Tiba-tiba terdengar orang di
luar itu berkata lirih, “Monyet Keenam, apa kau berada di dalam?”
Seketika perasaan Lu Dayou
berubah gembira karena ia mengenali suara tersebut sebagai suara seorang
perempuan yang tidak lain adalah Yue Lingshan. Dengan cepat ia menjawab, “Adik
Kecil, aku di sini.” Buru-buru ia pun menyalakan kembali pelita di dalam kamar.
Sementara itu Yue Lingshan
sudah masuk ke dalam kamar. Gadis itu bertanya, “Bagaimana keadaan Kakak
Pertama?”
“Banyak darah yang keluar,”
jawab Lu Dayou.
Yue Lingshan meraba dahi
Linghu Chong ternyata panas luar biasa.
Tiba-tiba Linghu Chong siuman
dan bertanya, “Adik Kecil… apakah itu kau?”
Yue Lingshan menjawab dengan
suara lembut, “Benar, Kakak Pertama, ini aku. Bagaimana keadaanmu?”
“Aku merasa lebih… baik,”
jawab Linghu Chong lirih.
Tiba-tiba Yue Lingshan
mengeluarkan bungkusan kecil dari balik bajunya dan berkata, “Ini adalah kitab
rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja. Kata Ayah....”
“Kitab Kabut Lembayung Senja?”
sahut Linghu Chong terkejut.
“Benar,” jawab Yue Lingshan.
“Ayah berkata di dalam badanmu terdapat enam hawa murni yang aneh. Untuk
memusnahkannya harus menggunakan ilmu tenaga dalam paling tinggi dalam
perguruan kita, yaitu ilmu Kabut Lembayung Senja... Monyet Keenam, tolong kau
bacakan isi kitab ini kepada Kakak Pertama. Bacalah kata demi kata dengan
jelas. Tapi awas, kau sendiri tidak boleh ikut mempelajarinya! Kalau sampai
Ayah mengetahuinya, tentu kau akan tahu sendiri akibatnya.”
Lu Dayou sangat gembira
mendengarnya. Buru-buru ia menyahut, “Aku ini hanya orang bodoh. Mana mungkin
aku berani mempelajari ilmu rahasia yang merupakan puncak dari segala ilmu
tenaga dalam milik perguruan kita? Sudahlah, kau jangan khawatir. Luar biasa!
Demi menolong jiwa Kakak Pertama, Guru berkenan menurunkan kitab rahasia ilmu
Kabut Lembayung Senja. Kali ini Kakak Pertama pasti selamat.”
Yue Lingshan menukas dengan
suara berbisik, “Kau jangan beri tahu siapa-siapa. Sebenarnya kitab ini bukan
pemberian Ayah. Tapi... tapi aku mencurinya dari bawah bantal Ayah.”
“Apa? Kau... kau telah mencuri
kitab pusaka milik Guru?” tanya Lu Dayou tak percaya. “Jika Guru sampai tahu...
bagaimana?”
“Bagaimana apanya? Kalau
sampai ketahuan apa mungkin aku dibunuh oleh Ayah?” balas Yue Lingshan.
“Paling-paling aku hanya dimarahi dan dihajar saja sampai babak belur. Tapi
kalau dengan ini Kakak Pertama bisa disembuhkan, tentu Ayah dan Ibu akan senang
sehingga persoalan ini tidak lagi dipermasalahkan.”
“Benar juga, benar juga,” kata
Lu Dayou. “Yang penting Kakak Pertama harus diselamatkan terlebih dulu. Yang
lain urusan belakangan.”
Tiba-tiba Linghu Chong
menukas, “Adik Kecil, kembalikan... kembalikan kitab itu pada Guru.”
“Mengapa?” tanya Yue Lingshan
heran. “Susah payah aku membawa kitab pusaka ini kemari, menempuh jalan
pegunungan yang jauh dan berbahaya di tengah malam gelap gulita. Tapi, kau
malah memintaku mengembalikannya. Ini bukan masalah mencuri, tapi masalah hidup
dan matimu.”
“Benar kata Adik Kecil,” sahut
Lu Dayou ikut mendesak. “Kau tidak perlu mempelajari semuanya. Latih saja
secukupnya asal dapat memusnahkan hawa jahat di dalam tubuhmu. Setelah itu kita
kembalikan kitab ini kepada Guru. Kelak tentu Guru akan mewariskan kitab ini
kepadamu. Kau memang murid pertama perguruan kita. Kepada siapa lagi kitab pusaka
ini akan diwariskan kalau bukan kepadamu? Sekarang atau besok apa bedanya? Ini
hanya masalah waktu. Apa salahnya kalau kitab ini kau pelajari sekarang?”
“Tidak, tidak… Lebih baik aku
mati daripada melanggar perintah Guru,” jawab Linghu Chong. “Guru sudah
mengatakan bahwa... bahwa aku belum waktunya belajar ilmu Kabut Lembayung
Senja. Maka... maka....” Belum habis ia berkata mendadak nafasnya terasa sesak
dan ia pun kembali pingsan.
Yue Lingshan mencoba memeriksa
hembusan hidung Linghu Chong. Nafas pemuda itu sangat lemah namun tidak
berhenti. Yue Lingshan kemudian berkata, “Aku harus segera kembali sebelum
fajar menyingsing. Ayah dan Ibu bisa khawatir apabila mengetahui kepergianku
ini. Kakak Keenam, tolong bujuk Kakak Pertama supaya mau mempelajari kitab
Kabut Lembayung Senja. Jangan sia-siakan....” Sampai di sini wajahnya mendadak
bersemu merah. Gadis itu lalu melanjutkan, “Jangan sia-siakan jerih payahku
berlari malam-malam kemari demi dia.”
“Baik, aku akan membujuknya,”
kata Lu Dayou. “Adik Kecil, sekarang ini rombongan Guru sudah sampai di mana?”
“Kami bermalam di kuil Kuda
Putih,” jawab Yue Lingshan.
“Apa? Bukankah kuil itu
berjarak hampir sepuluh Li dari sini?” sahut Dayou. “Adik Kecil berlari
pulang-pergi di malam gelap ini menempuh jarak sejauh itu. Kakak Pertama tentu
takkan melupakan pengorbananmu ini.”
Mata Yue Lingshan terlihat
merah berkaca-kaca. Ia pun berkata, “Aku hanya ingin melihat Kakak Pertama
selamat dan kembali pulih. Aku tidak peduli kejadian ini diingat olehnya atau
tidak.”
Usai berkata demikian gadis
itu lalu menaruh kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja perlahan-lahan di
ujung ranjang Linghu Chong. Dipandanginya sejenak wajah si kakak pertama dan
selanjutnya ia pun berlari keluar.
Kira-kira dua jam kemudian
barulah Linghu Chong siuman dari pingsan. Begitu membuka mata ia langsung
berseru, “Adik... Adik Kecil!”
“Adik Kecil sudah pergi,”
jawab Dayou.
“Sudah pergi?” sahut Linghu
Chong dengan nada keras. Ia kemudian bangkit dan tangannya langsung menarik
baju Lu Dayou pada bagian dada.
“Benar, Adik Kecil sudah
pergi,” jawab Lu Dayou ketakutan. “Katanya, sebelum fajar menyingsing ia harus
berada di sana supaya tidak meresahkan Guru dan Ibu Guru. Sebaiknya kau
beristirahat saja.”
Namun Linghu Chong seperti
tidak mendengarkan jawaban Lu Dayou. Ia terlihat menggumam sendiri, “Dia sudah
pergi? Dia sudah pergi bersama Adik Lin?”
“Adik Kecil bersama rombongan
Guru dan Ibu Guru,” lanjut Lu Dayou.
Namun Linghu Chong hanya
memandang dengan tatapan kosong sambil tangannya masih mencengkeram baju Lu
Dayou.
Lu Dayou kembali berkata
dengan suara lirih, “Kakak Pertama, sesungguhnya Adik Kecil sangat peduli pada
keselamatanmu. Sebagai seorang gadis belia, di tengah malam segelap ini ia
berlari pulang-pergi ke sini dari kuil Kuda Putih yang berjarak sepuluh Li dari
sini hanya untuk membantu kesembuhanmu. Betapa dalam perasaannya kepadamu tak
dapat dibayangkan. Sebelum pergi ia juga berpesan supaya kau sudi mempelajari
kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja ini. Janganlah kau sia-siakan maksud
baiknya itu.”
“Dia berkata demikian?” tanya
Linghu Chong menegas.
“Mana mungkin aku berani
berdusta?” jawab Lu Dayou.
Tangan Linghu Chong yang
mencengkeram baju Lu Dayou pun mengendur. Ia tak tahan lagi duduk dan kembali
roboh berbaring di atas ranjangnya. Meskipun kepalanya terbentur dengan keras
namun tidak terasa sakit.
“Kakak Pertama, biar aku yang
membacakan kitab ini untukmu,” kata Lu Dayou yang kemudian mengambil kitab
Kabut Lembayung Senja dan membacanya kata demi kata mulai halaman pertama.
“Segala bentuk ilmu silat
menggunakan tenaga dalam sebagai landasan. Sesungguhnya jumlah tenaga dalam
yang begitu besar adalah karunia dari Langit. Akan tetapi, kebanyakan manusia
tidak memahaminya dengan baik, justru mengumbar emosi belaka. Dampak buruk dari
belajar ilmu silat adalah membuat manusia menjadi bengis, congkak, kejam, dan
licik. Menjadi bengis membuat jiwa menjadi terganggu, dan aliran tenaga menjadi
kacau. Bersikap congkak membuat jiwa menjadi kerdil sehingga aliran tenaga
menjadi ribut. Bersikap kejam membuat jiwa menjadi kosong, dan aliran tenaga
pun menjadi hampa pula. Bersikap licik membuat perilaku menjadi jahat, sehingga
aliran tenaga menjadi pendek. Keempat sikap buruk ini bagaikan pisau yang
memotong aliran tenaga.”
“Apa yang sedang kau baca?”
tanya Linghu Chong.
“Ini adalah bab pertama
rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja,” jawab Lu Dayou. Ia kemudian melanjutkan
bacaannya. “Dengan berpantang pada keempat sifat buruk tersebut membuat hati
kita menjadi lembut. Dengan menahan sikap kejam dan bengis dapat membuat aliran
tenaga menjadi lebih tahan lama. Menabuh Tian-Gu, meminum Yu-Jiang, membilas
Hua-Chi, dan mengetuk Jin-Liang, lakukan dan lihatlah bagaimana hasilnya….”
Di luar dugaan Linghu Chong
justru menjadi gusar. Ia berseru, “Ini adalah ilmu rahasia perguruan kita.
Berani membaca tanpa izin sama artinya melanggar peraturan. Ayo, lekas simpan
kembali kitab itu!”
“Kakak Pertama, seorang
laki-laki sejati harus dapat bertindak sesuai keadaan. Sekarang yang paling
penting adalah kesembuhanmu. Urusan lain kita kesampingkan dulu. Biar
kulanjutkan....” kata Lu Dayou yang kemudian membacakan bagaimana kelanjutan
isi kitab tersebut.
“Tutup mulutmu!” bentak Linghu
Chong.
Lu Dayou ketakutan dan
berhenti membaca. Ia bertanya, “Kakak Pertama, apakah kau baik-baik saja?
Apakah kau merasa sakit?”
“Benar! Sekujur badanku terasa
sakit begitu mendengar kau membaca isi kitab pusaka tanpa seizin Guru. Apakah
kau ingin menjerumuskan aku menjadi murid durhaka dan tercela?” bentak Linghu
Chong.
“Tidak, tidak,” jawab Lu Dayou
sambil berhenti membaca. “Mengapa kau sebut dirimu durhaka dan tercela?”
“Di Tebing Perenungan beberapa
waktu yang lalu Guru sudah berniat mengajarkan ilmu Kabut Lembayung Senja
kepadaku,” jawab Linghu Chong dengan nafas terengah-engah. “Tapi, karena aku
dinilai salah mengambil jalan, maka niat tersebut dibatalkan. Guru tidak jadi
mengajarkan ilmu itu kepadaku.”
“Tapi, untuk kali ini
tujuannya lain, bukan?” ujar Lu Dayou. “Ini bukan mencuri pelajaran, tapi hanya
untuk menyembuhkan sakitmu dan menyelamatkan nyawamu.”
“Sebagai seorang murid, apakah
nyawa sendiri lebih berharga daripada perintah guru?” balas Linghu Chong.
“Tapi, Guru dan Ibu Guru juga
ingin kau sembuh. Ini adalah urusan yang paling penting,” jawab Lu Dayou. “Apalagi...
apalagi Adik Kecil sudah berlari jarak jauh di tengah malam hanya untuk
mengantarkan kitab ini. Apa kau tega menyia-nyiakan pengorbanannya?”
Linghu Chong merasa sangat
terharu namun berusaha keras menahan air mata agar jangan sampai meleleh keluar.
Segera ia berpaling sambil menjawab, “Justru itu... sebagai laki-laki sejati
apa pantas aku menerima belas kasihan orang lain?”
Usai berkata demikian,
tubuhnya pun gemetar dan dalam benaknya terlintas pikiran, “Selama ini aku
tidak pernah memegang teguh peraturan. Demi menyelamatkan nyawaku, apa susahnya
bagiku untuk memelajari ilmu tertinggi dari perguruan sendiri? Jika dipikir
lagi, sesungguhnya aku menolak belajar ilmu Kabut Lembayung Senja adalah karena
rasa cemburu terhadap Adik Kecil. Jauh di lubuk hatiku, aku merasa iri melihat
perlakuan Adik Kecil terhadap Adik Lin yang penuh perhatian, sedangkan kepadaku
begitu dingin. Linghu Chong, Linghu Chong, mengapa kau begitu picik?”
Meskipun demikian, ketika ia
berpikir bahwa dalam perjalanan menuju Gunung Songshan pasti Yue Lingshan dan
Lin Pingzhi akan berjalan berdampingan sambil mengobrol dan bernyanyi bersama,
mau tidak mau membuat air matanya mengalir di pipi.
“Kakak Pertama,” sahut Lu
Dayou. “Sejak kecil kau dibesarkan bersama Adik Kecil. Kalian berdua
bagaikan... bagaikan saudara kandung.”
Linghu Chong semakin gusar.
Dalam hati berkata, “Aku tidak sudi menjadi saudara kandung dengannya.”
Tiba-tiba Lu Dayou kembali
membaca lanjutan kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja, “Kakak Pertama, aku akan
melanjutkan membaca. Dengarkan baik-baik. Jika kau tidak mampu menghafal, maka
aku akan mengulangi beberapa kali. Semua bentuk ilmu silat menggunakan tenaga
dalam sebagai dasar. Betapa banyak jumlah tenaga dalam adalah karunia dari
Langit…”
“Hentikan!” bentak Linghu
Chong dengan suara keras.
Lu Dayou menjawab, “Baiklah,
baiklah, Kakak Pertama. Demi kesembuhanmu aku terpaksa melawan dan membantah
dirimu. Aku pun berani melanggar larangan perguruan. Kau sama sekali tidak
bersalah. Kau tidak ingin mendengarkan, tapi aku tetap memaksamu untuk
mendengarkannya. Aku yang memaksa untuk tetap membaca. Bahkan, kau sama sekali
tidak pernah menyentuh kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja ini. Kau sama
sekali tidak pernah melihat satu huruf sekalipun dalam kitab ini. Jadi, apa ini
kesalahanmu? Kau hanya terbaring lemah di atas ranjang. Akulah yang memaksamu
untuk mempelajari kitab ini. Jika Guru sampai menghukum, biar aku, Lu Dayou,
yang menanggungnya sendiri. Nah, sekarang dengarkanlah, aku akan mengulanginya
lagi. Semua bentuk ilmu silat menggunakan tenaga dalam sebagai dasar. Betapa
banyak jumlah tenaga dalam adalah karunia dari Langit…”
Linghu Chong berusaha
mengabaikan suara Lu Dayou, namun kata demi kata tetap saja meluncur masuk ke
dalam telinganya. Ia berusaha memberontak dan merintih keras.
Mendengar itu Lu Dayou pun
bertanya, “Kakak Pertama, apa kau baik-baik saja?”
“Tolong... tolong kau ganjal
bantalku supaya sedikit lebih tinggi,” pinta Linghu Chong.
“Baik,” jawab Lu Dayou tanpa
curiga sedikit pun sambil melangkah mendekati ranjang dan memegang bantal yang
dimaksud tersebut.
Tidak disangka-sangka Linghu
Chong mengerahkan segenap tenaga dan menotok tepat di titik Tan-Zhong pada dada
Lu Dayou. Seketika Lu Dayou pun roboh terkulai di atas ranjang tanpa suara
sedikit pun.
“Maaf, Adik Keenam,” kata
Linghu Chong sambil tersenyum hambar. “Kau berbaring di sini saja. Beberapa jam
lagi totokan pada tubuhmu akan terbuka sendiri.”
Perlahan-lahan Linghu Chong
berusaha bangun dari ranjang. Sekilas ia memandang kitab rahasia ilmu Kabut
Lembayung Senja kemudian menghela nafas dan berjalan menuju ke arah pintu.
Tangannya meraih sebatang kayu yang dipakai untuk mengunci pintu sebagai
tongkat penyangga tubuh.
“Kakak Pertama, kau… kau mau
ke mana?” tanya Lu Dayou dengan nada khawatir. Pada umumnya apabila seseorang
terkena totokan pada titik Tan-Zhong maka ia akan lumpuh tidak dapat bergerak
ataupun bersuara. Namun karena tenaga Linghu Chong sangat lemah, maka ia hanya
bisa membuat Lu Dayou tidak bisa menggerakkan tangan dan kaki, namun masih bisa
berbicara.
Linghu Chong menoleh dan
menjawab, “Adik Keenam, terpaksa aku harus pergi jauh. Makin jauh aku
meninggalkan kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja semakin baik. Sebentar
lagi aku akan mati. Aku tidak mau orang lain menemukan mayatku di samping kitab
itu. Aku tidak mau orang lain menuduhku mati setelah mencuri ilmu tanpa izin.
Aku tidak mau dipandang rendah oleh Adik Lin.” Usai berkata demikian dada
Linghu Chong kembali bergolak dan ia pun muntah darah.
Khawatir tenaganya akan segera
habis, Linghu Chong pun memaksakan diri untuk melangkah pergi tanpa
menunda-nunda lagi. Sambil menghirup nafas dalam-dalam, ia melangkah maju
dengan bantuan batang kayu pengunci pintu sebagai tongkat penyangga tubuh.
Perlahan-lahan ia berjalan tertatih-tatih sampai tubuhnya lenyap ditelan
kegelapan malam.
Dalam setiap seratus langkah,
Linghu Chong beristirahat dan bersandar pada tongkatnya untuk menghirup nafas.
Setelah berjalan sejauh hampir satu Li matanya terasa berkunang-kunang. Kepalanya
pusing dan pandangannya kabur. Bumi dan langit terasa berputar-putar. Badannya
terasa semakin lemah dan hampir saja ia terbanting jatuh.
Tiba-tiba dari arah
semak-semak terdengar suara seorang pria merintih kesakitan. Linghu Chong pun
bertanya, “Siapa itu?”
Orang itu pun menjawab,
“Apakah di situ Saudara Linghu? Ini aku, Tian Boguang. Aduh!”
Linghu Chong terkejut dan
bertanya lagi, “Hei, ternyata Saudara... Saudara Tian. Ada apa... ada apa
denganmu?”
“Aku sekarat... aku hampir
mati,” jawab Tian Boguang. “Tolong aku, Saudara Linghu! Tolong kau bunuh aku
dengan pedangmu daripada... daripada aku menderita kesakitan.” Meskipun ia
merintih kesakitan namun suaranya terdengar jelas dan lantang.
“Apa... apa kau terluka?”
tanya Linghu Chong. Kakinya terasa semakin lemas sehingga tak kuat lagi berdiri
dan terbanting roboh.
Mengetahui itu Tian Boguang
terkejut pula, “Hei apa kau juga terluka? Siapa... siapa yang melukaimu?
Aduh….”
“Panjang ceritanya,” jawab
Linghu Chong lemah. “Saudara Tian, kau sendiri... kau sendiri dilukai siapa?”
“Aku... aku tidak tahu,” kata
Tian Boguang.
“Bagaimana bisa?” desak Linghu
Chong.
“Setelah aku turun dari puncak
Huashan beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba aku disergap oleh beberapa orang.
Mereka menangkap kedua tangan dan kedua kakiku, lalu mengangkat tubuhku ke
atas. Tenaga mereka begitu besar. Aku tidak tahu... aku tidak tahu siapa
mereka....”
“Oh, ternyata Enam Dewa Lembah
Persik,” ujar Linghu Chong dengan tertawa. “Saudara Tian, bukankah kau satu
komplotan dengan mereka?”
“Apa maksudmu?” sahut Tian
Boguang heran.
“Mereka... mereka juga
memintaku menemui Adik Yilin,” jawab Linghu Chong dengan nafas terengah-engah.
Tian Boguang merangkak keluar
dari semak-semak. Ia menggeleng dan menggerutu kesal, “Keparat! Aku tidak ada
hubungannya dengan mereka. Mereka bilang datang ke Gunung Huashan untuk mencari
seseorang. Mereka bertanya di mana bisa menemukan orang itu. Aku pun bertanya
siapa yang mereka cari. Tapi mereka marah-marah dan mengatakan kalau aku ini
seorang tawanan, jadi tidak berhak bertanya. Jika aku mampu menangkap mereka
barulah aku boleh bertanya. Kata mereka... jika aku berani boleh mencoba
menangkap mereka. Jika aku bisa menangkap mereka, baru aku boleh bertanya
sedangkan mereka tidak boleh bertanya. Aduh... Jika aku punya kekuatan, maka
aku boleh menangkap dan mengangkat mereka, dan setelah itu ganti aku yang boleh
bertanya….”
Linghu Chong tertawa
terbahak-bahak. Tapi nafasnya langsung sesak dan dadanya terasa sakit.
Tian Boguang kembali
bercerita, “Saat itu tubuhku terangkat ke atas dengan wajah menghadap ke bawah.
Biarpun memiliki kepandaian setinggi langit juga tidak mampu melepaskan diri
dari cengkeraman mereka, apalagi mau menangkap mereka sekaligus. Bagaimana
bisa? Huh, ucapan mereka benar-benar seperti tahi kuda!”
“Selanjutnya bagaimana?” tanya
Linghu Chong sambil tersenyum.
“Aku berkata pada mereka bahwa
aku tidak ingin bertanya apa-apa. Aku pun meronta, ‘Lepaskan! Lepaskan aku!’
Namun salah satu di antara mereka berkata, ‘Kami sudah menangkapmu. Jika kami
tidak merobekmu menjadi empat potong, tentu nama besar kami akan jatuh.’
Seseorang lagi berseru,
‘Sesudah dirobek menjadi empat potong, coba lihat apa dia masih bisa berbicara
atau tidak?’” Sampai di sini Tian Boguang berhenti dan mengambil nafas.
Linghu Chong menyela, “Saudara
Tian, mereka memang suka mengoceh sembarangan dan berdebat untuk urusan yang
tidak perlu. Jalan pikiran mereka pun konyol.”
“Huh, persetan dengan mereka!”
maki Tian Boguang kemudian melanjutkan cerita, “Salah satu dari mereka berkata,
‘Kita berenam sudah merobek ratusan orang. Memangnya pernah kau dengar ada
orang yang sudah robek menjadi empat potong masih bisa bicara?’
Yang tadi menjawab, ‘Mengapa
ada orang yang sudah terpotong menjadi empat tidak bisa bicara adalah karena
kita tidak bertanya kepadanya. Coba kalau kita bertanya, mana mungkin dia
berani diam saja?’
‘Dia sudah terpotong menjadi
empat, kenapa dia harus takut? Apa alasan baginya untuk takut? Memangnya kita
akan membelah dia menjadi delapan?’ sahut yang lain.
Orang pertama bertanya,
‘Membelah orang menjadi delapan? Ini bukan ilmu yang mudah. Kita dulu menguasai
ilmu ini tapi sekarang sudah lupa caranya.’”
Demikianlah Tian Boguang
bercerita dengan terputus-putus namun ingatannya sungguh luar biasa dapat menceritakan
semua percakapan konyol keenam orang aneh itu dengan lengkap meskipun dirinya
sedang terluka cukup parah.
Linghu Chong menanggapi sambil
menghela nafas, “Keenam bersaudara itu memang bersifat aneh dan langka. Mereka…
mereka juga berbuat sesuatu kepadaku.”
Tian Boguang bertanya dalam
keheranan, “Jadi, Saudara Linghu juga dilukai oleh mereka?”
“Begitulah kira-kira,” jawab
Linghu Chong sambil kembali menghela nafas.
Tian Boguang melanjutkan,
“Dalam keadaan masih terangkat di atas, terus terang aku merasa takut juga.
Akhirnya aku pun berteriak, ‘Jika kalian membelah tubuhku menjadi empat potong,
aku tidak akan bicara lagi. Meskipun lidahku masih bisa berbicara, hatiku tetap
tidak ingin bicara.’
Salah satu dari mereka
berkata, ‘Setelah kami membelah tubuhmu menjadi empat, maka lidahmu ada di satu
bagian, dan hatimu ada di bagian lain yang terpisah. Mana mungkin antara lidah
dan hati masih terjalin hubungan?’
Mendengar itu aku merasa tidak
ada gunanya lagi berdebat dengan mereka. Maka, aku pun berteriak, ‘Jika kalian
mau bertanya, segeralah kalian bertanya! Awas, sebentar lagi aku akan
melepaskan gas beracun!’
Seseorang di antara mereka
bertanya kepadaku, ‘Gas beracun apa?’
Aku menjawab, ‘Kentutku busuk
bagaikan bangkai. Barangsiapa mencium bau kentutku, dijamin selama tiga hari
tiga malam akan kehilangan selera makan. Bahkan, nasi yang kalian makan selama
tiga hari sebelumnya akan tertumpah semua. Aku telah memperingatkan kalian
semua. Persetan jika kalian terkena gas beracun dariku.’”
Linghu Chong tersenyum lemah,
“Ucapanmu sepertinya jitu.”
“Memang,” kata Tian Boguang.
“Begitu mendengar ucapanku tadi, mereka langsung menjerit ketakutan dan
melepaskan diriku. Tubuhku terbanting di tanah begitu saja, dan aku pun
melompat bangkit untuk berdiri. Kulihat keenam orang aneh itu berwajah buruk,
dan masing-masing dari mereka memencet hidung untuk menghindari bau kentutku.
Saudara Linghu, apakah keenam orang tua itu yang kau sebut Enam Dewa Lembah
Persik?”
“Benar sekali,” jawab Linghu
Chong. “Aih, sayang sekali aku tidak secerdas Saudara Tian. Sama sekali tidak
terpikir olehku bahwa tipuan kentut beracun sangat ampuh. Tipu muslihat Saudara
Tian sungguh tidak kalah hebat dibanding siasat kota kosong Zhuge Liang saat
menakut-nakuti pasukan Sima Yi pada zaman Tiga Negara dulu.”
Tian Boguang memaki-maki
sambil tertawa, kemudian melanjutkan cerita, “Aku sadar keenam orang itu
berilmu tinggi. Ditambah lagi golokku tertinggal di puncak Huashan. Maka, aku
pun berusaha melarikan diri. Tak kusangka keenam orang itu langsung menghadang
di depanku dengan berjajar rapat bagaikan tembok keras sambil tangan mereka
masih menutup hidung. Hahaha, tidak seorang pun dari mereka yang berani berdiri
di belakangku. Aku pun segera memutar tubuh berbalik arah, namun gerakan keenam
orang itu sungguh bagaikan siluman. Entah bagaimana tahu-tahu mereka sudah
berdiri menghadang di depanku lagi. Berkali-kali aku memutar badan tetap saja
mereka bisa menghadang di depanku. Aku pun mendapat akal, yaitu berjalan mundur
menghindari mereka. Namun mereka tetap mengejarku dengan gerak maju selangkah
demi selangkah, sampai akhirnya aku terdesak pada batuan gunung dan tidak bisa
bergerak lagi. Keenam orang aneh itu bergelak tawa. Seseorang bertanya
kepadaku, ‘Dia berada di mana?’
Aku balas bertanya, ‘Siapa
yang kalian cari?’
Mereka serentak berkata, ‘Kau
telah kami kepung. Kami yang bertanya padamu. Kau hanya boleh menjawab, tidak
boleh bertanya.’
Seorang dari mereka berkata,
‘Jika kau bisa mengepung kami, maka kau berhak mengajukan pertanyaan kepada
kami.’
Seorang lainnya menukas, ‘Dia
hanya sendirian, mana mungkin bisa mengepung kita berenam?’
Yang pertama tadi menjawab,
‘Bisa saja. Jika kepandaiannya sangat tinggi, dia bisa mengalahkan kita.’
Yang kedua menjawab, ‘Itu
namanya dia mengalahkan kita, bukan mengepung kita.’
Yang pertama berkata, ‘Tapi,
bisa saja dia menggiring kita masuk ke dalam gua, kemudian menutup mulut gua
dengan batu besar sehingga kita terkurung di dalamnya. Bukankah itu artinya dia
mengepung kita?’
Yang kedua menjawab, ‘Tetap
tidak sama! Itu namanya terkurung, bukan terkepung.’
Yang pertama tetap tidak mau
kalah dan berkata, ‘Bisa saja dia memeluk kita menjadi satu. Itu namanya dia
bisa mengepung kita.’
Yang kedua berkata, ‘Tidak
mungkin! Pertama, di dunia ini mana ada orang yang memiliki lengan panjang
sehingga bisa memeluk kita berenam? Kedua, andaikan ada jenis manusia berlengan
panjang, maka orang ini tidak termasuk golongan itu. Ketiga, andaikan orang ini
berlengan panjang, tetap saja itu bukan mengepung, tapi memeluk.’
Yang pertama mengerutkan dahi
untuk melanjutkan perdebatan. Ia tidak mau mengakui kekalahan dan tetap
berpikir keras untuk beberapa waktu. Akhirnya ia pun tertawa dan berkata, ‘Aha,
aku tahu! Jika dia kentut terus-menerus sehingga kita tidak bisa lari dan
menghindar, bukankah itu berarti dia bisa mengepung kita?’
Serentak keempat orang lainnya
yang tidak ikut berdebat bertepuk tangan dan berseru, ‘Betul sekali! Orang ini
bisa mengepung kita dengan kentut.’
Mendengar itu segera terpikir
olehku bahwa mereka benar-benar takut pada kentut. Maka aku pun bersiap lari
sambil mengancam, ‘Aku akan mengepung kalian sekarang!’
Tadinya aku mengira bahwa
mereka tidak akan berani mengejarku. Namun, siapa sangka gerakan keenam orang
tua itu sungguh cepat. Baru beberapa langkah aku mencoba kabur, tahu-tahu sudah
dibekuk lagi oleh mereka. Tanpa ampun aku didorong supaya duduk di atas
sebongkah batu. Tubuhku ditekan oleh mereka kuat-kuat. Sedemikian kuatnya
mereka mendudukkan tubuhku di atas batu sehingga sekalipun aku bisa kentut juga
tidak akan menimbulkan bau yang busuk.”
Mendengar itu Linghu Chong
tertawa terbahak-bahak. Akan tetapi setelah itu ia merasa darah di rongga
dadanya kembali bergolak sehingga membuatnya berhenti tertawa seketika.
Tian Boguang melanjutkan
ceritanya, “Setelah aku didudukkan dengan paksa di atas batu, salah seorang
dari mereka bertanya, ‘Dari mana datangnya kentut?’
Salah satunya lagi menjawab,
‘Dari perut melalui usus besar dan keluar melalui lubang pantat. Itu berarti
melalui kita sebaiknya menotok titik Shang-Yang, He-Gu, Qu-Chi, dan
Ying-Xiang.’
Usai berkata demikian ia
langsung menotok sekaligus keempat titik tersebut dengan gerakan sederhana.
Belum pernah aku melihat ilmu menotok yang sangat cepat dan jitu seperti ini. Sungguh
membuatku sangat kagum. Setelah itu mereka berenam sama-sama menghela nafas
lega, kemudian berkata, ‘Tukang kentut sialan ini sudah tidak mampu kentut
lagi.’
Orang yang menotok diriku
menyahut, ‘Hei, di mana orang itu? Jika kau tetap tidak mau mengatakannya, maka
aku tidak akan membuka totokan ini supaya selamanya kau tidak bisa kentut. Coba
bayangkan, perutmu akan kembung sampai mati.’
Dalam hati aku menduga
kedatangan enam orang aneh berilmu tinggi tersebut ke Huashan sini tentu
mencari seorang yang berilmu tinggi pula. Aku yakin keenam orang itu tidak
mencari guru dan ibu-gurumu karena mereka berdua sedang tidak berada di Gunung
Huashan. Sekalipun Beliau berdua berada di sini, tentu keenam orang itu bisa
menemukan dengan mudah di Gedung Kebajikan. Akhirnya aku menarik kesimpulan
bahwa orang yang sedang mereka cari pasti tokoh sakti lainnya yang sulit
ditemukan, yaitu paman dari gurumu, yaitu Sesepuh Feng Qingyang.”
Mendengar itu jantung Linghu
Chong berdebar kencang. Ia pun bertanya, “Apakah kau beri tahukan kepada
mereka?”
Tian Boguang terlihat gusar
dan menjawab, “Huh, kau pikir Tian Boguang ini manusia macam apa? Aku telah
berjanji padamu bahwa aku tidak akan membocorkan di mana keberadaan Sesepuh
Feng. Apa kau kira bajingan seperti aku tidak bisa memegang janji?”
“Maafkan aku, maafkan aku
salah bicara! Mohon Saudara Tian jangan tersinggung,” ujar Linghu Chong.
“Jika kau berani menghina
lagi, putus sudah hubungan kita,” kata Tian Boguang. “Untuk selanjutnya jangan
pernah lagi menganggapku sebagai sahabat!”
Linghu Chong terdiam dan
berpikir, “Huh, siapa pula yang menganggapmu sahabat? Kau ini maling cabul yang
sangat kejam. Dunia persilatan membencimu. Hanya saja kau beberapa kali tidak
mau membunuhku. Anggap saja aku sedang berhutang budi.”
Dalam kegelapan Tian Boguang
tidak dapat melihat raut muka Linghu Chong. Karena yang diajak bicara hanya
terdiam, ia pun melanjutkan ceritanya, “Keenam siluman itu terus saja
mendesakku. Aku sangat kesal dan berteriak keras, ‘Aku tahu di mana orang itu berada,
tapi aku tidak sudi mengatakannya kepada kalian. Sedemikian banyaknya puncak di
Huashan ini, jika aku tidak mau bicara, maka selamanya aku tetap tidak mau
bicara.’
Keenam orang itu menjadi
gusar. Mereka pun menyiksa dan menganiaya diriku, namun aku tetap bertahan.
Aduh... Saudara Linghu, ilmu silat mereka sungguh tinggi dan aneh. Sebaiknya
lekas kau beri tahu Sesepuh Feng supaya Beliau bersiap siaga. Meskipun ilmu
pedang Beliau sangat hebat, namun lebih baik mempersiapkan diri daripada
diserang tiba-tiba.”
Tian Boguang hanya menyebutkan
bahwa keenam orang aneh itu telah menyiksa dan menganiaya dirinya, namun Linghu
Chong dapat membayangkan tentu yang dilakukan adalah berbagai penyiksaan kejam
sebagaimana luka dalam dan penderitaan yang kini ia rasakan. Padahal, Enam Dewa
Lembah Persik mempunyai niat baik untuk mengobati luka pada tubuhnya, namun
hasilnya justru penderitaan. Apalagi terhadap Tian Boguang yang ingin mereka
paksa untuk mengatakan sesuatu, tentu cara yang mereka gunakan benar-benar kejam.
Menyadari hal itu Linghu Chong
merasa sangat kasihan pada Tian Boguang dan ia pun berkata, “Saudara Tian
benar-benar seorang laki-laki sejati yang memegang janji. Kau lebih memilih
mati daripada membocorkan keberadaan Kakek Guru Feng. Namun sesungguhnya orang
yang dicari oleh Enam Dewa Lembah Persik adalah aku, bukan Kakek Guru Feng.”
Tian Boguang gemetar dan
bertanya dengan nada terkejut, “Apa? Mereka mencarimu? Ada urusan apa mereka
mencarimu?”
Linghu Chong menjawab, “Tujuan
mereka sama denganmu. Mereka disuruh Adik Yilin untuk membawaku kepadanya.”
Tian Boguang tersentak kaget.
Mulutnya menganga lebar namun tidak berbicara sama sekali, kecuali merintih
kesakitan. Selang agak lama baruah ia berkata, “Andai saja aku tahu kalau yang
dicari mereka adalah dirimu, tentu aku akan mengatakannya. Kemudian mereka bisa
menangkapmu dan aku tinggal ikut di belakang saja. Dengan demikian aku tidak
perlu mati keracunan di sini.... Eh, aneh juga, jika kau berhasil ditangkap dan
disiksa oleh mereka, kenapa kau tidak dibawa menemui biksuni cilik itu?”
Linghu Chong menghela napas
dan berkata, “Terlalu panjang ceritanya. Saudara Tian, kau bilang akan mati
keracunan di sini, apa maksudmu?”
“Bukankah aku pernah
mengatakannya kepadamu, bahwa ada seseorang yang menotok titik kematian dan
meracuni tubuhku?” sahut Tian Boguang. “Dengan cara itu dia dapat menyuruhku
untuk membawamu menemui biksuni cilik dalam sebulan ini. Jika tugas ini dapat
kulaksanakan maka aku akan mendapatkan obat penawar darinya. Namun, ternyata
aku tidak mampu mengajakmu menemui biksuni cilik, bahkan aku juga kalah
bertarung melawanmu. Lebih sial lagi, aku bertemu dan disiksa oleh keenam
siluman itu. Kalau dihitung-hitung, racun itu akan kambuh dalam sepuluh hari
lagi.”
Linghu Chong menyahut, “Kalau begitu
di mana Adik Yilin berada? Kalau kita berangkat sekarang apa masih mencukupi
waktunya?”
Tian Boguang sangat gembira.
Ia bertanya, “Apa kau mau pergi bersamaku?”
Linghu Chong menjawab, “Sudah
beberapa kali kau mengampuni jiwaku. Meskipun tingkah lakumu buruk, namun aku
tidak akan membiarkanmu mati mengenaskan terkena racun. Sebelum ini kau
memaksaku dengan kekerasan, sudah tentu aku tidak sudi menurutinya. Tapi kini
keadaannya sudah berbeda. Aku sendiri juga sudah berubah pikiran.”
Tian Boguang berkata, “Saat
ini biksuni cilik berada di daerah Shanxi. Aih... kalau kita dalam keadaan
sehat tentu bisa sampai di sana dalam waktu enam atau tujuh hari dengan
mengendarai kuda. Tapi, kalau kita seperti ini, lebih baik lupakan saja.”
“Aku sedang menunggu ajal di
Gunung Huashan sini. Jadi, apa salahnya kalau aku sekarang ikut bersamamu?”
tanya Linghu Chong. “Siapa tahu Langit memberkati kita dan tiba-tiba kita
menemukan kereta bagus dan kuda cepat di bawah gunung. Lalu dalam waktu kurang
dari sepuluh hari kita sudah sampai di Shanxi.”
Tian Boguang tertawa,
“Hahahaha. Selama hidup aku sudah berbuat kejahatan tak terhitung banyaknya
terhadap orang-orang tak berdosa. Mana mungkin Langit sudi memberkati aku?
Kecuali para dewa sudah buta.”
“Barangsiapa yang bertobat
tentu mendapat ampunan,” kata Linghu Chong. “Pada akhirnya semua orang juga
mati. Tiada salahnya kita mencoba.”
“Benar juga! Apa bedanya mati
di atas gunung atau mati di tengah jalan?” seru Tian Boguang sambil bertepuk
tangan. “Aku rasa yang paling penting kita harus turun gunung dahulu untuk
mencari makanan enak. Sejak keadaanku menjadi seperti ini, yang bisa kumakan
hanyalah biji-bijian mentah di semak-semak. Aku benar-benar merindukan makanan
matang. Apa kau sanggup berdiri, Saudara Linghu? Mari kubantu.”
Tian Boguang mengulurkan
tangan padahal ia sendiri tidak bisa bangun. Linghu Chong berusaha mengulurkan
tangannya pula namun sedikit pun ia tidak mempunyai tenaga. Keduanya saling
berusaha keras namun sama-sama tak berdaya. Semakin mengerahkan tenaga justru
semakin lemas. Akhirnya, mereka pun tertawa terbahak-bahak.
“Seumur hidup aku malang
melintang di dunia persilatan tanpa teman, tanpa kawan. Sekarang ini bisa mati
bersama Saudara Linghu sungguh menyenangkan juga,” kata Tian Boguang.
Linghu Chong menanggapi sambil
tertawa, “Kelak jika guruku menemukan mayat kita berdua, tentu Beliau berpikir
kita bertempur mati-matian hingga akhirnya gugur bersama. Siapa sangka sebelum
ajal kita malah mempererat persaudaraan.”
“Saudara Linghu, mari kita
berjabat tangan sebelum mati bersama,” ujar Tian Boguang sambil tetap
mengulurkan sebelah tangannya.
Linghu Chong terdiam ragu-ragu
melihat Tian Boguang yang sungguh-sungguh ingin menjalin persaudaraan sebelum
ajal tiba. Bagaimanapun juga Tian Boguang seorang penjahat besar di dunia
persilatan, sedangkan ia sendiri berasal dari perguruan ternama. Mana mungkin
ia menerima ajakan persaudaraan Tian Boguang? Memang Tian Boguang beberapa kali
mengampuni nyawanya saat bertanding kala itu. Namun untuk menjalin persahabatan
dengan penjahat tersebut membuat Linghu Chong merasa ragu-ragu. Kebimbangan
itulah yang membuat Linghu Chong mengulurkan tangannya namun terhenti di tengah
jalan.
Melihat itu Tian Boguang hanya
berpikir bahwa linghu Chong sudah kehabisan tenaga untuk menyambut uluran
tangannya. Ia pun berkata dengan suara keras, “Saudara Linghu, aku telah
menganggapmu sebagai saudara. Meskipun kita tidak lahir bersamaan, tapi kita
bisa mati pada hari yang sama. Jika kau mati lebih dulu karena lukamu yang
parah, maka aku pun bersumpah tidak ingin hidup sendirian lagi.”
Linghu Chong tertegun
mendengar ucapan Tian Boguang yang sepertinya benar-benar tulus. Tanpa ragu
lagi ia pun mengulurkan tangannya meraih tangan Tian Boguang dan tertawa,
“Hahahaha. Saudara Tian, kita mati bersama. Kita tidak akan kesepian di alam
sana.”
Belum tuntas pemuda itu
berbicara, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki mendengus dan kemudian
berkata, “Huh, murid pertama Perguruan Huashan dari Kelompok Tenaga Dalam
ternyata sedemikian sesatnya, sampai-sampai mau bersahabat dengan seorang
maling cabul.”
“Siapa kau?” bentak Tian
Boguang.
Linghu Chong menggerutu di
dalam hati, “Aku tidak takut mati sekarang karena luka-lukaku yang parah ini.
Tapi kalau aku mati dengan mencemarkan nama baik Guru, ini sungguh mengerikan.”
Dalam kegelapan samar-samar
terlihat seorang laki-laki berdiri tegap sambil menghunus pedang yang
berkilauan di bawah cahaya bintang.
Orang itu berkata, “Linghu
Chong, saat ini kau masih punya kesempatan untuk menarik kata-katamu tadi.
Ambil pedangku ini dan gunakan untuk membunuh maling cabul itu. Dengan
demikian, tentu nama baikmu tidak akan tercemar dan tidak akan ada seorang pun
yang menyalahkanmu.” Usai berkata demikian ia langsung melemparkan pedangnya
dan segera menancap di atas tanah.
Dari bentuk pedang tersebut
Linghu Chong dapat mengenalinya sebagai senjata Perguruan Songshan. Maka ia pun
bertanya, “Siapakah Tuan dari Perguruan Songshan yang terhormat ini?”
“Hm, tajam juga penglihatanmu.
Namaku Di Xiu dari Perguruan Songshan,” jawab orang itu.
“Oh, ternyata Kakak Di. Selama
ini kita jarang bertemu sehingga kurang mengenal satu sama lain,” sahut Linghu
Chong. “Entah ada keperluan apa kiranya kau datang berkunjung ke Gunung Huashan
sini?”
Di Xiu menjawab, “Aku ditugasi
Paman Ketua untuk memeriksa keadaan di sini. Kami ingin tahu apa benar berita
yang kami terima bahwa murid Perguruan Huashan suka melakukan perbuatan yang
kurang baik. Tak kusangka, hehe, begitu sampai di sini aku langsung melihat dan
mendengar ucapanmu yang tulus dan sungguh-sungguh untuk menjalin persahabatan
dengan maling cabul ini.”
Mendengar itu Tian Boguang pun
memaki, “Kau bangsat keparat! Kau kira Perguruan Songshan lebih baik dariku?
Mengapa kau tidak bercermin dulu sebelum menunjuk hidung orang lain?”
Di Xiu langsung maju dan
menendang kepala Tian Boguang sambil memaki, “Anjing! Sebentar lagi mampus
masih berani mengumbar mulut, hah?” Meskipun demikian, Tian Boguang justru
semakin gencar memaki dengan kata-kata kotor dan kasar. Kalau saja Di Xiu mau
membunuh Tian Boguang tentu sangat mudah baginya. Hanya saja ia memang ingin
menghina Linghu Chong terlebih dulu.
“Linghu Chong, kau telah
mengikat persahabatan dengan maling cabul ini. Tentu kau tidak akan membunuh
dia, bukan?” demikian ia bertanya.
Linghu Chong menjadi gusar dan
membentak, “Aku membunuhnya atau tidak apa pedulimu? Jika kau benar-benar
berani, maka kau boleh membunuh aku lebih dulu. Kalau takut kau boleh enyah
dari Gunung Huashan sekarang juga.”
“Jadi, kau memang tidak mau
membunuhnya? Itu berarti sudah jelas kau mengakui penjahat cabul ini sebagai
sahabatmu, begitu?” desak Di Xiu menegaskan.
“Apa urusanmu aku berteman
dengan siapa?” sahut Linghu Chong. “Terserah diriku bersahabat dengan siapa pun
daripada berteman denganmu.”
“Hahahaha. Bagus sekali, bagus
sekali!” sorak Tian Boguang dengan tertawa.
“Huh, jangan harap kau bisa
memancing kemarahanku sehingga membunuh kalian sekarang juga. Di dunia ini mana
ada urusan semudah itu?” kata Di Xiu. “Aku justru ingin menelanjangi kalian
berdua dan kuikat menjadi satu, serta kutotok titik bisu kalian. Kemudian aku
akan mempertontonkan kalian berdua di depan umum. Akan kukatakan pada semua
orang di dunia persilatan bahwa aku telah menangkap basah pasangan mesum yang
sedang berbuat cabul. Hahaha, gurumu Yue Buqun yang sok suci, sok bersih, sok
berbudi, entah bagaimana dia menyembunyikan wajah setelah menyaksikan
pertunjukan kalian berdua? Apa setelah itu dia masih berani memakai julukan si
Pedang Budiman atau tidak?”
Ucapan ini membuat kemarahan
Linghu Chong meledak dan mebuatnya kehilangan kesadaran.
Di sisi lain Tian Boguang
memaki, “Bangsat, kepa....” Belum habis ucapannya tahu-tahu pinggangnya terkena
tendangan Di Xiu.
Di Xiu tertawa menyeringai,
kemudian mendekati Linghu Chong dan berniat melucuti pakaian pemuda itu.
Tiba-tiba terdengar suara lembut seorang perempuan menyapa di belakangnya,
“Hei, apa yang sedang dilakukan Kakak ini?”
Di Xiu terkejut dan langsung
menoleh. Samar-samar ia dapat melihat seorang perempuan yang tahu-tahu sudah
berdiri di belakangnya. Ia pun balas bertanya, “Kau sendiri ada urusan apa?”
Tian Boguang luar biasa
gembira karena mengenali suara perempuan itu yang tidak lain adalah suara
Yilin. “Biksuni cilik... ternyata kau datang sendiri. Sungguh suatu kebetulan.
Bangsat ini... bangsat ini hendak membunuh Kakak Linghu-mu.” Tadinya ia hendak
berkata, “Bajingan ini hendak membunuhku.” Namun, karena berpikir Yilin tidak
peduli kepadanya, maka ia pun segera menggantinya menjadi “Kakak Linghu-mu”.
Maka begitu mendengar
keterangan tersebut, Yilin langsung merasa khawatir. Tanpa membuang-buang waktu
ia pun maju ke depan sambil bertanya, “Apa benar... apa benar ini Kakak
Linghu?”
Menyadari Yilin begitu polos
tanpa berusaha melindungi diri, Di Xiu pun mengulurkan tangan berusaha menotok
titik nadi biksuni itu. Namun belum sempat ujung jarinya menyentuh kain baju
Yilin, tiba-tiba saja ia merasa seseorang telah mencengkeram kain bajunya di
bagian tengkuk. Menyusul kemudian tubuh laki-laki itu terangkat setinggi beberapa
kaki dari permukaan tanah.
Dalam keadaan bingung, Di Xiu
meronta-ronta namun orang yang mengangkat tubuhnya itu ternyata memiliki tenaga
yang sangat kuat. Ia mencoba menyerang ke belakang menggunakan siku kanan namun
hanya mengenai tempat kosong. Menyusul kemudian kaki kirinya menendang ke
belakang namun sia-sia. Tangannya berusaha meraba ke belakang namun orang itu
balas mencekik lehernya dengan menggunakan tangan yang berukuran sangat besar.
Seketika, Di Xiu merasa sesak nafas dan kehilangan daya perlawanan.
Sementara itu Linghu Chong
perlahan-lahan siuman dari pingsan. Samar-samar ia mendengar suara seorang
gadis memanggil dengan nada khawatir, “Kakak Linghu, Kakak Linghu!”
Begitu membuka mata ia melihat
wajah Yilin yang putih dan cantik diterangi cahaya bintang, tepat berada di
hadapannya.
Tiba-tiba terdengar pula suara
seorang pria yang sangat keras bertanya, “Hei, Lin’er, apa bocah kurus kering
penyakitan ini yang bernama Linghu Chong, yang sering kau ceritakan itu?”
Linghu Chong menoleh ke arah
suara dan melihat seorang biksu bertubuh tinggi dan gemuk yang berdiri tegak
bagaikan menara raksasa. Ukuran tinggi biksu itu kurang lebih tujuh kaki,
dengan tangan kiri terpentang lurus ke samping sedang mencekik dan mengangkat
leher Di Xiu. Sulit memastikan apakah murid Perguruan Songshan itu masih
bernafas atau tidak.
Yilin menyahut, “Ayah, dia ini
memang yang bernama Kakak Linghu. Tapi, dia bukan penyakitan.” Sambil bicara
demikian ia sama sekali tidak memalingkan pandangan sedetik pun dari wajah
Linghu Chong, dengan tatapan penuh perhatian. Ingin sekali ia mengusap wajah
pemuda itu namun tidak berani sama sekali.
Linghu Chong sendiri sangat
heran mendengar Yilin memanggil biksu itu sebagai ayah. Dalam hati ia
bertanya-tanya, “Kau ini seorang biksuni, bagaimana mungkin memanggil biksu
besar itu sebagai ayah? Seorang biksu memiliki anak itu sudah aneh, apalagi
anaknya juga menjadi biksuni. Sungguh bertambah aneh.”
Biksu bertubuh besar itu
tertawa, “Hahahaha. Linghu Chong yang kau rindukan siang dan malam aku kira
seorang pemuda gagah dan tampan, tak tahunya hanya seorang laki-laki kurus dan
tidak becus melawan bajingan yang menyiksa dirinya. Huh, menggeletak seperti
orang penyakitan! Tidak sudi aku punya menantu seperti dia. Lebih baik kita pulang
saja, lupakan bocah ini!”
Yilin menjadi malu dan gugup.
Ia berkata, “Siapa juga yang rindu padanya siang dan malam? Ayah memang suka
omong kosong. Kalau mau pergi, silakan pergi sendiri! Kalau kau tidak mau...
tidak mau....” ucapannya terhenti sampai di sini karena malu untuk menyebut
“menantu laki-laki seperti dia.”
Linghu Chong sendiri
tersinggung mendengar ucapan sang biksu tadi. Ia pun menyahut, “Kalau mau pergi
silakan pergi saja. Memangnya siapa yang menahanmu di sini?”
Namun di sisi lain, Tian
Boguang kelabakan dan berteriak, “Kau tidak boleh pergi! Kau tidak boleh
pergi!”
Linghu Chong bertanya,
“Mengapa dia tidak boleh pergi?”
“Biksu ini harus membuka
totokan pada titik kematianku, juga harus menyerahkan obat penawar pada racun
ganas yang ada di tubuhku. Kalau dia pergi, maka nyawaku akan melayang
sia-sia,” jawab Tian Boguang.
Linghu Chong menukas, “Kenapa
kau harus takut? Apa kau sudah lupa kalau kita akan mati bersama? Begitu racun
dalam tubuhmu bekerja, maka aku akan langsung menggorok leherku ini.”
Mendengar itu biksu besar pun
tertawa dengan suara menggelegar dan bergema di segenap pegunungan, “Hahahaha.
Bagus sekali! Bagus sekali! Ternyata bocah ini berjiwa kesatria. Lin’er, aku
cocok dengan sifatnya. Hanya saja, aku masih ingin tahu apakah dia suka minum
arak atau tidak?”
Belum sempat Yilin menjawab,
Linghu Chong sudah menukas, “Sudah tentu aku suka minum arak. Aku ini rakus
arak, pagi minum, siang minum, malam minum, dalam tidur pun aku mimpi minum
arak. Andai saja kau melihatku minum, pasti kau akan gemetar ketakutan, karena
sebagai biksu pasti kau terikat banyak pantangan, tidak boleh minum arak, tidak
boleh makan daging, tidak boleh membunuh orang, tidak boleh bohong, tidak boleh
ini, tidak boleh itu, tidak boleh anu.”
Biksu besar itu berkata.
“Lin’er, coba kau katakan padanya, siapa namaku!” Usai berkata demikian ia
kembali tertawa menggelegar bagaikan halilintar.
Yilin tersenyum dan menjawab,
“Kakak Linghu, ayahku ini bergelar Biksu Bujie. Artinya ialah ‘tidak
berpantang’. Meskipun seorang biksu, namun Ayah tidak mau terikat semua
pantangan dalam agama Buddha. Hendaknya kau jangan tertawa. Ayah tidak pantang
makan daging, suka minum arak, bahkan membunuh dan mencuri juga bisa
dilakukannya. Termasuk pula... termasuk pula mempunyai seorang anak seperti aku
ini.” Biksuni muda itu tertawa geli dengan wajah merona merah.
Linghu Chong juga tertawa
terbahak-bahak, “Hahahaha. Biksu seperti ini yang aku suka. Menyenangkan!”
Sambil berkata demikian ia mencoba berdiri dengan susah payah. Namun sedikit
pun tidak ada tenaga.
Dengan cepat Yilin membantu
memapah pemuda itu. Meskipun tubuhnya kecil, namun ia pernah belajar silat
sehingga mengangkat tubuh Linghu Chong bukan urusan sulit.
Linghu Chong melanjutkan,
“Paman Biksu, kalau seperti itu kegemaranmu, mengapa kau memakai jubah? Mengapa
tidak menjadi orang awam saja?”
Biksu Bujie menjawab, “Aha,
ada suatu hal yang perlu kau tahu. Karena aku punya sifat terbuka, maka akan
kuceritakan kepadamu. Aku menjadi biksu adalah karena tertarik pada seorang
biksuni cantik, sama seperti dirimu….”
“Ayah, kau bicara omong kosong
lagi,” tukas Yilin menyela. Wajahnya berubah menjadi merah karena malu.
Untungnya malam itu cukup gelap sehingga tidak seorang pun yang bisa melihatnya
dengan jelas.
Biksu Bujie melanjutkan,
“Laki-laki sejati selalu bertindak jujur dan terbuka. Berani berbuat, berani
bertanggung jawab. Biarpun dimaki dan ditertawakan orang lain, peduli apa? Aku,
Biksu Bujie, adalah laki-laki sejati yang selalu berkata benar. Apa pula yang harus
kutakuti?”
“Betul sekali!” seru Linghu
Chong dan Tian Boguang bersamaan.
Biksu Bujie gembira mendengar
pujian mereka. Ia pun semakin bersemangat melanjutkan cerita. “Hehe, biksuni
cantik yang kucintai itu, tentu saja ibunya.” Sambil berkata demikian ia
menunjuk ke arah Yilin.
“Hm, ternyata orang tua Adik
Yilin adalah pasangan biksu dan biksuni,” demikian pikir Linghu Chong.
“Sebelumnya aku ini seorang
tukang jagal,” lanjut Bujie. “Aku mencintai ibunya, tapi ibunya tidak
menghiraukan aku. Aku merasa tidak punya pilihan lagi sehingga memutuskan untuk
menjadi biksu. Aku mengira dengan cara menjadi biksu maka aku dapat
mendekatinya, karena menurutku kaum biksu dan biksuni bagaikan satu keluarga.
Seorang biksuni tidak dapat mencintai tukang jagal, namun mungkin saja bisa
mencintai biksu.”
“Huh, Ayah melantur lagi,”
Yilin menukas. “Ayah ini sudah tua tapi masih juga bercerita seperti anak
kecil.”
“Memangnya aku salah bicara?”
sahut Bujie. Ia kemudian melanjutkan cerita, “Aku baru tahu kalau seorang biksu
ternyata tidak boleh bergaul dengan wanita, termasuk dengan para biksuni. Usaha
untuk mendekati ibunya jadi berantakan. Aku semakin sulit mendekati ibunya. Aku
pun menyesal dan tidak mau menjadi biksu lagi. Namun guruku justru mengatakan
bahwa sifatku yang buruk ini hanya bisa diredam jika aku tetap menjadi biksu.
Beliau pun menolak keinginanku untuk kembali menjadi orang awam. Entah
bagaimana sebabnya, ibunya justru bersimpati padaku. Dia jatuh hati pada
kesungguhanku. Maka... maka kemudian lahirlah biksuni cilik ini. Nah, Linghu
Chong, sekarang ini sudah jauh lebih bebas daripada zaman dahulu. Kalau kau
menyukai seorang biksuni cilik seperti anakku ini, maka kau tidak perlu menjadi
biksu seperti aku.”
Linghu Chong merasa serba
salah. Ia pun berpikir, “Saat Adik Yilin jatuh ke tangan Tian Boguang, aku
berjuang sekuat tenaga untuk membebaskannya. Ia seorang biksuni penganut agama
Buddha dari Perguruan Henshan. Mana mungkin ia jatuh hati pada laki-laki awam
seperti aku ini? Mungkin karena saat itu pertama kalinya ia bertemu laki-laki
dewasa sehingga akhirnya nekad mengirim Tian Boguang dan Enam Dewa Lembah
Persik untuk membawa diriku pergi kepadanya. Demi nama baik Perguaruan Huashan
dan Henshan, maka aku harus menjauhi dia. Aku tidak mau jika aku mati nanti Guru
dan Ibu Guru kecewa kepadaku, serta Adik Kecil memandang rendah kepadaku.”
Di sisi lain Yilin merasa
sangat malu. Ia berkata, “Ayah jangan begitu. Kakak Linghu sudah punya pilihan
sendiri. Mana mungkin dia sudi melirik perempuan lain? Mulai sekarang... Ayah
jangan mengulangi lagi perkataan seperti tadi. Apa kau tidak malu jika nanti
ditertawakan orang?”
“Apa? Bocah ini sudah punya
pilihan lain? Kurang ajar!” bentak Bujie dengan nada marah. Biksu besar itu
lantas mencengkeram dada Linghu Chong dengan tangan kanannya yang kekar. Linghu
Chong sendiri tidak mampu melawan ataupun menghindar, sehingga kain bajunya di
bagian dada dicengkeram oleh Bujie dan tubuhnya pun terangkat ke atas.
Dengan demikian biksu bertubuh
besar itu sudah mengangkat dua orang sekaligus di kedua tangannya. Leher Di Xiu
masih tetap dicengkeram menggunakan tangan kiri, sedangkan Linghu Chong
diangkat menggunakan tangan kanan. Jika dilihat dari kejauhan, Biksu Bujie
bagaikan sedang membawa dua keranjang dan pikulan. Sejak tadi Linghu Chong
tidak memiliki daya untuk melawan, dan kini dalam keadaan melayang di udara, ia
bagaikan beras terbungkus karung.
“Ayah, lepaskan Kakak Linghu!”
seru Yilin. “Kalau tidak, aku akan marah sekarang!”
Sungguh aneh, begitu mendengar
ancaman putrinya itu, Bujie terlihat ketakutan dan langsung menaruh Linghu
Chong ke tanah. Namun demikian, mulutnya masih saja menggerutu, “Biksuni cantik
mana lagi yang dia sukai? Sungguh kurang ajar!”
Bujie berkata demikian karena
ia sendiri mencintai seorang biksuni. Jadi, wajar saja kalau ia menganggap
wanita tercantik di dunia tentu berasal dari golongan biksuni.
Yilin menjawab pertanyaan
ayahnya itu, “Gadis pilihan Kakak Linghu adalah adik seperguruannya sendiri,
bernama Nona Yue Lingshan.”
Mendengar itu Bujie menggeram
keras-keras sehingga telinga semua orang yang mendengarnya sampai terasa
mendengung. “Nona bermarga Yue, katamu? Keparat! Jika dia bukan seorang
biksuni, lantas apa yang menarik darinya sehingga bocah ini sampai terpikat?
Lain kali jika bertemu dengannya tentu akan kucekik sampai mampus perempuan
itu.”
Melihat sikap Bujie seperti
itu Linghu Chong merasa gelisah. Ia berpikir, “Biksu Bujie ini ternyata seorang
kasar dan bodoh seperti Enam Dewa Lembah Persik. Dia juga seorang yang sangat
memegang ucapan. Sungguh berbahaya kalau dia sampai bertemu Adik Kecil.”
Sementara itu Yilin juga ikut
resah. Ia pun berseru mengalihkan pembicaraan, “Ayah, Kakak Linghu ini sedang
terluka parah. Lekas kau sembuhkan dia. Yang lain urusan nanti. Kita tidak
punya banyak waktu.”
Biksu Bujie terlihat sangat
penurut terhadap putrinya itu. “Betul sekali! Kita harus segera
menyembuhkannya,” katanya sambil kemudian melemparkan tubuh Di Xiu ke belakang.
Terdengar suara tubuh murid Songshan itu menggelinding masuk ke dalam
semak-semak.
Bujie kemudian bertanya dengan
suara keras kepada Linghu Chong, “Bagaimana kau bisa terluka?”
“Dadaku terkena pukulan orang,
tapi rasanya tidak apa-apa....” jawab Linghu Chong.
Bujie yang kasar dan tidak
sabaran segera menukas, “Dadamu terluka? Pasti urat nadi bagian dada yang
rusak. Jalur Ren.”
“Enam Dewa....” lanjut Linghu
Chong.
“Mana ada titik nadi pada
Jalur Ren yang bernama Enam Dewa?” Bujie kembali menukas. “Ilmu tenaga dalam
Perguruan Huashan sangat buruk, pantas kalau kau begitu payah. Ada satu titik
dalam berbagai titik nadi pada tubuh manusia yang disebut titik Lembah Terpadu,
yang terletak pada saluran tangan ke ginjal, tepatnya di antara jempol dan jari
telunjuk. Tapi untuk baiknya, biar kuobati terlebih dulu lukamu pada Jalur Ren.
“Bukan, bukan… maksudku Enam
Lembah….” seru Linghu Chong.
“Apa maksudmu Enam Lembah?”
tukas Biksu Bujie. “Di antara berbagai jenis titik nadi terdapat Tangan Tiga
Li, Kaki Empat Li, Yin-Ling-Quan, dan Si-Kong-Zhu. Tapi di mana letak titik
Enam Lembah? Sekarang lebih baik kau diam saja dan hentikan omong kosongmu
itu.” Bicara sampai di sini tangan Bujie lalu bekerja menotok titik bisu pada
tubuh Linghu Chong.
“Aku akan mengirimkan tenaga
dalam tingkat tinggu pada Jalur Ren di tubuhmu, melalui titik Cheng-Jiang,
Tian-Tu, Tan-Zhong, Jiu-Wei, Ju-Yue, Zhong-Wan, Qi-Hai, Shi-Men, Guan-Yuan, dan
Zhong-Ji. Lukamu akan segera sembuh. Aku berani bertaruh dalam tujuh atau
delapan hari kau akan kembali sehat dan segar bagai mentimun,” kata Bujie
sambil mengulurkan kedua telapak tangannya yang lebar seperti kipas. Tangan
yang kiri diletakkan di titik Cheng-Jiang pada dagu Linghu Chong, dan tangan
kanan diletakkan di titik Zhong-Ji pada bagian bawah perut Linghu Chong.
Seketika hawa hangat menyusup
masuk ke dalam tubuh Linghu Chong melalui kedua titik tersebut. Biksu Bujie
terkejut begitu merasakan hawa murni yang ia salurkan berbenturan dengan enam
arus tenaga milik Enam Dewa Lembah Persik. Hampir saja kedua tangan Bujie
terlepas dari tubuh Linghu Chong, sehingga membuat biksu bertubuh besar itu
berteriak kaget.
“Ada apa, Ayah?” tanya Yilin
dengan perasaan cemas.
Bujie menjawab, “Di dalam
tubuhnya ada beberapa arus tenaga yang aneh... Satu, dua, tiga, empat... Ada
empat arus hawa murni. Eh, tidak, ada satu lagi. Jumlahnya ada lima.... Aha,
ada satu lagi. Sialan, jadi seluruhnya ada enam arus. Baiklah, kita lihat siapa
yang lebih kuat? Apakah enam arus tenaga dalam tubuh bocah ini, ataukah kedua
arus tenaga milikku? Jangan-jangan ada lagi. Hahaha, ramai sekali! Sungguh menarik!
Ayo, keluarlah kalian semua! Hm, ternyata cuma enam saja. Kau pikir Biksu Bujie
takut pada kalian, hah?”
Kedua tangan Bujie menahan
kedua titik nadi di dada dan punggung Linghu Chong erat-erat dan dari ubun-ubun
biksu besar itu mengepul asap putih. Awalnya ia masih bisa bicara seenaknya.
Namun, karena ia semakin banyak menghimpun dan menyalurkan tenaga, lama-lama
mulutnya tidak lagi mampu membuka suara.
Waktu pun berlalu. Hari sudah
mulai terang. Asap yang mengepul di kepala Bujie bertambah tebal. Akhirnya
biksu besar itu mengangkat kedua tangannya sambil tertawa terbahak-bahak. Tapi
mendadak ia jatuh terguling di atas tanah dan tawanya pun terhenti.
Yilin terkejut dan berseru,
“Ayah... Ayah!” Biksuni muda itu mencoba memapah ayahnya bangun. Namun tubuh
Bujie berat bagaikan kerbau. Baru saja terangkat bangun tahu-tahu sudah jatuh
terduduk sehingga Yilin ikut tertarik jatuh.
Biksu Bujie tampak
terengah-engah dengan pakaian basah kuyup oleh keringat. Mulutnya terus-menerus
memaki, “Keparat! Sungguh keparat!”
Mendengar itu Yilin sedikit
agak lega. Ia pun bertanya, “Ayah, Ayah tidak apa-apa?”
“Keparat!” seru Bujie dengan
napas terengah-engah. “Di dalam tubuh... bocah ini... ada enam hawa murni yang
sangat kuat. Tapi, tenaga dalam yang kukerahkan tadi sudah bisa menahannya ke
bawah... Hehe, kau bisa tenang. Bocah ini takkan mati. Dia takkan mati, pasti
takkan mati!”
Yilin sangat senang. Ketika
menoleh dilihatnya Linghu Chong sudah bisa berdiri perlahan-lahan.
Melihat itu Tian Boguang
tertawa, “Hahahaha. Tenaga dalam Biksu memang sangat hebat. Hanya sebentar saja
sudah bisa menyembuhkan luka Saudara Linghu.”
Bujie merasa senang mendengar
pujian itu. Ia pun menyahut, “Kejahatanmu ini sebenarnya sudah melampaui batas.
Seharusnya dalam sekali remas aku bisa mencabut nyawamu. Tapi, mengingat kau
sudah berjasa menemukan si bocah Linghu Chong, maka jiwamu kuampuni. Lekas,
pergilah dari sini!”
Tian Boguang terlihat gusar
dan memaki keras, “Biksu keparat! Ucapanmu benar-benar tidak bisa dipercaya.
Kau sudah berjanji jika aku bisa menemukan Linghu Chong dalam satu bulan, maka
kau akan membuka totokan pada titik mautku, serta memberikan obat penawar racun
ganasmu kepadaku. Kenapa sekarang hendak kau ingkari? Kalau kau tidak menepati
ucapanmu, maka kau ini memang seorang biksu busuk yang rendah melebihi
binatang!”
Menghadapi cacian itu Bujie
justru tertawa, “Hahahaha. Bocah ini rupanya takut mati. Kau takut Biksu Bujie
ini tidak menepati janji, hah? Ini, kau ambil obat ini!”
Usai berkata demikian Bujie
merogoh sakunya dan mengeluarkan sebotol obat yang diminta Tian Boguang. Karena
tenaganya banyak terkuras habis, ia pun gemetar sehingga botol porselen kecil
itu jatuh di atas pangkuannya. Dengan cepat Yilin memungut botol itu dan
membuka sumbatnya.
“Berikan tiga biji kepadanya,”
sahut Bujie. “Sekarang makan satu, tiga hari lagi makan satu, dan tiga hari
berikutnya makan lagi satu. Jika selanjutnya kau mati dibunuh orang sudah bukan
tenggung jawabku.”
Tian Boguang menerima tiga
butir obat tersebut dari tangan Yilin sambil berkata, “Biksu besar, kau sudah
memaksaku meminum racun, dan sekarang kau berikan obat penawar kepadaku. Sudah
bagus aku tidak memaki dirimu. Jadi, kau tidak perlu mengharap aku berterima
kasih kepadamu. Tapi, bagaimana dengan totokanmu pada titik mautku?”
“Totokan itu sudah terbuka
dengan sendirinya setelah tujuh hari. Jika aku benar-benar menotok titik
mautmu, memangnya kau masih bisa hidup sampai sekarang?” kata Bujie sambil
tertawa terbahak-bahak.
Tian Boguang memang sudah
merasakan kalau totokan pada tubuhnya sudah terbuka. Kini setelah mendengar
penjelasan Bujie membuat hatinya merasa lega. Ia pun memaki sambil tersenyum,
“Dasar kau biksu pembohong!” Ia kemudian menoleh ke arah Linghu Chong dan
berkata, “Saudara Linghu, aku paham tentu ada yang hendak kau bicarakan dengan
biksuni cilik ini. Baiklah, untuk itu aku pergi saja. Sampai jumpa!” Bicara
sampai di sini Tian Boguang pun merangkap tangan memberi hormat dan kemudian
bersiap melangkah menyusuri jalanan menuju ke bawah.
“Tunggu dulu, Saudara Tian!”
cegah Linghu Chong.
“Ada apa?” tanya Tian Boguang.
“Kau sudah beberapa kali sudi
mengalah padaku. Bagiku, kau benar-benar seorang sahabat sejati,” ujar Linghu
Chong. “Hanya saja, ada yang ingin kukatakan kepadamu. Kalau kau tidak mau
mendengar saranku, maka lebih baik persahabatan kita putus sampai di sini.”
“Sudahlah, kau tidak perlu
menjelaskan. Aku sudah paham maksudmu,” kata Tian Boguang sambil tertawa. “Kau
ingin aku berhenti memerkosa lagi, bukan? Baiklah, aku menuruti permintaanmu.
Aku akan berhenti memerkosa wanita baik-baik. Di dunia ini masih banyak pelacur
yang bisa memuaskan nafsu birahiku. Hahahaha. Saudara Linghu, tentunya kau
masih ingat pengalaman indah sewaktu di Wisma Kumala tempo hari, bukan?”
Mendengar nama rumah pelacuran
itu disebut, wajah Linghu Chong dan Yilin langsung bersemu merah. Tian Boguang
sendiri tertawa terbahak-bahak. Ia hendak melangkah pergi tapi tiba-tiba
kakinya kembali lemas. Ia kemudian jatuh terguling-guling di tanah. Setelah
berhenti ia pun menghimpun tenaga untuk duduk di tanah. Segera diambilnya
sebutir obat penawar dan langsung ditelannya. Seketika perutnya terasa sakit
pertanda obat itu sedang bekerja. Laki-laki itu kemudian duduk dengan badan
lemas tanpa tenaga. Namun demikian, hatinya merasa gembira karena menyadari
bahwa obat itu sedang bekerja membersihkan racun di dalam tubuhnya. Sedikit pun
ia tidak mengeluh, melainkan menunggu dengan sabar.
Linghu Chong sendiri merasa
sakitnya berkurang setelah mendapat bantuan Biksu Bujie tadi. Segala perasaan
mual akibat hawa murni Enam Dewa Lembah Persik telah lenyap semua. Ia merasa
tenaganya terkumpul untuk bangkit dan berjalan. Dengan sangat gembira Linghu
Chong pun melangkah maju dan memberi hormat sambil membungkuk, “Terima kasih
banyak atas pertolongan Mahabiksu tadi, yang telah menyelamatkan nyawa saya.”
“Tidak perlu berterima kasih,”
jawab Bujie sambil bergelak tawa. “Sekarang kita sudah menjadi keluarga. Kau
adalah menantuku, dan aku adalah mertuamu.”
Yilin merasa malu
mendengarnya. “Ayah, jangan sembarangan bicara lagi,” sahutnya.
“Hei, bicara sembarangan
bagaimana? Bukankah siang dan malam kau senantiasa merindukan bocah ini?” tanya
Bujie heran. “Memangnya kau tidak ingin menikah dengannya? Apa kau tidak ingin
melahirkan seorang biksuni cantik, hah?”
“Ayah!” seru Yilin dengan
perasaan sangat malu. “Siapa yang... siapa yang....”
Pada saat itu tiba-tiba muncul
seorang pria dan seorang gadis muda. Mereka tidak lain adalah ayah dan anak
dari Perguruan Huashan, yaitu Yue Buqun dan Yue Lingshan.
Melihat itu Linghu Chong
gembira dan menyapa, “Guru, Adik Kecil, kalian telah kembali! Mana Ibu Guru?”
Yue Buqun memandang Linghu
Chong dengan seksama. Melihat keadaan murid pertamanya itu sudah jauh lebih
sehat daripada kemarin membuat hatinya merasa gembira. Namun demikian, sedikit
pun ia tidak bertanya, melainkan memberi salam kepada Bujie, “Mohon maaf,
mungkin aku belum pernah mendengar siapa gerangan nama biksu yang terhormat
ini. Entah bersemayam di kuil mana, serta ada keperluan apa sehingga berkunjung
ke tempat kami yang kotor ini?”
“Aku... aku bernama Biksu
Bujie. Aku datang ke tempatmu yang kotor ini untuk... untuk mencari menantu,”
sahut Bujie sambil menunjuk ke arah Linghu Chong. Bagaimanapun juga Bujie
adalah mantan tukang jagal yang kurang mengerti basa-basi di antara kaum
terpelajar. Mendengar ucapan Yue Buqun mengenai “tempat yang kotor” tadi,
dengan serta merta ia pun menirukan begitu saja tanpa memahami maksud di balik
kalimat tersebut.
Yue Buqun yang tidak
tahu-menahu soal Biksu Bujie mengira ucapan “mencari menantu” tersebut
ditujukan untuk menyindir dirinya. Dalam hati ia sangat tersinggung namun
sikapnya yang sabar membuat raut mukanya terlihat tetap tenang. Ia hanya
berkata, “Ah, biksu ini suka bercanda.”
Yilin juga maju memberi hormat
kepada Yue Buqun. Menanggapi itu Yue Buqun pun menjawab dengan tersenyum,
“Keponakan Yilin tidak perlu terlalu sungkan. Apakah kedatanganmu ke sini atas
perintah dari gurumu?”
Dengan muka bersemu merah
Yilin menjawab gugup, “Tidak. Saya ke sini... saya ke sini....”
Yue Buqun kemudian menoleh ke
arah Tian Boguang dan langsung menegur, “Hei, Tian Boguang, besar juga nyalimu,
ya?”
“Tidak juga,” jawab Tian
Boguang. “Aku merasa cocok dengan muridmu. Aku kemari demi membawakan dua guci
besar berisi arak bagus untuk kami minum bersama sepuas-puasnya.”
Wajah Yue Buqun tampak semakin
bengis. Ia bertanya, “Mana araknya?”
“Sudah lama kami habiskan di
atas Tebing Perenungan,” sahut Tian Boguang.
Yue Buqun menoleh ke arah
Linghu Chong dan bertanya, “Apa benar demikian?”
Linghu Chong menjawab,
“Masalah ini cukup panjang, Guru. Biarlah nanti saya ceritakan dengan jelas.”
“Sudah berapa lama Tian
Boguang berada di Gunung Huashan sini?” Yue Buqun kembali mendesak.
“Kira-kira lima belas hari.”
“Selama itu?”
“Benar, Guru.”
“Mengapa tidak kau laporkan
kepadaku?”
“Waktu itu Guru dan Ibu Guru
tidak berada di sini.”
“Lantas di mana?”
“Guru dan Ibu Guru sedang
berada di Chang’an untuk mencari Tuan Tian.”
Yue Buqun mendengus dan
berkata, “Huh, Tuan Tian? Tuan Tian? Bukankah kau tahu kalau kejahatannya sudah
setinggi gunung? Mengapa kau tidak membunuhnya? Jikapun kau tidak mampu
mengalahkannya, kau seharusnya mati di tangannya, bukan malah bergaul dengan
bajingan ini?”
Tian Boguang ikut bicara
sambil tetap duduk di atas tanah, “Aku yang tidak mau membunuhnya. Lantas dia
harus berbuat apa? Memangnya jika tidak bisa membunuhku lantas dia harus bunuh
diri di hadapanku, begitu?”
“Di depanku kau tidak punya
hak bicara!” bentak Yue Buqun. Ia kembali menoleh ke arah Linghu Chong dan
berkata, “Sekarang bunuh dia!”
Mendengar itu Yue Lingshan
menyahut, “Ayah, Kakak Pertama sedang terluka parah. Mana mungkin dia sanggup
bertempur melawan Tian Boguang?”
“Apa yang kau takutkan? Aku
ada di sini. Mana mungkin jahanam ini kubiarkan mencelakai kakak pertamamu?”
ujar Yue Buqun.
Ketua Huashan itu sangat kenal
watak Linghu Chong yang cerdik dan banyak akal. Ia yakin sebenarnya Linghu
Chong membenci Tian Boguang dan karena tidak mampu mengalahkan penjahat itu
dengan adu kekuatan, maka langkah yang ditempuh adalah dengan adu kepandaian.
Apalagi saat itu Tian Boguang sedang terluka dan tidak bisa bangun, membuat Yue
Buqun semakin yakin kalau itu semua akibat perbuatan muridnya tersebut. Maka
begitu mengira Linghu Chong hanya pura-pura menjalin persahabatan dengan Tian
Boguang untuk mencari celah membunuh penjahat itu, Yue Buqun pun hanya
pura-pura marah terhadap Linghu Chong. Jika Tian Boguang hari ini sampai mati,
maka itu tidak hanya bermanfaat bagi keamanan dan ketertiban dunia persilatan,
tapi juga bisa meningkatkan nama baik muridnya. Dalam keadaan seperti itu,
meskipun Tian Boguang mampu bertahan dari serangan Linghu Chong, tentu tidak
mampu menghadapi serangannya.
Namun, tidak disangka-sangka
Linghu Chong justru menjawab, “Guru, Saudara Tian ini sudah berjanji kepadaku
bahwa dia tidak akan memerkosa wanita baik-baik lagi. Saya yakin dia pasti akan
memegang janjinya....”
Yue Buqun membentak, “Dari
mana kau tahu kalau dia pasti memegang janji? Terhadap penjahat ini apa kau
masih juga bicara soal kepercayaan segala? Apa kau lupa sudah berapa banyak
nyawa orang yang tidak berdosa sudah melayang di tangannya? Kalau binatang
seperti ini kau biarkan hidup, apa gunanya kau belajar silat? Shan’er, lekas
kau berikan pedangmu kepada Kakak Pertama!”
“Baik!,” jawab Yue Lingshan
yang kemudian mencabut dan menyerahkan pedangnya kepada Linghu Chong.
Linghu Chong benar-benar
merasa serbasalah. Ia sama sekali tidak berani membantah perintah gurunya,
namun ia juga telah menjalin persahabatan dengan Tian Boguang. Di lain pihak,
Tian Boguang sendiri sudah berjanji akan berhenti melakukan kejahatan lagi.
Meskipun Tian Boguang sudah banyak melakukan kejahatan, namun ia seorang
laki-laki yang selalu memegang kata-kata dan menepati janji. Jika sekarang harus
membunuhnya tentu hal ini merupakan perbuatan kotor dan rendah.
Linghu Chong menerima pedang
Yue Lingshan dan kemudian melangkah sempoyongan ke arah Tian Boguang. Namun
begitu mendekati sasaran tiba-tiba ia pura-pura kehabisan tenaga sehingga jatuh
terguling-guling di tanah dan pedangnya tanpa ampun menusuk betis sendiri.
Kejadian yang tak terduga itu
membuat Yilin dan Yue Lingshan menjerit ngeri. Bersama-sama mereka mendekati
Linghu Chong. Namun langkah Yilin langsung terhenti begitu ia teringat bahwa sebagai
seorang biksuni tidak pantas baginya memperlihatkan rasa suka kepada lawan
jenis di depan orang lain.
Maka hanya Yue Lingshan saja
yang terus menghampiri Linghu Chong. “Kakak Pertama, kau kenapa?”
Linghu Chong diam tidak
menjawab. Kedua matanya tertutup rapat.
Dengan hati-hati Yue Lingshan
mencabut pedang yang menancap pada betis kakak pertamanya itu. Seketika darah
pun mengucur keluar. Segera ia mengeluarkan obat dan membubuhkannya ke bagian
luka tersebut.
Sewaktu berpaling, Yue
Lingshan sempat melihat wajah Yilin terlihat cemas dalam memandangi Linghu
Chong. Jantung Yue Lingshan pun berdebar dan ia berpikir, “Ah, biksuni cilik
ini ternyata menaruh perhatian besar kepada Kakak Pertama.”
Yue Lingshan lalu bangkit dan
menghunus pedang sambil berkata, “Ayah, biar aku yang membunuh penjahat ini.”
“Kalau kau yang membunuh
bajingan itu, sama artinya kau mencemarkan nama baikmu sendiri,” seru Yue
Buqun. “Mana, berikan pedangmu padaku!”
Ucapan Yue Buqun tersebut
sangat beralasan. Tian Boguang adalah penjahat besar dan pemerkosa yang
terkenal di dunia persilatan. Jika sampai terdengar kabar bahwa Nona Yue dari
Huashan membunuh Tian Boguang, tentu akan muncul berbagai berita kurang sedap
yang tentunya akan menjatuhkan nama baik Yue Lingshan sendiri.
Mendengar perintah sang ayah,
Yue Lingshan pun menyerahkan pedangnya. Namun, Yue Buqun tidak meraihnya,
melainkan mengibaskan lengan baju untuk menangkap pedang tersebut.
“Jangan!” seru Biksu Bujie
sambil melepas sepasang sepatunya dan memegang erat di kedua tangan untuk
berjaga-jaga.
Pada detik berikutnya, Yue
Buqun mengibaskan lengan bajunya, dan pedang pun meluncur deras bagaikan anak
panah ke arah Tian Boguang yang hanya berjarak seratus kaki di hadapannya. Hal
ini sudah diperkirakan oleh Bujie. Segera biksu besar itu melemparkan kedua
sepatunya sekuat tenaga. Meskipun kedua sepatu tersebut lebih ringan sedangkan
pedang lebih berat, juga pedang meluncur lebih dulu, entah bagaimana kedua
sepatu bisa menyusul dan mengait kedua sisi gagang pedang. Akibatnya, pedang
pun bisa berbelok sehingga meleset sekitar dua puluh kaki dari sasaran. Pedang
tersebut akhirnya menancap di tanah dengan kedua sepatu masih menempel di kedua
sisi gagangnya.
“Wah, seharusnya tidak
begini!” seru Bujie. “Lin’er, ayahmu ini terlalu banyak membuang tenaga untuk
menyembuhkan si menantu tadi. Andai saja tenagaku masih penuh, seharusnya
pedang itu bisa berputar sejenak tepat di depan guru si menantu, baru kemudian
jatuh ke tanah. Dengan begitu baru bisa membuatnya terkejut. Wah, ini gagal,
sungguh gagal! Aku sungguh malu!”
Melihat wajah Yue Buqun yang
tampak kecewa, segera Yilin berbisik kepada ayahnya, “Ayah, jangan bicara
lagi!” Ia kemudian melangkah maju dan memungut kedua sepatu Bujie, kemudian
mencabut pedang dari tanah sambil berpikir, “Kakak Linghu tidak ingin membunuh
Tian Boguang. Kalau aku mengembalikan pedang ini kepada Nona Yue, dan Nona Yue
tetap membunuh Tian Boguang, apakah Kakak Linghu tidak akan kecewa kepadaku?”
Saat Yue Buqun mengibaskan
lengan baju untuk melemparkan pedang, ia sangat yakin kalau lemparannya ini
mampu menusuk jantung Tian Boguang secara jitu. Siapa sangka Biksu Bujie campur
tangan dan mampu membelokkan serangannya hanya dengan melemparkan sepasang
sepatu? Biksu itu juga menyebut dirinya sebagai ayah dari Yilin dan menyebut
Linghu Chong sebagai menantu. Tentu saja ini sangat tidak masuk akal bagi Yue
Buqun. Meskipun ucapannya seperti biksu gila, namun kekuatannya sungguh luar
biasa. Ia juga berkata baru saja mengobati Linghu Chong dengan mengerahkan tenaga
dalam. Jika benar demikian, bukankah ini lebih mengagumkan lagi?
Yue Buqun yakin kalau ia
mengerahkan tenaga dalam Kabut Lembayung Senja, maka Biksu Bujie tidak akan
mampu menandinginya. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat papan atas, pantang
baginya melakukan serangan kedua terhadap musuh yang tingkatan ilmunya lebih
rendah apabila serangan pertama gagal. Maka, ketua Perguruan Huashan itu pun
memberi hormat sambil berkata dengan suara datar, “Aku sungguh kagum dengan
kekuatan lemparan Mahabiksu. Jika hari ini Mahabiksu sudah bertekad melindungi
jahanam cabul itu, maka aku memutuskan untuk tidak turun tangan lagi.”
Mendengar ucapan itu, Yilin
merasa lega dan ia pun berjalan ke arah Yue Lingshan kemudian mengulurkan
pedang sambil berkata, “Kakak, ini pedangmu….”
Yue Lingshan mendengus saat
menerima pedang itu. Tanpa melihat sedikit pun, ia memutar dan menyarungkan
pedangnya dengan gerakan indah dan rapi.
“Gerakan yang luar biasa,
Nona!” puji Biksu Bujie sambil tertawa keras. Ia kemudian menoleh ke arah
Linghu Chong, “Menantuku, lebih baik kita berangkat sekarang saja. Adik
perguruanmu itu sangat cantik. Kalau kau terus-menerus bersamanya, aku sangat
khawatir.”
Linghu Chong menjawab,
“Mahabiksu agaknya memang suka bercanda. Mohon kata-kata yang bisa mencemarkan
nama baik Perguruan Henshan dan Huashan jangan diulangi lagi.”
“Apa maksudmu?” tanya Bujie
heran. “Susah payah aku menemukanmu, bahkan menyelamatkan nyawamu, tapi
sekarang kau menolak menikahi putriku, hah?”
Dengan muka merah padam Linghu
Chong menjawab, “Seumur hidup, Linghu Chong tidak akan berani melupakan budi
baik Mahabiksu. Tapi Perguruan Henshan memiliki peraturan yang sangat ketat.
Bila Mahabiksu bercanda seperti itu lagi, tentu akan membuat rikuh Biksuni
Dingxian dan Biksuni Dingyi.”
Bujie menoleh kepada Yilin.
“Eh, Lin’er, apa-apaan calon menantuku ini? Aku sungguh... aku sungguh tidak
paham,” ucapnya sambil menggaruk-garuk kepala.
Yilin menutup wajah dengan
kedua tangan kemudian berkata sambil menangis, “Ayah jangan bicara lagi! Dia adalah
dia, aku adalah aku. Ada sangkut-paut apa antara aku dan... dan dia?” Usai
berkata demikian biksuni muda itu pun berlari menuruni jalan setapak ke arah
kaki gunung.
Bujie termangu-mangu dalam
kebingungan. Selang agak lama barulah ia berkata, “Aneh, sungguh aneh! Bila
tidak bertemu susah payah berusaha mencari. Tapi kalau sudah bertemu malah
ditinggal pergi. Ah, dia benar-benar mirip ibunya. Perasaan biksuni memang
sukar ditebak.” Biksu bertubuh besar itu kemudian bergegas pergi menyusul
putrinya.
Tian Boguang yang lolos dari
maut perlahan-lahan bangkit berdiri. Ia lalu berkata, “Selama gunung masih
menghijau dan sungai masih mengalir, semoga kita masih bisa berjumpa lagi,
Saudara Linghu!” Perlahan ia memutar tubuh dan berjalan turun gunung dengan langkah
sempoyongan.
Setelah Tian Boguang pergi
jauh, barulah Yue Buqun membuka suara, “Chong’er, kau sungguh baik pada jahanam
itu. Kau lebih suka melukai diri sendiri daripada membunuhnya.”
Linghu Chong tersipu malu.
Pandangan gurunya yang jeli tidak bisa dikelabui begitu saja dengan tindakan
sandiwara tadi. Maka, ia pun menjawab, “Guru, meskipun perbuatan orang bermarga
Tian itu tidak baik, tapi ia sudah berjanji untuk berubah. Dan lagi, sudah
beberapa kali saya dikalahkan olehnya, namun dia selalu memberi ampun tanpa
mengambil nyawa saya.”
“Hm, terhadap bangsat berhati
binatang itu kau masih juga bicara tentang budi baik segala. Cepat atau lambat,
kelak kau sendiri yang akan menyesal,” ujar Yue Buqun. Melihat muridnya yang
terluka parah namun masih bisa bertahan hidup sampai saat ini membuat hatinya
merasa gembira. Namun saat melihat Linghu Chong pura-pura menusuk betis sendiri
jelas terlihat baginya kalau itu semua hanya sandiwara. Karena sejak kecil Yue
Buqun sudah hafal sifat Linghu Chong yang suka berbohong membuatnya enggan
bertanya ini itu lebih jauh. Apalagi yang telah diucapkan Linghu Chong kepada
Biksu Bujie tadi sungguh tepat sesuai dengan harapannya, membuat ketua
Perguruan Huashan itu memilih untuk menunda urusan Tian Boguang lain waktu.
Setelah diam sejenak, Yue
Buqun lantas bertanya sambil mengulurkan tangan, “Lalu, di mana kitab itu?”
Linghu Chong langsung tanggap
kalau kedatangan gurunya bersama si adik kecil tidak lain adalah untuk urusan
kitab rahasia ilmu Awan Lembayung. Sepertinya perbuatan Yue Lingshan sudah
diketahui sang ayah, dan ini sesuai dengan harapan Linghu Chong.
Maka pemuda itu pun menjawab,
“Kitab itu ada pada Adik Keenam. Demi untuk menyelamatkan nyawa saya, Adik
Kecil telah mengambil kitab pusaka tersebut. Mohon Guru jangan menyalahkan Adik
Kecil. Saya sendiri tanpa seizin Guru tidak berani menyentuh kitab tersebut,
apalagi membaca dan mempelajarinya.”
Wajah Yue Buqun berubah
menjadi ramah. Ia pun berkata dengan tersenyum, “Begitulah seharusnya. Bukannya
aku tidak mau mengajarimu, tapi perguruan kita sedang menghadapi masalah gawat.
Aku tidak punya cukup waktu untuk memberimu petunjuk. Bila membiarkanmu
berlatih sendiri tentu akan sangat berbahaya.” Setelah diam sejenak, ia
melanjutkan, “Biksu bernama Bujie tadi bersifat polos tapi tenaga dalamnya
sangat bagus. Apakah dia telah memusnahkan enam arus hawa murni aneh dalam
tubuhmu? Bagaimana keadaanmu sekarang?”
Linghu Chong menjawab, “Rasa
mual dan sesak di dada sudah lenyap. Berbagai macam rasa sakit yang biasanya
panas seperti dibakar juga sudah lenyap. Hanya saja, sekujur badan saya terasa
lemas, sedikit pun tidak bertenaga.”
“Itu sudah wajar. Orang yang
baru sembuh dari luka parah sudah pasti masih lemas,” ujar Yue Buqun. “Budi
baik Biksu Bujie kelak harus kita balas.”
“Baik, Guru!” jawab Linghu
Chong.
Yue Buqun sendiri sebenarnya
khwatir Enam Dewa Lembah Persik kembali datang menyerang. Namun menyadari tidak
ada tanda-tanda kehadiran enam orang aneh itu membuat perasaannya sedikit lega.
Meskipun demikian, ia tidak berani mengambil risiko untuk tetap tinggal di
Gunung Huashan. Setelah berpikir demikian ia lantas berkata, “Mari kita jemput
Dayou untuk bersama-sama menuju ke Gunung Songshan. Apakah kau sanggup menempuh
perjalanan jauh, Chong’er?”
“Sanggup, Guru!” jawab Linghu
Chong gembira.
Maka berangkatlah Yue Buqun,
Linghu Chong, dan Yue Lingshan kembali ke pondok tempat Lu Dayou berada. Yue
Lingshan berjalan paling depan dan begitu sampai di depan pondok, tangannya
langsung mendorong pintu. Tiba-tiba gadis itu menjerit ngeri. Yue Buqun dan
Linghu Chong bergegas memeriksa ke dalam. Mereka melihat Lu Dayou tergeletak di
lantai tak bergerak sedikit pun.
“Jangan takut, Adik Kecil,”
kata Linghu Chong sambil terenyum. “Aku yang telah menotoknya.”
“Kau membuatku takut,” sahut
Yue Lingshan. “Mengapa kau totok Monyet Keenam?”
Linghu Chong menjawab, “Karena
aku tidak mau membaca kitab pusaka, ia pun bermaksud baik, yaitu membacakan
kitab itu kepadaku. Namun aku tidak mau mendengarkan dan terpaksa menotoknya
sehingga ia jatuh lemas. Tapi mengapa dia....”
“Hei!” tiba-tiba terdengar
suara Yue Buqun berseru. Diperiksanya nafas dan urat nadi Lu Dayou kemudian
berkata dengan perasaan heran bercampur terkejut, “Kenapa dia sudah... dia
sudah mati? Chong’er, urat nadi mana yang kau totok?”
Jantung Linghu Chong berdebar
kencang begitu mendengar Lu Dayou telah meninggal. Ia pun menghampiri dengan
badan gemetar dan langkah terhuyung-huyung.
“Saya... saya....” katanya
dengan suara gemetar. Dirabanya tubuh Lu Dayou ternyata sudah dingin dan kaku.
Jelas kalau sudah cukup lama ia mati. Tak kuasa menahan perasaan, Linghu Chong
pun menjerit dan menangis, “Adik... Adik Keenam, apa kau benar-benar
meninggal?”
“Lalu, di mana kitabnya?”
tanya Yue Buqun.
Linghu Chong memandang sedih
dengan air mata berlinang-linang. Kitab Awan Lembayung ternyata sudah tidak ada
lagi di dalam kamar itu. “Benar juga. Di mana kitab itu?” Demikian ia bertanya
kepada diri sendiri. Diperiksanya baju Lu Dayou namun tidak juga ia temukan.
“Tadi... tadi sewaktu saya menotok Adik Keenam, kitab pusaka itu jelas masih
terdapat di atas meja. Mengapa... mengapa sekarang bisa hilang?”
Yue Lingshan ikut mencari ke
segenap penjuru pondok, baik itu di ranjang, di dekat meja dan bangku, di balik
pintu, namun kitab Awan Lembayung benar-benar lenyap.
Dengan hilangnya kitab Awan
Lembayung yang merupakan kitab pusaka tertinggi dalam Perguruan Huashan tentu
saja membuat Yue Buqun gelisah. Ia memeriksa jasad Lu Dayou ternyata sama
sekali tidak ditemukan tanda-tanda luka. Selain itu ia juga memeriksa sekitar
pondok termasuk di atap juga tidak terdapat tanda-tanda kedatangan orang lain.
“Tidak ada tanda-tanda orang
lain datang. Sepertinya juga bukan Enam Dewa Lembah Persik ataupun Biksu Bujie
yang mengambilnya.” Demikian pikiran yang terlintas dalam benak Yue Buqun. Ia
kemudian bertanya dengan nada bengis, “Chong’er, sebenarnya titik nadi mana
yang telah kau totok?”
Linghu Chong pun berlutut di
hadapan sang guru, kemudian menjawab, “Dalam keadaan terluka tadi, saya
khawatir kurang kuat menotoknya. Maka, yang saya totok adalah titik
Tan-Zhong... tak tahunya malah membuat... membuat Adik Keenam celaka.”
Usai berkata demikian Linghu
Chong langsung mencabut pedang yang masih tergantung di pinggang Lu Dayou untuk
mencoba bunuh diri. Namun belum sampai mengenai leher, Yue Buqun langsung
menyentil sehingga pedang itu terlempar keluar menembus jendela.
“Boleh saja kalau kau ingin
bunuh diri,” kata Yue Buqun. “Tapi kau harus lebih dulu menemukan kitab rahasia
Awan Lembayung. Di mana kau sembunyikan kitab itu?”
Linghu Chong semakin sedih
karena dirinya dicurigai. Setelah diam sejenak ia lalu berkata, “Guru, kitab
pusaka itu pasti telah dicuri orang. Bagaimanapun juga saya berjanji akan
mencari dan menemukannya kembali tak kurang satu halaman pun.”
Yue Buqun yang sedang kalut
menjawab, “Jika isi kitab itu sampai dihafal atau disalin orang lain tentu
tidak ada nilainya lagi sebagai kitab pusaka perguruan kita, meskipun kau
berhasil menemukannya.” Setelah diam sejenak ia kembali bicara dengan nada lebih
ramah, “Chong’er, jika kau mengambil kitab itu lebih baik kembalikan saja. Aku
berjanji tidak akan memarahimu.”
Linghu Chong terperanjat
mendengar tuduhan gurunya. Ia memandangi mayat Lu Dayou dengan tatapan kosong,
kemudian berkata dengan suara lantang, “Guru, bila ada sepuluh orang yang
membacanya biar sepuluh orang itu kubunuh. Bila ada seratus orang juga
keseratusnya akan kubunuh. Dan bila Guru masih juga sangsi, silakan bunuh saja
saya dengan sekali hantam. Saya tidak akan melawan.”
Yue Buqun menggeleng dan
berkata, “Berdirilah. Bila kau sudah mengaku tidak, tentu bukan kau pelakunya.
Aku percaya kepadamu. Apalagi selama ini kau sangat akrab dengan Dayou, tentu
kau tidak sengaja membunuhnya pula. Tapi... tapi di mana kitab itu berada?
Siapa pencuri sebenarnya?” Usai berkata demikian Yue Buqun termangu-mangu
memandang keluar jendela.
“Ayah, ini semua salahku,”
kata Yue Lingshan. “Aku yang berbuat lancang mengambil kitab pusaka Ayah.
Ternyata Kakak Pertama tidak mau membacanya dan sekarang nyawa Kakak Keenam
melayang gara-gara masalah ini. Biarlah... biarlah aku yang pergi mencari kitab
itu!”
Yue Buqun berkata, “Coba kita
cari sekali lagi di sekitar sini.”
Bersama-sama mereka bertiga
mencari di sekitar pondok namun hasilnya tetap saja nihil. Bukan hanya kitab
yang tidak ditemukan, mereka juga tidak menemukan jejak musuh ataupun petunjuk
lainnya sama sekali. Akhirnya Yue Buqun berkata, “Kejadian ini jangan sampai
tersiar keluar, kecuali aku saja yang memberi tahu ibumu. Mari kita kubur jasad
Lu Dayou dan lekas tinggalkan tempat ini!”
Linghu Chong kembali
memandangi wajah jenazah Lu Dayou yang pucat dengan perasaan semakin pedih.
Dalam hati ia berpikir, “Adik Keenam adalah sahabatku yang paling baik. Siapa
sangka aku salah totok sehingga menewaskan dia? Aku sama sekali tidak habis
pikir mengapa aku tega melakukannya? Andaikan aku dalam keadaan sehat juga
tidak mungkin tega membunuhnya dengan pukulan. Apa karena di dalam tubuhku
terdapat hawa murni sesat milik Enam Dewa Lembah Persik sehingga aku tidak bisa
menguasai tenagaku sendiri? Jika benar Adik Keenam meninggal karena aku, lalu
mengapa kitab rahasia Awan Lembayung ikut menghilang tanpa bekas? Ini
benar-benar aneh dan sulit dimengerti. Sekarang Guru mencurigai aku. Tidak ada
gunanya memberi penjelasan untuk memohon belas kasihan. Yang penting aku harus
mengusut masalah ini sampai tuntas, baru kemudian bunuh diri menemani Adik
Keenam.”
Sambil mengusap air mata,
Linghu Chong mengambil cangkul dan mulai menggali liang kubur untuk memakamkan
Lu Dayou. Dalam keadaan seperti ini ia tidak bisa menggali dengan baik.
Tangannya gemetar, nafasnya pun tersengal-sengal. Baru setelah Yue Lingshan
turun tangan membantu, jenazah Lu Dayou dapat dimakamkan secara sederhana.
Ketiganya kemudian menuju kuil
Kuda Putih untuk bergabung dengan rombongan Huashan lainnya. Sesampainya di
sana Ning Zhongze menyambut gembira melihat Linghu Chong sudah pulih dari
sakit. Namun begitu mendengar berita buruk yang dibawa sang suami, hatinya
langsung sedih dan air mata pun berlinangan. Meskipun kitab rahasia Awan
Lembayung adalah benda pusaka, namun semua isinya sudah dihafal luar kepala
oleh sang suami. Ning Zhongze tidak terlalu mementingkan apakah suaminya tetap
memiliki kitab tersebut atau tidak. Yang ia tangisi adalah perihal Lu Dayou
yang jenaka, periang, dan disukai murid-murid lainnya namun mengapa harus
meninggal secara mengenaskan seperti itu.
Para murid lainnya tidak tahu
menahu atas apa yang telah terjadi. Mereka hanya bisa menyaksikian wajah sang
guru, ibu guru, kakak pertama, dan si adik kecil yang semua murung sehingga
membuat mereka tidak berani bertanya ini itu dan berbuat ribut.
Yue Buqun kemudian menyuruh
Lao Denuo menyewa dua kereta, satu untuk Ning Zhongze dan Yue Lingshan,
sedangkan satu lagi untuk Linghu Chong yang tenaganya masih lemah. Rombongan
dari Perguruan Huashan tersebut lalu melanjutkan perjalanan ke arah timur
menuju Gunung Songshan.
Beberapa jam kemudian mereka
pun tiba di Kota Weilin. Saat itu hari sudah mulai gelap. Mereka berusaha
mencari tempat bermalam, namun di kota kecil itu hanya ada satu penginapan saja
dan itu pun sudah penuh dengan tamu. Karena dalam rombongan terdapat beberapa
murid perempuan sehingga tidak pantas untuk bermalam di sembarang tempat.
Terpaksa Yue Buqun memerintahkan untuk melanjutkan perjalanan ke kota
selanjutnya.
Baru saja berjalan satu Li,
kereta yang ditumpangi Ning Zhongze dan Yue Lingshan rusak karena poros rodanya
patah. Linghu Chong pun menawarkan keretanya sedangkan dirinya memilih berjalan
kaki bersama yang lain. Baru saja pemuda itu mencoba turun, tiba-tiba Shi Daizi
menunjuk ke arah timur laut dan berkata, “Guru, di tepi hutan sana ada kuil.
Bagaimana kalau kita bermalam di sana?”
Ning Zhongze menyela, “Dalam
rombongan kita ada beberapa murid perempuan, dan mungkin mereka merasa rikuh.”
Yue Buqun berkata, “Daizi,
sebaiknya kau pergi dulu ke sana. Jika biksu yang menghuni kuil itu menolak,
maka kau jangan memaksanya.”
Shi Daizi mengangguk kemudian
berlari melaksanakan perintah sang guru. Tak lama kemudian ia sudah kembali
lagi sambil berseru lantang, “Guru, kuil itu ternyata sudah tua dan rusak.
Tidak ada penghuninya.”
Mendengar laporan itu, tanpa
diperintah Tao Jun, Ying Luobai, Shu Qi, dan beberapa murid termuda segera
berlari mendahului ke sana untuk membersihkan kuil tersebut.
Beberapa saat kemudian Yue
Buqun, Ning Zhongze, dan yang lain tiba di halaman kuil. Saat itu langit sedang
mendung sehingga keadaan terlihat begitu gelap.
“Untung ada kuil rusak ini.
Jika tidak, kita bisa terjebak di tengah jalan karena hujan deras mungkin akan
segera turun,” ujar Ning Zhongze.
Begitu memasuki ruangan kuil,
tampak sebuah patung Buddha berwajah biru ada di sana. Patung tersebut
menggambarkan seorang laki-laki dengan mantel tersampir di bahu sedang memegang
rumput obat. Tidak salah lagi, itu adalah arca Buddha Jamu yang bernama
Shennong. Konon semasa hidupnya, Shennong pernah mencicipi ratusan tumbuhan
herbal untuk menguji kandungan obat di dalamnya. Beramai-ramai Yue Buqun dan
rombongannya memberi hormat kepada arca tersebut.
Tidak lama kemudian hujan
deras pun turun dari langit disertai kilat yang menyambar-nyambar dan juga
suara guntur menggelegar. Kuil tua itu sudah sangat rusak. Hampir di mana-mana
air bocoran menetes dan menggenangi lantai. Gao Genming, Liang Fa, dan tiga
orang murid perempuan bergegas menyiapkan makan malam, sementara murid-murid
yang lain bingung mencari tempat kering untuk menghindari kebocoran.
“Hujan musim ini cepat sekali
datangnya. Bisa-bisa panen kali ini mengalami kegagalan,” ujar Ning Zhongze.
Sementara itu Linghu Chong
duduk di sudut ruangan dengan bersandar pada tiang penyangga lonceng besar.
Sepasang matanya memandangi air hujan yang mengucur deras dari atas talang yang
rusak, sambil berpikir, “Andai saja Adik Keenam ada di sini, tentu suasana akan
terasa gembira. Hanya Adik Keenam yang bisa menceritakan lelucon segar.”
Sejak Lu Dayou meninggal,
Linghu Chong lebih suka menyendiri. Jarang sekali ia mengajak bicara Yue
Lingshan. Apalagi jika melihat Yue Lingshan bersama Lin Pingzhi, ia lebih suka
menghindar sejauh mungkin. Dalam hati ia berkata, “Adik Kecil sengaja mencuri
kitab rahasia Awan Lembayung meskipun ia tahu akan dimarahi Guru. Semua itu
dilakukannya demi untuk menolongku. Pengorbanannya begitu besar. Aku hanya
ingin melihatnya hidup bahagia. Karena aku sudah bertekad bunuh diri setelah
kitab pusaka itu ditemukan, maka aku tidak boleh mendekati Adik Kecil lagi. Dia
dan Adik Lin begitu serasi. Semoga Adik Kecil bisa melupakan semua kenangan
bersamaku, sehingga bila aku mati nanti, jangan sampai ia meneteskan air mata
sedikit pun untukku.”
Meskipun berpikir demikian,
namun setiap kali melihat Yue Lingshan dan Lin Pingzhi berjalan bersama dan
mengobrol dengan gembira tetap saja membuat hati Linghu Chong terasa pedih.
Juga ketika kedua muda-mudi itu sibuk mengerjakan urusan masing-masing, pada
saat mereka bertemu dan saling beradu pandang, masing-masing menampilkan
senyuman penuh makna.
Baik Yue Lingshan ataupun Lin
Pingzhi mengira sikap mereka tidak ada yang memerhatikan. Siapa sangka semua
gerak-gerik tersebut tidak lepas dari pandangan Linghu Chong? Dengan hati
semakin pedih ia bermaksud memalingkan muka ke arah lain namun tetap saja tak
kuasa dan kembali melirik setiap kali Yue Lingshan lewat di depannya.
Setelah makan malam, setiap
orang dalam rombongan tersebut berangkat tidur. Hujan di luar belum juga reda.
Kadang gerimis, kadang kembali deras, tanpa berhenti sekejap pun. Linghu Chong
sendiri tidak bisa tidur. Pikirannya yang kalut membuat matanya tetap terjaga.
Suasana terasa hening, hanya terdengar suara nafas dan dengkuran
saudara-saudaranya yang sahut-menyahut di malam itu.
Tiba-tiba terdengar suara
ramai derap kaki kuda dari arah tenggara. Paling tidak ada belasan kuda sedang
berpacu menyusuri jalanan dan terdengar semakin dekat.
Jantung Linghu Chong berdebar
kencang. “Mengapa malam-malam hujan begini ada rombongan berkuda melaju begitu
cepat? Apakah mereka sedang menuju ke sini?” Demikian pikirnya sambil kemudian
bangkit perlahan untuk duduk.
Pada saat itu terdengar Yue
Buqun membentak perlahan, “Semua jangan bersuara!”
Tak lama kemudian rombongan
berkuda itu lewat di jalanan depan kuil. Murid-murid Huashan yang terbangun
segera mempersiapkan senjata masing-masing. Namun mereka kemudian bernafas lega
setelah suara rombongan tersebut terdengar pergi menjauh. Baru saja mereka
hendak melanjutkan tidur, tiba-tiba suara derap kaki kuda kembali terdengar.
Sepertinya rombongan tersebut telah berputar balik dan kini mereka telah
berhenti tepat di depan kuil.
Salah seorang penunggang kuda
berteriak lantang dan nyaring, “Apakah Tuan Yue dari Perguruan Huashan berada
di dalam kuil? Kami ingin menanyakan suatu urusan kepada Beliau.”
Linghu Chong selaku murid
pertama sudah biasa maju untuk menangani persoalan ataupun mewakili gurunya
menyambut tamu. Maka tanpa diperintah, ia pun membuka pintu kuil dan berjalan
keluar sambil menjawab, “Tengah malam begini ada keperluan apa Saudara-saudara
datang kemari?”
Di luar tampak lima belas
orang penunggang kuda berjajar membentuk busur yang mengepung halaman kuil.
Sekitar enam orang dari mereka terlihat membawa lampu ting dan serentak
menyorotkannya ke arah wajah Linghu Chong. Sudah tentu Linghu Chong merasa
silau dibuatnya. Perbuatan ini tergolong kasar dan tidak sopan. Sudah dapat
ditebak kalau kelima belas orang itu datang dengan maksud tidak baik. Apalagi,
Linghu Chong dapat melihat mereka semua memakai cadar berwarna hitam yang
menutupi mulut dan hidung masing-masing. Melihat itu Linghu Chong pun berpikir,
“Orang-orang ini kalau bukan wajahnya yang sudah dikenal, bisa juga supaya
tidak diingat-ingat oleh kami.”
Sementara itu, salah seorang
penunggang kuda dari sebelah kiri berteriak, “Kami harap Tuan Yue sudi keluar
menemui kami!”
“Tuan-tuan ini siapa?” sahut
Linghu Chong. “Tolong beri tahukan marga dan nama Tuan yang mulia agar bisa
kulaporkan kepada Guru.”
“Kau tidak perlu bertanya
siapa kami,” jawab orang itu. “Katakan saja kepada gurumu bahwa kami mendengar
Perguruan Huashan telah mendapatkan kitab Pedang Penakluk Iblis milik Biro Ekspedisi
Fuwei. Oleh karena itu, kami ingin meminjam dan melihatnya sebentar.”
Linghu Chong menjawab dengan
gusar, “Perguruan kami memiliki ilmu kebanggaan sendiri, untuk apa kami
menginginkan ilmu silat pihak lain? Namun apabila kami benar-benar memilikinya,
tentu kami tidak akan memberikannya kepada Tuan apabila Tuan memintanya dengan
cara seperti ini. Berani sekali kalian memandang rendah terhadap Perguruan
Huashan kami!”
Orang itu tertawa
terbahak-bahak diikuti keempat belas kawannya. Suara mereka begitu keras
berkumandang seperti halilintar, pertanda masing-masing memiliki tenaga dalam
yang sangat bagus. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Lagi-lagi kami harus
berhadapan dengan musuh yang berilmu tinggi. Hanya saja, tidak jelas dari mana
asal-usul mereka?”
Di tengah suara gelak tawa itu
terdengar salah seorang penunggang kuda berteriak lantang, “Kami mendengar
bocah bermarga Lin dari Biro Ekspedisi Fuwei telah bergabung dengan Perguruan
Huashan. Tuan Yue sendiri bergelar Si Pedang Budiman sudah pasti memiliki ilmu
pedang sakti yang jarang ada tandingannya. Tentu saja ia tidak tertarik
mengincar kitab Pedang Penakluk Iblis. Sementara kami hanyalah kaum keroco di
dunia persilatan yang tidak punya nama besar. Sudah tentu kami sangat
menginginkan untuk melihat kitab tersebut. Jadi, kami minta Tuan Yue supaya
sudi untuk memperlihatkannya.”
Suara orang itu dapat
terdengar jelas di tengah gelak tawa teman-temannya, pertanda ia memiliki
tenaga dalam yang sangat tinggi, dan mungkin lebih tinggi daripada kawan-kawannya.
“Sebenarnya siapakah Tuan ini?
Mengapa....” demikian Linghu Chong bertanya namun langsung terhenti karena
menyadari suaranya telah tenggelam di tengah gelak tawa orang-orang bercadar
itu. Dalam hati ia berpikir, “Apakah aku sudah kehilangan semua tenaga dalamku
yang kulatih selama bertahun-tahun? Mengapa aku tidak bisa mengerahkan tenaga
dalam sama sekali?”
Sebenarnya sejak meninggalkan
Gunung Huashan di sepanjang jalan ia pernah beberapa kali melatih inti tenaga
dalam perguruannya. Namun tiap kali mengerahkan tenaga selalu saja nafasnya
mendadak terputus-putus dan hawa murni dalam tubuhnya bergolak tanpa bisa
dikuasai. Begitu mencoba mengendalikan hawa murni tersebut, segera ia merasa
muak dan pusing kepala. Kalau tidak berhenti berlatih bisa-bisa ia jatuh
pingsan. Setiap kali berlatih tenaga dalam selalu saja berakhir seperti ini.
Karena itu ia mencoba untuk
meminta petunjuk kepada sang guru, namun Yue Buqun hanya memandangnya dengan
sorot mata dingin tanpa menjawab. Menyadari hal itu ia hanya bisa berpikir,
“Mungkin Guru masih curiga kepadaku dan menuduhku menyembunyikan kitab rahasia
Awan Lembayung. Tidak ada gunanya bagiku untuk mencari-cari alasan. Lagipula
hidupku akan segera berakhir, apa gunanya aku menyusahkan diri sendiri?”
Sejak kejadian itu Linghu
Chong tidak pernah lagi berlatih tenaga dalam. Siapa sangka kini saat ia
mencoba menghimpun tenaga untuk berteriak, ternyata suaranya tenggelam di balik
suara gelak tawa kelima belas orang bercadar tersebut.
Sejenak kemudian terdengar
suara Yue Buqun dari dalam kuil, “Kalian adalah tokoh-tokoh persilatan ternama,
mengapa begitu rendah hati mengaku sebagai kaum keroco? Selama ini Yue Buqun
tidak pernah berkata bohong. Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin
benar-benar tidak ada padaku.”
Ucapan Yue Buqun tersebut
disertai ilmu Awan Lembayung sehingga bisa berkumandang di tengah gelak tawa
para penunggang kuda. Baik di dalam maupun di luar kuil, setiap orang dapat
mendengar suaranya dengan jelas dan keras. Apalagi gaya bicara Yue Buqun begitu
santai dan tenang, seperti bercakap-cakap dengan orang di sampingnya. Jelas
gaya bicara ini sangat berbeda dengan si penunggang kuda yang tadi berteriak
dengan suara lantang.
Terdengar penunggang kuda lain
yang bertanya dengan suara serak, “Kalau kau tidak memegang kitab tersebut,
lalu ke mana perginya?”
“Atas dasar apa kau mengajukan
pertanyaan demikian? Apa kau merasa pantas mendapat jawaban atas pertanyaanmu
itu?” balas Yue Buqun.
“Apapun yang menjadi masalah
di dunia persilatan, setiap orang berhak mengetahuinya,” jawab orang itu. Tapi
Yue Buqun hanya mendengus tidak menjawab.
“Hai, orang bermarga Yue, apa
kau mau menyerahkan kitab itu atau tidak?” teriak orang itu dengan suara keras.
“Jika kau tidak mau menyerahkannya maka kami yang akan main kasar dan
merebutnya dengan paksa.”
Melihat gelagat yang kurang
baik, Ning Zhongze segera membisiki murid-muridnya, “Para murid perempuan
segera berkumpul menjadi satu! Masing-masing punggung bertemu punggung. Murid
laki-laki siapkan pedang!”
Sekejap kemudian terdengar
suara logam berdering dari dalam kuil pertanda para murid telah mencabut pedang
masing-masing. Linghu Chong yang masih berdiri di ambang pintu pun mencoba
mencabut pedang. Namun belum sampai pedangnya keluar dari sarung, dua orang
bercadar sudah turun dari kuda untuk menerjang ke arahnya. Linghu Chong pun
berkelit ke samping menghindari serangan. Tapi seorang bercadar membentak,
“Minggir!” Bersamaan dengan itu sebelah kakinya menendang tubuh pemuda itu
sampai jatuh berguling-guling sejauh beberapa meter.
Kali ini perasaan Linghu Chong
semakin cemas dan kebingungan. Ia berpikir, “Tendangan orang itu tidak begitu
keras, tapi mengapa aku tidak mampu menahannya? Kenapa kakiku tidak punya
kekuatan sama sekali?”
Ia berusaha bangkit untuk
duduk, namun tiba-tiba terasa darah di antara rongga dada dan perut kembali
bergolak hebat. Sekitar delapan arus hawa murni berputar-putar dalam tubuhnya,
saling tumbuk, saling terjang kian kemari. Akibatnya, ia merasa tubuhnya begitu
lemah dan terasa sangat tersiksa. Menggerakkan satu jari saja rasanya sudah
tidak mampu lagi.
Linghu Chong tercengang.
Mulutnya terbuka namun sedikit pun tidak mampu bersuara. Ia merasa lumpuh
bagaikan diserang mantra sihir. Otaknya terus menerus bekerja, namun ototnya
sama sekali tidak mampu digerakkan sedikit pun.
Pada saat itu terdengar suara
senjata beradu di berbagai penjuru. Rupanya Yue Buqun, Ning Zhongze, dan Lao
Denuo menerjang keluar dari kuil menghadapi delapan orang bercadar. Sementara
itu, tujuh orang bercadar lainnya menyerbu masuk ke dalam kuil untuk menyerang
para murid Huashan. Maka kemudian terdengarlah suara bentakan orang-orang itu
disertai teriakan para murid perempuan berkali-kali. Sejumlah lampu ting
berserakan di atas tanah, membiaskan bayangan dan kilatan senjata berkelebat ke
sana-sini.
Beberapa detik kemudian
terdengar suara jeritan perempuan dari dalam kuil. Linghu Chong bertambah
gelisah mendengarnya. Orang-orang bercadar itu jelas laki-laki semua, berarti
suara jeritan itu berasal dari salah seorang adik seperguruannya yang terluka.
Dilihatnya pula pertarungan yang terjadi di luar kuil. Tampak Yue Buqun sibuk
bertarung melawan empat orang musuh, sementara Ning Zhongze menghadapi dua
orang sekaligus. Linghu Chong paham betapa guru dan ibu-gurunya memiliki ilmu
pedang sangat tinggi sehingga menghadapi musuh lebih dari satu bukan merupakan
hal yang sulit bagi mereka. Meskipun dikeroyok, mereka masih bisa menguasai
diri.
Di sisi lain terlihat Lao
Denuo menghadapi dua orang musuh bercadar yang masing-masing menggunakan
senjata golok besar. Dari suara benturan senjata, Linghu Chong dapat merasakan
bahwa kedua orang itu memiliki tenaga yang sangat kuat. Apabila pertarungan itu
memakan waktu lama, tentu Lao Denuo akan terdesak dan kehabisan tenaga.
Meskipun tidak bisa melihat secara langsung, namun Linghu Chong dapat
membayangkan betapa dahsyat pertarungan antara tiga orang dari Huashan melawan
delapan musuh tersebut.
Sementara itu para murid
Huashan yang berada di dalam kuil menghadapi tujuh orang bercadar. Meskipun
jumlah para murid lebih banyak, namun tidak seorang pun dari mereka yang
memiliki ilmu silat lumayan. Maka suara jeritan pun terdengar semakin banyak,
sahut menyahut membuat Linghu Chong semakin ngeri mendengarnya. Mungkin saja
beberapa adik seperguruannya telah terbunuh.
Dalam keadaan gelisah itu
Linghu Chong berdoa, “Semoga Langit memberiku kekuatan. Aku berharap bisa
mengerahkan tenaga sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat agar bisa masuk ke
dalam kuil dan melindungi Adik Kecil. Aku rela meskipun tubuhku akan dicincang
musuh dan hancur seperti debu.”
Sekuat tenaga ia meronta dan
berusaha mengerahkan tenaga dalam lagi. Tiba-tiba enam hawa murni menerjang
naik ke dada, disusul kemudian dua arus hawa murni lainnya berusaha menekan
keenam hawa tersebut ke bawah. Linghu Chong merasa sekujur tubuhnya ringan dan
hampa, seolah-olah isi perutnya sudah hilang entah ke mana, begitu pula kulit
dan dagingnya seolah lenyap tanpa bekas.
“Celaka, ternyata seperti
ini!” seru Linghu Chong dalam hati.
Pemuda itu akhirnya menyadari
apa yang sebenarnya terjadi. Pada mulanya Enam Dewa Lembah Persik menyalurkan
tenaga dalam masing-masing untuk mengobati luka Linghu Chong akibat pukulan
Cheng Buyou. Akan tetapi luka tersebut tidak sembuh, justru keenam arus hawa
murni mereka bersarang di tubuh Linghu Chong dan menimbulkan banyak masalah.
Kemudian muncul Biksu Bujie mencoba menyalurkan dua arus tenaga dalam untuk
mengusir enam hawa murni liar tersebut. Linghu Chong merasa kedua arus hawa
murni yang disalurkan Biksu Bujie berhasil memusnahkan enam arus hawa murni
milik Enam Dewa Lembah Persik. Akan tetapi ternyata tidak demikian. Ketika
Linghu Chong mengerahkan tenaga dalam, langsung saja enam hawa murni liar
bergolak, disusul kemudian dua arus hawa lainnya muncul untuk menghadapi. Hal
ini mengakibatkan tenaga dalam Perguruan Huashan yang dilatih olehnya sejak
kecil menjadi lenyap entah ke mana. Ia benar-benar merasa bagaikan orang yang
lumpuh atau orang awam yang tidak pernah belajar ilmu silat sama sekali.
Begitu memahami apa yang
sebenarnya terjadi, Linghu Chong menjadi sedih. Air matanya pun berlinang di
pipi. Dalam hati ia berpikir, “Kenapa nasibku begini malang? Sedikit pun aku
tidak bisa mengerahkan tenaga dalam, seperti lenyap tak bersisa. Malam ini perguruanku
diserang musuh, tapi sebagai murid pertama aku tidak bisa berbuat banyak. Aku
hanya bisa berbaring di tanah seperti orang tak berguna, menyaksikan guru dan
ibu-guru dipermalukan musuh, serta adik-adikku dibantai satu per satu. Sungguh
sia-sia rasanya lahir sebagai manusia. Lebih baik aku masuk ke sana dan mati
bersama Adik Kecil.”
Linghu Chong sadar, sedikit
saja ia mengerahkan tenaga tentu kedelapan arus hawa murni di dalam tubuhnya
akan kembali bergolak dan membuatnya tidak bisa bergerak bagaikan seonggok
daging beku. Maka, ia pun mencoba menahan napas, membiarkan arus hawa murni itu
kembali ke bawah lambung. Tanpa berani mengerahkan tenaga dalam sedikit pun,
pemuda itu mencoba menggerakkan tangan dan kakinya. Dengan cara demikian ia
bisa bangkit perlahan-lahan dan masuk ke dalam kuil selangkah demi selangkah
sambil mencabut pedangnya dengan gerakan perlahan pula.
Begitu masuk ke dalam kuil,
Linghu Chong langsung mencium bau anyir darah. Dua buah lampu ting diletakkan
di atas altar arca oleh para penyerang itu untuk menerangi seisi ruangan. Musuh
yang berjumlah tujuh orang tersebut mampu mengalahkan murid-murid Huashan yang
jumlahnya puluhan. Liang Fa, Shi Daizi, dan Gao Genming masih bertahan
menghadapi mereka walau tubuh sendiri berlumuran darah. Beberapa orang murid
tampak tergeletak, entah masih hidup atau sudah mati.
Sementara itu Yue Lingshan dan
Lin Pingzhi bersama-sama menghadapi satu orang bercadar. Rambut Yue Lingshan
begitu kusut, sementara Lin Pingzhi memegang pedang dengan tangan kiri karena
lengan kanannya telah terluka. Musuh yang mereka hadapi bersenjata tombak
pendek dan terlihat sangat lihai memainkannya. Sebanyak tiga kali Lin Pingzhi
menyerang dengan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu tapi hanya mengenai tempat
kosong. Sebaliknya, tombak pendek musuh justru membuatnya kewalahan.
Rumbai-rumbai warna merah pada tombak pendek sempat mengejutkan penglihatan
pemuda itu, sehingga bahu kanannya pun terkena tusukan lawan.
“Lin Kecil, lekas kau balut
lukamu dahulu!” seru Yue Lingshan sambil menyerang dua kali kemudian melangkah
mundur.
“Tidak apa-apa,” jawab Lin
Pingzhi sambil tetap menusuk, namun langkahnya sudah terlihat sempoyongan
Orang bercadar itu tertawa
panjang. Batang tombaknya tiba-tiba menyabet dari samping dan tepat memukul
pinggang Yue Lingshan. Kontan saja gadis itu jatuh tersungkur dan pedangnya
terlepas dari genggaman.
Linghu Chong sangat terkejut.
Ia pun menerjang maju tanpa peduli lagi keselamatan diri sendiri. Sekuat tenaga
pedangnya menusuk ke depan namun baru di tengah jalan hawa murni dalam tubuhnya
kembali bergolak. Seketika tangannya terasa lemas dan pedang pun terjatuh ke
lantai.
Musuh bercadar sudah
bersiap-siap untuk menghindari serangan Linghu Chong sambil kemudian membalas
dengan tusukan tombak pendeknya. Namun begitu melihat serangan Linghu Chong
tiba-tiba terhenti di tengah jalan membuat orang itu sempat merasa bingung.
Tanpa pikir panjang, ia pun menendang tubuh Linghu Chong hingga terpental
keluar kuil dan jatuh tepat di atas genangan air becek. Di bawah siraman air
hujan yang masih lebat, seluruh muka dan mulut Linghu Chong penuh dengan
lumpur. Ia merasa sulit untuk bangkit kembali.
Di sisi lain Lao Denuo sudah
roboh pula terkena totokan musuh. Dua lawannya tadi kemudian ikut mengeroyok
Yue Buqun dan Ning Zhongze. Tak lama kemudian dua orang bercadar keluar pula
dari dalam kuil untuk ikut bergabung. Kini, Yue Buqun menghadapi tujuh musuh,
sedangkan Ning Zhongze menghadapi tiga orang bercadar.
Tak lama kemudian terdengar
suara jeritan Ning Zhongze dan salah seorang musuhnya. Rupanya mereka berdua
sama-sama terluka di bagian kaki. Si pria bercadar yang terluka itu mundur ke
belakang sehingga lawan yang dihadapi Nyonya Yue berkurang satu. Namun demikian
luka di kaki wanita itu membuat kekuatannya banyak menurun. Beberapa jurus
kemudian, musuh yang lain berhasil memukulkan senjatanya pada bahu Ning Zhongze
sampai jatuh terkapar. Segera dua orang bergelak tawa sambil menotok beberapa
titik nadi penting di punggung Nyonya Yue agar tidak bisa bangun lagi untuk
melawan.
Selanjutnya dari dalam kuil
murid-murid Huashan dikeluarkan dalam keadaan terluka. Satu per satu dari
mereka dirobohkan ke tanah oleh orang-orang bercadar itu. Rupanya kawanan
penyerang hanya melukai dan menotok para murid saja. Tidak satu pun dari mereka
yang kehilangan nyawa di malam itu.
Kelima belas orang bercadar
kemudian mengepung di sekeliling Yue Buqun. Delapan di antaranya bertarung
menghadapi sang ketua Huashan dari segala penjuru, sementara tujuh sisanya
memegang lampu ting untuk memberi penerangan.
Meskipun Yue Buqun memiliki
ilmu silat tingkat tinggi, namun kedelapan orang yang mengepungnya juga bukan
orang sembarangan. Ditambah lagi, tujuh buah lampu ting disorotkan kepadanya
sehingga matanya menjadi silau dan susah melihat dengan jelas. Yue Buqun sadar
bahwa malam itu Perguruan Huashan sedang di ambang kehancuran, namun sedikit
pun ia pantang menyerah begitu saja. Dengan perasaan tetap tenang ia memutar
pedang dan bertahan rapat. Bila lampu menyorot mukanya, dengan cekatan ia
memandang ke bawah sehingga matanya tidak silau lagi.
“Yue Buqun, kau menyerah atau
tidak?” teriak salah seorang penyerang.
“Biarpun mati si marga Yue
pantang menyerah,” jawab Yue Buqun. “Kalau mau bunuh silakan bunuh saja.”
“Kau tidak mau menyerah? Baik,
akan kutebas saja sebelah lengan istrimu,” kata orang itu sambil mengangkat
goloknya tingg-tinggi. Di bawah sorot cahaya lampu, golok orang itu terlihat
mengkilap berkilauan dan siap mengayun ke bawah memotong lengan Ning Zhongze.
Melihat itu Yue Buqun berkata dalam
hati, “Adik, tak akan kubiarkan mereka memotong lenganmu. Tapi jika aku
menyerah dan membuang senjata, aku pasti akan dipermalukan pula. Mana mungkin
kubiarkan nama besar Perguruan Huashan yang sudah bertahan ratusan tahun akan
hancur begitu saja di tanganku?”
Yue Buqun kemudian menarik
napas panjang. Warna ungu pada mukanya semakin menebal. Serentak pedangnya
menebas ke arah pria yang mengancam istrinya. Pria bercadar itu mencoba
menangkis dengan goloknya. Namun serangan Yue Buqun sudah disertai tenaga dalam
Awan Lembayung sehingga golok dan pedang yang berbenturan itu berbalik mengenai
lengan si pria bercadar sendiri. Akibatnya, lengan kanan pria itu pun putus
terpotong pada dua tempat.
Di tengah jeritan pria yang
kehilangan sebelah lengannya itu, pedang Yue Buqun masih terus berkelebat dan
menusuk kaki salah seorang musuh lainnya. Kontan saja pria yang tertusuk itu
mencaci maki sambil mundur beberapa langkah.
Kini musuh yang mengepung
tinggal enam orang namun keadaan Yue Buqun belum dikatakan unggul. Mereka
bergerak maju serentak, dan salah seorang berhasil memukulkan senjatanya berupa
bandul besi pada punggung Yue Buqun. Seketika Yue Buqun membalas dengan
mengerahkan tiga kali tusukan. Musuh-musuhnya pun melompat mundur. Sekejap
kemudian, darah segar terlihat menyembur keluar dari mulut sang ketua Huashan.
Melihat itu para penyerang
bersorak sambil tertawa, “Lihat, si tua Yue Buqun sudah terluka. Ia terlalu
letih sehingga mampus dengan sendirinya.”
Karena yakin sudah pasti
menang, keenam orang bercadar memperlebar kepungan mereka sehingga Yue Buqun
kesulitan untuk melakukan serangan mendadak. Dari kelima belas orang bercadar
itu ada tiga orang yang terluka. Yang satu terluka cukup parah karena
kehilangan sebelah lengan, sedangkan yang dua hanya terkena tusukan ringan.
Mereka berdua masih bisa membantu menyorotkan lampu ting secara liar ke arah
wajah Yue Buqun.
Dari logat bicara para
pengepung itu, Yue Buqun dapat menebak bahwa mereka berasal dari berbagai
daerah yang berbeda. Selain itu ilmu silat mereka juga berbeda-beda dan
sepertinya bukan berasal dari satu perguruan yang sama. Hanya saja, mereka
sangat kompak bahu-membahu dalam membangun serangan pertanda kelompok ini sudah
lama terbentuk.
“Dari mana orang-orang ini
berasal?” tanya Yue Buqun dalam hati. Yang lebih mengherankan lagi baginya
adalah kelima belas orang bercadar itu rata-rata berilmu silat tinggi. Yue
Buqun benar-benar heran mengapa ia sama sekali tidak mengenali salah satu dari
mereka. Ia yakin tidak pernah bertarung dengan seorang pun dari mereka sebelum
malam ini ataupun memiliki dendam pribadi dengannya. Hanya satu hal yang sudah
pasti, kawanan penyerang itu mencari masalah dengan Perguruan Huashan hanya
untuk mengincar kitab Pedang Penakluk Iblis.
Sambil berpikir dan terus berpikir,
Yue Buqun mengayunkan pedangnya tanpa henti. Setiap kali ilmu Awan Lembayung
dikerahkan, ujung pedangnya pun memancarkan sinar kemilauan. Setelah melewati
belasan jurus kemudian, bahu salah seorang bercadar tertusuk sehingga senjata
orang itu yang berwujud pentungan baja terlepas jatuh. Seorang kawannya yang
sejak tadi berada di luar kalangan maju menyerang dengan bersenjata golok
berkait. Ujung senjatanya yang melengkung itu digunakannya untuk mengincar dan
mengait pedang Yue Buqun. Namun Yue Buqun sendiri sangat sulit dikalahkan.
Semakin bertempur semakin ia bersemangat. Tanpa diduga-duga, tangan kiri ketua
Perguruan Huashan itu menghantam ke belakang mengenai dada seorang lawan hingga
patah tulang rusuknya dua buah. Tongkat baja yang dipegang orang itu sampai
tergetar jatuh.
Namun orang itu benar-benar
nekad. Sambil menahan rasa sakit di bagian rusuk yang patah tadi, ia menerjang
maju ke bawah dan mendekap kaki kiri Yue Buqun. Tentu saja sang ketua Huashan
sangat terkejut. Tanpa pikir panjang Yue Buqun langsung menusukkan pedang ke
arah punggung penyerangnya itu dari atas. Namun, dari arah samping dua bilah
golok sudah menangkisnya.
Karena tidak mampu menggunakan
senjatanya, Yue Buqun pun berusaha menendang dagu orang yang mendekap kaki
kirinya tadi. Namun, orang itu memiliki keterampilan bergulat lumayan bagus. Ia
lebih dulu menangkap kaki kanan Yue Buqun dan membantingnya ke samping.
Seketika tubuh Yue Buqun pun tertarik ke depan. Meskipun memiliki ilmu silat
tingkat tinggi, namun Yue Buqun tidak mampu menjaga keseimbangannya sehingga
tubuhnya pun jatuh terbanting ke tanah. Sekejap kemudian, golok, tombak pendek,
palu godam, pedang, dan berbagai macam senjata musuh lainnya sudah bersama-sama
mengancam di titik-titik mematikan seperti kepala, wajah, leher, dan dada.
Yue Buqun menghela napas
panjang dan melepaskan pedangnya. Ia kemudian memejamkan mata untuk menyambut
ajal. Namun yang ia rasakan kemudian adalah kesemutan pada daerah pinggang,
rusuk, tenggorokan, dan dada. Rupanya musuh tidak membunuhnya, tetapi hanya
menotok beberapa titik nadi untuk melumpuhkannya.
Dua orang bercadar maju dan
memapah bangun tubuh Yue Buqun. Terdengar suara seorang tua di antara kawanan
musuh berkata, “Ilmu silat Tuan Yue si Pedang Budiman memang bukan nama kosong.
Ilmu silatmu benar-benar luar biasa. Kami lima belas orang mengeroyokmu dan
berhasil menjatuhkanmu setelah beberapa di antara kami roboh dan terluka. Hehe,
sungguh mengagumkan! Bila satu lawan satu melawanmu sudah pasti aku tidak
mungkin menang. Tapi kalau dipikir-pikir jumlah kami hanya lima belas,
sedangkan dalam rombongan Huashan kalian terdapat lebih dari dua puluh orang.
Jadi, malam ini kami tidak sepenuhnya main keroyok. Kami yang berjumlah lebih
sedikit ternyata mampu menangkap orang-orang Huashan yang berjumlah lebih
banyak. Apalagi tubuh kalian masih utuh semua, tidak ada yang kehilangan
anggota badan. Jadi, pertempuran ini kami menangkan dengan tidak mudah. Betul
tidak, kawan-kawan?”
“Benar sekali, benar sekali!
Ini bukan kemenangan yang mudah!” sahut orang-orang bercadar yang lain di
belakangnya.
Pria tua itu melanjutkan,
“Tuan Yue, kami tidak ada dendam dan tidak pernah terlibat permusuhan apapun
denganmu. Kami hanya ingin meminjam kitab Pedang Penakluk Iblis saja. Lagipula
kitab tersebut juga bukan milik Perguruan Huashan kalian. Segala macam tipu
muslihat kau lancarkan. Kau pancing tuan muda dari Keluarga Lin masuk
perguruanmu, pertanda kau juga mengincar kitab pedang itu. Apa yang kau lakukan
sungguh terang-terangan. Begitu kawan-kawan dunia persilatan mendengar tentang
ini, mereka jadi penasaran dan bertanya-tanya. Nah, Tuan Yue, lebih baik kau
serahkan saja kitab itu kepada kami, dengan demikian nama baikmu bisa tetap
terjaga.”
Yue Buqun semakin gusar
mendengar tuduhan itu. Ia menjawab, “Aku sudah jatuh ke tangan kalian, mengapa
masih saja bicara omong kosong? Kalau mau bunuh silakan bunuh saja. Bagaimana
kepribadian si marga Yue ini sudah cukup dikenal setiap orang persilatan. Mudah
saja kalian membunuhku, tapi jangan harap bisa merusak nama baikku. Jangan
mimpi!”
“Apa susahnya merusak nama
baikmu?” seru salah seorang bercadar lainnya sambil bergelak tawa. “Istrimu,
putrimu, dan murid-murid perempuanmu, semuanya cantik-cantik. Mereka bisa kami
bawa dan kami bagi-bagi sebagai istri muda. Dengan demikian, dapat dijamin
namamu akan semakin tersohor di dunia persilatan, hahaha!”
Ucapan tersebut diikuti oleh
gelak tawa penuh penghinaan para penyerang bercadar lainnya. Mendengar itu
tubuh Yue Buqun sampai gemetar menahan marah. Ia melihat beberapa pria bercadar
mendorong tubuh para murid laki-laki dan perempuan yang kesemuanya dalam
keadaan tertotok. Di antara para murid itu ada yang wajahnya berlumuran darah,
ada pula yang kakinya terluka.
“Tuan Yue,” sahut si orang tua
bercadar. “Kau boleh menduga-duga dari mana asal-usul kami. Kami bukan kaum
kesatria atau pahlawan dari perguruan ternama. Kami tidak memiliki pantangan
terhadap apa yang boleh dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan. Beberapa
kawanku ini gemar paras cantik. Main perempuan adalah pekerjaan sehari-hari.
Bila mereka sampai mengganggu istri dan putrimu, bagaimanapun juga aku minta
maaf.”
“Kau tidak perlu mengancam!”
kata Yue Buqun. “Jika kalian masih saja tidak percaya, silakan geledah badan
kami semua! Coba lihat, apa kitab Pedang Penakluk Iblis ada pada kami atau
tidak?”
“Lebih baik kau keluarkan
sendiri saja kitab itu,” ujar seorang bercadar lainnya. “Bila kami harus
menggeledah kalian semua, bagaimana dengan istri dan putrimu? Tentu hal ini
akan kurang sedap dipandang, bukan? Hahahaha.”
Merasa tidak tahan, Lin
Pingzhi tiba-tiba berteriak, “Semua permasalahan ini berawal dariku. Keluarga
Lin kami di Fujian tidak punya kitab Pedang Penakluk Iblis atau apa. Terserah
kalian mau percaya atau tidak!” Usai berkata demikian ia meraih sebatang
tongkat besi yang terjatuh di tanah tadi dan menghantamkannya ke dahi sendiri.
Namun totokan di kedua lengan membuat tenaganya begitu lemah sehingga pukulan
tersebut hanya membuat luka lecet saja tidak sampai menghancurkan kepala.
Meskipun demikian setiap orang dapat membaca apa yang ia lakukan. Jelas-jelas
pemuda itu berniat bunuh diri untuk membuktikan bahwa kitab pedang Penakluk
Iblis benar-benar tidak pernah ada.
“Hehe, Tuan Muda Lin ternyata
cukup setia kawan,” ujar orang tua tadi. “Kami adalah teman baik mendiang
ayahmu. Yue Buqun telah membunuh ayahmu untuk mendapatkan kitab Pedang Penakluk
Iblis. Itu sebabnya kami berada di sini adalah untuk menuntut keadilan. Percuma
saja gurumu bergelar Si Pedang Budiman, padahal dia sama sekali tidak berbudi.
Sepertinya lebih baik jika kau menjadi murid kami saja. Aku jamin kau akan
memperoleh kepandaian yang lebih dari cukup untuk malang melintang di dunia
persilatan.”
“Keparat kalian!” bentak Lin
Pingzhi. “Ayahku mati dibunuh Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng dan Mu
Gaofeng si Bungkuk dari Utara. Berani sekali kau memfitnah guruku? Lin Pingzhi
bangga menjadi murid Huashan. Apa kau pikir aku akan memohon-mohon untuk
menjadi murid manusia rendah macam dirimu demi menyelamatkan nyawa?”
“Jawaban bagus!” teriak Liang
Fa. “Perguruan Huashan kita....”
“Perguruan Huashan apanya?”
sahut salah seorang bercadar lainnya menyela. Ia kemudian mengayunkan goloknya
ke arah leher Liang Fa sampai putus. Kepala Liang Fa pun terlempar dan darah
menyembur dengan deras.
Murid-murid Huashan lainnya
menjerit ngeri. Kakak ketiga mereka yang bertubuh jangkung itu tewas dalam
waktu yang sangat cepat. Yue Buqun sendiri termangu-mangu memikirkan dari mana
sebenarnya kawanan bercadar itu berasal. Berdasarkan ucapan si orang tua, sepertinya
kawanan itu berasal dari golongan hitam di dunia persilatan. Mungkin juga
mereka adalah tokoh penting dalam Sekte Iblis. Meskipun Yue Buqun tidak
mengenal semua tokoh hebat di dunia persilatan, baik itu dari golongan putih
ataupun golongan hitam, namun paling tidak ia pernah mendengar sesuatu tentang
mereka. Orang yang memenggal kepala Liang Fa terlihat begitu mantap tanpa ragu
sedikit pun; suatu kekejian yang jarang ada di dunia persilatan. Memang apabila
seseorang berlatih ilmu silat, maka kemungkinan terluka atau terbunuh adalah
hal yang biasa. Akan tetapi, memenggal kepala pihak yang sudah tertawan adalah
hal yang sangat jarang terjadi.
Sementara itu, setelah
memenggal kepala Liang Fa, orang bercadar tadi bergelak tawa seperti orang gila
dan kemudian berjalan mendekati Ning Zhongze. Ia mengayun-ayunkan goloknya yang
berlumuran darah hanya beberapa jengkal di atas kepala Nyonya Yue.
“Jangan... jangan bunuh
ibuku!” jerit Yue Lingshan ketakutan dan nyaris jatuh pingsan.
Sebaliknya, Ning Zhongze tetap
menunjukkan keberanian dan sama sekali tidak terlihat gentar. Ia justru merasa
kebetulan jika mati malam itu karena bisa bebas dari penghinaan yang
berlarut-larut. Maka, ia pun memaki, “Bangsat, kalau kau memang berani, bunuh
saja aku!”
Tiba-tiba dari arah timur laut
terdengar suara derap kaki kuda berjumlah puluhan ekor melaju dengan cepat.
“Hei, siapa itu? Coba kalian
lihat!” seru si tua bercadar.
“Baik!” jawab dua orang
kawannya yang segera memacu kuda melaksanakan perintah. Tak lama kemudian terdengar
suara benturan senjata. Rupanya para pendatang berkuda itu terlibat pertempuran
melawan kedua orang bercadar tadi. Disusul kemudian terdengar suara jeritan
orang terluka jatuh dari kuda. Meskipun demikian, kedua orang bercadar memilih
mundur karena jumlah penunggang kuda yang baru tiba jauh lebih banyak.
Yue Buqun dan istrinya, serta
para murid merasa gembira karena melihat adanya kedatangan rombongan yang
mungkin dapat menyelamatkan nyawa mereka. Samar-samar dari kejauhan tampak
empat puluh lebih penunggang kuda melaju ke arah mereka. Lumpur terlihat
bercipratan di sana-sini dan akhirnya rombongan itu pun berhenti di depan kuil.
“Hei, ternyata kawan-kawan
dari Perguruan Huashan ada di sini. Bukankah itu Saudara Yue?” seru salah
seorang penunggang kuda.
Yue Buqun memandang orang itu
dengan saksama dan kemudian wajahnya terlihat serbasalah. Ternyata yang datang
menyapa dirinya adalah Lu Bai si Tapak Bangau, yaitu adik seperguruan Zuo
Lengchan, ketua Perguruan Songshan yang tempo hari membawa Panji Pancawarna ke
Gunung Huashan untuk membantu Feng Buping menuntut hak. Di sebelah kanannya
tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Yue Buqun mengenalinya sebagai
adik seperguruan Zuo Lengchan nomor dua, yaitu Ding Mian si Tapak Penahan
Menara. Di sebelah kiri Lu Bai terlihat pula pemimpin para murid Huashan dari
Kelompok Pedang, yaitu Feng Buping. Orang-orang Taishan dan Hengshan yang
kemarin ikut mengawal kali ini terlihat bertambah banyak. Karena cahaya lampu
ting tidak mampu menerangi seluruh wajah para penunggang kuda itu, membuat Yue
Buqun agak kesulitan untuk mengenali siapa saja dari mereka yang ikut serta.
“Saudara Yue,” Lu Bai menyapa,
“Tempo hari kau menolak Panji Pancawarna yang merupakan perintah dari Ketua
Zuo, hal ini membuat Beliau tidak senang. Itu mengapa Beliau kini mengutus
Kakak Ding dan Adik Tang untuk mengunjungimu ke Gunung Huashan sekali lagi
dengan membawa Panji Pancawarna pula. Siapa sangka di tengah malam gelap gulita
ini kita justru berjumpa di sini? Sungguh mengejutkan!”
Yue Buqun hanya terdiam tanpa
menjawab sedikit pun.
Si orang tua bercadar menyahut
sambil memberi hormat, “Rupanya Pendekar Ding, Pendekar Lu, dan Pendekar Tang
dari Perguruan Songshan yang hadir di sini. Sungguh suatu kehormatan bisa
berjumpa para pendekar sekalian.”
“Ah, Saudara terlalu memuji.
Dan, siapakah nama Saudara yang mulia ini? Mengapa tidak sudi memperlihatkan
wajah yang asli?” balas Tang Ying’e, adik seperguruan nomor tujuh ketua
Songshan.
“Kami ini hanyalah orang-orang
tanpa nama dari golongan hitam,” jawab si orang tua bercadar. “Jika julukan
kami yang jelek sampai terdengar tentu hanya akan mengotori telinga para
pendekar sekalian. Baiklah, demi memandang kepada para pendekar sekalian, sudah
tentu kami tidak berani berbuat kasar lagi kepada Nyonya Yue dan putrinya.
Hanya saja, ada satu urusan yang ingin kami mintakan keadilan pada para
pendekar sekalian, sesuai hukum dunia persilatan.”
“Urusan apa? Tidak ada
salahnya bila kau sebutkan supaya kami juga ikut mengetahuinya,” tanya Tang
Ying’e.
Orang tua itu berkata,
“Baiklah, konon Tuan Yue yang bergelar Si Pedang Budiman ini setiap hari selalu
berbicara tentang budi pekerti, keadilan, dan kebajikan. Kabarnya, ia juga
sangat taat pada aturan dunia persilatan. Akan tetapi, akhir-akhir ini telah
terjadi suatu peristiwa. Kiranya para pendekar sekalian sudah mendengar perihal
Biro Ekspedisi Fuwei di Kota Fuzhou telah dihancurkan orang, serta pemiliknya
yang bernama Lin Zhennan beserta istri juga mati terbunuh.”
“Benar. Konon kabarnya yang
berbuat adalah Perguruan Qingcheng dari Szechwan,” jawab Tang Ying’e.
Si orang tua bercadar
menggeleng beberapa kali dan berkata, “Meskipun berita yang tersiar di dunia
persilatan seperti itu, tapi belum tentu merupakan suatu kebenaran. Baiklah,
kita bicara terang-terangan saja. Setiap orang di dunia persilatan mengetahui
kalau keluarga Lin memiliki pusaka turun-temurun berupa kitab ilmu Pedang
Penakluk Iblis. Barangsiapa menguasainya, tentu akan merajai dunia persilatan.
Itulah sebabnya mengapa Lin Zhennan dan istrinya terbunuh adalah karena ada
pihak yang mengincar kitab pusaka tersebut.”
“Memangnya seperti apa yang
sebenarnya terjadi?” tanya Tang Ying’e.
“Kami tidak mengetahui dengan
pasti siapa yang telah membunuh Lin Zhennan dan istrinya,” jawab si orang tua.
“Hanya saja, kami mendengar bahwa Tuan Yue alias Si Pedang Budiman ini telah
menggunakan tipu muslihat licik, supaya putra Lin Zhennan dengan sukarela mau
bergabung menjadi murid Perguruan Huashan. Kau tahu apa maksudku? Tentu saja
Kitab Pedang Penakluk Iblis dengan sendirinya akan ikut masuk ke dalam
Perguruan Huashan. Kami memikirkan masak-masak hal ini dan akhirnya
menyimpulkan bahwa Yue Buqun telah menjalankan tipu muslihat. Dia tidak mampu
menguasai kitab pusaka itu dengan kekerasan, sehingga berusaha mendapatkannya
dengan cara licik. Coba pikir, seberapa luas pengalaman si bocah Lin? Setelah
menjadai murid Huashan, bukankah ia menjadi lebih mudah dipermainkan oleh si
musang tua bermarga Yue ini sehingga suatu saat bocah ini akan mempersembahkan
Kitab Pedang Penakluk Iblis tanpa diminta.”
“Pendapatmu mungkin kurang
tepat,” ujar Tang Ying’e. “Perguruan Huashan memiliki ilmu pedang sendiri yang
sangat bagus. Apalagi ilmu tenaga dalam Awan Lembayung yang dimiliki Tuan Yue
juga tiada duanya. Jadi, untuk apa lagi harus mengincar ilmu pedang pihak
lain?”
Si orang tua bergelak tawa
kemudian menjawab, “Rupanya Pendekar Tang menggunakan jiwa kesatria untuk
menilai manusia rendah ini. Menurutku, ilmu pedang bagus macam apa yang
dimiliki Yue Buqun? Sejak perpecahan di Perguruan Huashan dahulu, sejak itu
pula Kelompok Tenaga Dalam menguasai perguruan. Mereka pun sibuk berlatih
tenaga dalam sehingga ilmu pedang mereka menjadi terlalu rendah dan tidak ada
nilainya. Kaum persilatan hanya segan terhadap nama besar Perguruan Huashan,
dan mengira Tuan Yue benar-benar memiliki kehebatan tinggi. Padahal
sesungguhnya, hehehe...”
Sesudah tertawa mengejek
beberapa kali, orang tua itu melanjutkan, “Sebagai ketua Perguruan Huashan,
sudah seharusnya ilmu pedang Tuan Yue sangat luar biasa. Namun, lihatlah yang
terjadi kini. Dia bisa meringkuk di tangan kami yang hanya kaum keroco di dunia
persilatan. Padahal, kami tidak memakai racun, tidak memakai senjata rahasia.
Selain itu kami bisa menang juga bukan karena jumlah kami yang lebih banyak.
Kami telah meringkus guru dan semua murid Huashan tanpa kecuali. Maka, dapat
dibayangkan betapa rendah tingkat kepandaian orang-orang Huashan ini. Kami
memenangkan pertempuran secara adil. Dari itu saja para pendekar sekalian bisa
membayangkan seperti apa ilmu silat Yue Buqun dan orang-orang Huashan lainnya.
Namun tentu saja Yue Buqun menyadari kekurangannya. Itulah sebabnya mengapa Yue
Buqun mengincar ilmu Pedang Penakluk Iblis untuk menutupi agar nama baiknya
yang kosong melompong tidak terbongkar. Akan tetapi, di hadapan kami ia tidak
bisa menutupi kebusukannya.”
“Uraianmu cukup masuk akal,”
ujar Tang Ying’e sambil mengangguk.
“Kami hanyalah kaum keroco
dari golongan hitam yang tiada harganya sama sekali jika dibandingkan dengan
para pendekar besar sekalian dari perguruan ternama. Kami juga tidak terlalu
berminat terhadap Kitab Pedang Penakluk Iblis,” lanjut si orang tua bercadar.
“Hanya saja, dalam sepuluh tahun terakhir ini kami seringkali menerima kebaikan
dari Lin Zhennan. Berbagai macam hadiah dari Beliau telah kami terima. Itu
sebabnya setiap kali kereta barang Biro Ekspedisi Fuwei melewati daerah
kekuasaan kami, tidak seorang pun di antara kami yang berani mengganggunya.
Namun kami kemudian mendengar kematian Ketua Lin, serta kehancuran keluarga dan
perusahannya gara-gara Kitab Pedang Penakluk Iblis. Hal ini jelas membuat kami
merasa penasaran. Maka, kami pun ke sini untuk membuat perhitungan dengan Yue
Buqun.”
Orang tua itu berhenti sejenak
untuk memandangi rombongan berkuda di hadapannya, kemudian melanjutkan, “Yang
datang di sini malam ini tampaknya tokoh-tokoh ternama dari dunia persilatan.
Di antara para pendekar sekalian terdapat para kesatria sepuh kebanggan Serikat
Pedang Lima Gunung. Sementara Perguruan Huashan sendiri juga merupakan salah
satu anggota perserikatan. Untuk itu, kami serahkan kepada para pendekar
sekalian untuk bagaimana baiknya menyelesaikan perkara ini.”
“Saudara ternyata sangat baik
hati. Baiklah, kami terima maksud baikmu,” kata Tang Ying’e. “Bagaimana pendapat
Kakak Ding dan Kakak Lu mengenai hal ini?”
Ding Mian menjawab, “Menurut
pesan Ketua Zuo, kedudukan ketua Perguruan Huashan harus dipegang oleh Tuan
Feng. Sekarang ini Yue Buqun ternyata melakukan perbuatan yang rendah dan
memalukan. Untuk ini, biarlah Tuan Feng sendiri yang melakukan pembersihan di
dalam perguruannya.”
“Benar, keputusan Pendekar
Ding sungguh tepat,” sahut anggota rombongan berkuda lainnya. “Ini adalah
masalah internal Perguruan Huashan, maka biarlah ketua Huashan sendiri yang mengatasinya.
Ini juga menghindarkan tuduhan dunia persilatan kepada kami apabila terlalu
mencampuri urusan rumah tangga pihak lain.”
Segera Feng Buping melompat
turun dari kudanya. Setelah memberi hormat kepada para hadirin, ia pun berkata,
“Sungguh aku sangat berterima kasih atas penghargaan kalian padaku. Sejak lama
Perguruan Huashan dikangkangi oleh Yue Buqun. Banyak terdengar ketidakpuasan,
sampai akhirnya nama besar Huashan pun jatuh habis-habisan. Bahkan, sekarang
Yue Buqun juga tenggelam dalam lumpur kejahatan, antara lain ia membunuh
seseorang untuk merebut kitab pusakanya, serta memaksa anak orang itu untuk
menjadi muridnya. Benar-benar perbuatan rendah. Sebenarnya kepandaianku tidak
seberapa. Aku juga merasa tidak pantas menjadi ketua. Namun demi mengingat
jerih payah para leluhur yang telah berjuang mendirikan Perguruan Huashan,
sudah tentu aku tidak terima begitu saja perguruan ini hancur di tangan murid
durhaka seperti Yue Buqun. Aku akan berjuang sekuat tenaga untuk mengatasi
masalah ini. Oleh karena itu, mohon nasihat dan pengawasan dari para sahabat
sekalian, supaya aku bisa menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.”
Saat itu hujan belum
benar-benar reda, hanya tinggal gerimis saja. Di bawah cahaya obor, wajah Feng
Buping terlihat berseri-seri. Ia melanjutkan, “Dosa Yue Buqun sudah terlalu
besar dan tidak bisa diampuni lagi. Kita harus tegakkan aturan perguruan tanpa
ragu-ragu. Adik Cong, bersihkan perguruan kita dari murid durhaka ini. Bunuh
Yue Buqun beserta istrinya!”
Seorang laki-laki berusia lima
puluhan mengiakan dan segera menghunus pedangnya mendekati Yue Buqun. Ia
berkata, “Orang bermarga Yue, kau telah merusak nama baik perguruan kita. Hari
ini kau harus menerima hukuman yang setimpal.”
Yue Buqun menghirup nafas
panjang, dan menjawab, “Bagus sekali, bagus sekali. Demi untuk merebut jabatan
ketua, kalian dari Kelompok Pedang tidak segan-segan berbuat keji. Cong Buqi,
hari ini kalian boleh membunuhku. Tapi kelak di alam sana apa kalian masih
punya muka untuk menemui para leluhur?”
Orang bernama Cong Buqi itu
tertawa dan menjawab, “Orang yang banyak berbuat kejahatan pasti akan menuai
karma. Meskipun kau tidak kubunuh tetap saja akan mati di tangan orang lain.
Jika demikian, tentu kurang baik, bukan?”
“Adik Cong,” bentak Feng
Buping. “Tidak ada gunanya banyak bicara. Cepat laksanakan hukuman!”
“Baik!” jawab Cong Buqi. Ia
pun mengangkat pedangnya siap memenggal kepala Yue Buqun. Di bawah cahaya obor
pedangnya terlihat berkilau mengerikan.
“Tunggu dulu!” seru Ning
Zhongze tiba-tiba mencegah. “Kami tidak tahu menahu di mana kitab Pedang
Penakluk Iblis berada. Menangkap pencuri harus ada barang buktinya. Kalau
menuduh tanpa bukti itu merupakan fitnah. Sungguh bukan sifat kesatria.”
“Benar juga!” jawab Cong Buqi.
Ia kemudian berjalan mendekati Nyonya Yue sambil menyeringai, “Bagus sekali.
Menangkap pencuri harus disertai bukti. Aku rasa kemungkinan besar kitab Pedang
Penakluk Iblis disembunyikan di dalam bajumu. Biar aku geledah supaya kau tidak
menuduh kami melakukan tuduhan fitnah.” Usai berkata demikian, laki-laki itu
menjulurkan tangan untuk menggerayangi baju Ning Zhongze.
Nyonya Yue yang terluka dan
juga tertotok hanya bisa memandang tajam tangan Cong Buqi yang semakin
mendekat, tanpa bisa bergerak sedikit pun. Sungguh suatu hal yang sangat
memalukan apabila seujung jari saja ia tersentuh oleh laki-laki itu. Dalam
keadaan yang sangat genting, Ning Zhongze kemudian berseru ke arah Ding Mian,
“Saudara Ding dari Perguruan Songshan!”
“Ada apa?” tanya Ding Mian
tanpa menduga sebelumnya.
“Kakak seperguruanmu adalah
Ketua Zuo yang merupakan pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung. Beliau seorang
panutan di dunia persilatan. Perguruan Huashan kami adalah bagian dari
perserikatan. Apakah yang akan kau sampaikan kepada Beliau jika kau membiarkan seorang
wanita dilecehkan manusia rendah ini di hadapanmu?”
Ding Mian tampak kebingungan
dan menjawab gugup, “Masalah ini....”
Tanpa memberi kesempatan, Ning
Zhongze melanjutkan, “Mereka menuduh suamiku sebagai murid durhaka tanpa ada
bukti yang nyata. Justru mereka adalah dua pengkhianat dari Perguruan Huashan.
Asalkan salah satu dari mereka bisa mengalahkan suamiku, maka kami bersedia
menyerahkan jabatan ketua Huashan secara sukarela. Mati pun kami tidak
menyesal. Tapi kalau seperti ini, bagaimanapun juga tindakan mereka tidak
pantas diterima oleh ribuan kesatria dunia persilatan yang mengutamakan
kebenaran dan keadilan.”
Usai berkata demikian Ning
Zhongze meludahi Cong Buqi wajah Cong Buqi. Karena Cong Buqi tepat berada di
hadapannya serta tidak menduga sama sekali, mau tidak mau air ludah wanita itu
mendarat tepat di antara kedua matanya.
“Perempuan bangsat!” bentak
Cong Buqi dengan sangat marah.
Sebaliknya, Ning Zhongze
membalas, “Kaum pengkhianat dari Kelompok Pedang semuanya tidak becus.
Sebenarnya suamiku tidak perlu turun tangan. Cukup aku, seorang wanita saja
sudah bisa membinasakan kalian dengan mudah, andai saja tubuhku tidak tertotok
seperti ini.”
“Baiklah!” seru Ding Mian
menanggapi. Ia pun menjalankan kudanya mendekati Ning Zhongze dan kemudian
berputar sehingga kini berada di belakang wanita itu. Laki-laki bertubuh besar
itu langsung melecutkan cambuknya tiga kali ke arah punggung Ning Zhongze.
Seketika, Nyonya Yue berjingkat gemetar pertanda tiga totokan di tubuhnya
terbuka.
Setelah mampu menguasai
tubuhnya, Ning Zhongze pun meraih pedangnya yang tergeletak di tanah. Ia paham
maksud Ding Mian adalah mengizinkan dirinya bertanding melawan Cong Buqi. Hasil
akhir pertandingan nanti bukan hanya menentukan hidup mati Keluarga Yue, tapi
juga bagaimana kelanjutan Perguruan Huashan. Jika ia bisa mengalahkan Cong
Buqi, maka keadaan genting bisa berubah menjadi keselamatan. Sebaliknya, jika
Cong Buqi yang unggul maka tidak akan ada harapan lagi. Akan tetapi, baru saja
memasang kuda-kuda, kaki Ning Zhongze mendadak terasa sakit dan lemas. Hampir
saja ia jatuh berlutut. Rupanya luka di kaki wanita tersebut cukup parah
sehingga kesulitan untuk bangkit dan berdiri dengan tegak.
“Hahahaha!” terdengar suara
Cong Buqi bergelak tawa. “Kau menyebut dirimu bukan wanita lemah. Tapi sekarang
kau berpura-pura terluka segala. Lalu untuk apa menantang bertanding segala?
Jika aku menang juga bukan kemenangan yang gemilang....”
“Awas!” seru Nyonya Yue tanpa
menunggu lebih lanjut sambil menusukkan pedangnya dengan sangat cepat sebanyak
tiga kali. Dalam setiap tusukan, ia mengerahkan segenap tenaga sampai pedangnya
menimbulkan suara berdesing. Setiap tusukan selalu lebih dahsyat daripada
tusukan sebelumnya, dan kesemuanya mengarah ke tiga titik mematikan di tubuh
lawan.
“Bagus!” sahut Cong Buqi
sambil mundur dua langkah untuk menghindar. Sebenarnya Ning Zhongze masih bisa
memburunya. Namun luka di kaki membuatnya terpaksa berdiri di tempat semula
tanpa berani mengambil risiko.
Cong Buqi maju dan membalas
serangan sebanyak tiga kali hingga pedangnya berdesing pula. Ning Zhongze
mengelak dan melancarkan gerakan untuk menangkis ketiga serangan itu. Menyusul
kemudian ia pun membalas dengan menusuk ke arah perut Cong Buqi. Dan begitulah,
kedua orang itu saling menyerang silih berganti.
Yue Buqun yang tidak dapat
bergerak hanya bisa menyaksikan istrinya bertarung melawan musuh dengan
menanggung luka di kaki. Sebaliknya, gerakan pedang Cong Buqi terlihat begitu
lincah dan memiliki lebih banyak ragam perubahan. Setelah melewati sepuluh
jurus, gerakan Ning Zhongze semakin terganggu dan pedangnya menjadi lebih
lambat. Bagaimanapun juga dalam hal pengerahan tenaga, Kelompok Tenaga Dalam
tentu lebih unggul. Akan tetapi, luka di kaki membuat wanita itu tidak mampu
mengerahkan tenaga dalam dengan lancar, sehingga mau tidak mau pedang Cong Buqi
lebih memimpin keadaan.
Yue Buqun semakin gelisah
melihat istrinya mempercepat irama permainan pedangnya. “Kelompok Pedang
memiliki lebih banyak jurus pedang dan lebih bagus permainannya daripada
Kelompok Tenaga Dalam kita. Menyerang lawan dari pihak mereka dengan
mengandalkan keterampilan bermain pedang sama artinya dengan bunuh diri.”
Demikian pikir Yue Buqun.
Sebenarnya Nyonya Yue juga
menyadari hal ini. Namun karena luka di kaki yang cukup parah serta keadaannya
yang baru saja ditotok musuh sehingga tidak sempat mengobati diri sendiri,
bahkan saat ini pun pendarahan pada luka tersebut masih belum berhenti,
sehingga ia tidak mampu mengumpulkan tenaga dalam untuk menghadapi lawan. Oleh
karena itu, Ning Zhongze merasa tidak mempunyai pilihan lain kecuali terus
menyerang tanpa henti, meskipun kekuatan pedangnya semakin lama semakin
berkurang.
Di lain pihak, setelah berlalu
belasan jurus selanjutnya, Cong Buqi mulai mengetahui kelemahan Ning Zhongze
tersebut. Laki-laki itu hanya tersenyum gembira, dan ia pun sengaja
memperlambat irama permainannya dan ganti melancarkan jurus bertahan yang rapat
untuk semakin menguras tenaga wanita itu.
Linghu Chong yang mengamati
pertandingan dengan seksama dapat melihat ilmu pedang Cong Buqi sangat
mengandalkan teknik dan jurus, tanpa disertai tenaga dalam sedikit pun. Hal ini
jelas berbeda dengan ajaran gurunya yang lebih mengutamakan tenaga dalam
daripada jurus pedang. “Pantas saja Perguruan Huashan terpecah menjadi Kelompok
Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang. Kedua pihak benar-benar menggunakan prinsip
yang saling berlawanan,” pikir pemuda itu.
Perlahan-lahan Linghu Chong
merangkak bangkit. Dipungutnya sebilah pedang yang kebetulan tergeletak di
dekatnya. Dalam hati ia berkata, “Perguruan Huashan sudah kalah. Ibu Guru bukan
tandingan laki-laki itu. Tapi aku tidak akan membiarkan bajingan itu melecehkan
kehormatan Ibu Guru dan juga Adik Kecil. Baiklah, lebih baik dengan pedang ini
aku bunuh Ibu Guru dan Adik Kecil untuk menjaga kehormatan Huashan, baru
kemudian aku bunuh diri memotong leherku sendiri.”
Sementara itu permainan Ning
Zhongze tampak semakin kacau dan tidak teratur. Akhirnya ia nekad menusuk ke
depan menggunakan ilmu kebanggaannya, yaitu Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa
Tanding. Meskipun Nyonya Yue sedang terluka cukup parah, namun gerakan jurus
tersebut tetap saja terlihat menakutkan.
Cong Buqi terkejut dan segera
melompat mundur dengan sangat cepat. Beruntung ia bisa menghindari serangan
maut tersebut. Andai saja Ning Zhongze dalam keadaan sehat, tentu pihak lawan
tidak akan mempunyai kesempatan untuk menghindar. Sebaliknya, Ning Zhongze
sendiri baru saja menguras segenap tenaga untuk melancarkan jurus tersebut
sehingga kini wajahnya terlihat pucat dan nafasnya terengah-engah. Bahkan untuk
menyangga keseimbangan tubuh, pedang pun digunakan sebagai tongkat.
“Nyonya Yue, ada apa denganmu?
Apa kau sudah kehabisan tenaga? Sekarang, izinkan aku menggeledah tubuhmu,”
ujar Cong Buqi sambil melangkah maju dan mengangkat tangan kiri dalam keadaan
terbuka. Selangkah demi selangkah laki-laki itu makin mendekati Ning Zhongze.
Nyonya Yue sendiri berusaha
mengangkat pedangnya dan melanjutkan pertarungan. Akan tetapi, ia merasa berat
luar biasa, sedikit pun tidak ada tenaga lagi.
“Tunggu dulu!” teriak Linghu
Chong tiba-tiba. Perlahan-lahan pemuda itu melangkah ke depan Ning Zhongze dan
kemudian berkata, “Ibu Guru!” Usai menyapa demikian ia mengacungkan pedang siap
menusuk sang ibu-guru sampai mati.
Nyonya Yue tampak tersenyum
gembira memahami maksud murid pertama suaminya itu. Ia mengangguk-angguk dan
berkata, “Anak pintar!” Perasaan lega membuatnya tak kuasa berdiri lagi dan ia
pun jatuh terduduk di atas tanah berlumpur.
Melihat itu Cong Buqi
membentak, “Apa yang kau lakukan? Enyah kau!” Bersamaan dengan itu ia pun
menusuk ke arah tenggorokan Linghu Chong.
Linghu Chong sendiri menyadari
bahwa dirinya tidak mampu mengerahkan tenaga dalam sama sekali. Apabila ia
menangkis serangan tersebut, maka pedangnya sendiri yang akan terpukul jatuh.
Maka, yang ia lakukan justru mengacungkan pedang ke arah tenggorokan Cong Buqi
pula. Dapat dibayangkan hasil akhir kejadian ini adalah kedua pihak mati
bersama. Tusukan Linghu Chong ini sama sekali tidak memiliki kekuatan dahsyat.
Akan tetapi, teknik yang sangat memesona tersebut adalah bagian dari ilmu
Sembilan Pedang Dugu.
Tentu saja hal ini membuat
Cong Buqi kelabakan. Ia sama sekali tidak menduga seorang bocah kotor akan
melancarkan serangan balasan seperti ini. Tanpa pikir panjang, laki-laki itu
langsung menjatuhkan diri ke samping dan bergulingan di tanah sampai beberapa
meter jauhnya untuk menghindari pedang Linghu Chong. Terlambat sedetik saja,
mungkin nyawanya sudah melayang.
Para hadirin menyaksikan
keadaan Cong Buqi dengan tatapan prihatin. Cong Buqi pun melompat bangkit
dengan berlumuran lumpur di sekujur tubuh dan wajahnya. Beberapa orang tidak
kuasa menahan tawa melihatnya. Namun setelah menyadari bahwa Cong Buqi tidak
punya pilihan lain, mereka pun langsung berhenti tertawa.
Akan tetapi, Cong Buqi sudah
terlanjur malu. Ia pun melompat dengan cepat dan menerjang ke arah Linghu
Chong.
Linghu Chong kini menyadari
bagaimana ia harus menghadapi lawan. “Aku tidak boleh mengerahkan tenaga dalam
sedikit pun karena hanya akan mencelakakan diriku sendiri. Aku harus menghadapi
serangannya dengan menggunakan ilmu pedang seperti yang diajarkan Kakek Guru
Feng,” pikir pemuda itu.
Linghu Chong sudah mulai akrab
dengan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Ia tidak akan menggunakan jurus-jurus
tersebut secara terang-terangan apabila tidak dalam keadaan genting dan
mendesak. Kali ini dalam keadaan di antara hidup dan mati, entah bagaimana
berbagai kilatan pikiran terlintas dalam benaknya, dan kesemuanya adalah
cara-cara mematahkan jurus pedang, sebagaimana yang pernah diajarkan Feng
Qingyang dulu. Maka begitu Cong Buqi menerjang seperti orang gila, Linghu Chong
langsung menjemputnya dengan ujung pedang diacungkan miring ke depan.
Sasarannya adalah perut lawan.
Cong Buqi kembali terkejut.
Berdasarkan pengalaman, apabila ia melancarkan serangan seperti itu maka pihak
musuh selalu berusaha menghindar atau menangkis. Oleh karena itu, ia tidak
pernah memperhatikan bagian perutnya yang terbuka tanpa perlindungan. Namun
kali ini ia bertemu lawan yang aneh. Bukannya menangkis, Linghu Chong justru
membalas serangan tersebut dengan mengacungkan pedang ke arah perutnya.
Sebelum kakinya mendarat di
tanah, Cong Buqi pun mengubah haluan serangan untuk menghindari bahaya. Dalam
keadaan melayang di udara ia menebaskan pedang ke bawah untuk menjatuhkan
pedang Linghu Chong. Namun Linghu Chong sudah melakukan gerakan antisipasi
dengan lebih dulu menggeser pedang dan mengacungkannya ke atas, sehingga
tebasan Cong Buqi hanya mengenai tempat kosong.
Keadaan selanjutnya sungguh di
luar dugaan. Kini pedang Linghu Chong sudah mengarah ke dada lawan. Tadinya
Cong Buqi berniat menjatuhkan pedang pemuda itu, siapa sangka justru kini ia
yang berada dalam bahaya karena tidak menduga sama sekali kalau Linghu Chong
justru melakukan gerakan seperti itu. Cong Buqi pun berteriak ngeri karena
tidak mampu lagi menghindari maut di depan mata saat tubuhnya melayang jatuh
menuju ujung pedang si pemuda.
Melihat adik seperguruannya
dalam bahaya, Feng Buping segera melompat maju dan berhasil menangkap punggung
Cong Buqi. Namun tindakannya sudah terlambat. Pedang Linghu Chong sudah lebih
dulu menusuk bahu Cong Buqi.
Tanpa pikir lagi Feng Buping
langsung mencabut pedang untuk menebas tengkuk Linghu Chong. Dalam keadaan
biasa, Linghu Chong tentu akan melompat mundur dan membalas serangan. Namun
Linghu Chong paham bahwa untuk melompat mundur dalam keadaan seperti itu harus
mengerahkan tenaga dalam, dan itu akan mencelakakan diri sendiri. Tanpa ada
pilihan lain, Linghu Chong pun menarik pedangnya dari bahu Cong Buqi untuk
kemudian menusuk ke arah ulu hati Feng Buping. Gerakan ini juga bagian dari
ilmu Sembilan Pedang Dugu. Sepertinya ini juga serangan bunuh diri yang
dilakukan Linghu Chong. Akan tetapi, jika diperhitungkan maka pedang Linghu Chong
akan lebih dulu menusuk perut lawan daripada pedang Feng Buping mengenai
dirinya. Memang serangan mereka berdua hanya selisih satu detik, namun hasil
akhirnya sungguh mencengangkan.
Tentu saja Feng Buping
terkejut bukan main karena mengetahui meskipun si pemuda tidak bisa menghindari
serangannya namun secara tiba-tiba melancarkan tusukan jitu ke arah ulu
hatinya. “Sungguh serangan luar biasa!” pikir Feng Buping sambil melompat
mundur beberapa langkah. Setelah menghirup nafas panjang, ia lalu menerjang
maju dengan melancarkan tujuh serangan beruntun. Setiap serangan selalu lebih
gencar daripada serangan sebelumnya. Kali ini Linghu Chong merasa seperti
menghadapi terjangan angin badai.
Akan tetapi, Linghu Chong
sendiri sudah tidak memikirkan hidup dan mati. Yang ada dalam pikirannya
hanyalah segala teknik pedang yang pernah diajarkan Feng Qingyang tempo hari.
Terkadang ia juga teringat pada gambar-gambar jurus yang terukir pada dinding
gua di puncak Huashan. Berbekal jurus-jurus tersebut ia menyerang Feng Buping
sekenanya dan sesuka hatinya. Tak terasa sudah enam puluh jurus terlewati,
namun sekejap pun pedang mereka tidak pernah berbenturan. Baik itu gerakan
menyerang ataupun bertahan, semua terlihat indah dan mengagumkan.
Menyaksikan pertandingan dahsyat
tersebut, para hadirin hanya bisa terkagum-kagum dalam hati. Hampir semua orang
dapat mendengar dengan jelas suara nafas Linghu Chong yang terengah-engah,
pertanda ia sama sekali tidak memiliki tenaga dalam untuk melawan. Meskipun
demikian, pemuda itu tetap mampu melahirkan gaya-gaya serangan baru yang tidak
terduga sebelumnya. Gerakan-gerakan yang dilancarkannya benar-benar sukar
ditebak oleh setiap orang. Setiap kali Feng Buping melancarkan serangan, entah
bagaimana Linghu Chong mampu menghadapi dengan serangan balik pula; sama sekali
tidak ada gerakan menangkis atau sejenisnya.
Feng Buping juga menyadari
kalau Linghu Chong sama sekali tidak memiliki tenaga dalam. Maka, selain
berusaha melukai tubuh Linghu Chong, ia juga berusaha memukul jatuh pedang milik
pemuda itu. Maka, serangannya pun kemudian disertai dengan tenaga dalam yang
sangat kuat.
Menyaksikan itu beberapa
hadirin yang menonton dari jarak dekat mulai merasa kurang senang. Seorang
pendeta dari Taishan pun menyindir, “Si paman dari Kelompok Pedang memiliki
tenaga dalam lebih hebat, sedangkan si keponakan dari Kelompok Tenaga Dalam
justru memiliki permainan pedang lebih bagus. Apa-apaan ini? Apakah kalian
sudah bertukar seenaknya?”
Wajah Feng Buping bersemu
merah mendengar ejekan itu. Ia pun melancarkan serangan yang semakin gencar dan
lebih cepat dari sebelumnya, bagaikan hujan deras dan angin kencang.
Bagaimanapun juga ia adalah pendekar terbaik dalam Kelompok Pedang di Perguruan
Huashan. Sudah tentu ilmu pedangnya boleh dikata sangat memukau dan nyaris
sempurna.
Linghu Chong sendiri sudah
tidak memiliki tenaga cadangan untuk menghindar. Sisa-sisa tenaga yang ia
miliki hanya digunakan untuk menjaga tubuhnya agar tetap berdiri tegak. Oleh
sebab itu, ia kehilangan banyak kesempatan untuk melancarkan serangan yang bisa
mengakhiri pertandingan. Di samping itu, ia sendiri juga belum benar-benar
lancar dalam memainkan ilmu Sembilan Pedang Dugu sehingga mau tidak mau hatinya
merasa gentar juga. Meskipun demikian, dalam pertarungan tersebut masih sulit
ditentukan siapa yang menang, siapa yang kalah.
Setelah melewati tiga puluh
jurus berikutnya, Linghu Chong menyadari apabila dirinya melancarkan serangan
yang aneh dan sesuka hati, pihak lawan justru semakin sukar untuk mengatasi.
Namun jika ia melancarkan jurus pedang Huashan, atau jurus-jurus Serikat Pedang
Lima Gunung lainnya, maka dengan mudah Feng Buping dapat menghadapinya. Bahkan
pada suatu kesempatan, hampir saja Feng Buping berhasil memenggal lengan
kanannya. “Sungguh mengerikan!” Demikian pikir pemuda itu.
Dalam keadaan genting, Linghu
Chong teringat nasihat Feng Qingyang, “Pedangmu tidak jelas arah serangannya,
tentu musuhmu tidak dapat pula mengatasinya. Tanpa jurus untuk mengalahkan
jurus adalah puncak kesempurnaan dari segala ilmu pedang.”
Tak terasa sudah lebih dari
dua ratus jurus terlewati. Pemahaman Linghu Chong terhadap intisari ilmu
Sembilan Pedang Dugu semakin baik dan semakin mendalam. Tak peduli betapa
mengerikan gaya serangan yang dilancarkan Feng Buping tetap saja ia mampu melihat
celah kelemahannya. Maka, serangan lawan pun dibalas dengan serangan pula,
sehingga membuat Feng Buping yang masih sayang nyawa terpaksa membatalkan
serangannya atau bergerak mundur untuk menjaga diri.
Setelah berlalu beberapa jurus
berikutnya, rasa percaya diri Linghu Chong semakin meningkat. Ia terus-menerus
teringat pada ajaran Feng Qingyang, “Tanpa jurus mengalahkan jurus.” Oleh sebab
itu, ia selalu menghirup nafas dan menyerang sesuka hati tanpa arah yang jelas.
Tanpa direncanakan tiba-tiba ia menusuk miring ke depan. Gerakannya ini seperti
enteng tak bertenaga. Ini bukan bagian dari jurus pedang perguruan mana pun,
juga bukan bagian dari ilmu Sembilan Pedang Dugu. Ujung pedangnya seperti
mengarah ke timur, seperti mengarah ke barat, tidak menentu – bahkan, ia
sendiri juga tidak tahu hendak mengarah ke mana.
“Jurus pedang apa pula ini?”
tanya Feng Buping dalam hati. Karena tidak tahu bagaimana caranya mengatasi
serangan tersebut, terpaksa ia hanya memutar pedangnya dengan kencang untuk
melindungi tubuh bagian atas.
Karena gerakan Linghu Chong
sama sekali tidak baku dan bisa berubah sesuai keadaan, maka begitu bagian atas
tubuh lawan tertutup rapat, ia pun membelokkan ujung pedangnya mengarah ke
bawah pinggang. Feng Buping yang tidak menduga sama sekali pun terkejut dan
terpaksa melompat mundur.
Linghu Chong sendiri tidak
sanggup untuk ikut melompat. Meskipun tidak menggunakan tenaga dalam sama
sekali, namun menggerakkan pedang seperti tadi benar-benar menguras habis
kekuatannya. Nafas pemuda itu terdengar payah dan tangan kirinya tampak
memegangi dada.
Melihat keadaan lawan, Feng
Buping ingin segera mengakhiri pertarungan. Ia pun menerjang maju dan
melancarkan serangan ke arah dada, perut, dan pinggang Linghu Chong. Namun yang
diserang sama sekali tidak menghindar, tetapi balas menyerang ke arah mata kiri
Feng Buping. Tentu saja Feng Buping menjerit kaget dan kembali melompat mundur
menyelamatkan diri.
Menyaksikan pertarungan
tersebut seorang pendeta dari Perguruan Taishan memuji, “Sungguh aneh! Sungguh
aneh! Ilmu pedang yang benar-benar hebat!”
Feng Buping sangat tersinggung
karena pujian tersebut sudah tentu ditujukan kepada Linghu Chong. “Aku adalah
pemimpin Kelompok Pedang yang berniat merebut Perguruan Huashan. Jika aku tidak
bisa mengalahkan murid Kelompok Tenaga Dalam, tentu bukan hanya cita-citaku
yang kandas, tetapi aku juga harus kembali mengasingkan diri karena sudah tidak
punya muka lagi untuk bertemu siapa pun di dunia persilatan.” Demikian ia
berpikir. “Keadaan sudah sangat mendesak. Tidak ada lagi yang perlu aku
sembunyikan!”
Sambil memekik lantang, Feng
Buping pun menerjang maju kemudian menebaskan pedangnya dari samping secara
cepat luar biasa. Secara bersamaan ia menyerang lima kali sehingga pedangnya
mengeluarkan bunyi angin yang menderu kencang. Ia menebaskan pedangnya semakin
cepat, dan bunyi angin pun terdengar semakin kencang pula.
Inilah yang disebut jurus
Pedang Kilat Angin Puyuh yang diciptakan Feng Buping sewaktu ia mengasingkan
diri di puncak Gunung Zhongtiao selama lima belas tahun. Setiap serangan dalam
jurus ini selalu lebih dahsyat daripada serangan sebelumnya, serta suara angin
yang ditimbulkan juga semakin kencang dari sebelumnya. Jurus ini merupakan
jurus tertinggi yang dimiliki Feng Buping. Dengan berbekal ilmu pedang yang
berjumlah seratus delapan jurus serangan tersebut, ia tidak hanya bercita-cita
merebut kedudukan ketua Perguruan Huashan, tetapi juga ingin menjadi pemimpin
Serikat Pedang Lima Gunung. Sebenarnya ia tidak ingin buru-buru memamerkan ilmu
pedang tersebut dalam pertandingan kali ini, namun kini sudah terlanjur.
Apabila kelak ia bertarung melawan ahli silat papan atas yang pernah
mendengarnya, tentu jurus ini bukan menjadi senjata andalan lagi. Pihak lawan
pasti sudah mempersiapkan jurus tertentu untuk menghadapinya. Akan tetapi,
keadaan kali ini sudah begitu mendesak dan tidak ada gunanya untuk
disembunyikan lagi. Jika ia tidak mampu mengalahkan seorang Linghu Chong, maka
ia akan kehilangan muka untuk selama-lamanya. Maka, jurus pedang andalan ini pun
menjadi usaha terakhir baginya untuk meraih kemenangan.
Daya tekanan jurus Pedang
Kilat Angin Puyuh ini sungguh luar biasa. Tenaga yang terpancar dari ujung
pedang Feng Buping perlahan-lahan semakin luas. Para hadirin merasa kedinginan
dan muka masing-masing terasa sakit serta tidak nyaman karena tersapu angin
pedang tersebut. Selangkah demi selangkah mereka pun mundur untuk menghindar.
Kali ini para penonton dari
Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan, serta pasangan suami-istri Yue Buqun
tidak lagi berani memandang rendah terhadap Feng Buping. Mereka tidak hanya
mengagumi kehebatan jurus pedang tersebut, tapi juga angin dahsyat yang
ditimbulkan olehnya. “Feng Buping tidak hanya mengandalkan jurus pedang untuk
memenangkan pertarungan. Tadinya ia bukan tokoh ternama di dunia persilatan.
Siapa sangka ilmu pedangnya begitu luar biasa?” Demikian para hadirin berkata
dalam hati.
Cahaya obor yang dipegang para
hadirin tampak bergoyang-goyang bahkan sebagian ada yang padam terkena angin
pedang Feng Buping. Di mata para hadirin, pertarungan mengerikan itu bagaikan
menyaksikan sebuah perahu kecil yang diombang-ambingkan badai dan ombak
samudera. Meskipun badai bertiup kencang dan ombak bergulung tinggi, namun
perahu itu hanya naik turun mengikuti irama gelombang saja. Perahu sama sekali
tidak bisa ditenggelamkan oleh badai dan ombak dahsyat tersebut.
Begitulah yang sedang dialami
Linghu Chong. Semakin cepat Feng Buping melancarkan serangan, semakin membuat
Linghu Chong memahami intisari Sembilan Pedang Dugu sebagaimana yang diajarkan
Feng Qingyang dulu. Semakin mereka bertarung, semakin baik pemahaman Linghu
Chong. Semakin ia mampu mengatasi jurus pedang lawan, semakin besar pula rasa
percaya dirinya. Justru dalam keadaan ini Linghu Chong tidak ingin buru-buru menyelesaikan
pertarungan, melainkan terus mengamati setiap serangan musuh dengan saksama.
Ilmu Pedang Kilat Angin Puyuh
hanya meliputi seratus delapan jurus saja. Setelah dimainkan semuanya dalam
waktu sebentar ternyata sudah habis. Feng Buping merasa gelisah karena tidak
mampu membuat Linghu Chong menyerah kalah. Ia pun membentak-bentak murka dan
menyerang dengan lebih sengit lagi untuk memancing Linghu Chong menangkis
serangannya.
Linghu Chong agak ngeri juga
melihat pihak lawan sudah bertingkah habis-habisan untuk memenangkan
pertarungan. Khawatir pertarungan ini berlarut-larut, ia pun melancarkan empat
serangan ke arah lawan. Tiba-tiba bertutut-turut kedua lengan dan kedua paha
Feng Buping tertusuk semua. Tusukan tersebut membuat Feng Buping terkejut dan
pedangnya sampai jatuh ke tanah.
Dikarenakan tenaga Linghu
Chong yang lemah, maka keempat tusukan tersebut hanya menggores kulit lawan.
Namun demikian, hal itu sudah cukup membuat Feng Buping kehilangan harga diri.
Dengan wajah pucat pasi, pemimpin Kelompok Pedang tersebut berseru, “Sudahlah,
sudah cukup!”
Ia kemudian berjalan
menghampiri Ding Mian, Lu Bai, dan Tang Ying’e. Sambil memberi hormat, ia pun
berkata, “Saudara bertiga dari Songshan, tolong sampaikan kepada Ketua Zuo
bahwa aku sangat berterima kasih atas bantuan Beliau. Hanya sayang... hanya
sayang kepandaianku belum cukup. Aku sungguh malu… sungguh malu….”
Feng Buping tidak sanggup lagi
melanjutkan ucapannya. Sekali lagi ia memberi hormat, kemudian bergegas pergi
meninggalkan tempat itu. Namun setelah belasan langkah, ia menoleh ke belakang
dan bertanya, “Anak Muda, ilmu pedangmu sungguh hebat dan lihai. Aku mengaku
kalah. Tapi, sepertinya jurus-jurusmu yang menakjubkan tadi bukan hasil didikan
Yue Buqun. Jika diizinkan, tolong beri tahu siapa namamu, dan siapa pula
pendekar besar yang telah mengajarimu, supaya aku tidak penasaran terhadap
siapa dan apa yang telah mengalahkanku.”
Linghu Chong menjawab, “Namaku
Linghu Chong. Aku murid pertama dari Pendekar Yue Buqun yang budiman. Aku bisa
menang juga karena belas kasihan dari Tuan yang sudi mengalah. Mengenai hal ini
rasanya tidak perlu untuk dibanggakan.”
Feng Buping menghela nafas
panjang, yang terdengar seolah ingin menunjukkan kegelisahan hatinya yang penuh
rasa kecewa dan patah semangat. Perlahan ia melangkah pergi dan akhirnya hilang
ditelan kegelapan malam.
Ding Mian, Lu Bai, dan Tang
Ying’e hanya saling pandang satu sama lain. Masing-masing dari mereka berpikir,
“Ilmu pedang kami mungkin tidak sebagus Feng Buping, sehingga tidak ada gunanya
jika kami maju menghadapi Linghu Chong. Apabila kami bertiga maju bersama-sama,
bisa jadi Linghu Chong dapat dikalahkan. Namun, di sini banyak para pendekar
dari perguruan lain. Main keroyok hanya akan mendatangkan masalah baru yang
dapat berpengaruh buruk bagi nama baik Perguruan Songshan.”
Karena sama-sama berpikir
demikian, mereka bertiga pun mengangguk-anggukkan kepala. Ding Mian kemudian
berkata dengan suara keras, “Keponakan Linghu, ilmu pedangmu benar-benar hebat,
membuat kami semua bertambah pengalaman. Sampai jumpa di lain kesempatan!”
“Ayo jalan!” seru Tang Ying’e
yang kemudian melecutkan cambuknya. Kudanya pun berlari meninggalkan tempat
itu, diikuti seluruh rombongan Serikat Pedang Lima Gunung lainnya. Hanya dalam
waktu singkat mereka sudah menghilang di kegelapan malam. Yang terdengar
sayup-sayup hanya derap kaki kuda yang makin lama makin menjauh.
Kini yang tertinggal hanyalah
orang-orang Huashan dan kelima belas laki-laki bercadar tadi. Si orang tua
tertawa lalu berkata, “Pendekar muda Linghu, kami sungguh-sungguh kagum melihat
ilmu pedangmu yang luar biasa hebat. Kepandaian Yue Buqun masih berada sangat
jauh di bawahmu. Seharusnya kau yang menjadi ketua Perguruan Huashan.”
Linghu Chong diam tidak
menjawab. Hanya nafasnya yang terengah-engah terdengar jelas oleh para penjahat
itu.
“Melihat kepandaianmu tadi
kami seharusnya tahu diri dan mundur teratur,” lanjut si orang tua. “Tapi kami
sudah terlanjur mengganggu Perguruan Huashan kalian. Jika kami mundur maka
suatu hari nanti giliran kalian yang akan membalas kami. Untuk itu, kami harus
mencabut rumput sampai ke akar-akarnya. Tidak ada jalan lain, kami terpaksa
harus mengeroyokmu bersama-sama.”
Usai berkata demikian, orang
tua itu memberi isyarat dan keempat belas kawannya langsung ikut mengepung
rapat Linghu Chong membentuk suatu lingkaran. Obor-obor yang ditinggalkan
rombongan Ding Mian masih berserakan di tanah dan belum padam. Samar-samar
Linghu Chong bisa melihat tubuh bagian bawah kelima belas orang bercadar itu
yang masing-masing menggunakan senjata berbeda-beda.
Mau tidak mau timbul rasa
khawatir dalam hati Linghu Chong. Dalam pertarungan melawan Feng Buping tadi
memang ia tidak menggunakan tenaga dalam, tapi tetap saja membuatnya sangat
letih dan kelelahan. Dengan berbekal ilmu Sembilan Pedang Dugu ia berhasil
mengalahkan semua jurus pedang yang dikerahkan Feng Buping. Akan tetapi, saat
ini yang ia hadapi adalah lima belas orang musuh dengan senjata berbeda-beda,
sehingga tentu saja memiliki jurus yang berbeda-beda pula. Apabila mereka nanti
maju bersama-sama, tentu akan sulit untuk mengalahkan mereka satu per satu
meskipun dengan mengandalkan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Andaikan Linghu Chong
masih memiliki tenaga dalam rasanya juga percuma, karena kelima belas orang itu
mengepung rapat dirinya dari segala arah.
Dalam keadaan putus asa itu
Linghu Chong menghela nafas dan memandang ke arah Yue Lingshan. Ia merasa
mungkin ini adalah untuk yang terakhir kalinya ia dapat memandang wajah gadis
yang sangat ia cintai itu. Ternyata tatapan mata Yue Lingshan kepadanya juga
menunjukkan wajah penuh rasa cemas dan khawatir. Sungguh senang perasaan Linghu
Chong tak terkatakan. Dalam saat-saat terakhir ia masih sempat melihat adik
kecilnya itu menunjukkan kasih sayang kepadanya.
Akan tetapi, ketika Linghu
Chong melirik ke samping, tampak samar-samar tangan Yue Lingshan bergenggaman
erat dengan tangan seorang pemuda, yang tidak lain adalah Lin Pingzhi. Seketika
Linghu Chong merasa hatinya disayat-sayat. Semangat bertempurnya patah. Rasanya
ia ingin membuang senjata dan membiarkan kelima belas senjata lawan menghabisi
nyawanya.
Di lain pihak, kelima belas
orang bercadar ternyata tidak berani mendahului serangan karena masing-masing
tidak ingin bernasib seperti Feng Buping. Mereka hanya maju selangkah demi
selangkah dan semakin rapat mengepung Linghu Chong.
Dalam kegelapan itu Linghu
Chong samar-samar dapat melihat lima belas pasang mata para pengepungnya yang
berkedip-kedip bagaikan binatang buas sedang mengincar mangsa. Penuh dengan
tatapan keji dan sikap bermusuhan. Menyaksikan itu membuat dirinya teringat
sesuatu.
“Aku ingat, dalam ilmu
Sembilan Pedang Dugu ada satu jurus yang bernama Cara Mengalahkan Senjata
Rahasia. Tak peduli berapa pun banyaknya senjata rahasia atau anak panah yang
berhamburan, aku bisa mengatasinya tanpa masalah. Semua bisa disapu secara
bersamaan.”
Sekejap kemudian terdengar
suara si orang tua berseru memberi perintah, “Maju semua! Habisi dia!”
Tanpa pikir lagi Linghu Chong
pun menggerakkan pedangnya secara melingkar mengelilingi dirinya. Ia
membayangkan lima belas pasang mata yang mengepungnya bagaikan tiga puluh
senjata rahasia yang sedang berhamburan. Sekejap kemudian terdengar suara jerit
kesakitan orang-orang bercadar itu, serta suara senjata berjatuhan di tanah. Rupanya
dengan memainkan jurus Cara Mengalahkan Senjata Rahasia, Linghu Chong berhasil
membutakan tiga puluh biji mata para pengepungnya secara sekaligus.
Jurus Cara Mengalahkan Senjata
Rahasia dalam ilmu Sembilan Pedang Dugu memang dapat menyapu bersih semua jenis
senjata rahasia ataupun anak panah yang dilepaskan musuh, berapa pun banyaknya.
Jurus ini sangat sulit karena membutuhkan tusukan yang jitu. Sekali menusuk
harus bisa menjatuhkan senjata yang dilemparkan. Jika tidak, tentu senjata
rahasia itu akan terus menerjang maju. Linghu Chong sendiri belum terlalu lihai
dalam memainkan jurus ini. Akan tetapi, untuk menusuk mata musuh tentu lebih
mudah daripada menusuk senjata rahasia yang melayang kencang. Itulah sebabnya,
ia dapat membutakan semua mata kelima belas orang bercadar itu dengan sangat
jitu.
Setelah melakukan serangan
yang luar biasa itu, Linghu Chong melangkah sempoyongan melewati para
pengepungnya yang menjerit-jerit kesakitan. Setelah berada di dekat kuil tua,
ia langsung memegangi ambang pintu dengan wajah pucat dan tubuh gemetar.
Menyusul kemudian pedangnya pun terlepas dari genggaman.
Ketika menoleh ke belakang,
tampak kelima belas penjahat bercadar itu kelabakan sambil menutupi mata
masing-masing. Darah segar merembes keluar melalui sela-sela jari tangan
mereka. Ada yang berjongkok merintih, ada yang berlari-lari seperti lalat tak
berkepala, ada pula yang berguling-guling di dalam kubangan lumpur. Andai saja
mereka tetap bersikap tenang, tentu Linghu Chong dapat mereka habisi seperti daging
cincang. Namun, semua itu dapat dimaklumi. Bagaimanapun tingginya ilmu
kesaktian seseorang, apabila kehilangan penglihatan secara tiba-tiba, tentu
akan membuatnya gentar dan tidak sanggup lagi melanjutkan pertarungan.
Dalam keadaan genting, Linghu
Chong berniat melancarkan serangan lanjutan. Akan tetapi ia merasa kasihan
bercampur ngeri melihat pemandangan tersebut.
Di sisi lain, Yue Buqun juga
merasa heran bercampur gembira. Ia pun membentak, “Chong’er, cepat putuskan
urat kaki mereka! Setelah itu kita bisa periksa dan tanyai asal-usul mereka.”
“Baik... baik....” jawab
Linghu Chong sambil berjongkok meraih pedangnya. Tidak disangka tenaganya kali
ini sudah benar-benar habis. Tubuhnya semakin gemetar dan tangannya tidak kuat
lagi mengangkat pedang.
Sementara itu si tua berseru,
“Kawan-kawan, lekas pungut senjata masing-masing dengan tangan kanan, dan raih
ikat pinggang kawan terdekat dengan tangan kiri! Kita pergi meninggalkan tempat
ini. Dengarkan arah suaraku!”
Keempat belas kawannya semula
tidak tahu harus berbuat apa. Maka begitu mendengar teriakan tersebut, mereka
langsung berjongkok dan meraba-raba tanah. Masing-masing segera memungut
senjata yang mereka temukan, tidak peduli itu milik siapa. Ada yang memungut
lebih dari satu, ada pula yang tidak menemukan apa-apa di tanah. Kemudian
mereka pun saling memegang ikat pinggang kawan yang ada di dekat masing-masing
sehingga membentuk satu barisan, di mana si orang tua berada di urutan paling
depan. Dengan langkah tak menentu mereka pun berjalan menembus kegelapan malam
gerimis.
Selain Ning Zhongze dan Linghu
Chong, semua anggota Perguruan Huashan dalam keadaan tertotok tanpa bisa
bergerak sedikit pun. Ning Zhongze dalam keadaan terluka cukup parah di bagian
kaki sehingga tidak mampu berjalan, sedangkan Linghu Chong sendiri kehabisan
tenaga dan hanya terbaring lemah di atas tanah berlumpur. Maka itu, orang-orang
Huashan tersebut hanya bisa memandang kelima belas musuh pergi tanpa bisa
berbuat apa-apa.
Setelah musuh menjauh, keadaan
menjadi begitu sepi. Yang terdengar kini hanyalah suara nafas orang-orang
Huashan di halaman kuil tua tersebut. Tiba-tiba terdengar Yue Buqun berkata,
“Pendekar Linghu, mengapa kau tidak segera membuka totokan kami? Apa kami harus
memohon belas kasihanmu supaya sudi menolong kami?”
Kontan saja Linghu Chong
terkejut. Ia berkata dengan suara gemetar, “Guru... Guru, mengapa.... mengapa
Guru bercanda seperti itu? Saya akan... saya akan segera membuka totokan Guru.”
Segera ia merangkak bangun dan
melangkah gontai mendekati Yue Buqun. “Guru... mana... mana titik nadi yang
harus dibuka?”
Yue Buqun merasa sangat gusar
tak terkatakan. Teringat kembali olehnya bagaimana Linghu Chong bersandiwara di
lereng Gunung Huashan untuk membebaskan Tian Boguang. Kali ini ia pun mengira
Linghu Chong sengaja melepaskan kelima belas penjahat bercadar tadi, serta
sengaja mengulur waktu untuk tidak segera membuka totokan pada tubuhnya. Dengan
bengis ia menjawab, “Tidak perlu lagi.”
Usai berkata demikian Yue
Buqun mengerahkan tenaga dalam Awan Lembayung sekuat-kuatnya untuk membuka
titik nadi yang tertotok itu. Sejak tadi ia diam-diam sudah berusaha membuka
totokan tersebut namun sulit sekali. Orang bercadar yang menotoknya sungguh
memiliki tenaga dalam yang sangat hebat. Beberapa titik nadi Yue Buqun yang
ditotok olehnya adalah titik nadi utama, yaitu Yu-Zhen, Tan-Zhong, Ju-Zhui,
Jian-Zhen, dan Zhi-Tang. Setiap kali ia mengerahkan tenaga untuk membuka
totokan tersebut, entah bagaimana ada suatu penghalang yang membendung di
titik-titik tersebut, yang akhirnya mengurangi kekuatan ilmu Awan Lembayung.
Linghu Chong sendiri ingin
sekali membantu sang guru membuka totokan tersebut, namun tidak memiliki tenaga
sama sekali. Berkali-kali ia mencoba mengangkat lengan, namun setiap kali
mengerahkan tenaga selalu saja yang ia rasakan adalah sakit luar biasa, mata
berkunang-kunang, telinga berdengung, dan hampir saja jatuh pingsan. Terpaksa
ia hanya duduk di samping Yue Buqun dan menunggu sang guru membuka sendiri
totokannya.
Ning Zhongze tampak masih
terbaring lemah di atas tanah. Dalam pertarungan melawan Cong Buqi tadi ia
mengalami kecelakaan dalam mengalirkan tenaga dalam untuk mengerahkan Jurus
Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. Akibatnya, kini ia tidak hanya kesulitan
menghimpun tenaga, tapi bahkan tidak mampu menggerakkan tangan untuk merawat
luka di kaki.
Menjelang fajar tiba barulah
hujan berhenti. Keadaan sudah mulai terang. Dari kepala Yue Buqun tampak asap
putih mengepul, pertanda ia masih berjuang mengerahkan tenaga dalam untuk
membuka totokan musuh. Mukanya yang bersemu ungu pun terlihat semakin tandas.
Akhirnya ia menjerit singkat pertanda semua totokan pada tubuhnya telah
terbuka. Dengan cepat ia melompat bangun dan segera bekerja membuka satu per
satu totokan pada tubuh murid-muridnya. Ada yang ditepuk, ada pula yang
diremas. Hanya sekejap saja mereka pun terbebas dari siksaan sepanjang malam
tersebut.
Terakhir ia memapah istrinya.
Setelah Ning Zhongze bangun dalam keadaan terduduk, ia pun mengalirkan tenaga
dalam untuk melancarkan aliran darah sang istri. Setelah itu, Yue Lingshan
mendekat dan mengobati luka pada kaki ibunya tersebut.
Teringat pada kejadian yang
nyaris merenggut nyawa mereka tadi malam, membuat para murid Huashan masih saja
gemetar. Mereka bersyukur karena merasa seperti mendapat hidup baru. Namun
begitu melihat mayat Liang Fa yang tanpa kepala, mau tidak mau membuat mereka
berlinang air mata. Bahkan, beberapa murid perempuan sampai menangis
meraung-raung. Masing-masing dari murid-murid Huashan tersebut berpikir,
“Untunglah, Kakak Pertama dapat mengalahkan para penjahat itu. Kalau tidak,
entah bagaimana nasib kita ini?”
Saat itu Linghu Chong masih
tergeletak di atas tanah berlumpur. Gao Genming segera membantunya bangun. Yue
Buqun tampak memandangi murid pertamanya itu dengan tatapan dingin. Ia
bertanya, “Apa kau tahu asal-usul kelima belas orang bercadar itu?”
“Saya... saya tidak kenal
mereka,” jawab Linghu Chong.
“Kau tidak kenal mereka? Apa
mereka bukan teman-temanmu?” desak Yue Buqun.
“Saya belum pernah bertemu
mereka, kecuali tadi malam,” jawab Linghu Chong gugup.
“Jika demikian, mengapa kau
tidak mematuhi perintahku untuk menahan mereka? Mengapa kau tidak memutus urat
kaki mereka?” tanya Yue Buqun kembali.
“Saya sudah... tidak punya
tenaga. Seluruh tubuh terasa... terasa lemas. Bahkan sekarang… sekarang pun….”
jawab Linghu Chong sambil mencoba berdiri, namun kesulitan.
“Kau sungguh pandai
berpura-pura,” ujar Yue Buqun.
Linghu Chong gemetar dan
berkeringat dingin. Ia segera berlutut di hadapan sang guru. “Sejak kecil saya
sudah yatim piatu. Atas budi baik Guru dan Ibu Guru, saya telah dirawat sampai
besar, bagaikan putra sendiri... Selama ini saya memang bukan murid yang baik.
Tetapi… tetapi saya tidak berani... tidak berani membantah perintah Guru dan
Ibu Guru.”
“Tidak berani?” sahut Yue
Buqun sambil mencibir. “Hm, lantas ilmu pedangmu tadi kau peroleh dari mana?
Apakah hasil didikan dewa mimpi, atau mendadak jatuh dari langit?”
Berulang kali Linghu Chong
menyembah, kemudian menjawab, “Saya pantas dihukum mati. Tapi orang yang
mengajari saya mengharuskan saya untuk berjanji tidak akan memberitahukan
kepada siapa pun juga tentang asal-usul ilmu pedang ini. Terpaksa, saya tidak
bisa memberi tahu Guru dan Ibu Guru tentang siapa orang itu.”
“Tentu saja, tentu saja. Ilmu silatmu
sekarang sudah setinggi langit, pantas kalau kau sudah tidak memandang pada
guru dan ibu-gurumu lagi. Mana mungkin ilmu pedang Huashan yang remeh ini bisa
dibandingkan dengan ilmu pedangmu yang mahasakti itu?” sahut Yue Buqun. “Orang
tua bercadar tadi benar. Kau memang lebih pantas menjadi ketua Perguruan
Huashan.”
Linghu Chong tidak berani
menjawab. Ia hanya menyembah sambil pikirannya bergejolak, “Jika aku berterus
terang mengenai ilmu Sembilan Pedang Dugu, tentu Guru dan Ibu Guru akan
memaafkanku. Tapi seorang laki-laki sejati harus bisa memegang janji. Seorang
penjahat cabul bernama Tian Boguang saja tidak bersedia membocorkan keberadaan
Kakek Guru Feng meskipun disiksa sedemikian beratnya oleh Enam Dewa Lembah
Persik. Apalagi aku, yang telah menerima budi baik dari Beliau. Aku tidak boleh
mengkhianati kepercayaan Kakek Guru Feng. Rasa hormatku kepada Guru dan Ibu
Guru tulus dari hati. Langit menjadi saksi. Biarlah aku menanggung beban ini
untuk sementara waktu.”
Maka ia kemudian berkata,
“Guru dan Ibu Guru, sama sekali saya tidak bermaksud membangkang perintah Guru
berdua. Namun saya sudah terlanjur berjanji untuk tidak mengatakannya. Berilah
saya waktu untuk meminta izin kepada sesepuh yang telah mengajari saya itu
supaya bisa menceritakan semua yang terjadi kepada Guru berdua. Jika sudah
demikian, saya tidak perlu takut lagi untuk menceritakan dengan
sejelas-jelasnya.”
“Baiklah! Sekarang kau boleh
bangun,” kata Yue Buqun.
Linghu Chong menyembah tiga
kali, kemudian mencoba untuk bangkit. Akan tetapi, baru saja sebelah kakinya
menjejak tanah, tubuhnya kembali gemetar dan ia pun jatuh terduduk. Lin Pingzhi
yang ada di dekatnya segera membantunya bangun.
“Hm, ilmu pedangmu hebat, tapi
sandiwaramu jauh lebih hebat,” ujar Yue Buqun.
Linghu Chong hanya terdiam tak
berani menjawab. Dalam benaknya terlintas pikiran, “Selamanya aku tidak akan
pernah melupakan budi baik Guru. Biarlah untuk kali ini Guru menyalahkanku.
Tapi suatu hari nanti, kebenaran pasti akan terungkap. Kejadian ini memang
sangat aneh dan ganjil. Aku bisa memaklumi kesalahpahaman Guru terhadapku.”
Ning Zhongze menanggapi
masalah ini dengan suara lembut, “Jika bukan karena ilmu pedang Chong’er yang
hebat tadi, mungkin Perguruan Huashan kita sudah musnah. Mungkin saat ini para
murid perempuan juga sudah menderita karena dilecehkan oleh para penjahat itu.
Entah siapa sesepuh yang telah mengajari Chong’er ilmu pedang bagus, yang jelas
kita semua sudah ikut merasakan manfaatnya. Mengenai kawanan penjahat bercadar
itu, suatu hari nanti pasti kita dapat mengetahui asal-usul mereka. Mana
mungkin mereka adalah teman-teman Chong’er? Bukankah mereka hendak mencincang
tubuh Chong’er bersama-sama? Bukankah Chong’er telah membutakan mata mereka
semua?”
“Anak ini punya banyak akal,”
kata Yue Buqun yang seolah-olah tidak menghiraukan setiap perkataan istrinya
tadi.
Sementara itu murid-murid
Huashan lainnya telah berbagi tugas. Sebagian ada yang memasak makanan,
sebagian ada yang membersihkan ruangan kuil, dan ada pula yang memakamkan
jenazah Liang Fa. Setelah sarapan pagi mereka semua mengganti pakaian
masing-masing yang telah basah dan kotor. Setelah itu mereka tinggal menunggu
perintah Yue Buqun sambil bertanya-tanya dalam hati, “Apakah kita masih perlu
melanjutkan perjalanan ke Gunung Songshan? Bukankah Feng Buping sudah
dikalahkan Kakak Pertama? Apa mungkin dia masih berani mencari masalah dengan
kita?”
Ternyata Yue Buqun masih
meminta pertimbangan sang istri. “Adik, menurut pendapatmu, kita sebaiknya ke
mana?”
Ning Zhongze masih ingat kalau
tujuan mereka turun gunung sebenarnya bukan untuk meminta keadilan kepada Zuo
Lengchan di Gunung Songshan, melainkan untuk mengungsi menghindari serangan
balas dendam Enam Dewa Lembah Persik. Maka, wanita itu pun menjawab, “Kita
memang sudah tidak perlu lagi pergi ke Gunung Songshan. Tapi kita sudah
terlanjur turun gunung, rasanya tidak perlu buru-buru pulang ke Huashan.”
“Benar juga. Kita tidak ada
kepentingan mendesak lainnya,” jawab Yue Buqun. “Tidak ada salahnya kalau kita
pergi berpesiar supaya para murid bertambah pengalaman.”
“Bagus sekali! Ayah....” seru
Yue Lingshan gembira. Namun begitu teringat Liang Fa yang baru saja terbunuh,
ia langsung terdiam tanpa melanjutkan kata-kata, melainkan hanya bertepuk satu
kali saja.
“Hm, sepertinya kau senang
sekali begitu mendengar kita akan pergi berpesiar. Baiklah, untuk saat ini kau
boleh bersenang-senang,” ujar Yue Buqun tersenyum. “Shan’er, coba katakan ke
mana sebaiknya kita pergi?” Sambil berkata demikian, ia kemudian menoleh ke
arah Lin Pingzhi.
Yue Lingshan menjawab, “Ayah,
apabila kita ingin bersenang-senang, sebaiknya kita berpesiar yang jauh
sekalian. Makin jauh makin baik. Jangan buru-buru pulang. Bagaimana kalau kita
pergi ke... kita pergi ke rumah Lin Kecil. Memang Kakak Kedua dan aku pernah
pergi ke Fuzhou. Tetapi saat itu kami sedang dalam tugas penyamaran. Tentu saja
kami tidak sempat bersenang-senang. Lin Kecil pernah bilang buah lengkeng
Fujian besar-besar dan manis-manis. Di sana juga ada jeruk segar, pohon banyan,
serta bunga bakung.”
Nyonya Yue menggeleng dan
berkata, “Provinsi Fujian jaraknya terlalu jauh dari sini. Dari mana kita punya
biaya untuk rombongan sebanyak ini? Jangan-jangan kita harus menjadi anggota
Partai Pengemis dan meniru cara mereka berkelana sambil meminta-minta.”
Lin Pingzhi ikut bicara, “Guru
dan Ibu Guru, bagaimana kalau kita pergi ke Provinsi Henan? Jaraknya hanya dua
hari perjalanan dari sini. Kakek saya tinggal di Kota Luoyang.”
Ning Zhongze menjawab, “Benar
juga. Kakekmu dari pihak ibu bukankah Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding?”
“Ayah dan Ibu sudah meninggal.
Saya ingin mengunjungi Kakek dan Nenek untuk memberitahukan hal itu secara
rinci,” kata Lin Pingzhi. “Apabila Guru dan Ibu Guru, serta kakak-kakak
sekalian sudi ikut mampir ke rumah Kakek dan tinggal di sana beberapa hari,
tentu Beliau akan merasa mendapatkan kehormatan besar. Baru setelah itu kita
bisa melanjutkan perjalanan ke Fujian. Mengenai biaya tidak perlu khawatir.
Saya pernah mengambil benda-benda berharga yang dirampas Perguruan Qingcheng
dari Biro Ekspedisi Fuwei kami di cabang Changsa.”
Meskipun Ning Zhongze telah
menusuk Dewa Buah Persik, namun tetap saja hatinya dicekam ketakutan sewaktu
teringat bagaimana orang-orang aneh dari Lembah Persik itu mementang dan
mengangkat tubuhnya ke udara. Ia masih teringat bagaimana kematian Cheng Buyou
yang mengerikan, dengan mayat terbelah menjadi empat dan isi perut berhamburan
di mana-mana. Kejadian tersebut telah menjadi mimpi buruk yang selalu
menghantui wanita itu. Ia tidak pernah lupa kalau perjalanan ke Gunung Songshan
hanyalah untuk mengalihkan perhatian saja. Kini begitu melihat Lin Pingzhi
mengajak semua orang untuk pergi ke Fujian setelah mendapat isyarat dari Yue
Buqun, Ning Zhongze pun merasa melanjutkan perjalanan adalah pilihan yang lebih
baik daripada kembali ke Huashan. Di samping itu, ia dan suami juga belum
pernah mengunjungi daerah selatan, sehingga tidak ada salahnya untuk pergi ke
sana.
Berpikir demikian, Ning
Zhongze pun tersenyum senang dan berkata, “Kakak, Pingzhi telah menyatakan siap
menanggung makanan dan tempat tinggal. Bagaimana kalau kita menerima
ajakannya?”
Yue Buqun tersenyum dan
menjawab, “Kakek Pingzhi adalah Si Golok Emas Tanpa Tanding yang sangat
terpandang. Sudah lama aku ingin berkenalan dengan Beliau, namun sampai saat
ini belum juga terkabulkan. Selain itu di daerah Fujian juga terdapat Biara
Shaolin Cabang Selatan yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ternama. Baiklah, aku
setuju untuk pergi ke Luoyang dan Fujian. Jika di sana kita dapat menjalin
persahabatan dengan beberapa kawan baru, maka perjalanan ini tidak sia-sia.”
Mendengar ucapan sang guru
bahwa rombongan akan melanjutkan perjalanan ke Luoyang dan Fujian untuk
berwisata membuat murid-murid Huashan pun bersorak gembira, terutama Yue
Lingshan dan Lin Pingzhi. Hanya Linghu Chong yang terlihat murung. Pemuda itu
berpikir, “Untuk apa Guru dan Ibu Guru memutuskan pergi ke Luoyang dan Fujian
yang jaraknya ribuan Li dari sini? Aku tahu, pasti tujuan ke Luoyang adalah
untuk menemui kakek dan nenek Adik Lin, supaya Adik Lin dan Adik Kecil bisa
dijodohkan di sana. Setelah itu rombongan ini menuju ke Fujian. Bisa jadi,
mereka berdua kemudian dinikahkan di sana... Aku hanya seorang yatim piatu.
Tanpa sanak, tanpa saudara. Mana bisa dibandingkan dengan seorang majikan muda
Biro Ekspedisi Fuwei yang kantor cabangnya tersebar di mana-mana? Apalagi
kakeknya yang bernama Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding sangat dihormati
Guru. Kali ini rombongan kami hendak menemuinya, untuk apa aku ikut serta?”
Perasaan Linghu Chong semakin kesal
melihat adik-adik seperguruannya yang bergembira ria seolah-olah sudah
melupakan kematian Liang Fa yang mengenaskan. Ia kemudian berpikir, “Nanti
kalau bermalam di suatu penginapan, biarlah aku meloloskan diri tengah malam.
Mana mungkin aku bisa ikut perjalanan yang menggunakan biaya dari Adik Lin,
serta tinggal di rumahnya sambil menahan perasaan sedih saat mengucapkan
selamat kepada Adik Lin dan Adik Kecil?”
Maka, sewaktu rombongan
Huashan tersebut melanjutkan perjalanan, dengan semangat lesu dan badan lemas
Linghu Chong melangkah gontai di belakang. Karena jalannya makin lama makin
lambat, ia akhirnya tertinggal jauh. Mendekati tengah hari keadaannya bertambah
payah. Ia tidak tahan lagi dan duduk beristirahat di atas batu di tepi jalan
dengan nafas tersengal-sengal. Tiba-tiba Lao Denuo datang berlari padanya.
“Kakak Pertama, bagaimana keadaanmu? Apa kau lelah? Biar aku temani.”
“Terima kasih banyak,” jawab
Linghu Chong.
“Ibu Guru telah menyewa sebuah
kereta di kota sana dan sebentar lagi akan datang ke sini menjemputmu,” lanjut
Lao Denuo.
Linghu Chong merasa sangat
terharu. Dadanya terasa hangat membayangkan meski sang guru menaruh curiga
kepadanya, namun ibu-guru ternyata masih tetap bersikap baik dan penuh
perhatian. Benar juga. Tidak lama kemudian datang sebuah kereta yang ditarik
keledai ke tempat itu. Linghu Chong segera masuk ke dalamnya didampingi Lao
Denuo.
Sejak itu, Lao Denuo selalu
mendampingi dan menyertai Linghu Chong kemana pun juga. Bahkan, saat bermalam
di penginapan pun mereka tidur dalam kamar yang sama. Selama dua hari mereka
tidak pernah berpisah. Tentu saja ini membuat Linghu Chong merasa terharu dan
berterima kasih atas perhatian adik keduanya tersebut.
“Saat Adik Lao bergabung
dengan Perguruan Huashan, ia sudah berpengalaman dan memiliki beberapa macam
ilmu silat. Selain itu usianya juga jauh lebih tua dariku. Biasanya dia sangat
jarang berbicara denganku. Siapa sangka sekarang ia menjadi saudaraku yang
paling dekat dan paling memerhatikanku? Adik-adik yang lain pasti tidak berani
berbicara denganku karena takut kepada Guru yang telah memarahiku di depan kuil
tua tempo hari. Sekarang aku tahu siapa yang tulus kepadaku dan siapa yang
tidak. Benar juga kata pepatah, jarak yang jauh akan mengukur kekuatan kuda.
Ternyata ini juga berlaku untuk isi hati manusia.”
Apa yang dipikirkan Linghu
Chong ternyata tidak benar. Tak disangka pada malam ketiga tanpa sengaja ia
mendengar adik perguruannya yang paling kecil, yaitu Shu Qi, berbisik di luar
kamar kepada Lao Denuo, “Kakak Kedua, Guru menyuruhku bertanya kepadamu apakah
hari ini Kakak Pertama memperlihatkan gerak-gerik yang mencurigakan?”
Terdengar Lao Denuo menjawab
dengan suara berbisik, “Ssst, jangan keras-keras! Kita keluar saja.”
Keringat dingin pun mengalir
membasahi dahi Linghu Chong. Hanya dari pembicaraan tersebut sudah cukup
baginya untuk membuat kesimpulan bahwa sang guru benar-benar curiga kepadanya.
Ternyata Lao Denuo selama ini bersama dirinya hanyalah karena menjalankan
perintah sang guru untuk mengawasinya secara diam-diam.
Saat itu Shu Qi sudah
mengendap-endap pergi, sementara Lao Denuo mendekati ranjang untuk memeriksa
apakah Linghu Chong telah tertidur atau belum. Sebenarnya Linghu Chong ingin
sekali bangun dan membentak adik keduanya itu, namun ia kemudian sadar kalau
Lao Denuo hanya menjalankan tugas dari sang guru. Maka, ia pun menahan diri dan
pura-pura tidur nyenyak.
Lao Denuo kemudian melangkah
keluar kamar. Linghu Chong yakin kalau kepergiannya adalah untuk menyampaikan
laporan kepada sang guru. Pemuda itu kembali berpikir, “Hm, aku tidak berbuat
salah. Sekalipun kalian berjumlah seratus atau dua ratus orang mengawasiku
siang dan malam, aku tidak takut. Tidak ada yang perlu kusembunyikan.”
Karena perasaannya sedang
dirundung kemarahan membuat dadanya terasa sesak dan nafas menjadi kacau.
Dengan sendirinya, sedikit tenaga dalam pun mengalir keluar untuk mengatasi
keadaan. Akan tetapi, dengan munculnya aliran tenaga dalam ini justru membuat
Linghu Chong semakin menderita. Ia pun meremas bantal dengan nafas
terengah-engah. Selang agak lama, rasa sakit perlahan sirna.
Perlahan-lahan pemuda itu
bangkit untuk duduk. Tangannya hendak meraih baju dan sepatu, sambil berpikir,
“Jika Guru sudah tidak menganggapku sebagai murid dan menempatkan orang untuk
mengawasiku seperti maling, lalu untuk apa aku masih berada di sini? Mungkin
lebih baik aku pergi saja. Aku tidak peduli apakah kelak Guru akan mengerti
yang sebenarnya terjadi atau tidak.”
Pada saat itu tiba-tiba
terdengar suara orang berbicara di luar kamar, “Ssst, jangan berisik!”
Lalu suara lain menjawab,
“Benar, sepertinya Kakak Pertama sudah bangun.”
Meskipun kedua suara itu
diucapkan dengan nada berbisik, namun karena keadaan sudah tengah malam,
ditambah lagi dengan pendengaran Linghu Chong yang terlatih, membuat pemuda itu
dapat mengenali bahwa beberapa adik seperguruannya sedang ditugasi untuk
mengintai di luar, serta menjaga apabila dirinya melarikan diri.
Sungguh Linghu Chong semakin
kesal. Tangannya terkepal sampai mengeluarkan bunyi yang terdengar jelas di
tengah gelap malam. Ia pun berpikir, “Jika saat ini aku pergi meninggalkan
rombongan, justru aku akan dituduh benar-benar melakukan dosa. Baik, bakilah
kalau begitu! Aku tidak akan pergi. Terserah kalian berbuat apa saja kepadaku,
aku tidak peduli.”
Ia kemudian berteriak-teriak,
“Pelayan! Pelayan! Ambilkan aku arak!”
Beberapa lama kemudian barulah
muncul seorang pelayan membawakan sebotol arak. Linghu Chong lalu meminum arak
itu sepuas-puasnya sampai mabuk tak sadarkan diri. Esok paginya sewaktu Lao
Denuo memapah tubuhnya untuk menaiki kereta, ia masih dalam keadaan setengah
sadar, sambil mulutnya tetap berteriak-teriak, “Berikan aku arak! Berikan aku
arak yang banyak!”