Telaga Se-ouw merupakan telaga
yang amat indah. See-ouw atau Telaga Barat ini adalah satu di antara
telaga-telaga yang terbesar dan terkenal di seluruh daratan Tiongkok. Hampir
setiap hari telaga itu ramai dikunjungi orang dari dekat maupun jauh, untuk berperahu
atau hanya menikmati keindahan alam di sekitar telaga. Terutama sekali pada
hari besar dan hari pesta. Telaga itu penuh dengan perahu besar kecil yang
dihias serba indah, dan terdengarlah musik bersaingan hiruk pikuk dari
perahu-perahu besar dan dari tepi telaga.
Banyak seniman mengagumi
keindahan See-ouw. Pelukis-pelukis berdatangan untuk mengabadikan keindahan
telaga dengan lukisan mereka, di waktu pagi, siang atau senja di mana terjadi
perubahan keindahan pada telaga itu. Para penyair juga berdatangan dan
mengungkapkan kekaguman mereka terhadap keindahan telaga dalam bentuk
sajak-sajak.
Alam memang indah, baik itu di
sekitar telaga, di tepi laut, atau di puncak gunung. Keindahan yang hidup,
bukan seperti keindahan benda buatan manusia yang mati dan membosankan, karena
keindahan alam tidak dibuat-buat, wajar, sedangkan keindahan buatan manusia
hanya ciptaan yang berdasarkan selera nafsu sementara saja. Keindahan alam
semesta tidak pernah sama, tidak mati, setiap saat berubah, dan mengandung kedalaman
yang tidak terukur oleh pikiran manusia.
Menghadapi kebesaran dan
keindahan alam, apa lagi ketika berada seorang diri, baru terasalah betapa
kecil tiada artinya diri kita ini. Kita hanya sebagian kecil saja dari semua
keindahan itu, kita termasuk di dalamnya. Akan tetapi kalau kita sudah
menempatkan diri di luar, sebagai penonton dan menikmati keindahan, maka
keindahan itupun akan mati seperti keindahan selera nafsu, dan akan menjadi
membosankan.
Pada pagi hari itu, tidak
begitu banyak tamu mengunjungi telaga. Hanya ada belasan buah perahu saja,
itupun perahu-perahu kecil, dan hanya ada sebuah perahu besar dari mana
terdengar suara musik dan nyanyian. Namun, kesunyian itu bahkan menambah
menonjolnya keindahan See-ouw. Biasanya, kalau terlalu ramai, keadaan menjadi
terlalu gaduh dan sibuk sehingga buyarlah keindahan itu, terganti oleh
kesenangan manusia yang membisingkan.
Dan banyaklah manusia yang
mengeluh dan kecewa kalau keadaan sepi seperti itu. Mereka adalah para pedagang
makanan dan minuman, para tukang perahu yang menyewakan perahunya, para gadis
penyanyi dan pelacur yang biasa disewa oleh mereka yang beruang dan yang
menghibur hati dengan cara mereka sendiri, yaitu ditemani gadis-gadis penghibur
yang cantik.
Hanya sebuah perahu besar yang
membuat suasana agak meriah karena perahu besar itu milik Koan Tai-jin seorang
pembesar yang terkenal dengan keroyalannya. Koan Tai-jin adalah seorang
pembesar yang sudah pensiun dan kini tinggal di dusun Tiang-cin, menjadi
seorang hartawan besar di dusun tempat asalnya itu. Rumahnya besar dan megah,
dan hampir seluruh sawah ladang yang paling baik tanahnya di daerah itu adalah
miliknya.
Dia hidup seperti seorang raja
muda saja di daerah Tiang-cin. Bahkan lurah dusun sendiri menjadi kaki
tangannya, tunduk kepadanya! Hal ini tidaklah mengherankan karena Koan Tai-jin,
selain amat kaya raya sehingga mampu membeli kepala orang-orang yang menjadi
lawannya, juga mampu membeli bantuan pembesar manapun juga, selain itu, dia
mempunyai banyak kenalan baik yang menjadi pembesar di kota raja!
Semua orang mengejar
kekuasaan! Demikian penting kekuasaan agaknya bagi semua orang. Dengan
kekuasaan, orang akan merasa dirinya besar, penting, menonjol, dan juga aman!
Dengan kekuasaan orang akan mampu menuruti segala kehendaknya, melampiaskan
segala nafsunya, dan karena itulah maka orang-orang berlumba untuk memperoleh
kekuasaan selagi hidup di dunia. Kekuasaan mereka anggap dapat diperoleh
melalui kedudukan, melalui harta kekayaan, melalui kekuatan dan kepandaian, dan
sebagainya. Pada hal, kekuasaanlah yang menyeret manusia ke dalam lembah
kesengsaraan, ke dalam pertentangan, permusuhan, kebencian, bahkan perang!
Koan Tai-jin bernama Koan Ki
Sek, seorang laki-laki yang berusia kurang lebih limapuluh tahun. Tubuhnya
tinggi kurus dengan punggung agak bongkok. Sepasang matanya sipit sekali,
hidungnya besar dan mulutnya selalu menyeringai, dengan bibir dan gigi
menghitam karena racun tembakau yang selalu dibakar dan diisapnya dengan
sebatang huncwe (pipa tembakau) dari emas. Di dalam rumahnya yang seperti
istana itu, sudah terdapat seorang isteri yang usianya empatpuluhan tahun,
masih cantik, juga ada lima orang selir yang muda-muda dan cantik manis.
Namun, Koan Ki Sek yang kini
lebih terkenal dengan sebutan Koan Wan-gwe (Hartawan Koan) memang seorang
hidung belang yang selain mata keranjang, juga bernafsu besar sekali sehingga
belum akan puas rasa hatinya kalau belum berhasil meniduri wanita yang memikat
hatinya. Banyak sudah isteri atau gadis orang menjadi korban nafsunya dan dia
lebih sering berhasil menyeret wanita yang disukainya, dengan pengaruh uangnya
atau kekuasaannya.
Wanita-wanita yang menjadi
korbannya hanya mampu menangis, suami dan ayah mereka hanya mampu mengepal
tinju. Namun, kepada siapa penghuni dusun Tiang-cin harus mengadu kalau kepala
dusun sendiri menjadi kaki tangan hartawan itu?
Seperti biasa, senjata kaum
lemah tertindas hanya mengadu kepada Langit dan Bumi, kepada Tuhan dengan
tangis mereka, namun nampaknya, seperti juga Langit dan Bumi, Tuhanpun diam
saja! Demikian memang kalau kita mengukur kekuasaan Tuhan secara manusiawi,
mengukur keadilan Tuhan seperti keadilan yang kita kenal! Tuhan Maha Kuasa dan
Maha Adil, namun kekuasaan dan keadilannya itu maha besar, tak terjangkau oleh
akal budi kita. Karena itu, apabila timbul penafsiran manusia, akan terjadi
salah tafsir. Rahasia Gaib tersembunyi di dalam kekuasaan Tuhan, dan
bagaimanapun nampaknya dalam pengertian manusiawi, kekuasaan Tuhan adalah Maha
Benar dan Maha Adil!
Dan pada pagi hari itu, selagi
keadaan telaga sunyi, Koan Ki Sek sudah pelesir dengan perahunya yang besar dan
megah. Dia tidak perduli akan kesepian telaga karena dia sama sekali tidak
merasa sepi dengan adanya tiga orang gadis panggilan yang menghiburnya,
menemaninya berpesta, makan enak dan minum arak, ada yang menyuapinya, ada yang
duduk di pangkuannya, ada pula yang memijatinya, sedangkan serombongan gadis
penghibur lain bermain musik, menyanyi dan menari!
Dalam bersenang-senang ini,
Koan Wan-gwe ditemani oleh tiga orang jagoannya yang juga menjadi
pengawal-pengawal pribadinya. Tiga orang jagoan inilah membuat Koan Wan-gwe
ditakuti orang, karena sekali saja hartawan itu memberi isyarat, maka tiga
orang jagoan itu tentu akan turun tangan dan akan celakalah lawannya!
Tiga orang jagoan ini amat
terkenal di daerah See-ouw karena mereka merupakan tokoh atau datuk golongan
hitam yang merajalela di daerah itu. Dikenal dengan juiukan See-ouw Sam-houw
(Tiga Harimau See-ouw). Mereka bertiga itu masih saudara seperguruan. Yang
pertama bernama Ban Sun usianya empatpuluh tahun, bermuka hitam maka dijuluki
Hek-bin-houw (Harimau Muka Hitam), tubuhnya pendek gendut dan sikapnya kasar,
selalu tertawa lebar dan amat sombongnya. Dia merupakan saudara tertua dan
paling lihai di antara mereka bertiga, terkenal sekali dengan permainan
goloknya yang lebar panjang dan berat.
Orang kedua bernama Kim Lok,
usianya tigapuluh delapan tahun, mukanya kuning seperti berpenyakitan, tubuhnya
tinggi kurus dan matanya yang sipit itu liar dan tajam seperti mata burung
elang, sikapnya pendiam namun dalam hal kekejaman, dia paling terkenal. Kim Lok
ini pandai sekali bermain sepasang pedang yang selalu tergantung di
punggungnya.
Adapun orang ketiga bernama
Phang Ek, usianya tigapuluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar dan gagah, nampak
kuat sekali, dengan wajah yang menyeramkan, penuh berewok. Phang Ek ini tidak
nampak memegang atau menyimpan senjata besar seperti kedua orang suhengnya,
akan tetapi di balik jubahnya, kalau disingkap, akan nampak bahwa ikat
pinggangnya dari kulit itu penuh dengan pisau-pisau yang belasan batang
banyaknya. Pisau-pisau inilah yang membuat dia terkenal dan ditakuti, karena
selain dia dapat memainkan pisau-pisau yang panjangnya hanya satu kaki itu
sebagai senjata yang ampuh, juga dia dapat menyambitkan pisau-pisau itu menjadi
pisau terbang yang dapat mencabut nyawa lawan. Dia dijuluki Hui-to (Pisau
Terbang), sedangkan Kim Lok dijuluki Siang-kiam-houw (Harimau Berpedang Dua).
See-ouw Sam-bouw ini tadinya
merupakan tokoh-tokoh hitam di telaga besar itu, dengan memungut semacam pajak
liar dari para tukang perahu, rumah makan, bahkan ada kalanya berani membajak
para tamu yang sedang pesiar di telaga. Akan tetapi, setelah mereka ditarik
oleh Koan Wan-gwe menjadi kaki tangannya tiga tahun yang lalu, See-ouw Sam-houw
tidak lagi mau mengganggu Telaga See-ouw. Kehidupan mereka sudah lebih dari
cukup, mewah dan semua keperluan mereka dipenuhi belaka oleh majikan mereka.
Sesuai dengan keadaan hidup
mereka sebagai penjahat dan kini sebagai tukang-tukang pukul, See-ouw Sam-how
tidak pernah kawin dan menjadi langganan rumah-rumah pelesir di kota-kota. Juga
dalam hal mengganggu wanita baik-baik, mereka hanya kalah oleh majikan mereka
saja.
Pagi hari itu Koan Wan-gwe
mengajak tiga orang jagoannya untuk menemaninya pelesir, bukan sekedar untuk
menjaganya di telaga itu. Untuk tiga orang jagoan itu, dia juga mendatangkan
tiga orang perempuan panggilan yang kini masing-masing dipangku oleh para
jagoan yang sudah mulai mabok-mabokan itu.
Pagi ini Koan Wan-gwe memang
mengadakan pesta untuk menyenangkan hati See-ouw Sam-houw karena mereka bertiga
dianggap telah berhasil melaksanakan tugas mereka baru-baru ini. Selama hampir
satu bulan tiga orang jagoannya itu melaksanakan tugas dan baru kemarin mereka
pulang dengan hasil yang amat memuaskan, karena buktinya ada sepucuk surat
pribadi yang ditandatangani oleh Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam)
sendiri yang menyatakan bahwa Koan Wan-gwe diterima menjadi “sahabat” dan
dilindungi oleh Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang semenjak beberapa bulan ini
menguasai atau merajai dunia sesat!
Bukan main girangnya hati
hartawan itu, karena tanpa perlindungan para datuk baru itu, tidak ada artinya
segala kekayaan dan kekuasaannya. Bahkan dia tidak mungkin dapat mempergunakan
kekuasaan para pembesar untuk melindungi dirinya, kekayaan dan keluarganya.
Sebaliknya, begitu Kiu Lo-mo menyatakan bahwa dia adalah seorang yang
dilindungi, tidak ada seekorpun setan berani mengganggunya! Inilah yang
menggirangkan hatinya walaupun dia telah mengeluarkan banyak sekali emas dan
perak yang dibawa oleh tiga orang jagoannya untuk tanda hormat kepada para
datuk sesat itu.
Dunia kang-ouw memang baru
saja sempat dibuat geger oleh berita tentang Kiu Lo-mo itu. Sembilan Iblis Tua
itu adalah datuk-datuk sesat yang sudah belasan tahun tidak pernah
memperlihatkan diri sehingga banyak orang mengira bahwa mereka telah tiada.
Kiranya mereka itu bertapa di tempat masing-masing dan kini mereka keluar dari
pertapaan dan bersekutu, membentuk pimpinan di atas semua kelompok sesat, dan
kabarnya Sembilan Iblis Tua itu kini menjadi semakin sakti dan galak.
Munculnya Kiu Lo-mo ini
disambut dengan gembira oleh dunia hitam, karena dengan adanya para datuk ini,
kaum sesat tidak lagi harus tunduk dan takut terhadap para pendekar yang selalu
menentang semua perbuatan jahat mereka. Kini ada Kiu Lo-mo yang melindungi
mereka dan kemunculan sembilan orang datuk ini disambut dengan pesta pora
berupa kejahatan-kejahatan yang dilakukan secara serentak di mana-mana, membuat
para pendekar menjadi terkejut bukan main.
Koan Wan-gwe dan tiga orang
jagoannya itu kini semakin gembira karena perut mereka kenyang dan kepala
mereka penuh hawa arak. Mereka tertawa-tawa dan tangan mereka semakin berani
membuat para wanita panggilan itu menggeliat dan tertawa cekikikan dan
kecabulanpun terjadilah di depan para gadis penabuh musik dan penyanyi, tanpa
ada lagi sopan santun. Kesusilaan tidak berlaku lagi bagi empat orang yang
menjadi hamba nafsu kesenangan ini, bahkan mereka tidak perduli akan pandang
mata segan dan takut namun ingin tahu dari para penghuni perahu-perahu kecil
yang kadang-kadang mendekati perahu besar mereka.
Agak jauh dari perahu besar
itu, nampak sebuah perahu lain. Perahu ini kecil hanya dimuati dua orang saja,
dengan payon rendah dan di atas perahu kecil inipun terjadi kemesraan antara
seorang pria dan seorang wanita. Namun, sungguh sama sekali berbeda dengan
kemesraan mesum yang terjadi di atas perahu besar, antara pria-pria pengejar
nafsu jalang dan wanita-wanita pengejar uang. Yang terjadi di atas perahu kecil
itu adalah kemesraan yang terjadi antara dua orang yang saling mencinta.
Pencurahan kemesraan karena
kasih sayang ini nampak halus dan mengharukan. Me- reka duduk berdampingan,
saling berpegang tangan, jari-jari tangan mereka saling cengkeram dan saling
bergelut, memancarkan getaran-getaran kasih dan setiap kali mereka bertemu
pandang, bibir mereka tersenyum dan dari pandang mata itu terpancar cinta kasih
yang amat dalam, jauh melebihi air telaga itu dalamnya.
Mereka seakan lupa diri dan
lupa keadaan, bukan karena nafsu berahi dan kesenangan, melainkan karena
kebahagiaan. Bagi pria dan wanita yang saling mencinta, nafsu berahi menjadi
alat pencurahan kasih sayang dan kemesraan, tidak seperti mereka yang di atas
perahu, yang menjadikan nafsu berahi sebagai majikan yang menguasai dan
membutakan mereka.
Pria dan wanita dalam perahu
kecil itu masih amat muda. Pria itu baru berusia delapanbelas tahun, dan wanita
itu tujuhbelas tahun. Dari sikap mereka yang tidak canggung dalam pernyataan cinta
mereka, walaupun dalam batas-batas yang sopan karena di dalam cinta kasih
mereka terdapat pula saling menghargai dan saling menghormati, mudah diduga
bahwa mereka itu adalah suami isteri. Dan hal ini memang benar. Mereka itu
suami isteri, bahkan masih pengantin baru karena baru lima bulan mereka
menikah. Kini, isteri muda itu telah mengandung hampir tiga bulan!
Suami muda itu bernama Tan Cin
Hay, putera seorang guru dusun yang miskin, dan isterinya bernama Gu Ci Sian,
puteri seorang kepala dusun sederhana pula. Selain mempelajari ilmu surat dari
ayahnya sendiri sejak kecil, juga Cin Hay pernah menjadi murid kuil
Siauw-lim-si, mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai yang terkenal hebat. Selama
lima tahun dia mempelajari ilmu silat dengan tekun dan kini dia telah memiliki
ilmu silat yang cukup lumayan, yang membuat dia menjadi seorang pemuda yang
bukan saja pandai baca tulis, akan tetapi juga pandai ilmu silat dan bertubuh
kuat.
Sejak tadi Cin Hay memandang
wajah isterinya. Makin dipandang semakin mempesona wajah itu, cantik manis
bagaikan setangkai bunga mawar yang baru saja disiram embun, segar kemerahan
tertimpa sinar matahari pagi. Dia menoleh ke kanan kiri. Tidak ada lain perahu
dekat situ, maka tanpa dapat menahan rasa cintanya yang mendalam, dia lalu
merangkul dan mencium mulut isterinya dengan sepenuh kasih sayangnya.
Ci Sian gelagapan, akan tetapi
membalas ciuman suaminya. Ketika mereka saling melepaskan ciuman dengan napas
memburu, wajah isteri muda itu menjadi semakin kemerahan dan sambil cemberut
manja ia berkata, “Ih, bagaimana kalau kelihatan orang lain?” Ia menoleh ke
kanan kiri dan merasa lega bahwa di situ tidak nampak perahu lain dekat.
Cin Hay tersenyum, “Maafkan,
aku tadi lupa diri. Habis melihat bibirmu demikian segar kemerahan......”
Isterinya menghela napas penuh
kebahagiaan dan menyandarkan kepalanya di pundak suaminya, matanya menatap jauh
penuh lamunan.
Cin Hay mendekap erat.
“Isteriku sayang, bahagiakah hatimu?” bisiknya.
Sang isteri mengangguk, akan
tetapi alisnya berkerut. “Aku...... aku merasa khawatir,
Koko......”
“Khawatir? Mengapa?”
“Aku khawatir kalau keadaan
ini akan berobah, tidak akan seterusnya begini, koko......”
“Ihh, kenapa kau berkata
demikian, moi-moi? Bukankah aku cinta padamu dan kau cinta padaku? Dan di dalam
perutmu ini terdapat calon anak kita! Ingat, calon anak kita pertama, isteriku.
Matahari akan selalu cerah, kehidupan kita akan selalu berbahagia, penuh cinta
kasih......”
Namun Ci Sian menggeleng
kepalanya yang masih bersandar pada pundak suaminya, matanya memandang jauh ke
atas dan telunjuk kirinya menuding, “Lihat itu, koko. Matahari tidak selalu
cerah......”
Cin Hay cepat mengangkat
mukanya dan diapun melihat adanya awan mendung yang cukup tebal datang
mengancam matahari. Agaknya gumpalan-gumpalan awan hitam tipis itu berkumpul
menjadi mendung yang tebal dan tak lama kemudian, sinar matahari yang tadinya
cerah mulai menjadi redup.
Melihat datangnya mendung
hitam, bahkan kini mulai turun hujan gerimis, para penghuni perahu-perahu kecil
menjadi panik. Bagaikan anak-anak ayam berlari-larian, mereka mendayung
perahu-perahu mereka ke tepi telaga. Melihat ini, mereka yang berpesta di
perahu besar dan yang mulai bosan dengan gadis-gadis panggilan mereka yang
sudah mulai mabok-mabokan pula, mendapatkan kegembiraan baru.
Koan Wan-gwe dan tiga orang
jagoannya sudah meninggalkan meja, berdiri di tepi perahu yang terlindung,
menyoraki perahu perahu kecil yang kehujanan itu. Mereka sendiri merasa aman di
perahu besar, aman dari air hujan, juga aman kalau-kalau air telaga akan
bergelombang. Akan tetapi para gadis panggilan itu ikut pula merasa panik, apa
lagi mereka sudah terlalu banyak minum dan di antaranya ada yang sudah
muntah-muntah. Mereka ingin segera menerima upah untuk kembali ke tempat
penampungan mereka.
Tiba-tiba mata Koan Wan-gwe
menangkap perahu kecil yang ditumpangi Cin Hay dan Ci Sian. Biarpun dia sudah
tigaperempat mabok, namun matanya selalu masih tajam untuk dapat melihat
seorang wanita yang amat memikat hatinya. Dan Ci Sian memang seorang wanita
muda yang amat menarik hati, cantik jelita dan lembut. Sungguh jauh bedanya
dengan para gadis panggilan yang merupakan boneka-boneka hidup dengan bedak dan
yan-ci (pemerah) yang terlalu tebal itu. Mata hartawan hidung belang ini
terbelalak dan dia mengambil huncwe emas dari mulutnya yang ternganga ketika
dia melihat Ci Sian di atas perahu kecil itu.
“Wah, bukan main......!
Hayaaa...... betapa manisnya......” berulangkali hartawan itu berseru kagum.
Sikapnya ini menarik perhatian
tiga orang jagoannya dan merekapun memandang dan segera mereka tahu apa yang
membuat majikan mereka demikian terkagum-kagum. Kiranya seorang wanita muda
dalam perahu itu yang seperti perahu-perahu lain, sedang didayung oleh seorang
laki-laki muda menyingkir ke pantai.
“Ha-ha-ha, kiranya lo-ya (tuan
besar) naksir, ya?” Hek-bin-houw Ban Sun tertawa- tawa.
“Kalau naksir, ambil saja ia
ke sini!” kata Kim Lok Si Harimau Berpedang Dua.
“Majukan perahu, kejar perahu
kecil itu!” kata Phang Ek, Harimau Pisau Terbang memerintah kepada tukang
perahu.
Koan Ki Sek tersenyum
menyeringai, mengangguk-angguk sebagai jawaban atas pertanyaan Ban Sun dan
kawan-kawannya, mulutnya menggumam, “Bagus sekali, perempuan-perempuan
panggilan itu membosankan. Undang saja penghuni perahu itu naik ke sini, biar
menjadi tamuku, tamu kehormatan yang manis, heh-heh-heh!”
Sebentar saia perahu kecil
yang didayung menuju ke tepi oleh Cin Hay itu dapat disusul dan Cin Hay
terkejut dan marah ketika tiba-tiba saja ada perahu besar mendahuluinya dan
perahu itu melintang di depannya, membuat dia cepat memutar perahu kalau tidak
mau bertabrakan dan terguling.
“Heiii......! Mengapa kalian
lakukan ini?” bentaknya marah sambil menuding dengan telunjuknya ke arah
beberapa orang yang menjenguk dari atas perahu besar itu sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi tidak ada yang
menjawabnya, bahkan tiba-tiba perahu kecil itu terkait dari atas! Cin Hay makin
kaget, akan tetapi ketika perahunya itu ditarik ke atas, dan melihat isterinya
ketakutan dan merangkulnya, diapun hanya dapat melindungi isterinya dan
memeluknya sambil menghiburnya.
Perahu kecil terus ditarik ke
atas oleh beberapa orang, disambut suara ketawa bergelak. “Aha, sekali ini kita
dapat ikan besar!”
“Ikannya cantik dan mulus,
tentu lezat sekali!”
“Wah, ini tanda bahwa rezeki
lo-ya memang hebat!”
Cin Hay melompat keluar dari
perahunya sambil memeluk tubuh isterinya. Dia melihat bahwa di perahu besar itu
terdapat seorang laki-laki tinggi kurus agak bongkok yang memegang huncwe emas,
dan melihat pakaiannya yang mewah, mudah diduga bahwa dialah majikannya. Dan
tiga orang itu tentu tukang pukul karena sikap mereka yang kasar dan sombong.
Sedangkan selebihnya adalah anak buah. Ada pula perempuan-perempuan berbedak
tebal berkumpul di sudut, nampaknya ketakutan.
“Sebetulnya apakah artinya
semua ini? Mengapa kalian melakukan hal ini kepada kami, padahal kami sama
sekali tidak mengenal kalian?” Cin Hay kembali bertanya, menahan kemarahannya
dan kini memandang kepada laki-laki yang memegang huncwe emas itu.
See-ouw Sam-houw yang tadi
menarik perahu kecil ke atas, hanya menyeringai dan menanti majikan mereka
untuk mengambil keputusan dan menjawab pertanyaan Cin Hay.
Koan Wan-gwe menghisap huncwe
itu, lalu mengepulkan asap tembakau ke atas, lalu matanya melirik ke arah Ci
Sian yang masih merangkul suaminya, kemudian berkata, “Tadi aku melihat nona
ini kehujanan dalam perahu kecil, maka aku merasa kasihan dan aku yang sedang
kesepian ingin mengundang ia minum arak hangat di perahuku ini. Marilah, nona.”
Cin Hay merasa seolah-olah
dadanya akan meledak saking marahnya.
“Ia adalah seorang wanita
sopan dan baik-baik, tidak sepatutnya menghadapi sikap yang begini kurang ajar
dan tidak mengenal kesusilaan! Kalian anggap siapa kalian ini?”
Koan Wan-gwe mengerutkan
sepasang alisnya dan dengan sikap congkak, dia memandang pemuda itu dari atas,
seperti seorang bangsawan memandang kepada seorang budak belian saja.
“Huh, orang tak tahu diri.
Apamukah nona ini?”
“Ia isteriku!” jawab Cin Hay
marah.
Pada saat itu, Hek-bin-houw
Ban Sun sudah melangkah maju menghadapi Cin Hay seperti hendak melindungi
majikannya. “Orang muda! ketahuilah bahwa majikan kami ini adalah Koan Wan-gwe
yang dulu pernah menjadi Koan Tai-jin. Siapa tidak mengenal Koan Wan-gwe dari
dusun Tiang-cin? Harap engkau suka tahu diri sedikit dan bersikap hormat kepada
beliau.”
Cin Hay maklum bahwa dia
berada di tempat berbahaya, apa lagi dia harus melindungi isterinya. Akan
tetapi, selama lima tahun dia belajar silat di kuil Siauw-lim-si yang selain
menggemblengnya dengan ilmu silat pilihan, juga telah menanamkan watak pendekar
pada batinnya. Di samping itu, kemarahannya karena isterinya dihina orang
membuat dia merasa sukar untuk mengalah.
“Akan tetapi, kami tidak
bersalah. Kami tidak mengenal kalian dan kami tidak melakukan kesalahan apapun.
Kalian membawa kami ke sini dengan paksa, bahkan kalian menghina isteriku.
Bagaimana aku harus bersikap hormat?” bentaknya dan dia sudah mengepal kedua
tinjunya, siap untuk melawan.
“Bocah sombong! Majikan kami
telah mengundang isterimu untuk menemaninya minum arak, itu suatu kehormatan
dan engkau sepatutnya menghaturkan terirna kasih!” bentak Kim Lok sambil
mengerutkan alisnya.
“Kalau majikan kami hendak
meminjam sebentar isterimu, engkau boleh merasa bangga!” Phang Ek juga
berteriak marah.
Cin Hay melotot memandang
kepada mereka. “Kenapa kalian tidak meminjamkan saja isteri kalian kepadanya?
Kalau aku, jangan harap dapat menyentuh isteriku sebelum melewati mayatku!” Cin
Hay mendorong dengan lembut agar isterinya mundur dan menjauh di belakangnya.
Dengan ketakutan Ci Sian lalu
mundur sampai menyentuh langkan di tepi perahu besar di mana ia berdiri
merangkul papan langkan dengan tubuh gemetar dan muka pucat.
“Heh-heh, agaknya anjing kecil
ini baru mulai belajar menggonggong maka dia berani!” kata Hek-bin-houw Ban Sun
dan laki-laki muka hitam perut gendut ini sudah menerjang maju, tangan kanannya
menyambar ke arah kepala Cin Hay dengan cengkeraman kuat, disusul hantaman ke
arah perut pemuda itu. Serangan ini cepat dan kuat sekali dan kalau satu di
antara serangan itu mengenai sasaran, agaknya akan celakalah pemuda itu.
Namun, tidak percuma Cin Hay
mempelajari ilmu silat selama lima tahun dalam kuil Siauw-lim. Cepat dia sudah
mengangkat lengan kirinya menangkis ke atas. Dan tangan kanannya juga menangkis
ke bawah, lalu tangan kanan itu begitu bertemu lengan lawan, diteruskan ke
bawah dan tangannya yang terbuka menusuk ke arah perut lawan.
“Hukkk!” Otomatis Hek-bin-houw
membungkuk ketika perutnya tertusuk tangan yang miring, dan pada saat itu, Cin
Hay mengangkat kaki kirinya sehingga lututnya menghajar dagu si gendut pendek.
“Dukkk!” Tubuh gendut pendek
itu hampir terjengkang, terhuyung dan matanya terbelalak, mukanya yang hitam
menjadi lebih hitam karena darah telah naik ke mukanya.
Sebetulnya, satu di antara
See-ouw Sam-houw ini bukan orang lemah dan kalau tadi dengan amat mudahnya dia
terkena tusukan tangan dan tendangan lutut adalah karena dia terlalu memandang
rendah lawannya. Memandang rendah lawan merupakan pantangan besar bagi seorang
ahli silat, karena hal ini mendatangkan kelengahan pada diri sendiri.
“Aha, kiranya bukan hanya
menggonggong, akan tetapi sudah belajar menggigit pula anjing cilik ini!”
teriaknya untuk menutupi rasa malu, dan dengan marah tangannya sudah mencabut
golok besarnya. Nampak sinar berkilauan ketika dia memutar golok besar itu di
atas kepalanya.
Melihat ini, Cin Hay maklum
bahwa perkelahian mati-matian tak dapat dihindarkan lagi. Dia harus membela
keselamatan dirinya, juga membela kehormatan isterinya, maka karena dia tidak
membawa senjata, cepat dia menyambar dayung kayu yang tadi dia pakai mendayung
perahu kecil. Dia memegang dayung itu seperti sebatang toya, senjata yang
pernah dipelajarinya secara tekun di kuil Siauw-lim.
Datanglah serangan golok itu, bertubi-tubi.
Sinar golok bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dahsyat, namun Cin Hay dapat
mengelak dan menangkis dengan baiknya, bahkan membalas dengan dayungnya.
Permainan silat nya mantap dan sukarlah bagi Hek-bin-houw untuk mendesaknya.
Bahkan belasan jurus kemudian, sapuan dayung itu menyerempet tulang kering kaki
kiri Ban Sun yang berteriak kesakitan sambil terpincang-pincang.
Melihat ini, Kim Lok sudah
membantu temannya, menyerang dengan sepasang pedangnya. Gerakannya cepat dan
kuat, mengejutkan hati Cin Hay yang maklum bahwa lawan baru ini tidak kalah
hebatnya dibandingkan lawan pertama. Apa lagi Phang Ek juga sudah mengeroyoknya
pula, kedua tangannya memegang masing-masing sebatang pisau yang panjangnya
satu kaki, runcing dan tajam sekali sehingga ketika dimainkan kedua pisau itu
mengeluarkan suara berdesing.
Kini Cin Hay dikeroyok tiga!
Karena pemuda ini hanya bersenjatakan sebuah dayung, tentu saja dia mulai
kewalahan menghadapi pengeroyokan tiga orang jagoan yang tingkat kepandaiannya
masing-masing sudah cukup tinggi dan tidak kalah olehnya itu. Sedapat mungkin
dia membela diri, namun makin lama dia semakin terdesak. Dia teringat akan
isterinya dan hal ini membuat dia menjadi semakin gugup dan semakin kacau
pertahanannya.
Ketika dia harus menangkis
golok dan sepasang pedang sekaligus, dayungnya tidak kuat bertahan dan patah
menjadi dua, tubuhnya terhuyung dan pada saat itu, sinar pedang, golok dan
pisau menyambar-nyambar. Cin Hay berusaha mengelak, namun sebuah bacokan golok
merobek kulit pahanya dan sebuah tusukan pedang menyerempet pundaknya. Dia
terjungkal mandi darah. Saat itu, sambil tertawa Hek-bin-houw Ban Sun
menendangnya, keras sekali dan tubuh Cin Hay terlempar keluar perahu dan
tercebur ke dalam air telaga.
“Hay-koooo......” Ci Sian yang
sejak tadi berpegang pada langkan dan nonton pertandingan dengan muka pucat dan
tubuh gemetar, begitu melihat suaminya roboh dan ditendang keluar perahu,
menjerit dan berusaha untuk meloncat keluar, menyusul suaminya. Akan tetapi
pada saat itu, dengan lagak seorang pendekar menolong orang, kedua tangan Koan
Ki Sek sudah merangkul pinggangnya dan menariknya dari langkan.
“Sudahlah, manis, jangan
perdulikan dia lagi. Mari bersenang dengan aku, heh-heh.” Dan Koan Wan-gwe
terus menariknya.
Ci Sian menjerit dan meronta,
bahkan lalu menjatuhkan diri di atas lantai perahu, namun hartawan itu sambil
tertawa-tawa lalu menyeretnya, dan memerintahkan dua orang gadis panggilan
untuk membantunya. Tubuh Ci Sian yang masih meronta dan menjerit itupun diseret
ke dalam bilik perahu.
Sementara itu, biarpun paha
dan pundaknya sudah terluka, Cin Hay masih berhasil memegang tali perahu besar
dan berusaha memanjat naik lagi. Melihat ini, Hui-to-houw Phang Ek lalu
menggerakkan kedua tangannya.
“Sing! Sing!” Dua batang pisau
terbang ke bawah dan menancap pada betis kiri dan bahu kanan Cin Hay yang mulai
memanjat tali besar itu. Tentu saja pemuda itu harus melepaskan pegangannya dan
terjatuh lagi ke dalam air, dengan dua luka tambahan karena kedua pisau itu
masih menancap di tubuhnya.
Namun, begitu tubuhnya menimpa
air, hanya sebentar Cin Hay tenggelam. Semua orang yang nonton dari langkan
perahu melihat betapa pemuda yang tahan derita itu sudah muncul kembali dan
masih berusaha untuk menangkap tali perahu! Melihat ini, Hek-bin-houw Ban Sun
tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, anjing tolol! Dari
pada menerima hadiah besar dari Koan Wan-gwe, engkau memilih mampus. Baru tahu
sekarang kelihaian See-ouw Sam-houw!” Dia lalu mengambil perahu kecil yang tadi
ditumpangi Cin Hay dan isterinya, mengangkatnya dengan kedua tangannya yang
kuat lalu melemparkan perahu itu ke arah Cin Hay! Semua orang melihat betapa
perahu itu menimpa tepat di atas kepala pemuda itu dan Cin Hay tidak nampak
lagi.
Tiga orang jagoan itu
tertawa-tawa ketika mendengar jerit tangis Ci Sian dari bilik perahu makin
melemah, sementara hujan turun dengan amat derasnya. Perahu besar bergerak
perlahan menjauh dan di bawah hujan deras, keadaan di atas telaga indah itu
menjadi menyeramkan sekali. Keindahannya lenyap berganti keadaan yang penuh
dengan kekejian manusia. Di atas telaga tidak nampak perahu lain kecuali perahu
besar yang masih bergerak perlahan.
Kurang lebih dua jam kemudian,
Koan Ki Sek membuka daun pintu bilik perahu dari dalam dan masih terdengar isak
lemah dari dalam bilik. Pakaian hartawan ini tidak karuan dan yang lebih hebat
lagi, rambutnya awut-awutan dan mukanya berdarah, ada bekas-bekas guratan dan
cakaran kuku pada seluruh mukanya. Wajahnya membayangkan kemarahan ketika dia
memanggil tiga orang jagoannya yang masih menggeluti para gadis panggilan.
Ketika tiga orang jagoan itu
tergesa-gesa datang, dia berkata seram, “Anjing betina itu menyakiti aku,
kuberikan kepada kalian!”
Mendengar ini, tiga orang
jagoan itu menyeringai dan Hek-bin-houw Ban Sun meloncat ke dalam dan tak lama
kemudian dia sudah keluar lagi memondong tubuh Ci Sian yang hanya mampu
mengerang dengan tubuh terbungkus pakaiannya yang tadi, pakaian warna kuning
yang kini sudah robek-robek. Tiga orang jagoan itu lalu pergi menuju ke bilik
kedua dan terjadilah kekejaman yang melampaui segala batas prikemanusiaan.
Biarpun mereka semua itu
mengetahui bahwa isteri muda itu dalam keadaan hamil, namun Koan Ki Sek dan
tiga orang jagoannya sama sekali tidak ambil pusing, sama sekali tidak menaruh
hati kasihan. Mereka itu tiada ubahnya segerombolan srigala yang haus darah,
dan Ci Sian bagaikan seekor domba muda yang terjatuh ke dalam cengkeraman
gerombolan srigala itu!
Setiap orang manusia harus
selalu ingat dan waspada. Ingat selalu kepada Tuhannya, kepada yang menciptakan
dirinya, yang menghidupkannya dan yang kelak menentukan kematiannya, ingat
bahwa Tuhan tidak pernah membenarkan setiap perbuatan yang jahat dam kejam
terhadap sesama hidup. Dan selalu harus waspada terhadap dirinya sendiri,
terhadap setiap langkah hidupnya, setiap perbuatannya. Setan berada di dalam
diri sendiri, di dalam pikiran. Suara setan selalu membisikkan bujuk rayu
mengejar kesenangan. Pikiran selalu mengenang dan membayangkan kesenangan
sehingga kita terlena, kita menjadi budak dari nafsu. Dan sekali kita menjadi
budak nafsu, maka kita tidak melihat lagi bahwa keadaan ini membuat kita
menjadi kejam. Kita seperti buta, tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan
itu sungguh sesat.
Seperti juga Koan Ki Sek dan
tiga orang jagoannya itu. Mereka tidak lagi menyadari bahwa mereka telah
melakukan hal amat jahat. Mereka hanya menganggap bahwa mereka berhak
bersenang-senang selagi masih hidup! Mereka adalah budak-budak nafsu mereka
sendiri.
Kita tengok kembali keadaan
Tan Cin Hay, suami muda yang bernasib malang itu. Benarkah seperti dugaan
mereka yang berada di atas perahu besar bahwa pemuda itu tewas dengan kepala
remuk tertimpa perahunya sendiri yang dilontarkan oleh Hek-bin-houw Ban Sun dari
atas perahu besar? Nampaknya memang demikian, namun mati hidup seseorang
sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki bahwa orang itu
masih hidup, diusahakan bagaimanapun juga, orang itu akan tetap hidup.
Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki dia mati, tidak diapa-apakan pun dia akan
mati sendiri!
Ketika perahu kecil itu
melayang turun dari atas, Cin Hay masih dalam keadaan sadar dan diapun maklum
akan datangnya bahaya maut atas dirinya. Maka, hanya beberapa sentimeter
selisihnya sebelum perahu itu menimpa kepalanya, diapun menyelam dan perahu itu
menimpa air. Cin Hay lalu bersembunyi di bawah perahu yang kebetulan jatuhnya
menelungkup dan berpegang kepada tepi perahu yang perlahan-lahan terbawa ombak
dan pergi menjauh di bawah siraman air hujan yang semakin deras.
Banyak darah yang keluar dari
luka-lukanya, membuat tubuhnya terasa lemas dan rasa nyeri yang amat sangat,
membuat kesadarannya hampir hilang. Dalam keadaan setengah pingsan, Cin Hay
bergantung dengan sisa tenaganya pada perahu menelungkup itu. Ombak mendorong
perahu itu menuju ke sebuah tepian.
Bunyi guntur menggelegar
dibarengi kilat menyambar mengejutkan Cin Hay dan membuatnya kembali ke alam
sadar. Begitu sadar sepenuhnya, dia terkejut dan berteriak sekuatnya karena dia
teringat akan semua yang telah dialaminya, terutama sekali teringat betapa
isterinya, Ci Sian, tertinggal di alas perahu besar bersama para penjahat itu!
Akan tetapi, teriakannya tidak mengeluarkan suara keras, hanya rintihan.
“Sian-moi...... Sian-moi......
isteriku......!”
Dia mengeluh dan hampir
menangis. Dipandangnya ke kanan kiri, cuaca sudah gelap karena kiranya siang
telah berganti malam, dan dia tidak melihat sebuahpun perahu, juga perahu besar
yang dicarinya tidak nampak. Sebaliknya, remang-remang dia melihat daratan
dengan pohon-pohon yang menggelantung dan menjulurkan dahan-dahan dan
daun-daunnya ke air.
Timbul semangatnya. Dia harus
menyelamatkan diri ke daratan, dia harus berusaha mencari perahu besar itu,
mencari isterinya. Kalau dibiarkan terlalu lama dia di air, dia tidak akan kuat
dan tentu akan tenggelam.
Teringat akan isterinya,
semangat untuk mencari dan berusaha menyelamatkan isterinya, memberi kekuatan
baru kepada Cin Hay dan diapun berenang ke tepi. Biarpun tepi tidak jauh lagi,
namun dia merasa tenaganya habis dan akhirnya, terengah-engah dia dapat
menjangkau dahan pohon itu, menarik tubuhnya ke tepi dan berhasil merangkak
naik ke darat. Akan tetapi, napasnya terengah-engah, dadanya nyeri, pandang
matanya berkunang dan diapun tidak ingat apa-apa lagi, menggeletak pingsan,
terlentang di atas tanah dengan kedua kakinya masih di dalam air.
Dia tertidur atau pingsan
sampai pagi. Sinar matahari telah mengusir embun dan halimun di permukaan air
telaga ketika sayup-sayup Cin Hay mendengar suara isterinya memanggil-manggil
namanya. Anehnya, suara isterinya itu amat merdu, dan memanggil-manggilnya
seperti orang bernyanyi, dengan suara naik turun, tinggi rendah.
Cin Hay mendengar dengan
jelas, akan tetapi merasa tubuhnya sedemikian lemahnya sehingga tidak mampu
bangkit. Jangankan bangkit, menggerakkan kaki atau tangan saja dia tidak kuat,
tenaganya habis. Dia lalu mengumpulkan sisa tenaganya, membuka mulutnya dan
memanggil, sekali ini berhasil. Terdengar teriakan dari mulutnya, walaupun
lemah namun cukup lantang.
“Sian-moi......!” Dan dia
terkulai lagi.
Yang disangkanya suara
isterinya memanggil-manggil tadi tiba-tiba berhenti. Itu bukanlah suara
isterinya memanggil, melainkan suara suling yang ditiup orang. Peniupnya
seorang kakek tua renta yang rambut, kumis dan jenggot panjangnya sudah putih
semua. Agaknya teriakan Cin Hay terdengar olehnya dan kakek itu yang tadi
berjalan perlahan sambil meniup suling, menghentikan tiupan sulingnya dan
menghampiri tepi danau.
Ketika dia melihat tubuh Cin
Hay yang menggeletak seperti tak bernyawa lagi itu, dia menyelipkan sulingnya
di ikat pinggang, lalu berjongkok, mulutnya berkata lirih, “Ya Tuhan, apakah
yang telah terjadi denganmu, orang muda?” Dengan lembut dan cepat, kakek itu
memeriksa keadaan tubuh Cin Hay, pemuda yang pakaiannya robek-robek, tubuhnya
luka-luka dan ada dua batang pisau menancap di betis kaki kiri dan di bahu
kanan. Wajah Cin Hay pucat seperti mayat, pernapasannya lemah dan tinggal
satu-satu, megap-megap seperti ikan sekarat di daratan.
Setelah memeriksa nadi pemuda
itu beberapa lamanya, kakek tadi mengangguk-angguk. “Bagus, hanya kehabisan
darah, tidak ada luka di dalam......” katanya dan dia menurunkan ciu-ouw
(tempat arak) yang terbuat dari kulit waluh yang dikeringkan, juga mengeluarkan
bungkusan kain terisi pel-pel merah. Diambilnya tiga butir pel merah, lalu dia
membantu Cin Hay menelan pel-pel itu, dimasukkan ke mulut pemuda itu dan
didorong oleh arak yang memancar keluar dari tempat arak dengan kuat ketika
tempat arak itu dipencetnya. Tiga butir pel itu tertelan.
Kemudian, dengan hati-hati
kakek itu mencabut dua batang pisau, diperiksanya sebentar pisau-pisau itu lalu
dilemparkannya ke dalam telaga, lalu diobatinya luka-luka di tubuh Cin Hay
dengan semacam obat bubuk putih. Yang terakhir, dia menempelkan telapak tangan
kirinya di dada Cin Hay dan dari telapak tangan itupun mengalir keluar hawa
yang panas dan yang membuat seluruh tubuh Cin Hay tergetar hebat.
Tak lama kemudian terdengar
Cin Hay smengeluh dan dia membuka kedua matanya. Kakek itu kembali
mengangguk-angguk dan tersenyum, lalu berkata, “Bagus, engkau memang memiliki
tubuh yang kuat. Engkau telah terhindar dari maut, orang muda.”
Cin Hay segera sadar dan dapat
menduga bahwa kakek ini tentulah orang yang menolongnya. Dia teringat akan
isterinya dan memandang ke kanan kiri. Melihat ini, kakek itu membantu Cin Hay
bangkit duduk dan bertanya lembut, “Siapa yang kaucari, orang muda?”
“Isteri saya...... ah, isteri
saya dilarikan orang......” Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
itu, “Locianpwe, tolonglah saya, selamatkan isteri saya......”
“Isterimu dilarikan orang? Di
mana? Oleh siapa?” kakek itu bertanya.
Sikapnya tenang sekali
sehingga Cin Hay yang merasa khawatir akan nasib isterinya, menjadi tidak sabar
dan mencoba bangkit berdiri. Akan tetapi dia terhuyung dan tentu roboh kalau
tidak cepat dirangkul kakek itu. Cin Hay merasa betapa rangkulan lembut itu
mengandung tenaga yang amat kuat.
“Mereka...... orang-orang
jahat di perahu besar...... mereka melarikan isteriku....... ohhhh......”
“Tunggu, kuambil perahu itu,”
kata kakek itu ketika melihat sebuah perahu kecil mengapung tak jauh dari tepi,
hanya dalam jarak belasan meter saja. Dia membantu Cin Hay duduk kembali, lalu
meninggalkan pemuda itu.
Cin Hay memandang dengan heran
ketika melihat kakek itu mematahkan dua batang dahan pohon, kemudian melepaskan
dua batang dahan itu ke atas air dan kakek itupun melompat ke atas dua batang
dahan yang besarnya hanya sebetis kaki. Kemudian, kakek itu menggerak-gerakkan
kedua lengannya seperti burung yang hendak terbang dan tubuhnya meluncur ke
depan, ke arah perahu! Cin Hay bengong. Bagaimana mungkin orang dapat
menggunakan dua batang dahan untuk mengambang di atas air dan bahkan meluncur
secepat itu?
Kakek yang bertubuh tinggi
kurus itu kini sudah memegang perahu, dibalikkannya perahu itu dan diapun
meloncat ke dalam perahu, lalu menggunakan sebatang di antara dua dahan itu
untuk mendayung perahu ke tepi. Dia meloncat ke darat menarik perahu ke darat
pula, kemudian dengan mudah sekali dia memondong tubuh Cin Hay dan membawanya
ke perahu, mendudukkan tubuh pemuda itu di dalam perahu. Dan diapun mendorong
kembali perahu ke air dan didayungnya ke tengah.
Cin Hay merasa seperti dalam
mimpi. Perahu itu meluncur dengan kecepatan yang tak masuk akal rasanya! Perahu
itu berkeliling ke seluruh permukaan telaga, dan akhirnya kakek itu meluncurkan
perahunya ke arah perahu besar yang berlabuh di pusat pelesiran Telaga See-ouw,
di mana terdapat rumah-rumah makan dan pedusunan.
Ketika kakek itu mendaratkan
perahunya dan menuntun Cin Hay turun, ternyata perahu besar itu telah kosong.
Tubuh Cin Hay telah mulai agak kuat dan ternyata pcngobatan yang diberikan
kakek itu sungguh mujarab sekali. Cin Hay melakukan penyelidikan, bertanya-tanya
tentang para penghuni perahu besar.
Seorang nelayan tua tergopoh
menghampirinya. “Orang muda, siapakah yang kaucari?”
“Para penghuni perahu besar
itu. Ke mana mereka?” tanya Cin Hay, sedangkan kakek tua penolongnya hanya
berdiri memandang.
“Maksudmu, Koan Wan-gwe dan
anak buahnya? Mereka telah pergi, pagi tadi, pagi sekali mereka telah pergi.”
“Dan...... wanita muda
itu......?”” tanya Cin Hay, hatinya penuh kegelisahan.
“Huh, perempuan-perempuan
panggilan itu? Merekapun sudah pergi semua......!”
“Bukan, bukan mereka maksudku.
Wanita muda...... yang menjadi tawanan mereka!”
“Wanita...... wanita
muda......? Pakaian...... pakaian kuning?” nelayan tua itu menegaskan, mukanya
berubah dan suaranya agak gemetar.
“Benar! Benar ia! Di manakah
ia, paman? Apakah mereka itu membawanya pergi?”
Dengan mata terbelalak nelayan
tua itu menjawab, suaranya lirih dan gemetar. “Wanita muda berpakaian kuning
itu......, bukankah ada tahi lalat kecil di dagunya......?”
“Benar! Benar ia, isteriku!”
“Isterimu orang muda? Ya
Tuhan......! Isterimu......?”
Cin Hay tidak sabar lagi. Dia
memegang lengan nelayan tua itu dan biarpun dia baru saja sembuh, namun
tenaganya memang besar sehingga ketika dia memegang dengan pengerahan tenaga,
nelayan itu menyeringai kesakitan dan mengaduh. Cin Hay baru menyadari, make
cepat dia mengendurkan pegangannya.
“Maaf, paman, akan tetapi
cepat katakanlah, apa yang telah terjadi dengan Ci Sian, isteriku, wanita muda
berbaju kuning itu? Di mana ia?”
Dengan tangan gemetar, nelayan
tua itu menunjuk ke arah bukit kecil, tak jauh dari situ.
“Ia...... ia di sana......”
Cin Hay menoleh ke arah bukit
itu, terbelalak.
“Paman, tunjukkanlah di mana
ia berada......” Dan tersaruk-saruk diapun mengikuti nelayan tua itu mendaki
bukit kecil. Di belakangnya, bagaikan bayangan saja, kakek penolongnya
mengikuti. Cin Hay agaknya sudah melupakan kakek itu, saking tegangnya ingin
bertemu dengan isterinya yang menurut nelayan tua itu berada di bukit.
Akan tetapi, nelayan tua itu
berhenti di lereng bukit kecil, berhenti di depan sebuah gundukan tanah yang
masih baru, dan suaranya seperti berbisik ketika dia berkata sambil menunjuk ke
arah gundukan tanah itu,
“Ia...... ia berada di sini,
terkubur di sini......”
Wajah yang sudah pucat itu
kini semakin pucat seperti mayat, matanya terbelalak, kedua lengannya
terpentang dan mulutnya mengeluarkan jerit menyayat hati, “Sian moi......!!!”
dan tubuh Cin Hay terkulai dan diapun terjatuh ke dalam rangkulan kakek yang
berdiri di belakangnya dalam keadaan pingsan.
Ketika dia siuman kembali, Cin
Hay segera teringat dan diapun bangkit duduk. Sebuah tangan dengan lembut
menyentuh pundaknya dan suara kakek yang lembut itu berkata, “Orang muda,
bersikaplah tenang. Seorang laki-laki bagaimanapun juga tidak boleh terseret
oleh duka dan memperlihatkan kelemahan. Tenang dan tegaklah menghadapi
kenyataan hidup!”
Cin Hay merasa seolah-olah
kepalanya disiram air dingin. Teringat dia akan gemblengan batin yang pernah
diterimanya di kuil Siauw-lim, maka diapun menahan perasaannya, memandang ke
arah gundukan tanah, lalu menoleh kepada nelayan tua yang masih duduk
berjongkok dekat kuburan baru itu.
Kata-kata lembut kakek tua
renta itu menyadarkannya dan kini dia dapat menenteramkan hatinya. “Paman,”
katanya kepada nelayan tua itu, “yang terkubur di sini adalah isteriku.
Tolonglah paman ceritakan, apa yang telah terjadi pagi tadi di sini.”
Nelayan itu memandang dengan
alis berkerut dan sinar mata penuh rasa iba, lalu dia menarik napas panjang dan
bercerita, “Pagi tadi, baru saja terang tanah, perahu besar itu minggir.
Pemiliknya, Koan Wan-gwe, tergesa-gesa turun bersama para gadis panggilan dan
penyanyi itu, naik dua kereta yang sudah menunggu di sini dan mereka lalu
pergi. Tak lama kemudian, muncul See-ouw Sam-houw, tiga orang jagoan yang kami
takuti itu. Mereka adalah kaki tangan Koan Wan-gwe, akan tetapi dahulu pernah
menjadi jagoan di telaga ini. Mereka lalu memerintahkan kami, yaitu aku sendiri
dan tiga orang kawan nelayan untuk membantu mereka. Kami disuruh mengangkat
jenazah seorang wanita muda yang cantik, berpakaian kuning. Karena aku
mengangkat bagian kaki, aku melihat tahi lalat ke¬cil di dagunya itu......”
“Sudahlah, paman, ia isteriku.
Akan tetapi tahukah paman mengapa ia...... ia mati......? Adakah luka-luka
......?”
Nelayan itu menggeleng kepala.
“Aku tidak tahu, tidak nampak luka-luka, akan tetapi pakaiannya bagian bawah
penuh darah......”
“Ahhh......!” Cin Hay menutupi
kedua mukanya, seolah-olah dia tidak ingin melihat pemandangan yang membayang
di depan matanya. Isterinya sedang hamil tiga bulan, dan banyak darah itu hanya
punya satu arti, yaitu isterinya keguguran!
Sebuah tangan menepuk
pundaknya dan Cin Hay kembali dapat mengusai hatinya dan dia mengangkat muka
memandang nelayan itu dengan wajah pucat.
“Lalu bagaimana, paman?
Teruskanlah ceritamu,” katanya lirih.
“Tiga orang jagoan itu memaksa
kami untuk menggotong jenazah itu ke tempat ini, menyuruh kami menggali lubang
dan mengubur jenazah itu setelah kami dipaksa untuk mencari sebuah peti mati
sederhana. Semua kami terpaksa melakukannya karena kami takut kepada mereka.
Setelah penguburan selesai, mereka pergi begitu saja tanpa ucapan terima kasih
kepada kami.”
Suara itu bernada marah dan
jelaslah bahwa dengan menceritakan semua ini, nelayan tua itu melampiaskan
dendam dan kemarahannya kepada See-ouw Sam-houw.
Cin Hay merasa berterima kasih
sekali kepada nelayan tua itu dan tiga orang temannya. Dia mengeluarkan semua
sisa uang yang disimpannya dalam saku bajunya, menyerahkannya kepada nelayan
tua itu sambil berkata, “Paman, tolong belikan bahan sembahyang sederhana, dan
sisa uangnya harap paman bagikan dengan tiga orang teman paman yang telah
membantu pemakaman jenazan isteriku.”
Nelayan miskin itu tentu saja
menjadi girang sekali. Jumlah uang itu, setelah dibelikan alat sembahyang,
masih bersisa amat banyak bagi dia dan kawan-kawannya. Maka sambil berterima
kasih dan membungkuk-bungkuk, dia cepat pergi untuk mencari dan membeli bahan
sembahyang seperti hio, hidangan sederhana, dan lain-lain keperluan sembahyang.
Setelah nelayan itu pergi, Cin
Hay berlutut di depan makam isterinya dan tenggelam dalam samadhi, tidak
teringat lagi kepada kakek tua renta yang masih duduk dengan tenang tak jauh
dari situ, di atas sebuah batu datar sambil mengamati pemuda yang baru tertimpa
malapetaka itu.
Ketika nelayan tua itu datang
membawa bahan sembahyangan yang sederhana. Cin Hay segera bersembahyang di
depan makam isterinya, dan terdengar bisikannya yang penuh duka, “Ampunkan aku,
isteriku. Aku suamimu yang tidak berharga telah gagal melindungimu dari tangan
para penjahat terkutuk itu.....”
Setelah selesai bersembahyang,
Cin Hay bersila di depan makam, memandang ke arah asap hio yang mengepul ke
atas dan tenggelam dalam lamunan.
Nelayan tua itu telah pergi,
namun kakek tua renta masih duduk bersila di atas batu tadi.
“Orang muda, apakah yang akan
kaulakukan sekarang?”
Suara yang lembut itu memecah
kesunyian dan seolah-olah mempunyai kekuatan gaib yang menarik semangat Cin Hay
kembali ke alam kenyataan yang pahit ini. Cin Hay bangkit berdiri, lalu
menghampiri kakek itu dan menjatuhkan diri berlutut. Baru teringat dia bahwa
kakek ini yang telah menyelamatkannya, juga telah membawanya ke sini sehingga
dia berhasil menemukan isterinya, walaupun hanya tinggal makamnya.
“Locianpwe, saya menghaturkan
terima kasih atas segala pertolongan locianpwe kepada saya yang malang ini.
Apakah yang dapat saya lakukan sekarang, locianpwe? Saya telah kehilangan
segalanya. Satu-satunya keinginan hati saya hanyalah mencari penjahat-penjahat
yang menganiaya dan membunuh isteri saya, mengadu nyawa dengan mereka!”
“Hemm, orang muda. Apakah
engkau merasa bahwa kepandaianmu sudah cukup untuk menentang mereka?”
Mendengar ini, Cin Hay menarik
napas panjang. “Saya tidak akan mampu mengalahkan mereka, locianpwe, dan saya
tentu akan mati di tangan mereka pula. Akan tetapi, itulah yang saya kehendaki,
agar saya dapat mati dan menyusul isteri saya......”
“Kalau begitu berarti engkau
hanya ingin membunuh diri, dan bunuh diri adalah suatu pekerjaan terkutuk dan
pengecut.”
Cin Hay terkejut, mengangkat
muka memandang dan makin kagetlah dia melihat betapa sepasang mata kakek itu
mengeluarkan sinar mencorong yang menakutkan.
“Maaf, locianpwe, bukan niat
saya untuk bunuh diri, akan tetapi apa lagi yang dapat saya lakukan untuk
membalas dendam kematian isteri saya?“
“Tahu akan kelemahan diri
namun nekat menempuh maut merupakan bunuh diri yang konyol, bodoh dan sama
sekali bukan sikap seorang gagah. Orang muda, para korban kejahatan seperti
isterimu dan orang-orang lain, mengharapkan orang-orang gagah untuk menentang
kejahatan di dunia ini, bukan orang-orang lemah yang nekat saja. Dan bukanlah
orang gagah dia yang hatinya diracuni dendam. Ada dua hal yang harus kaulakukan
kalau engkau ingin menjadi orang gagah, yaitu pertama memperdalam ilmu silatmu,
dan kedua melenyapkan dendam dari hatimu. Kalau engkau sanggup, aku suka sekali
untuk membimbingmu, orang muda.”
Mendengar ini, sadarlah Cin
Hay bahwa kakek yang sakti ini berkenan mengambilnya sebagai murid. Melihat
betapa hidupnya kosong dan dia akan merana tanpa isterinya, Cin Hay melihat
kemungkinan hidup baru sebagai murid orang sakti ini. Maka dia lalu menjatuhkan
diri memberi hormat sampai dahinya menyentuh tanah.
“Teecu berterima kasih sekali
dan bersumpah untuk menjadi seorang murid yang baik. Akan tetapi untuk
melenyapkan dendam, teecu masih harus banyak belajar dan menerima petunjuk
suhu.”
Kakek itu tersenyum dan
mengelus jenggotnya yang putih panjang lalu mengangguk. Engkau jujur, dan
memang tidak mudah untuk membebaskan diri dari nafsu sendiri. Engkau masih
harus belajar banyak sekali, muridku. Akan tetapi kiranya sudah sepatutnya
kalau engkau memperkenalkan namamu kepadaku.”
Cin Hay lalu menceritakan
riwayatnya secara singkat. Dia bernama Tan Cin Hay, sudah yatim karena ayah
meninggal dunia ketika ada wabah mengamuk di dusun mereka. Ayahnya seorang guru
dusun yang miskin sederhana, meninggal beberapa tahun yang lalu. Cin Hay hidup
sebatang kara dan dia pernah belajar selama lima tahun di kuil Siauw-lim-si.
Baru setengah tahun dia
menikah dengan Gu Ci Sian, puteri seorang lurah dusun. Kemarin, dia bersama
isterinya berpesiar ke telaga itu untuk memenuhi keinginan hati isterinya yang
sudah lama ingin melihat dan pesiar di Telaga See-ouw yang terkenal indah, dan
ternyata terjadi malapetaka yang membuat isterinya tewas dan selamanya terkubur
di dekat telaga itu, di sebuah lereng bukit dari mana kuburan itu dapat melihat
keindahan telaga setiap hari!
Mendengar cerita Cin Hay,
kakek itu mengangguk-angguk. “Engkau memang agaknya ditakdirkan untuk menjadi
muridku, Cin Hay. Engkau berbakat, bertulang baik dan memiliki semangat
pendekar, mudah menguasai dan merobah diri, sudah yatim pula dan dengan
kematian isterimu maka engkau menjadi bebas tanpa ada ikatan apapun.
Ketahuilah, aku disebut Pek I Lojin (Kakek Baju Putih) karena aku selalu
mengenakan baju putih. Siapa nama aseliku, aku sendiri sudah lupa. Akan tetapi,
apa artinya nama? Setelah engkau menjadi muridku, marilah engkau ikut
bersamaku, ke tempat tinggal sementara yang kupilih. Lihat di puncak bukit itu,
puncak Bukit Bambu Sisik Naga.”
Cin Hay memberi hormat dan
ikut berdiri ketika gurunya bangkit berdiri. “Maaf, suhu. Bukankah sepatutnya
kalau teccu berkunjung kepada mertua teecu untuk memberi kabar tentang kematian
isteri teecu?”
Pek I Lojin mengangguk-angguk,
“Memang sepatutnya demikian. Akan tetapi, marilah ikut ke pondokku lebih dulu,
baru dari sana engkau pergi berkunjung dan memberi kabar kepada keluarga
mertuamu.”
Setelah beberapa kali menoleh,
memandang ke makam isterinya, akhirnya Cin Hay melangkah dengan lebar mengejar
Pek I Lojin yang sudah berjalan pergi tanpa menengok-nengok lagi. Guru dan
murid ini tanpa banyak cakap pergi mendaki bukit yang cukup tinggi dan penuh
dengan hutan bambu itu.
Pek I Lojin tinggal di puncak
bukit itu, di tengah hutan bambu yang bentuknya aneh. Bambu yang disebut Bambu
Sisik Naga ini bentuknya seperti badan ular, ruasnya pendek-pendek dan
bentuknya seperti sisik ikan dengan warna hijau kekuningan. Di tengah hutan
bambu itu Pek I Lojin mendirikan sebuah pondok bambu yang sederhana, namun
tempat itu bersih dan pemandangannya pun indah sekali, hawanya sejuk
menyenangkan dan tak jauh dari hutan bambu itu terdapat ladang yang subur di
mana kakek tua renta ini menanam sayur-sayuran dan padi-padian yang hasilnya
cukup untuk dimakan sekeluarga.
Setelah tiba di pondok
gurunya, Cin Hay diperkenankan turun bukit untuk memberi kabar kepada mertuanya
tentang malapetaka yang menimpa isterinya.
Ketika dia tiba di rumah mertuanya.
tiba-tiba dia merasa kasihan sekali kepada keluarga isterinya itu dan Cin Hay
mendapat pikiran untuk tidak bercerita terus terang mengenai kematian
isterinya. Ayah dan ibu mertuanya menyambutnya dengan heran mengapa mantu
mereka datang sendirian saja dan wajahnya nampak pucat dan lesu.
Dapat dibayangkan betapa kaget
rasa hati mereka ketika Cin Hay menceritakan bahwa isterinya telah meninggal
dunia karena korban pembajakan di Telaga See-ouw! Ibu mertuanya langsung
pingsan mendengar ini sehingga sekeluarga itu menjadi repot dan dilanda
kedukaan.
Setelah ibu mertuanya sadar,
barulah Cin Hay disuruh menceritakan apa yang telah terjadi. Cin Hay bercerita
bahwa ketika dia dan isterinya sedang berpesiar di telaga, tiba-tiba saja
mereka diserang oleh bajak telaga itu. Dia melakukan perlawanan dan dipukul
sampai terjatuh ke air dan dia terbawa hanyut dalam keadaan pingsan.
“Untung saya dapat
diselamatkan oleh seorang tua yang sakti, akan tetapi Ci Sian......”dia menarik
napas panjang. “Isteri saya terkasih itu tewas karena perahu terbalik. Karena
kami berpisah, dan jenazah isteri saya ditemukan oleh para nelayan, maka mereka
lalu mengubur jenazah isteri saya di sebuah bukit dekat telaga. Baru pada
keesokan paginya saya mendapat keterangan tentang ini dan saya telah
bersembahyang di kuburan Ci Sian......”
Hujan tangis terjadi di rumah
keluarga lurah dusun itu. “Siapakah bajak-bajak itu? Kita harus bertindak! Akan
kukerahkan semua penjaga dan pemuda dusun ini!”
Cin Hay sudah menduga bahwa
ayah mertuanya yang menjadi kepala dusun tentu marah dan hendak menuntut balas.
Dia tahu bahwa para penjaga keamanan dusun dan para pemuda bukanlah lawan
orang-orang yang berilmu tinggi seperti See-ouw Sam-houw, apa lagi kemungkinan
besar Koan Wan-gwe masih mempunyai lebih banyak lagi kaki tangan yang pandai.
Kalau mertuanya melakukan hal itu, tentu akan jatuh lebih banyak korban di
pihak keluarga mertuanya. Pula, kedudukan ayah mertuanya pun dapat terancam
kalau bermusuhan deagan seorang hartawan berpengaruh seperti Koan Wan-gwe.
Maka, dia memang sudah siap untuk berbohong demi keselamatan mertuanya.
“Saya tidak mengenal mereka,
dan begitu mereka membalikkan perahu kami, mereka lalu pergi dengan
perahu-perahu mereka.”
Cin Hay lalu mendapat tugas
untuk mengantar ayah dan ibu mertuanya mengunjungi kuburan isterinya, di mana
kedua orang tua itu menangisi kematian puteri mereka. Kemudian, setelah mereka
kembali ke dusun, Cin Hay berpamit kepada ayah dan ibu mertuanya untuk
memperdalam ilmu silatnya.
“Saya harus belajar sampai
pandai agar kelak saya dapat membasmi atau menantang penjahat-penjahat seperti
mereka yang telah menyebabkan kematian isteri saya.”
Ayah dan ibu mertuanya tentu
saja tidak dapat bersikap lain kecuali menyetujui dan memberi ijin. Maka
pergilah Cin Hay ke rumahnya sendiri di dusun lain, berpamit kepada ibunya,
kemudian diapun membawa pakaian pergi ke bukit Bambu Sisik Naga untuk mulai
berguru kepada Pek I Lojin.
◄Y►
Kita tinggalkan dulu Cin Hay
yang mulai berlatih silat dengan penuh semangat, untuk mengikuti peristiwa lain
yang melibatkan diri seorang gadis yang kelak akan menjadi tokoh utama pula
dalam kisah ini.
Waktu itu yang menjadi kaisar
adalah Tang Kao Cung (650-683) dari Dinasti Tang (618-¬907). Kota Lok-yang
merupakan kota besar kedua setelah Tiang-an yang menjadi ibu kota atau kota
rajanya. Akan tetapi karena kota Lok-yang merupakan kota besar kedua, di sini
tinggal pula banyak bangsawan, pangeran dan keluarga mereka, juga bangsawan
tinggi yang menjadi pejabat-pejabat penting.
Lie Kim Cu adalah seorang
gadis yang amat cantik jelita dan manis. Dalam usia enambelas tahun, ia
bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar semerbak mengharum. Nampaknya ia
lemah lembut, dengan wajah cantik manis dan tubuh lemah gemulai, namun
sesungguhnya, sejak kecil ia suka akan ilmu silat. Ketika masih kecil,
diam-diam ia memaksa kepala pengawal ayahnya untuk mengajarkan ilmu silat
kepadanya.
Ketika ayahnya mengetahui,
melihat bakat puterinya, ayah ini lalu mengundang seorang ahli silat wanita
untuk memberi pelajaran kepada Lie Kim Cu. Maka, setelah berusia enambelas
tahun, gadis yang nampak cantik jelita dan lemah lembut, pandai membuat sajak
dan membuat lukisan atau tulisan halus, pandai bermain yang-kim dan meniup
suling, pandai menyulam, sebetulnya juga memiliki kepandaian silat yang
lumayan. Dua orang laki-laki biasa saja jangan harap akan mampu menangkapnya,
dan seorang laki-laki bertubuh kuat yang memiliki ilmu silat pasaran saja akan
mudah dapat ia robohkan!
Ayah Lie Kim Cu seorang
pejabat menengah. Sebagai seorang pejabat menengah di dalam jaman yang penuh
dengan pejabat korup itu, keadaan keluarga Lie-taijin cukup kaya raya.
Penghasilan sampingan karena kekuasaannya jauh berlipat kali lebih besar dari
pada gajinya. Dan Lie-taijin seorang pejabat yang cakap sehingga menyenangkan
hati Pangeran Coan Siu Ong, yaitu bangsawan tinggi yang menjadi atasannya.
Lie-taijin hanya mempunyai
seorang anak, yaitu Lie Kim Cu. Dari beberapa orang selirnyapun dia tidak
memperoleh keturunan sehingga tidaklah mengherankan bila Kim Cu disayang oleh
seluruh keluarga sebagai anak tunggal, biarpun wanita. Karena dimanja, maka
sampai usia enambelas tahun, ia belum juga bertunangan walaupun pinangan sudah
datang amat banyaknya, karena gadis itu selalu menolak dan orang tuanya tidak mau
memaksanya.
Kecantikan Kim Cu terkenal di
Lok-yang dan banyak sekali pemuda tergila-gila padanya walaupun banyak di
antara mereka belum sempat melihat sendiri gadis itu, hanya mendengar
kecantikannya dipuji-puji setinggi langit oleh mereka yang pernah melihat Kim
Cu.
Akan tetapi, keadaan hidup
manusia tidaklah abadi, ada pasang surutnya seperti air lautan, ada terang
gelapnya seperti cuaca. Demikian pula dengan keadaan keluarga Lie-taijin.
Semenjak setahun yang lalu, pejabat yang cakap ini terjerat kesenangan yang
amat berbahaya dan merusak, yaitu berjudi!
Judi adalah satu di antara
kemaksiatan yang paling berbahaya di antara segala kemaksiatan yang lain. Di
dalam perjudian, banyak sifat buruk bermunculan dan bermaharajajela. Kemurkaan,
keinginan memperoleh uang sebanyaknya dengan cara yang paling mudah meracuni
hati, membuat orang mencandu dan lupa diri, sama sekali tidak menyadari bahwa
dirinya telah dicengkeram iblis yang amat jahat, bahkan sampai habis-habisan
pun belum sadar. Kesadaran datang setelah terlambat, dan biasanya, kalau
keadaan sudah mending, kesenangan itu akan menggerogoti hatinya lagi dan
menyeretnya kepada kebiasaan perjudian lagi.
Dalam perjudian hati kita
dipermainkan oleh harapan-harapan yang amat merangsang, digoda oleh kemenangan-kemenangan
sementara yang amat memuaskan hati. Kalau kita kalah, timbul harapan besar
untuk meraih kembali uang kita yang hilang akibat kekalahan kita. Kalau kita
menang, timbul harapan besar untuk meraih kemenangan yang lebih besar lagi.
Dengan demikian, kalah menang sama saja akibatnya, menyeret kita lebih dalam
lagi terperosok ke dalam lumpur perjudian.
Dalam perjudian kitapun
menjadi sadis dan kejam sekali. Dengan hati enak dan senang kita mentertawakan
seorang kawan yang ludes dan kalah! Kalau kita kalah, kita terhibur oleh
kekalahan seorang sahabat yang lebih banyak lagi. Kalau kita menang, kita
merasa iri karena kemenangan teman lebih besar dari pada kemenangan kita. Iri,
dengki, tamak, kejam, semua ini bermunculan di dalam perjudian.
Lebih jahat lagi, perjudian
membuat pikiran menjadi gelap, lupa segala, dan siap mengorbankan segala yang
kita sayangi demi berlangsungnya kesenangan yang disebut perjudian itu.
Tercatat di dalam sejarah ataupun dongeng, betapa sejak jaman dahulu sekali
manusia telah dipermainkan kesenangan judi ini. Ada raja kehilangan mahkotanya
karena dipertaruhkan dalam perjudian. Suami kehilangan isterinya atau bapak
kehilangan puterinya yang dipertaruhkan dalam perjudian!
Apa lagi perjudian tingkat
tinggi seperti yang dimasuki Lie-taijin. Karena yang berjudi adalah para
bangsawan dan hartawan, maka tempatnyapun mewah, serba menyenangkan, dengan
hidangan yang lezat, arak yang harum, musik dan nyanyi oleh gadis-gadis cantik,
dan dilayani oleh gadis-gadis panggilan kelas tinggi. Suasananya serba mewah,
nikmat, dan menyenangkan!
Lie-taijin yang belum
berpengalaman itu menjadi korban ular-ular perjudian yang bermain curang. Dia
habis-habisan dan karena haus akan uang untuk modal judi, mulailah dia memakai
uang pemerintah, mencuri, melakukan kecurangan dan korupsi! Perhiasan para
isterinya satu demi satu dimintanya, bahkan perhiasan yang menempel di tubuh
Kim Cu juga dikorbankan dalam perjudian. Ini semua masih belum memuaskan iblis
perjudian yang melahap kesemuanya tanpa mengenal cukup.
Lie-taijin masih terlibat
hutang ke sana-sini. Aneh memang, dalam perjudian, orang mudah sekali
mendapatkan hutang, seolah-olah semua teman seperjudian siap untuk memberi
pinjaman. Sebaliknya, untuk modal bekerja, jauh lebih sulit untuk memperoleh
hutang!
Seperti telah kita ketahui,
Kim Cu adalah seorang gadis yang mulai dewasa dengan kecantikan yang
mengguncangkan banyak hati pria di kota Lok-yang. Hal inipun akhirnya terdengar
oleh Pangeran Coan Siu Ong, atasan Lie-taijin. Pangeran Coan Siu Ong yang bertubuh
tinggi besar berkulit hitam itu sudah berusia limapuluh tahun, akan tetapi dia
terkenal sebagai seorang laki-laki bangsawan yang gila perempuan.
Dengan kekayaannya, juga
dengan kebangsawanannya dan kedudukannya, banyak sudah wanita cantik terjatuh
ke dalam pelukannya, dengan suka rela maupun dengan paksa. Ketika mendengar
akan kecantikan Kim Cu, pangeran ini mencari jalan untuk membuktikannya dengan
mata sendiri. Sebagai atasan Lie-taijin, tentu saja mudah baginya untuk dapat
melihat Kim Cu dan sekali melihat gadis itu, diapun menahan air liurnya dan
tergila-gila! Akan tetapi, tentu saja dia tidak dapat berbuat sembarangan saja
terhadap puteri bawahannya ini. Dia hanya menahan rindu di dalam hatinya dan
beberapa malam sekali tentu bermimpi tentang gadis jelita itu yang berhasil
didekapnya.
Kemudian, para penyelidiknya
menyampaikan tentang keadaan Lie-taijin kepada Pangeran Coan Siu Ong. Betapa
Lie-taijin kini menjadi seorang penjudi kelas berat, betapa pejabat itu
habis-habisan, berkorupsi dan mempunyai banyak sekali hutang!
Mendengar ini, Pangeran Coan
Siu Ong hampir saja menari kegirangan? Terbukalah jalan yang amat lebar baginya
untuk mendapatkan bunga yang sudah lama dirindukannya itu. Dia lalu mengutus
kaki tangannya untuk menghubungi para ular judi dan dengan imbalan yang cukup,
Pangeran Coan Sin Ong memerintahkan mereka untuk memeras habis-habisan
Lie-taijin sehingga semakin dalam pejabat itu akan terperosok ke dalam lumpur!
Pada suatu hari, Pangeran Coan
Siu Ong pergi mengunjungi Lie-taijin yang menyambutnya dengan jantung berdebar
penuh ketegangan dan rasa gelisah. Sudah terlalu banyak dia menggunakan uang
negara, dan terlalu banyak hutangnya di luar. Dia takut kalau-kalau atasannya
ini mengetahuinya atau mengadakan pemeriksaan. Namun, hatinya menjadi lega
ketika Pangeran Coan Siu Ong yang berpura-pura tidak tahu akan keadaannya,
bahkan menitipkan sekantung uang emas kepadanya.
“Emas seratus tail ini milikku
pribadi untuk keperluanku pribadi. Karena aku hendak pergi ke kota raja selama
beberapa hari, maka kutitipkan kepadamu. Sepulangku dari kota raja, akan
kuambil kembali.” Demikian kata Pangeran Coan Siu Ong dan penitipan uang emas
seratus tail itu disaksikan oleh dua orang pengawal pangeran itu, dan oleh
seorang pembantu Lie-taijin. Lie-taijin menerima kantung itu, menghitung isinya
dan berjanji akan menyimpannya dengan hati-hati.
Setelah Pangeran Coan Siu Ong
pergi, maka para ular judi lalu berdatangan membujuk Lie-taijin untuk berjudi.
Mula-mula, Lie-taijin tidak berani mengusik emas titipan itu, akan tetapi setan
judi yang sudah menghuni kepalanya tiada hentinya berbisik-bisik dan akhirnya
karena oleh setan judi itu digambarkan kemenangan besar.
Lie-taijin tidak dapat menahan
keinginan hatinya. Karena sudah kehabisan modal, dia lalu mengambil beberapa
tail emas untuk modal berjudi. Tentu saja dia kalah. Karena khawatir akan
hilangnya beberapa tail yang ludes di meja judi, Lie-taijin ingin menarik
kembali kekalahannya dengan melanjutkan perjudian, dengan modal baru yang
diambilnya dari kantung terisi emas itu. Kalah lagi dan demikian selanjutnya
sehingga seminggu kemudian, kantung itu telah kosong!
Dan tepat setelah kantung
kosong, muncullah Pangeran Coan Siu Ong yang tentu saja sudah tahu belaka akan
semua yang terjadi menimpa diri Lie-taijin!
Lie-taijin menyambut
kedatangan Pangeran Coan Siu Ong dengan muka pucat dan tubuh gemetar. Ketika
pangeran itu mengatakan bahwa kedatangannya untuk mengambil emas yang
dititipkannya, Lie-taijin segera menjatuhkan berlutut dengan tubuh gemetar. Dia
mengaku terus terang bahwa emas titipan itu telah habis dan dikalahkan di medan
perjudian, dan dia berjanji dengan sumpah akan mengembalikan uang emas itu.
Pangeran Coan Siu Ong bangkit
dari tempat duduknya dan menggebrak meja. “Ah, jadi yang selama ini kudengar
sebagai desas desus ternyata benar? Bahwa engkau telah menjadi seorang penjudi
sehingga hartamu ludes, bahkan engkau korupsi, menggunakan uang pemerintah dan
berhutang di sana-sini? Sungguh celaka! Aku harus mengadakan pemeriksaan
sekarang juga di kantormu!”
Dengan muka semakin pucat,
terpaksa Lie-taijin mengantar atasannya dan beberapa orang pejabat pemeriksa
pembukuan dan keuangan untuk mengadakan perhitungan dan pemeriksaan di
kantornya. Tidak sukar bagi para pemeriksa itu untuk menemukan bahwa Lie-taijin
memang benar telah korupsi, menggunakan uang negara dalam jumlah yang banyak
sekali! Dan Pangeran Coan Siu Ong dengan marah lalu memerintahkan petugas untuk
menangkap Lie-taijin dan memasukkan ke dalam tahanan!
Tentu saja keluarga Lie-taijin
menjadi geger. Para isterinya menangis. Lie Kim Cu membanting-banting kakinya.
“Sungguh celaka, mengapa ayah
menjadi terperosok sedalam ini?” kata Lie Kim Cu sambil memukul-mukulkan tangan
kanan terkepal ke atas telapak tangan kirinya sendiri dan beberapa kali
membanting kaki kanan saking jengkelnya. “Sudah berkali-kali kuperingatkan
ayah, akan tetapi dia malah marah-marah. Sungguh heran sekali, mengapa watak
ayah menjadi berubah seperti itu setelah dia gemar berjudi?”
Mereka tak dapat berbuat
sesuatu kecuali menangis dan mengeluh. Sementara itu, Pangeran Coan Siu Ong
lalu menyuruh seorang kepercayaannya untuk mengunjungi Lie-taijin di dalam
kamar tahanannya. Utusan ini adalah seorang laki-laki yang biasa menjadi
comblang (perantara perjodohan) dan pandai sekali berbicara dan membujuk.
Setelah mengeluarkan basa-basi
seperti merasa iba, ikut prihatin dan sebagainya, comblang itu lalu berkata
dengan lirih, “Lie-taijin, keadaan ini sukar untuk dapat ditolong lagi. Taijin
akan dijatuhi hukuman berat, semua rumah dan isinya akan disita untuk
mengembalikan uang negara dan membayar hutang. Keluarga Taijin akan terpaksa
keluar dan tidak membawa barang apapun, dan akan terlantar......”
“Ahhh......!” Lie-taijin
menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dari sela-sela jari tangannya menitik
air matanya. “Semua karena perbuatanku, semua karena kesalahanku......”
“Lie-taijin, penyesalan saja
saya kira tidak ada gunanya. Yang penting haruslah mencari jalan bagaimana
baiknya agar keluarga Taijin jangan sampai terlantar, dan kalau mungkin, agar
nama baik Taijin pulih kembali dan Taijin dapat menduduki jabatan lama......”
LIE-TAIJIN menurunkan kedua
tangannya dan sepasang matanya yang merah memandang wajah comblang itu dengan
terbelalak tak percaya.
“Bagaimana...... bagaimana
mungkin......?”
Comblang itu tersenyum tenang,
“Taijin, saya kira, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan keluarga dan nama
baik Taijin adalah kalau Taijin dapat menjadi keluarga Pangeran Coan Siu Ong!”
Sepasang mata merah itu makin
terbelalak. “Apa maksudmu?”
“Apakah Taijin lupa bahwa
Taijin memiliki seorang puteri yang cantik jelita dan terkenal sebagai
kembangnya kota Lok-yang?” Comblang itu memainkan matanya yang sipit. “Bukan
rahasia lagi bahwa setiap orang pria, tanpa kecuali, ingin memetik kembang yang
tumbuh subur di dalam taman keluarga Taijin itu.”
“Hemm, itukah maksudmu?
Berbesan dengan Pangeran Coan? Akan tetapi...... aku tidak melihat adanya
seorang putera Pangeran Coan yang sudah dewasa untuk dapat berjodoh dengan
puteriku.”
“Aih, Taijin salah sangka.
Bukan berjodoh dengan putera beliau......”
“Habis dengan siapa?”
“Dengan Pangeran Coan Siu
Ong......”
Melihat Lie-taijin membuat
gerakan memprotes, comblang itu cepat mengangkat tangannya ke atas dan berkata.
“Sabarlah. Sesungguhnya, Pangeran Coan juga termasuk seorang di antara para
pria yang tergila-gila kepada puteri Taijin. Bahkan, beliau sendiri yang
mengutus saya untuk menyampaikan pinangannya kepada Taijin, untuk minta
persetujuan Taijin agar puteri Taijin itu menjadi...... seorang isterinya.”
“Selirnya, maksudmu?” kata
Lie-taijin dengan suara mengandung kemarahan.
“Selirnya atau isterinya sama
saja, Taijin. Harap Taijin ingat baik-baik dan dapat membuat perbandingan.
Menjadi selir Pangeran Coan merupakan suatu penghormatan besar dan bahkan akan
mengangkat derajat Taijin! Kalau puteri Taijin menjadi isteri Pangeran Coan,
tentu Taijin akan tertolong, tidak jadi dituntut, bahkan tidak kehilangan
kedudukan dan nama baik, dan soal keuangan, tentu Pangeran Coan akan
membereskan karena beliau tentu akan merasa malu kalau ayah mertuanya terlibat
hutang! Bandingkan keadaan itu dengan keadaan kalau Taijin menolak! Taijin akan
dituntut, menjadi orang hukuman, semua harta disita dan keluarga Taijin akan
terlantar dan terhina!”
Lie-taijin tak dapat
berkata-kata lagi. Alangkah mudahnya membuat perbandingan seperti itu! Agaknya
memang tidak ada jalan lain! Bagaimana kalau Kim Cu tidak mau? Gadisnya itu
pasti menolak untuk dijadikan selir Pangeran Coan, sedangkan pinangan-pinangan
para muda yang tampan dan bangsawan saja ditolaknya mentah-mentah. Akan tetapi
ia harus mau kali ini! Demi seluruh keluarga!
Melihat betapa Lie-taijin
termenung, comblang yang cerdik itu berkata. “Lie-taijin, untuk membuktikan
iktikad baik dari Pangeran Coan Siu Ong, sekarang juga Taijin dapat keluar dari
dalam tahanan ini. Saya sudah membawa surat perintah pembebasan Taijin untuk
diberikan kepada para penjaga tempat tahanan ini.” Dia mengeluarkan surat
perintah itu. “Dan kereta sudah saya persiapkan di luar. Taijin dapat segera
pulang untuk membicarakan pinangan itu dengan keluarga Taijin. Besok pagi-pagi
saya datang berkunjung ke rumah Taijin untuk minta keputusan.”
Kini Lie-taijin benar-benar
mati kutu dan tidak dapat mengeluarkan sepatahpun kata. Dia menurut saja dan
pulang dengan kereta yang sudah disediakan di luar tempat tahanan. Tentu saja
pulangnya disambut gembira oleh para isterinya dan juga Kim Cu. Juga para
pelayan menyambut dengan gembira.
Lie-taijin lalu mengumpulkan
isteri-isterinya dan juga Kim Cu ke dalam kamarnya. Semua pelayan dilarang
untuk berada di dekat kamar itu. Setelah mereka semua berkumpul, Lie-taijin
lalu berkata, suaranya berat dan terpaksa sekali.
“Yang dapat menolong kita
hanyalah Pangeran Coan Siu Ong seorang. Dia yang membebaskan aku, bahkan
mengembalikan kedudukanku dan akan melunasi semua hutangku, dan hal ini dia
lakukan kalau pinangannya diterima.”
“Pinangan.......?” Serentak
beberapa suara bertanya, di antaranya suara Kim Cu.
Lie-taijin menghela napas
panjang. Tak perlu berpanjang kata, pikirnya, dan dia mengangguk. “Pinangan
atas diri Kim Cu untuk menjadi...... seorang isterinya.”
“Selirnya? Tidak! Aku tidak
sudi......!!”
Kim Cu berteriak marah,
matanya terbelalak dan kedua tangannya dikepal.
Lie-taijin menundukkan
mukanya, sedih sekali rasa hatinya. “Terserah kepadamu, Kim Cu. Kalau engkau
menolak, ayahmu ini akan dihukum, mungkin dibuang selamanya, seluruh harta
milik kita disita dan kalian semua akan diharuskan pergi dari sini tanpa
membawa apapun. Ibu-ibumu dan engkau akan terlantar. Kim Cu, keselamatan
seluruh keluarga berada di tanganmu, akan tetapi...... aku takkan memaksa, tergantung
kepadamu seorang, anakku.”
Mendengar ini, ibu kandung Kim
Cu menangis tersedu-sedu sambil merangkul anaknya, dan para selir menjatuhkan
diri berlutut di depan kursi yang diduduki Kim Cu. Bagaikan burung-burung
berkicau mereka itu menangis dan memohon belas kasihan Kim Cu agar suka
menerima pinangan itu demi menyelamatkan semua anggauta keluarga dari
malapetaka yang amat mengerikan itu.
Kim Cu merasa terpukul
batinnya dan iapun terhenyak duduk seperti patung. Tentu saja ia kurang
memperdulikan ratap tangis para ibu tirinya dan melihat ibunya sendiri masih
merangkulnya sambil menangis tersedu-sedu, ia lalu balas merangkul dan
bertanya, “Ibu, bagaimana pendapatmu, ibu? Haruskah anakmu ini menyerahkan diri
kepada pangeran tua itu untuk menjadi selir yang entah ke berapa belas kalinya?
Hanya engkau yang boleh menentukan nasibku, ibu, dan aku akan menurut apa yang
ibu putuskan.”
Ibu kandungnya menangis
sesenggukan dan sampai lama tidak dapat menjawab. Tangisnya berbaur dengan
ratap tangis para madunya yang semua tentu saja mengharapkan Kim Cu menerima
pinangan itu.
Akhirnya, setelah dapat
meredakan tangisnya, ibu kandung Kim Cu berkata, “Anakku, ibu mana yang senang
hatinya melihat anak perempuannya menjadi selir? Akan tetapi, anakku, adakah
pilihan lain? Seperti juga kata ayahmu tadi, kami tidak dapat memaksamu, akan
tetapi engkau tentu dapat melihat, bahwa apabila engkau menolak, ayahmu dihukum
selama hidup, dan kita akan terlantar! Apabila engkau menerima, berarti engkau
berkorban, engkau mengorbankan dirimu, akan tetapi belum tentu kalau engkau
akan sengsara, anakku. Menjadi selir seorang pangeran yang tinggi kedudukannya
seperti Pangeran Coan, akan membuat engkau hidup mulia, kecukupan dan
terhormat.”
“Kalau begitu, ibu
menganjurkan aku untuk menerima pinangan itu?”
“Sudah kukatakan tadi, ibu
tidak memaksamu, anakku. Akan tetapi, demi nama baik ayahmu dan seluruh
keluarga, demi keselamatan ayahmu dan keselamatan kita semua, kurasa tidak ada
lain jalan yang dapat kauambil kecuali menerima pinangan itu. Engkau berkorban,
akan tetapi engkau menjadi anak berbakti, engkau penyelamat seluruh keluarga
kita, anakku, dan aku...... aku bangga dengan itu......”
Semua ibu tirinya kini
berkali-kali memberi hormat sambil berlutut dan menghaturkan terima kasih
kepada Kim Cu dan ibunya. Kim Cu mengerutkan alisnya. Ia tidak menangis akan
tetapi sepasang matanya basah ketika ia berkata kepada ayahnya.
“Baik, ayah. Aku menerima
pinangan itu!”
“Anakku......!” Dan Lie-taijin
jatuh pingsan di atas kursinya.
Ketegangan dan kegelisahan
yang melanda hatinya, kini secara tiba-tiba dibebaskan oleh jawaban Kim Cu dan
diapun tidak kuat menahan guncangan ini sehingga pingsan. Kini semua isterinya
sibuk menolongnya, memijat-mijat, menggosok-gosok, memanggil-manggil, sedangkan
Kim Cu duduk saja bengong seperti patung di atas kursinya!
◄Y►
Dengan pakaian pengantin, Lie
Kim Cu diboyong ke istana Pangeran Coan Siu Ong. Berita tentang dipersuntingnya
Lie Kim Cu, kembang kota Lok-yang oleh Pangeran Coan Siu Ong, menggemparkan
kota itu dan membuat hati banyak pemuda menjadi patah!
Akhirnya, kembang yang membuat
banyak pemuda tergila-gila itu hanya menjadi selir seorang pangeran tua! Tentu
saja banyak pemuda merasa kecewa sekali, akan tetapi siapakah yang telah
demikian gila untuk berani memperlihatkan kekecewaan ini, siapa yang berani
mencela dan menentang Pangeran Coan Siu Ong, seorang di antara mereka yang
memiliki kekuasaan besar sebagai keluarga kaisar dan juga sebagai
pejabat-pejabat tinggi?
Kim Cu tidak menangis ketika
diboyong ke istana itu, dinaikkan sebuah kereta yang indah dan mewah, ditarik
oleh empat ekor kuda besar. Akan tetapi wajahnya pucat dan sepasang matanya
sayu. Tak pernah ia menjawab pertanyaan atau kata-kata hiburan wanita yang
diutus menjemputnya, seorang wanita setengah tua yang pandai bicara dan yang di
sepanjang perjalanan memuji-muji kebaikan hati dan kekayaan Pangeran Coan, juga
menceritakan tentang keadaan keluarga pangeran itu agar Kim Cu mengenal
lingkungan.
Ketika tiba saat yang
dinanti-nanti dengan penuh ketegangan hati Kim Cu, setelah tadi ia meninggalkan
orang tuanya yang menangisinya tanpa ditanggapinya, gadis itu mengangkat
pandang matanya dan sekilas pandang ia melihat pangeran yang menyambutnya
dengan tersenyum simpul. Begitu melihat pangeran ini, seketika timbul kebencian
di dalam lubuk hatinya. Seorang laki-laki yang usianya limapuluh tahunan,
bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam sehingga muka itu nampak kasar dan
kotor walaupun tubuhnya mengenakan pakaian serba indah dari sutera-sutera
halus.
Bagaikan boneka hidup, Kim Cu
meniru saja apa yang dicontohkan wanita penjemputnya itu, ia menurut saja
ketika disuruh berlutut memberi hormat kepada Pangeran Coan Siu Ong yang akan
menjadi suaminya, juga memberi hormat kepada isteri dan para selir yang lebih
tua. Kemudian, sambil tersenyum gembira di bawah godaan para selirnya, Pangeran
Coan Siu Ong menggandeng tangan Kim Cu dan diajaknya memasuki sebuah kamar yang
sudah dihias indah dan berbau harum, kamar pengantin!
Jantung Kim Cu berdebar penuh
ketegangan, kemarahan yang ditahan-tahan dan juga kedukaan. Ketika pangeran itu
mengunci daun pintu dari dalam, kemudian dengan tenang menanggalkan pakaian
luarnya sambil tersenyum memandang kepada Kim Cu. Gadis ini merasa tubuhnya
panas dingin. Ia berdiri dan mundur ke sudut, memandang dengan mata terbelalak,
ngeri dan jijik melihat betapa baju pria itu terbuka, nampak dadanya yang
lebar, hitam dan ada sedikit rambut di tengah-tengah dada.
Melihat gadis itu berdiri di
sudut, pangeran itu tertawa, lalu menghampiri meja di mana telah tersedia arak
dan hidangan yang masih mengepul hangat, lalu dia minum secawan arak merah dan
menggapai ke arah Kim Cu.
“Heh-heh, manisku, sayangku,
mari ke sinilah, jangan malu-malu. Mari kita makan minum dulu agar engkau tidak
malu-malu lagi. Mulai saat ini, aku adalah suamimu dan kewajibanmu melayani aku
dan menyenangkan hatiku. Aih, betapa cantik jelita engkau, Lie Kim Cu. Sudah
lama aku tergila-gila kepadamu, kesinilah, sayang......”
Sama sekali Kim Cu tidak
merasa takut kepada pria itu, hanya ia merasa ngeri dan jijik, membayangkan apa
yang akan dialaminya di dalam kamar itu. Karena ia sudah mengambil keputusan
untuk mengorbankan diri demi keselamatan orang tua dan keluarganya, maka iapun
menekan perasaannya dan melangkah maju, lalu duduk di atas kursi di seberang
meja, tidak mau duduk di kursi yang berdampingan dengan pangeran itu. Melihat
ini, Pangeran Coan Siu Ong tersenyum saja, menganggap bahwa pengantinnya yang
masih amat muda itu tentu masih malu-malu dan hal ini akan lebih menyenangkan
dan memuaskan hatinya kalau nanti akhirnya pengantinnya itu menyerahkan diri
kepadanya.
Ia menuangkan arak secawan dan
menyuguhkannya kepada Kim Cu. Gadis ini bukan seorang peminum apalagi pemabok,
namun ia bukan asing dengan minuman arak, maka sambil membisikkan terima kasih,
ia menerima cawan itu dan minum araknya sedikit demi sedikit. Ketika sang
pangeran menawarkan makan, ia menggeleng kepala, mengatakan bahwa ia tidak
lapar. Pangeran itu masih tetap tersenyum dan melahap daging dan sayur yang
tersedia di situ.
Setelah selesai, dia bertepuk
tangan tiga kali dan muncullah dua orang pelayan wanita dari pintu samping yang
tertutup tirai sutera biru. Dua orang wanita itu tersenyum-senyum akan tetapi
tanpa banyak cakap segera membersihkan meja dan menyingkirkan semua sisa
makanan, hanya meninggalkan guci arak dan dua cawan di atas meja yang kini
sudah bersih. Tak lama kemudian, “sepasang mempelai” itu ditinggal berdua saja
lagi.
“Nah, sekarang kita
bersenang-senang!” kata sang pangeran sambil bangkit berdiri dan menghampiri
Kim Cu, “Mari kubantu engkau membuka pakaianmu, manisku.” Tangannya sudah
menjangkau, akan tetapi tiba-tiba Kim Cu meloncat ke belakang dan menggeleng
kepala keras-keras! Ia tidak dapat menahan rasa jijiknya.
Pangeran itu tertawa dan
menghampiri sambil mengembangkan kedua lengannya.
“Manis, tidak perlu malu-malu
lagi. Di sini tidak ada orang lain kecuali kita berdua. Nah, mari berilah aku
beberapa ciuman yang manis dan hangat.” Dia melangkah maju dan merangkul hendak
mencium, akan tetapi Kim Cu mengelak dengan cepat sehingga pangeran itu hanya
merangkul angin saja.
“Ehh! Engkau mau main-main
dulu, ha-ha-ha! Baiklah, aku menjadi kucingnya dan engkau tikusnya, tikus kecil
putih yang manja dan nakal!”
Kini sambil tertawa-tawa
pangeran itu mengejar dan mencoba untuk menangkap dan merangkul, dengan
perkiraan bahwa akhirnya pengantin itu akan menyerah dan pengelakan ini hanya
main-main atau malu-malu saja. Akan tetapi, Kim Cu selalu mengelak dengan cepat
dan kemahirannya dalam ilmu silat memudahkannya untuk mengelak dan meloncat ke
sana-sini. Akhirnya, pangeran itu mulai berkeringat dan alisnya mulai berkerut.
“Cukuplah main-main ini! Mari,
mari sini, biarkan aku memelukmu, menciummu dan memondongmu ke pembaringan,
sayang!” Dia mengembangkan kedua lengannya dan menggapai. Akan tetapi Kim Cu
yang sudah berdiri di sudut lagi, juga mengerutkan alisnya. Ia mulai marah
melihat betapa pangeran itu hendak memaksanya, dan ia kini menggeleng kepala
dengan keras.
“Hmm, jangan membuat aku kehabisan
kesabaran, sayang. Mari, kesinilah!”
Ketika Kim Cu tetap menggeleng
kepala, pangeran itu lalu berlari ke depan dan menubruk, bukan main-main lagi
melainkan bersungguh-sungguh, mengembangkan kedua lengan yang panjang dan besar
itu dari kanan kiri merangkul seperti seekor biruang menubruk mangsanya! Karena
ia berada di sudut kamar, dan di sebelah kirinya terdapat pembaringan,
sedangkan sebelah kanan sudah dihadang oleh lengan kiri pangeran itu, Kim Cu
lalu menerobos di bawah lengan sambil menggunakan tumit kakinya menendang ke
arah lutut kaki Pangeran Coan Siu Ong.
“Aduhh......!” Ditendang
lututnya, kaki itu kehilangan tenaga dan pangeran itu jatuh berlutut, dahinya
terbentur dinding karena tubrukannya luput. Dia marah sekali, bangkit berdiri
sambil mengerutkan alis, dan kini memandang kepada Kim Cu dengan marah.
“Gila! Berani engkau
menendangku? Hayo, ke sinilah, atau aku harus mempergunakan kekerasan?”
Kim Cu kini juga sudah marah
sekali. Ia sudah lupa akan keputusan hatinya untuk mengorbankan diri demi
keselamatan orang tua dan keluarganya.
“Tidak, aku tidak sudi!”
katanya, dan ia menentang pandang mata pangeran itu dengan berani.
Hampir saja pangeran itu tidak
percaya apa yang didengarnya. “Lie Kim Cu, engkau sudah diserahkan kepadaku,
sudah menjadi isteriku. Mengapa sikapmu seperti ini? Ke sinilah, sekali lagi,
kalau tidak, terpaksa akan kupergunakan kekerasan!”
Pangeran itu dengan langkah
lebar menghampiri, dan kini dengan kasar tangannya menjangkau untuk menangkap
dan mencengkeram. Kim Cu juga sudah marah. Ia memang memiliki keberanian dan
kekerasan hati, dan sekarang, lupa akan segala, ia sudah memutuskan untuk
melawan mati-matian dan tidak akan menyerahkan diri begitu saja kepada
laki-laki yang dibencinya ini.
Entah mengapa, melihat wajah
Pangeran Coan Siu Ong yang walaupun berkulit hitam termasuk pria berwajah
tampan dan gagah, ia merasa benci sekali. Ketika Kim Cu melihat tangan yang
besar hitam itu mencengkeram, iapun mengangkat tangan kiri menangkis, kembali
kakinya bergerak menendang dan tubuh tinggi besar itupun kini terpelanting!
Pangeran Coan Siu Ong
berteriak-teriak memanggil pengawal pribadinya.
Dari pintu samping yang
tersembunyi itu, muncullah dua orang laki-laki setengah tua yang pakaiannya
ringkas. Mereka berloncatan ke dalam dan terheran-heran melihat betapa majikan
mereka sedang merangkak bangun dan dahinya benjol, dan pengantin wanita berdiri
dengan muka merah dan pandang mata marah.
Pangeran Coan Siu Ong bangkit
berdiri, menuding ke arah Kim Cu dan memerintah kepada dua orang pengawalnya.
“Tangkap perempuan binal ini! Tangkap dan belenggu kaki tangannya!”
Dua orang pengawal pribadi itu
sejenak merasa heran dan terkejut, akan tetapi sebagai dua orang yang banyak
pengalamannya, mereka segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya
pengantin wanita ini tidak mau menyerah bahkan melawan dan kalau sang pangeran
yang tinggi besar dan bertenaga kuat itu sampai minta bantuan mereka dan tadi
bahkan nampaknya dihajar jatuh, berarti bahwa pengantin wanita ini bukan orang
sembarangan!
Mereka berdua mengangguk, lalu
menghampiri Kim Cu dari kanan kiri. Gadis ini sudah siap siaga dan melihat
mereka datang dengan wajah mengancam, iapun sudah memasang kuda-kuda, siap
untuk melakukan perlawanan mati-matian!
“Nona, menyerahlah, tidak ada
gunanya melawan perintah Sang Pangeran!” kata seorang di antara dua pengawal
itu yang bertubuh pendek gendut. Akan tetapi, orang kedua yang tinggi kurus
sudah bergerak ke depan, tangan kanannya menyambar untuk menangkap pundak Kim
Cu.
Kim Cu menangkis dengan
memutar lengan kirinya ke atas, kakinya menyambar dengan tendangan yang cepat
ke arah perut lawan yang hendak menangkap pundaknya itu. Akan tetapi, orang itu
dapat menangkis tendangan dan pada saat itu, si pendek gendut sudah menerjang
maju untuk menangkap lengan Kim Cu. Gadis ini menarik lengannya dan iapun nekat
melakukan perlawanan, memukul dan menendang dengan sengitnya.
Kalau saja dua orang lawannya
itu hanya laki-laki biasa, atau yang memiliki ilmu silat pasaran saja, tentu
tidak akan mampu mengatasinya. Akan tetapi, dua orang itu adalah pengawal
pribadi seorang pangeran yang tinggi kedudukannya. Tentu saja mereka berdua
adalah jagoan-jagoan pilihan yang memiliki kepandaian tinggi dan juga gaji yang
banyak. Tingkat ilmu silat mereka jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Kim
Cu, maka selama belasan jurus saja, mereka telah berhasil menotok roboh gadis
itu sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.
“Bagus, ikat ia di
pembaringan!”
Kemudian terjadilah malapetaka
itu! Setelah dua orang pengawal pribadinya disuruh pergi, pangeran itu
melampiaskan semua kemarahan dan kedongkolan hatinya kepada Kim Cu. Dengan
buasnya dia mencabik-cabik pakaian Kim Cu, kemudian dia memperkosa gadis itu
dengan kasar, berulang kali sampai Kim Cu tidak merasakan apa-apa lagi karena
jatuh pingsan!
Nafsu apa saja, kalau sudah
menguasai batin manusia, membuat manusia itu menjadi seperti gila, menjadi buas
melebihi binatang yang paling buas dan menjadi kejam, jahat dan kehilangan
prikemanusiaan. Gairah berahi merupakan satu di antara nafsu yang ada pada kita
sejak kita lahir, dan merupakan suatu kebutuhan yang amat mutlak dan penting.
Nafsu berahi yang mendorong manusia untuk dapat berkembang biak, dan berahi
merupakan kembangnya cinta kasih antara pria dan wanita.
Pernyataan kasih sayang,
permainan cinta antara pria dan wanita, hubungan kelamin, merupakan sesuatu
yang indah dan suci, kalau dilakukan oleh dua orang yang saling mencinta,
dengan penuh kepasrahan, kerelaan dan sukacita. Akan tetapi, kalau dilakukan
dengan kekerasan, dengan paksaan dan perkosaan, maka menjadilah suatu perbuatan
yang terkutuk, keji dan kotor! Kita harus menjadi tuan dari nafsu-nafsu kita,
bukan menjadi budak! Kita harus menguasai nafsu, bukan dikuasai.
Nafsu ibarat kuda penarik kereta.
Tanpa kuda, kereta tidak akan bergerak maju. Akan tetapi, membiarkan kuda
menguasai keadaan, amatlah berbahaya mungkin sekali kereta akan dibawa terjun
ke dalam jurang dan hancurlah semuanya! Kuda penarik kereta haruslah
ditundukkan sehingga dapat menarik kereta ke arah yang benar, karena itu
haruslah selalu dikendalikan. Dan kendalinya adalah kewaspadaan dan kesadaran.
Mawas diri agar tidak menjadi lengah.
Ketika siuman kembali, Kim Cu
merasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Panas, pedih dan lelah, kepalanya
pening dan seluruh tubuhnya seperti remuk rasanya. Ia merintih lirih dan
membuka mata, dan teringatlah semuanya itu!
Ia masih terlentang di atas
pembaringan, kaki tangannya masih terikat, kuat sekali. Mendengar suara dengkur
di sebelahnya, ia melirik dan melihat kepala Pangeran Coan Siu Ong di dekatnya.
Pangeran itu tidur mendengkur, kelelahan. Ingin Kim Cu menjerit, menangis,
namun ditahannya. Dikeraskan hatinya.
Pikirannya bekerja, ia tahu
apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia telah diperkosa oleh pria di
sebelahnya ini. Terkutuk! Dan ia tahu bahwa kalau ia tetap berkeras, ia akan
terus diperlakukan seperti ini. Diperkosa, dihina, diperlakukan seperti
binatang! Ia mengatur pernapasannya, seperti yang pernah dipelajarinya dari
mereka yang melatihnya ilmu silat. Pernapasan yang panjang dapat menenangkan
batinnya yang porak poranda. Ia menjadi tenang, ia menjadi diam, penuh
perhitungan, mengatur akal untuk membalas!
Ia harus menanti sampai tengah
malam, barulah pangeran itu terbangun. Begitu terbangun, pangeran itu
batuk-batuk, lalu bangkit duduk, memandang kepada Kim Cu yang nampak tidur
memejamkan mata, terkekeh puas, lalu meraih cawan arak, diminumnya arak yang
masih setengah lebih. Lalu ia duduk, memandangi Kim Cu, dari atas ke bawah dan agaknya
nafsunya bangkit kembali.
“Heh-heh, apakah engkau masih
hendak melawan, manis? Engkau sungguh manis dan cantik, sayang sekali engkau
liar dan binal. Hemm, mulutmu begini manis, bibirmu begini merah dan hangat
lembut, hemmm......” Pangeran itu menundukkan mukanya dan menciumi mulut Kim
Cu. Dia terkejut sekali ketika merasa betapa mulut itu terbuka hangat dan
membalas ciumannya dengan penuh kemesraan!
Pangeran Coan Siu Ong
mengangkat mukanya memandang dan melihat betapa Kim Cu sudah membuka matanya yang
jeli, dan mulut yang manis itu tersenyum kepadanya! Tentu saja sang pangeran
girang bukan main.
“Aih, sayang, engkau......
engkau tidak melawan lagi sekarang?”
Dengan sikap malu-malu dan
kerling tajam disertai senyum simpul manis, Kim Cu berkata lirih manja,
“Setelah kini menjadi isterimu, perlu apa aku melawan lagi? Tadi sih aku takut,
malu......”
“Ah, manisku! Sayangku! Aku
cinta padamu......!” Pangeran itu lalu memeluk menciumi muka Kim Cu yang mandah
saja.
“Akan tetapi, kaki dan
tanganku rasanya seperti akan patah tulangnya, seluruh tubuhku sakit-sakit.
Bagaimana aku dapat enak melayanimu kalau diikat seperti ini, Ong-ya?”
Pangeran Coan Siu Ong
tersenyum. “Kasihan engkau! Salahmu sendiri, tadi engkau begitu buas. Kalau
seperti sekarang, ahhh...... tentu lebih menyenangkan. Akupun tidak ingin
menggunakan kekerasan, aku sayang padamu, Kim Cu......” Dan pangeran itu lalu
mengambil sebatang pedang kecil, lalu memotong tali-tali pengikat pada kaki
tangan gadis itu.
Kim Cu menahan rasa nyeri
ketika darahnya jalan kembali. Bekas ikatan pada pergelangan kaki dan tangan
itu terasa nyeri dan berdenyut-denyut. Ia menggosok-gosok keempat pergelangan
kaki tangannya, dan sang pangeran ikut pula menggosok-gosok dengan minyak
panas, menciumi seluruh tubuh yang mulus itu. Kim Cu mandah saja, bahkan
sekali-sekali balas mencium dan merangkul, membuat sang pangeran semakin
bergairah.
Akan tetapi, ketika pangeran
itu hendak merangkulnya dan merebahkannya, tiba-tiba tangan Kim Cu menampar.
“Plakkk!” Muka pangeran itu
kena ditampar, demikian kerasnya sehingga tubuh yang tinggi besar berkulit
hitam itu terpelanting ke bawah pembaringan!
Saking kagetnya, pangeran itu
sampai tak sempat berteriak, hanya terbelalak memandang kepada Kim Cu, seluruh
gairahnya lenyap terganti rasa kaget dan takut melihat betapa wanita cantik
jelita bertubuh mulus itu kini meloncat turun, tubuh yang telanjang bulat namun
yang kini amat menakutkan.
“Desss......!” Sebuah
tendangan kilat menyambar dan mengenai ulu hati Pangeran Coan. Biarpun tendangan
itu dilakukan dengan kaki telanjang, namun datangnya cukup keras, membuat tubuh
pangeran itu terjengkang dan kepalanya membentur lantai.
“Uakkk......!” Pangeran itu
muntahkan darah segar dan kepalanya terasa pening ketika terbanting keras
membentur lantai.
“Jahanam busuk! Akan kubunuh
kau......, akan kucincang tubuhmu......!” Kim Cu berseru dan kembali kakinya
menendang, sekali ini mengarah selangkang pangeran itu. Pangeran itu mencoba
untuk menarik tubuhnya, akan tetapi tendangan itu masih menyerempet anggauta
badan yang paling berbahaya di selangkangnya.
“Aduuuhhh......
tolongggg...... toloooooggg......!” Pangeran itu menggunakan kedua tangannya
mendekap bagian yang tertendang, dan melolong-lolong ketakutan, apa lagi
melihat Kim Cu menyambar pedang pendek di atas meja, pedang yang tadi
dipergunakan Pangeran Coan Siu Ong untuk memotong putus tali-tali pengikat kaki
tangannya. Dengan muka beringas Kim Cu memegang pedang itu, berniat untuk
mencincang tubuh orang yang amat dbencinya seperti ancamannya tadi.
Akan tetapi pada saat itu, dua
orang pengawal pribadi yang berjaga di luar pintu samping, mendengar suara
gaduh disusul teriakan majikan mereka, sudah berloncatan ke dalam kamar.
Melihat majikan mereka bergulingan di atas lantai sambil mengaduh-aduh,
mulutnya berdarah, kepalanya benjol-benjol, kedua tangan mendekap selangkangan,
sedangkan gadis yang tadi diikat di atas pembaringan itu, dengan telanjang
bulat kini berdiri memegang pedang dan agaknya hendak menyerang majikan mereka,
cepat mereka lalu berloncatan menghadang sambil mencabut golok mereka!
Melihat munculnya dua orang
pengawal pribadi ini, Kim Cu menjadi semakin marah. Ia tidak takut, bahkan
memaki. “Kalian anjing-anjing penjilat juga harus mampus!”
Dan iapun menyerang dengan
pedang pendeknya, menusuk dan membacok kalang kabut. Dua orang pengawal itu
menggerakkan golok mereka untuk menangkis dan melindungi diri mereka. Mereka
tidak berani menyerang dengan golok mereka untuk melukai apa lagi membunuh Kim
Cu tanpa perintah pangeran, maka karena ilmu silat mereka jauh lebih tinggi,
dengan mudah akhirnya si tinggi kurus menendang pergelangan tangan Kim Cu
sehingga pedang yang dipegangnya terlepas dan terlempar.
Dengan mudah dua orang
pengawal itupun lalu merobohkan Kim Cu dan setelah seorang di antara mereka
membungkus tubuh telanjang bulat itu dengan selimut. Orang kedua segera
mengikat kaki tangannya sehingga gadis itu tidak mampu bergerak lagi.
Mereka berdua lalu menolong
Pangeran Coan Siu Ong yang masih mengaduh-aduh, menyumpah-nyumpah dan mendekap
selangkangannya. Dadanya juga terasa sakit sekali, juga dua buah giginya rontok
akibat tamparan tadi. Dia lalu diangkat ke atas pembaringan dan direbahkan.
Pangeran itu mengerang kesakitan, akan tetapi dia masih mampu memperlihatkan
kemarahannya kepada Kim Cu.
“Perempuan itu jahat sekali!
Ia pura-pura menyerah dan setelah kubebaskan tiba-tiba menyerangku, bahkan
nyaris membunuhku! Bawa ia sekarang juga, jual murah saja kepada rumah bordil
yang terbesar dan yang mempunyai tukang pukul yang pandai dan kuat. Cepat, bawa
ia pergi! Jual ke rumah bordir, tempat paling hina dan kotor bagi seorang
perempuan! Itulah hukumannya! Kalau dibunuh begitu saja, terlalu enak baginya!”
Dua orang pengawal itu tidak
berani membantah dan malam itu juga, mereka mengangkat Kim Cu yang masih
terbelenggu, membawanya dengan kereta menuju ke rumah bordil Bibi Ciok di sudut
kota.
Tentu saja Bibi Ciok girang
bukan main mendapatkan kembang baru ini, dengan harga murah lagi. Apa lagi
ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis yang dijual kepadanya dengan murah itu
bukan lain adalah Lie Kim Cu, kembang kota Lok-yang yang siang tadi diambil
selir oleh Pangeran Coan Siu Ong! Wah, tentu ia akan kebanjiran uang!
Tentang peringatan dua
pengawal pribadi pangeran itu bahwa Kim Cu pandai silat dan lihai, Bibi Ciok
tidak khawatir. Ia mempunyai banyak tukang pukul, ada duabelas orang, yang
kesemuanya pandai silat dan tentu dapat membuat gadis itu tidak berdaya.
Kemarahan Pangeran Coan Siu
Ong tidak dapat dipadamkan hanya dengan menjual Kim Cu ke rumah pelacuran. Dia
merasa ditipu, merasa dirugikan dan malam itu juga dia memerintahkan
orang-orangnya untuk menangkap kembali Lie-taijin dan melempar orang ini ke
dalam kamar tahanan!
Dan pada keesokan harinya,
pengadilan menjatuhkan hukuman buang selama hidup kepada Lie-taijin karena
korupsi, menggunakan uang negara, dan karena hutang-hutangnya yang banyak, juga
karena dia telah menggelapkan uang emas milik Pangeran Coan Siu Ong yang
dititipkan kepadanya! Rumah dan semua isinya disita dan semua isterinya diusir
keluar dari rumah itu tanpa membawa apapun kecuali pakaian yang menempel di
tubuh mereka! Tidak ada yang boleh membawa keluar sebuahpun perhiasan berharga!
Tentu saja hal ini merupakan
pukulan batin yang hebat bagi keluarga Lie, apa lagi ketika Nyonya Lie
mendengar bahwa suaminya dihukum buang selama hidup dan puterinya kini dijual
ke rumah pelacuran. Ia tidak kuat menahan derita batin ini. Ia jatuh sakit
sampai meninggal dunia, diurus secara sederhana sekali oleh para madunya yang kemudian
pulang ke tempat asal masing-masing. Hancurlah keluarga Lie, hancur hanya
karena akibat perjudian!
Lie-taijin sendiri merasa
berduka bukan main. Dia tahu akan nasib yang menimpa keluarganya, bahkan
sebelum dia berangkat ke tempat pembuangan, dia mendengar pula akan nasib
puterinya yang dijual ke rumah pelacuran. Hal ini membuatnya menjadi nekad dan
ketika dia melakukan perjalanan tiba di tepi sebuah jurang yang curam,
tiba-tiba saja dia meloncat ke dalam jurang itu dan tentu saja tubuhnya remuk dan
diapun tewas seketika!
Yang sudah mati memang sudah
tamat riwayatnya dan sudah berakhir pula penderitaannya di dunia. Akan tetapi
Kim Cu masih hidup! Gadis yang bernyali besar ini masih harus mengalami
penderitaan yang bertubi-tubi dan amat hebatnya ketika ia terjatuh ke tangan
rumah pelacuran yang dipimpin Bibi Ciok. Terlepas dari tangan Pangeran Coan Siu
Ong terjatuh ke tangan pelacuran, berarti terlepas dari mulut seekor harimau
lalu terjatuh ke dalam kepungan segerombolan srigala buas!
Mula-mula ia diperlakukan
dengan baik, dimandikan, diberi pakaian yang indah, dirias dan diminyaki
rambutnya, kemudian dibujuk untuk menjadi kembang rumah pelesiran itu, untuk
dengan suka rela menerima tamu-tamu yang akan membayar mahal untuk dirinya,
agar ia suka melayani para tamu dengan ramah tamah dan baik. Akan tetapi, Kim
Cu marah-marah ketika mendapat kenyataan bahwa ia berada dirumah pelacuran dan
bahwa ia dibujuk untuk menjadi seorang pelacur yang baik! Ia memaki-maki dan
mengamuk, memukuli para wanita yang merawat dan membujuknya.
Para tukang pukul datang dan
iapun dikeroyok, dirobohkan dan kembali ia mengalami siksaan. Ia diancam bahwa
ia akan disuguhkan kepada para pria yang berani membayarnya dalam keadaan
terikat, agar ia diperkosa oleh mereka secara bergantian sampai ia mati!
“Anak manis, ingatlah
baik-baik!” demikian antara lain Bibi Ciok sendiri datang membujuk ke jendela
sel di mana Kim Cu menggeletak kelaparan setelah tiga hari tidak diberi makan
atau minum.
“Tidak perlu lagi engkau
berlagak dan menjual mahal. Ingat, engkau bukan lagi puteri Lie-taijin, juga
engkau bukan lagi selir Pangeran Coan Siu Ong! Engkau seorang budak belian,
sudah dijual kepadaku! Aku telah mengeluarkan uang untuk membeli tubuhmu, maka
engkaupun harus menjual diri untuk membalas budiku. Engkau seorang pelacur!
Kalau engkau berkeras tidak mau tunduk, baik, betapapun aku harus mendapatkan
kembali uangku darimu. Engkau akan kujual begitu saja, dalam keadaan telanjang
dan dibelenggu kaki tanganmu, kepada siapa yang suka membayar dan memperkosamu
sepuas hatinya. Biar dengan harga murah engkau kuserahkan kepada mereka yang
akan bergantian memperkosamu sampai engkau mati! Atau, kalau engkau pintar,
engkau dapat menurut keinginanku, engkau layani laki-laki terhormat dan kaya
raya, dengan suka rela engkau menyenangkan hati mereka. Engkau mendapat
perlayanan manis, pakaian indah, bahkan engkau akan memperoleh kesenangan dari
para pria yang mengagumimu, dan memperoleh bayaran tinggi! Nah, pilih mana?
Mati terhina atau menjadi wanita yang dicinta oleh ribuan pria yang memujamu?”
Kim Cu adalah seorang gadis
yang cerdik. Ia maklum bahwa ia terjatuh ke dalam tangan orang yang amat kejam,
yang bukan hanya mengancam atau menggertak, melainkan akan membuktikan
ancamannya itu. Ngeri juga hatinya membayangkan betapa ia akan diperkosa
bergantian, terbayang akan pengalamannya ketika ia diperkosa oleh Pangeran Coan
Siu Ong! Ia tentu akan mati, dan kalau ia mati, semua manusia jahat itu tidak
akan ada yang menghukumnya.
Tidak, ia tidak boleh mati. Ia
harus tetap hidup untuk kelak dapat membalas semua kejahatan itu. Ia harus
hidup walaupun ia harus melakukan apa saja. Ia berani berkorban apa saja
sekarang, setelah apa yang ia alami di dalam kamar Pangeran Coan Siu Ong! Kalau
ia masih hidup, tentu akan terbuka jalan baginya untuk membebaskan dirinya!
“Baiklah, aku menyerah.
Aku..... aku tidak ingin diperkosa lagi...... aku ingin hidup.....”
Bibi Ciok tersenyum lega. “Dan
engkau akan mau bersolek, melayani para tamu terhormat itu dengan suka rela,
dengan senyum dan ramah?”
Kim Cu yang sudah lemah itu
mengangguk. “Aku...... akan kulakukan semua itu...... asal aku jangan
diperkosa...... jangan diperkosa dan dibiarkan hidup......”
Bibi Ciok tersenyum cerdik.
“Lie Kim Cu, jangan dikira bahwa aku bodoh, ya? Kalau kau pura-pura menyerah
kemudian memberontak, ada banyak tukang pukulku yang akan merobohkanmu lagi.
Dan sekali kau memberontak, engkau takkan kuberi kesempatan lagi, langsung
kujual obral biar diperkosa oleh puluhan orang yang suka membelimu dengan murah,
sampai kau mampus!”
Kim Cu lalu diberi makan
minum, dikeluarkan dari sel, dan tubuhnya yang mulai kurus karena dicambuki,
dibuat kelaparan, kini mulai menjadi montok lagi setelah lewat beberapa hari.
Setengah bulan kemudian, ia sudah nampak cantik jelita lagi, dengan pakaian
indah dan senyum manis selalu menghias wajahnya yang cantik jelita.
Sementara itu, sebelum
mengeluarkan “simpanannya”, yaitu kembang baru yang namanya sudah membuat
banyak orang laki-laki tergila-gila, Bibi Ciok tentu saja sudah membuat
propaganda. Dan memang benar, puluhan orang pria, tua dan muda, membanjiri
rumah pelacuran itu. Mereka berebutan mendaftarkan diri sebagai tamu untuk
dilayani Kim Cu. Bahkan tarip yang amat mahal yang dipasang oleh Bibi Ciok,
mereka berani membayar, bayar di muka lagi!
Hal ini membuat Bibi Ciok
kewalahan dan segera tarip dinaikkan, sampai empat kali lipat, namun tetap saja
kaum pria itu berebutan!
Akhirnya, Kim Cu harus
menerima tamu pertama, yaitu seorang pemuda bangsawan yang merupakan pembayar paling
tinggi dan pendaftaran pertama! Biarpun hatinya merasa tersiksa bahwa ia barus
melayani seorang pria yang tidak dicintanya dengan penyerahan dirinya, walaupun
pria itu muda dan tampan, namun Kim Cu yang sudah bertekad untuk mencari
kebebasan itu melayaninya dengan senyum manis, dengan sikap yang ramah. Bahkan
ia berusaha memikat hati pria itu sehingga pria itu tidak meninggalkannya
sampai semalam suntuk!
Inilah akal Kim Cu agar ia
tidak usah melayani lebih dari seorang pria setiap malam! Setiap kali menerima
tamu, Kim Cu berhasil menempel tamu itu sehingga tamu itu tidak mau
meninggalkannya sebelum keesokan harinya.
Demikianlah, sampai hampir
satu bulan Kim Cu menjadi pelacur. Setiap malam harus melayani sedikitnya
seorang tamu dan memang jarang ada tamu yang tidak mau memenuhi permintaannya
untuk tinggal di kamarnya semalam penuh. Ia merasa muak, jijik dan benci
sekali. Akan tetapi semua itu ditelannya dengan senyum, dan Kim Cu sekarang
jauh berbeda dengan Kim Cu sebulan yang lalu.
Kini ia telah menjadi seorang
wanita yang matang segala-galanya, penuh perhitungan, dan amat cerdik. Sama
sekali tidak dipengaruhi oleh perasaan dan kuat sekali menahan derita, diam
bukan karena kalah, melainkan mengalah karena dia menyusun perhitungan masak
untuk menyerang kembali, bagaikan seekor ular yang melingkar dan diam,
nampaknya tak berdaya namun amat berbahaya karena memperhitungkan segalanya dan
mengatur tipu muslihat dan merencanakan siasat.
Karena sikapnya yang amat baik
sehingga semua tamu memujinya dan para tamu langganannya tidak sayang
menghamburkan uang banyak sehingga amat menguntungkan Bibi Ciok, maka Kim Cu
kini menjadi kesayangan Bibi Ciok pula. Dipercaya penuh. Mengapa tidak? Kasih
sayang orang seperti Bibi Ciok ini selalu berdasarkan untung rugi. Siapa
mendatangkan untung baginya, apalagi keuntungan besar seperti yang didatangkan
Kim Cu, akan disayangnya, di sanjung dan dipujinya.
Uang yang ia keluarkan untuk
membeli Kim Cu dari tangan Pangeran Coan Siu Ong tidak berapa banyak, dan kini,
dalam waktu hampir satu bulan saja ia sudah menerima pengembalian yang lebih
dari seratus kali banyaknya! Dan ia membayangkan bahwa sumber uang ini masih
akan mengalirkan uang selama bertahun-tahun karena, bukankah Kim Cu cantik
jelita dan muda belia, juga pandai menjaga diri, semalam hanya melayani seorang
tamu, tidak menghamburkan tenaga sehingga tidak akan menjadi cepat tua?
Malam itu Kim Cu menerima tamu
yang sudah menjadi langganannya. Putera mantu seorang jaksa tinggi di Lok-yang!
Tentu saja putera mantu ini dihormati semua orang. Bayangkan saja Putera mantu
jaksa tinggi! Siapa berani menentangnya? Baru nama “jaksa tinggi” itu saja
sudah membuat semua orang bergidik dan merasa dirinya kecil. Sekali tuding
dengan telunjuknya, dia akan mampu membuat seseorang ditangkap dan dijatuhi
hukuman buang atau mati, bersalah atau tidak!
Putera mantu jaksa tinggi ini
berusia empatpuluh tahun, sikapnya halus dan sopan seperti biasanya orang
terpelajar tinggi dan bangsawan. Dia bukan seorang yang suka melacur, hanya
ketika mendengar betapa Kim Cu, kembang kota Lok-yang yang terkenal itu kini
menjadi pelacur, dia iseng-iseng mengunjunginya. Dan dialah yang dipilih oleh
Kim Cu seperti yang disiasatkannya semenjak ia menyerah kepada Bibi Ciok di
dalam sel ketika ia hampir kelaparan itu!
Sudah empat kali Bhok Hin,
mantu jaksa itu, datang berkunjung dan setiap kali dilayani Kim Cu, dia semakin
terpikat dan semakin jatuh cinta. Hampir seminggu sekali dia datang berkunjung
dan setiap kali berkunjung, tentu dia tidak akan meninggalkan Kim Cu dan
pembaringannya selama semalam suntuk, bahkan kadang-kadang sampai besok sore
baru dia pergi!
Bagaikan seekor laba-laba
menjerat mangsanya, Kim Cu mempergunakan segala keahliannya yang diperolehnya
selama hampir satu bulan itu, mengeluarkan semua kemanjaan dan kemesraan yang
hangat, untuk memikat hati Bhok Hin yang menjadi semakin tergila-gila. Bahkan
Bhok Hin membujuk Kim Cu untuk mau menjadi selirnya dan dia bersedia untuk
menebusnya dari Bibi Ciok.
Akan tetapi, dengan cerdik Kim
Cu masih mengulur waktu, mengatakan bahwa hutangnya kepada Bibi Ciok terlalu
besar, bukan hanya hutang uang, melainkan hutang budi sehingga ia belum tega
untuk meninggalkannya. Ia minta waktu sebulan lagi dan tentu saja Bhok Hin yang
sedang tergila-gila itu berbaik hati untuk menanti dengan sabar.
Malam itu, Kim Cu
memperlihatkan kesedihan pada mukanya. Hal ini segera diketahui oleh Bhok Hin.
Tergesa-gesa dia bertanya apa yang menyusahkan hati kekasihnya. Dia siap
menolong. Uangkah? Atau apa?
“Biarpun saya hidup serba
kecukupan di sini, dan menerima budi kecintaan yang berlimpahan dari kongcu,
akan tetapi, saya kadang-kadang merasa seperti seekor burung dalam kurungan.
Saya sejak kecil mendengar betapa indahnya Lembah Sungai Kuning, dengan taman
alamnya yang mempesona, dengan ribuan macam bunga. Ingin sekali saya merasakan
betapa nikmatnya naik perahu di tepi sungai itu, dan berjalan-jalan di taman
alam di Lembah Huang-ho (Sungai Kuning). Akan tetapi, ahhh...... itu hanya
mimpi dan sampai matipun takkan dapat terlaksana......”
Bhok Hin merangkul sambil
tertawa. “Ha-ha, apa sukarnya untuk berpesiar ke sana? Besok, kalau engkau
menghendaki, aku akan mengajakmu ke sana, naik kereta!”
“Benarkah?” Kim Cu nampak
gembira bukan main dan ia segera merangkul dan menciumi kedua pipi itu dengan
mesra. “Ah, terima kasih, kongcu! Akan tetapi, jangan...... jangan katakan
kepada Bibi Ciok bahwa kita berpesiar ke sana......!”
“Kenapa? Kalau aku yang
mengajakmu, apakah dia berani menghalangi?”
“Bukan begitu, kongcu. Tentu
saja ia tidak berani, akan tetapi kalau mendengar bahwa kita pergi terlalu
jauh, tentu ia akan merasa khawatir dan kelak saya yang akan mendapat marah.”
“Hemm, begitukah? Lalu
bagaimana?”
“Sebaiknya kalau kongcu
katakan bahwa kongcu mengajak saya jalan-jalan untuk seharian besok, terserah
kepada kongcu mau diajak jalan-jalan ke mana.” Kembali Kim Cu merangkul dan
menciumi sehingga sambil tertawa dan merangkul kekasihnya itu, Bhok Hin
menyetujui.
Malam itu Kim Cu menghadiahi
kemesraan yang lebih dari biasanya kepada Bhok Hin sehingga tentu saja orang
ini merasa puas dan senang sehingga pagi-pagi sekali dia sudah menemui Bibi
Ciok untuk menyampaikan niatnya, yaitu ingin mengajak Kim Cu berjalan-jalan
dengan keretanya.
Mendengar ini, Bibi Ciok
mengerutkan alisnya. Tentu saja ia tidak setuju mendengar bahwa Kim Cu hendak
keluar dari rumahnya, akan tetapi untuk membantah, ia tidak berani.
“Ke manakah, kongcu?”
“Putar-putar saja, ke
taman-taman, mungkin singgah ke rumahku. Sore nanti kami kembali ke sini, harap
bibi jangan khawatir.”
“Khawatir tidak. Bhok kongcu,
hanya saya perlu memberitahukan kongcu bahwa nona Lie itu pernah memberontak
dan kalau sudah begitu, ia bisa berbahaya sekali.”
Mendengar ini, Bhok Hin
tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, makin hebat ia memberontak di pembaringan, makin
hebat pula, bibi! Jangan khawatir, Kim Cu telah menjadi kekasihku, dan iapun
cinta padaku. Tidak akan mengherankan kalau pada suatu hari aku akan menebusnya
dari tanganmu, berapapun tinggi harganya.”
Bibi Ciok senang sekali
mendengar ini. Tentu ia akan minta uang tebusan yang luar biasa tingginya, yang
akan dapat membuat ia kaya raya dan uang itu dapat ia pakai untuk modal
berusaha. Akan tetapi, wanita yang cerdik tidak mau lengah begitu saja.
Ketika Bhok Hin menggandeng
tangan Kim Cu yang sudah berdandan memasuki keretanya, diam-diam Bibi Ciok ini
menyuruh lima orang tukang pukulnya yang pilihan dan jagoan, untuk membayangi
kereta itu dari jauh, menjaga segala kemungkinan kalau-kalau Kim Cu akan
memberontak dan melarikan diri Bagaimanapun juga, ia harus menjaga agar sumber
emas berupa gadis cantik itu jangan sampai terlepas dari tangannya!
Lima orang jagoan ini
mengikuti dari jauh dengan menunggang kuda, dan mereka mulai khawatir ketika
melihat betapa kereta yang ditumpangi Bhok Hin dan Kim Cu bersama seorang kusir
itu dilarikan keluar kota sebelah utara. Keluar kota!
Tentu saja lima orang jagoan
yang diutus Bibi Ciok menjadi semakin curiga dan mereka terus membayangi dari
jauh. Bahkan ketika kereta tiba di Lembah Huang-ho, karena khawatir kehilangan,
mereka berlima membayangi dari jarak lebih dekat sehingga mereka dapat terus
mengamati kereta.
Girang bukan main rasa hati
Kim Cu karena berhasil membujuk Bhok Hin untuk membawanya keluar dari rumah
pelacuran milik Bibi Ciok, bahkan membawanya keluar kota yang sunyi, berdua
saja, bertiga dengan kusir. Kesempatan yang amat baik dan lebar untuk
membebaskan diri, melarikan diri dan orang lelaki tukang pelesir yang lemah
seperti Bhok Hin, dan kusirnya yang kerempeng itu tentu tidak akan mampu
menghalanginya melarikan diri.
Ia sudah bersiap-siap ketika
kereta memasuki daerah lembah yang luas dan banyak hutannya itu. Tentu saja ia
berbohong ketika mengatakan kepada Bhok Hin bahwa ia tidak pernah melihat
lembah ini. Ia ketika kecil seringkali diajak ayahnya untuk berburu di daerah
ini sehingga ia hapal dan mengenal betul daerah ini! Akan tetapi, Kim Cu kini
telah menjadi seorang wanita yang matang dan penuh perhitungan, cerdik bukan
main dan kecerdikannya ini membuat ia selalu waspada dan hati-hati.
Sebelum ia melaksanakan
rencananya melarikan diri, ia pura-pura melongok keluar kereta, melihat ke arah
belakang dan terkejutlah ia melihat ada lima orang penunggang kuda membayangi
kereta itu! Celaka, pikirnya. Ulah siapakah ini? Apakah diam diam Bhok Hin
menyuruh para pengawalnya untuk melindunginya? Kalau benar demikian, lenyaplah
harapannya. Ataukah mereka itu utusan Bibi Ciok?
“Ihhh......!” Ia sengaja
menjerit kecil dan Bhok Hin cepat memegang lengannya.
“Ada apakah?”
“Bhok-kongcu...... aku takut........
di belakang itu ada lima orang penunggang kuda. Jangan-jangan mereka itu
perampok!”
Dan memang ada dugaan ketiga
dalam hati Kim Cu, yaitu bahwa lima orang itu mungkin saja perampok yang hendak
mengganggu mereka. Dan kalau benar demikian, ia sudah siap melawan untuk
membela diri. Kalau ia berhasil mengusir perampok, berarti ia akan memperoleh
kepercayaan dan perhatian yang lebih besar dari Bhok Hin.
Mendengar ucapan itu, Bhok Hin
melongok keluar dan diapun melihat lima orang itu. Dia lalu bertanya kepada
kusirnya yang duduk di depan, di tempat terbuka sehingga mungkin kusirnya lebih
tahu akan lima orang itu.
Kusirnya segera menjawab.
“Sejak tadi hamba telah melihat mereka, kongcu. Dan melihat betapa seorang di
antara mereka yang berkumis itu hamba kenal sehagai jagoan pengawal Bibi Ciok,
maka hamba yakin mereka adalah orang-orangnya Bibi Ciok yang sengaja diutus
oleh majikan mereka untuk mengawal perjalanan kongcu dan nona.”
Bhok Hin mengangguk-angguk.
Hatinya senang mendengar ini karena dia merasa aman dengan adanya pengawalan.
Akan tetapi Kim Cu memperlihatkan wajah tak senang, bahkan marah.
“Ini namanya penghinaan bagi
kongcu!” katanya setengah berteriak.
“Eh? Apa maksudmu? Mengapa
penghinaan?” Bhok Hin bertanya heran.
“Tentu saja! Bibi Ciok sungguh
tidak memandang orang! Jelas bahwa ia tidak percaya kepada kongcu, mengira
bahwa kongcu tentu akan membawa lari saya, maka karena tidak percaya itulah ia
menyuruh lima orang jagoannya untuk selalu membayangi kereta ini. Kalau memang
hendak mengawal, kenapa tidak terang-terangan saja?”
Ucapan ini membakar hati Bhok
Hin dan dia meneriaki kusir untuk berhenti. Dia menjenguk keluar, memandang ke
belakang dan benar saja, begitu kereta berhenti, lima orang penunggang kuda
itupun berhenti. Bhok Hin lalu turun dari kereta, memandang ke arah lima orang
jagoan itu, lalu memanggil mereka dengan teriakan nyaring sambil melambaikan
tangan, menggapai agar mereka datang dekat. Melihat ini, lima orang jagoan itu
lalu melarikan kuda mereka menghampiri dan sama sekali mereka tidak mengira
bahwa mantu jaksa tinggi itu memanggil mereka untuk marah-marah!
“Heii! Kenapa kalian
membayangi dan memata-matai aku? Hayo katakan, mengapa kalian membayangi kereta
ini?” bentak Bhok Hin marah.
Lima orang itu saling pandang,
meloncat turun dari punggung kuda dan mereka memberi hormat. Si kumis tebal,
pemimpin mereka segera berkata dengan suara penuh hormat karena dia mengenal
siapa adanya kongcu ini.
“Harap kongcu sudi memaafkan
karena kami hanya menerima perintah Bibi Ciok untuk mengawal kereta ini agar
selamat di dalam perjalanan.”
“Bohong! Apakah kalian ingin
merasakan hukum cambuk sampai kulit punggung kalian terkupas semua? Hayo
katakan! Bukankah kalian disuruh Bibi Ciok untuk mengamati kereta ini agar aku
tidak melarikan nona Lie Kim Cu?”
“Hamba...... hamba hanya
diperintah......”
Lima orang jagoan itu kini
saling pandang dengan muka pucat mendengar ancaman hukum cambuk itu. Mereka
maklum bahwa ancaman mantu jaksa tinggi bukan hanya gertak kosoog belaka.
Melihat betapa siasatnya berhasil, Kim Cu lalu berkata seolah-olah di depan
Bhok Hin ia membela lima orang jagoan yang sudah dikenalnya sebagai orang-orang
kepercayaan Bibi Ciok dan mereka berlima itu memiliki ilmu silat yang tak
mungkin dapat dilawannya.
“Sudahlah, kongcu. Biarkan
mereka pulang„ kelak kongcu dapat menegur Bibi Ciok. Mereka ini hanyalah
petugas.”
Bhok Hin mengangguk. “Nah,
kalian pergilah dan awas, jangan membayangi kami lagi!”
Lima orang itu mengangguk
menyanggupi dan Bhok Hin lalu naik lagi ke dalam keretanya. Kereta meluncur
perlahan, diikuti pandang mata lima orang jagoan itu.
“Sialan!” dengus seorang di
antara mereka. “Bagaimana baiknya sekarang?”
“Bagaimana lagi? Pulang tentu
saja!” kata orang kedua.
“Dan kita mendapat marah besar
dari Bibi Ciok? Mungkin dipecat?” cela orang ketiga.
“Jangan ribut!” kata si kumis
tebal pemimpin mereka. “Aku tetap curiga kepada wanita itu. Ia cerdik dan juga
kuat. Kita bukan membayangi Bhok-kongcu, melainkan wanita itu. Kalau-kalau ia
melarikan diri. Kalau ia melarikan diri di tempat sunyi ini, siapa yang akan
mampu menghalanginya? Siapa tahu ia membujuk Bhok-kongcu membawanya ke sini
agar ia dapat melarikan diri.”
“Wah, celaka kalau begitu!”
“Dan Bhok-kongcu melarang kita
mengawal, dengan ancaman hukuman cambuk!”
“Jangan bodoh,” kata pula si
kumis tebal. ”Kita tinggalkan kuda kita di sini, seorang di antara kita menjaga
kuda dan menyembunyikannya dari jalan raya, dan empat dari kita melanjutkan
pengamatan dengan jalan kaki dan secara diam-diam.”
Demikianlah, si kumis tebal
dan tiga orang temannya melanjutkan tugas mereka membayangi kereta dengan jalan
kaki, dan seorang di antara mereka menjaga lima ekor kuda di dalam hutan.
Sementara itu, semenjak
meninggalkan lima orang penunggang kuda, beberapa kali Kim Cu menjenguk dan
melihat ke belakang, sehingga kelakuannya ini menjadi bahan tertawaan dan
godaan Bhok Hin. Kini kereta mereka tiba di hutan cemara yang amat sunyi, sudah
termasuk Lembah Huang-ho. Sungai itu tidak berapa jauh lagi dari situ.
Tiba-tiba Kim Cu berseru kepada kusir kereta.
“Berhenti dulu! Hentikan
kereta!”
Bhok Hin dan kusirnya
memandang heran, akan tetapi kusir yang menoleh ke belakang itu segera
menghentikan kudanya yang menarik kereta. Kim Cu lalu meloncat keluar dari
kereta.
“Bhok-kongcu, aku berhenti di
sini. Pergilah engkau dengan keretamu!” kata Kim Cu. Kini suaranya terdengar
kaku dingin, lenyap semua kemesraan dan kehangatan dari suaranya.
Tentu saja Bhok Hin terkejut
bukan main, juga terheran-heran. Dia juga meloncat keluar dari dalam kereta.
Teringat dia akan kata-kata peringatan Bibi Ciok yang mengatakan bahwa Kim Cu
pernah berontak! Akan tetapi dia tetap tidak percaya dan mengira bahwa Kim Cu
hanya main-main dan menggodanya saja.
“Eh, Kim Cu, nanti kalau
engkau hendak berontak, di dalam kamar. Bukan di sini tempatnya......” katanya
sambil tertawa
Kim Cu mengerutkan alisnya.
Semua kemuakannya selama ia diharuskan melayani pria-pria itu, termasuk Bhok
Hin, kini memenuhi dadanya. Ingin rasanya ia membunuh laki-laki yang
menyeringai di depannya ini. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan kanannya.
“Plakk......!” Tangan kanannya
dengan amat kerasnya menyambar dan menampar pipi Bhok Hin.
“Aduhhh......!” Bhok Hin
terhuyung dan tangan kirinya cepat meraba pipi kirinya yang terasa nyeri
sekali. Mulutnya berdarah dan tiga buah giginya tanggal, juga pipinya menjadi
matang biru!
“Kau...... kau......!”
“Dukkkk!” Kini kaki Kim Cu
menyambar, menendang dan mengenai perut yang agak gendut itu, dan tubuh Bhok
Hin terjengkang.
Melihat ini, kusir kereta
menjadi marah. Tadi dia terkejut dan terheran-heran, memandang dengan mata
terbelalak. Kini, melihat majikannya ditampar dan ditendang sampai roboh,
diapun meloncat turun.
“Heiii, apa yang kaulakukan
ini......?” bentaknya.
Akan tetapi, ia disambut
dengan tamparan dua kali yang mengenai leher dan mukanya dan tubuh yang
kerempeng itupun terpelanting roboh.
Pada saat itu, muncullah si
kumis tebal dengan tiga orang kawannya. Mereka berempat masih membayangi kereta
dan ketika kereta itu berhenti, mereka berempat mempercepat lari mereka
menghampiri dan mereka dapat melihat betapa Kim Cu merobohkan Bhok Hin dan
kusir kereta, tepat seperti yang mereka khawatirkan.
“Ia benar memberontak seperti
yang kuduga!” teriak si kumis tebal dan empat orang jagoan itu lalu mengepung
dan menyerang. Mereka menyerang untuk menangkap, maka mereka tidak
mempergunakan senjata, hanya mempergunakan tangan kosong untuk mencengkeram dan
menangkap.
Melihat munculnya empat orang
jagoan itu, Kim Cu terkejut bukan main. Ternyata perhitungannya meleset dan
para jagoan itu ternyata juga cerdik sekali. Ia tidak memperhitungkan
kecerdikan mereka dan kemungkinan mereka akan melanjutkan pengintaian secara
diam-diam seperti itu. Melihat dirinya dikepung dan si kumis tebal yang paling
lihai di depannya, tiba-tiba Kim Cu membalik dan kakinya menendang dengan cepat
dan kuatnya ke arah jagoan yang tadinya berada di belakangnya.
“Plak! Plak! Desss......!”
Dua kali jagoan itu menangkis,
akan tetapi tendangan bertubi yang ketiga kalinya mengenai pahanya sehingga
jagoan itu terhuyung kehilangan keseimbangannya. Pada saat itu, seorang di
antara mereka berhasil menangkap lengan kiri Kim Cu. Wanita ini mencoba menarik
lengannya, sia-sia saja. Maka iapun lalu menunduk dan menggigit tangan yang
memegang lengannya. Jagoan itu berteriak kesakitan, pegangannya terlepas dan
Kim Cu lalu meloncat keluar kepungan dan lari secepatnya!
“Kejar! Tangkap!” teriak si
kumis tebal dan empat orang jagoan itupun lalu melakukan pengejaran.
Kim Cu menyumpahi pakaiannya
yang mewah dan merasa menyesal mengapa ia tidak siap dengan pakaiannya. Pakaian
ini terlalu sempit sehingga ketika ia pakai untuk berlari dengan langkah lebar,
gaun sempit itu terkuak dan robek-robek di bagian bawahnya, memperlihatkan
kulit pahanya yang putih mulus. Namun ia tidak perduli dan berlari terus
secepatnya.
Namun, empat orang pengejarnya
itu dapat bertari lebih cepat sehingga kurang lebih satu lie dari kereta tadi,
mereka sudah dapat menyusulnya. Ia dikepung lagi dan kini mereka berada di
daerah yang berbatu-batu.
“Ha-ha-ha, nona manis. Tidak
ada gunanya engkau lari, dan tidak ada gunanya engkau melawan. Lebih baik
menyerah dan kami bawa kembali kepada Bibi Ciok untuk mempertanggungjawabkan
kelakuanmu ini!” Si kumis tebal mengejek.
Diam-diam Kim Cu bergidik,
teringat akan ancaman Bibi Ciok bahwa, kalau memberontak lagi, ia tentu akan
dijual obral dan diserahkan kepada siapa saja yang mau membayar murah untuk
memperkosanya! Ia akan diperkosa bertubi-tubi oleh banyak orang sampai mati.
“Tidak! Lebih baik aku mati!”
teriaknya dan iapun mengamuk, menyerang si kumis tebal itu dengan sekuat
tenaganya.
Dengan mudah si kumis tebal
mengelak dan tangan kanannya mencengkeram ke arah pundak Kim Cu. Wanita yang
sudah nekat ini dapat meloncat ke samping, mengelak dari cengkeraman itu. Akan
tetapi dari belakang, tiba-tiba rambutnya dicengkeram orang dan ketika ia
meronta, cengkeraman itu terlepas berikut sanggul rambutnya yang terlepas pula.
Rambut yang hitam panjang itu terurai sampai ke pinggang.
Sambil berteriak-teriak marah
Kim Cu mengamuk lagi dan kini ia menggunakan segala kemampuannya untuk melawan.
Menampar, menghantam, menendang, mencakar bahkan menggigit! Empat orang jagoan
itu yang tidak berniat merobohkannya atau melukainya, menjadi kerepotan juga
melihat kenekatan wanita yang sudah berubah seperti seekor harimau betina buas
yang sukar ditangkap itu. Kembali Kim Cu berhasil melompat keluar dari
kepungan.
Empat orang lawannya mengejar
dan kaki Kim Cu tergelincir pada batu-batu kerikil. Ia roboh bergulingan. Kini
bukan hanya rambutnya yang terurai, juga pakaiannya sudah robek di sana-sini.
Sambil bergulingan, wanita
yang cerdik ini menggunakan kedua tangannya untuk meraih batu-batu kerikil dan
begitu empat orang lawan mendekat hendak menubruknya, iapun melompat bangun
sambil melempar-lemparkan batu ke arah kepala empat orang lawannya! Sambitan
itu tentu saja ngawur, akan tetapi sebuah batu sebesar telur ayam tepat
mengenai dahi seorang jagoan sehingga dahi itu tumbuh telur yang rasanya berdenyut-denyut,
membuat orang itu marah bukan main.
Kim Cu berhasil lari lagi dan
kini mereka tiba di lembah di mana terdapat banyak batu gunung dan juga
guha-guha. Dan empat orang lawannya sudah pula menyusul dan mengepungnya.
“Biar kurobohkan ia dengan
totokan!” kata si kumis tebal yang merasa penasaran juga. Empat orang jagoan
seperti mereka mengalami kesulitan untuk menangkap seorang wanita saja! Kini,
mereka berempat mengepung ketat dan mengambil keputusan untuk tidak memberi
kesempatan kepada Kim Cu untuk melarikan diri lagi!
Bahkan ketika Kim Cu hendak
mengamuk dan menerobos kepungan, mereka tidak segan-segan untuk mendorong atau
menampar sehingga beberapa kali Kim Cu terhuyung, bahkan pernah terjatuh. Akan
tetapi wanita ini meloncat bangkit kembali. Rambutnya riap-riapan, mukanya
babak belur, pakaiannya robek-robek. Ia kini berteriak dengan suara lantang dan
penuh amarah.
“Kalian laki-laki semuanya
adalah binatang buas! Iblis bertampang manusia! Akan kubunuh kalian semua, atau
aku yang akan mati!” Teriakan ini bergema di sekitar tempat itu, agaknya
suaranya dipantulkan kembali oleh guha-guha yang banyak terdapat di situ.
Di antara pantulan suara itu,
ada suara lain, suara wanita tertawa terkekeh-kekeh, lalu disambung dengan
suaranya yang mencicit seperti suara tikus terjepit.
“Hi-hi-hi-hik, benar sekali!
Laki-laki adalah binatang buas dan kita wanita selalu menjadi mangsa dan
korbannya, hi-hi-hik!”
Entah dari mana datangnya,
tahu-tahu di situ telah muncul seorang nenek tua renta yang pakaiannya serba
hitam. Nenek ini sudah keriputan, tubuhnya kecil kurus seperti tulang-tulang
dibungkus kulit saja. Tangan kirinya bertopang pada sebuah tongkat hitam yang
bentuknya melingkar-lingkar seperti ular kering.
“Jangan khawatir, anakku.
Jangan takut! Hajar saja mereka, binatang-binatang buas itu, hi-hi-hik!”
katanya sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya, ke arah Kim Cu dan empat
orang pengeroyoknya.
Dan terjadilah hal yang luar
biasa anehnya! Kim Cu mengamuk dan kini semua tamparannya, semua tendangannya, semua
pukulannya, tepat mengenai sasaran! Sedangkan gerakan balasan empat orang itu,
setiap kali hendak menangkapnya, mencengkeramnya, atau menotoknya, gerakan itu
tiba-tiba tertahan seolah-olah ada dinding tak nampak yang melindungi tubuh Kim
Cu!
Tentu saja Kim Cu menjadi
girang bukan main. Ia sendiri tidak tahu mengapa empat orang lawannya tiba-tiba
saja berubah seperti orang-orang tolol yang memberikan tubuh mereka untuk ia
hajar tanpa mereka membalas sedikitpun juga.
“Mampuslah!” bentaknya ketika
kakinya menendang ke arah perut si kumis tebal. “Desss......!” tendangan itu
tepat mengenai sasaran dan si kumis tebal yang biasanya lihai sekali itu
mengaduh dan tubuhnya terjengkang.
Kim Cu membagi-bagi pukulan
dan tendangan dan anehnya, semua serangan itu mengenai sasaran dengan tepat
sekali. Maka bercucuran darahlah sebuah hidung, sebuah mata menjadi hitam,
beberapa buah gigi tanggal dan ada perut yang mulas mendadak karena dimasuki
ujung sepatu dengan keras!
Empat orang itu dihajar jatuh
bangun dan akhirnya, walaupun dengan penuh rasa penasaran, mereka berempat
yakin bahwa mereka menghadapi hal yang tidak wajar, dan bahwa kemunculan nenek
seperti iblis itulah yang menjadi sebabnya. Maka, mereka merasa ketakutan dan
maklum bahwa kalau dilanjutkan, menjadi bulan-bulan pukulan dan tendangan tanpa
mampu membalas sama sekali, akhirnya mereka mungkin mati di tangan Kim Cu!
Mereka lalu merangkak dan melarikan diri, jatuh bangun dengan ketakutan seperti
dikejar setan!
Kim Cu sudah kehabisan tenaga,
maka iapun tidak mengejar. Ia membalik dan memandang kepada nenek itu. Iapun
bukan orang bodoh. Ia maklum bahwa tentu nenek aneh ini telah membantunya
secara aneh sehingga ia yang tadinya sudah terancam dan nyaris tertangkap
kembali, tiba-tiba saja keadaannya terbalik dan ia yang menghajar empat orang
yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi dari padanya itu. Dengan tubuh lemas
dan lelah sekali, juga nyeri di sana-sini, Kim Cu terhuyung menghampiri nenek
itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek berpakaian hitam, dan roboh
pingsan.
Ketika Kim Cu siuman kembali,
ia mendapatkan dirinya rebah di lantai sebuah guha yang lebar dan tinggi, di
ruangan dalam karena ia tidak melihat mulut guha. Akan tetapi ada sinar
matahari masuk dari langit-langit guha yang tinggi itu, melalui celah-celah
yang banyak terdapat di antara batu-batu pedang yang bergantungan di
langit-langit guha itu. Seluruh tubuhnya masih terasa nyeri dan ketika ia
hendak bangkit duduk, suara mencicit seperti tikus itu terdengar.
“Jangan bergerak, aku sedang
merawatmu.”
Kim Cu melihat nenek itu duduk
bersila di belakangnya karena ia tadi rebah miring, dan ternyata nenek itu
menempelkan telapak tangan kirinya pada punggungnya, sedangkan telapak tangan
kanan nenek itu menempel pada lantai guha. Ada hawa panas-panas hangat keluar
dari telapak tangan kiri nenek itu, menjalar ke dalam tubuhnya!
Aneh sekali, ia merasa
seolah-olah ada uap panas masuk ke dalam tubuhnya, menjalar ke seluruh bagian
tubuhnya dan semua rasa nyeri yang diterjang uap itu lenyap, terganti oleh rasa
nyaman yang makin lama semakin panas. Hampir ia tidak tahan dan akan bergerak
kalau saja suara nenek itu tidak melarangnya.
“Pertahankan, aku akan mengisi
kekuatan pada pusat-pusat jalan darah di tubuhmu!”
Kim Cu merasa heran sekali dan
tidak mengerti. Memang pernah ketika kecil ia belajar silat dengan tekun dan
penuh semangat, namun yang dipelajarinya hanyalah ilmu silat luar, dan para
gurunya belum pernah menceritakan kepadanya tentang tenaga-tenaga yang dapat
dibangkitkan dari dalam tubuh, kecuali tenaga otot dan kelenturan, juga
kekuatan yang timbul karena latihan.
Ia diam saja dan merasakan
betapa hawa panas itu kini memenuhi seluruh tubuhnya, membuat kepalanya
berdenyut-denyut dan semakin panas, seolah-olah kepalanya dimasukkan ke dalam
perapian besar! Terdengar bunyi berkeretekan pada tulang-tulangnya, akan
tetapi, Kim Cu pasrah. Ia percaya kepada nenek yang jelas telah menolongnya
itu, seorang nenek yang entah manusia, dewa ataukah setan karena memiliki ilmu
kepandaian yang amat hebat. Ia sudah pasrah dan andaikata ia harus matipun, ia
akan menerimanya tanpa membantah!
Akhirnya, siksaan itupun
berhenti dan hawa panas itu berangsur turun, kembali menjadi hangat dan nyaman
sekali. Dan akhirnya nenek itu melepaskan tempelan telapak tangan kirinya,
terkekeh dan berkata,
“Sekarang barulah engkau
pantas untuk mempelajari ilmu dariku. Bangkit dan duduk- lah.”
Kim Cu bangkit dan merasa
heran karena tubuhnya terasa ringan dan segar sekali, seperti ada kekuatan yang
luar biasa terkandung di dalam semua anggauta tubuhnya. Maka, tanpa banyak
cakap lagi iapun berlutut di depan nenek itu, membenturkan dahinya berkali-kali
pada lantai guha.
“Nenek yang baik, saya
menghaturkan banyak terima kasih atas semua pertolongan nenek, dan kalau nenek
sudi mengambil saya sebagai murid, saya bersumpah, selama hidup saya akan
mentaati perintah nenek dan akan berbakti kepada nenek sampai titik darah
terakhir!”
Nenek itu terkekeh-kekeh,
nampaknya girang sekali. “Hi-hi-hik! Memang kau sudah menjadi muridku sejak aku
mendengar engkau memaki-maki kaum pria itu, hi-hik!”
Bukan main girangnya rasa hati
Kim Cu. Ia kini telah bebas dari cengkeraman manusia-manusia berhati iblis
seperti Bibi Ciok dan kaki tangannya, dari cengkeraman kaum pria yang hanya
menganggap wanita sebagai benda permainan saja, bebas dari penghinaan yang
dialaminya setiap hari, harus melayani tiap orang pria yang tidak dikenalnya,
apa lagi dicintanya, melayani dengan menyerahkan seluruh badannya,
kehormatannya! Ia telah bebas!
Kenyataan ini saja selalu
bersorak di dalam hatinya. Apa lagi ditambah bahwa ia kini menjadi murid
seorang yang sakti. Kalau ia dapat memiliki ilmu seperti ilmu yang dimiliki
nenek ini, ia akan mampu menghadapi semua tantangan di dunia ini! Ia akan
menghajar semua orang, terutama kaum pria, yang jahat! Akan menumpas mereka,
membasmi mereka yang suka berbuat jahat! Saking girangnya, Kim Cu lalu
merangkul nenek itu dan dengan air mata berlinangan, ia menciumi pipi yang
keriput itu.
Nenek itu menjerit kecil.
“Ihhhhhh......! Apa-apaan ini? Jangan berbuat cabul kau! Masa seorang murid
berbuat begini kepada subonya?”
Kim Cu cepat berlutut, “Subo
(Ibu Guru), harap maafkan teecu (murid). Saking girang dan berterima kasih,
maka teecu merangkul dan menciumi subo!”
Nenek itu mengusap kepala Kim
Cu. “Murid macam apa kau ini?” nadanya menegur, namun di dalam suara itu
terkandung keharuan oleh kelakuan Kim Cu tadi. “Hal pertama yang paling penting
belum kaulakukan, yaitu memperkenalkan diri, memperkenalkan nama dan
menceritakan riwayat hidupmu kepada gurumu.”
Kim Cu tertawa dan mendengar
suara ketawanya, iapun merasa heran bukan main, bahkan terkejut! Belum pernah
ia mendengar suara ketawanya seperti itu! Begitu bebas, begitu terlepas, bahkan
terdengar binal!
Dan ia teringat betapa sesungguhnya,
semenjak ia diboyong oleh Pangeran Coan Siu Ong, ia telah kehilangan semua
kegembiraan hidup, sudah kehilangan semua tawa. Kalau ia tersenyum manis dan
tertawa merdu selama ini di rumah pelacuran milik Bibi Ciok, suara ketawa itu
adalah buatan, hanya menutupi rintih dan tangis sanubarinya. Dan kini, secara
tiba-tiba saja, ia telah menemukan kembali kehidupannya, harapannya,
kegembiraannya, dan juga tawanya!
“Aih, maafkan teecu, subo.
Teecu sampai lupa, saking gembiranya hati ini! Subo, teecu bernama Lie Kim
Cu.......”
“Hemmm! Kim Cu (Mustika Emas)?
Menjadi mustika emas hanya menjadi rebutan orang, terutama para pria saja.
Tidak, namamu terlalu lemah. Setelah menjadi muridku, engkau tidak boleh
menjadi wanita lemah, namamu juga harus diganti agar sesuai dengan keadaan
dirimu dan watakmu kelak. Namamu mulai sekarang adalah Liong Li (Wanita Naga),
seperti seekor naga yang menaklukkan semua iblis di dunia ini!”
Kim Cu girang sekali dan ia
cepat memberi hormat. “Teccu menerima dengan gembira, subo. Mulai sekarang,
teecu akan dikenal sebagai Liong Li, sedangkan nama Kim Cu tidak akan teecu
perkenalkan sebagai nama teecu, kecuali untuk keperluan yang penting.”
“Bagus, teruskan cerita
tentang dirimu.”
Kim Cu menceritakan tentang
keluarganya, kemudian betapa ayahnya tergila-gila dengan permainan judi sampai
habis-habisan. “Akhirnya, karena ayah korupsi, mempergunakan uang negara dan
banyak hutang bahkan semua itu diketahui oleh atasannya, Pangeran Coan Siu Ong,
maka pangeran itu menekan dan menggertaknya akan menuntutnya. Hanya ada satu
jalan untuk menyelamatkan keluarga ayah, yaitu kalau dia menyerahkan teecu
sebagai selir Pangeran Coan Siu Ong.”
“Heh-heh-heh, cerita lama itu.
Sejak jaman dahulu kala, semua kaum bangsawan seperti itu, haus kedudukan, haus
kemuliaan, haus kekayaan dan haus wanita cantik.”
Kim Cu menceritakan segala hal
yang terjadi di dalam kamar mewah sang pangeran itu. Betapa setelah melihat
pangeran itu, timbul kejijikannya dan ia melawan, memukul pangeran itu. Karena
marah, pangeran itu lalu menyuruh para pengawalnya untuk membelenggu kaki
tangannya dan iapun diperkosa sampai pingsan.
“Karena sakit badan dan batin,
teecu menggunakan akal. Teecu pura-pura menyerah sehingga pangeran jahanam itu
melepaskan ikatan kaki tangan teecu. Begitu bebas, teecu menghajarnya dan tentu
akan membunuhnya kalau saja tidak muncul para pengawalnya. Pangeran Coan marah.
Teecu dihajar, diikat dan dijual murah ke rumah pelacuran milik Bibi Ciok.”
Nenek itu menyeringai,
memandang kepada Kim Cu dengan sinar mata kadang-kadang kagum karena dalam
menceritakan semua pengalaman pahit ini, Kim Cu sama sekali tidak menangis.
Seorang gadis yang amat tabah, pikirnya, makin suka kepada muridnya ini.
“DI SANA, teecu disiksa dan
diancam akan dijual murah agar diperkosa mereka yang mau membayar sampai teecu
mati. Untuk memberontak, tidak ada gunanya karena Bibi Ciok juga mempunyai
tukang-tukang pukul yang kuat. Terpaksa, untuk mencari peluang agar dapat
membebaskan diri dan tidak mati konyol, teecu menyerah.
Ah, betapa tersiksanya hati
ini, betapa terhinanya badan ini ketika teecu harus melayani para tamu selama
hampir satu bulan! Teecu terpaksa menjual senyum dan pelayanan yang mesra, pada
hal di dalam hati, teecu menjerit dan menangis, apa lagi ketika dari para
langganan itu teecu mendengar akan nasib ayah dan ibu teecu......”
Sampai di sini, kedua mata
yang jeli dan bagus itu menjadi basah dan beberapa titik air mata menetes turun
ke atas sepasang pipi. Akan tetapi, tetap saja Kim Cu tidak mengeluarkan suara
tangisan.
“Apa yang terjadi dengan
mereka? Bukankah setelah kau diserahkan kepada pangeran itu, orang tuamu telah
bebas?”
“Tidak, subo. Agaknya pangeran
itu sakit hati kepada teccu dan bukan saja ia menjual teecu kepada rumah
pclacuran, juga ayah ditangkap lagi dan dihukum buang. Di dalam perjalanan,
demikian teecu dengar, ayah nekat membunuh diri dengan terjun ke dalam jurang.
Adapun ibu teecu, karena diusir keluar dari rumah dan tidak kuat menahan
derita, jatuh sakit dan meninggal pula.”
Nenek itu mengangguk-angguk,
di dalam hatinya merasa gembira karena dengan kenyataan bahwa gadis ini telah
yatim piatu, tidak mempunyai siapapun di dunia ini, berarti ialah yang
memilikinya. Sebagai murid, juga sebagai keluarga!
“Lalu, pelarian sekarang ini
yang kau rencanakan?”
“Benar, subo. Teecu berhasil
memikat hati putera mantu jaksa tinggi, dan membujuknya untuk mengajak teecu
pesiar ke tempat di lembah Huang-ho. Dan di sini teecu berhasil melarikan diri.
Akan tetapi, tiba-tiba muncul empat orang jagoan kaki tangan Bibi Ciok
melakukan pengejaran. Kalau tidak ada subo, tentu sekarang teecu sudah dipaksa
kembali ke rumah pelacuran itu dan mengalami siksaan yang lebih hebat dari pada
maut. Karena itu, terima kasih, subo.”
Kembali Kim Cu merangkul dan
mencium pipi keriput itu dan sekali ini nenek itu tidak menolak, hanya
mendorong tubuh Kim Cu untuk duduk kembali ke atas lantai.
“Muridku, engkau sungguh
seorang gadis yang beruntung telah dapat bertemu dengan aku di sini. Bukan
hanya beruntung karena dapat terhindar dari penangkapan mereka, akan tetapi
beruntung karena engkau dapat menjadi muridku karena ribuan orang gagah di
dunia ini yang ingin sekali menjadi muridku dan mewarisi ilmu kepandaian dari
Huang-ho Kuibo (Nenek Iblis Sungai Kuning)!” Nenek itu terkekeh. “Heh-heh-heh,
memang engkau anak yang beruntung sekali, Liong-li!”
Kim Cu atau yang kini bernama
atau berjuluk Liong-li (Wanita Naga) mengamati wajah nenek itu penuh perhatian.
Wajah itu masih memperlihatkan bekas wanita cantik. Biarpun pakaiannya serba
hitam sederhana dan tubuh itu kurus sekali, namun nenek itu agaknya menjaga
diri sehingga bersih, bahkan tidak berbau apak.
“Subo, mengapa subo disebut
Kuibo (Nenek Iblis)? Subo sama sekali tidak kelihatan seperti nenek iblis!
Siapakah nama subo yang sesungguhnya?”
”Hik-hik, aku sudah lupa lagi
siapa namaku. Orang-orang menyebutku Huang-ho Kuibo karena aku selalu
berkeliaran di sepanjang sungai ini, dan karena aku tidak pernah mau mengampuni
orang-orang jahat, maka kaum kang-ouw menjuluki aku Kuibo. Mulai sekarang, engkau
harus berlatih dengan tekun, Liong-li. Aku akan membuat engkau menjadi seorang
wanita yang ditakuti, dan tidak ada seorangpun laki-laki di dunia ini yang akan
mampu menghina dan mempermainkanmu lagi, heh-heh-heh!”
Demikianlah, mulai hari itu,
Kim Cu atau Long Li menjadi murid Huang-ho Kuibo, seorang nenek yang sakti dan
berilmu tinggi. Dan tepat seperti julukannya, nenek itu mengajak muridnya
berkeliaran di sepanjang lembah Huang-ho.
◄Y►
Waktu tujuh tahun bukan
merupakan waktu yang cukup panjang bagi seseorang untuk mempelajari ilmu silat
tinggi sampai berhasil dengan baik. Akan tetapi, menjadi murid seorang sakti
seperti Pek I Lojin lain lagi. Dalam waktu tujuh tahun, Cin Hay digembleng oleh
Pek I Lojin dengan ilmu silat yang bermacam-macam dan yang kesemuanya merupakan
ilmu-ilmu silat tinggi.
Memang Cin Hay telah memiliki
dasar yang kuat dan bakat yang amat baik. Maka, setelah selama setahun penuh
siang malam dia digembleng ilmu menghimpun, memperkuat dan mempergunakan tenaga
dalam dengan hawa sakti yang dibangkitkan dalam tubuh sehingga dalam waktu
setahun itu dia telah mengumpulkan kekuatan yang dahsyat, yang dapat
dipergunakan sebagai dasar atau modal mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang
serba sukar, maka enam tahun selanjutnya dia dengan amat tekunnya melatih diri
dengan ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pek I Lojin kepadanya!
Bukan hanya ilmu silat tingkat
tinggi yang diajarkan oleh kakek tua renta itu kepada Cin Hay, akan tetapi juga
gemblengan batin sehingga terbentuklah watak penuh kesabaran, tahan derita,
tidak terbawa oleh perasaan, dalam diri Cin Hay dan menjadikan dia seorang
laki-laki yang jantan, pendiam, tenang, tabah dan matang. Gurunya juga
mengajarkan dia ilmu untuk melakukan penyamaran, beralih rupa dengan alat-alat
istimewa, mengubah suara dan sebagainya. Pendeknya, dalam waktu tujuh tahun,
kakek ita menurunkan semua ilmunya yang paling hebat kepada Cin Hay.
Pada suatu pagi, selagi
memberi petunjuk untuk jurus terakhir yang amat sukar dari ilmu silat Naga
Terbang, Pek I Lojin memberi contoh kepada Cin Hay bagaimana memainkan jurus
terakhir itu dengan baik. Untuk jurus ini, harus dikerahkan tenaga sekuatnya
dan kakek itu bersilat dengan penuh semangat. Cin Hay memperhatikan dan
mengerti, lalu dia menirukan gerakan gurunya, memainkan jurus itu dengan
baiknya.
“Bagaimana, suhu? Apakah
sekarang sudah tepat?” tanyanya begitu dia selesai menggerakkan bagian
terakhir.
Akan tetapi gurunya tidak
menjawab dan ketika dia menengok, dia terkejut sekali melihat gurunya sudah
duduk bersila dengan muka pucat dan napas terengah-engah. Ketika dia berlutut
mendekati, gurunya masih dapat memberi isyarat dengan tangan agar murid itu
memondongnya dan membawanya pulang ke pondok. Cin Hay dengan hati-hati dan
cepat melaksanakan permintaan ini dan tak lama kemudian kakek itu sudah rebah
di atas pembaringannya di dalam kamar pondok itu.
Cin Hay melakukan pemeriksaan
dengan teliti. Dia telah menerima pelajaran dari gurunya untuk memeriksa dan
mengobati luka-luka sebelah dalam akibat pukulan atau salah penggunaan hawa
sakti. Dan dia mendapat kenyataan betapa gurunya seperti orang yang kehabisan
tenaga dan keadaannya lemah sekali. Dia merasa heran dan tidak mengerti.
“Sudahlah......, Cin
Hay....... salahku sendiri......”
“Tapi, mengapakah, suhu?” Dia
bertanya.
“Tidak semestinya aku......
aku yang tua...... memainkan jurus itu......, tapi ini agaknya sudah kehendak
Tuhan...... sudah tiba saatku......”
“Suhu......!”
Tiba-tiba kakek itu mengangkat
tangannya dan telunjuknya memperingatkan.
Cin Hay segera teringat bahwa
tanpa disadarinya, dia telah menunjukkan kelemahan! Maka, dalam waktu sedetik
saja telah dapat melenyapkan perasaan khawatir dan dukanya.
“Maafkan teecu, suhu.”
“Ingatlah, iangan sekali-kali
engkau menunjukkan kelemahan dalam keadaan apapun juga,” tiba-tiba saja kakek
itu bersemangat. “Nyawa manusia bukan berada di tangannya, melainkan di tangan
Tuhan. Agaknya memang latihan tadi yang menjadi jalan ke arah kematianku. Aku
sudah.tua sekali, sudah sepatutnya meninggalkan dunia ini, akan tetapi ada pesanku......”
kakek itu nampak lemah kembali.
Cin Hay mendekatkan mukanya.
“Suhu, tee-cu mendengarkan. Apakah pesan suhu itu?”
“Masukilah dunia sebagai
seorang jantan, seorang gagah yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Dan
jangan lupa, engkau pergilah ke Kim-san (Gunung Emas) yang berada di lembah
Huang-ho di perbatasan Propinsi Honan sebelah utara...... di sana ada sebuah kuburan
tua seorang pangeran dari jaman Dinasti Han, ratusan tahun yang lalu. Dalam
kuburan itulah terdapat mustika naga yang disebut Kim-san Liong-cu, sebuah
pusaka yang amat luar biasa. Dahulu pernah menjadi perebutan para pendekar, dan
aku telah gagal. Sekarang, engkau wakili aku pergilah ke sana, carilah sampai
dapat...... Kim-san Liong-cu......”
Kakek itu telah terlalu banyak
bicara, agaknya dia telah menggunakan seluruh tenaga terakhir dan kini dia
terkulai. Ketika Cin Hay memeriksanya, maka ternyata jantungnya tidak berdetak
lagi, napasnya putus dan nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.
Cin Hay bersila sambil
termenung sampai lama, tetap memegang nadi pergelangan tangan gurunya,
memejamkan mata dalam samadhi, seolah-olah dengan semangatnya dia hendak
mengantar suhunya yang berangkat pulang ke tempat asalnya itu. Kemudian dia
sadar dan dia teringat betapa suhunya pernah berpesan bahwa kalau dia mati, ia
ingin jenazahnya diperabukan, dan abu jenazahnya di buang ke sungai manapun
juga. Semua sungai menuju ke lautan, demikian kata gurunya, maka membuang abu
ke sungai berarti juga membuangnya ke lautan.
Dengan tabah, Cin Hay lalu
mengatur pembakaran jenazah gurunya. Diletakkan jenazah gurunya di atas
pembaringannya, di tengah pondok. Dikumpulkannya semua milik suhunya yang tidak
banyak, hanya beberapa potong pakaian, kemudian mengumpulkan kayu kering,
menumpuknya di dalam pondok dan di sekeliling pembaringan, menutupi jenazah
gurunya dengan pakaiannya. Dia memilih kayu yang mengandung damar agar pembakaran
itu dapat sempurna. Diruntuhkan dan dibuangnya atap pondok agar jangan menimpa
dan merusak abu jenazah suhunya. Setelah siap dan melakukan sembahyang terakhir
untuk menghormati gurunya, Cin Hay lalu membakar pondok itu.
Sehari penuh pondok itu terbakar.
Cin Hay duduk bersila agak jauh, mengenang suhunya. Semua manusia akan
mengalami hal yang sama, yaitu kematian. Karena itu, setiap kematian adalah hal
yang wajar saja. Siapa terlalu membesarkan akunya, terlalu menghargai akunya,
dialah yang takut akan kematian dan akan menderita kalau menghadapi kematian,
menderita karena khawatir membayangkan bahwa aku-nya yang amat dijunjung tinggi
itu akan hilang begitu saja!
Pada hal, sepandai-pandainya
orang, sebaik-baiknya orang, sesakti- saktinya orang, dia hanyalah seorang
manusia biasa yang lahir kemudian mati menurut kekuasaan Alam yang mengaturnya.
Manusia timbul tenggelam seperti ombak-ombak lautan, nampak kemudian menghilang
tanpa bekas, dan terlupakan! Suhunya pernah bicara mengenai ini. Yang penting adalah
karya yang baik, demikian kata suhunya. Karya yang baik dapat dinikmati orang
lain, baik si karyawan masih hidup ataupun sudah mati.
Jangan mengira bahwa nama atau
orangnya yang akan dikenang, melainkan karyanya yang baik. Orangnya akan
dilupakan. Mungkin akan dikenang, secara paksa, oleh sekelompok orang, akan
tetapi itupun hanya merupakan suatu upacara belaka, yang hanya berlaku beberapa
menit. Kemudian terlupa sudah! Maka, siapa mengharapkan nama kekal, siapa
mengharapkan agar aku-nya selalu diingat, dia akan kecewa kelak! Karya baikpun
bukanlah ciptaan si orang itu. Orang itu hanyalah menyalurkan berkah Tuhan
melalui tangannya, melalui pikirannya. Tanpa berkah dan kekuasaan Tuhan,
manusia tidak ada artinya sama sekali.
Setelah api padam, Cin Hay
mencari abu jenazah gurunya. Dia merasa gembira bahwa pembakaran itu ternyata
sempurna, tidak ada sepotong pun tulang yang tidak menjadi arang dan mudah dia
hancurkan, kemudian dibungkusnya abu jenazah itu dengan sebuah jubah lebar.
Setelah itu, berangkatlah dia
meninggalkan tempat itu, membawa miliknya yang juga tidak berapa banyak, hanya
beberapa potong pakaian, dan memanggul bungkusan abu dan pakaiannya, lalu
melangkah lebar dengan wajah tenang, tanpa menengok lagi. Masa lalunya di
pondok itu sudah lewat dan tidak akan dikenangnya kembali!
Beberapa hari kemudian, nampak
Cin Hay duduk bersila di depan sebuah makam, di lereng bukit kecil yang
menghadap ke Telaga See-ouw. Makam tunggal yang sunyi, makam Gu Ci Sian,
isterinya yang tewas secara menyedihkan di waktu mereka berperahu di telaga
itu. Tujuh tahun yang lalu! Ketika hal itu terjadi, dia baru berusia
delapanbelas tahun dan kini dia telah berusia duapuluh lima tahun.
Cin Hay tidak bersedih, apa
lagi menangis. Dia hanya duduk bersila dengan wajah tetap tenang, termenung
untuk mengingat isterinya dengan penghormatan, dengan doa semoga isterinya
sekarang, di manapun ia berada, dalam keadaan bahagia dan damai. Tanpa
dirasakannya, sudah dua jam dia berada di depan makam isterinya, dan tahu-tahu
ada air hujan menitik turun dari atas. Hal ini menyadarkan Cin Hay dan diapun
bangkit, di dalam batin berpamit kepada isterinya lalu meninggalkan makam itu
dengan cepat menuruni bukit untuk mencari tempat duduk di tepi telaga.
Ketika tiba di bandar di mana
perahu-perahu berkumpul untuk menampung para pelancong yang hendak pelesir di
telaga dengan perahu, dia melihat ribut-ribut. Bukan keributan karena turunnya
hujan gerimis, melainkan keributan terjadi, bahkan dia melihat seorang wanita
meronta-ronta ketika ditarik oleh seorang laki-laki menuju ke sebuah kereta.
Wanita itu masih muda sekali,
baru belasan tahun usianya dan agaknya ia bukan seorang pelancong, melainkan
seorang gadis kampung di sekitar telaga, dan ia meronta sambil menjerit-jerit,
namun tidak berdaya karena pria yang menyeretnya itu kuat sekali. Akhirnya
gadis itu dilemparkan ke dalam kereta yang tertutup dan agaknya ada yang
menerima dan meringkusnya dari dalam. Hanya tangisnya yang terdengar dan kereta
itupun lalu bergerak pergi. Tiga orang laki-laki berkuda mengikuti dari
belakang sambil tertawa-tawa.
Melihat tiga orang itu,
berkerut alis Cin Hay. Tak salah lagi, kini dia mengenal laki-laki muka hitam.
gendut pendek yang tadi menyeret gadis itu
Dan si muka kuning pucat yang
tinggi kurus, dan seorang lagi yang tinggi besar dan mukanya penuh berewok.
Biarpun mereka itu kini lebih tua dari pada dahulu, namun dia masih ingat wajah
ketiga orang jagoan yang pernah mengeroyoknya di atas perahu besar milik Koan
Ki Sek! Merekalah See-ouw Sam-houw dan mungkin Koan Wan-gwe berada pula di
dalam kereta itu. Mereka berempat yang telah menyebabkan kematian isterinya dan
yang nyaris membunuhnya pula.
Dan kini, agaknya mereka
menculik seorang gadis kampung! Gemblengan batin yang diterimanya dari Pek I
Lojin membuat semua bentuk dendam hilang dari dalam hatinya. Akan tetapi kini
melihat mereka melakukan kejahatan di depan matanya, tentu saja Cin Hay tidak
mau tinggal diam. Kedua kakinya berloncatan dan bagaikan seekor kijang muda,
diapun berlari cepat melakukan pengejaran ke arah kereta yang dilarikan cepat
meninggalkan bandar itu tanpa ada seorangpun yang berani melakukan pengejaran.
Kereta itu telah tiba di
tengah hutan ketika tiba-tiba dua ekor kuda yang menarik kereta, meringkik
kaget dan berhenti berlari, mengangkat kaki depan ketakutan. Kusir kereta itu
terkejut, apa lagi melihat bahwa tiba-tiba saja nampak seorang pemuda
berpakaian serba putih yang menahan kuda itu dari depan.
“Heii! Mau apa kau?” bentak
kusir itu mengangkat cambuknya mengancam untuk memukul. Ketika cambuk
menyambar, Cin Hay menyambut, menangkap ujung cambuk dan sekali tarik dengan
sentakan kaget, kusir itu berteriak dan tubuhnya tertarik jatuh dari atas
kereta!
“Ada apa......?” bentak suara
dari dalam kereta. Tiba-tiba pintu kereta yang sudah berhenti itu terbuka dari
luar dan tirainya tersingkap.
Cin Hay melihat seorang
laki-laki setengah tua sedang menggeluti gadis tadi yang pakaiannya sudah tidak
karuan. Gadis itu meronta dan menangis. Cin Hay tidak pangling melihat
laki-laki ini, maka sekali sambar, tangannya sudah menangkap lengan Koan Ki Sek
dan ditariknya orang itu keluar dari dalam kereta.
“Ehhh......! Ohhh......!
Tolong......!” teriak Koan Ki Sek ketika tubuhnya terbanting ke atas tanah.
Gadis itupun cepat turun, dengan ketakutan mencoba untuk membereskan pakaiannya
yang cabik-cabik.
“Dukkk!” Kaki kiri Cin Hay
melayang dan tepat menyambar dagu Koan Ki Sek yang sedang merangkak hendak
bangun. Tendangan itu keras sekali, mematahkan tulang rahang dan membuat gigi
di sebelah kiri copot semua. Koan Ki Sek menjerit dan hendak lari, akan tetapi
sambaran kaki Cin Hay tepat mengenai lututnya dan diapun terjengkang dan
terpelanting tak dapat bangkit kembali karena sambungan lututnya terlepas!
“Heiii......! Siapakah engkau
berani mati memukul majikan kami? Apakah engkau sudah bosan hidup?” Tiga orang
jagoan yang bukan lain adalah See-ouw Sam-houw sudah berloncatan turun dari
atas kuda mereka dan mengepung Cin Hay.
Cin Hay memandang mereka
dengan alis berkerut. Tiga orang ini jahat bukan main, pikirnya. Tujuh tahun
yang lalu sudah menjadi penjahat kejam, sekarang sama sekali tidak berubah,
bahkan semakin jahat, berani di tempat ramai menculik seorang gadis dusun! Koan
Wan-gwe juga seorang yang berwatak jahat dan kejam, akan tetapi tanpa adanya jagoan-jagoannya
seperti tiga orang ini, belum tentu hartawan itu berani melakukan kejahatan
seperti itu.
“Hemm, tujuh tahun yang lalu
kalian hampir membunuhku, dan kalian berhasil membunuh isteriku. Kini, setelah
tujuh tahun, ternyata kalian semakin jahat saja. Entah berapa banyak sudah
orang-orang tak berdosa menjadi korban kekejian kalian.”
“Siapa engkau?” bentak
Hek-bin-houw Ban Sun yang bermuka hitam, masih memandang rendah lawannya.
“Mengakulah sebelum kami mencabut nyawamu!”
Cin Hay tidak ingin memperkenalkan
namanya. Dia ingin meniru gurunya yang hanya mempunyai nama julukan, seperti
juga dia meniru gurunya yang suka mengenakan pakaian serba putih. Teringat akan
pakaiannya yang serba putih, dan akan tugasnya mencari Mutiara Naga dari Gunung
Emas, diapun segera memperkenalkan diri,
“Sebut saja aku Pek-liong-eng
(Pendekar Naga Putih) selagi kalian masih sempat, karena tugasku adalah
melenyapkan manusia-manusia jahat macam See-ouw Sam-houw!”
“Wah, bukankah dia ini orang
yang naik perahu kecil bersama isterinya beberapa tahun yang lalu itu?” Phang
Ek berseru, “Ban-toako, apakah engkau lupa? Engkau melemparkan perahu kecilnya
kepadanya setelah dia kulukai dengan pisau terbangku. Dan kita mengira dia
mampus!”
“Ha-ha-ha, benar sekali!”
Siang-kiam-houw Kim Lok tertawa. “Dan isterinya yang cantik dan seperti kuda
binal, kuda yang bunting muda....., ha-ha, sayang sekali, ia tidak kuat
dan......”
“Wuuuutttt, plakkk!” Kim Lok
menangkis ketika Cin Hay maju menyerang dengan tamparan tangannya.
Tangkisan itu mengenai tangan
Cin Hay, akan tetapi akibatnya, tubuh Kim Lok terpelanting saking kerasnya
tamparan itu dan lengannya terasa seperti akan patah! Dia terbanting keras dan
selain terkejut, diapun merasa heran bukan main melihat betapa kuatnya tamparan
pemuda itu.
Melihat betapa dalam
segebrakan saja Kim Lok terbanting keras, Ban Sun dan Phang Ek juga terkejut.
Maklumlah tiga orang jagoan ini bahwa pemuda yang berada di depan mereka kini
tidak boleh disamakan dengan ketika mereka menghajarnya tujuh tahun yang lalu.
“Singgg......!” Hek-bin-houw
Ban Sun sudah mencabut golok besarnya.
“Srattt.......!” juga
Siang-kiam-houw Kim Lok mencabut sepasang pedangnya dan Hui- to-houw Phang Ek
mencabut dua batang pisau yang dipegang oleh kedua tangannya. Mereka mengepung
Cin Hay dengan senjata di tangan, siap untuk mencincang tubuh lawan ini.
Sementara itu, Koan Ki Sek
masih merintih-rintih, ditolong oleh kusirnya yang juga babak bundas ketika
terlempar dari atas kereta tadi. Mereka hanya menonton, mengharapkan tiga orang
jagoan mereka akan dapat membunuh pemuda berpakaian putih itu.
Cin Hay mengeraskan hatinya,
menulikan telinganya yang masih saja mendengar ucapan-ucapan tiga orang jagoan
itu tadi. Kini dia mengerti betapa isterinya dahulu tewas. Tentu setelah
diperkosa oleh Koan-wangwe, lalu diberikan kepada tiga orang jagoan ini yang
memperkosa isterinya sampai tewas, pada hal mereka tahu bahwa isterinya
mengandung!
Dia mengusir dendamnya.
Orang-orang ini amat jahat, kalau tidak disingkirkan, tentu kelak hanya akan
mencelakakan kehidupan orang-orang lain yang tidak berdosa, demikian suara
hatinya, sedikitpun tidak mengingat atau mengenang lagi akan perbuatan mereka
terhadap dirinya dan terhadap isterinya.
“Mampus kau......!”
Hek-bin-houw Ban Sun sudah menyerang dengan bacokan goloknya. Bacokannya itu
cepat dan kuat sekali, dari atas ke bawah, mengarah kepala Cin Hay, agaknya
dalam kemarahannya, si muka hitam itu ingin membacok kepala pemuda baju putih
itu agar terbelah menjadi dua! Dan pada detik berikutnya, sepasang pedang di
tangan Kim Lok juga menusuk ke arah leher dan lambung!
Cin Hay mengelak dengan mudah
terhadap bacokan golok dan melihat tusukan dua batang pedang itu, kakinya
menendang, mendahului tangan kanan lawan sehingga sebelum pedang datang
menusuk, pergelangan tangan Kim Lok tertendang, tepat mengenai urat nadinya
sehingga pedangnya terlepas, tepat pada saat Cin Hay mengelak dari tusukan
kedua. Cepat tangan Cin Hay menyambar pedang yang terpental lepas dari tangan
kanan Kim Lok.
Pada saat itu, Phang Ek datang
menyerang dari belakangnya, menusukkan kedua batang pisaunya ke arah lambung
dan punggung. Gerakannya cepat dan kuat sekali. Cin Hay mendengar gerakan ini
dan dia memutar tubuh, mendahului dengan sambaran pedang rampasannya.
“Cring! Trang......!” Dua batang
pisau di tangan Phang Ek itu terpental dan patah-patah ketika bertemu dengan
sambaran pedang yang amat kuat itu. Phang Ek mengeluarkan seruan kaget dan
meloncat ke belakang dengan mata terbelalak.
Saat itu, Ban Sun sudah
menyerang lagi dengan bacokan golok besarnya, membacok ke arah leher. Golok itu
membabat dengan cepat, mengeluarkan suara berdesing saking kuatnya. Cin Hay
menggerakkan pedang rampasannya, menangkis dan memutar pedang itu sambil
mengerahkan sin-kangnya untuk menempel.
Ban Sun terkejut. Goloknya
seperti melekat dan ikut terputar walaupun dia mencoba untuk mempertahankan
sekuatnya. Tiba-tiba Cin Hay mengeluarkan bentakan pendek, pedangnya membuat
gerakan memutar dan menyentak dan...... golok itu membalik, tidak dapat
dikuasai oleh tangan Ban Sun dan tanpa dapat dicegah lagi, golok yang membalik
itu menyambar ke arah perut yang gendut itu.
“Cappp......!” Ban Sun
terbelalak memandang ke arah perutnya yang dimakan goloknya sendiri, lalu
terjengkang!
Melihat ini, Kim Lok
menusukkan pedangnya yang tinggal sebatang, akan tetapi tusukan itu dapat
ditangkis oleh pedang Cin Hay yang membuat lengan Kim Lok tergetar hebat dan
dia terpaksa melangkah mundur agar tidak sampai jatuh.
Phang Ek sudah mengambil dua
batang pisau lagi dan kini dia menyambitkan dua batang pisau itu ke arah Cin
Hay sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Cin Hay menangkis sebatang pisau
sehingga runtuh ke atas tanah, dan pisau kedua disambarnya dengan tangan,
kemudian, dengan tangan kiri yang menyambut pisau tadi, dia menyambit. Nampak
sinar terang berkelebat dan tahu-tahu pisau itu telah menembus leher Phang Ek.
Orang ini mengeluarkan suara aneh, mencoba untuk mencabut pissu itu, namun
agaknya pisau itu terjepit tulang kerongkongan, dan diapun roboh terkulai!
Kim Lok terbelalak dengan muka
pucat. Dalam satu dua gebrakan saja, dua orang kawannya telah roboh dan tewas,
sedangkan majikannya masih mengerang kesakitan bersama kusir yang ketakutan.
Dia maklum bahwa nyawanya terancam maut, maka tanpa banyak pikir lagi, secara
pengecut Kim Lok lalu membalikkan tubuhnya dan mengambil langkah seribu,
melarikan diri!
Akan tetapi baru saja kakinya
melangkah beberapa kali, nampak sinar terang berkelebat dan sebatang pedang,
pedangnya sendiri yang tadi terampas lawan, telah meluncur dan menghujam
punggungnya sampai tembus ke dadanya! Dia tersentak, terbelalak, lalu jatuh
menelungkup.
Melihat betapa tiga orang
jagoannya tewas semua, Koan Ki Sek yang sudah menderita nyeri dan ketakutan itu
hampir pingsan. Kusir kereta juga ketakutan dan dia sudah berdiri dan hendak
melarikan diri, akan tetapi Cin Hay membentak.
“]angan lari!”
Kusir kereta itu berhenti dan
celananya menjadi basah! Dia terkencing-kencing saking takutnya. Koan Wan-gwe
sendiri lalu merangkak dan berlutut menghadap pemuda itu, mulutnya berkeluh
kesah minta dikasihani dan diampuni.
Cin Hay tersenyum dingin. “Kau
masih ingat padaku?” tanyanya.
Koan Ki Sek merasa mulutnya
remuk dan nyeri sekali, akan tetapi dia memaksa diri mengangguk dan berkata,
“......ampunkan...... aku...... ampunkan......”
“Engkau masih ingat
isteriku...... wanita muda berpakaian kuning yang mengandung muda itu?”
Koan Ki Sek semakin ketakutan.
“Ampun..... ampun...... bukan aku yang membunuhnya ...... ia... ia mencakari
aku...... kuberikan kepada mereka bertiga dan... dan....... ampunkan aku......”
Hemm, orang semacam ini memang
tidak ada gunanya diberi kesempatan hidup lagi. Paling-paling akan mengulangi
perbuatannya yang sesat. Tidak akan sukar bagi hartawan itu untuk mencari
pengganti jagoan yang lebih kuat lagi karena dia mampu membayar, dan makin
merajalela mengumbar nafsu-nafsunya. Akan tetapi dia teringat akan keadaannya.
Dia melakukan perjalanan jauh dan dia membutuhkan biaya. Dari mana dia akan
memperoleh uang? Paling baik memperoleh dari hartawan kejam ini!
“Hayo naik ke kereta!”
bentaknya, lalu menoleh kepada kusir. “Engkau juga! Bawa aku ke rumahmu, Koan
Wan-gwe dan aku ingin menukar nyawamu dengan tigaratus tail emas!”
“Baik...... baik..... terima
kasih......” Hartawan itu mengangguk, lalu dengan tubuh gemetar dia naik ke
dalam kereta, seperti seekor tikus berdekatan dengan kucing ketika dia duduk
berdampingan dengan Cin Hay yang nampak tenang saja. Kereta lalu dijalankan
oleh kusir yang juga ketakutan itu.
Setelah kereta berhenti di
depan gedung tempat tinggal Koan Ki Sek, Cin Hay memegang lengan pria berusia
hampir enampuluh tahun itu dan berkata dengan nada suara mengancam, “Cepat
suruh orang mengambilkan tigaratus tail emas. Kalau engkau banyak tingkah, akan
kubunuh seketika!” Setelah berkata demikian, Cin Hay menarik hartawan itu turun
dari keretanya.
Melihat betapa majikan mereka
turun bersama seorang pemuda sederhana yang tampan, dan majikan itu nampak
ketakutan, para penjaga dan pelayan saling pandang dengan heran dan bingung.
Setelah tiba di rumahnya
sendiri, walaupun masih takut menghadapi Cin Hay, namun hartawan itu memperoleh
kembali kegalakannya dan dia mendamprat para pelayannya.
“Kenapa kalian bengong saja
seperti orang-orang tolol? Cepat panggil nyonya majikan!” Dengan muka manis dia
mempersilakan Cin Hay ikut masuk ke ruangan depan.
Ketika seorang wanita berusia
hampir limapuluh tahun yang berpakaian mewah, yaitu isteri dari hartawan itu
muncul dari dalam, Koan Wan-gwe cepat berkata, “Kumpulkan tigaratus tail emas
dan bawa ke sini. Cepat!”
Agaknya hartawan ini memang
biasa bersikap keras, karena biarpun di wajah wanita itu jelas menunjukkan
keheranan besar, namun ia tidak berani banyak bertanya, hanya mengangguk dan
mengundurkan diri lagi.
Hartawan itu duduk dan
menyusut keringatnya di muka dan lehernya dengan ujung lengan baju, sedangkan
Cin Hay berdiri termenung, tidak memperdulikan penawaran tuan rumah yang
mempersilakan dia duduk. Dia terkenang kepada isterinya dan kebenciannya
terhadap Koan Ki Sek timbul. Akan tetapi kesadarannya membuat dia melihat
kenyataan bahwa hartawan ini hanyalah seorang yang lemah, yang menjadi hamba
nafsunya sendiri.
Tak lama kemudian, isteri
hartawan itu muncul lagi, diikuti oleh dua orang pelayan pria yang menggotong
sebuah karung yang agaknya terisi benda yang berat. Nyonya majikan itu berkata
kepada suaminya, nada suaranya takut-takut. “Sudah kukumpulkan semua, hanya ada
seratus enampuluh tail emas, tidak ada lagi......”
Koan Wan-gwe nampak pucat
ketika dia menoleh kepada Cin Hay dan sambil mengangkat kedua tangan di depan
dada diapun berkata. “Harap tai..... taihiap maafkan......, kami hanya
mempunyai seratus enampuluh tail...... harap taihiap bersabar, akan kami
usahakan...... dalam beberapa hari ini...... meminjam dari teman-teman di kota......”
Cin Hay merasa bahwa jumlah
itu sudah lebih dari cukup untuk bekal hidupnya. Dia menghampiri karung itu,
membukanya dan setelah memeriksa bahwa isinya memang benar potongan-potongan
emas yang berkilauan, dia lalu memanggul karung itu dengan tangan kirinya.
Benda yang beratnya duapuluh kati itu, nampak ringan saja baginya ketika dia
mengangkat karung itu ke atas pundaknya, kemudian dia berkata, suaranya
lantang.
“Koan Ki Sek, sekarang di
depan isterimu, ceritakan apa yang telah kaulakukan terhadap isteriku, tujuh
tahun yang lalu.”
Hartawan itu mengerutkan
alisnya, memandang kepada isterinya dan kepada dua orang pelayannya, lalu
menghardik dua orang pelayan itu, “Kalian pergilah dari sini!” Tentu saja dia
tidak menghendaki ceritanya yang memalukan itu akan didengar oleh oleh dua
orang pelayan itu.
“Tidak! Kalian juga
mendengarkan di sini!” Cin Hay berkata kepada mereka.
Akan tetapi, dua orang pelayan
itu tidak mengenal Cin Hay, tentu saja mereka lebih taat kepada majikan mereka
dan mereka membalikkan tubuh hendak pergi dari ruangan itu. Cin Hay melompat
dan kedua tangannya memegang pundak mereka, sekali tarik dia membuat mereka
terpelanting dan di lain saat, dua orang itu sudah tidak mampu menggerakkan
kaki karena telah ditotok oleh Cin Hay.
Barulah mereka ketakutan dan
maklum bahwa pemuda itu lihai sekali, dan mereka kini dengan tubuh rebah miring
terpaksa ikut mendengarkan. Nyonya Koan terkejut melihat kekerasan yang
dilakukan Cin Hay dan iapun lari mendekati suaminya.
“Nah, Koan Ki Sek, sekarang
berceritalah!” Cin Hay berkata lagi dengan suara keren.
Dengan suara gemetar dan muka
pucat akan tetapi penuh keringat, Koan Wan-gwe lalu menceritakan peristiwa
tujuh tahun yang lalu di Telaga See-ouw. Kadang-kadang dibantu dan diingatkan
oleh Cin Hay, hartawan itu dengan singkat namun jelas menceritakan apa yang
telah dilakukannya terhadap Cin Hay dan isterinya.
Betapa See-ouw Sam-houw atas
perintahnya telah melukai dan melempar Cin Hay ke dalam telaga, dan merampas
isterinya yang cantik. Betapa dia memperkosa wanita muda yang sedang mengandung
muda itu di dalam bilik perahu, kemudian menyerahkan wanita yang melawan itu
kepada See-ouw Sam-houw. Kemudian betapa tiga orang jagoannya itu memperkosa
isterinya Cin Hay bergantian sampai mati dan menguburkan jenazah nyonya muda
itu di lereng bukit dekat telaga.
Mendengar cerita yang
mengerikan itu, Nyonya Koan menjerit dan menangis. Dia tahu betapa suaminya
hidung belang dan mata keranjang, akan tetapi tidak pernah menyangka suaminya
akan melakukan perbuatan yang demikian kejamnya.
“Dan tujuh tahun kemudian,
baru tadi, dia telah menculik pula seorang gadis dusun yang hendak diperkosanya
di dalam kereta!” kata Cin Hay yang kemudian bertanya, “Nyonya, apakah tidak
adil namanya kalau sekarang aku datang, merampok hartanya dan mencabut
nyawanya?”
Sambil menangis nyonya itu
mengangguk-angguk. “Adil....... sudah adil...... akan tetapi ampunkanlah
suamiku ini, tai-hiap......”
Cin Hay menghela napas
panjang, lalu memandang hartawan itu. “Manusia tak kenal budi! Isterimu
demikian setia dan baik, akan tetapi engkau melakukan perbuatan yang kejam dan
jahat di luar rumah! Sepatutnya engkau kubunuh, akan tetapi mengingat isterimu,
biarlah kuampuni nyawamu, akan tetapi engkau harus diberi hukuman yang setimpal
dengan kejahatanmu!” Berkata demikian, dengan perhitungan yang tepat, Cin Hay
menggerakkan kedua tangannya, menotok pinggang dan punggung Koan Ki Sek.
Hartawan itu mengeluarkan teriakan panjang dan diapun roboh terpelanting,
pingsan. Isterinya menjerit dan menubruknya sambil menangis.
“Nyonya, jangan khawatir, dia
tidak akan mati, akan tetapi tidak akan mampu mengganggu wanita lagi. Selamat
tinggal,” kata Cin Hay yang melangkah keluar sambil memanggul karung berisi
duapuluh kati emas itu. Tak seorangpun penjaga berani menghalangi pemuda yang
datang bersama majikan mereka itu.
Tubuh Koan Ki Sek lalu
diangkat ke dalam kamarnya dan benar seperti yang diucapkan Cin Hay kepada
isteri hartawan itu, Koan Ki Sek tidak mati melainkan jatuh sakit sampai hampir
sebulan lamanya dan setelah sembuh, ternyata bahwa anggauta kelaminnya menjadi
lumpuh!
Hal ini membuat dia terkejut
dan berduka sekali, dan berusaha mengobati dirinya. Dipanggilnya semua tabib
pandai, bahkan dia pergi ke kota raja untuk berobat, namun sia-sia saja karena urat
syarafnya telah hancur dan rusak oleh totokan yang dilakukan Cin Hay. Selamanya
dia tidak akan dapat lagi menggauli wanita dan akhirnya, hartawan inipun sadar
akan semua dosanya dan dia merobah cara hidupnya sama sekali.
Semua jagoannya dia keluarkan,
dan dia hidup damai dengan para penghuni dusun, bahkan dia kemudian terkenal
sebagai seorang dermawan yang agaknya hendak menghabiskan hartanya untuk
menolong sesama manusia. Perlahan-lahan, terhapuslah nama buruknya. Kalau
tadinya dia ditakuti semua orang, kini mulai berubah pandang mata orang-orang
kepadanya, tidak lagi takut, melainkan hormat dan segan, juga berterima kasih!
Sementara itu, Cin Hay
melakukan perjalanan cepat keluar dari dusun Tiang-cin, memanggul emas dalam
karung. Dia kini telah membalas kematian isterinya. Perhitungan dengan para
pembunuh isterinya telah selesai dan kini diapun sudah memiliki modal yang
cukup untuk hidup secara pantas. Akan tetapi pikiran ini segera dibuangnya. Dia
mengambil harta dari Koan Ki Sek hanya untuk menghukum orang itu, dan kini dia
bahkan mulai merasa repot dengan beban di pundaknya itu.
Untuk apa emas sebanyak itu?
Dia teringat akan keluarga isterinya, maka kakinya lalu melangkah cepat menuju
ke dusun tempat tinggal ibunya dan ayahnya. Dia akan pulang dulu ke rumah ayah
bundanya, baru dia akan berkunjung kepada keluarga mertuanya. Mereka, orang
tuanya sendiri dan mertuanya, tentu membutuhkan emas-emas ini! Setidaknya,
setelah meninggalkan mereka selama tujuh tahun, kini dia dapat memberikan
sesuatu kepada mereka, sebagai sekedar balas jasa atas segala kebaikan mereka,
juga sebagai sekedar hiburan bagi orang tua isterinya yang telah kehilangan
anak.
Ibunya menyambut kedatangan
Cin Hay dengan tangis keharuan dan kebahagiaan. Ibunya hidup di rumah pamannya,
adik ibunya, karena ayah Cin Hay telah meninggal dunia karena sakit. Melihat
betapa pamannya itu baik hati, mau menampung ibunya dan bersikap amat baik
terhadap ibunya, Cin Hay bersyukur dan dia lalu menyerahkan sepuluh kati emas
kepada ibunya.
Uang sebanyak itu merupakan
harta yang amat besar bagi orang dusun. Ibunya segera menyerahkan emas itu
kepada adiknya dan mereka sekeluarga lalu membeli tanah dan membangun rumah,
dan selanjutnya hidup sebagai petani yang beruntung dan serba cukup.
Cin Hay berpamit kepada ibuya
untuk melanjutkan perantauannya. Tadinya, sang ibu menahannya, bahkan membujuk
seorang gadis dusun untuk menjadi isteri Cin Hay, namun pemuda ini tersenyum
dan menolak dengan halus.
“Ibu, bertahun-tahun aku
mempelajari ilmu dan sekaranglah saatnya aku harus mempergunakan ilmu itu dalam
dunia ramai. Aku hendak merantau dan tinggallah ibu bersama paman di sini.”
Ibunya tidak dapat menahannya
lagi dan pergilah Cin Hay berkunjung ke rumah mertuanya. Seperti juga keluarga
ibunya, keluarga mertuanya menerima Cin Hay dengan ramah dan baik. Biarpun kini
anak mereka telah meninggal dan Cin Hay hanya merupakan bekas mantu saja, namun
keluarga lurah Gu itu menganggap Cin Hay seperti anak sendiri.
Menerima penyambutan yang
ramah Cin Hay merasa terharu dan girang sekali. Tidak percuma dia berniat baik
memberi separuh emasnya kepada keluarga mertuanya, ka- rena ternyata keluarga
mertuanya ini masih amat baik kepadanya. Dia lalu menceritakan betapa dia telah
membalas dendam, membunuh See-ouw Sam-houw yang menyebabkan kematian Gu Ci Sian
dan menghukum Koan Ki Sek.
Mendengar cerita ini, lurah Gu
dan isterinya menangis, merasa bersyukur bahwa kematian anak mereka telah
terbalas. Apa lagi ketika Cin Hay menyerahkan sepuluh kati emas kepada mereka,
lurah Gu tadinya menolak.
“Anakku, mengapa kauberikan
harta kepada kami! Sebaiknya kaubawa pulang saja, dan kauserahkan kepada ibumu.
Bukankah setelah ayahmu meninggal dunia, ibumu tinggal bersama pamanmu? Belikan
tanah dan rumah untuk ibumu dan uang ini dapat dipergunakan untuk modal.”
Cin Hay tersenyum dan semakin
mantap hatinya untuk menyerahkan sebagian harta itu kepada mertua yang baik
ini. “Saya sudah memberi kepada ibu, harap ayah mertua suka menerimanya.”
Akhirnya Cin Hay berpamit dan
diantar oleh keluarga mendiang isterinya itu dengan hati terharu. Setelah
meninggalkan dusun itu, Cin Hay teringat akan pesan mendiang gurunya. Kim-san
Liong-cu (Mustika Naga dari Gunung Emas)! Dia harus memenuhi pesan gurunya itu.
Berangkatlah dia untuk mencari Kim-san (Gunung Emas) di Lembah Huang-ho itu,
dengan bekal pakaian secukupnya dan beberapa potong emas untuk biaya di
perjalanan.
◄Y►
Wanita itu sungguh cantik
jelita. Usianya sekitar duapuluh tiga tahun, pakaiannya tidak sangat mewah,
akan tetapi karena bentuk tubuhnya yang ramping padat, maka nampak pakaian itu
serasi dan indah. Rambutnya hitam panjang dan halus, digelung di atas kepala
dengan hiasan bunga teratai emas. Wajahnya bulat telur, dan kulit mukanya segar
kemerahan, putih mulus seperti dibedaki pada hal jelas bahwa dia tidak memakai
bedak.
Sepasang matanya jeli dan
lebar, tajam sinarnya dan kerlingnya nampak tajam menikam. Sepasang alis
matanya seperti dilukis. Hidung kecil mancung dan mulutnya merupakan bagian
yang paling menarik dari mukanya. Mulut itu selalu terhias senyuman, dan bibir
yang merah dan selalu segar basah itu seperti menantang. Lesung pipit menghias
tepi mulutnya, dan lesung pipit itu menjadi semakin jelas kalau ia tersenyum
lebar. Di bawah mata kiri, di bagian pipi atas nampak ada tahi lalat hitam
kecil yang menjadi penambah kemanisan wajah itu. Seorang wanita yang memiliki
daya tarik besar sekali, memberahikan setiap orang pria yang melihatnya.
Dan wanita itu pada suatu pagi
melangkahkan kakinya masuk ke pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Dan
perbuatannya inilah yang amat menarik perhatian orang, terutama kaum prianya,
karena rumah itu adalah sebuah rumah pelesir, sebuah rumah pelacuran milik Bibi
Ciok, seorang mucikari yang terkenal di Lok-yang karena rumah pelesirnya
merupakan tempat pelesiran terbesar di Lok-yang.
Bibi Ciok terkenal sebagai
mucikari yang biasa menyediakan pelacur-pelacur kelas tinggi! Langganannya
terdiri dari para bangsawan dan hartawan di Lok-yang. Oleh karena itulah,
masuknya wanita cantik menarik itu di pekarangan rumah ini membuat semua orang
menengok dan memandang kepadanya dan segera tersiar berita desas-desus yang
segera meluas bahwa di rumah pelesir Bibi Ciok terdapat seorang “anggauta baru”
yang amat cantik jelita! Kedatangan orang baru merupakan berita paling
menggemparkan dari sebuah rumah pelacuran dan dalam waktu singkat saja, para
bangsawan dan hartawan yang menjadi langganan Bibi Ciok segera mencari tahu
kebenaran berita itu.
Di dalam rumah besar itu
sendiri terjadi hal-hal yang amat hebat. Wanita cantik itu langsung membuka
pintu depan dan memasuki rumah itu seperti orang memasuki rumah sendiri saja!
Seorang penjaga pintu terkejut
melihat kedatangannya dan berusaha menghadang. Dia mengenal semua pelacur yang
menjadi langganan rumah pelesir itu dan wanita ini sama sekali tidak
dikenalnya. Akan tetapi, penjaga ini tidak berani sembrono karena siapa tahu
wanita ini adalah isteri seorang bangsawan yang mencari suaminya!
“Nona siapakah dan ada
keperluan apa?” tanyanya sambil menghadang di depan wanita itu.
“Tak perlu engkau tahu siapa
aku, lekas panggil Bibi Ciok agar ia keluar menemuiku!” kata wanita itu dengan
sikap dingin.
Tentu saja penjaga itu tidak
mau menuruti permintaan ini. Dia bertugas sebagai penjaga pintu dan tentu saja
tidak dapat mengijinkan setiap orang masuk.
“Tapi...... harap jelaskan
dulu nona ini siapa dan ada keperluan apa masuk......”
Tiba-tiba wanita itu
menggerakkan tangannya perlahan sambil berkata, “Jangan banyak cerewet kau!”
Sungguh luar biasa sekali. Ia
hanya menggerakkan tangan seperti mendorong, akan tetapi tanpa menyentuh tubuh,
penjaga itu sudah terjengkang dan tubuhnya, menabrak dinding. Penjaga itu
berteriak-teriak dan muncullah lima orang laki-laki dari dalam. Mereka adalah
lima orang jagoan yang menjadi tukang pukul di rumah pelacuran itu,
jagoan-jagoan yang diandalkan oleh Bibi Ciok.
“Hai, siapa engkau, berani
mati membikin ribut di sini dan memukul penjaga pintu?” Sentak seorang di
antara mereka yang berkumis tebal dan yang menjadi kepala dari rombongan jagoan
itu.
Wanita cantik itu berdiri
tegak dan matanya melirik tajam ketika muncul lima orang itu. Senyumnya melebar
sehingga nampak sedikit kilatan giginya yang putih berderet rapi. Kini ia
mengangkat muka memandang laki-laki berkumis tebal itu.
“Kalau kalian berlima tidak
ingin kuhajar seperti dia ini, cepat menggelinding pergi dam panggil Bibi Ciok
ke sini!” katanya.
Tentu saja lima orang jagoan
itu menjadi marah melihat sikap dan terdengar ucapan yang nadanya memerintah
dan memandang rendah itu. Mereka adalah jagoan terkenal di daerah itu, bahkan
Bibi Ciok sendiri yang menjadi majikan, sumber penghasilan mereka, tidak berani
bersikap secongkak itu. Mereka dianggap sebagai kacung-kacung saja yang boleh
disuruh seenaknya oleh wanita yang baru muncul ini.
Tadinya merekapun
berhati-hati, khawatir kalau kalau wanita itu adalah isteri seorang bangsawan
yang datang menyusul dan mencari suaminya. Akan tetapi melihat sikap wanita itu
dengan congkak, merekapun lupa akan kekhawatiran itu.
“Hemm, perempuan sombong!
Siapakah engkau ini? Mengaku dulu siapa engkau dan apa keperluanmu datang
mencari Bibi Ciok, baru kami akan mempertimbangkan sikapmu yang congkak!”
bentak si kumis tebal.
Wanita itu tersenyum. “Kalian
ini tukang-tukang pukul murahan, masih banyak lagak? Cepat panggil Bibi Ciok ke
sini atau terpaksa aku akan membuat kalian menguik- nguik seperti anjing-anjing
dipukul!”
Habislah kesabaran si kumis
tebal. “Kurang ajar!” bentaknya dan tangan kirinya menampar ke arah pipi wanita
itu. Berapapun cantiknya wanita itu, tentu saja dia tidak sudi dihina seperti
itu!
Akan tetapi, dengan mudah
wanita itu hanya menarik tubuhnya bagian atas ke belakang dan tamparan itu
luput, dan pada detik itu juga, kaki wanita itu sudah bergerak menendang dengan
kecepatan kilat ke depan. Tendangan itu cepat bukan main sehingga tidak dapat
dielakkan pula oleh si kumis tebal.
“Dukk!” Perutnya tercium ujung
sepatu wanita itu dan si pemilik perutpun terjengkang dan terbanting keras. Dia
merangkak bangun sambil memegangi perut karena merasa nyeri seolah-olah usus
buntunya yang kena tendang. Dengan muka mengernyit karena nyeri, dia
memerintahkan anak buahnya dengan suara penuh geram.
“Bunuh perempuan jahat ini!”
Empat orang jagoan yang lain
merasa penasaran dan marah. Merekapun segera mencabut golok masing-masing dan
mengepung wanita itu yang masih berdiri tegak sambil tersenyum mengejek. Si
kumis tebal memaksa diri bangkit dan mencabut goloknya pula. Biarpun perutnya
masih terasa mulas, dia yang menjadi marah karena malu, kini ikut mengepung.
Kalau saja lima orang jagoan
itu tidak terlalu tekebur, tentu mereka dapat melihat bahwa sikap wanita itu
sudah jelas menunjukkan bahwa ia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
sekali. Dikepung lima orang jagoan yang memegang golok, wanita itu masih tersenyum,
sedikitpun tidak gentar bahkan sikapnya memandang rendah! Akan tetapi lima
orang itu sudah buta karena kesombongan mereka dan karena mereka sudah biasa
mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka.
“Mampuslah!” bentak seorang di
antara mereka yang berada di belakang wanita itu, goloknya menyambar ke arah
tengkuk wanita itu dari belakang!
Tanpa menoleh, wanita itu
mengelak, seolah-olah ada mata di tengkuknya. Ia mengelak ke kiri sehingga
bacokan golok itu lewat dan seperti kilat saja, tubuhnya membalik ke kanan
mengikuti tangannya yang sudah menyambar ke belakang,
“Krekkk!” tangan yang kecil
mungil itu menyambar dan mengenai pundak si penyerang dan seketika orang itu
terjungkal sambil mengaduh-aduh karena tulang pundaknya remuk diketuk oleh
jari-jari tangan kecil mungil itu. Sebuah tendangan menyusul dan membuat tubuh
itu terjengkang dan terlempar sampai ke sudut ruangan!
Empat orang jagoan, yang lain
menjadi semakin marah dan mereka menyerang secara berbareng, mengeroyok wanita
yang tidak bersenjata itu dengan bacokan golok mereka secara ganas sekali. Akan
tetapi, wanita itu menyambut serangan empat batang golok itu dengan tenang
saja.
Sikapnya tenang, namun gerakan
tubuhnya demikian cepat sehingga tiba-tiba saja mata empat orang itu berkunang
dan mereka telah kehilangan wanita itu. Demikian cepat gerakannya ketika
melesat keluar dari kepungan sehingga ia seolah-olah pandai menghilang saja
seperti iblis! Hanya nampak bayangan hitam karena pakaiannya yang serba hitam
berbunga abu-abu itu.
Dan ketika empat orang itu
menyadari bahwa wanita itu sudah keluar dari kepungan dan mereka membalik,
tiba-tiba saja wanita itu menyerang. Tendangan dan tamparan kedua tangannya
menyambar bertubi-tubi dan robohlah empat orang itu dengan tulang lengan atau
tulang kaki patah-patah! Dalam waktu beberapa detik saja, lima orang itu telah
roboh berserakan sambil mengaduh-aduh dan tidak mampu bangkit kembali karena
kaki atau lengan yang patah tulangnya!
Pada saat itu, dari dalam
muncul Bibi Ciok, wanita yang usianya sudah limapuluh lima tahun dan tubuhnya
semakin gembrot itu. Ia mendengar suara ribut-ribut dan karena di tempat itu ia
seperti seorang ratu atau majikan yang ditakuti, dan karena ia terlalu percaya
bahwa lima orang jagoannya pasti akan mampu membereskan semua persoalan, maka
iapun bergegas keluar dan matanya terbelalak melihat betapa lima orang
jagoannya roboh dan mengaduh-aduh, sedangkan di tengah ruangan berdiri seorang
wanita yang cantik sekali.
Ia memandang penuh perhatian.
Wanita yang amat cantik manis, kulitnya menjadi lebih putih mulus karena
pakaiannya yang serba hitam, dari sutera halus, namun dengan potongan sederhana
itu.
Usianya kurang lebih duapuluh
tiga tahun, seorang gadis yang sudah matang, dengan tubuh menggairahkan.
Sebagai seorang mucikari yang pekerjaannya mengumpulkan wanita-wanita muda yang
cantik, tentu saja Bibi Ciok pandai menilai kecantikan seorang gadis, baik
bentuk wajahnya maupun keadaan tubuhnya. Gadis seperti itu akan menjadi sumber
uang yang baik sekali baginya, pikir wanita tua ini. Akan tetapi, ketika ia
memandang dengan teliti, tiba-tiba ia terbelalak.
“Kim Cu......!” teriaknya.
Ia mengenal wanita cantik
berpakaian serba hitam itu. Tak salah lagi, ia adalah Lie Kim Cu, bekas selir
Pangeran Coan Siu Ong yang dijual kepadanya. Gadis yang pernah menjadi pelacur
di rumah pelesirnya, yang selama sebulan telah mendatangkan uang yang cukup
banyak dan menjadi rebutan para kongcu hidung belang yang berani membayar mahal
untuk dapat tidur semalam di kamar gadis itu! Dan gadis itu lalu melarikan diri
ketika dibawa pesiar oleh Bhok-kongcu, mantu jaksa agung!
“Kim...... Kim Cu......?”
Jagoan berkumis tebal berseru kaget bukan main, demikian pula teman-temannya.
Kini baru mereka mengenal wanita cantik berpakaian serba hitam yang lihai itu
dan mereka bergidik.
Teringat peristiwa tujuh tahun
yang lalu ketika mereka mengepung gadis itu, muncul seorang nenek dan terjadi
keanehan ketika mereka berempat ketika itu, dihajar habis-babisan oleh gadis
ini, tanpa mereka mampu membalas sama sekali! Dan kini wanita itu muncul
kembali dengan ilmu kepandaian yang hebat sekali!
Wanita itu memang Lie Kim Cu!
Seperti telah kita ketahui, ketika ia dikejar-kejar kemudian dikeroyok empat
orang jagoan, yaitu si kumis tebal dan tiga orang kawannya ketika ia melarikan
diri dari kereta Bhok Hin, muncul Huang-ho Kuibo, nenek yang berpakaian serba
hitam dan yang memiliki ilmu kepandaian amat hebat itu. Ia kemudian menjadi
murid datuk dunia kang-ouw itu dan selama tujuh tahun ia digembleng oleh
Huang-ho Kuibo.
Setelah berkeliaran di
sepanjang Sungai Huang-ho selama tujuh tahun dan menggembleng muridnya dengan
semua ilmu yang dimilikinya, akhirnya Huang-ho Kuibo yang sudah amat tua itu
hampir sembilanpuluh tahun usianya, memilih sebuah guha untuk tempat pertapaannya.
Ia telah terlalu tua untuk berkeliaran lagi dan ingin menghabiskan sisa
hidupnya dengan bertapa di guha itu. Ia mengusir muridnya untuk mempergunakan
ilmu-ilmunya di dunia ramai.
“Kalau engkau ingin menjadi
seorang yang paling menonjol dalam dunia persilatan, pergilah ke Bukit Emas
(Kim San). Engkau tentu masih ingat Kim-san yang pernah kutunjukkan kepadamu
dari jauh dalam perantauan kita itu, bukan?”
“Maksud subo (ibu guru) Bukit
Emas di sebelah selatan Sungai Kuning, yang dari jauh nampak kuning berkilauan
itu di waktu senja?”
“Benar, itulah Kim San!”
“Kata subo, di sana pernah
terjadi pertempuran besar di antara orang-orang pandai dan di sana banyak orang
pandai di dunia persilatan roboh dan binasa.”
“Bagus kau masih ingat akan
ceritaku itu. Memang, di sana kini menjadi kuburan banyak orang pandai, bahkan
aku sendiri nyaris tewas di sana ketika ikut memperebutkan Kim-san Liong-cu.”
“Kim-san Liong-cu? Benda
apakah itu, subo?” tanya Kim Cu ingin tahu sekali.
Nenek itu menarik napas panjang.
“Siapa pernah melihatnya? Akan tetapi banyak sudah dunia kang-ouw mendengar
nama benda itu. Sesuai dengan namanya, benda itu adalah sebutir liong-cu
(mustika naga) yang kabarnya ratusan tahun yang lalu menjadi milik seorang
pangeran dan kemudian benda itu ikut dikubur bersama jenazah pangeran itu.
Kuburan kuno itu berada di puncak Kim-san.”
“Akan tetapi, kalau benda itu
sudah dikubur dengan jenazah pangeran itu, mengapa untuk rebutan? Apa sih
gunanya benda itu?”
“Aih, engkau sungguh tidak
tahu. Di dunia ini terdapat banyak benda aneh, pusaka-pusaka yang mujijat dan
Mustika Naga merupakan sebuah di antara pusaka-pusaka yang amat hebat
khasiatnya. Kalau benda itu dikubur bersama jenazah, maka jenazah itu akan
dapat bertahan dan tidak rusak sampai ratusan tahun! Kalau dibikin bubuk dan
diminum, akan membuat orang menjadi kuat dan panjang usia sampai lebih dari
seratus tahun.”
“Akan tetapi bagaimana kalau
dia dibunuh orang?”
“Ah, kalau begitu tentu lain
lagi. Akan tetapi, penyakit tidak akan dapat menyerangnya, dan selain itu,
makan liong-cu akan membuat tubuh kuat dan mendatangkan tenaga sin-kang yang
luar biasa. Juga dapat menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan sanggup
menolak segala macam racun!”
“Ih, sungguh hebat!”
“Bukan hanya itu. Kalau mustika
itu dilebur dan dicampur dengan logam yang akan dijadikan senjata, maka senjata
itu akan menjadi senjata pusaka yang ampuh bukan main. Nah, karena banyak
sekali khasiatnya, maka begitu terdapat berita bahwa di dalam kuburan kuno itu
terdapat liong-cu, para tokoh dunia persilatan berdatangan dan berebutan.”
“Lalu bagaimana, subo?” Kim Cu
mendesak karena ia tertarik sekali. “Siapa yang berhasil mendapatkan pusaka itu
ketika terjadi perebutan di sana?”
Nenek itu menggeleng
kepalanya. “Tidak ada seorangpun yang mendapatkan, dan sudah begitu banyak
orang pandai yang tewas, ada puluhan orang yang mati dan akhirnya, tidak ada
seorangpun yang berhasil mendapatkan Kim-san Liong-cu!”
Tiba-tiba Kim Cu dapat
membayangkan keadaan yang amat lucu itu dan iapun tertawa.
Gurunya memandang kepadanya
dengan alis berkerut. “Kenapa engkau tertawa?”
“Hi-hik, alangkah lucunya,
subo. Setelah puluhan orang tewas dalam perebutan, kuburan itu dibongkar oleh
mereka yang menang; dan tentu saja isinya hanya tengkorak karena mustika naga
itu hanya dongeng bohong belaka.”
“Bodoh!” Nenek itu membentak
sehingga Kim Cu terkejut dan kembali ia memusat perhatian. “Bukan begitu! Akan
tetapi kuburan itu telah ada yang lebih dulu membongkarnya dan ada orang yang
telah mengambil Kim-san Liong-cu itu sebelum para tokoh datang
memperebutkannya! Pusaka itu memang ada, sebesar kepala bayi yang baru lahir,
akan tetapi telah lebih dulu diambil orang!”
Kim Cu kembali tertarik
sekali. “Siapa yang mengambilnya, subo?”
“Itulah! Tidak ada yang tahu.
Karena itu engkau harus pergi ke Kim-san, melakukan penyelidikan dan siapa tahu
engkau akan dapat mengetahui siapa orang yang mencuri pusaka itu, kemudian
engkau harus merebutnya agar engkau, muridku, menjadi orang paling lihai di
dunia ini!”
Tanpa disuruh sekalipun,
setelah mendengar cerita yang amat menarik itu. Kim Cu sudah mengambil
keputusan untuk menyelidiki dan mencari orang yang telah mengambil mustika itu.
Ia mengangguk menyanggupi kemudian ia turun dari bukit di mana terdapat guha
itu, meninggalkan gurunya. Iapun condong mengikuti kebiasaan gurunya, suka
memakai pakaian yang serba hitam.
Demikianlah, setelah
meninggalkan gurunya, Kim Cu langsung menuju ke Lok-yang dan tempat yang
pertama kali dikunjunginya adalah rumah pelesir milik Bibi Ciok di mana ia
pernah menjadi pelacur secara terpaksa. Dan terjadi keributan di mana ia
merobohkan lima orang jagoan Bibi Ciok yang kini mengenalnya setelah Bibi Ciok
menyebut namanya.
Melihat betapa Bibi Ciok dan
lima orang jagoan yang telah dirobohkannya itu mengenalnya, Kim Cu lalu
membentak dengan suara lirih namun penuh wibawa, “Hayo kalian cepat berlutut!”
Bibi Ciok sudah melihat betapa
lima orang jagoannya roboh oleh Kim Cu. Iapun bukan orang bodoh dan tahulah ia
bahwa wanita cantik itu kini menjadi seorang yang amat berbahaya maka iapun
menjatuhkan diri berlutut seperti yang dilakukan oleh lima orang jagoannya yang
kini memandang ketakutan.
“Ingat, dari sekarang jangan
menyebut namaku yang lama lagi. Aku kini adalah Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam)
dan kalian harus mentaati semua perintahku. Sekali saja melanggar akan kucabut
nyawanya!”
Mendengar ucapan itu, enam
orang itu bergidik, dan Bibi Ciok yang mengumpulkan seluruh keberaniannya,
sambil berlutut menyembah-nyembah dan berkata dengan suara gemetar.
“Nona....... Liong-li......,
harap ampunkan kami yang bodoh. Saya berjanji akan memenuhi semua perintah
nona. Sebenarnya...... apakah yang nona kehendaki datang ke tempat yang buruk
ini......?”
“Bibi Ciok, tujuh tahun yang
lalu, ketika engkau memaksa aku melayani para pria hidung belang di sini, aku
mempunyai langganan sebanyak duabelas orang. Aku ingin agar engkau mengundang
mereka semua itu untuk datang ke sini, katakan bahwa aku telah kembali dan aku
akan mengadakan pertunjukan yang manis untuk mereka, bahkan akan kutentukan,
siapa yang boleh menemani aku tidur semalam di sini, yaitu dia yang membawa
emas paling banyak.
“Nah, aturlah itu, agar tiga
hari kemudian mereka semua datang ke sini, pada senja hari. Ruangan pertunjukan
di belakang itu harus kauhias sebaik-baiknya, sediakan kursi-kursi untuk
duabelas orang tamuku, dan aku akan menari di sana. Awas, kurang seorang saja
berarti sekali tamparan untukmu, dan engkau sudah melihat sendiri akan kerasnya
tamparanku. Mereka semua harus selengkapnya berada di sini! Untuk membuktikan
kerasnya tamparanku, kaulihat ini!” Kim Cu menghampiri sebuah meja tebal dan
sekali tangan kirinya bergerak membacok, meja itu telah pecah berantakan! Tentu
saja lima orang jagoan dan Bibi Ciok memandang dengan mata terbelalak dan muka
pucat.
“Akan kami usahakan...... akan
kami lakukan perintah nona......” kata Bibi Ciok dengan tubuh gemetar.
“Bagus, dengan begitu nyawamu
akan tetap tinggal dalam tubuhmu. Tiga hari lagi, pada sore hari aku datang ke
sini. Mereka harus sudah berkumpul dan panggil serombongan pemain musik wanita
untuk mengiringi aku menari!”
Setelah berkata demikian, Lie
Kim Cu atau yang lebih baik kita sebut saja nama barunya, yaitu Hek-liong-li
atau Liong-li saja, meninggalkan Bibi Ciok dan lima orang jagoannya yang masih
berlutut ketakutan.
Baru setelah gadis itu pergi
dan tidak nampak lagi, Bibi Ciok bangun dan sumpah serapah keluar dari mulutnya
yang nyerocos memaki-maki lima orang jagoannya yang dianggapnya tidak becus!
Akan tetapi, lima orang jagoan itu tidak mampu berbuat apa- apa lagi, karena
mereka harus berobat untuk menyambung tulang kaki atau lengan yang patah-patah
untuk beberapa bulan lamanya, lima orang jagoan ini tidak akan dapat berlagak
jagoan lagi karena harus beristirahat.
Biarpun ia masih merasa heran
atas sikap Lie Kim Cu yang kini beralih nama menjadi Hek-liong-li, nama yang
menyeramkan itu, namun Bibi Ciok sama sekali tidak berani membangkang terhadap
perintah gadis itu. Tadinya memang ada niat di hatinya untuk memanggil
jagoan-jagoan yang lebih pandai, yang banyak terdapat di Lok-yang, akan tetapi
lima orang jagoannya menasihati agar Bibi Ciok jangan melakukan hal itu. Mereka
mengaku bahwa tingkat ilmu kepandaian Hek-liong-li luar biasa sekali dan guru
merekapun tidak akan mampu menandingi gadis itu!
Mendengar ini, Bibi Ciok tidak
berani mengambil resiko. Apa lagi, perintah itu tidak berbahaya, bahkan akan
menguntungkan dirinya! Agaknya bekas anak buahnya itu masih teringat akan para
langganannya yang menyayanginya maka kini hendak menjamu mereka dengan pesta
dan tari. Dan menjanjikan tidur seorang di antara mereka yang membawa emas
paling banyak! Hampir Bibi Ciok bersorak kalau membayangkan betapa Hek-liong-li
akan suka melayani pria-pria hidung belang lagi di situ, karena hal ini berarti
mengalirnya banyak emas ke dalam sakunya!
Tiga hari lewat dengan
cepatnya. Bibi Ciok sibuk selama tiga hari itu, akan tetapi ia masih ingat
kepada duabelas orang langganan Lie Kim Cu. Mereka adalah orang orang muda, ada
yang putera hartawan, ada pula putera bangsawan. Memang dahulu, Lie Kim Cu
tidak mau mengobral dirinya, dan setiap malam hanya melayani seorang pria
sampai pagi. Dengan demikian, selama berada di situ sebulan lebih, gadis itu
hanya mempunyai duabelas orang langganan yang kesemuanya tergila-gila
kepadanya.
Oleh karena itu, ketika Bibi
Ciok menghubungi mereka dan mengabarkan bahwa Lie Kim Cu yang cantik jelita dan
pandai menghibur hati mereka dengan segala kehangatan dan kemesraan itu telah
kembali, para pria hidung belang itu menjadi gembira sekali. Di antara mereka
termasuk Bhok Hin! Mereka semua berjanji akan datang pada senja hari itu dan
mereka akan berlumba memenangkan hati wanita cantik itu agar dipilih.
Pada hari yang ditentukan,
sejak sore hari duabelas orang kongcu hidung belang itu sudah bergiliran datang
dengan kereta mereka yang mewah. Mereka disambut dengan penuh keramahan oleh
Bibi Ciok dan mereka dipersilakan langsung saja masuk ke ruangan belakang yang
luas. Tempat ini memang biasa dipergunakan untuk pesta, tari-tarian dan sebagainya
dan keadaan tempat itu kini amat meriah, dihias dengan rapi dan bersih.
Kursi-kursi berjajar merupakan
setengah lingkaran menghadap ke sebuah panggung di mana wanita cantik yang
mereka rindukan itu akan muncul. Rombongan musik yang terdiri dari gadis-gadis
cantik sudah siap, bahkan atas isyarat dari Bibi Ciok, mereka sudah memainkan
alat musik mereka perlahan-lahan untuk menyambut para tamu yang berdatangan.
Kini duabelas orang tamu itu
sudah datang semua. Yang paling akhir adalah Bhok Hin dan begitu mantu jaksa
agung itu hadir, langsung dia bertanya kepada Bibi Ciok, “Bibi Ciok, mana si
cantik Kim Cu?”
Pertanyaan ini disambut oleh
para tamu lainya yang juga sudah tidak sabar untuk cepat bertemu dan melihat
bagaimana keadaan wanita yang pernah membuat mereka tergila-gila tujuh tahun
yang lalu. Hal ini adalah karena pandainya Bibi Ciok berpromosi, mengabarkan
bahwa kini wanita itu jauh lebih cantik, matang dan menarik dibandingkan tujuh
tahun yang lalu!
Selagi mereka riuh-rendah
bertanya kepada Bibi Ciok, tiba-tiba kain tirai sutera di belakang panggung itu
tersibak dan semua mata ditujukan ke sana, percakapan pun seketika terhenti! Di
sana, di atas panggung, muncul seorang wanita yang memang nampak cantik luar
biasa. Kulitnya yang putih mulus kemerahan nampak lebih putih lagi karena ia
mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera hitam.
Pakaian itu ringkas dan ketat
sehingga tubuhnya yang padat langsing itu nampak jelas lekuk lengkungnya yang
menggairahkan. Sepasang matanya jernih dan tajam, sedangkan mulut itu
tersenyum-senyum ramah dan manis sekali, nampak lesung pipit di dekat mulut.
Semua tamu terpesona dan
mereka mengenal wanita yang pernah membuat mereka mabok dan tergila-gila, hanya
kini nampak lebih cantik dan lebih matang, tepat seperti yang dipromosikan Bibi
Ciok! Seperti dikomando saja, duabelas orang itu bertepuk tangan sambil
tersenyum-senyum, memasang lagak agar nampak tampan dan menarik.
Liong-li mengangkat kedua
tangan ke atas, memberi isyarat agar mereka tidak gaduh. Mereka pun duduk diam
dan memandang penuh kagum, dan suasana menjadi hening. Liong-li memperlebar
senyumnya sehingga nampak deretan giginya berkilat.
Biarpun mulutnya tersenyum dan
matanya mengerling tajam dan memikat, namun wanita ini merasa betapa hatinya
panas. Teringat ia betapa tujuh tahun yang lalu, dengan hati menderita dan
terpaksa menelan semua kejijikan dan penghinaan, ia harus melayani duabelas
orang ini, menyerahkan dirinya dan segala-galanya, bahkan harus berpura-pura
menikmatinya dan menyenanginya! Semua ingatan ini membuat hatinya terbakar oleh
dendam dan kemarahan.
“Cu-wi Kong-cu (Tuan-tuan Muda
Sekalian),” ia berkata dengan suara merdu merayu dan kerling mata penuh daya
tarik, “selamat sore dan selamat berjumpa kembali! Sungguh saya merasa rindu sekali
kepada cu-wi (anda sekalian). Tentu cu-wi telah melupakan saya, apa lagi
rindu......” Ia berhenti dan senyumnya melebar.
“Wah, akupun rindu sekali!”
teriak seseorang.
“Aku juga!”
“Aku rindu setengah mati!”
Bhok Hin berteriak, “Kim Cu,
kami semua rindu kepadamu. Ke mana saja selama tujuh tahun ini engkau pergi?”
Liong-li mengerling tajam.
“Hal itu akan saya ceritakan kepada cu-wi seorang demi seorang, bukan di sini
akan tetapi di dalam kamar di mana kita berdua saja......”
Kembali mereka bersorak dan
baru keadaan menjadi hening setelah Liong-li memberi isyarat.
“Akan tetapi karena cu-wi
berjumlah belasan orang, tentu saja saya tidak dapat melayani semua. Satu malam
untuk satu orangg seperti dulu, dan malam ini saya akan memilih seorang dengan
melihat siapa di antara cuwi yang paling rindu kepada saya. Hal itu dapat saya
lihat berapa besarnya hadiah yang cuwi berikan untuk saya! Harap cuwi menaruh
hadiah itu di sini!” Ia mengeluarkan sehelai kain hitam yang lebar dan
mengembangkan kain itu di atas panggung.
Mendengar ini, duabelas orang
itu kembali tertawa-tawa dan suasana menjadi gaduh ketika mereka maju dam
meletakkan bermacam barang berharga, kebanyakan potongan emas ke atas bentangan
kain hitam itu. Liong-li sambil tersenyum memandang dan melihat betapa setiap
orang memberi paling sedikit tiga tail emas dan paling banyak sepuluh tail emas
sehingga menurut taksirannya, setelah semua orang menyerahkan hadiah, tidak
kurang dari limapuluh tail emas terkumpul!
Setelah semua orang kembali
dipersilakan duduk, Liong-li berkata lantang. “Sebelum saya umumkan siapa yang
menang dan berhak menemani saya malam ini, saya akan mempersembahkan sebuah
tarian untuk cuwi yang tercinta!”
Liong-li menyuruh para pemain
musik membunyikan musik mereka lebih keras, dan iapun mulai dengan tariannya!
Dikeluarkannya sebatang pedang dan iapun mulai menari pedang! Memang Liong-li
tidak dapat disamakan dengan Lie Kim Cu. Ia kini seorang ahli silat yang hebat,
dan kini ia dapat memainkan tari pedang yang lemah gemulai, namun di balik
gerakan pedang yang nampak indah itu terkandung kekuatan dahsyat yang hanya
akan dikenal oleh ahli silat tinggi.
Duabelas orang kongcu hidung
belang itu mana mungkin mengenalnya? Mereka terpesona, bukan oleh tarian
pedang, melainkan oleh tubuh yang bergerak-gerak amat menggairahkan dan seperti
tertarik besi semberani, mereka bangkit dari tempat duduk mereka dan mendekati
panggung agar dapat melihat lebih jelas. Melihat betapa duabelas orang itu kini
berdiri membuat setengah lingkaran di depan panggung, senyum Liong-li melebar
dan iapun sambil menari berkata-kata dengan suara lantang.
“Kalian adalah kongcu-kongcu
hidung belang. Biarlah kusingkirkan hidung-hidung itu agar tidak nampak
belangnya lagi!” berkata demikian tiba-tiba saja pedang itu lenyap berubah
menjadi sinar bergulung-gulung menyambar ke bawah panggung. Terdengar
teriakan-teriakan dan nampak darah muncrat-muncrat.
Keadaan menjadi gaduh dan
gempar. Para gadis penabuh musik menjerit ketakutan dan lari cerai berai. Hanya
sebentar saja keributan itu terjadi. Ketika kegaduhan berhenti, keadaan sungguh
mengerikan. Duabelas orang pria itu menggunakan tangan mendekap muka mereka,
terutama di bagian hidung. Darah mengalir dari celah antara jari tangan yang
mendekap dan mulut mereka merintih kesakitan.
Kiranya, duabelas orang itu
benar-benar telah kehilangan batang hidung mereka. Bukit hidung itu disambar
gulungan sinar pedang dan buntung! Dan di sudut nampak Bibi Ciok melolong dan
menangis sambil menggunakan tangan kiri memegangi lengan kanannya yang buntung!
Tadi sinar pedang itu menyambar ke arah tangan kanannya dan terdengar bentakan
Liong-li.
“Engkau harus menebus dosamu
kepadaku dengan menyerahkan tanganmu yang kotor!” Dan begitu sinar menyambar,
tangan kanannya sebatas pergelangan menjadi buntung!
Dan ketika semua orang
memandang ke arah panggung, Liong-li sudah tidak nampak bayangannya lagi, dan
tumpukan emas di atas kain hitam yang terbentang tadipun lenyap. Liong-li telah
pergi setelah menghukum orang-orang yang pernah menyakiti hatinya.
Tentu saja peristiwa itu
mendatangkan geger di kota Lok-yang. Semua orang membicarakannya dan nama
Hek-liong-li menjadi buah bibir orang. Dewi Naga Hitam menjadi terkenal di
Lok-yang. Apa lagi setelah pada malam hari itu juga terjadi peristiwa lain di
Lok-yang yang amat mengerikan pula. Terjadi di rumah gedung Pangeran Coan Siu
Ong!
Malam itu sunyi meliputi rumah
gedung yang seperti istana itu, milik Pangeran Coan Siu Ong. Pangeran yang kini
usianya sudah limapuluh tujuh tahun itu, sudah tidur mendengkur kelelahan
setelah menggilir selir barunya yang nomor lima!
Tengah malam telah lewat dan
para peronda di gedung itu sudah mulai meronda. Mereka terdiri dari lima orang
pengawal yang meronda di sekeliling gedung, memasuki taman dan memeriksa semua
sudut. Seorang di antara mereka memegang sebuah lentera. Namun, sunyi saja dan
nampaknya aman sehingga mereka setelah berkeliling lalu kembali ke gardu
penjagaan mereka yang berada di pekarangan depan gedung itu.
Udara dingin dan mereka
berlima lebih hangat kalau berada di dalam gardu. Tiga orang segera rebah di
atas kursi panjang, yang dua orang sibuk bermain catur. Tak seorangpun di
antara mereka yang tahu bahwa sepasang mata jeli dari atas genteng sejak tadi
mengamati gerak-gerik mereka ketika meronda.
Setelah mereka memasuki gardu,
pemilik mata itu bangkit dari keadaannya yang mendekam tadi, lalu nampak
bayangannya yang hitam ramping berloncatan di atas wuwungan, kemudian melayang
turun di taman dalam gedung dan menyelinap di antara kamar-kamar gedung besar itu.
Beberapa menit kemudian,
bayangan hitam itu sudah membuka jendela sebuah kamar dengan mudahnya, lalu
bagaikan seekor burung saja ia melompat masuk ke dalam kamar itu. Di atas meja
masih bernyala penerangan sebatang lilin yang dikerudung kain merah sehingga
cuaca dalam kamar itu kemerahan remang-remang, romantis sekali.
Bayangan itu seorang wanita
yang cantik, berpakaian serba hitam dan dalam penerangan lilin, nampaklah bahwa
ia bukan lain adalah Hek-liong-li! Setelah menghajar para kongcu hidung belang
yang pernah menjadi langganannya, yang pernah dilayaninya secara terpaksa dan
dengan hati tersiksa, kini Liong-li memasuki kamar orang yang paling
dibencinya, yaitu kamar Pangeran Coan Siu Ong! Pangeran inilah yang pertama
kali memperkosanya, dan pangeran ini pula yang mengakibatkan ayah kandungnya
membunuh diri dan ibu kandungnya meninggal dunia karena kedukaan.
Liong-li membuka kerudung
lilin, bahkan memasang pula tiga buah lilin yang dipadamkan, di tempat lilin di
atas meja. Kini kamar itu tidak remang-remang lagi, melainkan terang dan
Liong-li yang menoleh ke arah tempat tidur, dapat melihat betapa di balik
kelambu yang putih halus itu terdapat dua sosok tubuh manusia yang tidur pulas
dalam keadaan saling berpelukan dan tertutup selimut merah.
Liong-li segera membayangkan
keadaannya ketika itu, tujuh tahun yang lalu, di dalam kamar ini, bahkan di
atas pembaringan itu. Betapa ia terbelenggu kaki tangannya, diperkosa oleh
Pangeran Coan Siu Ong. Wajahnya menjadi merah, akan tetapi ia dapat menenangkan
hatinya dan ketika ia mengerling ke dinding, ia melihat bahwa pedang pendek
yang dulu pernah ia pergunakan untuk mencoba membunuh pangeran itu kini masih
juga tergantung di situ.
Ia mengambil pedang itu dan
menghunusnya. Ia tidak pernah membawa pedang dan pedang yang dipergunakan untuk
“menari” dan menghajar para pria hidung belang di rumah pelesir Bibi Ciok juga
merupakan pedang biasa yang dibelinya dari penjual pedang di pasar.
“Brettt......, bretttt......!”
Kelambu itu disambar pedang dan robek terkuak lebar, namun dua orang yang
saling berpelukan di atas tempat tidur itu tidak bergerak. Mereka sudah tidur
nyenyak sekali.
“Brukkkk......!” Liong-li
membacok kaki pembaringan itu sehingga pembaringan itu roboh miring. Barulah
dua orang itu terkejut, selimut tersingkap dan Liong-li memalingkan muka
melihat bahwa mereka itu sama sekali tidak berpakaian.
“Apa...... apa......
siapa......?” Pangeran Coan Siu Ong yang terkejut itu gelagapan dan bersama
selirnya, dia menyambar pakaian dan mengenakan pakaiannya secara tergesa-gesa,
sejadinya saja.
Lalu dia meloncat turun dari
pembaringan yang miring itu, matanya terbelalak kemerahan karena dia melihat
seorang wanita berdiri membelakangi pembaringan. Dia mengira bahwa tentu
seorang diantara selirnya yang sengaja datang membikin ribut karena iri hati
dan panas melihat dia lebih sering tidur di kamar selir terbaru ini. Dia marah
sekali dan siap untuk memaki dan menghajar selir kurang ajar itu.
KEPARAT, berani kau mengganggu
aku......”
Tiba-tiba dia menghentikan kalimatnya
itu ketika Liong-li membalikkan tubuh menghadapinya. Pangeran Coan Siu Ong
terkejut dan bengong memandang kepada wanita berpakaian serba hitam yang amat
cantik itu. Cantik dan menyeramkan karena kemunculannya yang tiba-tiba,
pakaiannya yang serba hitam, dan tangannya yang memegang pedang telanjang.
“Siapa...... siapa kau......?”
akhirnya dia bertanya, suaranya agak gemetar karena dia merasa seram. Sementara
itu, selirnya yang juga sudah menutupi tubuh dengan pakaian sekenanya, turun
dari pembaringan dan bersembunyi di sudut kamar, di balik lemari pakaian dengan
muka pucat dan tubuh gemetar.
Liong-li tersenyum manis.
“Pangeran Coan Siu Ong, sudah lupakah kau kepadaku? Ingat tujuh tahun yang
lalu! Lupakah engkau kepada keluarga Lie, bawahanmu yang kaubikin hancur
keluarganya itu? Engkau memperkosa aku, lalu menjualku ke rumah pelesir, engkau
membuat ayahku membunuh diri dan ibuku mati karena duka.”
“Ahhh......!” mata pangeran
itu terbelalak ketika dia teringat. “Kau...... Kim Cu......!”
“Sekarang bukan Lie Kim Cu
lagi, melainkan Hek-liong-li yang datang untuk membasmi manusia-manusia jahat
dan keji macam engkau!”
“Tolonggg......!
Tolooongggg......!” Tiba-tiba selir yang bersembunyi di sudut dekat almari itu
berteriak-teriak mendengar ucapan wanita baju hitam itu.
Sementara itu, Pangeran Coan
Siu Ong sudah jatuh berlutut karena takutnya. Dia mengenal Kim Cu, gadis yang
pernah dijadikan selir, dan karena gadis itu menolak untuk digauli, bahkan
memukulnya, maka dia menyuruh pengawalnya untuk membelenggu gadis itu, kemudian
diperkosanya! Dia sudah tahu bahwa gadis itu kuat sekali dan andaikata dia
melawan pun akan sia-sia, maka saking takutnya, dia sudah jatuh berlutut dengan
tubuh menggigil ketakutan.
“Ampun...... ampunkan
aku......” katanya berulang kali dengan bibir gemetar. Akan tetapi diam-diam
dia melirik ke arah pintu, mengharapkan munculnya para pengawalnya atas
teriakan minta tolong selirnya tadi. Akan tetapi, Liong-li sama sekali tidak
perduli akan teriakan selir yang ketakutan itu.
“Mintalah ampun kepada Tuhan!”
kata Liong-li dan tangannya bergerak, pedangnya berkelebat menjadi sinar
menyambar ke arah Pangeran Coan Siu Ong.
“Crak-crak-crak-crakk!” Nampak
darah muncrat-muncrat dan tubuh pangeran itu terguling mandi darahnya sendiri yang
bercucuran keluar dari kedua lengan dan kedua kakinya yang buntung! Buntung
sebatas pergelangan, terbabat oleh pedang di tangan Liong-li!
Wanita itu lalu melontarkan
pedang menancap pada dinding, tepat pada saat pintu kamar itu jebol karena
dibuka secara paksa dari luar oleh para pengawal yang berdatangan karena
teriakan selir yang ketakutan itu. Selir itu masih berteriak-teriak, bahkan
semakin keras melihat betapa suaminya roboh mandi darah.
Liong-li berdiri di tengah
kamar itu, bertolak pinggang dengan sikap tenang sekali, memandang kepada
delapan orang pengawal yang memasuki kamar. Para pengawal terkejut bukan main
melihat tubuh majikan mereka yang kehilangan kedua tangan dan kedua kaki itu,
berkelojotan sambil merintih-rintih.
“Perempuan jahat berani mati
dari mana yang membikin kacau di sini, berani menyerang Pangeran!” bentak
seorang di antara mereka.
“Aku Dewi Naga Hitam, datang
untuk menghukum orang yang jahat dan kejam seperti Pangeran Coan Siu Ong. Kalau
kalian hendak membelanya, mari keluar, di sini terlalu sempit!” Berkata
demikian, Liong-li meloncat dan tubuhnya sudah melayang keluar dari kamar itu
melalui jendela. Tentu saja para pengawal segera mengejarnya.
Liong-li menanti di pekarangan
depan yang luas. Ia berdiri tegak, tanpa memegang senjata, menanti pengejaran
para pengawal. Kini semua pengawal muncul, jumlah mereka ada duabelas orang.
Mereka semua telah tahu bahwa majikan mereka dibuntungi kaki tangannya oleh
wanita berpakaian hitam yang mengaku bernama Hek-liong-li itu, maka duabelas
orang pengawal mengepungnya dengan senjata di tangan ketika melihat ia berdiri
menanti di tengah pekarangan depan.
Liong-li menghadapi para
pengawal itu dengan sikap tenang saja, dan ketika mereka mulai menyerbu dari
depan belakang, kanan dan kiri, tubuhnya tiba-tiba bergerak amat cepatnya
sehingga para pengepung itu kehilangan lawan, yang nampak hanya bayangan hitam
berkelebatan di antara mereka dan berturut-turut, duabelas orang pengawal itu
rebah malang melintang, ada yang patah lengannya, tulang pundak atau tulang
kaki, ada pula yang pingsan. Ketika mereka yang terluka ini merangkak bangun,
bayangan Dewi Naga itu sudah lenyap dari situ!
Tentu saja peristiwa hebat ini
membuat nama Dewi Naga Hitam menjadi terkenal di seluruh Lok-yang dan
daerahnya. Pangeran Coan Siu Ong tidak mati, akan tetapi dia hidup dalam
keadaan yang sengsara sekali. Karena kakinya buntung sebatas pergelangan, untuk
berjalan pun sukar dan dia harus memakai tongkat sebagai kaki ketiga! Dan kedua
tangannya tidak ada. Dia menjadi seorang tapadaksa yang selalu harus dirawat
dan dibantu orang.
Pangeran itu menjadi pemurung,
hilang semua kesenangan dan dia lebih banyak termenung di atas pembaringan
kamarnya seorang diri. Tidak lagi dia pernah mendekati wanita karena tidak
tahan melihat pandang mata jijik mereka terhadap dirinya. Baru sekarang dia
merasa menyesal dan seringkali membayangkan semua perbuatannya yang sesat di
waktu lalu.
Dari kota Lok-yang inilah
mulai dikenal nama Dewi Naga Hitam yang kemudian terkenal di dunia kang.ouw. Seorang
wanita yang masih muda, cantik menarik, namun memiliki ilmu kepandaian yang
amat tinggi, dengan pakaian yang serba hitam!
Bagi dunia persilatan, nama
Dewi Naga Hitam yang baru muncul ini masih merupakan teka-teki, kecuali bahwa
nama julukan itu adalah nama seorang wanita muda yang cantik jelita dan berilmu
tinggi. Dunia kang-ouw tidak tahu orang macam apa adanya Hek-liong-li, apakah
termasuk golongan pendekar yang menentang kejahatan pada umumnya, ataukah
golongan sesat yang memaksakan keinginan hati demi keuntungan sendiri dengan
mengandalkan kekerasan dan kekuatan.
Liong-li tidak pernah
menentang kejahatan, tidak mencampuri urusan orang lain dan hanya menghajar
orang yang berani menentang dan memusuhinya. Karena itu, namanya yang baru
muncul itu disegani, baik oleh golongan pendekar, maupun oleh golongan hitam.
◄Y►
Sejak sepuluh tahun yang lalu,
dunia persilatan telah digemparkan oleh munculnya datuk-datuk sesat yang
terkenal dengan nama julukan Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua)!
Mereka dikenal sebagai
Sembilan Iblis Tua, akan tetapi sesungguhnya mereka itu bergerak secara
terpisah, bahkan tidak ada hubungannya satu sama lain, kecuali beberapa orang
di antara mereka yang ada hubungan saudara seperguruan atau sahabat. Bahkan di
antara mereka ada yang tidak saling mengenal bahkan tak pernah saling berjumpa.
Kalau mereka disebut Sembilan
Iblis Tua adalah karena pada jaman itu, mereka merupakan datuk-datuk kaum sesat
yang paling tinggi ilmunya dan ditakuti lawan disegani kawan. Mereka mempunyai
latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, bahkan tidak ada yang tinggal di
satu propinsi. Kelihaian sembilan orang datuk sesat ini ramai dibicarakan di
dunia persilatan, bahkan di dunia hitam, mereka itu seperti tokoh-tokoh dalam
dongeng saja!
Seorang di antara mereka
berjuluk Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam). Seperti delapan orang
rekannya yang lain, diapun baru muncul sejak sepuluh tahun yang lalu. Tadinya,
Kiu Lo-mo tak pernah muncul di dunia ramai, bahkan nama mereka seperti sudah
tenggelam di samudera luas atau melayang lenyap di langit yang lebih luas lagi.
Dan mungkin sekali kemunculan mereka karena saling tertarik.
Mendengar yang seorang muncul,
yang lainpun agaknya tidak mau kalah sehingga dunia hitam menyambut kemunculan
mereka dengan hangat, merasa telah memperoleh pimpinan yang boleh diandalkan.
Segera para tokoh sesat menyatakan diri sebagai pengagum dan “berlindung” di
bawah pengaruh datuk sesat itu, di wilayah masing-masing.
Demikian pula dengan Hek-sim
Lo-mo. Begitu dia muncul, para tokoh sesat, kepala-kepala perampok, ketua-ketua
perkumpulan gelap, bahkan hartawan dan bangsawan, banyak yang
berbondong-bondong menghadap atau mengirim utusan disertai barang bingkisan
atau hadiah yang amat berharga. Tentu saja bingkisan atau hadiah itu bukan
diberikan dengan hati rela dan berdasarkan persahabatan yang murni.
Sama sekali tidak. Pemberian
itu adalah semacam sogokan atau suapan, diberikan dengan pamrih agar nama si
pemberi dimasukkan dalam daftar orang-orang yang dilindungi oleh pengaruh dan
kekuasaan Hek-sim Lo-mo. Dan sebentar saja, datuk yang berjuluk Hek-sim Lo-mo,
seorang di antara Kiu Lo-mo, telah menjadi kaya raya! Perkumpulan-perkumpulan
sesat yang menguasai tempat-tempat perjudian, pelacuran dan menyediakan tenaga
bayaran untuk menjadi tukang-tukang pukul para hartawan, tergopoh-gopoh
menyambut datuk ini, membuatkan rumah dan mencukupi segala keperluannya.
Hek-sim Lo-mo menjadi datuk
yang wilayahnya meliputi dua propinsi, yaitu He-nan dan Shan-tung! Amat luas
wilayah ini dan dia memilih Lok-yang sebagai tempat tinggalnya. Rumahnya besar
dan mewah, seperti rumah seorang hartawan saja, di pinggir kota Lok- yang, di
atas tanah yang luas. Rumah itu diperlengkapi dengan taman yang lebar dan
indah, ruangan yang luas untuk tempat bermain silat, rekreasi, pesta dan
sebagainya.
Rumah induknya menjadi tempat
tinggalnya dan Hek-sim Lo-mo ditemani oleh lima orang selir, wanita-wanita muda
yang cantik manis, berusia antara delapanbelas sampai duapuluh lima tahun, dan
belasan orang pelayan! Hidupnya makmur dan penuh kesenangan dan dia boleh
dibilang sama sekali tidak bekerja. Namanya saja yang dipergunakan oleh dunia
kang- ouw sebagai pelindung.
Tentu saja Hek-sim Lo-mo
mempunyai banyak sekali pembantu, yaitu tokoh-tokoh lihai yang menjadi
pelaksana dari semua perintahnya. Jarang datuk ini turun tangan sendiri. Kalau
ada sesuatu hal yang perlu diselesaikan dengan kekerasan, dia hanya menyuruh
seorang di antara para pembantunya dan dia hanya tahu bares saja. Beberapa hari
sekali, para pembantu itu datang menghadap dan membuat laporan-laporan kepada
datuk itu, yang kemudian mengatur rencana dan menentukan apa yang harus
dilakukan oleh mereka.
Setelah menjadi datuk yang
kekuasaannya meliputi wilayah dua propinsi itu, hampir semua tokoh dunia hitam
tunduk kepada Hek-sim Lo-mo. Ada memang beberapa orang tokoh yang belum pernah
mengenal kelihaiannya, merasa kurang percaya dan enggan untuk tunduk atau
takluk. Dan ada beberapa tokoh yang cukup tangguh sehingga terpaksa Hek-sim
Lo-mo harus turun tangan sendiri menaklukkannya dengan ilmu kepandaiannya yang
luar biasa!
Dan kabarnya, tidak ada
seorangpun tokoh sesat pembangkang yang sanggup menandinginya lebih dari
sepuluh jurus! Beberapa orang tokoh yang dinilai cukup lihai dan berharga untuk
menjadi pembantunya, yang tadinya membangkang, tidak dibunuhnya melainkan
ditundukkan dan diangkat menjadi pembantu yang boleh diandalkan.
Pada suatu malam, para
pembantu Hek-sim Lo-mo datang menghadap seperti biasa. Pertemuan seperti itu
diadakan sedikitnya sebulan sekali, dan malam itu, atas permintaan Hek-sim
Lo-mo, mereka datang untuk membuat laporan. Hek-sim Lo-mo yang seolah-olah
menjadi raja di antara kaum sesat itu, menerima paras pembantunya dengan
gembira, dengan pesta pora.
Ruangan yang luas itu
dipergunakan untuk menjamu para pembantunya, bahkan mengundang gadis-gadis
panggilan, juga rombongan gadis pemain musik, tari dan nyanyi, untuk menghibur
pertemuan antara dia dan para pembantunya itu. Memang, terhadap para
pembantunya, Hek-sim Lo-mo bersikap royal, dan diapun melimpahkan banyak barang
berharga untuk mereka.
Ruangan yang luas itu terang
benderang karena banyaknya lampu yang dipasang. Juga ruangan itu dihias dengan
kain sutera warna-warni, dan karena banyak gadis cantik melayani, maka pesta
itu meriah bukan main. Seperti biasa, sebelum menerima laporan dan merundingkan
urusan yang timbul dalam wilayah kekuasaan Hek-sim Lo-mo, datuk ini lebih dulu
menjamu para pembantunya dengan makanan yang mewah, dan minum arak nomor satu,
juga menghibur mereka dengan tarian dan nyanyian yang dilakukan oteh rombongan
gadis penari yang muda-muda dan cantik.
Terjadilah pesta mabok-mabokan
dan penuh kecabulan. Para tokoh sesat yang menjadi pembantu Hek-sim Lo-mo itu
sebagian besar adalah tokoh-tokoh jahat terkemuka di dunia kang-ouw, dan mereka
adalah orang-orang kasar yang tidak segan-segan melakukan perbuatan tanpa
susila di depan siapa saja.
Melihat para gadis panggilan
yang melayani mereka itu muda-muda dan cantik-cantik, maka merekapun tanpa
malu-malu lagi menggoda dan mempermainkan mereka, mencubit, mencolek, meraba,
bahkan ada yang memangku dan menciumi seorang gadis panggilan yang hanya
terkekeh genit! Tentu saja tidak sampai berkelanjutan ke hubungan yang lebih
intim.
Untuk kesempatan itu, akan
diberikan oleh Hek-sim Lo-mo setelah rapat selesai sehingga pesta ini juga
merupakan “pemanasan” bagi para pembantu yang diam-diam telah memilih gadis
pilihan masing-masing untuk menemani mereka malam nanti. Kamar-kamar untuk para
pembantu itu telah disediakan di bagian belakang, kamar-kamar yang cukup mewah
untuk menyenangkan hati para pembantunya.
Setelah makan minum selesai,
rapatpun dimulai. Tempat itu dibersihkan dari sisa-sisa pesta, meja-meja
disingkirkan, diganti meja yang panjang di kelilingi kursi-kursi untuk para
pembantu, sedangkan kursi besar berada di kepala meja, tempat duduk Hek-sim
Lo-mo. Ruangan itu menjadi lega dan luas, dan para gadis itupun disuruh mundur.
Hek-sim Lo-mo nampak duduk di
kepala meja. Dia seorang laki-laki yang usianya sudah lebih dari enampuluh tahun,
sedikitnya enampuluh tiga tahun. Namun, tubuhnya yang tinggi besar itu masih
nampak tegap dan kokoh kuat seperti batu karang. Wajahnya kasar, berbentuk segi
empat dengan kulit muka kasar menghitam yang setengahnya, di bagian bawah,
penuh dengan kumis jenggot dan cambang.
Sepasang matanya bulat dan
besar, memiliki sinar tajam mencorong dan mulutnya selalu menyeringai karena
bibirnya terlalu pendek untuk dapat menutup pintu mulutnya. Hidungnya juga
besar dan bulat seperti buah terong muda. Bagian tubuh yang kelihatan seperti
leher, sebagian lengan karena dia menggulung lengan bajunya, dilingkari
otot-otot yang menonjol dan menggembung, membayangkan kekuatan yang dahsyat.
Pakaiannya seperti pakaian
hartawan, mewah, dari sutera mahal beraneka warna, dan kepalanya ditutupi
sebuah topi yang indah pula, sulaman bunga dan burung Hong. Di luar bajunya,
dia mengenakan jubah panjang berwarna mortal seperti yang biasa dipakai oleh
pendeta-pendeta. Dia tidak nampak membawa senjata, akan tetapi orang tidak tahu
apa yang tersembuyi di balik jubah lebar itu. Sepatunya mengkilat, dari kulit
tebal yang kuat. Biarpun usianya sudah enampuluh tiga tahun, namun kumis,
jenggot dan rambut kepalanya masih hitam, kaku dan keras seperti kawat-kawat
saja.
Tidak ada yang tahu dari mana
asalnya Hek-sim Lo-mo dan tidak ada yang berani menanyakannya. Melihat bentuk
muka dan kulitnya, mungkin dia peranakan India atau Nepal, setidaknya dia tentu
berasal dari daerah barat. Namanya menjulang tinggi dan ditakuti ketika tersiar
berita betapa Hek-sim Lo-mo pada puluhan tahun yang lalu, pernah bermusuhan
dengan perkumpulan Kui-san-pang dan kabarnya, dalam perkelahian di mana Hek-sim
Lo-mo dikeroyok oleh semua pimpinan dan anak buah Kui-san-pang, datuk ini telah
menewaskan seluruh anggauta Kui-san-pang yang jumlahnya tidak kurang dari
seratus limapuluh orang!
Belum ada yang membuktikan
kebenaran berita ini, akan tetapi kenyataannya, Kui-san-pang terbasmi dan tidak
tersisa lagi anggautanya, pada hal perkumpulan itu terkenal sekali sebagai perkumpulan
yang memiliki banyak orang pandai! Kemudian, berulang kali tokoh-tokoh dunia
persilatan menentang Hek-sim Lo-mo, namun seorang demi seorang roboh, tidak
kuat menandingi datuk ini.
Di antara para pembantu
Hek-sim Lo-mo yang dipercaya dan diandalkan, terdapat lima orang yang dianggap
sebagai tangan kanan dan yang paling lihai di antara belasan orang itu. Yang
pertama dan duduk di sebelah kanan Hek-sim Lo-mo adalah Yauw Ban yang berjuluk
Tok-gan-liong (Naga Mata Satu).
Dia seorang laki-laki berusia
limapuluh tahun, tinggi kurus dengan leher panjang dan yang menarik adalah
matanya yang tinggal sebelah. Mata sebelah kiri telah buta, tertutup dan tidak
ada biji matanya. Mata itu tertusuk senjata lawan dan dia menjadi buta ketika
masih muda dalam suatu perkelahian. Tok-gan-liong Yauw Ban ini lihai sekali,
memiliki ilmu pedang tunggal yang sukar dicari tandingannya, dan diapun seorang
ahli ginkang yang memiliki kecepatan gerakan seperti terbang saja. Dia pendiam
dan berdarah dingin, dapat membunuh tanpa mengedipkan mata tunggalnya, dan
cerdik sekali.
Dia menjadi pembantu nomor
satu dari Hek-sim Lo-mo setelah dia dikalahkan oleh datuk itu karena tadinya
diapun tidak sudi takluk sebelum menguji kepandaian datuk itu. Dan dalam
perkelahian inilah Hek-sim Lo-mo dapat melihat kelihaian Naga Mata Satu ini,
maka diapun menarik Yauw Ban menjadi pembantu utama, maklum bahwa para pembantu
yang lain masih kalah dibandingkan dengan Yauw Ban.
Sebelum menjadi pembantu
pertama Hek-sim Lo-mo, Tok-gan-liong Yauw Ban ini menjadi perampok tunggal yang
dianggap sebagai datuk para perampok di wilayah Propinsi Shan-tung. Dia malang
melintang dan para perampok lainnya selalu memberi semacam “upeti” kepadanya.
Akan tetapi kemunculan Hek-sim Lo-mo menarik nama besarnya ke bawah sehingga
dia penasaran dan menantang datuk itu untuk mengadu ilmu silat. Tanpa banyak
kesukaran, Hek-sim Lo-mo yang memang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya,
mengalahkan Yauw Ban dan Si Naga Mata Satu ini lalu takluk dan dengan senang
hati menjadi pembantunya yang paling setia.
Bahkan Hek-sim Lo-mo berkenan
memperdalam ilmu pembantunya ini sehingga Yauw Ban menjadi semakin setia karena
menganggap Hek-sim Lo-mo selain atasannya, juga seperti gurunya sendiri. Dan
datuk sesat itupun pandai menyenangkan hati Tok- gan-liong Yauw Ban sehingga
pada waktu itu, andaikata disuruh menyeberangi lautan api sekalipun kalau yang
memerintahnya Hek-sim Lo-mo, tentu Yauw Ban akan mentaatinya!
Pembantu kedua yang juga amat
lihai dan duduk di sebelah kiri Hek-sim Lo-mo adalah seorang wanita! Ia juga
seorang tokoh sesat yang amat terkenal di Propinsi He-nan dan Shan-tung,
terutama sekali di sepanjang Sungai Kuning dan wanita ini terkenal ganas
sekali. Ia terkenal dengan julukannya, yaitu Kiu-bwe Mo-li (Iblis Betina Ekor
Sembilan) sehingga nama aselinya tak pernah diketahui orang.
Iapun suka disebut Mo-li
(Iblis Betina) saja! Selain ganas, kejam dan sadis, wanita ini terkenal gila
laki-laki, cabul dan setiap orang laki-laki yang disenanginya, diculik dan
dipaksa untuk melayani gairah nafsu berahinya. Yang menolak, dibunuh seketika.
Yang mau melayaninya, kalau memuaskan hatinya, ia beri hadiah yang royal
sekali, akan tetapi kalau mengecewakan, juga dibunuhnya!
Tujuh tahun yang lalu, Kiu-bwe
Mo-li berani menentang kekuasaan Hek-sim Lo-mo yang mengutus Tok-gan-liong Yauw
Ban untuk menundukkannya. Dalam adu kepandaian yang amat seru, Tok-gan-liong
Yauw Ban menemui kesulitan untuk mengalahkan wanita itu, walaupun kehebatan
ilmu pedangnya juga membuat Kiu-bwe Mo-li kewalahan untuk dapat mendesak
lawannya.
Melihat betapa wanita itu
lihai, dapat mengimbangi kepandaian pembantu utamanya, timbul perasaan sayang
pada Hek-sim Lo-mo dan dia lalu maju menggantikan Yauw Ban. Tanpa banyak
kesulitan, akhirnya dia mampu menundukkan Kiu-bwe Mo-li yang kemudian takluk
dan menjadi pembantunya yang nomor dua.
Wanita itu kini berusia
empatpuluh dua tahun, akan tetapi karena terlampau menurutkan nafsu berahi yang
diumbarnya tanpa batas, wajahnya nampak lebih tua dan keriputan. Wajahnya yang
dulu cantik itu masih meninggalkan bekas, namun kulitnya keriputan dan
rambutnya banyak yang putih. Kenyataan ini hendak disembunyikan dengan bedak
tebal dan dandanan yang pesolek sekali, juga sikap yang amat genit!
Sesuai dengan nama julukannya,
Kiu-bwe Mo-li (Iblis Betina Ekor Sembilan), wanita ini memiliki senjata yang
istimewa, yaitu sebatang cambuk yang berekor sembilan. Ia pandai sekali
memainkan senjata cambuk ekor sembilan ini dan julukannya pun diambil dari
senjata itu.
Orang ketiga yang menjadi
pembantu utama Hek-sim Lo-mo adalah seorang pria yang usianya kurang lebih
tigapuluh tahun. Baru lima tahun dia menjadi pembantu Hek-sim Lo-mo. Dia
bertubuh sedang dan wajahnya tampan dan menarik, gerak-geriknya halus lembut
dan sopan peramah, pakaiannya seperti pakaian seorang terpelajar. Orang akan
tidak percaya kalau mendengar bahwa dia adalah seorang yang memiliki hati yang
amat kejam dan jahat, tidak percaya bahwa dia adalah seorang jai-hwa-cat
(penjahat pemetik bunga) yang suka memperkosa wanita dan membunuhnya!
Namanya Lui Teng dan dia
dijuluki Jai-hwa Kongcu (Tuan Muda Pemetik Bunga). Sebenarnya, Jai-hwa Kongcu
Lui Teng ini adalah seorang murid yang pandai dari perguruan Pek-tiauw-pang
(Perkumpulan Rajawali Putih) yang berada di puncak Gunung Lu-san, sebuah perkumpulan
para orang gagah. Akan tetapi, Lui Teng diperhamba oleh nafsu berahinya sendiri
sehingga dia melakukan perbuatan jahat, yaitu memaksa wanita yang membangkitkan
gairah berahinya dengan cara memperkosa, bahkan sering kali dia membunuh wanita
yang menolaknya atau melawannya ketika dia memperkosanya.
Karena perbuatan ini, dia
menjadi seorang pelarian, melarikan diri dari Pek-tiauw-pang. Bahkan setelah
mendengar akan sepak terjang Lui Teng, para pimpinan Pek- tiauw-pang
mengutuknya dan tidak lagi mengakuinya sebagai murid, walaupun hal ini
dilakukan oleh para pimpinan dengan hati menyesal karena sesungguhnya Lui Teng
adalah seorang murid yang mewarisi ilmu-ilmu perguruan itu dengan baik dan
kepandaiannya yang tinggi dapat menjunjung tinggi nama perguruan Pek-tiauw-pang.
Lui Teng juga penasaran
melihat munculnya Hek-sim Lo-mo sebagai datuk. Diapun menantangnya dan biarpun
dengan susah payah, dia dapat dikalahkan oleh Tok-gan-liong Yauw Ban. Dia
takluk dan diangkat menjadi pembantu ketiga oleh Hek-sim Lo-mo.
Pembantu keempat dan kelima
adalah saudara kembar. Mereka bernama Gan Siang dan Gan Siong, dan keduanya
selalu maju bersama. Oleh karena itu mereka mendapat julukan He-nan Siang-mo
(Sepasang Iblis dari He-nan). Mereka berusia sekitar empatpuluh tahun dan baru
dua tahun mereka menjadi pembantu-pembantu yang dipercaya oleh Hek-sim Lo-mo.
Kedua orang kembar ini berwajah serupa benar sehingga sukarlah bagi orang lain
untuk dapat membedakan antara mereka.
Wajah mereka bulat, dan bukan
hanya bentuk wajah dan tubuh mereka yang serupa benar, akan tetapi bahkan
pakaian merekapun sama, seolah-olah lipatan-lipatannya sama, bentuk rambut,
kumis dan jenggot mereka tiada bedanya. Juga keduanya suka tertawa, suka
memandang rendah orang lain dan berhati kejam.
Mereka terkenal sekali bukan
hanya karena kekejaman mereka, melainkan terutama sekali karena kelihaian
mereka memainkan sebatang golok. Kalau menghadapi bahaya atau lawan, jarang
mereka maju satu demi satu, pasti mereka maju bersama, biar lawannya hanya
seorang ataupun ada sepuluh orang. Dan kalau kedua orang kembar ini sudah
memainkan golok mereka, dengan ilmu golok Siang-mo Sin-to (Golok Sakti Sepasang
Iblis), maka dua batang golok itu seolah-olah digerakkan oleh satu orang saja
yang memiliki dua pasang tangan dan dua pasang kaki!
Kerja sama mereka mengagumkan
dan mengherankan sekali, karena masing-masing seperti dapat mengetahui apa yang
berada di dalam hati dan pikiran saudara kembarnya. Inilah yang membuat mereka
menjadi lihai dan berbahaya sekali. Kalau mereka itu maju seorang demi seorang,
mereka masih kalah oleh Jai-hwa Kongcu Lui Teng, akan tetapi kalau mereka maju
bersama, biar Tok-gan-liong Yauw Ban sendiri akan repot melawan mereka.
Di samping lima orang ini,
masih ada sepuluh orang lain yang diangkat menjadi pembantu-pembantunya, akan
tetapi yang menjadi tangan kanan hanyalah lima orang itu. Tentu saja tingkat
kepandaian para pembantu lain juga tinggi dan mereka adalah tokoh-tokoh
golongan hitam atau kaum sesat, namun masih kalah kalau dibandingkan dengan
lima orang pembantu utama tadi.