-------------------------------
-----------------------------
Bagian 08
Sesudah lewat
sekian jurus tagi, tiba tiba pemuda itu menyerang dengan pukulan huruf
"Liong" (naga). Mendadak satu tangannya menangkap San-thung Goan giap
yang dengan menggunakan ilmu meminjam tenaga, memukul tangan lalu disentaknya
kearah toya Goan im. "Trang !"Hebat sungguh bentrokan kedua toya itu.
Tenaga kedua pendeta itu yang sudah cukup hebat, ditambah lagi dengan tenaga
Thio Coei San. Telapak-tangan Goan im dan Goan giap terbeset dan mengeluarkan
darah. Lengan mereka kesemutan, sedang kedua Sian thung itu melengkung.
Dengan kaget, Goan sim
menubruk untuk memberi pertolongan. Melihat serangan nekat, Coei San mengengos
sambil mengggaet dengan kakinya dan menepuk punggung pendeta itu. Tepukan
itupun dikirim dergan ilmu "Meminjam tenaga, memukul tangan" yaitu
memukul dengan menuruti tenaga Goan sim sendiri. Tanpa ampun, pendeta itu
terjungkel.
Sambil tertawa dingin, Thio
Coei San lantas saja berjalan pergi,
"Jangan lari kau!"
terial Goan sim seraya melompat bangun dan terus mengudak diikuti oleh kedua
saudara seperguruannya.
Melihat pengejaran nekat, Coei
San jadi bingung juga. Tentu saja sama sekali bukan maksudnya untuk
mencelakakan mereka. Maka itu, ia segera mengempos semangat dan lari dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan. Tapi ketiga pendata itu terus mengubar
sambil berteriak-berteriak.
Sembari lari Thio Coei San
merasa geli didalam hati, karena bagaimanapun juga, ketiga pangejar itu tak
akan bisa menyandak dirinya. Selagi enak lari, tiba-tiba terdengar teriakan
kaget dan kesakitan dan begitu menengok, ia lihat ketiga pendeta itu menutupi
mata kanan mereka dengan kedua tangan, seperti kena senjata rahasia.
"Orang she Thio!" Hoan giap mencaci. "Jika kau mempunyai nyali,
butakanlah lagi mata kiriku!"
Coei San kaget bukan main.
"Apa mata kanannya dibutakan orang dengan senjata rahasia?"tanyanya
didalam hati.
"Siapa yang sudah
membantu aku. Mendadak ia ingat sesuatu dan lantas saja berteriak! "Cit
tee !Cit tee! Dimana kau?" Ia berteriak begitu karena ingat bahwa diantara
saudara-saudara seperguruannya Boh Seng Kok lah yang paling pandai dalam ilmu
menggunakan senjata rahasia. Boh Cit hiap mahir menggunakan piauw, panah
tangan, paku, jarum, batu, Hoei hong sek dan lain-lain. Maka itu, ia menduga,
bahwa orang yang telah menimpuk mata ketiga pendeta itu adalah adiknya yang
paling kecil
Tapi sesudah memanggil
beberapa kali, ia tak mendapat jawaban, ia melompat masuk kegerombolan
pohon-pohon dipinggir telaga, tapi disitu pun ia tak lihat bayangan manusia.
Dilain pihak, sesudah seluruh
matanya terluka, Goan giap jadi kalap dan sambil berteriak-teriak ia melompat
untuk mengubar lagi. Tapi Goan im buru-buru menarik tangan Soeteenya. ia
mengerti, bahwa meskipun belum terluka, mereka bertiga belum tentu dapat
melawan musuh. Sekarang, sesudah terluka, apapula luka itu dirasakan gatal
seperti kena senjata beracun keadaan mereka jadi lebih jelek lagi dan tak usah
harap bisa memperoleh kemenangan. "Giap Soetee, " katanya dengan
suara menghibur. "Dalam usaha membalas sakit hati, orang tak perlu terlalu
bernapsu. Dalam urusan ini, andai kata kita bertiga mau menyudahi saja, Hong
thio dan kedua Soepeh sudah pasti tak akan tinggal diam."
Sementara itu, sesudah
ternyata pengubaran atas dirinya dihentikan, Coei San mulai memikiri kejadian
barusan dengan rasa heran yang sangat besar. "Aku suka mengunggulkan ilmu
mengentengkan badanku, tapi kepandaian orang itu kelihatannya banyak lebih
tinggi dari padaku. Tapi siapa dia!"
Ia tak berani berdiam
lama-lama lagi dipinggir telaga dan lantas berjalan pulang kerumah penginapan.
Tapi baru saja berjalan puluhan tombak, sekonyong-konyong ia lihat
bergoyang-goyangnya rumput tinggi ditepi telaga. Ia tahu bahwa disitu
bersembunyi orang dan dengan hati-hati ia mendekati. Baru saja ia ingin
menegur, dari antara rumput-rumput melompat keluar seorang yang terus membacok
kepalanya dengan golok sambil membentak: "Kalau bukan aku, kau yang
mampus!"
Dengan cepat Coei San mengegos
dan mengirim tendangan yang mengenakan jitu pergelangan tangan kanan orang itu
sehingga goloknya terbang dan jatuh diatas air. Orang itu yang gundul kepalanya
dan mengenakan jubah pertapaan. Lagi-lagi seorang pendeta Siauw lim sie
"Bikin apa kau di sini?" bentak Coei San.
Tiba-tiba ia lihat 3 sosok
tubub yang menggeletak tanpa bergerak, entah sesudah mati, entah terluka berat
didalam rumput-rumputan tinggi. Tanpa menghiraukan lawannya ia segera mendekati
dan membungkuk. Begitu lihat, ia terkesiap karena ketiga orang itu bukan lain
daripada pemimpin-pemimpin Liong boen Piauw kiok, yaitu Touw Tay Kim, Ciok dan
Soe Piauw tauw. "Touw Cong piauw tauw!" serunya. "Kau !.... kau
..... " Perkataannya diputuskan oleh melompatnya Touw Tay Kim yang seperti
orang edan lalu menyengkeram bajunya didada dan mencaci:"Bangsat ! Aku
hanya simpan tiga ratus tahil perak, tapi kau sudah lantas berlaku begitu
kejam."
"Ada apa?" tanya
Coei San. Baru saja ia ingin memberontak, mendadak ia melihat darah di ujung
mata dan mulut Cong Piauw tauw itu. Ia kaget bukan main. "Kau mendapat
luka dalam?" tanyanya.
Touw Tay Kim menengok ke
pendeta itu dan berkata dengan suara parau: "Soetee, kenalilah Orang ini
Gin Kauw Tiat hoa Thio Coei San. Dia.... dialah pembunuhnya. Lekas kau pergi !
. . lekas ! jangan kena dicandak olehnya . .".
Mendadak kedua tangannya
membetot keras dan kepalanya dibenturkan ke dada Thio Ngo hiap dengan tujuan
untuk mati bersama. Coei San mengangkat kedua tangannya dan mendorong.
"Bluk!", badan Touw Tay Kim terpental dan jatuh terjengkang tapi
bajunya sendiripun menjadi robek.
Thio Coei San adalah seorang
yang tidak mengenal takut. Tapi kejadian-kejadian malam itu dan paras muka Touw
Tay Kim adalah sedemikian menyeramkan, sehingga bulu romanya bangun semua.
Dengan hati berdebar-debar, ia membungkuk untuk coba menolong, tapi Touw Tay
Kim sudah melepaskan napasnya yang penghabisan. Sesudah mendapat luka berat,
dorongan Coei San dan jatuhnya ditanah telah menghabiskan jiwanya.
"Bangsat!" teriak
sipendeta. "Kau!..... kau binasakan Soe hengku !" Ia memutar badan
dan terus kabur sekeras-kerasnya.
Coei San menghela napas
panjang dan menggeleng gelengkan kepalanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa Ciok
dan Soe Piauw tauw, yang kakinya masuk kedalam air, sudah mati lebih dulu.
Bukan main rasa dukanya pemuda
itu. Dengan Touw Tay Kim, ia tak mempunyai permusuhan apapun juga. Ia hanya
merasa jengkel karena dalam mengantar Jie Thay Giam, Cong piauw tauw itu sudah
diabui orang dan menyerahkan samkonya kepada kawanan orang jahat. Tapi sekarang
melihat kebinasaan yang begitu menyedihkan, ia merasa sangat terharu dan
kasihan. Untuk beberapa saat, ia berdiri bengong. Tiba-tiba ia ingat perkataan
Cong piauw tauw itu yang mengatakan, "aku hanya menyimpan tigaratus tahal
emas, tapi aku sudah lantas berlaku begitu kejam".
Sebenar-benarnya, jangankan ia
tak tahu hal itu, sekalipun tahu, ia pasti tak akan sembarangan membunuh orang.
Ia segera membungkuk daa membuka buntalan yang diikat dipunggung Cong piauw
tauw itu. Benar saja, dalam buntelan itu kedapatan beberapa potongan emas.
Coei San jadi bertambah duka.
Ia ingat kesukaran dan penderitaan seorang piauw tauw yarg mencari sesuap nasi
dengan melakoni perjalanan li (peep: ???) dan setiap hari hidup diujung
senjata. Tujuan satu-satunya adalah mengumpul sedikit uang untuk berjaga-jaga
keperluan dihari tua. Uang itu sekarang menggeletak disamping Touw Tay Kim,
tapi ia sudah tak dapat menggunakannya. Mengingat begitu, ia menghela napas. Ia
ingat pula, bahwa ini malam, seorang diri ia telah mengalahkan tiga pendeta
Siauw lim sie sehingga namanya naik tinggi dalam Rimba Persilatan. Tapi apa
artinya itu semua? Pada akhirnya ia dan Tuow Tay Kim tidak banyak bedanya,
yaitu berpulang ketempat baka.
Tanpa merasa, sekali lagi ia
melamun ditengah telaga. Mendadak terdengar suara khim. Ia mengawas kearah
suara itu dan mendapat kenyataan, bahwa sastrawan yang tadi minum arak seorang
diri di dalam perahu, yang sekarang yang menetik khim. Sesaat kemudian, dengan
menuruti irama tabuh-tabuhan itu, ia menyanyi:
"Mendapat ilham, tenaga
pit seolah olah menggetarkan Ngo gak,
Syair rampung suara bersyair
mencapai Ciang Cioe.
Kalau nama dan kemuliaan terus
berdiri tegak,
Sangai Han soei seharusnya
mengalir balik ke barat laut."
Coei San terkejut. Suara itu
yang merdu dan nyaring, seperti juga suara seorang wanita, sedang sajak
mengenakan jitu isi hatinya. Dilain saat, ia segera mengangkat kaki uatuk
meninggalkan tempat itu, karena, jika perahu itu mendekati dan si sasterawan
melihat ketiga mayat yang menggeletak disitu, dia mungkin berteriak dan
mengakibatkan datangnya serdadu peronda. Tapi baru ia bertindak, sastrerawan
itu sekonyong-konyong menepuk khim dan berkata dengan suara nyarirg: "Jika
Heng tay (saudara) merasa senang untuk pelesir diatas telaga, mengapa Heng tay
tak mau naik kesini?". Sambil berkata begitu, ia mengebas tangannya dan
tukang perahu yang duduk dikemudi lantas saja menggayu perahu itu ketepi
telaga.
"Orang itu sedari tadi
sudah belada diatas telaga sehingga mungkin sekali aku akan bisa mendapat
keterangan berharga dari mulutnya," pikir Coei San yang lalu turun
dipinggir air. Begitu perahu itu datang dekat, ia segera melompat kekepala
perahu.
Dengan ilmu mengentengkan
badannya yang sangat tinggi, lompatannya itu sedikitpun tidak menggoncangkan
badan perahu. Sisasterawan bangun berdiri dan sambil tersenyum, ia menyoja,
akan kemudian menunjuk kursi supaya tamunya duduk.
Dengan pertolongan sinar
tengtoleng Coei San mendapat kenyataan bahwa sastrawan itu kulitnya putih
bagaikan susu dan pantasnya cantik ayu, sedang waktu ia bersenyum pada pipi
kirinya yang agak kurus tertampak sebuah sujen. Dipandang dari jauh, ia
kelihatannya seperti seorang tongcoe yang tampan, tapi dilihat dari dekat, ia
adalah seorang wanita muda belia yang mengenakan pakaian lelaki.
Sebagai murid Thio Sam Hong,
Coei San telah diajar untuk mentaati sopan santun dan memegang keras peraturan
pada jaman itu, mengenai pergaulan antara pria dan wanita.
Selama malang melintang dalam
dunia Kangouw, Butong Cit hiap belum pernah dibikin mabok oleh kecantikan
wanita.
Maka itulah, setelah
mengetahui, bahwa sasterawan itu adalah seorang wanita, parasnya lantas saja
berubah merah dan begitu bangun berdiri, ia segera melompat balik kedaratan.
Sambil menyoja ia berkata dengan sikap menghormat: "Aku yang rendah tak
tahu, bahwa nona adalah seorang wanita yang menyamar sabagai pria. Untuk kelancanganku,
harap nona sudi memaafkan."
Tanpa menjawab, nona itu
memetik khin seraya bernyanyi
"Kejengkelan
menghilangkan kegembiraan,
kesepian menimbulkan kedukaan.
Terbang berputaran, memandang
ketempat jauh.
Mencekal pedang, melompat ke
atas perahu."
Mendengar nyanyian itu, yang
mengundangnya untuk kembali keperahu, Coei San berkata di dalam hati:
"Malam ini aku telah bertemu dengan banyak soal sulit. Nona itu rupanya
dapat membantu aku dalam usaha mencuci bersih segala tuduhan yang tidak-tidak."
Memikir begitu ia lantas saja bergerak untuk melompat kembali ke perahu.
Tapi ia lantas mendapat lain
ingatan. "Ah! Aku belum mengenalnya dan ia begitu cantik," pikirnya.
"Jika aku membuat pertemuan di tengah malam buta, namanya yang suci bersih
bisa ternoda."
Selagi bersangsi, tiba-tiba ia
dengar suara penggayu memukul air, dan perahu itu sudah bergerak ketengah
telaga. Dilain saat terdengar bunyi khim yang diiring dengam nyanyian seperti
berikut;
"Malam ini kuhilanag
kegembiraan,
Besok malam, belum ada
ketentuan.
Dibawah Liok ho tah,
Yanglie melambai, perahu
menunggu,
Pemuda kesatria,
Apa sudi datang kesitu ?"
Semakin lama perahu jadi
semakin jauh, sedang nyanyian itu pun semakin sayup kedengarannnya, sinar
tengloleng kelihatan seperti sebutir kacang dan kemudian menghilang dari
pemandangan.
Pengalaman Thio Coei San pada
malam itu sungguh-sungguh luar biasa. Disaat ini, dia menghadapi pembunuhan,
mayat dan pertempuran disaat lain, ia bertemu dangan wanita cantik, khim dan
nyanyian merdu. Lama juga ia berdiri ditepi telaga, seperti orang hilang
ingatan. Kemudian sambil menghelan napas, dengan tindakan lesu ia kerumah
penginapan.
Pada esok harinya, pembunuhan
hebat digedung Liong boen Piauw kiok dan ditepi telaga telah menggemparkan
seluruh kota Lim an. Thio Coei San yang gerak geriknya lemah lembut seperti
seorang sasterawan tentu saja tidak dicurigai. Hari itu, dari pagi sampai sore,
ia berputar-putar dipasar pasar dikelenteng-keleteng dalam usaha mencari Jie
Lim Coe dan Boh Seng Kok. Tapi jangankan orangnya, sedangkan tanda tandanyapun
yang biasa ditaruh disepanjang jalan jika Boe tong Cit hiap sedang manjalankan
tugas tak kelihatan.
Sesudah mata hari mendoyong
kebarat, mau tak mau, ia ingat nyanyian nona cantik itu yang selalu terbayang
didepan matanya. "Jika aku berlaku sopan, halangan apa aku
menemuinya?" katanya di dalam hati, "Memang alangkah baiknya jika
Jieko dan Cit tee berada disini dan bisa turut serta. Ya, aku mesti bertemu
dengan nona itu. Dia adalah orang satu-satunya yang bisa ditanyakan
olehku." Sesudah mengambil keputusan, buru-buru ia menangsal perut dan
lalu berangkat kepagoda Liok ho tah.
Liok ho tah berada ditepi
Sungai Cian tongkang dan tempat itu terpisah agak jauh dari kota Lim an
sehingga walaupun Thio Coei San menggunakan ilmu mengentengkan badan, waktu
tiba di Liok ho tan, siang sudah terganti dengan malam.
Dari jauh ia sudah lihat,
bahwa disebelah timur pagoda itu terdapat tiga pohon yanglioe dan dibawah pohon
tertambat sebuah perahu kecil. Perahu perahu disungai itu kebanyakan
menggunakan layar dan bentuknya banyak lebih besar daripada perahu pelesir
ditelaga See ouw. Tapi perahu yang berada di bawah pohon yanglioe, tiada
bedanya dengan perahu semalam dan dikepala perahu tergantung sebuah tengloleng.
Jantung pemuda itu, memukul
keras dan sesudah dapat menenteramkan hatinya, barulah ia mendekati pohon
yanglioe itu. Dikepala perahu kelihatan berduduk seorang wanita yang mengunakan
baju muda. Ternyata nona itu tidak menyamar lagi sebagai pria.
Waktu berangkat dari rumah
penginapan, Coei San bertekad untuk menemui sinona dan menanyakan urusan
semalam. Tapi sekarang, melihat nona itu memakai pakaian perempuan, hatinya
bersangsi lagi.
Sekonyong-konyong sinona
mendongak dan mengucapkan sebuah sajak:
"Memeluk lutut dikepala
perahu,
Sambil menunggu seorang tamu.
Angin meniup, ombak bergoyang.
Duduk melamun, pikiran
meiayang."
"Aku yang rendah, Thio
Coei San, ingin menanyakan sesuatu kepada nona," kata pemuda itu dengan
suara nyaring.
"Naiklah keperahu,"
mengundang Sinona.
Dengan gerakan yang indah Coei
San melompat ke atas
"Kemarin awan hitam
menutupi langit dan bulan tak muncul," kata nona itu. "Malam ini
langit bersih, lebih menyenangkan daripada kemarin." Suaranya merdu dan
nyaring tapi ia bicara sambil mengawasi langit.
"Apakah boleh ku tahu she
nona yang mulia?" tanya Coei San sambil membungkuk.
Mendadak Sinona menengok dan
matanya kedua yang bening menyapu muka itu. Tapi ia tak menjawab pertanyaan
orang.
Pemuda itu jadi
kemalu-kemaluan. Tanpa berani mengeluarkan sepatah kata lagi, ia memutar badan
dan lalu melompat kedaratan dan berlari-lari. Sesudah lari beberapa puluh
tombak, ia menghentikan tindakannya. "Coei San! Coei San !'" Ia
mengeluh "Kau dikenal sebagai seorang gagah yang selama sepuluh tahun
didunia Kang ouw tidak mengenal apa artinya takut. Tapi mengapa begitu
berhadapan dangan seorang wanita, kau lari terbirit birit ?" Ia menengok
dan melihat perahu si nona maju perlahan-lahan disepanjang pingiran sungai,
dengan menuruti aliran air. Dengan hati ber debar-debar, ia lalu berjalan
disepanjang gili gili, berendeng dengan perahu, sedang nona itu sendiri masih
tetap duduk dikepala perahu sambil memandang langit.
Jilid 7
Sesudah berjalan beberapa
lama, tanpa merasa Coei San dongak mengawasi rembulan yang sedang dipandang
sinona. Tiba-tiba di sebelah timur laut muncul segumpal awan hitam. Benar juga
orang kata, angin dan awan tak dapat ditaksir kedatangannya. Dengan cepat, awan
itu bergerak dan meluas. Tak lama kemudian, rembulan sudah tertutup awan hitam
dan berbareng dengan turunnya angin, hujan gerimis mulai turun.
Ketika itu, Coei San sedang
berjalan digili-gili yang berdampingan dengan sebidang tanah lapang dan
disekitar itu tak ada tempat meneduh. Tapi pemuda yang sedang was-was itu pun
tidak ingin cari tempat meneduh. Walaupun yang turun hanya gerimis, lama-lama
pakaian Coei San basah juga. Ia melirik sinona yang juga masih tetap duduk
dikepala perahu, dengan tak menghiraukan serangan hujan. Tiba-tiba ia tersadar.
"Nona, masuklah! Apa kau
tak takut basah?" teriaknya.
"Ah!" nona itu
mengeluarkan seruan tertahan sambil bangun berdiri. "Eh, apa kau juga tak
takut basah ?"
Sehabis berkata begitu, ia
masuk kegubuk perahu dan keluar pula dengan tangan mencekal payung, yang lalu
dilontarkan kearah pemuda itu. Coei San menyambuti dan lalu membukanya. Diatas
payung terdapat lukisan pemandangan alam yang sangat indah: gunung, air dan
beberapa pohon yanglioe, sedang diatas gambar terdapat huruf-huruf seperti
berikut: "Sia hong see ie poet hie kwi."
Payung Hangcioe memang biasa
ada lukisannya. Tapi tulisan seperti itu, yang banyak terdapat pada barang
pecah belah keluaran Kangsay, adalah sedikit luar biasa. Dengan rasa kagum,
Coei San membaca huruf-huruf itu, yang walaupun masih kurang bertenaga sangat
indah ayu dan mengunjuk jelas sebagai buah kalam seorang wanita. Dengan mata
mengawasi tulisan itu, ia berjalan terus sehingga ia tak lihat sebuah solokan
kecil yang melintang ditengah jalan. Tiba-tiba saja kakinya menginjak tempat
kosong dan jika ia seorang biasa, ia pasti terjungkal kedalam solokan itu. Tapi
Thio Coei San bukan orang biasa. Sedang kaki kanannya kejeblos, kaki kirinya
sudah menotol pinggir solokan dan badannya meleset kedepan, sehingga ia hinggap
diseberang dengan selamat.
"Bagus!" memuji
sinona.
Coei San menengok dan melihat
nona itu berdiri di kepala perahu dengun memakai tudung. Pakaiannya
berkibar-kibar ditiup angin dan disambar hujan gerimis, sehingga dipandang dari
kejauhan, ia seolah-olah seorang dewi.
"Apakah tulisan dan
lukisan diatas payung itu cukup berharga untuk dilihat oleh Thio
Sianseng?" tanya sinona.
"Huruf-huruf ini ditulis
menurut Soe hoat (sari menulis) dari Wie Hoejin," jawabnya. "Biarpun
coretannya agak pendek, artinya panjang. Huruf huruf ini sudah cukup
indah".
Mendengar pengertian pemuda
itu akan seni menulis dan pujian yang diberikan kepadanya, sinona jadi girang.
"Dalam tujuh huruf itu, huruf 'poet' yang paling jelek." katanya.
Coei San mengawasi pula
tulisan itu seraya berkata: "Tulisan cukup wajar, hanya kurang memperlihatkan
arti yang tergenggam dalam huruf itu. Berbeda dengan enam huruf lainnya yang
sangat indah dan tidak membosankan."
"Benar," kata sinona
"Sudah lama aku merasa bahwa dalam huruf itu terdapat kekurangan itu.
Sesudah Sianseng menjelaskan, barulah aku mendusin."
Perahu terus laju kealiran
sebelah bawah, sedang Thio Coei San terus mengikuti sambil omong omong tentang
seni menulis. Tanpa merasa mereka sudah melalui belasan li dan siang sudah
terganti dengan malam. Tiba-tiba sinona berkata: "Benar juga dikatakan
orang, bahwa bicara semalaman dengan seorang pandai, banyak lebih berfaedah
daripada membaca buku sepuluh tahun. Terima kasih banyak untuk keteranganmu,
dan di sini saja kita berpisahan," Sehabis berkata begitu, ia memberi
isyarat dengan tangannya dan layar perahu lantas saja naik dengan perlahan.
Sesudah layar terpentang perahu itu lantas saja laju dengan pesatnya. Dengan
mata mendelong, Coei San mengawasi perahu sinona yang semakin lama jadi semakin
jauh. Sekonyong konyong, sayup-sayup ia dengar teriakan sijelita: "Aku she
In. Dilain hari, aku akan meminta pelajaran lagi."
Mendengar kata kata "aku
she In", pemuda itu terkesiap. Ia ingat keterangan Touw Tay Kim, bahwa
orang yang menyuruhnya untuk mengantar kan Jie Thay Giam ke Boe tong san adalah
seorang sasterawan tampan yang mengaku she In. Apakah sasterawan she In itu
sinona adanya?
Memikir begitu, tanpa
memperdulikan lagi soal pembatasan pergaulan antara pria dan wanita, ia segera
mengempos semangat dan mengubar dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Ia
sudah menyandak. "In Kouwnio!" teriaknya. "Apakah kau kenal Jie
Samko Jie Thay Giam?"
Nona itu menengok tanpa
menjawab. Lapat-lapat Coei San seperti mendengar suara hela napas panjang.
"Nona ada beberapa soal yang kuingin tanya," teriaknya pula.
"Soal apa?" sinona
balas tanya.
"Apakah kau yang sudah
minta Liong boen Piauw kiok mengantar Jie Samko ke Boe tong san?", tanya
Coei San. "Tapi apa Kouwnio tahu, bahwa sesudah tiba di Boe tong san, Jie
Samko telah dianiaya orang ?"
"Untuk kejadian itu, aku
sungguh merasa sangat menyesal," jawabnya.
Sedang mereka tanya jawab,
angin turun semakin besar dan perahu laju semakin cepat. Tapi dengan memiliki
Gin kang yang sangat tinggi, Coei San tetap bisa lagi berendeng.
Dilain pihak, setiap perkataan
sinona yang di ucapkan secara biasa diantara hujan dan angin, dapat didengar
tegas oleh Thio Coei San dan hal itu membuktikan bahwa iapun mempunyai Lwekang
yang tinggi.
Semakin jauh, permukaan Sungai
Cian tongkang kang jadi semakin luas dan hujan angin pun turun semakin hebat.
"In Kouwnio, puluhan jiwa dalam Liong boen Piauw kiok telah dibinasakan
orang." teriak Coei San. "Apa kau tahu siapa pembunuhnya?"
"Aku telah memberitahukan
Touw Tay Kim bahwa dia harus hati hati mengantar Jie Samhiap pulang ke Boe
tong." sahutnya. "Kalau dia gagal...."
"Kau akan membasmi
seluruh keluarge piauw kiok, sekalipun ayam dan anjing tidak diberi
ampun." menyambung pemuda itu.
"Benar." katanya.
"Dia tak bisa melindungi Jie Samhiap dan segala kejadian berikutnya adalah
salahnya sendiri."
Coei San mencelos hatinya. Ia
menggigil seperti disiram air es. Dengan mata membelalak, ia berteriak:
"Kalau begitu, semua orang digedung itu telah.... telah...."
"Dibunuh olehku,"
menyambungi si nona.
Mata pemuda itu ber-kunang2. Mimpi
pun ia tak pernah mimpi, bahwa wanita yang begitu cantik ayu adalah si pembunuh
kejam. Lewat beberapa saat, sesudah menenteramkan hatinya, barulah ia dapat
membuka suara lagi: "Siapa yang bunuh dua hweeshio Siauw lim sie
itu?"
"Aku," jawabnya
dengan tenang. "Sebenarnya aku tidak berniat menanam bibit permusuhan
dengan Siauw lim sie, akan tetapi karena mereka berlaku kurang ajar, aku tak
dapat mengampuninya.."
"Tapi.... tapi kenapa
semua kesalahan ditumpuk diatas pundakku?" tanya pula pemuda itu.
Si nona be-senyum.
"Akulah yang sengaja mengatur begitu!" jawabnya.
Darah Thio Coei San
bergolak-golak, ia merasa dadanya seperti mau meledak "Kau yang sengaja
mengatur begitu? Supaya mereka sakit hati kepadaku?" teriaknya dengan
suara kalap.
"Tak salah," jawabnya
sambil tertawa.
"mengapa kau berbuat
begitu, sedang kau dan aku sama sekali tidak bermusuhan?" Coei San
berteriak pula.
Si nona tidak menjawab.
Tiba-tiba sambil mengebas tangan bajunya, ia melompat masuk dalam gubuk parahu.
Coei San tentu saja tak mau
mengerti. Ketika itu perahu terpisah belasan tombak dari tepi sungai dan ia tak
dapat mencapainya dengan satu lompatan. Dengan kegusaran meluap-luap, ia
menghantam satu pohon dan mematahkan dua cabang yang agak besar. Sambil
melontarkan satu antaranya ketengah sungai kearah perahu itu, kakinya menotol
tanah dan badannya melesat bagaikan anak panah. Begitu hinggap, kaki kirinya
menotol cabang itu dan tubuhnya kembali melesat beberapa tombak jauhnya,
sembari melontarkan cabang yang satunya lagi. Seperti tadi, kaki kanannya
menotol cabang itu dan bagaikan seekor burung, ia hinggap diatas kepala perahu.
"Hei !" bentaknya. "Bagaimana kau melakukan perbuatanmu
itu?"
Tapi dari dalam gubuk itu
tidak terdengar jawaban. Ia sangat ingin menerjang masuk, tapi sebisa-bisa ia
menahan sabar, karena merasa, bahwa perbuatan itu adalah tidak sopan.
Sekonyong-konyong lilin dalam
gubuk menyala terang. "Masuklah!" undang si nona.
Sesudah merapikan pakaiannya,
Coei San bertindak masuk. Mendadak ia kaget, karena dalam gubuk itu kelihatan
berduduk seorang pemuda yang mengenakan thungsha hijau dan topi empat persegi,
sedang tangan kanannya menggoyang-goyang kipas. Ternyata, dalam sekejap si nona
sudah menukar pakaian lelaki dan dalam pakaian begitu, ia kelihatannya mirip sekali
dengan Thio Ngohiap.
Tadi Coei San menanya,
bagaimana ia telah berlaku sehingga, pendeta-pendata Siauw lim sie menduga,
bahwa pembunuhan itu dilakukan olehnya. Tanpa menjawab, nona In telah memberi
jawaban. Dengan mengenakan pakaian sasterawan, ditempat yang agak gelap, sukar
sekali akan orang membedakan yang mana si wanita. Maka itu tidaklah heran jika
Hoei hong dan Touw Tay Kim menuduh padanya.
"Thio Ngohiap,
duduklah," mengundang si nona sambil menuang teh disebuah cangkir. Ia
mengangsurkan cangkir itu seraya berkata: "Sungguh menyesal aku tak punya
arak untuk disuguhkan kepada Ngohiap."
Penyambutan yang sangat ramah
tamah itu memaksa Coei San menahan hawa amarahnya. "Terima kasih,"
katanya sambil membungkuk.
Melihat pakaian pemuda itu
basah kuyup sinona berkata pula: "Dalam perahu ini aku masih mempunyai
seperangkat pakaian laki-laki. Ngohiap boleh pergi kebelakang untuk menukar
pakaian yang basah itu."
"Tak usah," sahutnya
sambil menggelengkan kepala. Ia lantas saja mengerahkan Lweekang dan hawa panas
segera mengalir di seluruh badannya, sehingga tak lama kemudian pakaian yang
basah itu menjadi kering.
"Aku tak ingat, bahwa
Lweekang Boe tong pay luar biasa tinggi," kata si nona sembari bersenyum.
"Dengan menyuruh menukar pakaian, siauw moay benar-benar berpandangan
sempit."
"Bolehkah aku mendapat
tahu partai nona?" tanya Coei San.
Mendengar pertanyaan itu, si
nona memandang keluar jendela, alisnya berkerut dan pada paras mukanya
tertampak sinar kedukaan.
Melihat perubahan itu, Coei
San tidak berani mendesak lagi. Lewat beberapa saat, barulah ia berkata pula:
"Nona, siapakah yang menganiaya Jie Samko? Bolehkah kau memberitahukan
aku?"
"Bukan saja Tauw Tay Kim,
tapi akupun sudah kena diakali," jawabnya, "Sebetulnya aku mengingat
bahwa Boe tong Cit hiap adalah pendekar-pendekar yang gagah tampan dan tidak
bisa jadi beroman begitu kasar."
Mendengar jawaban yang
menyimpang, yang menyebut-nyebut "gagah tampan", Coei San mengerti
bahwa sinona tengah memuji dirinya dan hatinya lantas saja berdebar-debar,
sedang mukanya berubah merah.
Sesaat kemudian, nona In
menghela napas sambil menggulung tangan baju kirinya. Coei San buru buru
menunduk, ia tak berani mengawasi lengan yang putih itu.
"Apa kau kenal senjata
rahasia ini?" tanya si nona.
Mendengar perkataan
"senjata rahasia", Coei San mengangkat kepala dan melihat tiga batang
piauw baja kecil yang menancap dilengan kiri dan
diseputar senjata rahasia itu
terlihat warna hitam seperti air bak.
Panjangnya piauw itu hanya
satu setengah dim dan kira-kira satu dim masuk kedalam daging sedang buntut
piauw yang menonjol keluar berbentuk bunga bwe. Coei San terkejut dan berseru
sambil bangun berdiri: "Ah ! Bweehoa piauw dari Siauw limsie. Mengapa
berwarna hitam?"
"Tak salah," kata
sinona. "Bwee hoa piauw dari Siauw lim sie. Piauw itu mengadung
racun."
"Siauw lim sie adalah
partai persilatan yang ternama, sehingga menurut pantas tak mungkin orang Siauw
lim sie menggunakan senjata rahasia beracun." kata Coei San. "Tapi
piauw itu adalah senjata yang hanya dapat digunakan oleh orang Siauw lim
sie."
"Aku juga merasa sangat
heran," kata nona itu. "Sebagaimana dikatakan oleh gurumu, hancurnya
tulang tulang Soehengmu juga adalah akibat cengkeraman Kim kongcie, yaitu ilmu
istimewa dati Siauw limsie."
Coei San terkejut. Keterangan
gurunya hanya didengar oleh saudara-saudara seperguruannya. Bagaimana nona itu
dapat mengetahuinya? "Nona, apakah kau pernah bertemu dengan Jie Soeko Jie
Lian Cioe dan Cit tee Boh Seng Kok?" tanyanya dengan tergesa-gesa.
Sinona menggelengkan kepala.
"Aku hanya bertemu satu kali dengan mereka di Boe tong," jawabnya.
Bukan main rasa herannya Coei
San, "Apa nona pernah datang di Boe tong?" tanyanya. "Mengapa
aku tak tahu? ... Nona, sudah berapa lama kau kena piauw itu? Kau harus cepat
cepat mencari obat." Waktu berkata begitu, paras mukanya mengunjuk rasa
kuatir
"Sudah duapuluh hari
lebih," jawabnya dengan suara berterimakasih, "Aku sudah menggunakan
obat untuk menahan mengamuknya racun itu, sehingga untuk sementara waktu, aku
masih dapat mempertahankan diri. Tapi aku tidak berani mencabutnya, sebab
kuatir, begitu tercabut, racun akan menjalar kelain bagian tubuh dengan
mengikuti aliran darah."
Pemuda itu mengerti, bahwa
dalam usaha menahan menjalarnya racun, seseorang bukan saja harus menelan obat
mustajab, tapi juga harus memiliki Lweekang yang sangat tinggi. Dilihat
romannya, nona itu baru berusia kira-kira delapanbelas tahun dan bahwa ia sudah
mempunyai Lweekang yang sedemikian tinggi, adalah kenyataan yang sangat
mengagumkan. Tanpa merasa ia berkata dengan suara terputus-putus "Nona
.... sesudah duapuluh hari lebih .... kukuatir. .dibelakang hari, pada kulitmu
akan terdapat .... terdapat bekas-bekas yang tak akan hilang....."
Sebenarnya apa yang dikuatirinya yalah: jika, racun itu mengeram terlalu lama,
sinona mungkin tak akan dapat menggunakan tangan kirinya lagi.
Mendengar perkataan Coei San,
air mata sinona berlinang-linang dikedua matanya. "Aku sudah berusaha
sedapat mungkin...." - katanya dengan suara peralahan "Semalam aku sudah
menggeledah badannya pendeta pendeta Siauw lim itu, tapi tak bisa mendapatkan
obat pemunah.... Lengan ini tak akan dapat digunakan lagi." Sambil berkata
begitu perlahan-lahan ia menurunkan tangan jubahnya.
"Rasa kesatrian Thio Coei
San lantas saja tampil kemuka. "In Kouwnio," katanya dengan suara
tetap. "Apakah kau percaya aku? biarpun Lwee kangku masih sangat cetek.
kupercaya masih dapat membantu kau dalam usaha mengeluarkan racun itu diri
dalam lenganmu."
Nona In tertawa dan pada
pipinya terlihat sujen yang sangat manis. Ia kelihatan girang dan paras mukanya
berseri-seri. "Thio Ngo hiap," katanya, "Dalam hatimu terdapat
banyak sekali pertanyaan dan kesangsian. Biarlah lebih dulu aku memberikan
keterangan yang sejelas-jelasnya, supaya sesudah menolong aku, kau tidak akan
merasa menyesal."
"Mengobati sakit dan
menolong manusia adalah tugas orang-orang Rimba Persilatan," kata Coei San
dengan suara nyaring. "Bagaimana aku bisa menyesal?"
"Sudah duapuluh hari
lebih racun itu mengeram dalam badanku, sehingga sekarang kita tak perlu
terlalu tergesa-gesa," kata sinona sambil tersenyum. "Biarlah kau
dengar dulu penuturanku. Hari ini sesudah menyerahkan Jie Sam hiap kepada Liong
boen piauw kiok, aku sendiri diam-diam menguntit dari belakang. Benar saja, disepanjang
jalan beberapa orang ingin turunkan tangan jahat terhadap Jie Sam hiap, tapi
semuanya sudah dipukul mundur olehku. Kejadian itu sama sekali tidak diketahui
oleh Tauw Tay Kim."
Thio Coei San lantas saja
mengangkat kedua tangannya "Budi nona yang sangat besar tak akan dilupakan
oleh segenap murid Boe tong
pay," katanya sambil menyoja.
"Jangan terburu napsu
menghaturkan terimakasih kepadaku," kata nona In sambil bersenyum.
"Sebentar kau bisa membenci aku."
Coei San terkejut, Ia tak
mengerti apa yang dimaksudkan sinona.
"Sepanjang jalan,"
ia melanjutkan penuturannya "Hari ini aku menyamar sebagai petani, lain
hari sebagai saudagar dan terus membuntuti dari belakang. Tak dinyana, sesudah
tiba di Boe tong baru terjadi peristiwa yang menyedihkan"
"Apakah nona lihat enam
penjahat itu?" tanya Coei San sambil mengertak gigi. "Touw Tay Kim
benar-benar tolol. Dia tak dapat memberikan keterangan apapun jua tentang asal
usul enam penjahat itu."
"Bukan saja lihat, aku
malah sudah bertempur dergan mereka," jawabnya. "Tapi akupun tolol.
Aku juga tak tahu asal usul mereka." Sesudah mengirup teh, ia berkata
pula: "Pada waktu enam orang itu turun dari atas gunung dan bicara dengan
Touw Tay Kim, aku mengawasi dari sebelah kejauhan. Kudengar Cong piauw tauw itu
menggunakan istilah Boe tong Liok hiap dan merekapun menerima baik panggilan
itu. Sesudah mereka menerima kereta Jie Sam hiap, dari tangan rombongan piauw
kiok, aku anggap, urusan sudah selesai dan aku menahan kuda dipinggir jalan,
membiarkan lewatnya rombongan Touw Tay Kim,
Tapi dilain saat, aku
terkesiap karena melihat sesuatu ang tidak masuk di akal. Siauw moay menganggap
Boe tong Cit hiap saling menyintai seperti saudara saudara kandung sendiri.
Menurut pantas, mereka ramai-ramai harus menengok Jie Sam hiap yang rebah di
kereta dengan terluka berat. Tetapi kenyataannya, hanya seorang yang melongok
kedalam kereta, sedang yang lainnya tidak mau mengambil perduli. Bukan saja
begitu, paras muka mereka malahan menggunjuk perasaan girang dan sambil
berteriak teriak, mereka mengikuti di belakang kereta. Itulah kejadian yang
sangat mencurigakan sebab sangat tidak masuk akal.
"Tidak salah pendapat
noda" kata Coei San sambil mengangguk beberapa kali.
"Semakin lama, hatiku
jadi semakin tak enak," si nona berkata pula. "Aku segera mengubar
dan menanyakan nama mereka. Mereka ternyata mempunyai mata yang cukup tajam.
Sekelebatan, mereka sudah tahu, bahwa aku adalah seorang wanita yang menyamar
sebagat pria. Aku mencaci mereka sebagai manusia rendah yang sudah menggunakan
nama Boe tong Cit hiap dan merampas Jie Sam hiap dengan tipu busuk. Aku segera
menerjang dan dilayani oleh seorang pemuda kurus yang berusia kurang lebih dua
puluh tahun dengan dikawani oleh seorang too soe yang berdiri dipinggiran
sedang empat kawannya yang lain berjalan sambil menggiring kereta.
Ia berdiam sejenak dan
kemudian berkata lagi
"Diluar dugaan, pemuda
kurus itu sangat lihay dan dalam tigapuluh julUs, aku belum dapat
menjatuhkannya. Mendadak imam yang berdiri di pinggiran mengayun tangan kirinya
dan tiga batang piauw menancap ditanganku.
"Begitu kena, lenganku
sakit sakit gatal. Aku gusar dan kegusaranku di tambah dengan perkataan sikurus
yang sangat kurang ajar, yang sesumbar ingin menangkap aku. Aku segera membalas
dengan tiga batang jarum dan ahirnya berhasil meloloskan diri" Berkata
sampai disitu, muka sinona bersemu merah. Mungkin sekali sikurus yang dikatakan
kurang ajar telah mengeluarkan kata-kata yang tak sopan.
"Melepaskan Bwee hoa
piauw dengan tangan kiri banyak lebih sukar daripada dengan tangan kanan,"
kata Coei San, "Tapi mengapa murid Siauw lim pay mengenakan pakaian
toosoe? Apa dia menyamar?"
Nona In tersenyum. "Kalau
toosoe mau menyamar sebagai hweeshio, dia harus menyukur rambut," katanya.
"Banyak lebih mudah kalau hwee shio menyamar sebagai toosoe. Sudah cukup
jika dia memakai topi toojin"
Pemuda itu mengangguk sambil
bersenyum.
"Aku mengerti, bahwa pada
waktu itu aku tak bisa berbuat banyak," kata pula nona In. "melawan
pemuda kurus itu saja, aku belum bisa menang, apalagi jika ditambah dengan
siimam, yang kelihatannya lebih lihay lagi. Aku yakin, biar bagaimanapun aku
tak akan dapat melawan enam orang itu."
Coei San membuka mulutnya,
tapi ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
"Aku tahu apa yang
dipikir olehmu," kata sinona. "Kau tentu ingin mengatakan mengapa kau
tak mau naik ke Boe tong dan memberitahukan hal itu pada kami ? Bukankan kau
ingin menanya begitu ? Hai! Sebabnya adalah karena aku tak boleh naik ke Boe
tong! Kalau dapat maju sendiri, perlu apa aku minta bantuan Touw Tay Kim untuk
mengantar Jie Samhiap ? Aku merasa sangat bingung dan tak tahu harus berbuat
bagaimana. Selagi berjalan dengan rasa sangsi, mendadak aku lihat kau yang
sedang bicara dengan Touw Tay Kim. Belakangan, dengan mengikuti rombongan
piauwkiok itu aku turut naik ke Boe tong. Dalam kekalutan dan kedukaan, orang
tidak memperhatikan diriku. Kalian menganggap aku sebagai anggauta piauw hang,
sedang rombongan Liong boen Piauw kiok menganggap aku sebagai orang Boe tong
pay."
Tiba-tiba sipemuda ingat
sesuatu "Aha!" serunya. "Hari itu kau menyamar sebagai tukang
kereta, bukan? Tudungmu ditekan kebawah sampai hampir menutupi muka."
"Sungguh lihay mata Thio
Ngo hiap," jawab si nona sambil tertawa. "Jika waktu itu kau tidak
dilipati kegusaran dan kesedihan, mungkin sekali rahasiaku sudah diketahui
olehmu. Tapi aku tak dapat mengabui mata Song Toa hiap?"
"Toa soeko kenali
kau?" menegas Coei San dengan rasa heran. "Tapi ia tak mengatakan
apapun jua kepada kami,"
"Song Toahiap sangat
sopan dan luhur pribudinya." memuji sinona In. "Kepadakupun ia tidak
megatakan sesuatu apa. Hanya pada waktu memberikan kamar-kamar kepada rombongan
piauw kiok, ia sengaja menunjuk sebuah kamar terpisah untukku sendiri."
"Ya, Toa soeko memang
begitu", kata Coei San dengan rasa hormat terhadap kakak seperguruannya
itu.
"Belakangan, bersama
rombongan Touw Tay Kim aku turun gunung" kata sinona: "Aku telah
menyaksikan, cara bagaimana kau sudah paksa mereka muntahkan lagi duaribu tahil
emas itu, untuk menolong rakyat yang tertimpa bencana alam. Thio ngohiap, kau
royal sekali dengan orang lain. Uang itu adalah uangku,"
Coei San tertawa geli.
"Biarkan atas nama rakyat yang menderita, aku menghaturkan banyak banyak
terima kasih kepadamu," katanya.
"Hm ! Kalau uang sudah
berada dalam tangan orang-orang temaha, mana mereka sudi muntahkan
seanteronya?" kata pula nona In. "Hanya karena nama Thio Ngohiap
terlalu besar, maka mereka tidak berani tidak muntahkan. Aku tahu diam diam
mereka menyimpan tigaratus tahil. Sesudah kembali kesini aku segera minta
pertolongan orang untuk memeriksa luka ini. Ada yang kata, bahwa Bwee hoa Piauw
adalah senjata rahasia istimewa dari Siauw lim sie sehingga jika tidak mendapat
obat dari mereka, racun itu sukar dipunahkan. Dalam kota Lim an, kecuali di
Liong boen Piauw kiok, tak ada orang lain yang berasal dari Siauw lim sie. Maka
itu aku telah menyatroni untuk memaksa supaya mereka mengeluarkan obat pemunah
itu. Tapi di luar dugaan, bukan saja mereka tidak memberikan, tapi juga sudah
mempersiapkan kawan-kawannya dan begitu aku tiba, mereka lantas
menyerang."
"Tapi nona bukankah tadi
kau mengatakan, bahwa kaulah yang sudah sengaja mengatur, sehingga mereka
menuduh aku?" kata Coei San.
Nona In kelihatan
kemalu-maluan dan sambil menundukkan kepala, ia berkata dengan suara perlahan:
"Melihat kau ke toko dan membeli pakaian, aku .... aku merasa pakaian itu
bagus sekali. Maka itu, aku juga turut membelinya,"
"Hal itu tidak
mengapa." kata Coei San "Tapi dengan membunuh beberapa puluh orang
kurasa kau terlalu kejam. Dengan orang-orang Liong boen Piauw kiok kau
sebenarnya tidak mempunyai permusuhan suatu apa."
Mendengar teguran itu, paras
muka si nona lantas saja berubah. Ia tertawa dingin seraya berkata "Kau
ingin memberi pelajaran kepadaku ? Hm! Aku sudah hidup sembilan belas tahun,
tapi belum pernah ada yang mengajar aku. Thio Ngo hiap adalah seorang yang
sangat mulia dan aku mempersilahkan kau berlalu saja. Manusia kejam tidak perlu
berhubungan dengan seorang mulia."
Paras muka pemuda itu lantas
saja berubah merah. Ia segera bangun berdiri. Baru saja mau bertindak keluar,
tiba-tiba ingat janjinya untuk bantu mengobati luka-luka si nona.
"Gulung tangan
bajumu," katanya.
Alis nona In berdiri dan kedua
matanya melotot. "Aku tak perlu diobati olehmu!" katanya.
"Lenganmu sudah terluka
lama sekali dan jika tidak segera diobati, aku kuatir .... aku kuatir akan
keselamatan jiwamu," kata Coei San.
"Memang paling baik jika
aku mampus," kata nona In dengan suara ketus "Kalau jiwaku melayang,
kaulah yang sudah mencelakakan aku"
Mendengar kata-kata yang tidak
beralasan itu, Coei San jadi heran "Eeh!" katanya "Kau telah
dilukakan oleh orang Siauw lim sie, mengapa kau menyalahkan aku?"
"Kalau aku tidak melakoni
perjalanan ribuan lie untuk mengantar Jie Samkomu ke Boe tong san, aku tentu
tak akan bertemu dengan enam penjahat itu," kata si nona.
"Sesudah enam bangsat itu
merampas Jie Samkomu, kalau aku berpeluk tangan, lenganku tentu takkan terluka.
Dan jika kau datang terlebih siang dan memberi bantuan, aku pasti tidak akan
sampai terluka."
Coei San lantas saja
mengangkat kedua tangan nya dan berkata: "Benar. Aku yang rendah
menawarkan bantuan kepada nona, untuk membalas sebagian kecil saja dari budimu
yang sangat besar."
Nona In melengos, "Apa
kau mengaku bersalah ?" tanyanya.
"Bersalah apa ?"
menegas Coei San.
"Kau mengatakan aku
kejam, pernyataan itu salah sama sekali," katanya dengan suara mendongkol.
"Hweeshio-hweeshio Siauw lim sie, Touw Tay Kim dan kawan kawannya semua
pantas dibunuh."
Coei San menggelengkan kepala.
"Biarpun lengan nona terkena piauw tapi kau masih dapat ditolong,"
katanya. "Samsoeko terluka berat, tapi is masih hidup. Andaikan ia tak
dapat diobati, paling banyak kita cari biang keladinya. Biar bagaimana pun juga,
tidak pantas nona membunuh puluhan orang."
Si nona mendelik dan parasnya
berubah gusar. "Kau tetap menyalahkan aku ?" bentaknya. "Apakah
yang menimpuk lenganku dengan Bweehoa piauw bukan orang Siauw lim sie? Apakah
Liong boen Piauw kiok bukan dibuka oleh orang orang Siauw lim sie?"
"Murid-murid Siauw lim
sie tersebar di kolong langit, jumlahnya ribuan, malah mungkin laksaan
orang," kata Coei San dengan suara sabar.
"Nona hanya diserang
dengan tiga batang piauw. Apakah untuk membalas sakit hati itu kau ingin
menbunuh semua murid Siauw lim sie?"
Karena kalah bicara, si nona
jadi semakin gusar. Mendadak ia mengangkat tangan kanannya dan menghantam tiga
piauw yang tertancap di lengan kirinya. Keruan saja ketiga senjata rahasia itu
amblas kedalam daging dan luka jadi bertambah hebat.
Coei San terperanjat. Ia tak
pernah menduga bahwa si nona mempunyai adat yang seaneh itu. Sedikit saja tak
senang, ia lantas mempersakiti dirinya sendiri. Dipandang dari sudut itu,
tidaklah heran jika dia bisa membunuh orang secara mem buta tuli.
"Mengapa kau berbuat
begitu?" tanyanya dengan mata membelalak. Dengan hati berdebar-debar ia
lihat tangan baju si nona yang mulai basah dengan darah hitam. Ia mengerti
bahwa luka itu sudah terlalu berat dan Lweekang si nora tidak akan dapat menahan
lagi naiknya racun sehingga jika tidak lantas ditolong, jiwanya bisa melayang.
Maka itu tanpa mengeluarkan sepatah kata, tangan kirinya menyambar dan menyekal
lengan kiri nona In, sedang tangan kanannya merobek tangan baju orang
Mendadak, Coei San dengar bentakan
dibelakangnya: "Bangsat! Jangan kurang ajar kau!" Hampir berbareng,
sebilah golok menyambar ke punggungnya. Ia tahu, bahwa yang menyerang adalah si
tukang perahu. Dalam keadaan genting, tanpa menengoknya ia menendang dan orang
itu terpental keluar dari gubuk perahu.
"Tak usah kau tolong, aku
lebih baik mati!" teriak sinona. "Plok", muka pemuda itu
digaplok keras-keras.
Rasa kaget dan sakit tercampur
jadi satu. Tanpa merasa, Coei San melepaskan cekelannya.
"Pergi kau! Aku tak sudi
lihat lagi mukamu," kata nona In.
Coei San malu dan gusar.
"Baiklah," katanya. "Hmm! Betul-betul aku belum pernah lihat
wanita yang begitu tak mengenal aturan." Sehabis mengomel, dengan tindakan
lebar ia berjalan keluar.
Nona In tertawa dingin dan
berkata: "Kau belum pernah lihat? Hari ini kau boleh lihat!" Coei San
mengambil sepotong papan untuk digunakan sebagat papan loncatan untuk mendarat.
Tapi baru saja ia mau melemparkan papan itu keair, hatinya merasa tidak tega
karena ia yakin, bahwa perginya berarti binasanya nona kepala batu itu. Maka
itu sambil menahan amarah, ia kembali kegubuk perahu. "Biar pun kau
menggaplokku, aku tak jadi marah," katanya. "Gulung tangan bajumu.
Apa kau mau mati ?"
"Aku mau mampus atau mau
hidup, ada sangkut paut apa denganmu ?" tanya nona In dengan suara aseran.
(peep: aseran=???)
"Dengan melalui
perjalanan ribuan kau sudah mengantar Samko," kata Coei San. "Budi
yang sangat besar itu tak bisa tidak dibalas."
Sinona tertawa dingin,
"Bagus! Aku baru tahu, bahwa tujuanmu hanya untuk membayar hutang,"
katanya. "Kalau aku tidak mengantar Samko-mu, biarpun aku terluka lebih
berat lagi, biarpun kau lihat aku sudah hampir menghembuskan napas penghabisan,
kau tentu tak sudi menolong."
Mendengar perkataan itu, Coei
Sin ternganga. "Ah!..... itu sih belum tentu ....." katanya tergugu.
Tiba-tiba ia lihat sinona menggigil, sebagai tanda, bahwa racun sudah mulai
naik ke atas "Kau sungguh gila!" katanya dengan suara berkuatir.
"Janganlah kau main-main lagi dengan jiwamu sendiri."
Nona In menggigit gigi.
"Kalau kau tidak mengaku bersalah. biar bagaimanapun juga, aku tak sudi
ditolong olehmu," katanya. Kulit mukanya yang putih sekarang berubah pucat
dan tubuhnya agak bergemetaran, sehingga pemuda itu jadi lebih tak tega lagi.
Ia menghela napas seraya berkata: "Baiklah. Hitung-hitung aku yang salah
dan kau tidak bersalah."
"Tak bisa!" kata
sinona. "Kalau salah, ya salah. Mengapa kau menggunakan perkataan
hitung-hitung? Mengapa sesudah menghela napas, baru kau mengaku salah? Hm!
Pengakuanmu tidak keluar dari hati yang jujur."
Sebab perlu menolong jiwa,
Coei San sungkan bertengkar lagi. "Kaizar Langit di atas, Malaikat Sungai
dibawah, dengan hati yang setulus-tulusnya aku ingin menyatakan kepada nona In
....In ....." Ia tak dapat meneruskan perkataannya sebab belum tahu nama
si nona.
"In So So,"
menyambungi nona itu.
"Hmm! .... kepada nona In
So So, bahwa dalam segala hal, akulah yang bersalah, atau tegasnya, aku mengaku
bersalah."
In So So bunga hatinya, ia
tertawa dengan paras berseri seri. Tapi hampir berbareng, kedua lututnya lemas
dan ia jatuh duduk dikursi. Buru-buru Coei San mengeluarkan sebutir Pek co Hoei
sim tan, yaitu pel untuk melindungi jantung dari segala rupa serangan racun,
yang lalu diberikan kepada So So. Sesudah ia menggulung tangan baju si nona dan
mendapat kenyataan, bahwa separuh lengan itu sudah berwarna hitam ungu dan hawa
racun terus naik keatas dengan cepatnya.
Sambil mencekel bahu si nona
dengang tangan kirinya, la menanya: "Apa yang dirasakan oleh mu ?"
"Dadaku menyesak,"
jawabnya. "Mengapa kau tidak cepat-cepat mengaku salah? Kalau aku mati,
kaulah yang berdosa."
Tentu saja Coei San tidak
meladeni perkataan seperti anak kecil itu. "Tak apa-apa, legakanlah
hatimu." katanya dengan suara lemah lebut. "Longgarkan semua
otot-ototmu, jangan menggunakan tenaga sedikitpun, berbuatlah seperti kau
sedang tidur pulas."
"Aku merasa seperti juga
sudah mati," kata si nona.
"Hmm! Sesudah terluka
begitu, dia masih begitu gila-gilaan," kata Coei San dalam hatinya.
"Celaka sungguh orang yang jadi suaminya." Memikir begitu, jantungnya
memukul keras, karena kuatir si nona dapat menebak apa yang dipikirnya. Ia
melirik muka si nona yang kelihatan bersemu dadu, seperti orang kemalu-maluan.
Tiba tiba kedua mata kebentrok dan mereka saling melengos. "Thio Ngo
ko," tiba tiba So So berkata dengan suara perlahan. "Aku bicara
sembarangan saja. Kuharap kau tidak gusar" Mendengar perubahan panggilan
dari Thio Ngo hiap jadi Thio Ngo ko, hati Coei San berdebar-debar semakin
keras. Tapi lain saat, ia segera menjernihkan pikiran dan mengempos semangat
untuk mengarahkan Lweekang. Perlahan-lahan semacam hawa hangat naik dari
perutnya keatas dan lalu berkumpul dikedua lengan tangannya.
Selang beberapa saat, dari
kepala pemuda itu keluar uap putih, sedang keringatnya turun berketel-ketel,
sebagai tanda, bawwa ia tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Bukan main rasa terima
kasihnya So So, ia mengerti, pada saat Coei San tak boleh diganggu maka ia pun
segera meramkan kedua matanya dan tidak berani mengeluarkan sepatah kata.
Mendadak terdengar suara
"plok". Sebatang piauw melompat keluar kira-kira setombak jauhnya dan
menghantam dinding gubuk perahu, disusul dengan mancurnya darah hitam dari
lubang luka. Lengan yang hitam itu perlahan-lahan berubah merah, Sesaat
kemudian, piauw kedua melompat keluar.
Selagi Coei San mengempos
semangat untuk mengeluarkan piauw yang terakhir sekonyong konyong terdengar
seruan orang: "Hei! Apa In Kouw nio ada disitu?"
Coei San heran, tapi karena
sedang mengerahkan tenaga, ia tidak menggubris.
"Siang Tay coe lekas
kemari!" demikian terdengar teriakan si tukang perahu. "Ada orang
jahat mau menganiaya In Kouwnio."
"Bangsat! Jangan kurang
ajar!" demikian terdengar teriakan menggeledek dari sebuah perahu yang
sedang mendatangi dengan cepatnya.