Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 14
Hanya sayang, sebelum ia
selesai mengali sampai lima tombak, penyakit Cia Soen sudah keburu kumat lagi.
Hari itu, sesudah makan tengah
hari, Cia Soen jalan mundar-mandir didepan guha. Coei San tidak berani bekerja,
karena kuatir suara menggali tanah akan menimbulkan kecurigaannya. Ia juga
tidak berani meninggalkan isterinya dan terus berdiam diluar mulut guha sambil
menahan napas dan berwaspada.
Tiba-tiba Cia Soen mulai
mencaci. Ia mencaci langit, Bumi, dewa-dewa dan malaikat-malaikat. Sesudah itu
ia mencaci kaizar-kaizar dan orang orang ternama dijaman purba. Sebagai seorang
yang berpengetahuan tinggi, maki-makiannya di sertai dengan kutipan-kutipan
sejarah sehingga Coei San yang mendengarnya jadi merasa ketarik sekali.
Sesudah puas menyikat orang-orang
dulu, ia mulai mencaci pentolan pentolan dalam Rimba Persilatan. Tatmo Couw soe
dari Siau lim pay, Gak Boe Bok (Gak Hoi), jago-jago dan yang lain - lain
bintang dilangit persilatan semua disikat bersih. Ia mencaci orang-orang gagah
dari satu kelain jaman dan apa yang sangat menarik, caciannya bukan membuta
tuli, tapi di sertai juga dengan kupasan-kupasan pedas tajam mengenai
kekurangan dari ilmu silat setiap partai
atau perseorangan. Waktu
memaki orang-orang gagah dijaman buntut Lam song (Kerajaan Song Selatan), yang
disikat olehnya adalah Tong sia, See tok, Lam tee, Pay kay dan Tiong sin thong
dan sesudah lima jago itu, ia mencaci juga Kwee Ceng dan Yo Ko. Akhirnya,
tibalah giliran Thio Sam Hoag, pendiri dari Boe tong pay dan sampai disitu, Coei
San tak dapat menahan sabar lagi.
Dengan darah meluap, Coei San
membuka mulutnya untuk balas memaki. Tetapi sebelum perkataannya keluar,
tiba-tiba Cia Soen berteriak : "Thio Sam Hong bukan manusia! Muridnya.
Thio Coei San, juga bukan manusia! Paling benar aku mampuskan dulu
bininya!"
Sambil berteriak begitu, ia
melompat masuk kedalam gua.
Coei San lantas saja turut
melompat, tapi hampir berbareng, ia dengar suara gedubrakan, sebagai tanda,
bahwa orang edan itu sudah terjeblos kedalam jebakan.
Tapi karena didasar lubang
belum dipasang kayu-kayu tajam, maka biarpun terguling. Cia Soen tidak sampai
terluka dan sesudah hilang kagetnya, ia segera melompat keatas.
Sementara itu, Coei San sudah
menjemput potongan kayu yang digunakan untuk menggali tanah dan begitu lihat
munculaya badan Cia Soen, ia segera menghantam kayu itu. Mendengar sambaran
angin tajam, bagaikan kilat Cia Soen menangkap kayu itu dengan tangan kirinya
dan membetotnya keras-keras. Coei San tak kuat menahan betotan yang sangat
hebat itu, sehingga bukan saja kayu terlepas, tapi telapak tangannyapun
terbeset dan mengeluarkan darah. Tapi karena pukulan tersebut, tubuh Cia Soen
kembali jatuh kedalam lubang.
Pada saat itu, tanpa diketahui
sang suami, So So sebenarnya sudah hampir melahirkan anak. Waktu si edan mondar
mandir didepan gua perutnya sudah sakit.
Tapi ia tidak berani memanggil
suaminya karena kuatir didengar Cia Soen. Sekarang, melihat senjata suaminya
direbut, sambil menahan sakit ia mengambil pedangnya yang lalu dilontarkan ke
pada Coei San.
"Kepandaian orang itu
sepuluh kali lipat tinggi dari padaku dan jika aku mem bacok, pedang ini pasti
akan direbut olehnya," pikir Coei San. Mendadak ia ingat, bahwa sesudah
kedua matanya buta, Cia Soen menganggap potongan kayu tadi dengan mendengar
sambaran angin pukulan. Maka itu, pasti akan berhasil jika bisa menyerang tanpa
menerbitkan sambaran angin.
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa terbahak bahak disusul dengan melompatnya si kalap kemulut lubang hua.
Coei San segera menudingkan ujung pedang yang sudah diluruskan setelah mereka
mendarat dipulau itu kearah siedan yang sedang melesat keatas. Ia tidak menikam
atau membacok, ia hanya menunggu. "Crass" ujung pedang menancap
dikepala Cia Soen. Karena tak ada sambaran angin, Cia Soen yang sedang melompat
keatas tentu saja tak menduga, bahwa ia akan dipapaki dengan senjata tajam.
Masih untung ia mempunyai
kepandaian yang sangat tinggi dan dapat bergerak luar biasa cepat. Begitu ujung
pedang menggores batok kepalanya begitu ia melenggakkan kepala seraya menangkap
badan pedang dan mengerahkan tenaga Ciankie toei (ilmu untuk menambah berat
badan), sehingga tubuhnya jatuh lagi kedalam lubang dengan kecepatan luar
biasa. Tapi, biarpun dapat menyelamatkan jiwanya, ia sudah terluka agak berat
dan darah mengucur dari kepalanya.
Begitu jatuh, ia segera
mencabut pedang yang
menancap dibatok kepalanya dan
sesudah menghunus To liong to, untuk ketiga kalinya ia melompat pula sambil
memutar golok mustika itu guna melindungi kepalanya.
Kali ini Coei San menimpuk
dengan satu batu besar, tapi batu itu dipukul terpental dengan To liong to.
Begitu kedua kakinya hinggap dipinggir lubang, Cia
Soen menerjang seperti orang
gila. Sambil melompat mundur, hati Coei San mencelos. Ia ingat, bahwa hari itu
ia dan So So akan berpulang kealam baka, tanpa melihat lagi anaknya yang belum
terlahir.
Biarpun sedang kalap didalam
perkelahian, Cia Soen ternyata masih dapat menggunakan otaknya. Ia merasa,
bahwa yang paling penting adalah menjaga supaya Coei San dan So So tidak dapat
keluar dari guha itu. Begitu lekas mereka keluar, ia tak akan dapat mencarinya.
Maka itu, dengan tangan kanan
mencekal golok dan tangan kiri memegang pedang, ia memutar kedua senjata itu
bagaikan titiran cepatnva, sehingga mulut guha tertutup dengan sambaran
sambaran senjata yang sangat hebat.
Mendadak, pada saat yang
sangat berbahaya bagi dirinya kedua suami isteri itu, didalam guha terdengar
suara menangisnya bayi. Cia Soen terkesiap dan ia berhenti bergerak. Bayi itu
menangis terus.
Pada saat itu, walaupun tahu,
bahwa bencana sudah berada diatas kepalanya, Coei San tidak menghiraukan orang
edan itu lagi. Dengan perasaan yang tak dapat dilukiskan, mata Coei San dan So
Sa mengawasi bayi itu yang menggerak-gerakkan kaki tangannya sambil menangis
keras. Mereka mengerti, bahwa dengan sekali membabat, Cia Soen dapat
membinasakan mereka bersama bayi yang baru terlahir itu. Tapi mereka tidak
menghiraukan. Didalam hati, mereka bersyukur, bahwa sebelum mati, meraka masih
dapat melihat wajah anak itu.
Mereka sama sekali tak pernah
mimpi, bahwa tangisan bayi itu mempunyai pengaruh yang sangat luar biasa.
Dengan tiba-tiba saja, Cia Soen tersadar dan kalapnya hilang seketika, seperti
daun disapu angin. Didepan matanya lantas saja terbayang peristiwa pada puluhan
tahun berselang, waktu keluarganya dianiaya. Istrinya belum lama melahirkan dan
bayi yang baru lahir itu tidak luput dari keganasan musuh. Dalam otaknya
berkelebat- kelebat peringatan-peringatan yang menyayat hati, kecintaan suami
istri, kekejaman musuh, dibantingnya bayi yang baru lahir, usahanya untuk me
nambah kepandaian, tapi
kepandaian musuh bertambah lebih cepat, didapatinya To liong to dan
kegagalannya untuk menembus rahasia golok mustika itu. Lama ia berdiri terpaku,
sebentar bersenyum, sebentar mengertak gigi.
"Lelaki atau perempuan
?" mendadak terdengar
pertanyaan Cia Soen.
"Lelaki." jawab Coei
San.
"Apa arinya sudah
digunting?" tanyanya pula.
"Benar! Aduh,
kulupa!" jawab Coei San.
Cia Soen segera memutar pedang
yang dicekalnya dan menyodorkan gagangnya kepada Coei San yang segera
menyambuti dan memotong ari bayi itu. Sesaat itu ia terkesiap, karena barulah
ia ingat bahwa si edan berada dekat sekali dengan mereka.
Tapi begitu melirik muka Cia
Soen, ia merasa lebih lega, karena kekalapannya sudah menghilang dan paras
mukanya terlukis perasaan menyayang.
"Berikan kepadaku,"
kata So So dengan suara lemah.
Sang suami segera mengangkat
bayi itu dan menaruhnya kedalarn dukungan isterinya.
"Apa kau sudah masak air
untuk memandikannya ?" tanya Cia Soen dengan suara perlahan.
Coei San tertawa. "Aku
benar gila!" katanya. "Aku sudah melupakan segala apa." Seraya
berkata, ia segera bertindak keluar untuk memasak air. Tapi baru satu dua
tindakan, ia berhenti karena sangsi.
Cia Soen rupanya dapat menebak
kekuatiran pemuda itu "Kau berdiam saja disini menemani isterimu,"
katanya. "Biar aku yang masak air."
Ia segera memasukkan To liong
to kedalam sarung dan berjalan keluar sambil melompati lubang jebakan. Tak lama
kemudian, ia sudah kembali dengan membawa sepaso air panas dan Coei San lalu
memandikan bayinya.
"Bagaimana macamnya bayi
itu?" tanya Cia Soen.
"Seperti ibunya atau
seperti ayahnya ?"
Coei San beriseyum "Lebih
banyak menyerupai ibunya,"
jawabnya "Tidak gemuk,
mukanya potongan kwaci"
Cia Soen menghela napas
panjang. Sesudah termenung sejenak, ia berkata dengan suara perlahan: "Aku
mendoakan, supaya sesudah besar ia jangan bernasib jelek. Aku mendoakan supaya
ia banyak rezeki dan umur panjang, jauh dari segala penderitaan."
"Cia Cianpwee, apakah
nasib anak ini kurang baik?" tanya So So.
"Bukan begitu,"
jawabnya, "Kudengar, anak itu menyerupai kau. Kalau benar, ia berparas
terlampau ayu. Orang kata, orang yang terlalu ayu sering bernasib jelek
sehingga aku kuatir, jika dihari kemudian anak ini masuk dalam dunia pergaulan,
ia akan menemui banyak kesukaran."
"Cia Cianpwee, kau
memikir terlalu jauh," kata Coei San sambil tertawa. "Kita berempat
berada dipulau yang terpencil ini, sehingga mana dapat anak kami masuk kedalam
dunia pergaulan ?"
"Tidak!" bentak So
So. "Kita boleh tak usah kembali ke Tionggoan, tapi anak ini tidak dapat
dibiarkan berdiam di sini terus menerus, seumur hidupnya. Sesudah kita bertiga
mati, siapa yang akan meagawaninya? Sesudah dia dewasa, dimana ia harus mencari
isteri ?"
Semenjak kecil In So So berada
diantara orang-orang Peh bie kauw dan apa yang dilihatnya ialah
perbuatan-perbuatan yang kejam sehingga sesudah besar, sifatnya jadi ganas
sekali. Tapi sesudah bersuami isteri dengan Thio Coei San, sifat nya berubah
dengan perlahan. Sekarang setelah menjadi ibu, rasa cinta yang wajar terhadap
anaknya memenuhi lubuk hatinya dan ia rela berkorban demi kepentingan bayi yang
baru lahir itu.
Mendengar perkataan sang
isteri, Coei San berduka sekali. Dengan berada dipulau itu, yang terpisah
laksaan li dari wiiayah Tionggoan, dan dengan tak memiliki alat pengangkutan,
mana dapat mereka kembali kedalam dunia pergaulan? Tapi ia membungkam, karena
kuatir isterinya putus harapan.
"Tak salah perkataan Thio
Hoejin." kata Cia Soen. "Bagi kita bertiga, tidak halangannya untuk
berdiam disini seumur hidup. Tapi anak ini, tidak! Tak dapat kita membiarkan
dia berdiam disini seumur hidupnya tanpa mencicipi kesenangan dunia. Thio
Hoejin, kita bertiga harus berusaha sedapat mungkin supaya anak itu bisa
kembali ke Tiong goan."
Bukan main girangnya So So. Ia
berusaha untuk bangun berdiri. Buru-buru Coei San mencekal lengannya seraya
berkata: "So So, kau mau apa ? Rebahan saja!"
"Ngoko," jawabnya,
"Kita berdua harus berlutut dihadapan Cia Cianpwee guna menghaturkan
terima kasih untuk kebaikannya terhadap anak kita."
Cia Soen menggoyang-goyangkan
tangannya seraya mencegah: "Tak usah! Tak usah! Apa anak itu sudah di beri
nama ?"
"Secara sembarangan kami
sudah memilih satu nama, yaitu Liam Coe," jawab Coei San. "Cia
Cianpwee seorang yang berpengetahuan tinggi, makaa bolehlah Cianpwee memilih
lain nama yang lebih cocok untuknya!"
Cia Soen memikir sejetak.
"Thio Liam Coe.. Thio Liam Coe.... " katanya. "Namanya itu sudah
cukup baik. Tak usah diubah"
Tiba-tiba So-co mendapat satu
pikiran. "Orang aneh itu kelihatannya menyayang sekali anakku,"
katanya didalam hati "Paling benar aku memberikan anak ini sebagai anak
pungutnya, supaya ia tidak turunkan tangan jahat kalau kalapnya datang lagi."
Memikir begitu, it lantas saja berkata: "Cia Cianpwee, untuk kepentingan
anak ini, aku akan mengajukan suatu permohonan kepadamu dan ku harap kau tidak
menolaknya."
"Permohonan apa ?"
tanyanya.
"Aku ingin menyerahkan
Liam Coe kepadamu untuk dijadikan anak angkat," jawabnya. "Biarlah
kalau sudah besar, ia dapat merawat kau seperti ayahandanya sendiri. Dengan
berada dibawah perlindunganmu seumur hidupnya ia tentu tak akan dihina orang.
Ngoko, bagaimana pendapatmu?"
"Bagus!",kata Coei
San. "Aku harap Cia Cianpwee tidak menolak permohonan kami berdua."
Paras muka Cia Soen mendadak
berobah dan diliputi dengan sinar kedukaan yang sangat besar. "Anak
kandungku sendiri telah dibanting orang sehingga jadi perkedel," katanya
dengan suara perlahan. "Apa kau tidak lihat?"
Jilid 12
Coei San dan Sa So saling
melirik dengan perasaan berkuatir, karena perkataan itu seperti keluar dari mul�tnya seorang edan. Dalam
kekuatiran merekapun merasa kasihan terhadap orang yang bernasib malang itu.
Sesudah berdiam sejenak, Cia Soen berkata pula: "Kalau dia hidup, sekarang
sudah berusia delapan belas tahun. Aku Cia Soen pasti akan turunkan semua baik
ilmu surat maupun ilmu silat kepadanya. Huh huh! Dia belum tentu kalah dari Boe
tong Cit hip atau Siauw lim Sam gie."
Kata-kata itu, yang
kedengarannya angkuh, bernada sedih dan mengutarakan perasaan dari seorang yang
hatinya sangat kesepian. Mendengar itu, Coei San dan So So turut berduka dan
mereka merasa menyesal, bahwa karena terpaksa, kedua mata orang itu telah
dibikin buta.
"Kalau dia masih dapat
melihat, bukankah kita berempat bisa hidup senang di pulau ini ?" kata
Coei San didalam hati.
Untuk beberapa saat lamanya,
ketiga orang itu tidak mengeluarkan sepatah kata. Akhirnya kesunyian dipecahkan
oleh Coei San yang berkata dengan suara tetap: "Cia Cianpwee, kau
terimalah anak ini. Kami akan menukar she nya jadi she Cia."
Mendadak, sehelai sinar terang
berkelebat di muka Cia Soen yang suram. "Apa benar ?" tanyanya dengan
suara kurang percaya. "Kau rela dia menukar she ? Cia Liam Coe....Cia Liam
Coe.... Namun itu cukup baik. Tapi anakku yang mati bernama Boe Kie."
"Kalau Cia ciapwee
menghendaki, anak kami boleh dinamakan Boe Kie," kata Coei San.
Tak kepalang girangnya Cia
Soen, tapi dalam kegirangan itu, ia merasa sangsi, kalau-kalau ke dua suami
isteri itu sedang menipu dia. "Kalian memberikan anakmu kepadaku, tapi
bagaimana kau sendiri ?" tanyanya pula.
"Tak perduli dia she Cia
atau she Thio, kami berdua akan tetap menyintainya," kata Coei San.
"Di belakang hari, ia harus mengunjuk kebaktian kepada Cianpwee dan kepada
kami sendiri. Bukan kah itu baik sekali ? So So, bagaimana pendapat mu?"
"Aku setuju apa yang
dikatakan olehmu," jawab So So dengan suara agak bersangsi. "Makin
banyak orang menyintainya, makin bagus untungnya anak itu."
Dengan air mata
berlinang-linang Cia Soen menyoja sambil membungkuk. "Aku menghaturkan
banyak-banyak terima kasih kepada kalian," kata nya dengan suara terharu.
"Sakit hati membuta kan mata mulai sekarang sudah dihapuskan, Cia Soen
kehilangan anak, tapi hari ini dia mendapat pula seorang anak. Di hari
kemudian, nama Cia Boe Kie akan menggetarkan dunia dan biarlah orang tahu,
bahwa ayahnya adalah Thia Coei San, ibunya In So So, sedang ayah angkatnya
adalah Kim mo Say ong Cia Soen"
Barusan So So agak bersangsi
karena Cia Boe Kie yang tulen telah binasa seperti perkedel, sehingga ia kuatir
nama itu kurang baik, untuk anak nya. Tapi melihat kegirangan Cia Soen yang
begitu besar, ia merasa tak tega untuk mengutara kan kesangsiannya. Ia yakin,
bahwa anak itu tentu akan sangat dicinta Cia Soen dan hal ini merupakan
keberkahan untuk anak itu.
"Cia Cianpwee apa kau mau
mendukungnya?" tanyanya sambil mengangsurkan anak itu.
Cia Soen menyambuti dan
memeluknya dengan hati-hati. Mendadak, karena terlalu girang, kedua tangannya
bergemetaran dan air matanya mengalir. "Kau...kau.. ambilah
pulang,"katanya. "Melihat mukaku, dia bisa ketakutau setengah
total."
"Jika masih senang, kau
boleh mendukungnya terlebih lama," kata So So sambil bersenyum.
"Dikemudian, hari kaulah yang harus mengajak ia bermain-main."
Sehabis berkata pegitu ia menyambuti anak itu.
,
"Baik! Baik!" kata
Cia Soen sambil tertawa debar.
Mendengar si bayi menangis
keras ia ber kata pula: "Tetekkanlah. Dia ]apar. Aku mau keluar
dulu." Coei San dan So So bersenyum. Dengan matanya yang sudah buta,
biarpun So So sedang menyusukan, ia sebenarnya boleh berdiam terus disitu. Tadi
dalam kalapnya, ia begitu ganas. Tapi sekarang, ia begitu mengenal adat.
Sebelum ia bertindak keluar,
Coei San sudah mendului: "Cia Canpweee...."
"Tidak! Sesudah kita jadi
orang sendiri, kau tak dapat menggunakan istilah Cianpwee lagi," katanya.
"Apa kalian setuju jika kita sekarang mengangkat saudara? Tali
kekeluargaan ini akan banyak baiknya untuk anak kita!"
"Cianpwee adalah seorang
yang berusia banyak lebih tua dan berkepandaian banyak lebih tinggi, sehingga
mana bisa kami berdua berdiri berendeng dengan Cianpwee?" kata Coei San.
"Fui!" bentak Cia
Soen. "Kau adalah seorang dari Rimba Persilatan dan aku sungguh tak mengerti
mengapa kau begitu, rewel ? Ngotee, Soe moay, apakah kau berdua bersedia untuk
memanggil aku Toako (kakak paling tua) ?"
"Baiklah, biar aku yang
lebih dulu memanggil Toako." kata So So. "Kalau dia tetap mau panggil
kau Cianpwee, maka terhadap akupun, dia harus memanggil Cianpwee."
"Kalau begitu, biarlah
siauwtee menurut perintah Toako," kata Coei San.
"Sesudah kita mencapai
persetujuan, beberapa hari lagi, sesudah aku lebih kuat, barulah kita
bersembahyang dan memberitahukan kepada Langit dan bumi, akan kemudian
menjalankan peradatan mengangkat ayah dan mengikat tali persaudaraan,"
kata SoSo.
Cia Soen tertawa
terbahak-bahak. "Satu laki laki tak akan menarik pulang perkataannya.
Perlu apa bersembahyang kepada langit? Aku sudah membenci Langit !" Sehabis
berkata begitu dengan tindakan lebar ia berjalan keluar. Beberapa saat
kemudian, Coei San dan So So mendengar suara tertawanya yang panjang dan
nyaring. Sedari bertemu, belum pernah mereka melihat dia begitu bergembira.
Demikianlah, dengan penuh perhatian,
ketiga orang itu merawat dan memelihara Cia Boe Kie. Sebagai seorang yang
bergelar Kim-mo Say ong, kepandaian Cia Soen dalam ilmu menangkap dan melatih
binatang dapat dikatakan tidak bandingannya didalam dunia. Coei San mengajak ia
pergi keberbagai pelosok pulau itu dan sekali pergi, ia tidak melupakan lagi
jalanan jalanannya.
Dalam pembagian pekerjaan, Cia
Soen bertanggung jawab untuk menyediakan daging kepada keluarganya, menangkap
menjangan atau memburu biruang.
Kadang-kadang sikera merah
mengikut, tapi karena cara kera itu membinasakan biruang terlalu mudah, maka
Cia Soen berbalik tidak merasa gembira. Semula ia masih suka mengajaknya untuk
dijadikan penunjuk jalan, tapi sesudah mengenal jalanan, ia tidak mempermisikan
lagi dia mengikut dan memerintahkannya berdiam untuk ber main-main dengan Boe
Kie.
Beberapa tahun telah lewat
dengan aman sentosa. Bayi itu bertubuh kuat, tidak pernah mengenal penyakit,
dan dengan cepatnya sudah menjadi seorang anak yang mungil dan subur. Diantara
ketiga orang tua itu, Cia Soen lah yang paling memanjakannya. Setiap kali Coei
San atau So So mau nenghukumnya, karena ia terlalu nakal, Cia Soen selalu
datang disama tengah dan menghalang halangi. Dengan demikian, saban-saban ayah
dan ibu kandungnya bergusar, ia tentu lari ketempat sang ayah angkat untuk
meminta pertolongan. Kedua orang tuanya hanya dapat menggeleng-geleng kan
kepala dan menggerutu, bahwa anak itu terlalu dimanja oleh sang toako.
Waktu Boe Kie berusia empat
tahun, So So lalu mulai mengajar ilmu surat kepadanya. Pada hari ulang tahunnya
yang kelima, Coei San berkata: "toako, anak kita sudah boleh belajar
silat. Mulai hari ini, kurasa kau sudah boleh mengajarnya. Apa Toako
setuju?"
Sang kakak menggelengkan
kepalanya. "Tak bisa," jawabnya. "Ilmu silatku terlampau dalam.
Jika sekarang aku yang mengajarnya, ia tak mengerti. Sebaiknya, lebih dulu kau
menurunkan ilmu Boe tong Sim hoat dan sesudah is berusia delapan tahun, barulah
aku yang mengajarnya. Sesudah aku mengajar dua tahun, kamu sudah boleh pulang!
So So kaget dan heran.
"Apa? pulang? Pulang ke Tionggoan?" menegasnya.
"Benar." jawabnya.
"Selama beberapa tahun, sehari aku memperhatikan arah angin dan arus air.
Aku mendapat kenyataan, bahwa saban tahun pada malam yang paling panjang,
turunlah angin yang meniup keras terus menerus sampai beberapa puluh malam.
Sebelum waktu itu tiba, kita dapat membuat sebuah getek yang besar, memasang
layar dan jika Langit tidak mengacau, mungkin sekali kalian bisa ditiup angin
sampai di Tionggoan."
"Kami?" tanya pula
So So. "Apa kau tidak turut serta?"
"Mataku sudah tidak bisa
melihat, perlu apa aku pulang ke Tionggoan?" jawabnya.
"Jika kau tidak ikut,
kami pasti tak akan mempermisikan kau berdiam sendirian dipulau"
kata So So. "Anak kitapun
tak akan mau mengerti, Ka1au bukan Gie hoe (ayah angkat), siapa lagi yang bisa
menyayangnya?"
Cia Soen menghela napas dan
paras mukanya kelihatan berduka. "Aku sudah menyayangnya sepuluh tahun.
cukuplah," katanya. "Langit selama nya mengacau penghidupanku. Jika
anak kita berdampingan terlalu lama denganku, Langit mungkin akan menggusari
dia dan dia bisa celaka."
Coei San dan So So bingung.
Tapi sesaat kemudian, mereka manganggap, bahwa sang kakak bicara sembarangan
saja dan hati mereka jadi lebih lega.
Mulai hari itu, Coei San mulai
memberi pelajaran Lweekang kepada puteranya. Ia menganggap bahwa bagi anaknya
yang masih begitu kecil, pelajaran Lweekang untuk menguatkan diri sudahlah
cukup.
Disamping itu, dengan berdiam
dipulau tersebut, anak itu sebenarnya tidak perlu memiliki ilmu silat, karena
tidak ada kemungkinan untuk berkelahi. Mengenai kesempatan pulang ke Tionggoan
tidak pernah disebut-sebut lagi oleh Cia Soen, sehingga Coei San dan So So
menganggap, bahwa kakak mereka sudah berkata begitu secara sembarangan saja.
Waktu Boe Kie berusia delapan
tahun, benar saja Cia Soen mengajukan untuk memberi pelajaran ilmu silat. Tapi
ia mengadakan peraturan, bahwa waktu ia menurunkan pelajaran, baik Coei San
maupun So So tidak boleh turut menyaksikan. Peraturan itu yang sudah lazim dalam
Rimba Persilatan, tidak pernah dibantah oleh mereka. Mereka tahu, bahwa sang
kakak akan memberi pelajaran yang sebaik baiknya kepada Boe Kie.
Sang tempo lewat dengan cepat
dan tahu-tahu Boe Kie sudah menerima pelajaran setahun lebih dari ayah pungutnya.
Semenjak terlahirnya anak itu, karena hatinya bahagia dan mempunyai tugas
tertentu, Cia Soen tak pernah memperhatikan lagi To liong to. Pada suatu malam,
karena tak dapat pulas. Coei San keluar dari guha dan jalan-jalan diseputar
situ. Tiba-tiba ia lihat Cia Soen sedang bersila diatas satu batu besar sambil
mencekal golok mustika dengan kepala menunduk.
Baru saja ia mau menyingkir
diri, sang kakak yang sudah mendengar suara tindakannya sudah keburu berseru:
"Ngotee, kurasa kata-kata Boe lim coe-coan, poto To liong hanya kata-kata
kosong belaka."
Coei San menghampiri seraya
berkata: "Di dalam Rimba Persilatan memang banyak sekali tersiar
omongan-omongan yang tidak boleh dipercaya. Toako adalah seorang yang
berpengetahuan tinggi, sehingga aku sesungguhnya tidak mengerti, mengapa kau
percaya omongan itu?"
"Ngotee, aku bukan
percaya secara serampangan saja," jawabnya. "Keterangan itu dapat
dari Kong kian Taysoe, seorang pendeta dari Siauw limpay."
"Ah!" Coei San
mendadak mengeluarkan seruan tertahan. "Kong kian Taysoe! Kudengar ia
adalah Soeheng (kakak seperguruan) dari Kong boen Taysoe, Ciangboejin Siauw
limpay. Ia sudah meninggal dunia lama sekali."
"Benar," kata Cia
Soen. "Akulah yang membinasakannya!"
Tak kepalang kagetnya Coei
San. Dalam dunia Kangouw terdapat kata yang seperti berikut: "Siauw lim
Seng ceng, Kian Boen Tie Seng," (Pendeta suci dari Siauw lim pay yalah
Kian, Boen, Tie dan Seng). Kata-kata itu adalah untuk mengunjuk keempat
Hweeshio lim sie, yaitu Kong kian, Kong boen, Koug tie dan Kong seng.
Belakangan ia dengar dari gurunya, bahwa Kong kian telah meninggal dunia dan
tak dinyana, sekarang ia mendapat tahu, bahwa pendeta suci itu telah
dibinasakan oleh kakaknya.
Cia Soen telah menghela napas
panjang dan paras mukanya berubah sedih. "Kong kian manusia tolol,"
katanya. "Ia membiarkan aku memukulnya tanpa membalas. Ia mati sesudah
dipukul tigabelas kali"
Coei San jadi lebih kaget
lagi. Seorang yang kuat menerima tigabelas pukulan Cia Soen, harus mempunyai
kepandaian yang luar biasa tinggi.
Sementara itu, paras muka Cia
Soen jadi semakin suram dan terdapat sinar kemenyesalan yang sangat dalam.
Coei San mengerti, bahwa
dibalik kebinasaan Kong kian Taysoe bersembunyi peristiwa yang sangat
mendukakan. Ia yakin bahwa kebinasaan pendeta suci itu bukan kejadian yang
biasa saja. Biarpun sudah delapan tahun mereka hidup bersama-sama dipulau itu
sebagai saudara angkat, dalam rasa menghormat kepada kakak, dalam hati Coei San
juga terdapat rasa jerih. Ia tidak berani menanya melit-melit, karena kuatir
membangunkan peringatan tidak enak dari masa dahulu.
"Selama hdupku, orang
yang dihargai olehku hanya beberapa gelintir saja," kata pula Cia Soen
dengan suara perlahan. "Orang yang seperti guru mu, yaitu Thio Cinjin, aku
hanya mendengar nama dan belum pernah bertemu dengan beliau. Kong kian Taysoe
sungguh seorang pendeta suci. Meskipun nama besarnya tidak begitu dikenal
seperti adik adik seperguruannya, seperti Kong tie dan Kong seng, tapi menurut
pendapatku, kepandaian kedua Taysoe itu tak dapat menandingi Kong kian
Taysoe"
Semenjak bertemu dengan Coei
San, Cia Soen selalu memandang rendah kepada semua pentolan pentolan dunia.
Maka itu, Coei San heran tak kepalang ketika mendengar pujian terhadap Kong
kian Taysoe.
"Mungkin sekali karena
orang tua itu selalu hidup menyembunyikan diri didalam kelenteng, maka tak
banyak orang mengenal kapandaiannya." kata Coei San.
Cia Soen tidak kedengaran
menjawab. Ia bengong dan kedua matanya mengawasi ketempat jauh.
"Sayang!..... Sungguh
sayang!....." katanya pada dari sendiri, "Manusia yang begitu luar
biasa telah binasa dalam tanganku! Jika waktu itu ia membalas, aku Cia Soen
tentu tak bisa hidup sampai sekarang,"
"Apakah Kepandaian
pendeta itu lebih tinggi daripada Toako ?" tanya Coei San.
"Mana bisa aku dibandingkan
dengan beliau ?" jawabnya. "Ilmu silat murid-muridnya juga lebih
tinggi daripada aku." Ia mengeluarkan kata-kata itu dengan nada penyesalan
yang tiada taranya.
Coei San jadi makin heran. Ia
hampir tak percaya keterangan kakaknya. Gurunya sendiri, Thio Sam Hong, adalah
salah seorang luar biasa pada jaman itu. Tapi ia yakin, bahwa Jika gurunya
mesti bertanding dengan Cia Soen, paling banyak sang guru lebih unggul setengah
tingkat. Jika Kong kian lebih unggul dari pada Cia Soen, bukankah gurunya sendiri
tak akan dapat menandingi Kong kian? Tapi iapun mengenal kakaknya sebagai
manusia yang sangat angkuh. Jika ia tak benar-benar merasa takluk, ia pasti tak
akan membuat pengakuan itu.
Cia Soen rupanya dapat membaca
apa yang dipikir oleh adiknya. "Baiklah. Panggil Boe Kie sekarang. Katakan
padanya, bahwa aku ingin menceritakan sebuah cerita dahulu."
Walaupun merasa, bahwa
membangunkan anak itu tengah malam buta bukan seharusnya, Coei San tak berani
membantah perintah sang kakak. Maka itu, ia segera kembali keguhanya dan
membangunkan arak itu. Mendengar ayah angkatnya mau bercerita, Boe Kie jadi
girang dan mengia kan dengan suara keras-keras, sehingga ibunya turut tersadar.
Maka itu, mereka bertiga lantas saja pergi keguha Cia Sam untuk mendengari ceritera
yang dijanjikan.
Sesudah semua orang berkumpul,
Cia Soen segera mulai: "Anak, tak lama lagi kau akan pulang ke
Tionggoan"
"Apa? Ke Tionggoan
?" memutus Boe Kie.
Cia Soen menggoyangkan tangan
supaya anak itu jangan memutuskan omongannya dan berkata pula "Jika getek
kita tenggelam dilaut atau ditiup angin ke samudera yang luas, maka kita boleh
tak usah bicara lagi. Tapi andaikata kita kembali ke Tiongggoan, aku ingin
memberitahukan suatu hal kepadamu. Ingatlah hati manusia didalam dunia sangat jahat
dan kau tidak boleh main percaya kepada siapapun jua kecuali ayah dan ibu
sendiri. Aku nyesa1, bahwa diwaktu masih muda, tak pernah ada orang yang
memberi nasehat itu kepadaku. Tapi biarpun ada yanh menasehati, waktu itu aku
tentu tidak mau percaya."
"Pada waktu aku berusia
sepuluh tahun, secara, kebetulan aku telah bisa berguru dengan seorang yang
mempunyai nama besar dalam Rimba persilatan. Karena melihat bakatku yarg sangat
baik, Soehoe sangat menyayang aku dan telah menurunkan ilmu-ilmu silat yang istimewa
kepadaku, sehingga dengan demikian, perhubungan kami adalah bagaikan ayah dan
anak. Ngotee, pada waktu itu, rasa cinta dan rasa hormat ku terhadap Soehoe
kira-kira bersamaan seperti rasa cinta dan rasa hormatmu terhadap gurumu. Aku
keluar dari rumah perguruan dalam usia dua puluh tiga tahun. Tak lama kemudian,
aku menikah, dan mempunyai seorang anak. Penghidupan kami sangat
beruntung."
"Selang dua tahun, waktu
lewat di kampung kelahiranku. Soehoe mampir dan berdiam berapa hari dirumahku.
Aku girang bukan main dan seluruh keluarga melayaninya dengan sepenuh
perhatian. Dengan menggunakan kesempatan itu, guru ku juga memberikan berbagai
petunjuk pada kekurangan-kekurangan dari ilmu silatku. Tapi siapa nyana....
seorang tokoh yang termasyhur dalam Rimba Persilatan sebenarnya mempunyai hati
binatang! Pada tanggal lima belas Bulan tujuh, sesudah minum arak, tiba-tiba ia
coba memperkosa isteriku ..."
Dengan berbareng Coei San dan
So So mengeluarkan seruan kaget. Guru menodai kehormatan isteri muridnya adalah
suatu kejahatan langka dalam Rimba Persilatan.
"Isteriku memberontak dan
berteriak-teriak minta tolong." Cia Soen melanjutkan penuturannya.
"Mendengar teriakan itu, ayahku menerjang masuk kedalam kamar. Melihat
rahasianya terbuka, guruku memukul ayahku yang lantas saja binasa. Sesudah itu,
dia membinasakan juga ibuku dan membanting Cia Boe Kie, anakku yang berumur
belum cukup setahun ...."
"Cia Boe Kie ?"
memotong si bocah dengan suara heran.
"Jangan rewel! Dengari
cerita Gie-hoe!" bentak Coei San.
"Benar," jawab sang
ayah pungut. "Itulah anak kandungku yang namanya bersamaan dengan namamu.
Guruku membantingnya keras-keras, sehigga dia jadi perkedel!"
"Gie-hoe ! Apa.... .apa
dia masih bisa hidup ?" tanya Boe Kie.
"Tak bisa! Tak bisa hidup
lagi!" jawabnya dengan suara parau.
So So mendelik sambil
menggoyang goyangkan tangannya untuk melarang anak itu untuk menanya lagi.
Sesudah bengong beberapa saat,
barulah Cia Soen berkata lagi: "Melihat kejadian itu nyawaku terbang
separuh dan aku berdiri terpaku sambil mengawasi dengan mata membelalak.
Tiba-tiba guruku me!ompat dan meninju dadaku, sehingga aku rubuh terguling
dalam keadaan pingsan. Ketika aku tersadar, guruku sudah menghilang, sedang
diseputar rumahku penuh mayat. Mayat ayah dan ibuku, isteriku, anakku, isteri
adikku dan bujang-bujangku, semuanya berjumlah tigabelas jiwa. Ia tidak memukul
aku lagi, sebab rupanya ia duga aku sudah mati"
"Sebab terluka, berduka
dan bergusar secara melampaui batas, aku mendapat sakit berat sekali. Sesudah
sembuh, siang malam aku melatih diri dan selang lima tahun, aku mencari guruku
untuk membalas sakit hati. Tapi kepandaianku masih kalah terlalu jauh, sehingga
dapat hinaan yang sangat lebar. Bia bagaimana pun sakit hati tiga belas orang
tak dapat di sudahi dengan begitu saja. Aku segera berkelana untuk mencari guru
yang pandai. Selama sepuluh tahun, aku telah bertemu dengan tiga orang berilmu
yang menurunkan kepandaiannya kepadaku. Dengan dugaan bahwa kepandaianku sudah
cukup tinggi, sekali lagi aku mencari guruku. Tapi di luar taksiran, sedang
kupandaianku bertambah, kepandaiannya bertambah lebih banyak lagi. Demikianlah
untuk kedua kalinya, aku pulang dengan terluka berat"
"Sekali lagi aku melatih
diri tanpa mengenal capai. Kali ini aku melatih Lweekang dari Cit siang koen
(ilmu pukulan Tujuh Luka) dan sesudah berlatih tiga tahun lamanya, barulah aku
berhasil. Aku menganggap, bahwa dengan memiliki kepandaian itu, aku sudah boleh
berendeng dengan ahli ahli silat kelas utama dan jika guruku tidak mendapat
lain-lain ilmu yang lebih tinggi, ia pasti tidak akan bisa melawan aku. Untuk
ketiga kalinya, aku menyatroninya rumahnya, tapi bakan main rasa kecewaku,
karena ia sudah pindah ketempat lain. Aku lalu berkelana dalam kalangan Kangnuw
untuk mencarinya, tapi ia tetap tak kelihatan mata hidungnva Rupanya, untuk
menyingkir dari bencana, ia telah kabur ketempat jauh. Dunia begini luas,
dimana aku mencarinya ?"
"Sesudah itu, dengan
sakit hati yang makin lama makin mendalam dan kegusaran yang meluap-luap, aku
lalu mengamuk. Aku memperkosa wanita, merampok, membunuh dan membakar rumah.
Setiap kali bekerja, aku selalu meninggal kan nama guruku !"
"Ah!" Coei San dan
So So mengeluarkan seruan kaget dengan berbareng.
"Apa kau tahu siapa
guruku?" tanya Cia Soen. So So manggat-mangaut kepalanya seraya berkata:
"Kalau, begitu, Toako adalah murid Hoen goan Pek lek chioe Seng
Koen." (Hoen goan Pek lek chioe - si tangan geledek).
Ternyata pada belasan tahun
berselang didalam Rimba Persilatan mendadak terjadi gelombang yang sangat
hebat. Dalam tempo setengah tahun, dari Liao tong sampai di Lenglam dengan
beruntun-runtun terjadi peristiwa-peristiwa besar. Tiga puluh lebih orang-orang
gagah kenamaan telah dibunuh dan si pembunuh meninggalkan nama Hoen goan Pek
lek chioe Seng Koen. Orang yang dibunuh, kalau bukan Ciang boenjin suatu
partay, tentulah juga seorang gagah yang mempunyai pergaulan luas.
Seluruh Rimba Persilatan telah
mengerahkan tenaga untuk menyelidiki pembunuhan itu dan atas perintah guru
mereka. Boe tong Cit hiap turun gunung untuk membantu, tapi sesudah membuang
banyak tempo dan tenaga, meraka tetap tidak berhasil dalam usahanya. Tak
seorangpun tahu, siapa pembunuh yang kejam itu. Semua orang mengerti bahwa ada
seorang yang sengaja mau mencelaka kan Seng Koen, karena sebegitu jauh Seng
Koen dikenal sebagai manusia baik-baik dan beberapa orang yang telah
dibinasakan, adalah sahabat-sahabat baiknya.
Orang satu satunya yang
mungkin tahu siapa, pembunuh itu, adalah Seng Koen sendiri. Tapi jago itu
mendadak menghilang tanpa meninggalkan bekassehingga, biarpun semua orang gagah
dalam dunia Persilatan ingin membantu, mereka tidak berdaya sebab tidak tahu
siapa penjahatnya.
Sekarang, sesudah mendengar
pengakuan Cia Soen barulah Coei San dan So So mengetahui latar belakang dari
kejadian-kejadian yang hebat itu.
Sesudah berdiam beberapa saat,
Cia Soen melanjutkan penuturannya: "Kau harus tahu, bahwa tujuan dari
sepak terjangku itu adalah untuk memaksa keluarnya Seng Koen. Dengan dicari
oleh ribuan atau sedikitnya ratusan orang, menurut dugaanku, ia pasti akan
dapat ditemukan."
"Tipu Toako memang sangat
bagus," kata So So. "Akan tetapi sungguh kasihan orang-orang itu yang
sudah dibunuh tanpa berdosa."
"Hm! Apakah kau tidak
merasa kasihan terhadap orang tua dan anak istriku yang juga sudah dibunuh
tanpa berdosa!" tanya Cia Soen dengan suara getir. "Dulu kulihat kau
seorang yang sangat polos terbuka. Tetapi sesudah menikah sepuluh tahun dengan
Ngote, kau jadi bawel seperti nenek tua,"
So So melirik suaminya sambil
bersenyum, "Toako, bagaimana buntutnya? Apa kau berhasil mencari Seng
Koen?" tanyanya.
"Tidak, tidak
berhasil," jawabnya. "Belakangan, waktu berada di Lokyang, aku
bertemu dengan Song Wan Kiauw."
Coei San terkesiap. "Song
Wan Kiauw, Toa soekoku ?" ia menegas.
"Benar, Song Wan Kiauw,
kepala dari Boe tong cit hiap." jawabnya. "Sesudah aku mengamuk,
Rimba Persilatan jadi kacau balau dan kalang kabutan. Tapi guru ...."
"Gie-hoe," memutus
Boe Kie. "Dia begitu jahat, mengapa masih memanggil guru kepadanya ?"
Cia Soen tertawa getir.
"Sudah kebiasaan sedari kecil," jawabnya. "Sebagian besar ilmu
silatku didapat daripadanya. Dia jahat, akupun bukan manusia baik. Mungkin
sekali, segala kejahatanku juga didapat daripadanya. Maka itu, aku tetap
memanggil guru kepadanya."
Mendengar penuturan sang kakek
yang sedemikian hebat. Coei San jadi merasa kuatir, bahwa ceritera itu akan
memberi pengaruh kurang baik kepada Boe Kie. Diam-diam dia mengambil keputusan
untuk memberi penerangan dan penjelasan lebih jauh kepada bocah itu.
Sementara itu, Cia Soen sudah
menyambung pula penuturannya: "Melihat guruku belum juga muncul, aku
berpendapat, bahwa kalau aku tidak melakukan perbuatannya yang menggemparkan
dunia, ia pasti tak akan keluar. Sebagaimana kau tahu, daiam Rimba Persilatan,
yang paling dihormati orang adalah partai Siauw lim dan Boe-tong."
"Menurut pendapatku, aku
baru bisa berhasil jika membunuh seorang pentolan Siauw lim atau Boe tong. Hari
itu, ditaman Bouw tan wan, depan kuil Ceng hie koan di Lokyang, aku telah
menyaksikan cara bagaimara Song Wan Kiauw menghajar seorang hartawan jahat. Aku
mendapat kenyataan, bahwa ia benar-benar berkepadaian tinggi dan pada saat itu
juga, aku segera mengambil keputusan untuk membinasakannya."
Walaupun tahu, bahwa pada
akhirnya Song Wan Kiauw tidak terbunuh, Coei San merasa terkejut juga. Ia
yakin, bahwa kepandaian Cia Soen banyak lebih tinggi dari saudara
seperguruannya, sehingga kalau diserang, Toasoehengnya pasti akan dijatuhkan,
So So yang juga tahu, bahwa Song Wan Kiauw tidak dibinasakan, lantas saja
berkata: "Toako, masih untung kau tidak tega turunkan tangan jahat, Jika
kau binasakan Song Tayhiap. Thio Ngohiap pasti akan mengadu jiwa denganmu dan
kita tak bisa mengangkat saudara lagi."
Cia Soen mengeluarkan suara
dari hitung. "Tidak tega? Mana boleh tidak tega?" katanya.
"Kalau sekarang, aku tentu tak akan memusuhi orang orang Boe tong. Tapi
pada waktu itu, jangankan Song Wan Kiauw, sedangkan Ngote sendiripun, jika
bertemu denganku, aku pasti akan coba membinasakannya tanpa ragu ragu lagi."
"Gie hoe. mengapa kau mau
membunuh ayah?" Boe Kie menyelak.
"Aku hanya menyebutkan
suatu perumpamaan dan bukan benar-benar mau membunuh ayahmu," jawab sang
ayah angkat sambil tersenyum.
"Oh begitu?" kata si
bocah.
Sambil mengusap-usap kepala
anak itu, Cia Soen berkata pula dengan suara perlahan: "Meskipun langit
sering menyakiti batiku, kali ini aku merasa syukur bahwa pada akhirnya, aku
tidak membunuh Song Wan Kiauw. Memang benar, jika Song Wan Kiauw sampai dibunuh
olehku, kita tak akan bisa mengangkat saudara." Ia berdiam sejenak dan
kemudian berkata lagi: 'Malam itu, sesudah bersantap, aku segera bersemedhi
didalam kamar untuk mengumpulkan semangat dan tenaga. Aku mengerti, bahwa
sebagai kepala dari Cit hiap, song Wan Kiauw mempunyai kepandaian yang sangat
tinggi. Jika dengan sekali pukul aku tidak dakat membinasakannya dan ia bisa
melarikan diri, maka rahasiaku akan bocor dan usaha mencari guruku akan gagal
sama sekali. Bukan saja begitu, aku malah bakal dikepung oleh orang-orang gagah
dikolong langit. sehingga, biarpun aku mempunyai tiga kepala enam tangan. Aku
pasti tak kan dapat melawannya. Aku mati tak menjadi soal tapi jika aku mati
begitu rupa, sakit hati yang begitu besar itu akan dibawa kelubang kubur."
"Gie hoe," tiba Boe
Kie menyelak lagi." Matamu tidak bisa melihat. Tunggulah sampia aku besar.
Sesudah mempunyai kepandaian tinggi, aku akan membalas sakit hati Gie
hoe."
Perkataan itu mengejutkan Cia
Soen dan Coei San yang dengan serentak bangun berdiri. Dengan mata yang tak
dapat melihat, Cia Soen "mengawasi" anak angkatnya dan berkata dengan
suara perlahan: "Boe Kie, apa benar kau menpunyai niatan begitu?"
Coei San daa So Sa jadi
bingung. Sekarang mereka berada disebuah pulau terpencil didaerah Kuub Utara,
sehingga belum tentu mereka bisa kembali ke Tiong goan. Akan tetapi, didalam
Rimba Persilatan orang sangat mengutamakan kepercayaan. Sekali berjanji seumur
hidup tak dapat ditarik lagi. Begitu lekas Boe kie menyanggupi untuk membalas
sakit hati Cia Soen, maka ia segera memikul beban yang luar biasa berat diatas
pundaknya. Sedang Cia Soen yang memiliki kepandaian sedemikian tinggi masih
belum mampu membalas sakit hatinya, bagaimana anak itu bisa memenuhi janjinya ?
Menurut kebiasaan Rimba
Persilatan, walaupun anak itu masih kecil, dalam urusan itu, ia harus mengambil
keputusan sendiri dan orang tua nya tidak boleh mempengaruhi pikirannya. Maka
itu, meskipun sangat berkuatir, Coei San dan So So tidak berani mengeluarkan
sepatah kata.
"Gie hoe," kata anak
itu dengan suara nyaring "Orang yang membinasakan serentero keluargamu,
bernama Hoen goan Pek lek chioe Seng Koen, bukan? Baiklah Boe Kie akan
mengingat nama itu. Dibelakang hari, anak tentu mewakili ayah untuk membalas
sakit hati dan akan membasmi seluruh keluarganya, tak satupun yarg diberi
hidup!"
"Boe Kie ! Jangan ngaco
kau!" bentak Coed San dengan gusar. "Satu orang yang berbuat, satu
orang yang harus bertanggung jawab, Biarpun dosanya Seng Koen lebih besar lagi,
hanya dia seorang yang harus mendapat hukuman. Lain orang yang tidak berdosa
tidak boleh diganggu selembar rambutnya!"
"Ya, ya . . . Thia
thia," katanya dengan suara ketakutan dan ia tidak berani membuka suara
pula.
"Orang yang sudah mati
tak tahu suatu apa," kata Cia Soen. "paling hebat yalah hidup
sendirian didalam dunia sesudah seluruh keluarga dibinasakan orang...."
"Toako, bagaimana
kesudahan usahamu untuk bertempur dengan Toasoeheng," Coei San memotong
perkataan kakaknya. Ia berbuat begitu karena kuatir Cia Soen bicara terlalu
panjang mengenai penderitaannya, sehingga dapat memberi pengaruh yang lebiih
besar pada anaknya.
"Sungguh heran Toasoeheng
be1um pernah memberitahukan kejadian itu kepada kami"
"Song Wan Kiauw belum
pernah mimpi bahwa ia pernah men jadi bulan-bulanan," jawabnya.
"Mungkin sekali, ia malah
belum pernah mendengar nama kin mo Say ong Cia Soen. Mengapa ? Karena pada
akhirnya, aku tidak jadi cari padanya."
Coei San menarik napas lega.
"Terima kasih Langit, terima kasih bumi." katanya.
"Mengapa kau mengaturkan
terima kasih kepada langit dan bumi?" tanya So So sambil tertawa.
"Yang harus menerima pernyataan terima kasihmu adalah Cia Toako."
Mendengar itu, Coei San dan
Boe Kie turut tertawa.
Cia Soen tidak turut tertawa.
Paras mukanya berubah jadi duka dan ia berkata dengan suara perlahan:
"Kejadian malam itu masih diingat tegas olehku, seperti juga baru terjadi
kemat in. Aku duduk diatas pembaringan batu dan menjalankan pernapasan, melatih
Cit siang koen beberapa kali. Ngote, kau belum pernah menyaksikan pukulan Cit
siang koen. Apa kau ingin melihatnya ?"
"Ilmu pukulan itu
tentulah hebat luar biasa," mendahului So So "Toako, mengapa kau
tidak cari Song Tayhiap ?"
"Kalau tidak hebat,
bagaimana pukulan itu bisa dinamakan Cit siang koen?" kata Cia Soen sambil
tersenyum dan lalu jalan mendekati satu pohon besar. Ia mengangkat tangan
seraya menbentak keras, menghantam dahan pohon itu.
Dengan Lweekang yang
dimilikinya, biarpun ia tak dapat merubuhkan pohon itu, sedikitnya tinju Cia
Soen akan amblas didahan. Tapi diluar dugaan, pohon itu bergoyangpun tidak,
sedang kulit nya tetap utuh. So So merasa menyesal dan berkata didalam hati:
"Sesudah berdiam disini sembilan tahun, ilmu silat Toaka merosot banyak.
Hal itu tak heran, karena ia memang tak pernah berlatih lagi." Tapi
walaupun hatinya berduka, mulutnya bersorah sorai.
"Se moay sorakanmu tidak
keluar dari hati yang setulusnya," kata sang kakak. "Kau anggap ilmu
sllatku sudah tidak seperti dulu, bukan."
"Dengan berdiam dipulau
terpencil ini dan kita berempat adalah orang sekeluarga, memang tak perlu kita
berlatih silat lagi," kata So So.
"Ngotee, apa kau bisa
melihat lihaynya pukulanku?" tanya Cia Soen tanpa menghiraukan So So.
"Waktu menyambar, pukulan
itu sangat dahsyat, sehingga aku tidak mengerti, mengapa pohon itu tidak
bergeming, malah daunnya tidak bergoyang," kata Coei San. "Aku
percaya malah Boe Kie dapat menggoyang dahan itu."
"Aku bisa!" teriak
sibocah sambil berlari-lari dan kemudian meninju dahan pohon itu. Benar saja
pohon yang besar itu bergoyang keras. Kedua suami isteri girang bukan main,
karena putera mereka sudah memiliki tenaga yang begitu besar. Mereka mengawasi
Cia Soen dan menunggu penjelasan sang kakak.
Cia Soen bersenyum seraya
berkata: "Tiga hari kemudian semua daun akan menjadi kering dan rontok dan
selewatnya tujuh hari, pohon itu akan mati berdiri. Aku sudah memutuskan nadi
pohon "
Kedua suami isteri kaget dan
heran, tapi mereka tidak menyangsikan keterangan itu, karena sang kakak belum
pernah berdusta.
Tiba-tiba Cia Soen menghunus
To liong to dan menyabet putus dahan yang tadi dipukulnya. Dengan suara
gedubrakan, pohon itu rubuh ditanah. "Mari, lihatlah," kata sang
kakak. "Kalian boleh manyaksikan lihaynya Cit siang koen."
Coei San bertiga lantas saja
menghampiri. Ternyata "hati" pohon sudah menjadi rusak, ada
"urat-urat" yang hancur dan ada juga yang putus, suatu tanda, bahwa
pukulan itu mengandung beberapa macam tenaga. Bukan main rasa kagumnya Coei San
dan So So. "Toako, hari ini kau telah membuka mata siauwtee," kata
Coei San.
"Dalam pukulanku itu
terdapat tujuh macam tenaga," kata sang kakak dengan suara bangga.
"Tenaga keras, tenaga lembek dalam keras, keras dalam lembek dan
sebagainya. Seorang musuh dapat menahan tenaga pertama, tak dapat menahan
tenaga kedua, yang dapat menahan tenaga kedua, tak akan dapat menahan tenaga ketiga
dan begitu seterusnya. Maka itulah, pukulan tersebut diberi nama Cit-siang
koen. Huh huh ! Mungkin sekali kau akan mengatakan bahwa Cit-siang koen terlalu
kejam."
"Gie hoe, bolehkah kau
turunkan Cit siang koen kepadaku?" tanya Boe Kie.
"Tak bisa!" jawabnya
seraya menggeleng-geleng kan kepala, sehingga bocah itu merasa sangat kecewa.
"Boe Kie, kau benar
edan!" kata So So. "Pukulan Giehoemu itu tak akan dapat dipelajari
sebelum mempunyai Lweekang yang sangat tinggi."
Si bocah mengangguk seraya
berkata: "Baiklah nanti kalau sudah memiliki Lweekang tiaggi, barulah Boe
Kie mengajukan permintaan pula ke pada giehoe."
"Tidak boleh, tak nanti
aku turunkan Cit siang koen kepadamu," kata Cia Soen. "Dalam tubuh
setiap manusia. bukan saja terdapat hawa Im dan yang (negatif dan positif )
tapi juga lima Heng yaitu Kim, Bok, Soei, Ho dan Touw (emas, kayu, air, api,
dan tanah). Misalnya saja, paru-paru termasuk dalam Kim, buah pinggang termasuk
dalarn Soei, nyali termasuk dalam Touw dan sebagainya. Begitu lekas seorang
melatih diri dalam pukulan Cit siang coen, tujuh bagian isi perutnya yang
sangat penting akan terluka. Makin tinggi kepandaiannya, makin hebat luka
didalam itu. "Cit siang" atau "tujuh luka", lebih dulu
melukai diri sendiri. Kemudian baru melukai musuh. Sabah musabab mengapa aku
sering kalap adalah karena latihan Cit siang koen"
Coei San dan So Sal terkejut.
Baru sekarang mereka tahu, mengapa Cia Soen yang boen boe song Coei (pandai
ilmu surat dan ilmu silat) acap kali berlaku seperti binatang buas.