Lambat-laun Pwe-giok merasa
tidak tenteram, pikirnya: "Mengapa dia pandang diriku cara begini?,
mengapa?...."
Pada saat itulah tiba-tiba di
luar jendela sana berkumandang suara orang tertawa riuh.
Pwe giok mendekati jendela dan
sedikit menyingkap ujung tirai serta mengintip keluar, dilihatnya seekor kucing
hitam sedang berlari-lari dikejar oleh seorang pendek kurus kecil dengan jubah
kembang. Wajahnya yang pucat itu kelihatan berjenggot, tapi perawakannya serupa
anak berumur dua belasan, gerak-geriknya juga kekanak-kanakan.
Muka orang kerdil ini penuh
butiran keringat, rambutnya juga kusut, bahkan sebelah sepatunya juga sudah
copot, keadaannya kelihatan serba konyol, ya kasihan, ya lucu, ya menggelikan.
Belasan lelaki kekar
berpakaian mentereng tampak mengikuti di belakang orang kerdil ini dengan gelak
tertawa, seperti orang yang sedang melihat tontonan menarik, ada yang berkeplok
gembira, ada yang menimpuki kucing hitam tadi dengan batu.
Melihat itu, tanpa terasa
Pwe-giok menghela napas panjang.
"Kenapa kau menghela
napas panjang, apa yang kau sesalkan?" tiba-tiba seorang bertanya di
belakangnya.
Kiranya Cengcu-hujin itu entah
sejak kapan sudah berdiri di belakangnya dan juga sedang memandang keluar.
"Cayhe melihat orang ini
dipermainkan orang banyak seperti badut, hati merasa tidak tega," kata
Pwe-giok dengan menyesal.
Cengcu-hujin diam saja,
wajahnya kaku tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan, sejenak kemudian barulah
ia berkata dengan perlahan:" Orang ini adalah suamiku."
"Apa.....apa katamu? Dia....
dia suamimu? Dia inilah Cengcu?" tanya Pwe-giok dengan terkesiap.
"Betul, dia inilah Cengcu
dari Sat-jin-ceng ini," jawab Cengcu-hujin dengan dingin.
Pwe-giok melenggong hingga
sekian lamanya ia tak dapat bersuara. Baru sekarang ia paham apa sebabnya
ketiga ibu beranak ini disebut sebagai "perempuan yang harus
dikasihani". Sekarang iapun tahu duduk perkara sebab apa di perkampungan
ini orang boleh bebas bunuh membunuh.
Rupanya Cengcu dari
Sat-jin-ceng ini adalah seorang badut yang harus dikasihani, seorang kerdil
yang malang. Setiap orang boleh datang ke sini dan mempermainkan dia dengan
sesuka hati. Dalam pada itu Cengcu-hujin sudah kembali ke tempat duduknya dan
memandangi Pwe-giok tanpa bicara.
Kini Pwe-giok dapat menahan
perasaannya, sebab sekarang sudah timbul rasa simpatinya terhadap perempuan di
depannya ini, simpati yang tak terhingga terhadap segenap keluarga yang malang
ini, sekalipun banyak sekali tingkah-laku mereka yang aneh, tapi itupun dapat
dimaklumi.
Entah sejak kapan mereka sudah
disediakan santapan, Cengcu hujin hampir tidak menyentuh hidangan itu, tapi
Pwe-giok telah makan dengan lahapnya.
Di dunia ini memang tiada
sesuatu persoalan yang dapat mengganggu selera makan anak muda. Dan begitulah
waktu telah berlalu dengan begitu cepat.
Di dalam rumah semakin gelap,
wajah Cengcu hujin mulai samar-samar, rumah ini mirip sebuah kuburan yang akan
mengubur masa mudanya yang bahagia.
"Mengapa dia memandang
diriku cara begini?!" demikian Pwe-giok bertanya-tanya di dalam hati, ia
merasa kasihan dan juga merasa heran.
Mendadak Cengcu hujin
berbangkit, katanya dengan hampa: "Hari sudah gelap, maukah kau mengiringi
aku keluar berjalan-jalan?"
000 000 000
Inilah sebuah taman yang
teramat luas dan juga sangat seram, di tengah-tengah semak-semak, di balik
bayangan pohon, di mana-mana seakan-akan ada hantu yang sedang mengintai. Jalan
berbatu yang mereka lalui berbunyi gemerisik.
Pwe-giok merasa sangat dingin.
Sedangkan Cengcu-hujin sudah tertinggal di belakang.
Cahaya rembulan yang baru menyingsing
melemparkan bayangan Cengcu hujin yang panjang itu ke sebelah sini. entah
darimana mendadak berkumandang bunyi burung hantu.
Tanpa terasa Pwe-giok
merinding, ia memandang jauh ke sana, tiba-tiba di balik bayangan pohon yang
seram sana terdapat sebuah rumah ke kelabu-kelabuan dan berbentuk aneh.
Rumah itu tidak ada cahaya
lampu, hakekatnya tiada jendela, runcing atapnya, pintu gerbangnya dari besi
warna hitam itu agaknya sudah karatan, rumah aneh yang berdiri terpencil di
tengah taman yang seram ini menimbulkan rasa ngeri dan penuh misteri yang sukar
dilukiskan.
Terasa takut dan juga heran
Pwe-giok, tanpa terasa ia terus mendekat ke sana.
"Jangan ke sana"
tiba2 didengarnya bentakan Cengcu hujin, suara yang terasa lembut itu
mengandung rasa cemas.
"Sebab apa?"
Pwe-giok terkejut dan berhenti.
"Barang siapa mendekati
rumah itu, dia pasti mati!" kata Cengcu-hujin.
Pwe-giok tambah terkejut,
tanyanya pula: "Seb ..... Sebab apa?"
Ujung mulut Cengcu-hujin
kembali menyembulkan senyuman misterius, ucapnya kemudian dengan pelahan:
"Sebab di dalam rumah itu adalah orang mati semua, mereka ingin menyeret
orang lain untuk menemani mereka."
"orang mati? Semua orang
mati?" Pwe-giok menegas.
Dengan pandangan yang hampa
Cengcu-hujin menatap jauh ke depan, katanya: "Rumah ini adalah makam
keluarga Ki kami. Yang terkubur di dalam rumah seluruhnya adalah leluhur
keluarga Ki. Sedangkan leluhur keluarga Ki seluruhnya adalah orang gila. Yang
masih hidup gila, yang sudah mati juga gila."
Pwe-giok mengkirik oleh cerita
yang aneh dan seram itu, tangannya penuh keringat dingin.
Di depan ada sebuah gardu segi
delapan, mereka mendaki undak-undakan dan naik ke tengah gardu, sekeliling
langkan di tengah-tengah gardu itu mengitari sebuah lubang gua yang gelap dan
dalam, setelah diperiksa lebih teliti, kiranya adalah sebuah sumur.
"Inilah sebuah sumur yang
aneh," Cengcu Hujin (nyonya Ki) itu bergumam, seperti bicara kepada
dirinya sendiri dan tidak ditujukan kepada orang lain.
Tapi Pwe-giok tidak tahan, ia
bertanya: "Mengapa sumur ini kau katakan aneh?"
"Sumur ini disebut Mo kia
(cermin hantu)" jawab Ki-hujin.
Pwe-giok tambah heran, ia
tanya pula: "Mengapa disebut Mo kia?"
"Konon sumur ini dapat
meramal kejadian yang akan datang," tutur Ki hujin dengan pelahan. Di malam
bulan purnama, bila kau berdiri di tepi sumur ini dan bayangan mu tersorot ke
dalam sumur, maka bayangan di dalam sumur itulah menunjukkan nasibmu yang akan
datang"
"Aku ... aku rada
bingung," kata Pwe-giok.
"Umpamanya, bila bayangan
seorang tersorot ke dalam sumur dan bayangannya lagi tertawa, padahal ia
sendiri tidak tertawa, maka ini melambangkan hidupnya akan beruntung.
Sebaliknya jika bayangan di dalam sumur itu menangis, padahal ia tidak
menangis, maka kehidupannya pasti akan penuh kedukaan, penuh kemalangan."
"Hah, masa betul
begitu?" seru Pwe-giok terkesiap.
Dengan pelahan Ki-hujin
menutur pula: "Tapi ada juga cahaya bulan tak dapat menyorotkan bayangan
seseorang ke dalam sumur, di dalam sumur hanya terlihat cahaya darah belaka,
maka hal ini melambangkan orang itu akan segera tertimpa bencana, bahkan menuju
kematian."
"Aku... Aku tidak
percaya," ucap Pwe-giok, tanpa terasa ia mengkirik pula.
"Kau tidak percaya?
Kenapa tidak kau coba?" ujar Ki-hujin.
"Aku...aku tidak
ingin...." meski di mulut dia bilang tidak, tapi sumur ini rupanya memang
sebuah sumur hantu yang punya daya tarik yang kuat, tanpa terasa ia mendekati
tepi sumur dan melongok ke bawah.
Sumur itu sangat dalam, gelap
gulita dan tidak kelihatan dasarnya, hakekatnya Pwe-giok tidak melihat sesuatu
apapun, tapi tanpa terasa kepalanya semakin menunduk dan semakin ke bawah.
Mendadak Ki-hujin menjerit:
"Da... darah... darah... "
Kejut dan ngeri Pwe-giok luar
biasa, ia melongok lebih ke bawah lagi, sekonyong-konyong langkan sumur itu jebol,
tubuhnya lantas terjerumus ke dalam sumur.
Terdengar Ki-hujin sedang
menjerit jerit pula: "Darah... darah... Mo-kia... lalu berlari pergi
seperti kesetanan.
Pada saat itulah di dalam
sumur baru terdengar suara "plung" ini jelas suara jatuhnya Pwe-giok
didalam sumur. Sumur hantu ini dalamnya luar biasa untung ada airnya, airnya
juga sangat dalam. Tubuh Pwe-giok langsung terbanting di permukaan air sumur
sehingga ruas tulang sekujur badannya seakan akan terlepas. Ia terus tenggelam
ke bawah, sampai lama sekali belum lagi timbul.
Apabila tubuh Pwe-giok tidak
gemblengan seolah-olah otot kawat tulang besi, waktu timbul lagi ke permukaan
air mungkin sudah berwujud sesosok mayat.
Suara jeritan ngeri Ki-hujin
itu seakan-akan masih mengiang di telinganya, dalam keadaan masih berdebar
Pwe-giok berendam didalam air sumur yang dingin seperti es, ia menggigil tiada
hentinya.
"Mengapa dia mencelakai
diriku?... " "Ah, aku sendiri yang kurang hati-hati dan terpeleset
hingga jatuh ke dalam sumur, mana boleh ku salahkan orang lain ?..."
"Tapi mengapa dia tidak menolong diriku?... " "Ah, jiwanya
memang sangat lemah, saat ini dia sendiri sangat ketakutan, mana dapat menolong
diriku?... " "Apalagi, tentu dia mengira aku sudah mati, buat apa
bersusah payah menolong aku?... "
Begitulah macam-macam pikiran
terlintas dalam benak Pwe-giok, akhirnya dia hanya dapat menyesal dan
menyalahkan dirinya sendiri: "Ai, aku memang seorang yang malang, selama
hidup ini penuh diliputi ketidak beruntungan."
Kemalangan yang tidak pernah dibayangkan
orang lain, baginya boleh dikatakan sudah biasa seperti makanan sehari hari.
Sumur itu sangat lebar, jika
berdiri ditengah tengah dan merentangkan kedua tangan tetap tak dapat mencapai
dinding sumur. Apalagi dinding sumur penuh lumut hijau yang tebal dan licin,
siapapun jangan harap dapat memanjat ke atas.
Jika orang lain mungkin sudah
berteriak teriak minta tolong. Tapi Pwe-giok sam sekali tidak berani bersuara,
apalagi berteriak minta tolong. Sebab kalau suara teriakannya didengar musuh
yang sedang mencarinya, bukankah dia akan mati konyol terlebih cepat?.
Untung Pwe-giok mahir berenang
sehingga tidak sampai tenggelam, namun tubuh yang terendam di air sumur yang
dingin seperti es itu membuat badannya mulai kaku, lambat atau cepat dia tetap
akan tenggelam juga.
Semua ini seolah-olah impian
buruk saja, sungguh ia tidak mau percaya, tapi tidak dapat tidak percaya.
Sejak dia berlatih menulis di
taman kediamannya sendiri dengan disaksikan ayahnya tempo hari, dimulai dengan
penyampaian surat oleh Hek-kap-cu, kehidupan Pwe-giok lantas seperti berada
didalam mimpi buruk, dan sekarang, apakah hidupnya akan tamat di sini ?!
Ia tidak suka membayangkannya,
juga tidak berani memikirkannya, akan tetapi mau tak mau ia justeru harus
memikirkannya, teringat apa apa yang telah dialaminya itu, sungguh ia hampir
gila. Dan malam yang gelap gulita inipun berlalu ditengah penderitaan yang
membuatnya gila itu.
Samar-samar mulut sumur sudah
kelihatan remang-remang, tapi cahaya itu terasa sedemikian jauhnya dan sukar
dijangkau.
Dari kejauhan yang sukar
dijangkau itu tiba-tiba berkumandang suara kicau burung yang merdu. Bagi
pendengaran Pwe-giok, suara burung ini adalah satu langkah kejutan yang sama
sekali tak pernah terpikir oleh orang itu. Coba, siapa yang pernah berpikir
suara burung berkicau demikian dapat menyelamatkan orang ?
Maka mulailah Pwe-giok
menirukan suara burung berkicau, Sejenak kemudian, dikejauhan tiba-tiba
berkumandang suara nyanyian yang terlebih merdu daripada kicau burung. Suara
itu makin dekat dan dekat, akhirnya dimulut sumur muncul sepasang mata yang
jeli.
Baru sekarang Pwe-giok berani
berseru perlahan: "Nona Kenari... "
Terbelalak mata yang indah
itu, serunya: "He kiranya kau? Pantas tidak kupahami apa yang kau katakan,
rupanya kau bukan... bukan burung."
"Aku berharap dapat
menjadi burung, nona Kenari," kata Pwe-giok dengan menyengir.
Nona Kenari itu
berkedip-kedip, katanya kemudian: "Jelas kau bukan burung, sampai bertemu
pula!" ia angkat kepala terus hendak pergi.
Cepat Pwe-giok berseru:
"Hei, nona, ada orang jatuh didalam sumur, masa kau tidak mengereknya ke
atas?"
Si nona kenari melongok pula
ke dalam sumur, ucapnya dengan tertawa: "Mengapa harus ku kerek kau
?"
"Sebab... sebab... "
Sebenarnya jawaban ini sangat sederhana, tapi seketika Pwe-giok justeru tidak
dapat menjawabnya.
"Hi, hi, ku tahu kau
tidak punya alasannya." seru si nona Kenari sambil berkeplok
gembira." Aku akan pergi!"
Sekali ini dia benar-benar
pergi dan tidak kembali lagi.
Pwe-giok menjadi melenggong
dan serba susah, ia jadi gemas terhadap dirinya sendiri dan ingin menggampar
mukanya sendiri, masa jawaban sederhana begitu saja tidak sanggup bicara.
"Apakah segenap anggota
keluarga Ki memang orang gila semua?" demikian Pwe-giok bertanya tanya
pula di dalam batin.
Pedih rasanya, kecuali hatinya
yang masih ada perasaan, bagian tubuh lain hampir seluruhnya sudah kaku,
sekujur badannya mirip sepotong kayu yang terendam di dalam air. Ia meraup
secomot air untuk membasahi bibirnya yang kering.
Sekonyong-konyong seutas tali
panjang terjulur dari atas.
Pwe-giok kegirangan, cepat ia
pegang tali itu. Tapi segera teringat sesuatu, ia memandang ke atas dengan
kuatir. Ternyata di atas tiada orang. Dengan suara yang dibikin serak ia
bertanya: "Siapa di sana ? Siapa yang menolong diriku ?"
Namun tiada jawaban. Ia
menjadi ragu-ragu, Jangan-jangan orang Kun-lun-pay atau anak murid
Tiam-jong-pay ?
Jangan-jangan komplotan jahat
itu sengaja hendak mengereknya ke atas untuk kemudian membunuhnya?
Pwe-giok menggreget, dipegangnya
erat-erat tali itu, perlahan-lahan ia merambat ke atas, Betapapun akan lebih
baik daripada mati terendam hidup-hidup di sumur hantu ini.
Dalam keadaan demikian, selain
menuruti perkembangan, memangnya apa yang dapat diperbuatnya? Hakekatnya tiada pilihan
lain baginya.
Dari bawah sampai di mulut
sumur, jarak ini seolah-olah perjalanan yang paling panjang yang pernah
ditempuhnya selama hidup. Tapi akhirnya sampai juga di tempat tujuan.
Pagi ini tidak ada kabut,
cahaya matahari yang keemas-emasan menyinari seluruh halaman taman,
sampai-sampai gardu yang tak terawat dengan cat pada pilar dan langkan yang
sudah banyak terkelupas inipun kelihatan sangat indah di bawah sinar matahari
yang terang.
Dapat hidup terus, betapapun
adalah kejadian yang baik.
Tapi di atas tetap tiada
terlihat bayangan seorangpun. Tali panjang itu kiranya terikat pada pilar
gardu. Lalu sesungguhnya siapa yang menolongnya? Mengapa penolong itu tidak
memperlihatkan dirinya?
Dengan kuatir dan sangsi
Pwe-giok selangkah semi selangkah menuruni undak-undakan.
Sekonyong-konyong di
belakangnya ada burung bercuit, cepat ia menoleh, maka terlihatlah pula si dia,
si nona Kenari.
Dia duduk bersandar di luar
lantakan gardu, rambutnya yang indah kemilau tertimpa sinar matahari. Seekor
burung hijau kecil hinggap di lengannya yang halus itu, tampaknya seperti
benar-benar lagi bicara dengan si nona.
"He, kau." seru
Pwe-giok girang. "Meng... mengapa kau tolong juga diriku ke atas?"
Si nona Kenari tertawa manis,
ucapnya: "Dia inilah yang minta kutarik kau ke atas."
"Dia?... dia siapa
?" tanya Pwe-giok.
Penjelasan si nona kenari
membelai bulu hijau burung kecil itu, ucapnya dengan lembut: "Adik kecil,
katamu dia orang baik, kau bilang pula dia tidak punya sayap seperti kau, maka
perlu orang lain menariknya ke atas, begitu bukan? Akan tetapi dia tidak
berterima kasih padamu."
Burung hijau itu lantas
bercuat-ciut, tampaknya sangat gembira.
Termangu-mangu Pwe-giok
memandangi nona kenari itu, ia tidak tahu sesungguhnya gadis ini teramat pintar
atau seorang gila?
"Apakah kau benar-benar
paham bahasa burung ?" tanyanya kemudian saking tak tahan.
Mendadak si nona Kenari
berbangkit dan melangkah kesana, tampaknya sangat marah, katanya: "jadi
kaupun tidak percaya seperti orang-orang itu." "Aku... aku percaya."
kata Pwe-giok. "Tapi cara bagaimana pula kau dapat belajar bahasa
burung?"
"Aku tidak perlu
belajar," ujar si nona Kenari dengan tertawa manis, "Begitu melihat
mereka aku lantas paham dengan sendirinya."
Dalam sekejap itu sorot
matanya yang buram dan linglung itu mendadak penuh bercahaya terang, entah
sebab apa, Pwe-giok se-akan2 percaya saja kepada keterangannya, tiba2 ia
bertanya pula: "Dan gembirakah mereka?"
"Ada yang gembira, ada
sebagian tidak, terkadang suka ria, terkadang…" mendadak si nona tertawa
dan menyambung pula: "Tapi setidak2nya mereka jauh lebih bergembira
daripada manusia yang tolol."
Pwe-giok termangu sejenak,
katanya kemudian dengan menyesal: "Memang betul, manusia memang teramat
tolol, di dunia mungkin hanya manusia saja yang suka mencari susah
sendiri."
Si nona kenari tertawa,
katanya: "Asalkan kau tahu saja, maka kau harus...." mendadak burung
kecil di tangannya itu bercuit nyaring terus terbang ke udara. Seketika air
muka si nona juga berubah.
Tentu saja Pwe-giok merasa
heran, tanyanya: "Nona, kau...."
Tiba2 si nona Kenari
menggoyangkan tangan memutuskan ucapan Pwe-giok, lalu ia membalik tubuh dan
berlari pergi secepat terbang, mirip seekor burung yang terbang terkejut.
Selagi Pwe-giok terbelalak
bingung, tiba2 terdengar semacam suara aneh berkumandang dari semak2 pohon
sebelah kiri sana, suara orang menggali tanah.
Diam2 ia menunduk ke sana dan
mengintipnya, benar juga, dilihatnya seorang pendek kecil sedang berjongkok dan
menggali tanah, dia memakai jubah kembang yang longgar, kedua tangannya kecil
seperti kanak2, siapa lagi dia kalau bukan si "badut" yang dilihatnya
kemarin, Cengcu atau kepala kampung Sat jin ceng ini.
Kucing hitam yang diuber2
kemarin itu kini sudah mati dalam keadaan luluh, sangat mengerikan kematiannya.
Selesai menggali liang, Cengcu
kerdil itu memasukkan bangkai kucing itu ke dalam liang, lalu ditimbuni bunga,
kemudian diuruk dengan tanah. Terdengar ia bergumam: "Orang bilang kucing
mempunyai sembilan nyawa, mengapa kau cuma punya satu nyawa? ....O, kasihan
anakku, kau menipu orang2 itu ataukah orang2 itu yang membodohi kau?"
Memandangi perawakan orang
yang kerdil itu, memandangi gerak-gerik orang yang serupa anak kecil yang masih
polos itu, tanpa terasa Pwe-giok menghela napas,
Cengcu itu terkejut dan
melonjak bangun sambil membentak: "Siapa?"
Cepat Pwe-giok melangkah
keluar, ucapnya dengan suara halus: "Jangan kau takut, aku tidak bermaksud
jahat."
"Kau....kau siapa?"
tanya sang Cengcu dengan melotot tegang.
Sedapatnya Pwe-giok bersikap
ramah agar orang tidak ketakutan; jawabnya dengan tersenyum "Akupun tamu
di sini, namaku Ji Pwe-giok."
Ternyata Pwe-giok merasa
urusan apapun tidak perlu mengelabui orang kerdil, sebab ia yakin manusia yang
mempunyai kelainan tubuh ini pasti mempunyai sebuah hati yang bajik dan luhur.
Contohnya, kalau terhadap seekor kucing saja dia begitu welas-asih, mana
mungkin dia mencelakai manusia?
Muka sang Cengcu kerdil yang
putih pucat tapi cukup cakap dan seperti wajah anak kecil yang belum akil balig
itu akhirnya tampak tenang kembali, dia tertawa, lalu berkata: "Jika kau
tamu, aku inilah tuan rumahnya. Namaku Ki Song-hoa,"
"Kutahu," ujar
Pwe-giok.
"Kau tahu?" si
kerdil Ki Song-hoa menegas dengan mata terbelalak.
"Ya, aku sudah bertemu
dengan isteri dan puterimu," tutur Pwe-giok dengan tertawa.
Perlahan2 Ki Song-hoa
menunduk, ucapnya dengan tersenyum pedih: "Kebanyakan orang seolah2 harus
menemui mereka lebih dahulu baru kemudian bertemu dengan diriku." Mendadak
ia pegang tangan Ji Pwe-giok dan berseru: "Tapi jangan kau percaya kepada
ocehan mereka. Otak isteriku itu tidak waras, tidak normal, boleh dikatakan
gila. Anak perempuanku yang besar itu lebih2 judas, cerewet, tiada orang yang
berani merecoki dia, bahkan akupun tidak berani. Meski mereka sangat cantik,
tapi hatinya berbisa, lain kali bila kau bertemu lagi dengan mereka, hendaklah
kau hindari mereka sejauh2nya."
Sungguh tak pernah terpikir
oleh Pwe-giok bahwa si kerdil ini akan bicara demikian mengenai anak dan
istrinya, Apakah betul ucapannya? Atau cuma omong kosong belaka? Tapi tampaknya
tiada alasan baginya untuk berdusta? Seketika Pwe-giok jadi melenggong dan
tidak dapat bicara.
Dengan suara rada gemetar Ki
Song-hoa lantas berkata pula: "Apa yang kukatakan ini demi kebaikanmu,
kalau tidak, untuk apa aku mesti mencaci-maki sanak keluargaku sendiri?"
Akhirnya Pwe-giok menghela
napas panjang dan mengucapkan terima kasih. Sejenak kemudian, karena ingin
tahu, ia bertanya pula: "Dan masih ada pula seorang nona yang fasih
berbahasa burung ...."
Baru sekarang Ki Song-hoa
tertawa, katanya: "Apakah kau maksudkan Leng-yan? Ya, hanya dia saja yang
tidak bakalan mencelakai orang, sebab ....sebab dia seorang idiot,
miring...."
"Apa? Ia ....
idiot?" seru Pwe-giok dengan tercengang.
Pada saat itulah di tengah pepohonan
sana tiba2 terdengar gemerisik orang berjalan.
Cepat Ki Song-hoa menarik
tangan Pwe-giok dan berkata: "Mungkin mereka yang datang, jangan sampai
kau dilihat mereka lagi, kalau tidak, jiwamu pasti sukar diselamatkan. Hayolah
lekas ikut pergi bersamaku!"
Segera terbayang oleh Pwe-giok
sumur hantu yang seram itu, teringat tangan yang akan mencekik lehernya itu,
tiba2 ia merasa alasan pembelaannya bagi Ki hujin sebelum ini hanya sia2 belaka
dan tiada gunanya.
Dilihatnya Ki Song-hoa
menariknya berputar kian kemari di antara pepohonan dan sampailah di depan
sebuah gunung2an, setelah menerobosi gunung2an itu, di situ ada sebuah kamar,
ruangan kamar itu penuh berdebu dan gelagasi, kertas bertulis yang menghiasi
sekeliling dinding ruangan itupun sama berwarna kuning.
Di tengah ruangan ada kasuran
bundar dan sudah tua, ruangan ini sangat sempit, untuk berdiri dua orang saja
terasa sesak, namun Ki Song-hoa lantas menghela napas lega, katanya: "Di
sinilah tempat yang paling aman, tidak nanti ada orang datang kemari,"
Selama hidup Pwe-giok belum
pernah melihat rumah sekecil ini, ia coba bertanya: "Tempat apakah
ini?"
"Di sinilah pada masa tua
mendiang ayahku suka menyepi dan membaca kitab." tutur Ki Song-hoa.
"Sejak berumur 50 beliau lantas berdiam di sini, satu langkahpun tidak
pernah keluar hingga 20 tahun lamanya."
"Selama 20 tahun tidak
pernah keluar dari tempat ini?....." tukas Pwe-giok dengan terkesima.
"Tapi ruangan ini sedemikian sempitnya, berdiri saja tidak dapat tegak,
berbaringpun kurang leluasa, mengapa ayahmu suka menyiksa diri cara
begini?"
"Soalnya ayahku merasa di
waktu mudanya terlalu banyak membunuh, sebab itulah pada masa tuanya beliau
berusaha merenungkan segala dosanya. Beliau merasa asalkan berhasil mencapai
ketenangan batin, hal penderitaan badan bukan apa2 baginya."
"Beliau, sungguh seorang
yang luar biasa," ujar Pwe-giok dengan menghela napas panjang.
Teringat olehnya ucapan Ki
hujin yang menyatakan segenap leluhur keluarga Ki adalah orang gila semuanya,
diam2 ia tersenyum kecut dan menggeleng.
Ki Song-hoa menepuk tangan
Pwe-giok, katanya pula: "Hendaklah kau sembunyi di sini dengan tenang,
makan-minum akan ku antarkan ke sini, tapi jangan sekali2 kau lari keluar, di
perkampungan ini sudah terlalu banyak banjir darah, sungguh aku tidak ingin
menyaksikan darah mengalir lagi."
Memandangi kepergian orang
kerdil itu, diam2 Pwe-giok terharu, pikirnya: "Istrinya gila, anak
perempuan berotak miring, ia sendiripun bertubuh tidak normal, selamanya
menjadi bulan2an orang, hidupnya ini bukankah jauh lebih malang daripada ku?
Tapi terhadap orang lain dia masih begitu baik hati, begitu welas asih, jika
aku menjadi dia, apakah aku akan berbuat sebaik dia?"
Di lantai penuh debu belaka,
Pwe-giok berduduk di kasuran bundar itu. Kamar ini tiada dinding tembok,
sekelilingnya ditutup dengan kotakan pintu dan jendela yang terbuat dari
kertas. Tempat demikian tentu sangat menyusahkan di musim dingin atau di waktu
hujan angin.
Pwe-giok coba mengamat2i
sekitar ruangan, ia merasa di lantai yang penuh debu itu ada gambar loreng2, ia
robek sepotong lengan bajunya untuk mengusap lantai, maka tertampaklah sebuah
gambar Pat-kwa.
Bagi anak murid
"Bu-kek-pay", perhitungan Pat-kwa dan pelajaran ilmu alam yang aneh2
sudah tidak asing lagi. Pwe-giok adalah putera tokoh ternama dari Bu-kek-pay,
terhadap ilmu pengetahuan begituan boleh dikatakan sangat mahir.
Dengan tekun ia memandangi
lukisan Pat-kwa itu, dengan jarinya ia coba menggoresi garis2 gambar itu
menuruti lukisannya. Mendadak kasuran yang didudukinya bisa bergeser, lalu
tertampaklah sebuah lubang di bawah tanah yang gelap dan sangat dalam.
Pwe-giok jadi tertarik dan
melangkah ke bawah. Pada saat itu juga, mendadak berpuluh pedang mengkilap
telah menusuk ke tempat duduknya secepat kilat dan tanpa suara.
Tidak kepalang kaget Pwe-giok.
Coba kalau dia tidak menemukan lukisan Pat-kwa di lantai dan kalau dia tidak
mahir ilmu pengetahuan begitu, jika dia masih tetap berduduk di atas kasur,
saat ini tubuhnya tentu sudah berubah menjadi sarang tawon ditembus oleh
berpuluh senjata tajam itu.
Sungguh kejadian yang sangat
kebetulan dan juga sangat berbahaya. Antara mati dan hidup benar-benar
bergantung pada sedetik dua detik saja. Jiwa Pwe-giok boleh dikatakan direnggut
kembali dari cengkeraman elmaut. Tapi dalam keadaan demikian sama sekali ia
tidak berani memikirkannya, lekas-lekas ia tutup lubang di atas lantai itu
dengan kasur tadi.
Pada saat lain lantas
terdengar suara orang berseru di luar ruangan sana: "He, mengapa kosong,
tidak ada seorangpun!"
Lalu "blang",
dinding kertas ruangan itu telah dijebol orang, sekeliling ruangan penuh
berdiri anak murid Kun-lun-pay dan Tiam jong pay, semua berseru kaget:
"He, mengapa sudah kabur!?"
"Ya, dari mana dia
mendapatkan berita akan digerebek?" terdengar Pek-ho Tojin berkata.
"Dia pasti takkan lari
jauh, lekas kita kejar!" seru seorang pula.
Lalu terdengar suara kain baju
berkibar, beberapa orang telah melayang pergi, hanya sekejap saja keadaan sudah
sunyi kembali.
Sampai lama Pwe giok menunggu
di bawah baru berani menggeser lagi kasuran itu sedikit, dilihatnya benar-benar
tiada orang lagi barulah dia berani merayap naik ke atas.
Ada suara gemericiknya air di
luar serta gemerisiknya daun kering tertiup angin, mungkin suara berisik inilah
yang menutupi suara kedatangan orang-orang tadi sehingga sebelumnya Pwe-giok
tidak tahu sama sekali.
Tapi mengapa mereka dapat
mencari ke tempat ini? Darimana mereka mendapat tahu Pwe-giok berada di sini?
Betapapun hati Pwe-giok
menjadi kebat-kebit, ia merasa di tengah "Sat jin-ceng" ini di
mana-mana penuh orang gila, hakekatnya tiada seorangpun yang dapat dipercaya.
Lalu, dalam keadaan demikian,
ke mana pula dia harus pergi?
Kini rambutnya sudah kusut
masai, matanya penuh garis-garis merah, pemuda yang tadinya cakap dan lembut
kini telah berubah seperti seekor binatang buas, seekor binatang yang terluka.
Ia tidak memiliki keyakinan akan sanggup bertempur dengan orang, hakekatnya ia
tidak punya tenaga untuk bertempur lagi.
Sekonyong-konyong terdengar
seorang memanggil dengan suara tertahan: "Yap-kongcu ... Yap Giok-pwe ...
. "
Semula Pwe giok melengak, tapi
segera ia menyadari yang dipanggil itu ialah dirinya. Meski dia tidak kenal
suara siapakah itu, tapi orang yang dapat memanggil nama samarannya ini kecuali
ibu dan anak itu jelas tiada orang lain lagi.
Tanpa pikir ia terus menerobos
masuk pula ke dalam liang di bawah tanah serta menutup lubang itu dengan
kasuran tadi. Keadaan di dalam liang itu gelap gulita, jari sendiri saja tidak
kelihatan.
Ia merasa liang di bawah tanah
ini sangat besar, tapi iapun tak berani sembarangan bergerak, ia cuma berdiri
bersandar saja di situ. Sampai lama sekali, lamat-lamat ia tertidur akhirnya.
Sekonyong-konyong cahaya
terang menyorot ke bawah, kasuran itu telah digeser orang.
Dengan terkejut Pwe-giok
menoleh, segera dilihatnya wajah yang pucat dan bajik itu, wajah itu kelihatan
terkejut dan juga bergirang, terdengar ia berseru lega: "O, syukur
alhamdulillah kau ternyata masih berada di sini."
Sebaliknya Pwe-giok tidak
mengunjuk rasa girang sedikitpun, ia menjengek: "Hm, akan kau bikin susah
lagi padaku?"
Mendadak Ki Song-hoa memukul
dadanya sendiri dan berkata: "Ai, semuanya gara-garaku. Waktu itu kubawa
kau ke sini telah dilihat oleh isteriku, mungkin dia yang memberi tahukan
kepada pengganas-pengganas Kun-lun-pay dan Tiam-jong-pay itu."
"Hm, masakah kau kira aku
percaya lagi padamu?" jengek Pwe-giok.
"Jika kukhianati kau,
saat ini mengapa tidak kubawa mereka ke sini?"
Baru sekarang Pwe-giok percaya
penuh, ia melompat ke atas, katanya dengan menyesal: "Ai, rupanya aku
telah salah sangka padamu."
Ki Song-hoa mendepak kasuran
itu ke tempat semula, ditariknya Pwe-giok dan berkata: "Sekarang bukan
waktunya minta maaf segala. Hayolah, lekas pergi!"
"Hah, mau ke mana?!"
mendadak seorang mendengus sambil tertawa latah.
Sungguh tidak kepalang kaget
Pwe-giok Belum lagi dia bertindak apa-apa, tahu-tahu sinar pedang sudah
menyambar tiba: "Sret-sret-sret", tiga pedang menusuk sekaligus.
"Hei, hei, berhenti"
Ki Song hoa berteriak-teriak. "Kalian tidak boleh....."
Tapi pedang yang sambar
menyambar itu tidak menghiraukan seruannya, tubuh Pwe giok sudah tersayat dua
baris luka, anak murid Kun- lun dan Tiam-Jong telah mengepungnya dengan rapat.
Dengan mati-matian Pwe-giok berusaha membobol kepungan tapi dalam sekejap saja
ia sudah mandi darah.
"Jangan dibunuh, akan
kutanyai dia!" terdengar Pek-ho Tojin berseru dengan suara bengis.
Pwe-giok menghindarkan tabasan
dua pedang, habis itu mendadak ia menghantam ke depan ke arah Pek-ho Tojin.
"Blang", Pek-ho Tojin sempat mengegos, sebaliknya tiang rumah kecil
itu telah tergetar patah oleh pukulan Pwe-giok yang dahsyat ini, rumah kecil
itu runtuh dan ambruk, tanpa pikir Pwe-giok mengangkat sepotong tiang kayu,
tiang itu terus diputarnya dengan kalap.
Di tengah jeritan kaget,
seorang murid Tiam-jong pay tersabet tiang itu hingga tulang dada remuk, pedang
dua kawannya juga terlepas dari pegangan.
"Keparat ini sudah nekat,
dibunuhpun tak menjadi soal lagi!" bentak Pek-ho Tojin.
Sekali berputar, Pwe giok
mengayun tiang kayu yang bulatan tengahnya sebesar mangkuk itu seperti kitiran,
tubuh manusia yang terdiri dari darah-daging mana mampu menahan hantaman yang
begini dahsyat?
Ki Song hoa berdiri jauh di
samping sana, tampaknya iapun terkesima dan bergumam sendiri: "Besar amat
tenaganya, sungguh hebat tenaganya. . . ."
Pwe-giok benar-benar sudah
kalap, tiada sesuatu yang dilihat dan tiada sesuatu yang didengarnya lagi, ia
masih terus memutar tiangnya seperti orang gila. Mendadak putarannya mengendor,
tiang yang beratnya ratusan kati itu dengan tenaga maha dahsyat mendadak
dilepaskan sehingga meluncur ke depan, seorang Tojin Kun-lun pay tepat menjadi
sasaran utama, tiang itu menembus perutnya. Terdengarlah jeritan ngeri
memanjang menggema angkasa disertai muncratnya darah.
Tentu saja orang lain sama
pecah nyalinya dan cepat menyingkir ke samping. Kesempatan itu tidak
disia-siakan Pwe-giok, ia terus menerjang keluar. Hakekatnya ia tidak
membedakan arah dan tidak melihat jalan lagi, ia hanya berlari dan berlari
terus seperti orang kesetanan, ia menerobos pepohonan dan menyusup ke
semak-semak. Tubuhnya sudah penuh dicocok duri tetumbuhan, tapi suara bentakan
orang mengejar lambat laun juga menjauh, tiba-tiba di depannya muncul pula
rumah aneh warna kelabu itu.
Rumah setan itu atau makam,
bukankah di situ tempat sembunyi yang paling bagus?
Tanpa pikir Pwe-giok terus
menerjang ke sana. Tapi mendadak sinar pedang berkelebat, seorang telah
merintangi jalannya.
"Berani kau masuk ke
rumah ini, segera kucabut nyawamu!" demikian suara seorang perempuan
membentak dengan bengis.
Jalan Pwe-giok sudah
sempoyongan, yang dapat dilihatnya hanya bayangan seorang secara samar-samar,
seperti berambut panjang, berjubah putih, bermata jeli.
Akhirnya Pwe giok dapat
mengenalinya, ialah anak perempuan sulung Ki Song hoa, si elang padang pasir
yang galak itu.
Dengan tersenyum pedih
Pwe-giok berkata: "Bagus sekali jika dapat mati di tanganmu, sedikitnya
kau bukan orang gila . ..." dia sudah kehabisan tenaga, belum habis
ucapannya iapun jatuh pingsan.
oOo - 0O0- 0O0
Waktu siuman kembali, Pwe-giok
merasa berada di dalam sebuah kamar gelap, tapi segera ia mengenali tempat ini
adalah kamar tidur Ki-hujin.
Tapi segera iapun mengetahui
dirinya tidak siuman sendiri, tapi ada orang yang membuatnya siuman. Sekarang
meski di dalam rumah tiada orang, tapi daun pintu yang berat itu berbunyi
berkeriut didorong orang hingga terbuka.
Lalu sesosok tubuh kerdil
melongok ke dalam, siapa lagi kalau bukan Ki Song-hoa, si Cengcu Sat-jin-ceng
yang tidak diketahui bajik atau jahat itu.
Gemetar juga tubuh Pwe giok,
katanya: "Selamanya kita tiada permusuhan, mengapa kau berkeras akan
mencelakai diriku?"
Ki Song-hoa mendekati
pembaringan Pwe-Giok, ucapnya dengan menunduk dan menyesal; "Maaf,
mestinya ingin ku tolong kau, siapa tahu malah bikin susah padamu .... Sungguh
aku tidak tahu bahwa orang-orang itu selalu membuntuti diriku."
"Jika begitu, sekarang
juga lekas kau keluar," kata Pwe-giok.
"Tidak, tidak boleh
kutinggalkan kau kepada mereka," kata Ki Song-hoa.
"Tapi merekalah yang
menyelamatkan diriku, aku takkan pergi," ucap Pwe-giok dengan tersenyum
pedih.
"Anak muda, kau tidak
tahu," kata Ki Song-hoa dengan menghela napas panjang. "Mereka
menolong kau adalah karena ingin menyiksa kau secara perlahan-lahan agar kau
mati di tangan mereka."
Pwe-giok merinding, tanyanya:
"Sebab.... sebab apa mereka berbuat demikian?"
"Kau benar-benar tidak
tahu?"
"Sungguh aku tidak
mengerti."
"Istriku itu paling benci
kepada orang she Ji. Memangnya kau kira dia tidak tahu kau ini she Ji?"
"O.... aku sampai
lupa...." seru Pwe-giok. Sampai di sini, ia tidak sangsi lagi, segera ia
meronta turun.
Tapi mendadak seorang masuk
lagi, orang ini berjubah putih dan berambut panjang, siapa lagi kalau bukan si
nona Elang. Dia menyelinap masuk tanpa suara dan melototi Ki Song-hoa dengan
dingin, sama sekali tiada perasaan kasih sayang antara ayah dan anak
sebagaimana umumnya, sebaliknya malahan kelihatan sikapnya yang benci dan
kasar, bahkan lantas membentak: "Keluar!"
Keruan Ki Song-hoa berjingkrak,
teriaknya: "Ki Leng-hong, jangan lupa, aku ini bapakmu. Terhadap ayahmu
kaupun bicara sekasar ini?"
Dia berjingkrak dan
marah-marah seolah-olah mendadak berubah menjadi gila, wajahnya yang
kekanak-kanakan itupun berubah menjadi beringas menakutkan.
Pwe-giok terkesima oleh
perubahan luar biasa ini, tapi si nona Elang atau Ki Leng-hong itu masih tetap
berdiri tegak, sama sekali tidak takut, sebaliknya makin dingin sorot matanya,
katanya pula sekata demi sekata: "Kau keluar tidak?"
Ki Song-hoa mengepal tinjunya
dan mendelik, saking gregetan seakan-akan ingin mencaplok mentah-mentah si
nona. Namun Ki Leng-hong itu masih tetap memelototinya dengan sikap dingin.
Sungguh aneh, ayah dan anak
ini seperti ada permusuhan yang mendalam, mereka saling melotot dan entah sudah
berapa lamanya, akhirnya Ki Song-hoa menghela napas panjang, ia menjadi lemas,
lalu berkata sambil terkekeh-kekeh: "Anakku sayang, jangan kau marah, jika
kesehatanmu terganggu, kan ayah juga yang susah. Kau suruh aku keluar, baiklah
segera aku akan keluar"
Dia berjalan keluar pintu
sambil bergumam: "Bagaimana jadinya dunia ini. Ayah takut pada
anaknya"
Pwe-giok juga tidak menyangka
sang Cengcu bisa diusir pergi oleh anak perempuannya sendiri, ia terkejut dan
heran, segera ia merangkak bangun.
"Untuk apa kau bangun?
Rebah kembali di tempatmu!" jengek Ki Leng-hong.
"Cayhe merasa tidak....
tidak pantas mengganggu di sini dan ingin mohon diri saja," kata Pwe-giok.
"Setelah kau dengar
ocehan si kerdil itu dan kau percaya aku ingin mencelakai kau?" jengek Ki
Leng-hong.
"Betapapun dia.... dia
kan ayahmu?" ujar Pwe-giok.
"Tidak, dia bukan ayahku,
bukan, bukan!" teriak Ki Leng-hong dengan histeris sambil meremas-remas
baju sendiri, air mukanya berkerut-kerut dan beringas seperti Ki Song-hoa tadi.
Pwe giok memandangnya dengan
terkejut dan tidak tahu harus berkata apa. Selang beberapa saat Ki Leng-hong
menjadi tenang dan kembali ke pembawaannya semula yang dingin. Dia lalu
bertanya: "Apakah kau pikir dia benar-benar orang baik?"
Ji pwe-giok tidak menjawab
karena dia memang tidak yakin apakah sesungguhnya Ki Song-hoa itu baik atau
tidak.
Ki Leng-hong tertawa, katanya:
"Sungguh aneh, banyak juga orang yang mau tertipu dan dibohongi olehnya,
sampai terbunuh juga masih belum tahu, bahkan tetap menyangka dia adalah orang
baik."
"Aku kan tiada permusuhan
apapun dengan dia, untuk apa dia mencelakai diriku?" kata Pwe-giok.
"Tiada permusuhan?"
jengek Ki Leng-hong. "Apakah kau tahu mengapa tempat ini diliputi suasana
bunuh membunuh? Tahukah kau sebab apa nyawa hampir tiada harganya di
sini?"
"Aku....aku tidak
tahu," jawab Pwe-giok.
Jari tangan Ki Leng-hong yang
putih lentik itu kembali berkejang, serunya dengan parau: "Sebabnya karena
dia suka membunuh orang, suka kepada kematian, dia suka menyaksikan jiwa
seseorang tamat di tangannya, semakin mengerikan kematian orang lain, semakin
gembira dia."
Pwe-giok melenggong dan tak
dapat bicara, berdiri bulu romanya.
Sungguh luar biasa. Di antara
keluarga ini, antara suami dan istri, antara ayah dan anak, seakan-akan penuh
dendam dan benci, masing-masing saling mencaci maki dan mengutuki. Pwe giok
jadi bingung harus percaya kepada keterangan siapa?
Dengan sendirinya Ki Leng-hong
dapat melihat sikap Pwe-giok yang ragu itu, katanya pula dengan dingin:
"Terserah kepadamu mau percaya tidak kepada ucapanku, percaya dan tidak
juga tiada sangkut-pautnya denganku."
"Bu.....bukannya aku
tidak percaya," kata Pwe-giok dengan tergagap. "Aku cuma merasa, jika
seorang terhadap seekor hewan saja begitu welas-asih, masakah mungkin terhadap
manusia malahan bertindak kejam?"
"Kau bilang dia
welas-asih terhadap hewan?" tanya Ki Leng hong sambil berkerut kening.
"Kulihat sendiri dia
mengubur bangkai kucing dengan baik-baik, tatkala mana dia tidak tahu aku
berada di dekatnya, jelas dia tidak sengaja berbuat begitu agar dilihat
olehku," tutur Pwe-giok.
"Hm," jengek Ki
Leng-hong dengan tersenyum aneh. "Dan tahukah kau siapa yang membunuh
kucing itu?"
"Memangnya siapa?"
tanya Pwe-giok.
"Dia sendiri," jawab
Ki Leng-hong.
"Dia sendiri!?"
tukas Pwe-giok, tanpa terasa ia merinding pula.
"Umpama bunga sedang
mekar dengan semaraknya, iapun akan memetiknya untuk dihancurkan lalu
ditanamnya dengan baik-baik," jengek Ki Leng-hong pula: "Pendeknya
baik bunga maupun kucing atau manusia sekalipun, asalkan melihat kehidupan yang
baik, maka dia menjadi sirik dan tidak tahan, tapi kalau kehidupan itu sudah
mati, dia lantas tidak dendam lagi. Asalkan mati barulah dapat memperoleh
welas-asihnya. Jika kau mati, ia pun akan mengubur kau dengan sebaik-baiknya."
Tanpa terasa Pwe-giok
merinding pula dan tidak sanggup bicara lagi.
"Di bawah tanah seluruh
halaman perkampungan ini hampir penuh dengan mayat yang dibunuh dan dikubur
olehnya sendiri," tutur Ki Leng-hong pula. "Jika kau tidak percaya,
boleh coba kau menggalinya pada sembarang tempat dan kau akan melihat
buktinya."
Pwe-giok jadi mual, dengan
suara parau ia berkata: "Aku.....aku ingin pergi saja, makin jauh makin
baik."
"Tapi sayang, biarpun
ingin pergi juga tidak dapat pergi lagi sekarang." jengek Ki Leng-hong.
Baru saja Pwe-giok berbangkit,
demi mendengar ucapan itu, "bluk", ia duduk kembali di tempat
tidurnya.
"Jika kau ingin hidup
lebih lama, kau harus turut kepada perkataanku, kalau tidak, boleh kau pergi
saja dan takkan kurintangi!" habis berkata Ki Leng-hong benar-benar
menyingkir ke samping dan daun pintu masih terpentang.
Tapi Pwe-giok menjadi bingung,
ia pandang pintu yang terbuka itu, ia tidak tahu apakah harus lekas pergi atau
lebih baik tetap tinggal di sini saja.
Ki Leng-hong memandang dengan
dingin, katanya kemudian: "Tidak perlu kau kuatir akan kedatangan orang di
sini. Betapapun besar nyali Ki Song hoa juga takkan berani membawa orang ke
sini. Aku mempunyai cara untuk mengatasi dia, aku pun mempunyai akal untuk
melindungi kau." Akhirnya Pwe giok berbangkit, tanyanya: "Kau akan
melindungi diriku?"
"Ya, tidak perlu kau
kuatir, selama aku berada di sini, tidak nanti kau mati!" ucap Ki
Leng-hong.
"Betul juga, dalam
keadaan demikian, memang betul hanya di sinilah tempat yang paling aman. Tapi
ada sementara orang yang lebih suka menyerempet bahaya daripada minta
perlindungan orang. "Tapi kau jelas bukan orang macam begitu!"
"Masa aku bukan?" ucap Pwe giok dengan suara hambar, ia menarik napas
panjang-panjang, lalu melangkah keluar.
Betapapun duka dan dongkol
perasaannya, cara bicara Pwe-giok tetap halus dan sopan, selamanya ia tidak
suka bersikap kasar terhadap siapa pun. Tapi kalau orang lain menganggap dia
lemah dan penakut, maka salahlah dugaan demikian.
Agaknya Ki Leng-hong melengak
juga melihat sikap tegas Pwe giok itu, serunya: "He, kau benar-benar ingin
mengantar nyawa?"
Tanpa menoleh dan tanpa
menjawab Pwe-giok melangkah keluar.
"He, sudah buntu jalanmu,
mengapa kau masih tetap keras kepala?!" seru Leng-hong pula.
Baru sekarang Pwe-giok
berpaling, katanya dengan tenang: "Terima kasih atas perhatianmu, aku
mempunyai tempat tujuan sendiri."
"Baiklah, pergilah
kau," dengus Ki Leng-hong.
"Kau akan mati atau tetap
hidup kan tiada sangkut-pautnya denganku."
Walaupun begitu ucapannya,
tapi sudah jauh Pwe-giok melangkah pergi dia toh masih tetap memandangnya
dengan termangu-mangu.
0O0 )(o){ 0O0 )(o)(
Pingsan Ji Pwe giok tadi
agaknya sampai setengah harian lamanya, sekarang sudah dekat magrib lagi.
Setiap kali Pwe-giok kehabisan
tenaga dan pingsan, ia selalu mengira pasti tak tahan hidup lagi.
Tapi aneh, setelah siuman,
tenaga baru lantas timbul pula. Hal ini bukanlah disebabkan karena pembawaannya
yang kuat, sudah tentu lantaran khasiat siau hoan-tan pemberian Thian-kang
Totiang tempo hari.
Sekarang dia berada di tengah
taman yang luas itu, cuaca sudah mulai remang-remang lagi, ia menyusuri
pepohonan dengan setengah berjongkok, agaknya orang-orang yang mencarinya juga
tidak menyangka dia berani berkeliaran di situ, makanya tiada orang berjaga dan
mengawasi di taman itu. Apalagi di taman yang luas dengan pepohonan yang lebat
ini pun tidak sukar baginya untuk menghindarkan pengawasan orang.
Akan tetapi ia pun jangan
harap akan dapat menerobos keluar. Di balik pepohonan sana, di sekeliling taman
itu jelas ada bayangan orang, tampaknya di bawah setiap pohon dan di setiap
sudut yang gelap selalu ada bahaya yang sedang mengintai.
Pwe-giok terus menyelinap kian
kemari, tujuannya hendak menemukan kembali rumah kecil yang bobrok itu, sebab
pada saat demikian ia merasa perkampungan "Sat jin-ceng" ini hanya
kakek Ko saja satu-satunya orang yang dapat diandalkan.
Tapi di tengah taman yang
rindang dan gelap ini sukar baginya untuk membedakan arah. Dia telah berputar
kian kemari, mendadak ia menemukan dirinya berada pula di depan rumah kertas
yang terletak di tengah gunung-gunungan palsu dengan suara gemericiknya air
itu. Meski mayat yang bergelimpangan di situ sudah diangkut pergi, tapi
bekasnya masih kelihatan, pertarungan sengit yang mendebarkan itu seolah-olah
terbayang pula di depan matanya.
Cepat Pwe-giok membalik tubuh
dan melangkah pergi tapi baru dua-tiga tindak, mendadak ia berhenti.
Jika Ki Song-hoa telah
menemukan dia di dalam liang rahasia di bawah rumah kertas ini, maka siapapun
pasti tidak menyangka dia akan kembali lagi ke situ. Jika demikian, bukankah di
sinilah tempat sembunyi yang paling aman?
Sesungguhnya Pwe-giok memang
tiada jalan keluar lain, teringat demikian, ia tidak ragu lagi, segera ia putar
balik dan melompat masuk ke rumah berdinding kertas itu, kasuran itu digeser,
ia terus melompat ke dalam lubang.
Liang di bawah tanah itu tetap
gelap gulita, Pwe-giok bersandar pada dinding batu yang dingin dengan napas
terengah-engah. Mungkinkah tersembunyi apa-apa di liang bawah tanah yang gelap
gulita ini?
Setelah napasnya tenang
kembali, tanda tanya tadi semakin membuatnya ngeri. Tanpa terasa ia mulai
merayap ke depan.
Sekonyong-konyong tangannya
menyentuh sesuatu, jelas tubuh seseorang.
Sungguh kagetnya tidak
kepalang, di liang bawah tanah yang gelap ini ternyata ada orang sedang
menantikan kedatangannya.
Dalam kegelapan, ia merasa
orang ini berduduk di situ dan memakai baju kain belacu.
"Siapa.....siapa
kau?" tanya Pwe-giok dengan suara gemetar, jantungnya serasa mau berhenti
berdenyut.
Tapi orang itu tidak bergerak
sama sekali, juga tidak menjawab.
Keringat berketes-ketes di
dahi Pwe-giok, dengan menempel dinding ia coba menggeser pelahan ke samping,
ucapnya pula dengan suara parau: "Sesungguhnya siapa kau? Apa kehendakmu
bersembunyi di sini?"
Dalam kegelapan tetap tiada
sesuatu suara, keheningan yang mencekam dan menyeramkan.
Tangan Pwe-giok yang merabai
dinding sudah penuh keringat dingin, kakinya bergeser sedikit demi sedikit,
kakinya terasa sangat berat, seperti diganduli benda beribu kati.
Mendadak jarinya menyentuh
sesuatu benda dingin, ia coba merabanya, kiranya sebuah lentera tembaga.
Dinding di situ mendekuk, maka
lentera itu terselip di dekukan itu. Di samping lentera ada dua potong batu
api, cepat Pwe-giok meraup batu api itu. Diketahuinya minyak pada lentera itu
belum lagi kering, ia ingin mengetik api, tapi tangan terasa gemetar sehingga
selalu gagal membuat api. Pwe-giok menarik napas panjang, katanya kemudian:
"Sekarang aku sudah memegang batu api biarpun kau tidak bersuara, asalkan
api sudah menyala, segera akan diketahui siapa kau, mengapa sampai sekarang kau
tidak bicara?"
Dengan sendirinya perkataan
Pwe giok itu tiada gunanya, paling-paling anak muda itu hanya menggunakan
ucapannya itu untuk menambah keberaniannya. Dan setelah omong begitu, dia
benar-benar bisa lebih tenang. "Cret", akhirnya api dapat dinyalakan
untuk menyulut sumbu lentera.
Di bawah kerlipan cahaya api,
dapatlah dilihatnya seorang kakek pendek kecil berduduk bersimpuh di situ
dengan mata terpejam, rambut dan jenggotnya sudah putih semua, bajunya warna
kuning muda dari kain belacu, air mukanya kurus kering dan pucat, tampangnya
agak mirip Ki Song-hoa, cuma terlebih seram.
Dingin tangan dan kaki
Pwe-giok, tanyanya dengan suara terputus-putus: "Apakah..... .....apakah
kau ini ayah Ki Song-hoa? Masa........ masa kau belum mati?"
Dari ujung kaki hingga kepala
orang tua itu sama sekali tidak bergerak, bahkan rambut dan jenggotnya juga
tidak bergoyang sedikitpun, di bawah kerlipan cahaya lampu tampaknya menjadi
sangat seram dan misterius.
Pwe-giok menggreget dengan
nekat ia mendekatinya. Sesudah dekat baru dilihatnya jenggot dan rambut orang
tua itu ada sesuatu yang tidak betul. Ia coba merabanya, benar juga, memang
terbuat dari malam. Jadi kakek ini tidak lebih hanya sebuah patung malam atau
lilin.
Pwe giok jadi menyengir
sendiri, tapi setelah dipikir lagi, ia menjadi ragu-ragu pula. Ia pikir patung
ini pasti patung ayah Ki Song hoa, mengapa disembunyikan di liang rahasia ini?
Ia coba mencari lagi ke depan,
kecuali patung lilin ini ditemukan lagi sebuah ranjang kecil, di samping
ranjang ada sebuah almari kecil, di atas almari berserakan teko, cangkir, buku
dengan debu tebal.
Meski benda-benda ini cuma
alat-alat keperluan sehari-hari tapi ditemukan di liang rahasia yang tak
berpenghuni, betapapun menimbulkan rasa misterius yang sukar dijelaskan.
Dengan heran dan sangsi
Pwe-giok coba merenungkan hal ini, akhirnya ia paham duduknya perkara:
"Bisa jadi ayah Ki Song-hoa itu dipaksa orang atau demi mempertahankan
nama baiknya maka dia sengaja pura-pura ingin merenungkan kesalahan yang pernah
diperbuatnya, katanya ingin membaca kitab untuk merenungkan dosa, yang benar
dia tidur saja di bawah sini. Tapi demi mengelabui mata telinga orang, dia
sengaja membuat patung lilin ini. Di hari-hari biasa dia menaruh patung lilin
ini di kamar berdinding kertas itu, karena orang lain toh tak berani mengganggu
nya, kalau dipandang dari jauh dengan sendirinya menyangka ia yang berduduk di
kamar ini."
Analisa ini sangat masuk
diakal, Pwe-giok sendiri merasa puas dengan hasil pemikirannya ini. Tapi ia
lantas menghela napas menyesal pula, sungguh tak terpikir olehnya bahwa ada
sementara orang yang tampaknya sangat suci, kenyataannya justeru kebalikannya,
rendah dan kotor perbuatannya.
Ia taruh lentera itu di atas
almari, lalu coba membalik-balik kitab yang terletak di situ. Kitab-kitab itu
ternyata buku bacaan umum dan bukan sebangsa kitab pusaka pelajaran ilmu silat
segala.
Pwe-giok rada kecewa.
Mendadak dilihatnya ada satu
jilid buku, di dalamnya terselip beberapa carik kertas yang bertuliskan
kata-kata indah dan sajak asmara. Tampaknya tulisan perempuan.
Pwe-giok menang serba bisa,
baik ilmu silat maupun sastra, sekali pandang saja ia lantas paham arti yang
terkandung dalam sajak itu, yaitu sajak rindu seorang perempuan terhadap
kekasihnya.
Padahal patung lilin itu
berperawakan kerdil sama seperti Ki Song hoa, mukanya juga lucu, masa orang
macam begini juga bisa main roman, apakah mungkin ada perempuan yang jatuh
cinta terhadap lelaki demikian?
Pwe giok tersenyum sambil
menggeleng, ditaruhnya buku itu. Mendadak dilihatnya pula di bawah tempat tidur
itu menongol ujung sebuah kantong kain bersulam, ia coba mengambilnya. Dari
dalam kantung sulaman itu mendadak jatuh sepotong batu Giok yang berukir halus.
Satu sisi batu kemala itu terukir gambar Bu-kek-to dan sisi lain cuma terukir
satu huruf, yaitu "Ji".
Batu kemala ini ternyata benda
pusaka milik keluarga Ji Pwe-giok.
Sungguh luar biasa dan sukar
dimengerti bahwa benda mestika keluarga Ji bisa ditemukan di tempat ini,
sungguh suatu hal yang sukar dibayangkan.
Sampai lama Pwe-giok
termangu-mangu, dilihatnya pula kantung kain itu bersulamkan potret seorang
perempuan, matanya jeli, wajahnya sangat cantik, jelas potret Ki-hujin.
Di samping potret sulaman itu
terdapat pula dua baris huruf yang berbunyi: "Semoga senantiasa
berdampingan dengan anda, mohon janganlah ditinggalkan."
Lalu di sisi bawah tersulam
pula nama yang menyulam tulisan itu: "Bi-nio".
Dengan sendirinya Bi nio ini
adalah nama Ki-hujin. Meski sulaman berbeda dengan tulisan tangan, tapi gaya
tulisannya jelas serupa dengan sajak tadi.
Pwe-giok dapat membayangkan
betapa hampa perasaan Ki-hujin setelah bersuamikan lelaki kerdil macam Ki Song
hoa, sebab itulah ia jatuh cinta pula kepada orang lain. Dan kekasihnya itu
ternyata anggota keluarga Ji.
Selagi Pwe-giok
termenung-menung suara Ki-hujin seolah-olah mengiang pula ditepi telinganya:
"Dahulu ada seorang she Ji telah membunuh seorang yang sangat dekat
denganku, karena itu dalam perasaanku setiap orang she Ji pasti bukan orang
baik-baik."
Kalau dipikir sekarang,
sebabnya Ki-hujin benci kepada orang she Ji tentunya bukan lantaran orang she
Ji itu membunuh orang yang paling rapat dengan Ki-hujin, tapi disebabkan orang
she Ji itu telah melukai hatinya.
Tentunya orang she Ji itupun
terancam bahaya serupa Pwe-giok sekarang, lalu Ki-hujin menyembunyikannya di
gua rahasia ini. Tatkala mana ayah Ki song-hoa dengan sendirinya sudah lama
meninggal, tapi pada masa hidupnya mungkin tak terpikir olehnya bahwa gua
rahasianya yang digunakan menipu orang kemudian dapat digunakan anak menantunya
untuk menyembunyikan kekasih gelap.
Bisa jadi Ki-hujin sudah lama
kenal orang she Ji itu, mungkin cintanya baru timbul ketika melihat orang she
Ji itu berada dalam bahaya. Pendek kata, orang she Ji itu jelas tidak setia
pada hubungan cinta mereka dan akhirnya telah meninggalkan Ki-hujin.
Setelah orang she Ji itu
pergi, hidup Ki-hujin lantas merana dan kehilangan gairah, terpaksa ia mencari
hiburan di alam mimpi, makanya setiap hari Ki-hujin selalu berkeliaran kian
kemari seperti orang linglung, seperti arwah halus.
Memandangi Ki-hujin yang
cantik pada gambar yang tersulam di kantung itu, kemudian ia membayangkan pula
Ki-hujin yang linglung itu, diam-diam Pwe-giok menghela napas menyesal. Tapi
iapun tidak dapat menerka sesungguhnya siapakah gerangan orang she Ji itu.
Kalau dihitung usianya orang itu tentunya kerabatnya dari angkatan yang lebih tua,
tapi jelas pasti bukan ayahnya.
Kisah cinta yang menyedihkan
dan juga misterius ini, kecuali Ki-hujin dan si "dia" sendiri,
mungkin tiada orang lain lagi yang tahu seluk beluknya.
Pwe-giok menghela napas
panjang dan bergumam: "Agaknya orang itu akhirnya ingkar janji dan
meninggalkan Ki-hujin, ia telah pergi dari sini... Tapi melalui mana dia pergi?
Jangan-jangan di lorong bawah tanah ini masih ada jalan tembus lain?"
Berpikir demikian, semangat
Pwe-giok terbangkit lagi, segera ia kesampingkan urusan lain, diangkatnya
lentera tadi dan menyusuri lorong yang gelap itu.
Lorong di bawah tanah itu
sempit lagi berliku-liku dan sangat panjang.
"Hampir di bawah setiap
jengkal tanah pekarangan ini terdapat mayat korban yang dibunuh dan dikuburnya
sendiri... " teringat kepada keterangan Ki Leng-hong ini, tanpa merasa
Pwe-giok berkeringat dingin pula.
Namun di lorong bawah tanah
ini tiada terdapat sesuatu mayatpun, akhirnya Pwe-giok dapat mencapai ujungnya,
Setelah diraba dan dicari sekian lamanya, akhirnya ditemukan tempat yang
merupakan kunci pintu lorong itu. Sebuah papan batu pelahan lahan bergeser.
Dari luar segera menyorot
masuk cahaya terang. Girang sekali Pwe-giok, lentera itu ditinggalkan dan
segera ia menerobos keluar... sekonyong-konyong sebuah tangan merangkul
lehernya dengan erat. Tangan itu sedingin es.
"Akhirnya kau kembali
juga, memang ku tahu kau pasti akan kembali lagi!" demikian suara seorang
berkata sambil tertawa terkikik-kikik.
Tidak kepalang kaget Pwe-giok,
cepat ia menengadah, dilihatnya orang yang merangkulnya itu ialah Ki-hujin,
jalan tembus ini ternyata berada didalam kamar tidur Ki-hujin.
Ki-hujin terus menubruk ke
dalam pelukan Pwe-giok dengan air mata bercucuran katanya dengan suara gemetar:
"O. betapa kejam kau, kau pergi tanpa pamit, sudah sekian lama siang dan
malam kurindukan kau, saking gemas ingin kubunuh kau... Tapi sekarang kau sudah
kembali lagi, rasanya aku dapat juga memaafkan kau."
Ternyata secara kebetulan
Pwe-giok telah memasuki lagi kamar tidur Ki-hujin, malahan disangkanya sebagai
kekasih sang nyonya rumah yang ingkar janji, keruan ia menjadi serba susah.
Katanya dengan menghela napas: "Ki-hujin, kau salah mengenali orang, aku
bukan orang yang kau rindukan itu, harap lepaskan diriku."
Tapi makin erat Ki-hujin merangkulnya,
ya menangis ya tertawa, katanya: "Sungguh kejam kau, sampai sekarang kau
masih ingin menipu diriku. Tapi aku tak dapat kau tipu lagi, takkan kulepaskan
kau lagi, selamanya takkan kubebaskan kau."
Tentu saja Pwe-giok kelabakan,
mendadak dilihatnya Ki Leng-hong juga berdiri disamping sana dengan girang ia
lantas berseru "He, nona Ki, tentunya kau tahu siapa diriku ini."
Ki Leng-hong memandangnya
dengan dingin, mendadak ia berkata dengan tertawa: "Sudah tentu ku tahu
siapa kau, kau adalah orang yang senantiasa dirindukan ibuku."
"He, ken .... kenapa
kaupun sengaja membikin susah padaku?" seru Pwe-giok.
"Kau telah membikin ibu
menderita sekian tahun, sekarang sudah waktunya kau menggirangkan hati
ibu," ucap Ki Leng-hong dengan tersenyum hambar.
Tidak kepalang kejut dan
kuatir Pwe-giok, keringat dingin membasahi bajunya, ia ingin meronta namun
rangkulan Ki-hujin teramat erat dan sukar melepaskan diri.
Dengan tertawa linglung
Ki-hujin mendorong Pwe-giok berduduk di atas tempat tidur, dipegangnya tangan
anak muda itu, katanya dengan mesra: "O, tahukah kau betapa kurindukan
kau? Apakah kau baik-baik saja selama ini?"
"Aku .... aku tidak ....
bukan .... " Pwe giok gelagapan.
Tapi sebelum lanjut ucapannya,
Ki-hujin lantas berkata pula; "Ku tahu kau pasti sangat lelah dan tidak
ingin bicara. Tapi kita dapat bertemu pula setelah berpisah sekian lama,
sungguh hatiku girang tak terperikan .... He, Leng-hong, Kenapa tidak lekas kau
ambilkan arak yang telah kusiapkan baginya, rayakanlah pertemuan kembali kami
ini."
Ki Leng-hong benar-benar
melangkah keluar untuk kemudian datang lagi dengan membawa sebuah poci arak
yang berbentuk aneh dengan dua cawan batu kemala.
Setelah menuang secawan penuh
dan disodorkan kepada Pwe-giok, dengan tertawa genit Ki-hujin berkata:
"Sudah lama sekali tidak pernah ku bergembira seperti ini, secawan arak
ini harus kau minum."
Pwe-giok tahu dalam keadaan
demikian. biarpun dirinya putar lidah untuk menjelaskan juga tiada gunanya,
terpaksa ia mengikuti perkembangan selanjutnya, dengan menghela napas iapun
terima arak itu dan diminum habis.
"Nah, memang harus
begitu," kata Ki-hujin pula dengan lembut. "Ingatkah kau, waktu minum
arak bersama dahulu pernah kau katakan padaku bahwa selamanya kau takkan
meninggalkan diriku, apakah masih ingat?"
Pwe-giok menjawab dengan
menyengir: "Aku.. .. ..aku ....."
Dengan gaya menggiurkan
Ki-hujin berbangkit katanya pula sambil menatap Pwe-giok: "Meski dahulu
kau telah berdusta padaku, tapi setelah kau minum arak ini, selanjutnya kau
takkan berdusta lagi."
Pwe-giok terkejut, segera ia
merasakan hawa dingin menerjang ke atas melalui perut, seketika kaki dan
tangannya menggigil kedinginan, matapun berkunang-kunang. Tanyanya kaget:
"He, arak ini beracun?!"
"Ya, arak ini disebut
Toan-jong-ciu (arak perantas usus)," tutur Ki-hujin dengan tertawa,
"Setelah kau minum arak ini, kau tak dapat lagi pergi secara
diam-diam."
"Tapi .... tapi orang itu
bukan diriku, bu . . . .kan diriku ...." Pwe-giok melonjak dan berteriak
takut. Belum habis seruannya, "bluk", ia jatuh terkapar dan tak tahu
lagi apa yang terjadi.
Ki-hujin menyaksikan robohnya
Pwe-giok, suara tertawanya perlahan-lahan berhenti, air mata berbalik
bercucuran, perlahan ia berjongkok dan membelai rambut anak muda itu, gumamnya:
"Aku masih ingat, waktu pertama kalinya dia menerobos keluar dari lorong
bawah tanah ini, tatkala mana aku sedang ganti pakaian. Aku terkejut dan gusar
pula melihatnya munculnya secara mendadak itu. Tapi dia sedemikian cakap,
sedemikian ganteng, dia berdiri di situ dan memandang diriku dengan tertawa,
matanya . . . . ya matanya, pandangannya itu membuat aku tak berdaya..."
Seperti orang mengigau di
waktu mimpi Ki-hujin mengenangkan kejadian di masa yang lampau, peristiwa yang
menyenangkan dan menyusahkan itu seolah-olah berada pula di dalam hatinya,
akhirnya dia mulai mencari lagi malam bulan purnama dalam mimpinya.
Hambar Ki Leng-hong memandangi
sang ibu, katanya kemudian dengan pelahan: "Tatkala mana engkau tentunya
sangat kesepian."
"Kawin dengan suami
begitu, perempuan mana yang takkan kesepian?" ucap Ki-hujin dengan hampa.
"Kesepian, ya kesepian itulah mengakibatkan aku tertipu olehnya."
"Tapi apapun juga dia
cukup baik padamu bukan?" kata Ki Leng hong.
Wajah Ki-hujin tambah cerah,
katanya dengan tertawa: "Betul dia memang cukup baik padaku, selama
hidupku belum pernah merasakan kebahagiaan seperti pada waktu itu. Seumpama aku
tidak dapat melihat dia, asalkan terkenang padanya hatiku pun akan terasa manis
dan bahagia."
"Justeru lantaran kalian
terlalu bahagia sewaktu berkumpul, maka setelah dia pergi kau lantas
menderita," ujar Leng hong.
Tangan Ki-hujin tampak
mengejang lagi, serunya dengan parau: "Betul! Aku menderita, aku
tersiksa-siksa, aku benci..." jari tangannya mulai mengendor dan membelai
rambut Pwe-giok lagi, lalu katanya pula: "Tapi sekarang aku tidak lagi
benci padanya. Sekarang, seluruhnya dia sudah menjadi milikku, tiada seorangpun
yang dapat merampas nya dari tanganku."
"Cuma sayang, orang yang
kau bunuh ini bukanlah si "dia" yang dulu itu," jengek Leng-hong.
Ki-hujin terbahak-bahak
seperti orang gila, teriaknya: "Hahahaha, bohong kau, kau pun ingin menipu
aku? Kecuali dia, siapa lagi yang dapat muncul dari lorong bawah tanah
ini?"
"Meski lorong ini sangat
dirahasiakan, tapi kalau si dia yang dahulu dapat menemukan lorong rahasia ini,
orang yang sekarang berbaring di sampingmu ini dengan sendirinya juga dapat
menemukannya," demikian tutur Leng-hong dengan perlahan. "Sebabnya,
mereka sama-sama orang keluarga Ji, mereka sama-sama paham rahasia perhitungan
Thay kek-to (Pat-kwa)."
Seketika berhenti suara
tertawa Ki-hujin, teriaknya: "Tutup mulut..."
Tapi Ki Leng-hong tidak
menghiraukan dan menyambung pula: "Sebenarnya kau sendiri juga tahu orang
ini bukanlah si dia, tapi kau sengaja menganggap orang ini adalah dia. Kau
menipu diri sendiri, sebab hanya dengan cara begini kau dapat terlepas dari
penderitaan."
Mendadak Ki-hujin menjatuhkan
diri di lantai dan menangis seperti anak kecil, serunya dengan suara parau:
"O, mengapa kau sengaja membongkar isi hatiku? Mengapa kau bikin aku
menderita."
Kaku air muka Ki Leng-hong,
ucapnya dingin: "Kau cuma tahu aku membikin kau menderita, tapi kau tidak
tahu bahwa sudah lama kau membikin kami menderita, kau membikin kami menderita
sejak dilahirkan. Leng-yan masih dapat menghindarkan penderitaan dengan dunia
khayalannya, tapi aku... aku benci padamu!"
Sorot matanya yang dingin itu
akhirnya mengembeng juga butiran air mata.
Mendadak Ki-hujin berbangkit,
seperti orang kalap ia angkat Ji Pwe-giok dan meraung: "Kau bukan dia! Kau
bukan dia! Jika kau bukan dia, untuk apa kau datang kemari..." sambil
meraung ia terus melemparkan Pwe giok keluar jendela.
Cepat Ki Leng hong menyelinap
keluar pintu, ia berdiri di serambi sana dan berteriak: "Ini dia Ji
Pwe-giok sudah mati, lekas kalian kemari melihatnya!"
Suaranya juga sangat dingin,
suara yang melengking dingin ini berkumandang jauh terbawa angin malam. Hanya
sekejap saja dalam kegelapan muncul berbagai bayangan orang.
Orang yang melayang tiba lebih
dulu adalah Pek-ho Tojin, berkat cahaya lampu yang menembus dari jendela
dapatlah dilihatnya jenazah Ji Pwe-giok. Dirabanya tubuh yang tak bergerak itu,
lalu berbangkit dan berkata dengan suara berat: "Betul, Ji Pwe-giok sudah
mati!"
Anak murid Tiam-jong-pay yang
sudah tiba berkata dengan menyesal: "Sungguh sayang kita tak dapat
membunuh bangsat ini dengan tangan sendiri."
Dengan suara bengis Pek-ho
Tojin berseru; "Meski tak dapat kita bunuh bangsat ini, setelah mati
mayatnya juga harus kita cincang..." di tengah bentakannya segera ia
melolos pedang terus menusuk jenazah Ji Pwe-giok.
Mendadak terdengar suara
"trang" sekali, pedang Pek-ho Tojin tahu-tahu mencelat, Ki Song-hoa
telah berdiri di samping jenazah Ji Pwe-giok dengan berlagak tertawa.
Ternyata pedang Pek-ho Tojin
tergetar mencelat oleh tangkisan Ki Song-hoa, keruan Pek-ho Tojin terkejut,
serunya: "He.. Ki-cengcu, mengapa engkau bertindak demikian?"
"Cut-keh-lang (orang yang
sudah meninggalkan rumah, artinya orang yang sudah menjadi Tosu atau Hwesio)
mana boleh bertindak sekejam ini, merusak mayat, hal ini sekali-kali tidak
boleh kau lakukan," kata Ki Song-hoa dengan perlahan.
Pek-hoa Tojin melengak,
jengeknya kemudian: "Hm, mulai kapan Ki cengcu berubah menjadi
welas-asih?"
"Apa?" Ki Song-hoa
mendelik gusar. "Bilakah aku tidak welas-asih?"
Bahwa Sat-jin-cengcu mengaku
sebagai orang yang welas-asih, sungguh Pek-hoa Tojin merasa geli dan juga
mendongkol, tapi demi ingat betapa lihay caranya orang membikin pedangnya
mencelat tadi mau-tak-mau ia rada jeri, katanya sambil memberi hormat:
"Ya, maafkan ucapan Tecu yang tidak pantas. ... Bukan Tecu tidak tahu
welas-asih, soalnya dosa Ji Pwe-giok ini teramat besar dan tak terampunkan,
jika dia mati begini saja, rasanya belum cukup untuk menebus dosanya."
"Betapapun besar dosanya
waktu hidup, kalau sudah mati, ya lunas seluruhnya," ujar Ki Song-hoa.
"Di dunia ini hanya orang matilah yang paling sempurna, orang hidup harus
menaruh segenap hormatnya kepada orang mati."
Pek-hoa tojin tidak dapat
membantah perkataan ini dan berkata: "Toh dia sudah mati, mengapa kau
masih..."
Ki Song-hoa memotong dan
berkata dengan sungguh-sungguh "Ini adalah perkampunganku, orang-orang
mati adalah tamu-tamu sejati perkampungan ini. Jika dia masih hidup, kau bebas
untuk melakukan apa saja padanya. Tapi sekarang dia menjadi tamuku dan menjadi
tanggung jawabku untuk mengurusnya."
Pek-hoa tojin berkata:
"Baiklah jika demikian. Kami akan pergi sekarang. Kami akan membawa
mayatnya. Meskipun dia telah membunuh guru kami, dia tetap murid Kun-lun.
Terima kasih atas kesediaan anda menampung kami."
Ki Song-hoa berkata: "Aku
tidak peduli apakah ketika dia masih hidup dia murid Kun-lun atau Hoa-san.
Setelah dia mati, tubuhnya menjadi milikku. Siapa yang ingin membawanya harus
mengalahkanku terlebih dahulu."
Ki Song-hoa berdiri siap
menghadapi siapapun yang berani membawa tubuh Pwe-giok. Murid-murid Kun-lun dan
Tiam-jong saling memandang kehabisan akal mau berbuat apa. Pek-hoa akhirnya
berkata: "Betapapun juga, Ji Pwe-giok kini telah meninggal! Dendam kematian
guru kita telah terbalas, lebih baik kita mematuhi kehendak Ki cengcu"
Ki Song-hoa cepat-cepat lari
sambil membawa tubuh Ji Pwe-giok.
Ki Leng-hong berdiri mengawasi
apa yang terjadi dengan dingin. Kelihatannya, dia sudah menduga akhirnya jadi
begini.
Pek-hoa tojin ingin mengatakan
sesuatu tapi Ki Song-hoa sudah pergi berlalu.
Pek-hoa menghentakkan kakinya
dan berkata dengan marah: "Seluruh orang di perkampungan ini idiot semua!
Mari kita cepat-cepat pergi menjauh dari tempat terkutuk ini."
Ki Song-hoa mengganti pakaian
Ji Pwe-giok dan membersihkan debu kotoran di wajahnya.
Mungkin di dunia ini tiada
orang lain lagi yang begini lembut memperlakukan sesosok mayat.
Habis itu, Cengcu kerdil itu
mendapatkan sebuah cangkul di balik semak-semak pohon sana dan mulai menggali.
Dari sorot matanya tampak rasa gembira yang kelewat batas, tapi di mulut dia
justeru bergumam dengan menyesal: "O, anak yang harus dikasihani, masih
muda belia begini kau sudah mati, sungguh sangat sayang. Salahmu sendiri, tidak
mau turut pada nasihatku, kalau tidak masakah kau sampai mati diracuni
perempuan siluman itu."
"Jika dia turut kepada
perkataanmu, mungkin dia akan mati terlebih mengerikan," demikian mendadak
suara seorang menanggapi. Di bawah cahaya bintang yang remang-remang kelihatan
sesosok bayangan berdiri di samping sana, siapa lagi kalau bukan Ki Leng-hong.
Seketika Ki Song-hoa melonjak
murka, teriaknya sambil memukuli dada sendiri: "Kau, kau datang lagi!
Kenapa kau selalu mengganggu diriku, apakah tak dapat aku diberi sedikit
ketenangan?!"
"Dia sudah mati, mengapa
tidak kau berikan ketenangan pula?" jawab Leng-hong dengan hambar.
"Justru sekarang akan
kuberi ketenangan abadi baginya dengan membaringkannya di bawah tanah"
kata Ki Song-hoa.
"Orang yang kau kubur
mana bisa tenang? Bisa jadi setiap saat kau akan kembali lagi ke sini dan
menggalinya untuk diperiksa pula" jengek Ki Leng-hong.
Dengan gusar Ki Song-hoa
berkata: "Mana boleh kau bicara demikian kepadaku?... Seumpama aku bukan
ayahmu, berdasarkan apa pula kau kira aku takut padamu? Enyah, lekas enyah!
Kalau tidak, bisa ku kubur kau hidup-hidup bersama dia."
Namun Ki Leng hong tanpa
bergerak, ucapnya pelahan: "Tak nanti kau berani menyentuh diriku, betul
tidak?........ Kau tahu sebelum wafat kakek telah banyak menyerahkan rahasia
padaku, satu di antaranya adalah paling ditakuti mu."
Kata-kata Leng-hong ini
ternyata sangat manjur, seketika Ki Song-hoa menjadi lesu, katanya:
"Sesungguhnya apa kehendakmu?"
"Mayat ini adalah
kepunyaanku, tidak boleh kau sentuh dia!" ucap Leng-hong dengan tegas.
"Hahahahaha! Sungguh
lucu, mengapa kau pun merasa tertarik pada orang mati? Apakah kaupun serupa
diriku... Aha, memang betul, betapapun kau juga she Ki, biarlah kuberikan mayat
ini padamu."
Sambil berjingkrak gembira dan
tertawa latah, lalu Ki Song-hoa berlari pergi.
Ki Leng-hong mengangkat tubuh
Ji Pwe-giok, gumamnya: "Orang lain sama menganggap kau sudah mati, siapa
pula yang tahu bahwa orang mati kadang-kadang juga dapat hidup kembali."
Angin dingin menghembus,
cahaya bintang berkerlip redup, alam ini memang penuh kegaiban.
oooo 0000 oooo
Di atas batu-batu raksasa itu
sudah banyak lumut hijau, di sudut-sudut yang gelap penuh sawang, sampai-sampai
debu kotoran juga berbau apek.
Di dalam rumah batu yang seram
ini tiada terdapat jendela, tiada angin, tiada cahaya matahari, apapun
tidak-ada, yang ada cuma hawa kematian.
Di atap rumah yang tinggi dan
lebar itu ada sebuah lubang bundar kecil, setitik sinar matahari menembus masuk
dari situ, langsung menyoroti tubuh Ji Pwe-giok.
Anak muda itu sedang gemetar,
jangan-jangan Pwe giok benar-benar telah hidup kembali?
Pelahan ia membuka mata,
hampir-hampir ia sendiripun terperanjat. Cepat ia melompat bangun, maka
terlihatlah pemandangan di dalam rumah batu ini.
Seketika dapat diterkanya
tempat ini pasti rumah kuburan yang misterius itu. Kini ia ternyata berada di
dalam makam leluhur keluarga Ki.
Kaki dan tangan Pwe-giok
terasa dingin, tanpa terasa ia menggigil, pikirnya: "Tentunya aku sudah
mati, maka dikubur di sini.... Tapi orang mati masa dapat bergerak?...
Jangan-jangan sekarang aku telah berubah menjadi setan, menjadi arwah
halus?"
Ia kucek-kucek matanya, segera
dilihatnya satu orang.
Orang ini berbaju kain belacu
putih, duduk di suatu kursi yang longgar dan besar, mukanya kuning, tanpa
bergerak, tempatnya juga sangat seram dan penuh misterius.
Tapi Pwe-giok tidak merasakan
apa-apa, ia pikir tentu sebuah patung lilin lagi.
Ia coba berjalan ke depan, ia
merasa di ruangan ini ada silirnya angin, dengan sendirinya angin masuk dari
lubang kecil di atap rum ah itu sehingga rambut dan jenggot "patung
lilin" tertiup bergerak-gerak.
Jelas itu bukan patung lilin,
tapi benar-benar seorang manusia.
"Siapa kau?!" bentak
Pwe-giok terkejut.
Orang itu tetap diam saja
tanpa bergerak seakan-akan tidak mendengar suaranya.
Pwe-giok pikir dirinya kan
sudah mati, apa yang mesti ditakuti? Segera ia melangkah ke sana, mendekati
orang itu, ia coba memegangnya, memang betul seorang manusia, tapi manusia tak
bernyawa.
Terasa hawa dingin menyusup ke
tubuhnya melalui jarinya, cepat Pwe-giok menarik kembali tangannya. Waktu ia
berpaling, ternyata di situ tidak cuma seorang ini saja, masih banyak orang
lagi, orang mati seluruhnya.
Kiranya jenazah leluhur
keluarga Ki tidak ditanam, jenazah mereka telah dibalsam sehingga semua jenazah
masih utuh, tidak membusuk untuk selamanya.
Sejauh mata memandang terlihat
setiap mayat itu berduduk di suatu kursi yang longgar dan besar. Pwe-giok
seolah-olah berada di tengah-tengah mayat itu. Meski diketahui "orang-orang"
ini sudah tak dapat bergerak lagi dan tidak nanti membikin susah padanya, tapi
merembes juga keringat dingin Pwe-giok.
Cahaya yang remang-remang
menyoroti wajah mayat-mayat itu, setiap wajah mayat itu sama dingin dan kurus
kering, namun air muka mereka tetap dalam keadaan yang wajar, tidak mengunjuk
keberingasan yang menakutkan, namun sikapnya yang dingin itu tampaknya menjadi
lebih menyeramkan. Berada di tengah-tengah mayat ini tiada ubahnya seperti
berada di neraka.
Pandang sini dan lihat sana,
darah di tubuh Pwe-giok seakan-akan beku, ia tidak tahan, akhirnya ia menjerit
ngeri terus menerjang keluar.
Di dalam rumah batu itu masih
ada sebuah kamar batu, sekeliling kamar batu ini juga berduduk tujuh-atau
delapan orang mati, semuanya juga duduk di atas kursi dengan sikap kaku dan
dingin.
Pandangan Pwe giok yang
pertama lantas tertuju kepada sebuah wajah yang kurus kering dan aneh, yaitu
yang serupa dengan patung lilin yang dilihatnya di lorong bawah tanah sana.
Dengan sendirinya inilah mayat ayah Ki Song-hoa yang sesungguhnya.
Tampaknya orang ini mati belum
terlalu lama, hal ini terbukti dari bajunya yang jauh lebih baru daripada
mayat-mayat lain.
Selagi Pwe-giok memandang sana
dan memandang sini, sekonyong-konyong seorang mati di sampingnya dapat berdiri
dan menegurnya: "Kau... kau pun datang ke sini?!"
Sungguh kaget Pwe-giok sukar
dilukiskan, hampir pecah nyalinya.
Dilihatnya orang inipun
memakai belacu putih, malahan mukanya juga dibalut dengan kain putih, bahkan
orangnya lantas mendekati Pwe-giok dengan langkah berat.
Kaki dan tangan Pwe giok
terasa lemas, setindak demi setindak ia menyurut mundur, teriaknya dengan
parau: "Kau... kau..." hanya kata ini saja yang dapat diucapkannya
dan sukar melanjutkan pula.
Orang itu lantas berhenti dan
memandangi Pwe-giok, katanya pelahan: "Jangan takut, aku bukan
setan."
"Kau .... kau bukan
setan? Lalu sia ....... siapa kau?" tanya Pwe-giok.
Cukup lama orang itu berpikir,
mendadak ia bergelak tertawa dan berseru: "Aku Ji Pwe-giok!"
"Hah, kau Ji Pwe-giok?
Lantas siapa… siapa diriku?" teriak Pwe-giok dengan kaget luar biasa.
Orang itu tidak bicara lagi,
tapi mulai membuka kain pembalut mukanya selapis demi selapis sehingga terlihat
mukanya yang penuh bekas luka.
Sampai lama sekali Pwe giok
memandang wajah yang rusak ini, akhirnya ia berseru: "He, bukankah engkau
ini Cia . . . Cia Thian pi, Cia cianpwe?"
Bahwa Cia Thian-pi bisa muncul
di rumah hantu ini, hal ini benar-benar membuatnya terkejut melebihi melihat
setan.
Cia Thian-pi tersenyum pedih, ucapnya:
"Betul, aku memang Cia Thian pi adanya, tak tersangka kau masih dapat
mengenali diriku."
"Wah, tadi Cia cianpwe
benar-benar telah membikin kaget padaku," ujar Pwe-giok dengan menyengir.
Dengan menyesal Cia Thian-pi
berkata: "Sudah sekian lama berkumpul dengan orang mati di dalam makam
ini, ketika mendadak melihat kedatanganmu, saking kejut dan girangnya aku
lantas bergurau denganmu."
"Mungkin Cianpwe sengaja
hendak melihat bagaimana sikapku setelah mendengar ucapanmu tadi, untuk
mengetahui apakah aku ini benar-benar Ji Pwe-giok atau bukan."
"Betul" kata Cia
Thian-pi dengan menghela napas. "Di seluruh dunia sekarang, mungkin hanya
kau saja yang dapat memahami isi hatiku. Hanya aku pula yang memahami
perasaanmu. Betapa aneh pengalamanmu dan betapa malang nasibmu, baru sekarang
aku percaya penuh."
Pedih hati Pwe-giok, ucapnya
dengan rada gemetar: "Dan Cianpwe sendiri... "
"Ya, meski sekarang aku
sudah percaya, tapi sayang, tiada gunanya lagi." tukas Cia Thian-pi.
"Nasibku sekarang jelas
serupa dengan kau, mungkin hidupku ini harus ku lalui di tempat gelap begini
untuk selamanya."
"Cara bagaimana Cianpwe
berada di sini?"
"Malam itu di
perkemahanku, cukup banyak juga ku tenggak arak sehingga terasa rada mabuk,
menjelang tengah malam aku tertidur dengan lelapnya. Tiba-tiba seorang
menggoyang tubuhku dan membangunkan aku serta bertanya siapa diriku?"
"Dia menerobos ke dalam
kemah, belum lagi Cianpwe tanya siapa dia, sebaliknya dia malah bertanya lebih
dulu kepada Cianpwe, orang aneh dan kejadian aneh ini sungguh jarang
terjadi."
"Tatkala mana akupun
sangat mendongkol," tutur Cia Thian-pi pula. "Tapi begitu aku
memandangnya, seketika aku tak dapat... tak dapat bersuara."
"Sebab apa?" tanya
pwe-giok.
"Lampu dalam perkemahanku
waktu itu masih menyala, di bawah cahaya lampu dapat kulihat muka orang itu,
mata alisnya, raut wajahnya, semuanya serupa benar dengan diriku, rasanya
seakan-akan aku sedang berkaca atas diriku sendiri."
"Hm, ternyata benar
bangsat itu," desis Pwe-giok dengan geram.
"Aku terbelalak
memandangi dia, dia juga terbelalak menatap diriku.
Dia malah berkata:
"Akulah Cia Thian-pi dari Tiam-jong, mengapa kau tidur ditempatku?"
Waktu itu aku masih sangsi
kalau mabuk ku belum lenyap, aku menjadi bingung oleh ucapannya itu. Serupa kau
tapi, akupun berteriak "Kau Cia Thian-pi?... lantas siapa diriku?"
"Rupanya karena
pengalaman Cianpwe itu, maka setelah mendengar ucapanku tadi Cianpwe lantas
yakin diriku ini Ji Pwe-giok tulen," ucap Pwe-giok dengan menyesal.
"tapi kemudian apa pula yang diperbuat oleh bangsat itu."
"Setelah mendengar
teriakanku, bangsat itu malah mendamperat diriku, ia menuduh aku memalsukan
wajahnya, bahkan menyatakan bahwa orangnya dapat dipalsu, tapi ilmu pedang
Tiam-jong-pay tidak dapat dipalsu. Dia justeru menantang aku agar menentukan
siapa lebih unggul, yang unggul ialah Cia Thian-pi tulen, yang asor adalah
palsu dan harus enyah."
"Jika begitu, jelas ilmu
pedang bangsat itu bukan tandingan Cianpwe," ujar Pwe-giok.
"Kau salah sangka."
kata Cia Thian-pi dengan tersenyum pedih. "betapa keji dan perencanaan
orang-orang itu sungguh sukar dibayangkan. Ternyata dalam arak yang kuminum itu
di luar tahuku telah diberinya obat bius sehingga aku tidak mampu mengerahkan
tenaga sama sekali, tidak sampai tiga jurus pedangku sudah tersampuk jatuh oleh
pedangnya dan ilmu pedang yang digunakannya memang betul Tiam-jong-kiam-hoat
tulen."
"Dan Cianpwe lantas
didesak pergi secara begitu?" tanya Pwe-giok.
"Memangnya apa yang dapat
kuperbuat lagi?" tutur Cia Thian-pi. "Tatkala mana Ji Hong-ho, Ong Uh
lau dan lain-lain serentak muncul juga, rupanya mereka sebelumnya sudah
bersembunyi di situ, dalam kedudukannya sebagai Bengcu, dia telah menyingkirkan
anak muridku ke tempat lain, lalu..."
"Mungkin waktu itu
Cianpwe sendiri tidak tahu bahwa merekapun palsu seluruhnya." kata
Pwe-giok dengan gemas.
"Ya, tatkala itu aku
memang tidak pernah membayangkan akan terjadi begitu, demi nampak datangnya
Bengcu, aku menjadi girang. Siapa tahu mereka lantas menuduh aku inilah yang
memalsukan Cia Thian-pi." dengan tangan gemetar ia pegang tangan Pwe-giok,
tangannya sudah penuh keringat, nadanya sangat sedih, sambungnya pula:
"Saat itulah baru
kurasakan betapa susahnya orang yang terfitnah. Dadaku serasa mau meledak, tapi
apa dayaku, anggota badan terasa lemas, aku tidak sanggup melawan, akhirnya aku
dibekuk oleh mereka dan diangkut ke atas kereta serta dibawa pergi..."
"Orang... orang she Ji
itupun berada di kereta itu?" tanya Pwe-giok.
"Meski dia tidak ikut di
dalam kereta, tapi dia memerintahkan beberapa lelaki kekar membawa pergi
diriku, jelas aku hendak dibunuhnya ditempat jauh dan sepi. Waktu itu keadaanku
hampir tak bertenaga sama sekali, orang biasa saja tak dapat kulawan, apalagi
anak buah bangsat itu."
"Jika demikian, bahwa Cianpwe
masih dapat menyelamatkan diri, boleh dikatakan lolos dari lubang jarum."
"Ya, kalau tindakan
mereka tidak terlalu rapi, bisa jadi aku takkan hidup sampai saat ini."
"Aneh, mengapa berbalik
begitu?" tanya Pwe-giok heran.
"Coba kalau mereka membunuhku
di sembarangan tempat, tentu jiwaku sudah melayang. Tapi mereka justeru kuatir
perbuatan jahat mereka diketahui orang, kuatir pula tindakan mereka akan
meninggalkan bukti..." ia tersenyum pedih dan menyambung pula:
"Padahal hendak membunuh orang semacam diriku rasanya juga tidak mudah,
mereka harus mencari suatu tempat yang baik. Sedangkan tempat pembunuhan yang
paling baik di seluruh dunia ini mungkin tiada yang lebih baik daripada
Sat-jin-ceng."
"Betul di sat-jin-ceng
ini, membunuh orang ibaratnya orang membabat rumput, siapapun tidak perduli dan
tanpa perkara." ujar Pwe-giok dengan menyesal.
Ia menunggu cerita Cia
Thian-pi lebih lanjut, tapi sesampai di sini Cia Thian-pi lantas berhenti dan
tidak menyambung lagi.
Selang sejenak, Pwe-giok tidak
tahan, ia bertanya: "Melihat luka Cianpwe yang parah ini, mungkin kawanan
bangsat itu sengaja membuat Cianpwe tersiksa untuk kemudian mati dengan
sendirinya."
"Ya, memang begitu
kehendak mereka." kata Cia Thian-pi.
"Dan entah cara bagaimana
Cianpwe mendapat pertolongan dan mengapa pula sampai di sini?" Pwe-giok
coba memancing.
Cia Thian-pi berpikir sejenak,
tuturnya kemudian: "Sudah tentu inipun secara kebetulan saja, cuma... cuma
kejadian ini menyangkut rahasia orang ketiga, sebelum mendapat persetujuannya,
maafkan, tak dapat kuceritakan padamu."
Dan sebelum Pwe-giok bertanya
pula, dengan tertawa ia bertanya: "Dan dengan cara bagaimana kau pun
datang ke sini?"
Pwe-giok menghela napas sedih,
jawabnya: "Tecu... Tecu sudah dianggap orang mati dan dikubur di sini."
"Orang mati?" Cia
Thian-pi menegas dengan heran. "Jangan-jangan kau..."
Belum lanjut ucapannya,
tiba-tiba seorang menyela dengan dingin: "Ucapannya memang tidak salah,
dia memang sudah mati satu kali, cuma saat ini dia sudah hidup kembali."
Di bawah cahaya yang
remang-remang muncul sesosok bayangan putih dengan rambutnya yang terurai,
tertampak matanya yang indah mempesona dan wajahnya yang cantik laksana dewi
itu. Ditempat yang suram begini tampaknya lebih mirip badan halus dan membuat
orang yang melihatnya seakan-akan berhenti bernapas.
Perpaduan antara badan halus
dan dewi itu bukan lain ialah Ki Leng-hong.
Cia Thian-pi seperti juga
terkesima oleh kecantikan yang tiada taranya serta keangkeran yang sukar
dilukiskan itu. Ia termangu-mangu sejenak, kemudian berkata dengan tertawa:
"Ah, jangan nona berkelakar, orang mati mana bisa hidup kembali?"
"Akulah yang membuatnya
hidup kembali." kata Leng-hong dengan pelahan. Suaranya hambar,
seolah-olah memang mengandung semacam kekuatan gaib yang dapat mengendalikan
mati atau hidup manusia. Sorot matanya yang dingin itu seakan-akan
menyembunyikan segala macam rahasia yang dapat menentukan mati atau hidup
seseorang.
Cia Thain-pi dan Ji Pwe-giok
saling pandang tak dapat bicara.
Dilihatnya Ki Leng-hong telah
mendekati patung lilin yang serupa dengan patung di lorong bawah tanah itu
serta menyembahnya tiga kali dengan khidmat. Mendadak ia berkata: "Di
makam ini seluruhnya adalah leluhur keluarga Ki. Tentunya kalian heran mengapa
aku cuma menyembah dia saja? Biarlah kuberitahu, sebabnya dia pernah
menyelamatkan diriku, seperti halnya aku telah menyelamatkan kalian."
Pwe-giok dan Cia Thian-pi
tambah bingung dan tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Ki Leng-hong telah berbangkit
dan membalik tubuh, ditatapnya Cia Thian-pi, katanya: "Dalam keadaan
kempas kempis dan tak berdaya, jelas kau pasti akan terbunuh, akulah yang
membuat mereka menyangka kau sudah mati, kemudian ku pancing pergi mereka dan
membawa kau ke sini, kau tahu tidak?"
"Ya, budi pertolongan
nona takkan kulupakan selama hidup." kata Thian-pi.
"Sebagai seorang ketua
suatu perguruan ternama, ternyata harus ditolong oleh seorang gadis yang tak
terkenal, tentu dalam hati kau merasa malu, makanya tadi ketika ditanya orang,
kau enggan menjelaskannya, begitu bukan?"
"Ah, nona telah salah
paham." jawab Thian-pi dengan menyengir. "soalnya Cayhe
ingin..."
"Aku memang berpikiran
sempit." dengan ketus Ki Leng-hong memotong. "Barang siapa sudah ku
tolong, selama hidupnya harus selalu ingat kepada budi pertolonganku, kalau
tidak, akupun dapat membuatnya mati. Untuk itu hendaklah kau ingat dengan
baik."
Cia Thian-pi melongo
mendengarkan perkataan Ki Leng-hong itu.
Nona itu tidak menggubrisnya
lagi, ia berpaling ke arah Pwe-giok dan berkata pula: "Dan kau, hakekatnya
kau sudah mati, setiap orang sudah merabai mayatmu dan menyatakan kau sudah
mati. Tapi aku telah membuat kau hidup kembali, Meski di mulut kau tidak bicara,
di dalam hati tentu kau tidak percaya. Orang mati masa bisa hidup kembali,
begitu bukan?"
Pwe-giok terdiam sejenak,
katanya kemudian: "Cayhe tidak pernah menaruh curiga, tapi sekarang sudah
kupikirkan, rahasia mati dapat hidup kembali pasti terletak pada arak yang
kuminum itu."
"Meski tampaknya kau
dungu nyatanya tidaklah bodoh." Jengek Leng-hong. "Memang betul, arak
yang kuberikan itu bukanlah Toan-jiong ciu millik Hujin, tapi To-ceng ciu (arak
menghindari cinta)."
"Hah, arak bernama
To-ceng, sungguh nama yang bagus." kata Pwe-giok dengan tertawa.
"Konon arak ini buatan
seorang sastrawan termasyhur di jaman dahulu." tutur Ki Leng-hong.
"Dia terlibat di tengah tiga perempuan yang mencintai dia, selama puluhan
tahun dia terombang-ambing di tengah kerumunan wanita cantik itu, akhirnya ia
merasa kewalahan dan ingin membebaskan diri, sebab itulah dia berusaha
menyuling arak khas ini. Setelah diminum, seketika pernapasannya berhenti, kaki
dan tangan dingin serupa dengan orang mati. Tapi dalam waktu 24 jam dapat hidup
kembali. Berkat arak itulah dia dapat melepaskan diri dari godaan ketiga
perempuan itu dan dapat bebas, sebab itulah dia menamai araknya sebagai
To-ceng-ciu."
"Sungguh tak tersangka
arak buatan orang yang romantis di jaman dahulu, sekarang telah menyelamatkan
jiwaku." ujar Pwe-giok dengan menghela napas.
"Tapi jangan kau lupakan,
yang menyelamatkan kau bukan To-ceng-ciu itu melainkan aku." jengek
Leng-hong.
"Budi kebaikan nona sudah
tentu takkan kulupakan selama hidup." kata Pwe-giok sambil menyengir.
Dengan tatapan tajam Leng-hong
bertanya pula padanya: "Tahukah kau, sebab apa ku tolong kau?"
"Aku.... ini...."
Pwe-giok menjadi gelagapan. Sudah tentu, siapapun tak dapat menjawab pertanyaan
ini.
"Jika kau sangka lantaran
ku jatuh cinta padamu maka ku tolong kau, maka salahlah kau," kata
Leng-hong pula. "Sama sekali aku bukan perempuan yang mudah jatuh cinta,
kaupun tidak perlu bangga bagi diri sendiri."
Sekenanya dia menerka jalan
pikiran orang lain tanpa peduli betul atau salah, juga tidak memberi kesempatan
bagi orang lain untuk membantah, dengan muka merah baru saja Pwe-giok hendak
bicara sudah didahului lagi olehnya: "Sebabnya ku tolong kau sama seperti
halnya ku tolong Cia Thian-pi, yakni supaya kau selalu ingat akan budi pertolonganku."
Seketika Pwe-giok melenggong
juga.
Didengarnya Leng-hong berkata
pula: "Tentunya dalam hati kalian sekarang sedang berpikir bahwa aku ini
bukan seorang Kuncu (ksatria sejati), memberi pertolongan dengan mengharapkan
balas jasa."
"Ah, mana Cayhe berani
berpikir demikian." kata Cia Thian-pi.
"Kau tidak berpikir
demikian, aku justeru berpikir begitu," jengek Leng-hong. "Aku memang
bukan seorang Kuncu, aku memang mengharapkan balas jasa. Nah, setelah
kuselamatkan jiwa kalian, coba, cara bagaimana kalian akan membalas budi
padaku?"
Cia Thian-pi menjadi bingung,
dipandangnya Ji Pwe-giok, ternyata anak muda itupun sedang memandangnya.
Keduanya jadi saling pandang dengan melongo dan tak dapat menjawab.
"Bagaimana, setelah
menerima budi pertolonganku, apakah kalian tidak ingin membalas?" tanya
Leng-hong dengan gusar.
"Budi pertolongan nona
sudah tentu ...." tergagap-gagap Pwe-giok.
"Huh, aku tidak suka
kepada segala omong kosong tentang selama hidup takkan melupakan budi
pertolonganmu segala. Jika kalian ingin balas budi, kalian harus menyatakan
dengan tegas cara balas budi yang nyata."
Seperti orang menagih utang
saja cara si nona mendesak orang membalas budi, sungguh jarang ada orang macam
begini di dunia ini.
Cia Thian-pi hanya menggeleng
dengan menyengir saja, katanya kemudian: "Entah cara bagaimana kami harus
membalas budi menurut pendapat nona?"
Mendapat Ki Leng-hong
berpaling menghadapi orang mati tadi dan berkata: "Tahukah kalian siapa
dia?"
"Bukankah dia...... ayah
Ki Song-hoa?" kata Pwe-giok.
Dia tidak bilang
"kakekmu", tapi bilang "ayah Ki Song-hoa", sebab dia sudah
dapat meraba riwayat hidup nona ini pasti ada sesuatu yang ganjil dan rahasia,
hakekatnya tidak mengakui dirinya adalah keturunan keluarga Ki.
Benar juga, Ki Leng-hong
lantas berkata: "Betul dia inilah Ki Go-ceng, aku menghormat dan menyembah
padanya bukan lantaran dia ayah Ki Song-hoa, juga bukan disebabkan dia pernah
menyembuhkan penyakitku yang parah, tapi karena kepintarannya, dia pernah
meramal bahwa di dunia Kangouw pasti akan timbul kekacauan yang belum pernah
terjadi selama ini, dan diriku ini justeru dilahirkan karena jaman kacau
ini...."
Mendadak ia membalik tubuh
lagi ke sini, sorot matanya tampak merah membara, ia berteriak pula: "Jika
aku dilahirkan di jaman demikian, jaman ini harus pula menjadi milikku. Sebab
itulah kuminta kalian tunduk pada perintahku, bantulah pekerjaanku. Aku telah
menghidupkan kalian, akupun menghendaki kalian rela mati bagiku."
Sungguh Pwe-giok dan Cia
Thian-pi tidak pernah menyangka nona yang masih muda belia ini ternyata
mempunyai ambisi sebesar ini, tanpa terasa mereka jadi melenggong.
Dari bajunya Ki Leng-hong
lantas mengeluarkan sebuah botol kayu kecil, katanya: "Di dalam botol ini
ada dua biji obat, makanlah kalian, bila kalian siuman nanti, kalian akan
berubah menjadi manusia baru, sama sekali baru, orang lain takkan kenal kalian
lagi, akupun menghendaki kalian melupakan segala apa yang telah lalu dan cuma
mengabdi bagiku, sebab jiwa kalian adalah pemberianku."
"Dan kalau kami tidak mau
terima?" kata Cia Thian-pi dengan air muka berubah.
"Hm," Leng-hong
mendengus. "Jangan kau lupa, setiap saat dapat kucabut pula nyawamu."
Dia terus melangkah maju dua
tindak, tanpa terasa Cia Thian-pi dan Pwe-giok lantas menyurut mundur dua
tindak.
Pada saat itulah
sekonyong-konyong terdengar seorang tertawa latah di luar rumah hantu itu:
"Budak busuk, kau sendiri tak bisa hidup lebih lama lagi, masih coba ancam
orang lain?"
Terdengar suara tertawanya
yang seram itu membawa semacam kegilaan yang mengerikan..
"Ki Song-hoa!"
teriak Pwe-giok tanpa terasa, entah terkejut entah girang.
Belum lenyap suara Pwe-giok,
secepat angin Leng-hong melayang keluar kamar itu.
Cepat Pwe-giok ikut berlari
keluar, tapi tertampak pintu batu yang berat itu sudah tertutup rapat. Baru
saja Leng-hong melayang sampai di depan pintu, "krek" terdengar bunyi
gembok di luar.
"Hahahaha! budak
busuk!" demikian terdengar pula tertawa latah Ki Song-hoa di luar pintu.
"Kau kira tidak ada orang yang berani datang ke sini, bukan ? Kau kira
tiada orang yang dapat mengetahui rahasiamu, he? Tapi, hahahaha, sedikit kau
lengah, akhirnya jiwamu harus amblas di tanganku."
Pucat wajah Leng-hong yang
kaku dan dingin itu, jelas dia tertegun dan ketakutan, sebab ia tahu apabila
pintu batu itu sudah digembok dari luar, maka siapapun jangan harap akan dapat
keluar lagi.
"Hahahaha!"
terdengar Ki Song-hoa terbahak-bahak pula. "Seharusnya kau tahu bahwa
selamanya tiada seorangpun yang dapat keluar dengan hidup dari rumah setan ini.
Dan mengapa kau masuk juga ke situ? Sungguh teramat besar nyalimu.... Memang
sengaja kuberitahukan rahasia membuka gembok padamu, sudah kuperhitungkan pada
suatu ketika kau pasti tidak tahan dan ingin coba melihat ke dalam. Haha, budak
busuk, kau kira dirimu sangat pintar, akhirnya kau terjebak juga olehku."
Makin jauh suara tertawa latah
itu, sehingga akhirnya tak terdengar lagi. Tapi Ki Leng-hong masih berdiri
mematung di tempatnya, mendadak air matanya bercucuran, yang menyedihkan dia
mungkin bukan jiwanya akan melayang, tapi cita-citanya, ambisinya yang belum
terlaksana dan kini harus hancur dalam sekejap.
Mau tak mau Pwe-giok dan Cia
Thian-pi juga melenggong dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Sampai lama sekali Ki
Leng-hong berdiri di tempatnya seperti orang linglung, kemudian ia membalik
tubuh perlahan dan mendekati sebuah kursi batu yang lowong serta duduk di situ.
Ia memandang sekelilingnya, mendadak ia tertawa seperti orang gila, teriaknya:
"Hahaha! Biar matipun tidak kesepian, masih ada sekian banyak orang yang
mengiringi diriku."
Cia Thian-pi terperanjat,
cepat ia tanya: "Apakah..... apakah nona juga akan menanti kematian di
sini?"
"Ya," jawab
Leng-hong. "Menanti datangnya kematian secara perlahan-lahan, rasanya
pasti lain daripada yang lain dan sangat menarik."
"Meng.... mengapa nona
tidak berdaya keluar dari sini?" tanya Thian-pi pula.
"Keluar? Hahahaha!"
Leng-hong tertawa hingga suaranya serak. "Sekali sudah tergembok di rumah
setan ini, mana ada harapan buat keluar."
"Apakah betul rumah ini
tidak pernah dimasuki orang hidup?" tanya Thian-pi
"Pernah, bahkan
banyak," jawab Leng-hong "Cuma, hanya ada orang hidup yang masuk dan
tidak ada orang hidup yang keluar."
Mendadak Pwe-giok menimbrung:
"Orang yang menggotong mayat ini ke sini apakah juga tidak ada yang keluar
dengan hidup?"
"Tidak ada orang
menggotong mayat ke sini." jawab Leng-hong dengan tertawa seram.
"Tidak ada orang
menggotong mayat ke sini, lalu apakah mayat-mayat ini masuk sendiri ke
sini?" tanya Thian-pi dengan terkesiap.
"Ya, memang benar, masuk
sendiri ke sini!" ucap Leng-hong dengan sekata demi sekata.
Cia Thian-pi memandang mayat
sekelilingnya, mayat-mayat itupun seakan-akan sedang memandangnya dengan
dingin, tanpa terasa ia merinding, katanya dengan rada gemetar: "Ah,
janganlah nona bergurau."
"Dalam keadaan demikian,
siapa yang bergurau dengan kau?" jengek Leng-hong
"Tapi.... tapi mana
ada... mana ada mayat yang dapat berjalan sendiri di dunia ini?" ujar
Thian-pi dengan mandi keringat dingin.
"Sebabnya mereka memang
orang hidup sebelum mayat-mayat ini berduduk di kursi masing-masing,"
tutur Leng-hong. "Setelah berduduk di kursinya, mereka lantas berubah
menjadi mayat."
"Seb.... sebab apa?"
tanya Thian-pi, bulu romanya sama berdiri.
"Inilah rahasia keluarga
Ki!" ucap Ki Leng-hong dengan tersenyum misterius.
"Sudah begini, masa nona
tidak mau menjelaskan?" kata Thian-pi.
Leng-hong menatap ke depan
dengan sorot mata yang kabur, ucapnya perlahan: "Setiap anggota keluarga
Ki, di dalam darah mereka ada semacam sifat pembawaan yang gila, sifat yang
suka menghancurkan diri sendiri. Dalam keadaan tertentu, bisa jadi penyakitnya
itu mendadak kumat, tatkala mana bukan saja orang lain akan dihancurkannya,
bahkan ia akan menghancurkan dirinya sendiri."
Ia merandek sejenak, lalu
menyambung pula dengan sekata demi sekata: "Di mulai sejak leluhur
keluarga Ki sampai pada Ki Go-ceng, tiada seorangpun yang tidak mati membunuh
diri!"
"Jika mereka masuk ke
sini dengan hidup, lalu membunuh diri dengan berduduk di kursi ini, mengapa
jenazah mereka sampai sekarang belum lagi membusuk? Jelas jenazah ini telah
diberi sesuatu obat. Kalau orang sudah mati, masa dapat menggunakan obat untuk
mengawetkan jenazahnya sendiri?"
"Hal ini disebabkan
ketika mereka bermaksud mati, sebelumnya mereka lantas minum semacam obat
campuran dari berbagai jenis racun, di antara belasan macam racun ini satu sama
lain bertentangan sehingga bekerjanya racun sangat lambat, akan tetapi dapat
membuat otot daging mereka menjadi kaku sedikit demi sedikit, ketika anggota
badan mereka sudah mati dan cuma tinggal kedua kaki saja yang dapat berjalan,
lalu mereka masuk ke rumah ini dan berduduk di kursi batu untuk menanti
datangnya ajal."
Ki Leng-hong tersenyum tak
acuh, katanya pula: "Begitulah mereka menganggap selama menanti datangnya
kematian itu adalah saat orang hidup yang paling aneh dan menarik, mereka
menyaksikan sendiri anggota badan sendiri sedikit demi sedikit mulai kaku dan
menjalar ke bagian lain, semua ini mereka anggap sebagai suatu kenikmatan yang
sukar dicari, bahkan jauh lebih menyenangkan daripada menyaksikan penderitaan
orang lain. Maklumlah, mereka sudah terlalu banyak menyaksikan kematian orang
lain, hanya menyaksikan kematiannya sendiri barulah dapat mendatangkan semacam
rangsangan baru bagi kepuasan mereka."
Siapapun mengkirik
mendengarkan cerita yang aneh dan sukar dimengerti ini di rumah hantu yang
seram ini.
"Gila, benar-benar
gila...." gumam Pwe-giok sambil memandangi mayat-mayat itu dengan bingung.
"Pantas Ki hujin bilang mereka semua orang gila, waktu hidup gila, sesudah
mati juga gila."
"Ya. sekujur badan mereka
sudah dirembesi oleh racun yang aneh itu, maka jenazah merekapun takkan busuk
selamanya," kata Leng-hong pula.
Cia Thian-pi merinding pula,
ucapnya dengan gemetar: "Pantas tidak pernah ada orang hidup keluar dari
rumah maut ini, kiranya mereka telah mengubur dirinya sendiri di sini."
"Dan keadaan kita
sekarang juga serupa mereka," sambung Leng-hong dengan dingin,
"terpaksa kita harus berduduk di sini untuk menunggu datangnya elmaut.
Keadaan kita sekarang sama juga mengubur dirinya sendiri."
Dia pandang jenazah Ki Go-ceng
di sebelahnya, lalu menyambung pula dengan tenang: "Aku masih ingat pada
hari dia mengubur dirinya sendiri, pagi-pagi kami semuanya hadir di depan rumah
ini untuk mengantar keberangkatannya, dengan langkah berat dia masuk ke sini.
Mendadak ia menoleh dan berkata kepada kami dengan tertawa: "Meski
lahirnya kalian kelihatan berduka, tapi di dalam hati kalian tentu menertawakan
diriku sebagai orang bodoh. Padahal kalian tidak perlu pura-pura berduka, sebab
selama hidupku justeru tidak pernah segembira seperti sekarang ini..."
Sungguh Cia Thian-pi tidak
ingin mendengarkan lagi, tapi mau tak mau ia harus mendengarkan.
Ki Leng-hong telah menyambung
pula: "Kami tidak ada yang berani menjawab, maka dengan tertawa dia
berkata pula: "Kelak kalian akan tahu bahwa seorang kalau sudah mati akan
jauh lebih gembira daripada waktu hidup. - Waktu itu mukanya sudah mulai kaku,
meski kedengaran dia tertawa, namun air mukanya tiada sesuatu tanda tertawa,
tampaknya menjadi sangat menakutkan. Tatkala mana Leng-yan baru berumur
sepuluhan tahun, ia menangis ketakutan."
Nyata Ki Leng-hong ini suka
mencari kepuasan dengan memperlakukan sadis kepada orang lain, semakin sedih
orang lain, semakin gembira dia, sudah jelas orang lain tidak suka mendengar
ceritanya, dia justeru bercerita terus, bahkan bercerita secara hidup dan
nyata.
Membayangkan ceritanya dan
memandang pula mayat di depannya sekarang, tambah ngeri hati Cia Thian-pi,
mendadak iapun tertawa seperti orang gila, makin keras suara tertawanya dan
tidak dapat berhenti.
"He, Cia-cianpwe, kenapa
kau?" seru Pwe-giok kuatir.
Tapi Cia Thian-pi masih terus
tertawa, seperti tidak pernah mendengar teguran Pwe-giok itu. Cepat Pwe-giok
mendekatinya dan menggoyangi tubuhnya, dilihatnya tertawanya yang terkial-kial
itu benar-benar seperti orang gila.
Mendadak Pwe-giok menampar
pipinya, dengan begitu tertawa Cia Thian-pi baru berhenti, ia tercengang
sejenak, tapi mendadak ia menangis tergerung-gerung.
"Orang ini mungkin saking
ketakutan dan menjadi gila," ujar Leng-hong dengan tenang. "Gila juga
baik, paling sedikit dia tidak perlu merasakan siksaan menanti ajal ini."
Tiba-tiba Pwe-giok membalik
tubuh dan menghadapi Ki Leng-hong, katanya tegas: "Meski pernah kau tolong
aku satu kali, tapi sekarang akupun sedang menunggu kematian, hal ini sama
seperti jiwaku sudah kubayar kembali padamu. Selanjutnya kita sudah tiada
utang-piutang lagi, sudah lunas. Dan kalau kau masih bertindak sesuatu yang
menusuk perasaan orang, jangan kau salahkan diriku jika terpaksa ku bertindak
kasar padamu."
Ki Leng-hong memandangi
Pwe-giok sejenak, akhirnya ia berpaling kesana dan tidak bicara lagi.
Tanpa terasa Pwe-giok mengusap
keringat di dahinya. Aneh, ia heran mengapa ia merasa kegerahan?
Rupanya di dalam rumah batu
itu semakin panas rasanya, agaknya Ki Leng-hong juga merasakan hal ini, dia
berseru: "He.... api! Si gila itu hendak memanggang kita di sini."
Benar juga, lubang kecil di
atap itu tampak mulai berasap tipis.
"Rupanya dia kuatir
kematian kita kurang cepat, maka ingin memanggang mati kita," kata
Leng-hong pula. "Padahal kalau kita jelas harus mati, bisa mati lebih
cepat memang lebih baik."
"Mengapa dia tidak
mencari jalan yang lebih cepat?" ujar Pwe-giok dengan menyesal.
"Hm, masa kau belum
paham?" jengek Leng-hong. "Bila menggunakan cara lain, tentu
mayat-mayat ini akan ikut rusak, selamanya dia menghormati orang mati, sudah
tentu dia tidak mau membikin susah orang mati. Pula, orang mati kan juga tidak
takut di panggang dengan api, betul tidak?"
Sementara itu tangis Cia
Thian-pi sudah berhenti, dengan termangu-mangu ia memandang ke depan. Di
depannya itu ialah mayat Ki Go-ceng, ia sedang bergumam sendiri: "Aneh....
sungguh aneh...."
Sampai belasan kali ia bilang
"aneh", tapi tidak di gubris Pwe-giok maupun Ki Leng-hong.
Saat itu Leng-hong lagi duduk
diam seperti orang linglung, betapapun dia juga orang she Ki, ia benar-benar
seperti sedang menanti ajal, seolah-olah sedang merasakan nikmatnya menunggu
kematian.
Sebaliknya Pwe-giok tak dapat
diam, betapapun ia masih menaruh setitik harapan akan meloloskan diri dari
tempat ini. Namun "rumah maut" ini benar-benar sebuah kuburan, di
dunia ini mana ada orang yang dapat keluar dari kuburan?
Sekonyong-konyong Cia Thian-pi
menuding mayat Ki Go-ceng sambil tertawa terkekeh kekeh: "Ha, coba kalian
lihat, sungguh aneh, orang mati dapat berkeringat... Orang mati juga dapat
berkeringat!"
Suara tertawanya yang keras
itu menimbulkan gema suara yang nyaring di rumah batu itu.
Diam-diam Pwe-giok menghela
napas, ia menyesal bahwa ketua suatu perguruan ternama di daerah selatan ini
kini benar-benar telah berubah menjadi orang gila. Mustahil, orang mati mana
bisa berkeringat!
Dengan tak acuh ia melangkah
ke sana dan tanpa terasa iapun memandang sekejap pada mayat Ki Go-ceng itu.
Dilihatnya muka orang mati
yang kelihatan dingin dan seram itu benar-benar merembes keluar butiran
keringat sebesar kedelai.
Jadi orang mati ini
benar-benar berkeringat!
Selama setengah bulan ini entah
sudah betapa banyak kejadian aneh dan misterius yang dialami Pwe-giok, tapi
tiada sesuatu yang lebih aneh dan menakutkan daripada kejadian ini. Orang mati
bisa berkeringat!
Dengan mata terbelalak ia
pandang butiran keringat yang menetes dari muka orang mati ini. Ia menjadi
ketakutan sehingga kaki dan tangan terasa lemas, sungguh iapun hampir gila
saking takutnya.
Mau tak mau Ki Leng-hong juga
memandang ke sana, mendadak ia berteriak dengan gemetar: "He, dia
benar-benar ber... berkeringat!"
Tapi jelas tidak masuk akal,
orang mati mana bisa ketakutan? Orang mati mana bisa berkeringat?.
Sungguh kejadian yang sukar
dibayangkan dan siapa yang dapat memberi penjelasan mengenai rahasia ini?
Makin panas hawa di dalam
rumah batu ini dan butiran keringat di muka orang mati inipun semakin banyak.
Mendadak Pwe-giok berjingkrak
sambil berteriak: "Ah, patung lilin, orang mati inipun sebuah patung
lilin!"
"Dengan mata kepalaku
sendiri kusaksikan dia masuk ke sini, mana bisa berubah menjadi patung lilin?
" ujar Leng-hong.
Pwe-giok terus melompat
kesana, dipuntirnya kepala "Orang mati" itu, seketika kepala orang
mati itu copot. Benar, "orang mati" ini memang betul cuma sebuah
patung lilin.
Di tempat yang remang-remang
dan seram, di tengah mayat tulen sebanyak ini, di dalam "Rumah maut"
yang penuh dengan kisah yang menakutkan ini, dengan sendirinya tiada seorangpun
yang tahu bahwa diantara mayat-mayat ini ada sesosok mayat palsu.
Pwe-giok mengusap keringat
yang membasahi tubuhnya, ia merasa lemas seperti kehabisan tenaga.
Ki Leng-hong juga sangat
kaget, ia meraung: "Ini bukan patung lilin, pasti bukan patung lilin, aku
menyaksikan sendiri dia masuk ke sini!"
Memang, jika ini betul patung
lilin, lalu kemana perginya Ki Go-ceng?
"Setelah masuk kemari,
bisa jadi dia telah keluar lagi." ujar Pwe-giok dengan tersenyum getir.
"Mungkin dia tidak
sungguh-sungguh minum racun itu, bisa jadi dia cuma pura-pura mati." kata
Leng-hong. "Tapi setelah dia masuk ke sini pintu lantas digembok dari
luar, hakekatnya dia tidak dapat keluar lagi... Dan kalau dia tidak dapat
keluar, tentu dia akan mati di sini, mengapa sekarang bisa berubah menjadi
patung lilin?"
Mendadak mata Pwe-giok
bersinar, serunya: "Di rumah maut ini pasti ada lagi jalan keluar yang
lain. Ki Go-ceng pasti keluar melalui jalan rahasia itu. Jika dia dapat keluar,
tentu juga kita dapat keluar!"
Berpikir demikian, seketika
terbangkit semangatnya, ia tidak perduli dinding sekeliling sudah terbakar
panas, segera ia mulai menyelidiki.
Orang yang berasal dari perguruan
"Bu-kek-bun", dalam hal ilmu alam serta ilmu pasti sudah tidak asing
lagi, terutama mengenai segala macam peralatan rahasia. Tapi Pwe-giok sudah
meneliti setiap pelosok rumah batu ini dan tetap tidak menemukan jalan
keluarnya.
Baju Pwe-giok dari basah telah
menjadi kering, kini matanya juga sudah merah dan bibirnya pecah karena hawa
yang panas. Dengan napas terengah-engah ia bergumam: "Di manakah jalan
keluarnya?... Demi menipu orang dengan berpura-pura mati, sudah tentu Ki
Go-ceng telah menyiapkan jalan keluarnya. Jika aku menjadi dia, dimana lubang
keluar itu akan ku buat?"
"Setahuku di rumah maut
ini tidak ada jalan keluar lagi." kata Leng-hong.
"Ada, pasti ada."
ujar Pwe-giok "Kalau tidak, cara bagaimana Ki Go-ceng bisa keluar?"
Leng-hong termangu-mangu
sejenak, katanya kemudian: "Apakah tidak mungkin ada orang membuka pintu
dari luar dan melepaskan di dari sini ?"
Pwe-giok seperti kena dicambuk
orang satu kali, seketika ia melenggong dan tidak sanggup bersuara lagi.
Memang betul, dengan sendirinya
ada kemungkinan begitu. Orang semacam Ki Go-ceng ini, meski tidak nanti dia
menghadapi kejadian yang sukar dipecahkan ini, Pwe-giok merasa apa yang
dikatakan Ki Leng-hong itu terhitung yang paling masuk akal.
Apalagi setelah orang itu
membukakan pintu mungkin sekali Ki Go-ceng lantas membinasakan orang itu.
Dengan demikian rahasia pribadinya akan tetap tertutup.
Berpikir sampai di sini,
Pwe-giok benar-benar menjadi putus harapan.
Tapi tiba-tiba terdengar Cia
Thian-pi berteriak pula: "He, lihat aneh sekali, orang mati ini tidak
kelihatan lagi, hilang sama sekali!"
Pwe-giok memandang lagi ke
tempat mayat tadi, benar, dilihatnya patung lilin tadi sudah cair seluruhnya,
tapi cairan lilinnya ternyata tidak banyak, kemana perginya cairan lilin itu?
Terkilas sesuatu dalam benak
Pwe-giok, ia coba mendekati kursi batu itu dan diperiksanya dengan teliti,
mendadak ia berseru dengan girang: "Aha, dugaan ku ternyata tidak meleset,
di rumah maut ini memang betul ada jalan keluar lagi, jalan keluar itu terletak
di bawah patung lilin ini, di bawah kursi batu ini."
Kiranya di bawah kursi batu
itu ada sebuah lubang kecil dan cairan lilin itu justeru mengalir keluar
melalui lubang kecil ini. Tapi lubang ini sangat kecil, hanya cukup dimasuki
dua jari, cara bagaimana manusia dapat menerobos keluar?
"Hm, kukira lebih baik
kau tunggu kematian dengan tenang saja." jengek Ki Leng-hong. "Jika
dibawah kursi ini terdapat jalan keluar, sesudah Ki Go-ceng pergi, cara
bagaimana patung lilin dapat berduduk di atas kursi ini, memangnya patung dapat
berduduk dengan sendirinya?"
Gemeredep sinar mata Pwe-giok,
katanya kemudian: "justeru Ki Go-ceng telah memperalat titik ini untuk
mengelabui orang, biar orang menemukan rahasia patung lilin juga tidak
menyangka jalan keluar itu terletak di bawah patung."
"Apapun juga, kalau tidak
dipindahkan orang, tidak mungkin patung ini dapat berduduk di di atas kursi,
untuk ini tidak nanti kau dapat memberi penjelasan" Kata Leng-hong.
"Tapi lubang kecil ini
dapat memberi penjelasan." ujar Pwe-giok.
"Lubang kecil ini?"
Leng-hong menegas. "Ya," jawab Pwe-giok. "Pada waktu Ki Go-ceng
membuat patung ini, dia benamkan seutas tali di bagian pantat patung ini, lalu
tali itu menyusup ke dalam lubang ini. Waktu dia masuk ke lorong di bawah dan
tutup lubang dirapatkan kembali, tali ini lantas ditariknya sehingga patung
lilin ini diseretnya berduduk di atas kursi."
"Ya, betul juga, cara ini
memang sangat pintar dan bagus." seru Leng-hong
"Cara berpikir Ki Go-ceng
yang rapi dan bagus sungguh sukar dibandingkan siapapun," ujar Pwe-giok.
"Cuma sayang, betapapun rapi perhitungannya tetap tak pernah terpikir
olehnya bahwa rumah ini bakal dipanggang dengan api dan patung lilin ini
akhirnya akan cair, sudah tentu mimpipun tak terpikirkan olehnya bahwa lubang kecil
yang tidak ada artinya ini akhirnya dapat membocorkan seluruh rahasianya."
Ki Lneg-hong berdiam sejenak,
kemudian ia menghela napas panjang dan berkata: "Ai, kau memang jauh lebih
pintar daripada apa yang pernah kusangka, sungguh cerdik!"
***
Papan batu di bawah patung
lilin itu memang dapat digeser, di bawahnya memang betul ada sebuah lorong yang
gelap.
Pwe-giok menarik napas lega,
katanya: "Akhirnya diketahui ada orang hidup yang keluar dari rumah maut
ini, bahkan tidak cuma satu orang saja?"
Kini Ki Leng-hong tidak dapat
omong lagi, ia hanya ikut masuk ke lorong di bawah tanah itu.
Dengan memayang Cia Thian-pi,
Pwe-giok terus merayap ke depan. Lorong ini panjang lagi berkelok-kelok, dengan
sendirinya gelap gulita pula, jari sendiri saja tidak kelihatan.
Akhirnya mereka dapat lolos
keluar. Tapi siapa yang berani menjamin bahwa jalan tembus ini adalah tempat
yang aman?
Bisa jadi lorong ini menembus
juga ke kamar tidur Ki-hujin sana.
Baru saja Pwe-giok berpikir
demikian, tiba-tiba tampak cahaya lampu di depan sangat jelas di tempat gelap
begini.
Di tempat yang ada cahaya
lampu pasti juga ada manusianya.
Pwe-giok melepaskan
pegangannya pada Cia Thian-pi dan cepat melompat ke sana, Siapapun yang
dipergoki, setiap saat dia siap merobohkannya dengan sekali hantam.
Tapi mendadak Pwe-giok melihat
lampu itu adalah lampu yang dibawanya masuk itu.
Waktu dia ditarik masuk ke
kamar Ki-hujin lampu ini masih tertinggal di sini dan juga belum dipadamkan,
jadi lorong ini memang betul jalan yang menembus ke kamar tidur Ki-hujin.
Kiranya baik kamar tidur
Ki-hujin maupun rumah berdinding kertas dengan kasuran bundar serta rumah mati
yang misterius itu satu dan lain ditembusi oleh jalan di bawah tanah ini.
Sudah banyak pengalaman pahit
Pwe-giok dan hidup menuju kematian telah dijalaninya, setelah berputar-putar
akhirnya dia tiba kembali di tempat semula. Sungguh ia tidak tahu mesti tertawa
atau menangis?!
Ki Leng-hong telah datang
pula, iapun melenggong.
Pwe-giok bergumam:
"Menurut pikiranku, jalan di bawah tanah ini selain menembus ke kamar
Hujin serta rumah berdinding kertas itu, pasti ada pula jalan keluar ke
empat."
"Berdasarkan apa kau
bilang demikian?" tanya Leng-hong.
"Sebab Ki Go-ceng dan
orang she Ji itu tidak nanti keluar melalui kamar tidur Ki-hujin," tutur
Pwe giok. "Mereka lebih-lebih tidak mungkin keluar melalui rumah
berdinding kertas itu. Makanya kuyakin di sini pasti ada jalan keluar ke
empat."
"Ha, jika begitu, kau
kira terletak di mana jalan keluar ke empat itu?" kata Leng-hong dengan girang.
Pwe-giok mengangkat lampu
minyak itu dan menyusur ke depan dengan pelahan. Jalan ini kembali menuju ke
bawah rumah berdinding kertas itu. Tidak jauh, tiba-tiba ia berpaling dan
bertanya kepada Ki Leng-hong: "Apakah kau tahu kapan orang she Ji itu datang
ke Sat jin-ceng sini?"
"Tentu saja kuingat
dengan jelas," jawab Leng-hong. "Hari itu adalah hari ketiga setelah
Ki Go-ceng mulai minum racun, yaitu hari ketiga lewat tahun baru. Jadi tepat
pada hari tahun baru dia mulai minum racun, tujuannya membikin kegembiraan akan
bertambah dengan sedikit rasa duka."
"Jadi Ce-it (tanggal
satu) dia mulai minum racun, lalu hari apa dia masuk ke rumah mati itu?"
tanya Pwe giok.
"Itulah hari
Cap-go-meh," jawab Leng-hong. "Dimulai Ce-it hingga Cap-go-meh,
segenap penghuni Sat-jin ceng sama sibuk membereskan urusan kematiannya
sehingga orangpun tidak memperhatikan orang she Ji itu."
Sementara itu mereka sudah
sampai di ruangan kecil di bawah rumah kertas itu, kantung bersulam indah yang
berisi sepotong kemala berukir itu masih terletak di tempat tidur, patung lilin
Ki Go-ceng juga masih di situ dan seakan-akan sedang memandang mereka.
Mendadak Cia Thian pi tertawa
terkekeh-kekeh pula, serunya: "Pantas orang mati itu menghilang, kiranya
dia mengeluyur ke sini..."
Pwe-giok ambil batu Giok itu
dan termangu-mangu, katanya kemudian: "Kukira orang she Ji itu tidak
mengeluyur pergi, Ki-hujin telah salah sangka padanya."
"Apa alasanmu kau bilang
demikian?" tanya Leng hong heran.
"Waktu kulihat batu Giok
ini, aku menjadi heran," tutur Pwe giok. "Seumpama orang she Ji itu
tidak sayang pada kantung bersulam ini, tidak seharusnya dia meninggalkan batu
pualam ini di sini."
"Ya, tampaknya benda ini
adalah benda pusaka keluarganya, bisa jadi dia pergi dengan tergesa-gesa,
makanya tertinggal di sini," kata Leng-hong.
"Tidak, tatkala itu tiada
orang tahu rahasia lorong di bawah tanah ini, jika dia menemukan jalan tembus
ke empat, tentu dia mengeluyur pergi dengan bebas, kenapa dia harus
tergesa-gesa, kecuali...."
"Kecuali apa?" tanya
Leng-hong.
"Kecuali kepergiannya itu
bukan kehendak sendiri melainkan dipaksa orang," jawab Pwe-giok.
Ki Leng-hong melenggong,
katanya kemudian; "Jadi maksud... maksudmu dia telah dipergoki Ki
Go-ceng?"
"Kupikir pasti
begitu," kata Pwe-giok. "Waktu Ki Go-ceng menyusup masuk ke lorong
ini dan mengetahui di tempat yang dirahasiakan ini ternyata ada orang luar,
tentu saja dia tidak tinggal diam, mana dia dapat membiarkan ada orang kedua
yang mengetahui rahasia kematiannya yang pura-pura."
"Jika demikian, jadi
orang the Ji itu bukan cuma dipaksa pergi olehnya, bahkan ada kemungkinan telah
dibunuhnya untuk menghilangkan saksi?!"
"Ya, kurasa Ki Go ceng
pasti telah membunuhnya," ucap Pwe-giok.
Sampai lama Ki Leng hong
terdiam, katanya kemudian: "Jika dia (maksudnya Ki-hujin) mengetahui si
dia sudah mati, bisa jadi dia takkan begitu berduka dan sedih...."
"Masa dia takkan
bertambah sedih jika dia mengetahui kekasihnya sudah mati?" tanya Pwe-giok
dengan heran.
Ki Leng-hong tersenyum pedih,
jawabnya: "Tahukah kau apakah yang menjadi penderitaan terbesar bagi
seorang perempuan?"
Dia tidak menunggu jawaban
Pwe-giok, tapi lantas dijawabnya sendiri: "Yaitu ditinggal oleh orang yang
dicintainya. Penderitaan ini bukan saja sangat hebat, bahkan tak terlupakan selama
hidup. Bahwa kekasihnya itu sudah-mati, walaupun dia akan sedih juga tapi
hampir tiada artinya jika dibandingkan penderitaan seperti kalau ditinggal
pergi. Sebab itulah ada sementara orang perempuan yang tidak sayang membunuh
kekasih sendiri, yaitu karena kuatir sang kekasih akan menyukai perempuan lain.
Jadi dia lebih suka kekasihnya mati daripada jatuh dalam pelukan wanita
lain."
"Jika demikian, bila dia
mengetahui kekasihnya sudah mati, ia berbalik akan rnerasa senang?"
"Ya, akan jauh lebih
senang," kata Long-hong.
"Ai, jalan pikiran orang
perempuan sungguh sukar untuk dipahami kaum lelaki," ujar Pwe-giok sambil
menggeleng.
"Lelaki memang tidak
seharusnya memahami jalan pikiran perempuan dan perempuan juga bukan dilahirkan
untuk dipahami orang, tapi supaya dihormati dan dicintai," jengek
Leng-hong.
Pwe-giok tidak menanggapi
lagi, dengan memegang lampu minyak itu, dia mulai menyelidiki sekitar tempat
itu. Ia yakin jalan keluar ke empat pasti berada di dekat tempat tidur itu.
Namun dia tidak menemukannya, sementara itu minyak sudah habis, akhirnya lampu
itu padam.
Pwe-giok menghela napas,
gumamnya: "Tampaknya sekalipun di lorong bawah tanah ini memang ada jalan
tembus ke empat, tapi dalam keadaan gelap gulita begini jangan harap akan dapat
menemukannya."
"Padahal, tidak perlu kau
cari jalan tembus ke empat itupun kita tetap dapat keluar dari sini," kata
Leng-hong tiba-tiba.
"He, kau punya
akal?" tanya Pwe-giok cepat.
"Kukira asalkan kau
sanggup membuktikan orang she Ji itu sudah mati, tentu Hujin takkan benci lagi
padamu, bisa jadi dia akan segera melepaskan kau," kata Leng-hong.
Belum lagi Pwe-giok menjawab,
mendadak dalam kegelapan ada seorang menanggapi; "Tidak, cara ini tidak
tepat."
"Mengapa tidak
tepat?" tanya Leng-hong.
"Jika Ji Pwe-giok sudah
mati, cara bagaimana dapat keluar lagi dengan hidup?" ujar orang itu.
Baru sekarang Ki Leng-hong
mengenali suara itu bukan suara Ji Pwe-giok juga bukan suara Cia Thian-pi,
seketika ia berkeringat dingin dan berteriak tertahan: "Sia... siapa
kau?"
"Hehehhehe, masa suaraku
saja tidak kau kenal lagi?" ucap orang itu dengan tertawa.
"Cras", dalam
kegelapan lantas menyala sinar api, tertampaklah seraut wajah tua dan kurus
penuh bekas penderitaan hidup.
"Ko-lothau!" seru
Pwe-giok dan Leng-hong berbareng. "Mengapa kau dapat masuk ke sini?!"
Wajah si Ko tua yang kurus
pucat itu tampaknya juga misterius di bawah cahaya lampu yang gemerdep di
lorong bawah tanah ini. Dia pandang Ki Leng-hong dan tersenyum penuh rahasia,
katanya: "Ya, si Ko tua yang biasa bekerja sebagai tukang kayu mana bisa
datang ke sini? Tapi selain Ko tua yang kau ketahui, adalah hal lain yang kau
ketahui mengenai diriku?"
Tiba-tiba Ki Leng-hong
merasakan sorot mata si kakek memancarkan semacam sinar tajam yang belum pernah
dilihatnya, tanpa kuasa ia menyurut mundur dan berkata dengan suara gemetar;
"Sesungguhnya sia... siapa kau?"
Pelahan-lahan Ko-lothau
melangkah lewat di depan Leng hong, ia taruh lampu yang dipegangnya di atas
almari kecil di ujung tempat tidur sana, habis itu mendadak ia membalik tubuh
dan memandang si nona dengan sorot mata gemerdep: "Aku inilah orang yang
membikin Ki Go-ceng tidak dapat tidur dengan lelap dan tidak dapat makan dengan
enak, aku inilah yang membuat Ki Go-ceng merasa tak dapat hidup lebih lama lagi..."
"Oh, sebabnya Ki Go-ceng
terpaksa berlagak merenungkan dosanya di rumah kertas dan terpaksa pura-pura
mati, semua itu lantaran dia takut padamu?" seru Pwe giok.
"Hehehe, kau pun tidak
menyangka bukan?" kata Ko-lothau dengan tertawa. "Ya, siapapun pasti tidak
menduga bahwa orang yang paling ditakuti Ki Go ceng selama ini ternyata adalah
seorang tua bangka macamku ini."
"Apakah. ..... apakah dia
sudah tahu siapa dirimu?" tanya Leng-hong terkejut.
"Sudah tentu dia tahu
siapa diriku?" jengek Ko-lothau, "tapi dia justeru tidak berani
membongkar hal ini, terpaksa dia berlagak bodoh dan pura-pura tidak tahu, sebab
iapun tahu sudah lama kuketahui rahasianya."
"Rahasia apa?" tanya
Leng-hong.
"Lebih 20 tahun yang lalu
di dunia Kangouw mendadak terjadi banyak peristiwa yang menggoncangkan, ada
pencurian benda pusaka secara besar-besaran, banyak tokoh ternama terbunuh
secara gaib, si pencuri dan pembunuh itu sangat tinggi Kungfunya, apa yang
diperbuatnya itu pun sangat bersih tanpa meninggalkan bekas sedikitpun. Meski
dunia persilatan waktu itu telah mengerahkan berpuluh tokoh pilihan untuk
menyelidikinya, namun tak dapat menemukan jejaknya. Maklum, siapapun tidak
menyangka orang yang melakukan hal-hal itu adalah Ki Go-ceng yang lagi
merenungkan dosanya di rumah kertas dan diketahui tidak pernah keluar rumah
sepanjang tahun."
"Memangnya sudah kuduga
apa yang dilakukannya itu pasti mempunyai intrik tertentu," kata Pwe-giok,
ia sangat tertarik oleh cerita si Ko tua.
"Tapi kalau kau bilang
dia adalah pembunuh dan pencuri, jelas aku tak percaya," kata Leng-hong.
"Ya, bukan saja kau tidak
percaya, jika kuceritakan pada waktu itu, di seluruh dunia ini mungkin juga
tiada seberapa orang yang mau percaya," ujar Ko-lothau dengan gegetun.
"Nah, demi membongkar rahasia inilah terpaksa aku menyelundup ke
Sat-jin-ceng sini."
"Kau bilang waktu itu dia
sudah tahu siapa dirimu?" tukas Leng-hong. "Jika begitu mengapa dia
dapat membiarkan kau tinggal di Sat jin-ceng dan mengapa tidak dia bunuh
dirimu."
"Jika dia tidak
membiarkan ku tinggal di sini, bukankah makin menandakan dia bersalah sehingga
takut diketahui orang?" ujar Ko-lothau.
"Dan kalau dia bunuh
diriku, bukankah akan lebih membuktikan dosanya? Segala sesuatu selalu
dipikirkannya dengan rapi, selamanya dia tidak suka menyerempet bahaya dan main
untung-untungan, dengan sendirinya iapun tidak mau mengambil resiko dalam
persoalan diriku ini. Makanya meski dia tahu kedatanganku ini sengaja hendak
mengawasi gerak-geriknya, terpaksa dia tetap pura-pura tidak tahu." Ia
tertawa, lalu menyambung pula; "Jika tidak demikian, mana bisa Sat jin
ceng mau menerima seorang tua bangka yang tidak diketahui asal-usulnya."
"Jadi menurut
perhitunganmu, meski dia tahu kedatanganmu ini hendak mengawasi dia, tapi dia
berbalik terpaksa harus menerima kau di sini, walaupun langkah ini sangat
bagus, tapi setelah dia tahu siapa dirimu, bukankah setiap saat dia dapat
berjaga-jaga segala kemungkinan, mana bisa dia memperlihatkan rahasianya di
depanmu?" tanya Pwe-giok.
"Sekali pandang saja dia
dapat mengetahui asal usul orang lain, orang pintar seperti dia, masa semudah
itu orang hendak membongkar rahasianya? Maka setiba ku di sini, segera ku
sadari semua peristiwa yang tiada buktinya takkan terpecahkan untuk
selamanya," jawab Ko-lothau sambil menghela napas.
"Jika demikian, untuk
apalagi kau tinggal di sini selama ini?" kata Leng-hong.
"Aku tinggal di sini,
memang tak dapat ku bongkar rahasianya, tapi sedikitnya dapat ku awasi
gerik-geriknya agar dia tidak berani lagi keluar dan berbuat jahat…" tutur
Ko lothau. "Dan memang, sejak aku tinggal di sini, segala perbuatan yang
menggemparkan dunia Kangouw itu lantas lenyap dan tak pernah terjadi
lagi."
"Demi untuk mencegah
terjadinya kejahatan, Cianpwe telah mengorbankan nama dan kedudukan sendiri,
rela menjadi budak orang, sungguh keluhuran budi dan kebesaran jiwa Cianpwe ini
sukar dicari bandingannya," puji Pwe-giok dengan gegetun.
Tanpa terasa timbul rasa muram
pada wajah Ko-lothau, selama hampir 20 tahun ini tentu dilewatkannya dengan
susah-payah. Akan tetapi rasa muram itu hanya sekilas saja menghiasi wajahnya
dan segera lenyap, ia lantas bergelak tertawa dan berkata; "Meski aku
telah mengorbankan kenikmatan hidupku sendiri dan melewatkan hari-hari sengsara
selama ini, tapi akupun berhasil memaksa Ki Go ceng dari pura-pura menjadi
sungguhan, mau-tak-mau dia menderita juga di rumah kertas itu. Jadi
pengorbananku ini terasalah cukup berharga."
"O, lantaran dia tidak
mampu membunuh dirimu dan juga tidak dapat kabur, akhirnya terpaksa ia
pura-pura mati!" kata Pwe-giok.
"Ya, ambisinya memang
besar, dengan sendirinya ia tidak rela mengakhiri hidupnya secara begitu,"
tutur Ko-lothau. "Mungkin setelah dipikirnya, akhirnya didapatkan akal
pura-pura mati itu. Meski ku tahu dia pasti tidak rela mengeram di rumah kertas
itu, tapi tak terduga olehku bahwa dia akan mengelabui diriku dengan akal
bulusnya itu."
"Setelah kena diakali,
mengapa kau tidak pergi?" tanya Leng hong.
"Meski waktu itu dia
dapat mengelabui diriku, tapi kemudian kupikir dalam urusan ini pasti ada sesuatu
yang tidak beres, sebab ku tahu Ki Go-ceng bukanlah manusia yang mudah menyerah
dan rela mati begitu saja, apalagi . ..." tersembul senyuman pahit pada
ujung mulut si Ko tua, lalu sambungnya dengan pelahan: "Sejak kecil aku
sudah terbiasa terluntang-lantung kian kemari, belum pernah aku berdiam di
suatu tempat lebih dari setengah tahun. Tapi di sini, tanpa terasa aku telah
tinggal sekian tahun, kehidupan yang sederhana ini terasa sudah biasa bagiku,
bahkan rasanya sangat enak. Aku sendiri tidak berkeluarga, tidak punya anak
isteri, kusaksikan kalian meningkat dewasa, diam-diam akupun bergembira,
makanya..."
"Hm, tidak perlu kau
gembira bagi kami," jengek Ki Leng-hong. "Kau pergi atau tidak, sama
sekali tiada sangkut-pautnya dengan diriku, kau pun tidak perlu menggunakan
diriku sebagai alasan. Sekarang maksud tujuanmu tinggal di sini sudah tercapai,
maka selanjutnya aku tidak kenal lagi padamu."
Ko-lothau terdiam sejenak,
ucapnya kemudian dengan menghela napas panjang: "Ya, betul, setelah maksud
tujuanku tinggal di sini sudah tercapai, akhirnya sudah kubuktikan Ki Go-ceng
belum lagi mati, selanjutnya aku perlu mengembara lagi ke mana-mana, akan
kucari pula jejaknya. Selama belum kutemukan dia, sebelum kusaksikan dia mati
di depan mataku, selama itu pula aku tidak rela."
"Hm, setelah dia pergi,
mungkin selamanya jangan harap dapat kau temukan dia," jengek Leng-hong
pula.
"Betul juga, jika
seterusnya dia mengasingkan diri dan hidup di tempat jauh, tentu tak dapat
kutemukan dia lagi. Tapi bila dia melakukan sesuatu kejahatan, segera pula aku
dapat menemukan jejaknya. Sedangkan orang macam dia itu jelas tidak rela hidup
kesepian."
Kembali sorot matanya
memancarkan sinar yang tajam, jago tua yang sudah lama mengasingkan diri ini
kini mendadak telah berubah menjadi kereng dan bersemangat lagi.
Akhirnya Ki Leng-hong tidak
tahan, ia bertanya: "Sesungguhnya siapa kau?"
Ko-lothau tersenyum, jawabnya:
"Jika selanjutnya kau tak mau kenal lagi padaku, untuk apa pula kau tanya
siapa diriku?"
Ki Leng hong melengos ke sana
dan tidak memandangnya lagi.
Padahal tanpa bertanya ia pun
tahu orang yang dapat membuat Ki Go-ceng takut mustahil tiada mempunyai kisah
hidup yang gemilang dan asal-usul yang luar biasa.
ooo 000 ooo
Sesungguhnya siapakah
Ko-lothau ini dan bagaimana asal-usulnya?
Kemana perginya Ki
Go-ceng?....
Semua itu tidak diperhatikan
oleh Pwe-giok, yang sedang dipikirnya hanya satu soal saja. Dia memandang
sekelilingnya, akhirnya ia bertanya; "Entah darimanakah Cianpwe masuk ke
sini?"
"Kudengar kau sudah mati
aku jadi ingin tahu cara bagaimana kau mati? Maka diam-diam kumasuki kamar Ki
hujin, disitulah tanpa sengaja kutemukan jalan rahasia di balik almari itu.
Padahal almari itu selamanya tertutup, entah mengapa sekarang telah
terbuka."
Kiranya seperginya Ji
Pwe-giok, Ki hujin telah lupa menutup kembali almarinya.
Terbelalak Pwe-giok demi
mendengar keterangan ini, serunya: "He, jadi saat ini di kamarnya tiada
orang?"
"Kau ingin keluar melalui
sana?" tanya Ko-lothau.
"Jika mereka menyangka
aku sudah mati, tentu mereka tidak lagi mengawasi diriku, kesempatan ini dapat
kugunakan untuk kabur," kata Pwe-giok.
"Bila kau sudah mati,
mana dapat keluar lagi dengan hidup?" bentak Ko-lothau mendadak dengan
bengis.
"Jadi maksud
Cianpwe..." Pwe-giok melengak dan tak dapat melanjutkan.
"Apa maksudku, masa kau
tidak paham?" kata Ko-lothau dengan sinar mata gemerdep," seperti
tanpa sengaja ia melirik sekejap ke arah patung lilin Ki Go-ceng.
Mendadak Pwe giok sadar,
serunya: "Aha, betul, jika Ki Go ceng dapat mengelabui orang dengan
pura-pura mati, mengapa aku tidak boleh? Di dunia ini mana ada penyamaran lain
yang lebih mudah menghindari pengejaran serta untuk alat penyelidikan rahasia
orang lain daripada pura-pura mati?"
"Bagus, akhirnya kau
paham juga," ujar Ko-lothau dengan tersenyum puas. "Pendek kata, ada
permusuhan apapun juga kau dengan orang lain, asal sudah mati, orang lain
takkan mengusut lebih lanjut. Jika kau hendak menyelidiki rahasia orang lain,
setelah kau mati, tentu orang takkan berjaga-jaga lagi akan dirimu."
Pwe-giok menghela napas,
katanya: "Pantas ketika Ki Go-ceng masuk ke rumah mati itu dia sengaja
bilang bahwa kematian seorang akan jauh lebih menggembirakan daripada hidup.
Kiranya di balik ucapannya ini mengandung makna yang sangat dalam, cuma sayang
waktu itu tiada seorangpun yang paham maksudnya."
"Tapi sayang, orang lain
sama kenal kau sebagai Ji Pwe-giok," tiba-tiba Leng-hong menjengek.
"Ya, betul juga,"
jawab Pwe-giok dengan menyengir. "Meski aku dapat pura-pura mati, tapi wajahku
tak dapat mengelabuhi orang."
Tapi Ko-lothau tidak
menanggapi, ucapnya dengan tenang: "Tuhan menciptakan manusia dengan
pintar dan bodoh, cakap dan buruk, tapi tidak pernah menciptakan manusia yang
sempurna. Melulu bicara tentang lahiriah saja, sekalipun lelaki cakap yang
sama-sama diakui umum pasti juga terdapat sesuatu ciri, dari jaman dahulu
hingga kini, baik lelaki maupun perempuan tidak pernah ada sebuah wajah yang
sempurna."
Ia menatap tajam-tajam muka
Pwe-giok, lalu menyambung pula dengan pelahan. "Misalnya dirimu, kaupun
terhitung seorang lelaki cakap, tapi alismu terasa tebal, matamu rada
kekecilan, hidungmu kurang tegak, ujung mulutmu juga terasa kurang
serasi."
Pwe-giok tidak tahu mengapa
orang tua itu mendadak bicara seperti tukang Kwamia atau tukang nujum di tepi
jalan, terpaksa ia cuma menyengir dan menjawab dengan tergagap-gagap: "Ah,
mana Wanpwe dapat dianggap orang cakap?"
"Bilamana batiniah
seseorang ada cirinya, maka siapa pun tak berdaya memperbaikinya," kata
Ko-lothau pula. "Tapi kekurangan pada lahiriah, betapapun dapat ditambal.
Sudah lama terkandung niatku akan menciptakan seorang yang paling cakap hanya
saja aku ingin mencari seorang model yang cocok dan inilah yang sulit. Sebab,
betapapun kita tidak dapat menjadikan seorang yang sumbing atau seorang yang
juling untuk berubah menjadi lelaki yang sempurna."
Kembali sorot matanya yang
tajam menatap Pwe-giok dan menyambung pula: "Sedangkan kau baik lahiriah
maupun tutur-katamu sudah terhitung mendekati sempurna, ciri pada wajahmu juga
tidak sulit diperbaiki. Sudah sekian tahun kucari, akhirnya. kutemui
dirimu."
"Memangnya Cianpwe
bermaksud meng... mengubah diriku menjadi lelaki cakap?" tanya Pwe-giok
dengan terkejut.
"Menjadi lelaki cakap
akan banyak manfaatnya," ujar Ko-lothau dengan tersenyum. "Bisa
menjadi lelaki cakap yang sempurna terlebih-lebih banyak manfaatnya. Umpamanya,
paling tidak setiap perempuan di dunia ini pasti tidak tega mencelakai dirimu
lagi."
"Tapi.... tapi terhadap
wajahku sekarang ini Wanpwe sudah cukup puas," seru Pwe-giok.
Ko-lothau tidak
menghiraukannya, dengan tersenyum ia berkata pula: "Manfaat lain sementara
tidak perlu kukatakan, manfaat yang paling besar adalah selanjutnya tidak bakal
ada orang yang kenal kau sebagai Ji Pwe-giok lagi."
Pwe-giok melengak bingung,
katanya dengan tergagap: "Tapi... tapi dengan wajah yang begitu cakap kan
lebih mudah menarik perhatian orang?"
"Karena terpengaruh oleh
kecakapan wajahmu, terhadap setiap tindak-tandukmu orang akan menjadi kurang
memperhatikannya," kata Ko-lothau. "Dengan demikian, andaikan dalam
gerak-gerik atau tutur katamu ada sesuatu yang tidak betul juga tidak perlu
kuatir."
Pwe-giok berpikir sejenak,
akhirnya ia menghela napas panjang dan menjawab: "Baiklah, jika demikian,
Wanpwe terpaksa menurut saja."
Waktu menengadah, dilihatnya
Cia Thian-pi masih memandangi patung lilin itu dengan termangu-mangu linglung,
sedangkan Ki Leng-hong menghadap ke dinding, terhadap apa yang dipercakapkan
Pwe-giok dan Ko-lothau itu dianggapnya seperti tidak melihat dan tidak
mendengar.
oooo 000 ooo
Lorong di bawah tanah yang
kelam itu mendadak terang lagi.
Ko-lothau sudah keluar satu
kali, kembalinya telah membawa bahan makanan dan air minum serta cukup banyak
lilin dan dua buah cermin tembaga, tersorot oleh cahaya lampu, cermin tembaga
itu kelihatan bertambah terang.
Pwe-giok berbaring di tempat
tidur, Ko-lothau menutupi muka anak muda itu dengan sepotong kain belacu yang
basah, terasa bau obat yang menusuk hidung, seketika Pwe-giok kehilangan
ingatan. Dalam keadaan sadar-tak-sadar sempat didengarnya Ko-lothau lagi
berkata: "Tidurlah sepuasnya, setelah kau mendusin nanti, jadilah kau
lelaki cakap yang paling sempurna dan tiada bandingannya."
oo 0O0 oo
Entah sudah berapa lama
Pwe-giok tertidur nyenyak, waktu mendusin, mukanya masih terbalut oleh kain
basah, tujuh hari kemudian barulah pembalut itu dibuka.
Ko-lothau memandangi wajahnya
dengan seksama, mirip seorang pelukis yang sedang meneliti buah karyanya dengan
sorot mata yang penuh rasa puas dan bangga, gumamnya: "Dengan wajahmu ini,
siapa pula yang sanggup menemukan setitik cirinya? Sudah barang tentu melulu
wajahmu inipun belum cukup, dengan sendirinya masih ada lainnya, sedangkan kau
......" dia tepuk pundak Pwe-giok dan berkata pula dengan tertawa:
"Kebetulan juga sejak kecil kau telah mendapatkan pendidikan kekeluargaan
dan sudah biasa sopan santun dan lemah lembut, pula dari pengalamanmu yang
sudah kenyang menghadapi berbagai macam bahaya kau lebih terbiasa bersikap
tenang dan sewajarnya. Kalau tidak berpengalaman seperti kau dan menganggap
mati dan hidup sebagai kejadian yang sepele, tentu kau takkan sedemikian
sempurna..."
"Betul, dengan gabungan
semua itu, kau memang cukup memikat setiap anak gadis di dunia ini,"
jengek Ki Leng-hong mendadak. "Sungguh aku pun sangat bangga bisa
mempunyai anak buah semacam kau, tak perlu kuatir lagi usahaku takkan
berhasil."
"Siapa kau anggap anak
buah?" tanya Ko-lothau dengan tercengang.
"Ji Pwe-giok," jawab
Leng-hong pula. "Dengan sendirinya termasuk kau juga."
Ko-lothau memandangi nona itu
dengan terkesima, seperti memandang makhluk yang aneh.
Ki Leng-hong menjengek pula:
"Hm, jika kalian tidak tunduk kepada perintahku, segera akan ku bongkar
rahasia kalian agar usahamu sia-sia, agar Ji Pwe giok segera mati."
"Jika demikian, lekas kau
keluar dan beritahukan kepada orang, silakan!" kata Ko lothau sambil
menghela napas panjang.
Sekali ini Ki Leng hong
melenggong sendiri ucapnya: "Kau . . . .kau suruh ku bongkar rahasiamu
kepada orang lain?"
Ko-lothau tersenyum, katanya:
"Dan takkan kau lakukan, bukan? Ku tahu betul, meski lahirnya kau
kelihatan bengis, padahal hatimu jauh lebih bajik daripada apa yang kau
bayangkan sendiri. Sejak kecil kusaksikan kau meningkat dewasa, masa aku tidak
pahami pribadimu?"
Leng-hong termenung hingga
lama, mendadak ia menerjang keluar. Akan tetapi baru beberapa langkah mendadak
ia mendekap di dinding dan menangis tergerung-gerung.
Ko-lothau mendekatinya dan
membelai rambutnya pelahan, ucapnya: "Anak yang baik, agaknya kau pandang
segala urusan secara bersahaja. Hendaknya kau tahu, sekalipun kau ingin menjadi
orang jahat juga bukan perbuatan yang mudah. Terkadang, untuk menjadi orang
jahat malahan jauh lebih sulit daripada menjadi orang baik."
Pwe-giok berbangkit dirasakan
mukanya rada gatal, baru saja ia hendak menggaruknya, mendadak Ko-lothau
menarik tangannya dan berkata: "Dalam waktu tiga hari belum boleh kau raba
mukamu, sebaiknya juga jangan terkena air."
"Masa aku masih harus
menunggu tiga hari di sini?" tanya Pwe-giok.
"Tampaknya kau tidak
sabar menunggu lagi, boleh kau keluar saja jika mau," kata Ko-lothau.
"Cuma kau harus hati2...., Ya, sesungguhnya akupun tidak sabar ingin kau
dilihat orang lain, agar seluruh umat manusia di dunia ini mengetahui bahwa
lelaki paling cakap dan sempurna di dunia kini telah lahir!"
Ia memutar kasuran yang
menutupi lobang keluar itu, maka cahaya lantas menerangi wajah Ji Pwe giok.
Sekuatnya Ko lothau menepuk
pula pundak Ji Pwe giok, katanya dengan tertawa: "Kenapa tidak lekas kau
keluar?"
"Boleh... boleh ku keluar
sekarang juga?" tanya Ji Pwe giok dengan ragu2.
"Mengapa tidak?"
jawab Ko lothau dengan tertawa. Hendaklah kau tahu, selanjutnya tidak perlu
lagi kau takut bertemu dengan siapapun, seterusnya tiada orang yang mengenal
kau lagi.
Pwe giok memandangi Cia Thian
pi sekejap, dilihatnya ketua Tiam jong pay itu masih terus bergumam:
"Orang mati bisa berkeringat.... orang mati telah menghilang... "
Pedih juga hati Pwe giok, ia
pegang tangan Cia Thian pi, katanya dengan menyesal: "Cianpwe, engkau...."
"Tak perlu kau pikirkan
dia," seru Leng hong mendadak sambil berpaling, "Karena aku yang
mengakibatkan dia gila, dengan sendirinya akan kujaga dia. Di Sat jin ceng ini
tiada orang lain yang akan tahu rahasiaku, juga tidak bakal ada orang yang menemukan
dia.
"Jadi nona sendiri masih
akan berdiam di Sat jin ceng sini?" tanya Pwe giok.
"Mengapa tidak?"
jawab Leng hong ketus.
"Tapi Ki Song hoa...
" Pwe giok ragu2 untuk meneruskan.
"Hm, jika dia tahu aku
belum mati, asal melihat mukaku mungkin akan lari terbirit-birit, mana ia
berani mencari perkara lagi padaku," jengek Ki Leng hong. "Maka
jangan kuatir terhadap dia, tidak nanti dia berani menanyaiku cara bagaimana
kita dapat lari keluar."
Mendadak ia memandang Pwe giok
dengan sorot mata dingin dan tajam, dia telah kembali kepada keangkuahannya
semula, lalu katanya pula: "Nah, kenapa kau tidak lekas pergi? apakah
perlu tunggu pikiranku berubah lagi?"
Ko lotahu menyela dengan
tersenyum: "Ya, tampaknya memang lebih baik lekas kau pergi saja, pikiran
orang perempuan memang sangat mudah berubah."
OOOO00000OOOO
Tiba di luar rumah kertas itu,
cahaya sang surya menyinari baju Pwe giok yang putih bersih itu, pakaian ini
dengan sendirinya juga disediakan oleh Ko lothau.
Dengan baju yang baru, dengan
wajah baru, kini Ji Pwe giok berada kembali di tengah Sat jin ceng. Dunia ini
seakan-akan sedang menyambut kemunculannya dengan segala sesuatu yang serba
baru.
Di bawah cahaya sang surya
yang cemerlang, sampai-sampai Sat jin ceng yang biasanya seram menakutkan
inipun penuh suasana hangat, tercium bau harum bunga dan kicau burung yang
merdu sama sekali tidak tercium bau darah lagi.
Pwe giok mendekati sebuah
sungai kecil, dengan air sungai ia berkaca, dilihatnya bayangan seorang pemuda
tampan seperti lukisan sedang memandangnya.
Pemuda ini kelihatan seperti
Ji Pwe giok, tapi seperti bukan Ji Pwe giok, meski mata alis pemuda ini
menyerupai Ji Pwe giok, namun entah berapa kali lebih cakap daripada Ji Pwe
giok.
Jika alis Pwe giok semula agak
tebal, sekarang alis pemuda ini sudah dibenahi sedemikian bagusnya. Jika pemuda
sekarang ini diibaratkan sebuah lukisan karya seniman nomor wahid, maka Ji Pwe
giok boleh dikatakan cuma barang tiruan dari pelukis kaki lima.
Sampai terkesima sendiri Pwe
giok memandangi bayangan di permukaan air itu, gumamnyal "Masakan ini
diriku?... wahai Ji Pwe giok, perlu kau ingat, wajah ini kau pinjam pakai untuk
sementara waktu saja, jangan sekali-kali kau melupakan dirimu sendiri.
Sekonyong-konyong didengarnya
suara tindakan orang banyak.
Pwe giok masih was-was, tanpa
terasa ia menyelinap ke balik gunung-gunungan palsu, maka terlihatlah beberapa
orang sedang mendatangi sambil mengobrol.
Terdengar seorang diantaranya
berkata dengan tertawa: "Menurut cerita yang tersiar di kangouw, konon Sat
jin ceng ini sedemikian misteriusnya, sangat menyeramkan dan macam-macam lagi,
tempat ini dilukiskan seolah-olah istana hantu atau neraka, tapi setelah kita
lihat sendiri, ternyata juga tiada ubahnya dengan tempat lain."
"Kedatanganmu bukan untuk
membunuh orang, tentunya kaupun takkan dibunuh orang," demikian seorang
lagi menanggapi. "Kita cuma datang untuk melawat orang mati, dengan
sendirinya Sat jin ceng dalam pandanganmu menjadi tempat yang biasa saja."
Dengan tertawa orang ketiga
menyela: "Padahal kedatanganku untuk melawat ini hanya pura-pura saja,
yang benar aku memang ingin tahu bagaimana bentuknya Sat jin ceng. Jika
kesempatan ini tidak kugunakan untuk masuk ke Sat jin ceng, di hari2 biasa
jangan harap akan dapat keluar dengan hidup"
Begitulah sambil
bersenda-gurau beberapa orang itu lantas lalu dari situ.
Pikiran Pwe giok tergerak,
diam-diam iapun ikut menuju ke sana.
Belum lagi sampai di ruangan
pendopo sana dari jauh sudah kelihatan orang banyak berkerumun, Pwe giok ikut
berjubel di tengah orang banyak sehingga apapun tidak terlihat. Hanya
didengarnya seorang berkata: "Meski kematiannya tidak gemilang, tapi yang
melawat ternyata luar biasa."
"Ini kan berkat nama
besar ayahnya," kata orang lain.
Pwe giok coba menepuk pundak
orang itu dan bertanya: "Para pelawat ini entah ksatria-ksatria dari mana
saja?"
Orang itu menoleh sambil
berkerut kening, tampaknya merasa tidak suka ditanya, tapi demi nampak wajah
Pwe giok, seketika terunjuk senyuman pada wajahnya, jawabnya: "Ah
barangkali anda tidak tahu, bahwa yang kita lawat ini adalah Ji Pwe giok,
putera Bulim bengcu sekarang."
"Oo, kiranya dia."
ujar Pwe giok sambil menyengir.
Orang mengacungkan jari
jempolnya dan berkata pula: "Ji Hong-ho benar2 tak malu sebagai Bulim
bengcu, Anaknya mati, sama sekali ia tidak mengusut bagaimana kematiannya,
bahkan ia berkata: "Jika anak durhaka ini masih hidup, tetap aku akan
menumpasnya bagi kesejahteraan umum. Sekarang dia sudah mati, mengingat
hubungan ayah dan anak, terpaksa harus kulawat ke sini,... coba, betapa
bijaksana dan luhur budinya bulim bengcu kita ini. Sebab itulah, meski waktu
hidupnya Ji Pwe-giok tidak dihormati, sesudah mati malah menerima penghormatan
yang besar."
"Eh, tampaknya anda masih
asing, bolehkah mengetahui nama anda yang terhormat?" tanya orang kedua
tadi.
Pwe giok tersenyum hambar,
jawabnya: "Cayhe Ji Pwe giok adanya"
Orang itu berjingkat kaget,
tapi segera ia tertawa dan berkata: "Ah,.. orang kangouw sama she dan nama
tidaklah sedikit. Kalau melihat wajah anda, jelas jauh lebih cakap daripada Ji
Pwe giok yang mati itu."
"Ah, masa?" ujar Pwe
giok tersenyum.
Tengah bicara, kerumunan orang
banyak mendadak tersingkir ke pinggir, seorang perempuan cantik luar biasa
tampak muncul dengan langkah lemah gemulai.
Segera Pwe giok kenal
perempuan cantik ini ialah Hay hong hujin yang namanya mengguncangkan dunia
itu.
Sebelah tangan nyonya cantik
menggandeng seorang gadis cantik berbaju hitam, muka dikerudungi sutera tipis,
meski tidak kelihatan wajahnya dengan jelas, tapi dapat didengar suara
tangisnya yang tersedu-sedang.
Tanpa melihat wajah gadis
berbaju hitam itu dapatlah Pwe giok mengetahui siapa dia. Tergetar juga
hatinya, tanpa terasa ia terkesima.
Seperti sengaja Hay hong hujin
meliriknya sekejap dengan mengulum senyum, tapi gadis berbaju hitam itu tetap
menunduk dan menangis pelahan tanpa memandang siapapun juga.
Lirikan Hay hong hujin penuh
daya tarik, namun Pwe giok seperti tidak tahu, maklum baginya saat ini selain
gadis baju hitam itu boleh dikatakan tiada seorang lain lagi yang terlihat
olehnya.
Terdengar orang2 sedang
membicarakan kedatangan Hay hong hujin dan gadis berbaju hitam itu.
Seorang berkata: "Nona
ini konon adalah bakal istri Ji Pwe giok, waktu bersembahyang di depan layon
tadi sedikitnya tiga kali dia jatuh pingsan, bahkan nekat ia telah memotong
rambutnya."
Seketika hati Pwe giok seperti
ditusuk-tusuk, hampir saja ia tidak tahan dan menerjang ke sana untuk
memberitahu siapa dirinya dan meminta nona itu jangan bersedih.
Tapi saat itu Hay hong hujin
dan Lim Tay-ih sudah berlalu dan Pwe giok juga menahan perasaannya sebisanya.
Terdengar ada orang berkata
pula dengan menyesal: "Mempunyai ayah dan isteri sebaik ini, jika Ji Pwe
giok itu dapat menjaga diri tentu hidupnya akan bahagia dan mengagumkan orang.
Cuma sayang, dia justeru tidak tahu diri..."
Di tengah ramai orang bicara
itu, mendadak seorang berteriak: "Ji Pwe giok adalah sahabatku, semasa
hidupnya berbuat atau jelek janganlah diurus lagi. Tapi sesudah dia mati, bila
masih ada orang suka membicarakan baik-buruknya dan terdengar olehku, maka
bolehlah dia berhadapan denganku."
Segera terlihat seorang
melangkah tiba dengan wajah penuh rasa sedih dan penasaran, dengan bersitegang
ia terus pergi menyusur kerumunan orang banyak. Dia tak lain tak bukan ialah Ang
lian hoa yang berbudi luhur dan setia kawan itu.
Perasaan Pwe giok benar-benar
disayat-sayat.
Dengan jelas dilihatnya bakal
isterinya dan sahabat karibnya lewat di depan matanya, tapi dirinya tidak
berani menegur dan menyapanya. Sungguh tiada kejadian lain yang lebih memilukan
daripada sekarang ini. Sekalipun Pwe giok dapat menahan diri, tidak urung
bercucuran juga air matanya.
Untung saat itu siapapun tidak
memperhatikan dia, sebab tokoh yang paling menarik di dunia persilatan saat ini
telah muncul, yaitu bulim bengcu Ji Hong ho.
Meski wajahnya juga penuh rasa
duka nestapa, serombongan orang yang ikut di belakangnya juga semua sama
menunduk dengan langkah berat, hanya saja air mata mereka tidak sampai menetes.
Dada Pwe giok serasa mau
meledak demi melihat orang ini. Tapi pada saat dan tempat ini betapapun sedih
dan murkanya juga dapat ditahannya.
Kerumunan orang banyak mulai
bubar, setiap orang yang lalu di depan Pwe giok tentu menoleh dan memandangnya
sekejap dua seakan-akan semuanya terkejut dan heran mengapa di dunia ini ada
pemuda setampan ini.
Sampai lama Pwe giok berdiri
bingung di situ, sekonyong-konyong ia melihat wajah Ki Song hoa, orang kerdil
itu sedang memandangnya dengan tertawa.
Meski wajah ini tampaknya
kekanak-kanakan dan sedemikian polosnya, tapi bagi Pwe giok saat ini terasa
lebih seram daripada ular yang paling berbisa.
Selagi ia hendak tinggal
pergi, tak terduga Ki Song hoa lantas mendekatinya. Diam-diam Pwe giok
terkesiap, pikirnya: "Jangan-jangan dia telah mengenal diriku"
Langsung Ki Song hoa mendekati
Pwe-giok, ia memberi hormat dan menegur: "Cakap benar saudara ini, sungguh
cayhe sangat kagum. Entah sudikah mampir sejenak ke kediamanku untuk minum dua
cawan agar cayhe dapat sekedar memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah."
Ucapannya sangat serius dan
jujur dengan tersenyum ramah, undangan yang penuh simpatik ini sukar bagi
siapapun untuk menolaknya. Jika orang lain pasti akan segera ikut pergi tanpa
sangsi.
Tapi bagi Pwe giok sekarang,
wajah yang simpatik ini justeru tiada ubahnya seperti topeng hantu, semakin
enak didengar ucapannya semakin sukar untuk diraba muslihat yang terkandung
didalamnya.
Pwe giok merasa ngeri,
terpaksa ia menjawab: "Ah, mana cayhe berani mengganggu ketenangan
cengcu."
"Jika anda tidak mau
berarti memandang rendah padaku," ucap Ki Song hoa dengan tertawa, segera
ia tarik tangan Ji Pwe giok dan diajaknya menuju ke dalam rumah.
Tangan orang kerdil ini terasa
dingin dan lembab sehingga serupa badan ular, Pwe giok menjadi bingung dan
tidak tahu cara bagaimana melepaskan diri.
Syukurlah pada saat itu juga
terdengar seorang gadis berseru dengan suara merdu: "Tamu ini sudah
berjanji lebih dulu akan bertemu dengan hujin kami, harap cengcu melepaskan
dia."
Sebuah tangan yang putih halus
segera terjulur tiba, seperti tidak sengaja terus memencet ke urat nadi tangan
Ki Song hoa.
Terpaksa Ki Song hoa harus
lepas tangan, dilihatnya seorang gadis berbaju merah tipis sedang memandangnya
dengan matanya yang jeli dan tersenyum nakal.
"Besar amat nyali nona
cilik, tahukah kau siapa aku?" tanya Ki Song hoa dengan terkekeh-kekeh.
Dengan tertawa nona baju merah
itu menjawab: "Dan tahukah kau siapa hujin kami?"
"Memang ingin kutanya
siapa dia?" jawab Ki Song Hoa.
Nona berkedip-kedip seperti
penuh rahasia ia mendesis perlahan: "Kuberitahu padamu dan jangan kau
katakan pada orang lain. Beliau adalah Hay-hong hujin."
Ki Song hoa melengak mendadak
ia putar tubuh dan melangkah pergi tanpa menoleh.
Pwe giok menghela napas lega
menyaksikan si kerdil tua itu.
Tiba-tiba didengarnya pula si
nona baju merah berkata: "Kau pandangi orang kerdil itu, apakah kau merasa
berat di tinggal pergi olehnya dan ingin ikut ke sana?"
Karena dipandang oleh mata si
nona yang terbelalak lebar itu, Pwe giok jadi kikuk.
"Kau tahu untuk apa dia
mengundangmu ikut ke sana?" tanya si nona.
"Tidak, tidak tahu"
jawab Pwe giok.
Nona itu tertawa
terkikik-kikik, katanya: "Dia mengajakmu ke sana adalah untuk membunuh
kau. Sebab selama ini dia belum pernah membunuh lelaki setampan kau, maka dia
ingin mencicipi rasanya membunuh seorang pemuda cakap. menurut pikiranku,
membunuh pemuda tampan seperti dirimu ini memang benar jauh lebih merangsang
daripada membunuh orang-orang yang buruk rupa itu."
"Apakah kaupun ingin
coba2?" tanya Pwe giok dengan tertawa.
Gemerdep biji mata si nona
yang jeli itu, jawabnya sambil tertawa genit: "Meski aku memang ingin
mencobanya, tapi masa aku tega turun tangan?"
Sambil tertawa mendadak ia
jejalkan sepotong lipatan kertas ke tangan Pwe giok, lalu berlari pergi dengan
terkikik-kikik. tidak beberapa jauh, mendadak ia berpaling dan berseru:"
Anak tolol, untuk apa kau berdiri melongo di situ? lekaslah buka kertas itu dan
dibaca, ada rejeki nomplok masa belum kau rasakan?"
Pwe giok tercengang, tercium
bau harum yang memabukkan, bau harum seperti bau harum yang terbawa Hay hong
hujin itu.
Segera ia membuka surat itu,
dilihatnya di situ tertulis: "Tengah malam nanti di luar Sat jin ceng, di
depan Hoa sin su, tersedia bunga indah dan minuman enak, anda datang atau
tidak?"
ooo00000oooo
Malamnya, belum tengah malam
Ji Pwe giok sudah berada di depan Hoa sin su atau kelenteng malaikat bunga.
Dia memenuhi undangan itu
bukan karena tertarik kepada bunga yang indah, juga bukan terpikat oleh minuman
enak, tapi karena ingin bertemu dengan si jelita berkerudung sutera hitam
seperti diselimuti oleh kabut tipis itu.
Di bawah sinar bulan di depan
Hoa sin su yang sunyi itu entah mulai kapan sudah berwujud lautan bunga, di
tengah onggokan bunga itu setengah berbaring sesosok tubuh yang cantik dengan
baju sutera tipis. Di tengah lautan bunga dan di bawah cahaya bulan yang permai
tertampak kerlingan mata yang menggiurkan dengan tubuh putih mulus membuat
orang lupa daratan.
Namun begitu Pwe giok merasa
kecewa juga, biarpun mendapat pelayanan serupa di surga tetap dirasakannya
tidak lebih bahagia daripada kerlingan mata si "dia" yang
dirindukannya.
Terdengar suara tertawa
nyaring berkumandang dari lautan bunga sana: "Kau sudah datang, mengapa
tidak berani kemari? Apakah kau sudah mabuk sebelum mendekat?"
Dengan langkah lebar Pwe giok
mendekati si cantik, jawabnya dengan tersenyum hambar: "Sebelum mengetahui
untuk apa hujin mengundangku ke sini, mana cayhe berani mabuk lebih dulu."
"Bulan seterang ini,
malam seindah ini, jika dapat mengobrol dan minum bersama pemuda tampan seperti
kau, bukankah suatu kesenangan hidup? Apakah alasan ini belum cukup dan perlu
lagi kau tanya padaku untuk apa kuundang kau kemari?"
Pwe giok tersenyum, ia menuju
ke depan Hay hong hujin dan berduduk, ia menuang arak dan diminumnya sendiri,
berturut-turut dihabiskannya tiga cawan, ia angkat cawan terhadap bulan dan
berseru tertawa: "Betul, orang hidup berapa lama, kalau dapat minum
bersama di bawah bulan purnama, inilah kesenangan orang hidup yang utama, apa pula
yang perlu kutanyakan..."
Sebenarnya Pwe giok adalah
pemuda yang hidup prihatin, tapi seorang kalau sudah mengalami beberapa kali
hidup kembali dari kematian, maka terhadap segala persoalan di dunia ini akan
dipandangnya tawar dan tiada artinya, untuk apa dia mesti mengikat diri dengan
susah payah? Kini sesuatu urusan yang dianggap orang lain sangat gawat, baginya
sudah bukan apa-apa lagi.
Hay hong hujin menatapnya
dengan tajam, mendadak dia tertawa dan berkata: "Tahukah kau?.. makin lama
aku semakin tertarik olehmu!"
"Tertarik?" Pwe giok
mengulang dengan tertawa.
"Ya, segala sesuatu
mengenai dirimu, semuanya aku merasa tertarik," jawab Hay hong hujin.
"Misalnya.. Siapa dirimu? darimana asal usulmu dan dari aliran mana ilmu
silatmu?"
"Seorang petualang yang
suka mengembara ke segenap pelosok dunia ini, mungkin dia sendiripun tidak tahu
cara bagaimana harus menjawab pertanyaanmu ini? Bukankah begitu?"
"Usiamu masih muda,
memangnya betapa banyak pengalamanmu? mengapa caramu bicara seolah-olah sudah
kenyang dengan segala macam asam garam kehidupan ini dan seolah-olah sudah
hambar terhadap kehidupan ini?"
"Ada beberapa orang,
biarpun baru sebulan menghadapi berbagai persoalan, mungkin sudah jauh lebih
banyak daripada apa yang dialami oleh orang lain.
Mendadak Hay hong hujin
tertawa nyaring pula, katanya: "Tepat sekali ucapanmu. Tapi sedikitnya kan
harus kau katakan namamu dulu?"
Pwe giok berpikir sejenak,
jawabnya kemudian: "Cayhe Ji Pwe giok."
"Ji Pwe giok?" Hay
hong hujin menegas. Suara tertawanya seketika berhenti.
"Apakah hujin merasa
namaku ini tidak baik?" tanya Pwe giok.
"Aku cuma merasa lucu
pada namamu." jawab Hay hong Hujin dengan tertawa cerah. "Bahwa Ji
Pwe giok sendiri ikut melawat kematian Ji Pwe giok, apakah hal ini tidak kau
rasakan lucu?" - Ia tatap anak muda ini dengan sorot mata tajam dan ingin
tahu apa reaksinya.
Pwe giok tetap tenang-tenang
saja, ucapnya dengan tersenyum hambar: "Ji Pwe giok ini dan Ji Pwe giok
itu memang ada perbedaannya, meski seorang Ji Pwe giok telah mati, tapi ada
seorang Ji Pwe giok yang lain masih hidup."
"Dapatkah kau meyakinkan
bahwa kau sendiri bukan Ji Pwe giok yang mati itu?" kata Hay hong hujin
sekata demi sekata.
Pwe giok terbahak-bahak:
"Hahahaha!.. Memangnya hujin menyangka aku ini badan halus?"
Hay hong hujin tersenyum,
katanya: "Pertama kali kulihat kau segera kurasakan kau memang rada-rada
berbau setan!"
"Oo?"
"Sebab kau ini seperti
mendadak muncul di dunia ramai dari alam halus sana. Sebelum kemunculanmu,
tidak pernah ada orang yang melihat kau dan juga tiada seorangpun yang tahu
asal usulmu."
"Jangan-jangan hujin
sudah menyelidiki seluk beluk diriku?" tanya Pwe giok.
Hay hong hujin tertawa genit,
katanya: "Tiada seorang perempuan di dunia ini yang tak tertarik kepada
lelaki semacam kau ini. Dan aku, betapapun aku kan juga perempuan, betul
tidak?"
"Hujin bukan saja
perempuan, boleh dikata hujin adalah perempuannya perempuan, dewi nya
dewi," ujar Pwe giok dengan tertawa.
"Tapi kau ternyata tidak
tertarik kepadaku," kata Hay hong hujin. "Waktu ku lalu di depanmu,
kau bahkan melirik saja tidak, bukankah hal ini rada-rada mengherankan?"
Meski senyumnya sedemikian
genit, walaupun suaranya begitu lembut, tapi ucapan2 itu seakan-akan semacam
duri yang dapat menembus segala rahasia orang hidup di dunia ini.
Diam-diam Pwe giok terkejut,
sedapatnya ia menenangkan diri, jawabnya dengan tersenyum: "Menghadapi
kecantikan hujin yang semarak, mana cayhe berani memandang secara kurang
sopan?"
"Kukira yang kau pandang
hanya orang yang berjalan di sisiku," Ucap Hay hong hujin dengan lembut.
"Tapi dia memakai cadar sutera hitam, hakekatnya kau tidak dapat mengenal
wajahnya. Caramu memandang dia, jangan2 sudah kau kenal dia sebelumnya?"
"Sia.. siapa dia?"
tanya Pwe giok.
"Jangan kau harap akan
mengelabui diriku," ujar Hay hong hujin dengan tertawa genit. "Sudah
kurasakan kau ialah Ji Pwe giok yang mati itu. Kau tahu, sampai saat ini di
dunia ini belum pernah ada seorangpun yang dapat membohongi aku."
Hay hong hujin yang namanya
menggoncang dunia ini benar-benar luar biasa, sorot matanya seperti mengandung
semacam kekuatan gaib yang dapat menjelajahi segala sesuatu.
Sedapatnya Pwe giok bersikap
tenang dan menahan guncangan perasaanya, jawabnya dengan tertawa hambar:
"Di dunia ini mungkin tiada seorangpun yang tega membohongi hujin."
"Dan kau?" tanya Hay
hong hujin.
"Cayhe kan juga manusia,
betul tidak?" jawab Pwe giok.
"Bagus, bagus
sekali!" Hay hong hujin tertawa terkikik-kikik. Mendadak ia bertepuk
tangan dari balik semak2 bunga sana lantas muncul satu orang.
DI bawah sinar bulan yang
terang, pada matanya yang mendelong itu seakan-akan terhimpun kedukaan yang
sukar diuraikan, mukanya yang pucat membawa semacam rasa sedih yang tak dapat
diutarakan.
Perasaan sedih dan duka yang
mendalam itu tak mengurangi kecantikannya, sebaliknya malah menimbulkan semacam
daya tarik yang menggetar sukma sehingga kelihatannya dia bukan lagi kecantikan
manusia, melainkan cantiknya dewa bunga di atas langit, mencakup seluruh
keindahan bunga yang terdapat di dunia ini.
Seketika itu Pwe giok merasa
langit seakan-akan berputar dan bumi terbalik, napasnya serasa mau berhenti.
Hay hong hujin menatapnya
dengan tajam, setiap perubahan air mukannya tak terlepas dari pengamatannya.
Dia menuding Lim Tay-ih yang muncul dari balik semak-semak bunga itu dan
bertanya: "Coba kau pandang dia lebih teliti, kau kenal dia tidak?"
Pwe giok mengangkat cawan dan
ditenggaknya hingga habis, jawabnya: "Tidak kenal."
"Tidak kenal," meski
cuma dua kata yang sangat sederhana, tapi entah telah memerlukan betapa besar
tenaga Pwe giok untuk bisa mengucapkannya. Kedua kata itu laksana dua bilah
belati yang menusuk kerongkongannya, seperti dua bola bara yang telah membakar
lidahnya dan menghanguskan hatinya.
Sudah jelas2 orang yang
dirindukannya, orang yang paling dicintainya, tapi dia justru mengeraskan hati
dan menjawab "tidak kenal". Coba, adakah sesuatu di dunia ini yang
lebih menyakitkan hati daripada kejadian ini?
Sudah terang dia inilah sisa
satu2nya sanak keluarganya, tapi dia justeru harus berlagak tidak mengenalnya.
Coba, adakah sesuatu di dunia ini yang lebih kejam daripada kenyataan ini?
Arak wangi telah masuk
tenggorokannya, arak sedap berbau wangi, tapi rasanya seakan-akan telah berubah
menjadi pahit dan sepat. Kehidupan ini memang mirip arak yang getir ini dan
arak getir ini terpaksa harus diminumnya.
Hay hong hujin lantas
berpaling kepada Lim Tay ih dan bertanya: "Apakah kau kenal dia ini?"
Wajah Lim Tay ih yang pucat
lesi itu tiada memperlihatkan sesuatu perasaannya, jawabnya dingin, "Tidak
kenal!"
Sudah jelas si nona adalah
bakal istrinya tapi di depannya menyatakan tidak kenal padanya, ucapan itu
mirip dua anak panah yang menancap di ulu hati Ji Pwe giok.
Akhirnya Hay hong hujin
menghela napas perlahan, katanya: "Jika dia juga tidak kenal kau, agaknya
kau memang bukan Ji Pwe giok yang sudah mati itu, pula,.. jika bakal istrinya
sendiri saja tidak mau mengakuinya lagi, maka orang itu sekalipun hidup juga
sama seperti sudah mati."
Hati Ji Pwe giok memang benar2
sudah mati, dia menengadah dan terbahak-bahak: "Bagus sekali ucapan hujin
ini, perkenankan cayhe menyuguh hujin tiga cawan."
Dia menuang dan diminum
sendiri, hanya sekejap saja sudah berpuluh cawan arak masuk perutnya, sampai2
Lim Tay ih sudah pergi juga tak dipandangnya barang sekejap.
"Kau sudah mabuk,"
ujar Hay hong hujin dengan tertawa.
"Ya, berapa kalikah orang
hidup ini sempat bermabuk-mabukan?" kata Pwe giok sambil angkat cawan
araknya.
"Betul juga, sekali mabuk
dapat membuyarkan seribu kesedihan," ucap Hay hong hujin dengan rawan,
"Baiklah, silahkan kau mabuk!"
"Cuma sayang, hanya
beberapa cawan arak ini belum lagi dapat memabukkan diriku!" kata Pwe
giok, seolah-olah bergumam sendiri.
Ia tahu betapapun kuat takaran
minumnya, tapi arak seratus bunga buatan Hay-hong Hujin ini lain daripada arak
biasa. Kini seluruh tubuhnya terasa ringan seakan-akan terbang, rupanya dia
benar-benar sudah mabuk.
Terdengar Hay-hong Hujin lagi
berkata dengan suara lembut: "Mabuklah, silahkan mabuklah....,
berkecimpung di tengah Kangouw yang penuh bahaya ini, kalau untuk mabuk saja
tidak bisa, maka hidup manusia inipun terlalu memilukan. Lain kali jika kau
masih ingin mabuk, bolehlah kau kemari mencari diriku."
Ditengah mabuknya Pwe-giok
merasa di depan matanya muncul berbagai bayangan orang yang berbentuk
macam-macam, tinggi pendek, gemuk kurus, semua ada. Malah setiap orang itu sama
beringas menakutkan. Lalu dia seperti mendengar suara Hay-hong Hujin berkata:
"Ji Pwe-giok ini hanya seorang pemuda yang baru terjun di dunia Kangouw,
kukira kalian akan percaya padaku."
Dunia Kangouw ternyata
sedemikian keji dan berbahaya, terhadap setiap orang asing selalu harus
diselidiki asal-usulnya. Jika tidak ada Hay-hong Hujin, mungkin masih banyak
sekali kesulitan yang harus dihadapi Pwe-giok.
Rasa terima kasih Ji Pwe-giok
terhadap Hay-hong Hujin sungguh tak terkatakan, sedapatnya ia ingin mengucapkan
beberapa kata sebagai tanda terima kasihnya, tapi suaranya terasa samar-samar
sehingga ia sendiripun tidak tahu apa yang diucapkannya.
Hanya didengarnya Hay-hong
Hujin berkata pula: "Sekali anak muda ini menjadi tamuku, maka selama
hidupnya dia adalah tamu kehormatan Pek-hoa kiong kami. Selanjutnya jika tiada
sesuatu keperluan apa-apa, hendaklah kalian jangan mengganggu dia. Dan sekarang,
biarkan dia tidur saja....."
oOo
Pwe-giok benar-benar terus
pulas.
Waktu mendusin, bau harum
bunga, sinar bulan purnama, semua sudah tidak ada lagi. Yang ada cuma
remang-remang sinar sang surya yang meliputi bumi.
Di kejauhan terdengar suara
burung berkicau. Menyusul lantas terlihat sesosok bayangan orang yang ramping
muncul dari balik kabut pagi dan mendekatinya dengan pelahan.
Kedatangannya laksana membawa
suasana baru bagi bumi raya ini. Sinar matanya gemerdep terang, jernih dan
murni, berbeda dengan sorot mata Hay hong Hujin yang tajam dan genit itu, juga
tiada sedih dan duka seperti sorot mata Lim Tay-ih. Dunia yang ruwet ini, bagi
pandangannya seakan-akan juga sedemikian sederhana, bersahaja tanpa sesuatu
hiasan.
Dia pandang ji Pwe-giok, lalu
menegur dengan suara merdu: "Wahai walet yang tersesat, akhirnya kau sadar
juga. Di dunia ini masih banyak air sumber yang jernih dan manis, mengapa kau
sengaja minum arak?"
Ji Pwe-giok menghela napas
perlahan, gumamnya: "Kesusahan orang hidup, dengan sendirinya tak dapat
dipahami oleh nona kenari."
Gadis itu memang si nona
kenari Ki Leng-yan. Mendadak iapun menghela napas, ucapnya dengan sayu:
"Tahukah kau si Kenari yang tadinya tidak tahu apa artinya sedih, kini
juga mulai gundah?"
"Memangnya kenapa nona merasa
gundah?" tanya Pwe-giok dengan tersenyum getir.
Tiba-tiba menetes air mata Ki
leng-yan, jawabnya: "Sarang si Kenari telah penuh digenangi darah. Dia
tidak dapat berdiam lagi disitu. O, Kenari yang harus dikasihani, kini tiada
tempat lain lagi yang dapat ditujunya." - Mendadak ia pegang tangan
Pwe-giok dan menyambung dengan setengah meratap: "O, kumohon padamu,
bawalah serta diriku, ke manapun juga akan kuturut padamu."
Tergerak hati Pwe-giok,
jawabnya dengan suara keras: "Cara bagaimana kau tahu siapa diriku ini?
Mengapa kau ingin ikut bersamaku?"
"Kukenal matamu
ini", kata Ki Leng-yan. "Sedemikian bajik, sedemikian bagus matamu
ini dan juga sedemikian perwira, sama seperti burung walet. Matamu yang lain
daripada yang lain ini, mana bisa kulupakan?"
Gadis yang linglung ini
ternyata memiliki daya pandang sepeka ini. Barang sesuatu yang diketahui setiap
orang mungkin takkan dipahami olehnya, tapi sesuatu lain yang tak dapat
dipecahkan orang lain justru dapat diketahui olehnya. Mungkin inilah sebabnya
dia tidak paham kata-kata manusia, sebaliknya paham bahasa burung.
Pwe-giok terdiam sejenak,
ucapnya kemudian dengan tersenyum: "Kau tahu, tak mungkin kau dapat ikut
pergi bersamaku, sebab tempat yang hendak ku tuju itu dimana-mana penuh bahaya,
setiap orang bisa membikin susah padamu."
"Tidak, aku tidak takut,
di bawah perlindungan mu, apapun aku tidak takut," jawab Leng-yan tegas.
Dia pandang Pwe-giok dengan
termangu-mangu, sorot matanya penuh harap juga penuh kepercayaan terhadap anak
muda itu. Menghadapi sorot mata demikian, siapa pula yang tega menolak
permintaannya?
Akhirnya Pwe-giok menghela
napas panjang, katanya: "Jika kau ingin ikut padaku, sungguh akupun tidak
dapat menolak permintaanmu. Cuma... aku sendiri tidak tahu apakah dapat
melindungi diriku sendiri atau tidak, cara bagaimana ku tahu akan dapat
melindungi dirimu?"
Leng-yan tertawa, katanya:
"Ku tahu engkau pasti akan menerima permintaanku..." Begitulah
Pwe-giok berjalan di depan dang Leng-yan ikut di belakang, sama sekali ia tidak
perduli ke manapun pwe-giok akan pergi, padahal Pwe-giok sendiripun tidak tahu
dirinya akan pergi ke mana?
Dia berjalan dengan hati
bimbang, selagi merenungkan ke arah mana harus dituju, tiba-tiba terdengar
angin berkesiur, empat orang melayang keluar dari balik pohon sana dan
menghadang di depannya. Gerakan ke empat orang ini sedemikian cepat dan
gesitnya, jelas semuanya jago-jago kelas tinggi.
Segera Pwe-giok dapat melihat
jelas siapa ke empat orang ini. Kiranya mereka adalah samaran komplotan jahat
itu, yakni Ong uh-lau, Lim Soh-koan, Ong Sin-jiang dan Sebun Bu-kut.
Ong Uh-lau mendahului maju dan
menegur dengan sorot mata tajam: "Ji Pwe-giok bukan?"
"Cayhe memang Ji Pwe-giok
adanya," jawab Pwe-giok hambar. "Siapakah anda sekalian dan ada
urusan apa?"
Empat pasang mata yang tajam
dan kejam itu sama menatap muka Pwe-giok, mereka ingin tahu bagaimana perubahan
sikap anak muda itu. tapi Pwe-giok hanya tenang-tenang saja. Maklum, sudah
terlalu banyak pengalaman pahit serta kejadian seram yang dialaminya, di dunia
sesungguhnya tiada sesuatu urusan dapat menakutkan dia lagi.
Ong Uh-lau bergelak tertawa,
katanya: "Ji-kongcu baru saja terjun di dunia kangouw dan lantas mendapat
perlakuan istimewa dari Hay-hong Hujin, dengan sendirinya Ji-kongcu mempunyai
asal-usul yang lain daripada yang lain pula. Kami tidak berani sembrono, yang
kami inginkan adalah belajar kenal dengan ilmu silat Ji-kongcu."
Pwe-giok terbahak-bahak,
jawabnya: "Kiranya keterangan Hay-hong Hujin kemarin belum meyakinkan
kalian sehingga kalian sekarang hendak memaksa kukeluarkan Kungfu perguruanku,
maksud tujuan kalian ingin membuktikan apakah diriku ini Ji Pwe-giok yang mati
kemarin ini atau bukan?"
Dia sengaja membongkar maksud
tujuan mereka Tapi air muka Ong Uh-lau ternyata tidak berubah, dengan tersenyum
ia berkata: "Akhir-akhir ini di dunia Kangouw sedang digemari ilmu tata
rias, hal ini kukira cukup diketahui olehmu."
"Apakah Cayhe mengalami
tata-rias, masa kalian tidak dapat melihatnya?" ujar Pwe-giok.
"Ilmu tata rias memang
beraneka ragamnya, justeru lantaran kami tidak dapat membedakannya, maka
terpaksa harus berlaku lebih hati-hati," ujar Ong Uh-lau dengan tersenyum.
"Oleh karena itulah, asalkan anda memperlihatkan sejurus-dua, segera kami
akan mengundurkan diri."
Gemerdep sorot mata Pwe-giok,
katanya: "Sungguh aku tidak mengerti, sebab apa Ji Pwe-giok yang telah
mati itu bisa membuat kalian sedemikian kuatir, kan jelas dia sudah mati,
mengapa kalian masih merasa tidak aman?"
Berubah juga air muka Ong
Uh-lau, jawabnya dengan bengis: "Silahkan anda memperlihatkan sejurus-dua
dan segera akan kau ketahui sendiri." Sambil bicara, segera pedangnya
menusuk ke depan, serangan cepat dan mantap, inilah jurus
"Jong-liong-tay-thau" atau naga tua angkat kepala, suatu jurus ilmu
pedang perguruan Ong Uh-lau sendiri.
Tapi Ji Pwe-giok tidak nanti
terpancing dan memperlihatkan ilmu silat perguruannya sendiri. Ilmu silat
Bu-kek-pay memang bergaya khas dan tidak sama dengan Kungfu dari perguruan
lain. Asalkan dia memainkan satu jurus saja segera akan dapat diketahui
asal-usulnya.
Maka mendadak terdengar suara
"trang" yang nyaring dan keras, pedang Ong Uh-lau yang menusuk lurus
ke depan itu terpukul menceng, padahal tenaganya boleh dikatakan jarang ada
bandingannya, tidak urung ia merasakan pergelangan tangannya linu pegal.
Tiba-tiba dilihatnya seorang
gadis jelita berbaju seputih salju dengan memegang dua pedang pendek telah
menghadang di depan Ji Pwe-giok, dengan tersenyum berkata: "Dia orang
baik, kalian jangan membikin susah padanya."
Berubah air muka Ong Uh-lau,
jawabnya: "Siapa nona? Mengapa kau membelanya?"
"Ayahku sangat gemar
membunuh orang, Ciciku juga suka membunuh orang," jawab si nona yang bukan
lain daripada Ki Leng-yan, "meski aku tidak suka membunuh, tapi akupun
tidak suka menyaksikan sahabatku dianiaya orang lain, apalagi dibunuh."
Sembari bicara dia terus putar
kedua pedang pendek. Gerak tubuhnya begitu enteng gemulai, tapi ilmu pedangnya
justeru sedemikian aneh, cepat lagi ganas.
Sungguh Pwe-giok sendiripun
tidak pernah menyangka nona yang baik itu memiliki ilmu seganas itu.
Baru saja Ki Leng-yan
menyelesaikan ucapannya tadi, sekaligus ia telah melancarkan serangan 49 kali,
begitu gencar serangannya sehingga membuat Lim Soh-koan dan tokoh-tokoh yang
tergolong jago pedang terkemuka itu sama melongo kaget.
Tapi Ki Leng-yan lantas
menghentikan permainan pedangnya, lalu berkata dengan tertawa: "Orang
bilang ilmu pedangku ini sangat keji dan ganas, apakah kalian juga berpendapat
demikian?"
"Hehe, bagus, ilmu pedang
bagus!" kata Ong Uh-lau dengan menyengir.
"Meski ilmu pedangku ini
dibilang keji dan ganas tapi tidak kugunakan terhadap manusia," tutur Ki
Leng-yan. "Asalkan tidak digunakan membunuh, betapapun keji dan ganasnva
sesuatu ilmu pedang kan tidak menjadi soal, betul tidak?"
Ong Uh-lau memandangnya
sejenak, lalu dipandangnya pula Ji Pwe-giok, tanpa bicara mendadak ia berpaling
terus melangkah pergi dan dengan sendirinya diikuti oleh orang-orang lain.
Leng-yan menyimpan kembali
kedua pedang pendeknya, seperti tidak pernah terjadi apapun ia pandang
Pwe-giok, katanya dengan tertawa linglung; "Marilah kitapun pergi!"
Pwe-giok menghela napas,
katanya: "Kau minta perlindungan ku, siapa tahu kau yang melindungi diriku
malah. Selama ini telah kuremehkan dirimu, sungguh tidak terduga ilmu pedangmu
sedemikian hebatnya."
Si nona berkedip-kedip,
katanya dengan tertawa: "Jadi kaupun memuji kebagusan ilmu pedangku, semua
burung kawanku juga bilang demikian. Kata mereka, setelah si Kenari mahir ilmu
pedang, selanjutnya tidak perlu lagi kuatir diserang oleh elang. Menurut kau,
orang-orang tadi elang atau bukan?"
Begitulah sepanjang jalan si
nona jelita terus bicara tentang dia dan burung, tertarik juga Pwe-giok oleh
ceritanya sehingga tidak merasa kesepian dalam perjalanan.
Semula Pwe-giok merasa sedih
juga bagi jalan keluar dirinya, tapi setelah dipikir pula, dunia seluas ini, ke
manapun boleh pergi, dengan berkelana di dunia ini kan sekaligus dapat
menyelidiki rahasia komplotan jahat itu.
Karena pikiran itu, tekanan
batinnya menjadi longgar. Waktu istirahat di suatu rumah makan, ia minta
disediakan dua poci arak seakan-akan hendak merayakan hidup barunya.
Ki Leng-yan ternyata
mengiringi dia minum dua cawan. Burung kenari yang cantik ini jadi tambah
lincah dan terus mengoceh ke barat dan timur, berulang-ulang ia pun menuangkan
arak dan mengisi nasi di mangkuk Pwe-giok.
Bila Pwe-giok menolak
pelayanan itu, maka si nona lantas kurang senang dan mengomel. Ribut antara
kedua muda mudi ini sebaliknya menimbulkan rasa takjub dan iri orang lalu.
Malamnya, si kenari yang terus
menerus berkicau ini akhirnya tertidur. Tapi di kamar sendiri Pwe giok
bergolak-golek tak dapat pulas, diam-diam ia mengenakan baju dan keluar.
Rumah penginapan kecil ini
terletak di luar kota. Cahaya bulan menyinari sebuah kolam kecil di kaki bukit
sana, di dalam kolam tampak bintik-bintik bintang gemerlapan, angin malam
meniup silir-silir membawa bunyi serangga dan suara katak.
Sudah sekian lama, untuk
pertama kalinya ini Pwe-giok merasa hatinya rada tenang dan untuk pertama
kalinya pula dia dapat menikmati keindahan malam.
Dia terus melangkah ke depan,
di bawah keremangan sinar bulan dan bau harum bunga teratai di kolam....
Sekonyong-konyong, dua larik sinar pedang menyambar ke tenggorokannya.
Sama sekali tak terduga olehnya
bahwa di tengah malam yang indah ini tersembunyi juga hasrat membunuh sekeji
ini. Ia terkejut dan cepat menjatuhkan diri ke tanah, syukur sergapan itu
sempat dihindarinya.
Pada saat yang sama empat
orang berbaju hitam dan berkedok melompat keluar dari tempat gelap, tanpa
bicara pedang mereka terus menyerang lagi secepat kilat.
Gerakan Pwe-giok juga tidak
berhenti, dia menyelinap keluar dari jaringan sinar pedang musuh. Terdengar
dering nyaring sinar pedang, tahu-tahu kain bajunya terkoyak-koyak menjadi
potongan kecil dan bertebaran.
Agaknya kawanan seragam hitam
itu tidak ingin sekaligus membinasakan dia melainkan cuma hendak memaksa dia
mengeluarkan Kungfunya.
Sinar pedang masih terus
berkelebat dan memburu bagai ular berbisa, bukan saja baju Pwe-giok sudah
terkoyak-koyak, bahkan tubuhnya sudah tergores beberapa jalur luka, tapi dia
tetap tidak berani balas menyerang. Semakin dia tidak balas menyerang semakin
besar pula curiga orang-orang berseragam hitam.
Tiba-tiba seorang di antaranya
mendengus: "Peduli tulen atau palsu, bunuh saja habis perkara!"
"Betul," jawab
seorang lagi. "Lebih baik salah bunuh seribu daripada lolos satu."
Meski tahu siapa kawanan baju
hitam ini, tapi Pwe-giok sengaja berteriak: "Jika kalian menghendaki aku
turun tangan, mengapa kalian tidak berani memperlihatkan wajah asli? Seorang
lelaki sejati mana sudi turun tangan terhadap kawanan cecurut macam kalian
ini."
"Kau tidak mau turun
tangan, maka kau harus mati!" jengek orang pertama tadi.
Habis berkata, mereka tidak
kenal ampun lagi, sinar pedang memburu dengan lebih cepat. Sekali ini kalau
Pwe-giok tidak balas menyerang, rasanya jiwanya benar-benar bisa melayang.
Pada saat itulah, tiba-tiba
segumpal kabut tipis berwarna kemerah-merahan mengambang tiba terbawa angin
terus terlibat ke tengah jaringan sinar pedang.
Seketika kawanan baju hitam
itu merasakan gerak pedang mereka terhalang, ujung pedang seolah-olah melengket
pada gumpalan asap tipis itu. Kesempatan itu segera digunakan Pwe-giok untuk
melompat mundur.
Segera terdengar seorang
berdendang dengan suara merdu: "Bunga, bukan bunga, kabut bukan kabut
....."
Baru berjangkit suara nyanyian
orang itu, serentak timbul rasa takut pada sorot mata kawanan baju hitam
berkedok ini, tanpa, berjanji ke empat orang itu terus melayang pergi dan
menghilang dalam kegelapan. Perginya jauh lebih cepat daripada datangnya.
"Apakah Hay-hong Hujin
yang telah menolong Cayhe?" tanya Pwe-giok dengan membungkuk tubuh.
Tapi dalam kegelapan sama
sekali tiada suara jawaban.
Waktu Pwe-giok menengadah,
tahu-tahu di depannya sudah bertambah seorang yang berwajah pucat dan kening
berkerut dengan sorot matanya yang layu.... Yang muncul ternyata bukan Hay-hong
Hujin melainkan Lim Tay-ih.
Hati Pwe-giok seketika
mengencang, ucapnya dengan tergagap: "Kira .... kiranya nona, terima kasih
banyak-banyak."
Lim Tay-ih seperti enggan
mendengar kata-kata yang bertele-tele itu, jengeknya: "Mengapa kau pakai
nama Ji Pwe-giok?"
Pwe-giok jadi melengak,
jawabnya gelagapan: "Ini . . . .ini lantaran ...."
"Sebaiknya kau ganti nama
saja," kata Tay-ih. "Nama ini tidak membawa alamat baik. Barang siapa
memakai nama ini tentu akan mendatangkan kemalangan, bahkan mati. Meski aku
diperintahkan Hujin untuk menyelamatkan kau, tapi paling-paling juga cuma
kutolong kau satu kali ini saja!"
Setelah terdiam sejenak,
dengan tersenyum getir Pwe-giok bertanya: "Kecuali itu, adakah alasan
lain?
"Betul, memang masih ada
alasan lain," jawab Tay-ih. Mendadak ia membalik tubuh dan melangkah
beberapa tindak ke sana, lalu menyambung: "Jika dia sudah mati, aku tidak
suka mendengar lagi orang memakai namanya."
"Tapi aku....."
"Kaupun tidak setimpal
memakai nama itu!" jengek Tay-ih.
Pwe giok melenggong dan
menyaksikan bayangan si nona menghilang dalam kegelapan, sukar untuk dijelaskan
bagaimana perasaannya. Dia seharusnya berduka karena sikap dingin yang
diperlihatkan tunangannya itu. Tapi sikap dingin si nona itu pun menandakan
betapa cintanya terhadap Ji Pwe-giok, untuk ini dia harus bersyukur dan
bergembira.
Begitulah gundah gulananya
hatinya, sebentar pedih sebentar girang, entah manis entah getir.
ooo 000 ooo
Bintang di langit semakin
jarang, bulanpun bertambah buram, di ufuk timur sudah mulai remang-remang. Tapi
Pwe-giok masih terus melangkah ke depan dengan hati bimbang.
Entah sudah berapa lama pula,
sang surya sudah mulai mengintip di ujung timur. Sekonyong-konyong muncul
seorang dengan langkah terhuyung-huyung.
Perawakan orang ini kurus
kecil, jenggot dan rambutnya sudah putih semua, senyum misterius menghias
wajahnya. Pwe-giok merasa sudah pernah kenal pada muka orang ini, tapi tidak
ingat di mana.
Dilihatnya si kakek kecil ini
membawa sebuah lukisan, sesudah dekat mendadak ia angkat lukisannya ke depan
Pwe-giok dan menegur: "Coba kau lihat, apa yang kulukis ini?"
Lukisannya itu tampak samar,
seperti mega tapi bukan mega, seperti gunung juga bukan gunung, kalau dipandang
lebih cermat, rasanya seperti bekas cat yang tumpah di atas kanvas lukisan itu.
Pwe-giok menggeleng, jawabnya:
"Entah, aku tidak tahu."
"Yang kulukis adalah
gunung di depanmu ini, masa tak dapat kau lihat?" kata pula si kakek
kecil.
Mau-tak-mau Pwe-giok memandang
gunung yang tertutup oleh kabut pagi di kejauhan itu, lalu dipandangnya pula
lukisan yang dipegang si kakek, sedikit demi sedikit dirasakannya memang
rada-rada mirip. Tanpa terasa ia tertawa dan berkata: "Ya, sekarang dapat
kulihat persamaannya."
Mendadak orang tua itu
tergelak seperti orang gila, berjingkrak dan menari, jelas girangnya tak
terperikan, tapi juga memperlihatkan semacam kelatahan yang aneh.
"Apa yang kau
tertawakan?" tanya Pwe-giok heran.
"Aku berhasil, aku
berhasil!" teriak si kakek sambil berkeplok gembira.
"Kau berhasil mengenai
apa?" tanya Pwe-giok pula.
"Lukisanku telah
berhasil," teriak si kakek. "Akhirnya dapatlah kucapai intisari dalam
lukisanku."
Pwe-giok menggeleng sambil
memandangi "cat tumpah" hasil lukisan si kakek, katanya dengan
menyengir: "Lukisan begini masa dapat dianggap telah berhasil mencapai
intisarinya?"
"Coba kau pikir,"
kata si kakek, "sudah jelas yang kulukis adalah gunung, tapi dapat kubuat
dia tidak menyerupai gunung. Yang kulukis ini jelas-jelas tidak menyerupai
gunung, tapi setelah kau pandang dengan cermat terasa seperti gunung pula.
Semua ini disebabkan meski tidak kulukis bentuk gunungnya, tapi sudah dapat
kulukis jiwanya, intisarinya sasaran lukisanku."
Pwe-giok berpikir sejenak,
gumamnya kemudian: "Mungkin sedikit sekali orang yang dapat memahami jiwa
daripada lukisanmu ini."
"Justeru orang lain tak
dapat memahaminya," seru si kakek sambil berkeplok. "Tapi asalkan
yang kulukis adalah gunung, maka dalam pandanganku lukisan ini ialah gunung,
dalam hatiku juga gunung. Hanya aku saja yang paham dan orang lain tetap tidak
paham. Cara ini bukankah sangat hebat, sangat bagus?!"
Dia berkeplok sambil bergelak
tertawa dan melangkah pergi.
Sebaliknya Pwe-giok berdiri
termangu-mangu di situ sambil berpikir: "Jelas-jelas yang kulukis adalah
gunung tapi dapat kulukis hingga tidak menyerupai gunung .... Meski tidak
kulukiskan bentuk gunungnya, tapi sudah dapat kulukis jiwanya,
intisarinya..." selain teringat kepada ucapan si kakek tadi, di tepi
telinganya seolah-olah terngiang pula wejangan ayahnya dahulu mengenai ilmu
pedang, bahwa betapapun bagus bentuk permainan sesuatu ilmu pedang, semua itu
bukanlah intisari ilmu pedang perguruannya sendiri. Jiwa ilmu pedang Bu-kek-pay
terletak pada maksud yang tak berwujud, terlepas daripada wujud yang terbatas
dan masuk ke alam yang tak berwujud (abstrak) dan tak berkutub (Bu-kek), Jika
mujijat ini dapat diselami dengan tuntas, maka berarti ilmu pedang yang kau
yakinkan telah berhasil, Pwe-giok coba merenungkan dan mengulang lagi petuah
sang ayah itu, mendadak ia merasa seperti diguyur air dingin, dalam hati
seketika terasa "plong", terasa terang.
Ia mendapatkan setangkai kayu
sebagai pedang, dengan pelahan ia menusuk ke depan. Sepenuh hati dan segenap
pikiran hanya dipikirnya satu jenis, "Thian-te-bu-pian" (langit dan
bumi tak bertepian) dari Bu-kek-kiam-hoat, tapi waktu pedangnya menusuk,
gayanya tidak menurut jurus serangan Thian-te-bu-pian yang sebenarnya.
Jurus serangan ini jelas-jelas
jurus Thian te-bu-pian, tapi ketika serangan itu dilancarkan jurus itu justeru
tercakup seluruhnya di dalam serangannya, tidak menyerupai jurus
Thian-te-bu-pian, tapi jiwa dan intisari jurus serangan itu justeru tercakup
seluruhnya di dalam serangan itu.
Kalau dua orang bertempur,
bila salah satu pihak dapat melihat lubang kelemahan pihak lawan sehingga dapat
mengatasi lebih dulu setiap perubahan gerak lawan, maka dia pasti akan menang.
Tapi suatu serangan yang bermaksud, namun tanpa wujud, cara bagaimana pihak
lawan akan mampu menghindarinya dan cara bagaimana akan sanggup mematahkannya
serta cara bagaimana akan menghindarinya?
Saking kegirangan Pwe-giok
lantas tertawa tergelak-gelak dan berteriak: "Sudah dapat kupahami! Sudah
kupahami sekarang!"
Tiba-tiba seorang menanggapi
dengan suara nyaring: "Kau memahami apa?"
Segera terdengar pula kicau
burung yang ramai di hutan sana, ternyata Ki Leng-yan sejak tadi sudah berada
di situ.
Dengan tertawa Pwe-giok
menjawab: "Apa yang sudah kupahami, masa para burung kawanmu itu tidak
memberitahukannya padamu?"
Dengan termenung Leng-yan
mendengarkan sejenak, ucapnya kemudian sambil berkedip-kedip: "Mereka
tidak tahu apa yang sudah kau pahami, mereka bilang kau seperti rada-rada
sinting."
"Haha, sudah tentu mereka
tidak paham," ujar Pwe-giok dengan tertawa. "Tapi bolehlah kau
katakan kepada mereka, bahwa asalkan mereka paham persoalan ini, maka mereka
tidak perlu lagi takut kepada elang, malahan manusia juga tidak perlu ditakuti
pula."
"Eh, coba
dengarkan," kata Leng-yan perlahan sambil tersenyum, "mereka sama
menyatakan ucapanmu ini memang benar. Kata mereka, elang memang tiada sesuatu
yang perlu ditakuti, yang paling menakutkan di dunia ini adalah manusia!"
Suara tertawa Pwe giok mulai
mereda, ia pandang burung yang beterbangan di tengah hutan di remang-remang
fajar sana, tanpa terasa ia menghela napas dan bergumam pula: "Betul juga,
manusia memang sangat menakutkan. Sungguh tak tersangka kalian telah memahami
soal ini. Sebaliknya manusianya sendiri malah tetap belum paham. . .."
"Coba lihatlah burung
pipit yang baru terbang dari kota sana," kata Leng-yan dengan rawan.
"Dia bilang, seumpama manusia sudah paham akan soal ini toh tetap tak mau
mengakui kebenarannya."
ooo 000 ooo
Akhirnya kedua orang pulang ke
hotel kecil itu.
Leng yan sudah kenyang tidur,
sebaliknya Pwe-giok mulai merasa ngantuk. Dia mendorong pintu kamar sendiri,
tapi mendadak ia merandek. Ternyata di atas pembaringannya bersimpuh satu
orang.
Sinar sang surya yang baru
terbit itu menyorot masuk melalui jendela sana dan terlihat jelas wajah orang
itu. Kelihatan kepalanya botak kelimis, tapi wajahnya merah cerah seperti orang
muda.
Segera Pwe-giok mengenali
orang ini ialah Tong Bu-siang, ketua perguruan keluarga Tong di Sujwan yang
terkenal sebagai ahli Amgi atau senjata rahasia nomor satu di dunia.
Tong Bu-siang duduk menunduk
dengan mata terpejam, tapi di sekelilingnya berbaris berpuluh macam senjata
rahasia yang gemerlapan, jelas itulah Amgi berasal keluarga Tong yang
merontokkan nyali setiap jago persilatan.
Selain Tong Bu-siang, ada lagi
dua orang yang berdiri di kanan-kirinya, meski tetap berpakaian hitam ringkas,
tapi kedoknya sudah ditanggalkan, jelas mereka ialah Ong Uh-lau dan Sebun
Bu-kut.
Pwe-giok menghirup napas
panjang-panjang, serunya sambil mengalingi Ki Leng-yan di luar pintu:
"Aha, di kamar sempit ini ternyata ada juga tamu agung yang berkunjung,
selamat bertemu!"
Pelahan Tong Bu-siang membuka
matanya, seketika sorot matanya berkelebat seperti kilat, dengan suara berat ia
bertanya: "Apakah bocah ini yang kalian maksudkan?"
"Betul," jawab Ong
Uh-lau dengan hormat.
"Bagus, akan kucoba
dia!" seru Tong Bu-siang. Begitu kata "dia" terucapkan, kontan
kelima jarinya menyelentik, serentak barisan Am-gi yang terletak di depannya
itu ada lima buah yang menyambar ke depan.
Menyusul tangan yang lain juga
bekerja, kedua kakinya juga bergerak, sekaligus berpuluh Amgi melayang ke
depan, sisanya tinggal tujuh atau delapan buah, sekali tiup, seluruh Amgi
itupun menyambar ke arah Pwe-giok.
Di seluruh tubuh orang tua ini
seolah terpasang pesawat khusus dan setiap tempat dapat membidikkan senjata
rahasia. Puluhan Am-gi yang berbaris di pembaringan itu dalam sekejap saja telah
dihamburkan seluruhnya.
Padahal bentuk Am-gi itu tidak
sama, bobotnya juga berbeda, tapi ada yang diselentikkan, ada yang disampuk
dengan tangan, ada yang disapu dengan kaki atau ditiup dengan pernapasan yang
kuat, cara menyerangnya dan kekuatannya juga tidak sama. Ada yang menyambar
dengan cepat dan ada yang lam bat, ada yang menyerang lurus langsung, ada yang
melingkar dan ada juga yang berputar-putar di udara untuk kemudian menyerang
Pwe-giok dari belakang.
Puluhan Am-gi itu seolah-olah
bukan senjata rahasia lagi, tapi menyerupai puluhan jago silat kelas tinggi
dengan senjata yang berbeda-beda dan mengerubuti Pwe-giok dari berbagai
jurusan.
Sejak Pwe-giok terjun di dunia
Kangouw, tidak sedikit lawan tangguh yang pernah ditemuinya. Tapi Am-gi selihay
ini sungguh belum pernah dilihat atau didengarnya.
Dengan tetap memegang tangkai
kayu tadi, dengan segenap minat dan pikiran segera ia melancarkan jurus
serangan "Thian-te-bu-pian", habis itu dengan jurus yang sama ia
menyerang pula secara terbalik. Dua serangan dilancarkan secara berlawanan
sehingga sukar diraba.
Orang lain hanya melihat
tangkai kayunya berputar dua lingkaran dan tak terlihat cara bagaimana dia
bergerak, tahu-tahu terdengar suara "crat-cret" berulang-ulang,
berpuluh bentuk senjata rahasia itu entah mengapa sama menancap pada tangkai
kayunya.
Seketika Ong Uh-lau dan Sebun
Bu-kut melenggong.
Tong Bu-siang juga tercengang,
mau-tak-mau ia berseru memuji: "Ilmu pedang bagus!" Lalu dia tepuk
bahu Ong Uh-lau dan bertanya: "Dia sudah turun tangan, apakah kalian sudah
tahu asal-usul ilmu pedangnya?"
Dengan lesu Ong Uh-lau
menjawab: "Belum ketahuan!"
"Hahaha! Tidak cuma kau
saja yang tidak tahu, bahkan berpuluh tahun pengalamanku di dunia Kangouw juga
tidak pernah kulihat ilmu pedang sehebat ini," seru Tong Bu-siang dengan
tertawa.
"Tapi dapat kupastikan
bahwa di perguruan Bu kek-bun tidak ada ilmu pedang selihay ini."
"Ya, memang tidak
ada!" tukas Ong Uh-lau.
"Sebelumnya memang sudah
kuketahui dia pasti bukan Ji Pwe-giok yang mati itu," kata Tong Bu-siang
pula. "Coba pikir jika dia penyamaran Ji Pwe-giok yang pura-pura mati itu,
mengapa dia tidak menggunakan nama lain, tapi sengaja tetap memakai nama Ji
Pwe-giok?"
Sambil menyengir terpaksa Ong
Uh-lau memberi hormat kepada Pwe-giok dan berkata: "Jika tindakan kami
terasa agak kasar, mohon Ji-kongcu sudi memberi maaf."
Pwe-giok tersenyum, katanya:
"Ah, tidak menjadi soal, hanya selanjutnya ....."
Belum habis ucapannya,
mendadak Ki Leng-yan menjerit kaget "blang", seorang menerobos masuk
dengan beringas.
Orang ini memakai baju kasar
dan topi kulit semangka, jelas orang ini adalah jongos hotel ini. Tapi jongos
yang ramah dan rendah hati ini kini sikapnya telah berubah sama sekali. Kedua
matanya tampak merah membara, mulutnya menyeringai sehingga kelihatan giginya
yang kuning, air mukanya penuh napsu membunuh.
Di tengah jeritan kaget tadi
Leng-yan sempat menarik Pwe-giok ke samping, maka jongos hotel itu lantas
menerobos langsung ke dalam. Cepat Sebun Bu-kut mendepak sebuah meja kecil di
sebelahnya sehingga menyeruduk si jongos.
Tak tersangka sekali hantam
jongos itu telah membuat meja itu hancur berkeping-keping.
Diam-diam Pwe-giok terkejut.
"Orang macam apakah jongos hotel ini, masa memiliki tenaga sekuat
ini?"
Dalam pada itu Ong Uh-lau juga
tidak tinggal diam, pedangnya lantas menusuk. Tapi jongos itu sama sekali tidak
mengelak, sebaliknya membusungkan dada dan memapak tusukan itu.
"Crat" tanpa ampun lagi pedang itu menembus dadanya. Sekali depak Ong
Uh-lau membikin tubuh si jongos mencelat, darah segera berhamburan dan
mengotori tangan Oh Uh-lau.
Sambil berkerut kening Ong
Uh-lau berkata: "Keparat ini barangkali sudah gila, masa...."
Belum lanjut ucapannya,
mendadak Tong Bu-siang melolos belati yang terselip di pinggangnya terus
menabas, kontan sebelah lengan Ong Uh-lau dipotongnya mentah-mentah. Ong Uh-lau
menjerit kesakitan dan jatuh kelengar.
"Ap. ..... apa maksudmu
Cianpwe?" teriak Sebun Bu-kut terkejut.
Wajah Tong Bu-siang yang
semula merah cerah itu seketika berubah menjadi pucat, katanya: "Jongos
hotel ini telah terkena racun jahat Thian-cam-kau dari daerah Miau, dia sudah
kehilangan kesadarannya sehingga berubah kuat luar biasa, bahkan darah di
seluruh tubuhnya juga telah berubah menjadi darah berbisa, barang siapa keciprat
setitik darahnya dalam sekejap racun akan terus menjalar ke seluruh tubuh. Bila
tidak kubuntungi tangannya ini, hanya sebentar saja seluruh tubuhnya akan
membusuk dan mati."
Keringat dingin merembes di
dahi Sebun Bu-kut, ucapnya dengan suara gemetar: "Jadi. ,.... jadi inilah
salah-satu ilmu iblis Thian-cam-kau yang disebut Mo-hiat-hu-kut-tay-hoat (ilmu
darah iblis pembusuk tulang) itu? Jangan-jangan ada orang Thian-cam-kau datang
kemari?"
Dari suaranya yang gemetar dan
ketakutan itu mau-tak-mau Pwe-giok ikut merinding juga, waktu dia pandang
lengan yang putus dan jatuh di lantai itu, ternyata sudah berubah menjadi
genangan darah hitam.
Tanpa terasa Pwe-giok
bergidik, hatipun berdebar Tong Bu-siang yang terkenal berhati bajapun
berkeringat dingin.
"Yang datang di luar itu
apakah khing-hoa-sam-niocu?" tanyanya dengan suara parau.
Segera terdengar suara tertawa
genit di luar sana. Nyaring dan merdu suara tertawanya laksana kicau burung
kenari, siapapun yang mendengar suara tertawa ini pasti akan terguncang perasaannya
dan tergetar kalbunya. Namun kulit muka Tong Bu-siang justeru berkerut-kerut
demi mendengar suara itu.
Terdengar suara merdu itu
berucap pula dengan tertawa genit: "Betapapun memang pandangan Tong-loyacu
terlebih tajam, hanya sekilas lihat saja lantas tahu kami kakak beradik yang
datang kemari."
"Untuk apa kalian datang
ke Tionggoan sini?" tanya Tong Bu-siang dengan bengis.
"Dengan sendirinya
kedatangan kami ini adalah ingin mengunjungi Tong-loyacu," jawab suara
genit tadi. "Lebih dulu kami telah mendatangi kediaman Tong-loyacu, tapi
Loyacu telah berangkat ke Hong-ti. karena itulah kami lantas menyusul kemari.
Meski agak terlambat sehingga tidak keburu ikut menyaksikan keramaian pertemuan
besar di Hong-ti, tapi dapat berjumpa di sini dengan Tong loyacu, betapapun
perjalanan kami ini tidaklah sia-sia."
Dia bicara sambil tertawa,
suaranya enak didengar, sama halnya mengobrol dengan orang tua di rumah,
siapapun tidak menyangka di balik suara merdu dan kata-kata ramah ini
tersembunyi hasrat membunuh yang sukar diraba.
Namun jago tua yang namanya
mengguncangkan dunia Kangouw ini ternyata gemetar juga mendengar ucapan itu,
sambil memegang belatinya dia bertanya pula: "Jadi kalian. .... kalian
sudah pergi ke rumahku?"
Suara itu menjawab dengan
tertawa: "Loyacu jangan kuatir, meski kami sudah berkunjung ke sana, tapi
mengingat Toa-cihu, sama sekali kami tidak mengganggu apapun di tempatmu,
bahkan seekor semut pun tidak terinjak mati."
Meski merasa lega juga
mendengar keterangan itu, tapi mendadak Tong Bu-siang bertanya pula dengan
gusar: "Siapa itu Toa-cihu (kakak ipar, suami kakak) yang kau
maksud?"
Suara genit itu menjawab:
"Sungguhpun Tong-kongcu pemuda yang cakap dan pintar, tapi Toaci kami juga
nona cantik yang serba mahir. Jadi kedua muda-mudi adalah suatu pasangan yang
setimpal, ini kan jodoh yang ditakdirkan?"
"Omong kosong, kentut
busuk!" damprat Tong Bu-siang dengan gusar.
Agaknya orang itu tidak marah,
terbukti suaranya masih tetap enak didengar, katanya: "Apalagi mereka
berdua memang sudah cocok satu sama lain, si tampan dan si cantik sudah
sama-sama ikat janji di taman bunga akan sehidup semati, mengapa Tong-loyacu
justeru berusaha hendak membuyarkan pasangan merpati ini?"
"Omong kosong!"
teriak Tong Bu-siang. "Anak durhaka itu lantaran tidak tahu asal-usul
perempuan siluman itu, makanya dia terpikat. Sekarang dia sudah sadar dan tidak
sudi beristerikan perempuan siluman itu."
"Ah, kukira belum
tentu," ujar suara nyaring merdu itu dengan tertawa. "Tong-kongcu
adalah pemuda yang berperasaan, tidak nanti dia mengingkari janjinya kepada
Toaci kami. Apalagi, gadis secantik Toaci kami itu lelaki mana di dunia ini
yang tidak suka padanya? Jika ada, maka lelaki itu pasti gendeng."
"Tidak bisa, keputusanku
sudah bulat, tidak nanti pikiranku berubah, tiada gunanya kalian banyak bicara
lagi," teriak Tong Bu-siang dengan bengis "Mengingat hubungan kalian
dengan anak durhaka itu di masa lampau, lekas kalian pulang saja agar tidak
terjadi apa-apa yang tidak diinginkan."
"Jadi sudah pasti
Tong-loyacu tidak setuju?" tanya suara genit tadi.
"Ya, tidak nanti
berubah," jawab Tong Bu-siang tegas.
"Dan Loyacu takkan
menyesal?" tanya pula suara merdu itu.
"Biarpun segenap keluarga
Tong mati semuanya juga takkan bersedia menerima menantu seperti perempuan siluman
itu!" bentak Tong Bu-siang dengan murka.
Sejenak suara genit tadi
terdiam, lalu dia berucap pula dengan tertawa: "Wah, tampaknya sukar
bagiku untuk membujuk Loyacu, terpaksa aku mesti minta perantara seorang
comblang."
Mendengar sampai di situ, tahulah
Pwe-giok bahwa kedatangan Khing-hoa-sam-niocu atau tiga perempuan bunga ini
adalah untuk melamar suami kepada Tong Bu-siang, Agaknya sang Toaci atau kakak
tertua di antara Sam-niocu itu sudah ada ikatan janji dengan Tong-kongcu,
tampaknya cara mereka memaksakan perjodohan ini mendekati pemerasan, tapi tekad
Tong Bu-siang yang berkeras tidak mau terima perjodohan anaknya inipun agak
keterlaluan.
Selagi Pwe-giok pikir siapakah
comblang yang dimaksudkan itu? Apakah si comblang akan sanggup membujuk Tong Bu-siang.
Tiba terdengar suara daun jendela terbuka, dari luar lantas melayang masuk satu
orang.
Kedua mata orang ini melotot
serupa mata ikan emas, air mukanya hitam kebiru-biruan, kedua pundaknya,
dadanya dan punggungnya seluruhnya menancap tujuh bilah belati emas yang
gemerdep, tangkai belati pun terbingkai batu permata yang berkilauan.
Dengan mata yang melotot
seperti mata ikan mati itu, pendatang ini terus menatap Tong Bu-siang, darah
segar tampak meleleh dari ujung matanya, sikapnya sungguh sangat misterius dan
juga menyeramkan.
Leng-yan memegangi tangan Ji
Pwe-giok dengan menggigil. Muka Sebun Bu-kut tampak pucat dan basah seperti
kehujanan, rupanya keringat dinginnya bercucuran seperti air hujan.
Serentak Tong Bu-siang
melompat bangun sambil berteriak, "Inilah Kim-to-ho-hiat dari
Thian-cam-kau!"
Belum lenyap suaranya,
mendadak sinar emas gemerdep, tujuh bilah belati emas itu terus melayang keluar
jendela menjadi satu garis lurus. Kiranya pada gagang belati yang berhias batu
manikam itu terikat pula satu benang emas yang halus.
Ketika ke tujuh belati itu
melayang keluar dari lubang luka belati itu lantas menyembur keluar tujuh
pancuran darah segar. Seketika itu terjadi hujan darah memenuhi seluruh kamar.
Sebelumnya Tong Bu-siang telah
angkat Ong Uh-lau dan di lemparkan keluar pintu, ia sendiripun melompat ke atas
belandar ruangan. Ji Pwe-giok juga tidak tinggal diam, dengan angin pukulannya,
ia tolak cipratan darah itu.
Hanya Sebun Bu-kut saja yang
lebih lamban reaksinya, meski iapun sempat melompat ke atas belandar, tapi
tubuhnya sudah terciprat beberapa titik darah berbisa itu. Tapi ia memang
pemberani, dengan nekat ia menyayat kulit daging sendiri yang terciprat darah
itu.
Ketika darah berbisa yang
berhamburan seperti hujan itu mengenai dinding, seketika dinding yang terkapur
putih itu berubah menjadi hitam hangus.
Setiap kungfu yang dikeluarkan
Khing-hoa-sam-niocu itu ternyata sama membawa suasana seram dan mengerikan,
setiap kungfunya harus minta korban jiwa. Sungguh keji luar biasa.
Pwe-giok berkerut kening,
mendadak ia melayang keluar jendela, ia ingin tahu bagaimana macamnya
Khing-hoa-sam-niocu yang cantik tapi keji itu.
"Hei, Ji kongcu,
hati-hati." seru Tong Bu-siang khawatir.
Tapi Ki Leng-yan lantas
menanggapi dengan tertawa linglung, "Jangan kuatir, di dunia ini pasti
tiada perempuan yang tega mencelakai dia!"
ooooo0ooooo
Di luar jendela sana ada
sebatang pohon besar, pada dahan pohon itu terikat empat atau lima orang,
semuanya dalam keadaan tidak sadar, agaknya terbius oleh sesuatu obat.
Di depan pohon berdiri tiga
gadis maha cantik, semuanya memakai mantel panjang warna hitam, begitu panjang
mantel mereka hingga menyentuh tanah dan menutupi tubuh mereka yang ramping.
Rambut mereka tergelung tinggi
di atas kepala, pada bagian atas pelipis sama memakai hiasan bunga permata,
yang satu memakai bunga emas gemerdep, satu lagi bunga perak yang berkilau dan
seorang lagi memakai bunga yang berwarna hitam gelap.
Gadis yang memakai hiasan
bunga emas itu beralis lentik agak menegak, matanya yang jeli itu mengembeng
air mata seperti gadis yang lagi dirundung kesedihan.
Jelas gadis bunga emas ini
adalah sang Toaci yang sedang kasmaran itu.
Gadis yang berhias bunga perak
berwajah bulat, matanya selalu mengerling genit, lirikannya dapat membuat luluh
hati lelaki yang berhati baja sekalipun.
Gadis ketiga yang berbunga
hitam gelap paling cantik, lirikan matanya juga paling menggiurkan, senyumnya
yang paling manis, kalau bicara, belum berucap sudah tertawa. Barang siapa
memandangnya sekejap saja pasti akan jatuh hati padanya.
Mungkinkah ketiga gadis maha
cantik ini adalah tokoh dari agama jahat yang paling terkenal dan paling
disegani di dunia persilatan sekarang ini, yaitu Khing-hoa-sam-niocu.
Apakah ketiga pasang tangan
yang halus dan mulus inipun dapat menggunakan kungfu yang misterius serta maha
keji itu sehingga jiwa manusia dipandang mereka seperti permainan anak kecil ?
Jika tidak menyaksikan sendiri
kelihaian mereka, tentu Pwe-giok juga tidak percaya akan kekejian mereka.
Tiga pasang mata jeli dengan
lirikan memabukkan sama terpusat pada diri Pwe-giok, seakan-akan menembus dada
anak muda itu, ingin tahu isi hatinya.
Mendadak Thi-hoa niocu, yaitu
si nona bunga besi berkata dengan tertawa genit, "Eeh, pemuda bagus dari
mana ini ? Kedatanganmu ke sini apakah hendak memikat perempuan dari keluarga
baik-baik seperti kami ini ?"
Dengan hambar Pwe-giok
menjawab; "Kedatanganku ini hanya ingin belajar kenal dengan kehebatan
cara para nona bunuh orang."
Thi-hoa-niocu terhitung paling
seksi di antara ketiga Khing hoa-sam-niocu, dengan langkah gemulai ia mendekati
Pwe-giok, katanya pula dengan senyum manis, "Membunuh katamu? Wah, sungguh
menakutkan ucapanmu ini? Membunuh orang hanya akan merusak kecantikan anak
perempuan. Selamanya kami tidak berani membunuh. Apakah anda sering membunuh
orang ?"
Dia bicara dengan suara lembut
dan senyum selalu dikulum serta menatap Pwe-giok dengan pandangan yang tulus
sehingga mirip benar seorang nona cilik yang selamanya tidak pernah membunuh,
bahkan tidak tahu apa artinya membunuh.
Meski tahu jelas nona ini
tidak saja membunuh, bahkan memandang jiwa manusia tidak lebih berharga
daripada jiwa semut, tapi melihat cara bicaranya, melihat sikapnya sekarang,
Pwe-giok menjadi tidak percaya pada pandangannya sendiri. Ia berkerut kening
dan bertanya dengan ragu, Maksudmu, kedua orang tadi bukan di bunuh olehmu
?"
Mata Thi-hoa-niocu terbelalak
lebar, seperti terkesiap dan heran, jawabnya, "Kau bilang kedua orang yang
masuk ke rumah itu ?"
Pwe-giok mengiakan.
"Bukan kau yang membunuh
kedua orang itu?"
"Aku?! .... "
Pwe-giok jadi melengak sendiri.
"Jelas-jelas kedua orang
tadi masuk kesana dalam keadaan segar bugar dan telah kalian bunuh, masa
sekarang kalian malah menuduh diriku ?!" kata Thi-hoa-niocu.
Dia berbalik menghantam
Pwe-giok cara berucapnya juga tegas, meski penasaran, seketika Pwe-giok jadi
kalah berbantah.
Thi-hoa-niocu menghela nafas,
katanya pula, "Ku tahu setelah kau bunuh orang, tentu perasaanmu tidak
enak. Tapi kaupun tidak perlu berduka, asalkan lain kali jangan sembarangan
membunuh. kan beres?!"
Mestinya Pwe-giok yang hendak
memberi nasehat padanya, sekarang si nona berbalik memberi wejangan, keruan
anak muda itu serba runyam, rasa gusarnya menjadi sukar di hamburkan.
Maklum, menghadapi nona
cantik, lincah, pintar, dan binal seperti ini, jika digunakan sikap kasar
dengan membentak, memaki atau memukulnya kan tidak pantas.
Kembali Thi-hoa-niocu
tersenyum manis, ia mengebaskan sapu tangannya dengan perlahan dan berkata
pula: "Jika hatimu kesal, marilah ikut padaku. Bisa jadi akan ku bikin
hatimu menjadi riang."
Dia terus melangkah beberapa
tindak kesana, lalu menoleh, dilihatnya Pwe-giok tetap berdiri tenang di
tempatnya tanpa ikut melangkah dan juga tiada sesuatu perubahan. Keruan hati
Thi-hoa-niocu terkejut, namun senyum yang menghias wajahnya bertambah manis
sehingga rasa kejutnya tidak kelihatan.
Rupanya pada sapu tangannya
itu tersembunyi semacam obat bius yang paling lihay dari Thian-cam-kau.
Apa yang digunakan Thi-hoa-nio
ini disebut "Lo-pek-ciau-hun-tay-hoat" atau ilmu sapu tangan pengisap
sukma. Gerak tangannya kelihatan enteng tapi sesungguhnya memerlukan kecermatan
yang luar biasa, baik gerakannya, timingnya, arah angin, semuanya harus
diperhitungkan dengan tepat.
Selain itu, lebih dulu pihak
lawan harus dirayu sehingga setengah linglung dan sama sekali tidak
berjaga-jaga, untuk ini sudah tentu diperlukan daya pelet dan kecerdikan, jadi
lambaian sapu tangan yang kelihatannya sepele ini sesungguhnya memerlukan
pengetahuan yang luas dan dalam, sebab itulah ia termasuk satu di antara ke
tujuh ilmu iblis berbisa dari Thian-cam-kau.
Selama ini entah sudah berapa
banyak orang kangouw yang terjungkal di bawah "Lo-pek-ciau-hun-hoat"
ini, mengingat usia Ji Pwe-giok yang masih muda belia, Thi-hoa-nio yakin pasti
dapat merobohkannya.
Siapa tahu, biarpun masih muda
usia Pwe-giok sudah kenyang pengalaman, sudah berkali-kali ia menghadapi momen
menentukan mati dan hidup, terhadap siapapun dia senantiasa waspada, maka
begitu melihat gelagat tidak baik, segera ia menahan pernapasannya.
Begitulah Thi hoa nio menjadi
terkejut, namun di mulut ia masih bicara dengan manis: "Wah, besar amat
lagakmu, masa diundang dengan hormat saja tidak mau?!"
Terdengar seorang menukas
dengan tertawa di kejauhan: "Jika kongcu sudi ikut pergi bersama kami
kakak beradik, kujamin kongcu pasti takkan kecewa!"
Suaranya berat dan rada parau,
namun penuh daya pikat yang menggetar sukma, setiap katanya seolah-olah
mengkili-kili hati setiap lelaki.
Di tengah suara tertawa,
tertampaklah Gin hoa nio (si bunga perak) telah muncul, begitu riang wajahnya
seakan-akan alisnya lagi tertawa dan matanya juga sedang tertawa. Hampir setiap
bagian sekujur badannya seperti lagi tertawa genit terhadap Pwe-giok.
Belum lagi orangnya mendekat
sudah tersiar dulu bau harumnya yang merangsang, sebelah tangannya yang
membelai rambut dengan kerlingan mata yang menggiurkan, katanya pula dengan
tersenyum getir: "Ku tahu kongcu pasti takkan menolak ajakan kami
bukan?"
"Bukan," jawab Pwe
giok dengan hambar, jawaban yang sederhana.
Tampaknya melengak juga Gin
hoa-nio, tapi ia lantas berkata pula dengan lenggokan pinggang menggiurkan:
"Masa kongcu sampai hati?"
Setiap gerak-gerik Gin hoa nio
seolah-olah ingin memancing kaum lelaki berbuat sesuatu, setiap kerlingan dan
senyumnya cukup menimbulkan gairah kaum lelaki.
Namun Pwe-giok masih tetap
memandangnya dengan hambar, mirip orang yang lagi menonton suatu permainan.
Hakekatnya Pwe giok tidak
perlu bicara, sikapnya yang dingin dan menghina ini sudah lebih tajam daripada
kata-kata apapun juga.
Gin hoa-nio menghela napas,
ucapnya: "Kau tidak mau ikut, juga tidak pergi, memangnya untuk apa kau
cuma berdiri saja di sini?"
"Aku ingin tahu Khing hoa
sam-niocu masih mempunyai kemahiran apalagi?" jawab Pwe-giok dengan
tertawa.
Mendadak air muka Gin hoa-nio
berubah, ia tertawa terkekeh-kekeh dan berseru: "Baik!"
Begitu kata "baik"
terucapkan, serentak ketiga kakak beradik itu lantas berputar dengan cepat,
mantel mereka yang longgar lantas ikut berkibar sehingga kelihatan tubuh
mereka.
Seketika Pwe-giok melenggong.
Sungguh tak tersangka bahwa
tubuh di dalam mantel itu ternyata telanjang bulat. Di antara tubuh yang putih
mulus itu hanya bagian pinggul saja yang menggunakan sepotong gaun hijau yang
cekak dan kelihatan kedua kakinya yang jenjang. Dadanya padat dengan kulit
badan yang putih bersih.
Mantel hitam mereka mendadak
terbang seperti kupu-kupu raksasa, rambut mereka yang panjang terurai di atas
dada yang putih, dada yang kelihatan kenyal dan tergetar-getar.
Gaya tarian mereka tampak
halus dengan tangan yang mulus serta kaki yang jenjang mempesona, semua ini
seakan-akan sedang menggapai-gapai Pwe giok.
Lambat laun pipi ketiga nona
itu bersemu merah dengan mata setengah terbuka dan mulut setengah terpentang,
dada berombak naik turun dan mengeluarkan suara yang menggetar sukma. Inilah
suara kehausan dan gerakan yang penuh harap.
Semua ini benar-benar bisa
membikin gila kaum lelaki.
Namun Pwe-giok masih tetap
memandangnya dengan hambar, sorot matanya juga tidak dialihkan ke jurusan lain.
Kini gaya tari mereka yang
semula kelihatan ruwet itu mulai berubah menjadi sederhana dan bersahaja,
mereka seperti masih meronta-ronta ditengah kehausan, bergeliat,
berkeluk-keluk, bergemetar dan memohon...
Mendadak Pwe giok menghela
napas, katanya: "Nona Kim hoa, gaya tarian mu ini kalau dilihat Tong
kongcu, lantas bagaimana jadinya?"
Tubuh Kim hoa niocu tampak
bergemetar mirip kena dicambuk orang. Namun tariannya masih tetap berlangsung.
Sekonyong-konyong Gin hoa-nio
tertawa nyaring, serentak ketiga nona itu berjungkir dengan kepala di bawah,
dengan tangan sebagai kaki mereka menari dengan lebih gila lagi.
Dapat dibayangkan jika
perempuan telanjang menjungkir dengan kaki bergerak-gerak di udara dan rambut
terurai di lantai dan... tidak perlu menyaksikan sendiri juga setiap orang
dapat membayangkan betapa gilanya gaya tersebut. Apabila ada lelaki yang tidak
berdebar-debar jantungnya dan timbul reaksi badaniah yang spontan demi
menyaksikan tari yang gila ini, maka lelaki itu pasti punya penyakit jika tidak
mau dikatakan abnormal.
"Awas, itulah
Siau-hun-thian-mo-bu!" tiba-tiba terdengar suara Tong Bu-siang berseru
dengan suara gemetar. "Blang", mendadak daun jendela ditutupnya, ia
tidak berani memandang lagi. Siau-hun-thian-mo-bu, tarian iblis pembetot sukma,
siapapun tidak tahan melihat tarian gila ini.
Rupanya Tong Bu-siang
menyadari betapa lihay daya tarik tarian itu, bila dirinya tidak tahan seketika
bisa tertimpa bencana, sungguh ia tidak berani menyerempet bahaya ini.
Suasana sunyi sepi, hanya
terdengar suara napas dan keluhan yang menggetar sukma saja, seperti membawa
semacam irama yang aneh yang dapat menghancurkan iman setiap lelaki.
Sejenak kemudian,
"blang", daun jendela yang tertutup tadi mendadak berlubang dan
dibobol dari dalam, rupanya Tong Bu-siang tidak tahan oleh suara keluhan yang
merangsang itu, betapapun dia ingin melihatnya.
Wajah orang tua ini kelihatan
merah padam, sorot matanya seolah-olah membara, sekujur badan gemetar, saking
tak tahan beberapa kali ia hendak menerjang keluar kamar, namun ia menggertak
gigi dan bertahan sekuatnya, celakanya matanya justru sukar dipejamkan.
Tarian iblis pembetot suka ini
benar-benar menimbulkan daya pikat yang sukar dibayangkan.
Di bawah bimbingan orang tua
yang kereng, sejak kecil watak dan iman Pwe-giok sudah terpupuk dengan kuat.
Melulu soal iman, di antara tokoh-tokoh Bu-lim sekarang mungkin tiada seberapa
orang yang dapat menandingi dia. Jika tiada keteguhan iman yang melebihi orang
lain ini, mungkin dia sudah gila selama lebih sebulan ini mengalami pukulan
yang luar biasa ini.
Walaupun demikian, tidak urung
jantungnya sekarang juga berdebur-debur dan hampir tiada bertenaga lagi.
Pada saat itu, sinar sang
surya menyorot terlebih terang, di depan matanya seolah-olah terlapis cahaya
kelabu yang gemerlapan, waktu ia mengawasi lebih cermat, di sekelilingnya
ternyata sudah terjalin selapis jaring halus.
Jaring halus berwarna putih
kelabu telah mengurungnya di tengah, benang perak yang halus dan hampir tidak
kelihatan oleh mata telanjang itu terus terjulur dari ujung jari
Khing-hoa-sam-niocu.
Mendadak Thi-hoa-nio melompat
ke atas, lalu berdiri tegak, ucapnya dengan tertawa: "Boleh juga ketajaman
matamu, akhirnya dapat kau lihat juga."
"Cara nona
mempertontonkan keindahan tubuhmu ini, apakah tujuan kalian adalah untuk
memasang jaring labah-labah yang tiada artinya ini?" tanya Pwe-giok dengan
gegetun.
"Salah jika demikian
pikiranmu," jawab Thi-hoa-nio dengan tertawa. "Thian-mo sin bu
sendiri yang kami tarikan ini memang sudah penuh daya pikat, jika kau tidak
percaya, boleh kau lihat Tong loyacu itu, bilamana kami tidak mengingat kepada
Tong-kongcu, mungkin... mungkin ahli Am-gi nomor satu yang termasyhur ini
sekarang sudah... sudah... " dia sengaja tidak melanjutkan dan tertawalah
terkial-kial.
Tanpa terasa Pwe-giok
berpaling ke sana, dilihatnya Tong Bu siang bersandar diambang jendela dengan
lunglai, tampaknya sedikitpun tiada bertenaga pula.
Nyata apa yang dikatakan
Thi-hoa-nio barusan memang bukan bualan, bilamana Thian-mo-bu ini ditujukan
kepada Tong Bu-siang, saat ini mungkin jago Am gi nomor satu ini sudah mati di
bawah kerumunan nona-nona bunga ini. Mau tak mau terkesiap juga Pwe-giok.
Sampai sekian lama Thi-hoa-nio
tertawa, habis itu mendadak ia berkata pula dengan menyesal: "Cuma sayang,
kau ini lebih mirip patung, sama sekali tidak tahu menikmati keindahan orang
perempuan, maka terpaksa kami melepaskan Gin-si (benang perak), tapi inipun
bukan benang labah-labah."
"Habis apa kalau bukan
benang labah-labah?" tanya Pwe-giok.
"Akan kuberitahukan,
supaya tambah pengetahuanmu." ujar Thi-hoa-nio. "Inilah 'Ceng-si'
yang dikeluarkan oleh 'Thian-cam' (ulat sutera sakti), mahluk sakti agama
kami."
"Ceng-si (benang
cinta)?... Bagus juga nama ini," ujar Pwe-giok dengan tersenyum.
"Apabila sudah terlibat oleh Ceng-si ini, maka sukarlah melepaskan diri,
benang cinta ini akan mengikat dan merasuk tulang, betapa nikmat rasanya yang
menggetar kalbu itu, mimpipun tak dapat kau bayangkan." kata Thi-hoa-nio
pula dengan tertawa genit. "Cuma sayang, terlalu cepat kau melihat benang
cinta ini tadi, kalau tidak, tentu sekarang kenikmatannya sudah kau rasakan."
Pwe-giok tahu Thian-cam
ceng-si ini pasti keji luar biasa, tadi apabila dirinya sampai terlibat oleh
benang itu, maka jangan harap akan bisa terlepas lagi, mau tak mau harus pasrah
nasib untuk diperlakukan sesuka mereka, tatkala mana mungkin minta hidup tak
dapat, ingin matipun sukar.
Nyata, dalam waktu singkat
tadi meski tampaknya tiada terjadi sesuatu yang berbahaya, tapi sesungguhnya
dia sudah berada di ambang pintu neraka dan untung bisa pulang balik.
Teringat begitu, tanpa terasa
Pwe-giok berkeringat dingin, namun lahirnya dia tetap tenang-tenang saja,
katanya dengan tersenyum: "Cayhe cukup maklum, semakin indah nama sesuatu
benda, semakin keji pula benda itu. Seperti Siau-hun-san (Puyer pembuyar
sukma), To-ceng-ciu (Arak pelarian cinta) dan sebagainya, kuyakin Ceng-si
andalan kalian ini pasti juga sejenisnya."
Mulut Thi-hoa-nio menjengkit,
ucapnya: "Ceng-si agama kami ini tidak dapat dibandingi benda apapun di
dunia ini, barang sebangsa Sian-hun-san, To-ceng-ciu dan sebagainya mana dapat
disejajarkan dengan Ceng-si?"
"Jika demikian, tadi
waktu para nona menumpahkan Ceng-si dari tangan, mengapa benang itu tidak
kalian libatkan pada tubuhku, sungguh sampai saat ini aku merasa tidak
paham."
"Sudah kubilang kau ini
orang tolol, nyatanya kau memang bebal." ujar Thi-hoa-nio dengan tertawa
genit. "Tadi jika kami benar benar langsung melibat dirimu dengan Ceng-si,
bukankah segera akan diketahui olehmu? Hanya satu dua utas Ceng-si mana dapat
mengikat patung seperti kau ini?"
"Oo, kiranya
demikian." ucap Pwe-giok dengan tersenyum.
Melihat senyuman anak muda
itu, segera Th-hoa-nio merasa dirinya telah terpancing dan terlanjur bicara
tentang daya guna Ceng-si. Ia berkedip-kedip, lalu berkata pula dengan tertawa:
"Tapi saat ini kau sudah terkurung rapat oleh Ceng-si kami bertiga dan
jangan harap akan dapat lolos lagi, lebih baik kau berlutut dan menyerah kepada
kami, kujamin pasti akan memuaskan kau."
"Para nona memiliki
Ceng-si, aku kan juga punya Hui-kiam (pedang tajam)," kata Pwe-giok. Habis
bicara, sekali tangannya bergetar, Am-gi keluarga Tong yang menancap di ranting
kayu yang masih dipegangnya itu segera ada dua buah melayang kesana.
Meski kedua biji Am-gi ini
terpental karena tenaga sentakan ranting kayu itu, namun dari suara
mendesingnya yang keras, jelas jauh lebih kuat daripada ditimpukkan dengan
tangan orang lain.
Tak terduga, Am-gi sekuat itu
sama sekali tak berguna, begitu menyentuh jaring cinta itu, sama seperti laron
masuk ke jaring, meronta tak bisa terlepas, menerjang tak dapat tembus.
Pwe-giok jadi teringat pada
dirinya sendirinya juga terikat oleh benang cinta Lim Tay-ih, selama ini
pikirannya selalu dirundung rindu dan sukar dilupakan, entah pula bagaimana
nantinya.
Teringat sampai di sini,
seketika timbul macam-macam pikirannya, ucapnya dengan tersenyum getir:
"Nama Ceng-si yang nona gunakan ini sungguh nama yang sangat bagus dan
sukar dicari."
"Dan sekarang kau sudah
menyerah?" tanya Thi-hoa-nio dengan tertawa.
Pwe-giok termangu-mangu
seperti orang linglung, seolah-olah tidak mendengar apa yang diucapkan si nona.
Thi-hoa-nio berkata pula:
"Jika kau tidak segera menjawab, sekali jaring kami tarik, seketika kau
akan menjadi setan bagi cinta."
"Bisa menjadi setan bagi
cinta mungkin akan lebih baik daripada selama hidup senantiasa dirundung
rindu," jawab Pwe-giok dengan menghela napas panjang.
"Baik jika memang
begitulah kehendakmu!" seru Thi-hoa-nio. Dia bertepuk tangan pelahan,
lapisan jaring yang putih kelabu itu lantas mulai ringkas ke tengah,
pelahan-lahan mendesak ke tubuh Ji Pwe-giok, apabila tubuhnya tersentuh
Ceng-si, maka sukarlah melepaskan diri.
Benang cinta ini memang tiada
ubahnya seperti benang kematian!
Entah apa yang terpikir oleh
Ji Pwe-giok, tampaknya ia tidak menyadari malaikat elmaut selangkah demi
selangkah sedang mendekatinya.
Dipandang dari jauh Pwe-giok
seperti berdiri di tengah tiga dewi cantik dan sedang bersenda gurau, siapa
yang tidak mengiler melihat adegan yang menggiurkan ini? Siapa pula yang tahu
sesungguhnya anak muda itu sudah terjeblos ke dalam jaringan maut.
Kim-hoa-nio hanya memandangi
Pwe-giok dengan termangu-mangu, ucapnya dengan rawan: "Menjadi setan bagi
cinta memang jauh lebih baik daripada hidup dirundung rindu tak sampai,
tampaknya kau sudah berpengalaman cinta, seumpama matipun tidak menjadi soal."
Mendadak Pwe-giok tertawa dan
bersenandung: "Ingin tak rindu, membuat orang cepat tua, setelah berpikir,
tetap rindu jua..." ditengah senandungnya pelahan ia ayun ranting kayunya
setengah lingkaran, Am-gi yang menancap pada ranting kayu itu seluruhnya lengket
pula pada jaring cinta itu hingga berwujud suatu lingkaran.
"Hihi, dengan besi
rongsokan ini kau kira dapat membobol benang cinta kami ini?" kata
Thi-hoa-nio dengan tertawa mengikik.
Belum lenyap suaranya, dengan
ranting kayu sebagai pedang, Pwe-giok terus menusuk berpuluh kali, setiap kali
tusukannya tepat mengenai Am-gi yang menempel di 'jaring cinta' itu. Tenaga
tusukan yang digunakan sangat kuat.
Thi-hoa-nio merasa
pergelangannya tergetar hebat, bukan saja jaring itu sukar ditarik dan ringkas,
sebaliknya malah terasa membentang lebar, tanpa terasa ia berseru:
"Sungguh cerdik caramu ini, rasanya akupun rada-rada kagum padamu."
Hendaklah diketahui bahwa
benang ulat sutera alam itu mempunyai daya lengket yang sangat kuat, benda
apapun bila melengket lantas sukar terlepas, karena benang itupun bisa mulur
mengkeret, maka ditolak atau dipentang sekuatnya tetap sukar membobolnya.
Kalau melulu menggunakan
'Pedang' dan langsung menusuk 'jaring cinta' itu, sekali pedang melengket,
sekalipun besar tenaganya dan dapat melubangi jaring itu, tapi orangnya tetap
akan terlilit juga di tengah jaring.
Tapi sekarang Pwe-giok
menghamburkan lebih dulu am-gi sebanyak itu dan menempel pada jaring, lalu
'pedang' menghantam am-gi dengan sendirinya berbagai senjata rahasia itu takkan
melengket benda lain dan Pwe-giok lantas dapat memainkan pedangnya dengan
leluasa.
Cara ini tampaknya sangat
sederhana, tapi bila tiada mempunyai kecerdasan luar biasa tidak nanti dapat
berpikir sejauh ini. Sekarang ranting kayu ditangan Pwe-giok telah berubah
menjadi sebilah pedang serba guna.
Terdengarlah serentetan suara
'trang tring' yang nyaring. Susul menyusul Pwe-giok menusuk terlebih gencar,
tenaga yang dilontarkan juga semakin kuat, padahal jaring itu sedang ditarik
dan diringkaskan oleh ketiga nona bunga itu, sebaliknya Am-gi yang ditusuk
pedangnya menerjang keluar dengan kuat, akhirnya ujung berbagai senjata rahasia
itupun tertembus keluar jaring.
Mendadak Pwe-giok bersiul
panjang sambil berputar kencang, pedang menggaris, lingkaran senjata rahasia
yang berjajar itu tertolak lebih keras oleh pedang itu. Senjata rahasia pertama
merenggang satu-dua inci ke samping dan menyampuk senjata rahasia kedua. Maka
senjata rahasia kedua itu dapat merobek jaring cinta itu beberapa inci lagi terus
menghantam senjata rahasia ketiga dan begitu seterusnya....
Hanya dalam sekejap saja
"Jaring Cinta" itu hampir terobek seluruhnya, ketika Pwe-giok
menyingkap dengan ujung ranting kayunya, segera orangnya menerobos keluar
sambil bersiul panjang melengking.
Khing-hoa-sam-niocu
seakan-akan kesima menyaksikan olah Pwe-giok yang luar biasa itu, baru sekarang
mereka terkejut sadar dan cepat melompat mundur bersama.
"Bagus, bagus
sekali" seru Thi-hoa-nio dengan tertawa. "Di kolong langit ini kau
orang pertama yang dapat menerobos keluar dari Ceng-bang (jaring cinta) ini.
Kau memang hebat dan pantas dibanggakan..."
Di tengah suara tertawanya
yang seram, mendadak ia mencabut sebilah golok emas yang menancap di pohon,
sekali berkelebat, lengan beberapa orang teringkus di batang pohon itu
ditabasnya mentah-mentah. Darah segar berhamburan, tapi orang-orang itu seperti
tidak merasa sakit, mereka malah tertawa seperti orang gendeng.
Thi hoa-nio lantas melemparkan
lengan kutung yang berlumuran darah itu kepada Pwe-giok.
Dengan gusar Pwe-giok
membentak; "Sampai sekarang kalian masih membikin celaka orang?",
cepat la melompat mundur, ia tahu darah yang muncrat dari lengan kutung itu
pasti darah berbisa yang bisa membikin celaka orang.
Saking gemasnya melihat
kekejian Thi-hoa-nio itu, segera Pwe-giok melayang ke atas dan hendak menerjang
mereka.
Tapi mendadak
"blang", suara letusan menggelegar, beberapa lengan kutung itu
mendadak meledak dan berubah menjadi kabut darah yang mengerikan. Kabut
berdarah itu tersebar dengan sangat cepat dan membanjir ke arah Pwe-giok.
Saat itu Pwe-giok masih
terapung di atas, ia terkejut, sebisanya ia melejit di udara sehingga tubuh
sendiri terpental lebih cepat ke belakang dan turun kembali ke bawah.
Dilihatnya kabut berdarah itu masih terus menjalar, cuma jaraknya sekarang
sudah mulai menjauh.
Didengarnya suara Thi-hoa-nio
yang seram berkumandang dari jauh: "Sekali Thian-can (ulat sutera sakti)
menyusup tulang, sebelum mati, takkan berhenti, boleh kau tunggu saja
nanti..."
Kabut itupun mulai menipis,
tapi bayangan Khing-hoa-samniocu sudah tidak kelihatan lagi, hanya golok emas
yang menancap di pohon itu tampak masih bergoyang-goyang.
Kebetulan angin meniup,
seketika tercium bau darah yang anyir. Pwe-giok ingin tumpah, sungguh tidak
kepalang kejutnya mengingat apa yang terjadi barusan.
Terdengar Tong Bu-siang lagi
berkata dengan menghela napas panjang: "Inilah ilmu andalan Thian-can-kau
yang disebut Kim-to-kay-te, Hiat-sun-tay-hoat (Golok emas membelah tubuh, ilmu
menghilang di balik kabut darah). Sekali ilmu ini dikeluarkan, di dunia ini
mungkin tiada seorangpun yang mampu menangkap mereka."
Ahli senjata rahasia nomor
satu yang termasyhur ini tampak bersandar lemas di ambang jendela dan memandang
jauh ke depan, sorot matanya juga menampilkan rasa kejut dan takut yang tak
terhingga, seperti membayangkan bahaya dan petaka yang bakal timbul.
"Agama iblis sekeji dan
kejam ini, mengapa tiada orang yang mau menumpas mereka?" kata Pwe-giok
dengan menyesal.
Tong Bu-siang tersenyum getir,
katanya: "Memangnya siapa yang sanggup menumpas mereka? Ilmu silat
Thian-can-mo-kau sungguh teramat keji, orang biasa hakekatnya tidak dapat
mendekati mereka, begitu menempel tubuh mereka seketika jiwa melayang"
"Siapakah Kaucu
mereka?" tanya Pwe-giok.
"Kaucu Thian-can-kau
hakekatnya tidak pernah dilihat oleh siapapun juga, jejaknya sukar diketahui,
pergi datang tanpa bekas serupa hantu, wajah aslinya tidak pernah dikenal
orang, bahkan siapa namanya juga tiada yang tahu."
"Aku tidak percaya bahwa
di dunia ini tiada seorangpun yang mampu mengatasi dia?" ujar Pwe-giok.
"Ilmu silat Thian-can-kau
memang sangat keji, tapi juga tidak sembarangan mengganggu orang, jejaknya juga
jarang ditemukan di wilayah Tionggoan, mereka kebanyakan berkeliaran di
pegunungan sunyi dan di daerah terpencil, bilamana mereka tidak mencari orang
lain, hakekatnya orang lainpun sukar menemukan mereka."
"Namun aku tetap yakin
pasti ada orang yang akan menumpas mereka," kata Pwe-giok pula pelahan
setelah termenung sejenak.
Terbelalak mata Tong Bu-siang,
katanya: "Ya, mungkin kau... kau masih muda dan berani, tinggi pula ilmu
silatmu, apabila kelak ada orang yang mampu menumpas Thian-can-kau, maka...
maka orang itu pastilah kau. Mengenai diriku..." dia menyengir, lalu
menyambung pula: "Pada waktu mudaku hidupku tidak teratur dan suka
menuruti bisikan hati, iman tidak teguh. Jadi ilmu jahat Thian-can-kau
kebetulan adalah lawan maut bagiku."
Baru sekarang Pwe-giok tahu
apa sebabnya seorang guru besar dunia persilatan terkenal ini sedemikian jeri
terhadap Khing-hoa-sam niocu dan begitu mudah dipengaruhi oleh tarian gila
tadi.
Mendadak Sebun Bu kut melongok
keluar dan memandang Pwe-giok dengan tersenyum misterius, katanya:
"Thian-can merasuk tulang, sebelum mati tidak berhenti. Sekali kau terlibat
mereka, jarang ada orang yang dapat lepas dengan hidup. Meski sekarang mereka
sudah pergi, tapi Ji-kongcu masih perlu hati-hati."
"Untuk ini tidak perlu
anda ikut kuatir," jawab Pwe-giok dengan tersenyum hambar.
"Jika demikian, biarlah
Cayhe mohon diri lebih dulu," kata Sebun Bu kut. Tiba-tiba ia berpaling
kepada Tong Bu-siang dan bertanya: "Dan Tong cianpwe? ...."
Tong Bu-siang tampak ragu,
katanya, "Ji-kongcu ......"
"Cianpwe silahkan pergi
saja dan tidak perlu kuatir bagiku," sela Pwe-giok dengan tertawa,
"Bila aku tak dapat menjaga diriku sendiri, cara bagaimana aku akan
berkelana di dunia Kangouw kelak?"
Tong Bu-siang berpikir
sejenak, katanya pula: "Ya, kuyakin kau pasti dapat menjaga dirimu
sendiri. Hanya perlu kau ingat, masa paling lihay dari racun ulat ini hanya
tujuh hari, asalkan kau dapat bertahan tujuh hari pertama, selanjutnya tentu
tidak berbahaya lagi."
"Tapi untuk tujuh hari
itulah sampai sekarang belum pernah ada orang yang sanggup menghindarinya"
kata Sebun Bu-kut dengan seram. Habis itu, sekuatnya ia memayang Ong Uh-lau dan
diajak pergi.
Menunggu sesudah Tong Bu-siang
juga pergi, barulah Ki Leng-yan muncul dengan tertawa, katanya: "Memang ku
tahu di dunia ini tiada seorang perempuan pun yang sampai hati mem... "
belum habis ucapannya, mendadak Pwe-giok jatuh terkapar.
Terlihat wajahnya pucat
menghijau, bibirnya bergemetar, sekujur badan menggigil, Leng-yan coba
merabanya, terasa badan pemuda itu panas seperti dibakar.
Rupanya tadi waktu kabut
berdarah mulai buyar, tanpa terasa ia telah menghisapnya setitik, waktu itu ia
memang sudah merasakan gelagat tidak enak, tapi baru sekarang racun itu mulai
bekerja.
Leng-yan seperti terkesima
saking cemasnya, dipandangnya Pwe-giok dengan termangu-mangu, katanya kemudian:
"Akhirnya kau terkena juga... terkena juga racun mereka."
Pwe-giok merasa seluruh badan
sebentar dingin sebentar panas, ia tahu keracunan tidak ringan, tapi dia memang
berbudi luhur, selalu memikirkan orang lain lebih dulu. Ia kuatir Leng-yan
berkuatir dan berduka baginya, maka sedapatnya ia berlagak tenang. katanya
dengan tertawa: "Sejak tadi ku tahu keracunan, tapi... tapi tak
beralangan... "
Ling-yan berpikir sejenak,
katanya kemudian: "Jika sejak tadi tahu keracunan, mengapa tidak kau
katakan?"
"Kau tahu Sebun Bu-kut
dan komplotannya itu bermaksud jahat padaku," tutur Pwe-giok. "Jika
tadi ku perlihatkan tanda-tanda keracunan, mungkin mereka takkan meninggalkan
diriku. Sebab itulah aku bertahan sekuatnya hingga sekarang."
Meski untuk bicara saja
rasanya sangat sulit, namun Pwe-giok bertahan dan berusaha memberi penjelasan
kepada Ki Leng-yan, diharapkannya semoga anak perempuan yang masih polos dan
suci bersih ini bisa lebih banyak memahami seluk-beluk orang hidup.
Nona itu menghela napas,
katanya: "Ai, kenapa manusia selalu punya macam-macam soal ruwet begitu,
burung tentu tidak ........"
Memandangi wajah si nona yang
kekanak-kanakan dan linglung itu, susah juga hati Pwe-giok. Ia tahu ucapan
Sebun Bu kut tadi bukan untuk menakutinya, Khing-hoa-sam-niocu pasti takkan
melepaskan dia, selama tujuh hari ini pasti sukar dilewatkan. Apalagi sekarang
dirinya keracunan, untuk berdiri saja tidak kuat.
Bilamana sekarang dia
didampingi orang lain, mungkin dapat membantu dia menghindarkan malapetaka ini,
celakanya yang mengiringinya sekarang adalah Ki Leng-yan yang linglung dan
tidak dapat bertindak apapun.
Semakin dipikir semakin
gelisah Pwe-giok, apabila Khing-hoa-samniocu datang lagi dan melihat Ki
Leng-yan, mungkin anak dara ini takkan diampuni. Teringat demikian, cepat ia
berseru: "Kawanan burung sedang menantikan dirimu, lekas kau pergi mencari
mereka saja!"
"Dan kau?" tanya
Leng-yan. "Aku... aku akan istirahat di sini," jawab Pwe-giok.
Leng-yan berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tertawa: 'Biarlah kutunggu
kau di sini, bila kau sudah sembuh, kita pergi bersama." - Dengan
tersenyum lantas ia berduduk dan sama sekali tidak mengetahui bahwa
sesungguhnya Pwe-giok dalam keadaan gawat.
Pwe-giok merasa darah dalam
tubuhnya bergolak hebat, mulut mendadak terasa kaku dan mati rasa, ingin
bicara, namun bibir tak dapat bergerak lagi. terpaksa ia hanya memandangi Ki
Leng-yan dengan sorot mata yang cemas.
Dilihatnya wajah Ki Leng-yan
yang tersenyum simpul itu makin lama makin kabur, makin jauh, suaranya juga
seperti semakin lirih seolah-olah berkumandang dari tempat yang tidak
kelihatan, sayup-sayup terdengar nona itu berkata: " Jangan kuatir,
bilamana kawanan burung sakit, akupun senantiasa menjaga mereka, setiap hari
kusuapi obat kepada mereka, obatku sangat manjur, setelah ka minum tentu akan
jauh lebih segar."
Pwe-giok ingin berteriak:
"Aku bukan burung, mana boleh minum obat burung!"
Namun satu katapun tak dapat
diucapkannya, ia merasa Leng-yang telah menjejalkan sebiji obat ke mulutnya,
pil itu lantas cair dan mengalir ke dalam kerongkongan, malahan terasa membawa
semacam bau harum yang aneh.
Ia merasa pikirannya mulai
tenang, badan terasa segar dan enak sekali, selang sejenak pula mendadak ia
terpulas.
ooooo000OO000ooooo
Begitulah Pwe-giok tertidur
dan mendusin dan tertidur pula. Apabila mendusin, Ki leng-yan lantas menyuapi
ia satu biji obat, sehabis minum obat rasanya menjadi segar, lalu tertidur pula
dengan nyenyaknya.
Mula-mula bila dia mendusin
dia masih terus mendesak: 'Lekas kau pergi saja, larilah lekas, setiap saat
Khing-hoa-samniocu bisa muncul lagi."
Tapi akhirnya ia merasa badan
sedemikian segarnya, terhadap segala urusan penuh keyakinan biarpun
Khing-hoa-samniocu sekarang datang lagi rasanya juga tidak takut pula.
Ia sendiri tidak paham mengapa
bisa timbul perasaan begitu, iapun tidak tahu apakah masa tujuh hari yang
konyol itu sudah lewat atau belum.
Entah berapa hari sudah lalu,
suatu hari mendadak Pwe-giok sadar kembali, sadar seluruhnya, ia merasa
tubuhnya segar bugar, sedikitpun tiada tanda-tanda lemas sehabis keracunan,
bahkan rasanya penuh semangat, penuh gairah.
Ki leng-yan juga sedang
memandangnya dengan tersenyum. "Obatku memang manjur bukan?" demikian
tanya si nona.
Pwe-giok tertawa, jawabnya:
"Ya, memang sangat manjur, sungguh obat mujarab yang jarang ada
bandingannya..." Sembari bicara iapun memandang sekelilingnya, baru
sekarang dia mengetahui dirinya masih berada di kamar itu, meski mayat dan
darah sudah tersapu bersih, tapi segera teringat lagi olehnya akan
"Khing-hoa-niocu". ia terkesiap, tanyanya: "Sudah berapa lama
aku tertidur?"
"Rasanya seperti sudah
delapan atau sembilan hari," jawab Leng-yan. "Apa? Sembilan
hari?....Dan mereka tidak datang?" seru Pwe-giok kaget.
Tujuh hari yang konyol itu
ternyata sudah dilaluinya tanpa sadar, ia terkejut dan bergirang pula, sungguh
rada-rada tidak percaya. "Kau merindukan mereka?" jawab Pwe-giok
dengan menyengir. "Aku cuma... cuma heran mengapa mereka tidak datang
lagi?"
"Dan mengapa kau tidak
pergi saja, apakah sengaja menunggu kedatangan mereka?" kata Leng-yan
dengan tenang-tenang.
Mendadak Pwe-giok melonjak
bangun, serunya: "He, betul juga. mereka pasti tidak menyangka aku masih
berada di sini, mereka tentu akan mengejar ke tempat jauh sana dan tidak tahu
bahwa aku belum pergi dari sini," Ia pegang tangan leng-yan, katanya
dengan tertawa: "Meski tindakan ini rada-rada menyerempet bahaya, tapi
dalam keadaan terpaksa, kukira akal ini adalah akal paling bagus yang dapat
dipikirkan, syukur kau dapat memikirkan akal ini."
"Akal apa? Aku tidak tahu!"
kata Leng-yan dengan tertawa linglung. Pwe-giok melengak, dipandangnya wajah
yang masih polos, bersih dan kekanak-kanakan itu, entah nona ini benar-benar
orang gendeng dan berbuat secara kebetulan saja, atau sebenarnya memiliki
kecerdasan yang luar biasa.
Leng-yan berbangkit, mendadak
ia tertawa dan berkata: "Marilah kita pergi, mereka sedang menunggu kau di
luar!"
"Apa? mereka menunggu di
luar?" Pwe-giok menegas dengan kaget.
"Ya," jawab Leng-yan
dengan tertawa, "Waktu kau tertidur, banyak pula kudapatkan kawan baru di
sini, ada kakak gagak, ada adik pipit, sudah kubicarakan dengan mereka,
bilamana sakitmu sudah sembuh, akan kubawa kau berkenalan dengan mereka."
Sementara itu sinar sang surya
tampak memancar masuk melalui jendela, waktu masih pagi, di luar memang benar
ramai burung berkicau.
Pwe-giok lantas ikut keluar
bersama Ki Leng-yan. Begitu melihat kawanan burung, dengan tertawa senang nona
itu lantas berlari ke sana.
Pwe-giok melihat pohon itu
masih tegak berdiri di sana dihembus silir angin pagi, cuma orang-orang yang
semula terikat di pohon itu sudah tak kelihatan lagi.
Tiba-tiba teringat olehnya
pondokan yang letaknya meski terpencil ini toh tidak terlalu jauh dari
perkampungan lain, jika di tempat ini mendadak mati orang sebanyak ini, mengapa
tiada orang bertanya atau menyelidiki apa yang terjadi. Sesungguhnya
orang-orang yang terikat di pohon itu orang hidup atau mati?
Selain itu, tempat penginapan
ini sekarang juga tiada nampak bayangan seorangpun. Aneh, apakah semuanya sudah
lari dan tiada yang mengurus? Jika tidak ada yang mengurus, mengapa dirinya
dapat tinggal di sini sampai delapan atau sembilan hari?
Pertanyaan-pertanyaan ini
cukup membuat pusing kepala. Sekalipun Pwe-giok sudah sadar, tapi cara
bagaimana pula harus diselesaikannya. Ki Leng-yan yang sama sekali tidak paham
seluk-beluk kehidupan manusia ini.
Berpikir sampai di sini,
timbul juga rasa curiga Pwe-giok, dipandangnya Leng-yan yang sedang berkeplok
dan berjingkrak gembira di kejauhan itu, pikirnya: "Jangan-jangan nona ini
tidak gendeng sungguh-sungguh, tapi cuma pura-pura bodoh... Mungkinkah selama
beberapa hari ini sudah pernah kedatangan orang lain yang membantu dia
menyelesaikan urusan di sini. Tapi mengapa dia tidak omong padaku?"
Tapi segera terpikir lagi:
"Ah, dengan susah payah orang telah menolong diriku, tapi aku malah
mencurigai dia, betapapun tidak pantas. jika dia bermaksud jahat padaku, untuk
apa pula dia menyelamatkan diriku?"
Dilihatnya Ki Leng-yan sedang
berlari-lari kemari dengan tertawa riang, serunya sesudah dekat: "Mereka
(maksudnya kawanan burung) memberitahukan padaku bahwa di depan sana ada sebuah
tempat yang baik, maukah kita melihatnya ke sana?"
Di bawah cahaya sang surya,
kelihatan pipi si nona bersemu merah laksana buah apel yang mulai masak, sinar
matanya mencorong terang, begitu jernih dan polos seolah-olah tidak tahu betapa
licik dan kejinya kehidupan manusia ini.
"Marilah ikut!" ajak
Leng-yan pula sambil menarik tangan Pwe-giok. Pwe-giok merasa tiada halangan
untuk menolak, dia ikut melangkah ke sana.
Tidak lama kemudian, tertampak
di depan sana ada sebuah perkampungan yang cukup megah, pintu gerbang
perkampungan itu bercat merah mentereng, dapat diduga penghuni gedung ini pasti
bukan sembarang orang.
"Sudah sampai, marilah
kita masuk ke sana," kata Leng-yan tiba-tiba sambil menarik tangan
Pwe-giok. "Di dalam sini banyak hal yang menarik, hayo kita melihatnya.'
"Ini rumah siapa? mana
boleh sembarangan masuk ke rumah orang lain?" ujar Pwe-giok dengan
tersenyum getir.
"Tidak apa-apa, masuk
saja," ajak Leng-yan pula.
Dengan lagak rumah ini aku
punya, nona itu lantas menolak pintu dan masuk tanpa permisi. Terpaksa Pwe-giok
ikut terseret masuk ke sana.
Halaman di dalam ternyata
sangat luas, ruangan tamu juga terpasang sangat mewah.
Langsung Ki Leng-yan masuk
ruangan tamu terus berduduk. Anehnya juga tiada orang yang merintanginya.
Padahal halaman rumah ini terawat rapi dan bersih, jelas ada penghuninya.
"Mumpung tuan rumahnya
belum keluar, marilah kita lekas pergi saja," ajak Pwe-giok.
Tapi Leng-yan tidak
menghiraukannya, sebaliknya ia malah berkata:
"Hayo ambilkan teh."
Sejenak kemudian, benarlah
seorang lelaki berbaju hijau (seragam kaum hamba yang umum) membawakan dua
mangkuk teh dan ditaruh dengan hormat di atas meja, tanpa bersuara terus
tinggal pergi pula dengan kepala tertunduk.
Leng-yan minum seteguk teh
yang di suguhkan itu, lalu berseru pula: "Perutku lapar!"
Hanya sebentar saja, segera
beberapa orang menghidangkan santapan yang diminta dengan sikap yang sangat
menghormat, bukan saja tidak bersuara sepatah pun kepada mereka, bahkan
memandang saja tidak berani.
Melenggong lah Pwe-giok, ia
mengira dirinya sedang bermimpi.
Segera Leng-yan mengangkat
sumpit, katanya dengan tertawa: "Hayolah makan, kenapa
sungkan-sungkan?" Dia lantas mendahului menyumpit hidangan dan dimakan
dengan nikmatnya.
Pwe-giok sendiri tiada napsu
makan, ia termenung-menung, sejenak kemudian, ia tidak tahan dan bertanya:
"Apakah tuan rumah di sini memang kenalan mu?"
Leng-yan tidak menggubrisnya,
ia makan lagi beberapa sumpit, mendadak ia pegang meja terus didomplangkan,
keruan mangkuk piring jatuh berantakan.
"Mana orangnya!"
teriak si nona.
Beberapa lelaki baju hijau
berlari keluar dengan tergopoh-gopoh, semuanya mengunjuk rasa gugup dan takut,
semuanya berdiri di depan Leng-yan dengan kepala tertunduk, sampai bernapas
saja tidak berani keras-keras.
Dengan mata melotot Leng-yan
berteriak: "Kenapa begini asin masakan Haysom-ah-ciang (teripang masak
kuah telapak kaki itik), siapa yang menghidangkan nya tadi?"
"Hamba!" cepat salah
seorang baju hijau menjawab dengan suara gemetar sambil berlutut.
"Apakah kau sengaja
hendak membikin aku mati keasinan?" teriak Leng-yan pula.
Pwe-giok tidak tahan, ia ikut
bicara: "Dia kan tidak mencicipi, darimana tahu rasanya asin atau
cemplang, mana boleh kau menyalahkan dia. Apalagi kita makan gratis di tempat
orang lain, masa kau marah-marah malah?"
Leng-yan tertawa, katanya:
"O, aku tidak tahu urusan, jangan kau marah padaku."
"Ai, kau....."
Belum lanjut ucapan Pwe-giok,
sekonyong-konyong lelaki baju hijau yang berlutut itu berseru: "Hamba
tidak layak menghidangkan makanan yang terlalu asin ini, hamba pantas mampus,
tangan yang membawa hidangan ini lebih-lebih harus mampus...." mendadak ia
melolos sebilah belati dari pinggangnya dan "krek", kontan ia potong
tangan sendiri.
Terkejut Pwe-giok, dilihatnya
orang itu kesakitan setengah mati, butiran keringat memenuhi dahinya, tapi
tidak berani merintih sedikitpun, tangan kanan memegangi pergelangan tangan
kiri yang buntung itu dengan darah bercucuran, namun tetap berlutut dan tidak
berani berdiri.
"Ehm, mendingan
begini," kata Leng-yan dengan tertawa manis.
"He, ken..... kenapa kau
berubah menjadi sekejam ini?" seru Pwe-giok.
"Mereka kan bukan burung,
kenapa harus ku sayang mereka?" jawab si nona.
"Memangnya manusia tidak
lebih berharga daripada burung?" kata Pwe-giok.
"Mereka suka dan rela,
kenapa kau ribut bagi mereka?" ujar Leng-yan dengan tertawa.
"Di dunia ini mana ada
orang yang suka rela membikin cacat anggota tubuh sendiri?" seru Pwe-giok
dengan gusar.
Leng-yan tidak menanggapinya,
ia pandang lelaki berbaju hijau dan bertanya dengan tertawa: "Kalian
tunduk kepada perintahku secara sukarela, begitu bukan?"
Tidak saja lelaki baju hijau
yang membuntungi tangan sendiri, bahkan semua hamba itu menjawab serentak:
"Ya, secara sukarela."
"Bagus!" kata
Leng-yan dengan gembira. "Jika demikian, coba kalian memotong dua jari
masing-masing"
Kata-kata ini membikin
Pwe-giok terperanjat.
Siapa tahu orang-orang ini benar-benar
lantas melolos pisau dan "krak-krek", beramai-ramai mereka memotong
dua jarinya sendiri.
"Kalian berbuat demikian
secara suka rela, bukan?" tanya Leng-yan pula.
"Ya, sukarela."
jawab orang-orang itu tanpa perduli darah mengucur dari tangan masing-masing.
"Kalian tidak merasa
sakit, sebaliknya malah sangat senang, betul tidak?" tanya Leng-yan pula.
"Betul, hamba gembira
sekali," jawab orang-orang itu berbareng.
"Kalau gembira, kenapa
tidak tertawa?" kata Leng-yan.
Serentak tertawalah orang-orang
itu meski sebenarnya semuanya kesakitan setengah mati, dengan sendirinya
tertawa demikian lebih tepat dikatakan meringis.
Merinding Pwe-giok menyaksikan
kejadian luar biasa ini, tanpa terasa iapun berkeringat dingin.
Sungguh sukar dibayangkan,
kaum lelaki yang kekar dan segar ini seakan-akan telah menjadi boneka
semata-mata. Mereka hanya mengiakan apa yang dikatakan Ki Leng-yan dan perintah
nona itu lantas dilakukan. Sungguh kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
betapapun Pwe-giok tidak percaya di dunia ini ada kejadian aneh begini.
Leng-yan berpaling dan tertawa
kepadanya, katanya: "Tahukah kau sebab apa mereka tunduk kepada
perkataanku?"
"Mer...mereka..."
Pwe-giok gelagapan.
Tapi Leng-yan lantas menukas:
"Sebab mereka telah menjual sukmanya kepadaku."
Bulu roma Pwe-giok merasa
berdiri seluruhnya, serunya kaget: "Ap...apakah kau sudah gila...."
Si nona tersenyum tenang,
katanya pula: "Bukan saja sudah ku beli sukma mereka, bahkan sukma mu
selekasnya juga akan ku beli, bukan saja mereka tunduk kepada perintahku, nanti
kaupun harus tunduk."
Pwe-giok menjadi gusar,
teriaknya: "Kau berani…. ber....."
"Sekarang kedua kakimu
sudah lemas, sekujur badanmu tidak bertenaga lagi, berdiri saja tidak sanggup,
cukup satu jari saja dapat ku robohkan kau!" kata Leng-yan dengan tertawa.
Mendadak Pwe-giok berdiri,
tapi memang betul, kedua kakinya terasa lemas, "bluk", ia jatuh
terduduk pula.
"Selang sebentar lagi
sekujur badanmu akan terasa sebentar dingin sebentar panas, habis itu seluruh
badan akan terasa sakit dan gatal, rasanya seperti beribu-ribu semut sedang
menyusup ke dalam kulit daging mu."
Padahal tidak perlu sebentar
lagi, sekarang juga Pwe-giok sudah mempunyai perasaan begitu, dengan suara
gemetar ia bertanya: "Kau....kau turun tangan keji padaku?"
"Hehe, selain diriku masa
ada orang lain?" jawab Leng-yan dengan tersenyum manis.
Gemerutuk gigi Pwe-giok saking
ngerinya, teriaknya parau: "Meng...mengapa tidak kau bunuh saja
diriku?"
"Orang berguna seperti
kau ini, kan sayang jika kubunuh?" ujar si nona dengan tertawa.
Keringat dingin memenuhi dahi
Pwe-giok, tanyanya dengan parau: "Sesungguhnya apa kehendakmu?"
"Meski sekarang kau
merasa seperti terjeblos di dalam neraka," kata Leng-yan pula "Tapi
asalkan kau mau menjual sukma kepadaku, segera dapat kubawa kau menuju ke
surga, bahkan ke dunia yang jauh lebih gembira daripada surga."
Pwe-giok merasa tidak tahan
lagi akan siksaan ini, dengan suara serak ia tanya: "Apa yang kau
inginkan?"
"Sekarang, hendaklah
segera kau pergi ke suatu tempat yang disebut kim-khak-ceng, 23 penghuni
perkampungan itu, tua-muda, laki-perempuan harus kau bunuh
seluruhnya......" kata leng-yan dengan tertawa. "Lo Cu-liang, pemilik
perkampungan itu terkenal kaya-raya, sekaranglah aku sangat memerlukan
harta-bendanya itu." "Apakah dalam keadaan begini aku sanggup
membunuh orang?" tanya Pwe-giok dengan tersenyum pedih.
Saat ini kau memang tidak
sanggup membunuh, tapi setiba di Kim-khak-ceng segera kau akan berubah menjadi
maha kuat, bila tenagamu tidak kau keluarkan akan terasa tersiksa malah,
rasanya seperti mau meledak," kata si nona.
Siksaan yang sukar ditahan ini
hampir membuat Pwe-giok lupa segalanya, sekuatnya ia berdiri dan menerjang
keluar pintu, tapi mendadak dia berlari balik dan berteriak dengan parau:
"Tidak, tak dapat kulakukan hal ini."
"Kau harus, harus kau
lakukan, apakah kau ingin bertaruh denganku?" kata Leng-yan dengan
tertawa.
Dengan suara gemetar Pwe-giok
berkata: "Tadinya kukira kau ini anak perempuan yang tulus dan bersih,
siapa tahu semua ini cuma pura-pura saja, kau berlagak seperti tidak tahu
apa-apa agar orang lain tidak was-was terhadap dirimu, siapa tahu kau terlebih
..... lebih keji daripada Ki Leng-hong!"
"Hihi," Leng-yan
tertawa misterius. "Memangnya kau kira aku ini siapa?"
Pwe-giok memandangnya tajam,
tiba-tiba dilihatnya sorot mata si nona yang poos dan bersih itu memancarkan
sinar tajam laksana mata elang. Tanpa terasa Pwe-giok bergidik, ucapnya:
"He, kau.... kau inilah Ki Leng-hong!"
Nona itu tertawa
terkekeh-kekeh, dia memang bukan Ki Leng-yang melainkan Ki Leng-hong. Katanya
dengan tertawa: "Sudah belasan hari kau menjadi orang tolol, baru sekarang
kau tahu siapa diriku. Hehe, memangnya kau kira aku benar-benar paham bahasa
burung? Di dunia ini mana ada manusia yang benar-benar paham bahasa burung?
Biarpun si idiot Leng-yan sendiri juga belum tentu paham. Apa yang kau pahami
adalah hasil penyelidikanku sendiri dengan segenap daya upaya ku, kalau manusia
saja tidak tahu, darimana burung bisa tahu? Huh, kau sok anggap dirimu pintar,
masa hal ini tak dapat kau pahami?"
Gemetar sekujur badan
Pwe-giok, katanya: "Pantas, pantas kau berkeras ingin ikut padaku. Pantas
kau memperhitungkan Khing-hoa samniocu, pasti takkan datang lagi, apalagi
datang ke hotel kecil itu..."
"Ya, meski kau terkena
racun Khing-hoa-samniocu, tapi tidak terlalu berat, malahan tampaknya kau
pernah minum semacam obat mujarab apa yang memiliki daya tahan sangat kuat
terhadap segala jenis racun."
"Betul, itulah
Siau-hoan-tan dari Kun-lun-pay...?"
"Tepat." sela
Leng-hong dengan tertawa.
"Cuma Siau-hoan-tan
Kun-lun-pay itu meski dapat menawarkan segala macam racun, namun terhadap
Kek-lok-wan (pil maha girang) yang kuberikan padamu ini sedikitpun tak
berguna."
"Kek-lok-wan apa?"
Pwe-giok menegas dengan kaget.
"Jadi Kek-lok-wan yang
kau beri minum padaku ini telah membikin keadaanku menjadi rusak sedemikian
rupa? apakah orang-orang itupun terkena racun Kek-lok-wanmu, maka... maka sukma
merekapun dijual kepadamu?!"
"Jika Kek-lok-wanku kau
anggap sebagai racun, maka itu sama seperti kau menghina diriku," kata
Leng-hong.
"Meski sekarang kau
sangat menderita, tapi cukup minum satu biji Kek-lok-wan, seketika semua rasa
derita akan lenyap, bahkan semangatmu akan timbul berlipat ganda dan membuatmu
merasa nikmat tak terhingga."
"Apakah... apakah
Kek-lok-wanmu ini bisa membuat orang ketagihan?" tanya Pwe-giok dengan
suara gemetar.
"Barang siapa sudah
keracunan maka setiap hari harus meminumnya, kalau tidak tentu akan merasa
tersiksa dan tak tertahankan?"
"Memang benar
perkataanmu," kata Leng-hong dengan tertawa.
"Dalam kek-lok-wanku ini
mengandung semacam getah tumbuh-tumbuhan yang berasal dari negeri barat,
tumbuhan ini berbunga sangat indah, tapi getah buahnya dapat membuat hidup
orang seperti terbang ke awang-awang, tapi juga dapat membikin orang hidup
lebih menderita daripada mati."
Mendadak ia berpaling dan
bertanya kepada orang-orang berbaju hijau: "Hidup kalian sekarang bukankah
sangat bahagia?"
"Ya, selamanya hamba
tidak pernah sebahagia sekarang ini." sahut orang-orang itu serentak.
"Dan bagaimana kalau tidak kuberi Kek-lok-wan kepada kalian ?" tanya
Leng-hong pula.
Seketika wajah orang-orang itu
berkerut-kerut, sorot matanya menampilkan rasa kuatir, jelas rasa takut ini
timbul dari lubuk hati yang dalam, semuanya munduk munduk dan memohon dengan
sangat: "Mohon ampun, nona, apapun akan hamba lakukan bagi nona, asalkan
setiap hari nona memberi satu biji Kek-lok-wan."
"Demi memperoleh satu
biji Kek-lok-wan, kalian tidak segan-segan menjual ayah-ibu bahkan istrinya
sendiri, begitu bukan?" tanya Leng-hong lagi.
Serentak orang-orang itu
mengiakan.
Leng-hong berpaling ke arah
Pwe-giok dan tertawa, katanya: "Meski kau tak punya ayah-ibu dan istri
untuk dijual, tapi kau dapat menjual dirimu sendiri, dengan tubuhmu sebagai
imbalannya akan kau dapatkan kebahagiaan sukma mu yang tak terhingga, tidakkah
ini cukup berharga bagimu?"
Keringat bercucuran dari dahi
Pwe-giok, serunya dengan tergagap: "Aku... aku..."
Leng-hong berkata dengan suara
lembut: "Kau tidak berdaya melawan lagi, selama delapan hari itu setiap
hari telah kutambah kadar Kek-lok-wan yang kuberi minum padamu, kecanduanmu
sekarang sudah jauh lebih dalam daripada mereka, penderitaan yang kau rasakan
hakekatnya tidak mungkin dapat ditahan oleh siapapun juga, kukira lebih baik
kau tunduk dan menurut perintah saja."
Pwe-giok menggertak gigi,
saking tersiksanya sampai bicarapun sukar.
"Lebih cepat kau
menyatakan tunduk, lebih cepat pula akan berkurang rasa derita mu, kalau tidak,
kau hanya akan tersiksa lebih lama secara sia-sia, sebab akhirnya kau toh pasti
akan menyerah juga," habis berkata Leng-hong lantas mengeluarkan sebuah
botol porselen kecil dan menuang keluar sebiji obat berwarna coklat, seketika
tercium bau harum yang aneh.
Dengan sorot mata yang rakus
orang-orang berbaju hijau itu sama melototi pil yang dipegang Leng-hong itu,
tampang mereka itu mirip anjing kelaparan yang melihat tulang, bahkan
orang-orang ini tampaknya terlebih rendah daripada anjing.
Leng-hong menyodorkan obat itu
ke depan Pwe-giok, katanya dengan tertawa:
"Ku tahu kau tidak tahan
lagi, boleh kau minum dulu satu biji ini, lalu mulailah bekerja. Asalkan kau
menyatakan tunduk padaku, akupun pasti percaya padamu."
Pwe-giok meremas-remas tangan
sendiri, serunya dengan parau: "Tid... tidak, aku... aku tidak
boleh!..."
Dengan suara terlebih halus
Leng-hong berkata pula: "Sekarang, asalkan pil ini kau terima, seketika
dari neraka kau akan menuju ke surga. Kebahagiaan yang dapat kau peroleh dengan
cara semudah ini, jika kau tidak mau, kan bodoh kau?"
Orang-orang berbaju hijau itu
sama mendekam di lantai, napas mereka ngos-ngosan seperti anjing di musim
birahi.
Pwe-giok melirik sekejap
orang-orang itu, tiba-tiba terpikir olehnya bilamana obat itu diminum, seketika
dirinya akan berubah serendah orang-orang ini dan selama hidup akan mengesot di
bawah kaki Leng-hong untuk memohon belas kasihannya agar memberinya satu biji
Kek-lok-wan, selama hidupnya akan menjadi budaknya dan tenggelam di tengah penderitaan
yang kotor dan rendah serta takkan menjelma lagi untuk selamanya.
Berpikir sampai di sini,
sekujur badan Pwe-giok sudah penuh keringat dingin, mendadak ia meraung
keras-keras, dua orang berbaju hijau itu didepaknya hingga terjungkal, seperti
orang gila ia terus menerjang keluar.
Anehnya Ki Leng-hong tidak
merintanginya, ia cuma berucap dengan dingin: "Kau mau pergi, boleh
pergilah. Cukup kau ingat, bilamana kau tidak tahan derita lagi, setiap saat
kau boleh pulang kembali ke sini, Kek-lok-wan ini senantiasa menantikan
kedatanganmu, bila kau kembali ke sini segera kau akan mendapatkan
pembebasan."
Tersembul senyuman keji pada
wajahnya, katanya pula dengan pelahan: "Sekalipun kakimu di rantai juga
kau akan kembali ke sini, biarpun kedua kakimu ditebas buntung merangkak pun
kau akan pulang lagi ke sini."
0000-0000
Pwe-giok terus berlari-lari,
ia menerjang ke ladang, ia menjatuhkan diri di tanah berpasir, bergulingan dan
meronta, pakaiannya sudah terkoyak-koyak, tubuh pun berdarah, tapi sedikitpun
tidak dirasakannya. Penderitaan lahiriah ini bukan apa-apa, yang sukar ditahan
adalah penderitaan yang timbul dari rohaniahnya.
Jika orang tidak pernah
mengalami sendiri, selamanya takkan dapat membayangkan betapa menakutkan
penderitaan yang sukar dilukiskan itu.
Bahkan Pwe-giok
membentur-benturkan kepalanya kepada batu padas sehingga berdarah, ia
menggertak gigi kencang-kencang, ujung mulut pun berdarah, ia memukuli dada
sendiri dan menjambak rambut...
Semua itu tetap tiada gunanya,
telinganya selalu mengiang ucapan Ki Leng-hong tadi: "Setiap saat kau
boleh pulang kembali ke sini... bila kau kembali ke sini segera kau akan
mendapat pembebasan?"
Pembebasan, saat ini yang
dipikirkannya memang cuma mengharapkan pembebasan, apakah untuk itu harus
menjual raga sendiri atau menjual sukma sendiri, ia tidak perduli lagi.
Seperti apa yang sudah diduga
Ki Leng-hong, mendadak ia berbangkit dan menerjang kembali ke arah datangnya
tadi.
Mendadak seorang tertawa
terkekeh-kekeh dan berkata: "Aha, akhirnya kami dapat menemukan kau."
Tiga sosok bayangan orang
segera melayang tiba seperti burung cepatnya dan menghadang di depan Pwe-giok,
tertampak mantel hitam yang gemerlapan tertimpa sinar matahari. Mereka ternyata
"Khing-hoa-samniocu" adanya.
Akan tetapi bagi Pwe-giok sekarang
ketiga 'nona bunga' ini tidak menakutkan lagi. Ia mendelik matanya merah
membara, teriaknya parau: "Menyingkir! Biarkan ku lewat!"
Heran dan terkejut juga
Khing-hoa samniocu melihat perubahan luar biasa Pwe-giok ini, ketiga kakak
beradik itu saling pandang sekejap, sambil berkerut kening Thi-hoa-nio lantas
berkata: "Pemuda yang cakap dan ganteng mengapa berubah menjadi seperti
binatang buas ?"
Belum lenyap suaranya,
serentak Pwe-giok menerjang tiba. Saat ini meski tenaganya sengat kuat, tapi
itu cuma tenaga yang timbul secara naluri, ia sudah lupa cara bagaimana
menggunakan tenaga dalam dan kepandaian.
Perlahan Gin-hoa-nio lantas
menjulurkan sebelah tangannya untuk menjegal, kontan Pwe-giok jatuh tersungkur.
Kaki Gin-hoa-nio lantas menginjak di atas punggung anak muda itu, katanya
dengan tercengang: "Mengapa orang ini berubah menjadi begini, sampai ilmu
silat sendiripun tidak ingat lagi."
"Kumohon, lepaskan
diriku!" ratap Pwe-giok sambil meronta dan menggabruki tahan pasir.
"Hm, kau kira kami akan
melepaskan kau pergi?" jengek Gin-hoa-nio.
"Jika kalian tidak mau
melepaskan diriku, lebih baik kalian bunuh saja diriku!" seru Pwe-giok.
"Ai, kenapa kau berubah
menjadi begini?" tanya Kim-hoa-nio dengan gegetun: "Apakah kau
terkena sesuatu racun?"
"Kek-lok-wan.....
Kek-lok-wan, kumohon beri... berilah satu biji Kek-lok-wan!" teriak
Pwe-giok dengan serak.
"Apa itu
Kek-lok-wan?" tanya Kim-hoa-nio.
"Kuterima segala
permintaanmu, ku tunduk kepada segala perintahmu, ku rela menjadi budak mu,
akan kulakukan apa saja...." agaknya anak muda itu sudah kurang sadar
sehingga bicara tak keruan.
"Lihay amat Kek-lok-wan
itu," Kata Kim-hoa-nio, "Mengapa tak pernah kuketahui barang apakah
Kek-lok-wan ini sehingga dapat mengubah watak seorang yang keras kepala begini
rela menjadi budaknya?"
"Perduli barang apa,
pokoknya kita bawa saja dia," kata Thi-hoa-nio setelah berpikir sejenak.
Ia memberi tanda, segera
beberapa gadis jelita bergaun cekak berlari dari lereng bukit sana, mereka
membawa sebuah karung berwarna putih kelabu, Pwe-giok terus dimasukkan ke dalam
karung itu.
Karung itu entah terbuat dari
bahan apa, kuat dan ulet luar biasa, sia-sia Pwe-giok meronta, memukul dan
menendang di dalam sambil berteriak-teriak.
Mungkin mimpipun Ki Leng-hong
tidak pernah menyangka Ji Pwe-giok akan ditawan orang dimasukkan ke dalam
karung dan dibawa pergi, kalau tidak, pasti seperti apa yang telah
diucapkannya, biarpun merangkak juga Pwe-giok akan balik lagi ke sana.
"Sungguh aneh sekali
racun yang diidapnya, entah cara bagaimana menawarkan nya dan entah siapa di
dunia Kangouw ini yang paham cara menawarkan racun semacam ini." kata
Kim-hoa-nio dengan masgul.
"Jika kita saja tidak
sanggup menawarkannya, siapa lagi di dunia ini yang sanggup?" ujar
Thi-hoa-nio.
"Habis, apakah membiarkan
dia dalam keadaan demikian?" ucap Kim-hoa-nio sambil berkerut kening.
"Toaci jangan lupa, dia
adalah musuh kita," kata Gin-hoa-nio dengan ketus. "Sekalipun dia
tidak keracunan juga kita akan membunuh dia, sekarang dia keracunan, mengapa
kita berbalik akan menolongnya?"
Kim-hoa-nio menghela napas
panjang, jawabnya: "Meski dia musuh kita, tapi melihat keadaannya aku
menjadi tidak tega dan merasa kasihan."
"Toaci sungguh seorang
pecinta besar, cuma cintamu rasanya menjadi tidak murni," kata Thi-hoa-nio
dengan tertawa.
"Memangnya kau kira
kasihanku padanya demi diriku sendiri?" kata Kim-hoa-nio dengan mengulum
senyum.
"Bukan demi dirimu,
memangnya demi diriku?" ujar Thi-hoa-nio sambil terkikik-kikik.
"Ucapanmu sekali ini
memang tepat, apa yang kulakukan ini justeru demi kau," kata Kim-hoa-nio
dengan tertawa.
"Aku?" Thi-hoa-nio
menegas, mukanya menjadi merah, sambil menggigit bibir ia berkata pula:
"Padahal.... padahal namanya saja aku tidak tahu, masa.... masa
Toaci...." - Belum habis ucapannya mukanya bertambah merah dan mendadak ia
berlari menyingkir.
Dalam pada itu sebuah kereta
besar dan mewah tampak memapak tiba, segera kawanan gadis tadi menggotong
karung yang berisi Pwe-giok ke dalam kereta. Khing-hoa-samniocu juga naik kuda
masing-masing dan beramai-ramai terus membedal ke depan.
oOo-oOo
Kereta itu terus menuju ke
selatan, melalui propinsi Oh-pak, Su-jwan, kemudian ke propinsi Kui-ciu.
Sepanjang jalan Pwe-giok masih
terus meronta-ronta dan meraung-raung, jelas penderitaannya luar biasa. Tapi
Khing-hoa-samniocu tidak memperlakukan dia dengan sadis, sebaliknya malah
merawatnya dengan sangat baik.
Thi-hoa-nio yang galak dan
liar itu seakan-akan berubah sama sekali sikapnya terhadap Pwe-giok, bahkan
kelihatan merasa sedih.
Kim-hoa-nio tahu meski di
mulut saudaranya itu tidak bicara, tapi di dalam hati sesungguhnya sedang
berkuatir bagi Pwe-giok.
Sedangkan Gin-hoa-nio
terkadang suka menyindir: "Coba lihat Sam-moay (adik ketiga), orang hampir
membunuhnya, tapi dia malah menyukai dia."
Dengan tertawa Kim-hoa-nio
berkata: "Biasanya penilaian Sam-moay sangat tinggi, setiap lelaki di
dunia ini dipandangnya seperti kotoran yang tidak laku sepeserpun. Sebenarnya
aku berkuatir kalau-kalau selama hidupnya takkan mendapat pasangan, tapi sekarang
dia bisa jatuh hati kepada seseorang, kan kita harus bergirang baginya."
"Tapi orang yang
ditaksirnya justeru adalah musuh kita," kata Gin-hoa-nio.
"Ah, musuh apa?"
ujar Kim-hoa-nio dengan tersenyum. "Padahal ada permusuhan apa antara dia
dengan kita, apalagi kalau dia sudah menjadi suami Sam-moay, dari musuh kan
terus berubah menjadi ipar?"
Gin-hoa-nio melengak, ia
tertawa, katanya: "Sungguh aku tidak paham mengapa Sam-moay bisa penujui
dia?"
"He, dia kan lelaki cakap
yang jarang ada bandingannya, ilmu silatnya juga tergolong pilihan, pemuda
sebaik ini siapa yang tidak menyukainya? apalagi usia sam-moay sudah waktunya
birahi," kata Kim-hoa-nio.
Gin-hoa-nio menggigit bibir
dan tidak bicara lagi, ia terus melarikan kudanya ke depan.
Gerak gerik rombongan ini
meski misterius, tapi sangat royal, tidak sayang buang uang, siapapun
menghormati mereka, maka sepanjang jalan tiada terjadi sesuatu halangan.
Sesudah menyeberangi
Tiangkang, mereka tidak mencari hotel lagi, sepanjang jalan mereka disambut
dengan hormat oleh keluarga hartawan. Rupanya pengaruh Thian-can-kau diam-diam
telah meluas hingga mencapai daerah Kanglam (selatan sungai Tiangkang),
kebanyakan keluarga hartawan di daerah situ sudah masuk menjadi anggota cabang
Thian-can-kau.
Yang menggembirakan
Kim-hoa-nio dan Thi-hoa-nio adalah keadaan Pwe-giok sudah semakin baik,
penderitaannya sudah jauh berkurang, terkadang sudah dapat tidur dengan
nyenyak.
Sudah tentu mereka tidak tahu
bahwa bekerjanya racun Kek-lok-wan yang mengandung morfin itu lambat laun akan
berkurang apabila si penderita sanggup bertahan pada masa krisis yang memang
sangat menyiksa itu.
Tapi bila tiada mendapat
pertolongan, satu diantara sejuta mungkin juga tidak sanggup menahan siksaan
batin yang maha hebat itu. Coba kalau Khing-hoa-sam-niocu tidak terus mencari
jejak Ji Pwe-giok, saat ini dia mungkin sudah terjerumus semakin dalam.
Melihat keadaan Pwe-giok yang
bertambah sehat, Thi-hoa-nio menjadi girang. Sebaliknya Gin-hoa-nio tampak
semakin dongkol, agaknya dia menaruh dendam kepada Pwe-giok.
Meski perlahan-lahan Pwe-giok
sudah sadar kembali, tapi keadaannya sangat lemas, seperti orang yang baru
sembuh dari sakit keras.
Bila teringat dirinya hampir
terjerumus ke neraka yang sukar melepaskan diri, tanpa terasa Pwe-giok berkeringat
dingin pula. Baik atau buruk, untung atau celaka, nasib manusia terkadang hanya
bergantung pada sekian detik dan sekian jengkal saja.
Namun perlakuan
Khing-hoa-samniocu yang teramat baik padanya membuat hatinya merasa tidak
tenteram, ia tidak tahu apa pula maksud tujuan yang telah dirancang oleh ketiga
kakak beradik yang misterius ini.
Dari propinsi Oh-pak mereka
telah masuk ke Su-jwan. Suatu hari sampailah mereka di Song-peng-pah.
Song-peng-pah ini bukan kota
besar, tapi jalan kota cukup rajin dan terpelihara. Kotanya juga ramai, orang
berlalu lalang, banyak yang tertarik kepada ketiga kakak beradik yang cantik
dengan keretanya yang besar itu.
Ketiga nona ini malah sengaja
turun dari kuda masing-masing dan berjalan dengan bergandeng tangan, mereka melirik
ke kanan dan tersenyum ke kiri, sungguh tidak kepalang senang mereka melihat
orang lain sama terpesona terhadap mereka.
Mendadak Gin-hoa-nio menepuk
pundak seorang di tepi jalan, tanyanya dengan tersenyum genit: "Apakah
toako penduduk Song-peng-pah sini?"
Tanpa sebab ditepuk seorang
nona cantik, tulang orang itu serasa lemas seluruhnya, melihat tangan yang
putih halus itu masih semampir di pundaknya, tanpa terasa orang itu lantas
merabanya dan menjawab dengan menyengir: "Ya, betul!"
Gin-hoa-nio seolah-olah tidak
tahu tangannya lagi diraba-raba orang, ia tertawa terlebih manis, katanya pula:
"Jika demikian, tentu Toako tahu di mana kediaman Ma Siau-thian?"
Mendengar nama Ma Siau-thian,
seketika orang itu merasa seperti kena dicambuk satu kali, cepat ia menarik
tangannya kembali dan menjawab dengan hormat: "O, kiranya nona ini kenalan
Ma toaya, beliau tinggal tidak jauh di depan sana, di jalan seberang sana,
belok ke kiri, gedung yang berpintu cat merah itulah."
Tiba-tiba Gin-hoa-nio
memberikan lirikan genit, lalu membisiki orang itu: "Kenapa kau takut
kepada Ma Siau-thian? Asalkan kau berani, malam nanti boleh kau datang mencari
diriku...." lalu ia meniup pelahan ke telinga orang itu dan tertawa.
Sukma orang itu seakan-akan
terbang ke awang-awang, dengan muka merah ia menjawab: "O, aku..... aku
tidak berani."
"Huh, percuma!" omel
Gin-hoa-nio dengan tertawa menggiurkan sambil mencubit pelahan pipi orang itu.
Dengan melenggong orang itu
menyaksikan kepergian rombongan Gin-hoa-nio, sampai lama ia masih berdiri
terkesima seperti habis mimpi, ia meraba pipinya yang rada-rada gatal dan
bergumam: "Keparat, barang baik hampir semuanya di borong olehmu, Ma
Siau-thian, dasar...." mendadak pipinya yang rada gatal itu berubah
menjadi rasa sakit, pipi itu sudah bengkak seperti kepala babi, kupingnya juga
sakit seperti ditusuk-tusuk jarum, ia kesakitan dan ketakutan sambil
terguling-guling dan menjerit.
"Ai, untuk apa kau
lakukan?" omel Kim-hoa-nio sambil menggeleng ketika mendengar jeritan
ngeri dari jauh itu.
Gin-hoa-nio terkekeh-kekeh,
katanya: "Terhadap lelaki yang suka iseng begini, kalau tidak dihajar adat
sedikit tentu tidak kapok. Tampaknya Toaci telah berubah menjadi welas asih,
apakah benar-benar sudah siap untuk menjadi menantu baik hati keluarga Tong?"
Kim-hoa-nio mendongkol, ia
tidak bicara lagi, tapi terus melangkah ke depan dengan cepat. Terlihat dinding
tembok tinggi di depan sana, beberapa orang sebangsa cecunguk sedang main dadu
lempar di samping pintu besar sana.
Gin-hoa-nio mendekatinya, sekali
depak ia bikin salah seorang lelaki itu terpental, orang-orang lain terkejut
dan gusar, beramai-ramai mereka membentak.
Tapi Gin-hoa-nio memandang
mereka dengan tertawa manis, katanya: "Numpang tanya para Toako, apakah di
sini tempat kediaman Ma-toaya?"
Melihat wajah yang cantik itu,
rasa gusar orang-orang itu seketika terbang ke awang-awang, mereka terbelalak
memandangi Gin-hoa-nio dari segala sudut ke segenap bagian tubuhnya.
Seorang diantaranya berkata
sambil cengar-cengir: "Akupun she Ma, akupun Ma toaya, ada keperluan apa
adik sayang mencari diriku?"
"Ah, kulihat mukamu ini
masih boleh juga," ucap Gin-hoa-nio dengan tertawa genit sambil
menjulurkan tangannya untuk meraba muka orang.
Serentak orang itupun
mendekatkan mukanya dan bermaksud mencium, tak tersangka dia lantas dipersen
dengan sekali gamparan keras oleh Gin-hoa-nio hingga mencelat.
Keruan lelaki yang lain
menjadi gusar terus hendak mengerubutinya.
Dengan tertawa Gin-hoa-nio
berkata: "Aku kan tidak mau menjadi menantu orang, biarpun hatiku keji dan
tanganku keras sedikit juga tidak menjadi soal."
Dia ternyata sengaja
berolok-olok kepada Kim-hoa-nio, beberapa orang itu terus dilabraknya hingga
terkapar di sana-sini dengan kepala pecah dan darah mengucur.
Kim-hoa-nio mendongkol, tapi
iapun tidak menghiraukan lagi.
Pada saat itulah terdengar
seorang meraung: "Keparat, anak kura-kura darimana, berani ribut-ribut di
depan pintu Locu? semuanya berhenti!"
Maka muncul seorang lelaki
berjubah sulam dengan wajah merah diiringi beberapa lelaki kekar.
Segera Gin-hoa-nio menanggapi
dengan tertawa: "Ah, kukira siapa, rupanya Ma-toaya sudah keluar! Wah,
alangkah gagahnya, alangkah kerengnya!"
Beberapa pengiring itu segera
mendelik dan bermaksud mendamprat, tapi Ma Siau-thian lantas pucat demi melihat
ketiga nona ini, serentak ia bertekuk lutut dan menyembah, katanya dengan
hormat: "Tecu Ma Siau-thian dari cabang Sujwan utara menyampaikan sembah
bakti kepada ketiga Hiangcu, mohon maaf, karena tidak tahu akan kedatangan
ketiga Hiangcu, sehingga tidak dilakukan penyambutan selayaknya."
Gin-hoa-nio menarik muka dan
mendengus: "Hm, mendingan Ma-toaya masih kenal kami, untung juga kau
keluar pada waktunya yang tepat, kalau tidak kami mungkin bisa mampus dihajar
oleh beberapa tuan yang gagah perkasa ini."
Ma Siau-thian berkeringat
dingin, cepat ia menyembah lagi dan berkata: "Kawanan binatang ini memang
pantas mampus, mereka benar-benar buta melek, masa berani bersikap kasar kepada
ketiga Hiangcu, sebentar Tecu pasti memberi hukuman setimpal kepada
mereka."
Dengan hambar Kim-hoa-nio
lantas berkata: "Sudahlah, yang penting sekarang barangkali Ma-toaya dapat
menyediakan suatu tempat bagi kami, sedapatnya tempat yang tenang, sebab kami
membawa seorang sakit di dalam kereta."
Berulang-ulang Ma Siau-thian
mengiakan dan menyambut ketiga nona itu ke dalam rumah. Beberapa cecunguk itu
sama terkesima melihat Ma-toaya yang biasanya malang-melintang itu sekarang
ternyata munduk-munduk dan ketakutan terhadap ketiga nona cantik ini.
Ketika melangkah masuk ke dalam
gedung itu, mendadak Gin-hoa-nio mendengus: "Yang menyudahi persoalan ini
dan mengampuni mereka adalah Toaci, aku sendiri tidak berkata demikian."
Ma Siau-thian menjadi
kebat-kebit, katanya dengan tergagap: "Ya, Tecu.... Tecu paham."
Thi-hoa-nio menarik lengan
baju Gin-hoa-nio dan berkata: "Ji-ci, kau tahu perasaan Toaci akhir-akhir
ini kurang baik, kenapa kau suka membikin marah dia."
"Dia kan tidak mencarikan
pacar bagiku, untuk apa aku mesti menjilat dia?" jengek Gin-hoa-nio sambil
mengebaskan lengan bajunya dan melengos
Setelah menyilakan
'Khing-hoa-samniocu' ke ruangan tamu, Ma Siau-thian mendadak menyingkirkan
semua anak buahnya, lalu berkata dengan hormat: "Tecu tahu ketiga Hiangcu
suka kepada ketenangan, maka setiap saat senantiasa menyediakan tempat yang
baik bagi para Hiangcu."
"O, dimana
tempatnya?" tanya Kim-hoa-nio.
"Di sini," jawab Ma
Siau-thian. Dengan tersenyum ia lantas menggulung sebuah lukisan besar di
ruangan tamu itu, tertampaklah di balik lukisan itu ada sebuah pintu rahasia. Pintu
dibuka dan tertampaklah sebuah jalan tembus, dibalik pintu terdapat beberapa
kamar indah.
"Kami kan tidak mau
berbuat sesuatu yang malu dilihat orang, kenapa mesti main
sembunyi-sembunyi," jengek Gin-hoa-nio.
Ma Siau-thian menjadi seperti
diguyur air dingin, ucapnya dengan gelagapan: "O, jika..... jika Hiangcu
kurang suka, di taman belakang masih ada tempat lain...."
"Biarlah, di sini
saja," sela Kim-hoa-nio dengan menarik muka. Segera ia mendahului
melangkah masuk ke kamar rahasia itu, beberapa gadis mengikuti di belakangnya
dengan menggotong Ji Pwe-giok.
Melihat tempat yang dikunjungi
ketiga nona ini makin lama makin misterius, entah bagaimana nasibnya nanti bila
digotong masuk ke situ. Namun apa daya, biarpun tidak suka, mau tak mau
Pwe-giok hanya menurut saja karena badan tak bisa berkutik.
Setelah menaruh Pwe-giok di
atas tempat tidur, beberapa gadis cantik itu lantas tinggal pergi dengan
merapatkan pintu.
Sunyi senyap, di dalam kamar
rahasia itu, selagi Pwe-giok berbaring memandangi langit-langit kamar dengan
melamun, sekonyong-konyong seorang membuka pintu dan melangkah masuk. Ternyata
Thi-hoa-nio adanya.
Nona ini berduduk diam saja di
ujung ranjang dan memandangi Pwe-giok dengan mengulum senyum, satu kata saja
tidak bicara.
Akhirnya Pwe-giok tidak tahan,
ucapnya: "Sekali ini berkat pertolongan nona, kalau tidak .... kalau
tidak, Cayhe mungkin .... mungkin ...."
"Kau tidak benci kepada
kami lagi?" tanya Thi-hoa-nio dengan tersenyum.
Pwe-giok tidak tahu cara
bagaimana harus menjawabnya, ia menghela napas, katanya kemudian: "Cayhe
tidak pernah membenci kalian, asalkan para nona jang.... jangan...."
"Jangan membunuh orang,
begitu bukan?" tukas Thi-hoa-nio.
"Nona sendiripun bilang
begitu, bila terlalu banyak membunuh orang, wajah cantik bisa berubah menjadi
buruk," kata Pwe-giok sambil tersenyum getir.
Thi-hoa-nio memandangnya pula
sejenak dengan diam, mendadak ia tertawa dan bertanya: "Jadi kau ingin
supaya aku bertambah cantik?"