Pendekar Laknat Jilid 41-50
41. Kekalahan Para Pendekar
Melihat keadaan Ceng Hi
totiang terancam sekalian orang gagah terkejut. Mereka segera menyerbu Jong
Leng lojin dengan apa yang dapat dilakukan. Pukulan, senjata dan senjata
rahasia.
Saat itu Jong Leng lojin
hendak mengepit tubuh Ceng Hi totiang untuk ditawan. Melihat dirinya diserang
kalang kabut dari segala jurusan, ia lemparkan tubuh Ceng Hi lalu tamparkan
kedua tangannya ke arah rombongan orang gagah.
Serentak terdengar jeritan
ngeri dari beberapa orang gagah yang terkena tamparam orang tua itu. Ada yang
rubuh terluka. Ada yang remuk binasa. Ada pula yang terlempar sampai setombak
jauhnya....
Setelah berhasil menghalau
rombongan orang gagah, Jong Leng lojin kembali memutar tangan kiri lalu secepat
kilat diayunkan ke arah Ceng Hi totiang.
Tokoh tua dari Butong-pay itu
sudah terluka dalam. Dia masih belum mampu bangun dari bantingan Jong Leng
lojin tadi. Sudah tentu ia tak berdaya menghadapi hantaman Jong Leng lojin.
Rombongan orang gagah yang
dipimpin It Hang totiang masih sibuk menghadapi amukan Harimau iblis dan Naga
terkutuk. Sedang rombongan orang gagah yang hendak menolong Ceng Hi tadi pun
sudah dihantam kocar kacir oleh Jong Leng lojin. Tak mungkin mereka dapat
menolong Ceng Hi totiang lagi. Imam tua itu pasti binasa.
Pada saat maut hendak
merenggut jiwa Ceng Hi, sekonyong-konyong dari celah-celah sinar matahari yang
sudah condong ke barat, tampak sesosok tubuh melayang di udara.
Dan belum tiba di tanah, orang
itu sudah lepaskan pukulan seraya berseru membentak Jong Leng lojin,
“Berhenti!"
Gerakannya yang luar biasa
tangkasnya membuat sekalian orang terperanjat. Kiranya orang yang telah
menolong Ceng Hi itu adalah Siau-liong si Pendekar Laknat.
Selama memperhatikan jalannya
pertempuran itu, Siau-liong diam-diam telah membuat perhitungan. Berdasarkan
pengalamannya ketika menerima pukulan Jong Leng lojin dalam bilik terowongan
dibawah barisan Tujuh Maut tempo hari, ia menyadari bahwa pukulannya
Thay-siang-ciang yang dilambari tenaga sakti Bu-kek-sin-kang, tetap kalah
dengan pukulan Jong Leng lojin.
Apabila ia membantu Ceng Hi
totiang bukan saja sia-sia, pun dirinya sendiri juga pasti hancur. Tetapi ia
ingat dikala berhadapan dengan si paderi kurus Liau Hoan. Sekenanya saja ia
gunakan jurus Sebatang-tiang-menyanggah-langit, ialah sebuah jurus yang
dilambari dengan tenaga sakti Thian-kong-sin-kang yang sama sekali belum
dipahaminya.
Namun hasilnya sudah
mengejutkan sekali. Paderi Liau Hoan yang sakti dapat dihantam dadanya.
Ah, mengapa ia tak mau mencoba
dengan ilmu pukulan itu lagi!
Begitu mendapat keputusan,
diam-diam ia kerahkan semangat dan pusatkan pikiran untuk mengingat-ingat
ketiga buah pukulan Thian-kong-sin-kang dengan perobahan-perobahannya.
Tetapi ia tak dapat merenung
lama karena saat itu dilihatnya Ceng Hi totiang terancam bahaya maut dari Jong
Leng lojin. Maka tanpa membuang waktu lagi ia segera loncat ke udara dan
lepaskan salah sebuah dari ketiga pukulan Thian-kong-ciang yang disebut
Sapu-jagad.
Terdengar letupan keras. Jong
Leng lojin tersurut mundur dua langkah. Tetapi ketika Siau-liong tiba di tanah,
iapun terhuyung-huyung empat lima langkah jauhnya.
Buru-buru ia mengambil napas.
Didapatinya darah dalam tubuhnya hanya bergolak sedikit, tak membahayakan.
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka pun tahu akan kemunculan Pendekar Laknat itu. Tetapi mereka tenang saja
karena yakin Jong Leng lojin pasti dapat menghancurkannya.
Tetapi apa yang disaksikan
saat itu, benar-benar membuat mereka terbelalak kaget! Buru-buru Iblis
Penakluk-dunia mengangkat cambuk kuda lalu diayunkan ke arah punggung orang
berkerudung hitam yang satunya.
Ternyata orang baju dan
berkerudung hitam itu bukan lain adalah Lam-hay Sin-ni, pewaris dari ilmu sakti
Cek-ci-sin-kang. Karena tak mendengarkan nasehat Randa Bu-san dan Pendekar Laknat
Siau-liong, akhirnya Lam-hay Sin-ni pun mengalami nasib serupa dengan Jong Leng
lojin ialah diracuni Iblis Penakluk-dunia hingga hilang kesadaran pikirannya!
"Apa perintah
tuan!"seru Lam-hay Sin-ni.
Sambil menuding dengan tangkai
cambuk, Iblis Penakluk-dunia memberi perintah. "Lekas tangkap hidup atau
mati Pendekar Laknat!"
Lam-hay Sin-ni mengiakan.
Sekali kedua bahunya bergetar, tahu-tahu tubuhnya meluncur ke udara dan
menerjang Siau-liong.
Saat itu Jong Leng lojin
gelagapan. Ia tak mengerti mengapa ia sampai terpental dua langkah. Setelah
biji matanya berputar-putar, dengan suara yang parau ia menggembur lalu maju
menyerang lagi.
Siau-liong tahu juga kalau
Lam-hay Sin-ni sedang menyerbu dari udara. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam
Thian-kong-sin-kang lalu gunakan ilmu Menyusup suara berseru kepada Jong Leng,
“Locianpwe, apakah engkau
masih ingat ketika dirantai dalam bilik dibawah tanah itu?"
Pada saat itu Lam-hay Sin-ni
pun sudah tiba dan menghantam kepada Siau-liong. Anak muda itu pun menyambutnya
dengan pukulan tangan kanan dalam jurus Angin-awan-berobah-warna.
Kembali terdengar letupan dan
baik Siau-liong maupun Lam-hay Sin-ni sama-sama terhuyung-huyung mundur
beberapa langkah.
Sepanjang hidupnya, Lam-hay
Sin-ni tinggal mengasingkan diri di pedalaman gunung. Jarang ia bertempur
dengan orang. Dalam benaknya hanya terkilas suatu tujuan. Memperoleh ilmu sakti
Thian-kong-sin-kang dan menjadi tokoh yang tiada tandingannya di dunia.
Serupa dengan Jong Leng lojin
tadi, rahib itu pun terkejut sekali karena dapat dipukul mundur oleh Pendekar
Laknat. Tetapi oleh karena kesadarannya hilang, maka setelah deliki mata kepada
Siau-liong, iapun terus hendak menyerang lagi.
Sesungguhnya Siau-liong tak
kurang menderitanya. Adu pukulan dengan Sin-ni itu menyebabkan matanya
berkunang-kunang, kepala pusing tujuh keliling, darah bergolak-golak sehingga
ia hampir tak kuat lagi berdiri tegak.
Ilmu sakti Thian-kong-sin-kang
baru saja dipelajari. Boleh dikata hanya kulitnya saja. Adalah berkat otaknya
yang cerdas dan pernah makan buah Im-yang-som serta minum darah binatang purba
dalam perut gunung, maka dapat ia menggunakan tenaga sakti Thian-kong-sin-kang
itu dengan hasil yang mengejutkan.
Dua tokoh yang memiliki dua
dari kelima tenaga sakti di dunia, sekaligus dapat dilawannya. Tetapi
bagaimanapun juga, karena baru lapisan luar saja yang diketahuinya tentang ilmu
Thian-kong-sin-kang itu, mau tak mau ia harus menderita sekali.
Melihat Lam-hay Sin-ni hendak
bergerak, dengan paksaan diri ia gunakan ilmu Menyusup suara membentak rahib
itu. “Sin-ni, Apakah engkau masih ingat tujuanmu datang ketempat ini.... apakah
engkau sudah tak menghendaki peta Giok-pwe tempat penyimpan kitab pusaka
Thian-kong-pit-kip lagi?"
Serupa dengan Jong Leng lojin,
Lam-hay Sin-ni tertegun juga. Dipandangnya Siau-iong dengan mata berkeliaran
dan pandang keheranan.
Siau-liong tak banyak waktu
untuk berpikir lagi. Ia tahu bahwa Lam-hay Sin-ni tentu juga menderita
pembiusan seperti Jong Leng lojin.
Untuk menyadarkan pikiran
kedua tokoh itu, harus memerlukan waktu yang panjang. Tak mungkin dalam hanya
beberapa detik saja. Pada saat Lamhay Sin-ni terlongong, Siau-liong cepat-cepat
melakukan pernapasan untuk memulihkan tenaga.
Pada saat Siau-liong adu
pukulan dengan Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni tadi, sambil duduk melakukan
pernapasan untuk mengobati luka dalam, Ceng Hi totiang pun memperhatikan
jalannya pertempuran itu. Ketika melihat Siau-liong tidak menggunakan pukulan
Bu-kek-sin-kang tetapi pukulan yang memancarkan kemilau emas dan berhasil
mengundurkan kedua tokoh lawannya, girang Ceng Hi bukan kepalang. Serentak ia
bangkit dan gunakan Ilmu Menyusup Suara bertanya kepada Siau-liong.
"Pendekar Laknat,
pukulanmu tadi .... apakah bukan .... tenaga sakti Thian-kong-sin-kang
....?"
Sesungguhnya luka dalam yang
diderita Ceng Hi totiang itu amat parah. Terdorong oleh luapan rasa girang,
darahnya pun bergolak keras lagi. Buru-buru ia duduk kembali....
Siau-liong sendiri pun
menderita luka dalam yang parah juga. Ia terpaksa tak menyahut pertanyaan Ceng
Hi, melainkan terus lanjutkan usahanya untuk memulangkan tenaga guna menghadapi
kedua tokoh itu lagi.
Sekalian orang gagahpun
tertegun ketika menyaksikan Siau-liong adu pukulan dengan kedua tokoh sakti
itu. Tetapi Harimau Iblis, Naga Terkutuk dan rombongan It Hang totiang tak
mengacuhkan segala apa. Mereka tetap menyerang sehingga banyak dari rombongan
orang gagah yang menjadi korban lagi.
Jong Leng lojin dan Lam-hay
Sin-ni masih tetap tegak ditempatnya sambil merenung. Melihat itu Iblis Penakluk-dunia
segera tertawa nyaring lalu ayunkan cambuknya di udara.
Mendengar suara geletar cambuk
yang nyaring baik Jong Leng lojin maupun Lam-hay Sin-ni serempak berpaling ke
arah Iblis Penakluk-dunia seraya meraung-raung aneh. Tiba-tiba mereka bergerak menghantam
Siau-liong lagi!
Siau-liong terkejut. Dengan
menggembor keras ia gerakkan kedua tangannya, tangan kiri dalam jurus
Angin-awan-berobah-warna dan tangan kanan dengan jurus
Menjungkir-balikkan-matahari-rembulan untuk menangkis pukulan Jong Leng lojin
dan Lam-hay Sin-ni.
“Tar.... tar....!” terdengar
letupan dahsyat. Debu dan pecahan batu bertebaran keempat penjuru, angin
menderu-deru keras.
Tampak tubuh Lam-hay Sin-ni
dan Jong Leng lojin bergoyang-goyang maju mundur beberapa kali. Sedang
Siau-liong jungkir balik sampai sepuluhan langkah jauhnya. Tetapi secepat itu
ia dapat berdiri tegak lagi.
Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng
lojin tertegun. Tetapi pada lain kejap, mereka mulai menyerang lagi.
Ceng Hi totiang cemas sekali.
Tetapi ketika melirik ke arah Siau-liong, dilihatnya muka Pendekar Laknat itu
tetap tenang. Hanya tubuhnya tidak henti-hentinya bergetar. Diam-diam Ceng Hi
totiang kucurkan keringat dingin.
Tetapi ia sendiri sedang
menderita luka parah, sukar untuk memberi pertolongan. Sekalipun rombongan
orang gagah yang berkerumun disekitar barisan pohon Bunga itu berjumlah banyak
tetapi mereka tak mungkin dapat membantu Siau-liong. Apalagi mereka pun masih
sibuk menghadapi amukan Harimau Iblis, Naga terkutuk dan rombongan It Hang
totiang.
Berturut-turut telah jatuh
lagi beberapa korban pada rombongan orang gagah itu. Diam-diam Ceng Hi totiang
menghela napas pedih. Ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali meramkan mata
menunggu apa yang akan terjadi.
Sebelum Lam-hay Sin-ni dan
Jong Leng lojin bergerak, Siau-liong cepat mendahului menyerang dengan jurus
Sebatang-tonggak-menyanggah-langit kepada Lam-hay Sin-ni. Sedang Jong Leng
lojin dihantamnya dengan jurus Angin-awan-berobah-warna ......
Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng
lojin masing-masing telah lepaskan lima kali pukulan. Dan Siau-liong
menghadapinya dengan ilmu pukulan sakti Thian-kong-ciang yang belum dipahami
benar-benar.
Pertempuran itu amat dahsyat
sekali. Sinar kemilau emas dari pukulan Siau-liong itu bagai tebaran awan yang
berarak-arak kian kemari.
Habis memukul, Siau-liong pun
rubuh menggeletak di tanah. Sudut mulutnya mengumur darah. Keadaannya seperti
orang tengah meregang jiwa.
Kini kedua tokoh itu mulai
menyerang lagi. Lam-hay Sin-ni dari kiri, Jong Leng lojin dari kanan. Tetapi
jelas kedua tokoh itu terengah napas dan gemetar tubuhnya. Dengan susah mereka
mengangkat sepasang tangannya untuk menghantam Siau-liong.
Siau-liong pejamkan mata.
Dadanya berombak naik turun. Rupanya dia seperti pelita kehabisan minyak. Hanya
tinggal tunggu saat saja.
Jumlah korban yang jatuh dalam
pertempuran itu cukup banyak. Pihak Iblis Penakluk-dunia hanya kehilangan
belasan anak buah yang mati. Tetapi anggauta barisan yang dipimpin Harimau
Iblis dan Naga terkutuk masih utuh. Satu pun tak ada yang menjadi korban.
Sedang dipihak orang gagah,
tak kurang dari dua tiga ratus yang binasa.
Ceng Hi totiang tak dapat
berbuat apa-apa, tak mungkin lagi ia dapat memimpin pertempuran lagi. Saat itu
pertempuran sudah mencapat detik-detik yang kritis. Iblis Penakluk-dunia dan
Dewi Neraka pasti akan memperoleh kemenangan besar.
Pada saat pukulan Jong Leng
lojin dan Lam-hay Sin-ni serempak akan melanda Siau-liong, sekonyong-konyong
Iblis Penakluk-dunia bersuit nyaring. Rupanya suitan itu merupakan sebuah
pertandaan karena nyatanya Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni serempak menarik
pulang pukulannya lalu loncat kembali ke kereta Iblis Penakluk-dunia.
Pertempuran yang dahsyat
seketika berhenti. Beberapa anak buah Iblis Penakluk-dunia pun segera kembali
ketempat masing-masing.
Sambil tertawa nyaring,
tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia ayunkan cambuknya. Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng
lojin segera menarik kereta. Kereta pun meluncur pesat sekali.
Saat itu Ceng Hi totiang sudah
ditolong oleh dua orang imam kecil. Dia terkejut menyaksikan tindakan Iblis
Penakluk-dunia.
Toh Hun-ki dan keempat Su-lo
dari partai Kong-tong-pay, ketua Kay-pang To Kiu-kong dan beberapa tokoh
persilatan, sudah tak keruan rupanya. Dengan berlumuran darah mereka paksakan
diri untuk menghampiri Siau-liong.
Lu Bu-ki si tinggi besar yang
menjadi pemimpin kaum Rimba Hijau daerah selatan, pelahan-lahan mengangkat
bangun Siau-liong seraya berseru memanggil, “Pendekar Laknat! Pendekar
Laknat....!"
Siau-liong masih sadar
pikirannya. Pelahan-lahan ia membuka mata dan menghela napas. Tetapi begitu
melihat kereta Iblis Penakluk-dunia meluncur, tiba-tiba Siau-liong menggembor
keras lalu loncat bangun.
"Huak".... belum
berdiri tegak ia sudah muntah darah dan terkulai rubuh lagi.
Iblis Penakluk-dunia ayunkan
cambuknya lagi dan keretapun berhenti tepat dimuka Siau-liong.
Sambil memandang kesekeliling
dengan wajah berseri puas, Iblis Penakluk-dunia lalu menudingkan dengan cambuk
kepada Siau-liong, bentaknya: “Tua bangka Laknat!"
Siau-liong berusaha untuk
menggeliat dan paksakan diri memandang ke arah kereta lalu tersenyum dingin dan
kemudian pejamkan mata tak mau menyahut.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
meloroh, serunya, “Laknat tua! Saat ini asal aku memberi perintah, engkau tentu
mati, .... tahukah engkau apa sebab aku tak mau membunuhmu!"
Semula Siau-liong menduga
kedatangan kereta Iblis Penakluk-dunia itu tentulah hendak membunuhnya atau
paling tidak tentu akan menawannya. Tentulah iblis itu hendak menjadikan
dirinya seperti Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni.
Maka diam-diam dia kerahkan
tenaga dalam untuk bersiap menghadapi tindakan lawan. Dia telah bertekad hendak
mengadu jiwa. Tetapi ketika mendengar kata-kata si iblis, terkesiaplah ia.
Sekalipun terluka parah tetapi
kesadaran pikirannya masih belum lenyap. Saat itu dengan dipapah oleh Lu Bu-ki
dan Ton Hun-ki ia berusaha duduk.
Melihat Siau-liong sudah
begitu lemah, Iblis Penakluk-dunia tertawa nyaring, “Laknat tua, ketahuilah
bahwa jiwamu sudah tergantung ditanganku. Membunuhmu atau menjadikan engkau
kaki tanganku, terserah pada kemauanku. Tetapi aku dapat memberi pengecualian
kepadamu. Tahukah engkau apa sebabnya?"
Diam-diam tergerak juga hati
Siau-liong. Kalau menilik keganasan iblis itu, tentulah ia sudah dibunuh. Dan
apa pula sebabnya iblis itu tak menyebut-nyebut tentang peta Giok-pwe lagi?
Adakah dia sudah tahu kalau kitab pusaka Thian-kong-sin-kang itu sudah
dihancurkannya?
Tiba-tiba ia tersadar. Ah,
tentulah kedua suami isteri itu tahu kalau anak perempuannya (Poh Ceng-in)
telah ditawannya. Ya, tentulah mereka kuatir kalau anak perempuannya itu akan
dibunuh!
Tetapi dugaan itu cepat
dihapusnya. Karena apabila Soh-beng Ki-su sudah melaporkan, tentulah Iblis
-penakluk-dunia tahu bahwa yang membawa Poh Ceng-in keluar dari lembah itu
bukanlah Pendekar Laknat melainkan Siau-liong dalam perwujutan sebagai Kongsun
Liong ketua Kay-pang.
Jelas Iblis Penakluk-dunia mau
pun Dewi Neraka masih belum tahu bahwa Pendekar Laknat itu adalah penyamaran
dari Kongsun Liong.
Beberapa jenak tak dapat
Siau-liong menduga apa yang dikehendaki Iblis Penakluk-dunia. Ia
termenung-menung memikirkan itu.
Melihat itu Iblis
Penakluk-dunia segera gunakan ilmu Menyusup Suara kepadanya, “Laknat tua,
pernah kukatakan tempo hari bahwa engkau satu-satunya perintang dalam usahaku
untuk menguasai dunia persilatan. Tetapi saat ini, jiwamu sudah berada dalam
tanganku."
Ia berhenti sejenak lalu
melanjutkan pula, “Tetapi aku tak mau mengandalkan beberapa manusia patung itu
untuk menguasai dunia persilatan....”
Tiba-tiba iblis itu berhenti
lalu memandang tajam ke arah Siau-liong.
Sekalipun dalam kata-katanya
iblis itu tak menyebut tentang ilmu sakti Thian-kong-sin-kang, tetapi
Siau-liong duga iblis itu tentu sudah mengetahui bahwa dirinya sudah memiliki
ilmu sakti itu.
Dari tindakan Iblis Penakluk-dunia
yang tak mau segera membunuh atau menawannya. Makin keraslah dugaan Siau-liong
kalau iblis itu tahu bahwa kitab pusaka Thian-kong-pit-kip sudah berhasil
dimilikinya dan dihancurkannya. Iblis itu tentu berusaha untuk mendapatkan
pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang dari dia.
Ia menggeliat dan berseru
dengan tandas, “Iblis tua, jangan mimpi....”
Iblis Penakluk-dunia tertawa
meloroh, “Laknat tua, sekali pun engkau sudah memperoleh Thian-kong-sin-kang,
tetapi saat ini engkau sudah tak mampu bertempur lagi. Dan lagi kalau tak
salah, luka dalam yang engkau derita itu hanya memungkinkan engkau hidup tiga
hari saja....”
Iblis itu menutup kata-katanya
sambil mengangkat cambuk. Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin segera menarik
kereta ketempat Ceng Hi totiang. Dengan isyarat cambuk, kereta itupun berhenti.
“Imam tua, apakah masih berani
bertempur lagi!" ejek Iblis Penakluk-dunia dengan tertawa.
Tubuh Ceng Hi totiang
berlumuran darah, wajah pucat lesi dan mata merah membara. Dengan mata memancar
dendam kemarahan, ia menatap Iblis Penakluk-dunia lalu kerahkan tenaga berseru,
“Selama hayat masih dikandung, jangan harap engkau mimpi dapat melaksanakan
angkara murkamu....”
Iblis Penakluk-dunia tertawa
nyaring, “Saat ini, asal kuberi perintah, berapapun jumlah jago-jago silat yang
engkau bawa, dalam waktu dua jam saja tentu akan ludas....”
Memandang kesekeliling
mayat-mayat jago silat yang menumpuk Bu-kit, Ceng Hi totiang tundukkan kepala
lalu memandang ke arah sisa rombongannya. Ia tahu bahwa Iblis Penakluk-dunia
itu memang tidak main gertak. Kenyataan dengan jumlah yang begitu besar tetap
kalah melawan gerombolan iblis itu.
Dia dan Pendekar Laknat saat
itu telah menderita luka parah. Jika melanjutkan pertempuran tentu hancur. Maka
ia hanya mendengus tak mau menyahut tantangan Iblis Penakluk-dunia.
Iblis itu tertawa dan berkata
pula, “Tetapi sekalipun siasatku ganas, aku tak bermaksud hendak membunuh
kalian habis-habisan. Karena aku masih memerlukan bantuan tenaga kalian ....”
Tiba-tiba wajah iblis itu
mengerut gelap lalu berteriak keras, “Akan kubebaskan kalian pergi. Tetapi
dalam waktu tiga hari kalian semua harus menuju ke puncak gunung Gobi,
mendirikan sebuah panggung. Menyediakan daftar nama dari seluruh anggauta
partai persilatan, baik golongan Hitam maupun Putih, kaum dunia persilatan mau
pun Rimba Hijau (penyamun).
Setiap partai harus mengajukan
sebuah wakil untuk memimpin rombongan masing-masing. Pada hari keempat tengah
hari, aku akan datang kesana. Pada saat itu tak peduli siapa saja tanpa
memandang kedudukan, harus sudah menyambut dikaki gunung.
Saat itu dunia persilatan akan
kupersatukan dibawah pimpinanku. Jika kalian menolak, dalam tiga bulan, dunia
persilatan pasti akan berlimpah darah, mayat-mayat berserakan membusuk .......”
Menuding kepada Ceng Hi
totiang, iblis itu berseru pula, “Tugas itu engkaulah yang memimpin
penyelenggaraannya. Jika tak sesuai dengan permintaanku tadi, akibatnya engkau
dapat memikirkan sendiri!"
Iblis Penakluk-dunia menutup
kata-katanya dengan tertawa panjang lalu ayunkan cambuk memberi perintah kepada
Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin supaya menarik kereta lagi. Kereta itu cepat
sekali menuju ke dalam mulut jalanan.
Harimau Iblis, Naga Terkutuk,
It Hang totiang dan berpuluh-puluh kaki tangan kedua suami isteri iblis itu,
segera mengikuti di belakang kereta. Tak berapa lama mereka lenyap dari
pandangan.
Saat itu hari sudah petang.
Sisa rombongan orang gagah sibuk mengangkati mayat dan menolong yang terluka.
Pemandangan saat itu sungguh memilukan hati.
Dengan dipapah oleh kedua imam
kecil, Ceng Hi totiang melangkah pelahan-lahan kemuka Siau-liong, “Pendekar
Laknat....” - serunya pelahan. Beberapa butir airmata menitik turun dari
pelupuk jago tua itu.
Siau-liong pun bangun berdiri
dibantu Lu Bu-ki dan Toh Hun-ki. Ia menghela napas, “Totiang....”
Pemuda itupun tak dapat
melampiaskan kata-katanya karena tersendat oleh rasa harunya.
Setelah menghapus airmata,
Ceng Hi totiang berkata pula, “Kata-kata saudara tadi memang benar. Rupanya
harapan dari dunia persilatan telah hancur di tangan ku ......” ia menghela
napas dan geleng-geleng kepala.
Setelah mengambil pernapasan
beberapa saat tadi, kini semangat Siau-liong sudah bertambah segar. Sahutnya,
“Sekalipun saat ini kita
menderita kekalahan tetapi sebagian besar dari inti kekuatan kita masih belum
hancur. Hendaknya totiang lekas mempersiapkan rencana lagi untuk menghadapi
keadaan bahaya ini. Sekalipun Iblis Penakluk-dunia itu suruh kita mengumpul
seluruh kaum persilatan berkumpul digunung Go-bi nanti tiga hari lagi, tetapi
dia tentu tetap mengawasi gerak-gerik totiang. Jika mengetahui totiang tak mau
melaksanakan perintahnya, kemungkinan sebelum tiga hari dia tentu sudah turun
tangan kepada totiang!"
42. Masih Bisakah Sembuh ...??
Ceng Hi totiang kerutkan dahi
dan merenung sampai beberapa saat. “Ah, kemungkinan aku akan datang ke Go-bi
....," kata imam tua itu.
Siau-liong terkejut. Tetapi
sebelum ia membuka mulut, Ceng Hi totiang sudah bertanya pula,
“Adakah Pendekar Laknat
menderita luka parah?"
Sampai beberapa saat
Siau-liong tak dapat menjawab. Setelah mengambil napas barulah ia tahu keadaan
lukanya. Apa yang dikatakan Iblis Penakluk-dunia memang benar. Mungkin dia
hanya dapat hidup tiga hari saja.
“Aku masih dapat
bertahan," katanya.
“Demi menyelamatkan kaum persilatan,
saudara telah berjoang mati-matian. Atas nama seluruh dunia persilatan,
kuhaturkan terima kasih tak terhingga kepada saudara!" kata Ceng Hi.
Siau-liong hanya tersenyum
getir dan mengatakan tak usah Ceng Hi totiang begitu sungkan. Tiba-tiba ia teringat
suatu hal yang penting. Cepat ia berpaling dan bertanya kepada si tinggi besar
Lu Bu-ki,
“Tolong saudara selidiki
apakah Ti Gong taysu sudah kembali ......”
Lu Bu-ki mengiakan. Tetapi
baru ia hendak pergi, seorang paderi baju kelabu yang sejak tadi berdiri diam
didekat situ segera melangkah maju seraya memberi salam.
“Suhuku yang mendapat perintah
untuk menyelidiki orang aneh yang menyelundup ke dalam terowongan dibawah tanah
itu, sampai saat ini belum kembali. Menurut laporan yang kami terima, karena
hendak merebut seorang wanita baju merah, suhu telah bentrok dengan paderi Liau
Hoan. Wanita baju merah itu telah dilarikan paderi Liau Hoan dan suhu bersama
rombongannya segera melakukan pengejaran!"
"Hai. apakah Liau Hoan
siansu juga datang?"
Paderi itu cepat menyahut,
“Kabarnya beliau datang karena hendak membantu pertempuran. Tetapi entah
mengapa, dia malah berhantam sendiri dengan suhu karena berebut tawanan wanita
baju merah itu ......”
Ceng Hi totiang menghela
napas, ujarnya: “Lekas suruh orang mengejar jejak mereka. Nasehatilah suhumu
agar jangan menggunakan kekerasan dan undanglah Liau Hoan siansu kemari!"
Paderi itu mengiakan dan
segera hendak melakukan perintah. Tetapi Siau-liong mencegah, “Tunggu dulu....”
Ceng Hi totiang suruh orang
itu berhenti lalu menanyakan apakah Siau-liong masih mempunyai perintah lain.
“Tawanan wanita baju merah itu
amat penting sekali artinya. Semula ia jatuh ditangan imam Go-bi-pay maka
kuminta tolong pada Ti Gong taysu untuk memintanya kembali."
Siau-liong kerutkan dahi.
Napasnya terasa memburu keras. Diam-diam ia menimang,
“Rasanya lukaku sudah tak ada
harapan sembuh lagi. Rombongan Ceng Hi totiang menderita kekalahan. Sedang
dipihak Iblis Penakluk-dunia ternyata mempunyai tenaga-tenaga sakti seperti
Jong Leng lojin, Lam-hay Sin-ni, Harimau Iblis, Naga Terkutuk dan It Hang
totiang.
Kesadaran pikiran mereka sudah
dilenyapkan oleh Iblis Penakluk-dunia sehingga mau melakukan segala perintah
iblis itu. Jika melanjutkan pertempuran, terang pasti hancur. Kini satu-satunya
senjata untuk menguasai kedua iblis itu hanyalah diri anak perempuannya!"
Kemudian Siau-liong teringat
pula. Bahwa jika dirinya mati saat itu, Poh Ceng-in pun tentu segera ikut mati
karena racun Jong-tok itu. Bila terjadi begitu, tentu tak berhasil menjadikan
Poh Ceng-in sebagai senjata untuk menekan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.
Setelah membayangkan
kemungkinan-kemungkinan itu, berkatalah Siau-liong lebih lanjut,
“Wanita baju merah itu
sebenarnya adalah anak perempuan dari Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.
Karena hanya mempunyai seorang puteri tunggal, kemungkinan wanita itu dapat
dijadikan sandera untuk menekan kedua iblis. Totiang....”
Mendengar itu berserilah wajah
Ceng Hi totiang dengan riang, “Kalau begitu segera akan kukirim jago-jago
sakti. Asal belum diketahui kedua suami isteri iblis, tentulah dapat menawan
wanita itu!"
"Tetapi wanita itu paling
lama hanya dapat hidup lima hari. Harap totiang dapat menggunakan kesempatan
itu sebaik-baiknya, "kata Siau-liong pula.
“Mengapa saudara tahu begitu
jelas?" Ceng Hi totiang terkejut heran.
Siau-liong tertawa rawan: “Apa
yang kukatakan tadi semua memang kenyataan. Kuharap totiang jangan mendesak
dengan pertanyaan lebih jauh ....”
Habis berkata Siau-liong
paksakan diri untuk berdiri, lalu berkata pula, “Aku merasa amat menyesal
sekali karena tak dapat memberi bantuan kepada totiang lebih lanjut. Maka saat
ini terpaksa aku hendak minta diri!"
“Anda hendak kemana?"
Ceng Hi totiang makin kaget.
Siau-liong tertawa hambar,
“Masih ada lain urusan penting yang hendak kukerjakan. Tak tentu arah yang
hendak kutuju. Mungkin kita tak akan berjumpa lagi!" - ia terus
bergeliatan hendak ayunkan langkah.
Ceng Hi totiang cepat memberi
isyarat agar Toh Hun-ki dan Lu Bu-ki mencegah Siau-liong.
"Memang aku tak dapat
memaksa saudara hendak melakukan urusan yang lain. Tetapi saat ini saudara
sedang menderita luka parah, Kurang baik kalau berjalan jauh. Tak jauh dari
sebelah luar lembah ini terdapat sebuah tempat yang baik untuk beristirahat.
Harap saudara suka beristirahat disitu untuk merawat luka saudara dulu."
Juga sitinggi besar Lu Bu-ki
dan Toh Hun-ki ikut membujuk, “Pendekar Laknat menderita luka berat, baiklah
jangan pergi seorang diri dulu!"
Habis berkata entah Siau-liong
setuju atau tidak, kedua orang itu terus memapahnya menuju keluar barisan pohon
Bunga dan tiba disebuah lamping gunung yang terdapat beberapa kubu. Mereka
masuk ke dalam sebuah kubu yang besar dan beristirahat disitu.
Karena sungkan atas kebaikan
kedua orang itu. Siau-liong terpaksa mau juga duduk bersemadhi di atas sebuah
permadani. Sedang Lu Bu-ki dan Toh Hun-ki pun juga pejamkan mata menyalurkan
tenaga dalam.
Beberapa saat kemudian ketika
Siau-liong membuka mata, dilihatnya bulan bersinar terang benderang. Saat itu
barulah ia teringat kalau malam itu tanggal 15 bulan 8.
Para ketua partai persilatan
dan tokoh-tokoh ternama dalam rombongan Ceng Hi totiang itu berbondong-bondong
mengunjungi kubu. Mereka menjenguk keadaan Siau-liong. Terhadap Pendekar
Laknat, mereka menaruh perindahan yang tinggi.
Ceng Hi totiang karena
menderita luka dalam yang parah, tak dapat datang sendiri dan melainkan
mengirim muridnya untuk menjenguk sampai tiga kali.
Sepenanak nasi lamanya,
Siau-liong duduk terkulai seperti tertidur. Toh Hun-ki dan Lu Bu-ki keluar
pelahan-lahan.
Saat itu lapangan pertempuran
di barisan pohon Bunga sudah bersih. Korban-korban yang mati sudah ditanam.
Hanya yang terluka masih terdengar mengerang kesakitan.
Siau-liong berusaha untuk
bangkit dan mencoba berjalan beberapa langkah. Ternyata ia merasa kuat. Maka
iapun segera melangkah keluar. Ternyata diluar kubu dijaga oleh dua orang imam.
Kedua imam itu buru-buru lari menghampiri.
Tetapi Siau-liong memberi
isyarat supaya mereka mundur. Kemudian ia berjalan ke belakang kubu. Di
belakang kubu terdapat hutan. Karena melihat penjagaan disitu tak berapa
banyak, ia segera masuk ke dalam hutan.
Ternyata karena merasa dirinya
pasti mati, Siau-liong akan menghindari orang terutama Ceng Hi totiang, agar
mereka jangan sampai tahu siapakah sebenarnya dirinya itu. Pikirnya Mawar Putih
yang terjebak dalam Lembah Semi itu tentu terancam jiwanya.
Kemungkinan besar bahkan sudah
binasa. Dengan begitu tak mungkin lagi ia dapat berjumpa dengan ibunya
diseberang lautan. Ah, ia merasa menjadi seorang anak yang tak berbakti ....
Juga Tiau Bok-kun, entah
bagaimana nasibnya. Sedang dia masih belum dapat menunaikan kewajiban-kewajiban
yang telah dipikulnya. Dari sekian banyak kewajiban, satu-satunya yang baru
dapat diselesaikan ialah memulihkan nama baik Pendekar Laknat!
Pada lain kilas ia teringat
akan pesan Koay suhu atau Pendekar Laknat yang mengajarkan padanya dua buah
hal: B u n u h dan B e n c i .
Tetapi sekalipun ia dapat
membunuh Soh-beng Ki-su yang telah membunuh Pendekar Laknat itu, juga ia tak
dapat memenuhi pesan Pendekar Laknat untuk mewakilinya bertemu dengan Randa
Bu-san pada nanti pertengahan musim rontok. Karena dalam beberapa hari ini ia
pasti sudah mati. Ah, bagaimanakah nanti ia ada muka untuk bertemu dengan arwah
Pendekar Laknat di alam baka!
Selain itu, iapun masih
gelisah memikirkan tentang ilmu sakti Thian-kong-sin-kang. Tentulah menjadi
harapan dari Tio Sam-hong yang menciptakan buku pusaka Thian-kong-sin-kang
bahwa kelak tentu akan terdapat seseorang yang berhasil menemukan simpanan
kitab pusaka itu lalu dikembangkan untuk menyelamatkan dunia.
Tetapi ah, sebelum ia dapat
mempelajari kitab pusaka itu, ia harus sudah mati. Dan lagi kitab pusaka itu
sudah terlanjur dihancurkan. Dengan demikian ilmu sakti nomor satu di dunia
bakal lenyap untuk selama-lamanya!
Dengan pikiran yang tak keruan
itu, tibalah ia di tepi sebuah anak sungai. Ia berhenti lalu pelahan-lahan
menanggalkan pakaian Pendekar Laknat. Sambil melipatnya pakaian ia menimang,
“Ah, sejak saat ini Pendekar
Laknat dan Kongsun Liong akan lenyap selama-lamanya dari dunia ....”
Karena letih sekali, ia duduk
di tepi anak sungai itu. Tiba-tiba terdengar kesiur angin dan pada lain saat
sesosok bayangan melesat datang.
Siau-liong terkejut ketika
mendapatkan pendatang itu adalah puteri dari Randa Bu-san, dara baju hijau yang
pernah bertempur dengannya tempo hari.
Dara itu terkesiap memandang
Siau-liong, tegurnya, “Eh, bukankah engkau bersama dengan taci Mawar!”
Siau-liong mengangguk, “Benar,
tempo hari kami membikin repot nona dan bibi ......”
Diam-diam Siau-liong bersyukur
karena sudah melucuti pakaiannya Pendekar Laknat. Kalau tidak, tentulah ia mati
ditangan dara itu.
"Apakah engkau bertemu
dengan taci Mawar?" tanya dara itu pula.
“Tidak," sahut Siau-liong
rawan.
“Hai, kemana sajakah
dia?" seru dara itu dengan banting-banting kaki, “sudah beberapa hari aku
dan ibu mencarinya tetapi tak ketemu ......”
Belum Siau-liong membuka
mulut, dara itu berkata lagi “Tetapi kutahu ia hendak mencarimu!"
Siau-liong mengucurkan
beberapa titik air mata, katanya, “Ah, mungkin kita takkan berjumpa lagi untuk
selama-lamanya!"
Dara itu tebeliak dan
memandang Siau-liong beberapa saat. Sekonyong-konyong ia berteriak, “Mengapa?
Apakah engkau terluka?”
Siau-liong mengangguk,
"Ya, luka berat yang pasti membawa maut!"
Dara baju hijau itu memandang
lekat, “Tak apalah, mamaku dapat mengobatimu!"
Siau-liong menghela napas.
Pada saat hendak berkata tiba-tiba terdengar kesiur sesosok tubuh berlari
secepat angin mengarah datang. Dibawah sinar rembulan, tampak sosok tubuh hitam
itu melayang ke udara bagaikan seekor burung rajawali lalu menukik turun
menerjang.
Siau-liong terkejut sekali.
Dia sudah tak punya daya melawan lagi. Dan orang itu hebat sekali gerakannya.
Siau-liong tetap tenang saja. Ia merasa sudah dekat ajal, tak perlu melawan.
Karena malawan pun pasti sia-sia....
“Ibu....!" tiba-tiba dara
itu melengking girang.
Ternyata pendatang itu memang
Randa dari Bu-san. Setelah memandang beberapa jenak kepada Siau-liong, bertanyalah
wanita sakti itu kepada puterinya, “Apakah sudah menemukan jejak tacimu,
Mawar"
Dara itu gelengkan kepala,
“Belum, tetapi disini berjumpa dengan dia yang pergi bersama taci Mawar....” -
ia berpaling ke arah Siau-liong lalu berkata pula: "Dia terluka, bu....
obatilah!"
Karena rasa kejut tadi, darah
Siau-liong bergolak keras sehingga ia tak kuat berdiri lagi dan duduk tak
berkutik.
“Locianpwe, maaf karena
menderita luka aku tak dapat menyambut dengan berdiri," kata Siau-liong.
Randa Bu-san itu hanya mendengus
lalu menatapnya tajam, “Dimanakah puteriku angkat itu."
Siau-liong tak bisa bohong.
Tetapi ia tidak enak kalau mengatakan Mawar Putin telah ditawan Soh-beng Ki-su.
Maka sampai beberapa jenak ia tergagap-gagap tak dapat bicara.
Adalah dara baju hijau yang
mewakili memberi keterangan bahwa Siau-liong tak berjumpa dengan Mawar Putih.
"Bagaimana engkau
tahu!" bentak wanita kepada puterinya.
Dara itu tersipu-sipu merah
mukanya lalu tundukkan kepala tak berani bicara lagi.
Randa Bu-san itu geleng-geleng
kepala, ujarnya: "Aku mengerti ilmu perbintangan. Sekalipun engkau tak
bilang tetapi aku dapat mengetahui juga."
Ditatapnya wajah Siau-liong
dengan tajam lalu bertanya pula: "Anak itu tak menghirau keselamatan
jiwanya lagi, demi amat mencintaimu. Tetapi sebaliknya engkau tanpa kasihan
membiarkan dia tercengkeram bahaya. Apakah engkau merasa perbuatanmu itu bukan
suatu perbuatan orang yang bermoral tipis?"
Dengan kata-kata itu tampaknya
Randa Bu-san sudah seperti melihat sendiri peristiwa So-beng Ki-su menawan
Mawar Putih.
“Ah, aku....” Siau-liong
menghela napas sedih dan sesal. Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
tersekat oleh air matanya yang bercucuran.
“Perlu apa menyesal, toh sudah
terlambat....!" dengus Randa Bu-san. Kemudian ia bersenandung:
Ratna pecah, bunga gugur,
bukan tiada sebabnya.
Peristiwa lampau yang hampa,
sukar diimpikan pula.
Sungguh menggelikan sekalilah,
wanita yang gila asmara.
Mengapa mencintai mati-matian,
pria yang berhati culas.
Habis bersenandung, Randa Bu-san
itu juga menghela napas sendiri. Seperti tersinggung hatinya oleh suatu
kesedihan dalam lubuk nuraninya. Seolah-olah pada malam purnama ditengah hutan
belantara yang suuyi, ia menumpahkan isi hatinya....
Sejenak memandang ibu dan
Siau-liong, bertanyalah dara itu kepada Randa Bu-san, “Menurut perhitunganmu,
kemanakah taci Mawar sekarang ini?"
Randa Bu-san yang sedang
terbenam dalam kenangan masa lampau, agak terkejut mendengar pertanyaan
puterinya itu. Memandang sejenak kepada Siau-liong, ia menyahut,
“Menurut ilmu petangan, dia
berada dalam bahaya. Tentulah ia terjebak dalam Lembah Semi. Sekali pun belum
binasa tetapi kesempatan lolospun hanya sedikit. Dan lagi menurut petangan itu
......”
Ia menuding Siau-liong dan
berseru marah: "Kesempatan hidup dari tacimu itu hanya tergantung padanya!
Tetapi ternyata dia enak-enak tak mau mengacuhkan sehingga kemungkinan hidup
tacimu Mawar pasti lenyap!"
Dara baju hijau kerutkan
kening. Tampaknya ia sedang dicengkam oleh rasa sedih dan marah. Dipandangnya
Siau-liong yang berlumuran darah dan pucat itu beberapa saat. Entah bagaimana
timbullah rasa kasihan kepada pemuda itu.
"Mungkin karena hendak
menolong taci Mawar maka ia sampai menderita luka begitu parah....” katanya.
Dan cepat-cepat ia bertanya kapada Siau-liong, “Hai, bukankah begitu?"
Siau-liong paksakan diri
mengangkat muka. Baru ia hendak bicara, Randa Bu-san sudah mendengus, “Mungkin
dia memang mempunyai maksud begitu tetapi tanpa disadari dia telah
mensia-siakan kesempatan yang bagus. Saat ini jiwanya sendiri terancam, mana
bisa membicarakan lain-lain soal!"
Siau-liong tegang sekali.
Dengan terengah-engah ia berkata, “Ramalan locianpwe sungguh tepat sekali.
Sekali pun nona Mawar sudah tertawan di Lembah Semi tetapi dia sudah seperti
adikku sendiri. Aku rela hancur raga asal dapat menyelamatkan jiwanya. Pada
saat itu jika tak terpaksa oleh keadaan, masakan kubiarkan dia tertawan musuh
......”
Siau-liong menghela napas lalu
kuatkan diri melanjutkan berkata, “Memang, saat ini aku sudah hampir mati.
Hanya dendam penasaran yang terkandung dalam kematianku nanti. Adik Mawar dan
locianpwe dapat memaafkan diriku atau tidak, aku pun tak dapat berbuat suatu
apa lagi!"
Kerena rasa tegang dan duka,
darah dalam tubuh Siau-liong bergolak menyungsang. Dia muntah darah lagi dan
rubuh.
Si dara baju hijau hendak
menolongnya tapi tak jadi dan berpaling ke belakang, "Ibu....”
Randa Bu-san yang tegak
disamping, membentaknya: “Mengapa!"
"Betapapun halnya dia
adalah pemuda yang hendak dicari taci Mawar.... Apalagi dia saat ini sedang
menderita luka parah. Adakah kita sampai hati untuk melihatnya saja?" seru
si dara.
“Manusia yang tipis budi, lupa
kasih semacam dia, mati atau hidup sama saja!" sahut Randa Bu-san.
Tetapi anehnya, ia
pelahan-lahan menghampiri Siau-liong. Lalu berjongkok dan mulai memeriksa
keadaan pemuda itu. Sesaat kemudian ia berbangkit seraya gelengkan kepala,
“Luka keliwat parah sekali. Sudah tak dapat ditolong lagi....!"
“Hai!" si dara menjerit
kaget, “tadi saja ia masih dapat berjalan dan bicara. Mengapa dalam beberapa
detik saja sudah tak dapat ditolong....?"
Randa Bu-san tak menghiraukan
kata-kata puterinya. Ia berjongkok lagi memeriksa Siau-liong. Mulutnya
mengingau seorang diri, “Aneh! Urat jantungnya sudah putus dan isi dadanya
sudah berhenti bekerja tetapi mengapa dia belum mati!"
Memang sekalipun menggeletak
tak ingat diri, tetapi dada Siau-liong masih berombak keras. Suatu pertanda
bahwa pernapasannya masih belum berhenti.
Lebih mengherankan lagi
ternyata alat pendengarannya masih tajam. Ia membuka mata memandang Randa
Bu-san dengan pandang mata yang penuh dendam penasaran.
Randa Bu-san menatap tajam,
lalu berkata seorang diri lagi, “Benar, rupanya hatimu masih penasaran sehingga
hawa murni dalam dadamu membeku tak mau cair.... Ai, sayang denyut urat nadimu
sudah tak ada. Betapa pun engkau hendak paksakan diri tetapi tentu tak dapat
tahan lama ....!"
Siau-liong membuka mata
lebar-lebar, mencurah kemuka wanita itu. Bibirnya bergerak-gerak tetapi tak
dapat mengeluarkan kata-kata.
Randa Bu-san berbangkit dan
berkata dengan nada heran, “Benar-benar suatu hal yang belum pernah kusaksikan
selama hidup....”
Wanita itu tegak
terlongong-longong.
Sedang si dara baju hijau
terkejut. Dalam anggapannya, ibunya itu seorang wanita yang all round alias
tahu segala apa. Selama ini belum pernah ia melihat ibunya sedemikian sikapnya,
ragu-ragu dan heran. Apalagi berkali-kali ibunya mengoceh seorang diri.
Akhirnya tak sabar lagilah
dara itu, tanyanya, “Bu, bagaimanakah keadaannya? Apakah dia benar-benar sudah
tak dapat ditolong lagi?"
Randa Bu-san tertawa getir,
“Ibu sendiri pun heran. Dia tidak seperti manusia biasa.... Menilik lukanya,
dia tentu sudah mati. Tetapi dia masih hidup bahkan ingatannya masih terang
sekali!"
Memang saat itu Siau-liong
sudah tak dapat bicara. Hanya matanya yang masih berkilat-kilat bergantian
memandang Randa Bu-san dan si dara baju hijau.
Tiba-tiba dara baju hijau itu
berpaling dan berseru. “Bu, tolonglah dia! Lihatlah, betapa kasihan sekali dia
itu ....!"
Randa Bu-san mendengus, “Ling,
mengapa engkau hari ini? Mengapa terus mendesak ibu supaya menolong pemuda yang
tak berbudi?"
"Aku memikirkan
kepentingan taci Mawar ....” kata si dara lalu tundukkan kepala.
Randa Bu-san menghela napas
panjang: “Mungkin ibu akan berusaha untuk menolongnya. Meskipun belum pasti
dapat menyelamatkannya tetapi akan kucoba juga ....”
Sesaat berhenti, ia berkata
pula, "Hanya sayang tacimu Mawar tak berada disini sehingga kita berdua
tak berdaya menolongnya!"
“Mengapa? Apakah taci Mawar
yang dapat menolongnya? Masakan ....”
Tiba-tiba wajah wanita itu
mengerut bengis dan membentaknya, “Jangan banyak tanya, mari kita pergi!"
Sudah tentu si dara terkejut
melihat sikap ibunya yang begitu bengis. Belum pernah sebesar itu ia mendengar
ibunya bicara begitu bengis seperti saat itu. Sejenak ia memandang lagi ke arah
Siau-liong lalu cepat-cepat menyusul ibunya.
Baru berjalan dua langkah,
ternyata Randa Bu-san menyadari bahwa sikapnya terhadap anaknya tadi keliwat
bengis. Maka ia menepuk bahu si dara dan berkata dengan lembut.
"Obat mujijat hanya untuk
orang yang belum takdirnya mati. Pintu agama hanya terbuka kepada orang yang
berjodoh. Apabila seseorang sudah ditakdirkan mati, siapapun tak mungkin dapat
menolongnya!"
43. Telur Di Ujung Tanduk
Dara itu mengangguk kepala tak
menyahut. Tetapi diam-diam ia mencuri kesempatan untuk berpaling ke belakang.
Dilihatnya Siau-liong masih
terkulai di tanah .... Sepasang matanya masih memandang ke arahnya. Dari sinar
rembulan jelas dara itu dapat melihat, betapa putus asa hati Siau-liong yang
dipancarkan dari pandang matanya itu ....
Tak terasa hidung dara itu
basah dan matanya bercucuran air mata ....
Sesaat kemudian ia terkejut
sendiri. Ia merasa heran mengapa sampai kehilangan pribadi. Mengapa ia harus
mencucurkan air mata untuk pemuda itu. Bukankah ia tak mempunyai hubungan
apa-apa!
Dengan kuatkan hati dara itu
segera menyusul ibunya. Tetapi entah bagaimana, beberapa saat kemudian, hatinya
kembali terasa pepat. Seolah-olah tertindih oleh sebuah batu besar. Tak tahu
ia, apa sebabnya. Makin keras hendak melupakan makin keras ia teringat lagi
....
Tiba-tiba ia terkejut karena
bahunya ditepuk oleh ibunya. Ternyata Randa Bu-san melesat keluar dari balik
sebuah batu besar dan menepuk bahu puterinya. Dan habis menepuk Randa Bu-san
terus loncat ke balik sebuah batu. Dara itupun cepat-cepat menyusul ibunya.
"Ada orang disebelah
sana....” bisik Randa Bu-san. Dan menurut arah yang ditunjuk ibunya. Si dara
memang melihat sesosok bayangan sedang menyusur tepi sungai berjalan ke arah
tempat mereka.
Tetapi orang itu masih berada
pada jarak dua tombak lebih jauhnya. Orang itu berjalan pelahan sekali sehingga
beberapa waktu kemudian baru tiba didekat tempat
Randa Bu-san dan puterinya
bersembunyi.
Makin dekat makin jelaslah
perwujutan orang itu. Rambutnya terurai kusut masai. Pakaiannya berlumuran debu
dan lumpur. Rupanya sudah beberapa hari tak dandan.
Sepasang matanya berkeliaran
memandang kekanan kiri dan berjalan dengan langkah amat pelahan. Sepintas
pandang ditengah hutan belantara pada malam yang sunyi, orang itu mirip dengan
sesosok hantu yang keluar dari kuburan.
Tiba-tiba Randa Bu-san
memungut sebutir batu lalu dilemparkan ketempat Siau-liong berbaring. Batu itu
tepat jatuh dionggok batu yang terletak disamping Siau-liong. Sekalipun tak
keras, tetapi karena malam sunyi sekali, batu itu pun mengeluarkan bunyi yang
cukup terdengar jelas.
Orang yang datang itu yang
ternyata seorang gadis, terkejut dan serentak berhenti lalu pasang telinga.
Dengan seksama ia memandang ke arah bunyi batu jatuh tadi.
Tetapi karena tubuh Siau-liong
kebetulan teraling oleh tumpukan batu, maka ia tak dapat melihatnya. Setelah
tertegun beberapa jenak, barulah ia melangkah ketempat onggok batu itu.
Ketika si dara baju hijau
mencuri lihat, dilihatnya gadis yang tak keruan keadaannya itu ternyata
memiliki raut wajah yang cantik sekali. Rambut kusut masai, pakaian kotor,
hanya seperti tebaran awan yang menutup sang rembulan. Dibalik awan itu
merupakan Dewi Rembulan yang cantik gilang gemilang. Demikian dengan keadaan
nona itu.
Rupanya gadis itu mengetahui
tubuh Siau-liong. Ia berjongkok memeriksanya dan seketika menjeritlah ia,
“Siau-liong! Oh, Siau-liong....”
Ratap tangis berhamburan
tersedu-sedu.
Melihat itu wajah Randa Bu-san
berseri girang, bisiknya, “Mungkin dia memang belum ditakdirkan mati....”
Cepat ia menarik tangan
puterinya lalu diajak menghampiri. Karena terbenam dalam kesedihan besar,
rupanya gadis itu tak mengetahui kedatangan kedua ibu dan anak.
“Apakah dia sudah mati?"
tiba-tiba Randa Bu-san menegur.
Nona itu tersentak kaget
seraya cepat-cepat berbalik diri. Tetapi rupanya ia tercengkam dalam kedukaan.
Habis melihat Randa Bu-san dan si dara baju hijau, ia kembali berputar tubuh
lagi dan menangisi Siau-liong.
“Siau-liong, mengapa engkau
mati begini mengenaskan sekali ......”
Dara baju hijau terkejut.
Cepat ia mengawasi Siau-liong. Tampak sepasang mata pemuda itu menutup rapat
seperti orang mati.
“Hai, apakah engkau tak
mendengar pertanyaan ibuku?" bentaknya.
Nona berhenti menangis lalu
berputar tubuh, serunya: “Mungkin sudah tak dapat ditolong lagi!"
“Asal dia masih bernapas,
ibuku tentu dapat menolong!" sahut si dara.
Nona itu tertegun lalu
cepat-cepat menempelkan jarinya kemulut Siau-liong. Setelah itu ia berlutut
dihadapan Randa Bu-san seraya meratap, “Dia masih hidup, harap locianpwe suka
menolongnya ......!"
Randa Bu-san menghela napas.
Ia berjongkok memeriksanya. Kaki dan tangan Siau-liong sudah kaku, matanya
menutup rapat. Hanya tinggal napasnya yang masih kedengaran lemah.
Randa Bu-san berbangkit lagi,
katanya, “Hawa murni yang berkumpul dibagian jantungnya sudah mulai memencar.
Mungkin sukar ditolong lagi!"
Nona itu menangis makin keras
seraya meratap-ratap, “Locianpwe, tolonglah.... tolonglah dia....”
Randa Bu-san merenung.
Tiba-tiba ia menutuk tiga buah jalan darah didada Siau-liong. Siau-liong tak
membuat reaksi suatu apa. keadaannya seperti orang mati. Setelah ditutuk jalan
darahnya oleh Randa Bu-san, napas Siau-liong malah berhenti sama sekali.
Nona itu terkejut dan tertegun
lalu tiba-tiba menangis gerung-gerung. "Dia sudah mati! Engkaulah yang
mencelakainya!"
Dengan kalap gadis itu terus
menyerang Randa Bu-san. Wanita itu mendengus dingin seraya mencengkeram siku
lengan kanan gadis itu. Sekali pijat, gadis itu tegak seperti patung. Separoh
tubuh kesemutan.
Randa Bu-san menatap gadis itu
dengan pandang kasihan lalu lepaskan cekalannya, “Denyut keenam inderanya sudah
tiada, hawa dalam darahnya sudah kering. Jika hawa murni dalam jantung pun buyar,
sekali pun dewa turun dan langit, juga sukar menolongnya lagi. Kututuk jalan
darahnya untuk menutup hawanya agar dia masih dapat bertahan dua jam lagi
.......”
Berhenti sejenak ia
melanjutkan: “Menilik keadaan lukanya, dia pasti mati. Sekali pun akan kucoba
mengusahakan tetapi aku tak yakin dapat menolongnya!"
Mendengar penjelasan Randa
Bu-san, gadis itu serta-merta terus berlutut....
Diam-diam si dara baju hijau
girang karena ternyata ibunya sudah meluluskan untuk menolong. Ia menghela
napas lalu mundur kesamping memandang gadis yang tak dikenal itu.
Randa Bu-san mengangkat bangun
gadis itu: “Apakah hubunganmu dengan dia? Mengapa engkau menangis begitu
sedih?" tanyanya.
“Aku dan dia.... dia pernah
menolong jiwaku, aku....”
Randa Bu-san menghela napas,
“Budi dan Cinta bercampur jadi satu. Engkau dan dia memang sukar terhindar dari
hubungan Asmara, ketahuilah....”
Dipandangannya wajah gadis itu
lekat-lekat, lalu Randa Bu-san melanjutkan pula. “Ketahuilah, dia bukan seorang
pemuda yang hanya mencintai seorang gadis saja. Engkau sukar terangkap jodohnya
dengan dia!"
Namun gadis itu tanpa
ragu-ragu berseru: “Tak peduli dia memperlakukan diriku bagaimana, aku tetap
akan membalas budinya!"
Berkata Randa Bu-san dengan
serius, “Kalau engkau berkorban dan dia selamat, apakah engkau bersedia?"
Tanpa bersangsi. gadis itu
mengangguk, “Aku bersedia!"
"Karena engkau rela
berkorban aku pun akan berusaha sungguh-sungguh....” kata Randa Bu-san lalu
menunjuk Siau-liong dan berkata, “Angkatlah tubuhnya pelahan-lahan!"
Tanpa banyak bertanya, gadis
itu segera melakukan perintah Randa Bu-san. Tubuh Siau-liong telentang lurus di
atas kedua lengannya. Setelah itu Randa Bu-san lalu suruh si gadis mengangkut
Siau-liong dan ikut ia pulang.
Ditengah jalan bertanyalah si
dara baju hijau nama gadis itu.
“Aku bernama Tiau Bok-kun....”
gadis itu menerangkan. Kedua pipinya tampak merah, ujarnya lebih lanjut, “Ah,
aku memang linglung sekali sehingga belum bertanya nama locianpwe dan taci....”
“Namaku Song Ling....” dara baju
hijau itu menjawab," dan beliau adalah ibuku....” – habis berkata dara itu
membisiki kedekat telinga Tiau Bok-kun, “Asal ibu sudah meluluskan
mengobatinya, dia tentu sembuh. Jangan kuatirlah!"
Tiau Bok-kun memandang dara
itu. Dua butir air mata menitik turun....
Si dara baju hijau atau Song
Ling tak dapat merangkai kata-kata untuk menghibur. Maka dalam berjalan itu ia
diam saja.
Dalam pada itu karena kuatir
Siau-liong akan tergoncang tubuhnya maka Randa Bu-san sengaja berjalan
pelahan-lahan. Kira-kira sepertanak nasi lamanya barulah mereka tiba dipondok
gunung Bu-san.
Saat itu sudah malam. Rembulan
tertutup awan sehingga menimbulkan suasana yang rawan.Randa Bu-san suruh Tiau
Bok-kun letakkan tubuh Siau-liong di atas balai-balai bambu.
Wanita itu cepat masuk ke
dalam kamarnya dan tak lama keluar membawa baskom air panas berisi daun-daun
obat. Air berwarna merah darah.
Baskom itu diserahkan kepada
Tiau Bok-kun beserta sebuah kain putih. Tiba-tiba Randa Bu-san membentak Song
Ling, “Bukan urusanmu, lekas keluar!"
Song Ling tertegun. Terpaksa
ia melangkah keluar. Setelah itu Randa Bu-san mengambil kursi dan duduk
membelakangi balai-balai tempat Siau-liong.
"Tiau Bok-kun, karena
engkau sudah besungguh-sungguh menolongnya, engkau harus menurut petunjukku!"
Tiau Bok-kun mengiakan.
“Kalau begitu lekas engkau
lucuti pakaiannya!"
Tiau Bok-kun meragu. Sampai
beberapa jenak ia diam saja. Tetapi karena ia sudah mengatakan hendak
mengorbankan diri demi menolong jiwa Siau-liong, masakan disuruh begitu saja ia
sudah mogok? Apalagi....
Tanpa banyak pikir lagi, ia
segera membuka pakaian Siau-liong yang berlumuran darah dan debu itu.
“Benamkan kain ke dalam air
lalu bersihkan kaki dan tangannya!" kembali Randa Bu-san memberi perintah.
“Kemudian Randa Bu-san mengeluarkan
sebuah bungkusan sutera. Ternyata berisi duabelas batang jarum perak. Lalu
dipanggilnya Tiau Bok-kun, “Hendak kulakukan pengobatan tusuk jarum untuk
menghalau darah kental yang mengeram dalam kelima inderanya. Tetapi aku tak
leluasa mengerjakan sendiri. Engkau harus melakukan petunjukku!"
Ia menyerahkan bungkusan jarum
kepada nona itu. Tiau Bok-kun bingung, “Tetapi aku tak mengerti ilmu tusuk
jarum, jika ....”
“Tak apa, asal dapat mengenal
letak jalan darah dengan tepat, tentu tiada berbahaya ....”
Belum sempat Tiau Bok-kun
menjawab. Randa Bu-san sudah berkata lagi: “Pertama kali, tusuklah jalan darah
Than-tiong didadanya!"
Tiau Bok-kun tak berani
berayal terus menghampiri ke balai-balai tempat Siau-liong.
“Tusuk sampai tiga dim
dalamnya!" seru Randa Bu-san pula.
Dengan menindas tangannya yang
gemetar, setelah menentukan letak jalan darah, akhirnya Tiau Bok-kun
memberanikan diri menusuk jarum itu.
Saat itu Randa Bu-san tetap
duduk membelakangi. Tetapi rupanya ia seperti melihat apa yang dilakukan Tiau
Bok-kun. Kembali ia memberi perintah pelahan-lahan, “Yang kedua, tusuk jalan
darah Tiong-kek-hiat dibawah pusarnya, sampai berdarah ....”
Tiau Bok-kun pun melakukan
perintah itu.
“Yang ketiga, tusuklah jalan
darah Beng-bun di belakang pusar....”
“Yang keempat, jalan darah
Ci-tong-hiat pada ketiak kanannya."
Demikianlah dibawah petunjuk
Randa Bu-san, Tiau Bok-kun telah melakukan pengobatan tusuk jarum pada tubuh
Siau-liong.
Lebih kurang sepertanak nasi
lamanya, barulah pengobatan itu selesai. Kepala Tiau Bok-kun basah kuyup dengan
keringat.
Tetapi ia dapatkan napas
Siau-liong mulai agak keras, kaki dan tangannya pun tidak kaku lagi. Seri
wajahnya mulai agak merah. Diam-diam nona itu girang dan cepat menghaturkan
terima kasih kepada Randa Bu-san.
Tetapi Randa Bu-san mengatakan
bahwa pengobatan dengan tusuk jarum itu hanya dapat mencairkan hawa jahat yang
menyumbat peredaran jalan darahnya. Dapatkah hal itu menyembuhkan Siau-liong,
ia masih belum yakin.
Sudah tentu Tiau Bok-kun
terkejut karena dugaannya bahwa Siau-liong sudah sembuh ternyata belum pasti.
“Mengapa tak lekas memakaikan
pakaiannya lagi!" bentak Randa Bu-san.
Tiau Bok-kun merah mukanya
lalu buru-buru melakukan perintah.
"Ling-ji!" Randa
Bu-san memanggil puterinya.
Song Ling muncul. Lebih dulu
memandang ketempat Siau-liong kemudian baru menghampiri ibunya, Randa Bu-san
suruh dara itu mengambil sebuah cawan perak. Lalu wanita itu mengeluarkan
sebuah botol kecil dan menuang sebutir pil warna hitam diberikan kepada Tiau
Bok-kun.
“Inilah pil Penyambung nyawa
buatanku sendiri. Tetapi harus dicampur dengan segelas darah orang baru manjur.
Maukah engkau memberikan darahmu untuknya?"
“Mau....” sahut Tiau Bok-kun.
Saat itu Song Ling muncul
dengan membawa cawan perak. Ternyata cawan itu dua kali besarnya dengan cawan
biasa. Menyambuti cawan itu, Randa Bu-san lalu menyerahkan kepada Tiau Bok-kun:
"Perlu secawan penuh!"
Setelah menyambuti cawan itu
dan diletakkan dimeja, tanpa bersangsi lagi, Tiau Bok-kun terus mengeluarkan
badik dan membelek urat lengan kirinya. Darah mengucur deras ke dalam cawan.
Tak berapa lama penuhlah cawan itu.
Tiau Bok-kun sudah bertekad
hendak menyelamatkan jiwa Siau-liong. Sekalipun menerjang lautan api, ia tetap
akan melakukan.
Tetapi karena darahnya keluar
begitu banyak, kepalanya pun terasa pening mata berkunang-kunang. Hampir saja
ia rubuh. Untunglah Song Ling cepat memapah dan membalut lukanya.
Randa Bu-san menghela napas.
Memandang Tiau Bok-kun, mengambil cawan berisi darah lalu menghampiri ketempat Siau-liong.
Pemuda itu masih pingsan.
Lebih dulu pil hitam tadi disusupkan ke dalam mulutnya lalu dingangakan dan
diminumi darah ....
Setelah cawan habis isinya,
wanita Bu-san itu menghela napas, “Aku hanya dapat mengobati sampai disini.
Adakah dia dapat hidup kembali, tergantung pada nasibnya!"
Tiau Bok-kun yang masih pucat
wajahnya, tak berkedip mengawasi air muka Siau-liong. Ternyata cepat sekali
terjadi perobahan. Tak berapa lama wajah pemuda itu merah segar seperti orang
sehat lagi. Kaki dan tangannyapun mulai dapat bergerak.
Girang Tiau Bok-kun bukan
kepalang. Serta-merta ia membisiki telinga anak muda itu, “Siau-liong,
Siau-liong ......”
"Jangan menganggunya
dulu!" bentak Randa Bu-san, sekalipun dia dapat sembuh tetapi paling tidak
dua jam lagi baru sadar!"
Tetapi serempak dengan
kata-kata wanita itu sekonyong-konyong Siau-liong mengerang dan terus
menggeliat duduk.
Sudah tentu wanita Bu-san
kaget sekali. Cepat ia melesat kehadapan Siau-liong dan menatapnya seraya
berkata seorang diri,
“Sungguh aneh! Benar-benar
suatu keajaiban yang baru pertama kali ini kusaksikan seumur hidup! Mengapa
anak muda ini memiliki tenaga murni yang sedemikian besarnya?"
Siau-liong memandang kian
kemari seperti tak mengerti apa yang telah terjadi pada dirinya. Pelahan-lahan
matanya tertumbuk wajah Tiau Bok-kun, ia berteriak kaget, “Nona Tiau,
engkau....”
Tiau Bok-kun juga terkejut
girang. Cepat ia berpaling ke arah Randa Bu-san, “Terima kasih atas pertolongan
locianpwe!"
“Locian.... pwe....” seru
Siau-liong tersekat.
Ia baru saja sembuh, darahnya
masih belum normal. Karena diguncang oleh rasa kejut dan haru, bergolak lagilah
darahnya. Seketika matanya gelap dan rubuhlah ia kembali.
“Tak jadi apa," cegah
Randa Bu-san ketika Tiau Bok-kun hendak menolong Siau-liong. "tetapi
biarpun dia mempunyai tenaga dalam yang tinggi, setelah menderita luka itu,
harus beristirahat selama sepuluh sampai lima belas hari baru benar-benar
sembuh ......”
Kemudian wanita itu berpesan,
setelah Siau-liong tersadar, Tiau Bok-kun supaya membawanya pergi kesebuah
tempat yang sunyi agar dapat beristirahat menyembuhkan lukanya.
Saat itu fajar mulai
menyingsing. Randa Bu-san segera ajak puterinya untuk beristirahat.
Setelah kedua ibu dan puteri
itu keluar, Tiau Bok-kun menghela napas panjang. Dilihatnya saat itu Siau-liong
masih tidur pulas. Terkenang akan pengalamannya selama beberapa hari ini.
Selama berhari-hari itu ia
terus menerus mencari Siau-liong. Dan ketika diterowongan Lembah Maut ia
berjumpa dengan Pendekar Laknat yang terluka. Ia kira Siau-liong tentu sudah
menuju ke seberang laut.
Tetapi ketika masuk ke kota
Siok-ciu, ia mendengar berita bahwa Siau-liong terjebak dalam Lembah Maut. Maka
ia nekad menuju ke Lembah Semi lagi untuk mencari pemuda itu.
Kini akhirnya ia dapat
berjumpa dengan pemuda yang dikenang siang dan malam itu. Ia merasa telah
berhutang jiwa kepada pemuda itu. Disamping itu ia masih mempunyai suatu
perasaan yang sukar diutarakan terhadap pemuda itu.
Tiba-tiba teringatlah ia akan
peristiwa tadi.
Demi kepentingan pengobatan
tusuk jarum ia diperintah Randa Bu-san untuk membuka pakaian Siau-liong.
Seketika merahlah wajah nona itu.
Diam-diam ia berjanji untuk
membujuk Siau-liong agar mau diajak mencari tempat yang sunyi supaya lukanya
sembuh sama sekali. Benak nona itu melalu lalang dengan lamunan yang indah.
Karena semalam suntuk tak tidur tanpa terasa iapun jatuh pulas.
Letih dan kantuk melelapkan
nona itu dalam ketiduran yang panjang. Ketika sadar ternyata hari sudah malam.
Ia tidur sehari penuh.
Kamar masih gelap belum ada
penerangannya. Diluar pondok, angin membawa deru hujan. Pelahan-lahan ia turun
dari pembaringan. Diruang pondok sunyi senyap. Nyonya rumah dan si dara baju
hijau tak kedengaran suaranya.
“Nona Tiau....” tiba-tiba
terdengar orang memanggilnya.
Nona itu terkejut dan
berpaling, “Ah, engkau sudah bangun?"
“Nona Tiau, ah, membikin susah
padamu....” Siau-liong tertawa rawan.
Seketika meluaplah rasa haru
nona itu. Tak tahu bagaimana ia harus bicara. Air matanya berderai-derai turun
membasahi kedua pipinya.
Siau-liong menghela napas
panjang dan pelahan-lahan duduk. Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah Song Ling
dengan membawa lilin. Dara itu tersenyum. Ia terkejut heran ketika melihat
Siau-liong duduk.
"Eh, engkau sudah
sembuh?" tanyanya seraya meletakkan lilin di atas meja terus lari keluar.
Tak berapa lama Randa Bu-san
pun masuk. Song Ling sibuk membawa hidangan dan teh. Siau-liong seperti orang
bermimpi. Dengan dipapah Tiau Bok-kun ia turun dari pembaringan lalu
menghaturkan terima kasih kepada nyonya rumah dan puterinya.
Entah bagaimana tampak dara
baju hijau itu tertegun seperti orang yang kehilangan semangat. Mata memandang
Siau-liong tak berkedip.
Dengan wajah dingin dan nada
tegas, Randa Bu-san berkata, “Yang menolongmu sesungguhnya bukan aku melainkan
nona ini....” - ia menunjuk Tiau Bok-kun, "jika tiada nona itu, sekali pun
engkau mempunyai jiwa rangkap dua lembar, tetap habis tentu riwayatmu!"
Tiba-tiba Siau-liong teringat
kalau wanita itu menyesalinya karena melepaskan Mawar Putih jatuh ketangan
Soh-beng Ki-su. Ia merasa malu dan tak berani bicara apa-apa lagi.
Untunglah Randa Bu-san tak
mengungkat soal itu lagi. Demikian mereka berempat segera makan malam bersama.
Setelah makan bubur, semangat
Siau-liong makin segar. Ia teringat sudah tiga kali itu datang kepondok Randa
Bu-san. Pertama dengan membawa Mawar Putih yang terluka.
Kedua kali dalam penyamarannya
sebagai Pendekar Laknat ia telah bertempur dengan si dara baju hijau hingga
menderita luka parah lalu dibawa Mawar Putih kepondok situ.
44. Hasil Perhitungan Petangan
Untunglah ia telah dibawa lari
oleh gurunya. Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsun Sin-tho.
Dan kali ini adalah yang
ketiga kalinya ia berkunjung kesitu dengan membawa luka yang hampir saja
merenggut jiwanya. Teringat akan peristiwa itu, diam-diam Siau-liong termenung.
Si dara baju hijau yang masih
makan, beberapa kali lepaskan lirikan ke arah pemuda itu. Tetapi tiap kali
bertemu pandang dengan mata Siau-liong, cepat-cepat dara itu alihkan pandangan
matanya ke lain arah.
Rupanya Randa Bu-san
mengetahui juga tingkah laku puterinya itu. Ia deliki Song Ling dengan mata
membengis. Setelah selesai makan, ia berkata kepada Siau-liong dan Tiau
Bok-kun.
"Saat ini dunia
persilatan sedang diamuk kekacauan dari kedua suami isteri durjana. Memang
bintang Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka serta gerombolannya itu, masih
terang. Kita tak dapat melawan kehendak alam. Pondok ini dekat dengan Lembah
Semi, kurasa kurang tepat kalau kalian beristirahat disini. Setiap saat kedua
durjana itu dapat mengirim orang untuk menyelidiki. Sekarang sudah malam dan
hujan pun terus menerus mencurah deras. Baiklah kalian beristirahat semalam
lagi. Besok pagi kalian boleh mencari lain tempat untuk menyembunyikan diri
dari gangguan mereka!"
Siau-liong dan Tiau Bok-kun
serempak berbangkit. Tetapi ketika mereka hendak membuka mulut, tiba-tiba wajah
wanita itu berobah. jarinya menutuk kening seperti orang yang sedang memikir
sesuatu.
Siau-liong terpaksa tak berani
bicara dan menunggu.
Beberapa jenak kemudian, mata
wanita itu berkilat-kilat. Tiba-tiba ia menampar meja dan serentak berdiri.
“Bu, mengapa engkau?"
teriak Song Ling heran.
Sambil memegang dahi, wanita
itu berjalan beberapa langkah sembari berkata seorang diri,
“Aneh, mengapa tiba-tiba hatiku
terasa tak tenteram ......”
Tiba-tiba ia berhenti lalu
menyuruh Song Ling mengambilkan alat hitungan. Dara itu cepat keluar dan cepat
kembali membawa seperangkat alat-alat yang terdiri dari ember kayu, beberapa
helai kulit kura, tulang ikan, kulit kerang dan lain-lain.
Randa Bu-san segera memasukan
benda-benda itu ke dalam dua buah mangkuk kayu lalu digoyang-goyangkan beberapa
jenak Setelah itu diambil dan dijajar di atas meja. Tingkahnya tak ubah seperti
seorang anak kecil yang sedang bermain-main.
Wajah wanita sakti itu
sebentar merah sebentar pucat dan akhirnya mengucurkan keringat. Beberapa saat
kemudian ia menghela napas lalu berbangkit.
“Alat Ka-kut-sin-go ini tak
pernah melesat dalam memperhitungkan sesuatu. Dalam perhitungan tadi, ternyata
memberi gambaran jelek. Dalam pondok ini segera akan terjadi peristiwa hebat
yang tak baik ....” - ia berhenti sejenak lalu melanjutkan,
“Sebenarnya akan kusuruh
kalian tinggal lagi semalam disini. Tetapi mengingat bahaya itu, lebih baik
kalian sekarang juga tinggalkan pondok ini!"
Saat itu diluar hujan masih
turun dengan deras. Dinginnya menggigit tulang. Melirik ke arah Siau-liong yang
baru sembuh, diam-diam Tiau Bok-kun gelisah ....
”Terpaksa harus begitu, tiada
jalan lain lagi ....” kembali Randa Bu-san mendesak.
Kemudian wanita itu menyuruh
Song Ling mengemasi bungkusan persediaan obat, “Kita juga harus pergi sekarang
juga.
Song Ling cepat melakukan
perintah ibunya.
Siau-liong tak begitu percaya
akan segala perhitungan atau ramalan. Bermula ia duga wanita itu tentu mencari
alasan saja agar dapat menyuruh pergi. Tetapi alangkah kejutnya ketika
mendengar wanita itu juga akan pergi dari rumahnya. Barulah Siau-liong mulai
menaruh kepercayaan.
Song Ling muncul dengan
membawa kantong obat-obatan dan buntelan pakaian. Dengan wajah cemas ia
berkata, “Bu, sudah kukemas semua, mari kita berangkat!"
Dara itu memang percaya penuh
kepada ibunya. Ia agak gugup juga karena mengira bahaya itu akan segera tiba.
Siau-liong pun segera teringat
akan buntelannya yang berisi pakaian Pendekar Laknat. Untunglah karena Tiau
Bok-kun sibuk menolong dirinya, tak sempat membuka buntelan itu.
Saat itu Randa Bu-san dan Song
Ling sudah tiba diambang pintu. Melihat Siau-liong dan Tiau Bok-kun masih
berada dalam ruangan, wanita itu cepat berseru memberi peringatan, “Selama
hidup aku tak suka merangkai keterangan yang membohongi orang supaya takut.
Jika tak lekas pergi, jangan menyesal!"
Juga Song Ling ikut memberi
peringatan, “Petangan ibu tak pernah meleset. Taci Tiau, lebih baik kalian
lekas pergi!"
Dalam pada berkata itu, ibu
dan puteri sudah berada diluar pintu. Begitu pintu terbuka, serangkum angin
dingin meniup masuk. Siau-liong dan Tiau Bok-kun menggigil.
“Ah, karena locianpwe itu
mengatakan dengan begitu sungguh-sungguh, tentulah ada sebabnya. Marilah kita
lekas tinggalkan pondok ini," kata Siau-liong.
Tetapi melihat badai hujan
diluar, Tiau Bok-kun berkata, “Apakah engkau kuat bertahan?"
Siau-liong tersenyum. Baru ia
hendak menjawab tiba-tiba dari jauh terdengar suara orang tertawa nyaring.
Siau-liong dan Tiau Bok-kun tersentak kaget. Sekalipun dalam deru badai hujan
yang hebat, tertawa itu masih terdengar jelas. Dan Siau-liong tak asing lagi
bahwa tertawa itu adalah nada suara Iblis Penakluk-dunia!
Menyusul terdengar lengking
suara tajam .... Tetapi karena gemuruh badai, lengking suara itu pun tak
terdengar jelas.
“Wanita Bu-san memang tepat
sekali perhitungannya. Tetapi dia sendiri tentu tak keburu menyingkir dan pasti
akan kesampokan dengan Iblis Penakluk-dunia. Demi membalas budinya, aku takkan
berpeluk tangan tak mempedulikan....”
Sambil berkata Siau-liong
terus melangkah keluar. Lukanya baru saja sembuh. Terdampar oleh angin keras
dan hawa dingin, tubuhnya terhuyung-huyung mau rubuh. Tetapi ia kuatkan diri
menuju ke arah suara orang itu.
Tiau Bok-kun cepat lari untuk
memapahnya.
“Andai kata benar wanita
Bu-san tadi bertempur dengan suami isteri Iblis Penakluk-dunia, engkau pun tak
dapat membantunya. Ah, lebih baik ......”
"Aku bekerja untuk
melapangkan ketenteraman hati," kata Siau-liong, "aku....” - ia
menghela napas dan lanjutkan langkah kemuka.
Diam-diam Siau-liong menimang.
Kedatangan Iblis Penakluk-dunia bersama isteri pada malam hujan deras dan
menerobos kepungan rombongan orang gagah itu, tentu penting. Kalau tidak hendak
mencari Randa Bu-san dan puterinya tentulah sudah mencium jejaknya
(Siau-liong).
Menurut ukuran kepandaiannya,
kedua suami isteri durjana itu tak menang dari Randa Bu-san yang memiliki
tenaga sakti Ya-li-sin-kang. Tetapi karena ternyata kedua suami isteri iblis
itu berani datang kepondok wanita Bu-san, tentulah mereka sudah siap dengan
rencana hebat.
Teringat akan tokoh-tokoh Jong
Leng lojin, Lam-hay Si-ni, Naga Terkutuk, Harimau Iblis dan It Hang totiang
yang telah dikuasahai Iblis Penakluk-dunia, diam-diam menggigillah hati
Siau-liong.
Tiau Bok-kun menyadari bahwa
percuma saja menasehati pemuda itu. Ia tahu pula bahwa Randa Bu-san dan
puterinya itu juga sehaluan dan seperjuangan dengan Siau-liong dalam usahanya
menentang Iblis penakluk-dunia. Maka ia pun tak bersangsi lagi mengikuti
langkah Siau-liong.
Siau-liong menggamit tangan
nona itu dan menunjuk kemuka. Menurut arah yang ditunjuk pemuda itu. Tiau
Bok-kun melihat pada jarak beberapa tombak jauhnya, tampak Randa Bu-san berdua
dengan puterinya tengah berdiri berhadapan dengan dua orang tinggi pendek
mengenakan pakaian serba hitam. Di belakang kedua orang baju hitam itu tegak
kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.
Diam-diam menggigillah
perasaan Siau-liong. Ia tahu bahwa kedua orang berpakaian serba hitam itu
adalah Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin.
Terdengar Randa Bu-san berkata
dengan nada dingin, “Adakah kedatangan saudara berdua pada malam hujan deras
ini karena hendak mencari aku?"
Iblis Penakluk-dunia tertawa:
“Benar! Rupanya kedatangan kami berdua tepat sekali. Jika terlambat sedikit
saja, mungkin sukar mencari kalian berdua ibu dan anak'"
“Dengan maksud apa kalian
hendak mencari aku." bentak Randa Bu-san murka.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
iblis, “Tempat ini tak layak buat bicara. Harap ikut kami ke dalam Lembah Semi
untuk berunding!"
Randa Bu-san mendengus: ,,Aku
tak suka campur urusan dunia persilatan. Oleh karena itu aku cukup bersabar
terhadap gerak gerik kalian. Apakah kalian kira aku tak tahu tipu muslihat yang
sedang kalian rancang itu?"
Dengan masih tetap tertawa
Iblis Penakluk-dunia menyahut: “Jika kalian tak mau mencampuri urusan dunia
persilatan, mengapa dari gunung Bu-san yang begitu jauh, kalian datang
kemari?"
Ditatapnya wanita itu
tajam-tajam, lalu melanjutkan kata-kata pula, "Kedatangan nyonya kemari
bukan aku tak tahu maksudnya. Adalah demi soal itu maka kuundang nyonya datang
ke Lembah Semi untuk berunding,"
“Bu, tak perlu
menghiraukannya! Mari kita pergi!"
Song Ling menyeletuk.
Diam-diam dara baju hijau itu memang agak jeri menyaksikan kedua orang
bepakaian serba hitam yang karena tertimpa air hujan, wajahnya makin seram.
Iblis Penakluk-dunia tertawa,
“Ah, sudah terlambat kalau sekarang kalian hendak pergi....”
Dia terus mengeluarkan cambuk
terus disabatkan ke udara seraya maju selangkah kehadapan Randa Bu-san
bentaknya, “Ilmu sakti Thian-kong-sin-kang sudah muncul di dunia lagi! Dengan
begitu terpaksa aku harus mengadakan banyak perobahan dalam rencanaku. Paling
tidak, ilmu sakti yang empat buah itu tak boleh lolos dari tanganku!"'
Mendengar getar cambuk Iblis
Penakluk-dunia tadi mata Jong Leng lojiu dan Lam-hay Sin-ni berapi-api
memberingas.
“Jahanam! Jangan banyak
tingkah!" damprat Randa Bu-san, seraya lontarkan sebuah hantaman ke arah
Iblis Penakluk-dunia. Tampaknya pelahan dan lemah tetapi pada hakekatnya
pukulan itu mengandung tenaga sakti yang mampu menghancurkan batu karang.
Baru pertama kali itu Iblis
Penakluk-dunia menghadapi ilmu pukulan sakti Ya-li-sin-kang. Tetapi karena dia
amat licin dan banyak pengalaman begitu merasa kedahsyatan pukulan wanita itu,
ia terkejut dan cepat-cepat loncat mundur.
Tetapi betapapun cepat ia
menghindar tetap tubuhnya terdampar angin dari pukulan itu. Seketika separoh
tubuhnya terasa kesemutan nyeri sekali. Dengan berjumpalitan sampai dua kali,
barulah ia terhindar dari deru angin maut.
Dengan menyeringai kucing.
iblis itu merangkap bangun. Dipandangnya Randa Bu-san dengan geram sekali.
Ia tertawa menyeringai lalu
ayunkan cambuk ke arah kedua orang baju hitam itu, bentaknya, “Lekas ringkus
wanita baju hitam itu kalau tidak kalian tentu kuhukum mati!"
Orang berpakaian serba hitam
yang berperawakan lebih tinggi maju lebih dulu. Dengan mengangkat kedua tangan
dan merentang sepuluh jarinya ia terus menerjang Randa Bu-san.
“Tolol, apakah kamu sudah gila
benar!" bentak Randa Bu-san, seraya songsongkan kedua tangan menyambut
serangan Lam-hay Sin-ni.
Lam-hay Sin-ni sudah hilang
kesadaran pikirannya. Dia sudah dapat dikuasai seluruhnya oleh Iblis
Penakluk-dunia. Sama sekali Sin-ni itu tak menghiraukan segala bahaya.
Tambahan pula karena
Ya-li-sin-kang dari Randa Bu-san itu bersifat lembut. Maka sekali maju Sin-ni
tetap menerjang!
Tetapi sesaat kemudian
sekonyong-konyong Sin-ni seperti membentur suatu dinding karet yang kokoh dan
kuat sekali daya membaliknya. Ketika Sin-ni hanya tinggal beberapa langkah dari
Randa Bu-san, tiba-tiba ia mental dan terlempar ke belakang sampai setombak
lebih jauhnya ....
Setelah dapat mengundurkan
Lam-hay Sin-ni Randa Bu-san cepat mengajak puterinya,
“Petangan memberitahukan
bahaya. Hayo, kita lanjutkan perjalanan!"
Bagaikan dua ekor burung
rajawali, kedua ibu dan anak itu loncat lari kemuka. Tetapi baru dua tombak
jauhnya, terdengarlah cambuk Iblis Penakluk-dunia menggeletar di udara.
Sesosok tubuh kecil kurus
melambung ke udara dan melayang turun mencegat kedua ibu dan anak. Dan tanpa
berkata suatu apa, orang itu terus menghantam.
Penyerang itu bukan lain
adalah Jong Leng lojin, pemilik ilmu sakti Jit-hoa-sin-kang, salah sebuah dari
lima tenaga sakti dalam dunia.
Randa Bu-san berhenti dan
menyongsongnya.
Ilmu tenaga sakti
Jit-hoa-sin-kang dari Jong Leng lojin itu serupa jenisnya dengan ilmu
Ya-li-sin-kang dari Randa Bu-san. Kedua-duanya bersifat lembut dan tak
mengeluarkan deru suara apa-apa.
Ketika kedua tenaga sakti itu
saling berbentur, keduanya sama-sama terhuyung-huyung mundur beberapa langkah.
Dan menyusul terdengarlah letupan keras diserempaki dengan pasir dan debu
seluas satu tombak sama berhamburan seperti dilanda angin puyuh.
Randa Bu-san tak berminat
untuk bertempur. Ia segera mengajak puterinya lari. Tetapi justeru karena
perhatiannya terbagi untuk puterinya, gerak tubuhnya agak lamban sedikit. Pada
saat ia hendak loncat, serangkum angin dahsyat mendampar punggungnya.
Wanita sakti itu mengeluh.
Terpaksa ia miringkan tubuh sambil berputar setengah lingkaran. Setelah
menghindar serangan Lam-hay Sin-ni, Randa Bu-san tutukkan jarinya kelambung
Sin-ni sambil berseru kepada Song Ling: “Ling, lekas lari sendiri dan cepat
tinggalkan tempat ini!"
Dari ucapan itu, rupanya Randa
Bu-san sudah mengetahui apa yang bakal terjadi ditempat itu.
Sudah tentu Song Ling tak mau,
bahkan melihat ibunya dikerubut dua orang, dia melengking nyaring dan terus menyerang
Jong Leng lojin.
Randa Bu-san gugup sekali,
serunya: “Ling, apakah engkau tak mau hidup!"
Sambil berseru, Randa Bu-san
lontarkan tiga kali pukulan kepada Jong Leng lojin.
“Turut perintah mama dan lekas
lari!" bentak Randa Bu-san kepada puterinya pula.
Sekalipun kesadaran pikirannya
lenyap tetapi naluri Jong Leng lojin masih tajam. Dia cepat mengetahui kalau
dirinya diserang dari belakang oleh si dara. Tetapi karena saat itu ia sedang
dicecar tiga buah pukulan oleh Randa Bu-san, maka ia tak sempat berputar tubuh
melayani Song Ling.
Dua buah pukulan dara itu
berhasil mendarat dipunggung Jong Leng lojin. Betapapun tingginya kepandaian
orang tua itu, namun si dara sudah mendapat pelajaran dasar ilmu sakti
Ya-li-sin-kang dari ibunya. Pernah menjajal kekuatan dengan Pendekar Laknat dan
berakhir dua-duanya sama menderita luka parah.
Dua buah pukulan yang
dilancarkan Song Ling itu diperuntukkan menolong ibunya. Sudah tentu dilambari
dengan tenaga penuh. Tetapi bukan kepalang kejutnya ketika pukulan tenaga sakti
itu tak mengakibatkan suatu apa pada Jong Leng lojin. Tenaga sakti dara itu
seolah-olah lenyap terhapus oleh tenaga sakti yang dipancarkan Jong Leng lojin
untuk melindungi tubuhnya.
Seruan kedua kalinya dari
Randa Bu-san, tetap tak diacuhkan Song Ling. Betapapun halnya tak mungkin ia
mau meninggalkan ibunya yang sedang terancam bahaya itu.
Maka walaupun pukulannya
kepada Jong Leng lojin tadi tak berhasil, dara itu tetap kalap menyerang kalang
kabut pada Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni.
Dalam kelima jenis tenaga
sakti yang merajai dunia persilatan, hanyalah ilmu sakti Thian-kong-sin-kang
yang paling unggul. Keempat ilmu yang lainnya boleh dikata berimbang
kesaktiannya.
Dikerubut dua oleh lawan yang
memiliki kesaktian berimbang dengan dirinya, Randa Bu-san agak kuatir. Apalagi
ia masih harus memperhatikan puterinya. Karena konsentrasi pikirannya
terganggu, wanita itu menjadi sibuk dan agak kacau sehingga terdesak oleh
lawan.
Melihat keadaan ibu dan anak
itu dalam bahaya, Siau-liong sibuk bukan main. Akhirnya ia menghela napas dan
berkata kepada Tiau Bok-kun: “Harap nona tetap bersembunyi disini. Jangan
gegabah ikut campur. Ketahuilah. ketiga tokoh yang bertempur itu merupakan
tokoh sakti dalam dunia persilatan dewasa ini .......”
Ia berhenti sejenak lalu
berkata pula, “Jika sampai terjadi sesuatu, harap nona lolos menyelamatkan
diri!"
Tiau Bok-kun terbelalak,
“Lukamu baru sembuh, bagaimana....” - tetapi belum sempat ia menyelesaikan
kata-katanya, Siau-liong sudah melayang ketempat kedua suami isteri Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka dan menyerangnya .......
Pada saat itu kedua suami
isteri Iblis Penakluk-dunia tengah gembira ria karena melihat Randa Bu-san
sudah mulai payah. Tetapi betapa kejut mereka ketika tahu-tahu melihat sesosok
tubuh melayang turun dari udara dan menyerangnya!
Oleh karena baru saja sembuh,
pada saat Siau-liong membuat gerakan melayang ke udara itu, darahnya terasa
bergolak keras, kepala berkunang-kunang dan hampir tak dapat berdiri tegak di
tanah. Ia menggunakan kesempatan ketika kedua suami isteri durjana itu sedang
tertegun kaget, untuk menyalurkan napas.
Mata Dewi Neraka
berkilat-kilat memandang pemuda itu lalu berkata kepada suaminya, “Tolol!
Bukankah dia anak muda yang hilang itu?"
Menunggu beberapa waktu yang lalu
ketika di Lembah Semi. Siau-liong telah diperkenalkan oleh Poh Ceng-in kepada
kedua orang tuanya Suami isteri Iblis Penakluk-dunia mempunyai maksud hendak
mengambil menantu pada Siau-liong. Maka ketika mendapat laporan bahwa
Siau-liong dan Poh Ceng-in lenyap dalam barisan Tujuh Maut, kedua suami isteri
itu sibuk menyebar anak buahnya. Tetapi ternyata tak berhasil menemukan kedua
pemuda itu.
Iblis penakluk-dunia
mendengus, “Hm, benar, budak itu dapat muncul lenyap seperti setan!"
Habis berkata ia terus
menghantam Siau-liong.
"Tolol! Jangan
melukainya....” cepat Dewi Neraka hadangkan tangan mencegah suaminya.
Kemudian Dewi Neraka berpaling
dan menegur Siau-liong, “Mengapa engkau muncul kemari! Tahukah engkau puteriku
Ceng-in....”
“Perempuan siluman, tutup
mulutmu!" bentak Siau-liong Kemudian dengan nada bengis ia mengancam,
“jika engkau menginginkan anakmu masih hidup, suruh mereka berhenti
bertempur!"
Dewi Neraka tertawa heran,
“Nak, apa katamu? Suruh mereka berhenti bertempur mempunyai sangkut paut apa
dengan puteriku itu?"
Mata Iblis Penakluk-dunia
mengeliar, serunya: “Budak itu licin sekali, harap dinda jangan terkena
tipunya!"
Tetapi Dewi Neraka tak
mempedulikan kata suaminya. Ia melanjutkan berkata kepada Siau liong,
“Katakanlah terus terang bagaimana sikapmu terhadap puteriku itu. Engkau
mencintainya atau tidak? Mengapa diam-diam ia meloloskan diri?"
Saat itu pertempuran antara
Randa Bu-san lawan Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni makin dahsyat. Randa
Bu-san berkelahi dengan sekuat tenaga.
”Puteri kesayanganmu itu telah
kuculik diluar lembah. mati hidupnya tergantung ditanganku. Jika ingin ia
hidup, lekas suruh mereka berhenti." bentak Siau-liong.
Dewi Neraka terbelalak
mengicupkan mata ke arah suaminya, "Benarkah itu?"
Iblis Penakluk-dunia tertawa,
“Jangan percaya obrolannya. Sama sekali tiada buktinya!"
Dewi Neraka merenung sejenak
lalu berkata, “Kalau begitu akan kuringkusnya lebih dulu baru nanti kita
selidiki kebenarannya lagi!"
Wanita iblis itu melesat
ketempat Siau-liong dan secepat kilat terus mencengkeram bahu kiri pemuda itu.
Siau-liong menggembor keras.
Dihantamnya dada wanita itu. Serangkum sinar emas memancar dan tubuh Dewi
Neraka yang pendek gemuk itu pun jungkir balik terlempar sampai dua tombak
jauhnya....
Ternyata Siau-liong telah
gunakan pukulan Sapu-jagad dari Thian-kong-sin-kang. Meskipun belum sempurna
latihannya, dan tenaganya pun tak memadai, tetapi tetap mampu melemparkan Dewi
Neraka sampai dua tombak dan rubuh dengan luka parah!
“Thian-kong-sin-kang!"
teriak Iblis Penakluk-dunia dengan penuh kejut.
Tetapi sehabis memukul, darah
Siau-liong makin bergolak, tenaganya habis. Ia terhuyung-huyung rubuh.
Melihat itu tak tahan lagi
Tiau Bok-kun berpeluk tangan. Tanpa menghiraukan suatu apa lagi, ia terus
melayang turun dan lari menghampiri pemuda itu, “Siau-liong....
Siau-liong....!"
Iblis Penakluk-dunia
benar-benar termangu kaget melihat Siau-liong dapat menggunakan pukulan Thian
kong-sin-kang. Kemarin dimuka barisan pohon bunga, iapun menerima pukulan
Thian-kong-sin-kang dari Pendekar Laknat.
Ia kira ilmu sakti Thian-koag
sin-kang telah didapatkan oleh Pendekar Laknat. Maka amatlah kejut dan herannya
ketika menyaksikan Siau-liong pun dapat menggunakan pukulan sakti itu juga.
Iblis Penakluk dunia adalah
seorang manusia julig yang kaya akan siasat dan mahir dalam tipu muslihat.
Tetapi menghadapi kenyataan itu, benar-benar ia kehilangan paham....
Tetapi ia tak sempat merenung
lebih lama dan terus lari menolong Dewi Neraka.
Randa Bu-san juga terkejut. Ia
tak kira kalau Siau-liong ternyata memiliki ilmu Thian-kong-sin-kang. Tetapi ia
tak sempat memperhatikan diri pemuda itu lagi karena Jong Leng lojin dan
Lam-hay Sin-ni menyerang deras dari muka dan belakang.
Tengah Randa Bu-san sibuk
menghadapi tekanan kedua lawannya sekonyong-konyong ia terkejut mendengar
lengking jeritan Song Ling.
Dara itu kena terhantam
Lam-hay Sin-ni dan terlempar rubuh sampai tujuh langkah jauhnya....
45. Cousu-ya Misterius
Randa Bu-san terkejut dan
cepat loncat ketempat puterinya. Tetapi tindakan itu telah memberi kesempatan
bagus kepada Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni.
Lam-hay Sin-ni menebas lambung
wanita Bu-san itu. Sedang Jong Leng lojin menutuk punggungnya.
Karena tergesa-gesa hendak
menolong puterinya, Randa Bu-san terus saja loncat tanpa menghiraukan suatu
apa. Serangan mendadak dari kedua lawannya itu, sungguh diluar dugaan.
Betapa pun saktinya wanita
Bu-san namun kedua lawannya itu juga termasuk tokoh yang sejajar tingkatannya.
Tak mungkin wanita itu menghindar lagi.
Masih wanita Bu-san itu dapat
menghalau Lam-hay Sin-ni tetapi ia tak berdaya menjaga tutukan Jong Leng lojin.
Seketika separoh tubuhnya kesemutan dan rubuhlah wanita itu!
Jong Leng lojin masih
menyusuli pula dengan sebuah tutukan sehingga Randa Bu-san tak dapat berkutik
lagi.
Sejenak Jong Leng lojin saling
bertukar pandang dengan Lam-hay Sin-ni. Kemudian ia mengangkat tubuh Randa
Bu-san lalu pelahan-lahan menghampiri ketempat Iblis Penakluk-dunia.
Pertempuran dahsyat telah
selesai. Randa Bu-san tertawan, si dara baju hijau terkapar di tanah karena
terkena hantaman Lam-hay Sin-ni.
Iblis Penakluk-dunia
mengangkat isterinya. Baju wanita itu berlumuran darah. Suatu pertanda bahwa ia
telah menderita luka dalam yang parah. Entah berapa kali muntah darah. Tetapi
menilik ia masih dapat berjalan, luka itu walaupun berat tetapi tak sampai
membahayakan jiwanya.
Pada saat Iblis Penakluk-dunia
menolong isterinya, Tiau Bok-kun pun segera mengangkat tubuh Siau-liong hendak
dibawa pergi.
Walaupun karena darahnya
bergolak sehingga rubuh ke tanah, tetapi pikiran Siau-liong masih sadar. Dengan
meronta, ia berseru kepada nona itu, “Jangan hiraukan aku, lekas engkau lari
.... kalau tidak kita semua tentu jatuh ditangan iblis itu!"
Tetapi sebagai jawaban Tiau
Bok-kun segera membawanya lari.
Walaupun sedang menolong Dewi
Neraka, tetapi Iblis Penakluk-dunia tetap menguasai keadaan disekelilingnya.
Cepat ia ayunkan cambuk dan memberi perintah kepada Lam-hay Sin-ni supaya
menangkap Tiau Bok-kun.
Setelah mengiakan, sekali
enjot tubuh, Lam-hay Sin-ni sudah melayang di belakang Tiau Bok-kun. Sebelum
nona itu sempat berbuat apa-apa, punggungnya sudah ditutuk Lam-hay Sin-ni.
Dengan mudah Lam-hay Sin-ni membawa kedua anak muda kehadapan Iblis
Penakluk-dunia lagi.
Setelah beberapa saat memperhatikan
keadaan Siau-liong yang lentuk. Menilik keadaannya lemas lunglai seperti orang
tak bertenaga itu, tentulah pemuda itu menderita luka parah.
"Tinggalkan budak itu
bersama anak perempuan dari Bu-san disini!' teriaknya.
Lam-hay Sin-ni mengiakan. Sekali
lepas tangan, tubuh Siau-liong pun jatuh ke tanah.
"Tolol!" tiba-tiba
Dewi Neraka membentak suaminya "budak itu telah melukai aku begini berat.
Dan dia ternyata memiliki ilmu Thian-kong-sin-kang. Bawa ke dalam lembah dan
periksa keterangannya sampai jelas. Mengapa engkau malah suruh membiarkan dia
disini ....”
Iblis Penakluk-dunia
tersenyum. Ia membisiki beberapa patah kata kedekat telinga isterinya. Bermula
wanita iblis itu diam saja. Tetapi beberapa jenak kemudian wajahnya tampak
berseri.
"Tolol! Silahkan engkau
melaksanakan rencanamu yang kurang ajar itu," katanya.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
bangga. Segera ia memapah isterinya dan berjalan pelahan-lahan. Lam-hay Sin-ni
dan Jong Leng lojin seperti manusia patung, pun segera mengikuti di belakang
kedua iblis itu.
Kedua tokoh itu masing-masing
menjinjing Randa Bu-san yang tertutuk jalan darahnya dan Tiau Bok-kun. Tak
berapa lama merekapun lenyap dalam kegelapan malam.
Angin reda, hujanpun berhenti.
Rembulan muncul pula menerangi bumi. Dan malam pun makin merayap.
Serangkum angin malam yang
dingin telah membuat Siau-liong gemetar. Dengan paksakan diri ia bangun dan
duduk. Buku tulang-tulangnya seperti berhamburan lepas, kepala berat, kaki
lentuk. Tenaganya seperti habis sehingga rasanya tak mampu untuk bergerak
sedikit saja.
Ia menghela napas panjang dan
tertegun memandang bulan. Apa yang terjadi beberapa saat tadi, dilihatnya
dengan jelas. Tetapi setelah ia lepaskan hantaman, darahnya bergolak keras dan
tenaganya pun amblas. Maka ia tak berdaya sama sekali untuk membantu
pertempuran itu dan melainkan melihat dengan hati terkecoh.
Tertawannya Randa Bu-san,
membuat perasaannya gundah sekali. Ia yakin Randa Bu-san tentu akan mengalami
nasib serupa dengan Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin, ialah dijadikan manusia
tanpa kesadaran pikiran untuk diperbudak kedua suami isteri durjana itu....
Tiba-tiba timbullah rasa
keheranannya. Bukankah Iblis Penakluk-dunia tahu bahwa ia telah memiliki ilmu
Thian-kong-sin-kang? Tetapi mengapa iblis itu iak membunuhnya? Mengapa ia
dibiarkan menggeletak disitu? Dan apa sebab Song Ling, si dara baju hijau juga
tak diganggu?
Siau-liong paksakan diri
berpaling. Dilihatnya dara itu masih menggeletak di tanah tak berkutik. Entah
mati atau masih hidup. Walaupun jarak tempat dara itu hanya terpisah dua tombak
dari tempatnya, tetapi ia rasakan tak berdaya untuk menghampiri. Tenaganya
benar-benar lenyap!
Karena jengkel, marah dan
sedih, ia sampai mengucurkan airmata....
Akhirnya setelah pikirannya
agak tenang, mulailah ia melakukan pernapasan untuk menyalurkan hawa murni.
Sejak mempelajari ilmu sakti Thian-kong-sin-kang, setiap kali melakukan
pernapasan ia tentu menggunakan ajaran ilmu itu. Maka hasilnya pun lebih cepat.
Lebih kurang sepeminum teh
lamanya, ia rasakan darahnya agak tenang dan dapatlah ia berdiri lalu dengan
terhuyung-huyung ia menghampiri ketempat Song Ling.
Dara itu menggeletak ditempat
tanah becek yang berair sehingga mukanya berlumuran lumpur, tubuhnya tak keruan
kotornya.
Ketika diperiksa pernapasan
hidungnya, ternyata dara itu masih bernapas walaupun lemah.
Diam-diam terhiburlah hati
Siau-liong. Dara itu hanya menderita luka parah sehingga pingsan.
Siau-liong segera melakukan
pertolongan dengan ilmu mengurut, Tetapi sayang, tenaganya masih belum pulih
sehingga tak dapat memberi penyaluran tenaga dalam kepada dara itu. Lewat dua
jam kemudian, barulah dara itu tersadar.
Dara itu memandang Siau-liong
Sejenak, kemudian memandang kesekeliling penjuru dan tiba-tiba berseru, “Mana
ibuku?" - seraya terus hendak berbangkit.
Siau-liong memegang bahu dara
itu: "Nona masih menderita luka dalam. Lebih baik melakukan pernapasan
menyalurkan tenaga murni dulu. Kalau darah sampai membeku dalam dada, tentu
bisa....”
Tetapi dara itu tak
menghiraukan kata-kata Siau-liong. Dengan kalap ia menjerit, “Ibuku? Kemanakah
perginya?.... dan Iblis Penakluk-dunia serta kedua orang baju hitam tadi....
mengapa hanya tinggal engkau saja yang disini.... lekas terangkanlah....!"
Siau-liong menghela napas
pelahan, ujarnya, “Nona, ai....” - sesaat tak dapat ia memulai kata-katanya,
kecuali hanya menghela napas dan berdiam diri.
Dara itu menatap Siau-liong
lekat-lekat. Tubuhnya gemetar dan tiba-tiba menangislah ia sekeras-kerasnya!
Siau-liong merasa tak dapat
menghiburnya. Maka ia biarkan dara itu menangis agar melonggarkan kesesakan
hatinya. Dan mudah-mudahan karena menangis itu, darahnya yang mengumpul didada
dapat menyalur lancar.
Siau-liong duduk disamping
dara itu. Hatinya terasa seperti disayat sembilu....
Lama sekali Song Ling baru
berhenti menangis. Siau-liong menghiburnya: "Harap nona suka menjaga
kesehatan diri. Soal ibu nona nanti pelahan-lahan kita berdaya untuk
menolongnya."
"Apakah engkau melihat
ibuku ditawan mereka?" Song Ling masih meminta penegasan.
Siau-liong mengangguk, “Beliau
dan nona Tiau telah ditawan mereka. Aku menyaksikan dengan mata kepala
sendiri."
Sambil kepalkan tinju, dara
itu menggeram,
“Jika tak dapat menolong
ibu.... lebih baik aku mati saja!"
Setelah diam sejenak, dara itu
gelengkan kepala menghela napas putus asa. Ilmu sakti Ya-li-sin-kang dari ibu
tiada tandingannya di dunia. Jika mereka dapat menawan ibu, apakah kita mampu
menolongnya!"
Kembali dara itu menangis
tersedu-sedan.
Diam-diam Siau-liong menimang
dalam hati. Dewasa ini kecuali ilmu sakti Thian-jin-sin-kang dari guruku
Kongsun Sin-tho, ketiga tokoh yang memiliki tiga macam ilmu sakti telah dapat
ditawan Iblis Penakluk-dunia. Rasanya Randa Bu-san tentu akan menderita nasib
seperti Lam-hay Sin-ni.
Apabila berjumpa lagi,
kemungkinan Randa Bu-san tak kenal lagi pada puterinya dan bahkan akan
menyerangya. Sekalipun saat itu ia (Siau-liong) sudah memperoleh ilmu sakti
Thian-kong-sin-kang, tetapi belum sempat mempelajari.
Untuk memahami ilmu sakti itu,
paling tidak harus memerlukan waktu satu setengah tahun. Dalam waktu itu
tentulah terjadi banyak perobahan yang tak terduga-duga. Sekurang-kurangnya,
dunia persilatan tentu sudah dikuasai oleh kedua suami isteri durjana itu!
Dan mengapa Iblis
Penakluk-dunia melepaskan dirinya? Bukankah mereka tahu bahwa ia memperoleh
ilmu sakti Thian-kong-sin-kang? Apakah mereka tak takut kalau ia sempat
meyakinkan ilmu sakti itu dan menghancurkan mereka?
Ah, menilik kelicikan dan
keganasan suami isteri iblis itu, tak mungkin mereka mau berlaku begitu murah
hati! Tentulah mereka sedang memasang jerat. Ya, tentulah mereka akan mengawasi
setiap gerak geriknya .....
Sedang Siau-liong terbenam
dalam renungan, tiba-tiba Song Ling menghela napas dan wajahnya yang berlumuran
lumpur itu berpaling kepadanya, “Lalu bagaimana kita sekarang ini?"
Siau-liong menjawab, “Saat ini
rombongan Ceng Hi totiang sedang terkurung diluar Lembah Semi. Dalam
pertempuran kemarin walaupun menderita kekalahan, tetapi kekuatan mereka masih
belum hancur. Baiklah kita meninjau keadaan mereka kemudian baru kita mengatur
rencana untuk menolong ibu nona dan nona Tiau "
Song Ling menyetujui. Ia
paksakan diri berdiri lalu mendahului berjalan. Tetapi luka dalam tubuhnya
masih belum sembuh. Darahnya masih membeku. Ditambah pula dengan derita pukulan
batin yang hebat, langkah dara itu terhuyung-huyung hampir rubuh.
Sebaliknya setelah melakukan
pernapasan tadi, keadaan Siau-liong jauh lebih baik. Segera ia maju untuk
memapah dara itu.
"Apakah nona kuat
bertahan?" tanyanya.
Dara itu menggigit bibir dan
anggukan kepala, ia tetap kuatkan diri berjalan. Tempat rombongan orang gagah
kira-kira masih dua li jauhnya.
Setelah melintasi sebuah
lereng dan sebuah anak sungai, tentu sudah mencapai tempat mereka.
Siau-liong dan Song Ling
keduanya masih belum sembuh. Untuk ayunkan kaki saja, mereka harus berjuang
sekuat tenaga. Sepenanak nasi lamanya barulah mereka tiba di anak sungai itu.
Tiba-tiba Siau-liong mengeluh
dan berhenti.
“Mengapa?" Song Ling
terkejut heran.
“Mengingat Ceng Hi totiang tak
mempunyai hubungan dengan kita, apalagi saat ini kita dalam keadaan begini
rupa, mungkin mereka tak mau menerima kedatangan kita!" kata Siau-liong.
“Mengapa sebelumnya engkau tak
memikirkan hal itu? Kalau begini, kan lebih baik kita tak usah kesana
saja!" seru Song Ling agak mengkal. Dara itupun jauhkan diri duduk di atas
sebuah batu.
Memang saat itu barulah
Siau-liong menyadari. Bahwa dia dihormati oleh rombongan Ceng Hi totiang itu
adalah dalam kedudukan sebagai Pendekar Laknat. Dan saat itu ia bukan Pendekar
Laknat melainkan pribadi Siau-liong.
Dikuatirkan rombongan orang
gagah dan Ceng Hi totiang akan mencurigai. Dengan pemikiran itulah maka
Siau-liong hentikan langkah.
Selama berjalan tadi,
sesungguhnya Song Ling sudah tak kuat. Hanya dengan kemauan keras, ia paksakan
diri berjalan sekian jauh. Setelah saat itu berhenti, iapun segera pejamkan
mata melakukan pernapasan.
Diam-diam Siau-liong merenung,
“Mawar Putih, Tiau Bok-kun, berturut-turut telah jatuh ke Lembah Semi. Pun
rombongan tokoh persilatan yang dipimpin Ceng Hi totiang, sudah payah
keadaannya. Sedang ia dan Song Ling pun terluka parah, tentang penyamarannya.
Lalu bagaimanakah harus bertindak?”
Tiba-tiba ia teringat akan Poh
Ceng-in. Apakah wanita itu sudah dapat meminta wanita itu dari paderi Liau
Hoan? Mengingat ia tunggal nyawa dengan wanita itu, apabila karena marah Ceng
Hi totiang membunuh wanita itu, tentulah dirinya juga akan mati.
Akhirnya setelah menimbang
beberapa saat, ia memutuskan untuk menemui Ceng Hi totiang.
“Nona Song....”
Dara itu membuka mata dan
berseru “Apakah engkau sudah memperoleh jalan, kemana kita akan pergi?"
“Aku hendak mohon tanya padamu
mengenai sebuah hal," kata Siau-liong.
"Soal apa?
Katakanlah!" seru Song Ling.
”Apakah nona kenal akan
Pendekar Laknat?"
Dengan heran Song Ling
memandangnya, “Bukan melainkan kenal saja, pun juga....” - dengan nada geram ia
berseru: "Aku mempunyai dendam permusuhan tak mau hidup dibawah satu
matahari dengan dia!"
Diam-diam Siau-liong bercekat
dalam hati, ujarnya: "Entah apakah dosanya kepada nona?"
Song Ling melirik dan menatap
sejenak pada Siau-liong, “Dia telah membunuh ayahku!"
Semula dalam menanyakan soal
Pendekar Laknat tadi, diam-diam Siau-liong hendak menyatakan tentang
penyamarannya. Tetapi demi mendengar kebencian Song Ling terhadap tokoh itu,
terpaksa Siau-liong batalkan maksudnya.
Melihat pemuda itu tertegun
sampai lama, Song Ling menegurnya pula, “Mengapa tiba-tiba engkau menanyakan
soal itu....?" - tiba-tiba pula dara itu bertepuk tangan, “Ha, aku tadi
teringat akan sebuah tempat, hayo, kita kesana!"
Dan sebelum Siau-liong
berkata, dara itu sudah mendahului lagi, “Aku tadi bingung sehingga lupa pada
beliau orang tua itu....”
Menilik kerut wajah si dara,
Siau-liong mendapat kesan seolah-olah dara itu telah menemukan orang bintang
penolong. Maka bertanyalah ia, “Yang nona katakan itu....”
Ke gua Ko-hud-tong digunung
Go-bi mencari Pertapa-sakti-mata-satu. Beliau tentu dapat berdaya menolong
ibuku!" tukas si nona.
Dengan sangsi Siau-liong
berkata, “Dalam dunia persilatan kabarnya hanya Ilmu-sakti yang paling hebat.
Tiada yang menandingi lagi. Mengapa nona tahu....”
"Tahukah engkau siapa
orang tua itu!" Song Ling melengking sembari banting-banting kaki,"
dia adalah kakek guruku! Adalah setelah ayahku dibunuh orang, ibu baru berjumpa
dengan beliau. Ilmu sakti Ya-li-sin-kang ibu itu adalah beliau yang
mengajarkan!"
Mendengar itu seketika
tergeraklah hati Siau-liong. Ia anggap kemungkinan itu akan memberi harapan.
Song Ling menghela napas,
katanya, “Tetapi beliau memang aneh wataknya. Dahulu ketika menerima ibu
sebagai murid, setahun kemudian terus mengusir kami berdua ibu dan anak dari
guanya. Katanya, dia hendak bertapa tak mau keluar dari gua lagi. Peristiwa itu
terfadi pada 15 tahun yang lalu. Selama 15 tahun itu, ibu tak pernah mengatakan
hendak menjenguk kakek guru. Entah apakah dia masih ....” - sampai disitu nada
dan wajah Song Ling berobah rawan.
Siau-liong menghiburnya. Ia
mengatakan bahwa hubungan antara guru dan murid itu tak ubah seperti orang tua
dengan anak. Asal si dara memintanya dengan sungguh-sungguh, orang tua itu
tentu takkan berpeluk tangan mendiamkan saja.
"Jangan kuatir, pergilah
nona kesana!"
Song Ling terkejut dan menatap
Siau-liong, “Apakah engkau tak mau mengantar aku kesana?"
Siau-liong menghela napas,
“Ah, aku masih mempunyai beberapa urusan penting dan tak dapat tinggalkan
tempat ini. Tetapi...."
Song Ling tertawa dingin
menukas, “Tak perlu mengatakan, aku sudah jelas. Yang salah adalah aku dan ibu
sendiri....” - suaranya berobah gemetar, “Kami berdua memang buta!"
Dua titik air mata mengalir
dari pelapuk dara itu. Ia terus berbangkit dan ayunkan langkah.
Cepat Siau-liong mencegahnya
“Kalau nona salah paham, aku lebih suka mati! Ketahuilah, aku juga mempunyai
kesulitan yang sukar kukatakan sekarang ini!" - rasa haru telah mencengkam
sanubari Siau-liong sehingga ia pun menitikkan air mata.
Sudah tentu Song Ling
tertegun. Ia duduk lagi. Siau-liong menghela napas. Tak tahu saat itu bagaimana
ia harus memberi penjelasan kepada si dara.
Ia harus menemui Ceng Hi
totiang untuk mempersiapkan sisa-sisa tenaga rombongan orang gagah. Begitu pula
ia harus mencari tahu jejak Poh Ceng-in, Untuk hal itu ia harus menyamar lagi
sebagai Pendekar Laknat. Tetapi hal itu tak mungkin dilakukannya dihadapan Song
Ling.
Karena hal itulah maka ia tak
dapat tinggalkan Lembah Semi ikut si dara kegunung Go-bi. Karena ia tahu bahwa
jiwanya setiap saat tentu amblas. Dan kalau ditengah jalan ia sampai mati,
bukankah berarti ia telah merusak harapan pencipta ilmu sakti
Thian-kong-sin-kang? Ah, benar-benar ia merasa serba sulit!
Akhirnya setelah memandang
beberapa saat ke arah si dara, berkatalah ia dengan tandas,
“Sekali pun andai kata nona
berhasil minta bantuan pada kakek guru nona untuk menolong ibu nona, tetapi
Iblis Penakluk-dunia itu manusia julig yang licin sekali. Buktinya tokoh-tokoh
sakti semacam Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni pun telah dapat dikuasainya.
Dan kemungkinan ibu nona pun akan mengalami nasib serupa....”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan
dengan suara sarat, “0leh karena itu menurut pendapatku, sekalipun kakek guru
nona turun gunung, belum tentu dapat menindas kedua suami isteri durjana itu.
Sebagai penggantinya, aku mempunyai rencana yang hebat, tetapi hal itu
memerlukan jangka waktu yang cukup panjang ....”
"Sebenarnya apakah
maksudmu itu?" Song Ling tak sabar lagi.
"Hendak kujadikan nona
seorang tokoh sakti. Dalam waktu satu tahun saja, nona pasti akan merajai dunia
persilatan. Ilmu sakti yang manapun juga pasti tak dapat menandingi nona. Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka pasti tak mungkin lolos dari tangan nona!"
Song Ling tertawa hambar.
"Kecuali engkau pewaris
ilmu Thian-kong-sin-kang, lebih baik engkau jangan omong besar seperti
itu!" lengking si dara.
Dengan wajah dan nada serius,
berkatalah Siau-liong seketika, “Justeru memang Thian-kong-sin-kang itulah yang
hendak kuajarkan kepadamu!"
Song Ling terkesiap. Baru ia
hendak membuka mulut, tiba-tiba dari arah hutan disebelah muka terdengar orang
membentak, “Siapakah itu!"
Menyusul beberapa sosok tubuh
melesat keluar terus menerjang kedua anak muda itu....
Siau-liong dan Song Ling
terkejut.
Yang memimpin penyerang itu
seorarg tua berjenggot putih menjulai sampai kedada. Mencekal sebatang tongkat
Kumala Hijau. Gerakannya amat pesat dan ringan sekali.
Ketika memandang orang tua
itu, lepaslah kejut Siau-liong. Yang datang itu ternyata rombongan Kay-pang
yang dipimpin si Jenggot perak To Kiu-kong Ikut serta Pengemis tertawa Tio
Tay-tong dan kedua pengemis pincang.
Begitu melihat Siau-liong, To
Kiu-kong tertegun. Buru-buru ia menghaturkan hormat: “Ah, Cousu-ya, maaf
engkau....”
Tio Tay-tong dan kedua
pengemis pincang segera berlutut, mengikuti tindakan To Kiu-kong.
“Ah, Kiu-kong, tak usah banyak
beradatan," kata Siau-liong seraya mengangkat bangun To Kiu-kong.
Setelah bangun, berkatalah To
Kiu-kong, “Sejak bertemu dengan Cousu-ya ketika terkepung dalam Lembah Maut
tempo hari, walaupun kami berusaha untuk mencari Cousu-ya tetapi gagal. Bahkan
berita saja, kami tak dapat memperoleh sama sekali....”
Kemudian ketua Kay-pang itu
meghela napas, “Jika tidak berulang kali Pendekar Laknat memberi bantuan,
tentulah hari ini kami tak dapat menghadap Cousu-ya!"
Sekali pun lemah lembut dan
halus tutur kata-kata itu tetapi diam-diam terselip suatu penyesalan mengapa
sebagai Cousu-ya, Siau-liong tak mau berkumpul dengan anak buah Kay-pang.
Begitu pula saat itu mata To
Kiu-kong dan rombongannya mencurah lekat ke arah Siau-liong dan Song Ling.
Pandang mata penuh dengan rasa heran atas sepak terjang Cousu-ya mereka yang
masih berusia muda itu.
Mereka heran mengapa selagi
rombongan orang gagah yang dipimpin Ceng Hi totiang berjuang mati matian untuk
menggempur Lembah Semi, Cousu-ya mereka malah menyembunyikan diri bersama
seorarg dara? Tiau Bok-kun, Mawar Putih dan kini seorarg dara yang tak dikenal
lagi!
Dan makin besarlah keheranan
mereka melihat keadaan Siau-liong dan si dara yang berlumuran lumpur itu.
Darimanakah Cousu-ya itu?
Karena Siau-liong tak mau
mengatakan apa-apa, rombongan To Kiu-kong itupun tak berani menanyakan. Mereka
sama berdiam diri.
Hanya batin To Kiu-kong yang
berduka. Ia mengharap Cousu-ya muda itu akan dapat muncul di dunia persilatan
untuk mengangkat nama Kay-pang. Ia harap berkat ilmu pukulan sakti
Thay-siang-ciang ajaran Pengemis Tengkorak Song Thay-kun, Siau-liong akan
mengharumkan pamor Kay-pang.
Tetapi ah, siapa tahu.
Ternyata harapan itu buyar. Cousu-ya muda itu ternyata seorang pemuda yang
misterius gerak geriknya dan seorang yang amat romantis....
Rupanya Siau-liong dapat
membaca isi hati ketua Kay-pang itu. Tetapi ia tak dapat memberi penjelasan
apa-apa kecuali hanya tertawa murung dan diam.
Tiba-tiba Pengemis Tertawa Tio
Tay-tong maju selangkah, memberi hormat, “Harap Cousu-ya maafkan aku hendak
berkata sepatah kata."
46. Keputusan Menuju Go-bi-san
Siau-liong membalas hormat dan
suruh orang itu mengatakan maksudnya.
Dengan kepala menunduk
Pengemis Tertawa berkata, “Saat itu Ceng Hi totiang sedang memimpin rombongan
orang gagah untuk menggempur Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka. Tetapi
rupanya gerakan Ceng Hi totiang mengalami kegagalan.
Banyak orang gagah yang
menjadi korban, menderita luka dan binasa. Keadaan dunia persilatan dewasa ini
amat gawat sekali. Bila Cousu-ya suka memikirkan kepentingan partai kita, mohon
Cousu-ya jangan tinggalkan kita lagi....”
Makin lama makin teganglah
perasaan pengemis itu sehingga dalam kata-kata ia seolah-olah menghamburkan
seluruh isi hatinya. Sehingga To Kiu-kong buru-buru mencegahnya bicara.
Pengemis Tertawa Tio Tay-tong
menghela napas panjang lalu memberi hormat dan mundur.
Siau-liong diam saja. Hanya
dalam hati ia menimang: “Mungkin kesulitan yang kuhadapi dan kenyataan yang
kuderita, tak mungkin kalian ketahui. Dan aku pun tak mampu menjelaskan
kesulitan itu kepada kalian selama-lamanya....”
Siau-liong mengangkat kepala
memandang rembulan. Rembulan saat itu terang benderang, memancarkan cahayanya
yang putih bersih keseluruh penjuru.
Tiba-tiba Siau-liong rasakan
dadanya longgar. Seolah-olah Dewi Rembulan telah memberi petunjuk jalan keluar
kepadanya. Pada wajahnya yang kotor berlumuran lumpur itu, pelahan-lahan
menampil kerut tawa. Dan hatinya pun makin mantap, “Seorang lelaki harus
memikul tanggung jawab perbuatannya sendiri. Asal perbuatan itu tidak menyalahi
Allah, tidak mencelakai orang, itulah sudah cukup. Apa guna segala kemashuran
nama yang kosong?"
Setelah hatinya merasa tenang
dan mantap, iapun tertawa, ujarnya: “Telah kuteliti diri, jelas aku tak mampu
memikul tanggung jawab partai. Oleh karena itu, maka kuulangi lagi maksudku
yang dulu. Hendak minta tolong kepada To Kiu-kong supaya memilih seorang tunas
berbakat untuk kuberi pelajaran ilmu Thay-siang-ciang, demi membangun kejayaan
partai Kay-pang......"
To Kiu-kong tersipu-sipu
berlutut: “Ah, berat sekali perintah Cousu-ya itu. Mana Kiu-kong dapat memikul
tugas seberat itu?"
Pengemis-tertawa Tio Tay-tong
dan kawan-kawan serta-merta ikut berlutut. Siau-liong mengangkat mereka bangun
lalu dengan tertawa riang ia berkata: “Apa yang kukatakan itu keluar dari isi
hatiku sesunguhnya. Harap Kiu-kong secepat mungkin mencari tunas pewaris itu.
Karena.... tak berapa lama lagi aku segera pergi jauh. Mungkin kelak kita
takkan berjumpa lagi."
Kembali To Kiu-kong termangu.
Sesaat ia tak dapat berkata-kata.
Melihat mereka tertegun
mendengar ucapannya Siau-liong pun menyadari kesulitan mereka. Mengingat
keadaan dunia persilatan dewasa itu sedang terancam bahaya kehancuran, maka
cepat ia alihkan pembicaraan, “Apakah kalian tahu saat ini Ceng Hi totiang
mempersiapkan rencana apa lagi?"
Wajah To Kiu-kong menggelap,
sahutnya setelah menghela napas, “Ceng Hi totiang memimpin rombongan orang
gagah untuk menyerang dari belakang Lembah Semi dengan gunakan api dan bahan
peledak. Tetapi tak terduga Iblis Penakluk-dunia dan isterinya....”
“Hal itu sudah kuketahui
semua!" tukas Siau-liong.
To Kiu-kong terbeliak, “Apakah
Cousu-ya tahu peristiwa Pendekar Laknat membantu pertempuran kemarin itu? Jika
tidak....”
Siau-liongpun cepat mengerat,
“Kemarin barisan penyerang Ceng Hi totiang telah dikalahkan Iblis
Penakluk-dunia. Iblis itu memberi perintah supaya dalam waktu tiga hari Ceng Hi
totiang dan sekalian orang gagah harus datang kegunung Go-bi. Yang ingin
kuketahui, apakah rencana Ceng Hi totiang menghadapi perintah itu?"
To Kiu-kong benar-benar tak
mengerti. Bukankah Cousu-ya itu menghilang tak kelihatan ikut dalam
pertempuran? Mengapa dapat mengetahui jalannya peristiwa dengan jelas?
“Ceng Hi totiang memutuskan
akan pergi kepuncak Go-bi ....," akhirnya To Kiu-kong menjawab lalu
menghela napas, berdiam diri.
Tiba-tiba Song Ling yang sejak
tadi tak bersuara, saat itu menyeletuk: “Perlu apa mereka hendak kegunung
Go-bi?"
Dengan pandang tawar, To
Kiu-kong melirik sejenak kepada dara itu lalu memandang Siau-liong lagi. Seolah-olah
tak leluasa menjawab pertanyaan dara itu sebelum mendapat ijin Siau-liong.
Siau-liong menatap ketua
Kay-pang itu dan berkata perlahan: “Memang hal itulah yang ingin kuketahui. Tak
apa silahkan mengatakan saja!"
To Kiu-kong masih bersangsi.
Ia maju menghampiri kedekat Siau-liong dan berkata dengan suara perlahan.
"Dengan ilmu Hitam
melenyapkan kesadaran pikiran orang, kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia
itu dapat memperalat Jong Leng lojin, Lam-hay Sin-ni, Naga Terkutuk, Harimau
Iblis dan beberapa tokoh lainnya. Kekuatan mereka jauh berlainan dengan
duapuluh tahun yang lalu. Demi menyelamatkan seluruh kaum persilatan, terpaksa
Ceng Hi totiang memutuskan untuk melakukan permintaan kedua suami isteri iblis.
Dalam tiga hari nanti akan menuju ke puncak Go-bi....”
Ketua Kay-pang itu berhenti
sejenak, mengeliarkan mata memandang keempat penjuru lalu melanjutkan lagi:
“Sekalipun menurut perintah kedua iblis kepuncak Go-bi, tetapi diam-diam Ceng
Hi totiang sudah menyiapkan rencana. Kabarnya di atas puncak Go-bi, terdapat
seorang sakti yang luas pengetahuan dan tinggi ilmu silatnya....”
”Kiu-kong, nama orang sakti
itu....?" Siau-liong cepat bertanya.
Tetapi To Kiu-kong gelengkan
kepala, “Walaupun umurku sudah setua ini dan mempunyai pengalaman luas dalam
dunia persilatan. Tetapi jika bukan Ceng Hi totiang yang mengatakan, tentu aku
tak tahu. Orang tua itu tak pernah muncul dalam dunia persilatan dan tak
dikenal namanya."
Siau-liong kerutkan dahi dan
bertukar pandang dengan Song Ling. Tetapi tak bicara apa-apa.
“Kemarin Ceng Hi totiang telah
mengadakan rapat rahasia dengan para tokoh-tokoh persilatan," kata To
Kiu-kong pula, "Ceng Hi totiang akan memimpin rombongan tokoh persilatan
dan segenap pendekar dari seluruh penjuru, menghadapi orang sakti di atas
puncak Go-bi, untuk minta bantuannya. Namun gagal, terpaksa mereka akan
bertempur mengadu jiwa dengan Iblis Penakluk-dunia. Lebih baik pecah sebagai
ratna dari pada menjadi budak kedua iblis itu. Biarlah puncak Go-bi akan
bersiram darah para pendekar gagah....”
Siau-liong gelengkan kepala.
“Rencana Ceng Hi totiang itu
masih kurang sempurna. Adakah orang sakti itu mau membantu atau tidak, masih
satu pertanyaan. Taruh kata ia meluluskan, pun belum tentu dapat melawan Iblis
Penakluk-dunia yang mempunyai jago-jago seperti Jong Leng lojin, Lam-hay Sin-ni
dan lain-lain tokoh yang sakti. Jika sampai menderita kekalahan lagi dan kedua
iblis itu lagi, bukan saja seluruh tokoh persilatan yang hancur binasa pun
pembunuhan-pembunuhan tentu akan berlangsung hebat sehingga dunia persilatan
betul-betul tak berkutik dan dapat dikuasai Iblis Penakluk-dunia!"
To Kiu-kong tertawa tawar,
“Ah, selama masih ada ayam, takkan telur habis. Misalnya, dalam pertempuran
kemarin itu, walaupun pihak orang gagah menderita kekalahan, namun semangat
mereka tak pernah ludas. Mereka tetap akan melanjutkan perjuangan ke gunung
Go-bi. Apabila gagal lagi, ya apa boleh buat, terserah pada kehendak
Tuhan!"
Siau-liong tertegun diam. Saat
itu ia memang tak punya rencana. Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni tiada yang
mampu melawan. Apalagi masih ditambah dengan Naga Terkutuk, Harimau Iblis dan
beberapa tokoh lain. Sekalipun rombongan orang gagah yang dipimpin Ceng Hi
totiang itu berjumlah lebih besar pun tak berguna. Bahkan malah menambah jumlahnya
korban saja.
Setelah terdiam beberapa saat
barulah To Kiu-kong berkata, “Selain dari itu, Ceng Hi totiang masih mempunyai
setitik harapan kepada seorang sakti lain....”
"Siapakah orang
itu?" Siau-liong terkesiap.
"Tokoh yang sejajar
dengan kedua suami isteri iblis itu yakni Pendekar Laknat. Kemarin dia telah
membantu dengan sepenuh tenaga. Pada waktu bertempur melawan Jong Leng lojin
dan Lam-hay Sin-ni, dia telah gunakan tenaga sakti Thian-kong-sin-kang....”
To Kiu-kong berhenti sejenak
mencari kesan. Tetapi ia heran karena Siau-liong tak menampilkan reaksi
apa-apa. Terpaksa ia melanjutkan penuturannya lagi.
"Thian-kong-sin-kang
merupakan ilmu sakti Nomor satu di dunia persilatan. Sayang tampaknya Pendekar
Laknat itu masih belum sempurna peyakinannya. Diduga ia telah berhasil
memperoleh kitab pusaka peninggalan Tio Sam-hong tetapi belum sempat
mempelajarinya dengan sempurna.
Sayang dalam pertempuran
kemarin, tokoh tersebut telah menderita luka parah lalu melenyapkan diri. Ceng
Hi totiang sudah menyebar orang untuk mencarinya tetapi sampai sekarang belum
ketemu."
Siau-liong tersenyum,
"Karena terluka parah tentulah Pendekar Laknat itu sukar datang lagi untuk
membantu. Harap Kiu-kong sampaikan kepada Ceng Hi totiang agar jangan
mencarinya lagi".
To Kiu-kong memandang
Siau-liong dengan heran, “Apakah Cousu-ya tahu....”.
Tiba-tiba ketua Kay-pang itu
tak melanjutkan ucapannya karena teringat sewaktu di Lembah Maut, Pendekar
Laknat pun pernah mengatakan tak perlu menunggu Siau-liong. Dia mengatakan bahwa
Siau-liong itu seorang Pendekar muda nomor satu dalam dunia persilatan dewasa
itu.
Dan pula tokoh itupun
mengatakan lagi kemungkinan Siau-liong tentu sudah keluar dari Lembah Maut.
Teringat akan hal itu, To Kiu-kong mendapat kesan, seolah-olah antara Siau-liong
dengan Pendekar Laknat itu sudah saling tahu satu sama lain.
Betapa luas pengetahuannya dan
pengalaman To Kiu-kong, namun ia benar-benar tak mengerti tentang Pendekar
Laknat dan Siau-liong yang misterius.
Tengah To Kiu-kong tertegun.
tiba-tiba Siau-liong bertanya pula, “Bagaimana dengan wanita baju merah yang
ditawan paderi Liau Hoan itu? Apakah Ceng Hi totiang sudah dapat
merebutnya....”
Kembali To Kiu-kong terbeliak
kaget. Paderi Liau Hoan sampai saat itu belum diketahui jejaknya. Peristiwa penawanan
wanita baju merah itu adalah Pendekar Laknat yang mengatakan. Mengapa
Siau-liong tahu? Bahkan mengapa Siau-liong amat menaruh perhatiannya kepada
peristiwa itu?
Tetapi To Kiu-kong tak leluasa
menanyakan soal itu. Terpaksa ia hanya menjawab: "Soal itu aku tak
mengetahui jelas. Beberapa orang yang telah disebar Ceng Hi totiang, belum juga
menemukan jejak paderi itu. Sampai saat ini sudah sehari semalam masih juga
rombongan Ti Gong belum kembali."
Siau-liong terkejut ia tak
tahu mengapa Paderi Ti Gong menawan Poh Ceng-in. Jika sampai terjadi sesuatu
dengan wanita itu. bukankah dirinya juga akan celaka.
“Apakah engkau juga akan ikut
ke Go-bi?" tanyanya beberapa jenak kemudian.
Buru-buru To Kiu-kong
menyahut, “Segala rencana telah ditetapkan oleh Ceng Hi totiang, partay
Kay-pang hanya mengirim aku seorang diri pergi ikut kesana....”
Siau-liong mengangguk, “Kalau
begitu, aku hendak pergi dulu nanti kita berjumpa digunung Go-bi lagi!"
Ternyata Siau-liong teringat
akan Poh Ceng-in yang diculik Liau Hoan itu. Ia harus cepat-cepat merampasnya
kembali agar jangan sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Selain itu,
oleh karena Ceng Hi totiang sudah memutuskan ke Go-bi, tak perlu lagi ia
menemuinya. Maka ia memutuskan untuk mengantar Song Ling menghadap kakek
gurunya dipuncak Go-bi. Dan dalam perjalanan, ia akan mencari kesempatan untuk
menurunkan Thian-kong-sin-kang kepada dara itu.
Sudah tentu Song Ling girang
sekali karena pemuda itu merobah keputusannya. Cepat ia mengikuti Siau-liong
yang saat itu sudah ayunkan langkah.
To Kiu-kong bergegas menyusul,
serunya: “Cousu-ya apakah tidak perlu pesan apa-apa lagi? Mengapa Cousu-ya tak
perlu bertemu Ceng Hi totiang?"
Ketua Kay-pang itu tak berani
mencegah Siau-liong tetapi pun tak dapat membiarkan Cousu itu pergi. Maka ia
mencari kata-kata lain sebagai alasan.
Siau-liong hentikan langkah,
“Dengan Ceng Hi totiang, aku tak begitu kenal. Nanti setelah peristiwa Go-bi
selesai. masih ada waktu untuk menemuinya. Dan sekali lagi kuulangi
permintaanku. Lekaslah engkau cari seorang tunas yang berbakat untuk menjadi
pewaris kita!"
Habis berkata Siau-liong terus
mengajak Song Ling lanjutkan perjalanan.
◄
Y ►
Walaupun menderita luka dalam
yang parah. tetapi baik Siau-liong maupun Song Ling tak mau diketahui To
Kiu-kong. Dengan kuatkan diri mereka melangkah tegap. Setelah jauh barulah
mereka berhenti.
Napas si dara terengah-engah.
Tulang belulangnya seraya lepas, sakit dan letihnya bukan kepalang. Ia segera
duduk numprah. Untunglah To Kiu-kong dan rombongannya.
Setelah beberapa waktu,
Siau-liong mengajaknya berjalan lagi. Song Ling mengiakan. Demikianlah kedua
anak muda itu segera melanjutkan perjalanan lagi.
Siau-liong memang belum
memberi penjelasan kepada si dara. Tetapi ia sudah mempunyai rencana. Pertama,
ia hendak menuju ke bengawan Bin-kiang untuk mengejar jejak Liau Hoan dan
meminta kembali Poh Ceng-in. Dari sungai itu, terus kegunung Go-bi hanya
duapuluhan li jauhnya.
“Apakah engkau tahu jalanan ke
Go-bi?" tanya Song Ling.
Siau-Hong mengatakan bahwa
sekalipun ia belum paham, tetapi ia tahu gunung itu terletak disebelah barat
laut. "Kita mengarah kesana dan bila perlu dapat bertanya pada
orang," katanya.
Tetapi saat itu mereka masih
dalam lingkungan pegunungan Tay-liang-san yang luas. Kecuali rangkaian puncaknya
yang memanjang, pun jalanannya sukar dan berkeluk-keluk. Hampir dua jam
berjalan, mereka masih belum keluar dari wilayah gunung itu.
Saat itu hari sudah mulai
terang tanah. Sambil menarik lengan Siau-liong. Song Ling menekan dahinya dan
berkata dengan lemah, “Aku benar-benar sudah tak kuat. Kita cari tempat
beristirahat".
Siau-liong sendiri pun rasakan
kakinya lemas, kepala pening mata berkunang-kunang. Karena tak paham jalan, tak
tahu ia sudah sampai dimana. Dilihatnya dalam hutan yang tak jauh disebelah
muka, tampak sebuah dinding merah. Ia duga tentu sebuah biara. Kesanalah ia
ajak dara itu.
Tiba-tiba Song Ling menjerit
kaget seraya menunjuk ke arah semak di tepi jalan. “Lihatlah!"
Ketika melihat ke arah yang
ditunjuk si dara, Siau-liong melihat semak itu berlumuran darah dan semak-semak
belukar banyak yang rebah. Dan tak jauh dari semak itu terdapat sebatang pedang
yang kutung.
Siau-liong memungut pedang
kutung itu dan memeriksa. Tak ada tanda apa-apa hingga tak diketahui siapa
pemiliknya.
Tetapi jelas ditempat itu
tentu telah terjadi pertempuran dahsyat. Dan dari darah yang berceceran itu,
jelas tentu adalah yang mati atau terluka.
Menilik darah yang sudah
berwarna merah hitam, tentulah pertempuran itu terjadi beberapa jam yang lalu.
Tetapi kecuali pedang kutung itu, tiada terdapat mayat dan lain-lain jejak.
Tempat itu sudah jauh dari
Lembah Semi, tak mungkin yang bertempur itu anak buah Iblis Penakluk-dunia.
Sampai beberapa saat Siau-liong tak dapat memecahkan peristiwa itu.
Tiba-tiba ia terkejut karena
mendengar suara orang membaca kitab suci (Buddha). Nadanya pelahan sekali dan
asalnya dari arah hutan. Segera Siau-liong menurutkan arah suara dan tibalah ia
pada sebuah biara kuno. Suara itu jelas berasal dari dalam biara. Tetapi saat
itu pembacaan kitab tadi sudah berhenti. Memandang tempat itu ternyata sebuah
biara yang rusak.
Tak mungkin terdapat paderi
yang menghuni. Apa lagi saat itu masih pagi sekali, tak mungkin sepagi itu
paderi sudah membaca kitab.
Siau-liong makin heran. Karena
dirinya masih terluka, ia kuatir kalau berjumpa dengan musuh yang kuat. Maka
ditariknyalah Song Ling seraya membisikinya, “Suara pembacaan kitab tadi,
mencurigakan sekali. Tentu ada seseorang yang bersembunyi, entah kawan entah
lawan, belum dapat kita pastikan. Lebih baik kita bersembunyi dulu melihat
perkembangannya.
Song Ling tiada pandapat lain
kecuali menurut saja. Begitu mereka segera mencari tempat persembunyian dibawah
kaki sebuah anak Bukit. Anak Bukit itu dikelilingi semak rumput yang lebat dan
tinggi.
Dari tempat persembunyian yang
sukar diketahui orang itu, dapatlah Siau-liong memandang keluar dan
beristirahat. Kedua pemuda itupun lalu bersemadhi memulangkan semangat.
Sesungguhnya luka dalam yang
diderita Song-Ling itu tak berapa parah. Adalah karena ia bersedih melihat
ibunya tertawan musuh maka sampai membuatnya lemas. Karena letih, begitu
bersemadhi, ia segera terbanam dalam kelelapan.
Tidak demikian dengan
Siau-liong. Pikirannya ruwet tak keruan sehingga sukar untuk memusatkan
semangat. Sejam kemudian baru pikirannya agak tenang dan mulailah ia dapat
menyalurkan hawa murni.
Pada saat Siau-liong dalam
alam kehampaan, tiba-tiba terdengar derap langkah orang. Siau-liong terkejut
bangun. Tampak seorang yang dandanannya amat aneh tengah meneliti jejak tapak
orang dan perlahan-lahan menghampiri ketempat persembunyiannya.
Kepala orang itu sebesar
kepala kerbau, rambutnya yang putih terurai sampai kebahu. Tingginya tak kurang
dari dua meter. Jenggotnya yang bercabang lima, menjulai turun sampai ke perut.
Entah berapa usianya. Tetapi
wajahnya masih segar kemerah-merahan. Mengenakan baju serba putih dan mantel
warna kuning telur. Tangannya mencekal sebatang tongkat besi.
Seketika teringatlah
Siau-liong akan dongeng tentang dewa Tay-pek Li Kim-ce yang turun kebumi....
Orang itu tak mirip dengan manusia dunia.
Sambil menyusur jejak telapak
kaki, orang tua aneh itu memandang kian kemari. Sepasang matanya berkilat-kilat
memancar api, mengandung sinar jahat.
Diam-diam Siau-liong
berdebar-debar. Terang yang hendak dicari orang tua itu tentulah dirinya
berdua. Karena masih hijau dalam dunia persilatan. Tak tahu ia aliran orang tua
itu dan mengapa hendak mencari dirinya.
“Siapakah kakek yang mirip
setengah dewa setengah setan itu?" tiba-tiba Song Ling bertanya.
Ternyata ia pun sudah tersadar
dari persemadhiannya.
Sambil memandang ke arah kakek
aneh yang menghampiri ke arahnya, Siau-liong menyahut dengan bisik-bisik,
“Apakah tenagamu sudah pulih?"
”Hawa dalam masih belum
tenang, tenaga murni belum pulih tetapi sudah banyak kebaikan?"
Siau-liong sendiri masih
payah. Lukanya sudah disembuhkan Randa Bu-san tetapi luka dalam masih parah.
Jika berhadapan dengan musuh tangguh, tentu belum mampu menandingi.
Saat itu si kakek aneh sudah
keluar dari hutan dan tengah menyiak-nyiak semak rumput yang dilaluinya.
Pelahan-lahan makin mendekati.
Dan beberapa jenak kemudian
sudah tiba dua tombak dimuka tempat Siau-liong.
Karena merasa tak mungkin
dapat bersembunyi lagi, Siau-liong memberi isyarat kepada Song Ling lalu berbangkit.
Rupanya kakek aneh itu
terkejut sehingga menyurut mundur dua langkah. Matanya berkeliaran memandang
Siau-liong.
“Masuk ke dalam gua rahasia
dan mendapat kitab pusaka Thian-kong-sin-kang, tentulah engkau, bukan?"
tiba-tiba kakek aneh itu bertanya.
Siau-liong terkesiap. Ia
merasa belum pernah bertemu dengan kakek itu, mengapa sudah mengenal dirinya
dan bahkan tahu tentang kitab pusaka itu.
Seketika ia menyahut dengan
nada tidak menyangkal pun tidak mengakui “Entah siapakah locianpwe ini? Mengapa
tahu orang yang masuk ke dalam gua rahasia dan mengambil kitab pusaka
Thian-kong-sin-kang?"
Mata kakek itu berkilat lalu
tertawa gelak-gelak, “Mataku belum buta, sudah tentu takkan salah lihat!"
Heran Siau-liong makin
menjadi-jadi. Ia tak tak tahu dengan tujuan apakah kakek aneh itu mencarinya?
Sesaat ia tak dapat mencari akal untuk menghadapinya.
Beberapa jenak kemudian baru
ia berkata, “Ucapan locianpwe itu sungguh mengherankan sekali. Aku baru kenal
saja dengan locianpwe. Dengan dasar apa locianpwe....”
“Ilmu petanganku tak pernah
meleset!" tukas kakek itu.
Siau-liong tertawa, “Ah,
kiranya locianpwe mengetahui peristiwa itu dari ilmu petangan."
Walaupun mengatakan begitu,
tetapi diam-diam hati Siau-liong tergetar juga. Semula ia memang tak percaya
ilmu meramal dan segala ilmu mistik. Tetapi sejak peristiwa Randa Bu-san itu,
pandangannya pun agak berubah. Dan kali ini berhadapan lagi dengan seorang
kakek ahli nujum, mau tak mau ia harus menaruh sedikit kepercayaan juga.
“Setelah kuhitung sampai
beberapa kali, barulah aku bergegas-gegas datang kemari!" kata kakek itu
pula.
Kepercayaan Siau-liong makin
tumbuh, tanyanya “Entah apa maksud locianpwe hendak mencariku?"
Kakek aneh itu gelengkan
kepala menghela napas, “Karena sembrono maka sampai menimbulkan kesalahan
besar. Sekalipun telah kuusahakan untuk menolong, mungkin tetap tak dapat
terhindar dari kutukan. Kehancuran sukar kembali....”
Siau-liong tercengang.
“Locianpwe meresahkan soal apa
saja? Jika menghendaki tenagaku, silahkan memberi pesan. Aku tentu akan
berusaha sekuat tenaga....”
Berkata sampai disitu,
tiba-tiba Siau-liong berhenti karena teringat akan keadaan dirinya saat itu. Ia
masih terluka dalam. Sedang tongkat besi dari kakek itu sebesar telur itik.
Tentulah beratnya tak kurang dari duaratus kati. Tetapi kakek itu dapat
memegang seenaknya saja. Jelas tentu seorang yang memiliki ilmu yang sakti.
Apalagi seorang ahli nujum yang lihay. Masakan kakek itu memerlukan bantuannya
lagi?
Tetapi diluar dugaan kakek itu
mengangguk: “Memang sebaiknya begitulah....” ia berkeliaran memandang keempat
penjuru, ujarnya, “Tempat ini tak leluasa untuk bicara. Silahkan kalian ikut ke
biara sana!"
Habis berkata tanpa menunggu
Siau-liong setuju atau tidak, ia terus berputar tubuh dan melangkah ke arah
biara.
Siau-liong kerutkan alis lalu
bertukar pandang dengan Song Ling. Sesaat ia merasa bersangsi.
Tetapi entah bagaimana, baik
sikap dan nada ucapan kakek tua itu, mempunyai daya tarik yang kuat dan
berwibawa sehingga Siau-liong tak dapat menolak lagi.
Akhirnya ia mengajak Song
Ling: “Kita....”
“Terserah engkau....” tukas si
dara.
Kakek aneh itu berjalan
pelahan sekali, tanpa berpaling ke belakang. Seolah-olah yakin kalau kedua anak
muda itu tentu akan mengikutinya.
Tak berapa lama, tibalah
mereka di biara. Menilik bangunannya, tentulah dahulu biara itu sebuah tempat
pemujaan yang megah. Tetapi kini sudah rusak dan tak terawat. Dindingnya rubuh
dan gempal, halaman penuh ditumbuhi rumput dan pintunya bertimbun sarang
gelagasi.
Papan nama yang sudah rusak
dan lecet tulisannya itu masih dapat terbaca, Ternyata biara itu memakai nama
Sam-goan-kiong.
Kakek tua itu berhenti dimuka
pintu. Setelah Siau-liong dan Song Ling tiba, barulah ia melangkah masuk.
Memang besar sekali bangunan biara itu. Pohon siong yang tumbuh dihalaman biara
itu tinggi sekali. Tentulah sudah berumur ratusan tahun. Daunnya yang lebat,
menimbulkan suasana yang menyeramkan juga.
Siau-liong bergandengan tangan
dengan Song Ling mengikuti kakek aneh yang melangkah keruang besar. Ternyata
dalam ruangan besar itu masih mengepul asap wangi. Walaupun juga rusak tetapi
keadaan ruangan itu masih cukup lumayan. Ditengah ruang terdapat patung dewa
Thay Siang Lokun dan Goan Si Thian-cun. Tetapi sudah rusak keadaannya. Tikus
dan kelelawar bersarang pada lubang-lubang patung itu.
47. Orang Tua Aneh Baju Putih
Meja sembahyang rupanya telah
dibersihkan, diberi penerangan lilin, sebuah area kecil. Tempat pedupaan masih
mengepul asap.
Begitu masuk, lebih dulu kakek
aneh itu meletakkan tongkat besinya pada sudut dinding lalu berlutut dihadapan
meja sembahyangan dan memberi hormat sampai empat kali. Setelah itu ia bangun
dan berkata, “Inilah arca dari Tio Sam-hong Cousu, lekas haturkan hormat!"
Mendengar itu Siau-liong
terkejut dan tanpa disadari ia menarik tangan Song Ling diajak berlutut memberi
hormat. Setelah itu, barulah Siau-liong menjurah dihadapan kakek aneh dan
berkata, “Petunjuk apakah yang hendak locianpwe berikan kepadaku?"
Sejenak keliarkan mata
berkatalah kakek itu dengan nada sarat, “Dihadapan arca Tio Sam-hong Cousu,
kalian tak boleh omong sepatah kata yang bohong....”
“Aku tak pernah berdusta.
Tetapi adakah locianpwe ini.... bangsa manusia atau dewa? Mohon locianpwe suka
memberitahukan nama locianpwe yang mulia?"
Kakek aneh itu tersenyum, “Aku
mendapat tugas untuk menjaga tempat penyimpanan kitab pusaka peninggalan Tio
Sam-hong Cousu....” Ia menghela napas lalu berkata pula, “Pada waktu itu
kebetulan aku keluar sehingga terjadi kesalahan besar itu!"
Siau-liong tertegun memandang
kakek itu. Tak pernah disangkanya bahwa kitab pusaka Thian-kong-sin-kang,
ternyata ada penjaganya.
Timbul keheranannya. Tio
Sam-hong sudah hampir seribu tahun meninggal dunia. Setua-tua kakek itu, paling
banyak hanya berusia seratus tahun lebih. Lalu siapakah yang memerintah dia
menjaga kitab pusaka itu?
Gua rahasia penyimpanan kitab
pusaka itu, tiada pintunya sama sekali. Dahulu karena tak sengaja membobol
dinding, maka dapatlah ia masuk ke dalam ruang rahasia itu. Sedang kakek itu
tinggal diluar. Bagaimana ia dapat keluar masuk ke dalam ruang itu?
Dan lagi pada lembar pertama
dari kitab itu jelas tertera kata-kata.... dua orang masuk keruang ini, hanya
seorang yang berjodoh....” kata-kata itu seperti diperuntukkan ia dan Mawar
Putih yang sama-sama masuk ke dalam ruang itu. Jika kakek itu benar-benar
seorang ahli nujum yang lihay, mengapa tahu bahwa pada hari itu akan ada orang
yang masuk ke dalam ruang rahasia, dia malah bepergian keluar?
Siau-liong mulai meragu tetapi
ia tak berani tak mempercayai kakek aneh itu. Buktinya, belum pernah sama
sekali ia bertemu dengan si kakek tetapi mengapa dia tahu bahwa ia telah masuk
ke dalam ruang penyimpanan kitab pusaka dan mengambil kitab
Thian-kong-sin-kang!
Dan yang mengherankan. Pada
saat ia masuk ke dalam ruang tempat kitab itu, ia sedang menyamar sebagai
Pendekar Laknat. Ah, kalau kakek itu tak mengerti ilmu petangan, tak mungkin
dapat mengetahui gerak geriknya.
Tiba-tiba kakek itu tertawa
pelahan, “Sudah tentu engkau curiga. Tetapi ketahuilah, sekalipun Tio Sam-hong
sendiri masih hidup, beliau pun tentu tak luput dari kelengahan. Aku....”
Kembali ia menghela napas.
ujarnya, “Ya, kesalahanku yang besar itu, memang tak dapat ditebus lagi. Sudah
duapuluh satu leluhurku yang turun menurun bertugas menjaga kitab pusaka itu.
Tak nyana akhirnya kitab itu musnah dibawah penjagaanku!"
Nadanya penuh penyesalan dan
kedukaan. Seolah-olah ia ingin untuk menebus dosa.
"Adakah locianpwe tinggal
di dalam ruang rahasia itu?" tanya Siau-liong.
"Benar, sudah
berpuluh-puluh tahun aku mengasingkan diri dalam ruang rahasia itu....”
“Tetapi ruang rahasia itu
tiada berpintu dan tak ada persediaan makanan. Bagaimana locianpwe dapat hidup
selama berpuluh tahun itu?"
Kakek itu tertegun, matanya
berkeliar dan lalu tertawa, “Ada pintu rahasianya. Hanya saja engkau tak dapat
menemukan!"
Siau-liong diam tetapi dalam
hati setengah tak percaya.
Kakek itu berkata lebih
lanjut, “Aku ditugaskan menjaga kitab pusaka itu sampai datang orang yang
berjodoh. Siapa kira tempat itu engkau terobos dengan tak terduga-duga....”
“Kalau begitu, aku bukan orang
yang berjodoh," Siau-liong menghela napas.
"Dahi bibirmu pendek,
tentu bernasib malang. Gurat-gurat alamat itu sudah nampak, dalam beberapa hari
ini tentu akan terjadi. Maaf, kalau aku berkata terus terang, mungkin engkau
takkan bisa hidup lebih lama dari sepuluh hari....” kakek itu menghela napas
lalu melanjutkan, “dan engkau telah melakukan tindakan yang tak selayaknya.
Seharusnya jangan
menghancurkan kitab pusaka itu. Masakan kubiarkan kitab itu sampai lenyap
selama-lamanya?"
Siau-liong tergetar hatinya.
Ucapan kakek itu sepatah demi sepatah bagaikan ujung belati menusuk ulu
hatinya.
Song Ling menarik lengan baju
Siau-liong dan membisiki didekat telinganya: "Jangan menghiraukan
ocehannya. Mungkin kakek ini bukan orang baik!"
“Jangan takut aku dapat
menghadapinya," Siau-liong menghibur.
Kiranya ia memang sudah
mempunyai rencana. Tak peduli kakek itu orang baik atau jahat, tetapi karena ia
merasa sudah menghancurkan kitab pusaka Thian-kong-sin-kang. Apapun yang akan
terjadi, ia siap menghadapi.
“Ya, semua telah terjadi,
entah locianpwe hendak mengusahakan bagaimana untuk menolong soal itu?"
tanyanya sesaat kemudian.
Kakek aneh itu tersenyum,
“Telah kupikirkan lama sekali tetapi tetap tak memperoleh daya untuk menolong.
Ah, ternyata cara yang hendak kuajukan itu sudah engkau pikirkan juga....”
“Aku sungguh tak mengerti
maksud locianpwe. Masakan aku sudah....”
Kakek aneh itu tertawa meloroh
lalu maju menghampiri kedua anak muda itu. Siau-liong terkejut dan cepat
bersiap. Kakek itu berhenti dimuka mereka berdua. Ditatapnya wajah Song Ling
dengan tajam. Beberapa saat kemudian ia tertawa, “Tulang bagus bakat tinggi.
Benar-benar seorang tunas yang hebat....”
Kemudian ia beralih memandang
Siau-liong, katanya, "Bukan engkau pernah hendak menurunkan
Thian-kong-sin-kang kepada anak perempuan ini?"
Kembali Siau-liong terkejut.
Ia benar-benar percaya kalau kakek aneh itu seorang ahli nujum yang sakti.
Kalau tidak bagaimana ia tahu hal itu?
“Benar, memang aku pernah
bermaksud begitu," akhirnya ia mengaku.
Kerut wajah kakek itu berubah
serius, “Karena itu, agar kitab pusaka itu jangan sampai lenyap dari dunia,
engkau harus berdoa kepada arwah Tio Sam-hong Cousu untuk meminta ijin
menurunkan ilmu Thian-kong-sin-kang kepada seorang pewaris....!"
Ia berhenti sejenak lalu
menatap Siau-liong, “Pertama, engkau harus mengajarkan ilmu Thian-kong-sin-kang
itu kepada nona Song ini. Tak boleh ada sepatah kata yang kelewatan. Kedua,
selama engkau masih hidup dalam beberapa waktu ini, tak boleh engkau mengatakan
soal ilmu itu kepada siapapun juga. Lebih-lebih jangan sekali-kali memberikan
pelajaran itu kepada lain orang. Nah, apakah engkau dapat menerima syarat
itu?"
Syarat yang dikehendaki kakek
aneh itu justeru tepat seperti yang direncanakan Siau-liong. Ia memang hendak
menurunkan pelajaran Thian-kong-sin-kang kepada Song Ling. Menilik bakat dan
kecerdasan dara itu, ia percaya dalam waktu setahun saja, dara itu tentu akan
menguasai ilmu sakti tersebut. Apabila kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia
tak dapat dibasmi, sekurang-kurangnya ia dapat meletakkan harapannya kepada
dara itu. Dalam waktu setahun lagi, setelah paham ilmu Thian-kong-sin-kang,
tentulah dara itu akan dapat melenyapkan kedua durjana pengganggu dunia
persilatan itu!
“Baiklah, aku menerima seluruh
permintaan locianpwe," kata Siau-liong, "tetapi aku masih mempunyai
sebuah permintaan....”
"Silahkan kalau engkau
mau menyatakan apa-apa," kata kakek aneh seraya mengelus jenggot.
“Adanya kuhancurkan kitab
pusaka Thian-kong sin-kang itu adalah karena aku kuatir kitab itu sampai jatuh
ketangan orang jahat. Demi menjaga hal itu, maka penurunan ilmu itu harus
dilakukan secara rahasia. Akan kuucapkan seluruh isi kitab itu kepada nona
Song. Menilik kecerdasannya, ia pasti dapat mengingat dengan lekat."
“Ya, baiklah, aku setuju....”
kata kakek itu, “tetapi berapa lama engkau dapat menurunkan pelajaran
itu?"
Sejenak Siau-liong terdiam,
sahutnya, “Dalam dua jam atau paling lambat dalam tiga jam saja, tentu sudah
selesai!"
Kakek tua segera meminta kedua
pemuda itu supaya segera mulai pelajaran itu bertempat diruang samping,
katanya, “Aku yang menjaga disini untuk pengamanan kalian."
“Baiklah," kata
Siau-liong lalu menarik Song Ling diajak keruang samping. Tetapi diluar dugaan
dara itu mendengus dingin, “Perlu apa harus keruang samping?"
“Ih, apakah tadi engkau tak
mendengar pembicaraan kami?" Siau-liong kurang senang.
“Kalau mendengar lalu
bagaimana?"
Siau-liong terbeliak.
Thian-kong-sin-kang merupakan ilmu sakti nomor satu di dunia persilatan. Siapa
yang dapat menguasai tentu akan menjadi tokoh tanpa tanding. Setiap orang
persilatan tentu ngiler memimpikan ilmu sakti itu. Tetapi mengapa dara itu
bersikap enggan?
“Hendak kuberikan pelajaran
ilmu Thian kong-sin-kang kepada nona. Apakah engkau tak mau?" tegurnya.
Song Ling tertawa dingin,
“Engkau menduga tepat! Aku tak kepingin ilmu itu!"
Siau-liong terkesiap.
Setelah menunggu sampai
beberapa jenak dara itu tak membuat reaksi pernyataan lagi, tahulah Siau-liong
bahwa Song Ling tentu masih mencurigai si kakek.
Ternyata kakek aneh itu juga
mendengar kata-kata Song Ling. Dia juga heran. Matanya berkeliaran kian kemari
tetapi tak berkata suatu apa.
Siau-liong meringis. Tak tahu
ia bagaimana harus bertindak. Duduk berdiri serba salah, wajahnya tersipu-sipu
malu.
Song Ling melirik. Rupanya
dara itu tak sampai hati membiarkan pemuda itu dalam kekakuan begitu. Ia
tertawa mengkikik: ,,Baiklah, mari kita keruang samping. Tetapi bukan berarti
aku akan minta pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang, lho....”
Kemudian dara itu melirik ke
arah kakek aneh dan berkata pula, “Siapapun jangan susah payah berkesal
hati!"
Kakek itu tertegun. Tiba-tiba
ia tertawa meloroh, “Tak pernah selama ini aku salah lihat. Tak seorang tokoh
persilatan yang tak ngiler akan ilmu sakti Thian-kong-sin-kang....”
Sambil memandang ke arah kedua
pemuda yang melangkah ke arah ruang samping, ia berseru lagi, “Harap nona
belajar yang teliti dan mengingat baik-baik. Aku tetap yang menjaga disini!"
Kakek itu lalu tegak diambang
pintu sambil lintangkan tongkat besinya. Rambut putih dengan jubah kuning yang
berkibaran dihembus angin, sepintas pandang kakek itu benar-benar menyerupai
dewa yang turun kebumi....
Ruang samping itu terpisah
empat lima tombak dari sikakek berdiri. Song Ling duduk ditempat yang agak
bersih lalu berkata: “Sepasang mata tua bangka itu tak henti-hentinya
berkeliaran. Tentu mengandung maksud jahat. Apa yang dikatakan tadi hanya
ngawur saja, belum tentu....”
Siau-liong cepat mengerat,
“Harap nona jangan banyak kecurigaan. Tak peduli maksudnya bagaimana, aku akan
mengajaran isi kitab itu secara rahasia sekali sehingga tak meninggal jejak.
Tak nanti dia mendapat keuntungan....”
Song Ling tertawa dingin,
“Pengalamanmu kurang sekali! Mana dia mau tegak mematung disana saja? Tetapi
asal engkau sungguh hendak mengajarkan ilmu itu kepadaku, kita nanti cari akal
agar dapat kuterima dengan baik."
Merah wajah Siau-liong.
Diam-diam ia mengakui kebenaran kata-kata itu. Jika ia lengah dan ilmu itu
sampai terdengar orang yang jahat, kematian tetap belum mampu menebus dosanya.
Siau-liong tundukkan kepala.
“Kucurigai jangan-jangan kakek
itu kaki tangan si Iblis Penakluk-dunia Siapa tahu kemungkinan dalam biara ini
masih tersimpan orang-orang yang menyembunyikan diri secara rahasia. Bahkan
bukan mustahil kalau kedua suami isteri durjana ini berada disini
sendiri!"
"Siau-liong seperti
dipagut ular. Ah, benar, benar! Mengapa ia setolol itu? Cepat ia bergeliat
bangun dan memandang keluar pintu. Tetapi sekeliling penjuru sunyi senyap.
Tiada sesuatu yang mencurigakan. Kakek aneh itupun tetap berdiri diambang pintu
menghadap kesebelah luar.
Setelah meneliti beberapa
saat, ia kembali ketempat Song Ling, ujarnya: “Tampaknya tempat ini tak ada tanda-tanda
yang mencurigakan dijadikan tempat persembunyian rahasia. Tetapi demi
pengamanan, akan kugunakan ilmu Menyusup Suara untuk mengajarkan ilmu itu
kepadamu."
Song Ling tertawa, “Pernahkah
engkau mendengar tentang ilmu Meneropong langit, mendengar bumi? Jika orang
yang bersembunyi memiliki ilmu semacam itu, asal masih dalam lingkungan sepuluh
tombak saja, tentu masih dapat menangkap setiap gerak gerikmu dan setiap patah
ucapanmu. Jangan kira ilmu Menyusup Suara itu sudah aman. Ilmu itu tetap dapat
ditangkap orang....”
Sejenak memandang
kesekeliling, dara itu melanjutkan pula, “Segala rencana ini tentu dirancang
Iblis Penakluk-dunia. Mengingat saat ini kita masih terluka, jika sampai
membocorkan seluruh isi kitab Thian-kong sin-kang itu, tentulah mereka segera
menghabisi jiwa kita. Dan ilmu itu akan dimiliki Iblis Penakluk-dunia dan
isterinya untuk selama-lamanya. Dunia persilatan pasti akan mereka
genggam!"
Siau-liong tergetar hatinya:
“Benar, nona sungguh cerdas sekali!"
Song Ling tersenyum, “Ah, sebenarnya
hal itu sudah gamblang. Tetapi karena engkau terlalu jujur sehingga mudah
percaya omongan kakek itu. Karena engkau yang memperoleh dan yang menghancurkan
kitab Thian kong-sin-kang, kedua suami isteri Ibils-penakluk-dunia tentu tak
mau membunuhmu dulu. Mereka hendak mengatur siasat untuk memperoleh pelajaran
kitab itu!"
Siau-liong kerutkan jidat,
katanya, “Kalau begitu, kita gunakan kesempatan ini untuk memulangkan tenaga.
Dalam 3 jam saja, kita tentu sudah cukup kuat untuk menerobos keluar dari tempat
ini!"
“Jika tak salah
dugaanku," sahut Song Ling, “Jika tahu kalau engkau tak mengajarkan ilmu
itu kepadaku, Iblis Penakluk-dunia tentu tak mau menunggu sampai tiga jam....”
Berhenti sejenak, dara itu
menghela napas pasrah, “Ah, terserahlah saja kepadamu....”
Ia menyadari dari keadaan saat
itu. Tenaga mereka berdua belum pulih sehingga tak mampu bertempur. Jangankan
dengan barisan pedang yang bersembunyi disekelilmg biara situ, sedangkan
sikakek aneh yang bertongkat besi dari duaratus kati itu saja, sudah sukar
dihadapi. Karena tiada lain jalan, terpaksa Song Ling menyetujui usul
Siau-hong. Mereka segera pejamkan mata bersemadhi memulangkan tenaga.
Keduanya telah membulatkan
tekad. Hanya menggunakan kesempatan beberapa jam itu untuk memulangkan tenaga.
Hanya dengan jalan itu mereka mempunyai harapan untuk lolos.
Tampaknya kakek aneh itu
benar-benar mewajibkan diri sebagai penjaga keamanan. Dan sama sekali seperti
tak manghiraukan Siau-liong yang sedang menurunkan pelajaran kepada si dara
itu.
Sambil melakukan penyaluran
napas dan hawa murni, Siau-liong merenungkan kembali isi pelajaran kitab
Thian-kong-sin-kang untuk menyalurkan pernapasan, tetapi dia sesungguhnya masih
banyak yang belum jelas akan soal-soal Semangat, Hati, Nafsu, Pikiran, Ketenangan,
Gerakan, Kehampaan dan Kenyataan dalam ilmu pernapasan itu. Maka dalam
melakukan pernapasan itu pun masih belum seluruhnya berhasil seperti yang
dikehendaki, Tetapi untunglah ia memiliki otak yang cerdas dan kemauan keras.
Sedikit banyak dapat juga ia menyelami beberapa bagian dari rahasia pelajaran
itu.
Kira-kira dua peminum teh
lamanya, kakek aneh itu tiba-tiba berbalik memandang ke arah kedua pemuda.
Dilihatnya Siau-liong dan Song Ling duduk bersemadhi. Kakek itu kerutkan alis
lalu menghadap kemuka lagi.
Setelah sejam kemudian, kakek
tua itu masih tetap berdiri diambang pintu. Siau-liong memang curiga terhadap
kakek itu. Sambil menyalurkan pernapasan, diam-diam ia memperhatikan gerak
gerik kakek itu. Tetapi karena ternyata kakek itu tak membuat suatu gerakan
apa-apa, mulailah Siau-liong lepaskan perhatian dan tumpahkan semangatnya untuk
menyalurkan pernapasan.
Tiba-tiba diluar biara
samar-samar terdengar suara orang bicara. Siau-liong serentak hentikan
penyaluran napas dan pasang telinga. Ah, benar, memang ada pendatang yang
berada diluar biara.
Sesaat itu teringatlah
Siau-liong akan ceceran noda darah. Ia percaya pendatang itu tentu akan
memasuki biara untuk menyelidiki. Dan ketika mendengarkan dengan seksama,
ternyata pendatang itu tak kurang dari lima atau enam orang jumlahnya. Mereka
sedang bercakap-cakap dengan pelahan. Rupanya kuatir pembicaraan mereka
terdengar oleh orang dalam biara.
“Jika kakek aneh itu
benar-benar kaki tangan Iblis Penakluk-dunia, pendatang itu tentulah rombongan
Ceng Hi totiang," diam-diam Siau-liong menimang.
"Anda kalau mau masuk,
masuk sajalah segera. Mengapa kasak kusuk disini?" tiba-tiba terdengar
suara orang berseru nyaring. Menyusul terdengar derap langkah orang mendatangi.
Siau-liong tergetar hatinya.
Ia tak asing dengan nada suara itu. Tetapi sesaat ia lupa pernah bertemu
dimana.
Song Ling pun sudah membuka
mata. Dengan pandang bertanya ia menatap Siau-liong lalu mencurahkan perhatian
untuk mendengarkan gerak gerik pendatang-pendatang diluar biara itu.
Kakek aneh itu bermula masih
tenang. Seolah-olah tak mengacuhkan. Tetapi saat itu tiba-tiba ia mulai
gelisah. Beringsut dari ambang pintu, ia menyurut mandur ke dalam. Sambil
memperhatikan kedua muda mudi yang masih duduk itu, ia beringsut mundur ke
belakang jendela. Tiba-tiba ia lontarkan passer pertandaan keluar.
Walaupun passer atau anak
panah itu hanya memencar sinar lemah tetapi tetap dapat dilihat Siau-liong.
Kini tersadarlah ia. Kakek aneh itu benar-benar memang kaki tangan Iblis
Penakluk-dunia!
Dengan pemberian panah rahasia
itu, jelas kalau kakek itu bukan seorang diri melainkan dengan rombongan.
Siau-liong segera memberi isyarat mata kepada Song Ling. Keduanya serentak
bangkit lalu mengumpat disudut ruang yang gelap dan menunggu apa yang terjadi.
Derap kaki orang tadipun
segera tiba dimuka biara. Dan sehabis melepas panah pertandaan, kakek aneh
tadipun segera kembali berdiri disamping meja. Tegak menjaga sambil mencekal
tongkat besi.
Rupanya pendatang itu masih
bersangsi diluar pintu. Tiba-tiba ia terbeliak kaget karena melihat arca di
atas meja sembahyang dan sikakek aneh yang menjaga disamping meja. Segera orang
itu melangkah masuk.
“Pak tua, apakah engkau
penjaga biara ini?" tegurnya dengan suara nyaring.
Tetapi secepat itu ia merasa
kalau pertanyaannya salah alamat. Dilihatnya kakek itu bukan bangsa paderi atau
imam. Dan biara rusak itupun tentu sudah lama tiada dirawat orang dan tiada
penjaganya.
Tiba-tiba pendatang itu
tertawa gelak-gelak lalu bertanya pula, “Hai, pak tua, apa kerjamu disini? Mengapa
engkau mengadakan sembahyangan ditempat ini?"
Kakek tua itu bersikap
pura-pura tak mengacuhkan. Tetapi ia berusaha untuk mengalingi pandangan
pendatang itu supaya jangan sampai melihat ke arah ruang samping. Lalu
menyahut, “Aku seorang kelana dan kebetulan sedang beristirahat disini....”
Sejenak menatap pendatang itu,
ia melanjut-kan pula, “Apakah saudara juga sedang lalu didaerah ini?"
Diruang samping, Siau-liong
sudah melihat jelas siapa pendatang itu. Ya, tak salah lagi. Dia adalah si
tinggi besar Lu Bu-ki, kepala Rimba Hijau daerah Lam-lok yang terkenal dengan
julukan Ruyung-besi-pelor-sakti.
Lu Bu-ki sambil mencekal
ruyung besi menatap dengan pandang curiga kepada kakek aneh itu. Dibelakangnya
tampak empat orang jago-jago silat siap dengan senjata terhunus.
Siau-liong yang sudah tahu
jelas status kakek aneh itu, karena kuatir Lu Bu-ki kena dikelabuhi,
cepat-cepat menyalurkan pernapasan. Setelah merasa peredaran darahnya longgar
dan tenaganya banyak pulih, segera ia berbangkit hendak melangkah keluar.
Tetapi tiba-tiba terlintas
sesuatu dalam pikirannya. Dan ia batalkan niatnya.
Kiranya ia teringat bahwa
walaupun si tinggi besar Lu Bu-ki itu amat mengagumi dan mengindahkan dirinya
tetapi dalam kedudukan sebagai Pendekar Laknat. Dan sekarang kalau ia muncul
sebagai Siau-liong, orang tinggi besar itu pasti takkan mengenalnya.
Mengingat si tinggi besar itu
seorang jujur dan berangasan, ia kuatir akan menimbulkan salah paham. Apa boleh
buat terpaksa ia sabarkan diri dan menunggu saja bagaimana perkembangannya
barulah ia akan bertindak bersama Song Ling.
Ternyata si tinggi besar Lu
Bu-ki tak menyahut hanya memandang ke sekeliling penjuru lalu berkata, “Pak
tua, tempat ini bukan tempat yang aman. Lebih baik lekas-lekas tinggalkan
tempat ini. Apakah selama dalam perjalananmu engkau tak pernah mendengar
tentang sepak terjang suami isteri Iblis Penakluk-dunia yang hendak menguasai
dunia persilatan dan melakukan pembunuhan secara besar-besaran itu?"
Kakek aneh itu tertegun, lalu
tertawa.
“Aku berkelana keseluruh
penjuru dunia. Tak mencampuri urusan dunia persilatan. Aku tak peduli siapapun
juga!" serunya.
Seorang tinggi kurus yang
berdiri mencekal pedang di belakang Lu Bu-ki. memandang lekat pada kakek aneh
itu. Saat itu tiba-tiba mendekati Lu-Bu-ki dan membisiki beberapa patah kata.
Si tinggi besar Lu Bu-ki
keliarkan matanya dan mengerung, “Benar.... benar, lalu ia maju dua langkah
kehadapan kakek aneh dan membentaknya, “Pak tua, kapankah engkau datang kebiara
ini?"
Kakek tua itu mundur selangkah
dan menjawab tersendat: "Baru kemarin malam dan sekarang akan melanjutkan
perjalanan lagi....” kemudian ia menggerutu, “Aku tak biasa didesak orang
dengan pertanyaan-pertanyaan. Kalau tak ada urusan lagi, silahkan saudara
tinggalkan aku seorang diri."
Lu Bu-ki membentaknya, “Pak
tua, kalau ketemu tuanmu ini engkau memang celaka. Kalau memang semalam engkau
sudah datang, tentu engkau tahu siapa yang bertempur diluar biara ini?"
Kakek itu gentakkan tongkat
besinya. Rupanya ia marah tetapi ia tetap tertawa hambar dan gelengkan kepala,
“Telah kukatakan, aku tak peduli dengan urusan dunia persilatan. Jangankan
memang tak mendengar suara ribut-ribut itu, sekalipun dengar akupun tak ambil
pusing!"
Lu Bu-ki lintangkan ruyung
besi dan membentak nyaring, “Pak tua, sudah duapuluh tahun aku berkecimpung
dalam dunia persilatan. Mataku sudah kenyang melihat apa-apa, Hayo lekas bilang
siapakah sesungguhnya dirimu ini!"
Nadanya keras, sikapnya kasar.
Benar-benar suatu lagak yang biasa diunjuk oleh orang persilatan yang kasar.
Demikian keempat orang yang
mangawal di belakang itu. Begitu melihat si tinggi besar bersikap hendak turun
tangan, mereka pun cepat mencabut senjata masing-masing dan terus mengepung
kakek aneh itu.
Diam-diam Siau-liong gelisah
melihat tingkah laku si tinggi besar itu. Jangankan kakek itu masih mempunyai
gerombolan yang menyembunyikan dari disekitar biara situ. Sekali pun hanya
seorang diri, tetapi kakek yang mencekal tongkat besi seberat duaratusan kati
itu tentu sukar dilawan.
48. Rahasia Kakek Aneh
Tetapi apa yang terjadi saat
itu, benar-benar diluar dugaannya. Si kakek yang tampak seperti seorang dewa
itu dan dikira tentu mempunyai kepandaian yang sakti, tetapi ternyata
berhadapan dengan si kasar Lu Bu-ki, kakek itu mengunjuk wajah yang ketakutan.
Dia beringsut-ingsut mundur ke belakang. Tetapi matanya tak henti-hentinya
memandang keluar jendela seperti orang sedang menunggu datangnya bala bantuan.
Karena kakek itu diam saja, si
kasar Lu Bu-ki terus ayunkan ruyungnya dengan jurus Menyiak-bunga-menggoyang-pohon.
Sebagai pemimpin Rimba Hijau
dari wilayah Lam-lok, sudah tentu Lu Bu-ki memiliki kepandaian yang tinggi.
Gerakan menutuk dengan ruyung itu menimbulkan desis suara yang amat tajam.
Kakek itu mengangkat tongkat
hendak menangkis tetapi tubuhnya pun cepat-cepat miring kesamping. Secepat
menarik lagi tongkat dan mundur hendak menyingkir.
Tetapi saat itu ia berada
didekat dinding ruang. Apalagi masih ada keempat pengawal Lu Bu-ki yang
menyerang. Kakek itu tak mampu menghindar lagi.
“Tring....!” betapa kakek itu
mundur, tak urung tongkatnya berbentur juga dengan ruyung besi dari si tinggi
besar Lu Bu-ki.
Tiba-tiba si tinggi besar
tertegun dan mundur selangkah. Dipandangnya kakek itu dengan
terlongong-longong. Melihat pemimpinnya tak melanjutkan serangannya keempat
pengawal itupun masing-masing mundur selangkah dan sikap menunggu.
Kakek aneh yang sudah terpojok
disudut dinding itu, tampak ketakutan.
“Ho, kiranya engkau
binatang!" tiba-tiba Lu Bu-ki berteriak sesaat kemudian. Dan menyusul
ruyungpun segera diayunkan dengan deras untuk mendesak kakek aneh itu.
Kakek itu sudah patah
nyalinya. Tongkatnya tak keruan gerakannya. Cepat sekali tongkatnya terpukul
jatuh oleh ruyung Lu Bu-ki.
Siau-liong dan Song Ling
melihat jelas apa yang terjadi itu. Sepintas pandang tongkat besi kakek aneh
itu amat berat sekali tetapi ternyata dapat disabat terpental oleh ruyung Lu
Bu-ki. Jelas tongkat itu bukan dari besi melainkan dari besi tipis yang dibalut
kulit.
Diam-diam Siau-liong memaki
dirinya sendiri mengapa tak cermat menilai orang sehingga mudah dikelabuhi.
Setelah tongkatnya terpental,
tampak kakek itu bingung tak keruan. Tiba-tiba ia menjerit keras,
"Thian-cun, tolonglah! tolonglah....”
Lu Bu-ki terkesiap. Ia
mendengus dingin, lalu sabetkan ruyungnya ke pinggang si kakek.
"Bluk".... kakek itu
terpental sampai setombak lebih jauhnya dan terkapar rubuh di tanah.
Lu Bu-ki memburunya,
“Binatang, engkau masih berani pura-pura pingsan!" Ia terus mencopoti
rambut, jenggot, jubah dan mantel kakek itu.
Ternyata orang itu mengenakan
kedok muka palsu. Dia bukan lagi si kakek tua melainkan seorang lelaki yang
baru berumur limapuluhan tahun. Pakaiannya yang asli hanya seperangkat pakaian
yang sudah rusak, butut dan compang-camping. Seorang tukang khwat-mia atau
tukang ramal yang berkelana mencari penghidupan di dunia persilatan.
Lu Bu-ki menginjak dada orang
itu lalu membentaknya, “Hai, mulut besi, masih kenal aku!"
Kiranya orang itu bernama Ong
Thiat-go Orang si Mulut besi. Seorang tukang ramal yang menuntut penghidupan
sebagai penipu. Sedikit-sedikit dia memang belajar silat dan pernah berlatih
ilmu tenaga dalam. Maka sabatan ruyung Lu Bu-ki tadi tak sampai membuatnya
pingsan. Dengan bergeliatan dan berkaok-kaok ia memanggil Thian-cun atau bapak
kepala. Tetapi sampai kerongkongannya serasa pecah, tetap tiada penyahutan atau
bantuan yang datang. Setelah Lu Bu-ki menginjak dadanya, barulah ia tak berani
bertingkah lagi.
"Poh-cu, hamba memang
berdosa, hamba....”
"Jangan banyak bicara!
bentak si tinggi besar, "Lekas bilang mengapa engkau berani menyaru
seperti setan tua!"
Karena dadanya terhimpit
sehingga sukar bernapas, si Mulut besi itu mencekal kaki Lu Bu-ki erat-erat dan
tak dapat bicara.
Si tinggi besar mendengus lalu
longgarkan injakannya, “Lekas bilang kalau berani bohong otakmu tentu
berhamburan keluar!"
Setelah merghela napas dan
memandang sejenak ke arah luar jendeia, berkatalah ia dengan sikap ragu-ragu,
“Poh-cu, suami isteri Iblis Penakluk-dunia berada dalam biara ini....
hamba....”
Memang pada waktu si Mulut
besi berkaok-kaok minta tolong pada “Thian cun", Lu Bu –ki sudah menduga
kalau kedua suami isteri durjana itu tentu berada disekitar tempat situ. Tetapi
sebagai kaum persilatan, Lu Bu-ki dan rombongannya tak menghiraukan lagi soal mati
atau hidup.
Walaupun kasar dan berangasan,
tetapi ternyata Lu Bu-ki cerdik juga. Ia sadar kalau kawan-kawannya sukar lolos
dari cengkeraman Iblis Penakluk-dunia. Tetapi sebelum mati, Lu Bu-ki harus
dapat menggagalkan rencana Iblis Penakluk-dunia untuk kemudian ia laporkan pada
Ceng Hi totiang.
Kiranya saat itu Ceng Hi
totiang sudah mengajak rombongan orang gagah tinggalkan Lembah Semi. Sepanjang
jalan, banyak tokoh yang dianjurkan pulang ketempat masing-masing. Dengan hanya
membawa beberapa puluh tokoh-tokoh terkemuka dari partai-partai persilatan,
mereka menuju ke gunung Go-bi, Lu Bu-ki bertugas menjadi pelopor dimuka.
"Tak peduli setan belang
yang berada disini, jika engkau tak mau bilang sejujurnya, tuanmu tentu segera
akan....” - bentak Lu Bu-ki seraya mencengkeram bahu si Mulut-besi. Bentaknya,
“Biarlah engkau rasakan dulu bagaimana rasanya ilmu Hun-kin-soh-kut itu!"
Hun-kin-soh-kut artinya
Menceraikan urat nadi dan mengunci tulang. Sudah tentu si Mulut-besi kelabakan
setengah mati. "Harap Poh-cu memberi ampun. Hamba akan bilang! Ya, akan
bilang....”
Sejenak menghela napas, si
Mulut-besi segera berkata, “Hamba sebenarnya menjadi tawanan orang. Semua
rencana disini adalah menurut perintah Iblis Penakluk-dunia. Hamba disuruh
menyaru sebagai penjaga tempat kitab pusaka peninggalan Tio Sam-hong Cousu. Dan
harus menipu Kongsun Liong siauhiap agar mau menurunkan ilmu
Thian-kong-sin-kang kepada kawan seperjalanannya nona Song....”
"Ngaco belo!" bentak
Lu Bu-ki, "apa itu ilmu Thian-kong-sin-kang dan Kongsun Liong!"
Kalau si tinggi besar tak
percaya obrolan si Mulut-besi, memang beralasan juga. Karena ia telah melihat
bagaimana dalam barisan Pohon Bunga di Lembah Semi tempo hari, Pendekar Laknat
gunakan ilmu Thian-kong-sin-kang untuk melawan Jong Leng lojin dan Lam-hay
sin-ni. Ia yakin Pendekar Laknat tentulah yang mewarisi ilmu sakti itu.
Segera ia tambahi tenaga
cengkeramannya pada bahu si Mulut-besi sehingga orang itu menjerit-jerit
seperti kerbau hendak disembelih.
“Poh-cu, apa yang hamba
katakan itu memang benar. Asal Kongsun Liong mau menurukan ilmu
Thian-kong-sin-kang kepada nona Song, Iblis Penakluk-dunia segera gunakan ilmu
Meneropong-langit-mendengar-bumi untuk mencuri dengar. Setelah itu ia akan
membunuh kedua anak muda itu dan ilmu itu akan dimiliki tunggal oleh Iblis
Penakluk-dunia sendiri....”
"Makin lama engkau makin
tak keruan bicaramu!" bentak si tinggi besar, “jika memiliki
Thian-kong-sin-kang, masakan Iblis Penakluk-dunia mampu membunuhnya? Dan
mengapa ia hendak menurunkan ilmu sakti itu kepada lain orang?"
Habis berkata siberangasan itu
terus hendak menyiksanya lagi. Si Mulut-besi berusaha menunjuk ke arah ruang
samping, serunya, “Kalau tak percaya, silahkan tanya kepada kedua pemuda
itu.... Dia sudah setuju hendak menurunkan ilmu Thiau-kong-sin-kang tetapi nona
itu dapat mengetahui tipu muslihat....”
Tiba-tiba dari luar jendela
meluncur sebertik sinar bintang yang langsung mengarah ketenggorokan si
Mulut-besi. Lu Bu-ki terkejut. Ia hendak menolong tetapi sudah tak keburu lagi.
Sebatang anak panah kecil yang
amat tajam, menembus tenggorokan si Mulut-besi. Dia menguak tertahan, tubuh
meremang dan pada lain saat kaki tangannya pun menjulur kaku. Nyawanya amblas.
Sekitar luka pada anak panah
itu berwarna hitam. Jelas mengandung racun ganas.
Cepat Lu Bu-ki lari keluar
Ternyata Siau-liong dan Song Li sudah berada di pintu. Hampir saja si
berangasan menubruknya. Ia berhenti dan membentak, “Omongan si Mulut besi
tadi....”
"Seluruhnya benar! Aku
memang hampir saja aku terkena tipunya....”
Sambil mencekal rujung
besinya, si tinggi besar berseru pula, “Aku benar bingung mendengar semua ini!
Hal ini.... hal ini.... benar-benar sukar dipercaya!"
“Tak peduli engkau percaya
atau tidak, saat ini aku tiada waktu memberi penjelasan panjang lebar, hanya
saja ....” — tiba-tiba ia tutukkan kedua jarinya kesebuah batu merah yang
terhampar dilantai.
"Krek".... batu
merah itu pun pecah berantakan.
Mata si tinggi besar mendelik
dan menjeritlah ia dengan kaget, “Thian-kong-sin-kang! Benar-benar memang....”
keempat pengawal dibelakangnya pun terlongong-longong seperti patung.
Tiba-tiba Siau-liong gunakan
ilmu Menyusup suara kepada Lu Bu-ki, “Ketahuilah hai, saat ini kita sedang
dikepung Iblis Penakluk-dunia. Sekali pun aku memiliki ilmu Thian-kong-sin-kang,
tetapi belum lama mempelajarinya. Masih sukar menggunakannya dan lagi sedang
menderita luka. Kalau Iblis Penakluk-dunia berada disini, mungkin masih sukar
menghadapinya. Dia tentu membawa Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni. Akibatnya
suka dibayangkan bagi kita!"
Tetapi si tinggi besar tak mau
berpikir panjang. Setelah mengetahui dengan mata kepala sendiri bagaimana
Siau-liong dapat menggunakan tutukan Thian-kong-sin-kang, segera ia suruh dua
orang anak buahnya untuk memberi laporan pada Ceng Hi totiang.
Setelah itu ia menunjuk
belakarg jendela dan pintu. Kedua anak buah itu segera berpencaran. Menyebar
lari ke belakang dan muka.
Kedua orang itu adalah
jago-jago rimba hijau, merekapun orang-orang yang terkenal dalam dunia Bulim.
Mereka jelas akan situasi saat itu.
Tetapi secepat mereka loncat
keluar setitik sinar perak segera menyambarnya. dahsyat sekali sehingga kedua
orang dapat menangkis.
Lu Bu-ki dan Siau-liong
terkejut. Tak mereka lihat arah datangnya senjata gelap menyambar.
Terdengar dua erang tertahan.
Ada juga yang melompat naik, seorang yang sedang melayang di udara menukik
jatuh ke tanah. Seperti keadaan sekarat, setelah meregang-regang tubuh dan
serta kaki dan tangan mereka menjulur berapa saatpun lantas mati. Jelas kedua
orang ini mati disambar anak panah beracun.
Si tinggi besar meraung
seperti singa kelaparan. Tetapi ia tak dapat berbuat suatu apa kecuali hanya
melihat kedua anak buahnya mati secara mengenaskan.
Tiba-tiba terdengar gelak
tertawa nyaring. Siau-liong terperanjat. Ia tahu nada suara itu berasal dari
Iblis Penakluk-dunia. Tetapi karena iblis itu menggunakan ilmu tertawa
Gelombang-hawa, maka sukar ditentukan arah datangnya.
Hening lelap beberapa saat
kemudian. Diluar biara tiada terdengar suara apa-apa lagi. Tetapi keadaan itu
merupakan babak permulaan dari sesuatu yang sukar dibayangkan.
Entah berapakah jumlah anak
buah yang dibawa Iblis Penakluk-dunia itu? Dan tindakan apa yang hendak mereka
lakukan? Dan dengan berada dalam ruang biara itu, Siau-liong, Lu Bu-ki beserta
kawan-kawan seperti terkurung!
Sambil menarik Siau-liong,
Song Ling berkata bisik-bisik, “Jika begini saja, lambat laun tentu terkena
tipu siasat mereka. Menilik durjana itu menaruh keinginan dan takut kepada
Thian-kong-sin-kang yang engkau miliki, mengapa kita tidak menyerbu keluar
saja!"
Sesaat Siau-liong tak dapat
mengambil keputusan. Hanya ia setuju untuk menerobos keluar. Tetapi saat ini
musuh ada dalam tempat gelap dan dirinya ditempat terang.
Oleh karena gagal
mempergunakan si Mulut-besi untuk mengorek ilmu Thian-kong-sin-kang,
kemungkinan iblis itu tentu marah dan hendak membunuh dirinya. Atau mungkin ia
akan dijadikan patung hidup seperti Jong Leng lojin, Lam-hay Sin-ni, Randa
Bu-san dan lain-lain.
Agaknya Song Ling juga
memikirkan kemungkinan itu. Ia menghela napas pelahan dan tak mau mendesak
Siau-liong lagi. Ia memandang kesekeliling penjuru, menunggu apa yang akan
terjadi.
Oleh karena tahu kalau
memiliki Thian-kong-sin-kang. Lu Bu-ki menaruh perindahan pada Siau-liong. Ia
berdiri tegak disamping pemuda itu sedang kedua anak buah menjaga dipintu dan
di belakang jendela.
Tiba-tiba tampak dua sosok
bayangan muncul dari pintu muka dan melangkah masuk pelahan-lahan. Sekalian
orang berseru kaget melihat kedua pendatang itu.
Yang dimuka seorang wanita
berpakaian merah. Kepalanya menunduk, keadaannya mengenaskan. Kedua tangannya
diikat ke belakang.
Dan yang dibelakangnya,
seorang paderi bertubuh kecil pendek. Memelihara jenggot kambing. Sepasang
matanya ber-kilat-kilat tajam penuh wibawa.
Siau-liong terkejut girang.
Paderi itu bukan lain adalah Liau Hoan sipaderi kurus dari Thian-san yang
hendak dicarinya. Sedang wanita baju merah itu adalah Poh Ceng-in, pemilik
Lembah Semi.
Rupanya paderi Liau Hoan tak
mengetahui bahwa biara itu sedang menjadi sarang harimau-harimau yang akan
berkelahi. Maka seenaknya saja ia masuk ke dalam ruang.
“Liau Hoan siansu....” seru
Siau-liong dengan nada tergetar.
Paderi kurus itu terkejut.
Matanya ber-kilat-kilat mencari orang yang memanggilnya tadi. Tetapi serentak
dengan itu, tiga bintik sinar menyambar kepala dada dan kakinya.
Saat itu Poh Ceng-in hanya
terpisah dua langkah dari paderi Liau Hoan. Serangan gelap itu berasal dari
samping dan dilakukan dengan cepat dan dahsyat. Tampaknya tak mungkin Liau Hoan
dapat menghindar.
Tetapi tadi karena Siau-liong
berseru memanggilnya, paderi itu terkejut dan siap. Dan memang paderi itu
bukanlah sembarang paderi, melainkan seorang tokoh sakti yang termasyur dalam
dunia persilatan.
Tampak tubuhnya meluncur dan
secepat kilat mencengkeram Poh Ceng-in. Aduh.... terdengar wanita itu menjerit
lalu jatuh tertelentang.
Liau hoan bergerak luar biasa
cepatnya. Ia melesat ke belakang Poh Ceng-in untuk menghindari serangan gelap.
Tetapi karena dicengkeram Poh Ceng-in rubuh ke belakang dan tepat menyongsong
serangan senjata gelap itu. Ia menjerit dan rubuh seketika.
Kejut Siau-liong bukan alang
kepalang.... Menyiak Song Ling, cepat ia enjot kakinya melayang ke tengah
ruang.
Sambil masih mencengkeram Poh
Ceng-in yang merintih-rintih kesakitan itu, Liau Hoan membentak, “Hm, akhirnya
dapat juga kucarimu....”
Siau-liong tak sempat
menjawab. Cepat ia merebut Poh Ceng-in dari tangan paderi itu lalu membawanya
lari keruang besar.
Liau Hoan pun segera
mengikuti.
Song Ling, Lu Bu-ki dan kedua
anak buahnya terkejut melihat kejadian itu. Apakah hubungan wanita baju merah
itu dengan Siau-liong sehingga pemuda itu begitu ngotot sekali untuk
menolongnya?
Lu Bu-ki kenal pada Liau Hoan,
segera ia memberi hormat dan menegur. Tetapi diluar dugaan paderi itu tak
mengacuhkan. Hanya sejenak memandangnya dingin lalu menghampiri Siau-liong.
Siau-liong tampak bergegas
memeriksa luka Poh Ceng-in. Kaki kiri wanita itu terkena sebatang passer tajam.
Sekitar dagingnya sudah berwarna merah gelap.
Cepat Siau-liong menutuk jalan
darah dikaki wanita itu untuk menghentikan perdarahan. Lalu mencabut anak panah
itu.
Karena senjata rahasia itu
mengenai kaki kiri dan bukan bagian yang berbahaya, maka Poh Ceng-in tak
cepat-cepat mati seperti Ong si Mulut-besi. Dan setelah ditutuk jalan darahnya,
peredaran racunnya pun tak sampai mengalir ke jantung sehingga wanita itu pun
sadar pikirannya.
Karena ujung anak panah itu
agak membengkok, pada saat dicabut Siau-liong, sakitnya bukan main sehingga Po
Ceng-in menjerit ngeri dan pingsan.
Siau-liong tak mempedulikan
kesakitan atau tidak. Ia mencabut belati dan segera mengupas daging yang sudah
memerah gelap itu.
Poh Ceng-in benar-benar
setengah mati sekali. Berulang-ulang kali ia sadar dan siuman.
Sambil menutup muka, Song Ling
bertanya, “Siapakah wanita ini?"
Siau-liong sedang sibuk
mengoperasi luka Poh Ceng-in. Tampaknya ia gelisah sekali sehingga tak
mengacuhkan pertanyaan Song Ling.
“Hai, apakah engkau
tuli!" karena tak dipedulikan, Song Ling membentaknya.
Siau-liong kicupkan mata,
menyahut segan, “Kalau hendak bertanya nanti sajalah....” — ia terus merobek
bajunya dan membalut luka Poh Ceng-in.
Song Ling marah sekali,
tubuhnya menggigil, “Tidak, harus menerangkan dulu!"
Dara itu terus mencengkeram
tangan kanan Siau-liong. Sudah tentu Siau-liong terkejut dan hentikan
pertolongannya pada Poh Ceng-in.
“Ah, hal itu tak dapat
kuterangkan dalam waktu singkat. Tetapi kalau dia sampai mati, aku pun takkan
hidup juga!"
Si dara memandangnya sejenak.
Tiba-tiba ia lepaskan cengkeramannya dan mundur dua langkah lalu tertawa keras,
“Ah, kiranya engkau seorang yang tak kenal budi! Sayang taciku Mawar buta
matanya. Termasuk kami ibu dan anak!"
Ia terus berputar tubuh
menghadap dinding dan menangis gerung-gerung. Siau-liong menghela napas.
Setelah membalut luka Poh Ceng-in ia lalu menghampiri Song Ling dan menepuk
bahunya pelahan-lahan, “Nona Song, aku mempunyai rahasia yang sukar kukatakan,
wanita itu....”
Song Ling meronta dan menjerit
kalap, “Tak perlu omong! Aku sudah tahu semua!"
Siau-liong banting-banting
kaki dan menghela napas lalu kembali ke tempat Poh Ceng-in.
Wajah Poh Ceng-in berwarna
gelap, napas terengah-engah tetapi sudah sadar. Begitu membuka mata dan
memandang Sian-liong, ia segera berseru, “Siau-liong! Siau....”
Siau-liong deliki mata dan
membentaknya, “Perempuan siluman, engkau telah menyiksa diriku....”
Poh Ceng-in tertawa rawan,
“Kalau aku menyiksa dirimu, mengapa engkau menolong aku?"
Siau-liong kerutkan geraham.
Ia marah sekali tetapi tak dapat berbuat apa-apa.
Wanita itu masih kesakitan.
Butir-butir keringat mengucur deras dari kepalanya. Tetapi ia masih kuatkan
diri tertawa mengekeh, “Sudah tentu bukan karena menolong aku tetapi.... karena
hendak menolong dirimu sendiri....”
Berhenti sejenak, wanita itu
berkata pula, “Tetapi sekarang percuma saja engkau hendak bilang apa-apa.
Sekalipun dapat menolong aku tetapi engkau tetap tak mampu menolong dirimu.
Anak panah itu khusus dibuat ayahku. Siapa kena tentu mati. Paling lama hanya
kuat bertahan sampai satu jam!"
"Perempuan siluman, aku
akan meminum darahmu!" teriak Siau-ling kalap.
Poh Ceng-in tertawa keras,
“Huh, sudah terlambat! Darahku sudah tercampur racun yang ganas. Kalau tak
minum darahku, engkau masih dapat hidup sampai tiga hari. Tetapi jika minum,
paling lama engkau hanya kuat hidup dua jam saja!"
Tiba-tiba Siau-liong ayunkan
tangannya menghantam muka wanita itu. "Plak", seketika separoh wajah
wanita itu membegap besar. Darah mengucur deras....
Tetapi Poh Ceng-in makin
kalap. Ta tertawa sekeras-kerasnya.
Saat itu Song Ling sudah
berhenti menangis dan memandang tercengang peristiwa itu. Ia benar-benar heran
terhadap pemuda itu. Bukankah tadi begitu tekun menolong, mengapa sekarang
menghantamnya begitu rupa?
Juga Lu Bu-ki bingung. Ia
dapat menduga kalau Poh Ceng-in itu puteri dari kedua suami isteri Iblis
Penakluk-dunia. Tetapi ia heran mengapa Siau-liong mau menolongnya tetapi
tiba-tiba hendak membunuhnya?
Kalau Song Ling dan Lu Bu-ki
tercengang-cengang adalah Liau Hoan diam saja. Ia tak mau mengurus Siau-liong
yang sedang marah kepada wanita pemilik Lembah Semi itu.
Tiba-tiba kedua pengawal Lu
Bu-ki berteriak, “Poh-cu, diluar ada orang datang!"
Sekalian orang terkejut.
Karena terpikat perhatiannya kepada Siau-liong, mereka sampai tak memperhatikan
keadaan di luar biara.
Ketika memandang keluar,
tampak seorang wanita berambut setengah putih, melangkah pelahan-lahan ke dalam
ruang. Begitu tiba di dalam. ia memandang kian ke mari dan akhirnya menatap Poh
Ceng-in dan Siau-liong. Ia segera menghampiri.
Lu Bu-ki cepat menghadangkan
ruyungnya, membentak, “Siapa engkau? Mengapa berani mati!"
Wanita berambut kelabu itu
balikkan kelopak matanya dan tertawa, “Aku adalah orang Lembah Semi. Aku tak
butuh berkelahi dengan kalian!"
Menyiak ruyung si tinggi
besar, ia terus maju menghampiri Poh Ceng-in. Kemudian ia berjongkok dihadapan
Poh Ceng-in, “Apakah nona menderita siksaan?"
Tiba-tiba Poh Ceng-in
membentaknya, “Jangan mempedulikan aku! Lekas enyah dari sini ......” napasnya
terengah-engah.
"Pulang kasih tahu pada
ayah dan ibuku. Aku mati terkena anak panah beracun buatan mereka. Matipun
ikhlas dan tak mendendam kepada siapapun juga!" katanya lebih lanjut.
Wanita berambut kelabu itu
menghela napas.
“Ayah bunda nona, amat cemas
sekali. Siang dan malam memikirkan diri nona. Sekarang suheng nona Soh-beng
Ki-su dijebloskan dalam gua Im-hong-tong dan akan dicincang ......”
Poh Ceng-in tertawa dingin,
“Ah, soal ini tiada sangkut pautnya dengan suheng. Tak usah menghukum orang
yang tak bersalah!"
Wanita berambut kelabu itu
mengeluarkan sebuah botol warna putih perak.
"Hamba mendapat perintah
dari Thian-cun untuk mengantarkan obat ini kepada nona!" katanya lalu
memandang Siau-liong dan membentak, “Obat ini khusus untuk menyembuhkan anak
panah racun Ngo-tok-bi-hun (lima racun pencabut nyawa). Lekas minumkan
kepadanya!"
Betapa geram Siau-liong saat
itu, tetapi ia terpaksa melakukan juga. Tetapi sekonyong-konyong Poh Ceng-in
menendang botol obat itu. Untunglah karena kedua tangannya terikat, ia tak
dapat bergerak leluasa. Dan Siau-liong pun sudah dapat menyambuti botol itu.
"Tolol! Apakah engkau tak
tahu kalau aku dan dia sudah sama-sama minum racun Jong-tok?" Poh Ceng-in
mendamprat keras wanita itu.
Wanita berambut kelabu
tertegun, serunya, “Kalau begitu, dia tentu takkan mencelakaimu."
“Gila! Dia sudah tahu caranya
melunturkan racun Jong-tok. Asal racun dalam tubuhku sudah bersih, dia tentu
membunuhku!" Poh Ceng-in melengking makin marah.
Wanita berambut kelabu
tertawa. “Tak apa," katanya, “Thian-cun pesan agar nona jangan kuatir apa
apa!"
Wanita itu berpaling menatap
Siau-liong ......
49. Tameng Puteri Iblis
“Seorang nona Pik dan seorang
nona Tiau," kata wanita itu, "saat ini ditawan oleh Thian-cun,
mencelakai nona Poh. "
Habis berkata ia terus berdiri.
Dengan memandang kesegenap hadirin, wanita itupun hendak melangkah pergi.
"Berhenti!" bentak
Siau-liong.
Wanita berambut kelabu itupun
berhenti dan berpaling, serunya, “Apakah Kongsun-siauhiap hendak memberi pesan
lagi?"
"Ya," sahut
Siau-liong, "kasih tahu pada kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia.
Kuberi waktu sampai matahari silam supaya kedua nona Pik dan Tiau itu, Randa
Bu-san serta It Hang to-tiang dan tokoh-tokoh yang ditawan itu dibebaskan
semua....”
Wanita rambut kelabu itu
tetawa hambar. "Maksud Kongsun-siauhiap hendak mengadakan tukar menukar
antara nona Poh dengan para tawanan itu?"
“Anggaplah begitu!" sahut
Siau-liong, “kalau tidak, jangan sesalkan aku bertindak ganas. Akan kuhukum
mati secara pelahan-lahan puteri kesayangannya mereka itu!"
“Kalau Kongsun-siauhiap suka
menukarkan nona Poh kami dengan kedua nona Pik dan Tiau, mungkin akan
diluluskan Tetapi kalau Randa Bu-san, It Hang totiang dan beberapa tokoh itu,
mereka telah menyatakan sendiri hendak mengabdi kepada thian-cun kami. Oleh
karena mereka mengindahkan sekali akan kewibawaan dan kesaktian thian-cun
(Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka). Walaupun thian-cun hendak membebaskan,
mungkin mereka sendiri yang tak mau....”
“Ngaco!" bentak Song
Ling, "manusia apakah Iblis Penakluk-dunia dan isterinya itu? Ibu tak
mungkin....”
Karena marah dan kalap, dara
itu sampai tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Wanita berambut kelabu hanya
tertawa dingin, “Baiklah! Akan kusampaikan pesanmu itu. Tetapi bagaimana
keputusan thian cun, aku tak berani mendahului....”
Ia berhenti dan memandang
Siau-Liong, serunya: “Harap Kongsun-siauhiap lekas minumkan obat itu kepada
nona Poh. Jika nona kami sampai terjadi apa-apa, bukan melainkan seluruh
tawanan itu akan diludaskan pun kalian tentu tak ada seorangpun yang akan
diberi hidup!"
Habis berkata, wanita berambut
kelabu itu mendengus seraya ayunkan langkah ke luar.
Setelah wanita itu lenyap,
sekalian orang masih terlongong tak dapat bicara. Si tinggi besar Lu Bu-ki
mondir mandir dimuka meja sembahyang. Hawa amarah dalam perutnya serasa mau
meledak.
Paderi Liau Hoan mengucap doa
keagamaan. Dengan wajah tenang ia duduk di sudut ruangan seraya memandang
lekat-lekat pada Siau-liong.
Saat itu Siau-liong mencekal
botol kecil berisi obat. Sesaat kemudian ia menghela napas panjang lalu membuka
sumbat botol. Isinya hanya setengah botol bubuk putih. Karena tak ada air dan
mangkuk, sesaat ia termangu-mangu.
Napas Poh Ceng-in makin
memburu. Alisnya memancar warna hijau gelap. Menandakan bahwa racun sudah mulai
bekerja, menjalari seluruh tubuhnya.
Walaupun tiada tenaga untuk
memandang Siau-liong, namun kesadaran pikirannya masih baik, serunya, “Aku tak
mau minum obat itu.... aku lebih suka mati....”
"Benar," geram
Siu-liong, "engkau minta mati tetapi aku ingin hidup." ia terus
menampar kaki wanita itu. Walaupun hanya pelahan tetapi karena racun sudah
menjalar keseluruh tubuhnya, tamparan itu membuat Poh Ceng-in pingsan seketika.
Sesungguhnya Siu-liong
bukanlah seorang pemuda yang kejam. Tetapi ia sudah terlanjur benci setengah
mati kepada Poh Ceng-in. Kalau dapat ingin ia mencincang wanita itu dan memakan
hatinya atau minum darahnya.
Tetapi saat itu ia tak dapat
melakukan tindakan begitu. Karena Iblis Penakluk-dunia sudah berhasil
memperalat tokoh-tokoh sakti seperti Jong Leng lojin, Lam-hay Sin-ni, Naga
Terkutuk, Harimau Iblis dan Randa Bu-san untuk mengacau dunia persilatan.
Satu-satunya jalan untuk
mencegah rencana kedua suami isteri durjana itu hanyalah anak perempuan mereka.
Kalau wanita pemilik lembah itu dibunuhnya saat itu, Iblis Penakluk-dunia dan
isterinya tentu akan mengamuk dan akibatnya sukar dilukiskan lagi.
Siau-liong termenung beberapa
saat sambil memegang botol obat itu. Kemudian ia memandang ke arah sekalian
orang dan menanyakan siapa yang membawa air.
Lu Bu-ki maju menghampiri dan
melolos kantong air pada pinggangiya, diserahkan kepada Siau-liong, “Masih ada
setengah kantong."
Demikian Siau-liong lalu
menuang air dan obat bubuk. Ketika diaduk, baunya anyir, membuat orang mau
muntah.
Setelah itu Siau-liong segera
ngangakan mulut Poh Ceng-in lalu menuangkan air obat itu. Perut wanita itu
terdengar berkerucukan dan tak berapa lama kemudian tubuhnya mulai bergeliatan,
dahinya mengucurkan keringat hangat. Dan warna hijau gelap pada alisnya pun
mulai hilang. Kedua pipinya makin merah. Rupanya racun telah hilang.
Kira-kira sepeminum teh
lamanya, Poh Ceng-in siuman. Tetapi masih lemah dan tak henti-hentinya
merintih.
Hampir setengah hari ia
bergeliatan meregang-regang. Ia paksakan diri memandang Siau-liong dan berkata
ter-sendat-sendat, “Siau-liong.... minta tolong padamu sebuah hal....
maukah?"
"Katakan!"
“Lepaskan.... tali yang
mengikat.... tanganku ini....”
Siau-liong kerutkan alis. Ia
sudah tak percaya lagi kepada wanita itu. Walaupun keadaannya lemah lunglai
tetapi ia tetap curiga jangan-jangan wanita itu hendak memasang siasat, Kalau
wanita itu sampai bebas, bukankah menimbulkan banyak kemungkinan? Mungkin akan
melarikan diri dan mungkin akan melakukan hal-hal yang tak terduga lainnya.
"Tak apalah kalau engkau
menderita sedikit dulu. Asal kedua orang tuamu mau meluluskan permintaanku agar
para tawanan itu dibebaskan, engkau tentu segera mendapat kebebasan juga!"
sahutnya.
Poh Ceng-in menghela napas,
“Engkau.... sungguh kejam.... benar, benar.... sedikitpun.... tak mempunyai
rasa kecintaan....” — ia terus pejamkan mata lagi.
Saat itu haripun sudah lohor.
Tetapi karena cuaca mendung tampaknya ruangan itu sudah mulai gelap.
Mayat si mulut besi Ong
Thiat-go sudah digotong kesudut. Wajahnya berwarna hitam gelap. Suatu pertanda
betapa ganas racun yang telah merenggut jiwanya itu.
Sekalian orang diam semua.
Hanya wajah mereka tampak mengerut seperti orang berpikir keras.
Kini Song Ling sudah
mengetahui pribadi Siau-liong. Bukan saja kemarahannya lenyap, pun dara itu
juga menaruh simpati kepadanya. Dara itu menghampiri ketempat Siau-liong dan
duduk di sisinya.
"Aku tadi salah sangka.
Apakah engkau.... tak marah?" katanya tersekat.
Saat itu pikiran Siau-liong
tengah dicurahkan untuk mencari jalan menghadapi suasana pada saat itu. Sampai
dara itu menghampiri dan duduk disamping, ia tak mengetahui sama sekali.
Ia baru gelagapan setelah
mendengar kata-kata si dara. Lalu cepat-cepat menyahut, “Aku bukan orang yang
berhati sempit. Harap nona jangan pikirkan hal itu."
Song Ling tertawa. Ia
memandang lekat pada Siau-liong, ujarnya, “Ih, seri wajahnya sudah cerah.
Apakah lukamu sudah sembuh?"
Siau-liong tertawa masam,
pikirnya, “Lukaku ini paling tidak empat-lima hari baru sembuh. Masakan begini
cepat sudah bisa pulih?"
Lalu ia menanyakan bagaimana
dengan luka Song Ling sendiri. Dara itu menjawab sudah baik. Tetapi nada
ucapannya rawan seperti tak mau bilang terus terang kepada Siau-liong.
Siau-liong memandangnya tajam
dan terkejutlah ia. Wajah dara itu tampak lesi kebiru-biruan, matanya tak
bersinar dan kedua tangannya gemetar. Suatu pertanda bahwa dara itu masih
menderita luka dalam.
Melihat itu Siau-liong segera
minta si dara lekas bersemadhi memulangkan kesehatannya.
"Sudahlah, jangan engkau
memikirkan lain orang. Engkau sendiri juga harus beristirahat!" tukas Song
Ling.
Siau-liong tersenyum, “Terus
terang kukatakan. Aku memang telah mendapat rejeki yang luar biasa. Makan buah
Im-yang-som yang berumur ribuan tahun dan minum darah dari binyawak purba dalam
kerak gunung, dan....”
Dia hendak mengatakan bahwa
Pendekar Laknatpun sudah menyalurkan seluruh tenaga murninya kepadanya. Tetapi
segera ia menyadari bahwa keterangan itu tak perlu. Maka buru-buru ia berganti
kata, “Dan lagi akupun sudah memperoleh ilmu pelajaran sakti
Thian-kong-sin-kang. Sejam beristirahat saja, sama dengan orang biasa
beristirahat satu hari. Apalagi lukaku sudah diobati oleh ibu nona....”
Song Ling tertawa, “Akupun
juga sudah memiliki dasar ilmu tenaga sakti Ya-li-sin-kang. Lukaku ini juga tak
jadi soal!"
Dara itu memandang ke arah Poh
Ceng-in, tanyanya, “Apakah dia benar puteri dari suami isteri durjana
itu?"
Siau-liong mengangguk, “Benar,
asal dia jangan sampai lolos, sekalipun Iblis Penakluk-dunia hendak menggunakan
siasat apapun, tentu kita dapat mengatasi."
Song Ling masih belum jelas
tentang ucapan Poh Ceng-in tentang racun Jong-tok dan pembicaraan wanita
berambut kelabu tadi. Maka bertanyalah dara itu, “Apakah wanita itu juga
seganas ibunya (Dewi Neraka)?"
Siau-liong tiba-tiba merasa
geli, sahutnya, “Mungkin lebih ganas dari ibunya!"
Rupanya Poh Ceng-in dengar
juga pembicaraan itu. Ia membuka mata memandang Siau-liong lalu menghela napas
dan pejamkan mata lagi.
Diam-diam Siau-liong
terkesiap. Ia merasa menyesal karena telah menyiksa batin seorang perempuan
yang sudah tak berdaya. Ia menyadari perbuatan itu tidak kesatria. Maka ia tak
mau lanjutkan kata-katanya lagi.
Suasana hening lelap. Saat itu
Liau Hoan siansu yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba berteriak, “Kongsun
sicu!"
Siau-liong gelagapan. Memang
sejak tadi ia hampir melupakan paderi itu. Maka buru-buru ia menyahut.
Paderi Liau Hoan tertawa,
“Hampir sepuluh jam perempuan siluman merah ini berada dalam tanganku, hampir
saja beberapa kali meloloskan diri. Tetapi kutahu betapa pentingnya wanita ini
untukmu. Maka aku selalu menjaganya keras dan akhirnya dapat menyerahkan
kepadamu!"
Paderi sakti itu sungkan
sekali bicaranya. Suatu hal yang membuat Siau-liong heran. Ia masih ingat
betapa dingin sikap paderi itu ketika bertemu padanya. Mengapa sekarang berobah
begitu ramah.
“Terima kasih losiansu,"
sahutnya.
“Tak perlu sicu berterima
kasih kepadaku. Bahkan akulah yang harus lebih dulu menghaturkan selamat
kepadamu."
Siau-liong menghela napas
panjang, “Apakah hal yang terjadi pada diriku sampai losiansu hendak
menghaturkan selamat kepadaku?"
"Omitohud," ucap
Liau Hoan siansu, "sicu telah beruntung mendapat pusaka yang tiada
keduanya di dunia ilmu sakti Thian-kong-sin-kang. Kelak sicu tentu menjadi jago
nomor satu di dunia persilatan. Bukankah hal itu pantas kuhaturkan
selamat?"
Siau-liong tertegun. Namun ia
masih menghela napas, “Ah, losiansu hanya tahu aku telah mendapatkan
Thian-kong-sin-kang, tetapi tahukah....” tiba-tiba ia menganggap tak perlu mengatakan
keadaan dirinya kepada paderi sakti itu. Maka ia tak mau melanjutkan
kata-katanya.
Liau Hoan tersenyum, “Walaupun
saat ini sicu mempunyai kesulitan, tetapi semuanya akan berjalan selamat....”
Siau-liong kicupkan mata
enggan, ujarnya, “Terus terang kukatakan, bahwa ilmu Thian-kong-sin-kang itu
belum dapat kupelajari dan jiwaku sudah seperti lilin tertiup angin. Ditambah
pula dengan sepak terjang kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia. Aku tak
dapat meramalkan bagaimana jadinya nanti. Bahkan mungkin saat ini, kita tak
dapat selamat keluar dari ruang ini....”
Liau Hoan tertawa keras, “Ah,
sicu memang cemas berkelebihan. Jangan lagi ada barang tanggungan berupa
siluman baju merah ini, sekalipun tak ada sandera, masakan sicu takut?"
Timbullah rasa malu dalam hati
Siau-liong. Sesaat ia tak dapat bicara.
"Jauh-jauh aku datang
kemari, adalah karena hendak membela kepentingan dunia persilatan. Selain itu,
aku hendak minta bantuan sicu."
Siau-liong terkejut. Pikirnya,
dia tak kenal dengan paderi itu. Bahkan pernah bertempur tetapi mengapa
sekarang hendak minta bantuannya?
Menilik sikap Liau Hoan yang
terkejut karena mengetahui ia telah memiliki ilmu sakti Thian-kong-sin-kang, ia
duga paderi itu tentu serupa dengan Lam-hay Sin-ni dan lain-lain orang. Ialah
merasa gentar.
"Aku belum kenal dengan
losiansu. Mengapa losiansu hendak minta tolong padaku?" tanyanya.
Dengan terus terang, Liau Koan
menyahut, “ Walaupun belum kenal pada sicu tetapi kenal akan ilmu
Thian-kong-sin-kang. Terus terang hendak kukatakan. Jika bukan karena ilmu
Thian-kong-sin-kang itu, tak nanti aku datang kesini....”
"Ah, sayang losiansu agak
terlambat. Thian-kong-sin-kang telah kuperoleh dan losiansu terpaksa harus
kembali dengan tangan kosong! " Siau-liong tertawa dingin.
Liau Hoan tertawa, “Sama
sekali tidak terlambat. Bahwa Thian-kong-sin-kang sicu yang mendapatkan,
sungguh patut membuat orang girang. Menandakan bahwa segala apa di dunia ini
memang sudah mempunyai ketentuan sendiri."
Ia berhenti sejenak lalu
berkata pula, “Sama sekali aku tak mempunyai kemilikan apa-apa, melainkan hanya
hendak minta bantuan sicu akan sebuah hal."
“Entah apakah yang losiansu
hendak suruh aku mengerjakan itu?"
Kata Liau Hoan, “Sehabis sicu
menyelesaikan urusan sicu, kuminta sicu datang kegunung Thian-san. Dengan
pinjam ilmu Thian-kong-sin-kang yang sicu miliki, untuk menghimpaskan cita-cita
dalam hidupku yang belum terlaksana....”
Dengan mata meminta, Liau Hoan
menatap Sian-liong, “Kujamin, bantuan sicu itu akan merupakan pahala yang tiada
ternilai harganya."
Siau-liong tak mempunyai
selera untuk menanyakan urusan itu. Karena ia sudah merasa bahwa hidupnya
takkan lama. Banyak beban kewajiban dibahunya tetapi apa daya, tenaganya sudah
tak mencukupi lagi.
Akhirnya ia menyahut dengan
tertawa rawan, “Asal aku masih hidup di dunia, tentulah akan kulakukan perintah
losiansu itu."
"Ucapan seorang lelaki,
terpaku laksana sebuah gunung. Harap sicu jangan menyesal" seru Liau Hoan.
Siau-liong tertawa tawar,
“Besuk pertengahan musim rontok tahun depan, apabila aku masih hidup, tentu
akan kegunung Thian-san melaksanakan permintaan losiansu. Tetapi....” ia
menghela napas, "ah, sekalipun mendapat berkah dari Allah, hidupku pun
hanya sampai pada pertengahan musim rontok tahun depan!"
Habis berkata ia memandang ke
arah Po Ceng-in tetapi tak bicara apa-apa.
Liau Hoan tertawa tak acuh, “
Dengan janji ini, sicu telah meluluskan permintaanku!"
Saat itu Lu Bu-ki yang sejak
tadi berjalan mondar-mandir diruangan, rupanya sudah habis kesabarannya Segera
ia menghampiri Siau-liong dan berseru lantang, “Kongsun-siauhiap, apakah kita
tetap menunggu disini saja?"
“Lalu saudara Lu mempunyai
pendapat bagaimana?" Siau-liong balas bertanya.
“Jika menurut pendapatku,
lebih baik kita menerobos keluar. Bila bertemu kedua suami isteri durjana itu,
kita tempur saja agar lekas dapat kita ketahui mati atau hidup. Lebih baik
begitu daripada dadaku terhimpit kesesakan hawa amarah!"
Lu Bu-ki, orangnya tinggi
besar, tenaganya gagah perkasa dan wataknya berangasan.
Memandang keluar, Siau-liong
tak tahu saat itu sudah jam berapa maka ia menanyakan hal itu kepada Lu Bu-ki.
"Saat ini tentunya
matahari sudah terbenam," sahut Lu Bu-ki.
"Telah kuminta kepada
wanita berambut kelabu itu untuk menyampaikan kepada Iblis Penakluk-dunia,
bahwa setelah Matahari terbenam harus membebaskan para tawanan....”
Lu Bu-ki cepat menukas, “Ah,
tak mungkin! Menilik kelicikan kedua iblis itu....”
"Akupun sudah tahu kalau
mereka tentu takkan berbuat begitu. Tetapi sekalipun hendak tinggalkan tempat
ini kita juga harus tunggu sampai hari baru agak aman!" kata Siau-liong.
Liau Hoan siansu tiba-tiba
menyelutuk, “Menurut hematku, paling lama dalam waktu sejam, tentu akan terjadi
perobahan. Kedua suami isteri durjana itu tentu sudah siapkan rencana untuk
menghadapi kita!"
Rupanya pendapat paderi sakti
itu disetujui sekalian orang. Jika mereka bersabar menunggu, tentulah pihak
Iblis Penakluk-dunia tak dapat tinggal diam.
Terutama adalah Song Ling yang
gelisah. Seumur hidup, belum pernah ia berpisah sehari pun dengan ibunya. Tak
kira kalau ibunya telah ditawan Iblis Penakluk-dunia sehingga hancur luluhlah
hati dara itu.
Ia paksakan diri untuk
melakukan pernapasan beberapa saat. Setelah itu ia membuka mata lagi dan
memandang Siau-liong.
Saat itu ruangan makin gelap.
Rupanya sudah petang hari. Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring memanjang.
Jelas orang itu menggunakan ilmu tertawa Mengacau-gelombang-udara sehingga
sukar diduga berapa jauhnya jarak orang itu.
Tetapi Siau-liong dan sekalian
kawan-kawan mengetahui bahwa yang tertawa itu adalah Iblis Penakluk-dunia.
Begitu pula merekapun dapat menerka bahwa iblis itu berada dalam biara tua
situ.
Sekalian orang pun menyadari
bahwa tertawa itu merupakan tanda permulaan musuh hendak bertindak. Teganglah
seketika hati mereka. Segera mereka siap-siap.
Setelah memberi isyarat,
Siau-liong dan Song Ling mengambil tempat, duduk dikanan kiri Poh Ceng-in.
Selekas tertawa itu lenyap,
terdengarlah suara bentakan menggeledek, “Laknat tua!"
Sekalian orang terkesiap.
Siau-liong berdebar-debar. Ia
duga Iblis Penakluk-dunia tentu sudah mengetahui rahasia penyamarannya. Kalau
tidak, mengapa dia memanggil dengan sebutan begitu.
Syukurlah Iblis Penakluk-dunia
tak melanjutkan panggilan itu dan tertawa lagi. Tiba-tiba ia berseru dengan
lain panggilan, “Kongsun-hiapsu!"
Siau-liong hendak menjawab
tetapi Lu Bu-ki tak dapat bersabar lagi terus membentak, “Iblis tua, jangan
coba-coba jual tingkah dihadapan tuan besarmu! Kalau berani hayo keluar dan
bertempur secara terang-terangan saja!"
Iblis Penakluk-dunia telap
tertawa, “Aku tak punya tempo adu mulut dengan kalian. Ketahuilah, engkau tak
pantas bicara dengan aku!"
Rambut dan jenggot Lu Bu-ki
meregang tegak. Dengan menggemhor keras ia terus mencabut cambuk besi dan
hendak menerjang. Tetapi dibentak Siau-liong supaya berhenti. Si tinggi
tertegun dan tegak terlongong.
"Kalau dalam soal kecil
tak dapat menahan perasaan, pekerjaan besar tentu terbengkalai. Kalau saudara
hendak maju sama halnya sepenggal anai-anai membentur api. Mengantar jiwa
secara sia-sia. Lebih baik bersabar dulu beberapa saat lagi," kata
Siau-liong.
"Keadaan saat ini, lambat
atau laun tentu harus bertempur. Mengapa tak sekarang saja kita menyerbu
keluar?" teriak Lu Bu-ki.
"Musuh ditempat gelap dan
kita di tempat terang. Menyerbu dengan membabi buta, hanya akan mengantar diri
ke dalam jebakan si iblis. Tetapi jika berlaku tenang menunggu gerakan lawan,
sekurang-kurangnya kita dapat menahan musuh!" kata Siau-liong.
"Siancai! Siancai!"
sahut Liau Hoan, Kongsun-siauhiap benar tak kecewa menjadi pewaris ilmu sakti
Thian-kong-sin-kang!"
Walaupun Lu Bu-ki sudah makin
percaya bahwa Siau-liong memang telah memperoleh ilmu Thian-kong-sin-kang yang
sakti, tetapi karena belum menyaksikan sendiri anak muda itu menggunakan ilmu
sakti tersebut, diam-diam Lu Bu-ki merasa penasaran. Ia mendengus lalu berputar
tubuh tak jadi menerobos ke luar.
Terdengar kata-kata Iblis
Penakluk-dunia pula, “Budak she Kongsun, baik bertanding silat maupun
kecerdasan, aku tak mungkin kalah dengan engkau. Hanya peristiwa engkau
berhasil menemukan kitab pusaka Thian-kong sin-kang itulah yang membuat aku
kagum tak terhingga. Tetapi aku tetap mempunyai daya untuk menghadapi engkau.
Karena kitab pusaka itu sudah terlanjur engkau ambil, maka tiada jalan lain
kecuali membunuhmu sebelum engkau dapat mempelajari ilmu itu!"
Siau-liong tertawa dingin.
Iapun gunakan Mengacau-gelombang-hawa, tertawa, “Iblis tua, batas tempo yang
kuberikan sudah habis. Jika tak mau menurut perintahku, jangan menyesal kalau
kubunuh puterimu "
Iblis Penakluk-dunia tertawa
keras, “Budak Kongsun! Selama hidup aku tak pernah menerima tekanan orang....
Selembar rambut anakku engkau rontokkan, tentu akan kusiksa para tawanan itu
dengan cara yang ganas.”
Tiba-tiba Poh Ceng-in
bergeliat dan berseru keras, “Yah, jangan hiraukan dia! Lekas bunuh saja semua
orang tawanan itu! Jika ayah mau membunuh kedua gadis itu. berarti ayah sudah
membalaskan sakit hatiku, Karena aku.... toh harus mati....”
Siau-liong marah. Ia segera
menutuk jalan darah perempuan itu sehingga ia tak dapat berkutik kecuali masih
dapat bernapas saja.
Iblis Penakluk-dunia tertegun
sampai lama baru membentak, “Budak Kongsun, akan kuturut permintaanmu untuk
membebaskan para tawanan itu!"
Habis berkata, Iblis
Penakluk-dunia termangu-mangu sehingga keadaan dalam ruang biara rusak itu
sunyi senyap lagi.
50. Ibu Dan Anak
Saat itu hari pun sudah gelap.
Angin musim rontok menderu-deru di luar biara itu. Tetapi Siau-liong dan
sekalian rombongannya, tetap dapat melihat jelas keadaan di sekeliling situ.
Sepeminum teh lamanya,
tiba-tiba Lu Bu-ki berseru, “Ada orang datang kemari!"
Ternyata orang tinggi besar
itu menunggu di-muka pintu. Jika ada orang datang, dialah yang pertama
melihatnya.
Karena kuatir meninggalkan Poh
Ceng-in dari tempatnya jauh dari pintu maka ia tak dapat melihat jelas siapa
pendatang itu.
"Berapa orang?"
tanyanya.
Dengan masih memandang keluar
biara, si tinggi besar menyahut, “Hanya seorang!"
Siau-liong berpaling ke arah
Liau Hoan dan melambaikan tangan, “Harap losiansu suka datang kemari!"
Liau Hoan tiba-tiba melayang
ke samping Siau-liong. Sekalian orang terpesona melihat gerakan paderi sakti
itu. Dengan masih duduk, tubuhnya melambung sampai dua meter tingginya dan
ketika melayang disamping Siau-liong ternyata paderi itu masih duduk.
Sedikitpun posisi duduknya tak berobah.
Siau-liong dan Song-ling pun
terbeliak kaget.
"Pesan sicu apakah yang
perlu kusampaikan?" tanya Liau Hoan.
"Perempuan itu kuserahkan
lagi losiansu untuk menjaganya. Jika musuh berani menyerang kita, lekaslah
tutuk jalan darahnya!"
Dalam mengucapkan kata-kata
yang terakhir, Siau-liong sengaja perkeras suaranya.
Paderi Liau Hoan mengiakan.
Siau-liong cepat melesat kesamping pintu. Ah, ternyata gerombolan yang datang
itu berjumlah hanya seorang. Siau-liong kejut-kejut girang ketika mengetahui
pendatang itu bukan lain adalah Randa Bu-san.
Randa Bu-san berhenti dimuka
pintu biara. Setelah itu baru pelahan-lahan ayunkan langkah menuju ke ruang
biara.
Buru-buru Siau-liong memberi
hormat, “Ah, akhirnya bibi kembali juga. Puteri bibi, aku dan sekalian
kawan-kawan amat mencemaskan sekali nasib bibi."
Kemudian ia berpaling ke arah
Song Ling yang duduk disudut ruang. Dara itu ternyata terlongong memandang
ibunya. Dan pada lain kejap ia terus lari menghampiri seraya berseru gemetar,
“Ma, jika engkau tak kembali, aku tentu mati kebingungan!" — ia terus
jatuhkan diri dalam pelukan ibunya dan menangis tersedu-sedu.
Randa Bu-san juga berduka
sekali. Dipeluknya sang puteri seraya menghibur, “Nak, jangan menangis! Hatiku
tak keruan rasanya!"
Wanita itu menarik kerudung
sutera yang menutupi mukanya lalu mengusap airmata puterinya.
Tiba-tiba terdengar pula suara
tertawa nyaring dari Iblis Penakluk-dunia. Seketika wajah Randa Bu-san berubah.
Sepasang matanya memberingas memandang sekalian orang. Wajahnya tampak
menyeramkan sekali. Alisnya memancar sinar pembunuhan.
Pada saat matanya tertumbuk
pada tubuh Poh Ceng-in yang menggeletak di tanah, ia segera menghampiri.
Langkahnya amat sarat. Setiap langkahnya meninggalkan bekas tiga dim di tanah.
Melihat itu Siau-liong cepat
melesat kemuka wanita itu, serunya, “Cianpwe, engkau....”
“Menyingkirlah! " bentak
Randa Bu-san.
Song Ling yang masih
menggelendot di bahu Randa Bu-san, juga cemas melihat keadaan ibunya. Sambil
menarik lengan kiri ibunya, ia berseru, “Ma, engkau ini bagaimana?.... Engkau
mau apa?"
Randa Bu-san tertegun,
membelai rambut Song Ling, “Nak....”
Belum selesai ia mengucap,
tiba-tiba terdengar pula suara tertawa Iblis Penakluk-dunia melantang panjang.
Seketika tubuh Randa Bu-san gemetar lalu menarik lengannya yang dicekal Song
Ling dan memandang pula ke arah Poh Ceng-in. Sesaat ia lanjutkan langkah maju
menghampiri lagi.
Melihat itu Siau-liong
buru-buru berseru kepada Liau Hoan siansu, “Lekas buka jalan darah wanita
siluman itu dan tamparlah sekeras-kerasnya lukanya!"
Saat itu Randa Bu-san sudah
berada setombak jaraknya dengan Liau Hoan siansu dan Poh Ceng-in. Suatu jarak
yang tepat untuk menyerang.
Liau Hoan menatap lekat pada
Randa Bu-san tetapi iapun menurut perintah Siau-liong untuk membuka jalan darah
Poh Ceng-in lalu secepat kilat menampar telapak kaki Poh Ceng-in yang terluka.
Begitu terbuka jalan darahnya,
Poh Ceng-in hendak membuka mulut. Tetapi sebelum sempat berkata apa-apa, kakinya
ditampar. Ia menjerit ngeri dan pingsan lagi.
Secepat itu Siau-liong lalu
gunakan ilmu Mengacau-gelombang-udara, membentak Iblis Penakluk-dunia, “Iblis
tua, apakah engkau benar-benar tak menghendaki anak perempuanmu?"
Iblis Penakluk-dunia tertawa nyaring,
“Budak, aku hanya menurut kata-katamu untuk membebaskan tawanan....”
Tiba-tiba dari jauh terdengar
beberapa jeritan ngeri. Siau-liong terkesiap dan mendengarkan dengan penuh
perhatian. Dia tak asing dengan nada suara itu. Ya, tak salah lagi.... Mawar
Putih dan Tiau Bok-kun.
Siau-liong kertak gigi.
Wajahnya berobah pucat dan keringat dingin mengucur deras.
"Iblis tua,
hentikanlah!" bentaknya kepada Iblis Penakluk-dunia.
"Kalau begitu engkau pun
jangan menyiksa Ceng-ji. Aku menurut kata-katamu untuk membebaskan tawanan satu
persatu," seru Iblis Penakluk-dunia dengan nada longgar.
Saat itu jeritan Mawar Putih
dan Tiau Bok-kun pun berhenti. Randa Bu-san memandang lekat-lekat pada
Siau-liong. Tiba-tiba ia mendengus dingin merentang kedua tangannya terus
menyergap ketempat Poh Ceng-in.
Siau-liong terkejut. Ia
menyadari bahwa Randa Bu-san berada dibawah ilmu sihir Iblis Penakluk-dunia.
Sama halnya dengan Lam-hay Sin-ni, Jong Leng lojin dan lain-lainnya. Randa
Bu-san tentu mendapat perintah untuk merebut Poh Ceng-in. Kalau Poh Ceng-in
yang akan dijadikan sandera itu sampai direbut kembali oleh Iblis
Penakluk-dunia, akibatnya tentu hebat.
Gerakan menyambar dari Randa
Bu-san itu aneh dan dahsyat. Siau-liong tak sempat banyak berpikir lagi. Ia
menghantam kedua lengan Randa Bu-san.
Terpancar sinar keemasan dan
Randa Bu-san segera terpental tiga langkah ke belakang.
Dan saat itu Paderi Liau Hoan
pun sudah menyambar Poh ceng-in terus dibawa mundur beberapa langkah ke
belakang.
Setitik pun Randa Bu-san tak
menyangka bahwa ia bakal dipukul Siau-liong. Marahlah ia. Dengan mata
memberingas ia menatap Siau-liong,mendengus dingin lalu mengangkat hendak
menghantamnya.
Song Ling gugup dan cemas, Ia
menarik tangan Randa Bu-san sekuat-kuatnya seraya meratap, "Ma.... ma....”
Ternyata Randa Bu-san walaupun
lenyap kesadaran pikirannya, namun masih tetap teringat dan tak lupa pada
anaknya. Ia kerutkan dahi lalu turunkan tangan kanan, “Nak, mengapa engkau hari
ini? Mengapa engkau mengurusi urusanku!"
Song Ling banting-banting kaki
serunya, “Ma, apakah engkau benar-benar linglung? Mengapa hendak menghantamnya.
Apakah engkau lupa kalau pernah menolong jiwanya?" Dia kan orang baik....”
Randa Bu-san kerutkan alis,
membentaknya, “Nak, engkau tak mengerti hal ini. Dengarkan omonganku. Aku telah
mencarikan tempat yang baik bagimu. Kita bedua akan dapat menikmati kebahagiaan
selama-lamanya!"
Dengan berlinang-linang
airmata, Song Ling menangis, “Ma, apakah yang engkau maksudkan....?"
Mata Randa Bu-san berkeliar
dan memandang ke arah Poh Ceng-in lagi, lalu menudingnya, “Setelah mama
merebutnya, segera akan kuajakmu tinggalkan tempat ini."
Habis berkata ia terus
menghampiri ke tempat Liau Hoan siansu dan Poh Ceng-in.
"Ma, ingatlah! Mengapa
engkau sampai disesatkan mereka....!" teriak Song Ling seraya menarik
ibunya.
Karena tak menduga akan
ditarik dan Song Ling pun menarik dengan sekuat tenaga, Randa Bu-san
terhuyung-huyung mundur beberapa langkah dan hampir rubuh.
Setelah berdiri tegak, dengan
wajah membeku dingin, Randa Bu-san melengking, “Nak, apakah engkau benar-benar
hendak menentang ibumu?"
Kata-kata itu penuh mengandung
kemarahan.
Siau-liong yang menyaksikan
peristiwa itu, gelisah bukan main. Buru-buru ia berseru kepada Song Ling,
menganjurkan dara itu supaya berusaha menyadarkan pikiran Randa Bu-san agar
ingat akan peristiwa yang lalu.
Song Ling menurut. Ia segera
memeluk ibunya, “Ma, apakah engkau masih kenal pada anakmu?"
Randa Bu-san terpukau. Alisnya
mengerut penuh kedukaan. Ia paksakan tertawa, “Anak tolol ngoceh apa
engkau....!"
Dua butir air mata menitik
turun dari kelopak wanita itu. Lalu katanya rawan, “Mama hanya mempuanyai
seorang puteri tunggal. Masakkan aku bisa lupa kepadamu....”
Melihat ibunya dapat disentuh
perasaannya, dara itu buru-buru menyusuli kata-kata lagi, “Apakah mama masih
ingat mengapa kita datang kemari?"
Randa Bu-san menatap lekat
wajah puterinya sampai beberapa jenak. Kemudian berkata, “Anak tolol! Mengapa
engkau masih bertanya yang tidak-tidak!"
"Pertama, kami hendak
mencari Pendekar Laknat untuk membalas dendam sakit hati ayahku! Kedua,
walaupun kita tak kepingin mendapatkan kitab pusaka Thian-kong-sin-kang, tetapi
kita akan berusaha supaya ilmu sakti itu jangan sampai jatuh ke tangan kedua
durjana Iblis Penakluk-dunia!"
Wajah Randa Bu-san makin
terlongong. Matanya berkeliaran beberapa kali dan tiba-tiba ia menghela napas
panjang.
Song Ling mengguncang-guncang
tubuh ibunya pelahan-lahan, “Kata-kata itu, bukankah mama sendiri yang
mengatakan kepadaku? Mama sering mengatakan, perjalanan hidup di dunia ini
penuh aral bahaya. Hati manusia banyak yang culas Di dunia persilatan penuh
dengan duri dan perangkap. Tetapi mengapa mama sendiri sampai kena ditipu
orang....?"
Rupanya kata-kata Song Ling
itu dapat menyentuh nurani Randa Bu-san. Ia hanya terlongong-longong tak
berkata apa-apa.
Hati Siau-liong ikut rawan
menyaksikan adegan itu. Hampir saja ia mengucurkan air mata. Ia pernah ditolong
oleh wanita dari Bu-san itu. Ia anggap wanita itu selain berilmu silat sakti,
pun luas sekali pengetahuannya. Seorang wanita yang dapat digolongkan tingkat
cianpwe. Siau-liong serasa disayat sembilu hatinya melihat wanita itu sampai
kena diperalat suami isteri durjana Iblis Penakluk-dunia.
Siau-liong menyurut mundur
kesamping Liau Hoan, katanya, “Randa Bu-san nyata-nyata telah dikuasai Iblis
Penakluk-dunia. Sebagai seorang yang luas pengalaman, bagaimana pendapat
losiansu untuk menolongnya?"
Liau Hoan geleng-geleng
kepala, “Aku tak paham ilmu Hitam, dan lagi.... menilik kesadaran pikirannya
masih belum lenyap sama sekali, mengapa ia sampai tak dapat membedakan golongan
Hitam dengan Putih? Mengapa ia begitu linglung mau melakukan perintah Iblis
Penakluk-dunia? Hal ini benar-benar membingungkan pikiranku. Sebaliknya dapat
menawannya hidup-hidup dan pelahan-lahan memeriksa keadaannya. Mungkin kita
akan dapat menemukan sumber penyakitnya....”
Siau-liong mengela napas,
“Randa Bu-san adalah pewaris ilmu Ya-li-sin-kang. Merupakan tokoh kelas satu
dewasa ini. Untuk menangkapnya, bukanlah suatu hal yang mudah!"
Melihat mamanya masih belum
sadar. Song Ling menjerit, “Ma, masakan engkau tak tahu bahwa kedua suami
isteri Iblis Penakluk-dunia adalah durjana yang membahayakan dunia
persilatan?"
Ditengah malam yang sunyi,
kembali terdengar gelak tertawa nyaring dari Iblis Penakluk-dunia. Randa Bu-san
kerutkan alis. Selekas tertawa itu berhenti, tiba-tiba wajah wanita itu berobah
dan membentak Song Ling dengan bengis, “Nak, jangan sembarangan bicara. Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka adalah dua tokoh besar pada jaman ini. Jangan
engkau hina semau-maumu sendiri....”
Berhenti sejenak ia berkata
lagi, “Aku telah mengatur segala sesuatu untukmu. Kutanggung engkau tentu akan
bahagia. Tak nanti engkau mengalami nasib seperti mama dahulu?"
Tukas Song Ling:
"bukankah dahulu mama telah memberi nasehat dan pelajaran-pelajaran
padaku? Mah, apakah engku tak ingat lagi?"
Randa Bu-san menghela napas,
“Ah, itu memang kesalahan mama yang dulu!"
“Ma, mengapa engkau makin lama
makin linglung!" teriak song Ling seraya menggoncang-goncangkan tubuh
ibunya.
Randa Bu-san deliki mata.
Sekonyong-konyong ia menampar muka dara itu. "Plak".... karena tak
menyangka akan ditampar ibunya, Song Ling tak berjaga-jaga dan pipinya termakan
tamparan. Seketika matanya berbinar-binar, kepala pening, mulut mengucurkan
darah.
Rupanya Randa Bu-san masih
belum puas. Ia mendorong tubuh puterinya hingga terhuyung-huyung beberapa
langkah, lalu maju menghampiri Liau Hoan.
Sambil mendekap pipi sebelah
kanannya yang sakit, Song Ling menjerit, “Ma, jangan....” – dara itu terus
melesat ketempat Randa Bu-san.
Siau-liong terkejut. Ia tahu
bahwa Randa Bu-san memang sudah dikuasai Iblis Penakluk-dunia. Pikiran wanita
itu sudah linglung. Jika Song Ling tetap melibatnya, Randa Bu-san tentu marah
dan lupa. Wanita iiu tentu akan turun tangan sungguh-sungguh kepada puterinya
sendiri.
“Nona, mundurlah!"
Siau-liong cepat berseru mencegah Song ling seraya loncat menarik dara itu
dengan tangan kiri dan tangan kanan mendorong bahu Randa Bu-san.
Liau Hoan pun tangkas sekali.
Pada saat Randa Bu-san hendak merebut Poh Ceng-in, cepat sekali paderi itu
sudah membawanya menyingkir.
Karena kedua tangannya diikat
ke belakang punggung dan kakinya terluka. Poh Ceng-in tak dapat berbuat apa-apa
ketika paderi Liau Hoan yang bertubuh kurus itu membawanya kian kemari.
Randa Bu-san marah sekali.
Dengan melengking nyaring ia tinggalkan Poh Ceng-in yang dibawa Liau Hoan.
Berputar tubuh ia memandang Siau-liong tajam-tajam. Kini ia tumpahkan
kemarahannya kepada pemuda itu. Secepat kilat ia menghantam kepala pemuda itu!
Siau-liong terkejut. Ia
menyadari bahwa pukulan wanita itu bukan olah-olah hebatnya. Tak mau ia
menangkis dan buru-buru loncat menghindar ke samping seraya mendorong lagi bahu
wanita itu.
Song Ling pun makin bingung.
Ia menangis dan meraung-raung. Melihat Siau-liong bertempur dengan mamanya,
dara itu cepat lari menyerbu ke muka, “Jangan melukai mamaku! Ah....”
Sekalipun terpaksa harus
berkelahi, tetapi Siau-liong masih sadar pikirannya. Ia tahu bahwa Randa Bu-san
itu pernah menolong jiwanya. Ia tahu pula bahwa wanita itu memang bertindak di
luar kesadaran pikirannya sendiri karena telah dibius oleh Iblis
Penakluk-dunia. Maka beapapun halnya, ia tak mau mencelakai wanita itu.
Hanya saja ia mempunyai
kesulitan. Randa Bu-san memiliki ilmu sakti Ya-li-sin-kang, adakah ia mampu
menandingi dengan ilmu Thian-kong-sin-kang yang baru dipelajari kulitnya itu?
Apalagi ia masih menderita luka dalam yang parah.
Untunglah dalam melancarkan
serangan itu gerak Randa Bu-san tidaklah seperti orang sehat melainkan agak
ketolol-tololan. Ketika kedua pukulan saling beradu, Randa Bu-san dan
Siau-liong sama-sama mundur beberapa langkah.
Randa Bu-san menatap
Siau-liong dengan mata berapi-api seraya berkata seorang diri,
“Thian-kong-sin-kang, benar-benar Thian-kong sin-kang....” tiba-tiba ia
menghantam lagi.
Siau-liong mengandalkan
kelincahan untuk menghindar kian kemari. Setempo balas menyerang dari samping
untuk mendesak wanita itu mundur.
Dalam sekejap mata, ia sudah
lancarkan lebih dari duapuluh jurus. Angin menderu-deru, debu berhamburan. Song
Ling tak henti-hentinya menjerit dan menangis....
Bermula Siau-liong masih
kuatir kalau tak mampu menghadapi. Tetapi setelah duapuluh jurus berlalu,
timbullah kepercayaannya. Ia merasa bukan saja luka dalamnya tidak kambuh, pun
ilmu Thian-kong-sin-kang yang baru dipelajari sedikit itu, terasa tambah maju.
Saat itu ia merasa, setiap
pukulan atau tutukan jari serta tamparan, lebih dahsyat dari semula. Dan yang
lebih menggirangkan, setiap gerakan yang dilancarkan, tak perlu harus memikir
lama.
Sambil bertempur dengan Randa
Bu-san, otak Siau-liong berusaha keras untuk mengingat isi pelajaran kitab
pusaka Thian-kong-sin-kang. Teringat ia akan sebaris kata-kata yang terdapat
dalam kitab itu:
”Keinginan timbul dari
Pikiran. Pikiran tembus pada hati. Apabila Semangat dan Keinginan bersatu, Hati
dan Semangat saling kontak.... maka lahirlah.... Dalam Tenang timbul Gerak,
dalam Gerak timbul Tenang.... dan lain-lain.”
Berkat otaknya yang cerdas,
dapatlah Siau-liong menyelami kata-kata dalam kitab itu. Seketika meluaplah
kegirangannya. Seketika gerakannya makin cepat. Ia berlincahan mengepung Randa
Bu-san.
Si tinggi besar Lu Bu-ki dan
anak buahnya, bertugas untuk menjadi pintu belakang dan muka. Saat itu mereka
merasa dimuka pintu bermunculan beberapa sosok tubuh yang melangkah ke dalam
ruangan. Mereka berjumlah tujuh orang. Pakaiannya seragam warna biru. Muka
ditutupi sutera tipis. Dengan langkah lenggang mereka memasuki ruangan.
Lu Bu-ki berputar tubuh dan
menjerit, “Ada beberapa orang yang datang!"
Dalam pada berseru itu, si
tinggi besarpun melangkah menghadang pendatang yang berjalan paling muka dan
membentaknya, “Berhenti!"
Diluar dugaan ketujuh orang
baju biru tak mengacuhkannya. Bahkan orang yang berjalan paling depan, segera
ayunkan tangan menampar muka Lu Bu-ki.
Lu Bu-ki marah sekali. Dengan
menggerung laksana seekor harimau, ia menghindar lalu mencambuk dengan ruyung
besi. Ia gunakan jurus Burung-bangau-tebarkan-sayap.
Suasana senjap semakin kacau.
Lu Bu-ki bersama kedua pengawalnya segera bertempur dengan pendatang itu. Empat
orang baju hitam segera lari menghampiri tempat Song Ling.
Sambil bertempur lawan Randa
Bu-san, Siau-liong diam-diam mencuri kesempatan untuk memperhatikan kawanan
pendatang itu. Diam-diam Siau-liong makin gelisah.
Walaupun kawanan pendatang itu
sama mengenakan kain kerudung sutera menutup muka yang amat tipis, tetapi
karena hari makin gelap, sukar untuk menentukan pendatang-pendatang itu
tokoh-tokoh persilatan yang mana.
Untunglah Siau-liong memiliki
indera penglihatan yang luar biasa tajamnya. Ia tetap dapat melihat wajah-wajah
dibalik kain kerudung itu.
Ternyata pendatang-pendatang
berkedok kain sutera itu diantaranya terdapat It Hang, ketua partai
Siau-lim-si, Thi Bu-seng tokoh dari partai Tiam jongpay, ketua Ji-tok-kau Tan
I-hong, ketua perhimpunan Tong-thing-pang si Kipas Im-yang Cu Kong-leng dan
ketiga tokoh Kun-lun Sam-cu.
Lu Bu-ki bertiga bertempur
dengan Kun-lun Sam-cu. Sepuluh jurus kemudian, salah seorang anak buah Lu Bu-ki
tiba-tiba menjerit ngeri dan rubuh di tanah.
Tetapi si tinggi besar Lu
Bu-ki tak gentar. Ruyung besinya diputar laksana hujan deras. Untuk beberapa
saat ketiga tokoh dari Kun-lun-pay itu tak dapat melepaskan diri.
Paderi Liau Hoan meletakkan
Poh Ceng-in di sudut ruang lalu bersama Song Ling bahu membahu menghadapi
musuh.
Song Ling walaupun belum
sembuh sama sekali, tetapi ia sudah mendapat latihan dasar dari ilmu sakti
Ya-li-sin-kang. Pukulannya amat dahsyat. Sedangkan Liau Hoan sebagai seorang
tokoh sakti dalam dunia persilatan, sudah tentu memiliki kesaktian yang
menonjol.
It Hang totiang berempat,
untuk beberapa saat saat tak mampu berbuat apa-apa.
Walaupun pengetahuan
Siau-liong tentang ilmu Thian-kong-sin-kang sudah bertambah maju, tetapi untuk
mengalahkan Randa Bu-san, bukanlah soal yang mudah. Maka ia tak sempat lagi
untuk memperhatikan keadaan kawan-kawannya.
Suatu hal yang membuat gelisah
hatinya ialah apabila Iblis Penakluk-dunia menyuruh beberapa tokoh seperti
Lam-hay Sin-ni, Jong Leng lojin dan lain-lain, untuk maju. Tentulah akan lain
situasinya.
Kurang lebih sepeminum teh
lamanya, tiba-tiba diluar terdengar suara tertawa nyaring dari Iblis
Penakluk-dunia. Nadanya bagai senjata tajam yang menyayat-nyayat sehingga
Siau-liong dan kawan-kawannya ngeri.
Mendadak Randa Bu-san
menyerang hebat, Mulutnya mendesis-desis seperti seekor harimau yang
terengah-engah hendak menelan korbannya.
Demikiah It Hang totiang dan
ketujuh kawannya, mereka terkena pengaruh dari suara tertawa durjana itu. Mata mereka
terbuka lebar-lebar. Dengan menumpahkan seluruh kepandaian, mereka menyerang
kalap sepeiti orang kemasukan setan.