Xiang Wentian menanggapi,
“Mungkin dia memiliki alasan lain. Pertama, dia tidak sabar menunggu, tidak
tahu kapan Ketua secara resmi menyerahkan kedudukan padanya; kedua, dia merasa
tidak tenang, khawatir jangan-jangan ada perubahan secara mendadak.”
“Padahal segala sesuatu sudah
diaturnya dengan baik. Perubahan mendadak apa lagi yang ia takuti? Sungguh
sukar dimengerti,” kata Ren Woxing. “Ketika berada di dalam penjara, aku banyak
memikirkan tentang ini. Semua tipu muslihatnya dapat kupahami, namun tetap saja
aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba dia memberontak? Memang, dia agak iri
kepadamu. Dia khawatir jangan-jangan aku akan mengangkatmu sebagai penggantiku.
Tapi setelah kau pergi tanpa pamit, dia sudah kehilangan saingan utama.
Seharusnya dia dapat menunggu dengan sabar.”
Xiang Wentian berkata, “Pada
tahun ketika Dongfang Bubai memberontak, apakah Ketua masih ingat satu kalimat
yang diucapkan Nona pada malam Hari Raya Perahu Naga?”
“Hari Raya Perahu Naga?” sahut
Ren Woxing sambil menggaruk-garuk kepala. “Apa yang telah diucapkan putri
kecilku? Ada hubungan apa dengan ulah Dongfang Bubai? Ah, aku sama sekali tidak
ingat.”
Xiang Wentian berkata, “Ketua
janganlah menganggap Nona masih anak kecil. Sebenarnya dia sangat pintar dan
cerdik. Betapa teliti pikirannya tidak kalah dibanding orang dewasa. Waktu itu
kalau tidak salah usia Nona baru tujuh tahun. Di tengah perjamuan pesta ia
telah menghitung jumlah orang yang hadir, lalu secara mendadak bertanya kepada
Ketua, ‘Ayah, mengapa pada perjamuan Hari Raya Perahu Naga dalam setiap tahun
selalu berkurang satu orang?’ Waktu itu Ketua tercengang dan menjawab, ‘Setiap
tahun berkurang satu orang bagaimana?’ Lalu Nona berkata, ‘Aku masih ingat
tahun lalu yang hadir dalam perjamuan seperti ini ada sebelas orang. Dua tahun
yang lalu adalah dua belas orang. Kalau tahun ini, satu, dua, tiga, empat, lima
… cuma tinggal sepuluh orang saja.’ ”
Ren Woxing menghela napas lalu
berkata, “Benar, saat itu aku pun merasa masygul setelah mendengar ucapan putri
kecilku. Setahun sebelumnya Dongfang Bubai memang telah menghukum mati Adik
Hao. Tahun sebelumnya lagi, Tetua Qiu telah mati secara misterius di Gansu.
Sekarang aku yakin itu disebabkan tipu muslihat keji Dongfang Bubai. Dan lagi,
setahun sebelumnya Tetua Wen telah dipecat, kemudian ia binasa dikeroyok
jago-jago Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan. Sebab musababnya tentu
juga perbuatan licik Dongfang Bubai. Aih, kata-kata yang diucapkan oleh putriku
yang masih kecil ternyata mengandung kebenaran, tapi aku masih terlena dan
tidak menyadarinya.”
Setelah diam sejenak dan minum
seteguk, ia lalu melanjutkan, “Adik Xiang, terus terang Jurus Penyedot Bintang
masih memiliki banyak kekurangan. Ilmu ini berasal dari zaman Dinasti Song
Utara, namun sastrawan yang mencatat tidak memahaminya dengan baik. Aku sendiri
sudah berlatih selama belasan tahun dan ilmu ini sangat terkenal di dunia
persilatan. Orang-orang dari aliran lurus banyak yang ketakutan setengah mati
begitu mendengar ilmuku ini disebut. Akan tetapi, aku sendiri mengetahui dalam
ilmu saktiku ini masih terdapat kelemahan besar. Pada mulanya aku tidak
menyadari itu namun masalah yang parah sedikit demi sedikit muncul. Kalau aku
tidak lekas-lekas memperbaikinya, tentu akan membawa malapetaka bagiku.
Tenaga-tenaga yang telah kuhisap dari orang lain akan berbalik menyerang
diriku.”
Mendengar sampai di sini
membuat Linghu Chong samar-samar dalam hati merasa ada sesuatu yang tidak
beres.
Ren Woxing terus bercerita,
“Saat itu di dalam tubuhku sudah tersimpan hawa murni yang berasal dari belasan
jago silat papan atas dari golongan putih maupun hitam. Agar tidak membahayakan
diriku sendiri, aku berusaha melebur belasan macam tenaga dalam itu menjadi
satu sehingga dapat kupergunakan. Jika tidak, aku akan selalu merasa cemas. Siang
malam aku selalu memikirkannya, sehingga yang ada dalam benakku hanya masalah
ini. Dalam perjamuan Hari Raya Perahu Naga waktu itu pun aku terlihat bersenda
gurau dan minum-minum, padahal dalam hati sibuk memikirkan cara untuk
mengalirkan tenaga dalam melalui lima puluh empat titik, yaitu dua puluh dua
titik pada Pembuluh Yangqiao, dan tiga puluh dua titik pada Pembuluh Yangwei.
Oleh sebab itu, apa yang diucapkan putri kecilku di tengah perjamuan segera aku
lupakan begitu saja.”
Xiang Wentian berkata, “Hamba
sendiri merasa sangat heran. Biasanya Ketua sangat gesit dalam menghadapi
persoalan, juga selalu waspada. Begitu seseorang mengucapkan beberapa kalimat
saja, Ketua akan segera mengetahui maksudnya, dan selalu benar. Namun entah
mengapa Ketua waktu itu tidak menyadari tipu muslihat Dongfang Bubai, juga
terlihat agak … agak ….”
“Agak linglung?” sahut Ren
Woxing sambil terssenyum. “Sehari-hari aku kelihatan linglung dan bodoh,
seperti tidak punya pikiran, benar tidak?”
Xiang Wentian menjawab,
“Benar. Setelah mendengar ucapan Nona waktu itu, saya melihat sorot mata
Dongfang Bubai menunjukkan perasaan gelisah meski dia pura-pura tersenyum riang
dan berkata, ‘Rupanya Nona suka keramaian. Jika demikian tahun depan kita
undang lebih banyak orang untuk minum-minum, bagaimana?’ Mungkin waktu itu ia
mengira Ketua telah menyiapkan rencana untuk membereskannya, namun pura-pura
tidak tahu untuk mencoba reaksinya. Maklum, ia sangat hafal kecerdasan Ketua,
dan dalam masalah yang jelas-jelas gamblang seperti ini mustahil Ketua tidak
curiga.”
Ren Woxing mengerutkan dahi
sambil kemudian berkata, “Apa yang diucapkan putri kecilku dua belas tahun yang
lalu itu sama sekali tidak pernah kuingat. Sekarang kau telah menceritakannya,
membuat aku samar-samar teringat putri kecilku memang pernah berkata demikian.
Mendengar dia bicara seperti itu, mana mungkin Dongfang Bubai tidak gelisah?”
Xiang Wentian menambahkan,
“Lagipula usia Nona semakin hari tentu semakin bertambah dewasa, dan bertambah
pula kecerdasannya. Setahun atau dua tahun lagi jangan-jangan Nona akan
membongkar rencana Dongfang Bubai. Atau kalau menunggu lagi, jangan-jangan
Ketua berubah pikiran dan menyerahkan kekuasaan kepada Nona setelah dewasa.
Maka, Dongfang Bubai tidak sabar menunggu lebih lama lagi dan lebih suka
mengambil risiko dengan mengadakan pemberontakan. Mungkin inilah yang menjadi
alasannya.”
Ren Woxing manggut-manggut dan
menghela napas. Ia kemudian berkata, “Andai saja saat ini putri kecilku berada
di sampingku, tentu kekuatan kita akan bertambah seorang kawan dan tidak akan
selemah ini.”
Xiang Wentian berpaling kepada
Linghu Chong dan berkata, “Adikku, kau dengar sendiri Ketua telah mengatakan
bahwa di dalam Jurus Penyedot Bintang ternyata mengandung beberapa kelemahan.
Tapi aku yakin selama dua belas tahun terkurung di dalam penjara – meski cukup
menderita – Ketua tentu terbebas dari segala macam beban pekerjaan sehingga
memiliki banyak waktu luang untuk memikirkan hal itu. Aku yakin Ketua telah
berhasil mengatasi kelemahan ilmu sakti ini. Ketua, apakah ucapan hamba benar?”
Sambil membelai janggutnya
yang hitam lebat, Ren Woxing tertawa senang, lalu berkata, “Benar sekali. Untuk
selanjutnya, tenaga dalam siapa pun yang kuhisap akan dapat kupergunakan dengan
baik, tanpa perlu khawatir akan diserang balik oleh tenaga-tenaga itu. Hahaha,
Adik Linghu, coba kau tarik napas dalam-dalam, apakah titik Yuzhen dan titik
Shanzong di tubuhmu bergolak keras?”
Linghu Chong menarik napas
panjang seperti apa yang dikatakan Ren Woxing. Benar juga, ia merasakan pada
titik-titik tersebut ada semacam hawa murni yang melonjak-lonjak. Seketika raut
mukanya pun berubah.
Ren Woxing kembali berkata,
“Kau baru saja belajar sehingga belum begitu merasakan bergolaknya hawa murni
itu. Dulu ketika aku belum menemukan cara untuk mengatasinya, setiap kali hawa
murni pada kedua titik tersebut bergolak keras, langit dan bumi rasanya seperti
terbalik, benar-benar sukar ditahan. Meskipun keadaan sunyi senyap, tapi
telingaku seperti mendengar derap kaki ribuan kuda, atau suara petir yang
menggelegar. Huh, kalau saja tubuhku tidak kacau balau seperti itu, mana
mungkin Dongfang Bubai dan komplotannya berhasil menjalankan pemberontakan?”
Linghu Chong percaya apa yang
dikatakan Ren Woxing itu bukan omong kosong belaka. Ia juga paham mengapa Ren
Woxing dan Xiang Wentian membahas soal itu, adalah supaya ia memohon petunjuk
kepada Ren Woxing. Namun kalau ia tetap menolak bergabung dengan Sekte Matahari
dan Bulan, maka dengan sendirinya permohonan demikian sukar untuk diucapkan. Ia
pun berpikir, “Inti dari Jurus Penyedot Bintang adalah bagaimana menghisap
tenaga orang lain untuk dipergunakan sendiri. Sifat ilmu seperti ini sungguh
keji dan mementingkan diri sendiri, sama sekali aku tidak ingin menguasainya.
Untuk selanjutnya, aku juga tidak akan menggunakannya, kecuali terpaksa harus
membela diri apabila diserang musuh. Tentang hawa murni liar dalam tubuhku yang
sukar dilenyapkan memang sebelumnya juga begitu. Jiwaku ini rasanya seperti
ditemukan kembali secara kebetulan. Aku, Linghu Chong, mana boleh hanya karena
takut mati lantas mengingkari kata-kataku sendiri yang selama ini kupegang?”
Karena berpikir demikian,
segera ia mengalihkan pembicaraan dengan berkata, “Ketua, ada satu hal yang
ingin kumintakan penjelasan. Guruku pernah bercerita bahwa, Kitab Bunga Mentari
adalah kitab pusaka yang tiada taranya di dunia persilatan. Jika berhasil
menguasai ilmu silat dalam kitab tersebut, selain tiada tandingannya di muka
bumi, juga bisa memiliki umur panjang sampai seratus tahun dan awet muda. Mengapa
… mengapa Ketua tidak mempelajari kitab pusaka itu, dan sebaliknya justru …
justru berlatih Jurus Penyedot Bintang yang ganas dan berbahaya?”
Ren Woxing tersenyum hambar
dan menjawab, “Sebab musabab permasalahan ini tentunya tidak boleh diceritakan
kepada orang luar.”
“Oh, mohon maaf aku terlalu
lancang,” ujar Linghu Chong dengan muka merah, karena merasa dirinya adalah
orang luar yang tidak pantas bertanya lebih lanjut.
Mendadak Xiang Wentian berdiri
dan berseru dengan suara lantang, “Adik, usia Ketua sudah lanjut. Umur kakakmu
ini pun hanya selisih sedikit dari Beliau. Jika kau bersedia masuk agama kami,
kelak Ketua tentu akan mewariskan jabatannya kepadamu. Andaikan kau menganggap
Sekte Matahari dan Bulan tidak memiliki nama baik, bukankah kelak jika kau
sudah memegang tampuk pimpinan, maka kau bisa memperbaikinya, sehingga bisa
membawa manfaat untuk umat manusia di dunia?”
Ren Woxing meletakkan cawan
arak di atas meja dengan keras, kemudian menuangkan arak sampai penuh dan
berkata, “Lebih dari seratus tahun Sekte Matahari dan Bulan bermusuhan dengan
golongan yang menamakan dirinya aliran lurus. Jika kau tetap berkeras kepala
tidak sudi masuk agama kami, maka penyakitmu tidak akan bisa sembuhkan, jiwamu
setiap saat bisa melayang. Andaikan kau dapat hidup lebih lama lagi mungkin
gurumu, ibu-gurumu, dan orang-orang Perguruan Huashan … hehe, dengan ilmu sakti
yang aku miliki sekarang, terlalu mudah untuk menumpas segenap orang Huashan
dan menghapus namanya dari dunia persilatan. Kita bisa bertemu di sini adalah
suratan Langit. Sekarang, silakan kau minum secawan arak ini!”
Tadinya hati Linghu Chong
sempat tergerak mendengar ucapan Xiang Wentian yang tulus dan masuk akal. Namun
begitu mendengar perkataan Ren Woxing yang bernada ancaman membuat darah di dada
pemuda itu terasa bergolak. Ia pun berseru lantang, “Ketua, Kakak, tubuhku
memang pernah terluka parah dan tiada harapan untuk sembuh. Umurku juga tinggal
menghitung hari saja. Namun tanpa sengaja aku telah memelajari ilmu silat Ketua
sehingga nyawaku bisa diselamatkan. Tapi jika kemudian aku tidak mampu
mengatasi serangan balik hawa murni liar di dalam tubuhku juga tidak masalah.
Sudah lama aku tidak terlalu menganggap penting selembar nyawaku ini. Hidup dan
mati sudah suratan takdir. Perguruan Huashan juga sudah berdiri selama ratusan
tahun dan tentu mempunyai jalan hidupnya sendiri. Orang lain belum tentu mampu
menumpasnya begitu saja ... Hari ini kita sudahi saja pembicaraan sampai di
sini. Sampai jumpa di kemudian hari.”
Usai berkata demikian ia lalu
memberi hormat kepada Ren Woxing dan Xiang Wentian, kemudian berbalik dan
melangkah pergi. Xiang Wentian bermaksud membuka suara, namun Linghu Chong
sudah pergi jauh dengan gerakan secepat kilat.
Begitu keluar dari Wisma
Meizhuang, Linghu Chong menarik napas dalam-dalam. Tertiup oleh angin malam
yang berhembus, membuat badannya terasa segar menyenangkan. Dilihatnya bulan
sabit menghias angkasa di balik ranting-ranting pepohonan liu, serta terpantul
bayangannya pada permukaan air danau di kejauhan.
Linghu Chong berjalan menuju
ke tepi danau. Ia kemudian berdiri termenung untuk sesaat di sana sambil
berpikir, “Urusan penting yang dihadapi Ketua Ren sekarang tentunya membuat
perhitungan dengan Dongfang Bubai untuk merebut kembali kedudukannya. Dengan
demikian, ia belum akan mencari perkara dengan Perguruan Huashan. Namun kalau
Guru, Ibu Guru, dan para adik seperguruan yang tidak tahu-menahu soal ini
sampai kepergok olehnya, mereka bisa celaka. Aku harus berusaha memberi tahu
mereka agar segera berjaga-jaga dan selalu bersikap waspada. Tapi, entah di
mana mereka saat ini berada? Apakah mereka belum kembali dari Fuzhou? Baiklah,
aku juga tidak ada urusan lain dan Fuzhou juga tidak jauh dari sini. Sebaiknya
aku segera menuju ke sana. Meskipun seandainya mereka sudah pulang, paling
tidak aku bisa bertemu mereka di tengah jalan.”
Teringat bahwa gurunya telah
menyebarkan surat ke seluruh penjuru dunia persilatan tentang pemecatannya dari
Perguruan Huashan, mau tidak mau hatinya menjadi sedih. Ia kembali berpikir, “Kalau
nanti aku memberi tahu Guru dan Ibu Guru bahwa aku dipaksa Ketua Ren masuk
agamanya, tentu Guru dapat memahami keadaanku yang tidak sengaja bergaul dengan
orang-orang Sekte Iblis. Semoga dengan begitu Guru akan menarik kembali
keputusannya dan menerimaku kembali. Paling-paling aku hanya dihukum kurung di
Tebing Perenungan selama tiga tahun saja. Kalau benar demikian tentunya bagus
sekali.”
Karena tumbuhnya harapan akan
diterima kembali oleh gurunya, semangat Linghu Chong kembali berkobar. Ia lalu
mencari penginapan karena malam semakin larut. Ketika hendak tidur, ternyata
saat itu sudah ramai ayam jantan berkokok, pertanda fajar sudah hampir
menyingsing.
Linghu Chong bangun dari tidur
setelah lewat tengah hari. Ia berpikir sebelum bertemu dengan sang guru dan
ibu-guru, lebih baik jangan memperlihatkan wajah aslinya. Apalagi Yingying
pernah memerintahkan Zu Qianqiu dan kawan-kawan yang lain supaya menyiarkan
berita ke dunia persilatan untuk menghabisi nyawanya. Maka, ia pun memutuskan
lebih baik menyamar saja demi menghindari kesulitan. Tapi sebaiknya menyamar
sebagai apa?
Sambil melamun ia berjalan
keluar kamar. Baru saja langkahnya sampai di pekarangan tengah, mendadak ada
orang mengguyurkan sebaskom air ke arahnya. Namun dengam gerakan gesit ia berhasil
menghindar sehingga siraman air tersebut mengenai tempat kosong.
Waktu berpaling, dilihatnya
seorang perwira tentara memegang sebuah baskom air bekas cuci muka sedang
melotot kepadanya, bahkan mengomel dengan kasar, “Kau jalan tidak pakai mata,
ya? Apa kau tidak lihat tuan besarmu sedang membuang air kotor?”
Sungguh gusar hati Linghu
Chong melihat ada orang yang sedemikian kasar. Sudah hampir mengguyur orang
lain dengan air kotor masih mendahului memaki pula. Dilihatnya usia perwira itu
sekitar empat puluhan. Wajahnya penuh cambang di kedua pipi namun sikapnya
gagah. Dari pakaian seragamnya dapat diperkirakan ia seorang perwira menengah
berpangkat “weiguan”. Pada pinggangnya tergantung sebilah golok. Dadanya
terlihat membusung dengan perut buncit, pertanda sering menyalahgunakan
kekuasaan.
“Lihat apa? Apa kau tidak
mengenali tuan besarmu ini?” bentak perwira itu lagi.
Mendadak Linghu Chong mendapat
akal. Ia pikir menarik juga jika menyamar sebagai perwira ini. Dengan demikian
ia dapat berkeliaran ke sana kemari dengan bebas, tanpa khawatir diperhatikan
kaum persilatan. Mulutnya pun tersenyum simpul membayangkan hal itu.
“Tertawa apa? Nenekmu, apanya
yang lucu?” demikian perwira itu lagi-lagi membentak.
Linghu Chong tidak menggubris
lebih jauh. Ia pergi menemui pengurus penginapan untuk membayar tagihannya.
Dengan suara perlahan ia pun bertanya pula, “Dari mana perwira garang itu
berasal?”
Pengurus penginapan menjawab,
“Siapa yang tahu dia dari mana? Dia mengaku datang dari Kota Beijing. Baru
menginap satu malam di sini, pelayan yang meladeni sudah kena tampar tiga kali.
Sudah banyak pula makanan dan arak bagus yang dia habiskan, entah nanti mau
bayar atau tidak.”
Linghu Chong
mengangguk-angguk, kemudian keluar dari penginapan dan masuk ke dalam sebuah
kedai minum. Ia memesan sepoci teh dan minum dengan perlahan. Setelah menunggu
satu jam, terdengar suara derap kaki kuda. Rupanya perwira itu telah keluar
dari penginapan dengan menunggang seekor kuda merah. Ia melecutkan cambuknya
berkali-kali sambil membentak-bentak, “Minggir, minggir! Nenekmu, hayo lekas
minggir!”
Beberapa pejalan kaki yang
terlambat menyingkir pun terkena lecutan cambuknya hingga berteriak-teriak
kesakitan.
Sejak awal Linghu Chong telah
membayar teh yang dipesannya. Begitu melihat sang perwira memacu kudanya, ia
segera bangkit mengikuti di belakang. Perwira itu terus melarikan kudanya ke
jalan raya melewati pintu gerbang barat. Setelah cukup jauh meninggalkan kota,
Linghu Chong pun mempercepat langkah kakinya. Sesampainya di jalan sepi, ia pun
melompat dan menghadang ke depan kuda sambil mengibaskan tangan kanannya.
Kontan saja kuda yang
ditunggangi perwira itu terkejut dan meringkik sambil berjingkrak ke atas.
Hampir saja perwira itu jatuh terbanting. Untung kepandaian menunggang kudanya
cukup mahir sehingga badannya ikut menegak dengan masih tetap duduk di atas
pelana.
Linghu Chong membentak keras,
“Nenekmu, kau jalan tidak pakai mata, ya? Hampir saja binatang tungganganmu ini
menubruk mati bapakmu.”
Perwira itu sangat gusar
karena tiba-tiba saja dihadang perjalanannya, apalagi dimaki seperti itu.
Ketika kudanya sudah berdiri tegak, ia segera melecutkan cambuknya ke atas
kepala Linghu Chong.
Linghu Chong merasa kurang
leluasa bertindak di tengah jalan raya. Ia pun berpura-pura menjerit ketakutan
lalu berlari menuju sebuah jalan kecil di dekat situ. Sudah tentu si perwira
tidak mau menyudahi begitu saja. Ia melompat turun dari kuda dan menambatkan
tunggangannya itu sekadarnya di batang pohon, lalu mengejar ke arah Linghu
Chong pergi.
“Aduh!” teriak Linghu Chong
sambil terus berlari ke dalam hutan.
Dengan membentak-bentak dan
memaki kalang kabut perwira itu terus mengejar. Tapi baru saja ia memasuki
hutan itu, tiba-tiba iganya terasa kesemutan. Tanpa ampun ia pun jatuh
tersungkur.
Dengan kaki kiri menginjak
dada perwira yang sudah roboh tak berkutik itu, Linghu Chong tertawa dan
berkata, “Nenekmu, kepandaian cuma begini saja tapi berani memimpin pasukan
perang segala?”
Ia kemudian menggeledah baju
perwira itu dan mengeluarkan sebuah amplop besar. Pada sampul tertulis “Surat
Pengangkatan” dengan stempel merah Kementerian Angkatan Perang. Setelah sampul
dibuka, di dalam amplop terdapat selembar kertas tebal, yang isinya berupa
surat pengangkatan yang ditujukan kepada Wu Tiande, dari jabatannya sebagai
perwira distrik Cangzhou di Hubei, menjadi komandan militer Kota Quanzhou di
Fujian. Ia ditetapkan pula supaya segera berangkat ke tempat tugas yang baru
tersebut.
“Ternyata tuan besar komandan
tentara. Jadi, kau ini yang bernama Wu Tiande, ya?” tanya Linghu Chong dengan
tertawa.
Lantaran dadanya terinjak dan
tak bisa berkutik, muka perwira itu menjadi merah padam. Ia masih mencoba
membentak, “Lekas lepaskan aku, kau … kau berani menghina pejabat negara? Apa
kau ti … tidak takut pada hukum?” Walaupun mulutnya masih membentak, tapi
lagaknya sudah tidak angkuh seperti tadi.
Linghu Chong kembali tertawa
dan berkata, “Bapakmu ini kehabisan bekal, ingin pinjam pakaianmu untuk
digadaikan.” Tangannya lalu menepuk perlahan ubun-ubun perwira itu sehingga
pingsan. Dengan cepat ia lantas melucuti pakaian seragam orang bernama Wu
Tiande itu. Ia berpikir perwira ini tentu sudah biasa menindas rakyat kecil,
maka harus diberi pelajaran yang setimpal. Segera ia melucuti pula pakaian
dalam orang itu hingga telanjang bulat.
Ia kemudian mengambil
bungkusan perwira itu yang terasa agak berat. Begitu dibuka, ternyata berisi
perak beberapa ratus tahil, serta tiga buah emas lantakan yuanbao. Pikirnya,
“Ini tentu hasil pemerasan terhadap rakyat kecil. Sukar bagiku untuk
mengembalikan ke asalnya, terpaksa untuk beli arak saja. Hahaha, hahaha!”
Sambil bergelak tawa ia lantas
menanggalkan pakaian sendiri, lalu mengenakan seragam perwira itu lengkap
dengan sepatu bot kulit, golok kebesaran, serta menyandang bungkusan berisi
uang perak dan emas tadi. Pakaiannya sendiri kemudian dirobek-robek untuk
dipakai mengikat Wu Tiande yang sudah tidak bisa berkutik itu pada sebatang
pohon. Mulut si perwira dijejali pula dengan tanah liat sampai penuh. Tidak
berhenti sampai di sini, Linghu Chong pun mencukur habis kumis, janggut, dan
cambang Wu Tiande dan memasukkannya ke dalam saku baju.
“Hahaha, sekarang aku menjadi
penjahat. Bagus sekali!” ujarnya kemudian bergegas kembali ke jalan raya.
Begitu menemukan kuda si
perwira, Linghu Chong langsung melompat ke punggungnya dan melecutkan cambuk ke
udara. Mulutnya lantas membentak-bentak, “Minggir, minggir! Nenekmu, kau jalan
tidak pakai mata, ya? Hahahaha!” Di tengah suara tertawanya itu ia melarikan
kuda rampasan tersebut ke arah selatan.
Malamnya ia menginap di Kota
Yuhang. Pengurus dan pelayan penginapan meladeni dengan sangat hormat dan penuh
perhatian. Esok paginya, Linghu Chong menanyakan arah ke Fujian, lalu memberi
persenan lima tahil perak. Kontan pengurus dan pelayan penginapan sangat
berterima kasih dan mengantar keberangkatannya dengan hormat sampai ke luar
gerbang.
“Untung kalian bertemu perwira
gadungan. Jika bertemu Wu Tiande yang asli, tentu kalian bisa celaka,” pikir
Linghu Chong.
Ia kemudian pergi ke sebuah
toko membeli sebuah cermin dan sebotol lem, setelah itu memacu kudanya
meninggalkan kota kecil tersebut. Setelah sampai di tempat sepi, dikeluarkannya
cermin tadi dan ia mulai menempelkan potongan kumis, janggut, dan cambang milik
Wu Tiande ke wajahnya. Perlu waktu dua jam untuk menyelesaikan pekerjaan ini.
Sambil memandangi cermin, Linghu Chong tak kuasa menahan tawa melihat perubahan
penampilannya kali ini.
Setelah perjalanan melewati
Chuzhou dan sampai di Jinhua, logat bicara daerah selatan mulai terasa. Tentu
saja Linghu Chong kesulitan mendengarnya karena logat bicara penduduk di sini
berbeda dengan daerah utara dan tengah. Untungnya orang-orang mengira ia adalah
perwira asli sehingga mereka pun berusaha berbicara dalam bahasa Mandarin
kepadanya. Selain itu, Linghu Chong juga sangat gembira karena seumur hidup
baru kali ini memiliki uang begitu banyak. Ia pun tidak menyia-nyiakannya
dengan membeli arak dan minum sepuas-puasnya.
Namun demikian, terkadang
berbagai jenis hawa murni yang tersimpan dalam tubuhnya mendadak bergolak lagi
dan memaksa masuk ke dalam semua pembuluh. Terkadang ia merasa begitu sakit
sampai kepalanya pusing, pandangan kabur, perut mual dan ingin muntah. Maka, setiap
kali hal itu terjadi ia pun mendorong berbagai arus tenaga tersebut dan
membuyarkannya melalui berbagai pembuluh sesuai rumus ilmu yang diukir Ren
Woxing di atas dipan besi. Begitu berbagai hawa murni tersebut meninggalkan
Dantian di bawah perutnya, seketika perasaannya menjadi lega dan badan terasa
segar pula.
Memang dengan cara demikian,
ia merasa tenaga dalamnya menjadi semakin kuat, namun sekaligus ia semakin
dalam terjerumus pula. Namun untungnya ia memiliki pikiran, “Selembar nyawaku
ini seperti ditemukan kembali. Bisa hidup lebih lama sehari saja, bagiku adalah
satu anugerah besar.” Karena berpikir demikian membuat hatinya merasa tenang.
Setelah tengah hari ia pun
melewati daerah Quzhou dan memasuki Pegunungan Xianxia. Jalan di pegunungan ini
terjal dan berliku-liku, makin lama makin tinggi, serta jarang dilewati orang.
Untung saja kuda yang ia tunggangi adalah kuda bermutu baik dan cukup tangguh
berlari melewati jalan pegunungan.
Setelah berkuda lebih dari dua
puluh li menyusuri lereng pegunungan tersebut, Linghu Chong merasa keadaan
bertambah sunyi dan tidak lagi terlihat orang lewat. Kini ia merasa
perjalanannya terlalu terburu-buru sehingga melewatkan penginapan atau rumah
terakhir di daerah situ, padahal hari sudah hampir gelap. Terpaksa ia pun
memetik buah-buahan liar yang ditemukannya sekadar untuk mengganjal perut.
Ketika melihat ke bawah
tebing, tampak sebuah gua kecil yang agak kering dan sepertinya cukup aman dari
gangguan serangga dan binatang lainnya. Segera ia pun menambatkan kudanya pada
sebatang pohon dan membiarkan hewan itu merumput. Lalu, ia sendiri mencari
rumput kering untuk digunakan sebagai alas tidur di gua tersebut.
Tiba-tiba Linghu Chong merasa
hawa murni pada titik Dantian bergolak. Segera ia duduk bersamadi untuk mengatasinya.
Ilmu sakti milik Ren Woxing semakin sering digunakan justru semakin sukar
dikendalikan, serta terasa tidak nyaman. Namun ia tidak menyerah dan
terus-menerus mengerahkannya, sampai akhirnya badan terasa nyaman tak
terlukiskan, seperti dewa yang melayang-layang ringan di kahyangan.
Ia kemudian menarik napas
panjang, lalu bangkit dari duduk. Bibirnya tersenyum getir sambil berpikir,
“Tempo hari aku bertanya kepada Ketua Ren mengapa dia mempelajari Jurus
Penyedot Bintang, padahal di tangannya sudah ada Kitab Bunga Mentari yang tiada
bandingannya. Namun aku tidak mendapatkan jawaban darinya. Sekarang aku telah
paham sebab-musababnya. Ternyata Jurus Penyedot Bintang ini kalau sudah
dipelajari, sulit untuk dihentikan begitu saja. Benar-benar membuat ketagihan.”
Berpikir demikian mau tidak
mau membuat hatinya cemas. “Ibu Guru pernah bercerita kepadaku tentang
orang-orang suku Miao yang suka memelihara serangga beracun. Meskipun mereka
sadar hal itu sangat berbahaya, tapi mereka sukar juga untuk melepaskannya.
Padahal kalau serangga-serangga itu tidak digunakan untuk menyerang orang lain,
maka mereka akan berbalik menyerang majikan sendiri. Jangan-jangan di masa
depan nasibku seperti orang Miao yang memelihara seraangga beracun itu?”
Ia lalu keluar gua dan melihat
bintang-bintang memenuhi angkasa. Saat itu di sekeliling gua yang terdengar
hanya suara serangga belaka. Tiba-tiba kemudian terdengar suara langkah kaki
orang di jalan pegunungan. Jaraknya memang masih jauh, namun saat ini tenaga
dalam Linghu Chong teramat kuat, sehingga pendengarannya menjadi lebih tajam
pula. Sebuah pikiran terlintas di benaknya. Segera ia pun melepaskan tali
kudanya, lalau menepuk pantat kuda itu perlahan agar berjalan ke arah lembah.
Ia sendiri lantas bersembunyi di belakang pohon.
Tak lama kemudian terdengar
suara langkah kaki orang-orang itu semakin mendekat. Jumlahnya ternyata tidak
sedikit. Di bawah sinar bintang yang remang-remang terlihat orang-orang itu
memakai seragam berwarna hitam. Seorang di antaranya terlihat memakai ikat
pinggang kuning. Sepertinya mereka adalah rombongan anggota Sekte Iblis
sebanyak tiga puluh orang lebih, yang semuanya berjalan tanpa berbicara sedikit
pun.
“Mereka menuju ke arah Fujian.
Apakah ada hubungannya dengan Perguruan Huashan? Apakah mereka mendapat
perintah Ketua Ren untuk membuat susah Guru dan Ibu Guru?” pikir Linghu Chong.
Ditunggunya rombongan itu pergi agak jauh, baru kemudian ia membuntuti dari
belakang dengan hati-hati.
Setelah melewati beberapa li
kemudian, jalan pegunungan itu mendadak berubah curam. Pada kedua tepi tampak
berdiri tebing yang menjulang tinggi. Pada tengah-tengah kedua tebing terdapat
jalanan sempit yang hanya cukup dilewati dua orang berdampingan. Ketiga puluh
orang itu berjalan berurutan membentuk barisan panjang seperti ular. Mereka
tampak mendaki jalanan sempit yang curam tersebut.
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Mereka ada di tempat tinggi, sedangkan aku di tempat rendah. Jika
ada satu dari mereka yang kebetulan menoleh ke belakang, maka aku akan langsung
ketahuan.” Maka, ia pun lantas menyusup ke dalam semak-semak rumput di tepi
jalan. Kalau rombongan itu sudah melewati puncak tebing dan turun melalui
lereng di sebelah selatan sana, barulah ia kembali mengejar.
Di luar dugaan, ketika
orang-orang itu sampai di atas bukit, secara tiba-tiba mereka berpencar dan
bersembunyi di balik bebatuan padas. Hanya dalam waktu sekejap mereka semua
sudah menghilang, bahkan bayangan pun tidak terlihat.
Linghu Chong terkejut dan
mengira kehadirannya telah diketahui oleh orang-orang itu. Namun ia segera
menemukan jawaban dan berpikir, “Mereka bersembunyi di sana adalah untuk
menyergap musuh yang hendak naik ke atas bukit. Benar, tempat ini memang sangat
berbahaya. Kalau mereka tiba-tiba menyerang tentu pihak lawan akan sulit
menghindar. Siapa kira-kira yang hendak mereka sergap? Apakah Guru dan Ibu Guru
telah pulang ke utara, namun ada hal penting yang membuat mereka harus kembali
ke selatan lagi? Kalau tidak, mengapa harus berjalan malam-malam melewati
tempat seperti ini? Apakah malam ini aku bisa berjumpa dengan Adik Kecil?”
Berpikir tentang Yue Lingshan
seketika sekujur tubuhnya terasa merinding panas. Pemuda itu lantas merangkak
keluar dari balik semak rumput, lalu mendaki hingga menjauhi jalan setapak
tadi. Sesudah cukup jauh barulah ia berlari turun ke bawah
sekencang-kencangnya. Sesudah tidak tampak lagi tanjakan bukit tadi ia baru
berani kembali ke jalan pegunungan dan melangkah menuju ke arah utara.
Sambil terus berlari ia
memasang telinga dengan seksama, memperhatikan apakah ada suara langkah orang
yang datang. Sepuluh li kemudian, tiba-tiba dari tempat yang lebih tinggi di
sebelah kiri lereng terdengar suara ketus seseorang sedang berkata, “Kau masih
saja membela Linghu Chong keparat itu?”
Di tengah kegelapan malam pada
sebuah pegunungan sunyi mendadak namanya disebut secara jelas membuat Linghu
Chong terkejut. Ia pun langsung berpikir, “Itu pasti rombongan Guru!”
Suara ketus tersebut jelas
suara seorang wanita, namun bukan suara Ning Zhongze, juga bukan suara Yue
Lingshan. Menyusul kemudian terdengar pula suara seorang perempuan lain, namun
jaraknya agak jauh dan terdengar lirih, sehingga tidak jelas apa yang ia
katakan.
Linghu Chong memandang ke arah
lereng. Tampak di sana berdiri lebih dari tiga puluh orang. Ia pun
bertanya-tanya dalam hati, “Rombongan dari mana mereka itu? Siapa yang telah
memaki aku? Kalau itu romongan Perguruan Huashan dan ada yang memaki diriku
seperti itu, entah bagaimana sikap Adik Kecil?” Berpikir demikian membuat
hatinya terasa pedih.
Segera ia menyusup ke dalam
semak rumput dan berjalan memutari bukit hingga tiba di sisi satunya. Sambil
berjalan membungkuk sampailah ia di balik sebatang pohon besar. Saat itu
terdengar suara seorang perempuan muda sedang berkata, “Bibi Guru, Kakak Linghu
berjiwa kesatria dan berbudi luhur ….”
Hanya mendengar kalimat ini
saja dalam benak Linghu Chong langsung terbayang seraut wajah bulat telur yang
cantik manis, karena ia tahu bahwa itu adalah suara biksuni muda dari Perguruan
Henshan, bernama Yilin. Mendengar suara tersebut dadanya terasa hangat, namun
kemudian perasaan kecewa merasuki pikirannya karena yang datang ternyata bukan
rombongan Sang Guru. Perasaannya yang terguncang membuat ucapan Yilin untuk
selanjutnya tidak terdengar jelas olehnya.
Suara wanita pertama yang
ketus tadi kembali berkata, “Usiamu masih sangat muda tetapi mengapa kau sangat
keras kepala? Memangnya surat edaran Ketua Perguruan Huashan itu palsu? Tuan
Yue telah memberi tahu semua orang bahwa Linghu Chong telah dikeluarkan dari Perguruan
karena bersekongkol dengan orang-orang Sekte Iblis. Memangnya tuduhan ini hanya
fitnah belaka? Dulu kau memang pernah ditolong Linghu Chong, tapi besar
kemungkinan itu hanyalah pancingan sedikit hutang budi untuk menjebak kita.”
“Bibi Guru, kejadian itu bukan
hanya sedikit hutang budi,” tukas Yilin. “Tanpa menghiraukan keselamatannya
sendiri Kakak Linghu telah ….”
“Masih kau juga menyebutnya
‘kakak’?” bentak wanita yang pertama tadi. “Linghu Chong itu penjahat yang
banyak akal dan penuh tipu daya. Dia sengaja berpura-pura baik untuk menipu
anak ingusan seperti kalian. Hati kaum persilatan sulit ditebak. Segala macam
muslihat keji ada di sana. Kalian yang maih hijau belum berpengalaman, mudah
diperdaya orang.”
“Perintah Bibi Guru tentu saja
kami patuhi,” sahut Yilin. “Hanya saja … hanya saja Ka….” Hampir saja kata
“kakak” terucapkan olehnya namun segera ditelannya kembali mentah-mentah.
“Hanya saja kenapa?” tanya
suara wanita tua tadi.
Yilin sangat ketakutan dan
tidak berani bicara lagi.
Wanita tua itu lantas berkata,
“Kali ini Ketua Zuo dari Perguruan Songshan telah mengabarkan berita bahwa
Sekte Iblis telah bergerak secara besar-besaran menuju Fujian untuk merebut
Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin di Kota Fuzhou. Ketua Zuo
memberikan perintah supaya Serikat Pedang Lima Gunung bersatu entah bagaimana
caranya menghalangi rencana para siluman sesat itu. Kalau kitab tersebut sampai
jatuh ke tangan mereka, tentu ilmu silat Sekte Iblis bertambah maju pesat,
sehingga perserikatan kita bisa-bisa mati tanpa kubur. Putra tunggal Keluarga
Lin sudah menjadi murid Tuan Yue, dan jika kitab pedang itu juga berada di
tangan Perguruan Huashan, maka kita ikut bersyukur. Yang perlu kita khawatirkan
adalah seribu satu macam tipu muslihat Sekte Iblis untuk merebut kitab pedang
itu, apalagi sekarang mereka mendapat bantuan murid murtad Linghu Chong yang
mengetahui seluk beluk permasalahan ini. Keadaan sudah genting menjadi
bertambah runyam. Ketua Zuo telah membebankan tugas berat ini di pundakku untuk
memimpin kalian ke Fujian. Masalah ini menyangkut hidup mati aliran lurus dan
aliran sesat, maka kita janganlah menganggap enteng. Aku pun akan melaksanakan
tugas ini dengan penuh waspada. Kira-kira tiga puluh li lagi, kita akan sampai
di tapal batas Zhejiang dan Fujian. Maka malam ini biarlah kita menahan letih
demi meneruskan perjalanan ke Nianbapu dan kita akan bermalam di sana. Kita
harus mendahului mereka sampai di Fuzhou dan menunggui musuh menjalankan
rencana sampai mereka letih sendiri. Namun demikian, kita harus tetap
berhati-hati.”
“Baik!” jawab puluhan
perempuan mengiakan.
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Wanita tua ini bukan Biksuni Dingxian Ketua Perguruan Henshan, juga
bukan Biksuni Dingyi guru Adik Yilin. Di antara Tiga Biksuni Sepuh tentunya dia
adalah Biksuni Dingjing. Dia telah menerima surat edaran dari Guru sehingga
menganggapku sebagai orang jahat. Mengenai hal ini aku tidak bisa menyalahkan
dia. Hm, dia mengira rombongannya sudah mendahului berjalan di depan, padahal
orang-orang Sekte Iblis sudah bersembunyi di atas bukit sana. Untung saja aku
melihat semuanya. Tapi bagaimana sebaiknya caraku memberi tahu mereka?”
Biksuni tua bernama Dingjing
itu kembali berkata, “Begitu kita memasuki wilayah Fujian, maka kita harus
selalu waspada. Di segala penjuru kita harus senantiasa merasa diintai musuh.
Bukan mustahil pelayan rumah makan atau pesuruh penginapan adalah mata-mata
Sekte Iblis. Jangankan di kamar sebelah, bahkan di dalam semak-semak rumput ini
bisa jadi ada musuh yang bersembunyi. Oleh karena itu, selanjutnya tidak
seorang pun boleh menyebut-nyebut Kitab Pedang Penakluk Iblis, bahkan nama Tuan
Yue, Linghu Chong, juga Dongfang Bibai tidak boleh disebut-sebut.”
“Baik!” jawab para murid
perempuan bersama-sama.
Linghu Chong tahu bahwa Dongfang
Bibai adalah nama ejekan untuk menyebut Dongfang Bubai. Nama “Bubai” yang
bermakna “tak terkalahkan”, membuat kaum aliran lurus menggantinya dengan
sebutan “Bibai” yang bermakna “pasti kalah”. Mendengar namanya disejajarkan
dengan Sang Guru dan Dongfang Bubai, membuat Linghu Chong hanya tersenyum
getir. Ia berpikir, “Aku hanya seorang keroco yang tidak punya nama, mengapa
sedemikian dihargai oleh Sesepuh dari Perguruan Henshan ini? Aku sama sekali
tidak berani menerima.”
Biksuni Dingjing berkata lagi,
“Mari kita lanjutkan perjalanan!”
Kembali para murid mengiakan.
Sedetik kemudian tujuh orang dari mereka tampak berlari cepat mendahului turun
ke bawah. Selang sejenak kembali tujuh orang berlari menyusul pula.
Ilmu meringankan tubuh
Perguruan Henshan cukup terkenal dan memiliki ciri khas tersendiri. Tujuh orang
pertama dan tujuh orang kedua bergerak rapi dan selalu menjaga jarak tetap.
Jubah mereka melambai-lambai ketika melangkah bersama sehingga menjadi
pemandangan yang indah jika dilihat dari kejauhan. Tidak lama kemudian kembali
tujuh orang berlari menyusul ke bawah. Secara keseluruhan ada enam kelompok
yang masing-masing berisi tujuh orang, kecuali kelompok terakhir yang berisi
delapan orang karena ditambah Biksuni Dingjing. Murid-murid Perguruan Henshan
yang sedang bergerak menuju selatan itu tidak hanya terdiri dari kaum biksuni
saja, tetapi juga ada dari golongan awam.
Dalam kegelapan itu Linghu
Chong tidak bisa mengetahui Yilin berada di kelompok mana. Ia juga berpikir,
“Para saudari dari Perguruan Henshan memiliki kepandaian tersendiri. Namun
begitu mendaki lereng bukit sana, dan menyusuri jalan kecil yang diapit oleh
kedua tebing yang curam itu, kemudian tiba-tiba disergap oleh kawanan Sekte
Iblis, tentu akan jatuh banyak korban.”
Segera ia mencabut segenggam
rumput hijau dan memerasnya hingga mengeluarkan cairan. Cairan rumput itu
kemudian dioleskannya ke muka sendiri, kemudian ditambah pula dengan lumpur dan
debu tanah. Setelah merasa penampilannya tidak lagi dapat dikenali, ia pun
berlari memutar ke sebelah kiri jalanan untuk menyusul rombongan tadi.
Ilmu meringankan tubuh Linghu
Chong sebenarnya tidak terlalu tinggi. Namun karena sekarang ia memiliki tenaga
dalam melimpah yang berasal dari para jago seperti Enam Dewa Lembah Persik,
Biksu Bujie, Biksu Fangsheng, dan Heibaizi sehingga langkah kakinya pun menjadi
jauh lebih cepat daripada jago silat papan atas sekalipun. Dengan sekali
mengerahkan tenaga ia langsung dapat mengejar rombongan dari Perguruan Henshan
tadi. Khawatir keberadaannya didengar oleh Biksuni Dingjing yang pasti
berkepandaian tinggi itu, ia pun berlari memutar untuk kemudian mendahului di
depan rombongan. Sesudah kembali di jalanan pegunungan, larinya menjadi semakin
cepat.
Setelah berlari agak lama ia
pun sampai di bawah tanah tanjakan dekat jalanan sempit tadi. Saat itu keadaan
sunyi senyap, tidak terdengar suara apa pun. Ia kembali berpikir, “Jika aku
tidak menyaksikan sendiri kawanan Sekte Iblis itu bersembunyi di atas tebing
sana, siapa yang dapat mengira bahwa di tempat ini sedang menunggu bahaya maut
yang setiap saat bisa meletus? Sungguh celaka.”
Perlahan-lahan Linghu Chong
mendaki tanjakan sempit yang diapit dua dinding tebing curam itu. Ia
menghentikan langkah ketika jaraknya dengan tempat persembunyian orang-orang
Sekte Iblis hanya tinggal satu li saja. Segera ia duduk di situ sambil
termenung, “Kemungkinan besar kaum Sekte Iblis itu sudah melihat diriku. Namun
mereka pasti khawatir jika mereka bergerak tentu persembunyian mereka akan
diketahui pihak Perguruan Henshan. Hm, rasanya mereka tidak akan berani
menggangguku.”
Sesudah menunggu sebentar,
akhirnya ia merebahkan diri di tengah jalan. Selang sejenak, sayup-sayup
terdengar suara langkah orang di bawah sana, pertanda rombongan yang hendak
disergap sudah mendekat. Tiba-tiba timbul pikirannya ingin memancing
orang-orang Sekte Iblis itu supaya keluar dan bertempur dengannya sehingga
rombongan Perguruan Henshan dapat mengetahui keberadaan mereka.
Segera ia pun menggumam
sendiri, “Huh, selama hidup aku paling benci kepada pengecut-pengecut yang
hanya pintar menyerang dalam gelap. Kalau berani kenapa tidak bertempur secara
terang-terangan? Huh, main sembunyi-sembunyi untuk membuat celaka orang lain,
benar-benar perbuatan manusia rendah yang tidak tahu malu.”
Ia berbicara demikian sambil
menghadap ke atas bukit. Meskipun suaranya tidak begitu lantang, tapi disertai
tenaga dalam sehingga dapat berkumandang sampai jauh. Tak disangka orang-orang
Sekte Iblis itu ternyata cukup sabar dalam menahan amarah sehingga mereka tidak
peduli pada sindiran Linghu Chong.
Tidak lama kemudian, tujuh
orang murid Henshan kelompok pertama sudah sampai di depan Linghu Chong. Di
bawah sinar bulan mereka dapat melihat seorang perwira tidur telentang di atas
tanah. Padahal, jalan pegunungan itu sangat sempit dan hanya cukup dilalui
seorang saja. Tentu untuk mendaki ke atas mereka harus melompati tubuh sang
perwira. Namun demikian, mereka paham laki-laki dan perempuan tidak boleh
berdekatan, apalagi melompati kepala orang lain, jelas ini sangat melanggar
aturan tata krama.
Maka, seorang biksuni setengah
baya dalam kelompok itu lantas berkata, “Maaf, Tuan Perwira, sudilah memberi
jalan kepada kami!”
Linghu Chong berdehem dua
kali, lalu mendengkur keras-keras.
Biksuni itu bergelar Yihe, yang
bermakna “lembut”, padahal wataknya agak berangasan. Ketika melihat seorang
perwira tidur malam-malam di tengah jalan, dengan suara dengkuran yang jelas
dibuat-buat, membuat hatinya sangat kesal. Namun ia berusaha keras menahan rasa
gusar dengan berkata, “Jika kau tidak mau menyingkir, terpaksa kami harus
melompati badanmu.”
Sambil terus mendengkur,
Linghu Chong menggumam sendiri seperti orang mengantuk, “Di jalanan ini banyak
setan dan iblis, janganlah kalian ke sana! Oooahm, lautan derita tiada berbatas,
berpalinglah … maka kau masih bisa menepi.”
Yihe tercengang karena merasa
ucapan perwira itu seakan-akan bermakna ganda. Seperti omongan orang sinting,
tapi seolah-olah bermaksud memperingatkan tentang adanya bahaya di depan sana.
Seorang biksuni yang lebih
muda lantas menarik-narik lengan baju Yihe. Ketujuh perempuan itu pun mundur
beberapa langkah. Seorang dari mereka berbicara dengan suara lirih, “Kakak,
orang ini benar-benar aneh.”
Yang lain menyahut, “Benar,
mungkin dia siluman Sekte Iblis yang hendak menyergap kita di sini.”
Seorang lagi menanggapi,
“Tidak mungkin. Penjahat Sekte Iblis tidak mungkin menjadi perwira kerajaan.
Kalaupun menyamar juga akan memilih pakaian lain.”
“Tidak usah pedulikan dia,”
kata Yihe kemudian. “Jika dia tetap tidak mau menyingkir, maka kita lompati
saja.” Ia kemudian melangkah maju dan berkata dengan lantang, “Kalau kau
benar-benar tidak mau menyingkir, terpaksa kami berlaku kurang sopan.”
Linghu Chong menggeliat,
kemudian merangkak dan duduk dengan bersikap malas-malasan. Khawatir
jangan-jangan Yilin ada di kelompok ini dan mengenalinya, ia pun memutar tubuh
dan duduk menghadap ke atas bukit, sehingga membelakangi murid-murid Perguruan
Henshan tersebut. Dengan tangan kanan menahan bebatuan tebing, tubuhnya pura-pura
sempoyongan seperti orang mabuk, sambil berkata, “Arak enak, arak enak!”
Pada saat itulah tujuh orang
murid Henshan dari kelompok kedua tiba. Seorang murid dari golongan awam lantas
bertanya, “Kakak Yihe, apa yang dilakukan orang itu di sini?”
“Entahlah, aku juga tidak tahu
sedang apa dia di sini!” jawab Yihe sambil mengerutkan dahi.
Tiba-tiba Linghu Chong berseru
lantang, “Aku baru saja menyembelih anjing. Perutku sekarang kembung
kekenyangan. Aku juga terlalu banyak minum arak, wah, wah, sepertinya aku ingin
muntah. Aih, celaka, aku benar-benar ingin muntah!” Lalu ia sengaja bersuara,
“Hoeek! Hoeek!”
Murid-murid Perguruan Henshan
itu pada dasarnya tidak minum arak atau makan daging, apalagi daging anjing.
Kontan saja mereka buru-buru menutup hidung dan melangkah mundur begitu
mendengar ocehan Linghu Chong tadi.
Linghu Chong sendiri kembali
bersuara, “Hoeek! Hoeek!” Namun dari mulutnya tidak keluar apa-apa.
Selagi keempat belas murid
Henshan itu berbisik-bisik sendiri, kelompok ketiga pun tiba pula. Segera
terdengar seseorang di antaranya berkata dengan suara lemah lembut, “Orang ini
sedang mabuk, sungguh kasihan. Biarlah kita tunggu dia istirahat dulu. Kita
juga tidak akan terlambat.”
Mendengar suara yang sangat
dikenalinya itu, hati Linghu Chong agak tergetar. Ia pun berpikir, “Adik Yilin
benar-benar welas asih.”
Namun kemudian terdengar Yihe
berkata ketus, “Orang ini sengaja mengacau di sini. Agaknya bermaksud tidak
baik.” Habis itu ia lantas melangkah maju dan membentak, “Lekas menyingkir!”
Bersama dengan itu tangannya menjulur hendak mendorong bahu kanan Linghu Chong.
Linghu Chong pura-pura
menggeliat sambil berseru, “Aih, celaka!” Tubuhnya lantas terhuyung-huyung ke
depan sehingga jalan pegunungan yang sempit itu semakin tersumbat. Untuk melanjutkan
perjalanan, rombongan perempuan itu harus melompati kepalanya. Tidak ada jalan
lain.
Yihe menyusul maju dan
membentak lagi, “Minggir!”
“Baik, baik!” jawab Linghu
Chong sambil terus melangkah ke atas. Semakin menanjak, jalan setapak itu
semakin tertutup tubuhnya. Mendadak ia berteriak, “Hei, kawan-kawan yang
bersembunyi di atas sana! Awas, orang-orang yang kalian tunggu-tunggu sekarang
sudah datang! Begitu kalian keluar sekarang dan membunuh mereka, tentu tiada
seorang pun yang bisa lolos!”
Mendengar teriakan Linghu
Chong itu, Yihe dan teman-temannya buru-buru melangkah mundur. Seorang di
antara mereka berkata, “Tempat ini memang sangat berbahaya. Kalau benar ada
musuh bersembunyi di sini dan menyergap kita secara mendadak, jelas kita sukar
bertahan.”
“Jika benar ada orang
bersembunyi di sini mana mungkin dia berteriak-teriak seperti itu?” sahut Yihe.
“Kukira dia hanya menggertak belaka. Tidak mungkin di atas ada orang. Bila kita
kelihatan takut justru akan ditertawai musuh.”
“Benar,” tukas dua biksuni
setengah umur yang lain. “Mari kita bertiga membuka jalan di depan, biar para
adik menyusul di belakang.”
Mereka bertiga lantas
menghunus pedang, kemudian bergerak mendekati Linghu Chong.
Linghu Chong pura-pura
terengah-engah dan berkata, “Wah, terjal benar bukit ini. Aku sudah tua, tidak
kuat lagi.”
Seorang biksuni yang
mendesaknya berkata, “Kau minggir saja agar kami bisa lewat.”
Linghu Chong menjawab, “Aih,
orang beragama jangan suka marah-marah begitu. Berjalan cepat kalian akan
sampai di tempat tujuan, berjalan lambat juga akan sampai di tempat tujuan.
Aih, aih, kalau ingin pergi ke gerbang akhirat, lebih baik berjalan agak
lambat.”
“Apa kau hendak memaki kami?”
kata biksuni tadi sambil menusukkan pedangnya ke punggung Linghu Chong dari samping
Yihe. Tujuannya hanya untuk menakut-nakuti Linghu Chong agar menyingkir. Maka
ketika pedangnya hampir mencapai sasaran, segera ia menahan diri menghentikan
serangan.
Kebetulan pada saat yang sama
Linghu Chong telah memutar tubuh. Begitu melihat sebilah pedang mengancam tepat
di depan dadanya, segera ia membentak, “Aih, kau … kau mau apa? Aku adalah
pembesar kerajaan. Kau berani berbuat kurang ajar padaku? Hayo prajurit,
tangkap biksuni ini!”
Tentu saja di pegunungan sunyi
itu tiada seorang pun prajurit yang menggubrisnya. Justru beberapa biksuni muda
tertawa cekikikan. Mereka merasa geli melihat sikap Linghu Chong yang masih
saja berlagak seperti tuan besar itu.
“Tuan Perwira, kami ada urusan
penting dan harus buru-buru. Sudilah kau minggir dulu untuk memberi jalan
kepada kami,” ujar seorang biksuni membujuk dengan tertawa.
“Perwira apa? Aku adalah
panglima. Kau harus memanggil ‘jenderal’ kepadaku, tahu?” bentak Linghu Chong.
Beberapa biksuni lainnya
semakin tertawa dan serentak berkata, “Yang Mulia Jenderal, mohon sudi memberi
jalan.”
Linghu Chong bergelak tawa
sambil membusungkan dada, lagaknya angkuh seperti penguasa dunia. Namun
mendadak kakinya terpeleset, lalu tubuhnya jatuh tersungkur ke tanah.
Para murid Perguruan Henshan
menjerit khawatir bersama-sama, “Awas!” Dua di antaranya lantas memburu maju
untuk memegangi lengan Linghu Chong.
Linghu Chong pura-pura
terpeleset sekali lagi, setelah itu baru berdiri tegak sambil memaki, “Nenekmu,
licin sekali tanah ini. Pembesar setempat benar-benar tak becus bekerja.
Jalanan pegunungan seburuk ini tidak pernah diperbaiki.”
Setelah terjatuh dua kali,
waktu berdiri lagi badannya pun bersandar pada dinding tebing yang lekuk,
sehingga kesempatan ini segera digunakan oleh murid-murid Perguruan Henshan
untuk lewat di samping tubuhnya, dan terus berlari ke atas satu per satu.
Seorang murid yang lewat
berkata, “Pejabat setempat harusnya mengirim sebuah joli yang diusung delapan
orang untuk menandu Yang Mulia Jenderal melewati pegunungan ini. Itu baru benar.”
Seorang yang lain menanggapi,
“Benar. Jenderal ini memang lain daripada yang lain. Kalau menunggang kuda
bisa-bisa nanti terjatuh dia.”
Linghu Chong pura-pura marah
dan berkata, “Omong kosong! Siapa bilang aku tidak bisa naik kuda? Bulan lalu
binatang sialan itu kabur gara-gara melihat harimau sehingga aku terjatuh dan
lenganku terluka. Tapi itu bukan masalah bagiku.” Ucapannya ini disambut gelak
tawa para murid perempuan tersebut.
Ketika melihat sesosok tubuh
yang langsing melayang lewat, segera Linghu Chong mengikuti di belakang, karena
sosok tersebut tidak lain adalah Yilin. Dengan demikian, para murid yang
berbaris di belakang Yilin menjadi terhalang langkah mereka. Apalagi Linghu
Chong berpura-pura melangkah kaku dengan napas terengah-engah pula. Setiap
berjalan tiga langkah ia terjatuh dua kali. Ia pun berjalan agak merangkak,
tapi cukup cepat juga gerakannya.
Melihat itu para murid
perempuan yang berjalan di belakangnya bergelak tawa sambil menggerutu, “Aih,
jenderal kok begini? Aduh … dalam setiap hari kau jatuh berapa kali?”
Yilin menoleh ke belakang dan
berkata, “Kakak Yiqing, kau jangan mendesak-desak Jenderal. Jika terburu-buru
nanti ia bisa benar-benar tergelincir ke bawah. Lereng ini sangat terjal, kalau
sampai terjatuh bisa berbahaya.”
Linghu Chong memandang
sepasang mata Yilin yang besar dan bening bagai mata air itu. Wajahnya yang ayu
nampak begitu cantik jelita di bawah temaram sinar rembulan, Seketika Linghu
Chong pun terkenang kejadian dahulu ketika mereka berdua menghindari kejaran
orang-orang Perguruan Qingcheng. Waktu itu Yilin menggendongnya keluar
meninggalkan Kota Hengshan, dan ia pun memandangi sepasang mata biksuni muda
itu tanpa berkedip. Teringat peristiwa itu membuat di hatinya kini timbul rasa
kasih. “Di lereng gunung yang terjal ini banyak musuh sedang mengintai. Apa pun
yang terjadi aku harus melindungi keselamatan Adik Yilin, walaupun harus
bertaruh nyawa.”
Yilin sendiri memandang “Sang
Jenderal” sedang menatapnya dengan pandangan kosong. Ia pun balas mengangguk
dengan disertai senyuman kecil. Bibirnya yang mungil kembali berkata, “Kakak
Yiqing, kalau Jenderal sampai tergelincir jatuh, tolong kau segera menariknya
berdiri.”
Yiqing menjawab, “Tubuh
Jenderal lebih besar. Mana aku kuat menariknya berdiri?”
Sebenarnya peraturan di
Perguruan Henshan sangat ketat. Para murid perempuan biasanya tidak sembarangan
bicara dengan orang luar. Tetapi Linghu Chong sendiri bertingkah seperti badut
dan tidak henti-hentinya menggoda mereka. Apalagi penampilannya yang seperti
bapak-bapak, sedangkan para murid tersebut kebanyakan adalah perempuan muda,
membuat suasana canggung hilang dengan sendirinya. Beberapa gurauan konyol dari
Linghu Chong membuat mereka menjadi senang dan lebih bersemangat melewati
jalanan terjal tersebut.
Kembali Linghu Chong berkata
dengan nada gusar, “Kalian bocah-bocah perempuan banyak omong kosong! Aku
seorang jenderal hebat. Belasan tahun silam aku berjaya di medan pertempuran,
membunuh banyak penjahat. Kalau saja waktu itu kalian melihat kegagahan dan keganasanku,
pasti kalian akan terkagum-kagum dan bersujud di depanku. Jalanan gunung ini
cuma hal kecil, mana bisa membuatku jatuh tergelincir? Huh, kalian hanya bicara
sembarangan …. Aih, celaka!” Lagi-lagi ia terpeleset gara-gara menginjak
kerikil kecil. Tangannya pun melambai-lambai mencari pegangan. Para murid
perempuan di belakangnya seketika menjerit-jerit dengan suara melengking.
Yilin segera berbalik dan
mengulurkan tangannya untuk membantu “Sang Jenderal” berdiri. Linghu Chong
meraih tangan biksuni muda itu dan tangannya yang lain mendorong tanah untuk
bangkit berdiri. Wajahnya terlihat malu kemerah-merahan.
Mendengar para murid tertawa
cekikikan di belakangnya, Linghu Chong pun berkata, “Sepatu bot kulit ini
terlalu berat untuk dipakai mendaki gunung. Kalau aku memakai sepatu rami
seperti kalian, tidak mungkin aku terjatuh. Lagipula aku hanya terpeleset,
bukan terjatuh; apa yang kalian tertawakan?”
Yilin menanggapi, “Jenderal
memakai sepatu bot untuk menunggang kuda, memang tidak nyaman untuk mendaki
gunung.”
Linghu Chong menyahut, “Memang
tidak enak dipakai, tapi tetap kelihatan gagah. Kalau aku rakyat jelata seperti
kalian, maka aku tidak peduli harus memakai sepatu rami atau sepatu rumput.”
Lagi-lagi para murid perempuan
itu bergelak tawa mendengar tingkah konyol Linghu Chong menutupi malu.
Tiba-tiba Linghu Chong
berbicara dengan suara keras, “Di sekitar tempat ini banyak maling ayam dan
pencuri anjing. Mereka bisa saja tiba-tiba muncul dan merampas harta benda
orang lewat. Walaupun kalian kaum biarawati, tapi harus tetap berhati-hati.
Jangan sampai derma yang kalian peroleh dengan susah payah direbut mereka.”
Yiqing tertawa dan berkata,
“Kalau ada Jenderal bersama kami, mana mungkin ada maling ayam berani
menunjukkan batang hidung di sini?”
Linghu Chong kembali
berteriak-teriak, “Hei, hei, awas! Di atas sana sepertinya banyak orang
mengintai!”
Seorang murid menanggapi,
“Jenderal ini memang bawel. Mana mungkin kami takut kepada maling ayam?”
Belum selesai ia berkata,
tiba-tiba terdengar jeritan dua murid perempuan yang lain, “Aduh!” dan tubuh
mereka terguling-guling jatuh ke bawah. Dengan cekatan dua temannya bergegas
menangkap mereka.
Beberapa murid di depan pun
berseru, “Awas, ada musuh melepaskan senjata rahasia!” Belum habis ucapannya
kembali terlihat seorang murid terguling ke bawah.
Yihe berseru, “Semua tiarap!
Awas senjata rahasia musuh!”
Serentak mereka bersama-sama
merendahkan tubuh.
Linghu Chong pun memaki-maki,
“Maling ayam kurang ajar! Apa kalian tidak tahu ada jenderal di sini?”
Yilin menarik-narik lengan
bajunya sambil berkata cemas, “Lekas tiarap, lekas!”
Beberapa murid Perguruan
Henshan yang berada di depan balas melepaskan senjata rahasia berupa panah
kecil dan manik-manik besi. Tapi musuh bersembunyi di balik batu-batuan padas,
seorang pun tidak terlihat. Sudah tentu serangan mereka hanya mengenai tempat
kosong.
Begitu mendengar adanya
serangan musuh, Biksuni Dingjing bergegas maju dengan melompati kepala para
murid. Sampai di belakang Linghu Chong, secepat kilat ia lantas melayang pula
melewati kepalanya.
Kontan Linghu Chong
berteriak-teriak, “Wah, sial, sial!” Lalu ia meludah beberapa kali karena sudah
menjadi tradisi bahwa dilompati kepala akan mendatangkan kesialan.
Terlihat Biksuni Dingjing
terus menyerbu ke atas melewati hamburan senjata rahasia musuh sambil
mengibaskan lengan bajunya berkali-kali. Senjata-senjata berukuran kecil itu
ada yang menancap di kain lengan bajunya yang longgar, ada pula yang
ditangkisnya jatuh. Hanya beberapa kali meloncat, tubuhnya sudah sampai di atas
bukit.
Akan tetapi, baru saja sebelah
kakinya mendarat di tanah, tiba-tiba terasa kesiuran angin menyambar. Rupanya
sebatang toya tembaga telah menghantam ke atas kepalanya. Dari suara angin yang
menderu itu dapatlah diketahui bahwa toya tersebut pasti sangat berat.
Biksuni Dingjing tidak berani
menangkis begitu saja. Ia hanya berkelit dan bergeser ke samping. Tapi
tahu-tahu dua tombak berantai lantas menusuknya pula dari atas dan bawah.
Ternyata di puncak bukit itu telah muncul tiga orang jago mengeroyok dirinya.
“Dasar pengecut!” bentak
Dingjing sambil mencabut pedangnya. Sekali tangkis serangan kedua tombak lawan
dapat dibelokkannya ke samping. Tapi toya tembaga tadi lagi-lagi menyapu ke
arah pinggangnya. Dengan tetap bersikap tabah, ia pun mengayunkan pedangnya
untuk menangkis toya musuh, disusul dengan tebasan ke bawah. Tapi tombak lawan
tahu-tahu menusuk pula ke bahunya.
Sementara itu, di bawah
terdengar ramai suara jeritan murid-murid Perguruan Henshan, disertai suara
gemuruh. Ternyata musuh yang bersembunyi di atas tebing telah menjatuhkan
batu-batu besar ke arah mereka.
Terjebak di jalan pegunungan
yang sempit, terpaksa para perempuan itu berlompatan ke sana kemari untuk
menghindari serangan. Namun demikian, dalam sekejap beberapa orang terluka
karena terkena tumbukan batu-batu tersebut.
Mendengar jeritan para murid,
Biksuni Dingjing lantas mundur dua langkah dan berseru, “Putar balik! Kita
turun dulu ke bawah!” Segera ia memainkan pedang di belakang untuk menahan
kejaran musuh.
Akan tetapi, suara gemuruh
masih tetap terdengar. Batu-batu besar terus berjatuhan dari atas tebing.
Menyusul terdengar suara benturan senjata yang ramai, ternyata di kaki bukit
juga ada musuh menghadang. Rupanya mereka menunggu rombongan Perguruan Henshan
sudah memasuki jalanan sempit dan mendaki ke atas bukit. Begitu teman di atas
bertindak, mereka pun keluar dari tempat persembunyian untuk menyumbat jalan
mundur rombongan tersebut.
“Bibi Guru, musuh yang
menghadang di bawah berilmu tinggi. Kita tidak bisa turun,” kata seorang murid
melapor.
“Dua orang kakak seperguruan
telah terluka,” sahut murid yang lain menyambung.
Dingjing menjadi gusar bukan
kepalang. Secepat kilat ia berlari ke bawah bagaikan terbang. Dilihatnya dua
laki-laki bersenjata golok sedang mendesak mundur dua murid perempuan. Sambil
membentak, Dingjing lantas menerjang dengan menusukkan pedang. Tapi mendadak
dari bawah melayang sebuah gandin segi delapan berantai menghantam mukanya.
Terpaksa Dingjing menangkis dengan pedang. Sebuah gandin yang lain mendadak
melayang ke atas untuk kemudian menghantam ke bawah.
“Kuat sekali tenaga mereka!”
seru Dingjing dalam hati. Gandin-gandin itu masing-masing berukuran berat, tapi
mereka dapat memainkannya melalui rantai yang lemas, sehingga dapat dibayangkan
betapa kuat tenaga musuh yang menghadang tersebut.
Jika di tanah datar Biksuni
Dingjing tentu tidak sukar untuk melayani serangan-serangan demikian. Ia
tinggal melancarkan ilmu pedangnya yang lincah dari arah samping. Namun di
tengah jalan setapak yang sedemikian sempit, mau tidak mau harus berhadapan
dari satu jurusan dan tiada lagi jalan lain. Padahal sepasang gandin lawan itu
diputar sedemikian rapatnya dan menari-nari di udara dengan ganas, berkali-kali
menghantam ke arah wajah Sang Biksuni. Rasanya percuma Dingjing memiliki ilmu
pedang yang tinggi namun tidak dapat dipergunakan, terpaksa ia pun mundur
kembali ke atas bukit selangkah demi selangkah.
Tiba-tiba terdengar suara
mengaduh susul-menyusul di atas. Kembali beberapa murid perempuan jatuh
terguling-guling ke bawah karena terkena senjata rahasia musuh. Dingjing
berusaha menenangkan diri. Ia menduga musuh yang berjaga di atas tentu ilmu
silatnya lebih lemah dibanding yang menghadang di bawah tadi. Maka dengan cepat
ia pun menerjang ke atas dengan melompati kepala beberapa murid.
Ketika Linghu Chong kembali
dilompati kepalanya, ia pun berteriak-teriak, “Hei, macam apa kau ini?
Melompat-lompat seperti katak? Sudah tua masih suka main-main segala! Kepalaku
kau lompati ke sana kemari. Kalau judi aku tentu kalah! Sungguh sial!”
Karena ingin buru-buru
menerjang musuh, Dingjing tidak peduli pada apa yang diucapkannya itu.
Sebaliknya, Yilin yang lantas berbicara kepadanya, “Maaf, bibi guru kami tidak
sengaja melompatimu.”
Tapi Linghu Chong masih pura-pura
mengomel, “Sudah sejak tadi aku bilang di sini banyak maling ayam, tapi kalian
tidak mau percaya.” Dalam hati ia sendiri tidak menduga kalau di bawah bukit
ternyata juga bersembunyi beberapa orang Sekte Iblis. Terkepung di tengah jalan
sedemikian sempit, biarpun berjumlah banyak tetap saja orang-orang Perguruaan
Henshan tidak mampu berkutik. Untuk membantu mereka juga serbasusah.
Saat Biksuni Dingjing hampir
tiba di atas bukit, tiba-tiba terasa ada bayangan toya berkelebat. Rupanya
sebatang pentungan biksu telah diayunkan musuh di atas kepalanya. Kali ini
seorang musuh berkepandaian tinggi sudah dipersiapkan untuk menghadang dirinya.
Dengan cepat Dingjing pun berkelit, sambil pedangnya menusuk dari samping. Pada
jarak beberapa senti yang genting itu ia berhasil menghindarkan diri dari
serangan musuh. Bersamaan itu ia sudah menubruk maju bersama pedangnya untuk
terus menusuk musuh, yang ternyata seorang biksu berambut bertubuh besar gemuk.
Serangan Dingjing ini boleh
dikata sangat berbahaya, yaitu cara berkelahi yang tidak menghiraukan
keselamatan sendiri, dan bisa membuat dirinya gugur bersama musuh. Karena tidak
terduga-duga akan mendapat serangan nekat tersebut, si biksu berambut tidak
sempat menarik kembali tongkatnya untuk menangkis. Maka, pedang Sang Biksuni
pun tepat menancap di bawah iganya.
Namun demikian, Biksu berambut
itu benar-benar tangkas dan pemberani. Meski terluka ia masih berteriak sambil
menghantam keras sehingga pedang Dingjing patah menjadi dua. Disusul kemudian
tangan biksuni sepuh itu terluka pula.
“Lekas, berikan pedangmu!”
seru Dingjing.
Secepat kilat Yihe melompat ke
atas sambil menyodorkan pedangnya dan berseru, “Bibi Guru, terimalah!”
Baru saja Dingjing memutar
tubuh hendak menerima pedang itu, tiba-tiba sebuah tombak berantai menyerang ke
arah Yihe, dan tombak berantai yang lain menusuk pula ke arah pinggangnya.
Terpaksa Yihe menarik kembali pedangnya untuk menangkis. Tapi musuh bersenjata
tombak berantai itu menyerang lebih gencar sehingga Yihe terdesak mundur kembali
ke bawah, dan usahanya untuk menyerahkan pedang kepada Dingjing gagal pula.
Menyusul kemudian dari atas
menerjang maju tiga orang musuh. Dua orang bersenjata golok, dan seorang lagi
memakai sepasang pena penotok. Dingjing seorang diri terkepung di tengah. Tanpa
senjata ia mengerahkan Jurus Pukulan Tianchang milik Perguruan Henshan untuk
menghadapi mereka. Usianya sudah enam puluhan tetapi tenaga dan kegesitannya
tidak kalah dibanding dengan orang yang lebih muda. Meskipun ketiga jago Sekte
Iblis mengeroyoknya, namun tak disangka mereka tidak mampu mengatasi seorang
biksuni sepuh bertangan kosong.
Melihat pemandangan itu Yilin
berseru cemas dengan suara tertahan, “Aih, bagaimana ini?”
Segera Linghu Chong pun
berteriak, “Hei, kawanan berandal kurang ajar! Minggir, minggir, biar Jenderal
naik ke sana untuk membekuk berandal-berandal itu.”
Yilin buru-buru mencegah, “Eh,
jangan! Mereka bukan berandal biasa, tapi jago silat semua. Begitu maju tentu
Jenderal akan dibunuh mereka.”
Tapi Linghu Chong lantas membusungkan
dada dan berkata, “Sungguh terlalu kawanan bandit ini! Di siang bolong ….” Ia
lantas mendongak dan melihat langit masih gelap menjelang fajar, mana bisa
disebut siang bolong? Namun ia tidak peduli dan terus berkata, “Berani sekali
bandit-bandit kecil itu menghadang dan merampok kaum perempuan? Apa mereka
tidak takut pada hukum kerajaan?”
Yilin menyahut, “Mereka bukan
bandit kecil yang merampok, dan kami juga bukan perempuan biasa ….”
Linghu Chong tetap melangkah
maju dan mendesak melewati murid-murid Perguruan Henshan itu dengan susah
payah. Para murid terpaksa menempel rapat ke dinding tebing untuk memberi jalan
kepadanya. Sesampainya di atas bukit, Linghu Chong bermaksud menghunus
goloknya. Ketika sudah tercabut sebagian, ia pura-pura tidak bisa menarik lagi.
Mulutnya pun lantas memaki, “Sial, golok karatan ini juga main gila! Keadaan
gawat seperti ini mengapa dia tidak mau keluar!”
Yihe yang sedang bertempur
sengit melawan dua orang musuh dapat mendengar omelan Linghu Chong di
belakangnya itu. Ia menjadi kesal bercampur geli. “Lekas kau menyingkir saja,
di sini terlalu bahaya bagimu!” teriaknya.
Karena berbicara, ia sedikit
lengah sehingga tombak musuh telah menusuk ke arah pundaknya dan hampir saja ia
terluka. Untungnya biksuni itu lekas melompat mundur, namun lawannya tetap
memburu maju.
Linghu Chong lantas
berteriak-teriak, “Wah, wah! Macam apa ini? Berandal kurang ajar, apa kalian
tidak melihat jenderalmu berada di sini?” Sekali menyelinap, tahu-tahu ia telah
menghadang musuh di depan Yihe.
Musuh yang bersenjata tombak
itu menjadi tercengang karena mendadak muncul seorang perwira tentara di
hadapannya. Saat itu keadaan sudah mulai remang-remang sehingga penampilan
“sang jenderal” dapat terlihat jelas. Maka orang itu tidak jadi menusukkan tombaknya,
hanya diacungkan saja ke dada Linghu Chong sambil membentak, “Siapa kau? Apakah
orang yang berkaok-kaok di bawah tadi adalah kau si pembesar anjing?”
“Nenekmu, kau sebut aku
pembesar anjing? Kau sendiri berandal anjing!” balas Linghu Chong dengan lagak
angkuh. “Kalian berani merampok di sini, aku sudah datang masih juga kalian
tidak lekas kabur. Sungguh besar nyali kalian! Tunggu saja jenderalmu ini akan
membekuk batang leher kalian dan memasukkan kalian ke penjara kabupaten. Nanti
setiap orang akan mendapat hadiah lima puluh cambukan sampai pantat kalian
berdarah-darah, baru tahu rasa!”
Laki-laki bertombak itu tidak
ingin membunuh pejabat kerajaan karena bisa mendatangkan masalah. Maka, ia pun
menjawab, “Kau pejabat anjing, pergi jauh sana! Kalau kau tidak segera enyah
dari sini, maka aku si tua akan membuat tiga lubang besar di tubuh anjingmu!”
Sekilas Linghu Chong melihat
Biksuni Dingjing belum menunjukkan tanda-tanda kekalahan. Kawanan Sekte Iblis
juga tidak lagi melepaskan senjata rahasia atau batu-batuan ke bawah, maka ia
pun membentak, “Bandit kurang ajar, mengapa kalian tidak lekas berlutut dan
menyembah minta ampun kepada jenderalmu? Kalau di rumah kalian tinggal seorang
nenek berusia delapan puluh tahun, mungkin aku masih bisa bermurah hati kepada
kalian. Tapi kalau tidak, maka kepala anjing kalian akan kupenggal satu per
satu ….”
Mendengar ucapan itu,
murid-murid Perguruan Henshan mengerutkan dahi dan berkata dalam hati, “Orang
ini sinting.”
Yihe lantas melangkah maju
dengan pedang terhunus, siap melindungi Linghu Chong jika musuh mulai
menusukkan tombaknya.
Linghu Chong pura-pura
menarik-narik goloknya sekuat tenaga sambil memaki, “Nenekmu, di saat maju ke
medan perang seperti ini golok warisan leluhur justru berkarat. Hm, coba kalau
golok ini tidak berkarat, biarpun sepuluh kepala kawanan anjing macam kalian
juga sudah kupenggal semua.”
Musuh bersenjata tombak itu
terbahak-bahak geli, lalu membentak, “Persetan kau!” Bersama itu ia menyabetkan
batang tombaknya ke pinggang Linghu Chong.
Linghu Chong sendiri
menghentakkan tangan sekuat tenaga sambil menjerit kaget, sehingga golok itu
ikut tertarik beserta sarungnya. Kemudian tubuhnya terhuyung-huyung ke depan
hendak tersungkur jatuh.
“Hati-hati!” seru Yihe.
Tapi sewaktu tubuhnya terhuyung-huyung,
Linghu Chong dengan cekatan menotok titik-titik pada pinggang lawan menggunakan
ujung sarung goloknya. Laki-laki itu mengerang kesakitan, lalu tubuhnya jatuh
terkulai dan roboh di tanah.
Linghu Chong sendiri ikut
jatuh ke tanah. Seperti orang kelabakan, lekas-lekas ia merangkak bangun,
sambil berseru heran, “Hei, kau juga terguling jatuh! Kalau begitu kita seri.
Aku si tua belum mau mengaku kalah. Mari kita coba-coba lagi!”
Yihe cukup cerdik dan cekatan.
Segera ia mencengkeram bahu laki-laki itu dan melemparkannya ke belakang. Ia
berpikir dengan seorang tawanan tentu urusan akan lebih mudah diselesaikan.
Sementara itu dari pihak Sekte
Iblis telah menerjang maju tiga orang dengan maksud hendak menolong kawan
mereka itu.
Linghu Chong berteriak, “Aha,
kawanan anjing benar-benar kurang ajar!” Segera goloknya memukul ke kanan dan
menyabet ke kiri, caranya sama sekali tidak teratur.
Ilmu Sembilan Pedang Dugu
memang tidak memiliki gaya serangan tertentu. Apakah dimainkan secara indah dan
anggun, atau dimainkan secara aneh dan konyol juga tidak ada bedanya. Semuanya
sama-sama ampuh dan bisa mengalahkan musuh. Ini disebabkan karena intisari ilmu
pedang ini terletak pada tujuan, bukan gayanya.
Sebenarnya Linghu Chong tidak
terlalu mahir dalam menotok. Apalagi dalam pertarungan gencar seperti itu
sangat sulit mengincar titik-titik penting pada tubuh lawan yang bergerak
cepat. Namun serangan Linghu Chong selalu disertai tenaga dalam yang melimpah
ruah sehingga membuat kekuatannya sungguh dahsyat. Meskipun serangannya tidak
secara tepat menotok titik lawan, namun tetap saja membuat pihak musuh tidak
dapat bertahan dan roboh oleh tenaga dalamnya.
Langkah Linghu Chong tampak
sempoyongan tidak menentu. Goloknya yang masih terselubung sarung itu
diputarnya serabutan dan semakin kacau. Tiba-tiba ia seperti tersandung dan
menubruk seorang musuh. “Bluk!”, ujung sarung goloknya secara kebetulan
mengenai pula titik pada lengan atas orang itu. Orang yang ditubruknya hanya
sempat menarik napas panjang-panjang, lalu jatuh terkapar di tanah.
Sambil menjerit kaget, “Aih!”
Linghu Chong melompat mundur dan gagang goloknya tahu-tahu membentur pula
punggung seorang lawan yang lain. Kontan orang itu pun terguling-guling di
tanah.
Selanjutnya kedua kaki Linghu
Chong tersandung tubuh musuh yang terguling itu. Ia memaki, “Nenekmu!” kemudian
terhuyung-huyung lagi ke depan dan kembali sarung goloknya tepat mengarah
menuju tubuh seorang musuh bersenjata golok. Musuh ini adalah satu di antara
jago Sekte Iblis yang mengeroyok Biksuni Dingjing. Karena punggungnya
tertumbuk, golok yang dipegangnya pun terlempar ke udara. Dingjing segera
memanfaatkan kesempatan ini untuk melancarkan pukulannya ke dada orang itu.
Tanpa ampun, orang itu pun muntah darah dan kehilangan nyawa.
“Eh, awas, awas!” Linghu Chong
berteriak-teriak sambil mundur beberapa langkah ke arah musuh yang memakai
senjata pena penotok.
Tanpa pikir panjang orang itu
lantas menotok punggung Linghu Chong dengan senjatanya. Namun Linghu Chong
sempat menggeliat dan kembali terhuyung-huyung ke depan sambil
menyabet-nyabetkan sarung goloknya membentur musuh yang lain. Lagi-lagi dua
anggota Sekte Iblis roboh ke tanah.
Musuh bersenjata pena penotok
itu secepat kilat menubruk maju. Linghu Chong pura-pura menjerit ketakutan,
“Tolooong!” sambil terus berlari ke depan. Orang itu semakin kesal dan
mengejar. Di luar dugaan, tiba-tiba saja Linghu Chong menghentikan langkah dan
berdiri tegak. Gagang goloknya sedikit menongol ke belakang melalui bawah
ketiak. Karena tidak pernah menduga Linghu Chong akan berhenti mendadak, kontan
musuh yang mengejar itu menjadi kelabakan. Betapa pun tinggi ilmu silatnya juga
tidak sempat untuk berganti haluan. Akibatnya, dada dan perutnya pun menubruk
keras pada gagang golok tersebut. Orang itu memperlihatkan raut muka yang
sangat aneh, seakan-akan tidak percaya terhadap apa yang sedang terjadi
padanya. Akhirnya, perlahan-lahan badannya pun terkulai lemas dan jatuh di
tanah.
Kemudian Linghu Chong memutar
tubuh. Dilihatnya pertempuran di atas bukit sudah berakhir. Hampir separuh
murid-murid Perguruan Henshan sudah naik ke situ dan berdiri berhadapan dengan
kawanan Sekte Iblis. Murid-murid yang lain juga berturut-turut menyusul ke atas
bukit dengan langkah cepat.
Linghu Chong lantas
berteriak-teriak, “Hei, kawanan anjing kurang ajar! Melihat jenderalmu ada di
sini mengapa kalian tidak segera tunduk dan menyembah minta ampun kepadaku? Apa
kalian minta mampus semua?” Habis itu ia pun mengayun-ayunkan golok
bersarungnya dan menyerbu masuk ke tengah-tengah gerombolan Sekte Iblis.
Kali ini pihak musuh tidak
berani gegabah. Beramai-ramai mereka mengacungkan senjata masing-masing untuk
menjemput serangan Linghu Chong. Murid-murid Perguruan Henshan bermaksud maju
untuk membantu. Tapi Linghu Chong sudah berlari ke luar dari kepungan musuh itu
sambil berteriak-teriak, “Wah, wah, lihai sekali kawanan anjing kurang ajar
ini!”
Linghu Chong berlari dengan
langkah yang berat dan agak diseret. Mendadak ia pura-pura jatuh terbanting,
dan goloknya yang bersarung itu terpental balik dan tepat mengenai dahinya
sendiri. Seketika ia pun jatuh terkapar di tanah. Namun tak disangka, dalam
serbuannya yang singkat ke dalam kepungan Sekte Iblis itu, ia telah merobohkan
lima orang musuh.
Kedua pihak sama-sama tertegun
menyaksikan apa yang telah terjadi.
Yihe dan Yiqing bergegas maju
sambil berseru, “Jenderal, kau tidak apa-apa?”
Tapi Linghu Chong memejamkan
mata dengan rapat dan pura-pura pingsan.
Si kakek yang memimpin
gerombolan Sekte Iblis itu termenung untuk memutuskan bagaimana langkah
selanjutnya. Dalam pihaknya sudah mati satu orang terkena pukulan Biksuni
Dingjing, serta sebelas orang lainnya roboh terkena totokan si perwira sinting.
Ia sendiri baru saja mengerahkan segala jurus untuk merobohkan perwira sinting
itu ketika masuk ke dalam kepungannya. Namun si perwira sinting justru berhasil
menotoknya dengan ujung sarung golok. Meskipun totokan itu tidak mengenai titik
tertentu pada tubuhnya, namun ia merasakan betapa kuat tenaga dalam yang
dimiliki si perwira sinting. Gerakan orang itu juga gencar dan aneh, sama
sekali tidak pernah dijumpai semur hidup olehnya. Seberapa tinggi ilmu silat si
perwira sinting benar-benar sukar diukur. Apalagi lima orang anggotanya yang
tertotok telah ditawan pula oleh pihak Perguruan Henshan, jelas urusan hari ini
tidaklah menguntungkan.
Maka dengan suara lantang
kakek itu lantas berkata, “Biksuni Dingjing, murid-muridmu yang terkena senjata
rahasia perlu obat penawar racun atau tidak?”
Dingjing melihat murid-murid
yang terkena senjata rahasia masih terbaring tak sadarkan diri, dan luka mereka
mengalirkan darah hitam, jelas bahwa senjata rahasia musuh telah dicelupkan ke
dalam racun sebelum digunakan. Maka, begitu pihak lawan menawarkan obat
penawar, Dingjing langsung paham maksudnya. Ia pun menjawab, “Berikan obat
penawar untuk ditukar dengan tawanan!”
Si kakek manggut-manggut, lalu
berbisik kepada seorang anak buahnya. Tak lama kemudian majulah anak buahnya
itu dengan membawa sebuah botol porselen kecil ke hadapan Biksuni Dingjing, dan
menyerahkannya dengan sikap hormat.
Dingjing menerima botol obat
itu, lalu berkata dengan suara tegas, “Jika obat penawar ini benar-benar
manjur, tentu akan kubebaskan orang-orangmu.”
Si kakek menjawab, “Baik!
Biksuni Dingjing dari Perguruan Henshan tentunya bukan orang yang suka ingkar
janji.”
Orang tua itu lalu melambaikan
tangan. Beberapa anak buahnya segera berlari maju untuk menggotong kawan-kawan
mereka yang mati dan terluka. Orang-orang Sekte Iblis itu kemudian berjalan
menuruni bukit. Dalam sekejap mereka semua sudah menghilang tanpa bekas.
Linghu Chong pura-pura siuman
dari pingsan, lalu bangkit perlahan-lahan sambil merintih, “Aduh, sakit
sekali!” Diraba-rabanya benjolan pada dahi sendiri, lalu menyambung, “Hei, ke
mana perginya kawanan bandit anjing itu?”
Yihe tertawa cekikikan, lalu
berkata, “Jenderal, kau ini benar-benar aneh dan lucu. Kau tadi menyerbu masuk
ke dalam kepungan musuh dan menyerang mereka serabutan. Ternyata kawanan
berandal itu dapat kau takut-takuti sehingga lari tunggang langgang.”
Linghu Chong tertawa
terbahak-bahak. Ia lalu berkata sambil menepuk dada, “Bagus sekali, bagus
sekali! Begitu jenderalmu datang menunggang kuda, wibawanya memancar ke segala
penjuru, tidak seperti orang biasa. Kawanan berandal anjing itu langsung kabur
seperti debu tertiup angin.” Tiba-tiba ia memegang dahi sambil menyeringai,
“Aduh ….”
Yiqing bertanya, “Jenderal,
apakah kau terluka? Kami ada obat luka.”
“O, tidak apa-apa, hanya
masalah kecil,” sahut Linghu Chong dengan menyengir. “Seorang laki-laki sejati
dalam pertempuran seperti mayat dalam kulit kuda, itu sudah biasa.”
Yihe mencibir kemudian
bertanya, “Bukankah istilah yang benar ‘mayat yang dibungkus kulit kuda’?”
Yiqing melotot dan berkata,
“Kakak, kau ini paling suka mencari-cari kesalahan orang. Mengapa di saat-saat
begini kau bicara demikian?”
Linghu Chong berkata, “Kami
orang utara menyebut ‘mayat dalam kulit kuda’. Mengapa kalian orang selatan
agak berbeda menyebutnya?”
Yiqing menjawab dengan
tersenyum, “Kami juga orang utara.”
Sementara itu Biksuni Dingjing
telah menyerahkan obat penawar kepada seorang muridnya dan menyuruhnya
mengobati kawan-kawan yang terluka. Lalu ia mendekati Linghu Chong dan memberi hormat,
“Dingjing, biksuni tua dari Perguruan Henshan tidak berani bertanya marga dan
nama pendekar muda yang mulia.”
Linghu Chong terkesiap
mendengarnya. Diam-diam ia berpikir, “Biksuni Dingjing benar-benar bermata
tajam. Meskipun aku berdandan seperti ini, ia masih dapat mengetahui usiaku
yang masih muda, bahkan tahu kalau aku ini seorang jenderal gadungan.” Maka
dengan cepat ia pun membalas hormat dan menjawab, “Hormatku, Biksuni. Aku
bermarga Wu, bernama Tiande. Aku baru saja diangkat menjadi komandan militer di
Kota Quanzhou. Sekarang juga aku akan ke sana untuk menduduki jabatanku.”
Dingjing merasa orang ini
sengaja menyembunyikan jati diri. Namun karena Linghu Chong menjawab dengan
sikap sopan dan penuh hormat, ia pun tidak ingin bertanya lebih lanjut. Maka,
biksuni tua itu lantas berkata, “Hari ini Perguruan Henshan telah dihadang
masalah besar, namun semua dapat diselesaikan berkat pertolongan Jenderal.
Entah bagaimana cara kami kelak bisa membalas budi Jenderal yang sedemikian
besar ini? Ilmu silat Jenderal sangat tinggi sukar diukur. Meskipun biksuni tua
ini tidak dapat menerka asal-usul perguruanmu, tapi aku benar-benar sangat
kagum.”
Linghu Chong bergelak tawa dan
berkata, “Biksuni yang baik terlalu memuji. Tapi sesungguhnya ilmu silatku
memang sangat lihai. Di atas memakai Bunga Es Menutupi Kepala, di bawah memakai
Akar Pohon Tua, dan di tengah memakai Harimau Hitam Mencuri Hati … aih, ya!
Sambil berbicara demikian, tangan dan kakinya memukul dan menendang, kemudian
mulutnya meringis kesakitan seolah-olah terkilir gara-gara gerakan pamer itu.
Sekilas ia memandang ke arah Yilin, dan biksuni muda belia itu nampak terkejut.
Ia pun berpikir, “Adik Yilin sungguh berhati lembut. Kalau saja ia tahu ini
aku, entah bagaimana perasaannya?”
Biksuni Dingjing jelas
mengetahui kalau itu semua hanya berpura-pura. Ia pun tersenyum dan berkata,
“Jenderal seorang terhormat yang tidak mau mengungkapkan jati diri, maka
biksuni tua ini hanya bisa membakar dupa siang malam dan berdoa supaya Jenderal
selalu sehat dan mendapat peruntungan, serta semoga semua cita-cita Jenderal
dapat terkabul.”
Linghu Chong menjawab, “Terima
kasih banyak, terima kasih banyak. Tolong kau berdoa kepada Dewi Guanyin supaya
memberkati aku lekas naik pangkat dan kaya raya, setiap judi pasti menang,
istri muda bertambah sepuluh lagi. Hahahaha! Aku juga berharap semoga Biksuni
dan para murid lekas sampai di tempat tujuan, nasib buruk menjadi baik, dan
semua urusan berjalan lancar. Hahahaha! Hahahaha!” Sambil bergelak tawa ia
lantas melangkah pergi dengan sikap angkuh. Meskipun demikian, ia sudah
terbiasa menjadi anggota Serikat Pedang Lima Gunung sehingga tidak berani
bersikap kurang sopan kepada seorang sesepuh Perguruan Henshan.
Melihat Linghu Chong berjalan
terhuyung-huyung menuju selatan, makin lama makin jauh, murid-murid Perguruan
Henshan lantas mengelilingi Biksuni Dingjing. Mereka pun bertanya-tanya dengan
ribut, “Bibi Guru, dari mana asal orang itu?”
“Guru, dia itu benar-benar
sinting atau pura-pura saja?”
“Dia itu benar-benar berilmu
tinggi ataukah hanya beruntung secara kebetulan bisa mengalahkan musuh?”
“Dia itu apakah benar-benar
jenderal? Usianya kelihatan belum tua?”
Dingjing hanya menghela napas
tanpa menjawab. Ia berpaling memandangi murid-murid yang terluka oleh senjata
rahasia musuh. Ternyata keadaan mereka sudah lebih baik setelah dibubuhi obat
penawar dari Sekte Iblis tadi. Darah mereka tidak lagi kehitam-hitaman, denyut
nadi mereka juga terasa lebih kuat. Untuk penyembuhan selanjutnya, pihak
Perguruan Henshan sendiri juga memiliki obat luka yang sangat manjur. Maka, ia
lantas membuka totokan kelima anggota Sekte Iblis yang tertangkap, kemudian
menyuruh mereka pergi.
“Mari kita beristirahat di
bawah pohon itu!” kata Dingjing kepada para murid setelah kelima tawanan sudah
pergi cukup jauh. Mereka lalu beristirahat di bawah pohon tersebut, sedangkan
Dingjing sendiri duduk di atas batu besar dan merenungkan kejadian tadi. “Saat
orang itu menerobos masuk ke dalam kepungan musuh, si tua pemimpin Sekte Iblis
berusaha menyerangnya, tapi dalam sekejap ia justru menotok roboh lima orang
anggota musuh. Jurus yang digunakannya jelas bukan ilmu menotok, serta
gerakannya sama sekali tidak memperlihatkan dari perguruan mana ia berasal. Di
dunia persilatan zaman ini ternyata ada jago muda selihai itu. Entah ia murid
orang sakti dari mana? Sungguh Perguruan Henshan sangat bersyukur, karena jago
sehebat ini ternyata bukan lawan, tetapi kawan.”
Untuk beberapa saat Biksuni
Dingjing menggumam sendiri, kemudian ia menyuruh seorang murid menyiapkan kuas
dan tinta, serta sehelai kain sutra tipis. Setelah menulis surat pada kain
tersebut, Dingjing pun berkata, “Yizhi, ambilkan merpati!”
“Baik, Guru,” jawab Yizhi yang
merupakan murid Dingjing sendiri. Ia kemudian mengeluarkan seekor merpati putih
dari sangkar bambu yang digendongnya.
Dingjing melipat kain sutra
tipis itu menjadi satu gulungan kecil, lalu memasukkannya ke dalam sebuah
tabung bambu yang amat kecil pula. Tabung kecil itu lalu ditutup dan disegel,
kemudian diikat pada kaki kiri merpati menggunakan kawat tipis. Dalam hati ia
berdoa semoga merpati itu sampai di tempat tujuan dengan selamat, lalu
melepaskan burung itu ke udara. Merpati tersebut mengepakkan sayapnya dan
terbang tinggi, makin lama makin jauh, hingga akhirnya hanya terlihat seperti
titik kecil di angkasa.
Dari menulis surat sampai
melepaskan merpati, setiap gerakan Biksuni Dingjing terlihat sangat lamban,
sungguh berbeda dengan ketangkasannya yang lincah dan ganas saat melabrak musuh
tadi. Setelah melepaskan merpati, ia pun menengadah mengikuti terbangnya burung
tersebut sampai menghilang di balik awan. Selama itu pula para murid tiada
seorang pun yang berani bersuara. Mereka sadar dalam pertempuran tadi, meskipun
mendapat bantuan “Sang Jenderal” yang sinting dan lucu sehingga suasana menjadi
menyenangkan, tetap saja peristiwa tadi sungguh berbahaya, bagaikan lolos dari
lubang jarum.
Setelah agak lama termenung
menatap langit, Dingjing kemudian berpaling dan melambaikan tangan ke arah
seorang gadis cilik berusia sekitar lima belas atau enam belas tahun. Gadis
cilik itu bangkit dan mendekat kepadanya sambil menyapa, “Guru!”
Perlahan-lahan Dingjing
membelai rambut anak gadis itu dan bertanya, “Juan’er, tadi kau takut atau
tidak?”
Gadis cilik itu
mengangguk-angguk dan menjawab, “Takut. Untung jenderal itu sangat gagah berani
sehingga kawanan penjahat tadi dapat dipukul mundur.”
Dingjing tersenyum dan
berkata, “Jenderal itu bukannya gagah berani, tapi ilmu silatnya memang sangat
tinggi.”
Gadis cilik itu menegas,
“Guru, apa benar ilmu silatnya sangat tinggi? Tadi kulihat serangannya kacau
balau, tingkahnya juga ceroboh. Bahkan, dahinya sampai terkena gagang golok
sendiri. Goloknya juga berkarat sehingga tidak bisa dilolos keluar dari
sarung.”
Gadis cilik itu bernama Qin Juan,
murid Biksuni Dingjing yang paling kecil. Sifatnya cerdik dan banyak akal,
sehingga sangat disayang oleh Sang Guru. Murid-murid Perguruan Henshan yang
enam puluh persen adalah kaum biksuni, sedangkan empat puluh persen adalah kaum
awam. Dari usia mereka ada yang wanita setengah baya, bahkan ada pula
nenek-nenek lanjut usia. Qin Juan sendiri adalah murid yang paling muda di
dalam Perguruan Henshan.
Yihe menukas, “Kau bilang
serangannya kacau balau? Menurutku, ia hanya berpura-pura untuk mengelabui
orang dan menyembunyikan asal-usul perguruannya. Itu baru namanya orang pintar.
Guru, apakah kau dapat menerka jenderal itu berasal dari aliran atau perguruan
mana?”
Perlahan-lahan Dingjing
menggeleng, lalu menjawab, “Ilmu silat orang itu hanya bisa dilukiskan dengan
kata-kata ‘sukar diukur’. Selebihnya aku sama sekali tidak tahu.”
Qin Juan bertanya, “Guru tadi
menulis surat kepada Bibi Ketua, benar tidak? Apakah bisa segera sampai?”
Dingjing menjawab, “Burung
merpati itu akan terbang menuju Biara Baiyi di Suzhou untuk diganti merpati
yang lain. Dari Biara Baiyi, burung merpati selanjutnya akan terbang menuju
Biara Miaoxiang di Jinan untuk diganti lagi. Kemudian, merpati penggantinya
akan terbang menuju Biara Qingjing di Laohekou untuk ditukar lagi. Jadi, berturut-turut
sambung-menyambung sebanyak empat merpati, akhirnya tentu akan sampai di Gunung
Henshan.”
Yihe berkata, “Syukurlah kita
tidak kehilangan seorang pun. Beberapa kakak dan adik yang terluka oleh senjata
rahasia dalam satu-dua hari lagi juga akan sembuh. Sedangkan yang terkena
lemparan batu dan terluka oleh senjata juga tidak terlalu parah.”
Biksuni Dingjing hanya
menengadah dan termangu-mangu, seolah tidak mendengar ucapan itu. Ia berpikir,
“Perjalanan kami menuju selatan kali ini sebenarnya sangat dirahasiakan. Siang
tidur, malam berjalan, bagaimana mungkin orang-orang Sekte Iblis itu bisa
mengetahui rencana kami dan melakukan penyergapan di tempat berbahaya ini?” Ia
kemudian berkata kepada para murid, “Musuh sudah pergi jauh, kurasa untuk sementara
mereka tidak akan kembali lagi. Kita semua sudah sangat letih, sehingga lebih
baik kita makan bekal saja di sini, kemudian tidur di bawah pohon itu.”
Para murid serentak mengiakan.
Beberapa di antaranya segera menyalakan api untuk merebus air dan menyeduh teh.
Semua orang tertidur dan
beristirahat selama beberapa jam, lalu bangun untuk makan siang. Melihat raut
muka para murid yang terluka tampak sangat letih, Biksuni Dingjing pun berkata,
“Jejak kita sudah diketahui musuh. Setelah ini, kita tidak perlu lagi berjalan
sembunyi-sembunyi di malam hari. Kawan-kawan yang terluka juga butuh istirahat.
Nanti malam kita menginap di Nianbapu.”
Begitulah, mereka lantas
melanjutkan perjalanan menuruni bukit. Beberapa jam kemudian sampailah
rombongan itu di Nianbapu, sebuah kota perbatasan antara daerah Zhejiang dan
Fujian. Setiap orang yang berjalan dari Pegunungan Xianxia pasti melewati kota
ini. Setibanya di sana hari belumlah gelap, namun anehnya tiada seoraang pun
yang terlihat.
Yihe bertanya dengan heran, “Adat
kebiasaan di Fujian sungguh aneh. Mengapa masih sore penduduk di sini sudah
tidur?”
Biksuni Dingjing berkata,
“Coba kita cari suatu penginapan untuk bermalam.”
Perguruan Henshan mempunyai
hubungan baik dengan berbagai biara kaum wanita Buddha di sejumlah daerah.
Namun di Nianbapu tidak terdapat biara semacam itu sehingga mereka terpaksa
harus mencari penginapan untuk bermalam. Di sisi lain, masyarakat awam banyak
yang menghindari kaum biksuni karena menganggap mereka sebagai pembawa sial,
juga karena mereka suka mencari perkara demi hal-hal sepele. Untungnya kaum
biksuni Henshan sudah terbiasa dan tidak mempermasalahkannya.
Nianbapu bukanlah kota besar,
namun juga tidak bisa disebut kecil. Di dalamnya terdapat dua sampai tiga ratus
rumah dan toko, namun suasananya sunyi senyap seperti kota mati. Selayang
pandang mereka melihat semua pintu rumah dan toko telah tertutup rapat. Meski
hari belum gelap, tapi suasana sudah seperti tengah malam.
Setelah rombongan berbelok di
tikungan jalan, terlihat sehelai spanduk yang bertuliskan “Penginapan Xianju”
dengan huruf-huruf besar. Namun demikian, pintu penginapan itu juga terkunci
rapat, dan keadaan di dalamnya sunyi senyap tiada suara seorang pun.
Seorang murid perempuan
bernama Zheng E segera maju mengetuk pintu penginapan itu. Zheng E adalah murid
dari kalangan awam, dengan raut muka bulat telur yang selalu tersenyum manis.
Ia pintar bicara dan pandai menjawab, sehingga sangat disukai kawan-kawannya.
Di sepanjang perjalanan, ia selalu menjadi juru bicara rombongan jika harus
berurusan dengan orang luar, karena jika yang maju dari kaum biksuni
dikhawatirkan bisa terjadi penolakan.
Zheng E mengetuk pintu
beberapa kali, berhenti sejenak, lalu kembali mengetuk beberapa kali, tapi
sampai lama sekali masih belum juga ada orang menjawab atau membukakan pintu.
Ia lantas berseru, “Paman pengurus, mohon bukakan pintu!” Suaranya terdengar
nyaring dan jelas. Sebagai seorang pesilat, suaranya terdengar sampai jauh,
meski melewati beberapa ruangan juga tetap bisa didengar orang. Namun anehnya,
tetap saja tiada seorang pun dalam penginapan itu yang menjawab. Keadaan ini
benar-benar di luar dugaan.
Yihe melangkah maju dan
menempelkan telinga pada daun pintu, tapi tiada suara apa pun yang terdengar
dari dalam. Papan pintu juga terlihat bersih dan rapi, jelas tidak seperti
usaha yang sudah lama tutup. Ia pun berpaling kepada Dingjing dan berkata,
“Guru, di dalam memang tidak ada orang. Bagaimana kalau kita lihat-lihat lagi
di tempat lain? Penginapan di kota ini tentunya ada lagi yang lainnya.”
Setelah melewati puluhan
rumah, mereka kembali menemukan sebuah penginapan bernama Penginapan Nan’an.
Kembali Zheng E maju dan mengetuk pintu seperti tadi, namun keadaan tetap sama
tiada jawaban seorang pun.
“Kakak Yihe, marilah kita periksa
ke dalam,” ajak Zheng E.
“Baik!” jawab Yihe mengiakan.
Bersama mereka lantas
melompati pagar tembok dan masuk ke dalam. Zheng E berseru, “Adakah orang di
dalam?”
Karena tetap tiada jawaban
apa-apa, mereka lantas menghunus pedang dan masuk ke aula penginapan, lalu
memeriksa ke ruangan dalam, dapur, istal, dan sekelilingnya. Ternyata memang
benar-benar tiada seorang pun di sana. Anehnya, di atas meja kursi tidak
terdapat lapisan debu, bahkan poci teh di atas meja kamar juga terasa masih
hangat.
Zheng E membuka pintu sehingga
Biksuni Dingjing dan rombongan bisa masuk ke dalam, lalu melaporkan apa yang
dilihatnya. Semua orang hanya bisa berdecak keheranan.
Dingjing lalu memberi
perintah, “Kalian buatlah kelompok-kelompok tujuh orang untuk berpencar ke
seluruh penjuru kota, memeriksa keadaan dan mencari tahu apa yang terjadi.
Tujuh orang tidak boleh terpisah. Begitu menemukan jejak musuh segera tiuplah
peluit untuk memberi tahu yang lain.”
Para murid mengiakan, kemudian
berjalan ke luar dengan cepat bersama kelompok masing-masing. Dalam sekejap
saja di aula penginapan itu hanya tinggal Dingjing seorang diri. Semula masih
terdengar suara langkah kaki para murid, sampai akhirnya suasana menjadi sunyi
senyap dan membuat bulu roma berdiri. Di dalam kota yang berisi ratusan rumah
ternyata tiada suara manusia, bahkan kokok ayam atau lolongan anjing juga tidak
terdengar. Benar-benar aneh.
Selang sejenak, Dingjing
tiba-tiba merasa khawatir, “Jangan-jangan pihak Sekte Iblis memasang jebakan
mematikan? Para murid sebagian besar belum berpengalaman di dunia persilatan.
Aku khawatir mereka bisa masuk perangkap musuh.”
Ia kemudian berjalan keluar.
Terlihat olehnya bayangan orang berkelebatan di sebelah timur laut. Di sebelah
barat juga ada beberapa bayangan melompat masuk ke dalam toko dan rumah. Namun
mereka semua adalah murid-murid Perguruan Henshan, sehingga membuat hati
Dingjing agak tenang. Tidak lama kemudian para murid telah kembali
susul-menyusul dan melaporkan tidak menemukan seorang pun di seluruh penjuru
kota.
Yihe berkata, “Jangankan
manusia, hewan juga tidak ada seekor pun.”
Yiqing menyambung, “Sepertinya
penduduk kota ini belum lama meninggalkan rumah. Banyak tanda-tanda yang
menunjukkan mereka baru saja berangkat dengan tergesa-gesa. Di beberapa rumah
kami temukan peti yang masih terbuka, sedangkan barang-barang berharga di
dalamnya sudah dibawa pergi.”
Dingjing manggut-manggut,
kemudian bertanya, “Bagaimana pendapat kalian?”
Yihe menjawab, “Sepertinya ini
perbuatan Sekte Iblis. Mereka telah mengusir penduduk supaya kota menjadi
kosong, sehingga mereka bisa melakukan penyerangan besar-besaran terhadap kita
dalam waktu dekat.”
“Benar!” sahut Dingjing. “Kali
ini kaum iblis ternyata ingin bertempur dengan kita secara terang-terangan.
Bagus sekali. Kalian takut atau tidak?”
“Menumpas kaum iblis adalah
tugas suci pengikut Sang Buddha,” jawab para murid serentak.
Dingjing berkata pula,
“Baiklah, kita bermalam di penginapan ini. Lebih dulu kita perlu menanak nasi
dan makan kenyang. Tapi sebelumnya periksa dulu apakah air dan bahan makanan
mengandung racun atau tidak.”
Begitulah, murid-murid
Perguruan Henshan lantas sibuk menyiapkan makanan. Biasanya di waktu makan para
murid memang dilarang bicara, lebih-lebih dalam keadaan mencekam seperti ini.
Mereka saling memasang telinga untuk mendengarkan kalau-kalau ada sesuatu hal
yang mencurigakan di luar sana. Setelah kelompok pertama selesai makan, mereka
segera keluar untuk berjaga menggantikan kelompok yang lain untuk mendapat
giliran makan, dan begitulah seterusnya.
Tiba-tiba Yiqing mendapat
akal. Ia berkata, “Guru, bagaimana kalau kita pergi menyalakan pelita di
rumah-rumah penduduk agar musuh tidak tahu di mana kita berada?”
“Siasat membingungkan musuh
ini sangat bagus,” jawab Dingjing. “Baiklah, kalian bertujuh bisa pergi
sekarang untuk menyalakan pelita.”
Yiqing dan kelompoknya segera
berangkat. Sewaktu Dingjing memandang keluar, dilihatnya pada rumah-rumah
penduduk di sebelah barat jalan satu per satu mulai memancarkan cahaya pelita.
Tidak lama kemudian rumah-rumah di sebelah timur jalan juga mulai memancarkan
cahaya pelita. Hanya saja, keadaan masih tetap sunyi senyap.
Dingjing menengadah ke langit.
Tampak bulan sabit memancarkan sinarnya yang remang redup. Dalam hati ia pun
berdoa, “Dewi Guanyin, lindungilah perjalanan kami supaya bisa kembali ke
Gunung Henshan dengan selamat. Apabila kami dapat pulang, sejak itu Dingjing
akan menyalakan pelita dan berdoa kepada Sang Buddha saja dan tidak akan
menghunus pedang lagi.”
Bertahun-tahun silam Biksuni
Dingjing pernah malang melintang di dunia persilatan. Namun menurutnya,
pertempuran di Pegunungan Xianxia kemarin malam benar-benar sangat berbahaya.
Bila membayangkan kejadian itu membuat hatinya langsung merasa ngeri. Jika
pergi seorang diri, biarpun keadaan lebih buruk sepuluh kali juga tidak akan
membuat Dingjing gentar. Namun sekarang ia memimpin puluhan murid Perguruan
Henshan, mau tidak mau harus memikirkan keselamatan mereka. Diam-diam ia
berdoa, “Dewi Guanyin yang welas asih, tolonglah kami dalam menghadapi
kesulitan ini. Jika Perguruan Henshan harus tertimpa musibah, biarlah Dingjing
sendiri yang menanggungnya, asalkan yang lain bisa selamat pulang ke Gunung
Henshan.”
Pada saat itulah tiba-tiba
dari arah timur laut berkumandang suara jeritan seorang perempuan, “Tolong,
tolooong!”
Di tengah malam sunyi senyap,
tiba-tiba terdengar suara jeritan melengking yang makin lama makin keras
membuat suasana bertambah mengerikan. Dingjing terkesiap. Suara itu jelas bukan
suara murid Perguruan Henshan. Ia berusaha menajamkan penglihatan untuk
mengawasi arah datangnya suara itu, tapi tidak tampak terjadi sesuatu. Sejenak
kemudian terlihat Yiqing dan keenam kawannya berlari ke sana, tentunya untuk
menyelidiki apa yang sedang terjadi. Namun sampai lama kelompok itu tidak juga
muncul kembali.
Yihe berkata, “Guru, izinkan
kami pergi melihat ke sana.”
Dingjing mengangguk. Segera
Yihe memimpin keenam kawannya berlari ke arah timur laut. Di tengah malam sunyi
pedang yang mereka bawa tampak berkilauan kemudian menghilang dalam kegelapan.
Selang sejenak tiba-tiba
terdengar lagi suara jeritan melengking wanita tadi berkumandang, “Tolong, ada
orang terbunuh, toloong!”
Murid-murid Perguruan Henshan
saling pandang dengan perasaan bingung karena tidak tahu apa yang terjadi di
sana. Mereka heran mengapa kelompok-kelompok yang dipimpin Yiqing dan Yihe itu
sampai sekian lama masih juga belum tampak kembali. Jika mereka bertemu musuh
mengapa tidak terdengar suara pertempuran? Mendengar suara wanita yang minta
tolong itu mereka serentak memandang ke arah Biksuni Dingjing untuk menunggu
perintah supaya memberi pertolongan.
Dingjing kemudian berkata, “Yu
Sao, kau pimpinlah enam adikmu ke sana. Apa pun yang kau lihat segera laporkan
kepadaku.”
Yu Sao adalah wanita setengah
baya yang semula menjadi pelayan Biksuni Dingxian di Biara Awan Putih Gunung
Henshan. Karena sikapnya rajin dan juga memiliki keluhuran budi, akhirnya
Dingxian pun menerimanya sebagai murid. Kali ini perjalanannya mengikuti
Biksuni Dingjing menuju Fujian adalah pengalaman pertama berkelana di dunia
persilatan.
Setelah mengiakan sambil
memberi hormat, Yu Sao pun berangkat bersama enam adik seperguruannnya berlari
ke arah timur laut tersebut. Akan tetapi, lagi-lagi kepergian ketujuh perempuan
ini seperti batu dilemparkan ke laut, ditunggu sekian lamanya tetap tidak
kembali.
Biksuni Dingjing bertambah
gelisah. Ia berpikir mungkin musuh telah memasang perangkap sehingga ketiga
kelompok murid itu terpancing ke sana dan akhirnya tertangkap satu per satu. Ia
berusaha mendengarkan dengan seksama, ternyata tidak ada suara apa pun, dan
suara jeritan wanita meminta tolong tadi juga tidak terdengar lagi.
Dingjing kemudian berkata,
“Yizhi, Yizhen, kalian tinggal saja di sini. Rawatlah kakak-adik kalian yang
terluka. Apa pun yang terjadi jangan sekali-kali meninggalkan penginapan agar
tidak terjebak tipu muslihat ‘memancing harimau turun gunung’.”
Yizhi dan Yizhen mengiakan
sambil memberi hormat.
Dingjing kemudian berkata
kepada tiga murid yang berusia muda, “Zheng E, Yilin, Qin Juan, kalian bertiga
ikut aku.” Habis berkata ia langsung berlari ke arah timur laut sambil
menghunus pedang, diikuti ketiga murid tersebut.
Semakin dekat semakin terlihat
oleh mereka sederetan rumah yang gelap gulita tanpa cahaya pelita, juga tidak
terdengar suara apa-apa. Dengan suara bengis Dingjing membentak, “Kalian para
siluman Sekte Iblis, kalau berani cepat keluar untuk bertempur! Orang gagah
macam apa yang main sembunyi-sembunyi seperti tikus?”
Sampai sekian lama tidak juga
terdengar jawaban dari dalam rumah. Tanpa pikir lagi Dingjing pun mendepak
pintu rumah di depannya hingga terbuka lebar. Namun keadaan di dalam rumah sama
sekali gelap gulita, entah ada penghuninya atau tidak. Dingjing tidak berani
menerobos masuk begitu saja, hanya berseru, “Yihe, Yiqing, Yu Sao, apakah
kalian mendengar suaraku?”
Namun di tengah malam sunyi
itu hanya suaranya saja yang terdengar berkumandang.
“Kalian bertiga tetap di
belakangku, jangan sampai terpisah,” kata Dingjing sambil menoleh kepada ketiga
murid muda.
Segera ia berjalan mengitari
rumah-rumah itu, tapi tidak tampak adanya sesuatu yang mencurigakan. Ia lalu
melompat ke atas genting sebuah rumah dan memandang ke segala penjuru. Yang
terasa olehnya hanyalah suasana sunyi senyap, tiada angin bertiup, tiada
dedaunan yang bergerak, hanya cahaya rembulan yang jernih terpantul pada
genting rumah. Keadaan seperti ini mirip sekali dengan pengalamannya saat
keluar dari biara di Gunung Henshan pada malam hari. Hanya saja, suasana di
Gunung Henshan aman tenteram penuh kedamaian, sedangkan saat ini sunyi senyap
dalam bayang-bayang kematian. Percuma saja Dingjing memiliki ilmu silat tinggi
namun dibuat mati kutu, karena musuh sama sekali tidak terlihat.
Diam-diam ia menjadi gelisah
dan menyesal di dalam hati. “Sejak dulu aku tahu kalau Sekte Iblis memiliki
banyak tipu muslihat. Seharusnya aku tidak mengirim para murid dalam
kelompok-kelompok terpisah ….”
Mendadak hatinya tergetar.
Dengan cepat ia pun melompat turun, kemudian berlari sekuat tenaga kembali ke
Penginapan Nan’an tadi. Sebelum mencapai pintu depan ia sudah berseru, “Yizhi,
Yizhen, apakah kalian melihat sesuatu?”
Akan tetapi, tidak terdengar
jawaban seorang pun dari dalam penginapan. Dengan cepat ia menerjang ke dalam,
namun penginapan itu sudah kosong. Beberapa muridnya yang terluka dan terbaring
di situ juga sudah menghilang entah ke mana. Dalam keadaan demikian, betapa pun
tenang dan sabarnya Dingjing juga tidak bisa lagi menguasai perasaan. Bayangan
pedangnya yang terpantul oleh cahaya lilin tampak bergoyang-goyang, pertanda
tangannya yang memegang pedang itu sedang gemetaran. Puluhan murid telah
hilang, ke mana mereka? Mengapa itu bisa terjadi? Bagaimana sebaiknya? Dalam
sekejap Dingjing merasa bibirnya kering, lidahnya kelu, dan sekujur tubuh tidak
dapat digerakkan.
Namun perasaan lemas dan
gemetar itu hanya terjadi sekejap saja. Segera ia menarik napas dalam-dalam,
menghimpun tenaga di dalam Dantian, membuat semangatnya bangkit kembali. Dengan
langkah gesit ia pun memeriksa seluruh ruang di penginapan itu, tapi tidak juga
menemukan petunjuk apa-apa. Setelah berusaha menenangkan diri, ia berseru
memanggil, “Zheng E, Qin Juan, Yilin, lekas kemari!”
Namun di tengah malam gelap
itu lagi-lagi yang terdengar hanyalah suaranya sendiri, sedikit pun tidak ada
jawaban dari ketiga murid muda tersebut.
“Celaka!” seru Dingjing
setelah menyadari apa yang terjadi. Buru-buru ia menerjang keluar dan
berteriak, “Zheng E, Qin Juan, Yilin, kalian di mana?”
Sesampainya di depan
penginapan yang terlihat hanyalah cahaya rembulan yang dingin. Ketiga murid
muda yang menyertainya ikut lenyap pula. Menghadapi peristiwa ini, perasaan
cemas Dingjing berubah menjadi murka. Ia lalu melompat ke atap rumah dan
berteriak sekerasnya, “Kalian para siluman Sekte Iblis, kalau berani keluarlah
bertempur mati-matian! Orang gagah macam apa hanya bisa membuat bingung?”
Ia mengulangi teriakannya
berkali-kali, tapi yang terdengar selalu suaranya sendiri. Terus-menerus ia
mencaci maki, namun di dalam kota yang memiliki ratusan rumah itu seolah hanya
tinggal ia seorang diri.
Tiba-tiba terlintas akal di
benaknya. Segera ia berseru lantang, “Wahai para siluman Sekte Iblis,
dengarkanlah! Jika kalian tetap tidak keluar, itu berarti membuktikan Dongfang
Bubai adalah pengecut yang tak tahu malu, tidak berani menyuruh anak buahnya
bertarung terang-terangan. Huh, Dongfang Bubai apa pula? Yang benar adalah
Dongfang Bibai. Hayo, Dongfang Bibai, apa kau berani menghadapi biksuni tua
ini? Huh, karena kau adalah Bibai, sudah pasti tidak berani. Pasti kalah!”
Ia paham segenap anggota Sekte
Iblis sangat menghormati ketua mereka. Dongfang Bubai konon dipuja bagaikan
malaikat dewata. Jika ada yang berani menghinanya, maka para anggota pasti akan
turun tangan. Jika ada anggota yang tidak mati-matian membela nama baik Sang
Ketua, tentu bisa dianggap melakukan dosa besar tanpa ampun.
Benar juga, begitu Dingjing
menyebut nama “Dongfang Bibai” beberapa kali, mendadak dari sebuah rumah telah
membanjir keluar tujuh orang. Tanpa bersuara, mereka serentak melompat ke atap
rumah sehingga Dingjing terkepung di tengah-tengah.
Munculnya musuh-musuh itu
membuat Dingjing merasa senang. Ia berpikir, “Akhirnya kaum siluman Sekte Iblis
akhirnya keluar juga. Meskipun kalian bersatu mengepung diriku dan ingin
mencincangku, tetap saja aku lebih senang daripada dipermainkan seperti tadi.”
Ketujuh orang itu tetap diam
tanpa bersuara sedikit pun. Dingjing pun membentak dengan gusar, “Di mana
murid-muridku? Kalian sembunyikan di mana mereka?”
Namun ketujuh orang itu tetap
bungkam. Kedua orang yang berdiri di sebelah barat berusia lima puluhan. Wajah
mereka tampak kaku tanpa perasaan seperti mayat. Dingjing pun berseru,
“Baiklah, terima seranganku!”
Pedang Dingjing pun menusuk ke
arah dada salah satu orang tua di sisi barat itu. Sang Biksuni paham di tengah
kepungan musuh, sudah tentu serangannya sukar mencapai sasaran. Maka tusukannya
itu hanyalah serangan tipuan. Sampai di tengah jalan ia berusaha menarik
kembali pedangnya.
Tapi orang yang berada di
depannya sungguh lihai. Rupanya ia pun mengetahui serangan tersebut hanyalah
tipuan belaka. Maka, terhadap tusukan Dingjing itu sama sekali ia tidak
berusaha mengelak.
Melihat sasarannya tidak
bergerak, Dingjing membatalkan niatnya untuk menarik kembali serangannya.
Sebaliknya, ia pun mengerahkan tenaga dan menusuk ke depan dengan lebih cepat.
Pada saat itulah dua orang
lawan dari kedua sisi berkelebat pula. Tangan mereka masing-masing berusaha
memukul bahu kanan-kiri Dingjing. Dengan cepat Dingjing bergeser ke samping.
Seperti baling-baling pedangnya berputar balik untuk menebas tubuh lawan
berperawakan tinggi besar yang berdiri di sisi timur.
Dengan gesit orang itu
melangkah mundur, kemudian mengeluarkan senjata untuk menangkis pedang
Dingjing. Senjata yang ia gunakan berupa perisai bundar yang sangat berat.
Namun pedang Dingjing sudah
lebih dulu berputar ke arah lain. Seorang kakek di sebelah kiri menjadi
sasarannya. Ternyata kakek itu tidak gentar terhadap senjata tajam. Dengan
tangan kiri ia berusaha mencengkeram pedang Dingjing. Di bawah sinar rembulan
yang remang-remang, Dingjing dapat melihat orang tua itu memakai sarung tangan
hitam. Dapat diduga sarung tangan tersebut tentunya tidak mempan senjata tajam.
Dalam sekejap saja Dingjing
sudah bergebrak beberapa jurus melawan lima di antara tujuh musuh. Ia sadar
lawan-lawan yang mengepungnya ini semua adalah para pesilat tangguh. Jika satu
lawan satu atau satu lawan dua tentu Dingjing tidak gentar, bahkan yakin masih
bisa menang. Namun sekarang pihak lawan adalah tujuh orang yang maju sekaligus
dan bekerja sama dengan rapat. Setiap ada celah kelemahan pada salah seorang
musuh, tentu kawannya akan berusaha menutupi, sehingga Dingjing sukar melakukan
serangan dan hanya bisa melakukan gerakan bertahan.
Makin lama bertempur, perasaan
Dingjing semakin gelisah. Sambil bertarung ia pun berpikir, “Tokoh-tokoh Sekte
Iblis yang ternama hampir semua sudah aku dengar sepak terjangnya. Senjata dan
ilmu silat mereka juga telah diketahui Serikat Pedang Lima Gunung kami. Tapi
terhadap ketujuh orang ini ternyata aku sama sekali tidak bisa menebak
permainan mereka. Tak disangka, dalam beberapa tahun ini kekuatan Sekte Iblis
semakin maju pesat dan semakin banyak jago sakti papan atas yang bergabung di
dalamnya, serta merahasiakan asal-usul mereka.”
Setelah melewati enam atau
tujuh puluh jurus berikutnya, keadaan Dingjing bertambah payah. Napasnya pun
sudah mulai terengah-engah. Sekilas pandang ia melihat di atas genting sebuah
rumah telah muncul belasan sosok manusia. Jelas orang-orang itu sejak tadi sudah
bersembunyi di sana dan baru sekarang menampakkan diri.
Diam-diam Dingjing mengeluh
dalam hati, “Celaka, melawan tujuh orang saja aku sudah kewalahan, apalagi
sekarang bertambah musuh sebanyak itu. Kali ini nasib Dingjing si biksuni tua
benar-benar di ujung tanduk. Daripada nanti aku tertangkap dan menerima
penghinaan, lebih baik aku akhiri saja hidupku ini. Meski Sang Buddha melarang
bunuh diri, tapi ini adalah bunuh diri di medan perang demi membela kehormatan.
Tubuhku hanyalah kantong kulit yang tidak perlu disesalkan. Hanya saja, puluhan
murid yang kubawa akan ikut menjadi korban. Di alam baka nanti bagaimana aku
punya muka untuk bertemu para leluhur Perguruan Henshan?”
Sesudah mengambil keputusan,
ia pun menyerang dengan ganas sebanyak tiga kali untuk mendesak musuh mundur
dua langkah, kemudian secara cepat ia membalikkan pedang untuk menikam jantung
sendiri.
Ketika ujung pedang sudah
hampir menempel di dada, tiba-tiba terdengar benturan logam yang sangat keras.
Tangan Dingjing tergetar keras, sampai pedangnya pun jatuh ke samping. Terlihat
seorang laki-laki dengan pedang terhunus sudah berdiri di sebelahnya sambil
berseru, “Biksuni Dingjing jangan berpikiran pendek. Kawan-kawan dari Perguruan
Songshan berada di sini!”
Rupanya benturan tadi terjadi
akibat orang itu secara tiba-tiba memukul jatuh pedang Dingjing menggunakan
pedangnya.
Maka kemudian terdengarlah
suara senjata beradu dengan sengit. Belasan orang yang muncul di atas genting
tadi telah melompat serentak dan melabrak ketujuh jago Sekte Iblis tersebut.
Setelah lolos dari kematian, semangat Dingjing menjadi berkobar. Ia segera
memungut pedangnya dan kembali bertempur. Kali ini pihak Sekte Iblis yang
berada dalam keadaan terdesak, karena harus berhadapan satu melawan dua. Tidak
lama kemudian, ketujuh orang itu serentak bersuit dan mundur ke arah selatan.
Sambil mengacungkan pedangnya,
Dingjing melompat ke atap untuk mengejar mereka. Namun dari tempat gelap di
bawah teras sebuah rumah seketika muncul senjata rahasia berhamburan ke
arahnya. Teringat akan kejadian di Pegunungan Xianxia kemarin, ia pun
memusatkan perhatian dan dengan cepat memutar kencang pedangnya untuk menangkis
senjata-senjata rahasia itu. Di bawah sinar rembulan pedangnya tampak
menari-nari diikuti suara logam berdentingan, sampai akhirnya tidak terdengar
lagi. Dingjing telah memukul jatuh semua senjata rahasia satu per satu, tetapi
ketujuh musuh yang dikejarnya sudah menghilang dalam kegelapan.
Sesaat kemudian terdengar
suara seseorang memuji di belakangnya, “Jurus Pedang Selaksa Bunga milik
Perguruan Henshan benar-benar hebat. Hari ini mata kami benar-benar terbuka.”
Dingjing memasukkan pedang ke
sarungnya, sambil perlahan-lahan membalik tubuh. Dalam sekejap raut wajahnya
berubah dari seorang pesilat ganas kembali menjadi seorang biksuni sepuh yang
memancarkan rasa welas asih. Dengan menguncupkan tangan ia memberi hormat
sambil berkata, “Terima kasih banyak atas pertolongan Saudara Zhong.”
Ia mengenali laki-laki
setengah baya yang berdiri di depannya itu yang tadi telah menggagalkan niatnya
untuk bunuh diri. Orang itu bernama Zhong Zhen yang tidak lain adalah adik
seperguruan Ketua Zuo dari Perguruan Songshan. Julukannya adalah Si Pedang
Berlekuk Sembilan, bukan karena memiliki senjata yang yang berlekuk-lekuk,
tetapi karena permainan pedangnya berubah-ubah sulit ditebak orang. Tempo hari
Dingjing pernah berjumpa dengannya dalam acara pertemuan besar di Puncak
Riguan, Pegunungan Songshan. Di antara tokoh-tokoh Perguruan Songshan lainnya,
hanya beberapa saja yang dikenali oleh Sang Biksuni.
Zhong Zhen lantas membalas
penghormatan, lalu menjawab sambil tersenyum kecil, “Seorang diri Biksuni
Dingjing bertempur melawan ‘Tujuh Duta Bintang’ dari Sekte Iblis dengan ilmu
pedangmu yang sangat hebat. Sungguh kami merasa kagum.”
Baru sekarang Dingjing
mengetahui bahwa ketujuh lawannya tadi dikenal sebagai “Tujuh Duta Bintang”
segala. Agar tidak terlihat kurang wawasan, ia pun tidak bertanya lebih jauh.
Yang penting baginya sekarang sudah mengetahui julukan oraang-orang itu
sehingga di kemudian hari urusan bisa menjadi lebih mudah.
Satu per satu orang-orang
Perguruan Songshan lainnya memberi hormat. Dua di antara belasan orang itu
adalah adik seperguruan Zhong Zhen, sedangkan sisanya adalah murid-murid dari
angkatan yang lebih muda.
Biksuni Dingjing membalas
penghormatan mereka, kemudian berkata, “Sungguh memalukan! Perjalanan Perguruan
Henshan kami ke Fujian kali ini bersama puluhan murid, tapi secara mendadak
mereka lenyap semua di kota ini. Saudara Zhong, kapan kalian sampai di Nianbapu
sini? Apakah kalian menemukan tanda-tanda yang dapat kugunakan sebagai
petunjuk?”
Diam-diam ia merasa kesal
karena yakin orang-orang Perguruan Songshan ini sejak tadi sudah bersembunyi di
situ, tapi sengaja menunggu dirinya terdesak. Baru setelah ia mencoba bunuh
diri, mereka pun muncul membantu untuk memperlihatkan kebesaran perguruan
mereka. Hal ini sebenarnya sangat menyebalkan. Hanya saja, puluhan muridnya
mendadak lenyap entah ke mana. Persoalan ini sungguh gawat dan terpaksa ia
mencari tahu kepada orang-orang Perguruan Songshan tersebut. Kalau saja urusan
ini hanya menyangkut dirinya sendiri, meskipun mati juga ia tidak sudi memohon
kepada mereka. Bertanya seperti tadi kepada Zhong Zhen saja sudah membuatnya
merasa tidak nyaman.
Zhong Zhen pun menjawab dengan
tersenyum, “Kawanan siluman Sekte Iblis memang memiliki banyak tipu muslihat.
Kedatangan mereka kali ini jelas sudah direncanakan dengan matang. Mereka tahu
betapa lihai ilmu silat Biksuni. Maka, mereka pun sengaja memasang perangkap
untuk menjebak para murid. Tapi Biksuni tidak perlu khawatir. Betapa pun kurang
ajarnya Sekte Iblis rasanya tidak berani mencelakai jiwa para murid Perguruan
Henshan yang mulia. Sekarang, marilah kita turun ke bawah untuk merundingkan
cara-cara yang baik demi menolong mereka.” Sambil berbicara ia menjulurkan
tangan kanannya untuk mempersilakan turun ke tanah.
Dingjing mengangguk-angguk,
lantas mendahului melompat ke bawah. Menyusul kemudian Zhong Zhen dan
rombongannya juga melompat turun.
Zhong Zhen mendahului berjalan
ke arah barat, sambil berkata, “Marilah ikut denganku, Biksuni.”
Setelah berjalan ratusan
meter, mereka pun sampai di Penginapan Xianju. Setibanya di sana, Zhong Zhen
lantas mendorong pintu dan masuk ke dalam, lalu berkata, “Biksuni, marilah kita
berunding di sini saja.”
Kedua adik seperguruan Zhong
Zhen masing-masing bernama Teng Bagong yang berjuluk Si Cambuk Sakti, dan Gao
Gexin yang berjuluk Si Singa Berbulu Terang. Mereka bertiga termasuk dalam
“Tiga Belas Pelindung Songhan”. Ketiganya mengajak Dingjing masuk ke dalam
sebuah ruangan yang cukup luas. Beberapa murid ikut masuk untuk menghidangkan
teh, setelah itu mengundurkan diri. Gao Gexin lantas menutup rapat pintu
ruangan.
Zhong Zhen berkata, “Kami
bertiga sudah lama mengagumi ilmu pedang Biksuni Dingjing, paling hebat di
Perguruan Henshan ….”
“Tidak benar,” tukas Dingjing
sambil menggeleng. “Ilmu pedang Adik Ketua jauh lebih hebat. Bahkan ilmu
pedangku tidak lebih tinggi daripada Adik Dingyi.”
“Ah, Biksuni terlalu rendah
hati,” ujar Zhong Zhen tersenyum. “Masalahnya tadi aku dan kedua adikku ingin
melihat kehebatan ilmu pedang Biksuni sehingga terlambat memberi bantuan. Sama
sekali kami tidak punya maksud jelek. Untuk ini kami minta maaf, mohon supaya
Biksuni tidak menyalahkan kami.”
Melihat ketiga orang itu
bangkit dan memberi hormat, Dingjing pun bangkit pula untuk membalas hormat,
sambil berkata, “Ah, tidak apa-apa.” Sampai di sini rasa kesalnya tadi seketika
berkurang banyak.
Zhong Zhen menunggunya duduk
lebih dulu, kemudian melanjutkan berkata, “Sejak kelima perguruan membentuk
Serikat Pedang Lima Gunung, kita bagaikan pancatunggal dan tidak
membeda-bedakan ini dan itu. Bagaikan pohon yang memiliki lima cabang, susah
dan senang ditanggung bersama. Hanya saja, akhir-akhir ini kita semakin jarang
berjumpa. Banyak urusan penting yang tidak kita kerjakan bersama sehingga
membuat Sekte Iblis semakin ganas dan luas pengaruhnya.”
“Hmm,” jawab Dingjing.
Diam-diam ia berpikir mengapa dalam keadaan seperti ini Zhong Zhen masih saja
bicara basa-basi.
Zhong Zhen melanjutkan
perkataannya, “Ketua Zuo sering mengatakan, ‘Bersatu kita teguh, bercerai kita
runtuh.’ Seandainya Serikat Pedang Lima Gunung kita senantiasa bersatu padu,
betapa pun kuatnya Sekte Iblis tidak akan mampu melawan kita. Bahkan, kebesaran
Perguruan Shaolin dan Wudang yang termasyhur di dunia persilatan pun tidak akan
mampu menandingi kita. Maka, Ketua Zuo memiliki cita-cita ingin mempersatukan
Serikat Pedang Lima Gunung yang berserakan seperti pasir untuk digabung menjadi
sebuah Perguruan Lima Gunung. Jika itu bisa diwujudkan, maka dengan anggota
yang begitu banyak dan bergabung menjadi satu, maka kita akan merajai dunia
persilatan. Bagaimana pendapat Biksuni?”
Dingjing mengerutkan dahi,
kemudian menjawab, “Biksuni tua seperti aku bukanlah siapa-siapa dalam
Perguruan Henshan. Aku selamanya tidak pernah mengurusi hal-hal seperti itu.
Kalau ingin membicarakan urusan penting, sebaiknya Saudara Zhong menemui Adik
Ketua-ku saja. Yang paling penting bagiku sekarang adalah berusaha menyelamatkan
murid-murid perguruan kami yang hilang itu. Urusan lainnya boleh dibicarakan
lain hari.”
“Biksuni jangan khawatir,”
ujar Zhong Zhen. “Karena Perguruan Songshan sudah memergoki masalah ini, maka
urusan Perguruan Henshan menjadi urusan perguruan kami pula. Bagaimana pun kami
pasti tidak akan membiarkan adik-adik dari Perguruan Henshan kalian yang mulia
menderita. Semuanya akan baik-baik saja.”
“Terima kasih banyak,” kata
Dingjing. “Tapi kalau boleh tahu, bagaimana Saudara Zhong begitu yakin semuanya
akan baik-baik saja? Atas dasar apa Saudara Zhong bisa berkata demikian?”
Zhong Zhen menjawab, “Biksuni
sendiri berada di sini. Seorang jago terkemuka dari Perguruan Henshan mengapa
harus takut kepada beberapa siluman Sekte Iblis? Lagi pula adik-adik seperguruanku
dan beberapa murid kami juga akan membantu mencari mereka dengan sekuat tenaga.
Jika masih tidak bisa mengalahkan beberapa siluman renddahan Sekte Iblis, hehe,
benar-benar keterlaluan, bukan?”
Mendengar pembicaraan yang
berbelit-belit itu Dingjing semakin kesal dan bertambah gelisah. Segera ia pun
bangkit dan berseru, “Karena Saudara Zhong sudah berkata demikian, bagus
sekali! Kalau begitu mari kita berangkat sekarang!”
“Biksuni hendak berangkat ke
mana?” tanya Zhong Zhen.
“Pergi menolong mereka!” sahut
Dingjing.
“Menolong mereka? Menolong ke
mana?” tanya Zhong Zhen pula.
Pertanyaan ini membuat
Dingjing tak bisa menjawab. Setelah tertegun sejenak barulah ia berkata,
“Murid-murid kami belum lama hilang, tentu mereka masih berada di sekitar sini.
Semakin lama ditunda tentu akan semakin sulit menemukan mereka.”
Zhong Zhen berkata, “Setahu
adik, tidak jauh dari Nianbapu sini terdapat sarang persembunyian Sekte Iblis.
Kemungkinan besar adik-adik dari Perguruan Henshan dibawa ke sana. Menurut pendapat
adik ….”
“Di mana letak sarang mereka
itu? Marilah sekarang juga kita berangkat ke sana!” tukas Dingjing cepat.
Zhong Zhen menjawab, “Pihak
Sekte Iblis jelas sudah mempersiapkan diri. Mereka bertindak dengan rencana
yang sudah teratur. Jika kita pergi begitu saja, kemungkinan besar kita
langsung masuk perangkap sebelum sempat menolong keluar orang-orang kita. Maka
menurut pendapat adik, sebaiknya kita berunding dulu baru kemudian mulai
bertindak.”
Terpaksa Dingjing duduk
kembali dan berkata, “Baiklah, bagaimana pendapat Saudara Zhong?”
“Kedatangan adik ke Fujian ini
adalah atas perintah Ketua Zuo untuk merundingkan suatu urusan penting dengan
Biksuni,” kata Zhong Zhen perlahan-lahan. “Urusan ini menyangkut masa depan
dunia persilatan Daratan Tengah dan menyangkut jaya atau runtuhnya Serikat
Pedang Lima Gunung kita. Maka, urusan ini bukanlah perkara remeh. Jika urusan
penting ini sudah ditetapkan, maka soal menolong orang segala boleh dikata
semudah membalikkan telapak tangan.”
“Urusan penting apa yang kau
maksudkan?” sahut Dingjing menegas.
“Yaitu seperti apa yang adik
katakan tadi, tentang peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu itu,”
jawab Zhong Zhen. Ia terus-menerus menyebut diri sendiri “adik” seolah-olah
kelima perguruan sudah dilebur dan ia menjadi adik seperguruan Dingjing.
Serentak Dingjing bangkit dari
tempat duduknya dengan muka merah padam, dan berkata, “Kau ini … kau ini ….”
Zhong Zhen tersenyum dan
menjawab, “Harap Biksuni jangan salah paham dan menganggap adik mengambil
kesempatan dalam kesempitan untuk memaksa Biksuni menyetujui urusan ini.”
“Kau sendiri yang mengatakan,
bukan aku,” sahut Dingjing dengan gusar. “Kalau sekarang kau tidak sedang
mengambil kesempatan dalam kesempitan, lantas apa namanya?”
Zhong Zhen berkata, “Perguruan
Henshan kalian yang mulia bukanlah Perguruan Songshan kami, begitu pula
sebaliknya. Urusan perguruan kalian yang mulia sudah tentu menjadi perhatian
kami, tapi bagaimanapun juga tetap saja kami harus adu senjata dan
mempertaruhkan nyawa. Sekalipun adik bersedia membantu Biksuni, tapi entah
bagaimana dengan para adik dan keponakan perguruan kami? Apakah mereka juga
sudi berkorban demi perguruanmu? Namun kalau kedua perguruan sudah dilebur
menjadi satu, maka urusan ini menjadi urusan perguruan kita bersama. Dengan
demikian kami tidak bisa mengelak dan harus ikut memikul tanggung jawab ini
sepenuh tenaga.”
Dingjing menyahut, “Jelasnya,
kalau Perguruan Henshan kami tidak mau bergabung dengan perguruanmu yang mulia,
maka Perguruan Songshan kalian akan berpangku tangan terhadap hilangnya
murid-murid kami yang diculik Sekte Iblis, begitu?”
“Tidak bisa dikatakan
demikian,” kata Zhong Zhen. “Adik hanya menjalankan perintah Ketua Zuo untuk
berunding dengan Biksuni. Mengenai urusan lain, terpaksa adik tidak berani
sembarangan bertindak. Untuk ini harap Biksuni jangan marah.”
Dingjing sangat gusar sehingga
wajahnya terlihat pucat pasi. Dengan nada dingin ia berkata, “Huh, biksuni tua
ini tidak berhak mengambil keputusan mengenai peleburaan perguruan. Sekalipun
aku menyanggupi, percuma juga kalau nanti Adik Ketua kami menolak.”
Zhong Zhen menggeser kursinya
lebih dekat, lalu bicara agak berbisik, “Asalkan Biksuni sudah menyanggupi,
kelak Biksuni Dingxian pasti akan menerima juga. Biasanya, jabatan ketua dari
suatu perguruan dipegang oleh murid tertua. Bicara tentang keluhuran budi, ilmu
silat, juga tentang siapa yang lebih dulu masuk perguruan, seharusnya Biksuni
Dingjing yang menjadi ketua Perguruan Henshan ….”
“Brak”, mendadak Dingjing
menggebrak meja sampai rompal salah satu sudutnya. Ia kemudian menukas dengan
nada bengis, “Apa kau berniat hendak memecah belah kami? Aku sendiri yang
memohon setulus hati kepada mendiang guru kami supaya adikku yang diangkat
menjadi ketua. Jika aku mau menjadi ketua tentu sudah sejak dulu kulakukan.
Tidak perlu menunggu orang luar menghasut seperti ini!”
Zhong Zhen menghela napas lalu
berkata, “Aih, apa yang dikatakan Ketua Zuo memang tidak salah.”
“Apa yang Beliau katakan?”
hardik Dingjing.
Zhong Zhen menjawab, “Sebelum
berangkat ke selatan sini, Ketua Zuo sudah berkata kepadaku bahwa perangai
Biksuni Dingjing dari Perguruan Henshan sangat baik, berbudi luhur, ilmu
silatnya juga sangat tinggi, namun sayang kurang luas pandangannya. Aku lalu
bertanya mengapa demikian? Beliau menjawab cukup mengenal pribadi Biksuni yang
suka kepada ketenteraman, tidak memedulikan urusan duniawi, tidak suka mencari
nama, juga tidak suka ikut campur urusan sehari-hari. Jika berbicara soal
peleburan kelima perguruan dengan Biksuni tentu usahaku akan sia-sia belaka.
Namun karena masalah ini sangat penting, walaupun tahu tidak akan berhasil,
tetap akan kusampaikan juga kepada Biksuni. Jika Biksuni hanya memikirkan
keselamatan diri sendiri dan tetap tidak menghiraukan hidup-mati ribuan orang
aliran lurus kita, maka apabila dunia persilatan tertimpa bencana besar,
terpaksa kita anggap saja ini sudah suratan takdir. Kami tidak bisa berbuat
apa-apa lagi.”
Dingjing kembali bangkit dan
berkata sinis, “Percuma saja kau memutar lidah dengan bermacam-macam kata-kata
manis. Perbuatan Perguruan Songshan kalian bukan hanya mengambil kesempatan di
dalam kesempitan, tapi juga menimpakan batu kepada orang yang tercebur ke dalam
sumur.”
“Perkataan Biksuni tidak
benar,” bantah Zhong Zhen. “Kalau Biksuni bersedia menerima ajakan kami,
kemudian ikut mengemban tugas berat ini menyampaikan kepada Perguruan Taishan,
Hengshan, dan Huashan sehingga bergabung menjadi satu, maka Perguruan Songshan
kami akan sangat berterima kasih, dan mendukung Biksuni menjadi Ketua Perguruan
Lima Gunung. Dengan demikian Biksuni dapat melihat betapa tulus maksud baik
Ketua Zuo yang tidak memiliki ambisi pribadi ….”
“Sudahlah, tidak perlu kau
teruskan, hanya membuat kotor telingaku saja!” seru Dingjing sambil
menggoyang-goyang kedua tangan. Ia kemudian memberi hormat, lalu memukul daun
pintu hingga terlepas dari bingkainya dan melayang seketika. Secepat kilat ia
melesat keluar meninggalkan Penginapan Xianju tersebut.
Setibanya di luar, Dingjing
merasa mukanya yang panas menjadi segar tertiup angin malam yang semilir. Ia
pun berpikir, “Orang bermarga Zhong itu mengatakan Sekte Iblis mempunyai sarang
persembunyian tidak jauh dari Nianbapu sini. Entah ucapannya itu benar atau
tidak?”
Di tengah malam sunyi ia
berjalan sendiri tanpa tujuan yang jelas sambil termenung-menung. Saat itu
rembulan hampir terbenam sehingga bayang-bayangnya terlihat panjang pada
bebatuan pelapis jalan. Setelah berjalan beberapa puluh meter tiba-tiba ia
menghentikan langkah. “Hanya mengandalkan tenagaku seorang diri bagaimana aku
mampu menolong puluhan murid yang tertawan? Seorang kesatria harus dapat
bertindak sesuai keadaan. Rasanya untuk sementara tidak ada jeleknya aku
menyanggupi permintaan orang bermarga Zhong itu. Nanti kalau para murid sudah
diselamatkan maka aku akan segera bunuh diri untuk menebus kesalahanku. Dengan
demikian Perguruan Songshan tidak memiliki saksi hidup serta bukti
persetujuanku lagi. Seandainya ia menuduhku ingkar janji dan menghancurkan nama
baikku di hadapan semua orang, maka biarlah semua kejelekan ini aku pikul
sendiri.”
Setelah berpikir demikian ia
pun menghela napas panjang, lalu berputar balik dan berjalan perlahan-lahan
menuju ke Penginapan Xianju lagi. Pada saat itulah mendadak di ujung jalan
besar terdengar suara seorang laki-laki sedang berteriaak-teriak, “Nenekmu, ada
jenderal sudah kecapekan ingin bermalam dan minum arak, kenapa kalian tidak
cepat-cepat membuka pintu?”
Apa yang didengarnya itu jelas
suara Wu Tiande, komandan militer yang kemarin muncul di Pegunungan Xianxia.
Seketika Dingjing merasa bagaikan seorang yang hampir mati tenggelam mendadak
menemukan sebilah papan kayu yang terapung-apung sebagai pegangan. Sungguh
senang perasaannya tidak terkatakan.
Orang yang baru datang itu
memang betul Wu Tiande, alias Linghu Chong yang sedang menyamar sebagai
perwira. Di Pegunungan Xianxia kemarin ia telah membantu rombongan Perguruan
Henshan membebaskan diri dari perangkap musuh, membuat hatinya merasa puas. Ia
kemudian berjalan dengan langkah cepat dan mendahului sampai di Nianbapu.
Ketika sampai di kota
tersebut, keadaan masih pagi dan beberapa toko serta rumah makan baru saja
buka. Segera ia memasuki sebuah kedai nasi dan berteriak, “Sediakan arak!”
Melihat tamu yang datang
seorang perwira, sudah tentu si pelayan tidak berani membantah. Segera ia
menuangkan arak, menghidangkan nasi, memotong lauk, dan memberikan pelayanan
dengan penuh hormat dan agak gemetar.
Linghu Chong sendiri minum
sepuas-puasnya sampai agak mabuk. Ia berpikir, “Kali ini Sekte Iblis mengalami
kegagalan, tentu mereka merasa tidak senang dan akan mencari perkara lagi
dengan Perguruan Henshan. Biksuni Dingjing memang pemberani dan berilmu tinggi,
tapi kurang pandai bersiasat. Sudah tentu ia bukan lawan Sekte Iblis. Mungkin
sebaiknya aku tetap melindungi mereka secara diam-diam.” Usai makan dan minum,
ia membayar tagihan, lalu menyewa sebuah kamar di Penginapan Xianju untuk
tidur.
Ketika hari sudah siang, ia
bangun tidur dan mencuci muka. Tiba-tiba terdengar suara ramai-ramai di luar,
seperti ada orang berteriak-teriak, “Malam ini kawanan bandit Huang Fengzhai
dari Bukit Batu Kacau akan datang merampok Nianbapu! Kita semua akan dibunuh
dan harta benda kita akan dirampas! Kita harus lekas-lekas menyelamatkan diri!”
Sekejap kemudian datanglah si
pelayan menggedor pintu kamar penginapan sambil berteriak-teriak, “Tuan
Perwira! Tuan Perwira! Celaka ini, celaka ini!”
Linghu Chong membuka pintu
kamar dan memaki, “Nenekmu, apanya yang celaka?” tanya Linghu Chong
Si pelayan menjawab, “Kawanan
bandit Huang Fengzhai dari Bukit Batu Kacau nanti malam akan menjarah kota ini.
Sekarang semua orang berusaha kabur menyelamatkan diri.”
Linghu Chong memaki lagi,
“Nenekmu, siang bolong begini mana ada bandit? Ada jenderalmu di sini, apa
mereka masih berani main gila?”
Si pelayan berkata dengan
wajah ketakutan, “Tapi … tapi gerombolan bandit itu sangat kejam. Mereka juga …
juga tidak tahu Jenderal ada di sini.”
“Kau pergi saja ke sana, beri
tahu mereka,” ujar Linghu Chong.
“Wah, mana hamba … berani?
Bisa-bisa kepala hamba dipenggal mereka,” jawab si pelayan terbata-bata.
“Bukit Batu Kacau tempat Huang
Fengzhai itu di mana?” tanya Linghu Chong.
“Hamba belum pernah tahu bukit
itu ada di mana,” kata si pelayan. “Tapi kabarnya, Huang Fengzhai itu bandit
yang sangat keji dan lihai. Dua hari yang lalu ia baru saja merampok Darongtou
yang jaraknya belasan kilo di sebelah timur Nianbapu ini. Ia dan gerombolannya
membunuh tujuh puluhan orang dan membakar lebih dari seratus rumah. Meskipun
Jenderal memiliki kepandaian tinggi, tapi hanya dengan dua tangan sulit
menghadapi banyak tangan. Kabarnya orang itu punya anak buah lebih dari tiga
ratus orang.”
Linghu Chong membentak,
“Nenekmu, kalau lebih dari tiga ratus orang lantas mau apa? Jenderalmu ini
sudah biasa menghadapi pasukan musuh yang jumlahnya ribuan orang, menerjang ke
sana kemari. Cuma bandit beberapa orang saja, apa artinya bagiku?”
“Iya, iya,” jawab si pelayan
kemudian berbalik dan keluar kamar dengan langkah cepat.
Terdengar suara kacau-balau di
luar. Seruan-seruan memanggil ibu terdengar di segala penjuru. Linghu Chong
sama sekali tidak paham bahasa daerah selatan, sehingga hanya bisa menduga-duga
mereka berkata, “Ibunya Ah Mao, apa kau sudah ambil selimut?” juga “Da Bao,
Xiao Bao, cepat lari! Bandit datang!” atau sebagainya.
Linghu Chong menengok keluar
penginapan. Dilihatnya berpuluh-puluh orang ramai-ramai menuju ke selatan
dengan harta benda masing-masing yang bisa dibawa. Ada yang membawa bungkusan,
ada pula yang menenteng kopor kayu. Melihat pemandangan tersebut ia pun
berpikir, “Tempat ini adalah perbatasan antara Zhejiang dan Fujian. Agaknya
para pembesar di Hangzhou dan Fuzhou tidak mengurus kota ini dengan baik,
sehingga kaum bandit merajalela dan rakyat kecil yang menjadi korban. Sebagai
komandan militer Quanzhou, mana boleh Wu Tiande tinggal diam berpangku tangan?
Aku harus menumpas kawanan bandit itu untuk mendapat jasa. Makan gaji dari
Kaisar, harus setia kepada Kaisar. Nenekmu, mana boleh aku tinggal diam?
Hahaha!” Memikirkan hal itu membuatnya tertawa sendiri. Lalu ia pun
berteriak-teriak, “Hei, pelayan! Bawakan arak dan makanan! Setelah kenyang
jenderalmu akan menumpas para bandit.”
Namun waktu itu segenap
penghuni penginapan sudah kabur. Majikan pemilik penginapan, istri pertama,
istri kedua, istri ketiga, para pelayan dan juru masak, serta semua tamu sudah
lari tunggang langgang. Maka biarpun Linghu Chong berteriak-teriak sampai
suaranya serak juga tidak ada orang yang menggubrisnya.
Linghu Chong tidak mempunyai
pilihan lain, terpaksa pergi ke dapur sendiri untuk mengambil arak, lalu duduk
di ruangan depan untuk minum-minum sendirian. Suara hiruk-pikuk di kota itu
bercampur baur antara manusia dan binatang seperti ayam, anjing, kuda, dan
babi, pertanda penduduk mengungsi sambil membawa hewan peliharaan pula. Setelah
agak lama suara ramai berangsur-angsur reda. Setelah Linghu Chong minum tiga
cawan, segala suara akhirnya menghilang sama sekali. Keadaan kini benar-benar
sunyi senyap.
“Aneh sekali. Kawanan bandit
Huang Fengzhai itu benar-benar sial. Rencana mereka entah bagaimana bisa bocor.
Nanti begitu mereka sampai di kota ini ternyata tidak ada barang yang bisa
mereka jarah,” demikian ia berpikir.
Di kota yang sedemikian besar
hanya tinggal ia seorang diri, sungguh peristiwa aneh yang sulit dipercaya.
Dalam keadaan sunyi hening itu, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda
sedang mendekat. Tak lama kemudian terlihat empat orang penunggang kuda sedang
berpacu dari arah selatan. Linghu Chong pun berpikir, “Tentu ini adalah
pemimpin kawanan bandit. Mengapa jumlahnya cuma sedikit? Mana anak buah yang
lain?”
Setelah para penunggang kuda
itu sampai di tengah kota, seorang di antaranya lantas berteriak, “Wahai
kambing-kambing Nianbapu! Yang Mulia Huang Fengzhai sudah datang dan
memerintahkan kalian semua, laki-laki-perempuan, tua-muda, besar-kecil, supaya
berdiri di luar gerbang kota. Yang berdiri di luar sana tidak akan dibunuh.
Yang tetap di dalam kota akan dipenggal kepalanya.” Sambil berteriak-teriak, ia
dan ketiga rekannya lantas memacu kuda ke sana kemari di jalanan kota.
Linghu Chong mengintip melalui
sela-sela pintu. Namun yang terlihat olehnya hanyalah punggung keempat orang
itu yang sudah makin menjauh. Ia pun terkesiap dan berpikir, “Aneh, dari sikap
dan tindak-tanduk mereka sepertinya keempat orang itu berilmu tinggi. Kalau
cuma anak buah kaum bandit mana mungkin sehebat ini?”
Perlahan-lahan ia membuka
pintu, lalu berjalan merunduk melalui teras rumah penduduk. Belasan meter
kemudian, dilihatnya kelenteng leluhur yang di sebelahnya terdapat pohon
beringin rindang. Segera ia pun meloncat ke atas. Hanya dengan sekali
menjejakkan kaki ia sudah mencapai cabang tertinggi.
Suasana di kota itu tetap
sunyi senyap. Semakin lama menunggu Linghu Chong semakin merasa ada yang tidak
beres. “Aneh sekali. Mengapa pasukan induk kaum bandit itu masih belum juga
muncul? Untuk apa si Huang Fengzhai susah-susah mengirim empat anak buahnya
memberi peringatan kepada kaum penduduk agar mereka bisa melarikan diri?”
Setelah menunggu lebih dari
satu jam, sayup-sayup terdengar suara kaum perempuan yang sedang bicara
berbisik-bisik. Linghu Chong menajamkan pendengaran dan lantas mengenali para
perempuan yang sedang bercakap-cakap itu adalah murid-murid Perguruan Henshan. Diam-diam
ia berpikir, “Mengapa mereka baru sampai di sini? Ah, aku tahu. Tentunya siang
tadi mereka beristirahat di hutan.”
Dari percakapan rombongan
Perguruan Henshan itu dapat diketahui kalau mereka tidak jadi masuk ke
Penginapan Xianju dan menuju ke penginapan lain, yaitu Penginapan Nan’an.
Begitu masuk ke dalam penginapan yang jaraknya cukup jauh dari kelenteng
leluhur tersebut, pembicaraan mereka tidak lagi terdengar oleh Linghu Chong.
Samar-samar dalam hati ia merasa orang-orang Sekte Iblis telah memasang
perangkap itu untuk menjebak rombongan Perguruan Henshan. Maka, ia pun
memutuskan tetap bersembunyi di atas pohon untuk melihat perkembangan
selanjutnya.
Agak lama kemudian, tampak
Yiqing bersama keenam rekannya keluar dari penginapan untuk menyalakan lampu.
Dalam waktu singkat banyak rumah penduduk dan toko memancarkan sinar pelita
melalui jendela.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba
dari arah timur laut terdengar suara wanita menjerit minta tolong. Linghu Chong
terkejut dan berpikir, “Celaka! Murid-murid Perguruan Henshan masuk perangkap
Sekte Iblis.”
Segera ia melompat turun dari
pucuk pohon dan mendarat di tanah. Dengan ilmu meringankan tubuh ia berlari ke
arah datangnya suara, dan dalam sekejap sudah sampai di depan rumah tempat
suara jeritan wanita tadi berasal. Perlahan-lahan ia mengintip melalui
celah-celah jendela, ternyata keadaan di dalam gelap gulita, tiada sinar lampu.
Untung saja ada sinar rembulan masuk sehingga sekilas terlihat olehnya ada
tujuh orang laki-laki berdiri merapat pada dinding. Seorang wanita tampak
berdiri di tengah ruangan lantas berteriak-teriak lagi, “Tolong, ada
pembunuhan, toloong!”
Linghu Chong hanya melihat
wajah wanita itu dari samping. Meskipun berteriak-teriak minta tolong, tapi
bibirnya tampak tersenyum menyeringai. Melihat gelagatnya jelas wanita itu
sedang menunggu para mangsa berdatangan masuk ke dalam perangkapnya.
Benar juga, belum habis ia
menjerit, di luar sudah ada seorang perempuan berseru, “Siapa yang melakukan
pembunuhan di sini?”
Rupanya pintu rumah memang
sengaja tidak dikunci. Maka dengan sekali dorong saja daun pintu lantas
terbuka. Serentak ada tujuh orang perempuan menerjang dengan langkah gesit ke
dalam sambil menghunus pedang. Orang yang menyerbu paling depan tidak lain
adalah Yiqing.
Tiba-tiba wanita yang menjerit
minta tolong tadi mengayunkan tangan kanannya. Selembar kain hijau selebar
kira-kira satu meter persegi lantas terbentang ke depan. Entah mengapa Yiqing
dan keenam kawannya langsung gemetar. Kepala mereka terasa pusing dan mata
berkunang-kunang. Sesudah terhuyung-huyung sejenak, mereka pun roboh dan
terguling di lantai.
Melihat itu Linghu Chong
terkejut. Sekilas terpikir olehnya, “Kain yang dibentangkan wanita itu pasti
mengandung obat bius yang sangat ampuh. Jika aku menyerbu ke dalam untuk
menolong Yiqing bertujuh, tentu aku akan mengalami nasib yang sama. Lebih baik
aku bersabar dulu menunggu di sini untuk melihat perkembangan selanjutnya.”
Ketujuh laki-laki yang berdiri
rapat di dinding beramai-ramai maju ke dapan. Mereka mengeluarkan tali untuk
mengikat erat kaki dan tangan Yiqing bertujuh.
Tidak lama kemudian di luar
kembali terdengar suara. Seorang perempuan telah berteriak, “Siapa yang berada
di dalam?”
Linghu Chong mengenali suara
itu karena kemarin sempat berbicara dengannya beberapa kali di Pegunungan
Xianxia. Sesuai dugaan, kali ini yang datang adalah kelompok yang dipimpin Yihe
yang berwatak berangasan. Linghu Chong pun berpikir, “Kau ini berwatak kasar
dan ceroboh. Kali ini kau akan menjadi bacang di Fujian sini.”
Terdengar Yihe kembali berseru
di luar, “Adik Yiqing, apakah kalian berada di dalam?”
Menyusul kemudian kakinya
menendang pintu hingga terpentang lebar. Ketujuh perempuan itu berturut-turut
menerobos masuk dengan menyusun diri dalam dua barisan. Begitu melewati pintu
mereka segera memutar pedang masing-masing untuk melindungi diri dari sergapan
musuh di kiri maupun kanan. Betapa rapat pertahanan mereka sehingga tidak
memungkinkan musuh untuk menyerang.
Musuh-musuh di dalam rumah itu
ternyata diam menahan napas. Mereka menunggu Yihe bertujuh masuk ke dalam rumah
barulah si wanita membentangkan kainnya. Tanpa ampun, Yihe dan keenam kawannya
pun roboh tak sadarkan diri.
Menyusul kemudian Yu Sao
dengan keenam kawannya juga mengalami nasib yang sama. Mereka masuk ke dalam
rumah tersebut dan langsung dibuat pingsan. Jadi, saat itu sudah ada dua puluh
satu murid Perguruan Henshan yang dirobohkan dalam keadaan tidak sadar, dan
diikat di sudut-sudut rumah.
Sejenak kemudian, seorang tua
yang berdiri di sudut rumah memberi isyarat. Beramai-ramai orang-orang itu
lantas keluar melalui pintu belakang.
Dengan cepat Linghu Chong
melompat ke atap rumah, lalu berjalan merunduk mengikuti mereka. Tiba-tiba
terasa olehnya suara angin berkelebat, ia pun segera mendekam di sisi bubungan
atap. Tampak belasan laki-laki sedang saling memberi isyarat, lalu berpencar
dan bersembunyi di sisi bubungan atap sebuah rumah besar yang jaraknya hanya
beberapa meter dari tempat Linghu Chong berada.
Linghu Chong pun menyelinap
turun ke bawah tanpa bersuara. Pada saat itulah ia melihat Biksuni Dingjing dan
tiga orang muridnya sedang menuju ke tempat itu. “Aih, ini pasti siasat
‘memancing harimau turun gunung’. Murid-murid yang ditinggalkan di penginapan
pasti akan celaka,” demikian ia berpikir. Dan sesuai dugaan, dari jauh tampak
beberapa sosok manusia sedang berlari cepat menuju ke Penginapan Nan’an.
Baru saja Linghu Chong
bermaksud mengejar untuk mencari tahu, tiba-tiba di atas rumah terdengar orang
berkata dengan suara lirih, “Kalian bertujuh tunggulah di sini. Sebentar lagi
kalau biksuni tua itu datang, kalian bereskan dia.” Suara orang itu tepat
berada di atasnya. Asalkan sedikit saja bergerak tentu keberadaannya akan
langsung ketahuan. Terpaksa ia pun merapatkan diri ke tembok rumah.
Sementara itu terdengar
Biksuni Dingjing telah mendepak pintu rumah hingga terpentang sambil berseru,
“Yihe, Yiqing, Yu Sao, apakah kalian mendengar suaraku?” Menyusul kemudian
biksuni tua itu mengelilingi rumah, lalu melompat ke atap, tapi tidak memeriksa
ke dalam.
Melihat itu, Linghu Chong
bertanya dalam hati, “Mengapa Biksuni Dingjing tidak masuk ke dalam rumah?
Begitu ia masuk ke dalam, tentu akan langsung menemukan kedua puluh satu
muridnya meringkuk di sana.” Namun lantas terpikir olehnya, “Ah, sebaiknya ia
tidak masuk ke dalam rumah. Pihak Sekte Iblis sudah siap menunggu di atap.
Begitu ia masuk ke dalam, tentu pihak musuh akan langsung mengepungnya dari
segala arah dan menjadikannya sasaran empuk.”
Dilihatnya Biksuni Dingjing
berlari ke sana kemari, seperti orang bingung kehabisan akal. Mendadak biksuni
tua itu berlari kembali ke Penginapan Nan’an dengan cepat sekali sehingga tak
tersusul oleh ketiga murid yang mengikuti di belakang. Secara tiba-tiba di tepi
jalan muncul beberapa orang yang membentangkan kain bius. Seketika ketiga murid
itu pun roboh terkapar dan diseret masuk ke dalam rumah.
Di bawah sinar rembulan Linghu
Chong dapat mengenali salah satu murid yang baru saja dibius itu adalah Yilin.
“Apakah aku harus segera menolong Adik Yilin?” Tapi segera terpikir lagi
olehnya, “Jika aku langsung menyerbu tentu akan terjadi pertempuran sengit.
Murid-murid Perguruan Henshan banyak sekali yang ditawan Sekte Iblis. Bisa jadi
pihak musuh akan membunuh mereka bila terdesak. Sebaiknya aku tidak menyerang terang-terangan,
tetapi bertindak secara diam-diam saja.”
Tidak lama kemudian dilihatnya
Dingjing keluar lagi dari Penginapan Nan’an, kemudian berteriak mencaci-maki di
tengah jalanan. Kemudian ia melompat ke atap rumah dan memaki-maki Dongfang
Bubai segala. Pihak Sekte Iblis tidak dapat menahan diri. Tujuh orang yang
sudah bersiap tadi segera menampakkan diri dan bertempur dengannya.
Sesudah menyaksikan beberapa
jurus, Linghu Chong berpikir, “Ilmu pedang Biksuni Dingjing sangat hebat. Untuk
sementara tentu ia tidak akan kalah melawan tujuh orang itu. Sekarang lebih
baik aku pergi dulu untuk menolong Adik Yilin.”
Segera ia menyelinap masuk ke
dalam rumah tadi. Dilihatnya di tengah ruangan terdapat seorang penjaga dengan
golok terhunus. Ketiga murid tampak tergeletak di samping kakinya dalam keadaan
teringkus. Tanpa bicara lagi Linghu Chong lantas melompat maju. Sekali goloknya
bergerak keluar dari sarung langsung menusuk tenggorokan penjaga itu. Belum
lagi orang itu menyadari apa yang terjadi, jiwanya sudah lebih dulu melayang.
Linghu Chong tertegun
keheranan. Ia pun berpikir, “Mengapa sabetan golokku bisa begitu cepat? Hanya
sekali bergerak mengapa bisa langsung menusuk titik penting pada
tenggorokannya?” Ia tidak menyadari bahwa sejak berhasil menguasai Jurus
Penyedot Bintang, maka hawa murni Enam Dewa Lembah Persik, Biksu Bujie, Biksu
Fangsheng, dan Heibaizi yang terhimpun di dalam tubuhnya dapat ia pergunakan
sebagai milik sendiri. Ditambah lagi dengan Ilmu Sembilan Pedang Dugu
membuatnya menjadi pendekar papan atas tanpa tanding. Padahal tadi ia hanya
berniat melancarkan serangan pancingan menggunakan goloknya. Ketika si penjaga
menangkis, maka ia akan memukul kaki orang itu menggunakan sarung golok untuk
merobohkannya. Tak disangka, penjaga itu tidak mampu menahan kekuatan
serangannya sehingga terpaksa harus kehilangan nyawa seketika.
Linghu Chong merasa agak
menyesal. Ia pun menyingkirkan mayat itu, kemudian memeriksa ketiga murid
Perguruan Henshan yang tertawan. Benar juga, ternyata salah satunya memang
Yilin. Linghu Chong lalu menjulurkan tangannya untuk memeriksa hembusan napas
Yilin. Terasa pernapasan biksuni muda itu teratur dengan baik, pertanda ia
tidak terluka apa-apa selain pingsan karena pengaruh obat bius saja. Segera ia
pergi ke dapur untuk mengambil segayung air dingin kemudian mencipratkannya
sedikit di atas muka Yilin.
Selang sejenak Yilin mulai
bersuara dan menggeliat seperti orang baru bangun tidur. Semula ia tidak tahu
dirinya berada di mana. Waktu matanya perlahan-lahan terbuka barulah mendadak
ia teringat sesuatu. Segera ia pun melompat bangun dan bermaksud melolos
pedang, tapi segera menyadari kalau kaki dan tangannya dalam keadaan terikat,
sehingga hampir saja ia terjatuh lagi.
Linghu Chong segera menotong
tali pengikat tangan dan kaki Yilin menggunakan golok, sambil berkata, “Jangan
takut, Biksuni cilik. Jenderalmu sudah membunuh orang jahat itu.”
Dalam keadaan gelap gulita,
samar-samar Yilin seperti mendengar suara “Kakak Linghu” yang senantiasa ia
rindukan, membuat hatinya terkejut bercampur senang. Segera ia berseru, “kau …
kau Kakak Ling….” tapi belum selesai ia memanggil, segera disadarinya kalau
yang ada di depannya adalah orang lain. Mendadak mukanya menjadi merah padam
dan dengan terbata-bata ia bertanya, “Kau … kau siapa?”
Linghu Chong paham Yilin
hampir mengenalinya dan mendadak berganti ucapan. Dengan suara perlahan ia pun
menjawab, “Jenderal ada di sini. Kawanan bandit kecil itu tidak akan berani
mengganggu kalian lagi.”
“Ah, ternyata Jenderal Wu,”
seru Yilin. “Di mana … di mana Bibi Guru?”
“Dia sedang bertempur dengan
musuh di luar sana. Marilah kita pergi melihatnya,” ajak Linghu Chong.
Yilin berkata, “Kakak Zheng,
Adik Qin .…” ia lantas mengeluarkan pemantik api dari balik bajunya. Setelah
api menyala, terlihat kedua saudaranya itu masih tergeletak di lantai. Segera
ia berkata, “Oh, mereka berdua ada di sini semua.” Lalu ia dengan cepat
memotong tali pengikat mereka dan mencipratkan air dingin ke wajah keduanya
sehingga terbangun dari pingsan.
Linghu Chong berkata,
“Sekarang yang paling penting adalah kita harus cepat-cepat membantu Biksuni
Dingjing.”
“Benar!” jawab Yilin, Zheng E,
dan Qin Juan serentak. Mereka kemudian melangkah keluar rumah mengikuti Linghu
Chong yang sudah berjalan lebih dulu.
Sesampainya di luar, terlihat
tujuh sosok bayangan orang secepat kilat melayang, menyusul kemudian terdengar
suara nyaring jatuhnya senjata, lalu ada suara orang memuji ilmu pedang Biksuni
Dingjing yang tinggi, sebaliknya Dingjing juga lantas mengenali orang yang baru
datang itu adalah tokoh Perguruan Songshan. Tidak lama kemudian Biksuni
Dingjing tampak mengikuti belasan laki-laki itu menuju ke Penginapan Xianju.
Linghu Chong lantas melambaikan tangan mengajak Yilin bertiga menyelinap masuk
ke dalam penginapan itu untuk menguping pembicaraan mereka dari balik jendela.
Linghu Chong kemudian
mendengar Dingjing sedang berbicara dengan orang bernama Zhong Zhen di dalam
ruangan. Orang bermarga Zhong itu mendesak agar Dingjing atas nama Perguruan
Henshan menyetujui peleburan kelima perguruan, baru setelah itu ia mau membantu
menolong murid-murid yang tertawan musuh. Diam-diam Linghu Chong merasa kesal
mendengar sikap orang Perguruan Songshan itu yang sengaja mengambil kesempatan
di dalam kesempitan. Ia juga mendengar Dingjing marah-marah dan akhirnya
meninggalkan penginapan.
Linghu Chong menunggu Dingjing
pergi agak jauh, barulah ia ikut menyelinap keluar dan pura-pura
berteriak-teriak meminta arak dan menggedor pintu Penginapan Xianju seperti apa
yang diceritakan di depan tadi. “Nenekmu, Jenderal ingin minum arak dan tidur!
Pelayan sial, mengapa kalian tidak lekas-lekas mebuka pintu?”
Saat itu Dingjing merasa sudah
kehabisan akal. Begitu mendengar suara “jenderal gadungan” itu, ia langsung
bersemangat dan segera memutar balik untuk menghampirinya. Terlihat pula Yilin,
Zheng E, dan Qin Juan berlari-lari menyambutnya. Air mata tampak berlinangan di
pipi Qin Juan saat gadis itu menyapa, “Guru!”
Dingjing bertambah gembira dan
segera bertanya, “Dari mana saja kalian tadi?”
Zheng E menjawab, “Kami baru
saja ditawan kawanan siluman Sekte Iblis. Untungnya ada Jenderal yang telah
menolong kami ….”
Sementara itu Linghu Chong
sudah mendorong pintu Penginapan Xianju dan masuk ke dalam. Biksuni Dingjing
dan ketiga murid segera ikut masuk pula.
Sesampainya di ruangan tengah
tampak menyala dua batang lilin besar dengan sinarnya yang cukup terang. Zhong
Zhen duduk di kursi tengah dengan wajah murung, lalu membentak, “Siapa kau
berani gembar-gembor di sini?”
Linghu Chong balas memaki, “Nenekmu,
kau berani kurang ajar terhadap seorang jenderal, hah? Apa kau minta digantung?
Juragan penginapan, nyonya juragan, pelayan, lekas keluar semua!”
Orang-orang Perguruan Songshan
menjadi kesal bercampur geli. Mereka menduga perwira ini hanya berlagak saja,
padahal sebenarnya dalam hati merasa takut karena dia memaki-maki sebentar lalu
memanggil-manggil pengurus penginapan dan nyonya majikan segala.
Zhong Zhen berpikir bahwa
dirinya sedang menjalankan tugas penting, untuk apa melayani seorang perwira
tolol seperti itu? Maka dengan suara perlahan ia memberi perintah, “Totok orang
itu sampai roboh, tapi tidak perlu membunuhnya.”
Gao Gexin mengangguk. Ia
lantas menghampiri Linghu Chong sambil menyapa dengan tersenyum, “Eh, ternyata
Tuan Pejabat yang datang. Mohon maaf jika kami kurang sopan.”
Linghu Chong menjawab, “Kalian
rakyat jelata memang tidak tahu aturan ….”
“Baik-baik!” jawab Gao Gexin
sambil tersenyum. Mendadak ia menubruk maju, lalu jari telunjuknya menotok
“titik tertawa” pada pinggang Linghu Chong. Barangsiapa terkena totokan
tersebut tentu akan bergelak tawa terbahak-bahak sampai pingsan.
Akan tetapi, Linghu Chong
lebih dulu mengerahkan tenaga dalam dan memusatkannya pada bagian pinggang,
sehingga totokan Gao Gexin itu hanya membuatnya tertawa geli saja. Ia pun
berkata, “Hei, kau ini benar-benar tidak tahu aturan. Mengapa main kitik-kitik
segala? Memangnya kau ingin bercanda dengan jenderalmu?”
Gao Gexin tercengang. Ia pun
melancarkan totokan kedua dengan mencurahkan segenap tenaga pada ujung jarinya.
Linghu Chong lantas terbahak-bahak sambil melonjak dan mengejek, “Nenekmu,
mengapa kau meraba-raba pinggang tuanmu segala? Memangnya kau ingin mencuri
dompetku, ya? Penampilanmu gagah, tapi ternyata begitu, hahaha ….”
Tanpa pikir lagi, Gao Gexin
menjulurkan tangan kirinya kemudian menyambar pergelangan kanan Linghu Chong.
Dengan cepat ia bergeser ke kanan, hendak menarik Linghu Chong hingga roboh ke
lantai dengan sekali telikung. Tak disangka, begitu tangannya menempel
pergelangan lawan, seketika tenaga dalamnya terasa mencurah keluar dengan
sangat deras dan tidak bisa dihentikan. Teringat pada sesuatu, hatinya menjadi
sangat ketakutan. Ingin sekali ia berteriak namun mulutnya hanya terbuka lebar
tanpa bisa mengeluarkan suara.
Linghu Chong sendiri juga
terkejut ketika merasakan tenaga dalam lawan mengalir masuk ke dalam tubuhnya,
seperti apa yang terjadi saat ia mencengkeram lengan Heibaizi tempo hari. Ia
pun berpikir, “Aku tidak boleh menggunakan ilmu sesat ini.” Maka dengan sekuat
tenaga ia pun mengelak sehingga tangan Gao Gexin terlepas dari lengannya.
Gao Gexin terbengong-bengong
sejenak, seperti seorang narapidana hukuman mati yang tiba-tiba mendapat
pengampunan dari Kaisar. Dengan cepat ia lalu melompat mundur. Seluruh badannya
terasa lemas lunglai seperti baru sembuh dari sakit berat.
“Jurus … Jurus Penyedot
Bintang!” teriaknya dengan suara parau, penuh rasa ngeri.
Zhong Zhen, Teng Bagong, dan
murid-murid Perguruan Songshan yang lain serentak melonjak kaget dan bertanya,
“Apa katamu?”
“Orang ini … orang ini mahir
Jurus Penyedot Bintang,” jawab Gao Gexin.
Serentak sinar pedang
berkelebat dengan suara nyaring mendesing. Rupanya semua orang telah melolos
pedang, kecuali Teng Bagong yang memakai senjata cambuk panjang lemas. Ilmu
pedang Zhong Zhen paling lihai dan cepat. Sekali sinar pedangnya berkelebat,
secepat kilat ia sudah menusuk ke arah leher Linghu Chong.
Sewaktu Gao Gexin
berteriak-teriak tadi Linghu Chong sudah menduga orang-orang Perguruan Songshan
pasti akan mengerubut maju. Maka begitu melihat mereka melolos senjata, ia pun
segera menyiapkan goloknya yang masih terselubung sarung. Sebelum tusukan Zhong
Zhen mencapai sasaran, ujung golok bersarungnya sudah lebih dulu mengetuk
punggung tangan setiap lawan yang mengepung.
Maka terdengarlah suara
gemerantang nyaring memekakkan telinga. Pedang lawan berjatuhan di lantai.
Hanya Zhong Zhen yang berilmu paling tinggi tidak mengalami hal itu. Meskipun
punggung tangannya tidak terketuk, dan pedangnya tidak sampai terlepas dari
pegangan, namun ia sangat terkejut dan melompat mundur. Sementara itu, Teng
Bagong terlihat konyol. Gagang cambuknya terlepas dari genggaman, dan
senjatanya yang lemas itu berbalik membelit leher sendiri sehingga ia pun
tercekik dan tidak bisa bernapas.
Zhong Zhen bersandar pada
dinding dengan wajah pucat pasi. Ia pun berkata, “Di dunia persilatan tersiar
kabar bahwa Ketua Ren dari Sekte Iblis terdahulu, telah … telah muncul kembali.
Apakah kau … kau adalah Ketua Ren … Ren Woxing?”
“Nenekmu, siapa itu Ren
Woxing? Jenderalmu ini tidak pernah mengganti marga, tidak pernah mengganti
nama. Sejak dulu namaku Wu Tiande, tahu?” maki Linghu Chong dengan tertawa.
“Nah, kalian ini maling ayam dari mana? Di hadapan jenderalmu kenapa tidak
lekas lari pulang ke tempat nenekmu, hah?”
Zhong Zhen merangkap kedua
tangannya, lalu berkata, “Ketua Ren yang mulia sudah kembali ke dunia
persilatan. Si marga Zhong ini tahu diri bukan tandinganmu. Untuk itu, kami
mohon diri.” Usai berkata, mendadak ia meloncat ke luar dengan membobol jendela,
disusul Gao Gexin, Teng Bagong, dan yang lain juga ikut meloncat pergi. Tidak
ada seorang pun yang berani memungut pedang yang berserakan di lantai.
Sambil tangan kirinya
memegangi golok yang masih lengket dengan sarung, Linghu Chong pura-pura menarik
gagangnya, tapi tetap tidak tercabut keluar. Ia lalu menggumam sendiri, “Golok
pusaka ini benar-benar sudah karatan. Kapan-kapan aku perlu mencari tukang asah
untuk membersihkan karatnya.”
Biksuni Dingjing datang
menyapanya sambil menguncupkan kedua tangan, “Jenderal Wu, bagaimana kalau kita
pergi menolong beberapa murid-murid perempuan kami?”
Linghu Chong menduga dengan
kepergian rombongan Zhong Zhen itu maka sudah tidak ada lagi orang yang mampu
melawan kepandaian Biksuni Dingjing. Maka, ia pun menjawab, “Jenderal masih
ingin minum arak di sini. Apakah Biksuni yang mulia juga mau minum beberapa
cawan bersamaku?”
Mendengar “perwira” ini
berulang kali bicara tentang arak, diam-diam Yilin berpikir, “Kalau dia bertemu
Kakak Linghu, tentu mereka akan menjadi teman minum yang akrab.” Tanpa sengaja
ia pun mencuri pandang, dan tak disangka Sang Jenderal juga sedang memandang ke
arahnya. Seketika wajah Yilin menjadi merah dan dengan cepat ia pun menunduk.
Dingjjing menjawab sambil
menguncupkan tangan, “Biksuni tua tidak minum arak. Jenderal, aku mohon pamit.”
Ia kemudian memberi hormat dan mengundurkan diri.
Zheng E bertiga ikut keluar.
Sampai di ambang pintu Yilin berpaling dan memandang lagi ke arah Linghu Chong.
Terlihat “perwira” itu sedang bangkit mencari arak sambil mengomel, “Nenekmu,
apakah semua orang di penginapan ini sudah mampus? Mengapa sampai sekarang tak
ada seorang pun yang keluar?”
Yilin pun berpikir, “Suaranya
mirip Kakak Linghu, tapi jenderal ini suka memaki dengan kata-kata kotor.
Setiap berbicara selalu menyebut-nyebut nenek segala, sungguh berbeda dengan
Kakak Linghu. Ilmu silatnya juga jauh lebih tinggi daripada Kakak Linghu. Aih,
kenapa aku jadi berpikir yang tidak-tidak, ah, dasar ….”
Sementara itu Linghu Chong
telah mendapatkan seguci arak dan langsung menghabiskan setengah isinya tanpa
menggunakan cawan. Sambil minum benaknya tetap berpikir, “Para biksuni dan
perempuan tua muda itu akan kembali lagi ke sini dengan mulut ceriwis dan
bawel. Jika aku kurang hati-hati bisa dikenali mereka dan keadaan tentu menjadi
runyam. Lebih baik aku menyelinap pergi saja. Tapi untuk menolong kawan-kawan
mereka yang banyak itu tentu juga makan waktu lama. Mungkin bisa lebih dari
satu jam. Sementara ini lebih baik aku mengisi perutku yang lapar dulu.”
Setelah menghabiskan isi guci
arak tersebut ia lantas bergegas ke dapur untuk mencari makanan. Tiba-tiba dari
jauh terdengar suara Qin Juan berseru melengking dengan nada khawatir, “Guru,
Guru, kau di mana?”
Linghu Chong segera menerjang
keluar mencari sumber suara. Tak lama kemudian ia melihat Zheng E, Yilin, dan
Qin Juan berdiri di jalan raya sambil berteriak-teriak memanggil-manggil
Dingjing.
“Ada apa?” tanya Linghu Chong
sesudah dekat.
Zheng E menjawab, “Kami
bertiga mencari kakak-kakak yang tertawan musuh. Tapi kami kehilangan jejak
Guru. Sekarang entah … entah ke mana Beliau pergi.”
Linghu Chong melihat usia
Zheng E paling-paling baru dua puluh satuan, sementara Qin Juan paling tidak
masih enam belas tahun. Ia pun berikir, “Gadis-gadis muda ini belum
berpengalaman, mengapa Perguruan Henshan mengirim mereka ke dunia ramai?”
Segera ia berkata dengan tertawa, “Jangan khawatir, aku tahu mereka di mana.
Kalian ikutlah denganku.”
Segera ia mendahului berjalan
menuju ke gedung besar di sebelah timur laut tadi. Sampai di sana, ia pun
menendang pintu rumah hingga terpentang lebar. Khawatir kalau-kalau wanita
anggota Sekte Iblis masih bersembunyi di dalam dan mungkin akan membiusnya
dengan racun, maka ia pun berkata, “Tutup rapat-rapat mulut dan hidung kalian
dengan saputangan. Hati-hati di dalam ada nyonya keparat suka menebarkan
racun.”
Usai berkata ia pun memencet
hidung sendiri dan mengatupkan mulut rapat-rapat kemudian menerjang masuk ke
dalam rumah. Namun sesampainya di ruang aula, mau tidak mau ia menjadi
tercengang. Di dalam ruangan yang tadinya penuh bergelimpangan murid-murid
Perguruan Henshan dalam keadaan pingsan dan terikat, kini ternyata sudah kosong
melompong, tanpa penghuni sama sekali.
“Hah!” serunya heran.
Dilihatnya di atas meja terdapat sebuah tatakan lilin dengan api yang masih
menyala, tapi ruangan itu benar-benar sudah kosong. Dengan cepat ia memeriksa
sekeliling rumah itu, namun tiada menemukan suatu petunjuk apa pun. “Ada yang
tidak beres di sini,” katanya.
Zheng E, Yilin, dan Qin Juan
menatapnya dengan penuh tanda tanya. Wajah mereka bertiga tampak memancarkan
rasa bimbang.
Linghu Chong berkata,
“Nenekmu, kakak-kakak seperguruan kalian jelas-jelas dibius oleh nyonya
keparat, kemudian diikat dan digeletakkan di sini. Mereka semua jadi bacang di
Fujian. Mana mungkin hanya sekejap saja mereka semua sudah lenyap?”
Zheng E menegas, “Jenderal Wu,
apa kau benar-benar melihat kakak-kakak kami dibius dan diringkus di sini?”
Linghu Chong menjawab, “Tadi
malam aku bermimpi melihat banyak kawanan biksuni dan para perempuan
bergelimpangan tergeletak di ruangan ini. Mana mungkin aku salah?”
“Kau … kau ….” kata Zheng E
hendak membantah bahwa mimpi mana bisa dijadikan acuan? Tapi lantas teringat
olehnya bahwa perwira ini memang suka mengoceh tidak jelas. Ia bilang bermimpi,
padahal sebenarnya menyaksikan sendiri kejadian yang sesungguhnya. Maka dengan
cepat gadis itu pun mengganti kalimat, “Jenderal Wu, menurut dugaanmu mereka
pergi ke mana?”
“Hm, bisa jadi mereka sudah
lapar dan pergi mencari daging babi dan minum arak. Mungkin juga mereka pergi
menonton pertunjukan sandiwara,” kata Linghu Chong seenaknya. Lalu ia
melambaikan tangan dan melanjutkan, “Kalian bertiga anak dara sebaiknya ikut di
belakangku, jangan sampai meninggalkan aku. Kalau mau makan daging dan minum
arak atau menonton pertunjukan tidak perlu buru-buru.”
Meskipun umur Qin Juan masih
belia, tapi ia menyadari keadaan sangat gawat dan para kakak seperguruan pun
sudah jatuh ke dalam perangkap musuh. Ocehan jenderal sinting ini memang tidak
bisa dianggap benar, tetapi karena puluhan murid Perguruan Henshan yang tersisa
kini hanya tinggal mereka bertiga, maka selain menuruti segala perintah sang
jenderal boleh dikata tiada jalan lain yang lebih baik. Terpaksa ia pun
mengikuti Zheng E dan Yilin berjalan keluar di belakang Linghu Chong.
Terdengar Linghu Chong
menggumam sendiri, “Aneh, apa impianku semalam tidak betul, ya? Apa mataku
kabur dan yang kulihat hanya khayalan belaka? Ah, nanti malam aku harus mimpi
lagi yang benar.” Sementara dalam hati ia berpikir, “Ke mana menghilangnya
murid-murid Perguruan Henshan itu? Mengapa Biksuni Dingjing juga tiba-tiba
menghilang? Apa barangkali biksuni tua itu juga masuk perangkap musuh? Jika
demikian aku harus lekas-lekas mencarinya. Tapi ketiga gadis muda ini tentu
kurang aman jika ditinggalkan di Nianbapu begitu saja. Terpaksa mereka harus
kubawa serta untuk pergi mencari Biksuni Dingjing dan yang lain.”
Ia kemudian berkata, “Kalau
kalian tidak ada kerjaan, marilah kita pergi mencari guru dan teman-teman
kalian. Mungkin mereka sedang main-main di suatu tempat.”
“Baik,” seru Zheng E cepat.
“Ilmu silat Jenderal sangat tinggi, pengalaman juga sangat luas. Jika Jenderal
tidak memimpin kami pergi mencari mereka, tentu bisa-bisa kami tersesat di jalan.”
“Ilmu silat sangat tinggi dan
pengalaman luas, ucapanmu ini memang tidak salah,” ujar Linghu Chong tertawa.
“Kelak kalau jenderalmu naik pangkat dan berkuasa lebih besar, tentu aku akan
mengirim seratus tahil perak kepada kalian untuk membeli pakaian baru dan jajan
sepuas-puasnya.”
Sambil terus membual, Linghu
Chong dan ketiga perempuan muda itu pun sampai di pinggir kota. Ia melompat ke
atap rumah dan memandang ke segala penjuru. Sementara itu matahari sudah mulai
terbit, pepohonan masih diselimuti kabut tebal. Sejauh mata memandang tidak
seorang pun terlihat berjalan di kedua sisi jalan raya.
Tiba-tiba Linghu Chong melihat
di tepi selatan jalan terdapat suatu benda berwarna hijau. Benda itu tidak
telihat dengan jelas karena jaraknya lumayan jauh, namun cukup menarik
perhatian karena di jalanan yang sepi tersebut tidak terdapat benda lain.
Dengan cepat ia pun melompat turun dari atap kemudian berlari ke sana untuk
memungutnya. Ternyata benda itu adalah sebuah sepatu wanita yang terbuat dari
kain. Bentuknya pun sama persis dengan sepatu yang dipakai Yilin.
Ia menunggu sejenak sampai
Zheng E bertiga datang menyusul. Diserahkannya sepatu wanita itu kepada Yilin
lalu bertanya, “Apakah ini sepatumu? Mengapa jatuh di sini?”
Walaupun sadar dirinya masih
bersepatu lengkap, tapi Yilin masih memandang sekejap ke arah kaki dan melihat
sepasang sepatunya masih terpakai dengan baik.
Zheng E menjawab, “Ah, ini
adalah … adalah sepatu yang dipakai kakak kami. Mengapa bisa jatuh di sini?”
Qin Juan menyahut, “Pasti salah
seorang kakak yang diculik musuh itu meronta-ronta di sini sehingga sepatunya
terlepas.”
Zheng E berkata, “Mungkin juga
sepatu ini sengaja dilepaskan agar kita dapat menemukan jejaknya.”
“Benar, pengetahuanmu memang
luas, ilmu silatmu juga tinggi,” kata Linghu Chong. “Sekarang kita harus
mengejar ke selatan atau ke utara?”
“Sudah tentu ke selatan saja,”
sahut Zheng E.
Segera Linghu Chong mendahului
berlari cepat ke selatan. Dalam sekejap ia sudah berlari ratusan meter. Semula
Zheng E bertiga tidak terlalu jauh darinya, tapi lama-lama mereka semakin
tertinggal di belakang.
Sambil berlari Linghu Chong
mengamati keadaan sekeliling jalan yang dilaluinya. Sering pula ia menoleh ke
belakang mengawasi Zheng E bertiga, khawatir jangan-jangan mereka tertinggal
terlalu jauh dan mungkin tidak sempat ditolong lagi jika mendadak diculik
musuh. Maka sesudah beberapa kilo ia lantas berhenti untuk menunggu ketiga
murid Perguruan Henshan itu.
Sesudah mereka bertiga tiba,
Linghu Chong lalu berlari ke depan lagi dan begitu seterusnya sampai beberapa
kali, hingga akhirnya terlampaui jarak belasan kilo. Jalanan di depan terlihat
mulai berliku dan tidak rata, juga terdapat banyak pepohonan di kedua tepi.
Jika musuh bersembunyi di suatu tikungan dan menyergap secara mendadak, tentu
tidak sempat lagi untuk menolong Yilin bertiga. Apalagi wajah Qin Juan sudah
merah padam, dengan keringat memenuhi dahi dan terlihat sangat letih. Linghu
Chong sadar bahwa gadis belia itu terlalu muda dan tidak kuat berlari jauh.
Segera ia memperlambat langkahnya sambil sengaja berteriak, “Nenekmu,
jenderalmu ini berlari terlalu cepat. Sayang sekali kalau sepatu kulitku ini
nanti akan tergesek tipis. Kukira sepatuku ini perlu dihemat. Kalau begitu kita
berjalan pelan-pelan saja.”
Setelah berjalan belasan kilo
berikutnya, tiba-tiba Qin Juan berseru, “Hei!” Ia lalu berlari ke pinggir
semak-semak dan memungut sebuah kopiah kain berwarna hijau, yang tidak lain
adalah kopiah yang biasa dipakai para biksuni Perguruan Henshan.
Melihat itu, Zheng E pun berkata,
“Jenderal, kakak-kakak kami benar-benar dibawa musuh melalui jalanan ini.”
Karena jalan yang mereka
tempuh ternyata benar, mereka pun mempercepat langkah sehingga Linghu Chong
ganti yang tertinggal di belakang.
Menjelang tengah hari mereka
berempat singgah di sebuah kedai nasi untuk mengisi perut. Melihat seorang
perwira membawa seorang biksuni cantik dan dua orang nona muda, si pemilik
kedai nasi terheran-heran dan berulang kali memandangi mereka.
“Nenekmu!” Linghu Chong memaki
sambil menggebrak meja. “Apa yang kau lihat? Memangnya tidak pernah melihat
biksuni, hah?”
“Hamba, hamba tidak berani!”
sahut pemilik kedai ketakutan.
Zheng E segera bertanya,
“Paman, apakah kau melihat beberapa orang biksuni lewat sini?” Ia berkata
sambil menunjuk ke arah Yilin.
Si pemilik kedai menjawab,
“Kalau beberapa orang tidak. Tapi kalau cuma seorang saja memang ada. Tadi ada
seorang buksuni tua, usianya jauh lebih tua daripada biksuni muda ini ….”
“Dasar ngawur,” damprat Linghu
Chong. “Sudah tentu seorang biksuni tua usianya jauh lebih tua daripada biksuni
muda! Memangnya kau anggap kami ini orang tolol semua?”
“Tidak, tidak,” sahut
laki-laki itu ketakutan.
“Lalu bagaimana dengan biksuni
tua itu?” Zheng E bertanya dengan cepat.
“Biksuni tua itu bertanya kepadaku
dengan buru-buru, apakah aku melihat beberapa orang biarawati lewat di jalanan
sini. Aku jawab tidak ada, lantas Beliau berlari ke sana. Wah, sudah begitu
tua, tapi larinya sungguh cepat. Bahkan tangannya memegang pedang yang
mengkilap, seperti sandiwara saja.”
“Orang itu pasti Guru. Mari
kita segera menyusul ke sana,” seru Qin Juan sambil bertepuk tangan.
“Jangan terburu-buru. Kita
makan dulu, urusan lain belakangan,” ujar Linghu Chong.
Mereka berempat pun makan
dengan tergesa-gesa. Sebelum melanjutkan perjalanan, Qin Juan sempat membeli
empat buah kue mangkuk yang katanya untuk diberikan kepada sang guru nanti.
Dalam hati Linghu Chong merasa sedih. “Betapa ia berbakti kepada gurunya.
Walaupun aku ingin berbakti kepada guruku tapi sudah tidak bisa lagi,”
pikirnya.
Akan tetapi, sampai hari gelap
lagi mereka tetap belum menemukan jejak Biksuni Dingjing. Sejauh mata memandang
yang terlihat hanya pepohonan dan alang-alang belaka. Jalanan pun makin lama
makin sempit. Tidak lama kemudian, alang-alang dan rerumputan semakin tinggi
sampai menutupi pandangan. Tiba-tiba dari arah barat laut sayup-sayup terdengar
suara nyaring senjata beradu.
“Di sana ada orang berkelahi.
Bagaimana kalau kita menonton keramaian?” seru Linghu Chong.
“Aih, jangan-jangan itu
guruku,” ujar Qin Juan.
Linghu Chong lantas berlari ke
arah datangnya suara dengan menyusuri rumput alang-alang yang lebat. Setelah
beberapa puluh meter kemudian mendadak matanya terbelalak karena melihat
suasana terang benderang oleh sinar api puluhan obor. Suara benturan senjata
juga terdengar bertambah nyaring.
Ia mempercepat langkahnya.
Setelah dekat dengan sumber cahaya, terlihat puluhan orang membawa obor
melingkari suatu kalangan pertempuran. Di tengah kalangan tampak seorang
bersenjata pedang dengan jubah berkibar-kibar sedang bertempur melawan tujuh
orang musuh. Orang itu bergerak lincah bagaikan menari dan suara pedangnya
terdengar menderu-deru. Ia tidak lain adalah Biksuni Dingjing.
Di luar kalangan tampak pula
menggeletak beberapa puluh orang. Dari pakaian mereka segera diketahui bahwa
itu adalah murid-murid Perguruan Henshan.
Orang-orang yang mengelilingi
itu semuanya memakai kedok. Perlahan-lahan Linghu Chong berjalan mendekat.
Karena semua orang sedang mencurahkan perhatian kepada pertempuran sengit itu,
maka tak seorang pun yang mengetahui kedatangannya.
Mendadak Linghu Chong bergelak
tawa dan berkata, “Hahahaha, tujuh melawan satu, sungguh hebat!”
Orang-orang berkedok yang
berkerumun itu terkejut dan serentak berpaling ke arahnya, sedangkan tujuh
orang yang sedang bertempur dalam kalangan seperti tak peduli. Mereka tetap
mengeroyok Biksuni Dingjing dan menyerang dengan gencar menggunakan senjata
masing-masing.
Linghu Chong melihat jubah
Dingjing berlumuran darah. Tidak sedikit pula tetesan darah yang terciprat pada
mukanya. Bahkan pedang pun dimainkannya menggunakan tangan kiri, pertanda
tangan kanannya sudah terluka.
Sementara itu di antara
kerumunan orang berkedok terdengar seseorang membentak, “Siapa kau?” Bersamaan
kemudian dua orang bersenjata golok melompat maju ke depan Linghu Chong.
“Kawanan bangsat, jenderalmu
ini pernah bertempur dari timur sampai barat. Kudaku melaju tanpa henti, tiap
hari membasmi bandit-bandit kecil. Ayo, perkenalkan siapa diri kalian! Golok
jenderalmu ini tidak pernah menyabet orang tanpa nama!” bentak Linghu Chong.
“Haha, ternyata seorang
sinting!” kata seorang di antaranya sambil tertawa geli. Ia kemudian
mengayunkan goloknya untuk menebas kaki Linghu Chong.
“Aih, kau sungguh-sungguh
memakai senjata?” teriak Linghu Chong sambil menggeliat ke samping. Secepat
kilat tubuhnya berkelebat masuk ke tengah kalangan. Goloknya yang masih
bersarung itu bergerak memukul tujuh kali di mana pergelangan tangan ketujuh
pengeroyok sebagai sasaran. Tujuh macam senjata mereka pun berjatuhan ke tanah
diikuti suara berisik. Menyusul kemudian Biksuni Dingjing menusukkan pedangnya
tepat menancap pada tenggorokan seorang musuh. Rupanya orang itu sedang
terperanjat karena tahu-tahu senjatanya jatuh oleh pukulan Linghu Chong.
Akibatnya, ia pun tidak sempat menghindari serangan kilat Biksuni Dingjing yang
lihai itu dan terpaksa kehilangan nyawa.
Setelah menewaskan seorang
musuhnya, Dingjing tampak terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terduduk di
tanah. Melihat itu Qin Juan pun berseru khawatir, “Guru! Guru!” Gadis belia itu
kemudian berlari maju dan memeluk tubuh Sang Guru.
Seorang berkedok kemudian
mengacungkan goloknya untuk mengancam tengkuk seorang murid Henshan sambil
berteriak, “Mundur tiga langkah! Kalau tidak, akan kubunuh perempuan ini!”
“Baik, baik! Mundur ya mundur,
kenapa begini galak? Jangankan cuma tiga langkah, tiga puluh langkah juga
boleh,” ujar Linghu Chong dengan tertawa. Tapi mendadak ia menyodokkan golok
bersarungnya ke depan, dan ujungnya tepat mengenai dada orang itu. Seketika
orang itu menjerit dan terlempar ke belakang hingga beberapa meter jauhnya.
Linghu Chong tercengang
keheranan mengetahui kekuatannya ternyata sedemikian hebat. Ia kemudian
mengayunkan kembali goloknya tiga kali, dan berhasil merobohkan tiga orang
laki-laki berkedok.
“Nah, kalian mau enyah atau
tidak? Jika tidak, akan kubekuk batang leher kalian satu per satu dan kukirim
ke penjara. Nenekmu, tiap orang akan mendapat tiga puluh cambukan di pantat!”
bentak Linghu Chong.
Pemimpin orang-orang berkedok
itu melihat kepandaian Linghu Chong begitu tinggi dan sukar diukur, maka ia pun
memberi hormat dan berkata, “Kami telah bertemu dengan Ketua Ren yang mulia,
biarlah kami mundur saja.” Lalu ia memberi isyarat kepada kawan-kawannya sambil
berseru, “Ketua Ren dari Sekte Iblis telah tiba di sini. Kita harus tahu diri
dan lekas pergi segera!”
Beramai-ramai mereka lantas
mengusung mayat seorang kawan dan empat kawan lainnya yang roboh tadi.
Obor-obor pun dilemparkan, lalu mereka bergegas menuju ke arah barat daya.
Dalam sekejap saja gerombolan orang berkedok itu sudah menghilang di balik
semak-semak rumput ilalang yang lebat.
Qin Juan telah mengambil obat
luka untuk diberikan kepada gurunya, sementara Yilin dan Zheng E membebaskan
kakak-kakak mereka. Empat murid perempuan yang sudah bebas dari ikatan lantas
memungut obor dan mengelilingi Dingjing. Melihat luka Dingjing cukup parah,
semuanya diam tak berkata apa-apa dengan wajah tampak cemas dan khawatir.
Dada Dingjing terlihat naik
turun, napasnya terengah-engah. Perlahan-lahan ia membuka mata dan bertanya
kepada Linghu Chong, “Jadi kau … kau ini mantan Ketua Sekte Iblis Ren … Ren
Woxing itu?”
“Bukan,” jawab Linghu Chong
sambil menggeleng.
Pandangan mata Dingjing tampak
nanar, napasnya bertambah lemah. Udara yang ia keluarkan lebih banyak daripada
yang dihirup. Keadaannya semakin payah. Beberapa kali ia tersengal-sengal, lalu
mendadak berkata dengan nada bengis, “Jika kau adalah Ren Woxing, maka biarpun
Perguruan Henshan kami … kalah ha… habis-habisan dan bi… binasa semua juga …
juga tidak sudi … tidak sudi ….” sampai di sini napasnya kembali
tersengal-sengal.
Melihat ajal biksuni tua itu
sudah di depan mata, Linghu Chong tidak berani sembarangan bicara lagi. Ia pun
menyahut, “Usiaku masih muda, mana mungkin aku ini Ren Woxing?”
Dingjing memandang sejenak,
lalu kembali berkata, “Jika demikian mengapa kau … kau mahir menggunakan Jurus
… Jurus Penyedot Bintang? Apakah kau murid … Ren Woxing?”
Linghu Chong teringat cerita
guru dan ibu-gurunya mengenai bermacam-macam perbuatan jahat kaum Sekte Iblis.
Juga dalam dua hari terakhir ini ia menyaksikan langsung cara-cara licik Sekte
Iblis menyergap murid-murid Perguruan Henshan. Maka dengan tegas ia menjawab,
“Sekte Iblis berbuat banyak kejahatan dan tak terampuni, mana mungkin aku sudi
berkomplot dengan mereka? Ren Woxing itu bukan guruku, harap Biksuni jangan
khawatir. Guruku seorang kesatria sejati penegak keadilan, seorang tokoh
persilatan dari kalangan suci yang berwatak mulia dan dihormati budi pekertinya.
Biksuni juga sering berjumpa dengan Beliau.”
Samar-samar Dingjing tampak
tersenyum lega. Dengan suara terputus-putus ia berkata, “Keadaanku sudah …
sudah lemah dan tak tertolong lagi. Mohon … mohon bantuanmu agar sudi mem…
membawa murid-murid ini ke …” sampai di sini ia kembali tersengal-sengal.
Selang agak lama barulah ia menyambung, “Mohon bawa mereka ke Biara Wuxiang di
… di Fuzhou. Adik Ketua-ku be… beberapa hari lagi akan menyusul ….”
Linghu Chong berkata, “Harap
Biksuni jangan khawatir. Rawatlah diri baik-baik. Setelah istirahat beberapa
hari, tentu Biksuni akan sembuh kembali seperti sediakala.”
“Apakah kau menyanggupi per…
permintaanku?” tanya Dingjing.
Melihat biksuni tua itu
menatapnya dengan penuh harap dan khawatir kalau-kalau dirinya menolak, Linghu
Chong lantas menjawab, “Jika demikian kehendak Biksuni sudah tentu akan
kulaksanakan dengan baik.”
Dingjing tersenyum tipis, lalu
berkata, “Amitabha, tugas ini sebenarnya … terlalu berat bagiku. Pendekar Muda,
siapa … siapakah kau ini sesungguhnya?”
Melihat sinar mata biksuni tua
itu sudah suram, suaranya lemah dan napasnya sangat pendek, jelas jiwanya sukar
dipertahankan lagi. Linghu Chong tidak tega untuk merahasiakan jati diri
kepadanya. Perlahan ia berbisik di telinga biksuni tua itu, “Bibi Dingjing,
saya adalah murid Perguruan Huashan yang telah dipecat, Linghu Chong.”
“Aaah, kau … kau ….” kata
Dingjing terbata-bata. “Terima … terima kasih banyak, Pendekar Muda.” Dengan
tubuh gemetar ia mencengkeram tangan Linghu Chong. Sorot matanya penuh rasa
syukur. Setelah itu, ia tidak mampu menarik napas lagi untuk selamanya.
Linghu Chong pun berseru,
“Biksuni! Biksuni!” Tangannya memeriksa pernapasan Dingjing dan mengetahui
kalau biksuni tua itu sudah meninggal dunia. Seketika hatinya merasa berduka
dan kehilangan.
Serentak meledaklah jerit
tangis murid-murid Perguruan Henshan. Hutan belukar yang sunyi itu kini
diliputi suasana sedih, obor-obor pun terbuang di atas tanah. Berturut-turut
api obor itu padam, keadaan menjadi gelap gulita menambah suramnya suasana.
Linghu Chong merenung sendiri,
“Biksuni Dingjing seorang tokoh terkemuka di zaman ini, tapi ia telah terkena
tipu muslihat licik dan harus tewas di belantara sunyi ini. Sebenarnya ia
seorang biksuni sepuh yang tidak punya ambisi apa-apa, tidak pula suka mencari
perkaara dengan pihak lain, tapi mengapa Sekte Iblis tidak memberi ampun
kepadanya?” Mendadak hatinya terkesiap, “Hei, sebelum pergi tadi pemimpin
orang-orang berkedok itu menyebut ‘Ketua Ren dari Sekte Iblis telah datang di
sini’. Padahal orang-orang Sekte Iblis menyebut kelompok mereka sebagai Sekte
Matahari dan Bulan. Istilah Sekte Iblis dianggap sebagai suatu penghinaan dan
membuat mereka tidak segan-segan menumpahkan darah orang. Tapi mengapa orang
itu justru menyebut ‘Sekte Iblis’, bukankah itu menghina diri sendiri? Jika dia
berani mengucapkan kata-kata ‘Sekte Iblis’, maka jelas dia pasti bukan anggota
Sekte Iblis. Lagipula mengapa dia mengira diriku ini Ketua Ren? Mengapa seorang
pemuka Sekte Iblis tidak mengenali Ketua Ren yang sebenarnya? Lalu, dari
manakah asal usul rombongan orang-orang berkedok itu?”
Dilihatnya murid-murid
Perguruan Henshan masih terus menangis dengan sedihnya. Ia pun tidak mau
mengganggu mereka dan memilih duduk bersandar pada batang pohon. Sebentar kemudian
matanya sudah terlelap dan ia pun tertidur pulas.
Esok paginya waktu terbangun,
dilihatnya beberapa murid berjaga di samping jenazah Biksuni Dingjing. Beberapa
murid lainnya yang lebih muda kebanyakan masih tidur di sekeliling biksuni tua
yang sudah tak bernyawa itu. Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Jika seorang
perwira seperti aku diharuskan membawa rombongan perempuan seperti ini ke
Fuzhou, maka akan terlihat sangat lucu dan aneh. Untungnya aku memang hendak
pergi ke Fuzhou, sehingga tidak perlu memimpin mereka secara langsung. Yang
penting aku tetap bisa melindungi mereka sepanjang jalan sudah cukup.”
Ia kemudian berdehem lalu
mendekati murid-murid Henshan yang sedang berjaga itu. Yu Sao, Yihe, Yiqing,
Yizhen, Yizhi, dan beberapa murid lainnya menguncupkan tangan memberi hormat
kepadanya dan menyapa, “Kami telah mendapat pertolongan Pendekar Besar. Budi
baik ini sukar kami balas. Sungguh malang guru kami mengalami bencana. Sebelum
wafat Beliau telah meminta pertolongan kepada Pendekar Besar, maka untuk
selanjutnya segala perintah Pendekar Besar tentu akan kami patuhi.” Mereka
tidak lagi memanggil “jenderal” karena mengetahui kalau ia hanyalah perwira
gadungan.
Linghu Chong menjawab, “Ah,
kalian menyebut ‘pendekar besar’ segala, aku jadi risih. Jika kalian menganggap
aku baik, maka tetap panggil ‘jenderal’ saja kepadaku.”
Yihe dan yang lain saling
pandang kemudian manggut-manggut tanda setuju.
Linghu Chong melanjutkan,
“Kemarin malam aku bermimpi kalian telah dirobohkan dengan obat bius oleh seorang
perempuan keparat dan dikumpulkan di suatu rumah besar. Mengapa sekarang kalian
bisa berada di sini?”
“Kami juga tidak tahu apa yang
telah terjadi sesudah dibius oleh musuh,” jawab Yihe. “Kawanan bangsat itu
kemudian membangunkan kami dengan guyuran air dingin dan mengendurkan tali
pengikat kami. Kami digiring melalui jalan kecil di belakang kota. Kami diseret
supaya berjalan secepat mungkin. Jika kami berjalan lamban sedikit saja, mereka
langsung mencambuk kami. Sampai hari gelap pun kami masih terus digiring
seperti hewan. Akhirnya Bibi Guru tiba. Mereka lantas mengepung Bibi Guru dan
memaksa Beliau menyerah ….” bicara sampai di sini tenggorokannya seakan-akan
tersumbat, lalu menangis kembali.
Linghu Chong menanggapi,
“Ternyata ada jalan kecil menuju luar kota. Pantas saja kalian menghilang
begitu saja.”
Yiqing berkata, “Jenderal,
kami rasa yang terpenting saat ini adalah memperabukan jenazah guru kami.
Setelah itu, kami mohon petunjuk Jenderal.”
Linghu Chong menggeleng dan
berkata, “Urusan kaum biksu dan biksuni sedikit pun jenderalmu ini tidak paham.
Jadi, aku hanya bisa garuk-garuk kepala jika dimintai petunjuk segala. Yang
paling penting bagi jenderalmu ini adalah lekas naik pangkat dan cepat kaya,
yang lain tidak perlu. Maka, biarlah sekarang juga aku pergi saja.” Habis
berkata demikian, ia lantas pergi menuju ke selatan dengan langkah lebar.
“Jenderal! Jenderal!” para
murid Henshan itu berteriak-teriak.
Linghu Chong terus berjalan
sampai melewati bukit, barulah ia berhenti dan bersembunyi di atas pohon.
Setelah menunggu dua jam lamanya, terlihat murid-murid Henshan berjalan dengan
wajah sedih. Sesudah rombongan itu lewat, Linghu Chong pun membuntuti mereka
untuk memberikan perlindungan.
Setelah sampai di kota
selanjutnya, Linghu Chong beristirahat di sebuah penginapan. Ia berpikir, “Aku
telah bertempur melawan orang-orang Sekte Iblis dan Perguruan Songshan. Wajah
berewok komandan Quanzhou Wu Tiande ini tentu sudah lumayan terkenal di dunia
persilatan. Nenekmu, aku sudah tidak bisa menyamar sebagai jenderal lagi.”
Ia kemudian memanggil pelayan
penginapan dan memberinya dua tahil perak untuk ditukar dengan pakaian yang
dikenakan orang itu. Linghu Chong mengaku sebagai jenderal yang sedang memburu
penjahat dan terpaksa harus menyamar menjadi orang biasa. Ia berpesan supaya si
pelayan tidak membocorkan hal ini, karena penjahat yang dikejar itu sangat
berbahaya. Jika si penjahat sampai lolos, maka Linghu Chong mengancam akan
datang kembali ke penginapan untuk membereskan si pelayan. Tentu saja pelayan
itu ketakutan dan menuruti semua perkataan Linghu Chong.
Keesokan harinya Linghu Chong
pergi ke tempat sepi untuk menukar pakaiannya. Ia mengenakan pakaian pelayan,
mencabut kumis dan cambang yang menempel di wajahnya, kemudian mengubur semua
pakaian dan berkas-berkas milik Wu Tiande di dalam tanah. Berpikir bahwa sejak
hari itu ia tidak lagi menyamar sebagai “jenderal” ternyata muncul perasaan
kehilangan di dalam hatinya.
Dua hari kemudian ia membeli
sebilah pedang di daerah Jianning, lalu menyimpannya di dalam bungkusan
perbekalan.
Selama perjalanan ini ternyata
keadaan baik-baik saja membuat Linghu Chong merasa gembira. Sampai akhirnya ia
melihat murid-murid Perguruan Henshan memasuki sebuah biara di timur Kota
Fuzhou. Biara itu memiliki papan nama bertuliskan “Biara Wuxiang” membuatnya
menghembuskan napas lega. Ia pun berpikir, “Sekarang beban berat ini sudah
lepas dari bahuku. Aku telah berjanji kepada Biksuni Dingjing untuk mengantar
mereka sampai ke Biara Wuxiang. Meskipun aku tidak mengantar mereka secara
langsung, tapi aku selalu mengawasi dari jauh dan mereka pun memasuki Biara
Wuxiang dengan selamat.”
Ia kemudian berputar haluan
menuju ke jalan raya, lalu bertanya kepada seorang pejalan kaki di mana letak
Biro Ekspedisi Fuwei berada. Setelah mendapat jawaban, ternyata keinginan untuk
pergi ke sana mendadak lenyap dan ia hanya berjalan-jalan tak tentu arah di
jalanan kecil sekitar situ. Dalam hati ia tidak berani menemui Sang Guru dan
Ibu Guru, juga tidak berani menyaksikan secara langsung hubungan antara Adik
Kecil dan Lin Pingzhi. Sambil berjalan ia terus-menerus mencari alasan untuk
menunda keberangkatannya. Namun tiba-tiba terdengar suara seseorang yang sudah
sangat dikenalnya berkumandang di dalam telinga, “Lin Kecil, sebenarnya kau ini
mau menemaniku pergi minum atau tidak?”
Begitu mendengar suara itu,
seketika dada Linghu Chong terasa panas, pikirannya menjadi kacau dan kepala
terasa pusing. Jauh-jauh ia datang ke Fujian menempuh jarak ratusan kilo
tujuannya justru ingin mendengar suara ini, dan ingin melihat wajah si pemilik
suara pula. Namun sekarang ketika telah benar-benar mendengar suara itu, ia
justru tidak berani menoleh untuk memandangnya. Seketika ia pun tertegun dan
berdiri bagai patung, air mata pun berlinangan sehingga pandangannya menjadi
kabur.
Dari nada panggilan itu serta
bagaimana kalimat yang diucapkan, jelas menunjukkan kalau hubungan Yue Lingshan
dan Lin Pingzhi semakin akrab.
Terdengar Lin Pingzhi
menjawab, “Aku tidak punya waktu. Guru memberiku pelajaran tambahan, sampai
sekarang belum bisa kulatih dengan baik.”
“Tiga jurus ilmu pedang itu
sebenarnya sangat mudah,” ujar Yue Lingshan. “Temanilah aku minum, nanti akan
kuajarkan kepadamu di mana letak rahasia ketiga jurus ilmu pedang itu.
Bagaimana?”
Lin Pingzhi menjawab, “Tapi
Guru dan Ibu Guru sudah berpesan agar dalam beberapa hari ini kita jangan
sembarangan berkeliaran di jalanan kota supaya tidak menimbulkan masalah. Maka
menurut pendapatku, lebih baik kita pulang saja. Bagaimana?”
Yue Lingzhan menanggapi,
“Kenapa jalan-jalan saja tidak boleh? Kita sudah sekian lama tidak melihat ada
seorang pun tokoh persilatan di sini. Seandainya ada jago-jago persilatan yang
berdatangan ke kota ini, asalkan kita tidak saling mengganggu, peduli apa?”
Begitulah, sambil bercakap-cakap
kedua orang itu lambat laun berjalan menjauh.
Perlahan-lahan Linghu Chong
membalikkan badan. Dilihatnya sosok Yue Lingshan yang ramping itu berada di
sebelah kiri, sedangkan Lin Pingzhi yang jangkung berada di sebelah kanan.
Kedua muda-mudi itu berjalan berdampingan. Si nona memakai baju hijau tua
dengan kain rok berwarna hijau pupus, sedangkan si pemuda memakai jubah panjang
warna kuning muda. Pakaian mereka terlihat bersih dan rapi. Jika dipandang dari
belakang, mereka benar-benar merupakan pasangan yang serasi.
Seketika dada Linghu Chong
bagai tersumbat sesuatu sehingga bernapas pun sukar. Ia sudah berpisah beberapa
bulan dengan Yue Lingshan. Walaupun selama ini senantiasa terkenang, namun baru
sekarang ia merasakan cintanya kepada sang adik kecil begitu mendalam. Tanpa
terasa tangannya menggenggam gagang pedang, dan ingin sekali ia menggorok leher
sendiri untuk menghabisi hidupnya yang merana ini. Tiba-tiba matanya menjadi
gelap, langit seperti berputar dan bumi terbalik. Seketika ia pun jatuh terduduk.
Setelah agak lama ia bisa
menenangkan diri, kemudian bangkit kembali. Dengan kepala agak pusing ia
berpikir, “Selamanya aku tidak sanggup bertemu mereka lagi, untuk apa
menyusahkan diri sendiri? Malam ini aku akan meninggalkan sepucuk surat untuk
memperingatkan Guru dan Ibu Guru, bahwa Ren Woxing telah kembali ke dunia
persilatan dan hendak mencari perkara dengan Perguruan Huashan. Ilmu silat
orang ini luar biasa tingginya, dan Beliau berdua harus berhati-hati. Aku juga
tidak boleh meninggalkan namaku pada surat, kemudian aku akan pergi ke negeri
asing yang jauh. Untuk selamanya aku tidak akan menginjakkan kaki kembali ke
Daratan Tengah lagi.”
Usai berpikir demikian ia
lantas kembali ke penginapan dan memesan arak untuk kemudian minum
sepuas-puasnya. Kekuatan minumnya hebat, tapi karena pikiran sedang sedih
membuatnya lekas mabuk. Baru minum tiga kati saja ia sudah tertidur pulas tanpa
mengganti pakaian.
Tepat tengah malam ia
terbangun, kemudian menulis surat dan keluar melompati pagar tembok penginapan
menuju gedung Biro Ekspedisi Fuwei.
Gedung perusahaan ekspedisi
itu sangat megah, sehingga mudah untuk dikenali, juga tidak jauh dari
penginapan. Hanya berlari sebentar saja Linghu Chong sudah melihat dua tiang
bendera menjulang tinggi di depan gedung. Pada tiang bendera itu sudah tidak
terpasang panji apa-apa lagi. Semua lampu di dalam gedung tersebut juga sudah
dipadamkan, sama sekali tidak terdengar suara sedikit pun.
Linghu Chong memutar ke
belakang gedung dan berpikir, “Guru dan Ibu Guru entah tinggal di mana? Mungkin
saat ini Beliau berdua sudah tidur.”
Tepat pada saat itulah
tiba-tiba di pojok kiri gedung berkelebat sesosok bayangan manusia yang
melayang keluar dengan melompati pagar tembok. Dari perawakannya dapat
diketahui kalau itu sosok seorang perempuan.
Linghu Chong segera berlari
mengejar bayangan tersebut. Terlihat perempuan itu berlari ke arah barat daya.
Ilmu meringankan tubuh yang digunakannya jelas berasal dari Perguruan Huashan.
Linghu Chong pun mengerahkan tenaga dalam untuk mengejar lebih kencang.
Ternyata perempuan itu tidak lain adalah Yue Lingshan sendiri. Ia menjadi
heran, hendak ke mana adik kecilnya itu berlari di tengah malam buta begini?
Dilihatnya Yue Lingshan
berlari dengan merapat pada dinding rumah. Linghu Chong semakin heran dan
membuntuti di belakang pada jarak belasan meter. Langkahnya enteng dan gesit,
sedikit pun tidak terdengar oleh Yue Lingshan.
Jalanan Kota Fuzhou
berbelit-belit cukup rumit dengan rumah penduduk yang tak terhitung banyaknya.
Namun Yue Lingshan terlihat terus berlari dengan yakin, kadang membelok ke
kanan, kemudian ke kiri, jelas ia sudah terbiasa melewatinya. Ketika melalui
perempatan pun ia terlihat mengambil jalur tanpa ragu sedikit pun. Setelah
berlari lebih dari tiga kilo, akhirnya ia membelok ke suatu gang kecil di
samping sebuah jembatan batu.
Linghu Chong melompat ke atap
sebuah rumah dan mengawasinya melangkah menyusuri gang tersebut. Sesampainya di
ujung gang, Yue Lingshan lantas melompat masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah
besar.
Rumah itu memiliki pintu
gerbang berwarna hitam dengan dinding tembok bercat putih. Pada bagian atas
tembok tampak ditumbuhi tanaman merambat pertanda rumah tersebut sudah tua
sekali. Cahaya lampu memancar dari balik jendela di beberapa sudut rumah.
Dengan hati-hati dan
berjingkat-jingkat Yue Lingshan melangkah menuju ke bawah jendela di kamar
sebelah timur, lalu mengintip ke dalam melalui celah-celah jendela tersebut.
Tiba-tiba gadis itu menjerit melengking seperti bunyi setan menyeramkan.