Beberapa hari kemudian
rombongan orang-orang Huashan itu sudah sampai di kota Luoyang dan bermalam di
sebuah penginapan yang cukup besar. Seorang diri Lin Pingzhi mendahului
berangkat menuju ke rumah kakeknya.
Sementara itu Yue Buqun dan
yang lain sudah mengganti pakaian mereka dengan yang lebih bersih. Sebaliknya,
Linghu Chong yang memang sejak awal tanpa persiapan untuk mengikuti perjalanan
masih tetap memakai pakaian kotor yang ia gunakan pada pertempuran di kuil tua
tempo hari.
Yue Lingshan kemudian datang
ke kamar Linghu Chong sambil membawa seperangkat pakaian bersih. Gadis itu
berkata, “Kakak Pertama, silakan pakai baju ini!”
“Bukankah ini pakaian Guru?”
sahut Linghu Chong. “Mengapa kau berikan kepadaku?”
“Sebentar lagi kita diundang
pergi ke rumah keluarga kakek Lin Kecil. Lekas kau ganti pakaianmu dengan
pakaian ayah yang lebih bersih ini,” pinta Yue Lingshan.
“Siapa bilang kalau ke rumah
orang harus memakai pakaian yang bagus?” sahut Linghu Chong sambil mengamati
penampilan Yue Lingshan dari atas ke bawah.
Ternyata hari itu Yue Lingshan
berdandan begitu rapi, memakai baju sutera berbungkus kain kapas tipis dan
berkain satin warna hijau muda. Wajahnya berbedak dan bergincu tipis sehingga
makin menambah kecantikannya. Rambutnya yang hitam pun tersisir rapi mengkilap,
dengan tusuk kundai yang berhias bunga dengan untaian mutiara.
Biasanya Yue Lingshan
berdandan sedemikian rupa hanya sewaktu merayakan tahun baru. Namun sekarang
hanya pergi ke rumah keluarga Lin Pingzhi saja ia sudah tampil secantik ini.
Ingin sekali Linghu Chong mengeluarkan kata-kata sindiran, namun kemudian ia
berpikir bahwa seorang laki-laki sejati tidak sepantasnya berbuat sedemikian
picik.
Sebaliknya, Yue Lingshan
merasa rikuh karena dipandangi seperti itu. Ia pun berkata, “Jika kau tidak mau
berganti pakaian, ya sudah!”
“Benar. Aku tidak biasa
memakai baju baru. Aku pakai ini saja. Terima kasih,” jawab Linghu Chong.
Yue Lingshan tidak ingin adu
pendapat lebih lama lagi. Ia pun membawa kembali pakaian tersebut ke kamar sang
ayah.
Tidak lama kemudian terdengar
suara seseorang yang nyaring dan keras sedang berseru di luar penginapan,
“Jauh-jauh Ketua Yue berkunjung kemari, tapi saya tidak melakukan penyambutan
sebagaimana mestinya. Sungguh sangat tidak sopan.”
Yue Buqun yakin kalau itu
adalah suara Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding. Setelah tersenyum kepada
istrinya, ia pun melangkah keluar. Tampak kemudian olehnya seorang laki-laki
tua berusia sekitar tujuh puluh tahun yang menyambut dengan penuh hormat.
Laki-laki tua itu berwajah kemerah-merahan dan bercahaya, dengan janggut
berwarna putih panjang. Sungguh sosok yang terlihat sehat dan berwibawa. Tangan
kiri orang tua itu sibuk memainkan dua butir bola emas yang masing-masing
sebesar telur angsa. Jika orang lain pada umumnya hanya memainkan bola dari
besi atau baja untuk melatih tangannya, namun Wang Yuanba menggunakan bola dari
emas murni. Tidak hanya ukurannya yang dua kali lebih besar daripada bola besi
yang biasa dijumpai, tetapi harganya juga tentu lebih mahal.
Begitu melihat Yue Buqun
keluar dari kamar, segera Wang Yuanba tertawa dan berseru, “Selamat berjumpa!
Nama besar Ketua Yue sudah terkenal di dunia persilatan. Hari ini Ketua Yue
sudi berkunjung ke Luoyang, sungguh suatu kehormatan bagi kawan-kawan persilatan
di daerah tengah sini.” Sambil berkata demikian, Wang Yuanba menyambut tangan
Yue Buqun dan menjabatnya dengan penuh rasa gembira. Sikapnya terlihat tulus
dan penuh simpati.
Yue Buqun tersenyum dan
menjawab, “Kami suami-istri bersama para murid sengaja berkelana keluar dan
berkunjung kepada para sahabat untuk mencari pengalaman. Justru tokoh pertama
yang kami kunjungi adalah pendekar besar dari daerah tengah ini, Tuan Besar
Wang si Golok Emas Tanpa Tanding. Kedatangan kami ini benar-benar terlalu mendadak
dan sungguh lancang.”
Dengan suara keras Wang Yuanba
berkata, “Julukan Si Golok Emas Tanpa Tanding tidak boleh diucapkan di depan
Ketua Yue oleh siapa pun juga. Bagiku ini bukan sanjungan, tapi semacam
penghinaan. Jika ada yang berani menyebut julukanku di depan Ketua Yue, sama
saja dengan menempatkan diriku dalam masalah besar, hahaha. Ketua Yue sudi
menerima cucuku sebagai murid. Budi baik Ketua Yue sungguh sulit dibalas. Mulai
saat ini Perguruan Huashan dan Golok Emas adalah satu keluarga. Harap Ketua Yue
beserta rombongan berkenan tinggal di rumahku sekurang-kurangnya selama
setengah tahun. Siapa pun tidak boleh pergi meninggalkan Luoyang. Nah, Ketua
Yue, biarlah kubawakan barang-barangmu!”
“Tidak, tidak! Saya tidak
berani menerima penghormatan seperti ini. Mana mungkin kami berani merepotkan
Tuan Besar Wang?” sahut Yue Buqun cepat.
Wang Yuanba segera berpaling
dan berkata kepada dua orang putranya dan berkata, “Bofen dan Zhongqiang, lekas
kalian memberi hormat kepada Paman dan Bibi Yue!”
Wang Bofen dan Wang Zhongqiang
segera memenuhi perintah sang ayah. Mereka pun berlutut untuk memberi hormat
kepada Yue Buqun suami-istri. Yue Buqun dan Ning Zhongze merasa rikuh.
Buru-buru mereka berlutut pula untuk membalas penghormatan.
Yue Buqun berkata, “Sebutan
‘paman’ sama sekali aku tidak berani menerima. Kita ini satu angkatan. Aku
adalah guru Lin Pingzhi, sedangkan kalian berdua adalah paman Lin Pingzhi.”
Wang Bofen dan Wang Zhongqiang
adalah dua bersaudara yang memiliki nama besar di daerah Henan dan Hubei.
Meskipun mereka sangat menghormati Yue Buqun, namun dalam hati sebenarnya
merasa rikuh kalau harus memanggil “paman” kepadanya. Mereka memberikan
penghormatan dengan berlutut adalah semata-mata karena perintah sang ayah. Maka
ketika melihat Yue Buqun dan Ning Zhongze balas berlutut dan memberi hormat,
kedua bersaudara itu merasa sangat gembira. Usai saling memberi hormat, keempat
orang itu pun kembali berdiri.
Yue Buqun dapat melihat bahwa
dua bersaudara di hadapannya sama-sama bertubuh tinggi. Hanya saja, Wang
Zhongqiang terlihat lebih gemuk daripada Wang Bofen. Selain itu keduanya
sama-sama bertubuh kekar dengan tonjolan otot yang terlihat jelas. Dapat
dipastikan, mereka berdua memiliki kekuatan besar, baik itu tenaga dalam maupun
tenaga luar.
Yue Buqun kemudian berkata
kepada murid-muridnya, “Kalian semua lekas beri hormat kepada Kakek Guru dan
kedua Paman Wang. Keluarga Golok Emas memiliki nama besar di antara kaum
persilatan di kawasan tengah. Leluhur perguruan kita juga sangat menghormati
Keluarga Golok Emas Wang. Kalian sangat beruntung apabila Kakek Guru dan kedua
Paman Wang berkenan memberikan beberapa petunjuk. Aku yakin tentu sangat
bermanfaat untuk kemajuan ilmu silat kalian.”
“Baik, Guru!” jawab para murid
Huashan bersamaan. Serentak mereka pun berlutut di lantai dan memberikan
penghormatan kepada Wang Yuanba dan kedua putranya. Wang Yuanba tampak
tersenyum membalas hormat sambil berkata, “Adik Yue, kau mengolok-olok kami.”
Kedua putranya pun membalas hormat pula.
Lin Pingzhi yang berdiri di
sebelah sang kakek segera memperkenalkan para murid Huashan satu per satu.
Keluarga Wang sungguh kaya raya. Wang Yuanba sudah mempersiapkan hadiah untuk
para murid Huashan. Masing-masing dari mereka menerima empat tahil perak.
Ketika Lin Pingzhi memperkenalkan
Yue Lingshan, Wang Yuanba pun tersenyum lebar dan berkata kepada Yue Buqun,
“Adik Yue, putrimu ini benar-benar cantik. Apakah Adik Yue sudah mempunyai
calon besan?”
“Ah, anak perempuan saya mash
kecil. Lagipula anak gadis keluarga persilatan seperti kita ini hanya terkenal
suka main golok dan mengayun pedang saja,” jawab Yue Buqun sambil tertawa.
“Bicara tentang kepandaian menyulam, menjahit, atau memasak sama sekali dia
tidak becus. Mana mungkin ada yang mau mengambil perawan liar seperti dia sebagai
menantu?”
“Adik Yue terlalu merendah,”
ujar Wang Yuanba. “Seorang pendekar hebat sudah pasti memiliki putri yang hebat
pula. Pemuda dari keluarga biasa mana berani coba-coba mendekati putri Adik
Yue? Tapi pendapatmu benar juga; anak perempuan memang sudah sepantasnya
belajar sedikit keterampilan rumah tangga.”
Sampai di sini suara Wang
Yuanba tiba-tiba terdengar serak dan lirih. Yue Buqun menyadari kalau orang tua
itu sedang teringat pada putrinya yang telah meninggal, yaitu ibu Lin Pingzhi.
Ia pun mengangguk setuju dengan menampilkan wajah prihatin.
Wang Yuanba yang berifat
terbuka segera dapat mengatasi perasaannya. Ia pun tertawa dan berkata, “Adik
Yue memiliki putri yang cantik dan berbakat. Rasanya akan sangat sulit
menemukan pendekar muda yang pantas menjadi pendampingnya.”
Pada saat itu, Lao Denuo
muncul dari dalam sambil memapah Linghu Chong. Secara mengejutkan, Linghu Chong
tidak berlutut memberi hormat kepada Wang Yuanba dan kedua putranya, melainkan
hanya membungkuk saja sambil berkata, “Linghu Chong memberi hormat kepada Kakek
Guru Wang dan kedua Paman.”
“Kenapa kau tidak berlutut?”
bentak Yue Buqun.
Sebelumnya Wang Yuanba sudah
mendengar cerita dari Lin Pingzhi bahwa si kakak pertama sedang menderita luka
dalam yang cukup parah. Maka, orang tua itu pun tersenyum dan menjawab,
“Keponakan Linghu sedang sakit, tidak perlu baginya untuk terlalu banyak adat.
Adik Yue, kabarnya ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan adalah yang paling hebat
di antara Serikat Pedang Lima Gunung. Maka, kekuatanmu minum arak sudah tentu
bagus pula. Oleh karena itu, aku mengundangmu minum beberapa cawan di rumah
kami.”
Usai berkata demikian, Wang
Yuanba segera menggandeng lengan Yue Buqun lalu keduanya pun melangkah keluar
dari penginapan. Ning Zhongze, Wang Bofen, Wang Zhongqiang, dan yang lain
mengikuti di belakang. Di luar ternyata sudah tersedia sejumlah kereta dan
kuda; kereta untuk rombongan wanita, dan kuda untuk rombongan laki-laki. Jika
dihitung baru dua jam sebelumnya Lin Pingzhi mengabarkan kedatangan rombongan
Perguruan Huashan di kota Luoyang kepada sang kakek, namun keluarga Wang sudah
mampu menyediakan kereta dan kuda sebanyak itu dan menempatkannya di depan
penginapan untuk menghormati para tamu. Dari hal ini dapat dilihat betapa besar
wibawa dan kekuasaan Wang Yuanba di kota Luoyang.
Akhirnya rombongan pun sampai
di rumah keluarga Wang. Tampak sebuah gedung megah dengan pintu besar berwarna
merah. Dua buah gelang tembaga terpasang pada tiap-tiap daun pintu dan tergosok
bersih hingga terlihat mengkilap. Delapan laki-laki berbadan tegap tampak
berdiri rapi di depan pintu dengan sikap penuh hormat. Mereka semua terdiam
dengan kedua tangan di balik punggung yang menunjukkan sikap siap menerima
perintah majikan.
Begitu masuk ke dalam terlihat
sebuah papan besar terpampang pada sebuah belandar. Papan tersebut bertuliskan
kalimat: “Turun Tangan Membela Keadilan”, yang merupakan hadiah dari gubernur
Henan. Ternyata keluarga Wang bukan hanya terkenal di dunia persilatan, namun
juga berhubungan baik dengan pembesar negeri setempat.
Malam itu Wang Yuanba
mengadakan jamuan besar-besaran untuk menghormati Yue Buqun dan rombongannya.
Ia juga mengundang tokoh-tokoh penting di kota Luoyang seperti kaum pendekar,
kaum pengusaha, juga kaum seniman untuk ikut meramaikan acara dan menyambut
kedatangan para tamu kehormatan. Linghu Chong selaku murid pertama Yue Buqun
terlihat berwajah lesu dan berpenampilan kotor, compang-camping membuat para
hadirin sempat bertanya-tanya dalam hati. Namun mereka berusaha memakluminya
karena di dunia persilatan banyak tokoh sakti berpenampilan aneh. Bukankah para
pemuka Partai Pengemis juga berpakaian kotor? Selain itu sebagai murid pertama
Perguruan Huashan sudah tentu Linghu Chong memiliki ilmu silat tinggi, sehingga
wajar kalau bersikap sesuka hati. Demikian pikir para hadirin membuat mereka
tidak berani berpikiran macam-macam lagi.
Linghu Chong sendiri duduk
semeja dengan Wang Bofen. Sudah tiga kali mereka meneguk arak, namun Linghu
Chong tetap terlihat murung tanpa tersenyum sedikit pun. Bila Wang Bofen
mengajak bicara, pemuda itu hanya menjawab dengan dingin dan cepat, seolah-olah
tidak memedulikan si tuan rumah. Wang Bofen pun teringat kejadian di penginapan
siang tadi di mana Linghu Chong adalah satu-satunya murid Huashan yang tidak berlutut
pada Keluarga Wang, namun tidak menolak saat menerima hadiah empat puluh tahil
perak. Hal ini membuatnya kurang senang. Buru-buru Wang Bofen mengganti tema
pembicaraan dan kali ini seputar ilmu silat. Namun lagi-lagi Linghu Chong hanya
menjawab “ya” atau “tidak” tanpa berkomentar lebih panjang.
Sesungguhnya Linghu Chong
tidak bermaksud kurang sopan kepada Wang Bofen. Justru sebaliknya, ia merasa
rendah diri melihat kekayaan Keluarga Wang. Sungguh bagaikan langit dan bumi.
Apalagi melihat Lin Pingzhi yang mengenakan pakaian serbamahal dan serbabagus,
membuatnya semakin rendah diri. Lin Pingzhi yang berwajah tampan dengan pakaian
seperti itu sudah pasti terlihat semakin tampan.
Linghu Chong semakin prihatin
dan berpikir, “Andai saja Adik Kecil tidak berjodoh dengan Adik Lin, dan
memilih bersamaku, apa mungkin ia bisa hidup bahagia bersanding dengan orang
miskin seperti aku ini?”
Karena pikirannya
terbayang-bayang pada Yue Lingshan, membuat apa yang diucapkan Wang Bofen sama
sekali tidak dihiraukannya. Padahal, di wilayah tengah setiap orang persilatan
sangat segan kepada Wang Bofen, dan ingin mengambil hati putra Wang Yuanba
tersebut. Tapi malam ini ia sangat merasa terhina oleh perlakuan seorang pemuda
dekil yang acuh tak acuh kepadanya.
Andai saja tidak teringat pada
saudarinya yang telah meninggal, yaitu ibu Lin Pingzhi, tentu Wang Bofen tidak
sudi menjamu Linghu Chong yang duduk di sampingnya. Di samping itu ayahnya juga
sangat menghormati Perguruan Huashan membuat Wang Bofen berjuang keras menahan
amarah ketika menuangkan arak untuk Linghu Chong sambil pura-pura tersenyum.
Meskipun acuh tak acuh jika
diajak berbicara, namun Linghu Chong tidak pernah menolak cawan arak yang
disuguhkan kepadanya. Tanpa terasa ia sudah meneguk habis empat puluh cawan
arak yang disodorkan Wang Bofen. Biasanya Linghu Chong sangat kuat minum. Namun
karena saat ini ia sudah kehilangan tenaga dalam, serta pikirannya sedang
kalut, maka kekuatannya pun berkurang banyak. Maka, baru saja melewati cawan
kelima puluh, ia sudah mulai terlihat pusing.
Diam-diam Wang Bofen berpikir,
“Dasar bocah tak tahu diri. Keponakanku adalah adik seperguruanmu, sehingga
sudah seharusnya kau memanggilku paman. Baiklah, terserah kau memanggilku apa,
tapi berani sekali kau bersikap acuh tak acuh kepadaku? Tidak masalah! Biarlah
kucekoki mulutmu sampai mabuk berat, sehingga kau menjadi bahan tertawaan dalam
perjamuan malam ini.”
Melihat mata Linghu Chong
sudah berwarna merah dan kesadarannya juga semakin menurun, Wang Bofen pun
tertawa dan berkata, “Adik Linghu adalah murid nomor satu Perguruan Huashan,
seorang pendekar tangguh. Bukan hanya memiliki ilmu silat tinggi, namun
kekuatan minumnya juga sangat hebat. Hei, pelayan! Singkirkan cawan kecil ini,
dan bawakan mangkuk besar untuk Adik Linghu minum arak!”
Para pelayan pun datang
membawa mangkuk dan langsung mengisinya dengan arak. Linghu Chong yang selama
ini pantang menolak arak dari siapa saja segera menghabiskan isi mangkuk itu.
Dalam waktu singkat, ia telah meneguk habis arak sebanyak enam mangkuk. Dalam
keadaan mabuk, pemuda itu menyapu piring dan cangkir di atas meja dengan
tangannya sehingga berjatuhan di lantai.
Para hadirin yang duduk semeja
dengan Wang Bofen dan Linghu Choing segera berkata, “Pendekar Linghu sudah
mabuk. Lekas minum secangkir teh panas sebagai penawar arak.”
“Mana mungkin murid pertama
Perguruan Huashan mabuk secepat ini?” kata Wang Bofen. “Mari kita minum lagi,
Adik Linghu!”
“Siapa bilang aku mabuk? Ayo
kita minum lagi!” jawab Linghu Chong menanggapi. Ia kembali menuang arak
semangkuk penuh dan meneguknya. Tampak setengah isi mangkuk itu berceceran
membasahi baju pemuda itu.
Tiba-tiba Linghu Chong
menggeliat. Mulutnya terbuka, dan mulai muntah-muntah. Dalam sekejap makanan
dan minuman yang sudah masuk ke dalam perutnya keluar semua sehingga mengotori
meja. Para hadirin yang semenja dengannya pun terkejut dan segera menyingkir.
Sementara Wang Bofen hanya tertawa dingin. Dalam hati ia merasa senang karena
tujuannya berhasil.
Serentak semua mata dalam
ruangan tersebut memandang ke arah Linghu Chong. Demikian pula dengan Yue Buqun
dan Ning Zhongze. Mereka berpikir, “Anak ini memang tidak cocok bergaul dengan
kalangan atas. Membuat malu saja di depan tamu sebanyak ini.”
Lao Denuo dan Lin Pingzhi
bergegas mendekat dan memapah Linghu Chong. “Kakak Pertama, mari kuantar
beristirahat di kamar,” kata Lin Pingzhi.
“Aku tidak mabuk... aku tidak
mabuk. Aku ingin minum lagi. Ambilkan... ambilkan arak!” sahut Linghu Chong
tidak lancar.
“Baiklah! Baiklah!” seru Lin
Pingzhi. “Pelayan, tolong ambilkan arak!”
Dengan matanya yang merah,
Linghu Chong melirik Lin Pingzhi, dan berkata, “Kau... kau... Lin Kecil, kenapa
tidak menemani Adik Kecil? Untuk apa kau memegangi aku?”
Dengan cepat Lao Denuo
membujuk, “Kakak Pertama, marilah kembali ke kamar saja. Di sini banyak orang.
Sebaiknya kita jangan sembarangan bicara.”
“Kau bilang apa? Sembarangan
bicara?” bentak Linghu Chong. “Guru menugasimu mengawasi aku.... Bukti apa yang
telah kau temukan?”
Khawatir Linghu Chong
berbicara macam-macam lagi, Lao Denuo pun menarik tubuh kakak pertamanya itu
dengan bantuan Lin Pingzhi dan membawanya masuk ke dalam kamar dengan agak
memaksa. Yue Buqun sendiri terlihat gusar meskipun ia terkenal pandai
mengendalikan perasaan.
“Adik Yue,” kata Wang Yuanba
sambil tertawa. “Ocehan anak muda yang sedang mabuk untuk apa dihiraukan? Mari
kita lanjutkan minum!”
“Dia itu anak desa yang tidak
berpengalaman. Hanya membuat malu saja. Mohon Tuan Besar Wang sudi memaafkan,”
ujar Yue Buqun sambil memaksa tersenyum.
Setelah acara perjamuan
berakhir, Yue Buqun melarang Lao Denuo mendekati Linghu Chong, tetapi cukup
mengawasinya secara diam-diam saja.
Siang harinya Linghu Chong
baru bangun dari tidur. Semua yang ia ucapkan tadi malam sama sekali tidak
teringat olehnya. Yang ia rasakan hanyalah sakit kepala berdenyut-denyut sampai
terasa seperti mau pecah. Ia kemudian melangkah keluar kamar. Tidak seorang pun
adik seperguruannya yang terlihat. Dari para pelayan ia mendapat berita bahwa
guru suami-istri dan adik-adiknya sedang berkumpul bersama murid-murid Keluarga
Wang di ruang latihan.
“Untuk apa aku berkumpul
bersama mereka? Lebih baik aku keluar saja,” ujar Linghu Chong dalam hati. Ia
kemudian berangkat seorang diri.
Luoyang adalah bekas ibu kota
kerajaan beberapa dinasti di masa lalu. Di kota itu terdapat banyak bangunan
megah meskipun tidak terlalu ramai. Linghu Chong sendiri kurang terpelajar
sehingga pengetahuannya tentang sejerah dan kebudayaan kuna juga sangat
terbatas. Oleh karena itu, ia sama sekali tidak tertarik meskipun di kota itu
banyak terdapat tempat-tempat bersejarah.
Pemuda itu hanya
berjalan-jalan tanpa tujuan yang jelas hingga memasuki suatu lorong sempit. Di
sebuah kedai kecil dilihatnya tujuh atau delapan orang gelandangan sedang
bermain dadu. Ia lantas mendesak mereka untuk ikut bermain dengan bermodalkan
beberapa tahil perak pemberian Wang Yuanba kemarin. Tidak sampai petang ia
sudah kembali dalam keadaan mabuk, dan pulang dengan langkah sempoyongan.
Hari-hari berikutnya Linghu
Chong menghabiskan waktunya dengan bermain dadu dan minum arak bersama kawanan
gelandangan tersebut. Jika hari-hari pertama ia selalu menang, namun pada hari
keempat ia kalah habis-habisan. Para gelandangan pun melarangnya bertaruh lebih
lanjut.
Linghu Chong marah dan
kemudian memesan arak. Namun setelah menghabiskan dua poci, pelayan kedai pun
mendatanginya dan bertanya, “Hei, anak muda, kau sudah kalah judi. Uangmu sudah
habis. Dengan cara apa kau akan membayar arak ini nanti?”
“Hutang dulu. Buatkan bon,
besok aku bayar,” jawab Linghu Chong.
“Tidak bisa,” kata si pelayan
sambil menggeleng. “Modal kedai kami kecil. Bahkan kenalan ataupun saudara,
semuanya juga tidak boleh berhutang.”
Linghu Chong semakin gusar. Ia
membentak, “Kurang ajar! Apa kau kira majikanmu ini tidak punya uang, hah?”
“Aku tidak peduli. Tunjukkan
uangmu dulu, tidak boleh hutang! Pendek kata, ada uang ada arak,” sahut si
pelayan galak.
Linghu Chong mengamati dirinya
sendiri. Keadaan tubuh dan pakaiannya yang dekil sudah pasti tidak dapat meyakinkan
si pelayan kalau ia seorang berharta. Selain pedang yang tergantung di
pinggang, tidak ada lagi harta benda yang ia bawa karena uangnya sudah habis
sama sekali. Maka ia pun meletakkan pedang itu di atas meja sambil berkata,
“Baiklah, aku gadaikan ini saja!”
Seorang gelandangan yang ingin
mengeruk keuntungan dari Linghu Chong buru-buru menukas, “Sini, biar aku bantu
menggadaikannya.”
Linghu Chong pun menyerahkan
pedang itu kepada si gelandangan. Dengan adanya jaminan itu, si pelayan pun
membawakan dua poci arak kepadanya. Beberapa saat kemudian setelah Linghu Chong
menghabiskan satu poci, si gelandangan datang dengan membawa uang perak dari
pegadaian.
“Pedangmu laku tiga tahil dan
empat ons perak,” ujar si gelandangan sambil memberikannya kepada Linghu Chong.
Linghu Chong menimbang-nimbang
perak di tangannya yang terasa tidak lebih dari tiga tahil beratnya. Namun ia
tidak peduli dan langsung memakainya untuk kembali bermain dadu. Ketika hari
petang, uang tiga tahil empat ons tersebut sudah habis untuk membayar arak dan
bermain dadu. Linghu Chong berkata pada salah seorang gelandangan yang bernama
Chen si Sumbing, “Pinjami aku tiga tahil. Kalau menang akan kukembalikan dua
kali lipat.”
“Kalau kau kalah bagaimana?”
tanya Chen si Sumbing tertawa menyeringai.
“Kalau kalah akan kukembalikan
besok,” jawab Linghu Chong.
“Huh, mana aku tahu kau ini
punya uang di rumah atau tidak?” sahut Chen si Sumbing mengejek. “Kalau kau
kalah lagi, apa kau akan menjual istrimu, atau adik perempuanmu?”
Kemarahan Linghu Chong meledak
dan ia langsung menampar pipi Chen si Sumbing. Dalam keadaan mabuk berat, ia
tidak mampu lagi menahan diri. Tangannya pun merampas beberapa tahil perak di
depan mata geandangan itu.
“Bangsat! Bocah ini mau
merampok!” seru Chen sambil mendekap mulutnya yang berdarah.
Para gelandangan serentak
bangkit dan maju mengeroyok Linghu Chong. Mereka menghujani pemuda itu dengan
pukulan dan tendangan. Kali ini Linghu Chong benar-benar tidak bisa berkutik.
Selain tenaganya yang lemah, ia juga tidak memegang pedang. Hanya sekejap saja
tubuhnya sudah babak belur dan hidungnya pun berdarah. Seorang pendekar sakti
dikeroyok kaum gelandangan, bagaikan harimau dikeroyok kawanan anjing.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara derap kaki rombongan berkuda. Salah seorang penunggangnya
membentak keras, “Minggir! Minggir!” Bersamaan dengan itu ia melecutkan
cambuknya mebuat para gelandangan berlari ketakutan.
Linghu Chong sendiri
tergeletak tak berdaya di atas tanah. Mendadak terdengar suara seorang perempuan
berteriak, “Hei, bukankah ini Kakak Pertama?” Suara yang lembut ini jelas suara
Yue Lingshan.
“Coba aku lihat,” sahut
seorang pemuda di sebelahnya, yang tidak lain adalah Lin Pingzhi.
Lin Pingzhi pun turun dari
kuda untuk memeriksa Linghu Chong. “Kakak Pertama, apa yang terjadi padamu?”
tanya pemuda itu.
Linghu Chong menggeleng dan
menjawab singkat sambil tersenyum hambar, “Aku mabuk dan kalah judi.”
Lin Pingzhi buru-buru memapah
kakak pertamanya itu naik ke atas kuda. Selain itu tampak pula sepupu-sepupu
Lin Pingzhi, yaitu dua orang putri Wang Bofen dan dua orang putra Wang
Zhongqiang. Rupanya mereka berenam berkuda sejak pagi mengunjungi tempat-tempat
terkenal di Kota Luoyang. Pada sore harinya saat perjalanan pulang secara
kebetulan menemukan Linghu Chong tersebut. Mereka sama sekali tidak menyangka
kalau akan bertemu Linghu Chong dalam keadaan babak belur di sebuah gang sempit
yang kumuh.
Dalam hati keempat sepupu Lin
Pingzhi itu merasa heran. Mereka berpikir, “Perguruan Huashan adalah anggota
Serikat Pedang Lima Gunung yang sangat dihormati Kakek. Selama beberapa hari
ini kami berlatih bersama murid-murid Huashan, ternyata hasilnya luar biasa.
Mereka memperlihatkan ilmu silat yang sangat lihai. Bukankah Linghu Chong
adalah murid pertama di Huashan? Tapi kenapa ia tidak bisa melawan para
gelandangan itu? Apakah ia hanya berpura-pura? Tapi kalau dilihat tubuhnya yang
babak belur, jelas ia tidak berpura-pura. Sungguh aneh!”
Setelah dibawa pulang ke
kediaman Wang Yuanba, berangsur-angsur Linghu Chong pulih setelah beberapa hari
beristirahat. Yue Buqun dan Ning Zhongze sangat marah mendengar ulah murid
pertama mereka itu yang kalah berjudi dan juga berkelahi melawan para
gelandangan sehingga keduanya tidak mau datang menjenguk.
Pada hari kelima putra bungsu
Wang Zhongqiang yang bernama Wang Jiaju, masuk ke dalam kamar Linghu Chong
dengan penuh semangat. Ia berkata, “Kakak Linghu, hari ini aku telah
membalaskan dendammu. Tujuh orang gelandangan yang mengeroyokmu tempo hari
sudah kuberi pelajaran yang setimpal.”
Dengan nada datar Linghu Chong
menjawab, “Ah, sebenarnya tidak perlu seperti itu. Peristiwa tempo hari adalah
salahku karena aku sedang mabuk. Aku juga yang memulai masalah itu.”
“Mana boleh begitu?” ujar Wang
Jiaju. “Kakak Linghu adalah tamu Keluarga Golok Emas Wang, mana boleh
sembarangan dipukuli orang di kota Luoyang ini? Jika kami tidak membalas kaum
gelandangan itu, ke mana lagi muka Keluarga Golok Emas Wang harus ditaruh?”
Dalam hati Linghu Chong tidak
pernah menyukai Keluarga Wang. Kini ia mendengar Wang Jiaju berkali-kali
menonjolkan nama besar keluarganya seolah-olah sang kakek adalah penguasa nomor
satu dunia persilatan. Dengan kesal ia pun berkata, “Terhadap kaum gelandangan
itu apa perlu anggota Keluarga Wang turun tangan?”
Begitu ucapannya keluar,
Linghu Chong sadar kalau hal ini akan berakibat kurang baik. Belum sempat ia
meminta maaf, Wang Jiaju sudah menyahut dengan wajah kurang senang, “Kakak
Linghu, apa maksud ucapanmu? Kalau tempo hari kami tidak menolongmu membubarkan
kaum gelandangan itu, apakah kau masih hidup sampai sekarang?”
“Ya, aku memang berhutang budi
pada kalian,” ujar Linghu Chong dengan senyum hambar.
Ucapan itu terdengar sebagai
ejekan di telinga Wang Jiaju. Anak muda itu pun berkata mencemooh, “Kakak
Linghu adalah murid nomor satu di Perguruan Huashan, tapi ternyata tidak mampu
menghadapi beberapa gelandangan di kota Luoyang. Hehe, kalau sampai diketahui
orang luar bukankah ini sangat memalukan?”
Linghu Chong yang sudah tidak
peduli dengan dirinya hanya menjawab enteng, “Aku tidak peduli. Aku merasa
tidak punya nama baik di dunia persilatan, untuk apa dipermasalahkan?”
Pada saat itulah dari luar
kamar terdengar suara menyahut, “Adik, apa kau sedang berbicara dengan Kakak
Linghu?” Ketika pintu terbuka ternyata yang datang adalah putra sulung Wang
Zhongqiang, yang bernama Wang Jiajun.
Wang Jiaju menjawab, “Kakak,
aku bermaksud baik mewakili dia menghajar kaum gelandangan itu. Eh, ternyata...
Pendekar Linghu ini malah menuduhku suka ikut campur masalahnya.”
“Ah, rupanya Adik belum tahu,”
kata Wang Jiajun. “Tadi aku mendengar dari Adik Yue, bahwa Kakak Linghu ini
sebenarnya sangat sakti. Konon sewaktu kejadian di halaman sebuah kuil Budha
Jamu, seorang diri ia bersenjatakan pedang bisa membutakan mata lima belas
orang musuh tangguh dalam sekaligus. Ilmu pedangnya sungguh hebat. Hahaha.
Sungguh hebat! Hahaha.” Dari suara tawanya jelas terlihat kalau ia sama sekali
tidak percaya pada cerita Yue Lingshan.
Wang Jiaju ikut tertawa pula.
Ia pun berkata, “Bisa jadi ilmu silat kelima belas musuh tangguh itu kalau
dibandingkan dengan kaum gelandangan di kota Luoyang ini masih kalah jauh.
Hahahaha!”
Menanggapi ejekan itu Linghu
Chong bukannya marah tapi malah ikut tertawa dan kemudian duduk santai di atas
kursi sambil memukul-mukul lututnya.
Melihat sikap Linghu Chong
yang acuh tak acuh itu diam-diam Wang Jiajun merasa kesal. Sebenarnya ia diutus
ayah dan pamannya untuk menanyai Linghu Chong. Baik Wang Bofen ataupun Wang
Zhongqiang berpesan kepadanya supaya menggunakan bahasa yang sopan untuk
mengorek keterangan karena bagaimanapun juga Linghu Chong adalah tamu Keluarga
Wang. Namun melihat raut muka Linghu Chong yang seenaknya membuat Wang Jiajun
tidak bisa menahan perasaan lagi. Ia pun bertanya dengan suara lantang,
“Saudara Linghu, ada suatu urusan yang ingin kutanyakan padamu.”
“Bicara saja, jangan
segan-segan,” sahut Linghu Chong.
Wang Jiajun melanjutkan,
“Menurut cerita sepupuku Pingzhi, sebelum ayah dan ibunya meninggal, hanya
Saudara Linghu saja yang menunggui Beliau berdua, benar begitu?”
“Benar sekali,” jawab Linghu
Chong.
“Lalu apakah wasiat Paman Lin
sebelum meninggal juga disampaikan kepada Saudara Linghu untuk diteruskan
kepada Sepupu Pingzhi?” tanya Wang Jiajun lebih lanjut.
“Benar, tidak salah,” jawab
Linghu Chong.
“Kalau begitu, di mana kitab
Pedang Penakluk Iblis milik pamanku itu?”
“Apa katamu?” bentak Linghu
Chong sambil melonjak bangun.
Khawatir Linghu Chong
menyerang dirinya, Wang Jiajun pun mundur dua langkah, lalu berkata, “Kitab
Pedang Penakluk Iblis yang diminta Paman Lin untuk kau serahkan pada Sepupu
Pingzhi, kenapa sampai sekarang belum kau lakukan?”
Sungguh gusar perasaan Linghu
Chong mendengar tuduhan itu. “Siapa... siapa yang bilang kalau... kitab Pedang
Penakluk Iblis ada padaku? Siapa yang bilang... kalau wasiat Paman Lin berupa
kitab itu?” teriaknya dengan suara gemetar.
“Jika tidak benar, kenapa kau
terlihat begitu khawatir? Cara bicaramu saja sudah gemetaran,” ujar Wang Jiajun
sambil tertawa mengejek.
Linghu Chong berusaha menahan
diri. Ia pun bertanya, “Saudara Wang berdua, saat ini aku adalah tamu keluarga
kalian. Apa yang kau lakukan ini apakah karena disuruh kakekmu, ayahmu, atau
kalian sendiri?”
“Aku hanya iseng bertanya,
kenapa harus panik?” ujar Wang Jiajun. “Ini tidak ada sangkut pautnya dengan
kakek dan ayahku. Hanya saja ilmu Pedang Penakluk Iblis sangat disegani di
dunia persilatan. Secara mendadak Paman Lin meninggal dunia dan kitab pusaka
yang selalu dibawanya ikut lenyap. Sebagai keluarga terdekat sudah tentu kami
ingin mengusutnya.”
“Apakah Adik Lin yang
menyuruhmu bertanya kepadaku? Kenapa bukan dia yang bertanya langsung?” desak
Linghu Chong.
“Hehe, Sepupu Pingzhi adalah
adik seperguruanmu. Mana mungkin dia berani bertanya terus terang kepadamu?”
ujar Wang Jiajun sambil tertawa.
Linghu Chong pun berkata
sambil tertawa dingin, “Dengan mengandalkan nama besar Keluarga Golok Emas Wang
yang termasyhur di kota Luoyang ini, kalian bersama-sama hendak memaksa
pengakuanku? Silakan, panggil Lin Pingzhi kemari!”
“Kau adalah tamu kehormatan
Keluarga Wang kami. Istilah ‘memaksa pengakuan’ sungguh tidak bisa kami
terima,” kata Wang Jiajun. “Kami bersaudara hanya terdorong rasa ingin tahu
saja. Kami hanya iseng bertanya. Kalau Saudara Linghu sudi menjawab ya syukur,
kalau tidak mau, ya apa boleh buat.”
“Baik. Aku tidak mau menjawab.
Kalian boleh pergi,” sahut Linghu Chong ketus.
Wang Jiajun dan Wang Jiaju
saling pandang dengan perasaan rikuh. Mereka tidak mengira Linghu Chong begitu
kaku dan secepat itu mengakhiri pembicaraan. Setelah berdehem dua kali, Wang
Jiajun mencoba membuka suara, “Saudara Linghu, kabarnya dalam sekali serang kau
bisa membutakan mata lima belas orang musuh tangguh. Jurus serangan yang kau
mainkan tersebut sangat hebat, dan bisa jadi berasal dari kitab Pedang Penakluk
Iblis, bukan?”
Betapa terkejut hati Linghu
Chong mendengar tuduhan Wang Jiajun. Keringat dingin pun membasahi sekujur
tubuhnya saat ia berpikir, “Selama ini aku hanya bisa heran, mengapa Guru, Ibu
Guru, dan adik-adikku semuanya tidak berterima kasih kepadaku karena telah aku
selamatkan nyawa mereka di halaman kuil tempo hari, tetapi mereka justru
menaruh curiga kepadaku? Sekarang semuanya sudah jelas. Ya, aku tahu sekarang!
Ternyata mereka yakin kalau aku telah menggelapkan kitab Pedang Penakluk Iblis
milik Lin Zhennan. Dikarenakan mereka tidak tahu menahu soal ilmu Sembilan
Pedang Dugu, serta aku sendiri juga menolak menceritakan bahwa ilmu tersebut
diajarkan oleh Kakek Guru Feng, maka sewaktu menyaksikan ilmu pedangku yang
secara tiba-tiba berkembang sedemikian pesat setelah aku diasingkan di puncak
Tebing Perenungan, dengan sendirinya mereka mengira aku telah mempelajari ilmu
Pedang Penakluk Iblis secara diam-diam. Peristiwa meninggalnya Lin Zhennan dan
munculnya Kakek Guru Feng boleh dibilang hampir bersamaan. Mereka tidak tahu
menahu mengenai kemunculan Kakek Guru Feng, sedangkan sewaktu Lin Zhennan dan
istrinya meninggal, hanya aku seorang diri yang menunggui mereka, dan hal ini
hampir setiap orang Huashan mengetahuinya. Dengan sendirinya, setiap orang akan
menuduh diriku telah menggelapkan kitab Pedang Penakluk Iblis yang merupakan
warisan Lin Zhennan untuk Lin Pingzhi. Sayang sekali, Guru, Ibu Guru, dan Adik
Kecil yang telah mengenal sifatku sejak lama mengapa tidak percaya kepadaku?
Hm, kalian benar-benar memandang rendah kepada Linghu Chong.”
Melihat wajah Linghu Chong
memancarkan kemarahan, Wang Jiajun kembali mendesak, “Nah, ucapanku tadi benar,
bukan? Di mana kitab pusaka itu? Kami tidak bermaksud mengincarnya. Kami hanya
ingin mengembalikannya kepada yang berhak, yaitu Sepupu Pingzhi. Selesai
sudah.”
“Tidak! Aku tidak pernah
melihat kitab Pedang Penakluk Iblis,” jawab Linghu Chong gusar. “Paman dan Bibi
Lin berturut-turut ditawan dan disiksa oleh orang-orang Perguruan Qingcheng,
kemudian oleh Mu Gaofeng si Bungkuk dari Utara. Jika Paman Lin menyimpan kitab
tersebut, tentu sejak awal sudah diambil orang-orang itu.”
“Benar juga,” ujar Wang
Jiajun. “Kitab Pedang Penakluk Iblis tak ternilai harganya, mana mungkin Paman
Lin menyimpannya di saku dan membawanya ke mana-mana? Sudah tentu kitab
tersebut disimpan di suatu tempat rahasia. Sebelum mereka wafat, mereka berniat
memberitahukan tempat penyimpanannya kepada Sepupu Pingzhi melalui dirimu.
Siapa tahu... siapa tahu, hehe....”
“Siapa tahu secara diam-diam
kau malah pergi sendiri untuk mengangkangi kitab tersebut?” tukas Wang Jiaju
melanjutkan ucapan kakaknya.
Linghu Chong semakin gusar
mendengarnya. Sebenarnya ia tidak sudi untuk berdebat lebih lanjut. Namun
karena masalah ini sungguh penting, ia pun berusaha menahan diri dan berkata,
“Jika benar Paman Lin memiliki kitab pusaka sehebat itu, tentu Beliau menjadi
orang yang berjaya di dunia persilatan. Tapi mengapa Beliau bisa dikalahkan dan
ditangkap hanya oleh beberapa orang murid Perguruan Qingcheng?”
“Hal ini... hal ini....” sahut
Wang Jiaju gelagapan tidak bisa menjawab.
Wang Jiajun yang lebih pintar
bicara menyahut, “Itu semua hanya kebetulan. Saudara Linghu sendiri sudah
memelajari ilmu Pedang Penakluk Iblis dan mampu mengalahkan lima belas penjahat
tangguh, tetapi mengapa melawan kaum gelandangan saja tidak mampu, bahkan
dihajar mereka sampai babak belur? Hahahaha, kau memang pandai berpura-pura.
Tapi sandiwaramu agak keterlaluan, Saudara Linghu. Mana mungkin seorang murid
pertama Perguruan Huashan bisa dihajar kaum gelandangan di kota Luoyang tanpa
perlawanan? Tentu di balik itu semua ada penjelasan yang masuk akal. Nah,
Saudara Linghu, kami rasa lebih baik kau mengaku saja.”
Biasanya Linghu Chong tidak
peduli dengan segala tuduhan dan menjawab seenaknya. Namun apa yang terjadi
sudah menempatkan dirinya sebagai pihak tersangka. Sebenarnya ia tidak takut
dicurigai oleh Keluarga Golok Emas Wang, tetapi yang ia takutkan adalah
dicurigai oleh guru, ibu-guru, dan adik kecilnya. Menanggapi itu, ia pun
berkata dengan tegas, “Aku bersumpah selama ini aku, Linghu Chong, belum pernah
melihat yang namanya kitab Pedang Penakluk Iblis. Wasiat Paman Lin juga sudah
kusampaikan kepada Adik Lin tanpa mengurangi satu kalimat pun. Jika aku ternyata
berbohong dan menipu, aku pantas dihukum mati dan menerima kutukan.” Wajahnya
terlihat bersungguh-sungguh saat mengucapkan sumpah tersebut.
Wang Jiajun tersenyum dan
berkata, “Urusan penting yang menyangkut dunia persilatan tidak cukup
diselesaikan hanya dengan bersumpah saja. Apa kau kira dengan bersumpah maka
persoalan ini bisa selesai begitu saja? Saudara Linghu terlalu kekanak-kanakan
dan menganggap orang lain bodoh.”
“Kalau begitu, bagaimana
menurutmu?” tanya Linghu Chong sambil berusaha tetap tenang.
“Maafkan atas kelancangan
kami. Namun kami terpaksa harus menggeledah badanmu, Saudara Linghu,” kata Wang
Jiaju. Setelah terdiam sejenak, anak muda itu melanjutkan sambil tersenyum
mengejek, “Anggap saja kami seperti para gelandangan yang kemarin mengeroyokmu.
Bukankah mereka juga menggerayangi badanmu?”
“Huh, kalian mau
menggeledahku? Memangnya aku ini seperti maling?” sahut Linghu Chong.
“Mana mungkin kami berani
beranggapan demikian?” ujar Wang Jiajun. “Tapi kalau Saudara Linghu benar-benar
tidak mengambil kitab itu, kenapa harus takut digeledah? Jika kami tidak
menemukannya, itu berarti nama baikmu bisa bebas dari segala tuduhan.”
“Baik,” sahut Linghu Chong
sambil mengangguk. “Tapi Adik Lin dan Adik Yue harus dipanggil ke sini biar
mereka menjadi saksi.”
Wang Jiajun khawatir mendengar
permintaan itu. Jika ia pergi memanggil Lin Pingzhi dan Yue Lingshan,
jangan-jangan Linghu Chong akan menyergap Wang Jiaju sendirian. Tapi jika
mereka pergi bersama, jangan-jangan Linghu Chong mendapat kesempatan untuk
menyembunyikan kitab tersebut. Maka, ia pun menolak, “Kalau Saudara Linghu
tidak bersalah, kenapa harus takut digeledah?”
Linghu Chong pun berpikir,
“Sebenarnya aku mengizinkan kalian menggeledah diriku adalah untuk membuktikan
bahwa diriku tidak bersalah di hadapan Guru, Ibu Guru, atau Adik Kecil. Aku
tidak peduli pada tuduhan kalian. Akan tetapi, kalau salah satu dari mereka
tidak menyaksikan penggeledahan ini, maka tidak akan kuizinkan tangan kotor
kalian menggerayangi badanku.”
Maka, ia pun berkata, “Hanya
kalian berdua? Hm, kalian berdua tidak pantas menggeledah badanku.”
Semakin Linghu Chong menolak,
maka kedua bersaudara itu semakin yakin kalau kitab Pedang Penakluk Iblis
benar-benar ada padanya. Selain itu, mereka berdua juga mengincar pujian dari
sang kakek, paman, serta ayah mereka. Bahkan jika kitab tersebut berhasil
ditemukan, Lin Pingzhi pasti berterima kasih dan mengizinkan mereka untuk ikut
mempelajari ilmu pedang hebat tersebut.
Wang Jiajun telah menyaksikan
sendiri bagaimana Linghu Chong dapat dikalahkan para gelandangan tempo hari.
Maka ia pun menyimpulkan kalau Linghu Chong hanya hebat dalam permainan pedang,
tetapi kurang pandai jika bertarung tangan kosong. Melihat kali ini Linghu
Chong tidak bersenjata, Wng Jiajun pun melirik adiknya, kemudian berkata,
“Saudara Linghu, kau menolak diajak bicara baik-baik tapi memilih menggunakan
kekerasan. Jika sampai terjadi apa-apa tentu akan merusak hubungan baik kita.”
Setelah bicara demikian, Wang
Jiajun bersama Wang Jiaju pun mendesak maju. Wang Jiaju mendahului menerjang ke
depan sambil membusungkan dada. Linghu Chong mengangkat tangan hendak
menolaknya. Tapi Wang Jiaju berteriak, “Hei, kau berani memukul?”
Bersamaan dengan itu tangannya
terus maju untuk mengunci pergelangan lawan. Karena Linghu Chong adalah murid
pertama Perguruan Huashan, maka Wang Jiaju tidak berani meremehkannya. Ia pun
mengerahkan segenap kekuatannya saat mengerahkan jurus Keluarga Wang tersebut.
Linghu Chong lebih
berpengalaman dalam pertarungan. Begitu melihat Wang Jiaju menyerang dengan
sepenuh hati, ia pun mempersiapkan segala macam jurus untuk menangkisnya. Saat
pihak lawan mengunci lengannya, sebenarnya ia dapat memutar lengan tersebut dan
melakukan serangan balasan. Namun celakanya, ia tidak memiliki tenaga dalam.
Meskipun tangannya bergerak sesuai rencana, namun tiada daya sama sekali
sehingga dengan mudah ditangkap oleh Wang Jiaju. Tahu-tahu lengan Linghu Chong
dipuntir sampai terdengar bunyi patah.
Wang Jiaju tidak berhenti
sampai di situ. Setelah mematahkan lengan kanan Linghu Chong, tengannya pun
bergerak mencengkeram bahu lawannya itu sampai lepas dari sendi. “Lekas geledah
dia, Kakak!” serunya kepada Wang Jiajun.
Segera Wang Jiajun maju dan
menjulurkan sebelah kakinya untuk menahan bagian bawah perut Linghu Chong untuk
berjaga-jaga agar tidak balas menendang. Menyusul kemudian ia menjulurkan
tangan untuk menggerayangi baju Linghu Chong dan mengeluarkan semua isinya.
“Ini dia!” seru Wang Jiajun
ketika menemukan sebuah kitab kecil. “Ini dia! Kitab Pedang Penakluk Iblis
milik Paman Lin sudah kita temukan!”
Kedua bersaudara itu segera
membuka buku tersebut. Pada halaman pertama terdapat tulisan dalam huruf kuna,
berbunyi “Menertawakan Dunia Persilatan”. Namun sayangnya, kedua bersaudara itu
tidak paham sastra. Mereka tidak mengerti huruf kuna sehingga tidak dapat
membacanya dengan jelas. Ketika dibuka lembar-lembar selanjutnya yang mereka
lihat hanyalah simbol-simbol aneh pada setiap halaman. Karena mereka juga tidak
paham notasi musik, dan mereka pun sudah terlanjur yakin dengan penemuan
mereka, maka keduanya pun kembali berteriak, “Kitab Pedang Penakluk Iblis telah
kita temukan!”
“Ayo kita tunjukkan kepada
Kakek,” seru Wang Jiajun sambil berlari membawa kitab kecil tersebut.
Wang Jiaju yang belum puas
segera menendang pinggang Linghu Chong, sembil memaki, “Dasar maling licik! Tak
tahu malu!” Ia kemudian meludahi wajah Linghu Chong dan segera pergi menyusul
kakaknya.
Linghu Chong sangat marah atas
perlakuan kasar kedua anak muda tadi. Namun ia kemudian berpikir bahwa kakek
dan ayah mereka tentu tidak sebodoh itu dan berharap mereka mengetahui kalau
kitab tersebut berisi notasi musik sehingga sudi meminta maaf atas kekeliruan
ini. Namun yang sangat disesali Linghu Chong adalah bahu dan lengannya yang terkilir
dan lepas dari sendi, terasa sakit bukan kepalang. Ia hanya bisa mengeluh,
“Tenaga dalamku sudah punah. Melawan beberapa gelandangan saja aku tidak
sanggup. Keadaanku sudah mirip orang cacad. Huh, apa artinya hidup seperti
ini?”
Ia berbaring di tempat
tidurnya sambil menahan sakit. Air matanya meleleh namun segera diusap setelah
membayangkan kedua bersaudara itu akan datang kembali untuk minta maaf.
Bagaimanapun juga, ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan mereka.
Selang agak lama, terdengar
suara langkah kaki dua orang agak terburu-buru sedang menuju ke arah kamar.
Jelas kedua bersaudara itu datang kembali. Begitu memasuki kamar, Wang Jiajun
pun berkata, “Ayo pergi menemui kakekku!”
“Tidak sudi,” jawab Linghu
Chong. “Kakekmu yang harusnya datang kemari meminta maaf padaku. Aku tidak sudi
pergi menemuinya.”
Wang Jiajun dan Wang Jiaju
tertawa bersamaan. “Hah? Kakek yang mohon maaf padamu? Jangan mimpi! Ayo lekas
berangkat!” seru Wang Jiaju.
Kedua bersaudara itu pun
menarik baju Linghu Chong, dan menyeretnya keluar dari kamar dengan paksa.
“Huh, Keluarga Golok Emas Wang
mengaku sebagai kesatria pembela kebenaran, tapi perbuatan kalian
sewenang-wenang seperti ini. Sungguh kotor dan tak tahu malu!” bentak Linghu
Chong memaki-maki.
Wang Jiajun pun membalas
dengan menampar wajah Linghu Chong sampai bibirnya mengeluarkan darah.
Namun Linghu Chong masih terus
memaki. Kedua bersaudara itu tanpa ampun menyeretnya masuk ke dalam sebuah
ruangan besar, di mana di dalamnya sudah duduk menunggu Wang Yuanba, Yue Buqun,
Ning Zhongze, Wang Bofen, dan Wang Zhongqiang.
Linghu Chong tidak peduli dan
masih terus memaki, “Keluarga Golok Emas Wang ternyata rendah dan kotor! Kalian
adalah keluarga paling hina dalam dunia persilatan!”
“Tutup mulutmu, Chong’er!”
bentak Yue Buqun dengan wajah bengis.
Linghu Chong langsung berhenti
berbicara. Namun matanya tetap memandang tajam ke arah Wang Yuanba. Tampak
orang tua itu memegang kitab musik Menertawakan Dunia Perilatan pemberian kedua
cucunya tadi.
“Keponakan Linghu, dari mana
kau peroleh kitab Pedang Penakluk Iblis ini?” tanya Wang Yuanba dengan suara
berwibawa.
Linghu Chong terperanjat. Ia
kemudian menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
“Chong’er, kau bisa bersikap
sopan atau tidak? Sesepuh bertanya kepadamu, jawab dengan baik! Di mana tata
kramamu?” bantak Yue Buqun.
Linghu Chong menjawab, “Guru,
saya sedang terluka parah dan tak bertenaga. Tapi kedua bocah ingusan itu
memperlakukan saya dengan sangat kasar. Hehe, apa seperti ini cara Keluarga
Wang menghormati tamu?”
“Terhadap tamu yang terhormat
kami pasti berlaku sopan dan tak kurang adat,” ujar Wang Zhongqiang. “Tapi kau
telah mengingkari wasiat orang dan menyimpan kitab Pedang Penakluk Iblis di
balik bajumu sendiri. Perbuatanmu ini jelas-jelas mencuri. Keluarga Golok Emas
Wang selalu mengutamakan kebenaran. Dengan kejadian ini, rasanya kami tak perlu
menghormatimu lagi.”
Linghu Chong menjawab angkuh,
“Kalian dari kakek sampai cucu bersikeras mengatakan kalau kitab itu adalah
kitab Pedang Penakluk Iblis. Memangnya kalian pernah melihat secara langsung
bagaimana wujud kitab Pedang Penakluk Iblis? Bagaimana kalian bisa yakin kalau
kitab tersebut adalah kitab Pedang Penakluk Iblis?”
Wang Zhongqiang terdiam
sejenak, kemudian menjawab, “Kitab ini ditemukan pada dirimu. Saudara Yue telah
melihatnya dan berkata bahwa kitab ini bukan milik Perguruan Huashan. Lantas,
apa lagi kalau bukan kitab Pedang Penakluk Iblis?”
Karena semakin gusar Linghu
Chong pun tertawa dan berkata, “Jika benar kitab tersebut berisi rahasia ilmu
Pedang Penakluk Iblis, maka silakan saja kalian pelajari. Semoga kalian bisa
mendapatkan banyak petunjuk dari kitab itu. Maka untuk selanjutnya, Keluarga
Wang di Luoyang akan disegani di dunia persilatan karena bertambah gelar
menjadi Keluarga Golok Emas dan Pedang Emas Wang. Hahahaha!”
“Keponakan Linghu,” sahut Wang
Yuanba. “Jika ada kesalahan yang dilakukan kedua cucuku padamu, hendaknya kau
jangan membenci mereka. Setiap manusia tentu pernah melakukan kesalahan. Yang
baik adalah menyadari kesalahannya dan memperbaikinya. Kau telah menyerahkan
kitab pedang ini kepada kami. Demi memandang pada gurumu, mana mungkin kami
tega mengusutnya lebih jauh? Untuk selanjutnya, persoalan ini tidak perlu
diungkit-ungkit lagi. Sekarang biar kubetulkan lenganmu yang terkilir.” Usai
berkata demikian orang tua itu melangkah maju mendekati Linghu Chong sambil
menjulurkan tangannya.
“Tidak perlu! Linghu Chong
tidak sudi menerima permainanmu!” jawab Linghu Chong sambil mundur dua langkah.
“Permainan apa?” tanya Wang
Yuanba.
“Aku bukan boneka yang tidak
punya perasaan,” bentak Linghu Chong. “Lenganku ini tidak dapat kalian
perlakukan seenaknya. Ingin dipatahkan lantas dipatahkan, ingin disambung
lantas disambung. Huh!” Ia kemudian melangkah ke hadapan Ning Zhongze dan
berkata, “Ibu Guru, lenganku ini....”
Ning Zhongze paham maksud
Linghu Chong. Dengan menghela nafas panjang ia pun membetulkan ruas lengan dan
bahu murid pertama suaminya yang terkilir itu.
Linghu Chong kemudian berkata,
“Ibu Guru, kitab tersebut berisi notasi musik kecapi dan seruling. Tapi
ternyata Keluarga Wang sudah buta huruf semua dan bersikeras mengatakan kalau
kitab tersebut berisi rahasia ilmu Pedang Penakluk Iblis. Sungguh lelucon
mahabesar di dunia persilatan.”
“Tuan Wang,” kata Ning Zhongze
kemudian. “Apakah kitab itu boleh kulihat?”
“Silakan kalau Nyonya Yue
ingin melihatnya,” jawab Wang Yuanba sambil menyodorkan kitab tersebut.
Ning Zhongze menerima kitab
itu dan membuka beberapa halaman. Ia kemudian berkata, “Aku sendiri kurang
paham tentang musik. Tapi kalau kitab ilmu silat sudah sering kubaca. Kitab ini
sama sekali tidak mirip kitab ilmu pedang. Tuan Wang, apakah di rumah ini ada
orang yang mahir bermain musik? Jika ada kita bisa menanyakan pendapatnya.”
Wang Yuanba merasa sangsi. Ia
khawatir jangan-jangan kitab tersebut memang benar-benar berisi notasi musik.
Jika benar demikian, tentu ia akan menderita malu luar biasa. Maka itu, ia
hanya termangu-mangu tidak segera menjawab.
Tanpa menghiraukan perasaan
sang kakek, Wang Jiaju yang lugu langsung saja menyahut dengan suara lantang
penuh rasa bangga, “Kakek, jurutulis kita yang bermarga Yi bukankah pandai
meniup seruling? Apa perlu kita panggil dia untuk mencobanya? Sudah jelas kitab
ini adalah kitab pedang, mengapa disebut kitab musik segala?”
Wang Yuanba menanggapi, “Ada
bermacam-macam jenis kitab di dunia persilatan. Sering ada orang yang sengaja
merahasiakan kepandaiannya dengan cara menyamarkan pelajaran ilmu silat dengan
cara ditulis seperti notasi musik. Hal seperti ini sebenarnya tidak perlu
diherankan.”
Ning Zhongze berkata, “Tapi
kalau memang di sini ada Jurutulis Yi yang pandai meniup seruling, apa salahnya
kalau kita panggil dia kemari? Tentu dia bisa membedakan antara kitab pedang
dan kitab musik.”
Wang Yuanba terpaksa menuruti
permintaan Ning Zhongze. Ia pun memerintahkan Wang Jiaju untuk memanggil
Jurutulis Yi. Tidak lama kemudian, cucunya itu sudah kembali ditemani seorang
laki-laki kurus berusia lima puluhan, berjanggut tipis dan berpenampilan rapih.
“Tuan Yi, coba kau periksa apakah
kitab ini berisi notasi musik?” tanya Wang Yuanba memberi perintah.
Jurutulis Yi membolak-balik
bagian depan kitab tersebut yang berisi notasi kecapi, kemudian berkata, “Yang
ini saya kurang begitu paham.”
Namun begitu membaca bagian
belakang yang berisi notasi seruling, wajahnya langsung berseri-seri. Mulutnya
tampak bersenandung dan dua jarinya mengetuk-ngetuk di atas meja sesuai irama.
Sejenak kemudian pria itu menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, “Tidak
mungkin! Sungguh tidak mungkin!”
Mulutnya kembali bersenandung.
Nadanya meninggi, tiba-tiba menjadi rendah sekali, sampai-sampai suaranya serak
tidak bisa diteruskan lagi. Ia mengerutkan kening dan berkata, “Tidak
mungkin... Ini sungguh sukar dimengerti... sukar dimengerti....”
“Apa ada yang aneh dengan
kitab ini? Apa ada perbedaan dengan kitab musik pada umumnya?” tanya Wang
Yuanba dengan nada senang.
Jurutulis Yi kembali
membalik-balik halaman yang berisi notasi seruling, kemudian menjawab, “Silakan
Tuan melihat sendiri. Musik ini dimulai dengan nada Gong mayor, mendadak
berubah menjadi nada Wei minor. Sungguh sangat bertentangan dengan teori umum
seni musik. Notasi ini sangat mustahil untuk dimainkan. Kemudian nadanya
berubah lagi menjadi Jiao mayor. Sungguh belum pernah saya melihat ada notasi
seruling yang aneh seperti ini.”
Linghu Chong menanggapi sambil
mencibir, “Huh, kau tidak becus memainkannya, bukan berarti orang lain juga
tidak mampu memainkannya.”
“Benar juga ucapanmu,” sahut
Jurutulis Yi sambil mengangguk. “Jika di dunia ini ada orang yang sanggup
memainkan lagu ini, maka aku sungguh sangat kagum tak terlukiskan. Ya,
kecuali... kecuali dia di timur kota....”
“Apa maksud perkataanmu?” sela
Wang Yuanba. “Kau bilang notasi lagu seruling dalam kitab ini beda dengan yang
biasanya? Kau bilang notasi dalam kitab ini mustahil dimainkan?”
“Ini memang lain dari yang
lain! Lain dari yang lain!” jawab Jurutulis Yi. “Yang jelas saya tidak mampu
memainkannya. Kecuali dia yang tinggal di timur kota....”
“Kecuali siapa? Seniman di
timur kota siapa yang mampu memainkan lagu ini?” sahut Nyonya Yue menegas.
“Saya tidak berani menjamin,”
ujar Jurutulis Yi. “Tapi… tapi dia yang bernama Lu Zhuweng, yang tinggal di
timur kota pandai meniup seruling dan memetik kecapi. Kepandaiannya dalam
meniup seruling sangat jauh di atas saya. Sungguh dia jauh lebih hebat daripada
saya! Mungkin dia bisa memainkan lagu ini.”
“Kalau bukan notasi lagu
biasa, di dalamnya tentu terdapat suatu rahasia,” kata Wang Yuanba.
Wang Bofen ikut bicara, “Ayah,
bukankah ilmu Golok Empat Jalur Enam Laras dari Perguruan Golok Bagua di
Zhengzhou juga ditulis di dalam kitab musik?”
Wang Yuanba sempat tertegun.
Ia akhirnya paham kalau Wang Bofen sengaja berbohong. Ketua Perguruan Golok
Bagua yang bernama Mo Xing masih ada hubungan keluarga dengan Keluarga Golok
Emas Wang. Wang Yuanba mengetahui bahwa di dalam perguruan tersebut tidak
terdapat ilmu Golok Empat Jalur Enam Laras sebagaimana yang diucapkan putranya
tadi. Namun karena Perguruan Huashan tidak mempelajari ilmu golok, mungkin Yue
Buqun tidak akan tahu ilmu itu ada atau tidak. Maka dengan licik Wang Yuanba
pun membenarkan ucapan putranya, “Benar juga. Beberapa waktu yang lalu Saudara
Mo sempat menyinggung hal ini. Menulis pelajaran silat dalam notasi musik
adalah hal yang biasa dalam dunia persilatan.”
Linghu Chong pun menyahut,
“Kalau benar itu merupakan hal yang biasa, lantas bagaimana wujudnya pelajaran
ilmu pedang yang tertulis dalam notasi musik kitab ini? Seperti apa ilmu silat
yang ada dalam notasi seruling dan kecapi ini? Mohon Tuan Wang sudi memberi
keterangan kepadaku.”
“Mengenai hal ini... hal
ini... aih, menantuku sudah meninggal dunia. Rahasia dalam kitab musik ini
selain Adik Linghu sudah tidak ada lagi yang tahu,” ujar Wang Yuanba. Orang tua
itu rupanya sangat pandai bersilat lidah. Ia bisa berkelit sekaligus memojokkan
Linghu Chong.
Linghu Chong semakin gusar.
Sebenarnya ia bisa saja membersihkan nama dengan cara berterus terang
mengatakan kalau kitab tersebut berisi notasi lagu Menertawakan Dunia
Persilatan, tulisan tangan Qu Yang dan Liu Zhengfeng. Namun jika ia sampai
berterus terang maka akibatnya akan sangat berbahaya. Bisa jadi dunia
persilatan akan mengetahui tentang kematian Fei Bin dari Perguruan Songshan di
tangan Tuan Besar Mo ketua Perguruan Hengshan. Juga apabila Yue Buqun
mengetahui kalau kitab tersebut adalah peninggalan Qu Yang dari Sekte Iblis,
maka kitab tersebut pasti akan segera dihancurkannya. Jika itu terjadi berarti
Linghu Chong tidak bisa menjaga wasiat orang dengan baik.
Setelah berpikir demikian,
Linghu Chong pun berusaha menahan amarah. Ia hanya berkata, “Tadi Jurutulis Yi
mengatakan bahwa di timur kota ada seorang bernama Lu Zhuweng yang pandai
bermain musik. Kenapa kita tidak memperlihatkan kitab ini kepadanya dan minta
pertimbangan?”
Wang Yuanba menggeleng dan
berkata, “Lu Zhuweng bersifat sangat aneh. Tingkah lakunya angin-anginan
seperti orang sinting. Terhadap orang lain ia acuh tak acuh. Orang seperti itu
mana bisa dipercaya?”
Mendengar itu Nyonya Yue
menukas, “Tapi bagaimanapun juga urusan ini harus jelas. Chong’er adalah murid
kami, Pingzhi juga murid kami. Kami tidak boleh pilih kasih dan membela salah
satu pihak. Untuk mengetahui siapa yang benar, siapa yang salah, maka tidak ada
salahnya kalau kita mencoba meminta pertimbangan dari Lu Zhuweng itu.” Karena
tidak ingin menyinggung Keluarga Golok Emas Wang, Ning Zhongze secara bijaksana
berusaha mengalihkan dengan cara mengatakan kalau masalah ini adalah antara
Linghu Chong dengan Lin Pingzhi.
Ning Zhongze kemudian berkata
kepada Jurutulis Yi, “Tuan Yi, bagaimana kalau kita kirimkan orang membawa
tandu untuk menjemput Lu Zhuweng kemari?”
“Orang tua bernama Lu Zhuweng
itu memiliki sifat yang sangat aneh,” jawab Jurutulis Yi. “Jika orang lain
minta pertolongannya, ia menolak. Sebaliknya jika ia sudah turut campur, tidak
ada seorang pun yang bisa menolaknya.”
“Sifat demikian itu sama
dengan sifat kita kaum pendekar,” sahut Ning Zhongze yang kemudian menoleh ke
arah suaminya. “Kiranya Lu Zhuweng juga seorang tokoh sepuh dalam dunia
persilatan. Kakak, sepertinya kita ini terlalu picik dan sempit wawasan.”
“Lu Zhuweng bukan orang dunia
persilatan,” tukas Wang Yuanba sambil tertawa mencibir. “Dia hanya seorang
tukang bambu yang kerjanya membuat keranjang dan tikar. Hanya saja karena ia
pandai memainkan seruling dan kecapi, serta mahir melukis dan mengukir bambu,
membuat para penduduk menaruh hormat kepadanya. Ia hanya pengrajin bambu tua
yang cinta terhadap kesenian, namun enggan berbaur dengan masyarakat.”
“Sungguh sayang kalau kami
harus melewatkan tokoh seperti dia begitu saja?” ujar Nyonya Yue semakin
penasaran. “Tuan Wang, sudilah kiranya mengiringi kami pergi mengunjungi tukang
bambu istimewa itu.”
Wang Yuanba tidak bisa menolak
lagi. Bersama dengan anak dan cucunya, ia pun berangkat menemani Yue Buqun,
Ning Zhongze, Linghu Chong, Lin Pingzhi, Yue Lingshan, dan murid-murid Huashan
lainnya. Jurutulis Yi berjalan paling depan sebagai penunjuk arah.
Setelah melalui beberapa jalan
lebar dan kecil, akhirnya rombongan tersebut sampai di suatu gang yang agak
sempit. Ujung gang tersebut dipenuhi semak-semak bambu yang rimbun dan luas.
Pemandangan di sana cukup indah. Terdengar pula alunan suara kecapi yang merdu.
Rombongan pun merasa tenteram dan damai seolah berada di dunia lain yang bebas
dari bisingnya kota.
“Orang tua bernama Lu Zhuweng
itu benar-benar tahu caranya menikmati hidup,” bisik Ning Zhongze kepada sang
suami.
Tiba-tiba alunan suara kecapi
berhenti. Kemudian terdengar suara seorang tua berkata dari dalam semak bambu, “Gubukku
yang kotor ini rupanya kedatangan para tamu terhormat. Apakah ada yang bisa
kubantu?”
Jurutulis Yi yang berada
paling depan berseru lantang, “Sesepuh Lu, kami datang membawa sebuah kitab
berisi notasi musik kecapi dan seruling yang sangat aneh. Kami ingin meminta
pendapat Sesepuh Lu.”
“Kau punya sebuah kitab notasi
seruling dan kecapi? Wah, kalian terlalu menyanjung si tukang bambu tua,” sahut
Lu Zhuweng sambil tertawa dari kejauhan.
Belum sempat Jurutulis Yi
menjawab, Wang Jiaju lebih dulu menyahut, “Tuan Besar Wang dari keluarga Golok
Emas yang datang berkunjung kemari.”
Mengingat sang kakek adalah
tokoh yang sangat terhormat di kota Luoyang, maka ia pun sengaja memamerkan
nama besar keluarganya agar Lu Zhuweng segan dan buru-buru keluar menyambut
kedatangan mereka. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan.
“Hm, golok emas atau golok
perak juga tidak ada artinya jika dibandingkan dengan golok besi tua yang
kupakai untuk membelah bambu ini. Tukang bambu tua tidak perlu menemui Tuan
Wang, maka Tuan Wang juga tidak perlu menemuiku,” jawab Lu Zhuweng dengan
angkuh.
Wang Jiaju gusar mendengarnya.
Ia pun berteriak, “Kakek, tukang bambu tua ini tidak tahu adat. Untuk apa
bertemu dengannya? Lebih baik kita pulang saja.”
Ning Zhongze buru-buru menukas,
“Kita sudah di sini. Tidak ada salahnya kita minta pendapat Sesepuh Lu tentang
kitab notasi musik ini.”
Wang Yuanba hanya mendengus
saat menyerahkan kitab tersebut kepada Jurutulis Yi. Segera Jurutulis Yi
berjalan masuk ke dalam semak bambu yang rimbun itu. Tak lama kemudian
terdengar suara Lu Zhuweng berkata, “Baiklah, kau boleh meletakkannya di situ.”
Terdengar Jurutulis Yi
bertanya, “Menurut Sesepuh Lu, apakah kitab ini benar-benar berisi catatan
notasi musik, atau rahasia ilmu silat yang sengaja disamarkan dalam bentuk
notasi musik?”
“Rahasia ilmu silat apanya?
Apa kau sudah gila?” sahut Lu Zhuweng. “Sudah jelas ini kitab notasi musik.”
Sejenak kemudian terdengar suara petikan kecapi menggema, dan mengalun merdu.
Mendengarkan itu, Linghu Chong segera terkenang pada lagu yang dimainkan oleh
Qu Yang tempo hari. Lagu ciptaannya masih ada, namun orangnya sudah meninggal,
membuat hati Linghu Chong terasa pilu.
Tidak lama kemudian suara
kecapi terdengar meninggi, makin keras dan makin tinggi. Suaranya tajam dan
melengking. Setelah mencapai nada yang lebih tinggi, terdengar suara seutas
senar terputus. Tidak berhenti sampai di sini, suara kecapi terdengar semakin
tinggi. Akhirnya kembali terdengar suara seutas senar yang terputus diikuti
suara Lu Zhuweng berseru penuh rasa heran, “Aneh sekali! Not kecapi ini sungguh
aneh dan sukar dimengerti.”
Mendengar itu Wang Yuanba
saling pandang dengan anak dan cucunya. Diam-diam mereka merasa senang.
“Biar kucoba not seruling
ini,” ujar Lu Zhuweng. Kemudian terdengar alunan suara seruling yang merdu
menawan hati. Namun nadanya lantas menjadi rendah, dan semakin rendah, bahkan
sampai-sampai tidak terdengar. Irama seruling tersebut menjadi parau dan tidak
enak didengar lagi.
Lu Zhuweng menghela nafas dan
berkata, “Adik Yi, kau sendiri pandai meniup seruling. Tentu kau paham kalau
nada sedemikian rendah mana mungkin bisa ditiup keluar? Notasi kecapi dan
seruling ini tidak palsu, tapi orang yang menggubah lagu ini sepertinya sengaja
bermain-main dan bersenda gurau. Sebaiknya kau pulang dulu. Kitab ini akan
kupinjam untuk kupelajari lebih mendalam.”
“Baik!” jawab Jurutulis Yi
yang kemudian berjalan keluar meninggalkan semak bambu.
Sesampainya di luar, Wang
Zhongqiang langsung menyambut, “Mana kitab pedangnya?”
“Kitab pedang?” tanya
Jurutulis Yi bingung. “Oh, Lu Zhuweng bilang untuk sementara sebaiknya
ditinggalkan di sana saja supaya ia bisa mempelajari lebih lanjut.”
“Hei, lekas kau ambil
kembali!” perintah Wang Zhongqiang. “Itu adalah kitab ilmu pedang yang tidak ternilai
harganya. Entah berapa orang persilatan yang mengincar untuk memilikinya?
Kenapa kau tinggalkan kitab berharga itu pada orang yang tidak pantas?”
“Baik!” jawab Jurutulis Yi.
Baru saja ia hendak melangkah kembali menuju semak bambu tersebut, tiba-tiba
terdengar suara Lu Zhuweng berkata, “Eh, Bibi, mengapa kau keluar?”
Kontan saja semua merasa
heran. Wang Yuanba pun berbisik, “Berapa kira-kira usia Lu Zhuweng itu?”
Jurutulis Yi menjawab, “Saya
rasa sudah mendekati delapan puluh tahun.”
Diam-diam semua orang berpikir
kalau bibi Lu Zhuweng pasti berusia sekitar seratus tahun.
“Bibi, silakan lihat ini.
Kitab ini sungguh aneh,” ujar Lu Zhuweng.
Sang bibi hanya menjawab,
“Hm.” Sejenak kemudian terdengar kecapi mulai berbunyi. Mula-mula permainannya sama
dengan Lu Zhuweng tadi. Namun kemudian mulai berbeda. Nada kecapi makin lama
makin tinggi, namun tidak terputus di tengah jalan. Nadanya berjalan begitu
lancar dan mudah.
Linghu Chong merasa terkejut
bercampur gembira tak terkatakan. Samar-samar ia teringat permainan Qu Yang
pada malam di lereng Pegunungan Hengshan dulu. Suara alunan kecapi kadang
terdengar lesu, kadang terdengar anggun dan lembut. Meskipun Linghu Chong tidak
tahu menahu soal seni musik, namun ia bisa merasakan kalau lagu yang dibawakan
nenek tersebut begitu segar dan menyenangkan. Rasanya begitu berbeda dengan
irama yang dimainkan Qu Yang dulu, meskipun memainkan not yang sama. Permainan
si nenek terdengar lembut dan tenang, membuat para pendengar dapat menikmati
dan menghargai keindahan musik. Mereka merasa dibawa tenggelam ke dalam alunan
suara kecapi tersebut, bagaikan berkelana ke tempat yang sangat jauh dalam
khayalan.
Selang agak lama, suara kecapi
terdengar berangsur-angsur merendah, seperti makin menjauh. Seolah-olah si
pemetik kecapi berjalan pergi belasan meter jauhnya, bahkan terasa sudah pergi
beberapa Li. Lagu tersebut terdengar makin lirih namun tidak sampai putus.
Hanya saja suaranya terlalu rendah dan sukar didengar.
Ketika pada akhirnya suara
kecapi telah pudar dan tidak terdengar lagi, langsung disambung dengan suara
seruling yang begitu merdu pula. Suara seruling itu terdengar berputar-putar di
udara, dan kemudian semakin keras bagaikan si peniup berjalan mendekat.
Suaranya begitu bening dan mendayu-dayu, kadang melengking tinggi dan kadang
merendah; kadang berbunyi keras dan kadang terdengar lembut. Saat para
pendengar mengira suara seruling sudah mencapai nada terendah, ternyata si
peniup bisa membuatnya lebih rendah lagi, tetapi tidak serak dan masih
terdengar jelas dan merdu.
Berangsur-angsur, beberapa
nada tinggi terdengar memecah nada rendah, bagaikan sejumlah mutiara yang jatuh
di atas piring kumala dan saling berbenturan satu sama lain. Kemudian
suara-suara itu saling bergabung dan bergema, bagaikan suara gemuruh air terjun
di pegunungan, yang berkumandang saat membentur sungai kecil di bawahnya.
Kemudian suara seruling tersebut terdengar bagaikan berubah menjadi taman indah
yang penuh dengan bunga beraneka warna yang semerbak harum menggoda kawanan
kupu-kupu yang terbang menari-nari. Selain itu terdengar pula alunan musik yang
berkicauan bagaikan nyanyian burung yang memuji keindahan taman bunga tersebut
dan menikmati kedamaian alam. Berangsur-angsur pula kawanan burung itu terbang
kesana kemari bagaikan tarian sedih daun-daun kering yang berguguran ke tanah
sewaktu musim gugur tiba. Hujan pun datang menyapu daun-daun yang berguguran
tersebut hingga menimbulkan suara suram dan gemerisik. Demikianlah gambaran
para hadirin saat mendegar irama seruling yang muncul untuk menggantikan irama
yang lain. Lambat laun macam-macam suara itu berkurang satu per satu dan
akhirnya lenyap semua. Suara seruling pun akhirnya berhenti.
Lama setelah suara seruling
berhenti barulah semua orang tersadar, bagaikan bangun dari mimpi. Meskipun
Wang Yuanba, Yue Buqun, dan yang lain tidak terlalu paham soal musik, namun
secara ajaib mereka seperti terlena oleh alunan suara seruling dan kecapi
tersebut. Sementara itu, Jurutulis Yi yang paham kesenian merasa jiwanya
bagaikan telah bersatu dengan suara musik tadi dan melayang-layang di udara
meninggalkan raga.
Ning Zhongze menghela nafas
penuh kekaguman. Ia pun berkata, “Sungguh hebat! Sungguh hebat! Apa judul lagu
itu tadi, Chong’er?”
Linghu Chong menjawab, “Lagu
itu berjudul Menertawakan Dunia Persilatan. Kepandaian nenek itu sungguh luar
biasa. Sepertinya di dunia ini sukar menemukan orang lain yang bisa memetik
kecapi ataupun meniup seruling seperti dia.”
“Si penggubah lagu ini telah
menghasilkan karya yang luar biasa, tetapi diperlukan seorang ahli musik yang
luar biasa pula untuk memainkannya, seperti halnya nenek itu,” kata Ning
Zhongze. “Aku yakin baru kali ini kau mendengar alunan musik sebagus ini.”
“Justru saya pernah
mendengarkan lagu ini dimainkan secara lebih bagus daripada tadi,” kata Linghu
Chong.
“Apa benar?” tanya Nyonya Yue
tidak percaya. “Mana mungkin di dunia ini ada orang yang lebih pandai daripada
nenek itu dalam memainkan kecapi dan seruling?”
Bukannya lebih pandai,” jawab
Linghu Chong. “Hanya saja yang pernah saya dengarkan dulu adalah paduan suara
dari dua orang pemain sekaligus. Yang satu memetik kecapi, yang satunya meniup
seruling. Keduanya memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan secara
bersama-sama dan bersahut-sahutan....”
Belum selesai ia berkata
mendadak terdengar suara si nenek berkata lirih dari balik semak-semak bambu
sambil diiringi tiga petikan senar kecapi, “Seruling dan kecapi dimainkan
bersama. Di dunia ini ke mana lagi mencari seseorang yang bisa seperti itu?”
Lalu terdengar suara Lu
Zhuweng berseru, “Adik Yi, kitab ini benar-benar berisi notasi kecapi dan
seruling. Semua baru saja dimainkan oleh bibiku. Sekarang kau boleh
mengambilnya kembali.”
Jurutulis Yi mengiakan lalu
masuk kembali ke dalam semak bambu. Begitu keluar ia sudah membawa kitab musik
tersebut.
Lu Zhuweng kembali berkata,
“Batapa bagusnya lagu ini tiada bandingannya di muka bumi. Kitab ini adalah
benda pusaka, jangan sekali-kali jatuh ke tangan orang biasa. Kau sendiri tidak
dapat memainkannya jadi jangan coba-coba untuk memaksakan diri. Kalau kau
bersikeras tentu akan merugikan dirimu sendiri.”
“Baik! Baik! Aku sama sekali
tidak berani,” jawab Jurutulis Yi. Ia kemudian menyerahkan kitab tersebut
kepada Wang Yuanba.
Dengan telinga sendiri Wang
Yuanba mendengar permainan kecapi dan seruling yang dibawakan oleh sang nenek
tadi. Sekarang ia percaya kalau kitab tersebut memang benar-benar berisi notasi
musik, bukan pelajaran ilmu silat. Maka, kitab itu pun diserahkannya kepada
Linghu Chong sambil berkata, “Keponakan Linghu, kami benar-benar minta maaf.”
Linghu Chong menjawab dengan
senyuman sinis. Sebenarnya ia sudah mempersiapkan kata-kata sindiran, namun
dilihatnya sang ibu-guru mengedipkan mata tanda tidak setuju. Maka, ia pun
mengurungkan niatnya tersebut.
Merasa sangat malu, Wang
Yuanba beserta kedua anak dan kedua cucunya mendahului pergi meninggalkan
tempat itu, disusul oleh Yue Buqun dan para murid Huashan, kecuali Linghu Chong
yang berdiri termangu-mangu memandangi kitab musik yang ada di tangannya.
Ning Zhongze yang hendak
menyusul pergi pun bertanya, “Chong’er, kau tidak pulang?”
“Nanti saya akan menyusul
pulang. Saya ingin di sini sebentar,” jawab Linghu Chong.
“Jangan terlambat. Hendaknya
kau lekas pulang untuk beristirahat,” pesan Nyonya Yue. “Oh ya, lenganmu baru
saja terkilir. Kau jangan menggunakannya terlalu keras.”
“Baik!” jawab Linghu Chong
singkat. Ibu-gurunya kemudian melangkah pergi menyusul rombongan.
Setelah rombongan Keluarga
Wang dan Perguruan Huashan pergi menjauh, suasana menjadi sunyi senyap. Hanya kadangkala
terdengar suara batang bambu bergesekan satu sama lain saat tertiup angin
sepoi-sepoi. Sambil memandangi kitab lagu Menertawakan Dunia Persilatan,
pikiran Linghu Chong pun melayang-layang terkenang bagaimana Qu Yang dan Liu
Zhengfeng memainkan lagu tersebut di kejadian malam itu.
“Mereka berdua sangat
beruntung bisa bertemu dan mengikat persahabatan, lalu bersama-sama
menghasilkan karya agung ini. Meskipun nenek dari balik semak bambu itu sangat
mahir bermain musik, namun ia tidak memiliki kawan sepadan yang bisa bermain
bersamanya. Kemahiran orang tua bernama Lu Zhuweng itu juga masih di bawahnya.
Mungkin lagu Menertawakan Dunia Persilatan akan punah selamanya dan aku tidak
dapat lagi mendengar keindahan lagu ini.”
Usai berpikir demikian, ia kembali
termangu-mangu. “Paman Liu dan Tetua Qu berasal dari kelompok yang bermusuhan.
Yang satunya adalah pemuka perguruan ternama, sementara yang satunya adalah
pemuka Sekte Iblis. Yang satu mewakili kelompok aliran lurus, sedangkan yang
lain mewakili aliran sesat. Akan tetapi saat mereka membicarakan musik, mereka
dapat saling memahami perasaan satu sama lain, dan akhirnya saling mengangkat
saudara, bersahabat sehidup semati. Puncak persahabatan mereka adalah
terciptanya lagu Menertawakan Dunia Persilatan yang sangat bagus ini. Ketika
mereka saling berjabat tangan saat meninggal dunia bersama-sama, keduanya tidak
menyesal. Apa yang mereka alami jauh lebih baik daripada nasibku yang sebatang
kara. Aku dicurigai oleh guruku, diabaikan oleh Adik Kecil yang kusayangi,
bahkan Adik Keenam yang merupakan sahabtku yang paling baik justru mati di
tanganku sendiri.” Terkenang pada kematian Lu Dayou membuat hati Linghu Chong
kembali berduka. Tanpa terasa ia pun menangis tersedu-sedu. Air matanya menetes
melewati dagu dan membasahi kitab musik di tangannya.
Tiba-tiba terdengar suara Lu
Zhuweng bertanya dari balik semak bambu, “Sobat kecil, mengapa kau belum pergi?
Apa aku boleh bertanya apa yang telah membuatmu sedih?”
“Oh, saya berduka meratapi
nasib sendiri yang buruk ini. Saya juga terkenang pada kematian kedua sesepuh
yang menggubah lagu indah tadi. Mohon maaf apabila saya mengganggu Kakek.
Sekarang saya mohon pamit.” Usai berkata demikian Linghu Chong pun memutar
badan hendak melangkah pergi.
“Sobat kecil, ada beberapa hal
yang ingin kutanyakan padamu. Apa kau sudi masuk ke dalam untuk mengobrol
sebentar dengan orang tua ini?” tanya Lu Zhuweng.
Linghu Chong tertegun tak
percaya. Padahal tadi Lu Zhuweng bersikap angkuh kepada Wang Yuanba, tapi
sekarang justru berubah ramah terhadap dirinya yang bukan siapa-siapa. Maka, ia
pun menjawab, “Sesepuh terlalu memuji. Baiklah, apapun yang ingin Sesepuh
tanyakan, pasti akan kujawab semampuku.”
Pemuda itu kemudian melangkah
menyusuri jalan setapak masuk ke dalam semak bambu. Jalanan kecil tersebut
membelok beberapa kali dan akhirnya sampai di hadapan lima buah gubuk kecil. Di
kiri jalan ada dua, di kanan jalan ada tiga. Semuanya terbuat dari bambu.
Terlihat seorang kakek melangkah keluar dari dalam gubuk kiri, menjemputnya dengan
tertawa.
“Sobat kecil, silakan mampir
untuk minum teh,” sapa orang tua itu sangat ramah.
Mendengar suaranya, Linghu
Chong yakin kalau dia adalah Lu Zhuweng. Orang tua itu berbadan agak bungkuk,
kepalanya hampir botak dengan rambutnya yang hanya beberapa. Tangannya lebar
dan kakinya besar. Meskipun sudah tua namun ia terlihat penuh semangat.
Linghu Chong pun berkata,
“Saya Linghu Chong menyampaikan hormat kepada Sesepuh.”
Lu Zhuweng tertawa dan
menjawab, “Sobat kecil, jangan terlalu banyak adat. Aku hanya kebetulan lebih
tua beberapa tahun saja. Mari, silakan masuk!”
Linghu Chong pun melangkah
perlahan mengikuti Lu Zhuweng masuk ke dalam pondok kecil itu. Di dalam
terdapat meja, kursi, lemari, dan perabotan lainnya yang kesemuanya terbuat
dari bambu. Sebuah lukisan yang menggambarkan semak bambu yang lebat pun
tergantung di dinding. Goresan pada lukisan tersebut terlihat tebal dan tajam.
Pada sebuah meja tampak tertaruh sebuah kecapi dan seruling bambu.
“Sobat kecil, silakan minum!”
kata Lu Zhuweng sambil menuangkan secangkir teh dari dalam sebuah poci porselen
berwarna hijau.
Dengan penuh hormat Linghu
Chong menerima cangkir tersebut.
“Sobat kecil, kitab musik tadi
kau peroleh dari mana? Apakah kau sudi memberikan penjelasan?” tanya Lu Zhuweng
lebih lanjut.
Linghu Chong terperanjat
dengan jantung berdebar-debar. Ia merasa bimbang. Bagaimanapun juga kitab lagu
Menertawakan Dunia Persilatan menyimpan sejumlah rahasia sehingga ia bahkan
tidak berani berterus terang kepada sang guru dan ibu-guru. Namun ia lantas
teringat wasiat Qu Yang dan Liu Zhengfeng supaya mewariskan kitab tersebut
kepada ahli musik yang bisa melestarikan lagu gubahan mereka. Kini ia bertemu
dengan Lu Zhuweng dan bibinya yang sangat mahir bermain musik. Bahkan, sang
bibi telah menunjukkan kemahiran yang luar biasa untuk memainkan lagu sulit
tersebut. Hanya saja, keduanya sudah terlalu tua. Linghu Chong sangsi apakah
mereka bisa melestarikan lagu tersebut. Namun kalau bukan mereka, siapa lagi
yang lebih pantas untuk mewarisi kitab tersebut?
Linghu Chong sendiri sedang
sakit parah. Ia khawatir tidak sempat lagi menemukan ahli musik lainnya yang
lebih muda. Maka, ia pun berkata, “Kedua sesepuh yang menggubah lagu ini
masing-masing memiliki keahlian luar biasa dalam memetik kecapi dan meniup
seruling. Mereka berdua mengikat persaudaraan dan menulis kitab musik
bersama-sama. Namun sayang sekali, mereka tertimpa musibah sehingga harus
meninggal pada hari yang sama. Sebelum menutup mata, kedua sesepuh itu
menitipkan kitab peninggalan mereka kepada saya untuk diserahkan kepada ahli
musik yang tepat. Mereka berharap lagu dalam kitab ini tidak punah bersama
dengan kematian mereka. Tadi saya mendengar bibi dari Sesepuh Lu telah
memainkan lagu dalam kitab ini, baik itu dengan kecapi ataupun dengan seruling.
Permainan Nenek tadi sungguh luar biasa. Saya pun merasa telah menemukan orang
yang tepat untuk menyerahkan kitab musik ini. Sesepuh Lu, mohon bantuannya
untuk menyerahkan kitab musik ini kepada Nenek, supaya saya bisa memenuhi
wasiat kedua sesepuh yang telah menggubahnya, sehingga mereka berdua bisa
tenang di alam sana.” Usai berkata demikian pemuda itu lantas mengulurkan kedua
tangannya yang memegang kitab lagu Menertawakan Dunia Persilatan dengan penuh
hormat.
Akan tetapi, Lu Zhuweng tidak berani
menerima. Ia hanya berkata, “Izinkan aku bertanya dulu kepada Bibi, apakah
Beliau sudi menerima atau tidak?”
Sejenak kemudian terdengar
suara wanita berkata dari dalam gubuk sebelah, “Tuan Muda Linghu bermaksud baik
ingin menyerahkan lagu yang sangat bagus itu kepada kami. Jika aku menolaknya
akan terasa kurang hormat, tapi jika menerimanya, aku merasa sangat malu. Tapi
jika boleh tahu, siapa nama kedua sesepuh yang telah menggubah lagu indah itu?”
Linghu Chong sempat tertegun
mendengar suara si nenek yang tidak seperti suara orang tua. Ia kemudian
menjawab, “Tentu saja akan kukatakan. Kedua sesepuh tersebut bernama Paman Liu
Zhengfeng dan Tetua Qu Yang.”
“Ah… ternyata mereka berdua,”
jawab si nenek dengan nada terkejut.
“Apakah Nenek mengenal mereka?”
tanya Linghu Chong.
Wanita itu tidak segera
menjawab. Selang agak lama barulah ia berkata, “Liu Zhengfeng adalah tokoh
nomor dua dalam Perguruan Hengshan, sedangkan Qu Yang adalah gembong Sekte
Iblis. Kedua pihak adalah musuh bebuyutan selama beberapa angkatan, tapi
mengapa mereka bisa menggubah lagu bersama-sama? Sungguh sukar dimengerti.”
Meskipun Linghu Chong belum
pernah melihat wajah si nenek, namun ditinjau dari suaranya yang lembut, serta
permainan musiknya yang indah, ia dapat menduga kalau wanita tersebut tentu
seorang tokoh angkatan tua yang baik budi dan welas asih, serta jauh dari
persaingan duniawi. Selain itu, ia juga mengetahui asal-usul Qu Yang dan Liu
Zhengfeng pertanda wanita tua itu juga seorang anggota dunia persilatan. Maka,
tanpa ragu lagi Linghu Chong pun menceritakan semua kisah mulai dari kegagalan
upacara Cuci Tangan Baskom Emas yang diadakan Liu Zhengfeng akibat campur
tangan Ketua Zuo, disusul dengan pembantaian Keluarga Liu, dan Qu Yang pun
muncul untuk menolong sahabatnya itu. Linghu Chong juga mengisahkan permainan
indah paduan musik kecapi dan seruling yang dibawakan Liu Zhengfeng bersama Qu
Yang dalam keadaan sama-sama terluka di pegunungan sunyi. Sampai akhirnya
mereka mati dan mewasiatkan kitab gubahan mereka untuk diserahkan kepada orang
yang bisa melestarikannya. Semua diceritakan kecuali tentang kematian Fei Bin
dari Perguruan Songshan di tangan Tuan Besar Mo ketua Perguruan Hengshan.
Si nenek mendengarkan kisah
tersebut dengan seksama, tanpa bersuara sedikit pun. Setelah usai, ia pun
bertanya, “Mengapa Wang Yuanba si Golok Emas menyebut kitab musik ini sebagai
kitab ilmu silat?”
Menanggapi itu, Linghu Chong
lalu menceritakan kisah kematian Lin Zhennan suami-sitri yang sempat
menyampaikan wasiat kepada dirinya untuk diteruskan kepada Lin Pingzhi. Itulah
yang menyebabkan kedua sepupu Lin Pingzhi salah paham dan menuduhnya telah
menggelapkan kitab ilmu silat peninggalan Lin Zhennan.
Si nenek pun berkata, “Jadi
seperti itu yang sebenarnya. Andai saja kau berterus terang kepada guru dan
ibu-gurumu, tentu masalah ini bisa menjadi jelas dan segala tuduhan yang
dialamatkan kepadamu menjadi lenyap. Tapi anehnya, kepada diriku yang merupakan
orang asing bagimu, mengapa kau justru bercerita sejujur-jujurnya? Kenapa bisa
demikian?”
“Saya sendiri juga tidak tahu
apa sebabnya,” jawab Linghu Chong. “Mungkin sesudah mendengar permainan musik
Nenek tadi, seketika timbul rasa hormat dan kagum saya kepada Nenek. Saya sama
sekali tidak merasa sangsi ataupun curiga sedikit pun.”
“Kalau begitu, kau merasa
sangsi kepada guru dan ibu-gurumu?” tanya si nenek.
“Sama tidak berani berpikir
demikian,” sahut Linghu Chong dengan jantung berdebar kencang. “Hanya saja,
Guru diam-diam menaruh curiga kepada saya. Tetapi, aih, saya tetap tidak boleh
menyalahkan Beliau.”
Si nenek kembali berkata,
“Dari suaramu dapat diketahui kalau tenagamu sangat lemah. Seorang pemuda tidak
seharusnya demikian. Apakah kau baru saja sakit parah, atau pernah terluka?”
“Benar,” sahut Linghu Chong.
“Saya pernah menderita luka yang begitu parah.”
Si nenek kemudian berkata
kepada Lu Zhuweng, “Keponakan Zhuweng, tolong kau bawa anak muda itu ke dekat
jendelaku. Biar kuperiksa nadinya.”
“Baik, Bibi!” jawab Lu Zhuweng
mengiakan. Ia kemudian mengajak Linghu Chong mendekati jendela gubuk tempat si
nenek berada. Linghu Chong kemudian menjulurkan lengannya masuk ke bawah kerai
bambu yang terpasang pada jendela tersebut. Di balik kerai masih terdapat lagi
sehelai tirai sutera halus yang menutupi keberadaan si nenek. Samar-samar
Linghu Chong dapat menyaksikan sosok seorang perempuan, namun wajahnya tidak
terlihat jelas.
Sejenak kemudian Linghu Chong
merasakan ada tiga jari menyentuh pergelangannya. Jari-jari tersebut terasa
dingin dan lembut, dan berusaha menekan urat nadi Linghu Chong.
“Aneh, sungguh sangat aneh!”
ujar si nenek terkejut. “Coba ganti tangan yang kanan.”
Linghu Chong mematuhinya.
Selesai memeriksa kedua lengan pemuda itu, si nenek tidak berkata apa-apa,
hanya tertegun tanpa suara.
Linghu Chong tersenyum dan
berkata, “Nenek tidak perlu khawatir. Saya sadar kalau umur saya tidak lama
lagi. Sudah lama saya tidak peduli lagi pada keadaan ini.”
“Mengapa kau tahu hidupmu
tidak akan lama lagi?” tanya Si nenek.
“Tanpa sengaja saya sudah
membunuh adik seperguruan sendiri, dan menghilangkan kitab pusaka Awan
Lembayung. Saya berharap bisa segera menemukan kitab itu dan menyerahkannya
kepada Guru, kemudian bunuh diri menyusul Adik Keenam di alam baka,” jawab
Linghu Chong.
“Kitab Awan Lembayung?” sahut
si nenek mempertegas. “Ini juga benda yang luar biasa. Lalu, bagaimana
ceritanya hingga adik keenammu bisa mati di tanganmu?”
Linghu Chong pun bercerita
panjang lebar mulai dari perbuatan Enam Dewa Lembah Persik yang mencoba
mengobati lukanya namun justru berakibat fatal. Akibat luka itu, Yue Lingshan
pun mencuri kitab Awan Lembayung dari tangan sang ayah dan menitipkannya kepada
Lu Dayou supaya dibacakan kepada dirinya. Sepeninggal Yue Lingshan, ia bangun
dan menotok Lu Dayou karena tidak berani mendengarkan isi kitab Awan Lembayung
tanpa seizin guru. Namun begitu ia kembali ke pondok, ternyata Lu Dayou sudah
mati dan kitab pun lenyap. Ia merasa berdosa karena menotok Lu Dayou terlalu
keras.
“Bukan kau yang telah membunuh
adik keenammu,” ujar si nenek menyimpulkan cerita.
“Bukan saya yang membunuhnya?”
tanya Linghu Chong mempertegas.
“Benar, waktu itu tenagamu
sangat lemah. Mana mungkin totokanmu bisa menewaskannya?” kata si nenek. “Ada
orang lain yang telah membunuhnya.”
“Lalu… siapakah yang telah
membunuh Adik Keenam?” kata Linghu Chong lirih, seperti bergumam sendiri.
Si nenek menjawab, “Kematian
adik keenammu dan hilangnya kitab Awan Lembayung terjadi bersamaan. Kemungkinan
besar, pelakunya adalah orang yang sama.”
Linghu Chong bernafas lega.
Beban di hatinya terasa sedikit lebih ringan bagaikan kehilangan sebongkah batu
besar yang selama ini menghimpit dadanya. Sebenarnya selama ini ia sempat
berpikir demikian. Mana mungkin ia bisa membunuh Lu Dayou dengan totokan tanpa
tenaga yang cukup? Ia yakin pasti ada orang lain yang telah membunuhnya, yaitu
si pelaku pencurian kitab Awan Lembayung. Akan tetapi sebagai laki-laki sejati
tidak sepantasnya menuduh orang lain tanpa bukti dan melemparkan tanggung jawab
kepada pihak lain. Lagipula ia tetap merasa bersalah telah menotok Lu Dayou
sehingga adik keenamnya itu bisa dengan mudah dibunuh orang lain.
Di samping itu Linghu Chong
merasa semakin pilu melihat kedekatan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi. Ia merasa
sangat kecewa dan putus asa. Ingin sekali ia meninggalkan dunia ini untuk
selamanya karena sudah tidak ada harapan hidup lagi. Namun, demi mendengar
ucapan si nenek tadi, semangatnya kembali bangkit. Rasa penasaran dalam hatinya
bergejolak. Ia pun berkata sendiri, “Balas dendam! Aku harus membalas kematian
Adik Keenam!”
Si nenek kembali bertanya,
“Kau bilang dalam tubuhmu ada enam arus hawa murni yang disalurkan Enam Dewa
Lembah Persik. Tapi mengapa aku merasakan ada delapan arus hawa murni yang
saling bertarung? Apakah kau bisa menjelaskan?”
Linghu Chong tertawa dan menceritakan
bagaimana Biksu Bujie muncul untuk membantunya mengusir keenam arus hawa murni
tersebut dengan mengirimkan dua arus hawa murni pula.
Si nenek lalu berkata,
“Sifatmu sebenarnya sangat periang. Walaupun denyut nadimu kacau tapi tidak ada
tanda-tanda kelemahan dalam jiwamu. Bagaimana kalau aku memetik kecapi dan
memainkan sebuah lagu untukmu?”
“Perhatian Nenek kepada saya
tentu akan saya terima dengan penuh rasa terima kasih,” jawab Linghu Chong.
Sejenak kemudian suara kecapi
kembali terdengar mengalun merdu. Kali ini lagu yang dibawakan si nenek sangat
halus dan lembut, bagaikan suara hembusan nafas, atau seperti hembusan angin
sepoi-sepoi yang menerpa dedaunan pohon willow di pagi hari.
Sayup-sayup Linghu Chong
merasa mengantuk. Dalam hati ia berkata, “Jangan tidur! Jangan tidur! Aku
sedang mendengarkan permainan musik seorang sesepuh. Jika sampai tertidur
rasanya tidak sopan.” Meski demikian tetap saja matanya terasa semakin berat
dan akhirnya tertutup rapat. Tubuhnya pun jatuh terkulai lemas, dan tertidur di
lantai. Tidak berhenti sampai di sini, alunan merdu suara kecapi bagaikan
merasuk ke dalam mimpinya. Sungguh seperti sebuah tangan lembut yang membelai
rambutnya dengan penuh kasih sayang, dan ia merasa kembali menjadi anak-anak
yang tidur lelap di atas pangkuan sang ibu-guru.
Ketika suara kecapi berhenti,
Linghu Chong pun membuka mata dalam keadaan terkejut dan buru-buru ia merangkak
bangun sambil berkata, “Saya benar-banar tidak tahu aturan. Bukannya
memerhatikan permainan kecapi Nenek, malah tertidur di sini. Mohon Nenek jangan
tersinggung.”
“Tidak perlu seperti itu,”
kata si nenek. “Lagu yang kubawakan tadi memang bisa menenteramkan perasaan dan
membuatmu tertidur. Lagu ini kuharapkan bisa membantu tubuhmu mengatur kembali
tenaga dalammu dengan baik. Sekarang coba kerahkan sedikit tenaga, apakah rasa
muak dan sesak sudah berkurang atau tidak?”
“Terima kasih banyak!” jawab
Linghu Chong gembira. Dengan cepat ia duduk bersimpuh sambil mencoba
mengerahkan tenaga dalam. Ia merasa kedelapan arus hawa murni kembali saling
terjang di dalam tubuhnya, namun rasa sesak karena bergolaknya darah sudah agak
berkurang.
Akan tetapi semua itu hanya
bertahan sebentar saja. Kepalanya kembali terasa pusing dan badan pun lemas
terkapar di atas lantai. Melihat itu Lu Zhuweng segera memapahnya masuk ke
dalam pondok. Sesudah ditidurkan beberapa lama, rasa pusing di kepalanya pun
lenyap.
“Tenaga dalam Enam Dewa Lembah
Persik dan Biksu Bujie sangat tinggi. Hawa murni mereka di dalam tubuhmu sukar
diatur oleh suara kecapi yang lemah ini, sehingga kau malah menderita. Sungguh
aku merasa tidak enak hati,” kata si nenek dari dalam pondoknya.
“Nenek jangan berkata
demikian,” sahut Linghu Chong cepat. “Bisa mendengar lagu yang merdu tadi
sungguh sangat bermanfaat untuk saya.”
Tiba-tiba Lu Zhuweng
menyodorkan selembar kertas kepadanya. Linghu Chong membaca kertas itu yang
ternyata bertuliskan kalimat saran supaya ia meminta diajari lagu tersebut demi
kesehatannya.
Hati Linghu Chong tergerak
membaca saran Lu Zhuweng. Ia pun berkata, “Kalau Nenek tidak keberatan, saya
ingin mempelajari lagu penyembuhan tadi, agar lambat laun saya bisa mengatur
hawa murni yang bergejolak di dalam tubuh ini.”
Lu Zhuweng tampak
manggut-manggut dengan wajah senang.
Si nenek hanya terdiam. Selang
agak lama barulah terdengar suaranya berkata, “Sudah sejauh mana kepandaianmu
memetik kecapi? Coba mainkan sebuah lagu.”
Wajah Linghu Chong bersemu
merah. Ia menjawab, “Seumur hidup saya belum pernah bermain musik. Sama sekali
tidak paham. Rasanya saya ini terlalu lancang minta untuk diajari cara
memainkan lagu tadi. Mohon Nenek memaafkan saya.” Ia kemudian berpaling ke arah
Lu Zhuweng, “Biarlah saya mohon diri saja.”
“Tunggu dulu,” kata si nenek
mencegah Linghu Chong yang sudah membungkuk hendak melangkah pergi. “Sungguh
memalukan bahwa kami tidak bisa membalas apa-apa atas kebaikanmu memberikan
kitab musik istimewa ini. Sungguh memalukan pula apabila kami tidak bisa
berbuat apa-apa terhadap lukamu yang parah ini. Maka, mulai besok kau bisa belajar
dasar-dasar memetik kecapi kepada Keponakan Zhuweng. Jika kau punya kesabaran
yang cukup dan bisa tinggal agak lama di kota Luoyang ini, maka aku akan… akan
mengajarkan lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin kepadamu.” Sampai di sini
suaranya berubah lirih bagaikan berbisik.
Begitulah, pada keesokan
paginya Linghu Chong datang ke pondok bambu itu untuk mulai belajar memetik
kecapi. Lu Zhuweng meminjamkan seperangkat kecapi berwarna coklat dan mulai
mengajarkan beberapa teori dasar.
“Ada dua belas nada mayor yang
ia perkenalkan, yaitu Huang-Zhong, Da-Lu, Tai-Cu, Jia-Zhong, Gu-Xi, Zhong-Lu,
Rui-Bin, Lin-Zhong, Yi-Ze, Nan-Lu, Wu-Yi, dan Yin-Zhong. Semua istilah ini
turun-temurun sejak zaman kuna. Konon ceritanya, Kaisar Huang Di telah
memerintahkan Lin Lun untuk menyusun skala nada. Terinspirasi oleh nyanyian
phoenix, maka diciptakanlah dua belas nada utama. Sebuah kecapi memiliki tujuh
senar dan dapat memainkan skala Gong, Shang, Jia, Wei, dan Yu. Senar pertama
memainkan nada Huang-Zhong, dan senar ketiga memainkan skala Gong. Kelima nada
tersebut adalah Man-Jiao, Qing-Shang, Gong-Diao, Man-Gong, dan Rui-Bin,” ujar
Lu Zhuweng memulai latihan.
Meskipun Linghu Chong dapat
dikatakan buta sama sekali dalam urusan seni musik, namun karena sifatnya yang
cerdas dan juga berbakat membuat ia cepat tanggap jika diajari. Sekali dengar
langsung paham. Lu Zhuweng sangat gembira, dan ia kemudian mengajarkan teknik
memetik, serta sebuah lagu berjudul Melodi Angkasa Cerah.
Linghu Chong mempelajari lagu
itu dengan penuh perhatian. Setelah meniru Lu Zhuweng beberapa kali, ia
kemudian mencoba memainkannya sendiri. Meskipun beberapa kali ia salah
memainkan not dan jarinya pun terlihat kaku, namun lagu yang ia bawakan boleh
dikata cukup merdu dan mampu menggambarkan betapa langit biru sedang cerah dan
terang benderang, tanpa adanya awan hitam dan mendung tebal.
Mendengar permainan itu, si
nenek terdengar memuji dari dalam pondoknya, “Tuan Muda Linghu sangat berbakat
dan cepat tanggap. Mungkin dalam waktu singkat kau sudah bisa mempelajari
laguku kemarin, yaitu lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin.”
Lu Zhuweng menyahut, “Bibi,
hari ini Adik Linghu baru saja belajar dasar-dasar memetik kecapi, tapi ia
sudah bisa membawakan lagu Melodi Langit Cerah dengan cukup baik. Bahkan, ia bisa
menggambarkan suasana lagu ini lebih baik daripada aku. Suara kecapi yang ia
mainkan berasal dari lubuk hati paling dalam. Ini hanya mungkin terjadi karena
Adik Linghu memiliki sifat terbuka dan pikiran merdeka.”
Sementara itu Linghu Chong
menjawab dengan rendah hati, “Nenek terlalu memuji. Entah kapan saya bisa
memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan seperti permainan Nenek kemarin?”
“Kau… kau ingin memainkan lagu
Menertawakan Dunia Persilatan?” tanya si nenek.
Linghu Chong menjawab dengan wajah
bersemu merah, “Saya sangat kagum mendengar permainan musik Nenek kemarin.
Akhirnya saya pun bercita-cita terlalu tinggi ingin belajar lagu itu. Padahal
Kakek Zhuweng saja belum mampu memainkan lagu itu, apalagi saya yang masih
hijau ini?”
Si nenek tidak bersuara.
Selang agak lama barulah terdengar suaranya berkata lirih, “Jika kau bisa
memainkan lagu itu, tentu saja hal ini sangat baik….” Demikian suaranya semakin
lirih sampai tidak bisa terdengar lagi.
Begitulah, berturut-turut
selama dua puluh hari lebih, Linghu Chong selalu datang ke Pondok Bambu Hijau
tersebut untuk belajar kecapi. Pada petang harinya baru ia pulang. Makan siang
pun dilakukan di tempat Lu Zhuweng. Meskipun makanan di situ hanya berupa tahu
dan sayuran, tapi terasa jauh lebih lezat daripada daging ayam yang ada di
rumah Keluarga Wang. Lebih-lebih, di tempat itu juga terdapat arak. Meskipun Lu
Zhuweng tidak terlalu kuat minum, namun arak yang ia simpan ternyata
bagus-bagus. Orang tua itu juga memiliki wawasan luas mengenai arak. Ia
mengetahui apa saja jenis arak-arak hebat, juga kapan dan di mana arak-arak itu
dibuat. Linghu Chong yang selama ini hanya gemar minum, sekarang mendapatkan
banyak pengetahuan baru. Maka, bukan hanya ilmu memetik kecapi yang ia peroleh
dari Lu Zhuweng, tetapi juga bermacam-macam pengetahuan mengenai arak. Baginya,
ilmu tentang arak ternyata sama luasnya seperti ilmu memetik kecapi.
Apabila Lu Zhuweng sibuk
membuat alat-alat bambu, maka si nenek yang memberikan pelajaran kepada Linghu
Chong dengan pembatas dinding bambu. Lama-lama Linghu Chong merasa
kepandaiannya sudah mengalami banyak kemajuan. Bahkan, seringkali Lu Zhuweng
tidak mampu memberi penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan sulit yang diajukan
Linghu Chong sehingga si nenek yang memberikan petunjuk.
Meskipun setiap hari
berkunjung, namun Linghu Chong belum pernah sama sekali mengetahui wajah si
nenek. Suara si nenek terdengar sangat lembut dan tenang, sama sekali tidak
mirip suara wanita tua, melainkan lebih mirip suara seorang gadis terpelajar
dari keluarga kaya. Linghu Chong menduga si nenek pasti belajar musik sejak
kecil sehingga hatinya selalu riang gembira dan suaranya pun tidak berubah
meskipun usia bertambah tua.
Pada suatu hari, si nenek
mengajarkan sebuah lagu berjudul Kenangan Mengharukan kepada Linghu Chong. Lagu
ini adalah lagu kuna yang memiliki irama begitu manis dan berasal dari zaman
Dinasti Han. Sesudah mendengarkan si nenek memainkannya beberapa kali, ia pun
mulai mencoba memainkan lagu tersebut. Tanpa terasa pikirannya terkenang kepada
kejadian di masa lampau saat bersama Yue Lingshan, bermain berdua, bercanda dan
bersenang-senang. Kenangan indah saat berlatih pedang bersama di bawah siraman
air terjun, juga bagaimana si adik kecil mengantarkan makanan saat ia dikurung
di Tebing Perenungan. Kemudian sosok Lin Pingzhi muncul dalam ingatannya. Sejak
kedatangan pemuda itu, sikap Yue Lingshan berubah dingin kepadanya. Permainan
kecapi menjadi kacau. Tanpa terasa nada yang muncul adalah irama lagu daerah
Fujian yang dulu pernah diajarkan Lin Pingzhi kepada Yue Lingshan.
Pikiran Linghu Chong kemudian
terkenang perubahan sikap Yue Lingshan sejak munculnya Lin Pingzhi. Karena
pikirannya melayang-layang, maka irama kecapi yang dipetiknya pun menjadi agak
kacau. Tapi ia segera sadar dan lekas-lekas berhenti.
Si nenek lantaas bertanya
ramah ketika Linghu Chong tiba-tiba menghentikan permainan kecapinya,
“Sebenarnya caramu memainkan lagu Kenangan Mengharukan sudah sangat baik. Aku
yakin ada beberapa kilasan masa lalu yang terlintas di pikiranmu. Akan tetapi,
kenapa tiba-tiba nadanya berubah menjadi lagu rakyat daerah Fujian?”
Linghu Chong yang pada
dasarnya bersifat terbuka selama ini cukup menderita karena harus memendam
perasaan. Maka begitu bertemu si nenek yang telah memperlakukan dirinya dengan
penuh perhatian, maka tanpa ragu-ragu ia pun menuturkan isi hatinya yang selama
ini menyimpan cinta terhadap Yue Lingshan. Begitu bercerita, ia tidak mampu
menahan diri dan terus saja bercerita semua yang ia alami kepada si nenek dari
awal sampai akhir. Ia sendiri tidak tahu mengapa bisa bercerita segala rahasia
pribadinya kepada si nenek, seolah-olah ia menganggap nenek itu sebagai ibu
sendiri. Baru setelah selesai bercerita ia merasa sangat malu.
“Nenek, mohon maaf aku terlalu
lancang dan menceritakan hal yang tidak penting,” kata Linghu Chong.
Si nenek menjawab dengan
lembut, “Mengenai jodoh memang tidak dapat dipaksakan. Pepatah mengatakan,
setiap orang memiliki jodoh sendiri-sendiri dan jangan iri kepada orang lain.
Meskipun kali ini Tuan Muda Linghu patah hati, kelak tidak mustahil akan
mendapatkan jodoh lain yang lebih cocok.”
“Saya sendiri tidak tahu
berapa hari lagi akan mati. Masalah jodoh dan keluarga tidak terlalu saya
pikirkan,” jawab Linghu Chong tegas.
Si nenek tidak bicara lagi. Ia
lantas memetik kecapi dan memainkan lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin.
Hanya sebentar saja mendengarkan lagu itu Linghu Chong sudah mulai mengantuk.
Si nenek lantas menghentikan
suara kecapi dan berkata, “Mulai hari ini aku akan mengajarkan lagu ini padamu.
Kira-kira dalam waktu sepuluh hari sudah cukup. Selanjutnya kau bisa memainkan
lagu ini satu kali setiap hari. Meskipun tidak bisa memulihkan seluruh tenagamu
seperti dulu, namun sedikit banyak akan bermanfaat juga bagimu.”
“Baik,” jawab Linghu Chong
mengiakan.
Mulai hari itu si nenek lantas
memberikan petunjuk tentang seluk-beluk lagu itu serta cara memainkannya.
Dengan penuh perhatian Linghu Chong berusaha memahaminya dengan sebaik-baiknya.
Pada suatu hari Linghu Chong
bertanya, “Nenek, aku pernah mendengar Tetua Qu berkata bahwa irama lagu
Menertawakan Dunia Persilatan berasal dari irama lagu Guang Ling San. Tetapi
ternyata lagu Guang Ling San bersumber dari cerita mengenai pembunuhan raja
negara Han oleh Nie Zheng. Dahulu, aku pernah mendengar Nenek berkata bahwa
irama lagu Menertawakan Dunia Persialatan itu anggun, lembut dan cepat, sama
sekali berlawanan dengan sifat Nie Zheng yang gagah berani dan siap mati.
Nenek, mohon jelaskan kepadaku mengenai hal ini.”
Si nenek berkata, “Keanggunan
yang lembut dari irama itu berasal dari perasaan kakak perempuan Nie Zheng.
Mereka berdua kakak beradik memiliki hubungan yang sangat erat. Setelah Nie
Zheng gugur, kakaknya mengambil jasadnya dan menyiarkan ketenaran namanya, dari
zaman ke zaman. Bahwa kau bisa merasakan adanya sesuatu yang lain dalam irama
itu merupakan bukti yang cukup bahwa kau memiliki bakat musik alami.” Setelah
berhenti sejenak, dengan suara lirih nenek itu berkata, “Tuan Muda Linghu,
kalau kau dan aku bisa tetap bertemu dalam beberapa hari ini, maka kau pasti
akan bisa memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan ini. Akan tetapi, hal
ini juga tergantung pada nasibmu.”
Beberapa hari belakangan ini,
Linghu Chong tinggal di Pondok Bambu Hijau untuk belajar memainkan kecapi, dan
sering mendengar kata-kata lembut si nenek. Ia berpikir bahwa si nenek sudah
lanjut usia, dan bahwa ia sendiri tidak tahu berapa lama lagi ia dapat hidup.
Ia juga tidak tahu entah berapa lama lagi nasib akan memperbolehkan mereka
untuk tetap bersama. Hatinya menjadi sedih, dan ia pun menjawab, “Aku harap
Nenek selalu sehat dan panjang umur. Semoga hidup muridmu ini juga bisa
diperpanjang untuk sementara waktu dan bisa belajar lebih banyak lagi dari
Nenek.”
Si nenek menghela nafas
panjang. Dengan suara lembut ia berkata, “Hidup manusia tidak abadi. Takdir
sulit dimengerti. Lagu Menertawakan Dunia Persilatan dan Guang Ling San ini
sangat berbeda. Ketika Nie Zheng maju menyerang dengan pisau pembunuhnya, irama
lagu menjadi penuh duka dan nafsu membunuh. Nie Zheng membunuh Raja Han dan
kemudian ia sendiri pun dibunuh oleh para pengawal raja itu. Disini, nada
kecapi meninggi; begitu tingginya sehingga kalau lebih tinggi lagi senar kecapi
akan putus. Lalu, irama yang penuh duka itu menjadi begitu rendah, sampai aku
juga tidak bisa mengeluarkan suaranya dari serulingku. Ini menandakan bagian
meninggalnya Nie Zheng. Setelah itu, kecapi dan seruling sekali lagi memainkan
irama yang ringan dan riang. Artinya adalah, walaupun sang pahlawan telah
wafat, semangat kepahlawanannya tetap abadi. Bunga bermekaran dan berguguran,
namun setiap tahun selalu muncul pahlawan laki-laki dan perempuan yang
menyanyikan lagu Menertawakan Dunia Persilatan. Dalam dunia manusia, semangat
kepahlawanan tidak akan pernah pupus. Dan oleh karena itu, bagian lagu
berikutnya ini bagai bunga bermekaran atau busana yang gemerlapan. Menurut
catatan sejarah, bukan Nie Zheng yang membunuh Raja Han, melainkan Perdana
Menteri Xia Lei, tapi kita tidak perlu terlalu mendalaminya.”
Linghu Chong memukul pahanya
dan berkata, “Nenek, penjelasanmu bagus sekali. Bagi seorang pelajar seperti
aku ini untuk bisa belajar darimu, tidaklah sia-sia mengalami sepuluh kali
lipat lagi penderitaan dan fitnah.”
Si nenek tidak menjawab. Suara
kecapinya kembali berkumandang, sekali lagi melayang bebas tanpa beban.
Dua hari kemudian ketika
Linghu Chong hendak berangkat belajar main kecapi, tiba-tiba Lao Denuo datang
kepadanya setengah terburu-buru sambil berkata, “Kakak Pertama, Guru bilang
besok kita akan berangkat.”
Linghu Chong pun terperanjat
dan menyahut, “Apa? Besok kita akan pergi dari sini?” Hampir saja ia berkata
bahwa pelajaran memetik kecapi belum selesai, tetapi ia berhasil menahan diri
untuk tidak mengatakannya.
“Benar,” jawab Lao Denuo. “Ibu
Guru menyuruhmu berbenah seperlunya. Kita akan pergi dari sini esok pagi-pagi
sekali.”
Linghu Chong mengangguk. Ia
lalu bergegas pergi ke Pondok Bambu Hijau dan memberitahukan hal itu kepada si
nenek.
“Nenek, besok kami akan
meninggalkan Luoyang. Saya mohon pamit melanjutkan perjalanan.”
Si nenek sangat terkejut.
Selang agak lama barulah ia berkata dengan suara lirih, “Mengapa begitu
terburu-buru? Sementara… lagu ini belum selesai kau pelajari.”
“Saya juga berpikir demikian,”
ujar Linghu Chong. “Namun perintah Guru tidak bisa dibantah. Sebagai tamu kami
tidak mungkin tinggal di rumah orang selamanya.”
“Benar juga,” kata si nenek.
Hari itu ia kembali memberi
pelajaran cara memetik kecapi kepada Linghu Chong seperti hari-hari sebelumnya.
Lebih dari sebulan Linghu
Chong setiap hari berkunjung ke Pondok Bambu Hijau. Meskipun belum pernah
melihat muka si nenek, tapi dari permainan musik serta suaranya yang lembut
saat bercakap-cakap, Linghu Chong dapat merasakan betapa tulus perhatian si
nenek kepadanya bagaikan terhadap keluarga sendiri. Hanya saja si nenek agak
segan kalau bicara mengenai masalah pribadi. Begitu berbicara beberapa kalimat
saja langsung diselinginya dengan soal lain, supaya Linghu Chong tidak
menyadarinya.
Di dunia ini, Linghu Chong
merasa hanya memiliki empat orang yang begitu baik kepadanya, yaitu sang Yue
Buqun suami-istri, Yue Lingshan, dan Lu Dayou. Tetapi sekarang ini Lu Dayou
sudah meninggal, Yue Lingshan sudah mengabaikannya semenjak dekat dengan Lin
Pingzhi, sedangkan sang guru dan ibu-guru mencurigai kemajuan ilmu silatnya.
Oleh sebab itu, dengan sendirinya si nenek dan Lu Zhuweng kini menjadi orang
yang paling dekat dengannya menggantikan keempat orang tersebut. Pada hari
terakhir itu sebenarnya Linghu Chong beberapa kali ingin menyatakan kepada Lu
Zhuweng supaya diizinkan tinggal di Pondok Bambu Hijau untuk bisa belajar main
kecapi dan seruling sampai mahir, juga untuk mempelajari ilmu membuat kerajinan
bambu. Namun bila terkenang kepada wajah cantik Yue Lingshan, ia merasa berat
untuk berpisah dan keinginan untuk tinggal menadak sirna.
“Sekalipun Adik Kecil tidak
lagi menghiraukan aku, asalkan setiap hari dapat melihatnya aku sudah merasa
puas, meskipun dari belakang, ataupun hanya mendengar suaranya saja,” demikian
pikirnya.
Menjelang senja Linghu Chong
merasa sangat berat untuk berpisah. Ia mendekati jendela pondok si nenek dan
berlutut di sana untuk menyembah beberapa kali.
Samar-samar dari balik kerai
bambu si nenek juga tampak berlutut dan membalas hormat. Terdengar wanita itu
berkata, “Aku telah mengajarkan cara bermain kecapi padamu untuk membalas
kebaikanmu yang telah menghadiahkan lagu bagus kepadaku. Tapi mengapa kau
menjalankan penghormatan setinggi ini padaku?”
“Hari ini kita berpisah. Entah
sampai kapan saya dapat berkunjung lagi kemari untuk mendengarkan permainan
kecapi Nenek. Asalkan Linghu Chong tidak mati, kelak tentu akan datang lagi ke
sini untuk mengunjungi Nenek dan Zhuweng,” kata Linghu Chong.
Tiba-tiba dalam benaknya
terlintas pikiran, “Mereka berdua sudah berusia lanjut. Entah berapa lama lagi
mereka akan hidup di dunia ini? Jika kelak aku bisa datang lagi ke Luoyang
sini, apakah aku masih dapat berjumpa dengan mereka atau tidak? Aih, hidup ini
sungguh bagaikan mimpi, sulit untuk membedakan mana yang nyata, mana yang semu.
Hidup juga seperti tetesan embun. Indah tetapi juga sangat singkat.” Sampai di
sini hatinya terasa sangat pilu.
“Tuan Muda Linghu, sebelum
berpisah aku ingin berpesan sepatah kata padamu,” kata si nenek.
“Baik, silakan Nenek memberi
nasihat,” jawab Linghu Chong. “Nasihat dari Nenek sampai mati pun takkan
kulupakan.”
Si nenek terdiam tidak
langsung bicara. Selang agak lama, akhirnya ia berkata lirih, “Banyak bahaya
dan kepalsuan di dunia persilatan. Hendaknya kau bisa menjaga diri baik-baik.”
“Baik!” jawab Linghu Chong
dengan perasaan haru. Ia kemudian membungkuk dan memberi hormat kepada Lu
Zhuweng untuk mohon diri. Sejenak kemudian dari dalam gubuk si nenek terdengar
alunan suara kecapi berkumandang merdu, membawakan lagu kuna Kenangan
Mengharukan.
Esok paginya Yue Buqun beserta
rombongan Huashan mohon diri kepada Wang Yuanba dan kedua putranya untuk
berangkat dengan menumpang kapal melalui Sungai Luo. Wang Yuanba besarta
anak-cucunya mengantar sampai ke dermaga di tepi sungai. Para pembantu juga
terlihat mengangkut perbekalan berupa uang perak dan menumpuknya di atas kapal
sedemikian rupa. Di atas dermaga, Keluarga Wang juga menggelar acara sarapan
pagi sebagai jamuan perpisahan untuk melepas rombongan tersebut.
Hanya Linghu Chong yang
terlihat menyendiri. Sejak kejadian Wang Jiajun dan Wang Jiaju mematahkan
lengannya, ia tidak berbicara sepatah kata pun terhadap anggota Keluarga Wang.
Dalam acara perjamuan tersebut ia memilih memisahkan diri dan memandang
orang-orang Keluarga Wang dengan tatapan kosong seolah mereka tidak ada.
Yue Buqun sendiri merasa
pusing dengan ulah murid pertamanya itu. Ia paham benar bagaimana sifat Linghu
Chong yang bandel. Ia bisa saja memaksa Linghu Chong memberi hormat kepada
Keluarga Wang sebelum berpisah, dan Linghu Chong pasti melakukannya. Akan
tetapi, penghormatan itu kemungkinan besar akan disusul dengan keributan dan
permasalahan baru yang diciptakan Linghu Chong. Oleh sebab itu, Yue Buqun
memilih untuk mengucapkan terima kasih kepada Wang Yuanba berkali-kali atas
segala kebaikan sang tuan rumah selama ini supaya orang tua itu tidak terlalu
menghiraukan wajah masam Linghu Chong.
Saat itu Linghu Chong sedang
mengamati tumpukan hadiah di atas kapal yang sebagian besar ditujukan untuk Yue
Lingshan. Satu demi satu para perempuan pelayan Keluarga Wang naik ke atas
kapal untuk mengantarkan hadiah-hadiah tersebut sampai ke hadapan sang adik
kecil.
“Ini ada sedikit kue dan
makanan untuk Nona Yue dari Nenek Wang.”
“Ini ada sedikit pakaian dari
Nyonya Wang pertama, dan sedikit perhiasan dari Nyonya Wang kedua.”
Segala pemberian dari istri
Wang Yuanba, istri Wang Bofen, dan istri Wang Zhongqiang tersebut menunjukkan
kalau Yue Lingshan telah dianggap menjadi anggota Keluarga Golok Emas Wang
sendiri.
Yue Lingshan pun menjawab
sambil bersorak dan tersenyum lebar, “Wah, aku tidak mungkin bisa menghabiskan
makanan sebanyak ini! Pakaian dan perhiasan ini juga terlalu banyak untukku.
Terima kasih, terima kasih.”
Di tengah kesibukan itu
tiba-tiba seorang tua berpakaian kumal naik ke atas kapal dan berseru, “Tuan
Muda Linghu!”
Begitu melihat kalau orang tua
itu adalah Lu Zhuweng, Linghu Chong pun terkejut bercampur gembira. Buru-buru
pemuda itu melangkah maju untuk menyambut kedatangan orang tua tersebut.
“Bibi menyuruhku untuk
menyerahkan hadiah kecil ini kepadamu,” kata Lu Zhuweng sambil menyodorkan
sebuah benda panjang yang dibungkus kain berwarna biru dengan sulaman bunga.
Linghu Chong membungkuk dan
menerima bungkusan itu dengan penuh hormat.
“Atas hadiah yang berharga ini
saya mengucapkan banyak terima kasih. Mohon disampaikan kepada Nenek!” Sambil
berkata demikian, ia kembali membungkuk dengan penuh hormat.
Wang Jiajun dan Wang Jiaju
menyaksikan pemandangan tersebut dengan saksama. Sikap Linghu Chong yang acuh
tak acuh terhadap semua anggota Keluarga Golok Emas Wang tetapi sangat
menghormati seorang tua berpakaian kumal, membuat kedua bersaudara itu merasa
gusar. Andai saja bukan karena memandang Yue Buqun suami-istri dan segenap
murid Huashan lainnya, pasti keduanya sudah menyeret Linghu Chong dan
memberinya pelajaran demi mengobati sakit hati mereka.
Begitu melihat Lu Zhuweng
melangkah di atas papan titian untuk turun kembali ke daratan, kedua bersaudara
itu saling pandang dan rencana jahat pun terbesit di benak mereka. Keduanya
sengaja menunggu di bawah papan titian untuk kemudian mendesak Lu Zhuweng
menggunakan bahu mereka. Mereka yakin kakek tua itu pasti jatuh tercebur ke
dalam sungai dengan sedikit saja tenaga mereka. Meskipun air sungai pada
dermaga tersebut dangkal, namun itu sudah cukup untuk membuat Linghu Chong
kehilangan muka.
Menyadari apa yang akan
terjadi, dengan cepat Linghu Chong berseru, “Hei, awas!”
Hampir saja ia melangkah maju
untuk menerjang ke arah Wang Jiajun dan Wang Jiaju namun segera teringat kalau
dirinya sudah tidak memiliki tenaga dalam sama sekali. Bukannya menolong Lu
Zhuweng, tapi mungkin ia sendiri yang akan kesakitan jika memaksakan diri.
Andaikan bisa menerjang, tetap saja sia-sia karena kedua bersaudara itu sudah
lebih dulu mendorong Lu Zhuweng dengan bahu mereka.
Sementara itu Wang Yuanba juga
berteriak, “Jangan!”
Sebagai tokoh kaya dan
terpandang di kota Luoyang, jelas ia berbeda pikiran dengan kedua cucunya yang
masih hijau dan mudah panas itu. Jika si orang tua sampai mati karena ulah kedua
cucunya, tentu pihak yang berwajib akan melakukan penyelidikan mendalam dan ini
pasti menghabiskan banyak biaya dan menjadi masalah tak berujung bagi Keluarga
Wang. Namun saat itu Wang Yuanba sedang bercakap-cakap dengan Yue Buqun di atas
kapal sehingga teriakannya untuk menghentikan Wang Jiajun dan Wang Jiaju sudah
terlambat.
Kedua bersaudara itu sudah
terlanjur mendorong Lu Zhuweng dengan bahu mereka. Namun anehnya, yang
terlempar ke udara justru kedua pemuda itu sendiri. Masing-masing dari mereka
jatuh tercebur di kiri dan kanan papan titian. Lu Zhuweng terlihat seperti
kantung udara yang mampu mendorong balik Wang Jiajun dan Wang Jiaju yang
berusaha mendesaknya. Orang tua itu terlihat tetap berjalan tenang di atas
papan titian dan akhirnya sampai di daratan dengan selamat. Sikapnya acuh tak
acuh seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Keadaan menjadi kacau.
Beberapa awak kapal segera terjun ke sungai untuk menyeret Wang Jiajun dan Wang
Jiaju naik ke atas. Saat itu baru permulaan musim semi. Hanya sebagian salju di
sungai yang mencair sehingga air pun terasa sangat dingin. Apalagi kedua anak
muda itu tidak bisa berenang dan sudah telanjur minum air sungai sampai
beberapa teguk. Tampak mereka menggigil kedinginan dengan wajah merah padam
menahan malu luar biasa.
Wang Yuanba yang sangat
terkejut buru-buru memeriksa keadaan kedua cucunya. Ia pun tertegun karena
lengan kedua cucunya itu terkilir dan semua tulang lengan mereka terlepas dari
sendi di bagian bahu, sama seperti apa yang dialami Linghu Chong tempo hari.
Wang Jiajun dan Wang Jiaju hanya bisa memaki-maki dengan kata-kata kotor sambil
menyeringai kesakitan.
Melihat nasib kedua putranya,
Wang Zhongqiang segera melompat dari kapal ke dermaga untuk menghadang di jalur
yang akan dilewati Lu Zhuweng. Namun Lu Zhuweng tetap saja berjalan ke depan
dengan langkah tenang dan kepala menunduk.
“Orang sakti dari mana ini
berani coba-coba pamer kepandaian di Luoyang? Apa kau datang kemari hanya untuk
mencari masalah dengan Keluarga Wang?” bentak Wang Zhongqiang.
Tapi Lu Zhuweng tetap saja
berjalan ke depan seolah tidak mendengar bentakan itu. Selangkah demi selangkah
ia semakin mendekati tempat Wang Zhongqiang berdiri. Setiap orang dapat melihat
jarak antara mereka berdua semakin dekat.
Begitu jarak antara keduanya
tinggal selangkah, Wang Zhongqiang segera mengulurkan kedua tangan untuk
mencengkeram bahu Lu Zhuweng sambil berteriak, “Cukup sudah!”
Namun baru saja jarinya hampir
menyentuh sasaran, tiba-tiba badannya yang tinggi besar itu terlempar ke udara sampai
beberapa meter jauhnya. Di tengah teriakan banyak orang, Wang Zhongqiang sempat
berputar satu kali di udara, kemudian mendarat dengan kedua kakinya di atas
tanah.
Pada umumnya, apabila dua
orang saling berbenturan dengan kecepatan tinggi, bisa jadi salah satu dari
mereka akan terlempar ke udara. Namun kejadian kali ini sungguh berbeda. Wang
Zhongqiang yang berdiri tegak dengan tubuh tinggi besar tiba-tiba saja
terlempar ke udara saat ditabrak Lu Zhuweng yang bertubuh kurus dan berjalan
dengan langkah perlahan. Bahkan ahli silat papan atas seperti Wang Yuanba dan
Yue Buqun sempat terheran-heran menyaksikan kejadian ini.
Sementara itu orang-orang yang
tidak paham ilmu silat tampak bertepuk tangan dan bersorak memuji Wang
Zhongqiang yang dapat mendarat dengan sempurna setelah berputar satu kali di
udara. Mereka mengira Wang Zhongqiang telah menggunakan ilmu meringankan tubuh
untuk melakukan pendaratan.
Wang Yuanba masih tertegun
menyadari kemampuan Lu Zhuweng melepas tulang lengan kedua cucunya dengan sangat
mudah dan dalam waktu sekejap pula. Memang ia sendiri bisa mematahkan lengan
musuh dalam waktu singkat, namun tidak bisa seperti apa yang dilakukan si orang
tua kumal itu yang melakukannya dengan cara sangat halus seolah tanpa tenaga.
Kini begitu melihat orang tua itu melemparkan Wang Zhongqiang ke udara,
perasaannya sama sekali tidak terkejut tetapi berubah menjadi takut dan ngeri.
Bagaimana tidak? Ia mengetahui dengan baik kehebatan putra keduanya itu yang
tidak hanya mahir dalam memainkan golok cepat ataupun golok lambat, namun juga
mahir dalam pertarungan tangan kosong. Tenaga dalam Wang Zhongqiang juga
terbilang cukup tinggi, bahkan hampir setara dengan tingkatan yang ia capai
pada usia matang. Namun anehnya, hanya dalam satu jurus saja putranya yang
bertubuh tinggi besar itu sudah terlempar ke udara menghadapi si orang tua
kumal. Sungguh pemandangan yang jarang terjadi.
Melihat putranya bersiap untuk
menyerang kembali, Wang Yuanba segera mencegah dengan memanggilnya,
“Zhongqiang, kemari!”
Wang Zhongqiang memutar tubuh
dan melompat ke papan dermaga dengan enteng. “Tua bangka itu kemungkinan besar
bisa ilmu sihir!” katanya sambil meludah kesal.
“Bagaimana keadaanmu? Tidak
terluka?” tanya Wang Yuanba dengan suara berbisik.
Wang Zhongqiang menggeleng.
Wang Yuanba sengaja tidak mempersoalkan masalah ini lebih lanjut. Ia menyadari
kalau kemampuannya masih berada di bawah si orang tua kumal. Andaikan ia
meminta bantuan Yue Buqun untuk maju bersama mengeroyok lawan, tentu kemenangan
seperti ini bukan kemenangan yang gemilang. Maka jalan keluar terbaik adalah
menahan diri dan menganggap kejadian itu tidak pernah ada. Si orang tua kumal
telah menunjukkan kebaikan hatinya dengan tidak melukai Wang Zhongqiang, bahkan
melemparkan tubuh putranya itu sedemikian rupa sehingga bisa mendarat dengan
baik sehingga Keluarga Wang tidak sampai kehilangan muka.
Wang Yuanba melihat si orang
tua kumal sudah pergi semakin jauh. Ia pun berpikir, “Kakek itu jelas-jelas
kawan Linghu Chong. Karena kedua cucuku telah mematahkan lengan Linghu Chong,
kini ia membalas dengan mematahkan lengan kedua cucuku. Selama ini aku menjadi
pemuka dunia persilatan di kota Luoyang ini. Mungkinkah pada hari tua aku harus
dipermalukan habis-habisan seperti ini?”
Sementara itu Wang Bofen sudah
memperbaiki lengan kedua keponakannya yang terkilir tadi sehingga kembali ke
ruasnya. Kedua anak muda yang basah kuyup itu kemudian diantar pulang lebih
dulu dengan menggunakan tandu.
“Adik Yue, siapa sebenarnya
orang tua tadi?” tanya Wang Yuanba kepada Yue Buqun. “Sepertinya mataku yang
tua ini sudah mulai kabur sehingga tidak mengenali orang sakti seperti dia.”
Yue Buqun pun berpaling ke
arah Linghu Chong dan bertanya, “Chong’er, siapa dia?”
“Dia itulah yang bernama Lu
Zhuweng, tukang bambu dari timur kota,” jawab Linghu Chong.
Wang Yuanba dan Yue Buqun
bersama mengeluarkan suara, “Oooh!”
Bisa dimaklumi, meskipun tempo
hari mereka datang bersama rombongan ke hutan bambu di timur kota, namun hanya
Jurutulis Yi yang masuk ke dalam untuk menemui Lu Zhuweng. Saat itu mereka sama
sekali tidak mengetahui seperti apa wajah Lu Zhuweng, melainkan hanya mendengar
suaranya saja. Itulah sebabnya mereka tidak tahu menahu dengan siapa Wang
Zhongqiang tadi berhadapan.
“Barang apa yang ia berikan
padamu?” tanya Yue Buqun sambil menunjuk bungkusan panjang tadi.
“Saya sendiri belum tahu,”
jawab Linghu Chong sambil membuka bungkusan itu. Maka terlihatlah isi di
dalamnya ternyata sebuah kecapi berukuran agak kecil. Kecapi tersebut terlihat
sudah berusia tua dan lama tidak terpakai, namun berkesan antik. Pada ujung
kecapi terdapat tulisan kuna berbunyi: “Yan Yu”. Selain itu ada pula sebuah
kitab kecil yang pada sampulnya bertuliskan “Lagu Penyebar Kebajikan Pemurni
Batin”. Seketika Linghu Chong terharu dan merasa bersyukur. Matanya pun
berkaca-kaca karena sangat gembira.
“Ada apa?” tanya Yue Buqun
sambil memandang tajam.
“Nenek itu selain memberikan
sebuah kecapi padaku, juga menyertakan sebuah kitab notasi lagunya pula,” jawab
Linghu Chong.
Ia kemudian membalik-balik isi
buku kecil itu. Pada setiap halaman berisi tulisan yang sangat indah dengan
huruf kecil tersusun rapi. Isinya tidak hanya notasi musik kecapi, tetapi juga
pelajaran yang disertai petunjuk-petunjuk yang sangat jelas. Pelajaran tersebut
juga berlaku umum untuk memainkan kecapi dan tidak terbatas pada lagu Penyebar
Kebajikan Pemurni Batin saja. Dari tinta tulisan dan kertasnya yang masih baru
jelas menunjukkan kalau kitab tersebut baru saja selesai ditulis oleh si nenek.
Terkenang pada kebaikan dan perhatian wanita tua itu, Linghu Chong sangat
terharu dan air matanya pun berlinang di pipi.
Wang Yuanba dan Yue Buqun
sempat melihat lembaran kitab di tangan Linghu Chong tersebut yang penuh dengan
simbol-simbol musik dan tulisan aneh. Sekilas mereka teringat pada kitab lagu
Menertawakan Dunia Persilatan tempo hari. Meskipun hati mereka masih diliputi
rasa curiga, namun mereka yakin kalau itu hanyalah kitab musik biasa sehingga
tidak bertanya lebih lanjut kepada Linghu Chong.
Yue Buqun kemudian berkata,
“Pendekar sejati tidak pernah memperlihatkan kehebatannya kecuali terpaksa.
Siapa sangka Lu Zhuweng si tukang bambu adalah ahli silat papan atas di dunia
persilatan? Chong’er, apakah kau tahu dari perguruan mana dia berasal?”
Pertanyaan yang ia lontarkan ini disebabkan karena hatinya agak penasaran.
Namun demikian, ia yakin kalau Linghu Chong tidak akan berterus terang meskipun
tahu dari mana asal usul orang tua itu.
Linghu Chong pun menjawab,
“Saya tidak tahu menahu kalau dia juga seorang ahli silat. Saya hanya belajar
memetik kecapi darinya.” Sebuah jawaban yang sesuai dengan tebakan Yue Buqun.
Begitulah, Yue Buqun dan Ning
Zhongze lantas memberi hormat sebagai tanda perpisahan kepada Wang Yuanba dan
kedua putranya. Setelah jangkar diangkat, kapal yang ditumpangi rombongan
Perguruan Huashan itu pun berlayar menuju arah utara.
Di atas kapal para murid ramai
membicarakan peristiwa tadi. Sebagian memuji-muji kehebatan Lu Zhuweng, dan
sebagian lagi mengatakan kalau peristiwa terceburnya Wang Jiajun dan Wang Jiaju
hanyalah karena mereka kurang hati-hati, serta kekalahan Wang Zhongqiang juga
karena ia tidak menyerang dengan kekuatan penuh. Hanya Linghu Chong seorang
diri yang duduk di buritan dan tidak menghiraukan percakapan mereka. Ia asyik
membaca kitab berisi notasi kecapi tadi. Karena khawatir mengganggu guru dan
ibu-guru, ia tidak berani membunyikan kecapinya sama sekali, melainkan hanya
mengira-ngira posisi jari saat memetik.
Setelah melewati jarak cukup
jauh, kapal pun menambah kecepatannya. Ning Zhongze tampak berdiri di ujung
kapal menikmati hembusan angin. Meskipun pemandangan yang terhampar cukup
indah, namun pikiran wanita itu melayang-layang teringat pada peristiwa tadi.
Tiba-tiba terdengar suara Yue
Buqun menyapa dari belakang, “Adik, bagaimana pendapatmu tentang orang tua
bernama Lu Zhuweng tadi?”
Karena Ning Zhongze ingin
sekali menanyakan tentang hal itu, maka ia bukannya menjawab justru balik
bertanya, “Kau sendiri bagaimana?”
Yue Buqun menjawab, “Ilmu
silat orang tua tadi sungguh aneh. Tanpa menggerakkan tangan dan kaki ia sudah
mampu melemparkan ketiga anggota Keluarga Wang. Ilmu silat yang ia gunakan
sepertinya bukan berasal dari aliran lurus.”
“Tapi dia begitu baik kepada
Chong’er, juga tidak sengaja hendak mencari masalah dengan keluarga Wang,” ujar
sang istri.
“Benar. Semoga urusan ini
selesai sampai di sini saja. Kalau tidak, bisa-bisa kehormatan Tuan Wang yang
sudah ia bangun selama ini akan berakhir dengan buruk,” kata Yue Buqun. Sejenak
kemudian ia melanjutkan, “Meskipun kita melanjutkan perjalanan melalui jalur
air, namun kita harus tetap waspada.”
“Apakah kau bermaksud akan ada
orang yang mencari perkara dengan kita?” tanya Ning Zhongze.
Yue Buqun menggeleng dan
berkata, “Keadaan masih belum begitu jelas. Sampai saat ini kita masih belum
mengetahui siapa dan dari mana kelima belas musuh bercadar tempo hari itu. Kita
berada di tempat terang, musuh ada di tempat gelap. Mengingat kejadian itu,
mungkin akan ada rintangan lain yang menunggu perjalanan kita.”
Sejak menjabat sebagai ketua
Perguruan Huashan, Yue Buqun belum pernah mengalami kejadian yang begitu
mencemaskan seperti ini. Entah mengapa, dalam beberapa bulan terakhir ini ia
banyak sekali dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang sepertinya datang dan
pergi satu per satu. Sampai sekarang pun ia belum tahu siapa musuh yang telah
menyerangnya, dan juga apa yang mereka inginkan. Karena tidak adanya petunjuk
yang jelas, hal ini membuat hatinya diliputi perasaan gelisah.
Yue Buqun dan Ning Zhongze
kemudian mengingatkan para murid untuk selalu waspada siang dan malam. Namun
begitu kapal sampai di perairan dekat desa Zigong, ternyata tidak ada satu
kesulitan pun yang mereka temui. Semakin jauh kapal meninggalkan kota Luoyang,
semakin berkurang pula beban kegelisahan di hati mereka.
Hari itu kapal sudah memasuki
perairan dekat kota Kaifeng. Yue Buqun suami-istri dan para murid langsung
membicarakan tokoh-tokoh persilatan di kota itu.
Yue Buqun berkata, “Kaifeng
adalah kota yang besar dan ramai, tetapi tidak dengan kehidupan persilatan di
kota ini. Para pendekar seperti Pengawal Hua, Sesepuh Hai, serta Tiga Jagoan
dari Henan, sepertinya tidak memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, juga tidak
memiliki nama besar di dunia persilatan. Lebih baik kita mengunjungi
tempat-tempat indah dan situs-situs bersejarah saja. Kunjungan kita di kota ini
sebaiknya jangan sampai mengganggu siapa pun.”
Ning Zhongze menyahut, “Kakak,
apakah kau lupa ada seorang tokoh ternama di kota Kaifeng sini?”
“Tokoh ternama? Siapa … siapa
yang kau maksudkan?” tanya Yue Buqun.
“Mengobati satu orang, bunuh
satu orang. Membunuh satu orang, mengobati satu orang. Coba tebak, siapa dia
itu?” ucap Nyonya Yue memberi tebakan.
“Aha, dia adalah Si Tabib
Sakti Pembunuh alias Ping Yizhi!” jawab Yue Buqun sambil tersenyum. “Tapi dia
seorang yang berkelakuan aneh. Kemungkinan besar dia tidak mau menemui kita
apabila kita berkunjung kepadanya.”
“Benar juga,” sahut Ning
Zhongze. “Sebenarnya kita bisa meminta tolong kepadanya untuk memeriksa luka
Chong’er yang sampai sekarang belum pulih dan kita katakan kalau kita kebetulan
singgah di kota Kaifeng ini.”
Yue Lingshan menukas, “Ibu,
mengapa dia mempunyai julukan Si Tabib Sakti Pembunuh? Mengapa seorang pembunuh
bisa menjadi tabib terkenal?”
“Tabib Ping memang seorang
tokoh ajaib di dunia persilatan,” tutur Nyonya Yue. “Ilmu pengobatannya bisa
dikatakan mahasakti, bahkan bisa menghidupkan orang yang sudah sekarat.
Betapapun berat penyakit seseorang asalkan ia mau mengobati pasti akan sembuh kembali.
Hanya saja ia mempunyai suatu peraturan yang aneh. Ia bilang hidup manusia di
dunia ini sudah ditentukan oleh takdir. Menurutnya, kaisar langit dan raja
akhirat sudah menetapkan jumlah manusia yang hidup di muka bumi. Bila dia
terlalu banyak menyembuhkan orang maka jumlah orang mati akan berkurang. Tentu
akibatnya di dunia ini akan terlalu banyak orang yang hidup dan sedikit orang
mati. Kelak jika ia sendiri yang mati tentu sang raja akhirat akan meminta
pertanggungjawabannya….”
Sampai di sini para murid pun
tertawa geli. Ning Zhongze melanjutkan, “Oleh sebab itu ia mengadakan suatu
peraturan, setiap kali menyembuhkan satu orang, maka dia juga harus membunuh
satu orang lain sebagai gantinya. Sebaliknya, kalau dia membunuh satu orang
tentu dia akan mengobati seorang sakit sebagai gantinya. Konon ia memasang
tulisan besar di depan rumahnya yang berbunyi: ‘Mengobati satu, membunuh satu;
membunuh satu, mengobati satu; mengobati sejumlah membunuh; itulah
keahllianku.’ Menurutnya, dengan cara demikian kaisar langit tidak akan
menyalahkan perbuatannya, juga raja akhirat tidak akan merasa rugi.”
Murid-murid pun tertawa
bersama dan lebih keras.
Yue Lingshan berkata, “Tabib
Ping itu benar-benar lucu. Tapi mengapa namanya sungguh aneh? Yizhi artinya
‘satu jari’? Apakah dia memang hanya memiliki sebuah jari saja?”
“Tidak. Sepertinya Tabib Ping
juga memiliki tangan yang normal,” jawab Ning Zhongze yang kemudian berpaling
pada sang suami. “Kakak, apakah kau tahu mengapa Tabib Ping memakai nama
Yizhi?”
Yue Buqun menjawab, “Tabib
Ping memiliki sepuluh jari tangan seperti orang normal. Dia memakai nama Yizhi,
maksudnya ialah dalam membunuh orang cukup dengan satu kali totok saja, serta
untuk memeriksa nadi orang yang akan disembuhkan cukup dengan memakai satu jari
pula.”
“Oh, kiranya demikian,” kata
Ning Zhongze. “Jika begitu, ilmu totokannya pasti sangat lihai?”
“Aku tidak tahu. Jarang sekali
ada orang yang pernah bertarung melawan Tabib Ping,” jawab Yue Buqun. “Yang
jelas setiap orang persilatan mengetahui ilmu pengobatannya sangat hebat.
Mereka tidak berani mencari gara-gara dengan Tabib Ping karena khawatir suatu
saat harus memerlukan pertolongan darinya apabila terluka atau terkena racun.
Namun kalau tidak sangat terpaksa juga mereka tidak berani meminta tolong kepadanya.”
“Mengapa demikian?” tanya Yue
Lingshan.
“Bagaimana tidak? Setiap kali
seseorang meminta tolong kepadanya untuk melakukan pengobatan, ia lantas
meminta orang itu untuk membunuh seorang lainnya sebagai ganti. Apabila orang
yang akan dibunuh itu tidak ada hubungan dengan si pasien tadi, tentu tidak
akan menjadi masalah. Akan tetapi kalau kebetulan yang hendak dibunuh adalah
sanak saudara, atau orang tua, atau sahabat si pasien, bukankah hal ini justru
akan membuat masalah jadi runyam?” ujar Yue Buqun.
“Benar, Tabib Ping memang
sangat aneh sifatnya,” sahut para murid.
“Jika demikian, kita tidak
dapat meminta tolong kepadanya untuk menyembuhkan penyakitmu, Kakak Pertama,”
ujar Yue Lingshan.
Sejak tadi Linghu Chong hanya
mendengarkan sambil duduk bersandar di pintu kabin. Begitu Yue Lingshan
berbicara kepadanya, ia pun tersenyum hambar dan berkata, “Benar juga. Aku
khawatir setelah dia menyembuhkan aku, dia lalu menyuruhku untuk membunuh adik
kecilku sendiri.”
Para murid kembali bergelak
tawa. Yue Lingshan juga tertawa dan berkata, “Tabib Ping tidak kenal aku, untuk
apa dia menyuruhmu membunuhku?” Gadis itu lalu berpaling kepada Yue Buqun dan
bertanya, “Ayah, sebenarnya Tabib Ping itu tergolong orang baik atau jahat?”
“Melihat sifatnya yang aneh dan
tidak menentu itu, boleh dikata dia berada di antara golongan baik dan jahat.
Lebih mudahnya, kita katakan saja dia itu orang cerdas yang ganjil. Atau bisa
juga dia itu kita sebut agak sinting,” jawab Yue Buqun.
“Ah, di dunia persilatan
banyak berkembang cerita yang dibesar-besarkan. Mungkin perihal Tabib Ping juga
termasuk dalam hal ini,” kata Yue Lingshan. “Setiba di Kaifeng nanti aku ingin
berkunjung pada Tabib Ping itu.”
“Hus!” bentak Yue Buqun dan
Ning Zhongze bersamaan. “Jangan mencari gara-gara!”
Melihat ayah dan ibunya
berwajah tegas, Yue Lingshan pun bertanya singkat, “Mengapa?”
“Orang aneh seperti itu apa
bisa kau kunjungi sesuka hatimu? Begitu kau menemuinya, maka akan ada masalah
yang mendatangimu,” jawab Yue Buqun.
“Mengapa masalah akan
mendatangiku kalau aku menemui dia? Bukankah aku tidak meminta pengobatan
darinya?” desak Yue Lingshan.
“Kedatangan kita ini untuk
berpesiar, bukan untuk mencari masalah,” jawab Yue Buqun dengan wajah dingin.
Melihat ayah tampak begitu
marah, Yue Lingshan tidak berani bicara lagi. Namun rasa penasaran di hatinya
terhadap Ping Yizhi semakin besar.
Keesokan paginya kapal mereka
sudah sampai di dermaga Kaifeng. Namun demikian, jarak menuju ke pusat kota
tersebut boleh dikatakan masih sangat jauh.
Yue Buqun tampak tersenyum
sambil melontarkan pertanyaan, “Tidak jauh dari sini ada suatu tempat di mana
leluhur Keluarga Yue kita pernah menjadi pusat perhatian. Tempat itu harus kita
kunjungi.”
“Ya, betul! Aku tahu! Aku
tahu! Tempat itu pasti kota Zhuxian,” sahut Yue Lingshan sambil tertawa pula.
“Di situlah kakek moyang kita Jenderal Yue Fei mengalahkan tentara Kerajaan Jin
habis-habisan.”
Yue Fei adalah pahlawan masa
lalu dari zaman Dinasti Song Selatan yang sangat dihormati kaum persilatan. Di
kota Zhuxian itulah Yue Fei pernah menghancurkan pasukan Kerajaan Jin. Sudah
semestinya setiap anggota rombongan ingin mengunjungi tempat itu.
Maka begitu kapal mereka
merapat ke dermaga, Yue Lingshan segera mendahului melompat ke daratan sambil
berseru, “Ayo, lekas berangkat ke kota Zhuxian, lalu kita makan siang di pusat
kota Kaifeng!”
Beramai-ramai semuanya ikut
mendarat. Hanya Linghu Chong seorang yang masih tetap duduk di buritan kapal.
“Kakak Pertama, apa kau tidak
ikut?” tanya Yue Lingshan.
Setelah kehilangan tenaga
dalam Linghu Chong selalu merasa lelah dan berat, sehingga membuatnya malas
bergerak terlalu banyak. Maka, kepergian semua orang itu justru menjadi
kesempatan baginya untuk belajar lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin. Apalagi
melihat Lin Pingzhi berdiri di samping Yue Lingshan membuatnya merasa semakin
rikuh dan tidak nyaman. Maka, ia pun menjawab, “Tidak, aku tidak sanggup
berjalan terlalu lama.”
“Baiklah, kau beristirahat
saja di sini. Di kota nanti akan kubelikan arak enak,” kata Yue Lingshan.
Dengan perasaan pedih Linghu
Chong menyaksikan keberangkatan gadis pujaan hatinya itu yang berdampingan
dengan Lin Pingzhi diikuti anggota rombongan lainnnya.
“Meskipun lagu Penyebar
Kebajikan Pemurni Batin bisa menyembuhkan rasa sakit di dadaku, tapi tidak ada
lagi artinya bagiku hidup di dunia ini.” Demikian ia berpikir dalam hati.
Sambil memandangi aliran
Sungai Kuning, tiba-tiba pemuda itu merasa segala macam kedukaan dan kesedihan
seolah-olah membanjir seperti aliran sungai besar tersebut. Satu demi satu
masalah sambung menyambung seperti gelombang Sungai Kuning. Ia merasa dadanya
sesak, nafas tersengal-sengal, dan perut pun melilit kesakitan….
Di lain pihak, Yue Lingshan
dan Lin Pingzhi merasa sangat gembira. Keduanya berjalan berdampingan paling depan,
dan sesekali saling berbisik dan tersenyum lebar, memperlihatkan perasaan
masing-masing.
Melihat itu Ning Zhongze pun
berbisik kepada sang suami, “Shan’er dan Pingzhi sama-sama masih muda.
Laki-laki dan perempuan berjalan berdampingan di tempat sepi mungkin masih bisa
dimaklumi. Namun kalau mereka berjalan bersama di kota besar yang ramai seperti
ini, apakah tidak menjadi sorotan banyak orang? Mengapa kita tidak mendampingi
mereka?”
Yue Buqun menjawab agak
bercanda, “Kita sudah tidak muda lagi. Kalau kita berjalan berdampingan tentu
tidak menjadi sorotan.”
Ning Zhongze tersenyum dan
kemudian mempercepat langkah sehingga berhasil mendampingi Yue Lingshan. Mereka
kemudian bertanya pada penduduk tentang arah jalan menuju Zhuxian. Begitu
memasuki kota kecil tersebut, mereka menemukan sebuah kuil di tepi jalan,
dengan papan di atas pintunya bertuliskan tinta emas berbunyi “Kuil Jenderal
Yang”.
Yue Lingshan berkata, “Ayah,
aku tahu kuil ini adalah tempat pemujaan Jenderal Yang Zaixing. Beliau
terperangkap di dalam Sungai Shang, dan mati dihujani panah oleh pasukan
Kerajaan Jin.”
“Benar,” sahut Yue Buqun.
“Jenderal Yang adalah tangan kanan Jenderal Yue Fei, leluhur kita. Beliau gugur
di medan laga membela tanah air, sungguh membuat banyak orang kagum. Mari kita
masuk ke dalam untuk memberikan penghormatan.”
Karena murid-murid yang lain
masih tertinggal jauh di belakang, tanpa menunggu lagi mereka berempat pun
masuk ke dalam kuil tersebut. Arca Yang Zaixing yang dipuja di tengah kuil itu
tampak sangat gagah dan tampan, dengan memakai baju zirah berwarna perak.
Melihat itu Yue Lingshan
berpikir, “Jenderal Yang ternyata sangat tampan.” Sekilas ia memandang ke arah
Lin Pingzhi untuk membandingkannya dengan arca tersebut.
Tiba-tiba terdengar suara
orang berkata dari luar kuil, “Aku berani bertaruh Kuil Jenderal Yang ini
dibangun untuk memuja Yang Zaixing.”
Begitu mendengar suara itu,
seketika wajah Yue Buqun dan Ning Zhongze berubah pucat. Bersama-sama mereka
meraba gagang pedang di pinggang masing-masing. Suara orang tersebut sangat
tidak asing di telinga mereka.
Kemudian terdengar suara
seseorang lainnya berbicara, “Pada zaman dulu banyak sekali jenderal bermarga
Yang. Dari mana kau yakin jenderal yang dipuja di sini adalah Yang Zaixing?
Bukankah bisa jadi yang dipuja di sini adalah Jenderal Yang Si Golok Emas? Atau
bisa juga anak-anaknya, seperti Jenderal Yang Keenam, atau Jenderal Yang
Ketujuh?”
Jenderal Yang Si Golok Emas
adalah pahlawan dari zaman Dinasti Song Utara yang memilih bunuh diri daripada
menyerah kepada musuh. Sementara Jenderal Yang Keenam dan Jenderal Yang Ketujuh
adalah putra-putranya yang gagah berani dan juga gugur di tangan musuh.
Suara lainnya menanggapi,
“Anggota keluarga Kakek Yang Si Golok Emas banyak yang menjadi jenderal pula.
Dengan demikian akan banyak muncul kemungkinan. Bisa jadi ini adalah kuil untuk
Yang Zongbao anak Yang Keenam, atau Yang Wenguang anak Yang Zongbao.”
“Bisa jadi ini kuil untuk Yang
Keempat, bukan?” sahut suara lain ikut menanggapi.
“Tidak mungkin! Yang Keempat
menyerah kepada musuh. Tidak mungkin arwahnya dihormati seperti ini,” kata
suara sebelumnya.
“Berarti secara tidak langsung
kau menuduhku akan menyerah kepada musuh karena aku nomor urut empat, begitu?”
kata yang lainnya.
“Bisa jadi begitu, karena kau
nomor empat. Tapi apa yang terjadi pada Yang Keempat belum tentu terjadi
padamu,” kata suara sebelumnya.
“Kau sendiri nomor lima,
mengapa tidak menjadi biksu seperti Yang Kelima yang menjadi biksu di Gunung
Wutai?” desak suara satunya.
“Kalau aku menjadi biksu, maka
kau akan menyerah kepada musuh,” jawab rekannya tadi.
Sejak suara percakapan pertama
tadi, Yue Buqun dan Ning Zhongze sudah langsung bisa menebak kalau yang datang
di luar kuil adalah orang-orang aneh dari Lembah Persik. Dengan cepat Yue Buqun
memberi isyarat. Bersama-sama mereka pun bersembunyi di belakang patung besar
Yang Zaixing; ia dan istrinya bersembunyi di sisi kiri, sedangkan Yue Lingshan
dan Lin Pingzhi di sisi kanan.
Suara orang-orang aneh itu
masih terdengar berdebat di luar kuil. Tidak ada satu pun di antara mereka yang
mau mengalah. Diam-diam Yue Lingshan merasa geli dan berusaha menahan diri
untuk tidak tertawa. “Apa yang mereka debatkan? Apakah kuil ini untuk Yang
Zaixing ataukah untuk Yang Keempat, mengapa mereka tidak masuk saja untuk
memeriksa?” pikir gadis itu.
Sementara itu Ning Zhongze
mendengarkan pembicaraan mereka dengan saksama, dan akhirnya dapat menyimpulkan
kalau itu adalah pembicaraan antara lima orang saja. Ia yakin kalau salah satu
dari Enam Dewa Lembah Persik telah mati akibat tusukan pedangnya beberapa waktu
silam. Padahal tujuannya meninggalkan Gunung Huashan bersama suami dan para
murid adalah untuk menghindari serangan balasan dari kelima orang tua aneh itu.
Siapa sangka mereka justru ada di sini? Meskipun kelima orang tua itu tidak
mengetahui keberadaan dirinya yang berempat, namun bisa jadi mereka bertemu Lao
Denuo dan para murid Huashan lainnya yang sebentar lagi tiba. Membayangkan para
murid tentu dalam bahaya besar membuat Ning Zhongze diliputi perasaan cemas.
Sementara itu perdebatan di
luar kuil masih saja berlangsung, bahkan semakin panas. Akhirnya, salah seorang
dari mereka berkata, “Mengapa kita tidak ke dalam saja untuk memastikan manusia
busuk mana yang dipuja di dalam sana?”
Kemudian terdengar langkah
kaki kelima orang tua aneh itu yang masing-masing bergegas masuk ke dalam kuil.
“Aha, lihat itu! Di situ jelas
tertulis kalimat ‘Kuil Jenderal Yang, Tuan Zaixing’. Jelas ini adalah kuil
untuk Yang Zaixing,” teriak salah seorang setelah menemukan suatu tulisan di
dalam kuil. Orang itu adalah Dewa Ranting Persik.
Dewa Dahan Persik
menggaruk-garuk kepala. Sejenak kemudian ia berkata, “Di situ tertulis Yang
Tuan Zai, bukan Yang Zaixing. Aku tahu sekarang! Jenderal Yang memiliki nama
Tuan Zai. Nama lengkapnya adalah Yang Tuan Zai. Hm, sungguh nama yang bagus!”
Dewa Ranting Persik tidak
terima dan berkata, “Jelas-jelas dia bernama Yang Zaixing. Mana ada orang
bernama Yang Tuan Zai?”
Dewa Dahan Persik bersikeras,
“Coba kau baca itu baik-baik. Jelas-jelas di situ tertulis nama Yang Tuan Zai,
bukan Yang Zaixing.”
Dewa Akar Persik ikut
bertanya, “Memangnya kata Xing itu artinya apa kalau bukan bagian dari nama?”
Dewa Daun Persik menjawab,
“Xing itu artinya bahagia. Setelah Yang Tuan Zai meninggal, masyarakat di sini
membangun kuil untuk menghormatinya. Sudah tentu Jenderal Yang merasa sangat
bahagia.”
“Tepat sekali! Tepat sekali!”
sahut Dewa Dahan Persik.
“Kuil ini dibangun untuk
menghormati Yang Ketujuh. Tebakanku benar lagi! Aku sungguh pintar!” sambung
Dewa Bunga Persik.
“Ini jelas-jelas kuil untuk
Yang Zaixing, bukan Yang Ketujuh!” seru Dewa Ranting Persik agak marah.
“Ini jelas-jelas kuil untuk
Yang Tuan Zai, bukan Yang Ketujuh!” seru Dewa Dahan Persik hampir bersamaan.
Dewa Bunga Persik balas
bertanya, “Kakak Ketiga, dalam keluarganya, Yang Zaixing itu anak nomor
berapa?”
“Aku tidak tahu,” jawab Dewa
Ranting Persik sambil menggeleng.
“Yang Zaixing itu anak nomor
tujuh. Maka, ia bisa juga disebut Yang Ketujuh,” ujar Dewa Bunga Persik. “Kakak
Kedua, kalau Yang Tuan Zai itu anak ke berapa dalam keluarganya?”
“Aku agak lupa. Dulu aku
tahu….” kata Dewa Dahan Persik agak menggumam.
“Aku yang ingat. Yang Tuan Zai
juga anak ketujuh, sehingga boleh disebut sebagai Yang Ketujuh,” sahut Dewa Bunga
Persik dengan senyum lebar.
Dewa Akar Persik menanggapi,
“Jika patung ini untuk Yang Zaixing, jelas bukan untuk Yang Tuan Zai. Jika
patung ini untuk Yang Tuan Zai, jelas bukan patung Yang Zaixing. Mana mungkin
patung ini menggambarkan dua orang yang berbeda?”
“Kakak Pertama, mungkin aku
bisa menjelaskan. Apakah kau tahu apa arti nama ‘Zai’? Zai berarti ‘satu lagi’.
Itu artinya patung ini melambangkan dua orang, bukan satu orang. Patung ini
bisa untuk Yang Zaixing, juga bisa untuk Yang Tuan Zai.”
“Ah, penjelasan yang masuk
akal!” seru keempat Dewa Lembah Persik lainnya.
Tiba-tiba Dewa Ranting Persik
berkata, “Kau bilang nama ‘Zai’ bermakna ‘satu lagi’, maka itu berarti Yang
Ketujuh memiliki tujuh orang anak pula.”
Dewa Akar Persik menyahut,
“Kalau begitu, jika ada orang memiliki nama yang bermakna ‘seribu’, itu berarti
dia juga memiliki seribu anak, hah?”
Mendengar perdebatan konyol
itu Yue Lingshan nyaris tertawa terbahak-bahak. Untung saja ia masih kuat
menahan agar bibirnya tidak terbuka.
Ketika saudara-saudaranya
masih melanjutkan perdebatan, terdengar Dewa Ranting Persik berkata, “Wahai,
Yang Ketujuh! Jika kau berkati adik keenam kami agar jangan mati, maka aku akan
berlutut dan menyembah beberapa kali kepadamu. Biarlah aku berlutut sekarang sebagai
pembayaran di muka.”
Usai berkata demikian ia
langsung berlutut dan memberikan penghormatan di hadapan arca Yang Zaixing.
Mendengar itu, Yue Buqun dan
Ning Zhongze saling pandang. Wajah mereka sama-sama memperlihatkan perasaan
lega. Adik Keenam yang dimaksud Dewa Ranting Persik sudah pasti Dewa Buah
Persik yang ditusuk pedang oleh Ning Zhongze beberapa bulan yang lalu. Suami
istri itu sama-sama berpikir, “Sepertinya orang aneh yang tertusuk pedang itu
belum mati. Itu artinya mereka tidak perlu menyimpan dendam kepada kami.”
Dewa Bunga Persik bertanya,
“Tapi bagaimana kalau Adik Keenam sampai mati?”
“Kalau Adik Keenam mati, tentu
patung ini akan kuhancurkan, lalu akan kukencingi pula,” jawab Dewa Dahan
Persik.
“Tapi kalau Adik Keenam
benar-benar mati, apa gunanya kau mengencingi, bahkan memberaki patung Yang
Ketujuh ini? Percuma saja. Bahkan, kau tadi berlutut dan memberi hormat juga
sia-sia,” ujar Dewa Bunga.
“Benar juga,” sahut Dewa
Ranting Persik. “Lebih baik aku tunda dulu penghormatan ini. Mari kita pastikan
apakah Adik Keenam bisa disembuhkan atau tidak. Jika bisa sembuh, maka kita
bisa kembali ke sini untuk memberikan penghormatan. Namun jika Adik Keenam
tidak bisa disembuhkan, kita tetap kembali ke sini untuk menghancurkan patung
ini, dan mengencinginya.”
“Jika Adik Keenam bisa
disembuhkan, berarti ia bisa sembuh meskipun kita tidak menyembah patung ini.
Tapi jika tidak bisa disembuhkan, apakah kita kencingi atau tidak, juga tidak
ada manfaatnya,” ujar Dewa Akar Persik.
“Wah, kalau Adik Keenam dapat
disembuhkan, lalu kita menahan untuk tidak kencing dan tidak berak, apa perut
kita tidak akan kembung? Bagaimana kalau kantong kemih kita meledak?” tanya
Dewa Daun Persik.
“Ya, betul. Jika kita tidak
berak dan tidak kencing, tentu kita akan mati kembung dan kantong kemih
meledak,” seru Dewa Dahan Persik kemudian menjerit sedih. Keempat yang lainnya
pun ikut menjerit-jerit sedih.
Tiba-tiba Dewa Ranting Persik
tertawa terbahak-bahak, “Hahahaha. Jika Adik Keenam bisa disembuhkan, bukankah
sia-sia saja kita menangis? Ayo kita tanyakan dulu sejelas-jelasnya, baru kita
putuskan untuk menangis atau tidak.”
“Apa yang kau katakan tidak
benar. Kalau Adik Keenam bisa disembuhkan, untuk apa kita harus melanjutkan
tangisan?” sahut Dewa Bunga Persik.
Begitulah, kelima orang aneh
itu melangkah keluar dari kuil dengan cepat sambil mulut mereka tetap berdebat
tanpa henti.
Setelah mereka pergi, Yue
Buqun berkata lirih, “Apakah orang yang mereka bicarakan bisa sembuh atau
tidak, jelas sangat berpengaruh bagi kita. Adik, hendaknya kau tunggu di sini
bersama Pingzhi dan Shan’er. Biar aku pergi ke sana untuk memeriksa.”
“Daripada kau sendirian
menghadapi bahaya, lebih baik aku ikut saja,” kata Ning Zhongze. Usai berkata
demikian ia segera mendahului berlari keluar kuil.
Sudah menjadi kebiasaan
apabila Yue Buqun menghadapi masalah besar, maka Ning Zhongze selalu ikut
mendampingi. Kalau sang istri sudah bicara demikian, tentu akan sangat sulit
untuk membuatnya berubah pikiran. Maka, Yue buqun pun segera menyusul Ning
Zhongze tanpa banyak bicara.
Diam-diam pasangan suami-istri
Yue itu mengikuti jejak kelima orang aneh dari Lembah Persik tadi sambil tetap
menjaga jarak. Dari jauh tampak kelima Dewa Lembah Persik itu berbelok arah ke
suatu tanjakan melalui sebuah gang kecil. Sepanjang jalan mereka masih saja
terus bertengkar sehingga tidak merasakan keberadaan dua orang pengintai di
belakang mereka.
Sesudah menyusuri jalan
pegunungan itu, tampak di balik puluhan pohon willow yang rindang terdapat
sebuah sungai kecil. Di tepi sungai itu terdapat beberapa rumah. Terdengar
suara ribut kelima orang aneh itu menggema begitu masuk ke salah satu rumah
tersebut.
“Mari kita berputar ke
belakang rumah!” ajak Yue Buqun kepada istrinya. Keduanya lantas mengerahkan
ilmu meringankan tubuh untuk menyusup ke balik pepohonan willow yang rindang di
belakang rumah tersebut.
Kembali terdengar suara kelima
Dewa Lembah Persik berseru keras, “Hei, kau telah membunuh adik keenam kami.”
“Kenapa … kenapa kau membedah
dadanya?”
“Keparat, kami harus mencabut
nyawamu!”
“Kami harus membedah dadamu
juga!”
“Aih, Adik Keenam, sungguh
mengerikan kematianmu! Biar kami selamanya tidak akan… tidak akan kencing dan
berak lagi agar mati kembung bersamamu!”
Yue Buqun dan Ning Zhongze
terkejut mendengarnya. Mereka sama-sama berpikir, “Kenapa ada orang membedah
dada adik keenam mereka?”
Perlahan ia dan istrinya
merunduk maju. Sampai di bawah jendela, mereka mencoba mengintip ke dalam rumah
melalui celah-celah.
Saat itu hari sudah mulai
gelap. Di dalam rumah tampak beberapa pelita menyala. Di tengah rumah terdapat
sebuah dipan dan di atasnya terbaring seorang lelaki dalam keadaan telanjang
bulat. Dadanya telah terbuka, darah pun mengucur deras dan berceceran di
mana-mana. Kedua mata orang itu tampak tertutup rapat. Sepertinya ia sudah mati
sekian saat. Dari wajahnya dapat dikenali kalau orang itu adalah Dewa Buah
Persik yang tempo hari terkena tusukan pedang Nyonya Yue di Gunung Huashan.
Kelima Dewa Lembah Persik
lainnya tampak berkerumun di sekitar tubuh adik mereka itu sambil
menjerit-jerit dan mencaci maki seorang laki-laki bertubuh pendek dan gemuk.
Laki-laki itu bertubuh pendek,
tetapi memiliki kepala yang sangat besar. Kumisnya tipis di kiri dan kanan
bibir, serta gerakan wajahnya sangat lucu. Kedua tangannya berlumuran darah.
Tangan kanannya pun tampak memegang pisau yang masih meneteskan darah. Dengan
mata melotot ia memandang kelima bersaudara yang sedang ribut itu. Sejenak
kemudian barulah ia bertanya dengan suaranya yang berat, “Sudah selesai kalian
kentut?”
“Sudah. Kau sendiri mau kentut
apa?” sahut kelima bersaudara hampir bersamaan.
“Dada saudara kalian ini
tertusuk pedang. Dari tempat jauh kalian membawanya kemari dan meminta aku
untuk menolong jiwanya,” ujar si pendek gemuk. “Tapi perjalanan kalian terlalu
lambat. Lukanya sudah membusuk, urat nadinya juga kacau. Untuk menolong jiwanya
tidaklah sulit. Tapi sesudah sembuh ilmu silatnya akan punah. Setengah badan
bagian bawah akan lumpuh. Orang cacat begitu apa gunanya disembuhkan?”
“Cacat lebih baik daripada
mati,” sahut Dewa Akar Persik.
Si pendek gemuk menjawab
dengan gusar, “Huh, kalau mengobati orang ya harus benar-benar sampai sembuh!
Kalau orang yang kusembuhkan menjadi cacat lantas ke mana mukaku ini harus
ditaruh? Sudahlah, aku tidak jadi mengobati dia, tidak jadi! Lekas kalian
gotong pergi mayat hidup ini!”
“Jika kau tidak mampu
menyembuhkan adik keenam kami, kenapa kau membedah dadanya?” tanya Dewa Dahan
Persik.
“Hm, coba katakan, apa
julukanku?” tanya si pendek gemuk dengan nada dingin.
“Bukankah julukanmu adalah Si
Tabib Sakti Pembunuh!” sahut Dewa Dahan Persik.
Seketika Yue Buqun dan Ning
Zhongze terperanjat dan saling pandang. Masing-masing dari mereka berpikir,
“Siapa sangka manusia pendek gemuk yang berwajah lucu ini adalah Si Tabib Sakti
Pembunuh sangat termasyhur itu? Aih, jika orang itu bukan Ping Yizhi, mana
mungkin kelima orang aneh dari Lembah Persik mati-matian memohon kepadanya
untuk menyembuhkan adik keenam mereka?”
Ping Yizhi kembali berkata
dengan nada dingin, “Karena julukanku adalah Si Tabib Sakti Pembunuh, maka apa
susahnya kalau hanya membunuh satu atau dua orang?”
“Apa susahnya membunuh
seseorang?” tanya Dewa Bunga Persik. “Tapi kau cuma pandai membunuh dan tidak
becus mengobati orang. Sungguh percuma kau memakai julukan Tabib Sakti segala.”
“Siapa bilang aku tidak becus
mengobati orang?” teriak Ping Yizhi gusar, “Aku telah membedah dada mayat hidup
ini. Urat nadinya yang putus sudah kusambung pula. Setelah sembuh nanti dia
akan sehat seperti sediakala. Ilmu silatnya juga tidak akan punah. Hanya dengan
begitu kalian akan tahu kehebatan Si Tabib Pembunuh yang sebenarnya.”
“Aha, ternyata kau dapat
menyelamatkan adik keenam kami! Jika begitu kami telah salah memarahimu,” seru
lima bersaudara sekaligus dengan perasaan sangat gembira.
“Kalau begitu, kenapa tidak
segera kau lanjutkan? Dada Adik Keenam sudah kau bedah, darahnya mengucur
terus. Kalau tidak lekas diobati tentu akan terlambat,” sambung Dewa Akar
Persik.
“Yang jadi tabib itu kau atau
aku?” tanya Ping Yizhi galak.
“Sudah tentu kau, buat apa
bertanya lagi?” balas Dewa Akar Persik.
“Kalau begitu dari mana kau
tahu apakah akan terlambat atau tidak?” desak Ping Yizhi. “Sesudah membedah
dadanya tentu aku siap mengobati dia. Tapi bagaimana aku bisa bekerja kalau
kalian berlima setan alas keburu datang dan kemudian ribut tak menentu?
Bukankah aku tadi telah menyuruh kalian untuk berpesiar ke Kuil Jenderal Yang,
kemudian Kuil Jenderal Niu, dan Kuil Jenderal Zhang selama seharian penuh?
Sekarang mengapa kalian cepat kembali?”
“Hei, lekas kau mulai saja!
Sekarang justru kau sendiri yang rewel, bukan kami,” sahut Dewa Dahan Persik.
Ping Yizhi melotot sejenak
kepadanya. Sejenak kemudian orang itu membentak, “Ambilkan jarum dan benang!”
Kelima bersaudara, serta suami-istri
Yue yang berada di luar sampai terkejut oleh suara bentakan yang menggelegar
itu. Jantung setiap orang sampai berdebar kencang dibuatnya. Tak lama kemudian
muncul seorang wanita tinggi kurus melangkah masuk ke dalam ruangan itu sambil
membawa sebuah nampan kayu. Tanpa bersuara ia lalu menaruh nampan tersebut di
atas meja. Wanita itu berusia empat puluhan. Wajahnya pucat bagaikan mayat,
telinganya lebar, serta matanya sayu seperti orang sakit-sakitan.
“Kalian telah memintaku
menyelamatkan saudara kalian ini. Apakah kalian sudah tahu peraturanku?” tanya
Ping Yizhi kemudian.
“Sudah tentu kami tahu,” jawab
Dewa Akar Persik. “Tak peduli harus membunuh siapa, silakan kau katakan saja.
Sudah pasti kami tidak akan mengecewakanmu.”
“Baiklah jika begitu,” ujar
Ping Yizhi sambil mengangguk. “Tapi sekarang aku belum tahu siapa orang yang
harus dibunuh. Nanti kalau aku sudah ingat baru akan kukatakan pada kalian.
Sekarang kalian harus berdiri di pinggir sana, dilarang mengeluarkan suara.
Bersuara sedikit saja aku akan segera berhenti bekerja. Persetan dengan hidup
atau mati kawanmu ini. Aku tidak peduli lagi.”
Sejak kecil Enam Dewa Lembah
Persik selalu tidur bersama dalam satu kamar, dan makan bersama dalam satu
meja, sambil selalu bicara satu sama lain. Meskipun sedang tidur mereka tetap
mengigau, jarang diperintah orang sesukanya. Namun sekarang mereka diharuskan
diam tanpa suara, kecuali saling pandang saja. Tapi begitu membayangkan sedikit
suara saja bisa membuat nyawa adik mereka melayang, membuat mereka bergidik
ngeri. Maka, demi menyelamatkan sang adik keenam, tidak ada jalan lain kecuali
berdiri dengan mulut tertutup, bahkan bernafas panjang atau kentut juga tidak
berani.
Sementara itu Ping Yizhi telah
mengambil sebuah jarum besar dari nampan di atas meja. Setelah memasang benang
putih bening secukupnya pada pangkal jarum tersebut, ia lalu menjahit dada Dewa
Buah Persik yang terbedah itu. Jari-jari tangannya pendek dan tebal seperti
wortel, namun gerakannya lincah melebihi anak gadis yang pandai menyulam. Hanya
sekejap saja ia sudah selesai menjahit rapat jalur luka sepanjang belasan senti
tersebut.
Setelah itu Tabib Ping
mengambil berbagai macam obat, baik itu yang berupa serbuk ataupun cairan untuk
dibubuhkan pada luka bedah Dewa Buah Persik. Kemudian ia meminumkan beberapa
macam cairan obat ke mulut si pasien. Terakhir ia membersihkan noda darah di
dada dengan sehelai kain basah.
Sementara itu si wanita tinggi
kurus sejak tadi berdiri di samping Ping Yizhi untuk membantu, misalnya
mengembalikan jarum atau memberikan obat. Gerak-geriknya juga sangat cepat dan
lancar.
Ping Yizhi kemudian memandang
ke arah lima Dewa Lembah Persik lainnya. Melihat bibir kelima orang itu
bergerak-gerak, seolah ingin lekas-lekas diizinkan bicara, sang tabib pun
berkata, “Kawanmu ini belum hidup kembali. Tunggu sesudah dia sadar baru kalian
boleh bicara.”
Tentu saja kelima orang tua
aneh itu bertambah jengkel. Namun mereka hanya bisa saling pandang dan
menyeringai. Ping Yizhi sendiri tidak menghiraukan kelima bersaudara itu. Ia
hanya mendengus, kemudian duduk di samping. Sementara si wanita tinggi kurus
lantas menyingkirkan nampan yang berisi jarum, benang, pisau bedah, dan
peralatan lainnya ke dalam.
Yue Buqun dan Ning Zhongze
yang masih mengintip di luar jendela pun menahan nafas. Saat itu keadaan sangat
sunyi, sehingga sedikit saja bergerak pasti akan diketahui oleh orang-orang
yang berada di dalam rumah.
Selang agak lama, Ping Yizhi
berdiri dan berjalan mendekati Dewa Buah Persik. Tiba-tiba saja ia menepuk
titik Bai-Hui pada ubun-ubun si pasien yang masih terbaring itu.
“Ah!” seru enam orang
bersamaan. Yang lima adalah kelima Dewa Lembah Persik yang menonton, sedangkan
yang satu lagi adalah suara si pasien, yaitu Dewa Buah Persik sendiri.
Setelah menjerit kaget, Dewa
Buah Persik langsung bangun dan memaki, “Keparat! Mengapa kau pukul kepalaku?”
Ping Yizhi balas memaki,
“Keparat, jika aku tidak menyalurkan tenaga dalam ke titik Bai-Hui di kepalamu,
apa kau bisa sembuh secepat ini?”
“Keparat! Sembuh cepat atau
lambat, bukan urusanmu!” bentak Dewa Buah Persik.
“Keparat! Jika kau tidak
sembuh cepat, bagaimana orang-orang bisa tahu kehebatan Si Tabib Sakti
Pembunuh? Kau pikir apa aku tidak risih jika kau berlama-lama tidur di
rumahku?” bentak Ping Yizhi pula.
“Keparat! Jadi kau anggap aku
ini mengganggu? Baik, biar aku pergi sekarang juga. Memangnya aku ingin tinggal
di sini?” sahut Dewa Buah Persik. Usai berkata, serentak ia berdiri dan terus
melangkah pergi.
Kelima Dewa Lembah Persik yang
lain tidak menyangka bahwa adik bungsu mereka bisa sembuh secepat ini dan bisa
berjalan keluar kamar dengan langkah cepat pula. Dalam perasaan terkejut
bercampur gembira, mereka pun menyusul keluar melewati pintu kamar.
Sementara itu Yue Buqun dan
istrinya hanya bisa terkagum-kagum menyaksikan pemandangan itu. Mereka
sama-sama berpikir, “Ilmu pengobatan Tabib Ping sungguh menakjubkan. Tenaga
dalamnya juga luar biasa. Saat ia menepuk titik Bai-Hui pada kepala pasiennya
tadi, ia pasti menyalurkan tenaga dalam tingkat tinggi untuk membuat si pasien
bangun seketika.
Ketika Enam Dewa Lembah Persik
sudah pergi jauh, Ping Yizhi pun berjalan menuju ruangan lain. Yue Buqun
memberi isyarat untuk mengajak istrinya pergi. Keduanya pun melangkah
perlahan-lahan. Ketika jarak dengan rumah Tabib Ping sudah agak jauh, mereka
pun menambah kecepatan dalam melangkahkan kaki.
“Tenaga dalam Tabib Ping
sungguh luar biasa, sedangkan kelakuannya sungguh aneh,” ujar Ning Zhongze di
tengah jalan.
Yue Buqun menanggapi, “Karena
Enam Dewa Lembah Persik juga berada di kota Kaifeng sini, sebaiknya kita lekas
pergi. Tidak ada untungnya kita mencari masalah dengan mereka.”
Ning Zhongze tidak menanggapi
lagi ucapan sang suami. Seumur hidup baru beberapa bulan terakhir ini ia
merasakan kesialan yang bertubi-tubi. Suaminya adalah ketua Perguruan Huashan,
sekaligus tokoh penting dalam Serikat Pedang Lima Gunung yang terhormat, namun
terpaksa harus menyingkir kesana kemari. Seolah-olah di dunia ini tiada lagi
tempat berteduh yang aman bagi mereka. Di antara dirinya dengan sang suami
selalu bertukar pikiran tanpa ada yang ditutup-tutupi. Namun apabila
membicarakan masalah ini, buru-buru mereka mengubah bahan pembicaraan karena
merasa kejadian meninggalkan perguruan sungguh sangat memalukan. Kini begitu
menyaksikan Dewa Buah Persik ternyata masih hidup jelas sangat melegakan hati
pasangan suami-istri tersebut. Rasanya bagaikan sebongkah batu besar telah
dipindahkan dari kepala mereka.
Tidak lama kemudian keduanya
telah tiba kembali di Kuil Jenderal Yang. Tampak Yue Lingshan dan Lin Pingzhi,
serta Lao Denuo dan murid-murid Huashan lainnya menunggu dengan perasaan cemas
di ruangan belakang.
“Mari kita kembali ke kapal!”
ajak Yue Buqun.
Para murid sudah mengetahui
kalau Enam Dewa Lembah Persik berada di sekitar situ, sehingga tanpa banyak
bertanya mereka pun buru-buru melangkah pergi mengikuti perintah sang guru.
Begitu sampai di atas kapal,
Lao Denuo segera berbicara kepada jurumudi supaya segera berangkat. Namun
tiba-tiba saja terdengar suara para Dewa Lembah Persik berteriak-teriak dari
jauh.
“Linghu Chong! Linghu Chong!
Di mana kau?”
Kontan saja wajah Yue Buqun
dan murid-muridnya bertambah pucat. Sekejap kemudian terlihat enam orang
berjalan cepat sampai ke tepi sungai. Mereka adalah lima orang Dewa Lembah
Persik beserta Tabib Ping Yizhi. Karena kelima Dewa Lembah Persik mengenali Yue
Buqun suami-istri, mereka pun bersorak-sorak kegirangan. Dalam sekejap kelima
orang tua aneh itu sudah mendarat di atas kapal.
Ning Zhongze langsung saja
melolos pedangnya dan bersiap menusuk ke arah Dewa Akar Persik. Namun Yue Buqun
juga mencabut pedangnya dan menangkis pedang sang istri ke bawah sambil
berkata, “Jangan gegabah!”
Saat itu haluan kapal agak
tenggelam ketika kelima Dewa Lembah Persik mendarat. Dewa Akar Persik berseru,
“Linghu Chong, kau sembunyi di mana? Mengapa tidak lekas keluar?”
“Untuk apa aku bersembunyi?
Memangnya aku takut pada kalian?” seru Linghu Chong dengan nada gusar.
Tiba-tiba kapal kembali oleng
karena Ping Yizhi si Tabib Sakti Pembunuh telah mendarat pula.
Diam-diam Yue Buqun berpikir,
“Mengapa mereka menyusul kemari? Jangan-jangan mereka telah mengetahui
perbuatan kami yang mengintip tadi? Orang-orang aneh dari Lembah Persik saja
sudah sukar dilayani, apalagi sekarang bertambah dengan si tabib pula. Aih, apakah
jiwa kami hari ini akan melayang di kota Kaifeng ini?”
Tiba-tiba Ping Yizhi bertanya
dengan sopan dan penuh hormat, “Bolehkah aku bertanya, yang mana Saudara
Linghu?”
“Aku Linghu Chong. Bolehkah
aku bertanya siapakah nama Tuan yang mulia ini dan ada keperluan apa?” jawab
Linghu Chong yang kemudian melangkah maju perlahan-lahan.
Ping Yizhi mengamati pemuda
itu dari atas ke bawah, lalu berkata, “Seseorang telah memintaku untuk
mengobatimu.” Usai berkata demikian, ia langsung memegang pergelangan tangan
Linghu Chong dan memeriksa denyut nadi pemuda itu menggunakan jari telunjuk
kanan.
“Hei,” seru Ping Yizhi sambil
mengerutkan kening begitu merasakan aliran darah Linghu Chong. Selang sejenak
dahinya semakin berkerut dan ia kembali berseru kaget, “Eh!”
Sambil tetap memeriksa, Tabib
Ping menengadah pula dengan tatapan kosong sambil menggaruk-garuk kepala dengan
tangan kiri. “Aneh! Sungguh aneh!” ucapnya.
Sekian lama kemudian ia ganti
memegang lengan Linghu Chong yang lain. Namujn begitu jarinya merasakan denyut
nadi si pemuda, tiba-tiba saja ia bersin kemudian berkata, “Sangat aneh! Selama
hidupku belum pernah menemukan penyakit seaneh ini.”
Dewa Akar Persik yang tidak
mampu lagi untuk menahan tidak bicara, langsung bertanya, “Apanya yang aneh?
Dia terluka dalam pada saluran jantung. Sudah lama aku menyembuhkan dia dengan
hawa murni dari tenaga dalamku.”
“Mengapa kau masih bersikeras
kalau bocah ini terluka pada saluran jantung? Sudah jelas ia terluka pada
saluran paru-paru. Jika bukan aku yang menyalurkan hawa murni untuk membuka
titik pada saluran paru-parunya, mana mungkin dia bisa bertahan hidup sampai
sekarang?” tukas Dewa Dahan Persik.
Langsung saja Dewa Ranting
Persik, Dewa Daun Persik, dan Dewa Bunga Persik tidak mau kalah dan ikut berdebat.
Masing-masing dari mereka menyatakan diri sebagai orang yang paling berjasa
mengobati Linghu Chong.
“Kentut! Kentut semuanya!”
bentak Ping Yizhi dengan suara lantang.
“Kentut apanya?” sahut Dewa
Akar Persik gusar. “Kau yang kentut, atau kami lima saudara yang kentut?”
“Kalian yang kentut!” jawab
Tabib Ping. “Jelas-jelas di dalam tubuh Saudara Linghu ini ada dua arus hawa
murni yang lebih kuat. Rasa-rasanya itu adalah tenaga dalam yang disalurkan
oleh Biksu Bujie. Selain itu ada enam arus hawa murni pula yang lebih lemah.
Keenamnya ini yang mungkin berasal dari kalian, manusia-manusia tolol.”
Yue Buqun dan Ning Zhongze
saling pandang. Masing-masing mereka berpikir, “Ping Yizhi ini benar-benar luar
biasa. Dalam sekali pegang ia langsung dapat mengetahui adanya delapan arus
hawa murni di dalam tubuh Chong’er, dan yang lebih hebat lagi ia juga mampu
mengetahui asal-usulnya, bahwa dua di antaranya berasal dari Biksu Bujie.”
Terdengar Dewa Dahan Persik
berseru gusar, “Mengapa kau bilang tenaga kami berenam lebih lemah daripada si
gundul Bujie? Sudah jelas tenaga kami lebih kuat, dia yang lebih lemah!”
“Huh, dasar tak tahu malu!”
seru Ping Yizhi. “Dia seorang diri tapi tenaga dalamnya mampu mengatasi tenaga
kalian berenam sekaligus. Apakah kalian merasa masih lebih kuat dari dia? Si
tua Bujie memang tak punya otak, tapi ilmu silatnya luar biasa.”
Menanggapi itu Dewa Bunga
Persik segera menjulurkan sebuah jarinya untuk pura-pura hendak memeriksa nadi
Linghu Chong, sambil berkata, “Hm, menurut pemeriksaanku, jelas tenaga dalam
kami berenam telah mendesak tenaga si gundul Bujie hingga tak bisa bergerak….
Aih!” Tiba-tiba ia merasa jarinya seperti digigit orang. Buru-buru ia menarik
kembali jarinya sambil memaki-maki, “Oh! Aduh! Keparat!”
Ping Yizhi tertawa senang.
Semua orang yang melihat yakin kalau si tabib sakti ini diam-diam menyalurkan
tenaga dalamnya melalui tubuh Linghu Chong untuk “menyetrum” jari Dewa Bunga
Persik.
Setelah berhenti tertawa,
wajah Ping Yizhi berubah serius dan ia berkata, “Kalian harus menunggu di kabin
kapal sana! Siapa pun dilarang bicara! Aku tidak ingin mendengar sepatah kata
apapun dari kalian!”
“Persetan kau!” bentak Dewa
Daun Persik tidak setuju. “Memangnya kami ini siapa harus tunduk pada
perintahmu?”
Ping Yizhi balas bertanya,
“Bukankah kalian sudah bersumpah akan membunuh seseorang untukku?”
“Benar. Kami memang
menyanggupi akan membunuh seseorang untukmu, tapi kami tidak berjanji akan
menuruti perintahmu,” sahut Dewa Ranting Persik.
“Menuruti perintahku atau
tidak memang adalah hak kalian,” kata Tabib Ping. “Tapi bagaimana kalau kalian
kusuruh untuk membunuh adik kalian sendiri, Si Dewa Buah Persik? Bagaimana?”
“Hei, mana boleh begitu?” seru
kelima Dewa Lembah Persik bersama-sama. “Baru saja kau menyembuhkan dia, mana
boleh kau suruh kami membunuhnya?”
“Coba jawab, kalian telah
bersumpah apa di hadapanku?” tanya Ping Yizhi.
“Kami bersumpah apabila kau
dapat menolong jiwa adik keenam kami, maka kami akan menuruti permintaanmu
untuk membunuh satu orang untukmu, tidak peduli siapa pun dia yang harus
dibunuh,” jawab Dewa Akar Persik.
“Betul,” kata Ping Yizhi
mengangguk. “Dan sekarang apakah aku sudah menyelamatkan nyawa saudara kalian?”
“Sudah!” jawab Dewa Bunga
Persik.
“Dia orang atau bukan?” desak
Ping Yizhi.
“Tentu saja orang, memangnya
kau kira dia siluman?” kata Dewa Daun Persik.
“Bagus. Dan sekarang aku minta
kalian pergi membunuh satu orang. Orang itu adalah Dewa Buah Persik!” seru Ping
Yizhi mantap.
Seketika kelima Dewa Lembah
Persik itu saling pandang dan saling menggeleng karena permintaan Ping Yizhi
ini sangat sukar dibayangkan. Mereka merasa permintaan ini tidak masuk akal
tapi tidak ada yang mampu membantahnya.
“Tampaknya kalian enggan
membunuh Dewa Buah Persik, bukan? Baiklah, sekarang apakah kalian bersedia
menuruti perintaahku? Silakan kalian boleh berdiam di kabin kapal sana. Aku
suruh kalian duduk tenang dan siapa pun tidak boleh bicara dan bergerak,” kata
Ping Yizhi.
Dewa Akar Persik dan keempat
adiknya segera menjalankan perintah tersebut. Hanya dalam sekejap mereka sudah
duduk tegak di dalam kabin kapal dengan tangan bersimpuh di atas lutut dan
tidak berani cerewet lagi.
“Tabib Ping,” sahut Linghu
Chong, “konon jika kau menolong seseorang selalu dengan syarat, yaitu bila
orang itu sudah disembuhkan, maka orang itu diharuskan membunuh seseorang
untukmu. Benarkah demikian?”
“Benar. Memang demikian
peraturan yang kutetapkan,” jawab Ping Yizhi.
“Kalau begitu aku tidak sudi
membunuh seseorang untukmu. Maka, kau pun tidak perlu bersusah payah mengobati penyakitku,”
kata Linghu Chong.
“Huh!” Ping Yizhi mendengus
agak kurang percaya. Kembali ia memandangi Linghu Chong dari atas ke bawah,
kalau-kalau ada kelainan pada pemuda itu. Selang agak lama barulah ia membuka
suara, “Pertama, penyakitmu terlalu berat, aku merasa belum mampu
menyembuhkannya. Kedua, andaikan aku dapat menyembuhkanmu, maka sudah ada orang
lain yang sanggup membunuh orang untukku. Kau sendiri tidak perlu turun
tangan.”
Semenjak Yue Lingshan
berhubungan akrab dengan pemuda lain, Linghu Chong yang patah hati merasa telah
kehilangan semua gairah hidupnya. Dan sekarang, begitu mendengar sang tabib
sakti yang termashur itu pun tidak mampu menyembuhkan penyakitnya, mau tidak
mau hatinya merasa semakin sedih.
Yue Buqun dan istrinya kembali
berpandangan sambil sama-sama berpikir, “Siapa gerangan orang yang telah
meminta tolong Ping Yizhi untuk mengobati Chong’er, sehingga mampu membuat Si
Tabib Sakti Pembunuh meninggalkan rumah? Kira-kira ada hubungan apa orang itu
dengan Chong’er?”
Ping Yizhi kembali berkata,
“Adik Linghu, ada delapan arus hawa murni mendesak-desak di sekujur tubuhmu,
yang tak dapat dipadamkan, tak dapat dimusnahkan, tak dapat dijinakkan, juga
tak dapat dikalahkan. Yang mana jika dipaksakan justru membuatmu bertambah
menderita. Aku telah diminta seseorang untuk mengobati penyakitmu. Bukannya aku
melepas tanggung jawab, tapi ini menyangkut hawa murni dan tenaga dalam. Sukar
diobati begitu saja, tidak seperti penyakit biasa. Selama melakukan pengobatan
belum pernah kutemukan penyakit seaneh ini. Aduh, aku benar-benar tidak tahu
harus berbuat apa. Sungguh aku sangat malu.”
Sambil bicara ia mengambil
sebuah botol porselen kecil dari balik baju, kemudian menuang sepuluh butir pil
berwarna merah tua di tangan. “Ini adalah sepuluh butir pil Meringankan Jantung
yang terbuat dari bahan-bahan yang sangat langka. Butuh waktu lama bagiku untuk
menciptakan pil ini. Mulai sekarang setiap sepuluh hari boleh kau minum satu
butir pil ini, sehingga dapat memperpanjang umurmu paling tidak selama seratus
hari.”
“Terima kasih banyak!” jawab
Linghu Chong yang menerima pemberian itu dengan sikap penuh hormat.
Ping Yizhi lantas memutar
tubuh ke arah tepi sungai. Namun sebelum melompat ke daratan, tiba-tiba ia
berpaling lagi dan berkata, “Di dalam botol ini masih ada dua butir, biarlah
kuberikan semuanya padamu.” Ia kemudian menjulurkan tangannya yang memegang
botol porselen tadi kepada Linghu Chong.
Namun Linghu Chong tidak mau
menerima. Ia hanya menjawab, “Obat ini pasti obat bagus, tentu Tuan Tabib memperlakukannya
bagaikan pusaka. Khasiatnya yang manjur mungkin lebih baik jika digunakan oleh
pasien yang lebih membutuhkan. Maka itu sebaiknya kau simpan kembali saja.
Sekalipun aku dapat hidup lebih lama sepuluh hari atau dua puluh hari juga
tidak ada manfaatnya lagi, baik untuk diriku sendiri maupun untuk orang lain.”
Sejenak Ping Yizhi melirik
Linghu Chong dan mengamat-amati pemuda itu, kemudian bergumam, “Tidak
memikirkan hidup atau mati. Benar-benar jiwa seorang laki-laki sejati. Hm,
memang pantas… memang pantas…. Aih, sungguh memprihatinkan! Maafkan aku!”
Tabib bertubuh pendek itu
terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya yang besar, kemudian melompat turun
dari atas kapal dan mendarat di daratan. Dengan langkah cepat ia sudah pergi
dan lenyap ditelan kegelapan malam. Ia datang dan pergi sesuka hati, sama
sekali tidak menganggap keberadaan seorang tokoh seperti Yue Buqun sang ketua
Perguruan Huashan. Tentu saja Yue Buqun diam-diam merasa sangat kesal. Namun
saat itu di dalam kapal itu masih duduk lima orang aneh. Untuk mengusir mereka
jelas tidak mudah.
Kelima Dewa Lembah Persik
masih terlihat duduk diam di kabin kapal dengan tangan di atas lutut dan
pandangan mata ke bawah, seolah-olah sedang bermeditasi. Yue Buqun merasa
serbasalah. Jika ia memerintahkan jurumudi menjalankan kapal, maka kelima orang
aneh itu pasti ikut terbawa serta. Namun jika ia menunda keberangkatan kapal,
entah akan memakan waktu berapa lama kelima orang itu duduk di sana. Yang perlu
dikhawatirkan pula adalah jika secara tiba-tiba mereka berlima menyerang Ning
Zhongze untuk membalas dendam adik bungsu mereka yang terluka. Sementara itu
Lao Denuo, Yue Lingshan, dan murid-murid Huashan lainnya telah menyaksikan
bagaimana mereka menarik tubuh Cheng Buyou hingga putus menjadi empat potong,
sehingga sampai sekarang pun masih terbayang pemandangan yang mengerikan itu.
Para murid hanya berani saling pandang dan sama sekali tidak berani melihat ke
arah kelima orang aneh tersebut.
Linghu Chong sendiri berjalan
mendekati dan bertanya, “Hei, mengapa kalian masih di sini?”
“Kami harus duduk tenang di
sini, tidak boleh sembarangan bicara dan bergerak,” jawab Dewa Akar Persik.
“Kami hendak berangkat.
Silakan kalian kembali ke daratan saja!” kata Linghu Chong.
“Ping Yizhi berpesan kepada
kami supaya duduk tenang di buritan kapal ini. Kalau kami sembarangan bicara
dan bergerak, tentu kami akan disuruh membunuh saudara kami sendiri. Sebab
itulah kami harus tetap duduk di sini dengan tenang, tidak boleh bicara atau
bergerak,” sahut Dewa Ranting Persik.
Sungguh tak tertahan betapa
geli perasaan Linghu Chong. Ia pun tertawa dan berkata, “Tabib Ping sundah
mendarat sejak tadi. Sekarang kalian sudah boleh bicara dan bergerak.”
“Tidak boleh! Tidak boleh!
Jika dia ternyata melihat kami berbicara dan bergerak, lantas bagaimana? Urusan
ini bisa runyam,” ujar Dewa Bunga Persik sambil menggeleng.
Pada saat itulah tiba-tiba
dari arah daratan terdengar suara seseorang yang agak serak memanggil-manggil,
“Hei, di mana kelima siluman jelek itu?”
“Apakah orang itu mencari
kita?” sahut Dewa Akar Persik.
“Mana mungkin dia mencari
kita? Memangnya kita ini mirip siluman?” tanya Dewa Ranting Persik.
Suara serak kembali terdengar,
“Di sini aku membawa satu siluman lagi yang baru saja disembuhkan oleh Tabib
Ping. Kalian mau ambil dia atau tidak? Kalau tidak, biar kubuang saja ke sungai
saja untuk umpan ikan.”
Mendengar itu, serentak kelima
Dewa Persik melompat keluar kapal dan berdiri di tepi sungai. Terlihat wanita
setengah baya tinggi kurus yang tadi membantu praktik pengobatan Ping Yizhi
sedang berdiri di sana. Tangan kiri wanita itu menjulur lurus ke samping
menjinjing sebuah tandu. Di atas tandu itu tampak Dewa Buah Persik rebah
telentang. Sungguh tak disangka wanita yang kurus kering seperti berpenyakitan
itu ternyata memiliki tenaga sedemikian besar. Ia menjinjing tubuh Dewa Buah
Persik yang beratnya lebih dari lima puluh kilo ditambah dengan tandu kayu
tersebut, tampak sedikit pun tidak mengalami kesulitan.
Dengan cepat Dewa Akar Persik
menanggapi ucapan wanita tadi, “Sudah tentu kami mau, mengapa tidak?”
“Kenapa kau memaki kami?
Mengapa kau bilang kami siluman?” gerutu Dewa Ranting Persik.
“Padahal wajahnya juga tidak
lebih baik daripada kita,” sahut Dewa Buah Persik yang tergeletak di atas tandu
ikut bicara. Setelah diobati dan ditepuk kepalanya oleh Tabib Ping untuk
mendapatkan penyaluran tenaga dalam, ia pun pergi begitu saja meninggalkan
rumah si tabib. Namun baru menempuh jarak yang tidak terlalu jauh, Dewa Buah
Persik jatuh pingsan di tengah jalan karena kehabisan banyak darah. Ia kemudian
ditemukan si wanita kurus dan dibawa kembali untuk diobati. Meskipun lukanya
belum sembuh benar, namun mulutnya tetap terampil dalam berbicara dan memaki si
wanita kurus.
Wanita kurus itu berkata
dengan dingin, “Apakah kalian tahu, selama hidup Tabib Ping paling takut dengan
apa?”
“Tidak tahu,” jawab kelima
Dewa Lembah Persik bersamaan. “Memangnya dia takut apa?”
“Dia paling takut pada istri!”
ucap si wanita kurus.
Enam Dewa Lembah Persik pun
bergelak tawa mendengar jawaban itu. Mereka berkata, “Tabib Ping yang tidak
takut pada langit dan tidak gentar pada bumi ternyata takut istri. Hahaha,
sungguh menggelikan!”
“Apanya yang menggelikan? Aku
inilah istrinya!” bentak si wanita kurus.
Seketika Enam Dewa Lembah
Persik langsung diam, tidak berani bersuara lagi.
Si wanita kurus melanjutkan,
“Segala perintahku pasti akan ia turuti. Jika aku ingin membunuh siapa tentu ia
akan menyuruh kalian membunuhnya.”
“Ya, ya, Nyonya Ping ingin
membunuh siapa?” sahut Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.
Wanita kurus itu tidak
menjawab, melainkan sorot matanya yang tajam terus menatap ke arah Yue Buqun,
lalu Ning Zhongze, Yue Lingshan, dan orang-orang Huashan lainnya. Setiap orang
yang dipandanginya pasti merinding dan berkeringat dingin. Mereka sadar, sekali
Nyonya Ping menunjuk salah seorang di antara mereka, maka seketika itu pula
kelima Dewa Lembah Persik pasti akan melompat maju dan merobek menjadi empat
potong. Bahkan tokoh sakti seperti Yue Buqun juga sulit untuk menghindar.
Sorot mata wanita kurus itu
perlahan dialihkan kembali ke arah para Dewa Lembah Persik. Jantung keenam
orang aneh itu juga ikut berdebar-debar.
“Hm!” wanita itu mendengus.
“Ya, ya,” jawab Enam Dewa
Lembah Persik bersama-sama.
“Sekarang aku belum bisa
menentukan ingin membunuh siapa,” kata wanita itu. “Tapi Tabib Ping sudah
mengatakan bahwa di dalam perahu ini ada seorang tuan muda bermarga Linghu,
Linghu Chong yang sangat dihormati olehnya. Maka itu, kalian harus melayani
Tuan Muda Linghu dengan sebaik-baiknya sampai Tuan Muda Linghu meninggal dunia.
Apa yang dikatakan Tuan Muda Linghu harus kalian kerjakan. Segala perintahnya
harus kalian patuhi dan tidak boleh kalian bantah.”
“Melayani sampai dia meninggal
dunia?” sahut Enam Dewa Lembah Persik heran.
“Benar! Melayani sampai dia
meninggal dunia,” jawab Nyonya Ping. “Tapi umurnya hanya tinggal seratus hari
saja. Dalam seratus hari ini kalian harus mematuhi segala perintahnya.”
Mendengar tugas mereka hanya
sebatas seratus hari saja, serentak Enam Dewa Lembah Persik bersorak gembira,
“Hanya melayani dia seratus hari saja rasanya tidak sukar.”
Tiba-tiba Linghu Chong
menyela, “Terhadap maksud baik Tabib Ping sungguh aku merasa sangat berterima
kasih. Namun aku tidak berani merepotkan Enam Dewa Lembah Persik. Tolong
izinkan mereka mendarat saja, dan sekarang juga aku mohon diri.”
Wajah Nyonya Ping terlihat
datar, sedikit pun tidak terlihat senang ataupun gusar. Ia hanya berkata dengan
dingin, “Tabib Ping mengatakan bahwa penyakit Tuan Muda Linghu disebabkan oleh
keenam orang tolol ini. Bukan saja Tuan Muda Linghu yang akan mati karenanya,
bahkan juga membuat Tabib Ping malu karena tidak sanggup menyembuhkan
penyakitmu. Akibatnya, Tabib Ping tidak dapat pula bertanggung jawab kepada
orang yang memintanya mengobatimu. Untuk ini keenam orang tolol ini harus
diberi hukuman yang setimpal. Sebenarnya Tabib Ping hendak menyuruh mereka
membunuh salah seorang saudara mereka sendiri sesuai dengan sumpah mereka, tapi
sekarang mereka diberi kelonggaran. Mereka hanya dihukum sebagai pelayan Tuan
Linghu.” Setelah berhenti sejenak, wanita kurus itu melanjutkan, “Kalau keenam
orang tolol ini berani membantah perintahmu, bila sampai terdengar oleh Tabib
Ping, maka Tabib Ping segera akan mengambil nyawa salah seorang dari mereka dengan
secepatnya.”
Dewa Bunga Persik menyahut,
“Karena penyakit Adik Linghu ini gara-gara perbuatan kami, sudah sepantasnya
kalau kami merawat dia sebagaimana mestinya. Laki-laki sejati tahu kapan
waktunya membalas budi dan dendam.”
“Benar, seorang laki-laki rela
berkorban untuk kesulitan kawan. Apalagi hanya merawat penyakit saja, tentu
sangat mudah,” sahut Dewa Ranting Persik.
“Lukaku ini telah dirawat
orang hingga sembuh. Sudah sepantasnya aku juga merawat orang lain dengan
sebaik-baiknya. Tentu semua pihak akan senang,” kata Dewa Buah Persik.
“Aih, sayang sekali kami hanya
bisa merawat lukanya selama seratus hari saja. Sungguh pendek waktunya,” ujar
Dewa Dahan Persik.
Dewa Akar Persik menanggapi,
“Pepatah menagatakan, seribu Li pun akan ditempuh demi mendengar kesulitan
kawan. Kami enam bersaudara tidak pernah mengabaikan jika ada kawan yang
kesusahan….”
Di tengah berisiknya suara
keenam orang tua aneh itu, Nyonya Ping hanya melotot kemudian melangkah pergi.
Dewa Dahan Persik dan Dewa
Ranting Persik segera mengangkat tandu yang berisi Dewa Buah Persik tadi dan
membawanya melompat ke atas kapal diikuti saudara-saudaranya yang lain.
Dewa Akar Persik lantas
berteriak, “Angkat sauh, jalankan kapalnya!”
Linghu Chong menyadari kalau
ia tidak mungkin lagi bisa mencegah keenam kakek aneh untuk tidak mengikuti
rombongan. Maka ia pun berkata, “Eh, keenam Kakak Persik, boleh saja kalau
kalian ikut bersama kami. Tapi terhadap guru dan ibu-guruku kalian harus
bersikap sopan dan hormat. Inilah perintahku yang pertama. Jika kalian tidak
mau menurut, maka sekarang juga aku menolak pelayanan kalian.”
Dewa Daun Persik menjawab,
“Enam Dewa Lembah Persik semuanya adalah laki-laki budiman yang penuh tata
krama. Jangankan terhadap guru dan ibu-gurumu, bahkan kepada murid atau cucumu
juga kami akan menaruh hormat.”
Diam-diam Linghu Chong merasa
geli mendengar sebutan laki-laki budiman yang penuh tata krama tersebut. Segera
ia pun berkata kepada Yue Buqun, “Guru, keenam bersaudara ini ingin menumpang
kapal kita, entah bagaimana pendapat Guru?”
Yue Buqun berpikir keenam
orang itu sekarang sudah tidak mencari perkara lagi dengan Perguruan Huashan.
Namun mereka berenam kini berada di atas kapal, tetap saja berbahaya dan perlu
diwaspadai. Meskipun sepertinya sulit untuk mengusir mereka, namun setidaknya
mereka adalah orang-orang bodoh yang bisa diatasi dengan siasat.
Maka sambil mengangguk Yue
Buqun pun menjawab, “Baiklah, boleh saja jika mereka menumpang kapal kita.
Hanya saja sifatku ini suka ketenangan. Aku tidak suka mendengar mereka ribut
mulut dan berdebat sendiri.”
“Ucapan Tuan Yue ini jelas
salah,” kata Dewa Ranting Persik. “Manusia dilahirkan dengan sebuah mulut.
Selain berguna untuk makan nasi, mulut juga diperlukan untuk bicara. Untuk apa
manusia memiliki sepasang telinga kalau bukan untuk mendengarkan pembicaraan
orang lain? Jika sifatmu suka ketenangan, berarti kau telah menyia-nyiakan
maksud baik Langit yang menciptakan sebuah mulut dan sepasang telinga untukmu.”
Yue Buqun sadar apabila ia
menanggapi, tentu kelima Dewa Lembah Persik yang lain akan ikut melibatkan diri
dalam adu pendapat. Jika keenam orang itu berbicara maka perdebatan panjang
lebar dan tidak perlu pasti akan sulit dihindari. Maka itu, ia hanya tersenyum
kemudian berseru lantang, “Jurumudi, berangkatlah!”
Namun tetap saja hal ini
memancing Dewa Daun Persik untuk berkata, “Tuan Yue baru saja membuka mulut
untuk memerintahkan si jurumudi berangkat. Jika memang kau suka ketenangan,
bukankah seharusnya kau cukup memberi isyarat saja?”
“Jurumudi ada di buritan,
sedangkan Tuan Yue ada di lambung kapal. Jika Tuan Yue memberi isyarat, mana
mungkin si jurumudi bisa melihatnya? Itu namanya sia-sia,” sahut Dewa Dahan
Persik.
“Bukankah dia bisa berjalan ke
buritan untuk memberi isyarat kepada si jurumudi?” tanya Dewa Akar Persik.
“Bagaimana kalau si jurumudi
ternyata tidak paham bahasa isyarat? Bagaimana kalau si jurumudi ternyata salah
mengartikan isyarat ‘mulai berlayar’ menjadi ‘tenggelamkan kapal’? Bukankah ini
bencana?” tukas Dewa Bunga Persik.
Begitulah, di tengah
perdebatan Enam Dewa Lembah Persik, si jurumudi telah mengangkat sauh dan
melanjutkan pelayaran.
Sementara itu, Yue Buqun dan
Ning Zhongze sama-sama memandangi Linghu Chong, kemudian beralih memandangi
Enam Dewa Lembah Persik. Setelah itu keduanya saling pandang dan sama-sama
berpikir, “Ping Yizhi berkata bahwa dirinya telah mendapat perintah dari
seseorang untuk mengobati Chong’er. Dari kata-katanya tadi terlihat kalau
seseorang yang telah memerintahkannya jelas memiliki kedudukan tinggi di dunia
persilatan. Itu sebabnya ia lebih menghormati seorang murid daripada ketua
Perguruan Huashan. Sebenarnya siapa orangnya yang telah menyuruh Ping Yizhi?
Kalau Biksu Bujie jelas tidak mungkin, karena Ping Yizhi tadi telah menyebutnya
sebagai biksu tua yang tidak punya otak.”
Sebenarnya sudah sejak lama
Yue Buqun suami-istri berniat memanggil Linghu Chong untuk meminta keterangan
yang sejelas-jelasnya. Tak disangka, jumlah kesalahpahaman antara guru dan
murid semakin bertambah banyak, sehingga mereka merasa kini bukan saat yang
tepat untuk menanyai Linghu Chong.
Sewaktu teringat betapa Ping
Yizhi yang merupakan tabib paling hebat di dunia persilatan ternyata tidak
mampu menyembuhkan Linghu Chong, bahkan meramalkan bahwa umur murid pertama
suaminya tinggal seratus hari membuat Ning Zhongze merasa sangat berduka. Tak
terasa air mata pun meleleh di pipi wanita itu.