Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 02

Baca Cersil Mandarin Online: Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 02
Bagian 02
"Tentu tidak, Paman Tan," sahut Ku Tek Cun sambil tersenyum. "Percayalah!"

"Hm!" dengus Paman Tan dingin, lalu memapah Tio Cie Hiong ke belakang melalui jalan samping.

Phang Ling Hiang memandang punggung Tio Cie Hiong sambil menarik nafas panjang, sedangkan Ku Tek Cun hanya tersenyum dingin.

Paman Tan membaringkan Tio Cie Hiong di tempat tidur lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil memeriksa lehernya. Leher anak itu tampak kebiru-biruan bekas tersabet ranting.

"Nak! Masih ada bagian lain yang terpukul?" tanya Paman Tan lembut.

"Ti... tidak." Tio Cie Hiong tidak berani berterus terang.

"Jangan bohong, Nak!" Ujar Paman Tan. "Engkau harus memberitahukan kepadaku, agar aku bisa mengobatimu."

"Di pinggang dan di kepala." Tio Cie Hiong terpaksa memberitahukan. "Masih terasa sakit sekali di kepala."

Paman Tan segera memeriksa kepala Tio Cie Hiong ternyata kepalanya telah timbul sebuah benjolan sebesar telor ayam.

"Aaaakh!" Paman Tan menarik nafas panjang. "Sungguh kejam hati anak itu!"

Paman Tan pun segera memeriksa pinggang Tio Cie Hiong. Tampak membengkak di situ. Tak henti-hentinya orang tua itu menggeleng-geleng kan kepala, kemudian pergi mengambil arak gosok. Setelah itu, dengan hati-hati sekali ia menggosok-gosok luka-luka Tio Cie Hiong dengan arak gosok tersebut.

"Terima kasih, Paman!" Ucap Tio Cie Hiong, yang terharu atas kebaikan orang tua itu.

Paman Tan menatapnya sambil tersenyum lembut. "Aku kagum padamu, sebab engkau begitu sabar."

"Bukankah Paman Tan pernah berpesan padaku, harus mengalah dan berlaku sabar padanya? Aku menuruti pesan Paman" ujar Tio Cie Hiong memberitahukan.

Paman Tan manggut-manggut sambil tersenyum gembira. "Bagus, engkau masih ingat akan pesanku. Oh ya, bagaimana kalau aku memberitahukan tentang kejadian ini pada majikan Puri?"

"Jangan!" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.

"Kenapa?" tanya Paman Tan, ingin mengetahui alasan Tio Cie Hiong.

"Apabila Paman Tan memberitahukan pada majikan Puri, maka Ku Tek Cun akan mendendam padaku, dan membenci Paman Tan. Otomatis akan menimbulkan masalah lain, sedangkan aku tidak menghendaki itu" jawab Tio Cie Hiong menjelaskan.

Paman Tan manggut-manggut lagi dengan wajah berseri. "Engkau memang anak baik, penuh pengertian, kesabaran dan mau mengalah. Bagus!"

"Terima kasih atas pujian Paman Tan. Aku pasti menuruti nasihat Paman," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.

"Nah!" Paman Tan tersenyum. "Kini engkau boleh beristirahat, dan nanti sore engkau tidak usah menyapu, esok pagi saja!"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

Anak itu beristirahat di tempat tidur, dan akhirnya menjadi pulas. Ketika ia mendusin, hari sudah gelap.

Tio Cie Hiong berjalan ke luar, lalu duduk di bawah pohon di halaman. Kebetulan bulan bersinar terang, sehingga membuat daun-daun mengkilap tertimpa sinar bulan itu.

Di saat Tio Cie Hiong sedang duduk termenung, sekonyong-konyong berkelebat sosok bayangan kehadapannya, yang ternyata Phang Ling Hiang.

"Nona...?" Tio Cie Hiong terkejut akan kemunculan gadis itu.

"Engkau bernama Tio Cie Hiong kan?" Phang Ling Hiang menatapnya sambil tersenyum lembut.

"Kok Nona tahu?" Cie Hiong tercengang.

"Salah seorang pelayan memberitahukan kepadaku," sahut Phang Ling Hiang. "Engkau memang berhati baik. Meskipun suhengku telah bertindak keterlaluan terhadapmu, namun engkau masih tidak mau mengadu pada Paman Tan. Aku kagum padamu."

"Nona! Lebih baik urusan besar diperkecil, dan urusan kecil dihilangkan." ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Jadi tidak akan menimbulkan masalah lain."

"Engkau sungguh berkepandangan jauh!" Phang Ling Hiang menatapnya kagum. "Oh ya! Aku mohon sudilah engkau memaafkan suhengku!"

"Nona jangan khawatir, aku pasti memaafkannya. Lagi pula ia tidak bersalah karena hanya menggunakan diriku untuk melatih ilmu pedangnya, maka aku tak mempersalahkannya!"

"Cie Hiong, engkau sungguh berjiwa besar!" Phang Ling Hiang menatapnya, kemudian menarik nafas panjang dan berkata, "Alangkah baiknya kalau sifat Suhengku bisa menyerupai sifatmu.

"Itu bisa." Tio Cie Hiong tersenyum. "Pada dasarnya setiap manusia memiliki sifat baik. Namun karena terpengaruh oleh lingkungan dan terlampau dimanjakan, maka sifat baik itu akan sirna dengan sendirinya. Tapi apabila kita mau berpikir lebih seksama, dan selalu ingat pada Tuhan, sifat baik itu akan timbul kembali."

"Cie Hiong...." Setelah mendengar ucapan itu, Phang Ling Hiang bertambah kagum padanya.

"Oh ya, berapa umurmu sekarang?"

"Tiga belas tahun."

"Umurmu baru tiga belas tahun, namun pemikiranmu telah begitu matang." Phang Ling Hiang tersenyum. "Umurku sudah lima belas tahun, tapi pikiranku masih tidak bisa menyamai pikiranmu. Apa lagi suhengku itu..."

"Oh ya!" Tio Cie Hiong teringat sesuatu. "Lebih baik Nona segera meninggalkan tempat ini, sebab jika Suheng Nona melihat, akulah yang bakal celaka."

"Engkau tidak usah khawatir! Kebetulan malam ini suhengku pergi." Phang Ling Hiang memberitahukan.

"Tapi Nona seorang gadis, tidak baik lama-lama bercakap-cakap dengan lelaki, harap Nona tahu akan hal ini!" Tio Cie Hiong mengingatkan.

"Baiklah! Selamat malam!" ucap Phang Ling Hiang, lalu melesat pergi.

Hari ini sudah genap satu bulan Tio Cie Hiong bekerja di Hong Lui Po. Selama ini, Ku Tek Cun tetap memperlakukannya sewenang-wenang. Namun Tio Cie Hiong selalu mengalah dan bersabar. Walau kadang-kadang badannya babak belur oleh kepalan Ku Tek Cun, tetap saja Tio Cie Hiong bersabar dan sama sekali tidak membencinya.

Malam harinya, Paman Tan pergi menemui Tio Cie Hiong dengan wajah berseri-seri. Ketika itu Tio Cie Hiong berbaring di tempat tidur. Begitu melihat Paman Tan masuk ke kamarnya, ia segera bangun, tapi wajahnya tampak meringis.

"Nak...." Paman Tan mengerut kening. "Kenapa engkau?"

"Ti... tidak apa-apa," jawab Tio Cie Hiong sambil berusaha tersenyum.

"Ku Tek Cun memukulmu lagi?" tanya Paman Tan sambil duduk di hadapannya.

"Ti... tidak." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.

"Nak!" Paman Tan menarik nafas panjang. "Aku tahu bahwa dia sering menyiksamu, namun engkau tetap bersabar dan mengalah. Itu pertanda engkau benar-benar anak baik."

"Paman Tan..." ujar Tio Cie Hiong dengan merendahkan suaranya. "Aku harap Paman Tan jangan melapor kepada Pocu, sebab aku masih ingin kerja di sini!"

"Aku tahu... Aku tahu...." Paman Tan manggut-manggut. "Oh ya, aku mengantar gajimu

sebanyak tiga puluh tael perak."

Betapa gembiranya Tio Cie Hiong. "Paman Tan, tolong simpan uang perak itu! Kalau sudah terkumpul, aku harus melanjutkan perjalanan ke Gunung Heng San."

"Baiklah." Paman Tan manggut, kemudian menatapnya dalam-dalam seraya berkata. "Nak, aku ingin memberitahukan satu hal kepadamu."

"Tentang apa?" tanya Tio Cie Hiong heran.

"Sebelum aku memberitahukan hal itu, terlebih dahulu aku harus bertanya padamu," ujar Paman Tan serius.

"Paman Tan mau bertanya apa, tanyalah!"

"Engkau bisa membaca?"

"Bisa." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Sejak kecil aku sudah belajar membaca, menulis dan belajar ilmu sastra."

"Bagus! Bagus!" Paman Tan tampak girang sekali. "Kalau begitu, akan kuberitahukan hal itu padamu! Kira-kira tiga puluh tahun lampau, ayah Hong Lui Kiam Khek mengutusku ke sebuah kota untuk menemui seseorang. Setelah menemui orang itu, aku segera pulang ke Hong Lui Po. Dalam perjalanan pulang, di tengah jalan secara tidak sengaja aku menolong seorang tua yang menderita sakit. Aku merawatnya beberapa hari sehingga orang tua itu tampak agak segar. Di saat itulah dia memberikan kepadaku sebuah kitab tipis, dan sekaligus berpesan bahwa aku harus berhati-hati menyimpan kitab tipis itu, jangan sampai diketahui siapa pun, sebab akan membahayakan diriku. Pada waktu itu aku langsung menolak, karena aku tidak berminat menyimpan kitab tipis itu apalagi harus menanggung resiko bahaya. Tapi orang tua itu terus mendesakku, katanya dia tidak bisa hidup lama. Oleh karena itu, aku terpaksa menerimanya. Orang tua itu pun berpesan lagi, apabila kelak aku bertemu seorang anak yang berhati baik, maka aku harus menyerahkan kitab tipis tersebut pada anak tersebut.

Namun selama puluhan tahun, aku tidak pernah bertemu seorang anak pun yang betul-betul berhati baik, maka kitab tipis itupun tetap tersimpan."

"Paman Tan, sebetulnya kitab apa itu?" tanya Tio Cie Hiong.

"Kata orang tua itu, kitab tipis tersebut berisi pelajaran ilmu tenaga dalam" jawab Paman Tan memberitahukan.

"Paman Tan, berikan saja kitab tipis itu kepada Ku Tek Cun...."

"Apa?" Kening Paman Tan berkerut-kerut. "Dia berhati begitu kejam, bagaimana mungkin kuberikan kitab tipis itu padanya? bukankah kau sudah tahu pesan pemilik kitab ini sebelumnya, bahwa harus diberikan pada anak yang berhati baik seperti dirimu!" Paman Tan memandang Tio Cie Hiong sambil tersenyum.

"Paman Tan!" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Aku tidak berniat belajar ilmu silat."

"Itu bukan pelajaran ilmu silat, melainkan ilmu Iweekang."

"Aku pun tidak mau belajar ilmu Iweekang."

"Nak!" Paman Tan menepuk bahunya.

"Tidak ada salahnya engkau mempelajari ilmu Iweekang, sebab akan membuat badanmu sehat."

"Lagi pula akan membuat dirimu kuat ketika nanti menghadapi pukulan-pukulan Ku Tek Cun."

"Tapi...."

"Nak, janganlah engkau tolak!" potong Paman Tan.

"Paman Tan...." Tio Cie Hiong berpikir lama sekali, akhirnya mengangguk. "Terima kasih,

Paman!"

Paman Tan tampak gembira sekali. Ia segera pergi mengambil kitab tipis tersebut. Sedangkan Tio Cie Hiong duduk termangu di tempat tidur. Memang tidak ada salahnya mempelajari ilmu Iweekang, sebab akan katanya akan membuat badan sehat. Pikirnya sambil tersenyum-senyum.

Berselang beberapa saat kemudian, Paman Tan telah kembali, lalu duduk di sisi Tio Cie Hiong. "Inilah kitab tipis yang kukatakan tadi." katanya dengan berbisik agar tak terdengar orang lain sambil menyerahkan kitab tipis itu kepada Tio Cie Hiong.

"Terima kasih, Paman Tan!" Ucap Tio Cie Hiong sambil menerima kitab tipis itu.

Berselang beberapa saat kemudian, Paman Tan telah kembali, lalu duduk di sisi Tio Cie Hiong. "Inilah kitab tipis yang kukatakan tadi." katanya dengan berbisik agar tak terdengar orang lain sambil menyerahkan kitab tipis itu kepada Tio Cie Hiong.

"Terima kasih, Paman Tan!" Ucap Tio Cie Hiong sambil menerima kitab tipis itu. Tertulis di depannya 'Pan Yok Hian Thian Sin Kang'

"Nak! Mulai sekarang engkau harus menghapal dulu isi kitab tipis ini !" ujar Paman Tan berpesan. "Sebab kata orang tua itu, kitab tipis ini setelah orang yang kuberi kitab ini menghafal dan mempelajarinya, maka kitab tipis ini harus dibakar." "Kenapa harus dibakar?" tanya Tio Cie Hiong heran.

"Entahlah..., tapi itulah pesan dari orang tua itu" jawab Paman Tan.

Tio Cie Hiong hanya bisa manggut-manggut saja mendengar penjelasan itu.

Sejak itulah Tio Cie Hiong mulai menghafal dan sekaligus mempelajari kitab tipis itu.

Sedangkan Ku Tek Cun tetap memperlakukannya dengan sewenang-wenang. Sebaliknya Phang Ling

Hiang sangat baik dan semakin bersimpati padanya.

Seminggu kemudian, Tio Cie Hiong telah berhasil menghafal Pan Yok Hian Thian Sin Kang itu, maka Paman Tan pun membakar kitab tipis tersebut.

Setiap malam Tio Cie Hiong selalu melatih ilmu Iweekang di tempat tidurnya, membuat tubuhnya

semakin hari semakin sehat dan kuat.

Sebulan telah berlalu, kini Tio Cie Hiong sudah merasakan ada hawa hangat terus mengalir di seluruh tubuhnya, sehingga seluruh tubuhnya selalu terasa segar dan nyaman sekali. Hal itu membuat ia semakin tekun mempelajari seluruh isi kitab tipis itu.

Suatu hari ketika Tio Cie Hiong sedang menyapu halaman depan, muncullah Ku Tek Cun bersama

Phang Ling Hiang. Begitu melihat Tio Cie Hiong, seperti biasanya Ku Tek Cun langsung tersenyum dingin.

"Hei!" bentaknya. "Kemarilah kau!"

"Ya." sahut Tio Cie Hiong sambil mendekatinya. "Apakah aku harus menemani Tuan muda berlatih

lagi?"

"Bagus!" Ku Tek Cun tertawa. "Semakin hari kelihatannya kau semakin tahan berlatih denganku, untuk itu aku akan mengganti cara latihanku!"

"Jadi.. apakah aku harus berloncat-loncatan atau berlari-lari mengelilingi halaman ini atau bagaimana tuan muda?" tanya Tio Cie Hiong.

"Kali ini engkau cukup berdiri diam di tempat," sahut Ku Tek Cun sambil tersenyum sinis.

"Suheng! Jangan memperlakukannya begitu! Kenapa suheng begitu tega sering menyiksanya?" ujar

Phang Ling Hiang dengan wajah muram.

"Sumoi!" Ku Tek Cun mengerutkan kening. "Kenapa engkau selalu membelanya?"

"Aku tidak membelanya, melainkan tidak sampai hati menyaksikannya disiksa olehmu! Suheng, mari kita berlatih berdua saja!"

"Setelah berlatih dengannya, aku pasti akan berlatih denganmu," sahut Ku Tek Cun sambil memungut sebatang ranting.

"Suheng..." Phang Ling Hiang menarik nafas panjang.

"Sumoi! Diamlah kau!" Ku Tek Cun menatap gadis itu dengan kening berkerut, kemudian mengarah

pada Tio Cie Hiong seraya berkata, "Hari ini aku tidak melatih ilmu pukulan, melainkan ilmu pedang."

Tio Cie Hiong cuma manggut-manggut. Ia berdiri diam di hadapan Ku Tek Cun, sedangkan Phang

Ling Hiang memandangnya dengan iba.

"Hiyaaat!" teriak Ku Tek Cun sambil menggerakkan ranting yang dipegangnya, lalu menyerang Tio Cie Hiong dengan jurus Angin Halilintar menyapu Bumi. Tampak ranting itu berkelebat ke arah pinggang Tio Cie Hiong. Sedangkan Tio Cie Hiong tetap berdiri diam di tempat. Plaaak! Pinggang Tio Cie Hiong terpukul oleh ranting itu.

Sungguh di luar dugaan, ranting itu patah menjadi beberapa potong. Itu membuat Ku Tek Cun tercengang. Ia tentu saja mengira ranting itu sudah lapuk. Phang Ling Hiang memandang dengan mata terbelalak.

"Hmm!" dengus Ku Tek Cun dingin, lalu memungut sebatang ranting yang lebih besar. "Aku ingin

tahu, apakah kepalamu kuat menahan ranting ini?"

"Jangan, Suheng!" seru Phang Ling Hiang. "Kepalanya akan pecah terpukul oleh ranting itu!" "Kenapa engkau kalut?" tanya Ku Tek Cun tidak senang.

"Kalau kepalanya pecah, bagaimana?" tanya Phang Ling Hiang dengan wajah pucat pasi.

"Aku yang bertanggungjawab, engkau diam saja!" sahut Ku Tek Cun. Ia menatap Tio Cie Hiong dingin.

Akan tetapi ketika ia ingin menyerang Tio Cie Hiong, terdengarlah bentakan keras.

"Berhenti, Tuan muda!" tiba-tiba Paman Tan sudah muncul di situ.

"Oh, Paman Tan!" Ku Tek Cun tersenyum. "Aku sedang berlatih dengan Cie Hiong, dia kuat sekali."

"Hmm!" dengus Paman Tan dingin, lalu mengajak Tio Cie Hiong pergi.

Ku Tek Cun menatap punggung Tio Cie Hiong dengan penuh kebencian, sedangkan Phang Ling Hiang

dalam hati mengucap syukur.

Sudah setahun Tio Cie Hiong bekerja di Hong Lui Po (Puri Angin Halilintar) selama itu ia selalu melatih Pan Yok Hian Thian Sin Kang, sehingga membuat dirinya tanpa sadar telah memiliki Iweekang yang tinggi.

Keberhasilan itu sungguh menggirangkan Paman Tan. Maka sore ini ia pergi menemui Tio Cie

Hiong yang baru usai menyapu. Kebetulan Tio Cie Hiong sedang duduk di bawah pohon di halaman

belakang. Paman Tan mendekatinya dengan wajah berseri-seri.

"Nak! Kenapa engkau duduk melamun di situ?" tanyanya sambil duduk di sisinya.

"Oh, Paman Tan!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku tidak melamun, melainkan duduk beristirahat di sini."

"Nak!" Paman Tan menatapnya dalam-dalam. "Aku girang sekali."

"Memangnya kenapa?" tanya Tio Cie Hiong.

"Sebab..." Paman Tan merendahkan suaranya. "Engkau sepertinya telah berhasil mempelajari ilmu Iweekang itu, maka engkau tidak perlu takut lagi dipukul Ku Tek Cun."

"Itu berkat jasa Paman yang memberikan kitab tipis itu padaku. Kalau tidak, mungkin aku telah mati terpukul," ujar Tio Cie Hiong dengan suara rendah pula.

"Nak... Sudah setahun engkau bekerja di Hong Lui Po ini, bagaimana kesanmu di sini?" "Cukup baik" jawab Tio Cie Hiong jujur. "Paman Tan, Nona Phang dan para pelayan lain sangat baik terhadapku, hanya saja Tuan muda itu..."

"Itu kesalahan ayahnya." Paman Tan menarik nafas panjang. "Terlampau memanjakannya, karena

dia adalah putra satu-satunya, sehingga membuat sifatnya semakin memburuk. Namun... Pocu sama sekali tidak mengetahuinya."

"Paman Tan, kenapa selama ini aku tidak melihat Pocu?" tanya Tio Cie Hiong heran.

"Bukankah selama ini engkau tidak pernah memasuki rumah besar itu? Jadi bagaimana mungkin engkau akan melihat Pocu? Lagi pula Pocu sangat terkenal dalam rimba persilatan, tidak gampang menemuinya."

"O000h!" Tio Cie Hiong manggut-manggut.

Paman Tan bangkit berdiri. "Aku mau masuk kedalam... Engkau beristirahatlah.. jangan terlampau lama diluar!"

Tio Cie Hiong hanya tersenyum, sedangkan Paman Tan berjalan perlahan menuju rumah besar itu.

Tio Cie Hiong masih tetap duduk di bawah pohon. Tak lama kemudian hari mulai gelap. Ia bangkit berdiri, tetapi ketika baru mau melangkah pergi, mendadak muncul Phang Ling Hiang. Gadis itu memandangnya sambil tersenyum.

"Nona Phang..." Tio Cie Hiong segera memberi hormat padanya.

"Cie Hiong!" Phang Ling Hiang menggelengkan kepala. "Engkau tidak usah memberi hormat padaku! Anggaplah aku kakakmu!"

"Aku hanya seorang pelayan rendah di sini, maka tidak pantas menganggap Nona sebagai kakakku."

"Engkau jangan terlampau merendahkan diri. Aku tahu engkau sejak kecil telah belajar ilmu sastra. Sebetulnya tidak pantas engkau bekerja sebagai pelayan di sini." "Nona..."

"Oh ya!" Phang Ling Hiang menatapnya. "Suhengku sering bertindak sewenang-wenang terhadapmu,

aku mohon sudilah engkau memaafkannya!"

"Itu sudah pasti." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Terus terang, aku khawatir sekali..." Phang Ling Hiang menarik nafas panjang.

"Apa yang Nona khawatirkan?" tanya Tio Cie Hiong heran.

"Sifat buruk suhengku itu, aku... aku khawatir kelak dia akan menjadi penjahat." Phang Ling Hiang memberitahukan dengan wajah murung.

"Nona tak usah khawatir kelak ia pasti berubah baik." Hibur Tio Cie Hiong. "Percayalah!" "Mudah-mudahan begitu!" Phang Ling Hiang menarik nafas lagi.

Di saat mereka berdua sedang bercakap-cakap, ada sepasang mata mengintip dengan berapi-api.

Ternyata tanpa mereka ketahui, Ku Tek Cun bersembunyi di balik sebuah pohon sambil memandang

mereka dengan wajah penuh diliputi kebencian.

"Nona..." Tio Cie Hiong menatapnya. "Tidak baik Nona datang menemuiku, sebab kalau Tuan muda

tahu, repotlah aku."

"Engkau jangan khawatir!" Phang Ling Hiang tersenyum. "Dia tidak ada di dalam puri, sebab guruku menyuruhnya pergi untuk menemui seseorang."

"Justru lebih tidak baik Nona datang di sini, sebab akan menimbulkan kecurigaan orang, sehingga akan menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan." ujar Tio Cie Hiong sambil menggelenggelengkan kepala.

"Aku menganggapmu adik, kenapa harus takut akan kecurigaan orang lain."

"Itu pikiran Nona, namun orang lain tak akan berpikir begitu. Jadi alangkah baiknya Nona segera meninggalkan tempat ini."

"Baiklah!" Phang Ling Hiang mengangguk lalu pergi.

Tio Cie Hiong menarik nafas lega, lalu masuk ke rumah dan langsung menuju kamarnya. Ketika is sedang membersihkan kamarnya, sekonyong-konyong seorang pelayan menerobos ke dalam.

"Cie Hiong..." Wajah pelayan itu tampak pucat pias.

"Ada apa?" tanya Tio Cie Hiong.

"Pocu (Majikan Puri) memanggilmu." Pelayan itu memberitahukan.

"Oh?" Tio Cie Hiong kebingungan. Ia sama sekali tidak menyangka Pocu akan memanggilnya. "Ada

urusan apa Pocu memanggilku?"

"Entahlah!" Pelayan itu menggelengkan kepala. "Kelihatannya... Pocu sedang marah besar."

"Pocu sedang marah besar?" Tio Cie Hiong terperangah. "Pocu marah pada siapa?"

"Cepatlah engkau ke sana!" sahut pelayan itu. "Pocu berada di ruang depan."

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk, dan pelayan itu langsung angkat kaki dari tempat itu. Dengan perasaan heran Tio Cie Hiong menuju rumah besar itu. Selama setahun ini, ia sama sekali tidak pernah memasuki rumah tersebut, namun malam ini ia justru memasukinya. Setelah berada di ruang depan yang amat besar dan indah itu, ia melihat seorang lelaki berusia lima puluhan duduk di atas kursi dengan wajah penuh kegusaran. Lelaki itu Hong Lui Kiam Khek - Ku Tiok Beng, majikan Puri Angin Halilintar.

Tampak pula Ku Tek Cun dan Phang Ling Hiang duduk di sisi Ku Tiok Beng, Ku Tek Cun tersenyum

dingin, sedangkan Phang Ling Hiang menundukkan kepala.

"Cie Hiong!" bentak Ku Tiok Beng sambil menudingnya. "Kenapa engkau begitu berani berbuat kurang ajar di dalam Hong Lui Po?"

"Pocu..." Tio Cie Hiong kebingungan. "Aku tidak pernah berbuat kurang ajar di sini." "Engkau masih berani menyangkal?" Bentak Ku Tiok Beng mengguntur dengan wajah gusar. "Pocu!" ujar Tio Cie Hiong. "Sudah setahun aku bekerja di sini, tapi selama ini aku tidak pernah berbuat kurang ajar."

Ku Tiok Beng melotot. "Engkau sungguh berani, secara diam-diam berjanji pada Liang Hiang untuk bertemu di halaman belakang, bukankah itu perbuatan kurang ajar?"

"Itu..." Tio Cie Hiong tertegun, kemudian memandang Phang Ling Hiang, yang tetap menundukkan

kepala.

"Hm!" dengus Ku Tek Cun dingin. "Mereka berdua tampak begitu mesra di bawah pohon. Kalau aku

tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, tentu aku pun tidak akan percaya." "Tuan muda..." Tio Cie Hiong mengerutkan kening.

"Aku tidak memfitnahmu kan?" sahut Ku Tek Cun sambil tertawa dingin. "Bukankah engkau bermesra-mesraan dengan sumoiku di bawah pohon?"

"Kami memang bercakap-cakap di bawah pohon, tapi kami tidak bermesra-mesraan seperti Tuan muda katakan itu," ujar Tio Cie Hiong.

"Ayah, dia telah mengaku," ujar Ku Tek Cun kepada Hong Lui Kiam Khek-Ku Tiok Beng.

"Cie Hiong!" Ku Tiok Beng menudingnya. "Engkau telah mengaku, maka aku harus menghukummu!"

"Pocu!" sahut Tio Cie Hiong. "Sebelum jelas persoalan itu, aku harap Pocu tidak sembarangan menghukumku!"

"Engkau berani berkata begitu padaku..!!!" Ku Tiok Beng tampak bertambah gusar sehingga

wajahnya berubah merah padam.

"Karena aku merasa tidak bersalah, maka aku berani mengatakan begitu," Sahut Tio Cie Hiong dan melanjutkan. "Pocu sangat terkenal dalam rimba persilatan, tentunya tidak akan melakukan sesuatu yang menjadi bahan tertawaan kaum Bu Lim." "Engkau..." Bukan main gusarnya Ku Tiok Beng. "Engkau..."

"Perlu Pocu ketahui!" tambah Tio Cie Hiong. "Tuan muda terlampau dimanjakan, sehingga menjadi sombong, dan sifatnya menjadi buruk sekali. Kalau Pocu tidak memperhatikan hal itu, kelak nama Pocu pasti tercemar."

"Apa?" Ku Tiok Beng melotot dan langsung meloncat ke hadapan Tio Cie Hiong. "Engkau berani bersikap demikian kurang ajar terhadapku?"

"Aku tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Pocu, hanya mengingatkan Pocu saja," sahut Tio Cie Hiong.

"Aku sudah begitu baik menerimamu bekerja di sini, tapi engkau malah..." Perlahan-lahan Ku Tiok Beng mengangkat sebelah tangannya. Kelihatannya ia sudah siap memukul kepala Tio Cie Hiong.

Anak itu tetap berdiri tegak di tempat, bahkan sepasang matanya terus menatap tangan Ku Tiok Beng yang telah terangkat ke atas itu. Di saat Ku Tiok Beng ingin memukul kepalanya, mendadak terdengar suara bentakan keras.

"Berhenti, Pocu!" Muncul Paman Tan mendekati mereka dengan langkah tergopoh-gopoh, dan wajahnya tampak gusar sekali.

"Paman Tan..." Ku Tiok Beng tertegun menyaksikannya, sebab selama puluhan tahun, ia tidak pernah melihat orang tua itu begitu gusar.

"Kalau Pocu ingin membunuh anak itu, lebih baik Pocu bunuh aku dulu!" ujar Paman Tan dengan

suara gemetar.

"Kenapa...?" Ku Tiok Beng mengerutkan kening.

"Aku tahu jelas persoalan itu, maka aku harus membela Cie Hiong!" sahut Paman Tan. "Kalau Pocu berkeras ingin membunuhnya, aku pun pasti membunuh diri di hadapan Pocu!"

Ku Tiok Beng memandang orang tua itu. Sejak ia masih kecil, Paman Tan sudah bekerja pada

almarhum ayahnya dan sangat mengabdi pada keluarganya dan menjadi orang kepercayaan, maka

biar bagaimana pun, ia tidak mungkin tidak harus menghormatinya.

"Aaaakh...!" Ku Tiok Beng menarik nafas panjang. "Sudahlah! Cepat bawa anak ini pergi, esok pagi dia harus meninggalkan Hong Lui Po!"

Paman Tan segera menarik Tio Cie Hiong pergi. Setelah berada di dalam kamar, barulah orang tua itu menarik nafas lega.

"Nak!" Paman Tan menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau nyaris mati di tangan Pocu." "Heran!" gumam Tio Cie Hiong. Padahal Pocu sangat terkenal dalam rimba persilatan, kenapa dia justru tidak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah?"

"Nak!" Paman Tan tersenyum getir. "Ku Tek Cun adalah putra kesayangannya, maka biar

bagaimana pun Pocu tetap membelanya. Lagi pula Ku Tek Cun pandai bermuka-muka di hadapan

Pocu, maka Pocu mempercayai omongannya."

"Kalau begitu..." Tio Cie Hiong memandang orang tua itu. "Aku tidak bisa tinggal di Hong Lui Po ini lagi."

"Ya." Paman Tan manggut-manggut dengan wajah muram. "Esok pagi engkau harus meninggalkan

tempat ini."

"Paman Tan, kita... kita akan berpisah." Mata Tio Cie Hiong mulai berkaca-kaca.

"Hidup memang begitu, engkau tidak perlu berduka, Nak." Paman Tan membelai-belai rambutnya.

"Kalau aku masih hidup, kelak kita pasti akan berjumpa kembali."

"Paman Tan..."

"Nak! Esok pagi aku akan menyediakan lima ratus tael perak dan seekor kuda untukmu, agar engkau bisa lekas sampai di gunung Heng San."

"Terima kasih, Paman!" ucap Tio Cie Hiong dengan air mata meleleh. "Aku entah harus bagaimana membalas budi kebaikan Paman?"

"Nak!" sahut Paman Tan sungguh-sungguh. "Kalau engkau bisa menjadi orang baik selamanya,

itu

berarti engkau telah membalas kebaikanku."

"Paman Tan!" ujar Tio Cie Hiong berjanji. "Aku pasti menjadi orang baik selamanya."

"Bagus!" Orang tua itu manggut-manggut dan tersenyum puas, kemudian menambahkan, "Tidak

sia-sialah aku menyuruhmu belajar ilmu Iweekang. Aku yakin, kelak engkau pasti menjadi seorang pendekar yang selalu membela kebenaran. Kalau aku belum mati, pasti senang sekali mendengarnya."

"Paman Tan!" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Aku sama sekali tidak berniat belajar ilmu silat, bagaimana mungkin aku akan menjadi seorang pendekar?"

"Apa yang akan terjadi kelak sulit diramalkan. Siapa tahu pada suatu saat nanti engkau justru menjadi orang Bu Lim. Ya, kan?" Orang tua itu menatapnya dalam-dalam. Tio Cie Hiong diam saja. Sedangkan orang tua itu membelainya seraya berpesan.

"Nak! Janganlah engkau lupa melatih ilmu Iweekang itu!"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk, lalu berkata dengan mata bersimbah air. "Setelah aku dewasa kelak, aku pasti datang menengok Paman."

"Mudah-mudahan pada waktu itu, engkau telah menjadi seorang pendekar gagah dan berhati bajik!" Ucap orang tua itu dan terus menerus membelainya dengan penuh kasih sayang.

Tampak seekor kuda putih berlari kencang meninggalkan Hong Lui Po. Penunggang kuda putih

itu

seorang anak remaja, yang tak lain Tio Cie Hiong.

Pagi ini ia telah meninggalkan Hong Lui Po. Paman Tan dan para pelayan mengantarnya sampai di depan Puri Angin Halilintar tersebut. Tidak tampak Ku Tek Cun maupun Phang Ling Hiang. Ternyata Ku Tek Cun melarang adik seperguruannya itu mengantar Tio Cie Hiong. Oleh karena itu, Phang Ling Hiang menangis sedih di dalam kamarnya.

Kuda putih itu terus berlari ke arah timur. Sedangkan Tio Cie Hiong merasa berat sekali berpisah dengan Paman Tan. Namun apa boleh buat, ia memang harus meninggalkan Hong Lui

Po

itu, sebab Ku Tiok Beng, majikan Puri itu telah mengusirnya dengan tuduhan berlaku kurang ajar terhadap Phang Ling Hiang.

Tio Cie Hiong tahu, itu ulah Ku Tek Cun. Akan tetapi, ia sama sekali tidak membenci maupun

mendendam pada pemuda tersebut. Sebaliknya ia malah merasa kasihan padanya, karena dengan

sifat buruknya itu, kelak pasti akan menimbulkan suatu bencana bagi dirinya sendiri, dan sekaligus akan mencemarkan nama baik Hong Lui Po.

Sebelum meninggalkan Hong Lui Po, Paman Tan memberi Tio Cie Hiong lima ratus tael perak. Dengan adanya bekal itu, maka Tio Cie Hiong tidak usah khawatir akan kekurangan uang. Namun Tio Cie Hiong adalah anak berhati bijak. Dalam perjalanan menuju Gunung Heng San, ia sering menolong para pengemis dengan uangnya itu.

Sepuluh hari kemudian, ia sudah sampai di Gunung Heng San. Ia bertanya kepada penduduk

setempat di mana letaknya Lembah Kesepian. Dengan menunggang kuda putih itu, Tio Cie Hiong

terus mendaki. Ketika hari mulai senja, ia melihat sebuah lembah yang amat indah.

Tio Cie Hiong yakin, itu pasti Lembah Kesepian. Karena itu, ia segera memasuki lembah tersebut, sedangkan kudanya berjalan perlahan-lahan.

Tio Cie Hiong menengok ke sana ke mari dengan penuh perhatian maka beberapa saat kemudian,

ia melihat sebuah taman bunga sangat indah, yang di dalamnya terdapat sebuah gubuk. Bukan main girangnya Tio Cie Hiong. Ia cepat-cepat menuju gubuk itu, dan setelah sampai di depannya, ia meloncat turun dari punggung kudanya.

Pintu gubuk itu tertutup rapat. Tio Cie Hiong mengetuknya seraya berseru.

"Permisi! Apakah Ku Tok Lojin berada di dalam?"

Tiada sahutan, Tio Cie Hiong berseru lagi berulang kali, tapi tetap tiada sahutan.

Karena itu, ia terpaksa mendorong pintu gubuk tersebut lalu melongok ke dalam, tetapi tak ada seorang pun di sana.

"Permisi!" Serunya lagi sambil berjalan ke dalam.

Di dalam gubuk itu terdapat perabotan-perabotan yang sangat sederhana, tapi sudah kotor

semua. Di sana sini tampak sarang laba-laba, yang menandakan bahwa sudah lama gubuk itu,

tak

dihuni orang.

Tio Cie Hiong berdiri tertegun di dalamnya. Ia telah bersusah payah datang di Lembah Kesepian itu, tapi tidak bertemu Ku Tok Lojin.

Benarkah ini gubuk Ku Tok Lojin? Kalau benar, kenapa tidak ada orangnya? Pikir Tio Cie Hiong.

Akhirnya ia bermalam di gubuk itu, kalau ia tidak bertemu Ku Tok Lojin berarti tidak tahu

riwayat hidupnya, lalu harus ke mana mencari Ku Tok Lojin itu? Tio Cie Hiong terus berpikir,

kemudian tertidur pulas.

Pagi-pagi sekali Tio Cie Hiong sudah bangun, lalu berjalan-jalan sejenak di taman bunga.

Mendadak ia melihat seorang tua sedang berjalan sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara parau.

Pakaian orang tua itu penuh tambalan.

Giranglah Tio Cie Hiong melihat ada orang. Ia segera berlari menghampiri orang tua itu

seraya berseru.

"Paman! Paman..."

Orang tua itu terbelalak ketika melihat kemunculan Tio Cie Hiong,sebab tidak menyangka ada seorang anak lelaki berada di tempat itu.

"Bocah! Siapa engkau dan kenapa berada di sini?" tanyanya dengan penuh keheranan.

"Aku Cie Hiong," jawabnya. "Apakah Paman tahu siapa yang pernah tinggal di gubuk ini.

"Ku Tok Lojin." orang tua itu memberitahukan.

"Tahukah Paman dia ke mana?"

"Entahlah." Orang tua itu menggelengkan kepala dan menambahkan. "Setahuku, sudah lima tahun

dia meninggalkan gubuk ini."

"Yaaah!" keluh Tio Cie Hiong. "Aku bersusah payah datang kemari, tapi dia malah tak ada." "Kenapa engkau mencarinya?" tanya orang tua itu heran.

"Ingin menanyakan sesuatu padanya, tapi dia tidak ada. Entah harus ke mana aku harus mencarinya?" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.

"Kalau tidak salah, Ku Tok Lojin itu seorang Bu Lim," ujar orang tua itu memberitahukan. "Kalau engkau ingin tahu ke mana dia pergi, bertanyalah kepada orang Bu Lim juga!" "Terima kasih atas saran Paman!" ucap Tio Cie Hiong. "Oh ya! Kenapa Paman berada di sini?" "Aku tinggal di kaki gunung ini. Beberapa hari sekali aku pasti datang di tempat ini untuk mencari kayu." Orang tua itu memberitahukan sambil menatapnya. "Bocah, pakaianmu indah sekali."

"Oh?" Tio Cie Hiong tersenyum.

"Belum pernah cucuku berpakain seindah itu." Orang tua tersebut menarik nafas panjang. "Kami orang miskin, sama sekali tidak mampu membeli pakaian..."

"Paman!" Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Di dalam buntalanku masih ada beberapa stel

pakaian, akan kuberikan pada Paman."

"Apa?" Orang tua itu kelihatan tak percaya.

"Engkau ingin memberikan pakaianmu padaku?"

"Benar." Tio Cie Hiong mengangguk, lalu masuk ke gubuk. Tak lama ia sudah keluar lalu menghampiri orang tua itu. "Paman, di dalam buntalanku ini, ada beberapa stel pakaian dan sepuluh tael perak, terimalah!"

"Apa? Ini..." Mulut orang tua itu ternganga lebar sambil menerima buntalan. "Te... terima kasih!"

"Sama-sama," sahut Tio Cie Hiong, lalu mendekati kuda putihnya, dan sekaligus meloncat ke punggungnya. Setelah Tio Cie Hiong memegang tali kendali kuda, meringkiklah kuda putih dan langsung berlari pergi.

Orang tua itu memegang buntalan tersebut dengan mulut masih ternganga lebar.

"Siapa anak lelaki itu? Kok hatinya begitu baik?" gumamnya kemudian.

Kini di dalam baju Tio Cie Hiong hanya tersisa beberapa tael perak. Namun ia sama sekali tidak merasa cemas. Kalau uangnya sudah habis, ia akan bekerja lagi.

Sementara kuda putih itu terus berlari, tapi tidak begitu kencang. Tio Cie Hiong ke gunung Heng San dengan tujuan menemui Ku Tok Lojin untuk menanyakan riwayat hidup dirinya. Akan tetapi, Ku Tok Lojin justru telah pergi beberapa tahun lalu, sehingga ia tetap tidak tahu siapa kedua orang tuanya. Oleh karena itu, haruskah ia mengembara dalam rimba persilatan mencari Ku Tok Lojin? Lalu ia harus menuju ke mana? Itu sungguh memusingkan Tio Cie Hiong.

Akhirnya ia teringat akan daerah Kang Lam, yang sangat kesohor keindahan panoramanya. Karena

itu, ia lalu memacu kudanya ke arah selatan.

Dalam perjalan, Tio Cie Hiong sama sekali tidak lupa melatih Pan Yok Hian Thian Sin Kang,

maka tanpa disadarinya, Iweekangnya menjadi semakin meningkat. Ingatannya bertambah kuat,

bahkan penglihatannya pun bertambah tajam. Ketika masih berada di Hong Lui Po, ia sering melihat Ku Tek Cun dan Phang Ling Hiang berlatih ilmu pedang Hong Lui Kiam Hoat, dan kini semua gerakan ilmu pedang tersebut masih berada di dalam ingatannya.

Ada satu hal yang sangat mengherankan, yakni ia tidak pernah belajar ilmu silat, namun setelah menyaksikan ilmu pedang Hong Lui Kiam Hoat itu, ia pun tahu di mana letak keistimewaan ilmu pedang tersebut. Kenapa bisa begitu? Tidak lain disebabkan Kecerdasan otak dan Pan Yok Hian Thian Sin Kang yang ternyata adalah Ilmu Iweekang yang sangat langka di dunia ini.

Beberapa hari kemudian, Tio Cie Hiong sudah kehabisan uang lagi. Apa boleh buat, ia terpaksa menjual kudanya kepada seseorang pedagang kuda di sebuah kota. Padahal kuda putih itu berharga ratusan tael perak, namun pedagang kuda itu hanya membayarnya lima puluh tael perak.

Tio Cie Hiong menerimanya dengan girang, karena tidak tahu harga kuda putih itu.

Tio Cie Hiong melanjutkan perjalanannya menuju selatan. Dasar ia berhati baik, lima puluh

tael perak itu dibagi-bagikan kepada orang miskin, sehingga ia sendiri tak mempunyai uang sama sekali. Oleh karena itu ia harus menahan lapar.

Hari ini Tio Cie Hiong telah tiba di suatu tempat yang penuh pohon-pohon rindang. Ia berteduh di bawah sebuah pohon rindang untuk beristirahat sejenak.

Berselang beberapa saat kemudian ia bangkit berdiri dan meneruskan perjalanannya. Betapa girangnya ketika ia melihat sebuah sungai, dan ia langsung berlari ke sungai itu.

Setibanya di tepi sungai, ia menengok ke sana ke mari. Tak ada seorang pun berada di tempat itu, segeralah ia membuka pakaiannya, lalu terjun ke dalam sungai itu. iapun mencuci pakaiannya lalu dijemur di atas rumput di tepi sungai.

Tio Cie Hiong tak berani naik ke atas, sebab ia dalam keadaan telanjang, maka terus berendam di sungai menunggu sampai pakaiannya kering.

Air sungai itu sangat dingin, maka membuatnya secara tidak langsung mengerahkan Pan Yok Hian

Thian Sin Kang. Setelah mengerahkan Iweekang tersebut, tubuhnya langsung hangat, sehingga sangat menggirangkannya.

Entah berapa lama kemudian, mendadak Tio Cie Hiong mengerutkan kening. Ternyata ia mendengar

suara langkah. Namun ia tidak menoleh ke belakang, melainkan tetap berendam di dalam sungai.

Tampak seorang pengemis kecil dan dekil berjalan di situ. Walau berjarak lima puluhan depa, Tio Cie Hiong sudah mendengar suara langkah itu.

Pengemis itu terus berjalan, tetapi tiba-tiba ia berhenti dengan mata terbelalak memandang ke sungai, karena ia melihat ada orang berendam di situ.

"Hei..." seru pengemis kecil. "Siapa engkau, kenapa berendam di dalam sungai"

Perlahan-lahan Tio Cie Hiong menoleh. Begitu melihat pengemis kecil, terbeliaklah ia

seketika. Ternyata pengemis kecil itu Lim Ceng Im, setahun lalu mereka pernah bertemu. Pada

waktu itu, Tio Cie Hiong juga sedang mandi di sungai dalam keadaan telanjang.

"Ceng Im...!" seru Tio Cie Hiong girang.

"Haaah? Engkau?" pengemis kecil tertegun lalu tertawa gembira sambil berlari ke tepi sungai. "Cie Hiong! Cie Hiong..."

"Ceng Im!" saking girangnya Tio Cie Hiong lupa akan dirinya yang dalam keadaan telanjang bulat, ia naik ke atas.

"Auuuh!" jerit Lim Ceng Im. Ketika badan Tio Cie Hiong baru nongol separuh. Pengemis kecil itu langsung membalikkan badannya.

"Eeeh? Oh! Maaf!" Tio Cie Hiong tersenyum karena baru ingat dirinya dalam keadaan telanjang.

"Cie Hiong, cepatlah engkau berpakaian!" seru Lim Ceng Im.

"Ya," sahut Tio Cie Hiong sambil naik ke atas dan cepat-cepat berpakaian. "Aku sudah berpakaian."

Perlahan-lahan Lim Ceng Im membalikkan badannya. la menarik nafas lega ketika melihat Tio

Cie Hiong sudah berpakaian. Namun kemudian ia terbelalak sambil menatapnya. "Eeeh?" Tio Cie Hiong terheran-heran. "Kenapa engkau menatapku dengan cara begitu?"

"Cie Hiong!'sahut Lim Ceng Im dengan wajah agak kemerah-merahan. "Setahun lebih kita tidak bertemu, engkau tampak semakin tampan lho!"

"0.. ya?" Tio Cie Hiong tersenyum. "Sebaliknya engkau bertambah dekil."

"Engkau merasa jijik padaku?" tanya Lim Ceng Im cemberut.

"Engkau teman baikku, bagaimana mungkin aku merasa jijik padamu?" sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.

"Benarkah?" Lim Ceng Im tertawa gembira. "Tentu saja benar." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Cie Hiong! Mari kita duduk di bawah pohon!" ajak Lim Ceng Im.

Tio Cie Hiong mengangguk, lalu mereka berdua menghampiri sebuah pohon dan duduk di bawahnya.

"Ceng Im!" Tio Cie Hiong memandangnya. "Kenapa engkau masih berpakaian pengemis dan masih

begitu dekil? Apakah engkau tidak pernah mandi sama sekali?"

"Aku memang pengemis, mana ada pengemis yang bersih sih?" sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum. "Oh ya, Cie Hiong!" Bagaimana keadaanmu selama setahun ini?"

"Aku baik-baik saja." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Aku bekerja di Hong Lui Po. setelah itu barulah berangkat ke gunung Heng San."

"Oooh!" Lim Ceng Im manggut-manggut. "Apakah engkau telah bertemu orang yang kau cari itu?"

"Aku sudah sampai di tempatnya, tapi dia tidak ada." Tio Cie Hiong menarik nafas. "Kata seseorang penduduk di sana, beberapa tahun lalu dia telah meninggalkan tempat itu. Aku tidak tahu harus ke mana lagi mencarinya."

"Sebetulnya siapa yang kau cari itu?" tanya Lim Ceng Im mendadak.

"Dia adalah Ku Tok Lojin."

"Ku Tok Lojin?" Lim Ceng Im mengerutkan kening sambil berpikir, kemudian berkata, "Aku tidak pernah mendengar tentang orang itu, akan kutanyakan pada ayah, mungkin ayah tahu itu." "Terima kasih, Ceng Im!" Ucap Tio Cie Hiong dan mendadak is tertawa geli.

"Eeeh?" Lim Ceng Im tercengang. "Kenapa engkau tertawa geli? Apa yang menggelikanmu?" "Heran!" sahut Tio Cie Hiong dan masih tertawa geli. "Setahun lalu engkau bertemu denganku dalam keadaan telanjang, kali ini pun begitu. Kita sungguh berjodoh sekali!" "Jangan omong sembarangan!" Lim Ceng Im cemberut.

"Nyatanya memang begitu," sahut Tio Cie Hiong sambil tertawa. "Jangan-jangan engkau memang

senang melihat aku telanjang.

"Eh? Jangan kurang ajar!" Lim Ceng Im cemberut lagi dengan wajah memerah.

"Heran!" gumam Tio Cie Hiong sambil menatapnya. "Engkau lelaki, tapi kenapa suka cemberut seperti gadis? Ceng Im, lelaki tidak boleh cemberut Iho!" "Siapa suruh engkau tidak tahu malu?"

"Aku tidak tahu malu?" Tio Hui Hong menggaruk-garuk kepala. "Aku tidak merasa itu."

"Kenapa engkau sering mandi telanjang di sungai"

"Karena pakaianku sudah kotor, harus dicuci. Kalau aku tidak telanjang, bagaimana pakaianku itu dicuci?"

"Engkau tidak punya pakaian lain?"

"Sebetulnya ada, tapi telah kuberikan pada orang," ujar Tio Cie Hiong memberitahukan. "Bahkan uangku pun telah habis kubagi-bagikan pada orang miskin."

"Oh?" Lim Ceng Im menatapnya penuh perhatian. "Jadi sekarang engkau tidak punya uang?" "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Cie Hiong!" Lim Ceng Im menundukkan kepala. "Aku juga tidak punya uang, kalau aku punya, pasti kuberikan padamu."

"Terima kasih!" ucap Tio Cie Hiong, kemudian merogoh ke dalam bajunya mengeluarkan sesuatu.

"Lihatlah! Hingga saat ini aku masih menyimpannya, bahkan akan kusimpan selamalamanya."

Lim Ceng Im mendongakkan kepala melihat. Semula ia tampak tertegun tapi kemudian wajahnya

berseri-seri.

"Itu... itu kantongku," ujarnya gembira. "Setahun yang lalu kuberikan kepadamu!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar