Pendekar Satu Jurus Bab 31-38 (Tamat)

Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Satu Jurus Bab 31-38 (Tamat)
Pendekar Satu Jurus Bab 31-38 (Tamat)

"Yang paling menggelikan adalah usaha Cian Hui yang bersusah payah menjadikan Hui Giok seorang yang ternama dan berkedudukan tapi ia tak sangka akan hubunganku dengan Hui Giok ini, perbuatannya ini sekarang berbalik jadi senjata makan tuan."

Setelah tertawa bangga, Tham Beng menyambung pula, "Suatu ketika tentu akan kubiinm Hui Giok berbalik memusuhi dia, kalau sudah demikian itu berarti Perserikatan orang-orang Kanglam yang didirikannya dengan susah payah itu akan menambah kekuatan bagi pihakku malah, hahaha..."

Ia berpaling ke arah Liu Bui dan meneruskan "Liu-hiante, sekarang tentunya kau mengerti kenapa selama ini aku tidak berbuat apa-apa terhadap Perserikatan orang orang Kanglam itu? Nah di sinilah alasannya Hahaha, orang persilatan manakah yang akan menduga rencanaku itu"

Pat-kwa-ciang Liu Hui buru-buru memperlihatkan rasa kagumnya, sambil menghela napas ia berkata "Ya, siapa yang mampu menebak perhitungan Congpiautau. Belakangan ini kungfu Hui Giok mendapat kemajuan yang pesat siapa tahu kalau di kemudian hari dia akan menjadi seorang-pembantu yang dapat diandalkan bagi Congpiautau?"

"Benar," Liong-heng-pat-ciang Tham Beng mengangguk "asal kugunakan sedikit akal tidak perlu kuatir ia akan membangkang perintahku."

Di tengah gelak tertawanya yang nyaring kembali wajahnya menampilkan perasaan bangga.

Pat-kwa-ciang Liu Hui menghela napas dan berkata. "walaupun begitu, sampai sekarang juga aku masih belum percaya, masa dalam waktu satu-dua tahun yang singkat ini ia berhasil memperoleh kepandaian silat yang maha lihai, bahkan baik dalam hal bicara maupun tindak-tanduknya seakan-akan telah berubah menjadi seorang yang lain."

Liong-heng pek-ciang mengangguk "Ya, sesunguhnya bocah ini memang seorang yang amat cerdik." katanya, "sejak dulu aku sudah mengetahuinya, karena itulah...."

Tiba-tiba ia berhenti bicara, setelah celingukan maju ke dekat Pat-kwa-ciang Lui Hui dan melanjutkan kata-katanya dengan setengah berbisik "Sejak kecil sudah kusiksa dia, kulukai harga diri menghancurkan rasa kepercayaan pada diri sendiri agar dia menjadi seorang yang lemah dan tak berguna. Siapa tahu dia memang seorang yang luar biasa, walaupun kecerdasan serta kemampuan telah kutekan dan kukuasai tapi sedikit terlena saja, semuanya itu lantas meluap lagi, sebab itulah dalam waktu singkat ia berhasil mencapai kesuksesan yang luar biasa."

Setelah menghela napas sambungnya lagi. "Seperti halnya membendung air. sekali bendungan jebol, maka air bau akan menerjang masuk dengan lebih besar Ya, salahku sendiri yang tak pernah berpikir sampai ke sana."

Dari perkataannya jelaslah bahwa ia merasa menyesal karena dulu bertindak kurang tegas.

Buru-buru Pat kwa ciang Liu Hui menghiburnya, "Walaupun begitu toh sekarang Congpiautau cukup mampu untuk menguasainya lagi sekalipun harus membuang tenaga lebih banyak tapi orang itu kan tetap merupakan benda dalam saku Cong-piautau?"

"Hahaha.... " Liong heng pat ciang bergelak sambil menepuk bahu anak- buahnya itu "Liu hiante kau memang seorang pembantu yang paling kuandalkan!"

Kungfu Pat kwa ciang Liu Hui sebenarnya tidak tinggi, tapi kecerdasan otaknya boleh diandalkan di antara jago-jago lainnya dalam Hui liong piaukiok dia merupakan orang yang paling dipercaya oleh Liong-heng-pat ciang.

Sebab itulah terkadang orang merasa heran Liong-heng pat ciang yang cermat kenapa bisa salah pilih, masa seorang yang tak becus dijadikan orang kepercayaan? Orang lain tidak tahu bahwa walaupun Pat kwa ciang Liu Hui tak becus, tapi kepandaiannya menjilat pantat adalah nomor satu. Biasanya, baik dia orang pintar atau orang bodoh, menghadapi sanjung puji seringkali orang akan melahapnya tanpa menolak.

Liong heng-pat ciang Tham Beng berhenti tertawa, seraya memutar kudanya ia berkata lagi dengan suara berat. "Cian Hui berbuat demikian disebabkan ada maksud tertentu. Yu Jit, sekarang juga berangkat ke Lam-yang dan cari rumah penginapan O-hun-kek can setelah bertemu dengan Si Beng Siang Hui kui dan Kongsun Tay-liok bertiga, perintahkan kepada mereka agar segera berangkat ke Hok-gu san, katakan bahwa aku ada urusan penting perlu bantuan mereka."

Yu Jit mengiakan berulang kali, cepat ia melompat ke atas kudanya dan dilarikan secepat terbang.

Seperginya orang itu, Liong heng pat ciang Tham Beng berkata pula, "Kita berangkat ke sana, ingin kutahu Cian Hiu masih mampu main gila apa lagi."

Selesai berkata, ia lantas menarik kudanya dan larikannya ke depan.

Melihat itu dengan dahi berkerut Lo Gi berisik Cian Sin-jiu tentu datang dengan persiapan yang cukup matang, entah jago2 lihay macam apa lagi yang ia bawa."

Pian Siau yan termenung sejenak, sambil memandang bayangan punggung Liong heng pat ciang ia menyahut "Asal Congpiautau turun tangan sendiri, dalam dunia persilatan dewasa ini tak ada seorang pun yang sanggup bertahan lima puluh gebrakannya."

"Kuatirnya..." Lo Gi berkerut kening Pian Siau-yan tersenyum, tukasnya "Perkataanku pasti tidak meleset suatu hari pernah ku saksikan dengan mata kepalaku sendiri cara bagaimana Congpiautau berlatih ilmu silatnya. Sedemikian hebat kungfunya, biarpun kita berdua bergabung juga belum tentu mampu menahan tiga puluh jurus serangannya."

Airmuka Lo Gi berubah, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi ia cemplak kudanya dan berlalu walaupun ia kurang percaya terhadap cerita Pian sau yan akan tetapi mau tak-mau juga harus mempercayainya.

Liong-heng pat ciang Tham Beng duduk di kudanya sekukuh batu karang siapapun tak menyangka orang tua ini sudah sehari semalam duduk di atas kudanya tanpa beristirahat.

Wajahnya masih tetap tenang, tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkannya.

Di tengah kegelapan hanya suara derap kuda yang terdengar memecah kesunyian, tiba-tiba dan depan debu beterbangan ke udara.

Melihat itu, Liong heng-pat-ciang tertawa dingin, dengusnya, "Hm, ini dia, Sin Jiu Cian Hui ada main lagi!"

Nadanya penuh rasa percaya pada diri sendiri dan juga angkuh.

"Ah, permainan apapun yang akan dia lakukan juga tak akan mampu dikembangkan dihadapan Congpiautau!" umpak pat-kwat-ciang Lui Hui sambil tersenyum.

Liong heng pat-ciang Tham Beng tertawa "Sejak dulu kan sudah kukatakan kepadamu bahwa di dunia ini sama sekali tak ada urusan yang tak bisa diselesaikan? aku jadi teringat pada belasan tahun yang lalu pernah berjumpa seorang kusir kereta kuda yang bernama Ko put ki," sementara pembicaraan berlangsung dan depan muncul seekor kuda yang makin mendekat dengan cepatnya. Ketika si penunggang kuda itu mendengar ucapan terakhir Liong heng-pat-ciang yang terakhir.

"Tahu apa?" bentak Liong-heng-pat-ciang sambil menarik muka.

Karena jawaban ini, si penunggang kuda tampak tertegun, bukan saja kelihatan gugup, sekujur badannya juga basah kuyup oleh keringat.

"Ko put-ki " ucapnya dengan tergagap.



"Ko-put-ki. Ko-put ki apa?" bentak Liong heng-pat ciang Tham Beng lagi dengan dahi berkerut "Ong Liat kenapa kian lama kelakuanmu kian mirip orang sinting, mana berbicara pun tidak jelas!"

Ong Liat yang gugup dan mandi keringat ia semakin ketakutan ia tak berani menengadah cepat-cepat dicteritakannya semua kejadian yang berlangsung di Hok-gu-sau itu kepada majikannya.

Berbicara sampai pada perbuatan Tok-jiu-ciang-wi yang pura-pura mati dengan tujuan membunuh Hui Giok. Liong heng-pat-ciang tampak tersenyum.

"Sejak dulu sudah kutahu bahwa Kang hiante bukan seorang yang tolol ternyata dia memang mempunyai tujuan tertentu dengan perbuatannya itu. Ya dia memang seorang tangguh yang sukar dicari tandingannya."

Walaupun senyuman juga menghiasi wajah Pat-kwa-ciang Lui Hui, tapi diam-diam ia merasa iri.

Tapi Ong Liat lantas bercerita tentang Hui Giok mendadak melompat bangun dan Kang Tay-lik menelan kapsul racunnya untuk bunuh diri, air muka Liong-heng-pat ciang berubah hebat, ia menghela napas berulang kali, sedang Pat-kwa-ciang Liu Hui juga menunjukkan wajah menyesal meski dalam hati ia bersorak kegirangan karena Kang Tay-sik gagal berjasa.

Tapi ketika Ong Liat melaporkan ada orang yang berniat akan membeberkan asal usul Tok ciang Kang Tay-sik, dengan murka Liong-heng-pat-ciang lantas berteriak, "Ke mana kaburnya orang itu? Apakah dia dibunuh Cian Hui?"

"Tidak, tak dibunuh Cian Hui," Ong Liat menggeleng kepala "tapi dia takkan lolos dari cengkeraman kita, sebab ketika hamba bersama Tio Kian dan Thio Seng berhasil kabur dari sana mereka berdua kuperintahkan untuk menguntitnya sendiri datang kemari untuk memberi laporan." Mendengar itu Liong-heng pat-ciang Tham Beng tertawa dingin.

"Hehehe, Cian Hui tahu tak nanti kuampuni penghianat itu, maka ia pura-pura bermurah hati!"

"Liu-hiante, jika Cian Hui tidak segera dilenyapkan dari muka bumi ini selamanya kita tak bisa hidup tenang."

Meskipun air mukanya berubah hebat, tapi sikapnya tak kelihatan gugup. Tapi ketika Ong Liat melaporkan perbuatan Ko-put ki yang telah membongkar rahasianya tokoh yang gagah perkasa ini baru kelihatan gugup, tangannya yang mengelus jenggotpun gemetar.

Setelah termenung sejenak, kemudian ia berkata dengan suara tertahan, "Masa semua orang percaya obrolan seorang kusir yang tak terkenal?"

Ong Liat tak berani menjawab, dia hanya mengangguk saja.

Dalam pada itu air muka Lo Gi, Pian Sau-yan serta Pat-kwa-ciang Liu Hui sama berubah juga, betapapun rahasia yang menyelimuti peristiwa yang pernah menggetarkan dunia Kangouw itu tak pernah diketahui oleh siapapun, bahkan Pat-kwa-ciang Liu Hui sendiri baru pertama kali ini mendengarnya.

Sambil mengelus jenggotnya Liong heng pat-ciaag duduk tepekur di atas kudanya, kecuali rambut dan jenggot yang berkibar terhembus angin sekujur badan sama seakan tak bergerak, se-olah-olah seorang pertapa yang sedang bersemedi.

"Congpiautau " bisik Pat kwa-ciang Liu Hiu dengan agak tergagap.

Liong heng pat ciang mengulapkan tangannya memotong ucapan orang, ia jalankan kudanya perlahan ke depan, tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba ia putar kudanya dan tanpa mengucapkan sepatah katapun melarikan kudanya menuju ke arah yang lain.

Lo Gi, Pian Sau-yan dan Pat kwa-ciang Liu Hui segera menyingkir memberi jalan, sesudah Congpiautau lewat, mereka bertiga saling pandang sekejap, akhirnya mereka menyusul ke sana.

Liong-heng-pat-ciang melarikan kudanya ke sana dengan cepat, rambutnya yang telah beruban berkibar tertiup angin, begitulah hampir selama setengah jam ia membedal kudanya dengan cepat, walaupun Pat kwa ciang bertiga tak dapat melihat perubahan air mukanya, tapi mereka dapat menebak betapa kalut perasaannya waktu itu.

Maka mereka pun tak berani bersuara, sedang mereka melarikan kuda masing-masing, mendadak Tham Beng menahan kudanya sehingga kuda mengangkat kaki depan ke atas, sementara kuda-kuda yang mengikut di belakangnya juga buru2 terhenti.

Ringkikan kuda berkumandang, serentak rombongan menghentikan perjalanannya.

Tiba-tiba Liong-heng-pat ciang berpaling dan bertanya dingin suara tertahan, "Liu hiante berapa banyak orang yang dapat dipakai di kantor pusat ibukota?"

Pat-kwa-dang Liu Hin berpikir sebentar, lalu sahutnya, "Kurang lebih empat puluh orang."

Pelahan Liong heng-pat ciang mengangguk "Dalam tiga hari, bisa kau kumpulkan berapa banyak jago2 tangguh dari seluruh kantor cabang kita?"

Berdebar jantung Pat kwa-ciang Liu Hui, ia tahu majikannya telah siap untuk beradu kekuatan dengan Sin jiu Cian Hui.

Lo Gi dan Piao Siau-yan yang mendengar pertanyaan itu ikut merasa tegang juga.

Setelah termenung sebentar, kembali Liu Hui menjawab. "Bila kita kirim perintah dengan pos merpati dalam tiga hari kita bisa mengumpulkan dua puluh sembilan orang Piausu dan kurang lebih seratus orang anak buah, selebihnya..."

"Cukup" tukas Lioug-heng-pat ciang "Sau yan, sekarang juga berangkat ke Sik-ki-tin, kirim surat perintah ke seluruh kantor cabang dengan burung merpati, dan perintahkan kepada mereka yang mampu bertarung agar segera berangkat ke Kang-lam, yang sedang mengawal barang tetap mengawal barang, yang tak ada pekerjaan, isi kereta masing-masing dengan batu dan pura2 sedang mengawal barang, perintahkan kepada mereka untuk berkumpul di sepanjang penyeberangan di Buhan"

"Terima perintah." sahut Pian Sau-yan dengan semangat berkobar.

Sambil berkerut kening Liong-heng-pat-ciang Tham Beng berkata pula dengan suara dalam. "Baik ada barang kawalan atau tidak, isi kereta masing-masing dengan batu!"

Pian Sau-yan memberi hormat di atas kudanya kemudian mencambuk kuda tunggangannya dan berlalu dengan cepat.

Setajam sembilu Liong heng-pat-ciang Tham Beng menyapu pandang anak buahnya, kembali ia berkata, "To hiante, sekarang juga berangkat ke Lam-yang dan mengadang Si Beng, Siang Hu, Kongsun Tay liok di sana, ajak mereka segera berangkat ke dermaga penyeberangan dan langsung menuju selatan, setibanya di Kanglam kumpulkan kembali ke-20 saudara kita yang bertugas di Ci-bun dan langsung berangkat ke Long bong-san-ceng, kecuali perempuan tua dan kanak-kanak, semua laki-laki yang tampak sehat ringkus seluruhnya, lebih baik diringkus dalam keadaan hidup-hidup, bila terpaksa boleh dibunuh, sesudah itu bakar Long-bong-san-ceng hingga rata dengan tanah."

Walaupun merasa terkejut Lo Gi menyahut juga dengan nyaring, "Terima perintah!"

Dengan mata membara terpengaruh hawa napsu membunuh, Liong-heng-pat-ciang melanjutkan kata katanya, "Bila tugas ini tak berhasil kau laksanakan, tak usah datang menjumpai diriku lagi, bila tugas itu dapat kau selesaikan, kalian boleh beristirahat sehari di Hu-liang, tunggu perintahku selanjutnya dengan berita burung merpati."

Lo Gi tak berani banyak bicara lagi, ia segera mencemplak kudanya dan berangkat.

Tanpa berhenti, Liong-heng-pat-ciang Tham Beng menurunkan perintahnya lebih jauh, "Ong Liat, sekarang juga balik ke Hok gu-san, gerak-gerik apapun yang dilakukan Sin-jiu Cian Hui, harus usahakan untuk melapor kepadaku, bila terlolos sebuah berita saja, kaupun tak usah bertemu denganku lagi"

"Terima perintah" sahut Ong Liat sambil melompat ka atas kudanya, diam-diam ia menyeka peluh dingin yang membasahi jidatnya.

"Bila bertemu dengan Thio Khi dan Thio Seng, jika mereka telah berhasil menangkap pengkhianat tersebut, perintahkan kepada mereka agar pengkhianat itu langsung dibawa ke ibukota!"

Ong Liat mengiakan lagi, tapi sebelum ia berlalu dari situ, dengan dahi berkerut kembali Tham Beng berkata, "Jika mereka berdua tak berhasil menangkap pengkhianat tersebut, bunuh saja kedua orang itu, Hui-liong-piaukiok kita tidak membutuhkan manusia tak becus seperti mereka."

Ong Liat terkesiap, ia makin tak berani banyak bicara, cepat kudanya diputar dan berlalu.

Sampai di situ, Liong~heng~pat-ciang baru dapat mengembus napas. ujarnya kemudian dengan lembut, "Liu-hiante, ikutlah aku pulang ke ibukota, akhir-akhir ini tentunya kau amat lelah bukan?"

"Bila Congpiautau ada perintah lain, katakan saja kepadaku," buru-buru Pat-kwa-ciang Liu Hui berseru, "aku ..."

"Di sepanjang jalan, hanya ada satu tugas yang harus kita laksanakan. ." tukas Tham Beng sambil tersenyum. Setelah berhenti sebentar, lanjutnya, "yakni kita harus menyiarkan ke seluruh dunia bahwa Bun-ki telah bertunangan dengan Tonghong Ceng, salah satu dari Tiat-kiam-ceng-kang-ouw Tonghong bersaudara dari Kang-soh!"



"Ber... bertunangan?" desis Pat-kwa ciang Liu Hui dengan bingung.

"Ya, bertunangan!" sambil tertawa Tham Beng menambahkan, "Setengah tahun yang lalu, Tonghong Tiat telah memberi bisikan kepadamu bahwa ia ingin melamar Bun ki untuk Samtenya, ketika itu aku masih agak sangsi, pertama kuatir Bun-ki menolak, kedua akupun tak ingin mengecewakan Hui Giok, maka waktu itu aku cuma main ulur waktu dan tidak menyanggupinya.

Pat kwa-ciang Liu Hui tertegun, ujarnya kemudian sesudah termenung sejenak "Lantas sekarang mungkinkah. ."

Tiba-tiba Liong heng-pat-ciang tertawa terbahak-bahak: "Hahaha Liu Hiante, bagaimanapun kau memang kurang cekatan, bila berita itu tersiar maka dunia persilatan pasti akan gempar, Tonghong-hengte yang mendengar kabar inipun pasti akan kaget bercampur curiga, sekalipun mereka tak akan datang untuk melamar, sedikit banyak pasti akan mencari diriku untuk menanyakan duduknya persoalan, Nah, waktu itu asal ku ungkap kembali kejadian lama, niscaya pertunangan itu akan beres dengan sendirinya."

Pat-kwa ciang Liu Hui berpikir sebentar, akhirnya iapun dapat memahami maksud sang majikan.

"Congpiautau!" demikian ia memuji, "kau memang hebat, ketepatanmu menyusun siasat rasanya tidak di bawah Khong Beng, dengan begitu..."

"Hahaha... dengan begitu, bukan saja keluarga Tonghong akan menjadi pembantuku, perguruan Tonghong ngo-hengte pun akan menjadi tulang punggungku, setelah kekuatanku di tunjang oleh kekuatan sebesar ini, apa lagi yang mesti kutakuti, sekalipun penuturan kusir kereta itu akan mempengaruhi orang-orang dungu, mungkinkah cerita tersebut dipercayai juga oleh orang keluarga Tonghong Bu-tong-pay, Kun-lun pay dan beberapa perguruan kenamaan itu? Hah-ha, waktu belasan tahun kan tidak pendek, kukira sudah cukup untuk mengurangi rasa dendam serta kenangan orang banyak atas peristiwa lama tersebut Hahaha" Cian Hui wahai Cian Hui. bagaimanapun juga kau telah salah mencari musuh tandinganmu"

Pat kwa-ciang Liu Hui ikut tertawa ter-bahak2, sejenak kemudian tiba2 tanyanya, "Cuma, bila ini benar2 terjadi, bukankah kita akan tidak leluasa untuk berbuat apa2 terhadap Hui Giok."

Semakin keras gelak tertawa Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, "Hahaha, setelah kupunya pendukung setangguh itu, sekalipun ada sepuluh bocah ingusan macam Hui Giok yang memusuhi diriku juga tak mampu berbuat apa2 terhadap diriku."

Gelak tertawanya semakin bangga, suaranya pun semakin keras, hanya sayang tokoh persilatan yang selalu dianggap sebagai seorang budiman ini kembali menilai terlalu rendah kemampuan Hui Giok sehingga terciptalah suatu kekeliruan lagi.

Dan kekeliruan tersebut seperti apa yang dikatakannya sendiri akan mendatangkan penyesalan baginya di kemudian hari.

-o0o-

Dataran rendah Bu-hau yang luas kembali dilapisi oleh bunga salju akibat hujan yang lebat.

Bekas roda kereta di atas permukaan salju, bekas kaki kuda yang tampak nyata tumpang menumpang.

Di tengah hujan salju yang keras, bayangan orang dan suara cambuk dapat ditemui di mana2, gelak tertawa dan nyanyian keras pun terdengar di mana2, bahkan terlihat juga sinar pedang sering menambah seram dan dinginnya cuaca.

Semua itu membuat ketiga kota Bu-han yang sudah ramai tambah semarak lagi, membuat dunia persilatan yang sudah kalut semakin kisruh lagi.

Ketenangan dunia persilatan selama belasan tahun telah berlalu, orang persilatan sama kasak-kusuk, tahun lama sudah berakhir, tahun baru hampir tiba, barang siapa ingin pamer kepandaian dan jual nama kini saatnya sudah tiba, tunjukkanlah kegagahanmu... tunjukkanlah kepandaianmu dan berusahalah merebut kedudukan yang tinggi dalam dunia persilatan.

Kereta pengiriman barang telah berkumpul sepanjang pantai sungai Tiang-kang, setiap saat mereka akan menyeberang ke wilayah Kanglam. Bendera perusahaan yang berwarna menyolok berkibar dengan menterengnya terembus angin utara yang dingin.

Delapan ekor naga terbang yang tersulam di bendera seakan-akan terbang menembus awan melayang pergi.

Di jalan-jalan besar sepanjang sungai, sering bermunculan Busu bersenjata dari perusahaan Hui liong-piaukiok, mereka membuat kelompuk sendiri dan mondar mandir kesana kemari.

Pada wajah mereka yang serius itu seringkah menunjukkan ketegangan yang mencekam, sinar mata yang mencorong ibaratnya anjing pemburu yang sedang mencari mangsanya, tangan mereka yang kekar selalu meraba senjata masing-masing, seakan-akan setiap saat mereka siap menghunus senjata untuk melangsungkan pertarungan mati-matian.

Sepatu kulit mereka yang kuat berderap di permukaan salju yang keras, sarung senjata mereka yang mengkilap bergesek dengan pelana yang berwarna hitam gelap.

Dalam dunia persilatan, Liong-heng-pat-ciang yang mempunyai kedudukan ibarat seorang Bengcu dalam perusahaan ekspedisi Hui-liong-piaukiok ini adalah pimpinan tertinggi kedudukan selama sepuluh tahunan ini selalu mantap dan kuat bagaikan batu karang, kini telah mulai goyah.

Alasan yang terpenting adalah karena kejujuran, kemuliaan serta kebijaksanaan Liong-heng-pat-ciang dalam pandangan orang sudah mulai goyah. Suatu tuduhan sebagai pembunuh keji yang licik, kejam dan berhati busuk yang berlangsung pada sepuluh tahun yang lalu, kini mulai dibongkar dan tuduhan itu ternyata jatuh atas diri tokoh besar tersebut.

Jago-jago persilatan yang suka mencari keramaian berbondong-bondong datang ke Bu-han dari berbagai penjuru negeri, sorot mata semua orang sama tertuju pada kereta barang yang berhimpun di sepanjang sungai, sebaliknya para Busu Hui-liong-piaukiok yang gagah perkasa, selalu pula memperhatikan setiap gerak-gerik di pantai selatan sana.

Ada sementara orang yang diam-diam merasa kecewa dan menyesal, andaikata Koay-sim Hoa Giok belum mati, maka perasaan para jago yang berkumpul di kota Bu han tentu tak akan sekesal ini.

Dengan demikian tentu pula di jalan raya dan rumah makan serta gang2 tempat ber-foya-foya dalam kota Bu han tak akan terjadi begitu banyak percekcokan perkelahian serta pembunuhan.

-oOo -o- -oOo-

Fajar baru menyingsing, meski waktu seperti ini adalah waktu yang paling tenang setiap hari, Tapi kota Bu-han yang dingin karena hujan salju ternyata tidak tenang dan sepi seperti tempat lain pada waktu yang sama, di bawah atap rumah yang penuh dengan salju yang membeku berkumpul kelompok-kelompok jago persilatan yang sedang ber-bisik-bisik membicarakan sesuatu rumah makan dan warung minum yang baru buka pintu telah diserbu orang hingga tak ada tempat yang kosong.

Tiba-tiba dari kejauhan muncul empat ekor kuda yang dilarikan kencang-kencang, bunga salju beterbangan di belakang kuda dan menciprat ke empat penjuru penunggang kuda mengenakan mantel yang tebal dengan topi lebar, begitu masak ke kota, seorang lantas berteriak, "sebelum tengah hari nanti, Hui-taysianseng akan tiba di sini!"

Berita itu dengan cepatnya tersiar saling menyambung hingga dalam sekejap saja seluruh kota Bu-ban telah merata dengan berita itu, sedemikian menggemparkan berita ini sehingga air sungai yang telah membeku se-akan2 beriak kembali.

Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, Sin jiu Cian Hui dua tokoh utama yang sangat menarik perhatian orang itu belum muncul, tapi Hui-taysianseng ternyata sudah datang. kabar ini benar2 menggemparkan.

Maka kelompok2 manusia lantas berkumpul di dermaga Tiang kang ada yang membawa payung ada yang memakai topi lebar, mereka berdiri di tepi sungai sambil memperhatikan perahu yang pelahan sedang merapat ke sini.

"Siapa? Siapa yang datang?" demikian mereka sama bertanya.

Siapa pun yang datang, asal dia datang dari wilayah Kanglam (selatan sungai), maka kemunculannya itu pasti akan menimbulkan kegemparan di antara jago2 persilatan yang berkumpul di situ. Meskipun air sungai yang kuning berlumpur telah banyak mengalangi berita tapi tak mampu mengalangi pertarungan yang bakal berlangsung suatu pertarungan yang belum pernah terjadi selama berpuluh tahun terakhir ini.



Perahu itu pelahan mendekat dan makin merapat.

Tapi di dalam kota sana tiba-tiba terjadi kegemparan lagi.

Di bawah hujan salju yang bertaburan seorang pemuda tampan berbaju hijau sambil memegang tali kendali kudanya, menyelusuri jalan raya yang panjang dan lurus.

Di sisinya mengikuti dua ekor kuda hitam di atas kuda dua orang berbaju abu-abu dan bermuka dingin. mereka bukan lain adalah Leng-kok siang bok yang tersohor dalam dunia persilatan itu.

Di belakang mereka adalah lapisan suara manusia, lapisan ringkik kuda, entah berapa banyak penunggang kuda yang mengikut di belakang itu. Sejauh pandangan ke belakang terlihat kepala belaka, demikian banyaknya orang itu hingga sekilas pandang mirip gulungan ombak yang sedang mendorong pemuda yang berada di depan itu, walau sebenarnya pemuda itulah yang datang membawa gelombang ombak tersebut.

"Hui-taysianseng!", sorak sorai gegap gempita berkumandang dan empat penjuru.

Suara yang keluar dan mulut orang-orang itu mestinya tidak keras, tapi seruan yang diucapkan hampir bersamaan waktunya oleh sekian banyak orang kedengarannya menjadi seperti gemuruh guntur.

Hui Giok tetap kalem dan tenang, senyuman selalu terkulum di ujung bibirnya meskipun begitu, di antara sinar matanya seolah-olah tersembunyi rasa sedih dan kesal yang tak terhingga.

Para Busu "Hui liong" yang tadi masih berjalan dengan langkah lebar dan sikap yang angkuh, kini keangkuhan mereka menjadi sirap.

Langkah sepatu kulit mereka yang semula berat, kini sudah enteng, tangan yang semula meraba gagang senjata, kinipun terjulur lemas.

Hui Gok memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian melompat turun dari kudanya, ia tak mau melanjutkan perjalanannya dengan menunggang kuda di antara kerumunan sekian banyak jago persilatan, karena ia tak ingin menonjolkan diri dihadapan orang banyak, dia lebih suka menjadi seorang yang sederhana.

Tapi nasib telah menciptakan dia menjadi seorang Enghiong, seorang pahlawan, keadaan yang telah menciptakannya menjadi seorang gagah dan lain daripada yang lain.

Pada saat yang bersamaan, di sudut kota sebelah lain, perahu tadi sudah merapat di dermaga.

Papan loncatan telah dipasang di antara perahu dengan daratan.

Kabin perahu yang semula tertutup pelahan terbuka dan muncul lima orang pemuda tampan berbaju perlente, mereka membawa pedang, ujung baju yang berkibar terembus angin membuat mereka tampak lebih gagah, lebih kereng dan menakjubkan.

"Tonghong-ngo kiam!" pekikan nyaring meledak dan mulut orang-orang yang berkerumun di tepi sungai.

Kerumunan manusia di dermaga dengan cepatnya mundur ke belakang memberi jalan lewat, sambil tersenyum Tonghong Tiat menjura ke sana ke mari memberi hormat kepada penyambutnya, lalu dengan membawa keempat saudaranya yang disegani itu turun dari perahu mereka, orang-orang disepanjang jalan serentak gempar.

Tonghong-ngo-kiam menyusuri sebuah jalan raya yang lurus dan panjang, walaupun terjadi kegemparan, namun jalan raya yang lebar itu tak seorangpun yang berlalu lalang, hanya di bawah emper rumah dan di rumah makan orang makin berjubel.

Tonghong-ngo-hengte saling pandang sekejap, alis mata mereka bekernyit, timbul rasa heran dan curiga mereka, "Mengapa begini?"

Tapi akhirnya mereka melanjutkan perjalanannya menyusuri jalan raya, pada ujung jalan lain, langkah Hui Giok masih tetap lambat dan tenang, matanya memandang ke bawah, ia tak mau melirik kawanan jago itu batang sekejap pun.

Suasana di bawah emper rumah dan dalam warung makan mendadak berubah jadi hening, ketika itu dunia persilatan telah digemparkan oleh suatu berita besar, semua orang tahu bahwa keluarga Tonghong dari Kanglam telah berbesanan dengan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng.

Puteri kesayangan Liong-heng-pat-ciang yaitu "Liong-li" (puteri naga) Tham Bun-ki telah dijodohkan dengan Tonghong Ceng, saudara ketiga dari Tonghong-ngo kiam.

Pada saat yang sama, suatu berita lain yang meski lebih rahasia sifatnya, tapi tersiar pula dalam dunia persilatan secara luas.

Berita itu entah siapa yang menyiarkan, tapi setelah disiarkan oleh orang pertama, dengan cepatnya berita itu tersiar dan mulut ke mulut, meski hanya berupa bisikan-bisikan belaka, tapi kecepatan penyiaran berita itu ternyata lebih cepat daripada pengumuman resmi.

Kini, hampir setiap orang persilatan mengetahui hal ini!

Berita apakah itu? Yakni bahwa Liong-li Tham Bun-ki itu puteri kesayangan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, sebenarnya adalah kekasih Hui-tay-sianseng sejak kecil.

Bahkan ada pula yang secara diam-diam berkata begini, sebenarnya Hui-taysianseng dan Liong-li Tham Bun-ki diam-diam telah mengikat janji dalam perkawinan, tapi lantaran Liong-heng-pat-ciang sendiri yang mengacau, karena dia ingin menggaet keluarga Tonghong agar berpihak kepadanya agar dapat dipakai untuk menghadapi Perserikatan orang orang Kanglam, maka ia lantas menjodohkan puteri kesayangannya kepada Tong-hong Ceng.

Walaupun sebagian besar orang tak tahu darimana datangnya sumber berita itu, namun ada kelompok manusia yang diam-diam menebak bahwa berita tersebut mungkin berasal dari pihak Sin-jiu Cian Hui.

Tapi peduli darimanakah sumber berita itu, yang pasti semua orang hampir mempercayai kebenaran berita tersebut.

Sekarang, Tonghong-ngo-kiam dan Hui-taysian seng akan berjumpa di tengah jalan, sudah tentu peristiwa tersebut merupakan suatu peristiwa yang lebih dahsyat dan menggemparkan daripada kejadian apapun.

Kawanan jago persilatan yang mengikut di belakang Hui Giok semuanya telah turun dan kuda masing-masing, beratus pasang sepatu berjalan di atas lapisan salju dan menimbulkan suara yang sama.

Serentetan suara langkah kaki lain berkumandang pula dari arah utara menuju ke selatan.

Walaupun senyuman masih menghiasi wajah Tonghong-ngo-kiam, rasa heran dan curiga menyelimuti perasaan mereka, Di tengah keheningan mereka pun mendengar langkah kaki lain yang makin lama makin mendekat. Ketika mereka berpaling, tertampaklah kelompok manusia di tepi jalan sama menunjukkan sikap yang semakin tegang.

Hampir bersamaan waktunya kelima Tonghong bersaudara itu meraba gagang pedang masing2, sinar mata mereka yang tajam menatap tak berkedip ke arah depan sana.

Saat itulah di bawah emper rumah ada puluhan orang laki2 berbaju hitam sedang menyebarkan diri secara diam2, mereka mencari tempat2 yang sepi dan terlindung dari pandangan orang.

Tentu saja tak seorangpun yang menaruh perhatian kepada mereka dan juga tak ada yang tahu anak buah siapakah mereka?

Langkah Hui Giok belum berhenti.

Langkah Tonghong-ngo-kiam juga tidak berhenti.

"Apa yang akan terjadi setelah mereka kepergok? Bagaimana sikap mereka? pertanyaan dan pertanyaan timbul dalam hati setiap orang, tapi tak seorang pun yang menemukan jawabannya

Akhirnya Hui Giok menengadah sinar matanya menyapu pandang sekejap, dilihatnya lima pemuda berpakaian perlente pelahan sedang menghampiri ke arahnya.

Derap langkah mereka teratur, pakaian dan dandanan mereka mirip satu dengan yang lain. Berdebar jantung Hui Giok setelah mengenali orang2 itu sebagai lima saudara Tonghong, namun air mukanya tetap tenang, seolah-olah tak pernah terjadi apapun.

Tonghong-ngo-kiam juga saling pandang sekejap, lalu Tonghong Kang berbisik, "Dia inikah Hui Giok!"

Keempat saudaranya hanya mengangguk, sebenarnya antara mereka berlima dengan Hui Giok tidak ada permusuhan apapun, tapi dalam keadaan dan situasi semacam ini, tiba2 saja mereka merasa antara mereka dengan Hui Giok ada sesuatu yang mengganjal, meski air muka mereka tak berubah, namun hati mereka merasa serba susah juga, Leng-kok siang-bok saling pandang sekejap lalu berdehem, Dalam pada itu Tonghong-ngo hengte sudah mendekat dengan langkah lebar.

"Selamat berjumpa selamat berjumpa!" sapa Hui Giok dengan tersenyum.

"Selamat berjumpa, selamat berjumpa!" Tong hong~ngo-hengte membalas hormat.

Di antara kelima bersaudara itu, kendatipun Tonghong Ceng merasa paling kikuk, namun senyuman tetap menghiasi bibirnya, hal ini membuat semua orang yang menonton di bawah emper rumah saling pandang dengan rasa kecewa.

Agaknya setelah saling tegur sapa dengan sopan, kedua rombongan itu lantas berpapasan dan lewat dengan begitu saja, tanpa ketegangan, tanpa rangsangan dan tanpa kejutan, se-olah2 kenalan biasa yang bertemu di tengah jalan saja.

Kembali Leng-kok-siang-bok saling pandang sekejap. Tiba-tiba dari ujung jalan depan sana berkumandang suara teriakan yang nyaring, "Wahai Hui-taysianseng, masa hatimu sedih kekasihmu dirampas orang lain? Masa kau tidak marah? Tidak penasaran"

Hui Giok, Leng-kok-siang-bok maupun Tonghong-ngo kiam serentak berhenti dan saling pandang dengan melenggong.

"Siapa?" hardik Tonghong Ceng mendadak dengan kening berkerut.

Baru saja ia membentak, dari ujung jalan sana terdengar pula orang berteriak: "Wahai Tonghong Ceng, meskipun Tham Bun ki akan kawin dengan kau, pada hakikatnya dia masih mencintai Hui Taysianseng, bahagiakah kawin tanpa dilandasi oleh cinta?"

Suasana di sekeliling tempat itu menjadi gaduh, air muka Tonghong-hengte berubah hebat, lebih-lebih Tonghong Ceng, mukanya tampak pucat seperti mayat.

Dalam pada itu, rombongan orang yang jauh ngintil di belakang Hui Giok tadi telah berkerumun ke muka, lalu mengurung mereka di tengah arena. tentu saja sukar untuk mencari biangkeladi si berteriak dari sekian banyak orang ibaratnya mencari jarum di dasar lautan.

Tongbong Ceng menyengir "Hui-heng, baik-baikkkah kau selama ini?" tegurnya kemudian dengan nyaring "Konon ilmu silat Hui-heng telah mendapat kemajuan yang amat pesat untuk itu Siaute ikut bergembira."

Perkataan ini sengaja diucapkan dengan suara lantang, pertama untuk menunjukkan dia tidak mempunyai tujuan pribadi, kedua iapun ingin mengalihkan pembicaran ke soal lain, di sinilah terlihat kebijaksanaannya sebagai seorang ksatria muda.

Siapa tahu baru saja selesai katanya, kembali ada orang menyeletuk "Apa yang kau girangkan? Memang kau anggap Hui-taysianseng tidak setangguh kalian berlima? sungguh harus disesalkan perbuatan Tham Beng itu, demi persekongkolannya dengan keluargamu ia telah menjadikan puterinya sebagai hadiah, ia telah mengorbankan kebahagiaan hidup puterinya. Tonghong Ceng, wahai Tonghong Ceng, katakanlah terus terang, bukankah memang demikian kejadiannya?"

Wajah Tooghng Ceng yang pucat kini menghijau, tangannya yang memegang gagang pedang tampak tegang hingga otot hijau pada menongol keluar, padahal kawanan manusia yang berada di sekelilingnya selapis demi selapis mengurung mereka di tengah, dalam keadaan demikian mau pergi pun tak bisa, tidak pergi rasanya tak enak, mau marah enggan, tidak marah hati terasa panas ia benar-benar serba salah dan tak tahu apa yang harus dilakukannya.

Sinar mata Leng-kok-siang-bok berkilat, sebagai manusia yang berpengalaman mereka segera sadar bahwa teriakan orang tadi pasti merupakan serangkaian rencana keji yang sengaja diatur oleh Sin-jiu Cian Hui, yaitu agar Hui Giok dan Tonghong-ngo-kiam saling bentrok, bahkan terlibat dalam suatu pertarungan sengit sedang dia sendiri yang akan menarik keuntungannya.

Walaupun Tonghong-ngo-kiam sendiri juga bukan orang bodoh, tapi sayang mereka pun tak tahu cara bagaimana mengatasi situasi yang serba salah ini.

Untunglah diantara lima bersaudara itu, Tonghong Tiat terhitung paling tenang dan pandai menguasai keadaan, meski situasi tidak menyenangkan, pikirannya tak sampai kalut.

"Sobat!" bentaknya setelah merenung sebentar, "Kalau ingin bicara, tampil ke depan dan bicaralah yang jelas, caramu itu..."

"Kalian lima bersaudara mempunyai nama yang baik, mempunyai juga guru yang baik" suara teriakan tadi kembali berkumandang, "sekalipun aku merasa mendongkol dan kheki, tak berani kuganggu diri kalian."

"Betul" segera seorang menyambung pula, sampai-sampai Liong-heng-pat-ciang perlu menjilat pantat kalian, apalagi kami sungguh kasihan, Hui taysianseng yang berpribadi halus, berilmu silat tinggi dan berpendidikan baik, oleh karena tak mempunyai tulang punggung yang mendukungnya. dia harus berpisah dengan kekasihnya secara paksa."

Suara tertawa dingin segera menggema pula dan sudut lain, "Hehehe, selama ini tindakan Hui-leng-po selalu mencerminkan perbuatan seorang pendekar tak nyana kali ini sudi melakukan perbuatan seperti ini."

Mencorong sinar mata Tonghong-ngo kiam, lenyap pula senyuman yang menghiasi bibir Hui Giok.

Tiba2 Tonghong Kang dan Tonghong Ouw, kedua saudara kembar yang paling muda tapi juga paling berangasan melompat ke depan dan menghampiri Hui Giok sambil tertawa dingin Tonghong Ouw membentak, "Manusia rendah yang tak tahu malu, engkau inikah yang mengatur segala sesuatunya ini?"

"Ngo-te!" Tonghong Tiat cepat menbentak. Tapi terlambat, sebab air muka Hui Giok lelah berubah hebat.

"Saudara apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti demikian serunya dengan nada berat."

Tonghong Ouw tertawa dingin, mendadak ia lolos pedangnya.

"Hari ini aku Tonghong Ouw tidak akan mengandalkan nama perguruan tidak menonjolkan nama orang tua atau saudara, dengan seorang diri ingin kujajal kepandaian Hui-taysianseng, ingin kulihat sampai di manakah tarap kepandaianmu!"

Tonghong Tiat berkerut kening, bisiknya sambil menghela napas "Ngo-te, kau kau...."

Perkataan itu belum berlanjut ketika dari empat penjuru menggema suara teriakan yang gegap gempita "Hajar saja" Ganyang saja! Hajar bajingan cilik itu sampai mampus, kita lihat apa yang bakal dilakukan gurunya, ayahnya serta saudara saudaranya?"

Tonghong Tiat berpaling, ia lihat Hui Giok berdiri kaku di tempat semula, tidak menjawab juga tidak memberi penjelasan, hal ini segera menimbulkan kecurigaan serta rasa mendongkolnya.

Saudara Hui," tegurnya kemudian sambil tertawa dingin, "sebenarnya apa yang terjadi? Harap memberi penjelasan kepada kami" Tiba-tiba Hui Giok tersenyum "Engkau minta penjelasanku, lantas aku minta penjelasan kepada siapa?"

Tonghong Ouw menggetarkan tangannya, cahaya pedang berkilau, sekali berkelebat hampir saja muka Hui Giok terluka.

Berubah air muka Hui Giok, "Aku tak ingin bertengkar dengan kalian, pertama aku tak ada permusuhan dengan kalian, kedua akupun tak ingin diadu domba oleh orang-orang yang tak dikenal. Sebab itu kuminta kaupun jangan bersikap kelewat batas, paling sedikit sebelum duduk perkara dibikin jelas."

Tonghong Tiat segera menarik mundur adiknya, seraya berkata, "Adapun kedatangan kami tak lain hanya ingin membikin terang duduknya perkara, kami sama sekali tidak bermaksud berbesanan dengan keluarga Tham, tapi saudara..."

Mendadak Hui Giok tertawa dingin dan menukas: "Apakah kalian mau berbesanan dengan keluarga Tham atau tidak, apa sangkut pautnya dengan diriku?"

"Benarkah tak ada sangkut-pautnya?" Tonghong Ouw mengejek.

Kontan hati Hui Giok menjadi panas, betapa perkataan pemuda berangasan ini telah menyinggung perasaannya.

Leng Han-tiok yang berada di samping buru-buru menegur dengan mata mengkilap "Apakah kau suka orang jahat bergembira karena siasatnya berhasil?"

Hui Giok terkesiap, dada yang membusung seketika melengkung lagi.

Dan kerumunan orang banyak segera terdengar suara teriakan keras "Wahai Hui-taysianseng selemah itukah dirimu? Senangkah kau dipendam kan orang tanpa membalas? Atau kau memang jeri terhadap mereka?"

Tonghong Ouw mendengus "Hm, begitu banyak kawanan tikus yang memberi semangat kepadamu, apa lagi yang kau takuti"

Hui Giok menghela napas, ia berpaling sekejap ke arah Leng-kok-siang-bok, melangkah ke sana, tampaknya akan menuju ka tengah kerumunan orang.

Toa-kongcu, Ji-kongcu!" tiba-tiba terdengar gertakan, "orang inilah yang berkaok-kaok cepat.

Tapi sebelum lanjut seruan, mendadak terdengar jeritan ngeri.

"Koan ji!" seru Tonghong Tiat dengan air muka berubah.

Tonghong Ouw memutar pedangnya sambil melayang lewat di atas kepala orang banyak.

Dia adalah pemuda asal keluarga persilatan lagi pula mendapat didikan guru yang pandai, kungfunya memang jarang ada di dunia ini.

Hui Giok membatalkan maksudnya melangkah ke sana, Tonghong Ceng bermaksud menyusul saudaranya, tapi Tonghong Tiat segera mencegahnya, "Sudah ada Ngo-te seorang, rasanya sudah cukup."

"Jika orang itu berhasil ditangkap, ingin ku lihat dia itu manusia macam apa?" seru Tonghong Kang dengan marah.



Suasana kembali jadi gaduh, suara langkah terang bergemuruh dan empat penjuru.

Tiba-tiba di antara kerumunan orang terbuka satu jalan, dengan wajah dingin Tonghong Ouw muncul dengan langkah tegap, pedangnya tergantung di pinggang, tapi tangannya memondong sesosok mayat.

"Koan-ji? Benar Koan ji itu?" Tonghong Kiam berseru kaget.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun Tong-hong Ouw membaringkan jenazah itu di tanah, pada dada mayat itu tertancap sebilah belati.

"Ai, dia benar-benar Koan-ji," keluh Tonghong Tiat sambil menghela napas, "dia tentu menemukan si peneriak itu, tak tersangka dia akan mati terbunuh sekeji itu."

"Di mana pembunuhnya?" teriak Tonghong Kang sambil memburu maju.

"Dalam keadaan seperti ini, sekalipun ada seribu orang pembunuh juga dapat bersembunyi di antara kerumunan orang banyak," sahut Tong hong Ceng ketus.

Selama ini Tonghong Ouw terus menerus mengawasi belati itu, tiba2 ia membentak, tangan diayun ke depan, serentak cahaya perak dengan desing angin tajam langsung mengancam dada Hui Giok.

Bekernyit alis Hui Giok, tapi ia tak bergerak dengan jari tangan dan jari telunjuknya tahu2 belati itu sudah terjepit di tangannya.

"Hei, apa-apaan kau ini?" bentaknya Dengan mata melotot gusar Tonghong Ouw berteriak, "Lihat sendiri tulisan di atas pisau itu coba periksa! Bukankah anggota perserikatan Kanglam kalian yang melakukan perbuatan ini?"

Tonghong Kang juga membentak, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia melolos pedangnya, dengan menciptakan selapis cahaya tajam, ia tabas bahu Hui Giok,

Dengan enteng Hui Giok berkelit ke samping, belati yang terjepit di tangan kanannya menyampuk perlahan, "trang" tabasan lawan berhasil di tangkis "Bagus" seru Tonghong Kang, "sambutlah seranganku ini"

"Sret!" dia membacok lagi dengan kuat "Jangan gegabah kau ingin ditertawakan orang?" seru Tonghong Tiat sambil memegang pergelangan tangan adiknya.

Pedang yang sudah disarungkan kembali dilolos oleh Tonghong Ouw, ia menjengek, "Hehe, apa nya yang akan ditertawakan?"

Cahaya pedang berkilau, "sret! Sret! ia membacok ke kiri dan menabas ke kanan secara beruntun mengarah bahu kiri serta kanan leher Hui Giok.

Dasar wataknya memang berangasan, tidak heran kalau serangannya juga ganas dan mengerikan.

Jeritan kaget menggema, barisan orang yang beraa paling depan serentak menyurut mundur tapi rombongan yang di belakang dengan cepat mendesak maju.

Hui Giok melompat dan berkelit ke samping. tapi baru saja kedua serangan terhindar, tahu-tahu Tonghong Ouw sudah putar pedang dan menusuk hulu hatinya.

Dengan tenang Hui Giok bergeser ke belakang.

"Ayo balas! Masakan tidak berani membalas?" teriak Tonghong 0uw.

Sambil berseru kembali ia lancarkan tiga kali serangan berantai, menusuk jalan darah Huan-su Tiong-ha&t serta Oang-tay, tiga jalan darah penting Hui Giok tertawa dingin, ia mengegos kesamping lalu menerjang ke muka, sementara itu Tonghong Tiat berseru dengan gegetun. "Masa bodoh, terserah kemauan kalian. Dia melepaskan tangan Tonghong Ouw, lalu menyingkir jauh ke belakang.

Leng-kok siang-bok juga bertindak cepat, sambil mengebaskan ujung bajunya mereka mengadang di depan Hui Giok.

"Minggir!" bentak Tonghong Kang serta Tonghong Kiam sambil menyilangkan pedangnya Di tengah ketegangan itu tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin dari kerumunan orang banyak.

"Hehehe, budak dungu !" Meskipun suara itu tidak keras, namun dapat didengar jelas oleh telinga Tonghong-ngo-hengte.

Sebagai keturunan keluarga persilatan tentu saja kelima orang itu tahu bahwa perkataan tadi diucapkan oleh seorang tokoh persilatan yang mempunyai tenaga dalam yang sempurna mereka jadi ragu.

Tonghong Kang dan Tonghong Ouw menarik kembali senjatanya dan mundur dua langkah, tiba dari arah kerumunan orang banyak melayang datang segulung bayangan hitam, gerak bayangan itu sangat cepat.

Suara kaget kembali menggema di sekeliling tempat itu, tanpa terasa Tonghong-hengte mundur lagi tiga langkah.

"Buk" bayangan itu jatuh ke tanah, ternyata seorang laki-laki berbaju hitam yang tertutuk jalan darahnya.

Rupanya laki-laki berbaju hitam itu dilemparkan orang dari kejauhan, namun tidak membikin terluka waktu terbanting di tanah, ketepatan tenaga lemparan yang demonstrasikan orang itu sungguh luar biasa.

"Tonghong-heogte lebih terperanjat lagi, Hui Giok dan Leng-kok-siang-hok juga melenggong, maklumlah tidak banyak orang yang memiliki tenaga dalam sesempurna itu di dunia ini.

"Siapa?" bentak Tonghong Kiam.

Karena tiada jawaban, dengan dahi berkerut Tonghang Tiat berseru sambil menjura, "Locianpwe dari mana yang berkunjung kemari? Silakan..."

Belum habis seruannya, ucapan yang halus nyaring dan kuat itu kembali berkumandang, kah ini diucapkan sekata demi sekata, "Peduli siapapun, tanpa menyelidiki keadaan yang sesungguhnya adalah tindakan dungu, akan ku bekuk mereka yang berkaok-kaok itu agar kalian tahu sebenarnya mereka itu anak buah siapa?"

Perkataan ini jauh lebih nyaring dibandingkan dengan pertama kali tadi, suasana kembali menjadi riuh, mereka yang ikut berteriak di tempat persembunyian mulai berdebar setelah mendengar perkataan itu, tanpa sadar mereka mengambil langkah seribu dan lari terbirit-birit. Tapi, baru saja mereka kabur, dari bawah emper rumah sana melayang keluar dua sosok bayangan, demikian cepatnya gerakan mereka sehingga beratus pasang mata yang hadir di situ tak seorangpun yang dapat melihat wajah mereka.

Di mana bayangan tersebut menyambar lewat, seorang segera menjerit kaget, menyusul sesosok bayangan lantas terlempar ke udara dan terjatuh di tengah lapang di antara kerumunan orang banyak. Belum habis rasa kaget Hui Giok, Leng-kok-siang-bok serta Tonghong-ngo-kiam yang berada di antara kerumunan orang itu puluhan bayangan hitam sudah beterbangan dari berbagai penjuru.

"Blangl Bluk" meski bayangan-bayangan hitam itu datang dari arah yang berbeda, namun mencapai tanah pada saat yang hampir sama.

Tonghong Kang dan Tonghong Ouw melompat ke sana tapi hanya terlihat dua sosok bayangan abu-abu berkelebat di udara dan lenyap di kejauhan.

Ilmu meringankan tubuh yang demikian hebatnya ini benar-benar tak pernah dilihat oleh kawanan jago yang berada di situ, malahan Tonghong hengte yang berasal dari keluarga persilatan mempunyai guru dan ayah yang merupakan tokoh silat kelas satu, juga terperanjat setelah menyaksikan kelihayan Ginkang kedua orang itu.

Mencorong sinar mata Hui Giok, dari gerakan tubuh kedua orang itu, satu ingatan melintas dalam benaknya, tiba-tiba ia teringat akan dua orang, tanpa terasa senyuman menghiasi bibirnya.

Tonghong Tiat segera mencengkeram baju seorang laki-laki berbaju hitam, jalan darah orang itu Ditepuknya.

Laki-laki itu sangat ketakutan mukanya pucat dan matanya celingukan ke sana kemari seperti maling tertangkap basah, dengan gemetar ia memohon, "Ampun! ampunilah hamba... hamba tidak... tidak berkata apa-apa!"

Tonghong Ouw tertawa dingin, batang pedangnya menabok tulang bahunya dan menyebabkan laki-laki itu kesakitan, ia menjerit seperti babi mau disembelih, peluh dingin membasahi badannya.

Dengan gusar Tonghong Kang membentak, "Ayo mengaku, kau anak buah siapa? Diperintah oleh siapa untuk berbuat begini? sebelum hitungan ketiga kau harus mengaku terus terang, kalau tidak Hm, kedua tulang pundakmu akan kutembusi pedang, lalu matamu akan kubuatkan."

Ujung pedang yang bergetar menempel di bawah alis laki-laki itu, dalam keadaan begini, asal dia menggerakkan tangannya, niscaya mata laki-laki akan terkorek keluar.

Hm G ok menghela napas, ia seperti teringat akan sesuatu dan ingin bicara tapi akhirna tidak. sementara itu Tonghong Kang sudah mulai menghitung: "Satu! . ."

Laki-laki berbaju hitam itu ketakutan hingga badan gemetar, sedikitpun tak berani bergerak.



"Hamba tidak . . tidak. ."

Tonghong Ouw tak memandangnya, ia menghitung lebih lanjut: "Dua!. . ."

Air muka laki-laki itu makin pucat tiba-tiba ia berteriak "Aku mengaku... mengaku . ., . "

Tonghong Kang tertawa dingin, ia tarik kembali pedangnya,

Dengan lemas laki-laki berbaju hitam itu terduduk di tanah, ia menyeka peluh yang membasahi jidatnya dengan tangan yang gemetar.

"Hamba . . hamba adalah anak buah Na-ceng cu dari Jit-giau San ceng." katanya kemudian dengan pelahan.

Begitu pengakuan diberikan baik Hui Giok dan Leng-kok-siang-bok maupun Tonghong ngo kiam sama-sama melengak.

"O, mereka ini anak buah Jit giau-tui-hun?"

Kegaduhan berkumandang dan empat penjuru, suasana jadi gempar, semula mereka mengira perbuatan ini pasti merupakan suatu rangkaian siasat mmeecah-belah dari Sin jiu Cian Hui, tak tersangka siasat ini adalah tipu berantai dari Jit-giau-tui-hun Na Hui hong yang ingin "sekali timpuk empat ekor burung".

Seandainya Hui Giok sampai bentrok dengan Tonghong-ngo-kiam, akibatnya kedua pihak tentu akan sama-sama cedera.

Bila begini, Liong-heng pat ciang akan paling menderita dia pasti mengira tindakan mi merupakan siasat dari Sin-jiu Cian Hui, orang persilatanpun tentu akan mengutik kekejian si Tangan Sakti ini.

Dengan alis berkerut Leng Han-tiok juga mendesis, "Hm, sekali timpuk empat ekor burung, hehehe, siasat berantai yang busuk rencana jahat yang keji!"

Sementara itu Tonghong hengte termangu sejenak, lalu mengerling sekejap ke arah Hui Giok, kemudian mereka sama melengos dan tak berani memandang pemuda itu lagi.

Hui Giok tersenyum, tiba-tiba ia menepuk tiga kali di tubuh orang-orang berbaju hitam yang menggeletak di tanah itu.

"Hei apa yang kau lakukan?" tegur Tonghong Ouw

Tersenyum Hui Giok "Orang-orang ini tak lebih hanya kaki-tangan yang diperintah kedudukan mereka tidak bebas kita tak dapat menyalahkan mereka Bagaimanapun juga kita sudah tahu siapa dalang di belakang mereka, asal kita sama2 tidak rugi, apa salahnya mereka dilepaskan saja?"

Merah wajah Tonghong Kang, ia tidak bicara lagi.

"Nah, pergilah" kata Hui Giok kemudian sambil ulapkan tangannya.

Bagaikan mendapat pengampunan besar, semua laki-laki berbaju hitam itu melompat bangun lalu memberi hormat kepada Hui Giok, kemudian lari terbirit-birit ke tengah kerumunan orang banyak.

Kalau orang lain di sekitar tempat itu sama kalut maka Toughong-ngo-kiam serta Hui Giok hanya berdiri diam saja tanpa bicara.

Dalam suasana seperti inilah di tengah kerumunan orang banyak itu ada seorang anak perempuan dengan matanya yang besar sedang memperhatikan gerak-gerik Hui Giok, kebetulan Hui Giok juga berpaling ke sana, melihat mata jeli itu. tergerak hati Hui Giok, ia menjura kepada Tonghong-ngo kiam sambil berkata, "Selamat bertemu! Selamat tinggal!"

Tonghong-ngo-kiam melengak tapi cepat merekapun menjura, "Selamat, sampai berjumpa pula."

Seperti tiba-tiba menemukan sesuatu, Hui Giok lantas menyelinap ke tengah kerumunan orang banyak sana.

Tonghong-ngo-kiam saling pandang sekejap dan pancaran sinar mata mereka terlihat rasa heran, curiga dan kecewa, sesudah memberi hormat kepada Leng-kok-siang-bok. kelima bersaudara itu pun menuju ke kerumunan orang sana.

"Siapa yang ditemukan Giok-ji?" bisik Leng Han-tiok dengan dahi berkerut.

Leng Ko-bok menggeleng kepala, tanpa bicara mereka ikut di belakang Hui Giok, menyelinap ke tengah kerumunan manusia.

Tanpa harus dorong mendorong otomatis semua orang memberikan jalan lewat bagi Hui Giok tapi waktu itu si anak perempuan yang bermata besar itu telah pergi, hanya terlihat kuncirnya yang panjang hitam menggapai di tengah kerumunan orang.

Hui Giok makin tercengang, langkahnya dipercepat untuk menyusul ke sana.

Apakah Hui Giok berada di sini? Hui Giok, berada di mana?" mendadak dan belakang berkumandang suara teriakan.

Dengan ragu Hui Giok hentikan langkahnya.

Terdengar suara dentingan benda logam semakin mendekat, tiba-tiba dari kerumunan manusia muncul seorang laki-laki bertongkat baja dengan wajah penuh rasa gusar.

Orang ini tak asing lagi bagi semua orang, dia bukan lain adalah pemimpin Kim keh-pang, si ayam Emas Siang It-ti.

Tonghong-ngo-kiam baru saja pergi dan kini Siang It-ti telah datangi bahkan muncul dengan sikap seolah-olah ingin mencari perkara, para jago yang siap bubaran itu serentak berkerumun kembali di sekeliling tempat itu.

Sementara itu Hui Giok sedang menghela napas, sambil berpikir "Ai, apakah dia yang telah datang! Mengapa dia menemui diriku?"

Segera iapun menjura dan berkata kepada Siang It-ti, "Baik-baikkah selama ini Siang pangcu? Ada urusan apakah?"

Kim-keh Siang It ti mendengus, setelah melotot sekejap ia membentak, "Hm, kau masih kenal padaku?"

Hui Giok melongo dan tak tahu bagaimana harus menjawab.

Sementara itu Siang It-ti telah berkata pula "Masih ingatkah bagaimana caramu menduduki singgasana Bengcu Perserikatan orang-orang Kang-lam? Tak kusangka setelah kedudukanmu kuat, lalu kau berlagak tuan besar dan main kuasa!?"

Hui Giok mengernyitkan dahinya, "Siang pangcu, silakan bicara sesukamu, maaf, aku tak dapat melayani kau lebih lama" Habis mi segera ia hendak melangkah pergi.

Tapi sebelum ia sempat bergerak, diiringi suara dentingan sesosok bayangan mengadang di depannya.

"Mau pergi," jengek Siang It-ti.

Hui Giok mengerling sekejap, "Aku tak boleh pergi?"

Baik sikap maupun waktu bicara sikap Hui Giok tetap tenang, begitu berwibawa dan demikian yakin pada diri sendiri. hal ini membuat Kim-keh Siang It-ti jadi tertegun.

Dja tak menyangka pemuda lemah lembut yang berpisah dalatn beberapa tahun saja sekarang sudah demikian gagah dan kerengnya.

"Mau pergi? Tentu boleh saja." katanya kemudian setelah merenung sebentar, "cuma aku ingin tanya dulu kepadamu. kesalahan apakah yang di perbuat anak buahku si jengger ayam Pau Siau-thian sehingga kau menjatuhken hukuman mati kepadanya."

Hui Giok melongo setelah mendengar tuduhan "Pau Siau-thian telah mati?" desisnya dengan tergagap.

"Ya, dia mati terbunuh di lereng bukit Hok lan san" sahut Siang It-ti dengan gusar, "seandainya tidak cepat kutemukan, mungkin jenazahnya sudah habis diganyang binatang buas . ."

Hui Giok terkesiap, "Apakah di sampingnya juga terdapat mayat Sin-lu tui-hong?" tukasnya.

"Hehehe, nyata kau sudah tahu, bila sekarang tidak memberi penjelasan yang memuaskan, hm hari ini kau harus ganti nyawanya," seru Kim-keh Siang It-ti sambil tertawa dingin.

Dengan kening berkerut tongkatnya mengetuk tanah sehingga salju muncrat berhamburan menodai baju Hui Giok yang berwarna hijau itu.

Hui Giok menghela napas, seakan-akan tidak melihat akan perbuatan orang ia berkata dengan nada berat, "Sungguh tak nyana Sin jiu Cian Hui membinasakan juga mereka berdua"

"Hehehe, kau hendak melimpahkan kesalahan ini kepada Cian Hui?" Siang It-ti tertawa dingin.

"Kau kira aku jeri terhadap Cian Hui? Hari ini akan kujagal dulu dirimu, kemudian baru kubikin perhitungan dengan Cian Hui!"

Belum selesai perkataannya, tongkat langsung diayun ke depan, dengan deru angin keras ia hantam batok kepala Hui Giok.

Suasana jadi gempar lagi, jeritan kaget menggema di sana sini, kawanan jago sama tertegun mereka tak mengerti mengapa Kim-keh Siang It-ti yang tergabung dalam Perserikatan orang-orang Kanglam berani menyerang Bengcunya.



Hui Giok mengegos lalu menyelinap di belakang lawan.

"Kau sudah gila?" hardiknya.

"Jangan urus aku gila atau tidak, hari ini kau harus bayar dulu nyawa Pau Siau-thian" jawab Siang It-ti seperti orang kalap.

Di antara deru angin serangan yang dahsyat secara beruntun dia lancarkan tiga kali serangan mengincar kepala, pinggang dan kaki.

Begitu hebat serangan tersebut, tampaknya dia benar-benar bernapsu membinasakan Hui Giok. Seringan daun Hui Giok melayang kian kemari, meski hebat ketiga serangan itu toh semuanya dapat dihindarkannya dengan manis.

Tak kusangka Kim-keh Siang Tt ti adalah seorang laki-laki berdarah panas. demikian pikir Hui Giok, "untuk membalaskan kematian seorang anak buahnya ia berani bertarung dengan nekat!"

Setelah ingatan tersebut terlintas, timbul rasa simpatinya kepada orang itu maka iapun enggan membalas serangan lawan, dengan lincah dia mengegos ke sana kemari, pemuda itu berharap lawan akan tahu diri dan mundur teratur.

Siapa sangka Kim-keh Siang It-ti seperti tidak paham maksud baik lawannya, bukan menghentikan serangannya dia malah mencecar lebih gencar.

Suasana semakin gempar, malah ada di antara kawanan jago itu mulai mencaci-maki.

"Tak tersangka si Ayam Emas adalah orang gila? Hanya seorang anak buahnya dia berani menyerang Bengcunya sendiri?"

Watak manusia umumnya banyak yang lebih suka menjaga diri dan tidak mencampuri urusan orang, demikian pula dengan kawanan jago persilatan, walau ada di antara mereka berteriak, tapi jumlahnya kecil sekali, lebih banyak yang diam dan menjadi penonton belaka.

Apalagi semua orang juga melihat sejak tadi Hui taysianseng hanya bersikap mengalah, seandainya sungguh2 berkelahi tak nanti Kim-keh Siang it-ti mampu bertahan dalam sepuluh gebrakan.

Di mana deru angin serangan menyambar bunga salju berhamburan ke mana2 tapi saat itu jangankan tongkatnya, percikan bunga salju pun tak mampu menempel baju Hui Giok dengan gerakan yang indah dan tenang pemuda itu bergerak kian kemari di antara bavangan tongkat.

Seandainya ia tidak menjabat Bengcu, umpama ia tidak di hadapan kawanan jago yang begitu banyak, sungguh pemuda itu ingin pergi saja dari situ ingin menghindari tindakan nekat si Ayam Emas yang mirip orang gila itu.

Selama pertarungan berlangsung, Leng kok mg-bok hanya berpeluk tangan menonton jalan nya pertempuran tapi akhirnya Leng Han liok berbisik juga, "Lebih baik kita yang mewakili anak Giok menyelesaikan pertarungan ini!"

"Jangan!" Leng Ko bok menggeleng, "biar ia taklukkan sendiri orang ini, agar di kemudian hari dapat dijadikan tangan kanannya."

Sementara mereka ber-bisik2, Kim-keh Siang It-ti telah melancarkan lagi tiga kali serangan berantai, agaknya ia sudah menyadari kemampuan sendiri, ia tahu kungfunya tak mampu menundukkan lawan, sekilas rasa cemas dan gelisah melintas di wajahnya, matanya celingukan ke sana kemari seperti sedang menantikan sesuatu, jangan2 ia telah siapkan bala bantuan, hanya tak tahu siapa yang diundangnya itu.

Kegaduhan tiba2 terjadi di bagian luar kerumunan sana, menyusul bagaikan gulungan ombak mereka sama menyingkir ke samping dan membuka sebuah jalan lewat.

"Aneh, kenapa Na Hui-hong juga datang?" bisikan segera ramai tersiar di sekitar arena.

Begitu terpisah, gelombang manusia itu segera merapat kembali, Jit-giau tui-hun Na Hui hong benar-benar telah muncul di situ, dia mengenakan pakaian ketat, sebuah kantung kulit tergantung di pinggangnya, isi kantung itu jelas adalah senjata rahasia andalannya.

Melihat dandanannya itu, hati semua orang tergerak mereka tahu kedatangan orang she Na ini jelas siap untuk bertempur melawan seseorang.

Melihat kehadiran si jago itu, Leng Han-tiok berkerut dahi, bisiknya: "Jika orang ini berniat turun tangan..."

"Memangnya kubiarkan dia berbuat sesukanya?" sambung Leng Ko-bok dengan cepat

Betul juga, Kim-keh Siang It-ti memang sedang menunggu bala bantuan, terbukti wajahnya lantas berseri begitu Na Hui-hong muncul di situ, setelah melancarkan tiga kali serangan berantai, teriaknya:

"Na-toako, kau sudah datang? Bagus, bagus sekali! Coba lihat, bajingan cilik yang buas ini, masa pantas kita jadikan Bengcu, orang-orang Kanglam? Ayo kita basmi saja kunyuk kecil ini dari muka bumi" Diam-diam Hui Giok menghela napas, pikirnya "Aku mengira dia adalah seorang laki-laki sejati yang berjiwa panas, demi anak buahnya yang mati terbunuh ia jadi kalap, Ai, tak tahunya dia hanya menggunakan peristiwa itu sebagai alasan saja, kenapa manusia ini mempunyai jiwa yang sempit dan tabiatnya yang rendah?"

Sedingin es air muka Jit-giau-tui hun Na Hui-hong mendengus dan pelahan masuk ka tengah arena.

"Jit-giau tui-hun memang benar bala bantuan yang diundangnya," bisik Leng Han-tiok.

Leng Ko-bok hanya mengawasi Na Hui-hoag, tidak berkata juga tidak bergerak.

Pada saat itu, Kim-keh Siang It-ti tiba-tiba merasakan pancaran tenaga pukulan kuat dari telapak tangan lawan, ia terkesiap dan segera berseru, "Na toako..."

"Bukankah kau tidak setuju Hui-taysianseng menjadi Bengcu Perserikatan orang-orang Kanglam?" tanya Jit-giau tui-hun Na Hui-hong dengan dingin "Benar, ia tak pantas," jawab si Ayam Emas sambil menahan serangan Hui Giok.

"Hehehe, bagus sekali, bagus sekali" sahut Jit giau-tui-hun sambit tertawa dingin. Mendadak tangannya diayun ke depan, segumpal cahaya perak segera terpancar "Awas! Senjata rahasia" seru Leng Ko-bok cepat baru saja ia hendak menerjang maju, tiba2 terdengar jeritan ngeri menggema di angkasa bayangan manusia lantas terpencar.

Para jago terkejut Leng-kok-siang-bok juga terkesiap.

Tampak Kim-keh Siang It-ti maupun Hui Giok masih berdiri berhadapan, keduanya sama-sama tak bergerak.

Akhirnya senyuman menyeringai yang memedihkan hati menghiasi bibir Kim-keh Siang It-ti. dengan tangan gemetar ia menuding Na Hui hong, lalu berseru dengan tcrputus-putus, "Kau... kau sungguh keji..."

"Trang", belum habis perkataannya tongkat bajanya terjatuh ke tanah, menyusul tubuhnya bergontai ke sana kemari seakan-akan hendak menabrak ke arah Jit-giau tui-hun.

Na Hui-hong tertawa dingin bentaknya "Hm kau tidak taat pada peraturan dan berani mengkhianati Bengcu dosamu tak terampunkan, apa lagi yang kau pikirkan di sini"

Suatu pukulan dahsyat mendadak dilontarkan Kim-keh Siang It-ti yang sedang melangkah maju terhajar telak, tubuhnya tergelepar di tanah diiringi jeritan kesakitan setelah bergulingan ke samping lalu tak bergerak lagi.

Perubahan ini jauh di luar dugaan siapapun, saking kagetnya kawanan jago itu berdiri terkesima, tak seorangpun mengeluarkan suara.

Lebih7 Hui Giok, ia ^termangu dengan mata terbelalak dan mulut melongo

Selesai membereskan rekannya, Jit-giau-tm hun bertepuk tangan, lalu menyepak satu kali mayat Siang It ti, setelah itu, sambil tersenyum dia menyapa, "Bengcu, apakah engkau kaget?"

"Kau...kau..."

"Mengkhianati persekutuan sama dosanya seperti menghianati perguruanku" ujar Jit-giau-Tui hun Na Hui-hong dengan suara berat, "manusia berdosa macam begini wajib dibunuh oleh siapa pun di dunia persilatan ini, Bengcu, walaupun engkau berhati mulia dan bajik, tapi tidak sepantasnya kau ampuni manusia bejat yang dosanya tak terkirakan besarnya ini."

Hui Giok tertegun, ia tak mampu menjawab. sambil menghela napas, bisiknya, "Tapi tidak per kau bertindak seganas itu" Jit-giau-tui-hun tidak berbicara lagi, ia berpaling sambil menggapai dan kerumunan orang lantas muncul dua lelaki kekar yang segera menggotong pergi jenazah Kim-keh Siang It-ti.

Seorang jago persilatan yang selama hidupnya berwatak angkuh, suka mencari nama akhirnya harus tewas dalam keadaan yang mengenaskan diam2 semua orang ikut gegetun, tapi tentu saja tiada seorangpun yang berani buka suara, karena siapa saja yang berani mengucapkan sepatah kata yang membantu si Ayam Einas berarti pula memusuhi Perserrkatan orang-orang Kanglam yang berpengaruh itu.

Pihak Hui liong-piaukiok serta konco-konconya sudah tentu merasa gembira dengan terjadinya peristiwa ini, sebab bila antara sesama anggota Perserikatan orang-orang Kanglam sampai terjadi saling membunuh, yang bakal menarik keuntungan adalah pihak Hui liong-piaukiok.



Leng-kok siang-bok kembali saling pandang muka, masih sangsi dan curiga, mereka tahu Jit giau tui hun masih mempunyai rencana lainnya, hanya saja kedua orang itu merasa kurang leluasa untuk ikut campur urusan rumah tangga" Perserikatan orang orang Kanglam.

Diiringi senyuman Jit-giau-tui-hun mengawasi anak buahnya menggotong pergi jenazah Siang It ti sementara itu kerumunan manusia mulai bubar, tiba-tiba sebilah pedang tanpa menimbulkan suara menusuk ke bahu orang she Na itu.

Dengan terkejut Na Hui-hong berputar badan sambil membentak, "Siapa?"

Apa yang dilihatnya adalah Tonghong Kang dan Tonghong Ouw dengan pedang terhunus dan tersenyum dingin berdiri berjajar di belakangnya.

Melihat itu, Hui Giok menghela napas, ia tahu urusan belum selesai, terpaksa ia batalkan niatnya untuk pergi.

"Hehehe, kukira siapa? Rupanya Tonghong saauhiap berdua?" seru Jit-giau tui-hun sambil terisi dingin, "sejak kapan kalian belajar melukai orang dengan cara menyergap dari belakang? Kepandaianmu ini sungguh sangat mengagumkan." nadanya keras, ucapannya tajam. memang tak malu dia disebut seorang kawakan Kangouw.

Sedingin salju air muka Tonghong-hengte mereka tidak terpengaruh oleh sindiran itu.

"Hm, masih terhitung sungkan caraku menghadapi manusia yang suka main licik, kalau tidak apa kaukira ada kesempatan bagimu untuk bercakap-cakap dengan kami berdua?" kata Tonghong Kang ketus.

"Hahaha, kalau begitu, aku harus berterima kasih atas kemurahan hati kalian!" Jit-giau-tui hun Na Hui liong tertawa lantang.

"Kurangi sikap tengikmu itu di hadapan kami tak perlu bersilat lidah," kata Tonghong 0uw. "coba terangkan apa maksudmu memerintahkan anak buahmu menyebarkan kata-kata busuk? jika tidak kau terangkan, hm, boleh kau rasakan ujung pedangku, aku tak akan bersikap sungkan-sungkan lagi seperti tadi."

Jit-giau-tui-hun Na Hiu-hong seolah-olah bingung dan menunjukkan wajah tidak mengerti.

"Hei, persoalan apa yang kau maksudkan" serunya, "aku tidak mengerti akan perkataanmu itu."

Tonghong Kang tertawa dingin "Hehehe, di depan anak buahmu kau telah mengaku terus terang sekarang kau mau mungkir lagi? Ayo jawab, bukan kah mereka yang mencaci maki kami dari tempat persembunyiannya adalah anak-buahmu?"

Jit giau-tuj-hun Na Hui-hong menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, tiba-tiba ia mengangguk. "Benar, mereka adalah anak buahku dan akulah yang memerintahkan mereka berbuat demikian!"

Pengakuan yang terus terang ini malah membuat semua orang melengak, siapapun tidak menyangka dia akan bersikap demikian.

Tonghong-hengte saling pandang sekejap kemudian Tonghong Kang menggetarkan pedangku dan berseru dengan marah. "Bagus, kalau memang engkau yang menjadi dalangnya, ada dua cara boleh kau pilih, Pertama, berlutut di depan kami dan minta maaf, kedua, cabut senjatamu dan berduel dengan kami!"

Air muka Jit-giati-tui-hun sama sekali tidak berubah, dia malah bertanya. "Ke mana perginya orang-orang itu? Sudah mati semua di ujung pedang kalian?"

"Mereka kan cuma menjalankan perintahmu, tentu saja kami tak bisa menyalahkan mereka" kata Tonghong Kang.

"Tapi aku juga hanya menjalankan perintah orang, apakah kau akan menyalahkan diriku?"

Mencorong sinar mata Tonghong Kang, hardiknya "Perintah siapa? siapa yang memberi perintah padamu? Apakah Sin-jiu Cian Hui, atau..."

Tiba-tiba ia membungkam seperti tak sengaja mengerling sekejap ke arah Hui Giok. Jit-giau tui hun Na Hui-hong menengadah dan terbahak-babak "Yang memberi perintah kepadaku bukan orang lain, ialah ayahmu sendiri, Tonghong-pocu!"

Mula-mula Tonghong hengte tertegun menyusul sambil menggetarkan pedang mereka membentak gusar "Keparat, kau berani mempermainkan kami! Cabut pedangmu dan bersiaplah menerima kematianmu."

Jit giau tui-hun kembali menengadah sambil tertawa tergelak "Hahaha! kalau kalian percaya pada perkataan orang lain, kenapa tidak percaya pada perkataanku Aneh benar!"

Setelah berhenti tertawa, lalu katanya lagi "Nah masa kalian boleh percaya setiap perkataan tanpa bukti? Memangnya aku Na Hui-hong adalah manusia macam begitu?"

Dengan tertegun kedua saudara Tonghong kemudian saling pandang sekejap, pelahan pedang mereka diturunkan.

Leng Han-tiok tertawa dingin, "Tajam benar mulut orang ini!"

"Ya, manusia begini memang tak bisa melakukan pekerjaan baik, justeru pekerjaan busuk tak habisnya dilakukan, memang paling sulit melayani orang seperti ini," sambung Leng Ko bok.

Meskipun perkataan itu diucapkan dengan suara nyaring, tapi Jit-giau-tui-hun pura-pura tidak mendengar, sementara itu kedua saudara Tonghong sudah menyimpan kembali pedangnya dengan tersipu-sipu setelah melirik sekejap ke sekeliling tempat itu, tanpa mengucapkan sepatah katapun mereka berlalu dan situ.

Na Hui-hong terbahak-bahak, kesempatan itu di gunakan mengejek lagi "Tonghong-siauhiap, lain kali bila hendak menuduh orang, jangan lupa memberi kabar dulu kepadaku."

Tonghong Ouw putar badan dengan marah tapi cepat ditarik pergi Tonghong Kang, Bagaimanapun mereka berdua memang anak murid golongan putih, cuma sayang pengalamannya masih cetek.

Seperginya kedua orang itu, Na Hui-hong juga berhenti tertawa, katanya seraya berpaling "Bengcu akan berdiam di sini ataukah akan melanjutkan perjalanan?"

"Aku bermaksud mencari rumah penginapan" jawab Hui Giok setelah berpikir sebentar.

Na Hui-hong tersenyum, katanya., "Jangan harap Bengcu akan mendapatkan rumah penginapan, bukan saja semua hotel di kota Han ko sudah penuh, penginapan di kota Han yang pun tak ada kamar kosong"

"Lantas. . " dengan dahi berkerut Hui Giok melirik sekejap ke arah kedua Leng bersaudara.

Na Hui-hong tersenyum "Di luar kota sana ada sebuah rumah kosong apakah Bengcu bersedia menginap di sana? Bagaimanapun jua dalam beberapa hari semua urusan tentu akan beres."

"Bagus, Cuma. . ."

Sebelum selesai ucapan Hui Giok, mendadak nampak empat ekor kuda berlari datang, semua orang yang berkerumun di jalan raya segera menyingkir ke samping.

Keempat penunggang kuda itu adalah laki-laki kekar berwajah kereng, terutama laki-laki yang berada paling depan, pada tangan kanannya memegang sebuah panji besar berhuruf kuning dengan dasar hitam panji itu berkibar terembus angin.

Hui Giok mundur beberapa langkah, ia lihat panji itu bersulamkan delapan ekor naga emas yang saling bergumul, di tengahnya tertera sebuah huruf "Tham" yang besar.

"Pantas semua jago persilatan memberi jalan" batinnya, "rupanya orang kepercayaan Liong-heng put-ciang yang datang."

Begitu merapat ekor kuda itu berada di tengah jalan raya, penunggang yang berada paling depan itu lantas berseru dengan lantang, "Tham-congpiau-tau ada perintah, semua saudara yang tergabung di bawah komando Hui liong-ki harap segera bebenah setiap saat siap menanti perintah untuk berangkat. Kegaduhan kembali terjadi ada yang dari jalan raya segera lari masuk ke rumah, ada pula yang dari dalam rumah lari ke jalan, banyak suara berkumandang di sana-sini.

Perintah diteruskan ujung jalan yang lain, k lainnya lagi hingga d^" garan seruan itu "BemgcuP fcatn ngan mata berki1 kt muna?"

***********************

Hal 39 robek sebagian

***********************

dunia persilatan, katanya Bengcu mempunyai sakit hati yang amat besar pada Tham Beng, entah bagaimana rencana Bengcu selanjutnya? Apakah membutuhkan bantuan Siaute?"

***********************

Hal 40 robek sebagian

***********************



Ia tertawa parau, "Bagaimana pun perkenankanlah Siaute membawa Bengcu ke tempat peristirahatan"

Baru selesai ia berkata. sudah ada belasan laki-laki yang berkerumun dan empat penjuru, mereka menjura seraya berkata, "Hamba pun anggota Perserikatan orang orang Kanglam, karena kedudukan yang rendah selama ini tak berani berbicara dengan Bengcu. kalau Bengcu bermaksud menginap disini, hamba rela memberikan kamar kami untuk Bencu."

Sikap orang2 itu bukan saja sangat menghormat, bicaranya juga gugup dan takut, seperti seorang murid yang berbicara dengan gurunya yang kereng.

Kembali sinar mata Jit-giau tui-hun berkilat, tampaknya ia heran mengapa orang2 itu begitu hormat terhadap Hui Giok.

"Tidak perlu, aku telah menyiapkan tempat penginapan untuk Bengcu toako!" katanya dengan tersenyum.

Belasan orang itu menghela napas panjang, seolah-olah merasa kecewa karena tak dapat menyumbang baktinya bagi Hui-taysianseng.

Hui Giok sangat terharu, dengan rasa terima kasih yang meluap dia berkata, "Terima kasih banyak atas perhatian saudara sekalian, terima... terima kasih."

Sekalipun hanya dua patah kata yang sederhana, tapi lantaran diutarakan oleh seorang Beng-cu seperti Hui Giok, kata-katanya itu menimbulkan perasaan puas dalam hati orang-orang itu.

Diam-diam Leng kok siang bok menghela napas. mereka merasa bangga dan gembira.

Selama hidup kedua orang ini tak pernah menikah, apalagi punya anak, juga tak punya murid dan tak punya teman, tapi sekarang mereka telah menganggap Hui Giok sebagai putranya, muridnya, sanaknya dan kawannya. Tentu saja mereka ikut gembira menyaksikan orang lain bersikap menghormat kepada Hui Giok, tapi teringat keadaan sendiri yang sengsara dan selama hidup belum pernah mengalami keadaan seperti itu timbul juga rasa sedihnya.

Habis Hui Giok bicara, belasan orang itu serentak memberi hormat, sampai lama sekali mereka masih berdiri di situ

"Menyingkir!" tiba-tiba Leug Han-tiok membentak berbareng itu terdengar desingan angin tajam mendesir-desir, puluhan anak panah bagaikan hujan menyambar tiba, ada yang mengarah Hui Giok ada yang mengincar Na Hui-hong, malah ada pula yang mengarah belasan orang yang sedang memberi hormat itu.

Hui Giok terkesiap, ia berpekik nyaring, bukan menghindar dia malah menerjang ke arah datangnya hujan anak panah itu.

Baginya bukan saja sulit untuk menghindari serangan anak panah ini, tapi kawanan laki-laki itu pasti akan terluka oleh serangan anak panah sekarang ia menyongsong datangnya serangan itu, sudah tentu tindakan ini sangat membahayakan jiwanya sendiri.

Begitulah, dalam sekejap mata puluhan batang anak panah yang meluncur tiba itu mengancam sekujur badannya

Tanpa pikir panjang Leng-kok-siang-bok ikut menerjarg ke muka, sementara kawanan laki-laki itu ada yang berguling ke samping untuk menyelamatkan diri ada pula yang ikut menerjang maju untuk menyelamatkan Hui Giok dengan mengumpankan diri di depan pemuda tersebut.

Pekikan Hui Giok terasa menggema diangkasa, secepat kilat ia lepaskan pakaiannya, di antara deru angin yang menyambar-nyambar, sebagian besar anak panah itu berhasil disapu rontok, sedang sisanya karena terpengaruh oleh daya tolak bajunya dengan mudah bisa dihindari.

Perubahan ini terjadi tanpa pertanda sebelumnya dan berakhir dalam sekejap, saat itulah jeritan kaget baru terdengar di sana sini.

Sekilas perasan terima kasih terlintas pada wajah jit-giau-tui-hun, sementara itu dari atap rumah tampak ada puluhan orang laki-laki bertengger di sana, di antaranya ada dua orang berbaju hijau, sedang lainnya memakai baju berwarna kuning tangan masing-masing memegang busur, tapi entah bagaimana tak seorang pun membidikan panah lagi, semuanya hanya memandang ke arah Hui Giok dengan tercengang.

Keadaan Hui Giok kini cukup mengenaskan bukan saja jubah panjangnya koyak-koyak karena digunakan untuk menghalau anak panah, malah baju yang menempel di tubuhnya juga robek karena terburu-buru membuka baju tadi.

Ujung baju yang robek berkibar terembus angin, meski rasa kaget masih nampak menghiasi wajahnya, tapi dalam pandangan semua orang, tiada orang seagung dia pada saat itu.

Na Hui-hong membentak dan segera hendak melompat ke atap rumah, tapi sebelum berbuat demikian laki-laki yang berada di atas atap rumah telah melompat turun dan semuanya berlutut.

Perlahan Hui Giok menghela napas, "Ai, mengapa kalian berbuat demikian? sekalipun merasa dendam kepadaku, buat apa melukai orang lain yang tak berdosa?"

Na Hui liong memburu maju, serunya dengan lantang "Mereka semua adalah anak buah Kim keh-pang, dua orang yang berbaju hijau adalah Pembantu Siang It-ti, Keh-gan (mata ayam) Put keh-hengte (Pui bersaudara)."

Seperti memahami sesuatu, Hui Giok manggut-manggut dan menghela napas, "Rupanya kalian ingin balas dendam bagi Pangcumu Ya, aku tidak menyalahkan kalian, meski usahamu gagal tapi, Ai pergilah kalian, lain kali toh masih ada kesempatan untuk mewujudkan keinginan kalian ini."

Tak seorang pun di antara anggota Kim keh-pang itu berani menengadah, wajah mereka rata-rata memancarkan penyesalannya yang tak terhingga, bahkan ada di antaranya mereka meneteskan air mata saking terharunya, mereka menyembah dan minta maaf.

Pui It-ji, salah seorang dari dua Pui bersaudara yang termasuk dalam kelompok Keh-gan (muta ayam) berkata dengan kepala tertunduk, "Hamba sekalian tak tahu Hui-taysianseng ternyata begini mulia, begini bijaksana, hingga kami berani melakukan perbuatan semacam ini. Kami tahu salah dan bersedia menerima hukuman dan Bengcu."

Pui It-oh, saudaranya, juga berkata, "Bengcu begini bijaksana, hamba sekalian tak berani berkhianat lagi, setelah menjalani hukuman, sekalipun Bengcu tak sudi, hamba tetap siap mengabdi dan berbakti bagi Bengcu."

Hui Giok menghela napas panjang, "Ai, kalau memang begitu, cepat kalian bangun, salju amat dingin, jangan sampai merusak kesehatan kalian".

Angin memang dingin dan berembus kencang baju Hiu Giok yang compang-camping tertiup berkibaran bagaikan bunga2 salju, seorang laki-laki itu cepat melepaskan jubah panjangnya dan diangsurkan ke hadapan Hui Giok.

Tak seorang pun di antara mereka yang bersuara, sebab rasa terharu yang bergolak dalam hal mereka tak terkatakan dalam keadaan begtu jangankan cuma melepaskan jubah luar, sekalipun kepala mereka dipenggal pun tak akan ada yang menolak.

Dengan termangu Hui Giok mengawasi laki2 di hadapannya serta anggota Kim-keh-pang lainnya yang masih berlutut di tanah, serunya dengan terharu, "Kalian... kalian.."

Tenggorokannya seperti tersumbat dan tak sanggup berucap pula, semua orang menyaksikan adegan ini dan menghela napas terharu, hanya Jit giau tui-hun yang diam2 tundukkan kepalanya entah merasa sedih atau timbul rasa menyesalnya?

o o-o

Hujan salju sebentar turun dengan derasnya |dan sebentar berhenti, lapisan salju yang menyelimuti permukaan tanah sudah menumpuk sangat tebal.

Lapisan salju di luar kota jauh lebih tebal daripada di dalam kota empat penjuru yang terlihat hanya warna putih belaka.

Bila senja tiba, dunia yang berwarna putih keperak-perakan lantas berubah menjadi putih kelabu kalau tengah malam, yang tertampak bahkan hanya kelabu yang suram, dalam keadaan begini sukar untuk membedakan manakah tanah ladang, manakah pepohonan dan manakah perumahan.

Keheningan menyelimuti seluruh penjuru dunia, di depan sebuah kuil yang kecil berdiri seorang anak perempuan berusia empat-lima belas tahunan yang bertubuh ramping. Dalam keheningan malam yang dingin ia tampak begitu kesepian dan sebatangkara.

Dalam ruangan kuil tergantung sebuah lentera kecil yang tak pernah padam, cahaya lentera menyinari tubuhnya dan mencetak bayangannya di atas permukaan salju, namun bayangan itu mana dapat membebaskan dia dari kelaparan, kedinginan serta kesepian?

Hanya sepasang matanya yang besar dan jeli ibaratnya bintang di cakrawala yang memancarkan sinarnya yang berkelip-kelip. Tapi, sinar mata itu memperlihatkan pula kegelisahan penantian. Apakah yang dinantikannya?



Tanpa berkedip dia mengawasi sederetan bangunan ramah nun jauh di sana, mendengarkan suara manusia di balik bangunan itu yang makin lama makin sunyi, melihat sinar lampu yang terang benderang yang makin lama makin suram.

Segulung angin dingin berembus lewat, ia bergidik dan bersin, akhirnya seperti tak tahan, ia menggigit bibir dan menjura ke dalam seraya berkata dengan lembut "Toh-te-kong (Toapekong) terima kasih banyak!"

Kemudian dengan sangat hati-hati dan penuh kewaspadaan ia berjalan menuju ke deretan bangun itu.

Gerak tubuhnya tidak gesit, juga tidak cepat, jelas dia tak pernah berlatih kepandaian apapun, tapi di balik sinar matanya yang jeli dan lembut terpancar keteguhan hati serta kebulatan tekad yang tebal.

Dia menuju ke kaki dinding bangunan, menengok dinding yang tingginya hampir dua tombak, melompat sekuatnya ke atas, tangannya meraih tembok, sayang tidak berhasil dan merosot ke bawah.

Tapi dia tak putus asa, gagal yang pertama dicoba untuk kedua kalinya, merosot lagi-diulang untuk ketiga kalinya.

Dengan susah payah akhirnya dia berhasil setelah demi selangkah bocah itu merambat ke atas. Ketika berhasil sampai di atas dinding, dia menghembus napas lega, matanya yang jeli memandang ke halaman rumah yang hening dan diliputi kegelapan itu.

Ia menghela napas dan bergumam, "Oh, Toa koko, engkau berada di mana?"

-00000-- -OOXO0- -O0O0O-

Di halaman rumah yang penuh salju Hui Giok sedang berdiri termangu di bawah pohon Yang yang telah layu.

Udara berwarna kelabu, tiada bintang, tiada rembulan memandangi tumpukan salju yang tersebar di empat penjuru, pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, seperti juga embusan angin puyuh yang melanda tanah ladang, sukarlah ia mengendalikan perasaannya yang bergolak.

Pada malam yang sama seperti ini, dia pernah berdiri di bawah pohon Yang dalam perumahan Hui-liong piaukiok sambil menyesali kebodohan sendiri, membenci kebebalannya yang tak mampu mempelajari pelbagai ilmu silat pelbagai kepandaian.

Ketika itu, ia pernah mengucurkan air mata karena sedih, mengenang kehidupannya yang sengsara, pengalamannya yang pahit lalu beralih ke halaman rumah yang lain, iapun mengagumi kebaikan halaman yang berada di sana, mengenang bayangan Tham Bun-ki yang ramping, kerlingan matanya yang menakjubkan.

Dalam keadaan mengelamun demikiant sering kali muncul sebuah tangan kecil yang halus, yang menyekakan air matanya, kemudian dengan perasaan terhibur diajaknya masuk ke dalam rumah.

Tapi di manakah tangan yang lembut itu sekarang? Masihkah menderita dalam perumahan Hui-liong-piaukiok? Merasakan kesepian dan penghinaan?

Dengan penuh kepedihan ia menghela napas, bersumpah akan menyeka air mata yang meleleh dari mata yang besar itu dengan tangannya. Tiba tiba ia teringat kembali mata jeli yang muncul di antara kerumunan manusia itu. tapi dengan segera pula anak muda itu menghela napas "Tak mungkin dia. Kalau dia, mengapa ia tinggalkan aku?" demikian gumamnya.

Juga di tengah malam dingin yang sama, ia pernah berbaring di bawah emper rumah yang asing hanya dengan badan penat dan kecapaian setelah seharian penuh bekerja berat, ketika itu dia harus menahan rasa dingin, lapar dan rasa sedih serta kecewa yang mencekam perasaannya dan perasaan yang sukar ditahan, rasa rindu yang kuat dapat dilupakan. Rasa rindu yang masih terdalam hatinya.

Tapi perasaan itu harus ditambah dengan penderitaan yang menyayat hati, sebab sasaran yang dirindukannya telah dipisahkan oleh selapis baja yang sukar ditembusnya, dia hanya dapat menyesali takdir yang mempermainkan dirinya kenapa ia mencintai gadis yang mestinya tidak boleh dicintainya. Dalam pergolakan perasaan itu, tiba-tiba ia teringat kembali pada suatu kejadian lama, itupun terjadi di tengah malam yang sangat dingin seperti sekarang ini, ketika ia terjaga bangun dan suatu impian buruk dan tak bisa tidur lagi, didengarnya kabar tentang kematian ayah serta pamannya. Rasa sedih dan penderitaan yang dialaminya ketika itu kini seakan-akan berkumpul lagi dalam lubuk hatinya. Segala sesuatunya meski sudah terpisah amat jauh pada saat ini, namun semuanya seolah-olah muncul kembali di depan matanya, meskipun malam yang dingin di manapun adalah sama tumpukan salju pun berwarna sama, tapi...

Perubahan yang terjadi dalam dunia ini teramat ajaib, teramat besar, pemuda yang lemah, yang hidup sebatangkara dan penuh penderitaan serta siksaan itu, benarkah adalah diriku sekarang? ia tidak percaya, ia tak akan mempercayainya, tapi bagaimanapun jua ia tak dapat tidak mempercayainya.

Kebahagiaan dan kebanggaan bagaikan kelebatan sinar kilat di udara. tiba-tiba menjadi terang di depan mata, datang mendadak dengan begitu cepatnya.

Tapi, ada pula yang terasa sayang baginya merasa sayang karena semua itu datangnya terlambat. Tiba-tiba ia merasa mukanya jadi dingin. kiranya entah sejak kapan dia telah melelehkan airmata ia tidak melihat seorang sedang berjalan pelan menghampirinya di tengah kegelapan halaman orang itu sebentar berjalan. lalu berhenti bernapas, berhenti lagi.

Dan akbimya, tiba-tiba dia di samping pemuda.

Tiba-tiba ia merasakannya dan berpaling, sebuah tangan kecil halus sedang diulurkan kemuka dengan gemetar, seperti juga kejadian dahulu di tengah malam yang dingin dalam kenangan yang tak terlupakan itu.

Rasa kejut dan gembira yang muncul secara tiba-tiba membuat anak muda itu tertegun membuatnya termangu dan tak tahu apa yang harus dilakukan.

Tangan yang kecil dan mungil itu gemetar makin keras..

Dari kelopak matanya yang jeli meleleh butiran air mata rasa sedih dan gembira, butiran air mata meleleh melalui pipinya yang halus dan menetes di permukaan salju yang beku.

Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Hui Giok berseru: "Tin-tin?, kau... kau..."

Toakoko... Toakoko... " suara anak perempuan itu pun tersendat.

Entah berapa kali ia memanggil "Toakoko." akhirnya ia menubruk ke dalam pelukan "Toakoko" nya dan menangis tersedu-sedu

Di tengah kegelapan kembali muncul dua sosok bayangan manusia, mereka adalah Leng-kok siang bok yang menginap bersama Hui Giok di halaman belakang itu.

Dengan termangu mereka memandang adegan tersebut beberapa saat lamanya, kemudian menghela napas dan pelahan kembali lagi ke kamarnya.

"Mungkin anak perempuan itu adalah Wan Li tin yang sering disinggung anak Giok," bisik Leng Han tiok kemudian tak tahan, "Sungguh tak tersangka, dia . . "

"Ssst, biarkan mereka bergembira, biarkan mereka mengucurkan air mata bagi pertemuan itu" bisik Leng Ko-bok "Anak Giok.... ai dia meman harus dihibur, dia memang pantas dihibur, bukankah begitu?"

Hui Giok memeluk Wan Li-tin erat-erat, entah berapa lama sudah lewat baru melepaskan pelukannya agar ia dapat memandangnya dan supaya si dia memandang padany.

"Kau... kau telah dewasa," bisiknya sambil tertawa pedih.

Nona itu tertunduk, bulu matanya yang panjang menutup kelopak matanya "Pagi tadi kulihat kau" katanya

"Tak kusangka kau telah menjadi seorang pahlawan besar, seperti apa yang pernah kita impikan waktu masih berkhayal bersama, tapi aku tak berani munculkan diri?, begitu banyak orang-orang Hui-liong-piaukiok di jalanan, aku takut ditangkap, aku takut mereka laporkan hal ini kepada.... kepada paman Tham."

Walaupun agak keberatan dia mengucapkan, tapi kebiasaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun mungkinkah diubah dalam sekejap? Hui Giok betul-betul tertawa meski tertawa dengan air mata yang meleleh, katanya "Mulai sekarang, kau tidak perlu takut lagi, apapun yang akan terjadi aku akan selalu melindungimu."

Wan Li-tin menengadah, memandangnya seperti seorang gadis yang memandangi pangeran dalam khayalannya, begitu kagum dia.

Ia menanyakan penghidupannya selama dua tahun ini, dan anak dara itu bercerita dengan air mata bercucuran disamping senyum gembira, bahwa penghidupannya adalah penghidupan yang sederhana, penghidupan yang penuh penderitaan, penghidupan yang kesepian tapi sekarang semua itu sudah berlalu.

Maka pemuda itupun memberitahukan kepadanya pengalamannya yang penuh keanehan selama itu, pengalamannya yang juga penuh penderitaan serta kesedihan.



Dengan terbelalak anak dara itu mendengarkan penuturan itu

Tiba-tiba dari balik matanya yang jeli terpancar rasa marah, rasa dendam yang membara, ia mengepal tangannya, sambil menengadah katanya: "Diam-diam kudengarkan orang bicara di jalanan, di Piaukiok, bahkan di manapun aku selalu dengar, benarkah ayah kita dibunuh... dibunuh orang itu?"

Sambil menggigit bibir Hui Giok mengangguk dengan berat, begitu keras ia menggigit bibirnya hingga darah merembes keluar.

Wan Lu-tin kembali menangis, sambil mendekap dalam pelukan Hui Giok dia mengeluh, "O Toakoko, kau... kau harus membalaskan dendam ayah kita"

Hui Giok menepuk bahunya dan bergumam: "Membalas dendam, membalas dendam!"

Tiba-tiba gadis itu berhenti menangis ia menengadah, sinar matanya yang bening itu memancarkan rasa iba, simpati, kasihan dan sedih.

"Ai, kasihan... yang paling kasihan adalah enci Tham! Tahukah kau... demi engkau, dia begitu menderita, seorang diri bersembunyi dalam kamarnya, sebentar tertawa, sebentar menangis sebentar mengatakan kau berbuat salah kepadanya sebentar lagi bilang dia yang bersalah padamu seringkali dia mengajak aku ke kamarnya untuk bercakap-cakap tapi kecuali kau, soal apapun tak pernah dibicarakan sambil berbicara ia menangis habis menangis bicara lagi!"

Setelah menghela napas sedih Lu-tin menundukkan kepalanya, seketika itu juga Hui Giok merasa darah menggelora dalam dadanya, ia terkesima dan tak tahu apa yang mesti dilakukannya.

Lama sekali, Lu-tin berkata lagi "Kemudian ketika mengetahui ayahnya hendak menjodohkan dia dengan Tonghong hengte, ia melarikan diri dari rumah, tapi segera dapat ditangkap kembali oleh ayahnya, perasaannya baru bisa tenang ketika ayahnya menolak pinangan Tonghong-hengte, tapi ketika aku kabur dari sana kudengar lagi dia akan dijodohkan dengan Tonghong-hengte Ai, entah apa yang terjadi setelah ia mengetahui kabar tersebut."

Hui Giok berdiri bagaikan patung "Benarkah dia... dia mencintai aku?" gumamnya

Wan Lu tin menghela napas sedih, pelahan dia mengangguk.

Hui Giok merasa telinganya seperti mencincang pesan Leng goat siancu Ay Cing sebelum ajalnya seakan akan berkumandang lagi ditepi telinganya.

Mulai detik mi selama hayat masih di kandung badan, selamanya kau tak boleh membohongi perempuan manapun selamanya tak boleh membuat sedih gadis, baik engkau mencintai atau tidak kau harus baik kepadanya, kau harus melindungi dia, dalam persoalan apapun tak boleh melukai perasaannya. Lebih.... lebih lagi jangan kau biarkan dia dilukai orang lain."

Dengan termangu ditatapnya salju yang membeku, kembali ia bergumam, "Sekali aku sudah bersumpah mana boleh kulukai hatinya? Betapapun dia, . dia mencintaiku aku... aku... "

Dengan pedih ia menggigit bibir sendiri "Tapi sakit hati orang tuaku lebih dalam dari lautan haruskah kuabaikan kewajibanku ini? sebaliknya, bila kubalas sakit hati mi, kubunuh ayahnya, berarti kulukai perasaannya, bukankah perbuatanku ini berarti pula melanggar sumpah !"

Ya, dendam ayahnya, sumpah beratnya keduanya ternyata saling bertentangan antara cinta dan dendam sukar dipisahkan, tanpa terasa ia terbayang kembali perkataan Leng-goat-siancu yang gemetar dan penuh penyesalan itu.

Persoalan ini meski gampang diucapkan, pada hakekatnya sukar untuk dilaksanakan sebab di dunia ini selalu akan muncul pelbagai alasan yang aneh, yang membuat kau mau tak mau harus me lukai perasaan orang yang kaucintai!"

Pelbagai alasan yang aneh... pelbagai alasan yang aneh.... orang yang kaucintai... orang yang kaucintai."

"Toakoko," tiba-tiba Wan Lu-tin menjerit kaget, kau... mengapa kau darahmu..."

Dengan tangan yang halus ia bantu Hui Giok mengusap darah yang meleleh dari bibirnya, meski di tengah malam yang dingin, tapi darah Hui Giok rasanya panas bagai api yang membara.

Dengan terharu dipegangnya tangan gadis itu, diusapnya dengan penuh kasih sayang, setelah menghela napas, berkatalah Hui Giok, "Bagaimanapun juga, usiamu masih terlalu kecil, banyak persoalan ai tak akan kau pahami"

Dengan menurut Wan Lu-tin mengangguk sekalipun dia enggan dianggap anak kecil, tapi perkataan itu diucapkan oleh "Toakoko" nya, betapapun dia menganggapnya pasti benar.

Lama sekali ia termangu, tiba-tiba seperti teringat akan sesuatu segera ia berkata lirih "Orang yang paling akhir bersamamu tadi apakah bernama jit giau tui hun?"

"Darimna kau tahu?" Hui Giok heran.

"Dia bukan orang baik? Aku pernah melihatnya di kantor Hui-liong-piaukiok kulihat dia masuk lewat halaman belakang dengan gerak-gerik yang sangat mencurigakan entah apa yang dibicakannya dengan Tham... Tham Beng, hingga malam hari kedua dia baru pergi dengan gerak-gerik yang aneh, bahkan naik kudapun tak berani."

"Benarkah itu?" Hui Giok terkejut, "kau melihatnya dengan jelas?"

Dengan penuh keyakinan Wan Lu-tin mengangguk

Tiba-tiba dari belakang sepotong batu gunung tak jauh sana berkumandang suara helaan napas menyusul seorang menanggapi dengan nada yang berat, "semuanya benar!"

Air muka Wan Lu-tin berubah hebat, dengan terkejut Hui Giok segera membentak, "Siapa?"

Selagi ia hendak menerjang ke sana tak terduga sesosok bayangan orang lantas muncul, dia tak lain tak bukan adalah Jit-giau-tui hun Na Hui hong.

"Benar.... benar, semuanya memang benar," demikian gumamnya pula.

Tersembul senyuman rasa menyesal di ujung bibirnya, ia berkata lagi dengan lirih, "Bengcu-toako, maafkanlah perbuatanku yang telah mencuri dengar pembicaraan kalian ini, sejak adik cilik ini masuk ke halaman, aku lantas mengetahuinya sebab itulah akupun keluar dan kamarku."

Wan Lu-tin berdebar keras, dia mengira gerak-geriknya sudah cukup hati-hati, tak tahunya toh masih diketahui orang lain, sekarang dia mulai paham, ketajaman pendengaran orang-orang persilatan memang luar biasa, Yang mana tak pernah dipercayai sebelumnya sekarang ia mulai percaya di samping itu iapun mulai berduka bagi mereka.

"Seorang yang hidup di luaran dan banyak mengikat permusuhan pasti seperti mereka keadaannya, makan tak enak tidur pun tak nyenyak, setiap waktu setiap saat selalu kuatir akan diserang orang lain."

Sementara itu, dengan tatapan mata yang tajam dan mulut membungkam Hui Giok mengawasi orang she Na itu tanpa berkedip.

Jit-giau-tui-hun yang tersohor karena kebuasan dan kelicikannya itu sekarang berdiri dengan wajah malu dan penuh penyesalan.

"Ya, Bengcu," katanya tergegap, "Terus terang aku memang mengadakan persekongkolan dengan Liong-heng pat-ciang, dia bantu aku membasmi Perserikatan orang-orang Kanglam, bantu aku membunuh Kim-keh Siang It-ti dan bunuh Sin-jiu Cian Hui serta hehehe . . serta engkau Bengcu, bila pekerjaan ini berhasil maka dia akan bantu aku membentuk Perserikatan baru serta mengangkat diriku sebagai Bengcunya"

Hui Ohok hanya mendengarkan dengan seksama tidak emosi, tidak marah ataupun merasa benci.

Jit-giau-tui-hun berdehem pelahan, kemudian berkata lagi "Kematian Siang It ti tadi ai pada hakikatnya adalah hasil karyaku sendiri ku anjurkan dia memusuhi Bengcu dan akupun menyanggupi akan datang untuk membantunya."

Mendengar sampai di sini, Hui Giok tak dapat menahan rasa sedihnya lagi, ia menghela napas panjang "Ai, kau.... kau memang kelewat kejam!" desisnya kemudian.

Dengan bungkam Na Hui-hong menundukkan kepalanya.

Tiba-tiba Hui Giok berkata lagi. "Kalau begitu, laki-laki yang memaki Tonghong hengte dari tempat gelap juga merupakan hasil karyamu? Kalau tidak, kenapa mereka mengucapkan kata kata yang tidak menguntungkan Tham Beng"

Semakin rendah Na Hui-hong tertunduk, "Ya orang-orang itu adalah suruhanku, akulah yang memerintahkan mereka berbuat demikian, sebab ku... kuatir jika Tham Beng sampai berbesanan dengan Tonghong-hengte, pengaruhnya pasti akan besar dan kemudian andaikata dia ingkar janji, bahkan membunuh aku tentu aku tak bisa berbuat apa-apa?"

Terkesiap juga hati Hui Giok mendengar keterengan itu, dia menghela napas panjang "Ai, demikiankah keadaan dunia persilatan yang sebenarnya? Mengapa setiap orang harus tipu menipu?"



"Ai, pada hakikatnya dunia persilatan adalah dunianya kaum kuat menindas kaum lemah" kata Jit-giau-tui hun Na Hui hong sambil menghela napas "Semula kupikir orang yang berhati bajik tentu tak akan mampu hidup di dunia persilatan ini, tapi ai, sekarang aku baru tahu bahwa pikiranku itu keliru, di manapun jua orang baik selamanya tak akan kesepian."

Sesudah berhenti sebentar dengan kepala yang tertunduk rendah sambungnya lebih jauh, "Kesemua ini tak lain adalah berkat watak Bengcu yang mulia dan bijaksana, tabiatmu telah mengharukan hatiku! Aku sebenarnya setelah Bengcu berhasil kupancing sampai di sini, makanan dan arak yang kuhidangkan kepadamu hendak kucampur dengan racun yang paling jahat racun itu bahkan sudah kusiapkan, racun itu adalah sejenis racun jahat yang tak berwarna maupun berbau, tapi ai aku benar-benar merasa tak tega untuk melaksanakan niat jahatku ini!"

Hui Giok terkesiap, baru sekarang ia sadar jiwanya tadi sebenarnya telah berada di ambang pintu akhirat.

Ia menghela napas panjang, sebetulnya dia hendik mengucapkan sesuatu, tapi sebelum niatnya terlaksanakan, tiba-tiba dari luar halaman, dan balik kegelapan berkumandang suara tertawa dingin yang menyeramkan.

Malam sudah hampir berakhir embusan angin terasa makin dingin suara tertawa dingin itu terasa menggidikkan.

Baik Hui Giok maupun Na Hui hong serta Wan Lu-tin serentak terperanjat "Siapa itu?" bentak Na Hui-hong

"Tahu kesalahan dan bersedia bertobat itu menandakan kau masih bisa dididik, bila rencana busukmu itu kau laksanakan, kau kira nyawamu masih bisa hidup sampai sekarang?" suara itu muncul dari kegelapan, nyaring, tegas dan menggetar perasaan.

Terbawa oleh embusan angin dingin, sulit bagi Hui Giok dan Na Hui hong untuk menentukan darimanakah suara itu berasal, se akan2 jauh tapi terasa dekat, padahal sepuluh tombak di sekeliling halaman itu tak nampak bayangan manusia.

Hati Hui Giok tergerak, cepat teriaknya, "Suhu... Locianpwe " - Berbareng itu juga ia melayang ke udara, ujung kakinya menutul di atas ranting pohon, dengan dua-tiga kah lompatan ia sudah berada di luar halaman.

Tapi suasana tetap hening, angin berembus kencang, memandang jauh ke depan, yang tertampak hanya keheningan belaka dengan tanah bersalju yang lapang, seakan2 sejak dulu sampai sekarang tak pernah ada manusia yang muncul di situ.

Hui Giok celingukan memandang ke sana ke mari, kemudian teriaknya lagi suhu! Locianpwe.."

Sekeras geledek teriakan itu sampai salju di ranting pohon pada gugur ke tanah, seekor burung bersuara kaget dan terbang dengan ketakutan, dalam sekejap mata lenyap pula di balik kegelapan.

Hui Giok berdiri dengan termangu, setelah menghela napas ia berkelebat kembali ke dalam halaman

Waktu itu Wan Lu-tin sedang menanti dengan penuh pengharapan matanya yang jeli menatap wajah pemuda itu tanpa berkedip sinar matanya adalah sinar mata penuh rasa kagum.

Jit giau-tui-hun Na Hui-hong berdiri dengan tangan terjulai ke bawah, mukanya pucat, matanya terbelalak dan mulutnya melongo, peluh sebesar kacang kedelai membasahi jidatnya.

Menyaksikan keadaan orang, tersenyumlah Hui Giok.

"Melepaskan golok pembunuh, berpaling mencapai tepian, Siaute pantas mengucapkan selamat untuk saudara Na." katanya menirukan sabda Budha.

"Ya, mulai sekarang mungkin tidurmu akan bertambah nyenyak dan makan pun akan bertambah nikmat." sambung Wan Lu tin tiba2 sambil tertawa manis.

Dengan tangan yang gemetar Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong menyeka peluh dingin yang membasahi jidatnya, ia merasa jantungnya berdebar keras, di dalam hati ia berguman, "Melepaskan golok pembunuh, berpaling mencapai tepian."

Mendadak ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak, serunya lantang, "Hahaha... sungguh tak kusangka, jadi orang bajik jauh lebih menyenangkan daripada menjadi orang jahat."

Sebagai seorang yang berasal dari golongan hitam, yang biasa membunuh dan merampok, tentu saja ia tidak menyadari bahwa ucapan yang sederhana itu sebenarnya mengandung makna yang luas mengandung filsafah yang tidak sederhana.

Diam-diam Hui Giok berpikir dalam hati "Entah berapa malam dia tidak tidur berapa besar penderitaan batinnya sebelum mengucapkan kata-kata sederhana yang sebenarnya tidak sederhana ini, semoga semua orang jahat yang ada di dunia ini dapat hadir di sini dan mendengarkan kata-kata yang timbul dan hati sanubarinya itu."

Mereka bertiga saling pandang sekejap tiba2 taman yang sepi dan dingin itu seakan-akan berubah jadi hangat dan nyaman, sebab taman tersebut sekarang penuh dengan watak kebaikan asli kemanusiaan.

Jalan raya di dalam kota Han-ko ketika berada dalam keheningan dengan udara yang dingin. Banyak laki-laki berpakaian ringkas dengan sepatu kulit mereka yang berat tiada hentinya melewat tanah bersalju itu sambil mengawasi kereta-kereta barang kawalan di tepi sungai.

Meski masih banyak orang yang ingin tahu dan sok mencampuri urusan orang lain, demi menyelidiki awal dan suatu pertarungan sengit yang akan berlangsung, mereka harus berdiam semalam suntuk di kedai-kedai minum. Namun. keheningan serta hawa dingin yang menerkam empat penjuru masih tetap begitu berat, sedemikian beratnya sehingga terasa menekan perasaan setiap orang, menindih dada mereka hingga sukar rasanya untuk bernapas.

Kadangkala meledak gelak tertawa yang keras memecah keheningan yang mencekam malam yang gelap itu. tapi berapa banyak pun gelak tertawa yang terdengar tidak akan berhasil menyingkirkan perasaan berat yang menekan hati orang-orang itu.

Tiba2 dari ujung jalan raya sebelah sana berkumandang jerit ngeri yang menyayat hati.

Entah berapa banyak orang yang segera berlari menuju ke tempat datangnya suara jeritan itu, tapi yang dijumpai hanya gumpalan darah kental yang mulai membeku di atas permukaan salju yang putih.

Disamping gumpalan darah beku, seorang anak buah Hui-liong-piaukiok tergelepar dengan badan telentang, wajah sang korban diliputi rasa kaget dan ketakutan, matanya yang kaku masih memandang ke angkasa dengan pandangan yang kosong.

Sebilah belati yang tajam menancap di atas dadanya yang bidang dan darah yang menetes keluar segera akan membeku bersama kengerian yang menyelimuti suasana di tengah malam dingin itu.

"Cian Sin-jiu mulai beraksi!" Teriakan demi teriakan yang penuh kegembiraan segera tersiar ke mana2, tersebar di balik jalan raya yang sepi.

Suara jeritan lain tiba2 berkumandang dari sudut jalan yang lain.

Delapan ekor kuda tiba-tiba menerjang keluar dari sebuah bangunan besar di tepi jalan, dua orang yang berada paling depan membawa terompet yang segera ditiup keras-keras.

Di tengah denging suara terompet yang susul menyusul rombongan penunggang kuda itu segera bermunculan dan setiap sudut jalan di kota itu.

Mengikuti derap kaki kuda yang ramai seorang laki-laki dengan suara yang kuat segera berteriak keras, "Semua saudara yang tergabung di bawah panji Naga Terbang, hendaknya berkumpul di tempat penyeberangan sungai Tiang-kang, jangan sampai terpencar!"

Teriakan itupun sambung menyambung tersebar ke seluruh pelosok kota yang gelap itu. Dalam waktu singkat suasana dalam kota jadi kalut, ketenangan segera terenggut, keamanan tersita, keadaan jadi kacau balau.

sekalipun ada sekawanan opas bersenjata lengkap yang melakukan perondaan dengan perasaan apa boleh buat, tapi penglihatan mereka se-akan-akan tidak menghiraukan cahaya golok dan genangan darah.

Mereka menganggap semua ini sebagai berjangkitnya penyakit menular, sebagai wabah. Penyakit menular memang tak bisa dilawan dengan kekuatan manusia tapi penyakit menular pada suatu ketika tentu akan berakhir.

Tapi jeritan ngeri masih berkumandang tiada intinya kadangkala muncul di sebelah timur, lain saat timbul di sebelah barat.



Seorang laki-laki mabuk berjalan dengan sempoyongan mencari tempat kencing, celakanya, sebilah golok tak bersarung terselip di pinggangnya, lebih celaka lagi kebetulan ada delapan penunggang kuda itu berlari lewat di sampingnya.

Maka penunggang kuda itupun membentak nyaring dan cahaya golok pun berkilat di angkasa.

Laki-laki pemabuk yang sempoyongan itu hanya merasakan kepalanya dingin dan sakit, lalu dengan mengenaskan roboh terkapar di atas permukaan salju dan membiarkan tubuhnya diinjak-injak oleh kaki kuda yang lalu di atas tubuhnya.

oOo oOo oOo

Angin berhembus makin kencang. Sebuah perahu yang berlayar hitam menyeberang dari balik kegelapan dan berlabuh di tepi sungai yang sunyi.

Sebelum perahu mencapai tepian, beberapa sosok bayangan hitam lantas melayang turun dari perahu itu, kemudian tanpa berhenti berkelebat ke depan dan lenyap dalam kegelapan.

Gerak gerik mereka sangat misterius ibaratnya sukma gentayangan yang datang den neraka.

Siapakah mereka?"

~ oOo - - oOo -

Lima ekor kuda jempolan mengiringi sebuah kereta besar muncul dari balik kegelapan dan berlari sepanjang jalan raya kota yang sepi, yang paling depan adalah seorang laki-laki berambut dan berjenggot putih, bermata tajam dan bertampang keren. Entah siapa yang mulai dulu, mendadak ditepi jalan berkumandang teriakan kaget.

"Liong heng pat-ciang datang!"

Baru saja suara itu berkumandang tahu-tahu sebuah telapak tangga yang kuat menutup bibirnya dan menyeret orang itu ke tempat gelap di celah emper rumah.

Maka, tak ada orang yang berteriak lagi.

Kereta itu berhenti di depan sebuah bangunan besar di tepi jalan, sebenarnya di depan pintu terpancang sebuah papan nama yang bertuliskan "Kantor cabang perusahaan Hui-liong piaukiok"

Tapi entah mulai kapan papan nama itu sudah dicopot orang.

Liong-heng-pat-ciang Tham Beng yang berada paling depan segera melompat turun dari kudanya.

Dengan satu lompatan enteng ia menyelinap ke depan kereta lalu serunya dengan suara perlahan "Anak Ki, ayo turun!" Tabir tersingkap, Tham Bun-ki yang pucat dan bermata pudar pelahan turun dari kereta itu.

Mukanya waktu itu tampak layu, tidak beremosi, bahkan matanya yang jeli kini tampak buram. Dengan pandangan kosong dan pikiran hampa dia melangkah di atas tanah bersalju dan masuk ke gedung megah itu, matanya tidak melirik, kepalanya tidak berpaling bahkan terhadap ayahnya juga tak memandangnya sekejap pun.

Liong-heng pat-ciang Tham Beng menghela napas sedih tanpa bicara dia ikut masuk ke dalam rumah itu.

Pintu gerbang yang tebal dan berat segera tertutup dengan menimbulkan suara yang keras, memotong pandangan orang banyak tapi tak dapat memotong bisikan orang banyak.

Liong heng pat ciang datang... Liong heng pat-ciang telah datang..."

Udara malam berubah semakin kelam dan berat. Entah berapa lama lagi waktu fajar?

--o- O-fo+O -o-

Bangunan yang megah tapi suram itu segera diterangi cahaya lampu.

Namun langkah kaki yang kacau berubah menjadi ringan, enteng hampir tak menimbulkan suara Liong-heng-pat-ciang Tham Beng dengan wajah sedingin es buru-buru berjalan menuju ke ruangan sebelah barat.

Baru saja dia melangkah masuk ke pintu halaman, bentakan tertahan segera berkumandang dari balik ruangan, "Siapa?"

Tham Beng berdehem pelahan, cahaya lampu segera menerangi seluruh ruangan dan Tonghong ngo kiam yang berpakaian tidur menyambut kedatangan Piautau itu di depan pintu.

"Paman Tham, mengapa engkau menyusul kemari di tengah malam buta begini" sapa Tonghong Tiat sambil tersenyum.

Senyuman menghiasi wajah Liong~heng~pat ciang Tham Beng yang suram, jawabnya. "Seharusnya sejak kemarin aku sudah sampai di sini untuk menantikan kedatangan Hiantit sekalian, tak tersangka karena keterlambatanku menyebabkan kalian mesti makan hati oleh karena kaokan manusia liar yang tak karuan itu."

Tonghong Kang terbahak-bahak, "Hahaha, berita paman Tham sungguh luar biasa cepatnya."

Diiringi gelak tertawa mereka lantas masuk keruangan, tapi benarkah gelak tertawa itu timbul dari lubuk hati yang tulus dan murni?

Setelah berlangsung pembicaraan ringan, tiba2 Liong-heng-pat-ciang Tham Beng menghela napas panjang, kemudian mengalihkan pembicaraan ke pokok persoalan yang sebenarnya.

"Aku jadi teringat kembali pada lamaran yang pernah Hiantit ajukan pada tahun yang lalu," demikian ia berkata, "waktu itu, berhubung usia putriku masih kecil, lagipula merasa tak berani menerima penghargaan setinggi ini maka lamaran tersebut belum kuputuskan.

Tonghong Ouw tersenyum, dia seperti mau mengucapkan sesuatu tapi dijawil ujung bajunya oleh Toakonya, maka kata-kata tersebut urung diucapkan.

Liong heng-pat-ciang mengalihkan pandangannya entah melihat atau tidak sikap orang, ia berkata lebih jauh, "Tapi sejak peristiwa di perkampungan Long bong-san ceng, dimana putriku sudah mendapat bantuan yang besar dan keponakan Ceng, sungguh tak tersangka dia.... Dia.... ai ternyata diapun menaruh hati terhadap keponakan Ceng!"

Air muka Tonghong Ceng tetap kelihatan kaku, sedikitpun tidak emosi.

Sebaliknya Tonghong Tiat lantas berseru sambil tersenyum "Wah, rupanya Samte yang punya rejeki besar!"

"Ya, selama kumalang melintang dalam dunia persilatan, dia satu-satunya putri yang kumiliki!" ujar Tham Beng lebih lanjut "Sebab itu kalau dia sendiri juga mau, maka terpaksa baru kutebalkan muka dan menyinggung kembali urusan lama dengan kalian."

Tampaknya ia sengaja menekankan "urusan lama" tersebut, seakan-akan dengan demikian persoalan itu bukan kehendaknya melainkan keluarga Tonghong yang mengemukakan lebih dulu.

Tonghong-hengte saling pandang sekejap sebelum berkata, Tham Beng telah bersuara pula: "Cuma ai, keluargaku adalah keluarga yang rendah, entah derajat kami setimpal dengan derajat keluarga Tonghong atau tidak?"

Air muka Tonghong Ceng masih tetap tanpa emosi, namun juga tidak bermaksud menghindarkan diri.

Tonghong Tiat segera tersenyum "Nama besar paman Tham termashur sampai ke mana-mana, dalam sepuluh tahun akhir ini belum pernah ada jago persilatan yang dapat menjajarkan namanya dengan nama besar paman Tham. Kalau paman Tham mengatakan derajat keluarga terlalu rendah, maka hal ini malahan membuat keponakan sekalian jadi tak enak hati."

"Ah. keponakan terlalu memuji." sambil tertawa Liong heng-pat-ciang mengelus jenggotnya "Kalau memang begitu, apakah saat ini keponakan Ceng membawa sesuatu benda yang bisa digunakan sebagai tanda ikatan perjodohan ini?"

-Cuma......" tiba-tiba Tonghong Tiat menukas

"Apa lag?" tanpa terasa air muka Liong-heng pat-ciang rada berubah. Mencorong sinar mata Tonghong Tiat, kemudian berkata dengan tersenyum "Apakah paman Tham tidak merasa bahwa keputusan yang kau ambil ini tak terlampau terburu napsu? Bagaimana pun juga persoalan ini menyangkut kebahagiaan hidup Samte kami, maka sudah sepantasnya kalau kami bersaudara harus menimbang persoalan ini dengan sedikit lebih serius."

Liong heng pat ciang mengerling, otaknya juga berputar memikirkan persoalan ini, kemudian katanya: "Persoalan ini.... Meskipun betul pendapat kalian, tapi keadaan saat ini luar biasa, terpaksa kita mengambil keputusan dengan cepat. Ya, untunglah kita orang persilatan, soal adat istiadat rasanya juga tidak perlu kita hiraukan lagi... Hahaha, begitu bukan?"

Dia berpikir sambil bicara, maka kata-kata pembukaan tadi diucapkan dengan sangat lambat, begitu keputusan diambil, kata-kata selanjutnya diutarakan dengan lancarnya.

"Situasi sekarang tampaknya luar biasa" Tonghong Kang dengan berlagak tidak mengerti.

Kembali Liong-heng-pat-ciang memeras otak, lalu menghela napas panjang, "Ai, terus terang saja kukatakan, dewasa ini Hui-liong-piaukiok kami telah bertemu dengan musuh tangguh padahal aku cuma mempunyai seorang puteri saja, maka hatiku baru bisa tenang setelah ia mendapat perlindungan yang dapat dipercaya."

Pelahan Tonghong Tiat mengangguk "Ya, paman Than memang terlampau sayang pada puteri satu-satunya, perkataanmu memang ada benarnya."

Sebagai seorang pemuda yang jujur, perkataan tersehut timbul dan lubuk hatinya yang murni.

Tonghong Ouw yang selama ini membungkam tiba-tiba berkata dengan dahi berkerut "Akhir-akhir ini berita dunia persilatan mengatakan bahwa paman Tham mempunyai hubungan yang erat dengan peristiwa berdarah yang berlangsung belasan tahun yang lalu, numpang tanya kabar ini benar atau tidak?"

Dasar pemuda berdarah panas, apa yang ingin diketahui dalam hati segera pula diutarakan tanpa tedeng aling-aling.

Air muka Liong-heng-pat-ciang berubah hebat, tiba-tiba ia menengadah lalu tertawa terbahak2: "Haha. fitnahan kaum bandit yang berjiwa kotor tak perlu kugubris, apakah keponakan sekalian percaya pada kabar tersebut?"

Tonghong Kang dan Tonghong Ouw saling pandang sekejap, tapi sebelum mereka bicara lagi, Tonghong Tiat menjela lebih dulu sambil tertawa: "Selama mengembara di dunia persilatan, paman Tham memang sukar menghindarkan permusuhan dengan orang, Ngo-te mana boleh kau... "

"Hahaha, keponakan Ouw masih muda dan berparah panas, memang begitulah watak seorang muda yang normal jangan salahkan dia!" cepat Liong-heng-pat-ciang berseru sambil tertawa.

Kemudian, sinar matanya tertuju ke arah Tong-hong Ceng tapi berkata terhadap Tonghong Tiat.

"Keponakan Tiat, menurut adat, kakak tertua bisa mewakili ayah. Apabila keponakan Tiat dapat mengambil keputusan dan Setuju, kuyakin Tonghong loyacu"

Belum habis ucapannya mendadak dari luar terdengar suara langkah orang yang ramai, dengan dahi berkerut Liong heng-pat-ciang segera berbangkit.

"Ada apa?" bentaknya dengan gusar.

Dengan tangan yang terjulai ke bawah dan kepala tertunduk rendah, Pat kwa-ciang Liu Hui berdiri munduk-munduk di bawah undak-undakan, ketika Tham Beng muncul ia lantas berkata dengan prihatin, "Ada orang mengantarkan tiga kotak hadiah kemari apakah Congpiautau hendak melihatnya?"

Air mukanya tampak diliputi rasa kaget dan ketakutan, ketenangan yang dimilikinya pada hari2 biasa kini lenyap tak berbekas, Tham Beng cukup tahu bahwa anak buahnya yang ini selalu tenang, maka perubahan sikapnya itu membuktikan ada suatu kejadian besar telah berlangsung, ia termenung sebentar baru saja akan melangkah pergi, tiba2 Tonghong Kang berseru sambil tersenyum "Bila ada sesuatu yang kurang leluasa silakan paman Tham berlalu lebih dulu."

Ruang tengah penuh diliputi suasana yang menyeramkan Liong heng-pat-ciang Tham Beng berdiri kaku di hadapan tiga buah batok kepala dengan muka sepucat mayat dan tubuh gemetar karena embusan angin dingin di luar.

Hui-liong-sam-kiat, tiga orang gagah dari Hui-liong-piaukiok yang namanya tersohor di dalam dunia persilatan, ternyata telah terbunuh dengan mengenaskan!

**************************

Hal 5 robek sebagian

**************************

kan tekanan batin yang berat, meski kedua tangan Pat-kwa-ciang Liu Hui mengepal kencang, namun masih kelihatan juga tangan itu gemetar tiada hentinya.

Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Tong hong Kiam menjerit kaget "He, di mana Samte? Ke mana dia?"

Dengan kaget semua orang berpaling, betul juga Tonghong Ceng yang sejak tadi hanya berdiri kaku membungkam, kini sudah lenyap tak berbekas.

**************************

Hal 6 robek sebagian

**************************

Dengan wajah yang murung dan sedih Tham Bun ki seorang diri duduk di bawah lampu, cahaya lampu yang mirip impian menyinari sepasang matanya yang sayu dan rambutnya yang hitam.

Seluruh tubuhnya, jiwanya, perasaannya seolah-olah berada di alam mimpi, impian yang penuh penderitaan, penuh penyesalan.

Kegembiraan dan senyuman suka dukanya di masa lalu kini sudah jauh meninggalkan dia, sebab tubuh dan jiwanya telah berubah jadi kaku, seperti orang linglung.

Dalam hati dia sudah mengambil keputusan selama hayat masih dikandung badan, dalam hidupnya ini dia tak akan kenal lagi apa artinya "cinta kasih" sebab "cinta kasih" adalah sesuatu yang amat menakutkan.

Dia buang jauh-jauh segala kenangan lama, ia buang jauh-jauh segala kerinduan, dia hanya tahu hidup bagaikan sesosok mayat hidup, terserah, masa bodoh. kapan ayahnya mengaturkan saat pernikahannya, kapan pula dia akan mengenakan pakaian pengantin, lalu...


Lalu bagaimana?

Diapun buang jauh-jauh segala pikiran selanjutnya, sebab dia percaya kehidupan yang serba kaku ini akan membuat dirinya cepat mati atau sebelum kekakuan membinasakan dirinya dia akan bunuh diri sendiri.

Tiba-tiba . terdengar suara pelahan di luar jendela, ia tidak menggubris, tidak menegur ataupun bergerak, seakan-akan suara itu tak didengar olehnya. Tapi dari luar jendela segera berkumandang suara orang menegur dengan suara tertahan "Nona Tham!"

Dengan pikiran yang kosong ia mendekati jendela, membuka dan melongok keluar.

Meski dalam hati kecilnya waktu itu timbul juga sedikit rangsangan tapi ia segera buang jauh-jauh segala pikiran, menolak segala kesedihan atau pun kegembiraan.

Bayangan hitam berkelebat di luar jendela, seperti sedang menggapai padanya.

Ketika bayangan di luar jendela itu menggapai lagi untuk ketiga kalinya! secara di bawah sadar gadis itupun melayang keluar jendela.

Ilmu meringankan tubuh Tham Bun ki masih tetap indah dan mempesona, di tengah keheningan malam yang dingin ia meluncur keluar dengan entengnya.

Namun ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang di depan sana ternyata jauh lebih hebat lagi, hal ini membuat Tham Bun-ki! rada terperanjat.

Tapi dengan cepat dia buang jauh-jauh semua pikirannya

Sekejap kemudian, secara beruntun kedua orang itu sudah melayang keluar halaman belakang, melintasi rumah yang berderet dan menuju ke pinggiran kota yang sepi,

Di bawah pohon Pek-yang yang sudah layu tiba-tiba bayangan manusia di depan itu berhenti.

Dengan enteng Tham Bun ki berkelebat ke depan dan melayang turun tepat di hadapan orang tampaklah orang itu bertubuh jangkung bermata tajam, bermuka pucat dengan alis mata yang bekernyit penuh kemurungan.

Bun-ki cukup kenal siapa gerangan orang ini dia tahu orang-orang ini adalah pemuda yang paling tampan dan disanjung puji orang dalam dunia persilatan, Tonghong Ceng dari Tonghong ngo-kiam, dia pun tahu orang ini tak lain adalah bakal suami sendiri yang dipilihkan oleh ayahnya.

Meski demikian mukanya tetap hambar, tetap kosong, tidak kelihatan kaget juga tidak kelihatan malu, malah dengan nada dingin ia menegur "Ada urusan apa?"

Ketenangan dan keketusan yang luar biasa ini, seketika membuat Tonghong Ceng jadi tertegun.

Lama sekali ia berdiri kaku, dia ingin mengubah seluruh perasaannya menjadi kekuatan yang dapat menenangkan hatinya, setelah air mukanya kembali tak beremosi, pelahan ia baru menjawab "Aku cuma ingin menanyakan satu hal kepadamu."

"Katakan"



"Apakah kau bersedia kawin dengan aku" TongHong Ceng mengepal tangannya kencang2

"Yaa."

Tonghong Ceng menggigit bibirnya dengan kuat, lama sekali baru bertanya lagi dengan dingin. "Apakah kesedianmu itu timbul dari hati sanubari mu sendiri?"

"Tidak."

Tonghong Ceng terkesiap, hawa dingin terasa menyusup naik dari alas kakinya hingga menembus hulu hatinya, matanya memandang ke tempat kegelapan dengan tatapan kosong, lama sekali ia baru berkata lagi: "Lalu persoalan apakah yang memaksa kau menerima perjodohan ini?"

Tham Bun-ki mengalihkan pandangan dan melirik sekejap ke arahnya, tatapan yang kaku, seakan akan Tonghong Ceng hanya sepotong balok kayu belaka.

"Bila kawin dengan kau, maka selamanya ayah tak akan mencelakai jiwa Hui Giok lagi." sahutnya kemudian dengan tak acuh.

Berbicara sampai di sini, tiba-tiba sekulum senyuman tersungging di ujung bibirnya, senyuman yang penuh ejekan, senyuman menghina.

"Sudah pahamkah kau! Sudah puaskah kau! lanjutnya sejenak kemudian

Tonghong Ceng berdiri kaku seperti patung, ia merasa pipinya seakan-akan baru ditampar orang keras-keras, mukanya sebentar berubah jadi pucat dan sebentar menghijau, pikirannya jadi kusut dan bergolak, tiba-tiba teriaknya, "Baik, baik, kau tak perlu kawin dengan aku! aku akan pergi, segera aku pergi!"

Sekali melompat, seperti orang gila dia berlari menuju ke tempat kegelapan, yang tertinggal hanya gema suaranya yang gemetar tadi terbawa embusan angin.

Kegelapan malam menyelimuti wajah Tham Bun-ki yang pucat, di balik kelopak matanya tampak butiran air mata dan membuat matanya berkaca-kaca, ia tahu bahwa perbuatannya telah melukai perasaan seorang pemuda, diapun sadar beberapa patah katanya yang singkat tapi dingin dan kaku itu ibaratnya berjuta-juta batang anak panah yang menghunjam hulu hati pemuda itu, mencabik-cabik perasaannya.

Tapi, segera ia membuang jauh-jauh semua pikiran itu.

Sejak itu dunia persilatan akan kehilangan seorang pendekar muda yang bermasa depan cemerlang, upacara pernikahan yang diidam-idamkan ayahnya juga selamanya tak akan terselenggara, hari bahagia yang telah diatur itu pun akan terus terkatung-katung.

Tapi, apa sangkut pautnya segala sesuatu itu dengan dia?

Kembali dia menolak untuk memikirkannya.

Apapun tak dipikirkan lagi olehnya, seperti kejadian apapun seakan-akan tak pernah berlangsung. Dengan langkah yang tenang ia berjalan kembali ke kamarnya.

Belum beberapa langkah ia berjalan, tiba2 nona itu merasa ada sesosok bayangan orang mengadang di hadapannya.

Bayangan manusia itu muncul secara mendadak, ibaratnya segumpal kabut yang tlba-tiba mengambang tiba, cepat Tham Bun-ki menghentikan gerakan tubuhnya dan memandang ke depan.

Entah sedari kapan, tahu-tahu di depan telah berdiri seorang perempuan berbaju seputih salju, bersanggul tinggi dan mempunyai perawakan tubuh yang tinggi dan besar begitu besarnya sehingga agak mengerikan.

Yang paling aneh, di punggung perempuan itu menggendong sebuah keranjang berwarna kuning emas, dalam keranjang berduduk seorang pria berbaju kuning emas pula.

Laki2 itu bertubuh cebol. perawakannya persis seperti seorang anak kecil. tapi bajunya perlente seperti seorang raja muda.

Jenggotnya panjang sekali, ketika terembus angin ber-goyang2 mengibas sanggul si perempuan yang tinggi, sementara kedua matanya yang tajam menatap wajah Tham Bun-ki tanpa berkedip.

Terkesiaplah gadis itu, segera teringat olehnya siapa gerangan kedua orang aneh yang dihadapinya ini.

Dengan air muka sedingin es dan tanpa emosi ia lantas menjura, lalu bertanya dengan suara hambar, "Ada urusan apa?"

Kim tong menghela napas panjang, "Ai, rupanya kecuali anak Giok mati di hadapannya, persoalan apapun di dunia ini mungkin tak akan bisa menggerakkan hatinya lagi"

Giok-Ii juga menunjukkan perasaan kasihan bercampur kuatir, ujarnya, "Anakku, usiamu masih muda, masa depannya masih panjang, kenapa pikiranmu tak bisa terbuka?"

Tham Bun-i" tertawa pedih: "Bila urat sutera telah menjadi kepompong, serat sutera baru bisa diambil. Lilin sudah meleleh air mata sudah mengering, segala sesuatu kejadian di dunia ini laksana bunga dalam cermin dan bulan dalam air, siapa bilang jalan pikiran Wanpwe belum terbuka?"

"Sungguhkah itu?" tanya Kimtong sambil mengelus jenggotnya dan tertawa.

Giok-li berpaling sekejap ke arah suaminya lalu mengomel "perasaan orang sudah menjadi begini masa dia membohongi lagi dirimu?"

"Hahaha. ." Kim-tong terbahak-bahak, "Nak. terus terang kuberitahukan kepadamu, ulat suteramu belum menjadi kepompong, lilinmu juga belum meleleh, selama masih ada kami suami isteri, di dunia ini tak akan ada bibit cinta yang mati sebelum bersemi."

Mencorong sinar mata Tham Bun-ki, tak tahan lagi ia menengadah dan melirik sekejap ke arah berdua orang tokoh persilatan itu.

Giok li tertawa ringan, sambil membelai rambutnya iapun berkata, "Nak, usaha yang bersungguh-sungguh dapat membuat batu dan emas jadi meleleh, di dunia ini tak ada persoalan yang tak bisa di tundukkan oleh cinta yang sejati, teringat kembali peristiwa masa lalu, ketika aku dan dia..."

Dengan pandangan penuh kasih sayang diliriknya Kim-tong sekejap, tiba2 pada wajahnya yang kasar tersungging senyuman yang lembut.

"Rintangan dan kesulitan yang kami hadapi waktu itu berpuluh kali lipat lebih hebat daripada apa yang kalian alami sekarang," sambungnya perlahan, "tapi. . coba kau lihat, bukankah sampai sekarang pun kami masih tetap dua sejoli dan selalu berada bersama?"

Dengan termangu Thani Bun-ki memandang potongan tubuh mereka yang aneh, memandang kelembutan dan kasih sayang mereka yang hangat. Tiba-tiba ia merasa di balik perasaannya yang kaku dan dingin timbul lagi setitik rasa kasih sayang yang lembut dan hangat.

Di hadapan kedua orang tokoh persilatan yang aneh ini, segala sesuatu yang "tak mungkin" di dunia ini seakan-akan berubah jadi "mungkin". Segala cinta kasih yang khayal seakan-akan berubah jadi keyakinan" Segala sesuatu "impian" yang ada di dunia ini seakan-akan berubah jadi kenyataan. Dan segala "air mata" bisa berubah menjadi "senyuman"

"Tekad yang bersungguh dapat membuat batu dan emas pun meleleh, benarkah hal ini?" ia mulai bergumam dengan lirih.

Senyuman yang semula menghiasi wajah Kim tong tiba-tiba lenyap, dengan serius dia berkata "Tentu saja sungguh, asal cinta kasihmu dapat lolos dari ujian yang penuh penderitaan, maka cinta murnimu itu pada suatu ketika pasti akan mendapat imbalan yang semestinya."

"Ya anakku," ujar Giok h dengan lembut.

"Meskipun kau memiliki cinta sejati, namun kau tidak memiliki kepercayaan maka perasaanmu, berubah menjadi kaku dan menderita Nak, bersediakah kau mendengarkan nasehat kami?"

Tiba-tiba Tham bun-ki merasakan hatinya bergolak keras, butiran air mata yang sudah lama mengering mendadak meleleh kembali, ia menengadah dan mengangguk.

Kim-tong tertawa nyaring, "Hahaha!, . Bagus sekali, asal kau sudah memiliki cinta yang sejati dan rasa percaya pada diri sendiri, maka berarti akupun berhasil menggembleng sebentuk batu yang akan bersinar cemerlang."



"Nah, anakku sayang! ikutlah kami pergi," bisik Giok-li lembut. meskipun perjalanan di depan masih amat jauh dan penuh kesulitan, tapi jangan takut! coba lihatlah, walaupun kegelapan ditengah malam itu cukup panjang, bukankah fajar pun tetap akan menyingsing?"

Sekali lagi Tham Bun-ki mengangguk, lalu mengikuti di belakang kedua tokoh persilatan itu, berangkatlah gadis itu menuju ke arah timur di mana sinar pertama segera akan terbit.

Oo- oO Oo - oO

Betapapun malam yang gelap dan panjang, akhirnya fajar pasti juga menyingsing

Angin tetap berembus kencang, salju kembali turun dengan lebatnya, musim dingin terasa makin membekukan badan.

Namun gerombolan manusia yang berkumpul di kota Bu han sama sekali tidak menghindari cuaca yang membekukan, mereka masih berkerumun di sepanjang jalan raya yang ramai itu.

Sekalipun semalam suntuk mereka tidak tidur, namun pagi ini mereka semua masih tampak segar bugar.

Liong-heng-pat-ciang telah datang mungkinkah hujan badai masih jauh?

Beratus-ratus pasang mata, baik yang beradu jauh ataupun yang berada dekat, terpusat dan tertuju ke arah pintu gerbang berwarna hitam pekat yang tertutup rapat itu.

Berita sensasi, desas-desus, bisikan berbisa tiada hentinya mengalir dan tersiar dalam kota itu.

"Engkau tahu, Cian Sin jiu juga sudah sampai di kota ini?"

"Kemarin malam, kulihat ada orang mengantarkan tiga kotak hadiah besar untuk Liong heng pat ciang kau tahu benda apakah itu?"

Eh, kabarnya si puteri naga Tham Bun-ki juga sudah datang mungkin kedatangannya adalah untuk dikawinkan dengan Tonghong Ceng dari Tonghong-ngo kiam. Wah kalau begini keadaan Liong heng-pat-ciang ibaratnya harimau bertumbuh sayap, kedudukannya jelas bertambah kuat"

Aku berani bertaruh, sebelum tengah hari nanti, Hui taysianseng pasti juga akan sampai di sini untuk menuntut balas terhadap Tham Beng"

Menurut taksiranmu, kepandaian siapa lebih tinggi di antara kedua orang itu? Kalau masa jelas menjagoi Tham Beng."

Di antara kawanan jago itu, anak buah Sin jiu Cian Hui juga membaurkan diri di tengah mereka, bahkan ikut aktip menyiarkan berita dan sas-sus, baik yang sungguhan maupun hanya isapan jempol belaka.

"Kalian tahu siapakah Kongsun Tay-liok, Siang Hui ki dan Si Beng bertiga jagoan yang disebut Hui liong sam kiat? Ternyata balok kepala mereka sudah dipotong oleh Cian Sin jiu, tiga kotak hadiah besar yang dikirimkan kepada Liong heng pat-ciang kemarin malam tak lain adalah berisikan..."

"Kau tahu, meskipun Tham Beng sudah membawa puterinya kemari, tapi belum tentu Tonghong-hengte bersedia menikah dengan dia sehingga merusak nama baik sendiri."

"Walaupun usia Hui Taysianseng masih muda tapi dalam silatnya benar-benar sudah mencapai tingkatan yang sukar diukur, asal dia turun tangan niscaya Liong heng~pat~ciang bukan tandingannya"

Berita sensasi, gosip, suara burung dan masing2 memenuhi seluruh kota, membuat suasana tambah heboh.

Waktu berlalu sangat lambat rasanya bagaikan siput yang merangkak, begitu lambat sehingga membikin orang jadi tak sabar. Sampai tengah hari, baik di kota Bu han maupun di kota Han-ko masih belum tampak bayangan Hui-taysianseng, Sin jiu Cian Hui, Tonghong-ngo-kiam, Liong-hcng-pat cjang maupun Jit-giau-tui hun.

-o0o~~ -X- -o0p-

Walaupun dalam kota tidak turun salju, di luar kota penuh bertaburan bunga-bunga salju.

Hui Giok berdiri di bawah emper rumah sambil memandang bunga salju yang beterbangan di udara, pikirannya waktu itu amat kalut, sekalut bunga salju yang berhamburan.

Musuh besar pembunuh orang tuanya kini berada di kota Han-ko tapi gadis yang paling dicintai justeru berada pula di samping musuh besarnya itu.

Mulai sekarang hingga akhir hayat, selamanya janganlah membuat sedih seorang gadis yang mencintaimu.

Kata-kata tersebut entah sudah berapa kali dia ulangi, bunga-bunga salju yang bertaburan di hadapannya seakan-akan semuanya telah berubah menjadi raut wajah Leng-goat-siancu yang pucat sedih dan terukir dalam2 di lubuk hatinya.

Ia tak tega untuk mengingkari janjinya kepada perempuan itu, tapi diapun tak dapat melupakan sakit hatinya yang lebih dalam dan lautan itu.

Ia tak dapat melupakan sakit hati yang sedalam lautan, namun iapun tak dapat melupakan cinta kasih Tham Bun-ki yang sulit dijajaki itu.

"Bagaimanapun juga aku tak dapat membiarkan arwah ayah dan paman menanggung penyesalan di alam baka!"

Akhirnya dia mengambil keputusan!

Ketika berpaling, diluarnya Wan Lu tin yang duduk di depan jendela sedang menghela napas panjang dengan sedihnya .

"Salju turun dengan derasnya, entah bagaimanakah keadaan enci Bun-ki" bisiknya lirih.

Hati Hui Giok terasa bergetar keras. Tapi sebelum ia bicara apa apa, Jit-giau-tui-hun Na Hui hong telah bersuara duluan, "Ai sampai kini Liong heng-pat-ciang masih belum melakukan tindakan apa-apa, penantian ini sungguh terasa lebih tersiksa daripada melakukan pekerjaan apapun! Aku... bagaimanapun juga dia belum tahu kalau pikiranku telah berubah dan berkiblat kepada orang lain, bila aku yang pergi mencari berita, mungkin keadaan mereka yang sebenarnya akan dapat diketahui."

Hui Giok menghela mpas sambil menggeleng kepala.

"Saudara Na" katanya, "perbuatan yang merugikan orang tak nanti bertahan lama, kalau kita tak ingin ditipu orang dengan muslihat yang licin dan keji, kenapa kita sendiri harus membodohi orang dengan akal busuk?"

Jit-giau tui hun tertegun ia merasa kata-kata itu mengandung makna yang dalam, kata-kata semacam itu tak boleh diabaikan dengan begitu saja.

Dalam pada itu, Leng kok-siang-bok yang duduk di dekat jendela sebelah sana, tiba-tiba Leng Han-tiok berseru, "Ah, itu dia. beritanya sudah datang!"

Belum habis perkataannya, seorang laki-laki, berbaju ringkas telah berlari masuk dengan tergesa-gesa, mimik: wajahnya yang aneh menunjukkan seakan-akan orang yang menemukan harta karun mendadak, Ketika dibentak Na Hui-hong, buru-buru orang itu berkata, "Suasana dalam kota pada saat ini amat kalut berita sensasi tersebar dimana-mana menurut berita yang tersiar dari mulut para jago Hui-liong piaukiok katanya Hui-liong-sam kiat benar-benar sudah tewas."

Na Hui liong hanya menyahut pelahan dengan berlagak tak acuh.

Maka orang itu berkata lebih lanjut, "Yang paling penting adalah pada kemarin malam ternyata Tonghong Ceng dan si puteri naga Tham Bun-ki telah menghilang bersama, dan karena itulah Tham Beng masih berada dalam keadaan gelisah, maka hingga kini ia tidak melakukan gerakan apa-apa,"

Mendengar berita itu Wan Lu-tin menjerit kaget, sementara Hui Giok berubah air mukanya Jit-giau-tui-hunNa Hui-hong juga melenggong entah kaget, entah girang oleh kabar itu. Sampai-sampai Leng-kok-siang-hok pun ikut bangkit berdiri saking kagetnya setelah mendengar berita itu.

"Apakah kabar itu bisa dipercaya" Na Hui hong bertanya dengan nada berat.

Dengan napas terengah laki-laki berpakaian ringkas itu mengangguk.



Siapa tahu belum lenyap rasa kaget mereka selagi mereka masih bingung mendadak dari luar halaman kembali berlari masuk seorang sambil berteriak keras-keras

"Di luar pintu ada kedatangan seorang pembawa bendera dari Hui-liong piau kiok, katanya ingin berjumpa dengan Hui-taysianseng," lapor orang itu "ilmu silatnya sangat lihay, Tio Peng-hui dan Ong Tek ki yang bermaksud menangkap orang itu untuk digusur ke hadapan Bengcu telah dirobohkan dalam sekali gebrakan saja."

"Apakah kau lihat jelas bagaimana tampang orang itu?" tanya Jit-giau-tui hun Na Hui-bong dengan wajah masam.

Laki-laki itu berpikir sebentar, lalu menjawab "Orang itu berwajah kuning pucat, seperti baru saja sembuh dari sakit parah, pakaian yang dikenakan adalah seragam pembawa panji Hui liong piaukiok, sebuah topi lebar yang terbuat dan anyaman bambu hampir menutupi sebagian wajahnya, sukar bagi orang lain untuk meneliti sorot matanya, tentang sepatu apa yang dia pakai, hamba tidak melihat jelas!"

"Hmm, Apakah ia membawa senjata?" tanya Jit-giau tui-hun sambil mendengus.

"Perawakannya hampir sama dengan potongan badanku, ia tidak membawa senjata, tapi dibalik pinggangnya terselip sebuah senjata sejenis Lian-ci tong (tombak) atau senjata sebangsa ruyung Juan-pian."

"Dalam perusahaan Hui liong piaukiok mana ada manusia macam begitu?" kata Jit~giau-tui-hun dengan kening berkerut, "Bengcu, biar Siaute periksa dulu!"

"Tak usah!" jawab Hui Giok dengan wajah dingin, "kalau kedatangannya jelas untuk mencari aku, biarlah aku sendiri saja yang menghadapinya." Belum habis perkataannya ia lantas berlari ke luar dan menerobos dengan cepat, setelah melewati ruang tengah tertampaklah di luar pintu gerbang belasan orang laki-laki kekar berkerumun di depan pintu sambil mengadang seorang pria di depannya.

Hui Giok merentangkan tangannya menyingkirkan orang banyak dan menerobos ke tengah, tertampaklah seorang laki-laki persis seperti apa yang dilukiskan tadi berdiri tenang di depan pintu gerbang, dilihat dan sikapnya yang seenaknya itu seolah-olah dia tak pandang sebelah mata terhadap belasan orang laki-laki yang merintanginya itu.

Dengan dahi berkerut, Hui Giok segera menegur, "Sobat, siapa kau? Ada urusan apa mencari aku orang she Hui?"

Laki-laki itu masih tetap menunduk, melirik Hui Giok sekejap pun tidak.

"Apakah semua perkataanku tidak kau dengar?" tegur Hui Giok pula dengan dahi berkerut.

Laki-laki itu berdehem lalu dengan suaranya yang parau menjawab, "Tham congpiautau memerintahkan aku datang kemari untuk menasehati dirimu agar segera menyerah kepada Hui-liong piau-kiok, kalau tidak... Hmm Hmm!"

Air muka Hui Giok berubah tertawa dingin lalu katanya, "Lebih baik segera kau pulang."

Tapi sebelum ucapan itu berlanjut, tiba-tiba laki-laki itu menengadah sambil terbahak-bahak menyusut topi nya yang lebar itu dilepas sehingga tertampaklah matanya yang besar.

Tiba-tiba Hui Giok berteriak "Hah, kiranya kau!" - Sekali lompat dia menubruk maju dan menggenggam erat-erat bahu orang itu, di bawah hujan salju yang lebat mereka menegadah dan bergelak tertawa.

Leng-kok-siangbok. Jit-giau tui-hun dan Wan Lu-tin yang baru saja melangkah keluar dari pintu gerbang sama tertegun menyaksikan adegan tersebut.

Di tengah gelak tertawanya yang nyaring, terdengar Hui Giok berkata, "Hai selama ini kau pergi ke mana saja? Mengapa tidak mengirim berita kepadaku?"

"Hahaha! gerak-gerikku selama ini boleh dibilang misterius sekali, sudah tentu rahasianya ini boleh sampai terbocor." sahut laki2 tadi sambil tergelak. "Lalu ia membimbing Hui Giok dan bersama2 naik ke atas tangga batu.

Tiba2 Wan Lu-un merasa kenal dengan orang ini, dia berseru tertahan, "Hai Li Yau-bin" Kenapa kau sampai di sini?"

"Li Yau-bin?" Hui Giok tertegun dan menghentikan langkahnya "Siapakah Li Yau-bin?"

Sementara itu Jit-giau-tui hun yang juga ikut mengawasi orang itu dengan teliti tiba2 merasakan bahwa mata orang sudah sangat dikenalnya, setelah merenung sekian lama, akhirnya ia teringat kembali.

"Wahai Jit-giau-tongcu, kenapa kaupun muncul di sini?" sapanya.

"Hei. siapakah Jit-giau-tongcu?" Wan Lu-tm berseru keheranan, "Jelas dia adalah Li Yau-bin seorang pegawai pembawa bendera Hui-liong piau kiok, mana bisa jadi Jit-giau-tongcu segala? Hati hati kalian jangan sampai tertipu oleh muslihatnya."

Hui Giok berpikir sebentar, kemudian tertawa terbahak-bahak, "Hahaha" Tentunya selama ini kau telah bermain gila, betul tidak? Tapi, bagaimana ceritanya sehingga Jit giau-tongcu Go Beng-si bisa berubah menjadi Li Yau-bin?"

Jit-giau tongcu Go Beng si tertawa tuturnya. "Hahaha! Yang dimaksudkan "Li-yau-bin" adalah "minta nyawamu", artinya minta nyawa Tham Beng" Hahaha . . ceritanya panjang sekali, tak mungkin kujelaskan dalam sekejap saja. Ayo hidangkan arak dulu, sambil minum kita bercerita lagi."

Maka sambil bergelak tertawa kedua orang ini lantas menuju ke halaman belakang sambil bergandengan tangan, sekalipun kedua sahabat senasib dan sependeritaan serta sehidup semati ini sudah lama tak berjumpa, namun dalam soal hubungan batin ternyata sama sekali tidak menjadi renggang.

Sejah masuk ke dalam ruangan, Na Hui hong segera menghidangkan arak, pada kesempatan itulah Jit giau tongcu Go Beng si berkata sambil tertawa, "Saudara Na, selamat atas keputusanmu untuk kembali ke jalan yang benar! Untuk memeriahkan hari besar ini, Siaute ingin menghormati cawan arak khusus kepada saudara Na."

Mendengar perkataan itu, baik Hui Giok maupun Na Hiu-hong jadi tertegun, tanpa terasa mereka berseru berbareng, "Hei, darimana kau tahu?"

Tersenyumlah Go Beng-si,

Saudara Na" demikian katanya terus terang kuberitahukan kepadamu, pada hakekatnya Ong Tek ki dan Tio Peng-hui yang barusan kurobohkan itu tak lain adalah mata-mata yang sengaja kuatur untuk menyusup ke dalam tubuh perkumpulanmu sejak setahun yang lalu, sebab itu segala gerak-gerik saudara Na dapat kuketahui dengan amat gamblang sekali."

Mula-mula Jit-giau tui-hun masih tertegun, kemudian dengan perasaan ngeri ia berdiri termangu peluh dingin terasa membasahi telapak tangannya. Dulu ia selalu menganggap kecerdikannya luar biasa dan tiada tandingannya di dunia ini, tapi sekarang ia baru tahu bahwa pikirannya itu keliru patas saja dia merasa kaget, ngeri dan juga malu.

Setelah perjamuan dimulai, Jit-giau-tongcu Go Beng si mulai mengisahkan semua pengalamannya yang berliku liku selama beberapa waktu ini.

Lebih dulu ia berkata, "Sejak kudengar saudara Hui mengisahkan asal-usulnya, tahulah aku bahwa Liong-heng-pat-ciang pasti menyimpan suatu intrik besar terhadap dia, sebab barang siapa mengatakan manusia berbakat bagus seperti dia ini sebagai seorang goblok, maka orang itu sendiri kalau bukan sinting pastilah maha tolol, padahal kita semua tahu Tham Beng bukanlah orang sinting atau orang tolol, maka kuyakin dia pasti mempunyai maksud-maksud tertentu."

"Sebab itulah, sejak mula aku sudah mengubah wajahku dengan obat rias aku berusaha menyusup ke tubuh Hui liong piaukiok untuk memperhatikan secara diam-diam apakah Tham Beng ada sesuatu rahasia yang dapat kubongkar, kemudian tanpa sengaja akupun berhasil menemukan si kusir yang bernama Ko-put-ki itu, kudengar juga igauannya dalam mimpi, maka kugunakan pelbagai cara dan akal untuk memancing orang itu agar secara sukarela dan tanpa paksa mau mengungkapkan rahasia tersebut!"

Kisah ini diucapkan dengan singkat dan terburu-buru, seolah-olah dia masih ada urusan maha penting lainnya yang harus segera dilaksanakan.

Sekalipun singkat dan terburu-buru, namun keterangan ini sudah cukup membuat semua orang merasa terkejut bercampur heran.

Begitulah, sambil tersenyum ia bertutur lebih lanjut, "Dari saudara Hui sering kudengar ceritanya tentang nona Wan ini, maka secara diam-diam akupun sering memperhatikannya, atau mencari kesempatan untuk bercakap-cakap dengannya, lalu dalam percakapan itu seperti sengaja dan tak sengaja kuberitahukan pula banyak urusan kepadanya?"

Mata Wan Lu-tin terbelalak lebar-lebar, serunya kemudian "He, pantasan! . Sungguh tak kusangka kau... kau begini cerdik!"

Go Beng-si tersenyum, ia berkata pula kepada Hui Giok, "Ketika saudara Na berkunjung ke Hui-liong-piaukiok tempo hari, akulah yang memancing nona Wan agar sengaja atau tak sengaja berjumpa muka dengannya, kemudian akupun memberitahukan hubungan antara Tham Beng dengan peristiwa berdarah pada belasan tahun yang lalu kepada nona Wan, setelah itu kupancing pula dia untuk ke luar mencari dirimu."

Hui Giok segera menepuk jidat sendiri sambil menghela napas, "Waktu itu aku sendiripun merasa heran, kenapa seorang anak perempuan yang selalu terkurung dalam rumah bisa mengetahui begini banyak rahasia? jadi kau rupanya Jit-giau tongcu!

"Namamu sepantasnya diubah menjadi Sip-giau tongcu (si anak serba pandai)"

Tiba-tiba Wan Lu tin membelalakkan matanya yang jeli sambil bertanya, "Ketika aku melarikan diri dan rumah, hampir saja diriku tertangkap kembali oleh mereka, apakah engkau pula yang secara diam-diam membantuku dengan memancing pergi mereka?"

Sambil tersenyum Go Beng-si mengangguk "Ya waktu itu keadaanku sendiri juga berbahaya, hampir saja kedokku ketahuan, untung orang-orang itu goblok semuanya"

"Ai, bukan orang2 itu yang terlalu goblok, tapi saudara Go yang cerdik. Ai, kecerdasanmu memang tiada tandingannya di dunia ini," kata Jit-giau tui-hun Na Hui-hong sambil menghela napas.

"Ah. saudara Na terlalu memuji, rasa bangga terlintas pada wajahnya dan berkatalah lebih jauh "semua itu masih belum apa-apa, dewasa ini Siaute telah meninggalkan tulisan yang patut dibanggakan dalam kota Han-ko, sebelum senja nanti, bila kita semua tiba di kota tersebut dan hahaha..."

Ia tertawa ter-bahak2 dengan bangganya, lalu mengangkat cawan di depannya dan pelan tenggak menghabiskan isinya.

Dengan rawan Wan Lu tin menghela napas, ujarnya. "Aku benar2 merasa tidak mengerti bagaimana caramu melakukan semua itu, tapi kau bilang hal itu belum apa2, Toako, tak kusangka engkau mempunyai seorang sahabat sepintar ini, agaknya ia jauh lebih pintar daripada dirimu"

"Sejak dulu dia memang lebih pintar daripada aku," jawab Hui Giok sambil tersenyum.

sekalipun ucapan yang bernada kagum dan sekadar melengkapi sopan santun, tapi nadanya dengar betapa tulus dan jujurnya perkataan terdengar.

Go Beng-si menggeleng kepala berulang kali "Keliru, keliru! sekalipun aku lebih cerdik juga tak lebih hanya daun-daun hijau belaka, aku hanya cocok menjadi pembantu, tak dapat jadi pemimpin."

Senyuman yang menghiasi bibirnya mendadak lenyap, lalu dengan wajah serius lanjutnya: "Saudara Hui, kau harus tahu, bunga Bo-tan yang sebenarnya adalah kau. Meskipun dunia persilatan telah kalut, engkaulah yang berkewajiban menyelesaikan semua ini, Thian menciptakan engkau untuk "umum" janganlah disebabkan soal cinta dan dendam mengakibatkan kau patah semangat, ketika kulihat semangatmu amat menurun tadi, hatiku benar2 sedih ketahuilah, dewasa ini beribu bahkan berjuta pasang mata umat persilatan sama tertuju kepadamu, seluruh harapan mereka telah ditumpukan di atas bahumu, bila kau patah semangat dikarenakan urusan pribadi semua sahabat persilatan tentu akan bersedih hati."

Terkesiap hati Hui Giok setelah mendengar perkataan itu, ia merasa kepalanya seakan-akan diguyur dengan sebaskom air dingin, seketika itu juga pikirannya jadi terang, semua cinta "pribadi", dendam "pribadi" segera tersapu lenyap dari benaknya.

"Hui Giok, wahai Hui Giok!" jeritnya dalam hati, "kau memang pantas mampus, apakah masa depan sahabat persilatan di dunia tidak lebih penting daripada cinta dan dendam pribadimu?"

Berpikir sampai di sini, dengan perasaan menyesal dan terima kasih ia bangkit berdiri dan menjura kepada Go Beng si, untuk sesaat dia tidak tahu apa yang mesti dkatakan!

Leng-kok-siang-bok saling pandang sekejap, ujar Leng Han tiok kemudian, "Dia adalah seorang sahabat yang baik."

"Ya, seorang sahabat yang sangat baik!" sambung Leng Ko-bok sambil menghela napas.

"Ai, barang siapa dapat bersahabat dengan kedua orang seperti mereka, nasib orang itu sungguh mujur sekali," kata Jit-giau tui-hun Na Hui hong pula.

"OXO -0 + 0-

Lewat tengah hari, awan yang gelap mulai buyar dan sinar matahari pun memancarkan cahayanya menyinari jalan raya di kota Han-ko.

Manusia yang berlalu lalang di jalanan itu hampir saja meluap, kecuali rumah makan dan rumah penginapan hampir seluruh warung dan toko telah tutup pintu, semua pertemuan perayaan perkawinan, kematian, hubungan dagang, hubungan uang . . semua macet.

Kereta2 berpanji Hui-liong-piaukiok yang berada di tepi sungai masih tetap diparkir di tempat semula, namun air muka para piausu yang berjaga di sekeliling kereta mereka tampak murung bercampur sedih.

Semua kabar yang tersiar, semua berita yang terdengar, nadanya serupa, nadanya tidak menguntungkan bagi Liong heng-pat-ciang, hal ini membuat semua jago persilatan merasa kaget bercampur heran.

Bukankah posisi Hui-liong-piaukiok sebenarnya berada di atas angin? Mengapa keadaannya sekarang bisa berubah seburuk ini?

Sepanjang jalan raya penuh dengan suara pembicaraan orang, mereka yang sebenarnya ketakutan sekarang berani berbicara dengan suara lantang seluruh kota Han-ko bergolak se-akan2 sekuali air yang mendidih.

Hingga kini, pintu gerbang berwarna hitam itu masih tertutup rapat, tapi manusia yang berkumpul di depan pintu rumah itu makin lama semakin banyak, seakan-akan penonton yang sedang menunggu mainnya wayang.

Tiba2, terdengar suara gembreng dibunyikan bertalu-talu.

Beratus pasang mata segera beralih ke arah suara itu, tertampaklah beratus orang laki2 berbaju hitam berbaris datang dengan tertibnya, paling depan adalah empat orang yang menabuh gembreng kemudian puluhan orang di belakangnya bersenjatakan golok, lalu puluhan orang lagi yang membawa busur dan anak panah, paling belakang adalah seorang pemuda berpakaian berkabung dengan wajah yang sedih.

Kemunculan orang2 itu mengejutkan semua orang, sementara mereka masih memandang dengan terheran-heran, kelihatan kawanan laki-laki berbaju hitam itu menaikkan pemuda tadi ke atas sebuah meja di bawah emper rumah, lalu para laki2 yang bersenjata golok mengelilingi di sekitarnya, kemudian para laki2 yang membawa busur dan anak panah itu mengelilingi seputar para jago yang bersenjata golok.

Gembreng sekali lagi di bunyikan bertalu-talu, maka pemuda berbaju berkabung itupun mengisahkan kembali pengalamannya dan penderitaan selama hidup diiringi lelehan air mata dan luapan emosi.

Tentu saja pemuda itu bukan lain adalah keturunan Piausu yang terbunuh dalam peristiwa berdarah belasan tahun yang lalu.

Penuturannya yang mengibakan hati seketika juga mendapatkan simpatik dan luapan emosi dari beratus-ratus orang.

Akhirnya, pemuda berbaju berkabung itu berlutut di tanah, lalu dengan suara keras berteriak. "Sejak kecil penghidupanku sengsara, aku harus menanggung dendam dan lagi disiksa pula oleh bajingan itu, sampai sekarang aku tak lebih hanya seorang lemah yang tak punya tenaga untuk membunuh seekor ayam pun, dendam berdarahku ini terpaksa harus kugantungkan kepada para paman dan saudara2 sekalian untuk memberi keadilan demi tegaknya kebenaran dalam dunia persilatan!



Seruan itu segera mendapat sambutan yang ramai dari kawanan jago silat yang berkumpul di situ.

Entah siapa yang mulai dulu, tiba-tiba di tengah kerumunan orang banyak terdengar seorang berteriak, "Bajingan munafik, bunuh saja Tham Beng-si anjing munafik yang terkutuk itu."

Teriakan itu ibaratnya percikan api di tumpukan jerami, seketika itu juga membakar dan mengakibatkan suasana menjadi panas.

Seketika itu suara makian dan kutukan berkumandang memenuhi udara jalan raya.

Pada waktu yang hampir bersamaan dari empat penjuru kota Han-ko bermunculan pemuda-pemuda berkabung yang sama-sama menuturkan kisah sedih mereka yang memancing kemarahan dan luapan emosi khalayak ramai.

Seperti diketahui kawanan jago persilatan itu pada umumnya adalah manusia berangasan yang berdarah panas, setelah melewati masa penantian yang penuh kejenuhan, mereka hampir saja sukar mengendalikan perasaan sendiri, tentu saja sedikit pancingan akan segera merangsang emosi mereka yang meluap.

Bukan begitu saja, bahkan mereka yang semula hanya bermaksud ikut menonton keramaian, kini telah melepaskan posisi mereka yang cuma berpeluk tangan belaka itu, dengan marah dan penuh emosi mereka ikut berteriak-teriak.

Yang lebih hebat lagi ternyata piausu dari Hui liong-piaukiok yang semula bersitegang kini ikut tergerak juga hatinya oleh kisah cerita itu sehingga dari sikap aktif kini mereka berubah pasif.

Tentu saja ada pula yang masih setia kepada Tham Beng, tapi melihat umum yang sedang meluap amarahnya, sudah barang tentu mereka tak berani sembarangan turun tangan.

Hanya satu harapan mereka, yakni pintu gerbang hitam itu cepat-cepat terbuka!

Tiba-tiba ada puluhan orang menyerbu ke tepi sungai, menerjang kawanan Piausu yang sedang murung itu dan mendorong kereta-kereta kawalan tersebut ke dalam sungai yang deras arusnya.

Tindakan yang mengejutkan itu segera memancing ratusan orang lainnya untuk menirukan cara yang sama, beratus orang menyerbu dan mendorong beratus buah kereta yang lain ke dalam sungai.

Air yang muncrat membasahi pakaian kawan manusia yang sedang kalap itu, namun air yang dingin itu bukannya tak mampu memadamkan kobaran api amarah mereka, sebaliknya ibarat api di siram minyak, kemarahan mereka tambah membara.

Berbondong-bondong mereka menyerbu ke depan pintu gerbang hitam yang tertutup rapat itu lalu mencaci maki dengan marahnya: Tham Beng keluar kau" Beri keadilan untuk kami semua"

Diiringi caci maki yang ramai, batu ikut di sambitkan pula ke pintu.

Maka batu, buah-buah busuk, bahkan cawan teh dan mangkok ikut disambitkan ke arah pintu gerbang yang hitam dan dinding pekarangan yang kelabu itu.

Tentu saja semua rencana yang masak itu adalah hasil pekerjaan Jii giau-tongcu Go Beng-si yang amat cerdik itu, ia mengadakan kontak dengan semua ahli waris Piausu yang terbunuh itu serta mengirim mereka ke kota Bu-han, kemudian berusaha pula mengadakan kontak rahasia dengan Sin-jiu Cian Hui untuk mengerahkan segenap jago dari perserikatan orang-orang Kanglam agar melakukan demonstrasi serta mengobarkan luapan amarah umum yang tak terpadamkan.

Akibatnya, semuanya berlangsung menurut rencana serta pengaturan yang seksama, dan semua rencananya yang bagus mendatangkan hasil yang luar biasa.

Oo - oO Oo - oO

Secara teratur Jit-giau-tongcu Go Beng si masuk ke kota, sepanjang jalan ia membeberkan semua rencananya yang matang, kemudian sambil tersenyum-senyum, katanya, "lnilah ilmu jiwa memperalat emosi umum."

"Sungguh hebat!" puji Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong sambil menghela napas.

Hui Giok yang sejak tadi membungkam dengan wajah dingin ikut berbicara setelah lama termenung, "Apakah kau tidak merasa tindakanmu ini sedikit kebangetan?"

"Ya, aku juga merasakan kelewat batas!" bisik Wan Lu-tin sambil menghela napas sedih.

Jit-giau-tongcu Go Beng si menghela napas katanya. "Keadaan sudah mendesak mau apa lagi kita, sekalipun perbuatanku ini kuning bijaksana tapi terhadap manusia seperti Tham Beng, kukira cara inilah yang paling cocok "

"Dalam pertarungan ini, bila Tham Beng menang. maka nama kebesarannya akan semakin cemerlang, sementara kesampingkan dulu soal dendam berdarah itu dan bicara menurut keadaan dunia persilatan, kejadian inipun merupakan suatu kejadian yang menyedihkan, selama hidup dia selalu menghadapi orang lain dengan kelicikan dan kebusukan hatinya, maka bila kugunakan pula cara yang licik untuk menghadapi dia, jelas hal ini suatu tindakan yang adil Hui heng, hidup sebagai seorang Enghiong (pahlawan) di dunia ini janganlah memiliki sifat orang perempuan sehingga karena urusan kecil mengakibatkan kalutnya rencana besar!"

Lama sekali Hui Giok termenung, akhirnya ia menghela napas panjang "Ai, Enghiong, Enghiong..."

Oo - oO Oo - oO

"Enghiong, Enghiong .."

Tham Beng yang duduk di kursi besar dalam ruang tengah juga sedang bergumam seorang diri Enghiong? Enghiong, siapakah Enghiong? Kalau Enghiong, lantas bagaimana?"

Tokoh persilatan yang gagah dan menjagoi dunia persilatan selama berpuluh tahun itu merasa betapa sedih, dan hampanya hati.

Kejayaan yang dimulai dari remang-remang lalu bersinar, dari bersinar jadi cemerlang, tapi sekarang ia mulai merasakan suramnya kejayaan.

Kepergian Tham Bun-ki yang secara tiba-tiba mendatangkan penderitaan batin bagi orang tua ini, ia merasa kegagahannya punah, ambisinya lenyap.

Tonghong Tiat, Tonghong Kiam, Tonghong Kang dan Tonghoog Ouw, keempat orang jago muda itu duduk di ruang tengah dengan wajah hijau, caci maki yang mendengung dari luar pintu membuat mereka sukar menahan dir, sambitan batu, pecahan cawan yang berhamburan di luar halaman semakin membuat perasaan mereka bergolak namun sebagai seorang pendekar, sebagai keturunan dan keluarga kaum orang gagah, mereka tak tega berlalu dengan begitu saja dalam keadaan seperti ini.

Siapa pun di antara mereka tak ada yang bisa menebak ke mana perginya Tonghong Ceng! Merekapun tak tahu mengapa secara tiba-tiba ia pergi tanpa pamit?

Mengapa ia menghilang bersama dengau lenyapnya Tham Bun-ki?

Dalam sebuah ruang samping di sisi ruang tengah, Paf-kwa-ciang Liu Hui, Koay-be-sin-to Kiong Cing yang serta Pian Sau-yan dan Lo Gi sekalian sedang duduk berkerumun sambil membicarakan sesuatu dengan suara bisik-bisik.

Apa yang sedang mereka bicarakan? Perundingan rahasia apa yang sedang berlangsung?

-ooO x 0oo- - oo O x 0oo-

Jejak Sin-jiu Cian Hui paling sukar dilacaki orang.

Waktu itu ia sedang mengeram di rumah hiburan Pek-lin-wan, dalam sebuah kamar yang mungil milik Siau-pek-lan seorang pelacur terkenal di kota Buhan.

Kaitan emas menyantol kelambu di sisi pembaringan, dengan alas seprei yang penuh sulaman indah, Sin-jiu Cian Hui rebah di pembaringan yang empuk itu.



Siau pek-lan yang duduk termenung di hadapannya sedang memandang tercengang tamunya yang banyak emosi itu.

Belum pernah ia ketemui tamu seperti ini, dalam hati kecilnya yang telah penuh bernoda menghadapi tamu yang tampak kasar tapi murung dan acuh tak-acuh ini, mendatangkan daya pikat yang tak bisa dilawan.

Tapi sejak tengah malam kemarin hingga kini, sang tamu cuma duduk termangu sambil merenung dengan dahi berkerut, kadangkala ia keluar pintu memberikan suatu perintah singkat sebentar pula menceguk secawan arak yang disodorkan oleh tangan Siau-pek-lan yang halus.

Akhirnya Siau pek-lan tak tahan, sambit menghela napas tegurnya "Hei, apa yang sedang kau pikirkan?"

Sin-jiu Cian Hui hanya bergumam tak jelas, maklum, banyak urusan yang sedang ia pikirkan sekarang.

Menurut keadaan di depan mata sekarang, pihak perserikatan orang2 Kanglam telah berhasil menguasai keadaan dan berada di pihak yang menang, tapi kemenangan semacam ini baginya boleh dibilang sama sekali tak bermanfaat.

Tiba-tiba ia merasa bahwa "boneka" yang di pelihara menurut rencananya, kini sudah menjadi seorang "Enghiong" yang termashur dan cemerlang. Enghiong ini tak mungkin bisa dikendalikan oleh siapapun, sedang semua kekuasaan, semua kejayaan yang telah disusun menurut rencananya boleh dibilang telah jatuh semua ke tangan orang itu.

Dengan teliti dikupasnya semua itu, ya, bagaimanapun juga dia memang seorang jago yang tangguh, ternyata kupasannya terhadap keadaan sedemikian cermat dan pintarnya, dengan jelas pula ia sudah menghitung hasil yang dapat diperoleh dari kemenangannya itu telah berselisih jauh sekali dengan apa yang diperhitungkannya menurut rencana semula.

Walaupun Siau-pek lan sudah lama terjun di dalam profesinya sebagai pelacur, tapi, mana bisa ia menebak isi hati tokoh dari golongan "rimba hijau"

Pelahan dia angkat kakinya yang telanjang dan menyentuh paha Sin-Jiu Cian Hui lalu serunya dengan manja, "Hei, kau..."

Si Tangan Sakti Cian Hui berkerut dahi, lalu dengan mata melotot membentak, "Mau apa kau..."

Siau-pek-lan teekesiap, ia merasa sinar mata orang setajam sembilu dan membuat dia tak berani menatapnya lebih lama, tapi pengalamannya sebagai wanita penghibur untuk memberi reaksi memang berbeda dengan orang biasa.

Ia mendesis lirih kemudian menubruk ke dalam pelukan Sin-jiu Cian-hui sambil mengeluh malu "Kenapa galak-galak? Aku jadi kuatir melihat kemurunganmu, aku ingin menghilangkan kemurunganmu, aku cinta kepadamu !"

Bisikan yang lembut, rayuan yang manis penuh daya pikat itu segera menimbulkan pergolakan di dalam hati Sin-jiu Cian Hui.

Alis matanya yang semula bekernyit kini mengendur, wajahnya juga mulai ramah Pemimpin kaum perampok yang selama hidupnya berjuang demi nama, demi pekerjaan, bahkan sering melakukan penipuan dan perampasan ini sekarang sudah terjatuh ke dalam kelembutan dan kehangatan seorang perempuan.

Kelembutan dan kehangatan yang diterimanya sekarang memang suatu hiburan dalam menghadapi kekecewaan, kesepian serta kemerosotan ambisinya.

Siau-pek-lan ikut merasakan perubahan dan pergolakan hati sang tamu, pelahan dia menjulurkan tangannya yang halus dan lembut dan merapikan jenggot orang yang terurai kusut itu, kemudian berkata dengan lirih: "Kau . kau sedang memikirkan apa? persoalan apa yang mengganjal hatimu? Katakanlah kepadaku, mau bukan?"

"Ai, kau tidak akan mengerti sahut" Sin-jiu Cian Hui sambil menghela napas panjang.

Dengan biji matanya yang jeli dan genit Siau pek-lan mengerling sekejap, lalu berkata lagi dengan lembut "Kalau begitu. . akan kunyanyikan suatu lagu untuk menghilangkan segala kemurunganmu, mau bukan?"

Dengan lemah gemulai ia bangkit berdiri, kakinya yang telanjang menginjak permadani yang lebar, diambilnya sebuah pipeh (sejenis alat petik) yang tergantung di sudut dinding sana.

Sete!ah menyetel senar, mendehem pelahan, kemudian iapun menyanyi, suaranya terasa merdu lembut dan menawan hati.

Di tengah buaian lagu yang merdu itu tiba-tiba Sm-jiu Cian Hui merasakan kelembutan serta kehangatan yang ditemuinya disini, mungkin akan melupakan penghiburnya yang terbesar di kemudian hari.

Ditatapnya perempuan cantik di hadapannya itu, mendadak perasaannya terjadi pergolakan, suatu pergolakan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Bukankah kelembutan seperti kehangatan paling mudah menghilangkan ambisi orang. Tapi sekarang dia harus pergi, harus melakukan perjuangan yang terakhir demi kekuasaannya.

Ia membetulkan pakaiannya, lalu berbangkit, teriakan marah dan luapan emosi yang menggema di luar lapat-lapat berkumandang sampai di dalam kamar yang indah dan harum ini.

-o0o -ooo

Suasana di jalan raya bertambah kacau.

Lautan manusia yang berkerumun di depan pintu gerbang bercat hitam itu bertambah kalap, walau begitu kewibawaan Liong heng-pat-ciang Tham Beng masih kelihatan besar dan disegani, hal ini terbukti tak seorangpun yang berani menerjang naik ke atas undak undakan batu.

Para anggota Hui-liong-piaukiok ada yang secara diam-diam melepaskan seragam mereka untuk mencampur-baurkan diri dengan kelompok orang ramai yang marah, bahkan ada pula yang diam-diam melarikan diri.

Beribu pasang kaki menginjak-injak tanah lumpur yang becek.

Pantulan sinar sang surya yang telah condong ke barat menyinari pintu gerbang yang bercat hitam itu.

Mendadak Pintu gerbang itu pelahan terbentang lebar . .

Ljong heng pat-ciang Tham Beng, tokoh persilatan yang selama ini memimpin dunia persilatan dan disegani orang itu muncul dengan wajah sedingin salju, ia melangkah keluar dengan tindakan yang lebar dan penuh bertenaga.

Sorot matanya yang tajam menatap sekejap sekeliling tempat itu, hiruk pikuk yang semula melanda seluruh jalan raya seketika jadi hening. Ya, tokoh persilatan ini memang memiliki wibawa yang luar biasa, wibawanya sudah tertanam dalam-dalam di sanubari setiap orang persilatan ketika sorot matanya yang tajam menyapu pandang untuk ketiga kalinya, lautan manusia yang bergolak di tengah jalan seketika jadi tenang.

Dari kekalutan berubah jadi tenang, saat itu jalan raya jadi sedemikian heningnya seperti sebuah kota mati, orang-orang yang kebetulan sedang berlari mendekatpun tanpa sadar segera meringankan langkah kakinya.

Pelahan Liong-heng pat-ciang Tham Beng memandang sekejap orang-orang yang dibikin keder oleh wibawanya itu, kemurungan yang menyelimui wajahnya tidak jadi berkurang, sambil menuding ke depan ia menegur dengan suara lantang "Apa yang hendak kalian lakukan?"

Meskipun wajahnya sedemikian tenang, tapi dalam hatinya tersembunyi kegelisahan kemurungan dan perasaan tak tenang.

Kendatipun begitu, ucapannya tetap bertenaga tegas dan nyaring ibarat genta raksasa yang di bunyikan bertalu-talu, ibarat guntur yang menggelegar di udara, membuat matahari yang berada di barat seakan-akan suram oleh getaran suaranya yang keras itu.

Tanpa terasa barisan manusia yang berada paling dekat menyurut mundur selangkah dengan perasaan kaget.



Tonghong-hengte yang sedang muncul dari balik pintu dan menyaksikan keadaan tersebutpun menghela napas panjang, pikir mereka: "Ulat berkaki seribu, matipun tak kaku sungguh tak nyana meski Liong-heng pat-ciang sedang menghadapi pelbagai kesulitan, namun suara bentakannya masih begini nyaring dan berwibawa!"

Sementara itu, Liong-heng-pat ciang telah membentak lagi dengan alis mata menegak, "Kalau tak ada urusan, mau apa kalian ber kaok2 di sini" Ayo cepat pergi dan tempat ini!"

Barisan manusia yang berada paling depan mundur lagi beberapa langkah tanpa terasa, tapi berhubung orang2 di bagian belakang tidak ikut bergeser, maka suasana di sana lantas terjadi kegaduhan.

Di antara suara luruk-pikuk dan suasana yang makin kalut, tiba-tiba terdengar ada orang berseru: "Utang darah bayar darah! Orang she Tham utang darah yang telah kau buat pada belasan tahun, bila tidak kau bayar kontan sekarang, jangan harap kau bisa pergi dan sini dengan selamat!"

Teriakan itu segera mendapat tanggapan yang riuh, suasana bertambah kalut.

"Tutup mulut!" bentak Liong-heng-pat cianlg dengan mata melotot dan dahi berkerut.

Bentakan itu ibaratnya guntur membelah bumi di siang hari bolong, seketika juga memekakkan telinga beribu orang yang hadir di situ, sekaligus menghapuskan suara kacau yang berkumandang di sana.

Sambil mengepal tinjunya kencang-kencang Liong heng pat-ciang Tham Beng membentak lagi "Siapa yang berbicara? Ayo tampil ke muka!"

Kawanan manusia itu hanya saling pandang tak seorang pun yang berani tampil ke depan. Suasana kembali diliputi keheningan.

Kata Tham Beng dengan suara lantang: Peristiwa berdarah yang terjadi pada belasan tahun yang lalu memang benar-benar merupakan suatu peristiwa besar, kalian belum lupa, aku orang she Tham, juga belum lupa, bahkan setiap waktu, setiap saat selalu berusaha menyelidiki keadaan yang sebenarnya, tapi duduk persoalan yang benar hingga kini masih terselubung oleh kabut tebal. Kalian semua sudah lama mengenal aku Tham Beng, apakah hanya dikarenakan ada sekawanan manusia rendah yang sengaja melontarkan fitnahan keji padaku, lalu kalian ikut menuduh Tham Beng sebagai seorang pembunuh?"

Direntangkan kedua tangannya, lalu bentaknya lantang: "Apakah aku Tham Beng mirip seorang pembunuh?"

Semua orang memandang ke depan, menyaksikan potongan badannya yang kekar mukanya yang berwibawa, ada sementara orang mulai ber-pikir2 "Ya, apakah dia mirip seorang pembunuh?"

Mereka yang berdiri agak jauh diam-diam mulai berbisik-bisik pula membicarakan persoalan itu.

Beberapa orang di antaranya lantas mulai beranjak, tapi dari delapan penjuru segera menggema lagi teriakan-teriakan gusar, "Fakta sudah jelas, apa kah kau masih ingin mungkir."

"Seorang laki-laki sejati berani berbuat berani pula bertanggung jawab, Tham Beng wahai Tham Beng, tak nyana kau adalah seorang pengecutl" demikian suara teriakan dan tengah lautan manusia sana.

Bergetar seluruh rambut dan jenggot Liong heng pat ciang Tham Beng saking gusarnya, ia membentak "Faka apa? Mana buktinya? Siapa yang dapat menunjukkan satu saja dari bukti itu? Hayo kalau ada orang yang bisa menunjukkannya, aku Tham Beng segera akan gorok leher sendiri di hadapan kalian, aku akan bunuh diri tanpa merepotkan orang lain untuk melakukannya apa gunanya omong kosong tanpa bukti sambil menfitnah orang? Cara-cara seperti ini mana bisa menundukkan orang banyak."

Ia berhenti sebentar, kemudian tambahnya "Jika benar ada orang bisa menunjukkan faktanya, silakan tampil ke depan. aku Tham Beng menjamin takkan mengganggu seujung rambutnya."

Bersama selesainya perkataan itu tiba-tiba Tonghong Tiat maju ke muka dengan langkah lebar, kemudian serunya dengan lantang, "Aku Tonghong Tiat, demi nama baik serta kehormatan Hui-leng-po dalam dunia persilatan selama puluhan tahun ini kujamin kebenaran dan janji Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, apabila hari ini Tham Beng mengganggu seujung rambut pembawa bukti tersebut, maka kami dari Hui-In-poo yang pertama-tama akan menutut keadilan baginya, sebaliknya kalau tak ada pang yang bisa menunjukkan fakta, melainkan cuma omong kosong dan memfitnah orang seenaknya maka kami dari Hui-im-po juga akan mewakili Tham Beng untuk menuntut keadilan pada kalian semua!"

Perkataan ini diucapkan dengan nada yang jelas, tandas, dan berwibawa.

Tanpa terasa Tham Beng melirik sekejap ke arah pemuda yang berjiwa pendekar itu dengan pandangan rasa terima kasih. Pemuda itu berkata lagi setelah berhenti sebentar, "Sahabat-sahabat persilatan, siapakah yang tidak percaya pada Hui im-po kami?"

Keluarga Tonghong dari Hui-in-po yang terletak di Hau-khu dalam propinsi Kang-soh mempunyai kedudukan yang luar biasa dalam dunia persilatan ucapan Tonghong-siaupoocu itu segera menggetarkan perasaan kawanan jago yang hadir ini.

Di antara kerumunan manusia seperti ada yang berbisik, "Ya, kalian kan berbesanan, tentu saja kau bantu dia!"

Tapi baru saja selesai berucap ia kembali di getarkan oleh pandangan Tonghong Tiat yang tajam.

Sekali lagi keheningan mencekam seluruh jalan raya itu.

Di tengah keheningan, tiba- terdengar gelak tertawa yang keras berkumandang dari ujung jalan depan sana.

Semua kekacauan jeritan kaget, bentakan gusar serta ketenangan dan keheningan yang terjadi dapat disaksikan dan didengar Hui Giok dengan jelas, ia berdiri di depan jendela sebuah loteng rumah makan dan menyaksikan semua peristiwa itu dengan membungkam, perasaannya waktu itu entah sedang marah kasian atau sedih!

Jit-giau tongcu Go Beng-si diam2 sedang mengawasi perubahan mimik wajahnya, kadangkali senyum kebanggaan tersungging diujung bibirnya, jelas ia merasa puas dengan hasil yang direncanakannya itu.

Ketika Tonghong Tiat selesai berkata tadi, dia cuma tertawa dingin saja.

"Hei, dalam keadaan begini, apa yang kau tertawakan?" tegur Hui Giok sambil berpaling.

Jit giau tongcu Go Beng si masih tertawa, lalu ia menghela napas dan berkata, "Aku sedang menertawakan semangat pemuda itu, dengan mengandalkan nama orang tua serta perguruannya yang tersohor, ternyata sama sekali tak tahu akan kelicikan orang persilatan. Dewasa ini Liong-heng-pat-ciang sudah terdesak, bukan saja teman lari dan anak buah pun berkhianat tapi Tonghong Tiat masih membantu dia berbicara... ai!"

Helaan napas panjang mengakhiri perkataannya, tampaknya ia gegetun akan sikap Tonghong Tiat itu.

Lama sekali Hui Giok termenung, akhirnya iapun ikut menghela napas panjang, "Ai justeru itulah aku merasa Tonghong hengte tak malu jadi keturunan orang kenamaan, mereka baru pantas disebut seorang laki2 berdarah panas, kau tak boleh memandang hina mereka !"

Sepasang mata Jit-giau-tongcu berkilat ia seperti hendak mengucapkan sesuatu. tapi niat itu segera diurungkan sebab pada saat itulah Sin jiu Ciau Hui secara tiba-tiba muncul di jalan raya.

Ibaratnya sepotong batu besar yang tiba-tiba tercebur ke dalam telaga, deburan ombak segera melanda empat penjuru.

Kerumunan orang banyak yang sudah panas kian mendidih dengan munculnya jagoan itu, air muka Tonghong-hengte berubah hebat, sedang Liong-heng-pat-ciang dengan wajah yang serius mengamati Cian Hui yang selangkah demi selangkah sedang menghampiri ke arahnya.




Setiap satu tindak dia melangkah, suara manusia yang hiruk pikuk tertahan sedikit, ketika ia sudah tiba di hadapan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, keheningan lantas terjadi.

Tonggong Tiat menjura, tegurnya " Apakah Cian-cengcu mempunyai bukti yang nyata?"

Sin-jiu Cian Hui tertawa dingin, dengan matanya yang tajam ia menatap sekejap wajah Liong-heng pat-ciang Tham Beng, kemudian berkata dengan lantang, "Benarkah kau menginginkan bukti?"

Liong heng pat ciang tertawa, dahi berkerut tiba-tiba hardiknya "Bawa kemari buktimu?"

Sin Jiu Cian Hui segera memberi tanda, dua orang dengan mengempit seorang laki-laki yang ketakutan muncul dan kerumunan orang banyak.

"Ko-put ki, kenalkah siapa orang ini?" bentak Sin jiu Cian Hui.

Dengan ketakutan Ko put-ki melirik sekejap ke arah Liong heng-pat ciang, lalu jawabnya dengan gemetar "Dia Liong heng-pat-ciang Tham toaya!"

"Berdiri di sini dan kisahkan kembali semua kejadian yang pernah kausaksikan dengan mata kepala sendiri itu kepada semua orang gagah yang hadir ini" seru Cian Hui lagi.

"Ham... hamba ti... tidak berani." keluh Ko put-ki dengan badan gemetar.

Dia merasakan sorot mata Liong-heng-pat-ciang yang tertuju ke arahnya itu lebih tajam daripada pisau, ia merasa hatinya bagaikan ditusuk membuat dia keder.

Sin jiu Cian Hui menjengek dia berpaling ke arah Tonghong Tiat dan serunya kemudian dengan nyaring "Tonghong-siaupocu, apakah engkau dapat menjamin keselamatan orang ini?"

"Demi nama baik keluarga kami kujamin keselamatannya, bila orang ini sampai terluka seujung rambut saja, langsung tanyakan kepada aku, Tonghong Tiat."

Sin-jiu Cian Hui lantas berpaling sambil berseru, "Setelah ada jaminan dan Tonghong-siaupocu , masa kau masih kuatir?"

Akhirnya Ko-put-ki memberanikan diri untuk mengisahkan kembali apa yang dilihatnya itu sepatah demi sepatah, meskipun suaranya tidak terlampau keras, tapi seluruh jalan raya hening bagaikan kuburan, setiap orang pasang telinga dan mendengarkan dengan seksama.

Sejaik awal sampai akhir air muka Liong-heng pat-ciang tetap sedingin salju, ia tidak mengucapkan sepatah katapun, dan orang lainpun tak dapat meraba bagaimana pikiran serta perasaannya ketika itu.

sedangkan Tonghong-hengte saling pandang dengan wajah pucat.

Bahkan Hui Giok yang berada di loteng rumah makan itu ikut pucat pula wajahnya lantaran emosi.

"Saudara Hui!" bisik Go Beng si, "sebentar lagi kau boleh turun ke bawah dan balaskan dendam bagi kematian orang tuamu!"

Hui Giok tertunduk dengan mulut membungkam, lama dan sama sekali dia baru berkata "Ku harap tak ada orang yang membantu diriku!"

Mata Jit-giau-tongcu Go Beng-si memancarkan sinar tajam, tapi tidak bersuara lagi.

Wan Lu-tin yang berada di belakang mereka tiba-tiba menghela napas sedih sambil berkata, "Ai... akupun tidak ingin menyaksikan orang banyak mengerubuti seorang kakek yang sudah lanjut usia."

Sekalipun dia... sekalipun dia adalah pembunuh ayahku."

Hui Giok berpaling dan memandangnya sekejap, ia merasa hanya pada anak perempuan inilah dapat memperoleh pengertian dan simpati.

Sementara itu Sin-jiu Cian Hui telah membentak pula, "Sahabat-sahabat sekalian, sudah kalian dengar perkataannya bukan?"

Caci maki bernada marah segera berkumandang kembali dari kerumunan orang banyak.

"Tham Beng, apalagi yang hendak kau ucapkan?" demikian bentak Cian Hui seraya berpaling "Di tengah malam bersalju pada belasan tahun berselang, apakah kau berada di kota Po-teng?"

Air muka Liong-heng-pat-ciang kaku seperti mayat, jawabnya dingin: "Benar!"

Caci maki orang banyak seketika meledak. sedemikian kerasnya suara itu hampir-hampir menggetar bangunan loteng yang berada di sekeliling tempat itu.

Air muka Tonghong-hengte berubah hebat sedang Sin-jiu Cian Hui tertegun sejenak, tapi dengan cepat bentaknya lagi "Kalau begitu, jadi kau telah mengakui Jiang-kiam-bu tek Hui-si-siang-kiat mati dibunuh olehmu?"

Hui Giok yang berada di loteng merasakan jantungnya berdebar keras, kaki dan tangannya terasa jadi dingin semua.

Liong-heng pit-ciang Tham Beng tidak nampak panik atau gugup, dengan kalem dia berkata "Di tengah malam bersalju pada belasan tahun dulu, entah berapa laksa orang yang berada di kota Po-teng, apakah mereka semua pun kau tuduh sebagai pembunuh Hui-si-siang-kiat?"

Teriakan marah orang banyak segera berubah jadi caci-maki yang pedas.

"Hahaha! .. suatu penyangkalan yang licik dan tidak tahu malu," seru Sin-jiu Cian Hui sambil terbahak-babak, "apakah kau..."

Belum habis perkataannya tiba-tiba Liong heng-pat-ciang Thxm Beng bergelak pula dengan nyaringnya, gelak tertawa yang dilancarkan dengan tenaga murni yang kuat, seketika itu juga suara tertawa Sin-jiu Cian Hui berhasil dibikin sirap.

"Apa yang kau tertawakan?" bentak Sin-jiu Cian Hui dengan marah, "Hm, dalam keadaan demikian kau masih bisa tertawa, sungguh tidak tahu malu"

Liong-heng pat-ciang Tham Beng berhenti tertawa, katanya dengan lantang, "Hanya berdasarkan bualan seorang kasar yang berpendidikan rendah kau berkeras mengangapnya sebagai suatu fakta sungguh aku tak tahu harus mengartikan kau ini seorang yang licik atau seorang goblok?"

Setelah berhenti sebentar sinar matanya menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu teriaknya lagi dengan lantang: "Saksi seperti itu setiap saat aku pun bisa mendapatkannya belasan orang! Sobat2 sekalian, aku percaya kalian berotak tajam, apakah kalian mau percaya begitu saja atas pengakuan seorang kusir kereta?"

Teriakan marah serta caci-maki kotor kian lama kian mereda.

Tonghong Tiat yang cuma membungkam sejak tadi segera menimbrung dengan dahi berkerut "Berbicara menurut suara hati, bukti semacam ini memang tak dapat dianggap sebagai bukti, Cian-cengcu..."

Sambil tertawa dingin Sin-jiu Cian Hui menukas, "Tak bisa dianggap sebagai bukti? Bagus! Bagus! Kalau begitu, kecuali Jiang-kiam-bu-tek bangkit kembali dari liang kuburnya, maka di dunia ini tak ada yang bisa membuktikan kau orang she Tham adalah pembunuhnya?"

Tonghong Tiat tertegun, cepat ia berpaling ke arah saudara-saudaranya. Waktu itu baik Tonghong Kiam maupun Tonghong Kang dan Tonghong Ouw sama-sama menunjukkan mimik wajah yang berbeda namun mereka sendiri tak tahu harus percaya kepada perkataan siapa."

"Hehebe seorang kakek yang licik" desis Jit giau tongcu yang beradu di loteng rumah makan ambil tertawa dingin.

Hui Giok menghela napas panjang, "Ai, jika bicara keadaan yang sebenarnya, hingga kini kita memang belum berhasil mendapatkan suatu buku yang dengan jelas dapat menunjukkan dialah pembunuhnya, jika cuma andalkan beberapa fakta yang semu itu sebagai patokan untuk menjatuhkan vonis bahwa dia pembunuhnya, kurasa..."

"Saudara Hui." tukas Jit-giau-tongcu Go Bcug-ei dengan dingin, "hatimu terlalu mulia, ingatlah berjiwa lembut seperti perempuan selamanya tak akan berhasil dengan pekerjaan besar."

Hui Giok tertegun sejenak. tiba2 dalam hati kecilnya timbul suatu perasaan antipati atas ucapan Go Beng-si itu. Cepat sinar matanya beralih lagi ke arah lain.

Tertampaklah Liong heng-pat-ciang tetap berdiri tegak di tempat semula. Seakan-akan embusan angin puyuh yang bagaimana tak akan merobohkan kakek itu.



Lama dan lama sekali, Tonghong Tiat baru berkata "Urusan telah berkembang jadi begini, meskipun kami berada di luar lingkaran persoalan ini mau tak mau harus mengucapkan juga beberapa patah kata yang adil. Seandainua bukti nyata belum ditemukan, kuminta saudara sekalian berpikir lagi sebelum bertindtak, janganlah menuduh orang lain sewenang-wenang!"

Sin-jiu dan Hui tertawa dingin, baru saja dia hendak bicara, tiba-tiba terdengar bentakan keras, berkumandang dari kejauhan :"Aku mempunyai bukti yang meyakinkan itu."

Semua orang terperanjat beribu pasang mata serentak beralih ke arah suara itu.

Tertampaklah pat-kwa-ciang Liu Hui, Koau be-sin-to Kiong Cing-yang, Lo Gi serta Pian Sau yan muncul dengan langkah lebar.

Empat orang itu semuanya merupakan orang-orang kepercayaan Liong-heng pat ciang, Keruan ucapan tersebut bukan saja bikin semua orang tercengang Sin jiu Cian Hui sendiripun merasa di luar dugaan.

Liu Hiu! Mau apa kau?" bentak Liong-hen pat-ciang dengan air muka berubah.

Pat-kwa-ciang Liu Hui tidak berkata apapun, bahkan melirik saja tidak, Dia langsung menuju ke samping Sin jiu Cian Hui, lalu sambil mementangkan tangannya ke atas, serunya dengan lantang:

"Sobat-sobat sekalian, meskipun aku Liu Hui sudah puluhan tahun mengikuti Tham Beng, tapi masih mempunyai sedikit Liang sim setelah urusanberkembang jadi begni, mau-tak-mau aku harus mengucapkan beberapa patah kata demi ditegakkannya keadilan dan kebenaran."

Liong-heng-pat-.ciang berkerut kening, rambut dan jenggotnya serasa kaku saking gusarnya karena merasa dikhianati.

"Jangan gusar dulu paman," ujar Tonghong Tiat cepat, "coba kita dengarkan apa yang hendak mereka katakan!"

Sampai saat ini. pemuda dan keluarga ternama ini masih tidak mengurangi sopan santunnya dalam bicara, hal ini membuat Tham Beng merasa semakin terharu.

Suasana dalam arena kembali terjadi kegaduhan, orang banyak mulai berbisik-bisik lagi membicarakan persoalan ini.

Terdengar Pat-kwa-ciang Liu Hui berkata lebih jauh, "Belasan tahun belakangan ini, walaupun Tham Beng mengecup kejayaan dan kecermelangan namun ia selalu tak enak makan tak nyenyak tidur, hal ini menunjukkan hatinya kuatir atas suatu kejadian yang pernah dilakukan olehnya, apalagi sejak ia mendengar pengakuan sahabat kusir kereta yang bernama Ko-put-ki itu, dengan pelbagai tipu muslihat yang paling busuk dan licik ia berusaha melenyapkan orang2 Perserikatan Kanglam dari muka bumi."

Suatu perasaan tertipu dan dikhianati membuat Liong heng pat-ciang Tham Beng yang selalu tenang jadi naik darah, sampai-sampai sekujur badannya ikut gemetar menahan emosi.

Mimpipun dia tak mengira orang yang paling dipercaya pada hari-hari biasa, kini malahan menista dirinya.

Dalam marahnya, tokoh persilatan yang disegani ini segera membentak, "Bangsat yang tak tahu budi."

Kesepuluh jari tangannya dipentangkan seperti kuku garuda, ia siap menerjang dan meng-koyak2 tubuh Pat-kwa-ciang Liu Hui.

"Jangan bertindak gegabah!" seru Tonghong Tiat sambil bergerak maju dan mengadang di depannya.

Dengan suara agak gemetar karena emosi teriak Liong heng-pat-ciang Tham Beng, "Dunia persilatan adalah dunianya manusia untuk saling adu otot, saling beradu pikiran dan saling tipu menipu, semua orang sudah tahu Hui liong piaukiak tak bisa hidup berdampingan dengan Perserikatan orang-orang Kanglam, maka apabila dengan pelbagai cara kugunakan membasmi kelompok tersebut dari muka bumi, hal ini adalah kewajiban demi kesejahteraan hidupku, dan akupun tak akan menyangkalnya, tapi jika ada orang menuduh aku Tham Beng seorang pembunuh, dengan mempertaruhkan jiwa ragaku aku Tham Beng akan mengajak orang itu untuk beradu jiwa!"

Wajahnya yang penuh emosi, ucapannya yang tegas, membuat orang merasa bahwa serangkaian kata-katanya itu bukan bohong belaka.

Hati Hui Giok yang berada di atas loteng tergerak, sementara Go Beng-si mengejek sambil tertatawa dingin, "Hehe, manusia munafik yang pandai bersandiwara sungguh tak kusangka Liong heng pat ciang sebetulnya adalah manusia macam begini!"

Waktu itu, Sin-jiu Cian Hui juga sedang tertawa dingin, Saudara Liu, teruskan kata-katamu, dalam keadaan dan saat seperti ini aku tanggung manusia she Tham itu tak berani berbuat apa2 terhadap dirimu!"

Pat kwa-ciang Lin Hui tersenyum, terusnya: "Kesemua ini hanya dapat membuktikan Tham Beng sebenarnya adalah manusia munafik yang berhati keji, tapi belum dapat membuktikan dialah orang berkedok yang sudah melakukan pembunuhan berdarah pada belasan tahun yang lalu itu."

Ia berhenti sebentar dan memandang sekeliling tempat itu dengan pandangan tajam, tertampak semua orang sedang menahan napas sambil memusatkan seluruh perhatian ke arahnya.

Pelahan dia berkata pula, "Tapi ada satu hal dapat membuktikan bahwa dialah pembunuh kedua Hui bersaudara Jiang kiam bu-tek."

"Hal apakah itu... ?" semua orang berebut bertanya dengan tak sabar.

Tonghong-hengte ikut memperhatikan dengan wajah serius, sedang Hui Giok yang berada di atas loteng hampir saja tak dapat mengendalikan perasaannya.

"Masih ingatkah kalian, benda mestika apakah yang sedang dikawal jiang kiam-bu-tek pada hari naasnya itu? Dan apa pula manfaat benda mestika tersebut?" kata Pat-kwa-ciang Liu Hui.

Ada sebagian orang yang tak tahu bagaimana harus menjawabnya, tapi ada yang segera berteriak "Pek giok ciam-cu,"

"Yaa apakah saudara Liu maksudkan mestika Pek giok ciam-cu (katak budak kemala hijau) yang dapat meramalkan terang-mendungnya cuaca?" tanya Sin jiu dan Hui.

"Benar!" seru Pat-kwa ciang Liu Hui sambil tertawa dingin "Pek-giok-ciam cu itulah yang ku maksudkan, dan kini Pek giok-ciam-cu tersebut justru berada didalam saku Liong-heng-pat ciang "Tham Beng"

Seruan kaget berkumandang dan empat penjuru ibaratnya ledakan dahsyat, Hui Giok juga terkesiap hingga tangannya mengepal keras, sedang Jit-giau-tongcu menampilkan senyum kebanggaan.

Setelah suara kaget agak sirap, teriakan marah kembali bergema di udara.

"Geledah sakunya?"

"Perintahkan kepadanya untuk keluarkan Pek-giok-ciam-cu,"

"Manusia she Tham, apakah dalam sakumu tiada Pek-giok-ciam-cu, hari ini kami akan lepas kan kau pergi, tapi kalau sebaliknya kami akan hajar kau sampai mampus untuk membalaskan dendam bagi kematian orang2 gagah yang terjadi belasan tahun dulu.

Pat-kwa-ciang Liu Hui berdiri di samping dengan senyum aneh menghias wajahnya, tiba2 ia tertawa dingin dan ikut berseru, "Wahai manusia she Tham, kalau kau merasa bahwa dirimu bukan pembunuh, beranikah kau membiarkan kami menggeledah bujumu?"

Untuk sesaat Liong-heng-pat-ciang Tham Beng berdiri termangu, akhirnya dan marah dia malah bergelak tertawa, gumannya, "Mengge!edah bajuku... menggeledah bajuku..."

Tiba-tiba dengan mata melotot dan wajah beringas penuh kegusaran, dia membentak "Siapa yang berani menggeledah diriku?"

Bentakan itu ibaratnya gelegar guntur di siang hari bolong, semua orang saling berpandangan dan tak seorang pun berani menghampirinya.

Tonghong Tiat berkerut kening, tapi sebelum ia sempat bicara tiba-tiba dilihatnya Si-Iam-to (golok perenggut nyawa) Lo Gi tampil ke depan.

Setelah berada di muka, ia mengerling sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil menjura katanya dengan lantang, "Walaupun kalian mempunyai sakit hati terhadap orang she Tham ini, namun Giok-pek-Ciam-cu tersebut justeru mempunyai hubungan yang sangat erat dengan aku Lo Gi dan aku yakin rahasia ini tak diketahui oleh siapapun!"

Si-hun-to Lo Gi yang selama ini tak banyak omong, secara tiba2 mengungkapkan rahasia yang maha besar, sudah tentu keterangannya itu menimbulkan rasa tercengang orang banyak.

Tonghong-hengte berpaling, mereka lihat air muka Liong-heng-pat-ciang kembali berubah hebat.

"Saudara, apa yang hendak kaukatakan? Ayo bicaralah secara blak-blakan, kami siap mendengarkannya," kata Tonghong Ouw.

"Sebetulnya Pek-giok-ciam-cu tersebut adalah benda mestika milik seorang hartawan dari Wi-lam yang dititipkan kepada saudara angkatku Toan-hun to (golok pemutus nyawa) Sun Pin sebagai barang kawalan, gara2 benda itu, saudara angkatku sampai mengikat permusuhan dengan Wi-yang-sam-sat yang merupakan bandit ganas di utara sungai, dalam bentrokan yang terjadi, walaupun saudaraku berhasil melukai Tui-mia (si pengejar nyawa) Tio-loji. Tapi dia sendiri pun diuber-uber oleh Siau-siang-bun Thia Eng dan Toh-mia sam-long The Kun sehingga tak ada tempat untuk bercokol. Karena peristiwa inilah maka akhirnya Pek-giok-ciam-cu itu di operkan kepada Jiang-kiam-bu-tek untuk melanjutkan kawalannya"

Ia menghela napas panjang, tuturnya lebih jauh, "Hingga kini saudara angkatku itu masih hidup gelandangan dalam dunia persilatan tanpa kuketahui mati hidupnya ia selalu berusaha melakukan penyelidikan untuk menemukan kembali benda mestika itu. Maka bicara sesungguhnya, akulah yang sebenarnya mempunyai hubungan paling erat dengan benda itu, maka ..."

Semua orang memperhatikan perkataannya itu dengan seksama, di tengah keheningan itu pelahan ia memutar badan menghadap ke arah Liong-heng pat-ciang Tham Beng, lalu terusnya, "Hari ini, akulah yang akan menggeledah dirimu!"

Begitu selesai bicara, secepat kilat ia melompat ke samping Tham Beng dan bersiap-siap untuk melakukan penggeledahan, Liong-heng-pat-ciang ayun tangannya dengan gusar arah yang diserang adalah dada lawan.

Seketika itu juga Si-hun-to Lo Gi merasakan damparan angin tajam menerjang ke arah dadanya, dia tertolak mundur tiga langkah, tapi cepat ia menegak dan menubruk maju pula.

"Kau benar2 ingin mampus?" bentak Liong heng-pat-c!ang Tham Beng dengan gusar.

Bagaimanapun juga Si hun to Lo Gi sudah cukup lama bekerja padanya, dalam keadaan marah toh serangannya itu masih menaruh beberapa bagian belas kasihan, ujung bajunya dikebaskan dan sekali lagi dia desak mundur Lo Gi.

Suasana waktu itu sudah amat gaduh, dengan sempoyongan Lo Gi mundur beberapa langkah, cepat ia berpaling sambil berterak, "Orang she Tham ini berani turun tangan, sobat-sobat sekarang, siapa yang akan memberi keadilan kepadaku?"

Bentakan ramai terdengar, tahu-tahu sudah ada puluhan orang menerjang ke atas undak-undakan batu, dan entah ada berapa banyak suara yang sedang mencaci maki:

"Bunuh dia, kemudian menggeledag sakunya."

Walaupun sejak mula Tonghong hengte sudah menaruh curiga atas tindak tanduk Tham Beng, tapi setelah menyaksikan kejadian ini, timbul juga jiwa pendekar mereka.

Tertampak perawakan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng di bawah sinar sang surya senja meski gagah dan kekar, tapi menghadapi pengkhianatan anak buah seperti ini, terpancarlah perasaan sedih dan kesepian yang mengenaskan.

ia rela mati daripada membiarkan tangan2 itu menyentuh ujung bajunya, sekarang dia sudah ambil keputusan nekat, asal orang-orang itu menyerbu ke atas undak-undakan batu, maka diadakan menggunakan darah orang lain untuk mencuci kemarahan hatinya, dia hendak menggunakan mayat-mayat orang itu sebagai kuburannya.

Hui Giok yang ada di loteng merasakan darahnya juga bergolak dia mendidih, Jit giau tongcu Go Beng-si segera berbisik, ""Saudara Hui, inilah saatnya bagimu untuk muncul"

Belum habis ucapannya, mendadak sesosok bayangan hitam melayang di udara melewati puluhan orang yang sedang marah itu, bagaikan seekor burung rajawali ia melayang turun di hadapan Liong heng-pat-ciang, dan segera membentak dan menyerang, kelima jari mencengkeram bahu orang paling depan, sekali dorong disertai bentakan nyaring, orang itu dilemparnya ke atas tubuh orang kedua. Oleh tenaga gentakan yang keras itu, kedua orang itu menumbuk rombongan manusia yang ada di belakangnya hingga tunggang langgang.

"Pa-ji, kau yang datang" seru Liong-iieng-pat-ciang kegirangan.

Di tengah penghianatan dari semua orang menjauhi dirinya, tiba-tiba muncul seorang yang masih setia kepadanya, kejadian ini hampir saja membuat kakek tersebut melelehkan air mata terharu, entah harus bergirang, berterima kasih, ataukah bersedih hati.

Pemuda berjidat lebar bermata setajam elang dan bertubuh segesit macan tutul ini berdiri dengan wajah yang kelam, tangan kirinya tiba-tiba menyambar ke muka secepat kilat meremas jalan darah Ci-ti-hat di siku seorang, tubuh orang diangkat tegak ke atas.

Suasana jadi kacau tanpa terasa semua orang melenggong.

"Siapa yang berani bergerak lagi." bentak si Biau Pa si pemuda kekar itu dengan suara nyaring.

Sinar surya menerangi tubuhnya yang penuh bertenaga muka yang penuh hawa nafsu membunuh dengan sinar mata yang liar bagaikan seekor binatang buas.

Diam-diam Tonghong Tiat menghela napas panjang. "Ai, sungguh seorang laki-laki perkasa."

"Binatang mau apa kau?" maki Si hun to Lo Gi dengan alis berkernyit.

Biau Pa membentak, tiba-tiba ia melancarkan tendangan kilat, dengan kaget Si-hun-to Lo Gi melompat ke samping.

Siapa tahu sebelum tendangan pertama mengenai sasarannva, Biau Pa telah melepaskan tendangan berikutnya.

"Duk"" Si-hui-to Lo GJ menjerit bagaikan layang-layang yang putus, tubuhnya mencelat jauh dan terbanting ke tanah.

"Kungfu hebat" teriak Sin-jiu Cian Hui dengan air muka berubah, "aku Cian Hui ingin menjajal kepandaiannya."

Biau Pa mendengus, mendadak dilemparnya tubuh orang yang ditangkapnya itu ke arah Cian Hui Sin-jiu Cian Hui berkelit ke samping, telapak tangan kirinya menahan tubuh orang itu terus di lempar ke belakang, sementara telapak tangan kanannya dengan cepat menyambut serangan Biau Pa.

Ketika kedua tangan beradu, seketika Biau Pa merasakan telapak tangannya panas, badan bergetar keras dan jatuh terduduk.

Sin-jiu Cian Hui sendiri juga merasakan ditolak oleh tenaga dahsyat ibaratnya terjangan air bah, hal ini membuat dia mau-tak mau menyurut mundur beberapa langkah.

Tenaga pukulan kedua orang itu yang satu bersifat keras dan yang lain bersifat lunak, walaupun tenaga dalam Sin-jiu Ciau Hui sangat hebat tapi dalam tubuh pemuda Biau itu justeru tersimpan tenaga pembawaan yang maha dahsyat begitu roboh dia segera melompat bangun lagi.

"Pa ji, apakah kau terluka dalam?" tanya Liong-heng-Dat-ciang dengan kuatir.

"Tidak!" Berbareng dengan ucapan ini, kedua telapak tangan Biau pa bergerak cepat melancarkan serangan pula, mengancam dada serta punggung Cian Hui, jenggot Sin jiu Cian Hui berkibar terembus angin, kontan iapun melancarkan serangan balasan.



Sebenarnya orang ini berniat membinasakan musuh dalam sekali gebrakan saja, apa mau dikata, ternyata pemuda itu memiliki tenaga yang dahsyat.

Dalam waktu singkat lima jurus sudah lewat, Sin-jiu Cian Hui memandang kian kemari ia berharap ada orang yang mau menggantikannya.

Maklumlah Sin-jiu Cian Hui mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Liong-heng-pat-ciang bertarung melawan seorang pemuda yang tak ternama, biarpun menang juga kurang gemilang, apa-lagi iapun tidak pasti akan menang setelah saling gebrak dan mengetahui bobot lawan.

Siapa tahu ketika sorot matanya menyapu pandang sekeliling tempat itu, dilihatnya semua orang hanya berpeluk tangan belaka, bahkan orang-orang yang tadi sudah siap menerjang maju kini berdiri dengan tenangnya.

Tiba-tiba ia merasa bahwa kedudukannya dalam dunia persilatan sedemikian terkucil, tiada seorang kawan sejati, yang ada hanya kawanan budak. Andaikata suatu ketika iapun menghadapi situasi kritis seperti ini? bukankah anak buahnya juga akan bersikap sebagaimana yang dilakukan Pat-kwa-ciang Liu Hui sekalian terhadap Tham Beng"

Sementara itu tangan kirinya menyerang dengan jurus Hun-hoa-hut-liu (menyiah bunga mengebas pohon liu) tangan kanannya terus menyerang dengan Heng sau-cian-kun (menyapu bersih beribu prajurit).

Dua jurus ini yang satu bertenaga keras yang lain bertenaga lunak, satu kaku satu lincah, baik dalam penggunaan tenaga maupun dalam gerakan sama sekali berbeda, namun ia dapat menggunakannya sekaligus, bahkan disertai tenaga yang maha dahsyat.

Sekalipun demikian dalam lubuk hatinya sudah timbul perasaan kesepian, perasaan menyendiri yang cukup mengenaskan.

Biau Pa melayani serangan-serangan musuh tanpa berbicara, hanya sinar matanya berkilauan dalam waktu singkat ia sudah bergebrak puluhan jurus dengan Sin-jiu Cian Hiu.

Jurus serangan yang digunakan pemuda ini tidak hebat, tenaga dalam yang dimilikinya juga tidak sempurna, namun dia memiliki kejantanan serta kekuatan alam yang tak dimilikinya orang lain, begitu ia bertarung maka seluruh tubuhnya, kecerdasannya, kehidupannya, sukmanya bahkan seluruh bulu dan rambut di atas tubuhnya seakan-akan sengaja tumbuh khusus untuk pertarungan ini, semuanya bekerja tanpa kecuali.

Kekuatan pembawaan yang hebat itu bukan saja telah menutupi kelemahan-kelemahan pada kepandajan silatnya juga mendatangkan perasaan ngeri dan jeri bagi musuh yang menghadapinya.

Makin dilihat kawanan jago itu semakin terperanjat, Pat-kwa-ciang Lui Hui, Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang serta Pian Sau-yan sekalian sudah jauh-jauh menyingkir dari situ, kuatir kalau manusia liar itu mencari perkara padanya.

Lebih-lebih manusia yang bernama Ko-put ki itu, saking takutnya dia merasa ke empat anggota badannya menjadi lemas, ia berjongkok di samping undak undakan batu dan tak sanggup berdiri lagi.

Cuaca makin kelam angin malam terasa makin dingin, sinar mata Sin jiu Cian Hui yang sedang bertarung makin lama semakin redup, sebaliknya sorot mata Biau Pa makin lama semakin menyala.

Setiap kalio dia melepaskan pukulan, maka segenap kekuatan dan segenap perasaannya ikut terpancar keluar, sekalipun terkadang harus menggunakan serangan nekat, semua serangan dilancarkan tanpa berpikir panjang, seakan-akan asal ia mampu membinasakan lawan, maka kendatipun nyawa sendiri harus ikut berkorban juga bukan soal apa-apa baginya.

Keruan alis mata Sin-jiu Cian Hui yang tebal makin lama makin berkerut, tiba-tiba ia membentak keras telapak tangannya di dorong ke muka melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, serangan tanpa diembel-embeli dengan gerakan lain, dengan tangan lain ia menggulung jenggotnya dan digigitnya dengan mulut, menyusul ia lancarkan suatu tendangan dan tangan kiripun segera menghantam.

Dengan cekatan Biau Pa menyingkir ke samping, kawanan jago yang menyaksikan kejadian itu segera mengerti bahwa Cian-sinjiu sudah marah hingga timbul niatnya untuk mengadu jiwa.

Beberapa orang sempat mencari lentera dan digantungkan tinggi di sekeliling tempat itu, padahal sang surya makin lama terbenam, hingga cahaya lampu itu kelihatan redup, seredup air muka Liong-heng-pat-ciang Tham Beng ketika itu.

Walaupun lima puluh gebrakan sudah lewat, namun hal itu hanya terjadi dalam sekejap mata. Selagi kelompok manusia di barisan depan asyik menonton tiba2 rombongan belakang terjadi kegaduhan.

Kegaduhan tersebut menjalar dengan cepatnya, entah siapa yang mulai dulu, tlba-tiba teriakan keras berkumandang "Hui-taysianseng datang."

Sorak sorai yang gegap gempita segera menggema.

"Hui-taysianseng datang... Hui-taysianseng...."

Liong-heng pat-ciang, Tonghong hengte, bahkan Pat-kwa-ciang Liu-hui sekalian sama berubah airmukanya, sinar mata mereka seolah-olah ditarik oleh suatu kekuatan gaib, tanpa merasa mereka berpaling ke arah terjadinya kegaduhan.

Walaupun kerumunan orang masih gaduh dan ramai, tapi segera mereka menyingkir ke samping hingga terbukalah sebuah jalan lewat.

Sekalipun pertarungan antara Sin jiu Cian Hui dan Biau Pa bertambah sengit, namun tak seorangpun yang memperhatikan lagi, Seperti air bah kawakan jago membuka sebuah jalan lewat yang lurus ke arah undak-undakan batu di mana Liong-heng-pat-ciang Tham Beng serta Tonghong-hengte berada.

Cuaca makin gelap, cahaya lampu makin terang. Hembusan angin malam menggoyangkan cahaya lampu yang kuning keemas-emasan bersemu merah. Dan sinar keemas-emasan yang bercampur warna merah itulah menyoroti wajah Hui Giok.

Beratus pasang mata bergeser mengikuti langkah kakinya, langkah yang berat dan lambat.

Beratus pasang mata mengawasi langkah yang berat dan lambat dada yang lebar dan kekar, namun tak seorangpun berani menatap sinar matanya sebaliknya sorot mata pemuda itu justeru sedang mengawasi jalan di hadapannya jalan yang makin lama semakin pendek ia melihat pula undak-undakan batu yang menanjak ke atas, ketika, sinar matanya beralih, ia menyaksikan Liong-heng pat-ciang berdiri di situ dengan dada berombak dan jenggot berkibar terembus angin.

Kemudian, sinar matanya bertemu dengan sinar mata Liong heng-pat-ciang.... kedua orang saling pandang.

Detik itu adalah detik yang bersejarah bagi mereka, juga bersejarah bagi dunia persilatan semua kegaduhan dalam detik itu juga menjadi sirna dan hening, bahkan Sin jiu Cian Hui dan Biau Pa yang lagi saling labrak juga menghentikan pertarungan mereka tanpa diketahui apa sebabnya.

Detik itu, jauh lebih menggetarkan perasaan daripada kejadian apapun dalam sejarah persilatan, beribu orang meninggalkan pekerjaannya, meninggalkan keluarganya, melakukan pencarian dan menunggu yang dinantikan tak lain hanya detik-detik ini.

Dua orang berdiri berhadapan dengan kaku, entah berapa waktu sudah lewat mungkin juga hanya sekejap mata.

Tiba-tiba, dan empat penjuru meledak teriakan keras yang memekak telinga, teriakan yang bercampur dengan kemarahan kegembiraan hasutan dan jerit kebanggaan.

Meskipun suara itu bercampur aduk, begitu kacau sampai-sampai tak terdengar apa yang mereka teriakkan, tapi luapan emosi di balik teriakan itu cukup dimengerti oleh siapapun juga.



Jit-giau-tongcu Go Beng-si yang ikut di belakang Hui Giok segera maju beberapa langkah ke depan, dengan sinar mata tajam teriaknya dengan lantang, "Tham Beng, Tahukah kau siapa gerangan yang berdiri di hadapanmu ini sekarang?"

Liong-heng-pat-ciang tak berkedip, tanpa memandang sekejap pun ia cuma bergumam dengan suara dalam "Bagus, Bagus, kau telah datang akhirnya kau datang juga?"

Diam-diam Hui Giok mengertak gigi, menahan emosi hingga kulit wajahnya mengejang, lalu ia berkata, "Ya, akhirnya aku datang!"

"Mau apa kau kemari? Kau datang untuk membalas dendam?" bentak Liong-heng-pat-ciang mendadak dengan dahi berkerut.

"Aku datang hanya untuk mengajukan satu pertanyaan, benarkah ayahku mati di tanganmu?" kata Hui Giok sambil menatap lawan dengan sorot mata yang tajam.

Liong-heng-pat-ciang menggenggam kencang kedua tinjunya, dadanya berombak, jenggotnya yang putih bergetar walau tak terembus angin.

Hui Giok masih menatapnya, sorot matanya makin tandas, makin tegas.

Sekali lagi kegaduhan jadi sirap, beribu orang yang berdiri di jalanan itu tiada yang bersuara, masing-masing dapat mendengar dengusan napas orang lain, sementara beratus pasang mata sebentar memandang ke arah Hui Gok, sebentar lagi memandang Liong heng-pat-ciang, suasana hening sunyi.

Tiba-tiba Liong heng pat ciang hentikan dengusan napasnya, sambil membusungkan dada tercetus pengakuannya yang menggetar sukma, "Ya, benar"

Sekujur badan Hui Giok bergetar keras, ia merasakan seperti seribu martil menggodam dadanya, sekaligus, nanar sinar matanya memandang sekelilingnya.

Gemuruh keras meledak di sekeliling tempat itu, sedemikian dahsyatnya kegaduhan itu sampai orang yang berada sepuluh li dari sanapun dapat mendengar teriakan marah orang-orang itu. Air muka Tonghong hengte berubah hebat, serentak mereka menyurut mundur dengan kaget, Biau Pa melompat maju dan berdiri di depan Tham Beng, Jit-giau-tongcu Go Beng si mencorong sinar matanya, sedangkan Sin-jiu Cian Hui berdiri dengan alis menegak.

Mendadak Hui Giok berputar badan, pelahan dia angkat tangannya memberi tanda, katanya, "Harap saudara sekalian tenang sebentar!"

Sorot matanya memancarkan suatu kekuatan aneh dan berhasil menguasai suasana yang gaduh itu.

Diam-diam Sin jiu Cian Hui menghela napas, untuk kesekian kalinya ia menghela napas, untuk kesekian kalinya ia merasakan keruntuhan dan keloyoan dirinya.

Hui Giok membalik tubuh lagi, sorot matanya yang tajam kembali beralih ke wajah Tham Beng sekilas itu dengan jelas ia menyaksikan di antara mata alis orang tua itu tersembunyi semacam penderitaan yang sukar dikatakan.

Dia maju selangkah dan serunya dengan suara dalam, "Hayo jalan!"

"Kemana?" tanya Tham Beng dengan tercengang.

"Dendam sakit hati ayah dan pamanku lebih dalam daripada lautan, mari kita mencari suatu tempat yang sepi untuk melangsungkan suatu pertarungan, siapa yang menang dan siapa yang kalah, supaya permusuhan kita dapat dihapus sampai di sini saja."

Terbelalak mata Liong heng pat-ciang, Jit giau-fcongcu pun melengak, sedang kawanan jago sama tercengang.

"Seorang laki2 sejati!" pikir Toaghong-hengte sambil menghela napas.

Tiba2 Lioug-heng pat-ciang menengadah dan tertawa terbahak-bahak, sedang Jit giau tongcu segera mendekati Hui Giok sambil berbisik "Saudara Hui aku telah susun kekuatan besar bagimu, asal engkau memberikan komando, maka Tham Beng segera akan mati dikerubuti orang banyak buat apa."

"Ya, benar. kalau kau menantang aku berduel mana mungkin ilmu silatmu bisa menandingi kehebatanku?" tukas Tham Beng tiba2 dan berhenti tertawa.

Sedingin salju air muka Hui Giok waktu itu ujarnya, "Mari kita ber-sama2 pergi dan sini, bila ada orang yang menguntit diriku secara diam2 maka tindakan itu berarti suatu penghinaan besar bagi orang she Hui, berarti mereka anggap aku Hui Giok tak mampu membalas sakit hati orang tuaku dengan kekuatanku sendiri."

Dengan gemas Jit giau-tongcu Go Bewg-si menggentak kaki ke tanah, sementara sorot mata semua jago yang hadir di situ dan tatapan kecewa berubah jadi kagum.

Perlu diketahui bahwa di mata orang2 gagah semacam kawanan jago tersebut, yang paling mereka kagumi justeru adalah seorang gagah yang tak kenal takut seperti Hui Giok sekalipun ada pula yang menganggap Enghiong semacam ini adalah orang tolol.

Padahal bukan demikian maksud Hui Giok yang sebenarnya, tapi setelah berada dalam keadaan seperti ini, timbul pergolakan darah panas dalam hatinya, dan pergolakan darah Enghiong tersebut membuat dia melupakan soal lain.

Liong-heng-pat-ciang termenung beberapa saat lamanya, dan pancaran sinar matanya dapat diketahui bahwa ia merasa tersiksa, juga merasa serba salah.

Mendadak Jit giau-tongcu Go Beng si membentak "Kita tak boleh membiarkan Hui-tay sianseng pergi seorang diri, mari kita beramai ramai binasakan bangsat ini lebih dulu"

Emosi para jago kembali dipancing meluap, air muka Hui Giok berubah kelam suasana kacau segera akan timbul.

Dalam keadaan yang kritis inilah, tiba-tiba dari empat penjuru berkumandang suara suitan nyaring. suitan ini ibaratnya pekikan naga atau jeritan burung hong, demikian tajam, demikian keras hingga berkumandang jauh dan lama.

Kawanan jago itu terkesiap, bahkan ada yang tak tahan dan segera menutup telinganya.

Menyusul dari balik atap rumah tiba-tiba menggulung datang embusan angin puyuh yang keras.

Seketika semua lampu yang menerangi tempat itu padam seluruhnya.

Matahari belum lama terbenam, bintang dan rembulan belum muncul, seluruh jagat diselimuti kegelapan yang luar biasa, terdengarlah pekikan panjang itu dan jauh makin mendekat dan dari dekat lantas menjauh, hanya sekejap sudah berada ratusan tombak jauhnya dari tempat semula.

Ketika para jago dapat melihat jelas benda di sekeliling tempat itu, pekikan panjang tadi hanya tinggal serentetan suara lirih yang mendengung di udara malam yang gelap sementara Liong-heng-pat-ciang yang semula berdiri di atas undak-undakan batu kini sudah lenyap, segera terjadi lagi kekacauan.

Ada yang buru-buru memasang lampu, ada pula yang berteriak tanpa berguna, "Kejar, kejar, ia melarikan diri"

Jit giau-tongcu Go Beng-si terbelalak dengan mulut melongo, mukanya hijau, ditatapnya udara gelap dengan pandangan kosong.

Tonghong-hengte berdiri dengan wajah tercengang, sebagai jago kelas satu dalam kalangan muda, ilmu silat yang mereka miliki terhitung kelas satu dalam dunia persilatan tapi dengan kekuatan mereka ternyata tak tahan oleh suara suitan nyaring itu apalagi dengan ketajaman mata mereka ternyata juga tidak melihat jelas apa gerangan yang sebenarnya terjadi.

Mereka hanya menyaksikan sesosok bayangan seakan-akan terbawa embusan angin puyuh itu menyambar datang secepat kilat begitu menyambar tangan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, tanpa berhenti orang itu melayang lebih lanjut ke depan sana.

Di antara sekian banyak orang, Hui Giok yang paling kaget bercampur heran, tanpa melihat juga dia dapat meraba sapa orang yang menyelamatkan jiwa Tham Beng itu.

Yang menjadi pertanyaan sesarang apa sebabnya kedua tokoh maha sakti itu menyelamatkan jiwa Tham Beng.



Ia berdiri termangu sambil memandang kegelapan di kejauhan berdiri terus di situ sampai semua lampu disulut kembali.

Maka pelahan dia naik ke atas undakan batu itu serentak suara yang bergemuruh pun berubah jadi sorakan.

Hui Giok mengangkat tangannya berulang kali untuk menenangkan suasana, lalu dengan lantang serunya, "Sobat-sobat sekalian Tham Beng sudah pergi... harap saudara sekalian kembali ke pos masing-masing... berjuang demi kebenaran dan kebajikan bagi sesamanya, berjuang demi kepentingan umum tapi ada satu hal harap selalu di ingat menghadapi kejadian apapun janganlah terlampau emosi, dendam pribadi bukan kemarahan umum, betapapun aku tak mau menggunakan tipu akal untuk mengubah dendam pribadi menjadi kemarahan umum. Semoga di kemudian hari bila terjadi lagi peristiwa yang membahayakan kepentingan umum, kuharap kalian bisa bersikap seperti hari ini, bersama aku berjuang demi tegaknya keadilan dan kebenaran dalam dunia persilatan."

Pada hakikatnya perkataannya tak bisa lancar sebab setiap dia mengucapkan satu kalimat, segera meledaklah sorak-sorai yang gegap gempita.

Ketika kata-katanya itu selesai diutarakan sorakan yang menggelegar dari empat penjuru ibaratnya air bah yang menenggelamkan bumi raya ini.

Segenap anggota Perserikatan orang-orang Kanglam bersorak sorai, "Hidup Bengcu! .... hidup Bengcu kita! mari kita dukung Hui-taysianseng kembali ke wilayah Kanglam!"

Di tengah badai sorakan yang memekak telinga Wan Lu-tin berdiri dengan air mata bercucuran, ia gembira sekali menghadapi kejadian itu, iapun merasa bangga atas kesuksesan Hui Giok.

Leng-kok-siang-bok saling pandang dengan tersenyum, bisik Leng Han-tiok, "Akhirnya ia berhasil juga!"

"Ya kitapun harus pulang sekarang," sambung Leng Ko-bok sambil menghela napas kegirangan.

""Bagamana dengan pertaruhan kita?" tanya Leng Hati-tiok.

Leng Ko-bok tersenyum "Pertaruhan apa lagi? Peduli amat dengan soal menang atau kalah, toh tak ada sangkut pautnya lagi dengan kita!"

Kedua orang itu saling pandang sambil tertawa, mereka segera menyelinap pergi di antara orang banyak.

Sementara itu, Sin jiu Cian Hui yang menyaksikan kejadian itu, dan mendengar sorak gegap gempita itu, ia menundukkan kepala dengan gemas, ia benar2 merasakan kesepian dan kehampaan.

Lama sekali ia berdiri ter-mangu2 akhirnya gumamnya sendiri, "Kehidupan manusia ... ya beginilah kehidupan manusia... Ai, semuanya telah berlalu . . . . semuanya telah berlalu"

Tokoh persilatan yang pernah merajai dunia persilatan ini berlalu juga dari situ dengan hati hampa di tengah sorakan yang memekak telinga, walau begitu dalam hati kecilnya masih terdapat juga sedikit hiburan yang manis, sebab ia tahu, tak jauh dan situ masih terdapat secercah senyuman manis sedang menantikan kedatangannya. Ya, hatinya yang luka dan penuh kekecewaan itu memang sangat membutuhkan pengobatan serta hiburan dan sepasang tangan yang putih dan mulus.

Mungkin itulah akhir diri seorang lelaki gagah, tapi siapa tahu kalau merupakan pula suatu permulaan dari kehidupannya?

Dia pernah menundukkan banyak orang, tapi bilakah dia pernah menundukkan hati seorang perempuan?

Kesenangan dan kesuksesan memang banyak ragamnya, hal ini bergantung dari sudut manakah penilaian itu diberikan sekalipun langkahnya terasa berat waktu berlalu dari situ, namun pada wajahnya yang kesepian tersembul juga sekulum senyuman.

Jit-giau-tui hun Na Hui-hong berdiri paling dekat dengan Hui Giok, tokoh perampok yang sudah bertobat itu tampak ikut merasa gembira dan bangga di tengah suara sorakan itu. Pada wajahnya yang kurus itu terpancar sinar kebanggaan yang sebelumnya tak pernah timbul.

"Ah, rupanya berbuat kebajikan jauh lebih menyenangkan daripada berbuat kejahatan" katanya berulang-ulang di dalam hati.

Si-hun-to Lo Gi dengan dada berdarah berbaring di bawah emper rumah yang sepi, teriakan dan sorakan yang gegap gempita itu bagaikan cambuk samudera yang mendampar dadanya, ia terharu dan juga sedih, tapi semua itu mungkin akan bantu dia untuk menentukan arah kehidupan selanjutnya.

Pat-kwa-ciang Liu Hui, Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang serta Pian Siau yan saling pandang sekejap, mereka saling memberi tanda, lalu ngeluyur pergi.

Setelah jauh dan kota, Piau Siau-yan mengembus napas panjang, dan berkata, Tham Beng sudah kabur, bagaimana dengan kita?"

"Hmm, mampukah dia kabur dari kejaran orang-orang itu?" dengus Pat-kwa-ciang Liu Hui

Koay-be sin-to Kiong Cing-yang yang berada di sisinya ikut menimbrung sambil tertawa dingin. "Hehehe, dia sudah mengaku sebagai pembunuh Jiang kiam-bu tek, memangnya Hui Giok mau melepaskan dia dengan begitu saja? Cepat atau lambat dia pasti mampus!"

Sekeliling tempat itu adalah hutan yang sepi, Pat-kwa-ciang Lm Hui menengadah sambil bergelak tertawa, katanya, "Asal Tham Beng mampus hahaha... semua catatan semua pembukuan dan benda-benda penting dan Hui liong-piaukiok akan terjatuh ke tangan kita, dan waktu itu kita bertiga pasti akan hidup dengan gembira."

"Ya. benar!" sambung Koay-be-sin-to Kiong Cing yang sambil tertawa, "apalagi kita sudah mengikat tali persahabatan dengan pihak Perserikatan orang-orang Kanglam, hal ini pasti akan sangat membantu usaha kita untuk membangun kembali Hui-liong-piaukiok di masa depan."

"Kiong-heng!" tiba-tiba Pat-kwa-ciang Liu Hui berseru dengan wajah masam, "kukira kedudukan Congpiautau Hui-liong-Piaukiok di kemudian hari lebih pantas diduduki saudara Kiong, demikian bukan?"

Sekulum senyuman menghiasi bibir Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang, tapi begitu melihat air muka Liu Hui, senyuman itu seketika lenyap pula.

"Ah, mengapa saudara Liu berkata demikian?" buru-buru serunya sambil tertawa kecut, "tentu saja saudara Liu yang lebih pantas memangku jabatan Congpiautau."

Sesudah mendengar perkataan itu, air muka Pat kwa-cang Liu Hui tampak sedikit membaik.

Tiba-tiba Pian Sau-yan yang berada di sisi mereka tertawa dingin tiada hentinya, dengan kaget kedua orang itu berpaling, ditatapnya orang she Pian itu dengan melengak.

Pelahan Pian Sau-yan meraba gagang pedangnya yang tergantung dipinggang, katanya, "Liu congpiautau, di kemudian hari apakah siaute masih mempunyai tempat untuk berdiam di Hui-liong piaukiok?"

"Saudara Pian, apa maksudmu?" kata Pat kwa-ciang Liu Hui sambil menyeringai "bicara tentang nama maupun soal ilmu silat, sudah sepantasnya kalau kursi Congpiautau itu diserahkan untuk saudara Pian."

Mendengar perkataan ini Pian Sau-yan tertawa, "Hahaha , kalau begitu..."

Belum habis ucapnya tiba-tiba Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang menjerit kesakitan.

Dengan terkejut Pian Sau-yan dan Liu Hui berpaling, tertampaklah Kiong Cing-yang berdiri dengan kulit muka mengejang dan sempoyongan.

"Bluk!" tubuhnya terkapar di tanah, sebilah pisau belati ternyata menancap di punggungnya.



Itulah pisau Liu-yap-hui-to yang jarang ditemui! "Siapa?" bentak Pian Sau-yan dan Liu Hui dengan wajah berubah hebat.

Dari balik kegelapan pelahan muncul sesosok bayangan, bagaikan sukma gentayangan ia bergerak maju ke muka dan akhirnya berhenti di hadapan kedua orang itu.

"Hm! Bagus sekali perhitungan swipoa kalian katanya sepatah demi sepatah dengan suara dingin.

"O, kau . saudara Pa!" seru Pat-kwa-ciang Liu Hui dengan suara gemetar, "Kau kenapa kau datang kemari?"

Biau Pa tertawa dingin, "Hehehe! Thamtoaya saja tidak kau kenal lagi, masa masih kenal padaku?"

Pat-kwa-ciang Liu Hui benar2 ketakutan, peluh dingin membasahi sekujur badannya, sambil menyurut mundur ucapnya dengan tergegap: "Kau, kau..."

Tiba2 ia putar badan dan hendak kabur.

"Mau lari ke mana kau?" bentak Biau Pa.

Telapak tangannya terangkat diantara berkelebatnya bayangan tubuh, tahu2 ia sudah mengadang di depan Liu Hui.

"Saudara Biau, kau . kau ini apa-apaan?" ujar Liu Hui dengan tergegap, "Eh sudah lama kita tak berjumpa, biarlah Siaute mengundang kau... "

"Siapa saudaramu?" ejek Biau Pa, napsu membunuh menyelimuti wajahnya, kedatanganku justeru hendak merenggut nyawa anjing kalian ini!"

Piau Sau-yan bertindak cepat "Cring", cahaya pedang berkilau, ia putar senjatanya yang memancarkan sinar hijau itu untuk menusuk dada Biau Pa.

Walaupun harus melayani dua orang musuh dengan tangan kosong, Biau Pa sama sekali tak gentar, malah telapak tangannya segera menghantam dada Liu Hui, sementara kaki kanan melayang ke muka, menendang pergelangan tangan Piau Sau-yan yang memegang senjata.

Piau Sau-yan tahu kepandaian sendiri bukan tandingan Biau Pa, tepi dengan dua lawan satu, rasa kedernya itu segera dapat diatasi.

"Hehehe, kau bilang mau cabut nyawa kami?" ejeknya sambil tertawa dingin, "justru kamilah yang akan mengantar nyawamu pulang ke rumah nenekmu!"

Sambil berkata, pedang berputar kencang, cahaya senjata beterbangan ke empat penjuru, secara beruntun ia melancarkan tiga kah serangan berantai.

Pat-kwa-ciang Liu Hui memang pengecut bukan membantu rekannya untuk menghadapi lawan, justeru dia manfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri lebih dulu.

Menghadapi keadaan tersebut baru Piau Sau yan merasa terperanjat sementara itu Biau Pa telah mendengus telapak tangan kirinya menyambut tiga kali serangan lawan, sementara telapak tangan kanan kembali di ayun ke muka, tiga bilah pisau suku Biau yang bersinar kehijau-hijauan dengan desing angin meluncur mengancam tubuh Liu Hui yang sedang kabur.

Perlu diterangkan di sini, bahwa Biau Pa di besarkan di daerah suku Biau, permainan pisau terbang merupakan andalan suku Biau, dia telah menguasai sepenuhnya kepandaian ini, ditambah lagi tenaga dalamnya lumayan dan ilmu silatnya memang hebat, maka serangan itu bertambah dahsyat dan tepat.

Waktu itu Pat-kwa-ciang Liu Hui sudah berada beberapa tombak lari tempat semula tiba-tiba desing angin menyambar dari belakang.

Bicara tentang kepandaian silatnya, tak sulit sebetulnya baginya untuk menghindarkan diri dari sambitan ketiga pisau terbang itu, sayang pikirannya waktu itu sudah kalut, meskipun dia sudah berusaha berkelit ke kiri dan menghindar ke kanan, toh masih ada sebilah pisau yang mampir di punggungnya dan menancap begitu dalam hingga tinggal gagangnya saja yang masih kelihatan.

Tak ampun lagi Pat-kwa-ciang Liu Hui menjerit ngeri, tubuhnya terjungkal dan kebetulan sekali terkapar di samping mayat Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang.

Pian Siau-yan menyaksikan kedua orang rekannya sudah tewas, pikirannya bertambah kalut, otomatis permainan pedangnya juga ikut kacau tak keruan.

Sementara perasaannya tak tenang, tiba2 di antara kilatan cahaya pedang tertampak sesosok bayangan menerobos tiba, dalam kagetnya cepat ia membentak, cahaya pedang langsung menabas kebawah.

Tapi bayangan itu sudah keburu menerobos masuk, dadanya kontan termakan pukulan Biau Pa dengan lelaki bagaikan dihantam batu seberat seribu kati, ia kesakitan hebat.

Sekejap kemudian, matanya jadi berkunang-kunang, tenggorokan terasa anyir, darah segarpun tersembur.

Biau Pa tidak berhenti sampai di situ saja begitu berhasil dengan serangan pertama, suatu tendangan kilat kembali dilontarkan dan tepat kena jalan darah penting Siu-si-hiat.

Tubuh Pian Sau-yan yang besar tertendang hingga mencelat, secara kebetulan pula badannya terkapar di samping mayat Pat-kwa-ciang Liu Hui. Angin dingin berembus makin kencang, malam bertambah kelam.

Darah mengucur di lengan kiri Biau Pa dan menodai pakaiannya, ia berhasil menyarangkan pukulannya pada lawan tadi, namun pedang Pian San yan sempat pula menusuk tubuhnya.

Tapi pemuda perkasa yang liar ini sama sekali tidak memperdulikan lukanya, bahkan melirik pun tidak, dengan dahi berkerut dia memungut pedang Pian Sau-yan itu, "Sret", ia kupas kulit pohon, dengan darah kental ketiga orang itulah dia menulis berapa huruf pada batang pohon tadi inilah tulisannya.

"Begitulah akhir dari pengkhianat yang menjual majikan demi kepentingan pribadi."

Dengan rasa puas ia memandang sekeliling tempat itu, meski tulisan itu kasar dan jelek, tapi setiap patah kata tersebut terkandung kejujuran, kesetiaan serta peringatan bagi umat manusia di dunia.

Kemudian ia buang pedang itu dan berjalan menuju kegelapan, angin dingin berembus kencang sesaat kemudian darah yang berceceran di tanah telah mengering.

Yang tertinggal hanya kegelapan serta keheningan yang menyelimuti sekeliling tempat itu.

Oo o0o - oO

Kawanan jago persilatan yang berada di kota Han-ko sedang bersenang-senang dengan penuh kebebasan.

Mereka mengetuk semua kedai arak yang ada di kota itu dan hampir menyikat habis semua persediaan arak.

Mereka menciptakan kekacauan yang belum pernah terjadi di kota besar itu.

Karena mereka segera akan pergi, semua keramaian yang diharapkan tampaknya telah lewat, Leng-kok siang bok lenyap tak berbekas, Hui liong piauwkiok menderita kekalahan total, pertaruhan, pertarungan semuanya sudah selesai sudah lalu Meskipun Liong heng pat ciang belum mati, namun ke mana dia pergi tak seorang pun yang tahu.

Perhimpunan orang-orang persilatan yang belum pernah terjadi dalam sejarah, tampaknya pasti akan bubar, menghadapi keadaan tersehut, ada yang merasa kecewa, ada yang merasa kesepian, ada pula yang diam-diam bersyukur.

Hanya ada satu kejadian yang mereka akui bersama, yaitu akhirnya dunia persilatan telah muncul sebuah bintang cemerlang yang membawa kebahagiaan bagi umat manusia.

Tiada hentinya mereka angkat cawan untuk kesejahteraan bintang cemerlang itu, meski banyak mengalami penderitaan dan penghinaan tapi sekarang, dia adalah manusia yang paling dihormati dikagumi dan disegani oleh seluruh umat persilatan.

-0o0- oOo -0o0~

Namun, bintang cemerlang itu masih tetap kesepian, dalam bangunan rumah di luar kota, di halaman belakang yang sepi, Hui Giok mengurung diri diam sebuah kamar yang terpencil dan sepi.



Dia tahu betapa banyak jago persilatan yang berharap bisa minum bersama dia, tapi dia hanya ingin menyendiri bukan dia mau menjauhi pergaulan, namun dalam keadaan seperti itu, dia membutuhkan keheningan untuk menjernihkan pikiran yang kalut, dia butuh ketenangan untuk mengatur kembali arah tujuannya dan untuk menginginkan pergolakan emosinya yang kelewat panas..

Dia mendengar suara langkah Wan Lu-tin yang mendekati jendelanya dan menengok dirinya, iapun mendengar suara pembicaraan Go Beng-si di kamar sebelah, ia tahu mereka semua adalah sahabat yang memperhatikan keadaannya, ia menyesal karena tak bisa menerima kebaikan Go Beng-si, dia lebih2 menyesal karena tak bisa berbicara sepuasnya dengan Wan Lu-tin yang baru saja berjumpa kembali setelah lama berpisah.

Dia hanya berkata padanya, "Setelah melewati hari-hari yang lelah, kini kita harus mundur."

Kepergian Leng-kok-siang-bok tanpa pamit, di samping kemurungan bertambah pula perasaan sedih karena perpisahan tersebut. Sebab selama ini, antara dia dengan kedua orang kakek yang entah berjiwa dingin atau hangat ini telah terjalin suatu hubungan yang akrab. Tapi selanjutnya dia tak akan berjumpa dengan mereka lagi sebab dia tahu ke mana mereka pergi sebab jejak semula tanpa arah tujuan sedang "Lembah Dingin" adalah sebuah tempat yang semu, yang tak diketahui dengan pasti di mana letaknya.

Ia berbaring tanpa rasa mengantuk sedikitpun, budi dan dendam yang sukar dipisahkan, benci dan cinta yang saling bertentangan masa depan yang sukar diramal serta perasaan bingung setelah sukses, semua ini membuat pikirannya dan hatinya seperti habis membeku dalam gunung salju selama berpuuh tahun, namun masih segar dan jernih.

Dari kejauhan terdengar suara kentongan ia tidak menghitung berapa kali kentongan itu, dia tak tahu pukul berapakah waktu itu.

Di tengah malam yang gelap dan kelam, hening dan sepi, dingin dan bersih itulah, tiba-tiba Hui Giok mendengar suara yang memanggil namanya.

Suara itu seolah-olah berasal dan tempat yang jauh, tapi juga seperti tidak jauh seperti dekat tapi kenyataannya tidak dekat, suara itu mengambang seakan-akan panggilan setan iblis dari neraka, tapi juga seperti panggilan seorang kekasih yang mendambakan kemesraan.

Berdebar jantung Hui Giok, dia melompat bangun dan membuka jendela, taman itu luas tak tampak sesosok bayangan orang, tapi suara panggilan itu masih berkumandang terus tiada hentinya.

"Anak Giok... anak Giok... "

Tiba-tiba ia bergidik.

"Anak Giok... anak Giok... " Suara panggilan itu mengambang di antara batu-batuan, di pepohonan, di semak bunga.

Dia menenteramkan hatinya lalu melompat keluar jendela dan melayang ke sana, ia sempat melihat jendela kamar Go Beng-si tidak tertutup rapat tapi dalam kamar tak nampak bayangan pemuda she Go itu, padahal lampu belum padam, tampak nya belum lama Go Beng-si meninggalkan kamarnya itu.

Ia tak sampai memikirkan ke mana perginya Go Beng-si, sebab suara panggilan tadi masih terus berkumandang.

Dengan cepat dia melompat ke depan, sekejap kemudian ia sudah keluar dari taman yang luas itu.

Di luar suasana lebih hening dan hawa lebih dingin.

Mengikuti arah suara panggilan itu, dia terus meluncur ke depan.

Tapi aneh sekali, bagaimanapun cepatnya ia bergerak maju, berapa jauh perjalanan telah ditempuhnya, namun suara panggilan itu tetap mempertahankan selisih jarak yang sama, suara itu tetap kedengaran begitu jauh, mengambamg, seakan-akan nyata, seakan-akan semu seperti sangat jauh, seperti juga dekat.

Dia coba memandang ke sana, di depan sana tampak terbentang sebuah telaga kecil, air telaga begitu tenang, di tengah kegelapan malam seakan-akan memantulkan cahaya putih ke-perak2an.

Dia ragu2 sejenak, tapi suara panggilan tadi kembali berkumandang

"Anak Giok... anak Giok... "

Kali ini suara panggilan tersebut terasa lebih nyata, ia menghimpun tenaga dan melayang sepuluh tombak ke depan, Tampaklah di tepi telaga ada sederet bayangan rumah dua-tiga titik cahaya lampu berkelip membayang di permukaan air.

Suara panggilan yang aneh itu tak terdengar lagi. lama sekali ia menunggu dia mulai berpikir "Apakah di sini tempatnya? Apakah di tempat ini dapat kutemukan suara panggilan yang aneh itu?"

Dengan hati2 ia merunduk ke depan, ia kerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna dan maju belasan tombak lagi ke depan.

Ternyata bayangan yang disangka bangunan rumah itu tak lebih hanya tiga buah perahu rongsokan berkabin susun, satu sama lainnya dan di pergunakan orang sebagai tempat tinggal, sebab tampak seekor kucing berjalan digeladak perahu dan masuk ke dalam kabin.

"Siapa yang berdiam di sini? Rahasia apa yang terdapat di situ?"

Ia berharap suara panggilan itu berkumandang lagi tapi suara panggilan itu tak pernah terdengar pula, maka dia rentangkan tangannya dan melayang ke atas perahu pertama di sebelah kiri, ia turun ke geladak tanpa menimbulkan sedikit suarapun.

Angin berembus lewat, seperti terbawa desir angin ia melayang pula ke atas perahu yang ada lampunya, bangunan di atas perahu ini sudah kuno, di sana-sini sudah retak, maka diintipnya ruang perahu itu.

Tiba2 seraut wajah yang sudah dikenal, wajah yang cantik dan pucat terpampang di depan mata.

"Sun Kim-peng!" hampir saja ia berteriak.

Di bawah sinar lampu yang redup, seorang gadis cantik berwajah pucat duduk bersila di atas sebuah dipan sambil membelai seekor kucing berbulu putih kelabu, rambutnya yang panjang terurai di bahu, mukanya kurus dan dia bukan lain adalah Sun Kun peng, gadis yang pernah mengisi hati Hui Giok dan sudah berpisah sekian tahun itu.

Ia tampak jauh lebih kurus daripada dulu, sinar matanya sudah kehilangan cahaya yang menawan hati itu, meski demikian, dalam pandangan Hui Giok, si nona masih tetap mesra seperti dulu.

"Dia belum mati" saking kegirangan hampir saja ia bersuara.

Tapi ketika raut wajah kedua terpampang pula di depan matanya, hampir saja pemuda itu berhenti bernapas.

Sebatang lilin terletak di atas meja api, lilin bergoyang terembus angin, di samping cahaya lilin yang bergoyang berduduklah seorang dengan angkernya, orang itu ternyata bukan lain ialah liong heng-pat-ciang Tham Beng.

Air mukanya kelihatan berubah guram mengikuti api lilin yang bergoyang, musuh besar itu masih tetap duduk dengan tenang.

Terpisah oleh sebuah meja butut, duduk tepat di depan Tham Beng, adalah Sun lotia.

Toan-hun-to Sun Pin, kakek yang sudah kenyang gemblengan kehidupan itu kelihatan jauh lebih tua, lengan baju kanannya terjulai kosong ke bawah, tampaknya lengan tersebut sudah dipotong orang sebatas bahu. Tubuh yang semula tegak kini bungkuk dan reyot, terkadang terdengar suara batuknya yang parau.

Keadaan orang itu ibarat lilin di depannya meskipun masih meronta di tengah embusan angin namun akhirnya pasti akan padam juga.

Kedua kakek itu duduk berhadapan tak ada yang berbicara Sun-lotia tundukkan kepalanya dan sedang mengawasi suatu benda dalam genggamannya dengan seksama.



Lama dan lama sekali, akhirnya benda itu di letakkan di atas meja, di bawah sinar lilin tertampaklah benda itu bukan lain adalah Pek giok-cian-cu"

Berdebar jantung Hui Giok.

Sementara itu Sun-lotia lagi berbalik pelahan dan menghela napas panjang, lalu katanya, "Kebanyakan perempuan cantik adalah bibit bencana, benda mestika tidak membawa berkah, Ai, karena sebuah Pek giok-cian-cu, aku harus menghabiskan separuh hidupku bergelandangan di dunia persilatan bahkan sekarang harus hidup dalam keadaan cacat ai, sampai Kim-peng pun."

Ia batuk-batuk lagi, sungguh ia tidak tega melanjutkan kata-katanya.

Sun Kim peng yang duduk di pembaringan kepalanya tertunduk rendah-rendah, matanya berkaca-kaca dan akhirnya meneteslah dua titik airmata.

Rupanya nona itu merasakan bukan saja masa remajanya sudah lewat dan selamanya tak akan terkejar kembali bahkan kehidupan selanjutnya juga akan dilewatinya dalam kegetiran dan penderitaan.

Kesedihan pun menyelimuti wajah Liong-heng-pat-ciang, katanya sambil menghela napas, "Ya, takdirlah yang menentukan kehidupan manusia setiap orang akan mengalami keadaan yang sama saudara Sun kau . kau. . ."

Dia seperti hendak mengucapkan beberapa kata menghibur tapi akhirnya ucapan tersebut tak mampu diutarakan."

"Namun sesudah kurenungkan kembali semua itu," ujar Sun-lo-tia lagi "aku bisa menjadi seperti sekarang ini, pada hakekatnya adalah akibat dosaku sendiri, tapi saudara Tham, mengapa kau tidak mau mengungkapkan kejadian yang sesungguhnya kepadaku?"

Hati Hui Giok tergerak. Dilihatnya Tham Beng memejamkan matanya dan tidak berbicara lagi, jelas banyak terjadi pergolakan dalam batinnya tapi apakah yang dipikirkannya?

Sun-lotia menghela napas panjang, katanya lebih jauh, "Setelah aku kehilangan Pek-giok-cian-cu ini, menurut perasaan pasti Wi-yang-sam-kiat yang mencurinya sehingga tidak kuselidiki kejadian yang sebenarnya. Ai, sungguh kasihan Wi-yang-sam-kiat bertiga bersaudara, mereka telah. . . ai, meskipun mereka banyak melakukan kejahatan namun dosa apa yang mereka lakukan atas diriku! Justru akulah yang salah menuduh mereka, dan apa yang kurasakan sekarang adalah hukuman yang pantas kuterima?"

Liong-heng-pat-ciang Tham Beng membuka matanya dan menatap sinar lilin dengan pandangan kosong, ujarnya, "Hukum karma berlaku bagi siapa pun juga. pembalasan atas kebaikan maupun kejahatan sukar diduga, Wi-yang-sam-kiat sudah terlampau banyak melakukan kejahatan, tapi mereka bukannya mati di tangan musuhnya, tapi justru mereka di tanganmu. tentu saja kau merasa sedih, akan tetapi jika kau mau berpikir lebih panjang tidak mungkinkah Thian yang telah meminjam tanganmu untuk membasmi mereka dari muka bumi ini?"

Perkataan yang mengandung falsafah ini membuat alis mata Sun Pin bekernyit, tapi sesaat kemudian ia berkata lagi sambil menghela napas, "Aku tidak berniat melakukan kesalahan besar ini, dan akupun telah menerima hukuman yang setimpal, dengan demikian, bila nanti aku mati, maka sukmaku di alam bakapun dapat beristirahat dengan tenang, hanya saja saudara Tham, mengapa... mengapa kau..."

"Ai, kini aku terhina dan dituduh, semua ini juga merupakan hukuman yang setimpal bagiku." tukas Tham Beng sambil menghela napas, "sebenarnya ada niatku setelah mestika Pek giok cian-cu ini kukembalikan kepada pemilik yang sebenarnya. Lalu aku akan pergi jauh dan membiarkan semua kesalahan dilimpahkan atas diriku seorang, supaya rahasia besar dunia persilatan ini terkubur selamanya, tapi... tapi aku merasa bila semua rahasia ini tidak kubeberkan, sulit bagiku untuk mati dengan tenteram."

Sekali lagi hati Hui Giok tergerak, lamat-lamat ia dapat meraba di balik semua peristiwa yang terjadi sebenarnya masih tersimpan suatu kisah yang penuh berliku-liku dan sukar diduga, di balik semua itu entah mengandung berapa banyak kegetiran, betapa banyak air mata dan darah.

Sun-lotia terbatuk-batuk sambil mengambil keluar sebuah cupu-cupu arak, ia menuang dua cawan di hadapannya, Liong-heng-pat-ciang mengangkat cawan tersebut dan sekali tenggak menghabiskan isinya, sinar matanya yang berkilat tiba2 berubah jadi redup, ia memandang api lilin yang bergoyang terendus angin dengan kesima, seakan-akan semua pikiran dan perasaannya terhanyut kembali dalam kenangan lama yang amat jauh.

Entah berapa lama sudah lewat, pelahan dia berkata lagi "Belasan tahun sudah lalu... ya, belasan tahun sudah lalu, waktu itu aku masih berjiwa muda dan berdarah panas, ketika itu dunia persilatan sedang heboh oleh munculnya seorang tokoh berkerudung hitam yang misterius dan kejam, aku segera mengambil keputusan untuk menyelidiki rahasia itu sampai jelas maka kutinggalkan semua tugasku seorang diri kulakukan penyelidikan.

Hui Giok merasa dadanya seperti dihantam dengan martil, pikirnya dengan terkesiap, "Jangan-jangan, dia bukan si manusia berkerudung itu? Apakah kami yang telah salah menuduh dia?"

Sementara itu Tham Beng telah meneruskan ceritanya, "Waktu itu, kebetulan saudara Sun juga sedang berangkat mengawal Pek giok-cian-cu, ku perhitungkan si manusia berkerudung yang misterius itu pasti akan turun tangan atas dirimu, maka secara diam-diam kuikuti terus gerak-gerikmu"

"Akhirnya kita sampai di wilayah Hopak, pada suatu malam sesudah hujan badai, di kota pegunungan itu aku bertemu dengan Wi-yang-sam-kiat yang rupanya juga sedang mengincar dirimu, aku kuatir mereka akan menggagalkan rencanaku maka mereka kuawasi dengan ketat. Siapa tahu pada malam itu juga Pek-giok-cian-cu kawalanmu mendadak lenyap bersama terbunuhnya dua orang Piausu kalian yang ikut mengawal dalam perjalanan itu!"

Sun-lotia menghela napas, "Ai, kejadian itu memang merupakan suatu peristiwa yang sangat kebetulan, andaikata malam sebelum terjadi pencurian itu aku tidak berjumpa dengan Wi-yang sam-kiat, tak mungkin akan kucurigai mereka bertiga dan di kemudian haripun tak bakal berekor sepanjang ini?"

Sambil menghela napas Liong heng-pat ciang Tham Beng mengangguk, "Ya andaikata aku tidak mengawasi Wi-yang-sam-kiat, tak nanti orang lain akan berhasil dengan perbuatan kejinya, begitu kudengar Piausu anak buahmu menjerit dengan kecepatan paling tinggi kulari kembali ke situ, tertampaklah dua sosok bayangan hitam sedang kabur dengan cepatnya dari situ, diam-diam kuikuti terus ke manapun mereka pergi, akhirnya kutemukan bahwa kedua orang itu bukan lain adalah Jiang-kiam bu-tek, kedua bersaudara keluarga Hui"

Mendengar sampai di sini, hampir saja detak jantung Hui Giok berhenti, hampir pula ia tak berani mendengarkan lebih jauh, bahkan hampir saja dia dobrak pintu dan menerobos masuk, dia tak percaya semasa hidup ayahnya telah melakukan dosa yang tak terampunkan ini?.

Sementara itu Tham Beng sedang berkata lebih lanjut, "Waktu itu aku tidak peraya kedua Hui bersaudara yang selama hidup terkenal jujur dan disiplin bisa melakukan perbuatan seperti itu. Tapi kenyataan memang bicara begitu, mau-tak mau aku harus mempercayainya juga, malah aku lantas mengira mereka berdua itulah si manusia berkerudung yang keji itu, dan sebabnya mereka tidak membinasakan dirimu adalah karena kemunculanku waktu itu."

Sun-lotia menghela napas panjang, sedang Tham Beng berkata pula, "Maka timbul napsu membunuhku setelah di luar kota Po-teng dapat kubinasakan kedua bersaudara tersebut, perasaanku waktu itu sangat tenang sebab aku tidak merasa berdosa malah kuanggap telah melakukan sesuatu tindakan mulia demi kesejahteraan umat persilatan!

Tapi akhirnya... ai, aku baru sadar bahwa aku telah melakukan suatu kesalahan yang tak dapat diampuni, dan sebagai pembalasan dari perbuatanku... Dia aku harus menerima penderitaan dan siksaan sepanjang hidupku!"

Hui Giok mengepal kedua tangannya kencang-kencang sambil mengertak gigi.

"Sampai akhirnya aku baru tahu bahwa Pek giok-cian-cu itu sebenarnya adalah benda mestika milik seorang pelajar rudin yang dirampas oleh hartawan yang minta kepadamu untuk mengatakannya ke ibukota sebagai sogokan agar puteranya berhasil lulus ujian," tutur Tham Beng lagi, "kedua Hui bersaudara yang mengetahui kejadian itu merasa tidak puas, mereka berusaha merampas kembali benda mestika itu untuk diserahkan kembali kepada pemilik yang sebenarnya. Ai, siapa tahu takdir berkata lain, hingga kini bukan saja sukma kedua Hui bersaudara harus menanggung penasaran di alam baka, akupun harus menanggung pula segala penderitaan akibat kesalahan yang telah kulakukan itu!"

Hui Giok merasa darah yang mengalir dalam tubuhnya mendidih, entah harus merasa girang atau sedih? atau bangga? atau dendam? atau mengeluh?

Aku harus membalas dendam kepada Tham Beng? Atau cuma mengeluh kepada Thian?

Sementara itu Tham Beng berkata lebih jauh setelah menghela napas, "Akhirnya pelajar rudin itu dengan menanggung dendam, sedang hartawan yang jahat itu jatuh pailit, puteranya yang mengikuti ujian di ibu kota pun terseret ikut berkecimpung dalam dunia persilatan..."

"Bagaimana dengan orang itu selanjutnya?" sela Sun-lolia dengan mata terbelalak, "kalau diurutkan, orang itulah sumber semua petaka ini, bila Thian punya mata, sepantasnya ia diberi ganjaran yang setimpal, aku masih ingat keluarga hartawan itu adalah keluarga Hoa."

"Benar, dia memang she Hoa, setelah terjun ke dunia persilatan hidupnya bergantung dari menjual berita, orang menyebut dia sebagai Koay-sin (si berita kilat) Hoa Giok, sampai akhirnya ai akhirnya ia ditemukan tewas di luar perkampungannya Sin-jiu Cian Hui sampai kini tidak ada yang tahu sebab dirinya dia mati di tangan siapa?"

Hui Giok terkesiap, tanpa terasa ia menengadah, di tengah kegelapan malam yang mencekam seakan-akan terdapat sepasang mata yang sedang mengawasi dia sedang memeriksa kesalahan dan kebenaran yang dilakukan setiap umat manusia di dunia ini dan siapapun tak bisa lolos dari pengawasannya.

Meskipun ganjaran dan hukuman yang Dia berikan mungkin agak lambat tibanya, tapi jangan kau harapkan akan memperoleh buahnya yang manis apabila yang kau tanamkan adalah bibit kejahatan.

Semacam perasaan takut yang timbul dan rasa hormat membuat sekujur badan Hui Giok bergemetar, pelahan dia merangkap tangannya di depan dada dan bersujud kepada Yang Maha Kuasa.

Terdengar Tham Beng berkata lagi, "Sepanjang hidupku kecuali salah membunuh Hui-si-hengte, masih ada kejadian lain lagi yang hingga kini terasa menyiksa batinku! sekembalinya di ibu kota, sebenarnya aku sudah putus asa dan memandang hambar segala urusan, ketika itulah tib-tiba Tiong-ciu-kiam Auyang Peng-ci berkunjung ke ibu-kota selamanya aku menghormati orang ini, maka akupun menahan dia untuk menginap di kediamanku.

"Suatu malam, tatkala aku minum-minum bersamanya di bawah cahaya lampu, sewaktu aku putar badan untuk mengambil arak, dan sebuah cermin yang tergantung di sudut tembok kebetulan kulihat secara tergesa-gesa dia memasukkan sejumlah serbuk putih ke dalam cawanku.

"Dalam kaget dan curiga aku tetap tenang dan berlagak seperti tak pernah terjadi suatu apapun hanya saja arak itu secara diam-diam kutumpahkan ke lantai, setelah itu akupun berlagak mabuk dan pulang ke kamar sebelum tengah malam.

"Aku tahu tengah malam nanti Auyang Peng ci pasti akan melakukan sesuatu gerakan, tapi sampai detik itu aku masih tidak percaya Lopiautau yang berhati mulia itu pada hakikatnya adalah seorang iblis keji dan berhati busuk.

"Kurang-lebih pada kentongan ketiga lewat tengah malam, betul juga, di luar jendela lamat-lamat kudengar ia memanggil namaku dan minta aku ke luar, tentu saja aku merasa heran mendengar ajakan tersebut sebab jika dia ingin mencelakai jiwaku, rasanya tak perlu memakai tipu daya seperti itu. Untuk menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya, maka akupun tidak membangunkan orang lain, diam-diam aku melompat keluar dan bersamanya menuju ke luar kota.

Malam itu udara dingin sekali, lapisan salju yang tebal menyelimuti seluruh tanah di luar kota, di sana aku lantas bertanya kepadanya ada urusan apa dia membawaku ke situ.

Tiba-tiba ia menengadah dan tertawa, kepadaku ia bertanya apakah kutahu siapa gerangan manusia berkerudung itu?"

"Sementara hatiku tergerak oleh pertanyaannya sambil tertawa seram ia telah mengaku, "Aku Auyang Peng-ci ialah si manusia berkerudung itu"

"Rasa kagetku waktu itu sungguh sukar dilukiskan, sambil tertawa ia berkata lagi, "Mulai malam ini, manusia berkerudung yang misterius itu akan lenyap selamanya dan muka bumi ini, tahu kah kau mengapa bisa terjadi begini"

"Aku kaget bercampur tercengang, belum sempat kuucapkan sesuatu, sambil bergelak dia berkata lagi, Sebab semua perusahaan pengawalan yang ada dalam dunia persilatan telah bubar maka bila kaupun kubunuh, sekarangkan tak ada lagi orang lain yang bisa kubunuh pula?"

"Ah belum tentu!" jawabku waktu itu sambil tertawa dingin, padahal dalam hati kecilku diam2 aku bersyukur karena arak beracun tadi tak sempat kuminum, walau keringat dingin membasahi juga sekujur badanku.

"Benar juga, Auyang Peng-ci segera tertawa ini seraya berkata, "Kau sudah minum racun lan-cong-sit-kut (racun penembus usus penghancur tulang) yang kucampurkan dalam arakmu tadi, tenaga dalam yang kau miliki sekarang sudah punah tujuh bagian, asal tanganku bergerak maka kau bakal musnah dari muka bumi ini. Hahaha, kemudian aku tinggal menunggu saja di sini, lalu kugantikan baju hitam yang telah kusiapkan. Besok pagi bila mayat kalian ditemukan orang maka dalam dunia persilatan akan tersiar berita bahwa Liong-heng-pat-ciang telah beradu jiwa dengan manusia berkerudung sekalipun kau mati nama besarmu tetap akan harum dan selain dikenang orang, sedang akupun bisa menjagoi dunia persilatan tanpa siangan. Coba bayangkan, bukankah cara ini adalah suatu cara yang amat sempurna?

"Senyumnya yang penuh rasa bangga, hal ini membuat ku naik pitam, belum habis ucapannya aku lantas melepaskan pukulan dahsyat ke depan, dia mengira aku sudah keracunan, maka serangan tersebut ditangkis sekenanya Aku lantas ganti serangan dan menyerang sekuat tenaga. tak sampai beberapa jurus kemudian dia berhasil kutewaskan. Sesaat sebelum mengembuskan napasnya yang penghabisan, dengan wajah penuh rasa heran dia bertanya kepadaku, mengapa obat racunnya tidak mempan terhadap diriku?."

Liong-heng pat-ciang bercerita dengan penuh emosi, sampai di sini tiba-tiba ia menghela napas, lalu katanya, "Ya, tidak sepantasnya waktu itu timbul suatu pikiran aneh dalam benakku, tidak seharusnya timbul niatku untuk menggunakan cara yang sama itu terhadap orang lain. Ketika itu aku benar-benar menunggu di situ, tak lama kemudian benar saja ada seorang laki-laki pemabuk muncul dari pematang sana, segera kubinasakan orang itu lalu mengenakan dia baju hitam yang disediakan Auyang Peng-ci, habis itu cepat kukembali ke kota."

"Ai, sungguh tak tersangka karena pikiran yang salah itu, aku harus menanggung sesal hingga kini, sekarang biarpun kujelaskan duduk persoalan yang sebenarnya kepada umat persilatan tapi siapakah yang mau percaya?"



Sampai di sini ia berhenti bercerita, sedangkan orang lain sama diliputi rasa heran dan bingung.

Matanya terbelalak dengan mulut melongo dan tak sanggup bersuara.

Lebih2 Hui Giok, sekujur badan terasa dingin yang didengarnya itu sungguh suatu kejutan yang luar biasa.

Tiba2 dari luar ruang perahu muncul seorang laki-laki berwajah ketolol-tololan, pelahan dia masuk ke dalam ruangan perahu. Rambutnya awut-awutan tak keruan, bajunya dekil, tangannya membawa sebuah guci arak, begitu poci ditaruh di meja ia lantas pergi lagi.

"Siapakah orang itu?" Liong-heng-pat ciang bertanya dengan air muka berubah, "semua perkataanku tadi apakah didengar olehnya?"

Sun-lotia menggeleng, "Orang itu bodoh lagi kurang waras, ada kalanya sepanjang hari tidak berbicara, sekalipun dengar juga tidak menjadi soal,"

Tiba-tiba ia menghela napas, sambungnya, "Sejak kami ayah dan anak dibikin cacat oleh Jian-jiu-su-seng kemudian ditolong Kim-tong-giok-li berdua Cianpwe dan dibawa kemari, orang itulah yang selalu merawat dan melayani segala keperluan kami, kalau tidak .ai, mungkin kami ayah dm anak sudah mati kelaparan semenjak dulu2"

Sambil menghela napas, dia mengangkat poci dan memenuhi cawan Tham Beng dengan arak.

Pikiran Liong-heng-pat-ciang tampaknya benar amat kusut, begitu cawan diisi penuh, sekali tenggak dia segera menghabiskan isinya, kemudian ujarnya lagi, "Kim-tong-giok-li berdua Cianpwe itu benar-benar manusia aneh di dunia persilatan, tampaknya kejadian apapun di dunia ini tak dapat mengelabuhi mata mereka.

"Ya, peristiwa berdarah itu meski sangat misterius hingga hampir tak masuk di akal, tapi sampai sekarang yang bajik telah mendapat pahala dan yang jahatpun sudah mendapat ganjaran urusan pun boleh dibilang sudah beres." tukas Sun-lotia tiba2 "cuma ai, aku masih tetap merasa kematian Jiang kiam-bu tek Hui Si-hengte benar" tidak berharga!"

"Ai meskipun demikian, kedua bersaudara itu toh mendapatkan pula pembalasan yang baik." kata Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, "keturunan mereka, Hui Giok, sekarang sudah menjadi sebuah bintang cemerlang di dunia persilatan Ai waktu itu aku merasa hidup orang persilatan akan berakhir dengan nasib buruk, maka aku sengaja tidak mengajarkan ilmu silat kepadanya, sungguh tak tersangka akhirnya ia berhasil juga memiliki ilmu silat yang maha sakti."

Mencorong sinar mata Sun-lotia, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, tiba-tiba Liong-heng-pat-ciang meraung kesakitan, kedua tangannya segera menghantam hingga meja di depannya hancur berkeping keping.

Dalam waktu sekejap itu dan luar jendela menyambar masuk tiga titik cahaya putih, semuanya bersarang telak di tubuh Tham Beng.

Sekali lagi Liong-heng-pat-ciang Tham Beng membentak, tapi segera ia roboh terjungkal

"Siapa" teriak Sun-lotia kaget, "lni..."

Belum habis ucapannya sesosok bayangan menerobos masuk dan luar ruangan, Huj Giok yang sudah kaget bercampur tercengang kian bertambah terkejut, ternyata bayangan itu bukan lain adalah Jit-giau-tongcu Go Beng-si.

Air mukanya kelam diliputi hawa nafsu membunuh, senyum menyeringai orang mengerikan tersungging diujung bibirnya, begitu muncul dalam ditangan segera ia seret bangun Tham Beng.

Keadaan Liong heng-pat-ciang Tham Beng waktu itu mengenaskan sekali, sekujur badannya basah oleh darah. mukanya berkerut menahan kesakitan, ditambah pula api lilin sudah padam hanya sinar guram lentera yang tergantung diruang sebelah, tertampak wajahnya yang menyeringai seram.

Sun Kim-peng duduk di pembaringan, meski sangat ketakutan oleh kejadian tersebut tapi lantaran kedua kakinya cacat dan tak mampu berjalan selangkah pun, Sun-lotia yang segera menerjang ke sisinya dengan sempoyongan, lalu merentangkan tangannya untuk melindungi gadis tersebut.

Dalam pada itu Jit giau-tongcu Go Beng-si sedang menggoncang-goncangkan tubuh Tham Beng, sambil tertawa seram katanya, "Orang she Tham, tahukah kau siapa aku ini?"

"Go Beng-si!" teriak Tham Beng sambil menggertak gigi, aku tiada permusuhan dengan dirimu, kau..."

"Tiada permusuhan apa... apa?" ejek Jit giau-tongcu Go Beng si, "Hehehe Go Beng-si! Haha,.,."

Gelak tertawanya mendadak berhenti, dengan wajah yang dingin menyeramkan ia berkata lebih lanjut "Benarkah aku Go Beng si? Bila aku Bo-beng (tak punya nama), maka matipun kau pasti takkan tenteram, kini tubuhmu sudah terkena tiga jenis senjata rahasiaku yang beracun, nyawamu tak bisa hidup lebih dari satu jam lagi, sekarang biarlah terus terang kuberitahukan kepadamu, Go Beng-si bukan namaku yang sebenarnya, aku bukan lain adalah keturunan Auyang Peng-ci yang kau bunuh itu."

Begitu pengakuan tersebut diberikan, semua orang merasakan hati bergetar keras, lebih-lebih Liong-heng-pat-ciang, ia terperanjat luar biasa.

"Hehehe!. tidak kau sangka bukan?" ejek Go Beng-si sambil menyeringai seram, "tak kau duga bukan bahwa Auyang Peng-ci masih mempunyai keturunan?"

Ia menengadah, lalu keluhnya: "0. ibu! Untunglah kau membawa aku kabur jauh-jauh begitu mendengar berita kematian ayah, untung ayah tak pernah membawa kita berdua pulang ke rumah, meskipun kita harus merasakan macam-macam penderitaan hidup, tapi hari itu ananda berhasil membunuh musuh kita dengan tangan sendiri O Thian Yang Maha Adil, ternyata engkau cukup bijaksana mengatur nasibku, si Auyang Siu- kalau orang she Tham itu tidak latah secara tiba-tiba, tak mungkin berhasil kubinasakan dia dengan pukulanku."

Hui Giok yang berada di luar ruang perahu itu merasa sekujur badannya gemetar, kaki tangan jadi dingin, batinnya, "Ya, tak aneh kalau Go Beng-si mengatur segala jebakan dengan bersusah payah, pantas setiap waktu dan setiap saat dia ingin memaksa Tham Beng menuju ke jalan kematian. tak heran ia berusaha mewujudkan cita-citanya dengan cara apapun, dan tidak aneh kalau selamanya ia tak mau memberitahukan asal-usulnya kepada orang lain!"

Sesuatu yang dahulunya merupakan teka teki kini sudah terjawab seluruhnya.

Diam-diam Hui Giok menghela napas. ia hendak bangkit dan masuk ke ruang perahu, tapi saat itulah tiba-tiba dari luar perahu berkumandang suara tertawa dingin yang menyeramkan disusul seorang berkata dengan suara yang parau, "Kau bilang Thian punya mata dan adil?"

Berbareng dengan ucapan tersebut, dari luar perahu muncul seorang, dia inilah orang yang dianggap bodoh dan kurang waras itu.

Dia berjalan seperti sesosok mayat hidup, setelah tiba di sisi Auyang Siu, pada wajahnya yang ketolol-tolo!an itu tersembul senyuman menyeringai yang menyeramkan.

"Tahukah kau, dalam arak sepoci itu sudah kucampuri dengan racun pembunuh tikus" katanya "justeru lantaran ia merasa dirinya sudah keracunan maka senjata rahasiamu berhasil mengenai tubuhnya dengan tepat."

Auyang Siu terbelalak dengan mulut melongo "Si . siapa kau . ?" tegur Tham Beng dengan suara gemetar.

Orang itu tertawa seram: "Kau tidak menyangka bukan! Aku adalah puteranya laki-laki pemabuk yang kau bunuh di luar ibu-kota itu! Setelah ayahku mati terbunuh, ibuku menyusul pula ke alam baka karena sedihnya, aku jadi miskm, aku tak bisa makan, tak punya pakaian yang selalu kuingat adalah membalas dendam bagi kematian ayahku. Setiap hari, pekerjaan apapun enggan kulakukan orang lain mengira aku kurang waras dan lama kelamaan aku sendripun mengira aku sudah menjadi seorang yang gila."



Sampai di sini dia lantas terkekeh-kekeh suaranya melengking menyeramkan. membuat bulu kuduk orang sama berdiri.

Seluruh wajah Liong heng-pat-ciang Tham Beng diliputi rasa kaget yang sukar dilukiskan, dengan suara gemetar dia bergumam tiada hentinya, "O Thian... O, Thian...?"

Terdengar orang itu tertawa seram, lalu berkata pula, "Sewaktu aku kelaparan dan hampir mampus, kebetulan dua orang ayah beranak ini menemukan aku dan memelihara diriku sampai kini. Waktu itu aku hanya berharap bisa hidup lebih lanjut, soal dendam tak pernah kupikirkan lagi, tak tahunya Thian memang punya mata dan memberi kesempatan kepadaku untuk mendengarkan kisahmu tadi, dan sungguh beruntung akupun mempunyai persediaan racun pembunuh tikus Hehehe hahaha.... akhirnya sakit hatiku berhasil juga ku balas!"

Sambil bergelak tertawa ia terduduk di tanah, lalu bergelindingan dan kemudian merangkak ke sana kemari..."

Auyang Siu hanya berdiri dengan mata terbelalak dan melongo bingung, sungguh ia tak tahu apa yang mesti dilakukannya.

Hui Giok sendiripun merasa kaget dan ngeri Tiba-tiba Tham Beng membentak keras, tubuhnya terbanting ke tanah dan tak bergerak lagi sebelum ajalnya dia masih juga berguman, "0 Thian... Thian ..."

Hui Giok tak dapat mengendalikan lagi, ia segera melompat masuk ke dalam perahu.

Tapi suasana dalam ruangan perahu ketika itu telah berubah menjadi dunianya orang orang gila, sorot mata semua orang tampak kaku dan termangu.

Hukum karma selalu berlaku, siapa berbuat kebaikan akan memperoleh balasan yang baik, siapa berbuat kejahatan akan menerima hukuman yang setimpal siapakah yang percaya bahwa Liong-heng-pat-ciang, seorang tokoh persilatan yang dihormati dan disegani ternyata menemui ajalnya di tangan orang yang tidak waras?

Di tengah keheningan yang mencekam itu tiba2 terdengar orang itu menjerit lalu menggelinding kian kemari, setelah meraung sekarat beberapa kali akhirnya ia mengejang dan mati juga.

Dalam gembiranya tadi ia telah mereguk habis isi arak beracun yang belum sempat diminum Sun-lotia, begitu arak racun itu masuk ke dalam perut, kasihan si "tolol" yang hidup demi membalas dendang begitu sakit hati terbalas. dia sendiripun harus menemui ajalnya.

Selama hidup ia belum pernah mendapat kegembiraan iapun tidak terlalu lama hidup dalam keadaan sadar, sekarang dia dapat mati pada saat paling gembira dan paling sadar, dalam kehidupannya yang kelabu, setidak-tidaknya terbias setitik warna darah.

Setelah berlangsungnya serangkaian adegan yang mengerikan, tiba-tiba Hui Giok mendengar suara panggilan yang sangat dikenalnya berkumandang lagi dari belakang:

"Anak Giok"

Dengan terkejut Hui Giok berpaling, tertampaklah Kim-tong giok li berdiri di depan pintu, ke dua tokoh sakti dan dunia persilatan itu berdiri dengan wajah murung seperti kehilangan sesuatu.

Dengan suatu gerakan enteng ibaratnya awan mengambang di angkasa., Kim-tong berkelebat ke sisi mayat Tham Beng, lalu menghela napas, katanya, "Ai, terlambat, terlambat, sungguh tak kusangka karena kedatanganku terlambat selangkah. semuanya lelah berubah jadi begini..."

Giok-li juga menghela napas dengan sedih, "Bila Thian sudah mengatur begini, mampukah engkau untuk mengubahnya? Dia hanya meminjam tangan mu untuk melaksanakan firmanNya?. dan Dia telan mengatur semua firmanNya secara tertentu apakah engkau bisa mengubah kehendak takdir?"

Kim-tong bungkam, lama sekali ia tertegun, kemudian bergumam, "Budi dan benci baik dan buruk ai, hukum karma selalu berlaku bagi umat manusia ai kalau Thian tidak buta matanya, apa gunanya kita banyak urusan di cuma ramai ini.

Ditatapnya sekejap isteri kesayangannya, lalu tambahnya. "Aku rasa sudah waktunya pula kita pun harus pulang kandang!"

"Ya" Giok-li tertawa, "kita bisa mencari suatu tempat yang tenang dan sepi, supaya tak seorang pun bisa mengganggu ketenangan kita."

Sinar matanya mencorong cemerlang, demikian pula dengan wajah Kim-tong.

Tiba-tiba Hui Giok merasa betapa menarik dan mengagumkannya kedua tokoh sakti itu, dia menghela napas dan segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan mereka.

Malah Auyang Siu serta Sun lo-tia tanpa terasa juga ikut bertekuk lutut, hanya Sun Kim peng yang cacad kakinya tidak dapat berlutut namun dengan kepala tertunduk kedua tangannya dirangkap di depan dada iapun bersujud.

Kim-tong memandang sekeliling tempat itu, lalu menghela napas "Budi dan dendam telah berakhir, kejadian lampau sudah lewat ibaratnya air yang mengalir dan tak pernah kembali lagi setelah kejadian hari ini kuharap kalian semua harus selalu ingat, bahwa di atas langit masih ada sepasang mata yang selalu mengawasi gerak-gerikmu."

Hui Giok dan Auyang Siu mendengarkan petuah itu dengan penuh khidmat, mereka tak berani angkat kepalanya.

Kim-tong menghela napas terusnya "Barusan akulah yang memancing kedatangan kalian berdua ke sini dengan ilmu Cuan im ji mi (ilmu gelombang suara) tapi tak kusangka urusan akan berubah jadi begini. Seandainya belakangan ini ambisi Tham Beng tidak terlalu besar bagaimana mungkin nasibnya berakhir dalam keadaan seperti ini?"

Tiba-tiba Giok-li menyela sambil tertawa, "Eh, bukankah barusan kau sendiri yang bilang bahwa budi dan dendam sudah berakhir kejadian lampau sudah lewat seperti air yang mengalir? Buat apa kau singgung2 kembali kejadian tersebut?"

Pelahan dia menghampiri Sun Kim-peng? membelai rambutnya yang halus, katanya dengan lembut, "Engkaulah yang patut dikasihani. Ai kami akan pergi. maukah kau ikut bersama kami meninggalkan keramaian dunia ini?"

Sebetulnya Sun Kim-peng sedang menangis terisak, demi mendengar ini, dia menubruk ke dalam pelukan Giok-li dan menangis tersedu-sedu, tanpa terasa mata Giok-li ikut berkaca-kaca.

Hati Hui G ok juga ikut pedih, dengan kepala tertunduk ia berkata, "Budi dan dendam Tecu pun sudah berakhir sejak kini Tecu juga ingin ikut..."

"Lau juga ingin ikut kami pergi?" tegur Kim tong dengan menarik muka Hui Giok mengangguk.

"Kau ingin melarikan diri? Hendak mengelakkan kewajiban?" teriak Kim-tong gusar "Tahukah kau bahwa berapa banyak urusan di dunia persilatan yang sedang menanti penyelesaiannya."

Dengan sinar mata yang lembut Giok-li melirik sekejap ke arah Hui Giok lalu sambungnya, "Kau tak boleh ikut pergi! Tahukah kau? Ketika kau tinggalkan ruang kamarmu tadi ada seseorang sedang menantikan kedatanganmu di sana."

Sekujur badan Hui Giok bergetar "Ya," sambung Kim-tong, "seandainya bukan lantaran harus mengantar dia ke sana, kedatangan kami ke sinipun tentu tak akan terlambat!"

Seketika itu juga Hui Giok merasa darahnya berbolak keras, seluruh kedukaan, kemurungan benci dan dendam, penderitaan, kengerian seolah-olah telah jauh meninggalkan dirinya.

Yang masih tersisa sekarang hanya kehangatan dan kemesraan, kehangatan dan kemesraan yang tak mungkin bisa dilawan!

oooo

Waktu itu sudah jauh malam, meski udara sangat gelap, tapi jaraknya dengan fajar sudah tidak jauh lagi.

Bintang yang bertebaran di angkasa, seakan-akan berpuluh-puluh pasang mata kekasih.

Bintang, selamanya tak akan kesepian, hanya saja ada yang lebih awal muncul di angkasa dan ada yang lebih lambat menampakkan diri. Ada sebagian yang terkadang akan tertutup oleh awan tapi akhirnya pasti akan memancarkan kembali sinarnya, dari dulu sampai sekarang selalu begini, dan dari sekarang sampai akhir jaman tetap tak akan berubah.

- T A M A T -

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar