Jilid 36
Namun Toan Cing-sun tahu
urusan hari ini sangatlah berbahaya, di antara jago-jago Tayli yang ada di situ
sekarang ia sendirilah yang paling kuat, jika ia meninggalkan kawan-kawan lain
untuk menyelamatkan diri sendiri, lalu kemanakah mukanya akan ditaruh kelak?
Apa lagi dihadapan kekasih dan putrinya, mana bole dia merendahkan pamor
sendiri? Maka dengan tersenyum ia menjawab kedatangan Su-ok itu, "Ha-ha ha
ha, urusan keluarga Toan kami ternyata mesti diselsaikan di wilayah Song,
sungguh aneh urusan ini."
"He, Toan Cing-sun,
setiap kali aku bertemu denganmu, selalu kamu lagi berkumpul dengan beberapa
perempuan cantik. Wah, rejekimu dalam hal perempuan sungguh luar biasa
baiknya.: demikian Yap Ji-ni menyapa dengan tertawa.
Sebaliknya Lam-hai-gok-sin
terus memaki, "Anak kura-kura ini tentu sudah kelewat puas main perempuan,
biarlah sekarang Locu mengacipnya menjadi dua potong!"
Habis berkata, segera ia
keluarkan "Gok-cuipcian" atau kacip congor buaya, dan menerjang maju
ke arah Toan Cing-Sun.
Dengan jelas Siau Hong dengar
Yap Ji-nio menyebut orang setengah umur itu sebagai Toan Cing-sun, sedang yang
ditegurpun tidak menyangkal, hal ini ternyata cocok seperti dugaan Siau Hong,
maka dengan perasaan terguncang ia berpaling dan berkata kepada A
Cu,"Ternyata benar dia adanya."
"Apakah ... apakah engkau
akan mengerubnya dan menyerangnya tatkala dia terancam bahaya lain?" tanya
A Cu dengan suara gemetar.
Namun perasaan Siau Hong saat
it sangat kusut, ia murka dan girang pula, sahutnya dengan dingin, "Sakit
hati ayah-bunda, dendam Suhu dan ayah-ibu angkatku, serta rasa penasaranku yang
difitnah, hm, semua itu masakah boleh kutinggal diam, masakah aku masih perlu
bicara tentang kejujuran dan keadilan serta peraturan kangou apa segala dengan
dia?"
Ucapan itu sangat perlhan,
tapi penuh rasa dendam kesumat dan kebulatan tekad yang tak terpatahkan.
Dalam pada itu demi nampak
Lam-hai-gok sin sudah mulai menerjang maju,. segera Hoan Hoa mengatur siasat,
bisiknya perlahan kepada kawan-kawannya, "Hoa toako, Cu-hiante, silahkan
kalian keroyok orang dogol ini! Harus menyerang serentak dan menggempur
sekuatnya, lekas, membereskan dia lebih baik, kaki
tangan musuh dipreteli dulu,
habis itu mush utamanya akan mudah dilawan."
Hoa Hik-Kin dan Cu Tan-sin
mengiakan bersama, cepat mereka memapak maju. Meski kepandaian mereka
masing-masing cukup kuat untuk menandingi Lam-hui-gok-sin, pula agak kurang
terhormat main keroyok, tapi demi mendengar penjelasan Hoan Hoa tadi, mereka
merasa siasat itu cukup beralasan. Toan Yan khing terlalu tangghu untuk
dilawan, jika mesti satu lawan satu, tiada seorangpun di antara mnreka yang
mampu melawannya, jika nanti serentak mreka mengerbutnya, boleh jadi keadaan
masih bisa dikuasai.
Maka dengan senjata cangkul
baja segera
Hoa Hik-kin mendahului
menyerang disusul oleh Cu Tan-sin dengan Pit bajanya terus mengerubuti
Lam-haigok-sin.
Lalu Hoan Hoa berkata pula,
"Sekarang Pa-hiante boleh membereskan kenalanmu yang lama itu, aku dan
Leng-hiante akan melawan perempuan itu."
Sekali Pa Thian-sik mengiakan,
terus saja ia menuburuk ke arah in Tiong ho. Sedangkan Hoan Hoa dan Leng
Jian-li juga serentak melompat maju.
Senjata andalah Leng Jian-li
sebenarnya adalah gagang pancing yang telah dilempar ke danau oleh ACi. Kini ia
sambar pacul Tang Su-koi sebagai gantinya.
Melihat manunya mush-mush itu
Yap Jipnio tersenyum, sekali lihat gerakan lawan, segera ia tahu Hoan Hoa
adalah lawan tangguh. Ia tidak berani ayal, ia lemparkan bayi yang digendungnya
iut ke tanah, ketika tangannya menjulur ke depat lagi, tahu-tahu ia sudah
memegang sebatang bolok yang lebar dan tipis, tadinya golok itu entah disimpan
di mana, tahu-tahu sudah diloloskan keluar.
Di luar dugaan, mendadak Leng
Jian-li menggertak keras, tapi bukannya menerjang, di mana Yap Jinio sebaliknya
menyerbu Toan Yang Khing.
Keruan Hoan Hoa kaget, cepat
seru..
"Leng hiante bukan ke
sana tapi ke sini, kemarilah!"
Namun Leng Jian-li seperti
tidak mendengar lagi, bahkan paculnya diangkat terus menyerepang pinggang Toan
Yan-khing.
Toan Yang-khing cuma tersenyum
dingin saja, sama sekali ia tidak berkelit, sebaliknya tongkat bambu sebelah
kiri terus menutuk kemuka lawan malah.
Tampaknya tutukan tongkat itu
seperti dilakukan seenaknya saja, tapi waktnunya da jitunya ternyata
diperhitungkan dengan tepat, yaitu sedetik lebih dulu sebelum pacul Leng
Jian-li mengenai sasarannya. jadimenyerang belakangan tapi tiba lebih dulu,
lihainya sungguh tak terkatakan.
Serangan yang berbahaya itu
sebenarnya mua tak mau Leng Jian-li harus menghindarkannya. Siapa dugu serangan
Toan Yan-khing itu sedikitpun tidak digubris oleh Leng Jian-li sebaliknya ia
ayunkan paculnya semakin kuat dan tetap menghantam ke pinggang lawan.
Keruan Toan Yan-khing
terkejut, pikirnya
”Jangan-jangan ini orang
gila?" Sudah tentu ia tidak mau terluka bersama Leng Jian-li, bila
tongkatnya dapat mampuskan dia, pinggan sendiri juga pasti akan terluka parah.
Maka cepat ia tutuk tongkat akanan ke tanah, tubuh terus menapung ke atas.
Melihat lawan meloncat ke
atas, segera pacul Leng Jian-li itu menyodok ke perut Toan Yan-khing.
Sebenarnya kepandaian Leng Jian-ji adalah kegesitan dan kelincahan, sudah tentu
pacul itu bukan senjata yang cocok baginya. malahan sekarang ia bertemput
dengan nekat dan ngawur, setiap serangan selalu mengincar tempat mematikan di
tubuh Toan Yan-kihing, sedangkan keselamatan diri sendiri sama sekali tak
terpiki olehnya.
Menghadapi orang nekat dan
kalap demikian biarpun ilmu silat Toan Yangkhing sangat tinggi terpaksa
terdesak mundur juga berulang-ulang. Namun demikian tetap Leng Jian-li tak bisa
mengenai sasaranya, sebaliknya dalam sekeja saja di tanah rumput di tepi danau
ini sudah penuh tetesan darah.
Kiranya waktu Toan Yang-khing
menghindar atau melompat mundur, setiap kali tongkatnya pasti kena menjotoh
tubuh Leng Jian-li, di mana tongkatnya sampai, di bagian tubuh Leng Jian-li
lantas berlubang. Tapi Leng Jian0li sudah tak merasakan sakit lagi, ia mainkan
paculnya semakin kencang dan menyerang semakin kalap.
Akhirnya Toan Cing-sun menjadi
kuatir, cepat ia berseru, "Leng-hiante, lekas mundur, biar kutempur
pengganas ini!"
Segera ia sambar sebatang
pedang dari tangan kekasihnya dan menerjang maju untuk mengeroyok Toan
Yankhing.
"Mundurlah Cukung!"
seru Leng Jian-li
Sudah tentu Cing-sun tak mau
menurut, kontan pedangnya menusuk ke dada Toan Yan khing.
Mendadak Yan-khing Taicu
menahan tubuh dengan tongkat kanan, tongkat kiri leibh dulu dipakai menangkis
pacul Leng jian-li menyusul pada kesempatan ia terus menutuk muka Toan
Cing-sun.
Tapi Cing-sun cuku tenang, ia
tidak kalap seperti Leng Jian li, sedikit menggeser ke samping tehrindarlah
serangan Yan-khing Taicu itu.
Mendadak Leng Jian-li
mengerung bagai harimau ketaton, sekonyong-konyong pacul membalik dan menyerang
Toan Cing-sun malah. Keruan Cing-sun kaget, hampir jidatnya kena genjot pacul,
sama sekali tak tersangka olehnya bahwa kawan yang sangat setia itu mendadak
bisa menyerangnya.
Melihat kekalapan Leng
Jian-li, Hoan Hoa, Cu Tan-sia dan lain lain menjadi kuatir, mereka
berteriak-teriak, "Leng-hiante, lekas mundur untuk mengaso dulu!"
Tapi Leng Jian-li masih terus
menggerung-gerung seperti orang gila dan merangsang ke arah Toan Yang-khing.
Sementara itu Hoan Hoa dan kawan-kawannya di satu pihak dan Yap Ji-nio,
Lam-hai-sok-sia dilain pihak sudah sama berhenti bertempur untuk menyaksikan
pertarungan Toan Yan-khing dan Leng Jian-li demi nampak yang tesebut belakangan
ini seperti orang kurang waras pikirannya.
"Leng-toako, silakan
mundur dulu" demikian Cu Tan-sin memburu maju untuk menarik Leng Jian li,
tapi malah kena dijotos sekali oleh saudara angkat itu hingga hidung dan mata
matang biru.
Menghadapi lawan kalap begitu
sesungguhnya juga buka keinginan Toan Yan-khing. Sementara itu mereka sudah
begebrak hampir 30 jurus, sudah belasan luka tongkat Toan Yan-khing menikam
bada Long Jian-li.Tapi Leng Jian-li masih terus berteriak-teriak dan menpurnya
dengan nekat.
Cu Tan-sin tahu bila diteruskan
akhirnya Leng Jian-li pasti tak terluput dari binasa, dengan air mata
berlinanglinang segera ia bermaksud menerjang maju untuk membantu.
Tapi belum lagi ia bertindak,
sekonyong-konyong termapak Leng Jian-li menimpukan paculnya ke arah mush dengan
sekuatnya. Tapi sekali Toan Yan-khing mencungkil dengan tongkatnya batang pacul
itu, dengan enteng sekali pacul itu melayng jauh ke sana. Itulah ilmu "Si
nio-poat-jian-king" atau empat tahil menyampuk seribu kati, ilmu sakti
yang mengagumkan.
Dan belum lagi pacul itu jatuh
ke tanah, mendadak Leng Jian-li ikut menubruk ke arah Toan Yan-khing. Tapi
Tan-khing Taicu menyambutnya dengan tersenyum, tongkat terus menikam ke dada
lawan itu.
"Celaka!" seru Toan
Cing-sun, Hoan Hoa dan lain-lain, berbareng mereka memburu maju buat membantu.
Tapi tusukan tongkat Yan-khing
Taicu itu cepat luar biasa, "bles", dada Leng Jian-li tertikam dengan
tepat, bahkan terus tembus ke punggung. Dan begitu tongkat berhasil menusuk
kesasaranya, tongkat Yan-khing yang lain lantas menutul tanah hingga tubuhnya
melayang mundur beberapa meter jauhnya.
Seketika dada dan punggung
Leng Jian-li menyemburkan darah segar, ia masih hendak memburu musuh, tapi baru
selangkah ia tahu maksud ada tenanga sudah habis. Segera ia berpaling dan
berkata kepada Toan Cingsun, "Cukong, Leng Jian-li lebih suka mati
daripada dihina, selama hidupku ini dapatlah kupertanggung jawabkan kepada
keluarga Toan dari Tayli."
"Leng-hiante," sahut
Cing-sun dengan air mata melelh, "akulah yang tak bisa mengajar anak sehingga
membikin susah padamu, sungguh aku merasa malu tak terhingga."
Lalu Leng Jian-li berkata
kepada Cu Tan-sin dengan tersenyum, "Cu-hiante, biarlah kakakmu ini
mangkat dulu. Engkau...kau..."
Sampai di sini mendadak ia
tidak dapat meneruskan lagi, napasnya lantas putus dan meninggal, tapi tubuhnya
tetap tegak tak mau roboh.
Mendengar ucapan "lebih
suka mati daripada dihina" itu, tahulah semua orang sebabnya dia menempur
Toan Yan Khing dengan kalap adalah karena merasa terhina oleh perbuatan A Ci
yang telah meringkusnya dengan jaring ikan, maka ia menjadi nekat, lebih suka
gugur di medan pertempuran daripada menananggung malu yang tidak mungkin
dibalasnya mengingat anak dara itu adalah putri junjungannya walaupun tidak
resmi.
Cu Tan-sin, Tang Su kui dan Siau
Tiok-sing menangis sedih, meski luak mereka belum sembuh, dengan nekat mereka
pun ingin mengadu jiwa dengan Toan Yan khing.
"Huh, ilmu silatnya tidak
tinggi, tapi main hantam begitu hingga jiwanya melayang, sunggun seorang maha
tolol.: demiian tiba-tiba suara seorang wanita berolok-olok.
Ternyata yang bicara adalah A
Ci. Memangnya Toan Cing-sun dan lain-lain lagi berduka, keruan mereka menjadi
gusar oleh ucapan anak dara itu. Hoan Hoa dan lain-lain melototi A Ci dengan
gusar, cuma mengingat anak dara itu adalah putri majikan, maka mereka tidak
berani umbar kemurkaan padanya. Sebaliknya Toan Cing-sun menjadi gemas juga,
terus saja ia ayun tangan menggampar muka anak dara yang binar itu.
Syukur Wi Sing-tiok keburu
menagkiskan tamparan itu sambil mengomel. "Sudah belasan tahun tidak urus
orang, baru bertemu sekarang lantas tega menghajarnya?"
Selama ini Toan Cing-sun
memang merasa berdosa terhadap Wi Sing-tiok, makanya segala apa ia suka menurut
pada apa yang dikatakan kekasih itu, dengan sendirinya lebih0lebih tidak mau
cecok dihadapan orang luar, maka tangan yang sudah hampir beradu dengan tangan
Wi Sing-tiok itu cepat ditarik kembali, lalu dampratnya kepada A Ci, "Kamu
telah bikin mati orang, kau tahu tidak?"
Tapi A Ci menjawab dengan
mendengus, "Huh, semua orang menyebutmu sebagai 'Cu kong', itu berati pula
aku adalah majikan kecil mereka, kalau cuma membunuh seorang dua orang budak
apa artinya?"
Pada jaman itu memang ikatan
peraturan feodal sangat menyolok. Kaum budak atau bawahan tidak mungkin
membangkang kepada majikan atau atasan, biarpun disuruh mati juga harus mati.
Leng Jian-li dan
kawan-kawannya adalah petugas kerajaan Tayli, dengan sendirinya mereka sangat
menghormat kepada keluarga Toan. Tapi keluarga Toan berasal dari kalangan
Bu-lim di Tionggoan, selamanya mereka taat pada peraturan kangouw yang belaku.
Biarpun Hoan Hoa, Leng Jian li dan kawan-kawannya menghamba kepada keluarga
Toan, tapi selamanya Toan Cing-beng dan Cing sun memandangnya sebagai saudara
sendiri, apalagi A Ci cuma putri Cing-sunyang tidak resmi alias anak haram.
Sungguh duka dan pedih sekali
Toan Cing-sun oleh kematian Long Jian-li dan kenakalan putrinya itu, ia merasa
malu terhadap saudara-saudara angkatnya itu.. Tanpa pikir lagi ia jinjing
pedangnya terus melompat maju, katanya sambil menuding Toan Yan-khing,
"Jika kauingin membunuh aku, marilah silahkan. Keluarga Toan kita
mengutamakan kebajikan dan keadilan, kalau membunuh secara sewenang-wenang,
biarpun dapat merebut negara juga takkan tahan lama."
Diam-diam Siau Hong tertawa
dingin, "Hm, manis betul ucapanmu, dalam saat demikian masih pura-pura
menjadi jantan?"
Dalam pada itu Toan Yan-khing
sudah melompat maju ke depat. Cing-sun dan menyambut, "Kauingin menempur
aku denga satu lawan satu dan tidak perlu mengikut campurkan orang lain,
bukan?"
"Betul," sahut
Cing-sun. "boleh kaubunuh aku, lalu kembali ke Tayli untuk membunuh kakak
baginda. Tapi apakah cita-citamu ini bisa terlaksana atau tidak bergantung pada
peruntunganmu. Adapun anggota keluargaku dan para bawahnku tiada sangkut-paut
apa-apa dengan percecokan kita ini."
"Tidak, anggota
keluargamu harus kubasmi habis dan bawahanmu boleh kuampuni." sahut
Yan0khing taicu dengan menjengek. "Dahulu kalian berdua tidak dibunuh oleh
ayah baginda, makanya terjadi perrebutan tahta seperti sekarang."
Habis bicara, tongkatnya terus
menunuk ke muka Toan Cing-sun Cing-sun pernah mendengar cerita tentang ilmu
silat Yan-khing Taicu sangat lihat, ilmu silatnya dari aliran baik berasal dari
keluarga Toan sendiri, sedangkan kepandaian dari Sia-pai yang aneh dan hebat
itu tak diketahui dari mana asalnya.
Maka Cing-sun tidak berani
gegabah, ia melompat ke kiri, ia memberi hormat kepada Leng Jian-li yang sudah
tidak bernyawa lagi tapi masih berdiri tegak itu dan berkata, "Leng
hiante,Hari ini kita bahu membahu untuk menghalau musuh,"
Lalu ia berpaling dan berkata
kepada Hoan Hoa, "Hoan suma, jika aku mati, harap kuburkan aku sejajar
dengan Leng-hiante tanpa membedakan antara majikan dan hamba."
"Hehehe, masih berlagak
sbagai ksatria, apa kah ingin orang lain kagum padamu lalu jual nyawa
padamu?" demikian Yan-khing Taicu menjengetk.
Tanpa bicara lagi pedang Cing
sun menusuk ke depat dengan gerakan "ki-li-toan-kim" atau tajamnya
sanggup memotong emas, yaitu satu jurus pembukaan dari "Toan keh
kiam" (ilmu pedang keluarga Toan).
Sudah tentu Yan-khing Taicu
kenal tipu serangan itu, segera ia pun balas menyerang dengan tongkatnya dalam
gaya permainan pedang. Sekali gebrak, yang dikeluarkan kedua orang itu
sama-sama ilmu silat ajaran leluhur mereka.
Memang Toan Yan-khing tertekad
akan membunuh Toan Cing sun dengan "Toan keh kiam" saja, sebab
citacitanya adalah ingin merebut tahta kerajaan Tayli, jika di hadapan Sam kong
dan Su-un yang ikut hadir sekarang ia gunakan ilmu silat dari Sia pai untuk
membunuh Toan Cing-sun, pasti para pembesar dan ksatria
Tayli takkan takluk padanya,
tapi kalau dapat mengalahkan dia dengan "Toan-keh kiam" dari leluhur
sendiri, maka sejumlah kepandainnya dengan kedudukannya nanti dan tiada
seorangpun yang punya alasan untuk menolaknya sebagai ahliwariskkerjaan Tayli
yang tepat.
"Cing-sun merasa lega
demi nampak lawan cuma memainkan ilmu silat keluarga sendiri, dengan tenang dan
penuh perhatian ia mainkan pedangnya dengan rapat. Para penonton yang hadir di
situ adalah tokoh-tokoh pilihan semua, mereka sama kagum melihat kepandaian
Toan Cing-sun yang hebat itu.
Sebaliknya kedua tongkat bambu
hitam yang dipakai Yan-khing Taicu itu juga sangat aneh keras bagai baja,
sedikitpun tidak rusak jika kebentur dengan pedang Toan Cing-sun. Kedua orang
sama-sama menggunakan "Toan-keh-kiam hoat" dari leluhur mereka,
dengan sendirinya sukar untuk menentukan kalah menang dalam waktu singkat.
Diam-diam Siau Hong pikir,
"Inilahsuatu kesempatan yang paling bagus, selama ini akau kuatirkan
kelihaian itpyang-ci dan Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan, kini kebetulan keparat
Toan Cing-sun ini menghadapi musuh tangguh, bukan mustahil sebentar lagi
Lak-meh-sin-kiam itu akan dikeluarkannya, ingin kulihat sampai di mana
kehebatan ilmu pedang itu."
Sesudah belasan jurus, Siau
Hong melihat pertarungan kedua orang itu bertambah sengit. Tongkat bambu
Yankhing Taicu kelihatannya enteng sekali, tapi lambat laun berubah menjadi
antap sekali gerakannya sehingga pedang Toan Cing-sun setiap kali kebentur,
jarak pentalnya menjaditambah jauh pula.
Sebagai seorang ahli permainan
Pak-kau-pang, diam-diam Siau Hong kagun. "Ini dia, kepandaian asli telah
dikeluarkan, tongkat bambu yang enteng begini dapat dimainkan sebagai toya baja
yang antap, nyata memang bukan sembarangan jago silat"
Sebaliknya Toan Cing-sun sudah
mulain kewalahan, setiap kali ia menangkis serangan lawan, slalu terasa
ditindih tenaga sehebat bukit hingga napas menjadi tak lancar. Padahal ilmu
silat keluarga Toan paling mengutamakan lwekang, sekali pernapasan kurang
lancar, itulah tanda bakal keok.
Tapi Cingpsun tidak menjadi
gugup, ia sudah tidak pikirkan mati hidupnya lagi, ia merasa selama hidup ini
sudah kenyang merasakan hidup bahagia, kalau kini tewas di tepi Siau-keng-oh
juga tidak penasaran. Apalagi seorang kekasih seperti Wi Sing-tiok sedang
mengikuti pertempurannya dengan penuh perhatian, biarpun mati juga rela
pikirnya.
Kiranya memang begitulah jiwa
"hidung belang" Toan Cing-sun, di mana mana dia mempunyai gendak, di
mana-mana ia main cinta, dan setiap kali berada bersama dengan kekasinya selalu
ia unjuk cinta sehidup semati, biarpun korban jiwa seketika itu bagi sang
kekasih juga dia rela, tapi kalau sudah berpisah, semua itu
lantas dibuatnya ke
awang-awang dan tak terpikir lagi olehnya.
Begitulah Toan Yan-khing masih
terus perhebat daya tekannya, sampai lebih 60 jurus, tatkala Toan-keh-kiamhoat
hampir selesai dimainkan. ia lihat ujung hidung Toan Cing-sun sedikit
berkeringat, tapi tenaga masih cukup dan napas masih panjang teratur.
Padahal diketahuinya Toan
Cing-sun itu suka main perempuan, tenaga dalamnya ternyata sangat kuat, dengan
sendirinya ia tidak berani gegabah. Ia kerahkan tenaga lebih hebat hingga
setiap kali tongkat menyerang selalu membawa suara mencicit perlahan, dan
setiap kali Cing-sun menangkis, selalu ia tergetar dan menggeliat.
Melihat itu, Hoan Hoa dan lain
lain tahu majikan mereka sudah mulai tak tahan, sekali mereka saling memberi
isyarat, serentak mereka siap untuk mengerubut maju.
"hihihi, sungguh
menggelikan!" demikian tiba-tiba suara seorang gadis cilik mengikik tawa.
"Keluarga Toan dari Tayli terkenal sebagai kaum pahlawan dan ksatria
sejati, kalau main kerubut, apakah hal ini takkan dibuat tertawaan orang?"
Hoan Hoa dan lain-lain
melengak, mereka tahu itulah suara A Ci. Karuan mereka melongo. Sudah terang
orang yang lagi terancam bahaya adalah ayah si gadis, hal ini sudah
diketahuinya, mengapa ia malah berolok-olok dan menyindir ayah sendiri?
Wi Sing-tiok menjadi gusar
juga, omelnya "A Ci, kamu anak kecil tahu apa" Ayahmu adalah Tin-lam
ong dari negri Tayli, orang yang bergebrak dengan dia itu adalah penghianat
dari keluarganya, jika kawan-kawan yang merupakan pengabdi negeri Tayli ini
ikut turun tangan membasmi orang durhaka itu, masakan hal ini dapat main kerubut
segala?"
Lalu ia berseru kepada Hoan
Hoa dan lain-lain. "Ayolah kawan-kawan, terhadap durjana penghkhianat itu
masakan perlu bicara tentang peraturan kangouw?"
Tapi A Ci berkata pula dengan
tertawa, "Ucapanmu agak aneh juga, ibu. Jika ayahku adalah seorang ksatria
sejati segera juga aku akan mengakui dia. Tapi bila dia seorang manusia rendah
dan pengecut, buat apa aku mempunyai ayah begitu?"
Suara A Ci itu cukup keras dan
nyaring hingga dapat didengar oleh siapapun juga. Karuan Hoan Hoa dan lainlain merasa
serba salah dan ragu apakah mesti maju membatu atau tidak?
Meski Toan Cing-sun itu
seorang bangor tapi dia sangat sayang juga kepadasebutan
"Eng-hiong-ho-han" atau pahlawan dan kesatria. Dia sering kali
membela diri dengan alasan "kaum pahlawan juga tidak terhindar dari godaan
wanita". Sebagai contoh ia kemukakan seperti Han-ko-co Lau Pang yang
tegoda oleh Jik-hujin dan Li Si-bin dengan Bu-cek-thian yang terkenal dalam
serjarah itu. Tetapi dalam hal perbuatan rendah secara pengecut sekali-kali
tidak nanti dilakukannya.
Maka ketika mendengar ucapan A
Ci tadi, ia segera berseru, "Mati atau hidup, menang atau kalah, kenapa
mesti dipkirkan? Jangan kalian ikut maju, siapa saja yang maju membantu aku
berarti memusih aku Toan Cingsun."
Ia bicara sambil bertempur,
sudah tentu tenaga dalamnya agak berkurang. Tapi Toan Yan-khing tidak mau
mengambil keuntungan itu, ia tidak mendesak, sebaliknya mundur dulu membiarkan
lawannya bicara.
Tentu saja Hoan Hoa dan
lain-lain bertambah kuatir, melihat sikap Toan Yan-khing yang tenang itu, jelas
musuh itu sudah yakin pasti akan menang, maka tidak perlu menyerang waktu
perhatian lawan terpencar.
"Silahkan mulai
lagi?" kata Cing-sun kemudian dengan tersenyum, lengan bajunya terus
mengebas dan menyusul pedang menusuk.
"A Ci, lihatlah betapa
lihainya ilmu pedang ayahmu itu, kalau dia mau membinasakan mayat hidup itu,
apa susahnya?" demikian kata Wi Sing-tiok.
"Kalau ayah dapat
mengalahkan dia, itulah paling baik," sahut Aci. "Tapi aku justru
kuatir ibu hanya keras di mulut dan lemas di hati. Lahirnya gagah perwira, tapi
dalam batin ketakutan setengah mati."
Ucapan itu tepat kena dilubuk
hati Wi Sing-Tiok. Keruan ia melotot kepada putrinya yang nakal itu, pikirnya,
"Budak ini benar-benar keterlaluan cara bicaranya."
Dalam pada itu tertampak
pedang Cing-sun beruntu menyerang tiga kali, tapi tenaga tolakan Yan-khing
Taicu juga tambah kuat, setiap serangan lawan selalu didesak kembali.
Ketika serangan keempat
dilontarkan Toan Cin-sun dengan tipu "Kim-ma-thing-kong" (kuda emas
melayang di udara_, pedangnya menyabet dari samping. Tapi tongkat kiri Yan
Khing Taicu lantas menutuk ke depan dengan tipu "Pik-khe po-hian"
(ayam jago berkeluruk di pagi hari) Begitu pedang dan tongkat beradu, seketika
melengket menjadi satu hingga sukar dipisahkan.
Dengan cepat Yan-khing Taicu
mengerahkan tenaga dengan maksud mementalkan pedang lawa, tapi gagal selalu,
mendadak tenggorokannya mengeluarkan suara "krak-krok" seperti orang
sakit genget, tiba-tiba tongkat kanan menahan tanah dan tubuh lantas terapung
ke atas, sedang ujung tongkat kiri masih tetap melengket di ujung pedang Toan
Cing-sun.
Keadaan sekarang mejadi yang
satu berdiri tegak di tanah dan yang lain terapung diudara sambil bergerakgerak
kian kemari. Semua orang bersuara kuatir sebab tahu pertarungan ke dua orang
itu sudah meningkat hingga mengadu tenaga dalam yang menentukan.
Cing-sun berdiri di tanah,
sebenarnya lebih menguntungankan karena dapat bertahan lebih kuat. Akan tetapi
Toan Yan khing terapung di atas hingga seluruh berat badannya menekan kebatang
pedang lawan.
Selang sejenak, maka tertampak
pedang yang panjang itu muai melengkung, makin lama main melengkung hingga
mirip gendewa. Seblaiknya tongkat bambu yang mestinya lebih lemas daripada
pedang itu masih tetap lempeng, tetap lurus seperti tombak. Kini jelas
kelihatan unggul atau asor tenaga dalam kedua orang itu.
Melihat pedang Toan Cing-sun
semakin melengkung, asal melengkung lagi sedikit mungkin akan patah, diamdiam
Siau Hong membatin, "Sampai saat ini mengapa kedua orang masih belum
mengeluarkan "Lak-meh-sinkiam" yang paling hebat itu, apa barangkali
Toan Cing-sun tahu Lak-meh-sin-kiam sendiri tak lebih kuat dari lawan, maka
tidak berani mengeluarkannya? Kalau melihat gelagatnya, tenaganya sendiri
hampir habis agaknya dia tiada mempunyai kepandaian lain yang lebih lihai
lagi."
Sudah tentu ia tidak tahu
bahwa di antara tokoh keluarga Toan dari Tayli, Toan Cing-sun hanya tegolong
jago kelas dua saja. Putranya yaitu Toan Ki, mahir Lak-meh-sin-kiam sebaliknya
Cing-sun sendiri It-meh (satu nadi) saja tak bisa, apa lagi Lak meh. (enam
nadi).
Melihat pedang sendiri yang
melengkut itu hampir menjadi bulat dan setiap saat dapat patah terpaksa
Cing-sun harus mencari jalan lain, ia tarik napas panjang-panjang, mendadak
jari telunjuk kanan menutuk ke depat dengan ilmu it yang ci.
Tapi dalam hal It yang ci ia
jauh dibandingkan kakak bagindanya, yaitu Toan Cing-beng. tenaga tutukannya itu
tak dapat mencapai lebih dari dua meter. Padahal sekarang jaraknya dengan Toan
Yan-khing itu karena disambung oleh senjata maka jarak mereka kini lebih tiga
meter jauhnya dengan sendirinya tutukan it yang ci itu tak dapat melukai lawan.
Sebab itulah tutukan Cing-sun tidak diarahkan kepada Yan-khing Taicu, tapi
ditujukan kepada tongkatnya.
Mau tak mau siau Hong berkerut
kening juga, pikirnya, "Agaknya orang ini tidak paham Lak meh sin kiam,
kalau dibandingkan adik angkat she Toan itu masih kalah jauh. Tutukannya ini
hanya ilmu tiam hiat yang
sangat hebat, tapi apa gunanya
menghadapi musuh dari jarak jaun?"
Tertampak sesudah tutukan Toan
Cing-sun itu tongkat bambu Toan Yan-khing lantas tergegar sedikit, lalu pedang
Cing-sun melurus sedikit juga. Dan begitu beruntuk Cing-sun menutuk tiga kali
hingga pedangnnya juga melurs tiga kali, lambat laun pedangnya sudah hampir
pulih lagi seperti semula.
Saat itulah A Ci mengoceh
pula, "Lihatlah, ibu, ayah memakai pedang, sekarang menggunakan jari pula,
tapi tetap tak dapat mengalahkan lawa, bila tongkat lawan yang laind ipkai
menyerang pula, masakah ayah punya tangan ketiga untuk menangkisnya?"
Memangnya Wi Sing tiok lagi
kuatir, anak dara itu tambah mengoceh tak keruan. Tentu saja ia sangat
mendongkol dan ingin menjewernya. Tapi belum lagi ia menahut, tiba-tiba
dilihatnya tongkat kanan Toan Yanking benar-benar telah bergerak,
"crit", tahu-tahu tongkat itu menutuk ke arah jari telunjuk kiri
Cing-sun.
Tutukan tongkat Toan Yankhing
itu, baik caranya maupun tenaganya diakukan dengan tepat seperti tutukan
ityang-ci, bedanya cuma tongkat dipakai sebagai pengganti jari.
Sudah tentu serangan itu
kontan disambut Toan Cing-sun, tapi begitu tenaga jari kebentrok dengan tenaga
tongkat lawan, seketika lengan terasa linu, cepat ia tarik tangan dengan maksud
mengerahkan tenaga untuk menutuk lebih keras lagi.
Di luar dugaan mendadak bayangan
tongkat lawan yang hitam sudah berkelebat lebih dulu, tutukan kedua Toan
Yan-khing sudah tiba pula. Keruan Cing-sun terkejut, sungguh tak tersangka
olehnya begini cepat pihak lawan mengumpulkan tenaga dalamnya bagaikan dapat
dilakukan sesuka hati, nyata dalam hal it-yang-ci lawan jauh lebih kuat. Tanpa
pikir cepat ia balas menutuk, cuma sudah terlambat sedetik hingga tubuhnya
tergeliat sedikit.
Sesudah sekian lama mengadu
tenaga dalam rupanya Toan Yan-khing tidak mau membuang waktu lagi sebab kuatir
kawan-kawan Cing-sun akan ikut mengerubut maju, maka serangannya kini berubah
gencar, hanya sekejap saja ia sudah menutuk sembilan kali dengan tongkatnya.
Dengan sendirinya Cing-sun
bertahan sekuat tenaga. tapi sampai tutukan kesembilan, tenaganya sudah mulai
paya. "Cus", tongkat hitam lawan kena menikam pundak kirinya. Sekali
tubuhnya sempoyongan, "pletak", tahu-tahu pedangan tangan kanan ikut
patah.
Kesempatanitu tidak
disia-siakan Toan Yan khing, sambil mengeluarkan suara "krakkrok"
yang aneh dari kerongkongannya tongkat sebelah kanan secepat kilat menutuk
batok kepala Toan Cing-sun.
Dengan tekad harus mematikan
Cing-sun maka tutukan terakhir ini menggunakan antero tenaga Toan Yankhing yang
ada, maka di mana tongkatnya menyambar lantas terdengar suara mendesing keras.
Tampaknya jiwa Toan Cing-sun
segera akan melayang oleh tutukan itu segera Hoan Hoa, P Thian-sik dan Hoa
Hik-kin bertiga menerjang maju sekaligus.
Tayli Sam-kong ini adalah
tokoh-tokoh persilatan pilihan, melihat Toan Cing-sun terancam bahaya, untuk
menolongnya terang tidak keburu lagi, maka mereka pakai siasat
"Wi-gui-hiu-tio" (mengepung negeri Gui untuk menolong negri Tio).
Yang mereka serang adalah tiga
tempat berbahaya ditubuh Toan Yan khing, dengan deikian kepala Su-ok itu akan
terpaksa membatalkan serangannya kepada Toan Cing sun jika ia sendiri tidak
ingin disikat oleh Tayli Sam kong itu.
Tak tersangka sebellumnya Toan
Yan khing sudah memperhitungka akan kemungkinan itu. Ia menduga pada saat
genting pasti kamberat negri Taiili itu akan mengerubut maju, maka dengan
tongkat kiri yang diputar dengan penuh tenaga dalam itu ia jaga rapt
tempat=tempat berbaha di seluruh tubuhnya. Maka pada waktu Hoan Hoa bertiga
menerjang maju, sedikit pun Toan Yankhing tidak menghindar, hanya tongkat kirinya
menangkis untuk menahan serangan ketiga lawan itu, sedang tongkat kanan tetap
menutuk batok kepala Toan Cing-sun
Keruan yang paling kuatir
adalah Wi Sing-tiok, sampai ia menjerit ketika menyaksikan sang kekasih sudah
pasti akan terbinasa di bawah tongkat musuh. Jika kekasih itu mati, sungguh
iapun tidak ingin hidup lagi. Maka tanpa pikir ia pun menerjang maju.
Ketika ujung tongkat
Toan-Yan-khing tinggal satu dua senti dari "Pek-hwe hiat" di batok
kepala Cing-sun yang diarah itu, sekonyong-konyong tubuh Toan Cing-sun mencelat
ke samping dengan demikian tutukan itu mengenai tempat kosong.
Sementara Hoan Hoa bertiga juga
telah dipaksa mundur oleh tongkat Toan Yan-khing Pa Thian sih yang
gerakgeriknya lebih cepat dan gesit, sekalian ia tarik mundur Wi Sing tiok agar
tidak mati konyol di bawah tongkat musuh.
Sudah tentu kaget Toan
Yan-khing tak terkatakan ketika tutukannya tadi luput mengenai sasarannya.
Ketika diperhatika, terlihatlah seornag laki-laki tinggi besar memegang tengkuk
Toan Cing-sun tadi, sekonyongkonyong orang itu tarik Cing-sun ke samping secara
paksa.
Ilmu sakti ini benar-benar
sukar dibayangkan betapapun lihat kepandaian Toan Yan khing juga merasa tidak
sanggup berbuat seperti laki-laki itu. Tapi dasar mukanya memang kaku, biarpun
sangat tekejut toh kelihatnnya tenang-tenang saja, hanya dari hidungnya
terdengar suara mendengus sekali.
Dan siapa lagi laki-laki yang
menolong Toan Cing sun itu kalau bukan Siau Hong.
Sejak tadi ia mengikuti
pertarungan kedua orang she Toan itu dengan penuh perhatian. Ketika dilihatnya
Toan Cing-sun akan binasa oleh tongkat Toan Yan-khing, itu berarti dendam
kesumat sendiri akan kandas dan tak terbalas.
Padahal untuk mana ia sudah
bersumpah akan menuntut balas sakit hati itu, selama ini pun tidak sedikit
jerih payahnya dalam usaha mencari musuh itu, kini orangnya sudah diketemukan,
sudah tentu ia tidak dapat membiarkan musuh itu dibunuh oleh orang lain. Sebab
itulah ia turun tangan untuk menarik Toan Cing-sun ke samping.
Tapi Toan Yan-khing sangat
cerdik, sebelum Siau Hong melepaskan Toan Cing=sun, segera kedua tongkat
menyerang pula secara membadai yang diarah selalu tempat mematikan di tubuh
Toan Cing-sun.
Namun sambil mengangkat Toan
Cing-sun, Siau Hong dapat mengelak ke sana dan menghindari ke sini dengan
lincah, beruntun Toan Yan-khing menyerang 27 kali, tapi selalu dapat
dihindarkan Siau Hong dengan tepat, bahkan ujung baju Cing sun saja tidak
tersenggol.
Sungguh kejut Yan-khing tak
terkatakan, ia tahu bukan tandingan Siau Hong, sekali bersuit aneh, mendadak ia
melayang sejauh beberapa meter, tanpa terlihat mulutnya bergerak, taip
terdengar ia bersuara, "Siapakah saudar? Mengapa sengaja mengacau
urusanku?"
Dan sebelum Siau Hong
menjawab, tiba-tiba In Tiong-ho berseru, "Lotoa, dia ini bekas Pangcu
Kai-pang, Kiau Hong namanya. Murid kesayanganmu Tam Jing itu juga terbunuh oleh
keparat ini."
Ucapan In Tiong-ho ini tidak
saja menggetarkan perasaan Toan Yan-khing, bahkan para jago Tayli itu juga ikut
terpengaruh. Nama Kiau Hong selama ini boleh dikatakan terkenal di seluruh
jagat, siapa yang tidak kenal istilah "Pak Kiau Hong dan Lam Buyung?"
Cuma tadi ia memperkenalkan diri
kepada Tong Cing-sun dengan nama Siau Hong, maka iada seorangpun yang
mengetahui bahwa dia inilah Kiau Hong yang termasyur itu.
Toan Yan Khing memang sudah
dilapori In Tiong lo tentang kejadian murid kesayanganya dibunuh oleh Kiau Hong
di Cip-hian-ceng, kini mendengar bahwa laki-laki tegap di hadapannya inilah
musuh pembunuh muridnya itu, sudah tentu ia sangat gusar dan jeri pula.
Tiba-tiba ia ulur tongkat dan mulai menulis di atas balok batu di situ,
"Ada permusuhan apa antara sauara dengan aku? Sudah membunuh muridku,
mengapa sekarang menggalkan urusanku pula?"
Tulisan itu berjumlah 18 huruf
dan setia huruf itu seolah-olah terukir di atas batu hingga mendekuk cukup
dalam, ketika tongkatnya menggores dan mengeluarkan suara gemersak bagaikan
orang menulis di tanah pasir saja.
Kiranya Toan Yan-khing tidak
berani bicara lagi dengan Siau Hong dengan menggunakan Hok-lew-gi atau bicara
dengan perut, karena dia sudah tahu kematian muridnya tempo hari adalah
disebabkan gempuran lwekang Siau Hong yang hebat. Ia kuatir jangan-jangan
kepandaiannya bicara dengan perut yang dikerahkan dengan lwekang tinggi itu
takkan sanggup melawan kekuatan lwekang Siau Hong hingga beraikbat membikin
celaka-dirinya sendiri. Sebab itulah ia mengajak bicara dengan mengukir batu.
Siau Hong diam saja, ia
biarkan lawan selesai menulis, lalu ia melangkah maju, kakinya menggosok-gosok
beberapa kali di atas huru-huruf itu, hanya beberapa kali kakinya membusak,
seketika tulisan itu tersapu bersih.
untuk mengukir tulisan di atas
batu saja maha sulit, tapi yang lain sanggup membusak bersih ukiran itu dengan
kaki, padahal cara mengerahkan tenaga dalam di bagian kaki lebih sulit daripada
memusatkan tenaga dalam pada sebatang tongkat.
Begitulah yang satu menulis
dan yang lain membusak hingga jalan yang terdiri dari balok batu di tepi danau
itu dianggap sebagai pesisir saja oleh kedu orang itu.
Toan Yan-khing tahu bahwa
maksud Siau Hong membusak tulisannya di atas batu itu pertama ingin
menunjukkankepandaiannya, kedua untuk menandarkan tiada permusuhan apa-apa
dengan dirinya, apa yang pernah terjadi tempo hari dianggap selesai, maka kedua
pihak tidak perlu bermusuhan lagi.
Dasar Toan Yan-khing memang
licik, ia tahu bukan tandingan Siau Hong, supaya tidak kecundang lebih jauh,
jalan paling selamat adalah kabur saja.
Maka tanpa bicara lagi tongkat
kanan terus menggores dari atas ke bawah, kemudian menjungkit miring ke atas
pula, artinya menyatakan
segala urusan telah dicoret dan habis perkara. Dan sekali tongkat yang lain
menutuk tanah, secepat terbang tubuhnya melayng pergi sejauh belasan meter.
Diantara Su-ok hanya
Lam-hai-gok-sin yang masih penasaran, dengan matanya yang kecil bundar itu ia
mendelik dan mengamati-amati Siau Hong dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke
atas, dari muka ke belakang, dan dari belakang putar ke epan lagi, sikapnya
penuh pensaran dan tidak rela mengaku kalah. Mendadak ia memaki
"Keparat,apanya sih yang hebat pada anak haram ini..."
Belum habis ucapannya,
mendadak tubuhnya mencelat ke udara dan melayang ke tengah danau.
"Plung" disertai muncratnya air, tanpa ampun lagi Lam-hai-gok-sin
tercebur ke dalam danau.
Kiranya Siau Hong paling benci
jika ada orang memaki dia sebagai anak haram, maka sambil menjinjing Cingsun,
terus saja ia melompat maju dan sekali hantam, kontan Lam-hai gok sin mencelat
ke tengah danau.
Serangan mendadak dan cepat
luar biasa ini membikin Lam-hai-gok sin sama sekali tidak berdaya untuk
menghindar atau menangkis. Tapi ia berasal dari Lam-hai atau laut selata, da
bergelar Gok-sin atau malaikat buaya, dengan sendirinya ia mahir berenang, maka
begitu kedua kaki menyentuh dasar danau, sekali pancul segera ia melempar ke
luar permukaan air dan berteriak, "Apa-apaan ini?"
Habis berucap kembali tubuhnya
tenggelam lagi, ketika ia mengapung lagi ke atas, kembali lagi berteriak pula,
"Kamu membokong Locu ya?"
Selesai ucapan itu, lagi-lagi
ia kecemplung ke dalam danau. Ketika untuk ketiga kalinya ia melompat ke atas,
ia berteriak, "Locu akan mengadu jiwa denganmu"
Begitulah dasar wataknya
memang berangasan dan tidak sabaran, ia tidak mau berenang dulu ke daratan
untuk kemudian memaki Siau Hong, tapi sambil meloncat naik turun di tengah
danau ia lantas memaki kalang kabut.
Keruan yang paling geli adalah
A Ci, si Ungu. Dengan tertqwa mengikik ia berseru sambil bertepuk tangan,
"Hihihihi! Lihatlah orang itu naik turun di dalam air mirip benar seekor
kura-kura besar."
Kebetulan saat itu
Lam-hai-gok-sin lagi meloncat ke atas air, mendengar olok-olok itu, kontan ia
balas memaki, "Kau sendiri adalah kuran-kura kecil"
A Ci menyambitkan sebuah
hui-cui (gurdi terbang) kecil, "crit", senjata rahasia itu masuk ke
air, sebab Lam-
hai-gok-sin keburu selulup ke
bawah, lalu berenang ke tepi danau dan mendarat dengan basah kuyup.
Bahkan sedikitpun
Lam-hai-gok-sin tidak merasa jeri atau kapok, dengan ketolol-tololan ia malah mendekati
Siao Hong, dengan kepala miring ke sini dan meleng ke sana ia mengamat-amati
Siau Hong dengan mata melotot, katanya kemudian, "Dengan gerakan apa kamu
melemparkan aku ke danau? Kepandaian ini Locu mengaku belum Mahir."
"Losam, lekas pergi saja,
jangan membikin malu lagi di sini!" seru Yap Ji-nio.
Lam-hai-gok-sin menjadi gusar,
sahutnya "Aku dilempar orang ke danau, bahkan cara bagaimana orang
melemparkanku pun tak diketahui, bukankah ini suatu penghinaan maha besar?
Sudah tentu aku harus tanya dulu sejelas-jelasnya!"
"Baiklah, biar kukatakan
padamu," demikian tiba-tiba A Ci menyela, "Gerak serangannya tadi
disebut "Liakku-kang' (ilmu menangkap kura-kura)."
Dasar otak Lam-hai Gok sin
memang agak bebal. maka ia tidak sadar bahwa anak dara itu sengaja
mengolokoloknya, sebaliknya ia mengulangi nama itu, "Liak-ku-kang? Ah,
kiranya kepandaian itu bernama "Liak-kukang. Baiklah sesudah kutahu
namanya, akan kucari orang agar suka mengajarkan padaku dengan demikian kelak
aku takkan kecundang lagi seperti tadi.
Habis berkata , segera ia
melangkah pergi dengan cepat untuk menyusul Yap Ji nio dan In Tiong ho yang
sudah pergih jauh itu.
Kemudian Siau Hong melepaskan
Toan Cing sun, dengan hormat Wi Sin0tiok berkata, "Kiau pangcu, atas
pertolonganmu sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus berterima-kasih
padamu".
Begitu pula Hoan Hoa dan
lain-lain ikut maju menyatakan terima-kasih mereka.
Tapi Siau Hong menjawab dengan
dingin saja, "Sebabnya aku menolong di atasdasar kepentingan pribadiku
sendiri, maka kalian tidak perlu berteria kasih padaku. Toan siansing, aku
ingin tanya sesuatu padamu, harap engkau suka menjawab secara terus terang.
Dahulu di luar Gan bu-koan engkau pernah melakukan sesuatu kesalahan maha besar
yang menyalkan, betul atau tidak?"
Mendengar pertanyaan itu,
seketika wajah Toan Cing=san merah jengah, menyusul lantas berubah pucat lesu,
dengan kepala menunduk ia
menjawa, "Ya, benar, atas kejadin itu selama ini aku memang senantiasa
merasa tidak tentram. Kesalahan sudah terjadi dan tak dapat ditarik kembali
lagi."
Sejak Siau Hong mendengar
pengakuan Be hujin di Sin-yang yang menyatakan biangkeladi pembunuhan orang tua
Siau Hong itu adalah Toan Cing0sun, maka siang malam selalu terpikir olehnya
jikananti musuh besar itu tertawan, sebelum membinasakannya lebih dulu akan
disiksanya pula agar merasakan akibat perbuatannya yang kejam itu.
Tapi sesudah menyaksikan
caranya Toa Cing sun berlaku terhadap kawan-kawannya di Siau Keng-oh sekarang
dan betapa gagahnya menghadapi musuh tadi, tindak tanduknya sekali sekali tidak
mirip sebagai seorang rendah dan pengecut yang suka berbuat kejahatan,
mau-tak-mau timbul juga rasa ragunya terhadap Siau Hong, Pikirnya,
"Sebabknya dia membunuh orang tuaku di Gan bu koan dulu adalah karena
kesalah-pahaman, kesalahan begitu dapat diperbuat oleh setiap orang. Tapi dia
juga telah membunuh ayah bunda angkatku serta guruku yang tercinta itu, betapun
perbuatan itu adalah dosa yang tak berampun, dan mengap dilakukannya?
Jangan-jangan dibalik kejadin itu masih ada sebab musabab lain lagi?"
Dasar Siau Hong memang seorang
cermat dan bisa berpikir panjang, ia tidak ceroboh dalam setiap tindak=tanduk,
maka ia sengaja mengungkat kejadian Gan-bun-koan pula untuk tanya sekali lagi
kepada Toan Cing-sun agar dia sendiri mengaku sejujurnya, habis itu baru akan
diambil keputusan.
Kini demi melihat wajah Toan
Cing-sun menampilkan rasa malu dan menyesal serta menyatakan kesalahan itu
sudah terlajur diperbuat dan sukar ditarik kembali lagi, maka Siau Hong tidak
ragu-ragu lagi, ia yakin seyakinyakinya apa yang terjadi memang betul Toan
Cing-sun biangkeladi-nya. Seketika air muka Siau Hong berubah membesi sambil
mendengus sekali.
"Dan... dari mana kaupun
tahu kejadian itu?" tanya Wi Sing tiok tiba-tiba.
Waktu Siau Hong memandang ke arah
wanita cantik itu, ia lihat wajah orang juga merah jengah sikapnya kikuk. Maka
jawabnya singkat, "Jika ingin orang lain tidak tahu, kecuali diri sendiri
tidak berbuat."
Lalu ia berpaling dan berkata
kepada Tan Cing-sun, "Tengah malam nanti kutunggu di jembatan batu itu,
ada sesuatu urusan ingin kubicarakan denganmu."
"Aku pasti akan datang
tepat pada waktunya." sahut Cing-sun. "Budi besar tidak berani bicara
tentang terima kasih, cuma Kiau-pangcu datang dari jauh, apakah tidak mampir
duluminum sekadarnya ke ruma bambu sana?"
"Bagaimana dengan lukamu
barusan? apakah perlu merawat diri buat beberapa hari lagi?" tanya Siau
Hong. Sama sekali ia anggap sepi undangan minum orang.
Cing-sun agak heran, sahutnya,
"Terima kasih atas perhatian Kiau-heng, sedikit luka ini rasanya tidak
beralangan."
"Baiklah jika
begitu." kata Siau Hong sambil mengangguk, "A Cu, marilah kita pergi
saja..
Dan setelah beberapa tindak
tiba-tiba ia menoleh dan berpesan pula, "Dan sobat-sobat baik bawahanmu
itu hendaknya jangan dibawa serta nanti."
Cing-sun merasa tingkah-laku
bekas Pangcu ini agak aneh, tapi orang telah menolong jiwanya tadi, segala
permintaan orang sepantasnya dituruti, maka sahutnya, "Segala pesan
Kiau-heng pasti akan kupenuhi."
Segera Siau Hong gandeng
tangan A Cu, tanpa berpaling lagi terus tinggal pergi. Kiranya ia lihat Hoan
Hoa dan kawan-kawannya itu adalah ksatria yang berjiwa luhur, jika mereka ikut
Toan Cing-sun menghadiri pertemuan di jembatan batu itu rasanya merekapun pasti
akan menjadi korban di tangannya, hal ini tentu sangat disayangkannya.
Begitulah Siau Hong dan A Cu
lalu mendatangi rumah seorang petani, mereka minta mondok semalam di situ,
mereka membeli beras seperlunya untuk menanak nasi, lalu membeli dua ekor ayam
pula dan dibuat kaldu. mereka makan sekenyang-kenyangnnya. Cuma tanpa arak, hal
ini agak kurang memenuhi selera Siau Hong.
Melihat A Cu seperti
menyembunykan sesuatu perasaan dan sejak tadi enggan bicara, segera Siau Hong
tanya, "A Cu, s ebab apa kau tampak murung? Padahal aku sudah menemukan
musuhku, seharusnya kamu bergirang bagiku."
A Cu tersenyum, sahutnya,
"Ya, benar, memang seharusnya aku bergembira."
Melihat senyum gadis itu
sangat dipaksakan, segera Siau Hong berkata pula, "Malam ini juga sesudah
kubunuh musuhku itu, segera kita berangkat ke utara, keluar Gan-bun-koan untuk
angon sapi dan menggembala domba, selamanya takkan melangkah kembali ke tanah
Tionggoan ini. Ai, Acu, pada waktu belum kutemukan Toan Cing-sun sebenarnya aku
telah bersumpah akan membunuh segenap anggota keluarganya, akan membunuh bersih
seisi rumahnya, seekor anjing dan ayampun takkan kuberi hidup. Tapi demi nampak
orang ini sangat gagah perkasa, tidak mirip manusia rendah dan pengecut
sebagaimana kubayangkan, maka aku lantas berubah pikiran, kupikir seorang yang
berbuat biarlah seorang yang bertanggung jawab, tidak perlu lagi kubikin susah
paa sanak-keluarganya!"
"Pikiranmu yang luhur dan
bajik itu kelak pasti akan mendapat ganjaran rejeki yang setimpal." ujar A
Cu.
Mendadak Siau Hong
terbahak-bahak keras, katanya. "Kedua tanganku ini entah sudah berlumuran
darah berapa banyak orang yang kubunuh, masakan bicara tentang kebajikan apa
segala."
Dan demi melihat. A Cu tetap
muram durja, segera ia tanya lagi. "A Cu, sebab apakah kamu merasa kurang
senang? Apakah kamu tidak suka aku membunuh orang lagi?"
"Bukan tidak gembira,
tapi entah mengapa mendadak perutku terasa sakit." sahut A Cu.
Kiau Hong coba pegng nadi si
gadis, benar juga ia merasakan denyut nadi A Cu itu tidak teratur, terkadang
cepat dan terkadang lambat, suatu tanda pikirannya kurang tentram. Maka katanya
dengan suara lembut, " A Cu, mungkin kamu terlalu lelah, boleh jadi kamu
masuk angin. Biarlah kusuruh ibu tani disini buatkan semangku wedang jahe
untukmu."
Tapi belum lagi wedang jahe
itu selesai dibuatkan, mendadak A Cu menggigil sambil berseru, "O, aku
sangat dingin!"
Dengan penuh kasih sayang Siau
Hong menanggalkan baju luar sendiri untuk selimut si gadis.
"Toako, malam ini akan
terkabul cita-citamu selama ini dengan membunuh musuhmu, mestinya aku ingin
menganimu ke sana tapi rasanya aku tidak sanggup ikut kesana, sungguh aku ingin
selalu berada bersamamu, sedetikpun tidak ingin berpisah denganmu, tentu engkau
akan kesepian berada sendirian," demikian kata A Cu dengan menyesal.
"Tidak, kita hanya
berpisah sebentar saja. tiada alangan apa-apa," sahut Siau Hong. "A
Cu sedemikian baik kamu padaku, sungguh aku tidak tahu cara bagaimana membalas
budimu ini."
"Tidak hanya berpisah
sebentar saja, tapi kurasakan akan sangat lama, ya lama sekali." kata A
Cu, "Toako, sesudah kutinggalkan engkau, tentu kita akan kesepian dan
sebatang kara. Paling baik kalau sekarang juga kita berangkat keluar Gan-bun-koan,
tentang sakit hati terhadap Toan Cing-sun, biarlah kita balas setahun lagi.
Biarlah aku hidup mendampingimu barang setahun dulu."
Perlahan Siau Hong membelai
rambut A Cu, katanya. "Secara kebetulan baru aku ketemukan dia di sini,
jika lewat setahun lagi tentu aku harus mencarinya ke Tayli, di sana banyak
sekali begundalnya, sedangkan Toakomu seorang diri dan belum tentu dapat
menangkan dia. Dalam hal ini bukanlah aku tidak mau menurut keinginan mu, tapi
sesungguhnya banyak kesulitannya bagiku."
"Ya, memang tidak seharusnya
kau minta engkau menunda setahun lagi untuk membalas dendam, seorang engkau ke
Tayli tentu besar bahayanya,:" kata A Cu dengan perlahan.
Siau Hong terbahak sambil
menenggak semangkuk, ia sudah biasa mengenggak arak secar begitu, meski
sekarang mangkut itu tiada isinya, tapi ia berbuat seperti kebiasaannya itu.
Lalu katanya, "Jika aku sendirian sudah tentu takkan kuatir apakah
keluarga Toan di Tayli itu sarang harimau atau kubangan naga, soal matihidup
tentu takkupikirkan lagi. Tapi kini aku sudah mempunyai seorang A Cu cilik, aku
harus mendampingimu selama hidup, untuk itu jiwa Siau Hong menjadi besar
artinya."
A Cu mendekap di pangkuan Siau
Hong dengan penuh ras terharu. Siau Hong juga merasakan bahagia yang tak
terkatakan. mempunyai istri seperti A Cu, apalagi yang diharapkan dalam
hidupnya ini? Sesaat itu terbayang olehnya suasana padang rumput utara sana,
sebulan kemudian ia akan menunggang kuda dan menggembala bersama A Cu,
selanjutnya tidak perlu kuatir lagi akan disatroni musuh, sejak itu hidupnya
akan bebas merdeka tanpa kekuatiran lagi.
Sesuatu hal yang masih
membuatnya merasa tidak tentram adalah belum dibalasnya budi pertolongan
kesatria berbaju hitam yang telah menyelamatkan jiwanya di Ci-hian-ceng tempo
hari itu...
Sementara itu hari sudah
gelap, lambat laun A Cu terpulas dalam pelukan Siau Hong. Perlahan Siau Hong
rebahkan gadis itu di atas dipan dalam kamar yang disediakan si petani, lalu ia
keluar dan duduk bersemadi di ruangan tengah.
Kira-kira satu dua jam
kemudia, ketika ia keluar pondokan itu, ia lihat bulan sabit hampir menghilang
tertutup oleh awan mendung yang tebal, tampaknya malam ini pasti akan hujan
lebat.
Segera ia menuju jembat batu
itu kira-kira lima li jauhnya, keadaan tambah gelap gulita, terkadang bunyi
guntur diseling berkelebatnya kilat menembuts awan mendung yang memenuhi
cakrawala hingga makin menambah seramnya suasana.
Siau Hong mempercepat
jalannya, tidak lama kemudian, tibalah dia di jembata batu yang dijajnjikan
itu. Ia coba memperhatikan bintang-bintang di langi, ia lihat masih lama
daripada waktu yang ditentukan, palingpalling waktu itu baru jam sebelas malam.
Diam-diam ia merasa geli
sendiri mengapa begitu tak sabaran hingga hadir di situ satu-dua jam lebih
cepat. Dalam keadaan sunyi senyap itu barulah ia teringat kepada A Cu,
"Alangkah baiknya jika saat ini A Cu berada disampingku."
Ia tahu ilmu silat Toan
Cing-sun selsih terlalu jauh dengan dirinya, pertarungan nanti boleh dikatakan
tidak perlu kuatir, sebab kemenangan sudah pasti berada di tangannya. Karena
waktu yang dijajnjikan belum tiba, segera ia duduk di bawah pohon di tepi
jembatan untuk menghimpun tenaga. Sekonyong-konyong angkasa dipecahkan oleh
bunyi guntur yang gemuruh sekali ketika ia membuka mata, ia lihat hujan sudah
hampir turun, waktu itu mungkin sudah tengah malam sebagaimana yang dijanjikan.
Pada saat itulah terlihat dari
jalan Siau keng .. sana seorang sedang mendatang dengan langkah pelahan, orang
itu berjubah longgar dan pakai ikat pinggang yang kendur, siapa lagi dia kalau
bukan Toan Cing-sun.
Setiba di depan Siau Hong,
segera Cing-sun membungkuk tubuh kepada Siau Hong dan berkata, "Kiau
pangcu mengundang Caihe ke sini, entah ada petunjuk apa yang hendak diberikan
padaku?"
Dengan kepala melengos dan
melirik hina, seketika api amarah Siau Hong berkobar hebat sehutnya,
"Toansiansing, maksudku mengundangmu ke sini, masakan sama sekali engkau
tidak tahu?"
Toan Cing-sun menghela napas,
katanya "Apakah maksud Kiau-pangcu tentang kejadian di Gan bun koan tempo
dulu? Waktu itu aku keliru dihasut olrang hingga tidak sengaja membinasakan
ayah bundamu, sungguh itu suatu kesalahan maha besar."
"Dan mengapa engkau
membunuh pula ayah ibu angkat dan guruku ula?" tanya Siau Hong.
Cing-sun menggoyang kepala
perlahan, sahutnya. "Yang kuharapkan supaya dapat menutupi kesalahnku itu,
siapa duga makin ditutup makin terbuka sehingga akhirnya tak tertolong
lagi."
"Hm, jujur juga
kau," jengek Siau Hong.
"Nah apakah kamu akan
menghabiskan riwayatmu sendiri atau perlu aku turun tangan?"
"Jika Kiau pangcu tidak
menolong jiwaku, mungkin saat ini aku pun sudah almarhum," sahut Cing-sun.
"Maka
kalau sekarang Kiau pangcu
ingin mencabut nyawaku, silakan mulai saja."
Saat itu kembali terdengar
suara gemuruh bunyi guntur, menyusul air hujan mulai menetes dengan derasnya.
Hati Siau Hong tegerak juga oleh jawaban yang terus terang dan gagah berani
itu.
Biasanya Siau Hong paling suka
bersahabat dengan kaum pahlawan dan ksatria, sejak dia bertemu dengan Toan
Cing-sun lantas timbul rasa suka dan cocok dengan jiwa ksatrianya, coba kalau
permusuhan biasa saja tentu akan dianggap selesai dan akan mengajaknya pergi
minum arak. Tapi kini soalnya menyangkut sakit hati orang tua, masakan boleh
disudahi begitu saja?
Segera sebelah tangannya
terangkat, katanya, "Sebagai anak murid orang, sakit hati ayah bunda dan
guru tak bisa tidak harus kubalas. Kamu telah membunuh ayah bundaku dan aya ibu
angkat serta guruku berlima, maka aku akan menghantamu lima kali, sesudah terima
lima kali seranganan ku, apakah engkau mati atau masih hidup, biarlah segala
dendam kesumatku akan kuanggap selesai."
"Satu jiwa cuma diganti
dengan sekali pukul, pembalasa ini sungguh terlalu murah,: demikian sahut
Cing-sun dengan tersenyum getir.
Diam-diam Siau Hong membatin
masakan kamu takkan mampus kena hantaman Hang-liong-sip-pat ciangku ini. Maka
segera ia berkata. "Baiklah, terima pukulanku ini!"
Sekali tangan kiri berputar,
segera telapak tangan kanan menghantam ke depan.. Itulah jurus 'Hang liong yu
hwe', salah satu jurus Hang liong sip pat ciang yang maha lihai.
Saat itu kembali sinar kilat
berkeleat, petir menggelegar pula, pukulan dhsyat ditambah dengan bunyi
geledek, keruan pukulan Siau Hong sehebat gugugr gunung dahsyatnya.
"Bluk", badannya lemas lunglai semampir di lankan jembatandan tak
berkutik lagi.
Sekilas Siau Hong terkesiap
juga mengapa musuh tidak menagkis dan begitu tak becus pula, masakan tidak
tahaun oleh sekali hantam. Cepat ia melompat maju, ia pegang tengkuk orang dan
diangkat, tapi ia bertambah kaget.
Sementara itu bunyi guntur
semakin menggelegar dan hujan makin lebat namun Siau Hong seakan-akan tidak
merasakan semua itu, yang tepikir olehnya cuma, "mengapa dia berubah
begitu ringan?"
Padahal siang tadi waktu ia
menolong Toan Cing-sun, ia telah mengangkat pula badan pangeran Tayli itu dengan
cukup lama. Sebagai seorang tokoh persilatan perbedaan bobot sedikit saja
segera dapat diketahuinya.
Kini mendadak terasa bobot
badan Toan Cing-sun susut beberapa puluh kati beratnya, seketika timbul semacam
rasa takut yang sukar dilukiskan, seketika pula keringat dingin mengucur
diseluruh badannya.
Pada saat itulah kembali sinar
kilat berkelebat lagi, ketika Siau Hong pegang muka Toan Cing-sun ia merasa apa
yang terpegang itu lunak empuk sebagai tanah liat. Waktu diremasnya kontan
benda lunak itu mengelotok dari muka "Toan Cing-sun" yang sebenarnya
itu, tanpa terasa lagi ia menjeri, "Ho? A Cu, A Cu Kiranya kau A Cu?"
Sesaat itu Siau Hong merasa
lemas benar-benar, sedikitpun tak punya tenaga hingga berlutut sambil merangkul
kedua kaki A Cu. Pukulan Hang liong yu hwe tadi telah menggunakan segenap
tenaganya, sekalipun ditangkis oleh jago kelas satu juga tidak tahaun, apalagi
sekarang cuma seorang A Cu yang lemah itu, sudah tentu tulang gadis itu akan
remuk dan hancur isi perutnya, biarpun Sih-sin-ih berada di situ juga sukar
menolong jiwanya.
Begitulah tubuh A Cu yang
semapai di lankan jembatan itu lambat laut merosok ke bawah dan akhirnya jatuh
bersandar di badan Siau Hong. Ia masih dapat bersuara dengan lirih dan lemah,
"Toako, maafkan perbuatanku ini, apa engkau marah padaku?"
"Tidak, tidak, aku tidak
marah padamu, tapi akulah yang bersalah! sahut Siau Hong terus memukuli kepala
sendiri berulang-ulang.
Tangan A Cu tampak bergerak
sedikit, mungkin bermaksud mencegah perbuatan Siau Hong yang menghajar diri
sendiri itu, tapi saking lemasnya gadis itu tidak kuat mengangkat tangan
sendiri lagi, katanya lirih, "Toako, berjanjilah padaku, untuk selanjutnya
engkau takkan menyiksa diri sendiri."
"Sebab apa kau? Sebab
apa?" demikian Siau Hong berteriak.
"Toako," sahut A Cu
dengan sura lemah, "cobalah membuka bajuku, periksalah pundak
kiriku!"
Dalam perjalan selama ini.
biarpun mereka selalu berdampingan, tapi selalu Siau Hong berlaku sopan. Maka
ia agak terkesiap oleh permintaan A Cu yang menyuruh membuka bajunya itu.
Tapi A Cu memohon lagi,
"Sudah lama aku adalah milikmu, tubuhku ini pun punya mu.. Asala engkau
periksa pundak kiriku, tentu engkau akan paham duduk perkaranya."
Dengan mengembang air mata,
Siau Hong gunakan tangan kiri untuk menahan punggung si gadis dan mengerahkan
hawa murni ke tubuh gadis itu, ia berharap dapat menyelamatkan jiwanya
berbareng itu tangan kana membuka baju A Cu hingga menonjol keluar pundak
kirinya, pada saat itu kebetulan sinar kilat berkelebat di angkasa, sekilas
Siau Hong dapat melihat pundak si gadis yang putih bersih itu tercacah satu
huruf "Toan" warna merah.
Siau Hong terheran-heran dan
berduka pula, ia tidak berani terlalu lama melihat pundak si gadis, cepat ia
rapatkan pula bajunya dan perlahan memeluknya sambil bertanya, "Di
pundakmu terdapat satu huruf 'Toan', apakah artinya itu?"
"Ayah bundaku yang mencacahnya
ketika mereka memberikan diriku kepada orang lain, yaitu untuk tanda pengenal
bila kelak saling bertemu."
"Huruf 'Toan'
ini...??" demikian Siau Hong belum lagi paham.
"Hari ini kalia tentu
melihat juga tanda pengenal yang sama di pundak nona A Ci dan segera diketahui
dia adalah putri mereka, apakah engkau melihat tanda... tanda pengenal
itu?" tanya A Cu.
" Tidak, aku rikuh untuk
melihatnya." sahut Siau Hong.
"Tanda pengenal yang
tecacah di pundak A Ci itu adalah sama seperti huruf 'Toan' dipundakku
ini." kata A Cu.
Seketika Siau Hong pun paham
duduknya perkara, serunya, "Hah, jadi kamu... kamu juga putri
mereka?"
"Semula akupun tidak
tahu," sahut A Cu. "Sesudah melihat huruf di pundak A Ci baru kutahu,
Dia mempunyai sebuah mainan kalung pula yang serupa seperti milikku, pada
mainan kalung itu juga tertulis " A Si genap sepuluh tahun, makin besar
makin tambah nakal'. Semula kukira A Si adalah namaku, tak tahunya adalah nama
Ibuku. Ibuku buka lain iala Wi..Wi Sing-tiok yang tinggal di rumah bambu itu.
Dan mainan kalung ini adalah pemberian Gwakong (kakek luar) waktu ibu masih
kecil. Sesudah mempunyai anak kami taci-beradik. kami masing-masing diberinya
sebuah mainan kalung ini."
"A Cu sekarang kupaham
duduk perkaranya." kata Siau Hong. "Lukamu ini tidak ringan marilah
kita berteduh dari hujan dahulu, kemudian kita berdaya untuk menyembuhkan
lukamu, tentang urusan urusanmu biarlah kita bicarakan nanti."
"Tidak, tidak bisa! Aku
harus ceritakan dengan jelas padamu, jika tertunda sebenar lagi mungkin sudah
terlambat. : kata A Cu, "Toako engkau harus mendengarkan ceritaku ini
hingga selesai."
Siau Hong tidak tega menolak
keinginan si gadis, terpaksa menyahut, "Baiklah aku akan mendengarkan,
tapi jangan terlalu banyak membuang tenagamu."
A Cu tersenyum, katanya,
"Toako sangat baik, segala apa selalu pikirkan diriku, sedemikian engkau
memanjakan aku, mana boleh jadi?"
"Selanjutnya aku akan
lebih memanjakan dikau ya seratus kali bahkan seribu kali lebih memanjakanmu,:
sahut Siau Hong.
"Sudahlah cukup, aku
tidak suka engkau terlalu baik padaku, sebab kalau aku sudah nakal, maka tiada
seorangpun lagi yang dapat mengatasi aku. " kata A Cu. " Toako, tadi
aku... aku sembunyi dibelakang rumah bambu merah untuk mendengarkan percakapan
ayah-ibu dan A Ci. Baru kutahu bahwa ayahku ternyata mempunyai istri lain, dia
dan ibuku bukan suami istri yang resmi, sesudah kami taci beradik dilahirkan,
kemudian ayah mau pulang ke Tayli tapi ibu tidak mengizinkan hingga kedua orang
tuaku bertengkar, bahkan ibu telah menghajar dia namun ayah sama sekali tidak
membalas. Kemudian ya tiada jalan lain, terpaksa mereka berpisah."
"Padahal Gwakong sangat
keras wataknya bila beliau tahu perbuatan ibu, pasti ibu akan dibunuhnya. Maka
ibu tidak berani membawa kami pulang ke ruma, terpaksa kami diberikan kepada
orang lain dengan harapan kelak dapat bertemu pula, maka di pundak kami taci
beradik masing-masing dicacah sebuah huruf 'Toan' Orang yang memelihar diriku
itu cuma tahu ibu she Wi pula mainan kalung yang kupakai ini ada nama ' A SI',
maka aku disangkanya bernama Wi Si, padahal aku sebenarnya she Toan..."
"Kamu benar-benar anak
yang harus dikasihani.: kata Siau Hong dengan penuh kasih sayang.
"Ketika aku diberikan
kepada orang lain, waktu itu usiaku cuma setahun lebih, dengan sendirinya aku
tidak kenal ayah, bahkan wajah ibu juga tidak kenal lagi." demikian A Cu
melanjutkan. "Toako, nasibmu serupa diriku. Malam itu ketika aku mendengar
orang bercerita tentang asal-usulmu di hutan sana, sungguh aku ikut berduka
sebab kurasakan kita berdua sama-sama anak yang bernasib malang."
Saat itu kilat berkelebat dan
guntur mengelegar pula, mendadak sebatang pohon di tepi sungai sana tersambar
petir hingga roboh. Tapi Siau Hong dan A Cu tidak menghiraukan lagi keadaan di
sekitar mereka, biarpun langin akan ambruk juga tak terpikir lagi.
Maka A Cu berkata pula, "
Kini diketahui bahwa orang yang membunuh ayah-ibumu itu adalah ayahku sendiri.
Ah mengapa kita mesti ditakdirkan mepunyai nasib begini? Malahan... malahan
orang yang dapat memancing pengakuan Be-hujin tentang ayahku itu tak lain tak
bukan adalah diriku sendiri. Coba kalau aku tidak menyaru sebagai Pek Si-kia
untuk menipunya takakan dia menyebut nama ayahku"
Dengan lesu Siau Hong
menunduk, hati serasa benang kusut, akhirnya ia tanya, "Apakah kamu yakin
ToanCing-sun adalah ayahmu? Tidak salah lagi?"
"Tidak salah," sahut
A Cu tegas. "Kudengar sendiri ayah-ibu menangis sedih sambil memeluk A Ci
dan menguraikan kisah waktu kami berdua diberikan kepada orang lain dahulu.
Auah-ibu menyatakan bahwa apapun juga aku akan ditemukannya kembali. Sudah
tentu mereka tidak menduga bahwa putri kandung yang hendak mereka cari saat itu
justru sedang mengintip di luar jendela.
"Toako tadi aku pura-pura
bilang sakit, sebenarnya aku lantas menyamar sebagai dirimu untuk menemui
ayahku, kukatakan padanya bahwa pertemuan di jembatan malam ini dibatalkan,
segala permusuhan kuhapus seluruhnya. Habis itu aku menyaru pula sebagai ayah
untuk menemuimu di jembatan ini agar di ... agar di..."
Bertutur sampai di sini denyut
nadinya sudah teramat lemah.
Lekas Siau Hong kerahkan
tenaga murni lebih kuat agar A Cu tidak sampai putus napasnya, lalu katanya
dengan air mata berlinang-linang, "Mengapa kamu tidak mengatakannya
padaku? Bila kutahu dia adalah ayahmu...?
Ia tidak sanggup meneruskan
lagi, sebab ia pun tidak tahu bila sebelumnya mengetahui Toan Cing sun adalah
ayah kekasihnya lantas bagaimana ia akan bertindak?
Maka A Cu berkata pula,
"Sesudah kupikir hingga lama, tetap aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan. Toako, selalu kuharapkan dapat hidup didampingmu selamanya, tapi
apakah harapan itu dapat terkabul? Apakah aku dapat memohon agar engkau jangan
menuntut balas kepada musuh yang telah membunuh kelima orang tuamu yang kau
cintai itu? Dan umpama aku memohon, apakah sekiranya engkau dapat
meluluskan!"
Suara A Cu itu sangat lemah
dan lirih, diangkas guntur masih terus menggelegar, tapi bagi pendengaran Siau
Hong suara A Cu itu jauh lebih mengguncangkan sukma dari pada suara gemuruh
guntur itu.
Sambil menjambak rambut
sendiri Siau Hong berkata, "Tapi kaudapat minta ayahmu melarikan diri
saja. Atau karena ayahmu adalah seorang sejati dan tidak mungkin ingkar janji,
kamu dapat menyamar sebagai diriku untuk mengadakan perjanjian baru dengan
ayahmu, boleh berjanji pada suatu hari lain utnuk bertemu di suatu tempat yang
jauh di sana. Ya, mengapa... mengapa kamu tidak berbuat demikian, tapi malah
mengorbankan dirimu sendiri?"
"Aku ingin menunjukkan
padamu bahwa seorang secara tidak sengaja membunuh orang lain dapat terjadi
bukan disebabkan maksud sesungguhnya," kata A Cu. "Seperti dirimu,
sudah tentu engkau tidak ingin membunuh diriku, tapi engkau telah hantam sekali
padaku. Sebaliknya ayahku membunuh ayah-bundamu itu pun suatu kesalahan yang
tidak disengaja."
Dengan mesra Siau Hong
memandangi mata si gadis yang berkedip kedip bagai bintang di langit, sorot
mata A Cu itu penuh kasih sayang yang tak terbatas.
Hati Siau Hong tegerak, tiba
tiba terasa olehnya cinta A Cu padanya yang tak terbatas itu sesungguhnya
diluar segala apa yang pernah dibayangkannya. Cepat katanya dengan suara
gemetar, " A Cu, tentunya kamu masih mempunyai alasan lain, tidak cuma ingin
menyelamatkan ayahmu juga tidak cuma ingin menunjukkan padaku tentang kesalahan
yang tak disengaja itu, tapi kamu berbuat demi diriku, demi kebaikanku!"
Segera Siau Hong pondong A Cu
dan berbangkit, air hujan membasahi kepala dan mukanya..
Muka A Cu menampilkan senyum
puas, rupanya karena akhirnya Siau Hong dapat memahami perasaannya, maka ia
merasa senang. Ia tahu jiwa sendiri sudah hampir tamat, walaupun ia tidak
mengharapkan sang kekasih tahu maksudnya yang tersembunyi dalam lubuk hatinya
itu, tapi akhirnya sang kekasih tahu sendiri.
"Ya A Cu, engkau berbuat
demi aku, bukan? Jawablah, betul tidak?' desak Siau Hong.
"Ya benar," sahut A
Cu dengan lirih.
Sebab apa? sebab apa?"
deru Siau Hong keras, Keluarga Toan dari Tayli memeliki Lak-meh-sin-kiam yang
maha sakti, bila engkau membunuh Tin lam ong mereka, masakan mereka mau sudahi
urusan ini? Toako..."
Seketia Siau Hong sadar, tanpa
terasa air mata bercucuran bagai hujan.
Lalu A Cu melanjutkan,
"Toako, ingin kumohon sesuatu padamu, dapatkah engkau memenuhinya?"
"Jangankan cuma satu,
biarpun seratus, seribu permintaanmu juga akan kupenuhi," sahut Siau Hong.
"Aku hanya mempunyai
seorang adik perempuan dari ayah dan ibu yang sama, " ucap A Cu.
"Tapi sejak kecil kami berpisah, maka ingin komohon padamu agar suka
menjaga dia, kuatir dia akan tersesat."
"Nanti kalau engkau sudah
sembuh kita akan mencari dia agar dapat kumpul bersamamu," sahut Siau Hong
dengan senyum paksa. "Wataknya yang aneh dan cerdik itu mungkin masih
kalah daripadamu, maka engkau boleh mengajarnya nanti."
(Apakah A Cu benar akan
meninggal akibat pukulan Siau Hong yang tidak sengaja itu?
Mengapa A Cu mengambil jalan
nekat begitu dan siapakah sesungguhnya A Ci dan Wi Sing tiok?)
Jilid 37
"Nanti kalau aku sudah ..
sudah baik, Toako, kita akan pergi keluar Gan-bun-koan untuk menggembala domba,
tai apakah … apakah adik perempuanku itu pun mau ikut?” tanya A Cu dengan suara
lemah. "Sudah tentu dia akan ikut, kalau Cici dan Cihu mengajaknya,
masakah dia tidak mau?” sahut Siau Hong.
Pada saat itu tiba-tiba
mendeburnya air, tahu-tahu dari dalam sungai di kolong jembatan batu itu
menongol keluar seorang terus berseru, "Huh tidak malu? Cici dan Cihu apa
segala? Aku justru tidak mau ikut!” Orang itu bertubuh kecil mungil, berpakaian
ringkas peranti renang, siapa lagi kalau bukan A Ci? Setelah salah menghantam A
Cu, maka seluruh perhatian Siau Hong terpusat atas keselamatan kekasih itu
hingga apa yang terjadi disekitarnya sama sekali tak diperhatikannya. Padahal
dengan kepandaiannya yang tinggi itu sebenarnya dengan mudah akan dapat
diketahuinya jika ada orang bersembunyi di bawah jembatan, Maka ia rada kaget
demi nampak munculnya A CI, segera ia berseru,
"He, A Ci, lekas kemari
untuk melilhat tacimu!” Mulut A Ci yang mu;ngil itu mencebir, katanya,
"Aku sembunyi di bawah jembatan, sebenarnya ingin kulihat perkelahianmu
dengan ayahku, siapa tahu yang kena hantam adalah Ciciku. Sejak tadi kalian
terus kasak kusuk tidak habis-habis dengan berbagai kata cinta, sungguh aku
tidak suka mendengarkan. Dalam cumbu rayu kalian mengapa diriku ikut
disinggu-singgung?” Sambil berkata iapun mendekati mereka. Segera A Cu berkata.
"Adikku yang baik, selanjutnya Siau toako akan menjaga dirimu dan kamu …
kamu juga mesti menjaga dia…”
Tiba-tiba A Ci mengikik tawa,
katanya, "Hihihi, lelaki kasar lagi jelek seperti dia, mana aku harus
dia?” Ketika Siau Hong bermaksud membawa A Cu ke suatu tempat untuk berteduh,
sekonyong konyong ia merasa badan gadis itu mengigil lalu kepa terjulai lemas
ke bawah kemudian tak bergerak lagi. Keruan Siau Hong terkejut, ia berteriak
teriak A Cu! A Cu!” Tapi biarpun ia berteriak seratus kali atau seribu kali
juga A Cu tak dapat menjawab dan hidup kembali. Melihat A Cu telah meninggal, A
Ci juga terkejut, ia tidak nakal lagi seperti tadi, tapi berkata dengan gusar,
"Engkau menghantam mati Taciku…engkau membunuh Taciku?”
"Ya, memang betul aku
yang membunuh encimu. Maka kamu harus membalas dendam, lekas, lekas bunuh aku!”
seru Siau Hong. Ia turunkan tangannya yang mengendong A Cu dan membusungkan
dada, lalu sambungnya pula, "Nah, lekas kaubunuh aku!” I benar-benar
berharap A Ci mencabut belati dan menikam dadanya, dengan demikian segala apa
akan selesailah untuk membebaskan dirinya dari siksaan batin yang tiada
habis-habis itu. Tapi demi nampak muka Siau Hong yang berkerut-kerut
menyeramkan itu, A Ci menjadi sangat ketakutan malah ia mundur beberapa tindak
sambil berseru, "Jangan…jangan kau bunuh diriku!” Siau Hong melangkah
maju, ia jambret baju dada sendiri,'bret', tertampaklah dadanya yang lebar,
katanya, "Nah, lekaslah bunuh aku! Kamu punya jarum berbisa, punya pisau
beracun, lekas tikam mati aku!”
Di bawah sinar kilat sekilas A
Ci melihat gambar kepala serigala yang tercacah di dada Siau Hong sedang
pentang mulut dengan kedua taringnya yang buas, ia tambah takut, mendadak ia
menjerit terus putar tubuh dan lari pergi. Siau Hong termangu-mangu di atas
jembatan batu itu, dukanya tak terkatakan, sesalnya tak
terhingga. Mendadak ia
menghantam dengan tangannya, 'prak', segumpal batu lankan jembatan pecah dan
tercebur ke sungai.
Siau Hong merasa hatinya juga
seakan-akan melompat keluar dari rongga dadanya dan ikut kecemplung ke sungai.
Ia ingin menagis, menagis sekeras-kerasnya, tapi tak dapat menangis. Ketika
sinar kilat berkelebat lagi, sekilas dilihatnya air muka A Cu yang penuh kasih
sayang penuh perhatian atas dirinya itu masih terbayang di ujung mulut dan alis
gadis itu.
"A Cu!” teriak Siau Hong,
mendadak ia pondong badan kekasih itu dan dibawa lari menuju hutan-belukar
yangsunyi. Guntur masih menggelegar di angkas, hujan mencurah bagai di tuang,
Siau Hong terus berlari-lari, sebentar mendaki bukit, sebentar turun ke lembah,
ia tidak tahu lagi dirinya berada dimana, pikirannya kacau seakan-akan orang
linglung. Perlahan gemuruh guntur mulai berhenti, tapi hujan masih belum reda.
Ufuk timur mulai remang-remang
fajar telah menyingsing. Sudah beberapa jam Siau Hong berlari kian kemari
seperti orang gila sedikitpun ia tidak merasa letih, ia hanya ingin menyksa
diri sendiri, ia ingin lekas mati saja untuk mengiringi A Cu selama-lamanya. Di
sawah sudah ada petani yang bermantel ijuk memanggul cangkul dan bar keluar
dari rumah, Ketika melihatkelakukan Siau Hong itu, semuanya terheran-heran.
Begitulah tanpa tujuan Siau
Hong terus berlari kian kemari dan akhirnya tanpa terasa kembali lagi d atas
jembatan batu tadi ia berguman sendiri, : Aku akan mencari Toan Cingpsun, akan
kuminta dia membunuh diriku saja untuk membalas sakit hati putrinya.” … Segera
ia melangkah lebar menuju ke Sian keng oh. Tidak lama kemudian, sampailah dia
ditepi danau itu. Segera ia berteriak-teriak "Toan Cing-sun, aku telah
membunuh putrimu, ini aku berada di sini, lekas kau bunuh aku, sekali kali aku
takkan balas menyerang. Lekas kemari, lekaslah!”
Sambil memondong A Cu yang
sudah tak bernyawa itu, Siau Hong berdiri tegak di depan hutan bambu itu. Ia
menunggu hingga lama, tapi di tengah hutan bambu itu tetap sunyi senyap dan
tida ada seorangpun yang muncul. Segera Siau Hong menyusur hutan dan mendekati
rumah bambu, sekali depak ia bikin daun pintu terpentang, lalu melangkah masuk
sambil berseru, "Toan Cing-sun, marilah bunuh diriku saja” Tapi ia lihat
rumah itu sudah kosong. Tiada seorangpun penghuninya.
Ia coba periksa kamar samping
dan ruang belakang bukan saja Toan Cing-sun dan kawan kawannya itu sudah
menghilang bahkan pemilik rumah bambu itu Wi Sing tiok, juga tidak kelihatan
lagi. Namun segala alat perabot di dalam rumah masih tetap di tempatnya,
agaknya penghuninya baru saja pergi dengan tergesa-gesa hingga tidak sempat
membawa apapun. Pikir Siau Hong, "Ya, tentu A Ci telah memberi kabar
kepada mereka karena menyangka aku akan membunuh ayahnya untuk membalas dendam.
Andaikan Toan Cing-sun tidak mau melarikan diri, namun wanita she Wi dan
bawahannya yang setia itu tentu juga akan memaksanya agar mnyelamatkan diri.
Hehehe aku toh tidak akan membunuhmu, tapi kudatang ke sini untuk minta
kaubunuh diriku.”
Segera ia berteriak-teriak
pula memanggil Toan Cing-sun, suaranya keras berkumandang jauh namun tetap
tiada suara sahutan seorang pun. Di tepi Siau keng oh, di engah hutan bambu itu
sunyi senyap tiada seorangpun. Tapi bagi Saiu Hong rasanya dunia ini seperti
tinggal dia seorang yang hidup. Sejak A Cu menghembuskan napas penghabis,
selama itu juga ia terus pondong tubuh kekasih itu. entah sudah berapa kai ia
kerahkan tenaga murni ke dalam tubuh A Cu dengan harapan seperti tempo hari
waktu gadis itu dihantam oleh ketua Siau lim si dan akhirnya dapat disembuhkan
kembali.
Tapi tempo hari Siau Hong yang
langsung kena pukulan jago Siau lim si itu, Acu hanya keseremper saja oleh
serangan itu. Sedangkan pukulan "Hang ling yu hwe” yang dilontarkan Siau
Hong sekarang dengan tepat menghantam dada si gadis, tentu saja jiwanya
melayang. Dengan termangu-mangu Siau Hong duduk di ruangan depan rumah bambu
itu sambil memondong A Cu. Dari pagi sampai siang dan dari siang sampai petang,
tetap ia duduk di situ.
Sementara itu hujan sudah
berhenti, hari sudah terang, sinar surya waktu senja menyorot di atas tubuhnya
dan jenazah A Cu yang masih berada dalam pangkuannya itu. Biar bagaimana dan
dalam keadaan apapun juga Siau Hong tidak pernah lesu dan putus asa tapi kini
karena ia sendiri telah berbuat sesuatu kesalahan besar yang tidak mungkin
ditarik kembali lagi, ia merasakan kekosongan orang hidup. Ia merasa tiada
artinya lagi hidup lebih lama di dunia ini. Ia pikir, "A Cu telah
berkorban bagi ayahnya, akupun tak dapat menuntut balas lagi kepada Toan
Cing-sun. Sedangkan perkembangan Kai-pang dan cita-citaku yang muluk-muluk pada
waktu muda, semuanya itu tiada harganya lagi untuk kupikirkan.”
Segera ia menuju ke pekarangan
belakang ia lihat di pojok sana ada sebuat cangkul bunga. Pikirnya,
"Biarlah aku mendampingi A Cu disini untuk selama-lamanya.” Sambil sebelah
tangan merangkul A Cu,dengan tangan kanan ia jinjing cangkul itu dan menuju ke
tengah hutan bambu sana, ia menggali sebulah liang, lalu menggali liang yang
lain lagi. Kedua liang itu berjajar. Pikirnya pula, "Jika sebentar
ayah-bundanya pulang, karena tidak tahu apa yang terjadi bukan mustahil mereka
akan menggali kuburan-kuburan ini untuk diperiksa maka aku harus mendirikan
batu nisan di atas kuburan-kuburan ini.” Ia lantas memotong sebatang bambu
persegi itu, ia belah mejadi dua, lalu ke dapur dan meratakan bambu itu dengan
pisau sayur.
Kemudian ia mendatangi kamar
sebelah lain , di atas meja di dalam kamar itu lengkap tesedia kertas dan alat
tulis. Di dekat dinding ada sebuh rak buku, mungkin inilah kamar baca Wi Sing
tiok. Setelah menggosok tinta, lalu ia angkat pensil dan menulis di atas salah
satu belahan bambu tadi, "Kuburan Siau Hong, suami yang kasar dari Cida.”
Ketika ia siapkan belahan
bambu yang lain dan ingin menulis lagi, diam-diam ia mejadi ragu, pikirnya,
"Cara bagaimana harus kutulis nisan ini? Apakah kutulis, 'Kuburan nyonya
Toan dari keluarga Siau? Tapi meski dia sudah mengikat janji denganku, kamikan
belum menikah, sampai meninggal ia tetap seorang nona yang suci murni, kalau
kusebut dia segagai nyonya apakah hal itu takkan menodai kesuciannya?”
Seketika ia menjadi bingung
apa yang harus ditulisnya, ketika ia mendongak untuk berpikir, dimana mata
menandang, tiba-tiba dilihatnya di dinding bambu sana tergantu sehelai tirai
sutera yang bertuliskan beberapa baris sajak. Waktu ia membacanya, kiranya itu
adalah sajak percintaan. Meski Siau Hong terbatas sekolahnya,
bahkan beberapa huruf dalam
sajak itu tak dikenalnya tapi dapat juga ia menangkap artinya, ia tahu itu
adalah sajak percintaan yang memuji sanjung sang kekasih.
Bagian depan sajak itu
mengenangkan masa cumbu rayu mereka yang mesra, dan bagian lain mengisahkan
rasa berat ketika harus beapisah. Akhirnya sajak itutertulis
"Dipersembahkan kepada kekasih nan tercinta, dari Tayli Toan-ji sesudauh
mabuk”. "Hm, Tail Toaj-ji (Si Toan kedua dari Tayli) Siapa lagi dia kalau
bukan Toan Cing-sun yang sengaja menuliskan sajak ini untuk kekasihnya, Wi Sing
tiok, ini mengenai kisah roman ayahbunda A Cu, mengapa secara blak-blakan sajak
ini digantung di ruangan ini tanpa malu? Ah, tahulah aku, tentu disebabkan
hutan bambu ini jarang didatangi orang, biasanya cuma ibu A Cu yang tinggal
sendirian di sini. Tapi bisa jadi karena Toan Cing sun berkunjung pula ke
tempat lama ini lalu hiasan sajak ini dikeluarkan lagi. Kalau melihat bekas
tulisannya terang ditulis pada belasan tahun yang lampau.”
Dasar sifat Siau Hong memang
cermat, biarpun bertekad akan mati bersama A Cu, tapi demi melihat sesuatu
keganjila, betapapun ia menaruh perhatian. Segera ia pikir pula cara bagaimana
harus menulis nisan kuburan A Cu? Krena tiada menemuka sesuatu sebutan yang
cocok, akhirnya ia tulis saja secara singkat, "Kuburan si A Cu”. Selesai
menulis, ia bebangkit hendak menanam nisan bambu itu di depan liang kubur a Cu,
setelah mengubur A Cu, lalu ia akan bunuh diri. Ketika ia pondong tubuh a Cu,
tanpa sengaja ia berpaling dan memandang sekejap pula tabir bersajak yang
tergantung di dinding itu.
Tapi mendadak ia melonjak dan
besru, "Hai, salah, salah! Dalam urusan ini ada sesuatu yang tidak betul!”
Ia mendekatitabir itu lagi, ia lihat gaya tulisan sajak itu sangat indah penuh
wibawa.Tiba-tiba benaknya seakanakan mendengar suara bisikan, "Surat
itu!surat yang ditulis Toako pemimpin dan ditujukan kepada Ong-pangcu itu,
tulisan dalam surat itu tidak sama gayanya dengan tulisan sanjak ini. Ya, sama
sekali berbeda.” Meski Siau Hong tidak banyak bersekolah, ia sebenarnya tidak
pandai membedakan gaya tulisan yang baik dan jelek, tpai tulisan sajak ini
sangat lancar dan indah, sebaliknya tulisan surat "Toako pemimpin” itu
kaku dan jelek, sekali baca segera diketahu berasal dari tulisan tanganj ago
silat kangouw, perbedaan kedua gaya tulisan ini sungguh terlalu jauh, biarpun
siap juga dapat membedakannya dengan mudah.
Begitulah mata Siau Hong
terbelak lebar menatap tulisan di atas tabir itu seakan-akan ingin mencari
sesuatu rahasia dan muslihat yang tersembunyi di balik tulisan itu. Benar Siau
Hong terus berputar, yang terbayang saat itu adalah surat yang dilihatnya malam
itu ditengah hutan di luar kota Bu-sik yaitu surat berasal dari Toako Pemimpin
yang ditujukan kepada Ong-pangcu. Waktu itu Ti-kong Tam mendadak menyobek
bagian yang ada tanda tangan si pengirim surat dan ditelan ke dalam perut
hingga Siau Hong tidak tahu lagi siapa gerangan penulis surat itu. Tapi gaya
tulisan surat itu sudah tercetak benar dalam benaknya dan teringat jelas
olehnya, biarpun dunia kiamat juga takkan terlupakan ia yakin penulis surat itu
dan "Tayli Toan-ji” yang menulis sajak itu pasti bukan terdiri dari orang
yang sama, tapi apakah mungkin surat itu ditulis oleh orang lain atau suruhan
"Toako pemimpin”?
Setelah berpikir sejenak segera
Siau Hong menarik kesimpulan hal itu pun tidak bisa jadi. Kalau Toan Cingsun
mampu menulis sajak sebagus ini, hal ini menandakan dia adalah seorang yang
sudah biasa menulis surat, biasa mengarang, dan kalau mesti meulis surat kepada
Ong pangcu untuk merundingkan urusan penting, masakan mungkin malah menyuruh
orang lain menuliskannya.
Begitulah makin dipikir makir
sangsi, beulang- ulang Siau Hong bertanya jawab sendiri di dalam batin.
"Jangan-jangan Taoko pemimpin itu bukan Toan Cing-sun. Jangan-jangan tabir
bersajak ini bukan ditulis oleh Toan Cing-sun. Tapi, tidak bisa selain Toan
Cing-sun, dari mana ada Tayli Toan-ji lagi. Masakan apa yang dikatakan Be hujin
ia boHong. Itu pun tidak bisa. Dia tidak pernah kenal Toan Cing sun yang satu
tinggal di utara yang lain jauh di Selatan, ada permusuhan apa hingga dia perlu
mengarang hal-hal yang tidak benar untuk menipu aku, dibalik ini yang pasti ada
suatu tipu muslihat keji. Aku membinasakan A Cu karena kesalahan yang tidak
disengaja, sebaliknya pengorbanan A Cu demi kebaikanku dan demi keselamatan
ayahnya tapi sekarang ternyata bukan begitu halnya, matinya yang tak berdosa
itu kini bertambah penasaran lagi. Ya, mengapa sebelumnya aku tidak melihat
tabir bersajak ini lebih dulu?” Begitulah ia termangu-mangu di situ dengan
penuh rasa duka dan sesal. Sementara itu matahari senja sudah menghilang di
ufuk barat.
Tiba-tiba terdengar di tepi
Siau-kong-oh sana ada suara tindakan dua orang sedang menuju hutan bambu ini.
Jarak kedua orang itu masih jauh, tapi pendengaran Siau Hong sangat tajam,
sedikit suara saja sudah diketahuinya. Ketika ia dengarkan lebih cermat, segera
dapat diketahui pula pendatang itu adalah wanita semua.. Pikirnya, "Tentu
A Ci dan ibunya telah pulang. Ya, biar kutanya nyonya Toan apakah tabir bersajak
ini tulisan Toan Cing-sun atau bukan? dan bila dia dendam lantaran aku telah
membunuh A Cu, pasti dia juga akan membunuh.. membunuh aku…”
Sebenarnya ia bertekad tak mau
membeli serangan, ia ingin mati bersama A Cu. Tapi ia berubah pikirannya,”Jika
benar A Cu mati penasaran dan pembunuh ayah-bundaku itu sebenarnya adalah orang
lain dan bukan Toan Cing-sun maka utang darah Tai-0k jin itumenjadi bertambah
pula atas kematian A Cu, istriku yangtercinta. Kalau aku tidak membalas dendam,
bagaimana aku akan bertemu dengan ayah-ibu, suhu, dengan kedua orang tua angkat
dan A Cu di alam baka?” Dalam pada itu kedua wanita itu sudah makin dekat dan
sudah masuk ke dalam hutan bambu itu.
Selang sebentar pula, suara
percakapan kedua wanita itupun dapat terdengar. Seorang diantaranya lagi
berkata. "Awas, ilmu silat perempuan hina ini tidak rendah, bahkan banyak
tipu akalnya.” Lalu suara wanita lain yang lebih muda menjawab, "Dia hanya
sendirian, kita ibu dan anak pasti dapat membereskan dia.” "Sudahlah,
jangan bicara lagi. Begitu kita terjang maju, segera kita turun tangan tanpa
kenal ampun, tidak perlu raguragu,” demikian kata wanita pertama yang lebih
tua. Yang muda berkata pula, "Dan bila ayah tahu…” "Hm, masih kau
pikirkan ayahmu?” jengek ibunya.
Habis itu lantas tiada suara
percakapan lagi, hanya terdengar mereka mendekati rumah bambu itu dengan
berjinjit jinjit, yang satu menuju ke pintu depan dan yang lain berputar ke
belakang rumah, nyata mereka bermaksud menyergap dari muka dan belakang. Siau
Hong agar heran, pikirnya, "Dari suara mereka ini terang bukan A Ci dan Wi
Sing tiok, tapi mrekapun terdiri dari ibu dan anak serta bermaksud membunuh
seorang wanita yang sendirian. Ah, benar kemungkinan Wi Sing-tiok yang mereka
incar dan agaknya ayah si gadis tidak menyetujui perbuatan mereka ini.” Tapi ia
tidak ambil pusing kepada urusan lain, ia tetap duduk dan termangu di
tempatnya.
Selang sejenak, terdengar
suara pintu berkeriut didorong orang, lalu masuklah seorang. Sama sekali Siau
Hong tidak berpaling atau menoleh tapi dapat dilihatnya sepasang kaki yang
kecil dan bersepatu hitam berjalan samapi di depannya, jaraknya kira-kira dua
meter, lalu berhenti di situ. Menyusul daun jendela pun didorong
orang hingga terpentang, lalu
melompat masuk seorang lagi lalu berdiri disamping Siau Hong. Dari suara dan
gerak lompatan orang dapat diketahui oleh Siau Hong bahwa ilmu silat pendadang
itu tidak seberapa tinggi.
Karena hatinya sedang risau
dan putus asa, maka Siau Hong diam saja, tetap menunduk sambil memeras otak,
"sebenarnya 'Toako pemimpin' yang dimaksudkan itu Toan Cing-sun atau
bukan? Ada sesuatu yang aneh pada ucapan Ti-kong Taisu tempo hari itu. Adakah
sesuatu tipu muslihat Ci-tianglo? Apa yang dikatakan Be-hujin adalah sesuatu
yang mencurigakan?” Begitulah perasaannya bergolak, pikirannya kacau. Tiba-tiba
terdengar wanita muda tadi sedang menegur padanya, "Hei, siapakah kau? Di
mana perempuan hina-dina she Wi itu?” Suaranya dingin mengejek, nadanya juga
kasar. Tapi Siau Hong tidak menggubrisknya, ia asyik memikirkan urusannya
sendiri.
"Apakah tuan ada hubungan
apa-apa dengan perempuan hina Wi Sing tiok itu? Siapakah perempuan yang
meninggal ini? Lekas katakan!” demikian wanita yang tua juga bertanya. Namun
Siau Hong tetap tak gubris mereka. Rupanya wanita yang muda menjadi gusar,
segera ia mendamprat, ” Hei, apakah kamu tuli atau bisu? Mengapa tidak menyahut
sepatah pun pertanyaan kami?” Tetap Siau Hong tidak perduli mreka, mirip patung
saja ia duduk di tempatnya.
Rupanya si wanita muda menjadi
taksabar, sekali pedang bergerak hingga mengeluarkan suara mendengung, segera
ujung pedang menusuk ke depan jaraknya tinggal beberap senti di pelipis Siau
Hong asal dia mendorong maju sedikit lagi tentu jiwa Siau Hong terancam.
"Coba kalau kamu masih berlagak dungu, biar segera kau tahu rasa!”
demikian wanita muda itu membatin. Tak terduga Siau Hong sama sekali tak
menghiraukan ancaman bahaya lagi, dia tetap asyik merenungkan berbagai tanda
tanya dalam benaknya yang belum terjawab itu.
Mendadak pedang wanita muda
itu menusuk miring ke depan hingga menyambar lewat samping leher Siau Hong,
tujuannya hanya ingin tanya kemana perginya Wi Sing-tiok, maka tiada niat
hendak melukai orang, sebab itulah ia cuma menggertak saja dengan miringkan
pedang dan menusuk ke samping leher. Namun Siah Hong dapat mendengar jelas arah
mana yang henda dituju senjata orang, maka sama sekali ia tidak menghidar,
tetap diam seperti tidak tahu apa-apa.
Karuan kedua wanita itu saling
pandang dengan heran. kata yang muda, ” Mak, jangan-jangan orang ini ling
lung?” "Besar kemungkinan ia cu ma pura-pura dingin saja,” ujar yang tua.”
Di rumah perempuan hina ini mana ada manusia baik-baik? Biar kubacok dia
sekali, nanti kita paksa dia mengaku.” Dan baru habis omong, segera golok
ditangan kiri membacok pundak Siau Hong. Sudah tentu Siau Hong tidak gampang
diserang. Ketika senjata orang tinggal belasan senti dari pundaknya, mendadak
tangan kanan membalik ke atas, sekali bergerak, tepat punggung bolong orang
kena di jepit oleh dua jarinya, seketika golok wanita itu seperti
terkatung-katung di udara dan tak bisa bergerak lagi.
Ketika Siau Hong kerahkan
tenaga jari dan mendorong ke depan, gagang golok itu tepat menumbuk hiat-to
penting di pinggang wanita itu, kontan dia tak bisa berkutik. Waktu Siau Hong
menyandal sekuatnya "pletak”, golok itu patah menjadi dua, lalu
dilemparkannya ke lantai, dari mula sampai akhir sama sekali ia tidak
mengangkat kepala untuk memandang wanita itu. Keruan wanita yang muda sangat
kaget ketika melihat sekali
gebrak saja ibunya sudah
dibikin tak berkutik, cepat ia melompat mundur, berbareng terdengar suara
mendesis, tujuh panah kecil sekaligus berhamburan ke arah Siau Hong.
Tapi dengan menjemput kembali
golok patah tadi, semua panah kecil itu disampuk jatuh, menyusul tangan Siau
Hong bergerak sedikit, golok patah itu menyambar ke depan dengan garda di muka,
'bluk', tepat pingga wanita muda itu kena tertimpuk. Wanita muda itu menjerit
sekali lalau ia pun tak bisa berkutik lagi. "Apa kamu terluka?” tanya
wanita yang tua dengan kuatir. "Tidak, hanya pinggangku kesakitan, aku
tertutuk bagian "kingbun-hiat' sahut yang muda. "Dan aku tertutuk
bagian 'tiong-hu-hiat' kata yang tua. "Wah, ilmu silat orang ini
sangat…sangat lihai.” "Mak, sebenarnya siapakah orang ini? Mengapa tanpa
berdiri dan kita lantas dibuat tak berkutik olehnya, kukira dia pakai ilmu
sihir ujar yang muda.
Rupanya mereka tak bisa
berkutik, maki wanita yang tua tak berani garang pula, dengan nada memohon ia
berkata kepada Siau Hong, "Selamanya kami tiada permusuhan apa-apa dengan
tuan, tadi secara sembrono kami menggangu tuan itu kesalahan kami, untu itu
kami minta maaf dan sudilah membebaskan kami.”
"Tidak, tidak!” mendadak
yang muda menyela, ” Kalau memang kalah biarlah kita mengaku kalah, buat apa
mesti minta ampun segala? Biarlah kalau dia berani, boleh bunuh saja nonamu
ini,siapa sudi minta maaf padanya.” Sayup-sayup Siau Hong mendengar suara ibu
dan anak itu, yang diketahuinya cuma sang ibu telah minta ampun dan si anak kepala
batu, tapi apa yang mereka katakan sebenarnya tidak masuk telinga siau Hong.
Sementara itu hari sudah
malam, di dalam rumah itu gelap gulita. Tapi Siau Hong masih tetap duduk di
tempat semula, sedikitpun tidak menggeser tempat. Biasanya otak bekas pangcu
itu sangat cerdas, segala urusan yang sulit dapat diputusnya dengan cepat,
andaikan seketika masih ragu paling-paling cuma dikesampingkannya. Tapi hari
ini ia telah salah membinasakan A Cu, rasa dukanya tiada taranya, maka ia
termangu-mangu dan melongo seperti orang linglung.
Maka terdengar si wanita yang
tua lagi berkata dengan suara perlahan, "Coba kau kerahkan tenaga untuk
menggempur 'Koan-tiau-hiat' dan Hong-ji-hiat'. mungkin jalan darahmu akan
lancar kembali” "Sudah kucoba sejak tadi, tapi tidak berguna sama sekali…”
'Sssst, ada orang datang!” tiba-tiba wanita yang tua memotong ucapan anaknya.
Benar juga diluar sana ada
suara orang berjalan, lalu pintu didorong dan masuklah seorang wanita juga.
Terdengar wanita itu mengetik batu api untuk menyalahkan sumbu, lalu dipakai
menyulut lentera minyak. Ketika wanita itu berpaling dan mendadak melihat Siau
Hong. A Cu dan kedua perempuan tadi tanpa terasa ia menjerit kaget. Sama sekali
tak terduga olehnya bahwa di dalam rumah ada empat orang, ada yang duduk dan
ada yang berdiri, semuanya diam saja, tiada yang bergerak sedikitpun.
Sebaliknya demi melihat wanita
yang masuk rumah ini, mendadak wanita yang lebih tua tadi membentak dengan
suara bengis, "Kau, Sing tiok!” Wanita yang baru tiba itu memang benar Wi
Sing-tiok adanya. Mendengar orang menegurnya, cepat ia berpaling, ia lihat
pembicara itu adalah seorang perempuan setengah
umur, di sampingnya berdiri
seorang gadis berbaju hitam halus, keduanya berwajah sangat cantik, tapi
selamanya belum pernah dikenalnya. Segera ia menjawab, "Benar, memang aku
inilah she Wi, dan siapakah kalian?”
Karena tubuhnya tak bisa
berkutik, wanita setengah umur itu tak mau memberitahukan namanya, ia hanya
mengamat-amati Wi Sing-tiok yang cantik menggiurkan itu,api amarhnya semakin
membakar. Tiba-tiba Wi Sing tiok berpaling kepada Siau Hong dan bertanya,
"Kiau pangcu, engkau sudah membinasakan putriku, untuk apa engkau masih
tinggal di sini? Oh, kasihan anak..anakku!” Dan menangislah dia mengerung
gerung sambil menubruk ke atas jenazah A Cu.
Siau Hong tetap duduk terpekur
di tempatnya, selang agak lama barulah ia berkata, "Toan-hujin, dosaku
teramat dalam, silakan kau keluarkan senjata dan sekali bacok bunuhlah diriku.”
"Biarpun sekali bacok kubunuhmu juga anakku yang malang ini tak tertolong lagi,”
sahut Wi Sing tiok. ” Oh A Cu, anakku yang bernasib malang, di luar
Gan-bun-koan telah kuserahkan diriku kepada orang lain dengan harapan semoga
kita diberkahi agar kelak…”
Saat itu benak Siau Hong masih
kacau, selang sejenak baru ia terkesiap, cepat tanyanya, "Apa katamu? Di
luar Gan-bun-koan?” "Sudah tahu mengapa malah tanya?” sahut Wi Sing tiok.
"Acu … A Cu adalah anakku hasil hubungan gelap diriku dengan Toan
Cing-sun, aku tidak berani membawanya pulang, maka kuserahkan dia kepada orang
di luar Ban Bun-koan.” "Jadi kemarin ketika aku tanya Toan Cing-sun apakah
merasa berbuat dosa di luar Gan bun koan dan dia mengaku terus terang,
sebaliknya air mukamu merah jengah dan tanya padaku dari mana kudapat tahu,
jadi…jadi perbuatan dosa di luar Gan-bun-koak yang kau maksudkan itu adalah
mengenai diri A Cu ini?” tanya Siau Hong dengan suara gemetar.
"Habis apa tidak cukup
perbuatan dosa itu? Apa kau kira aku ini wanita jahat yang selalu beerbuat
kejahatan?” sahut Sing-tiok dengan gusar. Sebenarnya ia sangat benci kepada
Siau Hong, tapi jeri pula pada ilmu silatnya yang hebat, maka ia cuma mencaci
maki dengan kata-kata pedas. Untuk sejenak Siau Hong termangu-mangu
sekonyong-konyong ia gunakan ke dua tangan ini untuk menampar muka sendiri.
Perbuatan Siau Hong itu
membikin Wi Sing tiok terkejut malah, cepat ia melompat mundur, ia lihat Siau
Hong masih terus menempeleng diri sendiri dengan keras hingga dalam sekeja saja
kedua pipinya merah bengap. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar pint
berkeriut, ada orang masuk lagi sambil berseru, "Mak, apakah tabir itu
sudah diambil…” Belum habis ucapannya, tiba-tiba dilihatnya di dalam ruamah ada
beberapa orang lain, malahan Siau Hong lagi hanar dirinya dendiri, seketika
orang yang baru masuk itu melongo heran. Ia bukan lain adalah A Ci.
Sementara itu pipi Siau Hong
yang masih terus digampar sendiri itu sudah mulai babak belur, lalu muka dan
kedua tangannya lantas berlumuran darah, darah berceceran dan menciprat ke
dinding, meja-kursi,… dimanamana penuh titik darah, bahkan tabir bersajak yang
tergantung di didinding pun terciprat beberapa tetes darah segar. Karena tidak
tega menyaksikan keadaan yang mengerikan itu, Wi Sing-tiok menutup muka dengan
tangan, tapi telinganya masih mendengar suara "plak-plok” yang tiada
hentinya itu, akhirnya ia berseru.
"Sudahlah, janganpukul
lagi, jangan pukul lagi!” A Ci lantas berteriak juga, "Hei , engkau telah
bikin kotor tulisan ayahku itu, aku akan minta ganti rugi padamu”
Sambil bicara terus ia
melompat ke atas meja untuk menanggalkan tabir sajak yang tergantu di dinding
itu. Kiranya kembalinya itu dan anak itu adalah ingin mengambil tabir ini. Siau
Hong melengak juga dan berhenti memukul diri sendiri, ia tanya, "Apa
'Tayli Toan-ji' yang dimaksudkan itu memang benar adalah Toan Cingsun?”
"Selain dia, masakah ada orang lain?” sahut Wi Sing tiok, bicara tentang
Toan Cing sun, tanpa terasa wajahnya menampilkan perasaan bangga dan mesra.
Jawaban tegas itu telah
menjawab pula tanda tanya di dalam benak Siau Hong. Jika sajak ini betul ditulis
oleh Toan Cing-sun, maka surat yang ditujukan kepada Ong-pangcu itu berati
bukan tulisan Toan Cing-sun dan Toako pemimpin yang dimaksudkan itu pun buka
pangeran mahkota Tayli itu. Segera timbul pikiran dalam benak Siau Hong,
"Sebabnya Be-hujin sengaja memfitnah Toan Cing-sun, tentu di dalam hal ini
terdapat sesuatu rahasi. Aku harus bikin terang dulu teka-teki ini, akhirnya
pasti akan tiba saatnya segala tanda tanya ini kubikin terang.” Karena pikiran
itu, segera maksudnya hendak bunuh diri itu diurungkan.
Meski baru saja ia menghajar
diri sendiri hingga mukanya babak belur tapi rasa duka dan sesalnya itu menjadi
terlampias pula. Segera ia pondong jenazah A Cu dan berbangkit, tapi belum lagi
ia membuka suara, tiba-tiba A Ci melihat ke dua belah bambu yang terdapat
tulisan itu, dengan tertawa gadis cilik itu berolok olok, "Hehehe, pantas
kulihat di luar sana ada dua liang, kiranya engkau bermaksud mati dan terkubur
bersama Ciciku. Ck ck ck, engkau benar-benar seorang kekasih yang sehidup
semati.”
"Aku telah tertipu oleh
muslihat keji musuh hingga salah membunuh A Cu, maka sekarang aku hendak pergi
mencari jahanam itu, aku akan membalas sakit hati A Cu, lalu menyusulnya di
alam baka.” kata Siau Hong. "Siapakah jahanam yang kau maksudkan itu?”
tanya A Ci. "Saat ini belum kuketahui, maka akan kupergi menyelidikinya, ”
sahut Siau Hong. Lalu ia melangkah pergi sambil memondong jenazah A Cu.
"Engkau akan pergi mencari musuh dengan membawa Ciciku cara begitu?”
tiba-tiba A Ci berseru.
Siau Hong tertegun, seketika ia
menjadi bingung. Memang tidak mungkin ia menempuh perjalanan jauh sambil
memondong jenazah A Cu. Tapi kalau mesti ditinggalkan, ia berasa berat pula. Ia
termangu-mangu memandangi A Cu yang sudah tak bernyawa itu, air matanya
bercucuran melalui mukanya yang babak-belur itu, air mata bercampur dengan
darah, titik air yang bening ke merah-merahan itu menetes di muka A Cu yang
pucat.
Melihat sedemikian duka Siau
Hong, rasa benci Wi Sing-tiok lantas lenyap, katanya kemudian, "Kiau
pangcu, kesalahan yang sudah terlanjur diperbuat toh tak dapat ditarik kembali
lagi. Hendaklah kau… kau…” Sebenarnya ia ingin menghibur Siau Hong agar jangan
terlalu berduka, tapi ia sendiri yang lantas menangis tergerung-gerung malah.
Katanya dengan terputus-putus sambil menangis, "Semuanya gara-gara …
garagaraku, akulah yang salah … mengapa kuserahkan putri sendiri kepada orang
lain.”
"Sudah tentu engkau yang
salah!” tiba-tiba si gadis yang dibikin tak berkutik oleh Siau Hong tadi
menyela.
"Habis, suami-istri orang
yang bahagia mengapa kau cerai-beraikan?” Sing-tiok menoleh kepada gadis itu
dan bertanya, "Mengapa nona berka demikian? Siapakah kau?” "Kamu
siluman rase ini telah membikin ibuku menderita selama hidup, membikin susah
diriku…” Mendengar gadis itu menghina sang ibu, tanpa menunggu selesai ucapan
orang, terus saja A Ci menampar muka gadis itu.
Dalam keadaan tak bisa
berkutik, tampaknya hajaran itu sudah pasti akan mengenai mukanya sukurlah
tiba-tiba Wi Sing-tiok menarik tangan A Ci dan berkata, "A Ci, jangan main
kasar.” Lalau ia mengamati-amati si wanita setengah umur, sejenak kemudian
iapun sadar persoalannya. Serunya, "ya engkau memakai sepasang golok,
engkau tentu Siu-lo-to Cin… Cin Ang-bian, Cin-cici.”
Kiranya wanita setengah umur
ini memang betul Siu-lo0t Cia Ang-bian yang telah ditinggal Toan Cing-sun itu,
dan si gadis baju hitam adalah putrinya, Bok Wan-jing. Cara berpikir Ci
Ang-bian itu agak istimewa, Ia tidak menyalahkan Toan Cing sun yang suka main
perempuan dimana mana punya gendak, sebaliknya ia benci kepada wanita lain yang
dianggapnya suka main mata dan pintar merayu lelaki serta merebut kekasihnya.
Sebab itulah maka waktu Bok Wan jing tamat belajar silat, ia lalu suruh
putrinya itu untuk membunuh istri dari Toan Cing sun, yaitu Si Pek Hong.
Ketika kemudian diketahui pula
Toan Cing sun mempunyai seorang kekasih lain bernama Sing siok dan tinggal di
tengah hutan bambu di tepi Siau keng oh, jauh-jauh ia lantas datang ke mari
hendak membunuhnya. Bok Wan-jing sendiri sejak mengetahui Toan Ki yang
dicintainya itu ternyata adalah kakak sendiri, dengan menahan derita batin ia
terus mengembara di kangouw dan banyak membunuh rang serta macam-macam
perbuatan lain. Mendengar berita iut, Cin Ang-bian lantas mencari dan
menggabungkan diri dengan putrinya itu serta bersama-sama datang ke Siau keng
oh tidak terduga mereka kebentur dulu pada Siau Hong hingga dibikin tak
berkutik sedikitpun.
Begitulah ketika mendengar
nama sendiri dikenali orang. Cin Ang-bian menjadi gusar, dampratnya.”Betul,
memang akulah ini Cing Ang-bian siapa sudi dipanggi Cici oleh perempuan hina
macammu ini?” Watak Wi Sing tiok ternyata tidak sama seperti Cin Ang-bian,
Sing-tiok lebih licin, seketika ia belm tahu apa maksud tujuan kedatangan Ci
Ang bian, pula kuatir lawan asmara ini akan rujuk kembali bila bertemu dengan
Toan Cing-sun, maka ia sengaja menjawab dengan tertawa, "Ya, akulah yang
salah omong. Usiamu jauh lebih muda daripadaku, wajauhmu juga begini cantik,
pantas saja Toan long kesengsem padamu. Engkau adalah adikku dan bukan Cici. Eh
, Cin Moimoi, setiap hari Toan long selalu terkenang padamu, senantiasa
memikirkan dirimu, sungguh aku sangat kagum sekali kepada kebahagianmu”.”
Manusia mana yang tidak suka disanjung puji dan diumpak.
Cia Ang-bian merasa senang
juga mendengar dirinya dipunyi sangat cantik dan masih muda, apalagi
didengarnya pula Toan Cing-sun senantiasa terkenang padanya, karena rasa
gusarnya sektika lenyap lebih separoh. Sahutnya kemudian, "Huh, siapa
dapat meniru dirimu yang pintar dan bermulut manis, pandai memuji orang.”
"Dan nona ini tentunya putri kesayanganmu, bukan?” tanya Sing siok pula.
"Wah,ck ck ck alangkah cantiknya, sungguh beruntung sekali ci moimoi
mempunyai anak secantik ini.”
Mendengar kedua wanita itu
asyik berbicara tentang keasih dan cinta melulu, sejak tadi Siau Hong sudah
tidak betah untuk mendengarkan Sebagai seorang ksatria bijaksana, sesudah
mengalami pukulan batin dan remuk redam hatinya, tapi segera ia dapat berpikir
panjang pula tentang tugas apa yang harus dilakukannya di kemudian hari. Segera
ia pondong jenazah A Cu menuju ke tepi liang yang telah digalinya itu, ia
masukkan gumpalan tanah dan perlahan ditaburkan ke atas tubuh A Cu, hanya
mukanya tetap tidak ditabur dengan tahan. Pandangannya tidak pernah
meninggalkan muka A Cu barang sekejappun. Ia tahu bila beberapa kali tanah di
taburkan lagi untuk selama-lamanya ia takkan dapat melihat sang kekasih pula.
Ia termangu-mang sejenak, sayup-sayup telingannya seakan-akan mendengar suara a
Cu yang mengajak pergi mengangun sapi dan menggembala domba di luar
Gan-bun-koan, di sanalah mereka akan hidup berdampingan untuk selamanya.
Kemarin ia masih mendengar
suara A Cu yang nyaring merdu, terkadang lucu, terkadang nakal, terkadang mesra
dan terkadang sungguh-sungguh, tapi untuk selanjutnya. suara itu takkan
terdengar lagi. Sudah lebih setengah jam Siau Hong berjongkok di tepi liang
kubur itu dan tetap tidak tega menaburkan tanah ke muka A Cu. Mendadak ia
berbangkit, sekali bersuit panjang, ia tidak mau memandang A Cu lagi, tapi ke
dua tangannya terus bekerja, dengan gerak cepat ia uruk tanah galian di tepi
liang itu ke muka A Cu. Lalu ia putar tubuh dan masuk ke dalam rumah.
Sampai di dalam rumah , ia
lihat Wi Sing-tiok masih asyik masyuk bicara dengan Cin Ang bian. Rupanya Wi
Sing tiok memang pintar putar lidah. Ang-bian dibikin senang sekali, rasa
permusuhan ke dua orang itu sejak tadi sudah lenyap. Melihat masuknya Siau
Hong, segera Wi Sing tiok berkata, "Kiau pangcu, adik ini tadi berlaku
kasar padamu, hal ini pun tidak disengaja, harap engkau suka membebaskan
mereka.” Wi Sing tiok adalah ibu A Cu, dengan sendirinya Siau Hong mesti
menurut, apalagi memang ada maksudnya buat membebaskan ke dua orang itu.
Segera ia mendekati mereka dan
menepuk pundak Ci Ang-bian dan Bok Wan jing hingga mereka merasa suatu hawa
hangat menerjang hiato yang tertutuk itu, lalu anggota badan mereka dapat
bergerak bebas lagi. Ibu dan anak itu saling pandang sekejap, terhadap ilmu
silat Siau Hong yang maha tinggi itu sungguh mereka kagum tak terhingga.
"Adik A Ci, tulisan ayahmu itu bolehkan dipinjamkan padaku sebentar,” kata
Siau Hong ke pada A Ci. "Aku tidak ingin dipanggil adik apa segala
olehmu,” sahut A Ci. "Walaupun demikian”, katanya, "tapi tabir
bersajak yang sudah digulungnya tadi diserahkan juga kepada Siau Hong”.
Segera Siau Hong membentang
tabir itu dan membaca kembali tulisan Toang Cing-sun itu dengan jelas dan
teliti. Air muka Wi Sing-tiok menjadi merah jengah katanya, "Barang
seperti itu, apanya yang menarik?” "Di manakah sekarang Toan-ong ya
berada?” tanya Siau Hong tiba-tiba. Wajah Sing tiok berubah hebat, sahutnya
dengan kuatir, ” Ti…, tidak, jang … jangan kau cari dia lagi.” "Aku takkan
bikin susah padanya. Tapi aku cuma ingin tanya beberapa soal padanya,” kata
Siau Hong. Sudah tentu Sing-tiok tidak percaya, katanya: "Engkau sudah
salah membunuh A Cu tak boleh kau cari ayahnya lagi.”
Siau Hong tahu tiada gunanya
tanya lagi, ia lantas gulung tabir hiasan itu dan kembalikan kepada A Ci.
Katanya, "A Cu meninggalkan pesan padaku agar menjaga baik-baik adik
perempuannya. Toan-hujin, bila kelak A Ci mengalami kesulitan apa-apa, asal
Siau Hong dapat membantu, silakan saja memberitahu, pasti takkan kutolak.”
Sungguh girang Sing tiok tak terkatakan pikirnya, "A Ci mempunyai sandaran
tokoh selihai ini, selama hidupnya takkan kuatir menemukan bahaya lagi.” Maka
sahutnya, "Banyak terima kasih atas
kebaikanmy. Nah. A Ci lekas
menghaturkan terima kasih kepada Kiau toako.” Ia ganti sebutan 'Kiau-pangcu'
menjadi Kiau toako', maksudnya agar hubungan A Ci dengan tokoh sakti itu
menjadi lebih akrab.
Siapa duga A Ci justru
mencebir, katanya "Aku ada kesulitan apa hingga mesti minta bantuannya?
Aku mempupnyai Suhu yang tiada tandingannya di kolong langit inim punya Suko
sebanyak itu, masakah aku takut dihina siapapun? Huh, dia sendiri serupa boneka
limpung menyebrang sungai, diri sendiri saja sukar diselamatkan masakah masih
mau membantu aku segala?”
Dasar A Ci itu memang pintar
sekali bicara, sekali ia sudah mencerocos, maka mirip mitraliur saja cepatnya.
Berulang Wi Sing-tiok mengedipi putrinya aga jangan sembarangan omong, tapi A
Ci pura-pura tidak tahu. "Ai, anak kecil tidak tahu aturan, harap Kiau
pangcu jangan marah.” demikianlah kata Sing tiok kemudia. "Caihe Siau Hong
adanya, tidak she Kiau lagi,” ucap Siau Hong.
"Dengarlah, mak, orang
ini namanya sendiri saja tidak tahu jelas, bukankah maha dogol…” "A Ci…”
bentak Sing tiok sebelum si nona mencerocos lagi. Segera Siau Hong memberi
hormat, dan berkata, "Selamat berpisah , sampai bertemu lagi kelak.” Lalu
ia berpaling kepada Bok Wan jing, nona Toan, senjata rahasiamu yang berbisa itu
tidak ada gunanya banyak dipakai, kalau ketemu lawan yang lebih kuat tentu kamu
sendiri yang akan celaka.”
Belum lagi Bok Wanjing
menjawab, tahu-tahu A Ci sudah menanggapi, "Cici, jangan kau percaya pada
ocehannya.. Am-gi demikian paling-paling dapat mengenai sasarannya, masakan ada
ruginya pula?” Siau Hong tak gubris lagi padanya, ia putar tubuh dan hendak keluar,
ketika sebelah kaki melangkahi lubang pintu, mendadak baju kanannya mengebas ke
belakang, seketika berjangkitlah angin hingga tujuh batang panah kecil yang
dilemparkan Bok Wan jing tadi tergulung olehnya itu terus menyambar ke arah A
Ci.
Sambaran panah kecil itu
secepat kilat, A Ci hanya sempat menjerit sekali dan tak keburu berkelit. Tujuh
batang panah kecil itu menyambar lewat di atas kepala, tepi leher dan samping
tubuhnya, lalu menancap di dinding belakangnya hingga menghilang sampai pangkal
panah itu. Dengan kuatir Sing tiok memburu maju, ia angkat A Ci sambil berseru,
” Ai, Cin moicu, lekas berikan obat penawar!” "Terluka di mana? Terluka di
mana?” Ang bian juga berteriak teriak. Dan Bok Wan jing lantas mengeluarkan
obat penawar yang dibawanya dan lekas memeriksa keadaan luka A Ci.
Selang sejenak, sesudah hilang
rasa kagetnya barulah A Ci berkata, "Aku tidak… tidak terluka apa apa”
Kiranya Siau Hong teringat pada pesan A Cu yang minta dia menjaga keselamatan A
Ci, karena didengarnya gadis cilik itu membanggakan suhunya tiada tandingan
dijagat, banyak pula Sukonya yang lihat, maka ia tidak tahuit kepada siapapun
juga.
Siau Hong tahu am-gi berbisa
aliran Sia siok hai itu beraneka macam, ia kuatir nona terlalu nakal dan tidak
tahu luasnya jagat maka ia sengaja mengebas panah-panah kecil itu untuk
membuatnya takut, dengan begitu maka gadis cilik itu tahu di dunia ini tidak
sedikit tokoh-tokoh lihai selain gurunya. Begitulah sesudah Siau Hong keluar
dari hutan bantu, sampai di tepi Siau keng oh ia menuju suatu pohon besar yang
rindang, ia
lompas ke atas pohon dan
bersembunyi di situ..
Kiranya ia masih penasaran
karena Wi Sing tiok tak mau mengaku di mana beradanya Toan Cing sun, terpaksa
ia akan menguntitnya secara diam-diam. Benar juga, tidak lama kemudian
tertampak ia Ang bian dan Bok Wan jing muncul dulu dari hutan bambu itu,
menyusul Wi Sing tiok dan A Ci mengantar di belakang.
Sampai di tepi danau, Ang-bian
berkata, "Wi cici, sekali kenal kita lantas cocok satu sama lain, maka
segala selisih paham kita yang lampau dihapuskan sama sekali. Kini lawan yang
masih akan kucari tinggal budak hina she Kheng itu.. Apakah engkau tahu dimana
tempat tinggalnya?” Sing tiok tampak melengak, sahutnya, "Untuk apakah kau
cari dia, Cin moaimoai?”
Ang bian tersenyum, katanya.
"Habis hidupku dengan Toan-long mestinya tentram bahagia, tapi budak hina
siluman rase itulah yang pelet dia..” "Yang perempuan hina Kheng …. Kheng
Bin.. entah…entah tinggal di mana,” kata Wi Sing tiok sesudah berpikir sejenak.
” Jika nanti Moaicu dapat menemukan dia harap wakilkan siaumoy menusuk beberapa
kali pada tubuhnya.”
"Masakah perlu disuruh
lagi?” sahut Ang bian, "Cuma tidak mudah untuk mencari jejaknya. Baiklah
sampai berjumpa pula. Dan bila engkau bertemu dengan Toan-long…”
"Ada apa?” tanya Sing
tiok terkesiap.
"Harap wakilkan aku
menempeleng dia dua kali dengan keras.” kata Ang gian. "Tempeleng ke satu
adalah titipanku dan tempelengan ke dua masuk hitungan nona kami ini.” Sing
tiok tertawa, katanya, "Masakah aku suruh menemui manusia yang tak punya
liangsim (perasaan) itu? Sebaliknya bila Moaicu bertemu dengan dia, harap juga
wakilkan aku menampar dia dua kali, sekali mewakilkan aku dan satu kali lagi
untuk nonaku A Ci ini. Coba pikir, sampai anaknya sendiri tak diurus, bukankah
pantas dihajar?”
Sudah tentu semua percakapan
itu dapat didengar oleh Siau Hong yang sembunyi di atas pohon itu. Ia pikir
ilmu silat Toan Cing-sun tidaklah lemah, terhadap kawan juga setiap, tapi
justru suka main perempuan, maka betapun tidak terhitung seorang kesatria.
Betitulah ia dengar Cin Ang bian dan Bok Wanjing mohon diri kepada Wi Sing tiok
dan A Ci, lalu berangkat perbi. Kemudia Wi Sing tiok menggandeng tangan A Ci
dan masuk kembali ke dalam hutan bambu.
Pikir Siau Hong, "Pasti
dia akan pergi mencari Toan Cing-sun, soalnya ia tidak sudi pergi bersama Cin
Angbian yang merupakan saingannya itu. Tadi ia kembali untuk mengambil tabir
bersajak, tentulah Toan Cing sun sedang menunggu tidak jauh di depat sana
biarlah aku menantinya di sini.” Sejenak kemudian, tiba-tiba terdengar suara,
kresekan di semak semak pohon sana, dua bayangan orang lagi merunduk kemari.
Ternyata mereka adalah Cin Ang bian dan Bok Wanjing, sudah pergi kini datang
kembali.
Terdengar Cia Ang bian sedang
bicara dengan suara perlahan, "Wan ji mengapa kamu mudah ditipu orang?
Tadi kulihat dikolong ranjang Wi cici ada sepasang sepatu laki-laki, terang
itulah sepatu ayahmu. Sepatu itu masih baru dan bersih pula, maka dapat diduga
ayahmu pasti mengumpet di situ.” "Ha, hadi kita telah diboHongi perempuan
she Wi itu” kaa Wan jing. "Ya, ia tentu keberatan membiarkan kita bertemu
dengan lakilaki berhati palsu itu,” ujar Ang bian. "Ma, ayahkahn tidak
punya liangsim, buat apa engkau menemuinya lagi?” tanya Bok Wan jing. Ang-bian
terdiam sejenak, sahutnya kemudian, "Aku cuma ingin melihatnya, tapi tidak
ingin dia melihat aku. Selang sekian lama, tentu dia sudah tua, dan ibumu juga
sudah tua.”
Ucapan ini kedengaran
dingin-dingin saja, tapi penuh rasa rindu dendam. "Baiklah!” kata Wan jing
dengan suara terharu. Sejak dia berpisah dengan Toan Ki, rasa rindunya tidak
pernah berkurang. Meski dia tahu cintanya itu toh tak mungkin terkabul, tapi
derita batinnya boleh dikatakan jauh melebihi sang ibu. Asal kita menunggu saja
di sini, tidak lama lagi mungkin ayahmu akan muncul.” demikian Cin Ang-bian
lagi berkata. Lalu ia mengajak putrinya sembunyi di tengah semak-semak rumput
di balik pohon sana.
Di bawah sinar bintang yang
remang-remang Siau Hong dapat melihat wajah Cia Ang-bian yang putih pucat itu
bersemu merah, tampaknya perasaan wanita itu sangat terguncang. Maklum,
demikianlah kalau orang sedang digoda asmara. Dan bila Siau Hong sendiri teringat
kepada A Cu, mau tak mau ia merasa sedih juga.
Tidak lama kemudian, dari
jalan sana terdengar suara orang datang dengan berlari. Pikir Siau Hong. ” Ini
bukan Toan Cing sun, besar kemungkinan adalah anak buahnya.” Benar juga setelah
dekat orang itu memang si sastrawan Cu Tan-sin adanya. Rupanya Wi Sing tiok
juga sudah mendengar suara tindakan Cu Tan sin itu, tapi ia tak bisa membedakan
apakah pendatang itu Toan Cing sun atau bukan, maka dari dalam hutan bambu ia
terus memapak keluar sambil berseru girang, "Toan long! Toan long!”
Tapi ia menjadi kecewa ketika
yang terlihat bukan sang kekasih melainkan Cu Tan sin. Segera Cu Tan sin
memberi hormat dan berkata, "Hambar disuruh Cukong agar memberitahukan
bahwa beliau ada urusan penting, maka beliau tidak sempat kembali ke sini
lagi.” Sing tiok terkejut, tanyanya, "Urusan penting apa? Bilakah akan
kembali?”
"Urusan ini ada
sangkut-pautnya dengan keluarga Buyung di Koh soh, agaknya Cukong telah
menemukan jejak Buyung koncu,” tutur Tan sia. "Jauh-jauh Cukong datang ke
utara sini tujuannya adalah ingin mencari orang itu. Cukong mengatakan bila
urusan sudah beres, segera beliau akan kembali ke sini. diharap Hujin jangan
banyak berpikir.” Air mata Wi Sing tiok berlinang-linang, katanya dengan
terguguk-guguk,”Setiap kali iapun mengatakan akan … akan kembali ke sini, tapi
setiap kali lantas… lantass beberapa tahun lamanya. Kini baru berjumpa dan dia
sudah … sudah…” Karena masih dendam atas kematian Leng Jian li gara-gara
perbuatan si A Ci maka Cu Tan sia, tidak mau lama-lama tinggal di situ, ia
merasa sudah selesai menunaikan tugasnya maka segera ia mohon diri dan tinggal
pergi. Sesudah Cu Tian sin pergi agak jauh, segera Wi Sing tiok berkata kepada
A ci, "ginkangmu lebih hebat daripadaku, lekas kuntit dia, sepanjang jalan
kautinggalkan tanda, segera aku menyusul.”
"Kau suruh aku menyusul
ayah, apa hadiahnya nanti?” sahut A Ci dengan nakal. "Segala milik ibumu
adalah punyamu, mengapa kami minta hadiah apa segala?: sahut Sing tiok.
"Baiklah,” kata A Ci. "Aku akan meninggalkan tanda huruf 'Toan' di
dinding. kutambahi lukisan panah, dan ibu tentu akan tahu arahnya.” "Ya,
anak baik?” ucap Sing tiok sambil memeluk dara cilik itu. Dan sekali berlari,
segera A Ci menyusul ke jurusan Cu Tan sin tadi. Sing tiok berdiri termenung
sejenak di tepi danauh, kemudian ia pun menyusul ke arah sana. Dan sesudah Wi
Sing tiok pergi agak jauh barulah Cing Ang bian dan Bok Wanjing keluar dari
tempat sembunyi mereka, keduanya saling memberi tanda dan segera menguntit dari
belakang dengan hati-hati.
Diam diam Siau Hong membatin,
"Sepanjang jalan A Ci akan meninggalkan tanda arah, maka tidak sulit untuk
mencari jejak Toan Cing-sun.: Segera iapunmelompat turun dari atas pohon dan
berangkat menyusur tepi danau. Di bawah sinar bintang yang remang-remang ia
lihat bayangan sendiri di tengah danauh yang sendirian dan kesepian, ia menjadi
pilu dan bermaksud kembali ke hutan bambu sana untuk termenung di depan kuburan
si A Cu. Tapi sesudah berpikir sejenak, mendadak jiwa ksatrianya berkobar kobar
, ia hantam sekali kedepan dimana angin pukulannya tiba, kontan air danau
muncrat bertebaran dan bayangnya pun buyar. Ia menarik napas panjang sekali,
lalu melangkah pergi dengan cepat.
Dalam perjalanan itu Siau Hong
lebih banyak minum arak daripada makan asal, setiap kedai yang didatangi selalu
ditemukan tanda yang ditinggalkan A Ci di pengkolan setiap jalan. Terkadang
tanda itu dibusak Wi Sing tiok tapi bekasnya masih kelihatan. Begitulah ia
terus menuju ke utara hawa juga makin dingin. Hari itu tibalah di wilayah Holam
bunga salju sudah mulai bertebaran dari langit. Waktu lohor Siau Hong mampir
disuatu kedai kecil untuk minum arak. Beruntun-runtun belasan mangkuk arak
sudah ditenggaknya, tapi belum mencukupi seleranya akan pencandu arak. Ia minta
tambah lagi, tapi persedian arak kedai itu sudah habis.
Dengan rasa kurang puas Siau
Hong melanjutkan perjalannya, akhirnya sampailah ia disuatu kota besar. SEtelah
ia perhatikan, ia menjadi terkesiap sendiri. Kiranya kota itu adalah Sin yang,
yaitu tempat tinggal Be hujin. Oleh karena sepanjang jalan ia cuma
memperhatikan tanda-tanda yang ditinggalkan A Ci, pikirannya melayang-layang
mengengkan urusannya sendiri, maka terhadap keadaan disekitarnya tidak
diperhatikan olehnya. Dan tahu-tahu kini ia telah berada kembali di kota Sin
yang.
Setelah masuk kota, ia tidak
sempat minum arak lagi tapi terus mencari tanda yang ditinggalkan A Ci. Ia
lihat pada pojok tembok ujung jalan sana tertulis suatu huruf "Toan”
dengan kapur disamping huruf itu terlkuks pula sebuah panah yang mengarah ke
barat. Kembali Siau Hong merasa pedih bila teringat belum lama berselang ia
bersama A Cu telah datang ke rumah Be hujin untuk mencari tahu siapakah
"Toako pemimpin” itu. Tapi kini sang kekasih sudah mendahului mangkat
untuk selama-lamanya. Setelah beberapa li kemudian, angin meniup sangat
kencang, salju turun lebih deras lagi. Siau Hong menuju ke barat menurut arah
yang ditunjuk panah. Tanda-tanda yang ditinggalkan A Ci itu tampak masih baru,
ada yang dikukir di batang pohon yang lebih dulu kulit pohon di kupas. hingga
getah pohon masih kelihatan belum kering.
Makin lama Siau Hong makin
heran, sebab arah yang ditunjuk itu justru adalah rumah tinggal Be Tai goan.
Pikirnya, "Jangan-jangan Toan Cing sun mengetahui Be hujin yang memfitnah
dia, maka mencarinya buat bikin perhitungan. Ya, tentu apa yang dikatakan A Cu
kepadaku sebelum meninggal itu telah didengar juga oleh A Ci, dan dara cilik
itu memberitahukan ayahnya tentang Be hujin. tai kami cuma sebut Be hujin, dari
mana ia tahu yang kumaksudkan adalah nyonya Be Tai goan ini?”
Sepanjang jalan sebenarnya
Siau Hong selalu lesu dan agak linglung, tapi kini demi ketemu sesuatu yang
ganjil, seketika semangatnya terbangkit lagi dan pulih pula daya indranya yang
tajam. Ia lihat di tepi jalan ada sebuah kelenteng rusak, ia masuk ke situ,
pintu kelenteng itu ditutupnya, lalu tidur di situ untuk beberapa jam lamanya
kira-kira dekat tengah malam barulah ia mendusin. Segera ia tinggalkan
kelenteng itu dan menuu ke rumah Be hujin.
Sesudah dekat, ia sembunyi di
belakang pohon untuk memeriksa keadaan sekitarnya. Setelah memandang sejenak
tersenyumlah dia . Kiranya dilihatnya di pojok timur rumah sana mendekam dua
sosok tubuh manusia, dari perawakan mereka tampaknya adalah Wi Sing tiok dan A
Ci, waktu diperhatikan pula arah lain, kembali tertampak Ci Ang Bian dan Bok
Wan jing juga sembunyi di utara rumah.
Saat itu, salju belum lagi
reda, tubuh Wi Sing tiok dan Ci Ang bian berempat itu penuh bertebar salju.
Dari jendela sebelah timur itu kelihatan sinar pelita yang redum, tapi keadaan
di dalam rumah sunyi senyap. Ia ambil sepotong ranting pohon dan ditimpukan ke
barat sana, ketika Wi Sing tiok berempat berpaling karena tertarik oleh suara
itu, segera Siau Hong melompat ke bawah jendela sebelah timur dengan gesit. Oleh
karena hawa sudah dingin, maka jendela rumah nyonya Be itu dilapis dengan papan
kayu untuk menolak hawa dingin. Siau Hong menunggu di luar jendela, sebentar
kemudian terdengar tiupan angin dari arah utara yang keras.
Pada saat angin menyambar ke
arah jendela segera Siau Hong barengi dengan mendorong tangannya ke depan.
tenaga dorongan itu menghantam papan jendela hingga pecah, seketika kertas yang
melapisi jendela bagian dalam pun pecah satu lubang. Meski Cin Ang-bian dan Wi
Sing tiok berada di dekat situ, tapi karena tenaga pukulan Siau Hong itu
dibarengi dengan tiupan angin kencang, maka sama sekali mereka tidak tahu semua
itu adalah perbuatan orang. Andaikan ada orang di dalam rumah juga takkan tahu.
Dan waktu Siau Hong mengintin ke dalam rumah melalui lubang keras itu seketika
ia tercengan, hampir-hampir ia tidak percaya padamatanya sendiri. Apakah yang
dilihatnya?
Kiranya ia lihat Toan Cing sun
dengan baju dalam lagi enak-enak duduk bersila di atas balai-bali, tangannya
memegang cawan arak kecil, dengan tersenyum senyum sedang memandangi seorang
wanita yang duduk ditepi balai-bali. Wanita itu memakai baju putih berkabung,
mukanya berbedak tipis dan sedikit bergincu, kedua matanya sayu-sayu, dengan
sikap tertawa tak tertawa dan marah tak marah sedang melirik Toan Cing sun.
Itulah nyonya janda Be Taigoan adanya.
Coba kalau Siau Hong tidak
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimanapun juga ia takkan percaya
jika ada orang menceritakan padanya tentang adegan seperti sekarang ini. Apa
lagi sejak di luar kota Bu sik, di tengah hutan sana untuk pertama kalinya ia
lihat Be hujin untuk selanjutnya setiap kali bila bertemu lagi selalu
dilihatnya sikap nyonya janda itu suci bersih, bahkan bagaimana air mukanya
bila tersenyum juga belum pernah dilihat Siau Hong. Siapa tahu ini dapat
dilihatnya adegan yang luar biasa ini. Yang paling tidak bisa dimengerti oleh
Siau Hong adalah nyonya janda itu telah sengaja menfitnah Toan Cing sun,
sepantasnya dia mempunyai permusuhan dan sakit hati sedalam lautan dengan
pangeran Tayli itu. Tapi kini bila melihat suasana di dalam kamar yang mesra
merayu memabukan itu, terang diantara mera itu tiada permusuhan apa pun juga.
Begitulah maka terdengar Toan
Cing sun sedang berkata, "Mari, mari, iringi aku minum secawan pula,
marilah kita minum dua sejoli.” "Huh, sejoli apa?” tiba tiba Be hujin
mendengus. "Seorang diri aku ditinggal hidup kesepian di sini, siang malam
selalu terkenang dan setiap saat merindukanmu yang tak punya perasaan ini
sebaliknya engkau tidak ingat lagi padaku, bahkan menjenguk kemari pun tidak
pernah.” Habis berkata, matanya tampak merah basah.
Diam-diam Siau Hong membatin, "Ditilik
dari ucapannya ini, agaknya dia serupa dengan Cin Ang bian dan Wi Sing tiok,
jangan-jangan iapun bekas kekasih Toan Cng sun?” Mana terdengar Toan Cing sun
menjawab dengan tertawa, "Sesudah kamu menikah dengan Be-hupangcu bila ku
datang lagi ke sini, tentu akan menimbulkan omong iseng orang luar.. Apa lagi
Be hupangcu adalah seorang kesatria Kai pang yang terhormat, kalau aku tetap
main Pat pat gulipat lagi denganmu, bukankah aku akan dipandang sebagai manusia
rendah? Ha hahaha!” "Cis, siapa ingin dipuji olehmu? Akukan kuatirkan
dirimu, aku ingin tahu apa hidupmu bahagia dan senang atau tidak? Asal engkau
baik baik saja, maka legalah hatiku. Tapi engkau justru jauh berada di Tayli,
untuk mencari kabar dirimu juga sangat sulit,” demikian kata Be hujin dengan
suara lemah lembut, halus menggiurkan, merdu menyenangkan, hingga membuat
siapapun yang mendengar pasti akan kesemsem.
Siau Hong sudah kenal kedua
gendak Toan Cing sun yaitu Cin Ang bian yang tegas dan suka terus terang, Wi
Sing tiok yang cantik licin, sebaliknya Be hujin ini mempunyai gayanya sendiri,
lemah lembut tapi berbisa. Begitulah maka waktu Toan Cing sun mendengar rayuan
Be hujin tadi hatinya terguncang. terus saja ia tarik sang kekasih dan
diperluknya. Be hujin bersuara perlahan sekali, pura-pura menolak , tapi
sebenarnya bergiriang.
Siau Hong berkerut kening, ia
tidak sudah menyaksikan kelakuan meraka yang menjijikan itu. Pada saat itulah
tiba-tiba terdengar disebelanya ada orang menginjak salju dengan keras hingga
menerbitkan suara. Segera Siau Hong tahu apa yang terjadi, ia membatin,
"Celaka, jangan jangan kedua wanita ini 'minum cuka' cemburu dan bikin
runyam urusanku.” Begitu berpikir segera pula ia bertindak.
Cepat ia melompat bali ke
belakang Cin Ang Bian berempat dan menutuk hiat to pada punggung mrereka, yaitu
hiat to bisu hingga keempat wanita itu tak bisa bersuara dan tak tahu siapa
yang menyerang mereka. Meski badan mereka tertutuk hingga tak berkutik dan
mulut tak bisa besuara, tapi telinga Cin Ang bian dan Wi Sing tiok masih dapat
mendenga cumbu rayu kekasihnya dengan wanita ini keruan api amarah mereka
semakin berkobar-kobar rasa cemburu mereka bagai dibakar, tapi apa daya mereka
tak bisa berkutik, batin mereka benar-benar tersiksa sambil menggeletak di
tanah salju situ.
Ketika Siau Hong mengintip ke
dalam kamar ia lihat Be hujin sedang duduk di saming Toa Cing sun, epalanya
bersandar di bahu sang kekasih tubuh lemas bagai tak bertulang lagi, terdengar
wanita itu sedang berkata, "Tentang suamiku dibunuh orang, tentunya engkau
sudah mendengar dan mengapa engkau tidak datang menjenguk aku. Sesudah suamiku
meninggal, mestinya kaupun tidak perlu kuatir dicurigai orang lagi?”
"Sekarang bukankah aku sudah datang ke mari?” sahut Cing sun dengan
tertawa. "Sepanjang jalan dari Tayli aku memburu kemari siang dan malam,
justru kukuatir datang terlambat.” "Kuatir terlambat apa?” tanya Be-
hujin kurang paham.
"Kuatir si dia tak tahan hidup kesepian dan menikah pula dengan orang.”
sahut Cing sun. "Kalau begitu, bukankah aku Toan ji dari Tayli ini akan
sia-sia memburu kemari dari jauh. Apakah rindu dendam selama belasan tahun ini
kembali dibikin kecewa?”
"Huh mengoceh seenaknya,
tidak tahan kesepian dan menikah pula dengan orang?” semprot Be-hujin.
"Memangnya kapan pernah kau pikirkan diriku, tapi mengaku rindu dendam
belasan tahun segala?” Tiba tiba Cing sun merangkulnya dengan erat, katanya
dengan tertawa, "Jika aku tidak merindukan dikau, guna apa jauh-jauh
kudatang kemari?” "Baiklah, aku percaya engkau benar benar rindu padaku.
Nah, Toan long untuk selanjutnya bagaimana akan kautempatkan diriku?” tanya Be
Hujin dengan tersenyum. Segera ia pun reangkul leher Cing sun dengan sorot mata
genit, pipi ditempelkan ke muka sang kekasih. "Ada arak biarlah kita minum
sekarang, urusan yang belum datang buat apa dibicarakan?” ujar Cing sun.
"Ayolah mari kupondong.
setelah berpisah selama sepuluh tahun, entah kau tambah berat atau menjadi
lebih ringan?” Sambil berkata terus saja ia pondong badan Be hujin. "Jadi
engkau tidak sudi membawaku ke Tayli?” tanya Be hujin."Apanya sih yang
menari negeri Tayli itu?”sahut Cing sun sambil berkerut kening. "Tanahnya
lembab, hawa panas, tentu kamu takkan cocok dengan iklim di sana, jangan-jangan
akan jatuh sakit malah di sana.”
"Ehm, kembali engkau cuma
membuatku gembira percuma saja.” kata Be hujin sambil menghela napas perlahan.
"Mengapa gembira percuma? Segera juga akan kubikin kaugembira sungguhan.”
ujar Cing sun dengan cengar cengir sambil memeluk lebih erat. Tapi Be hujin
meronta pelahan dan turun dari pelukan Toan Cing sun, ia menuang satu cawan
arak dan berkata, "Toan long silahkan minum lagi secawan” "Aku tidak
minum lagi, sudah cukup!” sahut Cing sun.
"Ehmm, aku emoh, engkau
harus minum sampai mabuk,” kata Be hujin dengan aleman dan genit. "Ai,
kalau mabuk, bagaimana nanti?” ujar Cing sun. Tapi toh diterimanya juga dua
cawan arak dandiminum hingga habis. Sungguh Siau Hong tidak sabar mendengarkan
cumbu rayu mereka itu. Melihat Toan Cing sun minum arak secawan demi secarwan,
tanpa terasa ia pun ketagihan, biji lehernya naik turun, tanpa terasa ia
menelan ludah. Kemudian dilihatnya Toan Cing sun menguap dan ada tanda letih
dan mengantuk. "Toan long maukah kuceritakan suatu kisah padamu?”
tiba-tiba Be hujin bertanya.
Semangat Siau Hong terbangkit
lagi, pikirnya, "Dia mau bercerita, bisa jadi akan kudapat sedikit
keterangan dari ceritanya nanti?” Sebaliknya Toan Cing sun menjawab,
"Boleh kamu bercerita dengan lirih di atas bantal nanti.” "Huh,
engkau sih senang saja!” jengek Be hujin, "Nah Toan long, dengarkanlah.
Pada waktu kecil, keluarga kami sangat miskin, bahkan membuatkan baju baru
bagiku juga orang tuaku tidak mampu. Dan setiap hari aku selalu berpikir
bilakah aku dapat meniru enci keluarga Thio tetangga kami yang saban tahun baru
tentu mendapat baju baru dan sepatu baru itu? Alangkah senangnya hatiku bila
cita-citaku itu terkabul.” "Pada waktu kecil tentu kaupun sangat cantik,
nona cilik yang demikian menyenangkan, biarpun memakai baju rombeng juga tetap
cantik,” ujar Cing sun.
Be hujin tersenyum genit, katanya
pula merayu, "Waktu kecil aku selalu rindu, yaitu mreindukan baju citra
kembang.” "Dan sesudah dewasa?” tanya Cing sun. "Sesudah dewasa aku
rindu padamu.” Kembali hati Cing sun terguncang oleh rayuan itu, ia bermaksud
merangkul pula. Tapi rupanya terlalu banyak minum arak, kaki
tangannya terasa lemas, hanya
setengah jalan tangannya sudah turun kembali. Katanya dengan tertawa, "Ai
semakin banyak arak telah kaulolohi aku, kalau sebentar aku mabuk, haha….Eh
siau Kheng, lalu sampai umur berapa baru terkabul kaupakai baju citra kembang?”
"Kau sendiri dilahirkan dalam keluarga bangsawan, sudah tentu tidak kenal
penderitaan anak keluarga miskin,” sahut Be hujin.
"Tatkala itu biarpun
rambutku cuma berhias seutas pita merah sudah kegirangan setengah mati. WAktu
aku berumur tujuh, ketika dekat tahun baru, ayah menggiring babi yang kami
piara dengan susah payah itu ke pasar untuk dijual, ayah berjanji akan
membelikan cita kembang untuk membuatku baju baru bagiku. Coba bayangkan,
betapa rasa girangku. "Maka baru satu jam ayah pergi, dengan tak sabar aku
menantinya di depan rumah, tapi ayah belum juga pulang meski aku sudah masuk
keluar rumah beberapa kali. Akhirnya setelah dekat magrib dari jauh kelihata
ayah mendatangin dengan pelahan. secepat terbang aku memapaknya. "Tapi aku
menjadi kaget sesudah dekat. Kuihat sebelah lengan baju ayah robek, mukanya
merah bengkak, pundaknya berdarah pula, terang ayah habis dihajar orang. Cepat
aku tanya, "Dimanakah cita kembang yang kau janjikan ayah?…”
Mendengar sampai di sini
perasaan Siau Hong ikut tertekan, pikirnya, "Dasar wanita ini memang tipis
pribudinya, Ayahnya dihajar ornag hingga babak belur dan dia tidak menghiburnya
sebaliknya yang dipikir cuma cita kembang melulu. Walaupun waktu itu ia masih
kecil, tapi juga tidak pantas.” Maka terdengar Be hujin melanjutkan, "Tapi
ayahku tidak menjawab, beliau cuma geleng kepala sambil meneteskan air mata.
Segera kutanya pula, 'Ayah, cita kembang yang kupesan sudah dibelikan belu?”
"Dengan menyesal ayah
pegang tanganku, katanya, 'Uang hasil penjualan babi itu telah dirampas oleh
juragan Ciok. Aku utang padanya. Katanya masih harus ditambah rente sekian dan
aku dipaksa membayar'…” "Sungguh tak terkatakan rasa kecewaku waktu itu,
aku duduk lemas di tanah dan menangis sedih. Setiap hari aku piara babi, dari
kecil babi itu kubesarkan dan cita-citaku cuma ingin memakai baju kembang,
siapa duga hasilnya kosong belaka…”
Pada waktu kecilnya Siau Hong
juga pernah hidup menderita bersama ayah-ibu angkatnya, yaitu Kiau Sam hoai,
setiap hari hdiup mereka selalu menderita di bawah hisapan tuan tanah dan kaum
rentenir, segala siksaan dan aniaya kaum penghisap itu sudah kenyang dilihat
olehnya. Maka kini ia pun ikut pedih demi terkenang pada ayah ibu angkat yang
malang itu. …
Apakah benar Be-hujin juga
merupakan pacar Toan Cing sun?
Lalu ada sangkut paut apa
antara terbunuhnya Be Tai goan dan hubungan gelap Toan Cing sun dan be hujin
itu?
Tindakan apa yang akan
dilakukan Cin Ang bian dan Wi Sing tiok setelah menyaksikan adegan mesra Be
hujin dan Toan Cing sun?
Jilid 38
Dalam pada itu Be-hujin sedang
melanjutkan ceritanya, "Ayah berkata kepadaku, 'Nak, biarlah besok ayah
piara babi lagi, pasti akan kubelikan cita kembang untukmu.' "Tapi aku
masih terus menangis, namun apa gunanya? Tiada sebulan kemudian tibalah tahun
baru. Enci keluarga Thio tetangga sebelah itu memakai baju baju berkembang
merah jambon latar kuning, pakai celana hijau pupus bersulam, sungguh indah
sekali. Dan sungguh pula aku sangat iri, sampai kue ranjang yang dibuatkan itu
juga tak kumakan lagi. Ai, coba kalau waktu itu kutahu, tentu akan kuhadiahkan
sepuluh, bahkan seratus potong cita kembang padamu,” ujar Cingsun dengan
tertawa.
"Huh, siapa pingin?” sahut
Be-hujin. "Dan pada malaman tahun baru itu aku menjadi tak bisa tidur
memikirkan baju kembang itu. Sampai tengah malam, diam-diam aku bangun dan
menggeremet ke rumah Thio-pepek, Pada umumnya orang tua suka menunggu saat
pergantian tahun maka belum tidur, cahaya lilin masih terang benderang, kulihat
Cici keluarga Thio itu sudah tidur di balai-balai, baju barunya itu menyelimuti
di atas tubuhnya. Aku terkesima memandangi baju kembang yang mempesona itu,
sampai akhirnya diam-diam aku masuk ke kamar Cici Thio dan kuambil baju kembang
itu.”
"Hah, jadi kau mencuri
baju baru?” Toan Cing-sun dengan tertawa. "Ai, kukira Kheng cilik kita ini
cuma pintar mencuri lelaki, kiranya juga pandai mencuri baju.”
Be-hujin melirik genit dan
tenenyum, katanya, "Aku justru tidak mencuri baju baru orang tapi aku
lantas mengambil gunting, kupotong baju baru itu hingga hancur, lalu kuambil
celana barunya dan kugusting pula menjadi lajur-lajur itu. Selesai kuhancurkan
baju dan celana baru itu, baru hatiku senang tak terkatakan. Ya, jauh lebih
menyenangkan daripada aku memakai baju baru.'
Air muka Toan Cing-sun yang
tersenyum simpul sejak tadi itu kini mendadak lenyap dan mendengar sampai di
sini, dengan kurang senang berkata, "Sudahlah, Siau Kheng, jangan cerita
kejadian lama lagi. marilah kita tidur saja.”
"Tidak, aku belum mau
tidur,” Sahut Be-hujin, "Toan-long, apakah kau untuk apa aku menceritakan
kisah itu padamu? Ketahuilah bahwa aku ingin kautahu watakku sejak kecil itu.
bila ada suatu yang kurindukan siang dan malam dan tak terkabul, dan orang lain
justru beruntung bisa memperolehnya, maka apa pun juga, aku akan berusaha untuk
menghancurkan barang itu.”
"Sudahlah, jangan omong
lagi, aku tidak suka mendengar cerita yang mengesalkan itu,” kata Cing-sun.
Be-hujin tersenyum, ia
berbangkit pelahan ia lepaskan sanggulnya hingga rambutnya yang panjang itu
menjulai sampai di pinggang.
Ia ambil sebuah sisir kayu dan pelahan menyisir rambutnya yang panjang itu.
Tiba-tiba ia melirik dengan tersenyum genit, katanya, "Toan-long, marilah
pondong aku!”
Suaranya yang merdu merayu itu
membikin setiap lelaki mana pun pasti akan luluh.. Keruan Cin Ang-bian dan Wi
Sing-tiok yang menggeletak di luar jendela itu meski tak bisa berkutik, tapi
demi mendengar rayuan Behujin itu, seketika api cemburu mereka membakar dan
dada mereka serasa akan meledak saking gusarnya.
Dalam pada itu terdengar Toan
Cing-sun mengakak tawa sekali, ia beringsut bangun dengan maksud akan merangkul
sang kekasih.
Tapi rupanya terlalu banyak
minum arak, ternyata untuk berdiri saja ia tidak kuat lagi. Katanya dengan
tertawa, "Hahaha, aku hanya minum empat-lima cawan kecil saja lantas mabuk
sedemikian rupa, Siau Kheng, wajahmu yang cantik molek ini sekali lihat lantas
memabukkan orang, sungguh dapat menandingi tiga kati arak yang paling keras,
hehe!”
Diam-diam Siau Hong terkesiap,
pikirnya dengan heran, "Aneh, cuma minum empat lima cawan saja mengapa
bisa mabuk? Padahal lwekang Toan Cing-sun sangat tinggi, biarpun tidak biasa
minum arak juga tidak mungkin mabuk seperti ini. Ah, tentu ada sesuatu yang tidak
beres di dalam hal ini.”
Dalam pada itu terdengar
Be-hujin sedang tertawa ngikik. lalu katanya, "Toan-long, turunlah kemari,
sedikit pun aku tak bertenaga, le … lekas pondong aku.”
Toan Cing-sun coba bergerak
lagi, tapi makin tidak kuat berdiri, maka sahutnya dengan tertawa, "Aneh,
aku pun tidak bertenaga sedikitpun. Benar-benar aneh, asal melihatmu, aku
lantas lemah lunglai seperti tikus, ketemu kucing.”
"Ehm, aku emoh, engkau
hanya minum sedikit saja lantas pura-pura mabuk,” sahut Be-hujin dengan senyum
aleman. "Cobalah kerahkan tenaga dalam, tentu dapat.”
Cing-sun lantas mengatur
pernapasan dan bermaksud mengerahkan tenaga. Tak tahunya perutnya terasa kosong
melompong, sedikit pun tak dapat bekerja. Berulang kali ia menarik napas, siapa
duga lwekang yang terlatih berpuluh tahun kini ternyata hilang tanpa bekas,
entah sejak kapan meninggalkan tubuhnya.
Keruan Cing-sun menjadi gugup.
ia sadar urusan agak gawat. Tapi apa pun juga ia adalah seorang kawanan kangouw
yang luas pengalamannya. menghadapi sesuatu bahaya lahirnya selalu
tenang-tenang saja. Ia berkata dengan tersenyum, Ai, cuma tinggal tenaga It
Yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam saja, aku benar-benar dibuat mabuk hingga cuma
sanggup membunuh orang dan tak sangup memondong orang.”
Mendengar ucapan itu.
diam-diam Siau Hong membatin, "Meski Toan Cing-sun suka paras licin tapi
ternyata juga bukan seorang goblok, ia sadar sedang terancam bahaya, maka
sengaja omong cuma sanggup membunuh orang dan tidak kuat memondong orang'.
Padahal ia hanya mahir It Yang-ci, tapi tidak bisa Lak-meh-sin-kiam; terang ia
sengaja main gertak.”
Sementara itu dengan lemah
lunglai Be-hujin berseru, "Ai, kepalaku pening sekali. Toan-long jangan …
jangan-jangan di dalam arak itu telah ditaruh sesuatu oleh orang?”
Sebenarnya Cing-sun sudah
mencurigai Be-hujin yang menaruh obat di dalam arak, tapi demi mendengar si dia
mengemukakan lebih dulu hal itu, rasa curiga Cing-sun lantas lenyap, bahkan ia
memanggilnya, "Siau Kheng, marilah sini, aku ingin bicara padamu.”
Be-hujin tampak seperti ingin
melangkah ke samping Cing-sun. tapi seperti tidak kuat bergerak lagi, ia
menggabruk di atas meja, mukanya kemerah-merahan dan napasnya memburu. katanya,
"Toan-long … selangkah pun aku tidak sanggup bergerak, mengapa engkau ….
meracuni aku?”
Cing-sun menggeleng kepala dan
memberi isyarat tangan dengan pelahan, ia celup jarinya ke cawan arak dan
menulis di atas meja, "Kita, terjebak akal keji musuh, hendaklah berlaku
tenang.”
Sedang di mulut ia berkata,
"Kini tenaga dalamku sudah mulai bekerja, kalau cuma beberapa cawan arak
racun masakah dapat menjatuhkan aku?”
Segera Be-hujin menulis juga
di atas meja, "Sungguh-sungguh atau palsu!”
Dan Cing-sun menulis pula,
"Jangan unjuk kelemahan, ”
Di mulut ia berderu,
"Siau Kheng!, siapakah musuhmu hingga menggunakan tipu keji ini untuk
menjebak diriku.”
Melihat tulisan Toan Cing-sun
tentang 'jangan unjuk kelemahan” itu, diam-diam Siau Hong mengeluh baginya,
pikirnya, "Biarpun kau Toan Cing-sun biasanya pintar dan cerdik, akhirnya
terjungkal juga di tangan kaum wanita. Sudah terang gamblang racun itu adalah
perbuatan. Be-hujin, karena dia masih jeri mendengar ucapanmu 'masih sanggup
membunuh orang dan tidak kuat memondong orang', maka ia pun pura-pura keracunan
untuk memancing reaksimu, mengapa sedemikian, mudah engkau tertipu olehnya?”
Sementara itu Be-hujin
mengunjuk rasa sedih dan sedang menulis pula di atas meja, "Apa tenaga
dalammu benar-benar hilang semua, dan tidak kuat melawan musuh?”
Dan di mulut senaliknya
berseru, "Toan-long, jika benar ada bangsa keroco berani main gila ke
sini, nah, rupanya dia sudah bosan hidup, boleh kaududuk saja di sini dan
jangan gubris padanya, lihat saja apakah dia berani turun tangan?”
"Diharap bekerjanya obat lekas
lenyap dan musuh jangan terburu datang,” demikian Cing-sun menulis di atas
meja. Tapi di mulut berkata, "Ya, benar, aku justru sedang kesepian, kalau
ada orang suka main-main dengan kita, itulah yang kita harapkan. Eh, Kheng
cilik, apakah kaumau melihat kelihaian ilmu tiam-hiat jarak jauh?”
Maksud Cing-sun hanya untuk
menggertak saja, di luar dugaan Be-hujin menjawab sungguh-sugguh dengan
tertawa, "Ya, selamanya aku, tidak pernah melihat kepandaianmu itu, boleh
coba kaututuk sekali ke arah jendela dengan It Yang-ci, tentu sangat hebat!”
Cing-sun berkerut kening dan
diam-diam menggerutu, berulang-ulang ia main mata dengan maksud agar sang
kekasih memahami alasannya yang cuma main gertak saja itu.
Sebaliknya Be-hujin malah
mendesak terus, katanya, "Hayolah, lekas coba, asal kau tusuk satu lubang
kecil pada kertas jendela, tentu musuh akan lari ketakutan. Kalau tidak, wah,
pasti celaka, musuh akan tahu kelemahanmu sekarang.”
Kembali Cing-sun terkesiap,
pikirnya, "Biasanya dia sangat cerdik, mengapa sekarang pura-pura dungu?”
Tentah berpikir, terdengar
Be-hujin berkata pula dengan suara lembut, "Toan-long, engkau telah minum
racun 'Sip-hiang-bi-hun-san' (obat bius dari sepuluh jenis wewangian), biarpun
ilmu silatmu setinggi langit juga tenaga dalammu akan lenyap seluruhnya.
Toan-long, jika engkau masih dapat menutuk dari jauh, cukup menjojoh suatu
lobang kecil saja di kertas jendela dan hal itu akan merupakan suatu keajaiban
alam.”
"Hah, jadi aku terkena …
terkena 'Sip-hiang-bi-hun-san, yang keji itu?” seru Cing-sun terkjut,
"Dari … dari mana kau tahu?”
"Tadi waktu aku
menuangkan arak bagimu, araknya aku kurang hati-hati hingga sebungkus racun itu
jatuh, ke dalam poci arak,” sahut Be-hujin dengan tertawa.
"O, kiranya begitu, tak
apa-apalah.” ujar Cing-sun dengan senyum ewa. Jelas sekarang duduknya perkara
dan tahu telah masuk perangkap nyonya janda itu. Kalau dia marah-marah dia
mendamprat pasti akan membikin urusan runyam malah. Maka lahirnya ia pura-pura
seperti tiada terjadi apa-apa, sedapat mungkin ia berlaku tenang untuk
menghadapi perkembangan selanjutnya.
"Ia sangat cinta padaku,
rasanya tidak nanti membunuhku,” pikirnya, "Bisa jadi ia cuma minta aku
berjanji untuk hidup berdampingan dengan dia selamanya atau minta aku
membawanya pulang ke Tayli untuk dijadikan istri sah. Jika demikian halnya, ini
pun timbul dari cintanya padaku yang sangat mendalam, meski perbuatannya ini
agak keterlaluan, tapi juga tiada maksud jahat.”
Dalam pada itu didengarnya
Be-hujin lagi berkata, "Toan-long, maukah kau jadi suami-istri dengan aku
sampai hari tua?”
"Ai, engkau ini
benar-benar kelewat lihai,” sahut Cing-sun dengan tertawa. "Baiklah, aku
takluk. Besok juga boleh kau ikut aku pulang ke Tayli, akan kuambil dirimu
sebagai selir Tin-lam-ong.”
Mendengar itu kembali api
cemburu Cin Ang-bian dan Wi Sing-tiok membakar, pikir mereka, "Apanya yang
kau pilih dari perempuan hina-dina itu? Engkau tidak terima permintaanku, tapi
meluluskan permintaannya?”
Lalu terdengar Be-hujin
menghela napas, katanya, "Tean-long, sebelum ini aku pernah tanya padamu
cara bagaimana akan kauatur diriku, kau bilang negeri Tayli tanahnya lembab,
hawanya panas, ketika tinggal di sana aku bisa jatuh sakit. Dan sekarang engkau
terpaksa menerima permintaanku, jadi bukan timbul dari hatimu yang murni.”
Cing-sun menghela napas,
katanya, "Siau Kheng, biarlah kukatakan terus terang. Aku adalah
Tin-lam-ong, Pokok-taiciangkun, pangeran negeri Tayli, kakak baginda tidak
punya keturunan. kalau beliau wafat, tentu tahta akan diturunkan kepadaku. Kini
aku cuma seorang persilatan biasa di Tionggoan sini, kalau pulang Tayli aku
tidak boleh berbuat sembrono lagi, betul tidak?"
"Betul, lantas
bagaimana,” sahut Be-hujin.
"Dan kalau aku membawamu
pulang ke Tayli itu berarti aku karus menepati janji, tidak mungkin seorang
pangeran mahkota mengingkari janjinya. Betul tidak?”
"O, beralasan juga
ucapanmu,” sahut Be-hujin pelahan. "Dan kelak kalau engkau naik tahta,
dapatkah kau angkat aku sebagai Hong-hou-nio-nio (permaisuri).”
Cing-sun menjadi ragu,
sahutnya kemudian. "Aku sudah punya istri kawin, untuk mengangkatmu
sebagai permaisuri tentu tidak bisa ….” "Memangnya aku adalah seorang
janda sial, mana dapat menjadi permaisuri apa segala, bukankah akan dibuat buah
tertawaan orang?” kata Be-hujin. Lalu ia menyisir rambut dengan pelahan,
sambungnya kemudian dengan tertawa, "Toan-long, kisah yang kuceritakan
tadi apakah kau paham maksudnya?” Seketika keringat dingin berketes-ketes di
jidat Toan Cing-sun, tapi sedapat mungkin ia coba bersikap tenang, namun
lwekang yang dilatihnya selama berpuluh tahun kini telah lenyap entah ke mana,
keruan ia kerupukan mirip seorang yang kelelep dalam air.
"Toan-long. engkau
kegerahan bukan? Biarkan aku mengusap keringatmu,” kata Be hujin. Lalu ia
mengeluarkan sepotong saputangan dan mendekati Toan Cing-sun untuk membersihkan
keringat dingin di jidatnya sambil berkata pula dengan lembut, "Toan-long,
engkau harus menjaga kesehatanmu habis minum arak bisa masuk angin, bila engkau
jatuh sakit, ai, betapa rasa cemasku nanti?”
Mendengar rayuan berbisa itu,
seketika Toan Cing-sun yang berada di dalam kamar dan Siau Hong yang mengintip
di luar itu diam-diam timbul semacam rasa takut yang sukar dilukiskan. Tapi
Cing-sun masih tersenyum sedapatnya, sahutnya, "Ya, malam itu kaupun basah
kuyup keringat dan aku pun pernah mengusap keringatmu, malahan saputangan yang
kupakai itu kubawa sekarang.”
Sekilas air muka Be-hujin
tampak malu-malu kucing, katanya dengan lirikan genit, "Kejadian belasan
tahun yang lalu masakah masih suka kau bicarakan? Coba kulihat saputanganku
itu.” Dalam baju Toan Cing-sun ternyata memang benar-benar terdapat saputangan
yang dikatakan itu. Inilah merupakan salah satu modalnya mengapa dia mahir
memikat hati kaum wanita. Ia cukup kenal sifat dan jiwa orang perempuan, dengan
demikian ia membikin setiap perempuan yang main asmara dengan dia akan percaya
penuh bahwa sesungguhnya sang kekasih itu cinta padanya.
Begitulah ia bermaksud
mengeluarkan saputangan itu, tapi sedikit jarinya bergerak, rasa lengannya lantas
kaku linu, racun 'Sip-hiang-hi-hun-san' itu ternyata sangat lihai, bahkan untuk
mengambil saputaugan saja tidak sanggup lagi.
"Mana, tunjukkanlah
padaku!” demikian seru Be-hujin. "Hm, kembali kaudusta belaka.”
"Haha, sekali mabuk
hingga tangan juga tidak bisa bergerak lagi,” kata Cing-sun dengan tersenyum
getir "Boleh kauambil sendiri dalam bajuku ini.”
"Huh, apakah kau kira aku
dapat ditipu?” sahut Be-hujin. "Kauingin memancing aku mendekat, lalu
dengan It Yang-ci akan kaumatikan aku.”
"Wanita cantik ayu tiada
bandingannya seperti dirimu, sekalipun aku adalah manusia yang paling kejam
juga tidak tega menggoda dengan kuku di mukamu,” ujar Cung-sun dengan
tersenyum.
"Betulkah begitu,
Toan-long?” Be-hujin menegas dengan tertawa. "Tapi aku tetap kuatir, aku
harus mengikat dulu kedua tanganmu, kemudian … kemudian mengikat sukmamu pula
dengan sebundel benang halus.”
"Sudah sedari dulu
kauikat sukmaku, kalau tidak masakah aku bisa datang kemari?” ujar Cing-sun.
Be-hujin tertawa, katanya,
"Engkau memang seorang baik, pantas aku jatuh hati padamu.”
Sembari berkata ia buka laci
meja dan mengeluarkan seutas tali kulit.
Diam-diam Cing-sun terkesiap,
pikirnya, 'Kiranya lebih dulu ia sudah siapkan segala sesuatunya, tapi aku sama
sekali tidak sadar. Ai, Toan Cing-sun, kalau hari ini jiwamu malayang di sini
juga tak bisa menyalahkan orang lain.”
Dalam pada itu terdengar
Be-hujin lagi berkata, "Toan-long, sesungguhnya cintaku padamu tiada
taranya, tapi lebih dulu aku harus mengikat tanganmu, apa engkau akan marah
padaku?”
Dalam keadaan begitu, kalau
orang lain mungkin akan terus mencaci maki, bila tidak tentu akan mohon ampun
dan menyinggung cinta masa lalu.
Namun Cing-sun cukup kenal
watak Be-hujin, yang culas dan keji, biarpun wanita, pendiriannya lebih teguh
daripida kaum pria, mencaci maki padanya takkan membuatnya marah, minta ampun
juga takkan membikin dia menaruh belas kasihan.
Jalan satu-satunya sekarang
ialah mengulur waktu untuk mencari kesempatan kalau-kalau ada kemungkinan
menyelamatkan diri. Maka ia coba tenangkan diri dan berkata dengan terawa,
"Siau Kheng, asal kulihat matamu yang basah-basah sayu itu, betapapun rasa
marahku juga seketika akan hilang sirna. Marilah biar kucium bunga melati yang
tersunting di rambut mu itu harum atau tidak?”
Kiranya pada waktu belasan
tahun yang lampau, dengan kata-kata demikian itulah Toan Cing-sun memperoleh
cinta Be-hujin. Kini ucapannya diulangi kembali, seketika Be-hujin menjatuhkan
tubuhnya ke pangkuan Toan Cing-sun dengan penuh kasih mesra. Ia mengelus-elus
pipi Toan Cing-sun dan berkata dengan suara lembut,
"Toan-long malam itu
telah kuserahkan badanku ini padamu tatkala itu kutanya padamu bila kemudian
hari hatimu berubah, lantas bagaimana tindakanku?'
Cing-sun tak bisa menjawab,
sebaliknya keringat di jidatnya berbutir-butir bagai kedelai besarnya.
"Kekasih yang tidak punya liangsim, apakah sumpah yang pernah kau ucapkan
sekarang kaulupakan sendiri?” kata Behujin. "Aku tidak lupa,” sahut
Cing-sun dengan tersenyum getir. "Aku menyatakan akan membiarkan digigit
daging tubuhku ini secomot demi secomot.” Sebenarnya sumpah begitu adalah jamak
tatkala kedua kekasih sedang bercumbu-cumbuan.
Tapi kini tanpa terasa membuat
orang yang mendengarnya mengkirik. Dan dengan senyum genit Be-hujin berkata,
"Masakah aku tega menggigitmu. Aku hanya ingin mengikat kedua tanganmu,
kaululuskan tidak, coba katakan selamanya aku menurut kepada apa yang
kaukatakan.” Cing-sun tahu dirinya takkan terhindar dari pada siksaan kekasih
itu, maka sahutnya dengan tawa,
"Jika kau mau ikat, boleh
ikatlah. Biarpun mati, asal mati di tangamu juga aku puas.” Diam-diam Siau Hong
kagum juga kepada ketenangan Toan Cing-sun, menghadapi detik bahaya itu
ternyata pangeran Tayli itu masih sanggup mengucapkan kata-kata merayu.
Segera Be-hujin menelikung
kedua tangan Cing-sun ke belakang, lalu diringkusnya dengan tali kulit hingga
kencang, bahkan ia ikat dengan tali pati bebarapa kali. Dengan demikian, sekali
pun Toan Cing-sun dalam keadaan biasa juga sukar melepaskan diri, apalagi sekarang
dalam keadaan lemas tak berkutik.
Kemudian Be-hujin berkata pula
dengan tertawa menggiurkan, "Aku pun benci kepada kedua kakimu ini, asal
sudah melangkah pergi, maka tak mau kembali lagi.” "Tapi waktu aku
berkenalan denganmu, justru kedua kaki inilah yang membawaku kemari, maka
jasanya boleh dikatakan besar daripada dosanya,” sahut Cing-sun. "Baiklah,
biar aku mengikatnya juga,” kata Be-hujin. Lalu ia mengunakan tali kulit yang
lain untuk mengikat kedua kakinya. Habia itu, ia ambil gunting dun pelahan
memotong baju di bahu kanan Cing-sun hingga tertampak kulit dagingnya yang
putih bersih.
Meski usia Toan Cing-sun sudah
lebih 4l tahun tapi ia dilahirkan sebagai pengeran, hidupnya senang bahagia,
maka badannya terawat dengan baik, kulit dagingnya juga halus. Pelahan Be-hujin
meraba bahu Toan Cing-sun itu, kemudian ia tempelkan mulutnya yang mungil itu
untuk mencium pipi sang kekasih, lalu menurun ke leher dan mencium bahu kanan
itu. Dan "Auuuhhg!” mendadak Toan Cing-sun menjerit kesakitan, suaranya
keras memecah angkasa malam yang sunyi. Ketika Be-hujin mengangkat kepalanya,
tertampaklah mulutnya penuh berlepotan darah, ternyata sepotong daging di bahu
Toan Cing-sun itu benar-benar telah digigitnya. Keruan darah mengucur dari
tempat luka itu.
Be-hujin meludahkan sepotong
daging kecil yang digigitnya itu, lalu berkata dengan suara genit,
"Toan-long engkau sendirilah yang bilang bahwa bila hatimu berubah, maka
akan membiarkan aku menggigit dagingmu secomot demi secomot.”
"Haha, memang begitulah
kataku dahulu, masakah aku mungkir sekarang?” sahut Cing-sun dengan tertawa.
"Ya, terkadang aku pun berpikir entah cara bagaimana baiknya aku akan
mati? Kalau mati sakit di atas ranjang, itulah terlalu jamak. Mati di medan
bakti, sudah tentu cara ini sangat baik, tapi melulu gagah perwira saja tanpa
romantis. kurasa masih kurang sempurna dan tidak sesuai dengan perbuatanku
selami hidup. Tapi kini, Siau Khong, apa yang kaupakai ini benar-benar suatu
cara yang paling tepat, rupanya sudah ditakdirkan aku Toan Cing-sun harus mati
di mulut mungil wanita paling cantik di jaman ini, biar mati pun aku akan
merata puas.”
Mendengar sampai di sini, Ciu
Ang-bian dan Wi Sing-tiok menjadi kuatir sekali, mereka jiwa kekasih mereka itu
benar-benar terancam bahaya, sebaliknya Siau Hong terlihat masih enak-enak
menonton di luar jendela dan tiadi tanda-tanda akan turun tangan untuk
menolong. Keruan mereka sangat gelisah dan diam-diam mencaci maki bekas Pangcu
itu, coba kalau tak tertutuk olehnya, tentu sejak tadi mereka menerjang ke dalam
rumah untuk menolong sang kekasih.
Sebaliknya waktu itu Siau Hong
masih belum dapat meraba apa sebenarnya tujuan Be-hujin itu, ia tidak tahu
apakah nyonya janda itu benar-benar akan membunuh Toan Cing-sun atau cuma untuk
menggertak saja. Dan karena kuatir salah tindak, maka Siau Hong tetap sabarkan
diri untuk mengikuti perkembangan selanjutnya. Begitulah maka didengarnya
Be-hujin sedang berkata dengan tertawa, "Toan-long, sebenarnya aku ingin
menggigitmu dengan perlahan-lahan, akan kugigitmu seratus kali atau seribu
kali, tapi kukuatir pula bawahanmu keburu datang menolongmu. Maka boleh begini
saja, aku akan menancapkan sebilah belati pada hulu hatimu, lalu cuma menusuk
setengah senti saja ke dadamu hingga jiwamu takkan melayang, tapi bila ada
orang ingin menolongmu, segera kutikam belati itu dan kontan kaupun akan
terbebas daripada segala penderitaan.”
Sembari berkata ia terus
mengeluarkan sebilah belati yang kecil mengkilap, ia potong baju dada Toan
Cingsun, ia acungkan ujung belati ke hulu hati sang kekasih, sedikit ia tekan,
ujung belati lantas menusuk ke dalam dadaa, dan menang benar hanya ambles masuk
setengah senti saja. Pada saat Be-hujin menusuk dada Toan Cing-sun dengan
belati, dengan mata tak berkedip Siau Hong mengawasi tangan wanita itu, asal
dilihatnya nyonya itu menikam dengan kuat dan membahayakan jiwa Toan Cing-sun,
maka seketika ia akan turun tangan untuk menolong.
Syukurlah ia lihat Be-hujin
cuma menusuk dengan pelahan saja, maka Siau Hong tidak perlu kuatir pula.
Kemudian terdengar Toan Cing-sun berkata, "Siau Kheng, sesudah mati
digigit olehmu, maka selamanya aku pun takkan meninggalkanmu.”
"Sebab apa?” tanya
Be-hujin.
"Sebab umumnya kalau sang
istri membunuh suami sendiri, maka arwah sang suami yang sudah mati itu pasti
takkan melayang pergi, tapi akan menjaga di samping sang istri untuk
mengalang-alangi kalau ada lelaki lain akan main gila dengan dia ” Apa yang
dikatakan Toan Cing-sun ini tentunya cuma untuk menakut-nakuti saja agar
Be-hujin tidak terlalu keji perbuatanya.
Tak terduga wajah nyonya janda
itu lantas berubah hebat demi mendengar ucapan itu dan tanpa terasa melirik
sekejap ke belakang. Dasar Toan Cing-sun memang cerdik, segera ia tambahi pula,
"Lihatlah, siapakah orang yang berada di belakangmu itu?”
Be-hujin terkejut, capat
sahutnya, "Siapa sih yang berada di belakangku? Huh ngaco belo belaka!”
"Itu dia, seorang lelaki
sedang tertawa padamu sambil meraba-raba tengorokan sendiri seakan-akan
kerongkongannya sedang kesakitan,” demikian kata Cing-sun pula. "He,
siapakah dia. Perawakannya tinggi, dan menangis malah…”
Tanpa terasa Be-hujin membalik
tubuh dengan cepat, dan sudah tentu tiada seorang pun tang dilihatnya. Dengan
suara gemetar ia mengomel, "Kau … kau bohong!” Semula Toan Cing-sun
sebenarnya cuma omong asal omong saja, tapi kini demi melihat perempuan itu
ketakutan sekali, seketika timbul rasa curiganya. Sebagai seorang cerdik,
sedikit pikir saja segera ia tahu di balik kematian Be Taigoan itu pasti ada
sesuatu yang tidak beres. Ia tahu Be Taigoan terbinasa oleh serangan
'Soh-au-kim-na-lu' (ilmu mencengkeram leher), sebab itulah ia sengaja bilang
orang itu seperti sakit kerongkongan dan meneteskan air mata.
Dan benar juga ucapannya itu
membuat Be-hujin sangat gelisah dan ketakutan. Sedikit kelakuan Be-hujin yang
tidak wajar itu segera dapat diduga oleh Toan Cing-sun. Ia pikir kalau dirinya
ingin selamat, agaknya harus mencari jalan melalui kelemahan wanita itu dalam
urusan kemtian suaminya itu. Maka ia lantas berkata pula, Eh, aneh, mengapa
hanya sekejap saja lelaki itu sudah menghilang, dia pernah apakah denganmu?”
Keruan Be-hujin semakin gugup,
tapi segera kemudian ia dapat tenangkan diri, sahutnya, "Toan-long, urusan
sudah begini, tentunya harus kautepati sumpahmu itu, mengingat hubungan, kita
yang baik, biarlah kubereskan dirimu secara cepat dan enak saja.” Sambil
berkata ia terus melangkah maju untuk menolak belati yang menancap di dada Toan
Cing-sun itu.
Cing-sun sadar keadan sangat
gawat, mati-hidupnya tinggal sekejap saja, tiba-tiba ia mendelik ke belakang
Behujin sambil berteriak, "Eh Taigoan, lekas cekik mati dia!” Memangnya
Be-hujin terkejut ketika melihat sikap Toan Cing-sun yang menyeramkan itu,
ketika mendengar teriakannya menyebut 'Be Tai-goan’, keruan ia tambah kaget dan
tanpa terasa ia menoleh. Kesempatan yang sudah dicari itu tidak disia-siakan
Cing-sun lagi, sekuatnya ia menunduk terus menyeruduk ke arah Be-hujin,
"bluk”, kontan bawah dagu nyonya janda itu tertumbuk dan jatuh kelengar.
Tapi serudukan Toan Cing-sun
ini tak mempunyai tenaga dalam sedikitpun, Be-hujin cuma pingsan sebentar saja
lantas siuman kembali, berbangkit sambil meraba-raba dagu sendiri, katanya
dengan tertawa. "Toan-long, engkau suka kasar begini, daguku sampai
kesakitan kautumbuk. Engkau sengaja omong yang tidak-tidak untuk menakuti aku.
sekarang aku takmau tertipu lagi.” Diam-diam Cing-sun mengeluh dan menghela
napas, jika
nasibnya sudah ditakdirkan
demikian, apa mau dikata lagi? Tiba-tiba datang suatu pikiran padanya, katanya
segera, Siau Kheng, apakah aku akan kaubunuh secara begini saja? Kalau nanti
orang Kai-pang datang kemari untuk menghukummu atas dosamu membunuh suami
sendiri, lantas siapa yang akan memembela dirimu?” Behujin tertawa, sahutnya,
"Siapa yang bilang aku membunuh suami sendiri? Hah, setelah engkau
kubunuh, akan kupergi dan menghilang jauh-jauh, masakah aku masih mau tinggal
disini!” Ia menghela napas penuh menyesal, lalu berkata pula,
"Toan-long, sesungguhnya
aku sangat rindu padamu. Sangat cinta padamu, tapi karena aku tak bisa
mendapatkanmu, terpaksa aku menghancurkan dirimu, ini adalah tabiatku, apa mau
dikatakan lagi?”
"Ah, tahulah aku
sekarang,” kata Cing-sun tibi-tiba. "Tempo hari kamu sengaja menipu nona
cilik itu supaya Kiau Hong membunuhku, tujuanmu adalah sama seperti sekarang
ini, bukan?”
"Ya, benar,” sahut
Be-hujin. "Keparat Kiau Hong itu benar-benar tak berguna, masakah membunuhmu
pun tidak mampu hingga kamu berhasil melarikan diri kemari.”
Sungguh heran Siau Hong tak
terkatakan, kepandaian menyamar si A Cu boleh dikata tiada bandingannya,
apalagi Be-hujin ini jarang bertemu dengan Pek Si-kia, mengapa ia dapat
mengetahui rahasia penyamaran A Cu itu?
Semetara itu terdengar
Be-hujin berkata pula, "Toan-long, aku akan menggigit sekali lagi!”
"Silakan, aku sangat
senang malah,” sahut Cing-sun dengan tersenyum.
Siau Hong tahu sudah tiba
waktunya, segera ia jojohkan telapak tangannya ke dinding yang berada di
belakang Toan Cing-sun ita, ia kerahkan tenaga dalam dan pelahan tangannya
dapat menembus dinding itu, akhirnya tanpa diketahui siapa pun telapak
tangannya dapat menempel punggung Toan Cing-sun.
Pada saat itulah Be-hujin
menggigit pula daging di bahunya hingga Cing-sun berteriak kesakitan sambil
kelojotan, dan pada saat yang sama tiba-tiba ia merasa kedua lengan sendiri
dapat bergerak, tali kulit yang mengikat tangannya dijepit putus oleh Siau
Hong. Berbareng suatu arus tenaga dalam membanjir ke tubuh Toan Cing-sun.
Sesudah tertegun sekejap,
Cing-sun sadar di luar telah datang bala bantuan yang kuat, segera ia
bertindak, tenaga dalam yang mengalir ke tubuhnya itu dikerahkan ke tangan dan
jari, "crit”, kontan ia mengeluarkan It Yang-ci yang sakti.
Keruan Be-hujin menjerit,
iganya tertutuk sekali, orangnya pun roboh di balai-balai.
Melihat Toan Cing-sun sudah
berhasil mengatasi Be-hujin, cepat Siau Hong menarik kembali tangannya. Dan
selagi Cing-sun hendak bersuara menyatakan terima kasih kepada penolong yang
tak kelihatan itu, tiba-tiba kerai pintu tersingkap dan masuklah seorang..
"Siau Kheng, apa kamu masih sayang padanya? Mengapa sudah sekian lama
belum kaubereskan dia?” demikian orang itu menegur.
Melihat orang itu, seketika
Siau Hong terkesima. Tapi hanya sekejap saja, maka segala tanda tanya yang
selama ini bersarang dalam benaknya itu seketika terjawab semuanya. Terbayang
oleh Siau Hong kejadiankejadian yang lalu, yaitu waktu Be-hujin datang di
tengah hutan di luar kota Bu-sik, di sana nyonya janda itu mengeluarkan kipas
lempit miliknya sebagai bukti untuk memfitnah dia malam-malam menggerayangi
rumah Be Tai-goan untuk mencuri surat penting itu. Ia heran dari manakah nyonya
ini mendapatkan kipas itu? Jika kipas pribadinya itu dicuri orang, tentu si
pencuri adalah orang kepercayaannya. Dan siapakah orang itu? Rahasia tentang
dirinya keturunan Cidan sudah terpendam selama lebih-30 tahun, mengapa mendadak
orang membongkarnya?
Penyamaran A Cu sebagal Pek
Si-kia sebenarnya mirip sekali, dari mana Be-hujin dapat mengetahui rahasia
penyamarannya? Jawabannya ternyata mudah saja dengan munculnya orang ini.
Siapakah dia? Kiranya ia taklain-tak-bukan adalah Pek Si-kia sendiri itu
Cit-hoat Tianglo Kai-pang yang disegani. Begitulah maka terdengar Be-hujin
sedang berseru dengan kuatir, "Dia … dia masih tangkas aku … aku tertutuk
olehnya.”
Mendengar itu, segera Pek
Si-kia melompat maju, ia pegang kedua tangan Toan Cing-sun, "krak-krak”,
kontan ia puntir patah tulang pergelangan lawan itu. Hendaklah diketahui bahwa
tenaga murni yang disalurkan Siau Hong ke dalam tubuh Toan Cing-sun itu hanya
dapat bertahan sebentar saja, ketika Siau Hong menarik kembali tangannya,
kembali Toan Cing-sun menjadi lumpuh pula, Siau Hong sendiri sedang bergolak
perasaannya oleh munculnya Pek Si-kia, seketika ia tidak berpikir untuk
membantu Toan Cing-sun lagi, pula ia tidak menduga bahwa mendadak Pek Si-kia
akan turun tangan keji, maka selagi ia terkejut oleh kejadian itu tahu-tahu
tulang pergelangan tangan Toan Cing-tun sudah patah.
Pikirnya, "Ya, orang ini
suka menggoda banyak wanita, hari ini biar dia tahu rasa sedikit. Mengingat A
Cu pada detik terakhir tentu akan ku tolong jiwanya.” Dalam pada itu terdengar
Pek Si-kia sedang berkata, "Orang she Toan, tidak nyana kepandaianmu
sangat hebat juga, sudah minum Sip hiang-hi-hun-san toh tenagamu tidak lenyap
sama sekali.”
Meski Toan Cing-sun tidak tahu
siapakah gerangan orang yang membantunya dengan hawa murni dari luar rumah itu,
tapi ia menduga pasti seorang tokoh yang berkepandaian tinggi, di hadapannya
kini bertambah seorang musuh tanguh, namun di belakang sendiri juga ada
penolong yang kuat, maka ia tidak menjadi gugup, apalagi dari ucapan Pek Si-kia
itu terang orang tidak tahu bahwa dirinya barusan telah ditolong orang, maka ia
lantas bertanya, "Apakah tuan ini Tianglo dari Kai-pang? Selamanya aku
tidak kenal padamu, mengapa datangdatang lantas turun tangan keji?”
Pek Si-kia tidak menjawab, ia
mendekati Be-hujin dan memijat-mijat beberapa kali pada pinggangnya. Namun It
Yang-ci keluarga Toan dari Tayli adalah ilmu tiam-hiat yang sakti, biarpun ilmu
silat Pek Si-kia tidak lemah, tapi tidak mampu membuka hiat-to yang tertutuk
itu.
Maka dengan berkerut kening
tokoh Kai-pang itu bartanya. "Bagaimana keadaanmu?” Nadanya ternyata penuh
perhatian mirip seorang suami lagi tanya istrinya.
"Aku merasa lemas,
sedikit pun tak bisa berkutik,” sahut Be-hujin. "Si-kia, lekas turun
tangan membereskan dia saja, dan segera kita pun angkat kaki dari sini. Rumah …
rumah ini lebih baik kita tinggalkan saja.”
"Hahahaha!” mendadak Toan
Cing-sun terbahak-bahak, "Siau Kheng, mengapa kau ketakutan? Hahahaha!”
"Toan-long, ajalmu sudah
di depan mata, tapi engkau masih senang-senang dan tertawa segembira ini?” ujar
Be-hujin dengan tersenyum.
"Plok”, mendadak Pek
Si-kia tempeleng nyonya janda itu dengan keras sambil memaki, "Masih
kaupanggil dia Toan-long? Kau perempuan hina-dina! Long atau "kok” adalah
panggilan kaum istri kepada sang suami.
Dan selagi Be-hujin meringis
kesakitan, di sana Toan Cing-sun telah membentak dengan gusar, "Tahan,
mengapa kaupukul dia?”
"Huh, berdasar apa
kauikut campur?” jengek Pek Si-kia. "Dia adalah orangku, aku suka hajar
atau maki dia, peduli apa dengan kau?”
"Wanita cantik molek
begini, masakah kau-tega memukulnya?” demikian kata Cing-sun. "Seumpama
betul dia adalah orangmu, sepantasnya engkau membujuk rayu untuk menyenangkan
dia.”
"Dengarlah itu!” kata
Be-hujin sambil mendeliki Pek Si-kia sekali. "Coba, orang lain begitu baik
padaku, dan bagaimana pula sikapmu kepadaku? Apa engkau tidak malu?”
"Kau perempuan jalang
ini, sebentar lagi tentu akan ku hajarmu?” demikian Si-kia mendamprat.
"Orang she Toan, aku justru tidak suka mendengarkan ocehanmu itu. Kamu
pandai mengambil hatinya, tapi mengapa sekarang kamu akan dibunuh olehnya? Nah,
silakan saja, pada hari yang sama tahun depan adalah ulang tahun
ajalmu ini.” Habis berkata, ia
terus melangkah maju dan hendak menusukkan belati yang menancap di dada Toan
Cing-sun itu.
Melihat keadaan sudah
berbahaya, segera tangan Siau Hong dimasukkan pula melalui lubang dinding tadi,
asal Pek Si-kia melangkah maju lagi sedikit, segara tenaga pukulannya akan
dilontarkan! Tapi pada saat itu juga mendadak kerai tersingkap oleh tiupan
angin yang kencang, dimana angin keras menyambar, seketita api lentera padam
dan kamar itu menjadi gelap gulita.
Be-hujin menjerit ketakutan,
Pek Si-kia tahi kedatangan musuh, ia tidak sempat membunuh Toan Cing-sun lagi
terpaksa ia harus menghadaphi musuh lebih dulu. Segera ia membentak,
"Siapa?” Berbareng kedua tangan siap didepan dada sambil membalik tubuh.
Angin kencang yang memadamkan
api lentera tadi terang dilakukan oleh seorang yang ilmu silatnya sangat
tinggi. Tapi sesudah kamar itu menjadi gelap gulita, keadaan tetap sunyi senyap
saja. Tapi ketika Pek Si-kia, Toan Cing-sun, Be-hujin, dan Siau Hong
memperhatikan, maka tertampakah lamat-lamat di dalam kamar itu sudah bertambah
dengan satu orang.
Be-hujin yang pertama-tama
tidak tahan perasaannya, ia menjerit tajam, "Ada orang! Ada orang!”
Orang itu tampak berdiri tegak
di tengah pintu, kedua tangan lurus ke bawah, mukanya tidak kelihatan.
"Siapa kau?” bentak Pek
Si-kia pula sambil melangkah maju setindak. Tapi orang iua tetap diam saja
seakanakan tidak mendengar. Kembali Pek Si-kia membentak lagi, "Siapa kau?
Jika tidak manjawab, terpaksa aku tidak sungkan-sungkan lagi.” Oleh karena
tidak tahu pendatang itu kawan, atau lawan, cuma dari angin pukulannya yang
dapat memadamkan api lentera tadi jelas ilmu silat pendatang ini sangat tinggi,
maka Pek Sikia tidak ingin bergebrak dengan dia. Tapi orang itu tetap berdiri
tegak tanpa bersuara, dalam keadaan gelap, suasana menjadi seram rasanya,
Dalam pada itu Toan Cing-tun
dan Siau Hong yang berada di dalam dan di luar rumah itu juga merasa sangsi
melihat bentuk pendatang itu, pikir mereka, "Ilmu silat orang ini tidak
lemah, tapi di kalangan Bu-lim mengapa tidak pernah terdengar ada tokoh seperti
dia ini?'
Sementara itu Be-hujin
berteriak pula, "Lekas menyalakan lentera, aku takut, aku takut!”
Diam-diam Si-kia mendongkol,
pikirnya, "Perempuan jalang ini sembarangan omong saja, kalau aku
menyalakan api, bukankah akan memberi kesempatan kepada musuh untuk menyerang?”
Begitulah maka ia tetap siapkan kedua tangan di depan dada. ia ingin tahu
bagaimana musuh akan bertindak lebih dulu, dengan
demikian ia akan dapat
mengetahui musuh benar-benar lihai atau tidak.
Tak tersangka orang itu tetap
diam-diam saja hingga mereka berdiri berhadapan sampai cukup lama. Keruan saja
makin lama Pek Si-kia makin kuatir, pikirnya, 'Tentu orang ini adalah lawan dan
bukan kawan, tapi dia tidak mau menyerang, apakah sebabnya? Ah, tentu dia lagi
menunggu kawannya, mungkin kuatir seorang diri tak mampu melawan aku, maka
perlu menunggu bala bantuan dulu untuk menolong Toan Cing-sun.”
Berpikir demikian, maka ia
tidak mau buang waktu lagi, segera ia berseru, "Jika saudara tidak mau
bersaudara, terpaksa aku yang akan bertindak.” Dan ketika melihat lawan masih
tetap diam saja, segera ia mengeluarkan sebatang pusut beaja, sekali melompat
maju, di mana pusut baja bekerja, terus saja menusuk orang itu. Tipu serangan
yang disebut "Kong-sia-tau-gu” atau sinar kilat menembus langit ini adalah
salah satu tipu serangan yang paling diandalkannya.
Namun hanya sedikit mengegos
saja orang itu sudah dapat menghindarkan serangan, bahkan Pek Si-kia lantas
merasa serangkum angin keras menyambar ke arahnya, jari tengah lawan telah
mencengkeram lehernya. Serangan balasan ini datangnya cepat luar biasa, belum
lagi Si-kia sempat menarik kembali pusutnya, tahutahu kelima jari musuh sudah
menempel tenggorokannya.
Keruan kejutnya tidak
kepalang, sukma serasa terbang ke awang-awang. Lekas ia melompat mundur untuk
manghindarkan cengkeraman orang sambil berseru dengan suara keder, "Kau …
kau” Kiranya apa yang membuatnya takut setengah mati itu bukanlah disebabkan
ilmu lawan yang sangat tinggi itu, tapi lantaran tipu serangan yang digunakan
orang itu ternyata adalah "Soh-su-kim-na-jiu”. "Soh-au-kim-na-jiu”
atau ilmu mencekik leher adalah kepandaian tunggal warisan keluarga Be
Tai-goan, selain anak murid keluarga Be, di dunia persilatan tiada orang lain
lagi yang bisa memainkannya. Dan sejak Be-Tai-goan meninggal, ilmu silat itu
sesungguhnya lantas ikut putus dan tak terwariskan lagi. Pek Si-kia adalah
kawan karib Be Taigoan, dengan sendirinya ia cukup kenal kepandaian tunggal
sang kawan. Dan sekali gebrak saja, seketika keringat dingin membasahi tubuh
Pek Si-kia.
Waktu ia perhatikan lawan itu,
ia lihat perawakannya sangat memper Be Taigoan, cuma keadaan gelap gulita, maka
mukanya tidak jelas kelihatan. Sesudah gebrak, orang itu tetap diam saja
sikapnya itu benar-benar sangat menyeramkan. Si-kia merasa.lehernya, rada
kesakitan, mungkin terluka oleh kuku orang. Sesudah tenangkan diri, segera ia
bertanya, pula, ”Siapakah saudara? Apa kau she Be?” Tapi orang itu seperti
orang tuli atau gagu, sama sekali ia tidak ambil pusing atas pertanyaan Pek
Si-kia. "Siau Kheng, coba engkau menyalakan lampu.” kata Si-kia.
"Aku tak bisa bergerak,
engkau saja yang menyulutnya,” sahut Be-hujin.
Sudah tentu Pek Si-kia tidak
berani sembarangan bergerak sebab kuatir memberi kesempatan kepada musuh untuk
menyerang, pikirnya. "Ilmu silat orang ini terang jauh lebih tinggi dari
padaku, bila Toan Cing-sun akan ditolong?, tidak perlu menunggu bala bantuan
juga dia dapat bertindak sendirian. mengapa sesudah bergebrak tadi lalu ia
tidak menyerang pula?” Keadaan kembali hening hingga sekian lamanya, mendadak
Pek Si-kia
merasakan sesuatu yang aneh.
Meski tiada seorang pun yang bicara dan bergerak di dalam kamar, tapi
pernapasan setiap orang tentu ada, ia dengar suara napas sendiri
suara napas Be-hujin dan Toan
Cing-sun, tapi aneh, orang yang berdiri berhadapan dengan dia itu justru tidak
terdengar bernapas meski ia coba mendengarkan dengan cermat. Masakah ada
manusia hidup tak bernapas. Sungguh tidak masuk akal. Sampai akhirnya Pek
Si-kia jadi tak sabar lagi, mendadak ia membentak terus menubruk maju, pusutnya
menikam muka orang itu.
Tapi sekali tangkis dengan
tangan kiri, orang itu dapat menyampuk tikaman pusut lawan, berbareng tangan
kanan itu meraih leher Pek Si-kia. Si-kia sudah menduga kemungkinan itu, mak
sedikit ia mendak, cepat ia menyelinap ke samping di bawah ketiak orang. Tapi
orang itu tidak memburu, kembali ia berdiri mematung di tengah pintu. Waktu
Si-kia menikam kaki orang itu dengan pusutnya, dengan tegak kuku orang itu
melompat ke atas untuk menghindar. Melihat tubuh orang yang kaku tegak itu pada
waktu melompat sedikit pun tidak menekuk lutut, tanpa terasa Be-hujin
berteriak-teriak, "Mayat hidup! Mayat hidup!”' Maka terdengarlah suara
"bluk”, dengan antap orang itu turun ke lantai.
Keruan Pek Si-kia mengkirik,
pikirnya, "Jika orang ini seorang tokoh persilatan, mengapa gerak-geriknya
begini kaku? Apakah betul di dunia ini ada mayat hidup?” Tapi jelek-jelek dia
adalah tokoh terkemuka Kaipang, betapapun ia tidak boleh unjuk kelemahan di depan
musuh yang aneh itu.
Sesudah ragu sejenak, kembali
ia menubruk maju pula dan beruntun pusutnya menikam tiga tali ke bagian bawah
lawan dan memang benar dengkul orang itu seperti tidak bisa menekuk, selalu ia
menghindar dengan lompatan kaku, tampaknya bukan mustahil melangkah pun orang
itu tak bisa. Kalau Pek Si-kia menikam ke kiri, ia lantas melompat ke kanan,
bila Si-kia menusuk ke kanan, orang itu lantas menghindar ke kiri. Melihat
kelemahan lawan itu, rasa jeri Pek Si-kia agak berkurang, tapi makin lama makin
dirasakan lawan itu bukanlah manusia hidup. Kembali Pek Si kia menyerang
beberapa kali lagi, walau lawan itu kelihatannya kaku cara menghindarnya, namun
Ilmu permainan pusutnya yang lihai itu sebegitu jauh ternyata tak bisa
menyenggol tubuh orang.
Sekonyong-konyong terasa
"nyes” dingin tahu-tahu Si-kia merasa sebelah tangan orang yang lebar dan
dingin itu meraba kuduknya. Dalam kagetnya .Si-kia terus menikam ke belakang,
namun luput, sebaliknya tangan orang itu makin berat menindih ke bawah. Cepat
Si-kia bertahan dengan mengerahkan seluruh tenaganya, tapi semakin ia tahan,
semakin berat pula daya tekanan musuh. Sejenak kemudian ia mulai kewalahan,
kepalanya mulai menduduk tertindih, menyusul terpaksa ia membungkuk, di atas
tengkuk seakan-akan ditaruhi sepotong batu raksasa beribu kati beratnya hingga
tulang punggung pun terasa akan patah.
Karena itu napas Pek Si-kia
semakin memburu, semakin tersengal-sengal. Keruan Siau Hong dan Toan Cingsun
juga heran oleh kejadian itu,
"Si-kia, Si-kia Kenapa
kau?” tanya Be-hujin dengan kuatir.
Sudah tentu Pek Si-kia tiada
kelebihan tenaga untuk menjawabnya, ia merasa tenaga dalamnya sedang terkuras
oleh daya tekan, di atas punggung sedikit demi sedikit.. Sekonyong-konyong
sebelah tangan lawan yang lebar dan dingin itu kembali meraba mukanya. Tangan
itu benar-benar bukan tangan manusia, sebab sedikit pun tidak terasa hangatnya
tangan manusia umumnya.
Saking ketakutan tanpa terasa
Pek Si-kia berteriak-teriak dengan suara ngeri, "Mayat hidup! Mayat
hidup!'
Gerak tangan terakhir itu
ternyata sangat pelahan, mula-mula muka Pek Si-kia yang diraba, kemudian meraba
matanya, jari tangan menggosok-gosok pelahan biji matanya. Keruan Si-kia
ketakutan setengah mati. Bayangkan saja. asal jari musuh sedikit menekuk,
seketika biji matanya akan terkorek keluar. Untung tangan yang dingin bagai es
itu menggeser ke bawah pula dan meraba-raba hidungnya, lalu meraba mulutnya dan
menurun terus ke bawah, akhirnya sampai di lehernya.
Orang itu menggunakan dua jari
telunjuk dan tengah untuk menjepit tenggorokan Pek Si-kia, makin lama makin
keras jepitannya.
Sungguh tidak kepalang rasa
takut Pek Si-kia, mendadak ia berteriak, "Ampun, Tai-goan! Ampun!”
"Ap … apa katamu?” seru
Be-hujin dengan suara melengking tajam.
Tapi Pek Si-kia masih
berteriak-teriak, "Tai- goan Hengte, segalanya dia yang mengatur, tiada
sangkut-pautnya dengan aku.”
"Kalau aku yang mengatur,
lantas mau apa?” kata Be-hujin dengan gusar.
"Be Tai-goan, hidupmu
adalah orang yang tak berguna, sesudah mati kau mampu berbuat apa? Hm, aku
justru tidak gentar padamu!” Pek Si-kia marasakan waktu menyangkal tadi cekikan
orang itu lantas dikendurkan sedikit. Dan kini sesudah tutup mulut, cekikan
orang itu kembali diperkeras.
Dalam gugupnya didengarnya Be-hujin
menyebut "Be Tai-goan”, keruan ia makin yakin makhluk aneh itu pasti mayat
hidup Be Tai-goan, maka kembali ia berteriak-teriak, "Ampun, Tai-goan!
Istrimu yang berulangulang minta engkau membongkar rahasia asal-usul Kiau Hong
tapi engkau berkeras tidak mau. maka timbul maksud jahatnya untuk membunuhmu ….
"
Siau Hong terkesiap, ia tidak
percaya bahwa di dunia ini ada setan segala, tapi ia yakin pendatang itu pasti
seorang tokoh persilatan yang sengaja bersikap sebagai makhluk halus untuk
membikin takut Be-hujin dan Pek Si-kia, dengan demikian dapat memaksa mereka
mengaku dosa yang telah diperbuatnya. Dan benar juga, dalam keadaan bingung dan
takut Pek Si-kia mulai mengaku, dari ucapannya itu terang Be-Tai-goan telah
dibunuh oleh mereka berdua dan nyonya Be sendiri adalah biang keladinya
pembunuhan itu. Sebabnya Behujin membunuh suami sendiri adalah karena sang
suami tidak mau membongkar rahasia asal-usul Siau Hong. "Sebab apakah dia
begitu dendam padaku? Mengapa ia bertekad menggulingkan kedudukanku sebagai
Pangcu?” demikian Siau Hong tidak habis mengerti. Dalam pada itu terdengar
Be-hujin masih menjerit-jerit pula, "Ayolah, boleh kau cekik mati diriku.
Huh, aku justru memandang hina kepada manusia tak berguna macammu itu! Huh,
pengecut!”
Maka terdengarlah "krak”
sekali, tulang tenggorokan Pek Si-kia telah dijepit remuk oleh jari orang itu.
Matimatian Pek Si-kia masih meronta-ronta. tapi betapapun juga dia tak bisa
melepaskan diri dari tangan orang itu. Menyusul terdengar pula "krok”'
sekali, tenggorokan Pek Si-kia pecah, ia menarik napas beberapa kali, tapi hawa
tak bisa tersedot lagi ke dalam dalam dada, badannya tampak berkelejatan
sejenak, lalu putuslah napasnya.
Sehabis mencekik mati pek
Si-kia, sekali putar tubuh, segera orang itu menghilang di luar rumah. Cepat
pikiran Siau Hong tergerak, "Siapakah orang itu? Aku harus menyusulnya!”
Segera ia melesat keluar rumah sana, di tanah salju yang putih terang itu
terlihat sesosok bayangan orang sedang menghilang ke arah timur-laut sana.
Begitu gesit gerakan orang itu hingga kalau bukan Siau Hong, tentu sukar
melihatnya. "Cepat amat gerakan orang itu!” demikian Siau Hong membatin.
Segera ia pun menyusul ke sana.
Sesudah mempercepat
langkahnya, maka jaraknya tinggal belasan meter saja jauhnya. Kini Siau Hong
dapat melihat jelas bahwa orang itu terang adalah tokoh kosen dunia persilatan,
kini orang itu tidak ia lompat-lompat dengan kaku, tapi langkahnya enteng dan gesit
mirip orang meluncur salju cepatnya. Ginkang yang dimiliki Siau Hong berasal
dari Siau-lim-pai, ditambah lagi didikan Ong-pangcu almarhum, maka ia pun dapat
berlari dengan sama cepatnya, sekali langkah lantas lebih satu meter jauhnya,
dan selagi tubuh terapung di udara, kembali kakinya melangkah pula dengan
lebar.
Kalau bicara tentang gaya
memang Siau Hong kalah indah daripada orang di depan itu, namun untuk berlari
jarak jauh terang ia lebih kuat. Maka sesudah berlari-lari sekian lama,
jaraknya dengan orang di depan itu dapat diperpendek legi satu-dua meter. Tidak
lama kemudian, rupanya orang itu pun merasa sedang dikuntit dan tahu pula
penguntit itu sangat tinggi ilmu silatnya, maka mendadak ia meluncur lebih
cepat, tidak kelihaian dia menggunakan tenaga, tapi gerak-geriknya gesit luar
biasa dan pesat melesat kedepan, jaraknya dengan Siau Hong kembali ditarik
panjang lagi beberapa meter.
Diam-diam Siau Hong terkesiap
oleh kepandaian orang yang hebat itu, pantas jago seperti Pek Si-kia hanya
dalam satu-dua gebrak saja lantas terbunuh olehnya. Bakat pembawaan Siau Hong
memang lain daripada yang lain, yaitu bakat jago silat jempolan. Meski
guru-gurunya seperti Hian-koh Taisu dan Ong-pangcu juga tinggi ilmu silatnya,
tepi belum terhitung tokoh-tokoh yang luar biasa.
Sebaliknya Siau Hong ternyata
jauh melebihi guru-guru yang mengajarnya itu, setiap jurus silat yang biasa dan
umum bagi orang lain, kalau dia yang memainkan, otomatis lantas mengeluarkan
daya serang yang hebat luar biasa. Orang yang kenal dia mengatakan bakat
pembawaannya dalam-ilmu silat itu itu memang pemberian ilahi dan tidak mungkin
dicapai dengan hanya latihan belaka. Dan oleh karena dia memiliki bakat yang
sukar disamai orang lain, maka selama hidupnya jarang ketemu tandingan. Tapi
kini ia menemukan seorang lawan yang ginkangnya tidak di bawahnya, seketika
timbul jiwa jagoannya, segera ia percepat pula langkahnya dan menyusul lebih
dekat lagi.
Begitulah susul-menyusul kedua
orang itu masih terus berlari cepat ke utara, selama itu tetap Siau Hong tak
mampu menyusul hingga berjajar dengan orang itu, sebaliknya orang itu pun tidak
dapat meninggalkan kejaran Siau Hong. Sejam dua jam telah lalu, mereka sudah
berlari ratusan li jauhnya, tapi jarak mereka masih tetap sama. Selang tak lama
lagi, cuaca mulai terang, fajar telah menyingsing, salju juga sudah berhenti.
Dari jauh Siau Hong lihat di bawah lereng gunung sana ada sebuah kota,
perumahan berderet-deret, agaknya tidak sedikit penduduknya..
Mendengar suara ayam berkokok
di sana-sini sahut menyahut. Tiba-tiba Siau Hoang ketagihan arak, segera ia
berseru, "'Wahai kawan yang berada di depan itu, marilah aku mengundang
engkau minum 20 mangkuk arak, habis itu nanti kita berlomba lari lagi?” Tapi
orang itu tidak menjawabnya, larinya masih tetap cepat luar biasa. Dengan
tertawa Siau Hong berkata pula, "Engkau telah membunuh jahanam Pek Si-kia
itu, dengan sendirinya engkau adalah seorang ksatria sejati. Siau Hong mengaku
kalah. Ginkangku tak bisa memadaimu, marilah kita pergi minum arak saja, tak
perlu berlomba lagi!” sembari berkata terus lari sama cepatnya, sedikit pun
tidak menjadi kendur..
Mendadak orang di depan itu
berhenti lari dan berseru, "Pak Kiau Hong, Lam Buyung, nyata memang bukan
omong kosong. Engkau lari sambil bicara, tapi tenaga murni dalam tubuhmu masih
dapat kaukerahkan sesukanya, sungguh seorang Enghiong, sungguh seorang Hokiat
(Enghiong = pahlawan, ksatria; Hokiat = gagah, perwira).” Siau Hong dengar
suara orang itu serak-serak tua, agaknya berusia jauh lebih tua dari dirinya
maka sahutnya, "Ah, Ciaupwe terlalu meimuji. Maafkan Wanpwe beranikan diri
ingin berkenalan dengan Cianpwe, entah Cianpwe sudi atau tidak.?” "Ai, aku
sudah tua, tiada, gunanya lagi!” demikian sahut orang itu dengan menyesal.
"Sudahlah, engkau jangan
menyusul pula. Kalau terus sejam lagi pasti aku akan kalah, ” Habis itu,
pelahan ia meneruskan perjalanannya ke depan. Sebenarnya Siau Hong ingin
menyusulnya untuk mengajak bicara, tapi cuma selangkah ia lantas ingat ucapan
orang itu yang minta dia jangan menyusulnya lagi. Siau Hong ingat pula dirinya
dimusuhi tokoh-tokoh persilatan Tionggoan, mungkin orang ini pun seorang yang
membenci bangsa Cidan, maka ia batalkan niatnya buat menyusul lebih jauh, ia
manyaksikan bayangan orang itu akhirnya menghilang di kejauhan hatinya menyesal
tak terhingga karena tak dapat melihat muka orang itu. Ia tertegun sejenak,
lalu masuk ke kota di kaki gunung itu. ia datangi suatu kedai arak untuk minum,
setiap habis menenggak selalu ia menggebrak meja sambil berseru sendiri,
"Laki-laki hebat, ksatria sejati! Ah, sayang, sayang!” Dengan ucapan
"laki-laki hebat dan ksatria sejati” itu ia hendak memuji kelihaian ilmu
silat orang itu serta caranya membunuh Pek Si-kia. Sedang "sayang” yang
dikatakan itu adalah karena ia gegetun tidak dapat bersahabat dengan tokoh aneh
itu.
Sebagai seorang yang suka
bersahabat. sejak Siau Hong dipecat dari Kai-pang, lebih-lebih sesudah
bermusuhan dengan jago-jago persilatan Tionggoan. maka kawan-kawan baik masa
lalu boleh dikata sudah putus hubungan semua, dengan sendirinya hatinya sangat
kesal. Kebetulan hari ini ia dapat bertemu dengan seorang tokoh yang Ilmu
silatnya setingkat dengan dirinya, tapi justru tiada jodoh untuk berkenalan
maka terpaksa ia menghibur hati nan masgul dengan arak.
Begitulah setelah menenggak
lebih 20 mangkuk, ia bayar harganya lalu keluar dari kedai itu. Pikirnya,
"Toan Cing-sun masih belum bebas dari ancaman bahaya. Wi Sing-tiok, Cin
Ang-bian dan kedua putri mereka telah kutotok semua, aku harus lekas kembali ke
sana untuk menolong mereka!”
Dengan langkah lebar segera Ia
menuju kembali ke rumah Be hujin. Karena sekarang ia tidak lagi berlomba lari
dengan orang, maka jalanya menjadi lebih lambat daripada perginya tadi. Setiba
di rumah Bbe-hujin. waktu itu sudah lewat lohor. Ia lihat di tanah salju di
luar rumah itu sunyi senyap, Wi Sing-tiok dan Cin Angbian berrimpat yang
mestinya tak bisa berkutik karena tertotok itu, kini sudah tidak kelihatan
seorang pun.
"Siapakah yang dapat
membuka hiat-to yaag kutotok dan menolong mereka? demikian Siau Hong agak
terkejut. Ketika ia mendorong pintu dan masuk ke rumah itu, ia lihat Pek Si-kia
menggeletak tak bernyawa di samping pintu, Toan Cing-sun juga tak kelihatan
lagi, di atas balai-balai terdapat seorang wanita yang berlumuran darah. itulah
Be-hujin adanya. Mendengar ada orang masuk ke dalam rumah, nyonya Janda itu
berpaling dan berseru pelahan, "To … tolonglah, lekas … lekas bunuh aku
saja!”
Siau Hong melihat wanita yang
tadinya cantik molek itu hanya dalam semalam saja sudah berubah menjadi pucat
dan layu seperti sudah lebih tua 20 tahun. jelek dan tua tampaknya. "Di
manakah Toan Cing-sun?” tanya Siau Hong kemudian.
"Sudah ditolong orang? O,
ja … jahat amat mereka itu!” demikian sahut Be-hujin. Dan mendadak ia menjerit
kaget, "Haahhh!” Suaranya tajam melengking hingga Siau Hong pun dibuatnya
terkejut, cepat ia bertanya,
"Ada apa?”
"Kau … kau Kiau-pangcu?”
tanya Be-bujiu dengan tersengal-sengal.
"Sudah lama aku bukan
lagi Pangcu Kai-pang, masakah kamu pura-pura tidak tahu?” jengek Siau Hong.
"O, engkau benar-benar
Kiau-pangcu. Ai, Kiau-perrgcu, tolong, tolonglah, lekas … lekas kaubunuh aku
saja,” ratap Be-hujin.
"Aku tidak ingin
membunuhmu,” sahut Siau Hong dengan berkerut kening. "Kaubunuh suami
sendiri, tentu orang Kai-pang akan membersihkan dosamu itu, ”
"Aku … aku tidak tahan,”
ratap Be-hujin pula. "Perempuan hina-dina cilik itu benar-benar sangat
keji, biar … biar menjadi setan juga aku akan menuntut balas padanya. Co … coba
kaulihat tu … tubuhku.” Tapi karena nyonya janda itu meringkuk di tempat agak
gelap, Siau Hong tak dapat melihat dengan jelas.
Segera ia membuka jendela
hingga kamar itu pun menjadi terang. Sekali pandang, mau-tak-mau Siau Hong
merasa ngeri. Ia lihat di pundak, lengan, dada, kaki, di mana-mana penuh luka
goresan pisau, bahkan di tempat luka-luka itu penuh dirubung semut. Dari
luka-luka itu Siau Hong tahu otot tulang anggota badan nyonya janda itu telah
terpotong putus, makanya tak bisa bergerak lagi dan selanjutnya pasti akan
menjadi orang cacat untuk selamanya. Yang aneh, mengapa di tempat luka itu
penuh semut? Masakah semut juga doyan darah? Ia dengar Be-hujin berkata pula,
"Perempuai hina cilik itu sangat kejam, sesudah putuskan otot tulang kaki
tanganku dan menyayat badanku hingga penuh luka, lalu … lalu ia menuang luka-ku
ini dengan … dengan air madu, katanya supaya aku gatal-pegal untuk beberapa
hari lamanya dengan segala penderitaan, katanya biar aku minta hidup tak bisa.
ingin mati juga tidak dapat.”
Sekali-kali Siau Hong bukan
orang yang berhati lemah, tapi kalau dia membunuh orang, selalu ia lakukan
dengan tegas dan terang, untuk menyiksa musuh dengan cara-cara keji bukanlah
menjadi kegemarannya! Maka ia pun tidak tega menyaksikan keadaan Be-hujin itu,
ia pergi ke dapur dan mengambil satu baskom air, ia siram, tubuh nyonya janda
itu supaya bebas dari penderitaan gigitan semut.
"Terima kasih atas
kebaikanmu,” kata Be-hujin kemudian, "Aku sudah terang tak bisa hidup
lagi, maka sudilah engkau bermurah hati, lekaslah bunuh aku saja.”
"Sia… siapakah yang
menyayatmu sedemikian rupa? tanya Siau Hong.
"Siapa lagi kalau bukan
perempuan hina-dina cilik itu,” sahut Be-hujin dengan mengertak gigi penuh
dendam.. "Melihat usianya cuma l5-l6 tahun saja, tapi perbuatannya
ternyata begini keji dan kejam.”
"Hah, A Ci maksudmu?”
seru Siau Hong terkejut.
"Ya, kudengar wanita hina
itu memanggilnya begitu, dan menyuruh bocah keparat itu lekas membunuh aku,
tapi … tapi A Ci itu justru tidak mau, ia siksa aku dengan pelahan-pelahan,
katanya untuk membalas sakit hati ayahnya, sengaja membikin aku tersiksa
seperti ini …. ”
"Mengingat hubungan dulu
denganmu, masakah Toan Cing-sun sama sekali tidak merintangi perbuatan putrinya
yang hendak menyiksamu sekeji ini?” tanya Siau Hong.
"Dia dalam keadaan tak
sadarkan diri, yaitu karena pengaruh Si-hiang-hi-hun-san,” sahut Be-hujin.
"Pantas,” ujar Siau Hong.
"Kalau tidak, sebagai seorang laki-laki yang bijaksana masakah dia biarkan
putrinya berbuat sekeji itu; Eh bukankah mereka itu dalam keadaan tertotok,
siapakah, yang menolong mereka?”
"Jang … jangan tanya
macam-macam lagi lek …. lekas kaubunuh aku saja,” pinta Be-hujin dengan
merintih.
"Hmm, bila kamu tidak
menjawab dengan baik, biar kusiram lukamu dengan air madu pula. Lalu kutinggal
pergi dan masa bodoh kamu akan mati, atau sekarat,” kata Siau Hong dengan
menjengek.
"Ka … kalian orang laki
laki memang manusia kejam semua …. ”
"Dan caramu membunuh
saudara Tai-goan apakah tidak kejam?”
"Da … dari mana kau tahu?
Sia …. siapakah yang bilang padamu?”
"Akulah yang sedang tanya
padamu dan bukan kamu yang tanya padaku, tahu?” sahut Siau Hong dengan
mendongkol. "Kaulah yang mesti memohon padaku dan bukan aku yang mohon
padamu. Nah, katakan lekas!”
"Baiklah, akan kukatakan
segalanya,” kata Be-hujin. "Yang datang tadi adalah seorang laki-laki
berkepala besar dan berbaju kasar. Lebih dulu ia membuka hiat-to si A Ci,
kudengar dara itu memanggilnya sebagai samsuko (kakak guru ketiga); kemudan A
Ci minta dia membuka hiat-to ibunya dan perempuan hina Wi Singtiok itu. Lalu
minta kedua wanita bejat yang lain ditolong pula.”
Hati Siau Hong terkesiap, ia
tahu A Ci adalah anak murid iblis tua Sing-siok-hai, ilmu silat yang
dipelajarinya dari golongan sangat keji dan jahat. Setiap orang persilatan
Tionggoan kalau mendengar "Sing-siok-hai Lomo” (iblis tua dari
Sing-siok-hai), kalau tidak lekas-lekas menyingkir tentu juga akan berkerut
kening. Untung iblis tua itu pun tahu bahwa ilmu silat golongan mereka dibenci
oleh umum, maka jarang meninggalkan sarang mereka di Siok-sing-hai itu.
Seperti Siau Hong sendiri,
selamanya ia tidak tahu apakah iblis tua itu pernah datang ke Tionggoan atau
tidak.
Tapi kini demi mendengar bahwa
orang yang menolong A Ci itu adalah Samsukonya, jika begitu, maka terang anak
murid iblis tua dari Sing-siok-hai itu berramai-ramai telah datang ke
Tionggoan, bukan mustahil dunia persilatan bakal terjadi huru-hara dan banjir
darah. Lalu Siau Hong bertanya pula, "Dan berapa kira-kira usia orang itu?
Membawa senjata apa?”
"Usianya antara 30 an,
lebih muda daridirimu dan tidak tampak membawa senjata apa-apa,” tutur
Be-hujin.
"O, dan ke manakah mereka
telah pergi?” tanya Siau Hong.
"Entah, aku tidak tahu.
Ayolah, lekas …. lekas kaubunuh aku saja,” pinta Be-hujin pula.
"Sesudah tanya dengan
jelas baru kubunuhmu. Ingin mati, kan sangat gampang? Kalau ingin hidup, itulah
yang susah,” demikian jengek Siau Hong,
"Nah, coba katakan, sebab
apa kaubunuh Be-Taigoan, membunuh suamimu sendiri?”
"Jadi engkau harus tahu?”
sahut Be-hujin dengan sorot mata yang beringas.
"Ya, aku harus tahu,”
sahut Siau Hong. "Aku adalah lelaki yag berhati keras, tidak nanti menaruh
belas kasihan padamu.”
"Huh, biarpun engkau
tidak bilang, apa kau sangka aku tidak tahu?” tiba-tiba Be-hujin memaki. ”Sebabnya
aku menjadi rusak seperti sekarang ini, semuanya gara-gara perbuatanmu, kamu
binatang yang sombong dan congkak, tidak pandang sebelah mata kepada orang
lain! Kaum orang Cidan yang lebih kotor daripada babi dan anjing, kalau kamu
mati tentu masuk neraka dengan setan iblis. Ayolah, boleh kausiram lukaku
dengan air madu, mengapa tidak kaulakukan? Ah, kamu anak jadah, anak anjing,
jahanam keparat.” Begitulah makin memaki makin keji, seakan-akan segala rasa
dendam dalam hati nyonya janda itu harus dilampiaskan seketika itu, sampai
akhirnya segala kata-kata kotor dan rendah yang mestinya tidak pantas diucapkan
oleh seorang perempuan juga dihamburkan oleh Be-hujin.
Tapi Siau Hong diam saja, ia
biarkan Be-hujin mencaci maki sepuas-puasnya, wajah wanita celaka itu tadinya
pucat lesi, setelah puas memaki, mukanya merah padam malah dan sorot matanya
mengunjuk rasa senang.
Dan sesudah memaki kalang
kabut sejenak pula, akhirnya suaranya mereda, sebagai penutup ia mendamprat,
"Kiau Hong, kamu anjing keparat ini, kaubikin aku celaka seperti sekarang
ini. aku ingin lihat apakah kelak
kausendiri takkan ketular.”
Namun Siau Hoag mendengarkan
dengan tenang saja, kemudian ia tanya, "Selesai belum memaki?”
"Sementara boleh puas
dulu, nanti kulanjutkan memaki lagi,” sahut Be-hujin dengan gemas. "Hm,
kamu anak anjing yang tak punya biang, asal nyonya besarmu ini masih bernapas,
pasti aku akan memakimu sampai napas terakhir.”
"Bagus, boleh kaumaki
terus,” ujar Siau Hong. "Kalau tidak salah, waktu pertama kalinya aku bertemu
denganmu adalah di tengah hutan di luar kota Bu sik itu, tatkala itu Tai-goan
Hengte sudah dibunuh olehmu, sedangkan sebelumnya aku tidak pernah kenal
dirimu, mengapa kamu menuduh aku yang mengakibatkan dirimu terjerumus seperti
sekarang ini?”
"Hah, kaukira pertemuan
kita yang pertama kali adalah di tengah hutan di luar kota Bu-sik itu? Huh,
justru ucapanmu yang demikian inilah penyakitnya!” demikian jengek Be-hujin
dengan benci. "Kamu ini manusia keparat yang tinggi hati, binatang yang
sombong, kauanggap ilmu silatmu tiada tandingan di kolong langit ini, lantas
kau pandang rendah orang lain.”
Begitulah kembali ia
menghembuskan serentetan makian pula. Tapi Siau Hong tidak meladeninya, ia
biarkan orang memaki sepuas-puasnya, sesudah suaranya serak dan tenaganya
lelah, kemudian baru ia tanya, "Sudah cukup kaumaki?”
"Belum, tak pernah cukup,
untuk selamanya,” sahut Be-hujin dengan gemas. "Kamu … jahanam yang
sombong dan congkak, biarpun kamu adalah raja juga cuma begini saja.”
"Memang betul, biarpun raja,
apanya sih yang hebat?” sahut Siau Hong. "Selamanya aku juga tidak pernah
anggap ilmu diriku tiada tandingan di kolong langit ini, umpamanya orang …
orang tadi, ilmu silatnya, jelas di atasku.”
Be-hujin tidak ambil pusing
apakah orang yang dimaksudkan itu, ia masih terus mengomel dengan makianmakian
keji lagi. Selang sebentar, tiba-tiba ia berkata, "Hm, kaukira pertama
kali kamu bertemu dengan aku adalah di luar kota Bu-sik? Em, apakah ketika hadir
di Pek-hoa-hwe (pameran bunga) di kota Lokyang dulu, tidak pernah kaulihat
aku?”
Siau Hong melengak.
Pek-hoa-hwe di kota Lokyang itu terjadi dua tahun yang lampau, tatkala mana ia
bersama pura Tianglo dari Kai-pang memang hadir juga, tapi ia tidak ingat
pernah bertemu dengan Be-hujin di pameran bunga itu. Maka katanya, "Ya,
waktu itu Tai-goan Hengte juga ikut pergi ke sana, tapi ia tidak
memperkenalkan dirimu padaku?”
"Hm, kamu ini kutu busuk
macam apa?” damprat pula Be-hujin. "Paling-paling kamu cuma kepala kaum
pengemis, apa yang kautonjolkan? Huh, dasar lagakmu memang sok! Waktu itu,
begitu aku berdiri di samping pot bunga anggrek kuning, seketika para ksatria
terkesima memandang padaku, semuanya kesemsem dan terpesona pada diriku. Tapi
justru keparat macammu ini anggap dirimu sebagai seorang jantan tulen, seorang
ksatra yang tidak doyan paras elok, bahkan memandang sekejap padaku juga
enggan. Huh, laki-laki palsu, munafik, manusia rendah yang tak kenal malu.”
Kiai Siau Hong mulai paham
duduknya perkara, tahutnya, "Ya, aku pun ingat sekarang. Pad hari itu
memang betul di samping pot bunga anggrek itu berdiri beberapa orang perempuan,
tatkala itu aku asyik minum arak, maka tidakdapat memandang bunga dan wanita
apa segala. Bila kaum wanita dari angkatan tua tentu aku akan maju dan memberi
hormat padanya, tetapi kamu adalah iparku, istri saudara angkatku, sekalipun
aku tidak memperhatikanmu juga bukan sesuatu yang melanggar kesopanan? Mengapa
kamu dendam begitu mendalam padaku?”
"Memangnya apakah matamu
tidak punya biji mata?” semprot Be-hujin, "Biarpun laki-laki mana atau
ksatria siapa pun, bila ketemu aku, kalau tidak memandangku dari kepala sampai
ke kaki, tentu akan memandang dari kaki sampai ke kepalaku. Andaikan ada yang
merasa dirinya terhormat dan tidak berani jelalatan, pasti juga ingin cari
kesempatan untuk melirik padaku. Hanya kau … ya, hanya kau, hm, dari beratus
lelaki yang hadir dalam pameran itu, hanya kau seorang dari mula sampai akhir
melirik sekejap padaku pun tak pernah.”
"Ai, memang itulah
sifatku,” ujar Siau Hong dengan menghela napas. "Memang sejak kecil aku
tidak suka bergaul dengan kaum wanita, sesudah dewasa, lebih-lebih aku tiada
tempo untuk memperhatikan wanita. Toh tidak melulu engkau seorang, bahkan
wanita yang lebih cantik daripadamu juga mula-mula tidak menarik perhatianku,
dan baru kemudian … kemudian …. Ai, aku pun sudah terlambat kini … ”
"Apa katamu?” teriak
Be-hujin dengan suara tajam melengking. "Kau maksudkan ada wanita yang
lebih cantik dariku? Siapa dia? Lekas katakan, siapa dia?”
"Dia adalah putri Toan
Cing-sun, encinya A Ci,” sahut Siau Hong.
Apakah benar Be-hujin yang
membunuh suami sendiri akibat sakit hatinya terhadap Siau Hong?
Apa yang akan dilakukan Siau
Hong terhadap Be-hujin dan rahasia apa pula yang akan tersingkap?
Jilid 39
"Cis," Be-hujin
meludah, "perempuan hina seperti itu juga kau penujui....."
Belum habis ucapannya mendadak
Siau Hong jambak rambutnya terus dibanting keras-keras kelantai sambil
mendamprat, "Berani kau olok-olok sepatah kata yang kurang hormat lagi
padanya, hm, segera boleh kau rasakan siksaanku yang lebih keji."
Karena bantingan itu,
hampir-hampir Be-hujin kelenger, seluruh ruas tulangnya sampai terasa akan
rontok. Mendadak ia terbahak-bahak, katanya, "Hahahaha, kiranya... kiranya
Kiau-tai enghiong, Kiau-taipangcu kita telah terpikat oleh anak dara itu,
Hahahaha, sungguh menggelikan! Jadi Pangcu Kai-pang ingin menjadi Huma-ya
(menantu raja) dari putri kerajaan Tayli, Ai, Kiau-pangcu, kusangka segala
wanita takkan kau pandang sama sekali, tak tahunya, hahaha....."
Dengan lemas Siau Hong duduk
diatas kursi disampingnya, katanya kemudian dengan suara rendah, "Aku
memang berharap dapat memandangnya sekejap lagi, akan tetapi....akan tetapi
kini tidak dapat lagi."
"Hm, sebab apa?"
jengek Be-hujin, "Jika memang betul engkau mengincar dia, dengan
kepandaianmu ini masakah tak mampu merebutnya?"
Tapi Siau Hong menggeleng
kepala dan tidak menjawabnya, Selang agak lama barulah ia berkata.
"Biarpun mempunyai
kepandaian setinggi langit juga takkan mampu merenggutnya kembali lagi."
"Sebab apa? hahaha!"
"Sebab dia sudah
mati!"
Suara tawa Be-hujin seketika
berhenti, ia agak menyesal mendengar itu, Ia merasa Kiau-pangcu yang congkak
dan tinggi hati itu rada-rada kasihan juga.
Untuk sejenak kedua orang
tiada yang membuka suara, keadaan hening sebentar, kemudian Siau Hong
berbangkit dan berkata lagi,
"Lukamu sudah terang tak bisa disembuhkan lagi, kamu telah membunuh suami
sendiri, dosamu kelewat takaran, biarpun dapat kucarkan Sih-sin-ih juga aku
tidak mau mengundangnya untukmu, Hah, apa yang hendak kau katakan lagi?"
Mendengar orang bermaksud
membunuhnya, Be-hujin yang tadinya garang itu mendadak ketakutan, katanya,
"Amp... ampunilah diriku, jang... jangan membunuhku."
"Baik, memang tidak perlu
kuturun tangan sendiri, ujar Siau Hong, lalu hendak tinggal pergi.
Melihat orang tanpa berpaling
terus hendak melangkah pergi, kembali rasa gusar nyonya janda durhaka itu
memuncak, ia berteriak lagi, "Kiau Hong, kau anjing keparat! Dahulu aku
dendam karena kamu tidak sudi memandang barang sekejap padaku, maka aku minta
Tai-goan membunuhmu, tapi Tai-goan tidak mau, kemudian aku menghasut Pek Si-kia
membunuh Tai-goan, Dan kini... kini kamu masih tetap tidak tertarik sedikitpun
kepadaku!"
"Hm, kaubunuh suamimu
sendiri, katanya aku yang salah lantaran tidak sudi memandang sekejappun
padamu." jengek Siau Hong sambil membalik tubuh kembali, "Huh, dusta
sebesar itu siapakah yang mau percaya?"
"Sebantar lagi aku akan
mati, buat apa kudustaimu?" sahut Be-hujin, "Hm, kau pandang rendah
padaku, maka aku ingin membikin kamu bangkrut habis-habisan, biar namamu rusak
dan badanmu hancur, Telah kutemukan surat wasiat Ong-pangcu dalam peti besi
Tai-goan hingga mengetahui seluk beluk mengenai dirimu, aku minta Tai-goan
supaya membongkar rahasiamu itu didepan umam agar setiap ksatria didunia ini
mengetahui dirimu ini keturunan Cidan yang biadab itu, dengan begitu jangan
lagi kamu akan tetap menjadi Pangcu Kai-pang, bahkan untuk menancap kaki di Tionggoan
juga susah, malahan jiwamu juga akan sulit diselamatkan."
Walaupun Siau Hong tahu wanita
itu sudah tak bisa berkutik lagi, tapi demi mendengar ucapannya yang begitu
keji, tanpa terasa ia mengkirik juga, Tapi ia lantas menjengek, "Hm, hanya
disebabkan Tai-goan Hengte tidak mau menuruti permintaanmu untuk membeberkan
rahasiaku, lantas kaubunuh dia?"
"Ya, bukan saja ia tidak
mau menuruti permintaanku, sebaliknya ia damprat aku habis-habisan." sahut
Behujin, "Padahal biasanya ia sangat menurut kepada apa yang kukatakan,
selamanya tidak pernah mendamprat aku seperti itu, Sekali dia bikin dendam
hatiku, celakalah dia, Kebetulan esok paginya Pek Si-kia bertamu kerumahku sini
dan memandang padaku dengan kesemsem, Hm, laki-laki mata keranjang demikian,
apa yang kukatakan tentu dilakukannya, masakah dia berani menolak?"
"Ai, seorang laki-laki
perkasa sebagai Pek Si-kia akhirnya menjadi korbanmu," kata Siau Hong
dengan gegetun. "Jadi kau... kau minumkan Sip-yang-bi-hun-san kepada
Tai-goan, lalu suruh Pek Si-kia meremas tulang kerongkongannya agar orang
menyangka dia dibunuh dengan 'Soh-au-kim-na-jiu' oleh orang she Buyung dari
Koh-soh, demikian bukan?"
"Ya, memang! Hahaha,
mengapa bukan begitu? Dan kejadian selanjutnya kaupun sudah tahu semua, tidak
perlu kujelaskan lagi." sahut Be-hujin dengan terbahak-bahak.
"Dan kipasku itu Pek
Si-kia yang mencurinya, bukan?" tanya Siau Hong lagi.
"Hahaha, memang
benar," sahut Be-hujin.
"Dan tentang penyamaran A
Cu yang begitu persis itu, mengapa dapat kau ketahui pula?" tanya Siau
Hong.
"Ya, mula-mula aku juga
terkesiap oleh penyamaran anak dara itu, kemudian sesudah aku berbisik beberapa
kata rayuan yang dijawab oleh dia secara ngawur, maka aku lantas curiga dan
mengetahui rahasianya, memangnya aku lagi ingin membunuh Toan Cing-sun,
kebetulan aku dapat meminjam tenagamu." demikian tutur Be-hujin.
"Haha, Kiau Hong keparat, ilmu penyamaranmu sesungguhnya terlalu rendah,
sekali kutahu kepalsuan anak dara celaka itu, segera aku pun dapat mengenalimu,
Hehehe, memangnya kau kira dapat mengelabui mataku?"
"Kematian nona Toan itu
adalah gara-gara perbuatanmu, maka akan kuperhitungkan atas utangmu." ujar
Siau Hong dengan mengertak gigi.
"Dia yang datang menipu
padaku, dan bukan aku yang menipu dia!" sahut Be-hujin, "Aku hanya
mengikuti siasatnya hingga dia termakan senjatanya sendiri, Coba kalau dia
tidak mencari padaku, bila kemudian Pek Sikia menjadi Pangcu, dengan sendirinya
orang-orang Kai-pang akan bermusuhan dengan Toan Cing-sun, dan keparat she Toan
itu, hehe, lambat atau cepat juga dia takkan lolos dari tanganku."
"Hm, kamu sungguh kejam,
lelaki yang disukai olehmu akan kaubunuh, sedang lelaki yang tidak mau
memandang dirimu juga akan kau bunuh." kata Siau Hong.
"Habis, masakah didunia
ini ada lelaki yang tidak suka kepada wanita cantik? Huh, omong kosong belaka!
Masakah didunia ini ada laki-laki munafik seperti dirimu," jengek
Be-hujin.
Tatkala mengucapkan kejadian
yang membanggakan itu, air muka Be-hujin tampak kemerah-merahan dan
bersemangat, tapi akhirnya tenaganya tak tahan, suaranya mulai lemah dan
napasnya mulai tersengal-sengal.
"Untuk yang terakhir cuma
ingin kutanya satu soal padamu." kata Siau Hong kemudian. "Coba
jawablah,
siapakah gerangan 'Toako pemimpin'
yang menulis surat kepada Ong-pangcu itu? Pernah kau baca surat wasiat itu,
tentu kau tahu namanya."
"Hehehe, Kiau Hong, Kiau
Hong! Akhirnya kamu memohon padaku atau aku yang memohon padamu?" sahut
Be-hujin dengan tertawa dingin. "Kini Tai-goan sudah mati, Ci-tianglo juga
sudah mampus, Tio-ci-sun telah mati pula, Tiat-bin-poan-koan Tan Cing juga
sudah mati, Tam Kong dan Tam-poh pun mati semua, Ti-kong Taisudari
Thian-tai-san juga binasa, ya, semuanya sudah mati, didunia ini kini hanya
tinggal aku seorang yang tahu siapa 'Toako pemimpin' penanda tangan surat
wasiat itu."
Hati Siau Hong berdebar-debar
hebat, sahutnya, "Ya, memang betul, akhirnya akulah yang mesti memohon
padamu, harap engkau sudi memberitahukan nama orang itu padaku."
"Jiwaku sudah hampir
tamat, kebaikan apa yang akan kau berikan padaku?" sahut Be-hujin.
"Asal dapat dicapai oleh
tenagaku, segala permintaanmu pasti akan kuturuti," sahut Siau Hong.
"Apasih yang kuinginkan
lagi?" ujar Be-hujin dengan tersenyum, "Kiau Hong, aku dendam padamu
karena kamu tidak sudi memandang untuk sekejap saja padaku hingga berakibat
malapetaka seperti sekarang ini, Maka bila engkau ingin aku beritahukan nama
'Toako pemimpin' itu, hal ini tidak sulit, asal saja kau pondong aku dan
pandanglah padaku untuk beberapa jam lamanya."
Karuan Siau Hong berkerut
kening, sudah tentu hatinya seribu kali tidak sudi, tetapi didunia ini hanya
dia seorang yang tahu rahasia besar itu.
Dendam kesumat sendiri dapat
dibalas atau tidak hanya tergantung pada keterangan nyonya janda ini nanti,
padahal syarat yang dia minta itu bukanlah sesuatu yang sulit, sekalipun syarat
yang diminta itu adalah urusan maha sukar juga terpaksa akan diturutinya,
Sedangkan jiwa nyonya janda itu hanya tinggal sebentar lagi dan setiap saat
bisa putus napasnya, untuk memaksa atau memancingnya dengan cara lain terang
tiada gunanya, Jika nanti jiwanya terlanjur melayang dulu, maka itu berarti
lenyaplah satu-satunya harapan untuk mencari tahu nama musuhnya itu.
Karena itu, terpaksa ia
berkata, "Baiklah, akan kupenuhi keinginanmu."
Lalu ia pondong Be-hujin dan
memandang mukanya dengan sorot mata yang tajam, Tapi karena waktu itu muka
Be-hujin penuh darah dan kotor pula, ditambah penderitaan selama semalam
suntuk, air mukanya menjadi pucat dan jelek sekali, untuk memondong saja Siau
Hong pun terpaksa, kini melihat wajah orang yang begitu rupa, mau tak mau ia
berkerut kening.
Be-hujin menjadi gusar,
dampratnya, "Kenapa? kau merasa muak memandang padaku, ya?"
Terpaksa Siau Hong menjawab,
"Tidak!"
Selama hidup Siau Hong tidak
pernah berdusta, kini terpaksa ia mesti mengucapkan apa yang bertentangan
dengan perasaannya.
"Bila benar kamu tidak
merasa muak padaku, cobalah mencium pipiku," pinta Be-hujin tiba-tiba.
"Mana boleh jadi,"
sahut Siau Hong tegas, "Engkau adalah isteri saudaraku Tai-goan, sebagai
seorang ksatria mana boleh kugoda janda saudara angkat sendiri?"
"Hehe, kamu ksatria? Kau
orang sopan? Seorang alim?" demikian Be-hujin menjengek. "Tapi
mengapa kau pondong diriku seperti ini....."
Pada saat itulah, mendadak
diluar jendela terdengar orang mengikik tawa dan berkata, "Hihi, Kiau
Hong, kamu benar-benar manusia yang tidak tahu malu, Sudah membinasakan Enciku,
sekarang kau pondong dan hendak main gila dengan gundik ayahku, kaupunya muka
atau tidak?"Jelas itulah suara A Ci.
Tapi Siau Hong merasa
perbuatannya cukup dapat dipertanggung-jawabkan, maka olok-olok anak kecil itu
tak dihiraukannya, bahkan ia mendesak pula kepada Be-hujin, "Lekas
katakan, siapakah gerangan 'Toako pemimpin' itu?"
"Kuminta kau pandang
mukaku, mengapa kamu berpaling kearah lain?" kata nyonya janda itu dengan
suara merdu merayu.
Sementara itu A Ci sudah masuk
kedalam, katanya dengan tertawa, "Hah, kiranya kamu belum mampus? Mukamu
jelek seperti siluman begini, lelaki mana yang sudi memandang lagi
padamu?"
"Apa katamu?" seru
Be-hujin dengan suara terputus-putus. "Kau... kau bilang mukaku sejelek
siluman? Cermin, mana cermin?"
"Lekas katakan, siapakah
'Toako pemimpin' itu? Habis kaukatakan segera kuberi cermin." sahut Siau
Hong.
Tapi A Ci sudah lantas
mengambilkan sebuah cermin diatas meja dan dihadapkan kemuka Be-hujin dan
berkata, "Nah, lihatlah sendiri, lihatlah apa kamu cantik?"
Ketika melihat bayangan
sendiri ditengah cermin itu berwujud wajah yang kotor dan berlepotan darah,
gemas, takut, beringas dan penuh dendam, semua perasaan jahat dan buruk
tertampak pada air muka sendiri yang tadinya cantik molek menggiurkan, seketika
mata Be-hujin mendelik lebar-lebar untuk tidak pernah terpejam lagi.
"A Ci, lekas singkirkan
cermin, jangan membuat dia murka." ujar Siau Hong.
"Aku ingin dia lihat
betapa cantik mukanya sendiri!" sahut A Ci.
"Jangan, kalau dia sampai
mati murka, tentu urusan bisa runyam." seru Siau Hong.
Namun segera ia merasa badan
Be-hujin sudah tak berkutik lagi, napasnya juga sudah berhenti, waktu ia
periksa nadinya, nyata orangnya memang sudah mati.
Karuan Siau Hong terkejut,
serunya, "Wah! celaka, ia benar-benar sudah mati!"
Mendengar seruan yang mirip
orang tertimpa malang itu, A Ci menjadi kurang senang, ia mencibir dan berkata,
"Huh, engkau tentu sangat suka padanya, ya? Kematian perempuan bejat
seperti ini masakah ada harganya untuk diributkan?"
"Ai, anak kecil tahu
apa?" ujar Siau Hong sambil mengentak kaki, "Aku justru lagi tanya
sesuatu padanya, didunia ini hanya tinggal dia seorang yang tahu, Bila tidak
kau ganggu urusan ini, tentu sekarang dia sudah mengaku."
"Ai, ai, jadi aku lagi
yang bersalah?" seru A Ci dengan penasaran.
Siau Hong menghela napas, ia
pikir orang mati sudah tak bisa dihidupkan kembali, Bocah nakal seperti A Ci
memang terlalu dimanjakan sejak kecil, sedangkan ayah-bundanya juga kewalahan,
apalagi orang lain, Mengingat ACu, biarlah aku tidak perlu mempersoalkan
kejadian ini padanya.
Segera ia taruh Be-hujin
diatas balai-balai dan berkata. "Mari kita pergi!"
Ia lihat rumah itu sudah tiada
penghuni lain lagi, kaum pelayan entah sudah lari kemana, segera ia
mengeluarkan ketikan api, ia bakar rumah tinggal Be-hujin itu hingga habis.
Kemudian kata Siau Hong kepada
A Ci, "Kenapa kamu belum pulang ketempat orang tuamu?"
"Tidak, aku tidak mau
pulang kesana," sahut A Ci, "Setiap orang bawahan ayah asal melihat
aku lantas mendelik, bila aku mengadukan mereka, ayah justru membela mereka
malah."
"Sungguh ngaco-belo anak
kecil ini, kamu yang mengakibatkan matinya Leng Jian-li, saudara-angkat ayahmu
yang setia itu, sudah tentu ayahmu sangat menyesal, tapi kamu malah menyalahkan
ayahmu tidak mau menghukum orang-orang bawahannya," demikian pikir Siau
Hong.
Segera ia berkata,
"Baiklah, jika begitu aku akan pergi sekarang!" Habis berkata, terus
saja ia tinggal pergi kearah Utara.
"Hai, nanti dulu, tunggu
padaku!" seru A Ci.
Siau Hong berhenti dan
berpaling, sahutnya, "Kamu hendak kemana? Apa pulang ketempat
gurumu?"
"Tidak, sekarang aku
belum mau pulang ketempat Suhu, aku tidak berani," sahut A Ci.
"Kenapa tidak
berani?" tanya Siau Hong dengan heran, "Tentu kau bikin gara-gara
lagi, ya?"
"Bukan gara-gara, tapi
aku telah mengambil sejilid kitab milik Suhu, jika aku pulang kesana tentu
kitab ini akan dirampasnya kembali, Maka harus tunggu nanti sesudah aku
berhasil menyakinkan ilmu dalam kitab pusaka Suhu ini baru akan pulang
kesana."
"Jika kitab ilmu silat
milik Suhumu, asal kau mohon beliau mengajarkan padamu, tentu juga beliau akan
meluluskan permintaanmu, dengan demikian bukankah akan lebih cepat jadi
daripada berlatih sendiri tanpa petunjuk?"
"Tidak, sekali Suhu
bilang tidak mau, tetap dia tidak mau, biarpun kumohon juga tiada
gunanya," sahut A Ci.
Sesungguhnya Siau Hong tidak
suka kepada nona cilik yang terlalu dimanja ini, maka akhirnya ia berkata,
"Ya sudahlah, terserah padamu, aku tak mau urus lagi."
"Engkau hendak
kemana?" tiba-tiba A Ci bertanya.
Siau Hong menghela napas
sambil memandang api yang berkobar menghabiskan rumah Be-hujin itu, sahutnya
kemudian, "Seharusnya aku akan menuntut balas sakit hatiku, tapi aku tidak
tahu siapakah gerangan musuhku, Selama hidupku ini terang sakit hatiku tak bisa
terbalas lagi."
"Ah, tahulah aku."
seru A Ci. "Sebenarnya Be-hujin itu tahu siapa musuhmu itu, tapi terlanjur
kubikin mati dan sejak kini engkau tidak tahu lagi siapakah musuhmu, Hihihi,
sungguh lucu, sungguh menarik, Kiau-pangcu yang namanya tersohor diseluruh
jagat kini benar-benar telah kubikin kelabakan hingga mati kutu."
Sungguh Siau Hong ingin persen
sekali tamparan pada wajah anak dara itu, tapi segera ia teringat kepada pesan
tinggalan A Cu yang minta dia menjaga baik-baik saudara sekandung satu-satunya
itu, maka hati Siau Hong seketika lemas lagi, Pikirnya;
"Betapapun aku harus
melaksanakan pesan A Cu, Sekalipun nona cilik ini sangat nakal dan kejam pula,
aku harus berusaha memperbaiki dia, apalagi dia masih terlalu muda masih
kekanak-kanakan."
Dalam pada itu demi melihat
sikap Siau Hong yang semula beringas itu, A Ci lantas bersitegang leher malah,
tantangnya, "Mau apa kau? Apa hendak membunuhku sekalian? Kenapa tidak
turun tangan? Enciku sudah kau hantam mati, apa halangannya jika kau bunuh aku
pula?" Ucapan itu mirip sebilah belati menikam ulu-hati Siau Hong, dengan
rasa duka ia tak dapat bicara lagi, segera ia membalik tubuh dan tinggal pergi
dengan langkah lebar.
"He, nanti dulu, engkau
hendak kemana? seru A Ci pula dengan tertawa sambil menyusul.
"Daerah Tionggoan sudah
bukan tempat tinggalku lagi, aku akan pergi jauh ke Utara sana selamanya takkan
kembali lagi." sahut Siau hong.
"Dan melalui mana?"
tanya A Ci sambil miringkan kepalanya dari samping.
"Lebih dulu aku akan
pergi ke Gan-bun-koan!" sahut Siau Hong.
"Wah, kebetulan, aku akan
pergi ke Cinyang, kebetulan kita satu jurusan."
"Untuk apa kau pergi ke
Cinyang? Tempat sejauh itu, seorang nona cilik seperti dirimu buat apa kesana
sendirian?"
"Hah, jauh apa segala?
Aku datang dari Sing-tok-hai, bukankah lebih jauh lagi? Aku kan punya teman
perjalanan seperti dirimu, mengapa bilang aku sendirian?"
"Tidak, aku tak mau
mengawasi kau."
"Sebab apa?"
"Aku seorang laki-laki,
sebaliknya kamu seorang nona muda, kurang bebas untuk menempuh perjalanan
bersama, terutama pada waktu bermalam."
"Sungguh lucu ucapanmu
ini, aku sendiri tidak menyatakan keberatan, mengapa malah engkau yang bilang
kurang bebas? Dulu bukankah kaupun menempuh perjalanan jauh dengan enciku,
siang dan malam selalu bersama?"
"Aku dan encimu sudah
mempunyai ikatan perjodohan, tak dapat disamakan dengan orang lain."
"Ai, siapa tahu jika
kaupun meniru seperti ayahku dan enci seperti ibuku, belum menikah sudah
menjadi suami isteri lebih dulu."
"Tutup mulutmu!"
bentak Siau Hong dengan gusar. "Sampai matinya encimu tetap masih seorang
nona yang suci bersih, akupun selamanya sopan santun dan menghormati dia."
"Apa gunanya engkau
membentak-bentak padaku? Pendek kata enciku toh sudah kau pukul mati, apa mau
dikatakan lagi? Marilah kita berangkat!"
Mendengar ucapan 'pendek kata
enciku itu sudah kau pukul mati', seketika hati Siau Hong lemas lagi, Katanya
kemudian, "Lebih baik kau pulang ke Siau-keng-oh untuk ikut ibumu saja,
kalau tidak carilah suatu tempat untuk meyakinkan ilmu yang tertera dalam kitab
pusaka gurumu itu, sesudah berhasil, lalu pulang ketempat gurumu, Apa gunanya
kau pergi ke Cinyang?"
"Kepergianku kesana bukan
untuk pesiar, tapi ada urusan penting," sahut A Ci dengan sungguh-sungguh.
Tapi Siau Hong goyang kepala,
katanya, "Tidak, aku tak mau membawamu kesana."
Habis berkata, terus saja ia
melangkah dan berlari cepat kedepan. Tapi dengan ginkangnya segera A Ci
menyusul sambil berteriak-teriak;
"Tunggu, tunggulah
aku!"
Namun Siau Hong tak gubris
lagi padanya, tetap melanjutkan jalannya dengan cepat. Tidak lama kemudian,
angin utara meniup makin kencang, malahan hujan salju pula, Tapi Siau Hong
masih terus lari dibawah angin dan salju hingga akhirnya A Ci ketinggalan jauh.
Kira-kira lebih tigapuluh li
jauhnya, sampailah ia disuatu kota, itulah Tiang Pok Koan, suatu tempat penting
diutara Sinyang, Dan tujuan pertama yang dicari Siau Hong adalah kedai arak.
Begitu masuk kesuatu restoran, segera ia minta disediakan sepuluh kati arak
putih, lima kati daging dan seekor ekor ayam, ia makan minum sendiri, Habis
sepuluh kati arak segera ia minta tambah lima kati lagi.
Tengah Siau Hong asyik minum
sendiri, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang dan tahu-tahu masuklah A Ci.
Melihat anak dara itu, kembali
Siau Hong berkerut kening, pikirnya, "Nona cilik ini akan mengacaukan
napsu makanku lagi." Maka ia sengaja menoleh kearah lain dan pura-pura
tidak melihatnya.
A Ci hanya tersenyum saja, ia
duduk menyanding meja lain didepan Siau Hong dan berseru, "Hai, pelayan,
ambilkan arak!"
Cepat pelayan mendekatinya dan
menyapa dengan tertawa, "Nona cilik, apa engkau juga ingin minum
arak?"
Kalau panggil nona ya nona
saja, mengapa pakai 'cilik' apa segala?" semprot A Ci mendadak.
"Sudah tentu aku pun minum arak, Lekas sediakan sepuluh kati arak, potongkan
lima kati daging rebus dan seekor ayam gemuk, Lekas, Lekas!"
"Haee!" seru
sipelayan sambil melelet lidah sampai lama, "Nona ini sungguh-sungguh atau
bergurau, masakah makan-minum sebanyak itu?" Sembari berkata iapun melirik
kearah Siau Hong dan membatin, "Itu dia, orang sengaja hendak
menandingimu, apa yang kau makan dan apa yang kau minum, orang juga minta
disediakan serupa."
Dalam pada itu A Ci telah
menjawab. "Kenapa kau rewel? Kau khawatir aku habis makan tidak bayar
ya?" Segera ia mengeluarkan sepotong uang perak dan dibanting keatas meja
sambil berseru." "Ini cukup tidak? Kalau aku tak bisa menghabiskan
makananku nanti, apa tidak dapat kuberikan pada anjing? Perlu apa kamu ikut
khawatir?"
Dengan tersipu-sipu sipelayan
mengiyakan, kembali ia melirik lagi kearah Siau Hong sambil berkata dalam hati.
"Nah, kau dengar orang sengaja memusuhimu, omongnya secara tak langsung
sengaja memaki kau."
Sebentar kemudian daharan yang
dipesan A Ci telah dihidangkan, sipelayan membawakan sebuah mangkok besar dan
ditaruh didepan sigadis, katanya dengan tertawa, "Nona, biarlah kutuangkan
arak untukmu."
"Baik." sahut A Ci
sambil mengangguk.
Segera sipelayan menuang
semangkok penuh arak putih, katanya didalam hati. "Jika kau mampu
menghabiskan semangkok ini, mustahil kamu tidak menggeletak."
Maka terlihat A Ci mengangkat
mangkok arak itu dan ditempelkan kebibir, tapi baru dia menjilatnya setitik,
segera ia berkerut kening dan berseru. "Ai, pedas sekali arak ini! Kenapa
arak ini begini rasanya, hanya manusia goblok didunia yang sudi minum arak
semacam ini!"
Si pelayan coba melirik Siau
Hong sekejap, dilihat tamunya itu tetap tidak gubris ocehan sigadis, diam-diam
ia heran dan geli pula.
Lalu A Ci comot sepotong paha
ayam terus digerogoti, Tapi baru masuk mulut segera ia semburkan dan berseru,
"Fruihh, busuk, busuk!"
"Ai, ai! Ayam gemuk ini
baru saja disembelih, masakah nona bilang busuk, tidak mungkin!" sahut
sipelayan dengan penasaran.
"Habis kalau bukan bau
busuk dari daging ayam ini, tentu badanmu yang bau busuk, jika bukan lagi,
tentu badan tetamu lain yang berbau busuk." seru A Ci.
Tatkala itu hujan salju masih
turun dengan derasnya, didalam restoran itu hanya Siau Hong dan A Ci saja, Maka
cepat sipelayan menjawab dengan tertawa, "Ya, ya, badanku barangkali yang
berbau busuk, Ai, nona, hati-hatilah bicara, janganlah engkau menyinggung
kehormatan tamu yang lain."
"Mau apa? Kalau orang
lain tersinggung apakah aku akan dipukul mampus?" jengek A Ci, Sambil
berkata ia terus menyumpit sepotong daging sapi dan dimasukkan kemulut.
Tapi belum lagi daging itu
dikunyah mendadak ia semburkan pula dan berteriak-teriak. "Hai, pelayan,
mengapa daging ini rasanya kecut? Ini bukan daging sapi, tapi daging manusia,
Tentu restoranmu ini adalah rumah jagal manusia!"
Karuan sipelayan menjadi gugup
oleh teriakan A Ci itu, cepat ia menjawab, "Ai, nona, hendaklah kau
bermurah hati, janganlah membikin susah kami, Daging itu adalah daging sapi
yang segar, mengapa dikatakan daging manusia? Daging manusia masakah pnya serat
sekasar itu, warnanya juga tidak kemerah-merahan segar begini?"
"Bagus, bagus! Kaubilang
ini adalah serat dan warna daging manusia, Nah, katakan, restoranmu ini sudah
menjagal berapa banyak manusia? seru A Ci.
"Ai, nona memang suka
berkelakar." sahut sipelayan dengan tertawa. "Restoran kami ini sudah
bersejarah lebih empat puluh tahun lamanya dikota ini, masakah mungkin menjagal
dan menjual daging manusia?"
"Baiklah anggaplah ini
bukan daging manusia tapi baunya juga busuk, hanya orang tolol yang mau makan
daging begini." kata A Ci. "Wah, sepatuku kotor kena debu."
Habis berkata, ia comot
sepotong Ang-sio-bak (daging sapi saus tomat) yang berbau lezat dan dipakai
menggosok sepatu kulitnya, Memangnya sepatunya agak kotor terkena tanah salju,
karena digosok oleh masakan daging yang berminyak itu, seketika kulit sepatu
itu bersih mengkilap.
Melihat cara si nona yang
begitu royal, masakah Ang-sio-bak yang dimasak oleh kokinya yang terkenal itu
hanya digunakan untuk lap sepatu, karuan sipelayan merasa sangat sayang,
berulang-ulang ia menghela napas gegetun disamping.
"Kamu gegetun apa?"
tanya A Ci tiba-tiba.
"Habis, Ang-sio-bak
buatan restoran kami ini adalah salah satu hidangan yang tiada bandingannya
dikota ini, tapi kini nona menggunakannya untuk lap sepatu, bukankah ini
agak....agak..."
"Agak apa?" desak A
Ci dengan mendelik.
"Agak tidak menghargai
masakan itu," sahut sipelayan.
"O, kau maksudkan kurang
menghargai sepatuku?" kata A Ci. "Padahal daging sapi berasal dari
sapi, kulit sepatu juga berasal dari sapi, rasanya juga tak bisa dikatakan
kurang menghargai, Eh, pelayan, masakan lezat apa lagi yang tersedia di
restoranmu ini? Coba terangkan."
"Masakan enak sudah tentu
masih banyak, cuma harganya agak mahal," sahut si pelayan.
Kembali A Ci mengeluarkan
sepotong uang perak dan dilemparkan keatas meja, "Ini cukup tidak untuk
membayar."
"Cukup, cukup, lebih dari
cukup!" cepat sipelayan menjawab dengan menyengir. "Tentang masakan
enak spesial restoran kami ini masih ada 'Theng-jo-le-hi' (ikan gurame masak
asem), 'Pek-jiat-yo-ko' (daging kambing rebus),'Cah-kee' (ayam
goreng),'Cio-ti-bak' (babi kecap) dan..."
"Bagus, nah, setiap macam
sediakanlah tiga porsi," kata A Ci.
"Hah, setiap macam tiga
porsi?" si pelayan menegas. "Jika nona ingin mencicipi saja kurasa
masing-masing satu porsi kau sudah lebih dari cukup."
"Sekali kukatakan tiga
porsi, peduli apa denganmu?" damprat A Ci.
"Ya, ya!" cepat
sipelayan menyahut, Dan segera ia menggembor kearah dapur, "Tiga porsi
'Theng-jo-le-hi'! Tiga porsi....."
Sejak tadi diam-diam Siau Hong
mengikuti tingkah laku A Ci itu, Ia tahu dara cilik itu sengaja main gila
dengan sipelayan, tapi tujuan yang sebenarnya adalah ingin memancing dirinya
ikut bicara, Tapi ia justru sengaja tidak gubris padanya, ia masih tetap minum
araknya sendiri.
Selang tak lama, daging
kambing masak yang dipesan A Ci itu telah dihidangkan lebih dulu, jumlah tiga
porsi.
"Satu porsi taruh
dimejaku, satu porsi taruh dimeja tuan itu dan satu porsi taruh dimeja sebelah
sana." demikian A Ci memberi perintah. "Dan sediakan pula sendok dan
sumpit dimeja sana dengan arak pula."
"Apakah masih ada tamu
lain yang akan datang." si pelayan bertanya.
A Ci mendelik lagi,
dampratnya, "Sejak tadi kamu suka cerewet saja, awas bila kupotong
lidahmu!"
"Ai, galaknya!" omel
sipelayan sambil menjulur lidah. "Untuk memotong lidahku ini mungkin nona
tidak punya kemampuan itu."
Hati Siau Hong tergerak, ia
melototi pelayan itu sekejap dan membatin, "Ini namanya cari mampus
sendiri, masakah kau berani omong cara begitu terhadap iblis cilik ini?"
Sementara itu sipelayan telah
membagi-bagikan porsi daging kambing di tiga meja yang ditunjuk, Siau Hong juga
tidak ambil pusing, porsi yang dihaturkan kepadanya itu segera disikatnya tanpa
sungkan lagi.
Sejenak kemudian, daharan yang
lain berturut-turut dihidangkan pula, tiap-tiap macam tiga porsi, satu porsi
buat Siau Hong, satu porsi ditaruh dimeja A Ci sendiri dan porsi lain ditaruh
dimeja yang masih kosong.Siau Hong juga tidak menolak, setiap hidangan yang
dihaturkan padanya, semuanya dilahap habis.
Sebaliknya A Ci masih seperti
tadi, setiap hidangan hanya dicicipi satu sumpit dua sumpit, lalu mencela,
"Huh, busuk, bau! Hanya cocok untuk makanan anjing dan babi!"
Habis itu, terus saja ia comot
daging kambing, ikan gurame dan lain-lain untuk menggosok sepatunya, Meski
sipelayan menyesal setengah
mati, tapi juga tak bisa berbuat apa-apa.
Siau Hong sendiri sedang
memandang keluar jendela sambil berpikir, "Dara cilik ini benar-benar
sangat menjemukan, kalau sampai tergoda, wah tentu akan runyam, Tapi A Cu minta
padaku agar menjaganya, padahal anak dara ini adalah setan cerdik, untuk
menjaga diri sendiri jauh lebih dari cukup, hakikatnya tidak perlu kupikirkan
dia, maka lebih baik aku menghindari dia saja."
Tengah termenung, tiba-tiba
dilihatnya dari kejauhan ditanah salju sana ada seorang sedang mendatang, Cara
berjalan orang sangat aneh, kakinya kaku bagaikan kayu, dengkulnya tidak
menekuk, jadi tampaknya seperti meluncur saja diatas salju.
Pakaian orang itu pun sangat
aneh, meski musim dingin, yang dipakainya hanya sehelai baju tipis dari kain
belacu yang kasar. Hanya sebentar saja orang itu sudah mendekat, maka dapatlah
Siau Hong melihat jelas usia orang kurang lebih empat puluh tahun, kedua daun
telinga memakai anting-anting emas dalam bentuk ring bundar dan besar,
berhidung lebar dan besar mirip hidung singa serta bermulut tebal, mukanya
sangat bengis dan aneh, terang bukan bangsa Han umumnya.
Sesampai didepan restoran,
orang itu lantas melangkah masuk, Ketika melihat A Ci juga berada disitu, orang
itu agak melengak, tapi lantas bergirang, tampaknya ingin bicara tapi urung,
Lalu mengambil tempat duduk dimeja dekat pintu.
"Disitu sudah tersedia
daging dan arak, mengapa tidak dimakan?" tiba-tiba A Ci berkata.
Melihat meja yang tersedia
daharan dan belum ada tamunya, segera orang aneh itu menjawab, "O, untuk
aku? Terima kasih, Sumoay."
Habis berkata, tanpa
sungkan-sungkan lagi ia ambil tempat duduk menghadapi meja yang siap dengan
hidangan itu, ia mengeluarkan sebilah pisau emas kecil, segera ia potong daging
kambing dan dimakan.
Yang paling aneh adalah pada
waktu makan ikan gurame itu, sekali potong terus dimasukkan kedalam mulut, ia
kunyah-kunyah dan ditelan seluruhnya, jadi tulang ikan juga ikut amblas kedalam
perutnya, Kemudian ia tenggak pula arak yang tersedia, tampaknya kekuatan
minumnya boleh juga.
"Kiranya orang ini adalah
suheng A Ci, jika begitu ia juga murid si iblis tua Sing-siok-hoi,"
demikian pikir Siau Hong, Sebenarnya ia tidak suka kepada muka dan potongan
orang aneh itu, tapi demi melihat takaran minumnya masih boleh juga, ia merasa
orang toh tidak begitu menjemukan.
Sementara itu satu porsi arak
yang disediakan sudah habis ditengguk oleh laki-laki aneh itu, Segera A Ci berkata
kepada pelayan, "Bawalah arak ini kepada tuan yang baru datang itu."
Sembari berkata ia terus
masukkan kedua tangannya kedalam mangkuk araknya, ia cuci bersih minyak dan
kuah yang mengotori tangannya itu, lalu menyodorkan mangkuk arak itu kepada sipelayan.
Karuan sipelayan menjadi ragu, masakah arak yang telah dipakai cuci tangan
disuruh minum orang?
Melihat sikap sipelayan itu, A
Ci mendesak lagi. "Ayo, lekas bawa kesana, orang sedang menunggu."
"Ai, kembali nona
bergurau lagi," ujar sipelayan dengan tertawa, "Masakah arak ini
dapat diminum?"
"Kenapa?" tiba-tiba
A Ci menarik muka, "Apa kaukira tanganku kotor? Baiklah, begini saja,
asalkau minum seceguk arak ini, segera kupersen satu tahil perak padamu."
Bersama itu ia taruh sepotong uang perak diatas meja.
Dasar mata duitan, sipelayan
menjadi girang, katanya, "Minum seceguk arak dengan persen satu tahil
perak, Wah, bagus sekali! Jangankan cuma air cuci tangan, biarpun air cucian
kaki nona juga akan kuminum."
Habis berkata, terus saja ia
angkat mangkuk arak itu dan diminum seceguk. Diluar dugaan, baru arak itu masuk
mulut, seketika ia merasa lidahnya bagai dibakar, panasnya, sakitnya tidak
kepalang, Kontan saja pelayan itu terbatuk-batuk dan semburkan kembali arak
itu, Saking kesakitan sampai ia berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak,
"Aduh! Tolong! Aduh mak! Tolong!"
Siau Hong kaget juga melihat
kejadian itu, Ia dengar suara teriakan sipelayan makin lama makin parau dan
tambah samar-samar, terang lidahnya menjadi bengkak.
Mendengar ribut-ribut itu,
seketika pengurus restoran, koki, tukang api dan lain-lain sama lari keluar dan
bertanya, "Ada apa? Ada apa?"
Tapi pelayan itu sudah tidak
sanggup bicara lagi, kedua tangannya mencakar-cakar muka sendiri, akhirnya ia
menjulurkan lidah dan ternyata lidah itu sudah abuh dua tiga kali lebih besar
daripada biasanya, warnanya matang biru.
Kembali Siau Hong terkejut,
itulah tanda keracunan yang hebat, sungguh tidak nyana arak yang hanya dibuat
cuci tangan A Ci bisa begitu lihai racun yang ditaruhnya.
Kambrat si pelayan restoran
menjadi khawatir melihat lidah kawannya itu, mereka sibuk bertanya.
"Wah, kena racun apakah
lidahmu itu?"
"He, apakah lidahmu
tersengat oleh ketup kalajengking?"
"Ai, celaka! Lekas, lekas
mengundang Sinshe!"
Dalam pada itu sipelayan sudah
berubah menjadi bisu, Mendadak ia mendekati A Ci, Dan berlutut terus menjura
berulang-ulang.
A Ci tertawa, tanyanya,
"Ai, mengapa kamu begini menghormati diriku?Ada apakah?"
Pelayan itu menengadah dan
menuding lidah sendiri, lalu menjura pula tiada berhentinya.
"O, apa kamu minta
disembuhkan?" tanya A Ci dengan tertawa.
Namun saking kesakitan pelayan
itu sudah mandi keringat, kedua tangannya menjambak-jambak rambut sendiri,
sebentar menjura, sebentar soya, sebentar bangun, sebentar berlutut lagi, lalu
kerupukan bagai orang sekarat.
Akhirnya A Ci mengeluarkan
sebilah pisau kuning emas yang kecil, bentuk pisau itu mirip benar dengan pisau
yang dipegang siorang aneh tadi, Mendadak A Ci pegang kuduk sipelayan dan
ditarik kebelakang hingga pelayan itu menengadah, sekali pisaunya bekerja,
"sret" kontan ujung lidah pelayan itu dipotongnya sebagian.
Karuan para penonton sama
menjerit kaget, Seketika darah pun mancur dari lidah yang putus itu.
Semula sipelayan juga kaget,
siapa duga sesudah darah mengucur keluar, segera racun pun hilang, rasa
sakitnya juga lenyap seketika, Hanya sebentar saja lidah yang abuh itu pun
pulih kembali seperti semula.
Kemudian A Ci mengeluarkan
sebuah botol kecil, ia buka sumbat botol dan cungkil sedikit obat bubuk warna
kuning dengan kuku jari dan dibubuhkan diatas luka lidah sipelayan, Aneh juga,
begitu dibubuhi obat, kontan darahnya lantas mampet.
Karuan sipelayan menjadi serba
runyam dan bingung, apakah ia mesti gusar atau mesti berterima kasih kepada
anak dara itu? Ia hanya dapat berkata, "Kau....kau...." Tapi karena
lidahnya terpotong sebagian, ucapannya menjadi pelat, tidak jelas.
A Ci pegang-pegang uang perak
yang ditaruh diatas meja tadi dan berkata pula, "Tadi kukatakan asal minum
seceguk arak lantas kupersen satu tahil perak, tapi belum lagi arak tadi masuk
perutmu sudah kau tumpahkan kembali, maka tadi itu tidak bisa dianggap, jika
mau coba boleh kau minum lagi."
"Ti...tidak, aku... aku
tak mau minum lagi..." demikian jawab sipelayan dengan samar-samar sambil
goyanggoyang kedua tangannya.
A Ci tertawa, Ia simpan
kembali uang perak itu dan katanya, "Apakah kamu masih ingat ucapanmu
tadi? Kalau tidak salah kau bilang 'untuk memotong lidahku mungkin nona belum
mampu' betul tidak?
Dan sekarang kau sendiri yang
menjura dan minta kupotong lidahmu, apakah nonamu mempunyai kemampuan itu atau
tidak?"
Baru sekarang sipelayan sadar
gara-gara ucapannya tadi itulah telah mendatangkan bencana bagi diri sendiri.
Karuan ia sangat murka dan sakit hati, kalau bisa ia ingin melabrak
sepuas-puasnya anak dara itu, tapi ia menjadi takut ketika ingat dimeja lain
masih ada dua orang lelaki yang sudah terang adalah begundal anak dara ini.
"Eh, kau minum lagi atau
tidak?" demikian A Ci tanya pula padanya.
Dengan gusar si pelayan
menjawab, "Lo... Locu tidak...."
Tapi baru sekian ucapannya ia
jadi ketakutan kalau-kalau diselomoti orang lagi karena makiannya itu, dengan
gusar dan jeri cepat ia lari keruangan belakang untuk seterusnya tidak berani
keluar lagi.
Suasana kembali tenang,
pengurus restoran telah memberi ganti seorang pelayan lain, Tapi karena
menyaksikan kejadian tadi, pelayan baru ini pun kapok dan tidak berani
sembarangan omong.
Siau Hong merasa gusar sekali
oleh kekejaman A Ci itu, masakah sipelayan itu hanya berkelakar begitu saja
mesti dibikin cacat untuk selamanya, sungguh keterlaluan.
Dalam pada itu, terdengar A Ci
telah berkata pula sambil menunjuk lelaki aneh tadi, "Pelayan, bawalah
arak ini untuk tuan itu."
Si pelayan baru memang lagi
kebat-kebit waktu A Ci menunjuk mangkuk araknya, kini mendengar bahwa arak itu
supaya diberikan kepada lelaki berhidung singa itu, Ia bertambah takut.
"He, kenapa kamu diam
saja?" tegur A Ci dengan tertawa ketika melihat sipelayan ragu-ragu.
"Eh, barangkali kau sendiri ingin minum, ya? Ah, boleh juga, ayolah
minum."
Karuan pelayan itu ketakutan
setengah mati, cepat ia menjawab. "Ti...tidak... tidak, hamba ti... tidak
mau."
"Jika begitu lekas bawa
untuk tuan itu," kata A Ci.
"Ya, ya!" cepat
sipelayan menurut, Dengan tersipu-sipu ia angkat mangkuk arak itu dengan kedua
tangan dan dipindah kemeja si lelaki berhidung singa, Saking gugupnya hingga
kedua tangan pelayan bergemetaran, untung araknya tidak muncrat keluar.
Lelaki hidung singa itu pun
tidak menolak, ia angkat mangkuk arak itu, tapi tidak lantas diminum, ia
pandang lekat-lekat arak didalam mangkuk.
"Kenapa, Jisuko?"
tanya A Ci dengan tertawa, "Aku menyuguh arak padamu, apakah engkau tidak
sudi minum?"
Diam-diam Siau Hong membatin,
"Arakmu itu beracun jahat luar biasa, sudah tentu orang itu tidak mau
menjadi korbanmu, Biarpun lwekangnya sangat tinggi juga belum tentu mampu
menolak racun didalam arak itu."
Diluar dugaan, sesudah sekian
lamanya orang berhidung singa itu tertegun, mendadak ia tempelkan mangkuk arak
itu kebibirnya dan segera ditenggaknya hingga habis isinya.
Karuan Siau Hong terkejut,
pikirnya, "Apa betul lwekang orang ini sedemikian hebatnya hingga mampu
menghapuskan racun dalam arak itu?"
Tengah ia sangsi, ia lihat
orang berhidung singa itu telah menaruh kembali mangkuk arak diatas meja, dua
jari jempolnya kelihatan basah dan diusap-usapkan pada bajunya.
Melihat itu, sedikit pikir
saja Siau Hong lantas tahu duduknya perkara, "Ya, besar kemungkinan ia
telah berhasil meyakinkan 'Hoa-tok-hai-hoat' (ilmu menghapus racun) ajaran
iblis tua Sing-siok-hai, maka sebelum dia minum arak itu, lebih dulu ia rendam
kedua jari jempol didalam arak sambil memandang sekian lamanya, tentu waktu
itulah ia telah hapuskan racun jahat didalam arak, dengan demikian ia tidak
takut lagi untuk menengguknya hingga habis."
Rupanya hal itu juga diluar
dugaan A Ci, gadis itu agak gugup juga dan lekas-lekas berkata dengan tersenyum
ewa, "Wah, rupanya kepandaian Jisuko telah maju pesat sekali, Terimalah
pemberian selamat dariku ini."
Orang itu tidak gubris padanya
lagi, segera ia melanjutkan makan minum, ia sapu bersih daharan yang disediakan
itu, habis itu ia berbangkit sambil tepuk-tepuk perutnya yang sudah penuh
terisi itu, lalu katanya. "Nah, marilah berangkat!"
"O, ya, silakan! Sampai
berjumpa pula!" kata A Ci.
Karuan orang itu melengak,
kedua matanya yang besar sebelah itu mendelik, katanya, "Sampai berjumpa
apa? Maksudku kaupun ikut berangkat bersamaku!"
"Aku tidak mau."
sahut A Ci sambil goyang-goyang kepala, Lalu ia mendekati Siau Hong dan berkata
pula, "Aku sudah berjanji lebih dulu dengan Toako ini untuk pesiar ke
Kanglam."
"Bedebah siapa dia?"
tanya orang berhidung singa itu sambil melotot sekejap kepada Siau Hong.
"Bedebah apa? Dia adalah
Cihuku (suami kakakku), tahu? Kami adalah sanak famili terdekat," kata A
Ci.
"Kamu sudah memberi
persoalannya dan aku sudah memberi jawabannya, maka sekarang kamu harus menurut
perintahku, kau berani
melanggar peraturan perguruan kita?" teriak orang itu.
"Kiranya A Ci menyuruh
dia minum arak beracun tadi merupakan suatu soal ujian sulit baginya, diluar
dugaan soal itu telah dijawabnya hingga lulus," demikian Siau Hong
membatin.
Maka terdengar A Ci menjawab.
"Siapa bilang itu memberikan soal ujian bagimu? Apa kau maksudkan minum
arak tadi? Hahahaha, sungguh menggelikan! Bukankah kau lihat sendiri, arak itu
kusuruh minum sipelayan tadi, Siapa duga sebagai ahli waris Sing-siok-hai
kaupun sudi minum, arak sisa bekas pelayan itu, Hahaha, sedangkan seorang
pelayan saja tidak mampus minum arak itu, kemudian engkau menghabiskannya,
apanya sih yang hebat? Coba jawab, sedangkan pelayan itu saja tidak mati minum
arak itu, apakah mungkin aku menguji dirimu dengan arak begituan?"
Sebenarnya ucapan A Ci itu
terlalu ingin menang sendiri, untuk mendebatnya juga tidak susah, tapi orang
berhidung singa itu rupanya tidak mau membantah, dengan menahan gusar ia
berkata. "Suhu memberi perintah agar aku membawamu pulang, kau berani
membangkang pada perintah ini?"
"Suhu paling sayang
padaku, asal nanti Jisuko menyampaikan pada beliau bahwa aku telah bertemu
dengan Cihuku ditengah jalan serta pergi pesiar bersamanya ke Kanglam, nanti
kalau kami pulang akan kubawakan oleh-oleh yang bagus buat beliau,"
demikian sahut A Ci dengan tertawa.
"Tidak, kamu harus ikut
pulang, kamu telah mengambil...." bicara sampai disini orang itu tidak
melanjutkan lagi, ia melirik kearah Siau Hong seperti khawatir rahasianya
didengar orang luar, dan sesudah merandek sejenak, lalu ia melanjutkan,
"Suhu sangat marah dan kamu diharuskan segera pulang."
"Jisuko," demikian A
Ci memohon, "Sudah tahu Suhu lagi marah, mengapa engkau tega memaksa aku
pulang, bukankah aku akan dihajar oleh beliau? Awas, jika Jisuko memaksa, kelak
kalu Jisuko dihukum Suhu, tentu aku pun tidak mau memintakan ampun lagi
bagimu."
Rupanya ucapan A Ci yang
terakhir ini agak mempengaruhi pikiran si lelaki hidung singa ini, mungkin anak
dara itu memang sangat disukai dan dimanjakan oleh gurunya, si iblis tua
Sing-siok-hai, segala apa yang dia minta selalu diluluskannya.
Maka sesudah pikir sejenak, segera
orang aneh itu berkata, "Jika engkau berkeras tidak mau pulang, boleh juga
kau serahkan kedua macam barang itu padaku, dengan begitu dapatlah aku
mempertanggung-jawabkan tugasku kepada Suhu dan mungkin amarah beliau dapat
diredakan."
"Apa katamu? Dua macam
barang apa? Sungguh aku tidak paham." ujar A Ci.
Mendadak orang berhidung singa
itu menarik muka, sahutnya, "Sumoay, jika aku tidak mau main kasar padamu
adalah karena mengingat sesama saudara perguruan, tapi kamu sendiri harus bisa
membedakan antara yang baik dan jelek."
"Sudah tentu aku bisa
membedakan," sahut A Ci, "Engkau menemani aku makan minum adalah
baik, tapi engkau memaksa aku pulang ketempat Suhu itulah yang jelek."
"Pendek kata kau mau
serahkan kedua macam barang itu atau tidak?Atau mau ikut pulang saja?"
desak pula orang itu.
"Aku tidak mau pulang
juga tidak tahu barang apa yang kau inginkan," sahut A Ci. "O,
barangkali kau ingin membawa sesuatu barangku ini? Baiklah! Nah, boleh kau bawa
tanda pengenalku, ini tusuk kondaiku." Sembari berkata ia terus ambil
sebentuk tusuk-kondai dari sanggulnya.
"Jangan berlagak pilon,
Sumoay! Apa kau paksa aku harus turun tangan?" desak pula orang itu sambil
melangkah maju.
A Ci kenal betapa lihai
kepandaian sang Suheng, ia tahu bukan tandingannya, apalagi ilmu silat golongan
Singsiok-hai mereka itu sangat ganas, sekali turun tangan tanpa kenal ampun
lagi, kalau tidak mati tentu terluka parah, kalau terluka parah tentu akan
tersiksa oleh racun jahat dan akhirnya juga akan mati lebih mengerikan.
Sebab itulah diantara sesama
saudara seperguruan mereka tidak pernah saling latih, begitu pula diantara guru
dan murid juga tidak pernah menjajal kepandaian masing-masing.
Pada waktu iblis tua
Sing-siok-hai mengajari muridnya juga dipisah-pisahkan ditempat yang berlainan,
setiap murid juga berlatih tersendiri dan saling tidak tahu sampai dimana
kepandaian masing-masing, Hanya kalau bertemu musuh dan disitulah baru
diketahui tinggi atau rendah kepandaiannya.
A Ci sendiri pernah
menyaksikan Jisukonya itu membinasakan tujuh bandit besar di perbatasan Sujwan
dan Tibet, betapa ganas cara turun tangannya benar-benar sangat keji, maka
betapa pun ia merasa jeri juga bila sang Suheng benar-benar turun tangan dan
main paksa padanya.
Menurut peraturan perguruan
mereka, sekali A Ci sudah menjajal sang Suheng dengan arak berbisa, itu berarti
suatu tantangan yang luar biasa, sebab kalau Suheng yang berhidung singa itu
mengaku kalah, maka selama
hidupnya akan selalu berada
dibawah perintah A Ci.
Tapi kini ia telah lulus dari
ujian, ia telah minum habis arak berbisa si A Ci tadi, menurut aturan itu
berarti A Ci sudah kalah dan tidak boleh melawan perintahnya lagi.
Tahu gelagat jelek, segera A
Ci menarik-narik lengan baju Siau Hong sambil berseru, "Cihu, tolong,
Cihu! Dia akan menyerang aku, Cihu, tolong Cihu!"
Berulang-ulang dipanggil
'Cihu', hati Siau Hong menjadi lemas, teringat pula pesan tinggalan A Cu tempo
hari, segera ia bermaksud menghalaukan lelaki berhidung singa itu.
Tapi sekilas dilihatnya darah
yang berceceran dilantai, yaitu darah lidah sipelayan yang terpotong tadi,
kembali Siau Hong merasa anak dara itu terlalu gabah tangan, kalau sekarang
dibiarkan ketakutan dulu, agar dia agak kapok dan kelak takkan berani terlalu
nakal, Maka ia sengaja tinggal diam saja dengan memandang jauh keluar jendela.
Melihat si A Ci minta bantuan
kepada Siau Hong, lelaki hidung singa itu pikir dara cilik itu harus dibikin
takut, untuk mana jago yang diandalkan ini harus dibikin keok dulu, dengan
demikian tentu dara cilik itu akan ikut pulang dengan menurut, Maka tanpa
bicara lagi segera ia pegang pergelangan tangan kiri Siau Hong terus dipencet.
Dalam pada itu sebenarnya Siau
Hong sudah siap, begitu melihat pundak kanan orang sedikit bergerak, segera ia
tahu orang hendak menyerang, Tapi ia sengaja tinggal diam dan membiarkan
tangannya dipegang orang itu, Dan begitu tangan orang menyentuh kulitnya,
segera ia merasakan panas bagai dibakar, ia tahu orang itupun berbisa jahat.
Selama hidup Siau Hong justru
paling benci kepada kepandaian yang berbisa jahat seperti itu, Tapi ia tetap
diam saja, hanya tenaga murni ia kerahkan ke pergelangan tangan, lalu katanya
dengan tertawa, "Ada apa? O, barangkali saudara ingin ajak minum arak
padaku?Baiklah, mari, mari silahkan!"
Sambil berkata ia terus
menggunakan tangan kanan untuk menuang dua mangkuk arak. Dalam pada itu si
lelaki hidung singa telah mengerahkan tenaga sekuatnya, tapi ia lihat Siau Hong
masih tetap seenaknya saja bagai tidak merasakan sesuatu apa, diam-diam ia
membatin; "Huh, jangan senang-senang dulu, sebentar baru kau tahu
rasa."
Segera iapun menjawab.
"Mau minum arak ayolah minum, kenapa aku tidak berani?"
Habis berkata terus saja ia
angkat mangkuk arak itu dan ditenggak, Diluar dugaan baru arak itu mengalir
masuk kerongkongan, mendadak dari dalam rongga dada serasa ada arus tenaga yang
entah timbul dari mana, langsung tenaga dalam itu menyerang keatas.
Ia tidak tahan lagi, ia
terbatuk-batuk hingga arak yang sudah ditenggak itu tersembur keluar kembali,
habis itu ia masih terus batuk hingga sekian lama.
Kejadian itu membuatnya
terkejut tak terperikan, Arus tenaga yang membalik keluar itu terang berasal
dari tenaga dalam orang yang disalurkan melalui tangannya yang terpegang itu.
Coba kalau orang mau incar
jiwanya, sungguh gampangnya seperti merogoh saku sendiri, Dalam kagetnya cepat
ia hendak melepaskan pergelangan tangan Siau Hong.
Tak tersangka sekarang hendak
lepar tangan pun tidak bisa lagi, Tangan Siau Hong itu seperti mengeluarkan
tenaga melengket hingga tangan lelaki hidung singa itu sukar ditarik kembali.
Dalam kagetnya orang itu masih
menarik-narik sekuatnya, Tapi Siau Hong tetap diam saja, biar bagaimana pun
orang itu menarik dan meronta, sedikitpun Siau Hong tak tergerak.
Dalam pada itu Siau Hong
menuang arak pula dan berkata, "Tapi kamu belum sempat minum arak ini,
sekarang silahkan minum semangkuk saja dan barulah kita berpisah ya?"
Orang itu masih meronta-ronta
sekuatnya dan tetap susah melepaskan diri, Tanpa pikir lagi ia terus
menempeleng muka Siau Hong dengan tangan lain, Belum kena dihantam Siau Hong
lantas mengendus bau amis busuk, bau mirip ikan mati.
Segera ia angkat tangan kanan
dan mengibas pelahan keatas hingga pukulan orang itu menceng kearah lain,
"plak" tanpa kuasa lagi orang itu menghantam bahu sendiri, saking
kerasnya hingga ruas tulang pundak sampai keseleo.
"Ai, ai, Jisuko, mengapa
engkau begini sungkan hingga menghajar dirinya sendiri, kan aku yang merasa
tidak enak?" demikian A Ci malah menggodanya.
Sungguh dongkol dan gemas
lelaki hidung singa itu tidak kepalang, tapi apa daya, tangan yang lengket
dipergelangan tangan Siau Hong itu tak bisa ditarik kembali, untuk menyerang
lagi pun tidak berani, segera ia mengerahkan tenaga dalam, Ia hendak salurkan racun
yang terdapat pada tangannya itu kedalam badan musuh.
Tak terduga, begitu tenaganya
kebentur dengan tangan Siau Hong, kontan tenaga itu terdesak balik, bahkan
terdesak terus kelengan,
Karuan lelaki hidung singa itu
terkejut, cepat bertahan mati-matian, namun celaka, selisih lwekangnya dengan
Siau Hong terlalu jauh, ia tidak kuat melawan, arus tenaga dalam yang
mengandung racun itu bagaikan gelombang samudra yang membanjir kedalam sungai,
setelah membanjir ke lengan, terus kebahu dan lambatlaun sampai didada.
Lelaki hidung singa kenal
racun di tangan sendiri itu luar biasa lihainya, asal menyerang jantung
seketika orangnya akan binasa, Kini racun itu benar-benar 'senjata makan tuan',
dibawah desakan lwekang musuh arus racun itu tak bisa ditahan lagi, Saking
kelabakan sampai keringatnya berbutir-butir memenuhi jidatnya.
"Wah, Jisuko, lwekangmu
sungguh tinggi sekali," demikian A Ci berolok-olok lagi, "Hawa
sedingin ini, tapi engkau malah berkeringat, Sungguh aku kagum sekali
padamu!"
Sudah tentu si lelaki hidung
singa tidak pikirkan lagi sindiran A Ci itu, yang paling penting baginya
sekarang ialah menyelamatkan jiwa lebih dulu, Maka ia coba bertahan sekuat
mungkin, sebelum ajal ia pantang mati.
Diam-diam Siau Hong berpikir,
"Selamanya aku tiada permusuhan dengan orang ini, meski dia hendak
menyerang aku secara keji, buat apa aku membunuh dia?"
Maka mendadak ia tarik kembali
tenaga dalamnya, Seketika lelaki hidung singa itu merasa tangannya terlepas,
arus racun yang hampir mendekat jantung itu seketika menyurut kembali, Dalam
girang dan kejutnya cepat ia melangkah mundur beberapa tindak dan tidak berani
mendekat Siau Hong lagi.
Meski barusan ia hampir
mendaftarkan diri kepada raja akhirat, tapi sipelayan tidak tahu apa-apa,
khawatir orang marah, pelayan itu mendekatinya untuk menuangkan arak, Diluar
dugaan mendadak lelaki hidung singa itu menggaplok muka sipelayan, Sekali
pelayan itu menjerit, kontan orangnya roboh telentang.
Habis hantam sipelayan, lalaki
hidung singa itu lantas lari cepat keluar restoran dan menuju kearah barat
daya, dari jauh terdengar suara suitannya yang tajam melengking, makin lama
makin jauh.
Waktu Siau Hong periksa
sipelayan, ia lihat selebar mukanya matang biru, terang sudah binasa, Ia
menjadi gusar dan berseru. "Orang itu benar-benar kejam, telah kuampuni
jiwanya, tapi dia malah membunuh orang."
Segera ia pun berbangkit dan
bermaksud akan mengejar.
Tapi A Ci lantas mencegahnya,
"Cihu, duduklah, biar kujelaskan padamu."
Jika A Ci memanggil
Kiau-pangcu atau Siau-toako, tentu Siau Hong takkan gubris padanya, Tapi
panggilan "Cihu" itu telah membuatnya teringat kepada A Cu, Dengan
rasa terharu ia tanya, "Ada apa?"
"Bukan Jisuko kejam,
soalnya tadi dia tak berhasil mencelakai engkau, racunnya tidak terlampias,
maka ia perlu membunuh seorang sebagai gantimu," tutur A Ci.
Siau Hong tahu diantara ilmu
silat kaum Sia-pai memang ada cara begitu, bila racun yang mestinya
dikeluarakan itu tidak dikeluarkan, paling tidak harus dihantamkan pada seekor
kuda atau kerbau, kalau tidak, racun itu akan membalik dan mencelakai diri
sendiri, Maka katanya, "Jika dia ingin mengimpaskan racun, kenapa dia
tidak hantam seekor hewan saja, tapi membunuh manusia?"
"Orang goblok seperti dia
apa bedanya dengan hewan?" sahut A Ci. "Membunuh orang seperti dia
itu tidakkah sama seperti membunuh seekor babi?"
Sungguh ngeri Siau Hong
mendengar cara omong A Ci yang sewajarnya, sedikit pun tidak merasa menyesal,
seakan-akan jiwa manusia itu seperti jiwa semut saja.
Ia pikir watak nona cilik ini
sudah sejahat ini, buat apa diurus lagi? Apalagi saat itu orang-orang restoran
telah merubung keluar lagi, ia tidak ingin tersangkut perkara pula, segera ia
berbangkit dan tinggal pergi menuju ke utara.
Ia dengar A Ci sedang
menyusulnya, segera ia percepat langkahnya hingga dalam sekejap saja dara cilik
itu telah tertinggal jauh.
Tapi segera ia dengar seruan A
Ci, "Cihu, Cihu! Tunggu, Cihu! Aku...aku akan ketinggalan, lho!"
Kalau bicara berhadapan dan
melihat kelakuan anak dara itu, seketika Siau Hong akan merasa jemu padanya,
Tapi kini mendengar suara seruannya dari belakang, suara itu nyaring merdu dan
mirip benar dengan suara A Cu, Seketika perasaan Siau Hong terguncang hebat,
tanpa terasa ia membalik tubuh, dengan mengembang air mata ia lihat seorang
anak dara berlari-lari mendatangi dan sungguh mirip sekali seakan-akan A Cu
telah hidup kembali.
Sambil pentang kedua tangan
menyambut kedepan, tanpa terasa Siau Hong berseru pelahan, "A Cu, A Cu! O,
A Cu!"
Saat itu samar-samar ia merasa
seperti berhadapan dengan A Cu, Ia menjadi terkejut dan sadar kembali ketika
mendadak sesosok tubuh yang lunak menubruk kepelukannya dan mendengar suara
sigadis. "Cihu, kenapa engkau tidak menunggu padaku?"
Pelahan Siau Hong melepaskan A
Ci dari pelukannya, katanya. "Buat apa kau ikut padaku?"
"Engkau telah
menghalaukan Jisukoku, dengan sendirinya aku mesti menghaturkan terima kasih
padamu." sahut A Ci.
"Itu tidak perlu, toh aku
tidak sengaja hendak membantumu, soalnya dia hendak menyerang aku, kalau aku
tidak membela diri tentu akan mati ditangannya," sahut Siau Hong dengan
sikap dingin, Lalu putar tubuh hendak tinggal pergi lagi.
Segera A Ci memburu maju dan
hendak menarik tangan Siau Hong, Tapi sedikit Siau Hong mengengos, tangan A Ci
memegang tempat kosong, dengan sempoyongan ia terjerembab kedepan.
Dengan ilmu silatnya
sebenarnya A Ci dapat menegakkan tubuhnya, tapi ia justru gunakan kesempatan
itu untuk menggoda, ia sengaja jatuh ketanah salju sambil berseru, "Aduh!
Sakit!"
Sudah terang Siau Hong tahu
bocah itu cuma pura-pura saja, tapi demi mendengar suaranya yang merdu itu,
seketika benaknya terbayang akan diri A Cu, Tanpa terasa ia putar balik, sekali
tarik ia angkat bangun A Ci.
Ia lihat anak dara itu lagi
tertawa genit, katanya, "Cihu, Ciciku minta engkau menjaga diriku, mengapa
engkau tidak menurut pesannya? Aku seorang nona cilik, hidupku sebatang-kara,
banyak orang jahat akan bikin susah padaku, mengapa engkau tidak urus dan tidak
gubris padaku?"
Ucapan itu kedengarannya
sangat mengesankan dan penuh kasihan, biarpun Siau Hong tahu anak dara itu cuma
omong kosong belaka, tapi hatinya menjadi lemas juga, Tanyanya, "Untuk apa
kau ikut padaku? Perasaanku sendiri lagi masgul, tidak nanti aku mau bicara
denganmu, apalagi kalau kamu berbuat sembarangan, tentu aku akan
menghajarmu."
"Engkau masgul, aku akan
menghibur padamu, dengan begitu bukankah hatimu lambat-laun akan gembira
lagi?" ujar A Ci. "Jika aku boleh ikut, pada waktu engkau minum arak,
aku akan menuangkan arak bagimu, Jika engkau ganti pakaian, akan kucuci dan
tambal bajumu bila perlu, Bila aku berbuat salah, dan engkau suka mengajar,
itulah paling baik malah, Sejak kecil aku sudah ditinggalkan orang tua, tiada
orang yang mengajar padaku, segala apa aku memang tidak paham....."
Berkata sampai disini, matanya menjadi merah basah.
Tapi Siau Hong pikir.
"Mereka, kakak dan adik memang berbakat main sandiwara, bicara tentang
menipu orang boleh dikata kepandaian mereka tiada bandingannya, Untung aku
sudah kenal nona ini sangat keji, tidak nanti aku tertipu, Sebab apakah dia
tetap ingin ikut padaku? Tipu muslihat apakah yang terkandung dalam hatinya,
Jangan-jangan gurunya sengaja mengirim dia untuk memancing aku dan akan bikin
celaka padaku? Ya, jangan-jangan musuh yang kucari itu ada sangkut-pautnya
dengan iblis tua Sing-siok-hai itu? Bahkan bisa jadi dia sendiri yang menjadi
biang keladinya?"
Berpikir demikian, seketika
timbul suatu keputusannya, "Masakah seorang laki-laki sebagai Siau Hong
mesti takut kepada kemungkinan ditipu oleh anak dara seperti dia itu? Kenapa
aku tidak turuti saja permintaannya, akan kulihat tipu muslihat apa yang akan
dikeluarkannya, Boleh jadi pada diri anak dara inilah akan dapat kubalas sakit
hatiku, Ya, siapa tahu?"
Karena pikiran itu, segera ia
berkata, "Jika begitu, baiklah, boleh kau ikut padaku, Tetapi aku janji
lebih dulu, jika kamu sembarangan membikin susah orang atau membunuh orang
lagi, tentu aku takkan mengampunimu."
A Ci menjulurkan lidah,
kemudian menyahut, "Habis bila orang lain yang ingin membikin susah
padaku, lantas bagaimana? Dan jika orang jahat yang kubunuh lantas bagaimana
lagi?"
Siau Hong pikir anak dara ini
sungguh terlalu licin dan nakal, bukan mustahil dia akan mencari macam-macam
alasan untuk membela diri, jika dia menimbulkan gara-gara lagi, Maka katanya,
"Apakah orang lain itu orang jahat atau bukan, tidak perlu dipeduli,
Pendek kata, sekali kamu berada bersamaku, selama itu kamu tidak boleh
bertengkar dengan orang, Kamu berada denganku, tidak nanti orang lain berani
mengganggumu."
"Ai, engkau hanya Cihuku,
tapi engkau lebih keras mengajarku daripada orang tuaku." kata A Ci.
"Coba kalau Ciciku tidak
meninggal dan sempat menikah denganmu, bukankah dia juga akan mati dikekang
oleh perintahmu?"
Siau Hong menjadi gusar,
sungguh ia ingin damprat anak dara itu, tapi segera hatinya lemas lagi, Ketika
dilihatnya sorot mata A Ci menyinarkan sifat-sifat yang nakal dan licin,
kembali ia pikir, "Aneh, mengapa ia merasa senang oleh apa yang kukatakan
itu?"
Karena tak bisa menerka sikap
anak dara itu, ia lantas melanjutkan perjalanan lagi. Kira-kira dua tiga li
jauhnya, mendadak teringat olehnya, "Ai, celaka! Mungkin dara cilik ini
sedang menghadapi suatu musuh besar atau lawan tangguh, makanya aku ditipu
untuk membela dia, Tadi aku telah menyatakan, 'Kamu berada denganku, tidak
nanti orang berani mengganggumu' Dan itu berarti aku telah berjanji untuk
melindungi dia, Padahal dia dipihak yang benar atau salah, meski aku tidak
menyatakan sesuatu, asal dia berada disampingku dengan sendirinya aku tidak
membiarkan dia diganggu siapapun juga."
Dan setelah beberapa li lagi,
tiba-tiba A Ci membuka suara pula, "Cihu, ketimbang kesepian akan
kunyanyikan suatu lagu, mau tidak?"
"Tidak!" sahut Siau
Hong ketus.
Ia sudah ambil keputusan,
pendek kata apa saja yang dikehendaki anak dara itu, seluruhnya akan dijawabnya
tidak, Terhadap anak dara yang nakal itu harus pakai sikap keras dan ketus,
supaya dia kapok.
Sudah tentu A Ci kurang senang
oleh jawaban Siau Hong itu, dengan memoncongkan mulut yang mungil ia berkata,
"Engkau ini memang terlalu, Eh, jika begitu aku akan mendongeng saja, mau
tidak?"
"Tidak!" jawab Siau
Hong tetap.
"Kalau begitu, marilah
kita main teka-teki saja, mau?"
"Tidak!" kembali
Siau Hong menolak.
"Ya, sudahlah, Eh, engkau
saja yang mendongeng, setuju?"
"Tidak!"
"Atau engkau saja yang
menyanyi, mau?"
"Tidak!"
"Engkau saja yang melucu,
juga tidak?"
"Tidak!"
Begitulah segala permintaan A
Ci selalu dijawab dengan 'tidak' oleh Siau Hong tanpa pikir.
Mendadak A Ci berkata pula,
"Jika begitu, aku takkan meniup seruling untukmu, mau tidak?"
"Tidak!" tetap Siau
Hong menjawab begitu, Dan begitu jawaban itu diucapkan, segera ia sadar telah
terjebak oleh akal anak dara itu.
Yang ditanya A Ci adalah 'aku
takkan meniup seruling untukmu' dan dia menjawab 'tidak' maka itu berarti dia
minta anak dara meniupkan seruling, Tapi karena sudah kadung diucapkan, ia
pikir masa bodohlah, kau mau meniup seruling boleh, silahkan sesukamu.
Begitulah lalu A Ci berkata
dengan gegetun, "Ai, Cihu ini memang susah diladeni, Ini tidak, itu juga
tidak, ini tidak mau, itu pun emoh, Tak tahunya minta ditiupkan seruling,
Baiklah, akan kupenuhi keinginanmu."Habis berkata, lalu ia mengeluarkan
sebatang seruling kemala.
Seruling kemala itu bentuknya
luar biasa, seluruhnya putih mulus, panjangnya cuma belasan senti saja, kecil
mungil.Segera A Ci taruh seruling itu di bibirnya dan mulai meniupnya, seketika
tersiarlah bunyi seruling yang tajam melengking berkumandang jauh.
Tergerak hati Siau Hong, Tadi
waktu lelaki hidung singa itu berlari pergi jauh pernah mengeluarkan suara
suitan tajam seperti itu, Sebenarnya suara seruling itu nyaring dan merdu, tapi
suara seruling kemala putih ini tajam mengerikan terang bukan suara irama
musik.
Segera tahulah Siau Hong,
katanya didalam hati, "Hm, kiranya telah kau sembunyikan begundalmu disini
untuk menyergap diriku, Hah, masakah aku jeri pada kaum keroco seperti kalian
ini?"
Tapi ia pun tahu ilmu silat
anak murid iblis tua Sin-siok-hai itu tentu sangat lihai, jika bertempur secara
terangterangan tentu saja ia tidak takut, tapi kalau mereka menggunakan
muslihat keji, sedikit lengah saja pasti akan masuk perangkap mereka.
Sementara itu ia dengar suara
seruling A Ci masih terus mendenging-denging, sebentar tinggi sebentar rendah
nada suaranya, terkadang seperti babi disembelih, tempo-tempo bagaikan setan
menjerit, Sungguh aneh dan ganjil sekali bahwa seorang gadis cantik sebagai A
Ci dengan seruling kemala yang bagus itu, ternyata suara yang keluar dari alat
musik itu justru melengking jelek.
Namun Siau Hong tak mau ambil
pusing lagi, ia meneruskan perjalanannya, Tidak lama kemudian sampailah disuatu
jalan pegunungan yang sempit dan panjang, Lereng gunung itu curam dan sukar
ditempuh, Diam-diam Siau Hong membatin, "Jika musuh bermaksud menyergap
aku, tentu disinilah tempatnya,"
Benar juga, sesudah membelok
suatu lintasan dan naik keatas bukit lagi, segera tertampak didepan menghadang
empat orang, Pakaian keempat orang itu terdiri dari kain belacu kuning kasar,
dandanan mereka tiada ubahnya seperti lelaki hidung singa yang ngacir di
restoran itu.
Keempat orang itu tidak
berdiri sejajr, tapi berbaris muka dan belakang, setiap orang membawa tongkat
baja panjang.
Melihat keempat orang itu,
seketika A Ci berhenti meniup serulingnya, Segera ia menyapa. "He,
Samsuko, Sisuko, Jitsuko, Patsuko, baik-baikkah kalian? Mengapa begini
kebetulan kalian berkumpul disini?"
Siau Hong lantas berhenti
juga, ia sengaja bersandar didinding tebing ditepi jalan sambil mengulet
kemalasmalasan, ia pura-pura tidak ambil pusing dan ingin tahu permainan apa
yang hendak dilakukan mereka.
Orang yang berdiri paling
depan diantara barisan empat orang itu adalah laki-laki setengah umur dan
berbadan gemuk, lebih dulu ia mengamat-amati Siau Hong, habis itu barulah
berkata,
"Siausumoay, baik-baikkah
kau?Mengapa kamu melukai Jisuko?"
"Hah, Jisuko
terluka?" demikian A Ci pura-pura kaget, "Siapakah yang melukai dia?
Parah tidak lukanya?"
"Huh, masih berlagak
pilon? Jisuko bilang kamu yang menyuruh orang melukainya," demikian seru
orang
yang berdiri paling belakang
pada barisan itu, Orang itu bertubuh cebol, tempatnya paling belakang pula,
maka badannya menjadi teraling-aling oleh tubuh ketiga orang yang berada
didepannya.
Dengan sendirinya Siau Hong
juga tak dapat melihat potongan tubuhnya, tapi dari suaranya yang cepat itu,
terang seorang yang berwatak keras beranggasan, Malahan tongkat yang dipegang
si cebol itu sangat panjang dan besar, suatu tanda tenaganya pasti sangat kuat,
Mungkin karena tubuhnya pendek, maka dalam hal senjata ia sengaja hendak lebih
menonjol daripada orang lain.
Begitulah maka A Ci telah
menjawab, "Patsuko, apa yang kau katakan barusan?"
"Jisuko bilang kamu telah
menyuruh orang lain untuk melukainya!" demikian teriak si cebol dengan
gusar.
"Hah, Jisuko bilang kamu
menyuruh orang untuk melukai dia?" demikian A Ci menirukan. "Ai, ai,
mengapa kamu begitu kejam, kalau Suhu tahu, pasti kamu akan dihajar setengah
mati, apa kamu tidak takut?"
Karuan si cebol berjingkrak
gusar karena ucapannya diputar-balik oleh A Ci, ia ketuk-ketuk tongkat bajanya
ketanah hingga mengeluarkan suara gemerantang keras, lalu teriaknya pula,
"Kamu yang melukainya, bukan aku!"
"O, kamu yang melukainya,
dan bukan aku! Bagus jika begitu, kau sendiri telah mengaku, Nah, Samsuko,
Sisuko dan Jitsuko, kalian sendiri mendengar bukan, Patsuko bilang dia yang
membinasakan Jisuko." demikian A Ci, "Ya, tahulah aku, tentu kau
binasakan Jisuko dengan'Sam-im-gia-kang-jiau' (cakar kelabang beracun dingin)
betul tidak?"
Sungguh gemas si cebol bukan
butlan, kembali ia berteriak, "Siapa bilang Jisuko mati? Dia tidak mati,
lukanya juga bukan terkena 'Sam-im-gia-kang-jiau'......"
"Hah, bukan
"Sam-im-gia-kang-jiau'?" demikian A Ci memotong. "Nah, kalau
begitu tentu 'Tau-jweciang'(pukulan penghisap sumsum), itulah kepandaianmu yang
tiada bandingannya, sedikit Jisuko kurang hatihati, maka celakalah dia, Ai,
engkau....engkau benar-benar sangat lihai!"
Jilid 40
Si cebol menjadi tidak sabar
lagi, ia berteriak, "Samsuko, ayolah lekas turun tangan, tangkaplah budak
cilik itu biar Suhu menghukumnya nanti, dia... dia entah mengoceh apa, sungguh
kurang ajar!"
Tapi karena ia sendiri sedang
gusar, suaranya gemeresek pula dan terlalu bernapsu, maka apa yang ia katakan
menjadi kurang terang.
"Rupanya kita juga tidak
perlu pakai kekerasan," demkian kata si gendut, "Biasanya Siausumoai
sangat penurut, maka marilah ikut pulang saja, Siausumoai!"
"Baiklah, Samsuko, apa
yang kau katakan memang selalu kuturut," sahut A Ci dengan tertawa.
Si gendut terbahak-bahak,
katanya. "Itulah bagus, memang kamu ini sangat penurut, Marilah kita
berangkat!"
"O, ya, silahkan!"
sahut A Ci.
Kembali si cebol yang berada
paling belakang itu berkaok-kaok, "He,silakan apa kau bilang! Kamu harus
ikut pulang bersama kami, tahu?"
"Silakan kalian berangkat
dulu, sebentar tentu akan kususul." kata A Ci.
"Tidak, tidak bisa!"
seru si cebol. "Kamu harus ikut bersama kami!"
"Aku sih menurut saja,
tapi sayang Cihuku itu tidak boleh," kata A Ci sambil menuding Siau Hong.
"Ini dia, sandiwaranya
sudah mulai main," demikian Siau Hong membatin. Tapi ia masih tetap
bersandar didinding batu sambil bersedekap seakan-akan tidak peduli apa yang
terjadi didepannya itu.
Maka si cebol bertanya,
"Siapakah Cihumu? Mengapa aku tidak melihatnya?"
"Tubuhmu terlalu
jangkung, maka Cihuku tidak dapat melihatmu." sahut A Ci dengan tertawa.
Dasar watak si cebol itu
memang sangat beranggasan, apalagi kalau ada orang mengolok-olok tentang
tubuhnya yang cebol, tentu akan dilabraknya mati-matian, Maka mendadak
terdengar suara "trang" sekali, tongkatnya mengetuk sekali ketanah
dan badan lantas melayang kedepan melampaui ketiga orang Suhengnya, lalu turun
didepan A Ci.
"Ayo, lekas ikut pulang
bersama kami!" demikian ia membentak terus hendak mencengkeram pundak si A
Ci.
Kini dapatlah Siau Hong
melihat potongan si cebol itu, meski badannya pendek, tapi pinggangnya besar
dan pundaknya lebar hingga sekilas dipandang jelas cukup tangkas orangnya,
bahkan gerak-geriknya juga gesit.
A Ci ternyata tidak menghindar
akan cengkeraman si cebol tadi, ia diam saja, Diluar dugaan tangan si cebol lantas
berhenti, ketika hampir menyentuh pundak A ci, mendadak ia ragu dan tertegun,
akhirnya ia tanya;
"Apakah sudah kau
gunakan, ya?"
"Gunakan apa?" sahut
A Ci.
"Sudah tentu
Pek-giok-giok-ting....." baru si cebol mengucap istilah itu, mendadak
ketiga kawannya membentak bersama, "Patsuko, apa yang kau katakan?"
Bentakan yang bengis dan
berwibawa itu membuat si cebol bungkam, sikapnya menjadi jeri dan gugup.
Meski Siau Hong acuh tak acuh
sejak tadi, tapi setiap gerak-gerik A Ci dan keempat Suhengnya itu selalu tak
terhindar dari pengawasannya, Diam-diam ia membatin, "Benda apakah
Pek-giok-giok-ting itu? Dari sikap keempat orang ini agaknya adalah semacam
benda yang sangat penting, mereka bersembunyi disini untuk menyergap aku,
kenapa mereka tidak lantas turun tangan, tapi malah bertengkar sendiri,
jangan-jangan mereka khawatir tak mampu melawan aku, maka ingin menunggu bala
bantuan lain lagi?"
Dalam pada itu dilihatnya si
cebol sedang menjulurkan tangan dan berkata pula, "Mana, serahkan!"
"Apa yang kau
inginkan?" tanya A Ci.
"Sudah tentu
Pek...pek...ya, kau tahu sendiri." sahut si cebol dengan tergagap.
"Sudah kuberikan pada
Cihuku," jawab A Ci tiba-tiba sambil menuding Siau Hong.
Diam-diam Siau Hong merasa
jemu kepada mereka, ia pikir buat apa meladeni? Pelahan ia menegak, mendadak
kaki mengentak, tahu-tahu badan mengapung keatas dan secepat terbang ia
melayang lewat diatas kepala orang-orang itu.
Gerakan Siau Hong itu sangat
aneh dan cepat, sama sekali keempat orang itu tidak melihat Siau Hong bergerak
atau tahu-tahu mereka merasa angin menyambar lewat diatas kepala, lalu
tertampak Siau Hong sudah jauh berada dibelakang mereka.
Segera keempat orang itu
berteriak-teriak sambil memburu, Tapi ginkang Siau Hong sangat tinggi, Biarpun
mereka memeras sepenuh tenaga tetap tak sanggup menyusul.
Maka hanya sekejap saja Siau
Hong sudah berada belasan meter jauhnya, sekonyong-konyong didengarnya dari
belakang ada angin menyambar, semacam senjata yang antep ditimpukkan
kepunggungnya. Tanpa menoleh juga Siau Hong tahu itulah pasti tongkat baja,
Maka sekali tangan kirinya membalik kebelakang, tepat tongkat itu kena
ditangkapnya.
Dengan gusar keempat orang itu
membentak-bentak pula dan kembali dua batang tongkat ditimpukkan lagi, Tapi
dapat ditangkap pula oleh Siau Hong.
Setiap batang tongkat baja itu
bobotnya masing-masing ada 50 kati, dengan memegang tiga batang tongkat itu
berarti membawa barang seberat 150 kati, Tapi langkah Siau Hong sedikit pun
tidak menjadi kendor, ia tetap lari dengan cepat.
Sekonyong-konyong Siau Hong
mendengar angin keras menyambar lagi dari belakang, sekali ini lebih hebat dari
pada ketiga tongkat yang duluan, ia menduga pasti si cebol yang menimpuknya.
Watak Siau Hong memang
penggemar silat, tapi bukan seorang yang suka berkelahi, Selama beberapa bulan
ini ia telah mengalami banyak kejadian yang kurang menyenangkan, tapi juga
jarang bertempur dengan orang, memangnya hatinya sedang masgul, maka ia menjadi
sebal juga dikejar oleh empat orang, pikirnya;
"Orang-orang ini tidak
kenal gelagat, biar kuberi rasa sedikit kepada mereka."
Dalam pada itu didengarnya
tongkat si cebol sudah dekat dibelakang kepalanya, cepat ia meraih kebelakang
dan tongkat itu kena ditangkapnya sekalian.
Melihat senjata mereka
dirampas oleh musuh, keempat orang itu menjadi gusar dan jeri pula, mereka tahu
biarpun nanti dapat menyusul orang toh belum tentu mampu menempurnya, Tapi
mereka masih penasaran, sambil berteriak-teriak dan membentak-bentak mereka
masih terus mengejar sekencangnya.
Siau Hong membiarkan mereka
mengejar terus, suatu saat, mendadak "srek", ia berhenti.
Sebaliknya keempat orang tadi
sedang mengejar dengan mati-matian, saking napsunya ingin menyusul Siau Hong
hingga mereka hampir-hampir menyeruduk orang yang diubernya itu, Untung mereka
sempat mengerem, dan rupanya 'rem angin', dengan cepat dapatlah mereka berhenti
juga, Coba kalau remnya blong, tentu mereka akan manabrak Siau Hong. Begitulah
mereka jadi kaget dan gusar pula, dengan napas tersengal-sengal mereka melototi
Siau Hong.
Sementara itu dari tenaga
timpukan tongkat dan cara berlari mereka itu Siau Hong sudah dapat mengukur
kepandaian keempat oran itu, selain tenaga si cebol memang luar biasa, bicara
tentang ilmu silat terang mereka kalah jauh daripada si lelaki hidung singa
yang dijumpai direstoran itu.
Maka dengan tersenyum kemudian
Siau Hong bertanya, "Kalian menguber-uber diriku, sebenarnya ada keperluan
apakah?"
"Sia... siapakah kau?
Ilmu...ilmu silatmu sangat lihai, ya?" demikian si cebol berkata dengan
megap-megap.
"Ah, tidak, hanya lumayan
saja!" sahut Siau Hong dengan tertawa, Sembari berkata ia terus
mengerahkan tenaga dalam pada tangannya, ia tahan sebatang tongkat baja yang
dirampasnya itu kedalam tanah.
Tanah pegunungan itu
sebenarnya sangat keras, lebih banyak campuran batu daripada pasirnya, tapi
tongkat baja itu toh pelahan-lahan amblas kedalam hingga tinggal setengah meter
yang tertampak dimuka tanah, waktu Siau Hong tambahi lagi sekali injak dengan
kaki, seketika tongkat itu menghilang kedalam tanah.
Melihat betapa hebat tenaga
sakti Siau Hong, saking kesima hingga keempat orang itu ternganga mulutnya dan
terbelalak matanya.
Begitulah satu persatu Siau
Hong tancapkan tongkat baja rampasannya itu ketanah, Ketika tongkat keempat
akan dimasukkan juga ketanah, mendadak si cebol melompat maju sambil membentak.
"Jangan merusak
senjataku!"
"Baiklah, ini.
kukembalikan!" sahut Siau Hong dengan tertawa.
Habis berkata, mendadak ia
angkat tongkat milik si cebol dan mengincar kedinding batu, sekali timpuk
sekuatnya, tahu-tahu tongkat itu menancap didinding karang, hingga tongkat yang
panjangnya lebih dua meter itu hanya setengah meter saja yang kelihatan dari
luar.
Karuan keempat orang itu sama
menjerit kaget oleh tenaga sakti Siau Hong yang luar biasa itu, mereka menjadi
jeri dan kagum pula.
Sementara itu A Ci juga telah
menyusul tiba, serunya, "Cihu, wah, sungguh hebat sekali kepandaianmu itu,
ayolah ajarkan padaku!"
"Apa katamu?" bentak
si cebol dengan gusar, "Kamu adalah anak murid Sing-siok-pai, kenapa ingin
belajar kepandaian orang luar?"
"Dia adalah Cihuku,
mengapa kau katakan orang luar?" sahut A Ci dengan mencibir.
Karena buru-buru ingin
mengambil kembali senjatanya, si cebol tak urus padanya lagi, sekali lompat,
segera ia hendak menarik tongkatnya yang menancap di dinding karang itu.
Tak terduga bahwa sebelumnya
Siau Hong sudah mengukur tinggi-rendah ginkangnya, maka tongkat yang
ditimpukkan kedinding karang itu tingginya kira-kira tiga meter dari permukaan
tanah, lompatan si cebol menjadi kurang tinggi dan tak dapat mencapai
tongkatnya.
Maka A Ci sengaja
mentertawakan sambil bertepuk tangan. "Bagus, Patsuko, bila engkau dapat
mencabut keluar senjatamu itu, segera aku akan ikut pulang untuk menemui Suhu,
kalau tidak, lebih baik kau pulang sendiri saja."
Padahal loncatan si cebol tadi
sudah memakai seluruh tenaganya, dalam hal ginkang dia memang terbatas untuk
melompat lebih tinggi lagi sesungguhnya tidak gampang baginya, Tapi demi
mendengar olok-olok A Ci itu, ia menjadi penasaran, kembali ia melompat
sekuat-kuatnya, dan sekali ini hanya jari tengahnya yang menyentuh tongkat baja
itu.
"Hanya menyentuh saja
tidak dapat dianggap, tapi harus mampu mencabutnya keluar," seru A Ci
dengan tertawa.
Dalam murkanya mendadak
kepandaian si cebol menjadi bertambah hebat daripada biasanya, Mendadak ia
meloncat pula untuk ketiga kalinya, dan sekali ini dapatlah ia mencapai
tongkat, segera ia pegang erat-erat tongkat itu sambil digoyang-goyangkan.
Namun panjang tongkat itu
lebih dua meter, yang amblas didalam dinding ada satu setengah meter lebih,
jika cuma digoyang-goyangkan begitu biarpun tiga hari tiga malam juga takkan
dapat mencabutnya keluar, sebaliknya kelakuan si cebol itu menjadi sangat lucu
kelihatannya, ia kontal-kantil tergantung diudara dan tak bisa berbuat apa-apa.
"Maaf, aku tak bisa
tinggal lebih lama lagi." kata Siau Hong kemudian, segera ia hendak
tinggal pergi.
Sungguh si cebol menjadi serba
susah, Ia cukup tahu kepandaian sendiri, sekali loncat ia beruntung dapat
mencapai tongkat itu, kalau disuruh mengulangi lagi loncatannya pasti tak mampu
mencapai setinggi itu, Sedangkan tongkat itu sedemikian kukuhnya menancap dalam
dinding, untuk mencabut keluar terang tidak mampu, padahal tongkat itu
merupakan senjata andalannya, kalau mesti membuat tongkat yang baru juga susah
mendapat barang yang serupa.
Maka ia menjadi sibuk ketika
melihat Siau Hong hendak melangkah pergi, segera ia berteriak-teriak,
"Hai, nanti dulu, jika mau pergi, tinggalkan dulu Pek-giok-giok-ting itu,
kalau tidak, tentu celakalah kamu!"
"Pek-giok-giok-ting apa?
Macam apakah benda itu?" sahut Siau Hong.
Segera ketiga orang
Sing-siok-hai yang lain memburu maju, kata mereka, "Ilmu silat anda sangat
tinggi, kami merasa kagum tak terhingga, Adapun 'ting' yang kecil itu sangat
berarti bagi golongan kami, sebaliknya tiada berguna bagi orang luar, maka
mohon sudilah tuan mengembalikan kepada kami, untuk mana tentu kami akan
memberi balas jasa sepantasnya."
Melihat berulang-ulang mereka
menanyakan Pek-giok-giok-ting (tripod kecil buatan kemala hijau) secara
sungguh-sungguh, dan agaknya mereka bukan sengaja bersembunyi disitu untuk
menyergapnya seperti dugaannya semula, maka Siau Hong lantas menjawab;
"Coba unjukkan Giok-ting
itu, A Ci, ingin kulihat benda macam apakah itu?"
"Ai, bukankah sudah
kuberikan padamu, kenapa engkau malah tanya padaku?" tiba-tiba A Ci
menyangkal, "Ya, sudahlah, apakah engkau mau menyerahkan kepada mereka
atau tidak, masa bodoh, aku tidak mau ikut campur, Tetapi Cihu, kukira lebih
baik engkau simpan saja barang itu."
Mendengar itu, segera Siau
Hong dapat menduga Pek-giok-giok-ting yang dimaksudkan itu pasti semacam benda
pusaka perguruannya yang telah dicurinya, tapi anak dara itu sengaja mengatakan
telah diserahkan padanya, dengan demikian ia ingin membebaskan dirinya dari
resiko.
Maka Siau Hong juga tidak mau
menyangkal dengan tertawa iapun berkata, "Hahaha, barang yang pernah kau
serahkan padaku sangat banyak darimana kutahu yang manakah yang disebut
'Pek-giok-giok-ting' itu?"
Mendengar demikian, cepat si
cebol yang masih terkatung-katung di udara itu menyela, "Yaitu sebuah
Giokting yang panjangnya kurang lebih lima dim, warnanya hijau mulus."
"Ehm, barang demikian
agaknya aku pun pernah melihatnya, Ya, memang sebuah mainan yang kecil mungil,
tapi apa sih gunanya?" sahut Siau Hong.
"Jangan sembarangan omong
kalau memang tidak tahu, masakah benda itu kau anggap mainan saja?"
demikian kata si cebol. "Giok-ting itu....."
"Tutup mulutmu,
Sute!" bentak si gendut tadi sebelum si cebol melanjutkan ucapannya, Lalu
ia berpaling kepada Siau hong dan berkata. "Ya, memang Giok-ting itu hanya
semacam mainan yang tiada berarti, tapi barang itu adalah warisan leluhur, Suhu
kami memperolehnya dari....dari ayahnya, maka tidak boleh dihilangkan,
Tolonglah suka dikembalikan pada kami."
"Wah, cialat, tempo hari
entah kutaruh dimana benda itu, apakah masih dapat ditemukan atau tidak,
entahlah, aku tak berani menjamin." sahut Siau Hong. "Tapi kalau betul-betul
semacam benda penting, biarlah segera kukembali ke Sinyang untuk mencarinya,
Cuma sayang jaraknya agak jauh, kalau mesti kembali lagi kesana agak berabe
juga."
"Sudah tentu barang
penting, marilah lekas kita...kita kembali kesana untuk mencarinya,"
segera si cebol menyela lagi.
Habis berkata, terus saja ia
melompat turun, agaknya ia tidak menginginkan senjatanya lagi, suatu tanda
betapa pentingnya Pek-giok-giok-ting yang dicarinya itu.
Namun Siau Hong sengaja
ketuk-ketuk jidatnya sendiri sambil berkata, "Ai, selama beberapa hari ini
aku kurang minum arak hingga daya ingatanku agak terganggu, adapun Giok-ting
yang mungil itu entah....entah tertinggal di Sinyang atau di....di Tayli, Ah,
bisa jadi ketinggalan di Cinyang....."
Dasar watak si cebol memang
tidak sabaran, segera ia berkaok-kaok lagi. "He, he! Sebenarnya
ketinggalan di Sinyang atau di Tayli, atau di Cinyang, jarak letak tempat itu
sangat jauh, jangan kau main gila, ya?"
Tapi si gendut bukan orang
dungu, ia dapat melihat bahwa Siau hong sengaja hendak mempermainkan mereka,
segera ia berkata, "Hendaklah tuan jangan menggoda kami lagi, asal
Giok-ting itu dapat kembali dalam keadaan baik-baik pasti kami akan memberi balas
jasa yang setimpal, tidak nanti kami ingkar janji."
"Aduh celaka, sekarang
ingatlah aku." demikian mendadak Siau Hong berseru.
"Kenapa?" berbareng
keempat orang itu bertanya dengan khawatir.
"Ya, ingatlah aku
sekarang Giok-ting itu ketinggalan dirumah Be-hujin, dan baru saja kubakar
rumah nyonya itu hingga ludes, tentu Giok-ting itupun ikut terbakar, entah
benda itu bisa rusak atau tidak?"
"Sudah tentu akan
rusak!" seru si cebol. "Wah, celaka....Samsuko, Sisuko, Jitsuko,
bagaimana baiknya ini? Ah, sudahlah, aku tak mau ikut campur lagi, kalau nanti
didamprat Suhu, masa bodoh, Nah, Siausumoai, boleh kau bicara sendiri saja
kepada Suhu, aku tidak mau tahu."
"Tapi aku... aku ingat
seperti tidak tertaruh dirumah Be-hujin." ujar A Ci dengan tertawa,
"Sudahlah, para Suko, aku
tak bisa tinggal lebih lama disini, boleh kalian urukan dengan Cihuku
saja."
Habis berkata, sekali
menyelinap, segera ia menyerobot kedepan Siau Hong sana. Cepat Siau Hong
membalik tubuh dan pentang kedua tangan untuk merintangai keempat orang yang
akan mengejar, katanya, "Jika kalian
mau menerangkan asal-usul dan
kegunaan Pek-giok-giok-ting itu, boleh jadi aku akan membantu kalian untuk
menemukannya kembali, Kalau tidak, ya maaf, aku pun tak bisatinggal lebih lama
disini."
"Samsuko," kata si
cebol, "Tiada jalan lain, terpaksa terangkan padanya."
"Baiklah," sahut si
gendut, "biarlah kuterangkan pada tuan...."
Tapi belum lagi orang
melanjutkan ceritanya, mendadak Siau Hong melompat maju kedepan si cebol, ia
sanggah bahu orang dan berkata. "Marilah kita naik keatas sana, aku hanya
ingin mendengar penuturanmu dan tak mau mendengar ceritanya."
Siau Hong tahu si gendut
lahirnya kelihatan jujur, tapi sebenarnya sangat licin, tidak nanti ia mau
bicara sesungguhnya, Sebaliknya si cebol meski beranggasan, tapi apa yang
dikatakan suka terus terang, maka sekali ia angkat tubuh si cebol mendadak ia
lari keatas dinding karang.
Meski dinding karang itu
sangat tinggi dan curam, boleh dikata melihat, betapapun orang sukar akan
mendakinya, namun Siau Hong terus naik begitu saja dan sekaligus dapat mencapai
belasan meter tingginya, ketika dilihatnya ada sepotong batu karang yang
menonjol, segera ia taruh si cebol diatas batu karang itu, ia sendiri sebelah
kaki menginjak batu itu dan kaki lain menggelantung di udara, lalu katanya;
"Nah, boleh kau katakan
padaku disini dan takkan didengar oleh siapa pun juga!"
Waktu si cebol melongok
kebawah, seketika ia merasa pusing, cepat serunya, "Ba..bawa aku
turun!"
"Silakan melompat turun
sendiri," sahut Siau Hong tertawa.
"Busyet, apa minta hancur
lebur badanku?" kata si cebol dengan ngeri.
Melihat sifat si cebol masih
tetap tulus dan jujur meski menghadapi bahaya, mau tak mau timbul juga rasa
suka Siau Hong, segera tanyanya,
"Siapa namamu?"
"Cut-tim-cu!" sahut
si cebol.
"Indah juga namamu, cuma
sayang tidak sesuai dengan potonganmu yang istimewa ini," demikian Siau
Hong membatin dengan tersenyum, Lalu ia berkata pula, "Ya, sudahlah,
selamat tinggal, sampai berjumpa pula!"
Karuan si cebol alias
Cut-tim-cu menjadi kelabakan, cepat ia menggembor, "He, he! jangan,
jangan! Wah, mati aku!"
Sambil menjerit-jerit, ia
pegang erat-erat batu karang itu, tapi batu itu gundul dan licin, dalam keadaan
terapung di udara, bukan mustahil setiap saat ia bisa tergelincir kebawah,
Dengan sendirinya ia sangat ketakutan, ketiga kawannya yang berada dibawah juga
menjerit khawatir.
"Nah, lekas katakan, apa
gunanya Pek-giok-giok-ting itu?" tanya Siau Hong pula. "Jika tidak
kau katakan, segera aku turun kebawah."
"Apa harus....harus
kukatakan?" sahut Cut-tim-cu dengan khawatir.
"Tidak katakan juga
boleh, nah, selamat tinggal!" kata Siau Hong.
Dengan cepat si cebol memegang
lengan baju Siau Hong sambil berseru, "Baik, akan kukatakan, akan
kukatakan, Pek-giok-giok-ting itu adalah satu diantara Sam po (tiga pusaka)
perguruan kami, gunanya untuk melatih 'Hoa-kang-tai-hoat', Menurut Suhu kami,
katanya orang-orang persilatan Tionggoan asal mendengar 'Hoa-kang-tai-hoat'
kami tentu ketakutan setengah mati, maka kalau Giok-ting itu diketemukan mereka
tentu akan dihancurkannya, Giok-ting itu adalah semacam benda mestika yang
sukar dicari, tak boleh hilang......"
Sudah lama Siau Hong juga
kenal 'Hoa-kang-tai-hoat' dari Sing-siok-pai yang keji dan lihai itu, demi
mengetahui bahwa kegunaan Pek-giok-giok-ting itu, maka iapun malas untuk tanya
lebih jauh, Segera ia sanggah pula ketiak si cebol dan dibawanya merosot
kebawah.
Cara merosot kebawah melalui
dinding karang itu sudah tentu jauh lebih cepat daripada mendaki keatas, karuan
Cut-tim-cu menjerit-jerit ketakutan, dan belum lagi berhenti teriakannya,
tahu-tahu kakinya sudah menginjak tanah, saking ketakutan hingga mukanya tampak
pucat dan dengkul pun gemetar, untung tidak sampai terkulai lemas.
"Patsute, apa yang telah
kau katakan?" segera si gendut menegur.
Belum lagi si cebol menjawab,
mendadak Siau Hong berkata kepada A Ci, "Mana, serahkan!"
"Serahkan apa?"
sahut A Ci.
"Pek-giok-giok-ting!"
kata Siau Hong.
"Eh, aneh, bukankah tadi
kau bilang tertinggal dirumah Be-hujin, mengapa sekarang malah minta
padaku?" sahut A Ci.
Siau Hong coba mengamat-amati
anak dara itu, ia lihat perawakannya langsing, pakaiannya juga tipis, terang
akan kelihatan jika pada badannya terdapat Giok-ting yang besarnya lima dim
itu, pikirnya,
"Bocah ini sangat licin,
urusan perguruannya sebenarnya aku tidak perlu urus, tapi orang dari golongan
Sia-pai seperti mereka ini pun susah dilayani, sekali kena perkara dengan
mereka tentu akan terganggu tiada habishabis, walaupun aku tidak takut, tapi
rasanya menjemukan dan lebih baik tidak."
Maka katanya segera,
"Terus terang kukatakan bahwa barang itu tiada gunanya bagiku, tidak nanti
aku mengambil milik kalian, Terserah kalian mau percaya atau tidak, Maaf, aku
tak dapat tinggal lagi disini."
Habis berkata, tentu saja ia
melangkah pergi dengan cepat hingga dalam sekejap saja kelima orang itu sudah
jauh ketinggalan.
Sekaligus Siau Hong telah
mencapai sejauh lebih lima puluh li jauhnya, kemudian barulah ia mencari rumah
makan untuk tangsal perut dan minum arak, Malam itu ia menginap dikota
Ciu-ong-tiam, Sampai tengah malam, tiba-tiba ia terjaga bangun oleh beberapa
kali suara suitan tajam melengking.
Sebagai seorang tokoh kelas
wahid, meski suara suitan itu berjarak sangat jauh, tapi dengan lwekangnya yang
tinggi dapat didengarnya dengan jelas, ia merasa suara itu agak aneh, Ia coba
mendengarkan lagi dengan lebih cermat, selang tak lama, terdengarlah diarah
barat-laut sana ada suara suitan lagi, menyusul dari arah tenggara juga ada
sahutan suitan beberapa kali, suitan yang tajam mengerikan itu terang suara
seruling yang ditiup oleh anak murid Sing-siok-pai.
Diam-diam Siau Hong tersenyum
sendiri, ia pikir buat apa ikut campur urusan mereka, Segera ia rebah dan
tidur lagi.
Tapi mendadak terdengar suara
seruling mendenging dua kali, jaraknya sangat dekat, terang dibunyikan didalam
rumah penginapan itu, Menyusul terdengar pula ada suara orang berkata;
"Lekas bangun, Toasuko
sudah datang, besar kemungkinan Siausumoai sudah ditangkapnya."
"Kalau tertangkap, sekali
ini kau kira dia akan diberi ampun atau tidak?" tanya seorang lain.
"Siapa tahu?" sahut
orang pertama. "Ayolah, lekas berangkat!"
Meski percakapan kedua orang
itu sangat lirih, tapi dapat didengar Siau Hong dengan jelas, lalu ia dengar
suara daun jendela dibuka dan suara lompatan orang, Pikirnya, "Kembali dua
orang murid Sing-siok-pai lagi, sungguh tidak nyana didalam hotel kecil ini juga
tersembunyi orang mereka, Ya, mungkin mereka datang lebih dulu dari padaku,
sebab itulah aku tidak melihat mereka."
Sebenarnya ia tidak ingin
mencampuri urusan orang lain, tapi teringat pada percakapan kedua orang itu
tentang kemungkinan A Ci akan diampuni atau tidak, mau tak mau ia harus
berpikir dua kali, "A Cu telah meninggalkan pesan agar aku menjaga adik
perempuannya, Meski nona cilik itu sangat nakal dan keji pula, tapi tidak boleh
kubiarkan dia dibunuh orang, jika terjadi apa-apa atas diri nona cilik itu,
cara bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada A Cu?"
Segera ia pun melompat keluar
dari kamarnya, Ia dengar suara melengking seruling tadi masih sahut menyahut
disana-sini, semuanya menuju kearah barat-laut, Segera ia pun berlari kesana
mengikuti arah suara itu.
Tidak lama kemudian, dapatlah
ia menyusul kedua orang yang keluara dari hotel tadi, Ia lihat dandanan kedua
orang itu serupa dengan orang-orang yang dilihatnya siang tadi, Hanya langkah
mereka agak loyo, mungkin usia mereka agak lanjut daripada anak murid
Sing-siok-pai yang lain.
Dari jarak tertentu Siau Hong
terus menguntit dibelakang kedua orang itu, Setelah melintasi dua lereng bukit,
tiba-tiba tertampak ditengah lembah didepan sana ada segunduk api unggun yang
menganga tinggi, warna api unggun itu ke-hijau2an, sangat berbeda dengan api
umumnya, Tampaknya menjadi seram sekali. Sesudah dekat, segera kedua orang tadi
menyembah kearah api unggun itu.
Siau Hong sembunyi dibelakang
sebuah batu karang, Waktu ia mengintip, ia lihat disekitar api unggun itu sudah
berkumpul belasan orang, pakaian mereka seragam, yaitu kain belacu kuning,
perawakan mereka tidak
sama, ada yang tinggi ada yang
pendek, ada yang gemuk dan ada yang kurus,
Dibawah sinar api unggun yang
hijau itu, wajah mereka kelihatan kepucat-pucatan dan sedih bagai orang
kematian istri.
Disebelah kiri api unggun itu
berdiri seorang yang pakaiannya warna ungu mulus, siapa lagi dia kalau bukan A
Ci alias si Ungu.
Kedua tangan anak dara itu
diborgol, dimuka A Ci yang putih bersih itupun sangat aneh kelihatannya demi
tersorot oleh sinar api yang hijau itu, Tapi gadis itu tampak mengulum senyum,
tetap sangat bandel sikapnya.
Orang-orang yang mengelilingi
api unggun itu semuanya bungkam, pandangan mereka terpusat kearah api unggun
sambil telapak tangan kiri menahan dada dan mulut mereka berkomat-kamit.
Siau Hong tahu itu adalah
upacara ritual dari golongan Sia-pai, maka ia pun tidak ambil pusing,
Tadi ia dengar kedua anak
murid Sing-siok-pai membicarakan Toasuku mereka, maka dapat diduga
Toasuko yang dimaksudkan itu
tentu pemimpin mereka yang berkumpul disitu.
Ia coba memperhatikan
orang-orang itu, ia lihat ada yang tua dan ada yang muda, dandanan mereka
seragam, sikap mereka pun tiada satu pun yang menandakan seorang pemimpin.
Tengah Siau Hong heran,
tiba-tiba terdengar suara seruling pula, segera semua orang berpaling kearah
timurlaut sana, mereka sama membungkuk dengan hormat, A Ci hanya mencibir dan
sama sekali tidak berpaling.
Ketika Siau Hong memandang
kearah suara tadi, ia lihat seorang berpakaian putih sedang melayang tiba,
cepatnya luar biasa, menyusul orang itu menggunakan sebatang seruling putih
terus meniup kearah api unggun, kontan api unggun itu padam hingga keadaan
gelap gulita, Tapi hanya sebentar saja api unggun menyala lagi, bahkan mendadak
menganga dan menjulang tinggi keudara, lalu menurun lagi pelahan.
Maka bersoraklah semua orang
itu, "Sungguh kungfu Toasuheng maha sakti, kami benar-benar kagum
sekali!"
Waktu Siau Hong memperhatikan
Toasuheng mereka itu, mau tak mau ia rada terkesiap, Menurut dugaannya, sebagai
'Toasuheng'(Kakak seperguruan pertama) tentunya orang itu sudah lanjut usianya,
Siapa tahu orang yang berdiri disebelah api unggun ini justru seorang pemuda
berusia antara 22-23 tahun, Pemuda itu berperawakan jangkung, berpakaian putih
mulus, air mukanya kuning kepucat-pucatan, tapi wajahnya cukup tampan, Alisnya
tebal menjengkat hinggga menambah angker wibawanya, Tangan kirinya membawa
seruling sepanjang satu meter lebih.
Tadi Siau Hong sudah
menyaksikan kepandaiannya meniup seruling untuk memadamkan api serta ginkangnya
yang hebat, ia tahu tenaga dalam orang ini memang lihai, tapi caranya
memadamkan api lalu menyala lagi, Itu bukan disebabkan lwekangnya, tapi didalam
seruling mungkin terdapat sesuatu obat bakar yang aneh.
Pikirnya, "Meski muda
usia orang ini, tapi jelas seorang lawan tangguh, pastas Sing-siok-pai sangat
ditakuti orang, nyatanya memang ada jago yang disegani, anak muridnya saja
selihai ini, maka iblis tua itu sendiri tentu jauh lebih hebat, Dengan
datangnya orang ini, untuk menolong A Ci menjadi tidak gampang lagi."
Begitulah ia agak menyesal
tadi tidak turun tangan menolong A Ci, kini jumlah musuh bertambah banyak,
bahkan ada jago yang tangguh, biarpun tidak takut, tapi susah diramalkan apakah
sebentar A Ci dapat diselamatkan atau tidak?
Maka terdengar si pemuda baju
putih itu berkata kepada A Ci, "Siausumoai, sungguh besar sekali
kehormatanmu hingga memerlukan pengerahan tenaga sebanyak ini untuk mencari
dirimu." Suaranya nyaring dan ramah hingga sangat enak didengar.
Dan dengan tertawa A Ci
menjawab, "Ya, sampai Toasuko sendiri juga keluar, sudah tentu kehormatan
Sumoaimu ini harus dibanggakan, Tapi bila hal ini ditujukan kepada jago
andalanku, terang masih jauh daripada cukup."
"He, jadi Sumoai masih
mempunyai jago andalan? Siapakah dia?" tanya pemuda itu.
"Jago kepercayaanku sudah
tentu adalah ayah bundaku, pamanku, Ciciku dan lain-lain lagi," kata A Ci.
"Hm, Sumoai sejak kecil
dipelihara ayahku, selama ini kamu sebatang kara, dari mana mendadak bisa
muncul sanak famili sebanyak itu?" jengek pemuda itu.
"Ai, masakah manusia
tidak berayah-ibu, lalu dari mana munculnya, apakah lahir dari dalam
batu?" demikian sahut A Ci. "Soalnya nama ayah-ibuku adalah suatu
rahasia besar dan tidak boleh sembarang diketahui orang."
"Jika begitu, dapatkah
kau beritahu siapakah ayah-ibumu?" tanya si pemuda.
"Kalau kukatakan tentu
engkau akan berjingkat kaget." ujar A Ci. "Untuk memberitahu padamu,
hendaklah kau lepaskan dulu belenggu ditanganku ini."
Tapi pemuda baju putih itu tak
mau tertipu, katanya, "Tidak sukar untuk membuka belenggumu, tapi kamu
harus menyerahkan dulu Pek-giok-giok-ting itu."
"Giok-ting itu berada
ditangan Cihuku," sahut A Ci. "Salah Samsuko, Sisuko, Jitsuko dan
Patsuko, mereka tidak mau minta pada Cihuku, apa yang aku bisa berbuat?"
Segera pemuda baju putih itu
memandang keempat orang yang menghadang Siau Hong siang tadi, walaupun sorot
matanya sangat ramah, tapi keempat orang itu kelihatan sangat takut.
"Toa... Toasuko,"
kata Cut-tim-cu dengan tergagap-gagap, "Itu tak bisa menyalahkan aku,
sebab kepandaian.... kepandaian Cihunya sangat tinggi, kami tak dapat
menyusulnya."
"Samsute, coba kamu yang
bicara," kata pemuda baju putih.
"Ya, ya!" sahut si
gendut. Lalu ia pun menceritakan tentang pertemuannya dengan Siau Hong, cara
bagaimana tongkat mereka dirampas serta kejadian Cut-tim-cu digondol keatas
dinding karang untuk ditanyai keterangan, semuanya ia ceritakan dengan jelas,
sedikitpun tidak bohong.
Biasanya si gendut pandai
bicara, tapi dihadapan pemuda baju putih itu ia kelihatan sangat ketakutan,
bicaranya menjadi agak gemetar.
Selesai mendengarkan penuturan
itu, si pemuda baju putih manggut-manggut, katanya kepada Cut-tim-cu,"Dan
apa yang telah kau katakan padanya?"
"Aku... aku...."
sahut Cut-tim-cu dengan terputus-putus.
"Aku apa? Katakan terus
terang padaku, apa yang telah kau katakan padanya?" bentak pemuda itu.
"Aku... aku bilang Pek...
Pek-giok-giok-ting itu adalah....adalah satu diantara ketiga pusaka perguruan
kita yang berguna untuk melatih.... melatih Tai-hoat....kukatakan pula bahwa
menurut Suhu, setiap orang persilatan Tionggoan tentu ketakutan bila mendengar
Hoa.... Hoa-kang-tai-hoat kita, maka kalau Giok-ting itu diketemukan mereka
pasti akan dihancurkannya, Kukatakan itu adalah....adalah semacam benda mestika
yang tidak boleh dihilangkan, maka... maka kuminta dia harus mengembalikannya
pada kita," demikian tutur si cebol alias Cut-tim-cu.
"Bagus, dan apa dia
katakan?" tanya pula si pemuda.
"Dia... dia tidak
mengatakan apa-apa, lalu aku di... diturunkannya," sahut si cebol.
"Ehm, kamu sangat pintar,
kau katakan kegunaan Giok-ting kita itu untuk melatih Hoa-kang-tai-hoat dan kau
khawatir dia tidak tahu apakah Hoa-kang-tai-hoat itu, maka sengaja kau tegaskan
ilmu itu sangat ditakuti oleh jago silat Tionggoan, Ehm, bagus, sungguh bagus!
Apakah dia itu orang persilatan dari Tionggoan?"
"En....entahlah, aku...
aku tidak tahu," sebut Cut-tim-cu.
"Tidak tahu? Benar-benar
tidak tahu?" bentak si pemuda baju putih.
Biarpun suaranya tetap ramah,
tetapi orang kasar seperti Cut-tim-cu itu ternyata ketakutan setengah mati
hingga giginya berkerutukan, sahutnya dengan tidak jelas,
"Aku...aku...kruk.. kruk...tak tahu kruk-krukkruk...tak tahu...."
Kiranya suara 'Kruk-kruk-kruk'
itu adalah suara gigi yang gemertuk saking ketakutan.
"Jika begitu, kemudian ia
ketakutan setengah mati atau tidak takut?" tanya pula si pemuda baju
putih.
"Agaknya
dia...dia..kruk-kruk...tidak begitu takut," sahut Cut-tim-cu sambil
menggigil pula.
"Menurut pendapatmu,
mengapa dia tidak takut?" tanya si pemuda.
"En...entah, aku...aku
tidak tahu...mohon Toasuko men...menjelaskan." kata Cut-tim-cu.
"Orang persilatan paling
jeri kepada Hoa-kang-tai-hoat kita, dan untuk meyakinkan ilmu itu tidak boleh
tidak harus mempunyai Pek-giok-giok-ting itu," kata si pemuda,
"Dan sekali Giok-ting itu
jatuh ditangannya, terang Hoa-kang-tai-hoat tak bisa kita latih pula dan sebab
itulah dia tidak takut lagi terhadap kita."
"Ya, ya, pendapat Toasuko
memang tepat dan pandai menaksir pihak musuh," demikian Cut-tim-cu memuji.
Waktu Siau Hong bertemu dengan
anak murid Sing-siok-pai siang tadi, Ia merasa diantara orang-orang itu hanya
si cebol inilah yang agak jujur dan polos, maka mempunyai kesan agak baik
padanya, ia bermaksud akan menolongnya ketika melihat si cebol itu sangat takut
pada Suhengnya,
Tak terduga akhirnya
Cut-tim-cu itu juga tidak tahan uji, makin omong makin merendah dan mengumpak
serta memuji sebisa-bisanya kepada Suhengnya itu.
Maka seketika berubah pikiran
Siau Hong, "Huh, manusia pengecut seperti ini buat apa dibela, biar mati
atau hidup masa bodohlah."
Kemudian si pemuda baju putih
menoleh kepada A Ci dan berkata, "Siausumoai, siapakah sebenarnya Cihumu
itu?"
"Tentang dia? Wah, kalau
kukatakan tentu engkau akan berjingkat kaget," sahut A Ci.
"Tak apa, katakanlah,
asal dia memang seorang tokoh ksatria ternama, tentu aku Ti-sing-cu akan
menaruh perhatian penuh padanya," ujar pemuda itu.
Mendengar orang menyebut
namanya sendiri, diam-diam Siau Hong membatin, "O, namanya Ti-sing-cu (si
pemetik bintang)! Hebat benar namanya! Kalau melihat ginkangnya tadi memang
sangat hebat, tapi juga belum tentu mampu menandingi Pah Thian-sik dari Tayli
dan In Tiong-ho dari Su-ok, hanya saja tampaknya dia memiliki kepandaian
istimewa yang lain,"
Maka A Ci telah menjawab,
"Tentang Cihuku itu?" Toasuko, setahumu, siapakah tokoh utama dalam
dunia persilatan Tionggoan?"
"Setiap orang suka
berkata 'Pak Kiau Hong, Lam Buyung', apakah barangkali kedua orang itu adalah
Cihumu?"
Sungguh gusar Siau Hong tak
kepalang oleh ucapan itu, A Ci hanya mempunyai seorang kakak perempuan, dari
mana bisa mempunyai dua orang Cihu? Diam-diam ia menggurutu, "Kamu boleh
kurang ajar ini berani sembarang omong, tunggulah rasakan kelihaianku
nanti."
Dalam pada itu A Ci telah
tertawa, katanya, "Toasuko, caramu bicara sungguh lucu, aku hanya
mempunyai seorang Cici, dari mana bisa punya dua orang Cihu?"
"Aku tidak tahu bahwa
kamu hanya mempunyai seorang cici," sahut Ti-sing-cu. "Tapi, ah,
andaikan cuma seorang Cici, tidak mengherankan juga kalau mempunyai dua orang
Cihu,"
"Awas Toasuko, kelak
kalau ketemu Cihuku tentu akan kuadukan ucapanmu ini padanya," kata A Ci.
"Nah, Toasuko, jika kau
ingin tahu siapa Cihuku, biarlah kukatakan padamu, tapi berdirilah yang kuat,
janganjangan kamu akan roboh kejengar sesudah mendengar namanya, Cihuku tak
lain tak bukan adalah Pangcu dari Kai-pang, yaitu Pak Kiau Hong yang namanya
mengguncangkan dunia persilatan."
Mendengar keterangan A Ci ini,
seketika menjerit kaget anak murid Sing-siok-pai yang pernah melhat Siau Hong
itu, Bahkan si lelaki hidung singa lantas berseru, "Pantas, pantas! Jika
betul dia, maka aku pun rela terjungkal ditangannya."
"Jika betul Pek-giok-giok-ting
kita itu jatuh ditangan orang Kai-pang, wah, urusan menjadi agak repot
juga," ujar Ti-sing-cu dengan berkerut kening.
Meski si cebol alias
Cut-tim-cu sangat takut kepada sang Suheng tapi sifatnya yang suka ngoceh sukar
berubah, segera ia menimbrung, "Toasuko, tentang Kiau Hong itu sekarang
dia bukan lagi Pangcu Kai-pang, Engkau baru datang dari barat, mungkin belum
mendengar peristiwa yang menggemparkan dunia persilatan Tionggoan baru-baru
ini, yaitu Kiau Hong telah dipecat oleh kawanan pengemis Kai-pang!"
"O, ya? Kiau Hong telah
dipecat dari Kai-pang? Apa betul kejadian ini?" kata Ti-sing-cu dengan
menghela napas lega, pelahan wajahnya yang merengut tadi agak tenang kembali.
Segera Samsutenya yang gendut
itu menjawabnya, "Ya, orang-orang kangouw sama mengatakan begitu, katanya
dia bukan bangsa Han, tapi orang Cidan, kini ia telah dimusuhi tokh-tokoh
persilatan Tionggoan, semua orang bertekad akan membunuhnya, Konon orang Cidan
itu telah membunuh ayah bundanya sendiri, membunuh Suhu dan membinasakan kawan
pula, kejam dan rendah perbuatannya, segala kejahatan tidak segan-segan
dilakukannya."
"Siausumoai," kata
Ti-sing-cu kepada A Ci, "Mengapa Cicimu bisa menikah dengan manusia
seperti itu? Apakah barangkali kaum lelaki didunia ini sudah mati semua dan
karena khawatir tidak laku, maka cepat-cepat menikah padanya? Atau disebabkan
Cicimu diperkosa lebih dulu dan terpaksa menjadi istrinya?"
"Cara bagaimana Ciciku
menjadi istrinya, aku tidak tahu," sahut A Ci dengan tertawa. "Yang
terang Ciciku telah dipukul mati oleh Cihuku sendiri."
Semua orang bersuara kaget
oleh pernyataan A Ci itu, Sekalipun orang-orang itu adalah golongan Sia-pai
yang biasa berbuat jahat, tapi demi mendengar bahwa Siau Hong membunuh orang
tua sendiri, membinasakan guru dan menewaskan kawan, akhirnya membunuh istri
sendiri pula, mau tak mau mereka sama tersentak kaget oleh kekejaman itu.
"Jumlah orang Kai-pang
terlalu banyak, untuk melawan mereka sebenarnya agak sulit, jika sekarang Kiau
Hong sudah dipecat oleh Kai-pang, dengan sendirinya kita tidak jeri lagi
padanya, Hehe!" kata Ti-sing-cu dengan tertawa dingin. "Hah, katanya
'Pak Kiau Hong dan Lam Buyung' apa segala, Itukan cuma pujian yang diberikan
diantara orang persilatan Tionggoan sendiri, aku justru tidak percaya kedua orang
itu mampu menandingi ilmu mujizat Sing-siok-pai kita."
"Benar, benar!"
sambut si gendut. "Memangnya para sute juga berpikir begitu, Ilmu silat
Toasuko sendiri sudah luar biasa, sekali ini mengunjungi Tionggoan kebetulan
dapat membunuh Pak Kiau Hong dan Lam Buyung, biar mereka kenal betapa lihainya
Sing-siok-pai kita."
"Dan dimanakah Kiau Hong
itu? Kemana kita harus mencarinya?" tanya Ti-sing-cu.
"Dia menyatakan akan
pergi ke Gan-bun-koan." tutur A Ci. "Marilah kita menyusulnya kesana,
betapa pun kita harus mendapatkan dia."
"Baiklah," kata
Ti-sing-cu. "Jisute dan Samsute, kalian berlima telah melewatkan
kesempatan baik tatkala ketemu musuh, hukuman apa yang harus kalian
terima?"
"Kami bersedia menerima
hukuman Toasuko." demikian sahut kelima orang itu dengan hormat.
"Kedatangan kita ke
Tionggoan ini perlu banyak menyelesaiakn urusan kita, kalau dihukum terlalu
berat, tentu akan melemahkan kekuatan kita sendiri, baik begini
sajalah...." baru berkata sampai disini, mendadak lengan kirinya mengebas
dan berbareng lima titik api ke-biru2an bagaikan lima ekor kunang-kunang
menyambar kearah kelima sutenya itu. Bunga api itu masing-masing hinggap diatas
pundak kelima orang itu, lalu mengeluarkan suara mencicit dan bau sangit.
Pikir Siau Hong. "Wah,
bukankah ini membakar manusia mentah-mentah?"
Ia lihat bunga api itu tidak
lama kemudian lantas padam, tapi air muka kelima orang itu makin lama makin
menderita kelihatannya, Pikir Siau Hong, "Apa yang dilemparkan pemuda baju
putih itu tentu obat bakar sebangsa belerang yang berbisa pula, sebab itulah
sehabis apinya sirap, racun lantas meresap kedalam daging hingga orang tambah
kesakitan,"
Dalam pada itu Ti-sing-cu
sedang berkata, "Ini hanya 'Lam-sim-tan' (peluru melatih hati) yang kecil
saja, cuma tahan untuk menggembleng kalian selama 7x7 = 49 hari, Lewat
temponya, rasa sakit akan hilang dengan sendirinya, Dan sesudah mengalami
gemblengan itu, daya tahan kalian akan bertambah, lain kali kalau ketemu musuh
lagi juga takkan mudah menyerah dan memalukan Sing-siok-pai kita."
"Ya, ya, terima kasih
atas pengajaran Toasuko," kata si lelaki hidung singa.
Selang agak lama, rasa sakit
kelima orang itu rupanya mulai lenyap, tapi selama itu mereka tampak menggigit
bibir dengan menahan rasa sakit, hal mana membuat perasaan A Ci menjadi takut,
tapi urusan sudah kepepet, terpaksa terserah kepada nasib.
Sorot mata Ti-sing-cu kemudian
diarahkan pada Cut-tim-cu, tiba-tiba ia membuka suara pula, "Patsute, kamu
telah membocorkan rahasia penting perguruan kita hingga pusaka kita mungkin
akan hilang untuk selamanya, Apa hukumannya bagi kesalahanmu itu?"
Untuk sejenak si cebol alias
Cut-tim-cu termangu-mangu, mendadak ia berlutut dan meratap,
"Toa....Toasuko, secara tak sadar waktu itu aku telah sembarangan omong,
harap engkau suka... suka mengampuni jiwaku, kelak....kelak biar aku menjadi
budakmu juga rela, sedikitpun tidak berani membangkang....." Sembari
berkata, berulang-ulang ia pun menjura.
Ti-sing-cu menghela napas,
katanya, "Patsute, sebagai saudara seperguruan, asalkan mampu dengan
sendirinya ingin kutolong dirimu, Tetapi, ai, jika sekali ini kamu diampuni,
lalu kelak siapa lagi yang mau taat kepada peraturan yang ditetapkan Suhu?
Sudahlah, boleh mulai saja, Peraturan perguruan kita kau sendiri sudah tahu,
asal mampu menangkan
Cit-hoat-cuncia (petugas pelaksana hukum) yang kujabat sekarang ini, maka
segala dosamu dapat diampuni, Ayolah berdiri saja dan mulailah."
Tapi Cut-tim-cu tidak berani,
ia tetap berlutut dan menjura terus.
"Kamu tidak mau mulai
lebih dulu, jika begitu terimalah seranganku," kata Ting-sing-cu.
Air muka Cut-tim-cu berubah
pucat seketika, Mendadak ia melompat bangun. Jangan dikira dia buntek gerak
tubuhnya ternyata amat gesit, Insaf tak bisa terhindar dari hukuman sang Suheng,
terus saja ia melompat bangun dan segera menjemput dua potong batu. Senjata
andalannya yaitu tongkat baja, kini sudah hilang, terpaksa ia menggunakan
senjata seadanya, maka begitu pungut dua potong batu sebesar kepalan, tanpa
bicara lagi terus ditimpukkan kearah Ti-sing-cu sambil berseru;
"Maaf, Toasuko!"
Dan begitu kedua potong batu
itu terlepas dari tangan, cepat ia memungut dua potong batu yang lain dan
secara berantai ditimpukkan lagi.Ia menimpuk kedepan, sebaliknya tubuhnya
melompat mundur malah, lalu dua potong batu lagi-lagi dihamburkan sambil
melompat mundur pula hingga jauh.
Rupanya ia tahu ilmu silatnya
selisih terlalu jauh dibandingkan Ti-sing-cu, maka ia harap batu yang
ditimpukkan itu dapat menghalangi kejaran sang Suheng dan ia sendiri sempat
melarikan diri.
Tak terduga bahwa batu seperti
itu saja sama sekali tiada artinya bagi Ti-sing-cu, sekali lengan bajunya
mengebas, seketika suatu arus tenaga maha hebat berjangkit dan kontan batu-batu
itu mencelat balik kearah si cebol malah.
Diam-diam Siau Hong kagum juga
menyaksikan tenaga dalam Ti-sing-cu itu, kepandaian demikian adalah ilmu sejati
dan bukan ilmu sihir atau kepandaian dengan bantuan obat-obatan segala.
Batu yang menyambar balik itu
dapat didengar juga oleh Cut-tim-cu, ia tahu bila berlari kedepan tentu
punggung akan termakan batu itu, bila membalik tangan untuk menyampuk, ia
merasa tidak memiliki tenaga sekuat itu, Terpaksa ia mengengos kekiri.Tapi aneh
bin heran, baru dia mengengos kekiri, tahu-tahu batu yang lain menyusul pula
kearahnya hingga tidak memberi kesempatan bernapas padanya, Dan baru Cut-tim-cu
berkelit lagi kesebelah lain, lagi-lagi batu ketiga telah memburunya pula.
Siau Hong tahu agaknya
Ti-sing-cu sengaja hendak mempermainkan sang sute dan tidak ingin lekas2
membunuhnya, maka setiap timpukan batu itu selalu merandek sejenak, bila
sasarannya sudah berpindah tempat, lalu batu yang lain menyambar lagi, Coba
kalau dia benar-benar ingin mencabut nyawa Cut-tim-cu tentu sudah sejak tadi
batu-batu itu dihamburkan.
Begitulah dengan enam potong
batu itu selalu Cut-tim-cu dipaksa melompat kekiri untuk menghindar, dan sampai
pada batu ke enam, tahu-tahu si cebol sudah mengisar kembali kesamping api
unggun tadi. Dibawah sinar api wajah Cut-tim-cu tampak pucat bagai mayat,
mendadak ia mengeluarkan sebilah belati terus menikam dada sendiri.
Tapi Ti-sing-cu tidak
membiarkan sang Sute mati begitu mudah, sekali lengan bajunya mengebas, kembali
setitik bunga api menyambar kepergelangan tangan si cebol, terdengar suara
mencicitnya api membakar, tahutahu urat nadi Cut-tim-cu sudah hangus dan
terpaksa belati dilemparkan ketanah sambil menjerit-jerit; "Ampun,
Toasuko! Kasihanilah Toasuko!"
Mendadak Ti-sing-cu
mengebutkan lengan baju pula, serangkum angin keras menyambar kearah api unggun
berwarna hijau itu, Sekonyong-konyong api yang menganga itu bercabang, lalu
sejalur api yang panjang kecil memencar kearah Cut-tim-cu, dan begitu kena
sasarannya, tanpa ampun lagi api itu berkobar dan menjilat rambut dan pakaian
yang mudah terbakar itu.
Seketika Cut-tim-cu
terguling-guling diatas tanah sambil menjerit ngeri, tapi tidak lantas mati,
hanya bau busuk hangus lantas terendus, keadaannya sangat mengenaskan.
Meski Siau Hong sendiri sudah
sering juga menyaksikan perbuatan-perbuatan kejam, tapi melihat nasib Cuttim-cu
yang terbakar hidup-hidup itu, mau tak mau ia terkesiap juga, Apalagi anak
murid Sing-siok-pai yang lain, tiada seorang pun diantara mereka yang berani
bersuara, bahkan bernapas pun tidak berani keras-keras.
"He, mengapa kalian
diam-diam saja? Apakah kalian anggap caraku ini terlalu ganas, Cut-tim-cu mati
penasaran, begitu bukan?" tanya Ti-sing-cu.
Kalau tadi anak murid
Sing-siok-pai diam saja tak berani buka suara, demi mendengar pertanyaan itu,
seketika mereka berebut bicara lebih dulu, maka beramai-ramai terdengar seruan
mereka,
"Wah, Toasuko terlalu
bermurah hati hingga kematian Cut-tim-cu jauh lebih enak daripada ganjaran yang
sebenarnya atas dosanya!"
"Ya, Toasuko cukup
bijaksana, kami benar-benar sangat kagum! Cut-tim-cu telah membocorkan rahasia
perguruan kita, sudah sepantasnya Toasuko memberi hukuman setimpal, menjadi
setan pun seharusnya dia berterima kasih kepada Toasuko!"
Siau Hong merasa muak oleh
ocehan manusia-manusia pengecut itu, sungguh ia tidak ingin mendengar terus,
maka segera ia bermaksud tinggal pergi saja, Tapi baru mulai bergerak, tiba-tiba
terdengar Ti-sing-cu sedang tanya dengan lemah-lembut, "Nah, Siausumoai,
kamu telah mencuri pusaka Suhu dan diberikan kepada orang luar, hukuman apa
yang seharusnya kau terima?"
Kata-kata itu diucapkan dengan
ramah, tapi cukup membuat hati Siau Hong terkesiap, pikirnya, "Wah, aku
dipesan oleh A Cu agar menjaga saudara perempuan satu-satunya ini, biarpun anak
dara ini sangat nakal dan jahat, sekali dia dihukum tentu akan jauh lebih ngeri
daripada Cut-tim-cu tadi, kalau aku tinggal diam tak menolongnya, bagaimana
hatiku bisa tenteram mengingat pesan A Cu itu?"
Karena itu, diam-diam ia
mengisar kembali dan mendekam ditempat semula. Maka terdengar A Ci sedang
menjawab;"Aku telah melanggar peraturan Suhu, itu memang benar, dan
tentang Giok-ting itu, apakah Toasuko ingin menemukannya kembali atau
tidak?"
"Giok-ting itu adalah
satu diantara ketiga pusaka perguruan kita, sudah tentu harus dicari, mana
boleh barang pusaka kita jatuh ditangan orang luar?" sahut Ti-sing-cu.
"Tapi Cihuku sangat keras
wataknya," ujar A Ci, "Giok-ting itu aku yang memberinya, jika
kuminta kembali padanya, dengan sendirinya dia akan memulangkan benda itu
padaku, Tapi kalau orang lain yang minta padanya, kau pikir apakah dia mau
menyerahkan begitu saja?"
"Ehm," Ti-sing-cu
mendengus, Tapi dalam hati ia pun tahu bahwa Kiau Hong adalah bekas Pangcu
Kai-pang, namanya sangat disegani orang kangouw, mungkin tidak gampang untuk
minta kembali barang yang sudah berada ditangannya itu, Maka katanya kemudian,
"Ya, urusan ini memang sulit untuk diselesaikan, Dan kalau terjadi apa-apa
atas Giok-ting itu, maka dosamu tentu juga akan bertumpuk-tumpuk."
"Jika kau minta kembali
Giok-ting itu padanya, terang apapun juga dia tak akan menyerahkan
padamu," kata A Ci, "Sekalipun kepandaian Toasuko sangat tinggi,
paling-paling juga cuma dapat membunuhnya, apakah Giokting itu dapat
diketemukan kembali, itulah seribu kali sulit untuk diramalkan."
Ti-sing-cu berpikir sejenak,
lalu bertanya, "Habis bagaimana kalau menurut pikiranmu?"
"Hendaklah kalian
bebaskan aku, biar aku pergi sendiri keluar Gan-bun-koan untuk minta kembali
Giok-ting itu kepada Cihu," sahut A Ci, 'Itu namanya menebus dosa dengan
jasa, dan kamu harus berjanji takkan melaksanakan hukuman apa pun atas
diriku."
"Cukup beralasan juga
uraianmu itu," kata Ti-sing-cu, "Tetapi, wah, Siausumoai, dengan
demikian mukaku ini lalu hendak ditaruh kemana lagi? Sejak kini akupun tiada
harganya menjadi ahli-waris Sing-siok-pai lagi, Apalagi kalau sekali aku sudah
membebaskanmu, lalu kau kabur sejauhnya, dan menghilang, kemana harus kucari
dirimu? Tentang Giok-ting pusaka itu harus kita temukan kembali, asal kabar ini
tidak tersiar, belum tentu orang she Jiau itu berani sembarangan merusaknya,
Hah, Siausumoai, boleh mulai kau serang, asal kamu dapat mengalahkan aku,
segera kamu akan menjadi ahli-waris Sing-siok-pai, dan akupun akan tunduk pada
perintahmu, Engkau akan menjadi Toasuci dan aku menjadi Sutemu,"
Mendengar itu, baru sekarang
Siau Hong paham duduknya perkara, Kiranya menurut peraturan Sing-siok-pai
mereka, tinggi rendahnya kedudukan ditentukan oleh kuat dan lemahnya ilmu silat
masing-masing dan tidak ditentukan oleh tua mudanya usia atau lebih dulu dan
lebih belakang masuk perguruan, Sebab itulah meski usia Ti-sing-cu masih muda
belia, tapi ia adalah Toasuheng daripada para Sute yang usianya banyak yang
jauh lebih tua, jika begitu maka diantara sesama saudara seperguruan mereka
tentu akan saling bunuh membunuh, terang tiada perasaan baik antara sesama
Suheng dan Sute.
Siau Hong tidak tahu bahwa
justru dengan cara itulah kunci untuk meningkatkan ilmu silat Sing-siok-pai
dari satu angkatan kepada angkatan yang lain, Sang Toasuheng memegang kekuatan
penuh, jika diantara Sute ada yang tidak terima, setiap saat dia boleh melawan
dengan kekuatan.Kedudukan mereka itupun ditentukan oleh kepandaian
masing-masing, bila Toasuheng menang, dengan sendirinya yang menjadi Sute akan
menyerah untuk dibunuh atau dihajar, sedikitpun tidak boleh melawan, Sebaliknya
kalau sang Sute yang menang, seketika dia akan melanjak keatas untuk
menggantikan kedudukan sebagai Toasuheng, dan sebaliknya boleh menghukum mati
bekas Toasuheng itu, Dalam hal demikian sang Suhu hanya menonoton dengan
berpeluk tangan saja, sekali-kali tidak ikut campur.
Di bawah peraturan yang aneh
itu, terpaksa setiap anak murid harus berlatih diri dengan giat, jika mereka
ingin selamat, tapi lahirnya mereka terpaksa berlagak bodoh pula supaya tidak
menimbulkan rasa sirik sang Toasuheng.
Si cebol alias Cut-tim-cu itu
biasanya suka pamer tenaga yang besar, senjata tongkat yang dipakainya juga
jauh lebih berat dari pada tongkat orang lain, hal ini sudah lama menimbulkan
rasa sirik Ti-sing-cu, kali ini kebetulan ada kesempatan, maka sengaja hendak
membunuhnya.
Begitulah A Ci semula mengira
Ti-sing-cu takkan bikin susah padanya mengingat Giok-ting yang belum ditemukan
itu, siapa tahu sang Suheng ternyata tak bisa tertipu dan segera ingin turun
tangan.
Karuan A Ci ketakutan, apalagi
suara jerit ngeri Cut-tim-cu yang mendekati ajalnya itu masih terdengar dan
mala-petaka begitu agaknya sebentar lagi juga akan menimpa dirinya.
Terpaksa ia menjawab dengan
suara gemetar, "Tapi aku diringkus begini cara bagaimana aku bisa
bergebrak denganmu?"
"Baiklah akan kulepaskan
dirimu," kata Ti-sing-cu, Dan sekali lengan bajunya mengebut, serangkum
hawa lantas menyambar kearah gundukan api, Kembali api unggun itu memancarkan
sejalur api mirip air mancur terus menyambar kearah borgol tangan A Ci.
Siau Hong dapat mengikuti
kejadian itu dengan baik, ia lihat lidah api hijau itu memang betul mengincar
borgol tangan A Ci dan bukan hendak membakar badannya.
Agaknya Ti-sing-cu itu sangat
tinggi hati, ia tidak mau kehilangan wibawa didepan saudara seperguruannya,
dengan ilmu silatnya yang jauh lebih tinggi daripada A Ci, dengan sendirinya ia
tidak perlu menyerang secara menggelap, Cuma entah sampai dimana kepandaiannya,
apakah dia sanggup membakar putus borgol tangan itu tanpa melukai A Ci?
Demikian Siau Hong agak sangsi.
Maka terdengarlah suara
mencicit pelahan, selang sebentar saja kedua tangan A Ci telah dapat
dipisahkan, borgol besi itu telah putus bagian tengah, hanya tinggal dua gelang
besi masih melingkar dipergelangan tangan anak dara itu.
Mendadak jalur api itu
mengkeret kembali, menyusul lantas memancar pula kedepan, kali ini mengarah
borgol dikaki A Ci, Dan hanya sebentar saja kembali borgol itu sudah terbakar
putus.
Semula Siau Hong agak heran
oleh lwekang orang yang luar biasa itu, waktu ia perhatikan ketika api hijau
itu membakar borgol kaki, kini dapat dilihatnya dengan jelas dimana api itu
membakar segera besi borgol berubah warna, tampaknya didalam api ada sesuatu
yang aneh, jadi tidak melulu mengandalkan lwekangnya yang murni.
Begitulah demi kaki tangan
sudah bebas bergerak, A Ci tiada alasan lagi buat menghindar, Dalam keadaan
demikian, biarpun dia secerdik kancil juga tak bisa berbuat apa-apa.
Maka terdengarlah para saudara
seperguruan yang lain sama memuji dan mengumpak Ti-sing-cu, "Wah, lwekang
Toasuku benar-benar sudah mencapai puncaknya, sungguh baru sekali ini kami
melihatnya, agaknya kecuali Suhu seorang, Toasuko pasti tiada tandingannya lagi
dijagat ini, Ya, katanya 'Pak Kiau Hong dan Lam Buyung' apa segala, kukira
mereka disuruh menjadi kacung Toasuko juga tidak sesuai, Nah, Siausumoai,
sekarang kau tahu lihai belum? Cuma sayang sudah terlambat!"
Begitulah mereka ramai
mengumpak dan memuji setinggi langit, dan rupanya Ti-sing-cu itu juga senang
dijilat, dengan wajah tersenyum ia lirik A Ci.
Sebaliknya A Ci malah berharap
ocehan orang-orang itu diteruskan, dengan demikian akan memperlambat tindakan
Ti-sing-cu padanya, Tapi sesudah bolak-balik orang-orang itu menjilat,
paling-paling juga itu-itu saja yang diucapkan, dan akhirnya suara mereka pun
reda sendiri.
Maka berkatalah Ti-sing-cu
dengan pelahan. "Siausumoai, silahkan mulai!"
Teringat kematian Cut-tim-cu
yang mengerikan itu, A Ci jadi mengkirik, sahutnya dengan gemetar, "Ti...
tidak aku tak mau mulai."
"Kenapa kamu tidak mau?
Kukira lebih baik menyeranglah!" kata Ti-sing-cu.
"Aku tidak mau, sudah
tahu takkan mampu melawan, buat apa aku banyak membuang tenaga?" kata A
Ci,
"Nah, jika ingin membunuh
aku, silakan saja."
"Ai, sebenarnya aku tidak
ingin membunuhmu," ujar Ti-sing-cu dengan menyesal. "Nona cilik
cantik molek seperti dirimu sungguh sayang untuk dibinasakan, cuma terpaksa,
Nah, Siausumoai, seranglah, asal dapat kau bunuh aku, tentu kamu akan menjadi
Toasuci! dalam Sing-siok-pai kita, kecuali Suhu, semua orang harus tunduk pada
perintahmu."
"Andaikan aku mampu
membunuhmu juga aku tak mau melakukannya," kata A Ci tiba-tiba.
"Sebab apa?" tanya
Ti-sing-cu.
"Sebab...sebab aku suka
padamu," sahut A Ci.
Jawaban ini membuat hati
Ti-sing-cu terkesiap, begitu pula hati Siau Hong tergetar, Siapa pun tak
menduga akan ucapan A Ci itu, Karuan seketika semua orang pandang dengan
bingung.
Selang sejenak, berkatalah
Ti-sing-cu, "Nona kecil seperti kamu ini masakah sudah paham tentang suka
apa segala? Apalagi aku sudah punya istri, masakah kamu tidak tahu?"
"Engkau... engkau sangat
tampan, ilmu silatmu tinggi pula, biarpun punya... punya istri, apa sih
jeleknya? Aku... aku justru suka padamu." demikian A Ci berkata pula.
"Ai, bila kamu tidak
melanggar kesalahan sebesar ini, jika perlu aku pun tidak keberatan mengambilmu
sebagai selir," kata Ti-sing-cu dengan menghela napas. "Tetapi kini,
ya, terpaksa aku tak bisa membantu apaapa, Nah, Siausumoai, terimalah seranganku
ini!"
Habis berkata, terus saja
lengan bajunya mengebas, serangkum angin keras lantas menyambar kearah api
unggun, sejalur api hijau lantas memancar pelahan kejurusan A Ci, Tapi agaknya
tidak ingin membunuh gadis itu dengan segera, maka jalannya jalur api itu sangat
lambat.
Sambil menjerit A Ci terus
melompat minggir kekanan, tapi jalur api itu lantas menyusul kearahnya, waktu A
Ci mundur kebelakang, tahu-tahu punggung kepepet oleh batu karang yang dibuat
sembunyi Siau Hong itu.
Sementara itu, Ti-sing-cu
sedang mengerahkan tenaga dalam untuk mendesak lebih kuat lidah api itu,
Sedangkan punggung A Ci sudah kepepet batu karang, untuk mundur lagi sudah tak
bisa.
Selagi ia hendak melompat
kesamping, namun lengan baju Ti-sing-cu telah mengebut pula, dua rangkum angin
menyambar dari kanan dan kiri hinga A Ci tak mampu melompat kesamping,
sedangkan lidah api hijau itu sudah makin mendekat.
Siau Hong tahu sekali api
hijau itu mengenai badan, seketika kulit akan hangus dan daging melocot,
Tampaknya api hijau itu tinggal puluhan senti saja didepan muka A Ci, dan satu
senti demi satu senti makin mendekat pula.Segera ia membisiki A Ci, "Jangan
takut, akan kubantu!" Sembari berkata, Siau Hong lantas mengulurkan
sebelah tangannya dan menahan dipunggung A Ci, Lalu katanya pula, "Lekas
mengerahkan tenaga dan menghantam kearah api hijau itu,"
Saat itu A Ci sebenarnya sudah
ketakutan setengah mati, semangatnya hampir terbang keawang-awang, ketika
mendadak terdengar suara Siau Hong, karuan ia seperti mendapat sejeki nomplok,
tanpa pikir lagi ia menghantam kedepan dengan telapak tangan.
Tatkala mana tenaga dalam Siau
Hong sudah menyalur kedalam tubuhnya, maka pukulan A Ci itu membawa
tenaga yang maha kuat, Kontan
lidah api hijau itu mengkeret kembali satu meter panjangnya.
Tentu saja Ti-sing-cu kaget,
Sudah jelas dilihatnya A Ci tak berdaya lagi, ibarat daging tinggal dicaplok
saja, ia hendak mengerahkan tenaga lebih keras agar api hijau itu menyambar
kian kemari didepan muka anak dara itu agar ketakutan dan menjerit-jerit serta
minta ampun, habis itu baru akan mencabut nyawanya.
Siapa tahu dara cilik itu
memiliki lwekang sehebat itu, sekali hantam dapat mendesak lidah api tersurut
hingga satu meter lebih.
Oleh karena ilmu silat
golongan Sing-siok-pai itu oleh guru mereka diajarkan secara tersendiri-sendiri
kepada setiap muridnya, maka sampai dimana kepandaian sesama saudara
seperguruan sukar dijajaki.
Semula mereka mengira A Ci
pasti akan dimakan mentah-mentah oleh kepandaian Toasuko mereka, tak tersangka
sekali pukul A Ci dapat mendesak mundur lidah api hijau yang sudah dekat
mukanya itu, karuan anak murid Sing-siok-pai yang lain semua bersuara heran.
Tapi juga tiada seorang pun
yang menaruh curiga bahwa diam-diam ada orang membantu anak dara itu, mereka
menyangka mungkin bakat A Ci memang lain daripada yang lain, diam-diam ilmu
silatnya sudah terlatih sedemikian tingginya.
Begitulah Ti-sing-cu jadi
penasaran, kembali ia kerahkan tenaga hingga api hijau itu memancar lagi kemuka
A Ci, sekali ia kerahkan tenaga sepenuhnya, maka api juga menyambar cepat luar
biasa.
A Ci menjerit tertahan, ia
bingung entah cara bagaimana harus menahan serangan itu, lekas ia menghindar
kekiri, Untung tenaga cegatan Ti-sing-cu dari kanan-kiri tadi sudah dihapuskan
hingga dia dapat berkelit tanpa rintangan, dan api hijau itu lantas membakar
diatas batu dan mengeluarkan suara gemercik.
"Pukulkan tangan kirimu
untuk memotong jalur apinya!" seru Siau Hong kepada A Ci dengan suara
tertahan.
"Ehm, bagus akal
ini!" ujar A Ci, Segera ia ayun tangan kiri kedepan, kontan suatu arus
tenaga menyambar ketengah jalur api hijau itu, dimana angin pukulan itu tiba,
seketika jalur api terputus jadi dua bagian, bagian depan karena kehilangan
saluran dari belakang, sesudah terbakar sebentar diatas batu karang, pelahan
lantas guram dan akhirnya padam.
Diam-diam Ti-sing-cu pikir,
"Jika apiku padam, itu berarti aku akan kehilangan muka didepan para Sute,
mana boleh perbawaku dipatahkan begini saja?"Segera ia mengerahkan tenaga
lebih kuat, kembali ia pancarkan jalur
api diatas batu yang
kehilangan saluran itu.
A Ci sendiri merasa tangan
yang menahan dipunggung itu masih terus menyalurkan tenaga dalam yang tak
terputus-putus bagaikan sumber air terjun yang membanjir, bila tenaga itu tidak
lekas dikeluarkan pula, rasanya tubuh sendiri yang kecil itu seakan-akan meledak,
Sebab itulah tanpa pikir lagi tangan kanan lantas menghantam pula kedepan
dengan sekuatnya.
Dengan tenaga dalam Siau Hong
yang hebat itu, sebenarnya kalau A Ci dapat menggunakannya dengan baik, bukan
mustahil Ti-sing-cu akan dapat dikalahkannya dengan gampang, Tapi karena rasa
takutnya tadi, maka pukulan itu agak gugup hingga arahnya melenceng,
"Fung" lidah api hijau itu seketika dapat dipadamkan olehnya, Tapi
Ti-sing-cu tidak terganggu seujung rambutpun.
Namun demikian sudah cukup
membuat anak murid Sing-siok-pai saling pandang dengan jeri, Hanya Jitsute itu
yang tidak tahu gelagat, ia masih coba mengumpak sang Toasuko, katanya;
"Toasuko, sungguh hebat
benar tenagamu, pukulan Siausumoai itu paling-paling cuma dapat memadamkan
sebagian apimu yang sakti itu, masakah bisa berbuat sesuatu padamu?"
Maksudnya sebenarnya ingin
menjilat pantat sang Toasuko, diluar dugaan ia keliru menjilat, bagi
pendengaran Ti-sing-cu pujian itu lebih mirip sindiran tajam padanya. Mendadak
lengan bajunya mengebut, api hijau tadi menyambar kesamping, 'crit-crit',
secepat kilat api menyambar kemuka Jitsute itu, Dan sekali api itu menjilat
sasarannya, seketika mengkeret balik lagi, Namun begitu Jitsute itu sudah
kesakitan sekali, ia mendekap muka sendiri sambil menungging dan menjerit-jerit
bagai babi hendak disembelih.
Diam-diam Siau Hong
memperingatkan A Ci, "Awas, lawanmu sudah murka, kamu harus
hati-hati!" Ia menggunakan ilmu mengirim gelombang suara hingga yang
mendengar hanya A Ci saja, meski lwekang Tising-cu itu sangat tinggi juga tak
mampu mendengarnya, apalagi yang lain....
Dan benar juga, sesudah
Ti-sing-cu menghajar Jitsutenya, segera ia pun ayun tangannya, kembali sejalur
api hijau menyambar kearah A Ci, Sekali ini lidah itu sangat besar hingga
menimbulkan suara dahsyat, api yang menganga itu membuat A Ci merasa silau.
Khawatir kalau bayangan Siau
Hong akan kelihatan dibawah cahaya api itu, cepat A Ci mengaling-aling kedepan
batu lagi sambil balas memukul sekali kedepan untuk menahan desakan api hijau
itu.
Karena terhalang oleh tenaga
pukulan A Ci, api hijau itu tidak dapat maju lagi dan berhenti diudara, ujung
api
itu menyembur maju sedikit,
lalu terdesak surut lagi sambil berkedip-kedip tiada hentinya.
Berulang tiga kali Ti-sing-cu
mendesak sekuat tenaga, tapi selalu kena ditolak kembali oleh A Ci, karuan ia
menjadi gopoh dan gusar, ia coba mengerahkan tenaga dalamnya dua kali pula dan
masih tetap tidak berhasil mendesak maju, sekonyong-konyong ia merasa seram
sendiri, pikirnya, "Dia...dia masih mempunyai tenaga simpanan yang cukup,
kiranya sejak tadi dia sengaja mempermainkan aku, Jangan-jangan Suhu pilih
kasih dan diam-diam menurunkan lwekang paling tinggi dari perguruan sendiri
kepadanya, Wah, aku telah... telah tertipu olehnya!"Begitulah sekali ia sudah
ketakutan, seketika tenaganya lantas berkurang dan jalur api hijau itu pun
menyurut kembali.
"Masakah aku takut
padamu?" mendadak Ti-sing-cu membentak, saking napsunya hingga suaranya
sampai serak, ia kerahkan tenaga sekuatnya hingga jalur api hijau tadi berubah
menjadi segulung bola api terus menerjang kearah A Ci.
Melihat gelagat jelek, cepat A
Ci hantamkan sebelah tangannya, dan ketika melihat tak dapat menahan desakan
bola api itu, segera ia susulkan pukulan tangan lain, dengan tenaga pukulan
kedua tangan barulah bola api itu dapat ditahan.
Maka tertampaklah sebuah bola
api hijau berputar-putar di udara, segera para Sutenya bersorak pula, ada yang
berseru,"Ilmu sakti Toasuko sungguh hebat, sekali ini budak itu pasti akan
celaka!"
"Nah, Siausumoai, kamu
masih berani main garang lagi? Ayolah lekas menyerah saja, boleh jadi Toasuko
akan memberi jalan hidup bagimu."
A Ci menjadi gelisah,
berulang-ulang ia coba kerahkan tenaga, Tapi tenaga dalam yang disalurkan Siau
Hong itu meski sangat kuat, namun adalah tenaga orang lain, untuk
mengerahkannya menjadi tidak bisa sesuka hatinya.
Setelah saling bertahan
sejenak, segera Ti-sing-cu tahu dimana letak kelemahan anak dara itu, Pikirnya,
"Karena Suhu pilih kasih, maka dara cilik ini sangat hebat lwekangnya,
Tapi caranya mengerahkan tenaga masih kurang sempurna, dikanan-kiri masih
terdapat lubang kelemahan, Untung dia menjajal aku sekarang juga, coba kalau
tunggu tiga-empat tahun lagi, jika ilmu pukulannya sudah sempurna, tentu aku
bisa celaka."
Berpikir sampai disini,
kembali semangatnya tergugah, tiba-tiba jari telunjuk kanan menuding dua kali
dan terdengar suara letikan api dua kali, Tampak pancaran api unggun itu
meletik beberapa titik bunga api terus menyambar kearah A Ci dari kanan-kiri dengan
cepat luar biasa.
A Ci menjerit kaget dengan
bingung, Tenaga pukulannya waktu itu sedang dipakai menahan bola api, ia tidak
sempat menahan serangan bunga api itu, Dalam keadaan kepepet ia coba mengengos
untuk menghindar.