Jilid 16
Dengan muka merah padam
Ban-kiam membuka matanya pula. Ia pikir pihak lawan sudah mengampuni jiwaku,
maksud tujuannya adalah jelas sekali, yaitu mereka hendak membawa pergi putra
mereka. Sekarang dirinya sudah keok, mana boleh bertempur lagi dan merintangi
kehendak mereka? Andaikan bertempur lagi juga tak dapat melawan mereka
suami-istri.
Demi teringat nasib putri
kesayangannya yang telah binasa gara-gara kelakuan murid murtad perguruannya
sendiri, sekarang dirinya memimpin para Sute datang ke Tionggoan, di antara
para Sute itu ada tujuh orang telah ditawan pula oleh pihak Tiang-lok-pang,
Ciok Tiong-giok yang dapat ditangkapnya ini sekarang mesti dirampas orang lagi,
sedangkan Swat-san-kiam-hoat yang paling diandalkan juga tak dapat melawan
Hian-soh-siang-kiam (sepasang pedang Hian-soh-ceng), nama baiknya selama ini
telah runtuh habis-habisan, teringat semuanya ini seketika Ban-kiam menjadi
putus asa, ia berdiri dengan termenung-menung tanpa bersuara.
Dalam pada itu suara
pertempuran di dalam kelenteng itu juga telah didengar Houyan Ban-sian dan Bun
Ban-hu yang menjaga di luar kelenteng, mereka pun sudah masuk kembali dan
menyaksikan kekalahan sang Suheng, segera mereka berseru, “Mereka dapat main
kerubut, masakah kita tidak boleh main keroyok!”
Dan sekali memberi tanda
serentak 12 orang murid Swat-san-pay lantas menerjang maju mengelilingi Ciok
Jing dan Bin Ju.
Ban-kiam tahu ke-12 orang
Sutenya itu sekali-kali bukan tandingan Ciok Jing suami-istri, sekalipun
dirinya ikut pula di dalam pertempuran juga sukar memperoleh kemenangan. Karena
itulah ia menjadi ragu-ragu apa yang harus diperbuatnya.
Tiba-tiba terdengar Ciok Jing
berkata, “Pek-suheng, kami suami-istri bergabung melawan Pek-suheng memang
telah di atas angin sedikit, tapi tak dapat dikatakan telah mendapat
kemenangan. Maka dari itu marilah kita mulai lagi. Awas serangan!”
Habis berkata segera pedangnya
menusuk lebih dahulu.
Terhadap ke-72 jurus ilmu
pedang Swat-san-pay memangnya sudah dapat dipahaminya dengan baik, sekarang
dilihatnya pula permainan Pek Ban-kiam yang lihai itu, ia merasa setiap jurus
yang dimainkan itu cocok benar dengan seleranya.
Dengan kedudukan Pek Ban-kiam
sebagai seorang tokoh terkemuka, kalau tadi pihak lawan sudah mengampuni
jiwanya, maka seharusnya ia tidak boleh menantang lagi. Tapi sekarang Ciok Jing
sendiri yang melancarkan serangan lebih dulu, untuk ini ia boleh menangkisnya.
Diam-diam ia membatin, “Baik, biar aku coba mengukur kekuatanmu lagi dengan
satu lawan satu.”
Segera ia menangkis sambil
menggeser ke samping, lalu balas menyerang.
Keadaan menjadi berbeda dengan
pertarungan Pek Ban-kiam melawan Ciok Jing ini. Tadi dia satu melawan dua,
dengan sendirinya lebih banyak diserang daripada menyerang, walaupun dia dapat
berjaga dengan sangat rapat, tapi di waktu balas menyerang mau tak mau mesti
berpikir kepada lawan yang lain, kalau menyerang Ciok Jing harus menjaga pula
serangan dari Bin Ju, sebaliknya kalau menusuk Bin Ju harus pula cepat
menangkis serangan balasan dari Ciok Jing yang selalu kerja sama dengan sangat
baik bersama istrinya.
Sekarang satu lawan satu, pula
merasa malu atas kekalahan tadi, seketika Pek Ban-kiam memainkan 72 jurus
Swat-san-kiam-hoat dengan sehebat-hebatnya dan tanpa kenal ampun lagi.
Di dalam kelenteng yang kecil
itu seketika penuh bertaburan sinar pedang yang menyilaukan.
Diam-diam Ciok Jing harus
mengakui ilmu pedang Pek Ban-kiam memang benar-benar lihai dan tergolong ahli
pedang kelas satu.
Segera dengan penuh semangat
ia melayani serangan-serangan lawan dengan segenap kepandaiannya.
Pikirnya, “Biarkan tahu bahwa
ilmu pedang dari Hian-soh-ceng kami sebenarnya tidak di bawah ilmu pedang
Swat-san-pay kalian. Sebabnya aku suruh putraku belajar di tempat kalian adalah
karena aku mempunyai maksud tujuan tertentu, maka janganlah kau tinggi hati dan
mengira aku Ciok Jing tak dapat menandingi seorang Pek Ban-kiam.”
Dengan pertarungan ulangan
Ciok Jing melawan Pek Ban-kiam sangat cepat dan tangkas, sebaliknya Ciok Jing
bertahan dengan rapat dan tenang.
Berulang-ulang Ban-kiam
mengganti serangan belasan kali dan sedikit pun tidak memperoleh keuntungan
apa-apa, maka diam-diam ia pun terkejut dan heran, “Kehebatan ilmu pedang orang
ini ternyata lebih tinggi daripada kesohoran yang diperolehnya dari orang
Kangouw. Jika demikian hebat ilmu pedangnya sendiri buat apa dia menyuruh
putranya belajar kepada golongan Swat-san-pay kami?”
Lalu terpikir pula olehnya,
“Tadi aku telah dikalahkan, hal ini boleh dikatakan lantaran aku dikeroyok dua.
Tapi sekarang hanya satu lawan satu, kalau aku kalah sejurus saja akan berarti
runtuhlah nama baik Swat-san-pay selama ini. Maka aku harus mengalahkan dia dan
mengancam sesuatu tempat yang berbahaya di badannya, lalu mengampuni jiwanya.
Kalau tidak, susah aku membalas hinaan kekalahanku tadi.”
Dan karena nafsunya ingin
menang, mau tak mau serangan-serangannya menjadi agak terburu-buru dan sering
dilakukan secara ceroboh.
Diam-diam Ciok Jing bergirang,
“Semakin kau terburu nafsu, semakin cepat kau akan kalah lagi di bawah
pedangku.”
Sesudah belasan jurus, benar
juga Pek Ban-kiam sendiri berulang-ulang terancam bahaya malah. Ia terkesiap
dan cepat memusatkan perhatiannya dengan tenang, ia tidak berani sembrono lagi.
Sampai di sini barulah kedua
jago benar-benar bertempur dengan sama kuat dan sama tangkasnya sehingga susah
menentukan kalah atau menang.
Dari pertarungan sengit kedua
tokoh ini, Ciok Boh-thian telah tambah berpengalaman lagi macam-macam teori
ilmu pedang itu, sebenarnya teori ilmu pedang yang itu susah dipahami oleh
seorang pemuda yang baru berusia 20-an tahun, tapi pertama karena ciok
Boh-thian sudah memiliki Lwekang yang sangat tinggi, pula cara pertarungan
kedua jago pedang yang sama kuatnya dan dilakukan dengan sangat dahsyat itu
sesungguhnya jarang dijumpai di dalam dunia persilatan, untunglah Ciok Boh-thian
dapat menyaksikan dengan secara teratur sehingga tanpa merasa teori ilmu pedang
yang paling mendalam telah dapat dipecahkan dan dipahaminya.
Saking asyiknya Ciok Boh-thian
menonton pertarungan Ciok Jing dan Pek Ban-kiam juga seru sekali sehingga melupakan
segala apa yang berada di sekeliling mereka. Sesudah 200 jurus lebih, semangat
Pek Ban-kiam tambah menyala, ia merasa pertarungan hari ini benar-benar suatu
hal yang menyenangkan selama hidup ini sehingga rasa terhina atas kekalahannya
tadi sudah tak berpikir lagi olehnya.
Begitu pula Ciok Jing merasa
girang karena telah ditemukan tandingan yang sama tangguhnya.
Maka dengan sendirinya kedua
orang sama-sama timbul rasa sayangnya kepada pihak kawan, rasa permusuhan
mereka pun mulai berkurang, sebaliknya timbul keinginan untuk menguji dan tukar
kepandaian masing-masing, maka kedua orang sama-sama mengeluarkan segenap
kemahiran sendiri-sendiri untuk memancing cara bagaimana pihak lawan akan
menangkis serangannya.
Di waktu mulai bertempur tadi,
di dalam kelenteng itu ramai dengan suara “trang-tring” beradunya pedang, tapi
sekarang yang terdengar hanya suara “cring-cring” yang perlahan dari gesekan
dua batang pedang saja.
Sampai suatu saat menentukan,
tiba-tiba Pek Ban-kiam menusuk dari samping dalam jurus “Am-hun-so-eng”
(sebagai awan laksana bayangan), pedangnya menyambar tiba dengan cepat sehingga
tampaknya ada tapi seperti tiada pula.
“Kiam-hoat yang bagus!” Ciok
Jing memuji perlahan. Cepat ia pun menegakkan pedangnya untuk menangkis
sehingga kedua batang saling bentur.
Sekali ini diam-diam kedua
orang telah mengerahkan segenap Lwekang masing-masing, maka terdengarlah suara
“pletak”, tahu-tahu pedang yang dipegang Ciok Jing telah patah menjadi dua.
Namun, begitu pedangnya patah
saat itu juga dari samping kiri sebatang pedang telah disodorkan. Dan begitu
taman kiri menerima pedang itu, menyusul Ciok Jing lantas menggunakan jurus
“Co-yu-hong-goan” (ketemu sasaran di kanan di kiri), pedangnya terus berputar
satu kali di depan badannya untuk merintangi serangan susulan pihak lawan.
Di luar dugaan, Pek Ban-kiam
lantas mundur setindak malah, katanya, “Rupanya pedang Ciok-cengcu itulah yang
jelek dan mudah patah, sekali-kali bukan kekalahan dalam ilmu pedang. Jikalau
Ciok-cengcu memegang pedang hitam sendiri, pedang mestika itu masakah dapat
patah?”
Tapi baru selesai berkata,
mendadak air mukanya berubah hebat. Kiranya baru diketahuinya bahwa orang yang
berdiri di samping kiri dan telah menyodorkan pedang kepada Ciok Jing itu bukan
lain adalah Bin Ju, istri Ciok Jing sendiri.
Sebaliknya ke-12 orang Sutenya
sudah menggeletak malang melintang memenuhi lantai.
Kiranya di waktu Pek Ban-kiam
mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menempur Ciok Jing, saat itu juga Bin Ju
seorang diri sudah merobohkan ke-12 orang murid Swat-san-pay yang mengerubutnya
itu. Luka yang diderita setiap murid Swat-san-pay itu sangat ringan, tapi Bin
Ju telah menusuk dengan menyalurkan Lwekangnya melalui batang pedang dan
mengenai Hiat-to sasarannya sehingga murid-murid Swat-san-pay yang tertusuk
ringan itu lantas menggeletak dan tak berkutik lagi.
Ini adalah suatu kepandaian
khas Bin Ju, perangainya memang welas asih dan tidak suka membikin celaka orang
lain, sebab itulah ia telah menggunakan ilmu Tiam-hiat di dalam ilmu pedangnya,
kelihatannya lawan tertusuk pedang dan roboh, tapi sebenarnya terkena tutukan
tenaga dalamnya. Hanya saja Lwekang Bin Ju belum mencapai tingkatan sempurna,
kalau tidak, asal ujung pedangnya mengenai Hiat-to sasarannya sudah cukup
merobohkan lawan tanpa melukainya sedikit pun.
Begitulah, sesudah Bin Ju
menyodorkan pedangnya kepada sang suami, segera ujung kakinya menyungkit,
sebatang pedang milik seorang Swat-san-pay yang terlempar di lantai itu lantas
mencelat ke atas dan segera dipegang olehnya serta siap untuk membantu sang
suami pada setiap saat.
Melihat itu, Pek Ban-kiam
seketika cemas. Pikirnya, “Betapa pun aku dan Ciok Jing hanya dapat bertempur
dengan sama kuatnya, kalau nyonya Ciok ikut pula di dalam pertempuran dan
kejadian tadi terulang lagi, lalu apa yang dapat kuharapkan pula?”
Terpaksa ia berkata, “Ya,
sayang Hong-suko tiada berada di sini, kalau ada, dengan kami berdua tentu akan
dapat mengukur tenaga lebih jauh dengan kalian suami-istri. Sekarang kalah dan
menang sudah jelas, apa mau dikatakan lagi?”
“Ya, betul, kelak kalau ketemu
dengan Hong hwe-sin-liong ....” belum selesai ucapannya tiba-tiba teringat
olehnya bahwa Hong Ban-li telah terkutung sebelah lengannya disebabkan
perbuatan putranya yang bernama Ciok Tiong-giok itu, sekalipun kelak dapat
berjumpa juga, tokoh Swat-san-pay itu tidak dapat bertanding pedang lagi,
karena itu ucapannya lantas terhenti setengah jalan dan tidak diteruskan.
Melihat wajah Pek Ban-kiam
yang merah padam dan perasaannya yang cemas itu, sedangkan Ciok Jing dan Bin Ju
juga kelihatan menaruh simpatik kepada lawannya, diam-diam Ciok Boh-thian
membatin, “Ke-12 murid Swat-san-pay itu benar-benar sangat goblok, masakah
tiada seorang pun yang mampu membantu Suhengnya dalam permainan ganda melawan
Ciok-cengcu suami-istri sehingga pertandingan yang mengasyikkan ini terhenti
setengah jalan.”
Teringat olehnya rasa sayang
Pek Ban-kiam ketika menatap padanya tadi, ia pikir, “Orang she Pek ini sangat
baik padaku, tapi nyonya Ciok itu pun pernah memberi uang padaku. Sekarang
mereka ingin bertanding kurang seorang lawan, rupanya ada seorang bernama
Hong-suheng apa, tapi orangnya tidak berada di sini sehingga mereka merasa
kecewa. Walaupun aku tidak tahu ilmu pedang segala, tapi tadi aku sudah
menyaksikan permainan mereka dan sudah hafal, biarlah aku ikut main-main dengan
mereka.”
Karena pikiran demikian,
segera ia berbangkit, ia menirukan caranya Pek Ban-kiam tadi, dengan ujung kaki
ia menutuk gagang sebatang pedang yang terlempar di lantai itu, di mana tenaga
dalamnya sampai, kontan pedang itu lantas mencelat ke atas dan segera dipegang
olehnya. Lalu katanya dengan tertawa, “Kalian kurang satu orang dan tidak jadi
bertanding, biarlah aku main berganda bersama Pek-suhu!”
Baik Pek Ban-kiam maupun Ciok
Jing suami-istri sama-sama terperanjat ketika melihat mendadak Ciok Boh-thian
dapat berdiri. Ban-kiam heran sebab pemuda itu sudah terang ditutuknya beberapa
puluh kali pada Hiat-to yang penting, mengapa sekarang bisa bergerak?
Jangan-jangan sesudah merobohkan ke-12 Sutenya tadi Bin Ju telah membuka
Hiat-to pemuda itu?
Sebaliknya Ciok Jin dan Bin Ju
yakin sesudah pemuda itu ditawan Pek Ban-kiam tentu sudah tertutuk Hiat-to yang
paling penting agar tidak dapat lolos, tapi mengapa seenaknya saja sekarang
pemuda itu dapat berbangkit?
“Anak Giok ....” baru Bin Ju
hendak menyapa, mendadak ia hentikan panggilannya dan berpaling kepada sang
suami dengan perasaan cemas.
Sebab apakah mendadak Ciok
Boh-thian dapat bergerak sendiri? Padahal dia sudah tertutuk oleh Pek Ban-kiam.
Tadi dia sudah menggeletak lebih dua jam di situ, selama itu Pek Ban-kiam sibuk
memberi petunjuk kepada para Sutenya, kemudian bertanding melawan Ciok Jing
suami istri sehingga tidak pernah menambahi tutukannya kepada Hiat-to di tubuh
Ciok Boh-thian.
Tutukan Pek Ban-kiam itu
sebenarnya berkekuatan 12 jam baru dapat punah sendirinya. Tak terduga Ciok
Boh-thian telah memiliki Lwekang yang mahatinggi, walaupun tidak paham cara
membuka Hiat-to sendiri yang tertutuk itu, tapi tidak sampai satu jam,
tempat-tempat yang tertutuk itu tanpa merasa telah punah sendiri oleh karena
tenaga dalamnya yang berjalan sendiri secara kuat itu. Sudah tentu Ciok
Boh-thian tidak tahu bahayanya Hiat-to yang tertutuk itu, juga tidak merasa bingung
mengapa Hiat-to tertutuk dapat punah sendiri.
Begitulah mendadak pikiran Pek
Ban-kiam tergerak, serunya, “Mengapa kau ingin main ganda bersama aku? Apakah
karena kau hendak mencoba ilmu pedang yang telah kau pelajari selama menjadi
murid Swat-san-pay?”
“Tapi aku tidak tahu apakah
benar tidak kepandaianku ini,” sahut Boh-thian dengan manggut-manggut secara
ketolol-tololan, “dari itu diharap Pek-suhu dan Ciok-cengcu berdua suka memberi
petunjuk.”
Habis berkata pedangnya lantas
terangkat melintang di depan dada sambil berdiri ke sisi Pek Ban-kiam, gerakan
yang digunakan memang benar adalah jurus “Siang-tho-say-lay” (dua unta datang
dari barat) dari Swat-san-kiam-hoat.
Untuk sejenak Ciok Jing dan
Bin Ju termangu-mangu memandangi Ciok Boh-thian, rasa suka duka dan gemas-malu
meliputi perasaan mereka berhadapan dengan putra yang telah sekian tahun tidak
pernah bertemu ini. Perawakan sang putra sekarang sudah tumbuh sekian tingginya
dan kekar, walaupun mukanya tampak agak kurus dan letih, tapi tidak memengaruhi
sikapnya yang gagah itu. Lebih-lebih sepasang matanya yang bersinar terang
seperti di dalam tubuhnya tersembunyi kekuatan Lwekang yang sangat tinggi.
Sebagai seorang ayah,
sebenarnya Ciok Jing merasa malu karena perbuatan putranya yang mencemarkan
nama baik Hian-soh-ceng, terutama bila mengingat peraturan-peraturan Bu-lim,
maka selama beberapa tahun ini mereka tidak berani muncul di depan umum,
sebaliknya cuma menyelidiki jejak sang putra secara diam-diam. Sekarang sesudah
bertemu dengan ayah-bunda, anak durhaka ini sudah tidak memberi sembah hormat,
bahkan hendak bertanding ilmu pedang dengan kedua orang tua, melulu hal ini
saja sudah meyakinkan bahwa berita-berita yang tersiar di Kangouw tentang
kelakuan putranya yang tidak senonoh itu pastilah bukan kabar bohong belaka.
Karena itulah diam-diam Ciok Jing merasa gemas, cuma dia wataknya memang sabar,
pula di depan Ban-kiam, maka sedapat mungkin ia menahan perasaannya itu.
Berlainan dengan kasih sayang
seorang ibu, dalam pertemuan ini rasa girang karena Bin Ju melebihi rasa
gemasnya kepada sang putra.
Mestinya dia mempunyai dua
orang putra, yang satu telah dibunuh musuh secara keji, karena itulah kasih
sayangnya lantas terpusatkan kepada putra satu-satunya yang masih ada ini.
Tentang perbuatan Ciok Tiong-giok yang tidak senonoh di Leng-siau-sia itu ia
telah coba membela diri putranya, ia yakin putranya yang masih muda tidaklah
mungkin melakukan hal-hal yang durhaka itu, minggatnya Tiong-giok dari
Leng-siau-sia boleh jadi karena anaknya merasa dihina atau dianiaya sehingga
tidak kerasan tinggal di sana. Demikian ia berdebat kepada sang suami.
Dalam usaha mencari putranya
selama beberapa tahun ini, ia sering mengucurkan air mata, ia khawatir
jangan-jangan sudah terkubur di tanah salju di pegunungan Tay-swat-san atau
sudah menjadi mangsa binatang buas.
Sekarang putra kesayangan yang
sangat dirindukan itu berada di depannya, biarpun dosa anak itu setinggi langit
juga sudah diampuni di dalam kasih seorang ibu.
Ia pun tahu putranya itu sejak
kecil sudah sangat cerdik dan licin, kalau sekarang anak muda itu menyatakan
hendak main berganda bersama Pek Ban-kiam, tentu ada maksud tujuannya yang
tertentu. Ia menjadi khawatir sang suami akan marah dan mendamprat putranya
sehingga membikin urusan menjadi runyam, pula ia pun ingin lihat bagaimana ilmu
silat yang dipelajari anak muda itu selama sekian tahun, lantas mendahului
berkata, “Baiklah, kita berempat boleh dua-lawan-dua dan coba-coba kepandaian
masing-masing, toh hanya coba-coba saja dan tidak menjadi soal.”
Ciok Jing melirik sekejap
kepada sang istri sambil manggut-manggut. Ia menduga maksud yang istri ialah
ingin tahu bagaimana ilmu silat putranya itu, pula agar Pek Ban-kiam dapat
dikalahkan dengan sukarela setelah main berganda, betapa pun pintarnya Ciok
Tiong-giok, dalam usianya yang masih begitu muda juga takkan lebih lihai
daripada para paman gurunya yang telah dirobohkan Bin Ju tadi, apalagi anak
muda itu pun tidak mungkin membantu Pek Ban-kiam untuk bertempur dengan
ayah-ibunya sendiri dengan sungguh-sungguh.
Sebaliknya Pek Ban-kiam
mempunyai rekaan sendiri, “Dengan Swat-san-kiam-hoat kau hendak main berganda
dengan aku, ini berarti sudah mengaku sendiri sebagai murid Swat-san-pay, maka
tak peduli bagaimana dengan hasil pertandingan ini, asal aku tidak terbinasa,
bila aku mengeluarkan tanda kebesaran ketua Swat-san-pay, mau tak mau anak muda
ini harus ikut aku pulang ke Leng-siau-sia. Kalau Ciok-Jing berdua merintangi,
ini berarti mereka telah melanggar peraturan Bu-lim.”
Dengan tekad bulat ia lantas
menjawab, “Apakah ingin dua lawan dua atau tiga lawan satu, memangnya aku
adalah jago yang sudah keok, biar bagaimana tentu aku akan ikuti kehendakmu.”
Diam-diam ia pun telah ambil
keputusan jika dirinya terdesak, sebelum terbinasa sedikitnya ia harus membunuh
dulu Ciok Boh-thian.
Melihat ujung pedang yang
dipegang Pek Ban-kiam agak tergetar dan mengarah miring ke depan, tapi tidak
segera menyerang, maka Boh-thian lantas berkata, “Jika demikian akulah yang
dahulu!”
Dengan ujung pedang yang agak
tergetar segera ia membuka serangan, ia menusuk ke bahu kanan Ciok Jing.
Begitu tusukannya dilontarkan,
seketika hawa pedang memuncak, tusukan pedang ini tidak terlalu cepat, tapi di
mana tenaga dalamnya sampai seketika menjangkitkan suara mendesusnya angin.
Jurus pedangnya adalah Swat-san-kiam-hoat, tapi betapa hebat tenaga dalamnya
bahkan Pek Ban-kiam bukan tandingannya.
Seketika Ban-kiam, Ciok Jing
dan Bin Ju bersuara heran berbareng begitu menyaksikan serangan pembukaan Ciok
Boh-thian itu. Semula Ban-kiam memandang hina ketika pemuda itu menjujukan
pedangnya ke depan, ia lihat siku pemuda itu terangkat terlalu tinggi, cara
memegang pedang juga tidak kuat, kuda-kudanya juga salah dan macam-macam
kelemahan lain. Tapi begitu serangan itu sudah mencapai titik sasarannya,
seketika pandangannya yang memandang rendah itu berubah. Ternyata tenaga dalam
yang mengiringi tusukan pedang itu benar-benar tiada taranya, tenaga dalam
sekuat ini hanya pernah dilihatnya di kala ayahnya, yaitu Pek Cu-cay alias
Wi-tek Siansing bermain pedang. Namun untuk mengeluarkan tenaga selihai itu
juga tidak dapat dilakukan secara sekaligus sebagaimana Ciok Boh-thian
sekarang, baru serangan pertama sudah membawa kekuatan yang tak terkira
hebatnya.
Tapi segera ia menyaksikan
bahwa dugaannya ternyata tidak betul. Saat itu Ciok Jing telah menangkis
serangan Boh-thian, mendadak “krek” sekali, pedang yang dipegang Ciok Jing
telah patah menjadi dua bagian, yang patah itu sampai mencelat dan menancap di
dinding. Ciok Jing sendiri merasa genggaman panas pedas, lengan pegal,
hampir-hampir gagang pedang yang masih terpegang itu pun terlepas dari
cekalannya.
Walaupun gemas kepada putra
durhaka itu, tapi seorang jago silat bila ketemukan jago yang pandai tanpa merasa
lantas timbul perasaan kagumnya, maka secara otomatis tercetus juga pujiannya,
“Bagus!”
Sebaliknya Boh-thian lantas
berseru kaget melihat pedang Ciok Jing patah, segera ia tarik kembali pedangnya
dengan wajah yang menunjukkan rasa menyesal dan sayang pula.
Di bawah sinar lilin yang
remang-remang air muka Boh-thian itu dapat juga oleh Ciok Jing dan Bin Ju,
diam-diam terkilas rasa hangat dalam hati mereka, “Nyata, betapa pun anak Giok
masih tetap seorang anak yang berbakti.”
Ciok Jing lantas membuang pedang
yang patah dan kembali menggunakan ujung kaki untuk mencukit sebatang pedang
yang lain. Lalu katanya, “Jangan khawatir terimalah serangan ini!” Dan “sret”,
segera ia balas menusuk ke paha kiri Ciok Boh-thian.
Bagaimanapun Boh-thian tidak
pernah belajar ilmu pedang secara resmi mesti tenaga dalamnya sangat kuat dan
dapat digunakan di waktu menyerang, tapi bila diserang oleh seorang jago
sebagai Ciok Jing, tentu saja ia kelabakan dan bingung untuk menangkisnya,
syukur ia dapat berpikir cepat, dengan kaku ia melintangkan pedangnya untuk
menangkis dalam jurus “Jong-siong kheng-khek” (pohon siong menyambut tamu).
Namun sedikit miringkan
pedangnya tahu-tahu ujung pedang Ciok Jing sudah menyambar lewat dan mencapai
pahanya. Coba kalau lawannya ini bukan putra kesayangannya tentu paha anak muda
itu sudah ditebasnya terkutung menjadi dua. Sebab itulah pada titik terakhir
mendadak ia tahan pedangnya.
Walau demikian Bin Ju juga
sudah terkejut dan telah berseru khawatir, “Jangan, Engkoh Jing!”
Waktu Boh-thian memandang paha
kanan sendiri, ternyata lengan celananya sudah terobek satu jalur, untung tidak
terluka. Dengan agak malu-malu ia berkata dengan tertawa, “Banyak terima kasih
atas kemurahan hatimu. Ilmu pedangmu ternyata jauh lebih pandai daripadaku!”
Apa yang diucapkan Ciok
Boh-thian ini adalah timbul dari hatinya yang tulus, tapi bagi pendengaran Pek
Ban-kiam kata-kata itu menjadi sangat menusuk perasaannya. Pikirnya, “Kau
menyatakan ilmu pedang ayahmu jauh lebih tinggi daripada ilmu pedangmu,
bukankah hal itu berarti kau telah sengaja menilai rendah Swat-san-kiam-hoat
sendiri? Dasar kau bocah ini memang licin dan licik dan sengaja membikin ayahmu
mendapat nama harum. Pendek kata hari ini kalau aku Pek Ban-kiam masih dapat
bernapas, tentu aku tidak rela dihina oleh kalian sekeluarga ini.”
Di sebelah sana Ciok Jing juga
mengerut kening dan berpikir, “Adik Ju selalu menyangsikan anak Giok pasti
dicemooh dan dihina dalam perguruannya, tapi aku selalu anggap Pek Cu-cay,
Pek-locianpwe adalah seorang tokoh yang jujur, Hong Ban-li juga seorang
pendekar budiman, kalau dia sudah menerima anakku sebagai murid, tentu dia akan
memberi pelajaran sebagaimana mestinya dan tidak nanti menghinanya malah, Tapi
kalau melihat dua jurus yang dimainkannya barusan, walaupun caranya betul, tapi
banyak lubang kelemahannya, mana boleh dipakai dalam gelanggang pertempuran?
Tampaknya dia memang tiada mendapat kepandaian apa-apa di Leng-siau-sia. Kalau
melihat tenaga dalamnya yang sangat kuat tadi agaknya toh tiada sangkut pautnya
dengan kepandaian pihak Swat-san-pay, bahkan Wi-tek Siansing sendiri belum
tentu memiliki Lwekang sehebat ini. Ya, tentu anak Giok mempunyai pengalaman
aneh tertentu, untuk ini aku harus menyelidikinya sampai terang agar kelak
dapat dipakai sebagai bahan pembelaan bagi kesalahan anak Giok.”
Setelah ambil ketetapan itu,
lalu ia berkata, “Mari, mari, kita tidak perlu main sungkan-sungkan,
bertandinglah sebagaimana mestinya saja!”
Segera pedangnya bergerak, ia
mendahului menusuk ke arah Pek Ban-kiam.
Cepat Ban-kiam menangkis dan
kontan balas menyerang satu kali. Maka serangan Bin Ju lantas beralih juga
kepada Ciok Boh-thian, dengan perlahan-lahan ia menusuk ke dada anak muda itu.
Ia sengaja menyerang dengan perlahan, maksudnya supaya anak muda itu tidak
kelabakan dan susah menangkisnya.
Melihat serangan itu,
Boh-thian menjadi teringat kepada kebaikan Bin Ju waktu memberi persen padanya
di Hau-kam-cip tempo dulu, tanpa merasa ia tertawa mengangguk kepada Bin Ju
sebagai tanda hormat dan terima kasih, habis itu barulah ia angkat pedangnya
untuk menangkis.
Karena kelakuan Boh-thian itu,
Bin Ju menyangka anak muda itu sedang memberi salam hormat kepada sang ibu, ia
menjadi lebih girang, segera ia tarik kembali pedangnya, lalu menebas ke
pinggang Boh-thian.
Untuk beberapa detik Boh-thian
berpikir dengan jurus apa dia harus menangkisnya, akhirnya ia lantas
mengeluarkan sejurus Swat-san-kiam-hoat untuk menahan serangan Bin Ju itu.
Melihat kepandaian sang putra
sangat dangkal, gerakannya juga lamban, diam-diam Bin Ju menyesalkan jago-jago
Swat-san-pay yang mengaku ilmu pedangnya tiada bandingannya itu ternyata cara
demikian mendidik muridnya sebagai putraku ini.
Segera ia ganti serangan lagi,
ia menusuk bahu kiri Boh-thian, ia tunggu sesudah anak muda itu ingat cara
bagaimana menangkis barulah dia menusuk sungguh-sungguh, kalau seketika
Boh-thian belum mampu menangkis, maka ia lantas menunggu pula.
Sudah tentu cara demikian
bukan lagi bertanding, bahkan lebih sabar dan lebih sayang daripada seorang
guru yang sedang mengajar muridnya.
Belasan jurus kemudian, lambat
laun Boh-thian mulai percaya kepada dirinya sendiri, permainan pedangnya telah
bertambah cepat. Diam-diam Bin Ju bergirang, setiap kali kalau jurus yang
digunakan Boh-thian cukup bagus, ia lantas mengangguk sebagai tanda memuji.
Di sebelah lain untuk ketiga
kalinya Ciok Jing bertempur melawan Pek Ban-kiam lagi. Terhadap keunggulan dan
kelemahan masing-masing kedua orang sudah sama-sama tahu, maka sekarang mereka
menjadi lebih hati-hati dan tidak berani lena sedikit pun, mereka mencurahkan
segenap perhatian dalam pertandingan ulangan ini sehingga tidak ambil pusing
kepada apa yang terjadi di sekitar mereka, Sebab itulah tentang cara bagaimana
Bin Ju bertempur melawan Ciok Boh-thian, apakah mereka bertempur
sungguh-sungguh atau pura-pura, siapa yang menang dan siapa yang kalah, sama
sekali tak dihiraukan lagi oleh Ban-kiam dan Ciok Jing, sebab siapa saja
sedikit ayal tentu akan membawa akibat bagi dirinya sendiri, kalau tidak mati
tentu juga terluka parah.
Sebaliknya di waktu Bin Ju
seakan-akan sedang mengajar ilmu pedang kepada Ciok Boh-thian itu, dia
mempunyai banyak kesempatan untuk melihat pertarungan sengit sang suami melawan
Pek Ban-kiam. Didengarnya suara napas sang suami sangat panjang, terang tenaga
dalamnya masih sangat kuat, andaikan tidak menang juga tak akan kalah. Biasanya
sang suami jarang ketemukan seorang lawan yang tangguh, sekarang telah bertemu
dengan lawan yang sama kuatnya, kesempatan ini biarlah digunakan oleh sang
suami untuk bertempur dengan sepuasnya.
Dalam pada itu sejurus demi
sejurus Boh-thian sudah selesai memainkan ke-72 jurus Swat-san-kiam-hoat. Maka
Bin Ju lantas menurutkan jalan tadi untuk memancing Boh-thian mengulangi sekali
lagi ilmu pedang Swat-san-pay itu.
Dasar pembawaan Boh-thian
memangnya sangat pintar, tenaga dalamnya sangat kuat pula, maka percobaan
ulangan ini sudah jauh berbeda daripada pertama tadi, sekarang dalam bertahan
ia dapat menyerang juga, gerak-geriknya juga jauh lebih cepat.
Ketika ulangan ke-72 jurus
Swat-san-kiam-hoat ini sudah hampir habis, Bin Ju melihat pertarungan sang
suami melawan Pek Ban-kiam itu masih tetap sama kuatnya, diam-diam ia
merancang, “Selesai gebrakan ini aku harus membantunya dan tidak perlu
berayal-ayalan lagi dengan orang she Pek itu, yang penting bawa pergi saja anak
Giok.”
Maka waktu Ciok Boh-thian
menusuknya lagi segera ia menangkis terus balas menyerang, ia menduga cara
menangkis serangannya ini sudah dipahami Boh-thian, tentu dengan mudah akan
dapat dilakukan anak muda itu. Tak tersangka pada saat itu juga mendadak
keadaan menjadi gelap gulita, kiranya lilin yang tersulut di dalam kelenteng
itu sudah habis dan mendadak padam.
Dalam pada itu tusukan Bin Ju
itu sudah di lontarkan, begitu api lilin padam segera ia pun menarik kembali
serangannya. Tak terduga Ciok-Boh-thian sama sekali tiada punya pengalaman
bertempur, ketika keadaan mendadak gelap gulita, bukannya mundur, sebaliknya ia
malah melangkah maju ke depan dengan maksud hendak mendekati Bin Ju untuk
mengajak bicara dan akan mengaturkan terima kasihnya atas kebaikan nyonya
cantik itu. Dan karena mendekatnya itu kebetulan tubuhnya seakan-akan
disodorkan ke ujung pedang Bin Ju, segera Bi Ju merasa senjatanya kena menusuk
sesuatu, dalam kagetnya cepat ia tarik pedangnya dan lempar ke belakang, lalu
ia pegang pundak Ciok Boh-thian dalam kegelapan itu sambil bertanya dengan
khawatir, “Ai, apakah kau terluka Di manakah lukanya? Parah atau tidak?”
“Aku ... aku ....”
berulang-ulang Boh-thian terbatuk-batuk dan sukar berbicara lagi.
Cepat Bin Ju menyalakan
geretan api, maka tertampaklah dada Ciok Boh-thian penuh berlumuran darah.
Mestinya Bin Ju adalah orang yang tenang, tapi sekarang ia menjadi tertegun
bingung, ia menoleh dan tanya kepada sang suami, “Engkoh Jing, ba ... bagaimana
ini?”
Dalam kegelapan Ciok Jing dan
Pek Ban-kiam masih terus bertempur berdasarkan suara sambaran senjata lawan.
Ketika Bin Ju menyalakan api dan berseru khawatir, Ciok Jing telah melirik
sekejap dan melihat Ciok Boh-thian roboh terluka, sang istri tampak sangat
khawatir dan cemas, betapa pun adalah hubungan ayah dan anak, mau tak mau Ciok
Jing merasa gelisah juga.
Dan karena sedikit ayal itulah
Ban-kiam telah menggunakan kesempatan itu dengan baik, pedangnya secepat kilat
sudah menusuk ke ulu hati Ciok Jing, serangan kilat yang mengancam tempat
mematikan ini ketika disadari Ciok Jing namun sudah terlambat, untuk menangkis
sudah tidak keburu lagi.
Tapi Ban-kiam tidak meneruskan
tusukannya, ketika ujung pedang tinggal dua tiga senti di depan dada sasarannya
segera ia tahan senjatanya itu.
Sebagai seorang ahli Ciok Jing
tahu apa maksud Pek Ban-kiam itu. Tadi Bin Ju juga telah mengancam jiwanya,
tapi tidak jadi diteruskan dan jiwanya diampuni maka sekarang Ban-kiam juga
ingin membayar kembali mengampuni jiwanya, sehingga kedua belah pihak tidak
mempunyai utang piutang apa-apa lagi.
Karena khawatirkan luka
putranya, Ciok Jing tidak sempat memikirkan soal kalah-menang atau terhina
tidak, segera ia mendekati Boh-thian dan memeriksa lukanya. Dilihatnya darah
terus mengucur dari dada anak muda dengan perlahan, nyata lukanya tidak terlalu
parah. Baru saja Ciok Jing dan Bin Ju merasa lega karena luka yang tidak
berbahaya itu, sekonyong-konyong sebatang pedang telah mengancam di tenggorokan
Ciok Boh-thian. Waktu mereka berpaling, kiranya yang memegang pedang itu adalah
Pek Ban-kiam.
“Putramu telah menghina dan
menyebabkan kematian putriku, sakit hati ini tidak boleh tidak dibalas,”
demikian kata Ban-kiam dengan nada dingin. “Jika kalian membiarkan dia kubawa
pulang Leng-siau-sia, paling sedikit dia masih bisa hidup buat dua bulan lamanya,
tapi kalau kalian tetap berkeras hendak merampasnya, maka sekali tusuk segera
kucabut nyawanya.”
Ciok Jing saling pandang
dengan Bin Ju. Ngeri juga Bin Ju membayangkan kematian putra kesayangannya, ia
kenal Ban-kiam sebagai seorang tokoh persilatan yang berani berkata berani
berbuat, kalau sampai putranya betul-betul ditusuk mati maka tiada gunanya lagi
andaikan nanti mereka suami-istri dapat juga membunuh Pek Ban-kiam.
Rupanya Ciok Jing juga
mempunyai pikiran yang sama dengan sang istri, ia memberi isyarat kepada Bin Ju
sambil memegang tangannya lalu bersama-sama melompat ke pekarangan kelenteng.
Bin Ju menoleh dan memandang sekejap lagi kepada Ciok Boh-thian yang
menggeletak di atas lantai itu dengan sorot mata penuh kasih sayang seorang
ibu. Dan hanya sekejap itu saja geretan api yang dia nyalakan itu pun sudah
padam, keadaan di dalam kelenteng kembali gelap gulita pula.
Dari suara tindakan Ciok Jing
suami-istri Ban-kiam mengetahui mereka sudah pergi jauh, ia yakin kedua orang
itu pasti tidak rela putranya dibawa pergi begitu saja, dalam perjalanan pulang
ke Leng-siau-sia ini tentu akan banyak rintangan-rintangan bukan saja dari
pihak Tiang-liok-pang bahkan juga dari Ciok Jing berdua.
Bila membayangkan pertarungan
tadi sungguh Ban-kiam merasa untung sekali, coba kalau api lilin itu tidak
kebetulan habis dan padam, tentu bocah she Ciok ini sudah direbut oleh ayah
ibunya, bahkan dirinya terhina habis-habisan boleh jadi jiwa bisa melayang
pula.
Sesudah tenangkan diri,
kemudian Ban-kiam coba mencari batu ketikan api pada tubuh salah seorang
Sutenya, perbekalannya sendiri telah dia titipkan kepada Houyan Ban-sian ketika
dia hendak menuju ke sarang Tiang-lok-pang.
Waktu api sudah diketik
menyala, baru saja dia hendak mencari sebatang lilin, mendadak ia melongo
kaget, ternyata Ciok Boh-thian yang menggeletak di sebelahnya tadi sekarang
sudah lenyap.
Di samping kaget Pek Ban-kiam
menjadi merinding pula, yang terpikir olehnya ialah ada setan. Sebab kalau
bukan setan atau badan halus tentu tidak mungkin Ciok-Boh-thian lenyap dalam
sekejap saja.
Tanpa pikir ia membuang kertas
api yang sudah menyala itu, dengan pedang terhunus ia lantas berlari keluar
kelenteng. Di luar keadaan sunyi senyap, di sekitar situ tiada suatu bayangan
seorang pun, yang terdengar hanya suara jangkrik dan serangga-serangga malam
belaka.
Semula Ban-kiam berpikir ada
setan, tapi segera disadarinya, bahwa di sekitar situ tentu ada tokoh kosen
yang sedang mengintip, dia sedang mencari batu api. Kesempatan itu digunakan
oleh orang kosen untuk menolong Ciok Boh-thian.
Segera ia melompat ke atas
rumah dan memandang sekelilingnya, hanya di jurusan tenggara sana ada
segerombolan semak-semak pohon yang dapat dibuat sembunyi, segera ia melompat
turun dan memburu ke tepi hutan itu, bentaknya, “Kenapa mesti main
sembunyi-sembunyi, kalau laki-laki sejati, hayolah keluar bertempur sampai
titik terakhir.”
Tapi sudah ditunggu sekian
lamanya keadaan di dalam hutan tetap tiada sesuatu jawaban apa-apa, dasar
kepandaiannya tinggi dan nyalinya besar, tanpa pikir lagi Ban-kiam lantas
menerjang ke dalam hutan. Tapi di dalam hutan keadaan juga sepi dan kosong,
hanya angin meniup silir-silir dan suara keresek jatuhnya daun-daun kering.
Seketika rasa takabur Pek
Ban-kiam lantas lenyap. Pertempuran tadi sudah membuatnya tidak berani lagi
memandang enteng kepada kesatria-kesatria di jagat ini, sekarang ia lebih-lebih
merasa di luar langit ini masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang
lebih pandai. Lapat-lapat timbul juga perasaan cemasnya, teringat kematian
putrinya yang mengenaskan, tanpa terasa ia menjadi berduka. Ia menghela napas
panjang dan putar kembali ke dalam kelenteng Toapekong tadi. Ia menyalakan api
lagi dan menyulut sebatang lilin, lalu menolong para Sutenya yang ditutuk oleh
Bin Ju tadi. Tapi ia menjadi kaget pula.
Jilid 17
Tiba-tiba Ban-kiam tercengang
kaget lagi. Ternyata di pipi kiri Houyan Ban-sian, Bun Ban-hu dan lain-lain
masing-masing terdapat bekas tamparan yang jelas, kelihatan bekas lima jari
tangan. Bekas tamparan itu hitam gosong dan melekuk beberapa mili dalamnya.
“Sia siapa ... siapa? Siapakah
yang memukul kalian ini? Ka ... kapan terjadinya?” demikian Ban-kiam bertanya
dengan suara terputus-putus.
Dilihat dari bekas tamparan
yang kecil itu, agaknya adalah tangan kaum wanita. Biasanya Pek Ban-kiam jarang
menjelajahi Tionggoan, tapi sering ia mendengar cerita dari ayahnya tentang
kejadian-kejadian yang menarik di dunia persilatan, walau pengalamannya
sedikit, tapi pengetahuannya cukup luas.
Ia lihat bekas tamparan yang
berwarna hitam gosong itu bukan bekas pukulan Hek-sah-ciang atau Thiat-sah-ciang
(pukulan pasir hitam dan pasir besi), sebab kalau kedua macam pukulan itu tentu
yang terkena sudah binasa sejak tadi, tapi sekarang para Sutenya itu hanya
ringan saja lukanya, bahkan terdengar Houyan Ban-sian dapat berteriak-teriak,
“Setan alas, aku sama sekali tidak tahu siapakah yang menggampar diriku!”
“Keparat, merunduk orang
secara diam-diam, babi ....” demikian Bun Ban-hu juga mencaci maki.
Ternyata tiada seorang pun
yang tahu siapa yang telah menyerang mereka secara menggelap itu. Yang jelas ketika
Ban-kiam berlari ke luar kelenteng dengan pedang terhunus tadi, mendadak pipi
seorang lantas kena ditampar orang, menyusul seorang lagi juga kena digampar,
yang dipukul belakangan tidak mendengar suara tamparan yang dipukul lebih dulu,
sebaliknya yang terpukul dahulu karena sedang meringis kesakitan sehingga tidak
mendengar kawan di sebelahnya juga kena pukulan, kemudian Ban-kiam masuk
kembali dan menyalakan lilin barulah mereka mengetahui semua kawannya rata-rata
telah diserang orang. Tadinya mereka menyangka dirinya sendiri saja yang
mengalami nasib sial.
Ban-kiam termenung-menung
tanpa memberi komentar apa-apa, ia menduga orang yang menolong Ciok Boh-thian
dan yang menyerang para Sutenya itu tentu terdiri dari satu orang yang sama.
Terang sesudah menolong Ciok Boh-thian orang itu masih bersembunyi di dalam
kelenteng, ketika dirinya mengejar keluar, lalu, dengan sebebasnya ia
menggampar para Sutenya setiap orang satu kali, habis itu barulah Ciok
Boh-thian dibawa pergi. Orang itu dapat memukul tanpa mengeluarkan suara, yang
digunakan adalah tenaga dalam yang lunak, kepandaiannya dan kecerdikannya
terang bukan orang sembarangan, Ban-kiam menjadi ngeri membayangkannya.
Kiranya lukanya tidaklah parah
karena dia sendiri yang menumbuk ujung pedangnya Bin Ju, rasanya juga tidak
terlalu sakit. Ketika Ciok Jing dan Bin Ju dipaksa pergi, keadaan di dalam
kelenteng lantas gelap gulita, tiba-tiba ia merasa mulutnya didekap sebuah
tangan, lalu badannya diseret orang dengan perlahan-lahan dan akhirnya sampai
di kolong meja sembahyang.
Tidak lama kemudian terasa
pula orang itu mengempitnya terus membawanya lari keluar kelenteng, tidak
terlalu lama lalu melompat ke atas sebuah perahu, menyusul ada orang menyalakan
pelita.
Waktu Boh-thian membuka mata,
tertampak orang berada di sampingnya dengan memegang pelita itu
tak-lain-tak-bukan adalah si Ting Tong.
“Hai, Ting-ting Tong-tong,
kiranya kau yang telah membawa aku ke sini?” seru Boh-thian dengan girang.
Tapi mulut Ting Tong tampak
mencibir, omelnya malah, “Babi mampus kau, masakah siapa yang membawa kau ke
sini juga tidak tahu. Yaya yang telah menyelamatkan kau, tahu?”
Boh-thian menoleh, dilihatnya
Ting Put-sam berada di haluan perahu dengan duduk berpangku dengkul sedang
memandang ke udara, sedikit pun tidak menggubris padanya. Maka ia lantas
menyapa, “Yaya untuk ... untuk apakah membawa aku ke sini?”
“A Tong,” tiba-tiba Ting
Put-sam mendengus tanpa menggubris Boh-thian, “orang ini adalah orang sinting,
buat apa kau menjadi istrinya? Toh kau belum tidur bersama dia, sebelum
telanjur lebih baik kau bunuh dia saja.”
“Tidak, tidak!” sahut Ting
Tong dengan gugup. “Engkoh Thian telah menderita sakit keras sehingga banyak
kejadian-kejadian di masa lampau terlupa olehnya. Lambat laun dia tentu akan
sehat kembali. Engkoh Thian, coba kuperiksa lukamu.”
Dengan hati-hati Ting Tong
lantas membuka baju Ciok Boh-thian, dengan saputangan ia mengusap darah di
sekitar luka itu, lalu membubuhkan obat luka, akhirnya ia menyobek ujung baju
sendiri untuk membalut luka di dada anak muda itu.
“Terima kasih, Ting-ting
Tong-tong!” kata Boh-thian. “Eh, apakah tadi kau dan Yaya sembunyi di kolong
meja sana? Haha, sungguh sangat menarik main sembunyi-sembunyian begitu!”
“Jiwamu sendiri hampir amblas
masih bilang sangat menarik segala?” semprot Ting-Tong. “Pertarungan sengit
antara ayah-ibumu melawan orang she Pek itu sungguh membikin hatiku ikut
berdebar-debar.”
“Ayah-ibuku?” Boh-thian
menegas dengan heran. “Kau bilang tuan yang berbaju hitam mulus itu adalah
ayahku? Tapi wanita cantik itu bukanlah ibuku ... ibuku tidak demikian mukanya,
tidak secantik nyonya tadi.”
Ting Tong menghela napas,
katanya kemudian, “Engkoh Thian, sakitmu itu benar-benar telah membikin susah
padamu, sampai-sampai ayah ibunya sendiri pun sudah terlupa. Kulihat caramu
memainkan ke-72 jurus Swat-san-kiam-hoat itu pun sangat kaku dan belum hafal
betul, jangan-jangan sampai ilmu silatnya sendiri juga kau lupakan sama sekali?
Ai, mana boleh jadi begini.”
Kiranya sudah Ciok Boh-thian
ditawan dan dilarikan oleh Pek Ban-kiam, segera Ting Put-sam dan Ting Tong
mengejarnya sepanjang jalan. Kejadian-kejadian Pek Ban-kiam memberi petunjuk
ilmu pedang kepada para Sutenya dan kedatangan Ciok Jing suami-istri ke dalam
kelenteng lalu bertempur, semua itu dapat disaksikan oleh Ting Put-sam dan si
Ting Tong.
Waktu Ting Put-sam berhasil
menolong Ciok Boh-thian, Ting Tong juga tidak mau tinggal diam, ia mengeluarkan
ilmu pukulan keluarga Ting yang ternama dan memberi persen satu kali tamparan
pada tiap-tiap murid Swat-san-pay. Terhadap Pek Ban-kiam rupanya si Ting Tong
benar-benar jeri, maka sebelum tokoh Swat-san-pay itu masuk kembali ke dalam
kelenteng ia sudah lantas kabur lebih dulu menyusul kakeknya.
Begitulah maka Boh-thian telah
menjawab dengan heran, “Kau bilang ilmu silat? Ilmu silat apa? Sama sekali aku
tidak bisa ilmu silat. Apa yang kalian bicarakan aku pun tidak paham.”
Mendadak Ting Put-sam berdiri,
katanya dengan suara bengis, “A Tong, apa barangkali pikiranmu sudah butek atau
bebal, makanya menyukai seorang bocah tolol dan sinting seperti dia ini?
Biarlah sekali hantam kumampuskan dia saja. Pendek kata kau tidak perlu khawatir,
kakek tanggung jawab untuk mencarikan seseorang kesatria muda yang gagah,
tampan dan serbapandai untuk menjadi suamimu.”
“Aku .... aku tak mau, aku
tidak inginkan kesatria muda lain yang tampan dan pintar apa segala,” jawab
Ting Tong dengan terguguk-guguk dan air mata berlinang-linang. “Dia ... dia toh
bukan orang sinting, hanya saja karena ... karena dia habis sakit keras,
mungkin pikirannya belum jernih kembali.”
“Belum jernih apa?” bentak
Ting Put-sam dengan gusar. “Siapa saja yang menyaksikan kelakuannya yang
memuakkan di dalam kelenteng itu pasti meledak dadanya saking gusarnya dan
gemasnya. Coba bayangkan, caranya bergerak yang ngular-kambang seperti anak
kecil yang baru belajar, setiap jurus selalu salah dan kaku, banyak lubang
kelemahannya, hehe, sudah terang orang telah menarik kembali pedangnya, tapi
anak gebleg ini justru menumbukkan badannya sendiri dan baru puas kalau sudah
terluka. Hm, manusia goblok seperti begini ada lebih baik kumampuskan saja
daripada kelak dibunuh orang lain. Jangan-jangan akan tersiar di kalangan
Kangouw bahwa cucu menantu Ting Put-sam telah dibunuh orang, kan aku yang malu.
Maka, ada lebih baik dimampuskan sekarang saja, harus dibunuh.”
Ting Tong hanya menggigit
bibir dan terdiam. Ia kenal watak sang kakek, kalau beliau sudah berkata
demikian, maka pasti akan dilakukannya demikian pula, percuma saja untuk
berdebat atau membantah pendiriannya itu. Sejenak kemudian barulah ia berkata,
“Yaya, habis cara bagaimanakah supaya engkau tak jadi membunuhnya?”
“Ha, mengapa aku tidak jadi
membunuhnya! Aku harus, ya, harus membunuhnya supaya tidak membikin malu,” kata
Ting Put-sam dengan marah-marah. “Bila orang mendengar Ting Put-sam telah
membunuh cucu menantunya sendiri, hal ini tidaklah mengherankan, tapi kalau
terdengar kabar tentang cucu menantunya Ting Put-sam dibunuh orang, lantas apa
tindakanku?
“Apa tindakanmu? Tentunya
membalaskan sakit hatinya!” kata Ting Tong.
“Hahahaha! Kau bilang aku akan
membalaskan sakit hati seorang goblok sebagai dia? Haha, kau anggap kakekmu ini
orang macam apa?
“Habis bagaimana, kan salahnya
kakek sendiri?” sahut Ting Tong sambil menangis. “Engkau yang suruh aku menikah
dengan dia, secara resmi dia adalah suamiku, kalau engkau membunuhnya, bukankah
aku akan menjadi janda?”
Ting Put-sam menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal, katanya kemudian, “Tatkala itu aku telah menjajal
dia dan merasa Lwekangnya sangat tinggi dan memenuhi syarat untuk menjadi cucu
menantuku, siapa tahu dia ternyata seorang sinting. Jika kau berkeras tidak memperbolehkan
aku membunuhnya, hal ini boleh juga asal kau memenuhi sesuatu syaratku.”
Ting Tong menjadi girang
karena ada harapan menyelamatkan sang suami, segera ia bertanya, “Syarat apa?
Lekas katakan, lekas!”
“Sudah kukatakan dia adalah
seorang sinting dan harus dibunuh, tapi kau bilang dia tidak sinting dan jangan
dibunuh. Untuk ini, baiklah, aku memberi batas waktu 10 hari agar dia pergi
mencari dan bertanding dengan Pek Ban-kiam itu, dia harus membunuh atau
mengalahkan orang she Pek yang bergelar ‘Gi-han-se-pak’ itu barulah aku dapat
mengampuni jiwanya dan mengizinkan dia menjadi suamimu yang sungguh-sungguh.”
Ting Tong menarik napas
panjang mendengar syarat sang kakek itu. Ia pikir ilmu pedang orang she Pek itu
sedemikian lihainya, hal ini telah disaksikan sendiri oleh mereka kakek dan
cucu berdua. Boh-thian sendiri baru saja sembuh dari sakit keras, sekarang
terluka pula, di dalam sepuluh hari ini cara bagaimana dia dapat berlatih dan
mengalahkan seorang ahli pedang sebagai Pek Ban-kiam?
Dengan cemas kemudian Ting
Tong berkata, “Yaya, syaratmu ini sudah terang sukar dilaksanakan.”
“Apakah sukar dilaksanakan
atau mudah dilakukan, pendek kata bila dia tidak mampu mengalahkan Pek
Ban-kiam, segera sekali hantam kumampuskan dia,” sahut Ting Put-sam dengan
tegas.
Ting Tong menjadi sedih, ia
coba berpaling kepada Boh-thian, tertampak anak muda itu acuh-tak-acuh saja,
seperti apa yang dipercakapkan antara Ting Tong dan kakeknya itu sama sekali
tiada sangkut paut dengan kepentingannya.
Dengan gemas Ting Tong coba
mengisiki Boh-thian, “Engkoh Thian, Yaya memberi tempo dalam waktu sepuluh hari
supaya kau mengalahkan Pek Ban-kiam itu, bagaimana, apakah kau sanggup?”
“Mengalahkan Pek Ban-kiam?
Haya, mana bisa, ilmu pedangnya teramat lihai, siapa pun bukan tandingannya,
apalagi diriku?” sahut Boh-thian dengan melenggong.
“Ya, tapi kakek bilang bila
kau tidak mampu mengalahkan dia, maka kau yang akan dibunuh oleh kakek,” kata
Ting Tong.
“He, he, orang tidak apa-apa
mengapa hendak dibunuh?” sahut Boh-thian dengan tertawa. “Ah, kakek hanya
berkelakar saja dengan kau, masakah kau anggap sungguh-sungguh? Kakek adalah
orang baik dan bukan orang jahat, masakah dia akan ... akan membunuh aku?”
Ting Tong menghela napas
panjang, pikirnya, “Engkoh Thian benar-benar agak sinting tampaknya, segala apa
selalu angin-anginan. Jalan paling baik sekarang ialah menyanggupi dulu syarat
kakek tadi, di dalam sepuluh hari semoga dapat diperoleh sesuatu akal dan
kesempatan agar Engkoh Thian bisa melarikan diri dengan selamat.”
Karena itu ia lantas berkata
pada Ting Put-sam, “Baiklah, kakek, aku terima syaratmu, di dalam sepuluh hari
akan kuminta dia pergi mencari dan mengalahkan Pek Ban-kiam.”
“Ya, sekarang kakek sudah
merasa lapar, lekas pergi menanak nasi,” sahut Ting Put-sam dengan tertawa
dingin. “Biarlah kukatakan padamu, pertama tidak ajar, kedua jangan lari, ketiga
tidak ampun. Tidak ajar ialah kakek sekali-kali takkan mengajarkan ilmu silat
kepada seorang sinting. Jangan lari ialah supaya kau jangan sekali-kali
bermaksud melepaskan dia untuk melarikan diri, asal kakek mengetahui dia
bermaksud lari, di dalam waktu singkat tentu aku dapat menemukan dia dan
membinasakan dia lebih cepat daripada waktu sepuluh hari. Tentang tidak ampun,
sudah cukup jelas, tidak perlu kukatakan lagi.”
“Jika engkau mengatakan dia
seorang sinting, maka biarpun engkau mengajarkan ilmu silat padanya juga dia
takkan bisa, buat apa mesti menyatakan tidak akan mengajar ilmu silat padanya?”
ujar Ting Tong.
“Kau tidak perlu memancing
aku,” sahut Ting Put-sam dengan tersenyum. “Padahal, andaikan kakek mau
mengajarkan dia, di dalam waktu sepuluh hari juga tidak mungkin dia mampu
mengalahkan Pek Ban-kiam? Huh, biarpun 10 tahun mendidik dia juga percuma
saja.”
Mendadak pikiran Ting Tong
tergerak, katanya, “Baik, kakek tidak mau mengajar dia, biar aku saja yang
mengajarnya mengalahkan Pek Ban-kiam? Huh, biarpun sepuluh tahun mendidik dia
juga percuma saja.”
Tatkala itu perahu mereka itu
sudah di pasang layarnya dan mendapat angin buritan sedang berlayar ke hulu
sungai melawan arus. Cuaca sudah mulai terang, fajar telah menyingsing, tapi di
permukaan sungai penuh kabut melulu.
“A Tong kau tidak mau masak,
apakah kau sengaja membikin kakek mati kelaparan?” kata Ting Put-sam dengan
gusar.
“Engkau hendak membunuh
suamiku, lebih baik aku membikin kau mati kelaparan dulu,” sahut Ting Tong.
“Budak setan yang kurang ajar!
Hayo, lekas menanak nasi,” semprot Ting Put-sam pula. Tapi Ting Tong tidak
menggubris sang kakek lagi, ia berkata kepada Ciok Boh-thian, “Engkoh Thian,
biarlah aku mengajarkan semacam kepandaian padamu, tanggung di dalam 10 hari
saja pasti dapat mengalahkan Pek Ban-kiam itu.”
“Huh ngaco-belo! Sedangkan aku
saja tidak mampu mengajarkan dia secepat itu, masakah kau si budak cilik ini
mampu?” omel Ting Put-sam. Begitulah kakek dan cucu itu terus bertengkar mulut,
padahal di dalam hati si Ting Tong sangat gelisah dan sedih, ia tidak tahu cara
bagaimana supaya bisa membujuk sang kakek agar tidak jadi membunuh Ciok
Boh-thian. Ia kenal watak kakeknya yang aneh, biar memohon dengan sangat juga
tiada gunanya, jalan satu-satunya harus mencari suatu akal yang licin sehingga
orang tua itu mau menarik kembali keputusan secara sukarela. Pikir Ting Tong,
“Kalau aku tidak memasak baginya, bila sudah lapar terpaksa dia akan menyuruh
perahu ini berlabuh dan mendarat untuk membeli makanan, kesempatan itu akan
dapat digunakan oleh Engkoh Thian untuk melarikan diri.”
Tak tersangka ketika melihat
Ting Put-sam bermuka masam dan menyatakan kelaparan, Ciok Boh-thian yang merasa
dirinya juga sudah lapar dengan tiba-tiba ia terus berbangkit dan berkata, “Biarlah
aku menanakkan nasi bagimu?”
Dasar anak muda ini memang
seorang berhati polos, ternyata sama sekali ia tidak paham maksud tujuannya
Ting Tong.
Keruan anak dara itu menjadi
gusar, serunya, “Kau baru saja terluka, kalau bekerja sehingga membikin lukamu
tambah parah, lantas bagaimana?”
“Obat luka keluarga Ting kita
adalah obat mujarab, sekali dibubuhkan lantas sembuh, pula lukanya tidak berat,
kenapa mesti khawatir?” demikian kata Ting Put-sam. “Ya, anak baik, lekas pergi
menanak nasi untuk kakek.”
“Dia menanak nasi untukmu,
lalu kau masih akan membunuhnya atau tidak?” tanya Ting Tong.
“Menanak nasi adalah menanak
nasi, membunuh orang tetap membunuh orang, kedua hal yang berlainan mana boleh
dicampuradukkan?” sahut Ting Put-sam. Nyata ia tetap bertekad harus membunuh
Ciok Boh-thian menurut batas waktu yang telah ditetapkan.
Waktu Boh-thian meraba dadanya
sendiri, ternyata tidak terlalu sakit lagi. Segera ia menuju ke buritan perahu
untuk mencuci beras dan menanak nasi. Ia melihat seorang tukang perahu tua
sedang memegang kemudi dan duduk di buritan, terhadap pembicaraan mereka
bertiga tadi seperti tidak ambil pusing sama sekali.
Dalam hal menanak nasi dan
memasak daharan enak adalah kepandaian khas Boh-thian, maka dalam waktu yang
tidak terlalu lama ia sudah selesai menanak sebakul nasi yang hangat-hangat,
dan sekejap juga sudah selesai menggoreng dua ekor ikan yang berbau sedap.
Sambil makan Ting Put-sam
sambil memuji, katanya, “Jika kepandaian ilmu silatmu ada setengahnya
kepandaian memasak seperti ini tentulah kakek tidak akan membunuh kau. Tapi
sayang, sungguh sayang. Coba kalau tempo hari kau tidak menikah dengan A Tong,
tapi hanya menjadi kokiku saja, jangankan membunuh kau, andaikan orang lain
yang akan membunuh kau juga kakek akan membela kau malah.”
Dalam pada itu si Ting Tong
telah mengisi semangkuk nasi dan mengambil setengah ekor ikan goreng dan dibawa
ke buritan untuk si tukang perahu.
Selesai makan, Boh-thian dan
Ting Tong bersama-sama mencuci mangkuk dan piring di buritan perahu. Melihat
sang kakek duduk di haluan perahu, dengan suara berbisik Ting Tong lantas
berkata, “Sebentar aku akan mengajarkan sejurus Kim-na-jiu-hoat (ilmu menangkap
dan memegang) padamu, hendaklah kau mempelajarinya dengan baik-baik.”
“Sesudah mempelajarinya apakah
akan digunakan untuk bertanding dengan Pek-suhu itu?” tanya Boh-thian.
“Ai, apakah engkau
benar-benar-orang sinting? O, Engkoh Thian, dahulu ... dahulu engkau toh tidak
seperti ini,” kata Ting Tong.
“Dahulu bagaimana keadaanku?”
tanya Boh-thian. Muka Ting Tong menjadi bersemu merah, sahutnya kemudian,
“Dahulu bila kau bertemu dengan aku, mulutmu sungguh lebih manis daripada madu,
kau banyak bergurau sehingga membikin hatiku alangkah senangnya. Apa yang kau
katakan selalu di luar dugaan dan sangat mencocoki seleraku. Tapi sekarang ...
sekarang engkau telah berubah.”
“Ya, memangnya aku bukan kau
punya Engkoh Thian itu,” sahut Boh-thian dengan menghela napas. “Dia pandai
membikin senang hatimu, tapi aku tidak dapat. Maka ada lebih baik kau mencari
dia saja.”
“O, Engkoh Thian, apakah kau
marah padaku?” tanya si anak dara dengan suara setengah meratap.
“Aku mana bisa marah, aku
hanya bicara dengan sesungguhnya padamu, tapi kau selalu tidak mau percaya,” ujar
Boh-thian sambil menggeleng.
Sambil memandang air sungai
yang membanjir lewat di sisi perahu, Ting Tong menggumam sendiri, “Ai, entah
kapan barulah dia akan pulih kembali seperti dahulu kala.”
Ia termenung-menung sejenak
sehingga tanpa terasa sebuah mangkuk yang dipegangnya itu kecemplung ke dalam
sungai dan hanyut ke dalam arus.
“Ting-ting Tong-tong betapa
pun aku tak dapat berubah menjadi kau punya Engkoh Thian itu, apabila aku
selamanya sin ... sinting seperti ini, maka selamanya pula kau takkan suka
padaku bukan?”
“Aku tidak tahu! Aku tidak
tahu!” jerit Ting Tong dengan suara tertahan, pedih hatinya seperti
disayat-sayat. Saking kesalnya tiba-tiba ia pegang sebuah mangkuk dan
dilemparkan pula ke dalam sungai, dan begitu pula berturut-turut diulangi
sampai dua-tiga kali.
“Apabila mulutku pandai bicara
dan dapat mencerocos terus untuk menyenangkan dirimu, maka aku pun suka untuk
berbuat demikian bagimu,” kata Boh-thian. “Namun aku be ... benar-benar
bukanlah kau punya Engkoh Thian itu, biar bagaimanapun juga aku tidak dapat
menirukan dia.”
A Tong coba mengamat-amati
pemuda itu, tatkala mana sang surya baru saja muncul di ufuk timur sehingga
muka Ciok Boh-thian kelihatan terang kemerah-merahan, kedua matanya bersinar
tajam, air mukanya tampak bersikap sangat tulus dan jujur.
Kembali Ting Tong menghela
napas, lalu katanya, “Jikalau engkau bukanlah aku punya Engkoh Thian, mengapa
di pundakmu terdapat bekas luka gigitanku? Mengapa engkau juga mempunyai sifat
bangor yang sama, suka menggoda wanita dan mempermainkan nona Hoa dari
Swat-san-pay itu? Bila engkau adalah aku punya Engkoh Thian, mengapa mendadak
kau berubah menjadi angin-anginan seperti orang hilang ingatan, sama sekali kau
tidak menarik dan romantis lagi seperti dahulu?”
“Aku adalah suamimu, bukankah
ada lebih baik aku berlaku jujur dan setia padamu?” ujar Boh-thian dengan
tertawa.
“Tidak, aku lebih suka engkau
selincah dan senakal dahulu, apakah kau akan menggoda anak perawan orang lain
atau akan mencolong istri orang, pendek kata aku tidak suka kau berlaku sekaku
demikian,” kata Ting Tong.
“Mencolong istri orang? Ha,
mana boleh jadi? Kalau aku mencuri istri orang lain, kan orang akan kehilangan
istri?” ujar Boh-thian.
Ting Tong menjadi kurang
senang, ia pikir makin diajak bicara makin ruwet, dasar goblok. Saking gemasnya
mendadak ia menjewer kuping Ciok Boh-thian terus dipelintir sekuatnya,
sampai-sampai pangkal telinga itu berdarah.
Keruan Boh-thian meringis
kesakitan dan tanpa pikir menyampuk dengan tangannya.
Seketika Ting Tong merasa
lengannya diketuk oleh suatu tenaga yang mahakuat, tanpa kuasa tangannya lantas
terlepas, bahkan tubuhnya sampai tersentak ke belakang dan hampir-hampir
mematahkan tiang layar yang ditumbuknya. Ia menjerit kaget dan memaki, “Setan,
apa kau hendak mengajar istrimu? Kenapa pakai tenaga begitu besar?”
“Ai, maaf, maaf, aku ... aku
tidak sengaja,” sahut Boh-thian cepat.
Waktu Ting Tong periksa lengan
sendiri, ternyata sudah matang biru di tempat yang tersampuk itu. Tiba-tiba
wajahnya yang uring-uringan tadi berubah menjadi girang, ia memegang kedua
tangan Ciok Boh-thian dan digoyang-goyangkan, katanya, “Engkoh Thian, kiranya
kau memang sengaja pura-pura saja untuk menipu aku.”
“Pura-pura apa?” sahut
Boh-thian dengan bingung.
“Ilmu silatmu kan sama sekali
tidak berkurang?” Ting Tong menegas.
“Aku ... aku tidak paham ilmu
silat apa segala,” sahut Boh-thian.
Ting Tong menjadi marah lagi,
omelnya, “Kau sengaja ngaco-belo lagi, lihatlah kalau aku mau gubris padamu.”
Habis berkata, segera ia
hendak menampar pipi kiri Boh-thian.
Cepat Boh-thian mengegos dan
hendak menangkis. Tapi ilmu pukulan si Ting Tong adalah sedemikian cepatnya,
dengan sendirinya tangkisan Boh-thian itu mengenai tempat kosong, tahu-tahu
pipinya terasa kesakitan, secara tidak bersuara sudah kena dipukul oleh Ting
Tong.
Kembali Ting Tong menjerit
kaget, bahkan mengandung rasa khawatir yang melebihi tadi. Kiranya ia menyangka
ilmu silat Ciok Boh-thian belum punah dan dengan sendirinya akan dapat
menghindarkan tamparannya itu dengan gampang, sebab itulah pukulannya itu telah
menggunakan tenaga lunak yang berbisa dingin. Maklum, setiap pukulan kalau
tidak membawa tenaga dalam tentu akan kurang cepat dan gesit. Siapa duga cara menangkis
Ciok Boh-thian ternyata sedemikian lamban dan bodoh, seakan-akan seorang yang
sama sekali tidak paham ilmu silat, keruan tamparannya dengan tepat lantas
mengenai pipinya.
Sambil memegangi tangan
sendiri yang digunakan menampar itu, Ting Tong melihat di pipi kiri Boh-thian
sudah terdapat cap tangan berwarna hitam dan gosong melekuk. Ia menjadi
menyesal dan malu pula, ia merangkul pinggang Boh-thian dan menempelkan pipi
sendiri ke pipi anak muda itu, katanya sambil menangis, “O, Engkoh Thian, sungguh
aku tidak tahu bahwa sebenarnya keadaanmu belum pulih kembali seluruhnya.”
Ada wanita cantik di dalam
pelukan, Ciok Boh-thian menjadi lupa kepada pipinya yang sakit, katanya dengan
menghela napas, “Ting-ting Tong-tong, sebenarnya apa sebabnya kau sebentar
senang dan sebentar marah? Sungguh aku tidak paham.”
“O, bagai ... bagaimana
baiknya? Bagaimana baiknya?” kata Ting Tong.
Segera ia melepaskan diri dari
pelukan Boh-thian, ia mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dan menuang
sebutir obat pil serta suruh Boh-thian meminumnya, katanya, “Semoga takkan
meninggalkan bekas di atas pipimu itu.”
Begitulah kedua muda-mudi itu
duduk saling bersandar di buritan perahu, untuk sesaat keduanya sama-sama diam
saja.
Selang agak lama, tiba-tiba
Ting Tong membisiki Boh-thian, “Engkoh Thian, sesudah kau menderita sakit
keras, rupanya ilmu silatmu telah kau lupakan semua, tapi tenaga dalamnya
tidaklah terlupa. Biarlah aku mengajarkan ilmu Kim-na-jiu-hoat itu padamu.”
“Jika kau mau mengajar padaku,
tentu aku akan mempelajarinya,” sahut Boh-thian.
Dengan jarinya yang halus
lentik perlahan-lahan Ting Tong meraba lekuk cap tangan bekas tamparannya tadi
di pipi anak muda itu, sungguh rasa menyesalnya tak terhingga. Mendadak ia
mencium sekali pipi Boh-thian di tempat cap tangan itu.
Seketika kedua muda-mudi
sama-sama merah jengah. Untuk menutupi perasaan malunya, cepat Ting Tong
berdiri, ia membetulkan rambutnya, lalu memainkan ke-18 jurus Kim-na-jiu-hoat
dan diikuti oleh Boh-thian dengan cermat. Selesai ia memain, lalu Boh-thian
disuruhnya bergebrak dengan dia.
Dasar bakat Boh-thian memang
amat tinggi, otaknya juga cerdas, hanya satu kali diberi contoh saja ia sudah
ingat dengan baik.
Dengan cepat tiga hari telah
lalu, sementara itu ke-18 jurus Kim-na-jiu-hoat itu sudah terlatih sangat hafal
oleh Ciok Boh-thian. Meski Kim-na-jiu-hoat itu hanya meliputi 18 jurus saja,
tapi tiap-tiap jurus di antaranya membawa perubahan yang tak terbatas, ada yang
belasan macam, ada yang membawa berpuluh macam perubahan ikutan, semuanya
sangat ruwet dan bagus.
Di dalam tiga hari sementara
luka di dada Boh-thian sudah hampir sembuh seluruhnya, maka sepanjang hari dia
hanya mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari ilmu Kim-na-jiu-hoat menurut
ajaran si Ting Tong.
Ting Put-sam hanya menyaksikan
kelakuan kedua muda-mudi itu dengan acuh tak acuh, terkadang ia pun suka
mengejek dan menyindir.
Perahu mereka yang berlayar ke
hulu itu perlahan-lahan telah sampai di tempat yang sunyi dan jauh dari rumah
penduduk. Melihat kemajuan Ciok Boh-thian yang sangat pesat itu, diam-diam si
Ting Tong sangat senang. Suatu kali waktu mendengar kakeknya mengejek Boh-thian
sebagai orang sinting lagi, kontan ia lantas berkata, “Yaya, ke-18 jurus
Kim-na-jiu-hoat keluarga Ting kita ini kalau disuruh belajar seorang sinting
harus makan waktu berapa lamanya untuk bisa dipahami benar-benar?”
Ting Put-sam menjadi bungkam
dan tak bisa menjawab. Ia menyaksikan sendiri Ciok Boh-thian telah dapat
mempelajari Kim-na-jiu-hoat itu dengan baik, jika demikian sesungguhnya anak
muda ini bukan seorang tolol, apalagi sinting. Tapi mengapa kelakuannya dan
kata-katanya seperti orang miring? Apakah dia pura-pura saja, memang benar
telah melupakan segala kejadian di masa lampau lantaran sakit keras yang pernah
dideritanya?
Dasar watak Ting Put-sam
memang kukuh dan tidak mau kalah, terhadap cucu perempuannya itu ia pun tidak
mau kalah berdebat, segera ia menjawab secara pokrol bambu, “Ada juga orang
sinting yang pintar, ada pula orang sinting yang goblok, orang sinting yang
pintar sudah tentu akan cepat dan hanya setengah hari saja sudah paham diberi
ajaran sesuatu, kalau orang sinting yang tolol adalah seperti suamimu itu,
harus tiga hari baru bisa.”
“Yaya, dahulu waktu engkau
mempelajari Kim-na-jiu-hoat keluarga kita ini memerlukan waktu beberapa hari?”
tanya Ting Tong sambil tertawa.
“Masakah aku perlu belajar
sampai beberapa hari? Dahulu moyangmu hanya mengajarkan satu kali saja padaku,
tidak sampai setengah hari juga Yaya lantas paham seluruhnya,” sahut Ting
Put-sam.
“Haha, jika demikian, kiranya
Yaya adalah seorang sinting yang pintar,” kata Ting Tong dengan tertawa.
Karena terpegang kelemahan
ucapannya tadi, dari malu Ting Put-sam menjadi gusar, dengan mendelik ia
membentak, “Hus, budak setan, omong tak keruan!”
Pada saat itulah tiba-tiba ada
sebuah perahu sedang mengejar tiba dari sungai sana. Perahu itu memasang layar,
dikayuh empat orang pula, badan perahu kecil, meluncurnya menjadi enteng dan
cepat, maka makin lama makin mendekati perahu yang ditumpangi Ting Put-sam ini.
Di hulu perahu itu tampak
berdiri dua orang lelaki, seorang di antaranya sedang berteriak, “Hai, bocah
she Ciok itu apakah berada di dalam perahu di depan itu? Lekas berhenti! Lekas
berhenti!”
Ting Tong hanya mendengus
sekali saja, katanya, “Yaya, rupanya orang Swat-san-pay sedang mencari Engkoh
Thian pula.”
“Itulah paling baik,” sahut
Ting Put-sam dengan senang. “Biarkan si sinting ini ditangkap mereka untuk
dicincang, dengan demikian barulah terkabul cita-cita kakek.”
“Yang akan ditangkap si
sinting yang pintar atau si sinting yang tolol?” tanya Ting Tong.
“Sudah tentu si sinting yang
tolol yang akan ditangkap, siapa sih yang berani menangkap si sinting yang
pintar,” sahut Ting Put-sam.
“Ya, memang ilmu silat si
sinting yang pintar ini sedemikian lihainya, siapa yang berani mengganggu
seujung rambutnya?” ujar Ting Tong dengan tersenyum.
Ting Put-sam tertegun, segera
ia sadar ucapannya yang kasar tadi, bentaknya dengan gusar, “Budak alas, kau
berani putar kayun dan memaki kakekmu?”
Tengah bicara, sementara itu
perahu kecil tadi sudah makin mendekat. Ting Put-sam dan Ting Tong duduk di
dalam hanggar perahu, dengan tenang mereka mengikuti apa yang akan terjadi.
Maka terdengarlah kedua lelaki
yang berdiri di haluan perahu sana sedang membentak dengan marah-marah, “Hai,
orang itu, tampaknya kau adalah bocah dari she Ciok dari Tiang-lok-pang itu,
mengapa kau tidak lekas menghentikan perahumu?”
Boh-thian menjadi gugup,
serunya kepada si Ting Tong, “He, Ting-ting Tong-tong, ada orang mengejar tiba,
kau bilang apa yang harus kulakukan?”
“Dari mana aku tahu apa yang
harus kau lakukan? Kau seorang laki-laki dewasa, masakah sedikit pun tidak
dapat mengambil sesuatu keputusan?” sahut Ting Tong.
Pada saat itulah perahu kecil
tadi sudah berada kira-kira dua meter jauhnya, sambil menggertak kedua lelaki
itu lantas melompat ke buritan perahu yang ditumpangi Ciok Boh-thian, kedua
orang sama-sama menghunus pedang.
Boh-thian mengenali kedua
orang itu adalah murid-murid Swat-san-pay yang pernah dilihatnya di dalam
kelenteng tempo hari itu. Pikirnya, “Entah apa kesalahanku, mengapa orang-orang
Swat-san-pay ini selalu mengincar diriku saja, ke mana aku pergi selalu
diuber-uber?”
Jilid 18
Dalam pada itu, “sret” pedang
salah seorang lelaki Swat-san-pay menusuk ke bahunya.
Dalam beberapa hari ini
Boh-thian terus-menerus berlatih dengan si Ting Tong, kadang-kadang kalau dia
bergerak sedikit lambat tentu kena ditempeleng atau disikut oleh anak dara itu,
sudah banyak pahit getir yang telah dirasakan maka gerak-geriknya sekarang
sudah jauh lebih cepat dan gesit daripada waktu bertanding melawan Ciok Jing
suami-istri di dalam kelenteng tempo hari. Ketika melihat serangan musuh tiba,
tanpa pikir lagi ia lantas menggunakan jurus kedelapan dari Kim-na-jiu-hoat
yang disebut “Hong-bwe-jiu” (tangkapan ekor angin), tangan kanan memutar ke
atas, orangnya mendesak maju, kontan pergelangan tangan lawan dipegang terus
dipuntir.
Waktu orang itu menjerit kesakitan
dan melepaskan senjatanya, berbareng Ciok Boh-thian lantas mengangkat sikutnya,
“plok”, tepat janggut orang itu kena disikut, tanpa ampun lagi janggut orang
itu pecah, darah bercucuran dan gigi rontok belasan biji, semuanya termuntah di
geladak perahu.
Sama sekali Boh-thian tidak
menduga bahwa jurus “Hong-bwe-jiu” itu akan membawa hasil yang sedemikian
lihainya, ia menjadi terlongong-longong sendiri dengan hati berdebar-debar.
Orang Swat-san-pay yang kedua
mestinya hendak maju membantu sang kawan untuk mengeroyok Ciok Boh-thian, tapi
hanya dalam sekejap saja dilihatnya sang Suheng yang menyerang lebih dulu itu
sudah terluka parah, padahal ilmu silat Suhengnya jauh lebih tinggi
daripadanya, andaikan ia ikut maju juga pasti akan mengalami nasib yang sama,
terpaksa ia tidak berani main garang lagi, paling penting menolong sang Suheng
lebih dulu, segera ia melompat maju dan memondong sang Suheng.
Saat itu kebetulan perahunya
yang kecil itu sedang meluncur sejajar dengan perahu besar yang ditumpangi Ciok
Boh-thian, sambil membawa Suhengnya yang terluka segera ia melompat kembali ke
perahunya sendiri dan memerintahkan tukang perahu menurunkan layar dan
membelokkan haluan, maka dalam sekejap saja kedua kendaraan air itu sudah
berpisah jauh, perahu kecil itu telah meluncur kembali ke hilir.
Ciok Boh-thian masih terkesiap
dan merasa menyesal sambil memandangi belasan biji gigi dan darah yang
berceceran di geladak kapalnya.
Dalam pada itu Ting Tong telah
keluar dari hanggar perahu dan mendekati anak muda itu, katanya dengan
tersenyum, “Engkoh Thian, jurus ‘Hong-bwe-jiu’ yang kau mainkan barusan sungguh
sangat bagus dan tepat.”
“Ai, mengapa sebelumnya kau
tidak menerangkan padaku bahwa jurus ini sedemikian hebatnya bila mengenai
lawan, tahu begini tentu aku tidak mau mempelajarinya,” sahut Boh-thian sambil
menggeleng-geleng.
Perasaan Ting Tong menjadi
sedih pula, ia pikir penyakit si sinting ini kembali kumat lagi, bicaranya
telah melantur tak keruan. Katanya kemudian, “Jika sudah belajar ilmu silat,
sudah tentu lebih lihai akan lebih baik. Coba kalau tadi jurus Hong-bwe-jiu
yang aku mainkan itu tidak bagus dan tepat, tentu bahumu sendiri sekarang sudah
tertembus oleh pedangnya. Pendek kata dalam hal ilmu silat hanya ada dua
pilihan, melukai orang atau dilukai orang. Nah, coba kau ingin pilih yang mana?
Padahal hanya membikin rontok belasan biji gigi juga cuma luka yang ringan
saja, pertarungan di dunia persilatan setiap saat ada kemungkinan jiwa akan
terancam. Kau memang berhati nurani baik, sebaliknya pihak lawan berhati jahat,
jika kau tadi sudah terbunuh, biarpun hatimu lebih baik seratus kali juga tidak
guna.”
Boh-thian termangu-mangu tak
bicara, akhirnya ia menggumam, “Paling baik kalau kau mengajarkan semacam
kepandaian padaku, kepandaian yang tidak dapat melukai atau membunuh orang,
sebaliknya juga tidak mungkin dapat dilukai atau dibunuh orang. Dengan demikian
kepada siapa pun kita akan berkawan saja dan takkan bermusuhan.”
“Omong kosong, ngaco-belo
belaka,” sahut Ting Tong dengan tersenyum getir. “Setiap orang yang belajar
silat, sekali sudah bergebrak tentu berarti mengadu jiwa. Memangnya kau sangka
cuma permainan anak kecil saja?”
“Aku lebih suka permainan anak
kecil daripada berkelahi dan mengadu jiwa,” ujar Boh-thian.
“Dasar orang linglung, sialan
bagi mereka yang bicara dengan kau,” omel Ting Tong dengan mendongkol. Saking
jengkelnya ia tidak gubris lagi pada anak muda itu, ia masuk ke dalam hanggar
perahu dan merebahkan diri.
“Nah, apa kataku? Betul tidak
buktinya? Sekali sinting tetap sinting. Ilmu silatnya tinggi tetap seorang
sinting, ilmu silatnya jelek juga tetap sinting. Bukankah lebih baik dibunuh
saja daripada membikin mangkel belaka,” demikian Ting Put-sam membubui.
Diam-diam Ting Tong bergerak
juga perasaannya, ia merasa bila Engkoh Thian itu selalu linglung begini, cara
bagaimana dirinya dapat hidup didampingnya selama hidup ini? Daripada tersiksa
lahir batin, memang ada lebih baik dibunuh saja seperti anjuran kakek dan
segala urusan menjadi beres.
Tapi segera terpikir pula
olehnya pada masa sebelum Engkoh Thian jatuh sakit, tatkala mana entah betapa
banyak katanya yang menarik dan manis sebagai madu, biarpun tak berkata
apa-apa, asal dia memandang sekejap saja pada dirinya, maka rasanya pandangan
itu pun penuh mengandung kata-kata yang merayu kalbu dan memabukkan.
Siapa duga sesudah berpisah,
kekasih yang dirindukan itu lantas jatuh sakit, kekasih yang pintar dan ganteng
itu lantas berubah menjadi seorang linglung dan ketololan sebagai tonggak kayu.
Makin dipikir makin kesal sehingga air matanya bercucuran, akhirnya ia
membenamkan kepalanya ke dalam selimut dan menangis sesenggukan.
“Apa gunanya menangis? Dengan
menangis toh takkan dapat mengubah seorang tolol menjadi pintar,” jengek Ting
Put-sam.
“Kalau aku mengubah seorang
sinting yang tolol menjadi seorang sinting yang pintar, boleh tidak?” sahut
Ting Tong dengan sengit.
“Ngaco-belo lagi!” semprot
Ting Put-sam.
Ting Tong masih terus
menangis, pikirnya, “Kalau melihat sikap dan tutur kata nona Hoa dari
Swat-san-pay itu, tampaknya dia toh belum diganggu oleh Engkoh Thian, jika
demikian, sifat kebangoran Engkoh Thian terhadap kaum wanita sekarang sudah
berubah, terang dia tidak mirip seorang laki-laki sejati pula. Bila aku menikah
dengan seorang suami yang kaku dan tolol sedemikian, lalu apakah aku bisa hidup
bahagia?”
Begitulah ia terus menangis
sampai setengah harian, terpikir olehnya dirinya secara resmi sudah menjadi
istri orang, selama beberapa hari ini mereka selalu bergaul dengan rapat, di
waktu tidur mereka pun selalu berdampingan, tapi jangankan hidup layak sebagai
suami-istri, sedangkan mencium saja, bahkan memegang tangan atau kakinya saja
tidak pernah dilakukan pemuda itu. Hidup sedemikian masakah mirip suami-istri
yang baru saja kawin?
Dalam pada itu terdengar suara
mendengkur Ciok Boh-thian yang lelap di buritan perahu, pemuda itu sedang
bermimpi di alamnya sendiri, seketika Ting Tong menjadi naik darah, diam-diam
ia mengeluarkan goloknya, pikirnya dengan mengertak gigi, “Suami yang tolol
sebagai tonggak kayu demikian apa gunanya dibiarkan hidup di dunia ini?”
Segera ia bangun dan menuju ke
buritan perahu, terdengar suara mendengkur si tukang perahu yang keras, Ciok
Boh-thian yang tidur tidak di sebelah tukang perahu itu ternyata tidak berasa
sama sekali, diam-diam Ting Tong mendongkol, katanya di dalam hati, “Engkoh
Thian, kau sendirilah yang telah berubah dan jangan salahkan aku berlaku
kejam.”
Ia angkat goloknya dan hendak
membacok ke leher pemuda itu. Tapi mendadak hatinya menjadi lemas, ia tertegun
sejenak, kemudian ia berjongkok dan perlahan-lahan menarik pundak Ciok
Boh-thian dengan maksud memandangnya untuk penghabisan kalinya sebelum ajal
pemuda itu.
Ketika Boh-thian membalik
tubuh, di bawah sinar bulan yang remang-remang tertampak mukanya bersenyum
simpul, entah impian manis apa yang sedang dialaminya. Kata Ting Tong di dalam
hati, “Sebentar lagi kau akan mati, biarkan kau menyelesaikan impianmu dahulu
barulah akan kubunuh kau, toh hanya dalam waktu tidak lama lagi kita akan
berpisah untuk selamanya.”
Maka Ting Tong lantas duduk
menunggu di samping Ciok Boh-thian, ia pandang muka pemuda itu, asal senyuman
yang tersimpul di muka pemuda itu sudah lenyap, segera goloknya akan membacok.
Selang sejenak, tiba-tiba
terdengar Ciok Boh-thian berkata dalam keadaan tak sadar, “He, Ting-ting
Ting-tong, sebab ... sebab apakah kau marah? Tapi ... tapi di waktu marah kau
menjadi ... menjadi lebih-lebih cantik, ya, lebih cantik, biarkan aku memandang
kau selama seratus hari seratus malam juga tidak cukup rasanya, bahkan seribu
hari, selaksa hari, sejuta juga ... juga tidak cukup ....”
Dengan tenang Ting Tong
mendengarkan igauan Ciok Boh-thian, pikirannya menjadi terombang-ambing,
katanya di dalam hati, “O, Engkoh Thian, kiranya di dalam mimpi kau selalu
terkenang padaku. Ucapanmu yang enak didengar ini jika kau katakan padaku di
waktu siang bukankah sangat baik? Ai, semoga penyakitmu yang linglung ini pada
suatu hari akan lenyap, pikiran sehatmu akan pulih kembali dan dapat
mengucapkan kata-kata manis seperti ini kepadaku.”
Tertampak olehnya papan perahu
di sebelahnya agak basah terkena air embun, baju yang dipakai Ciok Boh-thian
agak tipis, seketika timbul rasa kasih sayang si Ting Tong, segera ia ambil
sehelai selimut dan perlahan-perlahan diselimutkan ke atas badan pemuda itu.
Untuk sekian lamanya ia termangu-mangu pula memandangi muka sang suami, habis
itu barulah dia masuk kembali ke dalam kamar perahu.
Tiba-tiba terdengar Ting
Put-sam mengomel, “Tengah malam buta di dalam perahu ini ada seekor tikus kecil
yang gentayangan kian kemari, sudah kecil nyalinya, mau turun tangan tidak berani
lagi, huh, tiada berguna!”
Ting Tong tahu kelakuannya
tadi telah diketahui semua oleh sang kakek, tapi karena dia sedang senang
hatinya, maka sindiran orang tua itu sama sekali tak diambil pusing olehnya. Di
dalam hatinya hanya teringat ucapan Ciok Boh-thian tadi yang menyatakan, “Di
waktu marah kau menjadi lebih-lebih cantik, biarpun kupandang selama sejuta
hari juga tidak cukup.”
Mendadak Ting Tong tertawa
sendiri, katanya dalam hati, “Engkoh Thian ini memang linglung, sampai di waktu
mimpi juga tidak keruan ucapannya. Andaikan manusia dapat hidup seratus tahun
juga cuma ada 36 laksa hari, dari mana bisa mencapai sejuta hari lamanya?”
Begitulah si Ting Tong telah
sibuk semalam suntuk dengan sebentar senang dan sebentar sedih, sampai
menjelang pagi barulah dia dapat terpulas.
Tapi tidak lama ia sudah
terjaga bangun lagi oleh suara ribut Ciok Boh-thian, terdengar pemuda itu
sedang berteriak-teriak di belakang, “He, sungguh aneh ini! Oi, Ting-ting
Tong-tong, mengapa tadi malam selimutmu bisa lari sendiri ke atas badanku? Apa
barangkali selimutmu punya kaki?”
Ting Tong menjadi malu, cepat
ia melompat bangun dan memburu ke buritan perahu, terdengar Ciok Boh-thian
sedang berkata pula sambil memegangi selimutnya, “Ting-ting Tong-tong, coba
lihat, aneh atau tidak? Selimut ini ....”
Sebelum pemuda itu selesai
berkata si Ting Tong sudah lantas merebut kembali selimut itu sambil membentak
dengan suara tertahan, “Hus, omong yang bukan-bukan, selimut berkaki kenapa
mesti diherankan dan digegerkan?”
“Ada selimut berkaki kau
bilang tidak mengherankan? Di manakah letak kakinya selimut?” Boh-thian
menegas.
Sekilas Ting Tong melihat si
tukang perahu yang sudah tua itu dengan tersenyum-tak-senyum sedang melirik
kepada dirinya sambil mendayung, Ting Tong menjadi merah jengah mukanya,
omelnya kepada Ciok Boh-thian, “Mengoceh tak keruan!” Berbareng ia terus hendak
menjewer kuping pemuda itu.
Tapi tangan kanan Boh-thian
lantas menangkis, secara otomatis ia mengeluarkan sejurus Kim-na-jiu-hoat untuk
membela.
Waktu Ting Tong menggunakan
tangan lain hendak mencengkeram iga Boh-thian, segera Boh-thian menggunakan
siku kiri untuk menahan serangan, berbareng tangan lain digunakan untuk balas
mencengkeram pundak si nona.
Begitulah dalam sekejap saja
kedua muda-mudi itu telah bergebrak sampai belasan jurus. Makin lama makin
cepat serangan si Ting Tong, tapi Ciok Boh-thian juga melayani dengan penuh
perhatian, sedikit pun tidak ayal.
Sampai jurus ke-45, Ting Tong
telah menggunakan gerakan “Liong-hing-jiau” (cakar naga melayang) untuk
mencengkeram kepala Ciok Boh-thian, tapi pemuda itu sempat menangkis dengan
cepat luar biasa, rupanya Ting Tong tidak keburu menarik kembali tangannya
sehingga Hiat-to bagian pergelangan tangan kena tersabet oleh jari Boh-thian,
seketika lengannya terasa kaku pegal, suatu arus tenaga hangat terasa menyalur
dari lengannya terus ke pinggang, lalu dari pinggang mengalir ke kaki. Karena
tak bisa berdiri tegak lagi, Ting Tong jatuh terkulai dan kebetulan jatuh di
atas selimutnya.
Tiba-tiba timbul kejahilan
Boh-thian yang bersifat kekanak-kanakan, segera ia membungkus si Ting Tong
dengan selimut itu, lalu diangkatnya, katanya dengan tertawa, “Hayo, kenapa kau
menjewer kupingku? Biar kulemparkan kau ke dalam sungai untuk umpan ikan.”
Walaupun berpisah oleh sehelai
selimut, tapi seluruh badan si Ting Tong menjadi lemas lunglai di dalam
pondongan si anak muda, dengan malu dan girang ia menjawab, “Kau berani?”
“Mengapa tidak berani?” kata
Boh-thian dengan tertawa. Lalu ia bergerak pura-pura hendak melemparkan si Ting
Tong ke sungai. Tapi segera ia melemparkan tubuh si nona yang terbungkus
selimut itu dengan perlahan ke dalam hanggar perahu.
Dengan cepat Ting Tong
menerobos keluar dari bungkusan selimut, lalu berlari ke buritan perahu lagi.
Khawatir kalau diserang pula, cepat Boh-thian mundur selangkah sambil pasang
kuda-kuda dan siap bertempur.
“Sudahlah, tak mau main lagi,”
kata Ting Tong dengan tertawa. “Melihat lagakmu ini lebih mirip seorang dusun,
sedikit pun tidak memperlihatkan gaya sebagai seorang jago di dalam dunia
persilatan.”
“Memangnya aku bukan jagoan
dalam dunia persilatan,” sahut Boh-thian dengan tertawa.
“Kionghi, Kionghi,
Kim-na-jiu-hoat yang kau pelajari ini sekarang sudah terlatih dengan sangat
bagus, bahkan lebih lihai daripadaku, si murid telah melebihi sang guru,” kata
Ting Tong.
Tiba-tiba terdengar Ting
Put-sam berkata dengan nada mengejek di dalam hanggar perahu, “Tapi untuk
bertanding dengan jago Swat-san-pay yang bernama Pek Ban-kiam itu, hah,
selisihnya paling sedikit masih tiga pal jauhnya.”
“Yaya,” kata Ting Tong,
“sedemikian cepat majunya cara dia belajar, asal Yaya mau mengajar setahun atau
setengah tahun padanya, biarpun nanti bukan jago yang tiada tandingannya di
jagat ini, tapi paling sedikit juga dia takkan membikin malu sebagai cucu
menantumu.”
“Tidak, apa yang telah
diucapkan Ting Put-sam apakah pernah ditarik kembali atau diubah?” sahut sang
kakek. “Pertama aku sudah menyatakan, bila dia ingin ambil kau sebagai istri,
maka selamanya jangan mengharap belajar ilmu silatku. Kedua, aku memberi waktu
sepuluh hari padanya untuk mengalahkan Pek Ban-kiam, aku toh tidak mengatakan
setahun atau setengah tahun. Padahal lewat lima hari lagi jiwanya juga bakal
melayang, tiada gunanya bicara melantur-lantur lagi.”
Ting Tong merasa ngeri
membayangkan apa yang dikatakan sang kakek itu selamanya pasti dilakukan. Kalau
kemarin ia bermaksud membunuh Ciok Boh-thian dengan tangan sendiri, tapi
sekarang ia benar-benar keberatan kalau Engkoh Thian yang dikasihi itu terbinasa
di tangan sang kakek. Ia menjadi bingung.
Setelah dipikir bolak-balik,
akhirnya Ting Tong mengambil keputusan harus mencari jalan keluar melalui ke-13
jurus Kim-na-jiu-hoat yang telah dipahami Ciok Boh-thian. Maka dalam beberapa
hari ini, selain makan dan tidur, Ting Tong selalu bergebrak dan berlatih
dengan sang suami mengenai aneka macam perubahan dari Kim-na-jiu-hoat itu.
Sampai akhirnya Boh-thian benar-benar sudah paham dan hafal, biarpun tidak
dengan tenaga dalam yang kuat juga sudah mampu serang-menyerang dengan Ting
Tong dengan sama sekuatnya.
Sampai pagi hari kedelapan,
sesudah berdehem sekali, Ting Put-sam telah berkata, “Awas, tinggal tiga hari
saja.”
“Yaya,” kata Ting Tong, “kau
suruh dia mengalahkan Pek Ban-kiam, menurut pandanganku hal ini toh bukan
sesuatu yang sukar. Biarpun ilmu pedang Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay itu
cukup lihai, tapi juga masih bukan tandingan ilmu silat keluarga Ting kita,
Kim-na-jiu-hoat yang dilatih Engkoh Thian ini sudah cukup masak, tenaga
dalamnya bahkan sangat hebat, melulu dengan bertangan kosong saja dia sudah
dapat merebut pedang dari tangannya Pek Ban-kiam. Kalau dia dapat merebut
senjata lawan dengan tangan kosong, hal ini dianggap kemenangan atau tidak?”
“Huh, budak setan, bicara
seenaknya saja,” jengek Ting Put-sam. “Hanya dengan sedikit kepandaiannya ini
dia mampu merebut pedang dari tangannya Gi-han-se-pak yang tersohor itu? Ha,
lebih baik kau jangan mimpi di siang bolong. Sekalipun kakekmu sendiri dengan
bertangan kosong juga tidak mampu merebut pedang dari tangannya Pek Ban-kiam.”
Ting Tong menjadi
uring-uringan, katanya, “Ke sana kemari toh sama-sama akan mati, kalau berusaha
merebut pedang orang she Pek itu boleh jadi masih ada harapan akan berhasil
daripada mati konyol di tanganmu. Yaya, kau suruh dia mengalahkan Pek Ban-kiam
itu di dalam waktu sepuluh hari, tapi kalau di dalam sepuluh hari orang she Pek
itu tidak diketemukan, ini kan bukan salahnya Engkoh Thian?”
“Sekali kukatakan sepuluh
hari, maka tetap juga sepuluh hari,” sahut Ting Put-sam. “Pendek kata orang she
Pek itu pasti berada di sungai ini, apakah akan dia ketemukan atau tidak adalah
bukan urusanku, singkatnya kalau di dalam sepuluh hari dia tidak mengalahkan
orang she Pek itu, maka bocah she Ciok yang sinting inilah yang akan kubunuh.”
“Sekarang waktunya tinggal
tiga hari saja, ke mana harus mencari orang she Pek itu?” ujar Ting Tong. “Ai,
kau ... kau benar-benar keterlaluan dan tidak pakai aturan.”
“Kalau Ting Put-sam tidak
keterlaluan kan bukan Ting Put-sam lagi,” sahut si orang tua. “Boleh kau coba
cari tahu di kalangan Kangouw apakah selama ini Ting Put-sam kenal kasihan dan
bicara tentang aturan?”
Ting Tong menjadi bungkam. Di
dalam hari kedelapan dan kesembilan ini dia hanya mengajarkan Boh-thian
jurus-jurus “Say-cu-bok-tho” (singa lapar terkam kelinci), “Jong-eng-liak-khe”
(elang menyambar anak ayam), “Jiu-kau-nah-lay” (di mana tangan tiba lantas
diambilnya), dan “Tam-kiu-ju-but” (merogoh saku mengambil barang), keempat
jurus ini adalah khusus dipakai untuk merebut senjata yang lihai.
Pada hari kesembilan itu Ting
Put-sam selalu melirik-lirik Ciok Boh-thian dengan senyum mengejek dan
mencemoohkan.
Ting Tong tahu sang kakek
pasti akan membunuh Engkoh Thian pada hari kesepuluh, pada waktu ini jangankan
Ciok Boh-thian masih bukan tandingan Pek Ban-kiam, sekalipun ilmu silatnya
benar-benar dapat mengalahkan orang she Pek itu juga susah mencari lawan di
dalam waktu singkat di tengah sungai yang luas itu.
Lewat tengah hari, sesudah Ting
Tong berlatih pula sebentar dengan Ciok Boh-thian, tanpa merasa ia telah
berkeringat, ia telah mengambil saputangan dan mengusap keringat yang membasahi
hidung dan di atas bibirnya. Tiba-tiba ia menguap kantuk. Katanya, “Sudah bulan
kedelapan, hawa masih segerah ini!”
Kemudian ia duduk berjajar
dengan Boh-thian di tepi perahu, sambil menunjuk dua burung belibis yang sedang
berenang di tengah sungai sana ia berkata, “Engkoh Thian, coba lihat, alangkah
bebas dan bahagianya sepasang suami-istri itu berenang kian kemari di dalam
sungai. Kalau burung jantan itu dipanah mati umpamanya, burung betina itu akan
hidup merana sebatang kara, bukanlah sangat kasihan?”
“Ya, dahulu aku sering berburu
di pegunungan, di waktu menangkap burung aku tidak pernah pikirkan apakah
burung itu jantan atau betina, jika demikian halnya, kelak aku hanya memburu
burung betina saja.”
Ting Tong menghela napas
dengan rasa gemas-gemas dongkol, pikirnya, “Sungguh tolol Engkoh Thian ini.”
Saat itu ia merasa lelah, ia
bersandar di bahu Boh-thian sambil pejamkan mata, lambat laun ia terpulas.
“Ting-ting Tong-tong, apakah
kau sudah penat? Kupondong kau ke dalam kamar perahu saja, ya?” kata Boh-thian.
“Tak mau, aku ingin tidur
begini saja,” sahut Ting Tong dengan samar-samar.
Boh-thian tidak berani
membantah maksud si nona, terpaksa membiarkannya tidur bersandar di bahunya.
Terdengar pernapasan anak dara itu makin lambat dan makin panjang, tidurnya
semakin nyenyak. Rambutnya yang panjang bergosok-gosok di pipi kiri Boh-thian,
anak muda itu merasa geli dan nikmat tak terkatakan.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba
terdengar suara seorang yang sangat lembut sedang berkata padanya, “Aku bicara
padamu, tapi kau hanya boleh mendengarkan saja dan jangan mengangguk,
lebih-lebih tidak boleh bersuara, mukamu juga tidak boleh memperlihatkan rasa
heran dan kaget. Paling baik kau pun pejamkan mata dan pura-pura tidur saja,
kalau kau mengeluarkan suara mendengkur pula tentu akan lebih bagus lagi untuk
menutupi suara ucapanku.”
Dari suara itu Boh-thian
mengenali pembicara itu adalah si Ting Tong, semua ia terheran-heran dan
mengira anak dara itu sedang mengigau, tapi waktu ia meliriknya, tertampak bulu
mata si Ting Tong yang panjang itu sedikit bergerak, mendadak mata kirinya
terbuka dan mengedip dua kali padanya, lalu terpejam pula.
Boh-thian lantas sadar,
kiranya si Ting Tong ingin bicara apa-apa yang harus dirahasiakan dan tidak
boleh didengar oleh kakeknya. Maka Boh-thian lantas pura-pura menguap juga,
katanya, “Ahhham! Ngantuk!” Lalu ia pun memejamkan matanya.
Diam-diam Ting Tong bergirang,
ia pikir Engkoh Thian betapa pun toh bukan seorang tolol benar-benar, hanya
sekali diberi tahu saja sudah paham, suruh dia pura-pura tidur, dia lantas
berpura-pura dengan sangat mirip.
Kemudian Ting Tong lantas
membisiki Boh-thian, “Yaya mengatakan ilmu silatmu terlalu rendah, kelakuanmu
angin-anginan pula dan tidak sesuai untuk menjadi cucu menantunya. Batas waktu
sepuluh hari sudah akan habis sampai besok, kau pasti akan dibunuh olehnya.
Kita pun susah menemukan Pek Ban-kiam. Jalan satu-satunya sekarang ialah kita
harus melarikan diri dan sembunyi di pegunungan yang sunyi agar Yaya tidak
dapat menemukan kita.”
Diam-diam Boh-thian merasa
heran, “Tanpa sebab mengapa Yaya akan membunuh aku? Ah, dasar Ting-ting
Tong-tong ini masih kekanak-kanakan, ucapan kakek yang cuma berkelakar saja
dianggapnya sungguh-sungguh. Dia mengajak aku bersembunyi di pegunungan yang
sunyi agar tidak dapat ditemukan Yaya, ha, permainan ini menarik juga.”
Dalam pada itu terdengar Ting
Tong sedang berbisik pula, “Bila kita melarikan diri ke daratan, tentu kita
akan ditangkap kembali oleh Yaya dan susah terlepas lagi. Maka kau harus ingat
dengan baik-baik nanti tengah malam bila mendadak aku merangkul Yaya dengan
kencang sambil menjerit dan menangis, ‘O, Yaya, ampunilah Engkoh Thian,
janganlah kau membunuhnya!’ – Pada saat itu juga kau harus lekas memburu masuk
ke dalam hanggar perahu, tangan kananmu menggunakan jurus ‘Hou-jiau-jiu’
(cengkeraman cakar harimau) untuk memegang punggung kakek, sedang tangan kiri
dengan jurus ‘Giok-li-cui-ciam’ (si gadis ayu menyusup jarum) berbareng
pinggangnya harus dicengkeram. Ingat, asal terdengar aku menjerit, ‘Janganlah
kau membunuh dia,’ maka kau harus segera bertindak. Ingat yang baik, jurus ‘Hou-jiau-jiu’
dan ‘Giok-li-cui-ciam’. Saat itu Yaya telah kurangkul dengan kencang, seketika
dia tak dapat melawan, maka sekali pegang dengan tenaga dalammu yang kuat itu
tentu Yaya takkan bisa berkutik lagi.”
Diam-diam Boh-thian membatin,
“Si Ting Tong benar-benar sangat nakal, masakah suruh aku bermain gila pada
Yaya, entah nanti Yaya akan marah atau tidak? Ya, sudahlah, jika si Ting Tong
suka bergurau, biarkan aku menuruti dia saja. Rasanya permainan ini sangat
menarik.”
Lalu Ting Tong berbisik lagi,
“Cengkeramanmu itu nanti menentukan mati dan hidup kita berdua, maka kau harus
melakukannya dengan cepat dan tepat. Coba kau meraba ‘Leng-tay-hiat’ di
punggungku ini, jurus ‘Hou-jiau-jiu’ itu nanti harus mencengkeram di tempat
ini.”
Dengan tetap memejamkan mata
perlahan-lahan Boh-thian menggeser tangannya dan meraba perlahan di punggung si
anak dara.
“Ya, benar, di situlah
tempatnya,” kata Ting Tong. “Dalam keadaan gelap nanti, caramu menyerang harus
cepat, tempatnya harus jitu, dengan mati-matian aku akan merangkul Yaya dengan
kencang, asal kau dapat bertindak dalam waktu singkat tentu urusan akan menjadi
beres, sebaliknya kalau terlambat sehingga rencana kita disadari Yaya, tentu
kita akan celaka. Coba sekarang kau pegang pula ‘Koan-ki-hiat’ di pinggangku, jurus
yang digunakan adalah ‘Giok-li-cui-ciam’ yang dipakai hanya jari jempol dan
jari telunjuk saja, tenaga dalam harus digunakan melalui jari untuk menutuk
Hiat-to ini.”
Perlahan-lahan tangan
Boh-thian lantas menggeser ke samping bawah, dengan kedua jari yang dikatakan
itu perlahan-lahan ia memegang sekali “Koan-ki-hiat” di bagian pinggang si
nona. Sudah tentu sekarang dia tidak menggunakan tenaga dalam, maka jarinya
seakan-akan hanya mengilik-ngilik saja, memangnya si Ting Tong masih perawan
yang takut geli, karena ia menjadi tak tahan maka tertawalah dia terkikik-kikik
sambil membentak, “Hei, kau main gila apa?”
Ketika Ciok Boh-thian bergelak
tertawa, segera Ting Tong balas mengilik-ngilik iga pemuda itu.
Begitulah kedua muda-mudi itu
lantas bergurau sendiri dan tertawa haha-hihi melupakan kelakuan mereka yang
pura-pura tidur tadi.
Pada petang harinya, si tukang
perahu telah melabuhkan perahunya di dermaga sebuah kota kecil, dengan membawa
poci arak dia mendarat ke kota untuk membeli arak.
“Engkoh Thian, marilah kita
juga jalan-jalan ke kota,” ajak si Ting Tong.
“Hayo,” sahut Boh-thian.
Segera mereka mendarat dengan
bergandeng tangan. Kota itu sangat kecil, penduduk tiada lebih daripada seratus
rumah, belasan rumah di antaranya adalah pedagang-pedagang ikan.
Sampai di ujung kota sana,
melihat sekitar mereka tiada orang lain, Boh-thian telah berkata, “Yaya sedang
tidur di dalam perahu, kalau sekarang juga kita lantas angkat kaki dan
melarikan diri, apakah beliau dapat menemukan kita kembali?”
“Tidak semudah demikian,”
sahut Ting Tong dengan menggeleng. “Biarpun kita sudah berlari 20-30 li jauhnya
akhirnya pasti akan dapat disusul olehnya.”
“Memang, biarpun kau sudah
lari seratus atau seribu li juga akhirnya kami pasti dapat menyusul dan
membekuk kau,” demikian tiba-tiba suara seorang yang agak serak berkata di
belakang mereka.
Waktu Boh-thian dan Ting Tong
menoleh tertampaklah dua orang lelaki telah muncul dari balik pohon sana, kedua
orang itu yang satu tinggi dan yang lain pendek sedang menyengir ejek pada
mereka.
Boh-thian lantas kenal kedua
orang itu adalah Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu dari Swat-san-pay. Ia terkejut
dan merasa takut.
Kiranya sesudah orang-orang
Swat-san-pay memergoki jejak Ciok Boh-thian di perairan Tiangkang, bahkan dua
orang di antaranya berusaha menangkap Boh-thian, tapi diserang pemuda itu
sehingga luka parah. Sesudah mendapat laporan itu segera Pek Ban-kiam
menyebarkan para Sutenya untuk menguber melalui darat dan sungai.
Rombongan Houyan Ban-sian dan
Bun Ban-hu bertugas mengejar ke arah barat menuju ke hulu sungai. Tak terduga
di kota kecil inilah mereka dapat memergoki Ciok Boh-thian.
Houyan Ban-sian orangnya lebih
hati-hati, ia pikir pihaknya berdua belum tentu mampu melawan bocah she Ciok
ini, baru saja dia ingin melepaskan panah berapi sebagai tanda untuk memanggil
kawan-kawannya yang lain sebagaimana telah diperintahkan Pek Ban-kiam, tak
terduga Bun Ban-hu yang bertabiat berangasan itu sudah tidak tahan diri lagi
dan segera menegur Ciok Boh-thian. Ting Tong juga terkejut melihat munculnya
orang-orang Swat-san-pay, ia khawatir jangan-jangan Pek Ban-kiam juga berada di
sekitar situ, jika demikian, bila nanti Yaya memaksa Engkoh Thian harus
bertanding dengan orang she Pek itu kan urusan bisa runyam?
Segera ia memelototi Ban-sian
dan Ban-hu, semprotnya, “Kami sedang bicara sendiri, siapa suruh kalian ikut
menimbrung? Marilah Engkoh Thian, kita kembali ke perahu saja.”
Memang Boh-thian merasa jeri,
segera ia mengangguk setuju dan kedua orang lantas membalik tubuh hendak
bertindak pergi.
Biasanya Bun Ban-hu sangat
memandang hina kepada murid keponakan she Ciok ini, ia pikir kepandaian apa
yang kau miliki selama beberapa tahun saja bela jar di Leng-siau-sia? Jika
sekarang aku dapat menangkapnya, maka ini akan merupakan suatu pahala besar bagiku
dan tentu akan mendapat pujian dari Suhu. Maka ia lantas membentak pula,
“Hendak lari ke mana bocah she Ciok? Hayo, lebih baik ikut padaku saja jika kau
tidak ingin dihajar!”
Sambil berkata segera tangan
kirinya digunakan menjambret pundak Ciok Boh-thian.
Cepat Boh-thian mengegos ke
samping dan secara otomatis ia mengeluarkan Kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong
untuk menangkis cengkeraman Bun Ban-hu itu.
Sudah tentu Bun Ban-hu tidak
membiarkan tangannya beradu dengan tangan lawan, cepat ia tarik kembali dan
berbareng kakinya lantas menendang ke perut Ciok Boh-thian.
Boh-thian menjadi bingung
menghadapi tendangan itu, ia tidak tahu cara bagaimana harus menangkis atau
mengelakkan diri. Maklum, dalam hal tendangan sama sekali ia tidak pernah
belajar, Ting Tong hanya mencurahkan perhatiannya mengajarkan Kim-na-jiu-hoat,
terutama jurus “Hou-jiau-jiu dan Giok-li-cui-ciam” yang akan digunakan terhadap
kakeknya, tapi dalam hal cara bagaimana menghadapi serangan-serangan atau
tendangan dari golongan lain sama sekali tak diajarkan kepada pemuda itu.
Begitu pula dalam hari
terakhir ini Ciok Boh-thian juga melulu menghafalkan dengan sebaiknya
jurus-jurus “Hou-jiau-jiu” dan “Giok-li-cui-ciam,” maka dalam keadaan berbahaya
yang teringat olehnya juga kedua jurus itu.
Tapi sekarang dia berdiri
berhadapan dengan Bun Ban-hu, padahal kedua jurus itu khusus digunakan
menyerang bagian belakang tubuh lawan, terang tak cocok untuk dipakai. Tapi di
saat terancam bahaya ia menjadi tidak peduli apakah jurus-jurus serangan itu
cocok digunakan atau tidak, sekali kakinya menggeser, tahu-tahu ia telah
memutar ke belakang Bun Ban-hu.
Karena Lwekangnya sangat
tinggi, gerak-geriknya menjadi cepat dan gesit luar biasa sehingga langkahnya
itu dengan tepat justru berhasil menghindarkan tendangan Bun Ban-hu tadi,
bahkan dengan tangan kanan menggunakan “Hou-jiau-jiu” dan tangan kiri memakai
jurus “Giok-li-cui-ciam”, sekaligus ia cengkeram Leng-tay-hiat dan Koan-ki-hiat
di bagian pinggang lawan.
Dengan Lwekangnya yang lihai
itu, di mana dia mencengkeram, seketika Bun Ban-hu merasa tubuhnya menjadi
lemas lunglai, kontan roboh terjungkal.
Dalam pada itu baru saja
Houyan Ban-sian hendak ikut mengerubut maju, demi tampak Ciok Boh-thian telah
dapat mencengkeram Hiat-to penting di tubuh sang Sute dengan cara yang lihai,
dalam gugupnya Ban-sian tidak sempat melolos senjata lagi, tapi cepat ia
menghantam ke pinggang Ciok Boh-thian.
Karena tujuan hendak memaksa
agar Boh-thian melepaskan cengkeramannya kepada sang Sute, maka tenaga yang
digunakan Ban-sian ini adalah sekuat-kuatnya, maka terdengarlah suara “bluk”,
hampir berbareng juga terdengar suara “krak”, Houyan Ban-sian merasa kesakitan
sendiri, ternyata tulang lengannya telah patah sebaliknya Boh-thian hanya
merasa pinggangnya seperti tersodok perlahan oleh sesuatu, waktu ia melepaskan
tubuh Bun Ban-hu, ternyata jago Swat-san-pay itu sudah meringkuk kaku dalam
keadaan yang menyeramkan tampaknya.
Keruan Boh-thian terperanjat,
teriaknya, “Haya, celaka! He, Ting-ting Tong-tong, ken ... kenapa mendadak dia
kejang? Jangan-jangan dia ... dia sudah mati?”
Ting Tong tertawa, sahutnya,
“Engkoh Thian, kedua jurus itu telah kau mainkan dengan sangat bagus, cuma saja
langkahmu tadi agak tergesa-gesa dan gugup, sedikit pun tiada memperlihatkan
gaya seorang jagoan. Sesudah kau cengkeram, orang ini takkan mati, tapi akan
cacat untuk selama hidupnya, kedua kaki dan tangannya takkan bisa bergerak
lagi.”
Boh-thian tambah kaget, segera
ia memayang Bun Ban-hu sambil berkata, “Ai, ma ... maaf, aku ... tidak sengaja
membikin susah padamu. Lantas bagaimana baiknya? Ting-ting Tong-tong, dapatkah
kau mencari akal untuk menyembuhkan dia?”
Tapi Ting Tong lantas melolos
pedang yang tergantung di pinggang Bun Ban-hu, katanya, “Apa kau ingin dia
tidak terlalu menderita dalam hidupnya nanti? Itulah mudah, boleh sekali tebas
kau membinasakan dia saja.”
“Tidak, tidak boleh jadi!”
seru Boh-thian, dan saling gelisahnya ia sampai meneteskan air mata.
“Kalian berdua siluman cilik
ini, hendaklah tahu bahwa murid Swat-san-pay lebih suka dibunuh daripada
dihina,” teriak Houyan Ban-sian dengan gusar. “Hari ini kami berdua telah
terjungkal di tanganmu, jika mau bunuh hayolah lekas bunuh saja.”
Khawatir kalau si Ting Tong
benar-benar membunuh kedua orang itu, cepat Boh-thian merampas pedangnya dan
ditancapkan ke atas tanah, lalu katanya, “Ting-ting Tong-tong, lekas, lekas
kita kembali saja.” Segera ia tarik nona dan diajak pulang ke perahu mereka.
“Orang Kangouw suka mengatakan
Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang berhati keji dan bertangan gapah, membunuh
orang tidak kenal kasihan, mengapa sekarang tiba-tiba berubah alim?” demikian
Ting Tong mencemoohkan. “Engkoh Thian, sebaiknya kejadian barusan ini jangan
dikatakan kepada Yaya.”
“Baik, aku takkan bilang
padanya,” sahut Boh-thian. “Ting-tang Ting-tong, apakah dia benar-benar akan
... akan cacat untuk selama hidupnya?”
“Sudah tentu,” sahut Ting
Tong. “Kau telah cengkeram kedua Hiat-to penting di tubuhnya, kalau paling
sedikit tak bisa membikin dia cacat selama hidup, habis apa gunanya ke-18 jurus
Kim-na-jiu-hoat dari keluarga Ting kita yang tersohor ini?”
“Jika demikian lihainya
cengkeraman-cengkeraman itu, mengapa kau suruh aku nanti malam menggunakan
jurus-jurus keji ini untuk mencengkeram Yaya?” tanya Boh-thian.
“Engkoh tolol, tokoh macam
apakah Yaya kita itu? Masakan dapat dipersamakan dengan kaum keroco sebangsa
orang Swat-san-pay itu?” ujar Ting Tong. “Jika untung kau dapat mengerahkan
segenap tenaga dalam, paling-paling hanya akan membikin Yaya tak bisa berkutik
dalam dua-tiga jam saja, memangnya kau sangka begitu mudah Yaya dibikin cacat?”
Namun Boh-thian masih
bersangsi, ia menjadi ragu-ragu dan tidak tenteram.
Petangnya, sesudah si tukang
perahu menyediakan daharan, dengan kurang nafsu ia makan setengah mangkuk saja,
lalu duduk te-menung-menung.
Malam itu ia tak bisa tidur
nyenyak. Sampai tengah malam, benar juga tiba-tiba terdengar Ting Tong sedang
berseru di dalam kamar perahu, “O, Yaya, ampunilah jiwa Engkoh Thian, janganlah
membunuh dia! Janganlah membunuh dia!”
Cepat Boh-thian melompat
bangun dan berlari ke dalam hanggar perahu, dalam keadaan remang-remang
tertampak Ting Tong telah menyingkap badan bagian atas Ting Put-sam sambil
masih berseru, “Yaya, janganlah kau membunuh Engkoh Thian!”
Segera Boh-thian menjulurkan
tangannya dan bermaksud mencengkeram ke punggung Ting Put-sam sebagaimana telah
direncanakan si Ting Tong.
Tapi mendadak terbayang
olehnya keadaan menyeramkan tatkala Bun Ban-hu habis kena cengkeramannya itu,
seketika Boh-thian ragu-ragu, pikirnya, “Bila aku jadi mencengkeramnya sehingga
Yaya juga kaku kejang sebagai orang Swat-san-pay itu, wah, aku benar-benar akan
berdosa. Tidak, aku ... aku takkan melakukan hal demikian.”
Karena itu diam-diam ia lantas
mengundurkan diri dan kembali ke tempatnya untuk tidur lagi.
Semula si Ting Tong sudah
bergirang ketika melihat Boh-thian berlari ke dalam hanggar, siapa tahu
mendadak pemuda itu menjadi ragu-ragu, lalu mengundurkan diri keluar lagi,
rencana mereka menjadi gagal sama sekali, keruan Ting Tong menjadi gelisah dan
mendongkol pula.
Jilid 19
Sesudah merebah di tempatnya,
Boh-thian merasa jantungnya masih berdebar-debar. Selang sejenak, tiba-tiba
terdengar si Ting Tong lagi berseru pula, “Ai, Yaya, mengapa aku telah
merangkul badanmu? Tadi ... tadi aku mengimpi buruk seakan-akan Engkoh Thian telah
kau pukul hingga mati, kumohon engkau suka mengampuni jiwanya dan engkau tidak
mau. Tapi syukurlah itu hanya dalam impian saja.”
Boh-thian menjadi agak lega,
pikirnya, “Ting-ting Tong-tong sungguh pintar berdusta, rupanya khawatir Yaya
mencurigai diriku, maka dia telah mengarang omongan kosong tentang mimpi segala
untuk menutupi kejadian tadi.”
Tapi lantas terdengar Ting
Put-sam sedang menjawab, “Apakah kau mimpi atau tidak, pendek kata bila hari
sudah terang tanah, maka genaplah batas waktu sepuluh hari. Tinggal melihat dia
dalam hari terakhir dapat mengalahkan Pek Ban-kiam atau tidak.”
“Ai, kuyakin Engkoh Thian
pasti bukan seorang sinting,” kata Ting Tong sambil menghela napas.
“Ya, hati nuraninya sungguh
harus dipuji,” sahut Ting Put-sam. “Orang yang berhati nurani baik adalah orang
tolol, orang sinting, pantas kalau mampus. Ha, dengan Hou-jiau-jiu memegang
Leng-tay-hiat dan dengan Giok-li-cui-ciam mencengkeram Koan-ki-hiat, ai,
sungguh akal yang bagus, sungguh tipu yang baik.”
Ucapan Ting Put-sam ini
sekaligus membikin kaget baik Ting Tong yang berada di dalam kamar maupun
Boh-thian yang berada di buritan. Sungguh susah dipahami dari manakah sang
kakek mengetahui rencana mereka itu?
Masih mendingan si Boh-thian
yang tidak tahu apa-apa, sebaliknya Ting Tong sampai berkeringat dingin,
pikirnya, “Kiranya Yaya sudah mengetahui apa yang akan kulakukan, jika demikian
diam-diam tentu beliau sudah berjaga-jaga. Untunglah Engkoh Thian tidak jadi
turun tangan. Namun susah dibayangkan juga hukuman apa yang akan dijatuhkan
Yaya kepadaku?”
Di sebelah sana Ciok Boh-thian
percaya bahwa besok pagi Ting Put-sam benar-benar akan membunuhnya, dengan
seenaknya saja ia terpulas lagi dengan nyenyaknya.
Menjelang pagi,
sekonyong-konyong terdengar suara orang ribut-ribut di daratan sana. Ada orang
sedang berteriak, “Itu dia, di sini orangnya!” lalu ada yang menanggapi, “Ya,
betul! Itulah kepalanya.” – “Hayo, tangkap, jangan sampai siluman tua itu
meloloskan diri!”
Waktu Boh-thian bangun
berduduk, ia lihat di tepi sungai ada puluhan orang dengan penerangan obor
sedang berlari-lari ke samping perahu sambil membentak, “Di mana siluman tua
itu? Hayo, hendak lari ke mana siluman tua yang membikin celaka manusia itu?”
Rupanya Ting Put-sam juga
terjaga bangun oleh suara ribut-ribut itu, segera ia keluar dari kamar perahu
dan membentak, “Kurang ajar! Kalian ribut-ribut apa di sini dan mengganggu
tidurnya tuan besarmu?”
“Nah, inilah dia! Inilah
silumannya! Lekas semprot!” teriak seorang laki-laki.
Segera dari belakang laki-laki
itu maju ke depan dua kawannya yang membawa alat semprot yang terbuat dari
bumbung bambu, dengan mengincar ke arah Ting Put-sam segera mereka
menyemprotkan air darah.
Berbareng itu orang-orang yang
berada di tepi sungai sana serentak bersorak, “Nah, kena dia. Darah anjing
hitam telah tepat mengenai siluman tua itu, dia tak bisa menghilang lagi!”
Akan tetapi semprotan darah
anjing itu mana dapat mengenai tubuh Ting Put-sam? Mendadak orang tua itu
meloncat ke atas, pikirnya dengan murka, “Dari manakah datangnya orang-orang
gila ini? Masakah aku dianggap siluman dan hendak disemprot dengan darah anjing
hitam?”
Biasanya, biarpun orang lain
tidak mengganggunya, asal dia merasa gatal tangan, setiap saat dia juga suka
membunuh orang, apalagi sekarang, tanpa sebab orang lain berani mengganggunya,
keruan Ting Put-sam menjadi tambah murka dan tidak kenal ampun. Begitu tubuhnya
menurun kontan kedua lelaki yang membawa alat semprot tadi kena ditendang
mencelat menyusul tangannya menghantam pula, tanpa ampun lagi lelaki yang
pertama tadi juga terpental dan mati seketika di tepi sungai.
Ketika Ting Put-sam hendak
mengumbar angkara murkanya lagi, sekonyong-konyong dari belakang terdengar Ting
Tong mendengus padanya, “Yaya, Ce-jit-pu-ko-sam (satu hari tidak lebih tiga)!”
Ting Put-sam tertegun. Saking
gusarnya sampai dia hampir-hampir lupa kepada sumpahnya sendiri, yaitu menurut
julukannya yang menyatakan satu hari takkan membunuh orang lebih dari tiga.
Maka serangannya yang hampir dilontarkan lagi itu lantas dibatalkan.
Orang-orang itu ketakutan
setengah mati, serentak mereka berteriak-teriak dan lari sipat kuping. Hanya
dalam sekejap saja keadaan menjadi sunyi kembali meninggalkan tiga sosok tubuh
yang tak bernyawa, obor pun terlempar di sana-sini tak terurus.
Segera Ting Put-sam berkata
kepada si tukang perahu, “Lekas berangkat, kalau kedatangan orang lagi aku bisa
kewalahan membunuh mereka!”
Dengan tangan gemetar si
tukang perahu lantas mengangkat galah dan menolak perahunya ke tengah sungai,
lalu meluncurlah perahu itu ke depan. Darah anjing yang tidak mengenai tubuh
Ting Put-sam tadi telah menyemprot ke dalam perahu sehingga menimbulkan bau
anyir busuk.
Tiba-tiba Ting Put-sam menegur
si Ting Tong, “A Tong, bukankah kau yang main gila dalam peristiwa ini? Sebab
apa kau berbuat demikian?”
“Yaya,” sahut Ting Tong dengan
tertawa, “kau pegang janji atau tidak terhadap apa yang telah kau ucapkan?”
“Bilakah aku pernah mengingkar
janji?” sahut Ting Put-sam.
“Bagus!” kata Ting Tong. “Kau
mengatakan bahwa habis sepuluh hari bila Engkoh Thian tidak mengalahkan orang
she Pek itu, maka Engkoh Thian segera akan kau bunuh. Sekarang adalah hari
kesepuluh, terang dia tak dapat menemukan orang she Pek itu, akan tetapi tadi
kau sudah genap membunuh tiga orang.”
Ting Put-sam menjadi melengak,
semprotnya kemudian, “Budak setan, kiranya Yaya telah tertipu oleh muslihatmu.”
Ting Tong sangat senang,
dengan tersenyum-senyum ia berkata, “Ting-samya kita biasanya paling pegang
janji, kau mengatakan akan membunuh Engkoh Thian pada hari terakhir ini, akan
tetapi kau sudah membunuh tiga orang, orang keempat ini tentulah tak boleh kau
bunuh lagi. Yaya, jikalau kau tidak dapat membunuh dia, untuk seterusnya kau
pun tidak boleh membunuh dia lagi. Kulihat cucu menantumu ini toh bukan seorang
tolol sungguh-sungguh, nanti kalau kesehatannya sudah pulih kembali, dengan
sendirinya ilmu silatnya juga akan maju lebih pesat, pendek kata pasti takkan
membikin malu padamu.”
Mendadak Ting Put-sam
membanting kakinya sehingga papan geladak perahu itu terinjak satu lubang, lalu
teriaknya dengan gusar, “Tidak, tidak bisa! Sekarang juga Ting Put-sam sudah
merasa malu karena ditipu oleh seorang budak setan seperti kau.”
“Aku adalah cucu perempuanmu,
kita adalah sekeluarga, kenapa bicara tentang membikin malu apa segala? Toh
kejadian ini takkan kukatakan kepada orang luar.”
“Tidak bisa. Karena aku
ditipu, maka hatiku tetap tidak senang. Apakah kau akan katakan kepada orang
luar atau tidak bukanlah soalnya.”
Mendengar percakapan kedua
kakek dan cucu itu, baru sekarang Boh-thian tahu duduknya perkara. Kiranya
orang-orang yang datang membikin ribut dan menyemprot Ting Put-sam dengan darah
anjing hitam itu adalah permainan si Ting Tong yang sengaja didatangkan agar
sang kakek membunuh orang, bila sudah terpenuhi sumpah membunuh tiga orang
dalam sehari, maka orang tua itu tidak lagi membunuh dia.
Begitulah, maka ketika melihat
Ting Tong berjalan ke buritan dengan tersenyum simpul segera Boh-thian berkata,
“Ting-ting Tong-tong, untuk menolong jiwaku, sebaliknya kau telah korbankan
tiga jiwa yang tidak berdosa, bukankah ini ter ... terlalu kejam?”
Tiba-tiba Ting Tong menarik
muka, sahutnya, “Kematian mereka itu adalah gara-garamu, mengapa aku yang
disalahkan?”
“Gara-garaku?” Boh-thian
mengulangi dengan bingung.
“Mengapa tidak? Bukankah kita
sudah merancang dengan baik, tapi sampai detik terakhir kau tidak berani turun
tangan. Kalau tidak, tentu kita berdua sudah lolos dengan selamat dan tidak
perlu mengorbankan tiga jiwa orang yang tak berdosa itu.”
Boh-thian pikir apa yang
dikatakan si Ting Tong juga ada benarnya, seketika ia menjadi tak bisa bicara
pula.
“Hahahaha! Dapat sekarang,
dapat!” demikian tiba-tiba terdengar Ting Put-sam berseru dengan bergelak
tertawa, “Hei, bocah she Ciok, Yaya akan mencukil matamu dan akan memotong
kedua tanganmu supaya kau mati tidak dan hidup sempurna juga tidak, tapi akan
menjadi seorang cacat. Asal aku tidak mencabut nyawamu, maka aku tak dapat
dianggap melanggar sumpahku.”
Boh-thian dan Ting Tong
terkejut mendengar ucapan itu. Sebaliknya makin dipikir Ting Put-sam makin
senang, berulang-ulang ia berseru, “Ya, akal bagus, akal bagus! Aku takkan
membunuh kau, tapi akan membikin dia menjadi manusia bukan manusia dan setan
pun bukan setan. Nah, A Tong, cara demikian tentulah boleh bukan?”
Ting Tong menjadi susah
mendebatnya, terpaksa ia menjawab, “Hari kesepuluh ini toh belum berakhir,
boleh jadi sebentar lagi akan bertemu dengan Pek Ban-kiam dan sekali gebrak
nanti mungkin Engkoh Thian dapat mengalahkan dia.”
“Hahaha! Memang betul juga!”
seru Ting Put-sam sambil terbahak-bahak. “Urusan kita ini dilakukan dengan
adil, maka bolehlah kakek menunggu sampai tengah malam nanti baru turun
tangan.”
Ting Tong menjadi serbasusah
dan tak dapat menemukan sesuatu akal untuk menyelamatkan Boh-thian dari
kesukaran ini. Yang paling lucu adalah justru Boh-thian sendiri tidak sadar
kalau dirinya sedang terancam elmaut sebaliknya ia malah tanya kepada Ting
Tong, “Eh, Ting-ting Tong-tong, sebab apakah kau sedih, apakah ada kesukaran?”
“Tidakkah kau mendengar Yaya
mengatakan akan mencukil matamu dan memotong kedua tanganmu?” omel Ting Tong
dengan mendongkol.
“Ah, Yaya hanya bergurau saja
untuk menakut-nakuti kau, kenapa kau anggap sungguh-sungguh?” ujar Boh-thian.
“Apa sih gunanya dia mencukil mataku dan memotong tanganku?”
Dari dongkol Ting Tong menjadi
gemas, pikirnya, “Dasar tolol dan sinting, kalau selama hidup ini aku ikut dia,
rasanya juga tidak menyenangkan. Jika Yaya berkeras hendak membunuh dia, maka
biarpun dia mampus saja sudah.”
Tapi lantas teringat olehnya
bahwa sang kakek sekarang takkan membunuh pemuda itu lagi, sebaliknya akan
mencukil mata dan memotong kedua tangannya. Apabila dirinya kelak mendadak
berubah pikiran dan terkenang pula kepada kekasih ini, padahal kedua mata dan
tangannya tentu tak bisa dipulihkan kembali. Lalu apa gunanya aku bersuamikan
seorang yang cacat demikian?
Begitulah Ting Tong
termenung-menung memandangi bayangan sendiri yang terapung di permukaan air
bersama bayangan Ciok Boh-thian, makin lama makin memanjang mereka, ternyata
tanpa terasa hari sudah makin sore, sang surya sudah makin condong ke barat.
Dalam kesalnya tiba-tiba terpikir pula oleh Ting Tong, “Daripada suamiku yang
baik-baik dibikin cacat oleh Yaya, adalah lebih baik aku sendiri yang
mengerjakan dia saja.
Ketika berpaling, dilihatnya
duduk Ciok Boh-thian sedang membelakanginya, mendadak ia menjulurkan kedua
tangannya terus mencengkeram ke “Leng-tay-hiat” di punggung dan “Ko-an-ki-hiat”
di bagian pinggang, jurus-jurus lain yang digunakan adalah Hou-jiau-jiu dan
Giok-li-cui-ciam. Memangnya Ciok Boh-thian tidak berjaga-jaga, keruan ia lantas
kena dibekuk dengan mudah, seketika ia tak bisa berkutik.
Sebaliknya karena bekerjanya
tenaga dalam Ciok Boh-thian, maka Ting Tong juga tergetar dan terhuyung-huyung
ke belakang, hampir-hampir saja kecemplung ke dalam sungai. Cepat ia memegangi
atap kolong perahu dan memaki, “Yaya segera akan mencukil matamu dan memotong
kedua tanganmu, orang cacat demikian kalau hidup di dunia ini andaikan tidak
membikin malu kepada Yaya juga aku si Ting-ting Tong-tong yang merasa tiada
muka untuk berjumpa dengan orang. Maka tidak perlu Yaya yang turun tangan,
biarlah aku sendiri yang mencukil kedua biji matamu.”
Segera ia mengambil seutas
tambang layar di buritan, lalu kaki dan tangan Boh-thian diringkusnya dengan
kencang, bahkan ia terus membelebat Ciok Boh-thian mulai dari bahu sehingga
sampai bagian kaki, ia ikat badan pemuda itu dengan tambang layar itu selingkar
demi selingkar sehingga seluruhnya paling sedikit ada 50-60 lingkar, sampai
akhirnya badan Ciok Boh-thian mirip sebuah lemper raksasa.
Mestinya orang yang
dicengkeram Hiat-to penting seperti Ciok Boh-thian sekarang akan susah membuka
suara di dalam waktu satu-dua jam. Tapi dasar tenaga dalam Boh-thian mahakuat,
meski kaki dan tangannya tak bisa bergerak, tapi dia masih dapat bicara, maka
katanya, “He, Ting-ting Tong-tong, apakah kau bergurau padaku?”
Walaupun demikian dia
bertanya, tapi demi tampak sikap si Ting Tong yang galak dan bengis itu,
diam-diam ia pun tahu gelagat jelek maka matanya telah memantulkan sinar mata
yang mohon dikasihani.pTapi Ting Tong lantas menendang satu kali di pinggang
pemuda itu dengan gemas, dampratnya, “Hm, kau sangka aku bergurau padamu?
Kematianmu sudah di depan mata, tapi kau masih bermimpi? Huh, orang tolol sebagai
kau biarpun dicincang menjadi perkedel juga pantas.”
“Sret”, mendadak ia lolos
goloknya, ia gosok-gosok beberapa kali di pipi Ciok Boh-thian seperti orang
yang sedang mengasah senjata.
“Ting-ting Tong-tong, untuk
selanjutnya aku pasti akan turut kepada segala ucapanmu, hendaklah kau jangan
membunuh aku,” demikian Boh-thian memohon.
Tapi Ting Tong menjawab dengan
sengit, “Hm, mestinya aku bermaksud menolong jiwamu, tapi kau justru tidak
turut kepada pesanku, maka kau sendirilah yang cari mampus dan tak perlu
menyalahkan orang lain. Kalau sekarang aku tidak membunuh kau, tentu nanti juga
kau akan dibunuh Yaya. Kau adalah suamiku, bila harus dibunuh biarlah aku
sendiri saja yang melakukan, kalau orang lain yang membunuh suamiku, hidupku
tentu juga akan merana selamanya.”
“Ampunilah diriku, bolehlah
aku tidak menjadi suamimu,” mohon Boh-thian.
“Upacara nikah juga sudah
berjalan, masakah kau dapat membatalkan menjadi suamiku?” sahut Ting Tong.
“Pendek kata, lebih baik kau tutup mulut saja, kalau rewel-rewel lagi segera
kupenggal kepala anjingmu ini.”
Boh-thian menjadi ketakutan
dan tidak berani bersuara pula.
Maka terdengar Ting Put-sam
telah berkata dengan tertawa, “Haha, bagus, bagus! Cara demikianlah baru sesuai
sebagai cucu perempuannya Ting-losam. Nah, boleh lekas turun tangan saja,
sekali bacok bikin dia menjadi dua potong sudah.”
Si tukang perahu sampai
gemetar ketakutan ketika melihat si Ting Tong mengangkat golok hendak membunuh
orang, sampai-sampai kemudi yang dipegangnya menjadi menceng, perahunya menjadi
oleng.
Kebetulan pada saat itu dari
depan sedang meluncur tiba sebuah perahu kecil mengikuti arus sungai, karena
olengnya perahu yang ditumpangi Ting Put-sam itu, segera kedua kendaraan air
itu akan bertubrukan. Maka terdengar si tukang perahu di atas perahu kecil sana
telah berteriak-teriak khawatir, “Hai, belokkan kemudimu! Belokkan!”
Dalam pada itu sang surya
sudah hampir menghilang di ufuk barat, cahaya matahari senja menyorot di atas
golok yang dipegang si Ting Tong sehingga menimbulkan sinar gemerdep yang
menyilaukan matanya Ciok Boh-thian. Mendadak tangan si Ting Tong yang putih
halus itu mengayun ke bawah, “plok”, golok nona itu kena membacok di atas
geladak perahu yang cuma beberapa senti di sisi kepala Ciok Boh-thian.
Begitu goloknya membacok papan
geladak perahu, segera Ting Tong lepas tangan, dengan cepat ia angkat tubuh
Ciok Boh-thian terus dilemparkan sekuat-kuatnya menuju ke kolong perahu kecil
yang saat itu menyerempet lewat di sebelahnya.
Melihat cucu perempuannya
mendadak main gila, dengan gusar Ting Put-sam lantas membentak, “Apa yang kau
lakukan!” Cepat Ting Put-sam memburu keluar dan segera hendak menjambret tubuh
Ciok Boh-thian.
Namun sudah terlambat. Arus
sungai teramat kencang, kedua perahu dalam sekejap saja sudah berpisah belasan
meter jauhnya, betapa pun tinggi Ginkangnya Ting Put-sam juga tak dapat melompat
ke atas perahu kecil itu.
Dengan gusar ia menampar Ting
Tong sekali sambil berteriak kepada si tukang perahu, “Lekas putar kemudi,
putar balik ke sana dan kejar, lekas!”
Tapi arus sungai Tiangkang
teramat deras, untuk memutar kemudi dalam sekejap itu bukanlah pekerjaan yang
mudah.
Apalagi perahu kecil tadi
meluncur dengan cepat mengikuti arus, makin lama makin cepat dan makin jauh
sehingga susah dikejar lagi.
Ciok Boh-thian yang tubuhnya
diringkus kencang-kencang dengan tambang layar, ketika tubuhnya d lemparkan si
Ting Tong, ia merasa badannya berputar setengah lingkaran di atas udara, lalu
melayang ke depan, waktu turun mukanya menghadap ke bawah, ia merasa di mana
badannya jatuh adalah suatu tempat yang empuk dan tidak terasa sakit, hanya saja
keadaan di situ gelap gulita, segala apa tidak kelihatan.
Tiba-tiba terdengar suara
jeritan orang yang tertahan, Boh-thian sendiri tidak dapat bergerak, maka ia
pun tidak berani membuka suara. Ia diam saja sampai sekian lamanya,
perlahan-lahan hidungnya mengendus bau harum, rasanya seperti kembali berada di
atas tempat tidur di dalam kamarnya di markas Tiang-lok-pang.
Benar juga, sesudah tenangkan
diri, ia lantas merasa dirinya menggeletak di atas kasur, mukanya terbenam di
atas bantal, di samping bantal terasa ada kepala seorang lain lagi yang
berambut panjang, nyata seorang wanita adanya. Keruan Boh-thian terperanjat dan
menjerit.
Sekonyong-konyong Boh-thian
merasa belakang lehernya ditempel sesuatu yang dingin dan rada sakit pula, ia
tahu ada orang telah memasang senjata tajam di atas lehernya. Menyusul lantas
terdengar suara seorang wanita telah berkata, “Siapa kau? Apa kau adalah anak
muridnya siluman tua Ting Put-si?”
“Aku ... aku ....” sahut
Boh-thian dengan terputus-putus, ia sendiri tidak tahu cara bagaimana harus
menjawab.
Wanita itu menjadi gusar,
dampratnya pula, “Kau berani menyusup ke dalam perahu kami, tentu kau bukan
manusia baik-baik, biarlah nona binasakan kau saja.”
Habis berkata, segera ia
tambahkan tenaga tangannya sehingga Boh-thian merasa belakang lehernya
kesakitan.
“Ti ... tidak, bukan aku
sendiri yang datang ke sini, tapi ... tapi orang yang melemparkan aku kemari,”
seru Boh-thian.
“Hayo, lekas ... lekas keluar,
mengapa kau menyusup ke dalam ke dalam selimutku ini?” kata wanita itu.
Waktu Boh-thian coba-coba
merasakan, benar juga di depan dadanya adalah kasur, di atas punggung ada
selimut, mukanya menindih bantal, malahan di dalam kolong selimut terasa masih hangat-hangat.
Kiranya lemparan Ting Tong
tadi dengan tepat telah membikin Boh-thian menyusup ke dalam kolong perahu
kecil ini terus masuk ke dalam kolong selimut malah, yang paling runyam adalah
dari nada ucapan si wanita ini agaknya kolong selimut ini adalah miliknya.
Coba kalau Boh-thian tidak
diringkus dan dapat bergerak, tentu sejak tadi dia sudah melompat bangun dan
berlari keluar. Celakanya sekarang dia tertutuk Hiat-to yang penting dan tak
dapat bergerak sama sekali. Maka terpaksa ia hanya berkata, “Aku tidak dapat
bergerak, aku mohon dengan sangat padamu, silakan kau pindahkan aku keluar
saja, dorong aku keluar juga boleh, ya, depak aku keluar juga baik.”
Tiba-tiba terdengar suara
seorang wanita lain yang tua berkata di belakang sana, “Ngaco-belo apa keparat
itu? Lekas bacok mampus dia saja!”
“Nenek, kalau bunuh dia, tentu
di dalam kolong selimutku akan berlumuran darah, lantas ... lantas bagaimana?”
demikian sahut wanita yang semula.
“Setan alas dari manakah dia?”
kata si wanita tua dengan gusar. “He, keparat kau, lekas kau merangkak keluar!”
“Aku benar-benar tidak dapat
bergerak,” sahut Boh-thian. “Coba kalian lihat sendiri, aku telah dicengkeram
orang bagian Leng-tay-hiat dan Ko-an-ki-hiat, sekujur badan diikat kencang pula
dengan tali, untuk bergerak sedikit saja tidak dapat. Ai, ini nona atau nyonya,
silakan lekas bangun saja, kita tidur di dalam satu kolong selimut, rasanya me
... memang kurang pantas.”
“Nyonya apa? Aku masih gadis,
tahu!” semprot wanita pertama tadi. “Aku sendiri pun tidak dapat bergerak.
Nenek, hendaklah engkau mencarikan suatu akal bagiku saja, orang ini memang
benar-benar terikat kencang dengan tali-tali.”
“Ya, Lothaythay (nyonya tua),
aku pun mohon padamu, tolonglah kau menyeret aku keluar,” kata Boh-thian. “Ai,
aku ... aku telah membikin susah nona ini, sungguh aku merasa ... merasa tidak
enak.”
“Setan alas, masih bicara
muluk-muluk,” damprat si nenek dengan gusar.
“Nenek, bolehkah kita suruh si
tukang perahu menyeretnya keluar saja,” usul si nona.
“Tidak, tidak bisa, kalau
tukang perahu itu sampai masuk ke sini, tentu jiwa kita akan melayang,” sahut
si nenek.
Diam-diam Boh-thian membatin,
“Jangan-jangan Lothaythay dan nona ini pun diringkus orang dan tak bisa
berkutik seperti diriku?”
Rupanya nenek itu menjadi
gusar dan gelisah, tiada hentinya ia memaki, “Setan alas, keparat, mengapa kau
tidak pilih perahu yang lain, tapi justru cari mampus ke sini? Sudahlah, A Siu,
bunuh saja dia!”
“He, jangan, jangan! Darahku
sangat kotor, tentu akan merusak kolong selimut yang harum ini. Pula ... pula
kalau di kolong selimut ini terdapat mayat, tentu tidaklah baik,” demikianlah
Boh-thian berseru.
“Uh,” hanya terdengar suara
demikian, lalu Boh-thian merasa golok yang mengancam di belakang lehernya telah
terangkat pergi. Ia menjadi girang, pikirnya, “Rupanya nyali nona cilik ini
sangat kecil, biarlah aku menakut-nakuti dia lagi.”
Maka ia lantas berkata pula,
“Sekarang aku tak bisa berkutik, jika kau membunuh aku, tentu aku akan berubah
menjadi mayat hidup. Wah, betapa menakutkan bila kau tidur bersama mayat hidup.
Sekarang aku tak bisa bergerak, tapi sesudah menjadi mayat hidup tentu bisa
bergerak, dengan kedua tanganku yang kaku dan dingin aku akan mencekik
lehermu.”
Rupanya nona itu benar-benar
ketakutan atas obrolan Boh-thian itu, segera ia berkata, “Tidak, aku takkan
membunuh kau! Aku takkan membunuh kau!”
Selang sejenak si nona berkata
pula kepada si wanita tua, “Nenek, kita harus mencari suatu akal untuk
mengeluarkan dia dari sini.”
“Ya, aku sedang berpikir, kau
jangan banyak bersuara,” sahut si nenek.
Dalam pada itu hari sudah
malam, di dalam kolong perahu keadaan gelap gulita. Meski Boh-thian berada di
dalam selimut bersama si nona, tapi karena waktu dia dilempar masuk kebetulan
menceng di samping, maka tidak sampai menyentuh badan nona itu. Dalam kegelapan
sekarang dapat didengarnya suara napas si nona yang memburu, nyata nona itu
sangat khawatir dan cemas.
Sampai agak lama, si nenek
tetap tidak mendapatkan sesuatu akal apa-apa. Pada saat itulah mendadak dari
arah sungai sana terdengar suara suitan melengking tajam yang menyeramkan.
Belum lenyap suara suitan itu,
terdengarlah suara orang bergelak tertawa panjang, suaranya serak tua. Sambil
tertawa orang tua itu pun berseru, “Siau-jui, aku telah tunggu kau sehari
semalam, kenapa baru sekarang kau tiba?”
“Wah, celaka, nenek! Siluman
tua itu telah memapak datang, lantas bagaimana tindakan kita?” tanya si nona
dengan khawatir.
Si nenek mendengus sekali,
katanya, “Kau jangan bersuara lagi. Aku sedang mengumpulkan tenaga, asal aku
bisa bergerak sedikit saja segera aku akan ... akan terjun ke dalam sungai
daripada dihina oleh siluman tua itu.”
“Jangan ... jangan, nenek,”
kata si nona dengan cemas.
“Sudah kukatakan jangan
bersuara, masih kau mengganggu aku lagi,” semprot si nenek. “Nanti kalau nenek
terjun ke dalam sungai, kau akan ikut aku apa tidak?”
Untuk sejenak si nona merasa
sangsi, akhirnya ia menjawab, “Aku ... aku akan mati bersama nenek saja.”
“Baik!” kata si nenek. Habis
ini ia lantas tidak bicara lagi.
Boh-thian sendiri pernah dua
kali merasakan ketika Lwekangnya “tersesat”, pikirnya, “Kiranya Lothaythay dan
nona ini juga mengalami nasib seperti diriku, melatih Lwekang dan tersesat sehingga
tak bisa bergerak. Celakanya pada saat ini musuhnya telah mengejar tiba,
keadaan mereka benar sangat sulit.”
Dalam pada itu suara si orang
tua tadi terdengar pula dari hilir sungai sana, “Sekarang boleh kau pilih, mau
tanding pedang boleh, mau adu kepalan juga jadi, Ting-losi pasti akan
mengiringi, kau, kita boleh bertempur tiga hari tiga malam barulah
menyenangkan. Nah, Siau-jui, mengapa kau tidak menjawab?”
Dari suara orang tua itu
rasanya jaraknya sekarang sudah semakin mendekat lagi. Selang tak lama,
mendadak terdengar suara gemerencing rantai besi, menyusul lantas terdengar
suara gedubrak yang keras, suatu benda yang berat telah jatuh di atas perahu si
nenek. Kiranya dari kapal yang memapak dari depan itu telah dilemparkan sebuah
jangkar berantai. Seketika Boh-thian merasa badannya miring sebelah, rupanya
perahunya menjadi doyong karena tertimpa jangkar yang berat itu.
“Hei, hei! Mau apa itu?”
demikian si tukang perahu berteriak-teriak kaget.
Karena miringnya perahu, badan
Boh-thian lantas menggelinding ke samping, sebaliknya si nona juga lantas
menggelinding dan bersandar di badan pemuda itu.
“Wah, ini ... ini ....”
demikian Boh-thian ingin minta si nona jangan menempelkan tubuhnya itu, tapi
segera teringat nona itu pun serupa dirinya dalam keadaan tak bisa berkutik
maka kata-kata yang akan diucapkan itu lantas ditelan kembali.
Dalam pada itu terasa ada
orang melompat ke atas perahu mereka, hanya sekejap saja imbangan perahu itu
sudah pulih kembali.
“Siau-jui,” terdengar seorang
tua tadi berkata di haluan perahu, “sekarang aku sudah datang, apakah kita akan
segera bertanding?”
“Eh, jangan kau main begitu,
kedua perahu bisa berjungkir semua,” seru si tukang perahu di buritan dengan
khawatir.
Si orang tua menjadi gusar,
“Keparat, tutup bacotmu!” Segera ia angkat jangkar tadi dan dilemparkan
kembali.
Begitu dua perahu terpisah,
segera terhanyut ke hilir semua mengikuti arus.
Melihat betapa hebat tenaga
orang itu, jangkar besi yang bobotnya beberapa ratus kati dilemparkan kian
kemari dengan seenaknya saja, keruan si tukang perahu ternganga kaget dan tak
berani bersuara lagi.
“Nah, Siau-jui, aku telah
berada di haluan perahumu, lekas keluar,” demikian kata si kakek pula dengan
tertawa. “Aku takkan tertipu olehmu, aku tak mau masuk ke kolong perahu yang
mungkin telah kau siapkan perangkap.”
Mendengar itu Boh-thian dan
kedua wanita berada di dalam kolong perahu itu menjadi lega hatinya. Mereka
pikir kalau kakek itu tidak mau masuk ke kolong perahu, itu berarti dapat
mengulur tempo lebih lama lagi.
Tapi Boh-thian lantas teringat
lagi bila nanti si wanita tua sudah dapat mengumpulkan sedikit tenaga saja
tentu akan terjun ke dalam sungai bersama si nona cilik ini. Walaupun Boh-thian
belum pernah kenal kedua wanita itu, bahkan si nenek berulang-ulang ingin
membunuhnya, namun dasar sifat Boh-thian memang baik, ia tidak tega menyaksikan
nenek dan cucu perempuan itu mati secara mengenaskan.
Kebetulan saat itu telinga si
nona terletak di sisi mulutnya, segera ia membisikkannya, “Nona, kau harus
minta nenekmu jangan terjun ke sungai untuk membunuh diri.”
“Dia ... dia takkan menurut,
beliau pasti akan terjun,” sahut si nona dengan perlahan. Saking sedihnya air
matanya lantas bercucuran.
Sekali air mata sudah
bercucuran, maka susah dihentikan lagi, nona itu lantas menangis tersedu-sedu,
air matanya membasahi pula pipi Boh-thian.
“Ma ... maafkan aku, air ...
air mataku telah membikin kotor mukamu,” kata si nona dengan suara parau. Nyata
nona ini mempunyai perangai yang sangat lemah lembut dan halus budi.
“Ai, nona jangan main
sungkan-sungkan, hanya air mata saja tidak apa-apa,” sahut Boh-thian.
“Sesungguhnya aku tidak mau
mati,” kata si nona pula dengan perlahan. “Tetapi orang di haluan perahu itu
sangat kejam, nenek bilang lebih suka mati juga tidak sudi ditawan olehnya. O,
maaf, air mataku ... ah, kenapa kau pun menangis juga?”
“Aku menjadi terharu atas
tangisanmu, maka aku pun ikut-ikut menangis,” sahut Boh-thian.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara orang berbangkit, di pojok kolong perahu ada bayangan seorang
telah berduduk.
Semula Ciok Boh-thian mestinya
berada dalam keadaan tengkurap, tapi sesudah menggelinding, badannya sekarang
menjadi miring. Maka waktu melihat orang itu berduduk, ia menjadi khawatir,
dengan suara terputus-putus ia membisiki si nona, “Ne ... nenekmu sudah dapat
bergerak dia ... dia telah berduduk.”
Nona itu berseru khawatir,
segera ia bermaksud memegangi Boh-thian. Tapi dia sendiri tak bisa berkutik,
bahkan satu jari saja tak bisa bergerak, maka hanya hatinya yang gelisah, tapi
tak dapat berbuat lain.
Selang sejenak, terdengar
Boh-thian membisikinya lagi, “Dia ... dia telah menjulurkan tangannya hendak
menjambret kau.”
“Lekas ... lekas kau suruh dia
jang ... jangan pegang diriku ... aku takut ....” seru si nona. Tapi pada saat
itu juga punggungnya lantas terasa dicengkeram oleh sepasang tangan.
Karena tak bisa bergerak,
terpaksa Boh-thian hanya berseru, “Lothaythay, jangan kau mencengkeramnya, dia
tak mau mengiringi kau terjun ke dalam sungai. Tolong, tolong!”
Si kakek yang berada di haluan
perahu itu menjadi heran ketika mendadak terdengar suara seorang pemuda dari
dalam kolong perahu, bentaknya, “Siapa itu yang bergembar-gembor?”
Cepat Boh-thian menjawab,
“Lekas kau masuk kemari, lekas tolong orang. Lothaythay tidak dapat menandingi
kau, dia hendak terjun ke sungai untuk membunuh diri.”
Rupanya si kakek menjadi
terkejut, segera ia menghantam sehingga atap perahu tersingkap separuh, segera
tangannya mencengkeram sehingga lengan si nenek kena dipegangnya. Hawa murni si
nenek yang sudah terkumpul sedikit itu lantas buyar seketika terus roboh
terkulai.
Si kakek menjadi terkejut
sesudah memegang nadi si nenek, cepat ia tempelkan tangannya ke punggung si
nenek, katanya dengan khawatir, “He, Siau-jui, apakah kau melatih Lwekang dan
sesat jalannya? Mengapa tidak kau katakan sejak tadi, tapi sengaja bertahan.”
“Lepaskan diriku, jangan kau
pedulikan diriku! Lekas enyah dari sini!” seru si nenek dengan napas
terengah-engah.
“Denyut nadimu tak teratur,
keadaanmu sangat berbahaya, kalau tidak segera ditolong mungkin ... mungkin
bisa cacat untuk selamanya. Biarlah aku membantu kau,” demikian kata si kakek.
Tapi si nenek menjawab dengan
gusar, “Tidak, tidak perlu bantuanmu! Jika kau sentuh badanku lagi, biarpun aku
tak bisa bergerak, segera juga aku akan menggigit putus lidahku untuk membunuh
diri.”
Si kakek kenal watak si nenek
yang keras, berani berkata dan berani berbuat. Terpaksa ia membujuknya pula,
“Denyut nadimu di bagian tangan semuanya kacau tak keruan, untuk ini ....”
“Kau tak perlu urus,” sahut si
nenek. “Kau berkeras ingin menangkan diriku. Sekarang aku melatih Lwekang dan
tersesat, bukankah menjadi lebih baik bagimu dan terpenuhi cita-citamu?”
“Kita jangan bicara soal ini,”
ujar si kakek. “A Siu, kenapakah kau? Lekas kau menghibur nenekmu. Eh, ken ...
kenapa kau tidur di situ bersama seorang lelaki? Apakah dia kekasihmu?”
“Bu ... bukan!” A Siu dan
Boh-thian menjawab berbareng. “Kami tak bisa bergerak sama sekali.”
Si kakek merasa heran dan geli
pula. Segera ia seret Ciok Boh-thian keluar.
Tak terduga seluruh badan
Boh-thian terikat dengan kencang oleh tambang sehingga kaku lempeng, pinggang
tak bisa membungkuk, tangan tak bisa melengkung, karena diseret, seketika
tubuhnya terangkat menegak ke atas sehingga membuat kaget si kakek. Sesudah jelas
duduknya perkara, kakek itu terbahak-bahak geli, katanya, “A Siu, apa kau
kelaparan, maka kau menyimpan sebuah lemper raksasa di kolong selimutmu?”
“Bukan,” sahut si A Siu
cepat,” dia ... dia melayang masuk sendiri dari luar dan bukan ... bukan aku yang
menyimpannya.”
“Kau sendiri juga tidak bisa
bergerak, apakah kau pun ingin menjadi lemper raksasa?” kata si kakek.
Mendadak si nenek membentak
dengan bengis, “Jangan kau coba menyentuh A Siu atau segera aku mengadu jiwa
dengan kau.”
“Baik, aku takkan menyentuh
dia,” sahut si kakek. Lalu ia menoleh kepada si tukang perahu dan berkata,
“Juru mudi, putar haluan, pasang layar, kalau aku suruh kau berhenti harus
segera berhenti!”
Si tukang perahu tidak berani
membangkang, terpaksa ia menurut segala perintah itu.
“Apa yang hendak kau lakukan?”
seru si nenek dengan gusar.
“Aku akan membawa kau ke
Pik-lwe-san untuk merawat kau dengan baik-baik,” sahut si kakek.
“Tidak, mati pun aku takkan ke
Pik-lwe-san (gunung keong hijau),” bantah si nenek. “Aku toh tidak kalah
padamu, mengapa kau memaksa aku datang ke sarang anjingmu?”
“Bukankah kita sudah berjanji
akan bertanding di sungai Tiangkang ini. Kalau aku kalah, aku akan datang ke
rumahmu dan menyembah padamu. Sebaliknya kalau kau kalah, kau harus ikut ke
rumahku. Sekarang aku tak peduli apakah kau melatih Lwekang dan tersesat atau
kau kalah bertempur, pendek kata sekali ini kau harus ikut aku ke Pik-lwe-san.”
“Tidak, aku tidak mau ke sana!
Tidak ....” baru sekian si nenek menjerit dengan murka, mendadak napasnya
menjadi sesak, orangnya lantas pingsan.
“Hahaha! Mau tidak mau kau
harus ikut aku ke sana,” kata si kakek dengan tertawa. “Hari ini sudah terang
kau tak berkuasa lagi.”
“Eh, kalau dia tidak mau
pergi, mana boleh kau memaksa orang?” demikian Boh-thian telah menimbrung.
Si kakek menjadi gusar, “Siapa
suruh kau ikut-ikut kentut?” bentaknya, berbareng ia menampar ke muka Ciok
Boh-thian.
Tampaknya pemuda itu pasti
akan puyeng tujuh keliling kena tempelengan itu, boleh jadi giginya bisa rontok
pula semua. Tapi sekilas tiba-tiba si kakek melihat di pipi Boh-thian terdapat
sebuah cap tangan yang hitam gosong, ia menjadi tertegun dan menahan pukulannya.
Katanya dengan tertawa, “Aha, lemper raksasa, kukira siapa yang meringkus kau
sedemikian rupa, kiranya adalah perbuatan aku punya cucu keponakan perempuan
yang nakal itu. Bekas tamparan di mukamu ini bukankah adalah pukulan cucu
keponakan perempuan?”
“Cucu keponakan perempuanmu?”
Boh-thian menegas dengan bingung.
“O, barangkali kau belum tahu
siapa diriku ini? Aku adalah Ting Put-si, cucu keponakan perempuanku ialah
....”
“Ah, benar, Ting-ting
Tong-tong adalah cucu keponakan perempuanmu,” demikian sela Boh-thian. “Ya,
memang si Ting-ting Tong-tong yang telah menampar pipiku ini. Dia pula yang
telah meringkus aku dengan tali tadi.”
Jilid 20
“Hahahaha! Memangnya aku sudah
menduga di dunia ini selain si budak cilik A Tong itu tiada anak perempuan yang
demikian nakalnya,” kata Ting Put-si dengan tertawa terpingkal-pingkal. “Ehm,
bagus! Sebab apakah dia meringkus kau sekencang ini?”
“Kakeknya hendak membunuh aku,
katanya ilmu silatku terlalu rendah, aku dikatakan tolol dan sinting,” tutur
Boh-thian.
“Hahahaha!” Ting Put-si
terpingkal-pingkal pula sampai menungging dan memegangi perutnya yang sakit.
“Orang yang hendak dibunuh Losam, sekarang telah kepergok oleh Losi, maka ...
hahahaha!”
“Kau juga hendak membunuh
aku?” tanya Boh-thian dengan khawatir.
“Pikiran Ting-losi di dunia
ini siapakah yang dapat menerka?” ujar Ting Put-si. “Kau mengira aku hendak
membunuh, tapi aku justru tidak mau membunuh.”
Habis berkata ia lantas
mencengkeram tengkuk Ciok Boh-thian dan ditegakkan. Telapak tangan kanan
setajam pisau lantas bekerja berulang-ulang ia memotong tambang layar yang
meringkus badan Boh-thian itu sehingga berpuluh-puluh potong tali lantas jatuh
semua dalam keadaan terputus-putus.
“Wah, Loyacu, kepandaianmu ini
benar-benar sangat lihai. Kepandaian apakah ini namanya?” puji Boh-thian.
Dasar watak Ting Put-si memang
suka dipuji dan suka menang, pujian Ciok Boh-thian itu telah membuatnya senang
tidak kepalang. Sahutnya, “Kepandaianku ini sudah tentu sangat hebat, di dunia
ini mungkin tiada orang kedua lagi yang dapat menandingi kepandaian Ting Put-si
ini. Tentang nama kepandaian ini ....”
Mendengar bualan Ting Put-si
itu, si nenek yang baru saja siuman kembali segera mengejeknya, “Hm, tikus naik
di atas meja, membual dan memuji diri sendiri! Kepandaian Gway-to-cam-loan-moa
(pisau cepat memotong tali rami) seperti itu asal orang yang pernah belajar
dua-tiga jurus saja tentu akan dapat memainkannya. Kenapa mesti dibuat heran?”
“Fui!” semprot Ting Put-si.
“Asal orang yang pernah belajar dua-tiga jurus saja akan dapat memainkan jurus
Gway-to-cam-loan-moa ini? Nah, boleh coba kau memainkannya sekarang juga!”
“Kau tahu aku tak bisa
bergerak, maka sengaja bicara seenaknya,” sahut si nenek. “He, Lemper raksasa,
biarlah kukatakan padamu, jurus ‘Gway-to-cam-loan-moa’ ini di mana-mana dapat
kau saksikan, setiap penjual obat di pasar, asal kau memberi dia satu-dua picis
dan suruh dia memainkan jurus ini, maka dia tentu akan memainkannya bagimu,
tanggung caranya serupa dengan gerakan tua bangka ini tadi. Jurus ini adalah
kepandaian yang tak berarti, setiap penipu di dunia ini tentu juga bisa, kenapa
mesti dibuat heran?”
Ting Put-si paling benci kalau
orang mengolok-olok kepandaiannya, sekarang ucapan si nenek sedemikian
menghinanya, keruan ia menjadi murka, kontan tangannya mencengkeram ke pundak
si nenek.
“He, jangan main kasar!” seru
Boh-thian dan cepat tangannya memotong ke pergelangan tangan Ting Put-si, yang
digunakan adalah jurus “Pek-ho-jiu” (cakar bangau putih) dari ke-18 jurus
Kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong.
Kiranya sudah cukup lama dia
punya Hiat-to dicengkeram oleh si Ting Tong, dengan Lwekangnya yang kuat,
Hiat-to yang tertutuk itu sudah punah dengan sendirinya, sekarang tali layar
yang meringkusnya itu sudah putus semua, darah telah jalan lancar kembali, maka
seketika ia dapat bergerak dengan bebas.
Tangkisan Boh-thian itu
membuat Ting Put-si bersuara heran. Segera ia memutar tangannya untuk menggaet
lengan pemuda itu.
Namun Boh-thian sudah hafal
sekali meyakinkan ke-18 jurus Kim-na-jiu-hoat itu, segera ia pun ganti
serangan, telapak tangan kiri memukul, jari tangan kanan dipakai mencolok kedua
mata lawan.
“Bagus! Ini adalah
Kim-na-jiu-hoat ajaran Losam!” bentak Ting Put-si. Berbareng kedua tangannya
menolak ke depan untuk menahan kedua tangan pemuda itu.
Tapi mendadak kedua tangan
Ciok Boh-thian memutar dari kedua samping untuk menggecek Thay-yang-hiat di
kedua pelipis lawan. Namun secepat kilat kedua tangan Ting Put-si menerobos
dari bawah ke atas terus menyampuk keluar sehingga kedua lengan Ciok Boh-thian
terketuk.
Disangkanya benturan tangan
itu pasti akan membuat lengan Ciok Boh-thian patah seketika. Tak terduga begitu
keempat lengan beradu, Boh-thian tetap berdiri tegak tanpa bergerak. Sebaliknya
Ting Put-si sendiri merasa tubuh bagian atas seakan-akan kaku semua, “krak”,
tanpa merasa sebuah papan perahu telah patah kena diinjaknya, badan perahu itu
pun terombang-ambing ke kanan dan ke kiri beberapa kali.
Sama sekali Ting Put-si tidak
menduga bahwa bocah tolol ini memiliki tenaga dalam sedemikian hebatnya, cepat
ia mundur selangkah supaya tidak kejeblos ke dalam lubang papan yang patah itu
sambil bersuara heran lagi.
Semula Ting Put-si bersuara
heran karena di luar dugaannya Ciok Boh-thian ternyata mahir menggunakan
Kim-na-jiu-hoat dari keluarga Ting. Tapi ia bersuara heran pula dengan terkejut
karena getaran tenaga dalam pemuda itu telah membuatnya mundur selangkah dan
mematahkan papan perahu, ia merasa Lwekang anak muda ini benar-benar luar biasa
dan susah di ukur. Sungguh susah dimengerti entah dari manakah mendadak bisa
muncul seorang jago muda yang memiliki ilmu silat setinggi ini?
Walaupun benturan tangan tadi
Ting Put-si tidak mengeluarkan seluruh tenaganya, tapi pihak lawan seakan-akan
tidak merasakan apa-apa, sebaliknya dirinya telah menginjak patah papan perahu,
hal ini boleh dikata dirinya sudah kalah satu jurus. Pemuda ini sedemikian
lihainya, mengapa kena ditangkap oleh Ting Tong? Bahkan kena ditampar pula?
Begitulah seketika Ting Put-si menjadi ragu-ragu dan sangsi.
Di sebelah sana si nenek juga
heran dan terkejut. Tapi setiap ada kesempatan untuk mengolok-olok Ting Put-si
selalu digunakannya dengan baik, maka ia lantas tertawa. Sesudah terbahak-bahak
beberapa kali, maksudnya hendak bicara, tapi seketika napasnya menjadi sesak
dan susah mengeluarkan suara, terpaksa ia berkata dengan perlahan-lahan,
“Hahaha! Ter ... ha ... dap seorang bocah ... bocah tolol saja tidak ... tidak
bisa ....”
Ting Put-si menjadi gusar,
teriaknya, “Biarlah aku mewakilkan kau bicara saja. Kau hendak bilang: Terhadap
seorang bocah tolol saja tidak bisa menang bukan?”
Nenek itu tersenyum simpul dan
manggut-manggut membenarkan.
Tiba-tiba Ting Put-si
berpaling kepada Ciok Boh-thian, tanyanya, “Hei, Lemper raksasa, siapakah
gurumu?”
Boh-thian menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal, ia pikir meski Cia Yan-khek dan si Ting Tong pernah
mengajarkan ilmu silat padanya, tapi mereka bukanlah gurunya yang resmi, maka
jawabnya, “Aku tidak punya guru.”
“Ngaco-belo, habis kau punya
Kim-na-jiu-hoat ini kau mencuri belajar dari mana?” bentak Ting Put-si.
“Aku tidak mencuri belajar,
tapi si Ting-ting Tong-tong yang mengajarkan aku selama sepuluh hari,” sahut
Boh-thian. “Si Ting Tong bukan guruku, tapi adalah ... adalah ....”
Mestinya ia ingin menerangkan
bahwa “dia adalah istriku”, tapi ia merasa tidak enak, maka tidak diucapkannya.
Ting Put-si menjadi gusar, ia
memaki, “Keparat, kau bilang Kim-na-jiu-hoat ini si Ting Tong yang mengajarkan
kau? Huh, ngaco-belo!”
Dalam pada itu napas si nenek
sudah teratur kembar, segera ia menyindir lagi, “Orang Kangouw suka mengatakan
bahwa ‘Kedua jago keluarga Ting, yang satu adalah kesatria dan yang lain adalah
babi’. Sekarang dengan mataku sendiri aku telah menyaksikannya dan nyata memang
tidak salah kabar orang Kangouw itu.”
Ting Put-si berjingkrak
marah-marah, teriaknya, “Bilakah orang Kangouw mengatakan demikian? Huh, pasti
kau sendiri yang membuat-buatnya. Coba katakan, siapa yang kesatria dan siapa
yang babi? Ilmu silatku lebih tinggi daripada Losam, siapa orangnya di dunia
persilatan yang tidak tahu hal ini?”
Si nenek tidak berani bicara
terlalu buru-buru, maka dengan sekata demi sekata ia menjawab, “Si Ting Tong
adalah cucu perempuannya Ting-losam.
“Kepandaian Ting-losam
diajarkan kepada putranya, putranya mengajarkan kepada putrinya si Ting Tong
itu dan akhirnya si Ting Tong mengajarkan pula kepada bocah dogol ini. Malahan
bocah dogol ini cuma belajar sepuluh hari saja sudah mengalahkan Ting Put-si.
“Nah, boleh kau coba minta
pertimbangan setiap orang di dunia ini, sia ... siapakah ....” sampai di sini
napasnya kembali sesak lagi dan susah meneruskan.
Ting Put-si menjadi tidak
sabaran lagi, segera ia menyambung, “Biarlah kuwakilkan bicara, ‘Siapakah
sebenarnya yang kesatria dan siapa yang babi? Sudah tentu Ting-losam adalah
kesatria dan Ting-losi adalah babi’, bukan?”
“Ya, asal ... asal kau tahu
saja,” kata si nenek sambil memanggut dan tersenyum-senyum ejek.
Walaupun suara si nenek sangat
lemah tapi bagi pendengaran Ting Put-si terasa sangat menusuk, teriaknya pula,
“Siapa bilang si Lemper raksasa ini telah mengalahkan Ting Put-si? Hayo, mari,
mari, boleh kita coba-coba lagi! Kalau aku tidak ....”
Mestinya ia hendak mengatakan,
“Kalau aku tidak menghantam kau masuk ke dalam sungai di dalam 3 jurus saja,
biarlah aku menyembah padamu” dan lain-lain lagi. Tapi sebelum diucapkan ia
lantas ingat ilmu silat Ciok Boh-thian yang susah diduga itu, jangan-jangan di
dalam tiga jurus tidak dapat merobohkan dia, kan urusan bisa runyam? Kalau
menyatakan “di dalam sepuluh jurus”, rasanya juga tidak meyakinkan, sebaliknya
kalau bilang “di dalam 50 jurus” rasanya terlalu banyak, masakah dirinya
sebagai seorang tokoh ternama harus memerlukan 50 jurus baru dapat mengalahkan
murid cucu keponakan perempuan sendiri, lalu apakah dirinya masih dapat disebut
sebagai kesatria?
Sedikit Ting Put-si merandek
saja, kesempatan itu lantas digunakan si nenek untuk mengejeknya pula, “Boleh
kau katakan jika di dalam 200 jurus kau tidak mengalahkan dia, maka kau akan
menyembah dan mengangkat dia sebagai ....”
“Mengangkat dia sebagai guru,
demikian hendak kau katakan bukan?” teriak Ting Put-si dengan murka. Berbareng
ia terus meloncat ke atas, dari udara kedua tangannya lantas menghantam kepala
dan pundak Ciok Boh-thian.
Walaupun Boh-thian telah
mempelajari ke-18 jurus Kim-na-jiu-hoat, tapi dia hanya dapat mematahkan
serangan-serangan si Ting Tong saja, cara belajarnya bukan cara yang hidup,
cara menggunakannya juga tidak bisa cara hidup.
Maka ketika melihat kedua
tangan Ting Put-si menghantam dari atas, ia menjadi kelabakan, terpaksa ia
menjulurkan kedua tangan ke atas untuk melindungi kepalanya sendiri.
Pada saat lain “Tay-cui-hiat”
di kuduknya lantas terasa sakit dan ditumbuk oleh suatu tenaga yang kuat, nyata
telah kena pukulan lawan.
Tay-cui-hiat itu adalah
Hiat-to penghubung antara urat-urat nadi kaki dan tangan, dari situ seketika
timbul tenaga reaksi yang mahakuat. Kontan Ting Put-si merasa seluruh badannya
tergetar, tubuhnya lantas terpental balik. Waktu dia pandang Ciok Boh-thian,
pemuda itu ternyata tenang-tenang saja seperti tidak terjadi apa-apa.
Meski serangan ini tepat
mengenai Ciok Boh-thian, namun Ting Put-si sendiri malah terpental mundur, maka
tidak dapat dianggap kalah atau menang.
Tapi si nenek sudah lantas
menyindir lagi, “Ting-losi, orang sengaja membiarkan seranganmu mengenai dia,
tapi kau sendiri malah terpental, sungguh terlalu tidak becus. Teranglah hanya
satu jurus saja kau sudah kalah.”
“Mana bisa aku kalah?
Ngaco-belo!” sahut Ting Put-si dengan gusar.
“Umpama kau belum kalah, maka
boleh coba membiarkan dia menghantam kau punya Tay-cui-hiat, bila kau tidak
mampus dan dapat pula membikin dia terpental mundur maka kalian dapat dianggap
seri, sama-sama kuat.”
Diam-diam Ting Put-si memikir,
dengan tenaga dalam anak muda yang mahakuat ini, bila aku punya Tay-cui-hiat
kena dihantam, andaikan tidak binasa juga pasti terluka parah. Maka lantas
jawabnya, “Tanpa sebab buat apa aku membiarkan diriku dihantam? Kalau perlu kau
punya Tay-cui-hiat boleh coba kuhantam saja.”
“Huh, memangnya aku sudah tahu
si ‘Ting babi’ adalah pengecut, hanya mau menang sendiri, kalau disuruh
bertanding secara kesatria tentu tidak berani,” jengek si nenek.
Ting Put-si menjadi bungkam
karena sindiran si nenek kena betul isi hatinya. Dasar dia memang suka unggul,
biarpun kalah bicara juga tidak mau tunduk. Segera ia berkata lagi kepada
Boh-thian, “Marilah kita coba-coba lagi!”
“Tidak,” sahut Boh-thian. “Aku
hanya belajar sedikit kepandaian kepada Ting-ting Tong-tong, ilmu silat lain
aku tak paham sama sekali. Serangan-seranganmu yang ruwet tadi aku tak dapat
menangkisnya. Maka, biarlah anggap kau yang menang dan tak perlu bertanding
lagi.”
“Anggap kau yang menang”,
kata-kata ini sangat menusuk telinga Ting Put-si. Segera ia berseru, “Kalau
kalah bilang kalah, kalau menang ya menang, mengapa pakai anggap atau tidak
anggap? Sekarang aku akan membiarkan kau menyerang dahulu. Nah, lekas kau
mulai!”
“Tidak, aku tidak bisa,” sahut
Boh-thian sambil menggeleng.
Ting Put-si menjadi murka,
apalagi dari samping si nenek masih terus tertawa mengejeknya, segera ia
memaki, “Anak bedebah, kau tidak bisa, biar aku mengajar kau. Nah, lihatlah yang
jelas, jika kau memukul padaku cara demikian, aku lantas begini menangkisnya,
menyusul aku balas menyerang kau, kau lantas mengegos ke samping dan batas
memukul aku dengan kepalan kiri.”
Disuruh belajar memang Ciok
Boh-thian sangat cepat memahaminya. Maka ia lantas menurutkan gaya yang
diajarkan Ting Put-si, ia menyerang dahulu, lalu Ting Put-si balas menghantam.
Baru saja mereka bergebrak
empat jurus, ketika Ting Put-si memukul pula maka Boh-thian tidak tahu cara
bagaimana menangkisnya lagi, terpaksa dia terdiri tegak dan berkata, “Bagaimana
aku harus terbuat? Aku tidak tahu lagi.”
Ting Put-si merasa geli dan
mendongkol pula, katanya, “Kalau semuanya harus aku yang mengajarkan, lalu
bertanding apa lagi?”
“Memangnya aku bilang tak
perlu bertanding dan anggap saja kau yang menang,” sahut Boh-thian.
“Tidak, tidak bisa,” kata
Put-si. “Jika aku tidak menangkan kau dengan sungguh-sungguh, selama hidup ini
tentu aku akan ditertawai Siau-jui dan dianggap sebagai babi dan pengecut. Nah,
ingatlah yang baik, bila aku sampai memukul begini, maka kau tidak perlu
menangkis, tapi menggeser maju terus balas menusuk perutku dengan jarimu.
Serangan balasan ini sangat lihai dan terpaksa aku harus menarik kembali
pukulanku untuk menghindari seranganmu.”
Begitulah Ting Put-si sambil
berkata sambil bergaya memberi contoh, Ciok Boh-thian juga mengingatnya dengan
baik. Sesudah paham lalu kedua orang bergebrak lagi dari permulaan jika sudah
terpakai habis jurus-jurus ajaran Ting Put-si, lalu Boh-thian berhenti dan
terpaksa Put-si mengajarkan lagi, lalu mulai bergebrak dan begitu seterusnya
sehingga tanpa merasa lelah berlangsung sampai ratusan jurus, tapi Ting Put-si
tetap susah merobohkan Boh-thian, walaupun jurus-jurus yang digunakan anak muda
itu adalah ajarannya.
Lama-kelamaan Ting Put-si
menjadi gelisah. Apalagi si nenek masih terus mencemoohkan dari samping,
sehingga Ting Put-si tidak berani main licik, terpaksa ia mengajarkan
jurus-jurus serangannya dengan sungguh-sungguh. Dasar ingatan Boh-thian sangat
baik, Lwekangnya sangat kuat pula, terpaksa Ting Put-si harus melayani dengan
semangat, pertarungan demikian menjadi tidak kalah hebatnya daripada dahulu
tatkala dia bertanding melawan si nenek.
Sesudah beberapa puluh jurus
lagi, sementara itu fajar sudah menyingsing. Ting Put-si menjadi tidak sabar
lagi, mendadak ilmu pukulannya berganti, ia mengeluarkan jurus
“Kat-ma-peng-coan” (kuda haus berlari ke sumber air) yang telah diajarkan
permulaan tadi, mendadak ia menubruk maju sambil menghantam.
“He, he! Salah! Urut-urutannya
salah!” teriak Boh-thian.
“Peduli urut-urutannya salah
apa segala? Asal jurus yang pernah kuajarkan saja tadi kan sudah jadi?” sahut
Ting Put-si.
Namun demikian Boh-thian juga
belum lupa harus mematahkan serangan Ting Put-si itu dengan jurus
“Hun-tiap-pian-hui” (kupu-kupu terbang menari di angkasa) ajaran Ting Put-si
tadi, cepat ia melompat ke samping.
Menurut rekaan Ting Put-si,
asal pemuda itu didesak mundur sehingga kecemplung ke dalam sungai, maka itu
berarti dia sudah menang dan betapa pun Siau-jiu (si nenek) tiada alasan untuk
menyindirnya lagi. Maka cepat ia mendesak maju, dengan jurus
“Heng-sau-jian-kun” (menyapu seribu prajurit), kedua tangannya berbareng
memotong dari samping.
Tapi Boh-thian lantas
menggunakan jurus “Ho-hong-se-uh” (angin halus hujan gerimis) untuk
menghindarkan serangan lawan yang membadai. Namun terpaksa ia mesti mundur lagi
setindak sehingga sebelah kakinya telah menginjak di atas tepi perahu.
Ting Put-si sangat girang.
“Turunlah!” bentaknya sambil menyerang dengan gerak tipu “Ciong-koh-ce-bin”
(genderang menggema serentak), kedua kepalan sekaligus hendak menghantam kedua
pelipis Ciok Boh-thian.
Kalau menurut kepandaian
ajaran Ting Put-si tadi, maka Boh-thian terpaksa harus melangkah mundur untuk
memberi tangkisan. Akan tetapi sekarang dia tiada jalan mundur lagi, kalau
melangkah mundur berarti terjerumus ke dalam sungai. Dalam gugupnya tanpa pikir
lagi Boh-thian lantas menggunakan kepandaian yang paling dipahami ajaran si
Ting Tong dahulu, segera ia menggeser ke samping sehingga berbalik berada di
belakang Ting Put-si, berbareng tangan kanan menggunakan jurus “Hou-jiau-jiu”
untuk mencengkeram “Leng-tay-hiat” dan tangan kiri memakai jurus
“Giok-li-cui-ci-am” untuk memegang “Koan-ki-hiat” sekali tangannya kena
memegang sasarannya, seketika pula tenaga dalamnya yang mahadahsyat juga
bekerja.
Tanpa ampun lagi Ting Put-si
menjerit sekali, kontan ia roboh terkulai di atas geladak perahu.
Padahal biarpun Lwekang pemuda
itu teramat kuat, betapa pun juga susah merobohkan Ting Put-si yang tergolong
jago kawakan itu. Soalnya Ting Put-si terlalu memandang enteng kepada
Boh-thian, disangkanya pemuda itu pasti akan menggunakan jurus ajarannya untuk
menangkis serangannya, untuk mana pemuda itu pasti akan terdesak masuk ke dalam
sungai. Tak terduga olehnya bahwa pemuda dogol ini mendadak bisa ganti tipu
serangan, bahkan yang digunakan adalah tipu serangan yang telah dipelajarinya
dengan masak betul sehingga Ting Put-si sama sekali tiada kesempatan untuk
menghindar, malahan tenaga dalam Ciok Boh-thian juga sedemikian lihainya
sehingga Ting Put-si tak dapat menahannya.
Kejadian di luar dugaan ini,
bukan saja Ting Put-si dan Ciok Boh-thian sendiri terkejut, bahkan si nenek
juga melongo kaget. Tapi ia lantas terbahak-bahak beberapa kali, tiba-tiba
napasnya sesak, lalu jatuh pingsan lagi dengan mata mendelik.
Keruan Boh-thian terperanjat,
cepat ia berseru, “He, Lothaythay, ken ... kenapakah kau?”
Si nona yang tak bisa berkutik
dan berada di dalam kolong perahu itu dengan sendirinya tidak dapat mengikuti
apa yang terjadi di luar itu, ketika mendengar suara seruan Boh-thian yang
gugup itu, segera ia bertanya, “Toako itu, bagaimanakah dengan nenekku?”
“Dia ... dia telah pingsan,”
sahut Boh-thian dengan tak lancar. “Sekali ini tampaknya ... tampaknya agak
berat, mungkin ... mungkin susah sadar kembali.”
“Ha, kau maksudkan nenek telah
... telah meninggal?” tanya si nona dengan khawatir.
Boh-thian coba memeriksa
pernapasan hidung si nenek, lalu menjawab, “Napasnya sih masih bekerja, cuma
... cuma melihat gelagatnya agak ... agak berat.”
“Berat bagaimana?” tanya pula
si nona.
“Wajahnya pucat sebagai
mayat,” tutur Boh-thian. “Ah, biarlah aku memondong kau keluar untuk melihatnya
sendiri.”
Sebenarnya si nona merasa
rikuh dipondong pemuda itu, tapi sesungguhnya ia sangat mengkhawatirkan
keselamatan neneknya. Sesudah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia berkata, “Baiklah!
Tolong engkau suka memayang aku keluar.”
Selama hidup Ciok Boh-thian
belum pernah mendengar orang bicara sedemikian halus dan sopan padanya. Keruan
ia sangat senang. Biasanya kalau orang-orang Tiang-lok-pang bicara padanya
sikapnya sangat hormat dan takut-takut, hanya kata-kata si nona inilah terasa
sangat “sreg” dan enak bagi pendengarannya.
Maka perlahan-lahan ia lantas
memondong nona itu, ia membungkus tubuhnya dengan sehelai selimut tipis, lalu
membawanya ke haluan perahu.
Waktu melihat neneknya dalam
keadaan pingsan, si nona telah menjerit khawatir. Serunya, “Toako ini, sukalah
engkau tolong menyalurkan sedikit ... sedikit tenaga dalam ke tubuh nenek
melalui ‘Leng-tay-hiat’ di punggungnya. Permohonan ini agak melampaui batas,
sungguh aku merasa tidak enak.”
Mendengar suara si nona yang
lemah lembut dan merdu itu, tanpa terasa Boh-thian menunduk dan mengamati-amati
mukanya. Saat itu sang surya baru saja memancarkan sinarnya yang
gilang-gemilang, maka tertampaklah dengan jelas raut muka si nona yang bundar
telur, cantik molek, terutama sepasang matanya yang besar juga sedang memandang
padanya dengan sorot matanya yang sayu rawan.
Ketika sinar mata kedua orang
kebentrok, maka si nona menjadi merah jengah.
Karena tidak dapat berpaling
ke arah lain, terpaksa dia pejamkan mata.
Sebaliknya Ciok Boh-thian
tanpa merasa telah berkata, “Kiranya kau juga sedemikian cantiknya, nona!”
Muka si nona tambah merah.
Karena jarak muka kedua orang terlalu dekat, ia tidak berani membuka suara,
sebab khawatir bau mulutnya menyembur ke muka Ciok Boh-thian, maka dia diam
saja dengan menutup mulut kencang-kencang.
Sesudah terkesima sejenak,
kemudian Boh-thian berkata, “O, maaf!”
Segera ia menaruh tubuh si
nona, lalu menggunakan telapak tangannya untuk memegang Leng-tay-hiat di
punggung si nenek, sebenarnya ia tidak tahu cara bagaimana harus menyalurkan
tenaga dalam sebagaimana diminta oleh si nona, maka dia hanya menggunakan cara
mencengkeram Hiat-to itu dengan “Hou-jiau-jiu” ajaran si Ting Tong, segera ia
mengerahkan tenaga.
Mendadak si nenek menjerit
sekali dan siuman kembali. “Anak dogol, apa yang kau lakukan?” omelnya kepada
Boh-thian.
“Nona ini minta aku
menyalurkan tenaga kepadamu dan kau ter ... ternyata sudah sadar kembali,” sahut
Boh-thian.
“Kau justru telah menutup aku
punya Hiat-to di punggung, masakah cara ini kau katakan hendak menyalurkan
tenaga padaku?” damprat si nenek.
“O, aku ... aku memang tidak
bisa, harap engkau suka mengajarkan padaku,” pinta Boh-thian dengan
kemalu-maluan.
Rupanya karena cengkeraman
Boh-thian tadi sehingga membikin si nenek tergetar sadar, semula ia sangat
marah, tapi ia lantas tahu juga Lwekang anak muda itu ternyata sangat kuat, ia
pikir apa barangkali bocah tolol ini telah makan sesuatu buah-buahan atau
tumbuhan ajaib sehingga membikin tenaga dalamnya menjadi kuat, tapi dia justru
tidak tahu cara menggunakan tenaga dalam itu.
Sekarang aku melatih Lwekang
dan tersesat, mungkin berkat tenaga dalamnya yang kuat dapat membantu aku
menembuskan urat-urat yang tersumbat di dalam badanku, asal jalan nadi sudah
lancar, untuk kesembuhan selanjutnya aku dapat melakukannya sendiri.
Begitulah maka ia lantas
berkata, “Baiklah, akan kuajarkan padamu. Hendaklah kau himpun dulu tenagamu ke
dalam perut, bila sudah merasakan suatu arus hawa hangat mulai bergolak, maka
dapatlah kau salurkan ke mana pun menurut pikiranmu. Nah, untuk pertama kali
hendaklah kau menyalurkan hawa hangat itu ke nadi Siau-yang-meh di telapakan
tanganmu.”
Segera Boh-thian melakukannya
sesuai dengan petunjuk itu, maka dengan mudah saja ia telah dapat menyalurkan
tenaga dalamnya ke telapak tangan. Hendaklah maklum bahwa “Lo-han-hok-mo-kang” yang
telah diyakinkan sebelumnya itu adalah Lwekang paling tinggi dari Siau-lim-pay
yang serbaguna dan dapat dikerahkan menurut keinginannya, soalnya dahulu ia
tidak tahu cara bagaimana menggunakan Lwekang itu sehingga mirip seorang
hartawan memiliki harta karun segudang penuh, namun tidak menemukan kunci untuk
membuka pintu gudang harta karunnya. Tapi sekarang sesudah mendapat petunjuk si
nenek dan dilakukannya dengan baik, maka tenaga dalamnya lantas membanjir
keluar laksana air bah melanda.
Sedemikian hebat bekerjanya
Lwekang Ciok Boh-thian sehingga si nenek merasa kewalahan, ia berseru, “Tahan,
tahan dulu, per ... perlahan-lahan saja ....” belum habis ucapannya, mendadak
ia muntahkan sekumur darah hitam kental.
Boh-thian terperanjat, serunya
cepat, “He, kenapa? Apakah keliru caraku?”
“Toako ini, nenek minta kau
lambatkan tenaga yang kau salurkan itu dan jangan terburu-buru,” kata si nona
yang menggeletak di samping itu.
“Tolol,” demikian si nenek
mengomel, “apakah kau ingin membikin jiwaku melayang? Kau harus menyalurkan
tenagamu sedikit demi sedikit, sesudah aku bernapas, lalu kerahkan pula
tenagamu.”
“O, ya, ya!” sahut Boh-thian.
Dan baru saja ia hendak
lakukan menurut permintaan si nenek, tiba-tiba terlihat Ting Put-si telah
melompat bangun sambil berteriak, “Bedebah, keparat! Hayo, kita bertanding
lagi, yang tadi tak bisa dihitung!”
“Huh, tua bangka yang tidak
tahu malu! Mengapa yang tadi tak bisa dihitung? Sudah terang kau telah kalah,
bukan?” demikian si nenek menanggapi. “Coba kalau tadi dia tambahkan sekali
hantam lagi atau membacok kepalamu dengan golok, apakah jiwamu masih ada sampai
saat ini?”
Ting Put-si merasa di pihak
yang salah, maka ia tidak berani bertengkar mulut lagi dengan si nenek. Tanpa
bicara ia terus menghantam pula ke arah Ciok Boh-thian sambil membentak, “Jurus
ini tadi telah kuajarkan padamu, tentunya kau sudah paham, bukan?”
Lekas-lekas Boh-thian
mematahkan serangan Ting Put-si dengan jurus ajaran orang tua itu pula.
Tapi Ting Put-si lantas
menyerang pula sambil membentak, “Dan jurus ini pun sudah kuajarkan tadi, tentu
kau tak bisa mengatakan aku main licik dan mau menang sendiri.”
Ternyata setiap serangannya
memang betul-betul adalah jurus yang dia telah ajarkan kepada Ciok Boh-thian
tadi, dengan demikian dia hendak perlihatkan kepada si nenek bahwa dia tetap
pegang janji sebagai seorang kesatria. Namun tentang dia kena dicengkeram
pemuda itu tadi sehingga jatuh kalah, untuk ini sepatah kata pun dia tidak
menyinggung.
Makin lama makin cepat,
sesudah belasan jurus mulut Ting Put-si menjadi kewalahan atas kecepatan
serangannya sendiri, maka dia hanya membentak-bentak, “Ini sudah kuajarkan,
sudah kuajarkan, sudah kuajarkan!”
Karena serangan-serangan kilat
itu, biar bagaimana pintarnya Ciok Boh-thian juga tak dapat melayani dengan
baik, hanya beberapa jurus saja ia sudah kelabakan dan tampaknya akan segera
dirobohkan oleh Ting Put-si.
Untunglah pada saat ia sedang
kewalahan, tiba-tiba terdengar si nenek berseru, “Tahan dulu! Aku ingin
bicara!”
Ting Put-si lantas
menghentikan serangannya dan bertanya, “Siau-jui, apa yang hendak kau katakan?”
Tapi si nenek berpaling kepada
Boh-thian dan berkata, “Anak muda, badanku merasa tidak enak, harap kau
menyalurkan sedikit tenaga lagi padaku.”
“Ya, boleh juga,” sela Ting
Put-si sambil mengangguk. “Urat nadimu memang kacau, napasmu juga sesak. Jika
kau tidak mau terima pertolonganku, boleh juga suruh dia membantu kau. Ilmu
silat pemuda ini rendah, tapi tenaga dalamnya sangat kuat.”
“Hm,” si nenek mendengus
sekali. “Memangnya, ilmu silatnya adalah ajaranmu.”
“Ilmu silatnya mana boleh buat
dianggap aku yang mengajarkan dia, padahal aku hanya memberi petunjuk dalam
waktu tiada satu jam barusan ini,” sahut Ting Put-si dengan gusar. “Tapi kalau
dia mau ikut belajar padaku selama tiga atau lima tahun, hm, aku tanggung kelak
tiada seorang kesatria angkatan muda yang dapat menandinginya.”
“Sekalipun berhasil belajar
sepandai dirimu juga apa sih gunanya?” jengek si nenek. “Tanpa mempelajari ilmu
silatmu dia dapat mengalahkan kau, kalau sudah berhasil mempelajari ilmu
silatmu mungkin dia malah akan kau kalahkan. Makin belajar padamu makin dungu
dan semakin kalahan. Nah, coba katakan, apa lebih baik belajar ilmu silatmu
atau tidak?”
Untuk sejenak Ting Put-si
menjadi bungkam, kemudian ia mendebat lagi, “Jurus-jurus Hou-jiau-jiu dan
Giok-li-cui-kiam yang dia gunakan tadi bukankah juga kepandaian keluarga Ting
kami?”
“Tapi itu adalah ajaran cucu
perempuan Ting-losam dan bukan kau yang mengajarkan dia,” sahut si nenek. “Anak
muda, marilah ke sini, jangan gubris dia lagi.”
Boh-thian mengiakan dan
mendekati si nenek, ia gunakan telapak tangannya untuk menahan di Leng-tay-hiat
orang tua itu dan membantunya melancarkan jalan darah urat nadinya.
Si nenek perlahan-lahan
mengangkat lengannya ke atas, ia pura-pura menutup mukanya dengan lengan baju,
tujuannya agar Ting Put-si tidak melihat dia sedang bicara, lalu dengan suara
bisik-bisik ia berkata kepada Boh-thian, “Sebentar bila kau bergebrak lagi dengan
dia, telapak tanganmu harus menggunakan tenaga dalam sebagaimana sekarang
mengerahkan tenaga ke tanganmu ini. Bila dia memukul kau, maka kau harus
menggunakan jurus yang sama untuk memapak tangannya, asal kedua tangan beradu,
segera kau kerahkan tenagamu ke badan lawan. Hati-hatilah, tua bangka itu
hendak mendesak kau terjerumus ke dalam sungai, kau bisa mati kelelap. Maka
ingatlah baik-baik, jurus apa pun yang dia keluarkan kau pun menyambutnya
dengan jurus yang sama. Hanya dengan cara demikian barulah dapat mempertahankan
jiwa ... jiwa kita bertiga.”
Rupanya sesudah si nenek
berkumpul beberapa jam bersama Ciok Boh-thian, diam-diam orang tua itu telah
dapat mengetahui pemuda itu berhati baik dan berjiwa luhur. Kalau suruh dia
bertanding tanpa alasan melawan Ting Put-si, mungkin setiap saat dia bisa mengalah.
Tapi kalau ditekankan bahwa “demi untuk mempertahankan jiwa kita bertiga”, ini
berarti termasuk jiwa si nenek dan cucu perempuannya, maka besar kemungkinan
Ciok Boh-thian akan membelanya dengan sepenuh tenaga.
Benar juga, segera tertampak
Boh-thian manggut-manggut setuju.
Lalu si nenek berkata pula,
“Sementara kau tidak perlu menyalurkan tenaga padaku lagi. Sebentar kalau
tanganmu saling tahan dengan tangannya, maka tenaga yang kau kerahkan tidak
boleh perlahan-lahan, tapi harus cepat dan keras, semakin kuat semakin baik.”
“Dia akan muntah darah atau
tidak?” tanya Boh-thian.
“Tidak,” sahut si nenek. “Tadi
aku muntah darah karena aku sendiri sangat lemah dan mendadak diterjang oleh
membanjirnya tenagamu yang kuat. Tapi Lwekang tua bangka itu sangat hebat,
kalau kau tidak mengerahkan tenaga sekuatnya tentu kau sendiri yang akan
tergetar dan muntah darah. Dan kalau kau terluka, tentu tiada orang lain lagi
yang mampu membela kami nenek dan cucu berdua. Dalam keadaan tak bisa berkutik
terpaksa kami mesti pasrah nasib dan membiarkan diri kami dibunuh orang
sesukanya.”
Mendengar sampai di sini darah
Ciok Boh-thian lantas bergolak, timbul seketika jiwa kesatriaannya. Ia merasa
saat ini biarpun mati bagi nenek dan nona itu pun rela. Padahal kedua orang itu
siapa, apakah orang baik atau orang jahat, sama sekali dia tidak tahu.
Begitulah perlahan-lahan si
nenek lantas menurunkan lengan bajunya yang menutupi mukanya itu, katanya,
“Terima kasih, anak muda, kalau tiada bantuan tenagamu mungkin sejak tadi jiwa
nenek sudah melayang. Rupanya tua bangka Ting Put-si itu masih ngotot tak mau
mengaku kalah padamu, maka bolehlah kau bergebrak lagi padanya. Ai, aku sudah
sedemikian tua, sudah banyak juga aku menjumpai kesatria sejati dan pahlawan
tulen di dunia ini, tak tersangka pada saat hampir dekat ajalku, di depan
mataku sekarang justru terdapat seekor babi tua, sungguh aku sangat penasaran.”
“Kau bilang babi tua, apakah
kau maksudkan aku?” tanya Ting Put-si dengan gusar.
“Seorang yang tahu diri masih
boleh dikata belumlah terlalu buruk,” ujar si nenek dengan tersenyum. “Nah,
Ting Put-si, jika kau ingin membunuh dia kan terlalu gampang? Asal kau gunakan
beberapa jurus yang belum pernah kau katakan padanya, tanggung dia tak mampu
menangkis dan akan kau binasakan.”
“Memangnya kau sangka aku Ting
Put-si adalah pengecut seperti itu?” sahut Ting Put-si dengan gusar. “Boleh kau
saksikan dengan baik, justru setiap jurus yang akan kugunakan adalah kepandaian
yang telah kukatakan padanya tadi.”
Justru si nenek sengaja memancing
ucapan Ting Put-si ini, maka dapatlah ia menghela napas lega dan tidak bersuara
pula.
Di sebelah sana Ting Put-si
segera membentak, “Nah, Lemper raksasa, segera aku akan menghantam dengan jurus
‘Gik-cui-heng-ciu’ (mendayung perahu melawan arus). Jurus ini sudah kuajarkan
padamu tadi, janganlah kau lupa.”
Sambil berkata ia lantas
pasang kuda-kuda dengan sedikit berjongkok, mendadak telapak tangan kiri
menghantam ke depan dari bawah ke atas.
Ketika mendengar Ting Put-si
menyebut jurus “Gik-cui-heng-ciu”, diam-diam Ciok Boh-thian lantas siap siaga,
ia pun pasang kuda-kuda dengan sedikit berjongkok, telapak tangan kiri juga
memukul ke depan dari bawah ke atas.
“He, salah, bukan begitu
caranya menangkis seranganku!” bentak Ting Put-si. Namun pada saat itu juga
tampaknya tangan pemuda itu sudah hampir membentur tangannya sendiri, keruan ia
terkesiap, ia tahu Lwekang Boh-thian sangat kuat, kalau sampai kedua orang saling
mengadu tenaga dalam, untuk memenangkan pemuda itu menjadi susah diramalkan.
Maka cepat Put-si menarik
kembali pukulannya itu, segera telapak tangan kanan berganti menyodok ke depan.
Jurus ini bernama “Ki-hong-tut-gi” (kejadian aneh mendadak timbul).
Tapi Boh-thian telah ingat
betul-betul pesan si nenek, segera ia pun memapak dengan jurus yang sama,
bahkan tangannya membawa tenaga dalam yang lebih kuat. Sebelum kedua tangan
kebentur, seketika Ting Put-si merasakan angin pukulan lawan telah menyampuk
tiba. Ia terperanjat dan cepat ganti serangan lagi ....