Ting yang isinya sama
dengan surat dari Hong Ing dan Cian Li kepadanya. Kedua orang pria itu ditawan
di pegunungan Hitam Lembah Sungai Kuning dan mereka mohon pertolongan dari
Liong-li.