"Yang paling menggelikan
adalah usaha Cian Hui yang bersusah payah menjadikan Hui Giok seorang yang
ternama dan berkedudukan tapi ia tak sangka akan hubunganku dengan Hui Giok
ini, perbuatannya ini sekarang berbalik jadi senjata makan tuan."
Setelah tertawa bangga, Tham
Beng menyambung pula, "Suatu ketika tentu akan kubiinm Hui Giok berbalik
memusuhi dia, kalau sudah demikian itu berarti Perserikatan orang-orang Kanglam
yang didirikannya dengan susah payah itu akan menambah kekuatan bagi pihakku
malah, hahaha..."
Ia berpaling ke arah Liu Bui
dan meneruskan "Liu-hiante, sekarang tentunya kau mengerti kenapa selama
ini aku tidak berbuat apa-apa terhadap Perserikatan orang orang Kanglam itu?
Nah di sinilah alasannya Hahaha, orang persilatan manakah yang akan menduga
rencanaku itu"
Pat-kwa-ciang Liu Hui
buru-buru memperlihatkan rasa kagumnya, sambil menghela napas ia berkata
"Ya, siapa yang mampu menebak perhitungan Congpiautau. Belakangan ini
kungfu Hui Giok mendapat kemajuan yang pesat siapa tahu kalau di kemudian hari
dia akan menjadi seorang-pembantu yang dapat diandalkan bagi Congpiautau?"
"Benar,"
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng mengangguk "asal kugunakan sedikit akal
tidak perlu kuatir ia akan membangkang perintahku."
Di tengah gelak tertawanya
yang nyaring kembali wajahnya menampilkan perasaan bangga.
Pat-kwa-ciang Liu Hui menghela
napas dan berkata. "walaupun begitu, sampai sekarang juga aku masih belum
percaya, masa dalam waktu satu-dua tahun yang singkat ini ia berhasil
memperoleh kepandaian silat yang maha lihai, bahkan baik dalam hal bicara
maupun tindak-tanduknya seakan-akan telah berubah menjadi seorang yang
lain."
Liong-heng pek-ciang
mengangguk "Ya, sesunguhnya bocah ini memang seorang yang amat
cerdik." katanya, "sejak dulu aku sudah mengetahuinya, karena
itulah...."
Tiba-tiba ia berhenti bicara,
setelah celingukan maju ke dekat Pat-kwa-ciang Lui Hui dan melanjutkan
kata-katanya dengan setengah berbisik "Sejak kecil sudah kusiksa dia,
kulukai harga diri menghancurkan rasa kepercayaan pada diri sendiri agar dia
menjadi seorang yang lemah dan tak berguna. Siapa tahu dia memang seorang yang
luar biasa, walaupun kecerdasan serta kemampuan telah kutekan dan kukuasai tapi
sedikit terlena saja, semuanya itu lantas meluap lagi, sebab itulah dalam waktu
singkat ia berhasil mencapai kesuksesan yang luar biasa."
Setelah menghela napas
sambungnya lagi. "Seperti halnya membendung air. sekali bendungan jebol,
maka air bau akan menerjang masuk dengan lebih besar Ya, salahku sendiri yang
tak pernah berpikir sampai ke sana."
Dari perkataannya jelaslah
bahwa ia merasa menyesal karena dulu bertindak kurang tegas.
Buru-buru Pat kwa ciang Liu
Hui menghiburnya, "Walaupun begitu toh sekarang Congpiautau cukup mampu
untuk menguasainya lagi sekalipun harus membuang tenaga lebih banyak tapi orang
itu kan tetap merupakan benda dalam saku Cong-piautau?"
"Hahaha.... " Liong
heng pat ciang bergelak sambil menepuk bahu anak- buahnya itu "Liu hiante
kau memang seorang pembantu yang paling kuandalkan!"
Kungfu Pat kwa ciang Liu Hui
sebenarnya tidak tinggi, tapi kecerdasan otaknya boleh diandalkan di antara
jago-jago lainnya dalam Hui liong piaukiok dia merupakan orang yang paling
dipercaya oleh Liong-heng-pat ciang.
Sebab itulah terkadang orang
merasa heran Liong-heng pat ciang yang cermat kenapa bisa salah pilih, masa
seorang yang tak becus dijadikan orang kepercayaan? Orang lain tidak tahu bahwa
walaupun Pat kwa ciang Liu Hui tak becus, tapi kepandaiannya menjilat pantat
adalah nomor satu. Biasanya, baik dia orang pintar atau orang bodoh, menghadapi
sanjung puji seringkali orang akan melahapnya tanpa menolak.
Liong heng-pat ciang Tham Beng
berhenti tertawa, seraya memutar kudanya ia berkata lagi dengan suara berat.
"Cian Hui berbuat demikian disebabkan ada maksud tertentu. Yu Jit,
sekarang juga berangkat ke Lam-yang dan cari rumah penginapan O-hun-kek can
setelah bertemu dengan Si Beng Siang Hui kui dan Kongsun Tay-liok bertiga,
perintahkan kepada mereka agar segera berangkat ke Hok-gu san, katakan bahwa
aku ada urusan penting perlu bantuan mereka."
Yu Jit mengiakan berulang
kali, cepat ia melompat ke atas kudanya dan dilarikan secepat terbang.
Seperginya orang itu, Liong
heng pat ciang Tham Beng berkata pula, "Kita berangkat ke sana, ingin
kutahu Cian Hiu masih mampu main gila apa lagi."
Selesai berkata, ia lantas
menarik kudanya dan larikannya ke depan.
Melihat itu dengan dahi
berkerut Lo Gi berisik Cian Sin-jiu tentu datang dengan persiapan yang cukup
matang, entah jago2 lihay macam apa lagi yang ia bawa."
Pian Siau yan termenung
sejenak, sambil memandang bayangan punggung Liong heng pat ciang ia menyahut
"Asal Congpiautau turun tangan sendiri, dalam dunia persilatan dewasa ini
tak ada seorang pun yang sanggup bertahan lima puluh gebrakannya."
"Kuatirnya..." Lo Gi
berkerut kening Pian Siau-yan tersenyum, tukasnya "Perkataanku pasti tidak
meleset suatu hari pernah ku saksikan dengan mata kepalaku sendiri cara
bagaimana Congpiautau berlatih ilmu silatnya. Sedemikian hebat kungfunya,
biarpun kita berdua bergabung juga belum tentu mampu menahan tiga puluh jurus
serangannya."
Airmuka Lo Gi berubah, tanpa
mengucapkan sepatah kata lagi ia cemplak kudanya dan berlalu walaupun ia kurang
percaya terhadap cerita Pian sau yan akan tetapi mau tak-mau juga harus mempercayainya.
Liong-heng pat ciang Tham Beng
duduk di kudanya sekukuh batu karang siapapun tak menyangka orang tua ini sudah
sehari semalam duduk di atas kudanya tanpa beristirahat.
Wajahnya masih tetap tenang,
tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkannya.
Di tengah kegelapan hanya
suara derap kuda yang terdengar memecah kesunyian, tiba-tiba dan depan debu
beterbangan ke udara.
Melihat itu, Liong
heng-pat-ciang tertawa dingin, dengusnya, "Hm, ini dia, Sin Jiu Cian Hui
ada main lagi!"
Nadanya penuh rasa percaya
pada diri sendiri dan juga angkuh.
"Ah, permainan apapun
yang akan dia lakukan juga tak akan mampu dikembangkan dihadapan
Congpiautau!" umpak pat-kwat-ciang Lui Hui sambil tersenyum.
Liong heng pat-ciang Tham Beng
tertawa "Sejak dulu kan sudah kukatakan kepadamu bahwa di dunia ini sama
sekali tak ada urusan yang tak bisa diselesaikan? aku jadi teringat pada
belasan tahun yang lalu pernah berjumpa seorang kusir kereta kuda yang bernama
Ko put ki," sementara pembicaraan berlangsung dan depan muncul seekor kuda
yang makin mendekat dengan cepatnya. Ketika si penunggang kuda itu mendengar
ucapan terakhir Liong heng-pat-ciang yang terakhir.
"Tahu apa?" bentak
Liong-heng-pat-ciang sambil menarik muka.
Karena jawaban ini, si
penunggang kuda tampak tertegun, bukan saja kelihatan gugup, sekujur badannya
juga basah kuyup oleh keringat.
"Ko put-ki " ucapnya
dengan tergagap.
"Ko-put-ki. Ko-put ki
apa?" bentak Liong heng-pat ciang Tham Beng lagi dengan dahi berkerut
"Ong Liat kenapa kian lama kelakuanmu kian mirip orang sinting, mana
berbicara pun tidak jelas!"
Ong Liat yang gugup dan mandi
keringat ia semakin ketakutan ia tak berani menengadah cepat-cepat
dicteritakannya semua kejadian yang berlangsung di Hok-gu-sau itu kepada
majikannya.
Berbicara sampai pada
perbuatan Tok-jiu-ciang-wi yang pura-pura mati dengan tujuan membunuh Hui Giok.
Liong heng-pat-ciang tampak tersenyum.
"Sejak dulu sudah kutahu
bahwa Kang hiante bukan seorang yang tolol ternyata dia memang mempunyai tujuan
tertentu dengan perbuatannya itu. Ya dia memang seorang tangguh yang sukar
dicari tandingannya."
Walaupun senyuman juga
menghiasi wajah Pat-kwa-ciang Lui Hui, tapi diam-diam ia merasa iri.
Tapi Ong Liat lantas bercerita
tentang Hui Giok mendadak melompat bangun dan Kang Tay-lik menelan kapsul
racunnya untuk bunuh diri, air muka Liong-heng-pat ciang berubah hebat, ia
menghela napas berulang kali, sedang Pat-kwa-ciang Liu Hui juga menunjukkan
wajah menyesal meski dalam hati ia bersorak kegirangan karena Kang Tay-sik
gagal berjasa.
Tapi ketika Ong Liat
melaporkan ada orang yang berniat akan membeberkan asal usul Tok ciang Kang
Tay-sik, dengan murka Liong-heng-pat-ciang lantas berteriak, "Ke mana
kaburnya orang itu? Apakah dia dibunuh Cian Hui?"
"Tidak, tak dibunuh Cian
Hui," Ong Liat menggeleng kepala "tapi dia takkan lolos dari
cengkeraman kita, sebab ketika hamba bersama Tio Kian dan Thio Seng berhasil
kabur dari sana mereka berdua kuperintahkan untuk menguntitnya sendiri datang
kemari untuk memberi laporan." Mendengar itu Liong-heng pat-ciang Tham
Beng tertawa dingin.
"Hehehe, Cian Hui tahu
tak nanti kuampuni penghianat itu, maka ia pura-pura bermurah hati!"
"Liu-hiante, jika Cian
Hui tidak segera dilenyapkan dari muka bumi ini selamanya kita tak bisa hidup
tenang."
Meskipun air mukanya berubah
hebat, tapi sikapnya tak kelihatan gugup. Tapi ketika Ong Liat melaporkan
perbuatan Ko-put ki yang telah membongkar rahasianya tokoh yang gagah perkasa
ini baru kelihatan gugup, tangannya yang mengelus jenggotpun gemetar.
Setelah termenung sejenak,
kemudian ia berkata dengan suara tertahan, "Masa semua orang percaya
obrolan seorang kusir yang tak terkenal?"
Ong Liat tak berani menjawab,
dia hanya mengangguk saja.
Dalam pada itu air muka Lo Gi,
Pian Sau-yan serta Pat-kwa-ciang Liu Hui sama berubah juga, betapapun rahasia
yang menyelimuti peristiwa yang pernah menggetarkan dunia Kangouw itu tak
pernah diketahui oleh siapapun, bahkan Pat-kwa-ciang Liu Hui sendiri baru
pertama kali ini mendengarnya.
Sambil mengelus jenggotnya
Liong heng pat-ciaag duduk tepekur di atas kudanya, kecuali rambut dan jenggot
yang berkibar terhembus angin sekujur badan sama seakan tak bergerak,
se-olah-olah seorang pertapa yang sedang bersemedi.
"Congpiautau " bisik
Pat kwa-ciang Liu Hiu dengan agak tergagap.
Liong heng pat ciang
mengulapkan tangannya memotong ucapan orang, ia jalankan kudanya perlahan ke
depan, tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba ia putar kudanya dan tanpa
mengucapkan sepatah katapun melarikan kudanya menuju ke arah yang lain.
Lo Gi, Pian Sau-yan dan Pat
kwa-ciang Liu Hui segera menyingkir memberi jalan, sesudah Congpiautau lewat,
mereka bertiga saling pandang sekejap, akhirnya mereka menyusul ke sana.
Liong-heng-pat-ciang melarikan
kudanya ke sana dengan cepat, rambutnya yang telah beruban berkibar tertiup
angin, begitulah hampir selama setengah jam ia membedal kudanya dengan cepat,
walaupun Pat kwa ciang bertiga tak dapat melihat perubahan air mukanya, tapi
mereka dapat menebak betapa kalut perasaannya waktu itu.
Maka mereka pun tak berani
bersuara, sedang mereka melarikan kuda masing-masing, mendadak Tham Beng
menahan kudanya sehingga kuda mengangkat kaki depan ke atas, sementara
kuda-kuda yang mengikut di belakangnya juga buru2 terhenti.
Ringkikan kuda berkumandang,
serentak rombongan menghentikan perjalanannya.
Tiba-tiba Liong-heng-pat ciang
berpaling dan bertanya dingin suara tertahan, "Liu hiante berapa banyak
orang yang dapat dipakai di kantor pusat ibukota?"
Pat-kwa-dang Liu Hin berpikir
sebentar, lalu sahutnya, "Kurang lebih empat puluh orang."
Pelahan Liong heng-pat ciang
mengangguk "Dalam tiga hari, bisa kau kumpulkan berapa banyak jago2
tangguh dari seluruh kantor cabang kita?"
Berdebar jantung Pat kwa-ciang
Liu Hui, ia tahu majikannya telah siap untuk beradu kekuatan dengan Sin jiu
Cian Hui.
Lo Gi dan Piao Siau-yan yang
mendengar pertanyaan itu ikut merasa tegang juga.
Setelah termenung sebentar,
kembali Liu Hui menjawab. "Bila kita kirim perintah dengan pos merpati
dalam tiga hari kita bisa mengumpulkan dua puluh sembilan orang Piausu dan
kurang lebih seratus orang anak buah, selebihnya..."
"Cukup" tukas
Lioug-heng-pat ciang "Sau yan, sekarang juga berangkat ke Sik-ki-tin,
kirim surat perintah ke seluruh kantor cabang dengan burung merpati, dan
perintahkan kepada mereka yang mampu bertarung agar segera berangkat ke
Kang-lam, yang sedang mengawal barang tetap mengawal barang, yang tak ada
pekerjaan, isi kereta masing-masing dengan batu dan pura2 sedang mengawal
barang, perintahkan kepada mereka untuk berkumpul di sepanjang penyeberangan di
Buhan"
"Terima perintah."
sahut Pian Sau-yan dengan semangat berkobar.
Sambil berkerut kening
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng berkata pula dengan suara dalam. "Baik ada
barang kawalan atau tidak, isi kereta masing-masing dengan batu!"
Pian Sau-yan memberi hormat di
atas kudanya kemudian mencambuk kuda tunggangannya dan berlalu dengan cepat.
Setajam sembilu Liong
heng-pat-ciang Tham Beng menyapu pandang anak buahnya, kembali ia berkata,
"To hiante, sekarang juga berangkat ke Lam-yang dan mengadang Si Beng,
Siang Hu, Kongsun Tay liok di sana, ajak mereka segera berangkat ke dermaga
penyeberangan dan langsung menuju selatan, setibanya di Kanglam kumpulkan
kembali ke-20 saudara kita yang bertugas di Ci-bun dan langsung berangkat ke
Long bong-san-ceng, kecuali perempuan tua dan kanak-kanak, semua laki-laki yang
tampak sehat ringkus seluruhnya, lebih baik diringkus dalam keadaan
hidup-hidup, bila terpaksa boleh dibunuh, sesudah itu bakar Long-bong-san-ceng
hingga rata dengan tanah."
Walaupun merasa terkejut Lo Gi
menyahut juga dengan nyaring, "Terima perintah!"
Dengan mata membara
terpengaruh hawa napsu membunuh, Liong-heng-pat-ciang melanjutkan kata katanya,
"Bila tugas ini tak berhasil kau laksanakan, tak usah datang menjumpai
diriku lagi, bila tugas itu dapat kau selesaikan, kalian boleh beristirahat
sehari di Hu-liang, tunggu perintahku selanjutnya dengan berita burung
merpati."
Lo Gi tak berani banyak bicara
lagi, ia segera mencemplak kudanya dan berangkat.
Tanpa berhenti, Liong-heng-pat-ciang
Tham Beng menurunkan perintahnya lebih jauh, "Ong Liat, sekarang juga
balik ke Hok gu-san, gerak-gerik apapun yang dilakukan Sin-jiu Cian Hui, harus
usahakan untuk melapor kepadaku, bila terlolos sebuah berita saja, kaupun tak usah
bertemu denganku lagi"
"Terima perintah"
sahut Ong Liat sambil melompat ka atas kudanya, diam-diam ia menyeka peluh
dingin yang membasahi jidatnya.
"Bila bertemu dengan Thio
Khi dan Thio Seng, jika mereka telah berhasil menangkap pengkhianat tersebut,
perintahkan kepada mereka agar pengkhianat itu langsung dibawa ke
ibukota!"
Ong Liat mengiakan lagi, tapi
sebelum ia berlalu dari situ, dengan dahi berkerut kembali Tham Beng berkata,
"Jika mereka berdua tak berhasil menangkap pengkhianat tersebut, bunuh
saja kedua orang itu, Hui-liong-piaukiok kita tidak membutuhkan manusia tak
becus seperti mereka."
Ong Liat terkesiap, ia makin
tak berani banyak bicara, cepat kudanya diputar dan berlalu.
Sampai di situ,
Liong~heng~pat-ciang baru dapat mengembus napas. ujarnya kemudian dengan
lembut, "Liu-hiante, ikutlah aku pulang ke ibukota, akhir-akhir ini
tentunya kau amat lelah bukan?"
"Bila Congpiautau ada
perintah lain, katakan saja kepadaku," buru-buru Pat-kwa-ciang Liu Hui
berseru, "aku ..."
"Di sepanjang jalan, hanya
ada satu tugas yang harus kita laksanakan. ." tukas Tham Beng sambil
tersenyum. Setelah berhenti sebentar, lanjutnya, "yakni kita harus
menyiarkan ke seluruh dunia bahwa Bun-ki telah bertunangan dengan Tonghong
Ceng, salah satu dari Tiat-kiam-ceng-kang-ouw Tonghong bersaudara dari
Kang-soh!"
"Ber...
bertunangan?" desis Pat-kwa ciang Liu Hui dengan bingung.
"Ya, bertunangan!"
sambil tertawa Tham Beng menambahkan, "Setengah tahun yang lalu, Tonghong
Tiat telah memberi bisikan kepadamu bahwa ia ingin melamar Bun ki untuk
Samtenya, ketika itu aku masih agak sangsi, pertama kuatir Bun-ki menolak,
kedua akupun tak ingin mengecewakan Hui Giok, maka waktu itu aku cuma main ulur
waktu dan tidak menyanggupinya.
Pat kwa-ciang Liu Hui
tertegun, ujarnya kemudian sesudah termenung sejenak "Lantas sekarang
mungkinkah. ."
Tiba-tiba Liong heng-pat-ciang
tertawa terbahak-bahak: "Hahaha Liu Hiante, bagaimanapun kau memang kurang
cekatan, bila berita itu tersiar maka dunia persilatan pasti akan gempar,
Tonghong-hengte yang mendengar kabar inipun pasti akan kaget bercampur curiga,
sekalipun mereka tak akan datang untuk melamar, sedikit banyak pasti akan
mencari diriku untuk menanyakan duduknya persoalan, Nah, waktu itu asal ku
ungkap kembali kejadian lama, niscaya pertunangan itu akan beres dengan
sendirinya."
Pat-kwa ciang Liu Hui berpikir
sebentar, akhirnya iapun dapat memahami maksud sang majikan.
"Congpiautau!"
demikian ia memuji, "kau memang hebat, ketepatanmu menyusun siasat rasanya
tidak di bawah Khong Beng, dengan begitu..."
"Hahaha... dengan begitu,
bukan saja keluarga Tonghong akan menjadi pembantuku, perguruan Tonghong
ngo-hengte pun akan menjadi tulang punggungku, setelah kekuatanku di tunjang
oleh kekuatan sebesar ini, apa lagi yang mesti kutakuti, sekalipun penuturan
kusir kereta itu akan mempengaruhi orang-orang dungu, mungkinkah cerita
tersebut dipercayai juga oleh orang keluarga Tonghong Bu-tong-pay, Kun-lun pay
dan beberapa perguruan kenamaan itu? Hah-ha, waktu belasan tahun kan tidak
pendek, kukira sudah cukup untuk mengurangi rasa dendam serta kenangan orang
banyak atas peristiwa lama tersebut Hahaha" Cian Hui wahai Cian Hui.
bagaimanapun juga kau telah salah mencari musuh tandinganmu"
Pat kwa-ciang Liu Hui ikut
tertawa ter-bahak2, sejenak kemudian tiba2 tanyanya, "Cuma, bila ini
benar2 terjadi, bukankah kita akan tidak leluasa untuk berbuat apa2 terhadap
Hui Giok."
Semakin keras gelak tertawa
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, "Hahaha, setelah kupunya pendukung
setangguh itu, sekalipun ada sepuluh bocah ingusan macam Hui Giok yang memusuhi
diriku juga tak mampu berbuat apa2 terhadap diriku."
Gelak tertawanya semakin
bangga, suaranya pun semakin keras, hanya sayang tokoh persilatan yang selalu
dianggap sebagai seorang budiman ini kembali menilai terlalu rendah kemampuan
Hui Giok sehingga terciptalah suatu kekeliruan lagi.
Dan kekeliruan tersebut
seperti apa yang dikatakannya sendiri akan mendatangkan penyesalan baginya di
kemudian hari.
-o0o-
Dataran rendah Bu-hau yang
luas kembali dilapisi oleh bunga salju akibat hujan yang lebat.
Bekas roda kereta di atas
permukaan salju, bekas kaki kuda yang tampak nyata tumpang menumpang.
Di tengah hujan salju yang
keras, bayangan orang dan suara cambuk dapat ditemui di mana2, gelak tertawa
dan nyanyian keras pun terdengar di mana2, bahkan terlihat juga sinar pedang
sering menambah seram dan dinginnya cuaca.
Semua itu membuat ketiga kota
Bu-han yang sudah ramai tambah semarak lagi, membuat dunia persilatan yang
sudah kalut semakin kisruh lagi.
Ketenangan dunia persilatan
selama belasan tahun telah berlalu, orang persilatan sama kasak-kusuk, tahun
lama sudah berakhir, tahun baru hampir tiba, barang siapa ingin pamer
kepandaian dan jual nama kini saatnya sudah tiba, tunjukkanlah kegagahanmu...
tunjukkanlah kepandaianmu dan berusahalah merebut kedudukan yang tinggi dalam
dunia persilatan.
Kereta pengiriman barang telah
berkumpul sepanjang pantai sungai Tiang-kang, setiap saat mereka akan
menyeberang ke wilayah Kanglam. Bendera perusahaan yang berwarna menyolok berkibar
dengan menterengnya terembus angin utara yang dingin.
Delapan ekor naga terbang yang
tersulam di bendera seakan-akan terbang menembus awan melayang pergi.
Di jalan-jalan besar sepanjang
sungai, sering bermunculan Busu bersenjata dari perusahaan Hui liong-piaukiok,
mereka membuat kelompuk sendiri dan mondar mandir kesana kemari.
Pada wajah mereka yang serius
itu seringkah menunjukkan ketegangan yang mencekam, sinar mata yang mencorong
ibaratnya anjing pemburu yang sedang mencari mangsanya, tangan mereka yang
kekar selalu meraba senjata masing-masing, seakan-akan setiap saat mereka siap
menghunus senjata untuk melangsungkan pertarungan mati-matian.
Sepatu kulit mereka yang kuat
berderap di permukaan salju yang keras, sarung senjata mereka yang mengkilap
bergesek dengan pelana yang berwarna hitam gelap.
Dalam dunia persilatan,
Liong-heng-pat-ciang yang mempunyai kedudukan ibarat seorang Bengcu dalam
perusahaan ekspedisi Hui-liong-piaukiok ini adalah pimpinan tertinggi kedudukan
selama sepuluh tahunan ini selalu mantap dan kuat bagaikan batu karang, kini
telah mulai goyah.
Alasan yang terpenting adalah
karena kejujuran, kemuliaan serta kebijaksanaan Liong-heng-pat-ciang dalam
pandangan orang sudah mulai goyah. Suatu tuduhan sebagai pembunuh keji yang
licik, kejam dan berhati busuk yang berlangsung pada sepuluh tahun yang lalu,
kini mulai dibongkar dan tuduhan itu ternyata jatuh atas diri tokoh besar
tersebut.
Jago-jago persilatan yang suka
mencari keramaian berbondong-bondong datang ke Bu-han dari berbagai penjuru
negeri, sorot mata semua orang sama tertuju pada kereta barang yang berhimpun
di sepanjang sungai, sebaliknya para Busu Hui-liong-piaukiok yang gagah
perkasa, selalu pula memperhatikan setiap gerak-gerik di pantai selatan sana.
Ada sementara orang yang
diam-diam merasa kecewa dan menyesal, andaikata Koay-sim Hoa Giok belum mati,
maka perasaan para jago yang berkumpul di kota Bu han tentu tak akan sekesal
ini.
Dengan demikian tentu pula di
jalan raya dan rumah makan serta gang2 tempat ber-foya-foya dalam kota Bu han
tak akan terjadi begitu banyak percekcokan perkelahian serta pembunuhan.
-oOo -o- -oOo-
Fajar baru menyingsing, meski
waktu seperti ini adalah waktu yang paling tenang setiap hari, Tapi kota Bu-han
yang dingin karena hujan salju ternyata tidak tenang dan sepi seperti tempat
lain pada waktu yang sama, di bawah atap rumah yang penuh dengan salju yang
membeku berkumpul kelompok-kelompok jago persilatan yang sedang ber-bisik-bisik
membicarakan sesuatu rumah makan dan warung minum yang baru buka pintu telah
diserbu orang hingga tak ada tempat yang kosong.
Tiba-tiba dari kejauhan muncul
empat ekor kuda yang dilarikan kencang-kencang, bunga salju beterbangan di
belakang kuda dan menciprat ke empat penjuru penunggang kuda mengenakan mantel
yang tebal dengan topi lebar, begitu masak ke kota, seorang lantas berteriak,
"sebelum tengah hari nanti, Hui-taysianseng akan tiba di sini!"
Berita itu dengan cepatnya
tersiar saling menyambung hingga dalam sekejap saja seluruh kota Bu-ban telah
merata dengan berita itu, sedemikian menggemparkan berita ini sehingga air
sungai yang telah membeku se-akan2 beriak kembali.
Liong-heng-pat-ciang Tham
Beng, Sin jiu Cian Hui dua tokoh utama yang sangat menarik perhatian orang itu
belum muncul, tapi Hui-taysianseng ternyata sudah datang. kabar ini benar2
menggemparkan.
Maka kelompok2 manusia lantas
berkumpul di dermaga Tiang kang ada yang membawa payung ada yang memakai topi
lebar, mereka berdiri di tepi sungai sambil memperhatikan perahu yang pelahan
sedang merapat ke sini.
"Siapa? Siapa yang
datang?" demikian mereka sama bertanya.
Siapa pun yang datang, asal
dia datang dari wilayah Kanglam (selatan sungai), maka kemunculannya itu pasti
akan menimbulkan kegemparan di antara jago2 persilatan yang berkumpul di situ.
Meskipun air sungai yang kuning berlumpur telah banyak mengalangi berita tapi
tak mampu mengalangi pertarungan yang bakal berlangsung suatu pertarungan yang
belum pernah terjadi selama berpuluh tahun terakhir ini.
Perahu itu pelahan mendekat dan
makin merapat.
Tapi di dalam kota sana
tiba-tiba terjadi kegemparan lagi.
Di bawah hujan salju yang
bertaburan seorang pemuda tampan berbaju hijau sambil memegang tali kendali
kudanya, menyelusuri jalan raya yang panjang dan lurus.
Di sisinya mengikuti dua ekor
kuda hitam di atas kuda dua orang berbaju abu-abu dan bermuka dingin. mereka
bukan lain adalah Leng-kok siang bok yang tersohor dalam dunia persilatan itu.
Di belakang mereka adalah
lapisan suara manusia, lapisan ringkik kuda, entah berapa banyak penunggang
kuda yang mengikut di belakang itu. Sejauh pandangan ke belakang terlihat
kepala belaka, demikian banyaknya orang itu hingga sekilas pandang mirip
gulungan ombak yang sedang mendorong pemuda yang berada di depan itu, walau
sebenarnya pemuda itulah yang datang membawa gelombang ombak tersebut.
"Hui-taysianseng!",
sorak sorai gegap gempita berkumandang dan empat penjuru.
Suara yang keluar dan mulut
orang-orang itu mestinya tidak keras, tapi seruan yang diucapkan hampir
bersamaan waktunya oleh sekian banyak orang kedengarannya menjadi seperti
gemuruh guntur.
Hui Giok tetap kalem dan
tenang, senyuman selalu terkulum di ujung bibirnya meskipun begitu, di antara
sinar matanya seolah-olah tersembunyi rasa sedih dan kesal yang tak terhingga.
Para Busu "Hui
liong" yang tadi masih berjalan dengan langkah lebar dan sikap yang
angkuh, kini keangkuhan mereka menjadi sirap.
Langkah sepatu kulit mereka
yang semula berat, kini sudah enteng, tangan yang semula meraba gagang senjata,
kinipun terjulur lemas.
Hui Gok memandang sekejap
sekeliling tempat itu, kemudian melompat turun dari kudanya, ia tak mau
melanjutkan perjalanannya dengan menunggang kuda di antara kerumunan sekian
banyak jago persilatan, karena ia tak ingin menonjolkan diri dihadapan orang
banyak, dia lebih suka menjadi seorang yang sederhana.
Tapi nasib telah menciptakan
dia menjadi seorang Enghiong, seorang pahlawan, keadaan yang telah
menciptakannya menjadi seorang gagah dan lain daripada yang lain.
Pada saat yang bersamaan, di
sudut kota sebelah lain, perahu tadi sudah merapat di dermaga.
Papan loncatan telah dipasang
di antara perahu dengan daratan.
Kabin perahu yang semula
tertutup pelahan terbuka dan muncul lima orang pemuda tampan berbaju perlente,
mereka membawa pedang, ujung baju yang berkibar terembus angin membuat mereka
tampak lebih gagah, lebih kereng dan menakjubkan.
"Tonghong-ngo kiam!"
pekikan nyaring meledak dan mulut orang-orang yang berkerumun di tepi sungai.
Kerumunan manusia di dermaga
dengan cepatnya mundur ke belakang memberi jalan lewat, sambil tersenyum
Tonghong Tiat menjura ke sana ke mari memberi hormat kepada penyambutnya, lalu
dengan membawa keempat saudaranya yang disegani itu turun dari perahu mereka,
orang-orang disepanjang jalan serentak gempar.
Tonghong-ngo-kiam menyusuri
sebuah jalan raya yang lurus dan panjang, walaupun terjadi kegemparan, namun
jalan raya yang lebar itu tak seorangpun yang berlalu lalang, hanya di bawah
emper rumah dan di rumah makan orang makin berjubel.
Tonghong-ngo-hengte saling
pandang sekejap, alis mata mereka bekernyit, timbul rasa heran dan curiga
mereka, "Mengapa begini?"
Tapi akhirnya mereka
melanjutkan perjalanannya menyusuri jalan raya, pada ujung jalan lain, langkah
Hui Giok masih tetap lambat dan tenang, matanya memandang ke bawah, ia tak mau
melirik kawanan jago itu batang sekejap pun.
Suasana di bawah emper rumah
dan dalam warung makan mendadak berubah jadi hening, ketika itu dunia
persilatan telah digemparkan oleh suatu berita besar, semua orang tahu bahwa
keluarga Tonghong dari Kanglam telah berbesanan dengan Liong-heng-pat-ciang
Tham Beng.
Puteri kesayangan
Liong-heng-pat-ciang yaitu "Liong-li" (puteri naga) Tham Bun-ki telah
dijodohkan dengan Tonghong Ceng, saudara ketiga dari Tonghong-ngo kiam.
Pada saat yang sama, suatu
berita lain yang meski lebih rahasia sifatnya, tapi tersiar pula dalam dunia
persilatan secara luas.
Berita itu entah siapa yang
menyiarkan, tapi setelah disiarkan oleh orang pertama, dengan cepatnya berita
itu tersiar dan mulut ke mulut, meski hanya berupa bisikan-bisikan belaka, tapi
kecepatan penyiaran berita itu ternyata lebih cepat daripada pengumuman resmi.
Kini, hampir setiap orang
persilatan mengetahui hal ini!
Berita apakah itu? Yakni bahwa
Liong-li Tham Bun-ki itu puteri kesayangan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng,
sebenarnya adalah kekasih Hui-tay-sianseng sejak kecil.
Bahkan ada pula yang secara
diam-diam berkata begini, sebenarnya Hui-taysianseng dan Liong-li Tham Bun-ki
diam-diam telah mengikat janji dalam perkawinan, tapi lantaran
Liong-heng-pat-ciang sendiri yang mengacau, karena dia ingin menggaet keluarga
Tonghong agar berpihak kepadanya agar dapat dipakai untuk menghadapi
Perserikatan orang orang Kanglam, maka ia lantas menjodohkan puteri
kesayangannya kepada Tong-hong Ceng.
Walaupun sebagian besar orang
tak tahu darimana datangnya sumber berita itu, namun ada kelompok manusia yang
diam-diam menebak bahwa berita tersebut mungkin berasal dari pihak Sin-jiu Cian
Hui.
Tapi peduli darimanakah sumber
berita itu, yang pasti semua orang hampir mempercayai kebenaran berita
tersebut.
Sekarang, Tonghong-ngo-kiam
dan Hui-taysian seng akan berjumpa di tengah jalan, sudah tentu peristiwa
tersebut merupakan suatu peristiwa yang lebih dahsyat dan menggemparkan
daripada kejadian apapun.
Kawanan jago persilatan yang
mengikut di belakang Hui Giok semuanya telah turun dan kuda masing-masing,
beratus pasang sepatu berjalan di atas lapisan salju dan menimbulkan suara yang
sama.
Serentetan suara langkah kaki
lain berkumandang pula dari arah utara menuju ke selatan.
Walaupun senyuman masih
menghiasi wajah Tonghong-ngo-kiam, rasa heran dan curiga menyelimuti perasaan
mereka, Di tengah keheningan mereka pun mendengar langkah kaki lain yang makin
lama makin mendekat. Ketika mereka berpaling, tertampaklah kelompok manusia di
tepi jalan sama menunjukkan sikap yang semakin tegang.
Hampir bersamaan waktunya
kelima Tonghong bersaudara itu meraba gagang pedang masing2, sinar mata mereka
yang tajam menatap tak berkedip ke arah depan sana.
Saat itulah di bawah emper
rumah ada puluhan orang laki2 berbaju hitam sedang menyebarkan diri secara
diam2, mereka mencari tempat2 yang sepi dan terlindung dari pandangan orang.
Tentu saja tak seorangpun yang
menaruh perhatian kepada mereka dan juga tak ada yang tahu anak buah siapakah
mereka?
Langkah Hui Giok belum
berhenti.
Langkah Tonghong-ngo-kiam juga
tidak berhenti.
"Apa yang akan terjadi
setelah mereka kepergok? Bagaimana sikap mereka? pertanyaan dan pertanyaan
timbul dalam hati setiap orang, tapi tak seorang pun yang menemukan jawabannya
Akhirnya Hui Giok menengadah
sinar matanya menyapu pandang sekejap, dilihatnya lima pemuda berpakaian
perlente pelahan sedang menghampiri ke arahnya.
Derap langkah mereka teratur,
pakaian dan dandanan mereka mirip satu dengan yang lain. Berdebar jantung Hui
Giok setelah mengenali orang2 itu sebagai lima saudara Tonghong, namun air
mukanya tetap tenang, seolah-olah tak pernah terjadi apapun.
Tonghong-ngo-kiam juga saling
pandang sekejap, lalu Tonghong Kang berbisik, "Dia inikah Hui Giok!"
Keempat saudaranya hanya
mengangguk, sebenarnya antara mereka berlima dengan Hui Giok tidak ada
permusuhan apapun, tapi dalam keadaan dan situasi semacam ini, tiba2 saja
mereka merasa antara mereka dengan Hui Giok ada sesuatu yang mengganjal, meski
air muka mereka tak berubah, namun hati mereka merasa serba susah juga,
Leng-kok siang-bok saling pandang sekejap lalu berdehem, Dalam pada itu
Tonghong-ngo hengte sudah mendekat dengan langkah lebar.
"Selamat berjumpa selamat
berjumpa!" sapa Hui Giok dengan tersenyum.
"Selamat berjumpa,
selamat berjumpa!" Tong hong~ngo-hengte membalas hormat.
Di antara kelima bersaudara
itu, kendatipun Tonghong Ceng merasa paling kikuk, namun senyuman tetap
menghiasi bibirnya, hal ini membuat semua orang yang menonton di bawah emper
rumah saling pandang dengan rasa kecewa.
Agaknya setelah saling tegur
sapa dengan sopan, kedua rombongan itu lantas berpapasan dan lewat dengan
begitu saja, tanpa ketegangan, tanpa rangsangan dan tanpa kejutan, se-olah2
kenalan biasa yang bertemu di tengah jalan saja.
Kembali Leng-kok-siang-bok
saling pandang sekejap. Tiba-tiba dari ujung jalan depan sana berkumandang
suara teriakan yang nyaring, "Wahai Hui-taysianseng, masa hatimu sedih
kekasihmu dirampas orang lain? Masa kau tidak marah? Tidak penasaran"
Hui Giok, Leng-kok-siang-bok
maupun Tonghong-ngo kiam serentak berhenti dan saling pandang dengan
melenggong.
"Siapa?" hardik
Tonghong Ceng mendadak dengan kening berkerut.
Baru saja ia membentak, dari
ujung jalan sana terdengar pula orang berteriak: "Wahai Tonghong Ceng,
meskipun Tham Bun ki akan kawin dengan kau, pada hakikatnya dia masih mencintai
Hui Taysianseng, bahagiakah kawin tanpa dilandasi oleh cinta?"
Suasana di sekeliling tempat
itu menjadi gaduh, air muka Tonghong-hengte berubah hebat, lebih-lebih Tonghong
Ceng, mukanya tampak pucat seperti mayat.
Dalam pada itu, rombongan
orang yang jauh ngintil di belakang Hui Giok tadi telah berkerumun ke muka,
lalu mengurung mereka di tengah arena. tentu saja sukar untuk mencari biangkeladi
si berteriak dari sekian banyak orang ibaratnya mencari jarum di dasar lautan.
Tongbong Ceng menyengir
"Hui-heng, baik-baikkkah kau selama ini?" tegurnya kemudian dengan
nyaring "Konon ilmu silat Hui-heng telah mendapat kemajuan yang amat pesat
untuk itu Siaute ikut bergembira."
Perkataan ini sengaja
diucapkan dengan suara lantang, pertama untuk menunjukkan dia tidak mempunyai
tujuan pribadi, kedua iapun ingin mengalihkan pembicaran ke soal lain, di
sinilah terlihat kebijaksanaannya sebagai seorang ksatria muda.
Siapa tahu baru saja selesai
katanya, kembali ada orang menyeletuk "Apa yang kau girangkan? Memang kau
anggap Hui-taysianseng tidak setangguh kalian berlima? sungguh harus disesalkan
perbuatan Tham Beng itu, demi persekongkolannya dengan keluargamu ia telah
menjadikan puterinya sebagai hadiah, ia telah mengorbankan kebahagiaan hidup
puterinya. Tonghong Ceng, wahai Tonghong Ceng, katakanlah terus terang,
bukankah memang demikian kejadiannya?"
Wajah Tooghng Ceng yang pucat
kini menghijau, tangannya yang memegang gagang pedang tampak tegang hingga otot
hijau pada menongol keluar, padahal kawanan manusia yang berada di
sekelilingnya selapis demi selapis mengurung mereka di tengah, dalam keadaan
demikian mau pergi pun tak bisa, tidak pergi rasanya tak enak, mau marah
enggan, tidak marah hati terasa panas ia benar-benar serba salah dan tak tahu
apa yang harus dilakukannya.
Sinar mata Leng-kok-siang-bok
berkilat, sebagai manusia yang berpengalaman mereka segera sadar bahwa teriakan
orang tadi pasti merupakan serangkaian rencana keji yang sengaja diatur oleh
Sin-jiu Cian Hui, yaitu agar Hui Giok dan Tonghong-ngo-kiam saling bentrok,
bahkan terlibat dalam suatu pertarungan sengit sedang dia sendiri yang akan
menarik keuntungannya.
Walaupun Tonghong-ngo-kiam
sendiri juga bukan orang bodoh, tapi sayang mereka pun tak tahu cara bagaimana
mengatasi situasi yang serba salah ini.
Untunglah diantara lima
bersaudara itu, Tonghong Tiat terhitung paling tenang dan pandai menguasai
keadaan, meski situasi tidak menyenangkan, pikirannya tak sampai kalut.
"Sobat!" bentaknya
setelah merenung sebentar, "Kalau ingin bicara, tampil ke depan dan
bicaralah yang jelas, caramu itu..."
"Kalian lima bersaudara
mempunyai nama yang baik, mempunyai juga guru yang baik" suara teriakan
tadi kembali berkumandang, "sekalipun aku merasa mendongkol dan kheki, tak
berani kuganggu diri kalian."
"Betul" segera
seorang menyambung pula, sampai-sampai Liong-heng-pat-ciang perlu menjilat
pantat kalian, apalagi kami sungguh kasihan, Hui taysianseng yang berpribadi
halus, berilmu silat tinggi dan berpendidikan baik, oleh karena tak mempunyai
tulang punggung yang mendukungnya. dia harus berpisah dengan kekasihnya secara
paksa."
Suara tertawa dingin segera
menggema pula dan sudut lain, "Hehehe, selama ini tindakan Hui-leng-po
selalu mencerminkan perbuatan seorang pendekar tak nyana kali ini sudi
melakukan perbuatan seperti ini."
Mencorong sinar mata
Tonghong-ngo kiam, lenyap pula senyuman yang menghiasi bibir Hui Giok.
Tiba2 Tonghong Kang dan
Tonghong Ouw, kedua saudara kembar yang paling muda tapi juga paling berangasan
melompat ke depan dan menghampiri Hui Giok sambil tertawa dingin Tonghong Ouw
membentak, "Manusia rendah yang tak tahu malu, engkau inikah yang mengatur
segala sesuatunya ini?"
"Ngo-te!" Tonghong
Tiat cepat menbentak. Tapi terlambat, sebab air muka Hui Giok lelah berubah
hebat.
"Saudara apa yang kau
katakan? Aku tidak mengerti demikian serunya dengan nada berat."
Tonghong Ouw tertawa dingin,
mendadak ia lolos pedangnya.
"Hari ini aku Tonghong
Ouw tidak akan mengandalkan nama perguruan tidak menonjolkan nama orang tua
atau saudara, dengan seorang diri ingin kujajal kepandaian Hui-taysianseng,
ingin kulihat sampai di manakah tarap kepandaianmu!"
Tonghong Tiat berkerut kening,
bisiknya sambil menghela napas "Ngo-te, kau kau...."
Perkataan itu belum berlanjut
ketika dari empat penjuru menggema suara teriakan yang gegap gempita
"Hajar saja" Ganyang saja! Hajar bajingan cilik itu sampai mampus,
kita lihat apa yang bakal dilakukan gurunya, ayahnya serta saudara
saudaranya?"
Tonghong Tiat berpaling, ia
lihat Hui Giok berdiri kaku di tempat semula, tidak menjawab juga tidak memberi
penjelasan, hal ini segera menimbulkan kecurigaan serta rasa mendongkolnya.
Saudara Hui," tegurnya
kemudian sambil tertawa dingin, "sebenarnya apa yang terjadi? Harap
memberi penjelasan kepada kami" Tiba-tiba Hui Giok tersenyum "Engkau
minta penjelasanku, lantas aku minta penjelasan kepada siapa?"
Tonghong Ouw menggetarkan
tangannya, cahaya pedang berkilau, sekali berkelebat hampir saja muka Hui Giok
terluka.
Berubah air muka Hui Giok,
"Aku tak ingin bertengkar dengan kalian, pertama aku tak ada permusuhan
dengan kalian, kedua akupun tak ingin diadu domba oleh orang-orang yang tak
dikenal. Sebab itu kuminta kaupun jangan bersikap kelewat batas, paling sedikit
sebelum duduk perkara dibikin jelas."
Tonghong Tiat segera menarik
mundur adiknya, seraya berkata, "Adapun kedatangan kami tak lain hanya
ingin membikin terang duduknya perkara, kami sama sekali tidak bermaksud
berbesanan dengan keluarga Tham, tapi saudara..."
Mendadak Hui Giok tertawa
dingin dan menukas: "Apakah kalian mau berbesanan dengan keluarga Tham
atau tidak, apa sangkut pautnya dengan diriku?"
"Benarkah tak ada
sangkut-pautnya?" Tonghong Ouw mengejek.
Kontan hati Hui Giok menjadi
panas, betapa perkataan pemuda berangasan ini telah menyinggung perasaannya.
Leng Han-tiok yang berada di
samping buru-buru menegur dengan mata mengkilap "Apakah kau suka orang
jahat bergembira karena siasatnya berhasil?"
Hui Giok terkesiap, dada yang
membusung seketika melengkung lagi.
Dan kerumunan orang banyak
segera terdengar suara teriakan keras "Wahai Hui-taysianseng selemah
itukah dirimu? Senangkah kau dipendam kan orang tanpa membalas? Atau kau memang
jeri terhadap mereka?"
Tonghong Ouw mendengus
"Hm, begitu banyak kawanan tikus yang memberi semangat kepadamu, apa lagi
yang kau takuti"
Hui Giok menghela napas, ia
berpaling sekejap ke arah Leng-kok-siang-bok, melangkah ke sana, tampaknya akan
menuju ka tengah kerumunan orang.
Toa-kongcu, Ji-kongcu!"
tiba-tiba terdengar gertakan, "orang inilah yang berkaok-kaok cepat.
Tapi sebelum lanjut seruan,
mendadak terdengar jeritan ngeri.
"Koan ji!" seru
Tonghong Tiat dengan air muka berubah.
Tonghong Ouw memutar pedangnya
sambil melayang lewat di atas kepala orang banyak.
Dia adalah pemuda asal
keluarga persilatan lagi pula mendapat didikan guru yang pandai, kungfunya
memang jarang ada di dunia ini.
Hui Giok membatalkan maksudnya
melangkah ke sana, Tonghong Ceng bermaksud menyusul saudaranya, tapi Tonghong
Tiat segera mencegahnya, "Sudah ada Ngo-te seorang, rasanya sudah
cukup."
"Jika orang itu berhasil
ditangkap, ingin ku lihat dia itu manusia macam apa?" seru Tonghong Kang
dengan marah.
Suasana kembali jadi gaduh,
suara langkah terang bergemuruh dan empat penjuru.
Tiba-tiba di antara kerumunan
orang terbuka satu jalan, dengan wajah dingin Tonghong Ouw muncul dengan
langkah tegap, pedangnya tergantung di pinggang, tapi tangannya memondong
sesosok mayat.
"Koan-ji? Benar Koan ji
itu?" Tonghong Kiam berseru kaget.
Tanpa mengucapkan sepatah
katapun Tong-hong Ouw membaringkan jenazah itu di tanah, pada dada mayat itu
tertancap sebilah belati.
"Ai, dia benar-benar
Koan-ji," keluh Tonghong Tiat sambil menghela napas, "dia tentu
menemukan si peneriak itu, tak tersangka dia akan mati terbunuh sekeji
itu."
"Di mana
pembunuhnya?" teriak Tonghong Kang sambil memburu maju.
"Dalam keadaan seperti
ini, sekalipun ada seribu orang pembunuh juga dapat bersembunyi di antara
kerumunan orang banyak," sahut Tong hong Ceng ketus.
Selama ini Tonghong Ouw terus
menerus mengawasi belati itu, tiba2 ia membentak, tangan diayun ke depan,
serentak cahaya perak dengan desing angin tajam langsung mengancam dada Hui
Giok.
Bekernyit alis Hui Giok, tapi
ia tak bergerak dengan jari tangan dan jari telunjuknya tahu2 belati itu sudah
terjepit di tangannya.
"Hei, apa-apaan kau
ini?" bentaknya Dengan mata melotot gusar Tonghong Ouw berteriak,
"Lihat sendiri tulisan di atas pisau itu coba periksa! Bukankah anggota
perserikatan Kanglam kalian yang melakukan perbuatan ini?"
Tonghong Kang juga membentak,
tanpa mengucapkan sepatah katapun ia melolos pedangnya, dengan menciptakan
selapis cahaya tajam, ia tabas bahu Hui Giok,
Dengan enteng Hui Giok
berkelit ke samping, belati yang terjepit di tangan kanannya menyampuk
perlahan, "trang" tabasan lawan berhasil di tangkis "Bagus"
seru Tonghong Kang, "sambutlah seranganku ini"
"Sret!" dia membacok
lagi dengan kuat "Jangan gegabah kau ingin ditertawakan orang?" seru
Tonghong Tiat sambil memegang pergelangan tangan adiknya.
Pedang yang sudah disarungkan
kembali dilolos oleh Tonghong Ouw, ia menjengek, "Hehe, apa nya yang akan
ditertawakan?"
Cahaya pedang berkilau,
"sret! Sret! ia membacok ke kiri dan menabas ke kanan secara beruntun
mengarah bahu kiri serta kanan leher Hui Giok.
Dasar wataknya memang
berangasan, tidak heran kalau serangannya juga ganas dan mengerikan.
Jeritan kaget menggema,
barisan orang yang beraa paling depan serentak menyurut mundur tapi rombongan
yang di belakang dengan cepat mendesak maju.
Hui Giok melompat dan berkelit
ke samping. tapi baru saja kedua serangan terhindar, tahu-tahu Tonghong Ouw
sudah putar pedang dan menusuk hulu hatinya.
Dengan tenang Hui Giok bergeser
ke belakang.
"Ayo balas! Masakan tidak
berani membalas?" teriak Tonghong 0uw.
Sambil berseru kembali ia
lancarkan tiga kali serangan berantai, menusuk jalan darah Huan-su
Tiong-ha&t serta Oang-tay, tiga jalan darah penting Hui Giok tertawa
dingin, ia mengegos kesamping lalu menerjang ke muka, sementara itu Tonghong
Tiat berseru dengan gegetun. "Masa bodoh, terserah kemauan kalian. Dia
melepaskan tangan Tonghong Ouw, lalu menyingkir jauh ke belakang.
Leng-kok siang-bok juga
bertindak cepat, sambil mengebaskan ujung bajunya mereka mengadang di depan Hui
Giok.
"Minggir!" bentak
Tonghong Kang serta Tonghong Kiam sambil menyilangkan pedangnya Di tengah
ketegangan itu tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin dari kerumunan orang
banyak.
"Hehehe, budak dungu
!" Meskipun suara itu tidak keras, namun dapat didengar jelas oleh telinga
Tonghong-ngo-hengte.
Sebagai keturunan keluarga
persilatan tentu saja kelima orang itu tahu bahwa perkataan tadi diucapkan oleh
seorang tokoh persilatan yang mempunyai tenaga dalam yang sempurna mereka jadi
ragu.
Tonghong Kang dan Tonghong Ouw
menarik kembali senjatanya dan mundur dua langkah, tiba dari arah kerumunan
orang banyak melayang datang segulung bayangan hitam, gerak bayangan itu sangat
cepat.
Suara kaget kembali menggema
di sekeliling tempat itu, tanpa terasa Tonghong-hengte mundur lagi tiga
langkah.
"Buk" bayangan itu
jatuh ke tanah, ternyata seorang laki-laki berbaju hitam yang tertutuk jalan
darahnya.
Rupanya laki-laki berbaju
hitam itu dilemparkan orang dari kejauhan, namun tidak membikin terluka waktu
terbanting di tanah, ketepatan tenaga lemparan yang demonstrasikan orang itu
sungguh luar biasa.
"Tonghong-heogte lebih
terperanjat lagi, Hui Giok dan Leng-kok-siang-hok juga melenggong, maklumlah
tidak banyak orang yang memiliki tenaga dalam sesempurna itu di dunia ini.
"Siapa?" bentak
Tonghong Kiam.
Karena tiada jawaban, dengan
dahi berkerut Tonghang Tiat berseru sambil menjura, "Locianpwe dari mana
yang berkunjung kemari? Silakan..."
Belum habis seruannya, ucapan
yang halus nyaring dan kuat itu kembali berkumandang, kah ini diucapkan sekata
demi sekata, "Peduli siapapun, tanpa menyelidiki keadaan yang sesungguhnya
adalah tindakan dungu, akan ku bekuk mereka yang berkaok-kaok itu agar kalian
tahu sebenarnya mereka itu anak buah siapa?"
Perkataan ini jauh lebih
nyaring dibandingkan dengan pertama kali tadi, suasana kembali menjadi riuh,
mereka yang ikut berteriak di tempat persembunyian mulai berdebar setelah
mendengar perkataan itu, tanpa sadar mereka mengambil langkah seribu dan lari
terbirit-birit. Tapi, baru saja mereka kabur, dari bawah emper rumah sana
melayang keluar dua sosok bayangan, demikian cepatnya gerakan mereka sehingga
beratus pasang mata yang hadir di situ tak seorangpun yang dapat melihat wajah
mereka.
Di mana bayangan tersebut
menyambar lewat, seorang segera menjerit kaget, menyusul sesosok bayangan
lantas terlempar ke udara dan terjatuh di tengah lapang di antara kerumunan
orang banyak. Belum habis rasa kaget Hui Giok, Leng-kok-siang-bok serta
Tonghong-ngo-kiam yang berada di antara kerumunan orang itu puluhan bayangan
hitam sudah beterbangan dari berbagai penjuru.
"Blangl Bluk" meski
bayangan-bayangan hitam itu datang dari arah yang berbeda, namun mencapai tanah
pada saat yang hampir sama.
Tonghong Kang dan Tonghong Ouw
melompat ke sana tapi hanya terlihat dua sosok bayangan abu-abu berkelebat di
udara dan lenyap di kejauhan.
Ilmu meringankan tubuh yang
demikian hebatnya ini benar-benar tak pernah dilihat oleh kawanan jago yang
berada di situ, malahan Tonghong hengte yang berasal dari keluarga persilatan
mempunyai guru dan ayah yang merupakan tokoh silat kelas satu, juga terperanjat
setelah menyaksikan kelihayan Ginkang kedua orang itu.
Mencorong sinar mata Hui Giok,
dari gerakan tubuh kedua orang itu, satu ingatan melintas dalam benaknya,
tiba-tiba ia teringat akan dua orang, tanpa terasa senyuman menghiasi bibirnya.
Tonghong Tiat segera
mencengkeram baju seorang laki-laki berbaju hitam, jalan darah orang itu
Ditepuknya.
Laki-laki itu sangat ketakutan
mukanya pucat dan matanya celingukan ke sana kemari seperti maling tertangkap
basah, dengan gemetar ia memohon, "Ampun! ampunilah hamba... hamba
tidak... tidak berkata apa-apa!"
Tonghong Ouw tertawa dingin,
batang pedangnya menabok tulang bahunya dan menyebabkan laki-laki itu
kesakitan, ia menjerit seperti babi mau disembelih, peluh dingin membasahi
badannya.
Dengan gusar Tonghong Kang
membentak, "Ayo mengaku, kau anak buah siapa? Diperintah oleh siapa untuk
berbuat begini? sebelum hitungan ketiga kau harus mengaku terus terang, kalau
tidak Hm, kedua tulang pundakmu akan kutembusi pedang, lalu matamu akan
kubuatkan."
Ujung pedang yang bergetar
menempel di bawah alis laki-laki itu, dalam keadaan begini, asal dia
menggerakkan tangannya, niscaya mata laki-laki akan terkorek keluar.
Hm G ok menghela napas, ia
seperti teringat akan sesuatu dan ingin bicara tapi akhirna tidak. sementara
itu Tonghong Kang sudah mulai menghitung: "Satu! . ."
Laki-laki berbaju hitam itu
ketakutan hingga badan gemetar, sedikitpun tak berani bergerak.
"Hamba tidak . . tidak.
."
Tonghong Ouw tak memandangnya,
ia menghitung lebih lanjut: "Dua!. . ."
Air muka laki-laki itu makin
pucat tiba-tiba ia berteriak "Aku mengaku... mengaku . ., . "
Tonghong Kang tertawa dingin,
ia tarik kembali pedangnya,
Dengan lemas laki-laki berbaju
hitam itu terduduk di tanah, ia menyeka peluh yang membasahi jidatnya dengan
tangan yang gemetar.
"Hamba . . hamba adalah
anak buah Na-ceng cu dari Jit-giau San ceng." katanya kemudian dengan
pelahan.
Begitu pengakuan diberikan
baik Hui Giok dan Leng-kok-siang-bok maupun Tonghong ngo kiam sama-sama
melengak.
"O, mereka ini anak buah
Jit giau-tui-hun?"
Kegaduhan berkumandang dan
empat penjuru, suasana jadi gempar, semula mereka mengira perbuatan ini pasti
merupakan suatu rangkaian siasat mmeecah-belah dari Sin jiu Cian Hui, tak
tersangka siasat ini adalah tipu berantai dari Jit-giau-tui-hun Na Hui hong
yang ingin "sekali timpuk empat ekor burung".
Seandainya Hui Giok sampai
bentrok dengan Tonghong-ngo-kiam, akibatnya kedua pihak tentu akan sama-sama
cedera.
Bila begini, Liong-heng pat
ciang akan paling menderita dia pasti mengira tindakan mi merupakan siasat dari
Sin-jiu Cian Hui, orang persilatanpun tentu akan mengutik kekejian si Tangan
Sakti ini.
Dengan alis berkerut Leng
Han-tiok juga mendesis, "Hm, sekali timpuk empat ekor burung, hehehe,
siasat berantai yang busuk rencana jahat yang keji!"
Sementara itu Tonghong hengte
termangu sejenak, lalu mengerling sekejap ke arah Hui Giok, kemudian mereka
sama melengos dan tak berani memandang pemuda itu lagi.
Hui Giok tersenyum, tiba-tiba
ia menepuk tiga kali di tubuh orang-orang berbaju hitam yang menggeletak di
tanah itu.
"Hei apa yang kau
lakukan?" tegur Tonghong Ouw
Tersenyum Hui Giok
"Orang-orang ini tak lebih hanya kaki-tangan yang diperintah kedudukan
mereka tidak bebas kita tak dapat menyalahkan mereka Bagaimanapun juga kita
sudah tahu siapa dalang di belakang mereka, asal kita sama2 tidak rugi, apa
salahnya mereka dilepaskan saja?"
Merah wajah Tonghong Kang, ia
tidak bicara lagi.
"Nah, pergilah" kata
Hui Giok kemudian sambil ulapkan tangannya.
Bagaikan mendapat pengampunan
besar, semua laki-laki berbaju hitam itu melompat bangun lalu memberi hormat
kepada Hui Giok, kemudian lari terbirit-birit ke tengah kerumunan orang banyak.
Kalau orang lain di sekitar
tempat itu sama kalut maka Toughong-ngo-kiam serta Hui Giok hanya berdiri diam
saja tanpa bicara.
Dalam suasana seperti inilah
di tengah kerumunan orang banyak itu ada seorang anak perempuan dengan matanya
yang besar sedang memperhatikan gerak-gerik Hui Giok, kebetulan Hui Giok juga
berpaling ke sana, melihat mata jeli itu. tergerak hati Hui Giok, ia menjura
kepada Tonghong-ngo kiam sambil berkata, "Selamat bertemu! Selamat tinggal!"
Tonghong-ngo-kiam melengak
tapi cepat merekapun menjura, "Selamat, sampai berjumpa pula."
Seperti tiba-tiba menemukan
sesuatu, Hui Giok lantas menyelinap ke tengah kerumunan orang banyak sana.
Tonghong-ngo-kiam saling
pandang sekejap dan pancaran sinar mata mereka terlihat rasa heran, curiga dan
kecewa, sesudah memberi hormat kepada Leng-kok-siang-bok. kelima bersaudara itu
pun menuju ke kerumunan orang sana.
"Siapa yang ditemukan
Giok-ji?" bisik Leng Han-tiok dengan dahi berkerut.
Leng Ko-bok menggeleng kepala,
tanpa bicara mereka ikut di belakang Hui Giok, menyelinap ke tengah kerumunan
manusia.
Tanpa harus dorong mendorong
otomatis semua orang memberikan jalan lewat bagi Hui Giok tapi waktu itu si
anak perempuan yang bermata besar itu telah pergi, hanya terlihat kuncirnya
yang panjang hitam menggapai di tengah kerumunan orang.
Hui Giok makin tercengang,
langkahnya dipercepat untuk menyusul ke sana.
Apakah Hui Giok berada di
sini? Hui Giok, berada di mana?" mendadak dan belakang berkumandang suara
teriakan.
Dengan ragu Hui Giok hentikan
langkahnya.
Terdengar suara dentingan
benda logam semakin mendekat, tiba-tiba dari kerumunan manusia muncul seorang
laki-laki bertongkat baja dengan wajah penuh rasa gusar.
Orang ini tak asing lagi bagi
semua orang, dia bukan lain adalah pemimpin Kim keh-pang, si ayam Emas Siang
It-ti.
Tonghong-ngo-kiam baru saja
pergi dan kini Siang It-ti telah datangi bahkan muncul dengan sikap seolah-olah
ingin mencari perkara, para jago yang siap bubaran itu serentak berkerumun
kembali di sekeliling tempat itu.
Sementara itu Hui Giok sedang
menghela napas, sambil berpikir "Ai, apakah dia yang telah datang! Mengapa
dia menemui diriku?"
Segera iapun menjura dan
berkata kepada Siang It-ti, "Baik-baikkah selama ini Siang pangcu? Ada
urusan apakah?"
Kim-keh Siang It ti mendengus,
setelah melotot sekejap ia membentak, "Hm, kau masih kenal padaku?"
Hui Giok melongo dan tak tahu
bagaimana harus menjawab.
Sementara itu Siang It-ti
telah berkata pula "Masih ingatkah bagaimana caramu menduduki singgasana
Bengcu Perserikatan orang-orang Kang-lam? Tak kusangka setelah kedudukanmu
kuat, lalu kau berlagak tuan besar dan main kuasa!?"
Hui Giok mengernyitkan
dahinya, "Siang pangcu, silakan bicara sesukamu, maaf, aku tak dapat
melayani kau lebih lama" Habis mi segera ia hendak melangkah pergi.
Tapi sebelum ia sempat
bergerak, diiringi suara dentingan sesosok bayangan mengadang di depannya.
"Mau pergi," jengek
Siang It-ti.
Hui Giok mengerling sekejap,
"Aku tak boleh pergi?"
Baik sikap maupun waktu bicara
sikap Hui Giok tetap tenang, begitu berwibawa dan demikian yakin pada diri
sendiri. hal ini membuat Kim-keh Siang It-ti jadi tertegun.
Dja tak menyangka pemuda lemah
lembut yang berpisah dalatn beberapa tahun saja sekarang sudah demikian gagah
dan kerengnya.
"Mau pergi? Tentu boleh
saja." katanya kemudian setelah merenung sebentar, "cuma aku ingin
tanya dulu kepadamu. kesalahan apakah yang di perbuat anak buahku si jengger
ayam Pau Siau-thian sehingga kau menjatuhken hukuman mati kepadanya."
Hui Giok melongo setelah
mendengar tuduhan "Pau Siau-thian telah mati?" desisnya dengan
tergagap.
"Ya, dia mati terbunuh di
lereng bukit Hok lan san" sahut Siang It-ti dengan gusar, "seandainya
tidak cepat kutemukan, mungkin jenazahnya sudah habis diganyang binatang buas .
."
Hui Giok terkesiap,
"Apakah di sampingnya juga terdapat mayat Sin-lu tui-hong?" tukasnya.
"Hehehe, nyata kau sudah
tahu, bila sekarang tidak memberi penjelasan yang memuaskan, hm hari ini kau
harus ganti nyawanya," seru Kim-keh Siang It-ti sambil tertawa dingin.
Dengan kening berkerut
tongkatnya mengetuk tanah sehingga salju muncrat berhamburan menodai baju Hui
Giok yang berwarna hijau itu.
Hui Giok menghela napas,
seakan-akan tidak melihat akan perbuatan orang ia berkata dengan nada berat,
"Sungguh tak nyana Sin jiu Cian Hui membinasakan juga mereka berdua"
"Hehehe, kau hendak
melimpahkan kesalahan ini kepada Cian Hui?" Siang It-ti tertawa dingin.
"Kau kira aku jeri
terhadap Cian Hui? Hari ini akan kujagal dulu dirimu, kemudian baru kubikin
perhitungan dengan Cian Hui!"
Belum selesai perkataannya,
tongkat langsung diayun ke depan, dengan deru angin keras ia hantam batok
kepala Hui Giok.
Suasana jadi gempar lagi,
jeritan kaget menggema di sana sini, kawanan jago sama tertegun mereka tak
mengerti mengapa Kim-keh Siang It-ti yang tergabung dalam Perserikatan
orang-orang Kanglam berani menyerang Bengcunya.
Hui Giok mengegos lalu
menyelinap di belakang lawan.
"Kau sudah gila?"
hardiknya.
"Jangan urus aku gila atau
tidak, hari ini kau harus bayar dulu nyawa Pau Siau-thian" jawab Siang
It-ti seperti orang kalap.
Di antara deru angin serangan
yang dahsyat secara beruntun dia lancarkan tiga kali serangan mengincar kepala,
pinggang dan kaki.
Begitu hebat serangan tersebut,
tampaknya dia benar-benar bernapsu membinasakan Hui Giok. Seringan daun Hui
Giok melayang kian kemari, meski hebat ketiga serangan itu toh semuanya dapat
dihindarkannya dengan manis.
Tak kusangka Kim-keh Siang Tt
ti adalah seorang laki-laki berdarah panas. demikian pikir Hui Giok,
"untuk membalaskan kematian seorang anak buahnya ia berani bertarung
dengan nekat!"
Setelah ingatan tersebut
terlintas, timbul rasa simpatinya kepada orang itu maka iapun enggan membalas
serangan lawan, dengan lincah dia mengegos ke sana kemari, pemuda itu berharap
lawan akan tahu diri dan mundur teratur.
Siapa sangka Kim-keh Siang
It-ti seperti tidak paham maksud baik lawannya, bukan menghentikan serangannya
dia malah mencecar lebih gencar.
Suasana semakin gempar, malah
ada di antara kawanan jago itu mulai mencaci-maki.
"Tak tersangka si Ayam
Emas adalah orang gila? Hanya seorang anak buahnya dia berani menyerang
Bengcunya sendiri?"
Watak manusia umumnya banyak
yang lebih suka menjaga diri dan tidak mencampuri urusan orang, demikian pula
dengan kawanan jago persilatan, walau ada di antara mereka berteriak, tapi
jumlahnya kecil sekali, lebih banyak yang diam dan menjadi penonton belaka.
Apalagi semua orang juga
melihat sejak tadi Hui taysianseng hanya bersikap mengalah, seandainya sungguh2
berkelahi tak nanti Kim-keh Siang it-ti mampu bertahan dalam sepuluh gebrakan.
Di mana deru angin serangan
menyambar bunga salju berhamburan ke mana2 tapi saat itu jangankan tongkatnya,
percikan bunga salju pun tak mampu menempel baju Hui Giok dengan gerakan yang
indah dan tenang pemuda itu bergerak kian kemari di antara bavangan tongkat.
Seandainya ia tidak menjabat
Bengcu, umpama ia tidak di hadapan kawanan jago yang begitu banyak, sungguh
pemuda itu ingin pergi saja dari situ ingin menghindari tindakan nekat si Ayam
Emas yang mirip orang gila itu.
Selama pertarungan
berlangsung, Leng kok mg-bok hanya berpeluk tangan menonton jalan nya
pertempuran tapi akhirnya Leng Han liok berbisik juga, "Lebih baik kita
yang mewakili anak Giok menyelesaikan pertarungan ini!"
"Jangan!" Leng Ko
bok menggeleng, "biar ia taklukkan sendiri orang ini, agar di kemudian
hari dapat dijadikan tangan kanannya."
Sementara mereka ber-bisik2,
Kim-keh Siang It-ti telah melancarkan lagi tiga kali serangan berantai, agaknya
ia sudah menyadari kemampuan sendiri, ia tahu kungfunya tak mampu menundukkan
lawan, sekilas rasa cemas dan gelisah melintas di wajahnya, matanya celingukan
ke sana kemari seperti sedang menantikan sesuatu, jangan2 ia telah siapkan bala
bantuan, hanya tak tahu siapa yang diundangnya itu.
Kegaduhan tiba2 terjadi di
bagian luar kerumunan sana, menyusul bagaikan gulungan ombak mereka sama
menyingkir ke samping dan membuka sebuah jalan lewat.
"Aneh, kenapa Na Hui-hong
juga datang?" bisikan segera ramai tersiar di sekitar arena.
Begitu terpisah, gelombang
manusia itu segera merapat kembali, Jit-giau tui-hun Na Hui hong benar-benar
telah muncul di situ, dia mengenakan pakaian ketat, sebuah kantung kulit
tergantung di pinggangnya, isi kantung itu jelas adalah senjata rahasia
andalannya.
Melihat dandanannya itu, hati
semua orang tergerak mereka tahu kedatangan orang she Na ini jelas siap untuk
bertempur melawan seseorang.
Melihat kehadiran si jago itu,
Leng Han-tiok berkerut dahi, bisiknya: "Jika orang ini berniat turun
tangan..."
"Memangnya kubiarkan dia
berbuat sesukanya?" sambung Leng Ko-bok dengan cepat
Betul juga, Kim-keh Siang
It-ti memang sedang menunggu bala bantuan, terbukti wajahnya lantas berseri
begitu Na Hui-hong muncul di situ, setelah melancarkan tiga kali serangan
berantai, teriaknya:
"Na-toako, kau sudah
datang? Bagus, bagus sekali! Coba lihat, bajingan cilik yang buas ini, masa
pantas kita jadikan Bengcu, orang-orang Kanglam? Ayo kita basmi saja kunyuk
kecil ini dari muka bumi" Diam-diam Hui Giok menghela napas, pikirnya
"Aku mengira dia adalah seorang laki-laki sejati yang berjiwa panas, demi
anak buahnya yang mati terbunuh ia jadi kalap, Ai, tak tahunya dia hanya
menggunakan peristiwa itu sebagai alasan saja, kenapa manusia ini mempunyai
jiwa yang sempit dan tabiatnya yang rendah?"
Sedingin es air muka
Jit-giau-tui hun Na Hui-hong mendengus dan pelahan masuk ka tengah arena.
"Jit-giau tui-hun memang
benar bala bantuan yang diundangnya," bisik Leng Han-tiok.
Leng Ko-bok hanya mengawasi Na
Hui-hoag, tidak berkata juga tidak bergerak.
Pada saat itu, Kim-keh Siang
It-ti tiba-tiba merasakan pancaran tenaga pukulan kuat dari telapak tangan
lawan, ia terkesiap dan segera berseru, "Na toako..."
"Bukankah kau tidak
setuju Hui-taysianseng menjadi Bengcu Perserikatan orang-orang Kanglam?"
tanya Jit-giau tui-hun Na Hui-hong dengan dingin "Benar, ia tak
pantas," jawab si Ayam Emas sambil menahan serangan Hui Giok.
"Hehehe, bagus sekali,
bagus sekali" sahut Jit giau-tui-hun sambit tertawa dingin. Mendadak
tangannya diayun ke depan, segumpal cahaya perak segera terpancar "Awas!
Senjata rahasia" seru Leng Ko-bok cepat baru saja ia hendak menerjang
maju, tiba2 terdengar jeritan ngeri menggema di angkasa bayangan manusia lantas
terpencar.
Para jago terkejut
Leng-kok-siang-bok juga terkesiap.
Tampak Kim-keh Siang It-ti
maupun Hui Giok masih berdiri berhadapan, keduanya sama-sama tak bergerak.
Akhirnya senyuman menyeringai
yang memedihkan hati menghiasi bibir Kim-keh Siang It-ti. dengan tangan gemetar
ia menuding Na Hui hong, lalu berseru dengan tcrputus-putus, "Kau... kau
sungguh keji..."
"Trang", belum habis
perkataannya tongkat bajanya terjatuh ke tanah, menyusul tubuhnya bergontai ke
sana kemari seakan-akan hendak menabrak ke arah Jit-giau tui-hun.
Na Hui-hong tertawa dingin
bentaknya "Hm kau tidak taat pada peraturan dan berani mengkhianati Bengcu
dosamu tak terampunkan, apa lagi yang kau pikirkan di sini"
Suatu pukulan dahsyat mendadak
dilontarkan Kim-keh Siang It-ti yang sedang melangkah maju terhajar telak,
tubuhnya tergelepar di tanah diiringi jeritan kesakitan setelah bergulingan ke
samping lalu tak bergerak lagi.
Perubahan ini jauh di luar
dugaan siapapun, saking kagetnya kawanan jago itu berdiri terkesima, tak
seorangpun mengeluarkan suara.
Lebih7 Hui Giok, ia ^termangu
dengan mata terbelalak dan mulut melongo
Selesai membereskan rekannya,
Jit-giau-tm hun bertepuk tangan, lalu menyepak satu kali mayat Siang It ti,
setelah itu, sambil tersenyum dia menyapa, "Bengcu, apakah engkau
kaget?"
"Kau...kau..."
"Mengkhianati persekutuan
sama dosanya seperti menghianati perguruanku" ujar Jit-giau-Tui hun Na
Hui-hong dengan suara berat, "manusia berdosa macam begini wajib dibunuh
oleh siapa pun di dunia persilatan ini, Bengcu, walaupun engkau berhati mulia
dan bajik, tapi tidak sepantasnya kau ampuni manusia bejat yang dosanya tak
terkirakan besarnya ini."
Hui Giok tertegun, ia tak
mampu menjawab. sambil menghela napas, bisiknya, "Tapi tidak per kau
bertindak seganas itu" Jit-giau-tui-hun tidak berbicara lagi, ia berpaling
sambil menggapai dan kerumunan orang lantas muncul dua lelaki kekar yang segera
menggotong pergi jenazah Kim-keh Siang It-ti.
Seorang jago persilatan yang
selama hidupnya berwatak angkuh, suka mencari nama akhirnya harus tewas dalam
keadaan yang mengenaskan diam2 semua orang ikut gegetun, tapi tentu saja tiada
seorangpun yang berani buka suara, karena siapa saja yang berani mengucapkan
sepatah kata yang membantu si Ayam Einas berarti pula memusuhi Perserrkatan orang-orang
Kanglam yang berpengaruh itu.
Pihak Hui liong-piaukiok serta
konco-konconya sudah tentu merasa gembira dengan terjadinya peristiwa ini,
sebab bila antara sesama anggota Perserikatan orang-orang Kanglam sampai
terjadi saling membunuh, yang bakal menarik keuntungan adalah pihak Hui
liong-piaukiok.
Leng-kok siang-bok kembali
saling pandang muka, masih sangsi dan curiga, mereka tahu Jit giau tui hun
masih mempunyai rencana lainnya, hanya saja kedua orang itu merasa kurang
leluasa untuk ikut campur urusan rumah tangga" Perserikatan orang orang
Kanglam.
Diiringi senyuman
Jit-giau-tui-hun mengawasi anak buahnya menggotong pergi jenazah Siang It ti
sementara itu kerumunan manusia mulai bubar, tiba-tiba sebilah pedang tanpa
menimbulkan suara menusuk ke bahu orang she Na itu.
Dengan terkejut Na Hui-hong
berputar badan sambil membentak, "Siapa?"
Apa yang dilihatnya adalah
Tonghong Kang dan Tonghong Ouw dengan pedang terhunus dan tersenyum dingin
berdiri berjajar di belakangnya.
Melihat itu, Hui Giok menghela
napas, ia tahu urusan belum selesai, terpaksa ia batalkan niatnya untuk pergi.
"Hehehe, kukira siapa?
Rupanya Tonghong saauhiap berdua?" seru Jit-giau tui-hun sambil terisi
dingin, "sejak kapan kalian belajar melukai orang dengan cara menyergap
dari belakang? Kepandaianmu ini sungguh sangat mengagumkan." nadanya
keras, ucapannya tajam. memang tak malu dia disebut seorang kawakan Kangouw.
Sedingin salju air muka
Tonghong-hengte mereka tidak terpengaruh oleh sindiran itu.
"Hm, masih terhitung
sungkan caraku menghadapi manusia yang suka main licik, kalau tidak apa kaukira
ada kesempatan bagimu untuk bercakap-cakap dengan kami berdua?" kata
Tonghong Kang ketus.
"Hahaha, kalau begitu,
aku harus berterima kasih atas kemurahan hati kalian!" Jit-giau-tui hun Na
Hui liong tertawa lantang.
"Kurangi sikap tengikmu
itu di hadapan kami tak perlu bersilat lidah," kata Tonghong 0uw.
"coba terangkan apa maksudmu memerintahkan anak buahmu menyebarkan
kata-kata busuk? jika tidak kau terangkan, hm, boleh kau rasakan ujung
pedangku, aku tak akan bersikap sungkan-sungkan lagi seperti tadi."
Jit-giau-tui-hun Na Hiu-hong
seolah-olah bingung dan menunjukkan wajah tidak mengerti.
"Hei, persoalan apa yang
kau maksudkan" serunya, "aku tidak mengerti akan perkataanmu
itu."
Tonghong Kang tertawa dingin
"Hehehe, di depan anak buahmu kau telah mengaku terus terang sekarang kau
mau mungkir lagi? Ayo jawab, bukan kah mereka yang mencaci maki kami dari
tempat persembunyiannya adalah anak-buahmu?"
Jit giau-tuj-hun Na Hui-hong
menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, tiba-tiba ia mengangguk.
"Benar, mereka adalah anak buahku dan akulah yang memerintahkan mereka
berbuat demikian!"
Pengakuan yang terus terang
ini malah membuat semua orang melengak, siapapun tidak menyangka dia akan
bersikap demikian.
Tonghong-hengte saling pandang
sekejap kemudian Tonghong Kang menggetarkan pedangku dan berseru dengan marah.
"Bagus, kalau memang engkau yang menjadi dalangnya, ada dua cara boleh kau
pilih, Pertama, berlutut di depan kami dan minta maaf, kedua, cabut senjatamu
dan berduel dengan kami!"
Air muka Jit-giati-tui-hun
sama sekali tidak berubah, dia malah bertanya. "Ke mana perginya
orang-orang itu? Sudah mati semua di ujung pedang kalian?"
"Mereka kan cuma
menjalankan perintahmu, tentu saja kami tak bisa menyalahkan mereka" kata
Tonghong Kang.
"Tapi aku juga hanya
menjalankan perintah orang, apakah kau akan menyalahkan diriku?"
Mencorong sinar mata Tonghong
Kang, hardiknya "Perintah siapa? siapa yang memberi perintah padamu?
Apakah Sin-jiu Cian Hui, atau..."
Tiba-tiba ia membungkam
seperti tak sengaja mengerling sekejap ke arah Hui Giok. Jit-giau tui hun Na
Hui-hong menengadah dan terbahak-babak "Yang memberi perintah kepadaku
bukan orang lain, ialah ayahmu sendiri, Tonghong-pocu!"
Mula-mula Tonghong hengte
tertegun menyusul sambil menggetarkan pedang mereka membentak gusar
"Keparat, kau berani mempermainkan kami! Cabut pedangmu dan bersiaplah
menerima kematianmu."
Jit giau tui-hun kembali
menengadah sambil tertawa tergelak "Hahaha! kalau kalian percaya pada
perkataan orang lain, kenapa tidak percaya pada perkataanku Aneh benar!"
Setelah berhenti tertawa, lalu
katanya lagi "Nah masa kalian boleh percaya setiap perkataan tanpa bukti?
Memangnya aku Na Hui-hong adalah manusia macam begitu?"
Dengan tertegun kedua saudara
Tonghong kemudian saling pandang sekejap, pelahan pedang mereka diturunkan.
Leng Han-tiok tertawa dingin,
"Tajam benar mulut orang ini!"
"Ya, manusia begini
memang tak bisa melakukan pekerjaan baik, justeru pekerjaan busuk tak habisnya
dilakukan, memang paling sulit melayani orang seperti ini," sambung Leng
Ko bok.
Meskipun perkataan itu
diucapkan dengan suara nyaring, tapi Jit-giau-tui-hun pura-pura tidak
mendengar, sementara itu kedua saudara Tonghong sudah menyimpan kembali
pedangnya dengan tersipu-sipu setelah melirik sekejap ke sekeliling tempat itu,
tanpa mengucapkan sepatah katapun mereka berlalu dan situ.
Na Hui-hong terbahak-bahak,
kesempatan itu di gunakan mengejek lagi "Tonghong-siauhiap, lain kali bila
hendak menuduh orang, jangan lupa memberi kabar dulu kepadaku."
Tonghong Ouw putar badan
dengan marah tapi cepat ditarik pergi Tonghong Kang, Bagaimanapun mereka berdua
memang anak murid golongan putih, cuma sayang pengalamannya masih cetek.
Seperginya kedua orang itu, Na
Hui-hong juga berhenti tertawa, katanya seraya berpaling "Bengcu akan
berdiam di sini ataukah akan melanjutkan perjalanan?"
"Aku bermaksud mencari
rumah penginapan" jawab Hui Giok setelah berpikir sebentar.
Na Hui-hong tersenyum,
katanya., "Jangan harap Bengcu akan mendapatkan rumah penginapan, bukan
saja semua hotel di kota Han ko sudah penuh, penginapan di kota Han yang pun
tak ada kamar kosong"
"Lantas. . " dengan
dahi berkerut Hui Giok melirik sekejap ke arah kedua Leng bersaudara.
Na Hui-hong tersenyum "Di
luar kota sana ada sebuah rumah kosong apakah Bengcu bersedia menginap di sana?
Bagaimanapun jua dalam beberapa hari semua urusan tentu akan beres."
"Bagus, Cuma. . ."
Sebelum selesai ucapan Hui
Giok, mendadak nampak empat ekor kuda berlari datang, semua orang yang
berkerumun di jalan raya segera menyingkir ke samping.
Keempat penunggang kuda itu
adalah laki-laki kekar berwajah kereng, terutama laki-laki yang berada paling
depan, pada tangan kanannya memegang sebuah panji besar berhuruf kuning dengan
dasar hitam panji itu berkibar terembus angin.
Hui Giok mundur beberapa
langkah, ia lihat panji itu bersulamkan delapan ekor naga emas yang saling
bergumul, di tengahnya tertera sebuah huruf "Tham" yang besar.
"Pantas semua jago persilatan
memberi jalan" batinnya, "rupanya orang kepercayaan Liong-heng
put-ciang yang datang."
Begitu merapat ekor kuda itu
berada di tengah jalan raya, penunggang yang berada paling depan itu lantas
berseru dengan lantang, "Tham-congpiau-tau ada perintah, semua saudara
yang tergabung di bawah komando Hui liong-ki harap segera bebenah setiap saat
siap menanti perintah untuk berangkat. Kegaduhan kembali terjadi ada yang dari
jalan raya segera lari masuk ke rumah, ada pula yang dari dalam rumah lari ke
jalan, banyak suara berkumandang di sana-sini.
Perintah diteruskan ujung
jalan yang lain, k lainnya lagi hingga d^" garan seruan itu "BemgcuP
fcatn ngan mata berki1 kt muna?"
***********************
Hal 39 robek sebagian
***********************
dunia persilatan, katanya
Bengcu mempunyai sakit hati yang amat besar pada Tham Beng, entah bagaimana
rencana Bengcu selanjutnya? Apakah membutuhkan bantuan Siaute?"
***********************
Hal 40 robek sebagian
***********************
Ia tertawa parau, "Bagaimana
pun perkenankanlah Siaute membawa Bengcu ke tempat peristirahatan"
Baru selesai ia berkata. sudah
ada belasan laki-laki yang berkerumun dan empat penjuru, mereka menjura seraya
berkata, "Hamba pun anggota Perserikatan orang orang Kanglam, karena
kedudukan yang rendah selama ini tak berani berbicara dengan Bengcu. kalau
Bengcu bermaksud menginap disini, hamba rela memberikan kamar kami untuk
Bencu."
Sikap orang2 itu bukan saja
sangat menghormat, bicaranya juga gugup dan takut, seperti seorang murid yang
berbicara dengan gurunya yang kereng.
Kembali sinar mata Jit-giau
tui-hun berkilat, tampaknya ia heran mengapa orang2 itu begitu hormat terhadap
Hui Giok.
"Tidak perlu, aku telah
menyiapkan tempat penginapan untuk Bengcu toako!" katanya dengan tersenyum.
Belasan orang itu menghela
napas panjang, seolah-olah merasa kecewa karena tak dapat menyumbang baktinya
bagi Hui-taysianseng.
Hui Giok sangat terharu,
dengan rasa terima kasih yang meluap dia berkata, "Terima kasih banyak
atas perhatian saudara sekalian, terima... terima kasih."
Sekalipun hanya dua patah kata
yang sederhana, tapi lantaran diutarakan oleh seorang Beng-cu seperti Hui Giok,
kata-katanya itu menimbulkan perasaan puas dalam hati orang-orang itu.
Diam-diam Leng kok siang bok
menghela napas. mereka merasa bangga dan gembira.
Selama hidup kedua orang ini
tak pernah menikah, apalagi punya anak, juga tak punya murid dan tak punya
teman, tapi sekarang mereka telah menganggap Hui Giok sebagai putranya,
muridnya, sanaknya dan kawannya. Tentu saja mereka ikut gembira menyaksikan
orang lain bersikap menghormat kepada Hui Giok, tapi teringat keadaan sendiri
yang sengsara dan selama hidup belum pernah mengalami keadaan seperti itu
timbul juga rasa sedihnya.
Habis Hui Giok bicara, belasan
orang itu serentak memberi hormat, sampai lama sekali mereka masih berdiri di
situ
"Menyingkir!"
tiba-tiba Leug Han-tiok membentak berbareng itu terdengar desingan angin tajam
mendesir-desir, puluhan anak panah bagaikan hujan menyambar tiba, ada yang
mengarah Hui Giok ada yang mengincar Na Hui-hong, malah ada pula yang mengarah
belasan orang yang sedang memberi hormat itu.
Hui Giok terkesiap, ia
berpekik nyaring, bukan menghindar dia malah menerjang ke arah datangnya hujan
anak panah itu.
Baginya bukan saja sulit untuk
menghindari serangan anak panah ini, tapi kawanan laki-laki itu pasti akan
terluka oleh serangan anak panah sekarang ia menyongsong datangnya serangan
itu, sudah tentu tindakan ini sangat membahayakan jiwanya sendiri.
Begitulah, dalam sekejap mata
puluhan batang anak panah yang meluncur tiba itu mengancam sekujur badannya
Tanpa pikir panjang
Leng-kok-siang-bok ikut menerjarg ke muka, sementara kawanan laki-laki itu ada
yang berguling ke samping untuk menyelamatkan diri ada pula yang ikut menerjang
maju untuk menyelamatkan Hui Giok dengan mengumpankan diri di depan pemuda
tersebut.
Pekikan Hui Giok terasa
menggema diangkasa, secepat kilat ia lepaskan pakaiannya, di antara deru angin
yang menyambar-nyambar, sebagian besar anak panah itu berhasil disapu rontok,
sedang sisanya karena terpengaruh oleh daya tolak bajunya dengan mudah bisa
dihindari.
Perubahan ini terjadi tanpa
pertanda sebelumnya dan berakhir dalam sekejap, saat itulah jeritan kaget baru
terdengar di sana sini.
Sekilas perasan terima kasih
terlintas pada wajah jit-giau-tui-hun, sementara itu dari atap rumah tampak ada
puluhan orang laki-laki bertengger di sana, di antaranya ada dua orang berbaju
hijau, sedang lainnya memakai baju berwarna kuning tangan masing-masing
memegang busur, tapi entah bagaimana tak seorang pun membidikan panah lagi,
semuanya hanya memandang ke arah Hui Giok dengan tercengang.
Keadaan Hui Giok kini cukup
mengenaskan bukan saja jubah panjangnya koyak-koyak karena digunakan untuk
menghalau anak panah, malah baju yang menempel di tubuhnya juga robek karena
terburu-buru membuka baju tadi.
Ujung baju yang robek berkibar
terembus angin, meski rasa kaget masih nampak menghiasi wajahnya, tapi dalam
pandangan semua orang, tiada orang seagung dia pada saat itu.
Na Hui-hong membentak dan
segera hendak melompat ke atap rumah, tapi sebelum berbuat demikian laki-laki
yang berada di atas atap rumah telah melompat turun dan semuanya berlutut.
Perlahan Hui Giok menghela
napas, "Ai, mengapa kalian berbuat demikian? sekalipun merasa dendam
kepadaku, buat apa melukai orang lain yang tak berdosa?"
Na Hui liong memburu maju,
serunya dengan lantang "Mereka semua adalah anak buah Kim keh-pang, dua
orang yang berbaju hijau adalah Pembantu Siang It-ti, Keh-gan (mata ayam) Put
keh-hengte (Pui bersaudara)."
Seperti memahami sesuatu, Hui
Giok manggut-manggut dan menghela napas, "Rupanya kalian ingin balas
dendam bagi Pangcumu Ya, aku tidak menyalahkan kalian, meski usahamu gagal
tapi, Ai pergilah kalian, lain kali toh masih ada kesempatan untuk mewujudkan
keinginan kalian ini."
Tak seorang pun di antara
anggota Kim keh-pang itu berani menengadah, wajah mereka rata-rata memancarkan
penyesalannya yang tak terhingga, bahkan ada di antaranya mereka meneteskan air
mata saking terharunya, mereka menyembah dan minta maaf.
Pui It-ji, salah seorang dari
dua Pui bersaudara yang termasuk dalam kelompok Keh-gan (muta ayam) berkata
dengan kepala tertunduk, "Hamba sekalian tak tahu Hui-taysianseng ternyata
begini mulia, begini bijaksana, hingga kami berani melakukan perbuatan semacam
ini. Kami tahu salah dan bersedia menerima hukuman dan Bengcu."
Pui It-oh, saudaranya, juga
berkata, "Bengcu begini bijaksana, hamba sekalian tak berani berkhianat
lagi, setelah menjalani hukuman, sekalipun Bengcu tak sudi, hamba tetap siap
mengabdi dan berbakti bagi Bengcu."
Hui Giok menghela napas
panjang, "Ai, kalau memang begitu, cepat kalian bangun, salju amat dingin,
jangan sampai merusak kesehatan kalian".
Angin memang dingin dan
berembus kencang baju Hiu Giok yang compang-camping tertiup berkibaran bagaikan
bunga2 salju, seorang laki-laki itu cepat melepaskan jubah panjangnya dan
diangsurkan ke hadapan Hui Giok.
Tak seorang pun di antara
mereka yang bersuara, sebab rasa terharu yang bergolak dalam hal mereka tak
terkatakan dalam keadaan begtu jangankan cuma melepaskan jubah luar, sekalipun
kepala mereka dipenggal pun tak akan ada yang menolak.
Dengan termangu Hui Giok
mengawasi laki2 di hadapannya serta anggota Kim-keh-pang lainnya yang masih
berlutut di tanah, serunya dengan terharu, "Kalian... kalian.."
Tenggorokannya seperti
tersumbat dan tak sanggup berucap pula, semua orang menyaksikan adegan ini dan
menghela napas terharu, hanya Jit giau tui-hun yang diam2 tundukkan kepalanya
entah merasa sedih atau timbul rasa menyesalnya?
o o-o
Hujan salju sebentar turun
dengan derasnya |dan sebentar berhenti, lapisan salju yang menyelimuti
permukaan tanah sudah menumpuk sangat tebal.
Lapisan salju di luar kota
jauh lebih tebal daripada di dalam kota empat penjuru yang terlihat hanya warna
putih belaka.
Bila senja tiba, dunia yang
berwarna putih keperak-perakan lantas berubah menjadi putih kelabu kalau tengah
malam, yang tertampak bahkan hanya kelabu yang suram, dalam keadaan begini
sukar untuk membedakan manakah tanah ladang, manakah pepohonan dan manakah
perumahan.
Keheningan menyelimuti seluruh
penjuru dunia, di depan sebuah kuil yang kecil berdiri seorang anak perempuan
berusia empat-lima belas tahunan yang bertubuh ramping. Dalam keheningan malam
yang dingin ia tampak begitu kesepian dan sebatangkara.
Dalam ruangan kuil tergantung
sebuah lentera kecil yang tak pernah padam, cahaya lentera menyinari tubuhnya
dan mencetak bayangannya di atas permukaan salju, namun bayangan itu mana dapat
membebaskan dia dari kelaparan, kedinginan serta kesepian?
Hanya sepasang matanya yang
besar dan jeli ibaratnya bintang di cakrawala yang memancarkan sinarnya yang
berkelip-kelip. Tapi, sinar mata itu memperlihatkan pula kegelisahan penantian.
Apakah yang dinantikannya?
Tanpa berkedip dia mengawasi
sederetan bangunan ramah nun jauh di sana, mendengarkan suara manusia di balik
bangunan itu yang makin lama makin sunyi, melihat sinar lampu yang terang
benderang yang makin lama makin suram.
Segulung angin dingin berembus
lewat, ia bergidik dan bersin, akhirnya seperti tak tahan, ia menggigit bibir
dan menjura ke dalam seraya berkata dengan lembut "Toh-te-kong (Toapekong)
terima kasih banyak!"
Kemudian dengan sangat
hati-hati dan penuh kewaspadaan ia berjalan menuju ke deretan bangun itu.
Gerak tubuhnya tidak gesit,
juga tidak cepat, jelas dia tak pernah berlatih kepandaian apapun, tapi di
balik sinar matanya yang jeli dan lembut terpancar keteguhan hati serta
kebulatan tekad yang tebal.
Dia menuju ke kaki dinding
bangunan, menengok dinding yang tingginya hampir dua tombak, melompat sekuatnya
ke atas, tangannya meraih tembok, sayang tidak berhasil dan merosot ke bawah.
Tapi dia tak putus asa, gagal
yang pertama dicoba untuk kedua kalinya, merosot lagi-diulang untuk ketiga
kalinya.
Dengan susah payah akhirnya
dia berhasil setelah demi selangkah bocah itu merambat ke atas. Ketika berhasil
sampai di atas dinding, dia menghembus napas lega, matanya yang jeli memandang
ke halaman rumah yang hening dan diliputi kegelapan itu.
Ia menghela napas dan
bergumam, "Oh, Toa koko, engkau berada di mana?"
-00000-- -OOXO0- -O0O0O-
Di halaman rumah yang penuh
salju Hui Giok sedang berdiri termangu di bawah pohon Yang yang telah layu.
Udara berwarna kelabu, tiada
bintang, tiada rembulan memandangi tumpukan salju yang tersebar di empat
penjuru, pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, seperti juga embusan angin
puyuh yang melanda tanah ladang, sukarlah ia mengendalikan perasaannya yang
bergolak.
Pada malam yang sama seperti
ini, dia pernah berdiri di bawah pohon Yang dalam perumahan Hui-liong piaukiok
sambil menyesali kebodohan sendiri, membenci kebebalannya yang tak mampu
mempelajari pelbagai ilmu silat pelbagai kepandaian.
Ketika itu, ia pernah
mengucurkan air mata karena sedih, mengenang kehidupannya yang sengsara,
pengalamannya yang pahit lalu beralih ke halaman rumah yang lain, iapun
mengagumi kebaikan halaman yang berada di sana, mengenang bayangan Tham Bun-ki
yang ramping, kerlingan matanya yang menakjubkan.
Dalam keadaan mengelamun demikiant
sering kali muncul sebuah tangan kecil yang halus, yang menyekakan air matanya,
kemudian dengan perasaan terhibur diajaknya masuk ke dalam rumah.
Tapi di manakah tangan yang
lembut itu sekarang? Masihkah menderita dalam perumahan Hui-liong-piaukiok?
Merasakan kesepian dan penghinaan?
Dengan penuh kepedihan ia
menghela napas, bersumpah akan menyeka air mata yang meleleh dari mata yang
besar itu dengan tangannya. Tiba tiba ia teringat kembali mata jeli yang muncul
di antara kerumunan manusia itu. tapi dengan segera pula anak muda itu menghela
napas "Tak mungkin dia. Kalau dia, mengapa ia tinggalkan aku?"
demikian gumamnya.
Juga di tengah malam dingin
yang sama, ia pernah berbaring di bawah emper rumah yang asing hanya dengan
badan penat dan kecapaian setelah seharian penuh bekerja berat, ketika itu dia
harus menahan rasa dingin, lapar dan rasa sedih serta kecewa yang mencekam
perasaannya dan perasaan yang sukar ditahan, rasa rindu yang kuat dapat
dilupakan. Rasa rindu yang masih terdalam hatinya.
Tapi perasaan itu harus
ditambah dengan penderitaan yang menyayat hati, sebab sasaran yang
dirindukannya telah dipisahkan oleh selapis baja yang sukar ditembusnya, dia
hanya dapat menyesali takdir yang mempermainkan dirinya kenapa ia mencintai
gadis yang mestinya tidak boleh dicintainya. Dalam pergolakan perasaan itu,
tiba-tiba ia teringat kembali pada suatu kejadian lama, itupun terjadi di
tengah malam yang sangat dingin seperti sekarang ini, ketika ia terjaga bangun
dan suatu impian buruk dan tak bisa tidur lagi, didengarnya kabar tentang
kematian ayah serta pamannya. Rasa sedih dan penderitaan yang dialaminya ketika
itu kini seakan-akan berkumpul lagi dalam lubuk hatinya. Segala sesuatunya
meski sudah terpisah amat jauh pada saat ini, namun semuanya seolah-olah muncul
kembali di depan matanya, meskipun malam yang dingin di manapun adalah sama
tumpukan salju pun berwarna sama, tapi...
Perubahan yang terjadi dalam
dunia ini teramat ajaib, teramat besar, pemuda yang lemah, yang hidup
sebatangkara dan penuh penderitaan serta siksaan itu, benarkah adalah diriku
sekarang? ia tidak percaya, ia tak akan mempercayainya, tapi bagaimanapun jua
ia tak dapat tidak mempercayainya.
Kebahagiaan dan kebanggaan
bagaikan kelebatan sinar kilat di udara. tiba-tiba menjadi terang di depan
mata, datang mendadak dengan begitu cepatnya.
Tapi, ada pula yang terasa
sayang baginya merasa sayang karena semua itu datangnya terlambat. Tiba-tiba ia
merasa mukanya jadi dingin. kiranya entah sejak kapan dia telah melelehkan
airmata ia tidak melihat seorang sedang berjalan pelan menghampirinya di tengah
kegelapan halaman orang itu sebentar berjalan. lalu berhenti bernapas, berhenti
lagi.
Dan akbimya, tiba-tiba dia di
samping pemuda.
Tiba-tiba ia merasakannya dan
berpaling, sebuah tangan kecil halus sedang diulurkan kemuka dengan gemetar,
seperti juga kejadian dahulu di tengah malam yang dingin dalam kenangan yang
tak terlupakan itu.
Rasa kejut dan gembira yang
muncul secara tiba-tiba membuat anak muda itu tertegun membuatnya termangu dan
tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tangan yang kecil dan mungil
itu gemetar makin keras..
Dari kelopak matanya yang jeli
meleleh butiran air mata rasa sedih dan gembira, butiran air mata meleleh
melalui pipinya yang halus dan menetes di permukaan salju yang beku.
Entah berapa lama sudah lewat,
akhirnya Hui Giok berseru: "Tin-tin?, kau... kau..."
Toakoko... Toakoko... "
suara anak perempuan itu pun tersendat.
Entah berapa kali ia memanggil
"Toakoko." akhirnya ia menubruk ke dalam pelukan "Toakoko"
nya dan menangis tersedu-sedu
Di tengah kegelapan kembali
muncul dua sosok bayangan manusia, mereka adalah Leng-kok siang bok yang
menginap bersama Hui Giok di halaman belakang itu.
Dengan termangu mereka
memandang adegan tersebut beberapa saat lamanya, kemudian menghela napas dan
pelahan kembali lagi ke kamarnya.
"Mungkin anak perempuan
itu adalah Wan Li tin yang sering disinggung anak Giok," bisik Leng Han
tiok kemudian tak tahan, "Sungguh tak tersangka, dia . . "
"Ssst, biarkan mereka
bergembira, biarkan mereka mengucurkan air mata bagi pertemuan itu" bisik
Leng Ko-bok "Anak Giok.... ai dia meman harus dihibur, dia memang pantas
dihibur, bukankah begitu?"
Hui Giok memeluk Wan Li-tin
erat-erat, entah berapa lama sudah lewat baru melepaskan pelukannya agar ia dapat
memandangnya dan supaya si dia memandang padany.
"Kau... kau telah
dewasa," bisiknya sambil tertawa pedih.
Nona itu tertunduk, bulu
matanya yang panjang menutup kelopak matanya "Pagi tadi kulihat kau"
katanya
"Tak kusangka kau telah
menjadi seorang pahlawan besar, seperti apa yang pernah kita impikan waktu
masih berkhayal bersama, tapi aku tak berani munculkan diri?, begitu banyak
orang-orang Hui-liong-piaukiok di jalanan, aku takut ditangkap, aku takut
mereka laporkan hal ini kepada.... kepada paman Tham."
Walaupun agak keberatan dia
mengucapkan, tapi kebiasaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun mungkinkah
diubah dalam sekejap? Hui Giok betul-betul tertawa meski tertawa dengan air
mata yang meleleh, katanya "Mulai sekarang, kau tidak perlu takut lagi,
apapun yang akan terjadi aku akan selalu melindungimu."
Wan Li-tin menengadah,
memandangnya seperti seorang gadis yang memandangi pangeran dalam khayalannya,
begitu kagum dia.
Ia menanyakan penghidupannya
selama dua tahun ini, dan anak dara itu bercerita dengan air mata bercucuran
disamping senyum gembira, bahwa penghidupannya adalah penghidupan yang
sederhana, penghidupan yang penuh penderitaan, penghidupan yang kesepian tapi
sekarang semua itu sudah berlalu.
Maka pemuda itupun
memberitahukan kepadanya pengalamannya yang penuh keanehan selama itu,
pengalamannya yang juga penuh penderitaan serta kesedihan.
Dengan terbelalak anak dara
itu mendengarkan penuturan itu
Tiba-tiba dari balik matanya
yang jeli terpancar rasa marah, rasa dendam yang membara, ia mengepal
tangannya, sambil menengadah katanya: "Diam-diam kudengarkan orang bicara
di jalanan, di Piaukiok, bahkan di manapun aku selalu dengar, benarkah ayah
kita dibunuh... dibunuh orang itu?"
Sambil menggigit bibir Hui
Giok mengangguk dengan berat, begitu keras ia menggigit bibirnya hingga darah
merembes keluar.
Wan Lu-tin kembali menangis,
sambil mendekap dalam pelukan Hui Giok dia mengeluh, "O Toakoko, kau...
kau harus membalaskan dendam ayah kita"
Hui Giok menepuk bahunya dan
bergumam: "Membalas dendam, membalas dendam!"
Tiba-tiba gadis itu berhenti
menangis ia menengadah, sinar matanya yang bening itu memancarkan rasa iba,
simpati, kasihan dan sedih.
"Ai, kasihan... yang
paling kasihan adalah enci Tham! Tahukah kau... demi engkau, dia begitu
menderita, seorang diri bersembunyi dalam kamarnya, sebentar tertawa, sebentar
menangis sebentar mengatakan kau berbuat salah kepadanya sebentar lagi bilang
dia yang bersalah padamu seringkali dia mengajak aku ke kamarnya untuk
bercakap-cakap tapi kecuali kau, soal apapun tak pernah dibicarakan sambil
berbicara ia menangis habis menangis bicara lagi!"
Setelah menghela napas sedih
Lu-tin menundukkan kepalanya, seketika itu juga Hui Giok merasa darah
menggelora dalam dadanya, ia terkesima dan tak tahu apa yang mesti
dilakukannya.
Lama sekali, Lu-tin berkata
lagi "Kemudian ketika mengetahui ayahnya hendak menjodohkan dia dengan
Tonghong hengte, ia melarikan diri dari rumah, tapi segera dapat ditangkap
kembali oleh ayahnya, perasaannya baru bisa tenang ketika ayahnya menolak
pinangan Tonghong-hengte, tapi ketika aku kabur dari sana kudengar lagi dia
akan dijodohkan dengan Tonghong-hengte Ai, entah apa yang terjadi setelah ia
mengetahui kabar tersebut."
Hui Giok berdiri bagaikan
patung "Benarkah dia... dia mencintai aku?" gumamnya
Wan Lu tin menghela napas
sedih, pelahan dia mengangguk.
Hui Giok merasa telinganya
seperti mencincang pesan Leng goat siancu Ay Cing sebelum ajalnya seakan akan
berkumandang lagi ditepi telinganya.
Mulai detik mi selama hayat
masih di kandung badan, selamanya kau tak boleh membohongi perempuan manapun
selamanya tak boleh membuat sedih gadis, baik engkau mencintai atau tidak kau
harus baik kepadanya, kau harus melindungi dia, dalam persoalan apapun tak
boleh melukai perasaannya. Lebih.... lebih lagi jangan kau biarkan dia dilukai
orang lain."
Dengan termangu ditatapnya
salju yang membeku, kembali ia bergumam, "Sekali aku sudah bersumpah mana
boleh kulukai hatinya? Betapapun dia, . dia mencintaiku aku... aku... "
Dengan pedih ia menggigit
bibir sendiri "Tapi sakit hati orang tuaku lebih dalam dari lautan
haruskah kuabaikan kewajibanku ini? sebaliknya, bila kubalas sakit hati mi,
kubunuh ayahnya, berarti kulukai perasaannya, bukankah perbuatanku ini berarti
pula melanggar sumpah !"
Ya, dendam ayahnya, sumpah
beratnya keduanya ternyata saling bertentangan antara cinta dan dendam sukar
dipisahkan, tanpa terasa ia terbayang kembali perkataan Leng-goat-siancu yang
gemetar dan penuh penyesalan itu.
Persoalan ini meski gampang
diucapkan, pada hakekatnya sukar untuk dilaksanakan sebab di dunia ini selalu
akan muncul pelbagai alasan yang aneh, yang membuat kau mau tak mau harus me
lukai perasaan orang yang kaucintai!"
Pelbagai alasan yang aneh...
pelbagai alasan yang aneh.... orang yang kaucintai... orang yang
kaucintai."
"Toakoko," tiba-tiba
Wan Lu-tin menjerit kaget, kau... mengapa kau darahmu..."
Dengan tangan yang halus ia
bantu Hui Giok mengusap darah yang meleleh dari bibirnya, meski di tengah malam
yang dingin, tapi darah Hui Giok rasanya panas bagai api yang membara.
Dengan terharu dipegangnya
tangan gadis itu, diusapnya dengan penuh kasih sayang, setelah menghela napas,
berkatalah Hui Giok, "Bagaimanapun juga, usiamu masih terlalu kecil,
banyak persoalan ai tak akan kau pahami"
Dengan menurut Wan Lu-tin
mengangguk sekalipun dia enggan dianggap anak kecil, tapi perkataan itu
diucapkan oleh "Toakoko" nya, betapapun dia menganggapnya pasti
benar.
Lama sekali ia termangu,
tiba-tiba seperti teringat akan sesuatu segera ia berkata lirih "Orang
yang paling akhir bersamamu tadi apakah bernama jit giau tui hun?"
"Darimna kau tahu?"
Hui Giok heran.
"Dia bukan orang baik?
Aku pernah melihatnya di kantor Hui-liong-piaukiok kulihat dia masuk lewat
halaman belakang dengan gerak-gerik yang sangat mencurigakan entah apa yang
dibicakannya dengan Tham... Tham Beng, hingga malam hari kedua dia baru pergi
dengan gerak-gerik yang aneh, bahkan naik kudapun tak berani."
"Benarkah itu?" Hui
Giok terkejut, "kau melihatnya dengan jelas?"
Dengan penuh keyakinan Wan
Lu-tin mengangguk
Tiba-tiba dari belakang
sepotong batu gunung tak jauh sana berkumandang suara helaan napas menyusul
seorang menanggapi dengan nada yang berat, "semuanya benar!"
Air muka Wan Lu-tin berubah
hebat, dengan terkejut Hui Giok segera membentak, "Siapa?"
Selagi ia hendak menerjang ke
sana tak terduga sesosok bayangan orang lantas muncul, dia tak lain tak bukan
adalah Jit-giau-tui hun Na Hui hong.
"Benar.... benar,
semuanya memang benar," demikian gumamnya pula.
Tersembul senyuman rasa
menyesal di ujung bibirnya, ia berkata lagi dengan lirih, "Bengcu-toako,
maafkanlah perbuatanku yang telah mencuri dengar pembicaraan kalian ini, sejak
adik cilik ini masuk ke halaman, aku lantas mengetahuinya sebab itulah akupun
keluar dan kamarku."
Wan Lu-tin berdebar keras, dia
mengira gerak-geriknya sudah cukup hati-hati, tak tahunya toh masih diketahui
orang lain, sekarang dia mulai paham, ketajaman pendengaran orang-orang
persilatan memang luar biasa, Yang mana tak pernah dipercayai sebelumnya
sekarang ia mulai percaya di samping itu iapun mulai berduka bagi mereka.
"Seorang yang hidup di
luaran dan banyak mengikat permusuhan pasti seperti mereka keadaannya, makan
tak enak tidur pun tak nyenyak, setiap waktu setiap saat selalu kuatir akan
diserang orang lain."
Sementara itu, dengan tatapan
mata yang tajam dan mulut membungkam Hui Giok mengawasi orang she Na itu tanpa
berkedip.
Jit-giau-tui-hun yang tersohor
karena kebuasan dan kelicikannya itu sekarang berdiri dengan wajah malu dan penuh
penyesalan.
"Ya, Bengcu,"
katanya tergegap, "Terus terang aku memang mengadakan persekongkolan
dengan Liong-heng pat-ciang, dia bantu aku membasmi Perserikatan orang-orang
Kanglam, bantu aku membunuh Kim-keh Siang It-ti dan bunuh Sin-jiu Cian Hui serta
hehehe . . serta engkau Bengcu, bila pekerjaan ini berhasil maka dia akan bantu
aku membentuk Perserikatan baru serta mengangkat diriku sebagai Bengcunya"
Hui Ohok hanya mendengarkan
dengan seksama tidak emosi, tidak marah ataupun merasa benci.
Jit-giau-tui-hun berdehem
pelahan, kemudian berkata lagi "Kematian Siang It ti tadi ai pada
hakikatnya adalah hasil karyaku sendiri ku anjurkan dia memusuhi Bengcu dan
akupun menyanggupi akan datang untuk membantunya."
Mendengar sampai di sini, Hui
Giok tak dapat menahan rasa sedihnya lagi, ia menghela napas panjang "Ai,
kau.... kau memang kelewat kejam!" desisnya kemudian.
Dengan bungkam Na Hui-hong
menundukkan kepalanya.
Tiba-tiba Hui Giok berkata
lagi. "Kalau begitu, laki-laki yang memaki Tonghong hengte dari tempat
gelap juga merupakan hasil karyamu? Kalau tidak, kenapa mereka mengucapkan kata
kata yang tidak menguntungkan Tham Beng"
Semakin rendah Na Hui-hong
tertunduk, "Ya orang-orang itu adalah suruhanku, akulah yang memerintahkan
mereka berbuat demikian, sebab ku... kuatir jika Tham Beng sampai berbesanan
dengan Tonghong-hengte, pengaruhnya pasti akan besar dan kemudian andaikata dia
ingkar janji, bahkan membunuh aku tentu aku tak bisa berbuat apa-apa?"
Terkesiap juga hati Hui Giok
mendengar keterengan itu, dia menghela napas panjang "Ai, demikiankah
keadaan dunia persilatan yang sebenarnya? Mengapa setiap orang harus tipu
menipu?"
"Ai, pada hakikatnya
dunia persilatan adalah dunianya kaum kuat menindas kaum lemah" kata
Jit-giau-tui hun Na Hui hong sambil menghela napas "Semula kupikir orang
yang berhati bajik tentu tak akan mampu hidup di dunia persilatan ini, tapi ai,
sekarang aku baru tahu bahwa pikiranku itu keliru, di manapun jua orang baik
selamanya tak akan kesepian."
Sesudah berhenti sebentar dengan
kepala yang tertunduk rendah sambungnya lebih jauh, "Kesemua ini tak lain
adalah berkat watak Bengcu yang mulia dan bijaksana, tabiatmu telah mengharukan
hatiku! Aku sebenarnya setelah Bengcu berhasil kupancing sampai di sini,
makanan dan arak yang kuhidangkan kepadamu hendak kucampur dengan racun yang
paling jahat racun itu bahkan sudah kusiapkan, racun itu adalah sejenis racun
jahat yang tak berwarna maupun berbau, tapi ai aku benar-benar merasa tak tega
untuk melaksanakan niat jahatku ini!"
Hui Giok terkesiap, baru
sekarang ia sadar jiwanya tadi sebenarnya telah berada di ambang pintu akhirat.
Ia menghela napas panjang,
sebetulnya dia hendik mengucapkan sesuatu, tapi sebelum niatnya terlaksanakan,
tiba-tiba dari luar halaman, dan balik kegelapan berkumandang suara tertawa
dingin yang menyeramkan.
Malam sudah hampir berakhir
embusan angin terasa makin dingin suara tertawa dingin itu terasa menggidikkan.
Baik Hui Giok maupun Na Hui
hong serta Wan Lu-tin serentak terperanjat "Siapa itu?" bentak Na Hui-hong
"Tahu kesalahan dan
bersedia bertobat itu menandakan kau masih bisa dididik, bila rencana busukmu
itu kau laksanakan, kau kira nyawamu masih bisa hidup sampai sekarang?"
suara itu muncul dari kegelapan, nyaring, tegas dan menggetar perasaan.
Terbawa oleh embusan angin
dingin, sulit bagi Hui Giok dan Na Hui hong untuk menentukan darimanakah suara
itu berasal, se akan2 jauh tapi terasa dekat, padahal sepuluh tombak di
sekeliling halaman itu tak nampak bayangan manusia.
Hati Hui Giok tergerak, cepat
teriaknya, "Suhu... Locianpwe " - Berbareng itu juga ia melayang ke
udara, ujung kakinya menutul di atas ranting pohon, dengan dua-tiga kah
lompatan ia sudah berada di luar halaman.
Tapi suasana tetap hening,
angin berembus kencang, memandang jauh ke depan, yang tertampak hanya
keheningan belaka dengan tanah bersalju yang lapang, seakan2 sejak dulu sampai
sekarang tak pernah ada manusia yang muncul di situ.
Hui Giok celingukan memandang
ke sana ke mari, kemudian teriaknya lagi suhu! Locianpwe.."
Sekeras geledek teriakan itu
sampai salju di ranting pohon pada gugur ke tanah, seekor burung bersuara kaget
dan terbang dengan ketakutan, dalam sekejap mata lenyap pula di balik
kegelapan.
Hui Giok berdiri dengan
termangu, setelah menghela napas ia berkelebat kembali ke dalam halaman
Waktu itu Wan Lu-tin sedang
menanti dengan penuh pengharapan matanya yang jeli menatap wajah pemuda itu
tanpa berkedip sinar matanya adalah sinar mata penuh rasa kagum.
Jit giau-tui-hun Na Hui-hong
berdiri dengan tangan terjulai ke bawah, mukanya pucat, matanya terbelalak dan
mulutnya melongo, peluh sebesar kacang kedelai membasahi jidatnya.
Menyaksikan keadaan orang,
tersenyumlah Hui Giok.
"Melepaskan golok
pembunuh, berpaling mencapai tepian, Siaute pantas mengucapkan selamat untuk
saudara Na." katanya menirukan sabda Budha.
"Ya, mulai sekarang
mungkin tidurmu akan bertambah nyenyak dan makan pun akan bertambah
nikmat." sambung Wan Lu tin tiba2 sambil tertawa manis.
Dengan tangan yang gemetar
Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong menyeka peluh dingin yang membasahi jidatnya, ia
merasa jantungnya berdebar keras, di dalam hati ia berguman, "Melepaskan
golok pembunuh, berpaling mencapai tepian."
Mendadak ia menengadah dan
tertawa terbahak-bahak, serunya lantang, "Hahaha... sungguh tak kusangka,
jadi orang bajik jauh lebih menyenangkan daripada menjadi orang jahat."
Sebagai seorang yang berasal
dari golongan hitam, yang biasa membunuh dan merampok, tentu saja ia tidak
menyadari bahwa ucapan yang sederhana itu sebenarnya mengandung makna yang luas
mengandung filsafah yang tidak sederhana.
Diam-diam Hui Giok berpikir
dalam hati "Entah berapa malam dia tidak tidur berapa besar penderitaan
batinnya sebelum mengucapkan kata-kata sederhana yang sebenarnya tidak
sederhana ini, semoga semua orang jahat yang ada di dunia ini dapat hadir di
sini dan mendengarkan kata-kata yang timbul dan hati sanubarinya itu."
Mereka bertiga saling pandang
sekejap tiba2 taman yang sepi dan dingin itu seakan-akan berubah jadi hangat
dan nyaman, sebab taman tersebut sekarang penuh dengan watak kebaikan asli
kemanusiaan.
Jalan raya di dalam kota
Han-ko ketika berada dalam keheningan dengan udara yang dingin. Banyak
laki-laki berpakaian ringkas dengan sepatu kulit mereka yang berat tiada
hentinya melewat tanah bersalju itu sambil mengawasi kereta-kereta barang
kawalan di tepi sungai.
Meski masih banyak orang yang
ingin tahu dan sok mencampuri urusan orang lain, demi menyelidiki awal dan
suatu pertarungan sengit yang akan berlangsung, mereka harus berdiam semalam suntuk
di kedai-kedai minum. Namun. keheningan serta hawa dingin yang menerkam empat
penjuru masih tetap begitu berat, sedemikian beratnya sehingga terasa menekan
perasaan setiap orang, menindih dada mereka hingga sukar rasanya untuk
bernapas.
Kadangkala meledak gelak
tertawa yang keras memecah keheningan yang mencekam malam yang gelap itu. tapi
berapa banyak pun gelak tertawa yang terdengar tidak akan berhasil
menyingkirkan perasaan berat yang menekan hati orang-orang itu.
Tiba2 dari ujung jalan raya
sebelah sana berkumandang jerit ngeri yang menyayat hati.
Entah berapa banyak orang yang
segera berlari menuju ke tempat datangnya suara jeritan itu, tapi yang dijumpai
hanya gumpalan darah kental yang mulai membeku di atas permukaan salju yang
putih.
Disamping gumpalan darah beku,
seorang anak buah Hui-liong-piaukiok tergelepar dengan badan telentang, wajah
sang korban diliputi rasa kaget dan ketakutan, matanya yang kaku masih
memandang ke angkasa dengan pandangan yang kosong.
Sebilah belati yang tajam menancap
di atas dadanya yang bidang dan darah yang menetes keluar segera akan membeku
bersama kengerian yang menyelimuti suasana di tengah malam dingin itu.
"Cian Sin-jiu mulai
beraksi!" Teriakan demi teriakan yang penuh kegembiraan segera tersiar ke
mana2, tersebar di balik jalan raya yang sepi.
Suara jeritan lain tiba2
berkumandang dari sudut jalan yang lain.
Delapan ekor kuda tiba-tiba
menerjang keluar dari sebuah bangunan besar di tepi jalan, dua orang yang
berada paling depan membawa terompet yang segera ditiup keras-keras.
Di tengah denging suara
terompet yang susul menyusul rombongan penunggang kuda itu segera bermunculan
dan setiap sudut jalan di kota itu.
Mengikuti derap kaki kuda yang
ramai seorang laki-laki dengan suara yang kuat segera berteriak keras,
"Semua saudara yang tergabung di bawah panji Naga Terbang, hendaknya
berkumpul di tempat penyeberangan sungai Tiang-kang, jangan sampai
terpencar!"
Teriakan itupun sambung
menyambung tersebar ke seluruh pelosok kota yang gelap itu. Dalam waktu singkat
suasana dalam kota jadi kalut, ketenangan segera terenggut, keamanan tersita,
keadaan jadi kacau balau.
sekalipun ada sekawanan opas
bersenjata lengkap yang melakukan perondaan dengan perasaan apa boleh buat,
tapi penglihatan mereka se-akan-akan tidak menghiraukan cahaya golok dan
genangan darah.
Mereka menganggap semua ini
sebagai berjangkitnya penyakit menular, sebagai wabah. Penyakit menular memang
tak bisa dilawan dengan kekuatan manusia tapi penyakit menular pada suatu
ketika tentu akan berakhir.
Tapi jeritan ngeri masih
berkumandang tiada intinya kadangkala muncul di sebelah timur, lain saat timbul
di sebelah barat.
Seorang laki-laki mabuk
berjalan dengan sempoyongan mencari tempat kencing, celakanya, sebilah golok
tak bersarung terselip di pinggangnya, lebih celaka lagi kebetulan ada delapan
penunggang kuda itu berlari lewat di sampingnya.
Maka penunggang kuda itupun
membentak nyaring dan cahaya golok pun berkilat di angkasa.
Laki-laki pemabuk yang
sempoyongan itu hanya merasakan kepalanya dingin dan sakit, lalu dengan
mengenaskan roboh terkapar di atas permukaan salju dan membiarkan tubuhnya
diinjak-injak oleh kaki kuda yang lalu di atas tubuhnya.
oOo oOo oOo
Angin berhembus makin kencang.
Sebuah perahu yang berlayar hitam menyeberang dari balik kegelapan dan berlabuh
di tepi sungai yang sunyi.
Sebelum perahu mencapai
tepian, beberapa sosok bayangan hitam lantas melayang turun dari perahu itu,
kemudian tanpa berhenti berkelebat ke depan dan lenyap dalam kegelapan.
Gerak gerik mereka sangat
misterius ibaratnya sukma gentayangan yang datang den neraka.
Siapakah mereka?"
~ oOo - - oOo -
Lima ekor kuda jempolan
mengiringi sebuah kereta besar muncul dari balik kegelapan dan berlari
sepanjang jalan raya kota yang sepi, yang paling depan adalah seorang laki-laki
berambut dan berjenggot putih, bermata tajam dan bertampang keren. Entah siapa
yang mulai dulu, mendadak ditepi jalan berkumandang teriakan kaget.
"Liong heng pat-ciang
datang!"
Baru saja suara itu
berkumandang tahu-tahu sebuah telapak tangga yang kuat menutup bibirnya dan
menyeret orang itu ke tempat gelap di celah emper rumah.
Maka, tak ada orang yang
berteriak lagi.
Kereta itu berhenti di depan
sebuah bangunan besar di tepi jalan, sebenarnya di depan pintu terpancang
sebuah papan nama yang bertuliskan "Kantor cabang perusahaan Hui-liong
piaukiok"
Tapi entah mulai kapan papan
nama itu sudah dicopot orang.
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng
yang berada paling depan segera melompat turun dari kudanya.
Dengan satu lompatan enteng ia
menyelinap ke depan kereta lalu serunya dengan suara perlahan "Anak Ki,
ayo turun!" Tabir tersingkap, Tham Bun-ki yang pucat dan bermata pudar
pelahan turun dari kereta itu.
Mukanya waktu itu tampak layu,
tidak beremosi, bahkan matanya yang jeli kini tampak buram. Dengan pandangan
kosong dan pikiran hampa dia melangkah di atas tanah bersalju dan masuk ke
gedung megah itu, matanya tidak melirik, kepalanya tidak berpaling bahkan
terhadap ayahnya juga tak memandangnya sekejap pun.
Liong-heng pat-ciang Tham Beng
menghela napas sedih tanpa bicara dia ikut masuk ke dalam rumah itu.
Pintu gerbang yang tebal dan
berat segera tertutup dengan menimbulkan suara yang keras, memotong pandangan
orang banyak tapi tak dapat memotong bisikan orang banyak.
Liong heng pat ciang datang...
Liong heng pat-ciang telah datang..."
Udara malam berubah semakin
kelam dan berat. Entah berapa lama lagi waktu fajar?
--o- O-fo+O -o-
Bangunan yang megah tapi suram
itu segera diterangi cahaya lampu.
Namun langkah kaki yang kacau
berubah menjadi ringan, enteng hampir tak menimbulkan suara
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng dengan wajah sedingin es buru-buru berjalan
menuju ke ruangan sebelah barat.
Baru saja dia melangkah masuk
ke pintu halaman, bentakan tertahan segera berkumandang dari balik ruangan,
"Siapa?"
Tham Beng berdehem pelahan,
cahaya lampu segera menerangi seluruh ruangan dan Tonghong ngo kiam yang
berpakaian tidur menyambut kedatangan Piautau itu di depan pintu.
"Paman Tham, mengapa
engkau menyusul kemari di tengah malam buta begini" sapa Tonghong Tiat
sambil tersenyum.
Senyuman menghiasi wajah
Liong~heng~pat ciang Tham Beng yang suram, jawabnya. "Seharusnya sejak
kemarin aku sudah sampai di sini untuk menantikan kedatangan Hiantit sekalian,
tak tersangka karena keterlambatanku menyebabkan kalian mesti makan hati oleh
karena kaokan manusia liar yang tak karuan itu."
Tonghong Kang terbahak-bahak,
"Hahaha, berita paman Tham sungguh luar biasa cepatnya."
Diiringi gelak tertawa mereka
lantas masuk keruangan, tapi benarkah gelak tertawa itu timbul dari lubuk hati
yang tulus dan murni?
Setelah berlangsung
pembicaraan ringan, tiba2 Liong-heng-pat-ciang Tham Beng menghela napas
panjang, kemudian mengalihkan pembicaraan ke pokok persoalan yang sebenarnya.
"Aku jadi teringat kembali
pada lamaran yang pernah Hiantit ajukan pada tahun yang lalu," demikian ia
berkata, "waktu itu, berhubung usia putriku masih kecil, lagipula merasa
tak berani menerima penghargaan setinggi ini maka lamaran tersebut belum
kuputuskan.
Tonghong Ouw tersenyum, dia
seperti mau mengucapkan sesuatu tapi dijawil ujung bajunya oleh Toakonya, maka
kata-kata tersebut urung diucapkan.
Liong heng-pat-ciang
mengalihkan pandangannya entah melihat atau tidak sikap orang, ia berkata lebih
jauh, "Tapi sejak peristiwa di perkampungan Long bong-san ceng, dimana
putriku sudah mendapat bantuan yang besar dan keponakan Ceng, sungguh tak
tersangka dia.... Dia.... ai ternyata diapun menaruh hati terhadap keponakan
Ceng!"
Air muka Tonghong Ceng tetap
kelihatan kaku, sedikitpun tidak emosi.
Sebaliknya Tonghong Tiat
lantas berseru sambil tersenyum "Wah, rupanya Samte yang punya rejeki
besar!"
"Ya, selama kumalang
melintang dalam dunia persilatan, dia satu-satunya putri yang kumiliki!"
ujar Tham Beng lebih lanjut "Sebab itu kalau dia sendiri juga mau, maka
terpaksa baru kutebalkan muka dan menyinggung kembali urusan lama dengan
kalian."
Tampaknya ia sengaja
menekankan "urusan lama" tersebut, seakan-akan dengan demikian
persoalan itu bukan kehendaknya melainkan keluarga Tonghong yang mengemukakan
lebih dulu.
Tonghong-hengte saling pandang
sekejap sebelum berkata, Tham Beng telah bersuara pula: "Cuma ai,
keluargaku adalah keluarga yang rendah, entah derajat kami setimpal dengan
derajat keluarga Tonghong atau tidak?"
Air muka Tonghong Ceng masih
tetap tanpa emosi, namun juga tidak bermaksud menghindarkan diri.
Tonghong Tiat segera tersenyum
"Nama besar paman Tham termashur sampai ke mana-mana, dalam sepuluh tahun
akhir ini belum pernah ada jago persilatan yang dapat menjajarkan namanya
dengan nama besar paman Tham. Kalau paman Tham mengatakan derajat keluarga
terlalu rendah, maka hal ini malahan membuat keponakan sekalian jadi tak enak
hati."
"Ah. keponakan terlalu
memuji." sambil tertawa Liong heng-pat-ciang mengelus jenggotnya
"Kalau memang begitu, apakah saat ini keponakan Ceng membawa sesuatu benda
yang bisa digunakan sebagai tanda ikatan perjodohan ini?"
-Cuma......" tiba-tiba
Tonghong Tiat menukas
"Apa lag?" tanpa
terasa air muka Liong-heng pat-ciang rada berubah. Mencorong sinar mata
Tonghong Tiat, kemudian berkata dengan tersenyum "Apakah paman Tham tidak
merasa bahwa keputusan yang kau ambil ini tak terlampau terburu napsu?
Bagaimana pun juga persoalan ini menyangkut kebahagiaan hidup Samte kami, maka
sudah sepantasnya kalau kami bersaudara harus menimbang persoalan ini dengan
sedikit lebih serius."
Liong heng pat ciang
mengerling, otaknya juga berputar memikirkan persoalan ini, kemudian katanya:
"Persoalan ini.... Meskipun betul pendapat kalian, tapi keadaan saat ini luar
biasa, terpaksa kita mengambil keputusan dengan cepat. Ya, untunglah kita orang
persilatan, soal adat istiadat rasanya juga tidak perlu kita hiraukan lagi...
Hahaha, begitu bukan?"
Dia berpikir sambil bicara,
maka kata-kata pembukaan tadi diucapkan dengan sangat lambat, begitu keputusan
diambil, kata-kata selanjutnya diutarakan dengan lancarnya.
"Situasi sekarang
tampaknya luar biasa" Tonghong Kang dengan berlagak tidak mengerti.
Kembali Liong-heng-pat-ciang
memeras otak, lalu menghela napas panjang, "Ai, terus terang saja
kukatakan, dewasa ini Hui-liong-piaukiok kami telah bertemu dengan musuh
tangguh padahal aku cuma mempunyai seorang puteri saja, maka hatiku baru bisa
tenang setelah ia mendapat perlindungan yang dapat dipercaya."
Pelahan Tonghong Tiat
mengangguk "Ya, paman Than memang terlampau sayang pada puteri
satu-satunya, perkataanmu memang ada benarnya."
Sebagai seorang pemuda yang
jujur, perkataan tersehut timbul dan lubuk hatinya yang murni.
Tonghong Ouw yang selama ini
membungkam tiba-tiba berkata dengan dahi berkerut "Akhir-akhir ini berita
dunia persilatan mengatakan bahwa paman Tham mempunyai hubungan yang erat
dengan peristiwa berdarah yang berlangsung belasan tahun yang lalu, numpang
tanya kabar ini benar atau tidak?"
Dasar pemuda berdarah panas,
apa yang ingin diketahui dalam hati segera pula diutarakan tanpa tedeng
aling-aling.
Air muka Liong-heng-pat-ciang
berubah hebat, tiba-tiba ia menengadah lalu tertawa terbahak2: "Haha.
fitnahan kaum bandit yang berjiwa kotor tak perlu kugubris, apakah keponakan
sekalian percaya pada kabar tersebut?"
Tonghong Kang dan Tonghong Ouw
saling pandang sekejap, tapi sebelum mereka bicara lagi, Tonghong Tiat menjela
lebih dulu sambil tertawa: "Selama mengembara di dunia persilatan, paman
Tham memang sukar menghindarkan permusuhan dengan orang, Ngo-te mana boleh
kau... "
"Hahaha, keponakan Ouw
masih muda dan berparah panas, memang begitulah watak seorang muda yang normal
jangan salahkan dia!" cepat Liong-heng-pat-ciang berseru sambil tertawa.
Kemudian, sinar matanya
tertuju ke arah Tong-hong Ceng tapi berkata terhadap Tonghong Tiat.
"Keponakan Tiat, menurut
adat, kakak tertua bisa mewakili ayah. Apabila keponakan Tiat dapat mengambil
keputusan dan Setuju, kuyakin Tonghong loyacu"
Belum habis ucapannya mendadak
dari luar terdengar suara langkah orang yang ramai, dengan dahi berkerut Liong
heng-pat-ciang segera berbangkit.
"Ada apa?" bentaknya
dengan gusar.
Dengan tangan yang terjulai ke
bawah dan kepala tertunduk rendah, Pat kwa-ciang Liu Hui berdiri munduk-munduk
di bawah undak-undakan, ketika Tham Beng muncul ia lantas berkata dengan
prihatin, "Ada orang mengantarkan tiga kotak hadiah kemari apakah
Congpiautau hendak melihatnya?"
Air mukanya tampak diliputi
rasa kaget dan ketakutan, ketenangan yang dimilikinya pada hari2 biasa kini
lenyap tak berbekas, Tham Beng cukup tahu bahwa anak buahnya yang ini selalu
tenang, maka perubahan sikapnya itu membuktikan ada suatu kejadian besar telah
berlangsung, ia termenung sebentar baru saja akan melangkah pergi, tiba2
Tonghong Kang berseru sambil tersenyum "Bila ada sesuatu yang kurang
leluasa silakan paman Tham berlalu lebih dulu."
Ruang tengah penuh diliputi
suasana yang menyeramkan Liong heng-pat-ciang Tham Beng berdiri kaku di hadapan
tiga buah batok kepala dengan muka sepucat mayat dan tubuh gemetar karena
embusan angin dingin di luar.
Hui-liong-sam-kiat, tiga orang
gagah dari Hui-liong-piaukiok yang namanya tersohor di dalam dunia persilatan,
ternyata telah terbunuh dengan mengenaskan!
**************************
Hal 5 robek sebagian
**************************
kan tekanan batin yang berat,
meski kedua tangan Pat-kwa-ciang Liu Hui mengepal kencang, namun masih
kelihatan juga tangan itu gemetar tiada hentinya.
Entah berapa lama sudah lewat,
tiba-tiba Tong hong Kiam menjerit kaget "He, di mana Samte? Ke mana
dia?"
Dengan kaget semua orang
berpaling, betul juga Tonghong Ceng yang sejak tadi hanya berdiri kaku
membungkam, kini sudah lenyap tak berbekas.
**************************
Hal 6 robek sebagian
**************************
Dengan wajah yang murung dan
sedih Tham Bun ki seorang diri duduk di bawah lampu, cahaya lampu yang mirip
impian menyinari sepasang matanya yang sayu dan rambutnya yang hitam.
Seluruh tubuhnya, jiwanya,
perasaannya seolah-olah berada di alam mimpi, impian yang penuh penderitaan,
penuh penyesalan.
Kegembiraan dan senyuman suka
dukanya di masa lalu kini sudah jauh meninggalkan dia, sebab tubuh dan jiwanya
telah berubah jadi kaku, seperti orang linglung.
Dalam hati dia sudah mengambil
keputusan selama hayat masih dikandung badan, dalam hidupnya ini dia tak akan
kenal lagi apa artinya "cinta kasih" sebab "cinta kasih"
adalah sesuatu yang amat menakutkan.
Dia buang jauh-jauh segala
kenangan lama, ia buang jauh-jauh segala kerinduan, dia hanya tahu hidup
bagaikan sesosok mayat hidup, terserah, masa bodoh. kapan ayahnya mengaturkan
saat pernikahannya, kapan pula dia akan mengenakan pakaian pengantin, lalu...
Lalu bagaimana?
Diapun buang jauh-jauh segala
pikiran selanjutnya, sebab dia percaya kehidupan yang serba kaku ini akan
membuat dirinya cepat mati atau sebelum kekakuan membinasakan dirinya dia akan
bunuh diri sendiri.
Tiba-tiba . terdengar suara
pelahan di luar jendela, ia tidak menggubris, tidak menegur ataupun bergerak,
seakan-akan suara itu tak didengar olehnya. Tapi dari luar jendela segera
berkumandang suara orang menegur dengan suara tertahan "Nona Tham!"
Dengan pikiran yang kosong ia
mendekati jendela, membuka dan melongok keluar.
Meski dalam hati kecilnya waktu
itu timbul juga sedikit rangsangan tapi ia segera buang jauh-jauh segala
pikiran, menolak segala kesedihan atau pun kegembiraan.
Bayangan hitam berkelebat di
luar jendela, seperti sedang menggapai padanya.
Ketika bayangan di luar
jendela itu menggapai lagi untuk ketiga kalinya! secara di bawah sadar gadis
itupun melayang keluar jendela.
Ilmu meringankan tubuh Tham
Bun ki masih tetap indah dan mempesona, di tengah keheningan malam yang dingin
ia meluncur keluar dengan entengnya.
Namun ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki orang di depan sana ternyata jauh lebih hebat lagi, hal ini
membuat Tham Bun-ki! rada terperanjat.
Tapi dengan cepat dia buang
jauh-jauh semua pikirannya
Sekejap kemudian, secara
beruntun kedua orang itu sudah melayang keluar halaman belakang, melintasi
rumah yang berderet dan menuju ke pinggiran kota yang sepi,
Di bawah pohon Pek-yang yang
sudah layu tiba-tiba bayangan manusia di depan itu berhenti.
Dengan enteng Tham Bun ki
berkelebat ke depan dan melayang turun tepat di hadapan orang tampaklah orang
itu bertubuh jangkung bermata tajam, bermuka pucat dengan alis mata yang
bekernyit penuh kemurungan.
Bun-ki cukup kenal siapa
gerangan orang ini dia tahu orang-orang ini adalah pemuda yang paling tampan
dan disanjung puji orang dalam dunia persilatan, Tonghong Ceng dari Tonghong
ngo-kiam, dia pun tahu orang ini tak lain adalah bakal suami sendiri yang
dipilihkan oleh ayahnya.
Meski demikian mukanya tetap
hambar, tetap kosong, tidak kelihatan kaget juga tidak kelihatan malu, malah
dengan nada dingin ia menegur "Ada urusan apa?"
Ketenangan dan keketusan yang
luar biasa ini, seketika membuat Tonghong Ceng jadi tertegun.
Lama sekali ia berdiri kaku,
dia ingin mengubah seluruh perasaannya menjadi kekuatan yang dapat menenangkan
hatinya, setelah air mukanya kembali tak beremosi, pelahan ia baru menjawab
"Aku cuma ingin menanyakan satu hal kepadamu."
"Katakan"
"Apakah kau bersedia
kawin dengan aku" TongHong Ceng mengepal tangannya kencang2
"Yaa."
Tonghong Ceng menggigit bibirnya
dengan kuat, lama sekali baru bertanya lagi dengan dingin. "Apakah
kesedianmu itu timbul dari hati sanubari mu sendiri?"
"Tidak."
Tonghong Ceng terkesiap, hawa
dingin terasa menyusup naik dari alas kakinya hingga menembus hulu hatinya,
matanya memandang ke tempat kegelapan dengan tatapan kosong, lama sekali ia
baru berkata lagi: "Lalu persoalan apakah yang memaksa kau menerima
perjodohan ini?"
Tham Bun-ki mengalihkan
pandangan dan melirik sekejap ke arahnya, tatapan yang kaku, seakan akan Tonghong
Ceng hanya sepotong balok kayu belaka.
"Bila kawin dengan kau,
maka selamanya ayah tak akan mencelakai jiwa Hui Giok lagi." sahutnya
kemudian dengan tak acuh.
Berbicara sampai di sini,
tiba-tiba sekulum senyuman tersungging di ujung bibirnya, senyuman yang penuh
ejekan, senyuman menghina.
"Sudah pahamkah kau!
Sudah puaskah kau! lanjutnya sejenak kemudian
Tonghong Ceng berdiri kaku
seperti patung, ia merasa pipinya seakan-akan baru ditampar orang keras-keras,
mukanya sebentar berubah jadi pucat dan sebentar menghijau, pikirannya jadi
kusut dan bergolak, tiba-tiba teriaknya, "Baik, baik, kau tak perlu kawin
dengan aku! aku akan pergi, segera aku pergi!"
Sekali melompat, seperti orang
gila dia berlari menuju ke tempat kegelapan, yang tertinggal hanya gema
suaranya yang gemetar tadi terbawa embusan angin.
Kegelapan malam menyelimuti
wajah Tham Bun-ki yang pucat, di balik kelopak matanya tampak butiran air mata
dan membuat matanya berkaca-kaca, ia tahu bahwa perbuatannya telah melukai
perasaan seorang pemuda, diapun sadar beberapa patah katanya yang singkat tapi
dingin dan kaku itu ibaratnya berjuta-juta batang anak panah yang menghunjam
hulu hati pemuda itu, mencabik-cabik perasaannya.
Tapi, segera ia membuang
jauh-jauh semua pikiran itu.
Sejak itu dunia persilatan
akan kehilangan seorang pendekar muda yang bermasa depan cemerlang, upacara
pernikahan yang diidam-idamkan ayahnya juga selamanya tak akan terselenggara,
hari bahagia yang telah diatur itu pun akan terus terkatung-katung.
Tapi, apa sangkut pautnya
segala sesuatu itu dengan dia?
Kembali dia menolak untuk
memikirkannya.
Apapun tak dipikirkan lagi
olehnya, seperti kejadian apapun seakan-akan tak pernah berlangsung. Dengan
langkah yang tenang ia berjalan kembali ke kamarnya.
Belum beberapa langkah ia
berjalan, tiba2 nona itu merasa ada sesosok bayangan orang mengadang di
hadapannya.
Bayangan manusia itu muncul
secara mendadak, ibaratnya segumpal kabut yang tlba-tiba mengambang tiba, cepat
Tham Bun-ki menghentikan gerakan tubuhnya dan memandang ke depan.
Entah sedari kapan, tahu-tahu
di depan telah berdiri seorang perempuan berbaju seputih salju, bersanggul
tinggi dan mempunyai perawakan tubuh yang tinggi dan besar begitu besarnya
sehingga agak mengerikan.
Yang paling aneh, di punggung
perempuan itu menggendong sebuah keranjang berwarna kuning emas, dalam
keranjang berduduk seorang pria berbaju kuning emas pula.
Laki2 itu bertubuh cebol.
perawakannya persis seperti seorang anak kecil. tapi bajunya perlente seperti
seorang raja muda.
Jenggotnya panjang sekali,
ketika terembus angin ber-goyang2 mengibas sanggul si perempuan yang tinggi,
sementara kedua matanya yang tajam menatap wajah Tham Bun-ki tanpa berkedip.
Terkesiaplah gadis itu, segera
teringat olehnya siapa gerangan kedua orang aneh yang dihadapinya ini.
Dengan air muka sedingin es
dan tanpa emosi ia lantas menjura, lalu bertanya dengan suara hambar, "Ada
urusan apa?"
Kim tong menghela napas
panjang, "Ai, rupanya kecuali anak Giok mati di hadapannya, persoalan
apapun di dunia ini mungkin tak akan bisa menggerakkan hatinya lagi"
Giok-Ii juga menunjukkan
perasaan kasihan bercampur kuatir, ujarnya, "Anakku, usiamu masih muda,
masa depannya masih panjang, kenapa pikiranmu tak bisa terbuka?"
Tham Bun-i" tertawa
pedih: "Bila urat sutera telah menjadi kepompong, serat sutera baru bisa
diambil. Lilin sudah meleleh air mata sudah mengering, segala sesuatu kejadian
di dunia ini laksana bunga dalam cermin dan bulan dalam air, siapa bilang jalan
pikiran Wanpwe belum terbuka?"
"Sungguhkah itu?" tanya
Kimtong sambil mengelus jenggotnya dan tertawa.
Giok-li berpaling sekejap ke
arah suaminya lalu mengomel "perasaan orang sudah menjadi begini masa dia
membohongi lagi dirimu?"
"Hahaha. ." Kim-tong
terbahak-bahak, "Nak. terus terang kuberitahukan kepadamu, ulat suteramu
belum menjadi kepompong, lilinmu juga belum meleleh, selama masih ada kami
suami isteri, di dunia ini tak akan ada bibit cinta yang mati sebelum
bersemi."
Mencorong sinar mata Tham
Bun-ki, tak tahan lagi ia menengadah dan melirik sekejap ke arah berdua orang
tokoh persilatan itu.
Giok li tertawa ringan, sambil
membelai rambutnya iapun berkata, "Nak, usaha yang bersungguh-sungguh
dapat membuat batu dan emas jadi meleleh, di dunia ini tak ada persoalan yang
tak bisa di tundukkan oleh cinta yang sejati, teringat kembali peristiwa masa
lalu, ketika aku dan dia..."
Dengan pandangan penuh kasih
sayang diliriknya Kim-tong sekejap, tiba2 pada wajahnya yang kasar tersungging
senyuman yang lembut.
"Rintangan dan kesulitan
yang kami hadapi waktu itu berpuluh kali lipat lebih hebat daripada apa yang
kalian alami sekarang," sambungnya perlahan, "tapi. . coba kau lihat,
bukankah sampai sekarang pun kami masih tetap dua sejoli dan selalu berada
bersama?"
Dengan termangu Thani Bun-ki
memandang potongan tubuh mereka yang aneh, memandang kelembutan dan kasih
sayang mereka yang hangat. Tiba-tiba ia merasa di balik perasaannya yang kaku
dan dingin timbul lagi setitik rasa kasih sayang yang lembut dan hangat.
Di hadapan kedua orang tokoh
persilatan yang aneh ini, segala sesuatu yang "tak mungkin" di dunia
ini seakan-akan berubah jadi "mungkin". Segala cinta kasih yang
khayal seakan-akan berubah jadi keyakinan" Segala sesuatu
"impian" yang ada di dunia ini seakan-akan berubah jadi kenyataan.
Dan segala "air mata" bisa berubah menjadi "senyuman"
"Tekad yang bersungguh
dapat membuat batu dan emas pun meleleh, benarkah hal ini?" ia mulai
bergumam dengan lirih.
Senyuman yang semula menghiasi
wajah Kim tong tiba-tiba lenyap, dengan serius dia berkata "Tentu saja
sungguh, asal cinta kasihmu dapat lolos dari ujian yang penuh penderitaan, maka
cinta murnimu itu pada suatu ketika pasti akan mendapat imbalan yang
semestinya."
"Ya anakku," ujar
Giok h dengan lembut.
"Meskipun kau memiliki
cinta sejati, namun kau tidak memiliki kepercayaan maka perasaanmu, berubah
menjadi kaku dan menderita Nak, bersediakah kau mendengarkan nasehat
kami?"
Tiba-tiba Tham bun-ki
merasakan hatinya bergolak keras, butiran air mata yang sudah lama mengering
mendadak meleleh kembali, ia menengadah dan mengangguk.
Kim-tong tertawa nyaring,
"Hahaha!, . Bagus sekali, asal kau sudah memiliki cinta yang sejati dan
rasa percaya pada diri sendiri, maka berarti akupun berhasil menggembleng
sebentuk batu yang akan bersinar cemerlang."
"Nah, anakku sayang!
ikutlah kami pergi," bisik Giok-li lembut. meskipun perjalanan di depan
masih amat jauh dan penuh kesulitan, tapi jangan takut! coba lihatlah, walaupun
kegelapan ditengah malam itu cukup panjang, bukankah fajar pun tetap akan
menyingsing?"
Sekali lagi Tham Bun-ki
mengangguk, lalu mengikuti di belakang kedua tokoh persilatan itu, berangkatlah
gadis itu menuju ke arah timur di mana sinar pertama segera akan terbit.
Oo- oO Oo - oO
Betapapun malam yang gelap dan
panjang, akhirnya fajar pasti juga menyingsing
Angin tetap berembus kencang,
salju kembali turun dengan lebatnya, musim dingin terasa makin membekukan
badan.
Namun gerombolan manusia yang
berkumpul di kota Bu han sama sekali tidak menghindari cuaca yang membekukan,
mereka masih berkerumun di sepanjang jalan raya yang ramai itu.
Sekalipun semalam suntuk
mereka tidak tidur, namun pagi ini mereka semua masih tampak segar bugar.
Liong-heng-pat-ciang telah
datang mungkinkah hujan badai masih jauh?
Beratus-ratus pasang mata,
baik yang beradu jauh ataupun yang berada dekat, terpusat dan tertuju ke arah
pintu gerbang berwarna hitam pekat yang tertutup rapat itu.
Berita sensasi, desas-desus,
bisikan berbisa tiada hentinya mengalir dan tersiar dalam kota itu.
"Engkau tahu, Cian Sin
jiu juga sudah sampai di kota ini?"
"Kemarin malam, kulihat
ada orang mengantarkan tiga kotak hadiah besar untuk Liong heng pat ciang kau
tahu benda apakah itu?"
Eh, kabarnya si puteri naga
Tham Bun-ki juga sudah datang mungkin kedatangannya adalah untuk dikawinkan
dengan Tonghong Ceng dari Tonghong-ngo kiam. Wah kalau begini keadaan Liong
heng-pat-ciang ibaratnya harimau bertumbuh sayap, kedudukannya jelas bertambah
kuat"
Aku berani bertaruh, sebelum
tengah hari nanti, Hui taysianseng pasti juga akan sampai di sini untuk
menuntut balas terhadap Tham Beng"
Menurut taksiranmu, kepandaian
siapa lebih tinggi di antara kedua orang itu? Kalau masa jelas menjagoi Tham
Beng."
Di antara kawanan jago itu,
anak buah Sin jiu Cian Hui juga membaurkan diri di tengah mereka, bahkan ikut
aktip menyiarkan berita dan sas-sus, baik yang sungguhan maupun hanya isapan
jempol belaka.
"Kalian tahu siapakah
Kongsun Tay-liok, Siang Hui ki dan Si Beng bertiga jagoan yang disebut Hui
liong sam kiat? Ternyata balok kepala mereka sudah dipotong oleh Cian Sin jiu,
tiga kotak hadiah besar yang dikirimkan kepada Liong heng pat-ciang kemarin
malam tak lain adalah berisikan..."
"Kau tahu, meskipun Tham
Beng sudah membawa puterinya kemari, tapi belum tentu Tonghong-hengte bersedia
menikah dengan dia sehingga merusak nama baik sendiri."
"Walaupun usia Hui
Taysianseng masih muda tapi dalam silatnya benar-benar sudah mencapai tingkatan
yang sukar diukur, asal dia turun tangan niscaya Liong heng~pat~ciang bukan
tandingannya"
Berita sensasi, gosip, suara
burung dan masing2 memenuhi seluruh kota, membuat suasana tambah heboh.
Waktu berlalu sangat lambat
rasanya bagaikan siput yang merangkak, begitu lambat sehingga membikin orang
jadi tak sabar. Sampai tengah hari, baik di kota Bu han maupun di kota Han-ko
masih belum tampak bayangan Hui-taysianseng, Sin jiu Cian Hui,
Tonghong-ngo-kiam, Liong-hcng-pat cjang maupun Jit-giau-tui hun.
-o0o~~ -X- -o0p-
Walaupun dalam kota tidak
turun salju, di luar kota penuh bertaburan bunga-bunga salju.
Hui Giok berdiri di bawah
emper rumah sambil memandang bunga salju yang beterbangan di udara, pikirannya
waktu itu amat kalut, sekalut bunga salju yang berhamburan.
Musuh besar pembunuh orang
tuanya kini berada di kota Han-ko tapi gadis yang paling dicintai justeru
berada pula di samping musuh besarnya itu.
Mulai sekarang hingga akhir
hayat, selamanya janganlah membuat sedih seorang gadis yang mencintaimu.
Kata-kata tersebut entah sudah
berapa kali dia ulangi, bunga-bunga salju yang bertaburan di hadapannya seakan-akan
semuanya telah berubah menjadi raut wajah Leng-goat-siancu yang pucat sedih dan
terukir dalam2 di lubuk hatinya.
Ia tak tega untuk mengingkari
janjinya kepada perempuan itu, tapi diapun tak dapat melupakan sakit hatinya
yang lebih dalam dan lautan itu.
Ia tak dapat melupakan sakit
hati yang sedalam lautan, namun iapun tak dapat melupakan cinta kasih Tham
Bun-ki yang sulit dijajaki itu.
"Bagaimanapun juga aku
tak dapat membiarkan arwah ayah dan paman menanggung penyesalan di alam
baka!"
Akhirnya dia mengambil
keputusan!
Ketika berpaling, diluarnya
Wan Lu tin yang duduk di depan jendela sedang menghela napas panjang dengan
sedihnya .
"Salju turun dengan
derasnya, entah bagaimanakah keadaan enci Bun-ki" bisiknya lirih.
Hati Hui Giok terasa bergetar
keras. Tapi sebelum ia bicara apa apa, Jit-giau-tui-hun Na Hui hong telah
bersuara duluan, "Ai sampai kini Liong heng-pat-ciang masih belum
melakukan tindakan apa-apa, penantian ini sungguh terasa lebih tersiksa
daripada melakukan pekerjaan apapun! Aku... bagaimanapun juga dia belum tahu
kalau pikiranku telah berubah dan berkiblat kepada orang lain, bila aku yang
pergi mencari berita, mungkin keadaan mereka yang sebenarnya akan dapat
diketahui."
Hui Giok menghela mpas sambil
menggeleng kepala.
"Saudara Na"
katanya, "perbuatan yang merugikan orang tak nanti bertahan lama, kalau
kita tak ingin ditipu orang dengan muslihat yang licin dan keji, kenapa kita
sendiri harus membodohi orang dengan akal busuk?"
Jit-giau tui hun tertegun ia
merasa kata-kata itu mengandung makna yang dalam, kata-kata semacam itu tak
boleh diabaikan dengan begitu saja.
Dalam pada itu, Leng
kok-siang-bok yang duduk di dekat jendela sebelah sana, tiba-tiba Leng Han-tiok
berseru, "Ah, itu dia. beritanya sudah datang!"
Belum habis perkataannya,
seorang laki-laki, berbaju ringkas telah berlari masuk dengan tergesa-gesa,
mimik: wajahnya yang aneh menunjukkan seakan-akan orang yang menemukan harta
karun mendadak, Ketika dibentak Na Hui-hong, buru-buru orang itu berkata,
"Suasana dalam kota pada saat ini amat kalut berita sensasi tersebar
dimana-mana menurut berita yang tersiar dari mulut para jago Hui-liong piaukiok
katanya Hui-liong-sam kiat benar-benar sudah tewas."
Na Hui liong hanya menyahut
pelahan dengan berlagak tak acuh.
Maka orang itu berkata lebih
lanjut, "Yang paling penting adalah pada kemarin malam ternyata Tonghong
Ceng dan si puteri naga Tham Bun-ki telah menghilang bersama, dan karena itulah
Tham Beng masih berada dalam keadaan gelisah, maka hingga kini ia tidak melakukan
gerakan apa-apa,"
Mendengar berita itu Wan
Lu-tin menjerit kaget, sementara Hui Giok berubah air mukanya
Jit-giau-tui-hunNa Hui-hong juga melenggong entah kaget, entah girang oleh
kabar itu. Sampai-sampai Leng-kok-siang-hok pun ikut bangkit berdiri saking
kagetnya setelah mendengar berita itu.
"Apakah kabar itu bisa
dipercaya" Na Hui hong bertanya dengan nada berat.
Dengan napas terengah
laki-laki berpakaian ringkas itu mengangguk.
Siapa tahu belum lenyap rasa
kaget mereka selagi mereka masih bingung mendadak dari luar halaman kembali
berlari masuk seorang sambil berteriak keras-keras
"Di luar pintu ada
kedatangan seorang pembawa bendera dari Hui-liong piau kiok, katanya ingin
berjumpa dengan Hui-taysianseng," lapor orang itu "ilmu silatnya
sangat lihay, Tio Peng-hui dan Ong Tek ki yang bermaksud menangkap orang itu
untuk digusur ke hadapan Bengcu telah dirobohkan dalam sekali gebrakan
saja."
"Apakah kau lihat jelas
bagaimana tampang orang itu?" tanya Jit-giau-tui hun Na Hui-bong dengan
wajah masam.
Laki-laki itu berpikir
sebentar, lalu menjawab "Orang itu berwajah kuning pucat, seperti baru
saja sembuh dari sakit parah, pakaian yang dikenakan adalah seragam pembawa
panji Hui liong piaukiok, sebuah topi lebar yang terbuat dan anyaman bambu hampir
menutupi sebagian wajahnya, sukar bagi orang lain untuk meneliti sorot matanya,
tentang sepatu apa yang dia pakai, hamba tidak melihat jelas!"
"Hmm, Apakah ia membawa
senjata?" tanya Jit-giau tui-hun sambil mendengus.
"Perawakannya hampir sama
dengan potongan badanku, ia tidak membawa senjata, tapi dibalik pinggangnya
terselip sebuah senjata sejenis Lian-ci tong (tombak) atau senjata sebangsa
ruyung Juan-pian."
"Dalam perusahaan Hui
liong piaukiok mana ada manusia macam begitu?" kata Jit~giau-tui-hun dengan
kening berkerut, "Bengcu, biar Siaute periksa dulu!"
"Tak usah!" jawab
Hui Giok dengan wajah dingin, "kalau kedatangannya jelas untuk mencari
aku, biarlah aku sendiri saja yang menghadapinya." Belum habis
perkataannya ia lantas berlari ke luar dan menerobos dengan cepat, setelah
melewati ruang tengah tertampaklah di luar pintu gerbang belasan orang
laki-laki kekar berkerumun di depan pintu sambil mengadang seorang pria di
depannya.
Hui Giok merentangkan
tangannya menyingkirkan orang banyak dan menerobos ke tengah, tertampaklah
seorang laki-laki persis seperti apa yang dilukiskan tadi berdiri tenang di
depan pintu gerbang, dilihat dan sikapnya yang seenaknya itu seolah-olah dia
tak pandang sebelah mata terhadap belasan orang laki-laki yang merintanginya
itu.
Dengan dahi berkerut, Hui Giok
segera menegur, "Sobat, siapa kau? Ada urusan apa mencari aku orang she
Hui?"
Laki-laki itu masih tetap
menunduk, melirik Hui Giok sekejap pun tidak.
"Apakah semua perkataanku
tidak kau dengar?" tegur Hui Giok pula dengan dahi berkerut.
Laki-laki itu berdehem lalu
dengan suaranya yang parau menjawab, "Tham congpiautau memerintahkan aku
datang kemari untuk menasehati dirimu agar segera menyerah kepada Hui-liong
piau-kiok, kalau tidak... Hmm Hmm!"
Air muka Hui Giok berubah
tertawa dingin lalu katanya, "Lebih baik segera kau pulang."
Tapi sebelum ucapan itu
berlanjut, tiba-tiba laki-laki itu menengadah sambil terbahak-bahak menyusut
topi nya yang lebar itu dilepas sehingga tertampaklah matanya yang besar.
Tiba-tiba Hui Giok berteriak
"Hah, kiranya kau!" - Sekali lompat dia menubruk maju dan menggenggam
erat-erat bahu orang itu, di bawah hujan salju yang lebat mereka menegadah dan
bergelak tertawa.
Leng-kok-siangbok. Jit-giau
tui-hun dan Wan Lu-tin yang baru saja melangkah keluar dari pintu gerbang sama
tertegun menyaksikan adegan tersebut.
Di tengah gelak tertawanya
yang nyaring, terdengar Hui Giok berkata, "Hai selama ini kau pergi ke
mana saja? Mengapa tidak mengirim berita kepadaku?"
"Hahaha! gerak-gerikku
selama ini boleh dibilang misterius sekali, sudah tentu rahasianya ini boleh
sampai terbocor." sahut laki2 tadi sambil tergelak. "Lalu ia
membimbing Hui Giok dan bersama2 naik ke atas tangga batu.
Tiba2 Wan Lu-un merasa kenal
dengan orang ini, dia berseru tertahan, "Hai Li Yau-bin" Kenapa kau
sampai di sini?"
"Li Yau-bin?" Hui
Giok tertegun dan menghentikan langkahnya "Siapakah Li Yau-bin?"
Sementara itu Jit-giau-tui hun
yang juga ikut mengawasi orang itu dengan teliti tiba2 merasakan bahwa mata
orang sudah sangat dikenalnya, setelah merenung sekian lama, akhirnya ia
teringat kembali.
"Wahai Jit-giau-tongcu,
kenapa kaupun muncul di sini?" sapanya.
"Hei. siapakah
Jit-giau-tongcu?" Wan Lu-tm berseru keheranan, "Jelas dia adalah Li
Yau-bin seorang pegawai pembawa bendera Hui-liong piau kiok, mana bisa jadi
Jit-giau-tongcu segala? Hati hati kalian jangan sampai tertipu oleh
muslihatnya."
Hui Giok berpikir sebentar,
kemudian tertawa terbahak-bahak, "Hahaha" Tentunya selama ini kau
telah bermain gila, betul tidak? Tapi, bagaimana ceritanya sehingga Jit
giau-tongcu Go Beng-si bisa berubah menjadi Li Yau-bin?"
Jit-giau tongcu Go Beng si
tertawa tuturnya. "Hahaha! Yang dimaksudkan "Li-yau-bin" adalah
"minta nyawamu", artinya minta nyawa Tham Beng" Hahaha . . ceritanya
panjang sekali, tak mungkin kujelaskan dalam sekejap saja. Ayo hidangkan arak
dulu, sambil minum kita bercerita lagi."
Maka sambil bergelak tertawa
kedua orang ini lantas menuju ke halaman belakang sambil bergandengan tangan,
sekalipun kedua sahabat senasib dan sependeritaan serta sehidup semati ini
sudah lama tak berjumpa, namun dalam soal hubungan batin ternyata sama sekali
tidak menjadi renggang.
Sejah masuk ke dalam ruangan,
Na Hui hong segera menghidangkan arak, pada kesempatan itulah Jit giau tongcu
Go Beng si berkata sambil tertawa, "Saudara Na, selamat atas keputusanmu
untuk kembali ke jalan yang benar! Untuk memeriahkan hari besar ini, Siaute
ingin menghormati cawan arak khusus kepada saudara Na."
Mendengar perkataan itu, baik
Hui Giok maupun Na Hiu-hong jadi tertegun, tanpa terasa mereka berseru
berbareng, "Hei, darimana kau tahu?"
Tersenyumlah Go Beng-si,
Saudara Na" demikian
katanya terus terang kuberitahukan kepadamu, pada hakekatnya Ong Tek ki dan Tio
Peng-hui yang barusan kurobohkan itu tak lain adalah mata-mata yang sengaja
kuatur untuk menyusup ke dalam tubuh perkumpulanmu sejak setahun yang lalu,
sebab itu segala gerak-gerik saudara Na dapat kuketahui dengan amat gamblang
sekali."
Mula-mula Jit-giau tui-hun
masih tertegun, kemudian dengan perasaan ngeri ia berdiri termangu peluh dingin
terasa membasahi telapak tangannya. Dulu ia selalu menganggap kecerdikannya
luar biasa dan tiada tandingannya di dunia ini, tapi sekarang ia baru tahu
bahwa pikirannya itu keliru patas saja dia merasa kaget, ngeri dan juga malu.
Setelah perjamuan dimulai,
Jit-giau-tongcu Go Beng si mulai mengisahkan semua pengalamannya yang berliku
liku selama beberapa waktu ini.
Lebih dulu ia berkata,
"Sejak kudengar saudara Hui mengisahkan asal-usulnya, tahulah aku bahwa
Liong-heng-pat-ciang pasti menyimpan suatu intrik besar terhadap dia, sebab
barang siapa mengatakan manusia berbakat bagus seperti dia ini sebagai seorang
goblok, maka orang itu sendiri kalau bukan sinting pastilah maha tolol, padahal
kita semua tahu Tham Beng bukanlah orang sinting atau orang tolol, maka kuyakin
dia pasti mempunyai maksud-maksud tertentu."
"Sebab itulah, sejak mula
aku sudah mengubah wajahku dengan obat rias aku berusaha menyusup ke tubuh Hui
liong piaukiok untuk memperhatikan secara diam-diam apakah Tham Beng ada
sesuatu rahasia yang dapat kubongkar, kemudian tanpa sengaja akupun berhasil
menemukan si kusir yang bernama Ko-put-ki itu, kudengar juga igauannya dalam
mimpi, maka kugunakan pelbagai cara dan akal untuk memancing orang itu agar
secara sukarela dan tanpa paksa mau mengungkapkan rahasia tersebut!"
Kisah ini diucapkan dengan
singkat dan terburu-buru, seolah-olah dia masih ada urusan maha penting lainnya
yang harus segera dilaksanakan.
Sekalipun singkat dan
terburu-buru, namun keterangan ini sudah cukup membuat semua orang merasa
terkejut bercampur heran.
Begitulah, sambil tersenyum ia
bertutur lebih lanjut, "Dari saudara Hui sering kudengar ceritanya tentang
nona Wan ini, maka secara diam-diam akupun sering memperhatikannya, atau
mencari kesempatan untuk bercakap-cakap dengannya, lalu dalam percakapan itu
seperti sengaja dan tak sengaja kuberitahukan pula banyak urusan
kepadanya?"
Mata Wan Lu-tin terbelalak
lebar-lebar, serunya kemudian "He, pantasan! . Sungguh tak kusangka kau...
kau begini cerdik!"
Go Beng-si tersenyum, ia
berkata pula kepada Hui Giok, "Ketika saudara Na berkunjung ke
Hui-liong-piaukiok tempo hari, akulah yang memancing nona Wan agar sengaja atau
tak sengaja berjumpa muka dengannya, kemudian akupun memberitahukan hubungan
antara Tham Beng dengan peristiwa berdarah pada belasan tahun yang lalu kepada
nona Wan, setelah itu kupancing pula dia untuk ke luar mencari dirimu."
Hui Giok segera menepuk jidat
sendiri sambil menghela napas, "Waktu itu aku sendiripun merasa heran,
kenapa seorang anak perempuan yang selalu terkurung dalam rumah bisa mengetahui
begini banyak rahasia? jadi kau rupanya Jit-giau tongcu!
"Namamu sepantasnya
diubah menjadi Sip-giau tongcu (si anak serba pandai)"
Tiba-tiba Wan Lu tin
membelalakkan matanya yang jeli sambil bertanya, "Ketika aku melarikan
diri dan rumah, hampir saja diriku tertangkap kembali oleh mereka, apakah
engkau pula yang secara diam-diam membantuku dengan memancing pergi
mereka?"
Sambil tersenyum Go Beng-si
mengangguk "Ya waktu itu keadaanku sendiri juga berbahaya, hampir saja
kedokku ketahuan, untung orang-orang itu goblok semuanya"
"Ai, bukan orang2 itu
yang terlalu goblok, tapi saudara Go yang cerdik. Ai, kecerdasanmu memang tiada
tandingannya di dunia ini," kata Jit-giau tui-hun Na Hui-hong sambil
menghela napas.
"Ah. saudara Na terlalu
memuji, rasa bangga terlintas pada wajahnya dan berkatalah lebih jauh
"semua itu masih belum apa-apa, dewasa ini Siaute telah meninggalkan
tulisan yang patut dibanggakan dalam kota Han-ko, sebelum senja nanti, bila
kita semua tiba di kota tersebut dan hahaha..."
Ia tertawa ter-bahak2 dengan
bangganya, lalu mengangkat cawan di depannya dan pelan tenggak menghabiskan
isinya.
Dengan rawan Wan Lu tin
menghela napas, ujarnya. "Aku benar2 merasa tidak mengerti bagaimana
caramu melakukan semua itu, tapi kau bilang hal itu belum apa2, Toako, tak
kusangka engkau mempunyai seorang sahabat sepintar ini, agaknya ia jauh lebih
pintar daripada dirimu"
"Sejak dulu dia memang
lebih pintar daripada aku," jawab Hui Giok sambil tersenyum.
sekalipun ucapan yang bernada
kagum dan sekadar melengkapi sopan santun, tapi nadanya dengar betapa tulus dan
jujurnya perkataan terdengar.
Go Beng-si menggeleng kepala
berulang kali "Keliru, keliru! sekalipun aku lebih cerdik juga tak lebih
hanya daun-daun hijau belaka, aku hanya cocok menjadi pembantu, tak dapat jadi
pemimpin."
Senyuman yang menghiasi
bibirnya mendadak lenyap, lalu dengan wajah serius lanjutnya: "Saudara
Hui, kau harus tahu, bunga Bo-tan yang sebenarnya adalah kau. Meskipun dunia
persilatan telah kalut, engkaulah yang berkewajiban menyelesaikan semua ini,
Thian menciptakan engkau untuk "umum" janganlah disebabkan soal cinta
dan dendam mengakibatkan kau patah semangat, ketika kulihat semangatmu amat
menurun tadi, hatiku benar2 sedih ketahuilah, dewasa ini beribu bahkan berjuta
pasang mata umat persilatan sama tertuju kepadamu, seluruh harapan mereka telah
ditumpukan di atas bahumu, bila kau patah semangat dikarenakan urusan pribadi semua
sahabat persilatan tentu akan bersedih hati."
Terkesiap hati Hui Giok
setelah mendengar perkataan itu, ia merasa kepalanya seakan-akan diguyur dengan
sebaskom air dingin, seketika itu juga pikirannya jadi terang, semua cinta
"pribadi", dendam "pribadi" segera tersapu lenyap dari
benaknya.
"Hui Giok, wahai Hui
Giok!" jeritnya dalam hati, "kau memang pantas mampus, apakah masa
depan sahabat persilatan di dunia tidak lebih penting daripada cinta dan dendam
pribadimu?"
Berpikir sampai di sini,
dengan perasaan menyesal dan terima kasih ia bangkit berdiri dan menjura kepada
Go Beng si, untuk sesaat dia tidak tahu apa yang mesti dkatakan!
Leng-kok-siang-bok saling
pandang sekejap, ujar Leng Han tiok kemudian, "Dia adalah seorang sahabat
yang baik."
"Ya, seorang sahabat yang
sangat baik!" sambung Leng Ko-bok sambil menghela napas.
"Ai, barang siapa dapat
bersahabat dengan kedua orang seperti mereka, nasib orang itu sungguh mujur
sekali," kata Jit-giau tui-hun Na Hui hong pula.
"OXO -0 + 0-
Lewat tengah hari, awan yang
gelap mulai buyar dan sinar matahari pun memancarkan cahayanya menyinari jalan
raya di kota Han-ko.
Manusia yang berlalu lalang di
jalanan itu hampir saja meluap, kecuali rumah makan dan rumah penginapan hampir
seluruh warung dan toko telah tutup pintu, semua pertemuan perayaan perkawinan,
kematian, hubungan dagang, hubungan uang . . semua macet.
Kereta2 berpanji
Hui-liong-piaukiok yang berada di tepi sungai masih tetap diparkir di tempat
semula, namun air muka para piausu yang berjaga di sekeliling kereta mereka
tampak murung bercampur sedih.
Semua kabar yang tersiar,
semua berita yang terdengar, nadanya serupa, nadanya tidak menguntungkan bagi
Liong heng-pat-ciang, hal ini membuat semua jago persilatan merasa kaget
bercampur heran.
Bukankah posisi
Hui-liong-piaukiok sebenarnya berada di atas angin? Mengapa keadaannya sekarang
bisa berubah seburuk ini?
Sepanjang jalan raya penuh
dengan suara pembicaraan orang, mereka yang sebenarnya ketakutan sekarang
berani berbicara dengan suara lantang seluruh kota Han-ko bergolak se-akan2
sekuali air yang mendidih.
Hingga kini, pintu gerbang
berwarna hitam itu masih tertutup rapat, tapi manusia yang berkumpul di depan
pintu rumah itu makin lama semakin banyak, seakan-akan penonton yang sedang
menunggu mainnya wayang.
Tiba2, terdengar suara
gembreng dibunyikan bertalu-talu.
Beratus pasang mata segera
beralih ke arah suara itu, tertampaklah beratus orang laki2 berbaju hitam
berbaris datang dengan tertibnya, paling depan adalah empat orang yang menabuh gembreng
kemudian puluhan orang di belakangnya bersenjatakan golok, lalu puluhan orang
lagi yang membawa busur dan anak panah, paling belakang adalah seorang pemuda
berpakaian berkabung dengan wajah yang sedih.
Kemunculan orang2 itu
mengejutkan semua orang, sementara mereka masih memandang dengan
terheran-heran, kelihatan kawanan laki-laki berbaju hitam itu menaikkan pemuda
tadi ke atas sebuah meja di bawah emper rumah, lalu para laki2 yang bersenjata
golok mengelilingi di sekitarnya, kemudian para laki2 yang membawa busur dan
anak panah itu mengelilingi seputar para jago yang bersenjata golok.
Gembreng sekali lagi di
bunyikan bertalu-talu, maka pemuda berbaju berkabung itupun mengisahkan kembali
pengalamannya dan penderitaan selama hidup diiringi lelehan air mata dan luapan
emosi.
Tentu saja pemuda itu bukan
lain adalah keturunan Piausu yang terbunuh dalam peristiwa berdarah belasan
tahun yang lalu.
Penuturannya yang mengibakan
hati seketika juga mendapatkan simpatik dan luapan emosi dari beratus-ratus orang.
Akhirnya, pemuda berbaju
berkabung itu berlutut di tanah, lalu dengan suara keras berteriak. "Sejak
kecil penghidupanku sengsara, aku harus menanggung dendam dan lagi disiksa pula
oleh bajingan itu, sampai sekarang aku tak lebih hanya seorang lemah yang tak
punya tenaga untuk membunuh seekor ayam pun, dendam berdarahku ini terpaksa
harus kugantungkan kepada para paman dan saudara2 sekalian untuk memberi
keadilan demi tegaknya kebenaran dalam dunia persilatan!
Seruan itu segera mendapat
sambutan yang ramai dari kawanan jago silat yang berkumpul di situ.
Entah siapa yang mulai dulu,
tiba-tiba di tengah kerumunan orang banyak terdengar seorang berteriak,
"Bajingan munafik, bunuh saja Tham Beng-si anjing munafik yang terkutuk
itu."
Teriakan itu ibaratnya
percikan api di tumpukan jerami, seketika itu juga membakar dan mengakibatkan
suasana menjadi panas.
Seketika itu suara makian dan
kutukan berkumandang memenuhi udara jalan raya.
Pada waktu yang hampir
bersamaan dari empat penjuru kota Han-ko bermunculan pemuda-pemuda berkabung
yang sama-sama menuturkan kisah sedih mereka yang memancing kemarahan dan
luapan emosi khalayak ramai.
Seperti diketahui kawanan jago
persilatan itu pada umumnya adalah manusia berangasan yang berdarah panas,
setelah melewati masa penantian yang penuh kejenuhan, mereka hampir saja sukar
mengendalikan perasaan sendiri, tentu saja sedikit pancingan akan segera
merangsang emosi mereka yang meluap.
Bukan begitu saja, bahkan
mereka yang semula hanya bermaksud ikut menonton keramaian, kini telah
melepaskan posisi mereka yang cuma berpeluk tangan belaka itu, dengan marah dan
penuh emosi mereka ikut berteriak-teriak.
Yang lebih hebat lagi ternyata
piausu dari Hui liong-piaukiok yang semula bersitegang kini ikut tergerak juga hatinya
oleh kisah cerita itu sehingga dari sikap aktif kini mereka berubah pasif.
Tentu saja ada pula yang masih
setia kepada Tham Beng, tapi melihat umum yang sedang meluap amarahnya, sudah
barang tentu mereka tak berani sembarangan turun tangan.
Hanya satu harapan mereka,
yakni pintu gerbang hitam itu cepat-cepat terbuka!
Tiba-tiba ada puluhan orang
menyerbu ke tepi sungai, menerjang kawanan Piausu yang sedang murung itu dan
mendorong kereta-kereta kawalan tersebut ke dalam sungai yang deras arusnya.
Tindakan yang mengejutkan itu
segera memancing ratusan orang lainnya untuk menirukan cara yang sama, beratus
orang menyerbu dan mendorong beratus buah kereta yang lain ke dalam sungai.
Air yang muncrat membasahi
pakaian kawan manusia yang sedang kalap itu, namun air yang dingin itu bukannya
tak mampu memadamkan kobaran api amarah mereka, sebaliknya ibarat api di siram
minyak, kemarahan mereka tambah membara.
Berbondong-bondong mereka
menyerbu ke depan pintu gerbang hitam yang tertutup rapat itu lalu mencaci maki
dengan marahnya: Tham Beng keluar kau" Beri keadilan untuk kami
semua"
Diiringi caci maki yang ramai,
batu ikut di sambitkan pula ke pintu.
Maka batu, buah-buah busuk,
bahkan cawan teh dan mangkok ikut disambitkan ke arah pintu gerbang yang hitam
dan dinding pekarangan yang kelabu itu.
Tentu saja semua rencana yang
masak itu adalah hasil pekerjaan Jii giau-tongcu Go Beng-si yang amat cerdik
itu, ia mengadakan kontak dengan semua ahli waris Piausu yang terbunuh itu
serta mengirim mereka ke kota Bu-han, kemudian berusaha pula mengadakan kontak
rahasia dengan Sin-jiu Cian Hui untuk mengerahkan segenap jago dari
perserikatan orang-orang Kanglam agar melakukan demonstrasi serta mengobarkan
luapan amarah umum yang tak terpadamkan.
Akibatnya, semuanya berlangsung
menurut rencana serta pengaturan yang seksama, dan semua rencananya yang bagus
mendatangkan hasil yang luar biasa.
Oo - oO Oo - oO
Secara teratur Jit-giau-tongcu
Go Beng si masuk ke kota, sepanjang jalan ia membeberkan semua rencananya yang matang,
kemudian sambil tersenyum-senyum, katanya, "lnilah ilmu jiwa memperalat
emosi umum."
"Sungguh hebat!"
puji Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong sambil menghela napas.
Hui Giok yang sejak tadi
membungkam dengan wajah dingin ikut berbicara setelah lama termenung,
"Apakah kau tidak merasa tindakanmu ini sedikit kebangetan?"
"Ya, aku juga merasakan
kelewat batas!" bisik Wan Lu-tin sambil menghela napas sedih.
Jit-giau-tongcu Go Beng si
menghela napas katanya. "Keadaan sudah mendesak mau apa lagi kita, sekalipun
perbuatanku ini kuning bijaksana tapi terhadap manusia seperti Tham Beng,
kukira cara inilah yang paling cocok "
"Dalam pertarungan ini,
bila Tham Beng menang. maka nama kebesarannya akan semakin cemerlang, sementara
kesampingkan dulu soal dendam berdarah itu dan bicara menurut keadaan dunia
persilatan, kejadian inipun merupakan suatu kejadian yang menyedihkan, selama
hidup dia selalu menghadapi orang lain dengan kelicikan dan kebusukan hatinya,
maka bila kugunakan pula cara yang licik untuk menghadapi dia, jelas hal ini
suatu tindakan yang adil Hui heng, hidup sebagai seorang Enghiong (pahlawan) di
dunia ini janganlah memiliki sifat orang perempuan sehingga karena urusan kecil
mengakibatkan kalutnya rencana besar!"
Lama sekali Hui Giok
termenung, akhirnya ia menghela napas panjang "Ai, Enghiong,
Enghiong..."
Oo - oO Oo - oO
"Enghiong, Enghiong
.."
Tham Beng yang duduk di kursi
besar dalam ruang tengah juga sedang bergumam seorang diri Enghiong? Enghiong,
siapakah Enghiong? Kalau Enghiong, lantas bagaimana?"
Tokoh persilatan yang gagah
dan menjagoi dunia persilatan selama berpuluh tahun itu merasa betapa sedih,
dan hampanya hati.
Kejayaan yang dimulai dari
remang-remang lalu bersinar, dari bersinar jadi cemerlang, tapi sekarang ia
mulai merasakan suramnya kejayaan.
Kepergian Tham Bun-ki yang
secara tiba-tiba mendatangkan penderitaan batin bagi orang tua ini, ia merasa
kegagahannya punah, ambisinya lenyap.
Tonghong Tiat, Tonghong Kiam,
Tonghong Kang dan Tonghoog Ouw, keempat orang jago muda itu duduk di ruang
tengah dengan wajah hijau, caci maki yang mendengung dari luar pintu membuat
mereka sukar menahan dir, sambitan batu, pecahan cawan yang berhamburan di luar
halaman semakin membuat perasaan mereka bergolak namun sebagai seorang
pendekar, sebagai keturunan dan keluarga kaum orang gagah, mereka tak tega
berlalu dengan begitu saja dalam keadaan seperti ini.
Siapa pun di antara mereka tak
ada yang bisa menebak ke mana perginya Tonghong Ceng! Merekapun tak tahu
mengapa secara tiba-tiba ia pergi tanpa pamit?
Mengapa ia menghilang bersama
dengau lenyapnya Tham Bun-ki?
Dalam sebuah ruang samping di
sisi ruang tengah, Paf-kwa-ciang Liu Hui, Koay-be-sin-to Kiong Cing yang serta
Pian Sau-yan dan Lo Gi sekalian sedang duduk berkerumun sambil membicarakan
sesuatu dengan suara bisik-bisik.
Apa yang sedang mereka
bicarakan? Perundingan rahasia apa yang sedang berlangsung?
-ooO x 0oo- - oo O x 0oo-
Jejak Sin-jiu Cian Hui paling
sukar dilacaki orang.
Waktu itu ia sedang mengeram
di rumah hiburan Pek-lin-wan, dalam sebuah kamar yang mungil milik Siau-pek-lan
seorang pelacur terkenal di kota Buhan.
Kaitan emas menyantol kelambu
di sisi pembaringan, dengan alas seprei yang penuh sulaman indah, Sin-jiu Cian
Hui rebah di pembaringan yang empuk itu.
Siau pek-lan yang duduk
termenung di hadapannya sedang memandang tercengang tamunya yang banyak emosi
itu.
Belum pernah ia ketemui tamu
seperti ini, dalam hati kecilnya yang telah penuh bernoda menghadapi tamu yang
tampak kasar tapi murung dan acuh tak-acuh ini, mendatangkan daya pikat yang
tak bisa dilawan.
Tapi sejak tengah malam
kemarin hingga kini, sang tamu cuma duduk termangu sambil merenung dengan dahi
berkerut, kadangkala ia keluar pintu memberikan suatu perintah singkat sebentar
pula menceguk secawan arak yang disodorkan oleh tangan Siau-pek-lan yang halus.
Akhirnya Siau pek-lan tak
tahan, sambit menghela napas tegurnya "Hei, apa yang sedang kau
pikirkan?"
Sin-jiu Cian Hui hanya
bergumam tak jelas, maklum, banyak urusan yang sedang ia pikirkan sekarang.
Menurut keadaan di depan mata
sekarang, pihak perserikatan orang2 Kanglam telah berhasil menguasai keadaan
dan berada di pihak yang menang, tapi kemenangan semacam ini baginya boleh
dibilang sama sekali tak bermanfaat.
Tiba-tiba ia merasa bahwa "boneka"
yang di pelihara menurut rencananya, kini sudah menjadi seorang
"Enghiong" yang termashur dan cemerlang. Enghiong ini tak mungkin
bisa dikendalikan oleh siapapun, sedang semua kekuasaan, semua kejayaan yang
telah disusun menurut rencananya boleh dibilang telah jatuh semua ke tangan
orang itu.
Dengan teliti dikupasnya semua
itu, ya, bagaimanapun juga dia memang seorang jago yang tangguh, ternyata
kupasannya terhadap keadaan sedemikian cermat dan pintarnya, dengan jelas pula
ia sudah menghitung hasil yang dapat diperoleh dari kemenangannya itu telah
berselisih jauh sekali dengan apa yang diperhitungkannya menurut rencana
semula.
Walaupun Siau-pek lan sudah
lama terjun di dalam profesinya sebagai pelacur, tapi, mana bisa ia menebak isi
hati tokoh dari golongan "rimba hijau"
Pelahan dia angkat kakinya
yang telanjang dan menyentuh paha Sin-Jiu Cian Hui lalu serunya dengan manja,
"Hei, kau..."
Si Tangan Sakti Cian Hui
berkerut dahi, lalu dengan mata melotot membentak, "Mau apa kau..."
Siau-pek-lan teekesiap, ia
merasa sinar mata orang setajam sembilu dan membuat dia tak berani menatapnya
lebih lama, tapi pengalamannya sebagai wanita penghibur untuk memberi reaksi
memang berbeda dengan orang biasa.
Ia mendesis lirih kemudian
menubruk ke dalam pelukan Sin-jiu Cian-hui sambil mengeluh malu "Kenapa
galak-galak? Aku jadi kuatir melihat kemurunganmu, aku ingin menghilangkan
kemurunganmu, aku cinta kepadamu !"
Bisikan yang lembut, rayuan
yang manis penuh daya pikat itu segera menimbulkan pergolakan di dalam hati
Sin-jiu Cian Hui.
Alis matanya yang semula
bekernyit kini mengendur, wajahnya juga mulai ramah Pemimpin kaum perampok yang
selama hidupnya berjuang demi nama, demi pekerjaan, bahkan sering melakukan
penipuan dan perampasan ini sekarang sudah terjatuh ke dalam kelembutan dan
kehangatan seorang perempuan.
Kelembutan dan kehangatan yang
diterimanya sekarang memang suatu hiburan dalam menghadapi kekecewaan, kesepian
serta kemerosotan ambisinya.
Siau-pek-lan ikut merasakan
perubahan dan pergolakan hati sang tamu, pelahan dia menjulurkan tangannya yang
halus dan lembut dan merapikan jenggot orang yang terurai kusut itu, kemudian
berkata dengan lirih: "Kau . kau sedang memikirkan apa? persoalan apa yang
mengganjal hatimu? Katakanlah kepadaku, mau bukan?"
"Ai, kau tidak akan
mengerti sahut" Sin-jiu Cian Hui sambil menghela napas panjang.
Dengan biji matanya yang jeli
dan genit Siau pek-lan mengerling sekejap, lalu berkata lagi dengan lembut
"Kalau begitu. . akan kunyanyikan suatu lagu untuk menghilangkan segala
kemurunganmu, mau bukan?"
Dengan lemah gemulai ia
bangkit berdiri, kakinya yang telanjang menginjak permadani yang lebar,
diambilnya sebuah pipeh (sejenis alat petik) yang tergantung di sudut dinding
sana.
Sete!ah menyetel senar,
mendehem pelahan, kemudian iapun menyanyi, suaranya terasa merdu lembut dan
menawan hati.
Di tengah buaian lagu yang
merdu itu tiba-tiba Sm-jiu Cian Hui merasakan kelembutan serta kehangatan yang
ditemuinya disini, mungkin akan melupakan penghiburnya yang terbesar di kemudian
hari.
Ditatapnya perempuan cantik di
hadapannya itu, mendadak perasaannya terjadi pergolakan, suatu pergolakan yang
belum pernah dirasakan sebelumnya. Bukankah kelembutan seperti kehangatan
paling mudah menghilangkan ambisi orang. Tapi sekarang dia harus pergi, harus
melakukan perjuangan yang terakhir demi kekuasaannya.
Ia membetulkan pakaiannya,
lalu berbangkit, teriakan marah dan luapan emosi yang menggema di luar
lapat-lapat berkumandang sampai di dalam kamar yang indah dan harum ini.
-o0o -ooo
Suasana di jalan raya
bertambah kacau.
Lautan manusia yang berkerumun
di depan pintu gerbang bercat hitam itu bertambah kalap, walau begitu
kewibawaan Liong heng-pat-ciang Tham Beng masih kelihatan besar dan disegani,
hal ini terbukti tak seorangpun yang berani menerjang naik ke atas undak
undakan batu.
Para anggota
Hui-liong-piaukiok ada yang secara diam-diam melepaskan seragam mereka untuk
mencampur-baurkan diri dengan kelompok orang ramai yang marah, bahkan ada pula
yang diam-diam melarikan diri.
Beribu pasang kaki
menginjak-injak tanah lumpur yang becek.
Pantulan sinar sang surya yang
telah condong ke barat menyinari pintu gerbang yang bercat hitam itu.
Mendadak Pintu gerbang itu
pelahan terbentang lebar . .
Ljong heng pat-ciang Tham
Beng, tokoh persilatan yang selama ini memimpin dunia persilatan dan disegani
orang itu muncul dengan wajah sedingin salju, ia melangkah keluar dengan
tindakan yang lebar dan penuh bertenaga.
Sorot matanya yang tajam
menatap sekejap sekeliling tempat itu, hiruk pikuk yang semula melanda seluruh
jalan raya seketika jadi hening. Ya, tokoh persilatan ini memang memiliki
wibawa yang luar biasa, wibawanya sudah tertanam dalam-dalam di sanubari setiap
orang persilatan ketika sorot matanya yang tajam menyapu pandang untuk ketiga
kalinya, lautan manusia yang bergolak di tengah jalan seketika jadi tenang.
Dari kekalutan berubah jadi
tenang, saat itu jalan raya jadi sedemikian heningnya seperti sebuah kota mati,
orang-orang yang kebetulan sedang berlari mendekatpun tanpa sadar segera
meringankan langkah kakinya.
Pelahan Liong-heng pat-ciang
Tham Beng memandang sekejap orang-orang yang dibikin keder oleh wibawanya itu,
kemurungan yang menyelimui wajahnya tidak jadi berkurang, sambil menuding ke
depan ia menegur dengan suara lantang "Apa yang hendak kalian
lakukan?"
Meskipun wajahnya sedemikian
tenang, tapi dalam hatinya tersembunyi kegelisahan kemurungan dan perasaan tak
tenang.
Kendatipun begitu, ucapannya
tetap bertenaga tegas dan nyaring ibarat genta raksasa yang di bunyikan
bertalu-talu, ibarat guntur yang menggelegar di udara, membuat matahari yang
berada di barat seakan-akan suram oleh getaran suaranya yang keras itu.
Tanpa terasa barisan manusia
yang berada paling dekat menyurut mundur selangkah dengan perasaan kaget.
Tonghong-hengte yang sedang
muncul dari balik pintu dan menyaksikan keadaan tersebutpun menghela napas
panjang, pikir mereka: "Ulat berkaki seribu, matipun tak kaku sungguh tak
nyana meski Liong-heng pat-ciang sedang menghadapi pelbagai kesulitan, namun suara
bentakannya masih begini nyaring dan berwibawa!"
Sementara itu, Liong-heng-pat
ciang telah membentak lagi dengan alis mata menegak, "Kalau tak ada
urusan, mau apa kalian ber kaok2 di sini" Ayo cepat pergi dan tempat
ini!"
Barisan manusia yang berada
paling depan mundur lagi beberapa langkah tanpa terasa, tapi berhubung orang2
di bagian belakang tidak ikut bergeser, maka suasana di sana lantas terjadi
kegaduhan.
Di antara suara luruk-pikuk
dan suasana yang makin kalut, tiba-tiba terdengar ada orang berseru:
"Utang darah bayar darah! Orang she Tham utang darah yang telah kau buat
pada belasan tahun, bila tidak kau bayar kontan sekarang, jangan harap kau bisa
pergi dan sini dengan selamat!"
Teriakan itu segera mendapat
tanggapan yang riuh, suasana bertambah kalut.
"Tutup mulut!"
bentak Liong-heng-pat cianlg dengan mata melotot dan dahi berkerut.
Bentakan itu ibaratnya guntur
membelah bumi di siang hari bolong, seketika juga memekakkan telinga beribu
orang yang hadir di situ, sekaligus menghapuskan suara kacau yang berkumandang
di sana.
Sambil mengepal tinjunya
kencang-kencang Liong heng pat-ciang Tham Beng membentak lagi "Siapa yang
berbicara? Ayo tampil ke muka!"
Kawanan manusia itu hanya
saling pandang tak seorang pun yang berani tampil ke depan. Suasana kembali
diliputi keheningan.
Kata Tham Beng dengan suara
lantang: Peristiwa berdarah yang terjadi pada belasan tahun yang lalu memang
benar-benar merupakan suatu peristiwa besar, kalian belum lupa, aku orang she
Tham, juga belum lupa, bahkan setiap waktu, setiap saat selalu berusaha
menyelidiki keadaan yang sebenarnya, tapi duduk persoalan yang benar hingga
kini masih terselubung oleh kabut tebal. Kalian semua sudah lama mengenal aku
Tham Beng, apakah hanya dikarenakan ada sekawanan manusia rendah yang sengaja
melontarkan fitnahan keji padaku, lalu kalian ikut menuduh Tham Beng sebagai
seorang pembunuh?"
Direntangkan kedua tangannya,
lalu bentaknya lantang: "Apakah aku Tham Beng mirip seorang
pembunuh?"
Semua orang memandang ke
depan, menyaksikan potongan badannya yang kekar mukanya yang berwibawa, ada
sementara orang mulai ber-pikir2 "Ya, apakah dia mirip seorang
pembunuh?"
Mereka yang berdiri agak jauh
diam-diam mulai berbisik-bisik pula membicarakan persoalan itu.
Beberapa orang di antaranya lantas
mulai beranjak, tapi dari delapan penjuru segera menggema lagi
teriakan-teriakan gusar, "Fakta sudah jelas, apa kah kau masih ingin
mungkir."
"Seorang laki-laki sejati
berani berbuat berani pula bertanggung jawab, Tham Beng wahai Tham Beng, tak
nyana kau adalah seorang pengecutl" demikian suara teriakan dan tengah
lautan manusia sana.
Bergetar seluruh rambut dan
jenggot Liong heng pat ciang Tham Beng saking gusarnya, ia membentak "Faka
apa? Mana buktinya? Siapa yang dapat menunjukkan satu saja dari bukti itu? Hayo
kalau ada orang yang bisa menunjukkannya, aku Tham Beng segera akan gorok leher
sendiri di hadapan kalian, aku akan bunuh diri tanpa merepotkan orang lain
untuk melakukannya apa gunanya omong kosong tanpa bukti sambil menfitnah orang?
Cara-cara seperti ini mana bisa menundukkan orang banyak."
Ia berhenti sebentar, kemudian
tambahnya "Jika benar ada orang bisa menunjukkan faktanya, silakan tampil
ke depan. aku Tham Beng menjamin takkan mengganggu seujung rambutnya."
Bersama selesainya perkataan
itu tiba-tiba Tonghong Tiat maju ke muka dengan langkah lebar, kemudian serunya
dengan lantang, "Aku Tonghong Tiat, demi nama baik serta kehormatan
Hui-leng-po dalam dunia persilatan selama puluhan tahun ini kujamin kebenaran
dan janji Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, apabila hari ini Tham Beng mengganggu
seujung rambut pembawa bukti tersebut, maka kami dari Hui-In-poo yang
pertama-tama akan menutut keadilan baginya, sebaliknya kalau tak ada pang yang
bisa menunjukkan fakta, melainkan cuma omong kosong dan memfitnah orang
seenaknya maka kami dari Hui-im-po juga akan mewakili Tham Beng untuk menuntut
keadilan pada kalian semua!"
Perkataan ini diucapkan dengan
nada yang jelas, tandas, dan berwibawa.
Tanpa terasa Tham Beng melirik
sekejap ke arah pemuda yang berjiwa pendekar itu dengan pandangan rasa terima
kasih. Pemuda itu berkata lagi setelah berhenti sebentar, "Sahabat-sahabat
persilatan, siapakah yang tidak percaya pada Hui im-po kami?"
Keluarga Tonghong dari
Hui-in-po yang terletak di Hau-khu dalam propinsi Kang-soh mempunyai kedudukan
yang luar biasa dalam dunia persilatan ucapan Tonghong-siaupoocu itu segera
menggetarkan perasaan kawanan jago yang hadir ini.
Di antara kerumunan manusia
seperti ada yang berbisik, "Ya, kalian kan berbesanan, tentu saja kau
bantu dia!"
Tapi baru saja selesai berucap
ia kembali di getarkan oleh pandangan Tonghong Tiat yang tajam.
Sekali lagi keheningan
mencekam seluruh jalan raya itu.
Di tengah keheningan, tiba-
terdengar gelak tertawa yang keras berkumandang dari ujung jalan depan sana.
Semua kekacauan jeritan kaget,
bentakan gusar serta ketenangan dan keheningan yang terjadi dapat disaksikan
dan didengar Hui Giok dengan jelas, ia berdiri di depan jendela sebuah loteng
rumah makan dan menyaksikan semua peristiwa itu dengan membungkam, perasaannya
waktu itu entah sedang marah kasian atau sedih!
Jit-giau tongcu Go Beng-si
diam2 sedang mengawasi perubahan mimik wajahnya, kadangkali senyum kebanggaan
tersungging diujung bibirnya, jelas ia merasa puas dengan hasil yang
direncanakannya itu.
Ketika Tonghong Tiat selesai
berkata tadi, dia cuma tertawa dingin saja.
"Hei, dalam keadaan
begini, apa yang kau tertawakan?" tegur Hui Giok sambil berpaling.
Jit giau tongcu Go Beng si
masih tertawa, lalu ia menghela napas dan berkata, "Aku sedang
menertawakan semangat pemuda itu, dengan mengandalkan nama orang tua serta
perguruannya yang tersohor, ternyata sama sekali tak tahu akan kelicikan orang
persilatan. Dewasa ini Liong-heng-pat-ciang sudah terdesak, bukan saja teman
lari dan anak buah pun berkhianat tapi Tonghong Tiat masih membantu dia
berbicara... ai!"
Helaan napas panjang
mengakhiri perkataannya, tampaknya ia gegetun akan sikap Tonghong Tiat itu.
Lama sekali Hui Giok
termenung, akhirnya iapun ikut menghela napas panjang, "Ai justeru itulah
aku merasa Tonghong hengte tak malu jadi keturunan orang kenamaan, mereka baru
pantas disebut seorang laki2 berdarah panas, kau tak boleh memandang hina
mereka !"
Sepasang mata Jit-giau-tongcu
berkilat ia seperti hendak mengucapkan sesuatu. tapi niat itu segera diurungkan
sebab pada saat itulah Sin jiu Ciau Hui secara tiba-tiba muncul di jalan raya.
Ibaratnya sepotong batu besar
yang tiba-tiba tercebur ke dalam telaga, deburan ombak segera melanda empat
penjuru.
Kerumunan orang banyak yang
sudah panas kian mendidih dengan munculnya jagoan itu, air muka Tonghong-hengte
berubah hebat, sedang Liong-heng-pat-ciang dengan wajah yang serius mengamati
Cian Hui yang selangkah demi selangkah sedang menghampiri ke arahnya.
Setiap satu tindak dia
melangkah, suara manusia yang hiruk pikuk tertahan sedikit, ketika ia sudah
tiba di hadapan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, keheningan lantas terjadi.
Tonggong Tiat menjura,
tegurnya " Apakah Cian-cengcu mempunyai bukti yang nyata?"
Sin-jiu Cian Hui tertawa
dingin, dengan matanya yang tajam ia menatap sekejap wajah Liong-heng pat-ciang
Tham Beng, kemudian berkata dengan lantang, "Benarkah kau menginginkan
bukti?"
Liong heng pat ciang tertawa,
dahi berkerut tiba-tiba hardiknya "Bawa kemari buktimu?"
Sin Jiu Cian Hui segera
memberi tanda, dua orang dengan mengempit seorang laki-laki yang ketakutan
muncul dan kerumunan orang banyak.
"Ko-put ki, kenalkah
siapa orang ini?" bentak Sin jiu Cian Hui.
Dengan ketakutan Ko put-ki
melirik sekejap ke arah Liong heng-pat ciang, lalu jawabnya dengan gemetar
"Dia Liong heng-pat-ciang Tham toaya!"
"Berdiri di sini dan
kisahkan kembali semua kejadian yang pernah kausaksikan dengan mata kepala
sendiri itu kepada semua orang gagah yang hadir ini" seru Cian Hui lagi.
"Ham... hamba ti... tidak
berani." keluh Ko put-ki dengan badan gemetar.
Dia merasakan sorot mata
Liong-heng-pat-ciang yang tertuju ke arahnya itu lebih tajam daripada pisau, ia
merasa hatinya bagaikan ditusuk membuat dia keder.
Sin jiu Cian Hui menjengek dia
berpaling ke arah Tonghong Tiat dan serunya kemudian dengan nyaring
"Tonghong-siaupocu, apakah engkau dapat menjamin keselamatan orang
ini?"
"Demi nama baik keluarga
kami kujamin keselamatannya, bila orang ini sampai terluka seujung rambut saja,
langsung tanyakan kepada aku, Tonghong Tiat."
Sin-jiu Cian Hui lantas
berpaling sambil berseru, "Setelah ada jaminan dan Tonghong-siaupocu ,
masa kau masih kuatir?"
Akhirnya Ko-put-ki
memberanikan diri untuk mengisahkan kembali apa yang dilihatnya itu sepatah
demi sepatah, meskipun suaranya tidak terlampau keras, tapi seluruh jalan raya
hening bagaikan kuburan, setiap orang pasang telinga dan mendengarkan dengan
seksama.
Sejaik awal sampai akhir air
muka Liong-heng pat-ciang tetap sedingin salju, ia tidak mengucapkan sepatah
katapun, dan orang lainpun tak dapat meraba bagaimana pikiran serta perasaannya
ketika itu.
sedangkan Tonghong-hengte
saling pandang dengan wajah pucat.
Bahkan Hui Giok yang berada di
loteng rumah makan itu ikut pucat pula wajahnya lantaran emosi.
"Saudara Hui!" bisik
Go Beng si, "sebentar lagi kau boleh turun ke bawah dan balaskan dendam
bagi kematian orang tuamu!"
Hui Giok tertunduk dengan
mulut membungkam, lama dan sama sekali dia baru berkata "Ku harap tak ada
orang yang membantu diriku!"
Mata Jit-giau-tongcu Go
Beng-si memancarkan sinar tajam, tapi tidak bersuara lagi.
Wan Lu-tin yang berada di
belakang mereka tiba-tiba menghela napas sedih sambil berkata, "Ai...
akupun tidak ingin menyaksikan orang banyak mengerubuti seorang kakek yang
sudah lanjut usia."
Sekalipun dia... sekalipun dia
adalah pembunuh ayahku."
Hui Giok berpaling dan
memandangnya sekejap, ia merasa hanya pada anak perempuan inilah dapat
memperoleh pengertian dan simpati.
Sementara itu Sin-jiu Cian Hui
telah membentak pula, "Sahabat-sahabat sekalian, sudah kalian dengar
perkataannya bukan?"
Caci maki bernada marah segera
berkumandang kembali dari kerumunan orang banyak.
"Tham Beng, apalagi yang
hendak kau ucapkan?" demikian bentak Cian Hui seraya berpaling "Di
tengah malam bersalju pada belasan tahun berselang, apakah kau berada di kota
Po-teng?"
Air muka Liong-heng-pat-ciang
kaku seperti mayat, jawabnya dingin: "Benar!"
Caci maki orang banyak
seketika meledak. sedemikian kerasnya suara itu hampir-hampir menggetar
bangunan loteng yang berada di sekeliling tempat itu.
Air muka Tonghong-hengte
berubah hebat sedang Sin-jiu Cian Hui tertegun sejenak, tapi dengan cepat
bentaknya lagi "Kalau begitu, jadi kau telah mengakui Jiang-kiam-bu tek
Hui-si-siang-kiat mati dibunuh olehmu?"
Hui Giok yang berada di loteng
merasakan jantungnya berdebar keras, kaki dan tangannya terasa jadi dingin
semua.
Liong-heng pit-ciang Tham Beng
tidak nampak panik atau gugup, dengan kalem dia berkata "Di tengah malam
bersalju pada belasan tahun dulu, entah berapa laksa orang yang berada di kota
Po-teng, apakah mereka semua pun kau tuduh sebagai pembunuh
Hui-si-siang-kiat?"
Teriakan marah orang banyak
segera berubah jadi caci-maki yang pedas.
"Hahaha! .. suatu
penyangkalan yang licik dan tidak tahu malu," seru Sin-jiu Cian Hui sambil
terbahak-babak, "apakah kau..."
Belum habis perkataannya
tiba-tiba Liong heng-pat-ciang Thxm Beng bergelak pula dengan nyaringnya, gelak
tertawa yang dilancarkan dengan tenaga murni yang kuat, seketika itu juga suara
tertawa Sin-jiu Cian Hui berhasil dibikin sirap.
"Apa yang kau
tertawakan?" bentak Sin-jiu Cian Hui dengan marah, "Hm, dalam keadaan
demikian kau masih bisa tertawa, sungguh tidak tahu malu"
Liong-heng pat-ciang Tham Beng
berhenti tertawa, katanya dengan lantang, "Hanya berdasarkan bualan
seorang kasar yang berpendidikan rendah kau berkeras mengangapnya sebagai suatu
fakta sungguh aku tak tahu harus mengartikan kau ini seorang yang licik atau
seorang goblok?"
Setelah berhenti sebentar
sinar matanya menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu teriaknya
lagi dengan lantang: "Saksi seperti itu setiap saat aku pun bisa
mendapatkannya belasan orang! Sobat2 sekalian, aku percaya kalian berotak
tajam, apakah kalian mau percaya begitu saja atas pengakuan seorang kusir
kereta?"
Teriakan marah serta caci-maki
kotor kian lama kian mereda.
Tonghong Tiat yang cuma
membungkam sejak tadi segera menimbrung dengan dahi berkerut "Berbicara
menurut suara hati, bukti semacam ini memang tak dapat dianggap sebagai bukti,
Cian-cengcu..."
Sambil tertawa dingin Sin-jiu
Cian Hui menukas, "Tak bisa dianggap sebagai bukti? Bagus! Bagus! Kalau
begitu, kecuali Jiang-kiam-bu-tek bangkit kembali dari liang kuburnya, maka di
dunia ini tak ada yang bisa membuktikan kau orang she Tham adalah
pembunuhnya?"
Tonghong Tiat tertegun, cepat
ia berpaling ke arah saudara-saudaranya. Waktu itu baik Tonghong Kiam maupun
Tonghong Kang dan Tonghong Ouw sama-sama menunjukkan mimik wajah yang berbeda
namun mereka sendiri tak tahu harus percaya kepada perkataan siapa."
"Hehebe seorang kakek
yang licik" desis Jit giau tongcu yang beradu di loteng rumah makan ambil
tertawa dingin.
Hui Giok menghela napas
panjang, "Ai, jika bicara keadaan yang sebenarnya, hingga kini kita memang
belum berhasil mendapatkan suatu buku yang dengan jelas dapat menunjukkan
dialah pembunuhnya, jika cuma andalkan beberapa fakta yang semu itu sebagai
patokan untuk menjatuhkan vonis bahwa dia pembunuhnya, kurasa..."
"Saudara Hui." tukas
Jit-giau-tongcu Go Bcug-ei dengan dingin, "hatimu terlalu mulia, ingatlah
berjiwa lembut seperti perempuan selamanya tak akan berhasil dengan pekerjaan
besar."
Hui Giok tertegun sejenak.
tiba2 dalam hati kecilnya timbul suatu perasaan antipati atas ucapan Go Beng-si
itu. Cepat sinar matanya beralih lagi ke arah lain.
Tertampaklah Liong
heng-pat-ciang tetap berdiri tegak di tempat semula. Seakan-akan embusan angin
puyuh yang bagaimana tak akan merobohkan kakek itu.
Lama dan lama sekali, Tonghong
Tiat baru berkata "Urusan telah berkembang jadi begini, meskipun kami
berada di luar lingkaran persoalan ini mau tak mau harus mengucapkan juga
beberapa patah kata yang adil. Seandainua bukti nyata belum ditemukan, kuminta
saudara sekalian berpikir lagi sebelum bertindtak, janganlah menuduh orang lain
sewenang-wenang!"
Sin-jiu dan Hui tertawa
dingin, baru saja dia hendak bicara, tiba-tiba terdengar bentakan keras,
berkumandang dari kejauhan :"Aku mempunyai bukti yang meyakinkan
itu."
Semua orang terperanjat beribu
pasang mata serentak beralih ke arah suara itu.
Tertampaklah pat-kwa-ciang Liu
Hui, Koau be-sin-to Kiong Cing-yang, Lo Gi serta Pian Sau yan muncul dengan
langkah lebar.
Empat orang itu semuanya
merupakan orang-orang kepercayaan Liong-heng pat ciang, Keruan ucapan tersebut
bukan saja bikin semua orang tercengang Sin jiu Cian Hui sendiripun merasa di
luar dugaan.
Liu Hiu! Mau apa kau?"
bentak Liong-hen pat-ciang dengan air muka berubah.
Pat-kwa-ciang Liu Hui tidak
berkata apapun, bahkan melirik saja tidak, Dia langsung menuju ke samping Sin
jiu Cian Hui, lalu sambil mementangkan tangannya ke atas, serunya dengan
lantang:
"Sobat-sobat sekalian,
meskipun aku Liu Hui sudah puluhan tahun mengikuti Tham Beng, tapi masih
mempunyai sedikit Liang sim setelah urusanberkembang jadi begni, mau-tak-mau
aku harus mengucapkan beberapa patah kata demi ditegakkannya keadilan dan
kebenaran."
Liong-heng-pat-.ciang berkerut
kening, rambut dan jenggotnya serasa kaku saking gusarnya karena merasa
dikhianati.
"Jangan gusar dulu
paman," ujar Tonghong Tiat cepat, "coba kita dengarkan apa yang
hendak mereka katakan!"
Sampai saat ini. pemuda dan
keluarga ternama ini masih tidak mengurangi sopan santunnya dalam bicara, hal
ini membuat Tham Beng merasa semakin terharu.
Suasana dalam arena kembali
terjadi kegaduhan, orang banyak mulai berbisik-bisik lagi membicarakan
persoalan ini.
Terdengar Pat-kwa-ciang Liu
Hui berkata lebih jauh, "Belasan tahun belakangan ini, walaupun Tham Beng
mengecup kejayaan dan kecermelangan namun ia selalu tak enak makan tak nyenyak
tidur, hal ini menunjukkan hatinya kuatir atas suatu kejadian yang pernah
dilakukan olehnya, apalagi sejak ia mendengar pengakuan sahabat kusir kereta
yang bernama Ko-put-ki itu, dengan pelbagai tipu muslihat yang paling busuk dan
licik ia berusaha melenyapkan orang2 Perserikatan Kanglam dari muka bumi."
Suatu perasaan tertipu dan
dikhianati membuat Liong heng pat-ciang Tham Beng yang selalu tenang jadi naik
darah, sampai-sampai sekujur badannya ikut gemetar menahan emosi.
Mimpipun dia tak mengira orang
yang paling dipercaya pada hari-hari biasa, kini malahan menista dirinya.
Dalam marahnya, tokoh
persilatan yang disegani ini segera membentak, "Bangsat yang tak tahu
budi."
Kesepuluh jari tangannya
dipentangkan seperti kuku garuda, ia siap menerjang dan meng-koyak2 tubuh
Pat-kwa-ciang Liu Hui.
"Jangan bertindak
gegabah!" seru Tonghong Tiat sambil bergerak maju dan mengadang di
depannya.
Dengan suara agak gemetar
karena emosi teriak Liong heng-pat-ciang Tham Beng, "Dunia persilatan
adalah dunianya manusia untuk saling adu otot, saling beradu pikiran dan saling
tipu menipu, semua orang sudah tahu Hui liong piaukiak tak bisa hidup
berdampingan dengan Perserikatan orang-orang Kanglam, maka apabila dengan
pelbagai cara kugunakan membasmi kelompok tersebut dari muka bumi, hal ini
adalah kewajiban demi kesejahteraan hidupku, dan akupun tak akan menyangkalnya,
tapi jika ada orang menuduh aku Tham Beng seorang pembunuh, dengan
mempertaruhkan jiwa ragaku aku Tham Beng akan mengajak orang itu untuk beradu
jiwa!"
Wajahnya yang penuh emosi,
ucapannya yang tegas, membuat orang merasa bahwa serangkaian kata-katanya itu
bukan bohong belaka.
Hati Hui Giok yang berada di
atas loteng tergerak, sementara Go Beng-si mengejek sambil tertatawa dingin,
"Hehe, manusia munafik yang pandai bersandiwara sungguh tak kusangka Liong
heng pat ciang sebetulnya adalah manusia macam begini!"
Waktu itu, Sin-jiu Cian Hui
juga sedang tertawa dingin, Saudara Liu, teruskan kata-katamu, dalam keadaan
dan saat seperti ini aku tanggung manusia she Tham itu tak berani berbuat apa2
terhadap dirimu!"
Pat kwa-ciang Lin Hui
tersenyum, terusnya: "Kesemua ini hanya dapat membuktikan Tham Beng
sebenarnya adalah manusia munafik yang berhati keji, tapi belum dapat
membuktikan dialah orang berkedok yang sudah melakukan pembunuhan berdarah pada
belasan tahun yang lalu itu."
Ia berhenti sebentar dan
memandang sekeliling tempat itu dengan pandangan tajam, tertampak semua orang
sedang menahan napas sambil memusatkan seluruh perhatian ke arahnya.
Pelahan dia berkata pula,
"Tapi ada satu hal dapat membuktikan bahwa dialah pembunuh kedua Hui
bersaudara Jiang kiam bu-tek."
"Hal apakah itu...
?" semua orang berebut bertanya dengan tak sabar.
Tonghong-hengte ikut
memperhatikan dengan wajah serius, sedang Hui Giok yang berada di atas loteng
hampir saja tak dapat mengendalikan perasaannya.
"Masih ingatkah kalian,
benda mestika apakah yang sedang dikawal jiang kiam-bu-tek pada hari naasnya
itu? Dan apa pula manfaat benda mestika tersebut?" kata Pat-kwa-ciang Liu
Hui.
Ada sebagian orang yang tak
tahu bagaimana harus menjawabnya, tapi ada yang segera berteriak "Pek giok
ciam-cu,"
"Yaa apakah saudara Liu
maksudkan mestika Pek giok ciam-cu (katak budak kemala hijau) yang dapat
meramalkan terang-mendungnya cuaca?" tanya Sin jiu dan Hui.
"Benar!" seru
Pat-kwa ciang Liu Hui sambil tertawa dingin "Pek-giok-ciam cu itulah yang
ku maksudkan, dan kini Pek giok-ciam-cu tersebut justru berada didalam saku
Liong-heng-pat ciang "Tham Beng"
Seruan kaget berkumandang dan
empat penjuru ibaratnya ledakan dahsyat, Hui Giok juga terkesiap hingga
tangannya mengepal keras, sedang Jit-giau-tongcu menampilkan senyum kebanggaan.
Setelah suara kaget agak
sirap, teriakan marah kembali bergema di udara.
"Geledah sakunya?"
"Perintahkan kepadanya
untuk keluarkan Pek-giok-ciam-cu,"
"Manusia she Tham, apakah
dalam sakumu tiada Pek-giok-ciam-cu, hari ini kami akan lepas kan kau pergi,
tapi kalau sebaliknya kami akan hajar kau sampai mampus untuk membalaskan
dendam bagi kematian orang2 gagah yang terjadi belasan tahun dulu.
Pat-kwa-ciang Liu Hui berdiri
di samping dengan senyum aneh menghias wajahnya, tiba2 ia tertawa dingin dan
ikut berseru, "Wahai manusia she Tham, kalau kau merasa bahwa dirimu bukan
pembunuh, beranikah kau membiarkan kami menggeledah bujumu?"
Untuk sesaat
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng berdiri termangu, akhirnya dan marah dia malah
bergelak tertawa, gumannya, "Mengge!edah bajuku... menggeledah
bajuku..."
Tiba-tiba dengan mata melotot
dan wajah beringas penuh kegusaran, dia membentak "Siapa yang berani
menggeledah diriku?"
Bentakan itu ibaratnya gelegar
guntur di siang hari bolong, semua orang saling berpandangan dan tak seorang
pun berani menghampirinya.
Tonghong Tiat berkerut kening,
tapi sebelum ia sempat bicara tiba-tiba dilihatnya Si-Iam-to (golok perenggut
nyawa) Lo Gi tampil ke depan.
Setelah berada di muka, ia
mengerling sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil menjura katanya
dengan lantang, "Walaupun kalian mempunyai sakit hati terhadap orang she
Tham ini, namun Giok-pek-Ciam-cu tersebut justeru mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan aku Lo Gi dan aku yakin rahasia ini tak diketahui oleh
siapapun!"
Si-hun-to Lo Gi yang selama
ini tak banyak omong, secara tiba2 mengungkapkan rahasia yang maha besar, sudah
tentu keterangannya itu menimbulkan rasa tercengang orang banyak.
Tonghong-hengte berpaling,
mereka lihat air muka Liong-heng-pat-ciang kembali berubah hebat.
"Saudara, apa yang hendak
kaukatakan? Ayo bicaralah secara blak-blakan, kami siap mendengarkannya,"
kata Tonghong Ouw.
"Sebetulnya
Pek-giok-ciam-cu tersebut adalah benda mestika milik seorang hartawan dari
Wi-lam yang dititipkan kepada saudara angkatku Toan-hun to (golok pemutus
nyawa) Sun Pin sebagai barang kawalan, gara2 benda itu, saudara angkatku sampai
mengikat permusuhan dengan Wi-yang-sam-sat yang merupakan bandit ganas di utara
sungai, dalam bentrokan yang terjadi, walaupun saudaraku berhasil melukai
Tui-mia (si pengejar nyawa) Tio-loji. Tapi dia sendiri pun diuber-uber oleh
Siau-siang-bun Thia Eng dan Toh-mia sam-long The Kun sehingga tak ada tempat
untuk bercokol. Karena peristiwa inilah maka akhirnya Pek-giok-ciam-cu itu di
operkan kepada Jiang-kiam-bu-tek untuk melanjutkan kawalannya"
Ia menghela napas panjang,
tuturnya lebih jauh, "Hingga kini saudara angkatku itu masih hidup
gelandangan dalam dunia persilatan tanpa kuketahui mati hidupnya ia selalu
berusaha melakukan penyelidikan untuk menemukan kembali benda mestika itu. Maka
bicara sesungguhnya, akulah yang sebenarnya mempunyai hubungan paling erat
dengan benda itu, maka ..."
Semua orang memperhatikan
perkataannya itu dengan seksama, di tengah keheningan itu pelahan ia memutar
badan menghadap ke arah Liong-heng pat-ciang Tham Beng, lalu terusnya,
"Hari ini, akulah yang akan menggeledah dirimu!"
Begitu selesai bicara, secepat
kilat ia melompat ke samping Tham Beng dan bersiap-siap untuk melakukan
penggeledahan, Liong-heng-pat-ciang ayun tangannya dengan gusar arah yang
diserang adalah dada lawan.
Seketika itu juga Si-hun-to Lo
Gi merasakan damparan angin tajam menerjang ke arah dadanya, dia tertolak
mundur tiga langkah, tapi cepat ia menegak dan menubruk maju pula.
"Kau benar2 ingin
mampus?" bentak Liong heng-pat-c!ang Tham Beng dengan gusar.
Bagaimanapun juga Si hun to Lo
Gi sudah cukup lama bekerja padanya, dalam keadaan marah toh serangannya itu
masih menaruh beberapa bagian belas kasihan, ujung bajunya dikebaskan dan
sekali lagi dia desak mundur Lo Gi.
Suasana waktu itu sudah amat
gaduh, dengan sempoyongan Lo Gi mundur beberapa langkah, cepat ia berpaling
sambil berterak, "Orang she Tham ini berani turun tangan, sobat-sobat
sekarang, siapa yang akan memberi keadilan kepadaku?"
Bentakan ramai terdengar,
tahu-tahu sudah ada puluhan orang menerjang ke atas undak-undakan batu, dan
entah ada berapa banyak suara yang sedang mencaci maki:
"Bunuh dia, kemudian
menggeledag sakunya."
Walaupun sejak mula Tonghong
hengte sudah menaruh curiga atas tindak tanduk Tham Beng, tapi setelah
menyaksikan kejadian ini, timbul juga jiwa pendekar mereka.
Tertampak perawakan
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng di bawah sinar sang surya senja meski gagah dan
kekar, tapi menghadapi pengkhianatan anak buah seperti ini, terpancarlah
perasaan sedih dan kesepian yang mengenaskan.
ia rela mati daripada
membiarkan tangan2 itu menyentuh ujung bajunya, sekarang dia sudah ambil
keputusan nekat, asal orang-orang itu menyerbu ke atas undak-undakan batu, maka
diadakan menggunakan darah orang lain untuk mencuci kemarahan hatinya, dia
hendak menggunakan mayat-mayat orang itu sebagai kuburannya.
Hui Giok yang ada di loteng
merasakan darahnya juga bergolak dia mendidih, Jit giau tongcu Go Beng-si
segera berbisik, ""Saudara Hui, inilah saatnya bagimu untuk
muncul"
Belum habis ucapannya,
mendadak sesosok bayangan hitam melayang di udara melewati puluhan orang yang
sedang marah itu, bagaikan seekor burung rajawali ia melayang turun di hadapan
Liong heng-pat-ciang, dan segera membentak dan menyerang, kelima jari
mencengkeram bahu orang paling depan, sekali dorong disertai bentakan nyaring,
orang itu dilemparnya ke atas tubuh orang kedua. Oleh tenaga gentakan yang
keras itu, kedua orang itu menumbuk rombongan manusia yang ada di belakangnya
hingga tunggang langgang.
"Pa-ji, kau yang
datang" seru Liong-iieng-pat-ciang kegirangan.
Di tengah penghianatan dari
semua orang menjauhi dirinya, tiba-tiba muncul seorang yang masih setia
kepadanya, kejadian ini hampir saja membuat kakek tersebut melelehkan air mata
terharu, entah harus bergirang, berterima kasih, ataukah bersedih hati.
Pemuda berjidat lebar bermata
setajam elang dan bertubuh segesit macan tutul ini berdiri dengan wajah yang
kelam, tangan kirinya tiba-tiba menyambar ke muka secepat kilat meremas jalan
darah Ci-ti-hat di siku seorang, tubuh orang diangkat tegak ke atas.
Suasana jadi kacau tanpa
terasa semua orang melenggong.
"Siapa yang berani
bergerak lagi." bentak si Biau Pa si pemuda kekar itu dengan suara
nyaring.
Sinar surya menerangi tubuhnya
yang penuh bertenaga muka yang penuh hawa nafsu membunuh dengan sinar mata yang
liar bagaikan seekor binatang buas.
Diam-diam Tonghong Tiat
menghela napas panjang. "Ai, sungguh seorang laki-laki perkasa."
"Binatang mau apa
kau?" maki Si hun to Lo Gi dengan alis berkernyit.
Biau Pa membentak, tiba-tiba
ia melancarkan tendangan kilat, dengan kaget Si-hun-to Lo Gi melompat ke
samping.
Siapa tahu sebelum tendangan
pertama mengenai sasarannva, Biau Pa telah melepaskan tendangan berikutnya.
"Duk""
Si-hui-to Lo GJ menjerit bagaikan layang-layang yang putus, tubuhnya mencelat
jauh dan terbanting ke tanah.
"Kungfu hebat"
teriak Sin-jiu Cian Hui dengan air muka berubah, "aku Cian Hui ingin
menjajal kepandaiannya."
Biau Pa mendengus, mendadak
dilemparnya tubuh orang yang ditangkapnya itu ke arah Cian Hui Sin-jiu Cian Hui
berkelit ke samping, telapak tangan kirinya menahan tubuh orang itu terus di
lempar ke belakang, sementara telapak tangan kanannya dengan cepat menyambut
serangan Biau Pa.
Ketika kedua tangan beradu,
seketika Biau Pa merasakan telapak tangannya panas, badan bergetar keras dan
jatuh terduduk.
Sin-jiu Cian Hui sendiri juga
merasakan ditolak oleh tenaga dahsyat ibaratnya terjangan air bah, hal ini
membuat dia mau-tak mau menyurut mundur beberapa langkah.
Tenaga pukulan kedua orang itu
yang satu bersifat keras dan yang lain bersifat lunak, walaupun tenaga dalam
Sin-jiu Ciau Hui sangat hebat tapi dalam tubuh pemuda Biau itu justeru
tersimpan tenaga pembawaan yang maha dahsyat begitu roboh dia segera melompat
bangun lagi.
"Pa ji, apakah kau
terluka dalam?" tanya Liong-heng-Dat-ciang dengan kuatir.
"Tidak!" Berbareng
dengan ucapan ini, kedua telapak tangan Biau pa bergerak cepat melancarkan
serangan pula, mengancam dada serta punggung Cian Hui, jenggot Sin jiu Cian Hui
berkibar terembus angin, kontan iapun melancarkan serangan balasan.
Sebenarnya orang ini berniat
membinasakan musuh dalam sekali gebrakan saja, apa mau dikata, ternyata pemuda
itu memiliki tenaga yang dahsyat.
Dalam waktu singkat lima jurus
sudah lewat, Sin-jiu Cian Hui memandang kian kemari ia berharap ada orang yang
mau menggantikannya.
Maklumlah Sin-jiu Cian Hui
mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Liong-heng-pat-ciang bertarung
melawan seorang pemuda yang tak ternama, biarpun menang juga kurang gemilang,
apa-lagi iapun tidak pasti akan menang setelah saling gebrak dan mengetahui
bobot lawan.
Siapa tahu ketika sorot
matanya menyapu pandang sekeliling tempat itu, dilihatnya semua orang hanya
berpeluk tangan belaka, bahkan orang-orang yang tadi sudah siap menerjang maju
kini berdiri dengan tenangnya.
Tiba-tiba ia merasa bahwa
kedudukannya dalam dunia persilatan sedemikian terkucil, tiada seorang kawan
sejati, yang ada hanya kawanan budak. Andaikata suatu ketika iapun menghadapi
situasi kritis seperti ini? bukankah anak buahnya juga akan bersikap
sebagaimana yang dilakukan Pat-kwa-ciang Liu Hui sekalian terhadap Tham
Beng"
Sementara itu tangan kirinya
menyerang dengan jurus Hun-hoa-hut-liu (menyiah bunga mengebas pohon liu)
tangan kanannya terus menyerang dengan Heng sau-cian-kun (menyapu bersih beribu
prajurit).
Dua jurus ini yang satu
bertenaga keras yang lain bertenaga lunak, satu kaku satu lincah, baik dalam
penggunaan tenaga maupun dalam gerakan sama sekali berbeda, namun ia dapat
menggunakannya sekaligus, bahkan disertai tenaga yang maha dahsyat.
Sekalipun demikian dalam lubuk
hatinya sudah timbul perasaan kesepian, perasaan menyendiri yang cukup
mengenaskan.
Biau Pa melayani
serangan-serangan musuh tanpa berbicara, hanya sinar matanya berkilauan dalam
waktu singkat ia sudah bergebrak puluhan jurus dengan Sin-jiu Cian Hiu.
Jurus serangan yang digunakan
pemuda ini tidak hebat, tenaga dalam yang dimilikinya juga tidak sempurna,
namun dia memiliki kejantanan serta kekuatan alam yang tak dimilikinya orang
lain, begitu ia bertarung maka seluruh tubuhnya, kecerdasannya, kehidupannya,
sukmanya bahkan seluruh bulu dan rambut di atas tubuhnya seakan-akan sengaja
tumbuh khusus untuk pertarungan ini, semuanya bekerja tanpa kecuali.
Kekuatan pembawaan yang hebat
itu bukan saja telah menutupi kelemahan-kelemahan pada kepandajan silatnya juga
mendatangkan perasaan ngeri dan jeri bagi musuh yang menghadapinya.
Makin dilihat kawanan jago itu
semakin terperanjat, Pat-kwa-ciang Lui Hui, Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang
serta Pian Sau-yan sekalian sudah jauh-jauh menyingkir dari situ, kuatir kalau
manusia liar itu mencari perkara padanya.
Lebih-lebih manusia yang
bernama Ko-put ki itu, saking takutnya dia merasa ke empat anggota badannya
menjadi lemas, ia berjongkok di samping undak undakan batu dan tak sanggup
berdiri lagi.
Cuaca makin kelam angin malam
terasa makin dingin, sinar mata Sin jiu Cian Hui yang sedang bertarung makin
lama semakin redup, sebaliknya sorot mata Biau Pa makin lama semakin menyala.
Setiap kalio dia melepaskan
pukulan, maka segenap kekuatan dan segenap perasaannya ikut terpancar keluar,
sekalipun terkadang harus menggunakan serangan nekat, semua serangan
dilancarkan tanpa berpikir panjang, seakan-akan asal ia mampu membinasakan
lawan, maka kendatipun nyawa sendiri harus ikut berkorban juga bukan soal
apa-apa baginya.
Keruan alis mata Sin-jiu Cian
Hui yang tebal makin lama makin berkerut, tiba-tiba ia membentak keras telapak
tangannya di dorong ke muka melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, serangan
tanpa diembel-embeli dengan gerakan lain, dengan tangan lain ia menggulung
jenggotnya dan digigitnya dengan mulut, menyusul ia lancarkan suatu tendangan
dan tangan kiripun segera menghantam.
Dengan cekatan Biau Pa
menyingkir ke samping, kawanan jago yang menyaksikan kejadian itu segera
mengerti bahwa Cian-sinjiu sudah marah hingga timbul niatnya untuk mengadu
jiwa.
Beberapa orang sempat mencari
lentera dan digantungkan tinggi di sekeliling tempat itu, padahal sang surya
makin lama terbenam, hingga cahaya lampu itu kelihatan redup, seredup air muka
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng ketika itu.
Walaupun lima puluh gebrakan
sudah lewat, namun hal itu hanya terjadi dalam sekejap mata. Selagi kelompok
manusia di barisan depan asyik menonton tiba2 rombongan belakang terjadi
kegaduhan.
Kegaduhan tersebut menjalar
dengan cepatnya, entah siapa yang mulai dulu, tlba-tiba teriakan keras
berkumandang "Hui-taysianseng datang."
Sorak sorai yang gegap gempita
segera menggema.
"Hui-taysianseng
datang... Hui-taysianseng...."
Liong-heng pat-ciang, Tonghong
hengte, bahkan Pat-kwa-ciang Liu-hui sekalian sama berubah airmukanya, sinar
mata mereka seolah-olah ditarik oleh suatu kekuatan gaib, tanpa merasa mereka
berpaling ke arah terjadinya kegaduhan.
Walaupun kerumunan orang masih
gaduh dan ramai, tapi segera mereka menyingkir ke samping hingga terbukalah
sebuah jalan lewat.
Sekalipun pertarungan antara
Sin jiu Cian Hui dan Biau Pa bertambah sengit, namun tak seorangpun yang
memperhatikan lagi, Seperti air bah kawakan jago membuka sebuah jalan lewat
yang lurus ke arah undak-undakan batu di mana Liong-heng-pat-ciang Tham Beng
serta Tonghong-hengte berada.
Cuaca makin gelap, cahaya
lampu makin terang. Hembusan angin malam menggoyangkan cahaya lampu yang kuning
keemas-emasan bersemu merah. Dan sinar keemas-emasan yang bercampur warna merah
itulah menyoroti wajah Hui Giok.
Beratus pasang mata bergeser
mengikuti langkah kakinya, langkah yang berat dan lambat.
Beratus pasang mata mengawasi
langkah yang berat dan lambat dada yang lebar dan kekar, namun tak seorangpun
berani menatap sinar matanya sebaliknya sorot mata pemuda itu justeru sedang
mengawasi jalan di hadapannya jalan yang makin lama semakin pendek ia melihat
pula undak-undakan batu yang menanjak ke atas, ketika, sinar matanya beralih,
ia menyaksikan Liong-heng pat-ciang berdiri di situ dengan dada berombak dan
jenggot berkibar terembus angin.
Kemudian, sinar matanya
bertemu dengan sinar mata Liong heng-pat-ciang.... kedua orang saling pandang.
Detik itu adalah detik yang
bersejarah bagi mereka, juga bersejarah bagi dunia persilatan semua kegaduhan
dalam detik itu juga menjadi sirna dan hening, bahkan Sin jiu Cian Hui dan Biau
Pa yang lagi saling labrak juga menghentikan pertarungan mereka tanpa diketahui
apa sebabnya.
Detik itu, jauh lebih
menggetarkan perasaan daripada kejadian apapun dalam sejarah persilatan, beribu
orang meninggalkan pekerjaannya, meninggalkan keluarganya, melakukan pencarian
dan menunggu yang dinantikan tak lain hanya detik-detik ini.
Dua orang berdiri berhadapan
dengan kaku, entah berapa waktu sudah lewat mungkin juga hanya sekejap mata.
Tiba-tiba, dan empat penjuru
meledak teriakan keras yang memekak telinga, teriakan yang bercampur dengan
kemarahan kegembiraan hasutan dan jerit kebanggaan.
Meskipun suara itu bercampur
aduk, begitu kacau sampai-sampai tak terdengar apa yang mereka teriakkan, tapi
luapan emosi di balik teriakan itu cukup dimengerti oleh siapapun juga.
Jit-giau-tongcu Go Beng-si
yang ikut di belakang Hui Giok segera maju beberapa langkah ke depan, dengan
sinar mata tajam teriaknya dengan lantang, "Tham Beng, Tahukah kau siapa
gerangan yang berdiri di hadapanmu ini sekarang?"
Liong-heng-pat-ciang tak
berkedip, tanpa memandang sekejap pun ia cuma bergumam dengan suara dalam
"Bagus, Bagus, kau telah datang akhirnya kau datang juga?"
Diam-diam Hui Giok mengertak
gigi, menahan emosi hingga kulit wajahnya mengejang, lalu ia berkata, "Ya,
akhirnya aku datang!"
"Mau apa kau kemari? Kau
datang untuk membalas dendam?" bentak Liong-heng-pat-ciang mendadak dengan
dahi berkerut.
"Aku datang hanya untuk
mengajukan satu pertanyaan, benarkah ayahku mati di tanganmu?" kata Hui
Giok sambil menatap lawan dengan sorot mata yang tajam.
Liong-heng-pat-ciang
menggenggam kencang kedua tinjunya, dadanya berombak, jenggotnya yang putih
bergetar walau tak terembus angin.
Hui Giok masih menatapnya,
sorot matanya makin tandas, makin tegas.
Sekali lagi kegaduhan jadi
sirap, beribu orang yang berdiri di jalanan itu tiada yang bersuara,
masing-masing dapat mendengar dengusan napas orang lain, sementara beratus
pasang mata sebentar memandang ke arah Hui Gok, sebentar lagi memandang Liong
heng-pat-ciang, suasana hening sunyi.
Tiba-tiba Liong heng pat ciang
hentikan dengusan napasnya, sambil membusungkan dada tercetus pengakuannya yang
menggetar sukma, "Ya, benar"
Sekujur badan Hui Giok
bergetar keras, ia merasakan seperti seribu martil menggodam dadanya,
sekaligus, nanar sinar matanya memandang sekelilingnya.
Gemuruh keras meledak di
sekeliling tempat itu, sedemikian dahsyatnya kegaduhan itu sampai orang yang
berada sepuluh li dari sanapun dapat mendengar teriakan marah orang-orang itu.
Air muka Tonghong hengte berubah hebat, serentak mereka menyurut mundur dengan
kaget, Biau Pa melompat maju dan berdiri di depan Tham Beng, Jit-giau-tongcu Go
Beng si mencorong sinar matanya, sedangkan Sin-jiu Cian Hui berdiri dengan alis
menegak.
Mendadak Hui Giok berputar
badan, pelahan dia angkat tangannya memberi tanda, katanya, "Harap saudara
sekalian tenang sebentar!"
Sorot matanya memancarkan
suatu kekuatan aneh dan berhasil menguasai suasana yang gaduh itu.
Diam-diam Sin jiu Cian Hui
menghela napas, untuk kesekian kalinya ia menghela napas, untuk kesekian
kalinya ia merasakan keruntuhan dan keloyoan dirinya.
Hui Giok membalik tubuh lagi,
sorot matanya yang tajam kembali beralih ke wajah Tham Beng sekilas itu dengan
jelas ia menyaksikan di antara mata alis orang tua itu tersembunyi semacam
penderitaan yang sukar dikatakan.
Dia maju selangkah dan serunya
dengan suara dalam, "Hayo jalan!"
"Kemana?" tanya Tham
Beng dengan tercengang.
"Dendam sakit hati ayah
dan pamanku lebih dalam daripada lautan, mari kita mencari suatu tempat yang
sepi untuk melangsungkan suatu pertarungan, siapa yang menang dan siapa yang
kalah, supaya permusuhan kita dapat dihapus sampai di sini saja."
Terbelalak mata Liong heng
pat-ciang, Jit giau-fcongcu pun melengak, sedang kawanan jago sama tercengang.
"Seorang laki2
sejati!" pikir Toaghong-hengte sambil menghela napas.
Tiba2 Lioug-heng pat-ciang
menengadah dan tertawa terbahak-bahak, sedang Jit giau tongcu segera mendekati
Hui Giok sambil berbisik "Saudara Hui aku telah susun kekuatan besar
bagimu, asal engkau memberikan komando, maka Tham Beng segera akan mati
dikerubuti orang banyak buat apa."
"Ya, benar. kalau kau
menantang aku berduel mana mungkin ilmu silatmu bisa menandingi
kehebatanku?" tukas Tham Beng tiba2 dan berhenti tertawa.
Sedingin salju air muka Hui
Giok waktu itu ujarnya, "Mari kita ber-sama2 pergi dan sini, bila ada orang
yang menguntit diriku secara diam2 maka tindakan itu berarti suatu penghinaan
besar bagi orang she Hui, berarti mereka anggap aku Hui Giok tak mampu membalas
sakit hati orang tuaku dengan kekuatanku sendiri."
Dengan gemas Jit giau-tongcu
Go Bewg-si menggentak kaki ke tanah, sementara sorot mata semua jago yang hadir
di situ dan tatapan kecewa berubah jadi kagum.
Perlu diketahui bahwa di mata
orang2 gagah semacam kawanan jago tersebut, yang paling mereka kagumi justeru
adalah seorang gagah yang tak kenal takut seperti Hui Giok sekalipun ada pula
yang menganggap Enghiong semacam ini adalah orang tolol.
Padahal bukan demikian maksud
Hui Giok yang sebenarnya, tapi setelah berada dalam keadaan seperti ini, timbul
pergolakan darah panas dalam hatinya, dan pergolakan darah Enghiong tersebut
membuat dia melupakan soal lain.
Liong-heng-pat-ciang termenung
beberapa saat lamanya, dan pancaran sinar matanya dapat diketahui bahwa ia
merasa tersiksa, juga merasa serba salah.
Mendadak Jit giau-tongcu Go
Beng si membentak "Kita tak boleh membiarkan Hui-tay sianseng pergi
seorang diri, mari kita beramai ramai binasakan bangsat ini lebih dulu"
Emosi para jago kembali
dipancing meluap, air muka Hui Giok berubah kelam suasana kacau segera akan
timbul.
Dalam keadaan yang kritis
inilah, tiba-tiba dari empat penjuru berkumandang suara suitan nyaring. suitan
ini ibaratnya pekikan naga atau jeritan burung hong, demikian tajam, demikian
keras hingga berkumandang jauh dan lama.
Kawanan jago itu terkesiap,
bahkan ada yang tak tahan dan segera menutup telinganya.
Menyusul dari balik atap rumah
tiba-tiba menggulung datang embusan angin puyuh yang keras.
Seketika semua lampu yang
menerangi tempat itu padam seluruhnya.
Matahari belum lama terbenam,
bintang dan rembulan belum muncul, seluruh jagat diselimuti kegelapan yang luar
biasa, terdengarlah pekikan panjang itu dan jauh makin mendekat dan dari dekat
lantas menjauh, hanya sekejap sudah berada ratusan tombak jauhnya dari tempat
semula.
Ketika para jago dapat melihat
jelas benda di sekeliling tempat itu, pekikan panjang tadi hanya tinggal
serentetan suara lirih yang mendengung di udara malam yang gelap sementara
Liong-heng-pat-ciang yang semula berdiri di atas undak-undakan batu kini sudah
lenyap, segera terjadi lagi kekacauan.
Ada yang buru-buru memasang
lampu, ada pula yang berteriak tanpa berguna, "Kejar, kejar, ia melarikan
diri"
Jit giau-tongcu Go Beng-si
terbelalak dengan mulut melongo, mukanya hijau, ditatapnya udara gelap dengan
pandangan kosong.
Tonghong-hengte berdiri dengan
wajah tercengang, sebagai jago kelas satu dalam kalangan muda, ilmu silat yang
mereka miliki terhitung kelas satu dalam dunia persilatan tapi dengan kekuatan
mereka ternyata tak tahan oleh suara suitan nyaring itu apalagi dengan
ketajaman mata mereka ternyata juga tidak melihat jelas apa gerangan yang
sebenarnya terjadi.
Mereka hanya menyaksikan
sesosok bayangan seakan-akan terbawa embusan angin puyuh itu menyambar datang
secepat kilat begitu menyambar tangan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, tanpa
berhenti orang itu melayang lebih lanjut ke depan sana.
Di antara sekian banyak orang,
Hui Giok yang paling kaget bercampur heran, tanpa melihat juga dia dapat meraba
sapa orang yang menyelamatkan jiwa Tham Beng itu.
Yang menjadi pertanyaan
sesarang apa sebabnya kedua tokoh maha sakti itu menyelamatkan jiwa Tham Beng.
Ia berdiri termangu sambil
memandang kegelapan di kejauhan berdiri terus di situ sampai semua lampu
disulut kembali.
Maka pelahan dia naik ke atas
undakan batu itu serentak suara yang bergemuruh pun berubah jadi sorakan.
Hui Giok mengangkat tangannya
berulang kali untuk menenangkan suasana, lalu dengan lantang serunya,
"Sobat-sobat sekalian Tham Beng sudah pergi... harap saudara sekalian
kembali ke pos masing-masing... berjuang demi kebenaran dan kebajikan bagi
sesamanya, berjuang demi kepentingan umum tapi ada satu hal harap selalu di
ingat menghadapi kejadian apapun janganlah terlampau emosi, dendam pribadi
bukan kemarahan umum, betapapun aku tak mau menggunakan tipu akal untuk mengubah
dendam pribadi menjadi kemarahan umum. Semoga di kemudian hari bila terjadi
lagi peristiwa yang membahayakan kepentingan umum, kuharap kalian bisa bersikap
seperti hari ini, bersama aku berjuang demi tegaknya keadilan dan kebenaran
dalam dunia persilatan."
Pada hakikatnya perkataannya
tak bisa lancar sebab setiap dia mengucapkan satu kalimat, segera meledaklah
sorak-sorai yang gegap gempita.
Ketika kata-katanya itu
selesai diutarakan sorakan yang menggelegar dari empat penjuru ibaratnya air
bah yang menenggelamkan bumi raya ini.
Segenap anggota Perserikatan
orang-orang Kanglam bersorak sorai, "Hidup Bengcu! .... hidup Bengcu kita!
mari kita dukung Hui-taysianseng kembali ke wilayah Kanglam!"
Di tengah badai sorakan yang
memekak telinga Wan Lu-tin berdiri dengan air mata bercucuran, ia gembira
sekali menghadapi kejadian itu, iapun merasa bangga atas kesuksesan Hui Giok.
Leng-kok-siang-bok saling
pandang dengan tersenyum, bisik Leng Han-tiok, "Akhirnya ia berhasil
juga!"
"Ya kitapun harus pulang
sekarang," sambung Leng Ko-bok sambil menghela napas kegirangan.
""Bagamana dengan
pertaruhan kita?" tanya Leng Hati-tiok.
Leng Ko-bok tersenyum
"Pertaruhan apa lagi? Peduli amat dengan soal menang atau kalah, toh tak
ada sangkut pautnya lagi dengan kita!"
Kedua orang itu saling pandang
sambil tertawa, mereka segera menyelinap pergi di antara orang banyak.
Sementara itu, Sin jiu Cian
Hui yang menyaksikan kejadian itu, dan mendengar sorak gegap gempita itu, ia
menundukkan kepala dengan gemas, ia benar2 merasakan kesepian dan kehampaan.
Lama sekali ia berdiri
ter-mangu2 akhirnya gumamnya sendiri, "Kehidupan manusia ... ya beginilah
kehidupan manusia... Ai, semuanya telah berlalu . . . . semuanya telah
berlalu"
Tokoh persilatan yang pernah
merajai dunia persilatan ini berlalu juga dari situ dengan hati hampa di tengah
sorakan yang memekak telinga, walau begitu dalam hati kecilnya masih terdapat
juga sedikit hiburan yang manis, sebab ia tahu, tak jauh dan situ masih
terdapat secercah senyuman manis sedang menantikan kedatangannya. Ya, hatinya
yang luka dan penuh kekecewaan itu memang sangat membutuhkan pengobatan serta
hiburan dan sepasang tangan yang putih dan mulus.
Mungkin itulah akhir diri
seorang lelaki gagah, tapi siapa tahu kalau merupakan pula suatu permulaan dari
kehidupannya?
Dia pernah menundukkan banyak
orang, tapi bilakah dia pernah menundukkan hati seorang perempuan?
Kesenangan dan kesuksesan
memang banyak ragamnya, hal ini bergantung dari sudut manakah penilaian itu
diberikan sekalipun langkahnya terasa berat waktu berlalu dari situ, namun pada
wajahnya yang kesepian tersembul juga sekulum senyuman.
Jit-giau-tui hun Na Hui-hong
berdiri paling dekat dengan Hui Giok, tokoh perampok yang sudah bertobat itu
tampak ikut merasa gembira dan bangga di tengah suara sorakan itu. Pada
wajahnya yang kurus itu terpancar sinar kebanggaan yang sebelumnya tak pernah
timbul.
"Ah, rupanya berbuat
kebajikan jauh lebih menyenangkan daripada berbuat kejahatan" katanya
berulang-ulang di dalam hati.
Si-hun-to Lo Gi dengan dada
berdarah berbaring di bawah emper rumah yang sepi, teriakan dan sorakan yang
gegap gempita itu bagaikan cambuk samudera yang mendampar dadanya, ia terharu
dan juga sedih, tapi semua itu mungkin akan bantu dia untuk menentukan arah
kehidupan selanjutnya.
Pat-kwa-ciang Liu Hui,
Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang serta Pian Siau yan saling pandang sekejap,
mereka saling memberi tanda, lalu ngeluyur pergi.
Setelah jauh dan kota, Piau
Siau-yan mengembus napas panjang, dan berkata, Tham Beng sudah kabur, bagaimana
dengan kita?"
"Hmm, mampukah dia kabur
dari kejaran orang-orang itu?" dengus Pat-kwa-ciang Liu Hui
Koay-be sin-to Kiong Cing-yang
yang berada di sisinya ikut menimbrung sambil tertawa dingin. "Hehehe, dia
sudah mengaku sebagai pembunuh Jiang kiam-bu tek, memangnya Hui Giok mau
melepaskan dia dengan begitu saja? Cepat atau lambat dia pasti mampus!"
Sekeliling tempat itu adalah
hutan yang sepi, Pat-kwa-ciang Lm Hui menengadah sambil bergelak tertawa,
katanya, "Asal Tham Beng mampus hahaha... semua catatan semua pembukuan
dan benda-benda penting dan Hui liong-piaukiok akan terjatuh ke tangan kita,
dan waktu itu kita bertiga pasti akan hidup dengan gembira."
"Ya. benar!" sambung
Koay-be-sin-to Kiong Cing yang sambil tertawa, "apalagi kita sudah mengikat
tali persahabatan dengan pihak Perserikatan orang-orang Kanglam, hal ini pasti
akan sangat membantu usaha kita untuk membangun kembali Hui-liong-piaukiok di
masa depan."
"Kiong-heng!"
tiba-tiba Pat-kwa-ciang Liu Hui berseru dengan wajah masam, "kukira
kedudukan Congpiautau Hui-liong-Piaukiok di kemudian hari lebih pantas diduduki
saudara Kiong, demikian bukan?"
Sekulum senyuman menghiasi
bibir Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang, tapi begitu melihat air muka Liu Hui,
senyuman itu seketika lenyap pula.
"Ah, mengapa saudara Liu
berkata demikian?" buru-buru serunya sambil tertawa kecut, "tentu
saja saudara Liu yang lebih pantas memangku jabatan Congpiautau."
Sesudah mendengar perkataan
itu, air muka Pat kwa-cang Liu Hui tampak sedikit membaik.
Tiba-tiba Pian Sau-yan yang
berada di sisi mereka tertawa dingin tiada hentinya, dengan kaget kedua orang
itu berpaling, ditatapnya orang she Pian itu dengan melengak.
Pelahan Pian Sau-yan meraba
gagang pedangnya yang tergantung dipinggang, katanya, "Liu congpiautau, di
kemudian hari apakah siaute masih mempunyai tempat untuk berdiam di Hui-liong
piaukiok?"
"Saudara Pian, apa
maksudmu?" kata Pat kwa-ciang Liu Hui sambil menyeringai "bicara
tentang nama maupun soal ilmu silat, sudah sepantasnya kalau kursi Congpiautau
itu diserahkan untuk saudara Pian."
Mendengar perkataan ini Pian
Sau-yan tertawa, "Hahaha , kalau begitu..."
Belum habis ucapnya tiba-tiba
Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang menjerit kesakitan.
Dengan terkejut Pian Sau-yan
dan Liu Hui berpaling, tertampaklah Kiong Cing-yang berdiri dengan kulit muka
mengejang dan sempoyongan.
"Bluk!" tubuhnya
terkapar di tanah, sebilah pisau belati ternyata menancap di punggungnya.
Itulah pisau Liu-yap-hui-to
yang jarang ditemui! "Siapa?" bentak Pian Sau-yan dan Liu Hui dengan
wajah berubah hebat.
Dari balik kegelapan pelahan
muncul sesosok bayangan, bagaikan sukma gentayangan ia bergerak maju ke muka
dan akhirnya berhenti di hadapan kedua orang itu.
"Hm! Bagus sekali
perhitungan swipoa kalian katanya sepatah demi sepatah dengan suara dingin.
"O, kau . saudara
Pa!" seru Pat-kwa-ciang Liu Hui dengan suara gemetar, "Kau kenapa kau
datang kemari?"
Biau Pa tertawa dingin,
"Hehehe! Thamtoaya saja tidak kau kenal lagi, masa masih kenal
padaku?"
Pat-kwa-ciang Liu Hui benar2
ketakutan, peluh dingin membasahi sekujur badannya, sambil menyurut mundur
ucapnya dengan tergegap: "Kau, kau..."
Tiba2 ia putar badan dan
hendak kabur.
"Mau lari ke mana
kau?" bentak Biau Pa.
Telapak tangannya terangkat
diantara berkelebatnya bayangan tubuh, tahu2 ia sudah mengadang di depan Liu
Hui.
"Saudara Biau, kau . kau
ini apa-apaan?" ujar Liu Hui dengan tergegap, "Eh sudah lama kita tak
berjumpa, biarlah Siaute mengundang kau... "
"Siapa saudaramu?"
ejek Biau Pa, napsu membunuh menyelimuti wajahnya, kedatanganku justeru hendak
merenggut nyawa anjing kalian ini!"
Piau Sau-yan bertindak cepat
"Cring", cahaya pedang berkilau, ia putar senjatanya yang memancarkan
sinar hijau itu untuk menusuk dada Biau Pa.
Walaupun harus melayani dua
orang musuh dengan tangan kosong, Biau Pa sama sekali tak gentar, malah telapak
tangannya segera menghantam dada Liu Hui, sementara kaki kanan melayang ke
muka, menendang pergelangan tangan Piau Sau-yan yang memegang senjata.
Piau Sau-yan tahu kepandaian
sendiri bukan tandingan Biau Pa, tepi dengan dua lawan satu, rasa kedernya itu
segera dapat diatasi.
"Hehehe, kau bilang mau
cabut nyawa kami?" ejeknya sambil tertawa dingin, "justru kamilah
yang akan mengantar nyawamu pulang ke rumah nenekmu!"
Sambil berkata, pedang
berputar kencang, cahaya senjata beterbangan ke empat penjuru, secara beruntun
ia melancarkan tiga kah serangan berantai.
Pat-kwa-ciang Liu Hui memang
pengecut bukan membantu rekannya untuk menghadapi lawan, justeru dia manfaatkan
kesempatan itu untuk melarikan diri lebih dulu.
Menghadapi keadaan tersebut
baru Piau Sau yan merasa terperanjat sementara itu Biau Pa telah mendengus
telapak tangan kirinya menyambut tiga kali serangan lawan, sementara telapak
tangan kanan kembali di ayun ke muka, tiga bilah pisau suku Biau yang bersinar
kehijau-hijauan dengan desing angin meluncur mengancam tubuh Liu Hui yang
sedang kabur.
Perlu diterangkan di sini,
bahwa Biau Pa di besarkan di daerah suku Biau, permainan pisau terbang
merupakan andalan suku Biau, dia telah menguasai sepenuhnya kepandaian ini,
ditambah lagi tenaga dalamnya lumayan dan ilmu silatnya memang hebat, maka
serangan itu bertambah dahsyat dan tepat.
Waktu itu Pat-kwa-ciang Liu
Hui sudah berada beberapa tombak lari tempat semula tiba-tiba desing angin
menyambar dari belakang.
Bicara tentang kepandaian
silatnya, tak sulit sebetulnya baginya untuk menghindarkan diri dari sambitan
ketiga pisau terbang itu, sayang pikirannya waktu itu sudah kalut, meskipun dia
sudah berusaha berkelit ke kiri dan menghindar ke kanan, toh masih ada sebilah
pisau yang mampir di punggungnya dan menancap begitu dalam hingga tinggal
gagangnya saja yang masih kelihatan.
Tak ampun lagi Pat-kwa-ciang
Liu Hui menjerit ngeri, tubuhnya terjungkal dan kebetulan sekali terkapar di
samping mayat Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang.
Pian Siau-yan menyaksikan
kedua orang rekannya sudah tewas, pikirannya bertambah kalut, otomatis
permainan pedangnya juga ikut kacau tak keruan.
Sementara perasaannya tak
tenang, tiba2 di antara kilatan cahaya pedang tertampak sesosok bayangan
menerobos tiba, dalam kagetnya cepat ia membentak, cahaya pedang langsung
menabas kebawah.
Tapi bayangan itu sudah keburu
menerobos masuk, dadanya kontan termakan pukulan Biau Pa dengan lelaki bagaikan
dihantam batu seberat seribu kati, ia kesakitan hebat.
Sekejap kemudian, matanya jadi
berkunang-kunang, tenggorokan terasa anyir, darah segarpun tersembur.
Biau Pa tidak berhenti sampai
di situ saja begitu berhasil dengan serangan pertama, suatu tendangan kilat
kembali dilontarkan dan tepat kena jalan darah penting Siu-si-hiat.
Tubuh Pian Sau-yan yang besar
tertendang hingga mencelat, secara kebetulan pula badannya terkapar di samping
mayat Pat-kwa-ciang Liu Hui. Angin dingin berembus makin kencang, malam bertambah
kelam.
Darah mengucur di lengan kiri
Biau Pa dan menodai pakaiannya, ia berhasil menyarangkan pukulannya pada lawan
tadi, namun pedang Pian San yan sempat pula menusuk tubuhnya.
Tapi pemuda perkasa yang liar
ini sama sekali tidak memperdulikan lukanya, bahkan melirik pun tidak, dengan
dahi berkerut dia memungut pedang Pian Sau-yan itu, "Sret", ia kupas
kulit pohon, dengan darah kental ketiga orang itulah dia menulis berapa huruf
pada batang pohon tadi inilah tulisannya.
"Begitulah akhir dari
pengkhianat yang menjual majikan demi kepentingan pribadi."
Dengan rasa puas ia memandang
sekeliling tempat itu, meski tulisan itu kasar dan jelek, tapi setiap patah
kata tersebut terkandung kejujuran, kesetiaan serta peringatan bagi umat
manusia di dunia.
Kemudian ia buang pedang itu
dan berjalan menuju kegelapan, angin dingin berembus kencang sesaat kemudian
darah yang berceceran di tanah telah mengering.
Yang tertinggal hanya
kegelapan serta keheningan yang menyelimuti sekeliling tempat itu.
Oo o0o - oO
Kawanan jago persilatan yang
berada di kota Han-ko sedang bersenang-senang dengan penuh kebebasan.
Mereka mengetuk semua kedai
arak yang ada di kota itu dan hampir menyikat habis semua persediaan arak.
Mereka menciptakan kekacauan
yang belum pernah terjadi di kota besar itu.
Karena mereka segera akan
pergi, semua keramaian yang diharapkan tampaknya telah lewat, Leng-kok siang
bok lenyap tak berbekas, Hui liong piauwkiok menderita kekalahan total,
pertaruhan, pertarungan semuanya sudah selesai sudah lalu Meskipun Liong heng
pat ciang belum mati, namun ke mana dia pergi tak seorang pun yang tahu.
Perhimpunan orang-orang
persilatan yang belum pernah terjadi dalam sejarah, tampaknya pasti akan bubar,
menghadapi keadaan tersehut, ada yang merasa kecewa, ada yang merasa kesepian,
ada pula yang diam-diam bersyukur.
Hanya ada satu kejadian yang
mereka akui bersama, yaitu akhirnya dunia persilatan telah muncul sebuah
bintang cemerlang yang membawa kebahagiaan bagi umat manusia.
Tiada hentinya mereka angkat cawan
untuk kesejahteraan bintang cemerlang itu, meski banyak mengalami penderitaan
dan penghinaan tapi sekarang, dia adalah manusia yang paling dihormati dikagumi
dan disegani oleh seluruh umat persilatan.
-0o0- oOo -0o0~
Namun, bintang cemerlang itu
masih tetap kesepian, dalam bangunan rumah di luar kota, di halaman belakang
yang sepi, Hui Giok mengurung diri diam sebuah kamar yang terpencil dan sepi.
Dia tahu betapa banyak jago
persilatan yang berharap bisa minum bersama dia, tapi dia hanya ingin menyendiri
bukan dia mau menjauhi pergaulan, namun dalam keadaan seperti itu, dia
membutuhkan keheningan untuk menjernihkan pikiran yang kalut, dia butuh
ketenangan untuk mengatur kembali arah tujuannya dan untuk menginginkan
pergolakan emosinya yang kelewat panas..
Dia mendengar suara langkah
Wan Lu-tin yang mendekati jendelanya dan menengok dirinya, iapun mendengar
suara pembicaraan Go Beng-si di kamar sebelah, ia tahu mereka semua adalah
sahabat yang memperhatikan keadaannya, ia menyesal karena tak bisa menerima
kebaikan Go Beng-si, dia lebih2 menyesal karena tak bisa berbicara sepuasnya
dengan Wan Lu-tin yang baru saja berjumpa kembali setelah lama berpisah.
Dia hanya berkata padanya,
"Setelah melewati hari-hari yang lelah, kini kita harus mundur."
Kepergian Leng-kok-siang-bok
tanpa pamit, di samping kemurungan bertambah pula perasaan sedih karena
perpisahan tersebut. Sebab selama ini, antara dia dengan kedua orang kakek yang
entah berjiwa dingin atau hangat ini telah terjalin suatu hubungan yang akrab.
Tapi selanjutnya dia tak akan berjumpa dengan mereka lagi sebab dia tahu ke
mana mereka pergi sebab jejak semula tanpa arah tujuan sedang "Lembah
Dingin" adalah sebuah tempat yang semu, yang tak diketahui dengan pasti di
mana letaknya.
Ia berbaring tanpa rasa
mengantuk sedikitpun, budi dan dendam yang sukar dipisahkan, benci dan cinta
yang saling bertentangan masa depan yang sukar diramal serta perasaan bingung
setelah sukses, semua ini membuat pikirannya dan hatinya seperti habis membeku
dalam gunung salju selama berpuuh tahun, namun masih segar dan jernih.
Dari kejauhan terdengar suara
kentongan ia tidak menghitung berapa kali kentongan itu, dia tak tahu pukul
berapakah waktu itu.
Di tengah malam yang gelap dan
kelam, hening dan sepi, dingin dan bersih itulah, tiba-tiba Hui Giok mendengar
suara yang memanggil namanya.
Suara itu seolah-olah berasal
dan tempat yang jauh, tapi juga seperti tidak jauh seperti dekat tapi
kenyataannya tidak dekat, suara itu mengambang seakan-akan panggilan setan
iblis dari neraka, tapi juga seperti panggilan seorang kekasih yang mendambakan
kemesraan.
Berdebar jantung Hui Giok, dia
melompat bangun dan membuka jendela, taman itu luas tak tampak sesosok bayangan
orang, tapi suara panggilan itu masih berkumandang terus tiada hentinya.
"Anak Giok... anak
Giok... "
Tiba-tiba ia bergidik.
"Anak Giok... anak
Giok... " Suara panggilan itu mengambang di antara batu-batuan, di
pepohonan, di semak bunga.
Dia menenteramkan hatinya lalu
melompat keluar jendela dan melayang ke sana, ia sempat melihat jendela kamar
Go Beng-si tidak tertutup rapat tapi dalam kamar tak nampak bayangan pemuda she
Go itu, padahal lampu belum padam, tampak nya belum lama Go Beng-si
meninggalkan kamarnya itu.
Ia tak sampai memikirkan ke
mana perginya Go Beng-si, sebab suara panggilan tadi masih terus berkumandang.
Dengan cepat dia melompat ke
depan, sekejap kemudian ia sudah keluar dari taman yang luas itu.
Di luar suasana lebih hening
dan hawa lebih dingin.
Mengikuti arah suara panggilan
itu, dia terus meluncur ke depan.
Tapi aneh sekali, bagaimanapun
cepatnya ia bergerak maju, berapa jauh perjalanan telah ditempuhnya, namun
suara panggilan itu tetap mempertahankan selisih jarak yang sama, suara itu
tetap kedengaran begitu jauh, mengambamg, seakan-akan nyata, seakan-akan semu
seperti sangat jauh, seperti juga dekat.
Dia coba memandang ke sana, di
depan sana tampak terbentang sebuah telaga kecil, air telaga begitu tenang, di
tengah kegelapan malam seakan-akan memantulkan cahaya putih ke-perak2an.
Dia ragu2 sejenak, tapi suara
panggilan tadi kembali berkumandang
"Anak Giok... anak
Giok... "
Kali ini suara panggilan
tersebut terasa lebih nyata, ia menghimpun tenaga dan melayang sepuluh tombak
ke depan, Tampaklah di tepi telaga ada sederet bayangan rumah dua-tiga titik
cahaya lampu berkelip membayang di permukaan air.
Suara panggilan yang aneh itu
tak terdengar lagi. lama sekali ia menunggu dia mulai berpikir "Apakah di
sini tempatnya? Apakah di tempat ini dapat kutemukan suara panggilan yang aneh
itu?"
Dengan hati2 ia merunduk ke
depan, ia kerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna dan maju belasan
tombak lagi ke depan.
Ternyata bayangan yang
disangka bangunan rumah itu tak lebih hanya tiga buah perahu rongsokan berkabin
susun, satu sama lainnya dan di pergunakan orang sebagai tempat tinggal, sebab
tampak seekor kucing berjalan digeladak perahu dan masuk ke dalam kabin.
"Siapa yang berdiam di
sini? Rahasia apa yang terdapat di situ?"
Ia berharap suara panggilan
itu berkumandang lagi tapi suara panggilan itu tak pernah terdengar pula, maka
dia rentangkan tangannya dan melayang ke atas perahu pertama di sebelah kiri,
ia turun ke geladak tanpa menimbulkan sedikit suarapun.
Angin berembus lewat, seperti
terbawa desir angin ia melayang pula ke atas perahu yang ada lampunya, bangunan
di atas perahu ini sudah kuno, di sana-sini sudah retak, maka diintipnya ruang
perahu itu.
Tiba2 seraut wajah yang sudah
dikenal, wajah yang cantik dan pucat terpampang di depan mata.
"Sun Kim-peng!"
hampir saja ia berteriak.
Di bawah sinar lampu yang
redup, seorang gadis cantik berwajah pucat duduk bersila di atas sebuah dipan
sambil membelai seekor kucing berbulu putih kelabu, rambutnya yang panjang
terurai di bahu, mukanya kurus dan dia bukan lain adalah Sun Kun peng, gadis
yang pernah mengisi hati Hui Giok dan sudah berpisah sekian tahun itu.
Ia tampak jauh lebih kurus
daripada dulu, sinar matanya sudah kehilangan cahaya yang menawan hati itu,
meski demikian, dalam pandangan Hui Giok, si nona masih tetap mesra seperti
dulu.
"Dia belum mati"
saking kegirangan hampir saja ia bersuara.
Tapi ketika raut wajah kedua
terpampang pula di depan matanya, hampir saja pemuda itu berhenti bernapas.
Sebatang lilin terletak di
atas meja api, lilin bergoyang terembus angin, di samping cahaya lilin yang
bergoyang berduduklah seorang dengan angkernya, orang itu ternyata bukan lain
ialah liong heng-pat-ciang Tham Beng.
Air mukanya kelihatan berubah
guram mengikuti api lilin yang bergoyang, musuh besar itu masih tetap duduk
dengan tenang.
Terpisah oleh sebuah meja
butut, duduk tepat di depan Tham Beng, adalah Sun lotia.
Toan-hun-to Sun Pin, kakek
yang sudah kenyang gemblengan kehidupan itu kelihatan jauh lebih tua, lengan
baju kanannya terjulai kosong ke bawah, tampaknya lengan tersebut sudah
dipotong orang sebatas bahu. Tubuh yang semula tegak kini bungkuk dan reyot,
terkadang terdengar suara batuknya yang parau.
Keadaan orang itu ibarat lilin
di depannya meskipun masih meronta di tengah embusan angin namun akhirnya pasti
akan padam juga.
Kedua kakek itu duduk
berhadapan tak ada yang berbicara Sun-lotia tundukkan kepalanya dan sedang
mengawasi suatu benda dalam genggamannya dengan seksama.
Lama dan lama sekali, akhirnya
benda itu di letakkan di atas meja, di bawah sinar lilin tertampaklah benda itu
bukan lain adalah Pek giok-cian-cu"
Berdebar jantung Hui Giok.
Sementara itu Sun-lotia lagi
berbalik pelahan dan menghela napas panjang, lalu katanya, "Kebanyakan
perempuan cantik adalah bibit bencana, benda mestika tidak membawa berkah, Ai,
karena sebuah Pek giok-cian-cu, aku harus menghabiskan separuh hidupku
bergelandangan di dunia persilatan bahkan sekarang harus hidup dalam keadaan
cacat ai, sampai Kim-peng pun."
Ia batuk-batuk lagi, sungguh
ia tidak tega melanjutkan kata-katanya.
Sun Kim peng yang duduk di
pembaringan kepalanya tertunduk rendah-rendah, matanya berkaca-kaca dan
akhirnya meneteslah dua titik airmata.
Rupanya nona itu merasakan
bukan saja masa remajanya sudah lewat dan selamanya tak akan terkejar kembali
bahkan kehidupan selanjutnya juga akan dilewatinya dalam kegetiran dan
penderitaan.
Kesedihan pun menyelimuti
wajah Liong-heng-pat-ciang, katanya sambil menghela napas, "Ya, takdirlah
yang menentukan kehidupan manusia setiap orang akan mengalami keadaan yang sama
saudara Sun kau . kau. . ."
Dia seperti hendak mengucapkan
beberapa kata menghibur tapi akhirnya ucapan tersebut tak mampu
diutarakan."
"Namun sesudah
kurenungkan kembali semua itu," ujar Sun-lo-tia lagi "aku bisa
menjadi seperti sekarang ini, pada hakekatnya adalah akibat dosaku sendiri,
tapi saudara Tham, mengapa kau tidak mau mengungkapkan kejadian yang
sesungguhnya kepadaku?"
Hati Hui Giok tergerak.
Dilihatnya Tham Beng memejamkan matanya dan tidak berbicara lagi, jelas banyak
terjadi pergolakan dalam batinnya tapi apakah yang dipikirkannya?
Sun-lotia menghela napas
panjang, katanya lebih jauh, "Setelah aku kehilangan Pek-giok-cian-cu ini,
menurut perasaan pasti Wi-yang-sam-kiat yang mencurinya sehingga tidak
kuselidiki kejadian yang sebenarnya. Ai, sungguh kasihan Wi-yang-sam-kiat
bertiga bersaudara, mereka telah. . . ai, meskipun mereka banyak melakukan
kejahatan namun dosa apa yang mereka lakukan atas diriku! Justru akulah yang
salah menuduh mereka, dan apa yang kurasakan sekarang adalah hukuman yang
pantas kuterima?"
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng
membuka matanya dan menatap sinar lilin dengan pandangan kosong, ujarnya,
"Hukum karma berlaku bagi siapa pun juga. pembalasan atas kebaikan maupun
kejahatan sukar diduga, Wi-yang-sam-kiat sudah terlampau banyak melakukan
kejahatan, tapi mereka bukannya mati di tangan musuhnya, tapi justru mereka di
tanganmu. tentu saja kau merasa sedih, akan tetapi jika kau mau berpikir lebih
panjang tidak mungkinkah Thian yang telah meminjam tanganmu untuk membasmi
mereka dari muka bumi ini?"
Perkataan yang mengandung
falsafah ini membuat alis mata Sun Pin bekernyit, tapi sesaat kemudian ia
berkata lagi sambil menghela napas, "Aku tidak berniat melakukan kesalahan
besar ini, dan akupun telah menerima hukuman yang setimpal, dengan demikian,
bila nanti aku mati, maka sukmaku di alam bakapun dapat beristirahat dengan
tenang, hanya saja saudara Tham, mengapa... mengapa kau..."
"Ai, kini aku terhina dan
dituduh, semua ini juga merupakan hukuman yang setimpal bagiku." tukas
Tham Beng sambil menghela napas, "sebenarnya ada niatku setelah mestika
Pek giok cian-cu ini kukembalikan kepada pemilik yang sebenarnya. Lalu aku akan
pergi jauh dan membiarkan semua kesalahan dilimpahkan atas diriku seorang,
supaya rahasia besar dunia persilatan ini terkubur selamanya, tapi... tapi aku
merasa bila semua rahasia ini tidak kubeberkan, sulit bagiku untuk mati dengan
tenteram."
Sekali lagi hati Hui Giok
tergerak, lamat-lamat ia dapat meraba di balik semua peristiwa yang terjadi
sebenarnya masih tersimpan suatu kisah yang penuh berliku-liku dan sukar
diduga, di balik semua itu entah mengandung berapa banyak kegetiran, betapa
banyak air mata dan darah.
Sun-lotia terbatuk-batuk
sambil mengambil keluar sebuah cupu-cupu arak, ia menuang dua cawan di
hadapannya, Liong-heng-pat-ciang mengangkat cawan tersebut dan sekali tenggak
menghabiskan isinya, sinar matanya yang berkilat tiba2 berubah jadi redup, ia
memandang api lilin yang bergoyang terendus angin dengan kesima, seakan-akan
semua pikiran dan perasaannya terhanyut kembali dalam kenangan lama yang amat
jauh.
Entah berapa lama sudah lewat,
pelahan dia berkata lagi "Belasan tahun sudah lalu... ya, belasan tahun
sudah lalu, waktu itu aku masih berjiwa muda dan berdarah panas, ketika itu
dunia persilatan sedang heboh oleh munculnya seorang tokoh berkerudung hitam
yang misterius dan kejam, aku segera mengambil keputusan untuk menyelidiki
rahasia itu sampai jelas maka kutinggalkan semua tugasku seorang diri kulakukan
penyelidikan.
Hui Giok merasa dadanya
seperti dihantam dengan martil, pikirnya dengan terkesiap, "Jangan-jangan,
dia bukan si manusia berkerudung itu? Apakah kami yang telah salah menuduh
dia?"
Sementara itu Tham Beng telah
meneruskan ceritanya, "Waktu itu, kebetulan saudara Sun juga sedang
berangkat mengawal Pek giok-cian-cu, ku perhitungkan si manusia berkerudung
yang misterius itu pasti akan turun tangan atas dirimu, maka secara diam-diam
kuikuti terus gerak-gerikmu"
"Akhirnya kita sampai di
wilayah Hopak, pada suatu malam sesudah hujan badai, di kota pegunungan itu aku
bertemu dengan Wi-yang-sam-kiat yang rupanya juga sedang mengincar dirimu, aku
kuatir mereka akan menggagalkan rencanaku maka mereka kuawasi dengan ketat.
Siapa tahu pada malam itu juga Pek-giok-cian-cu kawalanmu mendadak lenyap
bersama terbunuhnya dua orang Piausu kalian yang ikut mengawal dalam perjalanan
itu!"
Sun-lotia menghela napas,
"Ai, kejadian itu memang merupakan suatu peristiwa yang sangat kebetulan,
andaikata malam sebelum terjadi pencurian itu aku tidak berjumpa dengan Wi-yang
sam-kiat, tak mungkin akan kucurigai mereka bertiga dan di kemudian haripun tak
bakal berekor sepanjang ini?"
Sambil menghela napas Liong
heng-pat ciang Tham Beng mengangguk, "Ya andaikata aku tidak mengawasi
Wi-yang-sam-kiat, tak nanti orang lain akan berhasil dengan perbuatan kejinya,
begitu kudengar Piausu anak buahmu menjerit dengan kecepatan paling tinggi
kulari kembali ke situ, tertampaklah dua sosok bayangan hitam sedang kabur
dengan cepatnya dari situ, diam-diam kuikuti terus ke manapun mereka pergi,
akhirnya kutemukan bahwa kedua orang itu bukan lain adalah Jiang-kiam bu-tek,
kedua bersaudara keluarga Hui"
Mendengar sampai di sini,
hampir saja detak jantung Hui Giok berhenti, hampir pula ia tak berani
mendengarkan lebih jauh, bahkan hampir saja dia dobrak pintu dan menerobos
masuk, dia tak percaya semasa hidup ayahnya telah melakukan dosa yang tak
terampunkan ini?.
Sementara itu Tham Beng sedang
berkata lebih lanjut, "Waktu itu aku tidak peraya kedua Hui bersaudara
yang selama hidup terkenal jujur dan disiplin bisa melakukan perbuatan seperti
itu. Tapi kenyataan memang bicara begitu, mau-tak mau aku harus mempercayainya
juga, malah aku lantas mengira mereka berdua itulah si manusia berkerudung yang
keji itu, dan sebabnya mereka tidak membinasakan dirimu adalah karena
kemunculanku waktu itu."
Sun-lotia menghela napas
panjang, sedang Tham Beng berkata pula, "Maka timbul napsu membunuhku
setelah di luar kota Po-teng dapat kubinasakan kedua bersaudara tersebut,
perasaanku waktu itu sangat tenang sebab aku tidak merasa berdosa malah
kuanggap telah melakukan sesuatu tindakan mulia demi kesejahteraan umat
persilatan!
Tapi akhirnya... ai, aku baru
sadar bahwa aku telah melakukan suatu kesalahan yang tak dapat diampuni, dan
sebagai pembalasan dari perbuatanku... Dia aku harus menerima penderitaan dan
siksaan sepanjang hidupku!"
Hui Giok mengepal kedua
tangannya kencang-kencang sambil mengertak gigi.
"Sampai akhirnya aku baru
tahu bahwa Pek giok-cian-cu itu sebenarnya adalah benda mestika milik seorang
pelajar rudin yang dirampas oleh hartawan yang minta kepadamu untuk
mengatakannya ke ibukota sebagai sogokan agar puteranya berhasil lulus
ujian," tutur Tham Beng lagi, "kedua Hui bersaudara yang mengetahui
kejadian itu merasa tidak puas, mereka berusaha merampas kembali benda mestika
itu untuk diserahkan kembali kepada pemilik yang sebenarnya. Ai, siapa tahu
takdir berkata lain, hingga kini bukan saja sukma kedua Hui bersaudara harus
menanggung penasaran di alam baka, akupun harus menanggung pula segala
penderitaan akibat kesalahan yang telah kulakukan itu!"
Hui Giok merasa darah yang
mengalir dalam tubuhnya mendidih, entah harus merasa girang atau sedih? atau
bangga? atau dendam? atau mengeluh?
Aku harus membalas dendam
kepada Tham Beng? Atau cuma mengeluh kepada Thian?
Sementara itu Tham Beng
berkata lebih jauh setelah menghela napas, "Akhirnya pelajar rudin itu
dengan menanggung dendam, sedang hartawan yang jahat itu jatuh pailit,
puteranya yang mengikuti ujian di ibu kota pun terseret ikut berkecimpung dalam
dunia persilatan..."
"Bagaimana dengan orang
itu selanjutnya?" sela Sun-lolia dengan mata terbelalak, "kalau
diurutkan, orang itulah sumber semua petaka ini, bila Thian punya mata,
sepantasnya ia diberi ganjaran yang setimpal, aku masih ingat keluarga hartawan
itu adalah keluarga Hoa."
"Benar, dia memang she
Hoa, setelah terjun ke dunia persilatan hidupnya bergantung dari menjual
berita, orang menyebut dia sebagai Koay-sin (si berita kilat) Hoa Giok, sampai
akhirnya ai akhirnya ia ditemukan tewas di luar perkampungannya Sin-jiu Cian
Hui sampai kini tidak ada yang tahu sebab dirinya dia mati di tangan
siapa?"
Hui Giok terkesiap, tanpa
terasa ia menengadah, di tengah kegelapan malam yang mencekam seakan-akan
terdapat sepasang mata yang sedang mengawasi dia sedang memeriksa kesalahan dan
kebenaran yang dilakukan setiap umat manusia di dunia ini dan siapapun tak bisa
lolos dari pengawasannya.
Meskipun ganjaran dan hukuman
yang Dia berikan mungkin agak lambat tibanya, tapi jangan kau harapkan akan
memperoleh buahnya yang manis apabila yang kau tanamkan adalah bibit kejahatan.
Semacam perasaan takut yang
timbul dan rasa hormat membuat sekujur badan Hui Giok bergemetar, pelahan dia
merangkap tangannya di depan dada dan bersujud kepada Yang Maha Kuasa.
Terdengar Tham Beng berkata
lagi, "Sepanjang hidupku kecuali salah membunuh Hui-si-hengte, masih ada
kejadian lain lagi yang hingga kini terasa menyiksa batinku! sekembalinya di
ibu kota, sebenarnya aku sudah putus asa dan memandang hambar segala urusan,
ketika itulah tib-tiba Tiong-ciu-kiam Auyang Peng-ci berkunjung ke ibu-kota
selamanya aku menghormati orang ini, maka akupun menahan dia untuk menginap di
kediamanku.
"Suatu malam, tatkala aku
minum-minum bersamanya di bawah cahaya lampu, sewaktu aku putar badan untuk
mengambil arak, dan sebuah cermin yang tergantung di sudut tembok kebetulan
kulihat secara tergesa-gesa dia memasukkan sejumlah serbuk putih ke dalam
cawanku.
"Dalam kaget dan curiga
aku tetap tenang dan berlagak seperti tak pernah terjadi suatu apapun hanya
saja arak itu secara diam-diam kutumpahkan ke lantai, setelah itu akupun
berlagak mabuk dan pulang ke kamar sebelum tengah malam.
"Aku tahu tengah malam
nanti Auyang Peng ci pasti akan melakukan sesuatu gerakan, tapi sampai detik
itu aku masih tidak percaya Lopiautau yang berhati mulia itu pada hakikatnya
adalah seorang iblis keji dan berhati busuk.
"Kurang-lebih pada
kentongan ketiga lewat tengah malam, betul juga, di luar jendela lamat-lamat
kudengar ia memanggil namaku dan minta aku ke luar, tentu saja aku merasa heran
mendengar ajakan tersebut sebab jika dia ingin mencelakai jiwaku, rasanya tak
perlu memakai tipu daya seperti itu. Untuk menyelidiki duduk perkara yang
sebenarnya, maka akupun tidak membangunkan orang lain, diam-diam aku melompat
keluar dan bersamanya menuju ke luar kota.
Malam itu udara dingin sekali,
lapisan salju yang tebal menyelimuti seluruh tanah di luar kota, di sana aku
lantas bertanya kepadanya ada urusan apa dia membawaku ke situ.
Tiba-tiba ia menengadah dan
tertawa, kepadaku ia bertanya apakah kutahu siapa gerangan manusia berkerudung
itu?"
"Sementara hatiku
tergerak oleh pertanyaannya sambil tertawa seram ia telah mengaku, "Aku
Auyang Peng-ci ialah si manusia berkerudung itu"
"Rasa kagetku waktu itu
sungguh sukar dilukiskan, sambil tertawa ia berkata lagi, "Mulai malam
ini, manusia berkerudung yang misterius itu akan lenyap selamanya dan muka bumi
ini, tahu kah kau mengapa bisa terjadi begini"
"Aku kaget bercampur
tercengang, belum sempat kuucapkan sesuatu, sambil bergelak dia berkata lagi,
Sebab semua perusahaan pengawalan yang ada dalam dunia persilatan telah bubar
maka bila kaupun kubunuh, sekarangkan tak ada lagi orang lain yang bisa kubunuh
pula?"
"Ah belum tentu!"
jawabku waktu itu sambil tertawa dingin, padahal dalam hati kecilku diam2 aku
bersyukur karena arak beracun tadi tak sempat kuminum, walau keringat dingin
membasahi juga sekujur badanku.
"Benar juga, Auyang
Peng-ci segera tertawa ini seraya berkata, "Kau sudah minum racun lan-cong-sit-kut
(racun penembus usus penghancur tulang) yang kucampurkan dalam arakmu tadi,
tenaga dalam yang kau miliki sekarang sudah punah tujuh bagian, asal tanganku
bergerak maka kau bakal musnah dari muka bumi ini. Hahaha, kemudian aku tinggal
menunggu saja di sini, lalu kugantikan baju hitam yang telah kusiapkan. Besok
pagi bila mayat kalian ditemukan orang maka dalam dunia persilatan akan tersiar
berita bahwa Liong-heng-pat-ciang telah beradu jiwa dengan manusia berkerudung
sekalipun kau mati nama besarmu tetap akan harum dan selain dikenang orang,
sedang akupun bisa menjagoi dunia persilatan tanpa siangan. Coba bayangkan,
bukankah cara ini adalah suatu cara yang amat sempurna?
"Senyumnya yang penuh
rasa bangga, hal ini membuat ku naik pitam, belum habis ucapannya aku lantas
melepaskan pukulan dahsyat ke depan, dia mengira aku sudah keracunan, maka
serangan tersebut ditangkis sekenanya Aku lantas ganti serangan dan menyerang
sekuat tenaga. tak sampai beberapa jurus kemudian dia berhasil kutewaskan. Sesaat
sebelum mengembuskan napasnya yang penghabisan, dengan wajah penuh rasa heran
dia bertanya kepadaku, mengapa obat racunnya tidak mempan terhadap
diriku?."
Liong-heng pat-ciang bercerita
dengan penuh emosi, sampai di sini tiba-tiba ia menghela napas, lalu katanya,
"Ya, tidak sepantasnya waktu itu timbul suatu pikiran aneh dalam benakku,
tidak seharusnya timbul niatku untuk menggunakan cara yang sama itu terhadap
orang lain. Ketika itu aku benar-benar menunggu di situ, tak lama kemudian
benar saja ada seorang laki-laki pemabuk muncul dari pematang sana, segera
kubinasakan orang itu lalu mengenakan dia baju hitam yang disediakan Auyang
Peng-ci, habis itu cepat kukembali ke kota."
"Ai, sungguh tak
tersangka karena pikiran yang salah itu, aku harus menanggung sesal hingga
kini, sekarang biarpun kujelaskan duduk persoalan yang sebenarnya kepada umat
persilatan tapi siapakah yang mau percaya?"
Sampai di sini ia berhenti
bercerita, sedangkan orang lain sama diliputi rasa heran dan bingung.
Matanya terbelalak dengan
mulut melongo dan tak sanggup bersuara.
Lebih2 Hui Giok, sekujur badan
terasa dingin yang didengarnya itu sungguh suatu kejutan yang luar biasa.
Tiba2 dari luar ruang perahu
muncul seorang laki-laki berwajah ketolol-tololan, pelahan dia masuk ke dalam
ruangan perahu. Rambutnya awut-awutan tak keruan, bajunya dekil, tangannya
membawa sebuah guci arak, begitu poci ditaruh di meja ia lantas pergi lagi.
"Siapakah orang
itu?" Liong-heng-pat ciang bertanya dengan air muka berubah, "semua
perkataanku tadi apakah didengar olehnya?"
Sun-lotia menggeleng,
"Orang itu bodoh lagi kurang waras, ada kalanya sepanjang hari tidak
berbicara, sekalipun dengar juga tidak menjadi soal,"
Tiba-tiba ia menghela napas,
sambungnya, "Sejak kami ayah dan anak dibikin cacat oleh Jian-jiu-su-seng
kemudian ditolong Kim-tong-giok-li berdua Cianpwe dan dibawa kemari, orang
itulah yang selalu merawat dan melayani segala keperluan kami, kalau tidak .ai,
mungkin kami ayah dm anak sudah mati kelaparan semenjak dulu2"
Sambil menghela napas, dia
mengangkat poci dan memenuhi cawan Tham Beng dengan arak.
Pikiran Liong-heng-pat-ciang
tampaknya benar amat kusut, begitu cawan diisi penuh, sekali tenggak dia segera
menghabiskan isinya, kemudian ujarnya lagi, "Kim-tong-giok-li berdua Cianpwe
itu benar-benar manusia aneh di dunia persilatan, tampaknya kejadian apapun di
dunia ini tak dapat mengelabuhi mata mereka.
"Ya, peristiwa berdarah
itu meski sangat misterius hingga hampir tak masuk di akal, tapi sampai
sekarang yang bajik telah mendapat pahala dan yang jahatpun sudah mendapat
ganjaran urusan pun boleh dibilang sudah beres." tukas Sun-lotia tiba2
"cuma ai, aku masih tetap merasa kematian Jiang kiam-bu tek Hui Si-hengte
benar" tidak berharga!"
"Ai meskipun demikian,
kedua bersaudara itu toh mendapatkan pula pembalasan yang baik." kata
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, "keturunan mereka, Hui Giok, sekarang
sudah menjadi sebuah bintang cemerlang di dunia persilatan Ai waktu itu aku
merasa hidup orang persilatan akan berakhir dengan nasib buruk, maka aku
sengaja tidak mengajarkan ilmu silat kepadanya, sungguh tak tersangka akhirnya
ia berhasil juga memiliki ilmu silat yang maha sakti."
Mencorong sinar mata
Sun-lotia, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, tiba-tiba
Liong-heng-pat-ciang meraung kesakitan, kedua tangannya segera menghantam
hingga meja di depannya hancur berkeping keping.
Dalam waktu sekejap itu dan
luar jendela menyambar masuk tiga titik cahaya putih, semuanya bersarang telak
di tubuh Tham Beng.
Sekali lagi Liong-heng-pat-ciang
Tham Beng membentak, tapi segera ia roboh terjungkal
"Siapa" teriak
Sun-lotia kaget, "lni..."
Belum habis ucapannya sesosok
bayangan menerobos masuk dan luar ruangan, Huj Giok yang sudah kaget bercampur
tercengang kian bertambah terkejut, ternyata bayangan itu bukan lain adalah
Jit-giau-tongcu Go Beng-si.
Air mukanya kelam diliputi
hawa nafsu membunuh, senyum menyeringai orang mengerikan tersungging diujung
bibirnya, begitu muncul dalam ditangan segera ia seret bangun Tham Beng.
Keadaan Liong heng-pat-ciang
Tham Beng waktu itu mengenaskan sekali, sekujur badannya basah oleh darah.
mukanya berkerut menahan kesakitan, ditambah pula api lilin sudah padam hanya
sinar guram lentera yang tergantung diruang sebelah, tertampak wajahnya yang
menyeringai seram.
Sun Kim-peng duduk di
pembaringan, meski sangat ketakutan oleh kejadian tersebut tapi lantaran kedua
kakinya cacat dan tak mampu berjalan selangkah pun, Sun-lotia yang segera
menerjang ke sisinya dengan sempoyongan, lalu merentangkan tangannya untuk
melindungi gadis tersebut.
Dalam pada itu Jit giau-tongcu
Go Beng-si sedang menggoncang-goncangkan tubuh Tham Beng, sambil tertawa seram
katanya, "Orang she Tham, tahukah kau siapa aku ini?"
"Go Beng-si!" teriak
Tham Beng sambil menggertak gigi, aku tiada permusuhan dengan dirimu,
kau..."
"Tiada permusuhan apa...
apa?" ejek Jit giau-tongcu Go Beng si, "Hehehe Go Beng-si!
Haha,.,."
Gelak tertawanya mendadak
berhenti, dengan wajah yang dingin menyeramkan ia berkata lebih lanjut
"Benarkah aku Go Beng si? Bila aku Bo-beng (tak punya nama), maka matipun
kau pasti takkan tenteram, kini tubuhmu sudah terkena tiga jenis senjata
rahasiaku yang beracun, nyawamu tak bisa hidup lebih dari satu jam lagi,
sekarang biarlah terus terang kuberitahukan kepadamu, Go Beng-si bukan namaku
yang sebenarnya, aku bukan lain adalah keturunan Auyang Peng-ci yang kau bunuh
itu."
Begitu pengakuan tersebut
diberikan, semua orang merasakan hati bergetar keras, lebih-lebih
Liong-heng-pat-ciang, ia terperanjat luar biasa.
"Hehehe!. tidak kau
sangka bukan?" ejek Go Beng-si sambil menyeringai seram, "tak kau
duga bukan bahwa Auyang Peng-ci masih mempunyai keturunan?"
Ia menengadah, lalu keluhnya:
"0. ibu! Untunglah kau membawa aku kabur jauh-jauh begitu mendengar berita
kematian ayah, untung ayah tak pernah membawa kita berdua pulang ke rumah,
meskipun kita harus merasakan macam-macam penderitaan hidup, tapi hari itu ananda
berhasil membunuh musuh kita dengan tangan sendiri O Thian Yang Maha Adil,
ternyata engkau cukup bijaksana mengatur nasibku, si Auyang Siu- kalau orang
she Tham itu tidak latah secara tiba-tiba, tak mungkin berhasil kubinasakan dia
dengan pukulanku."
Hui Giok yang berada di luar
ruang perahu itu merasa sekujur badannya gemetar, kaki tangan jadi dingin,
batinnya, "Ya, tak aneh kalau Go Beng-si mengatur segala jebakan dengan
bersusah payah, pantas setiap waktu dan setiap saat dia ingin memaksa Tham Beng
menuju ke jalan kematian. tak heran ia berusaha mewujudkan cita-citanya dengan
cara apapun, dan tidak aneh kalau selamanya ia tak mau memberitahukan
asal-usulnya kepada orang lain!"
Sesuatu yang dahulunya
merupakan teka teki kini sudah terjawab seluruhnya.
Diam-diam Hui Giok menghela
napas. ia hendak bangkit dan masuk ke ruang perahu, tapi saat itulah tiba-tiba
dari luar perahu berkumandang suara tertawa dingin yang menyeramkan disusul
seorang berkata dengan suara yang parau, "Kau bilang Thian punya mata dan
adil?"
Berbareng dengan ucapan
tersebut, dari luar perahu muncul seorang, dia inilah orang yang dianggap bodoh
dan kurang waras itu.
Dia berjalan seperti sesosok
mayat hidup, setelah tiba di sisi Auyang Siu, pada wajahnya yang
ketolol-tolo!an itu tersembul senyuman menyeringai yang menyeramkan.
"Tahukah kau, dalam arak
sepoci itu sudah kucampuri dengan racun pembunuh tikus" katanya
"justeru lantaran ia merasa dirinya sudah keracunan maka senjata rahasiamu
berhasil mengenai tubuhnya dengan tepat."
Auyang Siu terbelalak dengan
mulut melongo "Si . siapa kau . ?" tegur Tham Beng dengan suara
gemetar.
Orang itu tertawa seram:
"Kau tidak menyangka bukan! Aku adalah puteranya laki-laki pemabuk yang
kau bunuh di luar ibu-kota itu! Setelah ayahku mati terbunuh, ibuku menyusul
pula ke alam baka karena sedihnya, aku jadi miskm, aku tak bisa makan, tak
punya pakaian yang selalu kuingat adalah membalas dendam bagi kematian ayahku.
Setiap hari, pekerjaan apapun enggan kulakukan orang lain mengira aku kurang waras
dan lama kelamaan aku sendripun mengira aku sudah menjadi seorang yang
gila."
Sampai di sini dia lantas
terkekeh-kekeh suaranya melengking menyeramkan. membuat bulu kuduk orang sama
berdiri.
Seluruh wajah Liong
heng-pat-ciang Tham Beng diliputi rasa kaget yang sukar dilukiskan, dengan
suara gemetar dia bergumam tiada hentinya, "O Thian... O, Thian...?"
Terdengar orang itu tertawa
seram, lalu berkata pula, "Sewaktu aku kelaparan dan hampir mampus,
kebetulan dua orang ayah beranak ini menemukan aku dan memelihara diriku sampai
kini. Waktu itu aku hanya berharap bisa hidup lebih lanjut, soal dendam tak
pernah kupikirkan lagi, tak tahunya Thian memang punya mata dan memberi
kesempatan kepadaku untuk mendengarkan kisahmu tadi, dan sungguh beruntung akupun
mempunyai persediaan racun pembunuh tikus Hehehe hahaha.... akhirnya sakit
hatiku berhasil juga ku balas!"
Sambil bergelak tertawa ia
terduduk di tanah, lalu bergelindingan dan kemudian merangkak ke sana
kemari..."
Auyang Siu hanya berdiri
dengan mata terbelalak dan melongo bingung, sungguh ia tak tahu apa yang mesti
dilakukannya.
Hui Giok sendiripun merasa
kaget dan ngeri Tiba-tiba Tham Beng membentak keras, tubuhnya terbanting ke
tanah dan tak bergerak lagi sebelum ajalnya dia masih juga berguman, "0
Thian... Thian ..."
Hui Giok tak dapat
mengendalikan lagi, ia segera melompat masuk ke dalam perahu.
Tapi suasana dalam ruangan
perahu ketika itu telah berubah menjadi dunianya orang orang gila, sorot mata
semua orang tampak kaku dan termangu.
Hukum karma selalu berlaku,
siapa berbuat kebaikan akan memperoleh balasan yang baik, siapa berbuat
kejahatan akan menerima hukuman yang setimpal siapakah yang percaya bahwa
Liong-heng-pat-ciang, seorang tokoh persilatan yang dihormati dan disegani
ternyata menemui ajalnya di tangan orang yang tidak waras?
Di tengah keheningan yang
mencekam itu tiba2 terdengar orang itu menjerit lalu menggelinding kian kemari,
setelah meraung sekarat beberapa kali akhirnya ia mengejang dan mati juga.
Dalam gembiranya tadi ia telah
mereguk habis isi arak beracun yang belum sempat diminum Sun-lotia, begitu arak
racun itu masuk ke dalam perut, kasihan si "tolol" yang hidup demi
membalas dendang begitu sakit hati terbalas. dia sendiripun harus menemui
ajalnya.
Selama hidup ia belum pernah
mendapat kegembiraan iapun tidak terlalu lama hidup dalam keadaan sadar,
sekarang dia dapat mati pada saat paling gembira dan paling sadar, dalam
kehidupannya yang kelabu, setidak-tidaknya terbias setitik warna darah.
Setelah berlangsungnya
serangkaian adegan yang mengerikan, tiba-tiba Hui Giok mendengar suara
panggilan yang sangat dikenalnya berkumandang lagi dari belakang:
"Anak Giok"
Dengan terkejut Hui Giok
berpaling, tertampaklah Kim-tong giok li berdiri di depan pintu, ke dua tokoh
sakti dan dunia persilatan itu berdiri dengan wajah murung seperti kehilangan
sesuatu.
Dengan suatu gerakan enteng
ibaratnya awan mengambang di angkasa., Kim-tong berkelebat ke sisi mayat Tham
Beng, lalu menghela napas, katanya, "Ai, terlambat, terlambat, sungguh tak
kusangka karena kedatanganku terlambat selangkah. semuanya lelah berubah jadi
begini..."
Giok-li juga menghela napas
dengan sedih, "Bila Thian sudah mengatur begini, mampukah engkau untuk
mengubahnya? Dia hanya meminjam tangan mu untuk melaksanakan firmanNya?. dan
Dia telan mengatur semua firmanNya secara tertentu apakah engkau bisa mengubah
kehendak takdir?"
Kim-tong bungkam, lama sekali
ia tertegun, kemudian bergumam, "Budi dan benci baik dan buruk ai, hukum
karma selalu berlaku bagi umat manusia ai kalau Thian tidak buta matanya, apa
gunanya kita banyak urusan di cuma ramai ini.
Ditatapnya sekejap isteri
kesayangannya, lalu tambahnya. "Aku rasa sudah waktunya pula kita pun
harus pulang kandang!"
"Ya" Giok-li
tertawa, "kita bisa mencari suatu tempat yang tenang dan sepi, supaya tak
seorang pun bisa mengganggu ketenangan kita."
Sinar matanya mencorong
cemerlang, demikian pula dengan wajah Kim-tong.
Tiba-tiba Hui Giok merasa
betapa menarik dan mengagumkannya kedua tokoh sakti itu, dia menghela napas dan
segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan mereka.
Malah Auyang Siu serta Sun
lo-tia tanpa terasa juga ikut bertekuk lutut, hanya Sun Kim peng yang cacad
kakinya tidak dapat berlutut namun dengan kepala tertunduk kedua tangannya
dirangkap di depan dada iapun bersujud.
Kim-tong memandang sekeliling
tempat itu, lalu menghela napas "Budi dan dendam telah berakhir, kejadian
lampau sudah lewat ibaratnya air yang mengalir dan tak pernah kembali lagi
setelah kejadian hari ini kuharap kalian semua harus selalu ingat, bahwa di
atas langit masih ada sepasang mata yang selalu mengawasi gerak-gerikmu."
Hui Giok dan Auyang Siu
mendengarkan petuah itu dengan penuh khidmat, mereka tak berani angkat
kepalanya.
Kim-tong menghela napas
terusnya "Barusan akulah yang memancing kedatangan kalian berdua ke sini
dengan ilmu Cuan im ji mi (ilmu gelombang suara) tapi tak kusangka urusan akan
berubah jadi begini. Seandainya belakangan ini ambisi Tham Beng tidak terlalu
besar bagaimana mungkin nasibnya berakhir dalam keadaan seperti ini?"
Tiba-tiba Giok-li menyela
sambil tertawa, "Eh, bukankah barusan kau sendiri yang bilang bahwa budi
dan dendam sudah berakhir kejadian lampau sudah lewat seperti air yang
mengalir? Buat apa kau singgung2 kembali kejadian tersebut?"
Pelahan dia menghampiri Sun
Kim-peng? membelai rambutnya yang halus, katanya dengan lembut, "Engkaulah
yang patut dikasihani. Ai kami akan pergi. maukah kau ikut bersama kami
meninggalkan keramaian dunia ini?"
Sebetulnya Sun Kim-peng sedang
menangis terisak, demi mendengar ini, dia menubruk ke dalam pelukan Giok-li dan
menangis tersedu-sedu, tanpa terasa mata Giok-li ikut berkaca-kaca.
Hati Hui G ok juga ikut pedih,
dengan kepala tertunduk ia berkata, "Budi dan dendam Tecu pun sudah
berakhir sejak kini Tecu juga ingin ikut..."
"Lau juga ingin ikut kami
pergi?" tegur Kim tong dengan menarik muka Hui Giok mengangguk.
"Kau ingin melarikan
diri? Hendak mengelakkan kewajiban?" teriak Kim-tong gusar "Tahukah
kau bahwa berapa banyak urusan di dunia persilatan yang sedang menanti
penyelesaiannya."
Dengan sinar mata yang lembut
Giok-li melirik sekejap ke arah Hui Giok lalu sambungnya, "Kau tak boleh
ikut pergi! Tahukah kau? Ketika kau tinggalkan ruang kamarmu tadi ada seseorang
sedang menantikan kedatanganmu di sana."
Sekujur badan Hui Giok
bergetar "Ya," sambung Kim-tong, "seandainya bukan lantaran
harus mengantar dia ke sana, kedatangan kami ke sinipun tentu tak akan
terlambat!"
Seketika itu juga Hui Giok
merasa darahnya berbolak keras, seluruh kedukaan, kemurungan benci dan dendam,
penderitaan, kengerian seolah-olah telah jauh meninggalkan dirinya.
Yang masih tersisa sekarang
hanya kehangatan dan kemesraan, kehangatan dan kemesraan yang tak mungkin bisa
dilawan!
oooo
Waktu itu sudah jauh malam,
meski udara sangat gelap, tapi jaraknya dengan fajar sudah tidak jauh lagi.
Bintang yang bertebaran di
angkasa, seakan-akan berpuluh-puluh pasang mata kekasih.
Bintang, selamanya tak akan
kesepian, hanya saja ada yang lebih awal muncul di angkasa dan ada yang lebih
lambat menampakkan diri. Ada sebagian yang terkadang akan tertutup oleh awan
tapi akhirnya pasti akan memancarkan kembali sinarnya, dari dulu sampai
sekarang selalu begini, dan dari sekarang sampai akhir jaman tetap tak akan
berubah.
- T A M A T -