Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 05 Awal Siasat Keji Iblis Tua

Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 05 Awal Siasat Keji Iblis Tua
05 Awal Siasat Keji Iblis Tua

“Mulai detik ini kita harus waspada dan menyatakan perang terhadap para pengganggu yang curang dan pengecut ini. Buka mata dan telinga kalian setiap saat dan di manapun kalian berada. Musuh berada di sekeliling kita.”

Sembilan orang pelayan itu menyatakan sanggup dan merekapun merasa kesal sekali akan perbuatan yang curang dari musuh-musuh majikan mereka. Dan seperti yang dikatakan Liong-li, perang memang mulai dinyalakan oleh segerombolan orang yang bekerja secara curang dan menggelap. Hal ini terjadi tiga hari kemudian.

Pada hari itu, Bunga Biru dan Bunga Kuning, dua orang pelayan Liong-li, pergi berbelanja ke pasar. Seperti biasa, mereka berbelanja daging dan sayur mayur untuk masak hari itu. Juga Bunga Kuning hendak membeli kain sutera kuning untuk dibuat pakaian. Dua orang wanita muda berusia duapuluh tujuh tahun itu bersikap gembira, namun keduanya tetap waspada sesuai dengan pesan majikan mereka.

Walaupun sudah tiga hari tidak pernah terjadi sesuatu semenjak arca itu diledakkan orang, namun keduanya maklum bahwa mungkin saja pada saat itu ada mata yang mengikuti gerak gerik mereka. Maka, kegembiraan mereka itu bercampur siasat agar pihak musuh menganggap mereka lengah, agar pihak musuh mau bergerak melakukan serangan.

Menurut majikan mereka, sukar mencari musuh yang tidak mau memperkenalkan diri. Satu-satunya cara adalah memancing agar mereka turun tangan melakukan serangan dan hal ini dapat terjadi kalau mereka memperlihatkan sikap lengah! Memang permainan yang berbahaya, namun kesembilan orang pelayan Liong-li adalah gadis-gadis yang terlatih dan sudah terbiasa menghadapi bahaya seperti majikan mereka.

Setelah dua-tiga jam dua orang pelayan itu terlambat pulang, mulailah Liong-li mengerutkan alisnya. Ia mendapat laporan dari para pelayan lain bahwa Bunga Biru dan Bunga Kuning yang pergi berbelanja, sudah hampir tiga jam terlambat pulang dari pada waktu biasanya.

“Tunggu sejam lagi. Kalau mereka belum pulang, Bunga Merah dan Bunga Ungu agar pergi menyusul ke pasar dan ke toko,” kata Liong-li dengan sikap masih tenang.

Setengah jam kemudian, Bunga Biru pulang dengan wajah penuh ketegangan, dan ia tidak mau menjawab hujan pertanyaan para rekannya melainkan langsung saja ia lari menghadap Liong-li yang duduk di ruangan tengah. Tentu saja tujuh orang rekannya yang merasa khawatir, mengikutinya dari belakang dan kini delapan orang pelayan itu sudah duduk bersimpuh di atas lantai, menghadap Liong-li yang duduk di atas bangku rendah dengan santai.

“Lan Hwa, apakah yang terjadi dan di mana Ui Hwa?” tanya Liong-li dengan tegas dan suaranya mengandung teguran karena pelayan itu telah membuat mereka semua merasa khawatir.

“Maaf, li-hiap...... Bunga Kuning diculik orang......”

Tentu saja semua pelayan terkejut walaupun mereka menekan perasaan dan tidak berani memperlihatkan kekagetan mereka. Hek-liong-li sendiri terkejut, akan tetapi dengan tenang ia berkata, “Coba ceritakan dari awal apa yang telah terjadi.”

“Kami berbelanja ke pasar dan ketika pulang kami singgah di toko kain untuk membeli kain sutera kuning. Setelah membeli kain, ketika kami keluar dari toko, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua, sekitar limapuluh tahun usianya, bertubuh tinggi kurus, menghampiri kami dan dia bertanya lirih apakah kami bekerja kepada li-hiap. Ketika kami membenarkan, dia berbisik bahwa dia melihat pembantu tukang masak yang pernah mencoba untuk meracuni li-hiap.”

Tentu saja perhatian Liong-li segera tertarik. “Lalu bagaimana? Cepat ceritakan yang jelas, jangan lewatkan hal-hal yang kecil sekalipun!”

Bunga biru melanjutkan ceritanya. Ketika ia dan Bunga Kuning mendengar bisikan laki-laki itu, tentu saja mereka berdua tertarik sekali, akan tetapi merekapun tidak mau percaya begitu saja. Mereka sudah terlatih dan terdidik oleh Liong-li dan mereka adalah gadis-gadis yang cerdik di samping tabah dan lihai.

Mereka saling pandang dan keduanya melalui pandang mata bersepakat untuk cepat melapor kepada Liong-li. Akan tetapi agaknya laki-laki kurus itupun dapat menduga, karena dia segera berkata bahwa kalau tidak cepat-cepat mereka mengejar, dia khawatir bekas pembantu tukang masak itu akan sempat menghilang.

“Di mana dia?” tanya Bunga Kuning.

“Tadi kulihat dia di dekat pintu gerbang sebelah barat. Mari cepat nona, kalau dia sudah pergi, aku takut kalian menganggap aku berbohong!” kata laki-laki itu yang berjalan tergesa-gesa menuju ke pintu gerbang barat.

Sambil mengikuti orang itu, Bunga Biru bertanya. “Siapakah engkau, paman? Dan mengapa engkau melaporkan hal ini kepada kami?”

Sambil berjalan cepat setengah berlari, orang itu menjawab. “Aku juga hadir sebagai tamu ketika peristiwa racun dalam sup ayam jamur itu terjadi. Aku pengagum Hek-liong-li, maka aku bertanya-tanya siapa orangnya yang begitu berani hendak meracuni li-hiap. Aku pernah melihat pembantu tukang masak itu dan tadi kebetulan aku melihatnya. Aku hendak melapor kepada li-hiap, akan tetapi ketika melihat kalian, aku teringat bahwa para pelayan Hek-liong-lihiap mengenakan pakaian yang beraneka warna. Marilah, jangan sampai dia menghilang!”

Mereka tiba di pintu gerbang, akan tetapi orang yang dicarinya sudah tidak ada. Dengan menyesal laki-laki itu menyatakan bahwa tentu orang itu melakukan perjalanan ke luar pintu gerbang.

“Mari kita kejar dia, pasti belum jauh dia pergi!” katanya dan melihat sikapnya yang sungguh-sungguh, mulai berkurang kecurigaan Bunga Biru dan Bunga Kuning. Mereka mengikuti laki-laki melakukan pengejaran dan ketika mereka tiba di tempat sunyi dekat hutan, tiba-tiba saja bermunculan belasan orang dan si kurus itu segera menyerang Bunga Kuning!

Tentu saja dua orang gadis pelayan itu terkejut dan marah. Kecurigaan mereka tadi ternyata benar. Orang ini adalah orang jahat yang sengaja memancing mereka keluar dari kota dan di tempat sunyi itu mereka dikepung oleh empatbelas orang!

Akan tetapi, keduanya adalah gadis-gadis yang terlatih dan gagah perkasa. Mereka mengamuk dan dan tidak mau menyerah begitu saja. Karena para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang cukup dan tenaga merekapun besar, sedangkan dua orang gadis pelayan itu tidak memegang senjata, akhirnya Bunga Kuning tertendang roboh dan tertawan.

“Demikianlah, li-hiap. Saya berusaha melawan dan berusaha menolong Ui hwa, akan tetapi jumlah mereka terlalu banyak dan juga mereka itu lihai sehingga saya tidak berhasil menyelamatkan Bunga Kuning,” kata Bunga Biru dengan muka pucat dan mata sayu mengaku salah.

Liong-li mengerutkan alisnya. “Dan engkau melarikan diri?”

“Ah, bagaimana mungkin saya melarikan diri melihat rekan ditangkap, li-hiap? Dan inilah yang aneh. Mereka itu melarikan Bunga Kuning, meninggalkan saya begitu saja. Pada hal kalau mereka terus mengeroyok, sudah pasti mereka akan dapat menangkap atau merobohkan saya. Mereka pergi melarikan Bunga Kuning ke dalam hutan. Karena merasa tidak mungkin dapat membebaskan rekan itu, terpaksa saya bergegas pulang untuk memberi laporan kepada li-hiap.”

Liong-li mengangguk-angguk dan ia duduk bertopang dagu, jari-jari tangannya, terutama ibu jari dan telunjuk tangan kiri, menggosok-gosok hidungnya. Itulah ciri khas dari pendekar wanita ini bahwa ia sedang berpikir keras! Kalau ia sedang menggunakan akal pikirannya, tanpa disadarinya ia membuat gerakan ini.

“Apanya yang aneh? Mereka menangkap Ui Hwa dan sengaja membebaskanmu agar engkau dapat melapor kepadaku,” katanya.

Mendengar ini, delapan orang pelayan itu mengerutkan alisnya. Bunga Biru memberanikan hatinya. “Akan tetapi, li-hiap, mengapa mereka melakukan hal itu? Apa maksud yang tersembunyi di balik penculikan itu?”

“Lan Hwa, begitu bodohkah engkau sehingga tidak dapat menduga apa maksud dari mereka?” Liong-li balas bertanya dan memandang tajam.

Bunga Biru menyadari kesalahannya dan cepat-cepat ia berkata, “Mereka menculik Bunga Kuning dan tidak membunuhnya, ini berarti bahwa mereka membutuhkan Bunga Kuning. Mereka melepas saya untuk melapor li-hiap, tentu bermaksud untuk memancing li-hiap keluar dari rumah ini dan menuju ke hutan sana. Bunga Kuning ditangkap sebagai umpan. Aih, kalau li-hiap ke sana, berarti mereka sudah memasang jebakan! Itu berbahaya sekali!”

“Bagus, pendapatmu benar, akan tetapi kurang lengkap. Kalau mereka menculik Bunga Kuning tentu berarti mereka membutuhkan ia dalam keadaan hidup. Dan ada dua kemungkinan di balik penculikan itu. Pertama, seperti yang kauduga, mereka hendak memancing aku pergi ke sana dan akan menjebakku. Kedua, dan ini lebih besar kemungkinannya, mereka hendak memaksa Ui Hwa untuk membuka rahasia alat-alat rahasia di rumah ini agar mereka dapat menyerbu!”

“Maaf, li-hiap,” kata Bunga Putih. “Akan tetapi saya tidak melihat alasan untuk maksud yang kedua itu.”

“Alasannya jelas sekali. Mereka telah meledakkan arca di pekarangan, selain sebagai tantangan dan awal perang, juga mungkin untuk melihat apakah arca itu mengandung rahasia. Jelas mereka tidak berani memasuki rumah ini, dan mereka pikir kalau dapat menangkap seorang di antara kalian, mereka akan dapat memaksa yang ditangkap untuk membuka rahasia alat-alat yang berbahaya bagi mereka di sini.”

“Akan tetapi, sampai matipun kami yakin Bunga Kuning tidak akan sudi membuka rahasia itu,” kata seorang gadis berpakaian ungu.

Liong-li tersenyum. Terbayang dalam benaknya akal para penjahat untuk memaksa seseorang gadis mentaati kehendak mereka. Bermacam siksaan pernah ia alami dan ia sangsi apakah Bunga Kuning akan kuat bertahan kalau menghadapi siksaan iblis-iblis berupa manusia itu.

“Kuharap ia tidak keras kepala dan mati konyol,” katanya tenang. “Bagaimanapun juga, aku sudah siap menghadapi gerombolan penjahat itu dan pasti akan dapat kubasmi mereka!”

“Kami semua menanti perintah li-hiap dan siap membantu!” kata Bunga Biru yang masih perihatin mengenang nasib rekannya yang tertawan musuh.

“Siasat mereka itu kasar sekali dan kita balas pancingan mereka dengan pancingan pula. Aku tidak akan mencari Ui Hwa di hutan itu, akan tetapi siang ini kita pura-pura mencari di sekitar sana, tidak perlu memasuki hutan. Aku hanya ingin agar mereka melihat kita sibuk mencari Ui Hwa, seolah kita lengah dan tidak mengira mereka akan mempelajari rahasia alat-alat jebakan dan menyerbu ke dalam. Akan tetapi, pada malam harinya, diam-diam kita berjaga-jaga kalau sampai mereka berani muncul dan memaksa Ui Hwa membuka rahasia, kita hantam mereka dan kita basmi mereka sampai ke akarnya!”

Delapan orang pelayan itu menyatakan kegembiraan mereka, dan sesuai dengan siasat yang diatur Liong-li, mereka delapan orang mengikuti Liong-li, pura-pura mencari Ui Hwa dengan Lan Hwa menjadi penunjuk jalan. Mereka mencari di sekitar tempat di mana Bunga Kuning ditawan tadi, akan tetapi tidak memasuki hutan. Setelah hari mulai gelap, Liong-li mengajak delapan orang pelayannya pulang dan malam itu, mereka mengatur penjagaan secara diam-diam, dan membiarkan keadaan rumah itu seperti malam-malam biasanya.

Memang tepat dugaan Liong-li. Bunga Kuning dibawa ke dalam hutan oleh belasan orang itu dan dihawa menghadap lima orang yang bukan lain adalah Thai-san Ngo-kwi! Ui Hwa atau Bunga Kuning, gadis pelayan yang mengenakan pakaian serba kuning ini, adalah seorang di antara para pelayan Liong-li yang paling cerdik. Begitu ia diringkus dan dilarikan oleh gerombolan itu, iapun mengerti bahwa gerombolan itu menculiknya dengan tujuan tertentu.

Buktinya, mereka membiarkan Bunga Biru lobos, pada hal kalau mereka kehendaki, mereka dapat pula menawan Bunga biru. Jelas bahwa penangkapan atas dirinya itu mempunyai maksud tertentu, bukan karena tertarik oleh kecantikannya. Bunga Biru lebih cantik dan lebih muda darinya. Tidak salah lagi pikirnya, ini tentu ada hubungannya dengan majikannya dan iapun teringat akan pengrusakan arca di pekarangan rumah Liong-li.

Ketika ia dihadapkan kepada lima orang pria yang kasar dan nampak bertampang seram itu, Bunga Kuning bersikap tenang walaupun kedua lengannya terikat di belakang punggung dan empat orang anak buah gerombolan menodongkan golok di tubuhnya. Ia tidak boleh bersikap lemah. Tidak percuma ia menjadi pelayan Hek-liong-li! Ia akan menghadapi maut dengan gagah.

Ketika lima orang pimpinan gerombolan itu melihat Ui Hwa yang berdiri tegak di depan mereka dalam keadaan terbelenggu, mereka saling pandang dan tersenyum lebar.

“Aha, seorang pelayan wanita yang cantik dan gagah,” kata Thai-kwi yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. “Engkau ini hanya seorang pelayan, akan tetapi lagakmu seperti seorang pendekar wanita yang kenamaan saja, ha-ha!”

Dengan sinar mata berani dan suara lantang Bunga Kuning menjawab, “Jiwa pendekar bukan hanya dimiliki para majikan, bangsawan, hartawan atau laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan kuat saja! Bahkan banyak laki-laki yang kelihatannya kuat, berjiwa kerdil sebagai penjahat yang curang dan pengecut! Contohnya kalian ini yang mengeroyok dan menangkap seorang wanita!”

Lima orang pemimpin gerombolan itu adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah berpengalaman, maka kata-kata yang mengandung hinaan ini tidak dapat membuat mereka marah. Mereka hanya menyeringai saja dan tahu bahwa gadis berpakaian kuning itu hanya menjaga “gengsi” sebagai pelayan seorang pendekar wanita yang terkenal seperti Hek-liong-li.

“Hebat, gadis yang manis. Engkau memang gagah berani dan cantik pula. Sayang hanya seorang pelayan! Tentu engkau cerdik pula dan tahu mengapa kami menawanmu, bukan?”

Gadis itu tahu bahwa ia berhadapan dengan penjahat-penjahat besar, maka tidak ada gunanya berpura-pura. Bahkan ia harus bersikap terbuka agar ia dapat menjenguk isi hati mereka dan mengetahui rahasia mereka agar ada manfaatnya apabila ia dapat lagi bertemu dengan nona majikannya sebagai bahan laporan.

“Selama hidupku, aku belum pernah bertemu dengan kalian, dan tidak mempunyai urusan apapun dengan kalian. Oleh karena itu, kalian menawanku tentu bukan karena aku, melainkan karena nona majikanku, Hek-liong-lihiap!”

“Heh-heh-heh, boleh juga nona ini!” kata Ji-kwi yang berperut gendut.

“Kalau tidak cerdik, mana bisa menjadi pelayan Hek-liong-li?” kata Thai-kwi, sengaja memuji karena dia ingin gadis itu bersikap terbuka karena bangga sehingga keterangan gadis itu akan menguntungkan mereka. “Hei, nona yang manis dan cerdik, bagaimana engkau bisa menduga bahwa kami menangkapmu karena Hek-liong-li?”

“Hem, orang bodoh sekalipun akan dapat menduganya. Pertama, nona majikanku terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang selalu menentang para penjahat seperti kalian. Kedua, kalian tentu yang menghancurkan arca wanita dengan angsa di pekarangan rumah nona majikanku. Kalian tak berani menyerbu ke dalam rumah, maka kini kalian menangkap aku. Begitu, bukan?”

“Bukan main!” Thai-kwi memuji lagi. “Hebat memang dan kami kagum sekali, nona. Akan tetapi engkau tentu tidak tahu untuk apa engkau kami tangkap.”

“Huh, apa sukarnya menduga cara kerja kalian? Tentu kalian menawan aku untuk memancing nona majikanku ke sini agar kalian dapat mengepung dan mengeroyoknya, atau memasang jebakan secara curang. Jangan kalian mimpi! Nona majikanku tidaklah begitu bodoh untuk masuk ke dalam perangkap yang kalian pasang. Apa artinya seorang pelayan seperti aku? Tidak cukup berharga bagi majikanku untuk membahayakan dirinya. Perangkap kalian takkan berhasil!”

Lima orang pemimpin gerombolan itu saling pandang dan sekali ini benar-benar mereka kelihatan kecewa dan terkejut. Apa yang dikatakan Ui-wa memang tepat sekali!

Sam-kwi .yang tinggi kurus adalah orang paling cerdik di antara lima kepala gerombolan itu. “Nona, kalau majikanmu merasa diri terlalu tinggi dan engkau dianggap hanya sebagai pelayan yang rendah saja dan yang tidak pantas dibela dengan taruhan nyawa, kenapa engkau kini hendak membela majikanmu mati-matian? Alangkah bodohnya bagi seorang gadis cantik dan cerdik sepertimu ini!”

Bunga Kuning memutar otaknya. Mereka ini menghendaki sesuatu, pikirnya. Ia harus bersikap cerdik dan sebaiknya kalau ia memberi sedikit, mengalah dan berlagak seolah ia condong menerima “nasihat” itu.

“Lalu, apa kehendakmu?” tanyanya memancing.

Sam-kwi tersenyum dan memberi kedipan mata kepada saudara-saudaranya. “Nona yang baik, siapakah namamu?”

“Aku disebut Ui Hwa.”

“Hem, Bunga Kuning? Begini maksud kami. Engkau sudah menjadi tawanan kami karena Hek-liong-li. Memang tadinya kami hendak memancing datang ke sini mencarimu. Akan tetapi setelah, mendengar ucapanmu tadi, kami mengerti bahwa siasat kami itu tidak ada gunanya. Ketahuilah bahwa kami menaruh dendam yang mendalam terhadap Hek-liong-li. Ia telah membunuh guru kami dan kini kami harus membalas dendam. Kalau engkau dapat membantu kami, maka kami tentu tidak akan membunuhmu. Sebaliknya, kalau engkau berkeras hendak membela majikanmu dengan taruhan nyawa, hemm....., ini bukan saja akan membunuhmu, bahkan kami akan menyiksamu dengan menyerahkan engkau kepada anak buah kami. Ingat, ada puluhan orang anak buah kami dan mereka itu semua sudah berbulan-bulan tidak berdekatan dengan wanita! Kami akan menyerahkan engkau kepada mereka sampai engkau mati!”

Jelas ini bukan ancaman kosong belaka. Orang-orang seperti iblis itu tentu dapat melakukan kekejian yang bagaimanapun juga! Ui Hwa tidak takut mati, sebagai pelayan Hek-liong-li ia tahu bahwa setiap saat nyawanya terancam maut. Akan tetapi tidak pernah ia membayangkan siksaan seperti itu dan iapun tidak mau menyembunyikan kengeriannya. Wajahnya menjadi pucat, tarikan mukanya menunjukkan ketakutan yang amat sangat, dan kedua pundaknya menggigil karena ngeri.

“Tidak...... jangan......, jangan lakukan itu......” ia berbisik seperti meratap. Mudah saja ia melakukan ini, tidak perlu bersandiwara karena memang saat itu ia merasa takut dan, ngeri.

“Tentu saja kami tidak akan melakukan hal itu kepadamu kalau engkau suka membantu kami agar kami berhasil membalas dendam kepada Hek-liong-li,” kata Thai-kwi dengan nada mengancam, girang melihat hasil gertakan sutenya.

“Tapi kalian mimpi yang bukan-bukan! Bagaimana aku akan dapat membantu kalian mengalahkan nona majikanku? Kepandaiannya amat tinggi dan biar ada duapuluh orang macam aku ini, tidak akan mampu menandinginya.”

“Urusan menyerang dan membunuhnya adalah urusan kami. Engkau hanya membantu kami agar kami dapat menyelundup masuk ke dalam rumah Hek-liong-li dengan aman, melalui jebakan-jebakan rahasia yang tentu kaukenal baik. Nah, engkau menjadi penunjuk jalan masuk ke dalam rumah sampai ke kamar Hek-Liong-li dan kami akan mengampuni nyawamu. Bagaimana?”

Bunga Kuning mengerutkan alisnya, berpikir-pikir dan mempertimbangkan tawaran itu, ia nampak ragu dan sangsi, “Tapi...... tapi...... kalau li-hiap mengetahui hal itu, mengenal aku yang berkhianat, tentu ia tidak akan mau mengampuni aku! Kalian membebaskan aku, akan tetapi li-hiap lalu menghukumku, apa bedanya?”

“Ha-ha, jangan khawatir, nona. Engkau akan kami beri pakaian lain, bukan serba kuning, dan wajahmu kami beri penyamaran agar kelihatan hitam dan sukar dikenal orang,” kata Thai-kwi.

“Nanti dulu, toa-suheng,” kata Sam-kwi yang cerdik. “Kurasa cara itu kurang baik. Lebih baik nona ini membuatkan peta dari rumah Liong-li, menggambarkan keadaan semua tempat yang mengandung rahasia alat jebakan itu, iapun tidak perlu ikut masuk. Kalau gambarannya benar dan kita berhasil, ia kita bebaskan dengan hadiah. Kalau gambarannya palsu dan kita terjebak, kita masih belum terlambat untuk menyerahkan ia kepada anak buah kita yang kelaparan!”

“Jangan......!” Ui Hwa meratap ketakutan. “Kalau kubuatkan peta, kalian tentu akan tetap terjebak. Lika-liku rahasia jebakan di sana amat sulit dan selalu berubah. Hanya dengan melihat keadaannya, aku dapat melihat perubahan itu dan bertindak sesuai dengan perubahannya. Kalau hanya menurut peta, kalian pasti akan gagal dan terjebak. Kenapa kalian masih ragu dan tidak percaya kepadaku? Kalian takut kalau aku menipu kalian, bukan? Nah, kita pergi bersama, kalau aku menipu, setiap saat kalian dapat menangkap atau membunuhku!”

Lima orang itu saling pandang. “Baiklah, malam ini kita bergerak. Sementara ini engkau boleh beristirahat, Bunga Kuning,” kata Thai-kwi.

Gadis itu dimasukkan ke dalam sebuah kamar, kaki tangannya dipasangi rantai panjang sehingga biarpun ia mampu bergerak, namun sulit untuk melarikan diri. Ia disuguhi makan minum dan bunga Kuning mempergunakan kesempatan ini untuk memperkuat dirinya. Ia makan dan minum, lalu merebahkan diri dan memulihkan tenaganya.

Sementara itu, Thai-san Ngo-kwi dan para anak buahnya melakukan pengintaian ketika melihat Hek-liong-li dan delapan orang gadis pelayannya melakukan pencarian di sekitar tempat diculiknya Bunga Kuning tadi. Melihat betapa mereka tidak berani memasuki hutan, di mana sudah dipasang barisan pendam dan jebakan, Thai-san Ngo-kwi mengintai sambil berunding.

“Mereka semua meninggalkan rumah, hal itu berarti bahwa mereka terlalu percaya kepada rahasia di rumah mereka. Mereka tentu lengah kalau berada di rumah itu dan sekali orang kita dapat menyelinap masuk, tentu tidak sukar untuk membunuhnya,” kata Thai-kwi girang.

Setelah cuaca mulai gelap dan rombongan Hek-liong-li yang tidak berhasil menemukan Bunga Kuning yang diculik orang itu pergi, Thai-san Ngo-kwi membuat persiapan. Mereka memberikan pakaian serba hitam yang menutupi pakaian kuning Ui Hwa, juga mereka menggunakan arang untuk menghitamkan muka gadis itu sehingga akan sukarlah mengenal gadis itu, apa lagi di waktu malam.

Semua peristiwa yang terjadi pada Liong-li merupakan hasil atau langkah-langkah pertama dari pertemuan antara tiga orang tiga tokoh Kiu Lo-mo di Bukit Hitam bersama Thai-san Ngo-kwi dalam usaha mereka membalas dendam kepada Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Mereka akan menggunakan segala macam cara untuk melampiaskan dendam mereka, yaitu membunuh sepasang pendekar itu.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar