“KINI KITA harus Cari daya
bagaimana bisa terhindar dari pengejaran keempat bangsat itu (Ciauw Cong dan
kawan-kawan),” kata Ceng Tong.
“Bagaimana kalau kita kubur dulu
rerongkong Mamir itu?” tanya Keh Lok.
“Bagus, dan sebaliknya Ali pun
dikubur didampingnya,” seru Hiang Hiang.
Mereka kembali masuk ke ruangan
batu tadi. Ternyata rerongkong Ali hampir rusak. Dibawah rerongkong itu
terdapat segulung kertas dari kulit bambu. Tali gulungan itu sudah lapuk, dan
sampul kertas-kertasnya telah berantakan. Tapi kertas bambu itu masih dapat
dibaca, karena dicat hitam untuk menjaga dimakan anai-anai. Tulisan pada
kertasdua itu dalam huruf-huruf Han. Kalimat yang pertama berbunyi:
“Disebabkan utara ada ikan besar,
namanya ikan khun.” Demikian bunyi tulisan, terpetik dari kitab Lam Hwa Keng
karangan Huang Tse (Cong Cu). Tan Keh Lok sejak kecil sudah paham akan karangan
itu. Dia, kira bakal mendapat sesuatu kunCi rahasia, kiranya hanya begitu. Hal
mana membuatnya putus asa.
“Apakah itu?” tanya Hiang Hiang
yang tak mengerti huruf Han.
“Sebuah kitab kuno bangsa Han.
Sekalipun kitab kuno dan sangat berharga sekali, tapi tak berguna untuk kita.”
Dilemparnya bundelan kitab dari
bambu itu ke tanah, ternyata dibagian tengahnya samping dari huruf-huruf itu,
terdapat guratandua yang merupakan huruf Ui kuno.
Tan Keh Lok kembali memungutnya
beberapa, justeru tepat pada bab ketiga dari kitab Huang Tse, jakni “Yang Seng
Cu” dan “Pao Ting melepaskan kerbau.”
Huruf-huruf Ui di sebelahnya itu
ditanyakannya kepada Hiang Hiang.
“Rahasia menghanCurkan musuh,
semua di kitab ini,” sahut Hiang Hiang membaca.
Keh Lok melengak dan menanyakan
artinya lebih lanjut.
“Bukankah dalam tulisan Mamir,
ada disebut, bahwa Ali telah mendapatkan sebuah kitab orang Han dan dari situ
dapat mempelajari Cara bertempur dengan tangan kotong, mungkinkah yang ini?”
tanya Ceng Tong.
“Huang Tse mengajari orang supaya
menjalankan kebaikan, jauh bedanya dengan pelajaran silat,” tertawa Keh Lok
sambil lempar kitab itu lagi dan memungut beberapa tulang terus berjalan
keluar.
Ketiga orang itu menanam kedua
rangka tulang itu di tepi Telaga Warna.
“Ayo kita keluar. Kuda putih itu
seekor Cian-li-ma, entah bisa lolos dari mulut serigala atau tidak,” kata Keh
Lok.
“Apakah isi tulisan dari kitab
Huang Tse itu?” tiba-tiba Ceng Tong bertanya.
“Mengatakan tentang seseorang
tukang jagal kerbau yang tangkas. Gerakan dari bahu dan lengan, maju mundurnya
sang kaki dan lutut, suara dari sajatan pisaunya tepat merupakan noot dari
sebuah lagu. Gerakannya tak ubah seperti orang menari,” sahut Tan Keh Lok.
“Wah, tentu bagus!” seru Hiang
Hiang.
“Kalau berhadapan dengan musuh,
bisa berlaku begitu, tentu juga hebat,” kata Ceng Tong.
Mendengar itu, Keh Lok terkesiap
merenung. Kitab Huang Tse, sejak dulu sudah dibacanya diluar kepala. Tapi
ketika nona yang belum pernah mengetahui sama sekali kitab itu mengemukakan
pendapatnya, serasa hatinya menjadl terbuka. Kata-kata yang indah dari kitab
Huang Tse itu, seperti mengalir dalam ingatannya...................
"Gerakannya pelahan, sedikit
saja pisau digerakkan, selesailah sudah, bagaikan tanah menutup bumi, tegak
mengangkat pisau, memandang ke-empat penjuru, lenyaplah segala kesangsian. —
Ah, kalau aku bisa berlaku demikian, tanpa melihat lagi, sedikit kugerakkan
golok, pasti binasalah bangsat Ciauw Cong itu,” demikian pikirnya merenungkan
isi kitab itu.
Nampak perubahan wajah Tan Keh
Lok yang bersemangat itu Ceng Tong dan Hiang Hiang menjadi heran. Beberapa saat
dipandangnya sikap anak muda itu.
“Tunggulah aku sebentar!”
tiba-tiba Keh Lok berseru seraya lari masuk kedalam paseban. Sampai lama
sekali, belum tampak dia keluar. Ceng Tong ajak Hiang Hiang menyusul. Di
paseban situ, Tan Keh Lok tampak sedang menirukan gerakan tangan dan kaki dari
rerangka.
Hiang Hiang Cemas karena mengira
pemuda itu menjadi kurang waras. Ia segera berseru memanggilnya. Tapi Keh Lok
tak menghiraukan, setelah menari-nari sebentar, dia kembali mengawasi dengan
seksama pada sebuah rerangka lainnya.
“Yangan bikin takut orang,
kemarilah!” seru Hiang Hiang.
Tan Keh Lok tetap tak
mendengarnya. Kembali ia menirukan sikap dan gerakan dari rerangka itu.
Ternyata setiap gerakan dari orang muda itu menimbulkan samberan angin keras.
Kini sedarlah Ceng Tong bahwa Tan Keh Lok sebenarnya sedang meyakinkan jurus
dari semacam ilmu silat.
“Yangan kuatir, dia tak kena
apa-apa. Ayo kita tunggu dia diluar,” kata Ceng Tong seraya tarik tangan
adiknya.
Ditepi kolam Telaga Warna,
kembali Hiang Hiang tanyakan halnya Keh Lok itu kepada sang Cici.
“Mungkin setelah membaca kitab
Huang Tse itu, dia mengerti sesuatu jurus ilmu silat yang hebat, maka dia lalu
menirukan gerak sikap rerangka itu. Baik kita jangan ganggu padanya,” Ceng Tong
memberi penjelasan.
Hiang Hiang dapat dikasih
mengerti. Lewat beberapa saat, kembali ia bertanya: “Ci, mengapa kau tak ikut
meyakinkan?”
“Huruf-huruf Han dalam kitab itu
artinya dalam sekali. Aku tak dapat mengerti. Lagi pula, ilmu yang diyakinkan
itu juga dalam, akupun masih belum dapat mengikuti.”
“Oh, kini aku mengertilah!” kata
Hiang Hiang “Rerangkadua itu semasa hidupnya mempunyai ilmu silat yang tinggi.
Setelah senjatanya disedot jatuh, mereka bertempur dengan tangan kosong melawan
anak buah Sanglapa.”
“Benar,” sahut Ceng Tong, “mereka
bukan berkepandaian tinggi, tapi hanya menguasai beberapa jurus yang lihai,
bila perlu, untuk mati bersama-sama dengan musuh.”
“Ha, mereka orang-orang yang
gagah berani......... tapi mengapa ia harus belajar ilmu itu, apakah iapun
hendak mengajak mati bersama dengan musuh?”
“Bukan begitu,” jawab Ceng Tong.
“Orang yang tinggi ilmunya, tak nanti berlaku nekad begitu. Dia hanya sedang
mempelajari sejurus dua jurus yang luar biasa lihainya.”
“Kalau begitu, legalah hatiku,”
kata Hiang Hiang. Beberapa saat lagi, ia mengajak Cicinya: “Ci, bagaimana kalau
kita berdua mandi dikolam ini?”
“Ah, kau memang anak nakal. Kalau
dia keluar, bagaimana kita?”
“Ya, sebenarnya aku kepingin
sekali mandi.”
Walaupun mulut mengatakan begitu,
Hiang Hiang tak berani mandi, kuatir Tan Keh Lok keburu keluar. Namun sampai
sejam lebih, orang muda itu belum juga munCul.
Hiang Hiang lepaskan sepatu,
kakinya dimasukkan kedalam air dan kepalanya direbahkan kepangkuan Ceng Tong
memandang kelangit yang putih. Tak berapa lama tertidurlah ia.
Kita menengok kini pada Li Wan Ci
dan Hi Tong yang pergi menCari Ceng Tong. Tahulah apa maksudnya Thian Hong
untuk mengutus mereka berdua itu. Dalam hati sianak muda itu, sekalipun dia
merasa berterima kasih atas budi sinona yang telah menolong dan menyintainya
itu, tapi selalu dia berusaha untuk menjauhkan diri. Mengapa dia harus berlaku
demikian? Ya, mengapa? Anehnya, ia sendiripun tak mengerti sebabnya.
Sepanyang perjalanan itu, Wan Ci
selalu mengajaknya berCakap dan tertawa, namun dia selalu bersikap dingin. Wan
Ci masgul dan mendongkol. Sewaktu pagi itu ia bangun, diam-diam ia bersembunyi
dibalik sebuah bukit pasir. Ingin ia mengetahui, apakah Hi Tong menjadi sibuk
karenanya. Tak dinyana, kalau anak muda itu tetap tak menghiraukan. Setelah
berkaok-kaok memanggil sinona tak kelihatan, dia terus melanjutkan
perjalanannya dengan seorang diri.
Bukan main Cemasnya Wan Ci.
Tahulah ia kini, bahwa Sukonya itu tak mempunyai perasaan suatu apa kepadanya.
Sampai sekian lama ia menangis sedu sedan. Puas menangis, baru ia menyusul.
“Ah, kau masih dibelakang. Kukira
sudah berjalan dulu”, kata Hi Tong dengan singkat.
Terhadap orang yang berhati
seperti batu itu, Wan Ci kewalahan betul-betul.
“Kalau dia sampai menghilangkan
mukaku, pedang ini akan memberi penyelesaian dileherku,” diam-diam nona itu
mengambil ketetapan.
Tengah hari, mereka berjumpa
dengan seekor keledai yang kurus kecil. Penunggagnya tengah mengantuk. Orang
itu tampaknya aneh. Berpakaian Ui, dibelakang punggungnya menggemblok sebuah
wajan baja yang besar, sedang tangannya kanan memegang sebuah ekor keledai.
Keledai itu sendiri ternyata tak ada ekornya. Yang lebih aneh lagi, kepala
keledai itu memakai sebuah topi pembesar gi-lim-kun, memakai mata perhiasan
diujung atas dan ada bulu burungnya. Sipenunggang itu kira-kira berumur 40
tahun lebih dan berewok. Mukanya berseri-seri dan ter-tawadua.
Sikapnya peramah.
Melihat topi keledai itu,
kagetlah Hi Tong dan Wan Ci dibuatnya. Itulah topi kebesaran yang dipakai oleh
Ciauw Cong, sebagai pembesar dari barisan gi-lim-kun. Tapi mengingat Ciauw Cong
kini masih terkepung dimedan Sungai Hitam, Hi Tong mengira, mungkin topi
kepunyaan pembesar gi-lim-kun yang lain.
Teringat bagaimana nama Ceng Tong
itu dikenal oleh semua orang Ui, bertanyalah Hi Tong kepada orang aneh itu:
“Toa-siok (paman), maaf, adakah kau mengetahui Chui-ih-wi-sam berada dimana?”
Orang itu tertawa gelakdua. “Mau
apa kau Cari padanya?” balasnya menanya.
“Ada beberapa orang jahat hendak
menCelakakan padanya. Kami akan memberitahukan agar ia dapat berjaga-jaga.
Kalau kau melihatnya, maukah menyampaikan berita ini?” “Baiklah! Ta,pi penjahat
macam apa mereka itu?” “Seorang yang bersenjata 'tok-kak-tong-jin', seorang
lagi bersenjata 'lak-houw-jat' dan yang ke tiga seorang Mongol”, sahut Wan Ci.
“Ya, mereka bertiga memang jahat,
mereka pernah kepingin makan keledaiku ini, tapi sebaliknya mereka kehilangan
topinya,” orang Ui yang aneh itu mengangguk-angguk.
Hi Tong dan Wan Ci saling
berpandangan. Kata Hi Tong: “Siapakah kawannya lagi?”
“Ialah sipemakai topi pembesar
ini. Tapi siapakah kalian ini?” tanya orang itu.
“Kami adalah sahabat dari Bok To
Lun loenhiong. Dimanakah ketiga penjahat itu?
jangan kasih mereka sampai
bertemu dengan Chui-ih-wi-sam,” sahut Hi Tong.
“Kabarnya nona Ceng Tong itu
lihai juga. Kalau mereka gagal makan keledaiku ini, tentu perutnya lapar. Dan
kalau mereka sampai makan nona itu,'itulah hebat,” kata orang itu pula.
Diam-diam Wan Ci timbul
pikirannya. Tahu ia bahwa ketiga Sam Mo adalah orang-orang yang gagah tapi
kosong otaknya. “Aku akan berdaya untuk membereskan mereka, agar Suko-ku yang
tak memandang sebelah mata padaku ini kenal akan kelihaianku,” demikian katanya
dalam hati.
“Mereka dimana, tolong antar kami
kesana, nanti kuberi sekeping perak,” katanya kemudian.
”Perak aku tak dojan. Tapi
biarlah kutanyakan pada keledaiku, ini mau pergi atau tidak,” sahut orang aneh
itu. Mulutnya ditempelkan ketelinga keledai, Cuwat-Cuwit omong-omong sebentar,
kemudian dia tempelkan telinga kemulut keledai, seperti mendengari dengan
sungguh-sungguh seraya berulang-ulang mengangguk-angguk.
Melihat sikap orang yang aneh
itu, diam-diam kedua anak muda itu menjadi geli.
Sementara itu tampak orang itu
mengangkat alisnya dan berkata: “Setelah memakai topi pembesar, rupanya
keledaiku ini menjadi Congkak. Dia memandang rendah pada kuda tungganganmu, tak
mau jalan bersama-sama, takut kehilangan muka, merendahkan harga dirinya.”
Hi Tong melengak, pikirnya:
“Kelakuan orang ini aneh sekali, kata-katanya mengandung arti yang dalam. Dia
memaki orang-orang yang tak kenal selatan. Adakah dia itu seorang luar biasa
yang menyembunyikan diri?”
Sebaliknya Wan Ci yang melihat
keledai itu kurus, lagi pinCang serta kotor, toh masih berlagak, tak tahan lagi
ketawa lebar-lebar.
“Ha, kau tak percaya? Coba mari
keledaiku ini kuadu dengan kudamu,” kata orang itu.
Kuda yang dinaiki Wan Ci dan Hi
Tong itu, adalah pemberian dari Bok To Lun, jadi bukan sembarang kuda.
Mendengar orang mau adu lari
dengan keledai yang kurus dan pinCang itu, segera Wan Ci menyanggupi: “Baik,
jika nanti kami yang menang, kau harus bawa kami kepada ketiga penjahat itu.”
“Empat, bukan tiga. Tapi kalau
kau kalah?” sahut orang itu.
“Terserah apa katamu!” sahut Wan
Ci. “Kau harus menCuCi keledai ini bersihdua, biar dia unjuk tampang.”
“Baik, jadilah. Bagaimana Cara
adunya?”
“Kau menghendaki Cara bagaimana,
aku menurut!”
Melihat orang berbiCara dengan
nada yang tetap seakan-akan merasa pasti akan menang, Wan Ci lalu berpikir,
apakah betul-betul keledai pinCang itu kenCang larinya. Tapi dia segera ketawa:
“Apa yang kau pegang itu?”
“Buntut keledai,” sahut siorang
aneh itu sambil mengangkat benda. itu. “Setelah memakai topi kebesaran, sedikit
saja ekornya kotor, dia tak mau memakainya.”
Mendengar kata-kata orang itu
selalu mengandung arti sindiran yang dalam, makin menaruh perindahanlah Hi
Tong. Dia memberi isyarat dengan mata kepada Wan Ci, supaya berhati-hati.
“Coba kulihat,” kata Wan Ci. Dan
ketika orang aneh itu mengangsurkan, ia segera menyambutinya dan membuatnya
main-main . Lalu ia menunjuk pada sebuah bukit yang berada ditempat jauh dan
berkata: “Kita lari kebukit itu. Kalau kau yang sampai lebih dulu, kau yang
menang. Jika aku yang tiba dulu, aku yang menang.”
“Bagus. Keledai yang tiba lebih
dulu, berarti aku yang menang. Kuda yang sampai lebih dulu, kaulah yang
menang,” sahut orang itu.
Wan Ci minta Hi Tong pergi
kebukit itu lebih dahulu, untuk menjadi jurinya.
“Ayo, kita mulai!” seru Wan Ci
terus Cambuk kudanya menyongklang dengan pesatnya. Sekira puluhan tombak
jauhnya, ia menoleh kebelakang la lihat keledai itu berdingklangan jauh
ketinggalan dibelakang. Wan Ci tertawa gelakdua, makin memperkeras Congklang
kudanya.
Tiba-tiba sebuah bayangan hitam
berklebat disampingnya. Begitu diawasinya, ternyata siorang aneh itu tengah
berlarian dengan memanggul keledainya. Larinya pesat seperti angin puyuh.
Saking kagetnya, hampir saja Wan
Ci jatuh dari kudanya. Ia Cambuk sang kuda keras-kerasnamun orang itu tetap
seperti angin Cepatnya berada dimuka. Tak berapa lama, keduanya sampailah
kebukit. Kesudahannya, keledai yang naik orang itu lebih dahulu datang dari
orang yang naik kuda. Tapi ketika hampir mendekati garis terakhir, tiba-tiba
Wan Ci lemparkan buntut keledai itu jauh-jauh kebelakang, seraya berseru
keras-keras: “Kudalah yang tiba lebih dahulu!”
Baik orang itu, maupun Hi Tong
sendiri menjadi heran. Terang keledai yang datang lebih dulu mengapa Wan Ci
mengatakan kudanya yang menang?
“Hai, nona besar, bukankah kita
telah berjanji: 'keledai yang tiba lebih dulu, aku menang. Kuda yang datang
lebih dulu, kau menang'. Bukankah begitu?”
Sembari menyingkap rambutnya yang
terurai tertiup angin, Wan Ci menjawab:
“Benar!”
“Tidak perduli, keledai yang naik
aku, atau aku yang naik keledai, pokoknya keledai itu sampai lebih dulu disini.
Ketahuilah, dia memakai topi pembesar. Kalau keledai dungu menjadi pembesar,
tentu boleh naik diatas kepala orang.”
“Telah kita berjanji dimuka:
keledai datang lebih dulu, kau menang. Kuda datang lebih dulu, aku menang,
bukan?” tanya Wan Ci mengulangi.
“Benar!”
“Dan tidak kita' sebutkan, bahwa
keledai yang tidak lengkap sampainya juga dianggap menang. Bukankah begitu?”
Orang itu mengurut jenggotnya.
“Sungguh pikiranku menjadi kacau. Apakah yang kau artikan dengan 'keledai tidak
lengkap' itu?”
Wan Ci menunjuk buntut keledai
yang dilemparkan jauh-jauh itu, katanya: “Kudaku datang dengan lengkap. Sedang
keledaimu kurang sedikit, ekornya masih ketinggalan dibelakang!”
Orang itu kesima, tapi segera ia
tertawa gelakdua, katanya: “Benar, benar! Kaulah yang menang. Akan kubawa
kalian kepada ketiga telur busuk itu.” Habis itu buntut keledai dipungutnya,
katanya kepada sang keledai: “Keledai dungu, yangan karena kau telah memakai
kopiah pembesar, lalu kau buang ekormu yang kotor itu!
Ketahuilah bahwa orang tetap tak
dapat melupakan kau!”
Lalu ia Cemplak keledainya dan
kembali berkata: “Keledai tolol, belum lama kau naik orang- tapi kembali orang
menaiki kau lagi!”
Sekalipun keledai itu hanya
beberapa puluh kati beratnya, tak lebih berat dari seekor anjing besar, tapi
memanggul dan dapat berlari sedemikian pesatnya, terang bukan seorang ahli
silat sembarangan.
Hi Tong buru-buru menjura dan
katanya: “Sumoayku ini nakal sekali, yangan loCianpwe ladeni ia. Harap
loCianpwe memberi sedikit petunjuk saja, biar wan-pwe sendiri yang menCarinya.
Wanpwe tak berani mengganggu pada loCianpwe”.
“Aku kalah, mengapa ingkar?”
orang itu tertawa. Begitu dia putar kepala keledainya, segera berseru pula:
“Ayo ikut aku!”
Melihat orang mau membawanya, Hi
Tong girang sekali.
Tahu dia bahwa ketiga Sam Mo itu
tangguhdua, kalau kesamplokan ditengah padang pasir tentu berbahaya. Dengan ada
orang Ui berjenggot ini, ia tenteram. Demikianlah ketiganya berjalan dengan
pelahan-lahan. Ketika Hi Tong tanyakan she dan namanya, orang aneh itu hanya
mernyawab seperti orang bersenda gurau saja. Tapi setiap kata-katanya, selalu
mengandung arti yang dalam. Sampai Wan Ci sendiri pun terpaksa mengangguk.
Keledai pinCang itu lambat sekali
jalannya. Hampir setengah hari, baru dapat tiga 0 li. Tiba-tiba dari arah
belakang terdengar suara kelontangan. Thian Hong dan Ciu Ki lari menghampiri.
Hi Tong memperkenalkannya kepada orang aneh itu. Thian Hong buru-buru turun memberi
hormat.
Tapi orang itu tak mau membalas,
hanya tertawa: “Isterimu sudah seharusnya beristirahat, mengapa kau ajak
kemanadua?”
Thian Hong kemekmek, sebaliknya
Ciu Ki merah padam mukanya, ia menCambuk kuda dan lari lebih dulu.
Orang Ui itu kenal baik sekali
akan jalandua dan tempatdua dlpadang sahara itu. Petang harinya ia mengajak
sekalian orang kesebuah dusun. Ketika hampir dekat, banyak sekali sekali ajam
dan anjing lari serabutan. Itulah disebabkan ada sebuah pasukan besar dari
tentara Ceng yang baru saja tiba disitu. Penduduk suku Ui sama mengungsi dengan
anak isterinya.
“Sebagian besar tentara musuh
telah dibasmi, sisanya yang luka-luka pun sudah terkepung, mengapa masih ada
lagi,” tanya Hi Tong dengan heran.
Tepat pada saat itu, disebelah
muka ada duapuluhan orang Ui lari dikSjar oleh belasan serdadu Ceng.
Orang-orang itu adalah
pengungsidua. Demi melihat si berewok, jakni sipenunggang keledai itu, mereka
sangat girang. Serunya: “Nasrudin Affandi, tolonglah kami!”
Thian Hong tak mengerti apa
maksud jeritan orang-orang itu, keCuali kata-kata “Nasrudin Affandi” itu. Dia
duga, tentulah nama orang berjenggot itu.
“Ayo kita lari!” seru Affandi
terus larikan keledainya ketengah gurun.
Pengungsidua itu mengikutinya,
dan serdadudua Ceng itupun tetap mengejarnya. Tak berapa lama, mereka sudah
terpisah jauh dari dusun itu. Selama itu, ada beberapa wanita Ui yang
ketinggalan dan tertangkap oleh kawanan serdadu Ceng. Melihat itu, Ciu Ki tak
kuat menahan marahnya, memutar kudanya ia terus menyerang. Seorang serdadu segera
terpapas kutung kepalanya. Kawan-kawan nya segera maju mengepung, tapi Thian
Hong, Hi Tong dan Wan Ci keburu datang menolong.
Sekonyong-konyong Ciu Ki rasakan
dadanya sesak, matanya berkunang-kunang.
Melihat orang simpan golok dan
meng-urutdua dada, ssorang serdadu Cepat-cepat maju menyerang. Rasa muak makin
menghebat, dan sekali muntah, ludah terCampur kotoran keluar dari mulut Ciu Ki
tepat menyemprot kemuka siserdadu.
Selagi serdadu itu sibuk
menghapus kotoran, Ciu Ki telah menabasnya hingga binasa. Tapi karena
menggunakan kekuatan, tubuhnya kelihatan sempoyongan. Buru-buru Thian Hong
menyanggapi dan menanyakannya.
Pada saat itu, Hi Tong dan Wan Ci
pun telah dapat membunuh dua tiga musuh. Sisanya, lari ketakutan. Tampak
Affandi mengangkat wajan besinya, diputardua terus ditutupkan keatas kepala
seorang serdadu seraya berseru: “Dibawah wajan ini ada semangka busuk!”
Dan sekali Wan Ci menusuk, karena
kepala tertutup, habislah nyawa serdadu itu.
Kembali Affandi mengangkat
wajannya, dan kembali ditutupkannya kepada lain serdadu. Wan Cipun lagi-lagi
tinggal menusuk saja. Entah orang Ui itu pakai ilmu apa, tapi sekali menutup;
serdadudua itu tak berdaya menghindar.
Demikianlah, kerja sama antara
Affandi dan Wan Ci itu, telah berhasil membasmi bersih belasan serdadu. Bukan
main girangnya Wan Ci.
“Paman berewok, wajanmu hebat
benar!” katanya.
“Ya, pisau pemotong sajurmu, juga
boleh,” sahut Affandi tertawa.
Wan Ci melengak. Baru ia
mengerti, kalau yang dikatakan “pisau pemotong sajor” itu adalah pokiamnya.
Thian Hong dapat menawan seorang
serdadu dan mengompes keterangan. Serdadu itu ketakutan setengah mati lalu
menerangkan bahwa dia adalah Anggota pasukan balabantuan untuk Tiau Hwi. Thian
Hong suruh dua orang pengungsi yang berbadan sehat, supaya lekas-lekas kekota
Yarkand untuk memberitahukan hal itu kepada Bok To Lun, agar dapat ber-siapdua.
“Enyahlah!” bentak Thian Hong
sembari mendupak serdadu itu hingga bergelundungan beberapa meter, terus
melarikan diri. Setelah itu, Thian Hong lalu menghampiri sang isteri untuk
menanyakan keadaannya.
Ciu Ki kemerah-merahan mukanya,
ia melengos tak mau menjawab.
“Kerbau betina akan melahirkan
anak kerbau, kerbau jantan yang sedang makan rumput itu pasti senang sekali.
Tapi ada beberapa keledai dungu yang makan nasi, sedikitpun tak mengerti,”
kembali Affandi mengoCeh luCu.
Tiba-tiba Thian Hong kegirangan,
mukanya berseri-seri tertawa, tanyanya: “LoCianpwe bagaimana bisa mengetahui?”
“Heran, sikerbau betina hendak
melahirkan anak kerbau, kerbau jantan tak tahu, sebaliknya keledai bisa tahu,”
tertawa Affandi.
OCehan yang luCu itu, membuat
semua orang tertawa geli. Kemudian mereka melanjutkan perjalanannya lagi.
Menjelang petang hari, mereka mendirikan kemah. Dalam pada itu, Thian Hong
menanyakan lebih jelas kepada isterinya.
“Seekor kerbau dungu, masa bisa
tahu?” Ciu Ki menggoda. “Kalau dia seorang anak lelaki, harus she Ciu. Ayah dan
ibu tentu girang sekali. Ha, sekali-kali yangan sampai menurunkan sifat aneh
seperti kau.”
Thian Hong nasehati sang isteri
supaya menjaga diri baik-baik .
Keesokan harinya Affandi berkata
kepada Thian Hong: “Sekira tiga 0 li lagi, adalah rumah tinggalku. Ada seorang isteriku
yang Cantik disana..................”
“Benarkah itu? Aku harus
menemuinya. Bagaimana ia bisa menyukai seorang berewok seperti kau?” Wan Ci
memutus.
“Ha, ha, itulah rahasia!” Affandi
tertawa. “Tak baik kalau isterimu berkuda ikut dalam perjalanan, lebih baik
mengasoh dirumahku. Nanti kalau sudah dapat membekuk ketiga telur busuk itu,
kita jemput dia,” kata pula Affandi kepada Thian Hong.
Thian Hong haturkan terima kasih.
Sedianya Ciu Ki tak mau, tapi mengingat kedua engkoh dan seorang adik lelakinya
meninggal semua dan kini anak yang dikandungnya itu bakal memakai she
keluarganya, terpaksa ia menurut.
Dimuka rumahnya, Affandi
mengetukdua wajannya hingga kedengaran suara berkerontangan yang nyaring. Pada
lain saat, munCullah seorang wanita kira-kira berumur tiga 0 tahun. Rupanya
benar-benar Cantik sekali, kulitannya putih dan halus.
Demi melihat Affandi, girangnya
bukan kepalang. Tapi mulutnya tak hentiduanya memaki: “Ha, Berewok, kau
ngelajap kemana? Mengapa baru sekarang ingat pulang, apa kau masih ingat
padaku?”
“Sudahlah, yangan ributdua.
Apakah sekarang ini saja tidak pulang? Lekas sediakan makanan. Kaupunya pak
Jenggot ini sudah lapar sekali!” sahut si berewok.
“Lihatlah, wajah yang sedemikian
Cantik ini, masa belum kenyang bagimu?” sahut isteri Affandi.
“Benar. Wajahmu yang Cantik ini,
adalah sajur majur. Tapi jika harus dimakan dengan roti, tentu lebih Cantik
lagi.”
Isteri Affandi menjiwir telinga
suaminya, ia berkata: “Tak kuijinkan kau pergi lagi!”
Terus wanita itu lari masuk,
kemudian keluar lagi membawa macamdua roti dan kuwehdua, buah semangka, madu
dan daging kambing. Tengah mereka sama makan, diluar terdengar suara
hiruk-pikuk, dan masuklah sekawanan orang
Ui. Mereka saling berebutan
melaporkan halnya masings kepada Affandi. Dengan tertawadua, Affandi melerai
perCideraan mereka. Dan orang-orang itu pergi dengan puas.
Baru saja mereka berlalu, kembali
ada masuk dua orang, seorang anakdua dan seorang tukang pengangkut.
“Nasrudin, Oh-loya mengatakan,
wajannya yang kau pinjam itu harus dikembalikan,” kata sianak.
Affandi memandang Ciu Ki sekejap,
lalu katanya seraya. tertawa: “Bilanglah pada Oh-loya, wajannya, sedang
mengandung, dan tak lama akan melahirkan anak. Sekarang tak boleh banyak sekali
bergerak.” Anak itu melongo heran, tapi terus berlalu pergi.
“Mau apa kau Cari aku,” kini
Affandi bertanya pada si tukang pengangkut.
“Tahun lalu aku makan seekor ajam
disebuah hotel disini,” jawab orang itu. “Selesai, makan kuminta sipengurus
membuka rekening. Tapi orang itu menjawab lain kali saja, tak perlu
terburu-buru. Kukira pengurus itu seorang baik-baik , kuhaturkan terima kasih
padanya. Dua bulan kemudian kudatang akan membajar. Dia menghitung jari, dan
mulutnya tak hentiduanya menyebut jumlah, seakan-akan rekening itu tak
terhitung banyak sekalinya. 'Berapakah harga ajammu itu, bilanglah!' kuberseru.
— Pengurus itu memberi isyarat dengan tangan, supaya aku yangan mengganggunya.”
“Harga seekor ajam, taruh kata
yang paling besar dan gemuk sendiri, paling banyak sekali hanya seratus uang
tembaga!” isteri Affandi menyelak.
“Begitulah memang dugaanku,” kata
si tukang pengangkut itu. “Tapi ternyata setelah menghitungdua hampir setengah
hari, pengurus itu berseru: 'Duabelas tail perak' '.”
“Astaga!” isteri Affandi menepuk
tangan karena terkejut. “Mengapa semahal itu? Duabelas tail perak dapat
dibelikan beberapa ratus ekor ajam!”
“Memang telah kukatakan begitu
kepada sipengurus hotel. Tapi apa jawabnya? Ia berkata: 'Tak salah barang sedikitpun.
Coba kau hitung: Andaikata ajamku tak kau makan, dia tentu sudah bertelur. Dan
telurdua itu tentu akan menetas anak ajam. Kalau anak-ajamdua itu besar, tentu
akan bertelur lagi dan begitu seterusnya! Masih ber-macamdua kata-kata pengurus
itu. 'Duabelas tail perak masih! murah!' katanya paling akhir.
“Sudah tentu aku tak sudi digorok
begitu. Dia seret aku ketempat hartawan Oh-loya minta keadilan. Habis mendengar
laporan sipengurus, Oh-loya minta supaya aku lekas-lekas membajar. Katanya:
Kalau aku berani main ajalduaan, begitu telurdua itu menetas, pasti lebih besar
lagi jumlah utang yang aku harus bajar. “Nasrudin, tolonglah kau adili urusan
ini..........”
Baru ia berkata sampai disini,
anak kecil suruhan Oh-loya tadi datang kembali, katanya: “Oh-loya bilang
mustahil wajannya bisa mengandung, dia tak perCaja dan minta supaya barang- itu
lekas-lekas dikembalikan!”
Affandi menuju kedapur, ia
mengambil sebuah wajan kecil dan diberikan pada sianak.
“Apa ini bukan anak wajan?
Berikanlah ini pada Oh-loya!” katanya.
Dengan setengah kurang perCaja,
anak itu membawa pergi anak wajan itu.
“Malam ini mintalah Oh-loya
adakan sidang terbuka,” kata Affandi kepada si tukang tadi.
“Kalau aku kalah, bukankah malah
akan mengganti dua4 tail perak?”
“Yangan kuatir, tak nanti kau
kalah!”
Orang itu menghaturkan terima
kasih dan minta diri. Tiba-tiba Affandi memandang keatas wuwungan rumah,
mulutnya berkemak-kemik.
“Apa kau sudah kenyang?” tanya
sang isteri.
Affandi tak menghiraukan.
“Hampir setengah bulan tak
pulang, sekali pulang yang disibuki urusan lain orang. Belum pesanan orang
dikerjakan, terus bergegas-gegas mau pergi lagi,” isterinya mengomel. Lalu
diambilnya tiga uang tembaga dan sebuah mangkok, diberikan pada Affandi,
katanya: “Belikan aku semangkok minyak, yangan bikin kapiran.”
Affandi menurut. Dalam hati Wan
Ci timbul rasa kagum dan heran akan jiwa Affandi yang suka menolong kesukaran
orang.
“Aku ikut, paman berewok!”
serunya.
Dengan memegang mangkuk dan uang,
Affandi menggrendeng sambil berjalan: “Seekor induk ajam bertelur beberapa
butir, menetas jadi beberapa ekor anak ajam. Anak ajam menjadi besar dan
bertelur pula. Ah, bagaimana Cara menghitung harganya?”
Tiba diwarung, uang Affandi
letakkan dia tas meja, dan mangkuk diangsurkan. Si penjual segera menuangkan
minyak. Ternyata mangkuk itu tidak muat.
“Kak Nasrudin, sisa .minyak ini
dituang dimana?” tanya sipenjual.
“Setelah bertelur, kembali.
menetas anak.ajam lagi.........” demikian Affandi menggumam sambil niembalik
mangkuk tanpa pikir hingga minyak d.idalamnya tumpah.
“Tuangkan dilekukan bawah ini,”
serunya sambil menunjuk kebawah mangkuk.
Melihat itu Wan Ci tertawa keras,
namun Affandi tak menghiraukan. “Tuangkan disini!” katanya pula.
Sipenjual segera menuangkan sisa
minyak yang tinggal sedikit itu. Setiba dirumah, sang isteri heran.
“Hai, tiga uang tembaga masa
hanya dapat minyak sebegini? Kita ada tetamu dan perlu menggoreng kuwehdua yang
banyak sekali,” tanya isterinya.
“Tidak hanya ini, disebelah sini
masih ada,” kata Affandi sambil membalik mangkuknya. Dan sisa minyak itu jadi
tumpah lagi dan kosonglah isi mangkuk itu.
Isterinya mendongkol dan geli.
Buru'dua dipesutnya badan suar minya yang ketumpahan minyak itu. Tiba-tiba:
“Cup”, Affandi mencium muka sang isteri.
“Carilah akal! Lekas gorengkan
kuweh!” katanya.
“Minyaknya” tanya si isteri.
“Minyak? Bukankah aku barusan
dari warung membeli semangkuk minyak?”
Tapi serta teringat akan
kebodohannya tadi, Affandi tertawa ter-gelakdua. Begitu samber mangkuk, dia
berlari-lari membeli lagi ke warung.
Tak berapa lama, si tukang tadi
munCul lagi, katanya: “Paman Nasrudin, Oh-loya telah memanggil persidangan
besar, harap kau lekas kesana.”
“Aku masih ada, urusan, sebentar
lagi,” sahut Affandi.
Orang itu gugup sekali, beberapa
kali dia keluar masuk kedalam rumah Affandi, untuk mendesaknya. Kini baru
Affandi terpaksa menurut. Thian Hong dan Kawan-kawan nya ikut pergi untuk
menyaksikan sidang itu.
Dipusat kota sudah berkumpul 7
delapan ratus orang. Di-tengah-tengah itu duduk seorang gemuk yang berpakaian
jubah sutera kembang. Mungkin itulah dia yang disebut Oh-loya. Nampaknya mereka
sudah lama menantikan Affandi.
“Affandi, orang itu mengatakan
kau akan jadi pembelanya, mengapa baru sekarang kau datang?” tanya Oh-loya.
Affandi memberi hormat lalu
jawabnya: “Maaf, karena ada urusan penting, aku sampai terlambat.”
“Apa betul ada lain urusan yang
lebih penting dari pengadilan ini?”
“Tentu. Coba pikirkan, besok pagi
aku hendak tanam gandum. Tapi bibit gandum masih belum matang. Kubakar tiga
taker gandum, lalu kumakan, maka kudatang terlambat,” kata Affandi dengan,
berulang-ulang memberi hormat.
“NgaCo-belo!” seru Oh-loya dan
sipengurus rumah penginapan itu. “Gandum sudah dimakan, mana “bisa ditanam!
Orang gila semacam kau, mengapa jadi pembela!”
Semua orang yang hadir disitupun
tertawa. Namun Affandi hanya meng-urutdua jenggotnya dan tersenyum.
Setelah suara tertawa reda,
berkatalah Affandi: “Benar, “benar! Lalu ajam yang sudah dimakan orang, dari
mana bisa bertelur?!”
Riuh rendah tampik sorak para
hadirin. Affandi dipanggul beramaidua dan di-eludua orang banyak sekali.
Akhirnya Oh-loya mengeluarkan putusan: “Seekor ajam yang dimakan orang itu,
Cukup dibajar 100 uang tembaga!”
Bukan main girangnya orang tadi.
Sebongkok uang tembaga segera diserahkan kepada sipengurus hotel. “Kelak aku
tak' berani lagi makan ajammu!” serunya sambil tertawa.
Terpaksa sipengurus hotel
mengambil uang itu, terus berlalu. Semua penduduk yang hadir dalam sidang itu,
mengiringkan dibelakangnya seraya memper-olokdua dan memakinya. Malah ada
beberapa anak nakal melemparkan batu kepung gurig pengurus hotel itu.
“Sekarang wajanku yang kau pinjam
itu melahirkan sebuah anak wajan elok”, kata Oh-loya pula seraya menghampiri
Affandi. “Dan kapan dia melahirkan yang kedua kalinya?”
Tiba-tiba Affandi kerutkan
dahinya, dan berkata dengan sedih: “Wah, Oh-loya, maaf, wajanmu telah meninggal
dunia!” . “NgaCo, wajan bisa mati?” sentak Oh-loya “Mengapa tidak? Kalau dia
bisa beranak, tentu bisa mati juga,” sahut Affandi dengan sabar.
“Penipu, kau mau mengelapkan
wajanku!” kata Oh-loya. “Baik, mari kita timbang”, Affandi juga mulai
berteriak.
Teringat oleh Oh-loya, ia sendiri
serakah dan mau menerima anak wajan. Hal itu, kalau sampai diketahui orang,
alangkah malunya. Maka seperti “sigagu makan empedu,” atau orang yang tak dapat
menyatakan penderitaannya, akhirnya Oh-loya melambaikan tangan, terus
menyelinap pergi diantara orang banyak sekali.
Setelah dapat mengingusi
sihartawan Oh-loya yang suka menindas simiskin itu. Affandi girang bukan
buatan. Mendongak keatas dia tertawa ter-bahakdua.
Selagi begitu, kedengaran sebuah
suara memanggilnya: “Hai, Berewok, kau membikin onar apa disitu?”
Ketika Affandi berpaling, dia
girang sekali, karena orang itu bukan lain adalah Thian-ti-koay-hiap Wan Su
Siau.
Kedua orang aneh itu, yang satu
tinggal disebelah selatan dan lainnya disebelah utara, adalah orang-orang gagah
yang menjalankan peri-kebajikan, menolong yang lemah dan menindas yang jahat.
Keduanya mempunyai ilmu silat yang luar biasa, dan samadua saling mengindahkan.
Buru-buru Affandi memegang tangan Koayhiap, seraya tertawa. “Ha, ha, kau
siorang tua ini, Ayo, kepondokku untuk menengok isteriku”.
“Apanya yang mengherankan pada
isterimu, mengapa selalu kau buat buah tutur saja?”
Kata-kata Koayhiap tak dapat
dilanjutkan karena keburu Thian Hong dan Hi Tong datang memberi hormat. Kedua
erang ini pernah melihat Tan Keh Lok main Catur dengan orang tua ini digereja
Giok Hi To Wan dulu, maka tahulah mereka bahwa dia adalah Suhu dari
TiongthoCu-nya.
“Sudahlah sudah, aku bukan
Suhumu, mengapa kalian menjuradua begitu? Dan dimana Keh Lok?”
“Tan-CongthoCu berangkat lebih
dulu dari kita......... ai, Tan loyaCu dan Lothaythay juga datang!” seru Thian
Hong. lalu memberi hormat pada Thiansan Siang Eeng yang berada dibelakang
Koayhiap. Tapi ia segera menjadi kaget demi dilihatnya Kwan Bing Bwe menuntun
kuda putih tunggangan Tan Keh Lok. Tanpa sungkandua iapun menanyakannya.
“Kudapatkan kuda putih kepunyaan
CongthoCumu ini Q
sedang berlari-lari dipadang
pasir. Kami bersusah payah mengejar baru dapat menangkapnya”, sahut Kwan Bing
Bwe.
“Ha, apa Tan-CongthoCu dalam
bahaya?” tanya Thian Hong dengan kaget.
Lebih dulu rombongan orang-orang
itu menuju kerumah Affandi, setelah selesai dahar segera mereka pergi pula dan
Ciu Ki ditinggal disitu.
Melihat baru setengah hari
suaminya datang dan segera akan pergi lagi, isteri Affandi menjeritdua dan
menangis seraya memegang jenggot sang suami. Affandi menghiburinya, namun ia
tetap me-ngiangdua.
“Kau minta jenggotku ini?
Baiklah!” seru Affandi sambil tiba-tiba menCabut belasan utas jenggotnya,
disesapkan ke-dalam tangan sang isteri terus melesat keluar.
Sambil menunggangi keledai pinCang
yang besarnya tak melebihi seekor anjing besar kepunyaan Affandi itu, kedua
kaki Affandi seperti jujul sampai ketanah. Tampaknya keledai itu seperti
berkaki enam.
“Hai, Berewok, apa yang kau
tunggangi itu? KuCing atau tikus?” tanya Koayhiap dengan tertawa.
“Masakah ada tikus sebesar ini?”
sahut Affandi.
“Mungkin tikus besar”, seru
Koayhiap.
Demikianlah sambil berCanda,
mereka menuju kesebelah r
barat. Wan Ci yang naik kuda
putih kepunyaan Lou Ping itu, dapat berjalan pesat dan berada disebelah depan.
Sampai hari sudah sore, ternyata
mereka baru berjalan tigapuluhan li, hal ini membuat mereka gelisah.
“LoCianpwe, CongthdCu kami mungkin dalam bahaya, kami terpaksa akan berjalan
lebih dulu,” aehirnya Thian Hong berkata kepada Affandi, karena tak sabar melihat
jalannya keledai yang menggeremet seperti semut itu,
“Baik, baik, sesampai dikota
sebelah muka sana, akan kubeli seekor keledai yang berguna. Keledai bodoh ini
tak berguna, tapi dia senantiasa menganggap dirinya jempol sendiri,” sahut
Affandi. Tapi ternyata begitu keledai dike-prak, binatang itu terus lari
menyusul Wan Ci. Tinggi keledai itu hanya separohnya kuda putih.
“Nona, seharian ini mengapa kau
kelihatan bermuram durja saja?” tanyanya kepada Wan Ci.
Tiba-tiba teringat oleh Wan Ci,
sekalipun orang ini luar biasa kata-katanya seperti orang sinting, tapi
mengandung arti yang dalam. Setiap ada orang Ui mendapat kesukaran, mereka
tentu datang meminta pertolongan padanya. Maka berkatalah nona itu: “Paman
Jenggot, terhadap orang yang tak kenal budi, kau akan bertindak bagaimana?”
“Akan kukerudungi dengan wajanku
ini, dan kaulah yang menusuknya.”
“Bukan begitu,” sahut Wan Ci
sambil gelengkan kepalanya. “Misalnya orang itu adalah orang............ orang
yang paling akrab denganmu. Makin kau berlaku baik kepadanya, makin dia unjuk
tingkah seperti keledai.”
Affandi tertawa mengurut
jenggotnya. Segera dia dapat menangkap maksud sinona itu, katanya: “Setiap hari
kumenunggang keledai, jadi tahulah aku akan watak keledai. Ja, memang ada
Caranya, hanya saja tak boleh Cara itu sembarangan kuajarkan padamu.”
Wan Ci tertawa riang, .lalu
membujuk dengan lemah lembut: “Paman Jenggot, apa sjaratnya agar kau mau
mengajarkan?”
“Harus melalui perlombaan lagi,
kalau kau menang baru kuajarkan.”
“Baik, kita berlomba lari lagilah,”
kata Wan Ci tertawadua.
“Lain macam perlombaan saja,
lomba lari sekali ini kau tentu kalah,” kata Affandi seraya mengeluarkan buntut
keledainya, “karena sekarang aku pasti tak dapat kau akali.”
“Kalau tak perCaja, mari kita
boleh Coba lagi,” Wan Ci membandel.
“Baik, akan kulihat kaupunya ilmu
apa lagi.” Affandi menunjuk pada sebuah desa yang berada disebelah muka, lalu
katanya: “Siapa yang menCapai dirumah pertama, dia yang menang!”
“Baik, Paman Jenggot, kau tentu
kalah lagi!” seru sigadis.
Dan sekali kaki Wan Ci.
dikempitkan, kuda putih itu melesat kemuka seperti anak panah pesatnya. Pada
lain saat, Affandipun segera 1 memanggil keledainya, terus menyusul. Kuda putih
itu adalah seekor kuda sakti yang tak ada taranya. Larinya benar-benar seperti
kilat, maka sekalipun ilmu mengentengi tubuh dari Affandi itu sudah sempurna
sekali, namun tetap tak dapat nienyusulnya. Baru dia berlari setengah
perjalanan. kuda putih itu sudah sampai didusun itu.
“Ha, kembali aku diakali nona
kecil itu. Kutahu kuda putih itu kuda sakti, tapi tak mengira kalau larinya
sedemikian pesatnya,” kata Affandi dengan tertawa.
Thiansan Siang Eng terkesiap
menyaksikan itu. Memanggul seekor keledai, itu masih tak mengherankan. Tapi
bagaimana orang Ui itu seperti orang terbang larinya, sungguh membuat mereka
tunduk. Jika bukan kuda putih itu, pasti akan terkalahkan.
Tepat pada saat itu, kuda putih
kedengaran bebenger keras serta kakinya depan melonjakdua keatas. Wan Ci Coba
menahan lesnya, tapi tak kuat. Dalam sekejap saja, kuda putih itu sudah
menCongklang keluar dari desa itu. Hal itu telah membuat Cemas semua orang yang
segera sama mengejarnya.
Kuda putih itu menCongklang pesat
kearah padang pasir. Dia lari menuju kearah beberapa orang, dan tiba-tiba
berhenti. Wan Ci turun dan berbiCara dengan mereka. Thian Hong cs yang menyusul
dari belakang itu, tak dapat melihat jelas siapakah orang-orang itu. Tapi
segera kuda putih itu kelihatan lari balik, begitu dekat, barulah Thian Hong
mengetahui bahwa penunggangnya sudah berganti dengan Lou Ping. Dan malah
dibelakangnya, tampak pula Bun Thay Lay, Jun Hwa, Ciang Cin dan Sim Hi.
Sementara yang paling belakang sendiri, ada seorang penunggang yang rambutnya
sudah putih, menggendong pedang, dan sedang memimpin Wan Ci dan ber-Cakapdua
dengan asjiknya. Kiranya, dia adalah Liok Hwi Ching.
Hi Tong buru-buru menghampiri Hwi
Ching dan menjura: “Susiok!” serunya terus menangis dengan sedihnya.
Hwi Ching mengangkatnya bangun,
ia, sendiripun menguCurkan air mata.
“Telah kudengar akan perihal
suhumu, maka bergegas-gegas kususul kemari. Ditengah'jalan kubertemu dengan
Bun-suya yang kebetulan pun akan menangkap bangsat itu............ sudahlah,
kita tentu dapat membalaskan sakit hati suhumu!” menghibur Hwi Ching” dengan
tak lampias.
Thian Hong dan lain-lainnya pun
menghiburi, baru Hi Tong menjadi tenang.
Dengan adanya sekian banyak
sekali jago-jago yang kosen itu, Ciauw Cong pasti tak dapat lolos. Hanya yang
menjadi pikiran mereka adalah keadaan Tan Keh Lok dan Ceng Tong yang masih
belum diketahui itu.
Setiba didusun itu, mereka
mengaso. Affandi betul juga membeli lagi seekor keledai, selama itu diam-diam
Wan Ci mengikutinya. Affandi seperti tak menghiraukan, dibelinya seekor keledai
yang dua kali gemuknya dari keledainya yang lama, lalu keledai kerdil itu dijualnya.
“Kopiah pembesar telah
menyilaukan keledai dungu ini, maka takkan kubiarkan dia memakainya lagi,”
katanya sembari membanting kopiah milik Thio Ciauw Cong itu Setanah dan
di-injakduanya sampai rusak.
Setelah Affandi membajar
harganya, Wan Ci bantu menuntun keledai itu.
“Dulu kupelihara seekor keledai,”
demikian Affandi ber Cerita, “wataknya bengal tak mau tunduk pada orang.
Kusuruh jalan, dia berdiri. Kalau kusuruh berdiri, dia berputardua. Pada suatu
hari, kusuruh dia menarik pedati kepeng gilingan yang letaknya tak jauh, tapi
entah apa sebabnya, dia membangkang. Makin kupaksa, makin dia berkeras
membelot, tidak maju malah mundur. Aku menjadi serba salah, mau meng-elusdua
atau menghajarnya. Coba kau terka, apa dayaku?” tanya Affandi.
Tahu Wan Ci bahwa orang Ui itu
tengah berCangkeriman dengan kata-kata kiasan. Maka ia mendengarinya dengan
teliti, tak berani tertawa.
“Kau orang tua, tentu punya
akal,” demikian jawabnya.
“Waduh, kalau nona besar pingin
menjadi menantu, apa saja tentu mau melakukan. Dulu memanggil aku 'Paman
Jenggot', kini panggil 'kau orang tua'.”
Selebar muka Wan Ci menjadi merah
jengah.
“Aku bertanya tentang keledaimu,”
katanya kikuk.
“Baiklah. Kemudian kumenCari
akal, dan berhasillah! Kutarik keledai itu berputar kearah belakang. Penggilingan
disebelah timur, kuhadapkan keledai itu kebarat, lalu kumaju menCambuknya.
Keledai itu membangkang dan malah setindak demi setindak mundur, dan mundur
hingga sampai ketempat penggilingan itu.”
Wan Ci mendengarkan dengan
asjiknya, mulutnya berkemak kemik: “Kau suruh dia ketimur, dia senantiasa
menuju kebarat .................. kalau begitu, suruhlah dia menuju kebarat.”
“Bagus, memang begitu,” kata
Affandi sembari unjuk jempolnya. “Kemudian, aku mendapat akal baru.”
“Bagaimana?” buru-buru Wan Ci bertanya.
“Kuikatkan sebuah lobak pada
ujung peCut, dan kupasang disebelah mukanya. Karena ingin memakannya, keledai
itu terus maju sampai berpuluh-puluhdua li. Sampai ditempat yang kukehendaki,
baru kuberikan lobak itu padanya.”
Seketika itu tersedarlah Wan Ci.
Ia tertawa.
“Terima kasih kau orang tua
memberi pengajaran padaku.”
“Sekarang t jarilah lobak
pengumpan itu!” tertawa Affandi.
Wan Ci merenung dalam hati.
“Apakah yang paling dikangeni oleh Ie suko itu? Tadi waktu ketemu Suhu, dia
menangis sedih, kalau begitu, membunuh Ciauw Cong itu merupakan hal yang mutlak
baginya. Aku harus menCari akal untuk itu.”
“Ah, tapi Ciauw Cong sedemikian
tangguhnya, mana aku bisa membunuhnya? Dan lagi, andaikata bisa, paling banyak
sekali Suko tentu hanya menghaturkan terima kasih saja. Tak nanti dia seperti
keledai yang mengejar lobak itu,” tiba-tiba hatinya membantah. “Semasa kecil,
pernah kulihat anak dari pelayanku ber-main-main boneka. Kumintanya, tapi
sampai kumenangispun dia tak mau memberikan. Kata-kata paman Jenggot ini memang
benar, makin kudekati, makin dia men-jauhi. Kalau begitu, biarlah aku bersikap
dingin saja. Nanti kalau ia menganggap perlu padaku, tentu ia akan datang
me-mintadua sendiri padaku. Coba, keledai itu masih segan pergi ketempat
penggilingan atau tidak?”
Dengan keputusan itu, sepanyang
jalan Wan Ci kini bersikap dingin kepada Hi Tong. Hal itu telah membuat Lou.
Ping dan Thian Hong heran. Tapi sebaliknya Affandi ter-senyumdua mengurut
jenggotnya.
Perjalanan sehari itu, telah
membawa rombongan mereka kegunung Pek-giok-nia. Kuda putih itu nyata masih jeri
dengan serigala. Setiba dipersimpangan jalan masuk kedalam kota kuno, binatang
itu berhenti. Berulang-ulang Lou Ping roe-nepukduanya, tapi kuda itu tetap tak
mau jalan.
“Kawanan serigala itu pernah
masuk kemari, kita ikuti bekas kotorannya masuk kedalamnya,” kata Koayhiap.
Setelah berlika-liku sampai setengah
harian, tiba-tiba kuda putih yang berada paling belakang sendiri, meringkik
keras. Dan seketika itu, terdengarlah suara tindakan kaki orang. Pada sebuah
tikungan, munCullah empat orang. Orang yang dimuka sendiri, adalah
Hwe-Chiu-poan-koan Thio Ciauw Cong.
Segera Thian Hong bersuit, suruh
Jun Hwa, Ciang Cin dan Sim Hi berpenCar, untuk menghadang dibelakang Ciauw
Cong. Sebaliknya demi melihat rombongan orang-orang gagah itu, bukan kepalang
kagetnya Ciauw Cong. Terutama, ketika melihat Liok Hwi Ching, Suhengnya, ikut
serta, ia takut bagaikan melihat setan, wajannya pilas seketika dan keningnya
mengalirkan keringat dingin.
Sementara itu dengan kim-tioknya,
terus saja Hi Tong hendak meneryang, tapi dnyambret kebelakang oleh Koayhiap.
“Ketika bertemu padamu beberapa
waktu yang lalu, kuanggap kau seorang jago lihai dari Bu Tong Pai, tak taliunya
kalau bangsa bajingan, sehingga Suheng sendiri tegah kau membunuhnya. Rupanya
kau ingin hidup senang sendiri!” dengan keren Thian-ti-koayhiap memaki.
Melihat bahwa dalam rombongan
musuh itu, sekurangduanya ada 5 orang yang kepandaiannya sama dengan dirinya,
sedang ada lagi seorang yang diatas tingkatannya, gentarlah Ciauw Cong. Tapi
dia masih tak mau unjuk kejerian, katanya: “Fihakku hanya 4 orang, kamu
andalkan jumlah banyak sekali untuk merebut kemenangan. Aku Thio Ciauw Cong,
sekalipun nanti binasa, takkan malu rasanya!”
Thian-ti-koayhiap murka,
pikirnya: “Kawannya yang tiga itu, juga tergolong keras-keras. Kalau mereka
berempat maju mengerubuti, aku pasti tak dapat melayanni. Tapi ada Jenggot
Panyang, tak apalah.”
Maka katanya lantas: “Hm, ketika
aku berusia tiga 0 tahun, dapat aku melayani orang dengan berimbang. Tapi
setelah lewat usia itu, tak pernah'aku bertanding satu lawan satu. Tantangan
inipun tak terkeCuali berlaku untuk bangsa bebodoran semacam kau. Kau berempat
boleh maju berbareng, aku bersama saudara Jenggot ini akan melayaninya. Asal
kau berempat dapat melawan, tak usah menang, Cu-kup berimbang saja, akan
kulepaskan kauorang. Nah, bagaimana?”
Ciauw Cong memandang tajamdua
pada Affandi. Ia lihat orang Ui ini wajannya hitam, segompjok brewoknya
menutupi hampir separoh mukanya dan kalau ketawa matanya berobah menjadi dua
larik sinar, nampaknya seperti orang biasa yang tak punya kepandaian apa-apa.
Maka berpikirlah ia:
“Orang she Wan ini berkepandaian
jauh diatasku. Tapi masa masih ada orang lihai yang kedua lagi? Kalau salah
seorang dari Kwantong Sam Mo itu mau membantuku, aku dapat melayani siorang she
Wan. Sedang yang dua orang lagi bisa meladeni orang Ui itu. Ah, bolehlah.”
Memang Ciauw Cong tak ada pilihan
lain, keCuali berbuat begitu. Maka berkatalah dia: “Kalau begitu, baiklah
diCoba. Harap Wan............ Wan-tayhiap berlaku murah.”
“Tanganku tak1 mau disuruh
berlaku murah!” jawab Koayhiap dengan bengis.
“Ayo Berewok, dimuka sekian
banyak sekali sahabatdua baru, yangan sampai kita membikin keCewa mereka,”
serunya pada Affandi.
“Aku seorang dusun tua, melihat
bangsa pembesar agak merasa jeri, kuatir mengeCewakan,” sahut Affandi, dan
entah bagaimana dia bergerak, tahu-tahu sudah turun dari keledainya.
Melihat gerakannya itu, tiba-tiba
teringatlah Ciauw Coug akan siorang aneh yang menyaru menjadi orang mati
dikuburan tempo hari. Serasa berCekatlah hatinya.
“Ayo, kamu berempat segera maju.
Supaya ber-hati-hati, yangan pikirkan untuk lari, karena ditanganku, orang tak
nanti bisa lolos,” seru Koayhiap.
Haphaptai maju selangkah dan
memberi hormat, katanya: “Wan-tayhiap telah melepas budi menolong jiwa kami
bertiga saudara. Sekali-kali kami tak mau berkelahi dengan kau orang tu,a. Apa
lagi dengan orang she Thio itu, kamipun. baru berkenalan saja, sedikitpun tak
ada hubungan apa-apa. Kami tak mau membantunya.”
Kembali Haphaptai menjura, lalu
undurkan diri berja jar dengan kedua saudaranya. Sikapnya hanya sebagai penonton
belaka.
“Ah, mereka tak mau,” Koayhiap
kerutkan keningnya. “Jadi hanya. kau seorang, bagaimana ini? Aku telah
bersumpah dihadapan Cusouwya, sekali-kali tak mau bertempur melawan satu orang.
Hai, berewok, terpaksa ku-akan minta kau saja yang main-main .”
Affandi mengambil wajan
dibelakangnya, ia tertawa. “Baik, baik.baik,” katanya.
Dan ucjapan itu ditutup dengan
suara menderu dari wajan yang akan dikerudungkan diatas kepala Ciauw Cong,
siapa buru-buru menghindar kesamping seraya mengawasi senjata aneh yang dipakai
penyerangnya itu. Benda itu hitam bundar, jeglong kedalam. Bagian jeglongannya
itu penuh dengan hangus hitam, mirip dengan wajan.
“Ha, kau tentu berpikir: apakah
ini? Mengapa mirip wajan? — Nah, biar kuberitahukan, memang ini wajan. Kamu tentara
Ceng, tanpa suatu alasan apa-apa mengaduk kedaerah Ui sini, hingga merusakkan
tak sedikit wajan, dan menyebabkan kami orang Ui tak bisa makan nasi. Nah,
sekarang wajan ini akan menghajar tentara Ceng itu!”
/>Berbareng dengan uCapan itu,
kembali wajan melayang keatas kepala Ciauw Cong.
Dengan gerak “sian-ho-liang-ki,”
burung ho pentang sayap, Ciauw Cong megos sembari balas menyerang puifidak
Affandi.
Cepat Affandi mendek sedikit,
sembari tangannya kiri digosokkan kepantat wajan, terus diulapkan kemuka Ciauw
Cong.
Sejak keluar dari perguruan,
banyak sekali kali Ciauw Cong bertempur dengan musuh, tapi sebegitu jauh, dia
belum pernah bertempur dengan orang yang begitu aneh biCaranya, ^
aneh pula gerakannya. Karena
dengan tangan kanan menenteng wajan dan tangan kiri merabu angus wajan, orang
Ui itu ber-gerak-gerak seperti orang sempoyongan, sedikicpun tak mirip dengan
gerakan ilmu silat. Namun sekalipurt begitu, setiap serangannya yang berbahaya
selalu dapat dihindari dengan mudah oleh orang Ui tersebut.
Dari kagum, Ciauw Cong menjadi
gusar. Segera dia keluarkan ilmu silat Bu Kek Hian Kang Kun, sebuah ilmu silat
yang paling dibuat andalan oleh kaum Bu Tong Pai. Dengan ilmu pukulan itu, seluruh
jalan darah ditubuhnya, tertutup semua, sehingga air hujanpun tak dapat
menembus.
Tempat pertempuran itu sangat
sempit, tanahnyapun dari batu-batu padas yang runCingdua, sedang kedua orang
itu serangmenyerang dengan ganasnya.
“Ah, bangsat! Dengan kepandaian
itu sebenarnya kau tergolong jago lihai yang jarang ada tandingannya
dika-langan kangouw. Tapi sayang hatimu begitu jahat!” diam-diam Koayhiap
menghela napas.
“Kiu-ya, pak Jenggot itu gunakan
ilmu silat apa?” tanya Sim Hi pada Jun Hwa.
Jun Hwa menggelengkan kepala
tanda tak tahu. Juga Thiansan Siang Eng dan Liok Hwi Chingpun tak kenal
termasuk golongan mana ilmu silat Affandi itu. Tapi mereka sangat mengaguminya.
Pada. lain saat, tiba-tiba kaki
kiri Affandi terangkat naik, wajannya menyerang kemuka, sehingga karena tak
dapat menghindar, Ciauw Cong menyusup dari bawah wajan. Tapi diluar dugaan,
tangan kiri Affandi diulurkan menjaga dibelakang pantat wajan. Ketika hal itu
diketahui oleh Ciauw Cong, ternyata sudah terlambat. Tapi dia masih akan
gunakan gerak “Cong-thian-bao” atau meriam menembak keudara, dengan
menghantamkan tangan kirinya ke wajan.
“Aha, alat pemakan; nasi, yangan
dirusakkan!” seru Affandi seraya angkat wajannya keatas. Membarengi mana,
tangannya merabu kemuka Ciauw Cong, hingga seketika itu muka Ciauw Cong
mendapat Cap 5 jari angus.
Habis itu, keduanya saling lonCat
terpenCar.
“Ayo, mari main-main lagi, 'kan
belum tahu siapa yang kalah,” seru Affandi.
Ciauw Cong tak mau bergerak.
Hanya matanya mengawasi wajan Affandi.
“Ai, ja, kau tak bersenjata,
tentu kau tak mau mengaku kalah,” kembali Affandi berseru, lalu ia berpaling
pada Wan Ci. “Nona, pinjamkanlah pisau pemotong sajurmu itu kepada si 'lobak'
ini!”
Tadi sengaja Wan Ci menyaksikan
dari dekat, ia tunggu begitu Affandi mengkerukup kepala Ciauw Cong, ia segera
akan maju menabas. Tapi orang Ui aneh itu telah menelanyangi maksudnya. Sudah
tentu mukanya merah.
Sementara, lain-lainnya pun
menganggap Affandi itu suka omong ngelantur. Misalnya, dia namakan Ciauw Cong
sebagai “lobak.” Tapi mereka sama sekali tak kira, kalau kata-kata itu.
terselip urusan seorang anak dara.
Melihat Wan Ci menjublek, Affandi
tempelkan mulutnya kedekat sinona, dan berbisik: “Pinjamkanlah pisau sajurmu
itu. padanya, aku masih dapat mengatasi!”
Wan Ci mengangguk segera serunya:
“Ini pedang, sambutilah!”
Sekali ulur sebelah tangan, jari
Ciauw Cong telah menjepit tangkai pedang itu. Sekonyong-konyong dia membalik
badan, sekali tangannya mengibas, serumpun hu-yong-Ciam melayang kearah Jun
Hwa, Thian Hong dan Sim Hi.
Tahu kelihaian jarum itu, ketiga
orang tersebut buru-buru tengkurepkan tubuhnya. Tapi berbareng itu, diatas
kepala mereka terasa ada angin menyambar dan tahu-tahu Ciauw Cong sudah melesat
lolos. Dia lonCat kesamping Haphaptai, terus pegang lengan kanannya seraya
menyentak: “Lekas lari!” Karena dipegang bagian jalan darahnya, seketika itu
Haphaptai tak berdaya dan dapat diseretnya.
Tanpa berpikir panyang lagi, It
Kui dan Kim Piauw lon-¦ Cat mengikuti. Dan bila Thian Hong bertiga dapat
berdiri tegak lagi, Ciauw Cong berempat sudah menghilang diti-W kungan, tapi
ternyata Thian-ti-koayhiap dan Affandi telah begitu murka sekali. Sekali tubuh
mereka bergerak, bagaikan dua burung besar, mereka melayang lewat diatas kepala
Thian Hong es.
Luar biasa sebatnya adalah gerakan
Koayhiap, belum kakinya menginjak tanah, tangannya sudah dapat memegang tengkuk
It Lui, dan tubuh yang gemuk itu segera terangkat naik. Jago pertama dari
Kwantong Liok Mo itu tidak mengetahui siapakah yang menCekik lehernya itu. Yang
diketahuinya hanya tubuhnya mendadak terasa terangkat. Tanpa berdaya ia
merontadua.
Dalam kagetnya, ia buru-buru
hantamkan tok-kak-tang-jin-nya kebelakang. Hasilnya, malah lebih tiel”ka lagi.
Karena tiba-tiba dia berasa dilempar oleh suatu tenaga yang luar biasa
dahsyatnya, Menyusul itu, terdengarlah suara jeritan ngeri, batok kepala It Lui
p.eCah menumbuk batu Cadas.
Thian-ti-koayhiap tak mau
berhenti sampai disitu dan terus mengejar. Membiluk ditikungan, dihadapannya
terbentang sebuah pertiga-jalan. Tak tahu Ciauw Cong mengambil jalan yang mana,
ia menunjuk kearah kiri seraya berseru: “Berewok, kau kejar dari sini!”
Dan menunjuk kearah kanan, ia
berseru pula pada Thian-san Siang Eng: “Kalian berdua mengejar dari situ!”
Habis itu, ia sendiri lalu
bergerak Cepat dnyalan yang tengah. Tapi hanya sekejap saja keempat orang itu
munCul balik lagi kesitu. Ternyata semua sama keterangannya, ketika membiluk
sebuah tikungan, kembali mereka, masing-masing menghadapi sebuah perempatan,
sehingga sukar untuk melanjutkan pengejarannya.
Setelah memeriksa dengan teliti,
berkatalah Thian Hong: Pada kotoran serigala ini ada dua buah tapak orang.
Mereka tentu menurutkan kotoran ini untuk masuk kesana.”
Koayhiap membenarkan dan ajak
mereka mengejar lagi. Setelah ber-bilukdua beberapa kali, akhirnya mereka
sampai dimuka Pek-giok-nia. Namun jejak Ciauw Cong bertiga tetap tak kelihatan.
Ramaidua mereka memeriksa
rumahdua disitu. Tak berselang” berapa lama, Thian Hong berhasil menemukan
mulut gua yang menuju keperut gunung. Thian-ti-koayhiap dan Tan Ceng Tik, yang
satu berilmu tinggi dan yang lain beradat keras, terus saja lonCat keatas.
Liok Hwi Ching, Bun Thay Lay,
Kwan Bing Bwe dan iainduanya pun menyusul. Yang ilmunya entengi tubuh masih
kurang, ditarik dengan tali oleh Hwi Ching dan Kwan Bing Bwe.
Ketika yang terakhir tiba
gilirannya. Sim Hi, berkatalah Affandi deng-an tertawa. “Adik Cilik, akan
kuCoba bagaimana nyalimu!”
Sambil berkata, tangan orang Ui
yang aneh itu lantas memegang punggung Sim Hi, terus dilemparkan keatas pada
mulut gua: “Sambutilah!”
Diatas, Bun Thay Lay segera
menyambutinya. Affandi lonCat menyusul. Saat itu Koayhiap dan Ceng Tik tengah
kerahkan tenaga untuk mendorong pintu batu. Pintu itu menjeplak terbuka
kesebelah dalam. Ternyata pintu itu memang sengaja dibikin begitu, masuk mudah
keluarnya susah. Cukup dihadang beberapa orang saja, tak nanti orang yang sudah
berada didalam, sekalipun sebuah pasukan besar, dapat keluar dari pintu batu
itu.
Kiranya, ketika rajanya
mendirikan istananya diperut gunung itu, untuk penjagaannya dibuatnya begitu
banyak sekali jalanandua, sehingga musuh pasti tersesat. Tapi raja yang kejam
itu tetap merasa kuatir, kalaudua ada orang dalam yang memberontak, karenanya
dibuatlah pintu batu yang bukannya menjeplak kesebelah dalam. Itulah rahasia
kegunaan pintu batu tersebut.
Dengan dipimpin Koayhiap yang
berjalah disebelah depan, rombongan orang itu menyusup kedalam. Thian Hong me
motes kaki meja untuk dnyadikan
obor. Setiap orang diberinya sebuah. Sampai dipaseban besar, senjata mereka
telah tersedot jatuh, hingga mereka kaget. Hanya Affandi yang bisa berlaku
Cekatan, wajan buru-buru ditekamnya kenCangdua hingga tak sampai jatuh pecah.
Karena perhatian hanya ditujukan
pada Ciauw Cong, mereka tak menghiraukan kejadian tersebut. Dengan gunakan
tenaga, mereka memungut senjatanya lalu masuk kedalam mangan tidur. Disebelah
pembaringan, mereka melihat juga lobang ditanah itu, lobang mana pun segera
dimasukinya.
Selama menyusur didalam lobang
itu, mereka tak berani mengeluarkan suara apa-apa. Tiba-tiba disebelah depan,
tampak terang benderang. Disanalah Telaga Warna itu. Disitu kelihatan berdiri
enam orang, sebelah telaga sana berdiri Tan Keh Lok, Ceng Tong dan Hiang Hiang.
Sedang disebelah sininya adalah Ciauw Cong, Kim Piauw dan Haphaptai. Bukan
kepalang girangnya rombongan Koayhiap itu.
“Siaoya, siaoya, kita beramai
datang!” seru Sim Hi dengan girang.
Kiranya sesudah bertanding dengan
Affandi tadi, tahulah Ciauw Cong bahwa kini dia berhadapan dengan seorang yang
berkepandaian luar biasa. Dia merasa tak ungkulan melayani, maka timbullah akal
busuknya. Dengan mengandal jalanan disitu yang sangat menyesatkan itu, dia
terus merat. Pikirnya: “Jalan lolos satuduanya, adalah mengulangi kejadian
dipenyeberangan sungai Hoangho ketika bertempur dengan orang-orang HONG HWA HWE
itu. Itu waktu walaupun dirinya terluka berat, tapi dia berhasil menawan Bun
Thay Lay sebagai barang tanggungan, sehingga sekalipun fihak musuh terdiri dari
jago-jago lihai seperti Bu Tim, Liok Hwi Ching. Tio Pan San, Tan Keh Lok, Ciu
Tiong Ing, kedua saudara Siang dan lain-lain-nya, tapi mereka telah dibikin tak
berdaya dan terpaksa memberi lolos padanya.
Untuk mengulangi hal itu, ia
harus menCari Tan Keh Lok dan Ceng Tong sebagai jaminan. Dan ini ia akan
melaku-kannya, sekalipun kedua orang itu berada diperut gunung yang penuh
rahasia itu. Sekali Tan Keh Lok dapat diringkus, Cukup dengari memalangkan
pedang kelehernya, ia pasti dapat berlalu dengan lenggang-kangkung. Tahu kalau
seorang diri tak nanti dapat menundukkan Tan Keh Lok dengan Ceng Tong, karenanya
ia mengajak ketiga Sam Mo. Tak diduganya sama sekali, kalau perbuatannya itu
telah mengakibatkan tewasnya It Lui.
Pada saat Ciauw Cong bertiga
masuk, Keh Lok telah selesai berlatih ilmu pukulan dan akan menghimpiti kedua
taCi beradik itu untuk diajak menCari jalan keluar dari tempat itu. SeCara
kebetulan Ciauw Cong telah melihat lobang disamping pembaringan dan
memasukinya. Maka munCulnya Ciauw Cong bertiga disitu telah membuat terkejut
Tan Keh Lok; siapa buru-buru menarik Hiang Hiang dan Ceng Tong ketepi sebelah
sana.
Ciauw Cong dan Kim Piauw terus
berpenCar mengejar dari dua jurusan. Tapi Haphaptai segera menentang perbuatan
Kim Piauw itu. Dengan mata mendelik, ia mendamperat kawannya: Belum kita tahu
bagaimana nasib Lo Toa. kau sebaliknya akan berserikat dengan lain orang untuk
menguber wanita. Ayo, kita lekas pergi Cari Lo Toa saja!”
Tapi rupanya Kim Piauw membantah.
Sedang kedua orang itu t jet jok sendiri, Koayhiap dan rombongannya munCul.
Per-tamadua adalah orang-orang HONG HWA HWE itu yang segera mendapatkan sang
CongihoCu. Tapi tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki yang sangat
ter-buru-buru kelihatannya. Itulah Ceng Tik dan Kwan Bing Bwe yang mendahului
maju.
“Ceng-ji, kau bagaimana? seru
Kwan Bing Bwe.
“Suhu, Sukong, aku baik-baik saja.
Tolong bunuhlah kedua penjahat ini,” sahut Ceng Tong dengan terharu seraya
menunjuk pada Kiria Piauw dan Haphaptai.
Memang Ceng Tong sebenarnya tak
bermusuhan dengan Ciauw Cong. Yang1 dibencinya setengah mati, adalah Sam Mo
yang terus menerus mengejarnya itu. Lebihdua kepada Kim Piauw yang kurangajar
itu.
Ceng Tik pernah tempur ketiga Sam
Mo, karena berkelahi “dengan tangan kosong, hampir-hampir ia sendiri mengalami
kerugian. Kini tanpa ajal lagi, ia lolos pedang terus menikam pundak Kim Piauw,
siapa segera melawan dengan lak-houw-jahnya. Sedang dilain fihak, Kwan Bing Bwe
pun sudah bertempur dengan Haphaptai.
Orang-orang HONG HWA HWE lainnya
segera menghunus senjatanya maju menghampiri dan mata terus mengawasi pada
musuh besar, Ciauw Cong. Hanya Koayhiap dan Hiang Hiang yang tak bersenjata.
Wan Ci meskipun sudah serahkan pokiamnya pada Ciauw Cong, tapi Suhunya (Hwi
Ching) berikan lagi sebuah pedang pusaka. Malah pedang itu pedang Leng-bik-kiam
milik Ciauw Cong yang telah dirampasnya ketika pertempuran dibukit Pak-kao-nia
di HangCiu tempo hari.
Hwi Ching sendiri tetap memakai
pedangnya, pek-hong-kiam. Sambil mengawasi jalannya pertempuran, ia tetap
arahkan perhatiannya pada gerak-gerik Ciauw Cong.
Kim Piauw dan Haphaptai
mati-matian mengadu jiwa untuk bertempur. Tapi pada jurus keduapuluh permainan
samhun-kiam dari kedua suami «isteri itu kelihatan makin genCar, hingga kedua
Sam Mo itu menjadi keripuhan sekali. Kini mereka hanya dapat bertahan diri, tak
dapat balas menyerang.
Tiba-tiba diantara kiblat pedang
yang berkilat-kilat itu, Ceng Tik menggerung keras dan merangsang mati-matian.
Kim Piauw menjadi nekad hingga matanya merah seakan-akan berdarah. Ceng Tik
susuli lagi dengan tusukan kekaki lawan, siapa ketika Coba menghindar
kesamping, telah menyusuli pula dengan sebuah tendangan. “Blung”...............
Kim Piauw terjungkal kedalam kolam, air mana segera berobah menjadi merah
warnanya.
Disanapun Haphaptai telah dilihat
dengan sinar pedang Kwan Bing Bwe. Ketika sepasang suami isteri dari Thian-san
itu mengaduk dipagoda Liok Hap Ta di Hangijiu tempo hari, kebetulan Thay Lay
dan Hi Tong masih beristirahat karena sakit digunung Thian Bok San. Jadi mereka
tak menyaksikan kepandaian Thian-san Siang Eng itu.
Maka demi tampak oleh mereka,
bagaimana seorang wanita yang sudah ubanan itu mempunyai ilmu pedang yang
sedemikian lihainya, hingga lekas juga seorang pria gagah semacam Haphaptai itu
akan kehilangan nyawanya, timbullah rasa kagum mereka melihat itu.
Hi Tong menjadi sibuk. Dia
teringat bahwa orang Mongol itu sudah beberapa kali melepas budi padanya, maka
Cepat-cepat ia memberi keterangan pada Susioknya (Hwi Ching), katanya: “Susiok,
dia bukan orang jahat, tolonglah dia!”
Hwi Ching mengangguk. Justeru
pada saat itu, Kwan Bing Bwe sedang melanCarkan serangan yang ganas. Menusuk
kaki, kesebelah kiri dan kanan tubuh, hingga kepala Haphaptai mandi keringat
dan terusduaan mundur.
Dalam saat-saat yang berbahaya
itu, tiba-tiba Hwi Ching melesat maju, “trangng............” pek liong-kiam
telah beradu dan menghadang tusukan Kwan Bing Bwe yang mematikan itu.
“Toaso, orang ini tidak jahat,
ampunilah dia!” seru Hwi Ching.
Melihat Hwi Ching sudah membuka
mulut, Kwan Bing Bwe tak mau menghilangkan muka orang dan terpaksa menyimpan
pedangnya.
Hwi Ching berpaling dan dapatkan
Haphaptai tersengal-sengal napasnya. Karena keliwat banyak sekali gunakan
tenaga, tubuh jago Mongol itu agak terhujungdua.
“Lekas haturkan terima kasih pada
Kwan-tayhiap yang mengampuni jiwamu,” seru Hwi Ching padanya.
Diluar dugaan, Haphaptai itu
seorang lelaki sejati. Dia sangat menjunjung setia kawan. Bahwa dari keenam
Liok Mo hanya ia sendiri yang masih hidup, ia malu untuk hidup. Golok diangkat
dan segera berseru nyaring: “Mengapa kuharus minta belas kasihannya!”
UCapan itu dibarengi dengan
gerakan hendak merangsang maju lagi. Tapi segera terdengar suara kerupjukan
dari dalam kolam, dan munCullah Kim Piauw yang pelan-pelan berenang ketepi.
Haphaptai Cepat-cepat lempar goloknya, untuk menolongi. Ternyata Kim Piauw luka
parah dan terminum; banyak sekali air. Seolahdua tak menghiraukan orang-orang
disekitarnya, Haphaptai mengurutdua dada saudaranya itu. Tiba-tiba Ceng Tong
memburu datang.
“Bangsat busuk!” damprat sigadis
terus menikam.
Melihat itu, saking gugupnya
Haphaptai menangkis dengan tangannya. Ketika melihat pedang si nona hampir
mengenai lengannya, tiba-tiba teringatlah Koayhiap akan jasa orang Mongol itu
membantu menghalau kawanan serigala tempo hari. Buru-buru dijumputnya sebuah
batu kerikil lalu ditimpukkan. Berbareng dengan suara mendering, tangan Ceng
Tong tergetar kesemutan dan jatuhlah pedangnya. Nona itu terkesiap tak habis
mengerti.
“Bereskan dulu bangsat she Thio
itu, kedua orang ini tak nanti bisa lolos,” seru Koayhiap.
Kini Ciauw Cong terkepung.
Dihadapannya adalah orang besi seperti Bun Thay Lay, Affandi, Tan Keh Lok, Liok
Hwi Ching dan Thian-ti-koayhiap. Harapan untuk lolos, seperti awan tertiup
angin. Dengan mengelah napas putus asa, ia terus akan nekad mengadu jiwa.
Tiba-tiba dari belakang Hwi Ching
berkelebat keluar sebuah bayangan. Muka orang ini putih meletak, matanya indah
bening seperti sebuah lukisan. Ia bukan lain ialah puteri Li Khik Siu dari
Hangijiu, jakni Li Wan Ci.
Dengan menghunus pedang, nona itu
meneryang dan memaki: “Kau ini betul-betul bangsat busuk!”
Dan sebelum orang-orang dapat
berbuat apa-apa, Wan Ci sudah lompat kemuka Ciauw Cong dan tiba-tiba berbisik:
“Kudatang menolongmu!”
Berbareng itu pedangnya
menyambardua. Ciauw Cong berkelit seraya bingung akan maksud sinona. Tiba-tiba
Wan Ci pura-pura tergelinCir, terus sempoyongan maju lagi dan kembali berbisik:
“Lekas ringkus aku!”
Ciauw Cong seperti disedarkan.
Begitu tangannya kanan menangkis, tangannya kiri sebat menangkap lengan sinona.
“Trang!” Pedangnya ternyata
terbabat kutung. Untuk kekagetannya, dilihatnya pedang yang dipakai sinona itu
ternyaja adalah pedang leng-bik-kiam miliknya! Karuan bukan main tambah
giranghja.
Tepat pada saat itu, Bun Thay
Lay, Hi Tong, Jun Hwa dan Tan Ceng Tik berbareng maju hendak menolongi sinona.
Tapi Ciauw Cong dengan sebatnya telah merampas leng-bik-kiam, segera memutar
dengan serunya. Kim-tiok dan Siangkao senjata lawan terbabat kutung. Sedang Bun
Thay Lay dan Ceng Tik buru-buru menarik senjatanya, hingga, tak sampai
terbabat.
Segera Ciauw Cong tandaskan
leng-bik-kiam kepungan Wan Ci dan serunya menganCam: “Setindak kamu maju,
segera, kuhabisi nyawanya. Lekas berikan jalan padaku!”
Perubahan itu sungguh diluar
dugaan orang-orang. Pada detikdua Ciauw Cong akan sudah dapat diringkus, tak
terduga Wan Ci datang mengaduk. Semua orang salah duga dan sesalkan nona itu
yang dikiranya termaha jasa, tapi sebaliknya merusak renCana serta menjadi
barang tanggungan si sangsat.
Wan Ci pura-pura menggelandot
dibahu Ciauw Cong sehingga sepintas pandang, ia seperti kena ditutuk Ciauw
Cong, lemas tak bertenaga. Sebaliknya Ciauw Cong dapat angin. Dilihatnya
orang-orang sama melonyo, tak berani menyerang. Hendak ia pikirkan jalan untuk
lolos atau Wan Ci kembali berbisik pelan-pelan didekat telinganya: “Kembali
kedalam perut gunung lagi!”
Ciauw Cong anggap jalan itu yang
terbaik, ia terus langkahkah kaki kedalam terowongan dibawah tanah.
Koayhiap dan Ceng Tik seperti
“semut dipanggang diatas wajan.” Bagaimana marahnya, yangan ditanya lagi.
Koayhiap memungut sebuah kerikil sedang Ceng Tik mengeluarkan tiga batang
po-thi-Cu dan serentak ditimpukkan kebelakang Ciauw Cong. Tapi jago Bu Tong Pai
ini Cepat mendekkan badan, sembari Cepatkan langkahnya masuk kedalam
terowongan.
“Aduh!” tiba-tiba kedengaran Wan
Ci pura-pura menjerit.
Hal ini membuat Hwi Ching sibuk
bukan kepalang.
“Yangan mengejar, kita Cari lain
jalan!” serunya. Dia sungguh-sungguh berkuatir kalau Ciauw Cong menjadi hilap
dan melukai murid kesayangannya itu.
Cepat semua orang masuk kedalam
terowongan untuk mengikuti jejak Ciauw Cong. Tinggal Ceng Tong seorang diri,
sambil menyoren pedang mengawasi dengan mata melotot pada Kim Piauw. Haphaptai
asik membalut luka saudaranya, sedikitpun ia tak menghiraukan akan segala
kejadian disekelilingnya tadi.
Kuatir Ceng Tong kena apa-apa,
sampai dimulut terowongan Tan Keh Lok merandek, katanya kepada Hiang Hiang:
“Kita turut menunggu disini saja menemani Cicimu.”
Hiang Hiang setuju dan keduanya
balik menghampiri Ceng Tong.
Sementara itu dengan menyeret Wan
Ci, Ciauw Cong lari dengan kenCangnya. Sedang rombongan orang-orang tadi, hanya
mengikuti dari belakang, tak
berani terlalu merangsek. Lorong terowongan itu penuh berliku-liku, sehingga
tak dapat melepas senjata rahasia. Habis menyusur lorong, segera akan tiba
keluar, dan akan dapatlah Ciauw Cong melintasi pintu batu. Ini berarti,
loloslah sudah.
Koayhiap Cepat akan bertindak.
Tapi ketika baru saja ia akan melesat untuk menyerang belakang orang, tiba-tiba
di-tempat yang gelap itu ia mendengar suara mengaum beberapa kali. Tahu kalau musuh
melepas senjata rahasia Koayhiap buru-buru menempel badan didinding terowongan
seraya berseru: “Hai, Berewok, wajanmu!”
Sebat sekali Affandi sudah
melangkah maju dengan menghadangkan wajan .kemuka. Segera terdengar suara
ber-deringdua dipantat wajan. Itulah berpuluh-puluhdua batang jarum
hu-yong-Ciam yang dilepas Ciauw Cong.
“Haha, enak hidangan jarum emas
goreng!” Affandi berkaokdua.
Tapi kelambatan beberapa detik
karena berhenti mengejar itu telah memberi kesempatan pada Ciauw Cong dan Wan
Ci untuk menerobos kedalam pintu batu, yang terus ditutup sekuat-kuatnya.
Koayhiap dan Ceng Tik memburu untuk mendobrak pintu, tapi ternyata pintu yang
menutup terowongan itu adalah bagian dalam, jadi sangat liCin sekali, tiada
pegangannya barang sebuah pun. Kedua jago tua itu adalah orang-orang yang
berangasan, sudah tentu mulutnya tak hentiduanya memaki kalang kabut.
Sementara itu, setelah berada
diluar pintu, Ciauw Cong segera memantek lubang tarikan pintu dengan lonjoran
emas. Habis itu ia mengelah napas lega, katanya: “Terima kasih atas pertolongan
Li-sioCia!”
“Ayahku dan Thio-susiok adalah
samadua pembesar kerajaan yang sedang menjalankan tugas. Sudah selajaknya
kumenolong,” sahut Wan Ci tertawa.
“Kuharap Li-Ciangkun dan
Li-thaythay tak kurang suatu apa,” kata Ciauw Cong lalu menjalankan
penghormatan seperti lajaknya kepada keluarga pembesar tinggi.
“Kau adalah Susiok (paman guru),
tak pantas kumenerima kehormatan begitu. Sebaiknya kita Cari jalan lolos. Suhu
tentu mengerti akan perbuatanku ini, kalau sampai kena ketangkap, aku pasti
dibunuhnya.”
“Kini mereka berjumlah besar.
Kita harus lekas-lekas tinggalkan tempat ini, mengundang Kawan-kawan yang
lihai, baru menangkap mereka lagi,” kata Ciauw Cong.
“Saat ini mereka tentu balik ke
tepi kolam akan memutar untuk mengejar kemari. Thio-susiok, Carilah akal, lekas
Didaerah padang pasir sini, tak mudahlah untuk meloloskan diri.”
Memang ilmu silat Ciauw Cong itu
tinggi, tapi dalam hai tipu siasat, dia kurang pandai. Maka sesaat itu tampak
ia mengerutkan keningnya, namun tak dapat segera menemukan akal. Sebaliknya Wan
Ci pura-pura Cemas, tengkurap pada sebuah batu dan menangis.
“Li-sioCia, yangan takut, kita
tentu dapat lolos,” menghibur Ciauw Cong.
“Sekalipun andaikata kita bisa
keluar dari kota tersesat ini, tapi dalam sehari dua hari, mereka tentu sudah
dapat menyusulnya. O, mak, uh, uh ............... mak!”
Dengan ditangisi begitu rupa,
bukan main sibuknya Ciauw Cong. Berulang-ulang ia meng-gosokdua kepelannya,
tapi tetap tak berdaya. Tiba-tiba tangisan Wan Ci tadi berobah menjadi gelak
tertawa, katanya: “Sewaktu kecil apa kau tak pernah main godak?”
Sejak berumur 5 th. ayah Ciauw
Cong sudah meninggal dan ikut sang Suhu belajar silat. Ma Cin dan Liok Hwi
Ching jauh lebih tua beberapa tahun dari dia. Oleh karena itulah, ia tak pernah
mengeCap kesenangan permainan kanak-kanak. Terpaksa dia gelengkan kepalanya.
“Jalanandua di Kota tersesat ini
luar biasa ruwetnya. Kita t jari tempat bersembunyi, kira-kira bersembunyi
tiga-empat hari Mereka tentu mengira kita sudah berlalu dari sini dan tentu
akan pergi mengejar. Pada waktu itu, barulah kita keluar.”
Ciauw Cong ulurkan jempol jarinya
dan memuji: “Ya, ja, Li-sioCia, kau betul Cerdik sekali!” — Tapi ia meran-dek
dan katanya pula: “Tapi kita tak bawa ransum, selama tiga-empat
hari...............”
“Diatas punggung kuda itu ada
ransum dan, air,” buru-buru Wan Ci menyanggapi kekuatiran Ciauw Cong dengan menunjuk
kearah kudanya.
“Bagus, mari lekas sembunyi!”
seru Ciauw Cong dengan girang.
Begitulah keduanya terus lonCat
turun dan dengan naik dua ekor kuda, mereka berlari keluar. Tiba dipersimpangan
jalan Wan Ci berkata: “Coba lihatlah bekas kotoran serigala ini. Jalan keluar
sebenarnya kearah kiri, tapi sebaiknya kita ambil jalanan yang disebelah kanan
saja......”
Baru ia berkata, tiba-tiba ekor
kudanya menjengat keatas, karena binatang itu mau buang kotoran. Buru-buru Wan
Ci ambil ransum dan kantong air dipunggung kuda, dan tuntun kedua ekor kuda itu
untuk menghadap kejurusan kiri. Begitu tangannya mengibas Cambuk, kedua
binatang itu menCongklang dengan pesatnya kedepan.
“Mengapa?” tanya Ciauw Cong
karena heran. “Jika mereka menyusul kemari dani melihat tapak kuda serta
kotoran yang masih segar ini menuju kearah kiri, tak dapat tidak, mereka tentu
mengejar kesana,” sahut Wan Ci tertawa.
“Hai, siasat ini hebat benar!”
Ciauw Cong memuji kegirangan.
Ciauw Cong dan Wan Ci segera
menyusup masuk. Pada setiap tikungan, setiap pertigan, Wan Ci senantiasa
meletakkan tiga buah kerikil ditempat yang agak tak menyolok. Kerikildua itu
ditumpuknya merupakan sebuah pertandaan rahasia.
Ciauw Cong anggap perbuatan Wan
Ci itu bnyak sekali. Kalau tidak, mereka pasti teranCam kesesatan jalan.
Kira-kira setengah harian kemudian, jalanan makin rumit dan berbahaya. Entah
sudah berapa banyak sekali tikungan dan pertigaan yang dilaluinya. Mendekat
petang, Wan Ci mengajak berhenti, untuk beristirahat dan menangsel perut.
“Tadi kuda yang seekor tak kita
muati makanan dan air, sayang benar,” kata Ciauw Cong.
“Tak apalah, asal kita Cukup
menghemat,” sahut Wan Ci lalu menarahkan kantong makanan dan minuman kedekat
Ciauw Cong seraya berkata: “Harap jaga baik-baik , inilah jiwa kita!”
Habis menguCap, sinona lalu
menyingkir agak jauh untuk menCari tempat yang agak bersih dibuat tidur.
Tengah malam, Ciauw Cong lonCat
bangun karena kaget mendengar Wan Ci menjerit. Buru-buru dihampirinya, dan
sinona tampak menuding kearah sana: “Lekas, ada seekor serigala besar!”
Dengan menghunus pokiam, Ciauw
Cong sebat memburu. Tapi dua buah tikungan sudah dia membiluk, namun tak ada
jejak seekor serigalapun. Takut tersesat, dia tak berani mengejar, dan balik
ketempatnya tadi. Tapi disitu, tak didapatinya Wan Ci.
“Li-sioCia!” serunya, nyaringdua.
Pada lain saat, ia begitu
terkejut demi dilihatnya ditanah situ basah semua, sedang kantong air kelihatan
numplek. Buru-buru dipungutnya, dan didapatinya kantong itu hanya masih
ketinggalan air sedikit sekali. Suatu hal yang menCemaskan hatinya.
Tengah ia masgul, tiba-tiba Wan
Ci munCul dari jalanan gunung disana, serunya: “Disana tadi ada seekor serigala
menobros kemari untuk merampas air!”
Sinona duduk numprah ditanah,
mukanya muram seperti hendak menangis.
“Karena, kita tak punya air, tak
dapat kita tinggal lama-lama disini. Besok kita harus nekad tinggalkan tempat
ini,” kata Ciauw Cong.
“Biar aku sendiri Cobadua
menyelidiki, tunggulah kau disini,” kata Wan Ci kemudian seraya terus
berbangkit.
“Sebaiknya kita pergi berdua,”
kata Ciauw Cong.
“Yangan! Kalau kesamplokan dengan
mereka, apa kau kira masih bisa hidup? Kalau aku lain soal lagi,” bantah
sinona.
Ciauw Cong anggap omongan sinona
benar. Maka dia terpaksa tinggal dan hanya pesan supaya sinona berhati-hati.
“Em, pinjamkan pokiammu padaku!”
pinta Wan Ci.
Tanpa Curiga, Ciauw Cong serahkan
leng-bik-kiam-nya.
Ketika itu bulan remang-remang,
dengan menurutkan batu-batu kerikil pertandaannya, Wan Ci berjalan keluar.
Setiap kali tiba dipertiga jalan, ditumpuknya sebuah batu pertandaan baru,
sedang batu yang lama, diurukinya dengan pasir. Andaikata Ciauw Cong menyusul,
dia pasti akan bingung, dan tak nanti mampu keluar dari situ. Diam-diam nona
nakal itu tertawa, karena ialah sendiri yang sebetulnya mengatakan ada.
serigala dan menumpahkan kantong air dan Ciauw Cong sudah sedemikian perCaja
seperti “kerbau terCoCok hidungnya.” Sampai leng-bik-kiam pun diserahkannya
kembali.
Dekat fajar, ia sudah berada
dnyalan yang benar. Diujung tikungan sana, ia dengar orang sedang memaki-maki.
“Lihat saja, masa aku tak dapat meremukkan tulangnya dan membeset kulitnya!”
demikian terdengar seorang sedang mengomel.
“Ya, untuk meremuk tulang dan
membeset kulit, juga harus dapat menCarinya sampai dapat,” kata seorang lagi
dengan tertawa.
“Aduh!” tiba-tiba Wan Ci menjerit
dan lalu pura-pura jatuh. Yang munCul menolong dengan seketika, bukan lain
adalah Thian-ti-koayhiap dan Affandi. Ketika mendapatkan sinona masih bernapas
dari tak terluka, legalah hati kedua-nya.
Koayhiap segera memberi
pertolongan. Sebaliknya Affandi tertawa setengah menyomel: “Nona yang nakal,
kalau seandainya menjadi anakku perempuan, yangan panggil aku ajab. kalau,
tidak kurangket dia.”
Namun Wan Ci masih pura-pura tak
ingat orang, melihat itu jengkellah si Berewok.
“Kalau, ia benar-benar pingsan,
kuCambuk 10 kali tentu ia masih belum ingat orang!” katanya.
Untuk membuktikan anCamannya si
Berewok segera menCambuknya sekali dan tepat pada pundak sinona. Hendak
Koayhiap menCegahnya, tapi untuk keheranannya dilihatnya Wan Ci sudah membuka
mata.
“Ai,” sigadis pura-pura
menggerang.
“Huh, lihat, Cambukku lebih lihai
dari ilmumu thui-kiong-hiat (mengurut jalan darah!” Affandi mengejek Koayhiap.
“Jenggot Panyang ini benar-benar
hebat,” diam-diam Koayhiap mengira kalau Affandi betul-betul punya ilmu
Cambukan untuk menolong orang pingsan. Namun ia tak sempat menanyakan, terus
bertanya kepada Wan Ci: “Bagaimana, apa kau tidak terluka? Dimana sibangsat
itu?”
“Ditawan olehnya tadi, bukan main
takutku. Ketika kemaren malam ia tengah menggeros, aku diam-diam melarikan
diri,” demikian Wan Ci mengarang penyahutan yang masuk diakal.
“Mana dia, antarkan aku kesana!”
kata Koayhiap.
“Baik,” sahut Wan Ci terus akan
bangkit. Tapi tubuhnya sempoyongan, hingga Koayhiap buru-buru menyanggapi, dan
dipimpinnya.
“Kalian berdua pergilah, aku
menunggu disini,” kata Affandi.
“Ha, pak Berewok mau ongkangdua.
Baik, tanpa kau kitapun dapat menghadapinya,” kata Koayhiap.
Tak lama dari kepergian kedua
orang itu, datanglah Liok Hwi Ching, Tan Ceng Tik, Tan( Keh Lok, Bun Thay Lay
dan lain-lainnya. Tak mau Affandi menCampuri pembiCaraan mereka yang uplek
menCeritakan hasil penguberannya yang nihil itu. Dia tetap tersenyum simpul
saja. Ciang Cin dan Sim Hi menggusur datang Kim Piauw dan Haphaptai dan duduk
disebelah sana.
Tak lama kemudian munCullah
Koayhiap serta Wan Ci. Hal mana membikin gembira hati semua orang. Hwi Ching
dan Lou Ping segera datang menghiburi sinona.
“Jenggot Panyang, Cerdik sekali
kau, menghemat kaki. Ia tak kenal jalanan lagi. Bilak-biluk dan hampir-hampir
tak dapat keluar,” seru Koayhiap.
Semua orang mengambil putusan,
biar bagaimana tetap akan menCari sampai dapat si Ciauw Cong itu. Tapi yang
menjadi kesulitan, adalah jalanandua di Kota Sesat yang membingungkan itu.
Sekalipun Ceng Tong dan Thian Hong yang biasanya paling banyak sekali akal itu,
saat itupun tak berdaya.
“Kalau saja kita punya dua ekor
serigala, tentu bereslah...............”
Usul Thian Hong itu, disambut
dengan senyum oleh Affandi. Sudah tentu Thian Hong merasa tak enak dan
buru-buru menghampiri siorang Ui itu untuk minta tolong. Katanya:
“Kita semua sudah tak berdaya,
harap LoCianpwe suka memberi petunjuk.”
Belum menjawab, Affandi sudah
menuding kepada Hi Tong, katanya dengan tertawa: “PemeCahannya ada padanya.
Mengapa tak suruh dia?”
“Aku?” Hi Tong melengak.
Affandi mengangguk, lalu
mendongak keatas sambil tertawa panyang. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia terus
melang kah kepunggung keledainya, dan pergi tanpa menoleh pula.
Bermula Thian Hong kira kalau
Affandi memper-olokdua, tapi setelah dipikirkan sejenak, segera dia mendapat
pikiran terang. Dalam kata-kata dan perbuatan Wan Ci selama ini nampak terselip
“apa-apa”. Yangan-yangan soal Ciauw Cong itu ada ditangan sinona.
Dengan kesimpulan itu, Cepat ia
mendapatkan Lou Ping dan membisikinya. Lou Ping pun seorang wanita yang Cerdas,
seketika iapun dapat menangkap hal itu. Dengan mengambil semangkuk air dan
sepiring dendeng kambing, dihampirinya Wan Ci.
“Li-moaymoay, kau memang hebat.
Masa kau bisa terlolos dari tangan Ciauw Cong yang ganas itu?”
“Ya, waktu itu aku betul-betul
Ceroboh. Aku lari sekenanya, asal bisa lolos saja, sehingga tak kukenal lagi
jalananduanya. Syukur Tuhan melindungi diriku”.
Wan Ci, sinona Cedik itu, telah
menduga bahwa Lou Ping tentu akan menanyakan jalanduanya nanti, maka lebih dulu
ia telah memberi keterangan begitu.
Memang Lou Ping tadi sangsi
apakah sinona itu sungguh-sungguh mengetahui akan tempat persembunyian Ciauw
Cong. Tapi kini dengan sekali menyahut sinona telah “menghapus jejak”,
diam-diam ia geli melihat sinona yang begitu liCin itu. Katanya: “Semua
saudara-saudara kita sangat menginginkan sibangsat itu. Coba kau ingatdua
betul, tentu akan dapat mengenal, jalanan itu”.
“Kalau saja pikiran tenang
seperti biasa, tentu tak sampai begitu tolol tak ingat sedikitpun jua,” sahut
sinona.
“Ayo, yangan ngambek nona manis,”
kata Lou Ping lalu membisiki ketelinga sinona: “Apa yang kaukandung dalam
hatimu itu, tahulah aku. Asal kau mau membantu kita orang, kitapun tentu akan
menyelesaikan urusanmu itu.”
Selebar muka Wan Ci merah,
sahutnya dengan suara lemah: “Tak ada orang yang sayang padaku lagi, mengapa
aku begitu bodoh melarikan diri dari orang she Thio itu. Kan lebih baik binasa
ditangannya.”
Melihat itu, Lou Ping kewalahan,
lalu simpangkan pembiCaraannya: “Adikku, kau rupanya letih, minum dan
mengasolah dulu.”
Setelah sinona mau menurut, Lou
Ping segera mendapatkan Hi Tong dan berbiCara sejenak. Wajah pemuda itu kelihatan
sungkan dari apa yang dibiCarakan dengan Lou Ping, giginya dikatupkan
kenCangdua seperti orang berpikir keras. Akhirnya ia menepuk pahanya, katanya:
“Baik untuk membalas budi Suhu, apapun aku menurut.”
Sementara itu, Wan Ci hanya
pejamkan mata untuk mengaso. Ia tak hiraukan orang-orang itu, maka sekalipun Hi
Tong maju menghampiri, tak sekali ia menggubris, kalau saja sianak muda itu tak
membuka mulut.
“Li-sumoay, beberapa kali kau
telah tolong jiwaku. Aku bukan seorang yang tak kenal budi. Kali ini kumohon
kau suka membantu lagi,” kata Hi Tong.
Habis berkata, pemuda itu
menjura.
“Hai, Ie-suko, mengapa berbuat
begitu? Kita kan orang sendiri, Cukup menyuruhnya, masa aku tak mau?” sahut Wan
Ci.
UCapan sinona itu terang
mengandung ejekan, namun karena satuduanya jalan harus minta bantuannya, Hi
Tong terpaksa bersabar.
“Ciauw Cong sibangsat itu, telah
membunuh Suhuku dengan tidak se-matadua. Barang siapa yang dapat membantu untuk
membalaskan sakit hatiku, disuruh jadi sapi atau kudanya, akupun rela.”
Diluar dugaan, Wan Ci menjadi
gusar, pikirnya: “Ho, jadi kelak kalau kau memperisterikan aku, kau merasa
seperti menjadi sapi dan kuda.”
Karena pikiran itu, hatinya
menjadi tawar dan menyahut: “Dihadapan kita kan ada banyak sekali Enghiong dan
Tayhiap. Disamping itu masih ada CongthoCu? mengapa tak kau minta bantuannya?
Selama dalam perjalanan kau selalu menghindar, seolah-olah kalau melihat aku,
kau bakal Celaka dan sibuk. Mana orang seperti aku begini, bisa membantu
urusanmu? Kalau kau tidak menyingkir dari hadapanku, yangan sesalkan aku kalau
nanti memaki kau dengan kata-kata yang kasar!”
Semua orang tadi masih duduk
sembari berunding Cara untuk mengejar Ciauw Cong. Tak mereka hiraukan apa yang
dibit j arakan oleh Lou Ping, Wan Ci dan Hi Tong. Tapi ketika dilihatnya Wan Ci
ber-kata-kata dengan suara keras, mukanya merah padam, sementara Hi Tong
tundukkan kepala ber-ingsutdua menyingkir, mereka menjadi heran.
Juga Thian Hong dan Lou Ping
ketika mendapatkan Hi Tong' ketemu batunya, mereka saling pandang dengan senyuman
keCut. Buru-buru Tan Keh Lok ditariknya kesamping dan diajaknya berunding
dengan bisik-bisik.
“Sebaiknya kita minta
Liok-loCianpwe untuk mengomonginya, tentu ia mau tunduk ..................”
UCapan ketua HONG HWA HWE itu
diputus dengan jeritan kaget dari Ciang Cin dan Sim Hi. Keh Lok lekas berpaling
dan dapatkan Kim Piauw dengan kalap sedang menubruk kearah Ceng Tong. Cepat
sekali ketua itu melesat untuk menarik lengan musuh itu, tapi tak keburu. Juga
Jun Hwa yang Coba menghadang, telah kena dijorokkan oleh Kim Piauw hingga
terpental kebelakang.
“Bunuhlah aku!” seru Kim Piauw
sembari meneryang. Karena terkejut dan marah, Ceng Tong tusukkan pedangnya
kedada orang. Tapi ternyata Kim Piauw tak mau menghindar, malah terus
menubruknya, hingga tak ampun lagi dadanya tertembus ujung pedang.
Tak sekali Ceng Tong mengira
kalau orang itu berlaku begitu nekad. Buru-buru diCabutnya pedang, darah
munCrat mengenai pakaiannya. Ketika orang-orang sama menghampiri, Kim Piauw
sudah menggeletak. Haphaptai sibuk menolong, tapi ternyata tak dapat tertolong
lagi.
“Penasaran, matipun aku
penasaran!” Kim Piauw mengeluh.
“Lo-ji, kau minta apa?!” tanya
Haphaptai. “Kalau aku bisa mencium tangannya, matipun aku puas!” Napas Kim
Piauw ter-engahdua, matanya memandang Ceng Tong.
“Nona, dia. tengah dalam
perjalanan ke dunia baka, kasihanilah............,” ujar Haphaptai.
Ceng Tong tak mau dengarkan habis
uCapan Haphaptai, terus berlalu. Wajahnya pilas karena menahan amarah. Tan Keh
Lok merasa kasihan, dan akan membujuk Ceng Tong, tapi nona itu makin menyingkir
jauh-jauh.
Karena putus asa, Kim Piauw
mengeluarkan elahan napas yang panyangi terus meninggal. Dengan menahan air
mata, Haphaptai lonCat bangun menuding kebelakang Ceng Tong dan memaki: “Kau
wanita yang kejam. Kau membunuhnya, aku tak menjalankan, karena ia memang
jahat. Tapi untuk memenuhi permintaan orang yang sudah dekat ajalnya sebagai
dia, mengapa kau keberatan?”
“Yangan ngaCo-belo saja,
mengganggu ketenangan!” bentak Ciang Cin.
Tapi Haphaptai tak ambil pusing,
terus mendamprat. Ciang Cin hilang sabar, lalu akan menghantam, tapi diCegah Hi
Tong.
Dan pada saat itu, Hwi Ching
tampil kemuka, serunya: “Kaupunya Ciao Bun Ki samya itu, akulah yang
membunuhnya. Tak ada sangkut pautnya dengan lain orang. Perserikatan Kwantong
Liok Mo, kini hanya tinggal kau seorang. Kita mengetahui kau seorang jujur,
sehingga segan mengganggu. Sekarang pergilah, kalau kelak kau akan menuntut
balas, Carilah. aku.”
Tanpa menjawab, Haphaptai memondong
mayat Kim Piauw, terus berlalu. Hi Tong mengambil sebuah kantong air, sebuah
kantong makanan dan seekor kuda.
“Hap-toako, aku dapat menghormati
kau sebagai seorang lakidua. Kuda ini, harap kau suka terima,” kata Hi Tong.
Haphaptai mengangguk, lalu letakkan
mayat Kim Piauw diatas kuda. Hi Tong menuang semangkok air, diminumnya separoh,
lalu diberikan pada Haphaptai dan katanya pula:: “Air mengganti arak, Sebagai
tanda perpisahan.”
Haphaptai meminumnya, Hi Tong
mengeluarkan seruling emasnya. Alat itu sekalipun kena terbabat Ciauw Cong,
tapi masih dapat dibunyikan. Hi'; Tong mulai meniup. Mendengar
Hi Tong meniup lagu “Padang
rumput Mongolia,” tergeraklah hati Haphaptai. Diapun meniup terompet tanduknya.
Ketika didalam perahu diatas
sungai Hoangho dahulu, waktu Haphaptai meniup terompet tanduknya, diam-diam Hi
Tong menCatat dalam hati. Dengan lagunya tadi, Hi Tong hendak mengantar
perpisahan untuk jago dari Mongol itu.
Begitu sunyi dan rawan irama lagu
itu, sehingga orang-orang sama terpesona. Malah Hiang Hiang yang berperasaan
halus itu, telah menguCurkan air mata. Lagu selesai, Haphaptai menyimpan
terompetnya, tanpa berpaling lagi, ia terus menaiki kuda dan berlalu.
“Kedua orang itu adalah kaum
lelaki sejati,” kata Lou Ping kepada Wan Ci sambil menunjuk kearah Hi Tong dan
Haphaptai.
“Betul itu?” balas Wan Ci.
“Ya. Dan mengapa kau tak mau
membantu kepentingannya?”
“Kalau aku dapat, tentu
bersedia,” Wan Ci mengelah napas.
“Moaymoay, yangan mengelabuhi.
Kalau sampai Liok-pehhu. memaksamu, kau pasti kurang enak,” Lou Ping tertawa.
“Yangan kata aku memang tak ingat
jalanan itu, sekalipun bisa mengingatnya, kalau aku tak mau menunjuk-kan, habis
mau diapakan? Sedari dulu, kaum wanita selalu berpegang pada dalil
'sam-Ciong-su-tek' (mengindahkan tiga perkara, menjalankan 4 hal). Dalam
'sam-Ciong' itu, tak ada disebut 'mengindahkan Suhu'.”
Lou Ping tertawa, katanya: “Ayah
hanya mengajarku ilmu menggunakan golok dan menCuri barang. Ujardua Khong Hu
Cu, sedikitpun tak kuketahui. Adik yang baik, Coba tuturkanlah, apa yang disebut
'sam-Ciong-su-tek' itu?”
“Su Tek atau 4 hal jakni:
peribudi, lahirnyah, tutur bahasa dan keCakapan. Jelasnya, bagi kaum wanita
yang pertama harus mengutamakan tingkah-laku peribudi. Setelah itu,
memperhatikan perawatan jasmaninya, tutur kata dan urusan rumah tangga.”
“Oh, begitu,” Loui Ping tertawa,
“aku CoCok, hanya soal lahirnyah tadi, adalah pemberian alam. Kalau ayah bunda
melahirkan aku bermuka jelek, apa dayaku? Dan apa itu 'sam-Ciong'? “
“Kau pura-pura bodoh, tak sudi
aku mengatakan,” tiba-tiba Wan Ci mengambili dan melengos.
Dengan tertawa, Lou Ping lalu
mendapatkan Hwi Ching untuk memberitahukannya.
“Sam-Ciong” adalah tiga soal tata
kesopanan, ialah: kalau belum menikah, seorang wanita harus turut pada orang
tuanya. Setelah menikah, pada sang suami dan kalau suaminya meninggal harus
ikut pada sang anak. Inilah ajaran Khong Cu yang berlaku pada keluargadua kaum
pembesar. Bagi kaum kangouw seperti kita, tak memusingi hal itu,” menerangkan
Hwi Ching.
“Memang demikianlah”, Lou Ping
tertawa “Turut pada ayah bunda,, itu sudah selajaknya. Tapi untuk menurut pada,
suami, harus ditimbang dulu baik tidaknya. Suami meninggal, lalu mengikut anak,
itu lebih luCu lagi. Andaikata anaknya masih kecil, apa juga mesti diturut?”
“Muridku itu memang aneh
perangainya, kau kira apa ia sungguh-sungguh tak mau menunjukkan jalanan itu?”
tanya Hwi Ching.
“Kutahu maksudnya. Karena belum
menikah, ia hanya mau mendengar perintah ayahnya saja. Tapi Li-Ciangkun berada
di. HangCiu yang begitu jauh dari sini. Taruh kata dia disini, belum tentu akan
dapat, membantu kita. Kini hanya terbuka jalan yang kedua itu”.
“Yang kedua?” buru-buru Hwi Ching
menyanggapi. “Ia 'kan belum bersuami”.
“Ai, itulah!” Lou Ping tertawa,
“kita harus Carikan pasangan untuknya. Dengan perintah suaminya, ia pasti
menurut disuruh menunjukkan jalan”.
Hwi Ching tersedar. Memang
siangdua urusan muridnya itu sudah diketahuinya. Sutitnya, Hi Tong, pun pantas
dnyadikan jodohnya. Semula memang sudah ada niat itu dalam hati Hwi Ching.
Soalnya hanya tunggu waktu yang baik, apabila, urusan sudah selesai. Rupanya
hal itu tak boleh ditunda lama-lama.
“Oh, jadi yang dimaksud dengan
'sam-Ciong-su-tek' itu, adalah untuk urusan itu. Mengapa tak kau terangkan
dengan singkat saja?” Hwi Ching menyomel girang.
Keduanya berunding dengan Tan Keh
Lok, lalu memanggil datang Hi Tong, dan ditetapkannya. Thian-ti-koayhiap akan
di minta menjadi wali dari fihak mempelai lakidua sedang wali dari fihak
perempuan adalah Thian-san Siang Eng berdua.
“Liok-laoko, benar-benar kau
kewalahan pada muridmu itu, sampai kita semua ini tak berdaya,” Koayhiap
tertawa tergelakdua demi mendengar keputusan itu.
Selesai bermupakat, lalu mereka
menghampiri Wan Ci.
“Wan Ci, telah bertahundua aku
berkumpul dengan kau sebagai Sunu dan murid. Hubungan kita sudah seperti ayah
dan anak. Seorang gadis seperti kau berkelana diluaran, sungguh menjadi
pikiranku saja,” demikian kata Hwi Ching.
“Ayahmu tak berada disini,
terpaksa kugunakan hakku sebagai ayahmu untuk menCarikan 'tempat berteduh
bagimu',” kata Hwi Ching pula.
Wan Ci tundukkan kepala tak
menyahut.
“Suko-mu, Hi Tong, sejak Suhunya
dibinasakan orang, kini menjadi tanggunganku. Nanti setelah kamu berdua
terangkap jodoh, tentu bisa saling merawati. Jadi biarlah aku dapat meletakkan
bebanku,” kembali Hwi Thing mengomongi.
Kesemuanya itu, sebenarnya sudah
dalam hitungan Wan Ci, namun dimuka sekian banyak sekali orang, tak urung ia
merah padam ke-maluduaan, jawabnya dengan suara pelahan; “Terserah pada Suhu,
aku tak berani mengambil putusan sendiri.”
“Ah, kau masih pura-pura enggan?”
tiba-tiba Ciang Cin me-nyelatuk. “Ketika di Thian Bok San kita ubek-ubekan Cari
padamu, kiranya kau bersembunyi di ..................”
Ciang Cin tak dapat melanjutkan
kata-katanya, karena mulutnya segera didekap Jun Hwa.
“Ayahmu pernah menahan Ie-sutit
dikediamannya sampai sekian lama, tentunya ia sudah menjatuhkan pilihannya.
Baik sekarang kita bikin penetapan dulu, kelak kita beritahu ayahmu, dia pasti
girang,” kata Hwi Ching.
Wan Ci tetap tundukkan kepala tak
menyahut.
“Ya, sudahlah, Li-moaymoay
setuju. Sipsute, kau mau kasih panjer apa?” segera Lou Ping menengahi.
Hi Tong merabah badannya, hanya
uang perak yang ada. Dia gelisah. Ketika meneruskan merabah, tangannya
menyinggung potongan seruling emas yang dipapas Ciauw-Cong. Pikirnya, kalau
bertemu dengan tukang mas, akan disambungnya lagi.
“Liok-susiok, Siaotit tak punya
barang apa-apa. Tapi potongan seruling ini adalah dari bahan emas murni,”
katanya kepada Hwi Ching.
“Bagus, pada hari bahagia kamu
berdua nanti, kedua belah potongan seruling ini nanti disambung jadi satu,”
ujar Hwi Ching tertawa.
Semua orang gagah, segera memberi
selamat pada Calon mempelai berdua. Wan Ci tak mau menerima potongan seruling
itu, tapi Lou Ping memaksanya.
“Dan kau mau serahkan apa?” tanya
Lou Ping.
Kegembiraan Wan Ci nampak pada
wajahnya yang berseridua, tertawalah ia: “Aku tak punya apa-apa”.
“Wan Ci, senjata rahasia
kepunyaanmu itu bukankah dari emas juga?” sela Hwi Ching tertawa.
“Benar!” Lou Ping bertepuk
tangan, lalu menyamber senjata rahasia itu (hu-yong-Ciam) dan diserahkan 10
batang pada Hi Tong.
“Inilah benar-benar yang disebut
'jodoh yang aneh dari jarum dengan seruling',” seru Keh Lok.
Melihat semua gembira, Hiang
Hiang menanyakan Tan Keh Lok, dan ketika diberitahukan, Hiang Hiang pun turut
girang. Segera ia melolos CinCin batu giok putih dari jarinya, ia memakaikannya
kedalam jari Wan Ci, selaku tanda memberi selamat.
Juga Ceng Tong tak mau
ketinggalan menghaturkan selamat. Tapi dalam hatinya, nona Ui itu mengeluh:
“Andaikata kau tidak menyaru seorang lelaki, tentu keadaanku tidak sampai
begini!”
Dalam suasana kegirangan itu,
diam-diam Koayhiap dan Thian-san Siang Eng memperhatikan wajah Tan Keh Lok.
Tadi tegas diketahuinya bagaimana orang muda itu begitu Cemas dan buru-buru
bertindak ketika Kim Piauw menyerbu kepada Ceng Tong. Dan kini anak muda itu
berada disamping kedua nona Ui sedang pasang omong dengan gembira. Kalau
ditilik dari situ, terang dia bukan sebangsa orang yang tak kenal budi, atau
dapat baru, lantas buang yang lama.
Selesai bertukar panjer, semua
orang menyingkir. Setelah berduaan dengan Calon isterinya, Hi Tong berkata:
“Li-su-moay, dimanakah sebenarnya bangsat itu?”
Wan Ci mendongkol sekali atas
sikap tunangannya yang takmau tahu perasaan seorang gadis itu. Sekali membuka
mulut, soal Ciauw Cong yang ditanyakan.
“Mana aku tahu,” sahutnya ketus.
Hi Tong berpikir sejurus,
tiba-tiba dia berkui (jongkok) dan manggutkan kepalanya ketanah sampai tiga
kali, ia menangis: “Dulu aku adalah seorang SiuCay yang miskin, beruntung Suhu
telah menerima aku menjadi murid dan menurunkan ilmu silatnya. Belum aku dapat
membalas budinya itu, beliau telah dibinasakan seCara hina oleh Thio Ciauw
Cong. Li-sumoay, mohon kau sudi memberi bantuan.”
Hal itu sungguh diluar dugaan Wan
Ci, siapa buru-buru mengangkatnya bangun, lalu memberikan saputangan seraya berkata
dengan lemah lembut: “Bersihkanlah- airmataku, lekas, mari kuantar kesana.”
Tepat dengan kata-kata itu,
terdengarlah suara tepukan tangan dan Lou Ping lonCat keluar terus menyanyi:
“SiuCay kecil, bukan takut karena berwajah jelek, hanya takut kepada isterinya,
sehingga buru-buru manggutduakan kepala!”
Selebar muka Wan Ci merah padam
saking malunya, dan terus berosot lari kedalam. Sebaliknya Hi Tong
terlongong-longong.
“Lekas kejar sana!” seru Lou
Ping.
Tanpa berajal, Hi Tong lantas
mengejar. Lou Ping berteriakdua pula dan yang per-tamadua datang adalah Bun
Thay Lay, siapa juga ikut meneriaki orang-orang untuk diajak ikut kemana arah
larinya Wan Ci.
Dilain pihak ketika Wan Ci tak
nampak kembali, Ciauw Cong segera makan rangsum kering, pikirannya Cemas memikirkan
jalan untuk lolos, dan bagaimana dia akan Cari kawan untuk menumpas gerombolan
HONG HWA HWE nanti.
Pikirannya makin jauh melayang:
Wan Ci adalah puteri seorang Ciangkun, seorang gadis yang elok parasnya. Sedang
dirinya sampai pada saat itu masih tetap membuyang, kalau sampai dia dapat
memperisterikannya, tentu akan lebih semaraklah hidupnya. Berjasa dan mempunyai
seorang isteri yang Cantik, lagi seorang puteri pembesar tinggi.
“Perjalanan ke HangCiu sangatlah
jauhnya, selama itu kalau bisa berhasil mempedayainya, urusan belakang
mudahlah.”
Selagi dia asjik membuat
renCananya itu, tiba-tiba didepannya berkelebat sebuah bayangan. Bukan main
girangnya Ciauw Cong ketika orang itu ternyata Wan Ci adanya, siapa nampak
tertawa riang.
Buru-buru Ciauw Cong maju
menyambutnya, tiba-tiba dari belakang sinona melesat maju seorang yang terus
meneryangnya. Dalam kagetnya, Ciauw Cong masih bisa menghindar mundur,
tangannya kiri dikerjakan dalam gerak “menyingkap awan melihat matahari,” ia
menebas kesamping. Orang itu menyusup kebawah, seruling ditangan kanan dan dua
buah jari ditangan kirinya, berbareng menyerang dada.
Ketika dilihatnya sipenyerang itu
adalah Kim-tiok siuCay Ie Hi Tong, murid dari mendiang Suhengnya, berCekatlah
hati Ciauw Cong. Namun ia tak tinggal diam, tangan kanan menangkis dengan
“kabut putih melintang disungai,” tangan kiri berbareng menyerang kemuka.
Sewaktu Hi Tong berkelit, tahu-tahu punggungnya sudah dnyambak Ciauw Cong terus
dilontarkan keatas gunung.
Terkejut sekali Wan Ci. Tanpa
hiraukan apa-apa lagi, ia terus akan meneryang Ciauw Cong. Tapi berbareng
dengan itu, dibelakangnya terasa ada angin menyambar, dan seseorang telah
mendahuluinya lonCat menyanggapi tubuh Hi Tong, terus dibawanya mundur. Sewaktu
mengenali bayangan itu adalah Suhunya, sementara itu wajah Wan Ci sudah puCat
lesi, hatinya memukul keras.
Dan pada lain saat, dalam sekejap
saja, Ciauw Cong telah dipagari dengan belasan orang. Kini insyaplah dia, bahwa
saat-saat kematiannya sudah didepan mata. Tiba-tiba ia memutar badan, tapi
seCepat itu, dua, bayangan melesat dari samping untuk menCegat. Yang seorang,
adalah Thian-ti-koayhiap, dan satunya Tan Ceng Tik.
“Orang she Thio, kau masih mau
apa lagi? Ayo, ikut kami!” Hwi Ching berseru dari belakangnya.
Tahu kalau dirinya bakal tak
dapat lolos, masih Ciauw Cong perdengarkan jengekan, ia membalik tubuh menyerah
dan berjalan keluar. Liok Hwi Ching, Tan Keh Lok, Bun Thay Lay, Hwe Ceng Tong
dan lain-lain. berjalan disebelah muka, sedang Thian-ti-koayhiap, Tan Ceng Tik,
Kwan Bing Bwe dan lain-lain.nya dari sebelah belakang. Jadi Ciauw Cong diapit
di-tengah-tengah dan dibawanya keluar.
Bermula. Ciauw Cong mengira kalau
Wan Ci sudah kurang hati-hati sehingga kesamplokan dengan mereka. Tapi ketika
dilihatnya nona itu gembira dan tersenyumdua sambil omong-omong dengan Lou
Ping, tahulah dia kalau sudah kena dijual. Marahnya bukan kepalang. Dan saking
menahan hawa amarah itu, hampir-hampir dia pingsan. Namun sedapat mungkin
dikuatkan hatinya, sambil mengeretek gigi.
“Awas, kau, budak hina yang menjual
diriku!” ia menyumpah.
Hampir petang, mereka sudah
keluar dari Kota Sesat itu. Tan Keh Lok menyerahkan bandringan
'tiam-hiat-Cu-soh' kepada Ciang Cin dan Sim Hi supaya mengikat orang
tawanannya.
Tapi ketika Ciang Cin menyambuti
tali bandringan itu, tiba-tiba Ciauw Cong menggerung terus memberosot maju
menghampiri Wan Ci. Sekali tangannya diulur, tangan sinona telah teringkus,
leng-bik-kiam direbut berbareng dengan sekuat-kuat tenaganya ia menghantam
punggung sinona.
Wan Ci Coba menghindar kesamping,
tapi sudah tak keburu. Lengannya kiri, kena kepelan Ciauw Cong yang dahsyat
itu.
“Prakkk!” Lengan itu patah dan
pukulan kedua menyusul pula.
Kejadian itu berlangsung dalam
waktu yang Cepat sekali, sehingga Hwi Ching tak keburu menolong, baik ketika
leng-bik-kiam direbut maupun waktu lengan muridnya dihantam patah. Tapi untuk
penyerangan Ciauw Cong yang kedua itu, jago Bu Tong Pai itu sudah dapat
bertindak dengan tepat, ia menghantam pelipis Ciauw Cong, mengarah jalan darah “thay-yang-hiat.”
Ciauw Cong kibaskan sebelah
tangannya, “plak,” dua tangan saling beradu dan Dua-duanya mundur beberapa
tindak. Sejak keluar dari perguruan, sudah lebih dua0 tahun mereka tak pernah
saling menguji kepandaian. Kini dengan samadua tergetar tangannya,
masing-masing saling mengakui keunggulan lawan, efabanding ketika masih
ditempat perguruan, jauh sekali bedanya.
Wan Ci luka parah, ia menggeletak
ditanah. Lou Ping buru-buru menolongnya, tapi karena tak tertahan sakitnya,
nona itu pingsan. Koayhiap ambil sebutir pil, dimasukkan kemulut nona yang sial
itu.
Melihat perbuatan Ciauw Cong yang
masih begitu kejam itu, semua orang gagah gusar dan rapat-rapat mengepungnya.
Tahu kalau bakal binasa, Ciauw Cong mengambil keputusan hendak mati seCara
gagah. Maka Dengan palangkan pokiam didada, dia berkata dengan jumawa: “Kamu
hendak maju berbareng atau satu persatu? Kurasa lebih baik maju berbareng saja
'.”
“Apa kepandaianmu, begitu sombong
kau? Mari aku dulu yang melayani!” Ceng Tik tak kuat hatinya.
“Tan-loyaCu, dengan diriku dia
mempunyai permusuhan sebesar lautan, idinkan aku yang pertama maju,” Bun Thay
Lay meminta.
“Dia membinasakan Suhu seCara
keji, meskipun kepandaianku Cetek, tapi biarlah aku yang lebih dulu. Bun-suko,
kalau aku kewalahan, baru kaulah yang menyanggapi,” Hi Tong tak mau mengalah.
Begitu hebat rasa kebencian
orang-orang itu pada Ciauw Cong, hingga mereka berebutan mau menghajarnya.
Akhirnya Tan Keh Lok usulkan supaya diundi.
“Dia bukan lawanku, aku tak ikut
berundi,” kata Koayhiap.
“Tapi kita ini bukan lawannya,
maka aku, Suso, Kiu-te, Sip-te, Sipsute dan Sim Hi mengambil satu undian saja.
Nanti kami berenam tempur dia,” kata Thian Hong.
Ciauw Cong tak sabar lagi,
katanya: “Tan tangkeh, ketika di HangCiu kita telah berjanji hendak pi-bu. Kini
apakah janji itu masih berlaku?”
Tan Keh Lok tahu kalau orang
maukan dirinya lebih dulu. Maka jawabnya: “Benar, karena di Pak-kao-nia
tanganmu terluka, maka kita pertangguhkan janji itu sampai tiga bulan. Tepat
kalau hal itu kita selesaikan hari ini.”
“Nah, bagaimana kalau kutemani
Tan-tangkeh lebih dulu, baru nanti lain-lain isaudara-saudara” kata Ciauw Cong.
Sudah beberapa, kali Ciauw Cong
bertempur dengan Tan Keh Lok, tahu-kalau dirinya lebfiOCnggul setingkat. Maka
pikirnya, sekali dapat dia ringkus anak muda itu, tentu terbukalah jalan lolos
atau kalau tak mungkin meringkus, akan dihabisinya jiwa lawannya itu. Tan Keh
Lok adalah ketua HONG HWA HWE kematiannya Cukup berharga dibajar dengan jiwanya
sendiri.
Tapi pikiran Ciauw Cong itu dapat
ditebak oleh Thian Hong.
“Untuk menangkap bangsat semacam
dirimu, mengapa CongthoCu perlu kotorkan tangannya? Dan persaudaran HONG HWA
HWE kita ini dianggap apa? Kiu-te, Sip-te, Sipsute, Ayo kita ringkus dia!”
Atas seruan Thian Hong itu, Jun
Hwa, Ciang Cin, Hi Tong dan Sim Hi segera lonCat maju. Ciauw Cong tak gentar,
malah ia tertawa lebardua.
“Tadinya kukira meski HONG HWA
HWE adalah gerombolan rahasia yang menentang undangdua, tapi mereka menjunjung
peraturan kangouw. Tapi, huh, kiranya hanya kaum bebodoran belaka!” ejeknya.
“Chit-ko, kalau belum kalah atau
menang dengan aku, rupanya matipun ia 'kan penasaran,” sela Keh Lok. “Baiklah,
orang she Thio, hendak kau tumplek seluruh kepandaianmu apa saja, yangan ngimpi
kau bisa lolos. Nah, majuiah!”
Ciauw Cong tak sungkan lagi terus
melolos leng-bik-kiam, ujarnya: “Itulah bagus, mari keluarkan senjatamu!”
“Mengalahkan kau dengan senjata,
apa dapat disebut seorang enghiong? Cukup kalau aku bertangan kosong saja!”
balas Keh Lok.
Ciauw Cong girang sekali,
kesempatan itu tak mau dilewatkan begitu saja, katanya: “Bagus, kalau dengan
pedang tak dapat kukalahkan kau, aku segera bunuh diri, tak perlu kau orang
turun tangan lagi. Tapi kalau menang, apa katamu?”
“Tentu saja lain-lain Cianpwe dan
saudara-saudara yang ada disini yang menggantikan melayanimu. Kutahu, kau ingin
benar jawabanku: 'Kalau menang, kau boleh berlalu'. Hahaha, sampai detik ini
belum kau menginsyapi bahwa kejahatanmu itu sudah keliwat dari takerannya?”
sahut Keh Lok.
“Mati dan hidup itu adalah
takdir. Hina dan mulia sudah ada suratan nasib. Bagiku, orang she Thio, tak
terlalu pandang berat soal kematian,” Ciauw Cong menghardik.
“Didalam terowongan tanah
dimarkas HangCiu Ciang-kun, Bunsuya dan aku telah menangkap dan kemudian
mengampuni jiwamu. Di Pak-kao-nia dan dimarkas besar Ciangkun Tiau Hwi dua kali
sudah kami ampuni lagi jiwamu. Barudua ini, kembali kami tolong jiwamu dari
sergapan kawanan serigala. Bukankah HONG HWA HWE Cukup melepas budi padamu.
Tapi kau tetap tak merobah kejahatanmu. Nah, hari ini biar bagaimana juga, tak
ada ampun lagi untukmu.”
“Kau serang dulu, aku akan
mengalah 4 kali tanpa membalas seranganmu,” kata Ciauw Cong.
“Baik!” seru Keh Lok seraya maju
mengiring kedua kepelannya.
Cepat Ciauw Cong mendek kebawah
menghindar, tanpa mau membalas. Keh Lok menyapu dengan kaki. Ketika Ciauw Cong
lonCat keatas, Keh Lok; menyusuli dengan tendangan “Wan-yang-lian-hoan-thui,”
iterus menyapu lagi.
Menurut gerakan ilmu silat pada
umumnya, kalau musuh menghindar dengan lonCat keatas, kalau hendak menyusuli
serangan, kebanyak sekalian tentu menyerang bagian tubuh, supaya lawan tak
dapat menghindar lagi. Tapi tidak demikian dengan gerakan Tan Keh Lok. Dia
menyusuli tendangan tadi, terang bakal menendang tempat kosong, karena tidak
menurut peraturan ilmu silat. Tapi anehnya jatuhnya Ciauw Cong dari lonCatannya
keatas tadi, tepat dalam posisi arah tendangan Tan Keh Lok itu. Itulah
keajaiban dari “peh-hoa-jo-kun,” ilmu silat gerakan-salah dari seratus bunga.
Koayhiap yang berdiri disamping,
puas sekali hatinya sewaktu melihat murid kesayangannya dapat menggunakan ilmu
silat Ciptaannya dengan indah sekali. Dia berpaling kearah Kwan Bing Bwe dan
berkata: “Bagaimana?”
“Luar biasa sekali!” Ceng Tik
menyanggapi.
Karena tak berdaya menghindari
serangan lawan yang aneh itu, Ciauw Cong terpaksa mengirim sekali tusukan
pokiam kedada orang. Buru-buru Tan Keh Lok tarik kakinya sembari miringkan
tubuh untuk berkelit.
“Bangsat tak punya malu. Katanya
mengalah 4 kali, mengapa balas menyerang?” Ciang Cin memakinya.
Ciauw Cong tak ambil pusing,
sekali leng-bik-kiam berkelebat, terdengarlah deru angin dari serangan pokiam
kekanan-kiri lawan.
Hwi Ching terkesiap, pikirnya:
“Ilmu pedangnya sudah menCapai kesempurnaan. Dalam usia sama, mungkin Suku dulu
tak selihai dia!”
Jago tua ini tetap bersiaga
dengan pedang ditangan. Dia mengawasi gerakan Tan Keh Lok dengan seksama.
Begitu ketua HONG HWA HWE itu kesalahan tangan, dia akan turun tangan dengan
lantas.
Tapi ternyata pertempuran makin
lama makin seru. Sesosok tubuh Tan Keh Lok seolah-olah merupakan sebuah
bayangan yang berkelebatan diantara sinar pedang Ciauw Cong. Betapa lihai ilmu
pedang ju-hun-kiam Ciauw Cong, namun dalam beberapa saat itu, dia tak dapat
segera menarik keuntungan.
Sementara itu Hi Tong dan Lou
Ping memayang bangun Wan Ci, siapa pun sud^h sadar. Hanya rasa nyeri dari
lukanya itu, membuatnya meringis. Tapi sesaat diketahuinya Hi Tong
menunyangnya, terhiburlah hatinya.
“Nanti Liok-susiok tentu dapat
menyambung tulang lenganmu. Kau tahankanlah!” menghibur Hi Tong.
Wan Ci bersenyum dan kembali
pejamkan mata.
“Ci, mengapa dia tak pakai
senjata?” tanya Hiang Hiang sambil tarik tangan taCinya. “Apakah dia pasti akan
menang?”
“Tak perlu kuatir, disini masih
banyak sekali Kawan-kawan lain,” sahut Ceng Tong.
Juga seluruh perhatian Sim Hi
diCurahkan kepada bekas siaoyanya. Hampir-hampir boCah ini tak dapat kendalikan
napsunya untuk membantu. Nona, katakanlah sebenarnya, apa KongCu tidak
berbahaya?” tanyanya pada Ceng Tong.
Teringat akan kejadian dulu, Ceng
Tong deliki mata dan melengos tak menghiraukan. Sim Hi gugup, hendak dia minta
maaf kepada Ceng Tong, namun berat rasa sang mata untuk tinggalkan KongCunya.
Sepasang mata Bun Thay Lay yang
bundar tak terkesip memandang ujung leng-bik-kiam. Siang-kao Jun Hwa yang
terpapas kutung ujungnya, masih tetap dipegangnya, siap untuk memberi bantuan.
Lou Ping pun siapkan tiga batang
hui-to, matanya tetap ditujukan kearah punggung Ciauw Cong.
Saat itu mataharj sudah Condong
disebelah barat. Sinarnya memanCarkan warna kuning dipermukaan pasir. Kembali
Wan Ci membuka mata, tiba-tiba ia menjerit pelan, tangannya menuding kesebelah
timur. Ketika Hi Tong memandangnya, ternyata disebelah muka terbentang suatu
pemandangan yang luar biasa. Sebuah rawa besar, airnya beriak ke-biruduaan.
Ditepi rawa itu berdiri sebuh pagoda putih, yang atap-nya berkredepan. Itulah
pemandangan sebuah kota.
Hi Tong tersentak bangun tapi dia
segera teringat akan ,,fata morgana,” suatu pemandangan hajal yang sering
terjadi dipadang pasir.
“Apakah kita sudah kembali di
HangCiu?” tanya Wan Ci.
“Itu hanya Cakrawala disenja
kala. Pejamkanlah matamu untuk mengaso,” sahut Hi Tong.
“Tidak, pagoda itu adalah pagoda
Lui-nia-tha di HangCiu. Aku pernah diajak ayah kesana. Ayah, dimana ayahku?”
berkata pula sigadis.
Bahwa Hi Tong setuju dengan soal
perkawinan tadi, adalah karena terpaksa untuk membalaskan sakit hati sang Suhu.
Tapi kini serta dilihatnya bagaimana sinona dalam keadaan luka parah menggigau
tak sadar, timbullah rasa kasihannya.
“Kita akan kesana sekarang, kita
nanti samadua menghadap ayahmu,” kata Hi Tong sambil menepuk bahu sinona
pelahan-lahan.
“Kau ini siapa?” tiba-tiba Wan Ci
tersenyum.
Mata Wan Ci yang memandang dengan
tak terkesip itu, membuat Hi Tong Cemas, buru-buru ia menyahut: “Aku adalah
Ie-sukomu. Malam ini kita bertunangan, kelak aku tentu menjagamu baik-baik .”
“Hatimu tak menyukai diriku, aku
tahu. Lekas bawa aku kepada ayah, ajalku sudah dekat,” Wan Ci menangis.
Kemudian ia menunjuk ke 'fata morgana' tadi, dan berkata pula: “Ah, itulah
Se-ouw, disana ayahku menjabat Ciang-kun, ia ............ ia bernama
............ Li Khik Siu. Apa kau mengenalnya? “
Hi Tong mengeluh. Teringat dia
akan budi kebaikan sinona yang telah beberapa kali menolong jiwanya, tapi ia
selalu bersikap tawar saja. Apa jadinya kalau nona itu sampai meninggal. Saking
pepat hatinya, seketika dipeluknya nona itu, bisiknya: “Aku sangat mengasihimu.
Kau tak nanti meninggal.”
Wan Ci mengelak napas.
“Lekas katakanlah: 'tak nanti aku
meninggal'!” Hi Tong mengulangi.
Tapi luka Wan Ci terasa sakit
kembali, dan pingsanlah ia.
Pada saat itu, Ciauw Cong masih
bertempur seru dengan Tan Keh Lok, hingga sampai ratusan jurus. Bermula
menghadapi “peh-hoa-jo kun” Tan Keh Lok, Ciauw Cong tampak keripuhan. Sekalipun
dia bersenjata musuh tidak, tapi tak berani dia merangsek. Sembari menangkis
serangan lawan yang aneh itu, ia t jari lubang untuk menawannya hidup-hidup.
Sudah begitu, ia perhatikan bagaimana Hwi Ching, Lou Ping, Ceng Tong dan
lain-lain sama siap dengan senjatanya masing-masing. Maka lebihdua makin rapat
ia memainkan senjatanya, untuk menjaga kemungkinan dibokong. Karena pikirannya
harus memperhatikan kekanan kiri, ia tak dapat segera menyelesaikan pertempuran
itu.
“Kalau terusduaan begini,
payahlah! Dengan siasat bergantian orang, sekalipun tak sampai dapat membunuh
aku, tapi aku tentu mati konyol keCapean”, pikir Ciauw Cong.
Dalam pada itu, ia mulai kenal
baik akan gerak-gerakan “peh hwa jo kun”. Hatinya mulai besar. Dan tiba-tiba ia
robah permainannya dengan ilmu pedang “ju hun kiam”. Setiap jurusnya, adalah
menyerang, sehingga beberapa kali tampak Tan Keh Lok harus mundur.
Pada lain saat, dengan gerak
“sungai perak bergemerlapan”, leng-bik-kiam membabat turun, bagaikan bunga api
berhamburan dari udara, menabur tubuh Tan Keh Lok, siapa karena tak ungkulan
menangkis, terpaksa lonCat keluar kalangan. Dari situ ia akan maju menyerang
lagi, tapi. Jun Hwa dan Ciang Cin telah mendahului meneryang.
Jurus “sungai perak
bergemerlapan” tadi. belum selesai, maka dengan berhamburan sinarnya
leng-bik-kiam. Jun Hwa dan Ciang Cin kena dilukai. Bun Thay Lay menggerung
keras terus akan maju, tapi Tan Keh Lok telah melesat dulu menghantam muka
Ciauw Cong. Kelihatannya pukulan itu tak bertenaga, tapi datangnya telak
sekali, sehingga kemana Ciauw Cong akan menghindar atau menangkis, tetap tak
keburu.
“Plak, plak!” Merah padam selebar
muka Ciauw Cong karena tamparandua itu. Dia mundur tiga tindak, matanya melotot
gusar. Juga semua orang sama heran mengapa dalam kekalahannya tadi, Keh Lok
dapat menampar muka lawan. Dan membarengi kesempatan itu, Jun Hwa dan Ciang Cin
mundur keluar. Lou Ping dan Sim Hi membalut luka mereka.
“Sipsute, tolong kau tiupan
sebuah lagu”, tiba-tiba Keh Lok berkata kepada Hi Tong.
Hi Tong kaget dan malu, buru-buru
diletakkannya Wan Ci, lalu menyembat serulingnya. Tanyanya: “Lagu apa?”
“Meskipun Pa Ong itu gagah, tapi
akhirnya dia binasa disungai Oh Kang. Nah, kau tiupkan lagu 'sip-bin-bay-hok'
(pengepungan dari 10 penjuru),” sahut Keh Lok.
Hi Tong tak menerti maksud orang.
Tapi karena perintah pemimpinnya, dia segera meniup. Nada suara seruling emas
memang lebih nyaring dari seruling bambu. Maka segera terdengarlah lagu yang
menggambarkan suasana derap kaki beribu, serdadu berjalan.
Keh Lok rangkap kedua tangannya
dan berseru: “Majulah!” — Habis itw, tubuhnya berputar sekali, kakinya
pura-pura menendang, seperti orang menari, Melihat bagian belakang tubuh musuh
tak terjaga, Ciauw Cong tak mau berajal lagi, terus menusuknya. Karena
terkejut, orang-orang sama menjerit. Sekonyong-konyong tubuh Tan Keh Lok
berputar balik dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menangkap ujung kunCirnya
Ciauw Cong. Dan tepat dengan irama seruling Hi Tong, kunCir disentak kearah
leng-bik-kiam. Segulung rambut hitam mengkilap, putuslah seketika. Dan sekali
tangan kanan Tan Keh Lok menggaplok, kembali bahu Ciauw Cong termakan.
Ciauw Cong betul-betul heran dan
penasaran. Tiga kali dia diserang, tanpa dapat berdaya. Dan yang terutama
membikin hatinya berCekat, entah ilmu silat apa yang digunakan lawan itu.
Rambut terpotong, bahu digaplok, sungguh 'wan-ong' sekali.
Namun Ciauw Cong seorang ahli
silat yang tinggi ilmunya. Meski menderita, dia tak menjadi gugup. Mundur lagi
beberapa langkah, dia tenangkan diri menunggu kedatangan musuh.
Kembali sesuai dengan irama lagu,
Tan Keh Lok ber-indapdua maju. Gerakannya luar biasa.
“Lihat, itulah hasilnya dia
belajar silat diperut gunung itu”, seru Ceng Tong dengan girang kepada adiknya.
“Gerak geriknya bagus benar”,
Hiang Hiang bertepuk tangan.
Kembali kedua jago itu terlibat
dalam pertarungan lagi. Dengan leng-bik-kiam Ciauw Cong bikin penjagaan dengan
rapat. Asal musuh mendesak dekat, dia segera lawan dengan hebat. Lawan
melonggar, dia tak mau terus menyerang dan hanya bikin penjagaan saja.
“Wan-toako, kini baru aku takluk
betul-betul padamu. Kalau muridmu saja sedemikian lihainya, aku yang menjadi
saudaramu tentu terpaut jauh sekali dengan kau,” kata Ceng Tik pada Wan Su
Siau.
Thian-ti-koay-hiap tak menyahut,
karena diapun merasa heran sendiri. Ilmu silat yang dimainkan Tan Keh Lok itu
tidak saja bukan dari dia, tapipun belum pernah dilihatnya dikalangan
persilatan.
Dahulu, karena patah hati, dia
mengambil putusan akan mengabdikan hidupnya dalam ilmu silat. Dia merantau
menCari guru diseluruh negeri, dia berguru pada semua Cabang persilatan. Dalam
tempat persembunyiannya dipadang sahara, dia Ciptakan “peh hoa jo kun” yang
merangkum semua ilmu silat dari berbagai aliran. Jadi dia itu terhitung jago
nomor wahid karena kaja dengan pengalaman.
Tapi ilmu yang dipertunjukkan Keh
Lok itu, betul-betul ia kewalahan tak dapat mengetahui namanya.
“Bukan aku yang mengajarkan itu,
sebab aku tak mengerti ilmu itu,” akhirnya Koayhiap menyahut beberapa saat
kemudian.
Thian-san Siang Eng Cukup paham
akan sifat Koayhiap yang tak pernah justa itu. Maka keduanya pun merasa heran
juga.
Irama seruling makin lama makin
tajam dan riuh, seolahdua menggambarkan sepasukan kuda yang meneryang
kenCangdua. Dan gerakan Tan Keh Lok pun makin linCah, makin lanCar. Berselang
dua00 jurus kemudian, tubuh Ciauw Cong bermandikan keringat, pakaiannya basah
kujup.
Tiba-tiba irama seruling
meninggi, bagaikan bintang melunCur diatas udara, pecah dan berhamburan. Pada
saat irama membising, Ciauw Cong menjerit. Lengan kanannya kena tertutuk,
pokiamnya terlepas jatuh. Tan Keh Lok menyusuli lagi dua buah pukulan, tepat
menghantam kepunggung lawan. Berbareng itu, ia tertawa keras, lalu mundur.
Dua buah pukulan itu, dikerahkan
dengan tenaga lwekang yang penuh, maka dahsyatnya bukan kepalang. Ciauw Cong
menundukkan kepala, tubuhnya sempoyongan seperti orang mabuk. Ceng Cin
me-maki-maki terus hendak membaCoknya dengan kampak, tapi diCegah Lou Ping.
Ciauw Cong masih kelihatan
sempoyongan lagi beberapa tindak, dan akhirnya roboh.
Orang-orang sama bersorak
kegirangan. Thian Hong dan Sim Hi maju mengikatnya. Ciauw Cong mandah saja,
mukanya puCat seperti kertas.
Hi Tong letakkan seruling, terus
menghampiri Wan Ci, siapa masih belum sadarkan diri. Sudah tentu ia menjadi
Cemas sekali.
“Suhu, Liok-loCianpwe, bagaimana
kalau kita bawa penjahat ini?” tanya Keh Lok.
“Lempar saja untuk makanan
serigala. Dia telah membinasakan Suhuku dengan kejam sekali, dan tadi kembali
............ kembali ............” sela Hi Tong terputus-putus.
“Ya, untuk makanan serigala,
sekalian akan kita tengok bagaimana keadaan kawanan serigala itu,” kata
Koayhiap.
Semua orang tak membantah, untuk
kejahatan Ciauw Cong, memang dia pantas menerima hukuman itu. Hwi Ching obati
lengan Wan Ci seperlunya. Sedang Koayhiap memberikan sebiji pil.
“Yangan kuatir, tunanganmu tentu
sembuh,” dia menghibur Hi Tong.
“Peluklah, ia tentu merasa
terhibur,” bisik Lou Ping dengan tertawa.
Demikianlah rombongan orang-orang
itu menuju ketempat pengasingan serigala. Ditengah jalan. Thian-ti-koayhiap
tanyakan tentang ilmu silat muridnya tadi. Keh Lok menCeritakan pengalamannya
di istana perut gunung itu. Thian-ti-koayhiap ikut girang dan puji keCerdasan
sang murid.
Lima hari kemudian sampailah
rombongan itu ketempat yang dituju, yaitu benteng pasir. Melihat kebawah dari
atas pagar dindingnya, tampak kawanan binatang itu tengah berebut menggeragoti
bangkai kawannya sendiri, gegap gempita sama melolong. Memberikan pemandangan
yang' ngeri sekali.
Hiang Hiang tak tahan, lalu turun
untuk ber-Cakapdua dengan beberapa penjaga orang Ui.
Segera Hi Tong gusur Ciauw Cong
ketepi dinding. Sebelumnya, diam-diam dia mendoa dalam hati: “Arwah Suhu dialam
baka, sahabatmu dan TeCu hari ini telah dapat membalaskan sakit hatimu.”
Habis itu, ia mengambil golok
Thian Hong untuk memapas tali pengikat tangan Ciauw Cong. Sekali tendang, Ciauw
Cong terlempar kebawah. Kawanan serigala sedang menderita kelaparan hebat,'
maka begitu ada sesosok tubuh manusia melayang, mereka segera melonCat untuk
menerkamnya!
Dua buah pukulan Tan Keh Lok,
telah menyebabkan Ciauw Cong terluka berat. Hanya karena ia seorang ahli
lwekang yang lihai, maka setelah memelihara semangatnya selama lima hari dalam
perjalanan, separoh bagian lukanya sudah sembuh.
Ketika ditendang jatuh kedalam
kota serigala itu, dia sudah tak punya harapan hidup lagi. Tapi memang sudah
menja,di sifat manusia, jeri mati. Sebelum mati berpantang ajal. Dalam
saat-saat kematian dia berusaha untuk merebut hidup.
Ketika, hampir dekat ketanah 7
atau delapan ekor serigala besar sudah lonCat meneryang. Dengan sorotan mata
yang ber-apidua, Ciauw Cong ulurkan kedua tangan untuk menCengkeram leher dua
ekor serigala, terus dipotes. Sesaat itu, serigaladua itu mundur. Membarengi
itu pelan-pelan dia. mendekati dinding dan tempelkan punggungnya disitu. Dengan
memakai dua ekor serigala yang sudah setengah mati itu, ia mainkan jurus ilmu
'siang-jui' (sepasang palu besi) dari Bu Tong Pai. Anginnya sampai Menderu-deru
, hingga dalam saat itu kawanan serigala tak berani mendekati.
Sekalipun benci akan perbuatan
Ciauw Cong yang keliwat jahat, tapi dalam saat-saat menerima kematiannya itu,
Tan Keh Lok, Lou Ping dan lain-lain. tak tega melihatnya, dan sama turun. Hwi
Ching mengembeng air mata. Rasa kasihan terCampur rasa benci.
Sementara itu Ciauw Cong sudah
memainkan jurus ke dua4 dari ilmu “siang-jui” itu, tiba-tiba dalam ingatan Hwi
Ching terkilas kejadian pada tiga 0 tahun berselang...............
Pada masa itu Ciauw Cong masih
kanak-kanak, Suhunya telah menerimanya sebagai murid. Seharidua Liok Hwi
Chinglah yang mengurus keperluannya. Pernah keduanya diam-diam lari kebawah
gunung untuk membeli guladua. Ketika itu Celana sutenya robek dan dialah yang
menjahitkan. Ilmu pukulan besi “bo-kim-Chui” itu, dia pulalah yang
mengajarkannya. Ciauw Cong ternyata berotak terang lagi giat belajar, hingga
hubungan antara kedua Suheng dan Sute itu melebihi saudara putusan perut
baiknya. Adalah tak dinyanadua, karena temaha uang dan pangkat, Sutenya itu
telah terperosok makin dalam...............
Kini menampak Sutenya sedang
menghadapi bahaya maut, tanpa merasa ia kuCurkan air mata, pikirnya: “Sekalipun
dia itu keliwat busuk, tapi masih ingin kuinsyapkan pikirannya pada saat terakhir,
supaya kesananya dia dapat berobah menjadi orang baik-baik .”
“Thio-sute, aku datang
menolongmu!” tiba-tiba Hwi Ching berseru. Dan sekali enjot, tubuhnya melesat
turun.
Semua orang kaget. Malah Bun Thay
Lay yang berdiri disebelahnya, buru-buru akan menCegah, tapi tak keburu. Belum
kaki Hwi Ching tiba ditanah, pek-liong-kiam sudah berobah menjadi lingkaran
sinar, sehingga kawanan serigala itu menyingkir memberi jalan.
“Sute, yangan kuatir,” seru Hwi
Ching pula.
Mata Ciauw Cong berCucuran darah,
sekonyong-konyong serigala yang dipakai untuk senjata tadi dilempar, sekali
mengenjot kaki, dia tubruk dan menyikap Hwi Ching malah.
“Kalau mati, biar kita mati
bersama!” serimja kalap.
Sergapan Ciauw Cong itu sama
sekali diluar dugaan Hwi Ching, siapa tak berdaya lagi dan peh-liong-kiamnya
pun terlepas jatuh. Sekuatanya dia Coba meronta, tapi tak berguna. Melihat ada
dua orang bergulatan, kawanan serigala serentak menyerbunya. Suheng dan Sute
itu adalah ahli lwekang, keduanya sama mengerahkan tenaganya untuk membalikkan
lawan keatas agar diterkam serigala lebih dulu.
Pantangan ahli lwekang ialah
mengumbar nafsu amarah. Tapi karena melihat “air susu telah dibalas dengan air
tuba” atau kebaikan dibalas dengan kekejian, meluaplah amarah Hwi Ching. Dan
sekali hawa amarah itu naik keatas kepala, tangan dan kakinya menjadi lemas.
Dengan jepitan tangan dari ilmu “kin-na-hoat,” Ciauw Cong telah melumpuhkan
sang Suheng. Dan seCepatnya dia balikkan tubuh Suhengnya. keatas, untuk
dnyadikan perisai.
Gemparlah suara seruan kaget dari
rombongan orang-orang diatas. Bun Thay Lay dan Hi Tong serentak terjun kebawah.
Bun Thay Lay putar goloknya untuk menghalau kawanan serigala. Sedang Hi Tong
yang memegang golok Thian
Hong, terpaksa harus
berjumpalitan dulu kakinya menginjak tanah, disebabkan tembok tadi keliwat
tinggi sekali. Dia inCar pundak Ciauw Cong lalu membaCok sekuat-kuatnya.
Ciauw Cong mengeluarkan jeritan
seram, kedua lengannya yang menyikap Hwi Ching itupun menjadi kendor.
Dari atas segera diturunkan tali.
Hwi Ching, Hi Tong dan Bun Thay Lay dikereknya keatas. Ketika mereka menengok
kebawah, orang-orang itu sama menyaksikan pemandangan yang ngeri. Kawanan
serigala sedang berpesta pora dengan daging dan tulang belulang
Hwe-Chiu-poan-koan Thio Ciauw Cong, murid ketiga dari Cabang Bu Tong Pai yang
paling tangguh sendiri, dan kepala dari Gi-lim-kun kerajaan Ceng!
Saking ngerinya, semua orang sama
kemekmek. Kemudian mereka tinggalkan kota serigala itu untuk beristirahat.
“Liok-pepek, peh-liong-kiammu masih
ketinggalan dibawah sana bukan? Sayang!” kata Lou Ping.
“Tak apalah. Sebulan lagi,
kawanan binatang itu akan sudah mampus semua. Waktu itu tentu bisa
mengambilnya,” kata Koayhiap.
Malamnya mereka memasang kemah.
Pada kesempatan itu, Tan Keh Lok tuturkan pertemuannya dengan Kian Liong pada
Suhunya. BerbiCara soal barang bukti yang diminta oleh raja itu, Koayhiap
segera mengambil keluar sebuah bungkusan kain warna kuning, lalu diserahkan
pada sang murid, katanya:
“Musim semi tahun ini ayah
angkatmu mengutus kedua saudara Siang menyerahkan buntelan ini padaku. Katanya,
didalamnya terdapat dua buah benda berharga. Karena tak diterangkan benda apa,
akupun tak pernah membukanya. Mungkin benda itu adalah yang dimaukan oleh raja
tersebut.”
“Tentu begitu. Karena sudah
meninggalkan pesan, maka kini TeCu akan membukanya,” kata Keh Lok.
Ternyata buntelan kain kuning
terdapat bungkusan lapis tiga dari kertas minyak, disitu terdapat sebuah kotak
kecil warna merah. Didalam kotak ada dua pucuk sampul, yang saking tuanya,
warnanya berobah kuning. Sampul itu tak isannya.
Ketika surat dari salah sebuah
sampul itu diambil, disitu terdapat dua baris huruf yang berbunyi sbb.:
Saudara Su Kwan jth.
Suruhlah orang membawa orok yang
baru lahir tadi kemari untuk kulihatnya.
Tanda-tangan surat itu dari “YONG
TT.”
Hurufnya indah.
“Apa maksudnya surat ini? Mengapa
Gihu-mu menganggapnya begitu penting?” tanya Koayhiap.
“Ini adalah buah tulisan baginda
Yong Ceng,” sahut Keh Lok.
“Bagaimana kau tahu?” Koayhiap
melengak.
“Dirumah TeCu, banyak sekali
sekali bukudua pemberian kaisardua Kong Hi, Yong Ceng dan Kian Liong. Karenanya
TeCu dapat mengenali tulisannya.”
“Huruf tulisan Yong Ceng Cukup
bagus, tapi mengapa rangkaian kalimatnya begitu kaku?” tanya Koayhiap.
“TeCu pernah membaca tulisannya
dalam perintahdua yang disimpan almarhum ayah. Ada yang berbunyi: 'Tahulah'.
Kalau mengatakan orang yang tak disukai, beliau sering menulis begini: 'Orang
ini bermuka kembang, hati-hati terhadapnya!”
Thian Ti Koayhiap tertawa
gelakdua, katanya: “Sekalipun surat ini Yong Ceng yang menulis, tapi kurasa tak
ada apa-apanya yang penting.”
“Sewaktu menulis surat ini beliau
masih belum menjadi Hongte,” kata Keh Lok pula.
“Ha, lagi-lagi kau tahu halnya!”
“Ya, tanda tangan “Yong Ti” itu,
adalah sebutan, istana ketika dia masih menjadi pwe-lek (pangeran). Dan lagi,
kalau sudah menjadi raja, tak nanti dia membahasakan 'saudara' pada ayahku.”
Koayhiap meng-angguk-angguk.
Keh Lok meng-hitungdua dengan
jari. Merenung sebentar, lalu berkata: “Semasa Yong Ceng belum menjadi kaisar,
aku masih belum lahir. Ji-ko juga belum. Cici lahir baru saja. Tapi dalam surat
itu disebut 'puteramu yang baru lahir', he...............”
Tiba-tiba dia. teringat akan
uCapan Bun. Thay Lay ketika berada dalam terowongan dulu, serta sikap Kian
Liong selama ini. Seketika dia lonCat bangun, katanya: “Inilah bukti yang
kuat.”
“Apa?” tanya Koayhiap.
“Yong Ceng telah menukar toako-ku
dengan seorang baji perempuan. Anak perempuan itu adalah ToaCi-ku yang
dinikahkan dengan Siang Su Ciang haksu. Sebenarnya ia adalah puterinya Yong
Ceng sendiri. Toako-ku sendiri, ialah yang kini menjadi kaisar.”
“Kian Liong?” tanya Koayhiap
dengan terkejut.
Keh Lok mengangguk, kemudian
mengeluarkan surat dari sampul yang kedua. Nampak tulisannya, hatinya risau dan
berCucuran air mata.
“Mengapa?” tanya Koayhiap.
“Inilah tulisan mendiang
bundaku,” sahut Keh Lok dengan suara tak lampias. Dihapusnya air mata, dan
memulailah ia membacanya:
“Kanda Kok yang budiman, dalam
hidup sekarang ini, kita berdua, tak dapat berjodoh. Itulah sudah suratan
nasib. Tak dapat dilawan. Apa yang kupikirkan selalu jalah seorang ksatria
sebagai engko terpaksa harus diusir dari perguruan hanya karena urusanku.
Aku mempunyai tiga orang putera.
Satu berada di istana, satu pergi kepadang sahara. Yang mengawani aku siang
malam, puteraku kedua, bodoh dan nakal, makan pikiran orang tua. Sam Koan,
seorang anak yang Cerdas, tolong kau kirim pada seorang guru ternama. Meskipun
hatiku selalu terkenang padanya, tapi aku merasa lega. Toa Koan, tak ketahui
lagi tentang asal usul dirinya. Dia bersikap agung menjadi raja bangsa asing.
Kanda Kok, dapatkah kau
menginsafkannya. Lengan kiri anak itu ada tanda plek warna merah, itu Cukup
menjadi bukti. Kesehatanku makin buruk, setiap malam aku bermimpi hari® yang
berbahagia semasa aku dan dikau masih kanaks bersama bermain-main . Ah,
kasihanilah kita, Tuhan, agar dipenghidupan j.a.d., kita dapat menitis lagi
menjadi suami isteri yang berbahagia. — Loh.
Habis membaca, hati Tan Keh Lok
memukul keras, tubuhnya gemetar mau roboh. Koayhiap menyanggapi dan
mendudukkannya ditanah.
“Suhu, siapakah kanda. Kok itu?”
tanyanya dengan gemetar.
“Dia adalah Gihu-mu sendiri,
namanya aseli ialah Sim Ju. Kok. Waktu mudanya dia saling mencinta dengan
bundamu. Tapi rupanya sudah menjadi kehendak Allah, keduanya tak: dapat
terangkap jodoh. Karena itulah maka, seumur hidup Gihu-mu “tak,, mau
beristeri.”
“Ketika “itu” mengapa dia disuruh
membawa aku? Dati mengapa;'aku disuruh menganggapnya sebagai ayahku sendiri?
Apakah..............................”
“Sekalipun aku adalah sahabat
karib ayahmu, tapi soal dia diusir dari perguruan Siao Lim Si, tidak kuketahui
jelas apa sebabnya. Katanya dia sudah melanggar peraturan gereja perguruan
tersebut*. Berita itupun ada lain orang yang bilang, bukan dia. Tapi aku yang
mengenal dari dekat, Cukup perCaja dia itu seorang lelaki perwira, tak nanti
berbuat haldua yang nista,” menerangkan Koayhiap, siapa sesaat kemudian menepuk
pula kakinya seraya berkata: “Malah ketika itu pernah ku-undang sahabatdua
persilatan, untuk minta penjelasan pada Ciang-bun-jin Siao Lim Si. Hal ini
menggemparkan dunia kangouw. Syukur Gihu-mu buru-buru menCegah dengan
mengatakan dia sendirilah yang bersalah, barulah gerakan besar itu bubar. Namun
sampai saat ini, aku tetap tak perCaja seorang sebagai dia dapat berbuat
sesuatu hal yang tidak senonoh. Lain Cerita kalau memangnya Hweshiodua Siao Lim
Si itu mengadakan peraturan yang aneh, itu wallahualam.”
“Suhu, apakah hanya sebegitu saja
yang kau ketahui perihal ayah angkatku?”
“Setelah diusir dari gereja
perguruan, dia menyembunyikan diri sampai beberapa tahun. Tahu-tahu dia
berganti nama IE BAN THING, mendirikan HONG HWA HWE dan menyelenggarakan usaha
besar yang gilang gemilang,” menambahkan Koayhiap.
Yang dimaksud Tan Keh Lok dalam
pertanyaan itu adalah kearah asal usul dirinya. Tapi Koayhiap sudah
menyimpangkan jawabannya kepada peristiwa akan menuntutkan penasaran Ie Ban
Thing kepada gereja Siao Lim Si.
“Baik Gihu (ayah angkat) maupun
ibu mengapa menghendaki supaya aku pergi dari rumah, adakah Suhu
mengetahuinya?” tanya Keh Lok pula.
“Usahaku mengundang sahabatdua
kangouw guna menuntutkan penasaran ayah angkatmu, tapi karena pengakuan Gihumu
itu, kepala kita seperti digujur air dingin dan akupun kehilangan muka.
Karenanya, mulai saat itu tak mau aku
mengurus lagi soal Gihu-mu itu.
Dia datang kepadaku membawa kau, akupun terus mengajarkan ilmu silat, rasanya
Cukuplah kewajibanku terhadapnya.”
Kini tahulah Tan Keh Lok,
sia-siasajalah dia bertanya itu. Pikirnya.
“Usaha membangun kerajaan Han,
kunCinya terletak pada tabir yang menyelubungi Toako (Kian Liong). Sedikit saja
terjadi keCerobohan, sia-sialah segala jerih payah selama ini, dan ini berarti
ratusan juta saudara-saudara ditanah air tetap tenggelam dalam laut
penderitaan. Lebih baik kupergi kegereja Siao Lim Si di Hokkian untuk menCari
penjelasan tentang hal itu. Ja, mengapa Yong Ceng menukar baji? Mengapa Toako
yang terang-terangan seorang Han, disuruh menduduki tahta kerajaan Ceng? Tentu
digereja itu, akan kuperoleh beberapa keterangan”.
Keputusan itu Keh Lok utarakan
pada Suhunya. Koayhiap setuju, hanya saja dia kuatirkan Hwe-shiodua Siao Lim Si
itu nanti tak mau mengatakan. Tapi Keh Lok menyatakan akan menCobanya dahulu.
Keh Lok tak lupa menerangkan
tentang ilmu silat yang dipelajarinya dari rerongkongdua diistana Giok-nia.
Oleh Koayhiap, dia disuruh mainkan lagi untuk diajak twi-Chiu (latihan
berkelahi). Dari sang suhu, Keh Lok banyak sekali memperoleh penjelasan yang
berguna. Begitu gembira suhu dan murid itu berlatih diluar kemah, dann
tahu-tahu terdengarlah long
long serigala dari tempat
pengurungan, pertanda sang fajar sudah tiba. Sampai disitu barulah keduanya
masuk kedalam kemah dan beristirahat.
“Kedua nona Ui itu Cantik dan
baik perangainya. Sebenarnya kau ini suka yang mana?” tanya Koayhiap tiba-tiba.
“Hwe Gi Ping dari kerajaan Han
berkata: 'Bangsa Tartar belum terbasmi, mengapa' mesti memikirkan urusan
kawin?' TeCu pun sejalan dengan pikirannya itu”, sahut Keh Lok.
“Suatu ambekan yang perwira
sekali. Akan kukatakan pada Siang Eng, agar yangan dikatakan aku mendidik rusak
muridduaku”, kata Koayhiap.
“Apakah Tan-loCianpwe berdua
mengatakan aku tidak tidak baik?” tanya Keh Lok.
“Mereka menCelah kelakuanmu:
dapat baru, buang yang lama. Ketemu adiknya, membuang sang taCi. Ha, ha!”
Koayhiap tertawa.
Sebaliknya Tan Keh Lok terCekat
hatinya. Dia ingat bagaimana sepasang suami isteri itu pergi tanpa pamit dan
hanya tinggalkan delapan huruf ditanah pasir tempo hari. Kiranya begitulah yang
dimaksudkan.
Setelah mengaso sebentar, semua
orang sama bangun. Tan Keh Lok memberitahukan niatnya pergi kegereja Siao Lim
Si pada sekalian saudaranya. Dia ambil selamat berpisah pada Koayhiap, Thian-san
Siang Eng dan kedua puteri Bok To Lun.
Hiang Hiang seperti tak tega
berpisah. Ia mengantar sampai 7 puluhan li jauhnya. Juga Keh Lok sendiri merasa
berat dalam hatinya. Perpisahan kali ini, entah sampai kapan dapat berjumpa
lagi. Kalau nasib mujur, usaha berhasil, tentu dapat bertemu lagi. Sebaliknya,
kalau gagal, mungkin tulang rerongkongnya akan terkubur dibumi Tionggoan.
Bebarapa kali Ceng Tong nasehati
adiknya supaya pulang, tapi ia tak mau.
“Ikutlah pulang Cicimu!” terpaksa
Keh Lok keraskan hatinya.
“Tapi kau harus datang lagi!”
seru Hiang Hiang. Tan Keh Lok mengangguk.
“10 tahun kau belum datang, 10
tahun kutetap menanti! Seumur hidup kau tidak datang, seumur hidup aku
inenunggu kata Hiang Hiang.
Melihat kesungguhan hati nona
itu, hendak Keh Lok memberi tanda mata untuk kenanngan. Dirogoh kantongnya, dia
menyentuh mustika giok pemberian Kian Liong, diambilnya keluar dan diberikan
pada Hiang Hiang bisiknya: “Jika kau pandang batu giok ini, sama seperti kau
melihat padaku.”
“Aku tentu akan berjumpa lagi
padamu. Sekalipun diwaktu hendak meninggal, aku harus melihatmu dulu baru dapat
mati meram”, kata Hiang Hiang dengan berlinang-linangair mata.
“Mengapa bersedih? Begitu
urusanku selesai, akan kuajak kau ke Pakkhia untuk pesiar ke Ban Li Tiang Shia
(tembok besar),” kata Keh Lok.
“Katakmu itu sukar dipegang,”
ujar Hiang Hiang.
“Kapan aku pernah membohongi
kau?” sahut Keh Lok pasti.
Sampai disini baru Hiang Hiang
mau berhenti. Setelah bayangan Keh Lok tak nampak lagi, barulah ia pulang.
Rombongan HONG HWA HWE itu
terpaksa tak dapat berjalan Cepat. Karena Wan Ci, Jun Hwa dan Ciang Cin
terluka. Dengan dapat menuntut balas sakit hati Suhunya, legalah perasaan Hi
Tong. Terhadap Wan Ci dia berterima kasih dan kasihan. Sepanyang perjalanan
itu, dia merawatnya dengan mesra.
Beberapa hari kemudian, sampailah
mereka ketempat kediaman Affandi. Tapi siorang Ui yang aneh itu, sudah tak ada
dirumah lagi. Mendengar kebinasaan Ciauw Cong, Ciu Ki gembira sekali, karena
sakit hati adiknya dapat terbalas.
Turut nasehat Keh Lok, Thian Hong
lebih baik tunggu isterinya disitu. Nanti kalau sudah bersalin, barulah
menyusul ke Tiong-goan. Tapi Ciu Ki tak mau. Kesatu, dia kesepian, kedua ia
akan ikut serta kegereja Siao Lim Si untuk menemui ayah bundanya disana.
Terpaksa orang-orang sama mengalah.
Thian Hong sewa sebuah kereta
untuk isterinya dan Wan Ci. Karena waktu itu sedang dalam musim dingin. Mereka
menempuh perjalanan yang berangin, sehingga hampir ganti musim Chun (semi)
mereka baru tiba di Giok-bun-kwan. Perjalanan kedaerah selatan (Hokkian) itu
berlangsung lama benar. Ciu Ki makin gerah, sebaliknya Wan Ci sudah hampir
sembuh. Kini ia dapat naik kuda sendiri. Ia selalu berada disamping Lou Ping
untuk mengobrol, sehingga lain-lainnya sama heran apa saja yang dibiCarakan
keduanya itu, mengapa tak ada habisnya.
Tiba diperbatasan propinsi
Hokkian, suasana alam penuh dengan bungadua yang tengah mekar. Beberapa hari
kemudian, mereka akan sudah masuk kekota Tek Hoa. Diluar kota mereka lewat
sebuah hutan lebat.
Tiba-tiba Ciang Cin berteriak,
terus lari menuju sebuah pohon. Disitu ternyata ada seorang lelaki yang tengah
menggantung diri. Buru-buru orang itu diseretnya turun, lalu diletakkan
ditanah. Hwi Ching meng-urutdua dadanya, dan tak lama kemudian orang itu
tersedar lalu menangis.
“Mengapa kau hendak bunuh diri?”
tanya Sim Hi.
Orang itu terus menangis tak mau
menjawab. Dia kira-kira berumur dua4 tahun, dari dandanannya agaknya ia orang
pertukangan.
“Telah kutolong jiwamu, mengapa
kau tak mau menjawab?” Ciang Cin menjadi dongkol dan mendampratnya.
Orang itu tersentak bangun, lalu
berkata: “Mengapa tak kau biarkan aku mati?”
“Kau kekurangan uang atau
penasaran? Kami membantumu,” kata Jun Hwa.
“Bukan soal uang atau penasaran,”
sahut orang itu, lalu kembali menangis.
Nampak oleh Lou Ping, orang itu
memakai kain bersulam bunga teratai dilehernya. Kain itu diikatnya kenCangdua,
seperti kuatir kalau dia mati, nanti diambil orang. Diduga dia tentu terlibat
urusan perempuan, maka ditanyainya: “Apakah kekasihmu tak mau mengawini kau?”
Wajah orang itu nampak kaget,
katanya: “Ia memilih ke-matian, akupun tak ingin hidup.”
“Mengapa ia akan memilih mati?”
tanya Lou Ping pula.
“Aku bernama Ciu Sam, pekerjaanku
tukang kayu. Tahun ini karena sudah tua, Pui-tayjin telah pensiun dan pu-
lang kekampung halamannya.
Melihat Gin Hong berparas Cantik, dia berkeras akan mengambilnya sebagai gundik
yang kesebelas.”
Sampai disini, kembali orang itu
menangis keras. Ciang Cin tak jelas yang dikatakan, membentaknya lagi:
“BiCaramu tak keruan, sedikitpun aku tak mengerti. Apa itu Pui-tayjin dan Gin
Hong?”
“Gin Hong adalah kekasihnya,”
sela Lou Ping tertawa. “Mana tempatnya Pui-tayjin itu? Gin Hong-mu sudah
diambilnya atau belum?” tanya Ciang Cin.
“Gedung yang terbesar sendiri
dikota Tek Hoa itu adalah rumah kediamannya. Tahun yang lalu aku pernah disuruh
bikin betul rumahnya. Tapi sekarang dia ............ dia mau minta si Gin Hong
..............................”
“Kau ini betul-betul orang tak
berguna. Mengapa tak kau labrak orang she Pui itu?” kata Ciang Cin.
“Kalau saja dia punya kepandaian
seperti Ciang-sipya, separoh saja, tentu jadi!” kata Lou Ping tertawa pula.
Mendengar orang itu she Ciu, Ciu
Ki taruh simpati, maka katanya: “Antarkan kami pada orang she Pui itu!” Ciu Sam
jerih nampaknya.
“Bawalah kami kerumahmu dulu. Aku
yang tanggung jawab, orang she Pui itu pasti tak berani minta Gin Hong-mu!”
Thian Hong ikut biCara.
Dengan masih agak kurang perCaja,
Ciu Sam menurut. Keluarga Gin Hong itu orang she Pao, berjualan taohu, rumahnya
sebelah tetangga dengan Ciu Sam. Waktu itu teng dan payangduaan menghias
rumahnya, lazim seperti orang mantu. Thian Hong suruh Ciu Sam memanggil ayah
Gin Hong. Wajah orang tua itu muram, tak mirip dengan orang yang sedang punya
kerja mantu.
Pui-tayjin itu ternyata sudah berusia
70 tahun lebih. Dulu O dia menjadi pembesar negeri di Anhui, maka pembesardua
setempat sama jeri terhadapnya.
Gin Hong baru berumur 1delapan
tahun. Akan dnyadikan selir seorang tua yang sudah mendekati liang kubur,
terang ia tak sudi. Tapi karena takut pengaruhnya, terpaksa menurut. Ciang Cin
dan Ciu Ki terus akan pergi membunuh orang she Pui itu, tapi dilarang oleh Tan
Keh Lok, siapa lalu su
ruh Sim Hi mengambil seratus tail
perak diberikan pada ayah Gin Hong dan Ciu Sam. Mereka disuruh lekas-lekas mengemasi
barang-barangnya dan tinggalkan tempat itu. Keduanya sangat berterima kasih.
Ciu Ki sudah hamil 7 bulan lebih.
Thian Hong dan Lou Ping menjaganya hati-hati. Minum arak sedikitpun tak boleh,
selama ini Ciu Ki merasa sebal. Apalagi ketika Tan Keh Lok melarangnya membunuh
Pui-tayjin, ia makin sebal. Sewaktu Thian Hong tak tahu, diam-diam ia
menyelinap keluar.
Kota Tek Hoa tak seberapa besar,
maka tak lamapun Ciu Ki sudah dapat menCari gedung orang she Pui itu.
Ditengahdua ruangan, tampak para pelayan sibuk membawa hidangan yang
lezat-lezat dan arak yang wangi. Mencium bau arak. selera Ciu Ki timbul hebat.
Nyonya Thian Hong ini memang
polos wataknya. Karena ingin minum arak, ia terus saja masuk. Memang rumah
Pui-tayjin tengah kebanjiran tetamu yang menghaturkan selamat. Sekalipun Ciu Ki
berpakaian sederhana, tapi karena sikapnya yang wajar dan berlagak itu,
pelayandua bergegas-gegas menyilahkan duduk dan mengambilkan suguhan.
Ciu Ki pun tak mau sungkandua,
terus makan dan minum habis arak hidangannya. Menjadi adat kebiasaan
orang-orang selatan kalau mengadakan ho-su (pesta perkawinan) tentu mengadakan
perjamuan sampai beberapa hari. Sekalipun hanya mengambil selir, tapi karena
Pui-tay-jin itu bekas pembesar tinggi, dia akan mengunjukkan keangkerannya membuka
pesta perjamuan yang mewah.
Walaupun tak dapat sambung biCara
dengan lain-lain tamu wanita, karena perbedaan bahasanya, namun Ciu Ki tak
menghiraukan segala apa. Arak datang, terus dikeringkan. Betul-betul ia minum
sampai puas.
Kira-kira 10 kali edaran arak,
dengan ditunyang oleh kedua puteranya, Pui-tayjin berjalan keluar untuk memberi
selamat datang dengan minum arak pada sekalian hadirin. Melihat rambut
Pui-tayjin sudah ubanan semua tapi masih inginkan “daun muda,” Ciu Ki memaki
dalam hati.
Ketika dekat dengan Tayjin
tersebut, Ciu Ki melihat nyata pada pipi kiri Tayjin itu ada tai lalatnya
besar. Beberapa lembar rambut panyang tumbuh disitu. Ciu Ki terkesiap, teringat
ia akan kata-kata suaminya dahulu. Thian Hong, atas pertanyaan mamah Ciu Ki,
pernah mengatakan keluarganya satu rumah dibikin Celaka oleh seorang pembesar
she Pui, yang pada pipi kirinya ada tahi lalat besar. Yangan-yangan inilah
dianya, Pui-tayjin, musuh besar suaminya! Karena Thian Hong berasal dari Siao
Hin, propinsi Ciatkang, maka tanpa tunggudua lagi, bertanyalah Ciu Ki:
“Pui-tayjin, apa Tayjin pernah pegang jabatan dikota Siao Hin?”
Dengar tekukan lidah Ciu Ki itu
orang dari daerah utara, Pui-tayjin terkejut, katanya: “Nyonya ini siapa?
Apakah pernah melihat aku di Siao Hin?”
Dengan pertanyaannya itu, tanpa
merasa dia sudah menyatakan kalau pernah memegang jabatan di Siao Hin. Ciu Ki
mengangguk. Pui-tayjinpun tak Curiga, terus beralih kelain tetamu lagi.
Sebenarnya ingin sekali Ciu Ki
memberesi orang she Pui pada saat itu, untuk membalaskan sakit hati suaminya.
Tapi begitu badan bergerak, ia rasakan dadanya sesak, kaki tangannya lemas.
Diam-diam ia memaki baji dalam kandungannya itu. Setelah menegak tiga Cawan
a,rak lagi, terus ia berjalan keluar. Tinggal para tetamu wanita yang sama tertawa
mengejek Ciu Ki yang dianggapnya seorang wanita kasar.
Tiba dirumah Ciu Sam, selang tak
beberapa lama Thian Hong dan Lou Ping pun datang dari menCarinya. Mereka girang
nampak Ciu Ki sudah pulang. Tapi demi membau arak pada mulutnya, Thian Hong
akan mendampratnya. Tapi Ciu Ki mendahului dengan menuturkan kejadian tadi.
Teringat akan kebinasaan ayah
bunda dan saudara-saudaranya, Thian Hong menjadi beringas. Namun dia tak mau
gegabah, katanya: “Akan kuselidiki dahulu, yangan sampai keliru membunuh orang”.
Beberapa waktu kemudian, dia
sudah pulang dan berkata kepada Tan Keh Lok: “CongthoCu, musuhku besar ada
ditempat ini, kau idinkan aku menuntut balas bukan?”
“Chiet-ko, sakit hatimu itu harus
dibalas. Dia sudah berumur 70 tahun lebih, kalau ditunda, mungkin dia keburu
meninggal sendiri. Hanya saja kita tengah melakukan usaha besar, yangan sampai
orang mengatakan kita orang kaum HONG HWA HWE yang turun tangan.”
Sampai disitu, datanglah paman
Pao tua bersama gadisnya dan Ciu Sam. Mereka menghaturkan terima kasih dan
mengatakan nanti dua jam lagi, keluarga Pui akan kirim orang menjemput Gin
Hong. Karena sudah selesai berkemas, mereka hendak segera minggat.
“Untuk urusan ini, baik kita
timpahkan pada mereka, karena mereka sudah tak berada ditempat ini,” tiba-tiba
Wan Ci mendapat pikiran.
“Bagaimana Caranya?” tanya Hi
Tong.
“Kau menyaru jadi mempelai
perempuan!” sahut Wan Ci tertawa.
“Kan lebih tepat kau yang jadi
mempelai perempuan dan dia mempelai lakidua,” Lou Ping menggoda.
“Pui! Orang ber-sungguh-sungguh,
kau seenaknya saja bergurau,” Wan Ci merah mukanya.
“Ya, '“Ya, adik manis, kau
katakanlah!” akhirnya Lou Ping membujuk.
“Biar dia menyaru jadi mempelai perempuan
untuk naik tandu dan kita yang menjadi pengiringnya”, menerangkan Wan Ci.
“Bagus! Begitu sepasang mempelai
masuk kamar, kita serentak turun tangan. Orang tentu mengira mempelai perempuan
yang membunuh, bukan orang HHH”, Lou Ping bertepuk girang.
Biasanya otak Thian Hong adalah
“gudang siasat”. Tapi kali ini, karena hatinya gelisah dia tak dapat menemukan
akal. Maka dia menjadi kegirangan ketika mendeng'ar usul Wan Ci yang sempurna
itu. Demikianlah alatdua segera disediakan seperlunya.
Bermula Hi Tong mendongkol dan
tak mau disuruh menyaru begitu. Tapi karena usul itu dari Wan Ci, dia segan
membangkang. Apalagi untuk menuntutkan sakit hati Chit-ko-nya. Pakaian dan
kerudung muka mempelai perempuan dapat disiapkan, hanya sepasang kaki Hi Tong
yang menjadi soal. Akhirnya diputuskan, kun (rok) ukuran lebih panyang sehingga
dapat menutup sampai kebawah kaki.
Menjelang petang, keluarga Pui
mengirim tandu. Lou Ping dan Wan Ci memimpin si “nona mempelai” masuk kedalam
tandu. Mereka ikut mengiringkan dengan membawa senjata dalam baju
masing-masing. Berhadapan dengan bakal suami, nona mempelai harus menjura.
Inipun terpaksa Hi Tong lakukan. Pui-loya atau Pui Ju Tek tertawa terkekeh-, ia
memberikan dua keping mas selaku hadiah dan Hi Tong tanpa sungkandua terus menerimanya.
Selesai perjamuan, aCara beralih
pada menggoda kamar mempelai. Orang- HONG HWA HWE ikut masuk kedalamnya. Thian
Hong tepat berdiri disamping Pui Ju Tek, tangannya sudah siap dimasukkan
kedalam kantong senjata.
Tapi tepat pada saat akan turun
tangan, tiba-tiba seorang pelayan munCul, katanya: “Seng-Congpeng dan beberapa,
tamu datang memberi selamat pada Tayjin.”
“Bagaimana dia bisa berkunjung
kekota ini?” tanya Ju Tek dengan girang sembari bertindak keluar. Diruangan
muka, duduklah seorang pembesar militer dengan .4 orang si-wi istana.
Muka Thian Hong berubah seketika,
karena salah seorang si-wi itu dikenalnya sebagai Swi Tay Lim, itu jago
pengawal istana yang pernah ditempurnya dipenyeberangan sungai. Hoangho tempo
hari. Hendak dia peringatkan Kawan-kawan nya, tapi Bun Thay Lay telah
mendahului .menggerung dan meneryang bukoan atau pembesar militer tadi. Kiranya
perwira itu ialah Seng Hong, pengikut Ciauw Cong ketika menggrebek ke
Thiat-tan-Chung dahulu. Dengan jasanya itu ia dinaikkan pangkatnya menjadi
Congpeng kedaerah Hokkian.
Hari itu Swi Tay Lim berempat
si-wi menerima titah rahasia untuk menerima Seng Hong. Karena sewaktu sampai
dikota Tek Hoa mendengar Pui-tayjin mengambil selir baru. mereka berlima mampir
memberi selamat. Tak dinyana, disitu mereka kesomplokan dengan orang-orang HONG
HWA HWE
Karena tak sempat, Seng Hong
menyembat kursi untuk menangkis serangan Bun Thay Lay, 'krakk' ...............
kaki kursi dari kayu puhun liu itu kutung menjadi dua. Menampak hal itu, Seng
Hong buru-buru menyusup kebawah meja, terus merosot lari keluar.
Orang-orang HONG HWA HWE Cepat
melolos senjatanya untuk tempur keempat si-wi tersebut. Bertempur tak berapa
lama, keempat siwi itu kawalahan. Tiba-tiba terdengar suitan keras dan mereka
menyelinap diantara tetamudua, terus Cemplak kudanya dan lolos.
Karena desak mendesak dengan
tetamudua, ketika Thay Lay cs. berhasil memburu kemuka, kelima musuh itu sudah
kabur' jauh. Tapi sebagai gantinya, terdengarlah jeritan seram dan jerit tangis
dari ruangan dalam.
Hi Tong yang masih mengenakan
pakaian nona mempelai, dengan memutar kim-tiok, Lou Ping dan Wan Ci dikanan
kiri, menobros dari dalam. Tapi Pui Ju Tek sudah tak kelihatan bayangannya.
Situa yang Cerdik liCin itu, tahu gelagat jelek, siang'- sudah melenyapkan diri.
Kian-kemari Ciu Ki, Ciang Cin dan Sim Hi cs ubekkan menCarinya, tapi
sia-siasaja.
“CongthoCu, mengapa Cakar
alap-alap istana itu mendadak munCul kemari? Yangan-yangan ada apa-apa nanti,”
kata Thian Hong.
“Ya, hal ini perlu diselidiki,”
sahut Keh Lok.
“Pembalasan sakit hati, itu
urusan kecil. Kita bereskan urusan itu dulu, baru kembali lakukan pembalasan
lagi,” kata Thian Hong.
Keh Lok puji jiwa besar dari sang
Chiet-ko itu. Segera dipimpinnya rombongan itu untuk lakukan pengejaran.
Menurut keterangan orang, rombongan kaki tangan Ceng itu menuju kearah timur.
Kira-kira empat puluhan li menge-jar, mereka beristirahat disebuah rumah makan.
Pegawai rumah makan tersebut. menerangkan, rombongan si-wi tadi belum lama
lewat disitu.
“Kudaku ini pesat larinya, bisa menyusul
mereka,” kata Bun Thay Lay.
“Ya, tapi mereka berjumlah lima,
yangan sampai terpeCundang. Mereka tak nanti bisa lolos,” ujar Lou Ping.
Tahu kalau sang isteri, sejak
dirinya tertawan musuh dulu, sangat menderita, kini memperhatikan sekali
keselamatannya, tak mau Bun Thay Lay mengganggu ketenangan hati Lou Ping.
Terpaksa dia ikut dalam rombongan saja.
Setelah bermalam didusun Sianyu,
keesokan harinya mereka tiba di Ciao Wi. Menurut keterangan penduduk dusun
tersebut., rombongan si-wi sudah berganti arah menuju keutara. “Kebetulan,
menuju keutara adalah tempat letaknya gereja Siao Lim Si. Sekali dayung kita
menuju dua tepian,”
kata Tan Keh Lok. Karena hari
sudah gelap, mereka menuju kekota Hay
Tien menCari hotel. Liok Hwi
Ching, Bun Thay Lay, Jim Hwa, Thian Hong dan Sim Hi berlima, berpenCaran
menyirepi kabar ventang rombongan Si-wi tadi.
Bun Thay Lay tak berhasil menCari
jejak musuh, hal ini membuatnya gelisah. Hawa panas sekali, disana sini terdengar
bunyi tonggeret. Karena kegerahan, Bun Thay Lay membuka baju, dan berkipasdua.
Tak berapa lama, tampak sebuah warung arak. Tiupan angin membawa bau arak yang
wangi. Bun Thay Lay menghampiri warung tersebut. untuk minum arak.
Siapa duga, begitu masuk, ia
tertegun. Ternyata Swi Tay Lim dan Seng Hong dan ketiga si-wi tengan minum arak
juga disitu. Mereka kaget bukan kepalang, sampai terlongongdua beberapa saat.
Tapi Bun Thay Lay tak ambil peduli, serunya: “Hai, Tiam-keh (pengusaha warung)
ambilkan arak!”
Pelayan Cepat menyediakan poCi
dan gelas arak.
“Gelas sekecil ini apa guna?
Ambilkan mangkuk yang besar!” hardik Bun Thay Lay, terus lempar sekeping perak
diatas meja.
Pelayan menjadi ketakutan dan
buru-buru mengambil mangkuk besar dan menuangkann arak.
“Arak bagus!” memuji Bun Thay Lay
ketika menegaknya. “Ini sam-pek-Ciu keluaran sini, yang terkenal”, menerangkan
sipelayan.
“Untuk menyembelih seekor babi,
perlu minum berapa mangkuk?” tannya Bun Thay Lay.
Pelayan tak mengerti maksud
kata-kata itu, namun dia tak berani tak menjawab. “Tiga mangkuk!” sahutnya
sembarangan.
“Bagus, sediakan 15 mangkuk dan
penuhi isinya!” kata Bun Thay Lay sambil menCabut golok terus dibaCokkan pada
meja.
Pelayan ketakutan setengah mati,
segera ia sediakan pesanan itu. Limabelas mangkuk berkilangdua penuh dengan
arak. Seng Hong berempat berCekat dan gelisah. Hendak mereka keluar, tapi tak
berani karena Bun Thay Lay menghadang diambang pintu.
Seng Hong dan Swi Tay Lim kenal
kelihaian Bun Thay Lay. Melihat gelagat buruk, keduanya berangkat akan merat
dari pintu belakang.
“Arak masih belum kuminum,
mengapa ter-buru-buru?” tiba-tiba Bun Thay Lay berteriak seperti guntur
suaranya. Lalu sebelah kakinya dinaikkan keatas dingklik, sekali angkat
semangkuk arak ditegaknya habis.
“Betul-betul arak bagus!” serunya
sambil menegak lagi mangkuk yang kedua.
Pelayan buru-buru mengiriskan dua
kati daging kerbau lalu dihidangkan dalam piring. Bun Thay Lay makan daging itu
sambil menegak arak. Dalam sekejap saja, 15 mangkuk arak dan dua kati daging itu
habis ludas. Melihat itu, hati Seng Hong dan Swi Tay Lim bergonCang keras. Tapi
sementara itu, karena mengira orang pasti sudah mabuk, ketiga si-wi tadi segera
serentak meneryang Bun Thay Lay.
Selama menghabisi daharannya
tadi, tubuh Bun Thay Lay basah dengan keringat. Ketika ketiga si-wi sudah
dekat, dengan sebelah kaki ditendangnya sebuah meja hingga terpental. Mangkuk
dan piring diatasnya berhamburan pecah kelantai. Tanpa melolos senjata, Bun
Thay Lay sembat sebuah dingklik untuk disapukan pada penyerangduanya.
Ketiga si-wi itupun bukan jago
sembarangan, yang seorang putar tombak menghindar hantaman dingklik dengan
membarengi menusuk. Yang dua lagi, satu memutar golok dan yang lainnya menusuk
dengan ngo-bi-kong-jih (semacam lembing).
Dengan gagah Bun Thay Lay maju
menyambutinya. Pada lain saat, golok dari salah seorang si-wi itu tertanCap
eratdua
pada dingklik hingga sukar
diCabut. Sekali tangan Bun Thay Lay berkelebat, muka si-wi itu hanCur, darah
hidup membasahi pakaiannya. Binasalah dia seketika itu juga.
Tepat pada saat itu, lembing dari
si-wi yang lain menganCam iga Bun Thay Lay, siapa seCepat kilat menCabut golok
musuh yang tertanCap pada dingklik tadi, terus ditang-kiskan kemuka. Orang itu
terkejut, tahu apa arti serangan itu, dengan Cepat-cepat dia lonCat kebelakang
kawannya yang bersenjata tombak, siapa tengah memainkan gerak
“tok-liong-jut-tong” atau naga berbisa keluar gua, menusuk perut Bun Thay Lay.
Bun Thay Lay Cepat pindahkan
golok ketangan kiri, tanpa musuh sempat menarik serangannya, tahu-tahu
tombaknya telah kena disawut Bun Thay Lay, terus dibetotnya. Hendak si-wi itu
menCoba menariknya tapi tenaga dahsyat dari Pan-lui-Chiu itu telah membuatnya
terhuyung-huyung kemuka. Bun Thay Lay sebaliknya lepaskan tombak musuh, sebagai
gantinya dia angkat dingklik dihantamkan kedada untuk didorongnya kebelakang.
Begitu keras dorongan itu, hingga Cukup diulang sekali lagi si-wi tersebut.
mepet pada tembok. Sekali lagi diteruskan mendorong lebih keras, tembok
berhamburan gugur menguruk si-wi yang naas itu.
Guguran tembok merupakan debu
tebal yang memenuhi ruangan rumah makan tersebut. Habis menyelesaikan si-wi
bersenjata tombak, Bun Thay Lay Cepat beralih akan menggempur si-wi satunya
yang bersenjata ngo-bi-jih. Tapi entah bagaimana, si-wi itu sudah kelihatan
mendeprok ditanah tak bergerak. Mukanya puCat seperti kertas, dan jantungnya
sudah berhenti berdenyut. Kiranya sewaktu nampak Bun Thay Lay dalam beberapa
kejap saja sudah dapat membinasakan dua orang kawannya, begitu hebat hati si-wi
itu bergonCang, sehingga urat nadinya putus, dan mati mendadak.
Bun Thay Lay buru-buru menCari
Seng Hong dan Swi Tay Lim, tapi tak ada, mungkin telah dapat lolos lagi.
Tamudua dalam rumah makan itu, siangdua sudah menyingkir pergi. Waktu itu sudah
jam delapan malam.
Seng Hong dan Swi Tay Lim adalah
dua orang musuh besar. Merekalah yang turut melakukan penangkapan di
Thiat-tan-Chung. Dalam pertempuran di Siauw-Ciu, kembali adalah Swi Tay Lim
yang membaCoknya dengan golok yang bergigi gergaji. Biar bagaimana, sakit hati
itu harus dibalas.
Bun Thay Lay masuk kembali
kedalam rumah makan. Nyata dia belum terima, dan kembali menCarinya keseluruh
rumah itu, tapi tak ketemu. Ia lonCat keatas sebuah rumah yang punCaknya paling
tinggi. Disitu dia memandang keseluruh penjuru. Betul juga, sajupdua kelihatan
ada dua benda hitam bergerak pesat kesebelah utara. Bukan main girangnya Bun
Thay Lay, buru-buru dia lonCat turun, menyembat golok terus lari mengejar.
Mengejar beberapa li, tibalah ia
pada sebuah ladang luas yang ditanami puhun rami yang sudah tumbuh tinggi.
Kedua orang buruan itu tiba-tiba menyelinap masuk kedalam kebun rami yang lebat
itu, terus tak ada jejaknya lagi. Bun Thay Lay tidak saja silatnya tinggi, pun
nyalinya besar. Tanpa banyak sekali pikir, dia meneryang masuk, sembari
mem-bentakdua. Keluar dari ujung kebon sana, ternyata adalah sebuah hutan
lebat.
“Sudah sampai disini, masa
kulepas mereka lari?” pikirnya, lalu berteriak keras-keras: “Kamu lari keujung
langit, aku akan tanya keterangan pada Giok-Hong-tay-te. Kau lari kedalam
neraka aku akan menCarimu kedalam istana Giam Lo Ong!”
Tapi yang diCari tetap tak ada.
Tiba-tiba dia mendapat pikiran, dia enjot tubuhnya berlonCatan naik kepunCak
sebuah puhun yang tinggi. Jauh disebelah sana seperti ada sebuah desa, tapi
anehnya rumahduanya tinggi-tinggi sekali. Ternyata kedua bayangan hitam tadi
lari kesitu, ini takkan terlihat pada malam segelap itu, andai kata tubuh
mereka tidak bergoyangdua karena sedang lari.
Bun Thay Lay sesali dirinya yang
telah berlaku bodoh karena hampir membiarkan mereka lolos. Sebab sekali dia
lonCat turun dan memburu kesana. Dengan kelinCahannya ilmu mengentengi tubuh,
sebentar saja sudah dapat dia menyusui, tepat pada saat kedua buronannya itu
sudah masuk kedalam tembok rumah.
“Hai, mau lari kemana!” serunya
terus memburunya.
Dibawah Cahaja bintang malam yang
samardua itu, rumah itu atapnya berwarna hnyau dan temboknya kuning. Kiranya
adalah sebuah gereja raksasa. Ia terkejut, ia memutar kedepan rumah berhala
itu, papan dimuka gereja itu tertulis dengan empat huruf emas “Siao Lim Ko Sat”
atau gereja kuno Siao Lim.
Teringat Bun Thay Lay ketika di
BengCin dalam gereja Po Siang Si dia bertempur dengan Gian Pek Kian. Apakah
kali ini hal itu akan terulang lagi? Sembari berpikir ia lihat pintu gereja
ternyata tertutup rapat. Apa boleh buat, terpaksa dia lonCat melalui tembok.
Sebelah dalam dari tembok itu,
ternyata adalah sebuah halaman yang luas. Namun tak nampak bayangan Seng Hong
dan Swi Tay Lim berada disitu. Heran ia. Sepanyang pengetahuannya, Siao Lim Si
adalah pusat dunia persilatan, masa bersengkongkol dengan pembesar Ceng
sehingga mau menyembunyikan kedua orang buronannya itu?
Tengah dia berpikirdua, tiba-tiba
pintu besar ruangan besar kedengaran berkretekan terbuka, dan berdirilah disitu
seorang hweshio gemuk, tangannya memegang sebatang senjata Hong-pian-jan,
semacam senjata kaum padri yang berbentuk sorok, panyangnya tak kurang dari
enam kaki.
“Bangsa tikus mana yang begitu
bernyali besar datang membuat gaduh disini?” serunya.
“TeCu mengejar dua orang Cakar
alap-alap hingga tak sengaja masuk kemari, harap Toasuhu maafkan,” sahut Bun
Thay Lay dengan merangkap kedua tangannya.
“Kau mengerti silat, tentunya kau
sudah mengetahui tempat apakah Siao Lim Si ini. Mengapa kau begitu tak tahu
aturan, masuk membawa senjata?”
Seketika meluaplah hati Bun Thay
Lay, tapi segera dia insyap akan kesalahannya- tadi, maka buru-buru dia
rangkapkan tangan dan berkata: “TeCu minta maaf.”
Berbareng dengan uCapan itu, dia
berputar, terus enjot tubuhnya keatas tembok, lalu lonCat keluar, ia duduk
menanti dibawah sebuah pohon.
“Kedua bangsat itu pasti akan
keluar juga akhirnya. Akan kutunggu mereka disini,” pikirnya.
Belum berapa lama dia duduk
disitu, sihweshio gemuk tadi lonCat keatas tembok dan berseru: “Ha, mengapa kau
masih belum pergi, apakah punya maksud menCuri kemari?”
Bun Thay Lay gusar sekali. “Aku
duduk sendiri disini, apa sang'kutannya dengan kau?!” sahutnya segera.
“Ha, mungkin kau makan hati-maCan
dan empedu maCan tutul, maka kau berani membuat gaduh digereja Siao Lim Si ini.
Baik kau lekas-lekas pergi.”
Adat Bun Thay Lay memang kasar
dan berangasan. Pada saat itu tak dapat terkendalikan lagi kemarahannya.
“Aku. justru takmau pergi, kau
mau apa?” sahutnya.
Tanpa berkata lagi, hweshio gemuk
itu memutar senjatanya seraya melayang turun. Gelang baja yang dipasang diujung
senjatanya yang berbentuk bulan sabit dan tajam itu, berkerontangan suaranya.
Orangnya berdiri diatas bumi, senjatanya terus menyorok kedada musuh.
Terkilas dalam pikiran Bun Thay
Lay, bahwa dari tempat beribu li jauhnya CongthoCu Tan Keh Lok datang kesitu,
karena sematadua hendak mengunjungi gereja yang tersohor itu. Kalau dengan
turuti panasnya hati dia sungguh-sungguh melayani. serangan hweshio tersebut,
pasti akan merusak usaha CongthoCu yang dilakukan dengan jerih payan itu.
Dengan pertimbangan itu, dia gerakkan tubuhnya kesamping untuk berkelit, terus
lonCat kebelakang dan lari.
Tapi disana, pada jarak beberapa
tindak, seorang hweshio dengan sepasang golok ditangan, berputardua
menyerangnya. Tetap Bun Thay Lay tak meladeni, ia lonCat kesamping akan lolos.
“Buang senjatamu dan menjura enam
kali pada Hud-ya, baru jiwamu diampuni,” kedua Hweshio galak itu serentak
berseru.
Bun Thay Lay tak ambil pusing,
tetap akan lari menuju kedalam hutan. Sekonyong-konyong diatas kepalanya terasa
ada samberan angin yang dahsyat. Cepat-cepat dia berkelit kesamping,
'buk'............! Sebatang tongkat menanCap kedalam tanah dengan telaknya,
deburan tanah munCrat ke-manadua, seram sekali. Dihadapan sana tampak
menghadang seorang hweshio yang bertubuh pendek kurus.
“Kedatangan TeCu kemari bukan
dengan maksud jahat, harap biarkan TeCu pergi, besok aku berkunjung kemari
untuk meminta maaf,” kembali Bun Thay Lay merangkap kedua belah tangannya.
“Waktu tengah malam berani
menobros masuk kemari, tentunya kau punya kepandaian. Tunjukkan barang sejurus,
baru nanti boleh berlalu,” sahut sihweshio pendek, siapa tanpa tunggu jawaban,
terus menyapu dengan tongkatnya.
Bun Thay Lay pernah menyaksikan
permainan thiat-Ciang (kayuh besi) dari Sipsamte Cio Su Kin. Maka tahulah dia,
hweshio pendek itu sedang menggunakan gerak “hang-mo-Ciang,” permainan tongkat
penakluk iblis. Meski perawakan pendek, hweshio itu bertenaga besar, sehingga
serangan itu berbunyi menderu-deru .
Bun Thay Lay tetap tak mau
bertempur. Dengan kepala menunduk, dia memberosot kebawah tongkat.
“Bagus!” hweshio yang bersenjata
sepasang golok tadi berseru seraya membarengi menyerang.
Hweshio yang pegang 'jan' tadi
pun tak mau ketinggalan ikut menghantam.
Tiga jurus sudah Bun Thay Lay
mengalah dengan Cara berkelit. Selama itu tahulah dia bahwa kini tengah
berhadapan dengan tiga orang jago lihai dari gereja Siao Lim Si. Kalau terus
bersikap mengalah, dikuatirkan sekali kurang hati-hati, dalam malam yang gelap
itu ia. akan menemui bahaya.
Kini ia mulai balas menyerang.
Tiga kali ia kirim serangan dengan santernya diantara empat buah senjata musuh.
“Omitohud!” tiba-tiba ketiga hweshio itu berseru, terus lonCat kesamping.
Berkata si hweshio yang bersenjata tongkat: “Kami adalah hweshio pemimpin dari
Tan Mo Wan gereja Siao Lim Si. Dia — menunjuk kepada hweshio yang bersenjata
golok — bergelar Gwan Hui. Dan dia — menunjuk si hweshio yang bersenjata 'jan'
— Gwan Thong. Sedang aku adalah Gwan Siang. Siapakah nama tuan yang mulia?”
“Aku yang rendah orang she Bun
nama Thay Lay.”
“Ah, kiranya Pan-lui-Chiu
Bun-suya, pantas begitu lihai. Malamdua Bun-suya berkunjung kemari, apakah
melakukan pesanan dari Ie Ban Thing lotangkeh?” tanya Gwan Siang.
“Bukan, hanya karena tengah
mengejar musuh, Cayhe (aku yang rendah) telah kesalahan masuk kemari, mohon
Toasu sudi memberi maaf.”
Ketiga hweshio itu saling
berunding bisik-bisik.
“Nama harum dari Bun-suya tersiar
keseluruh ujung benua. SiaoCeng punya rejeki besar bisa jumpa, maka kini hendak
mohon perigajaran,” kata Gwan Thong kemudian.
“Siao Lim Si adalah tempat suCi
dari ilmu silat, Cayhe mana berani berlaku kurang ajar, biarlah Cayhe minta
diri saja.”
Penolakan karena sungkan itu.
sudah diartikan lain oleh ketiga hweshio tersebut. Dikiranya karena pura-pura
takut itu, Bun Thay Lay pasti ada “udang dibalik batu.” Seperti diketahui,
pemimpin HONG HWA HWE Ie Ban Thing adalah murid Siao Lim Si yang diusir karena
bersalah, bukan mustahil kalau kedatangan Bun Thay Lay kali ini. akan menuntut
balas guna pemimpinnya itu.
Ketiga hweshio itu bersamaan
pendapat, setelah saling memberi isyarat dengan mata. Gwan Thong kibaskan
senjata 'jan', berbareng bunyi gelangan baja yang berkerontangan, dia maju
menghantam Bun Thay Lay.
Bun Thay Lay memang berdarah jago
berkelahi. Dia pantang mundur dan terpaksa menangkis dengan goloknya. j Paseban
Tat Mo Wan adalah memang tempat latihan silat dari gereja Siao Lim Si. Gwan
Thong adalah salah seorang dari tiga Berangkai padri agung ruangan itu, sudah
tentu ilmunya tinggi. Senjata 'jan' itu dalam tangannya segera berobah menjadi
sebuah lingkaran sinar yang hawanya saja sudah membikin kunCup nyali orang.
Pengaruh, arak sudah lenyap, kini
tenaga Bun Thay Lay makin segar, golok dimainkan dengan seru sekali. Melihat
Gwan Thong kewalahan, Gwan Siang maju membantu. Beberapa lama kemudian, Gwan
Hui pun Ceburkan diri. Kini Bun Thay Lay bertempur dengan tiga hweshio Siao Lim
Si yang lihai.
Selagi asjik berkelahi, mata Bun
Thay Lay tertumbuk pada bayangandua yang terbaring diatas tanah. Diam-diam
hatinya berCekat, karena bayangan yang berjumlah puluhan itu, adalah bayangan
dari rombongan hweshio dari gereja itu yang sudah sama keluar mengelilingi
tempat tersebut.
Karena berajal memikirkan hal
tersebut, Gwan Siang dapat menghantam gigir golok Bun Thay Lay. Saking kerasnya
hantaman Gwan Siang, golok Bun Thay Lay berdering memunCratkan letikan api, dan
terpental jatuh kearah hutan disebelah sana.
Tapi Bun Thay Lay bukan si
Pan-lui-Chui (tangan geledek) kalau dia sudah terpeCundang dengan itu. SeCepat
kilat tangannya kanan menyawut senjata 'jan' yang tengah dilanCarkan oleh Gwan
Thong serta terus ditariknya, selgga terlepas jatuh. Untuk yangan sampai Gwan
Thong sempat lonCat mundur, Bun Thay Lay membarengi mendupak lututnya.
Namun pada saat itu, tongkat Gwan
Siang dan golok Gwan Hui berbareng datang. Bun Thay Lay kiblatkan 'jan' itu
menghantam serangan tongkat. Benturan kedua senjata yang terbuat dari baja
murni itu, mengeluarkan bunyi yang dahsyat. Gwan Siang rasakan tangannya panas
kesakitan dan mengeluarkan darah. Tanpa terasa tongkatnya jatuh ketanah.
Kini Bun Thay Lay beralih
menghantam Gwan Hui, siapa karena kesima sampai lupa untuk menjaga diri. Dalam
saat-saat yang tegang dimana ujung 'jan' sudah melayang dekat kemuka Gwan Hui,
mendadak Bun Thay Lay rasakan diatas kepalanya ada senjata rahasia menyamber.
Hendak dia menyingkir tapi sudah
terlambat, 'tringng'........... tangannya tergetar, entah benda apa, 'jan'
bergetar keras dan tangan dirasakan kesemutan. Berbareng itu, dua sosok manusia
terjungkal jatuh dari atas sebuah puhun.
Buru-buru Bun Thay Lay simpan
senjatanya dan lonCat menyingkir. Waktu ia berpaling kebelakang, ia menampak
Tan Keh Lok, Liok Hwi Ching dan lain-lainnya sudah berada disitu. Bun Thay Lay
girang sekali, karena ia kini tak usah kuatir lagi menghadapi rombongan hweshio
Siao Lim Si yang besar jumlahnya itu.
Pada lain saat dari rombongan
hweshio tampillah seorang tua yang sudah putih yanggutnya, seraya tertawa:
“Bun-suya, bagus, kalian semua sudah datang.”
Dengan berseru Ciu Ki menyusup maju
dan benar seperti yang diduganya, orang tua itu adalah ayahnya, Thiat-tan Ciu
Tiong Ing.
“Syukur tadi dia lontarkan
thiat-tannya kearah senjataku Kalau tidak demikian, aku pasti membuat onar
besar disini,” diam-diam Thay Lay berpikir.
Ketika memeriksa lagi senjata
'jan' itu, baru ketahuan ujung senjata yang terbuat dari baja itu sudah rompal
separoh. Diam-diam Bun, Thay Lay kagum pada Ciu Tiong Ing yang nyata tak
bernama kosong. Dan untuk kekagetannya, dekat situ, menggeletak Seng Hong dan
Swi Tay Lim.
Kiranya kedua kaki tangan
pemerintah Ceng itu lari bersembunyi kedalam gereja Siao Lim Si itu, tapi
diusir. Terpaksa inereka bersembunyi diatas puhun. Disitu Swi Tay Lim sudah
akan menyiapkan beberapa senjata rahasia. Tapi perbuatan itu, kena digagalkan oleh
Kian Hiong yang telah berhasil pakai pelor membidik jatuh mereka.
Ciu Tiong Ing perkenalkan
rombongan HONG HWA HWE dengan hweshiodua dari gereja tersebut. Kiranya setelah
berpisah dengan rombongan HONG HWA HWE, Ciu Tiong Ing ajak isteri dan kedua
mtiridnya, Kian Hong dan Kian Kong menuju ke Hokkian untuk berkunjung kegereja
Siao Lim Si. Ternyata Suhunya sudah wafat. Urusan gereja dipegang oleh
Toasu-hengnya, Thian Hong Siansu.
Pertemuan antara kedua suheng dan
sute yang sudah berpisah berpuluh tahun itu, sungguh membuat mereka terharu
girang. Begitulah karena masih kangen, Tiong Ing tinggal digereja, itu sampai
beberapa bulan.
Malam itu dari hweshio penjaga
didengarnya, ada seorang lihai masuk kegereja dan tengah bertempur dengan ketua
dari Tat Mo Wan. Buru-buru Tiong Ing ikut keluar dan dapatkan Bun Thay Lay yang
membuat gaduh itu.
Setelah kesalahan paham itu dapat
didamaikan, Bun Thay Lay segera minta maaf pada kam-si (hweshio pengurus
gereja), Tay Hiong Taysu, dan mohon akan membawa pergi Seng Hong dan Swi Tay
Lim.
“Kedua orang ini menCari
perlindungan digereja ini. Gereja adalah tempat meneduh bagi yang sengsara,
menyebar kebaikan diantara sesama manusia. Dengan memandang muka siaoCeng,
harap Bun-siCu suka lepaskan mereka,” kata Tay Hiong.
Terpaksa Bun Thay Lay menurut.
Setelah kedua orang itu pergi,
Tay Hiong undang Tan Keh Lok dan rombongannya masuk kedalam. Diruangan dalam,
Thian Hong Taysu, Ketua Siao Lim Si, sudah menyiapkan 1000 orang hweshio lebih
untuk menyambutnya. Setelah saling memperkenalkan diri, berkatalah Thian Hong
kepada Liok Hwi Ching:
“Lama sudah kami mendengar nama
besar dari Bian-li-Ciam Liok-suhu, maka sungguh beruntung sekali hari ini dapat
berjumpa muka.”
Hwi Ching menguCapkan beberapa
kata-kata merendah. Thian Hong ajak rombongan tetamunya keruangan dalam untuk
minum teh dan menanyakan maksud kedatangannya.
Tan Keh Lok memandang kearah Ciu
Tiong Ing, siapa kelihatan mengurut jenggotnya dan tertawa, katanya: “Thian
Hong suheng memang paling peramah. Tan-tangkeh ada keperluan apa saja, kita
pasti akan mengusahakan se-dapatduanya.”
Tiba-tiba hati Tan Keh Lok
menjadi tawar dan tiba-tiba dia berkui dihadapan Thian Hong, air matanya
berCucuran.
Thian Hong terkejut, buru-buru
mengangkatnya bangun dan bertanya: “Silakan Tan-CongthoCu mengatakan, tak usah
pakai banyak sekali peradatan.”
“Cayhe ada suatu permohonan yang
lanCang. Turut aturan Bu-lim, biar bagaimana juga tentu tak dikabulkan. Hanya
mengingat penderitaan ratusan juta rakyat, terpaksa Cayhe memberanikan diri
untuk memohon,” kata Keh Lok.
“Silakan mengatakannya,” sahut
Thian Hong Siansu.
“Ie Ban Thing loyaCu adalah
gihu-ku..................”
Mendengar dibawanya nama Ie Ban
Thing, wajah Thian Hong berobah, alisnya yang putih berjingkat, kepalanya
seakan-' mengeluarkan hawa panas. Tan Keh Lok, Liok Hwi Ching, Bun Thay Lay dan
lain-lain. yang berkepandaian tinggi, sama berCekat. Heran mereka nampak
hweshio yang sudah berusia delapan puluhan tahun itu, sedemikian hebat ilmu
lwekangnya.
“Jadi kedatangan Tan-tangkeh dari
ribuan li jauhnya itu, untuk kepentingan suhengku yang sengsara nasibnya itu?”
Ciu Tiong Ing menyela.
Tan Keh Lok lalu tuturkan
hubungannya dengan Kian Liong' dengan jelas, kemudian memaparkan tentang
renCananya besar untuk mengusir bangsa Boan dan membangunkan kerajaan Han.
Salah satu sjarat dari terlaksananya hal itu, ialah agar Thian Hong suka
membeberkan sejujurnya tentang hubungan dirinya dengan Ie Ban Thing.
Lalu Keh Lok berkata dengan suara
sember: “Cayhe tak ketahui asal usul Cayhe yang sebenarnya, hal itu tak
mengapa, yang Cayhe mohonkan adalah supaya Losiansu sudi mengingat nasib rakyat
jelata............”
Thian Hong kemekmek, alisnya
menjulur turun, sepasang matanya dipejamkan, merenung jauh. Nampak hal itu,
semua orang tak berani mengganggu. Lewat beberapa lama kemudian, sepasang mata
hweshio itu berkiCup sedikit. Dua larik sinar tajam, menyorot keluar. Tangannya
mengambil sebuah martil kecil, lalu dipukulkan pelan-pelan keatas sebuah papan.
Seorang hweshio muda masuk dengan laku yang hormat.
“Bunyikan lonCeng, panggil
berkumpul mereka!” kata Thian Hong Siansu.
Hweshio muda itu undurkan diri,
dan tak lama kemudian terdengarlah bunyi lonCeng dipukul ber-taludua. Thian
Hong Siansu dengan isyarat tangan, minta diri masuk kedalam.
“Ayah, apakah artinya berbuat
begitu?” tanya Thian Hong pada sang mertua.
“Dia akan adakan sidang semua
warga hweshio” sahut Ciu Tiong Ing.
“Untuk urusan Gihu CongthoCu,
mengapa mereka begitu ber-sungguh-sungguh,” Ciu Ki menyela.
Melihat anak perempuannya sedang
mengandung, senanglah hati Tiong Ing. Maka dia ganda tersenyum saja mendengar
kelakuan Ciu Ki janng masih ke-kanak-kanakan itu.
Lewat beberapa lama kemudian,
sidang hweshio sudah mengambil Keputusan. Ti-gek-Ceng (hweshio tukang sambut
tetamu) silakan rombongan HONG HWA HWE itu masuk kedalam ruangan suCi didalam.
Seribu lebih hweshio dengan pakaian upaCara, tegak berbaris dikanan kiri,
Diatas pedupaan di ruangan suCi itu, asap hio wangi ber-kepuldua memenuhi
ruangan.
Duduk di-tengah-tengah adalah
Thian Hong Siansu, disebelah kirinya adalah ketua dari Tat Mo Wan, Thian Keng
Siansu. Ciang-keng-kwat (ketua bagian penyimpan kitab-kitab) Tay Leng Taysu.
Sementara disebelah kanan, adalah hweshio pemimpin bagian tata tertib, Tay Tian
Taysu, Kamsi (bagian pengawas gereja) Tay Hiong Taysu.
Tay Hiong yang mengundang masuk
rombongan HONG HWA HWE tadi, dengan membongkokkan badan berkata: “Menurut
aturan gereja Siao Lim Si yang telah ditetapkan be-ratusdua tahun lamanya,
murid yang telah diusir karena melanggar peraturan, dilarang menguwarkan pada
orang luar. Kini gereja ini telah mendapat kunjungan CongtoCu HONG HWA HWE
Tan Keh Lok siCu, yang bermaksud
hendak minta keterangan tentang peristiwa murid Siao Lim Si yang diusir itu,
Sim Ju Kok. Hal ini menurut peraturan gereja, sebenarnya tak dapat dilaksanakan
..............................”
Mendengar sampai disini,
rombongan HONG HWA HWE menjadi girang. Kedengaran Tay Hiong melanjutkan
kata-katanya pula:
“Tapi oleh karena kali ini
menyangkut urusan besar, gereja kami terpaksa satu kali ini membuat
pengeCualian. Silakan Tan CongthoCu menunjuk utusan untuk mengambil barkas
(suratdua) yang tersimpan dalam bagian tata tertib.”
Tan Keh Lok menghaturkan terima
kasih dengan membongkok, kemudian ajak rombongan keluar. Ti-khek-Ceng
mempersilakan mereka mengaso di ruang tetamu.
Tan Keh Lok berSyukur dalam hati,
dikiranya hal itu tadi mudah dikerjakan, tapi tiba-tiba munCullah Ciu Tiong Ing
ke ruangan itu dengan wajah yang menunjukkan duka dan Cemas. Semua orang kaget,
karena menduga pasti ada apa yang kurang baik.
“Ayah, apakah di ruangan sana
terdapat alatdua rahasia,” tanya Thian Hong.
“Thian Hong suheng mempersilakan
Tan-CongthoCu menunjuk orang untuk mengambil barkas itu diruang Hukuman
pelanggaran tata tertib tadi, itu berarti harus melalui 5 buah ruangan. Setiap
ruangan dnyaga oleh seorang Taijsu yang berilmu tinggi. Untuk bisa melalui
kelima ruangan itu, seperti menembus langit sukarnya!”
Mendengar itu, tahulah mereka apa
yang tengah dihadapinya. Suatu pertempuran yang maha dahsyat dan berbahaya.
“Ciu-loyaCu boleh tak usah
membantu siapa-apa, biarlah kami yang menCobanya!” kata Bun Thay Lay yang sudah
salah memberi tafsiran.
Ciu Tiong Ing meng-gelengduakan
kepala dan berkata: “Sebab dari kesukaran yang saja katakan itu, karena harus
satu orang yang masuk kedalam, sedang Taysu penjaga kelima ruangan itu, makin
dalam makin tinggi kepandaiannya. Taruh kata berhasil melewati empat buah,
orang tentu sudah keliwat kepayahan, sedang ruangan yang terakhir itu justru
yang paling sukar dikalahkan.”
Tan Keh Lok merenung sejenak,
lalu berkata: “Urusan ini menyangkut diriku peribadi, mungkin buddha menaruh
kasihan padaku, tentu bisa berhasil juga.”
Habis berkata, segera
ditanggalkan jubah luarnya. Bijidua Catur dimasukkan kedalam saku, po kiam
diselipkan di punggung, lalu ia minta Ciu Tiong Ing mengantarkan ke ruangan
Biauw Hoat Tian, jakni ruang yang menuju ketempat ruang Tata Tertib (arsip)
tadi.
“Tan-tangkeh, kalau dirasa “tak
ungkulan, sekali-kali yangan Coba memaksa diri, agar yangan mendapat haldua
yang tak diinginkan,” bisik Tiong Ing sewaktu sudah sampai dimulut pintu.
Keh Lok anggukkan kepala
mengiakan.
“Mudahduaan tak ada suatu
halangan apa-apa!” seru Tiong Ing ketika Keh Lok sudah mendorong pintu dan
melangkah masuk.
Didalam ruangan, Cahaja lilin
terang benderang. Seorang hweshio yang mengenakan jubah warna kuning duduk
bersila diatas sebuah tikar. Dia bukan lain adalah Tay Hiong Taysu, siapa
buru-buru bangkit dan berkata dengan tertawa: “Ah, kiranya Tan-CongthoCu
sendiri yang akan memberi pelajaran, itulah bagus sekali, akan kumohon beberapa
jurus pelajaran ilmu silat dengan tangan kosong.”
“Silakan,” jawab Keh Lok seraya
merangkap kedua tangannya.
Tangan kiri Tay Hiong Taysu
tiba-tiba dibalikkan merupakan sebuah kepalan besar, tangan kanan disanggakan
keatas, terus mulai bergerak menyerang.
Keh Lok kenal gerakan itu sebagai
“siang-Chiu-keng-thian,” sepasang tangan menyanggah langit. Tahulah dia, kalau
orang tengah bersilat dalam ilmu silat Cui Kun, silat orang mabuk. Pernah juga
dia pelajari ilmu silat itu, tapi dia kuatir akan terulang lagi kejadian ketika
dia bertempur dengan Ciu Tiong Ing di Thiat-tan-Chung dahulu. Untuk melayani
jago tua dari Siao: Lim Pai itu, diai sudah Coba gunakan gerakan ilmu silat
Siao Lim Si. Dan ini, hampir-hampir dia terpeCundang.
Mengingat hal itu, tak berani dia
berlaku ajal lagi. Sekali kedua tangan ditepukkan, terus dipentangnya, sehingga
sikapnya itu merupakan gerakan yang aneh, mirip orang membela diri, juga mirip
orang menyerang. Memang, sekali gebrak dia telah keluarkan sebuah gerakan
istimewa dari “peh-hoa-jo-kun.”
Karena tak menduga, hampir-hampir
Tay Hiong taysu kena ..termakan.” Buru-buru dia gunakan gerakan “burung aneh
menobros awan.” Dia jatuhkan diri ditanah, tangan dan kaki bergerak berbareng.
Aneh adalah gerakan kakinya, menendang kesana menyepak kemari, tangannyapun
menghantam kemuka memukul kebelakang, tubuhnya terhuyung-huyung seperti orang
mabuk.
Untunglah Keh Lok mengenal ilmu
silat itu, jika tidak, pasti dia siangdua sudah kena. Demikianlah keduanya sama
mengeluarkan ilmu silat yang aneh, yang jarang dikenal.
Meskipun Cui Kun itu hanya
terdiri dari 1enam jurus, tapi setiap gerakannya sukar diduga. Meskipun
gerakannya tak teratur seperti orang mabuk, namun sebenarnya mengandung
jurus-jurus serangan yang berbahaya, apalagi disertai dengan tenaga yang
dahsyat.
Selagi pertempuran menCapai babak
yang seru, tiba-tiba Tay Hiong lonCat keudara. Sewaktu melayang kebawah kakinya
bekerja, dengan gerak “kerbau besi meluku sawah” tangannya kanan menghantam
kaki lawan.
Keh Lok tarik mundur badannya.
Tahu dia, karena selangannya tak berhasil, lawan pasti akan lonCat lagi keatas
dalam gerakan “burung dara berputar diri,” hal ini dia telah membuat sebuah
siasat. Begitu kaki kiri Tay Hiong tiba ditanah, Keh Lok membarengi maju
menggaet kaki, dan tangannya mendorong. Sudah barang tentu, karena tak menduga,
Tay Hiong tak keburu lonCat balik. Dia terhampar jatuh kebelakang!
Keh Lok buru-buru lonCat
kesamping dan menanti. Tay Hiong berjumpalitan, baru setelah dapat duduk,
mukanya tampak kemerah-merahan.
“Silakan masuk!” serunya sembari
menunjuk kesebelah dalam.
“Maaf!” Keh Lok merangkap tangan
memberi hormat.
Disebelah dalam, ternyata ada
sebuah ruangan besar. Yang menjaga disitu, adalah kepala bagian Tata Tertib dan
Hukuman, Tay Tian Taysu. Melihat kedatangan Tan Keh Lok, Tay Tian segera
memberi isyarat tangan, atas itu dua orang hweshio muda datang membawakan
sebuah tongkat besar. Begitu menyambuti, Tay Tian terus menghantam kelantai.
Begitu dahsyat hantaman itu, sehingga tembok
(missing page)
itu kelihatan dengan jelas. Ini
mudah dihantam lagi.
“Seharusnya begitu, mengapa aku
tolol?” pikir Keh Lok dengan kesima.
Dan justru begitu, Tay Leng
kembali dapat menyambit padam 4 batang dupa. Dan untuk kedua kalinya, hweshio
itu menyusuli pula menyambit. Tapi kali ini, Tan Keh Lok sudah tersedar serta
Cepat-cepat menawurkan biji Caturnya untuk memapaki senjata rahasia lawan. Tapi
karena kesembilan lilin ditempatnya tadi sudah sama padam, dia kurang dapat
melihat jelas melayangnya kelima bijidua liam-Cu si hweshio itu. Dua biji
liam-Cu dapat dipukul jatuh dengan biji Catur, namun yang tiga, dapat lolos.
Kembali ada tiga batang dupa yang dnyaganya menjadi padam lagi.
Menurut perbandingan, kini Tay
Leng sudah menang sembilan lilin dan dua dupa. Keadaan Tan Keh Lok
menguatirkan, karena Tay Leng kini waspada sekali untuk menjaga kesembilan
lilin bijidua liam-Cu-nya. Kalau ada luang, iapun mengirim serangan. Begitulah
pada beberapa saat kemudian, Tay Leng kembali menambah kemenangannya, dengan 14
buah dupa.
Keh Lok kerahkan seluruh
kepandaiannya, namun hasilnya hanya dapat menimpuk padadua batang lilin lawan.
Tay Leng balas menimpuk dan berhasil pula menimpuk 1sembilan dupa.
Pada saat itu, dupa Keh Lok masih
ketinggalan lebih kurang dua0 batang, sedang fihak lawan lilin dan dupa masih
memanCar dengan terangnya. Dia gugup, pikimja: “Apakah aku harus menelan
kegagalan?”
Sekilas terlintaslah ingatannya
kepada Cara Tio Pan San memainkan “hui-jan-gin-soh,” piauw yang berbentuk
seperti burung seriti yang dapat membal pada sasarannya. Kini dia memperoleh
akal, segera tiga buah biji Catur ditimpukkart ketembok dekat tempat Tay Leng.
Melihat itu, diam-diam Tay Leng
menertawakan lawannya, anak muda yang tetap menuruti hawa panas, karena kalah
lalu melampiaskan kemarahannya menimpuk seCara membabi buta. Tak dia kira kalau
begitu bijidua Catur itu mengenai tembok, lalu membal jatuh menimpuk padam dua
batang lilin. Bukan kepalang takjubnya Tay Leng, tanpa merasa dia memuji.
Berhasil dengan Cara itu, Tan Keh
Lok susuli lagi beruntundua. Tay Leng betul-betul tak berdaya menjaga lilinnya.
Beruntung dia tadi sudah menang beberapa puluh dupa. Kini tak mau dia bersikap
menjaga, Dua-dua tangannya dia gunakan untuk menimpuk dupa lawannya.
Sekonyongdua penerangan situ
padam, karena kesembilan lilin dari Tay Leng sudah ditimpuk padam. Sekalipun
begitu, dupa Tan Keh Lok hanya ketinggalan 7 batang, sedang kepunyaan Tay Leng
masih tigapuluhan batang lebih. Biar bagaimana, Keh Lok merasa pasti tak dapat
menyusul kekalahannya. Sedang dia masgul, tiba-tiba kedengaran Tay Leng
berseru: “Tan-tangkeh, am-gi kepunyaanku sudah habis. Kita berhenti dulu
sebentar, untuk mengambil lagi dimeja sembahyangan!”
Merabah kantongnya, Tan Keh Lok
dapatkan biji Caturnya hanya ketinggalan enam butir.
“Kau ambillah dulu,” kembali Tay
Leng mempersilakannya.
Ketika Tan Keh Lok dapat merabah
meja, tiba-tiba dia mendapat pikiran: “Kali ini menyangkut urusan besar,
terpaksa aku berlaku Curang.”
Begitu tangan merabah, bijidua
senjata rahasia diatas meja itu semuanya dirangkum dan dimasukkan kedalani
kantongnya.
“Satu, dua, tiga! Akan kumulai
melepas senjata rahasia'“ serunya dengan tertawa.
Buru-buru Tay Leng menghampiri
meja, untuk yangan sampai kalah waktu, tapi untuk kekagetannya, tak sebutir
am-gi yang ketinggalan diatas meja. Sedang dia keheran-heranan, Tan Keh Lok
sudah be-runtundua melepas thi-lian-Cu, po-ti-Cu dan lain-lain., sehingga dalam
sekejap saja dupadua difihak Tay Leng padam semua, satupun tak ada yang hidup.
Karena tak memperoleh am-gi, Tay
Leng hanya dapat mengawasi dengan terlongong-longong. Setelah semua dupanya
tertimpuk padam, dia tertawa keras-keras: “Tan-tangkeh, kau sungguh liCin. Ini
namanya adu keCerdikan bukan adu ilmu, sudahlah, kau menang, silakan masuk!”
“Menyesal, Thayhe sebenarnya
kalah dengan Taysu. Untuk kepentingan usaha besar, terpaksa aku lakukan
perbuatan yang busuk ini. Harap Taysu maafkan,” kata Keh Lok dengan serta
mesra.
Tay Leng itu perangainya baik,
dia tak menaruh ganjelan apa-apa terhadap perbuatan orang muda itu. Katanya sambil
tertawa: “Dua ruangan dibelakang, dnyaga oleh kedua Su-siok-ku (paman guru).
Kepandaian mereka jauh lebih tinggi dari aku. Harap kau berlaku hati-hati.”
Keh Lok haturkan terima kasih,
lalu masuk kedalam.
Ruangan keempat juga terang
benderang. Tapi ruangan itu lebih sempit dari ketiga ruangan yang terdahulu. Di
tengahnya, terdapat dua buah kasuran bundar. Duduk dikasur yang sebelah kiri,
adalah kepala Tat Mo Wan, Thian Keng Siansu.
“Silaukan duduk!” demikian Thian
Keng menyambut kedatangan Keh Lok.
Dengan penuh pertanyaan dalam
hati, Keh Lok mengambil tempat duduk dikasuran kanan, ia pikir Thian Keng
adalah Susioknya Tay Leng, pula adalah kepala dari Tat Mo Wan, sudah pasti
betapa kelihaiannya. Diam-diam anak muda itu mengeluh dalam hati, yangan-yangan
dia bukan tandingannya. Namun tetap dia mau menCobanya, melihat perkembangan
keadaan nanti.
Thian Keng itu seorang yang
bertubuh tinggi. Sekalipun duduk, tingginya hampir menyamai dengan orang yang
berdiri. Kedua pipinya Cekung, tubuhnya kurus seperti tak berdaging. Sikapnya
membuat orang jeri.
“Kau telah dapat melewati tiga
ruangan, ini Cukup membuktikan kau mempunyai ilmu yang tinggi. Meski Gihu-mu
bukan termasuk murid sini lagi, tapi kaupun masih terhitung wan-pwe (golongan
yang terbelakang) dari kaum kita. Karenanya tak dapat aku mengajakmu bertanding
seCara samadua. Beginilah, kalau kau bisa melayani aku sampai 10 jurus tak
kalah, akan kulepaskan kau.”
Tan Keh Lok bangkit memberi
hormat, seraya berkata: ..Mohon Losiansu sudi memberi kemurahan.”
“Hm, tergantung bagaimana
peruntunganmu. Duduk dan sambutlah!”
Baru Keh Lok duduk, atau dia
segera rasakan samberan angin, menekan dadanya. Buru-buru Keh Lok gerakkan
kedua tangannya untuk menangkis. Ketika beradu dengan tangan Thian Keng, dia
dapatkan tenaga Iwekang Hwesio tua ini tak terkatakan dahsyatnya. Kalau dilawan
dengan kekerasan, tak dapat tidak tentu akan terjungkel roboh.
Sebat sekali dia akan gunakan
“hun-Chiu,” untuk memindah tekanan lawan kesamping. Tapi untuk kekagetannya,
tenaga serangan Thian Keng itu tetap lurus menganCam. “Hun-Ciu” tak berdaya
menolaknya. Karena itu, terpaksa dia kerahkan seluruh Iwekangnya untuk menahan.
Sekalipun serangan itu dapat
ditahan, tapi tak urung tulang iga (lempeng) kirinya terasa sakit sekali.
“Baik. Kini terimalah serangan
yang kedua!” seru Thian Keng.
Sekali ini tak berani Keh Lok
mengadu kekerasan. Begitu serangan datang, tubuhnya diegoskan, lalu berbalik
menghantam siku^lengan lawannya. Inilah salah sebuah jurus “peh-hoa-jo-kun”
yang istimewa. Musuh pasti akan menarik serangannya.
Tapi diluar dugaan, tangan kanan
Thian Keng bergerak dalam “menyapu ribuan laskar,” sikunya dihantamkan
menyambut serangkan lawan dan didorongnya. Gerakan ini luar biasa sebatnya,
belum kepelan Tan Keh Lok dijulurkan, tahu-tahu sudah diserang siku. Buru-buru
dia lonCat menghindar, lalu jatuh duduk kembali diatas kasurannya.
Melihat anak muda itu dapat
bergerak deng'an linCah dan tangkas, Thian Keng angguk kepalanya, kemudian
menarik tangannya, dia beralih menerkam.
Nampak lawan makin berbahaya
serangannya, diam-diam Keh Lok mengeluh yangan-yangan tak dapat melayani 10
jurus serangan orang. Tepat pada saat itu, kedengaran lonCeng gereja
bertaludua. Kiranya hari sudah terang tanah.
Mendengar bunyi lonCeng itu,
pikiran Keh Lok tiba-tiba tergerak. Menuruti irama lonCeng itu, tangannya
ber-gerak-gerak mengerang. Thian Keng bersuara heran terus menangkis.
Kiranya gerakan yang digunakan
oleh ketua HONG HWA HWE itu adalah ilmu silat yang dipelajarinya diperut gunung
Giok-nia tempo hari. Begitu aneh, namun sangat leluasa dia bergerak-gerak
menurut irama lonCeng.
Thian Keng tumplek seluruh
perhatian, ia keluarkan ilmu silat Siao Lim Si yang paling boleh dibuat
andalan, jakni “Hang-liong-Cap-pwe-Ciang” atau 1delapan jurus ilmu pukulan
penakluk naga.
Ketika lonCeng berhenti berbunyi,
tiba-tiba Keh Lok menarik serangannya dan berseru: “Kita telah ber-main-main
lebih dari dua0 jurus.”
“Bagus, bagus. Pukulanmu sungguh
luar biasa. Silakan masuk,” kata Thian Keng.
Keh Lok berbangkit, tapi ketika
hendak berjalan, dia terhujungdua. Syukur dia dapat berpegang pada tembok. Saat
itu, matanya dirasakan berkunangdua.
Thian Keng menunyangnya agar
duduk lagi, katanya:
“Pertama kau menyambuti serangan
kesatu, hawa-dalam tertahan. Kau beristirahat sebentar untuk mengatur napas,
tentu akan baik lagi.”
Keh Lok meramkan mata duduk
bersemedhi untuk memperbaiki jalannya napas. Tak berapa lama, dadanya terasa
lapang dan semangatnya pulih kembali. Tapi didapatinya, kedua kepelan dan kedua
lengannya sama melepuh, sakitnya tak terkata. Diam-diam ia kagum atas kelihaian
paderi dari Siao Lim Si itu.
“Dari mana kau pelajari ilmu
silatmu tadi?” tanya Thian Keng.
Dengan terus terang Keh Lok
Ceritakan pengalamannya di gunung Giok-nia itu.
“Kalau kau masuk kedalam, gunakanlah
ilmumu tadi. lengan tanganmu tentu tak sampai terluka. Baikkah menjaga diri,”
kata Thian Keng.
“TeCu telah terluka, ruangan yang
terakhir pasti tak dapat TeCu masuki. Mohon Losiansu sudi memberi petunjuk.”
kata Keh Lok.
“Kalau tidak bisa, baliklah,”
sahut Thian Keng.
“Mereka selalu menasehati suruh
balik. Tapi kaum ksatria sekali maju berpantang mundur. Biar matipun rela,”
pikir Keh Lok.
Begitulah setelah memberi hormat,
dia lalu masuk kedalam. Tapi baru saja ia melangkah beberapa tindak, kedengaran
Thian Keng berseru: “Tunggu, jawablah pertanyaanku ini.” Tan Keh Lok merandek.
“Tadi kau telah melayani aku
sampai dua0 jurus, apakah jurus yang kugunakan tadi kau masih ingat semua?”
“TeeCu ingat”, sahut Keh Lok.
“Kau pelajarilah sendiri itu
semua, yangan kau ajarkan pada lain orang. Itu adalah pusaka berharga dari Siau
Lim Si”.
Keh Lok terkesiap, dia dapat
menginsyapi. Kiranya tadi Thian Keng telah mengajarinya sejurus ilmu pukulan
yang jarang terdapat. Buru-buru dia berjongkok ditanah dan menghaturkan terima
kasih.
“Kau tahu apa tidak, mengapa aku
menurunkan ilmu tadi padamu?” ianya sipaderi pula.
“TeCu tak tahu.”
“Tadi aku telah mendapat banyak
sekali pengertian dari ilmu silatmu yang luar biasa itu. Untuk itu aku telah
membalas ilmu pukulanku tadi. Selain dari itu, aku pun menunaikan tljanjiku
pada dua0 tahun berselang”.
Keh Lok memandang paderi itu
dengan pandangan yang heran.
“Diantara pergaulan Suheng dan
Sute semua aku paling akrab sendiri dengan Gihumu. Aku pernah menjanjikan akan
mengajarnya ilmu 'Hang-liong-Cap-pwe-Ciang' itu padanya.”
Keh Lok diam saja mendengarkan
Cerita itu.
“Ketika itu kepandaian Gihu-mu
masih belum sempurna, tapi dia sudah berniat turun gunung. Mendiang suhu
menasehatinya supaya ditangguhkan sampai tiga tahun, lagi nanti sesudah dapat
mempelajari ilmu 'Hang-liong-Cap-pwe-Ciang' itu. Tapi rupanya gihu-mu tak dapat
bersabar. Dengan mengelah napas terpaksa suhu mengijinkan. Kuhantar dia sampai
dipintu gereja, disitu kuberi janjiku, apabila aku sudah dapat mempelajari ilmu
itu, kelak kalau kita berjumpa, akan kuajarkan padanya. Siapa nyana, karena
gihu-mu menyalahi perataran gereja, kita tak dapat berjumpa lagi. Kini aku
telah menurunkannya padamu, harap kau mempelajarinya baik-baik .
Keh Lok menjura pula, lalu
bertindak keluar. Ia rasakan tubuhnya lelah sekali. Lebih dulu ia sandarkan
diri pada tembok untuk mengembalikan scmangatnya. Setelah itu, ia melangkah
masuk kedalam ruangan belakang.
Memasuki pintunya, ia terkejut
bukan kepalang. Karena disitu merupakan sebuah ruangan bersemedhi yang sempit
sekali. Ketua gereja Siao Liem Si, Thian Hong Siansu tengah duduk diatas
pembaringan sedang bersemedhi. Belum-belum Keh Lok sudah tawar hatinya. Thian
Keng begitu lihai, dan Thian Hong ini adalah ketua gereja atau orang pertama
dari Siao Lim Si mana dia dapat menandinginya?
Ruangan semedhi sedemikian
sempitnya. Pertandingan yang dilakukan disitu pasti bukan adu silat atau adu
senjata rahasia. Kebanyak sekalian tentu adu lwekang. Dalam hal itu, dia pasti
kalah. Tengah dia bersangsi, tampak Thian Hong mengibaskan hudtim (kebut
hweshio) seraya menyuruhnya duduk
Keh Lok tak berani sembarangan,
dengan laku yang hormat sekali dia mengambil tempat duduk disebelah ketua
gereja itu. Di-tengah-tengah kedua orang itu ada sebuah meja kecil, diatasnya
terdapat sebuah hio-louw yang ber-kepuldua asapnya. Pada dinding disebelah
muka, terdapat sebuah lukisan alam gunung Han-san, yang terdiri dari beberapa
Coretan oaja.
Setelah berdiam sejenak,
berkatalah Thian Hong: “Dahulu ada seseorang pandai sekali mengembala kambing,
hingga menjadi kaja. Tapi orang itu kikir tabiatnya, tak mau menggunakan
hartanya ........................”
Mendengar paderi besar itu
berCerita, bukan main herannya Keh Lok. Dia mendengarkan dengan penuh
perhatian.
“Ada lagi seorang lain,” Thian
Hong melanjutkan, “dia itu seorang liCin. Tahu kalau orang kaja tadi bodoh dan
justeru hendak menCari isteri, maka orang buruk tadi menipunya, begini dia
berkata: 'Aku tahu seorang gadis yang Cantik sekali, biar kuusahakan supaya dia
menjadi isterimu'. — Gembala kaja tadi girang sekali, lalu memberinya sejumlah
besar uang. Berselang setahun kemudian, kembali orang liCin itu munCul,
katanya: “Isterimu sudah melahirkan seorang putra untukmu!' — Gembala kaja itu
sekalipun belum pernah melihat wajah isterinya. Namun mendengar 'isterinya'
sudah melahirkan anak, dia makin senang dan memberi uang lagi pada si liCin
itu. Berselang lama, si liCin datang lagi dan berkata: 'Aku membawa kabar
buruk, puteramu meninggal!'. — Gembala itu bukan main sedihnya, dia menangis
menggerung-gerung.”
Tan Keh Lok dilahirkan dan diasuh
dalam kalangan sastra, dia banyak sekali “makan” bukudua pelajaran. Mendengar
Cerita itu, segera diketahuinya bahwa paderi besar itu sedang memberi uraian
tentang kitab “peh-ji-keng,” kitab pelajaran Buddha. Rupanya Thian Hong hendak
mempengaruhi pikiran sianak muda dengan sari pelajaran Buddha.
“Sebenarnya memang begitulah
urusan, tak lebih tak kurang hanya seperti isteri dan putera si gembala itu.
Semua hanya hajal, semuadua fana adanya. Nah, mengapa kau bersusah payah begitu
rupa untuk mengejar keinginanmu, yang kalau berhasil hanya merasa gembira,
sedang kalau gagal lalu merasa berduka?” tanya Thian Hong akhirnya.
“Dahulu juga ada sepasang suami
isteri, punya tiga biji kue. Setelah masing-masing makan sebuah, untuk sisanya
yang sebuah, keduanya berjanji, siapa yang mengajak biCara dulu, dia kalah dan
tak boleh makan sisa kue itu,” Keh Lok menimpali berCerita.
Cerita Tan Keh Lok itupun diambil
dari kitab 'peh-ji-keng', mendengar itu, Thian Hong mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Demikianlah kedua suami isteri
itu tak saling biCara,” meneruskan Keh Lok. “Tak lama kemudian, datanglah
seorang penCuri. Semua harta benda dalam rumah itu diangkuti. Karena sudah
terikat janji tak mengajak biCara, kedua suami isteri itu hanya mengawasi saja
tanpa biCara. Melihat itu, sipenCuri makin berani. Dihadapan sang suami, dia
Coba akan mengganggu si-isteri. Namun sisuami itu tetap tinggal diam tak ambil
peduli. Saking tak tahan, menjeritlah isteri itu dengan gusarnya. PenCuri itu
buru-buru lari! Sembari lari penCuri itu membawa barang Curiannya. Si suami
bertepuk tangan sambil tertawa: 'Ha, kau kalah, kue itu menjadi bagianku!”
Walaupun Thian Hong sudah tahu
akan Cerita itu, namun tak urung dia tersenyum mendengarnya.
“Karena urusan kecil, soal
menikmati kesenangan, ia lupakan hinaan besar. Karena soal Citarasa perut, ia
membiarkan penCuri mengangkut hartanya dan menghina sang isteri. Hud-keh (kaum
Buddhist) ingin menyelamatkan umat, mengapa bisa berlaku begitu tegah dan
bersikap mementingkan diri sendiri?” Keh Lok memberikan kesimpulan yang tajam.
Thian Hong mengolah napas.
“Semua perjalanan hidup tiada
yang langgeng, semua ajaran agama tiada ke-aku-annya. Mengapa semuaduanya tak
lanCar, itulah karena belum sadar. Kalau menuruti kehampaan hati, semuaanya
kosong,” ujarnya.
Tapi Keh Lok tak mau mundur,
katanya: “Rakyat sedang mengalami penderitaan. Sang Buddha pernah bersabda,:
'Berbuat kekerasan (menindas) itu termasuk kedosaan, mengapa tak menjauhkan
diri dari sifatdua itu'?”
Tahu Thian Hong bahwa anak muda
itu tak kena diCegah niatnya akan menghilangkan beban penderitaan rahajat.
Untuk itu, dia menaruh hormat. Katanya: “Ambekan keras dari Tan-tangkeh itu,
patut dipuji. Akan kutanyakan sebuah hal lagi, setelah itu terserah.”
“Silakan Losiansu memberi
petunjuk,” sahut Keh Lok.
“Dahulu ada seorang nenekdua,
mengaso dibawah pohon. Sekonyongdua munCullah seekor beruang hendak memakannya.
Si nenek lari mengitari pohon, beruang ulurkan Cakar kebalik pohon hendak
menerkam, Mtlihat itu, si nenek Cepat-cepat menekan Cakar beruang pada batang
pohon. Dan tak dapat berkutiklah beruang itu. Namun sinenekpun tak berani
melepas tangannya.. Kemudian ada seorang lain lewat disitu, sinenek minta
pertolongannya untuk membunuh binatang itu. Orang itu menurut, tapi begitu dia
tempelkan tangannya keCakar beruang, sinenek Cepat-cepat menarik tangannya
terus lari. Jadi kini, orang itu terpantek tak dapat melepaskan tekanannya,
atau dia nanti pasti akan dimakan beruang.”
Keh Lok dapat menangkap maksud
kiasan Thian Hong itu, katanya: “Menolong orang yang mendapat kesusahan, tak
boleh menghiraukan apa-apa. Sekalipun dirinya berbalik mendapat Celaka, tak
boleh menyesal.”
Thian Hong kibaskan kebut
pertapaannya (hud-tim), serunya: “Silakan masuk!”
Cepat Keh Lok turun dari tempat
persemedhian, lalu memberi hormat.
“TeCu berlaku kurang sopan, harap
Losiansu memaafkan,” katanya.
Thian Hong hanya memanggut.
Segera Keh Lok masuk kedalam, masih didengarnya elahan napas dari Thian Hong
Siansu.
Membiluk pada sebuah lorong
panyang, aehirnya dia sampai ke sebuah ruangan besar. Disitu terdapat dua buah
lilin besar yang menyala. Disekeliling ruangan penuh, dengan lemari kitab.
Setiap lemari ditempel kertas kuning bertulisan. Dia mengambil sebuah Ciktay
(tempat lilin) untuk menyuluhi. Ketika bertemu dengan lemari yang bertuliskan
huruf “Thian”, dia membuka pintunya. Didalam lemari itu, terdapat tiga
bungkusan warna kuning. Salah sebuah disebelah kiri, tertulis dengan tiga huruf
merah “Sim Ju Kok”.
Melihat itu, tangan Keh Lok
gemetar, beberapa ketes lilin menetes diatas pauwhok itu. Setelah menenangkan
hatinya, diambilnya pauwhok itu lalu dibukanya. Didalamnya terdapat sebuah kaos
kutang orang lelaki yang disulami bunga, dan sepotong kain dari pakaian orang
perempuan yang terdapat titikdua seperti noda darah. Karena saking keliwat
lama, warnanya berobah hitam. Selain itu masih ada sebuah kipas dari kertas
kuning. Ketika kipas itu dikembangkan, tanpa merasa air mata Keh Lok
berCucuran. Kiranya diatas kipas itu terdapat tulisan tangan gihunya. Dengan
seksama dibacanya tulisandua itu:
“Murid Siao Lim Si dari angkatan
ke-tiga 1 Sim Ju Kok; menghaturkan kesalahannya. TeeCu berasal dari keluarga
tani, sejak kecil sangat melarat dan berkenalan dengan gadis kecil dari sebelah
tetangga keluarga Chi. Bersama meningkatnya umur, kami berdua saling
mencinta.....................»
Membaca sampai disini, hati Keh
Lok memukul keras, pikirnya: “Apakah kesalahan Gihu itu ada hubungannya dengan
ibuku?”
Dia lanjutkan lagi membaca:
“Diam-diam kami berdua mengikat
janji: TeCu selain gadis Chi takkan, menikah, gadis Chi selain dengan teCu
takkan kawin. Setelah ayahku meninggal, timbullah paCeklik sampai beberapa
tahun. Panenan gagal semua. TeCu terpaksa mengembara Cari makan.
Berkat pertolongan Insu (guru
berbudi), TeCu diterima menjadi murid. Kaos kutang sulaman ini, adalah
pemberian dari gadis Cxx itu.”
Keh Lok makin heran dan ketarik,
ia meneruskan lagi:
“Belum TeCu menyelesaikan
pelajaran dibawah asuhan mendiang Suhu, TeCu sudah buru-buru turun gunung,
se-matadua karena selalu terkenang pada gadis itu, dan akan melangsungkan
perjodohan. Sepulangnya dikampung, ternyata gadis itu telah dipaksa ayahnya
dikawinkan dengan keluarga Tan, Menuruti hawa panas dan masgul, malam itu TeCu
memasuki rumah keluarga Tan. Menggunakan ilmu kepandaian dan menuruti napsu
menyatroni rumah penduduk, ini termasuk larangan kaum kita.
Sejak itu, gadis Chi ikut
suaminya pindah kegedung Tetok. Namun TeCu tetap terkenang padanya. Tiga tahun
kemudian, TeCu kembali menengokinya. Malam itu kebetulan gadis Chi sedang
melahirkan putera, ramainya bukan kepalang. Waktu itu TeCu Jia-nya melihat dari
luar jendela.
Empat hari kemudian, TeCu datang
lagi. Wajah gadis Chi nampak gugup dan menCeritakan bahwa puteranya yang baru
dilahirkan itu telah ditukar dengan seorang baji perempuan oleh SuhongCu
(pangeran nomor 4) In T jeng. Belum habis pertemuan itu, diluar loteng
munCullah lf orang pengikut Jong Ti. Mereka adalah jago-jago lihai semua yang
diutus oleh In Ceng untuk memperingatkan pada keluarga Tan, kalau urusan itu
sampai teruwar, seluruh keluarganya akan dihukum mati.
Karena kuatir kesamplokan, TeCu
melarikan diri, tapi mereka mengejarnya. Dalam pertempuran itu, jidat TeCu
terluka, tapi dapat mengalahkan mereka. Kembali kedalam loteng, TeCu pingsan.
Gadis Chi merobek kain bernoda darah untuk membalut luka TeCu.
TeCu menCuri dengar rahasia
kerajaan, mengunjukkan ilmu silat Siao Lim Si, hingga membahayakan kedudukan
kaum kita, ini merupakan kesalahan yang kedua.”
Sampai disini, Tan Keh Lok
mengambil pakaian ibunyi, air matanya seperti membanjir. Selang tak berapa
lama, dia membaca lagi:
“Sejak itu dalam 10 tahun,
meskipun berada dikota Pakkhia, TeCu tetap ber-sungguh-sungguh meyakinkan ilmu
silat. Tak berani lagi menjumpai gadis Chi. Setelah kaisar Yong Ceng mati
dibunuh dan Kian Liong menggantikannya, TeCu meng-hitungdua umur, tahulah kalau
Kian Liong itu adalah puleni, kandung gadis Chi. Kuatir kalau Yong Ceng
yangan-yangan sudah tinggalkan pesan supaya kirim pembunuh untuk membasmi
bahaya dari mulut gadis Chi, maka malam itu TeCu kembali datang kerumah
keluarga Tan, dan sembunyi dikamar gadis Chi.
Malam itu, benar-benar datang dua
orang pembunuh, tapi dapat TeCu, basmi dan TeCu berhasil menemukan surat
perintah tinggalan Yong Ceng. Dengan ini, TeCu lampirkan.”
Keh Lok membalik lembar yang
paling belakang, dan betul juga disitu terdapat sebuah sampul yang tertutup,
diatasnya tertulis:
“Kalau aku mangkat, Tan Su Kwan
dan isterinya masih hidup, lekaslah dibunuh.”
Itulah tulisan tangan kaisar Yong
Ceng, dibelakangnya terdapat sebuah Cap kecil berbunyi “bu-wi.” Teringat oleh
Keh Lok akan penuturan menyang Gihunya, bahwa kaisar Yong Ceng memelihara
serombongan pembunuh yang disebut “hiat-ti-Cu” atau pengsuCur darah. Mereka
istimewa disuruh melakukan pembunuhan gelap. Setiap perintah bunuh dari Yong
Ceng, tentu diberi tanda Cap “bu-wi.”
“Pada masa itu kepandaian Gihu
tentu sudah tinggi. Dua orang hiat-ti-Cu ternyata bukan tandingannya. Karena
menolong' ibu, ayahpun turut tertolong. Mungkin Yong Ceng sudah
memperhitungkan, selama dia masih hidup ayah dan ibuku tentu terpaksa tutup
mulut. Maka dia pertangguhkan perintah bunuh itu sampai dia sudah meninggal,”
pikir Keh Lok. Lalu mulailah dia melanjutkan membaca:
“Bupanya Kian Liong tak mengetahui
urusan itu, maka dia tak mengirim pembunuh lagi. Tapi TeCu tetap berkuatir, dan
tinggal dikamar gadis Chi itu, sampai setengah bulan. Selama itu kebetulan
suaminya sibuk mengurus pekerjaan berhubung penobatan raja baru (Kian Liong),
jadi dia jarang- pulang. TeCu memang harus menerima hukuman, karena agak lama
bergaul dengan gadis Chi, dendam asmara mulai timbul pula, sehingga lupa akan
larangan. Hasil dari hubungan itu, ialah puteranya yang nomor tiga. Ini adalah
kesalahan TeCu yang ketiga.” Membaca sampai disini, mata Tan Keh Lok serasa
berkunangdua. Putera yang ketiga itu, siapa lagi kalau bukan dirinya? Ah,
kiranya Gihu-nya itu, sebenarnya adalah ayah kandungnya sendiri. Dengan begini,
kesemua haldua yang terjadi diwaktu lampau, misalnya: mengapa ibunya
menyuruhnya ikut pada gihu, mengapa surat tinggalan dari ibunya itu terbakar,
mengapa tak lama setelah ibunya menutup mata Gihunya pun sangat mereras dan
segera menyusul mati, mengapa surat tinggalan ibunya itu memuat kata-kata
“dipaksa menikah dengan keluarga Tan,” “hidup direnung kedukaan” dan
sebagainya.
Kesemuanya itu kini menjadi jelas
baginya. Timbul serentak sesuatu perasaan dalam hati nuraninya, tak tahu dia
mengatakan, berdukakah atau kasihankah? Menyesal atau mengutuk?
Sejenak dia termenung, lalu
menyeka air matanya dan meneruskan baca:
“Melanggar tiga pantangan itu,
TeCu merasa tak tenteram, dan membawakan hal ihwal kesemuanya itu s kehadapan
Insu, untuk memohon pengampunan.” Demikianlah tulisan Sim Ju Kok. Sedang dua
baris tulisan dibawahnya terang adalah sang Suhu yang memberikan keputusannya.
Bunyinya jalah:
“Sim Ju Kok telah melanggar tiga
macam pantangan, kalau dia sudah dapat menginsyapi dan kembali kejalan terang,
sedangkan Buddha masih dapat mengampuni 10 macam kesalahan, masakah aku tidak?
Tapi kalau masih membiarkan diri terlihat dalam urusan perCintaan yang
terlarang dan tak dapat memutuskan perhubungan itu, segera akan dikeluarkan
dari Cabang kita. Kuharap dia dapat melaksanakan baik-baik , sianCay, sianCay!”
Demikian tulisan yang singkat
itu.
“Jadi gihu............... ah,
ayahku selalu masih terkenang akan itu, sehingga tak dapat menCuCikan diri
menjadi “hweshio dan akhirnya keluar dari Siao Lim Pai. Karena merasa bersalah,
maka ketika Suhu (Thian-ti-koayhiap) akan mengundang sahabat sahabatdua kangouw
untuk meminta penjelasan kegereja Siao Lim, dia menolaknya”, pikir Keh Lok.
Baginya, kini telah jelas semua.
Surat itu dibungkusnya pula, lalu ia berjalan keluar. Waktu itu sudah terang
tanah. Pada pintu keluar dari ruangan itu, tampak sebuah patung Bi Lek Hud
bersenyum simpul. Diam-diam pikiran Keh Lok melayang bagaimanakah perasaan
ayahnya (Sim Ju Kok) ketika diusir keluar dari ruangan itu?
Pada lima ruangan yang
dimasukinya tadi, kini tak tampak seorangpun jua. Sekeluarnya dari ruang yang
penghabisan tampaklah disana sudah, siap menyambut Ciu Tiong Ing, Liok Hwi
Ching dan semua orang gagah dari HONG HWA HWE mereka sama girang nampak Keh Lok
tak kurang suatu apa dan membawa sebuah bungkusan. Tapi untuk keheranan mereka,
kini sikap Keh Lok1 sangat lesu, sepasang matanya benjul.
Lalu Keh Lok menuturkan semua
yang telah dialaminya.
“Urusan disini sudah beres, baik
kita Cari kedua jahanam itu, untuk membalaskan sakit hati Chit-ko,” Bun Thay
Lay menyatakan pikirannya.
Semua orang setuju. Ciu Tiong Ing
lalu antar Keh Lok masuk untuk berpamitan pada Thian Hong dan Thian Keng. Habis
itu mereka siap berangkat. Tapi sekeluarnya dari gereja itu, tiba-tiba wajah
Ciu Ki tampak puCat, malah terhuyung-huyung mau jatuh. Ayahnya buru-buru
menyambuti dan menuntun kedalam.
Ternyata hal itu disebabkan
karena kandungan Ciu Ki yang sudah menempuh perjalanan yang sedemikian jauh,
apalagi ia main mabukduaan dirumah keluarga Pui. Untungnya beberapa hweshio
digereja tersebut mengerti akan obatduaan. Setelah diberinya obat, dinasehati
supaya tinggal saja digereja itu sampai nanti sudah melahirkan.
Biasanya Ciu Ki itu adatnya
bandel, tapi dalam keadaan begitu, terpaksa ia menurut. Menurut permufakatan
semua orang, Ciu Tiong Ing dengan isteri, bersama kedua muridnya dan Thian Hong
supaya tinggal mengawani Ciu Ki. Setelah melahirkan, boleh lantas menyusul
kekota raja.
Karena gereja itu tempat suCi,
Ciu Tiong Ing menyewa sebuah rumah yang tak jauh dari situ. Sementara Liok Hwi
Ching dan rombongan HONG HWA HWE pun segera berangkat.
Karena dulu menerbitkan onar,
kini tak beranilah mereka masuk kedalam kota Tek Hoa. Malamnya, Bun Thay Lay,
Jun Hwa, Hi Tong dan Sim Hi dengan menyaru memasuki kota. Ternyata bukan saja
Swi Tay Lim dan Seng Hong tak ketahuan rimbanya, pun keluarga Pui juga sudah
pindah dari kota tersebut.
Untuk melampiaskan
kemendongkolannya, Sim Hi akan lepas api membakar gedung keluarga Pui, tapi
diCegah oleh Hi Tong, karena hal itu membahayakan Thian Hong cs. yang tinggal
tak jauh dari situ.
Begitulah rombongan meneruskan
perjalanannya keutara. Tiba diwilayah Shoatang, musim semi tengah menabur alam
dengan warna warni bungaduaan.
Begitulah hari itu mereka sampai
dikota Thay An. Thauw-bak HONG HWA HWE daerah situ, memberi keterangan bahwa,
pemimpin HONG HWA HWE bagian Hukuman, Ciok Siang Ing, telah datang dari
Pakkhia. Semua orang buru-buru menyambutnya dengan girang.
“Capji-ya, penghianat busuk itu
sudah mampus?” seru Sim Hi berlarian menyambut.
Ciok Siang Ing terkesiap.
“Thio Ciauw Conglah!” Sim Hi
menjelaskan. “Oh, dia?”
“.Ia, digerag'oti habis oleh
kawanan serigala,” kata Sim Hi.
Ciok Siang Ing tak keburu menanya
lebih jauh, karena dia harus memberi hormat pada CongthoCu dan
saudara-saudaranya serta terus diajak masuk. Setelah saling menanyakan keadaan
masing-masing, Keh Lok bertanya tentang keadaan dikota raja.
“Dikota raja tak terjadi apa-apa.
Kedatanganku kemari hanya perlu memberitahukan bahwa pasukan Bok To Lun
lo-enghiong telah musna seluruhnya,” sahut Siang Ing.
Dengan wajah puCat, berbangkitlah
Tan Keh Lok seketika.
“Apa?!” tanyanya dengan agak
gemetar.
Semua orang pun terkejut sekali
oleh kabar itu.
“Ketika kita tinggalkan daerah
Hwe, sisa pasukan Tiau Hwi hanya tinggal tunggu kemusnaannya saja. Mereka tak
berdaya, dalam kepungan di Sungai-Hitam. Mengapa kini mereka berbalik menang?”
tanya Lou Ping.
Ciok Siang Ing menelan ludah,
jawabnya: “Tak disangka mereka mendapat bala bantuan dari induk pasukan
didaerah Lam Kiang. Tiau Hwi yang mengetahui hal itu dari seorang matadua Hwe
yang tertawan, segera membarengi meneryang keluar. Nona Hwe Ceng Tong sedang
dalam sakit, tak dapat memberi pimpinan. Bok-loenghiong dan puteranya telah
gugur. Nona Hwe Ceng Tong tak karuan rimbanya.”
Keh Lok jatuhkan diri disebuah
kursi. Wajahnya yang putih seperti kertas itu, membuat semua orang Cemas.
“Nona Ceng Tong mempunyai ilmu
silat yang tinggi, serdadudua Ceng pasti tak mampu menCelakakannya,” menghibur
Hwi Ching.
Tahu Keh Lok dan sekalian orang,
bahwa LoCianpwe itu tengah menghibur saja. Karena dalam keadaan pasukan yang
sudah kaCau, sukarlah orang menjaga diri, terlebihdua seorang gadis yang sedang
menderita sakit.
“Nona itu punya seorang adik
perempuan, yang orang-orang Hwe menyebutnya Hiang Hiang KiongCu, apakah
Capji-ko mendengar beritanya?” tanya Lou Ping sembari memberi isyarat mata pada
Siong Ing, siapa pun mengerti makstidnya. Namun susah rasanya akan berbohong.
“Entah, tak kudengar apa-apa.
Tapi orang terkenal semacam nona itu, kalau sampai terjadi apa-apa pasti
penduduk kota raja sama mendengarnya. Tak ada berita mengenai itu, jadi
tentunya ia tak apa-apa.”
Tan Keh Lok bukan tiada tahu
bahwa saudara-saudaranya tengah berusaha meredakan keCemasannya. Namun dia
bersikap tenang saja, lalu mengajak beristirahat. Sekalian orang mempersilakan
dia beristirahat dulu, karena mereka masih mau berCakapdua. Sim Hi disuruh
mengawani Siaoya-nya.
Semuanya sama berduka disamping
menaruh hormat atas keperwiraan Bok To Lun yang gugur mempertahankan haknya
itu. Keadaan menjadi hening sejenak. Tak beberapa lama, tiba-tiba Keh Lok
keluar lagi.
“Saudara-saudara, mari kita dahar
supaya bisa Cepat-cepat berangkat ke Pakkhia!” serunya.
Orang-orang sama heran melihat
perubahan sikap Keh Lok yang kini sudah seperti biasa lagi.
“Pertama bertemu dengan
CongthoCumu, bermula kuanggap dia bersifat seperti orang perempuan, kurang
gagah. Tapi ternyata kebesaran jiwanya menghadapi kejadian yang seberat itu,
sungguh lajak menjadi pemimpin. Kini aku menaruh perindahan padanya,” bisik Lou
Ping kedekat suaminya.
Bun Thay Lay hanya aCungkan ibu
jarinya, sembari terus makan hidangannya.
Demikian akhirnya rombongan HONG
HWA HWE itu sudah tiba di Pakkhia, Ciok Siang Ing telah membeli sebuah gedung.
Disitu telah menunggu kedua saudara Siang, Tio Pan San dan Nyo Seng Hiap.
Pertemuan kali ini, sungguh menggembirakan sekali.
“Tio-samko, nanti tolong kau bawa
Sim Hi menemui Kim-ko-thiat-jiao Pek Cin,” kata Keh Lok pada Tio Pan San.
“Baik. Dan apa yang harus
kukatakan padanya,” tanya Pan San.
“Tolong kau berikan padanya khim
yang bertatahkan huruf 'Lay Hong' ini padanya. Baginda tentu mengetahuinya.”
Tio Pan San dan Sim Hi segera
berlalu. Lewat setengah harian, keduanya sudah datang kembali.
“Aku bersama Tio-samya
..................”
“Hai, apa-apaan masih menyebut
'ya' saja?” menyela Pan San sambil ketawa.
“Ya, aku bersama Tio-samko
mendapatkan Pek Cin dirumahnya. Kebetulan dia dirumah” demikian tutur Sim Hi.
“Begitu melihat karCis nama Samko, dia Cepat keluar dan mengundang kami duduk
minum arak. Setelah itu, baru melepas kami pulang”.
Tan Keh Lok tahu kalau Pek Cin
merasa berterima kasih padanya maka sikapnya begitu manis.
Keesokan harinya, Pek Cin datang
berkunjung.
“Baginda undang Tan-kongCu
keistana”, katanya dengan hormat.
“Baiklah, harap LoCianpwe duduk
sebentar”, kata Keh Lok terus masuk kedalam untuk berunding dengan Liok Hwi
Ching dan lain-lain.
Semua orang akan berlaku
hati-hati. Justeru pada saat itu, Ciok Siang Ing masuk sambil menggandeng Bu
Tim, hal mana tambah membuat mereka girang.
“Silakan Totiang mengaso dulu,
nanti akan kuajak masuk ke istana,” kata Keh Lok.
Bu Tim girang mendapat tugas
penting itu. Malah Wan Ci terus serahkan lengbik-kiam, pedang kepunyaan Ciauw
Cong, supaya dipakai Totiang itu.
Menyambuti pedang itu, Bu Tim
mengelah napas. “Sayang, dia tidak mati ditanganku,” katanya gegetun.
Begitulah diputuskan, Liok Hwi
Ching, Bu Tim, Tio Pan San, kedua saudara Siang dan Jun Hwa akan mengantar Tan
Keh Lok keistana. Sedang Bun Thay Lay memimpin saudara-saudaranya untuk
melakukan penjagaan diluar istana.
Suasana dalam istana Boan itu,
megah dan agung. Temboknya kokoh sekali. Penjagaan yang rapat, dilakukan oleh
para si-wi.
Dua orang thaikam (orang kebiri)
datang menyambut Pek Cin: “Pek tayjin, baginda berada dipagoda Pao Gwat Lauw,
harap kau antar Tan-kongCu kesana.”
Pek Cin mengiakan dan katanya
kepada Tan Keh Lok: “Kita sudah memasuki batas istana dalam, harap KongCu
titahkan sekalian taruhkan senjatanya disini.”
Sekalipun kelima pengikut itu
merasa betapa berbahaya urusan itu, namun dalam keadaan begitu, terpaksa mereka
mengindahkan perintah.
Pagoda Pao Gwat Lauw terdiri dari
5 tingkat. Ukirandua dan Cat yang menghiasnya gilang gemilang berwarna
keemasan. Indahnya bukan kepalang. Tapi satu hal yang mengherankan ialah,
dimuka pagoda itu terdapat banyak sekali tenda orang Hwe. Hal itu mengejutkan
Tan Keh Lok yang segera teringat akan nasib dari Hwe Ceng Tong kakak beradik.
Tengah Keh Lok dilamun keheranan
itu, tiba-tiba munCullah dua orang thaikam seraya berseru: “Tan Keh Lok
dipersilakan menghadap baginda.”
Keh Lok memperbaiki pakaiannya,
lalu mengikut masuk. Tapi Bu Tim cs diperintahkan tinggal diluar. Naik loteng
keiima, tiba-tiba hidung Keh Lok terCium bebauan yang semerbak sekali wanginya.
Melangkah masuk, didapatinya baginda Kian Liong tengah duduk disebuah kursi.
Mukanya mengunjuk senyuman.
Buru-buru Keh Lok berlutut
menjalankan peradatan dengan hidmatnya.
“Ai, kau sudah datang, bagus,
bagus. Duduklah disini,” seru Kian Liong sambil tertawa, seraya memberi isyarat
supaya thaikamdua yang berada disitu sama keluar.
Keh Lok melangkah maju, tapi tak
berani duduk.
“Duduklah, supaya enak biCara,”
kata Kian Liong.
Keh Lok haturkan terima kasih dan
duduk.
“Bagaimana pandanganmu, pagoda
ini indah apa tidak?” tanya Kian Liong.
“Kalau bukan pagoda dalam istana,
masa lain tempat terdapat pagoda yang seindah begini,” sahut Keh Lok.
“Ini saja kusuruh mereka
lekas-lekas menyelesaikan, andaikata tak buru-buru, tentu akan lebih bagus
lagi. Tapi inipun Cukuplah.”
Timbul dalam pikiran Keh Lok,
untuk mendirikan pagoda yang semewah itu, berapakah sudah darah dan keringat
rakyat yang diperas. Dan untuk menyelesaikan dalam waktu yang se-singkatduanya,
entah sudah mengorbankan berapa jiwa pekerjanya.
Tiba-tiba Kian Liong berbangkit,
katanya: “Kau baru kembali dari daerah Hwe, Coba kau lihatdua, apakah keadaan
itu tidak mirip dengan pemandangan dipadang sahara!”
Tan Keh Lok mengiringkan baginda
kejendela. Ketika memandang keluar, dia tersentak kaget.
Itulah benar-benar suatu
pemandangan yang mentakjubkan. Sebuah taman yang ditumbuhi dengan warna warni
bunga dan jalanandua yang ber-likudua. Tadi ketika dia masuk dari sebelah
timur, yang dilihatnya hanya suatu pemandangan yang indah dan permai. Tapi kini
setelah berada di loteng yang teratas dan memandang kesebelah barat,
pemandangannya berbeda sama sekali. Kira-kira disekitar daerah satu li, tampak
bumi yang ditutupi pasir. Disana sini tampak pagoda kecil, empangdua dan
pohon-pohon bunga. Kesemuanya itu mengunjukkan baru saja selesai dikerjakan.
Memang hal itu tak sesuai dengan
keadaan padang pasir yang luas bebas, namun pada keseluruhannya, dapatlah
dikatakan sudah mendekati.
“Baginda senang akan pemandangan
padang pasir?” tanya Keh Lok.
Kian Liong ganda tertawa tak
menyahut, tanyanya: “Bagaimana!”
“Banyak sekali sekali menggunakan
pekerja,” sahut Keh Lok. Memandang lagi kemuka, dilihatnya beberapa ratus
pekerja tengah membongkar rumahdua. Rupanya baginda masih merasa taman itu
kurang luas dan minta dilebarkan lagi.
“Apa perlunya taman pasir yang menjemukan
mata itu? Sungguh pikirannya itu, sukar diduga,” pikir Keh Lok.
Kembali kedalam ruangan, Kian
Liong menunjuk pada khim: “Ambillah lagi khim ini, tapi sebelumnya kau
mainkanlah sebuah lagu untukku.”
Karena baginda tak menyinggung
urusan yang dikehendaki, Keh Lokpun tak enak menanyakan, ia mulai menyentil
snar khim. Kemudian mengalunlah sebuah lagu berjudul “Menghadap baginda.”
Senang rupanya Kian Liong
mendengar itu, lalu pelan-pelan menghampiri kedekatnya. Selesai dengan lagunya,
buru-buru Keh Lok berdiri. Dilihatnya tangan kiri kaisar itu dibalut dengan
kain putih, agaknya terluka.
Melihat orang mengawasi
tangannya, muka Kian Liong merah, lalu buru-buru menarik tangannya. Katanya:
“Apakah sudah kau bawakan barang yang kukehendaki itu?”
“Sudah, sahabatku yang
membawanya. Dia berada dibawah,” jawab Keh Lok.
Kian Liong memungut sebuah martil
kecil dipukulkan pelan-pelan kepapan. Seorang thaikam kecil segera datang.
“Suruh pengikut Tan-kongCu
kemari,” kata Kian Liong.
Sudah lama Liok Hwi Ching
menantikan dibawah dengan gelisah. Ketika diatas loteng terdengar tetabuhan
khim, legalah mereka. Begitulah mereka segera mengikut thaikam kecil tadi naik
keatas.
Masuk keloteng tingkat dua,
sekonyong-konyong didengarnya tindakan kaki orang yang bergegas-gegas dari
belakang. Rupanya mereka Cepat-cepat akan naik lebih dulu. Bu Tim dan Jun Hwa
yang berada paling belakang, segera menyingkir kesamping. Kedua orang tadi
terus berjalan melalui tengahdua, karena kedua saudara Siang tak keburu
menyingkir, kedua orang tadi terus mengulurkan tangannya masing-masing untuk
memegang pinggang kedua saudara Siang.
“Minggirlah!” bentak mereka.
Berbareng itu, kedua saudara
Siang didorong kepinggir. Kedua saudara Siang itu masing-masing membawa sebuah
'giok-bin' (vaas giok). Lorong ruangan itu sempit sekali, tak Cukup untuk 4
orang berjalan berendeng. Karena kuatir vaas tersebut akan kebentur rusak,
buru-buru kedua saudara itu mengerahkan tenaga dalamnya untuk menahan jorokan
orang.
Karena seperti mendorong batu
yang tak bergerak, malah mempunyai tenaga membal, kedua orang tadi terkejut
sekali. Sesaat itu kedua saudara Siang lalu menyingkir kesamping untuk memberi
jalan.
Ketika hendak melewati, kedua
orang tadi mengawasi persaudaran Siang dengan seksama. Wajah kedua saudara itu
seperti kertas putih, alisnya menjulur ke bawah, tubuh-nya kurus tinggi,
sikapnya menakutkan telah membuat kedua orang tadi terkesiap kaget.
Juga kedua saudara Siang itupun
memandang kepada orang-orang yang mendorongnya tadi. Ternyata mereka
dandanannya seperti thaikam. Yang satu bertangan kosong, sedang satunya lagi
membawa sebuah kotak. Perbuatannya tadi, mengunjukkan mereka mempunyai ilmu
silat yang tinggi. Bahwa dalam istana ternyata ada orang-orang yang sedemikian
lihai, sungguh diluar dugaan.
Saat itu, kedua thaikam tersebut.
sudah tiba dibelakang Liok Hwi Ching dan Tio Pan San, Setelah saling memberi
isyarat, kedua thaikam itu mengulurkan sebelah tangannya untuk menepuk pundak
kedua jago tua itu: “Minggirlah!”
Liok Hwi Ching adalah jago
kenamaan dari Cabang Bu Tong Pai, sedang Tio Pan San adalah Ciang-bun-jin
(ahliwaris) dari Thay Kek Lam Pai (Thay Kek Pai sekte selatan). Keduanya adalah
jago-jago yang sukar ada tandingannya didunia persilatan.
Serasa ada orang menyerang, Hwi
Ching gunakan gerak “Cian-ih-sip-pat-tiat”, sedang Tio Pan San gunakan bagian
jurus “tam-Ciang”. Terkaman kedua thaikam itu menemui tempat kosong, malah
thaikam yang menerkam Hwi Ching itu, terbentur dengan tenaga balasan dari Hwi
Ching hingga hampir terhuyung-huyung.
Ketika akan melanjutkan naik,
kedua thaikam itu memandang pada Liok dan Tio berdua dengan sorot mata gusar.
Salah seorang telah bertanya kepada Pek Cin: “Pek-loji, apakah baginda memakai
siwi baru?”
“Beberapa kawan ini, adalah
jagoan dari kalangan bulim. Masakah mereka mau bekerja seperti kita orang”,
sahut Pek Cin.
Kedua thaikam itu mengeluarkan
suara hidung, terus melangkah naik. Liok Hwi Ching cs tak mengetahui, orang
macam apakah kedua .thaikam itu. Keduanya berkepandaian tinggi, tapi
kelakuannya terhadap Pek Cin tak sungkandua. Begitulah rombongan orang gagah
itu kini sudah sampai ditingkat kelima. “Keenam pengiring Tan-kong-Cu sudah
menunggu disini”, lebih dahulu Pek Cin berseru ketika masih diluar ruangan.
Thaikam kecil tadi menyingkap
kerai, lalu mempersilakan mereka tunggu dahulu. Tak berapa lama, kedua thaikam
tadi munCul. Mereka memandang dengan tajam kepada keenam orang itu, terus turun
kebawah.
“Silakan masuk”, kata sithaikam
kecil.
Pek Cin memimpin masuk. Tampak
Kian Liong sedang duduk dan Tan Keh Lok berada disebelahnya. Atas isyarat Tan
Keh Lok, terpaksa Hwi Ching dkk.nya berlutut memberi hormat pada kaisar.
Diam-diam Bu Tim memaki-maki.
Keh Lok menyambuti sebuah peti
kecil yang dibawah Pan San dan diletakkan diatas meja, katanya: “Inilah barang
itu”.
“Kau, kau tinggalkan ruangan ini
dulu! Sehabis kuperiksa, nanti akan kupanggil kau lagi”, perintah Kian Liong.
Keh Lok memberi hormat akan
berlalu. Tapi Kian Liong kembali suruh dia membawa kembali khim tadi. Keh Lok
memanggut, dan Jun Hwa yang disuruh membawakan khim itu.
Tiba-tiba Keh Lok menyambuti
kotak berisi vaas giok dari kedua saudara Siang, juga ditaruhkan dimeja dan
katanya. “Inilah sepasang vas1 giok itu, kini kami kembalikan”.
Kian Liong membukanya. Giok yang
gilang gemilang itu, membuatnya gembira dan berulang-ulang memuji kebagusannya.
“Baginda telah dapat menundukkan
daerah Hwe, hamba mohon sudi berlaku murah, mengeluarkan firman melarang
membunuh rakyat yang tak berdosa”, kata Keh Lok.
Kian Liong tetap mengawasi vaas
itu, tangannya memberi isyarat supaya semua orang berlalu. Apa boleh buat,
terpaksa Keh Lok ajak rombongannya mengikut Pek Cin keluar.
Sampai diloteng bawah, kedua
thaikam yang pandai silat tadi memapaki, serunya: “Pek-laoji, sahabat dari
manakah, harap kau perkenalkan pada kami berdua.”
Pek Cin agaknya jeri terhadap
kedua thaikam itu, katanya kepada Tan Keh Lok: “Marilah, kuperkenalkan pada
kedua jagoan dari istana ini. Ini, adalah Ti Hian, Ti kong kong, dan ini, Bu Bing
Hu, Bu kongkong.” (Kongkong adalah panggilan menghormat pada kaum thaikam).
Karena sedang melaksanakan usaha
besar, Keh Lok tak mau bentrok dengan setiap penghuni istana. Sekalipun hatinya
memandang rendah manusia-siamacam itu, namun diluar, terpaksa dia berlaku
hormat.
“Sudah lama kami mendengar nama
yang kesohor dari kedua kongkong,” katanya.
Lalu Pek Cin pun perkenalkan Tan
Keh Lok pada kedua thaikam itu:
“Inilah Tan-kongCu, yang baginda
jumpai ketika beliau meninjau daerah selatan. Rupanya baginda sangat sayang,
dan mengundangnya kemari. Tak lama mungkin akan diberi jabatan.”
Tertawalah Ti Hian thaikam,
katanya: “Engkoh yang begitu Cakap, mungkin masih terlalu muda untuk dnyadikan
Tayhaksu.”
Mendengar thaikam itu agak tidak
memandang mata padanya, Keh Lok tetap bersikap sabar. Tidak demikian halnya
dengan kedua saudara Siang, yang dengan mata melotot terus akan bertindak.
Cepat Pek Cin menyelak dan
perkenalkan juga Liok Hwi Ching, Bu Tim dan lain-lainnya.
Ti dan Bu kedua thaikam itu,
adalah anakduanya hiat-thi-Cu yang dipelihara Yong Ceng almarhum. Kiranya Yong
Ceng adalah seorang kaisar yang penuh dengan siasat jahat. Setelah kedua
hiat-thi-Cu (pembunuh gelap) disuruhnya membunuh keluarga menteri besar Ong
Kong, karena kuatir rahasianya bocor, kedua hiat-ti-Cu itupun diraCunnya. Lalu
puteradua mereka dipelihara dan dnyadikan thaikam.
Sejak kecil Ti Hian dan Bu Bing
Hu, mendapat latihan silat dari beberapa sahabat mendiang ayahnya. Keduanya
menjadi lihai, hanya sayang, mereka sama sekali tak kenal akan jago-jago
kenamaan dikalangan kangouw. Maka sekalipun nama Liok Hwi Ching dan Bu Tim yang
begitu kesohor, dianggapnya sepi saja.
“Mari berjabatan tangan,” seru
kedua thaikam itu seraya mengulurkan tangan.
Tadi sewaktu naik loteng, karena
luput menerkam pundak Liok dan Tio berdua, rupanya kedua thaikam itu penasaran
sekali. Sekarang benar-benar akan menjajalnya.
Ti Hian meyakinkan ilmu silat
“pat-kwa-Ciang,” seCabang dengan Wi-tin-ho-siok Ong Hwi Yang, itu pemimpin Tin
Wan piauwkiok. Bu Bing Hu sebaliknya mempelajari ilmu silat “thong-pi-kun.”
Begitu berjabatan, kedua thaikam
itu terus akan memnyatnya keras-keras. Maksudnya supaya Liok dan Tio berdua
berteriak kesakitan. Tapi tak disangkanya, kalau tangan Tio Pan San luar biasa
liCinnya, bagaikan diminyak. Begitu Ti Hian memnyat, tangan Pan San seolah-olah
seperti ikan yang melejit keluar.
Nama julukan Hwi Ching adalah
“bian-li-Ciam”, jarum yang berada didalam kapas. Diluar, gerakannya tampak
lemah, tapi didalamnya mengandung tenaga yang maha dahsyat. Ketika Ti Hian
memnyat, segera ia rasakan seperti memnyat segumpal kapas. Dia kaget bukan
kepalang, dan buru-buru menarik tangannya. Terlambat sedikit saja pasti
tangannya akan terkena tenaga membalik dari Hwi Ching.
“Liok-loji sungguh hebat
lwekangnya,” kata Ti Hian dengan meringis. Lalu berpaling kepada kedua saudara
Siang, dia berkata: “Jiwi ini luar biasa sikapnya, tentu ilmu silatnya pun luar
biasa. Mari kita berjabatan.”
Kedua saudara Siang saling kedipi
mata, kemudian menjabat tangan kedua thaikam itu. Kedua saudara Siang itu
ternyata sepikiran: “Kura-kura yang tak berbenih ini, sombong amat, biar
dikasih sedikit rasa.”
Keistimewaan dari kedua saudara
Siang itu ialah ilmu “hek-soa-Ciang,” tangan pasir hitam. Mungkin dalam dunia
kangouw, hanya ada kedua saudara itu yang mahir dalam ilmu tersebut. Begitu
berjabat, wajah kedua thaikam itu segera berobah. Butir-butir keringat sebesar
kedele, ber-ketesdua turun dari dahinya.
Tahu Pek Cin bahwa kedua thaikam
itu sedang menderita, tapi dia pura-pura tak tahu. Kiranya kedua thaikam itu
adalah pengawal peribadi dari Hongthayhouw (ibusuri, janda kaisar Yong Ceng).
Dengan andalkan pengaruh Thayhouw, keduanya tak menggubris pada baginda Kian
Liong. Yangan dikata lagi terhadap kawanan siwi raja itu. Maka kawanan siwi
sama benci kedua thaikam itu, hanya diluarnya, mereka tak berani dan terpaksa
berlaku hormat. Kini mengetahui keduanya mengalami kesakitan, diam-diam Pek Cin
malah bergirang.
Tahulah kedua saudara Siang itu,
bahwa kalau terus dilanjutkan, kedua thaikam itu tentu tak kuat menahan. Maka
dengan tersenyum, tangannya segera dibuka.
Rasa sakit yang diderita kedua
thaikam itu sampai menembus keulu hati. Ketika diperiksanya, ternyata telapak
tangan mereka seperti diCap dengan jari tangan, bekasnya sangat dalam dan
kehitam-hitaman. Dengan menggigit bibir, mereka memandang kedua saudara Siang
itu dengan penuh kebencian, kemudian berlalu.
Almarhum Thio Ciauw Cong yang
begitu hebat kepandai-annya, ketika kesamplokan dengan kedua saudara Siang di
bukit Oh-siauw-nia tempo hari juga kena diterkam oleh Siang Pek Ci. Betul Ciauw
Cong dapat merontadua lepas, tapi tak urung dia terluka. Ini Ciauw Cong, yangan
kata kedua thaikam tersebut.
“Hek-soa-Ciang dari Siang-hiap,
sungguh hebat. Kedua thaikam itu sangat jumawa, biar mereka tahu rasa”, kata
Pek Cin dengan girang.
Sampai diluar istana, Bun Thay
Lay cs menyambutnya. Pek Cin minta diperkenalkan pada Bun Tay Lay. Lihat Thay
Lay yang bertubuh tinggi besar sikapnya gagah, diam-diam Pek Cin mengaguminya.
Kini diCeritakan sewaktu Tan Keh
Lok cs sudah berlalu. Kian Liong lalu membuka peti kecil itu. Nampak suratdua
yang ditulis oleh kaisar Yong Ceng dan ibu kandungnya (Tan hoejin), kaisar itu
terkenang akan budi keCintaan ayah bundanya. Tanpa terasa, dia menguCurkan air
mata.
Setelah termenung beberapa saat,
Kian Liong suruh thaikam kecil ambilkan api, suratdua dalam peti kecil itu lalu
dibakarnya. Serasa hati kaisar itu lega dan gembira. Peti kecilpun turut
dibakarnya. Kemudian ia memandang pada vaas giok dan segera memerintah pada
thaikam kecil:
“Suruh dia naik”.
Setelah berselang lama, thaikam
kecil itu datang kembali, lalu berlutut dan lapor: “Hamba mohon ampun, Nio-nio
(Nyonya) tak mau datang”.
Kian Liong tertawa, kemudian
mengelah napas. Dia berbangkit, memberi isyarat kepada kedua thaikam kecil
supaya membawa kedua vaas giok itu, dan mengiringkannya turun.
Sampai diloteng sebelah bawah,
para kiongli (dayang) yang menjaga segera menyingkap kere dan masuklah Kian
Liong kedalam. Ruangan itu penuh ditaburi bungaduaan, baunya menusuk hidung.
Dua orang kiongli segera menyambuti sepasang vaas giok tadi, lalu diletakkan
hati-hati diatas meja.
Didalam ruangan itu terdapat
seorang gadis berpakaian putih, yang tengah memandang kesebelah sini. Demi
didengar derap kaki orang, dia lalu berbalik menghadap ketembok. Atas isyarat
Kian Liong, para kiongli itu berlalu. Tapi ketika Kian Liong hendak membuka
mulut, tiba-tiba pintu kerai tersingkap dan masuklah Ti Hian dan Bu Bing Hu
thaikam, lalu tegak berdiri disamping dengan tangan di rangkapkan kebawah.
“Mengapa kalian kemari, Ayo,
enyahlah!” hardik Kian Liong dengan murkanya.
“Hamba dititahkan Thayhouw untuk
menjaga paduka,” sahut Ti Hian.
“Mengapa aku harus dnyaga?”
“Hong-thayhouw tahu bahwa
ia............ Nio-nio berwatak keras, dikuatirkan akan melukai tubuh emas
paduka,” kembali Ti Hian menjawab.
“Siapa yang mengadu pada
Hongthayhouw?”
Ti dan Bu kedua thaikam serentak
berlutut dan menyahut: “Hamba sungguh tak berani.”
Kian Liong perdengarkan suara
hidung yang menjemukan: “Kalau bukan kalian berdua, siapa lagi? Ayo, lekas
enyahlah!”
Kedua thaikam itu kembali
memanggutkan kepala, tapi tak mau pergi dari situ. Tahu Kian Liong bahwa dengan
titah Thayhouw itu, biar bagaimana kedua thaikam itu pasti tak mau enyah.
Apalagi mengingat hal itu untuk kebaikannya. Kian Liong tak mempedulikan kedua
orang kebiri itu lagi.
Kemudian ia berpaling kearah
sigadis berpakaian putih, berkatalah kaisar itu: “Coba kau berpaling, aku
hendak berkata padamu.”
Anehnya, kaisar itu menggunakan
bahasa daerah Hwe, Namun gadis itu tetap tak bergerak, tangannya kanan memegang
keras-keraspada sebuah pedang pendek.
“Lihatlah sejenak benda apa yang
diatas meja itu,” kembali Kian Liong membujuknya.
Bermula gadis itu tak
menghiraukan. Tapi karena sudah watak seorang dara, rasa kepingin tahu tetap
menyelubungi pikirannya. Lewat beberapa jurus, ia miringkan kepalanya untuk
melirik kearah meja. Demi tampak diatas situ terdapat sepasang vaas giok putih
yang kemilau, mendadak gadis itu berbalik badan untuk memandang lebih seksama.
Berbareng dengan g'erakan
tubuhnya itu, bau harum menyampok hidung Kian Liong dan kedua thaikam tadi.
Parasnya yang gilang gemilang dan matanya yang bersorot bening, sangat
mempesonakan. Kiranya gadis ini bukan lain adalah Hiang Hiang KiongCu atau Asri
alias Puteri Harum.
Sejak Bok To Lun gugur, Hiang
Hiang menjadi tawanan panglima Tiau Hwi, siapa karena ingat akan kata-kata
Ciauw Cong bahwa. baginda menghendaki nona Ui tersebut, maka diangkutnya
kekotaraja memakai kereta yang mewah dan penuh kebesaran.
Tatkala dahulu melihat lukisan
nona Cantik pada vaas giok, Kian Liong sudah jatuh rindu. Maka ketika vaas giok
diCuri Lou Ping, saking gusarnya Kian Liong titahkan bunuh kedua si-wi penjaga
vaas tersebut. Karena dorongan dendam asmara yang tak tertahan, raja Boan itu
terus mengutus Ciauw Cong kedaerah Hwe. Biar bagaimana, gadis jelita itu harus
dapat dibawa kehadapannya.
Baginda ternyata sudah begitu
ter-giladua. Siang malam beliau selalu terkenang. Agar bisa sambung biCara,
beliau sengaja panggil seorang guru bahasa Uigor untuk mengajarnya. Dan karena
beliau memang berotak terang, tak berapa lama bahasa suku tersebut pun dapat
dikuasainya.
Tapi sedikitpun beliau tak
menyangkanya, bahwa hati Hiang Hiang sudah terCuri oleh Tan Keh Lok. Tambahan
pula nona Ui itu sudah punya rasa benci pada raja Boan itu, sebagai pembunuh
ayahnya. Beberapa kali karena akan dipaksa, Hiang Hiang sudah akan, membunuh
diri. Tapi setiap kali tak jadi karena terkenang akan Tan Keh Lok yang pernah
menjanjikan hendak membawanya pesiar melihatdua Tiang Shia (Tembok Panyang).
Sudah menjadi keyakinan” yang terpanCang dalam hati Hiang Hiang, anak muda itu
pasti akan datang menolong. Dengan keyakinan itulah Hiang Hiang kuatkan hatinya
untuk menolak segala bujuk paksaan baginda.
Sebaliknya dari gusar, Kian
Liong' malah merasa Cemas balaudua nona Ui itu akan mereras. Dipanggilnya
seluruh tukangdua pandai dikota raja, ditugaskan membuat sebuah pagoda Po Gwat
Lauw untuk tempat tinggal Hiang Hiang.
Demikian Kian Liong menyanjung
Hiang Hiang, sehingga diumpamakan puteri Ui itu laksana dewi yang bersemajam
dirembulan, atau sama dengan bidadari.
Namun Hiang Hiang tak
menghiraukan. Semua perabot dan perhiasan mewahdua dalam pagoda itu, yangan
kata disentuh akan dipakainya, sedang dilihatnya saja pun enggan. Haridua ia
selalu termenung memandang kelangit. Pikirannya me-layangdua akan
penghidupannya yang tenang gembira di padang pasir.
Beberapa kali baginda diam-diam
mengawasinya. Sewaktu nampak bagaimana Hiang Hiang memandang kelangit,
mullutnya menyungging senyuman, baginda tak dapat menahan rindu asmaranya.
SeCepat kilat beliau maju memeluk. Tapi berbareng itu, sebuah benda berkilau
menyambar mengarah dadanya. Itulah badi-badi yang dipakai Hiang Hiang untuk
menikam.
Beruntung raja itu gerakannya
linCah, sedang Hiang Hiang tak mengerti ilmu silat, sehingga beliau dapat
menghindari sebat sekali. Namun tak urung, tangan kirinya kena tertusuk, hingga
darah menguCur deras.
Saking kagetnya, baginda
mengeluarkan keringat dingin. Dan sejak itu, tak berani beliau berlaku
gagahduaan mendekat lagi.
Peristiwa itu didengar oleh
Thayhouw, siapa segera titahkan dayang dan thaikam untuk merampas senjata nona
Ui tersebut. Tapi Hiang Hiang menganCam, barang siapa berani mendekatinya, ia
akan bunuh diri. Kian Liong terpaksa mengalah dan suruh thaikam berlalu serta
selanjutnya tak berani melakukan paksaan lagi.
Sekalipun begitu, Hiang Hiang
masih selalu berkuatir, yangan-yangan hidangan dan minuman untuknya diCampuri
obat bius, maka selain buah semangka, ia tak mau memakan semua hidangan itu.
Baginda sengaja titahkan membuat
sebuah kolam mandi <lisebelah paseban Bu Ing Tian, tapi sebaliknya Hiang
Hiang malah menjahiti rapat-rapat pakaian yang dikenakan. Puteri Ui itu
mempunyai suatu Ciri yang istimewa: makin lama ia tak mandi, keringat tubuhnya
makin berbau harum.
Ketika ia berpaling untuk
mengawasi kedua buah vaas giok itu, tangannya tak lupa untuk memegang ujung
badi-badi-nya. Karena dikuatirkan Kian Liong akan menjalankan tipu muslihat
padanya.
“Dulu sewaktu kulihat gambarmu divaas
itu, aku tak perCaja kalau didunia ini terdapat seorang mahluk yang seCantik
itu. Tapi ternyata setelah kini aku berhadapan dengan orangnya sendiri, malahan
kuanggap gambar itu masih jauh lebih kalah dengan orangnya,” Kian Liong
mengelah napas.
Hiang Hiang membisu.
“Se-hariduaan kau berduka saja,
apakah kau terkenang akan rumahmu? Coba kau lihat kejendela sini!” Kian Liong
berkata lagi.
Hiang Hiang dapatkan Kian Liong
bersama dengan dua erang thaikam berada dipinggir jendela. Ia segera keluarkan
suara jengekan dan jebikan bibir. Melihat itu Kian Liong tersedar dan lalu
menyingkir keujung sana sembari memerintahkan kedua thaikam berlalu.
Setelah mereka menyingkir, baru
Hiang Hiang pelan-pelan mendekati jendela dan meninjau keluar. Ia lihat sebuah
padang pasir, disana sini tampak beberapa perkemahan orang Ui dan pada tempat
yang jauh terdapat sebuah mesjid. Hati Hiang Hiang seperti dibetot, dua butir
air mata menetes turun. Teringat ia akan ayah dan orang-orang tua bangsanya
yang telah menjadi korban pasukan Ceng. Seketika timbullah kemarahannya.
SeCepat kilat ia berpaling, tangannya menyambar sebuah vaas giok terus
ditimpukkan kearah kepala baginda.
Bu Bing Hu thaikam Cepat melesat
kemuka baginda untuk menyanggapi. Tapi vaas itu sangatlah liCinnya, sehingga
melejit lepas dari tangannya, jatuh hanCur ketanah. Menyusul dengan itu, Hiang
Hiang timpukkan lagi vaas yang kedua. Ti Hian thaikam kini yang menyambutinya
dengan sepasang tangan. Tapi tetap vaas itu merosot dari tangannya dan jatuh
berantakan. Demikianlah, sepasang benda yang jarang terdapat didunia, musna
ber-keping-keping.
Takut kalau sinona akan menyusuli
dengan lain-lain benda yang membahayakan baginda, Bu-thaikam lonCat menangkap
tangan Hiang Hiang. Tapi nona itu kelihatan gerakkan pedangnya kearah lehernya
sendiri.
“Tahan!” seru baginda dengan
gugup.
Bu-thaikam tarik tangannya,
sedang Hiang Hiang pun Cepat mundur. Tiba-tiba “brakk,” sebuah benda lolos
jatuh dari tubuh sinona. Takut kalau itu adalah senjata rahasia, Bu-thaikam
Cepat-cepat memungut. Tetapi itu hanya sebuah mainan giok permata. Benda itu
diserahkan kepada baginda.
Nampak benda itu, wajah baginda
berobah puCat. Itulah batu mustika yang dahulu di Hayleng, diberikannya kepada
Tan Keh Lok dengan pesanan supaya diberikan pada orang yang dipenujuinya.
Apakah kedua orang itu sudah berkenalan? Demikian pikirnya.
“Kau kenal padanya?” buru-buru
Kian Liong bertanya. “Dari mana kau peroleh batu mustika ini '?”
“Mana, kasih kembali padaku,”
sahut Hiang Hiang sambil ulurkan tangannya.
Makin bertambahlah Cemburuan
baginda.
“Jawablah, siapa yang
memberikannya padamu, nanti kukembalikan!”
“Suamiku!” sahut Hiang Hiang
Cepat.
Bukan kepalang kaget baginda,
diulanginya bertanya: “Jadi kau sudah kawin?”
“Sekalipun tubuhku belum menjadi
miliknya, tapi hatiku sudah kuserahkan padanya. Dia adalah seorang yang paling
gagah berani didunia. Lihat saja, dia pasti akan dapat membebaskan diriku dari
sini. Biar kau seorang raja, dia tak nanti jeri padamu, begitu pula aku.”
Hati Kian Liong makin mendidih,
katanya: “Kutahu siapa yang kau maksudkan itu. Dia adalah ketua dari HONG HWA
HWE, Tan Keh Lok namanya. Dia hanya seorang kepala gerombolan dikangouw, apanya
yang mesti dikagumi?”
Mendengar jawaban baginda itu,
diluar dugaan, Hiang Hiang malah kelihatan girang. Katanya: “Apa? Kaupun kenal
padanya. Nah, sebaiknya kau lekas bebaskan diriku,” katanya.
Kian Liong mendongak kemuka.
Tiba-tiba tertumbuklah pandangannya pada sebuah kaCa. Disitu tampak duplikat
dirinya dengan jelas. Dia insyap, bahwa dirinya kalah tampan dan kalah muda
dengan Tan Keh Lok. Seketika rasa Cemburu dan dengki menCengkeram batinnya.
Mainan giok itu segera ditimpukkan kepada kaCa hingga kaCa itu hanCur
berantakan.
Hiang Hiang Cepat memungut mainan
itu, dan diulapnya dengan penuh rasa sayang. Nampak itu makin men-jadidua-nya
kemarahan baginda. Dengan membanting kaki, beliau berlalu dari situ.
Hampir setengah harian baginda
duduk termenung menyekap diri dalam kamar tulisnya.
“Aku seorang yang dipertuan diseluruh
negeri. Tapi ternyata seorang gadis dari lain suku telah berani menolak getas
kehendakku, disebabkan Tan Keh Lok menyelak ditengahdua. Dia menganjurkan aku
mengusir orang Boan dan membangunkan pula kerajaan Han. Memangnya suatu Citadua
yang indah. Tapi apakah hal itu tidak akan 'gagal menggambar harimau, berbalik
menjadi gambar anjing'. Usaha besar gagal, berbalik mengantar jiwa dengan
sia-sia. Ber-bulandua sudah kupertimbangkan soal itu, namun belum dapat kuambil
putusan. Ah, bagaimana baiknya?” demikian Kian Liong me-nimbangdua dalam
pikirannya. Tapi pada lain saat dia berpikir lagi: “Ah, kesemuanya itu
tergantung padaku sendiri, tak perlu kubimbang. Andaikata kusetuju melaksanakan
usaha itu, dan berhasil, tidakkah berarti aku akan selalu dibawah tekanan Tan
Keh Lok? Jadi aku tak lebih hanya merupakan raja boneka saja! Dan mengapa
kuharus membuang kemegahan didepan mata untuk mengejar kemuliaan yang belum
tentu dapat kunikmati? Hati gadis Ui itu sudah terpikat olehnya, baik, sekali
tepuk akan kutangkap dua ekor lalat.”
Setelah mengambil ketetapan,
dipanggilnya Pek Cin.
“Pada setiap ruangan tingkat Po
Gwat Dauw, taruhlah 4 orang si-wi (jago pengawal) kelas satu. Diluar pagoda,
siapkan lagi dua0 orang Si-wi. Yangan sekali-kali hal ini sampai bocor,” perintah
sang junjungan.
Pek Cin menjura selaku tanda
menerima titah.
“Panggil Keh Lok ke Po Gwat Lauw.
Katakan aku hendak membiCarakan urusan penting, yangan dia membawa pengikut!”
Lebih dahulu Pek Cin mengatur
penjagaan, baru mengundang Tan Keh Lok. Diam-diam dia kuatir akan keselamatan
ketua HONG HWA HWE Itu, pikirnya:
“Kalau dia datang seorang diri,
biar kepandaiannya menyundul langitpun, tak nanti dia sanggup melawan 40 orang
si-wi. Dia telah melepas budi padaku, mengapa aku takkan membalasnya? Tapi titah
baginda itu tak boleh dibocorkan padanya. Biar kulihat perkembangannya nanti.”
Mendengar perintah kaisar, Tan
Keh Lok segera berganti pakaian. Liok Hwi Ching dkk. sama mengutarakan
kekuatirannya. Tapi ketua HONG HWA HWE telah mengambil putusan, apapun yang
akan terjadi, dia tetap akan menghadap kaisar.
“Totiang, kalau aku sampai tak
kembali, pimpinan HONG HWA HWE harap Totiang pegang untuk menCari balas,” kata
Keh Lok pada Bu Tim.
“Harap CongthoCu tak usah
kuatir,” sahut Bu Tim.
“Saudara-saudara, tak perlu
menyambut diluar istana. Kalau dia hendak menCelakakan diriku, saudarapun pasti
terlambat akan menolongku. Bahkan nanti saudara-saudara akan terlibat bahaya
sendiri,” kata Keh Lok pula.
Semua orang HONG HWA HWE dapat
dibikin mengerti.
Sampai Keh Lok kedalam Kota
Terlarang (komplek istana) haripun sudah gelap. Dua orang thaikam dengan
membawa teng, menjadi penunjuk jalan. Naik sampai ketingkat 4 dari Po Gwat
Lauw, thaikam melaporkan kedatangannya. Keh Lok dititah masuk kesebuah ruang
kecil disamping loteng, disitu tampak baginda Kian Liong tengah duduk
termenung. Keh Lok buru-buru berlutut memberi hormat. Kian Liong
mengisyaratkannya duduk.
Tampak pada dinding dimuka Keh
Lok, sebuah lukisan koleksi istana Han yang sangat “hidup” sekali.
Disebelahnya, terdapat sepasang lian buah tulisan baginda Kian Liong sendiri,
berbunyi sbb.:
Meskipun ambekan baginda Seng
Siao Ong besar” tapi akhirnya hanya kemasgulan yang diperolehnya.
Nyata tulisan Kian Liong itu
ditujukan untuk dirinya sendiri, diibaratkan seperti raja Han tersebut.
“Bagaimana?” tanya baginda
melihat Keh Lok membaca lian itu.
“Baginda berambekan tinggi,
serupa dengan baginda Sin Bu, kalau dapat menyelesaikan usaha besar itu nama
baginda turun temurun akan dimuliakan, jauh lebih berjasa dari sejarah Han
mengusir Cin, kerajaan Beng meruntuhkan Gwan Tiauw.”
Mendengar pujian itu, hati Kian
Liong membubung tinggi. Sambil mengurut jenggot, beliau terhening sejenak,
kemudian ketawa. Katanya: “Kita berdua meskipun kedudukannya antara raja dengan
menteri, tapi hubungan kita adalah hubungan saudara. Kelak kau harus
sungguh-sungguh membantu aku.”
Hati Keh Lok tergetar. Di kiranya
setelah melihat buktidua dan suratdua itu, kini Kian Liong mau mengakui saudara
padanya. Dan uCapan tadi, mengunjuk kalau beliau setuju untuk melaksanakan
gerakan besar itu.
Saking girangnya, Keh Lok
berlutut dan menjura: “Baginda seorang junjungan yang agung perwira, itu
merupakan berkah besar pada seluruh rakyat.”
Tapi sebaliknya girang, baginda
mengelah napas. “Sekalipun aku seorang kaisar, namun kalah berbahagia dengan
kau,” katanya.
Keh Lok melengak.
“Pada bulan delapan di Hayleng
kuhadiahkan padamu sebuah batu ikat pinggang giok. Apa barang itu kini kau
bawa?”
“Baginda titahkan hamba kasihkan
pada orang pilihanku, kini telah hamba berikan.”
“Kau berpemandangan luas, yang
kau penujui, tentu seorang wanita yang terCantik didunia.”
“Sayang ia tak ketahuan rimbanya,
entah hidup atau mati,” mata Tan Keh Lok mulai merambang merah. “Kalau gerakan
baginda itu sudah selesai, hamba akan menCarinya sampai ketemu.”
“Tentunya kau sangat mencintainya
bukan?”
“Ya,” sahut Keh Lok tak lampias.
“Honghouw (permaisuri) seorang
Boan, kau sudah mengetahui bukan?” “Ya.”
“Honghouw sayang sekali padaku.
Beliau sangat pandai dan berpengaruh. Kalau aku bersekongkel denganmu, beliau
pasti akan merintangi mati-matian. Coba, kau pikir bagaimana baiknya?”
Pertanyaan itu sukar untuk Keh
Lok menjawabnya. “Baginda lebih tahu, hamba tak dapat memberi pertimbangan.”
“Antara rumah tangga dan negara,
harus dipisahkan. Pada akhirdua ini, aku tenggelam dalam kebingungan. Dan lagi
aku masih mempunyai satu soal besar, sayang tiada orang yang dapat kubagikan
derita bathinku itu,” kata baginda.
“Apa yang baginda titahkan, hamba
tentu tak akan menolak.”
“Ah, sebenarnya seorang lakidua
sejati tidak nanti merampas kesayangan orang lain,” Kian Liong mengelah napas.
“Tapi bagaimana akan menghindarinya, ah, Cinta punya bisa. Bagaimana kuharus
berbuat? Coba tengoklah kesana!”
Kian Liong menunjuk kesebuah
ruangan disebelah barat, kemudian beliau berbangkit terus naik keloteng atas,
meninggalkan Keh Lok seorang diri tanpa mengerti apa yang dimaksud dengan
uCapan baginda itu.
Setelah menenangkan diri, anak
muda itu lalu menyingkap sekosel pintu untuk masuk kedalam. Sebuah kamar tidur
yang luar biasa mewahnya dengan diterangi oleh lilin. Seorang gadis duduk
termenung disitu. Tan Keh Lok seperti terpaku. Mulutnya bungkam dalam seribu
bahasa. Hiang Hiang bermula enggan menengok kebelakang. Tangannya eratdua
memegang batang pedang, siap menghadapi. Tapi ketika dilihatnya orang yang
siang malam dirindui berdiri dibelakangnya, ia menjerit kegirangan terus lari
menubruk kedalam rangkulan sianak muda.
“Kutahu kau pasti akan datang
menolongku, karenanya kutetap bersabar menunggumu”.
“Asri, apakah kita ini sedang
bermimpi?” tanya Keh Lok sambil memeluknya.
Hiang Hiang menggelengkan kepala,
air matanya berketes turun.
Bukan main rasa Syukur Tan Keh
Lok atas budi kebaikan baginda, yang telah begitu baik untuk mengambil nona
yang dikasihinya itu dari tempat yang begitu jauh. Luapan hati yang mencinta,
telah mendorong Keh Lok untuk memberi Ciuman pada nona itu. Begitulah kedua
orang muda itu, seketika tenggelam dalam alam ke bahagiaan.
Lewat beberapa saat kemudian,
Hiang Hiang menunjuk pada kaCa Cermin yang pecah seraya mengeluarkan batu
mustikanya: “Dia rampas mainanku ini untuk menghantam kaCa itu hingga pecah.”
“Siapa?” tanya Keh Lok terkejut.
“Raja busuk itu”.
Keheranan Keh Lok makin menjadi,
tanyanya: “Mengapa?”
“Kukatakan padanya, kutetap tak
jeri menghadapi paksaannya, karena kau pasti datang menolong. Dia marah-marah
dan Coba menarikku, tapi kumembawa pedang ini”.
Kepala Keh Lok seakan-akan pecah
seperti disambar petir, katanya tanpa sadar: “Pedang?”
“Hm, ketika ayah menutup mata,
akulah yang mendampingi. Ayah memberiku pedang ini dengan memesan lebih baik
kubunuh diri daripada diCemarkan musuh. Bunuh diri karena membela kesuCian
wanita Islam, Allah takkan mengutuknya.”
Tampak pula oleh Keh Lok
bagaimana pakaian Hiang Hiang itu dnyahit rapat-rapat. Diam-diam dia memuji
akan kekerasan hati dara yang bertubuh lemah itu. Teringat juga dia entah
beberapa kali sudah dia bersama nona itu menghadapi bahaya. Seketika hatinya
penuh dengan bermacam perasaan. Tanpa merasa dipeluknya gadis itu kembali.
“Kiranya baginda mengambil Asri
kemari itu, untuk kepentingannya sendiri. Beliau membangun taman bergurun,
mendirikan kemahdua dan mesjid itu, untuk mengambil hatinya. Tapi Asri tak mau.
Mungkiri sudah beberapa kali baginda hendak melakukan paksaan, tapi senantiasa
gagal. Ah, mengapa tadi baginda mengatakan kalau ia kalah beruntung dengan aku
itu, kiranya soal inilah yang dimaksudkan”, pikir Keh Lok.
Didalam pelukan sianak muda,
Hiang Hiang merasa aman sekali. Dan karena sudah ber-haridua ia tak dapat tidur
pulas, tanpa merasa kini ia tertidur.
“Beliau mengidinkan kubertemu
dengan Asri, apakah maksudnya? Beliau mengemukakan hubungannya dengan Honghouw.
Untuk melaksanakan gerakan besar itu, hubungan tersebut. harus dikesampingkan.
Antara rumah tangga dan negara, salah satu harus dikorbankan. Ja, apakah
maksudnya.........”
Berpikir sampai disini, Keh Lok
menguCurkan keringat dingin, tubuhnya gemetar. Tapi Hiang Hiang tetap pulas
dengan bibir menyungging senyuman.
“Berdampingan dengan Asri dan
bentrok dengan baginda, atau, menasehati Asri supaya menurut pada baginda demi
untuk kepentingan gerakan mulia itu?” demikian akhirnya Keh Lok mendapat
kesimpulan. Berat nian rasanya untuk menjatuhkan pilihan diantara kedua soal
itu, Pikirnya pula: “Begitu besar Cinta Asri padaku. Ia mati-matian
mempertahankan kesuCiannya, karena ia menaruh keyakinan penuh bahwa aku pasti
dapat menolongnya. Apakah aku tak punya perasaan, tega untuk membelakanginya?
Namun kalau kupilih Asri, tentu akan bentrok dengan baginda. Dan kesempatan
untuk membebaskan penderitaan rakyat pasti hilang. Bukankah berarti kami berdua
menghianati saudara-saudara diseluruh tanah air?”
Selagi Keh Lok tak berdaya
mengambil putusan. Tiba-tiba Hiang Hiang membuka mata, katanya: “Mari kita
tinggalkan tempat ini. Kusebal menemui raja busuk itu.”
“Baik, kita pergi,” kata Keh Lok.
Disambutinya pedang Asri, lalu mengretek gigi, pikirnya: “Persetan, menjadi
penghianat bangsa, biarlah. Kalau kami gagal menobros keluar, kami akan mati
bersama ditempat ini. Kalau berhasil, akan kuajak ia, hidup mengasingkan diri
digunung. Ini jauh lebih baik dari pada membiarkan dirinya diCemarkan orang.”
Dia menghampiri jendela dan
melongok keluar. Tak seorang Si-wipun kelihatan. Suasana didekat situ sunyidua
saja. Sedang dikejauhan hanya kelihatan sinar lampu. Ketika diawasi, ternyata
lampu-' itu, memang dipasang oleh tukangdua yang tengah menyelesaikan taman
bergurun itu. Mungkin karena takut mendapat hukuman, maka ratusan tukangdua itu
harus bekerja siang dan malam untuk mengejar waktu.
Seketika panaslah hati Tan Keh
Lok.
“Hm, kalau begitu, entah sudah
berapa banyak sekali rahajat yang kehilangan rumahnya! Baginda itu seorang raja
yang mengutamakan kesenangannya sendiri, tak menghiraukan penderitaan rahajat.
Dibawah pemerintahannya, Kawan-kawan kita seluruh tanah air mengalami
penderitaan. Kalau mungkin, biarlah kesengsaraan bangsa kita ditimpahkan padaku
dan Asri saja.”
SeCepat kilat, terjadilah
perubahan besar dalam bathin Tan Keh Lok.
“Kau tunggu disini, biar kupergi
sebentar”, katanya.
Hiang Hiang memanggut dan
menerima pula pedangnya tadi.
Keh Lok menuju ketingkat 5,
dimana baginda sedang duduk bermuram durja,
“Kepentingan negara diatas
kepentingan peribadi. Biar kunasehatinya supaya menurut kehendakmu”, kata Keh
Lok segera.
Kian Liong ionCat kegirangan,
serunya: “Benar?” “Hm, tapi kuminta janjimu” kata Keh Lok seraya menatap wajah
baginda dengan tajam. “Janji bagaimana?”
“Kalau tidak bersungguh hati
untuk mengusir bangsa Boan apa katamu?”
Kian Liong merenung sejenak.
“Kalau sampai aku ingkar, walaupun semasa hidup kumenikmati kesenangan yang
tiada Laranya, nanti kalau sudah meninggal, biar kuburanku dibongkar orang,
agar matipun aku tak dapat tenang, turun temurun diperhina orang”, ia
bersumpah.
Makam rajadua itu dipandang
keramat dan suCi. Kalau sampai dibongkar, terang suatu uCapan sumpah yang berat.
“Baik, segera kunasehatinya. Tapi
kuminta agar diperkenankan untuk keluar bersamanya dari istana ini”.
“Keluar dari sini?” menegas Kian
Liong dengan kaget.
“Ya, kini ia masih sangat
membenci kau. Disini ia tak nanti mau dengar nasehatku. Akan kubawanya pesiar
melihat Tembok Panyang untuk menCari kesempatan memberi nasehat”.
“Mengapa harus pergi ketempat
yang begitu jauh?”
“Aku pernah menjanjikan untuk
mengajaknya kesana. Setelah itu, aku berjanji takkan menemuinya lagi untuk
se-lama-lamanya”.
“Kau pasti membawanya kembali?”
tanya Kian Liong sangsi.
“Kita orang kangouw, lebih
menghargai janji daripada d jiwa sendiri.”
“Dia menaruh kepentingan usahanya
itu diatas segala, tak nanti karena seorang wanita, dia akan menipu aku,” pikir
Kian Liong. “Baik, kamu boleh pergi!” serunya sebaja menepuk meja.
Setelah Keh Lok berlalu, Kian
Liong segera titahkan 40 orang Si-wi untuk mengikuti kedua orang itu dengan
diam-diam.
Demikianlah setelah kembali, Keh
Lok segera ajak Hiang Hiang berlalu. Karena sudah menerima firman, tak ada
seorang si-wi dalam istana itu yang menghalangi perjalanan kedua orang
tersebut. Selama itu tak sedikitpun Hiang Hiang menaruh keCurigaan apa-apa. Apa
yang terjadi itu, ia perCaja, berkat kelihaiaan kekasihnya.
Setibanya diluar istana, hari
sudah terang tanah. Menampak sang KongCu keluar, Sim Hi yang sudah sedari tadi
menunggu dengan kuda putihnya, segera menghampiri. Demi nampak Hiang Hiang ikut
serta, dia menjadi heran.
“Aku akan keluar kota, mungkin
malam nanti baru balik. Sampaikan pada sekalian saudara-saudara, tak usah
kuatir,” kata Keh Lok sambil menyambuti kuda putih.
Sim Hi melihat sang KongCu
(lengan puteri Ui itu naik kuda menuju keutara. Ketika dia hendak pulang,
tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kuda mematangi. Berpuluh Si-wi
dengan berpakaian warna kuning sama naik kuda memburu kearah KongCunya. Yang
dimuka sendiri, bertubuh kurus kering, dikenalnya sebagai Kim-kao-thiat-jiao
Pek Cin yang pernah dijumpainya di HangCiu tempo hari. Sim Hi kuatir bukan
kepalang, Cepat ia pulang melapor.
Dengan sandarkan kepalanya didada
orang yang dikasihi, serasa hilanglah segala kesedihan Hiang Hiang selama itu.
Dalam beberapa waktu saja, kuda putih itu sudah melintasi sungai Ching-ho
Sat-ho, kota Ching Ping dan Lam Go.
Begitulah akhirnya mereka sampai
dikota Ki Yong Kwan. Disitulah Tembok Besar tampak me-lingkardua dengan
megahnya, bagaikan seekor ular raksasa.
“Untuk apa mendirikan bang'unan
raksasa ini?” tanya Hiang Hiang.
“Itu waktu untuk menjaga serbuan
musuh dari daerah utara. Untuk membangun tembok ini, entah sudah berapa banyak
sekali jiwa dan darah rakyat yang berkorban.”
“Huh, kaum lelaki itu memang
aneh. Mengapa mereka tak suka hidup rukun dengan menari dan menyanyi? Mereka
senantiasa berperang, sehingga ribuan jiwa melayang.”
“Benar, maka andaikata baginda
nanti mendengar perintahmu, Cegahlah dia supaya yangan memerangi rahajat
diperbatasan yang kasihan nasibnya itu.”
“Huh, siapa sudi bertemu muka
dengan raja busuk itu lagi,” Hiang Hiang tertawa.
“Kalau kau dapat mempengaruhinya,
tentu kau dapat menCegah perbuatannya yang buruk itu, agar dapat meringankan
penderitaan rakyat. Sudikah kau meluluskan permintaanku ini?”
“Aneh, kapan aku tak menurut
kata-katamu?” balas bertanya Hiang Hiang.
Keh Lok menyatakan terima kasihnya,
kemudian dengan bergandengan tangan keduanya ber-jalandua diluar Tembok Besar.
“Toako, aku teringat, sesuatu,”
tiba-tiba Hiang Hiang berkata. “Apakah itu?”
“Hari ini aku merasa bergembira
sekali bukan karena keindahan pemandangan tempat ini, tapi karena kau berada
didampingku.”
Mendengar uCapan itu, hati Keh
Lok makin tak tega mengutarakan maksudnya.
“Kau punya permintaan apa
padaku?” katanya kemudian.
“Toako, kau sangat baik kepadaku.
Segala apa, tanpa kuminta, kau tentu mengerjakan permintaanku,” kata Hiang
Hiang seraya mengeluarkan bunga swat-tiong-lian (terata salju) dahulu itu.
Walaupun sudah laju, bunga itu masih putih meletak dan harum baunya. “Hanya
suatu hal yang kau tak mau melakukan, kuminta kau menyanyi, tapi kau menolak.”
“Ha, sungguh mati, aku selamanya
tak pernah menyanyi,” Keh Lok terta,wa geli.
“Sudahlah, akupun tak sudi
menyanyi untukmu lagi,” Hiang Hiang pura-pura meng'ambek.
Mengingat hanya sehari itu mereka
dapat berkumpul, terpaksa Keh Lok mengalah, katanya: “Ya, baiklah, kuingat
sewaktu masih kecil ibu sering menyanyikan beberapa lagu untukku. Biar
kunyanyikan, tapi awas, yangan kau menertawakan ja?!”
“Bagus, bagus, Ayo mulailah!”
seru Hiang Hiang bertepuk tangan.
Setelah mengingat sebentar,
mulailah Tan Keh Lok menyanyi:
“Hujan rintik'~ ditiup angin
sepoidua. Dibawah loteng terdengar bisik orang me-rajudua. Kukira dia
kekasihku. Tanpa terasa, mulutku samar» mengoCeh. Tapi ketika kuperhatikan,
ternyata bukan si dia. Bukan main terkejutku, sehingga jantungku berdebar keras
saking takut.”
Tan Keh Lok menjelaskan nyanyian
itu dalam basa Ui, Hiang Hiang tertawa dan berkata: “Oh, kiranya nona itu
matanya kurang awas.”
Tanpa terasa, sepasang mata Keh
Lok mengembeng air mata. Hiang Hiang terkejut.
“He, mengapa? Kau tentu terkenang
pada ibumu. Sudahlah, baik kau berhenti menyanyi.”
Keduanya bermain-main pula diluar
dan didalam tembok. Bangunan tembok raksasa itu memang luar biasa kokohnya.
Ditengahnya terdapat lorong. Setiap jarak tiga puluhan tumbak terdapat sebuah
menara. Menara itu untuk melepas api pertandaan. Tan Keh Lok teringat bagaimana
didaerah Hwe dahulu, Hwe Ceng Tong membuat asap long-yan dan memukul pecah
pasukan Ceng. Terkenang akan nasib yang belum ketahuan dari nona itu, hati Tan
Keh Lok menjadi tawar. Sekalipun hendak ditutupnya, tak urung wajahnya nampak
tanda-tanda kemasgulan itu.
“Kutahu apa yang kaupikirkan saat
ini,” kata Hiang Hiang.
“Apa?”
“Ketika kita bertiga terkurung di
Kota Sesat, meski dalam bahaya, tapi kau tetap bergembira. Ah, yangan
kuatirlah!”
“Asri, apa maksudmu?” tanya Tan
Keh Lok seraya memegang tangan sinona.
Hiang Hiang mengelah napas,
sahutnya: “Dulu aku masih seorang anak, apapun tak mengerti. Tapi setelah agak
lama tinggal diistana raja, kini baru aku jelas kesemuanya itu. Cici-ku suka
padamu, dan kaupun membalas suka padanya, bukan?”
“Benar, sebenarnya tak harus aku
mengelabui kau,” sahut Keh Lok.
“Tapi akupun tahu, kau juga suka
padaku. Tanpa kau,
aku segan hidup. Mari kita Cari
Cici, sampai dapat. Kita bertiga hidup dengan bahagia se-lama-lamanya.”
Sewaktu menguCap kata-kata itu,
mata Hiang Hiang yang bening itu memanCarkan Cahaja gilang gemilang, pertanda
luapan hatinya yang bahagia.
Keh Lok kepal tangan Hiang Hiang
eratdua, bisiknya: “Asri, hatimu murni sekali. Kau dan Cicimu adalah insan yang
terbaik didunia.”
Hiang Hiang tak menyahut, hanya
memandang jauh kemuka. Tiba-tiba diantara sorot matahari itu seperti mengandung
Cahaja air. Ia memasang telinga betul-betul dan sajupdua terdengar suara khim
berbunyi.
“Dengarlah, betapa merdu nyanyian
itu.”
“Itu selat Than-Khim-kiap (selat
menabuh harpa)!” kata Keh Lok.
Hiang Hiang minta dibawa kesana.
Melalui beberapa semak pegunungan itu, mereka tiba disebuah umbul (air sumber)
yang memanCur dari seladua batu gunung. Karena tinggi rendahnya air yang jatuh,
maka timbullah semacam bunyi yang seolah-olah merupakan bunyi khim.
Air sumber itu jernih dan sejuk
sekali. Hiang Hiang membasuh kakinya. Keduanya duduk ditepi aliran. Keh Lok
mengeluarkan ransum kering. Begitulah Hiang Hiang senderkan kepalanya
dipunggung kekasihnya, sembari memakan, ia mengulapdua kakinya dengan
saputangan.
“Asri, hendak kubiCarakan suatu
hal padamu,” kata Keh Lok kuatkan hatinya.
Hiang Hiang balikkan tubuhnya,
terus memeluk dan sesapkan kepalanya kedada sianak muda.
“Kutahu kau Cinta padaku. Kau tak
menyatakan, akupun sudah mengerti. Sudahlah, tak usah kau mengatakannya.”
Hati Keh Lok terCekat. Kata-kata
yang sudah siap diujung lidah, ditelannya kembali. Beberapa saat kemudian, dia
berkata pula: “Asri, kau tentu masih ingat akan riwajat puteri Mamir digunung
Giok-nia itu?”
“Ya, kini ia bersama Ali-nya
berada disorga”.
“Apakah kamu umat Islam perCaja
bahwa setelah meninggal, arwah kita akan berada ditaman Gembira Loka yang
abadi?”
“Sudah tentu,” sahut sigadis
tanpa ragu-ragu.
“Nanti sekembalinya ke Pak-khia
akan kudapatkan Haji dari bangsamu. Akan kuminta dia mengajar supaya aku
menjadi seorang penganut Islam yang saleh”.
Hiang Hiang girang sekali
mendengarnya, serunya: “Toako, apakah kau ber-sungguh-sungguh?”
“Tentu!”
“Karena mencintai aku, kau sampai
berlaku begitu. Benar-benar tak kusangka”.
“Ya, sebab dalam penghidupan
didunia fana ini kita tak dapat bersama, biarlah nanti dialam baka kuselalu
berdampingan dengan dikau.”
Mendengar itu, tergetarlah tubuh
Hiang Hiang hingga beberapa saat ia termangu-mangu. “Apa katamu? Dalam
penghidupan sekarang kita tak dapat berkumpul bersama?” katanya.
“Ya, selewatnya hari ini, kita
bakal berpisah se-lama-lamanya”.
“Kenapa?!” menegas Hiang Hiang
dengan berdebar. Air matanya berCucuran menetes kepakaian Keh Lok.
“Asri, kalau dapat
kumendampingimu, sekalipun tak makan, berpakaian Compang Camping, dihina orang,
relalah aku. Tapi ingatlah kau akan sejarah Mamir? Ja, Mamir yang bnyaksana
itu? Demi kepentingan rakyatnya, ia rela berpisah dengan Ali yang diCintainya
itu, rela mengorbankan diri pada raja lalim itu...............”
Hiang Hiang menelungkup dikaki
Keh Lok, katanya dengan lemah: “Jadi kau maukan aku menyerahkan diri pada raja
busuk itu? Supaya aku dapat kesempatan untuk membunuhnya?”
“Bukan, dia adalah kakakku
sendiri,” lalu panyang lebar Tan Keh Lok tuturkan riwajat hubungannya darah
dengan kaisar Kian Liong.
Selesai mendengar, pingsanlah
Hiang Hiang. Kebahagiaan yang selama itu diCitaduakan, baru saja dikiranya
terlaksana, ternyata dibanting hanCur lagi. Ja, siapakah orangnya yang kuat
menghadapi derita yang sedemikian beratnya itu?
Ketika, sadar, didapatnya Tan Keh
Lok masih memeluk dirinya. Tapi sementara itu, ia rasakan badannya basah semua.
Itu tentulah air mata Tan Keh Lok yang membanjirimja.
“Tunggulah sebentar disini,” kata
Hiang Hiang seraya berbangkit. Ia menuju kesebuah batu besar disebelah sana,
lalu berlutut menghadap kebarat. Kiranya ia sedang bersembahyang meminta
kekuatan pada Allah.
Selang tak berapa lama kemudian,
kelihatan ia berbangkit. “Kau menghendaki bagaimana, biar aku menurut, saja,”
katanya.
Keh Lok memburu untuk memeluknya
dengan perasaan hanCur.
“Kalau kuketahui akan terjadi
peristiwa sekarang ini, aku tak mau pesiar kemari. Akan kuminta agar kau sehari
penuh memeluk aku saja,” kata Hiang Hiang.
Keh Lok kembali menciumnya.
“Nanti kalau aku berada diistana,
aku tak mau mandi. Sekarang aku akan mandi untuk yang penghabisan kali,” kata
Hiang Hiang pula.
“Baiklah, biar kutunggu disebelah
sana.”
“Tidak, kau harus berada disini.
Pertama kali kau berjumpa dengan aku, sewaktu aku sedang mandi. Maka untuk
penghabisan kali, akupun minta kau menunggui aku mandi. Untuk kenangduaan agar
selamanya kau tak melupakan diriku.”
“Asri, apakah kau kira aku dapat
melupakan kau?”
“Ya, aku kesalahan omong, yangan
marah, Toako, kau tunggui disini.”
Keh Lok terpaksa duduk kembali
menyaksikan puteri harum itu menanggal pakaian dan mandi dengan riangnya......
Sehabis mandi, kembali Hiang
Hiang dekapkan tubuhnya kepada «ianak muda.
“Asri, sekalipun kita bakal
berpisah, namun hati kita tetap bersatu. Dipadang pasir, disini, sekalipun
kebahagiaan itu hanya singkat sekali, namun melebihi kebahagiaan suami isteri
yang berkumpul beberapa puluh tahun.”
“Toako, Toako, matahari sudah
mulai silam!” tiba-tiba Hiang Hiang menjerit dengan ratap tangisnya sambil
memandang kearah barat.
Hati Keh Lok seperti diremas.
“Asri, maafkanlah, kait sampai menderita begini!” katanya. “Betapa baiknya bila
matahari bisa terbit lagi, sekalipun hanya untuk sebentar
“Demi untuk kepentingan bangsaku,
sudah selajaknya kumenderita,” kata Keh Lok. “Tapi kau belum pernah melihat
mereka, belum pernah mengenalnya............”
“KuCinta padamu, seharusnya pun
terhadap bangsamu. Bukankah kau d juga menyayang saudara-saudara bangsa Ui
kami?”'
Tapi ternyata matahari terus
tenggelam, hal ini membuat hati Hiang Hiang makin menCelus, katanya: “Mari
pulang, aku merasa berbahagia sekali!”
Begitulah dengari hati yang
kosong, keduanya naik kuda kembali. Sepanyang jalan, mulut mereka serasa terkanCing-.
Tak berapa lama kemudian, beberapa ..puluh Si-wi dibawah pimpinan Pek Cin
datang menyambutnya. Ternyata kawanan Si-wi ,yang menerima titah baginda untuk
membuntuti kedua anak muda itu, jauh. ketinggalan dibelakang. Beberapa kali
mereka mesti tukar kuda baru, sampai beristirahat makanpun mereka tak berani,
supaya yangan sampai ketinggalan. Tapi ternyata tetap kehilangan jejak kedua
anak muda. itu. Maka ketika berpapasan dengan dua orang muda itu, girang mereka
tak terkatakan lagi.
Tan Keh Lok tak menghiraukan
kawanan Siwi itu dan terus menCongklangkan kudanya. Tiba-tiba dari arah depan
tampak serombongan penunggang kuda. Pek Cin Cepat-cepat memberi perintah agar
Kawan-kawan nya mempersiapkan senjatanya masing-.
“CongthoCu, kita sekalian sama
datang,” seru seorang' yang ternyata adalah Jun Hwa. Dibelakangnya tampak Liok
Hwi Ching, Bu Tim, Tio Pan San, Bun Thay Lay, kedua saudara Siang dan lain-lain
pemimpin HONG HWA HWE
Melihat itu, terkejutlah Pek
Cin............................
Kini kita tengok akan keadaan
baginda Kian Liong. Sepeninggal Tan Keh Lok membawa Hiang Hiang, hati kaisar
itu gelisah sekali. Hidangan yang bagaimana lezatpun, sedikit tak dnyamahnya.
Hari itu dia tak adakan sidang menteri. Seharian dia tidur-bangun tak keruan.
Beberapa rombongan Siwi dititahkan untuk menCari kabar. Tapi sampai petang
hari, belum seorang siwipun yang pulang melapor.
Demikianlah baginda berada
dipagoda Po Gwat Lauw, duduk salah berdiri pun salah. Ketika mengawasi lukisan
ko-leksinya dari ahala Han, tiba-tiba terbitlah suatu pikiran:
“Anak perempuan itu sayang pada
Keh Lok, tentunya iapun menyukai akan pakaian orang Han. Kalau nanti keduanya
sudah balik, tentulah Keh Lok sudah dapat menundukkan hatinya. Kalau
kumengenakan pakaian orang Han, tentunya ia akan menyukainya.”
Thaikam diperintahkan untuk
menyediakan seprangkat pakaian orang Han. Tapi ternyata hal itu tak terdapat
didalam istana. Seorang thaikam kecil mendapat akal, dia menCarinya ketempat
sandiwara wayang. Baginda girang sekali dan berkenan terus memakainya. BerkaCa
diCermin, beliau dapatkan dirinya lebih tampan.
Tiba-tiba terdengar derap kaki
orang mendatangi dengan pelan-pelan .
“Hongthayhouw (ibusuri)
berkunjung kemari!” bisik sithaikam kecil.
Kian Liong melengak, ketika
mengawasi kearah Cermin. Benar, disitu tampak thayhouw berdiri dengan wajah
bengis, mengunjuk kemarahan. Buru-buru Kian Liong membalik diri untuk
menyambutnya: “Apakah thayhouw belum beristirahat?”
Thayhouw mengisyaratkan supaya
sekalian thaikam meninggalkan tempat itu. Beberapa saat kemudian, kedengaran
Thayhouw berkata dengan suara parau: “Hamba istana sama melapor hari ini bahwa
kau tak enak badan, tidak mengadakan rapat dan persidangan, tak suka dahar.
Karena itu, kudatang menjengukmu!”
“Anakda kini sudah enakan. Hanya
sedikit tak bernapsu makan, tapi tak apa-apa, jadi tak berani membikin kaget
thayhouw.”
Thayhouw tak menyahut untuk
beberapa saat. Lalu katanya: “Apakah karena terlalu kenyang makan hidangan Hwe
atau hidangan Han?”
Kian Liong terkesiap, sahutnya:
“Kemaren mendapat hidangan sate kambing.”
“Itu kan masakan orang Boan-Ciu,
hm, rupanya kau sudah bosan menjadi orang Boan”.
Alas uCapan thayhouw yang sekeras
baja itu, Kian Liong tak berani segera menyahut.
“Budak perempuan Hwe itu sekarang
kemana?” tanya thayhouw pula.
“Ia kurang baik perangainya,
anakda titahkan orang membawanya keluar supaya diajar adat”.
“Ia selalu membawa pedang,
berkeras tak mau menuruti kau, apa gunanya kau suruh orang menundukkan hatinya?
Dan siapa yang kau suruh ittu?”
Didesak begitu, terpaksa Kian
Liong menjawab: “Seorang kepala Siwi yang sudah tua, orang, she Pek”.
Thayhouw memandang kemuka,
katanya dengan mendalam: “Kini kau sudah berusia 40 th. lebih, tentu tak perlu
akan ibu lagi?”
Kian Liong terkejut bukan main,
buru-buru menyanggapinya: “Mengapa thayhouw menguCap begitu, kalau anakda tidak
berbakti, mohon thayhouw memberi hukuman”.
“Kau adalah kaisar, orang yang
dipertuan diseluruh negeri, mau berbuat apa tentu bisa, mau membohong pun lebih
dari bisa.”
Tahu Kian Liong' bahwa thayhouw
mempunyai banyak sekali kaki-tangan, jadi tak dapatlah dia untuk mengelabuinya.
Maka katanya dengan pelan: “Yang- mengajar perempuan itu, ada lagi yang anakda
titahkan, yaitu seorang terpelajar yang anakda jumpakan di Kangiam. Dia
berpengetahuan luas...........................”
“Bukankah orang she Tan dari
Hayleng?” tanya thayhouw dengan keren.
Kini Kian Liong tak berani
berkutik lagi.
“Ah, makanya kau kini mengenakan
pakaian orang Han!' Mengapa kau tak bunuh aku sekali?” desak thayhouw.
Kian Liong mengelah napas, terus
mendumprah dan berlutut, katanya: “Kalau anakda mempunyai hati yang tak
berbakti, biarlah langit dan bumi menumpasnya!”
Thayhouw kibaskan lengan bayunya,
lalu turun keloteng bawah. Kian Liong serta merta mengikutinya. Meskipun ibu
suri itu sudah berusia lanjut, tapi gerakannya masih gesit. Ia menuju ke
paseban Bu Ing Tian.
Selagi Kian Liong mengikuti,
dilihatnya ditepi lorong itu berdiri dua orang Siwi yang diutusnya untuk
menCari kabar perihal Hiang Hiang. Mereka akan melapor. Betapa inginnya Kian
Liong untuk mendengar laporannya, tapi dalam keadaan seperti waktu itu, dia tak
berani dan terus mengikuti thayhouw.
“Harap thayhouw yangan marah,
bilamana anakda bersalah mohon diberi pengampunan,” kata Kian Liong.
Thayhouw duduk disebelah kursi.
Setelah napasnya kembali tenang, berkatalah beliau: “Untuk apa kau undang orang
she Tan itu kemari? Dan kau berbuat apa saja di Hayleng?”
Kian Liong tundukkan kepala tak
menyaut.
“Kau memperingati jasa menteri
besar dari marhum ayahandamu, aku tak menjalankan,” kata thayhouw. Tiba-tiba
suaranya berobah keren ber-sungguh-sungguh, lalu berseru: “Apakah betul-betul
kau bermaksud membangun kerajaan Han lagi?” Kau akan membasmi kita bangsa Boan
bukan?”
“Harap thayhouw yangan
memperCajai kabardua yang tidakdua. Sekali-kali anakda tak ada hati demikian.”
“Orang she Tan itu dari gereja
Siao Lim Si di Hokkian, membawa apa saja untukmu?”
Kembali Kian Liong melengak.
Diam-diam dia heran, mengapa thayhouw yang hanya dikelilingi oleh para kiong-li
(dayang istana), bisa mendapat laporan yang sedemikian Cepatnya.
“Orang she Tan itu hendak
menghaturkan renCana berontak, anakda telah memusnakan kesemua renCana itu,”
Kian Liong terpaksa menerangkan.
“Kalau begitu, hukuman apa yang
hendak kau berikan padanya?”
“Dia mempunyai komplotan yang
Anggotaduanya terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi yang berani mati.
Mengapa anakda masih belum bertindak, itulah karena akan menunggu kesempatan
baik akan membasmi mereka semua, untuk menjaga yangan sampai ada yang lolos
hingga menimbulkan bahaya dikemudian hari.”
Mendengar itu wajah thayhouw agak
berobah tenang. “Apakah uCapanmu itu dapat diperCaja?” desaknya pula.
Bermula sejak pertemuannya dengan
Tan Keh Lok dipagoda Liok Hap Ta, hati Kian Liong memang agak terpengaruh. Tapi
ketika kini diketahuinya rahasia renCana itu sudah terbongkar', dia anggap hal
itu besar sekali resikonya. Yangan-yangan “bermaksud menggambar harimau, tapi
berbalik merupakan gambar anjing” atau karena mendongak keatas hendak menCapai
rembulan, tak tahu kaki terperosok kedalam lubang.
SeCepat itu tergoreslah suatu
keputusan dalam hati Kian Liong: HONG HWA HWE harus dibasmi!
“Dalam tiga hari, anakda pasti
akan titahkan tabas kepala orang she Tan itu!” katanya kemudian.
Roman yang bengis dari thayhouw,
segera mengunjuk kegembiraan, serunya: “Bagus, itu baru dinamakan berbakti pada
leluhur!”
Memang Thayhouw itu sangat
prihatin bahwa baginda bukan anak' kandungnya sendiri. Asal rahasia itu bocor,
kerajaan tentu gonCang. Syukurlah, berpuluh tahun, hal itu tetap tersimpan
rapat-rapat. Kematian yang mendadak dari mak inang Liauw-si yang memberi air
susu pada baginda, menimbulkan keCurigaan thayhouw. Ia Coba menyelidiki, namun
tak mendapat keterangan apa-apa. Dipanggilnya rombongan hiat-thi-Cu, untuk
melakukan penyelidikan kerumah keluarg Tan di Hayleng.
Soal lenyapnya baginda di HangCiu
(ditawan dipagoda Liok Hap Ta), pertemuan dengan Tan Keh Lok, kunjungan kemakam
keluarga Tan, kesemuanya dilaporkan kepada thayhouw oleh kawanan hiat-thi-Cu
itu. Thayhouw menjadi gelisah, karena dianggapnya baginda kini sudah mengetahui
asal usul dirinya. Jalan satuduanya, ialah mengadakan pen-jagaan seCara
diam-diam. Pikirnya: “Dia bersembahyang kemakam orang tuanya, pun hanya suatu
kebaktian, asal dia tak berbuat apa-apa, akupun takkan mau bertindak.”
Maka pada hari itu sewaktu
baginda menerima kunjungan Tan Keh Lok, dan kemudian menitahkannya membawa
gadis Ui itu keluar istana, tahulah Thayhouw bahwa baginda tentu akan membuat
renCana gelap. Begitulah malam itu lebih dulu ia mengatur penjagaan kuat, baru
mengunjunginya sendiri. Ketika didapati baginda tengah mengenakan pakaian orang
Han, bukan main gusarnya Thayhouw. Ia telah mengambil keputusan penting yang
“drastis” dan maha dahsyat: turun tangan lebih dulu untuk melenyapkan baginda!
“Dari beberapa tempat anakda
telah mendapat banyak sekali orang berilmu, kiranya Cukup kuatlah untuk
menghadapi kawanan pemberontak itu. Juga anakda bermaksud untuk pinjam beberapa
tenaga Si-wi dari Thayhouw,” demikian kata Kian Liong lebih lanjut.
“Hm, terhadap orang-orangku,
biasanya kau tak menyukai. Kini hendak kau adu dengan orang-orang HONG HWA HWE
supaya Dua-duanya musna. Siasat 'pinjam pisau membunuh orang' itu, masa aku
tidak tahu?” pikir Thayhouw. Lalu jawabnya: “Baik, nanti kalau sudah sampai
saatnya, kau boleh menggunakannya.”
Oleh karena baginda kepingin
mendengar laporan tentang keadaan Hiang Hiang, beliau lalu menyilahkan agar
Thayhouw beristirahat.
“Hm, baik, kau ikutlah kemari,”
sahut Thayhouw, lalu menuju keruangan tengah dari paseban Bu Ing Tian.
Thayhouw lantas mengetok pintunya
dua kali. Pintu pa-;ban itu segera terbuka. Kian Liong terkejut demi nampak
didalam ruangan itu terang benderang dengan penerangan lilin. Para thaikam
berjajardua dalam dua barisan, sedang delapan orang menteri-besar tengah
berlutut menyambutnya. Thayhouw dan Kian Liong segera mengambil tempat duduk
pada kursi ditengahdua ruangan.
Demi mengawasi keadaan disitu,
hati Kian Liong berCekat. Ke-delapan menteri-besar itu, kesemuanya adalah
pangerandua keluarga kerajaan. Yang berada dimuka sendiri adalah saudara
baginda, pangeran Hong Ciu, putera kelima dari Yong Ceng. Kemudian The-jinong,
Kiong-jinong, Lu-jinong, Ju-jinong, serta Pak Ung pweklek dan Tiau Hwi Tay-Ciangkun.
Kian Liong gelisah, hatinya
menebakdua apakah gerangan maksud Thayhouw itu.
Thayhouw berdehem satu kali, lalu
berkata: “Sewaktu Sian-te (kaisar almarhum) mangkat, beliau pesan agar pasukan
Pat-ki-ping dipecah jadi delapan dan dipimpin oleh kedelapan puteranya. Tapi
karena beberapa tahun ini tentara itu diperlukan untuk mengamankan daerah
perbatasan, maka pesan Sian-te tersebut belum terlaksana. Kini berkat rejeki
dari para leluhur dan berkat kebnyaksanaan dari baginda yang sekarang, daerah
perbatasan (Hwe) sudah dapat diamankan. Maka mulai saat ini, Pat-ki-ping
tersebut kuserahkan padamu berdelapan. Harap kalian pergunakan sebagaimana
mestinya untuk membalas budi baginda.”
“Hm, kiranya ia masih tak
memperCajaiku, kekuasaanku atas ketentaraan di-pecahdua,” pikir Kian Liong.
“Nah, kini silakan baginda yang
membagikannya,” seru Thayhouw.
“Ah, kini aku betul-betul kalah
angin. Tapi karena akupun sudah tak berniat untuk melaksanakan gerakan itu,
kiranya pemeCahan kekuasaan militer inipun tak menjadi soal,” kembali Kian
Liong menimbangdua.
Maka segera induk pasukan
Pat-ki-ping dipecah dan ditimbang terimakan kepada kedelapan saudaranya itu.
Thayhouw minta supaya penyerahan
itu diberikutkan juga dengan surat penyerahan yang resmi. Atas isyaratnya, Ti
Hian thaikam lalu maju berlutut dengan membawa sebuah nenampan emas. Diatasi
nenampan itu terdapat sebuah kotak besi. Thayhouw membuka kotak tersebut,
mengambil segulung kertas yang diberikan kepada baginda. Tampak oleh baginda
pada bagian luar dari gulungan kertas itu terdapat dua huruf Boan dan dua huruf
Han yang berbunyi “testamen.”
Disebelah huruf-huruf itu,
terdapat pula selarik tulisan berbunyi: “Bila negara ada perubahan besar,
kedelapan pangeran Pat-ki-jin-ong supaya bersama-sama membukanya.” Tanpa terasa
tangan Kian Liong gemetar. Insyaplah beliau, bahwa mendiang baginda Yong Ceng
jauh-jauh hari telah membuat persiapan rapi: Apabila rahasianya (Kian Liong)
sampai bocor dan baginda itu sampai memberontak, menurut testamen, kedelapan
pangeran itu harus melenyapkan baginda dan mengangkat kaisar baru.
Tapi baginda Kian Liong ternyata
seorang yang bisa Cepat menyesuaikan diri dengan keadaan, sembari angsurkan
testamen itu kepada thayhouw, beliau bersehjum, katanya: “Ayah baginda
berpemandangan jauh, dapat mengetahui hal yang bakal terjadi ratusan tahun
kemudian”.
“Taruhkan testamen Sian-te ini
dipaseban Sui Seng Tian diistana Yong Ho Kiong. Suruh 100 pengawal Istimewa
untuk menjaganya. Sekalipun baginda yang memerintahkan, tak boleh mereka
tinnggalkan tempat itu!” seru thayhouw kepeda Ho-jin-ong, siapa segera melakukan
perintah itu.
Istana Yong Ho Kiong terletak
didalam pintu An-ting-mui disebeiah utara barat kota Pak-khia. Dahulu menjadi
tempat kediaman Yong Ceng sewaktu belum menjadi Hongte dan masih menjadi
Su-pwelek. Untuk mengenangkan marhum ayahandanya itu, Kian Liong menitahkan
membangun sebuah kuil Lama disitu.
Maksud thayhouw mengunjukkan
testamen itu kepada Kian Liong jalah agar Kian Liong mau perhatikan bahwa kalau
dia berani berbuat sesuatu yang membahayakan kedudukan pemerintah Boan,
thayhouw itu sudah mempunyai renCana tetap untuk membasminya. Lain dari itu,
dengan ditaruhnya testamen tersebut. digedung lama kediaman Yong Tiong dahulu,
alasannya adalah yangan sampai melupakan pada mendiang kaisar itu. Tapi hal
yang sebenarnya, thayhouw menaruh kekuatiran kalaudua Kian Liong nanti diam?
mengambil dan memusnakannya.
Kini legalah hati thayhouw.
Kedengaran ia menguap dan mengelah napas: “Usaha yang beribu tahun dasarnya
itu, harap kau menjaganya dengan baik-baik .”
Sehabis meninggalkan pesan itu,
ia segera berbangkit dan terus masuk kedalam istana Cinkiong. Setelah mengantar
thayhouw, buru-buru Kian Liong mendapatkan Pek Cin untuk meminta keterangan.
“Tan-kongCu sudah membawa nio-nio
balik keistana. Kini nio-nio berada di Po Gwat Lauw,” kata Pek Cin.
Bergegas-gegas Kian Liong
meninggalkan paseban itu. Sampai dimuka pintu, baginda bertanya pula: “Ditengah
jalan kau mengalami kejadian apa?”
“Hamba berjumpa dengan rombongan
orang HONG HWA HWE Syukur Tan-kongCu menCegahnya hingga tak sampai kejadian
apa-apa.”
Kian Liong mengangguk dan suruh
Pek Cin mengikutnya. Sampai di Po Gwat Lauw, benar juga Hiang Hiang KiongCu
sudah berada disitu.
“Bagaimana, bagus apa tidak
Tembok Panyang itu?” tegurnya dengan girang.
Hiang Hiang tak mau menyahut.
“Sebentar setelah kusiapkan urusandua
penting, nanti akan kutanyai kau lagi,” seru baginda seraya ajak Pek Cin kelahi
ruangan. Disitu beliau titahkan Pek Cin siapkan barisan Siwi yang paling boleh
diperCaja, untuk menjaga diluar pagoda dan dipunCaknya. Tak seorang thaikam
yang diperbolehkan masuk keluar. Setelah itu, baginda panggil pemimpin barisan
Gi-lim-kun, Hok Gong An.
Kesemuanya itu telah dikerjakan
Pek Cin dengan Cepat. Hok Gong An bergegas-gegas menghadap. Baginda titahkan
dia membawa anak buahnya untuk mempersiapkan bayhok diluar dan didalam istana
Yong Ho Kiong. Kemudian titahkan Pek Cin persiapkan bayhok pada setiap ruangan
dari istana Yong Ho Kiong tersebut.
“Besok akan kuadakan perjamuan
diistana itu. Undanglah Tan-kongCu dan semua pentolan HONG HWA HWE kesana,”
kata Kian Liong.
Kini tahulah Pek Cin apa maksud
baginda itu. Ini berarti suatu pembunuhan besarduaan. Diapun menurut saja dan
segera akan berlalu. Tapi tiba-tiba baginda menCegahnya, dan menitah: “Undang
kemari Lama Besar Fuinke dari Yong Ho Kiong!”
Tak berapa lama Lama Besar itu
menghadap. “Sudah berapa tahun kau berada di Pakkhia sini?” tanya baginda.
“Hamba mengabdi baginda sudah
duatiga tahun,” jawab paderi itu.
“Ha, kau ada ingatan balik ke
Tibet apa tidak?”
Lama Besar itu hanya menjura
tanpa menyahut.
“Di Se-Ciong (Tibet) kini ada
Dalai Lama dan Panhen Lama yang dianggap rahajatnya sebagai penjelmaan Buddha.
Tapi mengapa tiada Buddha hidup yang ketiga?”
“Itu peraturan yang berlangsung
dari dahulu, sejak......”
“Kalau kuangkat kau menjadi
Buddha hidup ketiga, mempunyai daerah kekuasaan sendiri, apa kau suka
mentaatinya?” sela Kian Liong mendadak.
Mendapat kebahagiaan yang tak
pernah diimpikan itu, Fuinke girang setengah mati, berulang-ulang dia menjura,
serunya: “Budi yang baginda limpahkan itu, sampai mati hamba takkan lupakan.”
“Sekarang akan kuminta kau
mengerjakan suatu hal. Sepulangnya dari sini, kumpulkan semua Lama yang boleh
diperCaja. Siapkan belirang, minyak dan kayu bakar. Begitu kau terima berita
dari dia,” kata Kian Liong sambil menunjuk Pek Cin, “kau harus lekas
be-ramaidua melepas api dari paseban besar Yong Ho Kiong hingga sampai paseban
Sui Seng Tian.”
Kini Fuinke berbalik kaget tak
terkira. Buru-buru dia menjura: “Itu adalah bekas kediaman baginda Yong Ceng
almarhum. Disitu terdapat banyak sekali barang-barang peninggalan yang
berharga. Hamba tak berani ..............................”
“Kau berani membangkang titah
raja?!” seru Kian Liong dengan bengis.
Semangat Fuinke serasa terbang,
peluh dingin membasahi tubuhnya. Katanya: “Hamba akan melakukan titah baginda.”
“Kalau perkara ini sedikit saja
sampai bocor, delapan00 Lama dari istana Yong Ho Kiong akan kubasmi habis,”
anCana baginda. Tapi lewat beberapa jurus kemudian, katanya pula dengan
ramahnya: “Dipaseban Sui Seng Tian dnyaga oleh anak buah Ki-ping,
ber-hati-hatilah hendaknya. Yangan hiraukan mereka, biar merekapun turut
terbakar sekali. Kalau pekerjaan itu sudah selesai, kaulah yang jadi Buddha
hidup ketiga! Nah, kau boleh pulang.”
Kaget terCampur girang Fuinke,
lalu mohon diri.
Dengan renCananya yang hebat itu,
lapanglah dada baginda. Sekali tepuk dua ekor lalat. Orang-orang HONG HWA HWE
dan pengawaldua thayhouw sekali gebrak, samadua musna. Dan barulah beliau
dapat, ber-senangdua sepuasnya menikmati kekaisarannya.
Saking girangnya dia segera
menyembat sebuah khim. Lagu yang dimainkan itu berirama lagu peperangan, penuh
hawa pembunuhan. Baru beroleh separoh, putuslah snaar yang ke7. Kian Liong
kaget, tapi dilain saat dia tertawa keras dan masuk kedalam ruangan Hiang
Hiang.
“Tan-kongCu ajak pesiar kau ke
Tembok Panyang, bukanlah diam-diam memberi bisikan padamu supaya bunuh aku?”
tanya Kian Liong seraya duduk berjauhan dari nona itu.
“Dia anjurkan aku supaya menurut
padamu.” “Dan kau turut anjurannya, bukan?” “Aku mendengar setiap katanya.”
Kian Liong girang berCampur
dengki. “Habis mengapa kau masih membekal pedang? Mari berikan benda itu
padaku!” katanya lagi.
“Tidak, nanti setelah kau
benar-benar menjadi kaisar yang baik.”
“Ha, kiranya mereka pakai siasat
begitu untuk menekan aku,” pikir Kian Liong. Seketika pikirannya penuh sesak
dengan kemarahan, kedengkian, gemas dan bernapsu. Katanya kemudian: “Bukankah
aku sekarang ini seorang raja yang baik?”
“Hm, dari suara khim tadi, kutahu
ada pembunuhan besaran. Tak seharusnya kau menambah kejahatanmu,” sahut Hiang
Hiang.
Kian Liong amat terkejut. Tanpa
disadari, tadi beliau tumpahkan isi hatinya dalam irama khim. Seketika
terkilaslah sesuatu dalam pikirannya, katanya: “Benar, aku akan membunuh orang.
Tan-kongCu itu tadi telah kusuruh tangkap. Kalau kau menurut aku, nanti
kulepaskan dia. Tapi kalau kau tetap membangkang, hm, kaupun sudah tahu bahwa
kuhendak lakukan pembunuhan besarduaan.”
“Jadi kau mau bunuh adikmu
sendiri?” tanya Hiang Hiang dengan terkejut.
“Ha, jadi dia telah tuturkan segala
apa padamu?” balas bertanya Kian Liong dengan roman bengis.
“Aku tak perCaja kau mampu
menangkap dia. Dia jauh lebih pandai dari kau,” seru Hiang Hiang.
“Pandai? Hm, taruh kata tidak
hari ini, besok pagi tentu dapat, lihat saja,” kata Kian Liong.
Hiang Hiang tak menyahut.
“Sebaiknya kau kikis saja
pikiranmu itu. Aku seorang kaisar baik atau busuk, kau tetap takkan berjumpa
lagi dengan dia untuk se-lama-lamanya,” kata Kian Liong lagi.
“Kau kan sudah berjanji padanya
akan menjadi seorang kaisar yang budiman, mengapa kini berbalik pikiran?” tanya
Hiang Hiang.
“Aku akan berbuat bagaimana,
itulah menurut sesuka hatiku. Siapa berani melarang?”
Tadi kaisar itu mengalami tekanan
jiwa yang hebat dari thayhouw. Untuk menumpahkan kemengkalan hatinya, kini dia
tumpahkan pada sinona. Dan memang akibatnya, Hiang Hiang rasakan dadanya
seperti dihantam martil.
“Oh, kiranya raja ini hanya
menipu saja. Kalau siangdua tahu begitu, perlu apa aku kembali kemari,” pikir
Hiang Hiang. Saking tak kuasa menahan marahnya hampir-hampir ia pingsan.
“Kau menurutlah saja padaku. Tak
nanti kumenyusahkan dia. Malah akan kuberinya kedudukan tinggi, agar dia
menikmati kesenangan hidup,” bujuk Kian Long pula.
Seumur hidup belum pernah Hang
Hiang ditipu orang. Pada perasaannya, raja itu hanya seorang yang jahat karena
bertabiat kejam. Tapi kini ia tahu pula, raja kejam itu ternyata juga liCik.
“Begitu jahatlah raja ini, tentu
diapun dapat berusaha untuk menganiayanya. Meskipun dia jauh lebih lihai dari
raja ini, namun dia tentu tak sedikitpun Curiga kalau tega menganiayanya. Aku
harus berusaha supaya dia tak terjebak dalam perangkap raja. Tapi bagaimana
bisa kukatakan padanya?” pikir Hiang Hiang.
Dalam sikapnya sedang masjgul
itu, Hiang Hiang tampak lebih aju, sehingga baginda untuk beberapa saat berdiri
terlongong-longong mengawasinya.
“Seluruh istana ini semua adalah
kaki-tangan baginda. Siapa dapat kusuruh menyampaikan surat padanya? Dalam
keadaan mendesak seperti ini, aku harus bertindak tegas”, pikir Hiang Hiang,
siapa lalu berkata: “Maukah kau berjanji takkan menganiayanya?”
“Ya, aku takkan menCelakakannya,”
seru baginda dengan girang.
Melihat Caranya menyanggupi itu
hanya seCara serampang-an saja, tahulah Hiang Hiang, bahwa baginda takkan
sungguh-sungguh menetapi janjinya itu. Kebenciannya makin mendalam. Kini ia
mendapat suatu ketetapan, katanya: “Besok pagidua aku hendak berkunjung
kemesjid. Disana dengan semua kaumku, aku akan bersembahyang dan setelah itu
baru aku akan menurut padamu”.
“Bagus, setelah besok pagi,
yangan kau ingkar lagi!” seru Kian Liong dengan girang, lalu turun kebawah.
Hiang Hiang segera menulis
sepucuk surat, maksudnya untuk memperingatkan Tan Keh Lok, bahwa kaisar itu
akan menganiayanya, bahwa renCananya untuk membangun kerajaan Han itu hanya
suatu impian kosong saja, maka dia minta agar anak muda itu lekas Cari daya
untuk menolongnya keluar dari istana neraka itu.
Surat itu dibungkusnya dengan
seCarik kertas dan ditulisi dengan huruf Uigor, maksudnya surat itu dialamatkan
pada ketua HONG HWA HWE Tan Keh Lok.
Pikir Hiang Hiang, semua orang Ui
bangsanya itu sangat mengindahkan sekali pada ayah, Cici dan dirinya. Begitu
ada kesempatan, surat itu akan diberikan pada salah seorang Ui dan ia perCaja
tentu orang itu pasti suka mengerjakannya. Setelah itu, ia merasa, bahwa batu
yang mendidih dihatinya selama ini seperti terangkat, dan dengan hati lega
pulaslah ia.
Ketika ia membuka mata, ternyata
hari sudah hampir terang tanah. Buru-buru ia bangun dan berhias. Semua dayang
yang melihat perubahan sikap dari puteri Ui itu, sama bergirang. Setelah surat
itu disembunyikan dalam lengan bayunya, Hiang Hiang lalu berjalan keluar.
Diluar pagoda, sebuah tandu dengan empat orang thaikam sudah siap untuk
membawanya ke mesjid.
Memandang kepunCak menara mesjid
itu, hati Hiang Hiang agak terhibur. Didalam mesjid, tampak dua baris pengawal
berdiri di kanan-kiri.
Bermula ia girang demi dilihatnya
diantara pengawal itu terdapat dua orang Ui. Buru-buru hendak diangsurkannya
surat itu kepada orang tersebut. Tapi demi matanya terbentrok dengan sinar mata
orang itu, Hiang Hiang bersangsi dan batal menyerahkan surat itu.
Kiranya walaupun orang mengenakan
pakaian orang Ui, tapi wajah, dan sorot matanya tak mirip dengan suku Ui.
Kembali Hiang Hiang memandang kesebelah kiri pada seorang Ui lainnya. Orang itu
mirip sekali dengan orang Ui, tapi sikapnyapun agak aneh.
“Apakah kamu disuruh kaisar untuk
menjaga aku?” tanya Hiang Hiang sengaja dilam bahasa Ui.
Benar juga, kedua orang Ui itu
tak menaati, hanya angguk kepala saja. Kini putuslah sudah harapan Hiang Hiang.
Ketika dia melangkah kedalam, ada delapan orang Ui yang mengikutinya.
Orang-orang Ui itu sebenarnya adalah Si-wi istana yang berpakaian seperti orang
Uigor. Karena orang Ui yang sesungguhnya, tak boleh dekatdua dengan puteri Ui
tersebut.
Kini imam mulai memimpin upaCara
sembahyangan. Dengan berlutut, air mata Hiang Hiang membanjir turun, hatinya
remuk rendam. Dalam hatinya, hanya sebuah tekad: “bagaimana mendapat jalan
untuk memberitahukan kepadanya? Sekalipun aku harus binasa, aku harus dapat
menyampaikan berita ini padanya!”
“Ya, sekalipun aku harus binasa,”
pikiran itu tiba-tiba terkilas dalam hatinya. Dan seCepat itu pula ia telah
mengambil keputusan yang bulat: “Kalau aku binasa disini, berita itu tentu akan
dapat diterimanya. Ja, hanya itulah satuduanya jalan!”
Tapi tiba-tiba ia teringat akan
ajat keempat dari kitab Quran: “Kamu yangan bunuh diri. Allah tetap akan
melindungimu. Barang siapa yang melanggar pantangan ini, akan kulempar kedalam
api.
Demikian sabda Nabi Mohammad itu
terus berkumandang ditelinganya: “Barang siapa membunuh diri, se-lama-lamanya
akan dijebloskan dalam api neraka!”
Bukannya ia takut mati, karena ia
perCaja bila nanti meninggal, tentu akan naik kesorga, kelak akan dapat
berkumpul dengan kekasihnya. Kata ajat Quran: “Mereka akan mendapat pasangannya
disorga dan berkumpul se-lama-lamanya.”
Tapi tidakkah ia akan menyalahi
ajaran itu, apabila ia sampai bunuh diri?
Teringat hal itu, hatinya kunCup.
Berbareng pada saat itu terdengar suara orang banyak sekali tengah menyanyikan
lagu puji kebahagiaan ditaman sorga. Bagi seorang ummat yang patuh akan
agamanya, tiada hal yang lebih menakutkan dari hukumandua yang mengerikan
dineraka. Namun keCuali dengan cljalan nekad itu, rasanya ia sudah tak
mempunyai lain daya lagi. Begitulah setelah terjadi pertentangan dalam batinnya
yang hebat, akhirnya Cintalah yang menang.
“Allah yang Maha SuCi, bukan
hamba tak perCaja akan keadilanMu. Tapi selain mengorbankan jiwa ragaku, aku
tak dapat menCari daya lain untuk memberitahukan padanya.”
Sehabis berdoa begitu, badi-badi
diCabutnya keluar, lalu menggurat batu merah, dari lantai disitu dengan
kata-kata: “Yangan perCaja raja itu.”-Habis itu, ia berteriak pelan-pelan : “O,
Toako!”
Kemudian ujung badi-badi yang
tajam itu, ditusukkan kedadanya, dada yang paling suCi dan Cantik dikolong
langit.
Rombongan orang-orang Ui tengah
bersembahyang, sedang beberapa Siwi pengangkut tandu itupun ikut serta
berlutut. Tiba-tiba Siwi yang berada disebelah kanan Hiang Hiang tadi, melihat
ada darah segar mengalir dilantai. Dengan terkejut diawasinya arah alir darah
itu yang ternyata berasal dari bawah tubuh Hiang Hiang. Pakaiaan sinona yang
serba putih itu sudah berlumuran warna merah. Saking kagetnya, Siwi itu
berteriak, lalu lompat untuk menarik lengan Hiang Hiang, yang ternyata
kepalanya sudah terkulai dan matanya tertutup. Sedang didadanya tertanCap
sebuah badi-badi.
Kini kita tengok keadaan
rombongan HONG HWA HWE yang tengah berunding diruangan tengah. Mereka tengah
mendengarkan laporan dari Cio Su Kin yang baru kembali dari Kwitang dan
menCeritakan tentang keadaan orang-orang gagah didaerah itu. Tiba-tiba orang
melapor bahwa Pek Cin minta bertemu. Buru-buru Tan Keh Lok menyambutnya
sendiri.
Pek Cin segera menyampaikan
firman baginda yang maksudnya mengundang semua pemimpin HONG HWA HWE untuk
hadir dalam pesta di Yong Ho Kiong. Pesta itu sengaja diadakan oleh baginda
diistana tersebut., karena baginda kuatir nanti thay-houw dan bangsawandua Boan
menaruh keCurigaan.
Mendengar itu hati Keh Lok tak
keruan rasanya. Girang karena Hiang Hiang berhasil mempengaruhi baginda. Tapi
hatinya mendelu dan terharu mengingat gadis yang dikasihinya itu telah
mengorbankan diri menurut kehendak baginda.
Setelah Pek Cin pergi,
orang-orang HONG HWA HWE berapat. Semua orang sama bergirang mendengar baginda
betul-betul mau melaksanakan gerakan besar itu. Sampaipun Bu Tim, Liok Hwi
Ching, Tio Pan San dan Bun Thay Lay, orang-orang yang pernah mengalami
kekejaman pemerintah Ceng dan paling tidak perCaja pada kaisar Boan itu, kini
mau-tak-mau turut bergembira juga. Mereka anggap, kesemua itu dapat berjalan
lanCar disebabkan baginda itu telah menginsyapi asal usul dirinya dan kedua
kalinya, adalah kakak kandung dari CongthoCu mereka.
Karena kuatir tak dapat mengatasi
perasaannya kalau berada seorang diri, maka Tan Keh Lok ajak semua saudaranya
untuk pasang omong dengan bebas dan biCara tentang ilmu silat, berkatalah Bu
Tim:
“Kali ini didaerah Hwe dan gereja
Siao Lim Si, CongthoCu telah dapat mempelajari beberapa macam ilmu silat yang
lihai, maukah CongthoCu mempertunjukkannya barang beberapa jurus?”
“Baiklah” sahut Keh Lok. “Memang
sedianya kuhendak minta Liok-loCianpwe dan sekalian saudara mengujinya, karena
kukuatir ada beberapa bagian yang masih belum dapat kupahami.”
Oleh karena ilmu silat
“Hang-liong-Cap-pwe-Ciang” adalah ilmu pusaka Cabang Siao Lim yang menurut
pesanan Thian Keng Siansu tak boleh diturunkan pada lain orang, maka Tan Keh
Lok bermaksud hendak menunjukkan ilmu silat dari tengkorak digunung Sin-nia itu
saja.
“Sipsute, tolong kau tiup
serulingmu,” pinta Keh Lok.
Hi Tong mengiakan. Wan Ci
buru-buru lari kedalam kamarnya untuk mengambilkan benda itu.
“Bagus, kini kepunyaan lain orang
pun mau menyimpannya.” Lou Ping menggoda.
Selebar muka Wan Ci berobah
merah.
Kiranya waktu lengan Wan Ci
dipatahkan Ciauw Cong itu, sepanyang perjalanan Hi Tong merawatnya dengan
telaten sekali. Karena kasihan, timbullah rasa sayang. Dan rasa sayang itu,
betul-betul merupakan benih Cinta yang setulusnya. Hi Tong adalah seorang pemuda
yang jujur. Setelah rasa Cinta itu sungguh-sungguh keluar dari hatinya, diapun
tak maludua lagi untuk mengutarakannya.
Bagi Wan Ci, itu merupakan obat
mujarab pelipur lara. Karena kini Cintanya itu telah terbalas. Begitulah
apabila mereka berduaan, tentu lantas kesak-kusuk menumpahkan rasa hati
masing-masing. Ada kalanya mereka terkenang akan pertemuan mereka pertama kali
dihotel, dimana Hi Tong dengan gunakan serulingnya telah dapat menotok tubuh
kawanan Siwi.
“Koko, mengapa suhu tak mau
mengajarkan ilmu tiam-hiat padaku?” demikian pernah Wan Ci bertanya.
“Ha, meski Liok-susiok sudah
berusia tua, tapi ia tentu merasa segan untuk menutuk badanmu, dan sebaliknya
pun sungkan kalau kau menjamah tubuhnya. Padahal tiam-hiat harus betul-betul
dikenakan pada bagian tubuh. Tak apalah, kelak kalau kita sudah menjadi suami
isteri, nanti kuajarkan padamu.”
“Ah, tadi aku menduga salah pada
Suhu,” ujar sigadis.
“Ya, tapi kalau kuajarkan ilmu
itu padamu, kau harus berlutut menjalankan penghormatan mengangkat Suhu padaku”,
Hi Tong menggoda.
“Fui, Hiapa sudi?!” omel Wan Ci.
Begitulah sejak itu, Hi Tong
mulai mengajarkan dasar ilmu tiam hiat pada Calon isterinya. Karena pelajaran
itu memakai seruling, maka seruling Hi Tong dipinjam oleh Wan Ci.
Sementara itu, Tan Keh Lok sudah
lantas bersilat menurut irama aeruling.
“CongthoCu, dengan ilmu silat itu
kau berhasil merobohkan Ciauw Cong. Bagaimana kalau sekarang kutemani kau
ber-main-main dengan pedang?” kata Bu Tim lalu melolos pedang dan lonCat
ketengah.
“Baiklah, Totiang!” ujar Keh Lok
seraya menyerang bahu imam itu.
Bu Tim membabat turun mengarah
pinggang lawannya, namun Keh Lok miringkan tubuh menghindar sembari memutar
kebelakang dan menyerang punggung orang. Tanpa berpaling, Bu Tim sabetkan
pedangnya kebelakang. Walaupun demikian, sabetan itu tepat kenanya. Itulah
gerak “memandang gunung mengenang yang lalu,” salah suatu jurus yang luar biasa
dari ilmu pedang “tui-hun-toh-bing,” Ciptaan imam itu sendiri.
Gerakan Bi Tim itu mendapat sorok
pujian dari orang-orang yang menonton. Meskipun pertandingan itu hanya bersifat
“Cobadua,” tapi tak urung berjalan dengan seru dan tegang.
Selagi pertandingan berjalan
seru, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara nyanyian sedih. Bermula
orang-orang HONG HWA HWE itu sama tak menghiraukan, namun nyanyian itu makin
lama makin dekat kedengaran, hingga merawan hati orang.
Karena agak lama berdiam didaerah
Hwe, tahulah Sim Hi bahwa nyanyian itu adalah lagu berkabung yang biasa
diujanjikan oleh rombongan orang Ui yang tengah mengantar jenazah. Karena ingin
tahu, larilah anak itu keluar.
Tak antara beberapa lama, dia
kembali masuk dengan wajah puCat pasi, tubuhnya agak sempoyongan, ia mendekati
Tan Keh Lok dan berseru dengan suara sember: “CongthoCu!”
Bu Tim buru-buru tarik pulang
pedangnya, sedang Keh Lok pun segera bertanya ada apa pada Sim Hi.
“Hiang ............... Hiang
KiongCu meninggal!” tutur Sim Hi tak lanCar.
Seketika semua orang sama
melengak kaget. Keh Lok rasakan matanya berkunang-kunang, Bu Tim Cepat buang
pedangnya untuk memegang bahu ketua HONG HWA HWE itu.
“Bagaimana ia meninggal?” tanya
Lou Ping Cepat.
“Menurut keterangan salah seorang
saudara Ui, katanya puteri itu meninggal dimesjid. Ia bunuh diri dengan
badi-badi,” sahut Sim Hi.
“Mengapa orang-orang Ui sama
menyanyi?” tanya pula Lou Ping.
“Kaisar telah menyerahkan jenazah
KiongCu pada orang Ui. Sepulangnya dari pemakaman, hati mereka sama berduka dan
menyanyikan lagu itu.”
Semua orang sama me-maki-maki
kaisar, karena sudah begitu kejam hingga seorang gadis yang tak berdosa apa-apa
sampai mengambil keputusan yang begitu nekad. Teringat akan hubungannya, Lou
Ping menangis sesenggukan. Sebaliknya Tan Keh Lok nampak membisu saja. Semua
orang sama berkuatir dan Coba menghiburnya.
Tapi sekonyong-konyong ketua HONG
HWA HWE itu berkata: “Totiang, ilmu silat yang kupertunjukkan tadi belum
selesai, mari kita lanjutkan pula.”
Semua orang sama heran, melihat
sikapnya yang aCuh tak aCuh itu.
“Dia sedang berduka, baiklah
kumengalah sedikit,” pikir Bu Tim.
Begitulah keduanya mulai
bertanding lagi. Nyata-nyata gerakan Tan Keh Lok tetap linCah dan berbahaya,
seolah-olah tak terpengaruh akan kejadian tadi.
“Huh, kebanyak sekalian orang
lakidua itu tak berperasaan. Hanya karena urusan negara, sedikitpun dia tak
menaruh kasihan atas kematian kekasihnya,” demikian Wan Ci menumpahkan
kemendongkolannya kepada Hi Tong.
Sembari terus meniup serulingnya,
diam-diam Hi Tong berpikir: “CongthoCu sungguh berhati baja. Kalau aku, tentu
sudah menjadi sinting.”
Kuatir CongthoCu itu sampai kena
apa-apa, Bu Tim tak mau gunakan jurus-jurus yang berbahaya. Sebenarnya
pertandingan berjalan dengan berimbang, tapi sengaja Bu Tim berlaku ajal dan
mundur. Dan karena lambat menarik pedangnya, lengan Bu Tim telah kena tertusuk
tiga jari tangan Keh Lok. Begitu terjadi benturan itu, keduanya sama lonCat
menyingkir.
“Bagus, CongthoCu!” seru Bu Tim.
“Ah, totiang sengaja mengalah”,
kata Keh Tok dengan tertawa. Tapi belum saja suara ketawanya itu habis,
tiba-tiba dia menguak dan muntah darah.
Semua orang terkejut bukan main
serta buru-buru memegangnya.
“Ah, tak apalah!” Keh Lok
tertawa, lalu dengan menggelandot pada Sim Hi terus masuk kedalam kamar.
Melihat kejadian itu, Wan Ci
sesalkan diri karena tadi teiah menduga keliru pada ketua itu.
“Karena menahan perasaan duka,
dia sampai tumpah darah. Tapi kalau sudah beristirahat, tentu baiklah”, kata
Hwi Cing.
Mendengar keterangan jago tua
yang sudah kenyang pengalaman itu, barulah semua orang lega hatinya.
Setelah tidur kira-kira sejam
lebih, Keh Lok terbangun. Teringat akan urusan penting pada pertemuan nanti
malam, dia sesalkan diri mengapa begitu tak dapat menjaga diri. Namun kalau
teringat akan kebinasaan nona yang dikasihinya itu, hatinya tak terkatakan
sedihnya.
“Asri telah berjanji padaku akan
menurut baginda, mengapa mendadak bisa terjadi begitu? Ia tahu bahwa
pengorbanannya itu demi untuk kepentingan negara, kalau tak terjadi perubahan
penting, tak nanti ia sampai berlaku begitu nekad. Ah, disitu tentu terselip
apa-apa”, demikian pikir Keh Lok.
Sampai lama dia merenung, namun
tetap tak mengerti. Kemudian dia mendapat akal, ia menyaru sebagai orang Ui
mukanya dipupuri dengan arang. Lalu katanya kepada Sim Hi: “Aku akan keluar
sebentar.”
Sim Hi tak berani menCegah, tapi
diapun kuatir, maka dikuntitnya dengan diam-diam. Keh Lok tahu, namun dibiarkan
saja, karena menganggap anak itu mengandung maksud baik.
Dnyalan hiruk pikuk, dengan orang
dan kendaraan. Namun kesemuanya itu dianggap sepi saja oleh Keh Lok.
Begitulah setelah sampai
dimesjid, dia terus langsung memasukinya dan berlutut mendoa: “Asri, kau tentu
menunggu aku dialam baka. Aku telah berjanji padamu untuk menjadi umat Islam,
supaya kau tidak menunggu dengan sia-sia.”
Ketika mendongak, tiba-tiba
dilihatnya dilantai terdapat beberapa tulisan yang sudah tak jelas
kelihatannya. Nyata tulisan itu digurat dengan pisau dan berbunyi: “Yangan
perCaja pada raja.”
Guratan tulisan itu berwarna
merah darah. Malahan pada beberapa bagian dari lantai itu terdapat warna merah
yang agak tua.
“Masakah itu ketesan darah Asri?”
pikirnya, ia Coba menunduk untuk membaunya. Ternyata bekas itu berbau darah.
Tanpa terasa, air matanya membanjir turun.
Setelah puas menangis, tiba-tiba
pundaknya terasa ditepuk pelan-pelan oleh orang. Bagi seorang yang mengerti
silat, sedikit saja tubuhnya disentuh orang, tentu reakslnya Cepat sekali.
Demikian dengan Tan Keh Lok yang segera lonCat bangun sembari gerakkan tangan
kirinya untuk menangkis.
Tapi ketika diawasinya, bukan
main heran dan girangnya. Orang itu mengenakan pakaian seorang lelaki suku Ui,
tapi sepasang alisnya yang bagus menawungi sepasang biji mata yang bersorot
bening. Dia bukan lain adalah Chui-ih-wi-sam Hwe Ceng Tong.
Hari itu sigadis sebetulnya ikut
sang suhu Thian-san Siang Eng kekota Pakkhia untuk menolong adiknya. Tapi,
mungkin geledek ditengah hari masih kalah dibanding ketika dari seorang Ui ia
mendapat warta tentang meninggalnya sang adik. Maka bergegas-gegaslah ia pergi
kemesjid dan disitu dilihatnya seorang lelaki Ui tengah berlutut menangis
sambil menyebutdua nama Asri. Sedikitpun ia tak menyangka, kalau orang itu
ternyata Tan Keh Lok adanya.
Baru saja keduanya mulai
menuturkan pengalamannya, tiba-tiba dua orang si-wi tampak masuk. Buru-buru Keh
Lok menarik lengan Ceng Tong diajak berlutut bersembahyang.
“Bangun!” seru salah seorang
si-wi ketika lewat didekat Keh Lok.
Terpaksa Keh Lok bangun.
Tiba-tiba kedua si-wi itu memakai linggis untuk menCongkel lantaidua yang
tergurat tulisan berdarah tadi, terus dibawanya pergi.
“Apakah itu?” tanya Ceng Tong.
“Disini banyak sekali telinga,
lebih baik kita tengkurep sembahyang lagi, nanti kukasih tahu.”
Dengan bisik-bisik, Keh Lok lalu
menCeritakan apa yang dilihatnya tadi.
Dengan sedih dan marah berkatalah
Ceng Tong: “Ya, mengapa kau begitu sembarangan perCaja pada omongan raja itu?”
“Kuanggap dia itu seorang Han,
pula kakandaku sendiri,” sahut Keh Lok dengan menyesal.
“Huh, orang Han! Apakah orang Han
tak ada yang busuk? Kalau sudah enak-' menjadi kaisar, masakah ingat sanak
famili lagi!.”
“Ya, aku berdosa kepada Asri,”
kata Keh Lok berlinangdua air mata.
Merasa tadi kata-katanya terlalu
tajam, sedangkan orang menyesal dan berduka, buru-buru Ceng Tong menghiburnya:
“Ah, sudahlah, kau memang tak bersalah. Karena kau berjoang untuk nasib
rakyatmu. Lalu pesta diistana Yong Ho Kiong nanti malam, kau pergi atau tidak?”
“Tentu! Akan kubunuh raja itu
untuk membalaskan sakit hati Asri,” seru Keh Lok dengan menggretek lagi.
“Benar, juga untuk membalaskan
sakit hati ayah dan saudara-saudara bangsaku!” Ceng Tong pun geram sekali.
“Tapi kau belum menCeritakan
bagaimana kau lolos dari serangan pasukan Ceng waktu itu?”
“Itu waktu aku tengah menderita
sakit dan musuh menyergap dengan tiba-tiba. Syukur dengan gagah berani saudara
HuVun berempat menolong aku dan dibawa ketempat suhuku.”
“Asri. mengatakan padaku, biarpun
keujung langit kita tetap akan menCarimu,” kata Keh Lok kemudian.
Mata Ceng Tong tampak merambang
merah, katanya: “Mari pulang untuk berunding dengan Sekalian saudara.”
Nampak nona itu, bukan kepalang
girangnya Hi Tong. “Nona Hwe, aku senantiasa memikirkan dirimu,” sapanya.
Setelah ayah-bunda dan kedua
saudaranya meninggal, Ceng Tong merasa sebatangkara. Ia tak menaruh ganjelan
apa-apa lagi terhadap kekurangajaran Sim Hi tempo hari.
“Kau kini sudah tambah besar ja?”
sahutnya kemudian.
Tahu nona itu tak membencinya
lagi, Sim Hi girang sekali.
Setibanya dirumah, Thian-san
Siang Eng tengah pasang omong dengan orang-orang. Segera Keh Lok tuturkan
pengalamannya dimesjid tadi, Tan Ceng Tik yang aseran sudah lantas menggebrak
meja.
“Nah, apa kataku dulu? Kaisar
tentu akan menCelakakan kita. Anak itu (Hiang Hiang) tentunya sudah mengetahui
tipu kejinya, maka ia korbankan diri untuk memberi peringatan padamu,” teriak
jago tua itu.
“Kami sepasang suami isteri tak
beruntung akan keturunan. Sebenarnya kami bermaksud untuk mengambil
Cici-beradik itu sebagai anak, siapa nyana.........,” demikian kata Kwan Bing
Bwe yang tak dapat langsung karena sesenggukan.
“Nanti kepesta di Yong Ho Kiong,
kita harus membekal senjata. Karena senjata panyang tak diperbolehkan dibawa
masuk, kita bawa saja senjata yang pendek dan senjata rahasia,” kata Keh Lok kemudian.
Usul Keh Lok itu disetujui semua
orang.
“Nasi dan sajur dalam hidangannya
nanti, kebanyak sekalian tentu diCampur obat bius. Sebaiknya yangan kita
makan,” kata ketua HONG HWA HWE itu pula.
Kembali semua orang mengiakan.
“Bahwa kita bunuh kaisar itu
malam nanti, itulah sudah pasti. Tapi perlu kiranya kita mengatur renCana untuk
lolos,” kata Keh Lok lagi.
“Kita tentu tak dapat tinggal di
Tiong-goan lagi, sebaiknya kita menyingkir kedaerah Hwe saja,” usul Ceng Tek.
Sebenarnya rombongan HONG HWA HWE
tidak lama berada didaerah Kanglam. Dalam hati, tiada seorangpun yang tak
merindukan kampung halaman masing-masing. Namun tak ada lain pilihan lagi bagi
mereka: membunuh atau dibunuh kaisar. Begitulah setelah berunding, renCana
segera ditetapkan.
Bun Thay Lay pimpin Seng Hiap,
Jun Hwa, Siang Ing dan Su Kin untuk mempersiapkan bayhok dipintu kota sebelah
barat. Begitu saatnya tiba, mereka harus membasmi tentara penjaga pintu dan
menyambut rombongan Tan Keh Lok untuk terus lolos kearah barat.
Sim Hi disuruh mengepalai
rombongan thauwbak, siapkan kuda dan anak panah, menyambut diluar istana Jong
Ho Kiong. Dan Hi Tong ditugaskan untuk memberi tahu pada semua thauwbak HONG
HWA HWE dikota Pakkhia supaya menyampaikan berita pada seluruh Anggota HONG HWA
HWE diberbagai wilayah, bahwa pucuk pimpinan pindah kedaerah Hwe. Dan
bahwasanya Cabangdua HONG HWA HWE supaya membubarkan diri dan bekerja dibawah
tanah saja untuk menghindari penangkapan dari perintah Ceng.
Setelah selesai membagidua tugas,
Tan Keh Lok minta pertimbangan pada Thian-san Siang Eng dan Lok Hwi Ching
bagaimana renCana pembunuhan terhadap kaisar itu nanti. “Gampang, nanti
kupuntir batang lehernya raja itu, Coba dia masih bisa menjadi raja apa tidak”
kata Ceng Tik.
“Kalau bisa begitu, itulah
bagus!” Hwi Ching tertawa. “Tapi karena dia sudah siap merenCanakan membunuh
kita, tentu akan membawa sejumlah besar si-wi, jadi penjagaannya tentu luar
biasa rapatnya!”
“Kurasa lebih baik Tio-sam-te
gunakan senjata rahasia untuk menghabisi dia”, kata Bu Tim.
Ketika dipagoda Liok Hap To
dahulu, Ceng Tik pernah saksikan kelihaian Tio Pan San dalam ilmu senjata
rahasia. Maka seketika itu juga dia menunyang usul itu.
Pan San mengeluarkan tiga biji
'tok-Cit-le' yang beracun, katanya dengan tertawa: “Satu saja yang kena, sudah
Cukup untuk mengantar jiwa kaisar itu kelain dunia.”
“Kukuatir orang she Pui itu masih
didalam istana, tentu dapat mengobatinya,” kata Keh Lok.
Yang dimaksud oleh Keh Lok itu,
jalah Pui Liong Cun, pemilik senjata rasia yang hebat itu.
“Biar, telah kurendam piauw itu
dalam raCun lain. Mungkin orang she Pui itu bisa mengobati yang satu macam
raCun, tapi tidak yang lainnya,” kata Pan San.
“Sebaiknya hui-to kepunyaanmu dan
jarum hu-yong-Ciam punyaku direndam raCun juga.” kata Hwi Ching pada Lou Ping-.
Demikian semua orang sama sibuk menCelup senjatanya dengan raCun. Mengingat
baginda itu adalah kakandanya sendiri dari lain ayah. hati Keh Lok agak tak
tega. Tapi kalau ingat perbuatannya yang kejam itu, dia marah dan ikut masukkan
badi-badinya kedayam raCun.
Kira-kira jam 5 sore, semua orang
gagah itu sudah berkemasdua. Setelah dahar, mereka menunggu. Tak berapa lama,
munCullah Pek Cin dengan anak buahnya, empat orang siwi. Begitulah mereka
berangkat keistana Yong Ho Kiong. Ketika dipagoda Liok Hap Ta dahulu, Pek Cin
pernah tempur Ceng Tik. Demi nampak jago Thian-san itu juga ikut, keduanya
saling berpandangan.
Setiba diistana, Pek Cin meneliti
rombongan HONG HWA HWE sama tak membawa senjata. Melihat itu, dia mengelah
napas dan memimpin mereka masuk. Diruangan besar, sudah disiapkan tiga meja
perjamuan. Pek Cin silakan mereka duduk.
Meja tengah, tempat duduk utama,
diduduki Tan Keh Lok. Meja disebelah kiri, Tan Ceng Tik dan meja sebelah kanan
Liok Hwi Ching. Dibawah patung HudCouw, ada pula sebuah meja. Kursinya ditutup
dengan sutera benang kuning emas. Disitulah tempat duduk baginda.
Diam-diam Hwi Ching, Pan San dkk.
sama memperhitungkan Cara bagaimana nanti, apabila saatnya sudah tiba melepas
senjata rahasia kearah tempat duduk kaisar itu.
Hidangan mulai dikeluarkan,
rombongan HONG HWA HWE menanti kehadiran baginda.
Beberapa saat kemudian,
kedengaran tindakan kaki orang, yang ternyata adalah dua orang thaikam, Ti Hian
dan Bu Bing Hu. Dibelakangnya mengikut seorang menteri besar yang mengenakan
topi merah. Itulah Li Khik Siu, ayah Wan Ci. Hampir-hampir nona itu berseru
memanggilnya, Coba tak keburu Ti Hian lantas berleriak “Titah raja!”
Pek Cin dan kawanan siwi segera
berlutut. Sedang Keh Lok dkk. terpaksa ikut berlutut juga. Pada lain saat,
terdengarlah Ti Hian membaca titah raja tersebut.: “Tan Keh Lok dkk setia pada
negara, aku girang mengetahuinya. Kini kuangkat Tan Keh Lok menjadi 'Cinsu',
lain-lainnya pun akan diberi pangkat. Pesta untuk menghormat pengangkatan itu
diadakan di Yong Ho Kiang sini dan Li Khik Siu Ciangkun dititahkan menemaninya.
Sekian.”
Mendengar itu, tawarlah hati Keh
Lok. Kiranya kaisar itu sungguh liCik, karena tak mau hadir sendiri.
“Selamat, Tan-heng menerima
anugerah baginda itu, sungguh beruntung sekali,” Li Khik Siu menghampiri Tan
Keh Lok sambil menjura.
Keh Lok menjawab merendah, Sedang
Wan Ci dan Hi Tong menghampiri sang ayah dan menyapa.
Khik Siu terkejut dan berpaling
mengawasi. Betapa girangnya ketika didapatinya sang puteri tunggal tampak
berada disitu dengan tak kurang suatu apa. Buru-buru ditariknya tangan Wan Ci,
dan air matanya ber-linangdua. Karena sejak berpisah, siang malam selalu
memikiri sang anak itu.
“Wan Ci, bagaimana keadaanmu?”
tanya Khik Siu.
“Ayah............” Ingin Wan Ci
menuturkan halnya, namun sang mulut berat mengatakan.
“Mari, kau duduk dengan aku
semeja!” kata Khik Siu terus menarik lengan puterinya.
Wan Ci dan Hi Tong tahu kalau hal
itu disebabkan rasa sayang seorang ayah, maka setelah saling memberi isyarat
mata, keduanya berpisah duduknya.
Lalu Ti Hian dan Bu Bing Hu
menghampiri ketengah perjamuan dan berkata pada Tan Keh Lok: “Saudara, kelak
sesudah jadi menteri, yangan lupa pada kami berdua.”
“Sudah tentu tak kulupakan
kongkong,” sahut Keh Lok.
Ti Hian lambaikan tangan dan dua
orang thaikam kecil menghampiri dengan membawa sebuah nenampan berisi dua poCi
arak dan beberapa Cawan. Ti Hian mengangkat poCi itu terus dituang kedalam dua
buah Cawan. Dia sendiri segera ambil yang secawan, katanya: “Kuhaturkan selamat
pada saudara dengan secawan arak ini!”
Arak segera diminumnya, lalu
mengambil Cawan berisi arak. yang satunya, diberikan pada Keh Lok.
Melihat itu semua mata
orang-orang HONG HWA HWE ditujukan kearah ketuanya. Tahu mereka kalau keburu
napsu mungkin menggagalkan renCananya. Dan itu perCuma saja karena, toh orang
yang dinantinya (kaisar) tak ada disitu.
Sejak datang keperjamuan itu, Keh
Lok sudah penuh berlaku waspada. Dia sudah insyap bahwa perjamuan itu tentu
tidak sewajarnya. Segala sesuatu ditelitinya dengan seksama. Benar1 juga ia
mengetahui bahwa pada kedua samping dari poCi arak masing-masing terdapat
sebuah lobang kecil. Ketika pertama kali menuang arak tadi, Ti Hian telah
gunakan ibu jarinya untuk menutup lubang yang disamping kiri. Dan arak dalam
Cawan itu diperuntukkan pada Tan Keh Lok. Sedang ketika menuang yang kedua
kalinya, ibu jarinya dijentikkan untuk menutup lobang sebelah kanan.
Kini tahulah Keh Lok bahwa poCi
arak itu terisi dua macam arak. Kalau lobang kiri ditutup, maka lobang kanan
memanCur arak. Begitu pula sebaliknya. Jadi nyata, kalau lobang sebelah kanan
itu terisi arak raCun.
“Oh, kanda, kau begitu kejam,
rela menganiaya aku dengan siasat memberi pangkat, supaya aku memperCajaimu.
Kalau tidak Asri mengorbankan jiwanya, tentu arak beracun ini terminum olehku,”
mengeluh Keh Lok seorang diri.
Dia angkat kedua tangannya untuk
menghaturkan terima kasih lalu mengambil Cawan seperti hendak diminumnya.
Melihat itu Ti Hian dan Bu Bing Hu bersorak dalam hati. Tapi pada lain saat,
sekonyong-konyong Keh Lok letakkan Cawannya, kemudian menyembat poCi dan
dituangkan kedalam Cawan kosong. Sewaktu menuang, jempolnya ditutupkan kelobang
sebelah kanan. Setelah itu, isi Cawan terus ditenggaknya. Cawan pertama yang
tak jadi diminumnya tadi diberikan kepada Bu Bing Hu:
“AYO, silakan Bu kongkong juga
menemani minum secawan!”
Mengetahui rahasianya telah
bocor, berobahlah wajah kedua thaikam itu. Kembali Keh Lok menuang secawan dan
disodorkan kepada Ti Hian: “Harap Ti-kongkong suka menerima pembalasan hormatku!”
Kini tak tahan lagi rupanya Ti
Hian, dia tendang Cawan yang diangsurkan itu sambil membentak: “Tangkap mereka
semua!” Seketika dari empat penjuru ruangan itu menyerbu keluar ratusan siwi
istana dan Anggota gi-lim-kun.
“Jiwi kongkong kiranya tak gemar
minum. Itu tak apa, mengapa marah-marah?” tanya Keh Lok dengan tertawa.
“Dengarkan titah raja ini,” Bu
Bing Hu berteriak: “HONG HWA HWE berniat memberontak dan mengaCau. Harus segera
ditangkap dan dibunuh tanpa diadili lagi.”
Atas isyarat Keh Lok, kedua
saudara Siang segera lonCat kebelakang kedua thaikam itu terus membekuk tengkuk
lehernya. Kedua thaikam itu Coba melawan, tapi sudah terlambat, karena seluruh
tubuh mereka terasa lemas kesemutan.
Keh Lok menuang lagi secawan
arak. “Arak kehormatan ditolak, rupanya ingin arak hukuman.”
Segera Lou Ping dan Ciang Cin
masing-masing mengambil arak beracun itu, lalu diCekokkan kemulut Ti Hian dan
Bu Bing Hu.
Melihat kedua thaikam itu
diringkus, rombongan siwi dan gi-lim-kun tadi tak berani mendekati, kuatir
kalau kedua thaikam itu dibunuh. Sedang orang-orang HONG HWA HWE itu sudah
bersiap dengan senjatanya. Tapi ketika hendak menobros keluar, tiba-tiba
dibelakang ruangan besar timbid kebakaran, berbareng terdengar suara obat
peledak.
Keh Lok heran dan menduga
yangan-yangan ada saudara-saudaranya kaum HONG HWA HWE yang terkepung disana,
maka segera dia memerintahkan agar menyerbu saja keruangan belakang.
Karena senjata yang dibekalnya
keliwat pendek, Bu Tim tak dapat leluasa bergerak. Segera dia rampas sebilah
pedang, dari seorang si-wi. Dalam beberapa kejap saja, dia sudah dapat membunuh
tiga orang musuh, terus memepelopori menyerbu kebelakang, diikuti oleh
Kawan-kawan nya.
Li Khik Siu tarik tangan
puterinya, serunya: “Kau tinggal bersama aku!”
Dia bersama Pek Cin lalu memberi
komando, menyuruh anak buah si-wi menghadang.
Melihat itu, Hi Tong mengelah
napas, pikirnya: “Dengan ayahnya aku diibaratkan seperti minyak dengan air.
Jadi nyata ia bukan jodoku!”
Dengan hati berat, anak muda itu
segera memutar kim-tioknya untuk ikut pada rombongannya. Melihat itu, Wan Ci
kibaskan tangan ayahnya yang memeganginya, begitu terlepas, ia terus lari
menyusul Hi Tong sambil berseru: “Ayah, harap kau menjaga diri baik-baik ,
puterimu akan pergi!”
Saking kesimanya, Li Khik Siu
berdiri seperti patung, kemudian setelah sadar, dia berseru memanggil: “Wan-Ci,
Wan-Ci, kembalilah!”
Namun Wan Ci sudah menghilang
keluar. Menduga sang bakal isteri telah mengikut ayahnya, bukan main sedihnya
Hi Tong. Ketika Wan Ci menyusul datang, dilihatnya anak muda itu tengah
bertempur dengan lima-enam si-wi. Keadaannya berbahaya, karena anak muda itu
sudah terluka beberapa kali.
“Suko, ikut aku kemari!” teriak
sigadis. Mendengar sang kekasih datang, semangat Hi Tong timbul seketika.
Dengan hebat, kim-tiok dibabatkan. Sedang Wan Cipun maju membantunya, hingga
kawanan si-wi itu mundur. Kemudian dengan bergandengan tangan, kedua pasangan
itu maju menyusul Lou Ping.
Pada saat itu, api semakin besar.
Suara pekik orang, seperti memeCah telinga. Rombongan Tan Keh Lok sudah sampai
diluar paseban Sui Seng Tian. Disitu mereka menjadi kaget tak terkira ketika
menampak berpuluh paderi Lama sedang bertempur mati-matian dengan sekawanan
serdadu Ceng. Nyata rombongan Lama itu sudah hampir tak dapat bertahan lagi.
Tak terduga-duga, Pek Cin
berbalik memimpin anak buahnya membantu rombongan Lama, hingga kawanan serdadu
itu kena didesak masuk kembali kedalam ruangan yang tengah dimakan api.
Sudah tentu Keh Lok tak
mengetahui akan pertentangan antara Kian Liong dengan thayhouw. Kejadian itu
sungguh membuat ia tak habis heran. Namun dia tak mau menyianyiakan kesempatan
yang bagus itu, terus ajak Kawan-kawan nya lonCat keluar dari tembok istana.
Pek Cin dan Li Khik Siu sudah
mendapat perintah rahasia dari Kian Liong supaya rombongan HONG HWA HWE dan
pasukan Ceng yang menjaga paseban Sui Seng Tian itu dimusnahkan dengan api.
Tapi ternyata renCana telah berjalan bukan seperti yang diharapkan.
Karena Li Khik Siu, ingat akan
keselamatan puterinya. Sedang Pek Cin ingin membalas budi Tan Keh Lok. Maka
sengaja mereka memberi kesempatan supaya orang-orang HONG HWA HWE itu bisa
melarikan diri. Sedang yang dibasmi, hanyalah pasukan Ceng, anak buah pasukan
ki-ping, yang ditugaskan thayhouw untuk menjaga paseban tersebut.
Tak berapa lama kemudian, seluruh
anak buah pasukan kiping itu terbakar musna. Sedang paseban itupun roboh.
Dengan begitu, surat testamen Yong Ceng yang disimpan dalam paseban itu, turut
terbakar musna.
Setiba diluar istana, rombongan
HONG HWA HWE itu berbalik menjadi kaget bukan kepalang. Diluar istana itu,
be-ratusdua tentara Ceng sudah siap menunggu dengan busur, tombak dan pedang.
Ratusan obor menyala dengan terangnya, masih ditambah dengan ratusan teng,
sehingga suasana saat itu seolah-olah siang hari.
“Rupanya dia kuatir kita tak
sampai mati diraCun dan dibakar, sehingga diadakan persiapan barisan pembunuh
itu!” pikir Keh Lok.
Tapi Bu Tim dan Tan Ceng Tik tak
mau banyak sekali pikir, terus mau menyerbu. Dari empat penjuru, anak panah
segera dilepas bagaikan hujan derasnya.
“Ayo, kita serbu!” teriak Ceng
Tong.
Dengan bahu membahu orang-orang
HONG HWA HWE itu lantas mengikuti jejak Bu Tim dan Ceng Tik. Tapi kawanan
serdadu Ceng itu, tak terhitung jumlahnya. Makin dibasmi makin banyak sekali.
Bobol yang selapis, masih ada lain lapisan lagi.
Kali ini kaisar Kian Liong
betul-betul mau membasmi musna jago-jago dari HONG HWA HWE Ini untuk menjaga
bahaya dikemudian hari. Maka dikerahkannya gi-lim-kun, jago istana pilihan dan
bayhok yang kokoh. Bagaimanapun gagahnya jago-jago HONG HWA HWE, namun
kewalahan juga mereka menghadapi lapisan tembok manusia yang sedemikian
tebalnya itu. Keadaan rombongan HONG HWA HWE betul-betul berbahaya.
Sinar pedang Bu Tim berkelebat
pergi datang, dan belasan anak buah gi-lim-kun tersungkur binasa. Dia berhasil
menobros keluar, tapi ketika berpaling dan menunggu sampai sekian saat, tak
nampak lain-lain kawannya datang. Hal ini membuat ia kuatir. Dia balik menobros
lagi. Tampak Ciang Cin tengah dikepung oleh 7 siwi. Ciang Cin mandi darah, dia
berkelahi dengan nekad.
“Sipte, yangan takut. Aku
datang,” seru Bu Tim terus meneryang.
Tiga orang siwi terpapas tenggorokannya
terus roboh. Kawan-kawan nya segera mundur.
“Sipte, kau tak kena apa-apa?”
tanya Bu Tim.
Sebagai jawaban, tahu-tahu Ciang
Cin menggerung lalu membaCok jikonya itu. Bukan kepalang kagetnya Bu Tim, Cepat
ia berkelit seraya berseru berulang-ulang: “Sipte, kau bagaimana, ini adalah
aku!”
Tapi Ciang Cin laksana kerbau
gila menggerung: “Saudaraku telah kamu aniaya, akupun tak mau hidup sendiri!”
Sepasang kampaknya kembali
dibaCokkan pada Bu Tim, siapa terpaksa berkelit lagi dan berseru keras: “Sipte,
ini aku, jiko-mu!”
Sepasang mata Ciang Cin tampak
melotot mengawasi, tiba-tiba kampaknya dibuang dan menjerit: “Jiko, aku tak
kuat lagi!”
Diantara Cahaja lampu dan obor,
tampak oleh Bu Tim bagaimana seluruh tubuh Ciang Cin itu mandi darah. Dada,
bahu, lengan dan lain-lain bagian tubuhnya terluka. Bu Tim bingung, karena dia
hanya berlengan satu, jadi tak dapat akan memondongnya. Namun dengan kertek
gigi disuruhnya sang Sipte itu menggamblok dibelakang punggungnya.
“Sipte, kau rangkul leherku, biar
aku gendong kau!” serunya.
Bu Tim rasakan ketesan darah
Ciang Cin mengalir dibadannya. Dengan gagah, tokoh kedua dari HONG HWA HWE itu
membuka jalan darah. Kemana pedangnya menyamber, disitulah kawanan serdadu
musuh terpaksa menyingkir memberi jalan. Tiba-tiba disebelah muka dilihatnya
ada dua tiga serdadu musuh yang ganti berganti membal keatas, seperti
dilontarkan orang.
“Ha, selain Si-te, tak ada orang
lain yang mempunyai kekuatan seperti itu. Apakah ada terjadi perubahan dipos
penjagaan pintu kota?” pikir Bu Tim.
Dia menyerbu kearah itu dan
ternyata betul didapatinya Bun Thay Lay, Lou Ping, Hi Tong dan Wan Ci tengah
bertempur hebat dengan kawanan siwi.
“Mana CongthoCu?” seru Bu Tim.
“Entah, mari kita menCarinya!”
sahut Hi Tong.
Bu Tim terkesiap. Ciang Cin
terluka sedemikian beratnya, yangan-yangan kawannya yang lain-lain sudah sama
binasa. Bun Thay Lay membuka jalan darah untuk menghampiri Bu Tim.
“Disana tak terjadi suatu apa.
Karena aku kuatir, maka aku menengok kemari!” tutur Thay Lay.
“Bagus!” sahut Bu Tim yang
meskipun menggendong Ciang Cin, tapi lak mengurangkan kelihaiannya. Musuh tak
berdaya untuk menghadangnya.
“CongthoCu!” pada lain saat Wan
Ci berseru keras.
Seorang berpakaian putih, tampak
melesat kesana sini diantara lautan api itu. Rupanya dia tengah menCari orang.
Sedang dari arah barat, tampak Liok Hwi Ching mengaduk keluar.
“Kembali ketembok istana!” seru
Keh Lok.
Berbareng dengan seman itu, agak
jauh disebelah sana, diantara lautan api dan manusia, tampak bulu burung hnyau
ber-gerak-gerak.
“CongthoCu, pimpinlah semua
saudara mundur ketembok istana, biar kujemput nona Hwe itu!” seru Hwi Ching
terus menyerang kearah sana.
Begitulah dengan Tan Keh Lok dan
Bun Thay Lay yang membuka jalan, rombongan HONG HWA HWE terpaksa kembali lagi
keistana, karena mereka merasa tak ungkulan menembus dinding kepungan tentara
Ceng yang sebanyak sekali itu.
“Sipte, luruhlah!” kata Bu Tim.
Ciang Cin, si Bongkok itu, tak
bergerak. Lou Ping bantu menunyangnya, tapi segera didapatinya tubuh Ciang Cin
sudah kaku, sudah tak bernyawa lagi. Lou Ping menjerit dengan ratap tangisnya.
Pada saat itu Bun Thay Lay tengah
bertempur dengan kawanan siwi. Dia hendak menyambut Tio Pan San, Siang-si Siang
Hiap dkk. Demi didengar tangis sang isteri, tahulah bahwa sang Sipte (adik
angkat ke 10) sudah meninggal.
Tanpa terasa beberapa titik air
matanya berketesan turun. Seketika meluaplah hawa amarahnya, dia mengamuk
hebat. Kembali ada tiga orang siwi yang roboh. Liok Hwi Ching yang menyerbu
untuk menolong Ceng Tong, kini sudah dapat menghampirinya. Mereka berusaha
untuk membuka jalan menggabungkan diri dengan rombongan Tan Keh Lok.
Setindak demi setindak, tampak
Ceng Tong makin mendekati. Tapi sekalipun jarak mereka hanya terpisah berpuluh
tindak, namun tampaknya sukar untuk menyingkirkan rintangan manusia yang menghadang
itu.
Kedua saudara Siang telah merebut
tombak musuh untuk bantu membuka jalan. Wajah Ceng Tong tampak puCat,
pakaiannya penuh dengan Cipratan noda darah.
“Ayo kita serbu lagi. Tapi kali
ini yangan sampai terpenCar,” seru Keh Lok. Tapi belum seruan ketua HONG HWA
HWE reda, dari arah istana turun hujan anak panah. Kiranya setelah Li Khik Siu
dan Pek Cin dapat membasmi kawanan anak buah ki-ping yang menjaga paseban Seng-
Swi Tian, kini mereka mulai menggempur rombongan HONG HWA HWE Jadi kini rombongan
HONG HWA HWE terkepung diantara dua musuh!
Selagi keadaan mereka dalam
bahaya, tiba-tiba dari arah pasukan gi-lim-kun yang menghadang disebelah depan,
timbul kekaCauan. Mereka sama mundur dengan kalut, Diantara Cahaja api yang
marong itu, tampak berpuluh-puluhdua paderi berjubah kuning, menyerbu masuk.
Yang berada didepan sendiri, adalah seorang tua berambut putih, bersenjata
golok 'kim-pwe-to'. Gagahnya bukan main, seperti gajah yang tak dapat ditahan.
Ternyata dia adalah Thiat-tan Ciu Tiong Ing. Melihat itu, orang-' HONG HWA HWE
bersorak kegirangan.
“Saudara-', ikutlah' saja”, seru
Tiong Ing.
Dengan memanggul mayat Ciang Cin,
Bun Thay Lay ikut saudara-saudaranya, menobros keluar. Di antara rombongan
Tiong Ing itu, terdapat juga tokohdua gereja Siao Lim Si a.l. Thian Keng
Siansu, Tay Tian, Tay Leng, Gwan Thong, Gwan Hui, Gwan Siang dan lain-lain.
Merekapun sudah terlibat dalam pertempuran dengan gi-lim-kun.
Tapi kepungan musuh itu luar
biasa rapatnya. Mereka seolahdua membayangi kemana rombongan orang gagah itu
menujti. Otak Ceng Tong yang tajam itu segera mulai bekerja. Ia mendongak
memandang keempat penjuru. Segera tampak olehnya diatas wuwungan sebuah rumah
penduduk didekat situ, ada belasan orang. Di antaranya ada 4 orang
masing-masing dengan menentang teng merah, berpenCar diempat ujung. Kalau
rombongan HONG HWA HWE berusaha meneryang kesebelah barat, maka teng merah yang
diujung barat itu segera diangkat tinggi-tinggi. Meneryang ketimur, teng merah
disebelah timur diangkat keatas. Nona yang Cerdas itu segera dapat menangkap
artinya.
“HanCurkan tengdua merah itu,
kita pasti tertolong!” ia menyerukan pada Keh Lok. Mendengar itu, Tio Pan San
sudah lantas menyembat busur dan beberapa anak panah. Setelah berturut-turut
membidik, keempat teng merah itu padamlah.
Dugaan Ceng Tong itu memang
tepat. Tanpa pertandaan tengdua merah, pasukan gi-lim-kun kalut.
“Diantara orang-orang diatas
wuwungan itu, tentu ada pemimpinnya. Kalau hendak tangkap penCuri, tangkap
benggolannya dahulu!” Ceng Tong memberi saran lagi. Semua orang-orang HONG HWA
HWE pernah menyaksikan keCakapan Hwe Ceng Tong sebagai pemimpin tentara Hwe
ketika berperang melawan pasukan Ceng dahulu. Maka setiap pendapatnya, selalu
diperhatikan dan diindahkan oleh orang-orang HONG HWA HWE
“Si-te, ngo-te, liok-te, mari
kita menyerang kesana!” mengajak Bu Tim.
Bun Thay Lay dan kedua saudara
Siang terus ikut menyerbu. Kawanan gi-lim-kun tak kuasa menghadangnya. Tan Keh
Lok dan rombongan Thian Keng Siansu ikut meneryang. Dan kali ini, rupa-rupanya
mereka akan berhasil. Tapi tak disangkadua, terdengar tampik sorak menggelegar.
Li Khik Siu dan Pek Cin dengan barisan pengawal serta si-wi datang menyerang,
kembali rombongan HONG HWA HWE terkurung rapat. Malah Wan Ci, Lou Ping dan
beberapa paderi Siao Lim Si menderita luka-luka.
Setelah berhasil mendekati
tembok, Bu Tim berempat lonCat keatas rumah. Begitu kaki mereka menginjak
genteng, 7 orang sudah lantas menyerang. Mereka adalah jago-jago istana yang
lihai-lihai. Yang tiga mengembut kedua saudara Siang, sedang Bu Tim dan Bun
Thay Lay masing-masing mendapat dua lawan. Pertempuran berjalan sangat seru.
“Ha, mengapa disini terdapat
begini banyak sekali Cakar alap-alap yang lihai-lihai,” mengeluh Bu Tim.
Selagi berkelahi, Bu Tim melihat
diseberang sana, ada serombongan si-wi menjaga seorang pembesar yang memakai
topi berjambul merah. Dengan memegang leng-ki (panji-komando), dia tengah
memberi perintah.
“Serahkan kawanan Cakar alap-alap
ini padaku!” seru Bir Tim.
Berbareng itu, dia kiblatkan
ujung pedang-nya menusuk ulu hati seorang lawannya, dan Cepat pula dia beralih
membabat kaki lawan satunya. Kedua pengerojoknya itu masing-masing menghindar
dengan lonCat mundur. Pada kesempatan itu, Bu Tim Cepat menyerang kedua musuh
Bun Thay Lay. Yang satu, dibabat iganya, yang satu dibaCok pinggangnya.
Serangandua itu dilakukan luar biasa sebatnya. Terlepas dari serangan musuh,
Bun Thay Lay terus meneryang kepada pembesar topi merah tadi. Empat orang
pengawalnya, segera menghadang. Pembesar itupun agak terkejut dan menoleh.
Ketika melihat wajahnya, Bun Thay Lay terkesiap. Hampir-hampir mulutnya akan
berteriak “CongthoCu.”
Memang pembesar itu sangat mirip
dengan Tan Keh Lok. Kalau keduanya mengenakan pakaian serupa, tentu orang sukar
membedakannya. Betul-betul seperti pinang dibelah dua.
Sekilas teringatlah Bun Thay Lay
akan Cerita isterinya tentang peristiwa Thian Hong mengatur siasat merampas
vaas giok tempo hari serta peristiwa menangkap Ong Wi Yang. Tan Keh Lok menyaru
sebagai seorang pembesar Boan. Semua orang mengiranya sebagai kepala barisan
gi-lim-kun merangkap 'kiu-bun-tetok' Hok Gong An. Maka. teranglah kalau
pembesar itu tentu Hok Gong An adanya.
Segera dia mengambil putusan:
tawan pembesar itu untuk dnyadikan barang jaminan.
Saat itu dia tarik mundur
tubuhnya, kemudian sebat luar biasa dia menyelinap diantara golok dari dua
orang pengawal terus meneryang pembesar itu.
Memang pemimpin pasukan
gi-lim-kun yang ditugaskanmenangkap orang-orang HONG HWA HWE itu, adalah orang
kesayangan baginda sendiri, yaitu Hok Gong An. Karena tugas membakar paseban
Swi Seng Tian itu sangat terahasia, maka baginda titahkan Hok Gong An sendiri
yang melaksanakan. Namun karena baginda amat sayang padanya, dan kuatir kalau
sampai kena apa-apa, maka baginda mengutus 1enam orang pengawal istana kelas
satu, untuk melindungi orang kesayangannya itu.
Karuan saja pengawaldua istimewa
itu menjadi gugup, ketika nampak Bun Thay Lay seperti orang kalap hendak
membekuk thongleng (pemimpin) mereka. Dua orang si-wi maju menghadang, sedang
Kawan-kawan nya lalu menyingkirkan Hok Gong An kewuwungan lain rumah.
Bu Tim tumplek seluruh
kepandaiannya, dan memang gerakan ilmu pedangnya luar biasa Cepatnya. Dalam
beberapa d jurus saja, dia berhasil melukai dua orang musuhnya. Setelah itu,
dia makin mengamuk. Meneryang kesana, menyerang kemari. Tangan dan kakinya
berbareng dikerjakan. Dan betul juga penghadangdua Bun Thay Lay itu menjadi
pontang-panting menghindar. Kini kembali Bun Thay Lay agak longgar. Sekali kaki
dienjot, dia melayang meneryang Hok Gong An!
Pertempuran diatas wuwungan itu,
diketahui juga oleh kawanan gi-lim-kun dan rombongan HONG HWA HWE yang berada
disebelah bawah. Belasan Si-wi kelas satu yang melindungi pemimpin gi-lim-kun
itu ternyata tak berdaya untuk menghadang rangsakan dua tokoh HONG HWA HWE yang
berkelahi laksana harimau lapar itu. 7 atau delapan orang dari barisan siwi
lonCat keatas untuk memberi bantuan. Pertempuran seolah-olah berhenti sendiri.
Semua mata ditujukan kearah wuwungan! Hok Gong An juga mengerti sedikit ilmu
silat. Dia segera menabas dengan goloknya. Berbareng itu dua batang tombak dan
dua batang golok dari kawanan pengawalnya, menyerang Bun Thay Lay pula.
“Kalau kali ini gagal
membekuknya, tentu bala-bantuan keburu datang,” pikir Bun Thay Lay. Maka ia
telah mengambil keputusan untuk mengadu jiwa.
Dia samplok kedua tangannya
kearah kedua ujung tombak musuh. Begitu keras samplokan itu, hingga kedua
tombak itu terpental keatas. Berbareng itu dia dupak dada seorang penyerangnya,
dan tangannya menghantam muka seorang musuhnya yang lain. Sudah menjadi
kebiasaan Bun Thay Lay, sewaktu menyerang dia barengi dengan menggerung.
Sedemikian dahsyat suara gerungannya itu, sehingga pecahlah nyali musuh
dibuatnya.
Itulah maka orang kangouw menjulukinya
sebagai “pan-lui-Chiu.” Pukulan dan gerungannya seperti geledek kerasnya!
Dua antara 7 siwi yang baru saja
melonCat keatas untuk memberi bantuan tadi, saking kagetnya sudah terpeleset
jatuh kebawah lagi. Juga Hok Gong An saking terkejutnya, kaki tangannya menjadi
lemas lunglai. Sebelum lain pengawal sempat berbuat apa-apa, tangan Bun Thay
Lay sudah dapat menCengkeram dada Hok Gong An, terus diangkat keatas.
Seluruh anak buah pasukan Ceng,
gi-lim-kun dan siwi, baik yang berada diatas wuwungan maupun yang disebelah
bawah, telah menjadi gempar!
Pada saat itu, kedua saudara
Siang sudah berhasil merobohkan ketiga siwi lawannya. Merekapun lonCat
kesebelah Bun Thay Lay. Diambilnya senjatanya Cakar terbang yang berkilatdua,
terus diputardua merupakan sebuah lingkaran besar. Sudah tentu, tak seorang
Anggota pasukan Ceng yang berani mendekati.
Pada lain saat, tampak Hok Gong
An mengangkat panji leng ki-nya, seraya berteriak keras-keras: “Berhenti
menyerang! Pasukan gi-lim-kun dan semua siwi, baliklah kebarisanmu
masing-masing!”
Segenap anak buah gi-lin-kun dan
siwi, sama terkesiap kaget. Tiga orang siwi yang husus dititahkan untuk
melindungi Hok Gong An, tak hiraukan seruan itu, terus nekad menyerbu.
“Ngo-te, liok-te, simpan
senjatamu itu!” seru Bu Tim pada kedua saudara Siang.
Kedua saudara itu menurut, karena
mengira Bu Tim akan membereskan ketiga siwi itu. Tapi ternyata Bu Tim bertindak
lain. Pedang dia djujukan ketenggorokan orang tawanannya seraya tertawa
keras-keras: “Ayo, majulah!”
Ketiga siwi itu merandek, setelah
saling memberi isyarat, mereka lonCat menyingkir.
Ketika Bun Thay Lay keraskan
tangannya, dan Hok Gong An rasakan lengannya seperti mau putus. Terpaksa dia
berkaokdua: “Lekas mundur, dengar apa tidak!”
Pasukan Ceng dan kawanan siwi
terpaksa mundur.
“Ayo, kita sama naik keatas!”
ajak Keh Lok.
Rombongan HONG HWA HWE
menghampiri tembok, kemudian satu persatu lonCat keatas wuwungan. Disitu Tio
Pan San menCatat Kawan-kawan nya. Selain Ciang Cin yang tewas, masih ada lagi
delapan atau sembilan lainnya yang terluka. Malah ketika itu, tampak Beng Kian
Hiong dan Thian Hong yang memanggul Ciu Ki lonCat keatas. Rambut nyonya itu
terurai, mukanya seperti kertas.
“Mengapa kau juga kemari? Sungguh
kau tak tahu menjaga diri!” memaki Tiong Ing.
“Aku maukan anakku, anakku,
kembalikanlah anakku!” teriak Ciu Ki tiba-tiba.
Keh Lok terkesiap mendengar
nyonya Thian Hong mengoCeh seperti orang yang tak sadar itu, kemudian dengan
gunakan sandi (code) HONG HWA HWE dia mengeluarkan perintah:
“Kita serbu kedalam istana, bunuh
raja itu guna membalaskan sakit hati Ciang-sipko!”
Lou Ping menterjemahkan sandi itu
kepada Liok Hwi Ching, Thian Keng Siansu, Tbian San Siang Eng, Hwe Ceng Tong
dkk. Mereka sama mengaCungkan senjata tanda setuju.
“Siao Lim Si telah dimusnakan
olehnya, hari ini aku akan melanggar pantangan membunuh!” seru Thian Keng.
“Susiok, kau sungguh baik, tapi
mengapa Siao Lim Si musna?” seru Keh Lok dengan kaget.
“Siao Lim Si sudah rata dengan
tanah dibakar mereka. Thian Hong suheng telah gugur,” sahut Thian Keng.
Keh Lok terharu. Kemarahannya
makin meluap. Dengan menggusur Hok Gong An, rombongan HONG HWA HWE berjalan
diantara barisan golok dan tombak gilim-kun. Karena ingat akan keselamatan
pemimpinnya, anak buah gi-lim-kun itu tak berani berbuat apa-apa.
Setelah melalui lapisan yang
terakhir dari pasukan Ceng tersebut. orang-orang gagah itu nampak Sim Hi sudah
siap menyambut dengan rombongan anggota HONG HWA HWE dan berpuluh-puluhdua ekor
kuda. Bergegas-gegas mereka naik kuda, ada yang sendirian, ada yang bonCengan.
Kemudian laksana badai menderu, mereka menyerbu kearah istana.
“CongthoCu, jalan mundur apa
sudah siap?” tanya Ji Thian Hong seraya mendekatkan kudanya kesamping Keh Lok.
“Kiu-ko dkk sudah menunggu
dipintu kota. Mengapa kau baru sekarang tiba?” tanya Keh Lok.
“Garadua Pui Ju Tek sibangsat
itu!” sahut Thian Hong menggeram.
“Ada apa dengan dia?” tanya Keh
Lok pula.
“Dialah yang bersekongkel dengan
Seng Hong dan Swi Tay Lim dengan membawa pasukan, malamdua menyerbu Siao Lim
Si. Thian Hong losiansu tetap tak mau keluar, sehingga binasa ikut terbakar.”
“Jadi jahanamdua itu yang
melakukannya?” tanya Keh Lok.
“Ya merekapun merampas putraku!”
kata Thian Hong.
Mendengar adik angkat itu punya
anak lakidua, ingin benar Tan Keh Lok menguCapkan selamat kepada Thian Hong,
tapi pada saat seperti itu, tak dapat mulutnya ber-kata-kata.
“Thian Keng supeh telah pimpin
semua paderi untuk menCari penghianat itu, sehingga sampai kemari. Kami menuju
ke Song Liu Cu (markas HONG HWA HWE di Pakkhia) dan mengetahui kalau kalian
berada diistana Yong Ho Kiong sini,” tutur Thian Hong akhirnya.
Kini rombongan HONG HWA HWE itu
sudah mendekati Kota Terlarang. Gi-lim-kun dan kawanan si-wi tetap mengikut
dari belakang. Walaupun tak berani menyerang, tapi mereka tetap tak mau melepaskan
musuhnya.
“Kalau kaisar itu sudah mendapat
warta dan keburu bersembunyi, tentang menCarinya didalam istana, kami mohon
bantuan kedua loCianpwe,” kata Thian Hong pada Thian-san Siang Eng.
Setempo dipagoda Liok Hap Ta,
Thian Hong pernah saksikan kepandaian sepasang suami isteri yang tak pernah
memberi ampun pada musuhnya. Apalagi keduanya orang-orang suka menang.
Penangkapan Hok Gong An tadi, keduanya belum memperlihatkan jasanya. Maka
tepatloh kiranya kalau Thian Hong mengajukan permintaan itu kepada mereka.
“Kita nanti lakukan itu!” sahut
Thian San Siang Eng.
Sekalipun pikirannya sedang kalut
memikirkan puteranya, namun Thian Hong masih tetap lihai. Dia ambil 4 buah
'Iiu-sing-hwe-bao' (obat pasang yang dapat menyambar merCon sreng), diberikan
kepada Ceng Tik.
“Bila Cianpwe dapat menemukan
kaisar, kalau bisa bunuh, bunuhlah saja. Tapi kalau menemui kesukaran, harap
loCianpwe segera lepas api ini selaku pertandaan,” pesan Thian Hong.
“Baik!” jawab Kwan Bing Bwe.
Kedua suami isteri itu segera
lonCat keatas tembok, terus masuk kedalam istana. Gerakan mereka sebat sekali,
seakan-akan sepasang garuda. Ketika Hok Gong An berseru memerintahkan
pasukannya membuka pintu istana, kedua suami isteri itu sudah tak kelihatan
lagi.
Sewaktu berlarian diatas genteng istana,
Thian San Siang Eng segera menghadapi kesukaran. Karena ruangan dan pintu dalam
istana itu tak terhitung jumlahnya. Sukar rasanya untuk mendapatkan tempat
persembunyian raja itu.
“Kita bekuk seorang thaikam!”
kata Kwan Bing Bwe.
Ceng Tik setuju. Begitulah
keduanya melayang turun dan bersembunyi ditempat gelap. Tak antara lama,
didengarnya ada tindakan orang mendatangi. Ketika mereka hendak membekuknya,
ternyata ada pula lain tindakan kaki mendatangi, rupanya bergegas-gegas seperti
ada urusan penting.
“Kedua orang itu mengerti ilmu
silat rasanya,” bisik Ceng Tik.
“Benar, kita kuntit saja,” jawab
sang isteri.
Tepat dengan itu, kedua orang itu
sudah lewat disitu. Segera Ceng Tik dan sang isteri menguntitnya. Yang dimuka
tubuhnya kurus, nampaknya lebih lihai dari kawannya yang berperawakan tegap dan
tindakan kakinya lebih berat. Berkalidua si kurus berhenti untuk menunggu, dan
setiap kali menyuruh kawannya supaya lekas.
“Lekas, kita harus mendahului,
supaya bisa memberi warta kepada baginda,” kata orang itu.
Ceng Tik suami isteri girang,
karena tanpa sengaja mendapat penunjuk jalan itu. Diam-diam keduanya berSyukur
kepada si tegap yang lambat gerakannya itu.
Setelah beberapa kali membiluk,
tibalah mereka dimuka pagoda Po Gwat Lauw.
“Kau tunggu disini,” kata si
kurus, lalu masuk.
Thian San Siang Eng mulai
bekerja. Mereka memanjat keatas dari samping pagoda. Tanpa mengalami kesukaran
apa-apa, kedua suami isteri itu Cepat sudah berada dipunCak pagoda. Dengan
gaetan kaki ketiang serambi, mereka menggelantung dengan kepala dibawah.
Didalam terdapat sederek jendela
panyang, diluarnya ada sebuah lorong. Tampak sebuah bayangan munCul dibalik
kertas penutup jendela. Kwan Bing Bwe ajak sang suami melorot kesana, lalu
gunakan ludah untuk bikin lobang pada kertas jendela dan mengintai kedalam.
Benar seperti yang diharap, Kian Liong tampak duduk disebuah kursi. Sedang yang
berlutut dihadapannya, sikurus tadi, bukan lain adalah Pek Cin, orang yang
pernah bertempur dengan Ceng Tik di HangCiu dahulu.
“Paseban Sui Seng Tian sudah
terbakar musna. Tiada seorang penjaganya yang bisa lolos,” terdengar Pek Cin
melapor.
“Bagus!” seru Kian Liong dengan
girang.
“Hamba patut menerima hukuman.
Rombongan pemberontak HONG HWA HWE sebaliknya bisa lolos,” Pek Cin berdatang
sembah pula.
“Apa?!” teriak Kian Liong.
“Kedua thaikam keperCajaan
thayhouw hendak menghaturkan selamat dengan arak beracun. Tapi entah bagaimana,
rahasianya ketahuan dan diringkus musuh. Hamba waktu itu tengah berada di Sui
Seng Tian, hingga tak mengetahui kalau mereka telah lolos garadua kedua thaikam
itu.”
Pek Cin tahu bentrokan antara
baginda dengan thayhouw, maka kini dia sengaja timpahkan semua kegagalan diatas
bahu kedua orang keperCajaan thayhouw tersebut.
Kian Liong menggerang dan
tundukkan kepalanya merenung sejenak.
Ceng Tik tunjukkan jarinya kearah
Pek Cin, kemudian menunjuk pula kearah kaisar, lalu memberi tanda rahasia
dengan isyarat tangan pada sang isteri, maksudnya: “Aku tempur si Pek Cin dan
kau yang membereskan kaisar!”
Kwan Bing Bwe mengangguk. Selagi
ia akan menobros jendela, tiba-tiba Pek Cin kedengaran bertepuk tangan dua
kali. Ceng Tik Cepat-cepat menarik lengan isterinya, dan mengisyaratkan supaya
tunggu dahulu. Benar juga dari balik tempat tidur, lemari, pintu angin,
tahu-tahu munCullah selosin si-wi lengkap dengan senjatanya.
“Pengawaldua kaisar itu tentu
pahlawandua kelas satu. Meski kita tak nanti tertangkap oleh mereka, tapi
andaikata sampai tak dapat membunuh kaisar itu, bukanlah seperti 'keprak rumput
membikin kaget sang ular' saja? Atau seperti menyuruhnya bersembunyi lebih*
rapat. Ah, lebih baik tunggu sampai rombongan HONG HWA HWE datang,” demikian pikir
Thian San Siang Eng.
Sementara itu terlihat Pek Cin
membisiki salah seorang si-wi, siapa turun kebawah untuk mengundang orang yang
menunggu diluar pagoda tadi.
Orang itu berpakaian jubah warna
kuning tua dan tampak menjura dihadapan kaisar. Ketika mendongak, diluar dugaan
Thian San Siang Eng, ternyata adalah seorang Lama. “Fuinke, kau sudah bekerja
dengan baik. Kau tidak sampai menerbitkan keCurigaan bukan?” tanya baginda,
“Semua telah hamba kerjakan
menurut titah baginda. Sui Seng Tian musna sampai habis,” kata paderi itu.
“Bagus, bagus!” kata Kian Liong.
“Pek Cin, telah kujanjikan padanya untuk menjadi budha hidup. Nah, kau
uruskanlah!”
Pek Cin mengiakan dan Fuinke
tampak berseri-seri kegirangan seraya menghaturkan terima kasih kepada baginda.
Begitulah Pek Cin lalu membawa Lama itu keluar, diiring oleh dua orang siwi.
Sampai dimuka pagoda, berserulah
Pek Cin: “Fuinke, lekas haturkan terima kasih atas budi kaisar!”
Lama itu melengak kaget. Tadi dia
sudah menghaturkan terima kasih kepada baginda, mengapa pemimpin siwi itu
memerintahkan lagi begitu. Tapi iapun lantas berlutut ke-arah Po Gwat Lauw.
Setelah menyembah tiga kali, dia terus akan berbangkit, tapi mendadak batang
tengkuknya terasa ditempeli dengan benda dingin. Ternyata golok dari kedua siwi
tadi dilekatkan kebatang lehernya.
“Me............ mengapa-apa”
tanyanya ter-ibadua.
“Baginda berkenan mengangkat kau
menjadi buddha hidup, maka kini aku akan mengirim kau kesjorga untuk menjabat
pangkat itu,” menerangkan Pek Cin dengan tertawa.
Hati Fuinke seperti disiram ds.
Insyaplah dia kalau baginda hendak membunuhnya supaya rahasianya tak bocor.
Pada saat itu tangan Pek Cin mengibas, dan dua golok dari kedua siwi itu segera
menabas leher Lama yang malang itu.
Dua orang thaikam munCul membawa
permadani untuk menutup mayat sang korban.
Menyaksikan kekejaman kaisar itu,
makin berkobarlah kemarahan Thian San Siang Eng. Tengah kedua orang itu
termangu, sekonyong-konyong berpuluh-puluhdua orang dengan menenteng teng menyergapnya.
“Ada pemberontak datang mengaCau,
silakan baginda beristirahat kedalam istana,” teriak Pek Cin dan buru-buru naik
keatas menghadap kaisar.
Setelah peristiwa di HangCiu
tempo hari, tahulah Kian Liong bahwa pahlawanduanya itu bukan tandingannya
jago-jago dari HONG HWA HWE Maka tanpa banyak sekali tanya lagi, kaisar itu
terus tinggalkan tempat itu.
Tan Ceng Cik segera melepas
sebuah merCon sreng. Selarik sinar terang menobros diangkasa yang gelap gulita.
“Kami memang sudah menunggu lama,
yangan harap kamu bisa lolos!” seru Ceng Tik keras-keras.
Sepasang suami isteri itu tahu
kalau rombongan HONG HWA HWE takkan Cepat-cepat tiba, maka perlulah mereka
menCegat kaisar itu dulu. Maka dengan sebat, keduanya menobros masuk dari
jendela ruang tingkat keempat.
Kawanan siwi itu tak tahu jelas
berapa jumlah musuh yang memasuki istana itu. Maka sudah tentu mereka menjadi
kaget demi melihat dimulut tangga ruangan itu berdiri tegak seorang tua bermuka
merah dan seorang wanita yang sudah beruban rambutnya, dengan menghunus pedang.
Dua orang siwi maju, tapi begitu
beradu senjata, segera merasa betapa sebat gerakan musuh. Pek Cin gendong
baginda dipunggungnya, dikanan, kiri, muka, belakang dilindungi oleh 4 orang
siwi. Dari samping langkah mereka lonCat kebawah, terus turun ketingkat tiga .
Kwan Bing Bwe kibaskan tangannya
melepas tiga butir thi-lian-Cu. Begitu musuh menyingkir, ia enjot kakinya
keatas langkan diantara ruang keempat dan ketiga. Dan seCepat Itu pula, ia
tusukkan ujung pedangnya kearah Kian Liong.
Pek Cin terkesiap dan mundur dua
tindak. Berbareng itu, dua orang siwi segera menghadang serangan Kwan Bing Bwe.
Bertarung dengan tiga orang siwi,
segera Ceng Tik mengetahui bahwa lawannya itu beratdua. Segera dia keluarkan
ilmu simpanannya merangsak kian kemari agar tak sampai terlibat oleh
pengerojokan itu.
Pek Cin bersuit, dari empat ujung
munCullah 4 orang siwi. Malah ada lagi tiga orang siwi munCul dari belakang.
Ke7 orang itu kini mengerubuti Ceng Tik. Betapa lihainya jago tua dari Thian
San Itu, namun kewalahan juga menghadapi kerojokan 7 orang jago istana kelas
satu.
Kira-kira berlangsung belasan
jurus, Ceng Tik menangkis tusukan tombak dari sebelah kiri, Tapi berbareng itu
sebuah Cambuk menghantam lengan kanannya.
Bukan kepalang sakit dan marahnya
Ceng Tik sesaat itu. Berpuluh tahun ini belum pernah dia rontok bulu romannya
apalagi terluka seperti saat itu. Pedang segera dipindahkan ketangan kiri,
dengan gerak “angin pujuh menggulung padang pasir,” didesaknya kawanan siwi itu
kebelakang. Lalu sebat luar biasa, dia tusuk perut orang yang menCambuknya
tadi.
Nampak suaminya terluka, Kwan
Bing Bwe merangsek ke muka untuk menggabungkan diri. Kemudian keduanya mundur
ketingkat kedua.
Mengetahui rombongan HONG HWA HWE
tetap belum munCul, karena kuatir kawanan siwi itu akan melibatnya dalam suatu
pertempuran hebat, buru-buru Ceng Tik menobros keluar pagoda untuk melepas api
pertanda lagi.
Ketika masuk kedalam lagi,
dilihatnya sang isteri tetap menjaga ditangga loteng dengan gigih sekali.
Setiap beberapa jurus, ia mundur setingkat. Betul-betul setiap jengkal
dipertahankan mati-matian. Untungnya, tangga loteng itu sempit, hingga hanya
Cukup untuk berkelahi tiga atau empat orang saja. Sekalipun begitu, Kwan Bing
Bwe tampak keripuhan juga.
Tiba-tiba dalam pikiran Ceng Tik
terkilas suatu siasat jakni “menyerang untuk bertahan.” Maka seCepat itu pula,
dia menyerbu kearah kaisar. Begitu kawanan siwi serentak melindungi baginda,
siangdua dia sudah menyingkir lagi untuk menggempur para pengerojok Kwan Bing
Bwe. Kalau banyak sekali orang datang memberi bantuan, Ceng Tik serang baginda
lagi. Dan kembali kawanan siwi itu mengerumun baginda.
Demikianlah dengan Cara bertempur
begitu musuh kaCau dibuatnya.
Selagi musuh kaCau, Ceng Tik
dapat melukakan dua orang lagi. Kwan Bing Bwe pun naik pula keatas untuk
merangsek.
Melihat gelagat kurang baik, Pek
Cin berseru kepada seorang siwi: “Ma-hengte, kau gendong baginda ini!”
Orang she Ma itu ternyata adalah
Ma King Hiap, itu siwi yang pernah ditawan HONG HWA HWE ketika pertempuran di
Hang-Ciu dahulu, yang kemudian setelah diadakan perundingan perserikatan, dia
dilepaskan lagi.
Setelah kaisar didukung Ma King
Hiap, Pek Cin bersuit seraya menerkam Ceng Tik. Dia adalah ahli kenamaan dari
Cabang Ko Yang Pai. Ilmu eng-jiao-kong (Cakar elang) sangat dimalui dikalangan
kangouw. Meski dia setingkat dibawah Ceng Tik, namun dalam berpuluh jurus,
masih dapat dia melayani dengan berimbang. Malah diam-diam Ceng Tik mengeluh,
karena sukar untuk loloskan diri dari libatan orang she Pek itu. Apa lagi lengannya
kanan terluka makin lama makin terasa sakitnya. Dalam keadaan begitu, bertarung
dengan Pek Cin seorang saja, dia sudah kepayahan apalagi kini dikerojok
empat-lima orang siwi.
Sepasang jari Pek Cin yang
bagaikan Cakar besi itu me-layangdua menginCar bagiandua yang berbahaya dari
tubuh musuh. Ceng Tik tumplek seluruh perhatiannya untuk melayani Cengkeram
maut itu, jadi dia agak lengah akan lain-lain serangan. Maka pada lain saat
tahu-tahu punggungnya tertusuk ujung pedang salah seorang si-wi yang menyerang
dari belakang.
Tengah si-wi itu. bergirang hati,
seCepat kilat Ceng Tik berputar untuk menghantam kepala lawan tersebut dengan
sikunya. Begitu sebat dan dahsyat hantaman itu, sehingga si-wi tersebut tak
sempat mundur dan seketika itu juga batok kepalanya pecah.
Tapi dalam pada itu, keadaan Ceng
Tik makin payah. Tahu dia kalau tusukan pedang tadi telah mengenai bagian yang
berbahaya, dan insyap kalau ia tentu binasa ditempat itu. Dia menggerung keras,
seperti harimau terluka. Saking kagetnya, Pek Cin mundur setindak, Ceng Tik
timpukkan pedangnya kearah baginda.
Melihat pedang melayang datang,
hendak Ma King Hiap menghindar, tapi kalah Cepat. Dan karena kuatir baginda
terluka, si-wi itu menangkis dengan tangannya. Tapi tim-
pukan Ceng Tik itu, adalah timpukan
dari orang yang mendekati ajal, karena marah dan penasaran telah tumplek
seluruh sisa tenaganya yang masih ada, maka dapat dibayangkan betapa
dahsyatnya. Maka sudah tentu tangan kosong Ma King Hiap tak dapat menahannya,
'brekk', tangan King Hiap papas separoh, dan pedang tetap memberosot masuk
kedada terus menembus kebelakang, kepunggung...............
Ceng Tik bersorak girang. Puas
dia dengan hasil timpukannya itu, ia pikir Ujung pedangnya tentu dapat mengenai
tubuh baginda. Selebar jiwanya yang sudah setua itu, ditukar dengan jiwa
seorang kaisar, sungguh lebih dari berharga.
Melihat ujung pedang menembus
dada Ma King Hiap, Pek Cin dan kawanan si-wi pun terkesiap kaget. Begitu pula
Kwan Bing Bwe ketika menampak suaminya terluka. Serentak mereka sama berhenti
bertempur dengan sendirinya, masing-masing memburu untuk menolong fihaknya.
Pek Cin membopong baginda dengan
hati-hati, seraya bertanya: “Baginda, bagaimana?”
Wajah Kian Liong puCat seperti
kertas, namun dia Coba untuk berlaku tenang, katanya dengan tersenyum: “Syukur
aku. sudah membuat penjagaan lebih dulu.” Ujung pedang Ceng Tik tadi menembus
punggung King Hiap sampai setengah kaki, hingga pakaian kaisar yang
ber-lapisdua itu kerowak dibuatnya. Pek Cin berdebardua, namun dia heran juga
mengapa baginda tak kena apa-apa, katanya: “Baginda mempunyai rejeki sebesar
langit, sungguh mendapat lindungan dari para arwah.”
Kiranya semenjak baginda
bermaksud mengingkari janjinya. dengan HONG HWA HWE dia sangat menguatirkan
akan pembalasan dari kawanan orang gagah itu. Teringat akan kejadian dua0 tahun
yang lalu., dimana almarhum ayahandanya, kaisar Yong Ceng, telah dibunuh seCara
mengenaskan oleh pembunuh gelap, hati kaisar itu menjadi kedar dan jeri. Maka
sengaja dia pakai baju 'kim-si-joan-kah', baju benang emas yang tahan baCokan
senjata tajam. Dan ternyata baju itu telah menolong jiwanya.
Pek Cin menggendong Kian Liong
pula. Kini ditangga loteng sudah tak nampak kedua suami isteri penghadang itu.
Dia bersuit keras, dan kawanan si-wi segera melindunginya pula, untuk turun
kebawah.
Hampir sampai diambang pintu
pagoda, tiba-tiba Kian Liong mengeluarkan jeritan tertahan, terus merontadua
turun dari gendongan Pek Cin. Ternyata diambang pintu, tegak berdiri Tan Keh
Lok, dibelakangnya kelihatan barisan ujung pedang dari kawanan orang gagah yang
lain.
Kian Liong terus berputar dan
lari balik keatas lagi. Sedang kawanan si-wi pun segera ikut untuk
melindunginya. Ada dua orang si-wi yang agak lambat mengangkat kaki, telah
diCegat oleh kedua saudara Siangi Beberapa jurus saja, kedua si-wi itu telah
dapat dibunuh.
Kiranya setelah nampak pertandaan
dari api merCon yang dilepas Ceng Tik, Tan Keh Lok dkk segera menuju ke Po Gwat
Lauw. Tapi disepanyang jalan, selalu dirintangi oleh kawanan si-wi. Hal ini
telah membuat kedatangannya agak terlambat sedikit.
Setiba di Po Gwat Lauw, mereka
dapatkan kaisar sedang dilibat oleh Thian San Siang Eng.
“Jahanam, kau juga disini!” Bun
Thay Lay menggerung demi melihat Seng Hong dan Swi Tay Lim juga berada disitu.
Kian Liong sendiripun sedari tadi
belum mengetahui akan kedatangan kedua orang itu, maka dia lantas berteriak
supaya mereka turut menangkap pada orang-orang HONG HWA HWE itu.
Tan Keh Lok segera pecah
rombongannya. Setiap lorong dan undakduaan disuruhnya jaga keras. Bu Tim
menjaga tmdakduaan bawah dari loteng ketiga, sedang Siang-si Siang Hiap menjaga
diatas, Tio Pan San, Tay Hiong, Tay Tian, menjaga dibawah, tak nanti Kian Liong
dapat lolos dari kepungan itu.
Ceng Tong kuCurkan air mata
ketika nampak suhunya tengah memeluk pada suaminya. Iapun turut menghampiri.
Ceng Tik mengeluarkan darah terus menerus Hwi Ching pun datang dan mengambil
obat luka lalu ditempelkannya. Namun kesemuanya itu tak banyak sekali menolong.
Ceng Tik tersenyum tawar dan meng-gelengskan kepala kepada Kwan Bing Bwe:
“Maafkan aku............
Berpuluh-puluh tahun kumembuat kau hidup getir, bila nanti kau kembali kedaerah
Hwe, dan bersama Wan......... Wan-toako menjadi suami isteri......... aku
dialam baka, akan merasa lega. Liok-hengte, tolong kau bantu aku untuk
menjadikan soal itu............”
Tapi mendadak alis Kwan Bing Bwe
terangkat naik, ia mengelah napas: “Selama beberapa bulan ini, apakah kau masih
belum menginsyapi betapa perasaan hatiku kepadamu?”
Ingin Hwi Thjing menasehati
wanita itu, supaya mengiakan saja segala kata-kata suaminya yang sudah
mendekati ajalnya itu, biar lega. Tapi belum sampai dia membuka mulut,
tiba-tiba terdengar Kwan Bing Hwe berteriak: “Kalau sudah begini, tentu puaslah
kau!”
Berbareng dengan uCapannya itu,
pedang yang dipegang itu ditusukkan ketenggorokannya sendiri. Darah menyembur
keluar, dan jago wanita itu roboh binasa seketika. Dengan demikian tamatlah
riwajat dari seorang wanita yang selama hidupnya, selalu merasa tak berbahagia.
Saking terkesiapnya, Ceng Tong
dan Hwi Ching tak keburu menCegah perbuatan wanita yang keras hati itu. Ceng
Tik tertawa puas. Tapi pada lain saat, suara ketawanya itu segera sirap dengan
tiba-tiba.
Hwi Ching berjongkok untuk
memeriksanya. Ternyata Ceng Tik telah memeluk sang isteri. Diantara kobakan
darah, keduanya bersamadua menghembuskan napas.
Ceng Tong mendumprah disamping
kedua suhunya, menangis sedu-sedan seperti anak kecil.
Sementara itu Tan Ke Lok sudah
sambut khim dari Sim Hi dan mendamprat Kian Liong: “Yangan kata tentang
perjanjian persekutuan di Liok Hap Ta, sedang di Hayleng kita pernah kuCurkan
darah, bersumpah takkan saling menCelakan. Tapi kenyataan, kau akan meraCuni
aku! Apa katamu sekarang?”
Habis berkata, khim dibanting
kelantai. Sebuah benda pusaka yang ribuan tahun umurnya, kini menjadi kepingan
kayu.
“Kau akui musuh sebagai ayahmu
untuk menindas rahajat. Kau merupakan musuh rahajat yang Cinta tanah airnya!
Hubungan darah antara kita berdua, mulai saat ini putuslah sudah dan kini juga
akan kuminum darahmu untuk menebus hutangmu pada kedua loCianpwe, pada
saudara-saudaraku dan pada rahajat sekalian”.
Kata-kata yang diuCapkan Tan Keh
Lok dengan keren itu, telah membuat Kian Liong puCat pasi.
“Kita mensuCikan diri digereja
Siao Lim Si untuk membebaskan diri dari urusan dunia. Tapi mengapa kau utus
pembesar jahat untuk membakar gereja kita? Hari ini biarlah aku akan membuka
larangan membunuh”, seru Thian Keng.
Seng Hong rupanya tak tahan. Dia
meneryang dengan tojanya. Tapi paderi dari Siao Lim Si itu tetap tenangdua
saja. Begitu tongkat lawannya tiba, dia segera menyawut daa menariknya. Seng
Hong tak dapat mempertahankan kudaduanya, terus memberosot jatuh. Membarengi
itu Thian Keng menghantam dan separoh kepala orang she Seng itu melesak
kedalam. Dia mati seketika!
Tatkala tangan kanan Thian Keng
mengibas, tongkat Seng Hong itu telah patah menjadi tiga. Menampak kegagahan
yang luar biasa dari paderi tersebut., kawanan siwi disitu menjadi pecah
nyalinya.
Hanya Pek Cin yang terpaksa
memberanikan diri. “Biar kuminta pengajaran dari Losiansu untuk beberapa jurus
saja!” tantangnya.
Thian Keng hanya mengeluarkan
suara jemu, terus akan melangkah maju.
“Susiok, kau telah turunkan
'Hong-liang-sip-pat-Ciang' padaku, idinkan teCu menCobanya, mana yang salah
harapsusiok kasih unjuk!” tiba-tiba Keh Lok berseru.
“Baiklah!” sahut Thian Keng.
“Pek-loCianpwe, silakan!” kata
Keh Lok, terus mengirim pukulannya.
Pek Cin tak menghindar, ia
menangkis, tapi begitu saling bentrok, dia rasakan separoh tubuhnya kesemutan.
Dia sangat terkejut. Belum setengah tahun dia bertempur dengan ketua HONG HWA
HWE itu di HangCiu, itu waktu kekuatannya berimbang, Tapi kini, ternyata dia
sudah bukan tandingannya lagi.
Tan Keh Lok mengirim serangan
lagi, malah dengan dua tangan sekali gus. Yang satu, Pek Cin berkelit dan yang
satunya ditangkis. Tapi seCepat itu dia lantas lonCat menyingkir seraya
berseru: “Tahan!”
“Dia 'kan penolongmu, mengapa kau
layani dia berkelahi!” tiba-tiba Kian Liong menyelatuk.
Kini insyaplah Pek Cin bahwa
baginda mencurigainya.
Dia mengambil sebatang golok dari
seorang siwi, katanya: “CongthoCu, aku bukan tandinganmu.”
“Aku hargakan kau sebagai seorang
hohan. Asal kau tak menjual jiwa untuk kaisar ini, silaukan kau tinggalkan
tempat ini!” kata Keh Lok.
Tio Pan San yang menjaga
dijendela timur, lantas memberi jalan. Tapi bukannya segera berlalu, Pek Cin
kedengaran tertawa hampa: “Terima kasih atas kebaikan kalian. Tapi karena tak
dapat melindungi baginda, aku menjadi seorang yang put-tiong (tak sstia). Tak
dapat membalas budimu, aku menjadi seorang put-gi (tak bermoral). Put-tiong dan
put-gi, adakah kau masih berharga untuk hidup didunia?” Belum lagi semua orang
mengerti apa yang dimaukan, sekonyong-konyong Pek Cin menabas batang lehernya
sendiri. 'Bluk', buah kepalanya tahu-tahu jatuh dilantai.
Kemudian Keh Lok pimpin Ceng Tong
keruangan dalam. Badi-badi mustika diserahkan kepada nona itu, katanya: “Ceng
Tong, ayah bundamu, kakak dan adikmu, kedua suhumu serta berpuluh-puluhdua ribu
suku bangsamu, semua binasa ditangannya. Mari, kau bunuh dia dengan tanganmu
sendiri!”
Segera Ceng Tong maju menghampiri
Kian Liong. Swi Tay Lim Coba menghadang, tapi segera disambar dari samping oleh
Bun Thay Lay, terus diCengkeram, punggungnya diangkat naik, dihantam
berulang-ulang. Ketika dilepaskan, Swi Tay Lim sudah numprah ditanah, seperti
segumpal daging. Tulangduanya sudah patahdua semua.
Bun Thay Lay masih ingat akan
hinaan dari musuhnya itu, yang pernah memukulinya ketika dia tertangkap. Maka
kali ini, dia umbar napsunya untuk melampiaskan sakit hati itu.
Kini tinggal 5 atau enam orang
siwi saja yang masih disamping Kian Liong. Maka Bun Thay Lay hanya tertawa dan
berdiri disamping untuk mengawasi Ceng Tong menghampiri baginda. Tapi baru saja
Ceng Tong berjalan beberapa tindak, tiba-tiba dibawah pagoda terdengar suara
hiruk pikuk.
Tio Pan San melongok kejendela
dan dapatkan diluar Po •Gwat Lauw ribuan tentara tengah membawa obor. Mereka
adalah pasukan gi-lim-kun, siwi, thaikamdua yang pandai ilmu silat, kira-kira
sejumlah ribuan. Tiau Hwi, Li Khik Siu dan The jin-ong sibuk memberi perintah.
Bun Thay Lay menghampiri jendela
dan berseru dengan lantang: “Kaisar ada disini. Siapa yang berani naik, kaisar
ini segera akan kujadikan frikadel lebih dulu!”
Mendengar suara yang menggeledek
dari Pan-lui-Chiu itu, suasana berisik itu sirap seketika. Thian Hong beserta
Sim Hi segera lemparkan mayat Pek Cin, Swi Tay Lim, Ma King Hiap, Seng Hong
dkk.nya kebawah. Melihat, jago-jago yang tangguh itu sudah menjadi mayat,
mereka tambahi jeri lagi dan makin Cemas akan keselamatan baginda.
Juga orang-orang gagah HONG HWA
HWE itu sama berdiam diri untuk menantikan Ceng Tong, siapa dengan badi-badi
yang bergemerlapan tengah maju setindak demi setindak kearah Kian Liong.
Dalam suasana yang menyeramkan
itu, tiba-tiba dari balik tempat tidur diruangan situ, sebuah bayangan
ber-gerak-gerak terus menghadang dimuka baginda. Ceng Tong merandek untuk
mengawasinya. Ternyata dia adalah seorang tua yang berambut putih, tangannya
memondong seorang baji. Sambil tertawa dingin, dengan tangan kanan, orang tua
itu mengangkat si baji kemuka, sedang tangannya kiri mendekap leher sibaji.
Sekali jariduanya itu dikenCangkan, tak ampun lagi baji tentu binasa.
Baji itu putih montok,
menyenangkan sekali dan tengah asjik mengisap jarinya.
Mendadak memberosot dari belakang
sang ibu dan menjerit keras: “Kembalikan anakku!” Terus saja ia akan. maju
merebutnya.
“Majulah, kalau kau ingin
menerima mayat baji, mari!” orang tua itu menganCam.
Ciu Ki linglung seperti
kehilangan semangat.
Kiranya orang tua itu adalah
bekas Sunbu dari wilayah Anhui, Pui Ju Tek. Ketika dia kembali kekampungnya di
Hokkian, dia akan mengambil selir, tapi diobrak-abrik oleh orang-orang gagah
HONG HWA HWE Berkat siasatnya yang liCin, dia berhasil loloskan diri. Kemudian
dia menggabungkan diri dengan Seng Hong dan Swi Tay Lim. Dari kedua orang itu,
diketahuinya kalau baginda bermaksud akan menumpas orang-orang H.H.H, Untuk
meriCari pahala, Sunbu itu telah mengatur renCana.”
Dengan membawa sejumlah besar
pasukan, dia menggerebek gereja Siao Lim Si pada tengah malam. Gereja itu
dibakarnya, dimana turut pula binasa pemimpin pertamanya Thian Hong Siansu.
Kemudian dirampasnya pula putera Ciu Ki yang masih baji itu. Dia anggap, hal
itu sebagai jasa kepada negeri, maka diajaklah Swi Tay Lim dkk. ke Pakkhia
untuk menghadap kaisar.
Malam itu juga baginda menitahkan
mereka menghadap untuk ditanya lebih jelas apakah gereja Siao Lim Si masih
meninggalkan sisa. Begitulah malam itu ketiganya pergi menghadap baginda di Po
Gwat Lauw. Tak mereka sangka kalau disitu mereka kesamplokan dengan rombongan
Tari Keh Lok yang tengah mengamuk.
Pui Ju Tek buru-buru bersembunyi
dibelakang tempat tidur. Tak berani dia nampakkan diri. Tapi ketika
diketahuinya suasana sangat gawat, meskipun dia tak bisa silat, tapi dengan
tipu dayanya yang liCin, dia munCul menghadangi.
“Ayo, kamu semua keluar dari
istana. Nanti kukembalikan baji ini!” kembali situa itu berseru setelah merasa
mendapat angin.
“Setan tua, kau tentu akan menipu
kami!” bentak Ceng Tong, yang karena kemarahannya, sampai lupa kalau ia memaki
dengan bahasa Ui. Sudah tentu semua orang tak mengerti maksudnya.
Sungguh hal yang tak terkirakan
sama sekali oleh orang-orang gagah itu. Mereka telah ambil putusan, kaisar
tentu takkan lepas dari kebinasaan. Sekalipun pasukan istimewa dikerahkan untuk
menolongnya, mereka tetap akan membunuh kaisar itu, sekalipun mereka harus
berkorban jiwa. Tapi renCana itu digagalkan serta merta oleh seorang tua yang
tak pandai silat, tak membawa senjata apa-apa, keCuali seorang anak baji. Semua
orang sama memandang kepada Tan Keh Lok untuk menanti keputusannya.
Ketua HONG HWA HWE itu memandang
pada Ceng Tong. Sakit hati yang diderita nona itu melebihi lautan besarnya, tak
boleh tidak, harus dibalaskan. Dan ketika ketua itu memandang kearah jenazah
Thian San Siang Eng dan Ciang Cin, hatinya seperti disajat sembilu. Namun
ketika nampak wajah Cemas dari Thian Hong dan Ciu Ki, hatinya bersangsi.
Dengan sorot mata yang Cemas
sayang, sepasang suami isteri itu tak hentinya mengawasi orok yang berada dalam
telapak tangan Pui Ju Tok, tangan yang penuh dilingkari dengan otot besardua.
Anak yang baru berusia dua bulan nampak tertawadua, memain dengan jari tangan
situa. Sedikitpun dia tak mengetahui, bahwa jaridua itu kalau tak kebetulan,
hakal merampas jiwanya.
Tan Keh Lok alihkan pandangannya.
Dilihatnya sorot mata. Thian Keng yang tadinya penuh dengan hawa pembunuhan,
kini berganti dengan sorot yang mengunjuk kewelas-asihan. Liok Hwi Ching
kedengaran mengeluarkan elahan napas. Tiong Ing gemetar, jenggotnya yang putih
turut bergoyangdua. Sedang Ciu-naynay ternganga mulutnya, seperti orang kena
sihir.
“Kepada kaum kita, Ciu-loCianpwe
telah bunuh putera keturunannya sendiri. Baji itu adalah untuk menyambung
keturunan satuduanya......... tapi kalau dia (kaisar) tak dibunuh sekarang,
mungkin tak ada kesempatan yang sebagus ini lagi dan sakit hati kita tentu
takkan terbalas selama-lama-nya”, demikian Keh Lok me-nimbangdua dalam pikirannya.
Tengah dia bingung mengambil
putusan, terdengar Ciu Ki menjerit seraya akan menyerbu kemuka, tapi diCegah
oleh Lou Ping dan Wan Ci hingga ia meronta-ronta seperti orang kalap.
Pemandangan itu, telah membuat Bu Tim, Bun Thay Lay kedua saudara Siang,
orang-orang yang biasa membunuh orang tanpa terkesip, kini menjadi tak tega
hatinya.
Tiba-tiba Ceng Tong balik kembali
untuk serahkan badi-badi para TanKeh Lok, bisiknya: “Yang mati tetap mati!
Biarlah anak itu dididik, agar kelak dapat membalaskan sakit hati kita!”
Keh Lok mengangguk, lalu dengan
suara lantang dia berseru pada Pui Ju Tek: “Baiklah, kami menyerah. Kami tak
membunuh kaisar, dan kau serahkan orok itu padaku!”
Untuk membuktikan kata-katanya,
badi-badi disarungkan, lalu angsurkan kedua tangannya untuk menyambuti sibaji.
“Hm, siapa sudi memperCajaimu?
Nanti kalau kamu sudah keluar dari istana, baru orok ini kuserahkan!” Pui Ju
Tek menjawab dengan dingin.
“Kami kaum HONG HWA HWE selalu
memegang kata-kata tak pernah ingkar janji. Masa kami akan menipu seorang tua!”
Keh Lok sangat gusar.
“Ya, tapi aku tetap tak mau
perCaja”. kata situa bangka.
“Sudahlah, mari ikut kami
keluar!” ajak Keh Lok.
Pui Ju Tek bersangsi. Tapi Kian
Liong yang mengetahui jiwanya tertolong, tak mempedulikan keadaan tua bangka
itu lagi, serunya: “Turut saja pada mereka. Jasamu sangat besar, aku tentu
takkan melupakan”.
Hati Pui Ju Tek menjadi tawar.
Kaisar mau supaya dia berkorban, untuk itu kaisar akan mengganjarnya pangkat
besar (seCara posthum).
“Hamba haturkan terima kasih atas
budi baginda”, katanya dengan hati yang berat, kemudian berpaling kearah Tan
Keh Lok, katanya: “Ya, aku ikut. Akupun sudah tak menyayang selebar jiwa yang
sudah bangkotan ini!”
Nyata dia harap Tan Keh Lok suka
mengampuninya seorang tua, tapi anak muda itu tak menghiraukan, sahutnya:
“Dosamu sudah lebih dari takeran, maka harus lekas-lekas masuk keneraka!”
“Lekas ikut mereka!” bentak Kian
Liong yang kuatir kalau memakan tempo kelwat lama, yangan-yangan nanti timbul
perubahan buruk lagi.
“Kalau aku ikut keluar,
yangan-yangan kau tinggalkan beberapa kawanmu untuk menCelakakan baginda”, Pui
Ju Tek tak pedulikan perintah kaisar dan masih mengotot.
“Apa kehendakmu?” sahut Keh Lok
gusar karena jengkelnya.
“Kuakan persilakan baginda
tinggalkan tempat ini dahulu, setelah itu baru aku ikut padamu”, kata Pui
JuTek. “Baik”, sahut Keh Lok.
Tanpa hiraukan etiket kaisar
lagi, Kian Liong terus lari kepintu. Ketika lewat disamping Tan Keh Lok,
tiba-tiba ketua HONG HWA HWE itu memegangnya. Sebelum orang dapat menduga apa-apa,
tangan kiri Keh Lok sudah diayunkan beberapa kali untuk menampar muka Kian
Liong, seketika muka kaisar itu benjoldua matang biru.
“Kau ingat apa tidak sumpahmu
dulu itu?” Keh Lok mendampratnya.
Kian Liong tak menjawab, Keh Lok
dorong tubuh kaisar itu hingga sempoyongan, siapa tanpa hiraukan apa-apa,
keCuali keselamatan jiwanya, terus lari tunggang langgang keluar dari pagoda.
“Sekarang serahkan orok itu
padaku!” seru Keh Lok.
Pui Ju Tek melihat kesana kemari,
hendak dia menCari akal lagi untuk lolos. Sebagai seorang pembesar jahat yang
sudah bandotan, segera dia nampak suatu harapan pada diri Tio Pan San, yang
dilihat dari wajahnya yang berseri-seri itu, tentu orangnya penuh welas asih.
“Lebih dulu akan kusaksikan
sendiri bahwa baginda tak kurang suatu apa, baru kuserahkan baji ini!” katanya
seraya melangkah kejendela.
“Kura-kura tua, mati kau sudahlah
pasti, yangan banyak sekali tingkah!” memaki Siang Pek Ci. sambil mengikutinya
dari belakang-. Begitu baji diserahkan, dia akan turun tangan meremuk bandot
tua itu.
Kian Liong ternyata sudah keluar
dari Po Gwat Lauw dan disambut oleh para siwi.
“Penghianat busuk!” Tio Pan San
memakinya.
Demi melihat barisan siwi berada
dibawah pagoda, timbullah pikiran nekad dari Pui Ju Tek. Daripada menunggu
kematian diatas pagoda, lebih baik dia terjun kebawah saja. Besar
kemungkinannya tentu ada siwi yang berkepandaian tinggi akan menyanggapinya
dari bawah. Tapi andaikata sampai tak ada yang menolong, diapun akan mati
bersamadua orok itu.
SeCepat dapat pikiran, seCepat
itu pula dia terus lonCat dari mulut jendela.
Semua orang sama. menjerit kaget.
Siang Pek Ci sebat sekali terus ulurkan hui-Cao (Cakar terbang) untuk menggaet
kaki Pui Ju Tek, terus ditariknya. Seorang tua lemah seperti Pui Ju Tek, mana
dapat menahan tarikan itu. Seketika tubuhnya kaku, berbareng itu orok terlepas
dari genggamannya/ Dua-'nya kini melayang jatuh!
Tanpa pikir lagi Tio Pan San
enjot tubuhnya keluar. Dengan kepala menjulai (menjungkel) kebawah, dia ulur
sebelah tangannya untuk menjambret kaki si orok, dan berbareng itu tangannya
kanan menyambitkan tiga biji piauw beracun kearah batok kepala dan dada Pui Ju
Tek.
Semua orang, baik kawan maupun
lawan, sama menjerit kaget. Tapi selagi melayang turun itu, Tio Pan San sudah
empos semangatnya. Pertama, dia tarik orok itu untuk dikempit, kemudian begitu
sang kaki menginjak bumi, dia sudah gerakkan ilmu “hun Chiu” dari Thay-kek-kun,
untuk menghalau serangan dari dua orang siwi yang meneryangnya. Sedang
lain-lain siwipun segera maju mengepung.
Kedua saudara Siang, Thian Hong,
Ciu Tiong Ing dan Bun Thay Lay, serentak lonCat kebawah untuk melindungi Tio
Pan San.
Pan San melihati orok itu ternyata
masih memain dengan kaki dan tangannya sembari ter-tawadua. Seolah-olah
kejadian yang hampir mengambil jiwanya itu, tak dirasakannya.
Segera Keh Lok dorong Hok Gong An
kemulut jendela, serunya keras-keras: “Kamu menghendaki keselamatannya apa
tidak?”
Saat itu ternyata Kian Liong
masih disitu. Hanya kini berada dibawah lindungan barisan siwi yang kokoh, dia
tak takut lagi. Demi diketahui Hok Gong An tertawan, berobahlah wajahnya.
“Tahan, tahan!” serunya
berulang-ulang.
Pasukan siwi segera mundur, sedang
Ciu Tiong Ing dkk. pun tak mengejarnya.
Mengapa kaisar begitu sayang
kepada Hok Gong An?
Kiranya permaisuri kaisar itu,
adalah adik perempuan dari menteri besar Pok Heng. Pok Heng mempunyai isteri
yang luar biasa Cantiknya. Ketika masuk keistana, wanita Cantik itu telah dapat
menCuri hati Kian Liong, siapa lalu mengadakan hubungan gelap. Hasil dari
perhubungan rahasia itu, ialah lahirnya Hok Gong An itu.
Pok Heng mempunyai 4 orang
putera. Tiga dari mereka, diangkat menjadi huma (menantu raja). Kian Liong paling
menyayangi Hok Gong An. Karena tak mengetahui latar belakangnya, Pok Heng
beberapa kali mohon pada kaisar Kian Liong, supaya berkenan mengambil menantu
pada Hok Gong An. Tapi dengan tersenyum, kaisar itu selalu menolak.
Kian Liong mempunyai banyak sekali
putera. Tapi anehnya, dia paling sayang kepada Hok Gong An, puteranya yang tak
resmi itu. Roman Hok Gong An mirip sekali dengan Tan Keh Lok, ini disebabkan
keduanya itu masih ada hubungan darah antara paman dengan keponakan.
Tan Keh Lok tak mengetahui
hubungan rahasia itu, tapi demi dilihatnya kaisar menjadi gelisah, dia mendapat
akal bagus. Dengan menggusur Hok Gong An, dia ajak semua saudaranya turun
kebawah. Demi sudah diluar pagoda, Ciu Ki segera merebut anaknya dari tangan
Tio Pan San. Orok itu segera dipondong dan diCiumnya berulang-ulang seperti
orang mendapat mustika yang sangat berharga.
Po Gwat Lauw yang biasanya
dikitari oleh taman padang pasir yang sunyi senyap, kini merupakan medan
perang. Diseberang sini rombongan HONG HWA HWE dan rombongan paderi Siao Lim
Si, sedang disana tampak berjajar barisan siwi dan pasukan gi-lim-kun.
Li Khik Siu tahu isi hati kaisar,
lalu tampil kemuka, katanya. “Tan-CongthoCu, lepaskan Hbk-thongleng, nanti
kamipun lepaskan kalian sampai keluar kota!”
“Apa kata baginda?” tanya Keh
Lok.
Muka kaisar yang kena tampar
tadi, masih panas sakitnya. Maklum dia seorang kaisar yang seumur hidupnya
belum pernah merasakan tamparan, apalagi yang menampar Seorang ahli silat
seperti Tan Keh Lok. Namun nampak puteranya teranCam bahaya, ditahannya juga
rasa sakit itu, serunya: “Kau boleh pergilah!”
“Baik, kuminta Hok-thongleng yang
mengantarkan kami sampai keluar kota!” kata Keh Lok bersenyum.
Dan sebelum pergi, ketua HONG HWA
HWE itu berteriak keras-keraskepada kaisar: “Rahajat di seluruh negeri selalu
ingin bisa memakan dagingmu dan membeset kulitmu. Kalau kau bisa hidup seratus
tahun lagi, seratus tahun itu pula kau bakal hidup dalam keCemasan. Setiap
malam setandua akan mengganggu tidurmu!”
Sehabis itu, sembari menggiring
Hok Gong An dan mengusung jenazah Thian San Siang Eng serta Ciang Cin,
rombongan orang gagah itu segera tinggalkan istana, diiring oleh ribuan pasang
mata dari barisan siwi dan gi-lim-kun yang hanya dapat mengawasi, tapi tak
berani mengejar.
Tak lama setelah keluar dari
istana, dua orang penunggang kuda memburunya. Itulah Li Khik Siu, siapa
kedengaran berseru:
“Tan-CongthoCu, Li Khik Siu ingin
membiCarakan, sesuatu.”
Ternyata kawannya yang seorang,
adalah Can Tho Lam, tangan kanan Ciangkun itu.
Begitu sudah dekat Li Khik Siu
berkata pula: “Baginda mengatakan, kalau Hok-thongleng dilepas tak kurang suatu
apa, apa permintaanmu, baginda akan mengabulkan.”
“Hm, siapa yang masih dapat
memperCajai kata-kata kaisar jahanam itu!” balas Keh Lok dengan tawar.
“Mohon Tan-CongthoCu mengatakan,
biar SiaoCiang yang menyampaikan,” Li Khik Siu mengulangi permintaannya.
“Baik!” kata Keh Lok. “Pertama,
baginda harus mengeluarkan uang dari kas negara untuk membangun lagi gereja
Siao Lim Si. ArCadua Buddha disitu, harus lebih besar dari dahulunya.
Pembesardua pemerintah dilarang mengganggu gereja itu se-lama-lamanya.”
“Hal itu dapat ddilaksanakan,”
sahut Li Khik Siu.
“Kedua, baginda tak boleh
menindas sukudua dari daerah Hwe. Semua tawanan perang, laki atau perempuan,
harus segera dilepas!”
“Itupun tak sukar,” jawab Li Khik
Siu.
“Ketiga, baginda tak boleh
membenci dan menangkapi anggota-anggotaHONG HWA HWE yang tersebar diseluruh
negeri.”
Kali ini Li Khik Siu membisu.
“Hm, jadi memang mau menangkapi?
Apa dikira kami jeri? Pan-lui-Chiu Bun-suya ini, bukankah pernah mengeram
ditempat markas Li-Ciangkun?” jengek Keh Lok.
“Baiklah, aku memberanikan diri
untuk menyanggupi permintaan itu,” buru-buru Li Khik Siu menjawab. “Nah, Tahun
muka pada hari ini, kalau tiga hal tadi sudah dilaksanakan sungguh-sungguh,
Hok-thongleng tentu akan kuantarkan pulang” kata Keh Lok akhirnya.
“Baiklah kalau begitu”, sahut Li
Khik Siu, lalu berpaling kearah Hok Gong An: “Hok-thongleng, Tan-CongthoCu
adalah seorang yang berbudi tinggi, harap kau yangan kuatir. Bagindapun tentu
akan melaksanakan ketiga hal tadi, mungkin juga Tan-CongthoCu akan mengantar
kau pulang lebih lekas”.
Hok Gong An diam saja.
Teringat akan peristiwa
penyerangan Li Khik Siu dan Pek Cin terhadap penjaga paseban Swi Seng Tian, Tan
Keh Lok menduga, tentu disitu terselip rahasia apa-apa. Maka pura-pura ia
menggertak: “Katakan kepada baginda, peristiwa di Swi Seng Tian, kami telah
mengetahuinya. Kalau dia berani main gila lagi, awasiah!”
Li Khik Siu terkejut, dan
terpaksa mengiakan.
“Li-Ciangkun, nah, selamat
tinggal! Kalau nanti kau naik pangkat dan menjadi kaja, harap yangan menindas
pada rahajat!” akhirnya Tan Keh Lok memberi hormat dan meminta diri.
“Ah, CongthoCu,' SiaoCiang tentu
tak berani,” buru-buru Li Khik Siu membalas hormat.
Li Wan Ci dan le Hi Tong berdua
turun dari kudanya menghampiri dan berlutut dihadapari Ciangkun itu. Hati Li
Khik Siu seperti dibetot, karena tahu dia bahwa kedepannya dia bakal tak
bertemu lagi dengan puterinya. Katanya dengan suara sember: “Anak, jagalah diri
baik-baik !”
Lalu kudanya diputar, terus
kembali kearah istana, tinggalkan Wan Ci numprah tersedu-sedu. Hi Tong pimpin
bangun idterinya itu. Sampai dipintu kota, Seng Hiap, Jun Hwa dkk. sudah siap
menyambut. Atas perintah Hok Gong An, pintu dibuka. Hampir jam 4 pagi, barulah
rombongan orang-orang gagah itu keluar dari kota raja.
Rembulan sisir tampak diantara
aliran sebuah sungai. Didekat situ tampak sebuah kuburan, dimana ada beberapa
orang tengah menyanyi dan menangis. Mereka menyanyikan lagu berkabung dari suku
Ui. Tan Keh Lok dan Ceng Tong buru-buru turun dari kudanya, dan bertanya: “Kamu
sedang berkabung untuk siapa?”
Seorang tua Ui dengan berCucuran
air mata, menyahut: “Hiang Hiang KiongCu!”
“Hiang Hiang KiongCu dimakamkan
disini?” tanya Keh Lok dengan terkejut.
Menunjuk kepada sebuah kuburan
baru yang masih belum kering, orang itu menyahut pula: “Ya, itulah!”
“Tak boleh kita biarkan adik
dikubur disini!” tiba- Ceng Tong menangis.
“Benar, ia senang akan Telaga
Warna didalam perut gunung Sin-nia. Sering ia mengatakan: 'aku akan merasa
bahagia kalau dapat berada disini selama-lamanya'. Kita pindahkan jenazahnya
kesana saja!” kata Keh Lok.
“Siapa kalian ini?” tanya orang
tua Ui tadi.
“Aku adalah Cici dari Hiang Hiang
KiongCu!” sahut sigadia.
“Ah, kau tentu Chui-ih-wi-sam,
aku dulu menjadi anak buah dari regu kedua pasukan Pek Ki, pernah bertempur
dibawah perintahmu,” tiba-tiba seorang Ui lain berseru.
Begitulah orang-orang Ui dan
orang-orang gagah HONG HWA HWE dibantu pula oleh paderidua Siao Lim Si mulai
menggali. Dalam sekejap saja, terbongkarlah sudah makam itu. Ketika papan batu
yang menutup lubang tempat jenazah diangkat, hawa harum menyerbak keras. Tapi
untuk kekagetan orang-orang itu, mereka dapatkan lubang itu kosong melompong.
Keh Lok menyuluhinya dengan obor, yang tampak hanya segumpal darah
ke-biruduaan, disamping situ terletak batu giok pemberiannya kepada Hiang Hiang
dulu.
“Jenazah itu ka; li sendiri yang
menanamnya disini. Dan sejak itu kami terus menungguinya disini. Mengapa kini
jenazah itu hilang?” juga orang-orang Ui itu menyatakan keheranannya.
“Nona itu sedemikian Cantiknya,
tentulah titisan dewi. Kini ia tentu sudah kembali ketempat asalnya. Cici Ceng
Tong dan CongthoCu harap yangan bersedih,” menghibur Lou Ping.
Keh Lok memungut, mainan giok itu
untuk disimpannya. Diapun agak mempercajai keterangan Lou Ping itu. Tiba-tiba
angin mengembus, dan bau harum kembali menyampok hidung orang-orang itu. Lewat
beberapa saat kemudian, mereka menguruk kuburan itu lagi. Seekor kupudua, entah
dari mana datangnya tampak terbang diatas kuburan tersebut. “Akan kutulis
beberapa huruf, harap nanti kau suruh “tukang yang pandai mengukirnya diatas
batu nisan dan dif pasang dimuka kuburan ini,” kata Keh Lok kepada siorang tua
tadi.
Cepat Sun Hi mengambil dua potong
emas untuk diserahkan kepada orang1 Ui itu. Lalu diambilnya kertas dan alat
tulis. Setelah merenung sejurus, mulailah Keh Lok menulis sebuah sjair:
Penderitaan yang hebat, hati yang
berkabut sesal, berakhirlah nyanyian merdu, susutlah sang rembulan. Didalam
kota nan indah, terdapat segumpal darah kemilau. Sesaat kilau pudar, sesaat
darah lenyap. Namun ban harum semerbak senantiasa! Benarkah gerangan dia?
Menjelma seekor kumis.
Setelah mengheningkan Cipta
sampai sekian lama, barulah rombongan orang-orang gagah itu berangkat kearah
barat.
Matahari bersinar gilang gemilang
diufuk timur. Dan sampai disini Cerita ini telah:
TAMAT.