Renjana Pendekar Bagian 2

Baca Cersil Mandarin Online: Renjana Pendekar Bagian 2

Renjana Pendekar Bagian 2

Lambat-laun Pwe-giok merasa tidak tenteram, pikirnya: "Mengapa dia pandang diriku cara begini?, mengapa?...."

Pada saat itulah tiba-tiba di luar jendela sana berkumandang suara orang tertawa riuh.

Pwe giok mendekati jendela dan sedikit menyingkap ujung tirai serta mengintip keluar, dilihatnya seekor kucing hitam sedang berlari-lari dikejar oleh seorang pendek kurus kecil dengan jubah kembang. Wajahnya yang pucat itu kelihatan berjenggot, tapi perawakannya serupa anak berumur dua belasan, gerak-geriknya juga kekanak-kanakan.

Muka orang kerdil ini penuh butiran keringat, rambutnya juga kusut, bahkan sebelah sepatunya juga sudah copot, keadaannya kelihatan serba konyol, ya kasihan, ya lucu, ya menggelikan.

Belasan lelaki kekar berpakaian mentereng tampak mengikuti di belakang orang kerdil ini dengan gelak tertawa, seperti orang yang sedang melihat tontonan menarik, ada yang berkeplok gembira, ada yang menimpuki kucing hitam tadi dengan batu.

Melihat itu, tanpa terasa Pwe-giok menghela napas panjang.

"Kenapa kau menghela napas panjang, apa yang kau sesalkan?" tiba-tiba seorang bertanya di belakangnya.

Kiranya Cengcu-hujin itu entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya dan juga sedang memandang keluar.

"Cayhe melihat orang ini dipermainkan orang banyak seperti badut, hati merasa tidak tega," kata Pwe-giok dengan menyesal.

Cengcu-hujin diam saja, wajahnya kaku tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan, sejenak kemudian barulah ia berkata dengan perlahan:" Orang ini adalah suamiku."

"Apa.....apa katamu? Dia.... dia suamimu? Dia inilah Cengcu?" tanya Pwe-giok dengan terkesiap.

"Betul, dia inilah Cengcu dari Sat-jin-ceng ini," jawab Cengcu-hujin dengan dingin.

Pwe-giok melenggong hingga sekian lamanya ia tak dapat bersuara. Baru sekarang ia paham apa sebabnya ketiga ibu beranak ini disebut sebagai "perempuan yang harus dikasihani". Sekarang iapun tahu duduk perkara sebab apa di perkampungan ini orang boleh bebas bunuh membunuh.

Rupanya Cengcu dari Sat-jin-ceng ini adalah seorang badut yang harus dikasihani, seorang kerdil yang malang. Setiap orang boleh datang ke sini dan mempermainkan dia dengan sesuka hati. Dalam pada itu Cengcu-hujin sudah kembali ke tempat duduknya dan memandangi Pwe-giok tanpa bicara.

Kini Pwe-giok dapat menahan perasaannya, sebab sekarang sudah timbul rasa simpatinya terhadap perempuan di depannya ini, simpati yang tak terhingga terhadap segenap keluarga yang malang ini, sekalipun banyak sekali tingkah-laku mereka yang aneh, tapi itupun dapat dimaklumi.

Entah sejak kapan mereka sudah disediakan santapan, Cengcu hujin hampir tidak menyentuh hidangan itu, tapi Pwe-giok telah makan dengan lahapnya.

Di dunia ini memang tiada sesuatu persoalan yang dapat mengganggu selera makan anak muda. Dan begitulah waktu telah berlalu dengan begitu cepat.

Di dalam rumah semakin gelap, wajah Cengcu hujin mulai samar-samar, rumah ini mirip sebuah kuburan yang akan mengubur masa mudanya yang bahagia.

"Mengapa dia memandang diriku cara begini?!" demikian Pwe-giok bertanya-tanya di dalam hati, ia merasa kasihan dan juga merasa heran.

Mendadak Cengcu hujin berbangkit, katanya dengan hampa: "Hari sudah gelap, maukah kau mengiringi aku keluar berjalan-jalan?"

000 000 000

Inilah sebuah taman yang teramat luas dan juga sangat seram, di tengah-tengah semak-semak, di balik bayangan pohon, di mana-mana seakan-akan ada hantu yang sedang mengintai. Jalan berbatu yang mereka lalui berbunyi gemerisik.

Pwe-giok merasa sangat dingin. Sedangkan Cengcu-hujin sudah tertinggal di belakang.

Cahaya rembulan yang baru menyingsing melemparkan bayangan Cengcu hujin yang panjang itu ke sebelah sini. entah darimana mendadak berkumandang bunyi burung hantu.

Tanpa terasa Pwe-giok merinding, ia memandang jauh ke sana, tiba-tiba di balik bayangan pohon yang seram sana terdapat sebuah rumah ke kelabu-kelabuan dan berbentuk aneh.

Rumah itu tidak ada cahaya lampu, hakekatnya tiada jendela, runcing atapnya, pintu gerbangnya dari besi warna hitam itu agaknya sudah karatan, rumah aneh yang berdiri terpencil di tengah taman yang seram ini menimbulkan rasa ngeri dan penuh misteri yang sukar dilukiskan.

Terasa takut dan juga heran Pwe-giok, tanpa terasa ia terus mendekat ke sana.

"Jangan ke sana" tiba2 didengarnya bentakan Cengcu hujin, suara yang terasa lembut itu mengandung rasa cemas.

"Sebab apa?" Pwe-giok terkejut dan berhenti.

"Barang siapa mendekati rumah itu, dia pasti mati!" kata Cengcu-hujin.

Pwe-giok tambah terkejut, tanyanya pula: "Seb ..... Sebab apa?"

Ujung mulut Cengcu-hujin kembali menyembulkan senyuman misterius, ucapnya kemudian dengan pelahan: "Sebab di dalam rumah itu adalah orang mati semua, mereka ingin menyeret orang lain untuk menemani mereka."

"orang mati? Semua orang mati?" Pwe-giok menegas.

Dengan pandangan yang hampa Cengcu-hujin menatap jauh ke depan, katanya: "Rumah ini adalah makam keluarga Ki kami. Yang terkubur di dalam rumah seluruhnya adalah leluhur keluarga Ki. Sedangkan leluhur keluarga Ki seluruhnya adalah orang gila. Yang masih hidup gila, yang sudah mati juga gila."

Pwe-giok mengkirik oleh cerita yang aneh dan seram itu, tangannya penuh keringat dingin.

Di depan ada sebuah gardu segi delapan, mereka mendaki undak-undakan dan naik ke tengah gardu, sekeliling langkan di tengah-tengah gardu itu mengitari sebuah lubang gua yang gelap dan dalam, setelah diperiksa lebih teliti, kiranya adalah sebuah sumur.

"Inilah sebuah sumur yang aneh," Cengcu Hujin (nyonya Ki) itu bergumam, seperti bicara kepada dirinya sendiri dan tidak ditujukan kepada orang lain.

Tapi Pwe-giok tidak tahan, ia bertanya: "Mengapa sumur ini kau katakan aneh?"

"Sumur ini disebut Mo kia (cermin hantu)" jawab Ki-hujin.

Pwe-giok tambah heran, ia tanya pula: "Mengapa disebut Mo kia?"

"Konon sumur ini dapat meramal kejadian yang akan datang," tutur Ki hujin dengan pelahan. Di malam bulan purnama, bila kau berdiri di tepi sumur ini dan bayangan mu tersorot ke dalam sumur, maka bayangan di dalam sumur itulah menunjukkan nasibmu yang akan datang"

"Aku ... aku rada bingung," kata Pwe-giok.

"Umpamanya, bila bayangan seorang tersorot ke dalam sumur dan bayangannya lagi tertawa, padahal ia sendiri tidak tertawa, maka ini melambangkan hidupnya akan beruntung. Sebaliknya jika bayangan di dalam sumur itu menangis, padahal ia tidak menangis, maka kehidupannya pasti akan penuh kedukaan, penuh kemalangan."

"Hah, masa betul begitu?" seru Pwe-giok terkesiap.

Dengan pelahan Ki-hujin menutur pula: "Tapi ada juga cahaya bulan tak dapat menyorotkan bayangan seseorang ke dalam sumur, di dalam sumur hanya terlihat cahaya darah belaka, maka hal ini melambangkan orang itu akan segera tertimpa bencana, bahkan menuju kematian."

"Aku... Aku tidak percaya," ucap Pwe-giok, tanpa terasa ia mengkirik pula.

"Kau tidak percaya? Kenapa tidak kau coba?" ujar Ki-hujin.

"Aku...aku tidak ingin...." meski di mulut dia bilang tidak, tapi sumur ini rupanya memang sebuah sumur hantu yang punya daya tarik yang kuat, tanpa terasa ia mendekati tepi sumur dan melongok ke bawah.

Sumur itu sangat dalam, gelap gulita dan tidak kelihatan dasarnya, hakekatnya Pwe-giok tidak melihat sesuatu apapun, tapi tanpa terasa kepalanya semakin menunduk dan semakin ke bawah.

Mendadak Ki-hujin menjerit: "Da... darah... darah... "

Kejut dan ngeri Pwe-giok luar biasa, ia melongok lebih ke bawah lagi, sekonyong-konyong langkan sumur itu jebol, tubuhnya lantas terjerumus ke dalam sumur.

Terdengar Ki-hujin sedang menjerit jerit pula: "Darah... darah... Mo-kia... lalu berlari pergi seperti kesetanan.

Pada saat itulah di dalam sumur baru terdengar suara "plung" ini jelas suara jatuhnya Pwe-giok didalam sumur. Sumur hantu ini dalamnya luar biasa untung ada airnya, airnya juga sangat dalam. Tubuh Pwe-giok langsung terbanting di permukaan air sumur sehingga ruas tulang sekujur badannya seakan akan terlepas. Ia terus tenggelam ke bawah, sampai lama sekali belum lagi timbul.

Apabila tubuh Pwe-giok tidak gemblengan seolah-olah otot kawat tulang besi, waktu timbul lagi ke permukaan air mungkin sudah berwujud sesosok mayat.

Suara jeritan ngeri Ki-hujin itu seakan-akan masih mengiang di telinganya, dalam keadaan masih berdebar Pwe-giok berendam didalam air sumur yang dingin seperti es, ia menggigil tiada hentinya.

"Mengapa dia mencelakai diriku?... " "Ah, aku sendiri yang kurang hati-hati dan terpeleset hingga jatuh ke dalam sumur, mana boleh ku salahkan orang lain ?..." "Tapi mengapa dia tidak menolong diriku?... " "Ah, jiwanya memang sangat lemah, saat ini dia sendiri sangat ketakutan, mana dapat menolong diriku?... " "Apalagi, tentu dia mengira aku sudah mati, buat apa bersusah payah menolong aku?... "

Begitulah macam-macam pikiran terlintas dalam benak Pwe-giok, akhirnya dia hanya dapat menyesal dan menyalahkan dirinya sendiri: "Ai, aku memang seorang yang malang, selama hidup ini penuh diliputi ketidak beruntungan."

Kemalangan yang tidak pernah dibayangkan orang lain, baginya boleh dikatakan sudah biasa seperti makanan sehari hari.

Sumur itu sangat lebar, jika berdiri ditengah tengah dan merentangkan kedua tangan tetap tak dapat mencapai dinding sumur. Apalagi dinding sumur penuh lumut hijau yang tebal dan licin, siapapun jangan harap dapat memanjat ke atas.

Jika orang lain mungkin sudah berteriak teriak minta tolong. Tapi Pwe-giok sam sekali tidak berani bersuara, apalagi berteriak minta tolong. Sebab kalau suara teriakannya didengar musuh yang sedang mencarinya, bukankah dia akan mati konyol terlebih cepat?.

Untung Pwe-giok mahir berenang sehingga tidak sampai tenggelam, namun tubuh yang terendam di air sumur yang dingin seperti es itu membuat badannya mulai kaku, lambat atau cepat dia tetap akan tenggelam juga.

Semua ini seolah-olah impian buruk saja, sungguh ia tidak mau percaya, tapi tidak dapat tidak percaya.

Sejak dia berlatih menulis di taman kediamannya sendiri dengan disaksikan ayahnya tempo hari, dimulai dengan penyampaian surat oleh Hek-kap-cu, kehidupan Pwe-giok lantas seperti berada didalam mimpi buruk, dan sekarang, apakah hidupnya akan tamat di sini ?!

Ia tidak suka membayangkannya, juga tidak berani memikirkannya, akan tetapi mau tak mau ia justeru harus memikirkannya, teringat apa apa yang telah dialaminya itu, sungguh ia hampir gila. Dan malam yang gelap gulita inipun berlalu ditengah penderitaan yang membuatnya gila itu.

Samar-samar mulut sumur sudah kelihatan remang-remang, tapi cahaya itu terasa sedemikian jauhnya dan sukar dijangkau.

Dari kejauhan yang sukar dijangkau itu tiba-tiba berkumandang suara kicau burung yang merdu. Bagi pendengaran Pwe-giok, suara burung ini adalah satu langkah kejutan yang sama sekali tak pernah terpikir oleh orang itu. Coba, siapa yang pernah berpikir suara burung berkicau demikian dapat menyelamatkan orang ?

Maka mulailah Pwe-giok menirukan suara burung berkicau, Sejenak kemudian, dikejauhan tiba-tiba berkumandang suara nyanyian yang terlebih merdu daripada kicau burung. Suara itu makin dekat dan dekat, akhirnya dimulut sumur muncul sepasang mata yang jeli.

Baru sekarang Pwe-giok berani berseru perlahan: "Nona Kenari... "

Terbelalak mata yang indah itu, serunya: "He kiranya kau? Pantas tidak kupahami apa yang kau katakan, rupanya kau bukan... bukan burung."

"Aku berharap dapat menjadi burung, nona Kenari," kata Pwe-giok dengan menyengir.

Nona Kenari itu berkedip-kedip, katanya kemudian: "Jelas kau bukan burung, sampai bertemu pula!" ia angkat kepala terus hendak pergi.

Cepat Pwe-giok berseru: "Hei, nona, ada orang jatuh didalam sumur, masa kau tidak mengereknya ke atas?"

Si nona kenari melongok pula ke dalam sumur, ucapnya dengan tertawa: "Mengapa harus ku kerek kau ?"

"Sebab... sebab... " Sebenarnya jawaban ini sangat sederhana, tapi seketika Pwe-giok justeru tidak dapat menjawabnya.

"Hi, hi, ku tahu kau tidak punya alasannya." seru si nona Kenari sambil berkeplok gembira." Aku akan pergi!"

Sekali ini dia benar-benar pergi dan tidak kembali lagi.

Pwe-giok menjadi melenggong dan serba susah, ia jadi gemas terhadap dirinya sendiri dan ingin menggampar mukanya sendiri, masa jawaban sederhana begitu saja tidak sanggup bicara.

"Apakah segenap anggota keluarga Ki memang orang gila semua?" demikian Pwe-giok bertanya tanya pula di dalam batin.

Pedih rasanya, kecuali hatinya yang masih ada perasaan, bagian tubuh lain hampir seluruhnya sudah kaku, sekujur badannya mirip sepotong kayu yang terendam di dalam air. Ia meraup secomot air untuk membasahi bibirnya yang kering.

Sekonyong-konyong seutas tali panjang terjulur dari atas.

Pwe-giok kegirangan, cepat ia pegang tali itu. Tapi segera teringat sesuatu, ia memandang ke atas dengan kuatir. Ternyata di atas tiada orang. Dengan suara yang dibikin serak ia bertanya: "Siapa di sana ? Siapa yang menolong diriku ?"

Namun tiada jawaban. Ia menjadi ragu-ragu, Jangan-jangan orang Kun-lun-pay atau anak murid Tiam-jong-pay ?

Jangan-jangan komplotan jahat itu sengaja hendak mengereknya ke atas untuk kemudian membunuhnya?

Pwe-giok menggreget, dipegangnya erat-erat tali itu, perlahan-lahan ia merambat ke atas, Betapapun akan lebih baik daripada mati terendam hidup-hidup di sumur hantu ini.

Dalam keadaan demikian, selain menuruti perkembangan, memangnya apa yang dapat diperbuatnya? Hakekatnya tiada pilihan lain baginya.

Dari bawah sampai di mulut sumur, jarak ini seolah-olah perjalanan yang paling panjang yang pernah ditempuhnya selama hidup. Tapi akhirnya sampai juga di tempat tujuan.

Pagi ini tidak ada kabut, cahaya matahari yang keemas-emasan menyinari seluruh halaman taman, sampai-sampai gardu yang tak terawat dengan cat pada pilar dan langkan yang sudah banyak terkelupas inipun kelihatan sangat indah di bawah sinar matahari yang terang.

Dapat hidup terus, betapapun adalah kejadian yang baik.

Tapi di atas tetap tiada terlihat bayangan seorangpun. Tali panjang itu kiranya terikat pada pilar gardu. Lalu sesungguhnya siapa yang menolongnya? Mengapa penolong itu tidak memperlihatkan dirinya?

Dengan kuatir dan sangsi Pwe-giok selangkah semi selangkah menuruni undak-undakan.

Sekonyong-konyong di belakangnya ada burung bercuit, cepat ia menoleh, maka terlihatlah pula si dia, si nona Kenari.

Dia duduk bersandar di luar lantakan gardu, rambutnya yang indah kemilau tertimpa sinar matahari. Seekor burung hijau kecil hinggap di lengannya yang halus itu, tampaknya seperti benar-benar lagi bicara dengan si nona.

"He, kau." seru Pwe-giok girang. "Meng... mengapa kau tolong juga diriku ke atas?"

Si nona Kenari tertawa manis, ucapnya: "Dia inilah yang minta kutarik kau ke atas."

"Dia?... dia siapa ?" tanya Pwe-giok.

Penjelasan si nona kenari membelai bulu hijau burung kecil itu, ucapnya dengan lembut: "Adik kecil, katamu dia orang baik, kau bilang pula dia tidak punya sayap seperti kau, maka perlu orang lain menariknya ke atas, begitu bukan? Akan tetapi dia tidak berterima kasih padamu."

Burung hijau itu lantas bercuat-ciut, tampaknya sangat gembira.

Termangu-mangu Pwe-giok memandangi nona kenari itu, ia tidak tahu sesungguhnya gadis ini teramat pintar atau seorang gila?

"Apakah kau benar-benar paham bahasa burung ?" tanyanya kemudian saking tak tahan.

Mendadak si nona Kenari berbangkit dan melangkah kesana, tampaknya sangat marah, katanya: "jadi kaupun tidak percaya seperti orang-orang itu." "Aku... aku percaya." kata Pwe-giok. "Tapi cara bagaimana pula kau dapat belajar bahasa burung?"

"Aku tidak perlu belajar," ujar si nona Kenari dengan tertawa manis, "Begitu melihat mereka aku lantas paham dengan sendirinya."

Dalam sekejap itu sorot matanya yang buram dan linglung itu mendadak penuh bercahaya terang, entah sebab apa, Pwe-giok se-akan2 percaya saja kepada keterangannya, tiba2 ia bertanya pula: "Dan gembirakah mereka?"

"Ada yang gembira, ada sebagian tidak, terkadang suka ria, terkadang…" mendadak si nona tertawa dan menyambung pula: "Tapi setidak2nya mereka jauh lebih bergembira daripada manusia yang tolol."

Pwe-giok termangu sejenak, katanya kemudian dengan menyesal: "Memang betul, manusia memang teramat tolol, di dunia mungkin hanya manusia saja yang suka mencari susah sendiri."

Si nona kenari tertawa, katanya: "Asalkan kau tahu saja, maka kau harus...." mendadak burung kecil di tangannya itu bercuit nyaring terus terbang ke udara. Seketika air muka si nona juga berubah.

Tentu saja Pwe-giok merasa heran, tanyanya: "Nona, kau...."

Tiba2 si nona Kenari menggoyangkan tangan memutuskan ucapan Pwe-giok, lalu ia membalik tubuh dan berlari pergi secepat terbang, mirip seekor burung yang terbang terkejut.

Selagi Pwe-giok terbelalak bingung, tiba2 terdengar semacam suara aneh berkumandang dari semak2 pohon sebelah kiri sana, suara orang menggali tanah.

Diam2 ia menunduk ke sana dan mengintipnya, benar juga, dilihatnya seorang pendek kecil sedang berjongkok dan menggali tanah, dia memakai jubah kembang yang longgar, kedua tangannya kecil seperti kanak2, siapa lagi dia kalau bukan si "badut" yang dilihatnya kemarin, Cengcu atau kepala kampung Sat jin ceng ini.

Kucing hitam yang diuber2 kemarin itu kini sudah mati dalam keadaan luluh, sangat mengerikan kematiannya.

Selesai menggali liang, Cengcu kerdil itu memasukkan bangkai kucing itu ke dalam liang, lalu ditimbuni bunga, kemudian diuruk dengan tanah. Terdengar ia bergumam: "Orang bilang kucing mempunyai sembilan nyawa, mengapa kau cuma punya satu nyawa? ....O, kasihan anakku, kau menipu orang2 itu ataukah orang2 itu yang membodohi kau?"

Memandangi perawakan orang yang kerdil itu, memandangi gerak-gerik orang yang serupa anak kecil yang masih polos itu, tanpa terasa Pwe-giok menghela napas,

Cengcu itu terkejut dan melonjak bangun sambil membentak: "Siapa?"

Cepat Pwe-giok melangkah keluar, ucapnya dengan suara halus: "Jangan kau takut, aku tidak bermaksud jahat."

"Kau....kau siapa?" tanya sang Cengcu dengan melotot tegang.

Sedapatnya Pwe-giok bersikap ramah agar orang tidak ketakutan; jawabnya dengan tersenyum "Akupun tamu di sini, namaku Ji Pwe-giok."

Ternyata Pwe-giok merasa urusan apapun tidak perlu mengelabui orang kerdil, sebab ia yakin manusia yang mempunyai kelainan tubuh ini pasti mempunyai sebuah hati yang bajik dan luhur. Contohnya, kalau terhadap seekor kucing saja dia begitu welas-asih, mana mungkin dia mencelakai manusia?

Muka sang Cengcu kerdil yang putih pucat tapi cukup cakap dan seperti wajah anak kecil yang belum akil balig itu akhirnya tampak tenang kembali, dia tertawa, lalu berkata: "Jika kau tamu, aku inilah tuan rumahnya. Namaku Ki Song-hoa,"

"Kutahu," ujar Pwe-giok.

"Kau tahu?" si kerdil Ki Song-hoa menegas dengan mata terbelalak.

"Ya, aku sudah bertemu dengan isteri dan puterimu," tutur Pwe-giok dengan tertawa.

Perlahan2 Ki Song-hoa menunduk, ucapnya dengan tersenyum pedih: "Kebanyakan orang seolah2 harus menemui mereka lebih dahulu baru kemudian bertemu dengan diriku." Mendadak ia pegang tangan Ji Pwe-giok dan berseru: "Tapi jangan kau percaya kepada ocehan mereka. Otak isteriku itu tidak waras, tidak normal, boleh dikatakan gila. Anak perempuanku yang besar itu lebih2 judas, cerewet, tiada orang yang berani merecoki dia, bahkan akupun tidak berani. Meski mereka sangat cantik, tapi hatinya berbisa, lain kali bila kau bertemu lagi dengan mereka, hendaklah kau hindari mereka sejauh2nya."

Sungguh tak pernah terpikir oleh Pwe-giok bahwa si kerdil ini akan bicara demikian mengenai anak dan istrinya, Apakah betul ucapannya? Atau cuma omong kosong belaka? Tapi tampaknya tiada alasan baginya untuk berdusta? Seketika Pwe-giok jadi melenggong dan tidak dapat bicara.

Dengan suara rada gemetar Ki Song-hoa lantas berkata pula: "Apa yang kukatakan ini demi kebaikanmu, kalau tidak, untuk apa aku mesti mencaci-maki sanak keluargaku sendiri?"

Akhirnya Pwe-giok menghela napas panjang dan mengucapkan terima kasih. Sejenak kemudian, karena ingin tahu, ia bertanya pula: "Dan masih ada pula seorang nona yang fasih berbahasa burung ...."

Baru sekarang Ki Song-hoa tertawa, katanya: "Apakah kau maksudkan Leng-yan? Ya, hanya dia saja yang tidak bakalan mencelakai orang, sebab ....sebab dia seorang idiot, miring...."

"Apa? Ia .... idiot?" seru Pwe-giok dengan tercengang.

Pada saat itulah di tengah pepohonan sana tiba2 terdengar gemerisik orang berjalan.

Cepat Ki Song-hoa menarik tangan Pwe-giok dan berkata: "Mungkin mereka yang datang, jangan sampai kau dilihat mereka lagi, kalau tidak, jiwamu pasti sukar diselamatkan. Hayolah lekas ikut pergi bersamaku!"

Segera terbayang oleh Pwe-giok sumur hantu yang seram itu, teringat tangan yang akan mencekik lehernya itu, tiba2 ia merasa alasan pembelaannya bagi Ki hujin sebelum ini hanya sia2 belaka dan tiada gunanya.

Dilihatnya Ki Song-hoa menariknya berputar kian kemari di antara pepohonan dan sampailah di depan sebuah gunung2an, setelah menerobosi gunung2an itu, di situ ada sebuah kamar, ruangan kamar itu penuh berdebu dan gelagasi, kertas bertulis yang menghiasi sekeliling dinding ruangan itupun sama berwarna kuning.

Di tengah ruangan ada kasuran bundar dan sudah tua, ruangan ini sangat sempit, untuk berdiri dua orang saja terasa sesak, namun Ki Song-hoa lantas menghela napas lega, katanya: "Di sinilah tempat yang paling aman, tidak nanti ada orang datang kemari,"

Selama hidup Pwe-giok belum pernah melihat rumah sekecil ini, ia coba bertanya: "Tempat apakah ini?"

"Di sinilah pada masa tua mendiang ayahku suka menyepi dan membaca kitab." tutur Ki Song-hoa. "Sejak berumur 50 beliau lantas berdiam di sini, satu langkahpun tidak pernah keluar hingga 20 tahun lamanya."

"Selama 20 tahun tidak pernah keluar dari tempat ini?....." tukas Pwe-giok dengan terkesima. "Tapi ruangan ini sedemikian sempitnya, berdiri saja tidak dapat tegak, berbaringpun kurang leluasa, mengapa ayahmu suka menyiksa diri cara begini?"

"Soalnya ayahku merasa di waktu mudanya terlalu banyak membunuh, sebab itulah pada masa tuanya beliau berusaha merenungkan segala dosanya. Beliau merasa asalkan berhasil mencapai ketenangan batin, hal penderitaan badan bukan apa2 baginya."

"Beliau, sungguh seorang yang luar biasa," ujar Pwe-giok dengan menghela napas panjang.

Teringat olehnya ucapan Ki hujin yang menyatakan segenap leluhur keluarga Ki adalah orang gila semuanya, diam2 ia tersenyum kecut dan menggeleng.

Ki Song-hoa menepuk tangan Pwe-giok, katanya pula: "Hendaklah kau sembunyi di sini dengan tenang, makan-minum akan ku antarkan ke sini, tapi jangan sekali2 kau lari keluar, di perkampungan ini sudah terlalu banyak banjir darah, sungguh aku tidak ingin menyaksikan darah mengalir lagi."

Memandangi kepergian orang kerdil itu, diam2 Pwe-giok terharu, pikirnya: "Istrinya gila, anak perempuan berotak miring, ia sendiripun bertubuh tidak normal, selamanya menjadi bulan2an orang, hidupnya ini bukankah jauh lebih malang daripada ku? Tapi terhadap orang lain dia masih begitu baik hati, begitu welas asih, jika aku menjadi dia, apakah aku akan berbuat sebaik dia?"

Di lantai penuh debu belaka, Pwe-giok berduduk di kasuran bundar itu. Kamar ini tiada dinding tembok, sekelilingnya ditutup dengan kotakan pintu dan jendela yang terbuat dari kertas. Tempat demikian tentu sangat menyusahkan di musim dingin atau di waktu hujan angin.

Pwe-giok coba mengamat2i sekitar ruangan, ia merasa di lantai yang penuh debu itu ada gambar loreng2, ia robek sepotong lengan bajunya untuk mengusap lantai, maka tertampaklah sebuah gambar Pat-kwa.

Bagi anak murid "Bu-kek-pay", perhitungan Pat-kwa dan pelajaran ilmu alam yang aneh2 sudah tidak asing lagi. Pwe-giok adalah putera tokoh ternama dari Bu-kek-pay, terhadap ilmu pengetahuan begituan boleh dikatakan sangat mahir.

Dengan tekun ia memandangi lukisan Pat-kwa itu, dengan jarinya ia coba menggoresi garis2 gambar itu menuruti lukisannya. Mendadak kasuran yang didudukinya bisa bergeser, lalu tertampaklah sebuah lubang di bawah tanah yang gelap dan sangat dalam.

Pwe-giok jadi tertarik dan melangkah ke bawah. Pada saat itu juga, mendadak berpuluh pedang mengkilap telah menusuk ke tempat duduknya secepat kilat dan tanpa suara.

Tidak kepalang kaget Pwe-giok. Coba kalau dia tidak menemukan lukisan Pat-kwa di lantai dan kalau dia tidak mahir ilmu pengetahuan begitu, jika dia masih tetap berduduk di atas kasur, saat ini tubuhnya tentu sudah berubah menjadi sarang tawon ditembus oleh berpuluh senjata tajam itu.

Sungguh kejadian yang sangat kebetulan dan juga sangat berbahaya. Antara mati dan hidup benar-benar bergantung pada sedetik dua detik saja. Jiwa Pwe-giok boleh dikatakan direnggut kembali dari cengkeraman elmaut. Tapi dalam keadaan demikian sama sekali ia tidak berani memikirkannya, lekas-lekas ia tutup lubang di atas lantai itu dengan kasur tadi.

Pada saat lain lantas terdengar suara orang berseru di luar ruangan sana: "He, mengapa kosong, tidak ada seorangpun!"

Lalu "blang", dinding kertas ruangan itu telah dijebol orang, sekeliling ruangan penuh berdiri anak murid Kun-lun-pay dan Tiam jong pay, semua berseru kaget: "He, mengapa sudah kabur!?"

"Ya, dari mana dia mendapatkan berita akan digerebek?" terdengar Pek-ho Tojin berkata.

"Dia pasti takkan lari jauh, lekas kita kejar!" seru seorang pula.

Lalu terdengar suara kain baju berkibar, beberapa orang telah melayang pergi, hanya sekejap saja keadaan sudah sunyi kembali.

Sampai lama Pwe giok menunggu di bawah baru berani menggeser lagi kasuran itu sedikit, dilihatnya benar-benar tiada orang lagi barulah dia berani merayap naik ke atas.

Ada suara gemericiknya air di luar serta gemerisiknya daun kering tertiup angin, mungkin suara berisik inilah yang menutupi suara kedatangan orang-orang tadi sehingga sebelumnya Pwe-giok tidak tahu sama sekali.

Tapi mengapa mereka dapat mencari ke tempat ini? Darimana mereka mendapat tahu Pwe-giok berada di sini?

Betapapun hati Pwe-giok menjadi kebat-kebit, ia merasa di tengah "Sat jin-ceng" ini di mana-mana penuh orang gila, hakekatnya tiada seorangpun yang dapat dipercaya.

Lalu, dalam keadaan demikian, ke mana pula dia harus pergi?

Kini rambutnya sudah kusut masai, matanya penuh garis-garis merah, pemuda yang tadinya cakap dan lembut kini telah berubah seperti seekor binatang buas, seekor binatang yang terluka. Ia tidak memiliki keyakinan akan sanggup bertempur dengan orang, hakekatnya ia tidak punya tenaga untuk bertempur lagi.

Sekonyong-konyong terdengar seorang memanggil dengan suara tertahan: "Yap-kongcu ... Yap Giok-pwe ... . "

Semula Pwe giok melengak, tapi segera ia menyadari yang dipanggil itu ialah dirinya. Meski dia tidak kenal suara siapakah itu, tapi orang yang dapat memanggil nama samarannya ini kecuali ibu dan anak itu jelas tiada orang lain lagi.

Tanpa pikir ia terus menerobos masuk pula ke dalam liang di bawah tanah serta menutup lubang itu dengan kasuran tadi. Keadaan di dalam liang itu gelap gulita, jari sendiri saja tidak kelihatan.

Ia merasa liang di bawah tanah ini sangat besar, tapi iapun tak berani sembarangan bergerak, ia cuma berdiri bersandar saja di situ. Sampai lama sekali, lamat-lamat ia tertidur akhirnya.

Sekonyong-konyong cahaya terang menyorot ke bawah, kasuran itu telah digeser orang.

Dengan terkejut Pwe-giok menoleh, segera dilihatnya wajah yang pucat dan bajik itu, wajah itu kelihatan terkejut dan juga bergirang, terdengar ia berseru lega: "O, syukur alhamdulillah kau ternyata masih berada di sini."

Sebaliknya Pwe-giok tidak mengunjuk rasa girang sedikitpun, ia menjengek: "Hm, akan kau bikin susah lagi padaku?"

Mendadak Ki Song-hoa memukul dadanya sendiri dan berkata: "Ai, semuanya gara-garaku. Waktu itu kubawa kau ke sini telah dilihat oleh isteriku, mungkin dia yang memberi tahukan kepada pengganas-pengganas Kun-lun-pay dan Tiam-jong-pay itu."

"Hm, masakah kau kira aku percaya lagi padamu?" jengek Pwe-giok.

"Jika kukhianati kau, saat ini mengapa tidak kubawa mereka ke sini?"

Baru sekarang Pwe-giok percaya penuh, ia melompat ke atas, katanya dengan menyesal: "Ai, rupanya aku telah salah sangka padamu."

Ki Song-hoa mendepak kasuran itu ke tempat semula, ditariknya Pwe-giok dan berkata: "Sekarang bukan waktunya minta maaf segala. Hayolah, lekas pergi!"

"Hah, mau ke mana?!" mendadak seorang mendengus sambil tertawa latah.

Sungguh tidak kepalang kaget Pwe-giok Belum lagi dia bertindak apa-apa, tahu-tahu sinar pedang sudah menyambar tiba: "Sret-sret-sret", tiga pedang menusuk sekaligus.

"Hei, hei, berhenti" Ki Song hoa berteriak-teriak. "Kalian tidak boleh....."

Tapi pedang yang sambar menyambar itu tidak menghiraukan seruannya, tubuh Pwe giok sudah tersayat dua baris luka, anak murid Kun- lun dan Tiam-Jong telah mengepungnya dengan rapat. Dengan mati-matian Pwe-giok berusaha membobol kepungan tapi dalam sekejap saja ia sudah mandi darah.

"Jangan dibunuh, akan kutanyai dia!" terdengar Pek-ho Tojin berseru dengan suara bengis.

Pwe-giok menghindarkan tabasan dua pedang, habis itu mendadak ia menghantam ke depan ke arah Pek-ho Tojin. "Blang", Pek-ho Tojin sempat mengegos, sebaliknya tiang rumah kecil itu telah tergetar patah oleh pukulan Pwe-giok yang dahsyat ini, rumah kecil itu runtuh dan ambruk, tanpa pikir Pwe-giok mengangkat sepotong tiang kayu, tiang itu terus diputarnya dengan kalap.

Di tengah jeritan kaget, seorang murid Tiam-jong pay tersabet tiang itu hingga tulang dada remuk, pedang dua kawannya juga terlepas dari pegangan.

"Keparat ini sudah nekat, dibunuhpun tak menjadi soal lagi!" bentak Pek-ho Tojin.

Sekali berputar, Pwe giok mengayun tiang kayu yang bulatan tengahnya sebesar mangkuk itu seperti kitiran, tubuh manusia yang terdiri dari darah-daging mana mampu menahan hantaman yang begini dahsyat?

Ki Song hoa berdiri jauh di samping sana, tampaknya iapun terkesima dan bergumam sendiri: "Besar amat tenaganya, sungguh hebat tenaganya. . . ."

Pwe-giok benar-benar sudah kalap, tiada sesuatu yang dilihat dan tiada sesuatu yang didengarnya lagi, ia masih terus memutar tiangnya seperti orang gila. Mendadak putarannya mengendor, tiang yang beratnya ratusan kati itu dengan tenaga maha dahsyat mendadak dilepaskan sehingga meluncur ke depan, seorang Tojin Kun-lun pay tepat menjadi sasaran utama, tiang itu menembus perutnya. Terdengarlah jeritan ngeri memanjang menggema angkasa disertai muncratnya darah.

Tentu saja orang lain sama pecah nyalinya dan cepat menyingkir ke samping. Kesempatan itu tidak disia-siakan Pwe-giok, ia terus menerjang keluar. Hakekatnya ia tidak membedakan arah dan tidak melihat jalan lagi, ia hanya berlari dan berlari terus seperti orang kesetanan, ia menerobos pepohonan dan menyusup ke semak-semak. Tubuhnya sudah penuh dicocok duri tetumbuhan, tapi suara bentakan orang mengejar lambat laun juga menjauh, tiba-tiba di depannya muncul pula rumah aneh warna kelabu itu.

Rumah setan itu atau makam, bukankah di situ tempat sembunyi yang paling bagus?

Tanpa pikir Pwe-giok terus menerjang ke sana. Tapi mendadak sinar pedang berkelebat, seorang telah merintangi jalannya.

"Berani kau masuk ke rumah ini, segera kucabut nyawamu!" demikian suara seorang perempuan membentak dengan bengis.

Jalan Pwe-giok sudah sempoyongan, yang dapat dilihatnya hanya bayangan seorang secara samar-samar, seperti berambut panjang, berjubah putih, bermata jeli.

Akhirnya Pwe giok dapat mengenalinya, ialah anak perempuan sulung Ki Song hoa, si elang padang pasir yang galak itu.

Dengan tersenyum pedih Pwe-giok berkata: "Bagus sekali jika dapat mati di tanganmu, sedikitnya kau bukan orang gila . ..." dia sudah kehabisan tenaga, belum habis ucapannya iapun jatuh pingsan.

oOo - 0O0- 0O0

Waktu siuman kembali, Pwe-giok merasa berada di dalam sebuah kamar gelap, tapi segera ia mengenali tempat ini adalah kamar tidur Ki-hujin.

Tapi segera iapun mengetahui dirinya tidak siuman sendiri, tapi ada orang yang membuatnya siuman. Sekarang meski di dalam rumah tiada orang, tapi daun pintu yang berat itu berbunyi berkeriut didorong orang hingga terbuka.

Lalu sesosok tubuh kerdil melongok ke dalam, siapa lagi kalau bukan Ki Song-hoa, si Cengcu Sat-jin-ceng yang tidak diketahui bajik atau jahat itu.

Gemetar juga tubuh Pwe giok, katanya: "Selamanya kita tiada permusuhan, mengapa kau berkeras akan mencelakai diriku?"

Ki Song-hoa mendekati pembaringan Pwe-Giok, ucapnya dengan menunduk dan menyesal; "Maaf, mestinya ingin ku tolong kau, siapa tahu malah bikin susah padamu .... Sungguh aku tidak tahu bahwa orang-orang itu selalu membuntuti diriku."

"Jika begitu, sekarang juga lekas kau keluar," kata Pwe-giok.

"Tidak, tidak boleh kutinggalkan kau kepada mereka," kata Ki Song-hoa.

"Tapi merekalah yang menyelamatkan diriku, aku takkan pergi," ucap Pwe-giok dengan tersenyum pedih.

"Anak muda, kau tidak tahu," kata Ki Song-hoa dengan menghela napas panjang. "Mereka menolong kau adalah karena ingin menyiksa kau secara perlahan-lahan agar kau mati di tangan mereka."

Pwe-giok merinding, tanyanya: "Sebab.... sebab apa mereka berbuat demikian?"

"Kau benar-benar tidak tahu?"

"Sungguh aku tidak mengerti."

"Istriku itu paling benci kepada orang she Ji. Memangnya kau kira dia tidak tahu kau ini she Ji?"

"O.... aku sampai lupa...." seru Pwe-giok. Sampai di sini, ia tidak sangsi lagi, segera ia meronta turun.

Tapi mendadak seorang masuk lagi, orang ini berjubah putih dan berambut panjang, siapa lagi kalau bukan si nona Elang. Dia menyelinap masuk tanpa suara dan melototi Ki Song-hoa dengan dingin, sama sekali tiada perasaan kasih sayang antara ayah dan anak sebagaimana umumnya, sebaliknya malahan kelihatan sikapnya yang benci dan kasar, bahkan lantas membentak: "Keluar!"

Keruan Ki Song-hoa berjingkrak, teriaknya: "Ki Leng-hong, jangan lupa, aku ini bapakmu. Terhadap ayahmu kaupun bicara sekasar ini?"

Dia berjingkrak dan marah-marah seolah-olah mendadak berubah menjadi gila, wajahnya yang kekanak-kanakan itupun berubah menjadi beringas menakutkan.

Pwe-giok terkesima oleh perubahan luar biasa ini, tapi si nona Elang atau Ki Leng-hong itu masih tetap berdiri tegak, sama sekali tidak takut, sebaliknya makin dingin sorot matanya, katanya pula sekata demi sekata: "Kau keluar tidak?"

Ki Song-hoa mengepal tinjunya dan mendelik, saking gregetan seakan-akan ingin mencaplok mentah-mentah si nona. Namun Ki Leng-hong itu masih tetap memelototinya dengan sikap dingin.

Sungguh aneh, ayah dan anak ini seperti ada permusuhan yang mendalam, mereka saling melotot dan entah sudah berapa lamanya, akhirnya Ki Song-hoa menghela napas panjang, ia menjadi lemas, lalu berkata sambil terkekeh-kekeh: "Anakku sayang, jangan kau marah, jika kesehatanmu terganggu, kan ayah juga yang susah. Kau suruh aku keluar, baiklah segera aku akan keluar"

Dia berjalan keluar pintu sambil bergumam: "Bagaimana jadinya dunia ini. Ayah takut pada anaknya"

Pwe-giok juga tidak menyangka sang Cengcu bisa diusir pergi oleh anak perempuannya sendiri, ia terkejut dan heran, segera ia merangkak bangun.

"Untuk apa kau bangun? Rebah kembali di tempatmu!" jengek Ki Leng-hong.

"Cayhe merasa tidak.... tidak pantas mengganggu di sini dan ingin mohon diri saja," kata Pwe-giok.

"Setelah kau dengar ocehan si kerdil itu dan kau percaya aku ingin mencelakai kau?" jengek Ki Leng-hong.

"Betapapun dia.... dia kan ayahmu?" ujar Pwe-giok.

"Tidak, dia bukan ayahku, bukan, bukan!" teriak Ki Leng-hong dengan histeris sambil meremas-remas baju sendiri, air mukanya berkerut-kerut dan beringas seperti Ki Song-hoa tadi.

Pwe giok memandangnya dengan terkejut dan tidak tahu harus berkata apa. Selang beberapa saat Ki Leng-hong menjadi tenang dan kembali ke pembawaannya semula yang dingin. Dia lalu bertanya: "Apakah kau pikir dia benar-benar orang baik?"

Ji pwe-giok tidak menjawab karena dia memang tidak yakin apakah sesungguhnya Ki Song-hoa itu baik atau tidak.

Ki Leng-hong tertawa, katanya: "Sungguh aneh, banyak juga orang yang mau tertipu dan dibohongi olehnya, sampai terbunuh juga masih belum tahu, bahkan tetap menyangka dia adalah orang baik."

"Aku kan tiada permusuhan apapun dengan dia, untuk apa dia mencelakai diriku?" kata Pwe-giok.

"Tiada permusuhan?" jengek Ki Leng-hong. "Apakah kau tahu mengapa tempat ini diliputi suasana bunuh membunuh? Tahukah kau sebab apa nyawa hampir tiada harganya di sini?"

"Aku....aku tidak tahu," jawab Pwe-giok.

Jari tangan Ki Leng-hong yang putih lentik itu kembali berkejang, serunya dengan parau: "Sebabnya karena dia suka membunuh orang, suka kepada kematian, dia suka menyaksikan jiwa seseorang tamat di tangannya, semakin mengerikan kematian orang lain, semakin gembira dia."

Pwe-giok melenggong dan tak dapat bicara, berdiri bulu romanya.

Sungguh luar biasa. Di antara keluarga ini, antara suami dan istri, antara ayah dan anak, seakan-akan penuh dendam dan benci, masing-masing saling mencaci maki dan mengutuki. Pwe giok jadi bingung harus percaya kepada keterangan siapa?

Dengan sendirinya Ki Leng-hong dapat melihat sikap Pwe-giok yang ragu itu, katanya pula dengan dingin: "Terserah kepadamu mau percaya tidak kepada ucapanku, percaya dan tidak juga tiada sangkut-pautnya denganku."

"Bu.....bukannya aku tidak percaya," kata Pwe-giok dengan tergagap. "Aku cuma merasa, jika seorang terhadap seekor hewan saja begitu welas-asih, masakah mungkin terhadap manusia malahan bertindak kejam?"

"Kau bilang dia welas-asih terhadap hewan?" tanya Ki Leng hong sambil berkerut kening.

"Kulihat sendiri dia mengubur bangkai kucing dengan baik-baik, tatkala mana dia tidak tahu aku berada di dekatnya, jelas dia tidak sengaja berbuat begitu agar dilihat olehku," tutur Pwe-giok.

"Hm," jengek Ki Leng-hong dengan tersenyum aneh. "Dan tahukah kau siapa yang membunuh kucing itu?"

"Memangnya siapa?" tanya Pwe-giok.

"Dia sendiri," jawab Ki Leng-hong.

"Dia sendiri!?" tukas Pwe-giok, tanpa terasa ia merinding pula.

"Umpama bunga sedang mekar dengan semaraknya, iapun akan memetiknya untuk dihancurkan lalu ditanamnya dengan baik-baik," jengek Ki Leng-hong pula: "Pendeknya baik bunga maupun kucing atau manusia sekalipun, asalkan melihat kehidupan yang baik, maka dia menjadi sirik dan tidak tahan, tapi kalau kehidupan itu sudah mati, dia lantas tidak dendam lagi. Asalkan mati barulah dapat memperoleh welas-asihnya. Jika kau mati, ia pun akan mengubur kau dengan sebaik-baiknya."

Tanpa terasa Pwe-giok merinding pula dan tidak sanggup bicara lagi.

"Di bawah tanah seluruh halaman perkampungan ini hampir penuh dengan mayat yang dibunuh dan dikubur olehnya sendiri," tutur Ki Leng-hong pula. "Jika kau tidak percaya, boleh coba kau menggalinya pada sembarang tempat dan kau akan melihat buktinya."

Pwe-giok jadi mual, dengan suara parau ia berkata: "Aku.....aku ingin pergi saja, makin jauh makin baik."

"Tapi sayang, biarpun ingin pergi juga tidak dapat pergi lagi sekarang." jengek Ki Leng-hong.

Baru saja Pwe-giok berbangkit, demi mendengar ucapan itu, "bluk", ia duduk kembali di tempat tidurnya.

"Jika kau ingin hidup lebih lama, kau harus turut kepada perkataanku, kalau tidak, boleh kau pergi saja dan takkan kurintangi!" habis berkata Ki Leng-hong benar-benar menyingkir ke samping dan daun pintu masih terpentang.

Tapi Pwe-giok menjadi bingung, ia pandang pintu yang terbuka itu, ia tidak tahu apakah harus lekas pergi atau lebih baik tetap tinggal di sini saja.

Ki Leng-hong memandang dengan dingin, katanya kemudian: "Tidak perlu kau kuatir akan kedatangan orang di sini. Betapapun besar nyali Ki Song hoa juga takkan berani membawa orang ke sini. Aku mempunyai cara untuk mengatasi dia, aku pun mempunyai akal untuk melindungi kau." Akhirnya Pwe giok berbangkit, tanyanya: "Kau akan melindungi diriku?"

"Ya, tidak perlu kau kuatir, selama aku berada di sini, tidak nanti kau mati!" ucap Ki Leng-hong.

"Betul juga, dalam keadaan demikian, memang betul hanya di sinilah tempat yang paling aman. Tapi ada sementara orang yang lebih suka menyerempet bahaya daripada minta perlindungan orang. "Tapi kau jelas bukan orang macam begitu!" "Masa aku bukan?" ucap Pwe giok dengan suara hambar, ia menarik napas panjang-panjang, lalu melangkah keluar.

Betapapun duka dan dongkol perasaannya, cara bicara Pwe-giok tetap halus dan sopan, selamanya ia tidak suka bersikap kasar terhadap siapa pun. Tapi kalau orang lain menganggap dia lemah dan penakut, maka salahlah dugaan demikian.

Agaknya Ki Leng-hong melengak juga melihat sikap tegas Pwe giok itu, serunya: "He, kau benar-benar ingin mengantar nyawa?"

Tanpa menoleh dan tanpa menjawab Pwe-giok melangkah keluar.

"He, sudah buntu jalanmu, mengapa kau masih tetap keras kepala?!" seru Leng-hong pula.

Baru sekarang Pwe-giok berpaling, katanya dengan tenang: "Terima kasih atas perhatianmu, aku mempunyai tempat tujuan sendiri."

"Baiklah, pergilah kau," dengus Ki Leng-hong.

"Kau akan mati atau tetap hidup kan tiada sangkut-pautnya denganku."

Walaupun begitu ucapannya, tapi sudah jauh Pwe-giok melangkah pergi dia toh masih tetap memandangnya dengan termangu-mangu.

0O0 )(o){ 0O0 )(o)(

Pingsan Ji Pwe giok tadi agaknya sampai setengah harian lamanya, sekarang sudah dekat magrib lagi.

Setiap kali Pwe-giok kehabisan tenaga dan pingsan, ia selalu mengira pasti tak tahan hidup lagi.

Tapi aneh, setelah siuman, tenaga baru lantas timbul pula. Hal ini bukanlah disebabkan karena pembawaannya yang kuat, sudah tentu lantaran khasiat siau hoan-tan pemberian Thian-kang Totiang tempo hari.

Sekarang dia berada di tengah taman yang luas itu, cuaca sudah mulai remang-remang lagi, ia menyusuri pepohonan dengan setengah berjongkok, agaknya orang-orang yang mencarinya juga tidak menyangka dia berani berkeliaran di situ, makanya tiada orang berjaga dan mengawasi di taman itu. Apalagi di taman yang luas dengan pepohonan yang lebat ini pun tidak sukar baginya untuk menghindarkan pengawasan orang.

Akan tetapi ia pun jangan harap akan dapat menerobos keluar. Di balik pepohonan sana, di sekeliling taman itu jelas ada bayangan orang, tampaknya di bawah setiap pohon dan di setiap sudut yang gelap selalu ada bahaya yang sedang mengintai.

Pwe-giok terus menyelinap kian kemari, tujuannya hendak menemukan kembali rumah kecil yang bobrok itu, sebab pada saat demikian ia merasa perkampungan "Sat jin-ceng" ini hanya kakek Ko saja satu-satunya orang yang dapat diandalkan.

Tapi di tengah taman yang rindang dan gelap ini sukar baginya untuk membedakan arah. Dia telah berputar kian kemari, mendadak ia menemukan dirinya berada pula di depan rumah kertas yang terletak di tengah gunung-gunungan palsu dengan suara gemericiknya air itu. Meski mayat yang bergelimpangan di situ sudah diangkut pergi, tapi bekasnya masih kelihatan, pertarungan sengit yang mendebarkan itu seolah-olah terbayang pula di depan matanya.

Cepat Pwe-giok membalik tubuh dan melangkah pergi tapi baru dua-tiga tindak, mendadak ia berhenti.

Jika Ki Song-hoa telah menemukan dia di dalam liang rahasia di bawah rumah kertas ini, maka siapapun pasti tidak menyangka dia akan kembali lagi ke situ. Jika demikian, bukankah di sinilah tempat sembunyi yang paling aman?

Sesungguhnya Pwe-giok memang tiada jalan keluar lain, teringat demikian, ia tidak ragu lagi, segera ia putar balik dan melompat masuk ke rumah berdinding kertas itu, kasuran itu digeser, ia terus melompat ke dalam lubang.

Liang di bawah tanah itu tetap gelap gulita, Pwe-giok bersandar pada dinding batu yang dingin dengan napas terengah-engah. Mungkinkah tersembunyi apa-apa di liang bawah tanah yang gelap gulita ini?

Setelah napasnya tenang kembali, tanda tanya tadi semakin membuatnya ngeri. Tanpa terasa ia mulai merayap ke depan.

Sekonyong-konyong tangannya menyentuh sesuatu, jelas tubuh seseorang.

Sungguh kagetnya tidak kepalang, di liang bawah tanah yang gelap ini ternyata ada orang sedang menantikan kedatangannya.

Dalam kegelapan, ia merasa orang ini berduduk di situ dan memakai baju kain belacu.

"Siapa.....siapa kau?" tanya Pwe-giok dengan suara gemetar, jantungnya serasa mau berhenti berdenyut.

Tapi orang itu tidak bergerak sama sekali, juga tidak menjawab.

Keringat berketes-ketes di dahi Pwe-giok, dengan menempel dinding ia coba menggeser pelahan ke samping, ucapnya pula dengan suara parau: "Sesungguhnya siapa kau? Apa kehendakmu bersembunyi di sini?"

Dalam kegelapan tetap tiada sesuatu suara, keheningan yang mencekam dan menyeramkan.

Tangan Pwe-giok yang merabai dinding sudah penuh keringat dingin, kakinya bergeser sedikit demi sedikit, kakinya terasa sangat berat, seperti diganduli benda beribu kati.

Mendadak jarinya menyentuh sesuatu benda dingin, ia coba merabanya, kiranya sebuah lentera tembaga.

Dinding di situ mendekuk, maka lentera itu terselip di dekukan itu. Di samping lentera ada dua potong batu api, cepat Pwe-giok meraup batu api itu. Diketahuinya minyak pada lentera itu belum lagi kering, ia ingin mengetik api, tapi tangan terasa gemetar sehingga selalu gagal membuat api. Pwe-giok menarik napas panjang, katanya kemudian: "Sekarang aku sudah memegang batu api biarpun kau tidak bersuara, asalkan api sudah menyala, segera akan diketahui siapa kau, mengapa sampai sekarang kau tidak bicara?"

Dengan sendirinya perkataan Pwe giok itu tiada gunanya, paling-paling anak muda itu hanya menggunakan ucapannya itu untuk menambah keberaniannya. Dan setelah omong begitu, dia benar-benar bisa lebih tenang. "Cret", akhirnya api dapat dinyalakan untuk menyulut sumbu lentera.

Di bawah kerlipan cahaya api, dapatlah dilihatnya seorang kakek pendek kecil berduduk bersimpuh di situ dengan mata terpejam, rambut dan jenggotnya sudah putih semua, bajunya warna kuning muda dari kain belacu, air mukanya kurus kering dan pucat, tampangnya agak mirip Ki Song-hoa, cuma terlebih seram.

Dingin tangan dan kaki Pwe-giok, tanyanya dengan suara terputus-putus: "Apakah..... .....apakah kau ini ayah Ki Song-hoa? Masa........ masa kau belum mati?"

Dari ujung kaki hingga kepala orang tua itu sama sekali tidak bergerak, bahkan rambut dan jenggotnya juga tidak bergoyang sedikitpun, di bawah kerlipan cahaya lampu tampaknya menjadi sangat seram dan misterius.

Pwe-giok menggreget dengan nekat ia mendekatinya. Sesudah dekat baru dilihatnya jenggot dan rambut orang tua itu ada sesuatu yang tidak betul. Ia coba merabanya, benar juga, memang terbuat dari malam. Jadi kakek ini tidak lebih hanya sebuah patung malam atau lilin.

Pwe giok jadi menyengir sendiri, tapi setelah dipikir lagi, ia menjadi ragu-ragu pula. Ia pikir patung ini pasti patung ayah Ki Song hoa, mengapa disembunyikan di liang rahasia ini?

Ia coba mencari lagi ke depan, kecuali patung lilin ini ditemukan lagi sebuah ranjang kecil, di samping ranjang ada sebuah almari kecil, di atas almari berserakan teko, cangkir, buku dengan debu tebal.

Meski benda-benda ini cuma alat-alat keperluan sehari-hari tapi ditemukan di liang rahasia yang tak berpenghuni, betapapun menimbulkan rasa misterius yang sukar dijelaskan.

Dengan heran dan sangsi Pwe-giok coba merenungkan hal ini, akhirnya ia paham duduknya perkara: "Bisa jadi ayah Ki Song-hoa itu dipaksa orang atau demi mempertahankan nama baiknya maka dia sengaja pura-pura ingin merenungkan kesalahan yang pernah diperbuatnya, katanya ingin membaca kitab untuk merenungkan dosa, yang benar dia tidur saja di bawah sini. Tapi demi mengelabui mata telinga orang, dia sengaja membuat patung lilin ini. Di hari-hari biasa dia menaruh patung lilin ini di kamar berdinding kertas itu, karena orang lain toh tak berani mengganggu nya, kalau dipandang dari jauh dengan sendirinya menyangka ia yang berduduk di kamar ini."

Analisa ini sangat masuk diakal, Pwe-giok sendiri merasa puas dengan hasil pemikirannya ini. Tapi ia lantas menghela napas menyesal pula, sungguh tak terpikir olehnya bahwa ada sementara orang yang tampaknya sangat suci, kenyataannya justeru kebalikannya, rendah dan kotor perbuatannya.

Ia taruh lentera itu di atas almari, lalu coba membalik-balik kitab yang terletak di situ. Kitab-kitab itu ternyata buku bacaan umum dan bukan sebangsa kitab pusaka pelajaran ilmu silat segala.

Pwe-giok rada kecewa.

Mendadak dilihatnya ada satu jilid buku, di dalamnya terselip beberapa carik kertas yang bertuliskan kata-kata indah dan sajak asmara. Tampaknya tulisan perempuan.

Pwe-giok menang serba bisa, baik ilmu silat maupun sastra, sekali pandang saja ia lantas paham arti yang terkandung dalam sajak itu, yaitu sajak rindu seorang perempuan terhadap kekasihnya.

Padahal patung lilin itu berperawakan kerdil sama seperti Ki Song hoa, mukanya juga lucu, masa orang macam begini juga bisa main roman, apakah mungkin ada perempuan yang jatuh cinta terhadap lelaki demikian?

Pwe giok tersenyum sambil menggeleng, ditaruhnya buku itu. Mendadak dilihatnya pula di bawah tempat tidur itu menongol ujung sebuah kantong kain bersulam, ia coba mengambilnya. Dari dalam kantung sulaman itu mendadak jatuh sepotong batu Giok yang berukir halus. Satu sisi batu kemala itu terukir gambar Bu-kek-to dan sisi lain cuma terukir satu huruf, yaitu "Ji".

Batu kemala ini ternyata benda pusaka milik keluarga Ji Pwe-giok.

Sungguh luar biasa dan sukar dimengerti bahwa benda mestika keluarga Ji bisa ditemukan di tempat ini, sungguh suatu hal yang sukar dibayangkan.

Sampai lama Pwe-giok termangu-mangu, dilihatnya pula kantung kain itu bersulamkan potret seorang perempuan, matanya jeli, wajahnya sangat cantik, jelas potret Ki-hujin.

Di samping potret sulaman itu terdapat pula dua baris huruf yang berbunyi: "Semoga senantiasa berdampingan dengan anda, mohon janganlah ditinggalkan."

Lalu di sisi bawah tersulam pula nama yang menyulam tulisan itu: "Bi-nio".

Dengan sendirinya Bi nio ini adalah nama Ki-hujin. Meski sulaman berbeda dengan tulisan tangan, tapi gaya tulisannya jelas serupa dengan sajak tadi.

Pwe-giok dapat membayangkan betapa hampa perasaan Ki-hujin setelah bersuamikan lelaki kerdil macam Ki Song hoa, sebab itulah ia jatuh cinta pula kepada orang lain. Dan kekasihnya itu ternyata anggota keluarga Ji.

Selagi Pwe-giok termenung-menung suara Ki-hujin seolah-olah mengiang pula ditepi telinganya: "Dahulu ada seorang she Ji telah membunuh seorang yang sangat dekat denganku, karena itu dalam perasaanku setiap orang she Ji pasti bukan orang baik-baik."

Kalau dipikir sekarang, sebabnya Ki-hujin benci kepada orang she Ji tentunya bukan lantaran orang she Ji itu membunuh orang yang paling rapat dengan Ki-hujin, tapi disebabkan orang she Ji itu telah melukai hatinya.

Tentunya orang she Ji itupun terancam bahaya serupa Pwe-giok sekarang, lalu Ki-hujin menyembunyikannya di gua rahasia ini. Tatkala mana ayah Ki song-hoa dengan sendirinya sudah lama meninggal, tapi pada masa hidupnya mungkin tak terpikir olehnya bahwa gua rahasianya yang digunakan menipu orang kemudian dapat digunakan anak menantunya untuk menyembunyikan kekasih gelap.

Bisa jadi Ki-hujin sudah lama kenal orang she Ji itu, mungkin cintanya baru timbul ketika melihat orang she Ji itu berada dalam bahaya. Pendek kata, orang she Ji itu jelas tidak setia pada hubungan cinta mereka dan akhirnya telah meninggalkan Ki-hujin.

Setelah orang she Ji itu pergi, hidup Ki-hujin lantas merana dan kehilangan gairah, terpaksa ia mencari hiburan di alam mimpi, makanya setiap hari Ki-hujin selalu berkeliaran kian kemari seperti orang linglung, seperti arwah halus.

Memandangi Ki-hujin yang cantik pada gambar yang tersulam di kantung itu, kemudian ia membayangkan pula Ki-hujin yang linglung itu, diam-diam Pwe-giok menghela napas menyesal. Tapi iapun tidak dapat menerka sesungguhnya siapakah gerangan orang she Ji itu. Kalau dihitung usianya orang itu tentunya kerabatnya dari angkatan yang lebih tua, tapi jelas pasti bukan ayahnya.

Kisah cinta yang menyedihkan dan juga misterius ini, kecuali Ki-hujin dan si "dia" sendiri, mungkin tiada orang lain lagi yang tahu seluk beluknya.

Pwe-giok menghela napas panjang dan bergumam: "Agaknya orang itu akhirnya ingkar janji dan meninggalkan Ki-hujin, ia telah pergi dari sini... Tapi melalui mana dia pergi? Jangan-jangan di lorong bawah tanah ini masih ada jalan tembus lain?"

Berpikir demikian, semangat Pwe-giok terbangkit lagi, segera ia kesampingkan urusan lain, diangkatnya lentera tadi dan menyusuri lorong yang gelap itu.

Lorong di bawah tanah itu sempit lagi berliku-liku dan sangat panjang.

"Hampir di bawah setiap jengkal tanah pekarangan ini terdapat mayat korban yang dibunuh dan dikuburnya sendiri... " teringat kepada keterangan Ki Leng-hong ini, tanpa merasa Pwe-giok berkeringat dingin pula.

Namun di lorong bawah tanah ini tiada terdapat sesuatu mayatpun, akhirnya Pwe-giok dapat mencapai ujungnya, Setelah diraba dan dicari sekian lamanya, akhirnya ditemukan tempat yang merupakan kunci pintu lorong itu. Sebuah papan batu pelahan lahan bergeser.

Dari luar segera menyorot masuk cahaya terang. Girang sekali Pwe-giok, lentera itu ditinggalkan dan segera ia menerobos keluar... sekonyong-konyong sebuah tangan merangkul lehernya dengan erat. Tangan itu sedingin es.

"Akhirnya kau kembali juga, memang ku tahu kau pasti akan kembali lagi!" demikian suara seorang berkata sambil tertawa terkikik-kikik.

Tidak kepalang kaget Pwe-giok, cepat ia menengadah, dilihatnya orang yang merangkulnya itu ialah Ki-hujin, jalan tembus ini ternyata berada didalam kamar tidur Ki-hujin.

Ki-hujin terus menubruk ke dalam pelukan Pwe-giok dengan air mata bercucuran katanya dengan suara gemetar: "O. betapa kejam kau, kau pergi tanpa pamit, sudah sekian lama siang dan malam kurindukan kau, saking gemas ingin kubunuh kau... Tapi sekarang kau sudah kembali lagi, rasanya aku dapat juga memaafkan kau."

Ternyata secara kebetulan Pwe-giok telah memasuki lagi kamar tidur Ki-hujin, malahan disangkanya sebagai kekasih sang nyonya rumah yang ingkar janji, keruan ia menjadi serba susah. Katanya dengan menghela napas: "Ki-hujin, kau salah mengenali orang, aku bukan orang yang kau rindukan itu, harap lepaskan diriku."

Tapi makin erat Ki-hujin merangkulnya, ya menangis ya tertawa, katanya: "Sungguh kejam kau, sampai sekarang kau masih ingin menipu diriku. Tapi aku tak dapat kau tipu lagi, takkan kulepaskan kau lagi, selamanya takkan kubebaskan kau."

Tentu saja Pwe-giok kelabakan, mendadak dilihatnya Ki Leng-hong juga berdiri disamping sana dengan girang ia lantas berseru "He, nona Ki, tentunya kau tahu siapa diriku ini."

Ki Leng-hong memandangnya dengan dingin, mendadak ia berkata dengan tertawa: "Sudah tentu ku tahu siapa kau, kau adalah orang yang senantiasa dirindukan ibuku."

"He, ken .... kenapa kaupun sengaja membikin susah padaku?" seru Pwe-giok.

"Kau telah membikin ibu menderita sekian tahun, sekarang sudah waktunya kau menggirangkan hati ibu," ucap Ki Leng-hong dengan tersenyum hambar.

Tidak kepalang kejut dan kuatir Pwe-giok, keringat dingin membasahi bajunya, ia ingin meronta namun rangkulan Ki-hujin teramat erat dan sukar melepaskan diri.

Dengan tertawa linglung Ki-hujin mendorong Pwe-giok berduduk di atas tempat tidur, dipegangnya tangan anak muda itu, katanya dengan mesra: "O, tahukah kau betapa kurindukan kau? Apakah kau baik-baik saja selama ini?"

"Aku .... aku tidak .... bukan .... " Pwe giok gelagapan.

Tapi sebelum lanjut ucapannya, Ki-hujin lantas berkata pula; "Ku tahu kau pasti sangat lelah dan tidak ingin bicara. Tapi kita dapat bertemu pula setelah berpisah sekian lama, sungguh hatiku girang tak terperikan .... He, Leng-hong, Kenapa tidak lekas kau ambilkan arak yang telah kusiapkan baginya, rayakanlah pertemuan kembali kami ini."

Ki Leng-hong benar-benar melangkah keluar untuk kemudian datang lagi dengan membawa sebuah poci arak yang berbentuk aneh dengan dua cawan batu kemala.

Setelah menuang secawan penuh dan disodorkan kepada Pwe-giok, dengan tertawa genit Ki-hujin berkata: "Sudah lama sekali tidak pernah ku bergembira seperti ini, secawan arak ini harus kau minum."

Pwe-giok tahu dalam keadaan demikian. biarpun dirinya putar lidah untuk menjelaskan juga tiada gunanya, terpaksa ia mengikuti perkembangan selanjutnya, dengan menghela napas iapun terima arak itu dan diminum habis.

"Nah, memang harus begitu," kata Ki-hujin pula dengan lembut. "Ingatkah kau, waktu minum arak bersama dahulu pernah kau katakan padaku bahwa selamanya kau takkan meninggalkan diriku, apakah masih ingat?"

Pwe-giok menjawab dengan menyengir: "Aku.. .. ..aku ....."

Dengan gaya menggiurkan Ki-hujin berbangkit katanya pula sambil menatap Pwe-giok: "Meski dahulu kau telah berdusta padaku, tapi setelah kau minum arak ini, selanjutnya kau takkan berdusta lagi."

Pwe-giok terkejut, segera ia merasakan hawa dingin menerjang ke atas melalui perut, seketika kaki dan tangannya menggigil kedinginan, matapun berkunang-kunang. Tanyanya kaget: "He, arak ini beracun?!"

"Ya, arak ini disebut Toan-jong-ciu (arak perantas usus)," tutur Ki-hujin dengan tertawa, "Setelah kau minum arak ini, kau tak dapat lagi pergi secara diam-diam."

"Tapi .... tapi orang itu bukan diriku, bu . . . .kan diriku ...." Pwe-giok melonjak dan berteriak takut. Belum habis seruannya, "bluk", ia jatuh terkapar dan tak tahu lagi apa yang terjadi.

Ki-hujin menyaksikan robohnya Pwe-giok, suara tertawanya perlahan-lahan berhenti, air mata berbalik bercucuran, perlahan ia berjongkok dan membelai rambut anak muda itu, gumamnya: "Aku masih ingat, waktu pertama kalinya dia menerobos keluar dari lorong bawah tanah ini, tatkala mana aku sedang ganti pakaian. Aku terkejut dan gusar pula melihatnya munculnya secara mendadak itu. Tapi dia sedemikian cakap, sedemikian ganteng, dia berdiri di situ dan memandang diriku dengan tertawa, matanya . . . . ya matanya, pandangannya itu membuat aku tak berdaya..."

Seperti orang mengigau di waktu mimpi Ki-hujin mengenangkan kejadian di masa yang lampau, peristiwa yang menyenangkan dan menyusahkan itu seolah-olah berada pula di dalam hatinya, akhirnya dia mulai mencari lagi malam bulan purnama dalam mimpinya.

Hambar Ki Leng-hong memandangi sang ibu, katanya kemudian dengan pelahan: "Tatkala mana engkau tentunya sangat kesepian."

"Kawin dengan suami begitu, perempuan mana yang takkan kesepian?" ucap Ki-hujin dengan hampa. "Kesepian, ya kesepian itulah mengakibatkan aku tertipu olehnya."

"Tapi apapun juga dia cukup baik padamu bukan?" kata Ki Leng hong.

Wajah Ki-hujin tambah cerah, katanya dengan tertawa: "Betul dia memang cukup baik padaku, selama hidupku belum pernah merasakan kebahagiaan seperti pada waktu itu. Seumpama aku tidak dapat melihat dia, asalkan terkenang padanya hatiku pun akan terasa manis dan bahagia."

"Justeru lantaran kalian terlalu bahagia sewaktu berkumpul, maka setelah dia pergi kau lantas menderita," ujar Leng hong.

Tangan Ki-hujin tampak mengejang lagi, serunya dengan parau: "Betul! Aku menderita, aku tersiksa-siksa, aku benci..." jari tangannya mulai mengendor dan membelai rambut Pwe-giok lagi, lalu katanya pula: "Tapi sekarang aku tidak lagi benci padanya. Sekarang, seluruhnya dia sudah menjadi milikku, tiada seorangpun yang dapat merampas nya dari tanganku."

"Cuma sayang, orang yang kau bunuh ini bukanlah si "dia" yang dulu itu," jengek Leng-hong.

Ki-hujin terbahak-bahak seperti orang gila, teriaknya: "Hahahaha, bohong kau, kau pun ingin menipu aku? Kecuali dia, siapa lagi yang dapat muncul dari lorong bawah tanah ini?"

"Meski lorong ini sangat dirahasiakan, tapi kalau si dia yang dahulu dapat menemukan lorong rahasia ini, orang yang sekarang berbaring di sampingmu ini dengan sendirinya juga dapat menemukannya," demikian tutur Leng-hong dengan perlahan. "Sebabnya, mereka sama-sama orang keluarga Ji, mereka sama-sama paham rahasia perhitungan Thay kek-to (Pat-kwa)."

Seketika berhenti suara tertawa Ki-hujin, teriaknya: "Tutup mulut..."

Tapi Ki Leng-hong tidak menghiraukan dan menyambung pula: "Sebenarnya kau sendiri juga tahu orang ini bukanlah si dia, tapi kau sengaja menganggap orang ini adalah dia. Kau menipu diri sendiri, sebab hanya dengan cara begini kau dapat terlepas dari penderitaan."

Mendadak Ki-hujin menjatuhkan diri di lantai dan menangis seperti anak kecil, serunya dengan suara parau: "O, mengapa kau sengaja membongkar isi hatiku? Mengapa kau bikin aku menderita."

Kaku air muka Ki Leng-hong, ucapnya dingin: "Kau cuma tahu aku membikin kau menderita, tapi kau tidak tahu bahwa sudah lama kau membikin kami menderita, kau membikin kami menderita sejak dilahirkan. Leng-yan masih dapat menghindarkan penderitaan dengan dunia khayalannya, tapi aku... aku benci padamu!"

Sorot matanya yang dingin itu akhirnya mengembeng juga butiran air mata.

Mendadak Ki-hujin berbangkit, seperti orang kalap ia angkat Ji Pwe-giok dan meraung: "Kau bukan dia! Kau bukan dia! Jika kau bukan dia, untuk apa kau datang kemari..." sambil meraung ia terus melemparkan Pwe giok keluar jendela.

Cepat Ki Leng hong menyelinap keluar pintu, ia berdiri di serambi sana dan berteriak: "Ini dia Ji Pwe-giok sudah mati, lekas kalian kemari melihatnya!"

Suaranya juga sangat dingin, suara yang melengking dingin ini berkumandang jauh terbawa angin malam. Hanya sekejap saja dalam kegelapan muncul berbagai bayangan orang.

Orang yang melayang tiba lebih dulu adalah Pek-ho Tojin, berkat cahaya lampu yang menembus dari jendela dapatlah dilihatnya jenazah Ji Pwe-giok. Dirabanya tubuh yang tak bergerak itu, lalu berbangkit dan berkata dengan suara berat: "Betul, Ji Pwe-giok sudah mati!"

Anak murid Tiam-jong-pay yang sudah tiba berkata dengan menyesal: "Sungguh sayang kita tak dapat membunuh bangsat ini dengan tangan sendiri."

Dengan suara bengis Pek-ho Tojin berseru; "Meski tak dapat kita bunuh bangsat ini, setelah mati mayatnya juga harus kita cincang..." di tengah bentakannya segera ia melolos pedang terus menusuk jenazah Ji Pwe-giok.

Mendadak terdengar suara "trang" sekali, pedang Pek-ho Tojin tahu-tahu mencelat, Ki Song-hoa telah berdiri di samping jenazah Ji Pwe-giok dengan berlagak tertawa.

Ternyata pedang Pek-ho Tojin tergetar mencelat oleh tangkisan Ki Song-hoa, keruan Pek-ho Tojin terkejut, serunya: "He.. Ki-cengcu, mengapa engkau bertindak demikian?"
"Cut-keh-lang (orang yang sudah meninggalkan rumah, artinya orang yang sudah menjadi Tosu atau Hwesio) mana boleh bertindak sekejam ini, merusak mayat, hal ini sekali-kali tidak boleh kau lakukan," kata Ki Song-hoa dengan perlahan.

Pek-hoa Tojin melengak, jengeknya kemudian: "Hm, mulai kapan Ki cengcu berubah menjadi welas-asih?"

"Apa?" Ki Song-hoa mendelik gusar. "Bilakah aku tidak welas-asih?"

Bahwa Sat-jin-cengcu mengaku sebagai orang yang welas-asih, sungguh Pek-hoa Tojin merasa geli dan juga mendongkol, tapi demi ingat betapa lihay caranya orang membikin pedangnya mencelat tadi mau-tak-mau ia rada jeri, katanya sambil memberi hormat: "Ya, maafkan ucapan Tecu yang tidak pantas. ... Bukan Tecu tidak tahu welas-asih, soalnya dosa Ji Pwe-giok ini teramat besar dan tak terampunkan, jika dia mati begini saja, rasanya belum cukup untuk menebus dosanya."

"Betapapun besar dosanya waktu hidup, kalau sudah mati, ya lunas seluruhnya," ujar Ki Song-hoa. "Di dunia ini hanya orang matilah yang paling sempurna, orang hidup harus menaruh segenap hormatnya kepada orang mati."

Pek-hoa tojin tidak dapat membantah perkataan ini dan berkata: "Toh dia sudah mati, mengapa kau masih..."

Ki Song-hoa memotong dan berkata dengan sungguh-sungguh "Ini adalah perkampunganku, orang-orang mati adalah tamu-tamu sejati perkampungan ini. Jika dia masih hidup, kau bebas untuk melakukan apa saja padanya. Tapi sekarang dia menjadi tamuku dan menjadi tanggung jawabku untuk mengurusnya."

Pek-hoa tojin berkata: "Baiklah jika demikian. Kami akan pergi sekarang. Kami akan membawa mayatnya. Meskipun dia telah membunuh guru kami, dia tetap murid Kun-lun. Terima kasih atas kesediaan anda menampung kami."

Ki Song-hoa berkata: "Aku tidak peduli apakah ketika dia masih hidup dia murid Kun-lun atau Hoa-san. Setelah dia mati, tubuhnya menjadi milikku. Siapa yang ingin membawanya harus mengalahkanku terlebih dahulu."

Ki Song-hoa berdiri siap menghadapi siapapun yang berani membawa tubuh Pwe-giok. Murid-murid Kun-lun dan Tiam-jong saling memandang kehabisan akal mau berbuat apa. Pek-hoa akhirnya berkata: "Betapapun juga, Ji Pwe-giok kini telah meninggal! Dendam kematian guru kita telah terbalas, lebih baik kita mematuhi kehendak Ki cengcu"

Ki Song-hoa cepat-cepat lari sambil membawa tubuh Ji Pwe-giok.

Ki Leng-hong berdiri mengawasi apa yang terjadi dengan dingin. Kelihatannya, dia sudah menduga akhirnya jadi begini.

Pek-hoa tojin ingin mengatakan sesuatu tapi Ki Song-hoa sudah pergi berlalu.

Pek-hoa menghentakkan kakinya dan berkata dengan marah: "Seluruh orang di perkampungan ini idiot semua! Mari kita cepat-cepat pergi menjauh dari tempat terkutuk ini."

Ki Song-hoa mengganti pakaian Ji Pwe-giok dan membersihkan debu kotoran di wajahnya.

Mungkin di dunia ini tiada orang lain lagi yang begini lembut memperlakukan sesosok mayat.

Habis itu, Cengcu kerdil itu mendapatkan sebuah cangkul di balik semak-semak pohon sana dan mulai menggali. Dari sorot matanya tampak rasa gembira yang kelewat batas, tapi di mulut dia justeru bergumam dengan menyesal: "O, anak yang harus dikasihani, masih muda belia begini kau sudah mati, sungguh sangat sayang. Salahmu sendiri, tidak mau turut pada nasihatku, kalau tidak masakah kau sampai mati diracuni perempuan siluman itu."

"Jika dia turut kepada perkataanmu, mungkin dia akan mati terlebih mengerikan," demikian mendadak suara seorang menanggapi. Di bawah cahaya bintang yang remang-remang kelihatan sesosok bayangan berdiri di samping sana, siapa lagi kalau bukan Ki Leng-hong.

Seketika Ki Song-hoa melonjak murka, teriaknya sambil memukuli dada sendiri: "Kau, kau datang lagi! Kenapa kau selalu mengganggu diriku, apakah tak dapat aku diberi sedikit ketenangan?!"

"Dia sudah mati, mengapa tidak kau berikan ketenangan pula?" jawab Leng-hong dengan hambar.

"Justru sekarang akan kuberi ketenangan abadi baginya dengan membaringkannya di bawah tanah" kata Ki Song-hoa.

"Orang yang kau kubur mana bisa tenang? Bisa jadi setiap saat kau akan kembali lagi ke sini dan menggalinya untuk diperiksa pula" jengek Ki Leng-hong.

Dengan gusar Ki Song-hoa berkata: "Mana boleh kau bicara demikian kepadaku?... Seumpama aku bukan ayahmu, berdasarkan apa pula kau kira aku takut padamu? Enyah, lekas enyah! Kalau tidak, bisa ku kubur kau hidup-hidup bersama dia."

Namun Ki Leng hong tanpa bergerak, ucapnya pelahan: "Tak nanti kau berani menyentuh diriku, betul tidak?........ Kau tahu sebelum wafat kakek telah banyak menyerahkan rahasia padaku, satu di antaranya adalah paling ditakuti mu."

Kata-kata Leng-hong ini ternyata sangat manjur, seketika Ki Song-hoa menjadi lesu, katanya: "Sesungguhnya apa kehendakmu?"

"Mayat ini adalah kepunyaanku, tidak boleh kau sentuh dia!" ucap Leng-hong dengan tegas.

"Hahahahaha! Sungguh lucu, mengapa kau pun merasa tertarik pada orang mati? Apakah kaupun serupa diriku... Aha, memang betul, betapapun kau juga she Ki, biarlah kuberikan mayat ini padamu."

Sambil berjingkrak gembira dan tertawa latah, lalu Ki Song-hoa berlari pergi.

Ki Leng-hong mengangkat tubuh Ji Pwe-giok, gumamnya: "Orang lain sama menganggap kau sudah mati, siapa pula yang tahu bahwa orang mati kadang-kadang juga dapat hidup kembali."

Angin dingin menghembus, cahaya bintang berkerlip redup, alam ini memang penuh kegaiban.

oooo 0000 oooo

Di atas batu-batu raksasa itu sudah banyak lumut hijau, di sudut-sudut yang gelap penuh sawang, sampai-sampai debu kotoran juga berbau apek.

Di dalam rumah batu yang seram ini tiada terdapat jendela, tiada angin, tiada cahaya matahari, apapun tidak-ada, yang ada cuma hawa kematian.

Di atap rumah yang tinggi dan lebar itu ada sebuah lubang bundar kecil, setitik sinar matahari menembus masuk dari situ, langsung menyoroti tubuh Ji Pwe-giok.

Anak muda itu sedang gemetar, jangan-jangan Pwe giok benar-benar telah hidup kembali?

Pelahan ia membuka mata, hampir-hampir ia sendiripun terperanjat. Cepat ia melompat bangun, maka terlihatlah pemandangan di dalam rumah batu ini.

Seketika dapat diterkanya tempat ini pasti rumah kuburan yang misterius itu. Kini ia ternyata berada di dalam makam leluhur keluarga Ki.

Kaki dan tangan Pwe-giok terasa dingin, tanpa terasa ia menggigil, pikirnya: "Tentunya aku sudah mati, maka dikubur di sini.... Tapi orang mati masa dapat bergerak?... Jangan-jangan sekarang aku telah berubah menjadi setan, menjadi arwah halus?"

Ia kucek-kucek matanya, segera dilihatnya satu orang.

Orang ini berbaju kain belacu putih, duduk di suatu kursi yang longgar dan besar, mukanya kuning, tanpa bergerak, tempatnya juga sangat seram dan penuh misterius.

Tapi Pwe-giok tidak merasakan apa-apa, ia pikir tentu sebuah patung lilin lagi.

Ia coba berjalan ke depan, ia merasa di ruangan ini ada silirnya angin, dengan sendirinya angin masuk dari lubang kecil di atap rum ah itu sehingga rambut dan jenggot "patung lilin" tertiup bergerak-gerak.

Jelas itu bukan patung lilin, tapi benar-benar seorang manusia.

"Siapa kau?!" bentak Pwe-giok terkejut.

Orang itu tetap diam saja tanpa bergerak seakan-akan tidak mendengar suaranya.

Pwe-giok pikir dirinya kan sudah mati, apa yang mesti ditakuti? Segera ia melangkah ke sana, mendekati orang itu, ia coba memegangnya, memang betul seorang manusia, tapi manusia tak bernyawa.

Terasa hawa dingin menyusup ke tubuhnya melalui jarinya, cepat Pwe-giok menarik kembali tangannya. Waktu ia berpaling, ternyata di situ tidak cuma seorang ini saja, masih banyak orang lagi, orang mati seluruhnya.

Kiranya jenazah leluhur keluarga Ki tidak ditanam, jenazah mereka telah dibalsam sehingga semua jenazah masih utuh, tidak membusuk untuk selamanya.

Sejauh mata memandang terlihat setiap mayat itu berduduk di suatu kursi yang longgar dan besar. Pwe-giok seolah-olah berada di tengah-tengah mayat itu. Meski diketahui "orang-orang" ini sudah tak dapat bergerak lagi dan tidak nanti membikin susah padanya, tapi merembes juga keringat dingin Pwe-giok.

Cahaya yang remang-remang menyoroti wajah mayat-mayat itu, setiap wajah mayat itu sama dingin dan kurus kering, namun air muka mereka tetap dalam keadaan yang wajar, tidak mengunjuk keberingasan yang menakutkan, namun sikapnya yang dingin itu tampaknya menjadi lebih menyeramkan. Berada di tengah-tengah mayat ini tiada ubahnya seperti berada di neraka.

Pandang sini dan lihat sana, darah di tubuh Pwe-giok seakan-akan beku, ia tidak tahan, akhirnya ia menjerit ngeri terus menerjang keluar.

Di dalam rumah batu itu masih ada sebuah kamar batu, sekeliling kamar batu ini juga berduduk tujuh-atau delapan orang mati, semuanya juga duduk di atas kursi dengan sikap kaku dan dingin.

Pandangan Pwe giok yang pertama lantas tertuju kepada sebuah wajah yang kurus kering dan aneh, yaitu yang serupa dengan patung lilin yang dilihatnya di lorong bawah tanah sana. Dengan sendirinya inilah mayat ayah Ki Song-hoa yang sesungguhnya.

Tampaknya orang ini mati belum terlalu lama, hal ini terbukti dari bajunya yang jauh lebih baru daripada mayat-mayat lain.

Selagi Pwe-giok memandang sana dan memandang sini, sekonyong-konyong seorang mati di sampingnya dapat berdiri dan menegurnya: "Kau... kau pun datang ke sini?!"

Sungguh kaget Pwe-giok sukar dilukiskan, hampir pecah nyalinya.

Dilihatnya orang inipun memakai belacu putih, malahan mukanya juga dibalut dengan kain putih, bahkan orangnya lantas mendekati Pwe-giok dengan langkah berat.

Kaki dan tangan Pwe giok terasa lemas, setindak demi setindak ia menyurut mundur, teriaknya dengan parau: "Kau... kau..." hanya kata ini saja yang dapat diucapkannya dan sukar melanjutkan pula.

Orang itu lantas berhenti dan memandangi Pwe-giok, katanya pelahan: "Jangan takut, aku bukan setan."

"Kau .... kau bukan setan? Lalu sia ....... siapa kau?" tanya Pwe-giok.

Cukup lama orang itu berpikir, mendadak ia bergelak tertawa dan berseru: "Aku Ji Pwe-giok!"

"Hah, kau Ji Pwe-giok? Lantas siapa… siapa diriku?" teriak Pwe-giok dengan kaget luar biasa.

Orang itu tidak bicara lagi, tapi mulai membuka kain pembalut mukanya selapis demi selapis sehingga terlihat mukanya yang penuh bekas luka.

Sampai lama sekali Pwe giok memandang wajah yang rusak ini, akhirnya ia berseru: "He, bukankah engkau ini Cia . . . Cia Thian pi, Cia cianpwe?"

Bahwa Cia Thian-pi bisa muncul di rumah hantu ini, hal ini benar-benar membuatnya terkejut melebihi melihat setan.

Cia Thian-pi tersenyum pedih, ucapnya: "Betul, aku memang Cia Thian pi adanya, tak tersangka kau masih dapat mengenali diriku."

"Wah, tadi Cia cianpwe benar-benar telah membikin kaget padaku," ujar Pwe-giok dengan menyengir.

Dengan menyesal Cia Thian-pi berkata: "Sudah sekian lama berkumpul dengan orang mati di dalam makam ini, ketika mendadak melihat kedatanganmu, saking kejut dan girangnya aku lantas bergurau denganmu."

"Mungkin Cianpwe sengaja hendak melihat bagaimana sikapku setelah mendengar ucapanmu tadi, untuk mengetahui apakah aku ini benar-benar Ji Pwe-giok atau bukan."

"Betul" kata Cia Thian-pi dengan menghela napas. "Di seluruh dunia sekarang, mungkin hanya kau saja yang dapat memahami isi hatiku. Hanya aku pula yang memahami perasaanmu. Betapa aneh pengalamanmu dan betapa malang nasibmu, baru sekarang aku percaya penuh."

Pedih hati Pwe-giok, ucapnya dengan rada gemetar: "Dan Cianpwe sendiri... "

"Ya, meski sekarang aku sudah percaya, tapi sayang, tiada gunanya lagi." tukas Cia Thian-pi.

"Nasibku sekarang jelas serupa dengan kau, mungkin hidupku ini harus ku lalui di tempat gelap begini untuk selamanya."

"Cara bagaimana Cianpwe berada di sini?"

"Malam itu di perkemahanku, cukup banyak juga ku tenggak arak sehingga terasa rada mabuk, menjelang tengah malam aku tertidur dengan lelapnya. Tiba-tiba seorang menggoyang tubuhku dan membangunkan aku serta bertanya siapa diriku?"

"Dia menerobos ke dalam kemah, belum lagi Cianpwe tanya siapa dia, sebaliknya dia malah bertanya lebih dulu kepada Cianpwe, orang aneh dan kejadian aneh ini sungguh jarang terjadi."

"Tatkala mana akupun sangat mendongkol," tutur Cia Thian-pi pula. "Tapi begitu aku memandangnya, seketika aku tak dapat... tak dapat bersuara."

"Sebab apa?" tanya pwe-giok.

"Lampu dalam perkemahanku waktu itu masih menyala, di bawah cahaya lampu dapat kulihat muka orang itu, mata alisnya, raut wajahnya, semuanya serupa benar dengan diriku, rasanya seakan-akan aku sedang berkaca atas diriku sendiri."

"Hm, ternyata benar bangsat itu," desis Pwe-giok dengan geram.

"Aku terbelalak memandangi dia, dia juga terbelalak menatap diriku.

Dia malah berkata: "Akulah Cia Thian-pi dari Tiam-jong, mengapa kau tidur ditempatku?"

Waktu itu aku masih sangsi kalau mabuk ku belum lenyap, aku menjadi bingung oleh ucapannya itu. Serupa kau tapi, akupun berteriak "Kau Cia Thian-pi?... lantas siapa diriku?"

"Rupanya karena pengalaman Cianpwe itu, maka setelah mendengar ucapanku tadi Cianpwe lantas yakin diriku ini Ji Pwe-giok tulen," ucap Pwe-giok dengan menyesal. "tapi kemudian apa pula yang diperbuat oleh bangsat itu."

"Setelah mendengar teriakanku, bangsat itu malah mendamperat diriku, ia menuduh aku memalsukan wajahnya, bahkan menyatakan bahwa orangnya dapat dipalsu, tapi ilmu pedang Tiam-jong-pay tidak dapat dipalsu. Dia justeru menantang aku agar menentukan siapa lebih unggul, yang unggul ialah Cia Thian-pi tulen, yang asor adalah palsu dan harus enyah."

"Jika begitu, jelas ilmu pedang bangsat itu bukan tandingan Cianpwe," ujar Pwe-giok.

"Kau salah sangka." kata Cia Thian-pi dengan tersenyum pedih. "betapa keji dan perencanaan orang-orang itu sungguh sukar dibayangkan. Ternyata dalam arak yang kuminum itu di luar tahuku telah diberinya obat bius sehingga aku tidak mampu mengerahkan tenaga sama sekali, tidak sampai tiga jurus pedangku sudah tersampuk jatuh oleh pedangnya dan ilmu pedang yang digunakannya memang betul Tiam-jong-kiam-hoat tulen."

"Dan Cianpwe lantas didesak pergi secara begitu?" tanya Pwe-giok.

"Memangnya apa yang dapat kuperbuat lagi?" tutur Cia Thian-pi. "Tatkala mana Ji Hong-ho, Ong Uh lau dan lain-lain serentak muncul juga, rupanya mereka sebelumnya sudah bersembunyi di situ, dalam kedudukannya sebagai Bengcu, dia telah menyingkirkan anak muridku ke tempat lain, lalu..."

"Mungkin waktu itu Cianpwe sendiri tidak tahu bahwa merekapun palsu seluruhnya." kata Pwe-giok dengan gemas.

"Ya, tatkala itu aku memang tidak pernah membayangkan akan terjadi begitu, demi nampak datangnya Bengcu, aku menjadi girang. Siapa tahu mereka lantas menuduh aku inilah yang memalsukan Cia Thian-pi." dengan tangan gemetar ia pegang tangan Pwe-giok, tangannya sudah penuh keringat, nadanya sangat sedih, sambungnya pula:

"Saat itulah baru kurasakan betapa susahnya orang yang terfitnah. Dadaku serasa mau meledak, tapi apa dayaku, anggota badan terasa lemas, aku tidak sanggup melawan, akhirnya aku dibekuk oleh mereka dan diangkut ke atas kereta serta dibawa pergi..."

"Orang... orang she Ji itupun berada di kereta itu?" tanya Pwe-giok.

"Meski dia tidak ikut di dalam kereta, tapi dia memerintahkan beberapa lelaki kekar membawa pergi diriku, jelas aku hendak dibunuhnya ditempat jauh dan sepi. Waktu itu keadaanku hampir tak bertenaga sama sekali, orang biasa saja tak dapat kulawan, apalagi anak buah bangsat itu."

"Jika demikian, bahwa Cianpwe masih dapat menyelamatkan diri, boleh dikatakan lolos dari lubang jarum."

"Ya, kalau tindakan mereka tidak terlalu rapi, bisa jadi aku takkan hidup sampai saat ini."

"Aneh, mengapa berbalik begitu?" tanya Pwe-giok heran.

"Coba kalau mereka membunuhku di sembarangan tempat, tentu jiwaku sudah melayang. Tapi mereka justeru kuatir perbuatan jahat mereka diketahui orang, kuatir pula tindakan mereka akan meninggalkan bukti..." ia tersenyum pedih dan menyambung pula: "Padahal hendak membunuh orang semacam diriku rasanya juga tidak mudah, mereka harus mencari suatu tempat yang baik. Sedangkan tempat pembunuhan yang paling baik di seluruh dunia ini mungkin tiada yang lebih baik daripada Sat-jin-ceng."

"Betul di sat-jin-ceng ini, membunuh orang ibaratnya orang membabat rumput, siapapun tidak perduli dan tanpa perkara." ujar Pwe-giok dengan menyesal.

Ia menunggu cerita Cia Thian-pi lebih lanjut, tapi sesampai di sini Cia Thian-pi lantas berhenti dan tidak menyambung lagi.

Selang sejenak, Pwe-giok tidak tahan, ia bertanya: "Melihat luka Cianpwe yang parah ini, mungkin kawanan bangsat itu sengaja membuat Cianpwe tersiksa untuk kemudian mati dengan sendirinya."

"Ya, memang begitu kehendak mereka." kata Cia Thian-pi.

"Dan entah cara bagaimana Cianpwe mendapat pertolongan dan mengapa pula sampai di sini?" Pwe-giok coba memancing.

Cia Thian-pi berpikir sejenak, tuturnya kemudian: "Sudah tentu inipun secara kebetulan saja, cuma... cuma kejadian ini menyangkut rahasia orang ketiga, sebelum mendapat persetujuannya, maafkan, tak dapat kuceritakan padamu."

Dan sebelum Pwe-giok bertanya pula, dengan tertawa ia bertanya: "Dan dengan cara bagaimana kau pun datang ke sini?"

Pwe-giok menghela napas sedih, jawabnya: "Tecu... Tecu sudah dianggap orang mati dan dikubur di sini."

"Orang mati?" Cia Thian-pi menegas dengan heran. "Jangan-jangan kau..."

Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba seorang menyela dengan dingin: "Ucapannya memang tidak salah, dia memang sudah mati satu kali, cuma saat ini dia sudah hidup kembali."

Di bawah cahaya yang remang-remang muncul sesosok bayangan putih dengan rambutnya yang terurai, tertampak matanya yang indah mempesona dan wajahnya yang cantik laksana dewi itu. Ditempat yang suram begini tampaknya lebih mirip badan halus dan membuat orang yang melihatnya seakan-akan berhenti bernapas.

Perpaduan antara badan halus dan dewi itu bukan lain ialah Ki Leng-hong.

Cia Thian-pi seperti juga terkesima oleh kecantikan yang tiada taranya serta keangkeran yang sukar dilukiskan itu. Ia termangu-mangu sejenak, kemudian berkata dengan tertawa: "Ah, jangan nona berkelakar, orang mati mana bisa hidup kembali?"

"Akulah yang membuatnya hidup kembali." kata Leng-hong dengan pelahan. Suaranya hambar, seolah-olah memang mengandung semacam kekuatan gaib yang dapat mengendalikan mati atau hidup manusia. Sorot matanya yang dingin itu seakan-akan menyembunyikan segala macam rahasia yang dapat menentukan mati atau hidup seseorang.

Cia Thain-pi dan Ji Pwe-giok saling pandang tak dapat bicara.

Dilihatnya Ki Leng-hong telah mendekati patung lilin yang serupa dengan patung di lorong bawah tanah itu serta menyembahnya tiga kali dengan khidmat. Mendadak ia berkata: "Di makam ini seluruhnya adalah leluhur keluarga Ki. Tentunya kalian heran mengapa aku cuma menyembah dia saja? Biarlah kuberitahu, sebabnya dia pernah menyelamatkan diriku, seperti halnya aku telah menyelamatkan kalian."

Pwe-giok dan Cia Thian-pi tambah bingung dan tidak tahu bagaimana harus menjawab.

Ki Leng-hong telah berbangkit dan membalik tubuh, ditatapnya Cia Thian-pi, katanya: "Dalam keadaan kempas kempis dan tak berdaya, jelas kau pasti akan terbunuh, akulah yang membuat mereka menyangka kau sudah mati, kemudian ku pancing pergi mereka dan membawa kau ke sini, kau tahu tidak?"

"Ya, budi pertolongan nona takkan kulupakan selama hidup." kata Thian-pi.

"Sebagai seorang ketua suatu perguruan ternama, ternyata harus ditolong oleh seorang gadis yang tak terkenal, tentu dalam hati kau merasa malu, makanya tadi ketika ditanya orang, kau enggan menjelaskannya, begitu bukan?"

"Ah, nona telah salah paham." jawab Thian-pi dengan menyengir. "soalnya Cayhe ingin..."

"Aku memang berpikiran sempit." dengan ketus Ki Leng-hong memotong. "Barang siapa sudah ku tolong, selama hidupnya harus selalu ingat kepada budi pertolonganku, kalau tidak, akupun dapat membuatnya mati. Untuk itu hendaklah kau ingat dengan baik."

Cia Thian-pi melongo mendengarkan perkataan Ki Leng-hong itu.

Nona itu tidak menggubrisnya lagi, ia berpaling ke arah Pwe-giok dan berkata pula: "Dan kau, hakekatnya kau sudah mati, setiap orang sudah merabai mayatmu dan menyatakan kau sudah mati. Tapi aku telah membuat kau hidup kembali, Meski di mulut kau tidak bicara, di dalam hati tentu kau tidak percaya. Orang mati masa bisa hidup kembali, begitu bukan?"

Pwe-giok terdiam sejenak, katanya kemudian: "Cayhe tidak pernah menaruh curiga, tapi sekarang sudah kupikirkan, rahasia mati dapat hidup kembali pasti terletak pada arak yang kuminum itu."

"Meski tampaknya kau dungu nyatanya tidaklah bodoh." Jengek Leng-hong. "Memang betul, arak yang kuberikan itu bukanlah Toan-jiong ciu millik Hujin, tapi To-ceng ciu (arak menghindari cinta)."

"Hah, arak bernama To-ceng, sungguh nama yang bagus." kata Pwe-giok dengan tertawa.

"Konon arak ini buatan seorang sastrawan termasyhur di jaman dahulu." tutur Ki Leng-hong. "Dia terlibat di tengah tiga perempuan yang mencintai dia, selama puluhan tahun dia terombang-ambing di tengah kerumunan wanita cantik itu, akhirnya ia merasa kewalahan dan ingin membebaskan diri, sebab itulah dia berusaha menyuling arak khas ini. Setelah diminum, seketika pernapasannya berhenti, kaki dan tangan dingin serupa dengan orang mati. Tapi dalam waktu 24 jam dapat hidup kembali. Berkat arak itulah dia dapat melepaskan diri dari godaan ketiga perempuan itu dan dapat bebas, sebab itulah dia menamai araknya sebagai To-ceng-ciu."

"Sungguh tak tersangka arak buatan orang yang romantis di jaman dahulu, sekarang telah menyelamatkan jiwaku." ujar Pwe-giok dengan menghela napas.

"Tapi jangan kau lupakan, yang menyelamatkan kau bukan To-ceng-ciu itu melainkan aku." jengek Leng-hong.

"Budi kebaikan nona sudah tentu takkan kulupakan selama hidup." kata Pwe-giok sambil menyengir.

Dengan tatapan tajam Leng-hong bertanya pula padanya: "Tahukah kau, sebab apa ku tolong kau?"

"Aku.... ini...." Pwe-giok menjadi gelagapan. Sudah tentu, siapapun tak dapat menjawab pertanyaan ini.

"Jika kau sangka lantaran ku jatuh cinta padamu maka ku tolong kau, maka salahlah kau," kata Leng-hong pula. "Sama sekali aku bukan perempuan yang mudah jatuh cinta, kaupun tidak perlu bangga bagi diri sendiri."

Sekenanya dia menerka jalan pikiran orang lain tanpa peduli betul atau salah, juga tidak memberi kesempatan bagi orang lain untuk membantah, dengan muka merah baru saja Pwe-giok hendak bicara sudah didahului lagi olehnya: "Sebabnya ku tolong kau sama seperti halnya ku tolong Cia Thian-pi, yakni supaya kau selalu ingat akan budi pertolonganku."

Seketika Pwe-giok melenggong juga.

Didengarnya Leng-hong berkata pula: "Tentunya dalam hati kalian sekarang sedang berpikir bahwa aku ini bukan seorang Kuncu (ksatria sejati), memberi pertolongan dengan mengharapkan balas jasa."

"Ah, mana Cayhe berani berpikir demikian." kata Cia Thian-pi.

"Kau tidak berpikir demikian, aku justeru berpikir begitu," jengek Leng-hong. "Aku memang bukan seorang Kuncu, aku memang mengharapkan balas jasa. Nah, setelah kuselamatkan jiwa kalian, coba, cara bagaimana kalian akan membalas budi padaku?"

Cia Thian-pi menjadi bingung, dipandangnya Ji Pwe-giok, ternyata anak muda itupun sedang memandangnya. Keduanya jadi saling pandang dengan melongo dan tak dapat menjawab.

"Bagaimana, setelah menerima budi pertolonganku, apakah kalian tidak ingin membalas?" tanya Leng-hong dengan gusar.

"Budi pertolongan nona sudah tentu ...." tergagap-gagap Pwe-giok.

"Huh, aku tidak suka kepada segala omong kosong tentang selama hidup takkan melupakan budi pertolonganmu segala. Jika kalian ingin balas budi, kalian harus menyatakan dengan tegas cara balas budi yang nyata."

Seperti orang menagih utang saja cara si nona mendesak orang membalas budi, sungguh jarang ada orang macam begini di dunia ini.

Cia Thian-pi hanya menggeleng dengan menyengir saja, katanya kemudian: "Entah cara bagaimana kami harus membalas budi menurut pendapat nona?"

Mendapat Ki Leng-hong berpaling menghadapi orang mati tadi dan berkata: "Tahukah kalian siapa dia?"

"Bukankah dia...... ayah Ki Song-hoa?" kata Pwe-giok.

Dia tidak bilang "kakekmu", tapi bilang "ayah Ki Song-hoa", sebab dia sudah dapat meraba riwayat hidup nona ini pasti ada sesuatu yang ganjil dan rahasia, hakekatnya tidak mengakui dirinya adalah keturunan keluarga Ki.

Benar juga, Ki Leng-hong lantas berkata: "Betul dia inilah Ki Go-ceng, aku menghormat dan menyembah padanya bukan lantaran dia ayah Ki Song-hoa, juga bukan disebabkan dia pernah menyembuhkan penyakitku yang parah, tapi karena kepintarannya, dia pernah meramal bahwa di dunia Kangouw pasti akan timbul kekacauan yang belum pernah terjadi selama ini, dan diriku ini justeru dilahirkan karena jaman kacau ini...."

Mendadak ia membalik tubuh lagi ke sini, sorot matanya tampak merah membara, ia berteriak pula: "Jika aku dilahirkan di jaman demikian, jaman ini harus pula menjadi milikku. Sebab itulah kuminta kalian tunduk pada perintahku, bantulah pekerjaanku. Aku telah menghidupkan kalian, akupun menghendaki kalian rela mati bagiku."

Sungguh Pwe-giok dan Cia Thian-pi tidak pernah menyangka nona yang masih muda belia ini ternyata mempunyai ambisi sebesar ini, tanpa terasa mereka jadi melenggong.

Dari bajunya Ki Leng-hong lantas mengeluarkan sebuah botol kayu kecil, katanya: "Di dalam botol ini ada dua biji obat, makanlah kalian, bila kalian siuman nanti, kalian akan berubah menjadi manusia baru, sama sekali baru, orang lain takkan kenal kalian lagi, akupun menghendaki kalian melupakan segala apa yang telah lalu dan cuma mengabdi bagiku, sebab jiwa kalian adalah pemberianku."

"Dan kalau kami tidak mau terima?" kata Cia Thian-pi dengan air muka berubah.

"Hm," Leng-hong mendengus. "Jangan kau lupa, setiap saat dapat kucabut pula nyawamu."

Dia terus melangkah maju dua tindak, tanpa terasa Cia Thian-pi dan Pwe-giok lantas menyurut mundur dua tindak.

Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar seorang tertawa latah di luar rumah hantu itu: "Budak busuk, kau sendiri tak bisa hidup lebih lama lagi, masih coba ancam orang lain?"

Terdengar suara tertawanya yang seram itu membawa semacam kegilaan yang mengerikan..

"Ki Song-hoa!" teriak Pwe-giok tanpa terasa, entah terkejut entah girang.

Belum lenyap suara Pwe-giok, secepat angin Leng-hong melayang keluar kamar itu.

Cepat Pwe-giok ikut berlari keluar, tapi tertampak pintu batu yang berat itu sudah tertutup rapat. Baru saja Leng-hong melayang sampai di depan pintu, "krek" terdengar bunyi gembok di luar.

"Hahahaha! budak busuk!" demikian terdengar pula tertawa latah Ki Song-hoa di luar pintu. "Kau kira tidak ada orang yang berani datang ke sini, bukan ? Kau kira tiada orang yang dapat mengetahui rahasiamu, he? Tapi, hahahaha, sedikit kau lengah, akhirnya jiwamu harus amblas di tanganku."

Pucat wajah Leng-hong yang kaku dan dingin itu, jelas dia tertegun dan ketakutan, sebab ia tahu apabila pintu batu itu sudah digembok dari luar, maka siapapun jangan harap akan dapat keluar lagi.

"Hahahaha!" terdengar Ki Song-hoa terbahak-bahak pula. "Seharusnya kau tahu bahwa selamanya tiada seorangpun yang dapat keluar dengan hidup dari rumah setan ini. Dan mengapa kau masuk juga ke situ? Sungguh teramat besar nyalimu.... Memang sengaja kuberitahukan rahasia membuka gembok padamu, sudah kuperhitungkan pada suatu ketika kau pasti tidak tahan dan ingin coba melihat ke dalam. Haha, budak busuk, kau kira dirimu sangat pintar, akhirnya kau terjebak juga olehku."

Makin jauh suara tertawa latah itu, sehingga akhirnya tak terdengar lagi. Tapi Ki Leng-hong masih berdiri mematung di tempatnya, mendadak air matanya bercucuran, yang menyedihkan dia mungkin bukan jiwanya akan melayang, tapi cita-citanya, ambisinya yang belum terlaksana dan kini harus hancur dalam sekejap.

Mau tak mau Pwe-giok dan Cia Thian-pi juga melenggong dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.

Sampai lama sekali Ki Leng-hong berdiri di tempatnya seperti orang linglung, kemudian ia membalik tubuh perlahan dan mendekati sebuah kursi batu yang lowong serta duduk di situ. Ia memandang sekelilingnya, mendadak ia tertawa seperti orang gila, teriaknya: "Hahaha! Biar matipun tidak kesepian, masih ada sekian banyak orang yang mengiringi diriku."

Cia Thian-pi terperanjat, cepat ia tanya: "Apakah..... apakah nona juga akan menanti kematian di sini?"

"Ya," jawab Leng-hong. "Menanti datangnya kematian secara perlahan-lahan, rasanya pasti lain daripada yang lain dan sangat menarik."

"Meng.... mengapa nona tidak berdaya keluar dari sini?" tanya Thian-pi pula.

"Keluar? Hahahaha!" Leng-hong tertawa hingga suaranya serak. "Sekali sudah tergembok di rumah setan ini, mana ada harapan buat keluar."

"Apakah betul rumah ini tidak pernah dimasuki orang hidup?" tanya Thian-pi

"Pernah, bahkan banyak," jawab Leng-hong "Cuma, hanya ada orang hidup yang masuk dan tidak ada orang hidup yang keluar."

Mendadak Pwe-giok menimbrung: "Orang yang menggotong mayat ini ke sini apakah juga tidak ada yang keluar dengan hidup?"

"Tidak ada orang menggotong mayat ke sini." jawab Leng-hong dengan tertawa seram.

"Tidak ada orang menggotong mayat ke sini, lalu apakah mayat-mayat ini masuk sendiri ke sini?" tanya Thian-pi dengan terkesiap.

"Ya, memang benar, masuk sendiri ke sini!" ucap Leng-hong dengan sekata demi sekata.

Cia Thian-pi memandang mayat sekelilingnya, mayat-mayat itupun seakan-akan sedang memandangnya dengan dingin, tanpa terasa ia merinding, katanya dengan rada gemetar: "Ah, janganlah nona bergurau."

"Dalam keadaan demikian, siapa yang bergurau dengan kau?" jengek Leng-hong

"Tapi.... tapi mana ada... mana ada mayat yang dapat berjalan sendiri di dunia ini?" ujar Thian-pi dengan mandi keringat dingin.

"Sebabnya mereka memang orang hidup sebelum mayat-mayat ini berduduk di kursi masing-masing," tutur Leng-hong. "Setelah berduduk di kursinya, mereka lantas berubah menjadi mayat."

"Seb.... sebab apa?" tanya Thian-pi, bulu romanya sama berdiri.

"Inilah rahasia keluarga Ki!" ucap Ki Leng-hong dengan tersenyum misterius.

"Sudah begini, masa nona tidak mau menjelaskan?" kata Thian-pi.

Leng-hong menatap ke depan dengan sorot mata yang kabur, ucapnya perlahan: "Setiap anggota keluarga Ki, di dalam darah mereka ada semacam sifat pembawaan yang gila, sifat yang suka menghancurkan diri sendiri. Dalam keadaan tertentu, bisa jadi penyakitnya itu mendadak kumat, tatkala mana bukan saja orang lain akan dihancurkannya, bahkan ia akan menghancurkan dirinya sendiri."

Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula dengan sekata demi sekata: "Di mulai sejak leluhur keluarga Ki sampai pada Ki Go-ceng, tiada seorangpun yang tidak mati membunuh diri!"

"Jika mereka masuk ke sini dengan hidup, lalu membunuh diri dengan berduduk di kursi ini, mengapa jenazah mereka sampai sekarang belum lagi membusuk? Jelas jenazah ini telah diberi sesuatu obat. Kalau orang sudah mati, masa dapat menggunakan obat untuk mengawetkan jenazahnya sendiri?"

"Hal ini disebabkan ketika mereka bermaksud mati, sebelumnya mereka lantas minum semacam obat campuran dari berbagai jenis racun, di antara belasan macam racun ini satu sama lain bertentangan sehingga bekerjanya racun sangat lambat, akan tetapi dapat membuat otot daging mereka menjadi kaku sedikit demi sedikit, ketika anggota badan mereka sudah mati dan cuma tinggal kedua kaki saja yang dapat berjalan, lalu mereka masuk ke rumah ini dan berduduk di kursi batu untuk menanti datangnya ajal."

Ki Leng-hong tersenyum tak acuh, katanya pula: "Begitulah mereka menganggap selama menanti datangnya kematian itu adalah saat orang hidup yang paling aneh dan menarik, mereka menyaksikan sendiri anggota badan sendiri sedikit demi sedikit mulai kaku dan menjalar ke bagian lain, semua ini mereka anggap sebagai suatu kenikmatan yang sukar dicari, bahkan jauh lebih menyenangkan daripada menyaksikan penderitaan orang lain. Maklumlah, mereka sudah terlalu banyak menyaksikan kematian orang lain, hanya menyaksikan kematiannya sendiri barulah dapat mendatangkan semacam rangsangan baru bagi kepuasan mereka."

Siapapun mengkirik mendengarkan cerita yang aneh dan sukar dimengerti ini di rumah hantu yang seram ini.

"Gila, benar-benar gila...." gumam Pwe-giok sambil memandangi mayat-mayat itu dengan bingung. "Pantas Ki hujin bilang mereka semua orang gila, waktu hidup gila, sesudah mati juga gila."

"Ya. sekujur badan mereka sudah dirembesi oleh racun yang aneh itu, maka jenazah merekapun takkan busuk selamanya," kata Leng-hong pula.

Cia Thian-pi merinding pula, ucapnya dengan gemetar: "Pantas tidak pernah ada orang hidup keluar dari rumah maut ini, kiranya mereka telah mengubur dirinya sendiri di sini."

"Dan keadaan kita sekarang juga serupa mereka," sambung Leng-hong dengan dingin, "terpaksa kita harus berduduk di sini untuk menunggu datangnya elmaut. Keadaan kita sekarang sama juga mengubur dirinya sendiri."

Dia pandang jenazah Ki Go-ceng di sebelahnya, lalu menyambung pula dengan tenang: "Aku masih ingat pada hari dia mengubur dirinya sendiri, pagi-pagi kami semuanya hadir di depan rumah ini untuk mengantar keberangkatannya, dengan langkah berat dia masuk ke sini. Mendadak ia menoleh dan berkata kepada kami dengan tertawa: "Meski lahirnya kalian kelihatan berduka, tapi di dalam hati kalian tentu menertawakan diriku sebagai orang bodoh. Padahal kalian tidak perlu pura-pura berduka, sebab selama hidupku justeru tidak pernah segembira seperti sekarang ini..."

Sungguh Cia Thian-pi tidak ingin mendengarkan lagi, tapi mau tak mau ia harus mendengarkan.

Ki Leng-hong telah menyambung pula: "Kami tidak ada yang berani menjawab, maka dengan tertawa dia berkata pula: "Kelak kalian akan tahu bahwa seorang kalau sudah mati akan jauh lebih gembira daripada waktu hidup. - Waktu itu mukanya sudah mulai kaku, meski kedengaran dia tertawa, namun air mukanya tiada sesuatu tanda tertawa, tampaknya menjadi sangat menakutkan. Tatkala mana Leng-yan baru berumur sepuluhan tahun, ia menangis ketakutan."

Nyata Ki Leng-hong ini suka mencari kepuasan dengan memperlakukan sadis kepada orang lain, semakin sedih orang lain, semakin gembira dia, sudah jelas orang lain tidak suka mendengar ceritanya, dia justeru bercerita terus, bahkan bercerita secara hidup dan nyata.

Membayangkan ceritanya dan memandang pula mayat di depannya sekarang, tambah ngeri hati Cia Thian-pi, mendadak iapun tertawa seperti orang gila, makin keras suara tertawanya dan tidak dapat berhenti.

"He, Cia-cianpwe, kenapa kau?" seru Pwe-giok kuatir.

Tapi Cia Thian-pi masih terus tertawa, seperti tidak pernah mendengar teguran Pwe-giok itu. Cepat Pwe-giok mendekatinya dan menggoyangi tubuhnya, dilihatnya tertawanya yang terkial-kial itu benar-benar seperti orang gila.

Mendadak Pwe-giok menampar pipinya, dengan begitu tertawa Cia Thian-pi baru berhenti, ia tercengang sejenak, tapi mendadak ia menangis tergerung-gerung.

"Orang ini mungkin saking ketakutan dan menjadi gila," ujar Leng-hong dengan tenang. "Gila juga baik, paling sedikit dia tidak perlu merasakan siksaan menanti ajal ini."

Tiba-tiba Pwe-giok membalik tubuh dan menghadapi Ki Leng-hong, katanya tegas: "Meski pernah kau tolong aku satu kali, tapi sekarang akupun sedang menunggu kematian, hal ini sama seperti jiwaku sudah kubayar kembali padamu. Selanjutnya kita sudah tiada utang-piutang lagi, sudah lunas. Dan kalau kau masih bertindak sesuatu yang menusuk perasaan orang, jangan kau salahkan diriku jika terpaksa ku bertindak kasar padamu."

Ki Leng-hong memandangi Pwe-giok sejenak, akhirnya ia berpaling kesana dan tidak bicara lagi.

Tanpa terasa Pwe-giok mengusap keringat di dahinya. Aneh, ia heran mengapa ia merasa kegerahan?

Rupanya di dalam rumah batu itu semakin panas rasanya, agaknya Ki Leng-hong juga merasakan hal ini, dia berseru: "He.... api! Si gila itu hendak memanggang kita di sini."

Benar juga, lubang kecil di atap itu tampak mulai berasap tipis.

"Rupanya dia kuatir kematian kita kurang cepat, maka ingin memanggang mati kita," kata Leng-hong pula. "Padahal kalau kita jelas harus mati, bisa mati lebih cepat memang lebih baik."

"Mengapa dia tidak mencari jalan yang lebih cepat?" ujar Pwe-giok dengan menyesal.

"Hm, masa kau belum paham?" jengek Leng-hong. "Bila menggunakan cara lain, tentu mayat-mayat ini akan ikut rusak, selamanya dia menghormati orang mati, sudah tentu dia tidak mau membikin susah orang mati. Pula, orang mati kan juga tidak takut di panggang dengan api, betul tidak?"

Sementara itu tangis Cia Thian-pi sudah berhenti, dengan termangu-mangu ia memandang ke depan. Di depannya itu ialah mayat Ki Go-ceng, ia sedang bergumam sendiri: "Aneh.... sungguh aneh...."

Sampai belasan kali ia bilang "aneh", tapi tidak di gubris Pwe-giok maupun Ki Leng-hong.

Saat itu Leng-hong lagi duduk diam seperti orang linglung, betapapun dia juga orang she Ki, ia benar-benar seperti sedang menanti ajal, seolah-olah sedang merasakan nikmatnya menunggu kematian.

Sebaliknya Pwe-giok tak dapat diam, betapapun ia masih menaruh setitik harapan akan meloloskan diri dari tempat ini. Namun "rumah maut" ini benar-benar sebuah kuburan, di dunia ini mana ada orang yang dapat keluar dari kuburan?

Sekonyong-konyong Cia Thian-pi menuding mayat Ki Go-ceng sambil tertawa terkekeh kekeh: "Ha, coba kalian lihat, sungguh aneh, orang mati dapat berkeringat... Orang mati juga dapat berkeringat!"

Suara tertawanya yang keras itu menimbulkan gema suara yang nyaring di rumah batu itu.

Diam-diam Pwe-giok menghela napas, ia menyesal bahwa ketua suatu perguruan ternama di daerah selatan ini kini benar-benar telah berubah menjadi orang gila. Mustahil, orang mati mana bisa berkeringat!

Dengan tak acuh ia melangkah ke sana dan tanpa terasa iapun memandang sekejap pada mayat Ki Go-ceng itu.

Dilihatnya muka orang mati yang kelihatan dingin dan seram itu benar-benar merembes keluar butiran keringat sebesar kedelai.

Jadi orang mati ini benar-benar berkeringat!

Selama setengah bulan ini entah sudah betapa banyak kejadian aneh dan misterius yang dialami Pwe-giok, tapi tiada sesuatu yang lebih aneh dan menakutkan daripada kejadian ini. Orang mati bisa berkeringat!

Dengan mata terbelalak ia pandang butiran keringat yang menetes dari muka orang mati ini. Ia menjadi ketakutan sehingga kaki dan tangan terasa lemas, sungguh iapun hampir gila saking takutnya.

Mau tak mau Ki Leng-hong juga memandang ke sana, mendadak ia berteriak dengan gemetar: "He, dia benar-benar ber... berkeringat!"

Tapi jelas tidak masuk akal, orang mati mana bisa ketakutan? Orang mati mana bisa berkeringat?.

Sungguh kejadian yang sukar dibayangkan dan siapa yang dapat memberi penjelasan mengenai rahasia ini?

Makin panas hawa di dalam rumah batu ini dan butiran keringat di muka orang mati inipun semakin banyak.

Mendadak Pwe-giok berjingkrak sambil berteriak: "Ah, patung lilin, orang mati inipun sebuah patung lilin!"

"Dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan dia masuk ke sini, mana bisa berubah menjadi patung lilin? " ujar Leng-hong.

Pwe-giok terus melompat kesana, dipuntirnya kepala "Orang mati" itu, seketika kepala orang mati itu copot. Benar, "orang mati" ini memang betul cuma sebuah patung lilin.

Di tempat yang remang-remang dan seram, di tengah mayat tulen sebanyak ini, di dalam "Rumah maut" yang penuh dengan kisah yang menakutkan ini, dengan sendirinya tiada seorangpun yang tahu bahwa diantara mayat-mayat ini ada sesosok mayat palsu.

Pwe-giok mengusap keringat yang membasahi tubuhnya, ia merasa lemas seperti kehabisan tenaga.

Ki Leng-hong juga sangat kaget, ia meraung: "Ini bukan patung lilin, pasti bukan patung lilin, aku menyaksikan sendiri dia masuk ke sini!"

Memang, jika ini betul patung lilin, lalu kemana perginya Ki Go-ceng?

"Setelah masuk kemari, bisa jadi dia telah keluar lagi." ujar Pwe-giok dengan tersenyum getir.

"Mungkin dia tidak sungguh-sungguh minum racun itu, bisa jadi dia cuma pura-pura mati." kata Leng-hong. "Tapi setelah dia masuk ke sini pintu lantas digembok dari luar, hakekatnya dia tidak dapat keluar lagi... Dan kalau dia tidak dapat keluar, tentu dia akan mati di sini, mengapa sekarang bisa berubah menjadi patung lilin?"

Mendadak mata Pwe-giok bersinar, serunya: "Di rumah maut ini pasti ada lagi jalan keluar yang lain. Ki Go-ceng pasti keluar melalui jalan rahasia itu. Jika dia dapat keluar, tentu juga kita dapat keluar!"

Berpikir demikian, seketika terbangkit semangatnya, ia tidak perduli dinding sekeliling sudah terbakar panas, segera ia mulai menyelidiki.

Orang yang berasal dari perguruan "Bu-kek-bun", dalam hal ilmu alam serta ilmu pasti sudah tidak asing lagi, terutama mengenai segala macam peralatan rahasia. Tapi Pwe-giok sudah meneliti setiap pelosok rumah batu ini dan tetap tidak menemukan jalan keluarnya.

Baju Pwe-giok dari basah telah menjadi kering, kini matanya juga sudah merah dan bibirnya pecah karena hawa yang panas. Dengan napas terengah-engah ia bergumam: "Di manakah jalan keluarnya?... Demi menipu orang dengan berpura-pura mati, sudah tentu Ki Go-ceng telah menyiapkan jalan keluarnya. Jika aku menjadi dia, dimana lubang keluar itu akan ku buat?"

"Setahuku di rumah maut ini tidak ada jalan keluar lagi." kata Leng-hong.

"Ada, pasti ada." ujar Pwe-giok "Kalau tidak, cara bagaimana Ki Go-ceng bisa keluar?"

Leng-hong termangu-mangu sejenak, katanya kemudian: "Apakah tidak mungkin ada orang membuka pintu dari luar dan melepaskan di dari sini ?"

Pwe-giok seperti kena dicambuk orang satu kali, seketika ia melenggong dan tidak sanggup bersuara lagi.

Memang betul, dengan sendirinya ada kemungkinan begitu. Orang semacam Ki Go-ceng ini, meski tidak nanti dia menghadapi kejadian yang sukar dipecahkan ini, Pwe-giok merasa apa yang dikatakan Ki Leng-hong itu terhitung yang paling masuk akal.

Apalagi setelah orang itu membukakan pintu mungkin sekali Ki Go-ceng lantas membinasakan orang itu. Dengan demikian rahasia pribadinya akan tetap tertutup.

Berpikir sampai di sini, Pwe-giok benar-benar menjadi putus harapan.

Tapi tiba-tiba terdengar Cia Thian-pi berteriak pula: "He, lihat aneh sekali, orang mati ini tidak kelihatan lagi, hilang sama sekali!"

Pwe-giok memandang lagi ke tempat mayat tadi, benar, dilihatnya patung lilin tadi sudah cair seluruhnya, tapi cairan lilinnya ternyata tidak banyak, kemana perginya cairan lilin itu?

Terkilas sesuatu dalam benak Pwe-giok, ia coba mendekati kursi batu itu dan diperiksanya dengan teliti, mendadak ia berseru dengan girang: "Aha, dugaan ku ternyata tidak meleset, di rumah maut ini memang betul ada jalan keluar lagi, jalan keluar itu terletak di bawah patung lilin ini, di bawah kursi batu ini."

Kiranya di bawah kursi batu itu ada sebuah lubang kecil dan cairan lilin itu justeru mengalir keluar melalui lubang kecil ini. Tapi lubang ini sangat kecil, hanya cukup dimasuki dua jari, cara bagaimana manusia dapat menerobos keluar?

"Hm, kukira lebih baik kau tunggu kematian dengan tenang saja." jengek Ki Leng-hong. "Jika dibawah kursi ini terdapat jalan keluar, sesudah Ki Go-ceng pergi, cara bagaimana patung lilin dapat berduduk di atas kursi ini, memangnya patung dapat berduduk dengan sendirinya?"

Gemeredep sinar mata Pwe-giok, katanya kemudian: "justeru Ki Go-ceng telah memperalat titik ini untuk mengelabui orang, biar orang menemukan rahasia patung lilin juga tidak menyangka jalan keluar itu terletak di bawah patung."

"Apapun juga, kalau tidak dipindahkan orang, tidak mungkin patung ini dapat berduduk di di atas kursi, untuk ini tidak nanti kau dapat memberi penjelasan" Kata Leng-hong.

"Tapi lubang kecil ini dapat memberi penjelasan." ujar Pwe-giok.

"Lubang kecil ini?" Leng-hong menegas. "Ya," jawab Pwe-giok. "Pada waktu Ki Go-ceng membuat patung ini, dia benamkan seutas tali di bagian pantat patung ini, lalu tali itu menyusup ke dalam lubang ini. Waktu dia masuk ke lorong di bawah dan tutup lubang dirapatkan kembali, tali ini lantas ditariknya sehingga patung lilin ini diseretnya berduduk di atas kursi."

"Ya, betul juga, cara ini memang sangat pintar dan bagus." seru Leng-hong

"Cara berpikir Ki Go-ceng yang rapi dan bagus sungguh sukar dibandingkan siapapun," ujar Pwe-giok. "Cuma sayang, betapapun rapi perhitungannya tetap tak pernah terpikir olehnya bahwa rumah ini bakal dipanggang dengan api dan patung lilin ini akhirnya akan cair, sudah tentu mimpipun tak terpikirkan olehnya bahwa lubang kecil yang tidak ada artinya ini akhirnya dapat membocorkan seluruh rahasianya."

Ki Lneg-hong berdiam sejenak, kemudian ia menghela napas panjang dan berkata: "Ai, kau memang jauh lebih pintar daripada apa yang pernah kusangka, sungguh cerdik!"

***

Papan batu di bawah patung lilin itu memang dapat digeser, di bawahnya memang betul ada sebuah lorong yang gelap.

Pwe-giok menarik napas lega, katanya: "Akhirnya diketahui ada orang hidup yang keluar dari rumah maut ini, bahkan tidak cuma satu orang saja?"

Kini Ki Leng-hong tidak dapat omong lagi, ia hanya ikut masuk ke lorong di bawah tanah itu.

Dengan memayang Cia Thian-pi, Pwe-giok terus merayap ke depan. Lorong ini panjang lagi berkelok-kelok, dengan sendirinya gelap gulita pula, jari sendiri saja tidak kelihatan.

Akhirnya mereka dapat lolos keluar. Tapi siapa yang berani menjamin bahwa jalan tembus ini adalah tempat yang aman?

Bisa jadi lorong ini menembus juga ke kamar tidur Ki-hujin sana.

Baru saja Pwe-giok berpikir demikian, tiba-tiba tampak cahaya lampu di depan sangat jelas di tempat gelap begini.

Di tempat yang ada cahaya lampu pasti juga ada manusianya.

Pwe-giok melepaskan pegangannya pada Cia Thian-pi dan cepat melompat ke sana, Siapapun yang dipergoki, setiap saat dia siap merobohkannya dengan sekali hantam.

Tapi mendadak Pwe-giok melihat lampu itu adalah lampu yang dibawanya masuk itu.

Waktu dia ditarik masuk ke kamar Ki-hujin lampu ini masih tertinggal di sini dan juga belum dipadamkan, jadi lorong ini memang betul jalan yang menembus ke kamar tidur Ki-hujin.

Kiranya baik kamar tidur Ki-hujin maupun rumah berdinding kertas dengan kasuran bundar serta rumah mati yang misterius itu satu dan lain ditembusi oleh jalan di bawah tanah ini.

Sudah banyak pengalaman pahit Pwe-giok dan hidup menuju kematian telah dijalaninya, setelah berputar-putar akhirnya dia tiba kembali di tempat semula. Sungguh ia tidak tahu mesti tertawa atau menangis?!

Ki Leng-hong telah datang pula, iapun melenggong.

Pwe-giok bergumam: "Menurut pikiranku, jalan di bawah tanah ini selain menembus ke kamar Hujin serta rumah berdinding kertas itu, pasti ada pula jalan keluar ke empat."

"Berdasarkan apa kau bilang demikian?" tanya Leng-hong.

"Sebab Ki Go-ceng dan orang she Ji itu tidak nanti keluar melalui kamar tidur Ki-hujin," tutur Pwe giok. "Mereka lebih-lebih tidak mungkin keluar melalui rumah berdinding kertas itu. Makanya kuyakin di sini pasti ada jalan keluar ke empat."

"Ha, jika begitu, kau kira terletak di mana jalan keluar ke empat itu?" kata Leng-hong dengan girang.

Pwe-giok mengangkat lampu minyak itu dan menyusur ke depan dengan pelahan. Jalan ini kembali menuju ke bawah rumah berdinding kertas itu. Tidak jauh, tiba-tiba ia berpaling dan bertanya kepada Ki Leng-hong: "Apakah kau tahu kapan orang she Ji itu datang ke Sat jin-ceng sini?"

"Tentu saja kuingat dengan jelas," jawab Leng-hong. "Hari itu adalah hari ketiga setelah Ki Go-ceng mulai minum racun, yaitu hari ketiga lewat tahun baru. Jadi tepat pada hari tahun baru dia mulai minum racun, tujuannya membikin kegembiraan akan bertambah dengan sedikit rasa duka."

"Jadi Ce-it (tanggal satu) dia mulai minum racun, lalu hari apa dia masuk ke rumah mati itu?" tanya Pwe giok.

"Itulah hari Cap-go-meh," jawab Leng-hong. "Dimulai Ce-it hingga Cap-go-meh, segenap penghuni Sat-jin ceng sama sibuk membereskan urusan kematiannya sehingga orangpun tidak memperhatikan orang she Ji itu."

Sementara itu mereka sudah sampai di ruangan kecil di bawah rumah kertas itu, kantung bersulam indah yang berisi sepotong kemala berukir itu masih terletak di tempat tidur, patung lilin Ki Go-ceng juga masih di situ dan seakan-akan sedang memandang mereka.

Mendadak Cia Thian pi tertawa terkekeh-kekeh pula, serunya: "Pantas orang mati itu menghilang, kiranya dia mengeluyur ke sini..."

Pwe-giok ambil batu Giok itu dan termangu-mangu, katanya kemudian: "Kukira orang she Ji itu tidak mengeluyur pergi, Ki-hujin telah salah sangka padanya."

"Apa alasanmu kau bilang demikian?" tanya Leng hong heran.

"Waktu kulihat batu Giok ini, aku menjadi heran," tutur Pwe giok. "Seumpama orang she Ji itu tidak sayang pada kantung bersulam ini, tidak seharusnya dia meninggalkan batu pualam ini di sini."

"Ya, tampaknya benda ini adalah benda pusaka keluarganya, bisa jadi dia pergi dengan tergesa-gesa, makanya tertinggal di sini," kata Leng-hong.

"Tidak, tatkala itu tiada orang tahu rahasia lorong di bawah tanah ini, jika dia menemukan jalan tembus ke empat, tentu dia mengeluyur pergi dengan bebas, kenapa dia harus tergesa-gesa, kecuali...."

"Kecuali apa?" tanya Leng-hong.

"Kecuali kepergiannya itu bukan kehendak sendiri melainkan dipaksa orang," jawab Pwe-giok.

Ki Leng-hong melenggong, katanya kemudian; "Jadi maksud... maksudmu dia telah dipergoki Ki Go-ceng?"

"Kupikir pasti begitu," kata Pwe-giok. "Waktu Ki Go-ceng menyusup masuk ke lorong ini dan mengetahui di tempat yang dirahasiakan ini ternyata ada orang luar, tentu saja dia tidak tinggal diam, mana dia dapat membiarkan ada orang kedua yang mengetahui rahasia kematiannya yang pura-pura."

"Jika demikian, jadi orang the Ji itu bukan cuma dipaksa pergi olehnya, bahkan ada kemungkinan telah dibunuhnya untuk menghilangkan saksi?!"

"Ya, kurasa Ki Go ceng pasti telah membunuhnya," ucap Pwe-giok.

Sampai lama Ki Leng hong terdiam, katanya kemudian: "Jika dia (maksudnya Ki-hujin) mengetahui si dia sudah mati, bisa jadi dia takkan begitu berduka dan sedih...."

"Masa dia takkan bertambah sedih jika dia mengetahui kekasihnya sudah mati?" tanya Pwe-giok dengan heran.

Ki Leng-hong tersenyum pedih, jawabnya: "Tahukah kau apakah yang menjadi penderitaan terbesar bagi seorang perempuan?"

Dia tidak menunggu jawaban Pwe-giok, tapi lantas dijawabnya sendiri: "Yaitu ditinggal oleh orang yang dicintainya. Penderitaan ini bukan saja sangat hebat, bahkan tak terlupakan selama hidup. Bahwa kekasihnya itu sudah-mati, walaupun dia akan sedih juga tapi hampir tiada artinya jika dibandingkan penderitaan seperti kalau ditinggal pergi. Sebab itulah ada sementara orang perempuan yang tidak sayang membunuh kekasih sendiri, yaitu karena kuatir sang kekasih akan menyukai perempuan lain. Jadi dia lebih suka kekasihnya mati daripada jatuh dalam pelukan wanita lain."

"Jika demikian, bila dia mengetahui kekasihnya sudah mati, ia berbalik akan rnerasa senang?"

"Ya, akan jauh lebih senang," kata Long-hong.

"Ai, jalan pikiran orang perempuan sungguh sukar untuk dipahami kaum lelaki," ujar Pwe-giok sambil menggeleng.

"Lelaki memang tidak seharusnya memahami jalan pikiran perempuan dan perempuan juga bukan dilahirkan untuk dipahami orang, tapi supaya dihormati dan dicintai," jengek Leng-hong.

Pwe-giok tidak menanggapi lagi, dengan memegang lampu minyak itu, dia mulai menyelidiki sekitar tempat itu. Ia yakin jalan keluar ke empat pasti berada di dekat tempat tidur itu. Namun dia tidak menemukannya, sementara itu minyak sudah habis, akhirnya lampu itu padam.

Pwe-giok menghela napas, gumamnya: "Tampaknya sekalipun di lorong bawah tanah ini memang ada jalan tembus ke empat, tapi dalam keadaan gelap gulita begini jangan harap akan dapat menemukannya."

"Padahal, tidak perlu kau cari jalan tembus ke empat itupun kita tetap dapat keluar dari sini," kata Leng-hong tiba-tiba.

"He, kau punya akal?" tanya Pwe-giok cepat.

"Kukira asalkan kau sanggup membuktikan orang she Ji itu sudah mati, tentu Hujin takkan benci lagi padamu, bisa jadi dia akan segera melepaskan kau," kata Leng-hong.

Belum lagi Pwe-giok menjawab, mendadak dalam kegelapan ada seorang menanggapi; "Tidak, cara ini tidak tepat."

"Mengapa tidak tepat?" tanya Leng-hong.

"Jika Ji Pwe-giok sudah mati, cara bagaimana dapat keluar lagi dengan hidup?" ujar orang itu.

Baru sekarang Ki Leng-hong mengenali suara itu bukan suara Ji Pwe-giok juga bukan suara Cia Thian-pi, seketika ia berkeringat dingin dan berteriak tertahan: "Sia... siapa kau?"

"Hehehhehe, masa suaraku saja tidak kau kenal lagi?" ucap orang itu dengan tertawa.

"Cras", dalam kegelapan lantas menyala sinar api, tertampaklah seraut wajah tua dan kurus penuh bekas penderitaan hidup.

"Ko-lothau!" seru Pwe-giok dan Leng-hong berbareng. "Mengapa kau dapat masuk ke sini?!"

Wajah si Ko tua yang kurus pucat itu tampaknya juga misterius di bawah cahaya lampu yang gemerdep di lorong bawah tanah ini. Dia pandang Ki Leng-hong dan tersenyum penuh rahasia, katanya: "Ya, si Ko tua yang biasa bekerja sebagai tukang kayu mana bisa datang ke sini? Tapi selain Ko tua yang kau ketahui, adalah hal lain yang kau ketahui mengenai diriku?"

Tiba-tiba Ki Leng-hong merasakan sorot mata si kakek memancarkan semacam sinar tajam yang belum pernah dilihatnya, tanpa kuasa ia menyurut mundur dan berkata dengan suara gemetar; "Sesungguhnya sia... siapa kau?"

Pelahan-lahan Ko-lothau melangkah lewat di depan Leng hong, ia taruh lampu yang dipegangnya di atas almari kecil di ujung tempat tidur sana, habis itu mendadak ia membalik tubuh dan memandang si nona dengan sorot mata gemerdep: "Aku inilah orang yang membikin Ki Go-ceng tidak dapat tidur dengan lelap dan tidak dapat makan dengan enak, aku inilah yang membuat Ki Go-ceng merasa tak dapat hidup lebih lama lagi..."

"Oh, sebabnya Ki Go-ceng terpaksa berlagak merenungkan dosanya di rumah kertas dan terpaksa pura-pura mati, semua itu lantaran dia takut padamu?" seru Pwe giok.

"Hehehe, kau pun tidak menyangka bukan?" kata Ko-lothau dengan tertawa. "Ya, siapapun pasti tidak menduga bahwa orang yang paling ditakuti Ki Go ceng selama ini ternyata adalah seorang tua bangka macamku ini."

"Apakah. ..... apakah dia sudah tahu siapa dirimu?" tanya Leng-hong terkejut.

"Sudah tentu dia tahu siapa diriku?" jengek Ko-lothau, "tapi dia justeru tidak berani membongkar hal ini, terpaksa dia berlagak bodoh dan pura-pura tidak tahu, sebab iapun tahu sudah lama kuketahui rahasianya."

"Rahasia apa?" tanya Leng-hong.

"Lebih 20 tahun yang lalu di dunia Kangouw mendadak terjadi banyak peristiwa yang menggoncangkan, ada pencurian benda pusaka secara besar-besaran, banyak tokoh ternama terbunuh secara gaib, si pencuri dan pembunuh itu sangat tinggi Kungfunya, apa yang diperbuatnya itu pun sangat bersih tanpa meninggalkan bekas sedikitpun. Meski dunia persilatan waktu itu telah mengerahkan berpuluh tokoh pilihan untuk menyelidikinya, namun tak dapat menemukan jejaknya. Maklum, siapapun tidak menyangka orang yang melakukan hal-hal itu adalah Ki Go-ceng yang lagi merenungkan dosanya di rumah kertas dan diketahui tidak pernah keluar rumah sepanjang tahun."

"Memangnya sudah kuduga apa yang dilakukannya itu pasti mempunyai intrik tertentu," kata Pwe-giok, ia sangat tertarik oleh cerita si Ko tua.

"Tapi kalau kau bilang dia adalah pembunuh dan pencuri, jelas aku tak percaya," kata Leng-hong.

"Ya, bukan saja kau tidak percaya, jika kuceritakan pada waktu itu, di seluruh dunia ini mungkin juga tiada seberapa orang yang mau percaya," ujar Ko-lothau dengan gegetun. "Nah, demi membongkar rahasia inilah terpaksa aku menyelundup ke Sat-jin-ceng sini."

"Kau bilang waktu itu dia sudah tahu siapa dirimu?" tukas Leng-hong. "Jika begitu mengapa dia dapat membiarkan kau tinggal di Sat jin-ceng dan mengapa tidak dia bunuh dirimu."

"Jika dia tidak membiarkan ku tinggal di sini, bukankah makin menandakan dia bersalah sehingga takut diketahui orang?" ujar Ko-lothau.

"Dan kalau dia bunuh diriku, bukankah akan lebih membuktikan dosanya? Segala sesuatu selalu dipikirkannya dengan rapi, selamanya dia tidak suka menyerempet bahaya dan main untung-untungan, dengan sendirinya iapun tidak mau mengambil resiko dalam persoalan diriku ini. Makanya meski dia tahu kedatanganku ini sengaja hendak mengawasi gerak-geriknya, terpaksa dia tetap pura-pura tidak tahu." Ia tertawa, lalu menyambung pula; "Jika tidak demikian, mana bisa Sat jin ceng mau menerima seorang tua bangka yang tidak diketahui asal-usulnya."

"Jadi menurut perhitunganmu, meski dia tahu kedatanganmu ini hendak mengawasi dia, tapi dia berbalik terpaksa harus menerima kau di sini, walaupun langkah ini sangat bagus, tapi setelah dia tahu siapa dirimu, bukankah setiap saat dia dapat berjaga-jaga segala kemungkinan, mana bisa dia memperlihatkan rahasianya di depanmu?" tanya Pwe-giok.

"Sekali pandang saja dia dapat mengetahui asal usul orang lain, orang pintar seperti dia, masa semudah itu orang hendak membongkar rahasianya? Maka setiba ku di sini, segera ku sadari semua peristiwa yang tiada buktinya takkan terpecahkan untuk selamanya," jawab Ko-lothau sambil menghela napas.

"Jika demikian, untuk apalagi kau tinggal di sini selama ini?" kata Leng-hong.

"Aku tinggal di sini, memang tak dapat ku bongkar rahasianya, tapi sedikitnya dapat ku awasi gerik-geriknya agar dia tidak berani lagi keluar dan berbuat jahat…" tutur Ko lothau. "Dan memang, sejak aku tinggal di sini, segala perbuatan yang menggemparkan dunia Kangouw itu lantas lenyap dan tak pernah terjadi lagi."

"Demi untuk mencegah terjadinya kejahatan, Cianpwe telah mengorbankan nama dan kedudukan sendiri, rela menjadi budak orang, sungguh keluhuran budi dan kebesaran jiwa Cianpwe ini sukar dicari bandingannya," puji Pwe-giok dengan gegetun.

Tanpa terasa timbul rasa muram pada wajah Ko-lothau, selama hampir 20 tahun ini tentu dilewatkannya dengan susah-payah. Akan tetapi rasa muram itu hanya sekilas saja menghiasi wajahnya dan segera lenyap, ia lantas bergelak tertawa dan berkata; "Meski aku telah mengorbankan kenikmatan hidupku sendiri dan melewatkan hari-hari sengsara selama ini, tapi akupun berhasil memaksa Ki Go ceng dari pura-pura menjadi sungguhan, mau-tak-mau dia menderita juga di rumah kertas itu. Jadi pengorbananku ini terasalah cukup berharga."

"O, lantaran dia tidak mampu membunuh dirimu dan juga tidak dapat kabur, akhirnya terpaksa ia pura-pura mati!" kata Pwe-giok.

"Ya, ambisinya memang besar, dengan sendirinya ia tidak rela mengakhiri hidupnya secara begitu," tutur Ko-lothau. "Mungkin setelah dipikirnya, akhirnya didapatkan akal pura-pura mati itu. Meski ku tahu dia pasti tidak rela mengeram di rumah kertas itu, tapi tak terduga olehku bahwa dia akan mengelabui diriku dengan akal bulusnya itu."

"Setelah kena diakali, mengapa kau tidak pergi?" tanya Leng hong.

"Meski waktu itu dia dapat mengelabui diriku, tapi kemudian kupikir dalam urusan ini pasti ada sesuatu yang tidak beres, sebab ku tahu Ki Go-ceng bukanlah manusia yang mudah menyerah dan rela mati begitu saja, apalagi . ..." tersembul senyuman pahit pada ujung mulut si Ko tua, lalu sambungnya dengan pelahan: "Sejak kecil aku sudah terbiasa terluntang-lantung kian kemari, belum pernah aku berdiam di suatu tempat lebih dari setengah tahun. Tapi di sini, tanpa terasa aku telah tinggal sekian tahun, kehidupan yang sederhana ini terasa sudah biasa bagiku, bahkan rasanya sangat enak. Aku sendiri tidak berkeluarga, tidak punya anak isteri, kusaksikan kalian meningkat dewasa, diam-diam akupun bergembira, makanya..."

"Hm, tidak perlu kau gembira bagi kami," jengek Ki Leng-hong. "Kau pergi atau tidak, sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan diriku, kau pun tidak perlu menggunakan diriku sebagai alasan. Sekarang maksud tujuanmu tinggal di sini sudah tercapai, maka selanjutnya aku tidak kenal lagi padamu."

Ko-lothau terdiam sejenak, ucapnya kemudian dengan menghela napas panjang: "Ya, betul, setelah maksud tujuanku tinggal di sini sudah tercapai, akhirnya sudah kubuktikan Ki Go-ceng belum lagi mati, selanjutnya aku perlu mengembara lagi ke mana-mana, akan kucari pula jejaknya. Selama belum kutemukan dia, sebelum kusaksikan dia mati di depan mataku, selama itu pula aku tidak rela."

"Hm, setelah dia pergi, mungkin selamanya jangan harap dapat kau temukan dia," jengek Leng-hong pula.

"Betul juga, jika seterusnya dia mengasingkan diri dan hidup di tempat jauh, tentu tak dapat kutemukan dia lagi. Tapi bila dia melakukan sesuatu kejahatan, segera pula aku dapat menemukan jejaknya. Sedangkan orang macam dia itu jelas tidak rela hidup kesepian."

Kembali sorot matanya memancarkan sinar yang tajam, jago tua yang sudah lama mengasingkan diri ini kini mendadak telah berubah menjadi kereng dan bersemangat lagi.

Akhirnya Ki Leng-hong tidak tahan, ia bertanya: "Sesungguhnya siapa kau?"

Ko-lothau tersenyum, jawabnya: "Jika selanjutnya kau tak mau kenal lagi padaku, untuk apa pula kau tanya siapa diriku?"

Ki Leng hong melengos ke sana dan tidak memandangnya lagi.

Padahal tanpa bertanya ia pun tahu orang yang dapat membuat Ki Go-ceng takut mustahil tiada mempunyai kisah hidup yang gemilang dan asal-usul yang luar biasa.

ooo 000 ooo

Sesungguhnya siapakah Ko-lothau ini dan bagaimana asal-usulnya?

Kemana perginya Ki Go-ceng?....

Semua itu tidak diperhatikan oleh Pwe-giok, yang sedang dipikirnya hanya satu soal saja. Dia memandang sekelilingnya, akhirnya ia bertanya; "Entah darimanakah Cianpwe masuk ke sini?"

"Kudengar kau sudah mati aku jadi ingin tahu cara bagaimana kau mati? Maka diam-diam kumasuki kamar Ki hujin, disitulah tanpa sengaja kutemukan jalan rahasia di balik almari itu. Padahal almari itu selamanya tertutup, entah mengapa sekarang telah terbuka."

Kiranya seperginya Ji Pwe-giok, Ki hujin telah lupa menutup kembali almarinya.

Terbelalak Pwe-giok demi mendengar keterangan ini, serunya: "He, jadi saat ini di kamarnya tiada orang?"

"Kau ingin keluar melalui sana?" tanya Ko-lothau.

"Jika mereka menyangka aku sudah mati, tentu mereka tidak lagi mengawasi diriku, kesempatan ini dapat kugunakan untuk kabur," kata Pwe-giok.

"Bila kau sudah mati, mana dapat keluar lagi dengan hidup?" bentak Ko-lothau mendadak dengan bengis.

"Jadi maksud Cianpwe..." Pwe-giok melengak dan tak dapat melanjutkan.

"Apa maksudku, masa kau tidak paham?" kata Ko-lothau dengan sinar mata gemerdep," seperti tanpa sengaja ia melirik sekejap ke arah patung lilin Ki Go-ceng.

Mendadak Pwe giok sadar, serunya: "Aha, betul, jika Ki Go ceng dapat mengelabui orang dengan pura-pura mati, mengapa aku tidak boleh? Di dunia ini mana ada penyamaran lain yang lebih mudah menghindari pengejaran serta untuk alat penyelidikan rahasia orang lain daripada pura-pura mati?"

"Bagus, akhirnya kau paham juga," ujar Ko-lothau dengan tersenyum puas. "Pendek kata, ada permusuhan apapun juga kau dengan orang lain, asal sudah mati, orang lain takkan mengusut lebih lanjut. Jika kau hendak menyelidiki rahasia orang lain, setelah kau mati, tentu orang takkan berjaga-jaga lagi akan dirimu."

Pwe-giok menghela napas, katanya: "Pantas ketika Ki Go-ceng masuk ke rumah mati itu dia sengaja bilang bahwa kematian seorang akan jauh lebih menggembirakan daripada hidup. Kiranya di balik ucapannya ini mengandung makna yang sangat dalam, cuma sayang waktu itu tiada seorangpun yang paham maksudnya."

"Tapi sayang, orang lain sama kenal kau sebagai Ji Pwe-giok," tiba-tiba Leng-hong menjengek.

"Ya, betul juga," jawab Pwe-giok dengan menyengir. "Meski aku dapat pura-pura mati, tapi wajahku tak dapat mengelabuhi orang."

Tapi Ko-lothau tidak menanggapi, ucapnya dengan tenang: "Tuhan menciptakan manusia dengan pintar dan bodoh, cakap dan buruk, tapi tidak pernah menciptakan manusia yang sempurna. Melulu bicara tentang lahiriah saja, sekalipun lelaki cakap yang sama-sama diakui umum pasti juga terdapat sesuatu ciri, dari jaman dahulu hingga kini, baik lelaki maupun perempuan tidak pernah ada sebuah wajah yang sempurna."

Ia menatap tajam-tajam muka Pwe-giok, lalu menyambung pula dengan pelahan. "Misalnya dirimu, kaupun terhitung seorang lelaki cakap, tapi alismu terasa tebal, matamu rada kekecilan, hidungmu kurang tegak, ujung mulutmu juga terasa kurang serasi."

Pwe-giok tidak tahu mengapa orang tua itu mendadak bicara seperti tukang Kwamia atau tukang nujum di tepi jalan, terpaksa ia cuma menyengir dan menjawab dengan tergagap-gagap: "Ah, mana Wanpwe dapat dianggap orang cakap?"

"Bilamana batiniah seseorang ada cirinya, maka siapa pun tak berdaya memperbaikinya," kata Ko-lothau pula. "Tapi kekurangan pada lahiriah, betapapun dapat ditambal. Sudah lama terkandung niatku akan menciptakan seorang yang paling cakap hanya saja aku ingin mencari seorang model yang cocok dan inilah yang sulit. Sebab, betapapun kita tidak dapat menjadikan seorang yang sumbing atau seorang yang juling untuk berubah menjadi lelaki yang sempurna."

Kembali sorot matanya yang tajam menatap Pwe-giok dan menyambung pula: "Sedangkan kau baik lahiriah maupun tutur-katamu sudah terhitung mendekati sempurna, ciri pada wajahmu juga tidak sulit diperbaiki. Sudah sekian tahun kucari, akhirnya. kutemui dirimu."

"Memangnya Cianpwe bermaksud meng... mengubah diriku menjadi lelaki cakap?" tanya Pwe-giok dengan terkejut.

"Menjadi lelaki cakap akan banyak manfaatnya," ujar Ko-lothau dengan tersenyum. "Bisa menjadi lelaki cakap yang sempurna terlebih-lebih banyak manfaatnya. Umpamanya, paling tidak setiap perempuan di dunia ini pasti tidak tega mencelakai dirimu lagi."

"Tapi.... tapi terhadap wajahku sekarang ini Wanpwe sudah cukup puas," seru Pwe-giok.

Ko-lothau tidak menghiraukannya, dengan tersenyum ia berkata pula: "Manfaat lain sementara tidak perlu kukatakan, manfaat yang paling besar adalah selanjutnya tidak bakal ada orang yang kenal kau sebagai Ji Pwe-giok lagi."

Pwe-giok melengak bingung, katanya dengan tergagap: "Tapi... tapi dengan wajah yang begitu cakap kan lebih mudah menarik perhatian orang?"

"Karena terpengaruh oleh kecakapan wajahmu, terhadap setiap tindak-tandukmu orang akan menjadi kurang memperhatikannya," kata Ko-lothau. "Dengan demikian, andaikan dalam gerak-gerik atau tutur katamu ada sesuatu yang tidak betul juga tidak perlu kuatir."

Pwe-giok berpikir sejenak, akhirnya ia menghela napas panjang dan menjawab: "Baiklah, jika demikian, Wanpwe terpaksa menurut saja."

Waktu menengadah, dilihatnya Cia Thian-pi masih memandangi patung lilin itu dengan termangu-mangu linglung, sedangkan Ki Leng-hong menghadap ke dinding, terhadap apa yang dipercakapkan Pwe-giok dan Ko-lothau itu dianggapnya seperti tidak melihat dan tidak mendengar.

oooo 000 ooo

Lorong di bawah tanah yang kelam itu mendadak terang lagi.

Ko-lothau sudah keluar satu kali, kembalinya telah membawa bahan makanan dan air minum serta cukup banyak lilin dan dua buah cermin tembaga, tersorot oleh cahaya lampu, cermin tembaga itu kelihatan bertambah terang.

Pwe-giok berbaring di tempat tidur, Ko-lothau menutupi muka anak muda itu dengan sepotong kain belacu yang basah, terasa bau obat yang menusuk hidung, seketika Pwe-giok kehilangan ingatan. Dalam keadaan sadar-tak-sadar sempat didengarnya Ko-lothau lagi berkata: "Tidurlah sepuasnya, setelah kau mendusin nanti, jadilah kau lelaki cakap yang paling sempurna dan tiada bandingannya."

oo 0O0 oo

Entah sudah berapa lama Pwe-giok tertidur nyenyak, waktu mendusin, mukanya masih terbalut oleh kain basah, tujuh hari kemudian barulah pembalut itu dibuka.

Ko-lothau memandangi wajahnya dengan seksama, mirip seorang pelukis yang sedang meneliti buah karyanya dengan sorot mata yang penuh rasa puas dan bangga, gumamnya: "Dengan wajahmu ini, siapa pula yang sanggup menemukan setitik cirinya? Sudah barang tentu melulu wajahmu inipun belum cukup, dengan sendirinya masih ada lainnya, sedangkan kau ......" dia tepuk pundak Pwe-giok dan berkata pula dengan tertawa: "Kebetulan juga sejak kecil kau telah mendapatkan pendidikan kekeluargaan dan sudah biasa sopan santun dan lemah lembut, pula dari pengalamanmu yang sudah kenyang menghadapi berbagai macam bahaya kau lebih terbiasa bersikap tenang dan sewajarnya. Kalau tidak berpengalaman seperti kau dan menganggap mati dan hidup sebagai kejadian yang sepele, tentu kau takkan sedemikian sempurna..."
"Betul, dengan gabungan semua itu, kau memang cukup memikat setiap anak gadis di dunia ini," jengek Ki Leng-hong mendadak. "Sungguh aku pun sangat bangga bisa mempunyai anak buah semacam kau, tak perlu kuatir lagi usahaku takkan berhasil."

"Siapa kau anggap anak buah?" tanya Ko-lothau dengan tercengang.

"Ji Pwe-giok," jawab Leng-hong pula. "Dengan sendirinya termasuk kau juga."

Ko-lothau memandangi nona itu dengan terkesima, seperti memandang makhluk yang aneh.

Ki Leng-hong menjengek pula: "Hm, jika kalian tidak tunduk kepada perintahku, segera akan ku bongkar rahasia kalian agar usahamu sia-sia, agar Ji Pwe giok segera mati."

"Jika demikian, lekas kau keluar dan beritahukan kepada orang, silakan!" kata Ko lothau sambil menghela napas panjang.

Sekali ini Ki Leng hong melenggong sendiri ucapnya: "Kau . . . .kau suruh ku bongkar rahasiamu kepada orang lain?"

Ko-lothau tersenyum, katanya: "Dan takkan kau lakukan, bukan? Ku tahu betul, meski lahirnya kau kelihatan bengis, padahal hatimu jauh lebih bajik daripada apa yang kau bayangkan sendiri. Sejak kecil kusaksikan kau meningkat dewasa, masa aku tidak pahami pribadimu?"

Leng-hong termenung hingga lama, mendadak ia menerjang keluar. Akan tetapi baru beberapa langkah mendadak ia mendekap di dinding dan menangis tergerung-gerung.

Ko-lothau mendekatinya dan membelai rambutnya pelahan, ucapnya: "Anak yang baik, agaknya kau pandang segala urusan secara bersahaja. Hendaknya kau tahu, sekalipun kau ingin menjadi orang jahat juga bukan perbuatan yang mudah. Terkadang, untuk menjadi orang jahat malahan jauh lebih sulit daripada menjadi orang baik."

Pwe-giok berbangkit dirasakan mukanya rada gatal, baru saja ia hendak menggaruknya, mendadak Ko-lothau menarik tangannya dan berkata: "Dalam waktu tiga hari belum boleh kau raba mukamu, sebaiknya juga jangan terkena air."

"Masa aku masih harus menunggu tiga hari di sini?" tanya Pwe-giok.

"Tampaknya kau tidak sabar menunggu lagi, boleh kau keluar saja jika mau," kata Ko-lothau. "Cuma kau harus hati2...., Ya, sesungguhnya akupun tidak sabar ingin kau dilihat orang lain, agar seluruh umat manusia di dunia ini mengetahui bahwa lelaki paling cakap dan sempurna di dunia kini telah lahir!"

Ia memutar kasuran yang menutupi lobang keluar itu, maka cahaya lantas menerangi wajah Ji Pwe giok.

Sekuatnya Ko lothau menepuk pula pundak Ji Pwe giok, katanya dengan tertawa: "Kenapa tidak lekas kau keluar?"

"Boleh... boleh ku keluar sekarang juga?" tanya Ji Pwe giok dengan ragu2.

"Mengapa tidak?" jawab Ko lothau dengan tertawa. Hendaklah kau tahu, selanjutnya tidak perlu lagi kau takut bertemu dengan siapapun, seterusnya tiada orang yang mengenal kau lagi.

Pwe giok memandangi Cia Thian pi sekejap, dilihatnya ketua Tiam jong pay itu masih terus bergumam: "Orang mati bisa berkeringat.... orang mati telah menghilang... "

Pedih juga hati Pwe giok, ia pegang tangan Cia Thian pi, katanya dengan menyesal: "Cianpwe, engkau...."

"Tak perlu kau pikirkan dia," seru Leng hong mendadak sambil berpaling, "Karena aku yang mengakibatkan dia gila, dengan sendirinya akan kujaga dia. Di Sat jin ceng ini tiada orang lain yang akan tahu rahasiaku, juga tidak bakal ada orang yang menemukan dia.

"Jadi nona sendiri masih akan berdiam di Sat jin ceng sini?" tanya Pwe giok.

"Mengapa tidak?" jawab Leng hong ketus.

"Tapi Ki Song hoa... " Pwe giok ragu2 untuk meneruskan.

"Hm, jika dia tahu aku belum mati, asal melihat mukaku mungkin akan lari terbirit-birit, mana ia berani mencari perkara lagi padaku," jengek Ki Leng hong. "Maka jangan kuatir terhadap dia, tidak nanti dia berani menanyaiku cara bagaimana kita dapat lari keluar."

Mendadak ia memandang Pwe giok dengan sorot mata dingin dan tajam, dia telah kembali kepada keangkuahannya semula, lalu katanya pula: "Nah, kenapa kau tidak lekas pergi? apakah perlu tunggu pikiranku berubah lagi?"

Ko lotahu menyela dengan tersenyum: "Ya, tampaknya memang lebih baik lekas kau pergi saja, pikiran orang perempuan memang sangat mudah berubah."

OOOO00000OOOO

Tiba di luar rumah kertas itu, cahaya sang surya menyinari baju Pwe giok yang putih bersih itu, pakaian ini dengan sendirinya juga disediakan oleh Ko lothau.

Dengan baju yang baru, dengan wajah baru, kini Ji Pwe giok berada kembali di tengah Sat jin ceng. Dunia ini seakan-akan sedang menyambut kemunculannya dengan segala sesuatu yang serba baru.

Di bawah cahaya sang surya yang cemerlang, sampai-sampai Sat jin ceng yang biasanya seram menakutkan inipun penuh suasana hangat, tercium bau harum bunga dan kicau burung yang merdu sama sekali tidak tercium bau darah lagi.

Pwe giok mendekati sebuah sungai kecil, dengan air sungai ia berkaca, dilihatnya bayangan seorang pemuda tampan seperti lukisan sedang memandangnya.

Pemuda ini kelihatan seperti Ji Pwe giok, tapi seperti bukan Ji Pwe giok, meski mata alis pemuda ini menyerupai Ji Pwe giok, namun entah berapa kali lebih cakap daripada Ji Pwe giok.

Jika alis Pwe giok semula agak tebal, sekarang alis pemuda ini sudah dibenahi sedemikian bagusnya. Jika pemuda sekarang ini diibaratkan sebuah lukisan karya seniman nomor wahid, maka Ji Pwe giok boleh dikatakan cuma barang tiruan dari pelukis kaki lima.

Sampai terkesima sendiri Pwe giok memandangi bayangan di permukaan air itu, gumamnyal "Masakan ini diriku?... wahai Ji Pwe giok, perlu kau ingat, wajah ini kau pinjam pakai untuk sementara waktu saja, jangan sekali-kali kau melupakan dirimu sendiri.

Sekonyong-konyong didengarnya suara tindakan orang banyak.

Pwe giok masih was-was, tanpa terasa ia menyelinap ke balik gunung-gunungan palsu, maka terlihatlah beberapa orang sedang mendatangi sambil mengobrol.

Terdengar seorang diantaranya berkata dengan tertawa: "Menurut cerita yang tersiar di kangouw, konon Sat jin ceng ini sedemikian misteriusnya, sangat menyeramkan dan macam-macam lagi, tempat ini dilukiskan seolah-olah istana hantu atau neraka, tapi setelah kita lihat sendiri, ternyata juga tiada ubahnya dengan tempat lain."

"Kedatanganmu bukan untuk membunuh orang, tentunya kaupun takkan dibunuh orang," demikian seorang lagi menanggapi. "Kita cuma datang untuk melawat orang mati, dengan sendirinya Sat jin ceng dalam pandanganmu menjadi tempat yang biasa saja."

Dengan tertawa orang ketiga menyela: "Padahal kedatanganku untuk melawat ini hanya pura-pura saja, yang benar aku memang ingin tahu bagaimana bentuknya Sat jin ceng. Jika kesempatan ini tidak kugunakan untuk masuk ke Sat jin ceng, di hari2 biasa jangan harap akan dapat keluar dengan hidup"

Begitulah sambil bersenda-gurau beberapa orang itu lantas lalu dari situ.

Pikiran Pwe giok tergerak, diam-diam iapun ikut menuju ke sana.

Belum lagi sampai di ruangan pendopo sana dari jauh sudah kelihatan orang banyak berkerumun, Pwe giok ikut berjubel di tengah orang banyak sehingga apapun tidak terlihat. Hanya didengarnya seorang berkata: "Meski kematiannya tidak gemilang, tapi yang melawat ternyata luar biasa."

"Ini kan berkat nama besar ayahnya," kata orang lain.

Pwe giok coba menepuk pundak orang itu dan bertanya: "Para pelawat ini entah ksatria-ksatria dari mana saja?"

Orang itu menoleh sambil berkerut kening, tampaknya merasa tidak suka ditanya, tapi demi nampak wajah Pwe giok, seketika terunjuk senyuman pada wajahnya, jawabnya: "Ah barangkali anda tidak tahu, bahwa yang kita lawat ini adalah Ji Pwe giok, putera Bulim bengcu sekarang."

"Oo, kiranya dia." ujar Pwe giok sambil menyengir.

Orang mengacungkan jari jempolnya dan berkata pula: "Ji Hong-ho benar2 tak malu sebagai Bulim bengcu, Anaknya mati, sama sekali ia tidak mengusut bagaimana kematiannya, bahkan ia berkata: "Jika anak durhaka ini masih hidup, tetap aku akan menumpasnya bagi kesejahteraan umum. Sekarang dia sudah mati, mengingat hubungan ayah dan anak, terpaksa harus kulawat ke sini,... coba, betapa bijaksana dan luhur budinya bulim bengcu kita ini. Sebab itulah, meski waktu hidupnya Ji Pwe-giok tidak dihormati, sesudah mati malah menerima penghormatan yang besar."

"Eh, tampaknya anda masih asing, bolehkah mengetahui nama anda yang terhormat?" tanya orang kedua tadi.

Pwe giok tersenyum hambar, jawabnya: "Cayhe Ji Pwe giok adanya"

Orang itu berjingkat kaget, tapi segera ia tertawa dan berkata: "Ah,.. orang kangouw sama she dan nama tidaklah sedikit. Kalau melihat wajah anda, jelas jauh lebih cakap daripada Ji Pwe giok yang mati itu."

"Ah, masa?" ujar Pwe giok tersenyum.

Tengah bicara, kerumunan orang banyak mendadak tersingkir ke pinggir, seorang perempuan cantik luar biasa tampak muncul dengan langkah lemah gemulai.

Segera Pwe giok kenal perempuan cantik ini ialah Hay hong hujin yang namanya mengguncangkan dunia itu.

Sebelah tangan nyonya cantik menggandeng seorang gadis cantik berbaju hitam, muka dikerudungi sutera tipis, meski tidak kelihatan wajahnya dengan jelas, tapi dapat didengar suara tangisnya yang tersedu-sedang.

Tanpa melihat wajah gadis berbaju hitam itu dapatlah Pwe giok mengetahui siapa dia. Tergetar juga hatinya, tanpa terasa ia terkesima.

Seperti sengaja Hay hong hujin meliriknya sekejap dengan mengulum senyum, tapi gadis berbaju hitam itu tetap menunduk dan menangis pelahan tanpa memandang siapapun juga.

Lirikan Hay hong hujin penuh daya tarik, namun Pwe giok seperti tidak tahu, maklum baginya saat ini selain gadis baju hitam itu boleh dikatakan tiada seorang lain lagi yang terlihat olehnya.

Terdengar orang2 sedang membicarakan kedatangan Hay hong hujin dan gadis berbaju hitam itu.

Seorang berkata: "Nona ini konon adalah bakal istri Ji Pwe giok, waktu bersembahyang di depan layon tadi sedikitnya tiga kali dia jatuh pingsan, bahkan nekat ia telah memotong rambutnya."

Seketika hati Pwe giok seperti ditusuk-tusuk, hampir saja ia tidak tahan dan menerjang ke sana untuk memberitahu siapa dirinya dan meminta nona itu jangan bersedih.

Tapi saat itu Hay hong hujin dan Lim Tay-ih sudah berlalu dan Pwe giok juga menahan perasaannya sebisanya.

Terdengar ada orang berkata pula dengan menyesal: "Mempunyai ayah dan isteri sebaik ini, jika Ji Pwe giok itu dapat menjaga diri tentu hidupnya akan bahagia dan mengagumkan orang. Cuma sayang, dia justeru tidak tahu diri..."

Di tengah ramai orang bicara itu, mendadak seorang berteriak: "Ji Pwe giok adalah sahabatku, semasa hidupnya berbuat atau jelek janganlah diurus lagi. Tapi sesudah dia mati, bila masih ada orang suka membicarakan baik-buruknya dan terdengar olehku, maka bolehlah dia berhadapan denganku."

Segera terlihat seorang melangkah tiba dengan wajah penuh rasa sedih dan penasaran, dengan bersitegang ia terus pergi menyusur kerumunan orang banyak. Dia tak lain tak bukan ialah Ang lian hoa yang berbudi luhur dan setia kawan itu.

Perasaan Pwe giok benar-benar disayat-sayat.

Dengan jelas dilihatnya bakal isterinya dan sahabat karibnya lewat di depan matanya, tapi dirinya tidak berani menegur dan menyapanya. Sungguh tiada kejadian lain yang lebih memilukan daripada sekarang ini. Sekalipun Pwe giok dapat menahan diri, tidak urung bercucuran juga air matanya.

Untung saat itu siapapun tidak memperhatikan dia, sebab tokoh yang paling menarik di dunia persilatan saat ini telah muncul, yaitu bulim bengcu Ji Hong ho.

Meski wajahnya juga penuh rasa duka nestapa, serombongan orang yang ikut di belakangnya juga semua sama menunduk dengan langkah berat, hanya saja air mata mereka tidak sampai menetes.

Dada Pwe giok serasa mau meledak demi melihat orang ini. Tapi pada saat dan tempat ini betapapun sedih dan murkanya juga dapat ditahannya.

Kerumunan orang banyak mulai bubar, setiap orang yang lalu di depan Pwe giok tentu menoleh dan memandangnya sekejap dua seakan-akan semuanya terkejut dan heran mengapa di dunia ini ada pemuda setampan ini.

Sampai lama Pwe giok berdiri bingung di situ, sekonyong-konyong ia melihat wajah Ki Song hoa, orang kerdil itu sedang memandangnya dengan tertawa.

Meski wajah ini tampaknya kekanak-kanakan dan sedemikian polosnya, tapi bagi Pwe giok saat ini terasa lebih seram daripada ular yang paling berbisa.

Selagi ia hendak tinggal pergi, tak terduga Ki Song hoa lantas mendekatinya. Diam-diam Pwe giok terkesiap, pikirnya: "Jangan-jangan dia telah mengenal diriku"

Langsung Ki Song hoa mendekati Pwe-giok, ia memberi hormat dan menegur: "Cakap benar saudara ini, sungguh cayhe sangat kagum. Entah sudikah mampir sejenak ke kediamanku untuk minum dua cawan agar cayhe dapat sekedar memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah."

Ucapannya sangat serius dan jujur dengan tersenyum ramah, undangan yang penuh simpatik ini sukar bagi siapapun untuk menolaknya. Jika orang lain pasti akan segera ikut pergi tanpa sangsi.

Tapi bagi Pwe giok sekarang, wajah yang simpatik ini justeru tiada ubahnya seperti topeng hantu, semakin enak didengar ucapannya semakin sukar untuk diraba muslihat yang terkandung didalamnya.

Pwe giok merasa ngeri, terpaksa ia menjawab: "Ah, mana cayhe berani mengganggu ketenangan cengcu."

"Jika anda tidak mau berarti memandang rendah padaku," ucap Ki Song hoa dengan tertawa, segera ia tarik tangan Ji Pwe giok dan diajaknya menuju ke dalam rumah.

Tangan orang kerdil ini terasa dingin dan lembab sehingga serupa badan ular, Pwe giok menjadi bingung dan tidak tahu cara bagaimana melepaskan diri.

Syukurlah pada saat itu juga terdengar seorang gadis berseru dengan suara merdu: "Tamu ini sudah berjanji lebih dulu akan bertemu dengan hujin kami, harap cengcu melepaskan dia."

Sebuah tangan yang putih halus segera terjulur tiba, seperti tidak sengaja terus memencet ke urat nadi tangan Ki Song hoa.

Terpaksa Ki Song hoa harus lepas tangan, dilihatnya seorang gadis berbaju merah tipis sedang memandangnya dengan matanya yang jeli dan tersenyum nakal.

"Besar amat nyali nona cilik, tahukah kau siapa aku?" tanya Ki Song hoa dengan terkekeh-kekeh.

Dengan tertawa nona baju merah itu menjawab: "Dan tahukah kau siapa hujin kami?"

"Memang ingin kutanya siapa dia?" jawab Ki Song Hoa.

Nona berkedip-kedip seperti penuh rahasia ia mendesis perlahan: "Kuberitahu padamu dan jangan kau katakan pada orang lain. Beliau adalah Hay-hong hujin."

Ki Song hoa melengak mendadak ia putar tubuh dan melangkah pergi tanpa menoleh.

Pwe giok menghela napas lega menyaksikan si kerdil tua itu.

Tiba-tiba didengarnya pula si nona baju merah berkata: "Kau pandangi orang kerdil itu, apakah kau merasa berat di tinggal pergi olehnya dan ingin ikut ke sana?"

Karena dipandang oleh mata si nona yang terbelalak lebar itu, Pwe giok jadi kikuk.

"Kau tahu untuk apa dia mengundangmu ikut ke sana?" tanya si nona.

"Tidak, tidak tahu" jawab Pwe giok.

Nona itu tertawa terkikik-kikik, katanya: "Dia mengajakmu ke sana adalah untuk membunuh kau. Sebab selama ini dia belum pernah membunuh lelaki setampan kau, maka dia ingin mencicipi rasanya membunuh seorang pemuda cakap. menurut pikiranku, membunuh pemuda tampan seperti dirimu ini memang benar jauh lebih merangsang daripada membunuh orang-orang yang buruk rupa itu."

"Apakah kaupun ingin coba2?" tanya Pwe giok dengan tertawa.

Gemerdep biji mata si nona yang jeli itu, jawabnya sambil tertawa genit: "Meski aku memang ingin mencobanya, tapi masa aku tega turun tangan?"

Sambil tertawa mendadak ia jejalkan sepotong lipatan kertas ke tangan Pwe giok, lalu berlari pergi dengan terkikik-kikik. tidak beberapa jauh, mendadak ia berpaling dan berseru:" Anak tolol, untuk apa kau berdiri melongo di situ? lekaslah buka kertas itu dan dibaca, ada rejeki nomplok masa belum kau rasakan?"

Pwe giok tercengang, tercium bau harum yang memabukkan, bau harum seperti bau harum yang terbawa Hay hong hujin itu.

Segera ia membuka surat itu, dilihatnya di situ tertulis: "Tengah malam nanti di luar Sat jin ceng, di depan Hoa sin su, tersedia bunga indah dan minuman enak, anda datang atau tidak?"

ooo00000oooo

Malamnya, belum tengah malam Ji Pwe giok sudah berada di depan Hoa sin su atau kelenteng malaikat bunga.

Dia memenuhi undangan itu bukan karena tertarik kepada bunga yang indah, juga bukan terpikat oleh minuman enak, tapi karena ingin bertemu dengan si jelita berkerudung sutera hitam seperti diselimuti oleh kabut tipis itu.

Di bawah sinar bulan di depan Hoa sin su yang sunyi itu entah mulai kapan sudah berwujud lautan bunga, di tengah onggokan bunga itu setengah berbaring sesosok tubuh yang cantik dengan baju sutera tipis. Di tengah lautan bunga dan di bawah cahaya bulan yang permai tertampak kerlingan mata yang menggiurkan dengan tubuh putih mulus membuat orang lupa daratan.

Namun begitu Pwe giok merasa kecewa juga, biarpun mendapat pelayanan serupa di surga tetap dirasakannya tidak lebih bahagia daripada kerlingan mata si "dia" yang dirindukannya.

Terdengar suara tertawa nyaring berkumandang dari lautan bunga sana: "Kau sudah datang, mengapa tidak berani kemari? Apakah kau sudah mabuk sebelum mendekat?"

Dengan langkah lebar Pwe giok mendekati si cantik, jawabnya dengan tersenyum hambar: "Sebelum mengetahui untuk apa hujin mengundangku ke sini, mana cayhe berani mabuk lebih dulu."

"Bulan seterang ini, malam seindah ini, jika dapat mengobrol dan minum bersama pemuda tampan seperti kau, bukankah suatu kesenangan hidup? Apakah alasan ini belum cukup dan perlu lagi kau tanya padaku untuk apa kuundang kau kemari?"

Pwe giok tersenyum, ia menuju ke depan Hay hong hujin dan berduduk, ia menuang arak dan diminumnya sendiri, berturut-turut dihabiskannya tiga cawan, ia angkat cawan terhadap bulan dan berseru tertawa: "Betul, orang hidup berapa lama, kalau dapat minum bersama di bawah bulan purnama, inilah kesenangan orang hidup yang utama, apa pula yang perlu kutanyakan..."

Sebenarnya Pwe giok adalah pemuda yang hidup prihatin, tapi seorang kalau sudah mengalami beberapa kali hidup kembali dari kematian, maka terhadap segala persoalan di dunia ini akan dipandangnya tawar dan tiada artinya, untuk apa dia mesti mengikat diri dengan susah payah? Kini sesuatu urusan yang dianggap orang lain sangat gawat, baginya sudah bukan apa-apa lagi.

Hay hong hujin menatapnya dengan tajam, mendadak dia tertawa dan berkata: "Tahukah kau?.. makin lama aku semakin tertarik olehmu!"

"Tertarik?" Pwe giok mengulang dengan tertawa.

"Ya, segala sesuatu mengenai dirimu, semuanya aku merasa tertarik," jawab Hay hong hujin. "Misalnya.. Siapa dirimu? darimana asal usulmu dan dari aliran mana ilmu silatmu?"

"Seorang petualang yang suka mengembara ke segenap pelosok dunia ini, mungkin dia sendiripun tidak tahu cara bagaimana harus menjawab pertanyaanmu ini? Bukankah begitu?"

"Usiamu masih muda, memangnya betapa banyak pengalamanmu? mengapa caramu bicara seolah-olah sudah kenyang dengan segala macam asam garam kehidupan ini dan seolah-olah sudah hambar terhadap kehidupan ini?"

"Ada beberapa orang, biarpun baru sebulan menghadapi berbagai persoalan, mungkin sudah jauh lebih banyak daripada apa yang dialami oleh orang lain.

Mendadak Hay hong hujin tertawa nyaring pula, katanya: "Tepat sekali ucapanmu. Tapi sedikitnya kan harus kau katakan namamu dulu?"

Pwe giok berpikir sejenak, jawabnya kemudian: "Cayhe Ji Pwe giok."

"Ji Pwe giok?" Hay hong hujin menegas. Suara tertawanya seketika berhenti.

"Apakah hujin merasa namaku ini tidak baik?" tanya Pwe giok.

"Aku cuma merasa lucu pada namamu." jawab Hay hong Hujin dengan tertawa cerah. "Bahwa Ji Pwe giok sendiri ikut melawat kematian Ji Pwe giok, apakah hal ini tidak kau rasakan lucu?" - Ia tatap anak muda ini dengan sorot mata tajam dan ingin tahu apa reaksinya.

Pwe giok tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan tersenyum hambar: "Ji Pwe giok ini dan Ji Pwe giok itu memang ada perbedaannya, meski seorang Ji Pwe giok telah mati, tapi ada seorang Ji Pwe giok yang lain masih hidup."

"Dapatkah kau meyakinkan bahwa kau sendiri bukan Ji Pwe giok yang mati itu?" kata Hay hong hujin sekata demi sekata.

Pwe giok terbahak-bahak: "Hahahaha!.. Memangnya hujin menyangka aku ini badan halus?"

Hay hong hujin tersenyum, katanya: "Pertama kali kulihat kau segera kurasakan kau memang rada-rada berbau setan!"

"Oo?"

"Sebab kau ini seperti mendadak muncul di dunia ramai dari alam halus sana. Sebelum kemunculanmu, tidak pernah ada orang yang melihat kau dan juga tiada seorangpun yang tahu asal usulmu."

"Jangan-jangan hujin sudah menyelidiki seluk beluk diriku?" tanya Pwe giok.

Hay hong hujin tertawa genit, katanya: "Tiada seorang perempuan di dunia ini yang tak tertarik kepada lelaki semacam kau ini. Dan aku, betapapun aku kan juga perempuan, betul tidak?"

"Hujin bukan saja perempuan, boleh dikata hujin adalah perempuannya perempuan, dewi nya dewi," ujar Pwe giok dengan tertawa.

"Tapi kau ternyata tidak tertarik kepadaku," kata Hay hong hujin. "Waktu ku lalu di depanmu, kau bahkan melirik saja tidak, bukankah hal ini rada-rada mengherankan?"

Meski senyumnya sedemikian genit, walaupun suaranya begitu lembut, tapi ucapan2 itu seakan-akan semacam duri yang dapat menembus segala rahasia orang hidup di dunia ini.

Diam-diam Pwe giok terkejut, sedapatnya ia menenangkan diri, jawabnya dengan tersenyum: "Menghadapi kecantikan hujin yang semarak, mana cayhe berani memandang secara kurang sopan?"

"Kukira yang kau pandang hanya orang yang berjalan di sisiku," Ucap Hay hong hujin dengan lembut. "Tapi dia memakai cadar sutera hitam, hakekatnya kau tidak dapat mengenal wajahnya. Caramu memandang dia, jangan2 sudah kau kenal dia sebelumnya?"

"Sia.. siapa dia?" tanya Pwe giok.

"Jangan kau harap akan mengelabui diriku," ujar Hay hong hujin dengan tertawa genit. "Sudah kurasakan kau ialah Ji Pwe giok yang mati itu. Kau tahu, sampai saat ini di dunia ini belum pernah ada seorangpun yang dapat membohongi aku."

Hay hong hujin yang namanya menggoncang dunia ini benar-benar luar biasa, sorot matanya seperti mengandung semacam kekuatan gaib yang dapat menjelajahi segala sesuatu.

Sedapatnya Pwe giok bersikap tenang dan menahan guncangan perasaanya, jawabnya dengan tertawa hambar: "Di dunia ini mungkin tiada seorangpun yang tega membohongi hujin."

"Dan kau?" tanya Hay hong hujin.

"Cayhe kan juga manusia, betul tidak?" jawab Pwe giok.

"Bagus, bagus sekali!" Hay hong hujin tertawa terkikik-kikik. Mendadak ia bertepuk tangan dari balik semak2 bunga sana lantas muncul satu orang.

DI bawah sinar bulan yang terang, pada matanya yang mendelong itu seakan-akan terhimpun kedukaan yang sukar diuraikan, mukanya yang pucat membawa semacam rasa sedih yang tak dapat diutarakan.

Perasaan sedih dan duka yang mendalam itu tak mengurangi kecantikannya, sebaliknya malah menimbulkan semacam daya tarik yang menggetar sukma sehingga kelihatannya dia bukan lagi kecantikan manusia, melainkan cantiknya dewa bunga di atas langit, mencakup seluruh keindahan bunga yang terdapat di dunia ini.

Seketika itu Pwe giok merasa langit seakan-akan berputar dan bumi terbalik, napasnya serasa mau berhenti.

Hay hong hujin menatapnya dengan tajam, setiap perubahan air mukannya tak terlepas dari pengamatannya. Dia menuding Lim Tay-ih yang muncul dari balik semak-semak bunga itu dan bertanya: "Coba kau pandang dia lebih teliti, kau kenal dia tidak?"

Pwe giok mengangkat cawan dan ditenggaknya hingga habis, jawabnya: "Tidak kenal."

"Tidak kenal," meski cuma dua kata yang sangat sederhana, tapi entah telah memerlukan betapa besar tenaga Pwe giok untuk bisa mengucapkannya. Kedua kata itu laksana dua bilah belati yang menusuk kerongkongannya, seperti dua bola bara yang telah membakar lidahnya dan menghanguskan hatinya.

Sudah jelas2 orang yang dirindukannya, orang yang paling dicintainya, tapi dia justru mengeraskan hati dan menjawab "tidak kenal". Coba, adakah sesuatu di dunia ini yang lebih menyakitkan hati daripada kejadian ini?

Sudah terang dia inilah sisa satu2nya sanak keluarganya, tapi dia justeru harus berlagak tidak mengenalnya. Coba, adakah sesuatu di dunia ini yang lebih kejam daripada kenyataan ini?

Arak wangi telah masuk tenggorokannya, arak sedap berbau wangi, tapi rasanya seakan-akan telah berubah menjadi pahit dan sepat. Kehidupan ini memang mirip arak yang getir ini dan arak getir ini terpaksa harus diminumnya.

Hay hong hujin lantas berpaling kepada Lim Tay ih dan bertanya: "Apakah kau kenal dia ini?"

Wajah Lim Tay ih yang pucat lesi itu tiada memperlihatkan sesuatu perasaannya, jawabnya dingin, "Tidak kenal!"

Sudah jelas si nona adalah bakal istrinya tapi di depannya menyatakan tidak kenal padanya, ucapan itu mirip dua anak panah yang menancap di ulu hati Ji Pwe giok.

Akhirnya Hay hong hujin menghela napas perlahan, katanya: "Jika dia juga tidak kenal kau, agaknya kau memang bukan Ji Pwe giok yang sudah mati itu, pula,.. jika bakal istrinya sendiri saja tidak mau mengakuinya lagi, maka orang itu sekalipun hidup juga sama seperti sudah mati."

Hati Ji Pwe giok memang benar2 sudah mati, dia menengadah dan terbahak-bahak: "Bagus sekali ucapan hujin ini, perkenankan cayhe menyuguh hujin tiga cawan."

Dia menuang dan diminum sendiri, hanya sekejap saja sudah berpuluh cawan arak masuk perutnya, sampai2 Lim Tay ih sudah pergi juga tak dipandangnya barang sekejap.

"Kau sudah mabuk," ujar Hay hong hujin dengan tertawa.

"Ya, berapa kalikah orang hidup ini sempat bermabuk-mabukan?" kata Pwe giok sambil angkat cawan araknya.

"Betul juga, sekali mabuk dapat membuyarkan seribu kesedihan," ucap Hay hong hujin dengan rawan, "Baiklah, silahkan kau mabuk!"

"Cuma sayang, hanya beberapa cawan arak ini belum lagi dapat memabukkan diriku!" kata Pwe giok, seolah-olah bergumam sendiri.

Ia tahu betapapun kuat takaran minumnya, tapi arak seratus bunga buatan Hay-hong Hujin ini lain daripada arak biasa. Kini seluruh tubuhnya terasa ringan seakan-akan terbang, rupanya dia benar-benar sudah mabuk.

Terdengar Hay-hong Hujin lagi berkata dengan suara lembut: "Mabuklah, silahkan mabuklah...., berkecimpung di tengah Kangouw yang penuh bahaya ini, kalau untuk mabuk saja tidak bisa, maka hidup manusia inipun terlalu memilukan. Lain kali jika kau masih ingin mabuk, bolehlah kau kemari mencari diriku."

Ditengah mabuknya Pwe-giok merasa di depan matanya muncul berbagai bayangan orang yang berbentuk macam-macam, tinggi pendek, gemuk kurus, semua ada. Malah setiap orang itu sama beringas menakutkan. Lalu dia seperti mendengar suara Hay-hong Hujin berkata: "Ji Pwe-giok ini hanya seorang pemuda yang baru terjun di dunia Kangouw, kukira kalian akan percaya padaku."

Dunia Kangouw ternyata sedemikian keji dan berbahaya, terhadap setiap orang asing selalu harus diselidiki asal-usulnya. Jika tidak ada Hay-hong Hujin, mungkin masih banyak sekali kesulitan yang harus dihadapi Pwe-giok.

Rasa terima kasih Ji Pwe-giok terhadap Hay-hong Hujin sungguh tak terkatakan, sedapatnya ia ingin mengucapkan beberapa kata sebagai tanda terima kasihnya, tapi suaranya terasa samar-samar sehingga ia sendiripun tidak tahu apa yang diucapkannya.

Hanya didengarnya Hay-hong Hujin berkata pula: "Sekali anak muda ini menjadi tamuku, maka selama hidupnya dia adalah tamu kehormatan Pek-hoa kiong kami. Selanjutnya jika tiada sesuatu keperluan apa-apa, hendaklah kalian jangan mengganggu dia. Dan sekarang, biarkan dia tidur saja....."

oOo

Pwe-giok benar-benar terus pulas.

Waktu mendusin, bau harum bunga, sinar bulan purnama, semua sudah tidak ada lagi. Yang ada cuma remang-remang sinar sang surya yang meliputi bumi.

Di kejauhan terdengar suara burung berkicau. Menyusul lantas terlihat sesosok bayangan orang yang ramping muncul dari balik kabut pagi dan mendekatinya dengan pelahan.

Kedatangannya laksana membawa suasana baru bagi bumi raya ini. Sinar matanya gemerdep terang, jernih dan murni, berbeda dengan sorot mata Hay hong Hujin yang tajam dan genit itu, juga tiada sedih dan duka seperti sorot mata Lim Tay-ih. Dunia yang ruwet ini, bagi pandangannya seakan-akan juga sedemikian sederhana, bersahaja tanpa sesuatu hiasan.

Dia pandang ji Pwe-giok, lalu menegur dengan suara merdu: "Wahai walet yang tersesat, akhirnya kau sadar juga. Di dunia ini masih banyak air sumber yang jernih dan manis, mengapa kau sengaja minum arak?"

Ji Pwe-giok menghela napas perlahan, gumamnya: "Kesusahan orang hidup, dengan sendirinya tak dapat dipahami oleh nona kenari."

Gadis itu memang si nona kenari Ki Leng-yan. Mendadak iapun menghela napas, ucapnya dengan sayu: "Tahukah kau si Kenari yang tadinya tidak tahu apa artinya sedih, kini juga mulai gundah?"

"Memangnya kenapa nona merasa gundah?" tanya Pwe-giok dengan tersenyum getir.

Tiba-tiba menetes air mata Ki leng-yan, jawabnya: "Sarang si Kenari telah penuh digenangi darah. Dia tidak dapat berdiam lagi disitu. O, Kenari yang harus dikasihani, kini tiada tempat lain lagi yang dapat ditujunya." - Mendadak ia pegang tangan Pwe-giok dan menyambung dengan setengah meratap: "O, kumohon padamu, bawalah serta diriku, ke manapun juga akan kuturut padamu."

Tergerak hati Pwe-giok, jawabnya dengan suara keras: "Cara bagaimana kau tahu siapa diriku ini? Mengapa kau ingin ikut bersamaku?"

"Kukenal matamu ini", kata Ki Leng-yan. "Sedemikian bajik, sedemikian bagus matamu ini dan juga sedemikian perwira, sama seperti burung walet. Matamu yang lain daripada yang lain ini, mana bisa kulupakan?"

Gadis yang linglung ini ternyata memiliki daya pandang sepeka ini. Barang sesuatu yang diketahui setiap orang mungkin takkan dipahami olehnya, tapi sesuatu lain yang tak dapat dipecahkan orang lain justru dapat diketahui olehnya. Mungkin inilah sebabnya dia tidak paham kata-kata manusia, sebaliknya paham bahasa burung.

Pwe-giok terdiam sejenak, ucapnya kemudian dengan tersenyum: "Kau tahu, tak mungkin kau dapat ikut pergi bersamaku, sebab tempat yang hendak ku tuju itu dimana-mana penuh bahaya, setiap orang bisa membikin susah padamu."

"Tidak, aku tidak takut, di bawah perlindungan mu, apapun aku tidak takut," jawab Leng-yan tegas.

Dia pandang Pwe-giok dengan termangu-mangu, sorot matanya penuh harap juga penuh kepercayaan terhadap anak muda itu. Menghadapi sorot mata demikian, siapa pula yang tega menolak permintaannya?

Akhirnya Pwe-giok menghela napas panjang, katanya: "Jika kau ingin ikut padaku, sungguh akupun tidak dapat menolak permintaanmu. Cuma... aku sendiri tidak tahu apakah dapat melindungi diriku sendiri atau tidak, cara bagaimana ku tahu akan dapat melindungi dirimu?"

Leng-yan tertawa, katanya: "Ku tahu engkau pasti akan menerima permintaanku..." Begitulah Pwe-giok berjalan di depan dang Leng-yan ikut di belakang, sama sekali ia tidak perduli ke manapun pwe-giok akan pergi, padahal Pwe-giok sendiripun tidak tahu dirinya akan pergi ke mana?

Dia berjalan dengan hati bimbang, selagi merenungkan ke arah mana harus dituju, tiba-tiba terdengar angin berkesiur, empat orang melayang keluar dari balik pohon sana dan menghadang di depannya. Gerakan ke empat orang ini sedemikian cepat dan gesitnya, jelas semuanya jago-jago kelas tinggi.

Segera Pwe-giok dapat melihat jelas siapa ke empat orang ini. Kiranya mereka adalah samaran komplotan jahat itu, yakni Ong uh-lau, Lim Soh-koan, Ong Sin-jiang dan Sebun Bu-kut.

Ong Uh-lau mendahului maju dan menegur dengan sorot mata tajam: "Ji Pwe-giok bukan?"

"Cayhe memang Ji Pwe-giok adanya," jawab Pwe-giok hambar. "Siapakah anda sekalian dan ada urusan apa?"

Empat pasang mata yang tajam dan kejam itu sama menatap muka Pwe-giok, mereka ingin tahu bagaimana perubahan sikap anak muda itu. tapi Pwe-giok hanya tenang-tenang saja. Maklum, sudah terlalu banyak pengalaman pahit serta kejadian seram yang dialaminya, di dunia sesungguhnya tiada sesuatu urusan dapat menakutkan dia lagi.

Ong Uh-lau bergelak tertawa, katanya: "Ji-kongcu baru saja terjun di dunia kangouw dan lantas mendapat perlakuan istimewa dari Hay-hong Hujin, dengan sendirinya Ji-kongcu mempunyai asal-usul yang lain daripada yang lain pula. Kami tidak berani sembrono, yang kami inginkan adalah belajar kenal dengan ilmu silat Ji-kongcu."

Pwe-giok terbahak-bahak, jawabnya: "Kiranya keterangan Hay-hong Hujin kemarin belum meyakinkan kalian sehingga kalian sekarang hendak memaksa kukeluarkan Kungfu perguruanku, maksud tujuan kalian ingin membuktikan apakah diriku ini Ji Pwe-giok yang mati kemarin ini atau bukan?"

Dia sengaja membongkar maksud tujuan mereka Tapi air muka Ong Uh-lau ternyata tidak berubah, dengan tersenyum ia berkata: "Akhir-akhir ini di dunia Kangouw sedang digemari ilmu tata rias, hal ini kukira cukup diketahui olehmu."

"Apakah Cayhe mengalami tata-rias, masa kalian tidak dapat melihatnya?" ujar Pwe-giok.

"Ilmu tata rias memang beraneka ragamnya, justeru lantaran kami tidak dapat membedakannya, maka terpaksa harus berlaku lebih hati-hati," ujar Ong Uh-lau dengan tersenyum. "Oleh karena itulah, asalkan anda memperlihatkan sejurus-dua, segera kami akan mengundurkan diri."

Gemerdep sorot mata Pwe-giok, katanya: "Sungguh aku tidak mengerti, sebab apa Ji Pwe-giok yang telah mati itu bisa membuat kalian sedemikian kuatir, kan jelas dia sudah mati, mengapa kalian masih merasa tidak aman?"

Berubah juga air muka Ong Uh-lau, jawabnya dengan bengis: "Silahkan anda memperlihatkan sejurus-dua dan segera akan kau ketahui sendiri." Sambil bicara, segera pedangnya menusuk ke depan, serangan cepat dan mantap, inilah jurus "Jong-liong-tay-thau" atau naga tua angkat kepala, suatu jurus ilmu pedang perguruan Ong Uh-lau sendiri.

Tapi Ji Pwe-giok tidak nanti terpancing dan memperlihatkan ilmu silat perguruannya sendiri. Ilmu silat Bu-kek-pay memang bergaya khas dan tidak sama dengan Kungfu dari perguruan lain. Asalkan dia memainkan satu jurus saja segera akan dapat diketahui asal-usulnya.

Maka mendadak terdengar suara "trang" yang nyaring dan keras, pedang Ong Uh-lau yang menusuk lurus ke depan itu terpukul menceng, padahal tenaganya boleh dikatakan jarang ada bandingannya, tidak urung ia merasakan pergelangan tangannya linu pegal.

Tiba-tiba dilihatnya seorang gadis jelita berbaju seputih salju dengan memegang dua pedang pendek telah menghadang di depan Ji Pwe-giok, dengan tersenyum berkata: "Dia orang baik, kalian jangan membikin susah padanya."

Berubah air muka Ong Uh-lau, jawabnya: "Siapa nona? Mengapa kau membelanya?"

"Ayahku sangat gemar membunuh orang, Ciciku juga suka membunuh orang," jawab si nona yang bukan lain daripada Ki Leng-yan, "meski aku tidak suka membunuh, tapi akupun tidak suka menyaksikan sahabatku dianiaya orang lain, apalagi dibunuh."

Sembari bicara dia terus putar kedua pedang pendek. Gerak tubuhnya begitu enteng gemulai, tapi ilmu pedangnya justeru sedemikian aneh, cepat lagi ganas.

Sungguh Pwe-giok sendiripun tidak pernah menyangka nona yang baik itu memiliki ilmu seganas itu.

Baru saja Ki Leng-yan menyelesaikan ucapannya tadi, sekaligus ia telah melancarkan serangan 49 kali, begitu gencar serangannya sehingga membuat Lim Soh-koan dan tokoh-tokoh yang tergolong jago pedang terkemuka itu sama melongo kaget.

Tapi Ki Leng-yan lantas menghentikan permainan pedangnya, lalu berkata dengan tertawa: "Orang bilang ilmu pedangku ini sangat keji dan ganas, apakah kalian juga berpendapat demikian?"

"Hehe, bagus, ilmu pedang bagus!" kata Ong Uh-lau dengan menyengir.

"Meski ilmu pedangku ini dibilang keji dan ganas tapi tidak kugunakan terhadap manusia," tutur Ki Leng-yan. "Asalkan tidak digunakan membunuh, betapapun keji dan ganasnva sesuatu ilmu pedang kan tidak menjadi soal, betul tidak?"

Ong Uh-lau memandangnya sejenak, lalu dipandangnya pula Ji Pwe-giok, tanpa bicara mendadak ia berpaling terus melangkah pergi dan dengan sendirinya diikuti oleh orang-orang lain.

Leng-yan menyimpan kembali kedua pedang pendeknya, seperti tidak pernah terjadi apapun ia pandang Pwe-giok, katanya dengan tertawa linglung; "Marilah kitapun pergi!"

Pwe-giok menghela napas, katanya: "Kau minta perlindungan ku, siapa tahu kau yang melindungi diriku malah. Selama ini telah kuremehkan dirimu, sungguh tidak terduga ilmu pedangmu sedemikian hebatnya."

Si nona berkedip-kedip, katanya dengan tertawa: "Jadi kaupun memuji kebagusan ilmu pedangku, semua burung kawanku juga bilang demikian. Kata mereka, setelah si Kenari mahir ilmu pedang, selanjutnya tidak perlu lagi kuatir diserang oleh elang. Menurut kau, orang-orang tadi elang atau bukan?"

Begitulah sepanjang jalan si nona jelita terus bicara tentang dia dan burung, tertarik juga Pwe-giok oleh ceritanya sehingga tidak merasa kesepian dalam perjalanan.

Semula Pwe-giok merasa sedih juga bagi jalan keluar dirinya, tapi setelah dipikir pula, dunia seluas ini, ke manapun boleh pergi, dengan berkelana di dunia ini kan sekaligus dapat menyelidiki rahasia komplotan jahat itu.

Karena pikiran itu, tekanan batinnya menjadi longgar. Waktu istirahat di suatu rumah makan, ia minta disediakan dua poci arak seakan-akan hendak merayakan hidup barunya.

Ki Leng-yan ternyata mengiringi dia minum dua cawan. Burung kenari yang cantik ini jadi tambah lincah dan terus mengoceh ke barat dan timur, berulang-ulang ia pun menuangkan arak dan mengisi nasi di mangkuk Pwe-giok.

Bila Pwe-giok menolak pelayanan itu, maka si nona lantas kurang senang dan mengomel. Ribut antara kedua muda mudi ini sebaliknya menimbulkan rasa takjub dan iri orang lalu.

Malamnya, si kenari yang terus menerus berkicau ini akhirnya tertidur. Tapi di kamar sendiri Pwe giok bergolak-golek tak dapat pulas, diam-diam ia mengenakan baju dan keluar.

Rumah penginapan kecil ini terletak di luar kota. Cahaya bulan menyinari sebuah kolam kecil di kaki bukit sana, di dalam kolam tampak bintik-bintik bintang gemerlapan, angin malam meniup silir-silir membawa bunyi serangga dan suara katak.

Sudah sekian lama, untuk pertama kalinya ini Pwe-giok merasa hatinya rada tenang dan untuk pertama kalinya pula dia dapat menikmati keindahan malam.

Dia terus melangkah ke depan, di bawah keremangan sinar bulan dan bau harum bunga teratai di kolam.... Sekonyong-konyong, dua larik sinar pedang menyambar ke tenggorokannya.

Sama sekali tak terduga olehnya bahwa di tengah malam yang indah ini tersembunyi juga hasrat membunuh sekeji ini. Ia terkejut dan cepat menjatuhkan diri ke tanah, syukur sergapan itu sempat dihindarinya.

Pada saat yang sama empat orang berbaju hitam dan berkedok melompat keluar dari tempat gelap, tanpa bicara pedang mereka terus menyerang lagi secepat kilat.

Gerakan Pwe-giok juga tidak berhenti, dia menyelinap keluar dari jaringan sinar pedang musuh. Terdengar dering nyaring sinar pedang, tahu-tahu kain bajunya terkoyak-koyak menjadi potongan kecil dan bertebaran.

Agaknya kawanan seragam hitam itu tidak ingin sekaligus membinasakan dia melainkan cuma hendak memaksa dia mengeluarkan Kungfunya.

Sinar pedang masih terus berkelebat dan memburu bagai ular berbisa, bukan saja baju Pwe-giok sudah terkoyak-koyak, bahkan tubuhnya sudah tergores beberapa jalur luka, tapi dia tetap tidak berani balas menyerang. Semakin dia tidak balas menyerang semakin besar pula curiga orang-orang berseragam hitam.

Tiba-tiba seorang di antaranya mendengus: "Peduli tulen atau palsu, bunuh saja habis perkara!"

"Betul," jawab seorang lagi. "Lebih baik salah bunuh seribu daripada lolos satu."

Meski tahu siapa kawanan baju hitam ini, tapi Pwe-giok sengaja berteriak: "Jika kalian menghendaki aku turun tangan, mengapa kalian tidak berani memperlihatkan wajah asli? Seorang lelaki sejati mana sudi turun tangan terhadap kawanan cecurut macam kalian ini."

"Kau tidak mau turun tangan, maka kau harus mati!" jengek orang pertama tadi.

Habis berkata, mereka tidak kenal ampun lagi, sinar pedang memburu dengan lebih cepat. Sekali ini kalau Pwe-giok tidak balas menyerang, rasanya jiwanya benar-benar bisa melayang.

Pada saat itulah, tiba-tiba segumpal kabut tipis berwarna kemerah-merahan mengambang tiba terbawa angin terus terlibat ke tengah jaringan sinar pedang.

Seketika kawanan baju hitam itu merasakan gerak pedang mereka terhalang, ujung pedang seolah-olah melengket pada gumpalan asap tipis itu. Kesempatan itu segera digunakan Pwe-giok untuk melompat mundur.

Segera terdengar seorang berdendang dengan suara merdu: "Bunga, bukan bunga, kabut bukan kabut ....."

Baru berjangkit suara nyanyian orang itu, serentak timbul rasa takut pada sorot mata kawanan baju hitam berkedok ini, tanpa, berjanji ke empat orang itu terus melayang pergi dan menghilang dalam kegelapan. Perginya jauh lebih cepat daripada datangnya.

"Apakah Hay-hong Hujin yang telah menolong Cayhe?" tanya Pwe-giok dengan membungkuk tubuh.

Tapi dalam kegelapan sama sekali tiada suara jawaban.

Waktu Pwe-giok menengadah, tahu-tahu di depannya sudah bertambah seorang yang berwajah pucat dan kening berkerut dengan sorot matanya yang layu.... Yang muncul ternyata bukan Hay-hong Hujin melainkan Lim Tay-ih.

Hati Pwe-giok seketika mengencang, ucapnya dengan tergagap: "Kira .... kiranya nona, terima kasih banyak-banyak."

Lim Tay-ih seperti enggan mendengar kata-kata yang bertele-tele itu, jengeknya: "Mengapa kau pakai nama Ji Pwe-giok?"

Pwe-giok jadi melengak, jawabnya gelagapan: "Ini . . . .ini lantaran ...."

"Sebaiknya kau ganti nama saja," kata Tay-ih. "Nama ini tidak membawa alamat baik. Barang siapa memakai nama ini tentu akan mendatangkan kemalangan, bahkan mati. Meski aku diperintahkan Hujin untuk menyelamatkan kau, tapi paling-paling juga cuma kutolong kau satu kali ini saja!"

Setelah terdiam sejenak, dengan tersenyum getir Pwe-giok bertanya: "Kecuali itu, adakah alasan lain?

"Betul, memang masih ada alasan lain," jawab Tay-ih. Mendadak ia membalik tubuh dan melangkah beberapa tindak ke sana, lalu menyambung: "Jika dia sudah mati, aku tidak suka mendengar lagi orang memakai namanya."

"Tapi aku....."

"Kaupun tidak setimpal memakai nama itu!" jengek Tay-ih.

Pwe giok melenggong dan menyaksikan bayangan si nona menghilang dalam kegelapan, sukar untuk dijelaskan bagaimana perasaannya. Dia seharusnya berduka karena sikap dingin yang diperlihatkan tunangannya itu. Tapi sikap dingin si nona itu pun menandakan betapa cintanya terhadap Ji Pwe-giok, untuk ini dia harus bersyukur dan bergembira.

Begitulah gundah gulananya hatinya, sebentar pedih sebentar girang, entah manis entah getir.

ooo 000 ooo

Bintang di langit semakin jarang, bulanpun bertambah buram, di ufuk timur sudah mulai remang-remang. Tapi Pwe-giok masih terus melangkah ke depan dengan hati bimbang.

Entah sudah berapa lama pula, sang surya sudah mulai mengintip di ujung timur. Sekonyong-konyong muncul seorang dengan langkah terhuyung-huyung.

Perawakan orang ini kurus kecil, jenggot dan rambutnya sudah putih semua, senyum misterius menghias wajahnya. Pwe-giok merasa sudah pernah kenal pada muka orang ini, tapi tidak ingat di mana.

Dilihatnya si kakek kecil ini membawa sebuah lukisan, sesudah dekat mendadak ia angkat lukisannya ke depan Pwe-giok dan menegur: "Coba kau lihat, apa yang kulukis ini?"

Lukisannya itu tampak samar, seperti mega tapi bukan mega, seperti gunung juga bukan gunung, kalau dipandang lebih cermat, rasanya seperti bekas cat yang tumpah di atas kanvas lukisan itu.

Pwe-giok menggeleng, jawabnya: "Entah, aku tidak tahu."

"Yang kulukis adalah gunung di depanmu ini, masa tak dapat kau lihat?" kata pula si kakek kecil.

Mau-tak-mau Pwe-giok memandang gunung yang tertutup oleh kabut pagi di kejauhan itu, lalu dipandangnya pula lukisan yang dipegang si kakek, sedikit demi sedikit dirasakannya memang rada-rada mirip. Tanpa terasa ia tertawa dan berkata: "Ya, sekarang dapat kulihat persamaannya."

Mendadak orang tua itu tergelak seperti orang gila, berjingkrak dan menari, jelas girangnya tak terperikan, tapi juga memperlihatkan semacam kelatahan yang aneh.

"Apa yang kau tertawakan?" tanya Pwe-giok heran.

"Aku berhasil, aku berhasil!" teriak si kakek sambil berkeplok gembira.

"Kau berhasil mengenai apa?" tanya Pwe-giok pula.

"Lukisanku telah berhasil," teriak si kakek. "Akhirnya dapatlah kucapai intisari dalam lukisanku."

Pwe-giok menggeleng sambil memandangi "cat tumpah" hasil lukisan si kakek, katanya dengan menyengir: "Lukisan begini masa dapat dianggap telah berhasil mencapai intisarinya?"

"Coba kau pikir," kata si kakek, "sudah jelas yang kulukis adalah gunung, tapi dapat kubuat dia tidak menyerupai gunung. Yang kulukis ini jelas-jelas tidak menyerupai gunung, tapi setelah kau pandang dengan cermat terasa seperti gunung pula. Semua ini disebabkan meski tidak kulukis bentuk gunungnya, tapi sudah dapat kulukis jiwanya, intisarinya sasaran lukisanku."

Pwe-giok berpikir sejenak, gumamnya kemudian: "Mungkin sedikit sekali orang yang dapat memahami jiwa daripada lukisanmu ini."

"Justeru orang lain tak dapat memahaminya," seru si kakek sambil berkeplok. "Tapi asalkan yang kulukis adalah gunung, maka dalam pandanganku lukisan ini ialah gunung, dalam hatiku juga gunung. Hanya aku saja yang paham dan orang lain tetap tidak paham. Cara ini bukankah sangat hebat, sangat bagus?!"

Dia berkeplok sambil bergelak tertawa dan melangkah pergi.

Sebaliknya Pwe-giok berdiri termangu-mangu di situ sambil berpikir: "Jelas-jelas yang kulukis adalah gunung tapi dapat kulukis hingga tidak menyerupai gunung .... Meski tidak kulukiskan bentuk gunungnya, tapi sudah dapat kulukis jiwanya, intisarinya..." selain teringat kepada ucapan si kakek tadi, di tepi telinganya seolah-olah terngiang pula wejangan ayahnya dahulu mengenai ilmu pedang, bahwa betapapun bagus bentuk permainan sesuatu ilmu pedang, semua itu bukanlah intisari ilmu pedang perguruannya sendiri. Jiwa ilmu pedang Bu-kek-pay terletak pada maksud yang tak berwujud, terlepas daripada wujud yang terbatas dan masuk ke alam yang tak berwujud (abstrak) dan tak berkutub (Bu-kek), Jika mujijat ini dapat diselami dengan tuntas, maka berarti ilmu pedang yang kau yakinkan telah berhasil, Pwe-giok coba merenungkan dan mengulang lagi petuah sang ayah itu, mendadak ia merasa seperti diguyur air dingin, dalam hati seketika terasa "plong", terasa terang.

Ia mendapatkan setangkai kayu sebagai pedang, dengan pelahan ia menusuk ke depan. Sepenuh hati dan segenap pikiran hanya dipikirnya satu jenis, "Thian-te-bu-pian" (langit dan bumi tak bertepian) dari Bu-kek-kiam-hoat, tapi waktu pedangnya menusuk, gayanya tidak menurut jurus serangan Thian-te-bu-pian yang sebenarnya.

Jurus serangan ini jelas-jelas jurus Thian te-bu-pian, tapi ketika serangan itu dilancarkan jurus itu justeru tercakup seluruhnya di dalam serangannya, tidak menyerupai jurus Thian-te-bu-pian, tapi jiwa dan intisari jurus serangan itu justeru tercakup seluruhnya di dalam serangan itu.

Kalau dua orang bertempur, bila salah satu pihak dapat melihat lubang kelemahan pihak lawan sehingga dapat mengatasi lebih dulu setiap perubahan gerak lawan, maka dia pasti akan menang. Tapi suatu serangan yang bermaksud, namun tanpa wujud, cara bagaimana pihak lawan akan mampu menghindarinya dan cara bagaimana akan sanggup mematahkannya serta cara bagaimana akan menghindarinya?

Saking kegirangan Pwe-giok lantas tertawa tergelak-gelak dan berteriak: "Sudah dapat kupahami! Sudah kupahami sekarang!"

Tiba-tiba seorang menanggapi dengan suara nyaring: "Kau memahami apa?"

Segera terdengar pula kicau burung yang ramai di hutan sana, ternyata Ki Leng-yan sejak tadi sudah berada di situ.

Dengan tertawa Pwe-giok menjawab: "Apa yang sudah kupahami, masa para burung kawanmu itu tidak memberitahukannya padamu?"

Dengan termenung Leng-yan mendengarkan sejenak, ucapnya kemudian sambil berkedip-kedip: "Mereka tidak tahu apa yang sudah kau pahami, mereka bilang kau seperti rada-rada sinting."

"Haha, sudah tentu mereka tidak paham," ujar Pwe-giok dengan tertawa. "Tapi bolehlah kau katakan kepada mereka, bahwa asalkan mereka paham persoalan ini, maka mereka tidak perlu lagi takut kepada elang, malahan manusia juga tidak perlu ditakuti pula."

"Eh, coba dengarkan," kata Leng-yan perlahan sambil tersenyum, "mereka sama menyatakan ucapanmu ini memang benar. Kata mereka, elang memang tiada sesuatu yang perlu ditakuti, yang paling menakutkan di dunia ini adalah manusia!"

Suara tertawa Pwe giok mulai mereda, ia pandang burung yang beterbangan di tengah hutan di remang-remang fajar sana, tanpa terasa ia menghela napas dan bergumam pula: "Betul juga, manusia memang sangat menakutkan. Sungguh tak tersangka kalian telah memahami soal ini. Sebaliknya manusianya sendiri malah tetap belum paham. . .."

"Coba lihatlah burung pipit yang baru terbang dari kota sana," kata Leng-yan dengan rawan. "Dia bilang, seumpama manusia sudah paham akan soal ini toh tetap tak mau mengakui kebenarannya."

ooo 000 ooo

Akhirnya kedua orang pulang ke hotel kecil itu.

Leng yan sudah kenyang tidur, sebaliknya Pwe-giok mulai merasa ngantuk. Dia mendorong pintu kamar sendiri, tapi mendadak ia merandek. Ternyata di atas pembaringannya bersimpuh satu orang.

Sinar sang surya yang baru terbit itu menyorot masuk melalui jendela sana dan terlihat jelas wajah orang itu. Kelihatan kepalanya botak kelimis, tapi wajahnya merah cerah seperti orang muda.

Segera Pwe-giok mengenali orang ini ialah Tong Bu-siang, ketua perguruan keluarga Tong di Sujwan yang terkenal sebagai ahli Amgi atau senjata rahasia nomor satu di dunia.

Tong Bu-siang duduk menunduk dengan mata terpejam, tapi di sekelilingnya berbaris berpuluh macam senjata rahasia yang gemerlapan, jelas itulah Amgi berasal keluarga Tong yang merontokkan nyali setiap jago persilatan.

Selain Tong Bu-siang, ada lagi dua orang yang berdiri di kanan-kirinya, meski tetap berpakaian hitam ringkas, tapi kedoknya sudah ditanggalkan, jelas mereka ialah Ong Uh-lau dan Sebun Bu-kut.

Pwe-giok menghirup napas panjang-panjang, serunya sambil mengalingi Ki Leng-yan di luar pintu: "Aha, di kamar sempit ini ternyata ada juga tamu agung yang berkunjung, selamat bertemu!"

Pelahan Tong Bu-siang membuka matanya, seketika sorot matanya berkelebat seperti kilat, dengan suara berat ia bertanya: "Apakah bocah ini yang kalian maksudkan?"

"Betul," jawab Ong Uh-lau dengan hormat.

"Bagus, akan kucoba dia!" seru Tong Bu-siang. Begitu kata "dia" terucapkan, kontan kelima jarinya menyelentik, serentak barisan Am-gi yang terletak di depannya itu ada lima buah yang menyambar ke depan.

Menyusul tangan yang lain juga bekerja, kedua kakinya juga bergerak, sekaligus berpuluh Amgi melayang ke depan, sisanya tinggal tujuh atau delapan buah, sekali tiup, seluruh Amgi itupun menyambar ke arah Pwe-giok.

Di seluruh tubuh orang tua ini seolah terpasang pesawat khusus dan setiap tempat dapat membidikkan senjata rahasia. Puluhan Am-gi yang berbaris di pembaringan itu dalam sekejap saja telah dihamburkan seluruhnya.

Padahal bentuk Am-gi itu tidak sama, bobotnya juga berbeda, tapi ada yang diselentikkan, ada yang disampuk dengan tangan, ada yang disapu dengan kaki atau ditiup dengan pernapasan yang kuat, cara menyerangnya dan kekuatannya juga tidak sama. Ada yang menyambar dengan cepat dan ada yang lam bat, ada yang menyerang lurus langsung, ada yang melingkar dan ada juga yang berputar-putar di udara untuk kemudian menyerang Pwe-giok dari belakang.

Puluhan Am-gi itu seolah-olah bukan senjata rahasia lagi, tapi menyerupai puluhan jago silat kelas tinggi dengan senjata yang berbeda-beda dan mengerubuti Pwe-giok dari berbagai jurusan.

Sejak Pwe-giok terjun di dunia Kangouw, tidak sedikit lawan tangguh yang pernah ditemuinya. Tapi Am-gi selihay ini sungguh belum pernah dilihat atau didengarnya.

Dengan tetap memegang tangkai kayu tadi, dengan segenap minat dan pikiran segera ia melancarkan jurus serangan "Thian-te-bu-pian", habis itu dengan jurus yang sama ia menyerang pula secara terbalik. Dua serangan dilancarkan secara berlawanan sehingga sukar diraba.

Orang lain hanya melihat tangkai kayunya berputar dua lingkaran dan tak terlihat cara bagaimana dia bergerak, tahu-tahu terdengar suara "crat-cret" berulang-ulang, berpuluh bentuk senjata rahasia itu entah mengapa sama menancap pada tangkai kayunya.

Seketika Ong Uh-lau dan Sebun Bu-kut melenggong.

Tong Bu-siang juga tercengang, mau-tak-mau ia berseru memuji: "Ilmu pedang bagus!" Lalu dia tepuk bahu Ong Uh-lau dan bertanya: "Dia sudah turun tangan, apakah kalian sudah tahu asal-usul ilmu pedangnya?"

Dengan lesu Ong Uh-lau menjawab: "Belum ketahuan!"

"Hahaha! Tidak cuma kau saja yang tidak tahu, bahkan berpuluh tahun pengalamanku di dunia Kangouw juga tidak pernah kulihat ilmu pedang sehebat ini," seru Tong Bu-siang dengan tertawa.

"Tapi dapat kupastikan bahwa di perguruan Bu kek-bun tidak ada ilmu pedang selihay ini."

"Ya, memang tidak ada!" tukas Ong Uh-lau.

"Sebelumnya memang sudah kuketahui dia pasti bukan Ji Pwe-giok yang mati itu," kata Tong Bu-siang pula. "Coba pikir jika dia penyamaran Ji Pwe-giok yang pura-pura mati itu, mengapa dia tidak menggunakan nama lain, tapi sengaja tetap memakai nama Ji Pwe-giok?"

Sambil menyengir terpaksa Ong Uh-lau memberi hormat kepada Pwe-giok dan berkata: "Jika tindakan kami terasa agak kasar, mohon Ji-kongcu sudi memberi maaf."

Pwe-giok tersenyum, katanya: "Ah, tidak menjadi soal, hanya selanjutnya ....."

Belum habis ucapannya, mendadak Ki Leng-yan menjerit kaget "blang", seorang menerobos masuk dengan beringas.

Orang ini memakai baju kasar dan topi kulit semangka, jelas orang ini adalah jongos hotel ini. Tapi jongos yang ramah dan rendah hati ini kini sikapnya telah berubah sama sekali. Kedua matanya tampak merah membara, mulutnya menyeringai sehingga kelihatan giginya yang kuning, air mukanya penuh napsu membunuh.

Di tengah jeritan kaget tadi Leng-yan sempat menarik Pwe-giok ke samping, maka jongos hotel itu lantas menerobos langsung ke dalam. Cepat Sebun Bu-kut mendepak sebuah meja kecil di sebelahnya sehingga menyeruduk si jongos.

Tak tersangka sekali hantam jongos itu telah membuat meja itu hancur berkeping-keping.

Diam-diam Pwe-giok terkejut. "Orang macam apakah jongos hotel ini, masa memiliki tenaga sekuat ini?"

Dalam pada itu Ong Uh-lau juga tidak tinggal diam, pedangnya lantas menusuk. Tapi jongos itu sama sekali tidak mengelak, sebaliknya membusungkan dada dan memapak tusukan itu. "Crat" tanpa ampun lagi pedang itu menembus dadanya. Sekali depak Ong Uh-lau membikin tubuh si jongos mencelat, darah segera berhamburan dan mengotori tangan Oh Uh-lau.

Sambil berkerut kening Ong Uh-lau berkata: "Keparat ini barangkali sudah gila, masa...."

Belum lanjut ucapannya, mendadak Tong Bu-siang melolos belati yang terselip di pinggangnya terus menabas, kontan sebelah lengan Ong Uh-lau dipotongnya mentah-mentah. Ong Uh-lau menjerit kesakitan dan jatuh kelengar.

"Ap. ..... apa maksudmu Cianpwe?" teriak Sebun Bu-kut terkejut.

Wajah Tong Bu-siang yang semula merah cerah itu seketika berubah menjadi pucat, katanya: "Jongos hotel ini telah terkena racun jahat Thian-cam-kau dari daerah Miau, dia sudah kehilangan kesadarannya sehingga berubah kuat luar biasa, bahkan darah di seluruh tubuhnya juga telah berubah menjadi darah berbisa, barang siapa keciprat setitik darahnya dalam sekejap racun akan terus menjalar ke seluruh tubuh. Bila tidak kubuntungi tangannya ini, hanya sebentar saja seluruh tubuhnya akan membusuk dan mati."

Keringat dingin merembes di dahi Sebun Bu-kut, ucapnya dengan suara gemetar: "Jadi. ,.... jadi inilah salah-satu ilmu iblis Thian-cam-kau yang disebut Mo-hiat-hu-kut-tay-hoat (ilmu darah iblis pembusuk tulang) itu? Jangan-jangan ada orang Thian-cam-kau datang kemari?"

Dari suaranya yang gemetar dan ketakutan itu mau-tak-mau Pwe-giok ikut merinding juga, waktu dia pandang lengan yang putus dan jatuh di lantai itu, ternyata sudah berubah menjadi genangan darah hitam.

Tanpa terasa Pwe-giok bergidik, hatipun berdebar Tong Bu-siang yang terkenal berhati bajapun berkeringat dingin.

"Yang datang di luar itu apakah khing-hoa-sam-niocu?" tanyanya dengan suara parau.

Segera terdengar suara tertawa genit di luar sana. Nyaring dan merdu suara tertawanya laksana kicau burung kenari, siapapun yang mendengar suara tertawa ini pasti akan terguncang perasaannya dan tergetar kalbunya. Namun kulit muka Tong Bu-siang justeru berkerut-kerut demi mendengar suara itu.

Terdengar suara merdu itu berucap pula dengan tertawa genit: "Betapapun memang pandangan Tong-loyacu terlebih tajam, hanya sekilas lihat saja lantas tahu kami kakak beradik yang datang kemari."

"Untuk apa kalian datang ke Tionggoan sini?" tanya Tong Bu-siang dengan bengis.

"Dengan sendirinya kedatangan kami ini adalah ingin mengunjungi Tong-loyacu," jawab suara genit tadi. "Lebih dulu kami telah mendatangi kediaman Tong-loyacu, tapi Loyacu telah berangkat ke Hong-ti. karena itulah kami lantas menyusul kemari. Meski agak terlambat sehingga tidak keburu ikut menyaksikan keramaian pertemuan besar di Hong-ti, tapi dapat berjumpa di sini dengan Tong loyacu, betapapun perjalanan kami ini tidaklah sia-sia."

Dia bicara sambil tertawa, suaranya enak didengar, sama halnya mengobrol dengan orang tua di rumah, siapapun tidak menyangka di balik suara merdu dan kata-kata ramah ini tersembunyi hasrat membunuh yang sukar diraba.

Namun jago tua yang namanya mengguncangkan dunia Kangouw ini ternyata gemetar juga mendengar ucapan itu, sambil memegang belatinya dia bertanya pula: "Jadi kalian. .... kalian sudah pergi ke rumahku?"

Suara itu menjawab dengan tertawa: "Loyacu jangan kuatir, meski kami sudah berkunjung ke sana, tapi mengingat Toa-cihu, sama sekali kami tidak mengganggu apapun di tempatmu, bahkan seekor semut pun tidak terinjak mati."

Meski merasa lega juga mendengar keterangan itu, tapi mendadak Tong Bu-siang bertanya pula dengan gusar: "Siapa itu Toa-cihu (kakak ipar, suami kakak) yang kau maksud?"

Suara genit itu menjawab: "Sungguhpun Tong-kongcu pemuda yang cakap dan pintar, tapi Toaci kami juga nona cantik yang serba mahir. Jadi kedua muda-mudi adalah suatu pasangan yang setimpal, ini kan jodoh yang ditakdirkan?"

"Omong kosong, kentut busuk!" damprat Tong Bu-siang dengan gusar.

Agaknya orang itu tidak marah, terbukti suaranya masih tetap enak didengar, katanya: "Apalagi mereka berdua memang sudah cocok satu sama lain, si tampan dan si cantik sudah sama-sama ikat janji di taman bunga akan sehidup semati, mengapa Tong-loyacu justeru berusaha hendak membuyarkan pasangan merpati ini?"

"Omong kosong!" teriak Tong Bu-siang. "Anak durhaka itu lantaran tidak tahu asal-usul perempuan siluman itu, makanya dia terpikat. Sekarang dia sudah sadar dan tidak sudi beristerikan perempuan siluman itu."

"Ah, kukira belum tentu," ujar suara nyaring merdu itu dengan tertawa. "Tong-kongcu adalah pemuda yang berperasaan, tidak nanti dia mengingkari janjinya kepada Toaci kami. Apalagi, gadis secantik Toaci kami itu lelaki mana di dunia ini yang tidak suka padanya? Jika ada, maka lelaki itu pasti gendeng."

"Tidak bisa, keputusanku sudah bulat, tidak nanti pikiranku berubah, tiada gunanya kalian banyak bicara lagi," teriak Tong Bu-siang dengan bengis "Mengingat hubungan kalian dengan anak durhaka itu di masa lampau, lekas kalian pulang saja agar tidak terjadi apa-apa yang tidak diinginkan."

"Jadi sudah pasti Tong-loyacu tidak setuju?" tanya suara genit tadi.

"Ya, tidak nanti berubah," jawab Tong Bu-siang tegas.

"Dan Loyacu takkan menyesal?" tanya pula suara merdu itu.

"Biarpun segenap keluarga Tong mati semuanya juga takkan bersedia menerima menantu seperti perempuan siluman itu!" bentak Tong Bu-siang dengan murka.

Sejenak suara genit tadi terdiam, lalu dia berucap pula dengan tertawa: "Wah, tampaknya sukar bagiku untuk membujuk Loyacu, terpaksa aku mesti minta perantara seorang comblang."

Mendengar sampai di situ, tahulah Pwe-giok bahwa kedatangan Khing-hoa-sam-niocu atau tiga perempuan bunga ini adalah untuk melamar suami kepada Tong Bu-siang, Agaknya sang Toaci atau kakak tertua di antara Sam-niocu itu sudah ada ikatan janji dengan Tong-kongcu, tampaknya cara mereka memaksakan perjodohan ini mendekati pemerasan, tapi tekad Tong Bu-siang yang berkeras tidak mau terima perjodohan anaknya inipun agak keterlaluan.

Selagi Pwe-giok pikir siapakah comblang yang dimaksudkan itu? Apakah si comblang akan sanggup membujuk Tong Bu-siang. Tiba terdengar suara daun jendela terbuka, dari luar lantas melayang masuk satu orang.

Kedua mata orang ini melotot serupa mata ikan emas, air mukanya hitam kebiru-biruan, kedua pundaknya, dadanya dan punggungnya seluruhnya menancap tujuh bilah belati emas yang gemerdep, tangkai belati pun terbingkai batu permata yang berkilauan.

Dengan mata yang melotot seperti mata ikan mati itu, pendatang ini terus menatap Tong Bu-siang, darah segar tampak meleleh dari ujung matanya, sikapnya sungguh sangat misterius dan juga menyeramkan.

Leng-yan memegangi tangan Ji Pwe-giok dengan menggigil. Muka Sebun Bu-kut tampak pucat dan basah seperti kehujanan, rupanya keringat dinginnya bercucuran seperti air hujan.

Serentak Tong Bu-siang melompat bangun sambil berteriak, "Inilah Kim-to-ho-hiat dari Thian-cam-kau!"

Belum lenyap suaranya, mendadak sinar emas gemerdep, tujuh bilah belati emas itu terus melayang keluar jendela menjadi satu garis lurus. Kiranya pada gagang belati yang berhias batu manikam itu terikat pula satu benang emas yang halus.

Ketika ke tujuh belati itu melayang keluar dari lubang luka belati itu lantas menyembur keluar tujuh pancuran darah segar. Seketika itu terjadi hujan darah memenuhi seluruh kamar.

Sebelumnya Tong Bu-siang telah angkat Ong Uh-lau dan di lemparkan keluar pintu, ia sendiripun melompat ke atas belandar ruangan. Ji Pwe-giok juga tidak tinggal diam, dengan angin pukulannya, ia tolak cipratan darah itu.

Hanya Sebun Bu-kut saja yang lebih lamban reaksinya, meski iapun sempat melompat ke atas belandar, tapi tubuhnya sudah terciprat beberapa titik darah berbisa itu. Tapi ia memang pemberani, dengan nekat ia menyayat kulit daging sendiri yang terciprat darah itu.

Ketika darah berbisa yang berhamburan seperti hujan itu mengenai dinding, seketika dinding yang terkapur putih itu berubah menjadi hitam hangus.

Setiap kungfu yang dikeluarkan Khing-hoa-sam-niocu itu ternyata sama membawa suasana seram dan mengerikan, setiap kungfunya harus minta korban jiwa. Sungguh keji luar biasa.

Pwe-giok berkerut kening, mendadak ia melayang keluar jendela, ia ingin tahu bagaimana macamnya Khing-hoa-sam-niocu yang cantik tapi keji itu.

"Hei, Ji kongcu, hati-hati." seru Tong Bu-siang khawatir.

Tapi Ki Leng-yan lantas menanggapi dengan tertawa linglung, "Jangan kuatir, di dunia ini pasti tiada perempuan yang tega mencelakai dia!"

ooooo0ooooo

Di luar jendela sana ada sebatang pohon besar, pada dahan pohon itu terikat empat atau lima orang, semuanya dalam keadaan tidak sadar, agaknya terbius oleh sesuatu obat.

Di depan pohon berdiri tiga gadis maha cantik, semuanya memakai mantel panjang warna hitam, begitu panjang mantel mereka hingga menyentuh tanah dan menutupi tubuh mereka yang ramping.

Rambut mereka tergelung tinggi di atas kepala, pada bagian atas pelipis sama memakai hiasan bunga permata, yang satu memakai bunga emas gemerdep, satu lagi bunga perak yang berkilau dan seorang lagi memakai bunga yang berwarna hitam gelap.

Gadis yang memakai hiasan bunga emas itu beralis lentik agak menegak, matanya yang jeli itu mengembeng air mata seperti gadis yang lagi dirundung kesedihan.

Jelas gadis bunga emas ini adalah sang Toaci yang sedang kasmaran itu.

Gadis yang berhias bunga perak berwajah bulat, matanya selalu mengerling genit, lirikannya dapat membuat luluh hati lelaki yang berhati baja sekalipun.

Gadis ketiga yang berbunga hitam gelap paling cantik, lirikan matanya juga paling menggiurkan, senyumnya yang paling manis, kalau bicara, belum berucap sudah tertawa. Barang siapa memandangnya sekejap saja pasti akan jatuh hati padanya.

Mungkinkah ketiga gadis maha cantik ini adalah tokoh dari agama jahat yang paling terkenal dan paling disegani di dunia persilatan sekarang ini, yaitu Khing-hoa-sam-niocu.

Apakah ketiga pasang tangan yang halus dan mulus inipun dapat menggunakan kungfu yang misterius serta maha keji itu sehingga jiwa manusia dipandang mereka seperti permainan anak kecil ?

Jika tidak menyaksikan sendiri kelihaian mereka, tentu Pwe-giok juga tidak percaya akan kekejian mereka.

Tiga pasang mata jeli dengan lirikan memabukkan sama terpusat pada diri Pwe-giok, seakan-akan menembus dada anak muda itu, ingin tahu isi hatinya.

Mendadak Thi-hoa niocu, yaitu si nona bunga besi berkata dengan tertawa genit, "Eeh, pemuda bagus dari mana ini ? Kedatanganmu ke sini apakah hendak memikat perempuan dari keluarga baik-baik seperti kami ini ?"
Dengan hambar Pwe-giok menjawab; "Kedatanganku ini hanya ingin belajar kenal dengan kehebatan cara para nona bunuh orang."

Thi-hoa-niocu terhitung paling seksi di antara ketiga Khing hoa-sam-niocu, dengan langkah gemulai ia mendekati Pwe-giok, katanya pula dengan senyum manis, "Membunuh katamu? Wah, sungguh menakutkan ucapanmu ini? Membunuh orang hanya akan merusak kecantikan anak perempuan. Selamanya kami tidak berani membunuh. Apakah anda sering membunuh orang ?"

Dia bicara dengan suara lembut dan senyum selalu dikulum serta menatap Pwe-giok dengan pandangan yang tulus sehingga mirip benar seorang nona cilik yang selamanya tidak pernah membunuh, bahkan tidak tahu apa artinya membunuh.

Meski tahu jelas nona ini tidak saja membunuh, bahkan memandang jiwa manusia tidak lebih berharga daripada jiwa semut, tapi melihat cara bicaranya, melihat sikapnya sekarang, Pwe-giok menjadi tidak percaya pada pandangannya sendiri. Ia berkerut kening dan bertanya dengan ragu, Maksudmu, kedua orang tadi bukan di bunuh olehmu ?"

Mata Thi-hoa-niocu terbelalak lebar, seperti terkesiap dan heran, jawabnya, "Kau bilang kedua orang yang masuk ke rumah itu ?"

Pwe-giok mengiakan.

"Bukan kau yang membunuh kedua orang itu?"

"Aku?! .... " Pwe-giok jadi melengak sendiri.

"Jelas-jelas kedua orang tadi masuk kesana dalam keadaan segar bugar dan telah kalian bunuh, masa sekarang kalian malah menuduh diriku ?!" kata Thi-hoa-niocu.

Dia berbalik menghantam Pwe-giok cara berucapnya juga tegas, meski penasaran, seketika Pwe-giok jadi kalah berbantah.

Thi-hoa-niocu menghela nafas, katanya pula, "Ku tahu setelah kau bunuh orang, tentu perasaanmu tidak enak. Tapi kaupun tidak perlu berduka, asalkan lain kali jangan sembarangan membunuh. kan beres?!"

Mestinya Pwe-giok yang hendak memberi nasehat padanya, sekarang si nona berbalik memberi wejangan, keruan anak muda itu serba runyam, rasa gusarnya menjadi sukar di hamburkan.

Maklum, menghadapi nona cantik, lincah, pintar, dan binal seperti ini, jika digunakan sikap kasar dengan membentak, memaki atau memukulnya kan tidak pantas.

Kembali Thi-hoa-niocu tersenyum manis, ia mengebaskan sapu tangannya dengan perlahan dan berkata pula: "Jika hatimu kesal, marilah ikut padaku. Bisa jadi akan ku bikin hatimu menjadi riang."

Dia terus melangkah beberapa tindak kesana, lalu menoleh, dilihatnya Pwe-giok tetap berdiri tenang di tempatnya tanpa ikut melangkah dan juga tiada sesuatu perubahan. Keruan hati Thi-hoa-niocu terkejut, namun senyum yang menghias wajahnya bertambah manis sehingga rasa kejutnya tidak kelihatan.

Rupanya pada sapu tangannya itu tersembunyi semacam obat bius yang paling lihay dari Thian-cam-kau.

Apa yang digunakan Thi-hoa-nio ini disebut "Lo-pek-ciau-hun-tay-hoat" atau ilmu sapu tangan pengisap sukma. Gerak tangannya kelihatan enteng tapi sesungguhnya memerlukan kecermatan yang luar biasa, baik gerakannya, timingnya, arah angin, semuanya harus diperhitungkan dengan tepat.

Selain itu, lebih dulu pihak lawan harus dirayu sehingga setengah linglung dan sama sekali tidak berjaga-jaga, untuk ini sudah tentu diperlukan daya pelet dan kecerdikan, jadi lambaian sapu tangan yang kelihatannya sepele ini sesungguhnya memerlukan pengetahuan yang luas dan dalam, sebab itulah ia termasuk satu di antara ke tujuh ilmu iblis berbisa dari Thian-cam-kau.

Selama ini entah sudah berapa banyak orang kangouw yang terjungkal di bawah "Lo-pek-ciau-hun-hoat" ini, mengingat usia Ji Pwe-giok yang masih muda belia, Thi-hoa-nio yakin pasti dapat merobohkannya.

Siapa tahu, biarpun masih muda usia Pwe-giok sudah kenyang pengalaman, sudah berkali-kali ia menghadapi momen menentukan mati dan hidup, terhadap siapapun dia senantiasa waspada, maka begitu melihat gelagat tidak baik, segera ia menahan pernapasannya.

Begitulah Thi hoa nio menjadi terkejut, namun di mulut ia masih bicara dengan manis: "Wah, besar amat lagakmu, masa diundang dengan hormat saja tidak mau?!"

Terdengar seorang menukas dengan tertawa di kejauhan: "Jika kongcu sudi ikut pergi bersama kami kakak beradik, kujamin kongcu pasti takkan kecewa!"

Suaranya berat dan rada parau, namun penuh daya pikat yang menggetar sukma, setiap katanya seolah-olah mengkili-kili hati setiap lelaki.

Di tengah suara tertawa, tertampaklah Gin hoa nio (si bunga perak) telah muncul, begitu riang wajahnya seakan-akan alisnya lagi tertawa dan matanya juga sedang tertawa. Hampir setiap bagian sekujur badannya seperti lagi tertawa genit terhadap Pwe-giok.

Belum lagi orangnya mendekat sudah tersiar dulu bau harumnya yang merangsang, sebelah tangannya yang membelai rambut dengan kerlingan mata yang menggiurkan, katanya pula dengan tersenyum getir: "Ku tahu kongcu pasti takkan menolak ajakan kami bukan?"

"Bukan," jawab Pwe giok dengan hambar, jawaban yang sederhana.

Tampaknya melengak juga Gin hoa-nio, tapi ia lantas berkata pula dengan lenggokan pinggang menggiurkan: "Masa kongcu sampai hati?"

Setiap gerak-gerik Gin hoa nio seolah-olah ingin memancing kaum lelaki berbuat sesuatu, setiap kerlingan dan senyumnya cukup menimbulkan gairah kaum lelaki.

Namun Pwe-giok masih tetap memandangnya dengan hambar, mirip orang yang lagi menonton suatu permainan.

Hakekatnya Pwe giok tidak perlu bicara, sikapnya yang dingin dan menghina ini sudah lebih tajam daripada kata-kata apapun juga.

Gin hoa-nio menghela napas, ucapnya: "Kau tidak mau ikut, juga tidak pergi, memangnya untuk apa kau cuma berdiri saja di sini?"

"Aku ingin tahu Khing hoa sam-niocu masih mempunyai kemahiran apalagi?" jawab Pwe-giok dengan tertawa.

Mendadak air muka Gin hoa-nio berubah, ia tertawa terkekeh-kekeh dan berseru: "Baik!"

Begitu kata "baik" terucapkan, serentak ketiga kakak beradik itu lantas berputar dengan cepat, mantel mereka yang longgar lantas ikut berkibar sehingga kelihatan tubuh mereka.

Seketika Pwe-giok melenggong.

Sungguh tak tersangka bahwa tubuh di dalam mantel itu ternyata telanjang bulat. Di antara tubuh yang putih mulus itu hanya bagian pinggul saja yang menggunakan sepotong gaun hijau yang cekak dan kelihatan kedua kakinya yang jenjang. Dadanya padat dengan kulit badan yang putih bersih.

Mantel hitam mereka mendadak terbang seperti kupu-kupu raksasa, rambut mereka yang panjang terurai di atas dada yang putih, dada yang kelihatan kenyal dan tergetar-getar.

Gaya tarian mereka tampak halus dengan tangan yang mulus serta kaki yang jenjang mempesona, semua ini seakan-akan sedang menggapai-gapai Pwe giok.

Lambat laun pipi ketiga nona itu bersemu merah dengan mata setengah terbuka dan mulut setengah terpentang, dada berombak naik turun dan mengeluarkan suara yang menggetar sukma. Inilah suara kehausan dan gerakan yang penuh harap.

Semua ini benar-benar bisa membikin gila kaum lelaki.

Namun Pwe-giok masih tetap memandangnya dengan hambar, sorot matanya juga tidak dialihkan ke jurusan lain.

Kini gaya tari mereka yang semula kelihatan ruwet itu mulai berubah menjadi sederhana dan bersahaja, mereka seperti masih meronta-ronta ditengah kehausan, bergeliat, berkeluk-keluk, bergemetar dan memohon...

Mendadak Pwe giok menghela napas, katanya: "Nona Kim hoa, gaya tarian mu ini kalau dilihat Tong kongcu, lantas bagaimana jadinya?"

Tubuh Kim hoa niocu tampak bergemetar mirip kena dicambuk orang. Namun tariannya masih tetap berlangsung.

Sekonyong-konyong Gin hoa-nio tertawa nyaring, serentak ketiga nona itu berjungkir dengan kepala di bawah, dengan tangan sebagai kaki mereka menari dengan lebih gila lagi.

Dapat dibayangkan jika perempuan telanjang menjungkir dengan kaki bergerak-gerak di udara dan rambut terurai di lantai dan... tidak perlu menyaksikan sendiri juga setiap orang dapat membayangkan betapa gilanya gaya tersebut. Apabila ada lelaki yang tidak berdebar-debar jantungnya dan timbul reaksi badaniah yang spontan demi menyaksikan tari yang gila ini, maka lelaki itu pasti punya penyakit jika tidak mau dikatakan abnormal.

"Awas, itulah Siau-hun-thian-mo-bu!" tiba-tiba terdengar suara Tong Bu-siang berseru dengan suara gemetar. "Blang", mendadak daun jendela ditutupnya, ia tidak berani memandang lagi. Siau-hun-thian-mo-bu, tarian iblis pembetot sukma, siapapun tidak tahan melihat tarian gila ini.

Rupanya Tong Bu-siang menyadari betapa lihay daya tarik tarian itu, bila dirinya tidak tahan seketika bisa tertimpa bencana, sungguh ia tidak berani menyerempet bahaya ini.

Suasana sunyi sepi, hanya terdengar suara napas dan keluhan yang menggetar sukma saja, seperti membawa semacam irama yang aneh yang dapat menghancurkan iman setiap lelaki.

Sejenak kemudian, "blang", daun jendela yang tertutup tadi mendadak berlubang dan dibobol dari dalam, rupanya Tong Bu-siang tidak tahan oleh suara keluhan yang merangsang itu, betapapun dia ingin melihatnya.

Wajah orang tua ini kelihatan merah padam, sorot matanya seolah-olah membara, sekujur badan gemetar, saking tak tahan beberapa kali ia hendak menerjang keluar kamar, namun ia menggertak gigi dan bertahan sekuatnya, celakanya matanya justru sukar dipejamkan.

Tarian iblis pembetot suka ini benar-benar menimbulkan daya pikat yang sukar dibayangkan.

Di bawah bimbingan orang tua yang kereng, sejak kecil watak dan iman Pwe-giok sudah terpupuk dengan kuat. Melulu soal iman, di antara tokoh-tokoh Bu-lim sekarang mungkin tiada seberapa orang yang dapat menandingi dia. Jika tiada keteguhan iman yang melebihi orang lain ini, mungkin dia sudah gila selama lebih sebulan ini mengalami pukulan yang luar biasa ini.
Walaupun demikian, tidak urung jantungnya sekarang juga berdebur-debur dan hampir tiada bertenaga lagi.

Pada saat itu, sinar sang surya menyorot terlebih terang, di depan matanya seolah-olah terlapis cahaya kelabu yang gemerlapan, waktu ia mengawasi lebih cermat, di sekelilingnya ternyata sudah terjalin selapis jaring halus.

Jaring halus berwarna putih kelabu telah mengurungnya di tengah, benang perak yang halus dan hampir tidak kelihatan oleh mata telanjang itu terus terjulur dari ujung jari Khing-hoa-sam-niocu.

Mendadak Thi-hoa-nio melompat ke atas, lalu berdiri tegak, ucapnya dengan tertawa: "Boleh juga ketajaman matamu, akhirnya dapat kau lihat juga."

"Cara nona mempertontonkan keindahan tubuhmu ini, apakah tujuan kalian adalah untuk memasang jaring labah-labah yang tiada artinya ini?" tanya Pwe-giok dengan gegetun.

"Salah jika demikian pikiranmu," jawab Thi-hoa-nio dengan tertawa. "Thian-mo sin bu sendiri yang kami tarikan ini memang sudah penuh daya pikat, jika kau tidak percaya, boleh kau lihat Tong loyacu itu, bilamana kami tidak mengingat kepada Tong-kongcu, mungkin... mungkin ahli Am-gi nomor satu yang termasyhur ini sekarang sudah... sudah... " dia sengaja tidak melanjutkan dan tertawalah terkial-kial.

Tanpa terasa Pwe-giok berpaling ke sana, dilihatnya Tong Bu siang bersandar diambang jendela dengan lunglai, tampaknya sedikitpun tiada bertenaga pula.

Nyata apa yang dikatakan Thi-hoa-nio barusan memang bukan bualan, bilamana Thian-mo-bu ini ditujukan kepada Tong Bu-siang, saat ini mungkin jago Am gi nomor satu ini sudah mati di bawah kerumunan nona-nona bunga ini. Mau tak mau terkesiap juga Pwe-giok.

Sampai sekian lama Thi-hoa-nio tertawa, habis itu mendadak ia berkata pula dengan menyesal: "Cuma sayang, kau ini lebih mirip patung, sama sekali tidak tahu menikmati keindahan orang perempuan, maka terpaksa kami melepaskan Gin-si (benang perak), tapi inipun bukan benang labah-labah."
"Habis apa kalau bukan benang labah-labah?" tanya Pwe-giok.
"Akan kuberitahukan, supaya tambah pengetahuanmu." ujar Thi-hoa-nio. "Inilah 'Ceng-si' yang dikeluarkan oleh 'Thian-cam' (ulat sutera sakti), mahluk sakti agama kami."
"Ceng-si (benang cinta)?... Bagus juga nama ini," ujar Pwe-giok dengan tersenyum. "Apabila sudah terlibat oleh Ceng-si ini, maka sukarlah melepaskan diri, benang cinta ini akan mengikat dan merasuk tulang, betapa nikmat rasanya yang menggetar kalbu itu, mimpipun tak dapat kau bayangkan." kata Thi-hoa-nio pula dengan tertawa genit. "Cuma sayang, terlalu cepat kau melihat benang cinta ini tadi, kalau tidak, tentu sekarang kenikmatannya sudah kau rasakan."

Pwe-giok tahu Thian-cam ceng-si ini pasti keji luar biasa, tadi apabila dirinya sampai terlibat oleh benang itu, maka jangan harap akan bisa terlepas lagi, mau tak mau harus pasrah nasib untuk diperlakukan sesuka mereka, tatkala mana mungkin minta hidup tak dapat, ingin matipun sukar.

Nyata, dalam waktu singkat tadi meski tampaknya tiada terjadi sesuatu yang berbahaya, tapi sesungguhnya dia sudah berada di ambang pintu neraka dan untung bisa pulang balik.

Teringat begitu, tanpa terasa Pwe-giok berkeringat dingin, namun lahirnya dia tetap tenang-tenang saja, katanya dengan tersenyum: "Cayhe cukup maklum, semakin indah nama sesuatu benda, semakin keji pula benda itu. Seperti Siau-hun-san (Puyer pembuyar sukma), To-ceng-ciu (Arak pelarian cinta) dan sebagainya, kuyakin Ceng-si andalan kalian ini pasti juga sejenisnya."

Mulut Thi-hoa-nio menjengkit, ucapnya: "Ceng-si agama kami ini tidak dapat dibandingi benda apapun di dunia ini, barang sebangsa Sian-hun-san, To-ceng-ciu dan sebagainya mana dapat disejajarkan dengan Ceng-si?"
"Jika demikian, tadi waktu para nona menumpahkan Ceng-si dari tangan, mengapa benang itu tidak kalian libatkan pada tubuhku, sungguh sampai saat ini aku merasa tidak paham."

"Sudah kubilang kau ini orang tolol, nyatanya kau memang bebal." ujar Thi-hoa-nio dengan tertawa genit. "Tadi jika kami benar benar langsung melibat dirimu dengan Ceng-si, bukankah segera akan diketahui olehmu? Hanya satu dua utas Ceng-si mana dapat mengikat patung seperti kau ini?"

"Oo, kiranya demikian." ucap Pwe-giok dengan tersenyum.

Melihat senyuman anak muda itu, segera Th-hoa-nio merasa dirinya telah terpancing dan terlanjur bicara tentang daya guna Ceng-si. Ia berkedip-kedip, lalu berkata pula dengan tertawa: "Tapi saat ini kau sudah terkurung rapat oleh Ceng-si kami bertiga dan jangan harap akan dapat lolos lagi, lebih baik kau berlutut dan menyerah kepada kami, kujamin pasti akan memuaskan kau."

"Para nona memiliki Ceng-si, aku kan juga punya Hui-kiam (pedang tajam)," kata Pwe-giok. Habis bicara, sekali tangannya bergetar, Am-gi keluarga Tong yang menancap di ranting kayu yang masih dipegangnya itu segera ada dua buah melayang kesana.

Meski kedua biji Am-gi ini terpental karena tenaga sentakan ranting kayu itu, namun dari suara mendesingnya yang keras, jelas jauh lebih kuat daripada ditimpukkan dengan tangan orang lain.

Tak terduga, Am-gi sekuat itu sama sekali tak berguna, begitu menyentuh jaring cinta itu, sama seperti laron masuk ke jaring, meronta tak bisa terlepas, menerjang tak dapat tembus.

Pwe-giok jadi teringat pada dirinya sendirinya juga terikat oleh benang cinta Lim Tay-ih, selama ini pikirannya selalu dirundung rindu dan sukar dilupakan, entah pula bagaimana nantinya.

Teringat sampai di sini, seketika timbul macam-macam pikirannya, ucapnya dengan tersenyum getir: "Nama Ceng-si yang nona gunakan ini sungguh nama yang sangat bagus dan sukar dicari."
"Dan sekarang kau sudah menyerah?" tanya Thi-hoa-nio dengan tertawa.

Pwe-giok termangu-mangu seperti orang linglung, seolah-olah tidak mendengar apa yang diucapkan si nona.

Thi-hoa-nio berkata pula: "Jika kau tidak segera menjawab, sekali jaring kami tarik, seketika kau akan menjadi setan bagi cinta."

"Bisa menjadi setan bagi cinta mungkin akan lebih baik daripada selama hidup senantiasa dirundung rindu," jawab Pwe-giok dengan menghela napas panjang.

"Baik jika memang begitulah kehendakmu!" seru Thi-hoa-nio. Dia bertepuk tangan pelahan, lapisan jaring yang putih kelabu itu lantas mulai ringkas ke tengah, pelahan-lahan mendesak ke tubuh Ji Pwe-giok, apabila tubuhnya tersentuh Ceng-si, maka sukarlah melepaskan diri.

Benang cinta ini memang tiada ubahnya seperti benang kematian!

Entah apa yang terpikir oleh Ji Pwe-giok, tampaknya ia tidak menyadari malaikat elmaut selangkah demi selangkah sedang mendekatinya.

Dipandang dari jauh Pwe-giok seperti berdiri di tengah tiga dewi cantik dan sedang bersenda gurau, siapa yang tidak mengiler melihat adegan yang menggiurkan ini? Siapa pula yang tahu sesungguhnya anak muda itu sudah terjeblos ke dalam jaringan maut.

Kim-hoa-nio hanya memandangi Pwe-giok dengan termangu-mangu, ucapnya dengan rawan: "Menjadi setan bagi cinta memang jauh lebih baik daripada hidup dirundung rindu tak sampai, tampaknya kau sudah berpengalaman cinta, seumpama matipun tidak menjadi soal."

Mendadak Pwe-giok tertawa dan bersenandung: "Ingin tak rindu, membuat orang cepat tua, setelah berpikir, tetap rindu jua..." ditengah senandungnya pelahan ia ayun ranting kayunya setengah lingkaran, Am-gi yang menancap pada ranting kayu itu seluruhnya lengket pula pada jaring cinta itu hingga berwujud suatu lingkaran.

"Hihi, dengan besi rongsokan ini kau kira dapat membobol benang cinta kami ini?" kata Thi-hoa-nio dengan tertawa mengikik.

Belum lenyap suaranya, dengan ranting kayu sebagai pedang, Pwe-giok terus menusuk berpuluh kali, setiap kali tusukannya tepat mengenai Am-gi yang menempel di 'jaring cinta' itu. Tenaga tusukan yang digunakan sangat kuat.

Thi-hoa-nio merasa pergelangannya tergetar hebat, bukan saja jaring itu sukar ditarik dan ringkas, sebaliknya malah terasa membentang lebar, tanpa terasa ia berseru: "Sungguh cerdik caramu ini, rasanya akupun rada-rada kagum padamu."

Hendaklah diketahui bahwa benang ulat sutera alam itu mempunyai daya lengket yang sangat kuat, benda apapun bila melengket lantas sukar terlepas, karena benang itupun bisa mulur mengkeret, maka ditolak atau dipentang sekuatnya tetap sukar membobolnya.

Kalau melulu menggunakan 'Pedang' dan langsung menusuk 'jaring cinta' itu, sekali pedang melengket, sekalipun besar tenaganya dan dapat melubangi jaring itu, tapi orangnya tetap akan terlilit juga di tengah jaring.

Tapi sekarang Pwe-giok menghamburkan lebih dulu am-gi sebanyak itu dan menempel pada jaring, lalu 'pedang' menghantam am-gi dengan sendirinya berbagai senjata rahasia itu takkan melengket benda lain dan Pwe-giok lantas dapat memainkan pedangnya dengan leluasa.

Cara ini tampaknya sangat sederhana, tapi bila tiada mempunyai kecerdasan luar biasa tidak nanti dapat berpikir sejauh ini. Sekarang ranting kayu ditangan Pwe-giok telah berubah menjadi sebilah pedang serba guna.

Terdengarlah serentetan suara 'trang tring' yang nyaring. Susul menyusul Pwe-giok menusuk terlebih gencar, tenaga yang dilontarkan juga semakin kuat, padahal jaring itu sedang ditarik dan diringkaskan oleh ketiga nona bunga itu, sebaliknya Am-gi yang ditusuk pedangnya menerjang keluar dengan kuat, akhirnya ujung berbagai senjata rahasia itupun tertembus keluar jaring.

Mendadak Pwe-giok bersiul panjang sambil berputar kencang, pedang menggaris, lingkaran senjata rahasia yang berjajar itu tertolak lebih keras oleh pedang itu. Senjata rahasia pertama merenggang satu-dua inci ke samping dan menyampuk senjata rahasia kedua. Maka senjata rahasia kedua itu dapat merobek jaring cinta itu beberapa inci lagi terus menghantam senjata rahasia ketiga dan begitu seterusnya....

Hanya dalam sekejap saja "Jaring Cinta" itu hampir terobek seluruhnya, ketika Pwe-giok menyingkap dengan ujung ranting kayunya, segera orangnya menerobos keluar sambil bersiul panjang melengking.

Khing-hoa-sam-niocu seakan-akan kesima menyaksikan olah Pwe-giok yang luar biasa itu, baru sekarang mereka terkejut sadar dan cepat melompat mundur bersama.

"Bagus, bagus sekali" seru Thi-hoa-nio dengan tertawa. "Di kolong langit ini kau orang pertama yang dapat menerobos keluar dari Ceng-bang (jaring cinta) ini. Kau memang hebat dan pantas dibanggakan..."

Di tengah suara tertawanya yang seram, mendadak ia mencabut sebilah golok emas yang menancap di pohon, sekali berkelebat, lengan beberapa orang teringkus di batang pohon itu ditabasnya mentah-mentah. Darah segar berhamburan, tapi orang-orang itu seperti tidak merasa sakit, mereka malah tertawa seperti orang gendeng.

Thi hoa-nio lantas melemparkan lengan kutung yang berlumuran darah itu kepada Pwe-giok.

Dengan gusar Pwe-giok membentak; "Sampai sekarang kalian masih membikin celaka orang?", cepat la melompat mundur, ia tahu darah yang muncrat dari lengan kutung itu pasti darah berbisa yang bisa membikin celaka orang.

Saking gemasnya melihat kekejian Thi-hoa-nio itu, segera Pwe-giok melayang ke atas dan hendak menerjang mereka.

Tapi mendadak "blang", suara letusan menggelegar, beberapa lengan kutung itu mendadak meledak dan berubah menjadi kabut darah yang mengerikan. Kabut berdarah itu tersebar dengan sangat cepat dan membanjir ke arah Pwe-giok.

Saat itu Pwe-giok masih terapung di atas, ia terkejut, sebisanya ia melejit di udara sehingga tubuh sendiri terpental lebih cepat ke belakang dan turun kembali ke bawah. Dilihatnya kabut berdarah itu masih terus menjalar, cuma jaraknya sekarang sudah mulai menjauh.

Didengarnya suara Thi-hoa-nio yang seram berkumandang dari jauh: "Sekali Thian-can (ulat sutera sakti) menyusup tulang, sebelum mati, takkan berhenti, boleh kau tunggu saja nanti..."

Kabut itupun mulai menipis, tapi bayangan Khing-hoa-samniocu sudah tidak kelihatan lagi, hanya golok emas yang menancap di pohon itu tampak masih bergoyang-goyang.

Kebetulan angin meniup, seketika tercium bau darah yang anyir. Pwe-giok ingin tumpah, sungguh tidak kepalang kejutnya mengingat apa yang terjadi barusan.

Terdengar Tong Bu-siang lagi berkata dengan menghela napas panjang: "Inilah ilmu andalan Thian-can-kau yang disebut Kim-to-kay-te, Hiat-sun-tay-hoat (Golok emas membelah tubuh, ilmu menghilang di balik kabut darah). Sekali ilmu ini dikeluarkan, di dunia ini mungkin tiada seorangpun yang mampu menangkap mereka."

Ahli senjata rahasia nomor satu yang termasyhur ini tampak bersandar lemas di ambang jendela dan memandang jauh ke depan, sorot matanya juga menampilkan rasa kejut dan takut yang tak terhingga, seperti membayangkan bahaya dan petaka yang bakal timbul.

"Agama iblis sekeji dan kejam ini, mengapa tiada orang yang mau menumpas mereka?" kata Pwe-giok dengan menyesal.

Tong Bu-siang tersenyum getir, katanya: "Memangnya siapa yang sanggup menumpas mereka? Ilmu silat Thian-can-mo-kau sungguh teramat keji, orang biasa hakekatnya tidak dapat mendekati mereka, begitu menempel tubuh mereka seketika jiwa melayang"

"Siapakah Kaucu mereka?" tanya Pwe-giok.

"Kaucu Thian-can-kau hakekatnya tidak pernah dilihat oleh siapapun juga, jejaknya sukar diketahui, pergi datang tanpa bekas serupa hantu, wajah aslinya tidak pernah dikenal orang, bahkan siapa namanya juga tiada yang tahu."

"Aku tidak percaya bahwa di dunia ini tiada seorangpun yang mampu mengatasi dia?" ujar Pwe-giok.

"Ilmu silat Thian-can-kau memang sangat keji, tapi juga tidak sembarangan mengganggu orang, jejaknya juga jarang ditemukan di wilayah Tionggoan, mereka kebanyakan berkeliaran di pegunungan sunyi dan di daerah terpencil, bilamana mereka tidak mencari orang lain, hakekatnya orang lainpun sukar menemukan mereka."

"Namun aku tetap yakin pasti ada orang yang akan menumpas mereka," kata Pwe-giok pula pelahan setelah termenung sejenak.

Terbelalak mata Tong Bu-siang, katanya: "Ya, mungkin kau... kau masih muda dan berani, tinggi pula ilmu silatmu, apabila kelak ada orang yang mampu menumpas Thian-can-kau, maka... maka orang itu pastilah kau. Mengenai diriku..." dia menyengir, lalu menyambung pula: "Pada waktu mudaku hidupku tidak teratur dan suka menuruti bisikan hati, iman tidak teguh. Jadi ilmu jahat Thian-can-kau kebetulan adalah lawan maut bagiku."

Baru sekarang Pwe-giok tahu apa sebabnya seorang guru besar dunia persilatan terkenal ini sedemikian jeri terhadap Khing-hoa-sam niocu dan begitu mudah dipengaruhi oleh tarian gila tadi.

Mendadak Sebun Bu kut melongok keluar dan memandang Pwe-giok dengan tersenyum misterius, katanya: "Thian-can merasuk tulang, sebelum mati tidak berhenti. Sekali kau terlibat mereka, jarang ada orang yang dapat lepas dengan hidup. Meski sekarang mereka sudah pergi, tapi Ji-kongcu masih perlu hati-hati."

"Untuk ini tidak perlu anda ikut kuatir," jawab Pwe-giok dengan tersenyum hambar.

"Jika demikian, biarlah Cayhe mohon diri lebih dulu," kata Sebun Bu kut. Tiba-tiba ia berpaling kepada Tong Bu-siang dan bertanya: "Dan Tong cianpwe? ...."

Tong Bu-siang tampak ragu, katanya, "Ji-kongcu ......"

"Cianpwe silahkan pergi saja dan tidak perlu kuatir bagiku," sela Pwe-giok dengan tertawa, "Bila aku tak dapat menjaga diriku sendiri, cara bagaimana aku akan berkelana di dunia Kangouw kelak?"

Tong Bu-siang berpikir sejenak, katanya pula: "Ya, kuyakin kau pasti dapat menjaga dirimu sendiri. Hanya perlu kau ingat, masa paling lihay dari racun ulat ini hanya tujuh hari, asalkan kau dapat bertahan tujuh hari pertama, selanjutnya tentu tidak berbahaya lagi."

"Tapi untuk tujuh hari itulah sampai sekarang belum pernah ada orang yang sanggup menghindarinya" kata Sebun Bu-kut dengan seram. Habis itu, sekuatnya ia memayang Ong Uh-lau dan diajak pergi.

Menunggu sesudah Tong Bu-siang juga pergi, barulah Ki Leng-yan muncul dengan tertawa, katanya: "Memang ku tahu di dunia ini tiada seorang perempuan pun yang sampai hati mem... " belum habis ucapannya, mendadak Pwe-giok jatuh terkapar.

Terlihat wajahnya pucat menghijau, bibirnya bergemetar, sekujur badan menggigil, Leng-yan coba merabanya, terasa badan pemuda itu panas seperti dibakar.

Rupanya tadi waktu kabut berdarah mulai buyar, tanpa terasa ia telah menghisapnya setitik, waktu itu ia memang sudah merasakan gelagat tidak enak, tapi baru sekarang racun itu mulai bekerja.

Leng-yan seperti terkesima saking cemasnya, dipandangnya Pwe-giok dengan termangu-mangu, katanya kemudian: "Akhirnya kau terkena juga... terkena juga racun mereka."

Pwe-giok merasa seluruh badan sebentar dingin sebentar panas, ia tahu keracunan tidak ringan, tapi dia memang berbudi luhur, selalu memikirkan orang lain lebih dulu. Ia kuatir Leng-yan berkuatir dan berduka baginya, maka sedapatnya ia berlagak tenang. katanya dengan tertawa: "Sejak tadi ku tahu keracunan, tapi... tapi tak beralangan... "

Ling-yan berpikir sejenak, katanya kemudian: "Jika sejak tadi tahu keracunan, mengapa tidak kau katakan?"

"Kau tahu Sebun Bu-kut dan komplotannya itu bermaksud jahat padaku," tutur Pwe-giok. "Jika tadi ku perlihatkan tanda-tanda keracunan, mungkin mereka takkan meninggalkan diriku. Sebab itulah aku bertahan sekuatnya hingga sekarang."

Meski untuk bicara saja rasanya sangat sulit, namun Pwe-giok bertahan dan berusaha memberi penjelasan kepada Ki Leng-yan, diharapkannya semoga anak perempuan yang masih polos dan suci bersih ini bisa lebih banyak memahami seluk-beluk orang hidup.

Nona itu menghela napas, katanya: "Ai, kenapa manusia selalu punya macam-macam soal ruwet begitu, burung tentu tidak ........"

Memandangi wajah si nona yang kekanak-kanakan dan linglung itu, susah juga hati Pwe-giok. Ia tahu ucapan Sebun Bu kut tadi bukan untuk menakutinya, Khing-hoa-sam-niocu pasti takkan melepaskan dia, selama tujuh hari ini pasti sukar dilewatkan. Apalagi sekarang dirinya keracunan, untuk berdiri saja tidak kuat.

Bilamana sekarang dia didampingi orang lain, mungkin dapat membantu dia menghindarkan malapetaka ini, celakanya yang mengiringinya sekarang adalah Ki Leng-yan yang linglung dan tidak dapat bertindak apapun.

Semakin dipikir semakin gelisah Pwe-giok, apabila Khing-hoa-samniocu datang lagi dan melihat Ki Leng-yan, mungkin anak dara ini takkan diampuni. Teringat demikian, cepat ia berseru: "Kawanan burung sedang menantikan dirimu, lekas kau pergi mencari mereka saja!"

"Dan kau?" tanya Leng-yan. "Aku... aku akan istirahat di sini," jawab Pwe-giok. Leng-yan berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tertawa: 'Biarlah kutunggu kau di sini, bila kau sudah sembuh, kita pergi bersama." - Dengan tersenyum lantas ia berduduk dan sama sekali tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Pwe-giok dalam keadaan gawat.

Pwe-giok merasa darah dalam tubuhnya bergolak hebat, mulut mendadak terasa kaku dan mati rasa, ingin bicara, namun bibir tak dapat bergerak lagi. terpaksa ia hanya memandangi Ki Leng-yan dengan sorot mata yang cemas.

Dilihatnya wajah Ki Leng-yan yang tersenyum simpul itu makin lama makin kabur, makin jauh, suaranya juga seperti semakin lirih seolah-olah berkumandang dari tempat yang tidak kelihatan, sayup-sayup terdengar nona itu berkata: " Jangan kuatir, bilamana kawanan burung sakit, akupun senantiasa menjaga mereka, setiap hari kusuapi obat kepada mereka, obatku sangat manjur, setelah ka minum tentu akan jauh lebih segar."

Pwe-giok ingin berteriak: "Aku bukan burung, mana boleh minum obat burung!"

Namun satu katapun tak dapat diucapkannya, ia merasa Leng-yang telah menjejalkan sebiji obat ke mulutnya, pil itu lantas cair dan mengalir ke dalam kerongkongan, malahan terasa membawa semacam bau harum yang aneh.

Ia merasa pikirannya mulai tenang, badan terasa segar dan enak sekali, selang sejenak pula mendadak ia terpulas.

ooooo000OO000ooooo

Begitulah Pwe-giok tertidur dan mendusin dan tertidur pula. Apabila mendusin, Ki leng-yan lantas menyuapi ia satu biji obat, sehabis minum obat rasanya menjadi segar, lalu tertidur pula dengan nyenyaknya.

Mula-mula bila dia mendusin dia masih terus mendesak: 'Lekas kau pergi saja, larilah lekas, setiap saat Khing-hoa-samniocu bisa muncul lagi."

Tapi akhirnya ia merasa badan sedemikian segarnya, terhadap segala urusan penuh keyakinan biarpun Khing-hoa-samniocu sekarang datang lagi rasanya juga tidak takut pula.

Ia sendiri tidak paham mengapa bisa timbul perasaan begitu, iapun tidak tahu apakah masa tujuh hari yang konyol itu sudah lewat atau belum.

Entah berapa hari sudah lalu, suatu hari mendadak Pwe-giok sadar kembali, sadar seluruhnya, ia merasa tubuhnya segar bugar, sedikitpun tiada tanda-tanda lemas sehabis keracunan, bahkan rasanya penuh semangat, penuh gairah.

Ki leng-yan juga sedang memandangnya dengan tersenyum. "Obatku memang manjur bukan?" demikian tanya si nona.

Pwe-giok tertawa, jawabnya: "Ya, memang sangat manjur, sungguh obat mujarab yang jarang ada bandingannya..." Sembari bicara iapun memandang sekelilingnya, baru sekarang dia mengetahui dirinya masih berada di kamar itu, meski mayat dan darah sudah tersapu bersih, tapi segera teringat lagi olehnya akan "Khing-hoa-niocu". ia terkesiap, tanyanya: "Sudah berapa lama aku tertidur?"

"Rasanya seperti sudah delapan atau sembilan hari," jawab Leng-yan. "Apa? Sembilan hari?....Dan mereka tidak datang?" seru Pwe-giok kaget.

Tujuh hari yang konyol itu ternyata sudah dilaluinya tanpa sadar, ia terkejut dan bergirang pula, sungguh rada-rada tidak percaya. "Kau merindukan mereka?" jawab Pwe-giok dengan menyengir. "Aku cuma... cuma heran mengapa mereka tidak datang lagi?"

"Dan mengapa kau tidak pergi saja, apakah sengaja menunggu kedatangan mereka?" kata Leng-yan dengan tenang-tenang.

Mendadak Pwe-giok melonjak bangun, serunya: "He, betul juga. mereka pasti tidak menyangka aku masih berada di sini, mereka tentu akan mengejar ke tempat jauh sana dan tidak tahu bahwa aku belum pergi dari sini," Ia pegang tangan leng-yan, katanya dengan tertawa: "Meski tindakan ini rada-rada menyerempet bahaya, tapi dalam keadaan terpaksa, kukira akal ini adalah akal paling bagus yang dapat dipikirkan, syukur kau dapat memikirkan akal ini."

"Akal apa? Aku tidak tahu!" kata Leng-yan dengan tertawa linglung. Pwe-giok melengak, dipandangnya wajah yang masih polos, bersih dan kekanak-kanakan itu, entah nona ini benar-benar orang gendeng dan berbuat secara kebetulan saja, atau sebenarnya memiliki kecerdasan yang luar biasa.

Leng-yan berbangkit, mendadak ia tertawa dan berkata: "Marilah kita pergi, mereka sedang menunggu kau di luar!"

"Apa? mereka menunggu di luar?" Pwe-giok menegas dengan kaget.

"Ya," jawab Leng-yan dengan tertawa, "Waktu kau tertidur, banyak pula kudapatkan kawan baru di sini, ada kakak gagak, ada adik pipit, sudah kubicarakan dengan mereka, bilamana sakitmu sudah sembuh, akan kubawa kau berkenalan dengan mereka."

Sementara itu sinar sang surya tampak memancar masuk melalui jendela, waktu masih pagi, di luar memang benar ramai burung berkicau.

Pwe-giok lantas ikut keluar bersama Ki Leng-yan. Begitu melihat kawanan burung, dengan tertawa senang nona itu lantas berlari ke sana.

Pwe-giok melihat pohon itu masih tegak berdiri di sana dihembus silir angin pagi, cuma orang-orang yang semula terikat di pohon itu sudah tak kelihatan lagi.

Tiba-tiba teringat olehnya pondokan yang letaknya meski terpencil ini toh tidak terlalu jauh dari perkampungan lain, jika di tempat ini mendadak mati orang sebanyak ini, mengapa tiada orang bertanya atau menyelidiki apa yang terjadi. Sesungguhnya orang-orang yang terikat di pohon itu orang hidup atau mati?

Selain itu, tempat penginapan ini sekarang juga tiada nampak bayangan seorangpun. Aneh, apakah semuanya sudah lari dan tiada yang mengurus? Jika tidak ada yang mengurus, mengapa dirinya dapat tinggal di sini sampai delapan atau sembilan hari?

Pertanyaan-pertanyaan ini cukup membuat pusing kepala. Sekalipun Pwe-giok sudah sadar, tapi cara bagaimana pula harus diselesaikannya. Ki Leng-yan yang sama sekali tidak paham seluk-beluk kehidupan manusia ini.

Berpikir sampai di sini, timbul juga rasa curiga Pwe-giok, dipandangnya Leng-yan yang sedang berkeplok dan berjingkrak gembira di kejauhan itu, pikirnya: "Jangan-jangan nona ini tidak gendeng sungguh-sungguh, tapi cuma pura-pura bodoh... Mungkinkah selama beberapa hari ini sudah pernah kedatangan orang lain yang membantu dia menyelesaikan urusan di sini. Tapi mengapa dia tidak omong padaku?"

Tapi segera terpikir lagi: "Ah, dengan susah payah orang telah menolong diriku, tapi aku malah mencurigai dia, betapapun tidak pantas. jika dia bermaksud jahat padaku, untuk apa pula dia menyelamatkan diriku?"

Dilihatnya Ki Leng-yan sedang berlari-lari kemari dengan tertawa riang, serunya sesudah dekat: "Mereka (maksudnya kawanan burung) memberitahukan padaku bahwa di depan sana ada sebuah tempat yang baik, maukah kita melihatnya ke sana?"

Di bawah cahaya sang surya, kelihatan pipi si nona bersemu merah laksana buah apel yang mulai masak, sinar matanya mencorong terang, begitu jernih dan polos seolah-olah tidak tahu betapa licik dan kejinya kehidupan manusia ini.

"Marilah ikut!" ajak Leng-yan pula sambil menarik tangan Pwe-giok. Pwe-giok merasa tiada halangan untuk menolak, dia ikut melangkah ke sana.

Tidak lama kemudian, tertampak di depan sana ada sebuah perkampungan yang cukup megah, pintu gerbang perkampungan itu bercat merah mentereng, dapat diduga penghuni gedung ini pasti bukan sembarang orang.

"Sudah sampai, marilah kita masuk ke sana," kata Leng-yan tiba-tiba sambil menarik tangan Pwe-giok. "Di dalam sini banyak hal yang menarik, hayo kita melihatnya.'

"Ini rumah siapa? mana boleh sembarangan masuk ke rumah orang lain?" ujar Pwe-giok dengan tersenyum getir.

"Tidak apa-apa, masuk saja," ajak Leng-yan pula.

Dengan lagak rumah ini aku punya, nona itu lantas menolak pintu dan masuk tanpa permisi. Terpaksa Pwe-giok ikut terseret masuk ke sana.

Halaman di dalam ternyata sangat luas, ruangan tamu juga terpasang sangat mewah.

Langsung Ki Leng-yan masuk ruangan tamu terus berduduk. Anehnya juga tiada orang yang merintanginya. Padahal halaman rumah ini terawat rapi dan bersih, jelas ada penghuninya.

"Mumpung tuan rumahnya belum keluar, marilah kita lekas pergi saja," ajak Pwe-giok.

Tapi Leng-yan tidak menghiraukannya, sebaliknya ia malah berkata:

"Hayo ambilkan teh."

Sejenak kemudian, benarlah seorang lelaki berbaju hijau (seragam kaum hamba yang umum) membawakan dua mangkuk teh dan ditaruh dengan hormat di atas meja, tanpa bersuara terus tinggal pergi pula dengan kepala tertunduk.

Leng-yan minum seteguk teh yang di suguhkan itu, lalu berseru pula: "Perutku lapar!"

Hanya sebentar saja, segera beberapa orang menghidangkan santapan yang diminta dengan sikap yang sangat menghormat, bukan saja tidak bersuara sepatah pun kepada mereka, bahkan memandang saja tidak berani.

Melenggong lah Pwe-giok, ia mengira dirinya sedang bermimpi.

Segera Leng-yan mengangkat sumpit, katanya dengan tertawa: "Hayolah makan, kenapa sungkan-sungkan?" Dia lantas mendahului menyumpit hidangan dan dimakan dengan nikmatnya.

Pwe-giok sendiri tiada napsu makan, ia termenung-menung, sejenak kemudian, ia tidak tahan dan bertanya: "Apakah tuan rumah di sini memang kenalan mu?"

Leng-yan tidak menggubrisnya, ia makan lagi beberapa sumpit, mendadak ia pegang meja terus didomplangkan, keruan mangkuk piring jatuh berantakan.

"Mana orangnya!" teriak si nona.

Beberapa lelaki baju hijau berlari keluar dengan tergopoh-gopoh, semuanya mengunjuk rasa gugup dan takut, semuanya berdiri di depan Leng-yan dengan kepala tertunduk, sampai bernapas saja tidak berani keras-keras.

Dengan mata melotot Leng-yan berteriak: "Kenapa begini asin masakan Haysom-ah-ciang (teripang masak kuah telapak kaki itik), siapa yang menghidangkan nya tadi?"

"Hamba!" cepat salah seorang baju hijau menjawab dengan suara gemetar sambil berlutut.

"Apakah kau sengaja hendak membikin aku mati keasinan?" teriak Leng-yan pula.

Pwe-giok tidak tahan, ia ikut bicara: "Dia kan tidak mencicipi, darimana tahu rasanya asin atau cemplang, mana boleh kau menyalahkan dia. Apalagi kita makan gratis di tempat orang lain, masa kau marah-marah malah?"

Leng-yan tertawa, katanya: "O, aku tidak tahu urusan, jangan kau marah padaku."

"Ai, kau....."

Belum lanjut ucapan Pwe-giok, sekonyong-konyong lelaki baju hijau yang berlutut itu berseru: "Hamba tidak layak menghidangkan makanan yang terlalu asin ini, hamba pantas mampus, tangan yang membawa hidangan ini lebih-lebih harus mampus...." mendadak ia melolos sebilah belati dari pinggangnya dan "krek", kontan ia potong tangan sendiri.

Terkejut Pwe-giok, dilihatnya orang itu kesakitan setengah mati, butiran keringat memenuhi dahinya, tapi tidak berani merintih sedikitpun, tangan kanan memegangi pergelangan tangan kiri yang buntung itu dengan darah bercucuran, namun tetap berlutut dan tidak berani berdiri.

"Ehm, mendingan begini," kata Leng-yan dengan tertawa manis.

"He, ken..... kenapa kau berubah menjadi sekejam ini?" seru Pwe-giok.

"Mereka kan bukan burung, kenapa harus ku sayang mereka?" jawab si nona.

"Memangnya manusia tidak lebih berharga daripada burung?" kata Pwe-giok.

"Mereka suka dan rela, kenapa kau ribut bagi mereka?" ujar Leng-yan dengan tertawa.

"Di dunia ini mana ada orang yang suka rela membikin cacat anggota tubuh sendiri?" seru Pwe-giok dengan gusar.

Leng-yan tidak menanggapinya, ia pandang lelaki berbaju hijau dan bertanya dengan tertawa: "Kalian tunduk kepada perintahku secara sukarela, begitu bukan?"

Tidak saja lelaki baju hijau yang membuntungi tangan sendiri, bahkan semua hamba itu menjawab serentak: "Ya, secara sukarela."

"Bagus!" kata Leng-yan dengan gembira. "Jika demikian, coba kalian memotong dua jari masing-masing"

Kata-kata ini membikin Pwe-giok terperanjat.

Siapa tahu orang-orang ini benar-benar lantas melolos pisau dan "krak-krek", beramai-ramai mereka memotong dua jarinya sendiri.

"Kalian berbuat demikian secara suka rela, bukan?" tanya Leng-yan pula.

"Ya, sukarela." jawab orang-orang itu tanpa perduli darah mengucur dari tangan masing-masing.

"Kalian tidak merasa sakit, sebaliknya malah sangat senang, betul tidak?" tanya Leng-yan pula.

"Betul, hamba gembira sekali," jawab orang-orang itu berbareng.

"Kalau gembira, kenapa tidak tertawa?" kata Leng-yan.

Serentak tertawalah orang-orang itu meski sebenarnya semuanya kesakitan setengah mati, dengan sendirinya tertawa demikian lebih tepat dikatakan meringis.

Merinding Pwe-giok menyaksikan kejadian luar biasa ini, tanpa terasa iapun berkeringat dingin.

Sungguh sukar dibayangkan, kaum lelaki yang kekar dan segar ini seakan-akan telah menjadi boneka semata-mata. Mereka hanya mengiakan apa yang dikatakan Ki Leng-yan dan perintah nona itu lantas dilakukan. Sungguh kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapapun Pwe-giok tidak percaya di dunia ini ada kejadian aneh begini.

Leng-yan berpaling dan tertawa kepadanya, katanya: "Tahukah kau sebab apa mereka tunduk kepada perkataanku?"

"Mer...mereka..." Pwe-giok gelagapan.

Tapi Leng-yan lantas menukas: "Sebab mereka telah menjual sukmanya kepadaku."

Bulu roma Pwe-giok merasa berdiri seluruhnya, serunya kaget: "Ap...apakah kau sudah gila...."

Si nona tersenyum tenang, katanya pula: "Bukan saja sudah ku beli sukma mereka, bahkan sukma mu selekasnya juga akan ku beli, bukan saja mereka tunduk kepada perintahku, nanti kaupun harus tunduk."

Pwe-giok menjadi gusar, teriaknya: "Kau berani…. ber....."

"Sekarang kedua kakimu sudah lemas, sekujur badanmu tidak bertenaga lagi, berdiri saja tidak sanggup, cukup satu jari saja dapat ku robohkan kau!" kata Leng-yan dengan tertawa.

Mendadak Pwe-giok berdiri, tapi memang betul, kedua kakinya terasa lemas, "bluk", ia jatuh terduduk pula.

"Selang sebentar lagi sekujur badanmu akan terasa sebentar dingin sebentar panas, habis itu seluruh badan akan terasa sakit dan gatal, rasanya seperti beribu-ribu semut sedang menyusup ke dalam kulit daging mu."

Padahal tidak perlu sebentar lagi, sekarang juga Pwe-giok sudah mempunyai perasaan begitu, dengan suara gemetar ia bertanya: "Kau....kau turun tangan keji padaku?"

"Hehe, selain diriku masa ada orang lain?" jawab Leng-yan dengan tersenyum manis.

Gemerutuk gigi Pwe-giok saking ngerinya, teriaknya parau: "Meng...mengapa tidak kau bunuh saja diriku?"

"Orang berguna seperti kau ini, kan sayang jika kubunuh?" ujar si nona dengan tertawa.

Keringat dingin memenuhi dahi Pwe-giok, tanyanya dengan parau: "Sesungguhnya apa kehendakmu?"

"Meski sekarang kau merasa seperti terjeblos di dalam neraka," kata Leng-yan pula "Tapi asalkan kau mau menjual sukma kepadaku, segera dapat kubawa kau menuju ke surga, bahkan ke dunia yang jauh lebih gembira daripada surga."

Pwe-giok merasa tidak tahan lagi akan siksaan ini, dengan suara serak ia tanya: "Apa yang kau inginkan?"

"Sekarang, hendaklah segera kau pergi ke suatu tempat yang disebut kim-khak-ceng, 23 penghuni perkampungan itu, tua-muda, laki-perempuan harus kau bunuh seluruhnya......" kata leng-yan dengan tertawa. "Lo Cu-liang, pemilik perkampungan itu terkenal kaya-raya, sekaranglah aku sangat memerlukan harta-bendanya itu." "Apakah dalam keadaan begini aku sanggup membunuh orang?" tanya Pwe-giok dengan tersenyum pedih.

Saat ini kau memang tidak sanggup membunuh, tapi setiba di Kim-khak-ceng segera kau akan berubah menjadi maha kuat, bila tenagamu tidak kau keluarkan akan terasa tersiksa malah, rasanya seperti mau meledak," kata si nona.

Siksaan yang sukar ditahan ini hampir membuat Pwe-giok lupa segalanya, sekuatnya ia berdiri dan menerjang keluar pintu, tapi mendadak dia berlari balik dan berteriak dengan parau: "Tidak, tak dapat kulakukan hal ini."

"Kau harus, harus kau lakukan, apakah kau ingin bertaruh denganku?" kata Leng-yan dengan tertawa.

Dengan suara gemetar Pwe-giok berkata: "Tadinya kukira kau ini anak perempuan yang tulus dan bersih, siapa tahu semua ini cuma pura-pura saja, kau berlagak seperti tidak tahu apa-apa agar orang lain tidak was-was terhadap dirimu, siapa tahu kau terlebih ..... lebih keji daripada Ki Leng-hong!"

"Hihi," Leng-yan tertawa misterius. "Memangnya kau kira aku ini siapa?"

Pwe-giok memandangnya tajam, tiba-tiba dilihatnya sorot mata si nona yang poos dan bersih itu memancarkan sinar tajam laksana mata elang. Tanpa terasa Pwe-giok bergidik, ucapnya: "He, kau.... kau inilah Ki Leng-hong!"

Nona itu tertawa terkekeh-kekeh, dia memang bukan Ki Leng-yang melainkan Ki Leng-hong. Katanya dengan tertawa: "Sudah belasan hari kau menjadi orang tolol, baru sekarang kau tahu siapa diriku. Hehe, memangnya kau kira aku benar-benar paham bahasa burung? Di dunia ini mana ada manusia yang benar-benar paham bahasa burung? Biarpun si idiot Leng-yan sendiri juga belum tentu paham. Apa yang kau pahami adalah hasil penyelidikanku sendiri dengan segenap daya upaya ku, kalau manusia saja tidak tahu, darimana burung bisa tahu? Huh, kau sok anggap dirimu pintar, masa hal ini tak dapat kau pahami?"

Gemetar sekujur badan Pwe-giok, katanya: "Pantas, pantas kau berkeras ingin ikut padaku. Pantas kau memperhitungkan Khing-hoa samniocu, pasti takkan datang lagi, apalagi datang ke hotel kecil itu..."

"Ya, meski kau terkena racun Khing-hoa-samniocu, tapi tidak terlalu berat, malahan tampaknya kau pernah minum semacam obat mujarab apa yang memiliki daya tahan sangat kuat terhadap segala jenis racun."

"Betul, itulah Siau-hoan-tan dari Kun-lun-pay...?"

"Tepat." sela Leng-hong dengan tertawa.

"Cuma Siau-hoan-tan Kun-lun-pay itu meski dapat menawarkan segala macam racun, namun terhadap Kek-lok-wan (pil maha girang) yang kuberikan padamu ini sedikitpun tak berguna."

"Kek-lok-wan apa?" Pwe-giok menegas dengan kaget.

"Jadi Kek-lok-wan yang kau beri minum padaku ini telah membikin keadaanku menjadi rusak sedemikian rupa? apakah orang-orang itupun terkena racun Kek-lok-wanmu, maka... maka sukma merekapun dijual kepadamu?!"

"Jika Kek-lok-wanku kau anggap sebagai racun, maka itu sama seperti kau menghina diriku," kata Leng-hong.

"Meski sekarang kau sangat menderita, tapi cukup minum satu biji Kek-lok-wan, seketika semua rasa derita akan lenyap, bahkan semangatmu akan timbul berlipat ganda dan membuatmu merasa nikmat tak terhingga."

"Apakah... apakah Kek-lok-wanmu ini bisa membuat orang ketagihan?" tanya Pwe-giok dengan suara gemetar.

"Barang siapa sudah keracunan maka setiap hari harus meminumnya, kalau tidak tentu akan merasa tersiksa dan tak tertahankan?"

"Memang benar perkataanmu," kata Leng-hong dengan tertawa.

"Dalam kek-lok-wanku ini mengandung semacam getah tumbuh-tumbuhan yang berasal dari negeri barat, tumbuhan ini berbunga sangat indah, tapi getah buahnya dapat membuat hidup orang seperti terbang ke awang-awang, tapi juga dapat membikin orang hidup lebih menderita daripada mati."

Mendadak ia berpaling dan bertanya kepada orang-orang berbaju hijau: "Hidup kalian sekarang bukankah sangat bahagia?"

"Ya, selamanya hamba tidak pernah sebahagia sekarang ini." sahut orang-orang itu serentak. "Dan bagaimana kalau tidak kuberi Kek-lok-wan kepada kalian ?" tanya Leng-hong pula.

Seketika wajah orang-orang itu berkerut-kerut, sorot matanya menampilkan rasa kuatir, jelas rasa takut ini timbul dari lubuk hati yang dalam, semuanya munduk munduk dan memohon dengan sangat: "Mohon ampun, nona, apapun akan hamba lakukan bagi nona, asalkan setiap hari nona memberi satu biji Kek-lok-wan."

"Demi memperoleh satu biji Kek-lok-wan, kalian tidak segan-segan menjual ayah-ibu bahkan istrinya sendiri, begitu bukan?" tanya Leng-hong lagi.

Serentak orang-orang itu mengiakan.

Leng-hong berpaling ke arah Pwe-giok dan tertawa, katanya: "Meski kau tak punya ayah-ibu dan istri untuk dijual, tapi kau dapat menjual dirimu sendiri, dengan tubuhmu sebagai imbalannya akan kau dapatkan kebahagiaan sukma mu yang tak terhingga, tidakkah ini cukup berharga bagimu?"

Keringat bercucuran dari dahi Pwe-giok, serunya dengan tergagap: "Aku... aku..."

Leng-hong berkata dengan suara lembut: "Kau tidak berdaya melawan lagi, selama delapan hari itu setiap hari telah kutambah kadar Kek-lok-wan yang kuberi minum padamu, kecanduanmu sekarang sudah jauh lebih dalam daripada mereka, penderitaan yang kau rasakan hakekatnya tidak mungkin dapat ditahan oleh siapapun juga, kukira lebih baik kau tunduk dan menurut perintah saja."

Pwe-giok menggertak gigi, saking tersiksanya sampai bicarapun sukar.

"Lebih cepat kau menyatakan tunduk, lebih cepat pula akan berkurang rasa derita mu, kalau tidak, kau hanya akan tersiksa lebih lama secara sia-sia, sebab akhirnya kau toh pasti akan menyerah juga," habis berkata Leng-hong lantas mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dan menuang keluar sebiji obat berwarna coklat, seketika tercium bau harum yang aneh.

Dengan sorot mata yang rakus orang-orang berbaju hijau itu sama melototi pil yang dipegang Leng-hong itu, tampang mereka itu mirip anjing kelaparan yang melihat tulang, bahkan orang-orang ini tampaknya terlebih rendah daripada anjing.

Leng-hong menyodorkan obat itu ke depan Pwe-giok, katanya dengan tertawa:

"Ku tahu kau tidak tahan lagi, boleh kau minum dulu satu biji ini, lalu mulailah bekerja. Asalkan kau menyatakan tunduk padaku, akupun pasti percaya padamu."

Pwe-giok meremas-remas tangan sendiri, serunya dengan parau: "Tid... tidak, aku... aku tidak boleh!..."

Dengan suara terlebih halus Leng-hong berkata pula: "Sekarang, asalkan pil ini kau terima, seketika dari neraka kau akan menuju ke surga. Kebahagiaan yang dapat kau peroleh dengan cara semudah ini, jika kau tidak mau, kan bodoh kau?"

Orang-orang berbaju hijau itu sama mendekam di lantai, napas mereka ngos-ngosan seperti anjing di musim birahi.

Pwe-giok melirik sekejap orang-orang itu, tiba-tiba terpikir olehnya bilamana obat itu diminum, seketika dirinya akan berubah serendah orang-orang ini dan selama hidup akan mengesot di bawah kaki Leng-hong untuk memohon belas kasihannya agar memberinya satu biji Kek-lok-wan, selama hidupnya akan menjadi budaknya dan tenggelam di tengah penderitaan yang kotor dan rendah serta takkan menjelma lagi untuk selamanya.

Berpikir sampai di sini, sekujur badan Pwe-giok sudah penuh keringat dingin, mendadak ia meraung keras-keras, dua orang berbaju hijau itu didepaknya hingga terjungkal, seperti orang gila ia terus menerjang keluar.

Anehnya Ki Leng-hong tidak merintanginya, ia cuma berucap dengan dingin: "Kau mau pergi, boleh pergilah. Cukup kau ingat, bilamana kau tidak tahan derita lagi, setiap saat kau boleh pulang kembali ke sini, Kek-lok-wan ini senantiasa menantikan kedatanganmu, bila kau kembali ke sini segera kau akan mendapatkan pembebasan."

Tersembul senyuman keji pada wajahnya, katanya pula dengan pelahan: "Sekalipun kakimu di rantai juga kau akan kembali ke sini, biarpun kedua kakimu ditebas buntung merangkak pun kau akan pulang lagi ke sini."

0000-0000

Pwe-giok terus berlari-lari, ia menerjang ke ladang, ia menjatuhkan diri di tanah berpasir, bergulingan dan meronta, pakaiannya sudah terkoyak-koyak, tubuh pun berdarah, tapi sedikitpun tidak dirasakannya. Penderitaan lahiriah ini bukan apa-apa, yang sukar ditahan adalah penderitaan yang timbul dari rohaniahnya.

Jika orang tidak pernah mengalami sendiri, selamanya takkan dapat membayangkan betapa menakutkan penderitaan yang sukar dilukiskan itu.

Bahkan Pwe-giok membentur-benturkan kepalanya kepada batu padas sehingga berdarah, ia menggertak gigi kencang-kencang, ujung mulut pun berdarah, ia memukuli dada sendiri dan menjambak rambut...

Semua itu tetap tiada gunanya, telinganya selalu mengiang ucapan Ki Leng-hong tadi: "Setiap saat kau boleh pulang kembali ke sini... bila kau kembali ke sini segera kau akan mendapat pembebasan?"

Pembebasan, saat ini yang dipikirkannya memang cuma mengharapkan pembebasan, apakah untuk itu harus menjual raga sendiri atau menjual sukma sendiri, ia tidak perduli lagi.

Seperti apa yang sudah diduga Ki Leng-hong, mendadak ia berbangkit dan menerjang kembali ke arah datangnya tadi.

Mendadak seorang tertawa terkekeh-kekeh dan berkata: "Aha, akhirnya kami dapat menemukan kau."

Tiga sosok bayangan orang segera melayang tiba seperti burung cepatnya dan menghadang di depan Pwe-giok, tertampak mantel hitam yang gemerlapan tertimpa sinar matahari. Mereka ternyata "Khing-hoa-samniocu" adanya.

Akan tetapi bagi Pwe-giok sekarang ketiga 'nona bunga' ini tidak menakutkan lagi. Ia mendelik matanya merah membara, teriaknya parau: "Menyingkir! Biarkan ku lewat!"

Heran dan terkejut juga Khing-hoa samniocu melihat perubahan luar biasa Pwe-giok ini, ketiga kakak beradik itu saling pandang sekejap, sambil berkerut kening Thi-hoa-nio lantas berkata: "Pemuda yang cakap dan ganteng mengapa berubah menjadi seperti binatang buas ?"

Belum lenyap suaranya, serentak Pwe-giok menerjang tiba. Saat ini meski tenaganya sengat kuat, tapi itu cuma tenaga yang timbul secara naluri, ia sudah lupa cara bagaimana menggunakan tenaga dalam dan kepandaian.

Perlahan Gin-hoa-nio lantas menjulurkan sebelah tangannya untuk menjegal, kontan Pwe-giok jatuh tersungkur. Kaki Gin-hoa-nio lantas menginjak di atas punggung anak muda itu, katanya dengan tercengang: "Mengapa orang ini berubah menjadi begini, sampai ilmu silat sendiripun tidak ingat lagi."

"Kumohon, lepaskan diriku!" ratap Pwe-giok sambil meronta dan menggabruki tahan pasir.

"Hm, kau kira kami akan melepaskan kau pergi?" jengek Gin-hoa-nio.

"Jika kalian tidak mau melepaskan diriku, lebih baik kalian bunuh saja diriku!" seru Pwe-giok.

"Ai, kenapa kau berubah menjadi begini?" tanya Kim-hoa-nio dengan gegetun: "Apakah kau terkena sesuatu racun?"

"Kek-lok-wan..... Kek-lok-wan, kumohon beri... berilah satu biji Kek-lok-wan!" teriak Pwe-giok dengan serak.

"Apa itu Kek-lok-wan?" tanya Kim-hoa-nio.

"Kuterima segala permintaanmu, ku tunduk kepada segala perintahmu, ku rela menjadi budak mu, akan kulakukan apa saja...." agaknya anak muda itu sudah kurang sadar sehingga bicara tak keruan.

"Lihay amat Kek-lok-wan itu," Kata Kim-hoa-nio, "Mengapa tak pernah kuketahui barang apakah Kek-lok-wan ini sehingga dapat mengubah watak seorang yang keras kepala begini rela menjadi budaknya?"

"Perduli barang apa, pokoknya kita bawa saja dia," kata Thi-hoa-nio setelah berpikir sejenak.

Ia memberi tanda, segera beberapa gadis jelita bergaun cekak berlari dari lereng bukit sana, mereka membawa sebuah karung berwarna putih kelabu, Pwe-giok terus dimasukkan ke dalam karung itu.

Karung itu entah terbuat dari bahan apa, kuat dan ulet luar biasa, sia-sia Pwe-giok meronta, memukul dan menendang di dalam sambil berteriak-teriak.

Mungkin mimpipun Ki Leng-hong tidak pernah menyangka Ji Pwe-giok akan ditawan orang dimasukkan ke dalam karung dan dibawa pergi, kalau tidak, pasti seperti apa yang telah diucapkannya, biarpun merangkak juga Pwe-giok akan balik lagi ke sana.

"Sungguh aneh sekali racun yang diidapnya, entah cara bagaimana menawarkan nya dan entah siapa di dunia Kangouw ini yang paham cara menawarkan racun semacam ini." kata Kim-hoa-nio dengan masgul.

"Jika kita saja tidak sanggup menawarkannya, siapa lagi di dunia ini yang sanggup?" ujar Thi-hoa-nio.

"Habis, apakah membiarkan dia dalam keadaan demikian?" ucap Kim-hoa-nio sambil berkerut kening.

"Toaci jangan lupa, dia adalah musuh kita," kata Gin-hoa-nio dengan ketus. "Sekalipun dia tidak keracunan juga kita akan membunuh dia, sekarang dia keracunan, mengapa kita berbalik akan menolongnya?"

Kim-hoa-nio menghela napas panjang, jawabnya: "Meski dia musuh kita, tapi melihat keadaannya aku menjadi tidak tega dan merasa kasihan."

"Toaci sungguh seorang pecinta besar, cuma cintamu rasanya menjadi tidak murni," kata Thi-hoa-nio dengan tertawa.

"Memangnya kau kira kasihanku padanya demi diriku sendiri?" kata Kim-hoa-nio dengan mengulum senyum.

"Bukan demi dirimu, memangnya demi diriku?" ujar Thi-hoa-nio sambil terkikik-kikik.

"Ucapanmu sekali ini memang tepat, apa yang kulakukan ini justeru demi kau," kata Kim-hoa-nio dengan tertawa.

"Aku?" Thi-hoa-nio menegas, mukanya menjadi merah, sambil menggigit bibir ia berkata pula: "Padahal.... padahal namanya saja aku tidak tahu, masa.... masa Toaci...." - Belum habis ucapannya mukanya bertambah merah dan mendadak ia berlari menyingkir.

Dalam pada itu sebuah kereta besar dan mewah tampak memapak tiba, segera kawanan gadis tadi menggotong karung yang berisi Pwe-giok ke dalam kereta. Khing-hoa-samniocu juga naik kuda masing-masing dan beramai-ramai terus membedal ke depan.

oOo-oOo

Kereta itu terus menuju ke selatan, melalui propinsi Oh-pak, Su-jwan, kemudian ke propinsi Kui-ciu.

Sepanjang jalan Pwe-giok masih terus meronta-ronta dan meraung-raung, jelas penderitaannya luar biasa. Tapi Khing-hoa-samniocu tidak memperlakukan dia dengan sadis, sebaliknya malah merawatnya dengan sangat baik.

Thi-hoa-nio yang galak dan liar itu seakan-akan berubah sama sekali sikapnya terhadap Pwe-giok, bahkan kelihatan merasa sedih.

Kim-hoa-nio tahu meski di mulut saudaranya itu tidak bicara, tapi di dalam hati sesungguhnya sedang berkuatir bagi Pwe-giok.

Sedangkan Gin-hoa-nio terkadang suka menyindir: "Coba lihat Sam-moay (adik ketiga), orang hampir membunuhnya, tapi dia malah menyukai dia."

Dengan tertawa Kim-hoa-nio berkata: "Biasanya penilaian Sam-moay sangat tinggi, setiap lelaki di dunia ini dipandangnya seperti kotoran yang tidak laku sepeserpun. Sebenarnya aku berkuatir kalau-kalau selama hidupnya takkan mendapat pasangan, tapi sekarang dia bisa jatuh hati kepada seseorang, kan kita harus bergirang baginya."

"Tapi orang yang ditaksirnya justeru adalah musuh kita," kata Gin-hoa-nio.

"Ah, musuh apa?" ujar Kim-hoa-nio dengan tersenyum. "Padahal ada permusuhan apa antara dia dengan kita, apalagi kalau dia sudah menjadi suami Sam-moay, dari musuh kan terus berubah menjadi ipar?"

Gin-hoa-nio melengak, ia tertawa, katanya: "Sungguh aku tidak paham mengapa Sam-moay bisa penujui dia?"

"He, dia kan lelaki cakap yang jarang ada bandingannya, ilmu silatnya juga tergolong pilihan, pemuda sebaik ini siapa yang tidak menyukainya? apalagi usia sam-moay sudah waktunya birahi," kata Kim-hoa-nio.

Gin-hoa-nio menggigit bibir dan tidak bicara lagi, ia terus melarikan kudanya ke depan.

Gerak gerik rombongan ini meski misterius, tapi sangat royal, tidak sayang buang uang, siapapun menghormati mereka, maka sepanjang jalan tiada terjadi sesuatu halangan.

Sesudah menyeberangi Tiangkang, mereka tidak mencari hotel lagi, sepanjang jalan mereka disambut dengan hormat oleh keluarga hartawan. Rupanya pengaruh Thian-can-kau diam-diam telah meluas hingga mencapai daerah Kanglam (selatan sungai Tiangkang), kebanyakan keluarga hartawan di daerah situ sudah masuk menjadi anggota cabang Thian-can-kau.

Yang menggembirakan Kim-hoa-nio dan Thi-hoa-nio adalah keadaan Pwe-giok sudah semakin baik, penderitaannya sudah jauh berkurang, terkadang sudah dapat tidur dengan nyenyak.

Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa bekerjanya racun Kek-lok-wan yang mengandung morfin itu lambat laun akan berkurang apabila si penderita sanggup bertahan pada masa krisis yang memang sangat menyiksa itu.
Tapi bila tiada mendapat pertolongan, satu diantara sejuta mungkin juga tidak sanggup menahan siksaan batin yang maha hebat itu. Coba kalau Khing-hoa-sam-niocu tidak terus mencari jejak Ji Pwe-giok, saat ini dia mungkin sudah terjerumus semakin dalam.

Melihat keadaan Pwe-giok yang bertambah sehat, Thi-hoa-nio menjadi girang. Sebaliknya Gin-hoa-nio tampak semakin dongkol, agaknya dia menaruh dendam kepada Pwe-giok.

Meski perlahan-lahan Pwe-giok sudah sadar kembali, tapi keadaannya sangat lemas, seperti orang yang baru sembuh dari sakit keras.

Bila teringat dirinya hampir terjerumus ke neraka yang sukar melepaskan diri, tanpa terasa Pwe-giok berkeringat dingin pula. Baik atau buruk, untung atau celaka, nasib manusia terkadang hanya bergantung pada sekian detik dan sekian jengkal saja.

Namun perlakuan Khing-hoa-samniocu yang teramat baik padanya membuat hatinya merasa tidak tenteram, ia tidak tahu apa pula maksud tujuan yang telah dirancang oleh ketiga kakak beradik yang misterius ini.

Dari propinsi Oh-pak mereka telah masuk ke Su-jwan. Suatu hari sampailah mereka di Song-peng-pah.

Song-peng-pah ini bukan kota besar, tapi jalan kota cukup rajin dan terpelihara. Kotanya juga ramai, orang berlalu lalang, banyak yang tertarik kepada ketiga kakak beradik yang cantik dengan keretanya yang besar itu.

Ketiga nona ini malah sengaja turun dari kuda masing-masing dan berjalan dengan bergandeng tangan, mereka melirik ke kanan dan tersenyum ke kiri, sungguh tidak kepalang senang mereka melihat orang lain sama terpesona terhadap mereka.

Mendadak Gin-hoa-nio menepuk pundak seorang di tepi jalan, tanyanya dengan tersenyum genit: "Apakah toako penduduk Song-peng-pah sini?"

Tanpa sebab ditepuk seorang nona cantik, tulang orang itu serasa lemas seluruhnya, melihat tangan yang putih halus itu masih semampir di pundaknya, tanpa terasa orang itu lantas merabanya dan menjawab dengan menyengir: "Ya, betul!"

Gin-hoa-nio seolah-olah tidak tahu tangannya lagi diraba-raba orang, ia tertawa terlebih manis, katanya pula: "Jika demikian, tentu Toako tahu di mana kediaman Ma Siau-thian?"

Mendengar nama Ma Siau-thian, seketika orang itu merasa seperti kena dicambuk satu kali, cepat ia menarik tangannya kembali dan menjawab dengan hormat: "O, kiranya nona ini kenalan Ma toaya, beliau tinggal tidak jauh di depan sana, di jalan seberang sana, belok ke kiri, gedung yang berpintu cat merah itulah."

Tiba-tiba Gin-hoa-nio memberikan lirikan genit, lalu membisiki orang itu: "Kenapa kau takut kepada Ma Siau-thian? Asalkan kau berani, malam nanti boleh kau datang mencari diriku...." lalu ia meniup pelahan ke telinga orang itu dan tertawa.

Sukma orang itu seakan-akan terbang ke awang-awang, dengan muka merah ia menjawab: "O, aku..... aku tidak berani."

"Huh, percuma!" omel Gin-hoa-nio dengan tertawa menggiurkan sambil mencubit pelahan pipi orang itu.

Dengan melenggong orang itu menyaksikan kepergian rombongan Gin-hoa-nio, sampai lama ia masih berdiri terkesima seperti habis mimpi, ia meraba pipinya yang rada-rada gatal dan bergumam: "Keparat, barang baik hampir semuanya di borong olehmu, Ma Siau-thian, dasar...." mendadak pipinya yang rada gatal itu berubah menjadi rasa sakit, pipi itu sudah bengkak seperti kepala babi, kupingnya juga sakit seperti ditusuk-tusuk jarum, ia kesakitan dan ketakutan sambil terguling-guling dan menjerit.

"Ai, untuk apa kau lakukan?" omel Kim-hoa-nio sambil menggeleng ketika mendengar jeritan ngeri dari jauh itu.

Gin-hoa-nio terkekeh-kekeh, katanya: "Terhadap lelaki yang suka iseng begini, kalau tidak dihajar adat sedikit tentu tidak kapok. Tampaknya Toaci telah berubah menjadi welas asih, apakah benar-benar sudah siap untuk menjadi menantu baik hati keluarga Tong?"

Kim-hoa-nio mendongkol, ia tidak bicara lagi, tapi terus melangkah ke depan dengan cepat. Terlihat dinding tembok tinggi di depan sana, beberapa orang sebangsa cecunguk sedang main dadu lempar di samping pintu besar sana.

Gin-hoa-nio mendekatinya, sekali depak ia bikin salah seorang lelaki itu terpental, orang-orang lain terkejut dan gusar, beramai-ramai mereka membentak.

Tapi Gin-hoa-nio memandang mereka dengan tertawa manis, katanya: "Numpang tanya para Toako, apakah di sini tempat kediaman Ma-toaya?"

Melihat wajah yang cantik itu, rasa gusar orang-orang itu seketika terbang ke awang-awang, mereka terbelalak memandangi Gin-hoa-nio dari segala sudut ke segenap bagian tubuhnya.

Seorang diantaranya berkata sambil cengar-cengir: "Akupun she Ma, akupun Ma toaya, ada keperluan apa adik sayang mencari diriku?"

"Ah, kulihat mukamu ini masih boleh juga," ucap Gin-hoa-nio dengan tertawa genit sambil menjulurkan tangannya untuk meraba muka orang.

Serentak orang itupun mendekatkan mukanya dan bermaksud mencium, tak tersangka dia lantas dipersen dengan sekali gamparan keras oleh Gin-hoa-nio hingga mencelat.

Keruan lelaki yang lain menjadi gusar terus hendak mengerubutinya.

Dengan tertawa Gin-hoa-nio berkata: "Aku kan tidak mau menjadi menantu orang, biarpun hatiku keji dan tanganku keras sedikit juga tidak menjadi soal."

Dia ternyata sengaja berolok-olok kepada Kim-hoa-nio, beberapa orang itu terus dilabraknya hingga terkapar di sana-sini dengan kepala pecah dan darah mengucur.

Kim-hoa-nio mendongkol, tapi iapun tidak menghiraukan lagi.

Pada saat itulah terdengar seorang meraung: "Keparat, anak kura-kura darimana, berani ribut-ribut di depan pintu Locu? semuanya berhenti!"

Maka muncul seorang lelaki berjubah sulam dengan wajah merah diiringi beberapa lelaki kekar.

Segera Gin-hoa-nio menanggapi dengan tertawa: "Ah, kukira siapa, rupanya Ma-toaya sudah keluar! Wah, alangkah gagahnya, alangkah kerengnya!"

Beberapa pengiring itu segera mendelik dan bermaksud mendamprat, tapi Ma Siau-thian lantas pucat demi melihat ketiga nona ini, serentak ia bertekuk lutut dan menyembah, katanya dengan hormat: "Tecu Ma Siau-thian dari cabang Sujwan utara menyampaikan sembah bakti kepada ketiga Hiangcu, mohon maaf, karena tidak tahu akan kedatangan ketiga Hiangcu, sehingga tidak dilakukan penyambutan selayaknya."

Gin-hoa-nio menarik muka dan mendengus: "Hm, mendingan Ma-toaya masih kenal kami, untung juga kau keluar pada waktunya yang tepat, kalau tidak kami mungkin bisa mampus dihajar oleh beberapa tuan yang gagah perkasa ini."

Ma Siau-thian berkeringat dingin, cepat ia menyembah lagi dan berkata: "Kawanan binatang ini memang pantas mampus, mereka benar-benar buta melek, masa berani bersikap kasar kepada ketiga Hiangcu, sebentar Tecu pasti memberi hukuman setimpal kepada mereka."

Dengan hambar Kim-hoa-nio lantas berkata: "Sudahlah, yang penting sekarang barangkali Ma-toaya dapat menyediakan suatu tempat bagi kami, sedapatnya tempat yang tenang, sebab kami membawa seorang sakit di dalam kereta."

Berulang-ulang Ma Siau-thian mengiakan dan menyambut ketiga nona itu ke dalam rumah. Beberapa cecunguk itu sama terkesima melihat Ma-toaya yang biasanya malang-melintang itu sekarang ternyata munduk-munduk dan ketakutan terhadap ketiga nona cantik ini.

Ketika melangkah masuk ke dalam gedung itu, mendadak Gin-hoa-nio mendengus: "Yang menyudahi persoalan ini dan mengampuni mereka adalah Toaci, aku sendiri tidak berkata demikian."

Ma Siau-thian menjadi kebat-kebit, katanya dengan tergagap: "Ya, Tecu.... Tecu paham."

Thi-hoa-nio menarik lengan baju Gin-hoa-nio dan berkata: "Ji-ci, kau tahu perasaan Toaci akhir-akhir ini kurang baik, kenapa kau suka membikin marah dia."

"Dia kan tidak mencarikan pacar bagiku, untuk apa aku mesti menjilat dia?" jengek Gin-hoa-nio sambil mengebaskan lengan bajunya dan melengos

Setelah menyilakan 'Khing-hoa-samniocu' ke ruangan tamu, Ma Siau-thian mendadak menyingkirkan semua anak buahnya, lalu berkata dengan hormat: "Tecu tahu ketiga Hiangcu suka kepada ketenangan, maka setiap saat senantiasa menyediakan tempat yang baik bagi para Hiangcu."

"O, dimana tempatnya?" tanya Kim-hoa-nio.

"Di sini," jawab Ma Siau-thian. Dengan tersenyum ia lantas menggulung sebuah lukisan besar di ruangan tamu itu, tertampaklah di balik lukisan itu ada sebuah pintu rahasia. Pintu dibuka dan tertampaklah sebuah jalan tembus, dibalik pintu terdapat beberapa kamar indah.

"Kami kan tidak mau berbuat sesuatu yang malu dilihat orang, kenapa mesti main sembunyi-sembunyi," jengek Gin-hoa-nio.

Ma Siau-thian menjadi seperti diguyur air dingin, ucapnya dengan gelagapan: "O, jika..... jika Hiangcu kurang suka, di taman belakang masih ada tempat lain...."

"Biarlah, di sini saja," sela Kim-hoa-nio dengan menarik muka. Segera ia mendahului melangkah masuk ke kamar rahasia itu, beberapa gadis mengikuti di belakangnya dengan menggotong Ji Pwe-giok.

Melihat tempat yang dikunjungi ketiga nona ini makin lama makin misterius, entah bagaimana nasibnya nanti bila digotong masuk ke situ. Namun apa daya, biarpun tidak suka, mau tak mau Pwe-giok hanya menurut saja karena badan tak bisa berkutik.

Setelah menaruh Pwe-giok di atas tempat tidur, beberapa gadis cantik itu lantas tinggal pergi dengan merapatkan pintu.

Sunyi senyap, di dalam kamar rahasia itu, selagi Pwe-giok berbaring memandangi langit-langit kamar dengan melamun, sekonyong-konyong seorang membuka pintu dan melangkah masuk. Ternyata Thi-hoa-nio adanya.

Nona ini berduduk diam saja di ujung ranjang dan memandangi Pwe-giok dengan mengulum senyum, satu kata saja tidak bicara.

Akhirnya Pwe-giok tidak tahan, ucapnya: "Sekali ini berkat pertolongan nona, kalau tidak .... kalau tidak, Cayhe mungkin .... mungkin ...."

"Kau tidak benci kepada kami lagi?" tanya Thi-hoa-nio dengan tersenyum.

Pwe-giok tidak tahu cara bagaimana harus menjawabnya, ia menghela napas, katanya kemudian: "Cayhe tidak pernah membenci kalian, asalkan para nona jang.... jangan...."

"Jangan membunuh orang, begitu bukan?" tukas Thi-hoa-nio.

"Nona sendiripun bilang begitu, bila terlalu banyak membunuh orang, wajah cantik bisa berubah menjadi buruk," kata Pwe-giok sambil tersenyum getir.

Thi-hoa-nio memandangnya pula sejenak dengan diam, mendadak ia tertawa dan bertanya: "Jadi kau ingin supaya aku bertambah cantik?"

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar