Jilid 46
Dalam pada itu terdengar Thio
Sam telah berkata pula kepada Boh-thian, “Samte, tampaknya para tamu agung
tidak menyukai bau jenang Lap-pat-cok ini, jika kau suka boleh silakan tambah
lagi beberapa mangkuk!”
Sesungguhnya Ciok Boh-thian
memang sudah kelaparan, hanya semangkuk jenang encer saja sudah tentu tidak
cukup untuk menyamak perutnya. Ia pikir minum semangkuk atau dua mangkuk toh
tiada bedanya andaikan kalau memang betul bubur itu beracun. Maka tanpa merasa
ia lantas melirik meja di sebelahnya.
Melihat pemuda itu mengincar
jenang bagian mereka, segera beberapa orang di sebelah Boh-thian mengangkat
mangkuk dan menawarkan padanya, “Ya, bau bubur ini terlalu keras, aku tidak
berani makan. Jika Siauenghiong suka boleh silakan ambil saja, jangan sungkan-sungkan!”
Bahkan khawatir kalau bagian
mereka tidak diambil oleh Ciok Boh-thian, tanpa diminta lagi mereka terus
membawa jenang mereka dan ditaruh ke atas meja Ciok Boh-thian.
“Terima kasih! Terima kasih!”
berulang-ulang Boh-thian menyambut “kebaikan hati” orang-orang itu dan
sekaligus ia terus menghabiskan dua mangkuk Lap-pat-cok pula.
Kedua tocu tampak tersenyum
menyaksikan apa yang terjadi itu. Lalu Liong-tocu melanjutkan ucapannya tadi,
“Apa yang dikatakan Kay-enghiong memang tidak salah, pulau karang tak bernama
yang terlukis di dalam peta itu memang betul adalah Liong-bok-to yang dipijak
para hadirin sekarang ini. Cuma saja nama Liong-bok-to baru dipakai setelah
kami berdua datang ke sini. Kami telah mencari sampai belasan hari lamanya menurut
petunjuk dalam peta, akhirnya dapatlah kami menemukan bu-kang-pit-koat yang
dimaksudkan itu. Kiranya itu cuma sebuah lukisan bersyair kuno yang mengandung
arti yang sangat dalam dan ruwet. Saking girangnya kami berdua lantas
melatihnya menurut keterangan di dalam lukisan.
“Akan tetapi, ai, untung atau
malang sukar diramal! Dengan giat kami berdua berlatih sampai beberapa tahun,
tiba-tiba timbul perselisihan pendapat kami terhadap ilmu silat menurut
petunjuk lukisan itu. Aku bilang begini seharusnya cara melatih, tapi
Bok-hiante bilang pendapatku itu salah dan harus cara begitu melatihnya. Sampai
beberapa hari kami berdebat dan tetap tidak diperoleh suatu rumusan yang cocok.
Akhirnya kami berjanji untuk melatih menurut caranya sendiri-sendiri, sesudah berhasil
baru diadakan kompetisi lagi untuk melihat siapa yang betul melatihnya.
“Dengan tekun kami melatih
pula secara sendiri-sendiri. Kira-kira setengah tahun pula, kami berdua
coba-coba saling bergebrak. Tapi hanya beberapa jurus saja kami menjadi terperanjat,
kiranya... kiranya....” sampai di sini wajahnya menjadi muram dan terdiam.
Bok-tocu juga kelihatan rada kikuk. Selang sejenak barulah Liong-tocu
menyambung, “Kiranya kami berdua telah salah latih semua!”
Mendengar itu, hati para
hadirin tergetar semua. Hendaklah diketahui bahwa kepandaian Liong dan Bok-tocu
bukan ilmu silat pasaran saja, yang dilatihnya tentu adalah lwekang yang paling
tinggi, dan sekali salah melatih lwekang, biasanya kalau tidak lumpuh dan cacat
untuk selamanya, lebih berat lagi adalah binasa. Soal ini tidak boleh dibuat
gegabah.
Maka terdengar Liong-tocu
telah menyambung, “Begitu merasa tidak betul, seketika kami berdua berhenti dan
saling berdebat untuk menganalisis pula di mana letaknya kesalahan. Mungkin
karena bakat kami terlalu rendah, sebaliknya ilmu yang terdapat di lukisan itu
teramat dalam sehingga kami tetap susah memecahkannya biarpun kami sudah
mempelajari pula beberapa bulan lamanya. Kebetulan pada waktu itu ada sebuah
kapal bajak laut yang terdampar ke pulau ini, kami telah membunuh
gembong-gembong bajak itu serta memeriksa anak buahnya, yang terlalu banyak
melakukan kejahatan lantas dihukum mati, sisanya yang hanya ikut-ikutan saja
sesudah kami memberi peringatan dan ancaman, lalu ditahan di atas pulau ini.
“Sesudah berunding pula, kami
berdua menganggap sebabnya tidak dapat memecahkan rahasia lukisan dan syair
kuno itu boleh jadi lantaran kami sudah lebih dulu melatih ilmu silat lainnya,
jadi jalan permulaan sudah menyimpang sehingga sukar menyelami ilmu di dalam lukisan
itu. Kami pikir lebih baik mengambil beberapa orang murid saja dan suruh mereka
belajar dari permulaan.
“Begitulah kami lantas memilih
enam murid yang kami ambil dari kawanan bajak itu, tidak kami ajarkan dasar
lwekang kepada mereka, hanya kami memberi petunjuk sedikit pengetahuan umum
tentang ilmu pukulan dan ilmu pedang, lalu kami menyuruh mereka menyelami
pelajaran di dalam lukisan itu. Siapa duga hasilnya ternyata sangat
mengecewakan. Bukan saja ketiga muridku berlainan pendapat dengan ketiga murid
Bok-hiante, bahkan di antara ketiga muridku sendiri juga mempunyai pikiran yang
berbeda. Dan begitu pula dengan tiga murid Bok-hiante.
“Setelah kami berunding pula,
kami anggap lukisan yang bersyair kuno buah kalam Li Tay-pek itu mungkin
terlalu dalam artinya, kami hanya jago silat kasaran, dalam hal kesusastraan
tentu tidak lebih pandai dari kaum cendekia dan sastrawan, tampaknya kalau
bukan orang yang serbapintar, baik ilmu silat maupun sastra, tentu sukar
memahami rahasia lukisan itu. Maka aku dan Bok-hiante lantas kembali ke
Tionggoan, kami mengembara dengan perjanjian dalam setahun masing-masing harus
menerima empat orang murid yang pandai, terutama dalam hal kesusastraan kuno.”
Sampai di sini tiba-tiba ia
menunjuk tujuh-delapan murid di sebelahnya yang berbaju kuning dan hijau, lalu
sambungnya pula, “Terus terang saja beberapa murid ini bukan orang biasa, kepandaian
mereka jika mau digunakan untuk menempuh ujian cinsu atau hanlim (nama pangkat
kesusastraan) boleh dikata semudah membalik telapak tangan sendiri. Waktu
mula-mula datang ke sini mereka pun ogah-ogahan, tapi sekali sudah kenal ilmu
silat, pula setelah mempelajari lukisan aneh itu, mereka menjadi lupa daratan
dan rela tinggal di sini, mereka merasa melatih ilmu silat jauh lebih
menyenangkan daripada sekolah dan menjadi amtenar. Mereka benar-benar telah
keranjingan ilmu silat.
“Namun sesudah kedelapan murid
cerdik pandai ini mempelajari isi lukisan kuno itu, akhirnya mereka berbeda
pendapat pula. Bukan saja tidak memberi manfaat dan pemecahan yang kami
harapkan, sebaliknya malah membikin kami berdua semakin bingung. Karena
kehabisan akal, kami menjadi kesal dan penasaran. Jika dilupakan begitu saja,
rasa kami tidak rela pula.
“Pada suatu hari Bok-hiante
telah mengusulkan sebaiknya kami mengundang Biau-ti Taysu saja dari Siau-lim-si
mengingat padri tersebut boleh dikata adalah guru besar ilmu silat pada zaman
ini. Aku mengatakan Biau-ti Taysu sudah berpuluh tahun mengasingkan diri,
mungkin sukar mengundangnya turun gunung. Namun Bok-hiante mengusulkan pula
agar lukisan itu diturun dan diperlihatkan kepada Biau-ti Taysu, tentu beliau
akan tertarik dan mau berkunjung kemari. Bilamana beliau tidak tertarik pada
lukisan itu, maka tentu lukisan ini pun tiada sesuatu yang berguna dan kami pun
boleh tak usah memusingkan soal lukisan ini. Aku menyatakan akur atas usul
Bok-hiante itu, bahkan aku menganjurkan turunan lukisan itu diperbanyak sehelai
lagi untuk diperlihatkan kepada Gu-teh Totiang dari Bu-tong-pay. Siau-lim-pay
dan Bu-tong-pay adalah dua aliran terkemuka di dunia persilatan, kedua orang
kosen itu pasti akan dapat memberi pandangan yang tajam.
“Begitulah kami lantas
berangkat ke Siau-lim-si. Setiba di sana kami lantas menyampaikan sampul yang
berisi turunan lukisan itu kepada padri penyambut tamu agar diteruskan kepada
Biau-ti Taysu. Akan tetapi padri penyambut tamu itu semula menolak, katanya
Biau-ti Taysu sudah lama mengasingkan diri dan tiada berhubungan lagi dengan
khalayak ramai. Kami juga tidak memaksa, tapi kami lantas duduk bersila di
depan pintu gerbang Siau-lim-si sehingga merintangi jalan keluar-masuk mereka.
Selama tujuh-hari-tujuh-malam kami duduk di situ. Akhirnya padri-padri
Siau-lim-si itu merasa kewalahan sehingga mau menerima sampul surat kami untuk
disampaikan kepada ketuanya.”
Diam-diam para hadirin dapat
membayangkan walaupun cerita Liong-tocu itu seperti enteng saja, tapi sebenarnya
selama mereka merintangi pintu gerbang Siau-lim-si sampai
tujuh-hari-tujuh-malam, selama itu tentu sudah terjadi pertarungan sengit dan
tentu pula padri-padri Siau-lim-si merasa kewalahan sehingga akhirnya mau
terima sampul suratnya.
Begitulah maka Liong-tocu
telah melanjutkan, “Begitu sampul surat itu diterima padri penyambut tamu,
segera juga kami berbangkit dan meninggalkan Siau-lim-si, kami menunggu di kaki
gunung Siau-sit-san. Tidak sampai setengah jam, tertampaklah Biau-ti Taysu
sudah menyusul tiba dan tanya kepada kami, ‘Di mana tempatnya?’ — Bok-hiante
telah menjawab, ‘Masih harus mengundang seorang lagi!’ — ‘Benar, Gu-teh harus
diundang sekalian!’ ujar Biau-ti.
“Kami bertiga lantas menuju ke
Bu-tong-san. Sebagai ketua Siau-lim-si yang tersohor, tanpa permisi lagi
Biau-ti langsung terus masuk ke tempat semadi Gu-teh Totiang yang telah
dikenalnya dengan baik, kami mengikutnya dari belakang, anak murid Bu-tong-pay
juga tidak berani merintangi. Setiba di kamar semadi Gu-teh, tanpa bicara
apa-apa lalu Biau-ti terus pasang kuda-kuda dan memainkan ilmu silat menurut
gaya di dalam lukisan yang kami sampaikan padanya itu. Habis itu tanpa bicara
pula ia terus putar tubuh dan tinggal pergi. Gu-teh terkejut dan bergirang
pula, tanpa bertanya ia lantas berbangkit dan ikut ke Liong-bok-to sini.
“Bahwasanya Biau-ti adalah
tokoh utama Siau-lim-pay dan Gu-teh adalah jago nomor satu Bu-tong-pay, mereka
telah diakui sebagai tokoh terkemuka dunia persilatan pada zaman ini. Begitu
sampai di Liong-bok-to sini mereka lantas mulai menyelami rahasia ilmu silat di
dalam lukisan itu. Bulan pertama pendapat mereka berdua boleh dikata hampir
sama, bulan kedua sudah mulai timbul pendapat yang berbeda. Sampai bulan
ketiga, ternyata dua tokoh yang biasanya sudah tidak pikirkan soal-soal duniawi
juga timbul percekcokan lantaran ketidakcocokan pandangan masing-masing atas
keterangan lukisan itu. Bahkan... bahkan sampai-sampai kedua orang saling
gebrak.”
Para kesatria menjadi heran
dan tertarik, beramai-ramai mereka menegas, “Lalu bagaimana hasil pertandingan
itu, siapa yang menang dan siapa yang kalah?”
“Kedua orang sama-sama tokoh
terkemuka pada zaman ini, mereka telah saling ukur kepandaian berdasarkan paham
yang mereka dapatkan dari lukisan itu. Sampai dengan jurus kelima mereka
mempunyai persamaan paham, kedua orang sama-sama tersenyum puas dan berhenti
bertanding. Tapi pada jurus keenam tiba-tiba timbul lagi perselisihan paham.
Dengan demikian mereka sebentar bertanding dan sebentar berhenti, selama
beberapa bulan keadaan itu terus berlangsung, sampai akhirnya apa yang dapat
mereka selami tetap sama saja, tapi sebenarnya siapa yang lebih pandai juga
sukar dikatakan.
“Dalam perundinganku dengan
Bok-hiante, kami merasa isi yang terkandung di dalam lukisan itu terlalu luas
dan dalam sehingga sukar dijajaki, sampai-sampai tokoh-tokoh terkemuka sebagai
Biau-ti dan Gu-teh juga cuma satu-dua bagian saja yang dapat dipahami, untuk
bisa memperoleh saripati seluruh lukisan itu rasanya perlu menghimpun
orang-orang cerdik pandai. Untuk ini kita dapat mengundang kaum cendekia di
seluruh jagat untuk datang ke pulau ini dan bersama-sama mempelajarinya.
“Kebetulan pada waktu itu
‘Toan-jong-sit-kut-hu-sim-khau’ di pulau ini sedang berbunga, rumput ini bila
dicampur dengan obat-obatan lain dan dibuat bubur, sesudah dimakan akan sangat
bermanfaat bagi kaum kita yang belajar ilmu silat. Maka kami berdua lantas
mengirimkan utusan-utusan untuk mengundang setiap tokoh yang terkenal di zaman
ini, segenap ketua atau pemimpin dari berbagai golongan dan aliran persilatan
telah kami undang ke pulau ini untuk mencicipi Lap-pat-cok, habis itu kami
lantas minta mereka ikut mempelajari rahasia lukisan itu.”
Semua orang merasa setengah
percaya dan setengah sangsi atas cerita Liong-tocu itu. Segera Ting Put-si
berseru, “Jika demikian, jadi maksud kalian mengundang para tamu ke sini untuk
makan Lap-pat-cok adalah karena bermaksud baik?”
“Maksud baik seluruhnya sih
tidak,” sahut Liong-tocu. “Sudah tentu aku dan Bok-tocu juga berkepentingan,
yaitu dengan harapan dengan himpunan orang-orang pandai di sini akan dapat
membantu kami memecahkan rahasia lukisan untuk selanjutnya mengembangkan ilmu
silat pada umumnya. Sebaliknya jika kami dianggap bermaksud jahat kepada para
tamu, hal ini pun bukan tujuan kami.”
“Hm, ucapanmu ini apa bukan
dusta belaka?” jengek Ting Put-si. “Jika betul kalian tidak bermaksud jelek,
mengapa orang yang tidak mau terima undanganmu, lantas kalian main membunuh
tanpa kenal ampun? Apakah di dunia ini ada cara mengundang tamu sekasar
demikian?”
“Ya, beralasan juga teguranmu
ini,” sahut Liong-tocu sambil manggut-manggut. Mendadak ia tepuk tangan dan
berseru, “Bawakan buku-buku ganjaran dan hukuman!”
Segera delapan muridnya menuju
ke belakang, sejenak kemudian lantas keluar kembali dengan membawa delapan
tumpuk buku-buku, setiap tumpuknya ada belasan senti tingginya.
“Pertunjukkan buku-buku itu
kepada para hadirin,” kata Liong-tocu.
Berturut-turut anak muridnya
itu lantas memperlihatkan buku-buku yang mereka bawa itu kepada masing-masing
tamu. Ternyata di setiap jilid buku itu tertulis nama golongan atau aliran
persilatan yang bersangkutan.
Waktu Ting Put-si mendapat
gilirannya, segera ia membaca buku yang diperlihatkan padanya itu. Ternyata
kulit buku itu tertulis “Keluarga Ting di Liok-hap”.
Seketika Ting Put-si
terkesiap, “Kami bersaudara memang betul adalah orang dari Liok-hap, hal ini
jarang diketahui orang luar, sebaliknya Liong-bok-to yang terpencil di luar
lautan sini kok malah tahu? Sungguh tajam benar sumber berita mereka.”
Setelah halaman-halaman buku
itu dibalik-balik, terbaca di situ tercatat tanggal kapan, bulan apa dan
berapa, di mana Ting Put-sam telah berbuat apa, dan begitu pula Ting Put-si dan
saudaranya yang lain, segala gerak-geriknya ternyata tercatat semua di situ.
Walaupun tidak sangat lengkap, tapi pada garis besarnya apa yang telah
diperbuatnya selama 20-an tahun ini boleh dikata tercatat cukup jelas di dalam
buku itu.
Dahi Ting Put-si sampai
berkeringat. Waktu ia melirik orang lain, ternyata semua juga mengunjuk rasa
serbakikuk. Hanya Ciok Boh-thian saja yang masih enak-enak makan jenang sendiri
tanpa peduli buku yang mencatat atas nama “Tiang-lok-pang” itu. Maklum dia
memang buta huruf, apa yang tertulis di dalam buku itu hakikatnya dia tidak
tahu.
“Simpan kembali buku-buku
ganjaran dan hukuman itu,” perintah Liong-tocu kemudian. Sesudah itu, dengan
tersenyum lalu ia menyambung, “Kami telah mengirimkan orang-orang untuk
menyelidiki dan mencari berita dunia Kangouw, bukanlah maksud kami sengaja
mencari-cari rahasia pribadi orang lain, hanya saja bila mendapat berita
sesuatu, segera kami mencatatnya. Setiap golongan dan klik yang pernah ditumpas
oleh Liong-bok-to semuanya adalah manusia-manusia terkutuk yang kejahatannya
sudah tak terampunkan. Untuk mana boleh silakan para hadirin merenung sendiri,
adakah sesuatu golongan atau aliran yang baik atau pendekar budiman siapa yang
telah dicederai Liong-bok-to lantaran menolak untuk menerima medali undangan?”
Ternyata tiada seorang pun
yang dapat memberi bantahan pertanyaan itu. Maka sejenak kemudian Liong-tocu
lantas menyambung pula, “Sebab itulah, sesungguhnya orang yang pernah kami
bunuh itu boleh dikata adalah orang yang telah menerima ganjarannya yang
setimpal....”
“Liap-lokunsu dari Thongciu,
Hopak, toh tiada mempunyai sesuatu dosa, mengapa kalian telah membunuh seluruh
keluarganya?” tiba-tiba Pek Cu-cay berseru.
Liong-tocu tidak menjawab,
mendadak ia melorot sejilid buku di antara tumpukan-tumpukan itu dan didorong
perlahan ke depan sambil berkata, “Silakan Wi-tek Siansing membacanya sendiri.”
Aneh juga, buku itu
perlahan-lahan lantas melayang sendiri ke depan. Segera Pek Cu-cay hendak
memegangnya, tak terduga ketika buku itu sudah dekat mendadak merandek di
tengah udara, lalu anjlok lurus ke bawah, ke atas meja Pek Cu-cay.
Lekas-lekas Cu-cay meraup
secepatnya, syukur buku itu masih keburu dipegang olehnya dan tidak sampai
jatuh di atas mangkuk jenang. Ia merasa buku yang terpegang di tangannya itu
masih membawa tenaga tekanan yang cukup berat, mau tak mau ia terkejut, “Tenaga
dalam orang ini benar-benar luar biasa, sejilid buku yang enteng saja dapat
didorong ke depan dengan membawa tenaga sekuat ini, apalagi kalau dia
menyambitkan senjata rahasia, rasanya sukar untuk dihindari oleh siapa pun
juga. Agaknya gelarku ‘Jago senjata rahasia nomor satu’ harus dihapus
menghadapi orang ini.”
Dilihatnya di muka buku itu
tertulis “Liap-keh-kun, Thongciu, Hopak”. Waktu ia membuka halaman pertama,
baris pertama saja sudah tercatat hal-hal yang mengejutkan. Di situ tertulis
hari apa, bulan dan tahun apa Liap Cong-tay telah memerkosa dan membunuh dua
jiwa di Congciu, tapi memfitnah kawanan bandit Hok-hou-khe yang berbuat. Baris
kedua juga tercatat kapan Liap Cong-hiap hanya dengan persoalan kecil telah
melukai putra sulung Lau Bun-cit dari Celamhu, malamnya segenap keluarga
sebanyak 13 jiwa telah dibunuh habis olehnya.
Liap Cong-tay dan Liap
Cong-hiap itu adalah putranya Liap-lokunsu (jago silat tua she Liap), namanya
cukup terkenal baik di dunia Kangouw, siapa duga diam-diam banyak melakukan
kejahatan.
Pek Cu-cay merasa ragu-ragu,
katanya, “Kejadian-kejadian ini tiada bukti dan tanpa saksi, entah betul atau
tidak. Walaupun Cayhe tidak berani menuduh kedua Tocu sengaja membunuh orang
berdosa, tapi kesalahan info yang diterima utusan-utusan Liong-bok-to yang dikirim
ke Tionggoan itu bukannya tidak mungkin terjadi.”
Mendadak Thio Sam menanggapi,
“Jika Wi-tek Siansing tidak percaya, bolehlah coba melihat benda ini.”
Segera ia menuju ke ruangan
belakang, waktu keluar kembali, sedikit tangannya bergerak, sejilid buku tipis
perlahan-lahan melayang ke arah Pek Cu-cay. Setiba di depan Cu-cay buku itu pun
mendadak anjlok ke bawah. Gerakan dan caranya ternyata serupa dengan Liong-tocu
tadi.
Sekali ini Pek Cu-cay sudah
siap sedia, sekali sambar buku itu lantas kena ditangkapnya. Waktu ia membalik
halaman buku itu, kiranya adalah sejilid buku kas keluarga Liap.
Karena sewaktu mudanya Pek
Cu-cay pernah bergaul akrab sekali dengan Liap-lokunsu, maka Cu-cay kenal baik
gaya tulisan jago tua itu. Ia lihat buku kas itu memang benar tulisan tangan
Liap-lokunsu sendiri, seluruhnya berisi tentang masuk-keluarnya keuangan. Satu
baris di antaranya tertulis: “Tanggal delapan, dibeli 83,2 bau sawah dari
keluarga Ciu, harga 70 tahil perak”. Lalu di atasnya diberi tanda tulisan tinta
merah: “Patut dibunuh”.
Diam-diam Cu-cay membatin,
“83,2 bau sawah dengan harga 70 tahil perak, sawah ini benar-benar teramat
murah. Di dalam perkara ini tentu ada gejala-gejala paksaan.”
Pada rekening lain dilihatnya
tertulis pula: “Tanggal 15, diterima dari paduka tuan bupati Thongciu sebanyak
2.500 tahil perak”. Di atas rekening ini pun diberi catatan: “Patut dibunuh”
dengan tinta merah.
Pek Cu-cay menjadi heran, Liap
Lip-jin, Liap-lokunsu itu adalah seorang pendekar berbudi luhur, mengapa dia
terima uang dari kaum pembesar? Besar kemungkinan dia bersekongkol dengan
pembesar-pembesar korup dan menindas rakyat jelata yang lemah.
Ia coba membalik-balik terus
halaman buku itu, tertampak rekening-rekening yang diberi catatan “patut
dibunuh” itu tidak kurang dari 60-70 buah. Ia tahu yang memberi catatan itu
tentu adalah Thio Sam dan Li Si. Tanpa merasa ia menghela napas gegetun,
katanya, “Kenal orangnya dan kenal mukanya, tapi tidak tahu hatinya! Liap
Lip-jin memang benar-benar patut dibunuh. Sesudah melihat catatan buku kas ini,
andaikan Liong-bok-to mau mengampuni dia, orang she Pek juga pasti akan
membunuh segenap keluarganya.”
Sembari berkata ia terus
berbangkit dan mendekati Thio Sam, ia kembalikan buku kas itu dan berkata,
“Kagum, kagum sekali!”
Waktu berpaling, ia pandang
Liong dan Bok-tocu dengan rasa penuh kekaguman yang tak terkatakan. Pikirnya,
“Anak murid Liong-bok-to bukan saja tinggi ilmu silatnya, bahkan caranya
bekerja sangat rapi, penegak keadilan dan kebenaran, aku tidak tahu cara bagaimana
mereka memberi ganjaran pada yang bajik, tapi betapa adil caranya memberi
hukuman kepada kaum jahat dapat pula mencerminkan tepatnya memberi ganjaran.
Ya, ‘rasul pengganjar dan penghukum’, benar-benar tidak bernama kosong. Betapa
banyaknya anak muridku, tapi siapakah yang dapat menandingi Thio Sam dan Li Si
ini? Ai, sungguh memalukan saja selama ini aku menganggap diriku sebagai ‘Jago
nomor satu’, ‘guru besar nomor satu’ segala.”
Rupanya Liong-tocu dapat
menerka perasaan Pek Cu-cay itu, dengan tersenyum ia berkata, “Silakan duduk,
Wi-tek Siansing. Sudah lama Wi-tek Siansing hidup terpencil di wilayah barat,
terhadap perbuatan-perbuatan kawanan binatang yang berbaju manusia di daerah
Tionggoan sudah tentu kurang jelas sehingga tak dapat menyalahkan Wi-tek
Siansing.”
Pek Cu-cay hanya geleng-geleng
kepala saja, lalu kembali ke tempat duduknya.
Sekonyong-konyong Ting Put-si
berseru, “Jika demikian, jadi selama ini orang-orang yang dibunuh oleh
Liong-bok-to itu adalah manusia-manusia yang patut menerima hukumannya yang
setimpal? Dan tentang diundangnya para kawan Bu-lim ke sini adalah bermaksud
saling belajar ilmu silat?”
“Benar!” sahut Liong dan
Bok-tocu berbareng.
“Jika begitu, mengapa para
kawan Bu-lim yang pernah berkunjung kemari itu kok juga dibunuh semua,
sampai-sampai mayat mereka pun tidak pernah pulang kampung?” seru Ting Put-si
pula.
“Ai, salahlah ucapan
Ting-siansing ini!” sahut Liong-tocu sambil menggeleng. “Desas-desus demikian
mana boleh dipercaya sepenuhnya?”
“Habis, kalau menurut Liong-tocu,
jadi para kawan Bu-lim itu semuanya belum mati? Hahaha, menggelikan, sungguh
menggelikan!”
“Haha! Menggelikan, sungguh
menggelikan!” Liong-tocu juga ikut bergelak tawa.
Ting Put-si berbalik melengak.
“Apanya yang menggelikan?” tanyanya.
“Ting-siansing adalah tamu
agung kami, jikalau Ting-siansing bilang menggelikan, terpaksa Cayhe harus
mengiringi menyatakan geli,” sahut Liong-tocu dengan tertawa.
“Selama 30-an tahun ini para
kawan Bu-lim yang pernah diundang ke Liong-bok-to sini sedikitnya ada beberapa
ratus orang andaikan tidak lebih dari seribu orang,” ujar Ting Put-si. “Tapi
Liong-tocu mengatakan mereka masih hidup dalam keadaan sehat walafiat, hal ini
bukankah cukup menggelikan?”
“Usia manusia sudah
ditakdirkan Ilahi, jika sudah sampai ajalnya, siapa yang mampu mengelakkannya?”
sahut Liong-tocu. “Asalkan Liong-bok-to kami tidak merasa menewaskan mereka,
rasanya cukuplah bagi hati nurani kami.”
Ting Put-si berpikir sejenak,
tiba-tiba ia bertanya, “Jika demikian, Cayhe ingin mencari kabar seseorang
kepada Liong-bok-to. Orang itu adalah wanita, namanya... namanya Hong-koh.
Konon 19 tahun yang lalu telah berkunjung kemari, apakah orang ini sampai
sekarang masih hidup sehat?”
“Siapakah she pendekar wanita
itu, berapa umurnya dan pemimpin dari golongan mana?” tanya Liong-tocu.
“She apa... ini agak kurang
jelas, tapi... tapi seharusnya she Ting....”
Sekonyong-konyong si wanita
berkerudung muka tadi berseru melengking, “Wanita itu adalah putrinya yang
diperoleh dari hubungan gelap. Nona itu tidak ikut she ayahnya, tapi pakai she
ibunya, nama lengkapnya ialah Bwe Hong-koh.”
Muka Ting Put-si tampak berubah
merah, katanya, “She Bwe juga boleh, buat apa mesti geger. Tentang umurnya
tahun ini kurang lebih kurang lebih 40 tahun....”
“Kurang lebih 40 tahun apa? 39
tahun tepat!” teriak pula si wanita.
“Baik, baik! Umurnya 39
tahun,” sambung Ting Put-si. “Tapi dia bukan pemimpin dari sesuatu golongan
persilatan apa, lebih-lebih bukan pangcu atau kaucu dari sesuatu perkumpulan.
Cuma Bwe-hoa-kun yang dia yakinkan itu di dunia ini cuma keluarganya yang
memiliki, besar kemungkinan dia pun telah diundang ke Liong-bok-to sini.”
“Bwe-hoa-kun? Belum memenuhi
syarat untuk diundang kemari,” sahut Bok-tocu sambil geleng kepala.
“Mengapa Bwe-hoa-kun belum
memenuhi syarat?” teriak si wanita berkerudung. “Ini dia... bukankah aku juga
sudah menerima medali undangan kalian?”
“Kami mengundang kau bukan
lantaran Bwe-hoa-kun,” sahut Bok-tocu.
“Bwe-lihiap,” cepat Liong-tocu
menambahkan, “maksud Bok-hiante sebabnya kami mengundang kau ke sini bukanlah
karena Bwe-hoa-kun dari keluarga Bwe kalian, tapi adalah karena kiam-hoat (ilmu
pedang) yang baru kau ciptakan dalam dua tahun terakhir ini.”
“He, ilmu pedangku yang baru
itu? Selamanya belum pernah kutunjukkan kepada orang lain, dari mana kalian
mengetahui?” tanya wanita she Bwe itu dengan heran.
Liong-tocu tidak menjawab,
dengan tersenyum ia menuding kepada dua orang muridnya. Segera seorang murid
berbaju kuning dan seorang berbaju hijau tampil ke muka sambil membungkuk untuk
menerima perintah lebih lanjut.
“Coba kalian pertunjukkan ilmu
pedang aneh ciptaan Bwe-lihiap yang baru itu, jika ada bagian-bagian yang
kurang sempurna biarlah nanti minta nasihat kepala Bwe-lihiap,” kata
Liong-tocu.
Kedua murid itu mengiakan.
Mereka lantas mendekati sebuah meja di pojok ruangan sana, masing-masing
mengambil sebatang pedang kayu, lalu sama-sama memberi hormat kepada wanita she
Bwe dan berkata, “Harap Bwe-lihiap suka memberi petunjuk seperlunya.”
Habis berkata, mereka lantas
pasang kuda-kuda dan mulai bertanding sendiri.
Para hadirin termasuk
tokoh-tokoh persilatan kelas tinggi, mereka melihat ilmu pedang yang dimainkan
itu memang benar luar biasa. Bahkan si wanita she Bwe tiada hentinya menggumam,
“Aneh, sungguh aneh! Bilakah kalian telah mengintip ilmu pedangku ini?”
Sesudah mengikuti beberapa
jurus, hati Ciok Boh-thian juga tergerak, pikirnya, “Ilmu pedang yang dimainkan
orang baju hijau itu bukankah Swat-san-kiam-hoat?”
Beberapa jurus pula, tak tahan
lagi Pek Cu-cay juga lantas berseru, “He, Bwe-lihiap, Swat-san-pay toh tiada
permusuhan apa-apa dengan kau, mengapa kau menciptakan ilmu pedangmu ini yang
khusus dipakai melawan Swat-san-kiam-hoat kami?”
Kiranya ilmu pedang yang
dimainkan orang baju hijau itu memang benar adalah Swat-san-kiam-hoat, tapi
setiap gerakan dan setiap jurus selalu kena diatasi oleh ilmu pedang yang baru
dan aneh yang dimainkan kawannya si baju kuning itu.
Maka terdengar si wanita she
Bwe hanya tertawa dingin saja tanpa menjawab.
Pek Cu-cay menjadi gusar.
Bentaknya, “Hm, hanya ilmu pedang begini saja hendak digunakan untuk melawan
Swat-san-kiam-hoat kami? Rasanya masih jauh daripada cukup!”
Tapi baru habis ucapannya,
sekonyong-konyong serangan si baju kuning lantas berubah, setiap jurusnya
sangat aneh dan keji, tapi juga kasar dan kurang sopan.
“Gila, gila! Ilmu pedang macam
apa itu?” omel Pek Cu-cay, Tapi diam-diam ia pun terkejut, pikirnya, “Jika
benar-benar melawan dia, sekonyong-konyong aku diserang dengan cara-cara aneh
dan kasar ini mungkin aku bisa termakan juga.”
Namun diam-diam ia pun merasa
syukur telah dapat menyaksikan tipu-tipu serangan keji dan kotor itu, untuk
selanjutnya tentu tidak sukar melawannya jika ketemukan ilmu pedang yang hanya
cocok digunakan untuk menyergap secara rendah itu.
Sebelum si murid baju hijau
menyelesaikan permainan Swat-san-kiam-hoat, mendadak ia menegakkan pedang kayu,
lawannya si baju kuning juga lantas berhenti menyerang. Lalu si baju hijau
mengganti pedang kayu dengan sebatang golok kayu. Kemudian mereka mulai
bertanding lagi.
Setelah mengikuti belasan
jurus lagi, Pek Cu-cay bertambah gusar. Teriaknya murka, “He, orang she Bwe,
sebenarnya apa maksud tujuanmu terhadap kami suami-istri? Padahal kita tidak
kenal-mengenal, sungguh aneh?”
Kiranya yang dimainkan si
murid baju hijau sekarang justru adalah ilmu golok keluarga Su-popo alias Su
Siau-jui. Sedangkan si baju kuning tetap menggunakan cara-cara keji dan kasar
untuk menyerang sehingga si baju hijau berulang-ulang terancam bahaya. Hanya
saja pada detik-detik yang menentukan selalu si baju kuning menahan serangannya
dan tidak diteruskan.
Sesudah lebih 30 jurus, ketika
Liong-tocu memberi tanda dengan tepukan tangan, kedua murid itu lantas berhenti
bermain, mereka membungkuk tubuh ke arah Pek Cu-cay dan si wanita she Bwe serta
berkata, “Harap Pek-locianpwe dan Bwe-lihiap membetulkan kesalahan kami.”
Lalu mereka pun memberi hormat
kepada kedua tocu, habis itu barulah mereka kembali ke barisan masing-masing
tadi.
Si wanita she Bwe menjerit
melengking lagi, “Jadi diam-diam kau mampu mempelajari tujuh bagian ilmu pedang
ciptaanku itu, hebat juga ya kau!”
“Huh, kepandaian yang kasar
dan rendah begitu, apanya yang sukar dipelajari?” jengek Pek Cu-cay dengan
gusar.
“Apanya yang kasar dan
rendah?” sela Ting Put-si. “Jika kebentur dengan ilmu pedang itu, seketika kau
tentu kelabakan dan bukan mustahil tubuhmu sudah ditembus beberapa lubang.”
“Hayolah boleh kau coba,”
teriak Cu-cay dengan gusar.
“Ah, pendek kata kau pasti
bukan tandingan Bwe-lihiap,” kata Put-si.
“Siapa yang sudi disanjung
olehmu?” jerit si wanita she Bwe. “Jika aku bertanding dengan Su Siau-jui, lalu
bagaimana?”
“Ini... ini....” Ting Put-si
menjadi gelagapan.
“Nyonyaku tiada berada di
sini, tapi muridnya sebaliknya berada di sini,” kata Cu-cay. “Nah, cucu
menantuku, boleh coba kau bertandingan dengan dia.”
“Kukira tak perlu bertanding
lagi,” sahut Boh-thian.
“Kau ini muridnya Su
Siau-jui?” si wanita she Bwe menegas.
“Benar!” sahut Boh-thian.
“Tapi mengapa kau adalah cucu
menantunya pula? Huh, jungkir balik tak keruan, dasar sekeluarga adalah turunan
anjing (Kau-cap-ceng) semua!” jengek si wanita she Bwe.
“Ya, aku memang Kau-cap-ceng?”
kata Boh-thian.
Wanita itu sampai melengak. Ia
menjadi geli dan tertawa terpingkal-pingkal dengan suaranya yang tajam
melengking.
“Sudahlah, cukup!” kata
Bok-tocu.
Meski singkat saja ucapannya,
tapi suaranya keras berwibawa, si wanita she Bwe tertegun dan bungkam seketika.
“Ilmu pedang ciptaan
Bwe-lihiap secara jujur memang harus diakui masih kalah bagus daripada
Swat-san-kiam-hoat,” kata Liong-tocu kemudian. “Cuma Bwe-lihiap dapat
menciptakan ilmu pedang baru, bakat dan kecerdasan Bwe-lihiap tentunya lain
daripada yang lain pula. Sebab itulah kami telah mengundangnya datang kemari
untuk ikut menyelami rahasia lukisan aneh itu.”
“Jika demikian, jadi Bwe
Hong-koh tidak pernah datang ke Liong-bok-to sini?” tanya pula si wanita she
Bwe.
“Ya, tidak,” sahut Liong-tocu.
Seketika Bwe-lihiap menjadi
lesu, ia duduk kembali dengan lemas dan menggumam sendiri, “Cici... ciciku
telah meninggalkan pesan agar... mencarikan putrinya itu.”
“Coba kau selidiki untuknya,”
tiba-tiba Liong-tocu berkata kepada murid baju kuning nomor satu yang berdiri
di barisan kanan.
Murid itu mengiakan dan segera
menuju ke belakang. Sebentar saja ia sudah keluar kembali dengan membawa
beberapa jilid buku. Setelah membalik-balik beberapa halaman, tiba-tiba ia
menunjuk suatu catatan dan membacanya, “Bwe Hong-koh, ciangbunjin dari
Bwe-hoa-kun. Ayah she Ting, sejak kecil ikut ibu belajar ilmu silat akhirnya
tinggal mengasingkan diri di bukit Koh-chau-nia, di Him-ni-san wilayah Provinsi
Holam....”
“Hah! Jadi dia tinggal di
Him-ni-san? Dari mana kau mendapat tahu?” tanya Ting Put-si dan si wanita she
Bwe berbareng.
“Aku sih tidak tahu, tapi
beginilah apa yang tercatat di dalam buku ini,” sahut murid baju kuning itu.
“Sampai aku sendiri pun tidak
tahu, mengapa buku ini dapat mencatat seluk-beluknya?” ujar Put-si dengan
sangsi.
“Liong-bok-to selamanya
membela keadilan dan menegakkan kebenaran, menghukum dan mengganjar secara adil
dan bijaksana,” kata Liong-tocu, “Untuk mana setiap gerak-gerik kawan Bu-lim
dengan sendirinya harus kami catat seperlunya dengan sejelas-jelasnya untuk
diperiksa dan dibuat bukti bilamana perlu.”
“O, kiranya demikian,” ujar
Bwe-lihiap. “Jadi sudah terang Bwe Hong-koh berdiam di... di bukit Koh-chau-nia
di lereng Him-ni-san?”
“Ya, jika di antara para
hadirin masih ada pertanyaan-pertanyaan boleh silakan lagi,” sahut Liong-tocu.
“Bicara ke sana kemari,
tegasnya maksud undangan Liong-tocu kepada kami adalah untuk mempelajari
lukisan bersyair kuno itu. Sebenarnya barang apakah itu? Bolehkah kita
melihatnya?” kata Pek Cu-cay.
Serentak Liong dan Bok-tocu
berbangkit, sahut mereka, “Ya, justru kami ingin minta bagian para hadirin yang
cerdik pandai.”
Segera empat murid
Liong-bok-to menuju ke samping, mereka memegang tepi pintu angin dari kanan dan
kiri, ketika mereka tarik perlahan, mendadak di belakang ruangan gua itu
terlihat ada sebuah jalan lorong yang panjang.
“Silakan semua!” kata
Liong-tocu. Segera bersama Bok-tocu mereka mendahului jalan ke depan dengan
diikuti oleh para kesatria.
Setelah belasan meter jauhnya,
sampailah mereka di depan sebuah pintu batu. Seorang murid baju kuning lantas
mendorong buka pintu batu itu. Lalu Liong-tocu berkata, “Di dalam gua ini ada
24 kamar batu, para hadirin boleh mengunjungi dan menelitinya secara bebas,
jika merasa jemu boleh silakan jalan-jalan keluar gua. Tentang makanan dan
minuman seluruhnya sudah tersedia lengkap di dalam kamar-kamar itu. Bila perlu
silakan makan-minum sesukanya dan jangan sungkan?”
“Hm, segala apa boleh
sesukanya dan bebas, sungguh sangat ramah sekali. Tapi hanya ‘tidak bebas untuk
meninggalkan pulau ini’ saja, bukan?” jengek Ting Put-si.
“Hahahaha! Mengapa
Ting-siansing bicara demikian?” sahut Liong-tocu dengan terbahak-bahak.
“Kunjungan kalian ke sini adalah sukarela, jika mau pergi, siapa lagi yang
berani menahan kalian? Di pantai sudah siap perahu kecil dan kapal besar,
setiap saat bila dikehendaki kalian boleh berangkat dengan bebas.”
Jilid 47
Para kesatria melengak, sama
sekali mereka tidak menduga pihak Liong-bok-to ternyata sedemikian baik hati.
Segera ada beberapa orang mengajukan pertanyaan, “Dan kalau saat ini juga kami
hendak berangkat, boleh atau tidak?”
“Tentu saja boleh!” sahut
Liong-tocu. “Memangnya kalian anggap aku dan Bok-hiante orang macam apa?
Pelayanan kami yang kurang sempurna ini sudah membikin kami malu, masakan
sekarang kami berani menahan para tamu?”
Perasaan semua orang menjadi
lega. “Jika pihak Liong-bok-to sudah menyatakan demikian, rasanya tidak mungkin
mereka menjilat ludahnya sendiri. Macam apakah lukisan kuno yang dimaksudkan
itu agaknya tiada halangannya ikut melihatnya.”
Begitulah beramai-ramai mereka
lantas memasuki ruangan gua itu. Pada kamar pertama mereka melihat dinding batu
di sebelah timur tergosok dengan halus dan licin, di atas dinding itu ada
ukiran lukisan dan tulisan. Di dalam kamar itu sudah ada belasan orang, ada
yang sedang merenung, ada yang lagi semadi, ada pula yang memejamkan mata
sambil komat-kamit entah apa yang sedang digumamkan sendiri. Malahan ada
tiga-empat orang lagi yang sedang berdebat.
Tiba-tiba Pek Cu-cay mengenali
seorang di antaranya, serunya terkejut, “Un-samko, kiranya kau... kau berada di
sini?”
Yang ditegur itu adalah
seorang kakek berbaju hitam yang sedang mondar-mandir di depan lukisan dinding
itu. Namanya Un Jin-ho, Ketua Pat-sian-kiam di Soatang. Dia adalah sahabat
karib Pek Cu-cay. Dengan tersenyum ia hanya menjawab, “Ya, mengapa baru
sekarang kau ia datang?”
“Belasan tahun yang lalu
kudengar engkau telah diundang ke Liong-bok-to sini, kukira engkau sudah...
sudah wafat, siapa duga....”
“Aku tetap sehat walafiat dan
sedang meyakinkan ilmu silat tertinggi di sini, siapa bilang aku sudah mati?”
sahut Un Jin-ho. “Sungguh sayang kau datang terlambat. Coba lihat, lukisan ini
menurut keterangan yang tercatat di sini mengatakan....”
Begitulah sambil bicara ia
terus menunjukkan huruf-huruf kecil yang terukir di atas dinding itu kepada Pek
Cu-cay.
Namun Pek Cu-cay buru-buru
ingin tanya keadaan sang sahabat yang berpisah sekian lamanya itu, maka kembali
ia tanya, “Un-samko, bagaimana hidupmu di sini selama sepuluh tahun ini?
Mengapa sama sekali kau tidak mengirim kabar ke rumah? Eh, Un-samko, ini adalah
cucu menantuku. Coba lihat, lumayan bukan orangnya? Hayo, cah, lekas memberi
hormat kepada Un-samyaya.”
Ciok Boh-thian lantas
melangkah maju dan menjura kepada Un Jin-ho sambil menyapa.
Un Jin-ho hanya menjawab acuh
tak acuh saja, memandang saja sungkan, dia masih terus sibuk merenungkan arti
lukisan dinding sambil bergaya dengan tangannya. Mendadak ia memukul ke depan
sambil berseru, “Pek-heng, mungkin beginilah caranya menurut lukisan ini....”
Pek Cu-cay menjadi ikut-ikut
memerhatikan lukisan dinding itu dengan catatan-catatan di pinggirnya. Setelah
komat-kamit membaca sendiri, ia merenung sejenak, kemudian berkata, “Un-samko,
menurut pendapatku seharusnya begini....”
“Tidak bisa,” mendadak Un
Jin-ho membantah, “di situ tertulis....”
Begitulah Ciok Boh-thian
menjadi kesal karena tidak paham apa yang didebatkan kedua orang tua itu,
memangnya ia pun buta huruf sehingga tidak dapat membaca apa yang tertulis di
dinding. Saking isengnya ia coba mendatangi kamar batu kedua. Begitu masuk segera
terasalah sambaran angin senjata yang tajam, ternyata ada tujuh pasang orang
sedang bertanding pedang. Semuanya belum dikenalnya, terang bukan orang-orang
yang ikut dalam perjamuan tadi, ia menduga tentu tokoh-tokoh persilatan yang
diundang datang pada perjamuan yang lebih dahulu. Ilmu pedang yang dimainkan
orang-orang itu tiada yang sama, tapi semuanya sangat bagus dan aneka macam
perubahannya.
Tertampak dua orang di
antaranya telah bergebrak beberapa jurus pula, lalu berhenti. Seorang tua
berjenggot putih lantas berkata, “Laute, jurus pemikiranmu tadi apa tidak
keliru? Hendaklah ingat inti kekuatan ilmu pedang terletak pada....”
“Ah, rupanya Toako terlalu
berat sebelah dan melupakan titik lain yang lebih penting,” demikian bantah
kakek lain yang berjenggot hitam. “Bukankah di situ tertulis....”
Begitulah kembali Boh-thian
mendengar perdebatan sengit karena selisih paham tentang arti lukisan di
dinding. Ia coba mendekati dua orang yang lain. Tertampak kedua orang ini
bertarung dengan cepat sekali, tapi sejenak kemudian mereka pun lantas berhenti
dan mulai berbantahan seperti pasangan-pasangan tadi.
Sesudah dekat dinding,
Boh-thian melihat di atas dinding itu penuh terukir huruf-huruf kecil.
Memangnya dia buta huruf, maka ia pun tidak ambil pusing huruf apakah itu.
Hanya di antara huruf-huruf itu terukir pula beberapa puluh pedang. Bentuk
pedang-pedang itu ada yang panjang, ada yang pendek, ada yang ujungnya
mengacung ke atas dan ada yang mengarah ke bawah, ada yang miring seakan-akan
sedang melayang, ada yang melintang seperti jatuh ke bawah.
Untuk membaca dia tidak dapat,
tapi melihat gambar tidaklah sukar bagi Ciok Boh-thian. Ia coba melihat terus
sampai pedang ke-12, sekonyong-konyong “ki-kut-hiat” di bahu kanan terasa
“nyos” panas, suatu arus hawa panas seakan-akan bergolak. Waktu ia memerhatikan
pedang ke-13, arus hawa panas itu lantas menyalur ke “ngo-li-hiat”, ketika
memandang pedang ke-14, arus panas itu terus menyusur ke “kiok-ti-hiat”.
Begitulah hawa panas itu makin lama makin bergolak dan terus membanjir dari
dalam perut.
Diam-diam Boh-thian merasa
heran, “Sejak aku berlatih menurut garis urat nadi yang terlukis di boneka kayu
itu, tenaga dalamku lantas tambah kuat, tapi selamanya tidak pernah bergolak
seperti sekarang ini, entah apakah sebabnya? Rasa perutku panas seperti
dibakar, besar kemungkinan racun di dalam Lap-pat-cok itu telah mulai bekerja.”
Teringat akan racun di dalam
jenang itu, mau tak mau ia menjadi khawatir. Tapi waktu dia pandang ukiran
pedang di atas dinding pula, segera tenaga dalamnya lantas berjalan menurut
urat nadinya, hawa panas dalam perutnya lambat laun tersebar merata di seluruh
hiat-to tubuhnya. Segera ia mengulangi lagi mulai dari ukiran pedang yang
pertama dan ternyata tenaga dalam itu lantas berjalan dengan lancar menurutkan
garis hiat-to secara teratur dan berakhir sampai di siang-yang-hiat di bagian
tangan.
Ia pikir ukiran pedang itu
kiranya ada hubungannya dengan cara menyalurkan tenaga dalam, cuma sayang aku
tidak bisa baca, kalau tidak tentu aku akan dapat meyakinkan semacam ilmu
pedang menurut keterangan di atas dinding ini. Ah, benar, Pek-yaya sedang
berlatih di kamar pertama sana, biarlah kuminta penjelasan padanya.
Berpikir begitu ia lantas
datang kembali ke kamar batu pertama. Dilihatnya Pek Cu-cay dan Un Jin-ho masih
asyik bergebrak dengan menggunakan pedang kayu, setiap berapa jurus lalu
berhenti dan saling berdebat menurut pendapat masing-masing.
Pada suatu kesempatan Ciok
Boh-thian coba menarik-narik lengan baju Pek Cu-cay dan bertanya, “Yaya, apakah
arti tulisan-tulisan itu?”
Dengan acuh tak acuh Pek
Cu-cay memberi penjelasan beberapa kalimat. Tapi Un Jin-ho lantas menyela,
“Salah, salah! Pek-heng, meski ilmu silatmu cukup tinggi, tapi aku sudah
tinggal belasan tahun di sini, masakah sia-sia saja latihanku selama ini?
Beberapa bagian di antaranya pastilah kau belum bisa memahaminya. Coba lihat
ini....”
Boh-thian menjadi kesal lagi
melihat mereka berdebat terus-menerus. Pikirnya, “Rupanya tulisan yang terukir
di dinding ini sedemikian sukarnya untuk dipahami sehingga selama berpuluh
tahun orang-orang kosen dan kaum cerdik pandai yang telah diundang kemari oleh
Liong dan Bok-tocu toh masih belum dapat memecahkan arti yang sebenarnya. Aku
sendiri buta huruf, buat apa aku mesti ikut pusing-pusing memikirkan seperti
mereka?”
Ia coba mengelilingi ruangan
itu, dilihatnya orang-orang yang berada di situ semuanya lagi berbantahan dan
saling mempertahankan pandangannya sendiri-sendiri. Karena iseng, ia coba
melihat gambar yang terukir di atas dinding. Ternyata lukisan di kamar pertama
ini bukan dalam bentuk pedang, tapi adalah seorang pelajar muda, lain tidak. Ia
merasa gambar itu sangat indah sehingga tanpa merasa ia memandangnya beberapa
kali. Tapi mendadak “yan-ek-hiat” di lambung kanan mendadak berdenyut, suatu
arus hawa panas lantas timbul dari siau-yang-keng, urat nadi di bagian kaki,
terus menyalur ke atas tubuh.
Boh-thian menjadi girang. Ia
coba meneliti pula lukisan dinding itu, ternyata setiap garis dan setiap gores
lukisan itu satu sama lain berhubungan. Ia pikir goresan lukisan ini kiranya
sesuai dengan jalan nadi di dalam tubuh manusia, biarlah aku melatihnya menurut
garis-garis yang pernah aku hafalkan dari boneka kayu dahulu. Nanti kalau
Pek-yaya sudah berhasil meyakinkan ilmu silat yang tinggi segera kami dapat
pulang bersama.
Begitulah ia lantas mengikuti
goresan-goresan gambar itu, yang seluruhnya meliputi 9x9=81 garis. Tapi baru
30-an gores saja Boh-thian sudah merasa lapar. Ia istirahat sejenak, dilihatnya
di atas meja di pojok kamar situ ada disediakan penganan dan minuman, segera ia
menggasaknya hingga kenyang. Kemudian meneruskan latihannya pula menurut
garis-garis lukisan. Bila lelah ia lantas mengaso, kalau mengantuk lantas
tidur, jika lapar sudah ada makanan, ia tidak tahu sudah lewat beberapa hari,
namun akhirnya 81 garis lukisan itu benar-benar telah dilatihnya dengan masak.
Waktu ia pergi mencari Pek Cu-cay, ternyata kakek itu sudah tiada di dalam
kamar.
Ia berlari ke kamar kedua,
ternyata Pek Cu-cay sedang bertanding pedang di situ dengan seorang tosu tua.
Tampaknya ilmu pedang mereka sangat lamban dan jelek, tapi membawa suara angin
yang mendesis-desis, nyata mereka telah mencurahkan lwekang ke batang pedang.
Suatu ketika, terdengar suara “krek”, pedang kayu di tangan Pek Cu-cay telah
patah menjadi dua.
“Bagaimana?” ujar si tosu tua
dengan tersenyum.
Namun Pek Cu-cay masih
penasaran, jawabnya, “Gu-teh Totiang, ilmu pedangmu memang lebih mahir
daripadaku, sungguh aku merasa kagum. Cuma jurus ini adalah ajaran asli
Bu-tong-pay kalian dan bukan ilmu pedang yang dimaksudkan lukisan dinding ini.”
“Habis bagaimana menurut
pendapatmu?” tanya Gu-teh Totiang.
“Menurut kalimat syair
itu....” begitulah Pek Cu-cay mulai membantah pula sehingga kembali terjadi
perdebatan yang bertele-tele.
Ciok Boh-thian merasa lega
karena dapat menemukan sang kakek, ia coba menyela, “Yaya, marilah kita pulang
saja?”
“Apa katamu?” tanya Pek Cu-cay
dengan aseran.
“Menurut Liong-tocu, katanya
setiap saat bila mau kita boleh pergi dari sini,” kata Boh-thian. “Di pantai
sana sudah tersedia kapal, marilah kita berangkat saja.”
“Ngaco-belo! Kenapa mesti
buru-buru?” bentak Cu-cay dengan gusar.
Boh-thian menjadi takut
melihat sang kakek marah-marah. Tapi ia berkata pula, “Nenek sedang menunggu
engkau, katanya akan menunggu sampai tanggal 8 bulan satu nanti. Jika sampai
harinya Yaya belum pulang juga segera beliau akan membunuh diri dengan terjun
ke dalam laut.”
“Hah, tanggal delapan bulan
satu?” Pek Cu-cay menegas dengan melenggong. Tapi ia lantas menyambung, “Ah,
kita baru beberapa hari berada di sini, kita mempunyai waktu satu bulan
lamanya, biarlah kita tinggal lagi beberapa hari, kenapa mesti khawatir?”
Mestinya Boh-thian sudah rindu
kepada A Siu, kalau bisa sungguh ia ingin terbang kembali ke tepi pantai sana.
Tapi rupanya Pek Cu-cay benar-benar sudah tenggelam dalam ilmu silat dan ingin
menyelami rahasia lukisan dinding itu, sebelum berhasil rasanya sukar disuruh
berhenti. Terpaksa Boh-thian tidak berani bicara lagi, ia coba menuju ke kamar
batu ketiga.
Ternyata di situ sudah ada
tiga orang tua dengan dandanan yang ringkas kencang dan lagi berlari-lari
dengan menggunakan ginkang yang tinggi. Sambil berlari ketiga orang tiada
hentinya berbicara pula, yang dibicarakan rupanya adalah pendapat masing-masing
tentang lukisan dinding di situ. Tapi rupanya ketiga orang itu pun tiada
mendapatkan kesatuan paham.
Boh-thian coba melihat lukisan
apa di dinding kamar itu. Kiranya adalah gambar seekor kuda bagus dengan
gayanya yang gagah dan tangkas sedang berlari, di bawah telapak kaki terlukis
pula garis-garis yang menandakan mega sehingga binatang itu seakan-akan sedang
melayang di angkasa. Waktu dia mengamat-amati lebih lanjut goresan-goresan
gambar kuda itu, sekonyong-konyong tenaga dalamnya bergolak lagi, tanpa kuasa
ia lantas angkat kaki dan ikut berlari-lari.
Begitulah berturut-turut Ciok
Boh-thian lantas mendatangi kamar batu keempat, kelima, keenam dan seterusnya
sehingga semua lukisan di dinding kamar-kamar itu dapat diselaminya semua.
Kiranya lukisan-lukisan
dinding dari 24 kamar batu itu masing-masing diberi penjelasan dengan 24 bait
syair kuno. Tapi semuanya sebenarnya merupakan rumus-rumus ilmu pedang,
ginkang, lwekang dan sebagainya yang sangat tinggi.
Terkadang Ciok Boh-thian dapat
memahami dengan sangat cepat, tapi sering juga macet dan makan waktu. Namun
demikian tanpa merasa akhirnya lukisan dari 23 kamar batu itu sudah dapat
dilatihnya dengan baik. Ia sendiri tidak ingat sudah lewat berapa hari, cuma
setiap dua-tiga hari sekali tentu dia pergi mendesak Pek Cu-cay untuk pulang.
Akan tetapi Pek Cu-cay merasa makin besar hasil pelajarannya terhadap rumus
ilmu silat di dinding itu, maka makin lama makin keranjingan. Bila Ciok
Boh-thian mengganggunya, sering kali ia lantas mendamprat, sampai akhirnya ia
menjadi gemas, bila pemuda itu mendekat terus dihantam dan ditendangnya supaya
enyah.
Terpaksa Ciok Boh-thian pergi
mencari Hoan It-hui, Ko Sam-niocu, dan lain-lain untuk berunding. Tak terduga
orang-orang itu pun sudah keranjingan semua asyik menyelami ilmu silat menurut
ukiran di dinding batu, bahkan mereka lantas minta penjelasan dan petunjuk
kepada Ciok Boh-thian tentang di mana letak rahasia pelajaran yang belum juga
diketemukan itu.
Diam-diam Boh-thian terkesiap,
pikirnya, “Meski Liong dan Bok-tocu telah mengundang tokoh-tokoh persilatan ke
sini untuk menyelami ilmu silat lukisan dinding ini, ternyata selama puluhan
tahun ini tiada seorang pun yang meninggalkan pulau ini dan pulang ke
Tionggoan, hal ini menandakan ilmu silat di atas lukisan dinding ini
benar-benar membikin setiap orang menjadi keranjingan dan lupa daratan.
Untunglah kepandaianku rendah, pula buta huruf, tentu aku takkan keranjingan
seperti mereka sehingga lupa untuk pulang.”
Maka ketika ia, hendak diajak
tukar pikiran oleh Hoan It-hui dan lain-lain, cepat saja ia meninggalkan
mereka. Ia pikir sedikitnya sudah lebih 20 hari tinggal di Liong-bok-to, lewat
beberapa hari lagi tidak boleh tidak harus lekas-lekas berangkat pulang. Dari
24 kamar batu itu sudah dikunjungi 23 kamar, hanya tinggal satu kamar terakhir
saja belum didatangi, bila ukiran dinding kamar terakhir itu pun sudah dilihatnya
dan jika Pek Cu-cay masih tetap tidak mau pulang, terpaksa ia sendiri akan
berangkat lebih dulu supaya Su-popo dan lain-lain mendapat tahu apa yang
terjadi di atas pulau.
Begitulah ia lantas menuju ke
kamar ke-24. Begitu masuk ke situ lantas tertampak Liong-tocu dan Bok-tocu
sedang duduk bersila di atas kasuran kecil dengan menghadap dinding dan lagi
merenung dengan segenap pikiran.
Boh-thian sangat menghormat
kepada kedua tocu itu, ia berdiri saja dari jauh. Waktu ia pandang dinding
kamar itu, ia menjadi kecewa. Jika dinding kamar-kamar yang lain di samping
tulisan-tulisan tentu ada lukisan pula, ternyata dinding kamar terakhir ini
tiada sesuatu lukisan apa-apa melainkan tulisan melulu.
“Jika tiada sesuatu lukisan
yang dapat dilihat, biarlah sekarang juga aku permisi kepada Pek-yaya dan
segera berangkat pulang saja,” demikian pikirnya. Teringat beberapa hari lagi
sudah dapat bertemu kembali dengan Su-popo, Ciok Jing dan istrinya, terutama A
Siu yang sudah dirindukannya itu, maka ia menjadi sangat senang. Segera ia
memberi hormat kepada Liong dan Bok-tocu dan mohon diri, “Banyak terima kasih
atas pelayanan kedua Tocu selama ini, biarlah hari ini juga hamba ingin permisi
untuk pulang.”
Namun Liong dan Bok-tocu tetap
memusatkan perhatian mereka ke arah dinding dan seperti tidak mendengar
ucapannya.
Waktu Boh-thian ikut memandang
ke arah dinding, sekonyong-konyong ia merasa huruf-huruf di atas dinding itu
seperti berputar-putar sehingga kepalanya merasa pusing. Ia coba pejamkan mata
dan tenangkan pikiran, lalu memandang lagi, tapi kembali kepala terasa pusing.
Ia merasa heran, aneh benar huruf-huruf ini, bila dipandang lantas kepala
terasa puyeng.
Karena rasa ingin tahu, ia
tidak kapok, kembali ia memandang pula. Ia lihat setiap garis, setiap gerakan
huruf itu seakan-akan berubah semua menjadi beradu atau cebong dan sedang
bergerak di atas dinding. Tapi bila cuma diperhatikan satu garis saja, maka
cebong itu lantas tidak bergerak lagi.
Di waktu kecilnya Ciok
Boh-thian tinggal di atas gunung yang sunyi, di musim semi ia suka menangkap
cebong di sungai pegunungan, lalu dipiara di empang kecil yang dibuatnya
sendiri untuk melihat cara bagaimana cebong itu berubah menjadi katak. Sekarang
dapat melihat lagi barang mainan di waktu kanak-kanak dulu, saking senangnya ia
lantas memerhatikan setiap gerak-gerik cebong itu.
Setelah memerhatikan sejenak,
mendadak “ci-yang-hiat” di bagian punggung terasa berdenyut. Ia sampai
terkejut, “Eh, kiranya cebong-cebong di atas dinding ini sebenarnya ada
hubungannya dengan saluran tenaga dalam.”
Waktu ia memandang cebong yang
kedua, kembali “koan-ki-hiat” di bagian punggung berdenyut pula. Cuma saja
tenaga dalam antara ci-yang-hiat dan koan-ki-hiat itu sukar dihubungkan. Ketika
ia memerhatikan cebong ketiga, tapi sampai sekian lamanya hawa murni di dalam
tubuh sama sekali tiada bergerak.
“Ciok-pangcu memerhatikan
‘Thay-hian-keng’ ini, kiranya adalah seorang ahli huruf cebong,” demikian
tiba-tiba tegur seorang dengan nada dingin.
Waktu Boh-thian menoleh,
kiranya adalah Bok-tocu yang sedang memandangnya dengan sorot mata yang tajam.
Muka Boh-thian menjadi merah, jawabnya dengan tergagap, “O, ti... tidak, hamba
sama sekali tidak bisa membaca. Cuma gambar cebong-cebong kecil ini tampaknya
sangat menyenangkan, maka aku telah memandanginya.”
“Ya, memangnya aku pun merasa
heran masakah Ciok-pangcu yang masih begini muda dapat memahami huruf kuno yang
amat sukar dipelajari ini,” kata Bok-tocu.
“Jika demikian biarlah aku
takkan memandangnya lagi, supaya tidak mengganggu kedua Tocu,” sahut Boh-thian.
“Tidak, kau tidak perlu pergi,
boleh kau melihat sesukamu di sini dan juga takkan mengganggu kami,” ujar
Bok-tocu. Lalu matanya terpejam pula.
Mestinya Boh-thian hendak
meninggalkan kamar batu itu, tapi khawatir Bok-tocu merasa kurang senang. Ia
pikir biarlah kupandang sebentar lagi baru keluar dari sini.
Tak terduga waktu dia
memandang ukiran cebong lagi, mendadak “tiong-cu-hiat” di bagian perut
berdenyut dengan keras seperti ada kodok melompat di dalam perut, Pikirnya,
“Aneh, cebong-cebong kecil ini benar-benar aneh, belum menjadi katak sudah
lantas melompat-lompat.”
Karena tertarik, ia lantas
memerhatikan lagi setiap cebong itu, berulang-ulang hiat-to di tubuhnya juga
lantas bergerak-gerak dan melonjak-lonjak aneh, terkadang dua-tiga tempat
hiat-to bisa bertembusan dan hawa murni lantas berjalan dengan lancar, rasa
badan menjadi segar sekali. Saking kesengsemnya ia sampai lupa daratan, tak
kenal lelah dan waktu. Asal merasa lapar ia lantas makan penganan yang tersedia
di situ, habis itu lantas berlatih pula. Makin berlatih makin banyak hiat-to di
dalam tubuhnya yang dapat dihubungkan. Ia merasa cebong-cebong kecil itu telah
berpindah semua ke dalam urat nadinya dan seperti sudah berubah menjadi katak
dan melompat-lompat di dalam tubuhnya.
Untuk selanjutnya ia
benar-benar seperti kesurupan setan, dia hanya memandangi huruf-huruf cebong di
atas dinding. Jika lelah ia mengaso sebentar, lalu berlatih lagi. Ia
benar-benar sudah keranjingan terhadap beribu-ribu dan berlaksa-laksa cebong
kecil di atas dinding itu.
Entah sudah lewat berapa hari
lagi, sekonyong-konyong hawa murni di dalam tubuh terasa bergolak hebat dan
berturut-turut telah menembus beberapa bagian yang tadinya macet. Habis itu
lantas bergerak dengan dahsyatnya laksana air bah melanda, dari perut hawa
murni itu lantas menerjang ke ubun-ubun kepala, lalu dari ubun-ubun turun
kembali ke perut, makin mengalir makin cepat.
Terkejut dan girang pula Ciok
Boh-thian, seketika ia menjadi bingung pula cara bagaimana harus diperbuatnya.
Ia merasa sekujur badannya penuh tenaga yang tak tersalurkan. Tanpa merasa kaki
dan tangannya lantas bergerak-gerak, ia mainkan ilmu pukulan dari garis-garis
lukisan yang dilihatnya di kamar batu pertama itu, lalu memainkan ilmu pedang
menurut goresan gambar di kamar kedua dan begitu seterusnya, sekaligus ia telah
keluarkan segenap ilmu yang telah dilihatnya, baik ilmu pedang, ilmu pukulan,
ginkang, lwekang dan sebagainya.
Habis itu bahkan tenaga
dalamnya masih terus bergolak, tanpa merasa ia terus mainkan segenap kepandaian
yang dipelajarinya sebelumnya, baik ilmu pukulan jahat ajaran ibunya,
Yam-yam-kang ajaran Cia Yan-khek, lwekang yang diperolehnya dari boneka kayu,
kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong, Swat-san-kiam-hoat, Kim-oh-to-hoat dan
ilmu golok campur pedang ciptaannya sendiri, semuanya dikeluarkan. Di mana dia
ingat, di situ juga lantas dimainkan, semuanya timbul sendiri tanpa banyak
pikir dan dapat dilakukannya dengan bebas sesukanya.
Makin main makin senang,
sampai akhirnya Ciok Boh-thian terbahak-bahak sendiri dan berteriak, “Hahahaha!
Bagus!”
“Ya, memang bagus!” tiba-tiba
ada orang ikut menanggapi.
Boh-thian terkejut dan cepat
berhenti main. Dilihatnya Liong-tocu dan Bok-tocu masing-masing sudah berdiri
di pojok ruangan dan sedang memandangnya dengan rasa kejut dan girang.
Cepat Boh-thian minta maaf,
“Hamba telah berlaku sembrono, harap kedua Tocu jangan marah.”
Ternyata kedua tocu itu penuh
air keringat, bajunya basah kuyup, tempat di mana mereka berdiri juga penuh
tetesan air.
Maka Liong-tocu telah berkata,
“Bakat Ciok-pangcu yang aneh, sungguh harus dipuji. Terimalah ucapan selamat
kami!”
Habis berkata dia lantas
menjura. Cepat Bok-tocu ikut memberi hormat.
Keruan Ciok Boh-thian
terkejut, lekas-lekas ia pun berlutut dan balas menjura. Katanya, “Mengapa
kedua Tocu menjalankan penghormatan se... setinggi ini, mana hamba berani
terima!”
“Ciok-pangcu sil... silakan
bangun!” kata Liong-tocu.
Boh-thian menurut dan
merangkak bangun. Dilihatnya Liong-tocu juga hendak berbangkit kembali, tapi
mendadak tergeliat dan jatuh terduduk di atas lantai. Begitu pula kedua tangan
Bok-tocu tampak menahan tanah dan juga tidak kuat berbangkit.
“He, kenapakah kalian?” seru
Boh-thian dengan khawatir. Cepat ia memayang bangun Liong-tocu. Lalu
membangunkan Bok-tocu pula.
Liong-tocu tampak
goyang-goyang kepala dan tersenyum. Lalu pejamkan mata dan mengumpulkan tenaga.
Bok-tocu juga lantas semadi mengumpulkan semangat.
Boh-thian tak berani
mengganggunya. Selang agak lama barulah terdengar Bok-tocu menghela napas lega
terus melompat bangun dan mendekati Liong-tocu serta merangkulnya.
Liong-tocu juga lantas membuka
mata, kedua orang lantas saling berpelukan sambil bergelak tertawa, tampaknya
girang tak terhingga.
Sudah tentu Boh-thian tidak
tahu apa sebabnya kedua orang itu sedemikian riang gembira, dia hanya ikut
menyengir saja.
Perlahan-lahan Liong-tocu lalu
berdiri, katanya, “Ciok-pangcu, sudah berpuluh tahun kami berdua dirundung oleh
suatu pertanyaan besar, tapi hari ini engkau telah dapat memecahkannya, sungguh
kami merasa sangat berterima kasih.”
“Aku... aku memecahkan apa?”
tanya Boh-thian dengan bingung.
“Buat apa Ciok-pangcu mesti
merendah hati?” ujar Liong-tocu dengan tersenyum. “Engkau sudah berhasil
menyelami lukisan bersyair Hiap-khek-heng yang terukir di dinding batu ini,
bukan saja engkau adalah orang pertama di dunia persilatan dewasa ini, bahkan selain
orang kosen angkatan tua yang mengukirkan lukisan ini sendiri, mungkin sejak
dulu kala hingga sekarang jarang ada orang lain yang mampu memadai
Ciok-pangcu.”
“Ah, mana hamba berani
menerima pujian setinggi itu?” sahut Boh-thian dengan gugup. “Ucapan Liong-tocu
ini bila didengar oleh Pek-yaya, tentu beliau akan sangat marah.”
“Apakah sebabnya?” tanya
Liong-tocu dengan tertawa.
“Sebab Pek-yaya ingin disebut
sebagai ‘jago pedang nomor satu, jago lwekang nomor satu, pendek kata
serbanomor satu’, sebaliknya hamba sedikit pun tidak becus apa-apa, mana dapat
dibandingkan dengan Pek-yaya?”
“Haha, jadi ‘tokoh nomor satu’
dunia persilatan selama ini adalah Pek Cu-cay dari Swat-san-pay? Hahahaha!”
tukas Liong-tocu dengan tertawa. Dan sesudah saling pandang sekejap dengan
Bok-tocu, lalu ia tanya kepada Boh-thian, “Tapi bagaimana menurut anggapan
Ciok-pangcu sendiri?”
Boh-thian merenung sejenak,
kemudian menjawab, “Ilmu silat Pek-yaya sudah tentu sangat tinggi, tapi kalau
mengaku sebagai jago nomor satu rasa rasanya sih belum dapat.”
“Ya, memang,” kata Liong-tocu.
“Melulu bicara tentang ilmu pedang, ilmu pukulan dan lwekang saja Ciok-pangcu
sendiri sudah sepuluh kali lebih tinggi daripada Pek-yayamu. Tentang huruf
cebong di atas dinding ini, apa yang kami ketahui boleh dikata belum ada satu
bagian daripada seluruhnya, entah Ciok-pangcu sudi memberi petunjuk atau
tidak?”
Untuk sejenak Ciok Boh-thian
memandangi Liong-tocu, lalu memandang Bok-tocu pula. Wajah kedua orang itu
tampak sangat serius, sangat sungguh-sungguh, tapi mengandung rasa
khawatir-khawatir cemas pula seakan-akan takut kalau dirinya tak mau
menerangkan rahasia rumusan lukisan itu. Maka ia lantas menjawab, “Tentu saja
akan kuterangkan seluruhnya kepada kalian. Mula-mula aku memerhatikan cebong ini,
seketika ‘tiong-cu-hiat’ lantas berdenyut, waktu kupandang pula cebong yang
itu, kontan ‘ci-yang-hiat’ lantas melonjak....” Begitulah ia terus memberi
penjelasan sambil menunjuk gambar-gambar berudu itu.
Keruan Liong dan Bok-tocu
merasa bingung dan tidak mengerti.
Melihat kedua orang tua itu
mengunjuk rasa heran, segera Boh-thian bertanya, “Bagaimana, apakah uraianku
salah?”
“Kiranya apa yang dilihat oleh
Ciok-pangcu adalah... adalah gambar-gambar cebong belaka, jadi engkau tidak
membaca tulisannya? Tapi mengapa Ciok-pangcu dapat pula mengerjakan seluruh
‘Thay-hian-keng’ ini?” tanya Liong-tocu.
“Tidak, hamba tidak
membacanya, sejak kecil hamba tidak sekolah, sampai sekarang masih buta huruf,
sungguh sangat memalukan,” sahut Boh-thian dengan wajah merah jengah.
“Hahh, kau... kau buta huruf?”
tanya Liong-tocu dan Bok-tocu sambil melonjak berbareng.
“Ya, aku tidak dapat membaca,”
jawab Boh-thian. “Tapi sesudah pulang nanti tentu aku akan... akan minta A Siu
mengajar membaca padaku. Kalau tidak tentu aku akan selalu ditertawai orang.”
Melihat sikap pemuda itu
sangat jujur dan tulus, sedikit pun tiada tanda-tanda membohong mau tak mau
kedua tocu itu harus percaya juga. Sungguh mereka tidak habis mengerti mengapa
bisa terjadi demikian. Segera Liong-tocu bertanya pula, “Jika kau buta huruf,
mengapa kau dapat menyelami catatan-catatan di dalam ke-23 kamar batu sana,
siapakah yang menjelaskan artinya kepadamu?”
“Tiada orang yang menjelaskan
padaku,” sahut Boh-thian. “Kudengar Pek-yaya membaca beberapa kalimat dan
Hoan-toaya dari Kwantang itu pun mengucapkan beberapa kalimat, begitu pula
paman-paman dan mamak-mamak yang lain, tapi semuanya aku tidak paham, maka aku
tidak menaruh perhatian. Aku... aku hanya melihat gambarnya saja, dalam keadaan
ruwet mendadak hawa murni dalam tubuhku lantas bergolak dan berjalan menurut
setiap goresan gambar yang kuperhatikan.”
“Kau buta huruf, tapi dapat
membaca rumusan dalam lukisan itu, ini mana... mana bisa?” ujar Bok-tocu.
“Ya, jangan-jangan sudah
suratan takdir atau Ciok-pangcu ini memiliki pembawaan yang genius?” kata
Liong-tocu.
Sejenak kemudian mendadak
Bok-tocu membanting kaki sambil berseru, “Aha, tahulah aku, pahamlah aku!
Toako, kiranya demikianlah halnya!”
Untuk sejenak Liong-tocu
tertegun. Tapi segera ia pun paham duduknya perkara. Seketika mereka berdua
saling rangkul lagi, air muka mereka tampak cemas-cemas girang tercampur
gegetun.
Liong-tocu lantas menoleh dan
tanya Ciok Boh-thian pula, “Ciok-pangcu, untunglah engkau tidak bisa membaca,
maka dapatlah memecahkan persoalan yang penuh teka-teki ini. Sekarang mati pun
kami dapat tenteram dan takkan menyesal di alam baka.”
“Mati pun dapat ten...
tenteram apa maksud kedua Tocu?” tanya Boh-thian dengan bingung.
Liong-tocu menghela napas
perlahan, katanya, “Kiranya tulisan-tulisan yang begitu banyak sesungguhnya
tiada gunanya semua, setiap kalimatnya sengaja menyesatkan bagi siapa pun yang
membacanya. Akan tetapi setiap orang yang ingin memahami arti lukisan-lukisan
itu sudah tentu ingin mempelajari arti daripada keterangan-keterangan yang
tercatat di situ.”
“Jadi engkau maksudkan
tulisan-tulisan itu sebenarnya tiada gunanya?” Boh-thian menegas dengan heran.
“Ya, bukan saja tak berguna,
bahkan bisa bikin celaka,” sahut Liong-tocu. “Jika tidak demikian, tentu tidak
percumalah jerih payah selama ini.”
“Ternyata tulisan yang kita
anggap sebagai kitab ‘Thay-hian-keng’ ini sebenarnya bukan huruf cebong, tapi
hanya... hanya garis-garis yang menunjukkan tempat hiat-to yang bersangkutan,”
kata Bok-tocu. “Ai, empat puluh tahun, empat puluh tahun telah lalu dengan
percuma.”
Begitulah kedua tocu itu
saling pandang dengan penuh penyesalan, lesu sekali semangat mereka, sedikit
pun tiada sikap kereng dan berwibawa seperti waktu perjamuan Lap-pat-cok tempo
hari.
Sebaliknya Ciok Boh-thian
masih merasa bingung, ia tanya pula, “Orang itu sengaja menulis sebanyak ini di
atas dinding untuk menyesatkan orang, entah apa tujuannya?”
“Apa maksud tujuannya memang
sukar dikatakan,” ujar Liong-tocu. “Boleh jadi Locianpwe itu tidak ingin
angkatan muda dapat mempelajari ilmu tinggalannya secara mudah, atau
catatan-catatan itu sengaja ditambahkan lagi oleh seorang lain, mungkin juga
Locianpwe itu tidak suka orang sekolahan, maka sengaja memasang perangkap
demikian supaya orang yang jujur dan polos sebagai Ciok-pangcu mendapatkan
pusaka tinggalannya ini.”
“Ya, maksud tujuan Locianpwe
itu benar-benar sangat mendalam dan sukar diterka,” tukas Bok-tocu.
Melihat kedua tocu itu sangat
lesu dan gegetun, Boh-thian menjadi rikuh, katanya segera, “Kedua Tocu, jika
ilmu yang kuperoleh ini memang berguna, biarlah seluruhnya akan aku uraikan
kepada kalian. Marilah kita kembali ke kamar batu pertama, tentu akan
kujelaskan tanpa merahasiakannya sedikit pun.”
“Maksud baik Ciok-pangcu kami
terima di dalam hati saja,” sahut Liong-tocu dengan tersenyum getir. “Seorang
muda yang berjiwa tulus sebagai saudara cilik memang sudah sepantasnya
mendapatkan ganjaran baik pula, perkembangan dunia persilatan di kemudian hari
tentu pula akan banyak diharapkan tenagamu. Dengan demikian jerih payah kami
selama ini tidaklah menjadi sia-sia.”
“Benar, teka-teki rumusan
lukisan dinding ini sekarang sudah terpecahkan, cita-cita kami sudah terkabul.
Baik saudara cilik yang berhasil meyakinkan atau kami adalah sama saja,”
demikian Bok-tocu menambahkan.
“Jika begitu, apakah
seluk-beluk gambar-gambar cebong ini saja yang kuterangkan pada kalian?” kata
Boh-thian dengan sungguh-sungguh.
“Ilmu sakti ini toh sudah
mendapatkan ahli warisnya yang sejati, gambar-gambar itu sudah waktunya untuk
berakhir,” kata Liong-tocu dengan tersenyum haru. “Saudara cilik, cobalah lihat
lagi.”
Waktu Boh-thian berpaling dan
memandang ke dinding, seketika ia terperanjat. Ternyata bubuk batu tampak
rontok sedikit demi sedikit dari dinding batu itu, huruf-huruf cebong yang
memenuhi dinding itu sekarang sudah tak keruan jadinya dan hanya tinggal
sebagian kecil saja yang masih jelas.
“He, meng... mengapa bisa
demikian?” serunya kaget.
“Soal ini biarlah kita
bicarakan nanti,” ujar Bok-tocu. “Sekarang marilah kita menemui dulu para
kesatria untuk mengumumkan kejadian ini.”
Segera mereka bertiga keluar
dari kamar batu itu dan menuju ke ruangan depan. Liong-tocu lantas
memerintahkan para muridnya berkumpul dan mengundang para kesatria yang
tersebar di berbagai kamar batu itu.
Kiranya tadi sesudah Ciok
Boh-thian berhasil memecahkan rumus ilmu sakti menurut lukisan dinding, tanpa
merasa ia lantas mulai main. Liong dan Bok-tocu menjadi terkejut dan heran,
segera Liong-tocu maju mencobanya. Tapi saat itu Boh-thian sudah seperti
keranjingan setan, begitu merasa diserang orang secara otomatis ia lantas
melayani. Hanya beberapa jurus saja Liong-tocu sudah merasa kewalahan, cepat
Bok-tocu ikut maju mengerubut. Namun dengan ilmu silat kedua orang yang sudah
tiada bandingannya di dunia persilatan itu ternyata masih tidak mampu melawan
ilmu sakti yang baru saja dipahami Ciok Boh-thian. Semakin dahsyat mereka
menyerang, semakin hebat pula perlawanan Ciok Boh-thian. Angin dan tenaga
pukulan mereka bertiga semuanya tersampuk ke atas dinding kamar sehingga
permukaan dinding yang berukiran itu tergetar sehingga ambrol.
Begitulah sesudah mereka
bertiga sampai di ruangan depan dan ambil tempat duduk masing-masing, para tamu
dan muridnya berturut-turut juga sudah kumpul, Sekarang di ruangan besar itu
telah berjubel-jubel dengan tokoh-tokoh Bu-lim yang pernah mengunjungi
Liong-bok-to selama 30-an tahun ini, selain sebagian kecil yang telah wafat
karena usia lanjut, sisanya kini sudah ikut hadir di situ.
Jilid 48 Tamat
Setelah para hadirin sudah
datang semua, Liong-tocu lantas bisik-bisik memberi pesan kepada murid
pertamanya, begitu pula Bok-tocu. Kedua murid pertama mereka tampak tercengang
sambil mendengarkan perintah sang guru. Dan sesudah minta penjelasan pula seperlunya,
kemudian kedua murid pertama itu lantas menuju ke belakang bersama belasan
orang sute mereka.
Liong-tocu lantas mendekati
Ciok Boh-thian, katanya dengan suara tertahan, “Adik cilik, tentang kejadian di
kamar batu terakhir tadi janganlah sekali-kali kau katakan kepada orang lain.
Kalau tidak, sepanjang hidupmu tentu akan timbul macam-macam kesukaran dan
macam-macam bahaya.”
Ciok Boh-thian mengiakan saja
walaupun tidak mengerti sebab musababnya.
Namun Liong-tocu lantas
menerangkan, “Kau telah memiliki ilmu sakti yang tiada taranya di dunia ini,
orang Bu-lim tentu ada yang kagum dan ada yang iri, dari iri menjadi benci,
atau ada pula yang datang minta belajar padamu, mungkin pula dengan macam-macam
akal kau akan dipaksa mengaku rahasia kepandaianmu, pendek kata macam-macam
kesukaran akan menimpa dirimu. Sebab itulah pengalamanmu tadi jangan
sekali-kali diketahui oleh orang luar.”
“Ya, banyak terima kasih atas
petunjuk Tocu ini,” sahut Boh-thian.
Selesai memberi pesan
seperlunya, kemudian Liong-tocu kembali ke tempat duduknya semula. Lalu berkata
kepada para kesatria, “Sobat-obat sekalian, kita dapat berkumpul di pulau ini,
betapa pun dapatlah dianggap kita ini ada jodoh. Tapi sampai sekarang masa
berkumpul kita sudah berakhir dan terpaksalah kita harus berpisah.”
Para kesatria tercengang
heran, beramai-ramai mereka bertanya, “He, ada apakah?” — “Telah terjadi
apakah, Tocu?”
Di tengah suara berisik itu,
sekonyong-konyong dari ruangan belakang sana terdengarlah suara letusan yang
gemuruh. Seketika para kesatria terdiam, mereka melenggong karena tidak tahu
apa yang terjadi.
“Para sobat, kalian berkumpul
di sini adalah dengan harapan dapat memecahkan rahasia ilmu sakti lukisan
dinding itu, namun sayang waktunya sudah tidak mengizinkan lagi, Liong-bok-to ini
dalam waktu singkat sudah akan tenggelam,” kata Liong-tocu pula.
“Hah, sebab apa? Apakah gempa
bumi? Atau ada gunung berapi akan meletus? Dari mana Tocu mendapat tahu?”
demikian beramai-ramai para kesatria menjadi ribut.
“Ya, tadi aku dan Bok-hiante telah
melihat pusar pulau ini mulai bergolak dan segera akan terjadi letusan gunung
berapi, bila meletus tentulah pulau ini akan menjadi lautan api. Sekarang suara
gemuruh sudah mulai dahsyat, para sobat silakan lekas pergi dari sini.”
Namun para kesatria itu masih
ragu-ragu. Ada yang sudah terlalu keranjingan ilmu silat yang terukir di
dinding itu, maka mereka lebih suka menghadapi bahaya daripada tinggal pergi
begitu saja.
“Jika kalian tidak percaya,
boleh silakan kalian periksa lagi kamar-kamar batu yang sudah retak dan runtuh
itu, andaikan gunung berapi tidak jadi meletus juga tiada gunanya lagi kalian
tinggal di sini,” ujar Liong-tocu.
Mendengar itu, para kesatria
benar-benar terkejut, beramai-ramai mereka berlari ke kamar batu masing-masing,
begitu pula Boh-thian ikut lari ke belakang. Benar juga kamar-kamar batu itu
sudah retak, ukiran di dinding itu sudah ambrol semua.
Boh-thian tahu ukiran dinding
itu tentu dirusak atas perintah kedua tocu, diam-diam ia merasa dirinya yang
bersalah sehingga menimbulkan gara-gara ini.
Para kesatria itu pun
menganggap rusaknya kamar-kamar batu itu tidak wajar, terang dilakukan oleh
manusia dan bukan lantaran gempa bumi. Beramai-ramai mereka lantas berlari
kembali ke ruangan depan dengan maksud menegur kedua tocu. Tapi baru saja
sampai di ambang pintu lantas terdengar suara tangis orang yang ramai dan
sedih. Keruan para kesatria tambah kaget, Tertampak Liong-tocu dan Bok-tocu
berduduk di tempatnya dengan mata terkatup. Para muridnya berlutut di
sekelilingnya sambil menangis.
Seketika jantung Ciok
Boh-thian seakan-akan terbetot keluar. Cepat ia menyusup maju di antara orang
banyak sambil berseru, “Liong-tocu, Bok-tocu, ken... kenapakah kalian?”
Tapi air muka kedua orang tua
itu tampak sudah pucat kaku, nyata sudah meninggal dunia. Boh-thian menoleh dan
coba tanya Thio Sam dan Li Si, “Kedua Tocu baru saja masih baik-baik, mengapa
dalam sekejap saja sudah wafat?”
“Waktu wafat, kedua Suhu menyatakan
cita-cita beliau sudah terkabul, walaupun meninggalkan dunia fana ini, namun
tenanglah ha... hati beliau-beliau itu,” sahut Thio Sam sambil terguguk-guguk.
Karena terharu, Boh-thian
sampai ikut menangis. Ia tidak tahu bahwa sesudah pertarungan di dalam kamar
batu tadi kedua tocu itu sudah kehabisan tenaga seperti pelita kehabisan
minyak. Ditambah lagi usia mereka memang sudah lanjut, sekarang cita-cita sudah
terkabul, maka mereka lantas mangkat dengan tenang.
Si murid utama baju kuning
segera berseru, “Para tamu yang mulia, menurut pesan Suhu, kalian disilakan
lekas meninggalkan pulau ini. Tentang medali wasiat yang pernah diterima kalian
itu boleh disimpan baik-baik, boleh jadi kelak masih ada gunanya. Bila di
kemudian hari kalian ada sesuatu kesukaran, silakan datang ke kampung nelayan
di pantai selatan itu dengan membawa medali wasiat, mungkin kami akan dapat
memberi bantuan seperlunya. Sekarang kapal-kapal sudah siap di tepi pantai,
silakan kalian lantas berangkat saja.”
Mendengar itu para kesatria
yang merasa kecewa itu menjadi terhibur. Beramai-ramai mereka lantas memberi
penghormatan terakhir kepada jenazah Liong dan Bok-tocu.
“Selamat jalan, Samte,” kata
Thio Sam dan Li Si kepada Boh-thian. “Semoga kita akan berjumpa pula.”
Setelah mengucapkan selamat
tinggal, dengan rasa berat Boh-thian lantas mohon diri dan beramai-ramai ikut
Pek Cu-cay, Hoan It-hui, dan lain-lain menuju ke pantai.
Pulangnya sekarang mereka
menggunakan kapal layar yang besar, sebuah kapal dapat memuat ratusan orang. Maka
hanya lima-enam buah kapal saja para kesatria itu sudah terangkut semua. Segera
mereka mengangkat sauh dan berlayar meninggalkan Liong-bok-to.
Makin lama pulau itu makin
kecil kelihatannya. Sekonyong-konyong Ciok Boh-thian teringat sesuatu sehingga
berkeringat dingin. Teriaknya sambil membanting-banting kaki, “Wah, celaka,
celaka! He, Yaya, hari ini tang... tanggal berapakah?”
Pek Cu-cay juga lantas
terkejut. Ia pun berteriak, “Wah, celaka! Aku ti... tidak tahu hari ini tanggal
be... berapa?”
Sekilas Ciok Boh-thian melihat
Ting Put-si lagi tertawa mengejek di sebelah sana, cepat ia tanya,
“Ting-siyaya, apakah engkau ingat sudah berapa lama kita datang ke Liong-bok-to
sini?”
“Mungkin 70 hari, mungkin 99
hari, siapa ambil pusing?” sahut Put-si.
Boh-thian menjadi kelabakan
dan hampir-hampir menangis. Ia coba tanya Ko Sam-niocu, “Kita sampai di sini
pada tanggal 8 bulan 12, hari ini tentunya baru tanggal muda bulan satu bukan!”
Ko Sam-niocu lantas menekuk
jari dan berhitung, “Kita sudah tinggal 57 hari di pulau ini. Hari ini kalau
bukan tanggal 6 tentulah tanggal 7 bulan dua.”
“Hahhhh, bulan dua?” jerit Pek
Cu-cay dan Ciok Boh-thian berbareng.
“Ya, terang sudah bulan dua,”
sahut Ko Sam-niocu.
“Wah, celaka, celaka!” teriak
Pek Cu-cay sambil memukul-mukul dadanya sendiri.
“Wah, untung, untung!”
timbrung Ting Put-si dengan bergelak tertawa malah.
“Ting-siyaya, mengapa engkau
malah tertawa,” omel Boh-thian. “Kata nenek, jika sampai tanggal 8 bulan satu
Yaya belum pulang, maka beliau akan bunuh diri dengan terjun ke laut. Ya,
malahan A Siu… A Siu juga akan terjun ke laut.”
“Dia akan terjun ke laut?”
Ting Put-si melengak. “Dia akan tunggu sampai tinggal 8 bulan satu? Tapi...
tapi sekarang sudah bulan dua....”
“Ya, makanya... bagaimana
baiknya ini?” kata Boh-thian sambil menangis.
“Watak Siau-jui sangat keras,
jika dia bilang menunggu sampai tinggal 8 bulan satu, maka pasti dilakukannya
pada hari itu, padahal sekarang sudah lewat lebih 20 hari, tentu sudah lama dia
membunuh diri,” kata Put-si dengan gusar. “Dasar kau, Pek Cu-cay, kau bangsat
keparat piaraan biang anjing kau... kau kenapa tidak pulang sejak dulu-dulu?
Bangsat!”
“Ya, benar, aku memang bangsat
keparat!” teriak Pek Cu-cay sambil tiada hentinya menghantam dada sendiri.
“Su Siau-jui adalah istri
orang, apakah dia masih hidup atau sudah mampus peduli apa dengan kau, mengapa
kau ikut ribut dan memaki orang?” tiba-tiba suara seorang wanita yang tajam
melengking mendamprat Ting Put-si. Itulah suara si wanita she Bwe.
Mendengar itu seketika Ting
Put-si menjadi bungkam.
Sebaliknya Pek Cu-cay lantas
menyalahkan Ciok Boh-thian, “Jika sudah tahu nenekmu akan terjun ke laut pada
tanggal 8 bulan satu, mengapa tidak kau beri tahukan padaku sejak dulu?”
Karena hatinya sedih, Boh-thian
tidak ingin membantahnya, ia biarkan orang tua itu mengomel sesukanya.
Dalam pada itu kapal mereka
telah laju dengan pesatnya karena mendapat angin buritan, Pek Cu-cay masih
terus mencaci maki Ciok Boh-thian, sedangkan Ting Put-si suka mengolok-oloknya,
beberapa kali mereka hampir-hampir berkelahi, tapi dapatlah dilerai oleh
kawan-kawan sekapal. Sampai petang hari ketiga, dari jauh tertampaklah daratan
pantai selatan, seketika bersoraklah semua orang. Namun Pek Cu-cay masih terus
melotot memandangi ombak laut yang mendebur-debur seakan-akan mencari jenazah
Su-popo dan A Siu.
Makin lama makin dekatlah,
Boh-thian melihat pemandangan pantai itu masih tetap sama seperti waktu dia
berangkat. Di tepi pantai berderet-deret pohon nyiur. Pada puncak tebing karang
yang menonjol di sebelah kiri sana tumbuh tiga batang pohon kenapa.
Ia masih ingat waktu itu
Su-popo, A Siu dan lain-lain mengantar kepergiannya dengan berdiri di tepi
pantai, sekarang dirinya pulang dengan selamat, namun gurunya dan A Siu itu sudah
menjadi isi perut ikan laut, sampai jenazah pun tak tertinggal lagi. Teringat
demikian, tanpa merasa air matanya lantas meleleh.
Kapal mereka masih terus laju
menuju ke tepi pantai. Pada waktu sudah dekat, sekonyong-konyong terdengar
suara jeritan orang, dari atas tebing karang itu tampak melayang ke dalam laut
dua sosok tubuh orang. Mata Ciok Boh-thian cukup jeli, sekilas dikenalnya
orang-orang yang terjun ke laut itu tak-lain-tak-bukan adalah Su-popo dan A
Siu.
Kecut dan girang Ciok
Boh-thian sungguh tak terhingga. Pada saat demikian sudah tentu tak terpikir
olehnya mengapa kedua orang itu belum mati. Segera ia angkat sepotong papan
terus dilemparkan sekuatnya ke arah tempat jatuhnya kedua orang, menyusul ia
kumpulkan segenap tenaga ke ujung kaki, sekali loncat, seketika tubuhnya
melayang ke depan secepat anak panah.
Di sinilah dia telah
perlihatkan manfaat ilmu sakti yang diperolehnya dari lukisan dinding batu di
Liong-bok-to itu. Ketika melayang turun, sebelah kakinya tepat menginjak di
atas papan yang terapung di permukaan air sehingga meluncur ke depan dengan
lebih cepat. Pada saat itu dengan cepat sekali tubuh A Siu sedang terjun ke
bawah dan tepat berada di sampingnya.
Tanpa pikir lagi tangan kiri
Ciok Boh-thian lantas menjulur, pinggang nona itu tepat kena dirangkul olehnya.
Karena bobot kedua orang ditambah daya terjun si A Siu, seketika papan yang
diinjak Boh-thian itu tertekan ke bawah. Pada waktu itu juga Su-popo tampak
jatuh ke bawah tepat di sebelah kanannya, untuk menyambar tubuh nenek itu
terang tidak dapat, terpaksa tangan kanan Boh-thian meraih punggung Su-popo dan
sekalian didorong ke atas, kembali ia keluarkan ilmu sakti lukisan dinding
Liong-bok-to, segera tubuh Su-popo melayang ke arah kapal.
Orang-orang di atas kapal sama
berteriak-teriak. Pek Cu-cay dan Ting Put-si lantas memburu ke haluan kapal,
melihat Su-popo melayang tiba, berbareng kedua orang menjulurkan tangan hendak
menangkapnya.
“Enyah kau!” bentak Pek Cu-cay
sambil memukulkan sebelah tangan kepada Ting Put-si.
Mestinya Ting Put-si hendak
menangkis, tak terduga si wanita she Bwe mendadak mendorongnya dari belakang,
tanpa ampun lagi ia lantas kecebur ke dalam laut.
Pada saat itu juga Pek Cu-cay
sudah dapat menangkap badan Su-popo. Namun melayang datangnya itu membawa tenaga
dorongan Ciok Boh-thian yang mahakuat, Cu-cay tidak dapat berdiri tegak, ia
terhuyung-huyung ke belakang dan jatuh terduduk dengan masih tetap memeluk
Su-popo sekencang-kencangnya.
Dalam pada itu Ciok Boh-thian
sambil memondong A Siu dengan pinjam daya luncur papan juga sudah mendekati
kapal, sekali lompat ia sudah berada kembali di atas kapal.
Untung juga Ting Put-si mahir
berenang sehingga tidak sampai mati tenggelam. Segera kelasi-kelasi kapal
melemparkan tambang ke bawah untuk mengereknya naik ke atas. Di sebelah sana
orang ribut membicarakan kejadian-kejadian yang mendadak itu, di sebelah sini
dengan basah kuyup Ting Put-si sedang memandangi si wanita berkerudung she Bwe
dengan kesima, tiba-tiba ia berseru, “Kau... kau bukan adik perempuannya, tapi
kau adalah dia, adalah dia sendiri!”
Wanita itu tertawa dingin dan
menjawab, “Hm, asal kau tahu saja. Sungguh besar amat nyalimu, di hadapanku kau
masih berani memeluk Su Siau-jui?”
Ketika mendadak ia menyingkap
kerudungnya, maka tertampaklah mukanya yang penuh keriput dan amat pucat,
mungkin lantaran terlalu lama diberi kurudung dan tidak pernah terkena cahaya
matahari.
“O, Bun-sing, ternyata memang
betul adalah kau,” kata Ting Put-si dengan terharu. “Mengapa kau mem...
membohongi aku bahwa kau sudah meninggal dunia?”
Kiranya wanita berkerudung
muka itu bernama Bwe Bun-sing, bekas kekasih Ting Put-si di masa mudanya. Namun
Ting Put-si tergila-gila kepada Su Siau-jui dan meninggalkan dia, tak terduga
sesudah beberapa puluh tahun kemudian bisa berjumpa pula.
Sekonyong-konyong tangan kiri
Bwe Bun-sing menyambar ke depan, seketika telinga Ting Put-si kena dijewer
olehnya, jeritnya melengking, “Kurang ajar! Jadi kau berharap-harap agar aku
lekas mati saja supaya kau bisa bebas dan senang, ya?”
Karena merasa berdosa, Ting
Put-si tidak berani melawan, jawabnya dengan meringis kesakitan, “E-e-eh, lekas
lepas tangan! Kan malu dilihat para kesatria itu!?”
“Biarkan kau tahu rasa!” sahut
Bun-sing dengan menjewer semakin keras. “Di manakah Hong-koh, hayo kembalikan
dia!”
“Lekas, lekas lepaskan
tanganmu!” seru Ting Put-si.
“Liong-tocu mengatakan dia
tinggal di Koh-chau-nia di lereng Him-ni-san, marilah sekarang juga kita pergi
mencarinya.”
“Ya, marilah kita pergi
mencarinya, jika tidak ketemu biar kujewer putus kedua kupingmu!” omel Bwe
Bun-sing.
Di tengah ribut-ribut itu
kapal pun sudah menepi. Ciok Jing dan istrinya, Pek Ban-kiam dan orang-orang
Swat-san-pay sama menyambut kedatangan mereka dengan girang. Hanya Seng Cu-hak,
Ce Cu-le, dan Nio Cu-cin bertiga yang merasa kecewa, tapi terpaksa mereka harus
mengucapkan selamat juga atas pulangnya ciangbunjin.
“Ayah, seperti sudah
dinyatakan oleh ibu, hari ini adalah Cia-gwe Je-pek (bulan satu tanggal ,
karena ayah belum kelihatan pulang, pada waktu anak sedikit lena, kesempatan
itu lantas digunakan oleh ibu dan A Siu untuk terjun ke laut. Tapi syukurlah
akhirnya mereka telah dapat diselamatkan, coba kalau ayah datang terlambat
sedikit saja tentu takkan berjumpa lagi dengan ibu untuk selamanya,” demikian
tutur Pek Ban-kiam.
“Apa katamu? Kau bilang hari
ini adalah Cia-gwe Je-pek?” Cu-cay menegas.
“Benar, hari ini memang
Je-pek,” sahut Ban-kiam.
Cu-cay menggaruk-garuk kepala
dengan bingung. Ia menggumam sendiri, “Pada Cap-ji-gwe Je-pek (bulan 12 tanggal
kami sampai di Liong-bok-to. Kami tinggal lebih 50 hari di sana, mengapa hari
ini baru Cia-gwe Je-pek?”
“Aha, agaknya ayah sudah lupa
bahwa tahun yang lalu adalah Lun-cap-ji-gwe, bulan panjang, bulan kabisat
ke-12,” kata Ban-kiam.
Mendengar itu barulah Pek
Cu-cay sadar. Segera ia rangkul Ciok Boh-thian dan berseru, “Hahaha, mengapa
tidak kau katakan sejak dulu-dulu, cah? Hahahaha, Lun-cap-ji-gwe ini
benar-benar sangat bagus!”
“Apakah Lun-cap-ji-gwe itu?”
tanya Boh-thian.
“Lun-cap-ji-gwe artinya dalam
setahun ada dua bulan ke-12,” sahut Pek Cu-cay dengan tertawa. “Tapi peduli apa
dengan lun segala, asal bini tidak mati sudahlah cukup!”
Maka bergelak tertawalah semua
orang.
Waktu Cu-cay menoleh, mendadak
ia berseru pula, “He, di manakah tua bangka Ting Put-si itu, mengapa
menghilang?”
“Kau peduli apa dengan dia?”
semprot Su-popo. “Dia telah dijewer Bwe Bun-sing dan diajak pergi mencari
putrinya yang bernama Bwe Hong-koh!”
“Hahhh, kau bilang Bwe
Hong-koh?” demikian Ciok Jing Bin Ju menegas berbareng dengan terkejut. “Ke
manakah mereka hendak mencarinya?”
“Waktu di atas kapal tadi
kudengar wanita she Bwe itu bilang akan mencari putri mereka ke Koh-chau-nia di
lereng Him-ni-san,” jawab Su-popo.
“O, Thian, akhirnya dapatlah
kami mengetahui jejak orang itu, Engkoh Jing,” kata Bin Ju dengan suara
gemetar. “Ma... marilah sekarang juga kita susul ke sana.”
“Baik,” sahut Ciok Jing dan
segera mereka berdua mohon diri kepada Pek Cu-cay dan lain-lain.
“Kita sedang ramai-ramai
bergembira ria, sedikitnya kita harus merayakannya barang beberapa hari, kalian
jangan pergi dulu,” ujar Pek Cu-cay.
“Agaknya Pek-supek tidak tahu
bahwa Bwe Hong-koh itu adalah musuh pembunuh anak kami yang telah lama kami
cari itu,” tutur Ciok Jing. “Syukurlah sekarang kami telah mengetahui tempat
sembunyinya, kami harus lekas-lekas menyusul ke sana. Jika terlambat bukan
mustahil dia akan melarikan diri dan sembunyi pula di lain tempat.”
“Kau bilang wanita itu telah
membunuh putramu?” Cu-cay menegas. “Hah, kurang ajar! Ya, dia harus dicincang
untuk menebus dosanya. Urusanmu adalah urusanku, hayo berangkat, kita semua
ikut berangkat. Tentu tua bangka Ting-Put-si dan Bwe Bun-sing itu akan membantu
putri mereka, kalian juga harus membawa bala bantuan supaya dapat menuntut
balas.”
Karena dapat bertemu dan
kumpul kembali dengan Su-popo dan A Siu sesudah mengalami macam-macam
rintangan, maka perasaannya menjadi amat gembira. Dalam keadaan demikian apa
pun yang orang minta padanya tentu akan diluluskan olehnya. Maka tanpa diminta
juga secara sukarela dia menyatakan ingin membantu Ciok Jing.
Mengingat Bwe Hong-koh tentu
akan dibela oleh Ting Put-si, sakit hatinya memang sukar dibalas, maka Ciok Jing
dan Bin Ju merasa kebetulan juga jika Pek Cu-cay suka membantunya. Segera
mereka mengucapkan terima kasih.
Ketua Siang-jing-koan
sebenarnya belum tiba karena rombongan mereka berada di kapal yang lain, namun
Ciok Jing dan istrinya buru-buru ingin menuntut balas, maka tanpa menunggu lagi
segera mereka berangkat lebih dulu. Ciok Boh-thian dengan sendirinya juga ikut
bersama mereka.
Sepanjang jalan tiada
mengalami aral rintangan, akhirnya sampailah mereka di lereng Him-ni-san.
Pegunungan itu seluas beberapa ratus li sehingga sukar dicari di manakah letak
Koh-chau-nia, bukit rumput kering.
Sampai beberapa hari lamanya
mereka mencari kian-kemari di lereng-gunung itu, lama-lama Pek Cu-cay menjadi
kesal, ia mengomeli Ciok Jing, “Ciok-laute, kalian Hian-soh-siang-kiam kan
bukan kaum keroco biarpun bukan tandinganku, masakah putranya sendiri juga
tidak mampu menjaga sehingga kena dibunuh oleh bangsat perempuan itu? Ada
permusuhan apakah antara bangsat wanita itu dengan kau, sampai-sampai anakmu
juga dibunuh olehnya?”
“Ai, urusan ini mungkin sudah
suratan nasib sehingga sukar diterangkan,” sahut Ciok Jing sambil menghela
napas.
“Engkoh Jing, jangan-jangan
kau seng... sengaja menyesatkan kita supaya tidak menemukan dia untuk membalas
sakit hati Anak Kian?” tiba-tiba Bin Ju berkata dengan air mata
berlinang-linang.
“Aneh, mengapa suamimu sengaja
menyesatkan kita supaya tidak menemukan musuh kalian?” Cu-cay menegas dengan
heran. Tapi ia lantas berseru, “Ah, tahulah aku! He, Ciok-laute, tentunya
bangsat wanita itu sangat cantik dan dahulu pernah... pernah main gila dengan
kau, betul tidak?”
Ciok Jing menjadi
kemalu-maluan, sahutnya, “Pek-supek suka berkelakar ini!”
“Tapi tentu begitulah halnya,”
kata Cu-cay pula sambil menatap Ciok Jing. “Tentu disebabkan bangsat wanita itu
cemburu padamu, maka sengaja membunuh putra dari perkawinanmu dengan
Bin-lihiap.”
Jika mengenai urusannya
sendiri Pek Cu-cay suka angin-anginan dan linglung, tapi kalau mengulas urusan
orang lain ternyata sangat jitu, sekali tebak lantas kena.
Maka Ciok Jing menjadi
bungkam. Namun Bin Ju lantas menyela, “Pek-supek, bukanlah Engkoh Jing
mempunyai hubungan gelap dengan dia, tapi... tapi perempuan she Bwe itulah yang
rindu sepihak dan tergila-gila kepada Engkoh Jing, dari cinta timbul cemburu
dan menjadi dendam pula, akhirnya putra kami menjadi korban keganasannya.”
“Hehhh!” pada saat itulah
mendadak Ciok Boh-thian berteriak heran. Lalu katanya, “Aneh, mengapa...
mengapa kita bisa sampai di sini?”
Habis berkata ia terus angkat
kaki dan berlari-lari ke atas bukit yang berada di sebelah kiri sana.
Kiranya mendadak dia merasa
pemandangan di sekitar bukit situ sudah sangat hafal baginya, ternyata bukan
lain adalah tempat kediamannya sejak kecil. Cuma dahulu dia turun dari balik
bukit sebelah sana, maka dia tidak bisa lantas mengenal keadaan bukit itu.
Dengan ginkangnya yang
mahahebat sekarang, dalam sekejap saja ia sudah sampai di atas bukit itu.
Sesudah memutar ke sebelah hutan sana, sampailah dia di depan sebuah rumah
gubuk. Segera terdengar suara anjing menyalak, seekor anjing kuning telah
berlari keluar dari rumah gubuk itu terus menubruk padanya.
Cepat Boh-thian merangkul
anjing itu sambil berteriak girang, “Kuning, si Kuning! Kiranya kau sudah pulang
lebih dulu! Di manakah ibuku? He, ibu, ibu!”
Maka tertampaklah dari dalam
rumah gubuk itu muncul tiga orang. Seorang yang berdiri di tengah itu berwajah
sangat buruk dan aneh, siapa lagi dia kalau bukan ibunya Ciok Boh-thian.
Sedangkan kedua orang yang berdiri di kanan-kirinya adalah Ting Put-si serta
Bwe Bun-sing.
“Ibu!” sapa Boh-thian dengan
girang sambil mendekatinya dengan memondong si Kuning.
“Ke mana perginya kau, sampai
sekarang baru pulang?” semprot wanita jelek itu.
Baru saja Boh-thian hendak
menjawab, sekonyong-konyong suara Bin Ju telah menyela di belakangnya, “Bwe
Hong-koh, biarpun kau menyamar dan ganti rupa juga takkan dapat mengelabui
mataku! Sekalipun kau lari sampai di ujung langit juga akan... akan....”
Boh-thian terperanjat, cepat
ia berpaling dan berseru, “He, Ciok-hujin, ke... kelirulah kau! Dia adalah
ibuku dan bukan musuh pembunuh putramu itu.”
Ciok Jing dan Bin Ju juga
terperanjat sekali demi mendengar Ciok Boh-thian mengatakan wanita jelek itu
adalah ibunya, “Wanita ini benar-benar ibumu?” Ciok Jing menegas.
“Ya,” sahut Boh-thian tegas,
“Sejak kecil aku hidup bersama ibu. Mendadak pada hari itu ibu telah hilang,
aku lantas pergi mencarinya bersama si Kuning, tapi akhirnya aku kesasar dan si
Kuning juga hilang. Coba lihat, bukankah si Kuning itu berada di sini!”
Segera ia angkat anjing kuning
itu ke atas dengan gembira.
Namun Ciok Jing lantas berkata
kepada wanita bermuka jelek itu, “Hong-koh, jika kau sendiri juga punya anak,
mengapa dahulu kau tega membunuh putraku?”
Wanita bermuka jelek itu
memang betul Bwe Hong-koh adanya. Dia tertawa-tawa dingin. Sebelum menjawab,
tiba-tiba Boh-thian menyela, “Ibu, apakah betul putranya Ciok-cengcu dan
Ciok-hujin telah... telah kau bunuh? Apa... apa sih sebabnya?”
“Hm, aku suka membunuh siapa
segera kubunuh, peduli sebab apa segala?” jawab Hong-koh dengan mendengus.
Perlahan-lahan Bin Ju lantas
melolos pedang, katanya kepada sang suami, “Engkoh Jing, aku tidak ingin
mempersulit dirimu, silakan kau berdiri di samping saja. Jika aku tidak mampu
membunuh dia, hendaklah kau pun tidak perlu membantu padaku.”
Ciok Jing mengerut kening, ia
merasa serbasusah dan runyam.
“Ting-losi,” tiba-tiba Pek
Cu-cay menimbrung, “biarlah kita bicara di muka dulu. Jika kalian suami-istri
diam-diam menonton saja di samping, maka kita semua pun akan menonton saja.
Tapi kalau kalian akan membantu putri mestikamu itu, maka biarlah kalian
mengetahui bahwa kedatangan kami ke sini ini tidak cuma untuk melancong saja.”
Melihat jumlah pihak lawan
sangat banyak, mendadak Ting Put-si mendapat akal, jawabnya, “Baik, kita boleh
berjanji untuk tidak saling membantu. Biarlah kedua pihak sama-sama terdiri
dari satu lelaki dan satu perempuan untuk menentukan kalah atau menang. Di
pihak kalian adalah suami-istri Ciok-cengcu, di sebelah sini biar mereka ibu
dan anak yang maju.”
Sudah beberapa kali ia bergebrak
dengar Ciok Boh-thian, ia tahu ilmu silat pemuda ini jauh lebih tinggi daripada
Ciok Jing berdua, dengan bantuan Ciok Boh-thian pastilah Bwe Hong-koh akan
dapat mengalahkan lawannya.
Bin Ju memandang sekejap
kepada Boh-thian, tanyanya, “Adik cilik, apakah kau tidak mengizinkan aku
menuntut balas?”
“Ciok-hujin, aku... aku....”
kata Boh-thian dengan tergagap-gagap. Mendadak ia berlutut dan menjura kepada
nyonya Ciok sambil berkata, “Biarlah aku meminta maaf padamu, hendaklah kau
jangan mencelakai ibuku.”
“Berdiri, Kau-cap-ceng! Siapa
yang suruh kau mintakan ampun kepada perempuan hina itu?” bentak Bwe Hong-koh
dengan bengis.
Mendadak hati Bin Ju tergerak.
Ia tanya, “Mengapa kau memanggil demikian kepadanya? Kan dia adalah putra
kandungmu? Jangan-jangan... jangan-jangan....” Ia menoleh kepada sang suami dan
berkata, “Engkoh Jing, adik cilik ini mirip benar dengan anak Giok,
jangan-jangan dia adalah putramu dari hubungan gelap dengan Bwe-siocia?”
Dasarnya dia memang ramah
tamah dan halus budi, walaupun menghadapi perkara besar demikian bicaranya
tetap sopan santun.
Maka cepat Ciok Jing menjawab,
“Tidak, tidak! Mana bisa terjadi demikian?”
Namun Pek Cu-cay sudah lantas
terbahak-bahak, katanya, “Hahaha, kau tidak perlu mungkir lagi. Sudah tentu dia
adalah putra haram kalian berdua ini, kalau tidak masakah ada seorang ibu tega
menyebut putranya sendiri sebagai ‘Kau-cap-ceng’? Rupanya Nona Bwe ini teramat
benci padamu!”
Mendadak Bin Ju menaruh
pedangnya ke atas tanah, lalu berkata, “Baiklah, silakan kalian bertiga
berkumpul kembali. Aku... aku akan pergi saja.”
Habis berkata ia terus putar
tubuh hendak berangkat.
Cepat Ciok Jing menarik
tangannya, serunya cemas, “Adik Ju, jika kau juga menyangsikan diriku, biarlah
kubunuh dulu perempuan hina ini untuk membuktikan kemurnian hatiku.”
“Tapi... tapi anak ini memang
sangat mirip dengan anak Giok, bahkan juga sangat mirip engkau,” sahut Bin Ju
dengan suara lembut.
Tanpa bicara lagi pedang Ciok
Jing terus menusuk ke arah Bwe Hong-koh. Tak tersangka Bwe Hong-koh itu sama
sekali tidak berkelit, bahkan membusungkan dada menerima ajal.
Tampaknya tusukan itu segera
akan menembus dadanya, mendadak jari Ciok Boh-thian menyelentik, “cring”,
pedang Ciok Jing tergetar patah menjadi dua.
“Bagus, Ciok Jing, kau sengaja
hendak membunuh aku, ya?” tanya Bwe Hong-koh dengan tersenyum pedih.
“Benar, Hong-koh,” kata Ciok
Jing tegas. “Biarlah kukatakan sekali lagi secara blakblakan bahwa di dunia ini
hatiku hanya terisi Bin Ju seorang. Selama hidupku ini tiada pernah mempunyai
perempuan yang kedua. Jika kau suka padaku, itu berarti pula kau membikin susah
diriku. Ucapanku ini sudah kukatakan pada 22 tahun yang lalu, hari ini tetap
demikian ucapanku.”
Sampai di sini mendadak
suaranya berubah menjadi ramah, katanya, “Hong-koh, putramu sendiri pun sudah
begini besarnya. Adik cilik ini adalah seorang baik, seorang jujur, ilmu
silatnya tiada bandingannya, dalam waktu beberapa tahun namanya tentu akan
mengguncangkan Kangouw dan menjagoi Bu-lim. Sebenarnya siapakah ayahnya,
mengapa tidak kau terangkan padanya?”
“Ya, ibu, sebenarnya siapakah
ayahku?” segera Boh-thian menyela. “Aku she apa? Ka... katakanlah padaku.
Mengapa engkau selalu memanggil aku sebagai ‘Kau-cap-ceng’?”
“Siapakah ayahmu, di dunia ini
hanya akulah yang tahu,” sahut Hong-koh dengan tersenyum pilu. Lalu ia
berpaling kepada Ciok Jing, “Ya, sudah lama aku pun tahu bahwa di dalam hatimu
hanya terdapat Bin Ju seorang. Maka dari itu dahulu aku telah merusak wajahku
sendiri.”
“Kau... kau merusak wajah
sendiri, buat apa sih?” Ciok Jing menggumam haru.
“Buat apa? Buat apa? Wajahku
dahulu dengan wajah Bin Ju sebenarnya siapa lebih cantik?” tanya Bwe Hong-koh.
Untuk sejenak Ciok Jing
menjadi ragu-ragu sambil memegangi tangan sang istri, akhirnya ia menjawab,
“Pada 20 tahun yang lalu engkau adalah wanita cantik yang termasyhur di dunia
persilatan. Meski wajah istriku tidaklah jelek, tapi tak dapat menandingi kau.”
Bwe Hong-koh tersenyum dan
mendengus satu kali.
Sebaliknya Ting Put-si lantas
berteriak, “Itu dia, dasar kau Ciok Jing ini memang anak bergajul, sudah tahu
wajah Hong-koh kami sangat cantik dan jarang ada bandingannya, mengapa kau
tidak suka padanya?”
Ciok Jing tidak menjawab, ia
pegang tangan Bin Ju dengan lebih kencang seakan-akan khawatir sang istri
menjadi marah dan hendak tinggal pergi lagi.
“Lalu tentang ilmu silatku
dahulu kalau dibandingkan Bin Ju siapa yang lebih tinggi?” tanya Hong-koh pula.
“Bwe-hoa-kun keluargamu
ditambah dengan macam-macam ilmu silat aneh dari keluarga Ting sudah tentu
kepandaian istriku yang belum sempurna waktu itu tak dapat menandingi engkau,”
sahut Ciok Jing.
“Dan tentang ilmu kesusastraan
siapa lagi yang lebih pandai?” tanya Hong-koh lagi.
“Engkau pandai mengarang dan
mahir bersyair, kami suami-istri mana dapat menandingi kau,” sahut Ciok Jing.
Diam-diam Boh-thian sangat
heran. Jika sang ibu sedemikian serbapandai, mengapa sedikit pun tidak pernah
mengajarkan padanya?
Dalam pada itu dengan tertawa
dingin Bwe Hong-koh telah berkata, “Jika begitu, mungkin pekerjaan tangan dan
kepandaian di dapur adik Bin ini lebih mahir daripada diriku.”
“Tidak, memegang jarum saja
istriku tak bisa, menggoreng telur saja dia juga tidak mahir, mana dia dapat
menandingi keterampilanmu,” sahut Ciok Jing sambil menggeleng.
“Habis apa sebabnya bila
bertemu dengan aku sedikit pun kau tidak memperlihatkan sikap yang ramah,
sebaliknya jika berada bersama Bin-sumoaymu lantas banyak omong banyak tertawa?
Sebab apa... sebab apa...?” sampai di sini suara Hong-koh sampai gemetar.
“Aku sendiri pun tidak tahu,
Nona Bwe,” sahut Ciok Jing perlahan. “Segala apa engkau melebihi Bin-sumoay,
bahkan melebihi aku. Bila berada bersama kau aku merasa rendah dan merasa tidak
sesuai mempersunting dikau.”
Untuk sekian lamanya Bwe
Hong-koh termangu-mangu, mendadak ia menjerit terus berlari ke dalam rumah gubuk.
Cepat Bwe Bun-sing dan Ting Put-si menyusul ke dalam.
“Engkoh Jing,” kata Bin Ju
sambil menggelendot di tubuh sang suami. “Nona Bwe seorang yang bernasib
malang, biar dia sudah membunuh anakku, namun aku masih lebih bahagia daripada
dia. Aku tahu di dalam hatimu selalu hanya terisi diriku seorang. Marilah kita
pergi saja, sakit hati ini tak perlu dibalas lagi.”
“Kita tidak menuntut balas?”
Ciok Jing menegas.
“Ya, sekalipun kita membunuh
dia juga Anak Kian tak dapat hidup kembali,” kata Bin Ju.
Pada saat itulah
sekonyong-konyong terdengar teriakan Ting Put-si, “Anak Hong, mengapa kau
membunuh diri? Biar kulabrak keparat she Ciok itu!”
Ciok Jing dan lain-lain sama
terkejut. Tertampaklah Bwe Bun-sing berjalan keluar dengan memondong tubuh Bwe
Hong-koh. Lengan baju kiri Hong-koh tampak tersingsing tinggi sehingga
kelihatan kulit badannya yang putih halus. Di atas lengan terdapat setitik andeng-andeng
merah. Itulah “siu-kiong-seh” (merah cecak) pertanda masih perawan (menurut
cerita kuno, cecak diberi makan obat-obat tertentu sehingga sekujur badan
berubah menjadi merah, diambil darahnya dan dicocokkan di atas badan anak gadis
dan jadilah setitik andeng-andeng merah. Jika hilang kesucian perawannya,
lenyap pula andeng-andeng merah itu).
“Ini bukti Hong-koh masih suci
bersih, sampai sekarang masih tetap perawan, dengan sendirinya Kau-cap-ceng ini
bukanlah anaknya,” demikian Bwe Bun-sing berteriak.
Serentak sorot mata semua
orang beralih ke arah Ciok Boh-thian, pikir mereka, “Ya, jika Bwe Hong-koh
masih perawan suci, dengan sendirinya bukan ibu pemuda ini. Lalu siapakah
ibunya dan siapa pula ayahnya? Mengapa Bwe Hong-koh mau mengaku sebagai ibunya?”
Ciok Jing dan Bin Ju sama
berpikir, “Jangan-jangan mayat Anak Kian yang dikirim kepada kami oleh Hong-koh
itu bukanlah Anak Kian yang sesungguhnya, tapi adalah mayat anak orang lain,
sebaliknya Anak Kian telah dibesarkan oleh Hong-koh dan jadilah pemuda ini?
Kalau tidak, buat apa Hong-koh memanggilnya sebagai ‘Kau-cap-ceng’, apalagi
mukanya juga sangat mirip sekali dengan anak Giok?”
Ciok Boh-thian sendiri pun
merasa bingung dan penuh pertanyaan, “Siapakah ayahku? Siapakah ibuku? Siapa
pula diriku sendiri?”
Tapi karena Bwe Hong-koh sudah
mati membunuh diri, dengan sendirinya pertanyaan-pertanyaan itu tiada seorang
pun dapat memberi jawaban. Hanya para pembaca yang cerdik kami yakin telah
dapat menduga dan memberi jawaban yang tepat.....
TAMAT