Jilid 6
“Ngatjo-belo!” omel Yan-Khek,
“Kau tidak boleh memanggil aku sebagi maling tua.” “ Baik, dan kaupun dilarang
memanggil aku maling ketjil.” Tidak gusar, sebaliknya Yan-khek tertawa malah.
Katanja: Maling ketjil adalah sebutan untuk memaki orang, maling tua juga kata2
makian, maka kau tidak boleh memaki aku.” “Djika begitu, mengapa kau memaki
aku?” bantah si djembel. “Baiklah, akupun takkan memaki kau”, sahut Yan-khek
dengan tertawa. “Kau sekarang bukan maling ketjil pula. Aku akan panggil kau
sebagai anak ketjil dan kau boleh panggil aku sebagai paman tua”.
“Tidak, namaku bukan anak
ketjil, tapi aku bernama Kau-tjap-tjeng,” kata si djembel sambil menggeleng.
“Nama Kau-tjap-tjeng itu tidak baik, ibumu boleh panggil kau dimikian, tapi
orang lain tidak boleh. Ibumu djuga aneh, mengapa memanggil anaknja sendiri
sebagai Kau-tjap-tjeng?”
“Kau-tjap-tjeng apakah djelek?
Bukankah si Kuning kawanku itupun seekor andjing. Kalau dia mengawani aku, aku
lantas senang. Sama seperti kau mengawani aku sekarang. Tjuma si Kuning tidak
bisa bitjara, dia hanja pandai menggonggong, sebaliknja kau pandai bitjara”. –
Sambil berkata sembari tangannja meng-elus2 punggung Tjia Yan-khek dengan penuh
kasih sajang seperti halnja kalau dia meng-elus2 andjing piaraannja.
Keruan Tjia Yan-khek sangat
mendongkol, masakah dia disamakan dengan si Kuning. Segera ia mengerahkan
tenaga dalamnja kebagian punggung sehingga tangan si djembel tjilik tergetar,
se-akan2 tangannja memegang arang jang membara, tjepat ia menarik kembali
tangannja dengan kaget. “Huh, biar kau tahu rasa sekarang”, demikian pikir Tjia
Yan-khek sambil memandangi botjah itu dengan ter-senjum2.
Di luar dugaan si djembel
tjilik malah berkata: “Wah, paman tua, agaknja kau sakit panas, lekas mengaso
dulu dibawah pohon sana, biar aku mentjari sedikit air untuk kau minum, badanmu
tentu sangat pajah, panasnja bukan main, mungkin sakitmu ini tidaklah ringan”.
– Dari nadanja itu tampak sekali rasa perhatiannja jang penuh, segera ia pegang
lengan Tjia Yan-khek dan hendak mengadjaknja mengaso kebawah pohon.
Sampai disini, biar betapapun
aneh sifatnja Tjia Yan-khek djuga tidak enak menjakiti pula botjah itu dengan
tenaga dalamnja. Maka katanja: “Aku sehat walafiat, kau bilang aku sakit apa?
Tjoba lihat, bukankah panasnja sudah lenjap?” ~ Sambil berkata ia terus pegang
tangan si djembel dan dirabakan ke dahinja sendiri. Ketika merasa dahi Yan-khek
itu dingin2 segar sadja, mendadak djembel tjilik itu berseru kuatir: “Wah,
tjelaka! Paman tua, kau sudah hampir mati!”
“Ngatjo belo, mengapa aku hampir
mati?” bentak Yan-khek dengan gusar. “Ibuku pernah djatuh sakit, seperti kau
barusan, sebentar panas dan sebentar dingin, ber-ulang2 ibu berteriak: Matilah
aku, matilah aku! Orang jang tak punja liangsim (hati baik), lebih baik aku
mati sadja!” ~ Kemudian ibu benar2 hampir mati, sesudah tiduran lebih dua bulan
barulah sembuh.”
“Tapi aku takkan mati,” udjar
Yan-khek dengan tersenjum. Si djembel tjilik menggeleng pelahan seperti kurang
pertjaja. Mereka melandjutkan perdjalanan, tidak seberapa djauh, ketika melihat
sinar matahari jang amat terik, tiba2 si djembel tjilik itu mendjemput beberapa
helai daun jang djatuh ditepi djalan. Semula Yan-khek menjangka sifat si
djembel tjilik itu masih ke-kanak2an dan suka mainan, maka tak digubrisnja.
Siapa duga botjah itu telah memilin daun2 itu mendjadi sebuah topi, lalu
diberikan kepada Tjia Yan-khek, katanja: “Matahari panas terik, engkau sedang
sakit pula, harap pakailah topi ini.”
Yan-khek benar2 serba runjam
menghadapi tingkah laku si djembel itu. Tapi ia tidak ingin mengetjewakan
maksud baiknja maka topi itu diterimanja djuga dan dipakainya diatas kepala.
Karena sinar matahari memang amat terik, dengan memakai topi itu rasanja
mendjadi lebih segar. Tidak lama kemudian sampailah mereka di suatu kota
ketjil. Tiba2 si djembel berkata: “Engkau tidak punja uang, boleh djadi sakitmu
itu adalah lantaran kelaparan. Marilah sekarang kita pergi kerumah makan untuk
makan se-kenjang2nja.” ~ Segera ia tarik tangan Tjia Yan-khek dan masuk ke
sebuah rumah makan.
Selama hidup pengemis ketjil
itu tidak pernah masuk restoran. Karena itulah iapun tidak tahu tjara bagaimana
harus pesan makanan. Begitu masuk rumah makan itu segera ia keluarkan semua
uang jang dimilikinja dan ditaruh diatas medja, lalu katanja kepada pelajan:
“Aku dan paman tua ini ingin makan nasi makan ikan dan daging, sediakanlah
selengkapnja dan ambil semua uangku ini.” Sisa uangnja itu sedikitnja ada tiga
tahil perak dan lebih dari tjukup untuk membajar makanan semedja penuh. Keruan
si pelajan sangat girang, tjepat ia memesan koki agar menjediakan daharan jang
enak2, ada ajam panggang, ada Ko-lo-bak, ada bebek tim dan ada Ang-sio-hi,
pendek kata serba komplit. Bahkan disertai dua kati arak.
Sesudah daharan itu siap
diatas medja. Segera Yan-khek menuangkan arak. Tapi baru sadja si djembel
tjilik minum seteguk, kontan ia semburkan kembali, serunja: “Hah, pedas, tidak
enak.” ~ Maka jang digasak hanja daharan2 jang enak sadja. Diam2 Yan-khek
berpikir: “Meski botjah ini tidak paham apa2, tapi pembawaannja ternjata sangat
djujur, tampaknja djuga tidak boleh, kalau dididik dengan baik2 tentu akan
mendjadi djago pilihan di dunia persilatan.”
Tapi lantas terpikir pula
olehnja: “Ah, di dunia ini banjak sekali manusia2 jang durhaka dan tak berbudi,
masakah aku belum tjukup dibikin susah oleh muridku jang tjelaka itu? Kenapa
sekarang timbul pula pikiranku untuk mengambil murid baru?” Demi teringat
kepada muridnja jang durhaka itu, seketika ia naik darah. Tjepat ia habiskan
dua kati arak itu, lalu berkata : “Hajolah, berangkat!”
“Apakah kau sudah baik, paman
tua?” tanja si djembel.
“Sudah!” sahut Yan-khek sambil
berpikir: “Sekarang uangmu sudah habis, nanti kalau masuk restoran lagi kau
tentu akan terpaksa minta tolong padaku.”
Segera mereka meninggalkan
kota itu dan melandjutkan perdjalanan ke timur.
“Anak ketjil, siapakah she
ibumu, dia pernah katakan padamu tidak?” tanja Yan-khek.
“Ibu ja ibu, apakah ibu djuga
ada she segala?” sahut si djembel tjilik.
“Sudah tentu, setiap orang
tentu mempunjai she,” kata Yan-khek.
“Djusteru aku tidak tahu,
makanja aku tanja she ibumu. Nama Kau-tjap-tjeng itu terlalu djelek, apa kau
ingin minta aku mentjarikan suatu nama jang baik bagimu?” demikian tanja Tjia
Yan-khek. Ia pikir kalau si djembel mengadjukan permintaan itu, maka
terpenuhilah sumpahnja atas medali wasiat dan ia dapat sembarangan memberi
suatu nama padanja.
Tak terduga si djembel lantas
mendjawab: “Djika kau suka memberikan nama padaku, kukira boleh djuga. Tjuma
kuatirnja ibu tidak tahu. Padahal beliau sudah biasa memanggil aku
Kau-tjap-tjeng, sekarang aku ganti nama baru, mungkin beliau akan marah.
Mengapa kau anggap nama Kau-tjap-tjeng kurang baik ?”
Yan-khek mengerut kening.
“Kau-tjap-tjeng” artinya anak turunan andjing, ia mendjadi bingung tjara
bagaimana harus menerangkan nama jang kotor dan tak baik itu.
Pada saat itulah tiba2
ditengah hutan disebelah kiri depan sana terdengar ada suara njaring beradunja
sendjata. Sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan, sekali dengar sadja
hati Yan-khek lantas terkesiap. Terang disana ada orang sedang bertempur dan
dari suara beradunja sendjata mereka jang sangat tjepat itu pastilah ilmu silat
mereka bukan djago silat rendahan.
Segera ia membisiki si djembel
tjilik : “Tjoba kita melihatnja ke sana, kau djangan sekali2 bersuara.” ~
Sebelah tangannja lantas menolak dipunggung botjah itu, ia keluarkan Ginkang
(ilmu entengkan tubuh atau kepandaian lari) jang tinggi dan berlari kearah
suara pertempuran itu. Hanja beberapa kali lompatan sadja sampailah dia
dibelakang sebatang pohon besar.
Karena dibawa lari setjepat
terbang dan seperti terapung diudara, si djembel tjilik mendjadi senang dan
merasa geli, hampir ia tertawa. Tapi lantas teringat oleh pesan Tjia Yan-khek
agar dia djangan bersuara, maka tjepat ia menekap mulut sendiri.
Waktu mereka mengintip dari
balik pohon, tertampaklah di tengah hutan itu ada empat orang sedang melompat
dan menubruk kian kemari, pertarungan sedang berlangsung dengan sengitnja.
Kiranja ada tiga orang sedang mengerojok satu orang. Jang dikerojok adalah
seorang tua bermuka merah, rambutnja pandjang memutih perak, tangannja sudah
tidak bersendjata lagi.
Sedangkan ketiga orang
pengerojok itu, jang satu bertubuh tinggi kurus, seorang lagi adalah Todjin
bermuka kuning dan jang ketiga mukanja sangat aneh, mukanja disilang oleh dua
djalur bekas luka jang pandjang. Sikurus memakai sendjata pedang, sedangkan
Todjin itu menggunakan gandin berantai dan simuka djelek bersendjata
Kui-thau-to, golok berpunggung tebal jang melukiskan kepala setan.
Yan-khek melihat orang tua
jang dikerojok itu sudah terluka tapi kedua telapak tangannja masih terus naik
turun dan balas menjerang dengan sangat tangkas. Ia menghindarkan serangan2
lawan dengan mengitari sebatang pohon dan kadang2 diselingi dengan pukulan atau
tutukan jang lihay, njata sekali ilmu silatnja sangat hebat.
Hanja mengikuti beberapa
djurus sadja Tjia Yan-khek lantas mengenali orang tua itu. Tiba2 timbullah rasa
sjukurnja : “Bagus, kukira siapa, tak tahunja adalah Tay-pi Lodjin dari
Pek-keng-to. Hari ini kau mirip harimau jang kesasar dan dikerubut kawanan
andjing, tampaknja sekali ini kau pasti akan tjelaka.” Tapi ketiga pengerojok
itu tak dikenal Tjia Yan-khek. Tampaknja ilmu silat ketiga orang itupun tidak
rendah, lebih2 si tinggi kurus, ilmu pedangnja boleh dikata sudah mentjapai
kelas tertinggi.
Sedang permainan gandin
berantai si Todjin juga sangat aneh, terkadang gandinnja dapat mengitari pohon
untuk menghantam bagian samping Tay-pi Lodjin. Adapun silelaki bermuka djelek
itu memiliki tenaga jang sangat kuat, goloknja jang tebal itu diputar sedemikian
kentjangnja sehingga menerbitkan suara menderu2 jang memekakkan telinga.
Diam2 Yan-khek terkedjut.
Pikirnja: “Sudah lama aku tidak mendjeladjahi Kangouw, ternjata didunia
persilatan sudah timbul tokoh2 silat sehebat ini. Mengapa satupun aku tidak kenal
gaja permainan silat ketiga orang ini? Tjoba kalau lawannja bukan tiga djago
pilihan selihay ini tentu Tay-pi Lodjin takkan terdesak seperti ini. Kalau
ketiga orang ini mengerojok diriku, rasanja aku sendiripun susah untuk
mengalahkan mereka.”
Dalam pada itu terdengar
Todjin atau imam itu telah berseru dengan suaranja jang serak: “Pek-keng Totju
(penguasa pulau paus putih), selamanja Tiang-lok-pang kami tiada permusuhan
apa2 dengan kau. Djika sekarang kau mau mengaku kalah dan bersedia mengadakan
perserikatan dengan Pang kami, maka segera kita akan mendjadi sahabat baik dan
tidak perlu bertarung mati2an seperti ini jang mungkin akan melajangkan djiwa
pertjuma.”
Tapi Tay-pi Lodjin mendjawab
dengan gusar: “Seorang laki2 sedjati masakah sudi mendjadi begundal manusia2
tidak punja malu seperti kalian? Tidak, tidak bisa.” ~ Habis berkata tangan
kirinja mendadak mentjakar kepundak lelaki bermuka djelek itu.”
“Liong-djiau-djiu
(tjengkeraman tjakar naga) jang hebat!” diam2 Yan-khek memudji serangan Tay-pi
Lodjin.
Serangan itu tampak lambat,
tapi sebenarja sangat tjepat. Meski si lelaki muka djelek sudah mendakkan tubuh
untuk menghindar, tapi toh agak terlambat djuga. Pundaknja sudah ditjengkeram
oleh djari Tay-pi Lodjin.
Keruan sitinggi kurus
terkedjut, tjepat pedangja menusuk muka Tay-pi Lodjin. Dengan serangan selihay
ini Tay-pi Lodjin hendak dipaksa menarik kembali tjengkeramannja kepada sang
kawan.
Maka terdengarlah suara “bret”
sekali, badju bagian pundak silelaki djelek telah tersobek sepotong, bahkan pundaknja
lantas berlumuran darah, njata telah dilukai oleh tjakaran Tay-pi Lodjin.
Ketiga orang itu mendjadi
gusar, mereka mengerubut dengan lebih gentjar lagi.
Diam2 Yan-khek mendjadi heran:
“Matjam perkumpulan apakah Tiang-lok-pang itu? Kalau didalam Pang mereka
terdapat tokoh selihay ini, mengapa selama ini aku tidak pernah dengar nama
mereka?”
Tertampak pertarungan keempat
orang itu makin lama makin sengit. Mendadak silelaki djelek menggereng keras
sekali dan goloknya terus membabat. Tapi Tay-pi Lodjin sempat mengegos
berbareng ia balas mendjotos kearah si Todjin. “Tjrat”, golok silelaki muka
djelek telah menabas dibatang pohon, saking kuatnya tabasan itu sehingga
seketika golok susah ditjabut kembali. Kesempatan itu tidak di-sia2kan oleh
Tay-pi Lodjin, tjepat sikutnja menjodok kepinggang lelaki muka djelek.
Rupanja Tay-pi Lodjin telah
bertahan sekuatnja dari pengerojokan ketiga djago lihay itu, ia insaf susah
menjelamatkan diri. Apalagi dalam pertarungan sengit itu, pantjainderanja jang
tadjam lapat2 telah melihat dibalik pohon tersembunji dua orang lagi, ia
menduga pasti musuh. Padahal untuk melawan tiga orang sadja kewalahan, apalagi
musuh mendapat bala bantuan pula?
Karena itulah terpaksa ia
mesti mengambil langkah berbahaja. Ia lihat simuka djelek itu adalah paling
lemah diantara ketiga pengerojok, maka pada kesempatan jang ada itu segera ia
menjikutnja. Maka terdengarlah “bluk” sekali, dengan tepat pinggang simuka
djelek tersikut.
Tay-pi Lodjin bergirang karena
serangannja tepat kena sasarannja, segera ia memutar pula kebalik pohon. Pada
saat itu djuga gandin berantai si Todjin telah menjambar datang dari balik
pohon. Tanpa pikir telapak tangan kiri Tay-pi Lodjin memotong keatas rantai
gandin musuh. Tapi mendadak sinar pedang berkelebat, tjepat Tay-pi menggeser
dan berkelit kekanan.
Tak terduga, karena usianja
sudah landjut, setelah bertempur sengit sekian lamanja, tenaganja sudah tidak
sekuat seperti waktu mudanja, mestinja geserannja itu dapat mentjapai sedjauh
dua meter, tapi sekarang hanja sedjauh satu meter lebih, maka terdengarlah
“tjret” jang pelahan, pedang sikurus telah menembus bahu kirinja, tanpa ampun
lagi ia terpaku kentjang dibatang pohon.
Karena perubahan jang luar
biasa itu, sidjembel tjilik sampai mendjerit kaget. Tadi waktu menjaksikan
seorang tua dikerojok tiga orang, memangnja dia sudah merasa tidak adil.
Sekarang dilihatnja pula siorang tua sudah dikalahkan, tentu sadja ia lebih2
kuatir dan tambah penasaran.
Sementara itu terdengar
sikurus sedang berkata dengan dingin: “Pek-keng Totju, dasar kau, diminta
dengan baik2 tidak mau dan maunja dipaksa. Sekarang kau mau menjerah kepada
Tiang-lok-pang kami atau tidak?”
“Hm, djika kau kenal aku
sebagai Totju dari Pek-keng-to, apakan diantara penghuni Pek-keng-to kami ada
pengetjut jang pernah tekuk lutut kepada orang lain?” bentak Tay-pi Lodjin
dengan mata melotot. Mendadak ia meronta sekuatnja, njata ia lebih suka
mengorbankan sebelah bahunja untuk melepaskan diri.
Namun gandin berantai si
Todjin sudah bekerdja djuga, rantai sendjata itu telah melibat beberapa kali
sehingga badan Tay-pi Lodjin terikat dibatang pohon, achirnja terdengar suara
“bluk” sekali, udjung gandin telah menghantam didada Tay-pi Lodjin. Tanpa ampun
lagi darah segar lantas menjembur keluar dari mulut orang tua itu.
Sipengemis tjilik tidak tahan
lagi, mendadak ia berlari madju dan ber-teriak2 : “Hai, kalian tiga orang jang
djahat mengerojok seorang baik, ini tidak boleh djadi!”
Diam2 Tjia Yan-khek mengerut
kening. Pikirnja :”Botjah ini ternjata suka tjari penjakit. Tapi biarkan sadja,
ada baiknja djuga membiarkan ketiga orang itu membunuhnja. Andaikan botjah itu
nanti minta tolong padaku, diantara ketiga lawan sudah ada satu jang terluka,
sisa dua orang itu tentu mudah dilajani.”
Dalam pada itu tertampak
sidjembel tjilik itu telah berlari sampai dibawah pohon sana dan mengadang
didepan Tay-pi Lodjin sambil berseru: “Kalian tidak boleh membikin susah lagi
kepada paman tua ini.”
Sebenarnja sitinggi kurus
djuga sudah mengetahui bahwa di balik pohon itu tersembunji orang. Tapi
dilihatnja pemuda ini toh tidak mahir ilmu silat, mengapa sedemikian berani
merintangi mereka, tentu dibelakangnja ada jang mendjagoi. Maka diam2 ia
merantjang: “Biar aku me-nakut2i setan tjilik ini, tentu orang jang mendjagoi
itu akan terpaksa muntjul sendiri.”
Segera ia tjabut Kui-thau-to,
golok berukiran kepala setan, jaitu milik kawannja jang menantjap dibatang
pohon tadi, lalu ia menggertak: “Setan alas, siapakah jang suruh kau
mengatjaukan urusan Lotju (bapakmu, kata olok2) ini? Hajo lekas enjah, biar
kumampuskan tua bangka itu!”
Habis berkata, ia sengadja
mengangkat goloknja dengan lagak hendak membatjok, njata se-akan2 pengemis
ketjil jang mengadang didepannja itu djuga akan dibatjoknja sekalian bersama
Tay-pi Lodjin.
“Tidak, tidak nanti aku mau
pergi,” demikian djawab sidjembel malah tanpa gentar. “Paman tua ini adalah
orang baik dan kalian adalah orang djahat. Aku harus membantu orang baik dan
tak mau enjah.”
Kiranja dalam hidupnja
se-hari2, bila perasaan ibunja kebetulan lagi senang, maka pengemis ketjil itu
terkadang djuga didongengi tentang orang djahat dan orang baik segala. Maka
dalam hati ketjil botjah itu telah timbul kesan bahwa adalah seharusnja dan
maha adil bila membantu orang baik untuk melawan orang djahat.
Maka terdengar sikurus telah
membentak dengan gusar: “Apakah kau kenal dia? Darimana kau tahu dia adalah
orang baik?”
“Paman tua ini tadi mengatakan
Pang apa kalian itu adalah perkumpulan orang djahat dan tidak sudi bergabung
dengan kalian, maka sudahlah terang kalian adalah orang djahat,” demikian
djawab sidjembel tjilik. Segera ia membalik tubuh dan hendak melepaskan rantai
gandin si Todjin.
Tapi si Todjin sudah lantas
memberi persen sekali tamparan sehingga mata sidjembel tjilik ber-kunang2 dan
pusing tudjuh keliling, pipi kirinja seketika merah bengkak.
Dasar pengemis tjilik itu
memang tidak kenal tingginja langit dan tebalnja bumi. Kemarin dia telah
menjaksikan Go To-it dikerubut oleh orang2 Kim-to-the, soalnja dia tidak tahu
Go To-it itu orang baik atau djahat, pula mereka bertempur diatas rumah dan achirnja
Go To-it terdjungkal kebawah dan segera perutnja ditikam oleh kedua kaitan Li
Tay-goan, kalau tidak, tentu saat itu djuga dia akan tampil kemuka untuk
membelanja tanpa memikirkan mati-hidupnja sendiri.
Begitulah demi melihat sikap
sidjembel tjilik jang tak gentar, diam2 sikurus mendjadi sangsi malah,
pikirnja: “Matjam apakah tokoh jang mendjagoi kau itu sehingga kau berani main
gila dengan para Hiangtju (pemimpin bagian, hulubalang) dari Tiang-liok-pang?”
Ia tjoba melirik kebalik pohon
sana, sekilas tertampak olehnja muka Tjia Yan-khek jang aneh itu, seketika ia
ingat kepada seorang: “Muka orang ini mirip dengan pemilik medali wasiat
Mo-thian-kisu Tjia Yan-khek, djangan2 memang dia inilah?”
Segera ia tjoba menggertak
lagi dengan mengatjungkan goloknja sambil membentak: “Aku tidak kenal
asal-usulmu dan siapa perguruanmu, pendek kata kau berani mengatjau, segera
kubatjok mampus pengemis ketjil matjam kau ini ?” ~ Dan menjusul goloknja terus
menjambar keleher sidjembel tjilik.
Tak terduga djembel tjilik itu
ternjata sangat bandel, sama sekali ia tidak gentar dan tidak bergerak
sedikitpun. Ketika golok sikurus sudah hampir mengenai leher botjah itu barulah
mendadak sikurus tahan sendjatanja, pudjinja: “Anak setan, besar djuga njalimu,
ja?”
Sebaliknja watak si Todjin
sangat berangasan, ia mendjadi aseran melihat kebandelan sidjembel tjilik,
“plak”, kembali ia menampar lagi dengan lebih keras.
Betapapun usia pengemis tjilik
itu masih sangat muda, karena ber-ulang2 digampar, maka menangislah dia.
“Djika kau tidak ingin
dihadjar lagi, lebih baik kau menjingkir sadja!” udjar sikurus.
“Asal kalian pergi dulu dan
takkan membikin susah paman tua ini, maka tanpa disuruh djuga aku akan segera
pergi”, sahut sidjembel tjilik sambil bersengut.
Sikurus mendjadi tertawa
malah. Sebaliknja si Todjin tambah murka, kontan kakinja mendepak sehingga
sidjembel tjilik djatuh terguling. Tapi biarpun babak-belur dan didepak
terguling, tetap sidjembel pantang mundur, begitu merangkak bangun, kembali dia
mengadang didepan Tay-pi Lodjin pula.
Sifat Tay-pi Lodjin itu
sebenarnja sangat aneh dan menjendiri, selama hidupnja djarang berkawan.
Sekarang dilihatnja anak muda jang selamanja tidak pernah dikenalnja itu telah
membela dengan mati2an, mau-tak-mau timbul djuga rasa terima kasihnja. Maka
katanja: “Adik tjilik, pertjumalah kau bertengkar dengan mereka, bukan mustahil
djiwamu akan melajang pertjuma pula. Dihari tua orang she Thia ternjata dapat
mengikat seorang sahabat ketjil sebagai kau, sungguh hidupku ini boleh dikata
tidak sia2. Sekarang lekaslah kau pergi sadja.”
Apa jang dikatakan “dihari
tua” dan “hidup tidak sia2” segala dengan sendirinja sidjembel tjilik tidak
paham sama sekali, ia hanja tahu orang tua itu telah menjuruhnja lekas pergi
sadja. Maka ia lantas mendjawab: “Tidak, engkau adalah orang baik, betapapun
kau tidak boleh ditjelakai oleh mereka.”
Sikurus adalah seorang tjerdik
dan bisa berpikir pandjang. Diam2 ia memikir: “Datangnja botjah ini sangat
mendadak dan aneh, orang jang sembunji dibalik pohon itu entah betul Tjia
Yan-khek atau bukan, rasanja kita tidak perlu banjak mengikat permusuhan. Namun
melulu beberapa patah-kata sibotjah ini dan kami lantas pergi, hal ini bukankah
menundjukkan Tiang-lok-pay taku kepada orang lain.”
Tiba2 ia mendapat akal, ia
angkat golok Kui-thau-to dan berkata: “Baiklah, anak ketjil, aku ingin
mendjadjal kau sekali lagi. Ber-turut2 aku akan membatjok dan menabas 36 kali
padamu, djika kau sama sekali tidak bergerak, maka aku akan menjerah padamu. Nah,
kau takut tidak ?”
“Ber-ulang2 dibatjok 36 kali,
sudah tentu aku takut,” sahut sidjembel.
“Djika takut, nah, lebih baik
kau menjingkir pergi sadja,” udjar sikurus.
“Tidak, hanja didalam hati aku
takut, tapi aku djusteru tidak mau pergi,” sahut sidjembel tjilik.
Sikurus mengatjungkan
djempolnja dan memudji: “Bagus! Anak jang gagah. Nah, awas serangan!” ~ “Sret”,
segera goloknja menabas lewat diatas kepala djembel tjilik itu.
Dari balik pohon Tjia Yan-khek
dapat melihat dengan djelas bahwa tabasan sikurus itu sangat tjepat dan gesit,
tenaga jang digunakan adalah tenaga pergelangan tangan, walaupun tak diketahui
apa namanja djurus itu, tapi golok jang antap itu ternjata dapat dimainkan
dengan enteng dan tjepat sekali. Tabasan itu menjerempet lewat diatas ubun2
kepala sidjembel sehingga setjomot rambutnja terkupas.
Namun demikian, benar djuga
sidjembel tjilik tetap sangat tabah, ia tetap berdiri tegak dan tidak bergerak
sedikitpun.
Menjusul sinar golok tampak
berkelebat dan menjambar kian kemari diatas kepala sidjembel, rambut bertebaran
pula. Setelah 32 kali menabas, mendadak sikurus membentak sekali, golok
membatjok dari atas kebawah, “bret”, lengan badju kanan sidjembel telah
terkupas sepotong, menjusul lengan badju kiri dikupas pula dengan tjara jang sama,
bahkan tjelananja djuga terpotong sebagian dikanan-kirinja. Dengan demikian
mendjadi genaplah 36 kali batjokan dan tabasan. Diwaktu menarik kembali
goloknja, tahu2 sikurus menggunakan gagang goloknja untuk menjodok di
“Tan-tiong-hiat” didada Tay-pi Lodjin, lalu ia tertawa ter-bahak2 dan berkata:
“Anak tjilik, sungguh hebat kau, ketabahanmu memang luar biasa!”
Tjia Yan-khek telah mengikuti
dengan baik apa jang dilakukan sikurus itu. Ia lihat sikurus telah memainkan
goloknja dengan 36 djurus serangan jang susul-menjusul dan ternjata sedikitpun
tiada lubang kelemahan, maka diam2 Yan-khek memudji akan kepandaian orang.
Waktu dilihatnja pula sikurus menutuk Hiat-to mematikan didada Tay-pi Lodjin
pada saat dia menarik kembali goloknja, diam2 iapun menganggap tindakan sikurus
itu terlalu kedji.
Dalam pada itu rambut
sidjembel tjilik jang tadinja gombjok kusut itu, setelah kena 32 kali tabasan
kini telah berubah mendjadi seroang Hwesio ketjil.
Tadi ia ditabas 32 kali dan
setiap kali tabasan itu selalu menjerempet diatas kepalanja, hal ini sebagian
adalah karena ketekadannja ingin membela Tay-pi Lodjin, tapi sebagian djuga
lantaran kesimanja sehingga tidak dapat bergerak. Sesudah sikurus habis
menabas, ia tjoba meraba kepalanja sendiri dan terasa masih baik2 tanpa kurang
apa2, maka barulah dia menghela napas lega.
Sebaliknja si Todjin dan
simuka djelek lantas bersorak memudji: “Bi-hiangtju, ilmu pedang jang hebat !”
“Ha, permainan kasaran sadja!”
sahut sikurus dengan tersenjum.
“Mengingat ketabahan sobat ketjil
ini, biarlah hari ini kita mengalah sedikit padanja. Sekarang marilah kita
pergi sadja saudara2.”
Melihat Tay-pi Lodjin sudah
tinggal napas jang terachir sadja karena sodokan gagang golok sikurus tadi,
maka si Todjin dan simuka djelek djuga tidak rewel2 lagi, mereka djemput
sendjata masing2 lalu melangkah pergi.
Sikurus mendadak menabok
sekali diatas batang pohon, tahu2 pedangnja jang menantjap dibatang pohon
dengan memantek tubuh Tay-pi Lodjin itu lantas mentjelat keluar dengan membawa
darah segar orang tua itu. Segera sikurus sambar sambar pedangnja dan bertindak
pergi dengan tertawa, sama sekali ia tidak berpaling lagi ketempat sembunjinja
Tjia Yan-khek.
Diam2 Yan-khek membatin:
“Kiranja sikurus itu she Bi dan adalah Hiangtju dari tiang-lok-pang. Dia
sengadja memperlihatkan dua djurus kepandaiannja padaku, terutama tabokan jang
menggetarkan batang pohon untuk mengeluarkan pedang itu betul2 sangat lihay.”
Dalam pada itu sipengemis
tjilik sedang berkata kepada Tay-pi Lodjin: “Paman tua, biar kubalut lukamu
itu.” ~ Lalu ia ambil sobekan kain badjunja sendiri jang ditabas sikurus tadi
dan hendak membalut luka dibahunja Tay-pi Lodjin.
Namun orang tua itu lantas
berkata: “Ti…………tidak perlu lagi! Di………….didalam kantongku ada………..ada beberapa
boneka ketjil……….ku………..kuberikan semua itu pa………………….padamu………………” ~ belum selesai
utjapannja, matanja terpedjam dan kepalanja miring kesamping, tubuhnja jang
besar itu perlahan2 merosot kebawah pangkal pohon.
“Paman tua! Paman tua!” seru
sidjembel tjilik dan bermaksud memajang orang tua itu. Tapi dilihatnja Tay-pi
Lodjin sudah meringkuk ditanah dan tak bisa berkutik lagi.
Segera Tjia Yan-khek
mendekatinja dan bertanja: “Apa jang dia katakan sebelum mati?”
“Dia bilang……….dia bilang
didalam kantongnja ada beberapa boneka ketjil dan diberikan padaku semua”,
sahut sidjembel tjilik.
Tjia Yan-khek kenal Tay-pi
Lodjin adalah seorang tokoh besar didunia persilatan, dalam hal ilmu silat
sekali2 tidak dibawah dirinja, maka bukan mustahil pada tubuh orang tua itu
tentu dapat diketemukan benda2 jang penting. Namun sebagai seorang tokoh pula
Tjia Yan-khek djuga bertinggi hati dan sekali2 tidak sudi mentjuri apa2 milik
orang mati. Andaikan tahu betul Tay-pi Lodjin membawa benda2 mestika djuga dia
tidak mau mengambilnja. Karena itulah ia lantas berkata : “Djika dia telah
memberikannja padamu, maka bolehlah kau ambil sadja.”
“Dia sendiri jang memberi,
kalau aku mengambilnja terhitung maling ketjil atau bukan ?” tanja sidjembel
tjilik.
“Bukan”, sahut Yan-khek dengan
tertawa.
Segera sidjembel menggagapi
saku badjunja Tay-pi Lodjin dan mengeluarkan isinja, diantaranja terdapat
sebuah kotak kaju ketjil, beberapa uang perak dan beberapa buah sendjata
rahasia berduri. Selain itu pula beberapa putjuk surat dan seperti ada pula
sehelai peta.
Sebenarnja didalam hati Tjia
Yan-khek sangat ingin tahu apa jang tertulis didalam surat2 itu dan apa jang
terlukis didalam peta. Tapi ia merasa, asal tangannja menjentuh barang2 itu,
maka nama baiknja sebagai seorang tokoh pudjaan dunia persilatan tentu akan
tertjemar.
Dalam pada itu tertampak
sidjembel tjilik sudah membuka kotak ketjil itu, didalam digandjel dengan kapas
dan terdapat tiga baris boneka buatan tanah liat. Setiap barisnja ada enam
boneka sehingga seluruhnja ada 18 buah. Buatan boneka2 itu sangat indah,
semuanja berbentuk laki2 dan telandjang, ditubuh boneka jang berwarna putih itu
penuh terlukis garis2 merah.
Sekali pandang sadja Tjia
Yan-khek lantas tahu bahwa garis2 merah jang terlukis diatas tubuh boneka2 itu
adalah model2 untuk melatih sedjenis Lweekang jang tinggi, besar kemungkinan
adalah rahasia inti dari ilmu Lweekang golongan Pek-keng-to. Rupanja Tay-pi
Lodjin merasa berterima kasih kepada djiwa kesatria sidjembel tjilik jang telah
membelanja mati2an, maka telah menghadiahkan benda2 mestika itu. Tapi lantas
terpikir oleh Tjia Yan-khek: “Pertjuma djuga maksud Tay-pi Lodjin itu, andaikan
tidak diberikan, toh kalau botjah ini menemukan boneka2 itu didalam kantongmu
djuga tentu akan diambilnja untuk barang mainan.”
Padahal dugaan Tjia Yan-khek
ini pasti meleset. Pengemis ketjil itu sekarang sudah paham bahwa mengambil
barang orang lain setjara diam2 adalah maling ketjil serta orang djahat, maka
tidaklah mungkin dia berani menggerajangi milik Tay-pi Lodjin djika orang tua
itu tidak memberitahukan tentang barang apa jang berada disakunja itu.
Selamanja djembel tjilik itu
hidup diatas gunung jang terpentjil, untuk pertama kalinja sekarang dia melihat
boneka2 sebanjak itu, keruan ia sangat senang dan ber-ulang2 menjatakan :
“Sungguh menarik sekali. Tapi mengapa tidak pakai badju? Apa tidak dingin.”
Diam2 Tjia Yan-khek membatin:
“Meski Tay-pi biasanja tidak tjotjok dengan aku, tapi dia terhitung djuga
seorang tokoh terkemuka, betapapun djenazahnja tidak boleh ditelatarkan begini
sadja.”
Segera ia berkata kepada
sidjembel tjilik jang lagi asjik dan senang memandangi boneka2 ketjil itu:
“Kawanmu itu sudah mati, apa kau tidak menanamkan majatnja ?”
“Ja, tapi tjara bagaimana
menanamnja ?” sahut sidjembel.
“Kalau kau kuat, boleh kau
menggali sebuah liang, kalau tidak kuat, boleh menguruki dia dengan tanah, batu
dan daun2 kering.
“Disini djuga tiada tjangkul
dan susah untuk menggali liang”, udjar sidjembel. Maka ia lantas mengusung batu
dan tanah, dan uruk pula dengan daun2 kering sehingga djenazah Tay-pi Lodjin
tertutup rapat.
Karena usianja masih terlalu
muda, setelah selesai menguruk djenazah Tay-pi itu ia sendiri sudah mandi
keringat dan sangat lelah.
Tjia Yan-khek tetap berdiri
menonton sadja disamping dan tidak membantunja. Ia tunggu sidjembel tjilik
selesai bekerdja bakti, lalu ia mengadjaknja berangkat.
“Kemana lagi? Aku sudah
terlalu lelah dan takkan ikut padamu!” sahut sidjembel.
“Kenapa? Kau tidak ikut pergi
padaku?” tanja Yan-khek.
“Tidak, aku akan mentjari ibu
dan si Kuning,” kata sidjembel tjilik.
Diam2 Yan-khek mendjadi
kuatir: “Botjah ini belum lagi meminta sesuatu padaku, djika dia tidak mau ikut
pergi padaku, hal ini mendjadi sulit bagiku. Sedangkan akupun takdapat
mengadjak dia setjara paksa. Ah, sumpahku dahulu itu hanja mengatakan tidak
boleh main paksa kepada orang jang mengembalikan medali wasiat padaku dan tidak
menjatakan tak boleh mendustai dia. Maka sekarang terpaksa aku harus mendustai
dia sadja.”
Maka ia lantas berkata: “Kau
boleh ikut padaku sadja, nanti aku bantu mentjarikan ibumu dan si Kuning.”
“Baik sekali. Kepandaianmu
sangat tinggi, tentu kau akan dapat menemukan ibuku dan si Kuning,” sahut
sidjembel dengan girang.
Yan-khek pikir tiada gunanja
banjak bitjara dengan botjah itu, untung botjah itu tidak pernah memohon
setjara resmi padanja, kalau tidak tentu akan sulit untuk mentjarikan ibunja
dan andjing piaraannja itu. Segera ia pegang tangan kanan sidjembel dan berkata:
“Marilah kita berdjalan tjepatan sedikit !”
Dan baru sadja sidjembel
tjilik mengiakan, tahu2 ia merasa tubuhnja terseret dan se-akan2 terapung dan
berlari setjepat terbang. Bukannja takut, sebaliknja ia mendjadi senang,
serunja: “Ha, enak sekali, enak sekali!”
Kiranja Tjia Yan-khek telah
menggunakan Ginkang jang tinggi dan mengerahkan sedikit tenaga dalam untuk
membawanja berlari. Keruan sidjembel tjilik merasa seperti dibawa terbang dan
tertawa2 senang sambil memudji kepandaian Tjia Yan-khek.
Sampai hari sudah gelap, entah
sudah berapa djauhnja mereka berlari, achirnja mereka sampai di-tengah2 gunung
jang sepi. Disitulah Yan-khek berhenti dan melepaskan tangan sidjembel tjilik.
Sesudah berhenti barulah
sidjembel tjilik itu merasakan kakinja lemas dan tidak kuat berdiri lagi,
seketika ia djatuh terduduk. Hanja sebentar sadja ia berduduk, segera ia merasa
kedua telapak kakinja kesakitan, ternjata sudah merah dan bengkak. Ia berteriak
kaget: “Ha, paman tua, kakiku bengkak!”
“Djika kau minta aku mengobati
kau, tentu segera kakimu takkan bengkak dan sakit”, sahut Tjia Yan-khek.
“Kalau kau mau menjembuhkan
aku, dengan sendirinja aku akan berterima kasih padamu”, sahut sidjembel
tjilik.
Mau-tak-mau Tjia Yan-khek
mengerut kening, katanja pula: “Apa benar2 selamanja kau tidak pernah memohon
apa2 kepada orang lain?”
“Djika engkau suka
menjembuhkan aku, tentunja tidak perlu aku memohon, sebaliknja kalau engkau
memang tidak mau, biarpun aku memohon djuga pertjuma”, udjar sidjembel.
“Kenapa pertjuma ?” Yan-khek
menegas.
“Habis, kalau engkau tidak mau
menjembuhkan aku, tentunja aku akan sedih, boleh djadi akan menangis.
Sebaliknja kalau tidak dapat mengobati aku, tentunja engkau jang akan merasa
susah.”
“Hm, hatiku selamanja tidak
pernah susah. Nah, kita tidur sadja disini!” djengek Yan-khek.
Agar sesuai dengan
kenjataannja karena anak muda itu tidak sudi memohon sesuatu apapun kepada
orang lain, dengan sendirinja istilah “sidjembel tjilik” atau “sipengemis
tjilik” adalah tidak tepat baginja, maka untuk selandjutnja kita akan
menjebutnja sebagai anak muda sadja.
Begitulah anak muda itu telah
bersandar pada sebatang pohon, meski kedua kakinja melepuh sakit, tapi saking
lelahnja, hanja sebentar sadja ia sudah terpulas, sampai perutnja jang sudah
lapar djuga terlupakan.
Tjia Yan-khek sendiri lantas
melompat keatas pohon dan tidur disitu. Ia berharap tengah malam nanti akan
datang seekor binatang buas dan anak muda itu akan digigit mati dan dimakan
sehingga akan mengachiri kesulitan atas diri anak muda itu.
Tak terduga, sepandjang malam
itu seekor kelintjipun tidak lalu disitu djangankan lagi seekor binatang buas.
Diam2 Yan-khek membatin : “Terpaksa aku mesti membawa pulang dia ke
Mo-thian-kay. Kalau nanti dia membuka mulut memohon sesuatu jang mudah dikerdjakan
olehku, maka hal itu terhitung dia jang mudjur, kalau tidak, betapapun aku
harus berdaja upaja untuk membinasakan dia. Sungguh tjelaka, kalau terhadap
seorang botjah tjilik sadja takbisa membereskannja, lalu matjam apakah manusia
Mo-thian-kisu jang tersohor ini?”
Esok paginja Tjia Yan-khek
menggandeng tangan anak muda itu dan diadjaknja berangkat pula. Tapi baru
melangkah beberapa tindak, anak muda itu lantas mendjerit kesakitan karena
telapak kakinja serasa ditusuk oleh ber-ratus2 djarum.
“Kenapa?” tanja Yan-khek. Ia
menjangka anak muda itu tentu akan mengadjukan permintaan berhenti dahulu atau
permintaan lain sebagainja.
Tak terduga anak muda itu
hanja mendjawab: “Tidak apa2, kakiku sedikit sakit. Marilah kita djalan terus.”
Karen takbisa meng-apa2kan
anak muda itu, lama2 Tjia Yan-khek mendjadi naik darah, segera ia seret anak
muda itu dan berlari lebih kentjang lagi.
Mereka berlari terus tanpa
berhenti. Bila lalu dikota, seadanja Tjia Yan-khek membeli sedikit penganan,
lalau berangkat lagi, sambil lari sambil makan. Kalau dia membagi makanan itu
kepada sianak muda barulah anak muda itu memakannja, kalau tak membaginja, anak
muda itu djuga tidak minta.
Dengan demikian beberapa hari
telah lalu dengan tjepat. Sampai hari keenam, tempat mereka ber-lari2 itu
adalah ditengah lereng gunung jang terdjal. Sungguh aneh djuga, meski anak muda
itu tidak paham ilmu silat, tapi dengan digandeng oleh Tjia Yan-khek, semakin
lama berlari, semakin bersemangat malah. Sampai achirnja bahkan kedua kakinja
tidak terasa sakit lagi.
Jilid 7
Sesudah berlari satu hari
pula, djalanan pegunungan itu makin lama tambah berbahaja. Achirnja anak muda
itu tidak sanggup mendaki lagi, terpaksa Tjia Yan-khek menggendongnja dan
berlompatan dari suatu tebing ketebing jang lain dan dari suatu lereng kelereng
jang lain.
Anak muda itu sampai
kebat-kebit melihat lereng2 gunung jang tjuram disekitarnja itu. Terkadang
kalau ketmu tempat2 jang tjuram dan mengerikan, terpaka ia pedjamkan mata dan
tidak berani melihat.
Pada waktu lohor, sampailah
Tjia Yan-khek dibawah sebuah tebing jang menegak tjuram, tinggi mentjakar
langit. Dengan bantuan seutas rantai besi jang mendjulur dari atas tebing itu
Yan-khek lantas mendaki tebing itu.
Tebing itu sesungguhnja halus
litjin dan tegak, djangankan manusia, sekalipun kera djuga susah mendaki
keatas. Tjoba kalau tiada rantai besi jang pandjang itu, biarpun kepandaian
Tjia Yan-khek setinggi langit djuga belum tentu mampu memandjat keatas.
Sampai dipuntjak tebing itu,
Tjia Yan-khek menurunkan anak muda itu, lalu katanja: “Tempat ini namanja
Mo-thian-kay (tebing pentjakar langit), karena itulah aku mendapat djulukan
sebagai Mo-thian-kisu (pertapa dari tebing pentjakar langit). Maka itu bolehlah
tinggal sadja disini.”
Anak muda itu tjoba memandang
sekitarnja, ia lihat puntjak tebing itu tjukup luas djua, tapi dikelilingi oleh
kabut dan awan sehingga dirinja se-akan2 berada ditengah langit. Tanpa merasa
ia mendjadi tjemas dan gelisah. Segera ia tanja: “Katanja kau akan mentjarikan
ibuku dan si Kuning ?”
Tapi Tjia Yan-khek telah
mendjawabnja dengan dingin : “Dunia seluas ini, kemana aku harus mentjari
ibumu? Biarlah kita menunggunja disini sadja, boleh djadi pada suatu hari ibumu
akan datang kesini untuk mendjenguk kau, siapa tahu ?”
Biarpun anak muda itu masih
ke-kanak2an dan hidjau dalam segala hal, tapi tahu djuga bahwa dia telah
diapusi oleh Tjia Yan-khek. Ditempat demikian tjara bagaimana ibunja dapat
menemukan dia? Karena itu, seketika ia mendjadi terkesima.
“Kapan2 bila kau ingin pergi
dari sini djuga boleh,” kata Yan-khek pula. Diam2 ia pertjaja kalau anak muda
itu tak diberi makan, untuk turun kebawah tebing djuga tidak berani, achirnja
anak muda itu tentu akan membuka mulut untuk memohon sesuatu padanja.
Biasanja biarpun ibu anak muda
itu bersikap sangat dingin, tetapi selamanja tidak pernah mengapusi padanja.
Sekarang, untuk pertama kali selama hidupnja dia telah diapusi orang, entah
bagaimana perasaannja, air matanja lantas ber-linang2 dikelopak matanja, tapi
sedapat mungkin ia menahannja agar air matanja tidak sampai menetes.
Ia lihat Tjia Yan-khek telah
memasuki sebuah gua, selang tak lama dari dalam gua tampak mengepul keluar
asap, jaitu asap orang sedang memasak. Selang sedjenak pula lantas terendus bau
sedap dari dalam gua itu.
Memangnja perut anak muda itu
sudah lapar, maka ia lantas masuk kedalam gua. Ia lihat gua itu sangat luas dan
tjukup untuk bersembunji beberapa ratus orang.
Rupanja Tjia Yan-khek sengadja
menanak nasi dan memasak daging dimulut gua dengan tudjuan memantjing selera
makan anak muda itu agar meminta makan padanja. Tak terduga, anak muda itu
sedjak ketjil hanja hidup berdampingan dengan ibunja sadja, pada hakikatnja dia
tidak tahu tentang milikmu ataupun milikku, asal melihat makanan lantas
diambilnja dan dimakan, kenapa mesti pakai minta segala. Karena itulah, demi
dilihatnja diatas medja batu didalam gua itu tertaruh sepiring daging rebus dan
sebakul nasi, maka tanpa permisi lagi ia lantas mengambil mangkuk dan sumpit
sendiri, lalu mengisi nasi dan mengambil dan terus dimakan.
Tjia Yan-khek mendjadi
tertjengang sendiri. Pikirnja: “Ia pernah mentraktir aku makan bakpau, bahakan
djuga makan di restoran, kalau sekarang aku melarang dia makan masakanku tentu
hal ini akan memperlihatkan kerendahan budiku sendiri.”
Karena itulah iapun tidak
ambil pusing, segera ia djuga makan sendiri.
Rupanja penghidupan
“berdikari” bagi anak muda itu sudah mendjadi biasa, maka sehabis makan ia
lantas mentjutji mangkok, piring dan sumpit, lalu membersihkan bakul nasi dan
selesai itu ia lantas pergi mentjari kaju semuanja itu dikerdjakannja seperti
biasanja kalau dia hidup bersama dengan ibunja.
Sesudah mendapatkan kaju satu
pikul, baru sadja dia memikulnja pulang kegua, tiba2 dari semak2 ditepi djalan
melompat keluar seekor rusa. Dengan sebat sekali anak muda itu mengangkat
kapaknja dan rusa itu kena dihantam mati. Segera ia menjembelih rusa itu dan
ditjutji bersih dengan air selokan jang djernih, lalu dibawanja pulang kegua.
Ia gantung sebelah badan rusa itu ditempat terbuka agar kena angin dan supaja
tidak rusak, daging rusa jang lain ia potong2, lalu direbus didalam kuali.
Ketika mengendus bau sedapnja
daging rusa rebus, Tjia Yan-khek tidak tahan lagi, ia tjoba mentjeduk satu
sendok kuahnja dan mentjitjipinja. Tiba2 ia mendjadi girang dan masgul pula.
Ternjata rasa kuah itu enaknja tak terkira, tjara masaknja ternjata berpuluh
kali lebih pandai daripada dia sendiri.
Sungguh tak tersangka olehnja
bahwa anak muda itu ternjata masih mempunjai kepandaian simpanan, kalau hidup
bersama, tentu selandjutnja dia akan dapat banjak menikmati makanan enak. Tapi
lantas teringat pula olehnja, djika anak muda itu dapat berburu dan memasak,
tentunja djuga takkan meminta supaja diantar kebawah gunung, maka harapannja
agar anak muda itu akan mengemukakan permintaannja itu mendjadi kandas lagi.
Kiranja ibu anak muda itu
pintar sekali memasak, tapi tabiatnja aseran dan malas pula, lebih sering dia
suruh anak muda itu memasak daripada dia turun tangan sendiri. Bila masakan
anak muda itu kurang enak, dikala senang iapun suka memberi petundjuk2 tjara
masak dan resep2nja, tapi diwaktu kurang senang, sedikit2 ia lantas mendamperat
dan memukul anak muda itu.
Begitulah dengan tjepat
beberapa hari telah lalu, selama itu anak muda itu tetap melakukan
pekerdjaannja dengan baik, ia memasang perangkap untuk menangkap binatang,
membikin djepretan untuk membidik burung, ternjata matjam2 dan ada2 sadja kepandaiannja
sehingga setiap hari dia membikin masakan jang serba baru untuk disadjikan
kepada Tjia Yan-khek. Kalau tidak habis termakan, maka sisa daging lantas
dikeringkan mendjadi dendeng.
Karena kepandaian sianak muda
jang serba pintar dan baru itu, Tjia Yan-khek mendjadi ter-heran2. Waktu dia
menanjakan dari mana asal-usulnja kepandaian masak itu, sianak muda mendjawab
bahwa semuanja itu adalah ibunja jang mengadjarkannja.
Diam2 Tjia Yan-khek tambah
heran. Ia pikir kalau ibu dan anak itu sedemikian pandai memasak, maka
seharusnja mereka adalah orang2 pintar, ia menduga mungkin ibunja adalah wanita
kampung jang telah ditinggalkan sang suami sehingga timbul tabiatnja jang aneh
dan mendjendiri, atau boleh djadi karena tabiat pembawaannja jang aneh itu maka
telah ditinggalkan suaminja.
Dan karena anak muda itu
djarang sekali mengadjak bitjara padanja, diam2 Tjia Yan-khek sendiri mendjadi
sedih malah. Pikirnja: “Kalau urusan ini tidak lekas2 dibereskan, betapapun
akan selalu merupakan antjaman bagiku. Bila pada suatu ketika anak muda itu
mendapat budjukan musuhku dan mendadak dia memohon aku memunahkan ilmu silatku
sendiri atau membikin tjatjat anggota badanku sendiri, wah, kan bisa tjelaka ?
Atau mungkin sekali dia minta aku djangan turun dari Mo-thian-kay ini untuk
selamanja, bukankah itu berarti aku akan mati konjol diatas puntjak jang
terpentjil ini?”
Dalam keadaan demikian,
biarpun Tjia Yan-khek adalah seorang jang tjerdik, seketika iapun tidak
mendapatkan akal jang baik.
Pada suatu hari, lewat lohor,
Tjia Yan-khek sedang ber-djalan2 iseng dihutan dekat guanja, sekilas dilihatnja
anak muda itu sedang tengkurap diatas batu tjadas dengan tertawa2 senang
menghadapi serentetan benda2.
Waktu Yan-khek memperhatikan,
kiranja benda2 itu adalah ke-18 buah boneka tanah pemberian Tay-pi Lodjin tempo
hari. Anak muda itu telah menaruh boneka2 itu setjara terpisah disana-sini,
sebentar dia membariskan boneka2 itu, lain saat boneka itu disuruh perang2an.
Sungguh asjik dan senang sekali anak muda itu dengan barang permainannja itu.
Ketika melihat diatas badan
boneka2 itu penuh terdapat garis merah dan titik2 hitam, segara Yan-khek
mendekatinja, benar djuga seperti apa jang telah diduganja, memang titik2 hitam
itu menundjukkan berbagai Hiat-to diatas tubuh manusia dan garis merah itu
adalah djalannja urat2 nadi.
Yan-khek mendjadi teringat
kepada kedjadian dahulu ketika ia bertanding dengan Tay-pi Lodjin diatas gunung
Pak-bong-san, kepandaian Tay-pi Lodjin tatkala itu hanja keras pukulannja dan
ilmu Kim-na-djiu-hoat jang banjak perubahannja dan tjepat. Sesudah bertanding
lebih satu djam, achirnja Yan-khek telah menang setengah djurus sehingga Tay-pi
Lodjin lantas mundur teratur. Ilmu silat Tay-pi Lodjin memang sangat tinggi,
tapi mengutamakan kepandaian luar dan bukan kepandaian dalam tau Lweekang, akan
tentang tanda2 latihan Lweekang jang terlukis dibadan boneka2 itu mungkin
sangat tjetek dan mentertawakan.
Segera Yan-khek mengambil
salah sebuah boneka itu, ia lihat tanda2 Hiat-to dan garis2 urat nadi jang
terlukis itu memang benar adalah pengantar latihan Lweekang jang tepat, pada
umumnja tjara2 permulaan melatih Lweekang dari berbagai golongan dan aliran
tiada banjak bedanja seperti apa jang terlukis diatas boneka2 ini dan tiada
sesuatupun jang perlu dirahasiakan. Apa barangkali Tay-pi Lodjin kemudian sadar
bahwa kepandaiannja jang takdapat melebihi tokoh lain adalah disebabkan
kekurangannja dalam ilmu Lweekang, maka entah darimana dia telah memperoleh 18
buah boneka itu dengan maksud hendak mejakinkan Lweekang untuk mengimbangi
kepandaiannja jang sudah ada. Tapi untuk mejakinkan Lweekang dengan baik toh
tidak dapat disempurnakan dalam waktu singkat sadja, padahal usia Tay-pi Lodjin
sampai adjalnja sudah lebih 80 tahun, maka Lweekang jang dikehendakinja itu
terpaksa dilatihnja diachirat sadja. Hahaha, sungguh lutju! ~ Demikian pikir
Yan-khek dan tanpa terasa achirnja ia bergelak tertawa.
Anak muda itu ikut tertawa,
katanja: “Paman tua, tentunja kau geli melihat boneka2 ini berdjenggot dan
bukan anak2, tapi semuanja telandjang bulat, makanja kau tertawa geli.”
“Ja, memang menggelikan”,
udjar Yan-khek sambil tertawa.
Lalu ia memeriksa boneka2 lain
lagi, ia lihat Hiat-to dan urat2 nadi jang terlukis diatas boneka2 itu satu
sama lain ber-beda2. Jang 12 buah melukiskan Tjing-keng-tjap-dji-meh, jaitu 12
urat nadi tetap diatas tubuh manusia. Sedangkan 6 buah lainnja melukiskan enam
urat nadi aneh diatas tubuh manusia, padahal urat nadi aneh itu mestinja
berdjumlah delapan, jaitu apa jang disebut “Ki-keng-pat-meh”. Tapi sekarang dua
urat nadi, jaitu Tjiong-meh dan Tay-meh jang paling ruwet dan paling susah
dipahami itu ternjata tidak ada, djadi boneka2 itu kurang lengkap.
Diam2 Tjia Yan-khek membatin:
“Boneka2 jang dianggap benda mestika dan selalu dibawa oleh Tay-pi Lodjin ini
ternjata tidak lengkap. Padahal Lweekang jang dia ingin beladjar ini adalah
ilmu kasaran sadja, asal dia mengundang seorang murid salah satu perguruan ilmu
silat jang melatih Lweekang untuk memberi petundjuk, maka dengan mudah akan
dapat dipahaminja. Tapi, ja, maklumlah, dia adalah tokoh angkatan tua jang
kenamaan, masakah dia mau merendahkan diri untuk minta petundjuk kepada orang
lain?”
Ia lantas terbajang lagi pada
pertandingannja melawan Tay-pi Lodjin dahulu, meski achirnja dia menang
setengah djurus, tapi kemenangannja itu diperoleh setjara kebetulan sadja,
selama satu djam bertarung dengan mati2an itu beberapa kali ia sendiripun
menghadapi bahaja maut, kalau dipikir sekarang, sungguh untung sekali baginja,
tjoba kalau waktu itu Taypi Lodjin sudah mempunjai dasar Lweekang jang kuat,
tentu tidak sampai setengah djam dirinja sudah dihantam terdjungkal kedalam
djurang oleh Tay-pi Lodjin.
Dan baru sadja ia hendak
tinggal pergi, mendadak terpikir lagi olehnja: “Djika botjah ini sedemikian
senangnja memain boneka2 ini, kenapa aku tidak mengadjarkan Lweekang jang
terlukis diatas boneka2 itu padanja supaja dia nanti “Tjau-hwe-djip-mo” (tenaga
dalam djalan tersesat sehingga mengakibatkan kematian atau kelumpuhan) dan
mungkin djuga akan binasa ? Dahulu aku tjuma bersumpah takkan menggunakan
kekerasan kepada orang jang mengembalikan medali wasiat padaku, kalau sekarang
dia mampus sendiri karena salah melatih Lweekang, hal ini dengan sendirinja
bukan salahku dan bukan aku jang membunuhnja sehingga aku tidak melanggar
sumpah. Ja, kukira djalan inilah jang paling baik”.
Demikianlah tindak-tanduk Tjia
Yan-khek memangnja tergantung kepada pikirannja seketika itu sadja. Walaupun
dia suka pegang teguh tentang kepertjajaan, terutama apa jang pernah dia
djandjikan sendiri, tapi dalam hal tingkah laku dan tjara berpikir baginja
adalah bukan apa2 dan tidak berharga sepeserpun.
Karena itulah segera ia pegang
pula sebuah boneka itu dan berkata: “He, anak ketjil, apakah kau tahu apa
artinja titik2 hitam dan garis2 merah diatas boneka ini?”
Anak muda itu berpikir
sedjenak, kemudian mendjawab: “Boneka2 ini sedang sakit.”
“Mengapa sakit?” tanja
Yan-khek dengan heran.
“Tahun jang lalu akupun pernah
sakit dan sekudjur badanku timbul tutul2 merah seperti ini”, udjar sianak muda.
Yan khek mendjadi tertawa
geli. Katanja: “Itu adalah sakit gabak. Tapi apa jang terlukis dibadan boneka
ini bukan penjakit gabak melainkan rahasia tjara beladjar ilmu silat. Kau telah
menjaksikan aku menggendong kau sambil berlari setjepat terbang, kepandaianku
itu bagus atau tidak?”
Sampai disini, agar dapat
memperteguh keinginan anak muda itu akan beladjar ilmu silat, maka ia lantas
melontjat keputjuk sebatang pohon, dengan kaki kiri ia menahan diatas dahan,
sekali menjendal, kembali ia melontjat keatas lagi, lalu menurun dengan pelahan
kedahan pohon, kemudian melontjat pula keatas dan begitu seterusnja sampai
beberapa kali. Pada saat itulah tiba2 diudara terbang lalu dua ekor burung
geredja. Karena Tjia Yan-khek sengadja hendak memperlihatkan kepandaiannja jang
tinggi, segera kedua tangannja mendjulur keatas, sekali raup, tahu2 kedua ekor
burung itu sudah tertangkap olehnja. Kemudian ia melompat turun kebawah dengan
enteng sekali.
“Bagus! Bagus! Kepandaian
hebat!” demikian pudji sianak muda sambil menepuk tangan dan tertawa.
Waktu Yan-khek membuka telapak
tangannja, segera kedua ekor burung geredja itu pentang sajap hendak terbang
pergi, tapi baru sadja sajap burung itu menggelepak sekali, tiba2 dari telapak
tangan Tjia Yan-khek timbul serangkum tenaga dalam sehingga kekuatan terbang
burung2 itu dipunahkan.
Anak muda itu tambah senang
demi melihat telapak tangan Tjia Yan-khek terbuka, tapi dua ekor burung itu
hanja mengelepakkan sajap sadja dan tetap tidak sanggup meninggalkan tangannja,
segera ia ber-teriak2: “Ha, bagus, bagus! Sungguh menarik, sungguh permainan
menarik!”
“Sekarang kau boleh tjoba!” kata
Yan-khek dengan tertawa. Lalu ia menjerahkan kedua ekor burung itu kepada
sianak muda.
Segera anak muda itu memegang
burung2 itu dengan kentjang dan tak berani membuka tangannja, kuatir terlepas.
“Nah, ketahuilah bahwa apa
jang terlukis dibadan boneka2 itu adalah tjara melatih ilmu jang hebat”,
demikian Yan-khek menerangkan dengan tertawa. “Rupanja kau telah membela tua
bangka itu dengan mati2an, makanja dia berterima kasih dan menghadiahkan boneka2
itu padamu. Ini bukan barang mainan biasa, tapi adalah benda mestika jang susah
dinilai. Asal kau berhasil melatih ilmu jang terlukis diatas boneka2 itu, tentu
kau pun dapat membuka tanganmu dan burung2 itu takkan mampu terbang pergi.”
“Wah, menarik djuga djika
demikian, aku akan tjoba2 melatihnja?” kata anak muda itu sambil membuka kedua
tangannja.
Karena tangannja tidak dapat
mengeluarkan tenaga dalam, dengan sendirinja kedua burung geredja itu lantas
pentang sajap dan terbang keatas.
Yan-khek tertawa ter-bahak2.
Tapi dilihatnja kedua ekor burung geredja jang sudah terbang meninggalkan
tangan anak muda itu setinggi satu-dua meter, mendadak burung2 itu terdjungkal
lurus kebawah dan kembali djatuh kedalam tangan sianak muda, burung2 itu
ternjata sudah kaku, rupanja sudah mati.
Keruan kedjut Yan-khek tak
terkatakan sehingga suara tertawanja berhenti seketika. Setjepat kilat ia
pegang urat nadi tangan sianak muda, tangan jang lain menuding hidung anak muda
itu sambil membentak: “Kau………….kau adalah murid sibangsat tua Ting Put-si,
bukan? Le……….lekas mengaku!”
Biarpun Tjia Yan-khek adalah
seorang gembong persilatan jang telah banjak berpengalaman, tapi bitjara
tentang “sibangsat tua Ting Put-si” suaranja mendjadi agak gemetar djuga.
Kiranja dia mendjadi kaget
demi melihat tjara anak muda itu membunuh kedua ekor burung geredja, terang
itulah ilmu berbisa “Han-ih-bian-tjiang” (pukulan lunak berbisa dingin) jang
mendjadi kemahiran Ting Put-si. Ilmu jang maha lihay dan djahat itu sampai2
saudara sekandung Ting Put-si sendiri, jaitu Ting Put-sam djuga tidak bisa.
Tapi sekarang anak muda ini ternjata sedemikian mahir menggunakan ilmu itu,
tampaknja paling sedikit sudah terlatih sepuluh tahun lamanja, maka pasti anak
muda itu adalah ahli waris Ting Put-si.
Tjia Yan-khek tjukup kenal
Ting Put-si, ilmu silat tokoh itu sangat tinggi, tindak-tanduknja aneh dan
susah diduga pula, bahkan sangat kedji dan litjin, nama djulukannja jalah
“Tje-djit-put-ko-si”, artinja satu hari tidak lebih dari empat, jaitu orang
jang akan dibunuhnja setiap hari hanja empat sadja, djadi lebih banjak satu
orang menurut ketentuan saudara sekandungnja, jaitu Ting Put-sam.
Demi terpikir bahwa anak muda
ini telah memperoleh adjaran ini “Han-ih-bian-tjiang” jang mendjadi andalan
Ting Put-si, andaikan botjah ini bukan keturunannja tentu adalah muridnja.
Padahal medali wasiatnja sendiri itu diterima kembali dari anak muda ini,
rupanja segala sesuatu ini memang sengadja telah diatur oleh Ting Put-si, sebab
itulah maka betapapun didesak anak muda ini tetap tidak mau memohon sesuatu apa
padanja, rupanja akan tunggu sampai saat terachir jang menentukan barulah akan
dikemukakan. Besar kemungkinan saat ini Ting Put-si sendiri sudah berada diatas
Mo-thian-kay.
Berpikir demikian, seketika
Tjia Yan-khek mendjadi tegang, ia tjoba memandang sekelilingnja, meski tiada
nampak sesuatu jang mentjurigakan, tapi sekilas itu didalam benaknja sudah
timbul matjam2 pikiran: “Selama beberapa hari ini aku telah banjak memakan
daharan jang dimasak oleh anak muda ini, entah didalam makanan itu dia taburi
ratjun atau tidak? Djika Ting Put-si bermaksud membikin tjelaka padaku, entah
rentjana apa jang telah diaturnja? Dan anak muda ini adalah alat Ting Put-si,
entah apa jang akan dia minta agar aku mengerdjakannja ?”
Dalam pada itu karena
pergelangan tangannja dipegang dengan kentjang sehingga seperti ditanggam,
sianak muda mendjadi meringis kesakitan dan segera berseru: “Ting……………Ting
Put-si apa?...........Aku…………aku tidak tahu!”
Karena gugupnja tadi, maka
sekuatnja Tjia Yan-khek telah tjengkeram pergelangan sianak muda, sekarang demi
ingat ada kemungkinan Ting Put-si sudah berada disekitar situ dan menjaksikan
dia menganiaja seorang anak ketjil, hal ini tentu akan menurunkan deradjatnja
sebagai seorang tokoh terkemuka, maka ia lantas lepas tangan dan berseru:
“Mo-thian-kay ini djarang didatangi oleh orang kosen, djikalau Ting-losi sudah
berada disini, mengapa tidak perlihatkan dirimu sadja?”
Ber-ulang2 ia berseru sehingga
suaranja berkumandang djauh menggema lembah pegunungan itu, namun sampai lama
sekali hanja terdengar suara angin men-deru2 sadja tanpa sesuatu djawaban
orang.
Yan-khek tjoba mentjemput
burung geredja jang sudah mati itu, ia merasa bangkai burung itu kaku dingin,
ia tjoba meremasnja sedikit, bangkai burung itu berbunji kresek2, njata isi
perut burung itu telah membeku mendjadi es batu. Dari ini dapat diketahui bahwa
dasar kepandaian “Han-ih-bian-tjiang” jang dilatih anak muda itu sudah
mentjapai tiga atau empat bagian. Djika Ting Put-si jang menggunakan ilmu
berbisa itu tentu bangkai burung itu sudah membeku mendjadi es seluruhnja
sampai2 bulunja sekalipun.
Diam Yan-khek terkesiap. Ia
berpaling dan berkata dengan suara ramah: “Adik tjilik, tingkah lakumu sekarang
sudah ketahuan, buat apalagi kau masih berlagak pilon? Lebih baik kau mengaku
sadja Ting-losi itu pernah apamu?”
“Ting-losi? Aku…………aku tidak
kenal, siapa dia ?” demikian djawab sianak muda.
“Baik, djika kau tidak mau
mengaku, maka tjobalah kau memaki si maling tua Ting-losi itu”, kata Yan-khek.
“Kau pernah mengatakan bahwa
kata2 maling tua adalah makian pada orang lain, dia toh tidak berbuat kesalahan
apapun padaku, kenapa aku mesti memaki dia ?” sahut anak muda itu.
Lama2 Yan-khek djadi gemas,
sungguh dia ingin sekali hantam lantas membinasakan anak muda itu. Tapi lantas
terpikir pula: “Rupanja Ting Put-si pertjaja akau takkan mengingkar kepada
sumpahku sendiri dan takkan mengganggu orang jang mengembalikan medali wasiat
padaku, makanja ia menjuruh anak muda ini ikut aku ketas tebing ini tanpa
kuatir.”
Sebenarnja Tjia Yan-khek hanja
saling mengenal nama sadja dengan Ting Put-si dan tidak pernah bertemu muka,
maka diantara mereka djuga tiada selisih paham atau permusuhan apa2. Tapi demi
teringat dirinja mungkin sudah terdjeblos didalam perangkap Ting Put-si jang
terkenal kedji itu, mau-tak-mau Yan-khek lantas merinding.
Kemudian ia tanja pula kepada
sianak muda: “Adik tjilik, kau punja ‘Han-ih-bian-tjiang’ ini sungguh sangat
lihay, sudah berapa tahun kau melatihnja?”
“Apa itu ‘Han-ih-bian-tjiang’?
Entahlah, aku tidak tahu”, sahut sianak muda.
Muka Tjia Yan-khek berubah
masam, katanja dengan aseran: “Kalau ditanja, semuanja kau djawab tidak tahu.
Memangnja kau anggap aku orang she Tjia ini manusia goblok ?”
“Ada apakah engkau marah2
padaku? Sung………….sungguh aku tidak tahu. Ah, barangkali karena aku membikin
mati kedua ekor burung jang kau tangkap itu. Tapi kepandaian paman tua sangat
hebat, maukah engkau terbang keudara untuk menangkap dua ekor lagi. Bukankah
engkau menjatakan hendak mengadjarkan tjaranja menangkap burung sehingga
burung2 itu tidak dapat terbang dari telapak tanganku.”
“Bagus, biarlah aku lantas
mengadjarkan kepandaian ini padamu”, kata Yan-khek. Lalu ia ambil sebuah boneka
jang terlukis Hiat-to dan urat2 nadi itu, katanja pula: “Ilmu ini tidak susah
untuk dilatih, djauh lebih gampang daripada kau melatih ‘Han-ih-bian-tjiang’.
Ini, sekarang aku mengadjarkan apalannja padamu, asal kau ingat dengan baik,
lalu melatihnja menurut titik hitam dan garis2 merah jang terlukis dibadan
boneka ini, tentu dalam waktu singkat kau akan dapat menguasainja.”
Segera ia mengadjarkan satu
kalimat demi satu kalimat apalan sedjurus ilmu “Yam-yam-kang” padanja.
Tak terduga sianak muda itu
tampaknja tjukup tjerdas, pula sudah memiliki beberapa bagian dasar
‘Han-ih-bian-tjiang’. Namun entah pura2 bodoh atau memang sungguh2 ternjata
dalam hal Hiat-to, urat nadi, tjara bernapas dan mengerahkan tenaga, sama
sekali ia tidak betjus.
Sebabnja Tjia Yan-khek hendak
mengadjarkan “Yam-yam-kang” padanja, jaitu sematjam ilmu jang bertenaga dalam
maha panas, tudjuannja ialah ingin memunahkan tenaga dingin jang ditimbulkan Han-ih-bian-tjiang
jang telah dimiliki anak muda itu, lalu akan dibikinnja pula agar tenaga dalam
jang maha panas itu sesat keurat nadi jang salah sehingga antara panas dan
dingin saling bertentangan, akibatnja anak muda itu tentu akan binasa.
Sudah tentu “Yam-yam-kang” itu
tak dapat dilatih dengan baik dalam waktu singkat, untuk bisa mengimbangi
“Han-ih-bian-tjiang” jang dimilikinja sekarang sedikitnja harus berlatih selama
beberapa tahun, kalau tidak tentu tidak tjukup untuk membinasakan anak muda
itu. Tapi sekarang anak muda itu mengaku sama sekali tidak paham apa2 tentang
Hiat-to dan sebagainja, diam2 Tjia Yan-khek mendongkol. Sekarang kau berlagak
bodoh, kelak kalau kau sudah tahu rasa barulah kenal kelihayanku. Demikian
pikirnja.
Karena itu iapun berlaku sabar
sedapat mungkin dan mendjelaskan tempat2 letak Hiat-to jang bersangkutan
menurut apa jang terlukis dibadan boneka itu.
Dalam keadaan demikian anak
muda itu ternjata tidak bodoh lagi, tapi dapat memahami dengan tjepat,
ingatannja djuga tjukup kuat. Lalu Yan-khek mengadjarkan pula tjaranja mengatur
pernapasan dan suruh anak muda itu berlatih sendiri.
Untuk selandjutnja, tiap2 hari
selain melatih ilmu2 itu seperti biasa iapun pergi berburu, lalu memasak,
sedikitpun tidak menjurigakan ilmu jang diadjarkan oleh Tjia Yan-khek padanja
itu.
Semula Tjia Yan-khek merasa
kuatir kalau Ting Put-si datang ke Mo-thian-kay untuk menjerangnja, untuk
mendjaga kemungkinan itu maka ia telah mengerek rantai besi jang pandjang itu
keatas.
Sang waktu berlalu dengan
tjepat, hari berganti bulan dan bulan berganti musim, dalam sekedjap sadja
setahun sudah lalu, selama itu tiada seorangpun jang berusaha naik keatas
tebing jang tjuram itu, bahkan diatas Mo-thian-kay seluas belasan li itupun
tiada terdapat orang asing.
Karena persediaan beras dan
garam sudah hampir habis, Tjia Yan-khek terpaksa harus membelinja kebawah
gunung. Tapi ia tidak tega membiarkan anak muda itu tinggal sendiri diatas
gunung, kuatir kalau ada orang datang kesitu dan mentjuliknja, djika terdjadi
demikian, hal ini berarti dia menjerahkan mati-hidupnja sendiri kepada orang
lain. Sebab itulah ia lantas mengadjak anak muda itu kemanapun dia pergi. Ia
membeli bahan makanan seperlunja ditambah minjak dan garam, badju, sepatu, dan
kaos kaki. Selam turun gunung Tjia Yan-khek selalu berlaku waspada, namun
mereka dapat pulang keatas gunung tanpa mengalami halangan apa-apa.
Keadaan begitu telah mereka
lewatkan lagi selama beberapa tahun. Dalam setahun mereka suka turun gunung
satu-dua kali, habis belandja apa jang perlu mereka lantas tjepat2 pulang
keatas gunung lagi.
Sementara itu usia anak muda
itu sudah mendjadi 18-19 tahun, perawakannja sekarang tinggi besar, kekar dan
kuat, bahkan lebih tinggi daripada Tjia Yan-khek.
Selama itu Tjia Yan-khek tetap
berlaku hati2 sekali, diwaktu malam dia tidak tidur bersama didalam satu gua.
Diwaktu makan djuga mesti membiarkan anak muda itu mentjobanja dahulu untuk
membuktikan didalam makanan itu tiada diberi ratjun. Sehabis itu baru dia
berani makan daharan jang disadjikan itu.
Se-hari2 selain mengadjarkan
lweekang kepada anak muda itu, untuk omong iseng sadja ia merasa enggan.
Untungnja anak muda itu sedjak
ketjil djuga telah diperlakukan setjara dingin oleh ibunja seperti sikap Tjia
Yan-khek sekarang. Maka ia tidak merasakan kedjanggalan atas perlakuan Tjia
Yan-khek itu. Malahan ibunja sering mendamperat dan memukul dia, sebaliknja
Tjia Yan-khek tidak banjak bitjara, tidak tertawa dan tidak marah padanja.
Karena tiada pekerdjaan lain,
maka selain berburu dan memasak, kerdja anak muda itu hanja berlatih Lweekang
untuk melewatkan tempo jang senggang. Sesudah beberapa tahun, lambat laun
“Yam-yam-kang” jang dilatihnja itupun hampir mendekati selesainja.
Tjia Yan-khek sendiri sedjak
dulu mengalami sesuatu urusan jang mengetjewakan pada waktu dia berusia 30
tahun, lalu dia tirakat diatas Mo-thian-kay dan djarang lagi berkelana didunia
Kangouw. Tapi selama beberapa tahun terachir ini, setiap kali terpikir ada
kemungkinan dia sedang diintjar oleh seorang tokoh aneh seperti Ting Put-si,
maka siang dan malam dia selalu kebat kebit dan hidup tidak tenteram, terpaksa
setiap saat iapun selalu waspada. Maka selain dia giat berlatih ilmu silat
perguruannja sendiri, ia mejakinkan pula tiga matjam Tjiang hoat (ilmu pukulan
dengan tangan terbuka) dan Kun hoat (ilmu pukulan dengan kepalan) jang chusus
digunakan menghadapi Lweekang lawan jang berbisa dingin.
Dalam waktu beberapa tahun
bukan sadja Yam-yam-kang jang dilatih sianak muda sudah hampir selesai, bahkan
kekuatan Tjia Yan-khek sendiri djuga madju pesat, djauh berbeda kalau
dibandingkan pada waktu ia bertemu dengan sianak muda dahulu.
Pagi hari itu Yan-khek melihat
sianak muda sedang berduduk diatas batu tjadas disebelah timur sana dan asjik
melatih. Dari ubun2 anak muda itu tampak mengepulkan uap tipis. Itulah tanda
tenaga dalam jang dijakinkan itu sudah mentjapai tarap jang masak. Diam2
Yan-khek membatin: “Anak setan, sekarang sebelah kakimu sudah berada diambang
pintu achirat.”
Ia tahu latihan anak muda itu
baru akan selesai mendjelang lohor nanti, maka ia lantas tinggal pergi. Ia
gunakan Ginkang jang tinggi dan berlari sampai ditengah hutan tjemara jang
berada dibelakang puntjak gunung.
Tatkala itu embun belum lagi
kering seluruhnja, hawa masih sedjuk segar. Yan-khek menghirup napas dalam2,
lalu dihembusnja kembali dengan pelahan. Habis itu mendadak sebelah tangannja
menjodok kedepan, menjusul tangan jang lain djuga memukul dengan tjepat,
badannja lantas menggeser pula mengikuti pukulan2nja itu dan menjusur kian
kemari ditengah pohon2 tjemara itu. Makin lama makin tjepat larinja dan kedua
tangannja djuga naik-turun bekerdja dengan teratur, terdengar suara
“tjrat-tjret” jang perlahan, pukulan2nja tiada hentinja diarahkan kebatang
pohon. Larinja bertambah tjepat, sebaliknja makin lama pukulannja makin lambat.
Djadi kakinja bekerdjanja tambah tjepat, sebaliknja tangannja makin pelahan
bergeraknja. Tapi tjepatnja tidak ter-buru2, sedangkan pelahan tidak mengurangi
keganasannja. Njata ilmu silatnja sekarang sudah mentjapai puntjaknja
kesempurnaan.
Saking semangatnja mendadak
Tjia Yan-khek bersuit njaring, “plak-plak”, dua kali pukulannja tepat mengenai
batang pohon tjemara, seketika terdengar suara gemersik, lidi tjemara telah
rontok sebagai hudjan. Tapi Yan-khek lantas keluarkan ilmu pukulannja, beribu2
lidi tjemara itu telah dipukul mumbul kembali keudara.
Dari atas pohon lidi tjemara
itu masih terus bertebaran djatuh, tapi tetap takbisa djatuh ketanah karena
terguntjang kembali keatas oleh angin pukulan Tjia Yan-khek.
Hendaklah maklum bahwa lidi
tjemara itu mempunjai bobot dan ketjil, tidak seperti daun pohon biasa jang
enteng dan mudah kabur terbawa angin. Tapi sekarang angin pukulan Tjia Yan-khek
itu mampu membikin lidi tjemara sebanjak itu kabur keatas, njata sekali tenaga
dalamnja sudah dapat dikeluarkan dengan menurut sesuka hatinja.
Begitu banjak lidi tjemara
jang berterbaran itu sehingga berubah mendjadi suatu gulungan bajangan jang
membungkus rapat disekeliling tubuh Tjia Yan-khek. Agaknja dia sengadja hendak
mengudji sampai betapa hebatnja Lweekang jang telah dijakinkannja selama ini,
maka ia masih terus mengerahkan tenaga dalam, lidi tjemara itu diperlebar dan
didorong lebih kedepan.
Dengan meluasnja lingkaran
bajangan lidi tjemara, dengan sendirinja tenaga dalamnja mendjadi susah
dikuasai setjara merata, maka lidi tjemara jang berada paling luar itu lantas
bertebaran djatuh kebawah. Tapi mendadak Yan-khek menarik napas dalam-dalam dan
tenaganja tiba2 terpentjar tjepat keluar sehingga lidi tjemara jang djatuh itu
dapat ditjegah.
Sungguh girang sekali Tjia
Yan-khek, ia terus mengerahkan tenaga dalamnja, ia merasa setiap gerak-gerik
kaki dan tanganja dapat dilakukan dengan lantjar, djiwa raganja se-akan2 sudah
bersatu padu tak terpisahkan lagi.
Sampai agak lama djuga, ketika
dia mulai menahan tenaganja, mulailah lidi tjemara itu bertebaran djatuh
ketanah sehingga berwujud sebuah lingkaran hidjau disekelilingnja.
Selagi Yan-khek ber-seri2 puas
atas Lweekangnja sendiri itu, se-konjong2 air mukanja berubah hebat. Ternjata
entah sedjak kapan, tahu2 disekelilingnja sudah berdiri sembilan orang.
Kesembilan orang ini semuanja bersendjata dan sedang memandang kearahnja tanpa
berkata.
Dengan kepandaian Tjia
Yan-khek jang sudah sedemikian tingginja, djangankan orang hendak mendekati
dia, andaikan masih sedjauh satu-dua li tentu djuga akan diketahui olehnja.
Soalnja tadi ia sedang asjik mengerahkan tenaga dalamnja untuk melatih sedjurus
“Pek-tjiam-djing-tjiang” (ilmu pukulan djarum hidjau), perhatiannja terpusat
kepada ilmunja itu sehingga kedatangan orang2 jang sama sekali tak disangkanja
itu tak diketahuinja.
Padahal Mo-thian-kay itu
selamanja tak pernah dikundjungi orang luar. Sekarang mendadak kedatangan tamu
tak diundang sebanjak itu, maka Yan-khek insaf pendatang2 itu tentu tidak
bermaksud baik. Tapi ia mendjadi besar hati pula ketika diketahui pendatang2
itu berdjumlah sembilan orang. Maklum, selama beberapa tahun ini jang dia
kuatirkan hanja Ting Put-si jang berdjuluk “Tje-djit-put-ko-si” itu. Ia tahu
betul, baik Ting Put-si maupun Ting Put-sam selamanja suka djalan sendirian dan
tidak pernah bergerombol dengan orang banjak. Kedua saudara sekandung itupun
tidak akur satu sama lain dan djarang berada bersama. Sekarang pendatang2 itu
berdjumlah sembilan orang, terang diantara mereka tiada terdapat Ting Put-si,
karena itulah iapun tidak perlu djeri lagi.
Waktu dia perhatikan lebih
djauh, tiba2 ia mengenali tiga orang diantaranja, jaitu seorang tinggi kurus,
seorang Todjin dan seorang bermuka djelek. Itulah tiga orang jang telah
mengerojok dan membinasakan Tay-pi Lodjin dahulu. Yan-khek ingat betul menurut
pengakuan mereka kepada Tay-pi Lodjin bahwa mereka adalah orang2
Tiang-lok-pang.
Sesaat itu timbul matjam2
pikiran dalam benak Tjia Yan-khek. Tak peduli siapapun djuga, kalau datangnja
keatas Mo-thian-kay itu dilakukan setjara diam2, terang ini terlalu memandang
rendah kepadanja dan tidak gentar untuk memusuhinja. Padahal selamanja dia
tiada permusuhan apa2 dengan pihak Tiang-lok-pang. Lalu apa maksud tudjuan
kedatangan mereka ini? Djangan2 seperti halnja Tay-pi Lodjin, merekapun akan
memaksanja masuk menjadi anggota Tiang-lok-pang mereka?
Ia menaksir kekuatannja tjukup
untuk menghadapi ketiga orang jang sudah dikenalnja itu. Tapi bagaimana harus
melajani pula keenam orang jang lain?
Dilihatnja usia keenam orang
jang lain itu semuanja sudah lebih 40 tahun, dua diantaranja terang memiliki
Lweekang jang tinggi.
Kemudian ia lantas menjapa
dengan tersenjum: “Apakah saudara2 ini adalah sobat dari Tiang-lok-pang?
Maafkan aku tidak menjambut kedatangan kalian setjara mendadak ini. Entah ada
kepentingan apa, mohon pendjelasan.”
Kesembilan orang itu serentak
membalas hormat. Tadi mereka telah menjaksikan tenaga dalam Tjia Yan-khek
ketika memainkan “Pek-tjiam-djing-tjiang” tadi. Mereka tidak menjangka kalau
Tjia Yan-khek sedang memusatkan perhatian dalam latihannja itu sehingga tidak
tahu akan kedatangan mereka, sebaliknja mereka mengira Tjia Yan-khek sengadja
tidak gubris dan anggap enteng datangnja mereka itu. Segera seorang tua
diantaranja jang berbadju kuning mendjawab: “Kedatangan kami ini terlalu kurang
sopan, diharap Tjia-siansing suka memaafkan.”
Melihat dandanan orang tua
itu, mukanja putjat, bitjaranja lemah seperti orang jang berpenjakitan, tiba2
Yan-khek ingat seseorang, segera ia bertanja: “Apakah tuan ini adalah
“Tiok-djiu-seng-djun” Pwee-tayhu?”
Orang tua itu memang betul
“Tiok-djiu-seng-djun” (sekali pegang lantas sembuh) Pwe-tayhu, sitabib sakti
she Pwe. Nama lengkapnja adalah Pwe Hay-tjiok.
Ia merasa bangga djuga demi
mengetahui Tjia Yan-khek mengenal namanja. Ia batuk2 dua kali, lalu mendjawab:
“Ah, Tjia-siansing terlalu memudji sadja. Djulukan “Tiok-djiu-seng-djun” itu
sungguh malu aku menerimanja.”
“Pwe-tayhu terkenal suka
bertindak sendiri kemanapun pergi untuk menolong derita sesamanja, entah sedjak
kapan djuga telah masuk kedalam Tiang-lok-pang?” tanja Yan-khek.
“Kekuatan seorang adalah
terbatas, tapi kalau kekuatan orang banjak bergabung untuk kesedjahteraan
sesama manusia, maka kekuatan ini tentu akan besar,” sahut Pwe Hay-tjiok.
“Tjia-siansing, kedatangan kami ini memang terlalu sembrono, diharap engkau
djangan marah. Sudah tentu kedatangan kami ini ada urusan penting jang harus
disampaikan kepada Pangtju kami, maka sudilah Tjia-siansing menghadapkan kami
kepada beliau.”
“Siapakah gerangan Pangtju
kalian ?” Yan-khek menegas dengan heran. “Mungkin Tjayhe sudah terlalu djarang
berkecimpung dikangouw, maka pengetahuanku mendjadi tjetek sehingga nama
Pangtju kalian djuga tidak tahu. Tapi mengapa kalian mentjarinja kesini ?”
Kesembilan orang itu tampak
kurang senang atas djawaban Yan-khek itu. Pwe Hay-tjiok me-raba2 djenggotnja
jang pendek itu sambil batuk2 beberapa kali, lalu katanja pula: “Tjia-siansing,
Tjiok-pangtju kami adalah kawan karibmu dan selalu berada bersama, dengan
sendirinja segenap anggota Tiang-lok-pang kami djuga sangat menghormati
Tjia-siansing dan tak berani kurang sopan sedikitpun. Tentang gerak-gerik Tjiok-pangtju
kami, sebagai kaum bawahan selamanja kami tidak berani ikut tjampur. Soalnja
adalah karena Pangtju sudah terlalu lama meninggalkan markas dan banjak urusan
jang menantikan penjelesaiannja, ditambah lagi pada saat ini ada dua urusan
maha penting jang mendesak, maka……..makanja begitu mendapat kabar bahwa
Tjiok-pangtju berada diatas Mo-thian-kay sini, segera djuga kami menjusul
kesini dengan tjepat.”
Jilid 8
Melihat tjara bitjara Pwe
Hay-tjiok itu sangat tulus, melihat sikap kesembilan orang itupun tiada
bermaksud djahat meski semuanja bersendjata, diam2 Tjia Yan-khek mengetahui
telah terdjadi salah paham, maka djawabnja dengan tersenjum: “Diatas
Mo-thian-kay ini tiada medja kursi, sehingga telah mentelantarkan tamu2
terhormat, silakan kalian duduk sadja diatas batu. Sebenarnja darimanakah
Pwe-tayhu mendengar berita bahwa Tjiok-pangtju kalian selalu berada bersama
dengan aku? Padahal tidak sedikit kesatria2 jang terhimpun didalam Pang kalian,
dengan sendirinja Tjiok-pangtju kalian adalah seorang tokoh terkemuka,
sebaliknja aku hanja seorang gunung miskin jang tiada suka bergaul, mana bisa
berkumpul dengan kesatria ternama sebagai Tjiok-pangtju kalian. Hehe, lutju,
sungguh lutju.”
Pwe Hay-tjiok mendjadi ragu2.
Ia menduga sebabnja Tjia Yan-khek tidak mau mengakui kenal Tjiok-pangtju
mereka, tentu didalam hal ini ada apa2 jang tak dapat diterangkan. Maka ia
lantas memberi tanda kepada kawan2nja dan berkata: “Saudara2 sekalian, silakan
duduk untuk bitjara.”
Njata sekali Pwe Hay-tjiok
adalah pemimpin dari kesembilan oran ini. Maka kawan2nja itu lantas mengambil
tempat duduk sendiri2. Ada jang duduk diatas batu tjadas, ada jang duduk
didahan pohon jang rendah, Pwe Hay-tjiok duduk diatas gundukan tanah.
Kesembilan orang itu telah
memasukkan kembali sendjata2 mereka dan berduduk semua, tapi posisi kepungan
mereka terhadap Tjia Yan-khek masih tidak berubah. Keruan diam2 Yan-khek
mendjadi gusar, pikirnja: “Sikap kalian ini benar2 terlalu kasar padaku.
Djangankan aku memang tidak tahu Tjiok-pangtju kalian, andaikan tahu djuga
masakah aku dapat dipaksa untuk mengatakan ?”
Segera ia hanja te-senjum2
dingin sadja sambil menengadah, terhadap orang2 disekitarnja ia anggap sepi
sadja dan tak menggubris.
Padahal “Tiok-djiu-seng-djun”
Pwe Hay-tjiok itu sekalipun tidak lebih tinggi kedudukannja didunia persilatan
dibandingkan Tjia Yan-khek, paling tidak djuga setingkat. Sekarang Tjia
Yan-khek sengadja bersikap sedemikian angkuhnja, hal ini djuga keterlaluan.
Namun Pwe Hay-tjiok masih
mengingat kehormatan Pangtju mereka dan tetap bitjara dengan ramah:
“Tjia-siansing, sesungguhnja ini adalah urusan rumah tangga Pang kami, djika
engkau sampai terlibat, sungguh kami merasa tidak enak. Maka kami hanja minta
Tjia-siansing suka menghadapkan kami kepada Pangtju dan dengan sendirinja kami
akan berterima kasih dan nanti akan minta maaf pula padamu.”
Kalau mengingat nama besar dan
watak “Tiok-djiu-seng-djun” Pwe Hay-tjiok jang terkenal disegani dan angkuh
itu, sekarang dia bitjara sedemikian ramahnja, hal ini boleh dikata djarang
terdjadi.
Tapi Yan-khek tetap mendjawab
dengan dingin: “Pwe-tayhu, engkau adalah kesatria ternama di Kangouw, setiap
utjapan seorang laki2 sedjati harus dapat dipertjaja, bukan ?”
Mendengar pertanjaan Tjia
Yan-khek jang bernada gusar itu, diam2 Pwe Hay-tjiok mendjadi was-was,
sahutnja: “Ah, Tjia-siansing terlalu sungguh2.”
“Dan kalau utjapan Pwe-tayhu
adalah kata2 tulen, apakah utjapanku ini adalah kentut ?” kata Yan-khek pula.
“Sedjak tadi aku sudah menjatakan tidak pernah melihat Tjiok-pangtju kalian,
tapi kalian tetap tidak pertjaja. Djika demikian, apakah kalian adalah laki2
sedjati dan orang she Tjia ini adalah kaum pembohong ?”
“Ah, utjapan Tjia-siansing
terlalu sungguh2, orang2 Tiang-lok-pang kami selamanja djuga sangat
mendjundjung tinggi kepada Tjia-siansing,” sahut Pwe Hay-tjiok sambil
ter-batuk2. “Djika Tjia-siansing tidak suka menghadapkan kami kepada Pangtju
kami, tiada djalan lain terpaksa kami mesti mentjarinja sendiri.”
Air muka Tjia Yan-khek merah
padam menahan gusara, katanja: “Djadi bukan sadja Pwe-tayhu tidak pertjaja
kepada utjapanku, bahkan hendak bertindak setjara se-wenang2 ditempat tinggalku
ini?”
“Ah, tidak, mana kami berani
?” sahut Pwe Hay-tjiok. “Sungguh memalukan kalau dibitjarakan. Tiang-liok-pang
telah kehilangan Pangtju dan mesti minta orang menemukan Pangtju mereka, kalau
tjerita ini tersiar tentu akan dibuat bahan tertawaan orang Kangouw. Maka kami
terpaksa hanja akan mentjari sekadarnja sadja, harap Tjia-siansing djangan
salah paham.”
Sungguh dongkol Yan-khek tak
terkatakan. Pikirnja: “Diatas Mo-thian-kay ini darimana ada mereka punja
Pangtju kentut apa segala? Dasar mereka ini adalah kawanan perusuh, tentang
mentjari Pangtju apa djelas hanja sebagai alasan sadja. Kalau sekarang mereka
telah mengintjar diriku, biarpun darahku mesti membasahi puntjak gunung ini
djuga aku tidak gentar.”
Iapun insaf keadannja sekarang
sangat berbahaja. Melulu menghadapi Pwe Hay-tjiok seorang sadja paling banter
dirinja tjuma mampu melawannja dengan sama kuat, inipun sudah berkat kemadjuan
pesat kekuatan jang dilatihnja selama beberapa tahun paling achir. Sekarang
pihak lawan ditambah lagi delapan djago pilihan, maka sangat sulitlah baginja
untuk menjelamatkan diri.
Tiba2 ia mendapat akal.
Mendadak pandangannja beralih kesebelah kanan, air mukanja mengundjuk rasa
terkedjut sambil mengeluarkan suara heran pelahan.
Karena itu sinar mata
kesembilan orang itu lantas memandang kearah jang ditudju Tjia Yan-khek itu.
Pada saat itulah mendadak Yan-khek bergerak, setjepat kilat ia memutar
kesamping sitinggi kurus, jaitu Bi-hiangtju jang sudah dikenalnja itu, segera ia
hendak mentjabut pedang jang tergantung dipinggang kawan itu.
Ketika tidak melihat apa2
diarah jang dipandang itu dan segera merasa berkesiurnja angin dan tahu2 musuh
sudah berada disampingnja, setjepat kilat Bi-hiangtju djuga lantas bertindak,
tangannja bekerdja lebih tjepat daripada tangan Tjia Yan-khek dan mendahului
memegang pedang sendiri dan “sret” sendjata itu segera dilolosnja.
Tapi baru sadja sinar
pedangnja berkelebat, se-konjong2 bagian iga dan punggungnja terasa kesakitan,
Hiat-to bagian iga sudah tertutuk dan punggungnja sudah ditjengkeram oleh Tjia
Yan-khek.
Kiranja Tjia Yan-khek insaf
bukan tandingan kesembilan orang itu, dia pura2 terkedjut sambil memandang
kesebelah kanan hanja sebagai pantjingan sadja, gerakannja hendak merebut
pedang itupun pantjingan belaka. Sebab Bi-hiangtju jang tidak mau kehilangan
sendjatanja tentu akan mempertahankannja dengan mati2an, sebaliknja bagian iga
dan punggung dengan sendirinja terbuka sehingga kena ditawan Tjia Yan-khek.
Kalau tidak, biarpun kepandaiannja lebih rendah djuga tidak mungkin ditundukkan
hanja dalam satu-dua gebrakan sadja.
Yan-khek sendiri dahulu sudah
pernah menjaksikan tjaranja Bi-hiangtju menempur Tay-pi Lodjin dan tjaranja
menggunakan Kui-thau-to memapas rambut sianak muda, maka ia tjukup paham
djalannja ilmu pedang Bi-hiangtju, dan untung djuga sekali tjoba lantas
berhasil.
Maka dengan tersenjum Yan-khek
lantas berkata: “Maaf, Bi-hiangtju.”
Sebaliknja Pwe Hay-tjiok
lantas tanja dengan bingung, “Tjia-siansing, apa maksudmu ini? Apakah engkau
benar2 melarang kami untuk mentjari Pangtju kami?”
“Kalau kalian hendak membunuh
orang she Tjia tentunja tidak sukar, hanja sadja mesti diiringi dengan beberapa
lembar djiwa pula,” sahut Yan-khek.
“Selamanja kita tiada
permusuhan apa2, masakah kami bermaksud djahat kepada Tjia-siansing?” sahut Pwe
Hay-tjiok dengan tersenjum getir. “Apalagi dengan ilmu silat Tjia-siansing jang
aneh dan banjak perubahannja setjara mendadak, biarpun kami ada maksud djahat
djuga tak mampu meng-apa2kan Tjia-siansing. Kita adalah sahabat baik, silakan
melepaskan Bi-hiangtju sadja.”
Diam2 iapun kagum melihat Tjia
Yan-khek dalam satu gebrakan sadja sudah dapat menawan Bi-hiangtju. Tapi
sebagai ahli silat, sebenarnja betapa kemampuan pihak lawan sekali lihat sadja
sudah dapat diukurnja. Ia tahu sebabnja Tjia Yan-khek berhasil menawan
Bi-hiangtju adalah karena kelitjikannja dengan serangannja setjara mendadak,
djadi bukan dengan kepandaian jang sedjati. Sebab itulah dalam utjapannja tadi
dia menjatakan ilmu silat Tjia Yan-khek itu aneh dan banjak perubahannja
setjara mendadak.
Saat itu Tjia Yan-khek
mentjengkeram “Tay-tjui-hiat” dipunggung Bi-hiangtju, asal dia kerahkan tenaga
dalamnja, seketika urat nadi djantung Bi-hiangtju itu akan putus dan binasa.
Maka ia telah mendjawab: “Asal kalian segera pergi dari Mo-thian-kay ini, sudah
tentu aku akan segera melepaskan Bi-hiangtju.”
“Apa susahnja untuk pergi?”
kata Pwe Hay-tjiok. “Sekarang pergi, sebentar dapat datang lagi.”
“Pwe-tayhu,” kata Yan-khek
dengan menarik muka. “Setjara ngotot kau meretjoki diriku, sebenarnja apa
maksud tudjuanmu?”
“Maksud tudjuan apa? O, ja,
saudara2ku, apa maksud tudjuan kita ?” demikian Pwe Hay-tjiok sengadja
mengulangi pertanjaan Tjia Yan-khek itu.
Sedjak tadi ketudjuh orang
kawannja hanja tinggal diam sadja, sekarang mereka mendjawab serentak: “Kita
ingin bertemu dengan Pangtju dan menjambut Pangtju pulang Tjongtho (markas
besar).”
“Bitjara kesana kesini
ternjata kalian tetap menuduh aku telah menjembunjikan Pangtju kalian ?”
Yan-khek menegas dengan gusar.
“Tjia-siansing, sesungguhnja
didalam urusan ini ada sesuat jang tak dapat kami terangkan dan terpaksa kami
harus bertemu dulu dengan Pangtju kami,” sahut Pwe Hay-tjiok. Lalu ia berpaling
kepada seorang kawannja jang bertubuh tinggi besar, katanja: “In-hiangtju,
silakan kau bersama para saudara tjoba melongok kesekitar sini, bila melihat
Pangtju hendaklah segera beritahukan padaku.”
In-hiangtju jang disebut itu
bersendjatakan sepasang tombak pendek, ia memanggut dan mengiakan. Lalu
serunja: “Marilah kawan2, Pwe-siansing ada perintah agar kita tjoba mentjari
Pangtju dulu.”
Keenam orang lain serentak
mengiakan. Ketudjuh orang lantas mundur beberapa langkah, mendadak mereka
membalik tubuh terus berlari keluar hutan.
Walaupun Tjia Yan-khek sudah
menawan seorang lawan, tapi orang2 Tiang-lok-pang ternjata tidak kena digertak
dan sama sekali tidak memikirkan mati-hidupnja Bi-hiangtju jang tertawan,
mereka tetap mendjalankan tugasnja masing2, hanja tertinggal Pwe Hay-tjiok
sendiri masih tetap berada disitu, njata sekali untuk mengawasi dia dan bukan
untuk berusaha menolong Bi-hiangtju. Diam2 Yan-khek membatin: “Djika kalian
tidak menemukan Pangtju kalian jang memang tiada disini itu, sekembalinja nanti
tentu kalian akan meretjoki aku lagi. Sianak muda pernah mengembalikan medali
wasiat padaku, hal ini telah menggemparkan dunia Kangouw, maka sebentar lagi
pemuda itu tentu akan ditawan oleh mereka dan ini berarti Tiang-lok-pang
memiliki suatu sendjata lagi untuk membikin aku tak berdaja. Rasanja sekarang
tak berpaedah untuk bertjektjok dengan mereka, paling perlu aku harus berusaha
meloloskan diri dahulu.”
Ia lihat ketudjuh orang
Tjiang-lok-pang sudah menghilang diluar hutan. Mendadak telapak tangan kiri
menolak kepunggung Bi-hiangtju terus didorong sekuatnja. Djurus ini disebut
“Bun-tjay-bu-wi” (satu halus dan satu kasar), jaiut dengan kiri menggunakan
tenaga Im dan tangan kanan memakai tenaga Yang. Tubuh Bi-hiangtju itu diperalat
olehnja sebagai sendjata jang ampuh terus ditolak kearah Pwe Hay-tjiok.
Terpaksa Tjia Yan-khek harus
melakukan serangan kilat, sebab ia tjukup tahu Lwekang Pwe Hay-tjiok sangat
lihay, hanja sadja diwaktu mudanja Pwe Hay-tjiok pernah terluka dalam dan
penjakit itu takbisa disembuhkan seluruhnja, sebab itulah ilmu silatnja telah
banjak terpengaruh. Dan karena Pwe Hay-tjiok sendiri menderita sakit dalam
sehingga lama2 dia mendjadi pandai ilmu pertabiban, dari situlah dia memperoleh
djulukan sebagai Pwe-tayhu, padahal dia bukan seorang tabib sungguh2. Walaupun
demikian ilmu silatnja tetap luar biasa lihaynja, hal ini terbukti pada
sembilan tahun jang lalu, dalam semalam sadja dia telah membunuh
“Ek-tiong-sam-sat” (Tiga malaikat maut Opak) jang masing2 tinggal di tempat2
jang tidak sama dalam djarak 200 li djauhnja. Peristiwa itu telah menggemparkan
dunia persilatan pada waktu itu.
Sebab itulah meski Tjia
Yan-khek melihat Pwe Hay-tjiok berulang2 ter-batuk2 seperti orang sakit tebese,
tapi iapun tidak berani ajal sedikitpun, maka sekali serang lantas menggunakan
kekuatan sepenuhnja.
Pwe Hay-tjiok lantas batuk2
lagi ketika mendadak diserang, katanja: “Ai,
Tjia-siansing……….huk-huk……..mengapa mesti menggunakan kekerasan ?” ~ Terpaksa
iapun memapak dengan kedua telapak tangan untuk menahan dada Bi-hiangtju jang
ditolak kearahnja itu, berbareng itu mendadak dengkul kaki kiri terus
mendengkul keatas sehingga tepat mengenai perut Bi-hiangtju, kontan tubuh
Bi-hiangtju tertolak keatas dan mentjelat kebelakangnja. Dengan demikian kedua
telapak tangannja mendjadi se-akan2 menolak kedada Tjia Yan-khek sekarang.
Perubahan djurus ini sungguh
terlalu tjepat dan sangat aneh, biarpun Tjia Yan-khek sangat luas pengalamannja
djua merasa kaget atas kedjadian itu. Tiada djalan lain ketjuali kedua
tangannja digunakan untuk menjambut tolakan Pwe Hay-tjiok itu.
Tapi begitu keempat tangan
beradu, Yan-khek merasa udjung djari2 seperti ditusuk oleh be-ribu2 djarum.
Tjepat Yan-khek mengerahkan tenaga dalam tapi se-konjong2 terasa “blong”, pusat
tenaganja terasa kosong dan susah dikerahkan. Sekilas itu tahulah dia bahwa
karena latihannja tadi dia sudah menghabiskan tenaga dalam sendiri sehingga
sekarang tidak mungkin mengadu tenaga dalam pula dengan lawan.
Tjepat ia tekan kedua tangan
kebawah untuk menghantam perut lawan. Tapi Pwe Hay-tjiok djuga lantas tarik
tangan kebawah untuk menahan serangannja.
Se-konjong2 kedua lengan badju
Tjia Yan-khek mengebas dengan kuat untuk menjabet muka Pwe Hay-tjiok. Serangan
ini sangat lihay tampaknja. Tapi Pwe Hay-tjiok sudah dapat melihat kelemahan
musuh, namun demikian dia hanja mengegos untuk menghindar dan tidak balas
menjerang.
Kesempatan itu lantas
digunakan Tjia Yan-khek untuk menarik kembali lengan badjunja, berbareng
tubuhnja terus melajang kebelakang dengan kekuatan angin serangan jang ditarik
kembali itu. Ia memberi salam dan berseru: “Maafkan, mohon pamit dulu, sampai
berdjumpa pula”. ~ Sambil bitjara iapun terus mundur dengan tjepat, sikapnja
tetap keras dan gerakannja sebat, sedikitpun tidak kentara kalau dia sebenarnja
hendak melarikan diri.
Be-runtun2 ia telah menjerang
tiga kali dan tahu keadaan tidak menguntungkan, maka tjepat ia lantas
mengundurkan diri, djadi tidak dapat dianggap kalah. Walaupun dia dipaksa kabur
dari Mo-thian-kay, tapi dia dikepung sembilan orang lawan, malahan dia dapat
mendjatuhkan Bi-hiangtju dari pihak musuh, hal ini sebaliknja tjukup mematahkan
semangat djago2 Tiang-lok-pang tadi. Maka ketika dia melompat turun dari tebing
Mo-thian-kay jang tinggi dan tjuram itu, rasa lega dan senangnja ada lebih
besar daripada rasa penasaran dan dongkolnja. Tapi baru beberapa li ia berlari,
tiba2 ia merasa djari2 tangan agak kesakitan.
Ia tjoba memeriksa djari2 itu,
ternjata udjung tiap2 djari itu semuanja merah dan agak bengkak. Diam2 ia
terkedjut akan lihaynja tenaga dalam Pwe Hay-tjiok. Maka ia tidak berani
berlari tjepat lagi, tapi berdjalan dengan pelahan dan mentjari suatu tempat
jang sepi untuk mengatur Lwekang dan mendjalankan darahnja……….
Dilain pihak, demi nampak Tjia
Yan-khek kabur meninggalkan Mo-thian-kay, Pwe Hay-tjiok mendjadi ter-heran2:
“Dia adalah sahabat karib Tjiok-pangtju, mengapa dia menggunakan serangan
seganas ini terhadap Bi-hiangtju? Sungguh tingkah-lakunja benar2 susah untuk
dipahami.”
Segera ia membangunkan
Bi-hiangtju dan menempelkan kedua telapak tangannja dipunggung sang kawan dan
menjalurkan tenaga dalam. Selang sedjenak, pelahan2 Bi-hiangtju dapat membuka
matanja dan berkata dengan lemah: “Banjak terima kasih atas pertolongan
Pwe-tayhu.”
“Bi-hiante hendaklah rebah dan
mengaso sadja, sekali-kali engaku djangan menggunakan tenaga,” udjar Pwe
Hay-tjiok.
Kiranja djurus
“Bun-tjay-hu-wi” jang dikeluarkan Tjia Yan-khek tadi, tudjuannja bukan sadja
untuk membinasakan Bi-hiangtju, bahkan merupakan serangan maut terhadap Pwe
Hay-tjiok. Kalau Pwe Hay-tjiok menahan tubuh Bi-hiangtju dengan tenaga dalam,
maka digentjet dari muka dan belakang, tentu seketika Bi-hiangtju akan mati.
Sebab itulah Pwe Hay-tjiok hanja menahan sedikit dadanja Bi-hiangtju, berbareng
dengkul kaki menjontak tubuh Bi-hiangtju hingga mentjelat kebelakang, dengan
demikian barulah djiwa Bi-hiangtju dapat diselamatkan.
Walaupun demikian, toh lukanja
djuga tidak ringan, andaikan dapat disembuhkan djuga susah pulih kembali
seperti semula dalam waktu beberapa tahun.
Pelahan2 Pwe Hay-tjiok menaruh
tubuh Bi-hiangtju diatas tanah, lalu menggunakan tenaga dalam untuk mengurut
dada dan perutnja.
Pada saat itulah mendadak
terdengar suara orang: “Pangtju berada disini, Pangtju berada disini!”
Girang Pwe Hay-tjiok tak
terhingga, katanja kepada Bi-hiangtju: “Bi-hiante, keadaanmu sudah tidak
berbahaja lagi, engkau mengaso dulu disini, aku hendak pergi menemui Pangtju
dahulu.” ~ Lalu ia berlari kearah datangnja seruan tadi. Diam2 ia merasa
bersjukur sang Pangtju telah diketemukan, kalau tidak, bukan mustahil
Tiang-lok-pang mereka akan petjah berantakan tak keruan.
Setelah ber-lari2, achirnja ia
melihat diatas sepotong batu tjadas berduduk seorang. Dipandang dari samping
memang betul adalah sang Pangtju. Pula In-hiangtju dan keenam kawan jang lain
tampak berdiri didepan batu dengan sikap sangat menghormat.
Tjepat Pwe Hay-tjiok mendekati
mereka. Tatkala itu sang surja sedang memantjarkan sinarnja jang terang
sehingga wadjah orang itu dapatlah terlihat dengan djelas, tertampak alisnja
jang tebal dan mata besar, raut mukanja londjong, siapa lagi kalau bukan
Tjiok-pangtju jang sedang ditjarinja?
“Pangtju, baik2kah engkau ?”
seru Pwe Hay-tjiok dengan girang.
Tapi tiba2 dilihatnja air muka
sang Pangtju mengundjuk rasa derita sakit jang aneh, muka sebelah kiri tampak
bersemu ke-hidjau2an, sebaliknja muka sebelah kanan ke-merah2an seperti orang
mabuk arak.
Sebagai seorang tokoh
persilatan, pula mahir ilmu pertabiban, segera Pwe Hay-tjiok melihat keadaan
sang Pangtju jang luar biasa itu, ia terkedjut: “He, rupanja Pangtju sedang
melatih sematjam Lwekang jang sangat hebat. Wah, tjelaka, boleh djadi lantaran
kedatangan kami jang sembrono ini, maka telah mengganggu ketenangan
latihannja.”
Sesaat itu ia merasa matjam2
tanda tanja jang tersekam di dalam benaknja selama ini mendjadi terdjawab
:”Kiranja Pangtju telah memperoleh ‘Bu-kang-pit-kip’ (kitab rahasia ilmu silat)
apa2, makanja dia menghilang sampai setengah tahun lamanja dan susah
diketemukan. Tentu Tjia-siansing itu mengetahui latihan Pangtju sedang
mentjapai detik jang paling gawat dan tidak boleh diganggu oleh siapapun djuga,
makanja betapapun dia tidak mau menghadapkan kami kepada Pangtju. Ai, maksud
baiknja itu telah disalah terima oleh kami sehingga membikin susah padanja,
sungguh tidak pantas. Melihat keadaan Pangtju ini, agaknja hawa panas dan
dingin tubuhnja sedang bergolak dan susah dihimpun mendjadi satu, djika
terdjadi sesuatu kesalahan, tentu beliau akan tjelaka, sungguh berbahaja
sekali.”
Maka tjepat ia memberi tanda
agar kawan2nja itu mundur semua sehingga belasan meter djauhnja dari tempat
sang Pangtju. Lalu dengan suara pelahan ia mendjelaskan keadaan itu.
Semua orang lantas paham
duduknja perkara dan bergirang tertjampur kuatir. Ada jang bertanja apakah sang
Pangtju berbahaja? Ada pula jang menjesal tindakan mereka jang semberono
sehingga telah mengganggu latihan sang Pangtju.
Pwe Hay-tjiok lantas berkata:
“Bi-hiangtju telah dilukai oleh Tjia-siansing itu. Sekarang salah seorang
saudara hendaklah pergi mendjaganja. Aku sendiri akan mendjaga disini dan
mungkin akan dapat membantu Pangtju bilaman keadaan perlu. Kawan2 jang lain
silakan mengawasi sekitar tempat ini dan djangan sekali2 bersuara keras. Kalau
ada musuh datang boleh dibereskan setjara diam2 dan djangan sekali2 membikin
kaget Pangtju.”
Djago2 Tiang-lok-pang itu
mengiakan perintah Pwe Hay-tjiok dan mendjaga disekitar puntjak Mo-thian-kay
itu. Pwe Hay-tjiok sendiri lantas mendekati Tjiok-pangtju, ia lihat muka sang
Pangtju ber-kerut2, sekudjur badannja berkedjang, mulutnja tampak terpentang
ingin berteriak, tapi takdapat mengeluarkan suara sedikitpun. Terang itulah
tanda tenaga dalamnja tersesat dan djiwanja terantjam bahaja dalam waktu singkat.
Keruan Pwe Hay-tjiok
terkedjut. Ia ingin memberi pertolongan, tapi ia tidak tahu Lwekang apa jang
sedang dilatih sang Pangtju. Kalau setjara ngawur ia memberi pertolongan, bukan
mustahil akan mempertjepat kematian orang jang ditolong itu malah.
Ia lihat pakaian sang Pangtju
jang memangnja tjompang-tjamping itu mendjadi kojak2 dan hantjur karena
ditjakar dan dirobek kedua tangan sendiri, bahkan badannja berlumuran darah.
Sebaliknja ubun2 kepalanja tampak menguap. Pikirnja: “Ilmu silat Tjiok-pangtju
memang sangat aneh dan lihay serangannja, tapi tenaga dalamnja masih tjetek.
Namun melihat uap jang mengepul diatas kepalanja sekarang, terang Lwekangnja
ini sudah terlatih sampai puntjaknja. Sungguh aneh, mengapa hanja didalam waktu
setengah tahun sadja dia memperoleh kemadjuan sedemikian pesatnja ? Hal ini
membuktikan bahwa ilmu jang dilatihnja ini benar2 luar biasa.”
Selagi merasa ragu2 dan tak
berdaja, se-konjong2 Pwe Hay-tjiok mengendus bau sangit, dilihatnja badju
bagian pundak kanan sang Pangtju mengepulkan asap tipis. Itulah benar2 tanda
terbakar karena salah melatih dan dalam sekedjap sadja penderita itu dapat
binasa seketika.
Karena terkedjut, segera Pwe
Hay-tjiok mengulur tangan untuk menahan “Djing-leng-hiat” dilengan kanan sang
Pangtju, maksudnja hendak membikin tenang pikiran sipenderita untuk sementara
waktu. Tak terduga baru sadja djarinja menempel lengannja, ia merasa seluruh
badannja menggigil kedinginan, ia tidak berani mengerahkan tenaga untuk
melawan, terpaksa menarik kembali tangannja. Pikirnja dengan heran: “Lwekang
aneh apakah ini? Mengapa setengah badannja mengepul panas, sebaliknja separuh
badan jang lain sedingin ini?”
Selagi Pwe Hay-tjiok ragu2
tjara bagaimana harus berbuat, tiba2 tertampak tubuh sang Pangtju ber-kerut2
dan achirnja meringkuk dengan tangan memegang kepala sendiri terus terguling
djatuh kebawah. Sesudah kedjang beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi.
“Pangtju! Pangtju!” seru
Hay-tjiok. Ia tjoba periksa hidungnja, sjukurlah masih dapat bernapas. Hanja
sangat lemah, se-akan2 setiap saat bisa berhenti bernapas.
Pwe Hay-tjiok mengerut kening
kuatir. Tjepat ia bersuit memanggil kawan2nja, lalu ia membangunkan sang
Pangtju dan disandarkan pada batu tjadas besar itu.
Tidak lama kemudian ber-turut2
kawannja sudah berkumpul. Ketika melihat muka sang Pangtju sebentar merah
membara dan sebentar lagi putjat se-akan2 kedinginan, badannja juga bergemetar,
keruan mereka ikut kaget. Dengan sorot mata penuh tanda tanja mereka pandang
Pwe Hay-tjiok.
“Terang Pangtju sedang melatih
sematjam Lwekang jang maha hebat, apakah dia telah salat latih, seketika akupun
belum tahu dengan pasti,” demikian kata Pwe Hay-tjiok. “Urusan ini memang serba
sulit dan menjangkut Pang kita, maka diharap saudara2 ikut memberi saran jang
baik.”
Namun tiada seorangpun jang
bersuara. Semuanja saling pandang dengan bingung. Kalau Pwe-tayhu sadja tak
berdaja apalagi kita orang? Demikian pikir mereka.
Dalam pada itu Bi-hiangtju
jang telah dipajang kawan2nja dan ikut berkumpul disitu lantas berkata dengan
suara lemah: “Pwe-tayhu, apa jang kau anggap paling baik, maka bolehlah
didjalankan, betapapun pikiranmu djauh lebih sempurna daripada kami.”
Pwe Hay-tjiok memandang
sekedjap kearah Tjiok-pangtju, lalu berkata: “Keempat golongan paling
berpengaruh dari Kwan-tang telah berdjandji akan berkundjung kemarkas besar
kita pada Tiong-yang-tje (hari raja tanggal 9 bulan 9) nanti, temponja sekarang
sudah sangat mendesak dan tinggal sebulan lagi. Urusan ini menjangkut mati atau
hidupnja Pang kita, tentu saudara2 sendiri sudah tahu bahwa keempat golongan
besar dari Kwantang itu hanja tampil kemuka sebagai pelopor sadja, tapi
sebenarnja masih banjak pihak2 lain jang diam2 ingin…….huk, huk, ingin
mendjungkalkan Tiang-liok-pang kita. Dan bila Pang kita sampai dirobohkan oleh
Kwantang-si-pay (keempat golongan dari Kwantang) sehingga petjah berantakan,
maka djangankan kita hendak berketjimpung pula didunia Kangouw, sekalipun
mentjari suatu tempat untuk menjelamatkan diri rasanja djuga………djuga susah.”
“Utjapan Pwe-tayhu memang
benar,” udjar In-hiangtju. “Bagaimana Tiang-liok-pang kita dalam pandangan
orang2 Kangouw kita tjukup mengetahui. Segala sesuatu kita biasanja suka
bertindak dan berbuat setjara tegas dan blak2an, kita tidak suka meniru tjara2
kaum pengetjut, dengan sendirinja kita telah banjak membikin sirik orang2 lain.
Dalam urusan2 sekarang ini kalau tiada Pangtju sendiri jang tampil kemuka,
mungkin……………….mungkin……..ai………..”
“Ja, sebab itulah kita harus
tjepat mengambil keputusan,” sahut Pwe Hay-tjiok. “Menurut pendapatku, kita
harus tjepat menjambut Pangtju pulang kemarkas besar. Tapi penjakit jang
diderita Pangtju sekarang ini tampaknja tidak ringan, berkat redjeki beliau
kalau dalam waktu sepuluh hari atau setengah bulan beliau dapat sembuh kembali,
maka inilah jang sangat kita harapkan. Kalau tidak, asalkan Pangtju sendiri
sudah berada dimarkas, sekalipun kesehatannja belum pulih, namun beliau sudah
tjukup untuk memberi dorongan semangat kepada kita untuk menghalau musuh
bersama. Betul tidak saudara?”
“Ja, utjapan Pwe-tayhu memang
betul,” sahut semua orang.
“Djika demikian, marilah kita
lekas membuat dua usungan untuk membawa pulang Pangtju dan Bi-hiangtju” kata
Pwe Hay-tjiok pula.
Be-ramai2 mereka lantas
terpentjar untuk melakukan tugas, ada jang menebang dahan pohon, kulit pohon
dipuntir mendjadi tambang jang kuat, maka dalam waktu singkat dua buah usungan
sudah selesai disiapkan. Mereka mengikat kentjang2 sang Pangtju dan Bi-hiangtju
diatas usungan itu agar tidak terdjatuh diwaktu mereka menuruni tebing tjuram
itu. Kedelapan orang menggotong usungan2 itu setjara bergiliran dan
meninggalkan Mo-thian-kay.
Siapakah Tjiok-pangtju jang
dibawa pulang orang2 Tiang-lok-pang itu. Ia tak lain tak bukan adalah sianak
muda penemu medali wasiat itu.
Pada hari itu ia sedang
melatih Lwekang menurut tjara2 jang diadjarkan Tjia Yan-khek padanja. Sampai
lohor, tiba2 ia merasa hawa panas merangsang naik melalui urat nadi, bagian
kaki dan tangan sebelah kanan terasa panas sebagai dibakar. Berbareng itu urat
nadi kaki dan tangan sebelah kiri terasa kedinginan seperti direndam es. Djadi
jang panas keliwat panas dan jang dingin terlalu dingin, keduanja takdapat
dibaurkan mendjadi satu.
Kiranja sesudah berlatih
dengan giat selama beberapa tahun, maka tenaga dalam anak muda itu sudah tambah
hebat dan madju dengan pesat, sampai lohor hari itu “Yam-yam-kang” jang
dilatihnja itu sudah djadi.
Menurut perhitungan Tjia
Yan-khek, bilamana Yam-yam-kang jang dilatih itu sudah djadi, seketika tenaga
Yam-yam-kang jang maha panas itu akan saling terdjang dan saling gontok dengan
Lwekang “Han-ih-bian-tjiang” jang maha dingin, akibatnja djiwa anak muda itu
tentu akan melajang.
Sekarang anak muda itu
ternjata tidak tahan sampai setengah djam dan orangnja lantas tak sadarkan
diri, sampai sekian lamanja ia tetap tak sadar, sebentar ia merasa seluruh
badannja panas seperti dipanggang, keringat bertjutjuran dan mulut terasa
kering, lain saat ia merasa kedinginan seperti tertutup didalam gudang es,
sampai darahpun se-akan2 membeku.
Begitulah ia terus tersiksa
oleh rasa panas dan dingin setjara bergilir, lapat2 iapun tahu ada orang berada
disekitarnja, ada lelaki, ada wanita dan sedang bitjara, tapi sedikitpun ia
tidak tahu apa jang sedang dipertjakapkan mereka. Ia sendiri ingin berteriak
tapi susah membuka mulut. Ia merasa pandangannja terkadang terang dan terkadang
gelap, ia merasa sering kali diberi makan dan minum oleh orang lain, apa jang
diminum itu terkadang rasanja sangat pahit, ada kalanja djuga sangat manis,
tapi entah apa jang diminum dan dimakannja itu.
Keadaan jang gelap dan
membingungkan itu entah sudah berapa lamanja berlangsung, ketika pada suatu
hari mendadak ia merasa dahinja mendjadi segar, hidungnja lantas mengendus bau
harum. Pelahan2 ia tjoba membuka matanja, jang per-tama2 terlihat ada sebatang
lilin dengan apinja jang ter-guntjang2 pelahan. Menjusul lantas terdengar suara
orang jang sangat halus dan merdu berkata: “Ah, achirnja kau sadar djuga!”
Anak muda itu berpaling kearah
suara itu, ia melihat pembitjara itu adalah seorang anak dar berumur 17-18
tahun, berbadju hidjau pupus, raut mukanja potongan daun sirih, tjantiknja
susah dilukiskan. Bidji mata anak dara itu mengerling bening, dengan suara
pelahan telah berkata pula: “Bagian manakah jang terang tidak enak?”
Namun anak muda itu masih
merasa bingung. Ia ingat ketika itu dirinja sedang berlatih diatas
Mo-thian-kay, mendadak sebelah badannja terasa panas dan sebelah badan jang
lain terasa dingin, dalam kaget dan bingungnja itu ia lantas djatuh pingsan.
Dan mengapa didepannja sekarang muntjul seorang anak dara djelita?
Ia hendak mendjawab, tapi
lantas merasa dirinja merebah disebuah randjang jang empuk, bahkan badannja
berselimut, segera ia hendak bangun, tapi baru sedikit bergerak, seketika
anggota badannja serasa ditjotjok be-ribu2 djarum, sakitnja tidak kepalang,
tanpa terasa ia mendjerit.
“Kau baru sadja mendusin,
djanganlah bergerak,” demikian anak dara tadi berkata. “Terima kasihlah kepada
Thian jang maha murah, achirnja djiwamu ini dapat diselamatkan.”
Habis bitjara, mendadak
mukanja jang tjantik itu bersemu merah, dengan ke-malu2an ia lantas berpaling
kearah lain.
Djantung sianak muda memukul
keras. Ia merasa si nona ini tjantik tak terkirakan dan sangat menggiurkan.
Achirnja ia tjoba berkata: “Ber…………….berada dimanakah diriku ini?”
“Ssssst!” mendadak anak dara
itu mengatjungkan djarinja kedepan mulut sebagai tanda djangan bersuara. Lalu
ia ber-bisik2: “Ada orang datang, aku harus pergi dahulu.” ~ Dan sekali
melesat, tjepat sekali ia sudah melompat keluar melalui djendela.
Ketika anak muda itu berkedip,
tahu2 sinona sudah menghilang. Hanja terdengar diatas wuwungan rumah ada suara
orang berdjalan dengan pelahan, tapi tjepat sekali lantas mendjauh. “Siapakah
dia? Apakah dia akan datang mendjenguk diriku pula?” demikian sianak muda
berpikir dengan bingung.
Selang sedjenak, tiba2 diluar
pintu ada suara tindakan orang, lalu ada orang berbatuk2 beberapa kali,
menjusul pintu berkeriut dan didorong terbuka, maka masuklah dua orang. Sianak
muda melihat jang datang itu diantaranja ada seorang tua, tampaknja
berpenjakitan. Seorang lagi tinggi kurus dan seperti sudah dikenalnja.
Ketika melihat sianak muda itu
sudah sadar, siorang tua mendjadi girang, ia lantas mendekati dan berkata:
“Pangtju, bagaimana rasanja penjakitmu? Air mukamu hari ini tampak djauh lebih
segar.”
“Kau………..kau panggil apa
padaku? Ak…………aku berada dimanakah ini?” sahut sianak muda.
Sekilas siorang tua tampa
merasa sedih, tapi segera mukanja ber-seri2, djawabnja dengan tertawa: “Pangtju
telah djatuh sakit beberapa hari lamanja, sekarang pikiranmu sudah djernih
kembali, sungguh harus diberi selamat dan bersjukur. Sekarang silakan Pangtju
mengaso dan tidur sadja, besok hamba akan datang mendjenguk Pangtju lagi.”
Lalu ia memegang sebentar nadi
tangan sianak muda, katanja kemudian sambil mengangguk: “Denjut nadi Pangtju
sudah teratur dan kuat, sedikitpun tiada berbahaja lagi. Pangtju sungguh2
seorang beredjeki besar, segenap anggota Pang kitapun ikut bahagia.”
“Aku…………..aku bernama
‘Kau-tjap-tjeng’ dan bu…………bukan ‘Pangtju’, kata sianak muda itu dengan heran
dan bingung.
Siorang tua dan sikurus tampak
melengak demi mendengar djawaban itu. Mereka saling pandang sekedjap, lalu
berkatadengan suara pelahan: “Harap Pangtju mengaso sadja.” ~ Mereka mundur
beberapa langkah, lalu memutar tubuh dan keluar dari kamar itu.
Orang tua itu bukan lain
daripada “Tjiok-djiu-seng-djun” Pwe Hay-tjiok adanja. Dan sikurus adalah
Bi-hiangtju, nama lengkapnja ialah Bi Heng-ya.
Sementara itu luka Bi Heng-ya
sudah mulai sembuh berkat pertolongan Pwe Hay-tjiok. Hanja sadja ia merasa
menjesal karena nama baiknja telah tersapu bersih lantaran didjatuhkan Tjia
Yan-khek hanja dalam satu djurus sadja.
Tapi Pwe Hay-tjiok telah
menghiburnja: “Bi-hiante, kalau dibitjarakan, bahkan aku berharap waktu itu
kita bersembilan lebih baik didjatuhkan semua oleh Tjia-siansing, dengan
demikian kita tentu tidak sampai membikin kaget Pangtju dan beliau takkan
Tjau-hwe-djip-mo dan menderita seperti sekarang. Kalau melihat keadaan Pangtju
sekarang, sungguh susah diramalkan apakah beliau akan dapat sembuh atau tidak.
Andaikan sembuh, maka Lwekang aneh jang bertenaga panas dingin itu pasti susah
dijakinkan pula. Sebaliknja, jika terdjadi apa2 atas diri Pangtju, ai,
Bi-hiante, malahan diantara kesembilan orang adalah engkau sendiri jang paling
ringan dosanja, sebab meski kau ikut naik ke Mo-thian-kay, tapi ketika
menemukan Pangtju engkau sendiri sudah dalam keadaan pajah.”
“Apa bedanja keadaan diriku
pada waktu itu?” sahut Bi Heng-ya. “Ja, pendek kata bila terdjadi apa2 atas
diri Pangtju, rasanja kita bersembilan susah menebus dosa sebesar itu selain
membunuh diri semua.”
Tak tersangka, pada malam hari
kedelapan, ketika Pwe Hay-tjiok dan Bi Heng-ya menjambangi sang Pangtju, mereka
melihat sang Pangtju sudah sadar kembali dan dapat bitjara. Sudah tentu kedua
orang itu sangat lega dan girang. Hanja sadja mereka anggap Tjiok-pangtju baru
sadja mengalami derita Tjau-hwe-djip-mo, pikiran dan djiwanja tentu mengalami
guntjangan hebat, sebab itulah bitjaranja mendjadi me-lantur2 tak keruan serta
tidak kenal pada mereka lagi.
Waktu Pwe Hay-tjiok memeriksa
nadi sang Pangtju, ia merasa djalannja nadi sangat kuat dan baik, baru sadja ia
merasa senang, tiba2 sang Pangtju telah mengutjapkan kata2 jang membuatnja
bingung, katanja dia bukan “Pangtju”, tapi bernama “Kau-tjap-tjeng” apa segala.
Keruan mereka mendjadi kaget dan tidak berani banjak bitjara lagi, tjepat2
mereka lantas mengundurkan diri.
Sampai diluar, dengan suara
pelahan Bi Heng-ya tanja Pwe-tayhu: “Bagaimana, mengapa bisa demikian?”
Pwe Hay-tjiok berpikir
sedjenak, sahutnja kemudian: “Saat ini pikiran Pangtju masih katjau, tapi ada
lebih baik daripada tak sadarkan diri sama sekali. Ja, tentu aku akan berusaha
sepenuh tenaga dan semoga dalam waktu singkat kesehatan Pangtju sudah dapat
dipulihkan kembali.” ~ Sampai disini ia merandek sedetik, lalu menjambung pula:
“Tjuma urusan organisasi kita sudah makin mendesak waktunja, entah kapan
kesehatan Pangtju dapat disembuhkan seluruhnja ?”
Jilid 9
Dalam pada itu, sesudah kedua
orang itu pergi barulah sianak muda mengamat-amati keadaan didalam kamar, ia
melihat dirinja tertidur diatas sebuah randjang berukuran sangat besar dengan
kelambu dan selimut jang indah, didepan tempat tidur itu terdapat sebuah medja
tulis bertjat merah, disamping medja itu ada dua buah kursi dengan kasur
bersulam. Selain itu banjak pula padjangan2 lain jang serba mewah dengan bau
asap jang harum semerbak sehingga membikin orang merasa seperi berada didalam
gua dewa.
Sudah tentu sianak muda tidak
pernah kenal tempat tidur sebesar dan sebagus itu, apalagi benda2 lain jang
menjilaukan mata didalam kamar itu. Pikirnja: “Besar kemungkinan aku berada
dalam impian.”
Tapi bila teringat kepada
sinona badju hidjau jang tjantik menggiurkan itu, sampai alisnja jang lentik
dan bibirnja jang merah tipis sebagai delima merekah, semuanja tiu djuga masih
teringat dengan djelas, pula daun djendela jang dibukanja tadi untuk melompat
keluar itu sampai sekarang djuga masih setengah terpentang, semuanja ini toh
tidak seperti dalam mimpi?
Ia tjoba angkat tangan kanan
hendak meraba kepalanja sendiri. Tak tersangka hanja sedikit bergerak sadja,
seluruh badannja lantas kesakitan pula sehingga ia mendjerit.
Karena suaranja itu, tiba2
terdengar suara orang menguap kantuk dipodjok kamar sana dan berkata: “Siauya”
(tuan muda), engkau sudah mendusin……..” itulah suara seorang wanita, agaknja
baru sadja terdjaga bangun dari tidurnja. Tiba2 ia berseru kaget pula: “Ha,
eng………..engkau sudah sadar kembali?”
Sianak muda merasa
pandangannja mendjadi silau ketika tiba2 seorang anak dara berbadju kuning
tahu2 sudah berdiri didepan tempat tidurnja. Semua ia bergirang, disangkanja
sinona badju hidjau tadi jang telah datang lagi, tapi sesudah diperhatikan
ternjata nona dihadapannja sekarang ini berbadju ringkas warna kuning telur,
bergelung tjiodah dibagi dua. Bukan sadja dandanannja lain, bahkan mukanja
djuga beda. Muka sinona didepannja sekarang ini agak bundar, matanja besar,
dibalik ketjantikannja tampak sangat pintar dan lintjah pula.
“Siauya, engkau sudah sadar
kembali?” demikian terdengar sinona bertanja pula dengan rasa girang dan
kuatir.
“Ja, aku…….aku sudah sadar.
Apakah………..apakah aku bukan didalam mimpi?” sahut sianak muda.
Sinona mengikik tawa. “Ja,
mungkin engkau masih didalam mimpi, boleh djadi,” katanja. Habis itu lalu ia
bersikap sungguh2 dan bertanja pula: “Siauya, apakah engkau ada perintah
sesuatu?”
“Kau panggil aku apa?
Siau………….Siauya apakah?” tanja sianak muda dengan heran.
Air muka sinona tampak mengundjuk
rasa marah, sahutnja: “Sudah lama kukatakan padamu bahwa kami ini adalah orang2
rendah, kaum hamba belaka, kalau tidak panggil Siauya padamu, habis panggil
apa?”
“Aneh,” udjar sianak muda
dengan menggumam sendiri. “Jang seorang memanggil aku Pang……Pangtju, sekarang
jang satu lagi memanggil aku Siauya. Sebenarnja siapakah aku ini? Dan mengapa
bisa berada di sini?”
Sinona tampak bersabar
kembali, katanja: “Siauya, kesehatanmu belum lagi pulih, hendaklah kau mengaso
sadja. Apakah suka makan sedikit sarang burung?”
“Sarang burung ?” sianak muda
menegas. Ia tidak tahu barang apakah “sarang burung” itu. Tapi perutnja memang
terasa sangat lapar, tiada djeleknja untuk makan apapun djuga. Maka ia lantas
manggut.
Dan sesudah membetulkan
badjunja jang agak kusut, lalu anak dari itu menudju kekamar sebelah. Tidak
lama kemudian ia datang lagi dengan membawa sebuah nampan dimana tertaruh
sebuah mangkuk berwarna indah, dari dalam mangkuk itu terkepul uap jang berbau
sedap wangi. Ditengah malam itu entah tjara bagaimana nona itu dapat
menjediakan daharan panas dalam waktu sesingkat itu.
Memangnja perut sianak muda
sudah lapar, demi mengendus bau harum sedap itu, seketika ia mengiler, perutnja
semakin berkerujukan.
Rupanja suara kerujukan perut
sianak muda dapat didengar anak dara itu, dengan tersenjum anak dara itu
berkata: “Sudah tudjuh delapan hari engkau hanja minum kuah kolesom melulu
untuk menguatkan badanmu, tentu sadja kau sangat kelaparan.” ~ berbareng ia
lantas menghaturkan nampan jang dibawanja itu.
Sianak muda dapat melihat
bahwa isi mangkuk itu adalah sedjenis makanan seperti bubur tapi bukan bubur,
diatasnja ditaburi sedikit kelopak bunga mawar jang sudah kering sehingga
menjiarkan bau harum. Segera ia tanja: “Makanan baik ini apakah untukku?”
“Sudah tentu, masakah pakai
sungkan2 segala?” udjar sianak dara dengan tersenjum.
Tapi sianak muda itu mendjadi
ragu2, ia pikir makanan sebaik ini entah berapa harganja, padahal uangnja sudah
habis, entah boleh utang atau tidak? Lebih baik bitjara setjara terang2an
sebelumnja. Maka ia lantas berkata: “Ta………tapi aku tiada punja uang,
apa…………apakah boleh utang ?”
Anak dara itu tampak
tertjengang sedjenak, tapi lantas berkata dengan tertawa: “Dasar djahil,
sesudah sakit sepajah ini watakmu masih djuga belum berubah. Baru sadja kau
dapat bitjara sudah mulai mengotjeh jang tidak2 lagi. Sudahlah, kalau lapar
lekas makan sadja.” ~ Sambil bitjara ia menjodorkan nampannja lebih dekat pula.
Sianak muda mendjadi girang.
“Habis makan aku tidak perlu bajar?” ia menegas.
Rupanja anak dari itu mendjadi
djemu, tiba2 ia menarik muka dan menjahut: “Ja, tidak perlu bajar, kau mau
makan atau tidak ?”
“Makan, tentu sadja makan!”
seru sianak muda tjepat.
Segera ia hendak memegang
sendok jang berada diatas nampan. Tapi baru sadja tangannja bergerak, seketika
tubuhnja kesakitan lagi seperti ditusuk djarum, ia merintih tertahan dan sambil
meringis ia mengangkat tangannja dengan pelahan, namun toh tetap bergemetar.
“Siauya, kau ini sakit
sungguh2 atau pura2 kesakitan?” tanja sianak dara dengan muka masam.
“Sudah tentu sakit sungguh2,
mengapa mesti pura2?” sahut sianak muda dengan heran.
“Baik, mengingat deritamu
diwaktu sakit keras ini, biarlah untuk sekali lagi aku menjuapi kau,” kata
sianak dara. “Tapi awas, Siauya, djika kau main pegang2 dan tjomat-tjomot lagi,
tentu aku tidak mau gubris lagi padamu.”
Sianak muda semakin heran.
“Apa itu main pegang2 dan main tjomat-tjomot?” tanjanja.
Air muka sianak dara mendjadi
merah djengah. Ia pelototi anak muda itu sekedjap sambil mendengus, lalu ia
pegang sendok dan menjendok bubur sarang burung untuk menjuapinja.
Seketika sianak muda melenggong,
sama sekali tak terpikir olehnja bahwa didunia ini ternjata ada orang sebaik
ini. Tanpa pikir ia lantas membuka mulut dan makan bubur sarang burung jang
dilolohkan kepadanja itu. Sungguh rasanja sangat manis dan harum, enaknja tak
terkatakan.
Anak dara itu hanja diam2
sadja dan terus menjuapi sampai beberapa kali, ia berdiri agak djauh dari
tempat tidur sianak muda, hanja tangannja jang didjulurkan untuk menjuap,
tampaknja seperti takut2 kalau2 mendadak “diterkam” oleh sianak muda.
Namun sianak muda sendiri
sedang menikmati bubur sarang burung itu dengan men-djilat2 bibirnja sambil
memudji: “Ehm, sungguh enak sekali. Aku harus berterima kasih padamu.”
“Hm, hendaklah kau djangan
pakai akal litjik untuk menipu aku,” dengus sianak dara. “Sarang burung seperti
ini entah berapa ribu mangkuk telah kau makan, bilakah kau pernah memudji akan
keenakannja?”
Sianak muda mendjadi bingung
sebab ia merasa selama hidupnja belum pernah makan sarang burung jang enak itu.
Ia tjoba bertanja pula: “Apakah ini jang di……………dinamakan sarang burung ?”
“Huh, kau benar2 pandai
berlagak bodoh, Siauya,” djengek sianak dara, berbareng ia melangkah mundur
satu tindak se-akan kuatir diperlakukan setjara tidak senonoh oleh sianak muda.
Anak muda itu tjoba
mengamat-amati sianak dara, terlihat pakaiannja jang berwarna kuning telur,
rambutnja jang agak kusut bergelung tjiodah bagi dua, matanja tampak masih
kerijep2 sepat karena baru mendusin, kakinja telandjang dan tidak memakai kaos
sehingga kelihatan putih bersih bersandal sulam kembang tjantiknja susah
dilukiskan. Tanpa terasa ia lantas memudji: “Kau……….kau sungguh sangat
tjantik!”
Muka sianak dara mendjadi
merah dan mengundjuk rasa marah, mendadak ia taruh mangkuk diatas medja, lalu
menudju kepodjok kamar dan menggulung sebuah tikar dan sehelai selimut, tangan
jang lain membawa sebuah bantal, terus berdjalan kepintu kamar.
Dengan gugup sianak muda
berseru: “He, hen…..dak kemana kau ? Kau tak gubris lagi padaku ?”
“Kau baru sadja sembuh,
sekarang mulutmu sudah mulai mengotjeh tak keruan lagi,” sahut sianak dara.
“Kemana aku dapat pergi? Engkau adalah madjikan dan kami adalah kaum hamba jang
rendah, masakan dapat dikatakan gubris dan tidak ?” ~ Sambil berkata ia terus
melangkah pergi.
Sianak muda mendjadi bingung,
ia tidak tahu sebab apakah anak dara itu marah2. Pikirnja: “Seorang nona telah
pergi dengan melompat djendela, nona ini pergi pula melalui pintu, apa jang
mereka katakan sama sekali aku tak paham. Ai, aku benar2 seorang tolol, segala
apa tidak paham.”
Tengah ter-menung2 sendiri,
tiba2 terdengar suara tindakan orang jang halus, ternjata anak dara tadi telah
masuk kamar lagi, air mukanja tampak masih bersengut, tangannja membawa sebuah
baskom.
Sianak muda mendjadi girang.
Dilihatnja anak dara itu meletakkan baskom itu diatas medja, lalu dari dalam
baskom diangkatnja sepotong handuk jang mengepul panas, sesudah diperas, handuk
itu lantas disodorkan kepada sianak muda, katanja dengan nada dingin: “Ini,
tjutji muka!”
“Ja, ja,” sahut sianak muda
tjepat dan segera hendak mengambil handuk hangat itu. Tapi baru bergerak
sedikit sadja sekudjur badannja lantas kesakitan seperti di-tusuk2 djarum. Ia
meringis tertahan sambil menerima handuk itu. Ketika hendak dipakai mengusap
mukanja, kedua tangan gemetar dengan hebat, betapapun handuk itu susah
dilekatkan kepada mukanja.
Anak dara itu tampak ragu2 dan
tjuriga, katanja dengan menjindir: “Huh, pintar sekali tjaramu berlagak”. ~
Segera ia ambil kembali handuk itu dan berkata pula: “Ingin aku mengusapkan
mukamu djuga tidak sukar. Tjuma sadja engkau tidak boleh main gila dengan
tanganmu, asal kau menjentuh seudjung rambutku, untuk selandjutnja aku pasti
tidak mau masuk ke kamar ini lagi.”
“Ah, nona djangan mengusapkan
mukaku, mana aku berani dilajani olehmu,” udjar sianak muda. “Kain ini
sedemikian putih bersih, sedangkan mukaku sangat kotor, tentu kain bersih ini
nanti akan ikut mendjadi kotor.”
Mendengar nada anak muda itu
agak lebih rendah daripada dahulu, tjaranja bitjara dan lafalnja djuga rada
berbeda daripada masa dulu, lebih2 mengenai apa jang dikatakan selalu hal2 jang
tak genah, mau tak mau sianak dara semakin tjuriga: “Djangan2 karena sakitnja
jang keras ini, maka otaknja telah terganggu. Menurut pembitjaraan Pwe-siansing
dan lain2, katanja dia melatih sesuatu ilmu dan telah membakar dirinja sendiri
sehingga menderita luka dalam jang berat. Kalau tidak mengapa bitjaranja selalu
tak keruan dan tak teratur ?”
Kemudian ia tjoba bertanja:
“Siauya, apakah kau masih ingat namaku?”
“Selamanja kau tidak pernah
katakan padaku, dari mana aku kenal namamu?” sahut sianak muda. Ia tersenjum,
lalu menjambung pula : “Aku sendiri bukan bernama Siauya, tapi namaku adalah
Kau-tjap-tjeng, ini adalah nama panggilan ibuku. Paman tua itu mengatakan nama
ini tidak baik. Dan siapakah namamu ?”
Kening sianak dara semakin
mengerut mengikuti utjapan sianak muda itu, pikirnja: “Melihat tjara bitjaranja
ini toh tiada tanda2 sengadja bergurau atau pura2, apakah dia benar2 sudah
tidak waras lagi ?” ~ Berpikir demikian ia sendiri mendjadi sedih, katanja:
“Siauya, apakah engaku benar2 tidak kenal diriku lagi? Kau sudah lupa kepada Si
Kiam ?”
“Oh, apa kau bernama Si Kiam?
Baiklah, selandjutnja aku akan panggil kau Si Kiam……..tidak, tapi akan
kupanggil entji Si Kiam. Kata ibuku, terhadap wanita jang djauh lebih tua harus
memanggilnja bibi, djika usianja sebaja bolehlah memanggilnja entji.”
Tiba2 air mata Si Kiam
berlinang2, katanja dengan suara ter-guguk2: “Siauya, apa engkau benar2 sudah
lupa padaku dan bukan tjuma pura2 sadja ?”
Sianak muda menggeleng kepala,
sahutnja: “Apa jang kau katakan semuanja aku tidak paham, entji Si Kiam, sebab
apakah kau menangis, mengapa kau tidak senang ? Apakah aku berbuat salah padamu
? Dikala ibuku merasa tidak senang sering beliau memaki dan memukul aku, sekarang
kaupun boleh memaki dan memukul padaku sadja.”
Perasaan Si Kiam semakin pilu,
pelahan2 ia menggunakan handuk tadi untuk mengusap muka sianak muda, katanja
dengan pelahan: “Aku adalah pelajanmu, mana boleh memaki dan memukul kau?
Siauya, semoga Thian memberkahi dirimu supaja penjakitmu lekas sembuh. O,
Tuhan, djika ingatanmu benar2 terganggu, lantas bagaimana baiknja ?”
Sedjenak kemudian Si Kiam
bertanja pula: “Siauya, kau telah melupakan namaku, apakah urusan2 lain djuga
sudah kau lupakan? Misalnja tentang kau adalah Pangtju dari Pang apa?”
Sianak muda menggeleng,
sahutnja: “Tidak, aku bukan Pangtju apa2, paman tua telah mengadjarkan aku
melatih ilmu, sekonjong2 sebelah badanku sangat panas seperti dipanggang dan
sebelah badan jang lain dingin luar biasa. Aku………….aku tidak tahan dan achirnja
tidak ingat diri lagi. Entji Si Kiam, mengapa aku bisa berada disini? Apakah
kau jang membawa aku kesini ?”
Kembali hati Si Kiam merasa
pilu, pikirnja: “Djika demikian, agaknja dia benar2 tidak ingat apa2 lagi.”
Dalam pada itu sianak muda
telah berkata pula: “Dimanakah paman tua itu? Dia mengadjarkan aku melatih ilmu
menurut garis2 merah jang terlukis diatas boneka2 itu, mengapa badanku bisa
mendjadi panas dan dingin, aku ingin minta keterangan padanja.”
Mendengar kata2 “boneka”, Si
Kiam mendjadi teringat beberapa hari jang lalu ketika menggantikan pakaian
sianak muda, dari kantong badjunja telah djatuh keluar sebuah kota ketjil jang
berisi 18 buah boneka ketjil berbentuk lelaki telandjang. Waktu itu muka Si Kiam
mendjadi merah, ia tjukup kenal sifat tuan mudanja jang bangor dan suka main
gila, boneka2 telandjang itu tentu bukanlah barang mainan jang genah. Maka
lantas menutup baik2 kotak boneka itu dan disimpan didalam latji.
Ia pikir kalau boneka2 itu
diperlihatkan kepada sianak muda, boleh djadi akan membantu mengingatkan daja
pikirannja pada kedjadian jang lalu. Maka ia lantas membuka latji dan
mengeluarkan kotak ketjil itu, katanja: “Apakah boneka2 jang didalam kotak
ini?”
“Ja, benar, boneka2 ini berada
disini, tapi dimanakah paman tua? Kemanakah dia?”
“Paman tua siapa?” tanja Si
Kiam.
“Paman tua ja paman tua.
Katanja……………………..katanja dia bernama Mo-thian kisu.”
Si Kiam sendiri sangat tjetek
pengetahuannja dalam dunia persilatan, maka ia tidak tahu bahwa Mo-thian-kisu
Tjia Yan-khek adalah seorang tokoh terkemuka. Katanja kemudian: “Siauya,
betapapun engkau sudah sadar kembali, djika kedjadian2 dahulu sudah kau
lupakan, biarkan sadja, pelahan2 tentu engkau akan ingat kembali. Sekarang
subuh belum tiba, engkau boleh tidur lagi. Ai, sebenarnja………..sebenarnja akan
lebih baik djuga djikalau engkau sudah melupakan kedjadian2 dimasa lampau.”
Sambil berkata ia terus
menjelimuti sianak muda, lalu membawa nampan dan segera hendak tinggal pergi.
Mendadak sianak muda bertanja:
“Entji Si Kiam, mengapa kau anggap ada lebih baik djika aku tidak ingat lagi
kepada kedjadian2 dimasa jang lalu?”
“Sebab…….sebab perbuatanmu
dimasa jang lampau…………….” baru sekian utjapan Si Kiam, mendadak ia berhenti,
lalu menunduk dan bertindak pergi dengan tjepat.
Sianak muda mendjadi bingung.
Ia merasa segala apa jang dialaminja sekarang ini sungguh susah untuk dipahami.
Ia dengar diluar ada suara kentongan tiga kali, ia tidak tahu bahwa itu adalah
tanda waktu jang ditabuh peronda, sebaliknja ia heran mengapa ditengah malam
buta masih ada orang memain tetabuhan segala.
Pada saat itulah, se-konjong2
ia merasa “Siang-yang-hiat” di bagian djari telundjuk kanan mendjadi panas,
suatu arus hawa panas mendadak mengalir melalui lengan terus kebahu. Diam2
sianak muda mengeluh: “Tjelaka!” ~ Dan pada saat jang sama, “Yong-tjoan-hiat”
ditelapak kaki kiri djuga lantas terasa dingin tak terkatakan.
Siksaan panas-dingin demikian
itu sudah dirasakannja beberapa kali, ia tahu setiap kali kumat berarti penderitaan
hebat baginja. Djika sudah tak tertahankan lagi, achirnja ia mendjadi pingsan.
Biasanja kalau penjakitnja kumat selalu dia dalam keadaan tak sadar, tapi
sekali ini penjakit itu kumat dikala pikirannja sedang terang, tentu sadja
lebih dirasakan dan lebih menguatirkan.
Dalam pada itu hawa panas dan
dingin itu pelahan2 mulai menjerang dari kanan kiri dan lambat laun sudah
memusat ke bagian djantungnja. “Sekali ini pasti tamatlah riwajatku!” demikian
pikir sianak muda.
Berdjangkitnja penjakit
panas-dingin itu biasanja ber-pindah2, kalau tidak berpusat kebagian perut,
sering bertemu dibagian paha atau bahu, tapi sekali ini hawa panas-dingin itu
merangsang kebagian djantung yang merupakan tempat berbahaja, keruan deritanja
lebih2 hebat.
Ia tahu gelagat djelek, segara
ia meronta bangun sekuatnja untuk duduk, pikirnja ingin duduk bersila, tapi
kedua kakinja betapapun susah ditekuk. Dalam keadaan amat tersiksa itu, tiba2
timbul pikirannja: “Apakah dahulu diwaktu sipaman tua sendiri melatih ilmu ini
beliau djuga menderita seperti diriku? Sebenarnja permainan menangkap burung
dan membuat burung takbisa terbang dari telapak tangan djuga bukan sesuatu
permainan jang terlalu menarik, tahu begini akibatnja tentu aku tidak mau melatihnja.”
Pada saat itulah, tiba2
terdengar suara seorang lelaki sedang bertanja dengan suara tertahan diluar
djendela: ”Apakah Pangtju belum tidur? Hamba Pah-tjiat-tong Tian Hui ingin
melaporkan sesuatu urusan rahasia jang maha penting.”
Dalam keadaan diserang hawa
panas dingin didalam badan, sianak muda sedikitpun tidak sanggup bersuara lagi.
Selang sedjenak, pelahan2 daun
djendela terbuka, ketika bajangan orang berkelebat, tahu2 seorang laki2
berbadju loreng sudah melompat masuk kamar.
Ketika mendekati tempat tidur
dan mendadak melihat sianak muda duduk diatas randjang, orang itu terperandjat.
Agaknja hal demikian sama sekali diluar dugaannja, maka tjepat ia menjurut
mundur setindak.
Dalam pada itu hawa
panas-dingin dibadan sianak muda sedang berketjamuk dengan hebatnja,
djantungnja bekerdja dengan sangat lemah se-akan2 setiap saat bisa berhenti dan
mati orangnja. Namun demikian pikirannja tetap sangat djernih walaupun sedang
menderita siksaan hawa panas-dingin itu. Ia melihat laki2 berbadju loreng itu melompat
masuk dan mendengar dia mengaku bernama “Pah-tjiat-tong” Tian Hui, karena tidak
tahu apa maksud kedatangan orang, maka anak muda itu hanja memandangnja dengan
mata terbelalak lebar.
Sesudah mundur setindak dan
melihat anak muda itu tiada bergerak sama sekali, lalu Tian Hui berkata pula
dengan suara pelahan: “Pangtju, kabarnja engaku sedang sakit keras, apakah
sekarang sudah mendjadi baik?”
Badan sianak muda tampak
berkedjang beberapa kali dan takdapat bersuara.
Tiang Hui mendjadi girang,
katanja pula: “Pangtju, djadi kesehatanmu belum pulih, sekarang engkau masih
belum dapat bergerak?”
Walaupun suara Tian Hui itu
sangat pelahan, tapi toh sudah didengar djuga oleh Si Kiam jang berada dikamar
sebelah, segera anak dara itu mendatangi dan ketika melihat Tian Hui bersikap
beringas dan buas, ia terkedjut dan berseru: “He, untuk apa kau datang kekamar
Pangtju ini? Tanpa dipanggil kau berani masuk sendiri, apakah kau tidak takut
dihukum mampus?”
Tapi mendadak Tian Hui
melompat madju kesisi Si Kiam, kontan sikutnja menjodok kepinggang anak dara
itu, berbareng pundaknja ditutuk pula sekali. Walaupun Si Kiam djuga paham
sedikit ilmu silat, tapi terlalu djauh kalau dibandingkan Tian Hui jang gesit
dan tangkas itu. Seketika Si Kiam tertutuk roboh dan didudukkan diatas kursi.
Lalu Tian Hui menjumbat pula mulut anak dara itu dengan sehelai handuk ketjil.
Sudah tentu Si Kiam kelabakan dan tahu Tian Hui bermaksud djahat kepada sang
Pangtju, tapi apa daja, dia sendiri tak bisa berkutik.
Meski Si Kiam sudah dibekuk,
tapi Tian Hui tetap sangat djeri terhadap sang Pangtju, ia pura2 angkat
tangannja dengan gaja hendak menghantam sambil berkata: “Dengan pukulan
Tiat-sah-tjiang (pukulan tangan besi) ini rasanja tidak susah untuk
membinasakan kau sibudak tjilik ini!”
Tak terduga meski tangannja
sudah hampir mengenai kepala sasarannja, dilihatnja sang Pangtju masih tetap
tidak bergerak. Tian Hui mendjadi girang dan tjepat tahan pukulannja itu. Lalu
ia berpaling kepada sianak muda, katanja dengan menjeringai: “Maling tjabul ketjil,
selama hidupmu sudah berlumuran dosa, kedjahatanmu sudah kelewat takaran, hari
ini kau toh mampus djuga ditangaku.” ~ Ia melangkah lebih dekat, lalu
sambungnja pula dengan suara pelahan: “Saat ini kau sama sekali takdapat
melawan, djika aku membunuh kau, perbuatan demikian bukan tindakan seorang
kesatria sedjati. Akan tetapi dendamku kepadamu lebih daripada lautan dan tidak
perlu bitjara tentang peraturan Kangouw segala, djikalau engkau kenal kesopanan
orang Kangouw tentu kau takkan menggoda isteriku!”
Walaupun sianak muda dan Si
Kiam tidak dapat bergerak, tapi apa jang dikatakan Tian Hui itu dapat didengar
mereka dengan djelas. Pikir sianak muda: “Mengapa dia dendam padaku? Apa
maksudnja dia mengatakan aku menggoda isterinja?”
Sebaliknja Si Kiam membatin
didalam hati: “Selama ini entah sudah betapa banjak Siauya berutang dalam
perkara asusila, hari ini achirnja dia mendapatkan gandjarannja. Ai, tampaknja
orang ini benar2 hendak membunuh Siauya.”
Karena kuatirnja,sekuat
mungkin Si Kiam meronta, namun anggota badan terasa lemas linu, sedikit
tjondong badannja, “bruk”, ia djatuh kelantai.
Dalam pada itu terdengar Tian
Hui sedang memaki pula: “Hm, kau telah mentjemarkan kehormatan isteriku, kau
anggap aku tutup mata dan tidak tahu. Andaikan tahu djuga tidak dapat berbuat
apa2 terhadap kau dan terpaksa menahan perasaan seperti sibisu makan empedu,
merasa pahit tapi takbisa bitjara. Siapa njana tiba saatnja djuga kau
tergenggam didalam tanganku, rupanja kedjahatanmu sudah kelewat takaran dan
sudah tiba adjalmu.”
Sambil berkata ia terus pasang
kuda2, sekali tenaga dikerahkan, ruas tulang lengan kanannja sampai
mengeluarkan suara berkertakan. Segera telapak tangannja menghantam kedepan,
ulu hati sianak muda tepat kena digendjot olehnja.
Tian Hui ini adalah Hiangtju
dari Pah-tjiat-tong, jaitu satu diantara lima hulubalang bagian luar dari
Tiang-lok-pang. Ilmu silat andalannja jalah Tiat-sah-tjiang, ilmu pukulan pasir
besi jang maha dahsjat.
Pukulan ini telah digunakan
sepenuh tenaganja dan tepat mengenai “Tan-tiong-hiat” di ulu hati sianak muda.
Maka terdengarlah suara “krak”, suara patahnja tulang.
Tapi bukan tulang dada sianak
muda jang patah, sebaliknja tulang lengan Tian Hui sendiri jang telah patah,
bahkan tubuhnja terus terpental keluar djendela dan terbanting diluar kamar,
kontan orangnja tak sadarkan diri lagi.
Diluar kamar itu adalah sebuah
taman bunga dan selalu ada orang ronda disitu. Malam ini adalah orang2
Pah-tjiat-tong jang berdinas meronda, sebab itulah Tian Hui dapat masuk kekamar
tidur sang Pangtju dengan leluasa.
Rupanja suara gedebukan
terbantingnja Tian Hui dan suara patahnja dahan2 tanaman jang tertindih oleh
tubuhnja itu telah mengagetkan para peronda itu, maka ada dua orang diantaranja
lantas mendekatinja. Waktu melihat Tian Hui menggeletak tak berkutik disitu,
mereka sangka telah kedatangan musuh tangguh dan sedang menjatroni kamar sang
Pangtju, dalam kaget mereka segera mereka membunjikan peluit sebagai tanda ada
bahaja, berbareng mereka melolos sendjata dan melongok kedalam kamar sang
Pangtju melalui djendela jang sudah terpentang itu. Namun didalam kamar gelap
gulita, bahkan tiada sesuatu suara apapun. Tjepat mereka menerangi dengan obor
sambil memutar sendjata untuk mendjaga diri.
Dari tjahaja obor jang remang2
dapatlah terlihat sang Pangtju sedang duduk bersila diatas randjang, didepan
tempat tidur itu menggeletak seorang wanita seperti pelajan sang Pangtju,
selain itu tiada orang ketiga lagi.
Pada saat itulah be-ramai2
orang2 Tiang-lok-pang jang mendengar suara alarm tadi djuga sudah memburu tiba.
Dengan memegang sendjata gada
besi, Khu San-hong, itu Hiangtju dari Hou-beng-tong, lantas berseru: “Pangtju,
engkau baik2 sadja bukan?” ~ Berbareng itu ia lantas masuk kedalam kamar sang
Pangtju.
Mendadak dilihatnja badan sang
Pangtju tiada hentinja bergemetar, se-konjong2 mulutnja terpentang dan
memuntahkan darah hitam sampai beberapa mangkuk banjaknja.
Tjepat Khu San-hong menjingkir
kepinggir sehingga tidak sampai tersembur oleh darah hitam jang berbau amis
busuk itu. Tengah terkedjut dan ragu2, tiba2 terlihat sang Pangtju sudah
melangkah turun dari tempat tidurnja dan per-tama2 pelajan jang menggeletak dilantai
itu lantas dibangunkan, katanja: “Enci Si Kiam, apakah dia telah melukai
engkau?” ~ Berbareng ia lantas mengeluarkan handuk jang menjumbat mulut anak
dara itu.
Si Kiam menghirup napas segar
dalam2, lalu mendjawab: “Siauya, apakah engkau terluka kena hantamannja tadi?”
“Tidak, malahan pukulannja itu
membuat aku merasa sangat segar sekali,” sahut sianak muda.
Dalam pada itu diluar kamar
terdengar ramai orang2 berdatangan, dengan langkah tjepat Pwe Hay-tjiok dan Bi
Heng-ya tampak masuk kedalam kamar, jang berkedudukan rendah hanja menunggu
diluar sadja.
Segera Pwe Hay-tjiok mendekati
sianak muda dan bertanja: “Pangtju, apakah pembunuh gelap itu telah membikin
kaget padamu ?”
“Pembunuh gelap apa? Tidak ada
pembunuh,” sahut sianak muda.
Sementara itu Tian Hui sudah
diberi pertolongan oleh djago Tiang-lok-pang dan telah sadar kembali serta
dibawa masuk kedalam kamar.
Tian Hui tjukup paham tata
tertib dalam Pang mereka, terutama hukuman kepada penghianat adalah paling
keras, biasanja penghianat itu ditelandjangi pakaiannja, lalu diikat diatas
batu “Heng-tay-tjiok” (batu panggung hukuman) diatas gunung dibelakang markas
dan dibiarkan digigit semut dan serangga2 lain, diserang oleh elang2 lapar dan
binatang buas, sesudah disiksa beberapa hari lamanja, achirnja akan binasa
djuga. Sekarang dia sendiri telah berbuat sesuatu jang chianat, pukulannja jang
dahsjat tadi tidak berhasil membinasan sang Pangtju, sebaliknja ia sendiri
malah terpental oleh tenaga dalam sang Pangtju jang maha kuat, lengah kanan patah
dan terluka dalam parah pula, memangnja dia berharap lekas mati sadja, tapi
sekarang dia dibawa masuk pula kedalam kamar, diam2 ia sudah mengumpulkan
kekuatan, asal sang Pangtju memerintahkan hukuman memantjangkan dia diatas
“Heng-tay-tjiok” dan segera dia akan menumbukkan kepalanja kedinding untuk
membunuh diri.
“Apakah ada pembunuh
gelapmasuk melalui djendela?” tanja Pwe Hay-tjiok pula.
“Aku sendiri tertidur, rasanja
toh tiada orang masuk kesini”, sahut sianak muda.
Tian Hui ter-heran2 mendengar
keterangan itu: “Apakah tadi dia benar2 dalam keadaan tak sadar dan tidak
mengetahui aku jang telah memukul dia? Tapi budak tjilik ini mengetahui aku
jang telah melakukan hal itu, tentu dia akan memberi keterangan sebenarnja apa
jang terdjadi tadi.”
Benar djuga, segera Pwe
Hay-tjiok memidjat dan menutuk pinggang dan pundak Si Kiam untuk membuka
Hiat-to jang tertutuk, lalu bertanja kepada anak dara itu: “Siapakah jang
menutuk kau punja Hiat-to?”
“Dia !” sahut Si Kiam sambil
menuding Tian Hui.
Pwe Hay-tjiok memandang kearah
Tian Hui dengan penuh rasa tjuriga.
Sebaliknja Tian Hui hanja
mendengus sadja. Segera ia bermaksud mentjatji maki biarpun nanti harus dihukum
mati, tapi lantas terdengar sang Pangtju sedang berkata: “Aku…….akulah jang
suruh dia berbuat demikian.”
Keruan Si Kiam dan Tian Hui
melengak semua, hampir2 mereka tidak pertjaja kepada telinganja sendiri. Dengan
tertjengang mereka memandangi sianak muda, mereka tidak paham apa maksud
tudjuannja dengan keterangannja itu.
Walaupun anak muda itu sama
sekali hidjau dalam segala hal, tapi lapat2 ia dapat merasakan keadaan jang
genting. Ia lihat semua orang sangat menghormat padanja, djika diketahui Tian
Hui jang telah menotok Hiat-to sipelajan serta memukul pula pada dirinja, djika
hal ini diketahui oeh orang2 itu, tentu Tian Hui bisa tjelaka. Karena itulah ia
sengadja berdusta untuk mengeloni Tian Hui. Adapun apa sebabnja dia membela
Tian Hui, untuk ini ia sendiripun tidak paham sama sekali. Ia hanja merasa
sebabnja Tian Hui memukul dirinja adalah lantaran didorong oleh sesuatu rasa
dendam jang luar biasa jang mau tak mau harus dilakukan olehnja. Apalagi waktu
Tian Hui memukulnja tadi, ia sendiri sedang dirangsang oleh hawa panas-dingin
jang sangat menjiksa, pukulan Tian Hui itu tepat mengenai “Tan-tiong-hiat”
dibagian ulu hatinja. Tan-tiong-hiat itu merupakan pusat penjaluran tenaga,
karena pukulan Tian Hui itu, maka setjara kebetulan telah membaurkan
bergeraknja hawa dingin dan panas dari “Han-ih-bian-tjiang” serta “Yam-yam-kang”,
hal mana membuat tenaga dalam sianak muda seketika mendjadi bertambah hebat dan
lantaran itulah Tian Hui sampai terpental keluar djendela.
Sesudah menerima pukulan Tian
Hui itu, sama sekali sianak muda tidak merasa tersiksa lagi oleh membakarnja
hawa panas dan membekunja hawa dingin, sebaliknja ia lantas merasa segar dan
nikmat sekali, tanpa merasa ia ingin ber-teriak2 untuk melampiaskan rasa enek
jang ditahannja sedjak tadi. Ketika Hiangtju dari Hou-beng-tong jaitu Khu
San-hong, masuk tadi, tiba2 ia memuntahkan darah mati jang tersekam didalam
tubuhnja, habis itu semangatnja lantas segar, bukan sadja tenaga dalamnja
bertambah luar biasa, bahkan otaknja djuga tambah tadjam.
Melihat keadaan didalam kamar
sang Pangtju itu, Pwe Hay-tjiok mempunjai pendapatnja sendiri. Ia lihat pakaian
Si Kiam agak kusut, rambutnja tak teratur, sikapnja takut dan gugup. Maka
pahamlah dia akan duduknja perkara. Ia tjukup kenal watak sang Pangtju jang
bangor, suka main perempuan. Maka tentulah Si Kiam hendak diperlakukan setjara
tidak senonoh walaupun penjakitnja baru sadja sembuh. Tapi perbuatan sang
Pangtju itu rupanja telah dipergoki Tian Hui jang sedang meronda disekitar
situ, maka Pangtju lantas panggil sekalian hulubalang itu dan suruh dia menutuk
Hiat to sipelajan tjantik itu, tjuma entah sebab apakah Tian Hui telah membikin
marah pula kepada sang Pangtju sehingga dia dihantam terpental keluar kamar.
Jilid 10
Setiap anggota Tiang-lok-pang
tjukup kenal sifat sang Pangtju jang aneh dan pemarah, siapa sadja, sekalipun
orang kepertjajaannja jang mempunjai kedudukan tinggi, asal dia sedang marah
djuga sering didamperat, bahkan dipukul olehnja tanpa pandang bulu. Sekarang
mereka melihat luka Tian Hui tjukup parah, muka dan tangannja djuga babak belur
terluka oleh duri bunga mawar diluar kamar, tentu sadja mereka ikut prihatin,
namun merekapun tidak berani menghibur Tian Hui dihadapan sang Pangtju.
Dan karena pikiran demikian
itulah, maka tokoh2 Tiang-lok-pang itu tiada jang berani menjinggung tentang
pembunuh gelap lagi. Hiangtju dari Hou-beng-tong, Khu San-hong, masih merasa
kuatir karena dirinja telah mengganggu kesenangannja sang Pangtju, bukan
mustahil sang Pangtju akan marah dan memukulnja. Ia pikir paling selamat lekas2
tinggal pergi sadja. Maka ia lantas berkata dengan hormat: “Silakan Pangtju
mengaso sadja, hamba mohon diri dulu.”
Segera orang2 lain djuga ikut2
memohon diri. Hanja Pwe Hay-tjiok jang memperhatikan kesehatan sang Pangtju, ia
lihat air muka Pangtju agak aneh, segera ia pegang tangan sang Pangtju dan
berkata: “Biar kuperiksa pula nadi Pangtju.”
Sianak muda djuga tidak
menolak, ia mengangsurkan tangannja untuk diperiksa. Ketika ketiga djari
Pwe-tayhu baru sadja menjentuh urat nadi anak muda itu, se-konjong2 tangannja
tergetar dan setengah badannja kaku kesemutan.
Kerjan Pwe Hay-tjiok
terkedjut. Tapi segera ia mendjadi girang. Katanja: “Hah, selamat, Pangtju!
Selamat, Pangtju! Achirnja ilmu sakti jang maha hebat itu telah berhasil
dijakinkan djuga olehmu!”
Sebaliknja sianak muda
mendjadi bingung, sahutnja: “Ilmu…….ilmu sakti apa?”
Pwe Hay-tjiok menjangka sang
Pangtju tidak ingin orang lain ikut mengetahui ilmu sakti jang dilatihnja itu,
maka ia tidak berani menegas lagi, tjepat berkata: “Ja, ja, hamba sembarangan
mengotjeh, harap Pangtju djangan marah.” ~ Ia memberi hormat, lalu mengundurkan
diri.
Dalam waktu singkat sadja
semua orang sudah pergi, hanja tinggal Tian Hui dan Si Kiam sadja. Tian Hui
terluka dalam, tapi kawan2-nja tidak tahu tjara bagaimana sang Pangtju akan
memutuskan perkaranja, maka mereka tidak berani bertanja dan terpaksa
membiarkan dia tetap tinggal didalam kamar dan tidak seorangpun jang berani
membawanja pergi untuk diberi obat.
Karena tulang lengan patah,
saking kesakitan dahi Tian Hui sampai penuh keringat. Ia lihat kawan2nja sudah
pergi semua, segera ia berkata dengan penuh dendam: “Kau ingin menjiksa diriku,
boleh lekas kau lakukan, kalau orang she Tian minta ampun padamu bukanlah
seorang laki2 sedjati.”
“Buat apa aku menjiksa kau?”
sahut sianak muda. “Wah, tulang lenganmu patah, harus lekas disambung dengan
baik. Dahulu si Kuning piaraanku telah tergelintjir kebawah gunung dan patah
tulang kakinja, achirnja akulah jang telah menjambung tulangnja dan telah
sembuh.”
Kiranja pembawaan anak muda
itu sebenarnja sangat pintar. Dia hidup terpentjil diatas gunung jang sepi
bersama ibundanja, segala pekerdjaan harus dilakukannja sendiri. Karena itu,
meski usianja masih muda, namun segala pekerdjaan dapat dilakukannja dengan baik
seperti menanam sajur, menanak nasi, membuat tali, mentjari kaju dan lain2.
Ketika andjing piaraanja, jaitu si Kuning, patah tulang kakinja, dia telah
menggapit kaki binatang itu dengan sepotong kaju, lalu diikat kentjang, belasan
hari kemudian ternjata lantas sembuh. Maka sekarang iapun hendak menjambungkan
tulang lengan Tian Hui jang patah itu, sambil bitjara ia lantas men-tjari2
sepotong kaju jang diperlukan.
“Apa jang kau tjari, Siauya?”
tanja Si Kiam ketika melihat anak muda itu memandang kian kemari mentjari
sesuatu.
“Aku ingin mentjari sepotong
kaju,” sahut sianak muda.
Mendadak Si Kiam terus
berlutut didepan sianak muda dan berkata: “Siauya, kumohon sudilah engkau
mengampuni dia ini. Engkau telah……….telah mentjemarkan isterinja, maka tidaklah
heran kalau dia mendjadi dendam padamu, tapi dia toh tidak sampai melukai engkau.
Siauya, djika engkau betul2 hendak membunuh dia, maka boleh djuga dibunuh sadja
sekaligus, tapi djanganlah menjiksa dia.”
“Mentjemarkan isterinja apa?
Mengapa aku membunuh dia? Kau bilang aku hendak membunuh dia? Apakah manusia
boleh dibunuh?” sahut sianak muda dengan tidak mengarti.
Ketika dilihatnja tiada
sesuatu jang dapat ditemukan, achirnja anak muda itu mengangkat sebuah kursi,
segera ia menjempal sebuah kaki kursi itu. Sekarang tenaga dalamnja sudah
terbaur merata, ilmu saktinja baru sadja djadi, sudah tentu kekuatannja luar
biasa hebatnja, maka “krak” sekali, dengan mudah kaki kursi itu sudah disempal
olehnja.
Tapi anak muda itu masih tidak
tahu tenaganja sendiri jang maha hebat itu, dia menggerundel sendiri: “Kursi
ini kenapa begini lapuk, kalau diduduki kan orang bisa djatuh terdjungkal? Eh,
entji Si Kiam, kenapa kau berlutut disitu? Lekas bangun!”
Lalu ia mendekati Tian Hui dan
berkata padanja: “Kau djangan bergerak!”
Tian Hui sendiri meski keras
dimulut, tapi didalam hati sebenarnja djuga takut. Ia tidak tahu tjara
bagaimana sang Pangtju akan menjiksa padanja, maka dengan gemetar ia memandangi
kaki kursi jang dipegang sianak muda. Pikirnja: “Kaki kursi ini tentu tidak
akan digunakan untuk memukul diriku, wah, tjelaka, djangan2 kaki kursi ini akan
dimasukkan kedalam mulutku sehingga menembus ketenggorokan agar aku mati tidak
dan hidup pun tidak.”
Kiranja tjara memberi hukuman
dan siksaan didalam Tiang-lok-pang sangat banjak matjamnja. Diantaranja ada
satu matjam hukuman, jaitu dengan memasukkan mulut pesakitan dengan sepotong
kaju sehingga menembus sampai tenggorokan terus ke kantong nasi, pesakitan itu
takkan mati karena siksaan demikian, tapi sudah tentu sangat menderita.
Teringat akan djenis hukuman
jang kedjam itu, keruan Tian Hui mendjadi ketakutan. Ketika melihat sang
Pangtju sudah berada didepannja, segera ia angkat tangan kiri dan menghantam.
Sebaliknja, sianak muda tidak
tahu kalau Tian Hui hendak menjerangnja, ia berkata: “Eh, djangan bergerak,
djangan bergerak!” ~ Berbareng ia terus pegang tangan Tian Hui itu.
Seketika Tian Hui merasa
badannja lemas linu dan takbisa berkutik lagi.
Sianak muda lantas melekatkan
potongan kaki kursi tadi disamping lengan Tian Hui jang patah itu, katanja
kepada Si Kiam: “Entji Si Kiam, adakah tali atau kain, tjoba balutlah dia ini.”
Si Kiam ter-heran2, “Kau
benar2 hendak menjambungkan tulangnja?” tanjanja.
“Sudah tentu, masakah sambung
tulang pakai pura2 segala ?” sahut sianak muda dengan tertawa. “Tjoba lihat,
sedemikian dia kesakitan, masakah aku bergurau padanja ?”
Dengan tetap kurang pertjaja
Si Kiam mentjarikan djuga sepotong kain pembalut, dengan sorot mata jang masih
ragu2 Si Kiam membalutkan lengan Tian Hui jang patah tulang itu.
“Bagus, bagus, rapi sekali
tjaramu membalut, djauh lebih baik daripada waktu aku membalut kaki si Kuning
dahulu,” udjar sianak muda dengan tersenjum.
Dikala Si Kiam membalut
lengannja, diam2 Tian Hui berkebat kebit, ia tidak tahu Pangtju jang djahat dan
tjabul itu entah akan menggunakan tjara apa untuk menjiksanja lebih landjut.
Ketika mendengar sang Pangtju berulang kali menjebut si Kuning, segera ia menanjakan:
“Siapakah si Kuning itu ?”
“Si Kuning adalah andjing
piaraanku,” sahut sianak muda. “Tjuma sajang sekarang telah menghilang.”
Tian Hui mendjadi gusar,
teriaknja dengan murka: “Seorang lelaki sedjati boleh dibunuh daripada dihina,
djika kau hendak membunuh boleh lekas lakukan, tapi djanganlah orang she Tian
ini dipersamakan dengan chewan ?”
“O, tidak, tidak !” sahut
sianak muda tjepat. “Aku hanja menjebutnja dengan tidak sengadja, hendaklah
Toako djangan marah, maafkan utjapanku jang salah itu.” ~ Sambil berkata sambil
memberi kiongtjiu (hormat dengan merangkap kepalan didepan dada).
Tian Hui tahu Lwekang sang
Pangtju teramat lihay, disangkanja dia pura2 minta maaf, tapi sebenarnja hendak
menjerangnja pula dengan tenaga dalam jang kuat. Sebab sang Pangtju biasanja
terkenal sangat angkuh dan sombong, mana dia mau minta maaf kepada seorang
bawahannja? Maka dengan sendirinja ia mengegos kesamping untuk menghindari
hormat sang Pangtju sambil melototkan matanja.
“Toako………o, ja, Toako khan she
Tian? Tian toako, silakan kembali ketempatmu sendiri sadja,” demikian kata
sianak muda pula. “Aku Kau-tjap-tjeng memang tidak pandai bitjara sehingga
telah membikan marah Tian toako, harap suka maafkan.”
Keruan Tian Hui terkedjut, ia
tidak habis mengarti. “Apa2an ini? Mengapa dia menjebut dirinja sebagai ‘Kau
tjap tjeng’ segala ? Apakah ini adalah istilah baru jang dia gunakan untuk
memaki padaku ?”
Disebelah sana Si Kiam djuga
sedang merenung: “Pikiran Siauya hanja djernih kembali sebentar sadja dan
sekarang dia mulai mengotjeh tak keruan lagi.” ~ Ia lihat sianak muda sedang
tertegun dan mengerut dahi, entah apa jang sedang dipikirkan, maka ia lantas
mengedipi Tian Hui agar lekas tinggal pergi sadja.
Tapi Tian Hui lantas berteriak
malah: “Botjah she Tjiok, kau tidak perlu djual lagak padaku. Pendek kata,
djika kau hendak membunuh diriku, memangnja aku sudah pasrah nasib. Nah,
mengapa kau tidak lekas turun tangan sadja ?”
“Kau ini sungguh aneh,” udjar
sianak muda dengan heran. “Buat apa aku membunuh kau? Sungguh menggelikan.
Diwaktu mendongeng ibuku selalu berkata: hanja orang djahat sadja jang suka
membunuh orang, kalau orang baik tentu tidak suka membunuh. Sudah tentu aku
tidak ingin mendjadi orang djahat.”
Melihat keadaan jang ber-tele2
itu, Si Kiam lantas menimbrung: “Tian-hiangtju, Pangtju sudah mengampuni kau,
kenapa kau tidak lekas pergi sadja?”
Tian Hui garuk2 kepala sendiri
jang tidak gatal itu, pikirnja: “Apakah barangkali bangsat tjilik ini sudah
pikun, atau aku sendiri jang sedang mimpi ?”
“Lekas pergi, lekas pergi !”
demikian Si Kiam mendesak pula, berbareng ia terus mendorong Tian Hui keluar
kamar.
“Hahahaha! Orang ini sungguh
lutju,” kata sianak muda dengan tertawa. “Ber-ulang2 dia mengatakan aku hendak
membunuhnja, se-akan2 aku ini adalah seorang djahat dan paling suka membunuh
orang.”
Selama Si Kiam melajani sang
Pangtju baru pertama kali ini melihatnja bermurah hati dan mengampuni seorang
bawahan jang bersikap kasar padanja. Diam2 ia merasa bersjukur akan perubahan
sifat sang Pangtju itu. Dengan tersenjum ia berkata: “Ja, sudah tentu engkau
adalah seorang baik, seorang jang maha baik. Orang baik, makanja merebut isteri
orang dan merusak rumah tangga orang.”
“Apa ? Kau bilang aku
me……….merebut isteri orang ?” sianak muda menegas dengan heran. “Tjara
bagaimana merebut isteri orang? Dan untuk apa sesudah merebutnja ?”
Muka Si Kiam mendjadi merah,
omelnja: “Orang baik masakah djuga bitjara serendah ini? Hanja sebentar sadja
pura2 baik, dalam sekedjap sudah berubah lagi.”
“Kau………..kau omong apa?” tiba2
mulut sianak muda ternganga. Saat itu dirasakan sekudjur badannja penuh terisi
tenaga dan se-akan2 susah tersalurkan, sorot matanja mendjadi ber-kilat2 pula.
Diam2 Si Kiam mendjadi takut,
ia berlari keambang pintu untuk siap2 melarikan diri kalau2 sang Pangtju
mendadak mendjadi buas dan hendak menerkamnja. Maklum, sudah beberapa kali ia
lolos dari napsu binatang sang Pangtju, semuanja itu berkat ketjerdikannja
serta ketekadannja jang tidak mau menjerah, makanya kesutjian badannja dapat
dipertahankan sampai sekarang.
“Siauya, kesehatanmu belum
pulih dengan baik, hendaklah mengaso sadja,” kata Si Kiam sedjenak kemudian.
Tapi sianak muda telah geleng2
kepala dan berkata: “Sesudah turun dari gunung aku lantas mengalami matjam2
urusan jang sedikitpun aku tidak paham. Ai, aku benar2 tidak paham.”
Dalam keadaan linglung kedua
tangannja telah memegang sandaran kursi, sedikit menggunakan tenaga, mendadak
kursi jang terbuat dari kaju tjendana itu lantas sempal dua potong. Ketika ia
meremas, tahu2 sempalan kaju itu lantas hantjur mendjadi bubuk.
Sianak muda sendiri sampai
kaget: “Ken……..kenapa kursi ini sedemikian lapuknja, hanja dipegang sadja sudah
hantjur, kalau diduduki orang kan bisa tjelaka.”
Si Kiam sampai terkesima
menjaksikan ilmu sakti jang telah dimiliki sang Pangtju itu. Ia terkedjut dan bergirang
pula. Tapi demi teringat tingkah laku sang Pangtju, dengan ilmu silatnja jang
sedemikian tingginja, kalau melakukan kedjahatan2 menurutkan napsu angkara
murkanja, maka tjelakalah orang2 jang berada disekitarnja, bahkan bukan
mustahil akan merupakan malapetaka pula bagi dunia Kangouw.
Kiranja diwaktu ketjilnja anak
muda itu, setjara kebetulan ia telah mendapat adjaran sematjam Tok-tjiang (ilmu
pukulan berbisa) jang sangat lihay. Mestinja kalau dia melatihnja sampai
usianja mentjapai 20-an, apabila tiada diberi obat2 mudjarab sebangsa Djinsom
(kolesom) atau Ho-siu-oh jang berumur ribuan tahun untuk memunahkan ratjun
dingin dari ilmu pukulan jang dilatihnja, maka dia pasti akan binasa keratjunan
sendiri. Dahulu orang jang mengadjarkan djuga tiada punja maksud baik, sama
sekali tak terduga bahwa setjara kebetulan Mo-thian-kisu Tjia Yan-khek djuga
telah mengadjarkan sematjam “Yam-yam-kang” padanja.
Menurut perhitungan
Mo-thian-kisu Tjia Yan-khek, djikalau anak muda itu adalah murid orang pandai,
tentu gurunja djuga telah mengadjarkan tjara2 menghapuskan hawa dingin berbisa
jang dilatihnja itu. Sama sekali tak terduga bahwa orang jang mengadjarkan ilmu
pukulan berbisa dingin itupun berpendirian serupa dengan Tjia Yan-khek, jaitu
menghendaki anak muda itu mati konjol sendiri akibat ilmu jang dilatihnja.
Soalnja ilmu pukulan berbisa
jang setjara tidak sadar telah dijakinkan anak muda pada sebelum bertemu dengan
Tjia Yan-khek itu memang sangat mirip dengan ilmu pukulan “Han-ih-bian-tjiang”
jang mendjadi kebanggan Ting Put-si, padahal sama sekali bukanlah
“Han-ih-bian-tjiang”, hanja keduanja sama2 ilmu pukulan berbisa dingin jang
sedjenis.
Kemudian sesudah anak muda itu
melatih Yam-yam-kang pula, pada hari itu betul djuga dia telah dirangsang oleh
hawa panas dan dingin jang hebat, dan sungguh sangat kebetulan pula Pwe
Hay-tjiok sedang berada disitu jang segera membantunja dengan menjalurkan
Lweekang murni untuk menguatkan daja tahannja sehingga anak muda itu tidak
sampai mati seketika. Dan sampai malam ini setjara kebetulan Tian Hui telah
menghantam pula dia punja “Tan-tiong-hiat” sehingga darah mati jang tersekam
didalam badannja didesak keluar, lalu tertjampur baurlah antara hawa panas dan
dingin, antara Im dan Yang (negatip dan positip), dengan demikian badannja
tidak terganggu apa2, sebaliknja malah membikin sempurna sematjam tenaga dalam
aneh jang dilatihnja itu.
Sudah tentu hal2 demikian itu
sama sekali tidak disadari oleh sianak muda. Memangnja dia tidak paham apa2,
sekarang ia lebih bingung dan menjangka dirinja sedang bermimpi.
Begitulah, maka Si Kiam telah
berkata pula padanja dengan suara pelahan: “Djika kau sudah mengampuni
djiwanja, kau telah menjambung pula tulang lenggannja, tapi mengapa kau
memakinja pula sebagai binatang? Dengan demikian dendamnja padamu mendjadi
tambah mendalam lagi”. ~ Dan ketika melihat sorot mata sang Pangtju jang aneh
kembali timbul lagi, tanpa menunggu djawaban, lekas2 ia mengundurkan diri.
Sianak muda hanja menggeleng
kepala sadja sambil berkata sendiri: “Aneh, sungguh aneh!” ~ Ia lihat boneka2
didalam kotak itu masih tertaruh diatas medja dengan baik, maka ia menggumam
pula: “Boneka itu masih berada disini, djika demikian aku toh bukan didalam
mimpi?”
Segera ia membuka kotak kaju
dan mengeluarkan boneka2 ketjil itu. Sementara itu ilmu saktinja baru selesai
dijakinkannja, ia tidak tahu tenaga sendiri sekarang sangat besar, dengan
sendirinja iapun tidak tahu tjara bagaimana harus menggunakan tenaga itu dengan
tepat. Tapi seperti biasanja ia terus pegang begitu sadja sebuah boneka itu,
mendadak lapisan luar jang membentuk boneka tanah itu mengelotok dan djatuh
semua.
Sianak muda berseru kaget, ia
merasa sajang sekali atas rusaknja boneka itu. Tapi ia mendjadi melotot heran
ketika dilihatnja boneka jang sudah rontok bagian lapisan luar itu ternjata dibagian
dalam ada selapis kaju bertjat pula. Segera sianak muda membersihkan sekalian
tanah lapisan luar itu, maka tertampaklah samar2 bentuk boneka jang menjerupai
manusia. Sesudah dikeletek lebih bersih lagi, achirnja mendjadi lebih djelas
lagi bentuk boneka itu, jaitu berwudjud badan manusia jang telandjang. Diatas
boneka kaju jang diberi bertjat minjak ini djuga penuh terlukis garis2 hitam,
tapi tiada titik2 tanda tempat Hiat-to. Bentuk dan wadjah boneka kaju inipun
berbeda daripada boneka tanah liat semula.
Boneka kaju ini dibuat setjara
radjin dan indah sekali, mimik mukanja sangat hidup dalam keadaan sedang
tertawa ter-bahak2, kedua tangannja memegang perut menjerupai orang sewaktu
tertawa ter-pingkal2, sikapnja sangat djenaka.
Meski sianak muda sudah
berusia 20 tahun, tapi sifat kebotjahannja belum lagi lenjap. Ia mendjadi
senang melihat boneka jang lutju itu. Apalagi tanda2 urat nadi dan Hiat to
dibadan boneka2 tanah itu sekarang sudah teringat dengan baik diluar kepala,
maka ia lantas mebeledjeti sekalian boneka2 tanah jang lain. Benar djuga
didalam setiap boneka tanah itu terbungkus pula sebuah boneka kaju. Sikap dan
mimik muka daripada setiap boneka kaju itu ber-beda2, ada jang sedang
kegirangan, ada jang sedih, ada jang sedang menangis dan ada pula jang sedang
gusar dan matjam2 sikap jang lain. Garis2 urat nadi jang terlukis diatas badan
boneka2 kaju ini hampir seluruhnja sama dengan boneka tanah sebelumnja, hanja
garis jang menundjukkan djalan tjaranja mengerahkan tenaga adalah sama sekali
berbeda.
Pikir sianak muda: “Boneka2
kaju ini sangat menarik, biarlah aku tjoba melatihnja menurut sikap boneka2
ini. Muka boneka jang sedang menangis ini takkan kutiru? Jang sedang tertawa
seperti orang sinting djuga tidak sedap dipandang dan takkan kulatih. Jang akan
kutirukan hanja sikap dan mimik wadjah boneka2 jang sedang ber-seri2 dan tampak
ramah sadja.”
Segera ia duduk bersila, ia
taruh boneka jang bermuka senjum simpul didepannja, lalu mengerahkan tenaga
dengan pelahan dari pusatnja, maka terasalah suatu arus hawa hangat pelahan2
naik keatas. Ia djalankan tenaga dalam itu menurutkan garis2 jang terlukis
dibadan boneka itu ke tempat2 Hiat-to diseluruh badan.
Kiranja apa jang terlukis
diatas badan boneka2 kaju itu adalah sematjam ilmu sakti tjiptaan seorang
paderi saleh angkatan tua dari Siau-lim-pay, ilmu sakti itu bernama
“Lo-han-hok-mo-sin-kang” (ilmu sakti Budha menaklukkan iblis). Ilmu sakti ini
mentjakup Lweekang dan Gwakang (kekuatan dalam dan luar atau rohani dan
djasmani) jang pernah dihimpun oleh kaum Budha. Setiap boneka kaju itu adalah
sebuah patung Budha.
Untuk bisa melatih ilmu sakti
itu dengan baik, orang itu harus mempunjai ketjerdasan jang luar biasa, tapi
harus berdjiwa bersih dan berpikiran polos. Sudah tentu orang demikian sangat
sulit diketemukan didunia ini. Djarang sekali terdjadi bahwa seorang jang
pintar bisa membatasi pikirannja pada soal2 jang sederhana, sebaliknja tentu
akan banjak memeras pikiran untuk matjam2 urusan.
Namun pembawaan anak muda itu
djusteru sangat pintar dan tjerdas, kebetulan sedjak ketjil dia hidup
dipegunungan jang sunji dan terasing dari dunia luar sehingga hidjau dalam
segala urusan insaniah, hal ini kebetulan tjotjok sebagai dasar dari permulaan
mejakinkan ilmu sakti Lo-han-hok-mo-sin-kang itu.
Rupanja paderi sakti
Siau-lim-pay jang mentjiptakan ilmu ini menjadari sukarnja mentjari manusia
jang tjotjok untuk mejakinkan ilmu tjiptaannja itu, maka dia telah sengadja
melapisi boneka2 kaju itu dengan tanah liat dan diberi bertjat minjak serta
dilukis pula adjaran pengantar Lwekang Siau-lim-pay jang asli, maksudnja supaja
orang jang menemukan boneka2 itu tidak tertarik untuk melatih
Lo-han-hok-mo-sin-kang jang sukar itu dan bukan mustahil akibatnja akan
membikin djiwa orang jang melatihnja itu melajang.
Tay-pi Lodjin, penguasa
Pek-keng-to (pulau paus putih), jang menemukan boneka2 itu hanja mengetahui
bahwa benda2 itu adalah benda mestika dunia persilatan, tapi dimanakah letak
rahasia daripada benda mestika jang berharga itu ia sendiripun tidak tahu meski
dia sudah menjelidikinja selama ber-tahun2. Maklum, karena boneka2 tanah itu
dipandang sebagai benda mestika, dengan sendirinja benda2 itu didjaganja dengan
baik, sedikitpun tidak boleh rusak, padahal selama boneka tanah itu tidak
rusak, selama itu pula boneka kaju didalamnja takkan diketahui. Makanja sampai
adjalnja Tay-pi Lodjin tetap tidak tahu dimana letak rahasia gaib daripada
boneka2 itu. Sebenarnja djuga tidak melulu Tay-pi Lodjin sadja jang ketjele,
sedjak rangkaian boneka2 tanah itu terlepas dari tangan paderi sakti
Siau-lim-pay, selama itu sudah berganti tangan 12 orang dan semuanja masuk
liang kubur bersama dengan rahasia jang tidak pernah diketahui mereka.
Demikianlah, karena tenaga
dalam sianak muda sekarang sudah sangat hebat, ketika dia mengerahkan tenaga
dalam menurutkan garis2 petundjuk diatas badan boneka2 kaju itu, maka setiap
rintangan diurat nadinja mendjadi tertembus sekaligus. Sesudah diulanginja
sampai tiga kali, achirnja ia merasa badannja sangat segar dan sehat. Maka ia
lantas ganti sebuah boneka kaju jang lain dan melatihnja lagi.
Karena dia baru mulai melatih
Lwekang demikian sehingga seluruh perhatian dan pikirannja ditjurahkan kesitu,
habis sebuah boneka berganti pula sebuah lagi dan begitu seterusnja. Tanpa
merasa ia telah melatih diri dari subuh sampai lohor terus sampai malam dan
kembali keesok paginja.
Dengan penuh rasa kuatir Si
Kiam terus mendjaga didepan pembaringan sang Pangtju. Pwe Hay-tjiok djuga
mendjenguk beberapa kali keadaan anak muda itu. Ketika dilihatnja ubun2 kepala
sang Pangtju mengepulkan uap tipis, ia tahu Lwekang jang dilatihnja itu sedang
mentjapai detik2 jang penting. Segera ia memberi perintah bawahannja untuk
memperkuat pendjagaan diluar kamar sang Pangtju, siapapun dilarang
mengganggunja.
Waktu sianak muda selesai
melatih Hok-mo-sin-kang menurutkan apa jang terlukis diatas ke 18 boneka kaju,
sementara itu sudah tiba subuh hari ketiga. Anak muda itu menarik napas dalam2,
lalu ia simpan kembali ke-18 boneka buah boneka itu kedalam kotak. Ia merasa
semangatnja segar dan kuat, tenaga dalamnja berdjalan menurut sesuka hatinja.
Sekilas tertampak Si Kiam tertidur dengan njenjaknja ditepi randjang.
Anak muda itu lantas turun
dari tempat tidurnja. Tatkala mana sudah lewat hari Tiongtjhiu, hawa pada achir
bulan delapan itu belum terlalu dingin, tapi lebih njaman rasanja. Ia lihat
badju Si Kiam sangat tipis, segera ia ambil sehelai selimut tipis dan pelahan2
ia mengemuli pelajan itu. Mungkin saking lelahnja karena dua malam tidak tidur,
maka Si Kiam benar2 sudah terpulas dan lupa daratan.
Lalu ia mendekati djendela
untuk menghirup hawa segar dan berbau harum bunga jang mekar ditaman itu. Tiba2
terdengar Si Kiam sedang berkata: “Siau…….Siauya, djangan…………djanganlah
membunuhnja!”
Tjepat sianak muda menoleh dan
mendjawab: “Kenapa kau selalu memanggil aku Siauya dan mengatakan aku suka
membunuh orang?” ~ Tapi lantas tertampak olehnja pelajan itu masih tertidur,
rupanja dia telah mengigau.
Namun demikian, ketika
mendengar suara sianak muda, seketika djuga Si Kiam terdjaga bangun, ia tepuk2
dada sendiri sambil berkata: “Wah, sangat menakutkan!” ~ Tapi ketika melihat
diatas tempat tidur tiada orang lagi, tjepat ia menoleh, maka tertampaklah
sianak muda berdiri didekat djendela, ia terkedjut dan bergirang, katanja
dengan tertawa: “O, Siauya, kau sudah dapat bangun! Tjoba lihat, aku sampai
tertidur dan tidak mengetahui.”
Waktu ia berdiri, segera
selimut jang menutup pundaknja itu lantas djatuh kelantai. Ia terperandjat, ia
menjangka diwaktu terpulas dirinja telah diperlakukan setjara tidak senonoh
oleh tuan mudanja jang terkenal bangor itu. Tapi ketika melihat badjunja
sendiri masih terpakai dengan radjin dan baik, seketika ia mendjadi ragu2 dan
bersjukur pula, katanja dengan suara ter-putus2: “Kau………..kau
tidak…………aku………ku………..”
“Tadi kau telah mengigau dan
minta aku djangan membunuh orang, apakah didalam mimpi kau melihat aku hendak
membunuh orang?” kata sianak muda dengan tertawa.
Mendengar utjapan sianak muda
tiada bersifat kotor, pula keadaan dirinja djuga tiada sesuatu jang
mentjurigakan, maka hati Si Kiam mendjadi lega. Segera ia mendjawab: “Ja, dalam
mimpi aku melihat engkau membawa sepasang golok, di-mana2 majat bergelimpangan,
semuanja………semuanja………”. ~ Sampai disini mukanja mendjadi merah dan tidak
melandjutkan lagi.
Rupanja siang harinja dia
banjak melihat boneka2 telandjang jang dimiliki sianak muda, maka didialam
mimpi jang dilihatnja djuga majat2 kaum lelaki jang telandjang. Dengan
sendirinja ia merasa malu untuk mengatakan terus terang.
Sudah tentu sianak muda tidak
tahu duduknja perkara, ia menegas: “Semuanja kenapa?”
Muka Si Kiam kembali bersemu
merah, sahutnja: “Semuanja…………..semuanja bukan orang djatah.”
“Entji Si Kiam,” demikian
sianak muda bertanja: ”Banjak sekali kedjadian2 jang aku tidak paham, apakah
kau suka mendjelaskan kepadaku ?”
“Ai, mengapa sesudah sakit,
sekarang watakmu sudah berubah sedjauh ini,” sahut Si Kiam dengan tertawa.
“Bitjara dengan kaum hamba sebagai kami ini masakah pakai memanggil entji apa
segala ?”
“Djusteru itulah jang
membingungkan aku,” udjar sianak muda. “Mengapa kau memanggil Siauya padaku dan
mengapa pula kau mengaku sebagai hambaku. Para paman itupun menjebut aku
sebagai Pangtju. Dan Tian-toako itu mengatakan aku telah merebut isterinja. Sebenarnja
bagaimanakah duduknja perkara?”
Si Kiam memandang ter-mangu2
sedjenak, melihat anak muda itu ber-sungguh2, lalu katanja: “Sudah dua hari dua
malam engkau tiada makan apa2, diluar sana ada bubur tim, biarlah kuambilkan
untukmu.”
Mendengar tentang makanan,
seketika sianak muda merasa perutnja sangat lapar, serunja: “Biarlah aku ambil
sendiri sadja, dimanakah bubur tim itu?” ~ Lalu ia menggunakan hidungnja untuk
mengendus dan berkata pula dengan tertawa: “Ja, tahulah aku.”
Segera ia menudju keluar. Diluar
kamar tidurnja itu ternjata adalah sebuah kamar besar pula. Dipodjok kiri kamar
sana ada sebuah anglo ketjil dengan sebuah pantji diatasnja, terdengar suara
krupukan masaknja bubur itu.
Sianak muda berpaling sekedjap
kepada Si Kiam. Seketika muka pelajan itu mendjadi merah, ia tahu apa jang
terdjadi. Segera ia berseru: “Ai, bubur tim telah kedaluan sehingga hantjur
mendjadi bubur sumsum.”
“Bubur sumsum djuga enak,”
kata sianak muda dengan tertawa. Waktu dia membuka tutup pantji, seketika
terendus bau sangit, bubur itu memang benar sudah hantjur mendjadi bubur
sumsum, bahkan sebagian besar sudah hangus.
“Siauya, harap kau tunggu
sebentar, biar kumasak lagi. Sungguh gebleg hamba ini, ketelandjur tidur sampai
lupa daratan”, kata Si Kiam.
Anak muda itu sudah lama
tinggal di pegunungan, soal nasi atau bubur hangus sudah seringkali dimakannja,
maka bubur sumsum jang sudah hangus itupun tidak mengherankan dia, ia ambil
sendok dan menjendok bubur itu terus dimakan.
Bubur tim itu mestinja
bertjampur Djinsom jang rasanja memang agak pahit, sekarang hangus dan tiada
diberi gula, sudah tentu lebih2 pahit. Namun anak muda itu hanja sedikit
mengerut dahi dan bubur itu terus ditelannja, ia melelet lidah dan berkata:
“Wah, pahit!”.
Tapi segera ia menjendok lagi
dan dimakan, lalu berkata pula: “Wah, pahit!”
Tjepat Si Kiam hendak merebut
sendoknja sambil berkata: “Barang sudah hangus djangan dimakan lagi.”
Ketika tangannja menjentuh
tangan sianak muda, karena anak muda itu tidak mau melepaskan sendoknja, dengan
sendirinja lantas menimbulkan tenaga tolakan sehingga tangan Si Kiam tergetar,
pelajan itu terkedjut dan tjepat menarik kembali tangannja.
Apa jang terdjadi itu sama
sekali tak dirasakan oleh sianak muda, dia masih terus makan bubur sumsum jang
hangus itu.
Melihat anak muda itu makan
dengan lahap sekali tanpa peduli barang hangus dan pahit, Si Kiam mendjadi
geli, katanja kemudian: “Ja, maklum djuga, memangnja engkau sudah terlalu
lapar.”
Hanja sebentar sadja setengah
pantji bubur itu sudah dimakan habis bersih. Walaupun bubur itu sudah hangus,
tapi bubur itu ditjampur dengan Djinsom jang berkwalitas tinggi dan merupakan
obat kuat, maka sehabis makan, tidak lama kemudian semangat sianak muda
mendjadi lebih tangkas.
Melihat air muka anak muda itu
merah bertjahaja, dengan tertawa Si Kiam bertanja: “Siauya, jang kau latih
sebenarnja ilmu apa? Tanganku sampai tergetar ketika tersentuh tanganmu.
Tjahaja mukamu djuga sedemikian segarnja.”
“Akupun tidak tahu ilmu apa
jang kulatih ini, aku hanja melatihnja menurut tjontoh diatas badan boneka2
kaju itu,” sahut sianak muda. “Eh, entji Si Kiam, se……….sebenarnja siapakah aku
ini?”
Kembali Si Kiam tertawa,
sahutnja: “Engkau benar2 tidak ingat lagi atau tjuma bergurau sadja?”
Sianak muda meng-garuk2
kepalanja jang tidak gatal, mendadak ia bertanja: “Kau melihat ibuku atau tidak
?”
“Tidak,” sahut Si Kiam dengan
heran. “Siauya, selamanja aku tak pernah mendengar bahwa engkau masih mempunjai
ibunda. Ah, tahulah aku, tentu engkau sangat penurut kepada apa jang dikatakan
Lothaythay (njonja besar), makanja watakmu djuga sudah berubah.”
“Apa jang dikatakan ibu sudah
tentu harus diturut,” kata sianak muda. Ia menghela napas pelahan, lalu berkata
pula: “Tjuma sajang entah ibu telah pergi kemana?”
“O, sjukurlah bahwa didunia
ini masih ada seorang jang dapat menundukkan kau,” kata Si Kiam.
Pada saat itu tiba2 diluar
kamar ada orang berseru: “Apakah Pangtju sudah bangun? Hamba ingin memberi
lapor sesuatu.”
Sianak muda diam sadja dengan
bingung. Tanjanja kepada Si Kiam dengan suara bisik2: “Apakah dia sedang
bitjara padaku?”
“Ja, dia bilang hendak memberi
laporan kepadamu,” sahut Si Kiam.
“Wah, bagaimana aku harus
bitjara dengan dia,” kata sianak muda dengan bingung. “Entji Si Kiam, suruhlah
dia tunggu sebentar, engkau harus mengadjarkan dulu padaku tjara bagaimana aku
harus bitjara.”