Ren Woxing berkata kepada
Linghu Chong, “Adik cilik, begitu mendengar panggilanku, kau langsung naik ke
sini, sungguh bagus sekali! Bagus sekali!” Ia lalu berpaling kepada Xiang
Wentian dan bertanya, “Mengapa orang-orang keempat perguruan yang lain hingga
kini masih belum datang juga?”
“Hamba akan mendesaknya lagi!”
jawab Xiang Wentian. Ia lantas mengangkat tangan kiri sebagai isyarat. Segera
delapan orang tua berseragam kuning berbaris ke depan puncak tersebut dan
berteriak bersama, “Ketua Ren, pemimpin Sekte Matahari dan Bulan yang perkasa
dan bijaksana memberikan titah agar semua ketua dan murid Perguruan Taishan,
Hengshan, Huashan, dan Songshan segera menghadap ke puncak ini. Para ketua
balai diperintahkan untuk mendesak mereka secepatnya, jangan sampai lalai!”
Kedelapan orang tua itu
masing-masing memiliki tenaga dalam yang sangat kuat. Suara mereka serentak
berkumandang hingga jauh dan terdengar di setiap puncak gunung sekitarnya.
Sesaat kemudian terdengarlah suara balasan dari berbagai penjuru, yaitu
berpuluh-puluh orang menjawab bersamaan, “Kami menerima titah! Semoga Ketua
panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan sepanjang masa!” Suara
jawaban ini jelas berasal dari para ketua balai tersebut.
Ren Woxing lalu berkata dengan
tersenyum, “Ketua Linghu, silakan duduk di sebelahku sini.”
Linghu Chong melihat di
sebelah barat telapak tangan batu itu berbaris lima buah kursi, dan pada setiap
kursi tampak dilapisi kain sutra dengan warna-warna yang berbeda, yaitu hitam,
putih, hijau, merah, dan kuning. Masing-masing kain sutra tersebut bersulamkan
gambar sebuah puncak gunung. Kursi yang disediakan untuk Linghu Chong dilapisi
kain sutra berwarna hitam yang bersulamkan gambar Puncak Jianxing, yaitu puncak
utama Gunung Henshan. Ini menunjukkan betapa rapi Sekte Matahari dan Bulan
mempersiapkan segala sesuatunya.
Dalam urutan Serikat Pedang
Lima Gunung, yang biasanya disebut pertama kali adalah Perguruan Songshan,
sedangkan Perguruan Henshan selalu disebut paling akhir. Namun, kini tempat
duduk ketua Perguruan Henshan justru diputar balik menjadi yang paling dekat
dengan Ren Woxing, kemudian disusul Perguruan Huashan, Hengshan, Taishan,
hingga akhirnya Perguruan Songshan diletakkan pada urutan paling belakang.
Jelas Ren Woxing sengaja hendak merendahkan Zuo Lengchan.
Mengingat Zuo Lengchan, Yue
Buqun, Tuan Besar Mo, dan Pendeta Tianmen sudah meninggal semua, maka Linghu
Chong merasa tidak perlu segan-segan lagi. Ia pun membungkukkan badan dan
menjawab, “Baik, aku akan duduk di sana.” Usai berkata demikian pemuda itu
lantas duduk di kursi berlapis sutra hitam yang disediakan untuknya.
Suasana di Puncak Menyongsong
Mentari sunyi senyap. Tidak seorang pun yang datang ke tempat itu. Selang agak
lama Xiang Wentian kembali memberi perintah agar kedelapan orang tua tadi
berteriak sekali lagi. Namun demikian, tetap saja tiada seorang pun yang
datang.
Xiang Wentian berkata,
“Orang-orang ini benar-benar tidak tahu diri. Sudah sekian lama mereka masih
juga belum datang memberikan sembah pada Ketua. Lekas perintahkan orang-orang
kita naik lebih dulu kemari!”
Kedelapan orang tua berseragam
kuning tadi lantas berseru serentak, “Saudara-saudara dari pulau-pulau,
gua-gua, gunung-gunung, dan berbagai perkumpulan sungai dan laut, dipersilakan
naik ke atas Puncak Menyongsong Mentari untuk menghadap Ketua!”
Baru saja kata “Ketua” selesai
diucapkan, serentak di sekitar puncak gunung itu bergema suara jawaban, “Kami
menerima perintah!” Begitu dahsyat suara ini hingga bergemuruh dan menggetarkan
lembah pegunungan tersebut.
Linghu Chong terperanjat
mendengar suara yang riuh ramai itu. Dari suara gemuruh tersebut dapat
diperkirakan paling tidak diteriakkan oleh dua-tiga puluh ribu orang. Padahal
tadinya suasana begitu sunyi senyap, tahu-tahu bergema suara orang sebanyak
ini. Jelas sebelumnya mereka sengaja disembunyikan oleh Ren Woxing dengan
tujuan muncul secara tiba-tiba untuk membuat gentar pihak Serikat Pedang Lima
Gunung supaya tidak berani melakukan perlawanan.
Dalam sekejap saja ribuan
orang telah muncul dan membanjir menuju Puncak Menyongsong Mentari dari
berbagai penjuru. Meski jumlah orang itu sangat banyak, namun sama sekali tidak
mengeluarkan suara berisik. Setiap orang berdiri di tempat masing-masing secara
rapi dan teratur. Sepertinya mereka sudah terlatih dengan baik sebelumnya. Yang
naik ke atas puncak itu hanya dua-tiga ribu orang saja, dan masing-masing
memiliki kedudukan semacam ketua perkumpulan, ketua pulau, ketua gunung, dan
sebagainya. Sementara itu, anak buah mereka tetap menunggu di lereng gunung.
Sekilas pandang Linghu Chong
melihat dalam barisan itu terdapat Lan Fenghuang, Zu Qianqiu, Lao Touzi, Ji
Wushi, Sima Da, dan Huang Boliu. Meskipun tidak tinggal di Tebing Kayu Hitam,
namun mereka berada di bawah pengaruh Sekte Matahari dan Bulan. Sewaktu Linghu
Chong memimpin para jagoan silat golongan hitam menyerbu Biara Shaolin waktu
itu, orang-orang ini ikut mengambil bagian, bahkan menjadi orang-orang penting
yang ikut mengatur siasat. Begitu melihat Linghu Chong duduk di kursi
kehormatan, orang-orang itu memandang sekilas dengan sedikit tersenyum. Sedikit
pun mereka tidak berani bersuara, apalagi menyapa.
Xiang Wentian lantas
mengangkat tangan kanan dan menggambar setengah lingkaran di udara. Serentak
beribu-ribu orang itu pun berlutut dan berteriak, “Hamba sekalian menyampaikan
sembah bakti kepada Ketua Ren, pemimpin Sekte Matahari dan Bulan, sang
juruselamat yang mahabijaksana. Semoga Ketua Suci panjang umur, hidup abadi,
merajai dunia persilatan selamanya!”
Orang-orang ini masing-masing
memiliki kepandaian yang tinggi, sehingga teriakan mereka pun disertai tenaga
dalam pula. Teriakan satu orang saja bagaikan teriakan sepuluh manusia biasa.
Begitu mereka mengucapkan “semoga Ketua panjang umur dan seterusnya” serentak
anak buah masing-masing yang tersebar di segenap penjuru ikut berteriak.
Akibatnya tentu luar biasa. Suasana di tempat itu pun bergemuruh seakan-akan
menggetarkan langit dan mengguncangkan bumi.
Ren Woxing duduk diam dengan
tenang di tempatnya. Setelah sanjung puji yang diteriakkan orang-orang itu
benar-benar selesai, barulah ia mengangkat sebelah tangan dan berkata,
“Saudara-saudaraku telah bekerja keras, sekarang silakan bangun!”
“Terima kasih, Ketua Suci!”
seru beribu-ribu orang itu sambil bangkit bersama-sama.
Melihat ini Linghu Chong
berpikir, “Sewaktu datang ke Tebing Kayu Hitam dulu aku benar-benar ingin
muntah melihat sanjung puji anggota Sekte Matahari dan Bulan terhadap Dongfang
Bubai. Tak kusangka, setelah Ren Woxing menjadi ketua, keadaan benar-benar
semakin buruk. Mereka bahkan menambahkan sebutan “ketua suci” segala. Aku
seperti melihat para sarjana dan perwira kerajaan datang menghadap dan
merendahkan diri demi menyembah kaisar. Aku hanyalah seorang pendekar biasa.
Kalau aku sampai melakukan perbuatan menjijikkan seperti ini, apakah aku masih
pantas disebut laki-laki sejati?”
Saat berpikir demikian
tiba-tiba perutnya merasa kesakitan, pandangan menjadi gelap, kepala terasa
pusing pula, dan hampir saja ia jatuh pingsan. Lekas-lekas ia pun memegang tepi
kursi dengan kencang sambil menggigit bibir hingga berdarah demi menahan rasa
sakit yang luar biasa itu. Sejak mempelajari Jurus Penyedot Bintang, ia telah
bersumpah tidak akan menggunakan ilmu kejam tersebut. Namun, ketika
terperangkap di dalam jala yang dilemparkan Yue Buqun tadi, terpaksa ia
menggunakan ilmu itu untuk menghisap tenaga dalam sang guru. Akibatnya justru
menyiksa diri sendiri seperti ini.
Sekuat tenaga ia menahan rasa
sakit agar mulut tidak sampai mengeluarkan suara rintihan. Tampak butir-butir
keringat berjatuhan di keningnya, sekujur tubuh gemetar, otot wajahnya
berkerut-kerut, pertanda betapa berat penderitaan yang ia rasakan. Setiap orang
dapat melihat hal ini dengan jelas. Zu Qianqiu dan yang lain tampak
memandangnya dengan penuh perhatian dan rasa khawatir.
Ren Yingying berjalan
mendekati dan berkata lirih, “Kakak Chong, aku ada di sisimu!”
Andaikan mereka berada di
tempat yang sepi tentu ia sudah memegang tangan sang kekasih untuk memberikan
semangat. Namun, di bawah tatapan beribu-ribu pasang mata, terpaksa ia hanya
dapat mengucapkan kata-kata tersebut, itu pun dengan wajah merah menahan malu.
Linghu Chong lantas menoleh
dan memandang Ren Yingying sekejap. Ia merasa agak terhibur dan rasa sakitnya
sedikit berkurang. Teringat olehnya apa yang pernah dikatakan Ren Woxing di
Hangzhou dahulu, bahwa setelah mempelajari Jurus Penyedot Bintang dan menghisap
bermacam-macam tenaga dalam milik orang lain ke dalam tubuh sendiri, maka pada
suatu hari kelak himpunan hawa murni tersebut pasti akan bergolak hebat. Setiap
kali penyakit ini kambuh tentu akan semakin hebat daripada sebelumnya, dan ini
berarti tubuh pun akan semakin tersiksa.
Itulah sebabnya mengapa Ren
Woxing menyerahkan urusan agama kepada Dongfang Bubai. Ia merasa penyakitnya
itu sering kambuh dan sangat menyiksa. Dengan mengambil cuti dari jabatannya,
ia berusaha mencari cara untuk bisa memusnahkan gangguan berbagai macam hawa
murni liar tersebut. Akibatnya, kesempatan ini justru dimanfaatkan Dongfang
Bubai untuk memberontak dan mengurungnya di bawah Danau Barat.
Selama terpenjara di dasar
Danau Barat di daerah Hangzhou itulah, Ren Woxing akhirnya berhasil melatih
cara memusnahkan gabungan hawa murni liar yang mengamuk di dalam tubuhnya. Ia
lantas menawarkan diri kepada Linghu Chong untuk mengajarkan ilmu tersebut
dengan syarat pemuda itu harus masuk ke dalam Sekte Matahari dan Bulan. Namun,
Linghu Chong dengan tegas menolak tawaran Ren Woxing tersebut, karena sejak
kecil ia telah dididik untuk membenci Sekte Matahari dan Bulan sebagai aliran
sesat dan tidak boleh bergaul dengan agama iblis tersebut.
Seiring berjalannya waktu,
Linghu Chong menyaksikan sendiri bagaimana Zuo Lengchan dan Yue Buqun yang
selama ini menamakan diri sebagai guru besar dari aliran lurus bersih, namun
perbuatan mereka ternyata jauh lebih culas dan keji daripada orang-orang aliran
sesat. Kini baginya, perbedaan antara golongan hitam dan golongan putih menjadi
rancu dan tidak jelas lagi. Terkadang timbul pula pikiran dalam benaknya,
andaikan Ren Woxing kembali mengharuskannya masuk agama sebagai syarat untuk
menikahi Ren Yingying, tentu ajakan tersebut akan diterimanya tanpa membantah.
Dasar watak Linghu Chong
memang suka apa adanya, segala macam persoalan tidak pernah dianggapnya
sungguh-sungguh. Baginya apakah harus masuk agama atau tidak sama, sekali bukan
persoalan penting. Namun, tempo hari sewaktu ia menyaksikan secara langsung
bagaimana para anggota Sekte Iblis menjilat dan memuja Dongfang Bubai dan
kemudian Ren Woxing secara berlebihan, seketika timbul rasa muak di dalam hatinya.
Sebagai seorang bebas merdeka, ia sama sekali tidak sudi diperbudak dan
mengucapkan sanjung puji dengan merendahkan diri seperti pengemis.
Hari ini, ia pun melihat
betapa Ren Woxing mengagungkan diri sendiri. Lagaknya jauh lebih hebat dan
berkuasa daripada seorang kaisar maharaja. Padahal, dulu ia sangat menderita
sewaktu terkurung di dasar Danau Barat. Kini setelah berkuasa, ia memperlakukan
segenap kaum kesatria dunia persilatan dengan sedemikian hina, sedemikian
rendahnya, seolah-olah mereka bukan manusia.
Ketika Linghu Chong larut
dalam lamunannya, tiba-tiba ia mendengar suara seseorang berseru, “Lapor kepada
Ketua Suci, murid-murid Perguruan Henshan telah tiba!”
Linghu Chong terkejut
seketika. Ia melihat Yihe, Yiqing, Yilin, dan yang lain bahu-membahu naik ke
atas puncak tersebut. Biksu Bujie dan istrinya, serta Tian Boguang juga ikut di
belakang mereka.
Segera seorang tetua Sekte
Matahari dan Bulan berseru, “Kawan-kawan sekalian, silakan memberi hormat
kepada Ketua Suci!” Yang bicara ini tidak lain adalah Bao Dachu.
Melihat Linghu Chong juga ada
di sana, Yiqing dan yang lain sadar bahwa Ren Woxing adalah calon mertua ketua
mereka itu. Meskipun mereka berpikir bahwa golongan hitam dan putih tidak
seharusnya berdampingan, namun demi menghargai sang ketua, tiada salahnya
sebagai kaum muda memberi hormat kepada angkatan tua.
Maka, Yiqing pun memimpin
saudara-saudaranya berjalan mendekati telapak tangan batu raksasa tersebut,
lantas membungkukkan tubuh dan berkata, “Kami dari Perguruan Henshan memberi
salam hormat kepada Ketua Ren!”
“Berlutut dan menyembah!”
bentak Bao Dachu.
“Kaum biarawati seperti kami
hanya menyembah kepada Sang Buddha, menyembah kepada Boddhisatwa, dan menyembah
kepada guru,” sahut Yiqing lantang. “Kami sama sekali tidak menyembah manusia
biasa.”
“Ketua Suci bukan manusia
biasa,” seru Bao Dachu. “Beliau seorang nabi, seorang dewa, seorang buddha,
seorang boddhisatwa!”
Yiqing lantas berpaling ke
arah Linghu Chong. Tampak pemuda itu menggeleng kepala. Maka, Yiqing pun
kembali berkata lantang, “Kalau mau bunuh silakan bunuh saja kami semua. Yang
pasti murid-murid Perguruan Henshan tidak menyembah manusia biasa!”
“Ucapan bagus, ucapan bagus!”
seru Biksu Bujie sambil bergelak tawa.
Xiang Wentian langsung
membentak gusar, “Kau berasal dari perguruan mana? Untuk apa kau datang
kemari?”
Rupanya Xiang Wentian melihat
adanya bibit keributan karena murid-murid Perguruan Henshan tidak mau menyembah
kepada Ren Woxing. Apabila orang-orang Henshan ini sampai diperlakukan kasar,
tentu rasanya tidak enak kepada Linghu Chong. Oleh karena itu, ia sengaja
membentak Biksu Bujie untuk mengalihkan perhatian Ren Woxing sehingga melupakan
sikap membantah murid-murid Henshan tadi.
Bujie pun menjawab dengan
tertawa, “Aku seorang biksu liar, tidak diterima biara besar, tidak diterima
biara kecil. Maka itu, aku tidak memiliki aliran atau perguruan yang jelas.
Hanya saja, aku mendengar di Gunung Huashan ini sedang berkumpul banyak orang.
Kedatanganku kemari hanya untuk melihat keramaian.”
“Pertemuan ini hanya untuk
dihadiri orang-orang Sekte Matahari dan Bulan dan Serikat Pedang Lima Gunung.
Orang luar tidak boleh ikut mengacau di sini. Lekas kau segera turun gunung
saja!” kata Xiang Wentian. Ucapannya ini boleh dikata sudah cukup sopan demi
untuk menjaga perasaan Linghu Chong. Ia sadar kedatangan Biksu Bujie adalah
bersama dengan orang-orang Perguruan Henshan, tentu sedikit-banyak memiliki
hubungan baik dengan mereka. Maka, ia pun tidak mau mempersulit biksu besar
tersebut.
Tak disangka Bujie malah menjawab,
“Gunung Huashan ini bukan milik Sekte Iblis kalian. Aku mau datang ke sini,
peduli apa dengan kalian? Kecuali orang-orang Perguruan Henshan, tidak seorang
pun berhak mengusir aku.”
Istilah “Sekte Iblis”
merupakan nama ejekan bagi Sekte Matahari dan Bulan. Kaum persilatan pada
umumnya tidak berani mengucapkan istilah ini secara terang-terangan di hadapan
anggota sekte, kecuali kalau memang sengaja hendak mencari permusuhan.
Namun, pada dasarnya sifat
Biksu Bujie memang tidak memiliki pantangan. Apa yang ia pikirkan, itu pula
yang ia ucapkan. Apalagi ketika Xiang Wentian mengusirnya, seketika hatinya
menjadi kesal. Tanpa pikir panjang ia langsung membantah tanpa menghiraukan
siapa yang sedang dihadapinya. Sedikit pun dirinya tidak merasa gentar.
Dengan menahan gusar Xiang
Wentian berpaling kepada Linghu Chong dan bertanya, “Adik Linghu, siapa
sebenarnya biksu sinting ini? Ada hubungan apa dengan perguruan kalian?”
Linghu Chong sendiri sedang
merasa kesakitan. Perutnya terasa seperti disayat-sayat puluhan pisau. Dengan
suara terputus-putus ia menjawab, “Biksu Bujie … biksu besar ini ….”
Sementara itu, Ren Woxing
benar-benar murka begitu mendengar Bujie berani menyebut “Sekte Iblis” tadi. Ia
khawatir Linghu Chong lebih dulu mengatakan bahwa biksu besar tersebut memiliki
hubungan baik dengan Perguruan Henshan. Jika itu sampai terjadi tentu akan
sukar untuk membunuhnya. Maka, sebelum Linghu Chong selesai menjawab, segera ia
membentak, “Bunuh saja biksu sinting itu!”
Delapan orang tua berseragam
kuning segera menjawab, “Kami menerima perintah!” Serentak mereka menerjang
maju dan mengerubut Bujie.
“Hei, kalian hendak main
keroyok rupanya?” teriak Bujie. Selanjutnya ia tidak sempat bicara lagi karena
harus menghadapi serangan kedelapan orang itu.
“Tidak tahu malu!” teriak si
nenek, ibu Yilin. Segera ia pun melompat maju menggabungkan diri dengan sang
suami. Dengan punggung menempel punggung mereka bertarung melayani serangan
musuh.
Kedelapan orang tua berseragam
kuning itu adalah delapan tetua agama yang rata-rata berilmu tinggi.
Masing-masing ilmu silat mereka setara dengan Bujie. Namun, karena jumlah yang
tidak seimbang, yaitu delapan melawan dua, maka dalam waktu singkat saja
kedelapan orang itu sudah berada di atas angin. Melihat ini Tian Boguang tidak
bisa tinggal diam. Segera ia mengangkat golok dan ikut menerjang ke dalam
pertempuran. Disusul kemudian Yilin juga melolos pedang dan membantu
ayah-ibunya. Dua di antara kedelapan tetua itu lantas memisahkan diri untuk
menghadapi mereka. Tentu saja ilmu silat Tian Boguang dan Yilin kalah jauh
menghadapi kedua tetua itu. Dengan ilmu goloknya yang cepat Tian Boguang masih
cukup lumayan bisa mempertahankan diri, sementara Yilin dalam waktu singkat
sudah terdesak kewalahan menghadapi serangan lawan yang gencar. Andai saja si
tetua tidak menghormati Linghu Chong, tentu Yilin sudah tewas sejak tadi.
Linghu Chong semakin merasa
kesakitan melihat kejadian itu. Ia menunduk dan mendekap perut dengan tangan
kiri, sementara tangan kanan melolos pedang sambil berseru, “Hentikan …
hentikan!”
Dengan menahan sakit ia
menerjang maju ke dalam pertempuran. Begitu pedangnya berkelebat, sekaligus
delapan gerakan dilancarkan. Serentak empat orang tetua terpaksa mundur.
Kembali ia melancarkan delapan serangan dan memaksa keempat lainnya mundur
pula. Semua gerakan ini berasal dari Ilmu Sembilan Pedang Dugu yang selalu
mengarah ke tempat mematikan di tubuh lawan. Bagaimanapun hebatnya kedelapan
tetua itu, namun masing-masing sudah mendengar betapa lihai ilmu pedang Linghu
Chong sehingga tiada seorang pun yang berani menyerang lebih lanjut.
Sambil setengah berjongkok,
Linghu Chong berkata dengan suara terputus-putus, “Ketua … Ketua Ren, harap
sudi memandang diriku dan ... membiarkan mereka ….” Karena terlalu sakit pada
bagian perutnya, sehingga kata “pergi” pun tidak sanggup ia ucapkan.
Ren Woxing paham saat itu
berbagai macam hawa murni dalam tubuh Linghu Chong sedang kambuh dan bergolak
lagi. Ia sadar pemuda ini adalah kekasih idaman putrinya, dan ia sendiri juga
suka dan sayang kepadanya. Selain itu, dirinya tidak mempunyai anak laki-laki.
Kelak, ia bahkan mengharapkan Linghu Chong bisa mewarisi jabatan ketua sekte
dari tangannya.
Berpikir demikian Ren Woxing
lantas mengangguk dan berkata, “Baiklah, karena Ketua Linghu yang memintakan
ampun bagi kalian, maka aku memberi kelonggaran.”
Segera Xiang Wentian melompat
maju. Kedua tangannya bekerja cepat. Berturut-turut ia menotok Biksu Bujie dan
istrinya, serta Tian Boguang dan Yilin. Betapa cepat gerakan tangannya sungguh
luar biasa. Meskipun si nenek terkenal gesit ternyata tidak dapat meloloskan
diri dari tangan Xiang Wentian itu.
Linghu Chong terkejut dan
berseru, “Kakak … Kakak Xiang ….”
“Jangan khawatir,” segera
Xiang Wentian menjawab dengan tertawa. “Ketua sudah menyatakan memberi ampun
kepada mereka.” Ia lalu berpaling kepada anak buahnya dan berseru, “Majulah ke
sini delapan orang!”
“Kami menerima perintah
Pelindung Kiri Xiang!” sahut delapan orang laki-laki berseragam hijau sambil
melangkah maju ke depan.
“Empat laki-laki dan empat
perempuan!” kata Xiang Wentian.
Empat orang di antaranya
segera mengundurkan diri dan empat orang anggota perempuan ganti maju ke depan.
Xiang Wentian lantas berkata,
“Keempat orang ini berbicara tidak pantas. Dosa mereka sungguh besar dan sudah
seharusnya dihukum mati. Tapi Ketua Suci sangat bijaksana dan bermurah hati.
Dengan memandang wajah emas Ketua Linghu, mereka pun tidak diberi hukuman. Maka
itu, gotong saja mereka turun gunung. Sesampainya di bawah lepaskan totokan
mereka dan bebaskan semua.”
Kedelapan orang itu membungkuk
hormat dan berkata, “Kami siap melaksanakan perintah!”
Xiang Wentian lantas
melanjutkan dengan suara lirih, “Mereka adalah teman baik Ketua Linghu, jadi
kalian jangan berbuat kasar.”
“Baik!” jawab mereka serentak.
Kedelapan orang itu lantas bekerja cepat. Setiap dua orang menggotong satu
orang meninggalkan puncak tersebut.
Melihat Bujie sekeluarga sudah
lolos dari maut, Linghu Chong dan Ren Yingying merasa lega. Masing-masing
menghela napas panjang dan bersyukur dalam hati.
Segera Linghu Chong berkata,
“Terima ... terima kasih!” Namun setelah itu ia tidak mampu berdiri tegak.
Karena sakit di perutnya bertambah parah tanpa kuasa ia pun jatuh terjongkok di
atas tanah.
Demi untuk memukul mundur
kedelapan tetua tadi, Linghu Chong telah melancarkan enam belas serangan dalam
sekejap mata. Tentu saja hal ini membutuhkan tenaga yang tidak sedikit dan
membuat penderitaannya semakin bertambah parah. Kini bukan hanya perut yang
terasa seperti ditusuk-tusuk pisau, bagian dada juga terasa ikut sakit luar
biasa.
Diam-diam Xiang Wentian merasa
khawatir, namun wajahnya tampak biasa-biasa saja. Sambil pura-pura tertawa ia
bertanya, “Adik Linghu, apakah kau sedang tidak enak badan?”
Hampir setahun yang lalu
Linghu Chong pernah membantu Xiang Wentian bertempur menghadapi kepungan para
kesatria dari golongan hitam dan putih. Setelah lolos dari maut, keduanya pun
saling mengangkat saudara. Meskipun untuk selanjutnya kedua orang ini jarang
bertemu, namun hubungan batin di antara mereka tetaplah abadi.
Segera Xiang Wentian memegang
tangan Linghu Chong dan memapahnya duduk kembali di atas kursi tadi. Diam-diam
ia mengerahkan tenaga dalam untuk membantu Linghu Chong menolak pergolakan hawa
murni liar di dalam tubuh pemuda itu. Padahal Linghu Chong jelas-jelas memiliki
Jurus Penyedot Bintang. Ini berarti Xiang Wentian membiarkan tenaga dalamnya
terhisap keluar. Jika hal ini diteruskan bisa-bisa Xiang Wentian kehilangan
semua ilmu silatnya. Maka itu, Linghu Chong pun mengibaskan tangannya sambil
berkata, “Jangan, Kakak Xiang! Aku … aku sudah sembuh!”
Sementara itu, Ren Woxing
sedang bertanya kepada anak buahnya, “Di antara Serikat Pedang Lima Gunung
hanya Perguruan Henshan saja yang hadir dalam pertemuan ini. Para anggota dari
keempat perguruan yang lain ternyata berani membangkang perintah. Oleh sebab
itu, kita tak perlu segan lagi kepada mereka!”
Pada saat itulah Shangguan Yun
datang dengan langkah cepat ke atas puncak tersebut. Setibanya di depan telapak
batu raksasa ia lantas menyembah dan berkata, “Lapor kepada Ketua Suci, di
dalam gua Tebing Perenungan, hamba menemukan sekitar dua ratus mayat. Di
antaranya terdapat ketua Perguruan Songshan, Zuo Lengchan. Selain itu banyak
pula tokoh-tokoh penting Perguruan Songshan, Hengshan, dan Taishan ikut menjadi
korban. Sepertinya mereka mati karena saling bunuh satu sama lain.”
“Hah?” sahut Ren Woxing
terkejut. “Bagaimana dengan ketua Perguruan Hengshan? Apakah Tuan Besar Mo juga
terbunuh?”
“Hamba telah memeriksa
semuanya dengan teliti,” jawab Shangguan Yun. “Namun, hamba tidak menemukan
Tuan Besar Mo di sana. Hamba juga tidak menemukan jejaknya di segenap penjuru
Gunung Huashan.”
Linghu Chong dan Ren Yingying
sama-sama terkejut sekaligus gembira. Keduanya saling pandang dan berpikir,
“Paman Guru Mo datang bagaikan angin, pergi bagaikan bayangan. Beliau pasti
bisa menghindarkan diri dari marabahaya di gua tadi. Kemungkinan besar ketika
kekacauan itu terjadi, Beliau membaur bersama mayat dan menahan napas, kemudian
keluar dari gua setelah keadaan benar-benar aman.”
Terdengar Shangguan Yun
melanjutkan, “Dua orang pejabat sementara ketua Perguruan Taishan, yaitu
Yuqingzi dan Yuyinzi juga tewas di dalam gua.”
Ren Woxing merasa kurang
senang mendengarnya. Ia bertanya, “Siapa lagi ... siapa lagi?”
“Bahkan di luar gua juga
ditemukan sesosok mayat ….” lanjut Shangguan Yun.
“Mayat siapa?” tukas Ren
Woxing penasaran.
“Setelah hamba periksa dengan
teliti, akhirnya dapat diketahui dengan pasti bahwa mayat itu adalah ketua
Perguruan Huashan,” jawab Shangguan Yun. “Dia adalah Yue … Tuan Yue alias Si
Pedang Budiman yang baru-baru ini terpilih sebagai ketua Perguruan Lima
Gunung.”
Shangguan Yun sadar bahwa
kelak Linghu Chong akan menjadi ahli waris sang ketua. Oleh karena itu, ia
tidak berani sembarangan menyebut nama Yue Buqun dengan kasar, mengingat pemuda
itu pernah menjadi murid Perguruan Huashan.
Begitu Ren Woxing mendengar
Yue Buqun juga mati, perasaannya semakin kecewa. Ia lantas bertanya, “Siapa …
siapakah yang telah membunuhnya?”
Shangguan Yun menjawab,
“Ketika sedang memeriksa keadaan di dalam gua, hamba mendengar ada suara
beberapa orang bertempur di luar. Begitu hamba memeriksa, ternyata ada
sekelompok murid-murid Huashan sedang bertempur mati-matian melawan sekelompok
murid Taishan. Kedua pihak saling mencaci maki menuduh pihak lawan telah
membunuh guru mereka. Kedua pihak tersebut bertempur dengan sengit dan
sama-sama kehilangan banyak korban. Tidak sedikit yang terluka dan tewas. Hamba
berhasil menawan sisa-sisa dari mereka dan membawa orang-orang itu kemari untuk
menunggu keputusan Ketua Suci.”
“Jadi, Yue Buqun dibunuh oleh
orang Perguruan Taishan?” ujar Ren Woxing setengah bergumam. “Memangnya di
dalam Perguruan Taishan ada jago sehebat itu yang mampu membunuh Yue Buqun?”
Dari kalangan murid-murid
Henshan tiba-tiba Yiqing berseru lantang, “Tidak benar! Yue Buqun telah dibunuh
oleh adik seperguruan kami dari Perguruan Henshan!”
“Siapa adikmu itu?” tanya Ren
Woxing.
“Dia adalah Adik Yilin, salah
seorang yang baru saja dibawa turun gunung tadi,” jawab Yiqing. “Yue Buqun
telah menewaskan Biksuni Ketua dan Bibi Guru Dingyi. Setiap murid dalam
perguruan kami membencinya sampai ke tulang sumsum. Hari ini, atas berkah Sang
Buddha, arwah kedua biksuni sepuh telah meminjam tangan Adik Yilin yang berilmu
silat biasa-biasa saja untuk menghukum penjahat itu.”
“Oh, ternyata begitu!” kata
Ren Woxing. “Jaring Langit begitu luas, seorang pun tak akan lolos. Dosa tak
berampun, hutang harus dibayar.” Nada ucapannya ini terdengar sangat hambar dan
penuh rasa kecewa.
Xiang Wentian dan para tetua
agama juga saling pandang dengan perasaan kurang senang.
Kedatangan Sekte Matahari dan
Bulan ke Gunung Huashan kali ini memang telah dipersiapkan dengan rencana
matang dan pengaturan sangat rapi. Semua jago-jago terkemuka dalam agama
beserta anak buah masing-masing, serta segenap perkumpulan dan perguruan yang
tersebar di berbagai tempat juga dikerahkan seluruhnya. Tujuannya adalah untuk
menaklukkan Serikat Pedang Lima Gunung dalam sekaligus. Apabila kelima perguruan
tersebut berani melawan, maka mereka akan ditumpas dan dimusnahkan tanpa ampun.
Sasaran selanjutnya tentu saja menyerang Perguruan Shaolin dan Wudang. Baru
setelah itu Sekte Matahari dan Bulan akan berjaya dan menguasai dunia
persilatan. Tentu tidak ada lagi suatu golongan atau perguruan yang mengaku
sebagai aliran lurus berani melawannya lagi. Semboyan “merajai dunia
persilatan” akan terbangun kuat melalui pertemuan di Puncak Menyongsong Mentari
saat ini.
Tak disangka, tokoh-tokoh
terkemuka dari keempat perguruan, yaitu Zuo Lengchan, Yue Buqun, Yuqingzi, dan
Yuyinzi telah tewas, sementara Tuan Besar Mo menghilang entah ke mana. Selain
itu, murid-murid keempat perguruan tersebut yang tersisa juga tinggal sedikit.
Ini berarti rencana mahabesar yang telah diatur rapi oleh Ren Woxing tidak
berguna lagi.
Semakin dipikir semakin gusar
rasa hati Ren Woxing. Ia pun berseru, “Bawa ke sini kawanan anjing Perguruan
Lima Gunung yang masih tersisa itu!”
“Baik!” jawab Shangguan Yun.
Ia lantas berbalik dan melangkah cepat ke bawah puncak untuk memanggil mereka.
Sementara itu, pergolakan hawa
murni di dalam tubuh Linghu Chong sudah mulai reda. Ketika mendengar Ren Woxing
menyebut “kawanan anjing Perguruan Lima Gunung yang masih tersisa”, hatinya
merasa kurang senang. Meskipun Ren Woxing tidak bermaksud memaki dirinya, namun
bagaimanapun juga Perguruan Henshan adalah bagian dari Perguruan Lima Gunung
tersebut.
Tidak lama kemudian, terdengar
suara bentakan dan makian. Tampak dua orang tetua agama sedang memimpin anak buahnya
menggiring sekitar tiga puluh orang murid Perguruan Songshan, Huashan,
Hengshan, dan Taishan naik ke puncak tersebut.
Di antara kelima perguruan,
Huashan memiliki jumlah murid yang paling sedikit. Kini jumlah itu semakin
banyak berkurang. Sementara itu, sebagian besar para kesatria terkemuka dari
Perguruan Songshan, Hengshan, dan Taishan juga sudah mati terbunuh di dalam
gua. Dengan demikian ketiga puluh orang yang tersisa ini adalah jago-jago kelas
bawah dan sama sekali tidak terkenal, bahkan sebagian tampak sedang terluka.
Kalau saja bukan karena dibimbing orang-orang Sekte Matahari dan Bulan, tentu
mereka akan sangat kesulitan naik ke puncak tersebut.
Ren Woxing sangat kesal
melihat ini semua. Tanpa menunggu rombongan itu mendekati tempatnya, ia pun
membentak gusar, “Untuk apa aku menginginkan kawanan anjing ini dibawa kemari?
Sudah, bawa saja mereka turun ke sana! Bawa mereka turun!”
“Baik, Ketua Suci!” jawab
kedua tetua tadi serentak. Mereka lantas menggiring kembali rombongan tawanan
tersebut menuju ke bawah.
Ren Woxing terus saja mencaci
maki untuk beberapa saat. Tiba-tiba ia bergelak tawa dan berkata, “Serikat
Pedang Lima Gunung telah banyak melakukan kejahatan di dunia persilatan. Langit
tidak mengampuni dosa mereka. Lihatlah, kita tidak perlu keluar tenaga, tidak
perlu turun tangan, tahu-tahu mereka sudah saling bunuh dan mampus semua. Mulai
hari ini nama Serikat Pedang Lima Gunung sudah terhapus di dunia persilatan.”
Serentak para tetua Sekte
Matahari dan Bulan membungkuk dan berseru, “Ini semua berkat perbawa Ketua Suci
yang bersinar terang, sehingga kawanan tikus celurut itu musnah dengan
sendirinya.”
Xiang Wentian berkata pula,
“Di antara Serikat Pedang Lima Gunung hanya tinggal Perguruan Henshan saja yang
berdiri tegak. Semua ini berkat kepemimpinan Ketua Linghu yang bijaksana. Untuk
selanjutnya, Perguruan Henshan dan Sekte Suci kita menjadi sahabat, senapas
seirama. Saling merasakan kebahagiaan bersama-sama. Untuk itu, selamat kepada
Ketua Suci karena telah mendapatkan seorang kesatria muda yang berbakat tiada
bandingannya sebagai pembantu utama.”
Ren Woxing bergelak tawa dan
berkata, “Benar sekali, benar sekali. Ucapan Saudara Xiang sama sekali tidak
salah. Nah, Adik Linghu, mulai hari ini kau bisa membubarkan Perguruan Henshan.
Para biksuni dan murid perempuan dari perguruanmu itu kalau mau ikut ke Tebing
Kayu Hitam tentu akan kami sambut dengan tangan terbuka. Namun, kalau mereka
ingin tetap tinggal di Gunung Henshan juga tidak menjadi soal. Para jagoan yang
pernah tinggal di Lembah Tongyuan di Gunung Henshan juga boleh dijadikan
sebagai pasukan pengawal Wakil Ketua. Hahahahaha!” Dengan terbahak-bahak ia
menengadah ke langit. Suara gelak tawanya itu terasa menggetarkan lembah
pegunungan dan menimbulkan gema yang tidak ada habisnya.
Mendengar istilah “wakil
ketua” serentak semua orang tekesiap. Namun, sejenak kemudian mereka lantas
bersorak-sorai dengan suara riuh bergemuruh. Dari segenap penjuru,
berkumandanglah seruan, “Pendekar Linghu menjadi wakil ketua sekte suci kita,
sungguh bagus sekali! Sungguh bagus sekali!”
“Selamat untuk Ketua Suci yang
mendapatkan seorang pembantu hebat!”
“Selamat untuk Ketua Suci!
Selamat untuk Wakil Ketua!”
“Hidup Ketua Suci! Hidup Wakil
Ketua!”
Rupanya para anggota Sekte
Matahari dan Bulan yang bersorak gembira itu terbagi menjadi tiga golongan.
Golongan pertama adalah anggota sekte yang tinggal di Tebing kayu Hitam. Mereka
mengetahui bahwa Linghu Chong adalah calon menantu Sang Ketua Suci dan kini
ditunjuk pula sebagai wakil ketua. Kelak dapat dipastikan pemuda itu akan
menggantikan kedudukan Ren Woxing sebagai pemimpin agama. Mereka kenal watak
Linghu Chong sangat ramah dan mudah bergaul. Kelak bila ia naik takhta menjadi
ketua tentu semua anak buahnya akan merasa lebih aman. Saat ini setiap saat mereka
selalu khawatir jangan-jangan ada yang main fitnah untuk saling menjatuhkan,
atau takut membuat marah Ketua Ren dan dihukum mati.
Golongan kedua adalah para
jago silat yang dahulu pernah dipimpin Linghu Chong menyerbu Biara Shaolin, dan
juga pernah tinggal di Lembah Tongyuan di Gunung Henshan. Bisa dikatakan mereka
telah memiliki ikatan batin cukup kuat dengan pemuda itu, sehingga sorak-sorai
mereka pun tulus dari lubuk hati yang paling dalam.
Sementara itu, golongan ketiga
adalah mereka yang pernah menerima budi baik Ren Yingying. Dengan diangkatnya
calon suami Sang Gadis Suci sebagai wakil ketua tentu saja mereka merasa senang
dan ikut bersorak. Dengan latar belakang yang berbeda ketiga golongan tersebut
sama-sama bergembira merayakan pengangkatan Linghu Chong sebagai wakil ketua
dengan setulus hati.
Xiang Wentian juga lantas
berkata, “Selamat untuk Wakil Ketua! Marilah kita minum satu cawan dahulu
sebagai ucapan selamat atas bergabungnya dirimu ke dalam agama suci kita.
Setelah itu kita minum lagi arak bahagia atas perkawinanmu dengan Nona Besar.
Ini namanya kebahagiaan berganda! Kebahagiaan berganda!”
Akan tetapi, perasaan Linghu
Chong sendiri ternyata sedang bingung. Dalam hati ia memberontak dan berharap
urusan ini tidak boleh sampai terjadi. Namun demikian, ia tidak tahu bagaimana
cara untuk menolaknya. Apabila ia sampai menolak kehendak Ren Woxing, itu
berarti perjodohannya dengan Ren Yingying juga akan gagal dan berantakan. Bukan
mustahil Ren Woxing juga akan sangat murka dan membunuhnya pula.
Sebenarnya ia sendiri tidak
takut mati. Namun, membayangkan murid-murid Perguruan Henshan ikut menjadi
korban membuat hatinya menjadi bimbang. Ia merasa bingung apakah harus menolak
dengan tegas ataukah menerima kedudukan itu untuk sementara waktu, sampai
murid-murid Henshan terhindar dari bahaya.
Perlahan ia berpaling ke arah
murid-murid Henshan tersebut. Tampak sebagian dari mereka ada yang berwajah
gusar, ada yang menunduk lesu tak bersemangat, ada pula yang bingung kehilangan
akal. Tidak seorang pun dari mereka yang tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba terdengar Shangguan
Yun berseru lantang, “Di bawah kepemimpinan Ketua Suci dan dengan bantuan Wakil
Ketua yang bijaksana, kita hancurkan Perguruan Shaolin, kita musnahkan
Perguruan Wudang, Kunlun, dan Emei, kita basmi pula Partai Pengemis. Semuanya
dapat kita lakukan dengan mudah. Hidup Ketua Suci, semoga panjang umur, hidup
abadi, merajai dunia persilatan selamanya! Hidup Wakil Ketua, hidup sembilan
ribu tahun, bahagia untuk selamanya!”
Sebenarnya perasaan Linghu
Chong sedang kusut dan sukar menentukan sikap. Namun, begitu mendengar sanjung
puji Shangguan Yun, seketika pikirannya menjadi terbuka. Ia merasa bila dirinya
menerima kehendak Ren Woxing sebagai wakil ketua, maka setiap hari tentu akan
mendengar sanjung puji muluk-muluk yang memuakkan itu. Meskipun sanjung puji
untuknya tidak sebanyak yang diterima Ren Woxing, tetap saja dalam hati ia
merasa geli. Tanpa terasa ia pun tertawa sendiri.
Suara gelak tawanya itu
terkesan menghina, penuh dengan nada mengolok-olok. Hal ini dapat dirasakan
oleh setiap orang yang berpikiran jernih. Seketika suasana di puncak Puncak
Menyongsong Mentari menjadi sunyi senyap.
“Ketua Linghu,” sahut Xiang
Wentian membuka suara, “Ketua Suci telah mengangkatmu sebagai wakil ketua. Itu
berarti kedudukanmu dalam dunia persilatan hanya di bawah seorang saja, dan di
atas ratusan ribu orang. Atas kemurahan hati Ketua Suci tersebut, lekaslah
berterima kasih kepada Beliau.”
Seketika pikiran Linghu Chong
menjadi terang. Tanpa ragu-ragu ia pun bangkit dan berseru lantang menghadap ke
atas, “Ketua Ren, ada dua persoalan ingin kusampaikan.”
“Silakan bicara,” sahut Ren
Woxing dengan tersenyum.
“Yang pertama, aku telah
menerima tugas berat untuk memimpin Perguruan Henshan berdasarkan wasiat ketua
terdahulu, yaitu Biksuni Dingxian. Aku merasa tidak dapat membawa kemajuan
apa-apa bagi Perguruan Henshan, namun yang pasti juga tidak mungkin membubarkan
Perguruan Henshan dan membawanya masuk ke dalam Sekte Matahari dan Bulan. Kalau
sampai itu terjadi, tentu aku akan sangat malu bertemu muka dengan Biksuni
Dingxian di alam sana. Yang kedua adalah urusan pribadi. Aku mohon Ketua Ren
sudi merestui putri kesayanganmu sebagai istriku.”
Sewaktu mendengarkan Linghu
Chong menguraikan persoalan pertama, setiap orang merasa khawatir jangan-jangan
Ren Woxing murka dan urusan bisa menjadi runyam. Namun, begitu mendengar
persoalan kedua ternyata lamaran untuk Ren Yingying, seketika semua orang
saling pandang dengan tersenyum.
Ren Woxing sendiri bergelak
tawa dan berkata, “Masalah pertama mudah untuk diselesaikan. Kau bisa
menyerahkan jabatan ketua Perguruan Henshan kepada salah seorang biksuni, dan
setelah itu kau sendiri masuk ke dalam agama suci kami. Mengenai Perguruan
Henshan untuk selanjutnya bergabung dengan agama suci kami atau tidak, bisa
dirundingkan belakangan. Tentang persoalan kedua, bahwasanya kau dan Yingying
sudah cocok satu sama lain, siapa pula yang tidak tahu soal hubungan kalian
berdua ini? Baiklah, sudah tentu aku mengizinkan dia menjadi istrimu, kenapa
kau masih sangsi? Hahahahaha!”
Serentak orang-orang Sekte
Matahari dan Bulan mengikuti sang ketua bergelak tawa sambil bersorak sorai
dengan gembira.
Linghu Chong berpaling ke arah
Ren Yingying. Dilihatnya kedua pipi si nona bersemu merah. Kebahagiaan
terpancar jelas di wajahnya. Setelah semua orang berhenti tertawa, barulah
Linghu Chong melanjutkan perkataan dengan suara lantang, “Terima kasih banyak atas
maksud baik Ketua yang telah mengajakku masuk ke dalam agama suci kalian,
bahkan memberikan jabatan sedemikian tinggi dan terhormat. Namun, aku sudah
terbiasa hidup bebas, tidak taat pada peraturan. Kalau aku masuk ke dalam agama
suci kalian tentu akan banyak membuat runyam urusan penting Ketua. Oleh karena
itu, setelah kupikirkan masak-masak, kukira lebih baik Ketua menarik kembali
keputusan tadi.”
Ren Woxing gusar luar biasa
dan berkata bengis, “Jadi, kau menolak masuk ke dalam agama suci kami?”
“Benar sekali!” sahut Linghu
Chong. Jawaban ini diucapkannya dengan tegas tanpa ragu-ragu sedikit pun.
Seketika semua orang tercengang mendengarnya. Sebagian dari mereka tampak
berubah pucat membayangkan apa yang akan terjadi.
Kembali Ren Woxing berkata,
“Dalam tubuhmu terhimpun bermacam-macam hawa murni milik orang lain. Baru saja
penyakitmu itu kambuh. Kelak, setiap setengah tahun atau tiga bulan sekali
tentu akan kambuh lagi, bahkan lebih hebat daripada yang kau rasakan saat ini.
Adapun cara untuk memusnahkan pergolakan hawa murni yang menjadi penyakit dalam
tubuhmu itu, hanya aku seorang di seluruh dunia yang mengetahuinya.”
Linghu Chong menjawab,
“Mengenai hal ini Ketua sudah menyinggungnya ketika berada di Wisma Meizhuang
di Kota Hangzhou dulu. Tadi aku memang sudah merasakan betapa sakitnya saat
bermacam-macam hawa murni itu bergolak di dalam tubuh. Benar-benar sangat
tersiksa dan rasanya lebih baik mati saja daripada menderita seperti tadi.
Namun, sebagai seorang pengelana di dunia persilatan, persoalan hidup atau
mati, senang atau susah adalah hal biasa. Seharusnya ini tidak perlu
dipersoalkan lagi.”
“Hm, lancang benar mulutmu!”
sahut Ren Woxing. “Hari ini segenap Perguruan Henshan kalian sudah berada dalam
genggamanku. Bisa saja aku memerintahkan tak seorang pun boleh turun gunung
dalam keadaan hidup. Bagiku, hal ini semudah membalik telapak tanganku
sendiri.”
“Dengan kepandaian Ketua Ren
yang mahasakti, aku percaya apapun yang Ketua katakan pasti bisa terlaksana,”
sahut Linghu Chong tegas. “Namun demikian, meskipun Perguruan Henshan kami
terdiri dari kaum wanita secara keseluruhan, menghadapi segala sesuatu
selamanya juga tidak pernah gentar. Jikalau Ketua hendak membunuh kami semua,
biarlah kita berhadapan lebih dulu. Sampai napas penghabisan Perguruan Henshan
tetap pantang menyerah.”
Segera Yiqing mengangkat
tangan sebagai isyarat. Serentak murid-murid Henshan yang lain langsung
berbaris di belakang Linghu Chong.
“Kita semua hanya mematuhi
perintah Ketua Linghu,” seru Yiqing. “Mati pun kami tidak gentar.”
“Benar, sampai mati tetap
pantang menyerah!” sahut para murid lainnya bersama-sama.
Zheng E lantas berteriak,
“Meskipun jumlah musuh terlalu banyak dan jumlah kami hanya sedikit, ditambah
lagi kami juga sudah masuk perangkap, kami tetap tidak takut. Biarlah dunia
persilatan mengetahui bagaimana Perguruan Henshan menghadapi musuh tanpa
gentar. Meskipun tertumpas habis, paling tidak kami telah meninggalkan nama
yang harum.”
Ren Woxing menjadi gusar
mendengar sindiran ini. Ia menengadah ke langit dan tertawa terbahak-bahak,
kemudian berseru, “Jika aku membunuh kalian hari ini, tentu aku akan dituduh
telah menjebak dan mencelakai kalian secara licik. Baiklah, Linghu Chong, kau
boleh memimpin anak buahmu pulang ke Gunung Henshan. Satu bulan lagi aku pasti
akan akan mendatangi kalian secara langsung. Apabila saat itu tiba, maka
seorang pun tidak akan kuampuni. Kalau sampai di atas Gunung Henshan masih
tersisa seekor ayam atau burung, anggap saja aku ini orang yang tidak becus!”
Serentak orang-orang Sekte
Matahari dan Bulan bersorak menanggapi, “Hidup Ketua Suci! Semoga Ketua panjang
umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya! Bunuh habis semua orang
Perguruan Henshan. Bantai habis semua ayam dan burung tanpa kecuali!”
Dengan kekuatan dan kebesaran
Sekte Matahari dan Bulan saat ini, menyerbu Puncak Jianxing hanyalah persoalan
mudah. Tidak peduli bagaimanapun persiapan dan pertahanan Perguruan Henshan
kelak, semuanya pasti dapat dibasmi habis oleh sekte besar tersebut.
Sejak dahulu kelima perguruan
pedang telah bersatu membentuk Serikat Pedang Lima Gunung untuk menghadapi
Sekte Matahari dan Bulan yang mereka sebut sebagai Sekte Iblis itu. Kelima
perguruan selalu bahu-membahu dan saling membantu. Jika salah satu mendapat
kesulitan, maka keempat perguruan yang lain segera datang memberikan bantuan.
Dalam seratus tahun terakhir ini permusuhan dengan Sekte Matahari dan Bulan
berjalan seimbang, tidak ada yang kalah juga tidak ada yang menang. Kini, dari
kelima perguruaan hanya tinggal Perguruan Henshan saja yang masih berdiri
tegak, tentu saja sulit melawan kekuatan Sekte Matahari dan Bulan. Mengenai hal
ini jelas disadari oleh setiap murid Henshan.
Ancaman Ren Woxing hendak
membabat habis orang-orang Henshan, bahkan seekor ayam pun tidak akan diampuni
jelas bukan omong kosong belaka. Akan tetapi, di dalam benak Ren Woxing
sebenarnya ada maksud dan tujuan lain. Ia berpikir meskipun ilmu pedang Linghu
Chong sangat lihai, namun seorang diri mana mungkin sanggup terus bertahan?
Yang justru menjadi pertimbangan Ren Woxing sebenarnya adalah Perguruan Shaolin
dan Wudang. Menurut perhitungannya, setelah Linghu Chong pulang ke Gunung
Henshan, tentu ia akan meminta bantuan kepada dua perguruan besar itu, yang
pastinya akan mengirimkan jago-jago pilihan untuk membantu. Dalam keadaan
demikian Ren Woxing justru tidak langsung menyerang ke Gunung Henshan,
melainkan secara mendadak ia berganti haluan menyerbu Perguruan Wudang. Ia juga
akan memasang tiga perangkap di antara jalur Gunung Shaoshi menuju Gunung Wudang.
Jarak antara kedua gunung
tersebut hanya beberapa puluh kilo saja. Apabila Perguruan Wudang menderita
kesulitan, tentu Biara Shaolin yang akan dimintai bantuan. Padahal, saat itu
sebagian jago pilihan dari Shaolin telah dikirim ke Henshan, maka sisanya pasti
akan keluar semua untuk membantu Wudang. Dalam keadaan demikian pihak Sekte
Matahari dan Bulan akan memutar haluan untuk menyerbu Gunung Shaoshi lebih dulu
dan membakar habis Biara Shaolin. Setelah itu, perangkap yang telah dipasang di
tengah jalan serentak dijalankan untuk memotong barisan musuh. Dengan digempur
dari depan dan belakang, tentu para biarawan Shaolin yang hendak menolong
Perguruan Wudang akan binasa seluruhnya.
Setelah semuanya berjalan,
barulah Gunung Wudang benar-benar dikepung, namun tidak langsung diserang. Ia
sengaja menunggu jago-jago Shaolin dan Wudang yang sedang berkumpul di Henshan
menerima berita buruk dan lekas-lekas berangkat ke Gunung Wudang. Perjalanan
dari Henshan menuju Wudang menempuh jarak ribuan kilo tentu akan sangat
melelahkan mereka. Dalam keadaan letih tersebut, mereka pun disergap oleh
orang-orang sekte di tengah jalan dan hasilnya pasti sangat memuaskan. Setelah
para jago itu ditumpas, maka menyerang markas Wudang dan Henshan bisa dikatakan
hanyalah persoalan mudah.
Betapa tajam otak Ren Woxing
yang penuh tipu muslihat ini sungguh jarang terdapat di dunia persilatan. Dalam
sekejap saja ia sudah mengatur siasat cemerlang untuk menumpas Perguruan
Shaolin dan Wudang, dua perguruan terbesar saat itu. Maka, penolakan Linghu
Chong terhadap tawarannya meskipun menimbulkan perasaan malu di hadapan anak
buah sendiri ternyata ada manfaaatnya juga. Karena kejadian ini telah membuat
Sekte Matahari dan Bulan memiliki alasan untuk menyerang Gunung Henshan
sekaligus menghancurkan Perguruan Shaolin dan Wudang dalam waktu yang
bersamaan. Dengan demikian semboyan “merajai dunia persilatan untuk selamanya”
akan segera terwujud satu bulan yang akan datang.
Sementara itu, Linghu Chong
berpaling kepada Ren Yingying dan bertanya, “Apakah kau akan ikut denganku?”
Sejak tadi kedua mata Ren
Yingying sudah berkaca-kaca. Tak mampu menahan perasaan lagi, air matanya pun
jatuh bercucuran di pipi. Gadis itu menjawab, “Jika aku ikut denganmu ke Gunung
Henshan, itu berarti aku tidak berbakti kepada orang tua. Namun, jika aku
mengingkari dirimu, itu berarti aku tidak setia. Bakti dan kesetiaan sukar
diraih bersama. Kakak Chong, Kakak Chong, mulai hari ini janganlah kau
memikirkan diriku lagi, karena ….”
“Karena apa?” tanya Linghu
Chong.
“Karena hidupmu tidak akan
lama lagi,” jawab Ren Yingying. “Jika kau mati, maka aku pun tidak mau hidup
lebih lama sehari saja darimu.”
Linghu Chong tersenyum dan
berkata, “Ayahmu sudah merestui pernikahan kita. Beliau seorang pemimpin sekte
besar yang mahabijaksana, yang merajai dunia persilatan, mana mungkin tidak
menepati ucapannya sendiri? Bagaimana kalau sekarang juga kita mengadakan
upacara menyembah langit dan bumi, sehingga resmi menjadi suami-istri?”
Ren Yingying tercengang.
Meskipun ia sudah hafal watak Linghu Chong sebagai pemuda petualang yang berani
berkata berani berbuat, namun tidak pernah menyangka bahwa kekasihnya itu akan
bicara sedemikian terus terang di hadapan banyak orang. Seketika wajahnya
menjadi merah, dan ia pun berkata, “Bagaimana … bagaimana kita bisa
melakukannya?”
Linghu Chong bergelak tawa dan
berkata, “Kalau begitu biarlah kita berpisah sekarang saja.”
Ia sendiri memahami isi hati
Ren Yingying. Pada saat dirinya terbunuh oleh serangan Ren Woxing ke Gunung
Henshan kelak, tentu si nona akan ikut bunuh diri mengikuti ke alam sana. Hal
ini sudah pasti akan terjadi begitu saja dan sukar untuk dicegah. Namun, kalau
Ren Yingying mau meninggalkan adat istiadat dan bersedia menikah dengannya di
Puncak Menyongsong Mentari hari ini juga, dengan demikian mereka berdua dapat
menikmati kebahagiaan sebagai pengantin baru di Gunung Henshan. Meskipun
sebulan kemudian mereka tewas oleh serangan Sekte Matahari dan Bulan, namun
rasanya tidak ada penyesalan di dalam hati. Namun demikian, hal ini terlalu luar
biasa dan menyimpang dari tradisi umum. Linghu Chong memang tidak peduli dengan
nama baiknya, namun Ren Yingying yang sangat pemalu sudah pasti tidak bersedia
melaksanakannya. Jika si nona sampai menuruti ajakan tersebut tentu ia akan
menanggung nama buruk sebagai seorang putri yang durhaka dan tidak berbakti
kepada orang tua.
Karena berpikiran demikian,
Linghu Chong pun tertawa. Kemudian ia memberi hormat kepada Ren Woxing, Xiang
Wentian, dan para tetua sekte di tempat itu sambil berkata, “Linghu Chong akan
menyambut kunjungan kalian di Puncak Jianxing dengan penuh penghormatan.” Usai
berkata ia lantas memutar tubuh dan melangkah pergi.
“Tunggu dulu!” tiba-tiba Xiang
Wentian berseru. “Ambilkan arak! Adik Linghu, hari ini kita harus minum
sepuas-puasnya. Mungkin kelak tidak ada kesempatan lagi.”
“Bagus, bagus!” jawab Linghu
Chong sambil tertawa. “Kakak Xiang memang kawan sejati, benar-benar memahami
kegemaranku!”
Kedatangan Sekte Matahari dan
Bulan ke Gunung Huashan kali ini memang telah diatur dengan rapi, termasuk juga
membawa segala macam perbekalan yang dianggap perlu. Maka, begitu Xiang Wentian
mengajak Linghu Chong minum, segera anak buahnya mengusung beberapa guci arak
ke hadapannya. Begitu tutup guci dibuka, isinya pun lantas dituang ke dalam
mangkuk. Tanpa banyak bicara Xiang Wentian dan Linghu Chong saling bersulang
dan mengadu mangkuk, lalu sama-sama menghabiskan isinya ke dalam mulut.
Tiba-tiba di antara banyak
orang, tampil ke muka seorang tua bertubuh cebol gemuk. Ia tidak lain adalah
Lao Touzi, yang segera berseru, “Tuan Muda Linghu, budi kebaikanmu dahulu tidak
pernah kulupakan seumur hidup. Izinkan aku bersulang satu mangkuk denganmu.”
Usai berkata demikian ia lantas mengisi dua mangkuk dan menyerahkan salah
satunya kepada Linghu Chong. Setelah bersulang, keduanya pun menghabiskan isi
mangkuk masing-masing.
Padahal, Lao Touzi hanyalah
seorang jago silat biasa yang berada di bawah pengaruh Sekte Matahari dan
Bulan. Kedudukannya sudah tentu tidak bisa disejajarkan dengan Xiang Wentian.
Begitu Linghu Chong dengan tegas menolak masuk ke dalam sekte, maka secara
terang-terangan pemuda itu telah memusuhi Ren Woxing pula. Namun kini, seorang
Lao Touzi ternyata berani menyuguhkan arak kepada Linghu Chong, pertanda ia
juga berani melawan kehendak Ren Woxing. Bukan mustahil sebentar lagi ia akan
dihukum mati dan jiwanya pun melayang. Namun demikian, ia ternyata lebih
mengutamakan rasa setia kawan daripada nyawa sendiri, jelas tidak lagi
memikirkan bahaya yang sebentar lagi bisa datang menimpa.
Melihat keberanian Lao Touzi
itu, diam-diam para jago lainnya merasa kagum. Maka, Zu Qianqiu, Ji Wushi, Lan
Fenghuang, Huang Boliu, dan yang lain satu per satu maju pula ke depan untuk
bersulang dengan Linghu Chong.
Sama sekali Linghu Chong tidak
menolak setiap suguhan mereka. Setiap mangkuk yang datang selalu ia minum
isinya sampai habis sehingga lama-lama berjumlah puluhan mangkuk. Namun, para
jago yang ingin bersulang dengannya itu masih saja berbaris tiada
putus-putusnya. Sungguh terharu perasaan Linghu Chong melihat betapa mereka
sangat menghargai dirinya. Ia berpikir, “Begini banyak kawan-kawan yang
menghormatiku, sungguh tidak sia-sia aku hidup di dunia ini. Namun, kenapa aku
harus membunuh mereka di medan perang kelak?”
Segera ia pun mengangkat tinggi-tinggi
mangkuknya dan berseru lantang, “Terima kasih atas maksud baik kawan-kawan
sekalian! Sayang sekali kekuatanku terbatas. Hari ini aku tidak sanggup minum
lebih banyak lagi. Biarlah lain hari jika kawan-kawan ikut menyerbu ke Puncak
Jianxing, aku akan menunggu kalian di kaki gunung dengan arak-arak enak. Di
sanalah kita bisa minum sepuas-puasnya, dan setelah itu baru kita bertempur
mati-matian!” Usai berkata, ia lantas meneguk habis isi mangkuk terakhirnya
itu.
“Ketua Linghu sungguh seorang
terbuka yang suka berterus terang!” seru para jago itu bersamaan.
“Benar,” sahut seseorang
menambahkan. “Kalau kita sudah kenyang minum sampai mabuk, barulah kita
bertempur secara serabutan. Ini pasti menarik!”
Linghu Chong lantas membuang
mangkuknya. Dengan berjalan sempoyongan ia pun turun ke bawah gunung diikuti
Yihe, Yiqing, dan murid-murid Perguruan Henshan lainnya.
Pada saat para jago silat itu
sedang minum arak bersama Linghu Chong, ternyata Ren Woxing hanya
tersenyum-senyum tanpa bicara. Meskipun ia agak tersinggung, namun otaknya
sedang berputar menyusun rencana matang untuk menggempur Perguruan Shaolin dan
Wudang satu bulan lagi. Terutama pula ia memikirkan bagaimana caranya harus
pura-pura menyerang Gunung Henshan untuk memancing pihak Shaolin dan Wudang
mengerahkan bala bantuan. Ia berpikir rencananya itu harus diatur sedemikian
rapih sehingga tidak menimbulkan rasa curiga pihak lawan yang juga tidak kalah
cerdiknya itu. Maka, ketika Linghu Chong turun ke bawah dalam keadaan mabuk,
rencana dalam benaknya juga sudah selesai disusun, hanya tinggal menunggu
pelaksanaannya saja.
Selain itu, ia juga berpikir,
“Kawanan bangsat ini berani bersulang dengan Linghu Chong di hadapanku.
Perbuatan mereka harus diganjar hukuman yang setimpal. Biarlah ini kucatat sebagai
hutang, karena aku masih membutuhkan tenaga mereka. Kelak jika Perguruan
Shaolin, Wudang, dan Henshan sudah kutumpas habis, maka orang-orang yang
bersulang dengan Linghu Chong itu tinggal menunggu nasib saja.”
Tiba-tiba terdengar Xiang
Wentian berseru, “Kawan-kawan sekalian, dengarkanlah aku! Bahwasanya Ketua Suci
sebenarnya sudah mengetahui betapa bodohnya Linghu Chong yang tidak mengetahui
maksud baik Beliau. Namun, Ketua Suci masih mencoba untuk membujuknya dengan
ramah. Meskipun Ketua Suci berjiwa besar dan menyukai pemuda berbakat, namun
sesungguhnya Beliau masih menyimpan suatu maksud yang mendalam, yang tidak bisa
dipahami oleh orang kasar semacam Linghu Chong. Hari ini, kita telah menumpas
Perguruan Songshan, Taishan, Huashan, dan Hengshan tanpa susah payah. Untuk
selanjutnya, Sekte Matahari dan Bulan pasti akan lebih termasyhur, lebih
berjaya, dan lebih ditakuti.”
“Benar! Hidup Ketua Suci!
Semoga panjang umur dan merajai dunia persilatan selamanya!” teriak banyak
orang dengan suara bergemuruh.
Setelah suara ramai
orang-orang itu reda, Xiang Wentian melanjutkan, “Di dunia persilatan sekarang
ini tinggal Perguruan Shaolin dan Wudang saja yang masih menjadi ancaman bagi
agama suci kita. Untuk ini, Ketua Suci sengaja mengatur siasat bagus, dan
pilihannya itu jatuh kepada Linghu Chong. Melalui bocah itu, kita akan menyapu
bersih Biara Shaolin dan menumpas Perguruan Wudang. Perhitungan Ketua sungguh
mahajitu, rencananya diatur sangat rapih. Beliau sudah menduga Linghu Chong
pasti menolak masuk ke dalam agama suci kita dan ternyata itu benar-benar
terjadi. Bocah itu telah menolak bujukan Ketua Suci. Mengenai kita bersulang
dengan Linghu Chong tadi, sebenarnya itu juga merupakan salah satu siasat Ketua
Suci.”
“Oh, ternyata begitu!” seru
banyak orang. Mereka lalu beramai-ramai berteriak lagi, “Hidup Ketua Suci!
Semoga Ketua Suci panjang umur seribu tahun, merajai dunia persilatan
selamanya!”
Xiang Wentian sudah hidup
puluhan tahun bersama Ren Woxing, sehingga cukup mengenal kepribadian sang
ketua tersebut. Karena terdorong oleh rasa persaudaraan, tanpa pikir panjang ia
telah bersulang arak perpisahan dengan Linghu Chong, dan hal ini tentu tidak
disukai oleh Ren Woxing. Mengingat hubungan baiknya dengan sang ketua, maka
hukuman tidak mungkin jatuh kepadanya. Tak disangka, orang-orang seperti Lao
Touzi, Zu Qianqiu, Ji Wushi, dan sebagainya juga ikut-ikutan bersulang dengan
Linghu Chong. Jelas perbuatan mereka itu akan mendatangkan bencana bagi jiwa
mereka sendiri. Maka itu, ia lantas mengarang suatu rangkaian kata sanjung puji
untuk menutupi kejadian tadi. Ia berharap dengan ucapannya itu bisa membuat Ren
Woxing tidak sampai kehilangan muka, sementara Lao Touzi dan yang lain juga
tidak sampai kehilangan nyawa. Dengan ucapan Xiang Wentian tadi, perbuatan
mereka bersulang dengan Linghu Chong justru terkesan mengangkat derajat
kepemimpinan Ren Woxing.
Mendengar itu, Ren Woxing
sangat senang hatinya. Diam-diam ia berpikir, “Saudara Xiang sudah hidup
bersamaku selama puluhan tahun. Tidak sia-sia aku mengangkatnya sebagai
pelindung kiri agama, karena ia memang sangat mengerti isi hatiku. Ah, meskipun
ia tahu aku hendak menyapu bersih Biara Shaolin dan menumpas habis Perguruan
Wudang, namun rincian siasat yang akan kulaksanakan sama sekali tidak ia
ketahui. Siasatku ini akan kujalankan selangkah demi selangkah, dan tidak
seorang pun yang akan kuberi tahu secara terperinci.”
Sejenak kemudian terdengar
Shangguan Yun berkata, “Ketua Suci mahabijaksana. Segala urusan besar di dunia
ini sudah lama berada dalam perhitungan Beliau. Apa pun yang Beliau katakan
pasti tidak salah. Apa pun yang Beliau perintahkan pasti segera kita
laksanakan.”
Bao Dachu menambahkan, “Benar
sekali! Asalkan Ketua Suci mengacungkan salah satu jari kepada kita, pasti kita
akan segera bertindak. Apa pun perintah Beliau pasti kita laksanakan dengan
penuh tanggung jawab. Sekalipun harus menyeberangi lautan api, atau terjun ke
dalam minyak mendidih juga kita tak akan menolak.”
Qin Weibang menyahut, “Demi
Ketua Suci, mati seribu kali jauh lebih baik daripada hidup tanpa tujuan.”
Seorang lagi berkata,
“Saudara-saudara sama-sama mengetahui, beberapa hari terakhir ini telah menjadi
hari yang paling indah dalam hidup kita, karena dapat menyaksikan secara
langsung wajah emas Ketua Suci. Dengan melihat wajah Ketua Suci yang bercahaya
membuat kita bertambah pintar dan bertambah kuat, jauh lebih baik daripada
berlatih selama sepuluh tahun.”
“Ketua Suci menerangi seluruh
jagad, membuat agama suci kita semakin dekat di hati rakyat jelata. Kebaikan
hati Ketua Suci bagaikan hujan yang membasahi bumi, menumbuhkan bahan makanan
untuk umat manusia. Semua orang berbahagia dan bersyukur untuk Ketua Suci.”
“Para kesatria dari zaman dulu
hingga sekarang, para nabi dan orang suci sekalipun tidak ada yang mampu menandingi
kebesaran Ketua Suci. Kong Fuzi memang bijaksana, tapi mana mampu ia menghadapi
ilmu silat Ketua Suci yang perkasa. Guan Yu memang memiliki tenaga malaikat,
namun Ketua Suci jauh lebih cerdas darinya. Zhuge Liang ahli dalam siasat
perang, namun tidak mungkin ia mampu menghadapi pedang Ketua Suci yang
mahasakti.”
Serentak segenap anggota sekte
berteriak, “Kong Fuzi, Guan Yu, Zhuge Liang, tidak seorang pun dapat
dibandingkan dengan Ketua Suci.”
Bao Dachu berkata, “Setelah
agama suci kita merajai dunia persilatan, maka kita bersihkan semua patung Kong
Fuzi dan Guan Yu dari setiap kuil. Kita dirikan patung Ketua Suci menggantikan
tempat mereka.”
Shangguan Yun berseru lantang,
“Semoga Ketua Suci panjang umur, berjaya selalu. Anak-anak kita, cucu-cucu kita
sampai delapan belas turunan, semuanya akan mengabdi dengan setia kepada Ketua
Suci.”
Serentak segenap anggota sekte
bersorak gemuruh, “Hidup Ketua Suci, semoga Ketua Suci panjang umur, merajai
dunia persilatan selamanya!”
Ren Woxing mendengar sanjung
puji anak buahnya itu dengan perasaan puas dan senang. Meskipun ucapan mereka
terlalu berlebihan dan tidak masuk akal, namun Ren Woxing berusaha mencari
pembenaran untuknya. Diam-diam ia berpikir, “Apa yang mereka katakan tidak
salah. Ilmu silat Zhuge Liang jauh di bawahku. Apalagi kampanye penaklukannya
juga tidak semuanya membawa hasil, mana mungkin ia bisa dibandingkan denganku?
Guan Yu pernah membunuh enam jenderal musuh. Ia memang perkasa, namun mana
mungkin bisa menghindari Jurus Penyedot Bintang andalanku? Kong Fuzi selama
hidupnya hanya memiliki murid tidak sampai tiga ribu orang, sementara aku
memiliki anak buah sebanyak tiga puluh ribu lebih. Ia memimpin muridnya berlari
ke segala arah menghindari banjir dan kekurangan pangan tanpa bisa berbuat apa-apa,
sedangkan aku memimpin puluhan ribu anak buahku menjelajahi jagad raya ke mana
aku suka tanpa ada masalah sedikit pun. Kepandaian dan kebijaksanaan Kong Fuzi
tidak bisa menandingi aku.”
Sorak sorai para anggota sekte
masih terus bergemuruh, menggema di lembah pegunungan itu. Langit terasa ikut
bergetar, bumi terasa ikut berguncang. Tidak hanya yang berada di Puncak
Menyongsong Mentari saja yang berteriak-teriak, bahkan para anggota yang
berjaga di pos-pos penjagaan di segenap penjuru pegunungan juga ikut bersorak
ramai.
Dengan wajah berseri-seri Ren
Woxing lantas bangkit dari tempat duduknya. Melihat sang ketua telah berdiri,
semua orang serentak berlutut dan memberikan sembah. Dalam sekejap saja suasana
di atas Puncak Menyongsong Mentari itu berubah menjadi hening dan sunyi senyap.
Sinar matahari pagi menerpa wajah dan sekujur badan Ren Woxing. Ia tampak
sangat berwibawa bagaikan seorang dewa turun dari kahyangan.
Ren Woxing lantas tertawa
terbahak-bahak dan berkata, “Jika aku bisa hidup selamanya seperti hari ….”
sampai di sini tiba-tiba suaranya berubah serak. Ia mencoba mengerahkan tenaga
dan mengatur napas untuk mengucapkan kata “hari ini”, namun otot dada terasa
kejang dan mulut pun sukar beruara. Dengan tangan kanan menahan dada, ia berusaha
menekan darah panas yang telah naik ke dalam kerongkongan. Akan tetapi,
kepalanya lantas pusing dan mata pun berkunang-kunang. Cahaya matahari pagi itu
membuat pandangannya terasa sangat silau.
Sementara itu, Linghu Chong
turun ke bawah gunung dalam keadaan mabuk. Sampai lewat tengah malam barulah ia
sadar kembali. Begitu bangun ternyata dirinya sudah berada di tengah ladang
luas, sementara para murid Perguruan Henshan tampak duduk di kejauhan untuk
menjaganya. Kepalanya terasa sangat pusing. Begitu teringat untuk selanjutnya
mungkin tiada harapan lagi berjumpa dengan Ren Yingying, seketika hatinya
merasa sangat berduka.
Sesampainya di kaki gunung,
rombongan Linghu Chong bertemu Biksu Bujie dan istrinya, serta Yilin dan Tian
Boguang. Bersama-sama mereka pun berjalan menuju ke Gunung Henshan. Akhirnya,
rombongan tersebut sampai juga di Puncak Jianxing dengan selamat. Hal pertama
yang mereka lakukan adalah bersembahyang di depan altar ketiga biksuni sepuh
karena kematian mereka telah terbayar lunas. Biksuni Dingjing tewas dikeroyok
anak buah Zuo Lengchan, sementara Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi dibunuh
secara licik oleh Yue Buqun.
Dalam waktu singkat entah
siang entah malam, Sekte Matahari dan Bulan pasti akan datang menyerbu Gunung
Henshan. Setelah pertempuran berakhir, tentu Perguruan Henshan akan musnah
selamanya. Karena kekalahan sudah jelas di depan mata, hal ini membuat
murid-murid Henshan menjadi tidak khawatir lagi. Mereka menganggap tidak ada
gunanya berlatih lebih keras karena masing-masing merasa tetap tidak mungkin
bisa memenangkan pertempuran. Maka, murid-murid Henshan itu pun menjadi malas
berlatih ilmu pedang tidak seperti biasanya. Sebagian dari mereka yang taat
kepada agama tetap menjalankan sembahyang dengan baik. Sementara itu, mereka yang
putus asa dan beriman tipis lebih suka bertamasya menikmati keindahan alam
pegunungan tersebut. Biasanya tata tertib di Henshan sangat ketat, namun kali
ini mereka benar-benar merasa santai dan mendapat kelonggaran.
Beberapa hari kemudian, di
Puncak Jianxing tiba-tiba datang sepuluh orang biksu yang dipimpin langsung
oleh ketua Biara Shaolin, Mahabiksu Fangzheng. Saat itu Linghu Chong sedang
asyik minum arak seorang diri sambil bernyanyi-nyanyi di biara induk. Begitu
menerima laporan kedatangan Mahabiksu Fangzheng, seketika ia merasa terkejut
bercampur senang. Lekas-lekas ia pun berlari menyambut keluar.
Mahabiksu Fangzheng tersenyum
melihat penampilan Linghu Chong dan berkata, “Pada umumnya seseorang yang
tergopoh-gopoh menyambut tamu masih tetap mempunyai waktu untuk memakai sepatu.
Namun, begitu mendengar kedatangan kami, Ketua Linghu sampai lupa memakai
sepatu. Penghormatan Ketua Linghu kepada kami terlalu berlebihan.”
Linghu Chong membungkuk dan
berkata, “Begitu mendengar Kepala Biara datang, Linghu Chong selalu terlambat
dalam memberi penyambutan. Sungguh, saya merasa sangat tidak enak hati.” Ia
kemudian memberi hormat pula kepada seorang biksu tua di belakang Fangzheng,
dan berkata, “Rupanya Biksu Fangsheng juga ikut serta.”
Fangsheng hanya tersenyum dan
membalas hormat.
Linghu Chong lantas memberi
hormat kepada delapan biksu lainnya yang rata-rata sudah berusia tua dan
berjanggut putih. Begitu memperkenalkan diri, ternyata mereka juga berasal dari
angkatan “Fang”, jelas satu golongan dengan Fangzheng dan Fangsheng.
Linghu Chong lantas
mempersilakan kesepuluh biksu itu masuk ke dalam biara induk dan duduk di atas
kasur samadi. Biara ini dulunya merupakan tempat sembahyang Biksuni Dingxian
yang selalu terawat dengan baik tanpa debu sedikit pun. Namun, sejak Linghu
Chong tinggal di situ, keadaannya menjadi kotor dan berantakan. Tempat ibadah
itu kini penuh dengan guci dan cawan arak berserakan.
Dengan wajah merah padam
Linghu Chong berkata, “Saya sungguh ceroboh telah membuat tempat suci ini menjadi
sedemikian kotor. Mohon para Biksu yang mulia jangan marah.”
“Kedatangan kami kali ini
adalah untuk membahas urusan penting, maka itu Ketua Linghu tidak perlu
segan-segan,” jawab Fangzheng sambil tersenyum. “Konon kabarnya Ketua Linghu
telah menolak kedudukan sebagai wakil ketua Sekte Matahari dan Bulan demi
membela Perguruan Henshan. Bahkan, Ketua Linghu juga tidak memikirkan diri
sendiri dan rela berpisah dengan Nona Ren. Padahal, semua orang telah
mengetahui betapa kalian adalah pasangan serasi. Dalam hal ini, segenap kawan
dari golongan putih sangat kagum terhadap sikap Ketua Linghu.”
Seketika Linghu Chong
tercengang dan berpikir, “Padahal persoalan ini sudah kurahasiakan, bahkan aku
juga melarang segenap murid Henshan untuk menceritakan peristiwa ini dengan
maksud untuk mencegah datangnya bala bantuan dari Perguruan Shaolin dan Wudang.
Tapi Mahabiksu Fangzheng ternyata telah mengetahui semuanya.”
Segera ia pun menjawab,
“Kepala Biara terlalu memuji, saya menjadi malu. Tentang hubungan saya dengan Ketua
Ren memang banyak hal-hal yang sukar dijelaskan. Selain itu, saya juga terpaksa
harus mengingkari kebaikan Nona Ren. Perbuatanku yang tidak tahu diri ini malah
mendapat pujian dari Kepala Biara, dan bukannya dicela. Sungguh-sungguh saya
tidak berani menerimanya.”
Fangzheng berkata, “Menurut
kabar yang tersiar, dalam waktu dekat Ketua Ren akan memimpin langsung segenap
anak buahnya datang menyerbu ke Gunung Henshan ini. Kini Perguruan Lima Gunung
telah runtuh, dan yang tersisa dari Songshan, Taishan, Hengshan, dan Huashan
hanyalah nama belaka. Tinggal Perguruan Henshan saja yang masih tegak berdiri,
namun tidak mendatangkan bantuan dari mana pun. Ketua Linghu juga tidak
mengirim orang untuk menyampaikan berita kepada kami. Jangan-jangan Perguruan
Shaolin kami hanya dianggap sebagai kumpulan orang-orang yang takut mati dan
tidak punya rasa setia kawan terhadap sesama kaum persilatan, bukan begitu?”
“Sama sekali kami tidak berani
berpikiran demikian,” ujar Linghu Chong cepat. “Masalahnya segala urusan yang
timbul saat ini adalah gara-gara perbuatanku sendiri yang telah salah bergaul
dengan gembong-gembong Sekte Iblis. Menurut pendapatku, barangsiapa berbuat
maka biarlah ia sendiri yang bertanggung jawab. Membuat susah segenap anggota
Perguruan Henshan saja sudah membuatku tidak enak, apalagi sampai menyusahkan
Kepala Biara dan Pendeta Chongxu. Jika Perguruan Shaolin dan Wudang mengirimkan
bala bantuan dan sampai jatuh banyak korban di dalamnya, tentu dosaku akan
semakin besar. Dosa ini tidak akan terbalas meskipun harus mati sepuluh ribu
kali.”
“Ucapan Ketua Linghu ini
kurang tepat,” ujar Fangzheng dengan tersenyum. “Sudah sejak ratusan tahun yang
lalu pihak Sekte Iblis ingin menumpas Perguruan Shaolin, Wudang, dan Serikat
Pedang Lima Gunung. Saat itu bahkan kami sendiri belum lahir. Jadi, ini sama
sekali bukan kesalahan pribadi Ketua Linghu saja.”
Linghu Chong mengangguk dan
menjawab, “Benar. Mendiang guruku juga sering mengatakan bahwa selamanya
golongan putih dan golongan hitam tidak mungkin hidup bersama. Aliran sesat dan
aliran lurus kita sudah terlibat pertempuran sekian lamanya, sehingga
permusuhan di antara kedua pihak sangat mendalam. Menurut pendapatku yang bodoh
ini, kalau salah satu pihak mau mengalah selangkah tentu permusuhan dapat
dihentikan. Ternyata meskipun hubunganku dengan Ketua Ren sedemikian baiknya,
tetap saja pada akhirnya kami harus bertemu di medan perang.”
“Ucapanmu tentang saling
mengalah selangkah dan permusuhan dapat dihentikan, hal ini sebenarnya tidak
salah,” ujar Fangzheng. “Pertarungan antara anggota aliran lurus kita melawan
para anggota Sekte Matahari dan Bulan sebenarnya juga tidak memiliki alasan
yang kuat. Masalahnya hanyalah pemimpin kedua pihak sama-sama ingin merajai
dunia persilatan, sehingga masing-masing pun ingin saling menumpas pihak lawan.
Tempo hari Pendeta Chongxu dan saya, beserta Ketua Linghu telah berbicara di
Kuil Gantung untuk membahas niat Ketua Zuo dari Songshan yang hendak melebur
Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu. Kita sama-sama mengkhawatirkan ambisinya
yang besar itu, ingin merajai dunia persilatan.”
Setelah berhenti sejenak dan
menghela napas panjang, Fangzheng melanjutkan, “Konon Sekte Matahari dan Bulan
memiliki semboyan yang menyatakan, ‘Panjang umur, hidup abadi, merajai dunia
persilatan selamanya’. Kalau Ketua Ren sudah punya niat seperti itu, tentu
tidak akan pernah ada kedamaian lagi di dunia persilatan. Dalam dunia
persilatan terdapat berbagai macam perguruan, aliran, partai, ataupun
perkumpulan, yang masing-masing memiliki keanekaragaman. Menyatukan itu semua
di bawah satu bendera jelas bertentangan dengan hukum alam.”
Linghu Chong menjawab, “Ucapan
Kepala Biara sangat benar.”
“Ketua Ren menyatakan dalam
bulan ini ia akan menyapu bersih seluruh penghuni Gunung Henshan, bahkan ayam
dan burung juga tidak diberi ampun. Sekali ia berkata demikian, sudah pasti ia
laksanakan pula. Oleh karena itu, sekarang ini para jago terbaik dari Perguruan
Shaolin, Wudang, Kunlun, Emei, dan Kongtong telah berkumpul di kaki gunung
Henshan ini.”
“Hah, benarkah demikian?” seru
Linghu Chong terkejut sampai melonjak dari duduknya. “Para tokoh terkemuka dari
berbagai perguruan telah datang membantu, namun sedikit pun saya tidak tahu?
Aih, sudah sepantasnya saya yang tidak becus ini mendapat hukuman.”
Rupanya ancaman serangan dari
Ren Woxing itu bukannya membuat Perguruan Henshan bersiaga, tetapi justru
menyerahkan diri pada nasib. Linghu Chong telah menarik orang-orangnya yang
berjaga dan meronda di segenap penjuru pegunungan, untuk kemudian memberi
mereka kebebasan menikmati sisa waktu. Akibatnya, ia sama sekali tidak
mengetahui kalau bala bantuan dari berbagai perguruan golongan putih telah
datang dan berkumpul di kaki gunung.
Terdengar Linghu Chong
melanjutkan, “Para biksu yang mulia, silakan beristirahat lebih dulu, saya akan
memimpin para murid untuk menyambut para tamu agung tersebut.”
Fangzheng mengangguk dan
menjawab, “Segenap perguruan aliran lurus ibarat berada dalam satu kapal yang
sama. Bersama-sama kita bahu membahu menghadapi ombak dan badai yang datang
menerjang. Tidak perlu terlalu banyak adat, kami sudah membawa perbekalan
secukupnya.”
“Baik,” jawab Linghu Chong
sambil mengangguk. Ia lantas bertanya, “Kalau boleh tahu, kapan dan dari mana
Kepala Biara mendengar kabar bahwa Sekte Matahari dan Bulan hendak menyerbu
Gunung Henshan?”
“Seorang sesepuh telah
mengirimkan surat kepada kami yang berisi kabar mengenai hal ini,” jawab
Fangzheng.
“Sesepuh?” sahut Linghu Chong
menegas. Jelas-jelas ia tahu kedudukan Mahabiksu Fangzheng di dunia persilatan
sudah sangat tinggi. Lantas, siapa pula yang lebih tua tingkatannya daripada
dia?
Dengan tersenyum Fangzheng
menjawab, “Sesepuh ini adalah tokoh terkenal dari Perguruan Huashan. Beliau
pernah mengajarkan ilmu pedang mahasakti kepada Ketua Linghu.”
“Ah, ternyata Kakek Guru
Feng!” seru Linghu Chong senang.
“Benar sekali, memang Sesepuh
Feng Qingyang orangnya,” kata Fangzheng. “Sesepuh Feng telah mengirim enam
orang sobat ke Biara Shaolin untuk memberitahukan tentang apa yang dialami
Ketua Linghu di Puncak Menyongsong Mentari tempo hari. Cara bicara keenam sobat
itu agak bertele-tele dan tidak jelas. Namun, setelah mendengarkan dengan sabar
selama dua jam, akhirnya saya dapat memahaminya dengan jelas.”
“Enam Dewa Lembah Persik,
benarkah mereka?” tanya Linghu Chong.
“Mereka memang Enam Dewa
Lembah Persik,” sahut Fangzheng tersenyum.
Linghu Chong berkata, “Ketika
berada di Gunung Huashan, sebenarnya saya ingin menyampaikan salam hormat
kepada Kakek Guru Feng. Namun, mendadak muncul berbagai macam urusan. Sampai
meninggalkan gunung pun saya tetap tidak sempat berkunjung kepada Beliau. Tak
disangka, ternyata Beliau mengetahui segala hal yang terjadi di sana.”
“Sesepuh Feng memang tidak
suka menonjolkan diri. Beliau bagaikan naga sakti dari kahyangan yang terihat
kepalanya tapi tak terlihat ekornya. Beliau bisa melihat kita sementara kita
tidak mengetahuinya,” ujar Mahabiksu Fangzheng. “Meskipun Beliau mengasingkan
diri di lembah pegunungan, namun begitu Perguruan Huashan tertimpa musibah,
mana mungkin Beliau tinggal diam begitu saja? Pada saat itu sebenarnya Enam
Dewa Lembah Persik juga menyusul ke Gunung Huashan dan bermain-main di sana.
Mereka lantas ditangkap dan disekap selama beberpa hari oleh Sesepuh Feng.
Setelah jera, mereka akhirnya dapat disuruh pergi ke Biara Shaolin menyampaikan
surat dari Beliau.”
Linghu Chong pun merenung,
“Rupanya Enam Dewa Lembah Persik ditawan beberapa hari oleh Kakek Guru Feng.
Mereka suka menjaga gengsi, tidak mungkin mau menceritakan kejadian memalukan
ini kepadaku. Bisa-bisa mereka justru membual telah menangkap Kakek Guru Feng
segala. Biarlah nanti aku bicara melantur untuk memancing mereka sehingga
menceritakan semuanya dengan lengkap.”
Ia lantas bertanya, “Menurut
isi surat tersebut, apakah ada perintah Kakek Guru Feng kepada saya?”
“Sesepuh Feng dengan sangat
rendah hati mengaku telah mendengar ancaman Sekte Matahari dan Bulan terhadap
Perguruan Henshan. Oleh karena itu, Beliau sengaja mengirim kabar kepada saya.
Sesepuh Feng mengatakan bahwa Ketua Linghu adalah murid kesayangan Beliau.
Tindakan Ketua Linghu yang dengan tegas menolak ajakan Sekte Iblis itu sangat
membuat hati Sesepuh Feng berkenan. Maka itu, Beliau pun menyuruh saya untuk
menjaga Ketua Linghu dengan baik. Padahal ilmu silat Ketua Linghu sepuluh kali
lebih hebat daripada saya. Beliau mengatakan ‘menjaga’ segala, sungguh terlalu
berlebihan.”
“Tapi Kepala Biara telah
menjaga diri saya bukan hanya sekali dua kali saja,” ujar Linghu Chong dengan
membungkuk dan berterima kasih.
“Ah, Ketua Linghu jangan mengolok-olok,”
sahut Fangzheng. “Setelah mengetahui berita ini, meskipun Sesepuh Feng tidak
memerintah juga saya tetap berangkat ke Gunung Henshan demi mengingat hubungan
baik kedua perguruan dan persahabatan kita pula. Apalagi persoalan ini
menyangkut hidup dan mati segenap kaum persilatan golongan putih. Apabila
Perguruan Henshan benar-benar dimusnahkan oleh Sekte Matahari dan Bulan, mana
mungkin Shaolin dan Wudang tidak mengalami nasib yang serupa? Sebab itulah kami
lantas menyebarkan kabar ini kepada berbagai aliran dan perguruan agar
berkumpul di kaki Gunung Henshan. Kita bertempur mati-matian menghadapi Sekte
Matahari dan Bulan di sini.”
Sebenarnya Linghu Chong sudah
putus asa sejak turun meninggalkan Puncak Menyongsong Mentari. Melihat betapa
hebat kekuatan Sekte Matahari dan Bulan itu, jelas Perguruan Henshan tidak akan
mampu melawan. Maka itu, ia hanya dapat menunggu hari kedatangan Ren Woxing
untuk kemudian bersama segenap murid Perguruan Henshan melawan mati-matian
sampai titik darah penghabisan. Murid-murid Henshan juga ada yang mengusulkan
agar meminta bantuan kepada Perguruan Shaolin dan Wudang. Akan tetapi, Linghu
Chong menganggap itu semua tidak ada gunanya, sebab kekuatan Shaolin dan Wudang
juga terbatas. Karena hasil akhirnya sudah dapat ditebak, ia pun berpikir untuk
apa ikut mengorbankan Perguruan Shaolin dan Wudang segala?
Sebenarnya dalam lubuk hati
Linghu Chong ada perasaan enggan bertempur melawan Ren Woxing dan Xiang
Wentian. Namun, setelah harapan menikah dengan Ren Yingying telah musnah, tanpa
terasa timbul pikirannya yang putus asa. Ia merasa hidup ini tiada gunanya
lagi, bahkan lebih baik mati secepat-cepatnya. Kini begitu mengetahui
kedatangan Mahabiksu Fangzheng adalah atas permintaan Feng Qingyang, seketika
semangatnya bangkit kembali, meskipun dalam hati masih enggan untuk benar-benar
bertempur melawan pihak Sekte Matahari dan Bulan.
Mahabiksu Fangzheng
melanjutkan, “Ketua Linghu, sebagai pengikut Sang Buddha kami wajib memiliki
watak welas asih. Sesungguhnya kami juga bukan orang yang suka main kekerasan,
dan kami pun berharap urusan ini dapat diselesaikan dengan damai. Namun, kalau
kita mengalah selangkah, maka Ketua Ren akan maju satu langkah, sehingga
persoalan ini tidak akan menemukan titik terang. Ketua Ren sudah berniat membasmi
kita secara habis-habisan, dan itu pasti akan dilakukannya, kecuali kalau kita
mau menyembah kepadanya dengan menyanjung puji, ‘Hidup Ketua Suci, semoga
panjang umur, merajai dunia persilatan, Amitabha!’”
Linghu Chong merasa geli
mendengar ucapan Fangzheng yang bercampur aduk antara semboyan kaum Sekte Iblis
dengan pujian Agama Buddha itu. Ia lantas menjawab dengan tertawa, “Benar
sekali. Hanya mendengar sebutan ‘Ketua Suci merajai dunia persilatan’ saja
sudah membuat sekujur tubuh ini merinding. Saya kuat minum arak tiga puluh
mangkuk tanpa berhenti. Tapi, begitu mendengar sanjung puji tersebut seketika
saya menjadi mabuk kepayang dan mata berkunang-kunang.”
“Sanjung puji anggota Sekte
Iblis memang berlebihan dan sangat muluk-muluk,” ujar Fangzheng. Setelah
terdiam sejenak ia lantas melanjutkan, “Diam-diam Sesepuh Feng telah melihat
bagaimana Ketua Linghu menahan sakit luar biasa di bagian perut saat di Puncak
Menyongsong Matahari kala itu. Beliau lantas menyuruh Enam Dewa Lembah Persik
menyampaikan semacam rumus ilmu tenaga dalam mahatinggi kepada saya, untuk
kemudian disampaikan kepada Ketua Linghu. Sungguh aneh, Enam Dewa Lembah Persik
yang biasanya bertele-tele, ternyata bisa menyampaikan rumus tenaga dalam
tersebut dengan sangat baik. Saya tidak bisa membayangkan entah bagaimana
caranya Sesepuh Feng memaksa mereka menghafalkan itu semua. Maka itu, mohon
Ketua Linghu masuk ke dalam agar saya dapat menyampaikan rumus ilmu tenaga
dalam tersebut.”
Dengan penuh rasa hormat
Linghu Chong lantas membawa Mahabiksu Fangzheng ke dalam sebuah kamar yang
sunyi. Kini hanya mereka berdua yang berada dalam ruangan tersebut. Linghu
Chong sendiri merasa seperti sedang berhadapan dengan Feng Qingyang secara
langsung. Maka, dengan berlutut ia pun menyembah sambil berkata, “Budi baik
Kakek Guru Feng kepada saya sungguh tak terukur besarnya.”
Fangzheng tidak menolak
penghormatan itu. Ia menjawab, “Sesepuh Feng menaruh harapan besar terhadap
Ketua Linghu. Maka, hendaknya kau dapat melatih ilmu tenaga dalam ini dengan
baik sesuai rumus yang saya sampaikan ini.”
“Baik,” jawab Linghu Chong.
“Saya berjanji akan mempelajari ilmu ini dengan sungguh-sungguh.”
Fangzheng pun mulai
menguraikan kalimat-kalimat rumus ilmu tenaga dalam tersebut kepada Linghu
Chong. Ternyata rumusan ini tidak terlalu panjang, yaitu tidak sampai melewati
seribu kata. Setelah selesai menguraikannya, Fangzheng meminta Linghu Chong
menghafalkannya. Ia pun mengulangi uraiannya itu sampai lima kali, sehingga
Linghu Chong benar-benar hafal di luar kepala.
Mahabiksu Fangzheng lantas
berkata, “Ketua Linghu telah menghafal semuanya dengan baik. Meskipun rumus ini
tidak panjang, namun memiliki makna yang teramat luas dan mendalam, lain
daripada yang lain. Kita adalah sahabat, maka itu jangan tersinggung jika saya
berkata bahwa ilmu pedang Ketua Linghu memang sangat tinggi, tapi dalam hal
ilmu tenaga dalam sepertinya kurang sempurna.”
“Saya hanya paham sedikit saja
mengenai ilmu tenaga dalam,” jawab Linghu Chong. “Saya tidak tersinggung,
justru ingin meminta penjelasan lebih lanjut dari Kepala Biara.”
Fangzheng berkata. “Meskipun
intisari ilmu tenaga dalam ajaran Sesepuh Feng ini agak berbeda dengan ilmu
tenaga dalam Perguruan Shaolin, namun semua ilmu silat di dunia ini pada
dasarnya berbeda-beda tapi tetap satu juga. Maka itu, apabila Ketua Linghu
memang tidak keberatan, saya akan memberikan penjelasan seperlunya mengenai
intisari ajaran Sesepuh Feng ini sesuai dengan pemahaman saya.”
Linghu Chong menyadari kalau
Mahabiksu Fangzheng adalah tokoh papan atas di dunia persilatan. Mendapat
petunjuk darinya sama saja seperti mendapatkan pelajaran langsung dari Feng
Qingyang. Dalam hal ini Linghu Chong pun berpikir, “Kakek Guru Feng meminta
Mahabiksu Fangzheng mewakilinya, tentu karena biksu agung ini memang memiliki
tenaga dalam yang mahatinggi.” Berpikir demikian membuat dirinya tanpa
ragu-ragu lantas menerima dengan baik tawaran Fangzheng itu seraya berkata,
“Saya akan mendengarkan dengan penuh khidmat segala petunjuk dari Kepala
Biara.”
“Ah, jangan terlalu mengolok-olok
seperti itu,” ujar Fangzheng. Ia lantas menyampaikan penjelasan terhadap rumus
ilmu tenaga dalam itu secara terperinci, kalimat demi kalimat. Ia juga
memberikan tambahan pelajaran mengenai ilmu pernapasan dan ilmu memindahkan
tenaga, serta tata cara samadi yang baik.
Semula Linghu Chong hanya
menghafalkan rumus ilmu tenaga dalam tadi di luar kepala secara mati tanpa
memahami maksudnya. Namun, setelah mendapat penjelasan secara terperinci dari
Fangzheng barulah ia menyadari bahwa setiap kalimat dalam rumus tersebut
mengandung bermacam-macam filsafat yang sangat luas. Ia sendiri seorang pemuda
cerdas dan berbakat. Namun, intisari ilmu tenaga dalam itu ternyata cukup
membuatnya memeras otak selama setengah hari. Untunglah Mahabiksu Fangzheng
dengan sabar senantiasa mendampingi dan memberikan penjelasan secara terperinci
sehingga membuat pemuda itu mendapatkan suatu tingkatan ilmu silat yang belum
pernah ia capai sebelumnya.
Sambil menghela napas panjang
Linghu Chong berkata, “Kepala Biara, selama bertahun-tahun saya malang
melintang di dunia persilatan dengan gegabah, karena tidak menyadari kebodohan
diri sendiri. Saya merasa sungguh malu saat memikirkan hal itu. Meskipun hidup
saya tidak akan lama lagi karena serangan Ketua Ren, namun saya tetap bersyukur
karena mendapatkan pelajaran berharga dari Kakek Guru Feng melalui Kepala Biara
ini. Pepatah mengatakan: lebih baik menemukan kebenaran di pagi hari dan mati
di sore hari daripada hidup selamanya dalam kegelapan.”
“Menemukan kebenaran di pagi
hari dan mati di sore hari tentu tidak akan menyesal,” sahut Fangzheng
membetulkan.
“Benar sekali, maksud saya
adalah seperti itu,” ujar Linghu Chong. “Saya meniru pepatah tadi dari mendiang
Guru. Mendengarkan penjelasan dari Kepala Biara hari ini benar-benar membuat
saya bagaikan seorang buta melihat cahaya. Meskipun tidak ada waktu lagi untuk
melatihnya, saya tetap bersyukur.”
Fangzheng berkata,
“Bermacam-macam perguruan aliran lurus telah berkumpul di kaki Gunung Henshan
ini. Apabila Sekte Matahari dan Bulan benar-benar menyerbu kemari, maka kita
beramai-ramai menghadapinya dengan segenap tenaga. Rasanya belum tentu kita
akan kalah. Maka dari itu, janganlah Ketua Linghu patah semangat. Ilmu tenaga
dalam ini akan sempurna dalam beberapa tahun. Namun, Ketua Linghu harap
melatihnya dengan tekun secara teratur sehari demi sehari. Sedikit demi sedikit
tentu membawa kemajuan bagi Ketua Linghu. Dalam waktu singkat ini kita tidak
mengalami suatu urusan, maka itu silakan Ketua Linghu mulai berlatih saja.
Selagi saya datang mengusik tempatmu yang terhormat ini, marilah kita saling
bertukar pikiran.”
“Saya sungguh berterima kasih
atas budi kebaikan Kepala Biara,” kata Linghu Chong.
“Saat ini mungkin Saudara
Chongxu juga sudah datang,” ujar Fangzheng. “Marilah kita keluar untuk
melihatnya!”
“Hah, ternyata Pendeta Chongxu
juga datang secara pribadi?” sahut Linghu Chong sambil lekas-lekas berdiri.
Keduanya lantas keluar kembali ke ruang utama tadi. Ternyata di ruang tersebut
sudah menyala beberapa api lilin, jelas hari sudah mulai gelap. Tak disangka,
sudah enam jam lamanya mereka berdua berada di dalam kamar samadi untuk
mempelajari ilmu tenaga dalam tersebut.
Tampak di ruangan utama itu
duduk tiga orang pendeta Agama Tao sedang berbicara dengan Biksu Fangsheng.
Salah seorang di antaranya tidak lain adalah Pendeta Chongxu sendiri.
Melihat Fangzheng dan Linghu
Chong keluar dari kamar samadi, dengan cepat Chongxu dan kedua rekannya bangkit
memberi hormat.
Linghu Chong langsung berlutut
membalas hormat sambil berkata, “Jauh-jauh Pendeta Chongxu sudi datang membantu
kesulitan yang dihadapi Perguruan Henshan. Saya dan segenap murid-murid Henshan
sungguh sangat berterima kasih dan entah bagaimana bisa membalas budi baik
Pendeta ini?”
Lekas-lekas Chongxu
membangunkan Linghu Chong dan berkata sambil tertawa, “Sudah cukup lama kami
berada di sini. Begitu mengetahui Kepala Biara sedang mengajarkan ilmu tenaga
dalam kepada Adik Linghu di kamar samadi, maka kami tidak berani mengganggu
sama sekali. Ilmu tenaga dalam mahasakti yang Adik Linghu pelajari itu tentu
bisa untuk membuat Ren Woxing terkejut setengah mati.”
“Ilmu tenaga dalam ini terlalu
luas dan mendalam. Dalam waktu singkat mana mungkin saya mampu memahaminya
dengan baik?” jawab Linghu Chong. “Saya dengar para tokoh terkemuka dari
Perguruan Emei, Kunlun, dan Kongtong juga hadir. Saya hendak turun gunung untuk
menyambut mereka. Para sesepuh itu perlu diundang kemari untuk berunding
bagaimana cara untuk menghadapi musuh. Bagaimana pendapat Pendeta atas hal
ini?”
Chongxu menjawab, “Mereka
memang sudah datang, tapi sengaja bersembunyi di tempat rahasia agar tidak
diketahui oleh mata-mata si iblis tua bermarga Ren itu. Kalau mereka
beramai-ramai diundang kemari, mungkin keberadaan mereka akan diketahui musuh.
Sewaktu datang ke sini pun kami bertiga juga dalam penyamaran. Bahkan,
murid-murid Wudang juga tidak tahu tentang keberangkatan kami ini.”
Linghu Chong langsung teringat
pada pertemuan pertamanya dengan Pendeta Chongxu. Waktu itu sang pendeta
menyamar sebagai kakek tua penunggang keledai, yang didampingi dua orang petani
membawa sayur dan kayu bakar. Padahal, ketiganya adalah ahli pedang papan atas
dalam Perguruan Wudang namun menyamar sebagai rakyat jelata. Kali ini Linghu
Chong mengamati dengan seksama kedua pendeta yang mengiringi Chongxu. Ternyata
mereka berdua adalah orang-orang yang dulu menyamar sebagai pendamping ketua
Perguruan Wudang itu pula.
Segera Linghu Chong memberi
hormat dan menyapa, “Pendeta berdua sungguh mahir dalam menyamar. Kalau saja
Pendeta Chongxu tidak menyinggungnya, tentu saya tetap tidak mengenali Pendeta
berdua.”
Dahulu kedua pendeta itu
menyamar sebagai petani gunung. Yang lebih tua membawa kayu bakar, sedangkan
yang lebih muda membawa sayur-mayur. Saat itu mereka terlihat kumal dan sakit-sakitan,
namun kini tampak sehat dan bersih. Hanya sinar mata mereka saja yang masih
dikenali oleh Linghu Chong.
Chongxu lantas memperkenalkan
kedua pendeta pendampingnya itu, “Yang lebih tua ini adalah adik seperguruanku,
namanya Adik Qingxu, sedangkan yang lebih muda ini adalah muridnya, bernama
Keponakan Chenggao.”
Linghu Chong dan ketiga
pendeta Wudang tersebut lantas bergelak tawa teringat kejadian di jalanan Hubei
waktu itu. “Ilmu pedang Ketua Linghu sungguh mahasakti!” ujar Qingxu dan
Chenggao memuji.
Chongxu berkata, “Ilmu pedang
adik dan keponakanku ini biasa-biasa saja, tapi mereka pernah merantau selama
belasan tahun di benua barat. Di sana mereka berhasil memperoleh kepandaian
istimewa. Yang satu mahir memasang pesawat rahasia, dan yang satunya ahli dalam
membuat bahan peledak.”
“Wah, ini benar-benar
kepandaian yang jarang ada di dunia,” ujar Linghu Chong.
“Adik Linghu,” kata Chongxu
kemudian. “Aku sengaja membawa mereka kemari sebenarnya untuk maksud dan tujuan
tertentu. Aku berharap mereka berdua bisa membantu kita mengerjakan suatu tugas
penting.”
Linghu Chong tidak paham dan
menegas, “Mengerjakan suatu urusan penting?”
“Benar. Secara lancang aku
telah membawa sesuatu kemari. Silakan Adik Linghu memeriksanya,” ujar Chongxu
sambil tangannya merogoh ke dalam saku baju.
Dengan penuh tanda tanya
Linghu Chong berdebar-debar ingin mengetahui barang apa sebenarnya yang akan
dikeluarkan dari saku baju pendeta tua itu. Namun, Chongxu lantas berkata
dengan tertawa, “Barang yang aku bawa sebenarnya bukan benda kecil sehingga
tidak muat di dalam saku bajuku. Nah, Adik Qingxu, silakan kau suruh mereka
membawanya masuk kemari.”
Berbeda dengan Mahabiksu
Fangzheng yang tunduk pada adat dan menjaga tata krama, Pendeta Chongxu ini
lebih terbuka dan sesekali bercanda. Begitu menerima perintah, Qingxu segera
berjalan keluar. Tidak lama kemudia ia masuk kembali dengan membawa empat orang
yang berdandan sebagai petani desa. Keempatnya berkaki telanjang dan
masing-masing membawa satu pikulan sayur.
Qingxu lantas memperkenalkan
Linghu Chong dan Mahabiksu Fangzheng pada keempat orang itu. Mereka pun
membungkuk menyampaikan salam hormat. Sebaliknya, Linghu Chong dan Fangzheng
juga membalas hormat. Linghu Chong sadar keempat orang ini pasti jago-jago
pilihan dari Perguruan Wudang, sehingga dengan rendah hati ia membungkuk pula
di hadapan mereka.
“Keluarkan dan rakitlah!” ujar
Qingxu memberi perintah.
Keempat orang itu segera
membongkar sayuran dalam pikulan mereka. Di bawah tumpukan sayu-mayur tersebut
rupanya ada beberapa bungkusan. Setelah bungkusan itu dibuka, ternyata berisi
benda-benda kecil sebangsa paku, mur, baut, pegas, dan potongan-potongan kayu.
Mereka berempat lantas bekerja dengan sangat cekatan. Benda-benda kecil
tersebut lantas dirakit dan dihubungkan satu sama lain. Dalam waktu singkat
terciptalah sebuah kursi megah dari benda-benda kecil itu.
Linghu Chong terheran-heran
dan berpikir, “Untuk apa kursi megah ini dirakit di sini? Di dalamnya terpasang
bermacam-macam pesawat pegas, apakah mungkin digunakan untuk berlatih tenaga
dalam?”
Selesai kursi selesai dirakit,
keempat orang itu lantas mengeluarkan dari dalam bungkusan yang lain sebuah
bantal dan sarung kursi, untuk kemudian dipasang pada sandaran kursi megah
tersebut. Seketika suasana ruang biara itu menjadi gilang-gemilang oleh cahaya
yang menyilaukan mata. Ternyata sarung kursi ini terbuat dari sutra kuning yang
halus dan bersulamkan gambar sembilan ekor naga emas. Gambar sembilan naga yang
melingkar-lingkar itu tampak sedang menyongsong terbitnya bola matahari
berwarna merah membara di garis samudera. Di kedua tepi sarung kursi tersulam
pula tulisan kaligrafi yang bernada sanjung puji semboyan Sekte Matahari dan
Bulan, antara lain: “Kejayaan untuk Ketua Suci, sang pelindung rakyat jelata”
juga “Hidup Ketua Suci, semoga panjang umur, merajai dunia persilatan”.
Gambar sembilan naga emas itu
tersulam dengan bagus sekali seolah benar-benar hidup. Tulisan-tulisan di
tepinya juga sangat indah, bahkan dihiasi pula dengan bermacam-macam mutiara
dan batu permata berwarna-warni. Ruangan biara yang biasanya sunyi senyap dan
sangat sederhana itu, kini tiba-tiba cemerlang oleh kilauan cahaya benda-benda
berharga tersebut.
Linghu Chong bersorak memuji.
Teringat olehnya bahwa Qingxu pernah mempelajari ilmu tentang pesawat rahasia
di benua barat, seketika ia pun paham maksud dan kegunaan dari kursi indah
tersebut. “Ini adalah kursi perangkap,” ujarnya mencoba menebak. “Begitu
melihat kursi kebesaran ini, Ketua Ren pasti langsung tertarik dan segera
mendudukinya. Maka, sekali pesawat pegas dalam kursi ini bekerja, tentu jiwanya
akan melayang seketika.”
Perlahan Chongxu menjawab,
“Tapi Ren Woxing sangat pintar dan cerdik. Tindakannya juga sangat cepat.
Sedikit saja dia merasa tempat duduknya kurang enak pasti akan curiga dan
segera melompat bangun. Maka itu, sukar juga untuk membinasakannya. Yang
penting di kaki kursi ini terpasang pula sumbu obat yang terhubung dengan bahan
peledak berkekuatan besar di suatu tempat rahasia.”
Mendengar itu, serentak raut
muka Linghu Chong dan para biksu Shaolin berubah. Fangzheng lantas menyebut,
“Amitabha!”
Chongxu berkata, “Keistimewaan
pesawat rahasia di dalam kursi ini adalah tidak seketika langsung bekerja.
Apabila diduduki begitu saja juga tidak akan terjadi apa-apa. Namun, setelah
diduduki kira-kira seminuman teh barulah pesawat itu bekerja dan menyulut sumbu
bahan peledak. Ren Woxing seorang yang sangat cerdik dan mudah curiga. Jika
mendadak ia melihat ada sebuah kursi bagus di sini tentu tidak akan langsung
duduk di atasnya. Pasti dia menyuruh anak buahnya untuk mencoba lebih dahulu.
Jika memang tidak terjadi apa-apa, barulah ia berani duduk. Di atas kursi ini
tersulam gambar sembilan naga menyongsong matahari, serta tertulis
semboyan-semboyan yang memuja ketua, tentu anak buahnya itu tidak berani duduk
lama-lama. Sementara itu, Ren Woxing begitu duduk tentu akan merasa nyaman dan
enggan pula meninggalkan kursi kebesaran ini.”
“Pemikiran Pendeta sungguh
sangat rapih,” puji Linghu Chong.
“Selain itu Adik Qingxu juga
telah mengatur perangkap lain,” kata Chongxu. “Kalau Ren Woxing ternyata curiga
dan tidak mau duduk di atas kursi ini, tentu ia akan menyuruh anak buahnya
untuk membongkar paksa. Nah, begitu salah satu baut pada kursi ini dilepas,
seketika sebuah pesawat rahasia lain akan langsung bekerja dan menyulut sumbu
bahan peledak. Kali ini Keponakan Chenggao membawa sepuluh ribu kilo bahan
peledak. Jika benar-benar diledakkan, jangan-jangan pemandangan indah di
pegunungan kalian yang permai ini terpaksa ikut hancur pula.”
Linghu Chong menjadi ngeri
membayangkan hal itu. Ia berpikir, “Bahan peledak sebanyak sepuluh ribu kilo,
sekali meledak tentu segalanya akan hancur lebur. Yang jelas Ketua Ren pasti
akan binasa. Akan tetapi, Yingying dan Kakak Xiang juga sulit terhindar dari
maut.”
Melihat raut muka Linghu Chong
agak pucat, Chongxu paham dan berkata, “Sekte Iblis telah menyatakan dengan
tegas hendak membasmi Perguruan Henshan habis-habisan. Setelah itu mereka tentu
akan menyerang Perguruan Shaolin dan Wudang kami. Korban yang lebih besar pasti
akan jatuh dan bencana tentu sukar dihindari. Kalau sekarang kita menggunakan
siasat ini untuk menghadapi Ren Woxing, meskipun agak keji, namun tujuan kita
adalah untuk membinasakan iblis sesat itu demi menyelamatkan jiwa puluhan ribu
kaum persilatan pada umumnya.”
“Amitabha!” ujar Mahabiksu
Fangzheng bersabda. “Memang begitulah jalan hidup welas asih. Terpaksa
mengorbankan satu orang demi menolong ratusan ribu lainnya.” Kesembilan biksu
pengiringnya ikut menguncupkan tangan dan berkata, “Amitabha, Kepala Biara
benar.”
Linghu Chong merasa ucapan
Fangzheng cukup masuk akal. Sekte Matahari dan Bulan sudah menyatakan hendak
membunuh habis segenap penghuni Gunung Henshan, termasuk ayam dan burung
sekalipun. Jika sekarang pihak golongan putih menggunakan perangkap keji
meledakkan musuh, hal ini rasanya masih pantas dan tidak seorang pun dapat
menyangkalnya. Hanya saja, kalau Ren Woxing harus dibunuh, dalam hati Linghu
Chong merasa enggan. Apalagi mengingat Xiang Wentian harus tewas pula, baginya
lebih baik ia yang mati lebih dulu. Justru hidup-mati Ren Yingying yang tidak
menjadi beban pikirannya, karena mereka berdua telah bertekad untuk sehidup
semati selamanya.
Begitu melihat sorot mata
semua orang memandang kepadanya, ia pun berpikir sejenak, kemudian berkata,
“Urusan sudah seperti ini. Sekte Matahari dan Bulan telah mendesak kita hingga
menghadapi jalan buntu. Saya merasa siasat yang diatur Pendeta Chongxu ini
adalah cara yang paling sedikit menjatuhkan korban.”
“Ucapan Adik Linghu memang
tidak salah,” kata Chongxu. “Jatuh korban sedikit adalah hal yang paling kita
harapkan.”
“Saya masih muda dan
berpengalaman dangkal. Urusan ini biarlah dipimpin langsung oleh Mahabiksu
Fangzheng dan Pendeta Chongxu,” ujar Linghu Chong kemudian. “Yang pasti saya
akan memimpin murid-murid Perguruan Henshan untuk bersama-sama menghadapi
musuh.”
“Ah, mana boleh seperti itu?”
sahut Chongxu tertawa. “Adik Linghu adalah tuan rumah, sementara Kepala Biara
dan aku hanyalah tamu. Mana boleh tamu menggeser tempat tuan rumah?”
“Dalam hal ini saya bukan
sengaja merendahkan diri, namun benar-benar memohon kedua sesepuh agar sudi
memimpin semuanya,” kata Linghu Chong dengan wajah sungguh-sungguh.
“Jika tekad Ketua Linghu sudah
bulat, maka Saudara Pendeta juga tidak perlu segan dan menolak lagi,” ujar
Fangzheng. “Biarlah urusan besar ini diputuskan oleh kita bertiga bersama-sama,
namun Saudara Pendeta yang akan memimpin perintah pelaksanaannya.”
Setelah mengucapkan kata-kata
rendah hati, Chongxu akhirnya menerima usul tersebut. Ia kemudian berkata,
“Jalan menuju ke Puncak Henshan ini sudah kita beri penjagaan. Kapan pun pihak
Sekte Iblis datang menyerbu, tentu sebelumnya kita akan mendapat kabar. Dulu
sewaktu Adik Linghu memimpin banyak orang menyerbu Biara Shaolin, saat itu kami
tunduk di bawah perintah Zuo Lengchan yang menggunakan ‘Siasat Kota Kosong’….”
“Waktu itu saya benar-benar
ceroboh, mohon dimaafkan,” sela Linghu Chong menukas.
Siasat Kota Kosong adalah
taktik perang melegenda ciptaan Zhuge Liang pada zaman tiga negara, lebih dari
seribu tahun yang lalu. Siasat ini lantas ditiru oleh Zuo Lengchan untuk
menjebak Linghu Chong dan kawan-kawan saat menyerbu Biara Shaolin demi
membebaskan Ren Yingying kala itu.
“Sungguh tidak disangka, yang
dulu musuh kini menjadi kawan,” kata Chongxu dengan tertawa. “Kalau saat ini
kita memakai Siasat Kota Kosong lagi tentu tidak akan berhasil. Apabila Gunung
Henshan tiba-tiba sepi sudah pasti menimbulkan kecurigaan Ren Woxing. Maka
menurut pendapatku, biarlah segenap anggota Perguruan Henshan bertahan di atas
gunung ini. Pihak Shaolin dan Wudang masing-masing akan mengirim beberapa orang
untuk ikut membantu. Masalahnya kalau Shaolin dan Wudang tidak memberi bantuan,
hal ini pasti akan menimbulkan kecurigaan Ren Woxing pula.”
“Benar sekali,” ujar Fangzheng
dan Linghu Chong bersama-sama.
Chongxu melanjutkan,
“Kawan-kawan dari Perguruan Kunlun, Emei, dan Kongtong bisa bersembunyi di
dalam gua, tidak perlu memperlihatkan diri. Begitu pasukan Sekte Iblis datang
menyerbu, orang-orang Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang akan melawannya
dengan sekuat tenaga. Cara bertempur kita juga harus sungguh-sungguh, serta
melibatkan jago-jago papan atas dari perguruan masing-masing. Semakin banyak
kita membunuh musuh akan semakin baik, sementara dalam pihak kita sedapat
mungkin jangan sampai jatuh korban.”
Fangzheng menghela napas dan
berkata, “Jago-jago di pihak Sekte Matahari dan Bulan tidak terhitung
banyaknya. Kedatangan mereka kali ini tentu telah direncanakan dengan sangat
matang. Dalam pertempuran nanti tentu tidak bisa dihindari akan banyak jatuh
korban di kedua pihak.”
Chongxu menjelaskan, “Kita
bisa mencari jurang yang terjal dan memasang tali panjang di sana. Apabila
dalam pertempuran nanti pihak kita mulai terdesak, maka satu per satu dari kita
segera turun ke bawah menggunakan tali tersebut sehingga musuh tidak dapat
mengejar. Setelah mendapat kemenangan besar tentu Ren Woxing akan bergembira
dan lupa daratan. Begitu melihat kursi kebesaran ini, dia akan langsung duduk
di atasnya dan beberapa saat kemudian pesawat rahasia bekerja menyulut sumbu
bahan peledak. Sekalipun iblis bermarga Ren itu memiliki kepandaian setinggi
langit, tidak mungkin ia dapat meloloskan diri dari ledakan tersebut. Menyusul
kemudian kita ledakkan pula tiga puluh dua titik pada delapan jalur yang menuju
ke puncak Henshan ini sehingga orang-orang Sekte Iblis itu terkurung semua di
atas gunung.”
“Semua jalan menuju ke atas
sini juga diledakkan?” sahut Linghu Chong menegas.
“Benar,” jawab Chongxu. “Mulai
besok pagi Keponakan Chenggao akan menanam sejumlah bahan peledak pada ketiga
puluh dua titik tersebut. Begitu semua meledak, seketika jalan-jalan menuju
puncak akan terputus. Berapa pun banyaknya anggota Sekte Iblis yang menyerbu
kemari tentu semua akan mati kelaparan di sini. Yang kita tiru adalah siasat
Zuo Lengchan dahulu. Hanya saja, kali ini musuh pasti tidak berkesempatan
meloloskan diri melalui lorong bawah tanah.”
“Waktu itu saya sangat
beruntung karena secara kebetulan menemukan lorong rahasia sehingga bisa lolos
dari Biara Shaolin,” ujar Linghu Chong. “Akan tetapi ….” tiba-tiba ia teringat
sesuatu.
“Apakah Adik Linghu merasa
siasat yang kita atur ini masih kurang sempurna?” tanya Chongxu.
Linghu Chong menjawab, “Saya
berpikir jika nanti Ketua Ren datang kemari dan melihat kursi kebesaran ini,
tentu ia akan merasa senang. Namun, di sisi lain ia juga akan terheran-heran
mengapa Perguruan Henshan tiba-tiba membuat kursi yang penuh dengan sanjung
puji seperti itu? Bila hal ini tidak dijelaskan, rasanya Ketua Ren juga tidak
mau tertipu dan duduk di sini.”
“Persoalan ini memang sudah
kupikirkan pula,” jawab Chongxu. “Sebenarnya iblis tua itu mau duduk di atas
kursi ini atau tidak juga bukan masalah penting bagi kita. Sebab, kita sudah
mempersiapkan rencana kedua yaitu memasang sumbu lainnya di tempat rahasia.
Begitu ia merayakan kemenangan sambil menikmati sanjung puji dari anak buahnya,
maka saat itulah kita ledakkan gunung ini melalui sumbu rahasia tersebut. Tentu
keesokan harinya hal ini akan menjadi berita hangat yang dibicarakan semua
penghuni dunia persilatan.”
“Paman Guru,” tiba-tiba
Chenggao menyela. “Saya memiliki suatu usulan, entah dapat dijalankan atau
tidak?”
“Coba katakan, biar kita bisa
meminta pertimbangan Kepala Biara dan Ketua Linghu,” sahut Chongxu sambil
tersenyum.
“Saya mendengar Ketua Linghu
mempunyai ikatan perjodohan dengan putri tunggal Ketua Ren. Berhubung golongan
putih dan golongan hitam tidak bisa bersatu, maka lantas timbul suatu
halangan,” kata Chenggao. “Ketua Linghu dapat mengutus dua murid Henshan untuk
menemui Ketua Ren dan menyampaikan berita bahwa demi mengingat diri Nona Ren,
maka Ketua Linghu sengaja mengundang seorang ahli untuk membuatkan sebuah kursi
kebesaran. Kursi ini khusus dipersembahkan kepada Ketua Ren dengan harapan
kedua pihak dapat terhindar dari pertempuran menuju perdamaian. Dengan
demikian, apakah Ketua Ren mau menerima persembahan Ketua Linghu ini atau tidak
bukan masalah lagi. Yang pasti, begitu datang kemari dan melihat kursi ini
tentu ia tidak akan curiga lagi.”
“Sungguh akal yang bagus,”
seru Chongxu bertepuk tangan. “Dengan demikian ….”
“Tidak bisa!” sahut Linghu
Chong menukas sambil menggeleng kepala.
Chongxu tercengang kemudian
bertanya, “Apakah Adik Linghu ada pendapat yang lebih baik?”
Linghu Chong menjawab,
“Bahwasanya Ketua Ren ingin membunuh segenap anggota Perguruan Henshan, maka
saya akan menghadapinya dengan sepenuh tenaga, entah menggunakan siasat ataupun
kekuatan. Kalau dia benar-benar datang hendak membunuh kita semua, maka kita
pun harus meledakkan dia. Akan tetapi, sama sekali saya tidak mau
membohonginya.”
“Bagus sekali!” ujar Chongxu
memuji. “Adik Linghu benar-benar seorang laki-laki sejati. Selalu mengutamakan
kejujuran, sungguh mengagumkan. Biarlah kita tetap melaksanakan rencana semula.
Terserah apakah iblis bermarga Ren itu akan curiga atau tidak, yang pasti bila
dia datang kemari untuk mencelakai kita, maka dia pun akan kita buat
menderita.”
Begitulah, mereka lantas
berunding membahas tentang bagaimana harus menghadapi musuh, bagaimana harus
melakukan perlawanan, bagaimana melindungi anak-buah masing-masing supaya tidak
jatuh banyak korban, termasuk bagaimana cara mengundurkan diri ke belakang
gunung nanti, serta bagaimana cara menyulut sumbu bahan peledak.
Chongxu benar-benar seorang
yang sangat cermat. Ia khawatir siasatnya yang rapih itu justru membuat mereka
lengah dan memandang remeh pihak lawan. Maka itu, ia pun mengirim pasukan
cadangan untuk menyalakan sumbu peledak karena jangan-jangan para petugas yang
ditunjuk justru terbunuh oleh musuh.
Keesokan paginya Linghu Chong
mengajak mereka semua untuk melihat keadaan lembah pegunungan guna menjalankan
siasat. Qingxu dan Chenggao segera memilih tempat-tempat penting untuk menanam
bahan peledak serta memasang sumbunya pula. Para penjaga bahan peledak itu pun
ditempatkan secara tersembunyi. Chongxu dan Linghu Chong juga memilih empat
jurang yang curam sebagai jalan meloloskan diri jika musuh datang menyerbu
secara besar-besaran. Keempat jurang itu masing-masing akan dijaga langsung
oleh Fangzheng, Chongxu, Fangsheng, dan Linghu Chong sendiri. Bagaimanapun juga
mereka harus menahan musuh supaya tidak dapat mendekati jurang itu, sampai
semua orang di pihak mereka sudah turun ke bawah. Setelah semuanya habis,
barulah mereka berempat turun ke bawah dan memotong tali panjang tersebut
supaya musuh tidak dapat mengejar lebih lanjut.
Sore harinya sebanyak sepuluh
orang Perguruan Wudang naik ke atas gunung dengan menyamar sebagai petani dan
pengusung kayu bakar. Di bawah pimpinan Qingxu dan Chenggao, mereka pun menanam
bahan peledak di tempat-tempat yang sudah ditentukan. Murid-murid Henshan telah
menjaga semua jalur masuk menuju puncak. Siapa pun orangnya yang tidak
berkepentingan dilarang lewat di jalanan pegunungan. Satu sama lain juga tidak
boleh sembarangan bicara untuk menjaga diri dari mata-mata Sekte Matahari dan
Bulan yang ingin mengetahui rahasia siasat mereka.
Setelah tiga hari
berturut-turut kesibukan mereka pun berakhir. Segala persiapan telah diatur
dengan rapih, tinggal menunggu datangnya serbuan Sekte Matahari dan Bulan saja.
Sementara itu, pertemuan dengan Ren Woxing di Gunung Huashan juga telah berlalu
hampir sebulan yang silam. Ini berarti kedatangan pihak Sekte Matahari dan
Bulan akan terjadi dalam waktu dekat saja.
Dalam beberapa hari itu
Chongxu dan kawan-kawannya semakin sibuk, semenatara Linghu Chong justru lebih
banyak menganggur. Setiap hari ia menggunakan kesempatan untuk menghafal rumus
ilmu tenaga dalam yang diajarkan Mahabiksu Fangzheng, serta melatihnya dengan
tekun. Apabila terdapat bagian-bagian yang tidak dipahaminya segera ia meminta
petunjuk kepada Fangzheng.
Sore harinya, Linghu Chong
mengawasi Yihe, Yiqing, Yilin, Zheng E, Qin Juan, dan yang lainnya berlatih
ilmu pedang. Meskipun berusia paling muda, namun daya tangkap Qin Juan terhadap
intisari ilmu pedang yang diajarkan Linghu Chong ternyata paling bagus dan
cepat tangkap pula.
“Adik Qin sungguh pintar,”
ujar Linghu Chong memuji. “Kau sudah mendapat banyak kemajuan dalam jurus ini.
Untuk selanjutnya ….” Sampai di sini ia langsung berhenti. Tiba-tiba perutnya
terasa sangat sakit. Seketika langit terasa runtuh dan bumi berputar cepat.
Tanpa ampun ia pun jatuh terduduk di atas tanah.
Yihe dan yang lain sangat
terkejut. Beramai-ramai mereka memburu maju dan membangunkan sang ketua.
Serentak mereka bertanya, “Ada apa sebenarnya?”
Linghu Chong sadar penyakitnya
sedang kambuh kembali. Bermacam-macam hawa murni di dalam tubuhnya kembali
bergolak. Mulut terasa sukar dibuka, sehingga sulit pula menjawab pertanyaan
tersebut.
Selagi murid-murid Henshan itu
gelisah, tiba-tiba terasa hembusan angin menerpa mereka. Rupanya dua ekor
merpati pos telah masuk ke dalam ruang latihan melalui jendela.
“Ah!” seru Yihe dan yang lain
bersamaan.
Perguruan Henshan memang memelihara
banyak merpati pos. Dulu sewaktu Biksuni Dingjing berada di Fujian, sementara
Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi terkurung di Lembah Tempa Pedang, mereka
saling berhubungan menggunakan merpati-merpati tersebut.
Kedua merpati yang baru datang
ini telah dikirim oleh murid-murid Henshan yang berjaga di kaki gunung.
Punggung merpati-merpati itu sengaja dicat warna merah, sebagai pertanda bahwa
pihak musuh telah datang menyerbu.
Sejak kedatangan orang-orang
Shaolin dan Wudang, para murid Henshan masing-masing merasa lega karena
mendapatkan bala bantuan yang kuat. Tak disangka pada saat genting seperti ini
penyakit sang ketua mendadak kambuh. Segera Yiqing mengambil tindakan. Ia
berseru, “Adik Yiwen, Adik Yizhi, serta yang lainnya segeralah melapor kepada
Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu.”
Yiwen dan yang lain pun
berangkat dengan cepat. Yiqing lantas berkata lagi, “Kakak Yihe, tolong kau
bunyikan genta.”
Yihe mengangguk beberapa kali
dan langsung berlari keluar menuju ke menara genta. Tidak lama kemudian
terdengarlah suara genta bertalu-talu menggema di angkasa. Menyusul kemudian
genta-genta besar di berbagai tempat yang terpisah-pisah, antara lain Lembah
Tongyuan, Kuil Gantung, Celah Naga Hitam, dan Celah Tungku Porselen berbunyi
pula.
Rupanya Mahabiksu Fangzheng
telah berpesan bahwa bunyi genta yang bertalu-talu ditetapkan sebagai tanda
bahaya datangnya musuh. Perintah yang sebenarnya ialah membunyikan genta secara
panjang tiga kali, dan pendek dua kali secara berturut-tutut dan perlahan-lahan.
Akan tetapi, karena sedang ketakutan Yihe malah membunyikannya secara kasar dan
tidak berirama. Meskipun kata “he” bermakna “damai”, namun Yihe bersifat sangat
berangasan dan mudah marah.
Orang-orang Perguruan Henshan,
Shaolin, dan Wudang dengan cepat bergerak sesuai rencana yang ditetapkan.
Masing-masing meninggalkan pos-pos penjagaan untuk menuju ke atas puncak.
Memang demi mengurangi jatuhnya korban, maka jalan-jalan penting mulai kaki
gunung sampai Puncak Jianxing sengaja dikosongkan, sama sekali tidak diberi
penjagaan. Dengan demikian pasukan Sekte Matahari dan Bulan sengaja diberi
kelonggaran agar dapat menyerbu ke atas dengan lancar. Begitu pihak musuh tiba
di puncak barulah mereka muncul untuk melabrak.
Setelah bunyi genta berhenti,
suasana Gunung Henshan serentak berubah sunyi senyap. Bahkan burung-burung ikut
berhenti berkicau, sehingga menambah tegangnya suasana.
Para jago silat yang dikirim
Perguruan Kunlun, Emei, dan Kongtong juga sudah bersiaga di tempat
persembunyian masing-masing. Dengan hati berdebar-debar mereka menunggu
orang-orang Sekte Matahari dan Bulan menyerbu ke atas. Begitu mendapatkan
perintah, serentak mereka pun menyerbu keluar untuk memotong jalan sehingga
pihak musuh tidak dapat bergerak mundur. Demi keberhasilan rencana, Chongxu
sengaja tidak memberitahu orang-orang ketiga perguruan itu tentang sejumlah
bahan peledak yang telah ditanam oleh pihak Wudang. Rupanya ia memperkirakan
kemungkinan di antara murid-murid Kunlun dan yang lain terdapat mata-mata Sekte
Iblis.
Begitu mendengar bunyi genta
yang bertalu-talu tadi, Linghu Chong sadar bahwa pasukan Sekte Matahari dan
Bulan telah datang menyerbu. Namun, perutnya terasa sangat sakit seperti
disayat-sayat oleh ribuan pisau tajam. Karena terlalu sakit sampai-sampai ia
mendekap perutnya itu dan berguling-guling di atas tanah.
Yilin dan Qin Juan khawatir
sehingga muka mereka menjadi pucat. Keduanya kebingungan dan tidak tahu harus
berbuat apa. Yiqing lantas berkata, “Sebaiknya kita bawa Kakak Ketua ke dalam
Biara Wuse, kemudian kita meminta nasihat Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta
Chongxu bagaimana harus bertindak.”
Yu Sao dan seorang biksuni
setengah baya segera membantu Linghu Chong berdiri. Dengan setengah memapah dan
setengah menyeret mereka membawa sang ketua ke dalam Biara Wuse, biara induk di
Gunung Henshan. Baru saja sampai di pintu biara, mereka mendengar suara petasan
disusul dengan bunyi terompet dan tambur. Jelas secara terang-terangan pihak
Sekte Matahari dan Bulan sudah menyerbu ke atas gunung.
Fangzheng dan Chongxu telah
menerima laporan tentang kambuhnya penyakit Linghu Chong. Mereka pun secepatnya
berlari keluar dari biara itu.
“Adik Linghu jangan khawatir,”
kata Chongxu. “Adik Qingxu telah kusuruh mewakili diriku untuk memimpin
orang-orang Wudang, sedangkan aku mewakili dirimu memimpin pihak Henshan.”
Linghu Chong hanya bisa
mengangguk terima kasih sambil menyeringai menahan sakit.
Fangzheng berkata, “Ketua
Linghu, segeralah meloloskan diri lebih dulu.”
“Tidak … tidak, sama ...
sekali tidak boleh!” sahut Linghu Chong terputus-putus. “Ambilkan … ambilkan
pedangku!”
Chongxu juga menasihatinya
agar mengikuti saran Fangzheng, namun Linghu Chong tetap menolak. Sementara
itu, suara terompet dan tambur tiba-tiba berhenti, kemudian terdengar
sorak-sorai orang-orang Sekte Matahari dan Bulan, “Hidup Ketua Suci! Semoga
panjang umur, merajai dunia persilatan selamanya!” Dari gemuruh suara itu dapat
diperkirakan paling tidak ada empat atau lima ribu orang jumlah mereka.
Fangzheng, Chongxu, dan Linghu
Chong saling pandang dengan tersenyum. Mereka yakin rencana dan perangkap yang
mereka atur sebentar lagi pasti akan berhasil menghancurkan musuh.
Qin Juan telah menyodorkan
pedang yang diminta Linghu Chong. Begitu Linghu Chong hendak menerima pedang
itu, ternyata tangannya gemetar hebat dan sulit memegang dengan erat. Maka, Qin
Juan pun menggantungkan pedang tersebut di pinggang Linghu Chong.
Tiba-tiba terdengar kembali
suara tetabuhan bergema. Kali ini lagu yang dimainkan terasa sangat menarik,
dan sama sekali bukan lagu perang. Tidak lama kemudian beberapa orang berseru
serentak, “Ketua Suci Sekte Matahari dan Bulan hendak naik ke Puncak Jianxing
guna bertemu dengan Ketua Linghu dari Perguruan Henshan!”
Mendengar ini Fangzheng
berkata, “Rupanya Sekte Matahari dan Bulan memakai cara halus sebelum
menggunakan kekerasan. Kita sendiri jangan sampai dipandang rendah. Ketua
Linghu, bagaimana kalau kita biarkan mereka naik ke sini?”
Linghu Chong mengangguk
setuju. Pada saat itu perutnya kembali terasa sakit seperti disayat-sayat. Melihat
wajah pemuda itu pucat pasi dan mengucurkan keringat dingin, Fangzheng berkata,
“Ketua Linghu, penyakitmu kambuh lagi. Segeralah kau terapkan ilmu tenaga dalam
ajaran Sesepuh Feng. Kau bisa melihat bagaimana hasilnya nanti.”
Rumus ilmu tenaga dalam ajaran
Feng Qingyang kemarin adalah mengantar hawa murni di dalam tubuh agar masuk ke
perut. Padahal, waktu itu di dalam perutnya sedang bergolak bermacam-macam hawa
murni yang saling desak dan saling terjang tak beraturan. Maka, dengan
mengerahkan tenaga dalam sendiri untuk manyalurkan hawa murninya itu, ini sama
artinya dengan bunuh diri. Sudah pasti rasa sakitnya makin bertambah parah.
Namun, pada dasarnya Linghu
Chong sudah nekad. Ia merasa sakitnya sudah mencapai titik puncak. Jika
ditambah lagi paling-paling ia akan mati kesakitan saja. Maka, tanpa pikir lagi
ia pun mengerahkan tenaga dalam yang baru dipelajarinya itu secara teratur agar
tersalurkan di jalan yang tepat.
Ternyata dugaannya benar.
Pergolakan dan pertarungan bermacam-macam hawa murni di dalam perutnya
bertambah hebat dan menyakitkan. Namun, setelah berputar-putar lagi, berbagai
hawa murni itu kemudian dapat diantar ke jalan yang benar, samar-samar seperti
memasuki jalurnya sendiri dan mulai berputar dengan lancar. Meski rasanya masih
tetap sakit, namun sudah tidak saling terjang lagi.
Sementara itu, Mahabiksu
Fangzheng menjawab seruan orang-orang Sekte Iblis tadi, “Ketua Perguruan
Henshan Linghu Chong, ketua Perguruan Wudang Pendeta Chongxu, dan ketua
Perguruan Shaolin Fangzheng, bersama-sama menantikan kunjungan Ketua Ren yang
terhormat dari Sekte Matahari dan Bulan!”
Meskipun Fangzheng berkata
dengan perlahan, namun suaranya berkumandang jauh hingga mencapai kaki gunung.
Padahal, belasan gembong Sekte Iblis tadi berteriak sekeras-kerasnya untuk
dapat mengumandangkan suara mereka ke puncak gunung. Dengan demikian, dapat
dibayangkan betapa luar biasa tenaga dalam biksu kepala dari Biara Shaolin ini.
Linghu Chong sendiri sedang
duduk bersila sambil mengerahkan tenaga dalamnya dengan lebih tekun. Matanya
memandang hidung, napasnya seirama dengan detak jantung, tangan kiri memegang
dada, dan tangan kanan menekan perut, sesuai petunjuk Mahabiksu Fangzheng
sebelumnya.
Ilmu tenaga dalam ajaran Feng
Qingyang itu baru dilatihnya beberapa hari saja. Meskipun setiap hari Mahabiksu
Fangzheng mendampingi dan memberikan petunjuk secara jelas, namun latihannya
masih juga belum sempurna. Untunglah kini berbagai hawa murni yang bergolak di
dalam tubuhnya itu lambat-laun dapat diredam dan disalurkan ke jalur yang
benar.
Linghu Chong tidak berani
gegabah. Ia menyalurkan tenaga dalamnya dengan lebih tekun dan teratur. Semula
telinganya masih mendengar suara tetabuhan, namun pada akhirnya tidak mendengar
apa-apa lagi. Rupanya ia telah memusatkan segenap pancaindranya ke dalam
latihan tersebut.
Melihat ketekunan Linghu Chong
ini, Mahabiksu Fangzheng tersenyum senang. Ia mendengar suara tetabuhan semakin
bertambah ramai. Orang-orang Sekte Matahari dan Bulan kembali berteriak, “Ketua
Sekte Matahari dan Bulan, kesatria gagah berani, pelindung rakyat jelata, Yang
Mulia Ketua Suci naik ke puncak Henshan!”
Teriakan itu diikuti dengan
suara tetabuhan yang semakin terdengar keras, pertanda mereka sedang berjalan
menuju ke atas. Jalan menuju Puncak Jianxing memang cukup panjang. Meskipun
suara para anggota Sekte Matahari dan Bulan itu terdengar keras, namun sampai
cukup lama mereka belum juga mencapai puncak. Diam-diam para jagoan dari
Perguruan Kunlun dan lainnya menggerutu di tempat persembunyian mereka, “Ketua
Sekte Iblis tengik, kenapa tidak mati sekarang saja? Sorak-sorai anak buahnya
berlebihan, masih ditambah tetabuhan musik segala. Memangnya kau mau main
sandiwara, hah?”
Sejak tadi mereka sudah
bersiaga untuk menghadapi musuh dengan jantung berdebar-debar. Menurut
perkiraan, begitu pihak Sekte Iblis menyerbu ke atas gunung, serentak mereka
akan melompat keluar dari tempat persembunyian untuk menghadapi. Apabila jumlah
musuh semakin membanjir dan sukar ditahan, maka mereka pun mengundurkan diri
dengan cara turun ke bawah jurang di belakang gunung menggunakan tali panjang.
Tak disangka, kedatangan Ren Woxing kali ini ternyata berlagak seperti kaisar
maharaja, dengan mengagungkan segala kebesarannya pula. Hal ini membuat
orang-orang yang bersiaga itu malah semakin bertambah tegang.
Setelah memakan waktu cukup
lama, Linghu Chong merasa hawa murni di dalam tubuhnya lambat laun dapat
diatasi. Rasa sakitnya kini mulai berkurang. Tiba-tiba ia teringat bahwa musuh
sudah semakin dekat. Maka, dengan seketika pemuda itu pun melonjak bangun.
“Sudah lebih baik?” tanya
Fangzheng dengan tersenyum.
“Apakah pertempuran sudah
dimulai?” Linghu Chong balik bertanya.
“Belum,” sahut Fangzheng.
“Bagus kalau begitu!” seru
Linghu Chong, “Adik Qin, ambilkan pedang!”
Qin Juan segera meletakkan
gagang pedang ke dalam genggaman Linghu Chong. Pada saat itulah Linghu Chong
melihat Fangzheng, Chongxu dan yang lain ternyata tidak memegang senjata. Di
sisi lain tampak Yihe, Yiqing, dan murid-murid Henshan lainnya sedang berbaris
di depan Biara Wuse dalam kelompok-kelompok formasi tujuh orang, namun senjata
mereka juga belum dicabut keluar. Linghu Chong pun sadar bahwa musuh belum
datang. Menyadari dirinya terlalu gugup, ia menjadi geli sendiri dan buru-buru
menyarungkan pedangnya sambil bergelak tawa.
Sementara itu, suara tetabuhan
tadi mendadak berhenti. Sebagai gantinya terdengar suara seruling dan kecapi
berkumandang dengan merdu. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Ketua Ren terlalu
banyak tingkah. Setelah suara tetabuhan yang menderu-deru, kini berganti suara
musik halus merdu. Tentu sebentar lagi dia akan muncul.”
Benar juga, di tengah alunan
suara seruling dan kecapi yang merdu itu, tampak dua barisan anggota Sekte
Matahari dan Bulan muncul di Puncak Jianxing. Pandangan semua orang seketika
terbelalak, karena setiap anggota sekte ternyata memakai jubah sulaman berwarna
hijau gelap yang masih baru, serta ikat pinggang berwarna putih. Empat puluh
orang dari barisan itu tampak membawa nampan dengan berlapiskan kain sutra.
Entah barang apa yang berada di atas nampan mereka itu?
Keempat puluh orang ini
ternyata tidak membawa senjata. Bahkan setelah naik ke puncak, masing-masing
lantas berdiri tegak di kejauhan. Menyusul kemudian muncul pula di belakang
mereka suatu barisan yang terdiri dari dua ratus orang peniup seruling dan
pemetik kecapi. Semuanya juga berseragam jubah sulaman. Sambil berjalan mereka
terus memainkan alat musik masing-masing.
Setelah itu, muncul pula para
penabuh tambur, peniup terompet, penabuh simbal, dan alat-alat musik lainnya.
Linghu Chong menjadi tertarik melihat bermacam-macam alat musik ini. Ia
berpikir, “Sungguh menggelikan. Nanti kalau pertempuran dimulai, tentu mereka
bertugas memainkan alat musik masing-masing sebagai pengiring. Bukankah ini
mirip dengan pertempuran di atas panggung sandiwara?”
Di tengah suara alunan musik
itu, tampak kemudian barisan-barisan anggota Sekte Matahari dan Bulan semakin
berdatangan. Barisan-barisan itu sepertinya diatur menurut warna seragam
mereka. Ada sekelompok yang berseragam hijau, ada pula yang berseragam kuning,
biru, hitam, putih, dan semuanya serbabaru. Apa pun warna seragam yang mereka
pakai, semuanya tampak mengenakan ikat pinggang berwarna putih. Jumlah yang
naik ke Puncak Jianxing kali ini paling tidak mencapai tiga sampai empat ribu
orang.
Dalam hati Pendeta Chongxu
berpikir, “Mereka baru saja mencapai puncak dan belum teratur dengan baik.
Kalau sekarang juga aku memberi perintah untuk menyerang dengan serentak, tentu
pihak Sekte Iblis ini akan kocar-kacir. Rupanya mereka menggunakan siasat
memancing kelengahan kami. Mula-mula bersikap halus untuk kemudian menyerang
dengan kekerasan. Tapi kalau kami yang menyerang lebih dulu pada saat musuh
belum bersiaga, maka ini namanya bukan perbuatan kesatria.”
Ia kemudian menoleh ke arah
Linghu Chong yang tampak tersenyum geli menertawakan tingkah laku pihak Sekte
Iblis itu. Mahabiksu Fangzheng sendiri terlihat tenang-tenang saja seolah
menganggap perbuatan pihak musuh itu sebagai hal yang biasa. Dalam hati Chongxu
kembali berpikir, “Aku terlalu khawatir. Kalau hatiku masih saja ketakutan
seperti ini, pertanda ilmu kebatinanku memang belum matang.”
Para anggota Sekte Matahari
dan Bulan itu telah berbaris secara teratur sesuai kelompok masing-masing.
Menyusul kemudian muncul sepuluh tetua sekte. Mereka lantas membagi diri ke
dalam dua kelompok yang berdiri di kanan dan kiri, masing-masing berisikan lima
orang. Begitu bunyi tetabuhan mendadak berhenti, serentak kesepuluh tetua itu
berteriak bersama-sama, “Pemimpin Sekte Matahari dan Bulan yang mahabijaksana,
pelindung rakyat jelata, juru selamat umat manusia, Ketua Ren yang suci telah
tiba!”
Sejenak kemudian muncul sebuah
tandu besar yang dilapisi kain beludru berwarna biru dengan digotong oleh enam
belas orang. Keenam belas orang pemikul tandu tersebut melangkah dengan cepat
dan ringan, pertanda bahwa mereka semua adalah para jago pilihan.
Sewaktu Linghu Chong mengamati
dengan seksama, ternyata di antara keenam belas pemikul tandu itu terdapat Zu
Qianqiu, Huang Boliu, dan Ji Wushi. Andai saja badan Lao Touzi tidak terlalu
pendek, tentu ia juga akan menjadi tukang pikul tandu pula. Melihat ini Linghu
Chong berpikir dengan perasaan kesal, “Bagaimanapun juga Zu Qianqiu dan
kawan-kawan adalah kaum kesatria semuanya, namun Ketua Ren memperlakukan mereka
dengan sangat hina. Apakah hanya karena bersulang denganku, lantas mereka
diperbudak seperti ini?”
Di kedua sisi tandu besar itu
masing-masing tampak berjalan seseorang mengiringi. Yang mendampingi di sebelah
kiri adalah Xiang Wentian, sementara di sebelah kanan adalah seorang tua yang
tampaknya tidak asing lagi. Sejenak Linghu Chong tercengang. Tiba-tiba ia
teringat bahwa orang tua itu adalah Luzhuweng, si Kakek Bambu Hijau yang dulu
tinggal di luar Kota Luoyang. Orang tua inilah yang pertama kali mengajarkan
dasar-dasar memainkan alat musik kecapi kepada Linghu Chong. Ia adalah cucu
murid dari saudara seperguruan Ren Woxing, sehingga memanggil Ren Yingying
dengan sebutan “bibi”. Hal inilah yang menyebabkan Linghu Chong salah paham dan
mengira gadis itu sebagai seorang nenek tua. Setelah berpisah di dermaga
Luoyang waktu itu, Linghu Chong tidak pernah bertemu Luzhuweng sama sekali.
Kini tahu-tahu orang tua itu sudah bergabung dengan Ren Woxing untuk menyerbu
Gunung Henshan.
Sesaat kemudian jantung Linghu
Chong terasa berdebar-debar. Ia berpikir, “Mengapa Yingying tidak kelihatan?”
Tiba-tiba terlintas suatu
pikiran dalam benaknya. Melihat setiap anggota Sekte Matahari dan Bulan memakai
ikat pinggang berwarna putih seperti orang yang sedang berkabung, ia pun
merenung, “Apakah Yingying telah bunuh diri karena tidak berhasil mencegah
kehendak ayahnya yang ingin menyerbu dan membasmi Perguruan Henshan?”
Seketika Linghu Chong merasa
darahnya mendidih. Jantungnya pun berdebar semakin kencang. Hampir saja ia
melangkah maju untuk bertanya kepada Xiang Wentian mengenai keadaan Ren
Yingying. Namun, begitu teringat Ren Woxing sedang duduk di dalam tandu, ia pun
batal melangkah.
Meskipun ada ribuan orang
berkumpul di Puncak Jianxing, suasana ternyata sunyi senyap, bahkan tidak
terdengar suara kicauan burung sama sekali. Ketika tandu besar itu berhenti dan
ditaruh di atas tanah, seketika semua mata memandang ke arahnya dan menantikan
Ren Woxing keluar dengan jantung berdebar-debar.
Pada saat itulah tiba-tiba
dari dalam Biara Wuse terdengar suara gelak tawa beberapa orang. Salah satu
dari mereka berseru dengan suara keras, “Lekas menyingkir, lekas menyingkir!
Sekarang giliranku yang harus duduk di situ!”
“Sabar dulu, sabar dulu!”
sahut seorang lagi menanggapi. “Kita harus bergiliran satu per satu, jangan
berebut! Setiap orang pasti akan mencicipi betapa nyaman duduk di atas kursi
sembilan naga ini!”
Seketika raut muka Fangzheng,
Chongxu, dan Linghu Chong berubah pucat. Dengan jelas mereka mendengar itu
adalah suara Enam Dewa Lembah Persik yang sedang berebut duduk di atas kursi
kebesaran untuk menjebak Ren Woxing tersebut. Entah sejak kapan keenam orang
sinting ini berhasil menyusup masuk ke dalam Biara Wuse dan menemukan kursi
berhias indah yang sangat memesona itu? Kalau mereka duduk terlalu lama, maka
pesawat rahasia akan segera bekerja menyulut sumbu bahan peledak. Jika ini
sampai terjadi, tentu urusan akan menjadi unyam.
Maka, dengan cepat Pendeta
Chongxu berlari masuk ke dalam biara dan membentak, “Hei, lekas bangun, lekas
bangun! Kursi pusaka ini khusus disediakan untuk Ketua Ren dari Sekte Matahari
dan Bulan! Kalian tidak boleh duduk di situ!”
“Mengapa tidak boleh duduk?
Kami justru ingin duduk di sini!” sahut Enam Dewa Lembah Persik beramai-ramai.
Kembali mereka ribut sendiri
tanpa memedulikan Chongxu. “Hei, kau sudah merasakannya, sekarang giliranku!”
“Wah, kursi ini sangat empuk
dan mentul-mentul. Rasanya seperti duduk di atas perut seorang gendut!”
“Hei, memangnya kau pernah
duduk di atas perut orang gendut?”
Linghu Chong khawatir kursi
yang diperebutkan Enam Dewa Lembah Persik itu benar-benar meledak sebelum
waktunya. Jika ini sampai terjadi maka semua anggota Sekte Matahari dan Bulan,
serta orang-orang Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang akan ikut terbunuh.
Gunung Henshan sendiri akan hancur lebur pula.
Semula Linghu Chong bermaksud
masuk ke dalam biara untuk mengatasi keributan tersebut. Namun entah mengapa,
dalam lubuk hatinya ia berbalik seakan-akan mengharapkan bahan peledak itu
benar-benar meledak secepatnya. Ia merasa Ren Yingying sudah mati, maka untuk
apa dirinya hidup lebih lama lagi?
Sekilas ia menoleh dan melihat
sepasang mata indah Yilin sedang menatap ke arahnya. Begitu mereka berdua
beradu pandang, lekas-lekas Yilin pun berpaling ke arah lain.
Dalam hati Linghu Chong
merenung, “Adik Yilin masih berusia sangat muda, tapi dia harus ikut hancur
pula oleh ledakan dahsyat nanti, bukankah ini sangat kasihan? Akan tetapi,
setiap manusia di dunia ini akhirnya pasti mati juga. Seandainya hari ini tidak
terjadi pertempuran dan tercipta perdamaian, bukankah semua orang yang ada di
sini setelah seratus tahun menjelang juga akan tinggal tulang belulang saja?”
Kembali ia mendengar suara
ribut Enam Dewa Lembah Persik masih belum mereda. Bahkan kini bertambah ramai.
Seseorang berseru, “Hei, kau sudah duduk dua kali, sementara aku belum duduk
sama sekali!”
“Yang pertama tadi aku belum
duduk dengan baik sudah ditarik turun. Maka, tidak boleh dihitung dan sekarang
aku harus diberi kesempatan lagi …. Hei, apa-apaan ini?”
Rupanya sebelum duduk dengan
baik ia kembali diseret turun dari atas kursi oleh saudara-saudaranya.
“Hei, aku ada akal. Begini
saja, kita enam bersaudara bisa sekaligus duduk berjejal di atas kursi ini.
Coba lihat, bisa muat atau tidak?”
“Bagus sekali! Akal yang
sangat bagus! Marilah kita duduk bersama-sama, hahaha!”
“Kau duduk duluan, lalu aku
duduk bagian atas saja!”
“Tidak, tidak! Kau saja yang
duduk di bawah dan aku di atas!”
“Yang paling tua duduk di
atas, yang paling muda duduk di bawah.”
“Tidak bisa, tidak bisa! Yang
paling tua duduk duluan, yang paling muda duduk terakhir di atas.”
Mahabiksu Fangzheng merasa
detik-detik berbahaya bisa terjadi setiap saat oleh perbuatan Enam Dewa Lembah
Persik yang gila-gilaan itu. Sebaliknya, ia tidak mungkin berseru mencegah
karena khawatir rahasia dalam kursi akan diketahui musuh. Terpaksa ia pun
berlari ke dalam biara dan membentak, “Di luar ada tamu agung, kalian jangan
bertengkar dan jangan ribut!”
Kata-kata “jangan ribut”
sengaja diucapkan dengan disertai ilmu Auman Singa, salah satu ilmu tenaga
dalam Perguruan Shaolin yang dahsyat. Enam Dewa Lembah Persik tidak tahan,
lantas berjatuhan tak sadarkan diri. Bahkan Pendeta Chongxu yang berada di situ
juga ikut pusing dan hampir roboh.
Dengan gembira Chongxu segera
menyingkirkan keenam orang dungu itu dari kursi sembilan naga dan kemudian
menotok semua titik gerak dan titik bisu mereka. Keenamnya lalu didorong masuk
ke bawah kolong meja persembahan Dewi Guanyin yang cukup besar di dalam biara
tersebut. Setelah itu, Chongxu memasang telinga di tepi kursi, dan ternyata
tidak terdengar suara apa-apa. Ini berarti sumbu bahan peledak belum menyala.
Seketika Chongxu merasa lega dan bersyukur, meskipun kepalanya terasa pusing dan
tubuhnya masih lemas. Andai saja Fangzheng tidak segera datang, tentu sumbu
akan menyala dan hancurlah segalanya.
Fangzheng dan Chongxu lantas
berjalan berdampingan keluar dari Biara Wuse. Sesampainya di tempat semula,
mereka pun berseru, “Silakan Ketua Ren masuk ke dalam menikmati hidangan teh!”
Akan tetapi, tirai tandu itu
tetap tertutup dan tidak terbuka sedikit pun. Ren Woxing juga tidak memberikan
jawaban sama sekali.
Chongxu menjadi gusar. Ia
berpikir, “Iblis tua ini sungguh tinggi hati. Padahal aku dan Mahabiksu
Fangzheng, serta Adik Linghu masih terhitung sebagai tiga tokoh terkemuka di
dunia persilatan zaman ini. Kami berdiri menyambut padamu, tapi kau tidak
menggubris sama sekali.”
Andai saja tidak teringat pada
perangkap yang telah diaturnya di dalam kursi sembilan naga, mungkin Chongxu
sudah menerjang maju dengan pedangnya untuk melabrak Ren Woxing. Maka dengan
menahan perasaan, pendeta tua itu kembali menyampaikan undangannya. Namun
demikian, dari dalam tandu tetap saja tidak terdengar suatu jawaban.
Xiang Wentian tampak
membungkuk dan menempelkan telinganya ke dinding tandu, kemudian mengangguk
beberapa kali, pertanda sedang menerima perintah dari sang ketua. Setelah
cukup, ia kembali berdiri tegak dan berseru, “Ketua Ren menyatakan terima kasih
atas penyambutan Mahabiksu Fangzheng dari Perguruan Shaolin dan Pendeta Chongxu
dari Perguruan Wudang. Ketua kami sangat menghormati Beliau berdua. Kelak Ketua
Ren akan berkunjung secara pribadi ke Gunung Shaoshi dan Gunung Wudang untuk meminta
maaf.”
“Kami tidak berani,” jawab
Fangzheng dan Chongxu bersama-sama. Dalam hati mereka berpikir bahwa
“berkunjung secara pribadi” adalah istilah kiasan untuk menyerbu perguruan
mereka masing-masing.
Xiang Wentian kembali berkata,
“Ketua Ren menyampaikan bahwa kedatangan Beliau ke Gunung Henshan kali ini
adalah untuk bertemu dengan Ketua Linghu secara khusus. Maka itu, Ketua Linghu
diharap menemui Beliau sendirian di dalam biara.”
Usai berkata demikian, Xiang
Wentian langsung memberi isyarat. Keenam belas tukang pikul lantas menggotong
tandu besar itu ke dalam Biara Wuse dan meletakkannya di dekat meja persembahan
Dewi Guanyin. Xiang Wentian dan Luzhuweng juga ikut masuk mendampingi. Sejenak
kemudian mereka lantas keluar kembali bersama keenam belas tukang pikul
tersebut. Kini di dalam biara hanya tinggal tandu besar itu saja.
Diam-diam Chongxu merasa
sangsi, jangan-jangan tandu besar itu juga berisi perangkap pula. Maka itu, ia
pun berpaling dan memandang Fangzheng serta Linghu Chong. Pada dasarnya Fangzheng
seorang jujur dan polos. Ia tidak biasa menghadapi bermacam-macam sifat licik
manusia, sehingga dengan wajah bingung ia tidak tahu harus berbuat apa.
Sementara itu, Linghu Chong
menjawab, “Kalau Ketua Ren hanya ingin bicara berdua saja denganku, tolong
kedua Sesepuh menunggu sebentar di sini.”
“Kau harus tetap waspada,”
pesan Chongxu dengan suara lirih.
Linghu Chong mengangguk, lalu
masuk ke dalam biara dengan langkah lebar.
Meskipun menjadi biara utama,
namun ukuran Biara Wuse sebenarnya tidak terlalu besar. Kalau di dalam ruang
sembahyang itu ada yang berbicara keras pasti akan langsung terdengar dari luar
dengan jelas. Maka itu, Fangzheng dan yang lain pun mendengar Linghu Chong
sedang berkata, “Linghu Chong menyampaikan salam hormat kepada Ketua Ren.”
Akan tetapi, tidak juga
terdengar suara jawaban dari Ren Woxing. Justru sebaliknya, sejenak kemudian
terdengar Linghu Chong berseru kaget, “Hah!”
Chongxu dan Fangzheng terkejut
dan mengkhawatirkan keselamatan Linghu Chong. Hampir saja Chongxu menerjang ke
dalam biara untuk membantu, namun lantas terpikir olehnya, “Ilmu pedang Adik
Linghu boleh dikata tiada bandingannya di dunia ini, rasanya tidak mungkin ia
ditundukkan iblis tua aliran sesat itu hanya dalam sekali gebrak. Andaikan
betul Adik Linghu mengalami nasib malang, maka aku akan segera berlari masuk ke
sana untuk menolongnya dan ini juga belum terlambat. Semoga iblis tua bermarga
Ren itu tidak mencelakai Adik Linghu, lalu dia melihat kursi mewah itu dan
duduk di atasnya dengan gembira. Kalau aku menerjang ke dalam jangan-jangan
malah membuat urusan menjadi runyam.”
Tapi perasaannya kemudian
menjadi tidak tenteram. Ia kembali berpikir, “Kalau Ren Woxing benar-benar
telah duduk di atas kursi itu, sebentar kemudian sumbu bahan peledak tentu akan
mulai bekerja dan Puncak Jianxing ini pasti akan hancur lebur. Semua orang yang
berada di sini sudah pasti akan menjadi korban. Kalau aku melarikan diri
sekarang juga tentu akan terlihat seperti pengecut, serta menimbulkan
kecurigaan Xiang Wentian. Kemudian ia pasti memberi peringatan kepada para
begundalnya untuk mengundurkan diri, sehingga semua rencana yang telah kuatur
menjadi gagal total. Sebaliknya, kalau gunung ini sampai meledak, sehebat apa
pun ilmuku juga tidak bisa lolos dari maut. Apa yang harus kulakukan?”
Sebenarnya Chongxu sudah
merencanakan segala sesuatunya dengan matang. Dalam perhitungannya mula-mula
pasukan Sekte Matahari dan Bulan akan menyerbu ke puncak gunung habis-habisan.
Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama, pihaknya pun meloloskan diri
melalui tali panjang yang sudah dipasang di tepi jurang. Setelah mendapat
kemenangan, tentu Ren Woxing akan duduk di atas kursi kebesaran dan ledakan
dahsyat pun terjadi. Tak disangka, kedatangan pihak Sekte Iblis itu ternyata
tidak langsung menyerang dengan kekerasan, tetapi diawali dengan cara sopan
terlebih dulu. Bahkan Ren Woxing juga meminta bertemu muka secara khusus dengan
Linghu Chong di dalam biara segala. Semua yang terjadi kali ini benar-benar di
luar perhitungan Chongxu. Meskipun sangat cerdas, namun dalam keadaan seperti
ini ia merasa kehilangan akal dan tidak tahu harus berbuat apa.
Mahabiksu Fangzheng juga
menyadari keadaan sangat gawat, dan ia pun mengkhawatirkan keselamatan Linghu
Chong. Namun, karena ilmu kebatinannya sangat dalam, perasaannya pun lebih
sabar. Baginya, hidup atau mati, kalah atau menang, semua bukan hal yang luar
biasa. Bagaimanapun manusia berusaha, tetap saja takdir yang menentukan
hasilnya. Jika takdir sudah berbicara, siapa pun tidak bisa memaksakan
kehendaknya. Oleh karena itu, meskipun dalam hati Fangzheng juga merasa
khawatir, namun sikapnya tetap terlihat tenang. Apabila perangkap tersebut
benar-benar meledak sehingga tubuhnya ikut hancur lebur, maka ini adalah jalan
baginya untuk menuju kesempurnaan. Kenapa pula harus ditakuti?
Adanya perangkap bahan peledak
pada kursi sembilan naga memang sangat dirahasiakan. Selain Chongxu, Fangzheng,
dan Linghu Chong, beberapa orang lainnya yang mengetahui siasat ini, yaitu
Qingxu dan Chenggao serta pembantu-pembantu mereka sedang menunggu di pinggang
gunung. Begitu terdengar adanya ledakan di puncak, segera mereka pun menyulut
sumbu bahan peledak yang sudah ditanam di semua jalur turun gunung.
Kini tidak seorang pun
mengetahui apa yang akan terjadi. Orang-orang Perguruan Shaolin, Wudang, dan
Henshan masing-masing sedang menunggu hasil pembicaraan antara Linghu Chong dan
Ren Woxing. Apabila tidak terjadi kesepakatan dalam pembicaraan itu, serentak
mereka lantas mengangkat senjata menghadapi orang-orang Sekte Matahari dan
Bulan.
Namun, setelah ditunggu sekian
lama ternyata tidak terdengar suara apa pun dari dalam biara tersebut. Hanya
pada awal-awal saja terdengar suara Linghu Chong menyapa dengan lantang, namun
kemudian tidak terdengar suara lagi. Chongxu merasa khawatir. Ia pun
mengerahkan tenaga dalam untuk mendengarkan dengan cermat. Sayup-sayup
terdengar olehnya suara Linghu Chong yang sangat lirih seperti sedang berbicara
sesuatu. Seketika hati Chongxu merasa lega karena Linghu Chong ternyata tidak
menderita apa-apa di dalam biara tersebut.
Karena pemusatan pikirannya
sedikit terpencar, suara yang lirih itu sukar ditangkap lagi. Hal ini membuat
Chongxu menjadi ragu-ragu apakah suara tadi benar-benar suara Linghu Chong atau
bukan. Jangan-jangan ia salah dengar atau mungkin hanya khayalannya sendiri
saja.
Untungnya tidak lama kemudian
terdengar Linghu Chong berseru lantang dari dalam biara, “Kakak Xiang, silakan
masuk untuk mengiringi Ketua Ren keluar dari biara!”
“Baik!” sahut Xiang Wentian.
Bersama Luzhuweng, mereka pun memimpin keenam belas tukang pikul tandu tadi
bergegas masuk ke dalam biara. Sejenak kemudian tandu besar itu kembali
digotong keluar. Serentak semua anggota Sekte Matahari dan Bulan yang berada di
luar biara membungkuk dan menyampaikan salam hormat, “Kami menyambut kembalinya
Ketua Suci yang mahabijaksana.”
Sesampainya di tempat semula,
para tukang pikul itu lantas berhenti melangkah dan menaruh tandu besar itu ke
bawah.
Tiba-tiba Xiang Wentian
berseru, “Bawa kemari hadiah untuk Mahabiksu Fangzheng, kepala Biara Shaolin!”
Segera terlihat dua orang
anggota sekte masing-masing membawa sebuah nampan berjalan ke hadapan Fangzheng
dengan sikap sangat sopan. Keduanya lantas membungkuk dan mempersembahkan
nampan masing-masing kepada biksu sepuh tersebut.
Fangzheng melihat di atas
salah satu nampan terdapat seuntai tasbih berusia tua, sedangkan pada nampan
yang lain terdapat sebuah kitab kuno. Pada sampul kitab itu tertulis huruf
Sanskerta yang berbunyi: “Kitab Jinkang”.
Sungguh tidak terlukiskan
betapa gembira perasaan hati Mahabiksu Fangzheng. Selama hidup ia banyak
mempelajari kitab agama Buddha, dan salah satunya adalah Kitab Jinkang
tersebut. Akan tetapi, yang biasa ia baca adalah kitab terjemahan dalam bahasa
Cina peninggalan Kerajaan Jin Timur. Pernah suatu ketika ia menemukan beberapa
bagian dari kitab itu yang tidak jelas dan sulit untuk dipecahkan. Tentu saja
sudah lama ia berusaha mencari Kitab Jinkang dalam bahasa Sanskerta sebagai
perbandingan namun belum juga menemukannya. Kini begitu melihat kitab yang
menjadi idamannya itu berada di depan mata, sudah pasti ia merasa sangat
bahagia.
Segera Fangzheng memberi
hormat dan berkata, “Amitabha. Saya sungguh bersyukur dapat menemukan kitab
suci ini. Keberuntungan saya sungguh besar dan tidak terlukiskan.”
Biksu sepuh itu menjulurkan
kedua tangan untuk mengambil kitab suci tersebut, lalu mengambil tasbih kuno di
atas nampan kedua dan seketika tercium bau harum semerbak. Setelah menerima
kedua benda tersebut, ia kembali berkata dengan hormat, “Terima kasih banyak
atas hadiah besar dari Ketua Ren ini. Entah bagaimana saya harus membalasnya?”
Xiang Wentian menjawab,
“Tasbih kuno ini didapatkan leluhur agama kami dari sebuah gunung di India.
Sekarang, ketua kami mempersembahkan tasbih kuno itu kepada Kepala Biara yang
terhormat. Ketua kami juga mengatakan bahwa Sekte Matahari dan Bulan telah
banyak berbuat kasar terhadap para kesatria. Dalam hal ini kami sungguh merasa
malu. Asalkan Kepala Biara tidak marah atau menyalahkan kami, maka Sekte Matahari
dan Bulan merasa sangat bersyukur dan berterima kasih.” Usai berkata demikian
ia kembali berseru, “Bawa kemari hadiah untuk Pendeta Chongxu, ketua Perguruan
Wudang!”
Kembali dua anggota sekte maju
ke muka sambil mengangkat nampan masing-masing dan menghadapkannya kepada
Pendeta Chongxu dengan sikap hormat.
Dari jauh Chongxu sudah
melihat di atas salah satu nampan itu terdapat sebatang pedang. Sesudah kedua
orang itu mendekat, dilihatnya sarung pedang itu terbuat dari tembaga berwarna
hijau loreng, dan bertuliskan nama “Zhenwu”.
Tanpa sadar Chongxu berseru
kaget melihat pedang pusaka tersebut. Konon cikal bakal pendiri Perguruan
Wudang, yaitu Pendeta Zhang Sanfeng, memiliki sebatang pedang pusaka yang
diberi nama Pedang Zhenwu, yang selalu dipandang sebagai pusaka perguruan.
Sekitar delapan puluh tahun yang lalu, pada suatu malam Gunung Wudang pernah
didatangi beberapa tetua Sekte Matahari dan Bulan yang berkepandaian tinggi.
Mereka berhasil mencuri Pedang Zhenwu serta sejilid kitab pusaka berjudul Kitab
Taiji Quan, tulisan tangan Zhang Sanfeng sendiri.
Pencurian tersebut memang
dapat diketahui dan segera terjadi pertarungan sengit saat itu juga. Dalam
pihak Wudang telah tewas tiga orang tokoh papan atas, sementara pihak Sekte
Matahari dan Bulan terbunuh empat orang tetua menjadi korban. Meskipun
demikian, pedang dan kitab pusaka Perguruan Wudang itu tidak berhasil direbut
kembali. Peristiwa ini benar-benar menjadi aib yang memalukan bagi Perguruan
Wudang. Sejak kejadian itu, para ketua dari setiap angkatan selalu meninggalkan
pesan agar pedang dan kitab pusaka tersebut dapat dicari dan ditemukan kembali.
Akan tetapi, Tebing Kayu Hitam
selalu dijaga ketat dan sulit untuk ditembus. Beberapa kali pihak Wudang
berusaha secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi untuk merebut kembali
kedua benda pusaka tersebut, tapi selalu gagal dengan meninggalkan korban di
atas Tebing Kayu Hitam. Sungguh tidak disangka, pedang pusaka itu kini
tiba-tiba muncul di Puncak Jianxing.
Ternyata tidak hanya Pedang
Zhenwu yang muncul kembali. Sewaktu Chongxu melirik nampan yang satunya, tampak
sejilid kitab kuno yang warnanya sudah agak luntur tertaruh di atasnya. Pada
sampul kitab itu tertulis nama “Taiji Quan”. Selain kitab ini, Zhang Sanfeng
masih meninggalkan beberapa kitab hasil tulisan tangannya sendiri. Maka, begitu
melihat bentuk tulisan pada sampul kitab di atas nampan tersebut, Chongxu
segera dapat mengenali bahwa kitab ini memang benar-benar Kitab Taiji Quan yang
asli.
Dengan kedua tangan gemetar
Chongxu memegang pedang pusaka itu. Begitu sebagian dilolos keluar secara
perlahan-lahan, seketika terasa hawa dingin yang menusuk. Ia paham Zhang
Sanfeng sewaktu lanjut usia telah mencapai tingkatan ilmu pedang yang sangat
tinggi, sehingga jarang sekali memakai senjata. Andaikan terpaksa harus
menggunakan pedang, maka yang ia gunakan tentu hanyalah pedang biasa atau
pedang kayu saja. Pedang Zhenwu ini adalah senjata yang dipakai Zhang Sanfeng
semasa muda untuk menumpas kejahatan di muka bumi. Pedang pusaka ini sangat
tajam luar biasa dan pernah menggetarkan dunia persilatan.
Chongxu masih khawatir tertipu
oleh Ren Woxing, maka ia pun membalik-balik lembaran Kitab Taiji Quan itu.
Dilihatnya tulisan-tulisan pada halaman kitab tersebut memang benar-benar
tulisan tangan Zhang Sanfeng. Ia lantas mengembalikan kitab tersebut ke atas
nampan untuk kemudian berlutut dan menyembah di hadapan kedua pusaka itu.
Setelah berdiri kembali ia berkata, “Terima kasih banyak atas kemurahan hati
Ketua Ren sehingga benda pusaka peninggalan leluhur kami dapat kembali.
Sekalipun tubuhku hancur lebur juga sukar membalas budi baik Ketua Ren.”
Usai berkata demikian barulah
ia dapat menerima pedang dan kitab pusaka itu dengan perasaan senang. Begitu
terharu perasaannya sampai-sampai kedua tangannya masih saja gemetar tanpa
henti.
Xiang Wentian menjawab, “Ketua
kami berkata, sejak dulu Sekte Matahari dan Bulan kami telah banyak mengganggu
Perguruan Wudang, sungguh kami merasa malu. Maka itu, benda-benda pusaka ini
biarlah kembali ke asalnya. Harap Perguruan Wudang sudi memberi maaf.”
“Ketua Ren terlalu merendah,”
sahut Chongxu.
Xiang Wentian kembali berseru,
“Sekarang, bawa kemari hadiah untuk Ketua Linghu dari Perguruan Henshan!”
Mahabiksu Fangzheng dan
Pendeta Chongxu sama-sama berpikir entah hadiah macam apa yang akan dihadiahkan
Ren Woxing kepada Linghu Chong, mengingat hadiah untuk mereka saja adalah
benda-benda pusaka yang tak ternilai harganya.
Sejenak kemudian tampak dua
puluh orang laki-laki muncul sambil membawa nampan menuju ke arah Linghu Chong.
Meskipun jumlah mereka lebih banyak, namun benda yang mereka bawa ternyata
bukan sesuatu yang istimewa. Dengan jelas dapat terlihat isi nampan itu tidak
lebih hanya berupa pakaian, kopiah, sepatu, poci teh, cawan teh, serta
alat-alat kebutuhan sehari-hari lainnya. Walaupun benda-benda itu serbabaru dan
juga sangat indah, namun terkesan biasa saja jika dibandingkan dengan benda
pusaka yang diterima Fangzheng dan Chongxu. Hanya saja, ada dua buah nampan
yang sedikit aneh. Yang satu berisi sebatang seruling dan yang satunya lagi
berisi sebuah kecapi kuno. Kedua benda ini tampaknya jauh lebih berharga
daripada yang lain.
Linghu Chong lantas memberi
hormat dan berkata, “Terima kasih banyak.” Ia kemudian memerintahkan Yu Sao dan
yang lain menerima hadiah-hadiah itu.
Xiang Wentian kembali
berbicara, “Ketua kami berkata, kedatangan kami ke Gunung Henshan kali ini
telah banyak menimbulkan gangguan. Maka itu, sekte kami membawakan hadiah untuk
para murid Henshan dari kalangan biksuni berupa jubah dan kopiah baru, serta
sebilah pedang. Sementara untuk para murid Henshan dari kalangan awam, kami
bawakan hadiah berupa perhiasan dan sebilah pedang pula. Hadiah ini semoga
dapat diterima. Selain itu, Sekte Matahari dan Bulan juga telah membeli sawah
seluas lima hektare di kaki gunung ini untuk diberikan kepada Biara Wuse.
Baiklah, sekarang juga kami mohon diri.”
Usai berkata demikian ia
lantas memberi hormat kepada Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong, lalu
berbalik dan melangkah pergi.
“Tuan Xiang!” sahut Chongxu memanggil.
Xiang Wentian berpaling
kembali dan bertanya dengan tersenyum, “Apakah Pendeta ada pesan untukku?”
Chongxu menjawab, “Tanpa
berjasa apa-apa, tiba-tiba kami menerima hadiah besar dari Ketua Ren. Sungguh
kami merasa tidak enak hati. Entah … entah ….” sampai di sini ia tidak dapat
meneruskan kembali. Sebenarnya ia ingin bertanya, “entah ada maksud apa di
balik pemberian ini?”, namun ternyata tidak sanggup mengucapkannya.
Xiang Wentian hanya tertawa
dan kembali memberi hormat sambil berkata, “Benda pusaka telah kembali ke
asalnya. Hal ini sudah semestinya, kenapa Pendeta merasa tidak enak hati?”
Ia lantas memutar tubuh
kembali dan berseru, “Ketua memerintahkan berangkat!”
Serentak suara tetabuhan
kembali berbunyi. Kesepuluh tetua berjalan di depan sebagai pembuka jalan,
sedangkan keenam belas tukang pikul lantas mengangkat tandu besar dan melangkah
turun ke bawah gunung. Para penabuh tambur dan peniup terompet mengikuti di
belakang. Barisan paling akhir adalah para anggota sekte yang berjalan secara
rapi dan teratur sesuai warna seragam masing-masing.
Sepeninggal orang-orang Sekte
Matahari dan Bulan tersebut, Fangzheng dan Chongxu sama-sama menatap Linghu
Chong tanpa berkata apa pun. Dalam hati mereka timbul pertanyaan yang sama,
“Mengapa Ketua Ren tidak jadi menghancurkan Perguruan Henshan? Seluk-beluk
masalah ini hanya kau saja yang tahu.”
Namun, dari raut muka Linghu
Chong sedikit pun tidak tampak suatu perubahan yang dapat memberikan jawaban
bagi pertanyaan mereka ini. Yang terlihat adalah wajah pemuda itu sesekali
senang dan sesekali agak berduka.
Orang-orang Sekte Matahari dan
Bulan sepertinya sudah pergi jauh. Suara tetabuhan yang bergemuruh tadi sudah
tidak terdengar lagi. Teriakan semboyan-semboyan mereka pun lenyap pula. Mereka
datang dengan lagak gagah penuh wibawa, tapi kini pergi begitu saja tanpa
terjadi apa-apa. Keadaan di Gunung Henshan telah sunyi kembali.
Chongxu tidak tahan lagi.
Segera ia bertanya, “Adik Linghu, tiba-tiba saja Ketua Ren sedemikian murah
hati, tentu karena dia menghargai dirimu. Entah tadi … tadi ….” Sebenarnya ia
ingin bertanya “entah tadi apa yang kalian bicarakan”. Namun, teringat olehnya
bahwa pembicaraan itu kalau memang boleh diceritakan tentu sudah diceritakan
oleh Linghu Chong. Sebaliknya kalau memang sesuatu yang rahasia, maka
pertanyaannya justru terkesan tidak pantas. Oleh karena itu, ia pun
mengurungkan niat melanjutkan pertanyaan tersebut.
Tentu saja Linghu Chong dapat
memahami pikiran Chongxu, sehingga ia pun menjawab, “Harap kedua Sesepuh sudi memaafkan.
Masalahnya saya telah berjanji kepada Ketua Ren, sehingga seluk-beluk
permasalahan ini untuk sementara tidak dapat kukatakan. Namun, dalam masalah
ini sesungguhnya juga tidak ada suatu rahasia penting. Tidak lama lagi tentu
kedua Sesepuh juga akan mengetahuinya.”
Fangzheng bergelak tawa lalu
berkata, “Suatu bencana besar dalam sekejap telah lenyap. Ini benar-benar
keuntungan untuk segenap dunia persilatan. Melihat gerak-gerik Ketua Ren tadi,
tampaknya memang tidak ada tanda-tanda permusuhan dengan golongan kita. Maka
itu, kita benar-benar harus bersyukur dan berbahagia karena malapetaka yang
hampir menimbulkan banjir darah ini tidak sampai terjadi.”
Perasaan Chongxu seperti
digelitik karena tetap tidak mengetahui teka-teki apa yang tersembunyi di balik
kejadian tadi. Namun, di sisi lain ia juga membenarkan apa yang dikatakan
Fangzheng. Maka, pendeta tua itu lantas berkata, “Bukan maksudku
mengkhawatirkan sesuatu secara berlebihan, namun biasanya Sekte Matahari dan
Bulan terkenal licik dan banyak tipu muslihat. Bagaimanapun juga kita harus
waspada. Kemungkinan besar Ketua Ren telah mengetahui perangkap yang kita
pasang. Bisa jadi dia takut akan bahan peledak itu, sehingga hari ini sengaja
bersikap sopan kepada kita. Kelak, lain waktu jika kita lengah, mungkin dia
akan menyergap kita secara mendadak. Bagaimana menurut pendapat kalian berdua?”
“Memang … dalamnya hati
manusia sulit diukur,” ujar Fangzheng. “Untuk segala sesuatunya lebih baik kita
bersikap waspada.”
Linghu Chong menggeleng dan
berkata tegas, “Tidak mungkin. Itu tidak mungkin terjadi.”
“Kalau Adik Linghu yakin tidak
akan terjadi demikian, maka itu sangat bagus,” kata Chongxu. Akan tetapi,
hatinya masih saja ragu dan membayangkan sebaliknya.
Beberapa saat kemudian, dari
kaki gunung dilaporkan bahwa pasukan Sekte Matahari dan Bulan telah melewati
jalur menuju ke bawah tanpa ada tanda-tanda berbuat kerusakan. Sebaliknya, para
penjaga di sekitar jalur tersebut juga tidak melakukan perlawanan atau menyulut
bahan peledak karena tidak mendapatkan perintah dari atas.
Chongxu segera mengirim orang
untuk memberi tahu Qingxu dan Chenggao agar sumbu-sumbu bahan peledak yang
telah dipasang pada kursi sembilan naga segera dibersihkan.
Linghu Chong lantas mengundang
Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu masuk ke Biara Wuse untuk beristirahat
di dalam Aula Guanyin. Ketiganya pun duduk di atas kasur samadi dengan
kesibukan masing-masing. Mahabiksu Fangzheng tampak membalik-balik halaman
Kitab Jinkang yang berbahasa Sanskerta itu, sementara Pendeta Chongxu membaca
Kitab Taiji Quan sambil sesekali meraba Pedang Zhenwu. Betapa besar kebahagiaan
di hatinya sungguh tak terlukiskan, sehingga rasa curiganya pun memudar pula.
Tiba-tiba dari bawah kolong
meja persembahan terdengar suara seseorang berkata, “Ahhh, ternyata kau
Yingying!”
Seseorang lainnya menjawab,
“Benar, Kakak Chong, kau … kau ….”
Suara ribut-ribut ini tidak
lain adalah suara Enam Dewa Lembah Persik.
Seketika Linghu Chong berseru
kaget dan melonjak bangun dari tempat duduknya, “Hei!”
Suara percakapan di bawah
kolong meja itu terus saja berlanjut, “Kakak Chong, ayahku, ayahku … sudah
meninggal dunia.”
“Bagaimana Beliau meninggal
dunia? Apa yang terjadi?”
“Hari itu setelah kau
meninggalkan Puncak Huashan, tiba-tiba Ayah jatuh dari Batu Tapak Dewa dan
meluncur ke bawah. Paman Xiang dan aku berhasil menangkap tubuhnya. Namun,
hanya sebentar saja Ayah kemudian berhenti bernapas.”
“Apakah … apakah ada musuh
yang mencelakai Beliau?”
“Tidak. Paman Xiang berkata
usia Ayah sudah lanjut, juga pernah menderita belasan tahun di bawah Danau
Barat. Beberapa tahun terakhir ini dalam penjara Ayah berlatih keras
menggunakan tenaga dalam yang paling dahsyat untuk memusnahkan bermacam-macam
hawa murni liar di tubuhnya secara paksa. Tentu saja hal ini sangat mengganggu
kesehatannya. Setelah mendapatkan kembali kedudukannya, Ayah berencana untuk
menghancurkan Serikat Pedang Lima Gunung sehingga membuatnya berpikir siang
malam dan kesehatannya pun makin menurun. Jadi, Ayah meninggal dunia karena
kesehatannya memang sangat buruk.”
“Sungguh tak kusangka akan
terjadi demikian.”
“Kakak Chong, di Puncak
Huashan waktu itu Paman Xiang langsung berunding dengan kesepuluh tetua agama
kami. Dengan suara bulat mereka mengangkat diriku sebagai ketua Sekte Matahari
dan Bulan menggantikan Ayah.”
“Oh, ternyata yang dimaksud
dengan Ketua Ren sebenarnya adalah Nona Ren, bukan Tuan Ren.”
Begitulah, Enam Dewa Lembah
Persik beberapa saat yang lalu telah berebut duduk di atas kursi sembilan naga,
sehingga Mahabiksu Fangzheng terpaksa melumpuhkan mereka dengan ilmu Auman
Singa. Pendeta Chongxu juga menotok semua titik gerak dan titik bisu mereka,
kemudian mendorong keenam orang sinting itu ke dalam kolong meja persembahan.
Akan tetapi, karena tenaga dalam enam bersaudara ini cukup hebat, maka tidak
lama kemudian mereka pun sadar dari pingsan. Hanya saja, mereka masih dalam
keadaan tertotok, sehingga tidak bisa bergerak dan tetap meringkuk di bawah
meja. Meskipun demikian, hal ini justru mereka manfaatkan untuk mendengarkan
percakapan Linghu Cong dengan “Ketua Ren” yang berada di dalam tandu tadi. Kini
totokan mereka telah terbuka oleh waktu sehingga keenamnya langsung saja
bersuara menirukan semua yang telah mereka dengar. Padahal, itu semua adalah
percakapan rahasia.
Begitu mendengar Ren Woxing
telah meninggal dunia dan kini Ren Yingying menjadi ketua Sekte Matahari dan
Bulan yang baru, seketika Fangzheng dan Chongxu merasa terkejut bercampur
senang. Mereka juga langsung paham mengapa Ren Yingying memberikan hadiah
kepada Linghu Chong berupa barang-barang keperluan sehari-hari saja, karena ini
merupakan tanda pertunangan mereka berdua.
Sementara itu, Enam Dewa
Lembah Persik masih terus bersahut-sahutan di bawah meja tanpa henti. Daya
ingat mereka sangat bagus sehingga mampu menirukan semua perkataan dan gaya
bicara Linghu Chong ataupun Ren Yingying. Terdengar seseorang berkata, “Kakak
Chong, hari ini aku sengaja datang kemari untuk melihatmu. Kalau sampai
diketahui orang-orang di luar, tentu kita akan ditertawai.”
“Ah, peduli apa dengan mereka?
Kau ini memang sangat pemalu.”
“Tidak, aku memang tidak ingin
diketahui orang luar.”
“Baiklah, aku berjanji tidak
akan bercerita kepada siapa pun.”
“Aku sengaja memerintahkan
semua anggota sekte untuk meneriakkan sanjung puji seperti biasanya, agar tidak
menimbulkan kecurigaan pihak luar. Sama sekali bukan maksudku untuk
menyombongkan diri di hadapanmu, atau kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta
Chongxu.”
“Mahabiksu Fangzheng dan
Pendeta Chongxu tidak akan tahu.”
“Selain itu, mulai hari ini
hubungan Sekte Matahari dan Bulan dengan Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang
telah berubah dari lawan menjadi kawan. Aku tidak ingin orang luar sampai tahu
bahwa hal ini adalah hasil keputusanku. Jika itu sampai terjadi, maka kaum
persilatan tentu akan menganggap permusuhan ini berakhir secara damai adalah
dikarenakan kau dan … aku … karena hubungan kita berdua. Kalau hal ini sampai
tersiar tentu akan membuat kita merasa rikuh.”
“Hahaha, aku tidak takut
menjadi bahan cerita.”
“Mukamu tebal, tentu saja kau
tidak takut. Tentang meninggalnya Ayah juga sengaja sangat dirahasiakan oleh
Sekte Matahari dan Bulan. Orang luar harus mengira ayahku benar-benar datang
berkunjung ke Gunung Henshan ini serta berunding denganmu, kemudian tercipta
perdamaian. Dengan demikian nama baik Ayah di dunia persilatan menjadi lebih
dihormati. Setelah pulang ke Tebing Kayu Hitam nanti, barulah berita
meninggalnya Ayah akan kusiarkan secara luas.”
“Sebagai menantu kesayangan,
tentu aku akan datang ke sana memberikan penghormatan terakhir.”
“Sungguh bagus kalau kau
datang ke sana. Ketika di Puncak Huashan tempo hari, Ayah sudah merestui
pernikahan kita, hanya saja ... hanya saja … setelah aku berkabung ….”
Mendengar Enam Dewa Lembah
Persik mulai membeberkan kisah cintanya dengan Ren Yingying, seketika Linghu
Chong pun membentak, “Enam Dewa Lembah Persik, lekas keluar! Jika tidak segera
keluar dan masih mengoceh, akan kubeset kulit kalian!”
Akan tetapi, masih saja
terdengar salah satu dari mereka berbicara dengan menirukan nada suara Ren
Yingying, “Tapi, tapi yang kukhawatirkan adalah kesehatanmu. Ayah tidak sempat
mengajarkan bagaimana cara memusnahkan bermacam-macam hawa murni liar yang
mendekam dalam tubuhmu. Namun sebenarnya, ilmu itu juga tidak ada gunanya.
Seandainya Ayah mengajarkan kepadamu juga sia-sia, karena Ayah sendiri juga …
ehhh!”
Dewa Dahan Persik menirukan
suara Ren Yingying menghela napas dengan penuh rasa sedih, sehingga membuat
Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong ikut terharu pula. Bagaimanapun juga Ren
Woxing adalah kesatria hebat di zaman itu. Meskipun selama hidup ia sering
berbuat keburukan, namun tetap saja kematiannya terasa menyedihkan.
Linghu Chong sendiri tidak
sepenuhnya membenci Ren Woxing. Bagaimanapun kejamnya orang tua itu, tetap saja
ia menaruh penghormatan yang sangat besar terhadap kehebatan dan kecerdasannya
dalam hal ilmu silat dan siasat perang. Terutama juga kepada sifatnya yang suka
hidup merdeka dan tidak peduli dengan tata aturan masyarakat yang kaku, dalam
hal ini Linghu Chong merasa memiliki banyak kemiripan sifat dengannya.
Perbedaan yang paling mencolok adalah, Linghu Chong tidak bernafsu merajai
dunia persilatan, itu saja.
Pada saat itu Fangzheng,
Congxu, dan Linghu Chong sama-sama merenung, “Sejak zaman dulu hingga sekarang,
bagaimanapun besarnya kekuasaan dan keharuman nama seseorang, baik itu kaisar,
maharaja, kesatria, nabi, orang suci, atau penjahat besar sekalipun pada
akhirnya semua akan mati.”
Terdengar Dewa Buah Persik
berkata, “Kakak Chong, aku ....”
Chongxu berpikir kalau ocehan
Enam Dewa Lembah Persik diterus-teruskan, tentu akan membuat Linghu Chong
semakin bertambah rikuh. Segera ia pun menyeret keenam bersaudara itu keluar.
Sambil tertawa ia lalu berkata, “Keenam Dewa Persik bersaudara, maaf aku tadi
harus menotok kalian semua. Ocehan kalian rasanya sudah cukup sampai di sini.
Jika Ketua Linghu sampai marah, maka ia akan menotok titik bisu abadi kalian
semua. Akibatnya sungguh sangat mengerikan.”
“Titik bisu abadi itu apa?”
tanya Enam Dewa Lembah Persik bersamaan dengan nada terkejut dan khawatir.
“Jika titik bisu abadi kalian
tertotok, maka seumur hidup kalian akan menjadi bisu,” kata Chongxu dengan
tertawa. “Tapi kalau untuk makan dan minum masih bisa.”
Enam Dewa Lembah Persik
langsung berseru serentak, “Bicara nomor satu, makan-minum nomor dua.”
“Kalau begitu, apa yang kalian
bicarakan tadi jangan sekali-kali diucapkan kepada siapa pun juga,” ujar
Chongxu. “Nah, Ketua Linghu, biarlah aku memintakan ampun bagi mereka.
Janganlah kau menotok titik bisu abadi mereka. Mahabiksu Fangzheng dan aku
berani menjamin bahwa untuk selanjutnya mereka berenam pasti tidak akan
membocorkan sepatah kata pun dari percakapanmu dengan Nona Ren yang telah
mereka curi dengar tadi.”
“Tidak benar, tidak benar!
Kami tidak mencuri dengar sama sekali. Percakapan mereka masuk dengan
sendirinya ke telinga kami, kami bisa apa?” seru Dewa Bunga Persik.
“Sudahlah,” ujar Chongxu.
“Boleh jadi kalian memang tidak sengaja mendengarkan percakapan tadi. Tapi
menirukan percakapan orang lain adalah perbuatan tidak benar.”
“Baik, baik! Kami berjanji
tidak akan mengoceh lagi!” seru Enam Dewa Lembah Persik serentak.
Dewa Akar Persik lantas
menyambung, “Tapi semboyan Sekte Matahari dan Bulan untuk ketua mereka yang
baru telah berubah dua kalimat. Kami boleh mengatakannya atau tidak?”
“Tidak boleh, tetap tidak
boleh!” bentak Linghu Chong.
“Kalau tidak boleh ya sudah!”
sahut Dewa Ranting Persik. “Hanya kau dan Nona Ren yang boleh mengatakan
semboyan itu, sementara kami tidak boleh.”
Chongxu menjadi penasaran dan
berpikir, “Dua kalimat apa yang telah berubah? Mungkinkah kalimat ‘Ketua
panjang umur, merajai dunia persilatan’ yang berubah? Kini Nona Ren menjadi
ketua sekte, sepertinya ia tidak tertarik menjadi penguasa dunia persilatan.
Kalau benar demikian, lantas seperti apa semboyan Sekte Matahari dan Bulan yang
baru itu?”
Tiga tahun kemudian di Wisma
Meizhuang, dekat Gunung Gu dan Danau Barat, di dalam Kota Hangzhou, suasana
tampak semarak dengan nyala lampion di mana-mana. Tampak orang-orang berdatangan
dengan berpakaian rapih. Rupanya hari itu adalah hari bahagia pernikahan Linghu
Chong dan Ren Yingying.
Pada saat itu Linghu Chong
telah menyerahkan jabatan ketua Perguruan Henshan kepada Yiqing. Sebenarnya
Yiqing tidak bersedia dan mendesak Yilin untuk menggantikannya sebagai ketua,
mengingat Yilin telah membalaskan kematian guru mereka, yaitu dengan membunuh
Yue Buqun. Namun, Yilin bersikeras menolak, bahkan sampai menangis di depan
umum. Maka, diadakanlah musyawarah di antara para anggota dan mereka pun
sepakat menerima usul Linghu Chong, yaitu mengangkat Yiqing menjadi ketua
Perguruan Henshan yang baru.
Sementara itu, Perguruan
Songshan, Huashan, Hengshan, dan Taishan juga telah memiliki ketua baru
masing-masing. Para murid yang tidak ikut terjebak dalam malapetaka di Puncak
Huashan kala itu telah merintis perguruan masing-masing sehingga kembali
mendapatkan nama di dunia persilatan.
Ren Yingying sendiri juga
telah melepaskan jabatan ketua Sekte Matahari dan Bulan, serta menyerahkan
kedudukan itu kepada Xiang Wentian. Meskipun Xiang Wentian juga seorang tokoh
persilatan yang keras kepala dan sukar dikendalikan, tapi dia tidak mempunyai
ambisi mencaplok perguruan atau aliran lainnya. Maka itu, selama tiga tahun ini
keadaan dunia persilatan menjadi aman dan tenteram.
Pada hari itu banyak sekali
kaum persilatan yang hadir di Kota Hangzhou untuk mengucapkan selamat atas
pernikahan Linghu Chong dan Ren Yingying. Wisma Meizhuang penuh sesak karena
yang hadir berasal dari berbagai aliran persilatan, baik itu golongan putih
ataupun hitam. Hari itu semuanya berkumpul dengan suka cita, tanpa ada rasa
permusuhan di antara mereka.
Selesai upacara pernikahan,
para hadirin meminta sepasang mempelai sudi memainkan ilmu pedang di depan
umum. Setiap orang mengetahui bahwa ilmu pedang Linghu Chong tiada bandingannya
di dunia ini, namun tidak semuanya pernah menyaksikan kehebatannya itu.
Linghu Chong tersenyum
menanggapi permintaan para tamu, lalu berkata, “Hari ini adalah hari yang
bahagia. Rasanya kurang pantas jika kami harus main senjata segala. Biarlah
kami berdua, pengantin baru ini memainkan sebuah lagu bersama-sama. Apakah para
hadirin setuju?”
Para tamu pun bersorak
menyatakan setuju.
Linghu Chong segera menyiapkan
kecapi dan memberikan seruling kumala kepada Ren Yingying. Tanpa membuka
kerudung pengantin, Ren Yingying meniup seruling itu dengan merdu, beriringan
dengan petikan kecapi Linghu Chong. Lagu yang mereka bawakan tidak lain adalah
lagu “Menertawakan Dunia Persilatan”. Rupanya selama tiga tahun ini permainan
kecapi Linghu Chong telah berkembang sangat pesat berkat bimbingan langsung Ren
Yingying setiap saat.
Linghu Chong teringat dirinya
pertama kali mendengar lagu itu ketika berada di hutan pegunungan di luar Kota
Hengshan dahulu. Waktu itu Liu Zhengfeng dari Perguruan Hengshan meniup
seruling, sedangkan Qu Yang dari Sekte Matahari dan Bulan memetik kecapi.
Keduanya bersahabat karib meskipun berasal dari dua aliran yang bermusuhan.
Setelah memainkan lagu tersebut, mereka akhirnya tewas bersama.
Hari ini Linghu Chong dan Ren
Yingying telah menikah dan tiada lagi perbedaan di antara mereka. Dibandingkan
dengan Qu Yang dan Liu Zhengfeng, nasib mereka jauh lebih bagus. Linghu Chong
membayangkan pada saat menciptakan lagu tersebut, pasti Liu Zhengfeng dan Qu
Yang dalam keadaan tertekan oleh pertentangan golongan mereka, serta berharap
semua permusuhan bisa berakhir. Kini harapan mereka telah menjadi kenyataan.
Linghu Chong dan Ren Yingying memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan
dengan perasaan bebas merdeka, sehingga perpaduan irama seruling dan kecapi
yang dihasilkan boleh dikata sangat sempurna.
Kebanyakan para tamu tidak
memahami seni musik. Akan tetapi, setiap orang merasa sangat nyaman dan terbuai
oleh alunan irama tersebut. Di bawah permainan pengantin baru ini, lagu
Menertawakan Dunia Persilatan berhasil menggetarkan sukma dan mengharukan hati
setiap tamu yang hadir.
Begitu lagu selesai dimainkan,
serentak para hadirin bertepuk tangan dan bersorak sorai memuji keduanya.
Beramai-ramai mereka lalu mempersilakan kedua mempelai masuk ke dalam kamar
pengantin yang telah disediakan mak comblang dan tertata rapi.
Baru saja pintu kamar ditutup,
tiba-tiba Linghu Chong dan Ren Yingying mendengar alunan suara rebab yang
sangat merdu dari luar pagar. Seketika Linghu Chong berteriak senang, “Paman
Guru Mo ....”
“Ssst, jangan berisik,” sahut
Ren Yingying mendesis.
Lagu yang dimainkan melalui
rebab itu berjudul “Sepasang Burung Feng Bertemu”. Kedua mempelai yakin bahwa
lagu ini dimainkan langsung oleh Tuan Besar Mo di luar rumah mereka. Meskipun
permainannya sangat lembut dan lirih, namun benar-benar mengharukan perasaan
Linghu Chong dan Ren Yingying dari awal hingga akhir. Dalam hati Linghu Chong
berpikir, “Paman Guru Mo benar-benar lolos dari malapetaka di Puncak Huashan.
Beliau datang kemari secara diam-diam untuk menyampaikan selamat atas
pernikahan kami.”
Selama tiga tahun ini, Linghu
Chong selalu memikirkan keberadaan Tuan Besar Mo. Berulang kali ia mengirim
orang ke Gunung Hengshan namun tidak juga mendapatkan kabar. Perguruan Hengshan
sendiri juga telah memiliki ketua yang baru, dan mereka pun tidak mengetahui
keberadaan sang ketua lama.
Beberapa saat kemudian suara
rebab terdengar semakin menjauh dan menjauh, hingga akhirnya menghilang tak terdengar
lagi.
Perlahan-perlahan Linghu Chong
mendekati Ren Yingying dan membuka kerudung sutra tipis berwarna merah yang
menutup wajah cantiknya. Di bawah cahaya lilin tampak wajah mempelai perempuan
yang sedang tersenyum itu semakin menawan bagaikan intan permata.
Tiba-tiba Ren Yingying
berseru, “Keluar sekarang!”
Linghu Chong tersentak kaget.
Dalam hati ia berpikir, “Aku sudah jadi suaminya, kenapa disuruh keluar?”
“Lekas keluar, atau kusiram
dengan air?” bentak Ren Yingying sambil tertawa.
Selagi Linghu Chong
kebingungan, tiba-tiba dari kolong ranjang tampak enam orang menerobos keluar.
Siapa lagi mereka kalau bukan Enam Dewa Lembah Persik?
Rupanya keenam orang dungu
bersaudara ini sengaja bersembunyi di bawah ranjang dengan tujuan ingin
mendengarkan percakapan antara sepasang pengantin baru. Setelah itu, mereka
akan mempergunakannya sebagai bahan pamer di hadapan para tamu. Saat itu Linghu
Chong sedang mabuk kepayang mengagumi kecantikan sang istri sehingga kurang
waspada. Sebaliknya, Ren Yingying tetap bersikap cermat dan ia pun mendengar
suara orang bernapas sangat halus di bawah tempat tidur.
Dengan bergelak tawa Linghu
Chong berkata, “Hahaha, keenam Dewa Persik bersaudara, hampir saja aku dapat
kalian kerjai.”
Dengan tertawa pula Enam Dewa
Lembah Persik lantas meninggalkan kamar pengantin itu. Begitu sampai di luar
mereka langsung berteriak-teriak, “Semoga kedua mempelai panjang umur, menjadi
suami-istri selamanya!”
Saat itu Pendeta Chongxu
sedang bercakap-cakap dengan Mahabiksu Fangzheng di Balai Bunga yang menjadi
ruang perjamuan tamu. Ketika mendengar teriakan Enam Dewa Lembah Persik
tersebut, ia pun tersenyum. Teka-teki yang terpendam selama tiga tahun di
hatinya baru sekarang terjawab sudah. Saat di Biara Wuse waktu itu ia sangat
penasaran mendengar Enam Dewa Lembah Persik mengatakan semboyan Sekte Matahari
dan Bulan telah berganti dua kalimat. Rupanya inilah semboyan yang mereka
maksudkan itu
Empat bulan kemudian, pada
saat musim semi berlangsung, tampak rumput liar memanjang dan bunga-bunga harum
semerbak di mana-mana. Kedua pengantin baru Linghu Chong dan Ren Yingying
sedang bersama-sama berangkat ke Gunung Huashan. Linghu Chong bermaksud membawa
istrinya itu menyampaikan salam hormat kepada Feng Qingyang, sang kakek guru
tercinta.
Akan tetapi, meskipun mereka
berdua sudah menjelajahi semua lembah pegunungan Huashan, semua puncak, dan
menelusuri dengan seksama, namun sedikit pun mereka tidak menemukan jejak orang
tua itu. Tentu saja Linghu Chong merasa sangat kesal dan kecewa.
Ren Yingying berusaha
menghibur sang suami dengan berkata, “Kakek Guru Feng seorang sakti yang suka
hidup menyendiri. Beliau bagaikan naga keramat dari kahyangan, bisa melihat
kita tapi tidak bisa kita melihatnya. Kemungkinan besar Beliau telah mengembara
ke tempat lain.”
Linghu Chong menghela napas
dan berkata, “Kakek Guru Feng tidak hanya mahasakti dalam ilmu pedang, bahkan
tenaga dalam Beliau juga tiada bandingannya di dunia ini. Selama tiga setengah
tahun aku berlatih ilmu tenaga dalam sesuai ajaran Beliau. Aku merasa hampir
semua hawa murni liar yang bergolak di dalam tubuhku dapat dimusnahkan.”
“Untuk ini kita harus
berterima kasih kepada Mahabiksu Fangzheng,” kata Ren Yingying. “Karena kita
tidak berhasil menemui Kakek Guru Feng, maka besok juga kita pergi ke Biara
Shaolin saja untuk mengucapkan terima kasih kepada Mahabiksu Fangzheng.”
“Benar,” jawab Linghu Chong.
“Mahabiksu Fangzheng telah menyampaikan rumus ilmu tenaga dalam Kakek Guru Feng
itu serta membimbing diriku pula. Kita memang harus berterima kasih kepadanya.”
Ren Yingying tersenyum dan
berkata, “Kakak Chong, kenapa kau belum sadar juga? Sebenarnya yang telah kau
pelajari itu bukan rumus tenaga dalam milik Kakek Guru Feng, melainkan ilmu
sakti dalam Kitab Yijinjing milik Perguruan Shaolin.”
“Apa?” sahut Linghu Chong
melonjak kaget. “Jadi, ini ... ini ... ilmu dalam Kitab Yijinjing? Dari mana
kau tahu?”
Ren Yingying menjawab, “Dulu
sewaktu kau bercerita padaku bahwa rumus ilmu tenaga dalam ini adalah milik
Kakek Guru Feng yang disampaikan kepada Mahabiksu Fangzheng melalui Enam Dewa
Lembah Persik, aku langsung curiga. Bagaimana tidak, untuk melatih ilmu ini,
sedikit kesalahan saja dapat mengakibatkan kelumpuhan atau bahkan jiwa bisa
melayang. Mana boleh rumus ilmu tenaga dalam sehebat ini disampaikan begitu
saja melalui orang lain seperti Enam Dewa Lembah Persik yang dungu itu, bahkan
secara lisan? Meskipun Mahabiksu Fangzheng mengaku mereka berenam dipaksa Kakek
Guru Feng menghafal rumus itu dengan sekuat tenaga, tetap saja ini sangat
berbahaya. Maka, pada suatu kesempatan aku sengaja menanyai keenam bersaudara
itu. Mula-mula mereka mengaku bahwa cerita Mahabiksu Fangzheng adalah benar.
Namun, begitu aku menyuruh mereka menyebut beberapa kalimat pada rumus
tersebut, mereka menjawab secara simpang-siur. Ada yang mengaku sudah lupa, ada
lagi yang mengaku tidak mau mengatakannya kecuali kepada Mahabiksu Fangzheng
saja. Setelah kudesak lagi, akhirnya mereka pun menceritakan yang sebenarnya.
Bahwa demi untuk menyelamatkan jiwamu, Mahabiksu Fangzheng sengaja mengarang
cerita bahwa Beliau mendapatkan rumus ilmu ini dari Kakek Guru Feng. Jika tidak
begitu, maka kau tidak akan mau mempelajarinya. Enam Dewa Lembah Persik juga
dipesan agar merahasiakan hal ini kepadamu.”
Linghu Chong tercengang
mendengar uraian itu. Sama sekali ia tidak menyangka akan maksud dan tujuan
Mahabiksu Fangzheng tersebut. Untuk beberapa lama ia tidak bisa bersuara
sedikit pun.
Ren Yingying melanjutkan,
“Namun, Kakek Guru Feng memang benar-benar bertemu dengan Enam Dewa Lembah
Persik. Beliau menyuruh keenam bersaudara itu menyampaikan berita kepada
Mahabiksu Fangzheng bahwa sebulan lagi Sekte Matahari dan Bulan hendak menyerbu
Perguruan Henshan. Maka itu, Perguruan Shaolin lantas menghubungi pihak Wudang
dan bersama-sama menghimpun kekuatan dari berbagai golongan lainnya demi
membantu pihak Henshan. Sementara itu, mengenai rumus ilmu tenaga dalam
tersebut adalah benar-benar ilmu Perguruan Shaolin sendiri.”
“Kau sungguh keterlaluan,”
gerutu Linghu Chong. “Sudah tahu sejak dulu kenapa baru sekarang kau sampaikan
padaku?”
Ren Yingying tersenyum
menjawab, “Kau sendiri yang keras kepala. Dulu kau terang-terangan menolak
tawaran Mahabiksu Fangzheng agar dirimu masuk menjadi murid Perguruan Shaolin
dan mempelajari Kitab Yijinjing untuk menyembuhkan penyakitmu. Kau menolak
begitu saja dan meninggalkan biara, sampai akhirnya tanpa sengaja menemukan
Jurus Penyedot Bintang. Penyakitmu memang sembuh tapi kemudian muncul penyakit
baru akibat ilmu ayahku ini. Mahabiksu Fangzheng kembali berusaha menyembuhkan
penyakitmu namun tidak berani secara terang-terangan menyebut nama Kitab
Yijinjing lagi. Mungkin bagimu lebih baik mati daripada mempelajarinya,
bukankah ini konyol? Maka itu, Mahabiksu Fangzheng lantas meminjam nama Kakek
Guru Feng untuk menyampaikan rumus ilmu tersebut. Mengingat Kakek Guru Feng
juga orang Huashan, maka dapat dipastikan kau tidak akan menolak lagi.”
“Oh,” ujar Linghu Chong sambil
manggut-manggut. “Kau sengaja merahasiakan hal ini tentu karena kau takut sifat
keras kepalaku kembali kambuh sehingga aku menghentikan latihan. Kini setelah
tahu penyakitku hampir sembuh, barulah kau mau menceritakan yang sebenarnya.”
Ren Yingying kembali tertawa
dan berkata, “Benar. Kebandelanmu cukup terkenal. Untuk sifat seperti ini
memang perlu sedikit tipuan.”
Linghu Chong menghela napas
terharu, kemudian ia menggenggam erat tangan Ren Yingying, dan berkata,
“Yingying, dulu kau rela mengorbankan jiwamu di Biara Shaolin demi untuk
meyakinkan Mahabiksu Fangzheng agar mau mengajarkan Kitab Yijinjing padaku.
Meskipun jiwamu diampuni, namun Mahabiksu Fangzheng tetap menganggap Beliau
telah berhutang kepadamu. Beliau seorang tokoh angkatan tua dunia persilatan
yang paling terhormat dan harus pegang janji. Maka itu, Beliau tetap
mengajarkan ilmu sakti ini kepadaku, meskipun aku bukan murid Biara Shaolin.
Ilmu ini kudapatkan melalui pengorbananmu. Seandainya aku tidak memikirkan
keselamatanku, tetap saja aku memikirkan jerih payah dan maksud baikmu. Mana
mungkin ... mana mungkin aku kemudian menghentikan latihan ini?”
Ren Yingying berkata lirih,
“Sebenarnya aku juga berpikir demikian. Hanya saja ... hanya saja aku tetap
merasa khawatir.”
“Baiklah, besok juga kita
segera berangkat ke Biara Shaolin. Karena aku sudah mendalami ilmu sakti dalam
Kitab Yijinjing, maka aku terpaksa harus bergabung dengan Perguruan Shaolin dan
menjadi biksu,” ujar Linghu Chong.
Ren Yingying paham suaminya
itu hanya bercanda. Maka, ia pun menjawab, “Biksu liar macam dirimu, biara
besar tidak sudi menerima, biara kecil tidak sudi menyambut. Mana mungkin
Perguruan Shaolin yang memiliki peraturan ketat mau menerima biksu yang gemar
minum arak dan makan daging? Dalam setengah hari saja kau akan langsung didepak
keluar.”
Kedua pengantin baru itu
melangkah bergandeng tangan sambil bercakap-cakap mesra. Tampak Ren Yingying
berkali-kali menoleh ke sana dan ke sini, seperti hendak mencari sesuatu.
“Apa yang kau cari?” tanya
Linghu Chong.
“Takkan kukatakan kepadamu.
Kalau sudah bertemu tentu kau akan tahu sendiri,” sahut Ren Yingying. “Hari ini
kita datang ke Gunung Huashan dan tidak berhasil menemukan Kakek Guru Feng.
Sebenarnya ini mengecewakan. Tapi, kalau tidak menemukan orang yang satu ini,
rasanya lebih kecewa lagi.”
Linghu Chong semakin bingung
dan bertanya, “Memangnya siapa lagi yang akan kita temui? Siapakah dia?”
Ren Yingying hanya tersenyum
dan tidak menjawab. Sejenak kemudian ia berkata, “Yang pasti dia bukan Lin
Pingzhi. Kau telah mengurung bocah bermarga Lin itu dalam penjara di bawah
Danau Barat sana. Kau ini memang pintar. Kau pernah menyanggupi wasiat adik
kecilmu untuk selalu menjaga Lin Pingzhi seumur hidupnya. Maka itu, kau lantas
mengurungnya di sana, kau beri makan dan pakaian. Dengan begini jiwanya pun
terjamin. Kau benar-benar telah menjaga kehidupannya sesuai janjimu. Akan
tetapi, untuk teman lamamu yang satu ini aku telah mengatur suatu cara demi
menjamin kehidupannya.”
Linghu Chong bertambah heran
dan merenung, “Teman lamaku? Memangnya siapa yang dimaksudkannya itu?” Namun
mengingat sifat Ren Yingying yang cenderung aneh dan lain dari orang-orang pada
umumnya, maka ia merasa tidak ada gunanya untuk bertanya lebih lanjut.”
Malam itu mereka berdua
beristirahat di bilik Linghu Chong yang lama. Meskipun berhadapan dengan
seorang istri cantik, namun karena terkenang pada kehidupan masa lalu, hati
Linghu Chong merasa berduka. Setelah meneguk arak sampai belasan cawan barulah
pikirannya agak tenang.
Tiba-tiba Ren Yingying berkata
lirih, “Itu dia sudah datang. Marilah kita pergi melihatnya.”
Linghu Chong mendengar suara
monyet dari arah lembah pegunungan di depan biliknya. Merasa penasaran tentang
siapakah orang yang dimaksudkan Ren Yingying itu, tanpa banyak bertanya ia pun
mengikuti sang istri berjalan keluar.
Ren Yingying bergegas menuju
ke arah suara monyet tadi. Dengan cepat ia berlari ke lereng bukit di depan
sana. Linghu Chong mengikuti ke mana istrinya melangkah. Di bawah sinar bulan
yang cukup terang tampak tujuh atau delapan ekor monyet bertengger di atas
bebatuan. Kawanan monyet di Gunung Huashan memang cukup banyak dan hal ini
tidak mengherankan bagi Linghu Chong. Namun, tiba-tiba dilihatnya di tengah
gerombolan monyet itu ada seorang manusia. Begitu diperhatikan dengan cermat,
ternyata orang itu adalah Lao Denuo.
Dengan perasaan gusar
bercampur senang Linghu Chong segera berbalik hendak mengambil pedang di dalam
biliknya. Namun, Ren Yingying buru-buru menarik lengannya dan berkata, “Sabar
dulu. Mari kita melihatnya lebih dekat.”
Setelah keduanya maju beberapa
puluh meter, tampak Lao Denuo sedang diapit dua ekor monyet besar dan diseret
ke kanan dan ke kiri begitu saja. Meskipun ilmu silat Lao Denuo cukup tinggi,
ternyata ia tidak berdaya melawan dua ekor monyet itu.
“Kenapa bisa begitu?” tanya
Linghu Chong heran.
“Lihatlah dengan lebih jelas.
Sebentar lagi tentu kau akan tahu sendiri,” kata Ren Yingying.
Sifat monyet pada umumnya
adalah suka bergerak ke mana-mana, sehingga Lao Denuo tampak ditarik ke sana
dan diseret kemari oleh dua ekor monyet besar itu. Terkadang ia mengeluarkan
suara caci maki, namun monyet-monyet itu lantas mencakar wajahnya.
Kini Linghu Chong dapat
melihat dengan jelas bahwa tangan kanan Lao Denuo bergandengan dengan tangan
kiri monyet sebelah kanan, sementara tangan kirinya juga bergandengan dengan
tangan kanan monyet satunya lagi. Sepertinya antara tangannya dengan tangan
monyet-monyet itu terikat oleh semacam borgol besi.
Linghu Chong mulai paham
permasalahannya. Ia pun bertanya, “Tentu ini perbuatanmu, bukan?”
“Bagaimana menurutmu?” sahut
Ren Yingying balas bertanya.
“Apakah kau telah memusnahkan
ilmu silatnya?” tanya Linghu Chong.
“Tidak, tapi dia telah
menerima buah perbuatannya sendiri,” sahut Ren Yingying.
Mendengar suara percakapan
manusia, gerombolan monyet itu lantas berteriak-teriak melarikan diri ke balik
bukit. Tentu saja tubuh Lao Denuo ikut terseret pula.
Pada mulanya Linghu Chong
ingin membunuh Lao Denuo untuk membalaskan kematian Lu Dayou. Namun, melihat
penderitaan Lao Denuo saat ini dalam hati ia merasa puas. Menurutnya, orang tua
berambut putih itu telah merasakan hukuman yang lebih berat daripada dipenggal
pedang. Ia kemudian berkata kepada sang istri, “Jadi, selama beberapa hari ini
orang yang kau cari itu adalah Lao Denuo?”
“Benar,” sahut Ren Yingying.
“Sewaktu Ayah tiba di Puncak Menyongsong Mentari tempo hari, Lao Denuo lebih
dulu datang menghadap sebelum kita. Dia mengaku telah mendapatkan Kitab Pedang
Penakluk Iblis untuk dipersembahkan kepada Ayah dengan harapan mendapatkan
perlindungan dan kedudukan yang pantas di dalam Sekte Matahari dan Bulan. Ayah
tidak ada kesempatan bicara dengannya dan segera memerintahkan orang untuk
menahan dia. Namun kemudian Ayah meninggal dunia, sehingga semua orang menjadi
sibuk dan tidak sempat mengurusinya. Akhirnya dia pun ikut terbawa pulang ke
Tebing kayu Hitam sebagai tawanan. Setelah lewat belasan hari barulah aku ingat
masalah ini. Segera dia kupanggil untuk ditanyai. Ternyata di dalam tahanan ia
berusaha melatih Jurus Pedang Penakluk Iblis namun salah jalan sehingga
kehilangan semua ilmu silatnya. Orang ini adalah pembunuh adik keenammu,
sementara adik keenammu sangat suka memelihara monyet. Oleh sebab itu, aku
lantas menyuruh orang mencarikan dua ekor monyet besar, dan memborgol kedua
tangannya bersama kedua monyet itu. Kemudian dia kulepaskan di Gunung Huashan ini.”
Usai berkata demikian, ia
lantas memegangi pergelangan tangan Linghu Chong. “Aih, sungguh tak disangka
bahwa selama hidupku juga harus terikat bersama seekor monyet besar seperti ini
dan tidak akan terpisah lagi,” ujarnya sambil tersenyum manis, senyuman yang
lembut dan menawan.
Linghu Chong membalas senyum.
Ia sendiri senang dengan kehidupan yang merdeka dan tidak terkekang. Namun,
setelah menikah dengan Ren Yingying, maka keinginannya untuk selalu bebas dan
tidak terikat dengan sendirinya tidak dapat terpenuhi. Tiba-tiba hatinya
bersenandung mengalunkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan. Terlintas suatu
pikiran dalam benaknya, “Dalam memainkan lagu ini, entah kumainkan dengan nada
tinggi, entah dengan nada rendah, dapat kulakukan sesuka hati. Namun, ini hanya
bisa kulakukan jika bermain musik seorang diri. Apabila bermain musik bersama
Yingying, tentu harus menyelaraskan diri agar tercipta perpaduan yang serasi.
Tentu keselarasan tidak bisa kulakukan hanya berdasarkan keinginanku sendiri.
Kalau dia memainkan nada tinggi, harus kuimbangi, nada rendah juga harus
kuimbangi. Ini baru namanya selaras dan serasi.”
Sesaat kemudian Linghu Chong
teringat kepada Biara Shaolin dan ia merenung, “Kaum Buddha mementingkan
Nirwana, yaitu keadaan kosong, hampa, tanpa keinginan, tanpa pengharapan, dan
inilah yang dinamakan bebas tanpa keterikatan. Akan tetapi, hidup di dunia
perlu makan, perlu pakaian, juga harus mempertimbangkan orang lain. Bagaimana
bisa hidup lepas dari keinginan? Nirwana adalah kehidupan tanpa keterikatan,
sementara hidup di dunia selalu penuh dengan keterikatan. Ah, asalkan hidup di
dunia tidak memiliki keinginan yang tidak pantas, tentu tidak akan terikat oleh
sesuatu yang tidak pantas pula. Inilah yang dimaksud dengan bebas tanpa
keterikatan menurutku.”
(Tamat)