Jilid 31
Ciok Jing menjadi girang dan
merasa lega karena sang istri telah dapat menjelajahi sumber penyakit anak muda
itu.
“Nak, janganlah kau takut,”
kata Bin Ju pula dengan lembut, “karena sakit panas itu sehingga kau telah
melupakan segala apa di masa lampau, tapi perlahan-lahan daya ingatanmu pasti
akan pulih kembali.”
Namun Boh-thian masih
bersangsi. “Jadi kau benar-benar adalah ibuku dan... dan Ciok-cengcu adalah
ayahku?” tanyanya pula.
“Betul,” sahut Bin Ju dengan
tersenyum. “Nak, aku dan ayahmu telah mencari kau ke mana-mana, berkat Tuhan
yang maha pengasih, akhirnya kita bertiga telah dapat berkumpul kembali. Eh,
mengapa kau tidak... tidak lekas panggil ayah?”
Boh-thian percaya penuh bahwa
Bin Ju pasti tidak membohonginya, memangnya ia sendiri pun tidak punya ayah,
maka sesudah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia memanggil ayah pada Ciok Jing.
“Dan panggil juga ibu!” sahut
Ciok Jing dengan tersenyum.
Disuruh memanggil ibu kepada
Bin Ju bagi Ciok Boh-thian menjadi lebih sukar keluar dari mulutnya. Ia masih
ingat dengan jelas bahwa wajah ibunya sendiri sama sekali berbeda daripada Bin
Ju, ibunya yang menghilang itu rambutnya sudah mulai ubanan, sebaliknya rambut
Bin Ju masih hitam mengilap. Tabiat ibunya sangat keras, sedikit-sedikit lantas
marah-marah dan memaki, bahkan main pukul segala, sama sekali berbeda daripada
sikap Bin Ju yang ramah tamah ini.
Melihat air muka Bin Ju penuh
menaruh harapan akan panggilannya, bahkan kelihatan matanya menjadi basah
sesudah menunggu sekian lamanya belum lagi dipanggil, Boh-thian menjadi tidak
tega, akhirnya ia memanggil dengan suara perlahan, “Ibu!”
Sungguh girang Bin Ju tak
terlukiskan, terus saja ia merangkul Boh-thian sambil berseru, “O, anakku yang
baik!” berbareng air matanya sudah bercucuran pula.
Ciok Jing pun terharu,
pikirnya, “Kalau mengingat sepak terjang anak ini ketika di Leng-siau-sia dan
di tengah orang-orang Tiang-lok-pang, dosanya itu biarpun ditebus dengan
jiwanya juga belum cukup setimpal, mana dapat dikatakan sebagai ‘anak yang
baik’?”
Tapi mengingat anak itu
menderita penyakit hilang ingatan, ia merasa tidak enak untuk menegurnya
tentang perbuatan-perbuatannya.
Apalagi kalau diingat bahwa
kesalahan setiap orang harus diberi kesempatan untuk memperbaikinya, bukan
mustahil kelak anak ini akan berubah menjadi baik. Padahal kalau ditinjau lebih
mendalam, sejak kecil dia sudah berpisah dengan ayah-ibu, betapa pun dirinya
sebagai ayah harus bertanggung jawab karena kurang memberi didikan. Hanya saja
perbuatan tidak senonoh bocah inilah yang benar-benar telah membikin busuk nama
baik Hian-soh-siang-kiam (sepasang pedang dari Hian-soh-ceng) yang tersohor di
Kangouw selama ini.
Begitulah sesaat itu pikiran
Ciok Jing menjadi bergolak di samping gembira juga merasa menyesal dan gemas.
Melihat air muka sang suami
yang sebentar terang sebentar masam itu, segera Bin Ju dapat meraba apa yang
dipikirnya. Khawatir kalau suaminya mulai menanyai dosa Ciok Boh-thian cepat
Bin Ju berkata, “Engkoh Jing, Anak Giok, aku sudah sangat lapar, marilah kita
lekas mencari makanan.”
Ia lantas bersuit, sejenak
kemudian kedua ekor kuda hitam-putih lantas berlari mendatangi dari semak-semak
sana. “Nak, kau bersatu kuda tunggangan dengan ibu saja.”
Melihat sang istri sangat
gembira, hal ini jarang terjadi selama belasan tahun ini, maka Ciok Jing hanya
tersenyum saja dan lantas mencemplak ke atas kuda hitam.
Boh-thian dan Bin Ju bersama
menunggang kuda putih terus dilarikan menuju ke jalan besar. Tapi di dalam hati
Boh-thian tetap ragu-ragu dan tidak habis mengerti, “Apakah dia benar-benar
ibuku? Jika betul ibu yang membesarkan aku sejak kecil itu tentulah bukan ibuku
lagi. Sebenarnya yang manakah yang betul adalah ibuku?”
Begitulah tiga orang berdua
kuda telah melanjutkan perjalanan. Beberapa li kemudian, tiba-tiba terlihat di
tepi jalan ada sebuah kelenteng.
“Marilah kita sembahyang
dahulu ke dalam kelenteng,” tiba-tiba Bin Ju mengajak. Lalu ia mendahului
melompat turun terus masuk ke dalam kelenteng.
Terpaksa Ciok Jing dan
Boh-thian ikut ke dalam kelenteng. Padahal Ciok Jing mengetahui sang istri
selamanya jarang bersembahyang. Tapi sekarang dilihatnya Bin Ju sudah berlutut
di depan patung ji-lay-hud (Buddha) dan sedang menjura berulang-ulang.
Waktu ia berpaling ke arah
Ciok Boh-thian, tiba-tiba timbul rasa terima kasihnya, pikirnya, “Walaupun
bocah ini tidak genah kelakuannya, padahal cintaku kepadanya melebihi jiwaku
sendiri. Jika ada orang hendak membikin celaka padanya tentu aku akan
membelanya sekalipun nyawaku harus melayang. Hari ini kami ayah-ibu dan anak
dapat berkumpul kembali, sungguh Tuhan yang maha pengasih benar-benar sangat
memberkati kepadaku.”
Karena itu, tanpa merasa ia
pun berlutut dan menjura ke hadapan patung Buddha.
Boh-thian hanya berdiri saja
di samping, ia dengar Bin Ju memanjatkan doa dengan suara perlahan, “Mohon
Buddha memberkati agar penyakit putraku ini lekas sembuh. Dia masih terlalu
muda, biarlah segala dosanya ditanggung olehku sebagai ibunya, segala kutuk
hukuman ibunya yang akan memikulnya, asalkan putraku selanjutnya dapat membarui
hidupnya, bebas dari kesukaran dan bencana, hidup sejahtera dan bahagia.”
Suara Bin Ju itu sebenarnya
sangat lirih tapi dengan lwekang Ciok Boh-thian yang tinggi sekarang, dengan
sendirinya ia dapat mendengarnya dengan jelas. Seketika darahnya tersirap,
perasaannya terguncang, pikirnya, “Jika dia bukan ibu kandungku, masakah dia
sedemikian baiknya kepadaku? Selama ini aku ragu-ragu untuk memanggil ibu
padanya, aku benar-benar sudah terlalu linglung.”
Saking terharunya mendadak ia
terus menubruk maju terus merangkul pundak Bin Ju dari belakang sambil berseru,
“Ibu, O, ibu, kau benar-benar adalah ibuku!”
Dari panggilan ibu tadi keluar
dari mulutnya dengan sangat dipaksakan adalah sekarang panggilan Boh-thian ini
benar-benar timbul dari lubuk hatinya yang tulus. Sudah tentu Bin Ju dapat
mendengar dari nada suaranya itu, dengan terharu ia lantas berpaling dan balas
memeluk sambil berseru, “O, anakku yang bernasib malang!”
Dasar watak Ciok Boh-thian
memang jujur dan berbudi, ia menjadi teringat kembali kepada “ibu” yang pernah
selama belasan tahun di atas gunung yang sunyi itu, walaupun dirinya
diperlakukan dengan kurang baik, tapi ibu dan anak telah hidup berdampingan
sekian lamanya, betapa pun hatinya juga merasa berat. Maka ia telah bertanya
pula, “Dan bagaimana dengan ibuku yang dahulu itu? Apakah... apakah dia memang
membohongi aku?”
“Bagaimana macamnya ibumu yang
dahulu itu? Coba kau terangkan pada ibu,” kata Bin Ju sambil membelai-belai
rambut Ciok Boh-thian.
“Dia... dia punya rambut sudah
agak putih, jauh lebih pendek daripadamu, dia pun tak bisa ilmu silat, dia
sering marah-marah sendiri, terkadang marah-marah padaku dengan mata melotot,”
demikian tutur Boh-thian.
“Kau bilang dia adalah ibumu,
apakah dia pun panggil anak padamu?” tanya Bin Ju.
“Tidak, dia panggil aku
sebagai ‘kau-cap-ceng’!” sahut Boh-thian.
Hati Ciok Jing dan Bin Ju
tergerak semua, pikir mereka, “Wanita itu memanggil Anak Giok sebagai
kau-cap-ceng (anak anjing campuran), teranglah karena dia terlalu benci kepada
kami suami-istri, jangan-jangan... jangan-jangan adalah wanita hina itu?”
Maka cepat Bin Ju tanya pula,
“Apakah ibumu itu bermuka bundar telur, kulit badannya sangat putih, kalau
tertawa terdapat dekik di atas pipinya?”
“Bukan,” sahut Boh-thian
sambil menggeleng. “Ibuku itu berpipi gemuk dan kekuning-kuningan, jarang
tertawa, juga tiada dekik di pipi apa segala.”
“O, kiranya bukan dia,” ujar
Bin Ju dengan menghela napas. “Nak, ketika di kelenteng kecil malam itu pedang
ibu telah melukai kau, bagaimana dengan lukamu itu?”
“Tidak apa-apa, hanya luka
ringan saja, beberapa hari lagi tentu akan sembuh,” sahut Boh-thian.
“Dan cara bagaimana kau lolos
dari cengkeraman Pek Ban-kiam?” tanya Bin Ju pula. “Anak kita benar-benar
hebat, sampai ‘Gi-han-se-pak’ juga tidak mampu menawannya.”
Kata-kata terakhir ini dia
tujukan kepada Ciok Jing dengan rasa bangga.
Ciok Jing sendiri memang
sangat kagum kepada kepandaian Pek Ban-kiam setelah pertandingan di kelenteng
Toapekong tempo hari. Maka ia pun setuju atas ucapan sang istri. Ia hanya
menjawab, “Ah, jangan terlalu memuji padanya, nanti terlalu memanjakan dia.”
Tapi Ciok Boh-thian lantas
menerangkan, “Bukan aku sendiri yang meloloskan diri, tapi Ting-samyaya dan si
Ting-ting Tong-tong yang menyelamatkan aku.”
Ciok Jing dan Bin Ju
terperanjat mendengar namanya Ting Put-sam itu, cepat mereka tanya keterangan
lebih lanjut.
Karena cerita ini agak
panjang, maka Ciok Boh-thian lantas menguraikan dengan jelas tentang cara
bagaimana Ting Put-sam dan si Ting Tong telah menolongnya, kemudian Ting
Put-sam hendak membunuhnya, tapi Ting Tong telah mengajarkan kim-na-jiu-hoat
padanya dan akhirnya dia terlempar ke dalam perahu yang lain.
Bin Ju lantas menanyakan pula
kejadian-kejadian sebelumnya, terpaksa Boh-thian menuturkan cara bagaimana ia
telah dinikahkan dengan si Ting Tong oleh Ting Put-sam dan cara bagaimana
ditawan oleh Pek Ban-kiam di markas besar Tiang-lok-pang. Kemudian ceritanya
melompat kejadian berikutnya, di mana dia telah bertemu dengan Su-popo dan A
Siu di Sungai Tiangkang serta bertanding melawan Ting Put-si, lalu cara
bagaimana Su-popo telah menerimanya sebagai murid pertama Kim-oh-pay ketika
mendarat di Ci-yan-to. Sesudah itu dia ditinggal pergi si nenek dan A Siu, lalu
menemukan kapal mayat Hui-hi-pang, akhirnya dia ketemu dengan Thio Sam dan Li
Si serta mengangkat saudara dengan mereka. Ia menceritakan seluruhnya sehingga
sampai di sarang Tiat-cha-hwe dan akhirnya kesasar ke dalam Siang-jing-koan.
Apa yang telah dialaminya di
dunia Kangouw itu memangnya sudah membikin bingung padanya, sekarang dia
disuruh cerita, sudah tentu terjungkir balik tiada teratur. Namun Ciok Jing dan
Bin Ju selalu tanya secara teliti sehingga akhirnya sebagian besar cerita Ciok
Boh-thian itu dapatlah dipahami mereka.
Begitulah makin mendengar
cerita itu makin terheran-heran Ciok Jing berdua, pikiran mereka pun semakin
tertekan. Waktu Ciok Jing menanyakan cara bagaimana Boh-thian bisa masuk ke
dalam Tiang-lok-pang, maka anak muda itu lantas menguraikan cara bagaimana dia
dibawa Cia Yan-khek ke atas Mo-thian-kay sehingga mendapat ilmu menangkap
burung dari jauh, kemudian ia putar kembali ceritanya mengenai dahulu ia pernah
terima persen dari Bin Ju di depan warung siopia ketika bertemu dengan Bin Ju
di sana.
Sudah tentu Ciok Jing dan Bin
Ju sama sekali tidak menduga bahwa si pengemis kecil yang kotor dekil yang
pernah dijumpai di Hau-kam-cip dahulu itu ternyata bukan lain adalah putranya
sendiri. Bila teringat keadaan si pengemis kecil yang terlunta-lunta dan harus
dikasihani itu, kembali Bin Ju merasa pilu hatinya.
Diam-diam Ciok Jing juga
membatin, “Kalau dihitung menurut waktu pertemuan di Hau-kam-cip tempo dulu
itu, tatkala mana bocah ini toh belum lama melarikan diri dari Leng-siau-sia.
Mengapa Kheng Ban-ciong dan kawan-kawannya bisa pangling kepada Anak Giok ini?”
Berpikir demikian, segera Ciok
Jing mengamat-amati pula air muka “Ciok Tiong-giok”. Ia merasa muka si pengemis
kecil yang sekilas pernah dilihatnya di Hau-kam-cip dahulu itu samar-samar
sudah tak teringat olehnya, yang masih jelas adalah pakaiannya yang
compang-camping dan mukanya yang kotor saja. Lalu terpikir lagi, “Sejak dia melarikan
diri dari Leng-siau-sia, sepanjang jalan ia hidup dari mengemis, sudah tentu
mukanya menjadi dekil, bukan mustahil malah dia yang sengaja membikin kotor
mukanya supaya tidak mudah dikenali orang sehingga Kheng Ban-ciong dan
kawan-kawannya menjadi pangling. Aku pun sudah berpisah sekian tahun lamanya,
perubahan anak kecil juga sangat cepat, dengan sendirinya aku lebih-lebih
pangling lagi.”
Setelah ragu-ragu sejenak
kemudian Ciok Jing coba bertanya, “Waktu di depan warung siopia tempo dulu, apa
kau tidak merasa takut ketika melihat Kheng Ban-ciong dan para susiokmu yang
lain?”
Sebenarnya Bin Ju tidak suka
sang suami menyinggung urusan Swat-san-pay itu, tapi karena sudah diucapkan,
untuk mencegahnya juga tidak bisa lagi, ia hanya mengerut alis, ia khawatir
sang suami terus mengusut perbuatan-perbuatan putranya yang tidak senonoh.
Tak terduga Ciok Boh-thian
telah menjawabnya, “Kheng Ban-ciong? Orang-orang Swat-san-pay itu? Apakah
mereka benar-benar adalah susiokku? Tatkala itu aku tidak tahu mereka hendak
menangkap aku, dengan sendirinya aku tidak takut kepada mereka.”
“Kau tidak tahu mereka hendak
menangkap kau?” Ciok Jing menegas. “Kau... kau benar-benar tidak tahu Kheng
Ban-ciong adalah susiokmu?”
“Ya, tidak tahu,” sahut
Boh-thian sambil menggeleng.
Melihat wajah sang suami
sekilas agak masam, Bin Ju tahu Ciok Jing telah menahan rasa gusarnya sedapat
mungkin. Maka cepat ia membuka suara, “Nak, setiap orang tentu pernah berbuat
salah, asalkan insaf akan kesalahannya dan berani memperbaikinya rasanya
belumlah terlambat. Ayah dan ibu mencintai kau melebihi jiwanya sendiri, maka
segala apa tidak perlu kau merahasiakan, katakanlah terus terang segala sebab
musababnya kepada ayah-ibumu saja. Sebenarnya bagaimana sikap Hong-suhu
terhadap dirimu?”
“Hong-suhu? Hong-suhu yang
mana?” Boh-thian menegas dengan bingung. Tiba-tiba teringat olehnya ketika di
kelenteng Toapekong tempo hari ayah-ibunya pernah sebut-sebut namanya Hong
Ban-li, maka ia lantas menyambung pula, “Apakah kau maksudkan
Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li? Aku pernah mendengar kalian menyinggung
namanya, tapi aku tidak kenal dia.”
Ciok Jing dan Bin Ju saling
pandang sekejap. Segera Ciok Jing tanya pula, “Dan bagaimana dengan Pek-yaya
(Kakek Pek)? Tabiat beliau sangat keras bukan?”
“Pek-yaya siapa? Entah, aku
tidak pernah melihat dan tidak kenal dia,” sahut Boh-thian sambil geleng
kepala.
Menyusul Ciok Jing dan Bin Ju
bergilir menanyakan pula suasana dan keadaan Swat-san-pay di Leng-siau-sia,
tapi Ciok Boh-thian ternyata tidak mengetahui apa pun.
“Engkoh Jing, penyakitnya ini
terang terjadi sejak waktu itu,” kata Bin Ju kepada sang suami.
Ciok Jing mengangguk, tapi
diam saja.
Kiranya kedua orang sekarang
telah paham duduknya perkara, mereka menarik kesimpulan, “Anak Giok sudah mengalami
pukulan batin yang mahahebat sejak dia melarikan diri dari Leng-siau-sia, jika
bukan kepalanya terkena benda keras waktu di tempat perguruannya itu, tentu
disebabkan saking ketakutannya sehingga pikirannya menjadi linglung dan
melupakan segala kejadian di masa lampau. Tentang pengalamannya waktu di
Mo-thian-kay dan di Tiang-lok-pang, semuanya itu terjadi sesudah dia menderita
sakit hilang ingatan.”
Kemudian Bin Ju berusaha
menjajaki lagi kejadian-kejadian di masa kecilnya, tapi bicara ke sana kemari
Ciok Boh-thian hanya ingat pernah hidup di atas pegunungan yang sunyi, kerjanya
cuma menangkap burung dan memburu ayam hutan, lebih dari itu dia tidak dapat
menjelaskan lagi, seakan-akan sejak dia dilahirkan sehingga berumur belasan
tahun, masa hidupnya itu hanya kosong belaka tanpa sesuatu peristiwa.
“Anak Giok,” kata Ciok Jing
akhirnya, “ada suatu hal penting yang menyangkut mati-hidupmu di masa depan.
Tentang ilmu silat Swat-san-pay sebenarnya sampai berapa banyak telah kau
pahami?”
Boh-thian tampak termangu-mangu,
jawabnya kemudian, “Aku hanya menyaksikan orang-orang Swat-san-pay melatih ilmu
pedang di dalam kelenteng tempo hari, diam-diam aku pun mengingatnya sebagian
saja. Apakah lantaran ini mereka sangat marah padaku sehingga aku hendak
dibunuh oleh mereka? Ayah, itu Pek-suhu bersitegang mengatakan aku adalah murid
Swat-san-pay, entah apakah maksudnya? Anehnya mengapa di atas pahaku memang
benar terdapat bekas luka tusukan ilmu pedang mereka itu. Ai, sungguh aku pun
tidak habis mengerti akan hal ini.”
“Adik Ju, biar kucoba lagi dia
punya ilmu pedang,” kata Ciok Jing kepada sang istri. Lalu ia melolos pedangnya
dan menyambung pula, “Coba, boleh kau gunakan Swat-san-kiam-hoat yang telah kau
pahami itu untuk bergebrak dengan Ayah, sedikit pun kau tidak boleh
menyembunyikan kepandaianmu.”
Bin Ju lantas mencabut pedang
dan diserahkan kepada Ciok Boh-thian sambil tersenyum, maksudnya mendorong anak
muda itu agar melakukan apa yang dikehendaki Ciok Jing.
Ketika Ciok Jing mulai menusuk
dengan lambat, segera Ciok Boh-thian mengangkat pedang untuk menangkis, yang
dia gunakan adalah jurus “Siok-hong-hut-khi” (Angin Utara Mendadak Meniup),
gerakannya lamban, gayanya kaku dan banyak lubang kelemahannya.
Ciok Jing mengerut kening
melihat ketololan ilmu pedang anak muda itu, sebelum kedua pedang kebentur,
segera ia ganti serangan lagi sambil berkata, “Kau pun boleh balas serang
saja!”
“Baik!” sahut Boh-thian.
Mendadak pedangnya membacok dari samping, ia gunakan pedang sebagai golok
sehingga yang dia mainkan lebih mirip Kim-oh-to-hoat daripada disebut ilmu
pedang.
Dengan cepat Ciok Jing
mempergencar serangan-serangannya, pikirnya, “Betapa pun licin bocah ini juga
jangan harap akan dapat mengelabui diriku dalam hal ilmu silat. Setiap orang
yang menghadapi detik menentukan antara mati atau hidup tidaklah mungkin
berpura-pura lagi dalam permainan ilmu pedangnya.”
Karena pikiran ini, segera ia
mendesak lebih kencang pula, setiap serangannya selalu menuju tempat-tempat
berbahaya di tubuh Ciok Boh-thian.
Mau tak mau Boh-thian menjadi
kelabakan, dalam gugupnya untuk mempertahankan diri secara otomatis ia lantas
memainkan kepandaian ciptaannya sendiri, yaitu ilmu yang mirip ilmu golok dan
menyerupai ilmu pedang.
Dalam pada itu
serangan-serangan Ciok Jing bertambah gencar. Coba kalau lawannya bukan
putranya sendiri, niscaya dengan mudah dia sudah membikin tamat riwayatnya.
Pada jurus ke-11 jika mau dada Ciok Boh-thian tentu sudah ditembus oleh
pedangnya, ketika jurus ke-23 mestinya buah kepala anak muda itu pun dapat
ditebasnya menjadi dua, bahkan setiba jurus ke-28 pertahanan Ciok Boh-thian
menjadi terbuka semua, dadanya, perutnya, pundaknya, kakinya, semuanya dengan
gampang dapat dijadikan sasaran pedang.
Ciok Jing menoleh sekejap
kepada sang istri sambil menggeleng. “Sret”, menyusul pedangnya lantas menusuk
ke depan, perut Ciok Boh-thian segera terancam oleh ujung pedang. Keruan
Boh-thian kelabakan, ia coba menangkis sebisanya, “trang”, tahu-tahu pedang
Ciok Jing tergetar mencelat, berbareng dadanya terasa sesak, kontan ia
tersentak mundur beberapa tindak. Di bawah guncangan tenaga dalam Ciok
Boh-thian yang mahakuat itu, hampir-hampir saja ia tidak sanggup berdiri tegak
lagi.
“He, kenapakah kau, Ayah?”
seru Boh-thian kaget, cepat ia membuang pedangnya dan memburu maju hendak
memayang Ciok Jing.
Tiba-tiba Ciok Jing merasa
pening dan muak, lekas-lekas ia menutup pernapasan dan memberi tanda agar
Boh-thian jangan mendekatnya.
Kiranya sekali Ciok Boh-thian
sudah bergebrak dengan orang, dengan sendirinya racun yang mengeram di dalam
tubuhnya lantas terdesak keluar oleh tenaga dalamnya yang bergolak itu.
Syukurlah sebelumnya Ciok Jing sudah mengetahui seluk-beluk kepandaian putranya
sehingga tidak sampai roboh keracunan.
Khawatirkan diri sang suami,
cepat Bin Ju juga memburu maju untuk memayangnya, ia menoleh dan menegur
Boh-thian, “Ayah cuma menjajal kepandaianmu saja, mengapa kau begini sembrono?”
Boh-thian menjadi khawatir,
sahutnya cepat, “Ya, aku... aku yang salah, Ayah! Apakah kau terluka?”
Melihat bocah itu menaruh
perhatian secara tulus dan sungguh-sungguh kepadanya, diam-diam Ciok Jing
sangat girang dan terhibur. Ia tersenyum, sesudah mengatur napasnya, kemudian
ia menjawab, “Ah, tidak apa-apa. Adik Ju, jangan kau salahkan Anak Giok. Dia
memang benar belum memahami ilmu pedang Swat-san-pay, sebab kalau dia sudah
mahir, tentu dapat menyerang dan dapat menarik kembali dengan tepat, dengan
sendirinya dia takkan sembrono padaku. Tenaga dalam bocah ini benar-benar
sangat hebat, tokoh Bu-lim yang mampu menandingi dia boleh dikata sangat
terbatas.”
Bin Ju cukup kenal watak sang
suami yang biasanya tidak sembarangan memuji orang persilatan pada umumnya,
kalau sekarang dia memuji putra kesayangannya, hal ini menandakan kepandaian
Ciok Boh-thian memang benar-benar hebat. Tentu saja Bin Ju ikut bergirang,
katanya, “Tapi ilmu silatnya masih terlalu kaku, sebaiknya sang ayah memberi
petunjuk-petunjuk seperlunya.”
“Ketika di kelenteng tempo
hari bukankah kau sudah pernah mengajarkan dia?” ujar Ciok Jing dengan tertawa.
“Tampaknya dalam hal mendidik anak nakal si ayah yang keras harus menyerah
kepada sang ibu yang pengasih.”
Bin Ju tersenyum gembira,
katanya, “Kalian tentu sudah lapar, marilah kita mencari rumah makan.”
Sesudah mereka sampai di suatu
kota kecil dan tangsel perut seperlunya, kemudian mereka keluar kota menuju ke
suatu tempat yang sunyi. Di sini Ciok Jing lantas menguraikan letak saripati
ilmu pedang yang hebat. Dasarnya Ciok Boh-thian memang tidak bodoh, selama ini
dia telah banyak memahami pula berbagai macam ilmu silat, sekarang diberi
petunjuk pula oleh tokoh silat terkemuka sebagai Ciok Jing, sudah tentu ia
tambah cepat mengerti. Apalagi lwekang Ciok Boh-thian memangnya sudah sangat
tinggi dan melebihi jago kelas satu di dunia Kangouw, yang masih kurang baginya
hanya dalam hal pengalaman tempur saja.
Begitulah Ciok Jing dan Bin Ju
bergilir memberi petunjuk dan saling gebrak dengan Boh-thian, bilamana ada
sesuatu kesukaran segera mereka memberi petunjuk di mana perlu, dengan demikian
kemajuan Boh-thian terang jauh lebih pesat daripada waktu Bin Ju memberi
petunjuk secara diam-diam waktu bertemu di kelenteng Toapekong dahulu.
Karena tenaga dalam Ciok
Boh-thian teramat kuat, biarpun dia berlatih terus dari siang sehingga petang
tanpa berhenti dan mengaso, namun sedikit pun dia tidak kelihatan lelah, bahkan
napasnya tidak sampai terengah-engah. Sebaliknya Ciok Jing dan Bin Ju yang
memberi petunjuk secara bergilir malah mandi keringat dan merasa capek.
Secara ringkas saja
pelajaran-pelajaran itu telah berlangsung selama beberapa hari, kemajuan
Boh-thian sangat pesat, dari ilmu pedang ajaran ayah-ibunya sudah dapat
dipahaminya tujuh-delapan bagian.
Hian-soh-kiam-hoat memangnya
adalah ilmu pedang yang lihai, ditambah lagi tenaga dalam Ciok Boh-thian yang
mahakuat, kelak kalau bertemu lagi dengan Pek Ban-kiam, Ting Put-sam, dan Ting
Put-si dan lain-lain, andaikan Boh-thian belum dapat mengalahkan jago-jago tua
itu, paling sedikit ia pun sudah mampu mempertahankan diri.
Selama beberapa hari itu, di
kala mengaso atau di waktu makam, Ciok Jing dan Bin Ju masih terus berusaha
memancing Ciok Boh-thian menceritakan pengalamannya di masa lampau dengan
maksud membantunya memulihkan daya ingatannya. Akan tetapi Boh-thian hanya
dapat menceritakan dengan jelas tentang kejadian sesudah dia berada di
Tiang-lok-pang, sampai kejadian-kejadian kecil ia pun dapat menerangkan, tapi
ditanya sewaktu kecilnya, ketika tinggal di Hian-soh-ceng dan belajar silat di
Leng-siau-sia, semuanya ini ia hanya melongo saja tak bisa menjawab.
Pada hari itu, sesudah makan
siang, mereka bertiga kembali berada di bawah pohon yang biasanya mereka suka
duduk-duduk di situ dan mengobrol. Tiba-tiba Bin Ju menjemput setangkai ranting
dan menggores-gores di atas tanah, ia menulis empat huruf “Hek-pek-hun-beng”
(hitam dan putih harus dibeda-bedakan dengan tegas), lalu katanya, “Anak Giok,
apakah kau masih ingat keempat huruf ini?”
Boh-thian menggeleng-geleng
kepala, sahutnya, “Tidak, aku tidak bisa membaca.”
Ciok Jing dan Bin Ju terkejut
semua. Padahal waktu anak mereka meninggalkan rumah Bin Ju sudah mengajarkan
membaca kepadanya, kitab-kitab yang sederhana sebagai “Sam-ji-keng” (kitab
aksara tiga), “Tong-si” (sanjak Tong) boleh dikata sudah dapat dihafalkan di
luar kepala, mengapa sekarang jawabnya tidak bisa membaca? Apalagi Wi-tek
Siansing dari Swat-san-pay terkenal serbapandai, baik ilmu silat maupun ilmu
sastra. Anak muridnya juga terkenal sebagai kaum cerdik pandai semua. Waktu
Ciok Jing memasrahkan Tiong-giok kepada Hong Ban-li dahulu juga dengan tegas
dinyatakan semoga anak itu mendapat didikan ilmu silat maupun ilmu sastra,
tatkala itu Hong Ban-li telah berkata dengan tertawa, “Pek-tehu (adik ipar Pek,
maksudnya istri Pek Ban-kiam) adalah sastrawan wanita di Leng-siau-sia kita,
biarkan dia yang mengajar putramu, tanggung tidak akan mengecewakan harapanmu.”
Tapi kini anak muda itu
ternyata mengaku buta huruf.
Tentang empat huruf
“Hek-pek-hun-beng” itu adalah tulisan di atas papan yang tergantung di pendopo
Hian-soh-ceng mereka, tulisan itu adalah sumbangan seorang tokoh Bu-lim
angkatan tua, maknanya cocok dengan sepasang pedang hitam-putih andalan Ciok
Jing dan istrinya, tapi juga mengandung pujian kepada mereka suami-istri yang
suka membela keadilan dan membantu kaum lemah untuk menumpas kejahatan.
Sebabnya Bin Ju menulis
keempat huruf yang dahulu sering dilihat putranya sejak kecil, mungkin dari
situ akan dapat mengingatkan dia kepada kejadian-kejadian di masa lampau, siapa
duga anak muda itu bahkan menjawab tidak dapat membaca.
Lalu Bin Ju menggores lagi
angka “satu” di atas tanah, tanyanya pula dengan tertawa, “Dan huruf ini kau
masih ingat tidak?”
“Tidak, huruf apa pun aku
tidak tahu, tiada yang pernah mengajarkan padaku,” jawab Boh-thian.
Pedih sekali hati Bin Ju, air
matanya lantas berlinang-linang lagi.
“Anak Giok, coba kau mengaso
dulu ke sebelah sana,” kata Ciok Jing kepada Boh-thian.
Setelah mengiakan, Boh-thian
lantas jinjing pedangnya dan menyingkir ke sana untuk berlatih sendiri.
Kemudian Ciok Jing telah
menghibur sang istri, “Adik Ju, penyakit yang diderita Anak Giok tampaknya
tidaklah enteng dan tak dapat disembuhkan dalam waktu singkat.”
Sesudah merandek sejenak, lalu
ia menyambung pula, “Seandainya dia memang sudah melupakan segala kejadian yang
lalu, hal ini pun bukanlah urusan jelek. Sepak terjang bocah ini di masa lampau
terlalu sembrono, walaupun sekarang agak... agak linglung, tapi tingkah lakunya
terang jauh lebih baik dan lebih prihatin. Hal ini boleh dikata merupakan suatu
kemajuan besar baginya.”
Bin Ju pikir apa yang
dikatakan sang suami itu pun ada benarnya, seketika dari sedih berubah menjadi
girang. Apa halangannya kalau cuma buta huruf saja, paling-paling diajarkan
lagi dari permulaan kan beres?
Tiba-tiba Ciok Jing berkata
pula, “Adik Ju, ada suatu hal yang aku tidak habis paham. Penyakit hilang
ingatan bocah ini terang sudah terjadi sewaktu dia meninggalkan Leng-siau-sia,
kemudian ia menderita sakit panas lagi, hal ini hanya semakin menambah parah
penyakitnya itu. Akan tetapi... akan tetapi....”
Mendengar ucapan sang suami
itu mengandung sesuatu teka-teki yang mendalam, mau tak mau Bin Ju ikut menjadi
tegang, cepat ia tanya, “Akan tetapi apa?”
“Bicara tentang kesusastraan
terang Anak Giok buta huruf,” kata Ciok Jing. “Bicara tentang ilmu silatnya
juga tidak terlalu mahir, hanya lwekangnya saja yang luar biasa. Bicara soal
pengalaman, pengetahuan dan tipu akalnya, semuanya lebih-lebih tiada yang dapat
dipilih. Padahal Tiang-lok-pang adalah suatu organisasi besar yang sangat
menonjol pada masa akhir-akhir ini, namanya sangat disegani oleh dunia
persilatan, mengapa... mengapa....”
“Ya, betul, mengapa mengangkat
seorang anak kecil sebagai Tiong-giok untuk menjadi pangcu mereka?” sambung Bin
Ju dengan manggut-manggut.
Ciok Jing merenung sejenak,
lalu sambungnya pula, “Waktu di Ciciu tempo hari kita pernah mendengar cerita
bahwa Ciok Boh-thian, Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang adalah seorang yang suka
main perempuan, tingkah lakunya culas dan licik, tapi ilmu silatnya sangat
tinggi pula. Sebenarnya tiada seorang pun yang tahu asal-usul Ciok-pangcu itu,
belakangan entah mengapa dia telah dapat dikenali oleh murid wanita dari
Swat-san-pay yang bernama Hoa Ban-ci, katanya dia adalah murid murtad
Swat-san-pay mereka, Ciok Tiong-giok, yang sedang dicari-cari oleh
perguruannya. Tapi kalau dilihat sekarang, segala apa tentang tingkah lakunya
culas licik dan ilmu silatnya sangat tinggi, ulasan-ulasan itu sesungguhnya
tidak tepat digunakan atas diri Tiong-giok.”
Dengan mengerut kening Bin Ju
menanggapi, “Ya, dahulu kita pikir usia Anak Giok memang masih muda, tapi
otaknya memang tajam, jika ilmu silatnya benar-benar telah maju pesat sehingga
dapat menjabat sebagai pangcu apa juga bukan sesuatu yang aneh, sebab itulah
kita tatkala itu sedikit pun tidak curiga, kita hanya berunding cara bagaimana
menyelamatkan dia dari pencarian Swat-san-pay. Akan tetapi melihat kelakuannya
sekarang, kukira... kukira....”
Sampai di sini mendadak ia
perkeras suaranya, “Ya, Engkoh Jing, kukira di balik urusan ini tentu adalah
suatu muslihat keji. Coba pikir saja, betapa cerdik pandai tokoh
‘Tio-jiu-seng-jun’ Pwe-siansing itu, masakah....” sampai di sini ia menjadi
takut sendiri, suaranya menjadi gemetar pula.
Ciok Jing sendiri berjalan
mondar-mandir dengan berpangku tangan, mulutnya tiada hentinya menggumam, “Ya,
mengangkat dia menjadi pangcu , mengangkat dia menjadi pangcu , apa maksud
tujuannya? Apa maksud tujuannya?”
Setelah dipikir
berulang-ulang, akhirnya jelaslah duduknya perkara baginya, segala apa yang
terjadi sangat cocok dengan persoalannya, cuma saja urusan ini terlalu
mengerikan, maka ia tidak berani lantas mengutarakan pendapatnya.
Waktu ia memandang sang istri,
sekilas sorot mata Bin Ju juga sedang menatap ke arahnya dengan penuh rasa
cemas dan khawatir.
Untuk sejenak suami-istri itu
saling pandang, habis itu mendadak mereka berseru berbareng, “Pengganjar dan
Penghukum!”
Ucapan ini cukup keras
sehingga dapat didengar oleh Ciok Boh-thian, segera anak muda ini mendekati dan
bertanya, “Ayah, ibu, sebenarnya macam apakah Pengganjar dan Penghukum itu? Aku
pernah mendengar nama itu dari orang-orang Tiat-cha-hwe, imam-imam Siang-jing-koan
itu pun pernah menyebut-nyebutnya.”
Ciok Jing tidak menjawab
sebaliknya malah bertanya, “Sewaktu kau mengangkat saudara dengan Thio Sam dan
Li Si, apakah mereka mengetahui kau adalah Pangcu Tiang-lok-pang?”
“Mereka tidak tanya, aku pun
tidak bilang, mungkin mereka tidak tahu,” sahut Boh-thian.
“Bagaimana keadaan mereka
ketika kau berlomba minum arak berbisa dengan mereka? Coba kau ceritakan lagi
dengan lebih jelas,” tanya Ciok Jing.
“Hah, apakah arak itu berbisa?
Mengapa aku tidak keracunan?” sahut Boh-thian dengan heran. Lalu ia pun
menuturkan lagi pengalamannya ketika bertemu dengan Thio Sam dan Li Si, di mana
mereka telah makan babi panggang dan minum arak sepuas-puasnya.
Ciok Jing mendengarkan dengan
diam saja, sesudah Boh-thian menutur, ia merenung sejenak, lalu berkata, “Anak
Giok, ada suatu hal harus kukatakan padamu, baiknya saat ini masih dapat
dicegah, maka kau pun tidak perlu khawatir.”
Sesudah merandek sebentar,
kemudian ia menyambung, “Pada masa 30 tahun yang lalu, banyak sekali di antara
gembong-gembong dan tokoh-tokoh Bu-lim dari berbagai golongan dan aliran
mendadak telah menerima undangan yang meminta mereka sebelum tanggal 8 bulan 12
supaya datang ke Liong-bok-to (Pulau Kayu Naga) di Laut Selatan untuk makan
Lap-pat-cok.”
“Ya, semua orang asalkan
mendengar tentang ‘Lap-pat-cok’ lantas sangat ketakutan, entah apa sebabnya?”
kata Boh-thian sambil manggut-manggut.
Namun Ciok Jing menyambung
terus, “Tokoh-tokoh dari berbagai golongan dan aliran itu semuanya adalah
orang-orang yang punya harga diri, ketika mereka menerima medali undangan....”
“Medali undangan? Apakah kedua
potong medali tembaga itu?” sela Boh-thian.
“Betul, tak-lain-tak-bukan
adalah kedua buah medali tembaga yang pernah kau rebut dari Ciau-hi Supek itu,”
sahut Ciok Jing. “Muka medali-medali itu masing-masing terukir wajah orang yang
sedang tertawa, ini mempunyai arti ‘pengganjar’, yaitu memberi ganjaran kepada
orang yang berbuat bajik, sebaliknya medali yang lain terukir wajah marah yang
berarti ‘penghukum’, yaitu pemberi hukuman kepada setiap kejahatan.
Pengirim-pengirim medali undangan itu adalah dua orang pemuda gemuk dan kurus.”
“Pemuda?” Boh-thian menegas.
Ia sudah menduga pengirim-pengirim medali-medali itu tentulah Thio Sam dan Li
Si, tapi demi mendengar pemuda, ia merasa tidak cocok pula dengan mereka.
“Apa yang terjadi itu adalah
di waktu lebih 30 tahun yang lalu, dengan sendirinya ketika itu mereka masih
muda,” ujar Ciok Jing. “Para pemimpin Bu-lim yang kebagian medali undangan itu
dengan sendirinya ragu-ragu, mereka menanyakan siapakah tuan rumah yang
mengundang itu, tapi kedua utusan itu menyatakan bahwa sesudah para tamu sampai
di tempat tujuan tentu akan tahu sendiri. Gembong-gembong persilatan itu ada
yang anggap sepele akan undangan itu dan menerimanya dengan tertawa, ada juga
yang marah-marah. Menurut kedua utusan itu, bila penerima undangan itu menepati
undangan itu, maka segalanya akan aman tenteram, sebaliknya kalau menolak, maka
golongan atau organisasi mereka ini pasti akan tertimpa bencana. Karena itulah
para pemimpin persilatan itu saling bertanya-tanya, ‘Hadir atau tidak?’
“Orang pertama yang menerima
medali undangan itu adalah Siau-san Totiang, Ciangbunjin Jing-sia-pay di Sucwan
Barat. Sambil tertawa ia mengerahkan tenaga dalam sehingga kedua medali tembaga
itu kena diremas menjadi dua potong tembaga rongsokan. Dengan memperlihatkan
kepandaiannya yang hebat itu Siau-san Totiang mengira kedua pemuda yang takabur
itu pasti akan kabur dengan ketakutan. Siapa duga, baru saja medali-medali itu dirusaknya,
kontan keempat tangan pemuda-pemuda itu pun sekaligus menghantam dada Siau-san
Totiang, tanpa ampun lagi tokoh persilatan di daerah Sucwan itu terbinasa
seketika.”
“Ah, sedemikian keji cara
mereka itu,” seru Boh-thian.
“Ya, serentak orang-orang
Jing-sia-pay juga lantas mengerubut maju,” sambung Ciok Jing. “Tatkala itu ilmu
silat kedua pemuda belum mencapai tingkatan setinggi seperti sekarang, segera
mereka merampas dua batang pedang, setelah membunuh tiga orang Tojin mereka
lantas melarikan diri. Namun demikian, kejadian tentang Jing-sia-pay
diubrak-abrik dan Siau-san Totiang dibunuh dua orang pemuda yang tak terkenal
dalam waktu singkat saja sudah lantas membikin geger dunia persilatan.
“Dua puluh hari kemudian,
Tiau-lopiauthau di Ekciu juga menerima medali undangan tersebut. Waktu itu
Tiau-lopiauthau sedang sibuk mengadakan perjamuan untuk merayakan ulang
tahunnya yang ke-60. Tamu-tamu yang hadir sangat banyak, tiba-tiba kedua pemuda
yang tidak diundang muncul di tengah perjamuan dan mengaturkan medali-medali
tembaga mereka. Memangnya sebagian besar para hadirin itu lagi ramai
membicarakan peristiwa Jing-sia-pay, sekarang diketahui kedua pemuda itu
mengacau pula ke situ, serentak mereka bergerak dan hendak menghajar kedua
pemuda itu. Tak terduga dengan gampang saja kedua pemuda itu dapat meloloskan
diri dari kepungan orang banyak. Bahkan tiga hari kemudian, keluarga
Tiau-lopiauthau sebanyak lebih 30 jiwa pada tengah malam buta semuanya telah
tewas. Di atas pintu rumah jelas terpaku dua bentuk medali tembaga muka tertawa
dan muka marah itu.”
“Pertama kalinya aku melihat
kedua medali tembaga itu adalah di pintu ruangan kapal Hui-hi-pang yang penuh
mayat itu,” kata Boh-thian dengan menghela napas. “Tak tersangka bahwa... bahwa
kedua medali itu mirip saja dengan kartu undangan yang dikirim oleh Giam-lo-ong
(raja akhirat).”
“Setelah kejadian itu tersiar,
segera ketua Siau-lim-pay tampil ke muka dan mengundang para pemimpin terkemuka
dari dunia persilatan untuk merundingkan cara menghadapi persoalan
medali-medali tembaga itu, berbareng penyelidik-penyelidik disebarkan untuk
mencari tahu jejak kedua utusan yang mengganas itu,” demikian Ciok Jing
melanjutkan ceritanya. “Namun kedua pemuda utusan itu benar-benar sangat licin,
sering kali mereka menyamar dan ganti rupa sehingga jejak mereka susah
diketemukan. Tapi bilamana orang-orang Bu-lim sudah mulai lengah, tahu-tahu
kedua pemuda itu muncul lagi untuk menyampaikan kedua medali panggilan.
“Bukan saja jejak kedua pemuda
itu susah diketemukan dan ilmu silatnya tinggi, malahan mereka pandai
menggunakan racun pula. Seperti Sian-pun Tianglo dari Siau-lim-pay, Kho-pek
Tojin dari Bu-tong-pay, mereka telah tewas semua sesudah menerima medali
undangan. Waktu menerima medali-medali itu tiada terjadi apa-apa, tapi lewat
sebulan kemudian mendadak mereka kena penyakit keras terus binasa. Menurut
perkiraan, tentulah kedua rasul Siang-sian dan Hwat-ok Sucia itu jeri kepada
ilmu silat Sian-pun Tianglo dan Kho-pek Totiang yang tinggi, mereka tidak mampu
melawannya, maka diam-diam mereka telah menaruh racun jahat di atas
medali-medali mereka, sesudah tangan menyentuh racun itu, akhirnya racun akan
bekerja dan membunuh sang korban. Anehnya racun itu sama sekali tidak memberi
tanda-tanda sebelumnya, tapi sekali sudah kumat, hanya dalam waktu satu jam
saja lantas binasa, sungguh lihainya susah dikatakan.”
Jilid 32
Ciok Boh-thian sampai
merinding mendengarkan cerita seram itu, katanya, “Masakah kedua
saudara-angkatku Thio Sam dan Li Si itu adalah manusia-manusia yang begitu
kejam? Mereka suka bermusuhan dengan orang-orang Bu-lim, sebenarnya apa maksud
tujuannya?”
“Entahlah, selama 30-an tahun
ini persoalan yang rumit ini tetap tak terpecahkan,” sahut Ciok Jing sambil
menggeleng. “Sesudah tewasnya tokoh-tokoh terkemuka seperti Siau-san Totiang
dari Jing-sia-pay, Tiau-lopiauthau dari Sucwan, Sian-pun Taysu dari
Siau-lim-si, Kho-pek Totiang dari Bu-tong-pay, mau tak mau pemimpin-pemimpin
Bu-lim yang lain menjadi kebat-kebit dan merasa tidak aman, mereka tidak berani
main kasar lagi, bila di antaranya ada yang menerima medali undangan, segera
disanggupi untuk hadir pada perayaan makan Lap-pat-cok itu. Jika demikian, maka
kedua rasul itu akan berkata, ‘Sungguh kami merasa mendapat kehormatan atas
kesediaan tuan akan hadir di Liong-bok-to, diharap pada hari dan bulan sekian
silakan menunggu di mana, pada waktunya tentu ada orang akan menyambut kalian
dengan perahu.’ – Begitulah, selama tahun undangan itu, tokoh-tokoh Bu-lim,
ciangbunjin, pangcu dari berbagai golongan yang telah menjadi korban keganasan
mereka itu ada 14 orang, selain itu ada 19 tokoh yang melaksanakan undangan
mereka. Akan tetapi ke-19 orang itu hanya dapat pergi saja dan tidak dapat
pulang, selama 32 tahun ini sedikit pun tiada berita-berita tentang nasib
mereka.”
“Terletak di lautan selatan
manakah pulau yang disebut Liong-bok-to itu?” tanya Ciok Boh-thian. “Mengapa
tidak mengumpulkan teman dan pergi menolong ke-19 orang itu?”
“Tentang Liong-bok-to itu
sudah ditanyakan kepada hampir seluruh nelayan dan ahli pelayaran, tapi tiada
seorang pun yang kenal nama pulau itu, tampaknya pulau itu hanya omong kosong
kedua pemuda itu saja,” tutur Ciok Jing lebih jauh. “Begitulah setahun demi
setahun telah lalu dengan cepat, selain keluarga-keluarga dari ke-33 orang yang
mengalami nasib malang itu, maka semua orang lambat laun sudah melupakan
peristiwa-peristiwa tersebut. Tak terduga 11 tahun kemudian, tahu-tahu medali
undangan itu muncul lagi di dunia Kangouw. Kali ini ilmu silat kedua rasul itu
sudah tambah maju lagi, hanya di dalam waktu 20-an hari saja beberapa ratus
orang dari berbagai aliran dan organisasi besar telah dibunuh oleh mereka.
“Keruan kejadian itu semakin
menggegerkan dunia Kangouw. Waktu itu tiga orang tertua Go-bi-pay lantas tampil
ke muka untuk mengumpulkan 20-an jago-jago pilihan, secara diam-diam mereka
sembunyi di markas Ang-jio-hwe (perkumpulan tombak merah) di daerah Holam untuk
menantikan kedatangan kedua pengganas. Tak terduga kedua pengganas itu seperti
serbatahu saja, mereka telah menghindari Ang-jio-hwe, bahkan tidak menginjak ke
dalam wilayah Holam, sebaliknya medali panggilan mereka masih terus disebarkan
ke tempat-tempat lain. Asal penerima medali undangan itu menyanggupi akan
hadir, maka segenap anggota keluarga penerima undangan itu akan aman tenteram,
jika tidak maka biarpun betapa keras dan rapatnya penjagaan, tentu segenap
anggotanya akan menjadi korban keganasan kedua orang itu.
“Tahun itu Soa-pangcu dari
Hek-liong-pang juga mendapat medali undangan, tatkala itu ia telah menyanggupi
akan hadir, tapi diam-diam ia telah memberitahukan waktu dan tempat perahu yang
akan memapaknya kepada Ang-jio-hwe. Maka tiba pada saatnya serentak ke-20 tokoh
persilatan itu lantas menuju ke tempat yang dimaksudkan. Akan tetapi sial bagi
mereka, entah siapa yang telah membocorkan rahasia mereka itu, ketika tiba
saatnya ternyata tiada seorang pun atau perahu yang datang menyambut. Mereka
coba menunggu lagi beberapa hari, namun satu demi satu di antara mereka itu
berturut-turut tewas keracunan.
“Keruan sisanya menjadi
ketakutan dan beramai-ramai mereka lantas bubar menyelamatkan diri. Akan tetapi
belum lagi sampai di rumah masing-masing, di tengah jalan mereka sudah mendapat
kabar, ada yang seluruh anggota keluarganya telah habis dibunuh orang, ada pula
segenap anggota organisasinya telah habis dibinasakan tanpa mengetahui siapa
pembunuhnya. Dalam tahun itu hanya ada tujuh orang tokoh saja yang telah
menumpang sebuah kapal lain menuju ke Liong-bok-to, tapi mereka pun bisa pergi
dan tak bisa pulang, besar kemungkinan mereka sudah terkubur di dasar lautan
yang susah dijajaki. Apa yang terjadi itu adalah peristiwa pada 21 tahun yang
lalu. Ai, benar-benar bencana besar bagi Bu-lim, kalau dipikir sungguh
menyeramkan dan menyedihkan!”
Ciok Boh-thian ingin tidak
memercayai cerita yang mengerikan itu, akan tetapi dengan mata kepala sendiri
ia telah menyaksikan terbunuhnya anggota-anggota Tiat-cha-hwe serta kapal mayat
orang-orang Hui-hi-pang, bahkan tanpa sengaja dia sendiri telah membantu Thio
Sam dan Li Si melakukan keganasan itu, kalau teringat sekarang sungguh ia
menjadi bergidik sendiri.
Ia dengar Ciok Jing telah
menyambung pula, “Selang 11 tahun kemudian, kembali kedua rasul itu muncul
lagi. Yang pertama menerima medali undangan adalah Bu-kek-bun di daerah
Kangsay. Setahun sebelumnya di antara pemimpin-pemimpin berbagai golongan dan
aliran sudah mengadakan musyawarah dan permufakatan, tak peduli siapa yang
menerima undangan, maka seluruhnya akan menerima dengan baik dan berjanji akan
hadir. Mereka telah bertekad kepada pemeo yang mengatakan ‘tidak masuk sarang
harimau, mana bisa mendapat anak harimau’. Mereka bertekad akan datang ke Liong-bok-to
untuk melihat keadaan yang sebenarnya, semua orang telah bersatu padu akan
menumpas musuh bersama dari dunia persilatan itu.
“Sebab itulah pada tahun
undangan itu, di mana medali undangan disampaikan sebegitu jauh tidak terjadi
korban jiwa, seluruhnya ada 33 orang yang telah menerima undangan, maka ada 33
orang yang akan hadir, akan tetapi ke-33 jago dan kesatria pilihan yang
terkenal cerdik pandai itu pun mengalami nasib yang sama, mereka bisa pergi dan
untuk selamanya tidak pernah pulang lagi, hilang tanpa bekas dan tanpa berita.
“Karena pengacauan
Liong-bok-to itu, maka jago-jago terkemuka Bu-lim selama ini menjadi terkuras
habis. Siang-jing-koan kami biasanya jarang berkeliaran di Kangouw, meski ilmu
silat ayah-ibumu berasal dari Siang-jing-koan, tapi dalam pergaulan selalu
menggunakan nama Hian-soh-ceng. Para paman gurumu yang berilmu silat tinggi itu
pun jarang bertarung dengan orang sehingga bagi penglihatan orang luar para
imam Siang-jing-koan dikira hanya orang-orang beribadat yang saleh dan tidak
paham ilmu silat....”
“Apakah lantaran mereka jeri
kepada Liong-bok-to?” Boh-thian memotong.
Untuk sejenak Ciok Jing tampak
serbaragu-ragu, katanya kemudian, “Para paman gurumu itu biasanya tidak pernah
bermusuhan dengan orang, mereka adalah imam-imam yang suci, tapi bila dikatakan
mereka jeri kepada Liong-bok-to, ya, memang benar juga. Maklum, biarpun kau
adalah tokoh Bu-lim kelas satu, biarpun punya pengaruh besar dan berkawan
banyak, asalkan menyebut ‘Liong-bok-to’, siapa pun akan kebat-kebit. Sungguh
tidak tersangka bahwa Siang-jing-koan yang sedemikian prihatin, akhirnya tetap
tak terhindar dari bencana.”
Habis berkata ia lantas
menghela napas panjang.
“Ayah ingin menjadi
Ciangbunjin Siang-jing-koan, katanya hendak menyelidiki keadaan Liong-bok-to
yang sebenarnya,” tanya Boh-thian pula. “Tapi kalau mengingat
pengalaman-pengalaman yang lalu, di mana tidak sedikit tokoh-tokoh terpandai
yang hanya bisa pergi dan tak bisa pulang, rasanya tugas ayah pun tidaklah
gampang dilaksanakan.”
“Ya, sudah tentu sangat
sulit,” ujar Ciok Jing. “Tapi kita biasanya memandang membantu kesukaan orang
sebagai kewajiban sendiri, apalagi urusan mengenai perguruannya sendiri,
masakah kita bisa berpeluk tangan tanpa peduli?”
Boh-thian mengangguk-angguk.
Tiba-tiba ia tanya, “Kau bilang kedua saudara angkatku Thio Sam dan Li Si itu
adalah kedua rasul dari Liong-bok-to yang menyampaikan medali undangan?”
“Itu sudah terang dan tidak
disangsikan lagi,” sahut Ciok Jing.
“Jika mereka adalah orang
jahat, mengapa mereka mau mengangkat saudara dengan aku?” kata Boh-thian dengan
heran.
Ciok Jing tertawa geli.
Katanya, “Waktu itu kau bicara dengan ketolol-tololan sehingga mereka tidak
dapat menolak. Apalagi sumpah yang mereka ucapkan itu adalah palsu dan tidak
dapat dianggap.”
“Sumpah palsu bagaimana?”
tanya Boh-thian.
“Thio Sam dan Li Si adalah
nama mereka yang palsu,” tutur Ciok Jing. “Mereka mengucapkan sumpah atas nama
Thio Sam dan Li Si, dengan sendirinya segala sumpah yang diucapkan hanya palsu
belaka.”
“O, kiranya demikian! Kelak
kalau bertemu lagi tentu aku akan menegur mereka.”
Sampai di sini Bin Ju yang
sejak tadi hanya tinggal diam saja tiba-tiba menyela, “Anak Giok, lain kali
kalau ketemu kedua orang itu hendaklah kau berlaku hati-hati. Tangan kedua
orang itu sudah penuh berlumuran darah, mereka biasa membunuh orang tanpa
berkedip, kalau pertarungan secara terang-terangan tidak menang mereka lantas
menyerang secara menggelap. Kalau menyerang secara menggelap tidak berhasil
mereka lantas menggunakan racun.”
“Ya, jangankan kau masih
sangat hijau dan pikiranmu jujur polos, sekalipun tokoh-tokoh yang jauh lebih
cerdik daripada kau juga susah menghindarkan diri dari keganasan kedua utusan
itu,” sambung Ciok Jing. “Maka bicara tentang hati-hati dan berjaga-jaga boleh
dikata sangat sulit. Sebaliknya, anak Giok, kalau lain kali bertemu lagi harus
serentak menggunakan pukulan mematikan, harus mendahului daripada didahului.
Walaupun cuma seorang saja di antara mereka yang dapat dibunuh juga sudah
terhitung mengurangi suatu bencana bagi Bu-lim.”
“Tapi... tapi kami adalah
kiat-pay-hiati (saudara angkat), masakah aku boleh membunuh mereka?” ujar
Boh-thian dengan ragu-ragu.
Ciok Jing hanya menghela napas
dan tidak bicara lagi. Ia pikir memang tidaklah patut untuk memaksa sang putra
membunuh saudara-saudara angkatnya sendiri.
“Engkoh Jing,” kata Bin Ju
dengan tertawa, “kau bilang anak Giok orang yang jujur polos, jadi sudah terang
putra kita telah berubah baik bukan?”
“Dia memang sudah berubah
menjadi baik,” sahut Ciok Jing sambil mengangguk. “Dan justru sebab itulah maka
ada orang ingin memperalat dia untuk menahan bencana yang akan menimpa mereka.
Anak Giok, apakah kau tahu sebenarnya apa maksud tujuan para pemimpin Tiang-lok-pang
itu mengangkat kau sebagai pangcu mereka?”
Sesungguhnya Ciok Boh-thian
memang bukan anak bodoh, hanya sejak kecil hidup di gunung bersama ibunya, di
waktu mudanya tinggal di atas Mo-thian-kay bersama Cia Yan-khek, kedua orang
juga jarang bicara, sebab itulah terhadap seluk-beluk dan lika-liku orang hidup
sama sekali tak dipahami olehnya. Sekarang demi mendengar uraian Ciok Jing
tadi, seketika dia sadar, tanpa terasa tercetus dari mulutnya, “Ya, mereka
mengangkat aku sebagai pangcu, jangan-jangan... jangan-jangan aku hendak
dijadikan tameng oleh mereka?”
Ciok Jing menarik napas lega,
katanya, “Ya, sebenarnya sebelum duduknya perkara dibikin jelas tidaklah pantas
mengukur jelek hati orang dan menilai rendah kesatria Kangouw, tapi kalau bukan
begitu, di dalam Tiang-lok-pang sendiri toh banyak terdapat tokoh-tokoh
terkenal, masakah seorang muda yang masih hijau sebagai dirimu yang diangkat
menjadi pangcu? Tiang-lok-pang itu adalah suatu organisasi besar yang baru
menonjol pada beberapa tahun terakhir ini, ketika kita bertemu di Hau-kam-cip
dulu di dunia Kangouw masih belum mengenal ‘Tiang-lok-pang’ apa. Menurut
perkiraanku, karena kemajuan pesat yang dicapai Tiang-lok-pang pada masa
akhir-akhir ini, maka para pemimpin Tiang-lok-pang telah memperhitungkan sudah
dekat dengan waktu munculnya medali undangan dari Liong-bok-to, sekali ini
Tiang-lok-pang mereka pasti akan menerima juga undangan itu, sebab itulah lebih
dulu mereka lantas memilih seorang yang mempunyai hubungan rapat dengan mereka
untuk diangkat menjadi pangcu, dan bila tiba saatnya, pangcu yang baru ini
lantas didorong ke depan untuk memikul segala bencana yang akan menimpa.”
Ciok Boh-thian sampai
terlongong-longong, sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa hati manusia
ternyata sedemikian licin dan kejamnya. Tapi perkiraan Ciok Jing itu memang
sangat masuk di akal sehingga mau tidak mau ia pun percaya penuh.
“Nak,” Bin Ju ikut berkata,
“nama Tiang-lok-pang di kalangan Kangouw sangat busuk, walaupun tidak terlalu
jahat, tapi soal merampok, mengganas dan perbuatan-perbuatan kekerasan lain
bukanlah sesuatu yang asing bagi mereka, lebih-lebih mereka tidak pantang
kecabulan, hal ini lebih-lebih tidak dapat dimaafkan oleh orang Bu-lim. Para
Thocu dan Hiangcu di dalam organisasi mereka itu bukanlah manusia baik-baik
semua, kalau mereka sengaja membikin perangkap untuk menjerat kau, hal ini pun
tidak mengherankan.”
“Hm, mereka sengaja mencari
orang untuk menjadi pangcu dan anak Giok memang pilihan yang paling tepat,”
jengek Ciok Jing. “Dia sudah melupakan kejadian-kejadian di masa yang lampau,
terhadap seluk-beluk dan lika-liku orang Kangouw juga tidak paham, Mereka cuma
tidak menyangka sama sekali bahwa pangcu muda mereka ini ternyata adalah
putranya Ciok Jing dan Bin Ju dari Hian-soh-ceng sehingga perhitungan mereka
belum pasti akan terlaksana dengan tepat.”
Sampai di sini, tangannya
memegang gagang pedang sambil memandang jauh ke timur, yaitu arah letak markas
pusat Tiang-lok-pang.
“Jika kita sudah mengetahui
tipu muslihat mereka, maka kita tidak perlu khawatir lagi,” kata Bin Ju.
“Untungnya anak Giok belum lagi menerima medali undangan. Lalu sekarang apa
yang harus kita lakukan, Engkoh Jing?”
Ciok Jing merenung sejenak,
jawabnya, “Kita bertiga harus datang ke Tiang-lok-pang untuk membongkar rahasia
mereka. Cuma dengan demikian mereka tentu akan malu dan menjadi kalap sehingga
besar kemungkinan akan terpaksa main kekerasan, padahal kita hanya bertiga,
pula kita perlu kesaksian beberapa orang terkemuka dari Bu-lim agar di kemudian
hari mereka tidak dapat merecoki anak Giok lagi.”
“Nyo Kong, Nyo-toako di
Ka-hin-hu, Ciatkang, adalah sahabat kental kita, pergaulannya juga sangat luas,
boleh kita minta dia tampil ke muka untuk mengajak kawan-kawan Bu-lim
bersama-sama berkunjung ke Tiang-lok-pang.”
“Usul ini sangat bagus,” kata
Ciok Jing dengan girang. “Kawan-kawan Bu-lim di sekitar Kanglam rasanya pasti
akan suka membantu kita suami-istri.”
Hendaklah maklum bahwa
hubungan Ciok Jing suami-istri dengan orang-orang Bu-lim biasanya sangat baik,
mereka suka membantu kesukaran kawan dan jarang minta bantuan orang lain.
Sekarang tiba-tiba mereka inginkan bantuan kawan-kawan itu, tentu saja dengan
gampang mereka akan mendapatkan bala bantuan secukupnya.
Begitulah mereka bertiga
lantas mengambil jalan ke arah timur menuju ke Ka-hin-hu. Tiga hari kemudian,
sampailah mereka dan bermalam di Liong-ki-tin. Kota kecil ini cukup ramai,
mereka bertiga bermalam di suatu hotel. Ciok Jing suami-istri mendiami sebuah
kamar besar di bagian depan, sedangkan Ciok Boh-thian memperoleh sebuah kamar
agak kecil di sebelah dalam. Mestinya Bin Ju hendak mencarikan sebuah kamar
besar bagi putra kesayangannya itu, tapi karena kamar-kamar sudah penuh tamu,
terpaksa apa adanya.
Malam itu Boh-thian duduk
bersila di atas tempat tidurnya, ia melatih ilmunya sehingga badan terasa segar
dan semangat penuh. Waktu ia periksa kedua telapak tangannya, ternyata noktah
merah dan garis-garis biru di tengah telapak tangan itu sudah samar-samar dan
hampir-hampir tak kelihatan lagi.
Ia tidak tahu bahwa kedua
botol arak berbisa itu sekarang sudah terbaur menjadi tenaga dalam yang
mahakuat di dalam tubuhnya, ia menyangka tentu kegiatannya berlatih selama
beberapa hari ini sehingga racun telah diusir keluar, maka ia menjadi girang,
lalu ia merebah dan tidur.
Sampai tengah malam, tiba-tiba
terdengar jendela bersuara gemeletak, ada orang sedang mengetok jendela dengan
perlahan.
Tepat Boh-thian bangun dan
tanya dengan suara tertahan, “Siapa?”
Tapi kembali terdengar suara
“tek-tek-tek” tiga kali, suara jendela diketok itu sudah sangat hafal baginya.
Hati Boh-thian berdebar, cepat ia tanya pula, “Apakah Ting-ting Tong-tong di
situ?”
Maka terdengarlah suara si
Ting Tong menjawab perlahan di luar jendela, “Sudah tentu aku adanya, memangnya
kau mengharapkan siapa?”
Boh-thian menjadi girang dan
gugup pula demi mendengar suara si nona, seketika ia sampai tidak sanggup
bicara lagi.
Tiba-tiba terdengar suara
“bret”, kertas jendela terobek, sebuah tangan menyelonong masuk, tahu-tahu
telinganya telah dijewer.
“Hayo, mengapa tidak lekas
membuka jendela?” demikian terdengar si nona berkata.
Boh-thian menjadi kesakitan,
tapi khawatir membikin kaget ayah-ibunya, maka ia tidak berani bersuara dan
lekas-lekas membuka daun jendela.
Segera Ting Tong melompat
masuk ke dalam kamar, ia mengekek tawa dan berkata, “Engkoh Thian, kau kangen
padaku atau tidak?”
“Aku... aku... aku....”
berulang-ulang Boh-thian menyebut “aku”, tapi tidak sanggup meneruskan lagi.
“Bagus, jadi kau tidak kangen
padaku, ya?” omel si Ting Tong. “Yang kau rindukan hanya pengantin baru yang
telah bersembahyang Thian bersama kau itu?”
“Bilakah aku pernah
bersembahyang Thian lagi dengan siapa lagi?” sahut Boh-thian.
“Huh, dengan mata kepala
sendiri aku melihatnya, kau berani mungkir?” semprot si nona. “Baiklah, aku pun
tidak menyalahkan kau, ini memang sifatmu yang bangor dan biasa main gila, aku
berbalik merasa senang. Dan di manakah nona cilik pengantin baru itu?”
“Sudah hilang, ketika aku
kembali ke dalam gua di sana, dia sudah hilang meski aku telah mencarinya,”
tutur Boh-thian.
“O, semoga Buddha memberkati,
supaya selama hidup ini kau takkan menemukan dia lagi,” kata si Ting Tong
dengan mengikik.
“Dan di manakah kakekmu,
apakah beliau baik-baik saja?” tanya Boh-thian.
“Kenapa kau tidak tanya diriku
baik-baik atau tidak?” omel si nona sambil mencubit lengan pemuda itu. Tapi
mendadak ia menjerit, “Aduh!”
Kiranya tenaga dalam Ciok
Boh-thian telah mementalkan tangan si nona dengan kuat sehingga nona itu
menjerit kaget.
“Apakah kau baik-baik saja,
Ting-ting Tong-tong?” tanya Boh-thian kemudian. “Sungguh untung bagiku, waktu
kau melemparkan aku ke dalam sungai, kebetulan aku jatuh di dalam sebuah perahu
sehingga tidak sampai mati tenggelam.”
“Untung apa? Akulah yang
sengaja melemparkan kau ke dalam perahu itu, masakah kau tidak tahu?” kata Ting
Tong.
Boh-thian menjadi kikuk,
sahutnya, “Di dalam hatiku sudah tentu tahu kau sangat baik padaku, hanya
saja... hanya saja aku merasa malu untuk mengatakannya.”
Ting Tong tertawa, katanya,
“Kau dan aku adalah suami-istri, masakah pakai malu apa segala?”
Begitulah mereka duduk
berdampingan di pinggir ranjang, sayup-sayup Boh-thian mengendus bau harum yang
timbul dari badan si Ting Tong, harumnya anak perawan yang khas, keruan
perasaan Boh-thian seperti dikilik-kilik dan....
Tapi demi teringat bahwa
ayah-ibunya juga berada di kamar sebelah, urusan perkawinan dengan si Ting Tong
ini entah bagaimana pendapat mereka, ia angkat tangan kanan dan bermaksud merangkul
si nona, tapi baru saja menyentuh bahunya, cepat ia menarik kembali lagi
tangannya.
“Engkoh Thian, hendaklah
katakan sejujurnya padaku, sesungguhnya aku lebih cantik ataukah binimu yang
baru itu lebih ayu?” tiba-tiba si Ting Tong bertanya.
“Di manakah aku ada bini baru
lagi? Aku hanya punya... punya istri kau seorang saja,” sahut Boh-thian.
Ting Tong kegirangan, mendadak
ia peluk si anak muda dan “ngok”, ia menciumnya satu kali.
Boh-thian menjadi merah jengah
dan bingung, ingin mendorong pergi si nona, rasa berat karena nikmat juga
ciuman itu, hendak balas memeluk, eh, hati tidak berani.
Biarpun tingkah laku si Ting
Tong itu lebih berani, tapi apa pun juga dia adalah anak perawan yang masih
suci, ketika tanpa sadar ia mencium Ciok Boh-thian satu kali, lalu ia pun
merasa menyesal. Dengan malu ia lantas menyusup ke tengah ranjang, ia tarik
sehelai selimut terus membungkus dirinya rapat-rapat.
Sampai sekian lamanya
Boh-thian merasa ragu-ragu, tangannya ingin memegang anak dara itu, tapi
takut-takut dan tidak jadi. Akhirnya ia hanya memanggil perlahan, “Ting-ting
Tong-tong! Ting-tang Ting-tong!”
Namun si nona diam saja tak
menggubrisnya.
Akhirnya Boh-thian menguap
kantuk, ia duduk di atas kursi sambil mendekap di atas meja kemudian terpulas.
Di pihak lain si Ting Tong
merasa bersyukur karena kekasih yang dicari-cari selama ini telah dapat
diketemukan pula. Dengan rasa senang serta badan lelah, tanpa merasa akhirnya
ia pun tertidur di atas ranjang.
Sampai fajar sudah
menyingsing, tiba-tiba terdengar suara orang mengetok pintu, lalu terdengar Bin
Ju sedang memanggil, “Anak Giok, kau sudah bangun?”
“O, ibu!” Boh-thian menjawab
sambil berbangkit. Tapi demi memandang ke arah si Ting Tong, seketika ia menjadi
bingung.
“Buka pintu, anak Giok, aku
ingin bicara,” terdengar Bin Ju berkata pula.
Boh-thian mengiakan. Dengan
ragu-ragu pintu lantas hendak dibukanya.
Sudah tentu si Ting Tong
menjadi kelabakan juga. Yang akan masuk itu adalah ibu mertua, kalau dilihatnya
dirinya bermalam di suatu kamar bersama Ciok Boh-thian, walaupun mereka tidak
melanggar tata susila apa-apa, tapi siapa yang mau percaya, bukankah kelak akan
dipandang hina oleh ibu mertua itu?
Segera ia membuka daun jendela
dan bermaksud melompat keluar. Tapi ketika ia melirik Ciok Boh-thian, tiba-tiba
hatinya terasa berat pula untuk berpisah, dengan susah payah ia telah mencari
anak muda itu dan akhirnya diketemukan di sini, jika sekarang berpisah lagi
maka susahlah diramalkan kapan akan dapat bersua pula. Maka berulang-ulang ia
memberi tanda agar anak muda itu jangan membuka pintu dahulu.
“Ibuku, tidak menjadi soal,”
bisik Boh-thian, sementara itu tangannya sudah menyentuh palang pintu.
Ting Tong menjadi gugup,
pikirnya, “Kalau orang lain memang tidak menjadi soal, tapi ibumu justru
menjadi soal.”
Ia melihat palang pintu sudah
hampir diangkat oleh anak muda itu, untuk melompat keluar jendela rasanya juga
tidak keburu lagi.
Mestinya si Ting Tong adalah
anak dara yang tidak takut mati, tapi demi terpikir akan berjumpa dengan ibu
mertua, bahkan kepergok dalam keadaan yang kurang pantas begini, mau tak mau ia
menjadi gugup. Saat itu Boh-thian sudah hampir menarik palang pintu, tanpa
pikir lagi segera ia bertindak dengan menggunakan kim-na-jiu-hoat, tangan
kirinya mencengkeram “leng-tay-hiat” di punggung anak muda itu dan tangan kanan
tepat memegang “koan-ki-hiat” di tengkuknya.
Boh-thian hanya merasa kedua
tempat hiat-to itu kesemutan dan kaku, lalu tak bisa berkutik lagi. Ia merasa
si Ting Tong telah merebahkan tubuhnya, lalu menyeretnya dan sembunyi
bersama-sama ke kolong ranjang.
Bin Ju adalah tokoh Kangouw
yang sudah berpengalaman. Ketika didengarnya suara jawaban sang putra di dalam
kamar, tapi sampai sekian lamanya pintu kamar tidak dibuka, kemudian terdengar
pula suara-suara yang mencurigakan, ia menjadi khawatir atas keselamatan Ciok
Boh-thian, tanpa pikir lagi segera ia mendobrak pintu dengan bahunya.
Ketika palang pintu patah dan
daun pintu terpentang, segera dilihatnya jendela pun sudah terbuka, sedangkan
putra kesayangannya sudah tiada berada di dalam kamar lagi. Cepat ia berseru,
“Lekas kemari, Engkoh Jing!”
Dengan menjinjing pedang Ciok
Jing segera memburu tiba.
“Anak... anak Giok telah
digondol lari orang!” seru Bin Ju dengan suara gemetar sambil menunjuk jendela.
Habis itu susul menyusul
suami-istri itu lantas melayang ke luar jendela, satu hitam yang satu putih
laksana dua ekor burung raksasa saja, gayanya sangat indah.
Si Ting Tong yang sembunyi di
kolong ranjang diam-diam memuji juga akan kepandaian pasangan suami-istri yang
tersohor itu.
Sebenarnya dengan pengalaman
Ciok Jing dan Bin Ju yang luas itu mestinya tidak gampang tertipu. Soalnya
mereka terlalu mengkhawatirkan keselamatan sang putra sehingga tidak sempat
berpikir panjang lagi, begitu melihat jejak putranya sudah hilang, pikiran Bin
Ju lantas bingung dan menduga keras pasti orang Swat-san-pay atau
Tiang-lok-pang yang telah menculik Ciok Boh-thian.
Ketika dia mendobrak pintu dan
masuk ke dalam kamar, jarak waktunya dengan suara-suara yang mencurigakan di
dalam kamar itu hanya selang sejenak saja, ia menaksir masih dapat menyusul
penculiknya, sebab itulah tidak menaruh perhatian keadaan di dalam kamar.
Ciok Boh-thian sendiri yang
kena dicengkeram Hiat-to yang penting itu untuk sedetik dua detik memang tak
bisa berkutik, tetapi karena lwekangnya terlalu lihai, hanya sekejap saja ia
sudah dapat melancarkan kembali Hiat-to yang tertutuk itu. Cuma saja ia merasa
senang dan nikmat badannya berada dalam pelukan si Ting Tong, maka ia tidak mau
bersuara memanggil ayah-ibunya. Dan karena sedikit ayal itulah sementara itu
Ciok Jing dan Bin Ju sudah melompat ke luar jendela dan pergi jauh.
Di kolong ranjang itu sudah
tentu banyak debu kotoran, akhirnya Boh-thian tidak tahan dan bersin beberapa
kali, ia tarik tangan si Ting Tong dan menerobos keluar dari kolong ranjang. Ia
lihat muka si nona juga penuh debu, tapi tidak mengurangi cantiknya dan
kelihatan malu-malu.
“Mereka adalah ayah-ibuku,”
demikian Boh-thian coba menerangkan.
“Aku sudah tahu, petang
kemarin aku mendengar kau memanggil mereka,” sahut Ting Tong.
“Nanti kalau ayah dan ibu
sudah kembali, maukah kau menemui mereka saja?” tanya Boh-thian.
“Aku tak mau,” sahut Ting Tong
sambil membuang muka. “Ayah-ibumu memandang hina kepada kakekku, dengan
sendirinya juga memandang rendah padaku.”
Selama beberapa hari berada
bersama ayah-ibunya Ciok Boh-thian telah banyak mendengar pembicaraan mereka,
ia merasa ayah-ibunya benar-benar pendekar-pendekar yang berbudi luhur, berbeda
sekali dengan tindak tanduk Ting Put-sam. Karena itulah ia menjadi ragu-ragu
dan bungkam.
Ting Tong menaksir tidak lama
lagi Ciok Jing berdua pasti akan pulang, segera ia mengajak, “Marilah kau ikut ke
kamarku, aku ingin bicara sesuatu dengan kau.”
“Kau pun menginap di hotel
ini?” tanya Boh-thian dengan heran.
“Tidak menginap di sini, habis
menginap di mana?” ujar si nona. Lalu ia menggapai Boh-thian dan mendahului
melompat keluar jendela, ia menyusur ke serambi sana dan lantas masuk ke sebuah
kamar.
Segera Boh-thian menyusul ke
dalam kamar si nona, ia tanya, “Di mana kakekmu?”
“Aku berkeluyuran sendiri,
tidak bersama kakek lagi,” sahut Ting Tong.
“Sebab apa?” tanya Boh-thian.
“Hm, sebab apa?” si nona
mendengus. “Aku ingin mencari kau, tapi kakek tidak mengizinkan, terpaksa aku
minggat sendirian.”
Boh-thian menjadi terharu,
katanya, “Ting-ting Tong-tong, kau sungguh sangat baik terhadapku.”
Si nona sangat girang,
sahutnya dengan tertawa, “Semalam kau rikuh untuk mengatakan, mengapa sekarang
kau tidak rikuh lagi?”
“Kau sendiri yang mengatakan
bahwa kita adalah suami-istri, tidak perlu rikuh-rikuh dan malu-malu,” kata
Boh-thian dengan tertawa.
Muka si Ting Tong kembali
bersemu merah.
Pada saat itulah terdengar di
luar suara Ciok Jing sedang berseru, “Ini uang sewa kamar dan rekening
makanan!”
Habis itu lantas terdengar
suara berdetaknya kaki kuda, rupanya Ciok Jing suami-istri telah berangkat
meninggalkan hotel.
“Apakah kau tahu di mana letak
Ka-hin-hu?” tanya Boh-thian kepada si Ting Tong.
“Ka-hin-hu adalah tempat yang
besar, masakah tidak tahu?” sahut si nona dengan tertawa.
“Ayah-ibuku hendak pergi ke
sana untuk mencari seorang yang bernama Nyo Kong, sebentar biarlah kita
menyusul ke sana saja,” kata Boh-thian. Agaknya ia pun merasa berat untuk
berpisah dengan si nona jelita yang baru saja bersua kembali.
Karena keterangan Boh-thian
itu, tiba-tiba Ting Tong mendapat akal, “Dia tidak kenal jalanan ke Ka-hin-hu
yang terletak di jurusan tenggara sana, biarlah nanti aku mengajaknya berangkat
ke arah timur laut supaya makin lama makin jauh berpisah dengan ayah-ibunya,
dengan demikian tentu tidak khawatir akan bertemu lagi di tengah jalan.”
Lantaran hatinya senang,
dengan sendirinya mukanya yang memang ayu itu bertambah cantik menggiurkan.
Boh-thian sampai terkesima
memandangi anak dara itu.
“Mengapa kau memandang aku
sedemikian rupa? Memangnya baru saja kenal?” Ting Tong menggoda dengan tertawa.
“Ting-ting Tong-tong, kau...
kau sungguh sangat enak dipandang, jauh lebih bagus daripada ibuku,” ujar
Boh-thian.
Si nona mengikik tawa,
sahutnya, “Engkoh Thian, kau pun sangat bagus, jauh lebih bagus daripada
kakekku.”
Habis berkata ia lantas
terbahak-bahak.
Begitulah kedua muda-mudi itu
bicara dan bersenda gurau, akhirnya Boh-thian tetap teringat kepada
ayah-ibunya, katanya, “Bilamana aku tidak diketemukan ayah dan ibu, mereka
tentu akan khawatir. Marilah sekarang juga kita menyusul mereka.”
“Baiklah,” sahut Ting Tong.
“Engkau benar-benar putra yang berbakti.”
Segera mereka pun membereskan
rekening hotel dan lantas berangkat bersama.
Sudah tentu pengurus dan
pelayan hotel dibuat terheran-heran ketika melihat Ciok Boh-thian yang
datangnya diketahui bersama Ciok Jing suami-istri, kini tahu-tahu keluar
bersama dari kamar si nona cantik yang semula datang sendirian. Maka gegerlah
suasana hotel itu ramai membicarakan kejadian itu, ada yang membumbu-bumbui
dengan kata-kata kotor dan cabul, ada pula yang kagum kepada rezeki Ciok
Boh-thian yang dianggapnya kejatuhan bidadari dari langit....
Sesudah meninggalkan
Liong-ki-tin itu, Ting Tong lantas mengajak Boh-thian ke jurusan timur.
Beberapa li kemudian, sampailah mereka di suatu persimpangan jalan cabang tiga.
Tanpa pikir si Ting Tong lantas mengambil jurusan timur laut.
Karena percaya si nona pasti
kenal jalanan, maka tanpa curiga Boh-thian mengikut saja. Katanya, “Ayah-ibuku
menunggang kuda bagus, bilamana mereka tidak berhenti mengaso di tengah jalan
terang kita tidak dapat menyusul mereka.”
“Setiba di rumah keluarga Nyo
di Ka-hin-hu dengan sendirinya akan bertemu,” ujar Ting Tong dengan tersenyum.
“Ayah-ibumu sudah kenyang makan asam-garam, memangnya kau khawatir mereka akan
kesasar?”
“Ayah dan ibu sudah
menjelajahi hampir seluruh jagat, masakah mereka bisa kesasar?” sahut Boh-thian
dengan tertawa.
Begitulah sepanjang jalan
mereka bicara dan bergurau dengan gembira ria. Sejak berkumpul dengan
ayah-ibunya dan hanya mendapat petunjuk-petunjuk, maka sekarang Boh-thian sudah
jauh lebih paham tentang seluk-beluk orang hidup.
Melihat tingkah laku
ketolol-tololan sang kekasih telah banyak berkurang, diam-diam si Ting Tong
sangat girang. Pikirnya, “Sesudah menderita sakit parah, banyak
kejadian-kejadian di masa lampau telah dia lupakan. Asalkan aku menceritakannya
kembali hal-hal itu, tentu dia takkan lupa lagi.”
Maka sepanjang jalan ia
sengaja menceritakan kejadian-kejadian di dunia persilatan, tentang
peraturan-peraturan Kangouw, soal hati manusia yang baik dan jahat dan
macam-macam lagi.
Sewaktu tengah hari, sampailah
mereka di suatu kota kecil. Mereka mendapatkan sebuah rumah makan untuk mengaso
dan tangsel perut.
Ketika masuk ke ruangan rumah
makan itu, terlihat tiga buah meja besar di bagian tengah sudah penuh diduduki
tetamu. Terpaksa mereka mengambil sebuah meja kecil di pojok ruangan.
Rumah makan itu tidak terlalu
besar, si pelayan sedang sibuk menyiapkan daharan bagi tamu-tamu yang berada
pada tiga meja besar itu sehingga tidak sempat mengurusi kedatangan Boh-thian
berdua.
Ting Tong melihat di antara
tamu-tamu yang mengelilingi meja-meja besar terdapat tiga orang wanita yang
usianya boleh dikata tidak muda lagi, dengan sendirinya juga tak dapat disebut
cantik. Orang-orang itu semuanya membawa senjata, logat mereka adalah
orang-orang daerah Liau-tang. Mereka sedang makan-minum secara bebas.
“Sobat-sobat Kangouw ini kalau
bukan orang-orang dari piaukiok (perusahaan pengawalan) tentu adalah jago-jago
kalangan lok-lim (kaum begal dan sebagainya),” demikian pikir si Ting Tong.
Ia lihat Boh-thian juga sedang
memandang ke arah tamu-tamu di meja besar itu, tiba-tiba terpikir pula olehnya,
“Semoga aku senantiasa berada bersama Engkoh Thian dan makan bersatu meja
seperti sekarang ini, maka bahagialah selama hidupku ini.”
Begitulah, karena rasa
bahagianya itu, maka meski pelayan terlambat meladeninya juga tidak menimbulkan
rasa marahnya.
Pada saat itu, tiba-tiba
terdengar ada orang berseru di luar, “Aha, bagus, bagus! Ada arak dan ada
daging, memangnya kakek sudah sangat lapar!”
Boh-thian merasa suara orang
sudah dikenalnya. Benar saja, segera tertampak seorang tua telah melangkah
masuk. Ternyata adalah Ting Put-si.
“Wah, celaka!” diam-diam
Boh-thian mengeluh. Cepat ia berpaling ke arah lain agar tidak dilihat orang
tua itu.
Si Ting Tong juga lantas
membisikinya, “Wah, aku punya cekkong (mbah cilik), jangan kau pandang dia,
biar aku menyaru dahulu.”
Dan tanpa menunggu jawaban
Boh-thian segera ia mengeluyur ke ruangan belakang.
Jilid 33
Sesudah masuk, Ting Put-si
melihat meja-meja sudah penuh tetamu, hanya di meja Ciok Boh-thian masih ada
tempat duduk yang lowong, tapi di atas meja belum terdapat daharan apa-apa,
maka tak disir olehnya. Sebaliknya ia lantas duduk di atas bangku panjang pada
meja yang tengah, waktu ia mendesak sedikit, kontan seorang laki-laki yang
duduk lebih dulu di atas bangku itu terdesak ke ujung.
Keruan laki-laki itu menjadi
gusar, sekuatnya ia pun mendesak kembali. Ia pikir berapa kuat tenaga kakek
loyo ini, hanya sedikit desak saja pasti akan membuatnya mencelat keluar pintu.
Tak terduga baru saja badannya
kontak dengan tubuh Ting Put-si, seketika timbul suatu kekuatan yang
mahadahsyat dan mendesaknya kembali sehingga dia sendiri yang terpental.
Untunglah Ting Put-si keburu menariknya sambil berkata, “Jangan
sungkan-sungkan, marilah duduk bersama!”
Karena tarikan Ting Put-si
barulah laki-laki itu tidak jatuh tersungkur. Seketika mukanya merah padam dan
tidak tahu apa yang harus diperbuatnya lagi.
Ting Put-si lantas berkata
pula, “Hayo, silakan, silakan! Jangan sungkan-sungkan, silakan!”
Lalu mangkuk besar yang berisi
arak lantas diangkatnya terus ditenggak hingga habis. Menyusul ia lantas ambil
sumpit bekas pakai si lelaki tadi dan menyumpit sepotong daging terus
dimakannya dengan nikmat. Kelakuannya itu seakan-akan dialah tuan rumahnya yang
sedang menjamu tamu.
Tiada seorang pun di antara
tetamu itu yang kenal Ting Put-si, tapi lwekang si lelaki tadi terhitung paling
kuat di antara mereka, karena desakannya tadi lelaki itu hampir-hampir saja
mencelat dan jatuh, maka dapatlah dibayangkan si kakek loyo ini tentu bukan
orang sembarangan. Kiranya lelaki yang didesak Ting Put-si tadi adalah Hoan
It-hui dari Ho-hou-kau di Kwantang.
Sambil menikmati daharannya,
seperti tidak sengaja Ting Put-si menatap seorang laki-laki yang duduk di
sebelahnya dan sedang melotot padanya, pinggang lelaki itu terlibat sebatang
“kiu-ciat-nui-pian” (ruyung lemas beruas sembilan). Mendadak ia menegur, “Hei,
bocah, dari golongan mana kau? Mengapa kau pun menggunakan kiu-ciat-pian?”
“Cayhe Hong Liang, ketua
Jing-liong-bun di Kimciu,” sahut laki-laki itu dengan suara lantang, “Numpang
tanya Locianpwe, apakah Cayhe tidak boleh menggunakan kiu-ciat-pian?”
Saat itu si Ting Tong sudah
menyamar sebagai pelayan dan telah keluar lagi, mukanya dipoles dengan hangus,
tangannya juga penuh hangus, ketika dia meraba muka Ciok Boh-thian, kontan muka
Boh-thian juga penuh hangus hitam, kedua muda-mudi saling pandang dengan geli.
Tiba-tiba terdengar Ting
Put-si bergelak tertawa, katanya, “Hahaha! Masakah Yaya melarang orang
menggunakan kiu-ciat-pian?”
Dan ketika tangannya meraba ke
pinggang sendiri dan ditarik kembali, “sret”, tahu-tahu tangannya juga sudah
memegang sebatang ruyung lemas. Ujung ruyung berbentuk kepala naga, badan
ruyung bercahaya kemilauan berhiaskan emas putih dan batu permata, bila ruyung
itu bergerak, terpancarlah sinar gemerlapan yang menyilaukan mata.
Diam-diam semua orang
terperanjat. “Kiranya dia sendiri juga menggunakan kiu-ciat-pian?” demikian
pikir mereka.
Sementara itu Ting Put-si
telah berkata pula, “Bocah ingusan yang tidak punya kepandaian apa-apa juga
berani membawa-bawa kiu-ciat-pian segala, bila bertempur dengan orang tentu
lebih banyak kalah daripada menang dan orang tentu akan memandang rendah kepada
setiap pemain kiu-ciat-pian. Memang sudah lama Yaya mendengar di daerah Kimciu
terdapat sekawanan yang mengaku Jing-liong-bun segala, keparat, katanya
turun-temurun kalian juga memakai kiu-ciat-pian. Maka sudah lama aku ingin
membunuh habis segenap keluargamu, cuma saja daerah Kwantang terlalu dingin,
Yaya malas datang ke sana buat bunuh orang. Sekarang kebetulan pergoki kau
bocah ini di sini, nah, tidak lekas kau membunuh diri mau tunggu apa lagi?”
Baru sekarang Hong Liang paham
duduknya perkara. Kiranya kakek ini bersenjatakan kiu-ciat-pian, maka orang
lain dilarang menggunakan senjata yang serupa. Hal ini benar-benar terlalu aneh
dan sewenang-wenang.
Sebelum Hong Liang memberi
jawaban, sekonyong-konyong bergemalah suara seorang di meja sebelah kiri sana,
“Hm, untung juga kau bocah tua ini tidak menggunakan golok!”
Waktu Ting Put-si memandang ke
arah pembicara itu, terlihatlah orang itu bermuka lebar dan penuh berewok
pendek. Segera ia tanya, “Jika aku menggunakan golok, lantas bagaimana katamu?”
“Sebab yayamu juga menggunakan
golok, kalau menuruti logika kau bocah tua yang semena-mena ini, bukankah Yaya
juga akan kau bunuh?” sahut lelaki berewok. “Tapi seumpama kau mampu membunuh
Yaya, di dunia ini masih beribu-ribu dan berlaksa-laksa orang yang memakai
golok, apakah kau mampu membunuh habis mereka?”
Habis berkata, “sret”, ia
melolos goloknya dari pinggang terus ditancapkan ke atas meja.
Golok itu berwarna emas
lembayung, punggung golok tebal dan mata golok tipis, pada pangkal gagang golok
tergantung seuntai kain sutra warna ungu. Waktu golok itu menancap di atas
meja, bergetarlah mangkuk piring yang berada di atas meja sehingga mengeluarkan
suara, nyata sekali golok itu sangat berat dan tenaga pemakainya juga sangat
kuat.
Kiranya lelaki berewok itu adalah
Lu Cing-peng berjuluk Ci-kim-to (Si Golok Emas Lembayung), ketua Gway-to-bun
(Golongan Golok Kilat) dari Tiang-pek-san.
“Cret”, mendadak Ting Put-si
menyimpan kembali ruyungnya, ketika sebelah tangannya menjulur, tahu-tahu golok
yang terselip di pinggang si lelaki yang berada di sebelahnya telah dicabut
olehnya, lalu serunya, “Baik, anggap Yaya memang bersenjatakan golok, lantas
bagaimana? Tapi, wah, keliru! Kurang ajar!.... Yaya berjuluk
‘Ce-jit-put-ko-si’, sekarang di sini ada 11 bocah keparat yang bergolok,
ditambah lagi pemakai ruyung ini, terpaksa Yaya harus membagi dan membunuh
selama tiga hari....”
Golok adalah senjata yang
sangat umum, maka di antaranya orang-orang Kwantang itu memang ada 11 orang
yang membawa golok. Mereka menjadi terkejut menyaksikan kecekatan Ting Put-si
merebut golok itu, tanpa merasa mereka sama meraba goloknya sendiri dan siap
bertempur. Ketika mendengar si kakek mengaku berjuluk “Ce-jit-put-ko-si” atau
satu hari tidak lebih dari empat, beberapa orang di antaranya sampai berseru,
“Ha, dia... dia adalah Ting Put-si!”
“Ya, hari ini Yaya belum
pernah membunuh orang maka dapatlah aku membunuh empat bangsat cilik, nah,
siapakah di antara kalian yang ingin mampus?” demikian Ting Put-si berseru
sambil tertawa. “Hayo lekas laporkan nama kalian! Jika tidak kecuali bocah
bersenjata ruyung ini asal kalian mau menjura sepuluh kali dan minta ampun
kepada Yaya, maka boleh juga jiwa kalian diampuni.”
Tapi lantas terdengarlah suara
tertawa dingin di sana-sini, empat orang serentak berbangkit dan melangkah
keluar rumah makan itu mereka lantas berdiri sejajar di depan pintu. Selain
Hong Liang, Hoan It-hui, Lu Cing-peng, orang keempat adalah seorang wanita
setengah umur.
Wanita itu tidak bersenjata,
begitu sudah berdiri di luar pintu, segera ia singkap kedua sayap kun (gaun
panjang) dan diikat pada ikat pinggangnya, maka tertampaklah dua baris pisau
kecil yang gemerlapan di bagian pinggangnya. Pisau itu panjangnya cuma belasan
senti, sedikitnya ada 30 batang lebih, secara rajin terselip pada seutas sabuk
bersulam yang terikat di pinggang.
Sedangkan senjata Hoan It-hui
adalah sepasang boan-koan-pit, dengan suara lantang ia membuka suara, “Cayhe
adalah Liau-tang-ho (Burung Ho dari Liautang) Hoan It-hui, ketua Ho-pit-bun,
bersama-sama dengan ketua Jing-liong-bun, saudara Hong Liang; ketua
Gway-to-bun, saudara Lu Cing-peng dan Hui-hong-to (Pisau Belalang Terbang) Ko
Sam-niocu dari Han-bwe-ceng. Keempat golongan kami dari Kwantang ini selamanya
tiada permusuhan apa-apa dengan Ting-loyacu, tapi entah sebab apa Ting-loyacu
telah sengaja menghina dan mengolok-olok kami, haraplah sudi memberi
penjelasan?”
Ting Put-si tidak menjawab,
sebaliknya ia sengaja mengamat-amati Ko Sam-niocu dengan kepala miring-miring
ke sini dan meleng-meleng ke sana seperti lagaknya anak kecil mengincar boneka.
Kemudian ia berkata, “Kurang! Kurang cantik!”
Melihat lagak Ting Put-si itu
sudah tentu semua orang tahu yang dimaksudkannya “kurang cantik” itu adalah Ko
Sam-niocu.
Dasar watak Ko Sam-niocu
memang sangat keras, kepandaiannya juga memang tinggi, ayahnya, bapak mertuanya
dan gurunya, semuanya cukup ternama dan berpengaruh di dunia persilatan
Kwantang, Han-bwe-ceng mereka juga terkenal suatu perkampungan yang kaya raya
dengan sawah-ladang, perkebunan dan peternakan yang subur. Sebab itulah biarpun
dia sudah janda, tapi sangat terkenal di Kwantang. Apalagi pada masa mudanya dia
pun tersohor sangat cantik, walaupun sekarang sudah setengah umur juga masih
belum hilang seluruh kecantikannya itu. Keruan ia menjadi murka mendengar
hinaan Ting Put-si itu. Terus saja ia berteriak, “Ting Put-si, keluarlah kau!”
Dengan acuh tak acuh Ting
Put-si melangkah keluar rumah makan itu. Tanyanya, “Apakah kalian berempat ini
yang ingin mampus?”
Sekonyong-konyong sinar putih
berkilauan, lima batang pisau terbang telah menyambar tiba dari berbagai
jurusan. Cepat sekali datangnya pisau-pisau terbang itu, meski pisau-pisau itu
sangat pendek, tapi desiran angin yang timbul dari sambaran pisau-pisau itu
tidak kalah kerasnya daripada angin sambaran golok atau pedang.
“Pisaunya bagus! Orangnya
tidak cantik!” bentak Ting Put-si. Berbareng tangan kanan lantas menarik keluar
kiu-ciat-pian, di mana cahaya kuning berkelebat, empat pisau musuh lantas
tersampuk jatuh. Dalam pada itu pisau kelima telah menyambar ke mukanya, dia
lantas pamerkan sekalian kepandaiannya, begitu mulut terbuka ujung pisau itu
lantas tergigit.
Hong Liang, Hoan It-hui dan Lu
Cing-peng terperanjat. Tapi serentak mereka lantas menerjang maju.
Cepat Ting Put-si
menghindarkan bacokan golok Lu Cing-peng, berbareng kakinya menendang
pergelangan tangan Hoan It-hui untuk memaksanya menarik kembali
boan-koan-pitnya. Sedangkan kiu-ciat-pian yang diputarnya berbalik digunakan
untuk melibat ruyung Hong Liang.
Akan tetapi sebelumnya Hong
Liang sudah siap sedia, ia tahu si kakek lawannya ini tidaklah empuk, maka
begitu ruyung Ting Put-si menyambar tiba segera ia menyendal ruyungnya sendiri
sehingga batang ruyung melurus lempeng laksana tombak terus ditusukkan ke dada
musuh.
“Boleh juga, bocah keparat
ini!” puji Ting Put-si sambil mengulur tangan kanan untuk menarik ujung ruyung
lawan.
Hong Liang terkejut dan cepat
menarik kembali senjatanya. Tapi lengan Ting Put-si masih tetap menjulur maju.
Untunglah pada saat itu golok Lu Cing-peng lantas menebas sehingga Ting Put-si
terpaksa menarik kembali tangannya. Dan dari sebelah lain Ko Sam-niocu juga telah
menyambitkan sebilah pisau.
Begitulah karena dikerubut
orang empat, mau tak mau Ting Put-si tak berani mengolok-olok lagi, Dengan
penuh tenaga ia putar ruyungnya untuk menjaga diri. Baru sekarang dia
mengetahui bahwa kepandaian orang-orang Liautang itu ternyata tidak rendah,
jika satu lawan satu memang tidak ada artinya, tapi satu dikeroyok empat,
betapa pun ia agak kerepotan juga.
Ciok Boh-thian dan Ting Tong
ikut menyaksikan pertarungan itu bercampur dengan orang banyak. Sesudah
beberapa puluh jurus, tertampak Lu Cing-peng dan Hoan It-hui serempak menyerang
maju. Waktu Ting Put-si mengayun ruyungnya untuk memaksa mundur kedua lawan
itu, pada saat itulah kiu-ciat-pian Hong Liang lantas menyabet ke atas kepala
Ting Put-si.
Buru-buru Ting Put-si
miringkan kepalanya, tapi hampir pada saat yang sama dua bilah pisau terbang Ko
Sam-niocu juga telah menyambar tiba. Dalam seribu kerepotannya itu lekas-lekas
Ting Put-si mendoyongkan tubuhnya ke belakang, dua bilah pisau itu menyerempet
lewat di tepi tenggorokannya, hanya selisih beberapa senti saja tentu lehernya
sudah bocor.
Walaupun begitu tidak urung
sebagian kecil jenggot Ting Put-si yang sudah putih beruban itu juga terpapas
sehingga benang-benang perak itu bertebaran jatuh.
“Hui-to (pisau terbang) yang
bagus!” demikian belasan orang-orang Kwantang yang menonton di depan pintu
memberi sorakan kepada Ko Sam-niocu.
Diam-diam Ting Put-si juga
mengakui kelihaian senjata rahasia janda Kwantang itu. Ia pikir kalau tidak
menggunakan serangan mematikan, bukan mustahil dirinya yang bakal kecundang.
Segera ia putar ruyungnya
dengan lebih kencang, di tengah berkelebatnya bayangan ruyung ia selingi pula
dengan kim-na-jiu-hoat dengan tangan lain. Ruyung digunakan menyerang jarak
jauh, yang berani dekat segera dicakar dan dicengkeram dengan tangan kiri,
dengan demikian Lu Cing-peng dan Hoan It-hui terpaksa harus menghindar dan
tidak berani mendekat lagi.
Melihat Ting Put-si memainkan
kim-na-jiu, yang paling senang adalah Ciok Boh-thian. Maklum, dahulu ketika di
atas perahu Ting Put-si pernah mengajar ilmu menangkap dan mencengkeram itu
kepadanya, cuma waktu itu pengetahuannya dalam teori-teori ilmu silat sangatlah
terbatas, apa yang diajarkan Ting Put-si itu hanya ditelannya mentah-mentah dan
cuma diingatnya di dalam hati saja, tapi tidak mampu mempraktikkannya. Tapi
sekarang dia telah mendapat petunjuk-petunjuk ilmu silat dari ayah-ibunya,
banyak pula mendapat petunjuk-petunjuk ilmu silat yang berharga, dengan
sendirinya benaknya yang tadinya bebal lantas terbuka. Ia merasa sangat senang
dan cocok dengan setiap jurus serangan Ting Put-si baik mencengkeram, mencakar,
memegang, menarik dan gaya-gaya serangan lain.
Sampai pada suatu saat
menentukan, mendadak tangan kiri Ting Put-si merangsang ke pundak Lu Cing-peng.
Cepat Cing-peng memutar balik goloknya untuk menebas lengan lawan.
Boh-thian terkejut. Ia tahu
apabila tebasan Lu Cing-peng itu diteruskan, tangan Ting Put-si tentu akan
berubah menampar dan pasti akan kena mukanya, menyusul tangannya akan menyambar
ke bawah untuk merampas goloknya. Tamparan Ting Put-si itu tentu akan membikin
kepala Lu Cing-peng pecah berantakan. Maka tanpa lagi pikir lagi Boh-thian
lantas berseru, “Awas, dia akan pukul mukamu!”
Karena lwekangnya sangat kuat,
maka suaranya itu dapat didengar setiap orang walaupun di tengah suasana
pertempuran yang ramai. Sebagai jago silat terkemuka dengan sendirinya Lu
Cing-peng mendengar juga seruan Ciok Boh-thian itu. Seketika ia tersadar dan
cepat membuang golok dan menjatuhkan diri ke bawah. Walaupun cukup cepat dia
menghindar, tidak urung terserempet juga angin tamparan Ting Put-si sehingga
mukanya terasa panas pedas.
Sesudah bergelindingan
beberapa meter jauhnya barulah Lu Cing-peng melompat bangun dengan hati
berdebar-debar. Untunglah ada orang berseru memperingatkan, kalau tidak jiwanya
pasti sudah melayang di bawah pukulan lawan.
Tapi dengan menyingkirnya Lu
Cing-peng, Hoan It-hui menjadi payah menghadapi Ting Put-si, berulang-ulang ia
diberondong dengan serangan-serangan berbahaya. Cepat Cing-peng berseru,
“Ambilkan golok!”
Segera seorang anak buahnya
melemparkan sebatang golok, begitu sambar golok itu serentak Lu Cing-peng
menerjang maju lagi. Tiba-tiba dilihatnya ruyung Ting Put-si sedang berlibatan
dengan ruyung Hong Liang, sekonyong-konyong tubuh Hong Liang terseret terus
ditumbukkan kepada golok Lu Cing-peng yang sedang membacok itu. Terpaksa
Cing-peng memutar balik goloknya.
“Awas, orang she Hoan! Lehermu
akan dicengkeram!” mendadak Boh-thian berteriak.
Hoan It-hui terkejut, tanpa
pikir ia lantas tegakkan boan-koan-pit untuk melindungi tenggorokannya sendiri.
Benar juga, saat itu kelima jari Ting Put-si sudah mencakar tiba, “cret”,
lehernya keserempet dan meninggalkan lima jalur lecet berdarah.
Berturut-turut Boh-thian
berseru dan menyelamatkan jiwa dua orang, keruan para jago Kwantang itu merasa
sangat terima kasih. Mereka melihat muka penggembor itu terpoles hangus hitam,
terang muka aslinya tidak ingin dikenali orang.
Sebaliknya Ting Put-si menjadi
murka, kontan ia memaki, “Kurang ajar! Anak anjing siapa itu yang membacot di
sini? Kalau berani boleh majulah untuk menempur Yaya!”
“Wah, dia... dia telah
mengenali kita?” kata Boh-thian kepada si Ting Tong sambil menjulurkan lidah.
“Habis siapa yang suruh kau
buka mulut?” omel Ting Tong. “Tapi dia mengatakan anak anjing siapa, mungkin
dia belum tahu siapa dirimu.”
Dalam pada itu kelima orang
itu kembali sudah bertempur pula dengan lebih sengit. Ting Put-si buru-buru
ingin tahu siapa orang yang berseru membantu lawannya itu, maka ia menyerang
semakin gencar dengan jurus-jurus mematikan. Tapi berulang-ulang Ciok Boh-thian
berseru tepat pada waktunya sehingga Lu Cing-peng tertolong pula dua kali, Hoan
It-hui empat kali dan Hong Liang tiga kali.
Pada satu kali mendadak Ting
Put-si menggunakan serangan berisiko, sekonyong-konyong ia meloncat ke atas
terus menubruk ke arah Ko Sam-niocu. Untung juga Ciok Boh-thian berseru
memperingatkannya sehingga Ko Sam-niocu sempat menghindar, tapi tidak urung
pundak Ko Sam-niocu tersampuk oleh jari Ting Put-si sehingga lengannya terasa
kaku dan susah bergerak lagi.
Namun janda Kwantang itu pun
benar-benar sangat lihai, meski tangan kanan tak bertenaga lagi, segera tangan
kiri mencabut pisau, “crit-crit” dua kali, dua batang pisau lantas menyambar ke
arah Ting Pit-si. Tapi sekali gulung dengan ruyungnya, kedua pisau itu lantas
terlibat terus disambitkan ke arah Hong Liang dan Lu Cing-peng. Berbareng itu
bahkan Ting Put-si lantas meloncat ke atas, ruyungnya terus menyabet ke bawah.
Cepat Ko Sam-niocu membungkuk
tubuh untuk menghindar. Tapi terdengarlah suara jeritan orang banyak, menyusul
janda Kwantang itu merasa kepalanya terangkat, tanpa kuasa tubuhnya terus
melayang ke atas.
Kiranya ujung ruyung Ting Put-si
dengan tepat kena melilit sanggulnya dan badannya ikut terangkat. Keruan Hong
Liang bertiga sangat terkejut. Dengan tenaga mereka berempat saja masih
kewalahan, apalagi kalau Ko Sam-niocu mengalami nasib malang, sisa mereka
bertiga tentu juga tak terhindar dari bencana. Maka dengan mati-matian mereka
lantas mengerubut maju.
Mendadak mulut Ting Put-si
meniup, “berrr”, pisau yang tergigit olehnya tadi lantas disemburkan ke perut
Ko Sam-niocu. Sedangkan tangan kiri berbareng mencengkeram, mencakar dan menjambret,
dalam sekejap saja ia dapat menghalau Hong Liang bertiga yang sekaligus
menerjang maju itu.
Saat itu tubuh Ko Sam-niocu
masih terapung di udara, sambaran pisau yang ditiup Ting Put-si itu betapa pun
sukar dihindarnya. “Selama ini entah sudah berapa banyak musuh yang binasa di
bawah pisau terbangku, tapi hari ini senjata akan makan tuannya, akhirnya aku
mesti mati di bawah senjatanya sendiri,” begitulah terbayang olehnya sambil
memejamkan mata dan menanti ajal.
Sungguh di luar dugaan siapa
pun juga, secara kebetulan dua bilah pisau yang dilibat dan disambitkan Ting
Put-si tadi masing-masing telah kena disampuk mencelat oleh Hong Liang dan Lu
Cing-peng, dengan tepat pisau-pisau itu telah menyambar lewat di samping Ciok
Boh-thian. Melihat keadaan sangat berbahaya, untuk bersuara memperingatkan juga
tidak keburu lagi, segera Boh-thian menangkap kedua batang pisau itu dan
secepat kilat lantas disambitkan.
Maka terdengarlah suara
“trang” yang nyaring, sebilah pisau itu tepat membentur jatuh pisau yang sedang
menyambar ke arah perut Ko Sam-niocu, pisau yang lain juga tepat memapas putus
rambutnya sehingga Ko Sam-niocu terjatuh ke bawah. Tapi begitu kakinya
menyentuh tanah, cepat ia melompat mundur dengan berjumpalitan, Mukanya tampak
pucat pasi ketakutan. Penonton-penonton di samping juga terkesima kaget, sampai
lupa menyoraki kepandaian Ciok Boh-thian yang luar biasa itu.
Apa yang terjadi ini pun sama
sekali di luar dugaan Ting Put-si. Cepat ia berpaling dan membentak, “Sobat
dari manakah yang selalu merintangi urusanku? Kalau berani hayolah maju untuk
bertempur 300 jurus dengan aku, terhitung kesatria macam apa jika main
sembunyi-sembunyi saja?”
Kedua mata Ting Put-si melotot
ke arah Ciok Boh-thian, tapi muka pemuda itu terpoles hangus, maka ia tidak
mengenalnya. Tapi mengapa orang ini tahu sebelumnya setiap jurus serangannya,
bahkan benturan kedua bilah pisau itu amat jitu disertai tenaga yang amat kuat,
maka teranglah lwekang sendiri sekali-kali bukan tandingannya. Walaupun watak
Ting Put-si sangat tinggi hati, sekarang mau tak mau ia harus prihatin dan
tidak berani mengoceh semena-mena lagi seperti tadi.
Sebaliknya perbuatan Ciok
Boh-thian tadi hanya terdorong oleh maksudnya ingin menyelamatkan orang,
sekarang mendadak dipelototi dan ditegur oleh Ting Put-si dengan garang, ia
menjadi lupa pada mukanya sendiri yang telah dipoles hangus oleh si Ting Tong,
maka dengan gugup ia menjawab, “Siyaya, aku... aku inilah Si Lemper Raksasa!”
Untuk sejenak Ting Put-si
tercengang, lalu ia berkata dan terbahak-bahak, “Hahaaak! Kukira siapa, tak
tahunya adalah... adalah Si Lemper Raksasa!”
Ia pikir pantas bocah ini
mengetahui setiap jurus seranganku di muka, sebab tempo hari bocah ini pernah
kuberi tahu tentang ilmu silatku. Maka lenyaplah rasa jerinya tadi, segera ia
membentak Ciok Boh-thian, “Anak keparat, mengapa kau berani ikut campur urusan
yayamu?”
Kontan ruyungnya lantas
menyabet ke atas kepala pemuda itu.
Tapi dengan enteng sekali Ciok
Boh-thian dapat menghindar dengan melompat ke samping. Ting Put-si tambah murka
karena serangannya luput, beruntun-runtun ia menyerang tiga kali pula dan
semuanya kena dielakkan oleh Ciok Boh-thian. Ia tidak tahu bahwa dengan lwekang
yang dimiliki Ciok Boh-thian sekarang, berbagai jurus serangan ilmu silat dalam
pandangannya adalah terlalu sepele dan tiada artinya lagi. Hanya saja ia masih
takut kepada wibawa Ting Put-si, maka ia hanya berkelit saja tanpa balas
menyerang.
Diam-diam Ting Put-si merasa
heran, ia merasa tidak pernah mengajarkan ilmu permainan ruyung itu kepada Ciok
Boh-thian, mengapa pemuda itu mampu mengikuti serangan-serangannya dengan baik
tanpa cedera apa-apa?
Orang-orang lain yang
menyaksikan Ciok Boh-thian berkelit ke sini dan menghindar ke sana di bawah
sambaran ruyung menjadi khawatir. Sebaliknya Boh-thian sendiri berpikir,
“Kenapa Siyaya tidak menyerang aku dengan sungguh-sungguh? Apa barang kali dia
cuma main-main dengan aku?”
Nyata ia tidak tahu bahwa
sebenarnya Ting Put-si sudah mengeluarkan segenap kepandaiannya, cuma kakek itu
tetap kalah setingkat sehingga ruyungnya tidak mampu mengenai Boh-thian.
Ting Tong cukup kenal watak
kakek-ciliknya itu, dalam keadaan kalap bukan mustahil sekali-kali ruyungnya
akan mengenai sasarannya, maka ia menjadi khawatir dan cepat berseru, “Engkoh
Thian, lekas balas menyerang, lekas! Kalau tidak bisa celaka kau!”
Mendengar suara jeritan nyaring
anak dara keluar dari mulut seorang “pelayan” rumah makan, keruan semua orang
menjadi heran dan memandang sekejap kepada si Ting Tong.
Sebaliknya Ciok Boh-thian
tidak mau mengerti. Pikirnya, “Mengapa bisa celaka? Ah, barangkali karena aku
tidak balas menyerang, maka Siyaya akan anggap aku telah menghinanya
sebagaimana halnya dahulu aku dianggap demikian oleh imam-imam Siang-jing-koan
karena aku menempur mereka dengan sebelah tangan terikat.”
Karena itu, segera ia
menjulurkan kedua tangannya terus mencengkeram ke dada Ting Put-si sekaligus,
yang dia gunakan adalah 13 jurus kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong dahulu.
Sudah tentu Ting Put-si
mengenal ilmu silat keluarganya sendiri itu. Hanya saja ia menjadi kaget karena
setiap jurus serangan yang tampaknya sepele, tapi di tangan Ciok Boh-thian
lantas menjadi suatu serangan dahsyat yang lihai. Keruan ia bingung dan
berteriak-teriak, “Ada setan! Ada setan!”
Beberapa jurus kemudian,
dengan gerakan “Hong-bwe-jiu” (Pegangan Ekor Burung Hong), tangan Boh-thian membalik
dan tepat ujung ruyung Ting Put-si kena dicengkeramnya. Sekuatnya Ting Put-si
membetot, tapi tidak bergoyah sedikit pun. Ia menjadi kalap, dengan bentakan
keras ia kerahkan segenap tenaganya untuk menarik, saking nafsunya ia menarik
sehingga ruas tulang seluruh badannya sampai berbunyi kratakan, nyata ia telah
keluarkan seluruh tenaganya habis-habisan.
Melihat si kakek sedemikian
ngotot hendak menarik kembali ruyungnya, Boh-thian membatin, “Jika kau tidak
mau lepas tangan, biarlah aku yang lepas saja!”
Waktu dia kendurkan
pegangannya, maka terdengarlah suara gedubrakan yang ramai gemuruh, tubuh Ting
Put-si mencelat ke belakang sehingga dinding rumah makan itu ambrol tertumbuk,
bahkan terus jatuh ke ruangan makan, meja kursi dan mangkuk piring ikut terseruduk
jatuh dan pecah berantakan. Menyusul terdengarlah empat kali jeritan ngeri,
seorang anak buah Kwantang dan tiga orang penonton biasa tahu-tahu telah jatuh
tersungkur, punggung mereka terlihat mengeluarkan darah.
Waktu Boh-thian memburu masuk,
dilihatnya punggung keempat orang itu ada yang terkena beling pecahan mangkuk,
ada yang terkena sumpit, tapi Ting Put-si sudah menghilang entah ke mana
perginya.
Kiranya Put-si tahu kalau
dirinya bukan tandingan Ciok Boh-thian lagi, saking gusar dan gemasnya lantas
dilampiaskannya kepada orang-orang yang berada di dekatnya, sekenanya ia sambar
pecahan mangkuk dan sumpit untuk menimpuk empat orang itu.
Ketika Hoan It-hui dan
kawan-kawannya memeriksa korban-korban yang jatuh itu, ternyata semuanya sudah
tidak bernyawa lagi. Kejut mereka tak terhingga mengingat keganasan Ting Put-si
itu. Coba kalau Ciok Boh-thian tidak turun tangan menolong mereka, tentu saat
ini mayat yang menggeletak di situ bukanlah keempat orang itu, tapi adalah
mereka berempat ciangbunjin dari Kwantang.
Segera mereka menjura kepada
Ciok Boh-thian dan mengucapkan terima kasih, “Atas budi pertolongan Siauhiap
(pendekar kecil), selama hidup kami ini takkan lupa. Tolong tanya siapakah nama
Siauhiap yang mulia?”
Karena sudah mendapat
petunjuk-petunjuk tentang tata krama dari ibunya, segera Ciok Boh-thian
membalas hormat dan menjawab, “Ah, hanya sedikit urusan saja tidak perlu
disebut-sebut lagi. Cayhe she Ciok dan bernama Tiong-giok.”
Lalu ia pun tanya nama dan
asal usul keempat orang itu.
Hoan It-hui memperkenalkan
dirinya bersama tiga kawannya, kemudian ia tanya pula nama si Ting Tong.
“O, dia bernama Ting-ting
Tong-tong, dia adalah... adalah....” berulang-ulang ia mengucapkan “adalah”,
mukanya menjadi merah dan tidak dapat menyambung lagi.
Sebagai orang yang lebih tua
dan berpengalaman luas, Hoan It-hui tidak menanya lebih lanjut. Ia pikir
sepasang muda-mudi ini mengadakan perjalanan bersama, sudah tentu ada hubungan
istimewa di antara mereka yang serbasusah untuk diceritakan kepada orang lain.
“Marilah kita pergi saja!”
demikian si Ting Tong lantas mengajak.
“Ya, baiklah!” sahut Boh-thian
sambil mohon diri kepada semua orang.
Berulang-ulang Hoan It-hui dan
kawan-kawan menyatakan terima kasih sambil mengantar. Mestinya mereka ingin
tanya pula dari golongan mana dan siapa perguruan Ciok Boh-thian, tapi lihat si
Ting Tong beberapa kali mengedipi pemuda itu, nyata mereka tidak ingin diganggu
lebih lama oleh orang lain, terpaksa It-hui berkata pula, “Budi pertolongan
Siauhiap tadi entah cara bagaimana harus kami balas. Di kemudian hari asal ada
perintah dari Siauhiap, biarpun masuk lautan api atau terjun ke dalam air
mendidih tidak nanti akan kami tolak.”
Tiba-tiba Boh-thian teringat
kepada tanya-jawab yang diajarkan ibunya, segera ia berkata, “Kita adalah
sesama orang Bu-lim, seharusnya kita saling bantu membantu. Jika kalian
sedemikian sungkan, aku jadi rikuh sendiri. Hari ini kita dapat bersahabat
sungguh aku merasa senang tak terhingga.”
Memangnya Hoan It-hui merasa
sangat berterima kasih karena jiwanya ditolong pemuda itu, ternyata tutur kata
jago muda budiman ini juga sedemikian ramah tamahnya, keruan ia tambah kagum
dan merasa suka berkawan padanya.
Begitu pula si Ting Tong
diam-diam merasa girang, “Coba, siapa berani mengatakan Engkoh Thian adalah
orang linglung, bukankah pikirannya sekarang sudah semakin jernih.”
Karena hatinya senang, maka
wajahnya lantas bersenyum simpul. Tapi ia lupa mukanya telah dipoles dengan
hangus, dadanya memakai kain koki, tapi kupingnya memakai anting-anting, maka
tampaknya menjadi ganjil dan lucu, diam-diam semua orang tertawa geli.
Ko Sam-niocu lantas memegang
lengan si Ting Tong, katanya dengan tertawa, “Pelayan rumah makan secantik ini
sungguh jarang terdapat di kampung halaman kita. Nyata beda sekali suasana di
Kanglam ini dengan daerah Kwantang kita.”
Mendengar itu, semua orang mengakak
tawa. Ting Tong juga mengikik, pikirnya, “Ya, saking gugupnya karena melihat
sicekkong (kakek-cilik keempat) tadi aku lantas buru-buru menyamar, sekarang
aku menjadi lupa mencuci muka dan melepaskan anting-antingku ini.”
Dalam pada itu kelihatan beberapa
ratus penduduk setempat sedang merubung dan menonton, agaknya mereka merasa
jeri karena pertarungan sengit tadi. Tapi Ting Put-si telah membunuh tiga
orang, tentu penduduk akan mengira mereka ini adalah kaum perampok dan kawanan
bandit yang biasa mengganas. Maka Ko Sam-niocu lantas berkata pula, “Kita
jangan lama-lama tinggal di sini, marilah berangkat.”
Lalu ia pun berkata kepada
Ting Tong, “Adik cilik, karena penyamaranmu ini mungkin bajumu sendiri telah
menjadi kotor. Aku membawa cukup banyak pakaian, jika kau sudi bolehlah mencari
suatu tempat untuk cuci badan dan ganti pakaianku. Sungguh gadis cantik seperti
dirimu ini selamanya belum pernah kulihat, kelak kalau kupulang ke Liautang
tentu engkau akan dapat kugunakan sebagai bahan cerita kepada sanak
keluargaku.”
Meski si Ting Tong adalah
seorang dara yang nakal dan cerdik, tapi sejak kecilnya mengikut kakeknya
tinggal di tempat yang terpencil dan berkelana di Kangouw, belum pernah ia
mendapat pujian sebagaimana diterimanya dari Ko Sam-niocu, keruan ia menjadi
senang sekali, sahutnya dengan tertawa, “Ah, masakah aku cantik? Cici terlalu
memuji saja!”
“Tapi... tapi pada malam...
malam itu kau benar-benar telah bersolek dengan sangat cantik,” tiba-tiba
Boh-thian ikut berkata. Maksudnya adalah malam pengantin mereka tempo hari,
cuma saja tidak jadi diucapkannya.
Ting Tong melototinya sambil
menjulur lidah.
Ko Sam-niocu lantas memberi
tanda dan berseru, “Marilah berangkat!”
Beramai-ramai semua orang
mengiakan. Segera mereka membawakan kuda, lebih dulu Ciok Boh-thian dan si Ting
Tong disilakan naik ke atas kuda, habis itu berbondong-bondong mereka pun
mencemplak ke atas kuda masing-masing, dengan membawa jenazah kawan mereka dari
Liautang itu dengan cepat mereka lantas meninggalkan tempat itu.
Bicara tentang usia maupun
ilmu silat sebenarnya Hoan It-hui adalah paling tinggi di antara rombongan
mereka itu. Tapi perjalanan mereka ke Tionggoan ini semua ongkos telah dipikul
oleh Ko Sam-niocu yang memang terkenal sangat tangan terbuka, menggunakan uang
seperti membuang sampah, maka nyonya itu berbalik seakan-akan menjadi pemimpin
dari rombongan.
Kuda yang mereka tunggangi
adalah kuda pilihan dari Liautang, maka dalam waktu singkat saja beberapa puluh
li sudah mereka lalui. Diam-diam Boh-thian tanya kepada Ting Tong, “Apakah
jalan ini menuju ke Ka-hin-hu?”
Ting Tong mengangguk dengan
tersenyum. Padahal letak Ka-hin-hu itu di jurusan tenggara, sebaliknya mereka
menuju ke arah timur laut, jadi jarak mereka dengan Ciok Jing menjadi semakin
jauh.
Petangnya mereka sampai di
Kota Peng-yang-ceh. Mereka bermalam pada suatu hotel yang terbesar di kota ini.
Kawan mereka yang mati itu adalah dari Gway-to-bun, maka Lu Cing-peng dan anak
muridnya berkewajiban menyelesaikan layonnya. Ko Sam-niocu sendiri membantu si Ting
Tong berdandan kembali sebagai wanita. Diam-diam Ko Sam-niocu merasa heran, si
Ting Tong berdandan sebagai nyonya muda, tapi tingkah lakunya jelas masih anak
perawan, sungguh ia tidak habis mengerti akan hal ini.
Jilid 34
Malamnya jago-jago Liautang
itu mengadakan perjamuan besar bagi Ciok Boh-thian. Karena tidak ingin
diketahui hubungan dirinya dengan Ting Put-si, maka setiap kali Ko Sam-niocu,
Hoan It-hui dan lain-lain memancing tentang asal usul dan perguruan dirinya dan
Ciok Boh-thian selalu Ting Tong berusaha membelokkan pokok pembicaraan.
Karena yang ditanya enggan
menerangkan, maka para jago itu pun tidak berani banyak bertanya lagi.
Melihat hubungan Ciok
Boh-thian dan si Ting Tong penuh kasih sayang, Ko Sam-niocu menduga tuan
penolongnya dengan adik perempuan cilik itu besar kemungkinan adalah sepasang
kekasih yang diam-diam minggat dari rumah. Jika demikian halnya, adalah tidak
tahu diri bila kita menghalangi malam bahagia mereka ini.
Sebab itulah, sesudah cukup
makan minum, Ko Sam-niocu lantas memberi tanda kepada Hoan It-hui,
masing-masing menggandeng Ciok Boh-thian dan Ting Tong untuk diantarkan ke
kamar mereka.
Dengan tertawa penuh arti Hoan
It-hui lantas mengundurkan diri, sebaliknya Ko Sam-niocu masih menggoda,
“Inkong, coba lihatlah, pengantin perempuan kita ini cantik sekali bukan?”
Muka Boh-thian menjadi merah,
ketika ia melirik si nona, tertampak air muka si Ting Tong juga merah jengah,
kerlingan matanya menggetar sukma, jantung Boh-thian memukul keras. Cepat kedua
muda-mudi itu sama-sama melengos, keduanya sama-sama mundur beberapa tindak dan
berdiri bersandar dinding.
Ko Sam-niocu mengekek tawa,
katanya, “Malam pengantin kalian ini janganlah disia-siakan, mengapa kalian
mesti malu-malu?”
Sambil berkata sebelah
tangannya lantas menutupkan pintu kamar dari luar, sebelah tangan yang lain
lantas mengayun pula, sebilah pisau terbang lantas menyambar sehingga batang
lilin yang menerangi kamar itu terpapas bagian atasnya. Seketika keadaan di
dalam kamar menjadi gelap gulita, sedangkan pisau terbang itu masih terus
melayang keluar dengan menembus jendela.
“Selamat malam dan selamat
tidur! Semoga kalian hidup bahagia sampai hari tua!” demikian Ko Sam-niocu
berseru dengan tertawa. Lalu pintu kamar dirapatkannya.
Seperti halnya pada malam
pengantin mereka dahulu, sekarang Ciok Boh-thian dan si Ting Tong juga
sama-sama bingung dan malu-malu walaupun dalam hati mereka sebenarnya seperti
dikilik-kilik.
Sebelum mereka sempat berbuat
apa-apa, tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang di pelataran sana, “Huh,
jika memang jantan dan kesatria sejati, hayolah keluar untuk berkelahi secara
terang-terangan, mengapa mesti main menimpuk pisau secara sembunyi-sembunyi,
huh, bukankah ini perbuatan kaum pengecut?”
Ciok Boh-thian dan Ting Tong
menjadi geli. Si nona lantas berlari mendekati Boh-thian, empat tangan saling
menggenggam dengan kencang. Nyata perbuatan Ko Sam-niocu yang menimpukkan pisau
untuk memadamkan api lilin mereka tadi telah menimbulkan salah paham orang di
luar itu.
Mestinya Ciok Boh-thian ingin
bersuara memberi penjelasan, tapi terasalah sebuah tangan yang halus dan lunak
telah mendekap mulutnya dan melarangnya bersuara. Segera ia pun rangkul si Ting
Tong ke dalam pelukan.
Dalam pada itu orang yang
berada di pelataran itu masih terus memaki, “Pisau terbang yang keji semacam
ini besar kemungkinan adalah perbuatan perempuan hina yang tidak kenal malu
dari Liautang itu. Hm, janda she Ko itu tidak becus ilmu silatnya,
paling-paling hanya pandai menyerang secara menggelap dengan pisau karatan
seperti ini. Jika kesatria dari Tionggoan sini tentu tidak sudi menggunakan
senjata rahasia begini.”
Oleh karena timpukan pisaunya
telah menimbulkan salah paham orang, mestinya Ko Sam-niocu tidak ingin cekcok
dan membiarkan orang mencaci dan habis perkara. Siapa duga caci maki orang itu
secara terang-terangan telah dialamatkan kepadanya, diam-diam ia heran, “Apakah
orang itu mengenali pisauku atau cuma omong sekenanya saja?”
Tapi caci maki orang itu
ternyata semakin galak dan meluas, katanya, “Huh, dasar Kwantang adalah daerah
miskin, daerah kere, di mana penuh kaum perampok dan kawanan bandit. Bedebah,
di sana ada seorang yang berjuluk ‘Ban-to-bun’ (Si Golok Lambat), permainan
goloknya lamban, pintarnya cuma menggunakan obat tidur untuk membikin celaka
orang. Ada pula seorang yang bernama Jing-coa-pang (Gerombolan Ular Hijau),
pekerjaannya cuma mengemis dengan membawa ular. Ada lagi seorang she Hoan pakai
nama ‘It-hui-lok-cui’ (Sekali Terbang Kecemplung ke Dalam Air), kemahirannya
adalah menggunakan dua batang kayu pencukit tahi, haha, sungguh menggelikan!”
Keruan gembar-gembor orang di
pelataran itu membuat jago-jago Liautang di dalam hotel menjadi gusar. Mereka tahu
orang sengaja mengolok-olok dan menantang kepada mereka.
Segera Lu Cing-peng menjinjing
goloknya dan menerjang ke pelataran. Maka tertampaklah seorang laki-laki pendek
kecil sedang mencak-mencak, mencaci maki dengan tak terhingga senangnya.
“Hai, sobat,” segera Lu
Cing-peng membentak, “apa maksudmu menggembar-gembor tak keruan di sini?!”
“Apa maksudku?” orang itu
menjawab. “Asal aku melihat muka orang dari Liautang aku lantas merasa muak dan
ingin kupenggal kepalanya untuk digantung di atas tiang sana.”
“O, bagus! Ini dia kepala
orang Liautang berada di sini, boleh coba kau memenggalnya!” seru Lu Cing-peng,
berbareng ia terus melompat ke samping orang itu, golok Ci-kim-to bekerja,
kontan ia menebas ke pinggang orang.
Orang itu menjerit, tahu-tahu
Ci-kim-to telah menebasnya menjadi dua sebatas pinggang. Badan bagian atas itu
sampai mencelat dua-tiga meter jauhnya dan darah memenuhi pelataran.
Sementara itu Hoan It-hui,
Hong Liang, Ko Sam-niocu, dan lain-lain telah berdiri di sekeliling pelataran
dan sedang menonton, mungkin mereka takkan terkejut seperti sekarang apabila
lelaki pendek kecil itu mengeluarkan ilmu silatnya yang hebat dan aneh atau
sekalipun Lu Cing-peng yang tertebas menjadi dua, sungguh sama sekali tak
terduga oleh mereka bahwa hanya dengan sekali tebas saja dan tanpa mengadakan
perlawanan, lelaki yang galak di mulut itu ternyata sudah terbunuh mati. Keruan
Lu Cing-peng sendiri juga ternganga kaget karena lawannya ternyata tidak mahir
ilmu silat sedikit pun.
Dan selagi semua orang saling
pandang dengan bingung itu, tiba-tiba di atas atap rumah ada suara orang
berkata dengan nada dingin, “Bagus sekali! Sungguh kepandaian yang hebat!
Lu-tayhiap dari Gway-to-bun di Liautang dengan sekali tebas telah membikin
pelayan hotel terputus menjadi dua potong!”
Waktu semua orang mendongak
dan memandang ke atas, maka tertampaklah seorang dengan jubah warna kelabu
sedang berdiri di atas rumah sambil bertolak pinggang.
Melihat itu sadarlah semua
orang bahwa orang yang dibunuh oleh Lu Cing-peng barusan kiranya adalah pelayan
hotel yang telah disuruh oleh orang tak dikenal itu untuk sengaja mencari
perkara kepada jago-jago Liautang.
Tanpa bicara lagi tangan Ko
Sam-niocu lantas bekerja “crit-crit-crit” tiga kali, tiga batang pisau terbang
terus menyambar ke atas. Namun dengan cepat sekali orang itu telah tangkap
sebilah pisau terbang terus melompat ke samping sehingga dua bilah pisau yang
lain juga terhindar.
Lalu dengan tertawa orang itu
berseru, “Atas kedatangan Su-tay-mui-pay dari Kwantang, kami akan menunggunya
dengan hormat di tengah hutan siong yang terletak 12 li di utara kota ini, jika
kalian tidak berani datang juga tidak menjadi soal.”
Dan sebelum Hoan It-hui dan
lain-lain menjawab, cepat orang itu lantas melompat turun ke sana terus
menghilang dalam kegelapan.
Untuk sejenak semua orang
terdiam. Kemudian berkatalah Ko Sam-niocu, “Kita akan pergi atau tidak?”
“Tak peduli siapa adanya pihak
lawan, sekali mereka sudah menantang, mau tak mau kita harus menerimanya,” ujar
Hoan It-hui.
“Benar,” tukas Ko Sam-niocu.
“Betapa pun kita harus mempertahankan martabat dan nama Su-tay-mui-pay dari
kalangan persilatan di Kwantang.”
Lalu ia mendekati jendela
kamar Ciok Boh-thian dan berseru, “Ciok-inkong, adik perempuan cilik, kami ada
janji dengan orang dan terpaksa harus berangkat dulu, biarlah besok saja kita
bertemu pula di kota sebelah depan sana.”
Setelah merandek dan tidak
mendapat jawaban Ciok Boh-thian, segera ia menyambung pula, “Di tempat ini
sudah terjadi perkara jiwa, tentu akan timbul kesukaran, maka ada lebih baik
Inkong berdua juga lekas berangkat saja daripada tersangkut dalam perkara ini.”
Dia tidak langsung minta Ciok
Boh-thian dan Ting Tong ikut hadir dalam pertemuan mereka nanti, maklum siang
harinya jiwa mereka baru saja ditolong oleh Ciok Boh-thian, kalau sekarang
mereka mengajaknya pula akan berarti pemuda itu seakan-akan telah dijadikan
pengawal mereka, hal ini tentu akan sangat memerosotkan derajat jago-jago
Su-tay-mui-pay dari Kwantang.
Namun segala gerak-gerik di
pelataran ini telah cukup jelas didengar oleh Ciok Boh-thian dan si Ting Tong.
Dengan bisik-bisik Boh-thian telah tanya Ting Tong, “Bagaimana kita harus
berbuat?”
“Ya, toh tidak dapat tinggal
terlalu lama lagi di sini, terpaksa kita harus mengikut di belakang mereka
untuk menonton,” ujar Ting Tong sambil menghela napas gegetun. Maklumlah, sebab
dengan demikian maka malam yang bahagia bagi mereka berarti akan dilalui dengan
sia-sia pula.
Namun Ciok Boh-thian ternyata
tidak berpikir dan tidak merasakan apa-apa tentang malam pengantin segala,
katanya pula, “Entah siapakah pihak lawan mereka itu, apakah tidak mungkin
adalah siyaya-mu?”
“Aku pun tidak tahu,” sahut
Ting Tong. “Biarlah kita jangan perlihatkan diri saja, boleh jadi siyaya-ku
yang akan mereka hadapi.”
“Wah, jika demikian tentu bisa
runyam,” seru Boh-thian dengan khawatir. “Le... lebih baik aku tidak ikut pergi
saja.”
“Tolol,” omel Ting Tong. “Jika
betul Siyaya yang akan mereka hadapi, kan kita dapat mengeluyur pergi secara
diam-diam? Sekarang ilmu silatmu sudah begini tinggi, Siyaya juga tidak mampu
membikin susah lagi padamu. Aku tidak khawatir, kau sendiri malah takut.”
Tengah bicara, terdengarlah
suara derapan kuda yang ramai, jago-jago Kwantang itu beramai-ramai sudah
meninggalkan hotel. Terdengar Ko Sam-niocu berteriak kepada pengurus hotel,
“Aku meninggalkan 210 tahil perak di sini, yang sepuluh tahil adalah biaya-biaya
tinggal kami, sedangkan 200 tahil yang lain adalah ganti rugi dan ongkos
penguburan si pelayan yang mati itu. Pembunuhnya adalah begal dari Soatang yang
bernama Ong Tay-hou, janganlah kalian merembet perkara ini kepada orang lain.”
Boh-thian menjadi heran, ia
tanya si Ting Tong dengan suara lirih, “Siapakah Ong Tay-hou itu?”
“Tolol! Itu kan nama palsu,
agar besok dalam laporan kepada yang berwajib ada cukup alasannya,” kata Ting
Tong.
Mereka lantas keluar juga dan
melihat dua ekor kuda tertambat di muka hotel, segera mereka mencemplak ke atas
kuda dan meninggalkan hotel itu. Walaupun tahu telah terjadi pembunuhan di
dalam hotel itu, tapi siapakah di antara penghuni-hotel yang berani keluar
untuk menegur mereka?
Begitulah Boh-thian dan Ting
Tong lantas mengintil rombongan jago-jago Kwantang itu dari jauh. Kira-kira
belasan li jauhnya, benar juga di depan sana terbentang sebuah hutan siong yang
lebat.
Dari jauh terdengar Hoan
It-hui telah berseru dengan suara lantang, “Entah sobat dari kalangan mana tadi
telah mengundang kami, maka sekarang orang-orang Han-bwe-ceng, Gway-to-bun,
Jing-liong-bun ,dan Ho-hou-kau sudah berada di sini dan mohon bertemu!”
Dalam kalangan Kangouw
terdapat semboyan yang mengatakan “Hong-lim-bok-jip” (Bila Ketemu Hutan
Janganlah Masuk), apalagi dalam malam gelap, siapa tahu kalau di dalam hutan
itu sudah disediakan perangkap bagi mereka? Sebab itulah jago-jago Kwantang itu
lantas berhenti di depan hutan dan menyapa.
“Marilah kita sembunyi di
semak-semak sana, coba lihat dulu apakah Siyaya atau bukan?” kata Ting Tong
kepada Boh-thian.
Kedua orang lantas melompat
turun dari kuda mereka, dengan merunduk mereka lantas sembunyi di belakang
sepotong batu besar yang sekelilingnya tumbuh rumput yang cukup lebat.
Ketika mendengar suara kaki
kuda, Hoan It-hui dan kawan-kawannya sudah tahu bahwa Boh-thian berdua jadi
mengikut di belakang mereka. Maka sekarang mereka pun tidak menyapa pemuda itu,
mereka memusatkan perhatian ke arah hutan. Empat pemimpin berdiri paling depan,
belasan anak murid mereka berbaris beberapa meter di belakang mereka. Akan
tetapi keadaan ternyata sunyi senyap, sedikit pun tiada jawaban apa-apa.
Malam itu bulan sudah
menyerong ke barat dan agak guram, wajah semua orang menjadi agak
kepucat-pucatan tersorot cahaya rembulan itu, perasaan mereka rada tegang.
Selang agak lama, tiba-tiba
terdengar suara suitan di dalam hutan, menyusul dari sebelah kiri dan kanan
lantas berlari keluar sebaris laki-laki berseragam hitam, kedua barisan yang
berjumlah ratusan orang itu lantas berputar ke belakang sehingga jago-jago
Kwantang itu akhirnya terkurung di tengah.
Sesudah itu, dari dalam hutan
kembali keluar sepuluh orang laki-laki seragam hitam pula, serentak kesepuluh
orang ini lantas berdiri secara berjajar.
Ciok Boh-thian bersuara heran
perlahan di tempat sembunyinya. Kiranya kesepuluh orang ini telah dikenalnya
semua. Mereka bukan lain daripada para hiangcu Lwe-go-tong dan wakilnya dari
Tiang-lok-pang. Bi Heng-ya, Tan Tiong-ci, Tian Hui dan lain-lain juga termasuk
di antara kesepuluh orang itu.
Dan sesudah kesepuluh orang
itu sudah berdiri di tempatnya, lalu keluar lagi seorang dari dalam hutan,
siapa lagi dia kalau bukan “Tio-jiu-seng-jun” Pwe Hay-ciok.
Lebih dulu tabib she Pwe itu
batuk-batuk beberapa kali, lalu membuka suara, “Para pemimpin Su-tay-mui-pay
dari Kwantang telah sudi berkunjung kemari, kami... huk, huk, tidak berani
menunggu di markas, tapi sengaja datang menyambut ke sini. Hanya saja... huk,
huk,... hanya saja kedatangan kalian agak terlambat, sungguh membikin para
saudara kami merasa tidak sabar lagi.”
Mendengar pembicaraannya
diseling dengan terbatuk-batuk, maka Hoan It-hui lantas tahu tokoh di
hadapannya ini pasti Pwe Hay-ciok yang termasyhur di dunia persilatan itu. Tapi
ia merasa lega malah setelah mengetahui bahwa pihak lawan ternyata adalah
Tiang-lok-pang yang justru menjadi tujuan perjalanan mereka ini. Ia pikir
kebetulan juga dapat bertemu dan bertempur untuk menentukan mati atau hidup
dengan Tiang-lok-pang di tempat ini daripada tanpa sebab terlibat dalam
permusuhan dengan Ting Put-si yang gila-gilaan itu.
Maka cepat ia memberi hormat
dan menjawab, “O, kiranya Pwe-siansing yang telah jauh-jauh menyambut
kedatangan kami ini, sungguh kami sangat terima kasih. Cayhe adalah Hoan It-hui
dari Ho-hou-kau dan saudara ini adalah....” begitulah ia lantas perkenalkan
pula Lu Cing-peng, Hong Liang, dan Ko Sam-niocu.
Melihat kedua pihak itu
bertemu secara ramah tamah, diam-diam Boh-thian menyangka mereka tidak jadi
berkelahi, segera ia membisiki si Ting Tong, “Kiranya adalah kawan-kawan
sendiri semua, marilah kita keluar untuk menemui mereka.”
Namun si Ting Tong pantas
mencegahnya, bisiknya perlahan, “Nanti dulu, tunggulah sebentar lagi!”
Di sebelah sana terdengar Hoan
It-hui mulai bicara pula, “Kami sudah berjanji akan berkunjung ke tempat kalian
pada hari Tiong-yang-ce, tak terduga di tengah jalan kami telah mengalami
sedikit halangan sehingga datang agak terlambat, untuk ini mohon Pwe-siansing
dan para hiangcu sudilah memaafkan.”
“Ah, tidak,” jawab Pwe-tayhu.
“Cuma saja Ciok-pangcu sudah cukup lama menunggu dan kalian belum juga
berkunjung datang, maka beliau telah berangkat pergi untuk urusan penting yang
lain. Beliau menyangka janji pertemuan kalian itu tentu telah dibatalkan, maka
tidak menunggu lebih lama lagi.”
Hoan It-hui tertegun atas
keterangan itu. Katanya kemudian, “Entah sekarang Ciok-enghiong pergi ke mana?
Sesungguhnya saja kedatangan kami dari jauh ke Tionggoan sini justru berharap
dapat berjumpa dengan Ciok-enghiong kalian. Jika tidak dapat bertemu, maka...
maka kami benar-benar sangat kecewa.”
“Dasar orang goblok,” demikian
si Ting Tong membisiki Boh-thian. “Dia berada bersama kau, makan-minum bersama
satu meja, tapi mengatakan tidak bertemu dengan kau dan sangat mengecewakan mereka.
Sungguh menertawakan.”
Dalam pada itu terdengar Hoan
It-hui telah menyambung lagi, “Kunjungan kami ini telah membawa juga sedikit
hasil bumi Kwantang, beberapa lembar kulit berbulu dan beberapa kati jinsom
untuk dipersembahkan kepada Ciok-enghiong, Pwe-siansing, dan para hiangcu yang
terhormat. Sedikit oleh-oleh yang tak berarti ini sudilah kiranya kalian terima
dengan suka hati.”
Habis bicara ia lantas memberi
tanda, segera ada tiga orang anak buahnya mendekati seekor kuda dan menurunkan
tiga bungkusan dari punggung binatang tunggangan itu. Lalu dengan membungkuk
hormat mereka mendekati Pwe Hay-ciok.
“Ah, kalian... kalian
benar-benar sangat baik hati,” sahut Pwe-tayhu dengan tertawa. “Atas... huk,
huk,... atas hadiah kalian yang berharga ini, sungguh kami sangat... sangat
berterima kasih, sangat berterima kasih!”
Lalu dari punggung sendiri
Hoan It-hui lantas menanggalkan juga sebuah bungkusan kecil, ia melangkah maju
tiga tindak, lalu bungkusan kecil itu dipersembahkan sambil berseru,
“Tonghong-pangcu dari Pang kalian dahulu pernah tinggal di Kwantang serta
mempunyai persahabatan yang akrab dengan kami. Di sini adalah sebuah jinsom tua
yang telah berbentuk badan manusia, kalau dimakan akan dapat awet muda dan
panjang umur, jinsom ini terhitung benda yang jarang terdapat, dengan ini
khusus kupersembahkan kepada Tonghong-toako.”
Dengan kedua tangannya dia
persembahkan bungkusan kecil itu, tapi sorot matanya menatap tajam kepada
Pwe-tayhu.
Diam-diam Ciok Boh-thian
sangat heran, ia tidak tahu dari mana munculnya seorang Tonghong-pangcu lagi?
Sementara itu terdengar
Pwe-tayhu sedang terbatuk-batuk beberapa kali, lalu menghela napas pula dan
menjawab, “Pangcu kami yang dahulu, Tonghong-toako, pada... huk, huk, pada
beberapa tahun yang lalu telah mengalami sesuatu urusan yang tidak
menyenangkan, beliau menjadi putus asa dan tidak mau mengurus soal organisasi lagi.
Sebab itulah segala urusan penting dari Pang kami telah diserahkan kepada
Ciok-pangcu yang sekarang. Tonghong toako sendiri lantas... huk, lantas
mengasingkan diri, sampai saat ini kami pun tidak pernah menerima kabar
beritanya dan sangat merindukan beliau. Sekarang kalian membawakan oleh-oleh
berharga ini, tapi entah cara bagaimana harus menyampaikan kepada beliau?”
“Entah Tonghong-toako
bertirakat di mana dan sebab apakah beliau sampai perlu mengasingkan diri?”
tanya It-hui. Lapat-lapat nadanya sudah mengandung maksud menegur dan mendesak.
Namun Pwe-tayhu menjawabnya
dengan tersenyum, “Cayhe cuma bawahan Tonghong-toako saja, pengetahuan kami
atas urusan pribadi beliau sangatlah terbatas dan tidak banyak. Jika saudara
Hoan dan para kawan mengaku adalah sahabat akrab Tonghong-pangcu, maka
kebetulan Cayhe ingin minta petunjuk: sebab apakah di kala Tiang-lok-pang
sedang berkembang dengan pesat dan namanya lagi jaya, tapi mendadak
Tonghong-pangcu malah menyerahkan beban yang amat berat ini kepada Ciok-pangcu?”
Tidak menjawab, sebaliknya
malah bertanya. Dengan demikian Hoan It-hui menjadi terdesak dan susah
menjawabnya.
“Tentang ini, mungkin...
mungkin....” It-hui menjawab dengan tergagap-gagap dan tidak sanggup
meneruskan.
Maka Pwe-tayhu lantas berkata
pula, “Pada waktu Tonghong-pangcu menyerahkan kedudukan pangcu, saat itu para
saudara kami boleh dikata sama sekali tidak mengetahui seluk-beluk tentang ilmu
silat dan pribadi Ciok-pangcu yang sekarang. Mengingat usianya masih sangat
muda namanya juga tidak menonjol di dunia persilatan, sekarang dia diharuskan
memimpin para kesatria, tentu saja menimbulkan ketidakadilan dalam hati
saudara-saudara kami. Namun sesudah Ciok-pangcu menduduki jabatannya,
berturut-turut beliau lantas melakukan beberapa pahala bagi Pang kami, hal ini
membuktikan bahwa pandangan Tonghong-pangcu benar-benar sangat tajam dan pintar
memilih penggantinya, bukan saja ilmu silatnya memang tinggi, bahkan
pengetahuannya juga lain daripada yang lain.... Huk, huk, jika tidak demikian
masakah beliau dapat bersahabat akrab dengan kalian? Hahahaha!”
Di balik kata-katanya, yang
terakhir ini seakan-akan dia ingin mengatakan bahwa kalau kalian anggap pilihan
Tonghong-pangcu itu tidak tepat, maka kalian yang merupakan sahabat pilihan
Tonghong-pangcu pula tentu juga bukan manusia baik-baik atau cuma kaum keroco
saja.
“Pwe-tayhu,” mendadak Lu
Cing-peng menimbrung, “berita yang kami peroleh di Kwantang justru tidak
demikian ini, sebab itulah maka jauh-jauh kami sengaja datang kemari untuk
menyelidikinya.”
“Berita yang tersiar sejauh
itu bukan mustahil telah sengaja ditambah dan dibuat-buat,” ujar Pwe Hay-ciok.
“Entah berita bohong apakah yang telah kalian dengar?”
“Ya, sebelum jelas duduknya
perkara yang sebenarnya memang susah untuk dikatakan apakah berita ini cuma
berita bohong atau bukan,” kata Lu Cing-peng. “Dari seorang kawan kami
mendengar, katanya Tonghong-toako telah... telah....” sampai di sini sorot
matanya mendadak berapi-api, nadanya lantas meninggi, “telah dibunuh oleh
pengkhianat dalam Tiang-lok-pang, kematiannya tidaklah jelas dan kedudukan
pangcu telah ditempati oleh seorang pemuda yang kejam, angkara murka dan cabul
pula perbuatannya. Apa yang kami dengar dari kawan itu rasanya bukan bualan
belaka. Mengingat persahabatan kami dengan Tonghong-toako di masa lampau,
walaupun kami sadar baik ilmu silat maupun derajat kami sesungguhnya tidak
sesuai untuk ikut campur dalam urusan Pang kalian, tapi demi untuk kepentingan
Tonghong-toako, terpaksa... terpaksa kami harus berlaku sembrono.”
“Benar, ucapan Lu-heng memang
tepat, tindakan kalian ini memanglah sembrono,” sambung Pwe Hay-ciok dengan
tertawa dingin.
Muka Lu Cing-peng menjadi
panas, diam-diam ia mengakui “Tio-jiu-seng-jun” Pwe Hay-ciok memang benar-benar
pintar dan cerdik. Segera ia menjawab dengan suara keras, “Sebenarnya soal
pengangkatan pangcu kalian, sebagai orang luar kami tidak perlu ikut campur.
Kedatangan kami jauh-jauh dari Kwantang ini hanya ingin tanya kepada Pang
kalian, sesungguhnya Tonghong-toako saat ini masih hidup atau sudah mati. Dia
mengundurkan diri sebagai pangcu sesungguhnya dilakukan secara sukarela atau
atas paksaan orang lain?”
Pwe Hay-ciok tertawa dingin.
Katanya, “Sekalipun orang she Pwe ini tidak becus, tapi jelek-jelek juga ada
sedikit nama di dunia Kangouw, apa yang sudah kukatakan masakah pernah dijilat
kembali? Biarpun kalian menganggap aku berdusta, apa mau dikata lagi, terpaksa
orang she Pwe akan berdusta sampai titik terakhir. Hehe, kalian adalah
orang-orang yang ada nama di dunia persilatan, dengan penuh semangat kalian
suka membela teman, hal ini sungguh harus dipuji dan dikagumi. Tapi dalam
urusan ini rasanya tidaklah tepat.”
Selamanya Ko Sam-niocu suka
disanjung puji orang, keruan sekarang ia menjadi gusar atas olok-olok Pwe
Hay-ciok itu. Dengan suara garang ia berkata, “Orang yang membunuh
Tonghong-toako bukan mustahil kau orang she Pwe inilah biang keladinya. Kedatangan
kami ke Tionggoan sini adalah untuk menuntut balas bagi Tonghong-toako,
memangnya kami sudah bertekad takkan pulang dengan hidup. Seorang laki-laki
sejati berani berbuat harus berani bertanggung jawab, mengapa kau bicara secara
plintat-plintut? Nah, lebih baik kau mengaku terus terang saja, sebenarnya
Tonghong-toako sudah meninggal atau masih hidup?”
Dengan acuh tak acuh Pwe
Hay-ciok menjawab, “Orang she Pwe ini sudah lama menderita sakit sehingga
selalu tersiksa, memangnya aku sudah merasa bosan hidup. Jika Ko Sam-niocu mau
bunuh, boleh silakan mulai saja.”
“Huh, percuma saja kau mengaku
sebagai tokoh persilatan, tapi main akal bulus terhadap nyonya besarmu ini,”
damprat Ko Sam-niocu. “Baiklah, jika kau tidak mengaku, bolehlah kau panggil
keluar itu anak jadah she Ciok, biar nyonya besar tanya langsung kepadanya.”
Ia pikir Pwe Hay-ciok terlalu
licik, untuk adu mulut rasanya tidak bisa menang, main kekerasan juga mungkin
kalah karena jumlah lawan lebih banyak. Sebaliknya Ciok-pangcu itu hanya seorang
pemuda ingusan, andaikan nanti tidak mau bicara terus terang, sedikitnya dari
sikapnya dan gerak-geriknya akan dapat diketemukan sedikit tanda-tanda yang
meyakinkan.
Akan tetapi Tan Tiong-ci yang
berdiri di sebelah Pwe Hay-ciok itu mendadak menanggapi, “Untuk bicara terus
terang kepada Ko Sam-niocu, memang Ciok-pangcu kami biasanya paling suka kepada
kaum wanita, tapi yang dia pilih hanya anak dara yang masih muda dan cantik,
yang masih halus dan empuk. Kalau beliau diminta menemui Ko Sam-niocu, hehe, kukira...
kukira....”
Ucapan Tan Tiong-ci itu
bernada sangat bangor, secara terang-terangan ia mengolok-olok Ko Sam-niocu
sudah tua lagi jelek mukanya, maka Ciok-pangcu mereka tentu tidak mau
menemuinya.
Diam-diam si Ting Tong merasa
geli, ia membisiki Boh-thian, “Sebenarnya Ko-cici juga sangat cantik, jika
menurut kata-kata Tan-hiangcu tadi, apakah kau juga telah penujui dia?”
“Hus, jangan sembarangan
mengoceh!” bentak Boh-thian tertahan sambil memegang tangan si nona.
Dalam pada itu Ko Sam-niocu
menjadi gusar, kontan ia telah menyambitkan tiga bilah pisaunya ke arah Tan
Tiong-ci.
Tapi Tan Tiong-ci dapat
mengelakkannya semua, katanya dengan tertawa, “Eh, apa gunanya kau penujui
diriku?....” begitulah mulutnya lantas mencerocos lagi dengan kata-kata yang
tidak senonoh.
Keruan Ko Sam-niocu semakin
kalap, segera pisau terbangnya menyambar lagi.
“Nanti dulu!” It-hui bermaksud
melerai.
Akan tetapi sekali Ko
Sam-niocu sudah murka, maka susahlah dihentikan, sekaligus ia telah
menyambitkan enam bilah pisau, yang satu menyambar terlebih cepat daripada yang
lain.
Keenam bilah pisau itu dapat
dihindarkan oleh Tan Tiong-ci, akan tetapi waktu pisau ketujuh menyambar tiba,
“cret”, ia tidak sempat mengelak, dengan tepat kaki kanan termakan, seketika
kaki Tan Tiong-ci sakit dan lemas sehingga berlutut.
“Huh, apa gunanya berlutut dan
minta ampun?” demikian Ko Sam-niocu balas mengejek.
Sekarang Tan Tiong-ci yang
menjadi murka, ia cabut pisau yang menancap di kakinya itu terus menerjang
maju. Akan tetapi Hong Liang telah putar ruyungnya dan menyabet sehingga
Tiong-ci terpaksa mundur lagi.
Tampaknya pertempuran total
segera dapat terjadi, untunglah pada saat itu mendadak Ciok Boh-thian lantas
berseru, “Jangan berkelahi! Jangan berkelahi! Kalian ingin bertemu dengan aku,
bukankah kalian sudah bertemu sekarang?”
Sembari bicara ia lantas
keluar dari tempat sembunyinya dengan gandeng tangan si Ting Tong, hanya
beberapa kali lompatan saja ia sudah berdiri di tengah-tengah orang banyak.
Serentak Tan Tiong-ci dan Hong
Liang yang telah siap-siap bertempur tadi lantas melompat mundur, segenap
anggota Tiang-lok-pang lantas bersorak gemuruh dan sama memberi sembah hormat,
“Pangcu sudah tiba!”
Keruan Hoan It-hui dan
lain-lain sangat terkejut. Sebenarnya dia merasa sangsi, tapi kalau melihat
sikap anggota-anggota Tiang-lok-pang yang sungguh-sungguh itu rasanya toh
tidaklah pura-pura. Lalu terpikir olehnya, “Ya, Inkong mengaku she Ciok,
usianya masih muda, ilmu silatnya sangat tinggi, memangnya tidaklah
mengherankan juga dia adalah Pangcu Tiang-lok-pang, adalah salah kami sendiri
yang tidak berpikir sampai begini jauh.”
Ko Sam-niocu juga lantas
menyapa, “Eh. Ciok... Ciok-inkong, kiranya kau adalah... adalah Pangcu
Tiang-lok-pang? Ai, kami benar-benar terlalu sembrono. Tahu begini, masakah
kami berani tidak memercayai lagi?”
Boh-thian hanya tersenyum,
katanya kepada Pwe Hay-ciok, “Pwe-siansing, sungguh tidak nyana bahwa kita akan
bertemu di sini. Mereka ini adalah sahabatku semua, jangan kita saling cekcok.”
Memangnya Pwe Hay-ciok juga
sangat girang atas munculnya Ciok Boh-thian, ia pun tiada permusuhan apa-apa
dengan jago-jago Kwantang itu, segera ia memberi hormat dan menjawab, “Pangcu
sudah datang sendiri, maka segala sesuatu terserah kepada kebijaksanaan
Pangcu.”
“Sungguh kami tidak pernah
menduga bahwa pangcu baru Tiang-lok-pang kiranya adalah Inkong,” demikian Ko
Sam-niocu berkata. “Kami telah percaya kepada berita bohong yang mengatakan
Tonghong-toako dicelakai kaum pengkhianat, makanya kami lantas mengadakan janji
pertemuan dengan Pang kalian. Tapi jika Pangcu baru ternyata adalah Inkong
adanya, dengan budi luhur Inkong ini tidaklah mungkin berbuat sesuatu yang
tidak pantas terhadap Tonghong-toako, kami percaya pasti Tonghong-toako yang
penujui Inkong karena nyata-nyata berjiwa luhur dan berkepandaian tinggi, maka
beliau rela mengundurkan diri dan memberikan tempatnya kepada tenaga muda. Cuma
keadaan Tonghong-toako entah baik-baik atau tidak?”
Ciok Boh-thian menjadi bingung
untuk menjawabnya. Ia berpaling dan coba bertanya kepada Pwe-tayhu,
“Tonghong... Tonghong-toako ini....”
“O, Tonghong-pangcu telah
mengasingkan diri di pegunungan sunyi, beliau tidak mau menemui tetamu dari
mana pun juga,” jawab Pwe Hay-ciok. “Ya, sayang, kalian yang penuh menaruh
perhatian atas diri beliau dan sengaja datang dari jauh, mestinya memang harus
bertemu dengan beliau.”
“Tadi ucapan Cayhe mungkin
agak kasar, untuk mana haraplah Pwe-siansing suka memberi maaf,” kata Hoan
It-hui sambil memberi hormat. Lalu sambungnya pula, “Hanya saja hubungan, kami
dengan Tonghong-toako boleh dikata lain daripada yang lain, maka betapa pun
juga kami harap dapatlah bertemu sejenak dengan beliau, untuk ini mohon Inkong
dan Pwe-siansing sudi meluluskan. Walaupun Tonghong-toako menyatakan tidak mau
menemui orang luar, tapi kami ini bukanlah orang luar.”
“Tempat tirakat Tonghong-toako
itu entah jauh atau tidak?” kata Boh-thian kepada Pwe Hay-ciok. “Sesungguhnya
memang sangat mengecewakan bila kedatangan Hoan-toako dan kawan-kawannya dari
tempat sejauh ini ternyata tidak dapat bertemu dengan beliau.”
Pwe Hay-ciok menjadi
serbasusah. Setiap ucapan sang pangcu boleh dikata adalah perintah. Tapi apa
yang terjadi di antara persoalan pangcu lama dan baru tampaknya sudah dilupakan
seluruhnya olehnya, di hadapan orang banyak tidak leluasa pula untuk
mengingatkannya kembali. Terpaksa ia mengulur tempo dan berkata, “Untuk ini
seketika juga susah diterangkan. Sementara ini silakan para tamu mampir dulu di
markas kita yang terletak tidak jauh dari sini, sambil minum sekadarnya
perlahan-lahan kita dapat membicarakannya lagi.”
“Markas kita terletak tidak
jauh dari sini?” Boh-thian menegas dengan heran.
Pwe-tayhu memandang sekejap
kepada pemuda itu. “Penyakit linglung Pangcu kembali kumat lagi?” pikirnya.
Tapi ia pun lantas menjawab, “Dari sini menuju ke timur laut, dengan mengambil
jalan singkat kita hanya perlu menempuh 50-an li saja sudah dapat sampai di
markas besar kita di Yangciu.”
Baru sekarang Boh-thian sadar
telah disasarkan oleh si Ting Tong. Waktu dia memandang si nona, si Ting Tong
telah menjawabnya dengan menjulurkan lidah dan tertawa.
Hoan It-hui dan kawan-kawannya
memang ingin mencari tahu di mana beradanya Tonghong Heng, maka mereka lantas
menerima baik undangan Pwe Hay-ciok.
Begitulah beramai-ramai mereka
lantas berangkat ke jurusan timur laut. Menjelang pagi mereka sudah sampai di
markas besar Tiang-lok-pang. Petugas-petugas penyambut tamu sibuk melayani Hoan
It-hui dan kawan-kawannya. Sedangkan Ciok Boh-thian dan si Ting Tong lantas
masuk ke ruangan dalam.
Melihat sang pangcu telah
pulang, Si Kiam sangat girang dan kejut pula ketika melihat beliau membawa
pulang seorang nona cantik. Pikirnya, “Baru saja kesehatannya sedikit pulih,
sekarang penyakit bangornya sudah kumat lagi. Tadinya kukira dia akan berubah
kelakuannya yang buruk ini, siapa duga dia tetap demikian. Ya, memangnya kalau
sifatnya itu dapat berubah, tentu matahari akan muncul dari arah barat.”
Sesudah cuci muka dan baru
saja Boh-thian minum teh, terdengarlah Pwe Hay-ciok berseru di luar kamar,
“Enci Si Kiam, harap sampaikan kepada Pangcu bahwa Pwe Hay-ciok mohon bertemu.”
Jilid 35
Tanpa menunggu laporan Si
Kiam, segera Boh-thian keluar dan berkata, “Pwe-siansing, memangnya aku ingin
bicara dengan kau. Sebenarnya bagaimana duduknya perkara tentang
Tonghong-pangcu?”
“Harap Pangcu ikut kemari,”
sahut Pwe Hay-ciok, Ia membawa Boh-thian menyusur taman dan sampailah di suatu
gardu pemandangan. Ia menunggu Boh-thian mengambil tempat duduk, habis itu
barulah dia sendiri pun berduduk. Lalu katanya, “Sesudah Pangcu menderita sakit
ini, jangan-jangan telah melupakan semua kejadian di masa lampau?”
Boh-thian sendiri sudah
mendengar pembicaraan ayah-ibunya dan mengetahui sebabnya orang-orang
Tiang-lok-pang mengangkatnya menjadi pangcu sebenarnya tidak dengan iktikad
baik, tapi justru ingin memperalat dan mengorbankan jiwanya demi keselamatan
orang banyak di dalam Pang mereka. Hanya saja selama ini Pwe Hay-ciok selalu
ramah tamah dan sangat menghormat padanya, di waktu dirinya menderita sakit
payah juga berkat pengobatannya yang tekun, biar bagaimanapun juga orang tua
itu telah banyak mengurangi penderitaannya. Jika sekarang dirinya menegur
dengan terus terang, tentu akan membuatnya kikuk. Apalagi kejadian-kejadian di
masa dahulu memangnya dirinya juga sudah lupa, untuk ini perlu juga mendapat
keterangan yang jelas.
Maka ia lantas menjawab, “Ya,
benar! Harap Pwe-siansing sudi menguraikannya dari awal sampai akhir
sejelas-jelasnya.”
“Tonghong-pangcu yang dulu
nama lengkapnya adalah Tonghong Heng, berjuluk Pat-jiau-kim-liong (Si Naga Emas
Delapan Cakar), beliau adalah Pangcu punya susiok, apakah Pangcu masih ingat?”
“Aku punya susiok?” Boh-thian
menegas dengan heran. “Mengapa... mengapa aku tidak ingat sedikit pun? Dari
aliran dan golongan manakah dia itu?”
“Tentang asal usul perguruan
Tonghong-pangcu, karena kami adalah kaum bawahan dan tidak pantas untuk tanya
kepada beliau,” sahut Pwe Hay-ciok. “Tiga tahun yang lalu, Pangcu sendiri mendapat
perintah Suhu....”
“Mendapat perintah Suhu? Siapa
sih guruku?” tanya Boh-thian.
Hay-ciok menggeleng-geleng
kepala. Katanya, “Penyakit Pangcu ini benar-benar sangat parah, sampai-sampai
gurunya sendiri pun sudah terlupa. Tentang perguruan Pangcu, kami sebagai
bawahan juga tidak mengetahui. Tempo hari, itu Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay
menuduh Pangcu adalah murid pelarian dari Swat-san-pay mereka, hal ini pun
membuat Siokhe (bawahan) merasa heran.”
Sampai di sini ia lantas
berhenti, agaknya mengharap agar Boh-thian menyambungnya dan membeberkan asal
usul perguruannya sendiri.
Tapi Boh-thian cuma
menerangkan, “Tentang guruku, aku hanya pernah mengangkat Su-popo dari
Kim-oh-pay sebagai suhu, hal ini pun baru terjadi tidak lama berselang.”
Lalu ia ketok-ketok dahi
sendiri karena apa yang diingatnya selalu berbeda daripada apa yang dikatakan
orang lain, hal demikian ini membuatnya sangat kesal. Kemudian ia menanya lagi,
“Lalu bagaimana sesudah aku mendapat perintah dari guruku?”
“Atas perintah guru Pangcu,
maka Pangcu telah datang menumpang kepada Tonghong-pangcu dan mohon
bimbingannya agar dapat menambah pengalaman. Tidak lama kemudian Pang kita
lantas terjadi suatu urusan penting, yaitu mengenai medali tembaga tanda
undangan Siang-sian dan Hwat-ok Sucia. Tentang ini apakah Pangcu masih ingat?”
“Tentang medali dari
Siang-sian dan Hwat-ok itu memang aku mengetahui,” sahut Boh-thian, “tapi
bagaimana dan apa yang dirundingkan pada waktu itu, hal ini sedikit pun aku
tidak ingat lagi.”
“Begini, menurut tradisi Pang
kita, setiap tahun satu kali kita mesti mengadakan sidang pleno pada tanggal
tiga bulan tiga,” demikian Pwe Hay-ciok menjelaskan. “Pada hari itu berkumpul
para hiangcu dari pusat dan para thocu dari cabang-cabang di berbagai tempat.
Pada suatu sidang besar tiga tahun yang lalu tiba-tiba ada kawan menyinggung
tentang kemajuan Pang kita yang pesat, lewat dua-tiga tahun lagi soal undangan
medali tembaga akan muncul pula di Kangouw, tatkala mana rasanya Pang kita
takkan terhindar daripada undangannya, lalu cara bagaimana harus menghadapinya,
ini harus dirundingkan sekalian supaya tiba saatnya nanti tidak tergesa-gesa
dan bingung.”
“Ya, benar itu,” ujar
Boh-thian sambil mengangguk. “Bila medali tembaga rasul-rasul itu sudah
disampaikan, kalau Pangcu tidak mau terima dan berjanji akan hadir, maka
segenap anggota tentu akan ikut menjadi korban. Hal ini aku sudah menyaksikan
sendiri.”
“Pangcu telah menyaksikan
sendiri?” tanya Hay-ciok terheran-heran.
“Sesungguhnya saja aku bukan
pangcu kalian,” kata Boh-thian. “Cuma tentang Siang-sian dan Hwat-ok Sucia itu
aku memang telah menyaksikannya sendiri, yaitu ketika mereka membunuh
habis-habisan orang-orang Hui-hi-pang dan Tiat-cha-hwe.”
Tentang tertumpasnya
Hui-hi-pang dan Tiat-cha-hwe lantaran menolak untuk menerima medali tembaga,
berita-berita itu sudah lama didengar oleh orang-orang Tiang-lok-pang.
Pwe Hay-ciok menghela napas,
lalu berkata pula, “Kita juga sudah menduga akan tiba suatu hari nahas seperti
kawan-kawan Kangouw itu, sebab itulah hiangcu yang dahulu mengemukakan
persoalan ini sesungguhnya cukup beralasan. Cuma saja Tonghong-pangcu menjadi
gusar dan anggap hiangcu she Ho itu sengaja menjangkitkan perasaan takut dan
mengeruhkan suasana, segera beliau memerintahkan Ho-hiangcu itu ditahan. Ketika
para kawan memohonkan ampun bagi Ho-hiangcu, pada lahirnya Tonghong-pangcu
menyatakan baik, tapi pada malamnya Ho-hiangcu itu lantas dibunuh olehnya,
besok paginya diumumkan katanya Ho-hiangcu telan membunuh diri karena takut
kepada dosanya sendiri.”
“Mengapa beliau berbuat
demikian?” tanya Boh-thian. “Ya, mungkin Tonghong-pangcu ada permusuhan pribadi
dengan Ho-hiangcu itu, kesempatan itu lantas digunakan untuk membunuhnya.”
“Tidak, tidak begitulah
soalnya,” kata Pwe Hay-ciok sambil menggeleng. “Alasan yang sesungguhnya adalah
karena Tonghong-pangcu tidak ingin orang lain mengungkat soal medali tembaga
itu.”
“O,” Boh-thian mengangguk dan
pahamlah dia.
Hendaklah maklum bahwa
sebenarnya dia mempunyai bakat yang pintar, soalnya dia jarang bergaul sehingga
seluk-beluk orang hidup sama sekali asing baginya. Tapi akhir-akhir ini dia
telah berkumpul dengan Ting Tong, selama beberapa hari berbicara dan tukar
pikiran pula dengan Ciok Jing dan Bin Ju, maka sekarang ia telah dapat meraba
pikiran orang lain, Pikirnya, “Rupanya Tonghong-pangcu sadar bila terima
undangan medali tembaga, maka berarti akan tamatlah riwayatnya. Sebaliknya
kalau tidak mau terima medali itu, tentu segenap anggota akan ikut berkorban.
Lantaran soal yang serbamenyusahkan ini, maka beliau tidak mau soal sulit itu
disebut-sebut.”
Dalam pada itu Pwe Hay-ciok
telah menyambung ceritanya, “Sudah tentu para kawan mengetahui bahwa beliau
sendiri yang telah membunuh Ho-hiangcu. Dari perbuatannya ini para kawan lantas
dapat menarik kesimpulan bahwa kelak bila medali tembaga itu disodorkan
kepadanya, tentu beliau akan menolak, tidak mungkin beliau rela mengorbankan
diri sendiri untuk keselamatan para kawan. Tatkala itu semua orang hanya
membatin saja, tapi tiada yang berani membuka suara. Pada saat itulah, hanya
engkau Pangcu yang telah tampil ke muka dan menegur Tonghong-pangcu atau
susiokmu itu.”
“Aku... aku yang tampil ke
muka dan... dan menegurnya?” Boh-thian menegas dengan terheran-heran.
“Benar!” sahut Hay-ciok.
“Waktu itu dengan tegas Pangcu telah berkata, ‘Susiok, sebagai seorang pangcu,
hendaklah engkau berpikir panjang demi kepentingan Pang kita di kemudian hari.
Hari munculnya Siang-sian dan Hwat-ok Sucia sebab tidak jauh lagi, sebabnya
Ho-hiangcu mengemukakan soal ini juga mengingat kebaikan kita bersama, tapi
Susiok telah mendesaknya sehingga dia membunuh diri, hal ini mungkin akan
menimbulkan rasa penasaran para kawan.’ — Tonghong-pangcu menjadi gusar dan
mendamprat engkau, ‘Anak kurang ajar! Di tengah sidang ini masakah kau berani
ikut bicara? Akulah yang mendirikan Tiang-lok-pang, kalau mau runtuh biarlah
aku pula yang meruntuhkannya, orang lain tidak perlu banyak bacot.’ — Ucapan
Tonghong-pangcu itu lebih-lebih menimbulkan rasa kurang puas para kawan. Tapi
Pangcu sendiri lantas berkata, ‘Susiok, engkau akan terima medali tembaga atau
tidak, akhirnya toh tetap akan mati, apa sih bedanya? Jika engkau tidak mau
terima, paling-paling jiwa kawan-kawan yang setia ini akan ikut menjadi korban,
cara demikian apa manfaatnya bagimu? Maka ada lebih baik kalau Susiok menerima
medali secara kesatria sehingga segenap anggota Pang kita pasti akan selamanya
teringat kepada budi kebaikanmu.’”
“Ya, benar juga kata-kata
ini,” ujar Boh-thian sambil angguk-angguk. “Akan tetapi... akan tetapi, Pwe-siansing,
aku merasa tidak... tidak mahir bicara sebagus itu. Aku tidak mampu mengucapkan
kata-kata seindah itu.”
“Ah, mengapa Pangcu mesti
merendah hati?” kata Hay-ciok dengan tersenyum. “Soalnya Pangcu baru saja
sembuh dari sakit keras, maka daya ingatanmu belum lagi pulih. Kelak bila
kesehatanmu sudah pulih, tentang kepandaianmu berbicara dan berdebat, jangankan
segenap kawan kita, sekalipun tokoh-tokoh Kangouw pada masa kini juga tiada
seorang pun yang dapat menandingi engkau.”
“Apa ya?” kata Boh-thian
dengan setengah percaya dan setengah ragu-ragu. “Lalu... lalu bagaimana sesudah
aku berkata begitu?”
“Seketika muka Tonghong-pangcu
lantas merah padam,” tutur Pwe Hay-ciok. “Beliau menggebrak meja dan
berteriak-teriak, ‘Kurang ajar! Hayo, lekas... lekas ringkus bocah murtad ini!’
— Tetapi meski dia membentak berulang-ulang, semua orang hanya saling pandang
belaka dan tiada seorang pun yang bergerak. Keruan Tonghong-pangcu semakin
murka, dia berteriak-teriak, ‘Ha! Jadi kalian telah bersekongkol dengan bocah
ini dan hendak berontak padaku? Baik, kalian tidak mau turut perintah, biarlah
aku sendiri yang membinasakan bocah keparat ini!’”
“Apakah para kawan tidak dapat
mencegahnya?” tanya Boh-thian.
“Sudah tentu semua orang tidak
mau turut perintahnya, tapi tetap tiada seorang pun yang berani bersuara,” kata
Hay-ciok. “Segera Tonghong-pangcu mengeluarkan senjatanya, Pat-jiau-hui-coa
(Cengkeram Bercakar Delapan), kontan dia lantas menyerang engkau, Pangcu. Tapi
dengan cepat engkau sempat menghindar. Berulang-ulang Tonghong-pangcu
melancarkan serangan mematikan, tapi satu per satu dapat dielakkan olehmu,
sebaliknya engkau tetap tidak balas menyerang. Permainan cengkeram delapan
cakar Tonghong-pangcu itu terhitung suatu kepandaian tunggal di dunia
persilatan, tapi engkau mampu menghindarkan beberapa kali serangannya, hal ini
sudah boleh dikata sangat hebat, Saat itu Bi-hiangcu lantas berseru, ‘Pangcu,
sutitmu telah mengalah beberapa kali seranganmu tanpa membalas, hal ini adalah
karena dia menghormati engkau sebagai pangcu dan susioknya, jika engkau
menyerang secara ganas lagi, tentu seluruh kesatria di jagat ini akan anggap kau
yang salah.’
“Tapi Tonghong-pangcu tambah
murka, bentaknya, ‘Boleh kau suruh dia balas menyerang saja! Memangnya kalian
sudah condong padanya, jika perlu bolehlah kalian maju semua dan bunuhlah aku,
angkatlah bocah ini sebagai pangcu, supaya terlaksana maksud tujuan kalian!’ —
Sambil memaki serangan-serangannya tidak pernah berhenti sehingga engkau
berulang-ulang terancam bahaya, tampaknya dengan segera jiwamu akan melayang di
bawah senjatanya.
“Pada saat itulah Tian-hiangcu
telah berseru padamu, ‘Terimalah pedang ini, Saudara Ciok!’ — Berbareng dia
lantas melemparkan sebatang pedang padamu. Sesudah bersenjata engkau mengalah
tiga jurus lagi, lalu berkata, ‘Susiok, aku sudah mengalah lebih 20 jurus, jika
kau tetap mendesak, janganlah menyalahkan aku berlaku kasar padamu.’ — Akan
tetapi dengan sinar mata yang buas Tonghong-pangcu menjawab kau dengan serangan
keji, mukamu segera hendak dicakar dengan senjatanya.
“Para kawan menjadi penasaran
dan berteriak-teriak menganjurkan engkau membalas serangannya. Akhirnya barulah
engkau mengucapkan maaf, lalu melancarkan serangan balasan. Pertarungan kalian
menjadi sangat seru. Kepandaian Tonghong-pangcu dan Pangcu adalah berasal dari
suatu perguruan, keruan para kawan susah membedakan siapa yang lebih unggul.
“Namun sesudah sekian lamanya,
akhirnya semua orang dapat melihat jelas bahwa Pangcu engkau belum mengeluarkan
segenap tenaga dan terang masih mengalah padanya, sebaliknya Tonghong-pangcu
menyerang semakin kalap. Akhirnya dengan sejurus yang menyerupai ‘Sun-cui-tui-ciu’
(Mendorong Perahu Menurut Arus) dapatlah engkau menusuk pergelangan tangannya,
hui-jiau terjatuh ke lantai, tapi engkau tidak menyerang lebih jauh, sebaliknya
lantas menarik senjata dan melompat mundur malah.
“Dengan muka pucat
Tonghong-pangcu terpaku di tempatnya, sinar matanya menyapu ke muka para kawan
satu per satu. Keadaan sunyi senyap, tiada seorang pun yang membuka suara.
Selang agak lama barulah Tonghong-pangcu berkata dengan nada iba, ‘Ya, baik,
baik!’ — Lalu ia melangkah keluar dengan cepat. Para kawan hanya menyaksikan
kepergiannya itu dan tetap tidak seorang pun yang bersuara.
“Dengan perginya
Tonghong-pangcu itu, teranglah beliau merasa malu untuk kembali lagi. Tapi Pang
kita tidak boleh tanpa pimpinan, maka beramai-ramai para kawan lantas
mengangkat engkau sebagai pangcu. Waktu itu dengan rendah hati engkau berkata,
‘Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa, sebenarnya aku tidak berani menanggung
kewajiban seberat ini. Cuma saja mengingat dua-tiga tahun lagi akan muncul pula
soal medali tembaga, maka sementara ini biarlah aku menjabat kedudukan ini,
jika medali tembaga itu diantar kemari, akulah yang akan menerimanya dengan
baik untuk menanggung segala akibatnya.’
“Mendengar pernyataanmu itu,
serentak para kawan bersorak gembira dan lantas menyembah padamu. Kepandaianmu
tinggi dan telah menundukkan Tonghong-pangcu, sekarang engkau menyanggupi pula
berkorban bagi orang banyak, budi kebaikanmu itu sungguh tiada taranya. Para
kawan merasa tidak kecewa telah mendukung engkau sebagai pangcu.”
“O, makanya beberapa kali aku
melancong keluar, kalian menjadi panik dan khawatir kalau-kalau aku tidak
pulang lagi,” kata Boh-thian.
Muka Pwe Hay-ciok menjadi
merah. Cepat ia berkata, “Kami hanya khawatirkan keselamatan Pangcu. Selama ini
walaupun Pangcu agak keras terhadap para kawan, tapi budi kebaikan Pangcu tetap
membuat kami berterima kasih.”
“Pwe-siansing,” kata Boh-thian
sesudah merenung sejenak, “kejadian-kejadian di masa lampau aku sudah tidak
ingat lagi. Maka hendaklah kau jangan menutupi apa adanya, sebenarnya aku
pernah berbuat kesalahan-kesalahan atau tidak?”
“Dikatakan kesalahan,
sebenarnya juga jamak,” ujar Pwe Hay-ciok dengan tersenyum. “Usia Pangcu masih
muda, tentu juga agak romantis dan suka pelesir. Pula wanita-wanita itu
kebanyakan adalah sukarela, tidaklah banyak terjadi pemaksaan. Nama
Tiang-lok-pang kita memangnya tidak terlalu disukai orang luar, andaikan
terjadi apa-apa juga dianggap sepele saja oleh para kawan.”
Diam-diam Boh-thian sangat
mencela kepada dirinya sendiri. Ia tahu ucapan Pwe Hay-ciok itu meski
kedengaran soal sepele, tapi jelas selama beberapa tahun ini dirinya pasti
sudah banyak melakukan perbuatan tidak senonoh, yaitu dalam hal main perempuan.
Akan tetapi sudah dipikir dan diingat kembali, rasanya selain si Ting Tong toh
dirinya tidak pernah berhubungan dengan perempuan lain lagi.
“Pangcu,” Hay-ciok berkata
pula, “Siokhe ingin mengemukakan sesuatu yang agak menyinggung, entah Pangcu
sudi mendengarkan atau tidak?”
“O, ya, aku justru ingin
mendapat petunjuk-petunjuk Pwe-siansing silakan bicara terus terang saja,”
sahut Boh-thian cepat.
“Bahwasanya Tiang-lok-pang
terpaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan gelap, hal ini memang susah dihindarkan,
kalau tidak daripada kita memperoleh pembiayaan sandang-pangan bagi beberapa
ribu anggota Pang kita? Memangnya kita juga bukan kaum kesatria dari kalangan
pek-to (golongan baik-baik) sehingga tidak perlu patuh kepada adat peraturan
mereka yang tengik. Cuma saja mengenai putri atau istri bawahannya sendiri,
menurut pendapat Siokhe ada lebih baik Pangcu jangan terlalu menggubrisnya
agar... agar tidak menimbulkan sengketa di antara saudara-saudara kita
sendiri.”
Seketika muka Boh-thian merah
jengah. Teringat olehnya pada malam itu Tian-hiangcu telah berusaha membunuhnya
dengan menuduh dirinya telah mencemarkan kehormatan istri hiangcu itu. Karena
dirinya kena penyakit hilang ingatan, bukan mustahil hal demikian itu memang
betul terjadi, wah, lantas bagaimana baiknya sekarang?
Dalam pada itu Pwe Hay-ciok
telah berkata pula, “Tingkah laku Ting Put-sam, Ting-losiansing itu rada aneh,
ilmu silatnya juga sangat tinggi, jika Pangcu berhubungan dengan cucu
perempuannya, kelak kalau Pangcu membuangnya lagi, mungkin Ting-losiansing
tidak mau terima dan hal ini berarti akan menambah permusuhan....”
“Mana bisa aku membuangnya?”
sela Boh-thian.
Hay-ciok tersenyum, katanya,
“Di waktu Pangcu sedang menyukai seorang nona sudah tentu Pangcu menganggapnya
sebagai jantung hati kesayangan. Cuma biasanya Pangcu tidak bisa lama menyukai
nona-nona itu. Tentang nona Ting, jika Pangcu benar-benar suka padanya juga
tidak menjadi soal, tapi janganlah sekali-kali mengadakan upacara nikah segala
supaya tidak masuk perangkap Ting-losiansing itu.”
“Akan tetapi aku... aku sudah
menikah dengan dia,” kata Boh-thian dengan rada tergagap.
“Ya, waktu itu penyakit Pangcu
belum lagi sembuh, besar kemungkinan dalam keadaan tak sadar Pangcu telah
terjerat oleh perangkap Ting Put-sam, hal ini pun tidak perlu dianggap,” ujar
Hay-ciok.
Boh-thian mengerut dahi dan
merasa bingung untuk menjawabnya.
Sampai di sini Hay-ciok merasa
sudah cukup membicarakan soal pribadi sang pangcu, kalau melampaui batas boleh
jadi akan mendatangkan rasa rikuh malah. Maka ia lantas membelokkan pokok
pembicaraan, katanya, “Su-tay-mui-pay dari Kwantang telah datang kemari dengan
garang sekali, tapi begitu bertemu dengan Pangcu sikap mereka lantas lunak,
bahkan memanggil inkong tak habis-habis, hal ini menandakan budi luhur dan
wibawa Pangcu yang tiada bandingannya.”
Kiranya tentang Ciok Boh-thian
menggempur lari Ting Put-si serta menolong jiwa Ko Sam-niocu dan kawan-kawannya,
di tengah jalan jago-jago Kwantang itu sudah bercerita kepada orang-orang
Tiang-lok-pang, dan sudah tentu banyak dibumbu-bumbui.
Maka Pwe Hay-ciok berkata
pula, “Meski ilmu silat orang-orang itu selisih sangat jauh dibandingkan
Pangcu, tapi di dunia persilatan mereka pun tergolong tokoh-tokoh ternama.
Mereka telah utang budi kepada Pangcu, kesempatan ini dapat digunakan untuk
merangkul mereka. Jika nanti mereka bertanya pula tentang Tonghong-pangcu,
hendaklah Pangcu menjawab bahwa Tonghong-pangcu sudah mengundurkan diri,
kejadian yang Siokhe ceritakan tadi tidaklah perlu diberitahukan kepada mereka
agar tidak menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan.”
“Ya, saran Pwe-siansing ini
memang beralasan,” kata Boh-thian sambil mengangguk.
Sesudah bicara sejenak pula,
kemudian Pwe Hay-ciok mengeluarkan sehelai daftar dan melaporkan tentang
keuangan organisasi, tentang mutasi petugas, tentang penerimaan sumbangan dari
pelabuhan atau dari gunung mana.
Sudah tentu Ciok Boh-thian
tidak paham tentang administrasi segala, apalagi dia memang buta huruf, maka
dia hanya mengiakan saja atas laporan Pwe Hay-ciok itu.
Cuma sekarang lantas
diketahuinya juga bahwa apa yang dilakukan oleh Tiang-lok-pang kiranya adalah
hal-hal yang tidak halal, banyak diterima upeti dari kaum begal di berbagai
tempat, hakikatnya adalah persekongkolan dan membagi rezeki. Hati Boh-thian
merasa tidak enak, tapi tidak tahu cara bagaimana harus bicara kepada Pwe
Hay-ciok.
Malamnya diadakan perjamuan
besar-besaran untuk menghormati jago-jago dari Kwantang itu. Hoan It-hui, Ko
Sam-niocu, Hong Liang, dan Lu Cing-peng berempat duduk di tempat yang terhormat
dengan diiringi Ciok Boh-thian, Pwe Hay-ciok, dan si Ting Tong.
Sesudah saling angkat gelas
serta mengobrol hal-hal yang biasa, kemudian Hoan It-hui berkata, “Dengan bakat
Inkong yang tinggi ini sehingga Tiang-lok-pang semakin berkembang dan jaya,
untuk ini Tonghong-toako tentu juga merasa sangat senang.”
“Saat ini Tonghong-pangcu
sendiri sedang menikmati kehidupannya yang aman dan tenteram, beliau tidak mau
ikut campur lagi urusan-urusan dalam Pang, maka kami pun tidak berani
melaporkan sesuatu kepadanya,” kata Hay-ciok.
Dan baru Hoan It-hui ingin
memancing lebih jauh untuk mendapatkan keterangan tentang diri Tonghong Heng,
tiba-tiba wakil hiangcu dari Hou-beng-tong mendekati Pwe Hay-ciok dengan
tergesa-gesa dan membisiki apa-apa kepadanya. Lalu Hay-ciok mengangguk dengan
tersenyum. Kemudian ia berpaling dan berkata kepada Ciok Boh-thian, “Harap
Pangcu maklum bahwa Swat-san-pay telah mengirim bala bantuan kemari dengan
maksud menolong kawan-kawan mereka. Di luar dugaan mereka, bukannya berhasil
menolong kawan mereka, sebaliknya dua orang di antara penyatron baru itu
kembali diringkus kita lagi.”
“Ha, anak murid Swat-san-pay
telah kita tawan?” Boh-thian menegas dengan terkejut.
“Tempo hari sesudah Pangcu
meninggalkan markas bersama Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay itu, Siokhe dan para
kawan merasa khawatir kalau-kalau Pangcu kena diingusi oleh orang she Pek itu,
maka menyusul para kawan lantas bergerak serentak untuk mencari jejak Pangcu,”
demikian Pwe Hay-ciok menjawab tanpa menjelaskan ditawannya Ciok Boh-thian oleh
Pek Ban-kiam dahulu supaya tidak kehilangan muka di hadapan jago-jago Kwantang
itu, “Di tengah jalan kita telah pergoki serombongan mereka di sini. Cuma
sayang Pek Ban-kiam itu cukup cerdik sehingga hanya ia sendiri yang berhasil
lolos.”
“Dan bagaimana dengan nona Hoa
Ban-ci itu?” mendadak si Ting Tong menimbrung.
“Dia sudah tertawan lebih dulu
pada rombongan pertama, tatkala mana nona Ting juga berada di sini, bukan?”
sahut Hay-ciok. “Pertama kali itu seluruhnya kita telah menawan tujuh orang
Swat-san-pay.”
Hoan It-hui dan kawan-kawannya
terperanjat. Sungguh tak terduga oleh mereka bahwa Swat-san-pay yang begitu
tersohor ternyata sudah dikalahkan habis-habisan oleh Tiang-lok-pang.
Maka Pwe Hay-ciok menyambung
pula, “Ketika kita memeriksa dan menanyakan jejak Pangcu kepada anak murid
Swat-san-pay itu, mereka sama mengaku bahwa pada malam itu juga Pangcu telah
meninggalkan kelenteng kecil itu, kemudian tidak pernah bertemu lagi. Setelah
yakin keadaan Pangcu tidak kurang suatu apa pun, Siokhe dan para kawan barulah
merasa lega. Sekarang terserahlah kepada kebijaksanaan Pangcu cara bagaimana
akan memperlakukan orang-orang Swat-san-pay itu.”
Diam-diam Boh-thian membatin,
“Menurut cerita ayah-ibu, katanya dahulu aku pernah berguru kepada Swat-san-pay
dan orang-orang Swat-san-pay ini masih terhitung paman guruku. Sekarang mana
boleh aku menahan mereka apalagi menghukum mati mereka?”
Maka berkatalah Boh-thian,
“Kukira di antara kita dan Swat-san-pay telah terjadi sedikit salah paham, maka
lebih baik... lebih baik berkawan saja daripada mencari lawan. Pwe-siansing,
kukira bebaskan mereka saja dan undang mereka ikut makan minum sekalian,
bagaimana pendapatmu?”
“Jika Pangcu anggap jalan ini
adalah paling baik, nyata sekali keluhuran budi Pangcu ini harus dipuji,” sahut
Pwe Hay-ciok dengan tertawa. Segera ia memberi perintah, “Bawalah kemari
orang-orang Swat-san-pay itu!”
Wakil hiangcu tadi mengiakan
terus berlalu. Sejenak kemudian empat anggota Tiang-lok-pang telah menggiring
datang dua lelaki berbaju putih. Tangan kedua orang itu terikat telikung, baju
mereka berlepotan darah, agaknya sebelum tertawan mereka telah melawan
mati-matian sehingga terluka.
“Lekas maju dan menyembah
kepada Pangcu!” bentak wakil hiangcu tadi.
Lelaki yang berusia lebih tua
hanya mendelik saja. Sebaliknya kawannya berumur 30-an itu lantas mencaci maki,
“Sembah apa? Jika berani bolehlah bunuh saja tuan besarmu ini! Kalian kawanan
bandit yang kejam ini adakalanya tentu akan menerima ganjaran yang setimpal.
Tunggulah kedatangan guruku, Wi-tek Siansing, beliau akan mencincang kalian
sehingga hancur luluh untuk membalas dendam kami.”
“Dampratan Si-sute sangat
tepat! Ya, makilah mereka, bandit anjing! Maling yang tidak tahu malu!”
demikian mendadak suara seorang yang keras menanggapi dari luar.
Menyusul terdengarlah suara
gemerencing nyaringnya rantai besi makin mendekat.
Tertampaklah 20-an orang
Swat-san-pay yang terborgol semua telah memasuki ruang pendopo dengan
bersitegang leher. Kheng Ban-ciong, Houyan Ban-sian, Kwan Ban-lu, Kwa Ban-kin,
Ong Ban-jim, Hoa Ban-ci, semuanya termasuk di antara tawanan-tawanan itu.
Bahkan Ong Ban-ek yang memiliki ginkang tertinggi sekarang juga ikut
tertangkap.
Begitu masuk, Ong Ban-jim dan
kawan-kawannya lantas mencaci maki lebih keras lagi, ada pula di antaranya
berteriak murka, “Huh, dasar bangsat pengecut, hanya pandai main asap pembius
dan obat tidur, perbuatan demikian biasanya cuma dilakukan oleh golongan maling
ayam yang rendah!”
Mendengar itu. Hoan It-hui
saling pandang sekejap dengan kawan-kawannya. Pikir mereka jika apa yang
dituduhkan orang-orang Swat-san-pay itu benar, memang perbuatan demikian itu
bukanlah sesuatu yang gemilang walaupun berhasil membekuk lawan-lawannya.
Rupanya Pwe Hay-ciok dapat
menduga pikiran jago-jago Kwantang itu, segera ia berbangkit. Katanya dengan
tertawa, “Ya, memang tempo hari kami telah menggunakan obat tidur, hal ini
bukanlah kami takut kepada kepandaian kalian, tapi adalah mengingat hubungan
Ciok-pangcu dengan perguruan kalian, kalau sampai kami melukai kalian tentulah
tidak baik. Sekarang kalian bergembar-gembor, agaknya kalian merasa penasaran
karena telah tertawan. Baik begini saja, boleh kalian maju satu per satu untuk
coba-coba padaku, asal salah seorang di antara kalian mampu bertahan sepuluh
jurus saja, maka Tiang-lok-pang kami boleh kalian anggap bangsat yang rendah
dan pengecut?”
Tempo hari dalam pertempuran
di markas besar Tiang-lok-pang ini Pwe Hay-ciok telah memperlihatkan
kepandaiannya “Ngo-heng-liok-hap-ciang”, Kwa Ban-kin dan kawan-kawannya tiada
satu pun yang mampu melawannya, hanya dalam dua-tiga jurus saja sudah kena
ditutuk roboh semua, maka untuk bergebrak sepuluh jurus dengan Pwe Hay-ciok
sekarang memang bukanlah soal mudah.
Si Ban-lian, murid
Swat-san-pay yang baru sekarang ikut tertawan, dia belum kenal betapa lihainya
Pwe Hay-ciok. Sebaliknya ia melihat muka Pwe Hay-ciok pucat kurus seperti orang
sakit tebese, sudah tentu ia tidak takut padanya. Terus saja berteriak,
“Tiang-lok-pang kalian hanya menang dengan jumlah orang lebih banyak, apanya
yang luar biasa? Huh, jangankan sepuluh jurus, biar seratus jurus juga akan
Locu layani!”
“Bagus, bagus!” kata Hay-ciok
dengan tertawa. “Saudara ini benar-benar pemberani dan harus dipuji. Kita boleh
bertaruh saja, jika kau mampu bertahan dalam sepuluh jurus, maka Tiang-lok-pang
boleh dianggap sebagai kawanan bangsat pengecut, tapi kalau saudara yang kalah
di dalam sepuluh jurus, apakah Swat-san-pay juga boleh dianggap sebagai kawanan
bandit pengecut?”
Sambil bicara ia terus
mendekati Si Ban-lian dan begitu mengebut dengan jarinya, kontan beberapa utas
tali yang meringkus di tubuh Si Ban-lian itu lantas putus semua. “Nah, silakan
mulai sekarang!” kata Hay-ciok pula dengan tertawa.
Hanya dengan sekali kebutan
jari saja tali-tali rami sebesar jeriji itu lantas putus semua, padahal tadi Si
Ban-lian telah meronta sekuatnya dan tidak mampu melepaskan diri. Keruan muka
Ban-lian menjadi pucat, tanpa merasa badannya menjadi gemetar.
Pada saat itulah tiba-tiba
dari luar ada suara seorang menanggapi ucapan Pwe Hay-ciok tadi, “Bagus, bagus!
Jadilah kita bertaruh!”
Mendengar suara itu, anak
murid Swat-san-pay lantas bergirang, sebaliknya orang-orang Tiang-lok-pang
melengak, sampai-sampai Pwe Hay-ciok sendiri juga rada terkejut.
Maka tertampaklah seorang yang
gagah berwibawa telah muncul di depan pintu. Siapa lagi dia kalau bukan
“Gi-han-se-pak” Pek Ban-kiam.
Sesudah melangkah masuk,
segera Ban-kiam memberi salam kepada Hay-ciok, lalu berkata, “Cayhe tidak
becus, tapi ingin coba-coba sepuluh jurus dengan Pwe-siansing.”
Pwe Hay-ciok tersenyum,
sikapnya tetap sangat tenang, tapi batinnya sebenarnya serbarunyam. Menurut
kepandaian Pek Ban-kiam, rasanya paling sedikit harus ratusan jurus lebih baru
bisa menangkan tokoh Swat-san-pay ini, jadi tidaklah mungkin dapat
mengalahkannya di dalam sepuluh jurus saja.
Namun sebagai seorang tua yang
berpengalaman, hanya berpikir sekejap saja ia lantas menjawab dengan tertawa,
“Pertaruhan sepuluh jurus hanya dapat digunakan untuk menggertak para sute
Pek-tayhiap saja, sekarang Pek-tayhiap sendiri yang datang, maka syarat
pertaruhan ini perlu diubah sedikit. Jika Pek-tayhiap ada minat buat lemaskan
otot dengan Cayhe, maka bolehlah kita tentukan saja di dalam dua-tiga ratus
jurus.”
“O, kiranya apa yang telah
diucapkan Pwe-siansing tadi dijilat kembali?” desak Pek Ban-kiam.
“Hahaha!” Hay-ciok tertawa.
“Pertaruhan sepuluh jurus hanya ditujukan kepada kaum muda yang hijau dan
congkak saja, masakah Pek-tayhiap tergolong orang-orang demikian ini?”
“Jika Tiang-lok-pang mau
mengaku sebagai kawanan bangsat pengecut, apa halangannya kalau aku dianggap
masih hijau dan congkak?”
Kiranya sesudah Pek Ban-kiam
masuk ke ruang pendopo, ia menjadi mendongkol ketika melihat Ciok Boh-thian
duduk terhormat di tengah ruangan, sebaliknya para sutenya bermuka pucat dan
teringkus semua. Sebab itulah ia terus pegang kelemahan ucapan Pwe Hay-ciok tadi
agar dia mau mengaku bahwa Tiang-lok-pang adalah kawanan bangsat pengecut.
Pada saat itulah tiba-tiba di
luar ada orang berseru dengan suara lantang, “Nyo Kong dari Ka-hin-hu dan
suami-istri Ciok Jing dari Hian-soh-ceng datang berkunjung!”
Itulah suaranya Ciok Jing.
Ciok Boh-thian sangat girang,
cepat ia melompat bangun sambil berseru, “Ayah! Ibu!” Berbareng ia terus
berlari keluar. Ketika lewat di samping Pek Ban-kiam, mendadak Ban-kiam pegang
tangannya. Karena di luar dugaan, tahu-tahu nadi pergelangan tangan Ciok Boh-thian
sudah terpencet. Tapi dia buru-buru ingin menemui ayah-ibunya, tanpa pikir lagi
ia lantas mengebaskan tangannya, di mana tenaga murninya bekerja, seketika
Ban-kiam merasa separuh tubuhnya pegal kesemutan, lekas-lekas Ban-kiam lepas
tangan, namun tidak urung terasa juga suatu arus tenaga mahadahsyat telah
menumbuk ke arahnya, cepat ia melangkah mundur.
Air muka Ban-kiam berubah
seketika. Dilihatnya Pwe Hay-ciok sedang tersenyum-senyum padanya sambil
berkata, “Benar-benar kepandaian yang hebat!”
Ucapan ini seperti memuji Ciok
Boh-thian, tapi sesungguhnya menyindir kepandaian Pek Ban-kiam terlalu cetek,
masih hijau dan sombong.
Dalam pada itu tertampaklah
Ciok Boh-thian telah masuk kembali mengiring kedatangan Ciok Jing dan Bin Ju,
selain itu ada pula seorang tua berjenggot putih dan berbadan tinggi besar.
Jarak Yangciu dan Ka-hin-hu
tidak terlalu jauh, maka jago-jago Tiang-lok-pang mengenali Nyo Kong adalah
tokoh silat ternama di daerah Kanglam, lebih-lebih sang pangcu memanggil Ciok
Jing dan Bin Ju sebagai “ayah-ibu”, dengan sendirinya mereka lantas berbangkit
sebagai tanda hormat.
Dengan penuh kasih sayang
tertampak Ciok Boh-thian menggandengi tangan Bin Ju. Nyonya itu tersenyum
simpul, katanya kepada Boh-thian, “Sungguh aku sangat khawatir ketika kau
menghilang dari hotel kemarin pagi. Tapi ayahmu mengatakan jangan khawatir,
tidak mungkin orang mampu menculik kau lagi. Dia bilang pasti akan bisa
mendapat kabar tentang dirimu bila tanya ke Tiang-lok-pang sini, benar juga kau
ternyata berada di sini.”
Sebaliknya muka si Ting Tong
menjadi merah atas kedatangan Ciok Jing dan Bin Ju, cepat ia melengos ke arah
lain, hanya pasang kuping untuk mendengarkan apa yang dibicarakan mereka.
Maka terdengar Ciok Jing
suami-istri, Nyo Kong telah bersalaman dengan Pwe Hay-ciok, Hoan It-hui dan
lain-lain. Karena sama-sama tokoh persilatan yang ternama, maka masing-masing
saling mengucapkan kata-kata pujian kepada kenalan-kenalan baru itu.
Lebih-lebih Hoan It-hui dan kawan-kawannya menjadi tambah hormat kepada Ciok Jing
dan Bin Ju ketika diketahui mereka adalah ayah-ibunya Ciok Boh-thian.
Kemudian Boh-thian berkata
kepada Pwe Hay-ciok, “Pwe-siansing, kesatria-kesatria Swat-san-pay ini biarlah
kita lepaskan semua saja.”
“Atas perintah Pangcu,
lepaskan semua ‘kesatria’ Swat-san-pay!” sambung Pwe Hay-ciok dengan tertawa
meneruskan perintah Ciok Boh-thian. Kata-kata “kesatria” sengaja diucapkan
dengan lebih keras, terang ia sengaja hendak menyindir tawanan tawanannya itu.
Belasan anggota Tiang-lok-pang
serentak mengiakan atas perintah itu. Lalu petugas-petugas yang bersangkutan
sama maju membuka ringkusan dan belenggu atas diri anak murid Swat-san-pay.
Tapi dengan muka merah padam
sambil meraba gagang pedangnya Pek Ban-kiam lantas membuka suara, “Nanti dulu!
Ciok... hm, Ciok-pangcu, Pwe-siansing, mumpung Nyo Kong, Nyo-loenghiong dan
Ciok-cengcu suami-istri berada di sini, marilah urusan kita harus dibicarakan
dahulu sehingga jelas.”
Sesudah merandek sejenak, lalu
ia menyambung pula, “Kita sebagai orang-orang Bu-lim, jika kita sendiri yang
tidak becus sehingga terkalahkan, maka pihak lawan akan membunuh atau
menghinanya, biar bagaimanapun adalah lumrah dan mati pun tidak perlu menyesal.
Akan tetapi para suteku ini tertawan oleh karena dibius dengan obat tidur,
perbuatan Tiang-lok-pang yang rendah dan memalukan ini sebenarnya merugikan
nama baik Swat-san-pay atau merusak nama baiknya Tiang-lok-pang sendiri? Dan
apa pula yang telah dikatakan oleh Pwe-siansing tadi rasanya tidak ada salahnya
untuk diuraikan lagi agar dapat didengar sekalian oleh ketiga orang sobat yang
baru datang ini.”
Pwe Hay-ciok terbatuk-batuk
beberapa kali, lalu menjawab dengan tertawa, “Rupanya saudara Pek ini....”
“Siapa yang sudi bersaudara
dengan kawanan bangsat yang rendah dan pengecut? Huh, tidak punya malu!” potong
Pek Ban-kiam dengan suara bengis.
“Ciok-pangcu kami....”
“Pwe-siansing,” demikian Ciok
Jing menyela sebelum Pwe Hay-ciok bicara lebih jauh, “usia anakku ini masih
muda dan pengalamannya cetek, masakah dia memenuhi syarat untuk menjadi pangcu
kalian? Belum lama berselang ia pun jatuh sakit keras sehingga melupakan segala
kejadian yang lampau. Maka dalam persoalan ini tentu ada salah paham yang besar,
sebaiknya sebutan ‘pangcu’ janganlah digunakan lagi. Sebabnya Cayhe mengundang
Nyo-loenghiong ke sini justru ingin bikin terang urusan ini. Pek-suheng, soal
persengketaan Swat-san-pay kalian dengan Tiang-lok-pang dan anakku yang durhaka
ini pernah berdosa pula kepadamu, dua persoalan ini hendaklah dipisah-pisahkan
untuk diselesaikan tersendiri-sendiri. Aku orang she Ciok walaupun cuma kaum
keroco biasa saja, tapi selamanya tidak sudi berdusta kepada siapa pun juga.
Aku ingin mengatakan bahwa putraku ini benar-benar telah melupakan segala apa
yang terjadi di masa lampau.”