"Terima kasih.
Kakak" Tio Cie Hiong tersenyum.
Wajah gadis itu langsung
kemerah-merahan, gadis itu cukup cantik tapi kelihatan tercekam rasa takut.
"Anak muda, dia putriku
satu-satunya." orang tua itu memberitahukan.
"Namanya Cui Ling."
Tio Cie Hiong manggut-manggut
dan tersenyum lagi, lalu memandang orang tua itu seraya bertanya.
"Kenapa tadi Paman yang
mengangkat jemuran padahal Paman punya anak perempuan?" "Aaakh—"
orang tua itu menarik nafas panjang.
"Anak muda, apakah engkau
tidak melihat desa ini begitu sepi?" "paman, aku memang merasa
heran," sahut Tio Cie Hiong. "Apakah di desa ini telah terjadi
sesuatu?" "Ya." orang tua itu mengangguk-
"Beberapa bulan ini telah
terjadi sesuatu yang sangat menyeramkan.—"
"Kejadian apa?"
"Muncul arwah gentayangan
menculik para anak gadis-" orang tua itu memberitahukan.
"Dalam waktu beberapa
bulan ini, sudah banyak anak gadis yang diculik oleh arwah gentayangan
itu."
Arwah gentayangan?" Tio
Cie Hiong mengerutkan kening. "Paman, bagaimana mungkin ada arwah
gentayangan?"
"justru telah muncul di
desa ini." orang tua itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Karena itu, para anak
gadis tidak berani keluar rumah. Maka aku yang mengangkati jemuran."
"paman, bagaimana kejadian itu?" tanya Tio Cie Hiong ingin
mengetahuinya.
"Beberapa bulan lalu di
suatu malam, mendadak desa ini diselimuti kabut tebal,"jawab orang tua itu
menutur.
"setelah itu, terdengar
pula suara lolong anjing yang menyeramkan. Ketika tengah malam, muncullah
cahaya kehijau-hijauan, dan samar-samar tampak beberapa sosok bayangan putih
berjalan tak menyentuh tanah, kemudian berhenti di salah sebuah rumah di desa
ini. Keesokan harinya, anak gadis keluarga itu telah hilang."
"oh?" Tio Cie Hiong
mengerutkan kening.
"Sejak itu kejadian
tersebut terus berlanjut, sehingga membuat penduduk di desa ini ketakutan
sekali," ujar orang tua itu melanjutkan.
"Maka para anak gadis
desa ini sama sekali tidak berani keluar rumah, sebab telah puluhan anak gadis
hilang lenyap begitu saja. Cui Ling adalah putriku satu-satunya, ini sungguh
membuat hatiku cemas sekali"
"Paman tidak usah
cemas" ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "ohya, paman
memperbolehkan aku menginap di sini?" "Baiklah-" orang tua itu
mengangguk-
"Sejak kejadian itu,
kepala desa pun mengumpulkan para pemuda desa untuk menjaga malam, tapi—
beberapa malam kemudian, putri kepala desa malah hilang pula-"
"oh? Bukankah ada para
pemuda menjaga malam? Kok putri kepala desa itu masih bisa hilang?"
"Memang mengherankan." orang tua itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Ternyata para pemuda itu
terkapar tak sadarkan diri- setelah hari mulai terang, barulah mereka siuman,
tapi tidak tahu apa-apa."
"Ngmmm" Tio Cie
Hiong manggut-manggut.
"Paman. kebetulan aku
berada di desa ini, maka aku akan mencoba menangkap arwah-arwah gentayangan
itu"
"Apa?" orang tua itu
terbelalak, begitu pula Cui Ling. Gadis itu memandang Tio Cie Hiong dengan
mulut ternganga lebar.
"Paman, Kakak" Tio
cie Hiong tersenyum.
"Percayalah, aku pasti
bisa menangkap arwah-arwah gentayangan itu"
"Anak muda" orang
tua itu menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya.
"Engkau jangan
bergurau».."
"Ayah" sela Cut
Ling.
"Kelihatannya dia tidak
bergurau."
"oh?" orang tua itu
menatap putrinya.
"Benar, Paman" Tio
Cie Hiong manggut-manggut.
"Aku sama sekali tidak
bergurau, oh ya, apakah arwah-arwah gentayangan itu akan muncul setiap tengah
malam?"
"Tidak tentu." orang
tua itu memberitahukan.
"Beberapa malam muncul
sekali."
"Paman" ujar Tio cie
Hiong sungguh-sungguh-"Mudah-mudahan arwah-arwah gentayangan itu akan
muncul malam ini"
orang tua itu dan putrinya
saling berpandangan, kelihatannya orang tua itu masih tidak percaya, namun
gadis itu malah percaya sekali, sebab Tio Cie Hiong tidak bertampang pembohong.
-ooo00000ooo-
setelah larut malam, Tio cie
Hiong duduk bersemadi di dalam rumah orang tua itu menghadap pintu. Tampak
orang tua tersebut dan putri-nya duduk di belakang Tio cie Hiong. Ternyata Tio
Cie Hiong yang menyuruh mereka.
"Paman, Kakak Ling"
ujar Tio Cie Hiong menjelaskan.
" Lebih aman kalian duduk
di belakangku, karena aku bisa melindungi kalian berdua."
"Terima kasih, Anak
muda" ucap orang tua itu. Wajahnya masih tampak cemas sekali, tapi
sebaliknya Cui Ling malah kelihatan tenang.
"Sekarang sudah tengah
malam. Aku mendengar suara langkah para pemuda desa yang meronda, berarti
arwah-arwah gentayangan itu tidak akan muncul malam ini," ujar Tio Cie
Hiong dan menambahkan.
"Maka Paman dan Kakak
Ling boleh pergi tidur-"
"Anak muda, bagaimana
mungkin aku bisa tidur?" orang tua itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak bisa
tidur," sambung cui Ling.
"Lebih baik aku duduk di
belakangmu, rasanya aman sekali."
Tio Cie Hiong tersenyum,
kemudian memejamkan matanya untuk bersemadi lagi.
sementara sang waktu terus
berjalan, tak terasa hari sudah mulai terang. Tio cie Hiong membuka matanya,
sedangkan orang tua itu menarik nafas lega.
"Syukurlah hari sudah
pagi" ujar orang tua itu.
"Ling Ling, cepatlah
masak"
"ya. Ayah-" Cui Ling
bangkit berdiri, lalu berjalan ke dalam dengan hati lega-"Anak muda, mari
kita duduk di kursi saja" ajak orang tua itu.
Tio cie Hiong mengangguk-
Mereka berdua lalu duduk di kursi- Berselang beberapa saat kemudian, cui Ling
sudah datang dengan membawa dua mangkuk nasi dan sepiring telor goreng.
"Anak muda, mari kita
makan" ujar orang tua itu.
"Maaf, tidak ada lauk
pauknya. sebab banyak pedagang yang tidak jualan."
"Ada telor goreng sudah
cukup-" Tio Cie Hiong tersenyum, dan memandang cui Ling yang berdiri-
" Kakak Ling, mari kita
makan bersama"
"Ling Ling, makan
bersamalah" sambung orang tua itu.
Cui Ling mengangguk lalu masuk
ke dalam, la mengambil semangkuk nasi, lalu duduk makan bersama ayahnya dan Tio
Cie Hiong.
Tak seberapa lama, mereka
telah usai makan. Kemudian orang tua itu memandang Tio Cie Hiong seraya
berkata.
"Anak muda, benarkah
engkau mampu menangkap arwah-arwah gentayangan itu?" "Paman, aku
tidak bohong" sahut Tio cie Hiong.
Kalau begitu, aku akan pergi
memberitahukan pada Cungcu (Kepala Desa)" ujar orang tua itu. "Tidak
perlu" Tio cie Hiong menggelengkan kepala-
"setelah aku berhasil
menangkap arwah-arwah gentayangan itu, barulah Paman pergi melapor kepada
kepala desa-"
"Baiklah>" orang
tua itu mengangguk-
"ohya. Anak muda Aku
sudah mengantuk sekali, mau pergi tidur sebentar."
"silakan
Paman""
"Ling Ling" pesan
orang tua itu.
"Engkau harus mencuci
pakaian"
"ya. Ayah-" cut Ling
mengangguk, lalu memandang Tio Cie Hiong.
"Maaf, aku harus ke depan
untuk mencuci pakaian"
Tidak apa-apa," sahut Tio
Cie Hiong.
"Kakak tidak usah
menemani aku, pergilah mencuci pakaian"
Cui Ling tersenyum dengan
wajah agak kemerah-merahan, kemudian berjalan ke depan. Tio Cie Hiong tetap
duduk di situ. la telah mengambil keputusan untuk menangkap para penjahat yang
menyamar sebagai arwah gentayangan untuk menculik anak gadis di desa itu.
Berselang sesaat, Tio Cie
Hiong berjalan ke luar. la melihat Cui Ling sedang memeras pakaian sekuat
tenaga. Pemuda itu tersenyum sambil mendekatinya.
"Kakak Ling" ujar
Tio Cie Hiong.
" Cukup capek engkau
memeras pakaian itu."
"Ya-" Cui Ling
mengangguk dengan nafas agak memburu.
Kakak Ling, biar aku
membantumu." "Apa?" Cui Ling terbelalak.
"Itu... mana boleh?"
"Tidak apa-apa." Tio
Cie Hiong segera mengambil pakaian dari dalam tempat cucian, lalu mendadak
tangannya bergerak sehingga pakaian itu terus melingkar, setelah itu, Tio Cie
Hiong melempar pakaian itu ke arah tali jemuran. Pakaian itu melebar dan jatuh
tepat pada tali jemuran.
"Haaah—?" Mulut Cui
Ling ternganga lebar.
"engkau-—"
Tio Cie Hiong hanya tersenyum,
lalu masuk ke rumah. Cui Ling memandangnya dengan mata terbelalak-
setelah hari mulai malam,
wajah orang tua itu kembali tampak cemas- Tio Cie Hiong memandangnya seraya
berkata-
"Paman, tidak usah cemas,
tidak akan terjadi apa-apa atas diri Kakak Ling Percayalah" "Anak
muda, bukan cuma aku yang cemas," ujar orang tua itu. "seluruh
penduduk desa ini pasti cemas disaat hari mulai malam."
"Ayah, aku yakin adik
Hiong dapat melindungiku-" sela Cui Ling mendadak-"oh?" orang
tua itu menatap putrinya-"Mudah-mudahan"
Ketika malam mulai larut, Tio
Cie Hiong menyuruh orang tua itu dan putrinya duduk di lantai, sedangkan ia
sendiri duduk bersila di depan mereka menghadap pintu-
Tio cie Hiong mulai bersemadi
dengan mata terpejam- Berselang beberapa saat kemudian, ia membuka matanya
seraya memberitahukan.
"Paman, Kakak Ling
sebentar lagi arwah-arwah gentayangan itu akan muncul. Aku harap Pryarn dan
Kakak Ling tenang saja, dan harus tetap duduk di belakangku"
" Haaah?" Wajah
orang tua itu langsung memucat, namun cui Ling tetap tampak tenang.
Tak seberapa lama terdengarlah
suara desiran angin, tampak pula kabut tebal mulai menyelimuti desa itu, dan
diiringi lolongan anjing yang menyeramkan.
"Anak muda...."
orang tua itu menggigil ketakutan.
"Ba... bagaimana
nih?"
"Tenang saja, Paman"
sahut Tio Cie Hiong.
"Pokoknya Paman dan Kakak
Ling harus tetap duduk di belakangku"
"Adik Hiong" tanya
Cui Ling.
"Apakah arwah-arwah
gentangan itu akan muncul di sini?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk-
"Aku sudah mendengar
suara langkah ringan menuju ke mari-"
"oh, Thian" ucap
orang tua itu.
"Lindungilah putri
hamba"
Walau Cui Ling kelihatan
tenang, tapi tidak terlepas dari rasa takut juga. la memegang bahu Tio cie
Hiong erat-erat.
"Kakak Ling, jangan
takut" ujar Tio Cie Hiong.
Wajah Cui Ling langsung
memerah, karena tanpa sadar ia memegang bahu pemuda itu, kemudian cepat-cepat
ia melepaskan tangannya.
Berselang sesaat, terdengarlah
suara hembusan angin yang kencang sekali, dan seketika pintu rumah itu
tergoncang. Braaak Pintu rumah itu terbuka.
seketika juga Cui Ling
menjerit ketakutan, sedangkan orang tua itu berkomat-kamit saking cemasnya,
kemudian merangkul putrinya erat-erat.
Tampak empat orang berpakaian
kematian berjalan ringan memasuki rumah itu. Akan tetapi mereka tertegun ketika
melihat Tio cie Hiong duduk bersila di lantai menghadang mereka.
"Anak muda Cepat
minggir" bentak salah seorang di antara mereka.
"Arwah gentayangan bisa
berbicara seperti manusia, ini sungguh luar biasa sekali" sahut Tio Cie
Hiong.
"Anak muda Kami harap
engkau jangan turut campur urusan ini" ujar orang yang berbadan agak
tinggi.
"Cepatlah minggir"
Aku justru harus turut campur,
karena kalian sering menculik anak gadis didesa ini" Tio cie Hiong masih
duduk bersila di lantai.
"He he he" orang
berbadan tinggi itu tertawa seram.
"Anak muda, lihatlah
aku"
Tio cie Hiong memandangnya.
Mendadak sepasang mata orang itu memancarkan cahaya kehijau-hijauan.
Menyaksikan itu, Tio Cie Hiong malah tertawa seraya berkata.
"Percuma engkau
mengerahkan ilmu sesat itu, aku tidak akan terpengaruh"
"Hah?" orang itu
tampak terkejut, kemudian berseru.
"serang dia"
Pada saat bersamaan, Tio cie
Hiong yang duduk bersila itu bergerak mendadak, dan seketika terdengarlah suara
jeritan. "Aaakh Aaaak.^"
Keempat orang itu telah roboh
dengan wajah meringis-ringis. Ternyata Tio cie Hiong bergerak dengan ilmu
langkah kilat, bahkan sekaligus memusnahkan kepandaian mereka, sehingga keempat
orang itu sudah tidak bertenaga sama sekali.
"Beritahukan siapa yang
menyuruh kalian menculik para anakgadis didesa ini?" bentak Tio cie Hiong.
"Siauw hiap Ampunilah
kami" ujar orang berbadan tinggi.
"Aku telah mengampuni
nyawa kalian, tapi kepandaian kalian telah musnah- Mulai sekarang kalian harus
menjadi orang baik-baik," sahut Tio Cie Hiong.
"Nah Beritahukan
kepadaku, siapa yang menyuruh kalian menculik para anak gadis?" "Dia—
dia adalah Im Yang Hoatsu." orang berbadan tinggi memberitahukan. "Im
yang Hoatsu (Pendeta Banci)?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
"ya." orang berbadan
tinggi itu mengangguk-
"Kami anak buahnya, dia
yang menyuruh kami menculik para anak gadis""
"Im yang Hoatsu berada
di- mana?"
"Di biara tua Ang Lian si
(Biara Teratai Merah)"
"Di mana biara itu?"
" Kira-kira dua mil di
sebelah barat desa ini."
Tio Cie Hiong manggut-manggut,
lalu memandang orang tua itu.
"Paman Aku akan ke Biara
Teratai Merah untuk menolong para gadis yang telah diculik itu," ujar Tio
Cie Hiong.
"Akupun akan menyadarkan
para pemuda yang mungkin masih dalam keadaan pingsan, sekaligus menyuruh mereka
ke mari untuk membawa keempat penjahat ini ke rumah kepala desa-"
"Tapi..." orang tua
itu terbelalak-
"Jangan takut,
Paman" Tio Cie Hiong tersenyum-
"Aku telah memusnahkan
kepandaian mereka, dan kini mereka sama sekali tidak bertenaga-Kalau Paman
menampar mereka, mereka pun tidak akan mampu melawan"
"oh?" orang tua itu
mengerutkan kening. Kemudian ia mendekati salah seorang penjahat itu dan dengan
takut-takut menamparnya. Plaak
" Ampun" jerit orang
itu kesakitan.
Plak Plak Plak orang tua itu
pun menampar yang lain dengan sengit.
"Aduuuh" jerit
mereka kesakitan, dan sama sekali tidak bertenaga untuk melawan.
"Paman, Nanti Paman ikut
ke rumah kepala desa juga. Keempat penjahat ini boleh dihukum, tapi jangan
dibunuh" pesan Tio Cie Hiong dan segera pergi.
Berselang beberapa saat
kemudian, tampak puluhan pemuda desa berlari-lari menuju rumah orang tua itu.
"Mana penjahat itu? Mana
penjahat itu?" tanya mereka. "Di sini" sahut orang tua itu, yang
kini tampak gagah sekali. "Cepat kalian bawa keempat penjahat ini ke rumah
kepala desa" "Kalian kok tahu ada penjahat di sini?" tanya Cui
Ling mendadak-"Nona Ling" sahut salah seorang pemuda-
"Tadi kami sedang
meronda, ketika tengah malam, mendadak muncul kabut tebal dan desiran angin,
terdengar pula suara lolong anjing yang menyeramkan. Kami terkejut bukan main.
Mendadak kami mencium bau aneh, sehingga membuat kami pingsan seketika. Di saat
kami siuman, kami melihat seorang pemuda berbaju putih berdiri di hadapan kami
sambil tersenyum. Dia menyuruh kami ke mari, katanya dia telah menangkap empat
penjahat."
"Oooh" Cui Ling
manggut-manggut.
Para pemuda desa itu menyeret
keempat penjahat ke rumah kepala desa. orang tua tersebut dan putrinya juga
ikut ke sana.
Kepala desa menyambut
kedatangan mereka dengan ramah, tapi wajahnya tetap murung.
"Terima kasih, kalian
telah berhasil menangkap keempat penjahat yang menyamar arwah gentayangan"
ujar kepala desa sambil manggut-manggut.
"Cungcu" sahut salah
seorang pemuda.
"Bu-kan kami yang
menangkap keempat penjahat itu."
"oh?" Kepala desa
bingung.
"Kalau begitu, siapa yang
menangkap mereka?"
Cui Ling dan ayahnya segera
tampil ke depan. Bukan main gagahnya ketika orang tua itu menampilkan diri,
sehingga membuat Cui Ling nyaris tertawa geli.
"Cungcu (Kepala Desa),
yang menangkap keempat penjahat itu adalah seorang pemuda tampan berbaju putih."
orang tua itu memberitahukan dengan suara lantang.
"Kemarin pemuda tampan
itu datang ke rumahku. Ketika mendengar ada arwah gentayangan, maka dia
menginap di rumahku untuk menangkap arwah gentayangan itu. Tengah malam ini dia
berhasil, ternyata bukan arwah gentayangan, melainkan keempat penjahat itu yang
menyamar arwah gentayangan."
"oh?" Kepala desa
terbelalak.
"Siapa pemuda itu?"
"Wuah" orang tua itu
menggelengkan kepala.
"Aku sudah lupa."
Cungcu Aku memanggilnya adik
Hiong." Cui Ling memberitahukan dan sekaligus menutur tentang kejadian
tengah malam itu.
"Haah?" Kepala desa
mendengar dengan mulut ternganga, begitu pula para pemuda desa yang berkumpul
di situ.
"Dia bilang mau pergi
menolong para gadis yang diculik itu." Cui Ling menambahkan. "Mungkin
tidak lama lagi dia akan ke mari."
"Syukurlah" ucap
kepala desa, kemudian berseru lantang.
"Mari kita bunuh keempat
penjahat itu"
"Jangan" cegah Cui
Ling.
"Kenapa?" Kepala
desa tercengang.
Cungcu, pemuda itu telah
berpesan, kita boleh menghukum keempat penjahat itu, tapi tidak boleh membunuh
mereka."
Kalau begitu, gantung keempat
penjahat itu di pohon Tunggu pemuda itu kemari menghukum mereka" ujar
kepala desa.
para pemuda desa segera
mengikat keempat penjahat tersebut, kemudian menggantung mereka di pohon.
"Kalian harus segera
memanggil para orang tua yang kehilangan anak gadisnya untuk berkumpul di sini,
sebab menurut Nona Ling, tidak lama lagi pemuda itu akan ke mari bersama para
gadis yang di culik itu."
"ya, Cungcu" sahut
para pemuda desa. Mereka segera pergi memanggil para orang tua yang kehilangan
anak gadisnya.
Biasanya kepala desa sangat
memandang rendah ayah Cui Ling yang miskin itu. Tapi kini sikapnya telah
berubah sama sekali, bahkan menyuguhkan air teh pula kepadanya, sehingga
membuat orang tua itu gembira.
-ooo00000ooo-
Tio cie Hiong mengerahkan
ginkang menuju Biara Teratai Merah- Tak segerapa lama kemudian, ia sudah sampai
di biara itu.
Biara tersebut sudah tua,
bahkan sudah rusak, dan pintu halamannya tinggal sebelah. Tio Cie Hiong
mengerutkan kening, lalu perlahan-lahan berjalan memasuki halaman biara itu.
Tiada seorang pun berada di
situ. Tio Cie Hiong berdiri sambil memandang biara yang tak diurus itu.
sekonyong-konyong berkelebat belasan bayangan putih ke arahnya. Belasan orang
itu semuanya berpakaian kematian.
Pada waktu bersamaan, terdengar
suara tawa menyeramkan yang melengking-lengking, kemudian muncul seorang
berpakaian pendeta. orang itu tampak aneh sekali, sebab mukanya dirias dengan
bedak dan bibirnya dimerahkan.
"eeh?" orang itu
kelihatan tertegun ketika melihat Tio cie Hiong.
"siapa engkau adik
manis?"
Tio Cie Hiong melongo ketika
mendengar ucapannya orang itu, sebab mirip suara wanita yang mengalun lembut.
"Engkau siapa?" Tio
Cie Hiong balik bertanya.
"Adik manis, aku Im yang
Hoatsu (Pendeta Banci)." orang itu tersenyum genit sambil menatap Tio cie
Hiong dengan mata tak berkedip-
"Ternyata engkau Im yang
Hoatsu" Tio Cie Hiong manggut-manggut-
"Adik manis, engkau kenal
aku?" Im yang Hoatsu mengerlingkan matanya.
"Jadi engkau ke mari
mencariku?"
"ya" Tio Cie Hiong
mengangguk-
"Bagus Bagus" Im
yang Hoatsu tersenyum-
"Mari kita
bersenang-senang, aku jamin engkau pasti merasa puas"
"Im yang Hoatsu"
bentak Tio Cie Hiong mendadak
"Kenapa engkau menyuruh
anak buahmu menculik para gadis desa itu?"
"Wuah" Im yang
Hoatsu tertawa kecil-
"Adik manis, kok engkau
begitu galak sih Tapi aku senang deh padamu-"
"Im yang Hoatsu"
bentak Tio Cie Hiong lagi.
"Cepatlah melepaskan para
gadis itu"
"Itu mana boleh?"
sahut Im yang Hoatsu.
"Mereka sudah kujadikan
pelayan-pelayanku-Tapi— aku bersedia melepaskan gadis-gadis itu, asal engkau
mau menemaniku selamanya-"
omong kosong" Tio Cie
Hiong menatapnya. "Hari ini aku harus menumpas kalian semua"
"oh ya?" Im yang
Hoatsu tertawa geli, kemudian berseru dengan suara parau. "Kalian cepat
tangkap adik manis itu"
Tio Cie Hiong tertegun karena
mendadak suara Im yang Hoatsu berubah parau, padahal semuLa mengalun begitu
lembut-
Belasan orang itu langsung
menerjang ke arah Tio Cie Hiong. Dengan cepat-cepat pemuda itu bergerak
menggunakan ilmu langkah kilat. Tam-pak bayangan berkelebat laksana kilat,
kemudian terdengarlah suara jeritan di sana sini. "Aaaakh.-"
Belasan orang telah roboh
sambil merintih-rintih- Terbelalak Im yang Hoatsu menyaksikanny a - "siapa
kau?" bentaknya parau.
"Tidak usah tahu siapa
aku yang jelas aku harus menumpasmu hari ini, karena engkau telah melakukan
kejahatan" sahut Tio Cie Hiong.
"oh, ya?" suara Im
yang Hoatsu mengalun lembut lagi, kemudian tersenyum genit seraya berkata-
"Lihatlah Bukankah aku
gadis yang sangat cantik sekali? Kau pasti jatuh cinta kepadaku Ayolah, mari
kita bersenang-senang di dalam biara"
Tio Cie Hiong memandangnya,
seketika itu Im yang Hoatsu berubah menjadi seorang gadis yang amat cantik,
bahkan badannya meliuk-liuk merangsang. Menyaksikan itu, Tio Cie Hiong tahu Im
yang Hoatsu memiliki ilmu hitam. Karena itu, ia pun mengerahkan "Ilmu
Penakluk iblis".
"Im yang Hoatsu" Tio
Cie Hiong tersenyum.
"Lihatlah Aku ayahmu,
cepatlah engkau berlutut"
"Haaah-.?" Im yang
Hoatsu terkejut bukan main, sebab mendadak ia melihat almarhum ayahnya berada
di hadapannya, sehingga membuatnya nyaris berlutut.
"Ha ha" Tio Cie
Hiong tertawa geli.
"Engkau...." Im yang
Hoatsu terbelalak.
"Eng-kau mahir ilmu hitam
juga?"
"Tidak" Tio cie
Hiong menggeleng kepala.
"Itu yang disebut senjata
makan tuan."
"Lihat" bentak Im
yang Hoatsu dengan suara berwibawa.
"Aku iblis dari neraka
yang akan membunuhmu"
Mendadak Im yang Hoatsu
berubah menjadi sosok makhluk yang sangat menyeramkan, langsung menerjang ke
arah Tio Cie Hiong.
"Aku si Penakluk
Iblis" ujar Tio Cie Hiong halus.
"Iblis, cepatlah
menyerah"
"Aaaakh—" jerit Im
yang Hoatsu. Ternyata dirinya telah terserang, Ilmu Penakluk Iblis, sehingga
membuat sekujur badannya mengucurkan keringat, Ia mundur beberapa langkah, dan
cepat mengeluarkan sebatang tongkat pendek berkepala ular.
" Lihat serangan"
Im yang Hoatsu menyerang Tio
Cie Hiong dengan tongkat berkepala ular itu. Tio Cie Hiong menghindar dengan
ilmu langkah kilat, Im yang Hoatsu tertegun karena mendadak pemuda itu telah
hilang dari hadapannya. Kini barulah ia tahu telah menghadapi pemuda yang
berilmu tinggi, bahkan dapat membuyarkan itmu hitamnya pula. Maka diam-diam ia
mengambil keputusan untuk kabur. Tio Cie Hiong yang masih belum berpengalaman
tidak mengetahui itu.
sekonyong-konyong Im yang
Hoatsu melemparkan sesuatu ke bawah- Terdengarlah letusan yang menimbulkan asap
tebal. Asap beracun namun Tio Cie Hiong tidak mengalami apa pun, sebab dirinya
kebal terhadap racun.
Begitu asap itu sirna, Tio Cie
Hiong terkejut mendapati Im yang Hoatsu ternyata telah kabur.
Tio cie Hiong
menggeleng-gelengkan kepala, menyesali keteledorannya. Lalu melangkah
menghampiri salah seorang yang masih menggeletak di situ.
"Di mana gadis-gadis
itu?" tanyanya.
"Mereka... mereka disekap
di sebuah kamar," jawab orang itu memberitahukan, "siauw hiap,
ampunilah kami"
"Aku sudah mengampuni
kalian. Kini kepandaian kalian telah musnah, selanjutnya jadilah orang
baik-baik"
orang itu mengangguk dengan
wajah murung.
Tio Cie Hiong masuk ke dalam
biara tua itu. Didengarnya ada suara tangisan di sebuah kamar, segeralah ia
membuka pintu kamar itu, maka tampak belasan gadis berada di dalam.
"Kakak, kakak" seru
Tio Cie Hiong memberitahukan. "Kalian jangan takut, aku kemari untuk
menolong kalian"
"Terima kasih" sahut
gadis-aadis itu serentak dan ikut Tio Cie Hiong keluar. Begitu sampai di luar
biara, barulah Tio Cie Hiong ingat akan satu masalah, dari tempat ini menuju ke
desa cukupjauh, berarti gadis-gadis itu harus berjalan kaki, sebab tidak ada
kuda.
"Tidak ada kuda, jadi
kalian, terpaksa harus berjalan kaki pulang" ujar Tio Cie Hiong.
"Tidak apa-apa,"
ujar gadis-gadis itu-
"Tapi kami harap siauw
hiap-.."
"Tentu" Tio Cie
Hiong tersenyum.
Aku pasti menjaga kalian
sampai di desa" "Terima kasih, Siauw hiap" ucap gadis-gadis.
Setelah hari agak siang,
barulah mereka sampai di rumah kepala desa. Betapa gembiranya para orang tua
bertemu anak gadis mereka. Tak henti-hentinya mereka menjura sambil
menghaturkan terima kasih kepada Tio Cie Hiong.
"Siauw hiap" Kepala
desa mendekati Tio Cie Hiong.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, sehingga putriku bisa selamat."
"sama-sama-" Tio Cie
Hiong tersenyum.
"Cungcu, kepala penjahat itu
ternyata Im yang Hoatsu, jadi— dia tidak bisa mengganggu anak gadis- Harap
Cungcu tenang."
Kepala desa itu
manggut-manggut mengerti akan maksud Tio Cie Hiong.
"siauw hiap, karena
engkau telah menolong putriku dan lain-lainnya, maka aku akan memberimu
hadiah-"
Tidak usah-" Tio cie
Hiong menggeleng kepala-
"yang penting Cungcu
jangan bertindak semena-mena terhadap penduduk-" Kepala desa mengangguk-
"Dan...," tambah Tio
Cie Hiong.
"Ayah Cui Ling sangat
baik terhadapku, aku harap Cungcu bersedia membantunya." "Tentu,
tentu" Kepala desa mengangguk-
"Aku akan memberikannya
sawah yang luas." ujarnya kemudian.
Tio Cie Hiong menghampiri ayah
Cui Ling, sementara orang tua itu terus tertawa gembira.
"Paman, Kepala desa sudah
berjanji akan memberikan sawah yang luas. selanjutnya Paman tidak perlu merasa
bersusah lagi." Tio Cie Hiong memberitahukan sambil tersenyum.
"oh..-Be— benarkah
itu?" tanya orang tua itu tak percaya.
"Benar," sahut
kepala desa sambil manggut-manggut.
"Aku telah berjanjipada
Siauw hiap ini, tentunya aku tidak akan mengingkarinya." "Terima
kasih, Cungcu" ucap orang tua itu. Tio Cie Hiong menjura pada semua orang.
"Maaf. Aku mau mohon diri," ujarnya kemudian.
"Adik Hiong...,"
seru Cui Ling dengan mata mulai basah-"Begitu cepat... engkau mau
pergi?"
"ya" sahut Tio Cie
Hiong sambil tersenyum.
"Kakak Ling, ayahmu sudah
tua, jagalah dia baik-baik"
"Adik Hiong...." Air
mata Cui Ling mulai meleleh.
Tio Cie Hiong tersenyum lagi.
Namun mendadak dia bergerak, seketika badannya berkelebat laksana kilat
meninggalkan tempat itu.
"Hrrp.." Kepala desa
terkejut melihatnya.
"Dia— dia benar-benar sin
Hiap (Kesatria)"
"Pek Ih sin Hiap Pek Ih
sin Hiap (Kesatria Baju Putih)" seru semua orang yang berada di situ.
"Adik Hiong—" Cui
Ling yang terisak-isak kembali meneriakkan nama pemuda sakti itu.
sejak itu, dikenallah Pek Ih
sin Hiap dalam rimba persilatan. Kesatria Baju Putih yang selalu menolong orang
dan menumpas para penjahat dengan cara memusnahkan kepandaian mereka....
-ooo00000ooo-
Bab 19 Panggung cari jodoh
Tio Cie Hiong terus
melanjutkan perjalanannya menuju Puri Angin Halilintar. Dalam perjalanan itu
dia sambil acapkali menolong orang sakit, juga menumpas para penjahat. Hanya
saja ia tidak pernah membunuh, melainkan memusnahkan kepandaian mereka. Karena
itu, lambat launjulukannya mulai dikenal dalam rimba persilatan.
Pagi ini ia memasuki sebuah
kota yang cukup besar. Kota An wie termasuk kota perdagangan, tidak
mengherankan kalau keadaannya begitu ramai.
ini suasana kota tersebut
tampak lebih ramai, di sana sini terlihat orang berkumpul membicarakan sesuatu
sambil tertawa.
Tio Cie Hiong yang baru tiba
di kota An wie itu terheran-heran menyaksikannya, sama sekali tidak tahu apa
yang dibicarakan warga kota. Kemudian ia memasuki sebuah kedai yang sangat
ramai. Tidak ada tempat kosong sehingga terpaksa dia berdiri sambil menengok ke
sana ke mari.
Ia melihat dua orang lelaki
yang sedang bersantap sambil mengobrol tak henti-hentinya. Karena di situ masih
ada tempat kosong, maka Tio cie Hiong mendekati mereka.
"Maaf" ucapnya
sambil menjura pada kedua orang itu.
"Bolehkah aku duduk di
sini?"
"silakan" sahut
salah seorang sambil memandangnya.
"Terima kasih" Tio
Cie Hiong tersenyum dan duduk- segera seorang pelayan menghampirinya.
"Tuan mau makan apa?"
"semangkok nasi dan sop
sapi," jawab Tio Cie Hiong.
Tak lama kemudian, pelayan
sudah menyediakan pesanan Tio Cie Hiong. Ketika ia mulai bersantap, kedua orang
di dekatnya terdengar mengobrol lagi.
"Nanti sore, pertandingan
itu pasti menarik sekali."
"Ha ha Pasti merupakan
pertandingan yang sangat menarik-" "Tapi—." orang yang berbadan
gemuk meng-geleng-gelengkan kepala. "Mungkin juga ada yang akan mati dalam
pertandingan itu-" "Benar." Temannya manggut-manggut.
"Sebab pemuda jahat itu
pasti muncul, jadi—-"
"Aaakh" orang
berbadan gemuk menghela nafas panjang. "Siapa yang mampu mengalahkannya?
Nona Tan pasti" "yaah" Temannya menggeleng-geleng kepala,
"Guru silat Tan berharap
ada orang yang mampu mengalahkan pemuda jahat itu- Tapi di dalam kota ini mana
ada orang yang mampu mengalahkan pemuda itu?"
Mendengar percakapan itu Tio
Cie Hiong merasa tertarik- Ia memandangi orang yang berbadan gemuk seraya
bertanya-
"Maaf sebetulnya ada
pertandingan apa di kota ini. Tuan?"
Kedua orang itu langsung
memandang Tio cie Hiong, mereka berdua tampak tercengang.
"Eh? saudara bukan warga
kota ini?" orang berbadan gemuk balik bertanya.
"Bukan." Tio Cie
Hiong tersenyum.
"Aku cuma mampir di kota
ini."
"oooh" orang
berbadan gemuk itu manggut-manggut.
"Pantas saudara tidak
tahu."
"Bolehkah saya tahu
pertandingan apa yang Tuan perbincangkan tadi?"
"Tentu boleh," sahut
orang berbadan gemuk itu.
"Di kota ini terdapat
seorang guru silat, Tan Kiat sih namanya. Beliau punya seorang putri yang
cantik jelita bernama Tan Li Cu...."
"Gadis itu berkepandaian
tinggi," sambung temannya.
"Sebab gadis itu mendapat
bimbingan dari seorang biarawati pengembara."
"oh?" Tio Cie Hiong
makin tertarik-
"Lalu kenapa ada suatu
pertandingan?"
"Itu merupakan
sayembara," sahut orang berbadan gemuk memberitahukan,
"Ternyata Nona Tan telah
saling mencinta dengan seorang pemuda bernama Lim Hay Beng.
Guru Tan sangat suka pada Lim
Hay Beng, karena Lim Hay Beng merupakan pemuda baik, Karena itu, guru Tan
berniat menjodohkan mereka Namun...."
"Kenapa?" tanya Tio
Cie Hiong.
"Mendadak muncul Liu
siauw Kun ke rumah guru Tan untuk melamar putrinya. Hal itu membuat Guru silat
Tan jadi serba salah," tutur orang berbadan gemuk sambil menggeleng-geleng
kepala.
"Kenapa Guru Tan harus
serba salah? Bu-kankah dia boleh menolak pinangan Liu siauw Kun itu?"
selidik Tio cie Hiong.
"Kalau Guru Tan menolak
langsung, berarti guru Tan dan putrinya bakal celaka." orang berbadan
gemuk menarik nafas.
"Lho?" Tio cie Hiong
tercengang.
"Kenapa begitu?"
"Liu siauw Kun
berkepandaian sangat tinggi dan berhati kejam pula." orang berbadan gemuk
memberitahukan,
"Liu siauw Kun selalu
berlaku sewenang-wenang di kota ini, bahkan sering puLa mengganggu para anak
gadis- siapa berani melawannya, pasti mati di ujung pedangnya"
"oh?" Tio Cie Hiong
mengerutkan kening.
"Kenapa orang tuanya
membiarkannya berbuat sewenang-wenang begitu?"
"orang tuanya cuma tahu
bersenang-senang, mana bisa mendidik putranya? Sedangkan ibunya sudah lama
meninggal. Lagi pula... guru Liu siauw Kun malah lebih kejam, sering membunuh
orang hanya karena urusan kecil."
"Siapa guru Liu siauw
Kun?"
"Gurunya adalah Tok Gan
sin coa (ular sakti Mata satu)"
"ohya, apakah Lim Hay
Beng itu mengerti ilmu silat?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.
"Mengerti- Tapi-—"
"Kenapa?" tanya Tio
Cie Hiong cepat.
Kepandaiannya masih di bawah
Nona Tan, tidak mampu melawan Liu siauw Kun. Aku yakin dia akan mati di tangan
Liu siauw Kun yang berhati kejam itu."
"Dikarenakan itu..."
sambung temannya-
"Guru silat Tan
mendirikan sebuah panggung sayembara. Pemuda dari mana pun diperbolehkan
bertanding di atas panggung itu. siapa yang mampu mengalahkan Nona Tan, maka
akan dijodohkan kepadanya"
"oh?" Tio cie Hiong
tersenyum.
"Kalau begitu, bagaimana
dengan Lim Hay Beng yang mencintai Nona Tan?"
"Tentu harus ikut
bertanding Namun pasti muncul Liu siauw Kun, maka Lim Hay Beng akan celaka di
tangan pemuda kejam itu."
"Di kota ini tidak ada
pemuda yang berkepandaian tinggi untuk mengalahkan Liu siauw Kun?" tanya
Tio Cie Hiong.
Kalau ada, Liu siauw Kun tentu
tidak akan berani berbuat sewenang-wenang. Aaakh Entah apa yang akan terjadi
dalam pertandingan itu?"
"Tuan, di mana panggung
itu?"
"Di depan rumah Guru
Tan."
"Di mana rumah Guru silat
Tan itu?"
"Di sebelah barat kota
ini. siapa pun tahu rumah Guru silat Tan." jawab orang berbadan gemuk
sambil menatapnya.
"Apakah saudara mengerti
ilmu silat?"
"Mengerti sedikit"
ujar Tio cie Hiong dan tersenyum.
"Siapa yang melakukan
kejahatan, harus mendapat ganjarannya" lanjutnya menandaskan.
"Memang" orang
berbadan gemuk manggut-manggut.
"Tapi..., siapa yang
mampu mengalahkan Liu siauw Kun itu?"
"Di mana ada kejahatan,
di situ akan muncul kebenaran dan keadilan" ujar Tio Cie Hiong serius,
lalu bangkit berdiri Ketika ia mau membayar, orang berbadan gemuk itu mencegah-
"saudara, biar aku saja
yang membayar."
"Terima kasih" ucap
Tio Cie Hiong, ia meninggalkan kedai itu.
Tio cie Hiong berteduh di
bawah pohon rindang di depan sebuah biara. Beberapa saat kemudian, pintu
halaman biara itu terbuka, tampak dua hweeshio berjalan keluar. Begitu melihat
Tio cie Hiong duduk di bawah pohon, kening kedua hweeshio itu tampak berkerut.
"Hei Kenapa engkau duduk
di situ?" bentak salah seorang hweeshio itu.
Tio cie Hiong memandang kedua
hweeshio muda itu dengan penuh keheranan. Biasanya para hweeshio selalu
bersikap ramah terhadap orang, namun kedua hweeshio muda itu bersikap begitu
kasar.
"Maaf" ucap Tio Cie
Hiong sambil bangkit berdiri
"Aku numpang beristirahat
sejenak di sini"
"Engkau tidak boleh duduk
di situ" bentak kedua hweeshio muda itu.
"Akan mengotori
biara"
"Apa?" Terkejut Tio
Cie Hiong mendengarnya.
"Aku berdiri di sini,
mana mungkin mengotori biara yang di dalam?"
"ya." Kedua hweeshio
itu mengangguk,-
"Apakah ini termasuk
ajaran Budha?" tanya Tio cie Hiong mendadak-
"Jangan banyak omong,
cepatlah pergi" bentak salah seorang hweeshio itu dengan wajah tak senang.
"Anak muda" seorang
wanita berusia empat puluh lebih mendekatinya.
"Lebih baik berteduh di
rumahku saja"
"Bibi..." Tio cie
Hiong tidak menyangka akan muncul seorang wanita baik hati itu.
"Anak muda, percuma
berdebat dengan hweeshio-hweeshio itu," ujar wanita itu dengan suara
pelan.
"Mereka hweeshio-hweeshio
mata duitan Kalau orang kaya bersembahyang di biara itu akan disambut dengan
ramah, tapi orang miskin yang bersembahyang, mereka sama sekali tidak
menghiraukannya. "
"oh?" Tio Cie Hiong
melongo mendengar penuturan wanita setengah baya itu.
"omitohud" ucap
kedua hweeshio itu.
"Kalian berdua masih
menyebut 'omitohud'?" Tio Cie Hiong tersenyum dan menambahkan.
"Apakah kalian tidak
takut tertimpa oleh "omitohud" itu?"
Wanita itu tersenyum, kemudian
mengajak Tio Cie Hiong ke rumahnya. Rumah itu cukup besar, memiliki halaman
depan dan belakang, namun keadaannya tampak sudah tua.
"Anak muda, silakan
duduk" ucap wanita itu setelah masuk ke rumahnya.
"Terima kasih. Bibi"
"In Hio" seru wanita
itu.
" Cepat suguhkan air
telip"
"ya." suara sahutan
dari dalam terdengar.
"Tidak usah repot-repot.
Bibi" ujar Tio Cie Hiong.
Tak lama kemudian, muncul
seorang gadis cantik berusia sekitar enam belas membawakan secangkir teh-
Begitu melihat Tio cie Hiong, gadis itu nampak terpana sebentar,
"silakan minum" ucap
gadis itu sambil menaruh cangkir di hadapan Tio Cie Hiong.
"Terima kasih. Nona"
sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum, senyuman itu membuat hati gadis tersebut
berdebar-debar tidak karuan.
"Anak muda." Wanita
itu tersenyum.
"Dia putriku, Yap In Nio
namanya, ohya, namamu?" "Namaku Tio Cie Hiong," jawabnya
memperkenalkan diri "Kelihatannya engkau bukan orang kota ini. ya,
kan?" "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk-"Pagi tadi aku baru
tiba di kota ini."
"ooooh" Wanita itu
manggut-manggut.
"Nona In Hio" ujar
Tio Cie Hiong sambil memandangnya.
"engkau pernah belajar
silat, kan?"
"Eh?" Yap In Nio
tercengang.
"Kok engkau tahu?"
"Aku melihat gerak
langkahmu tadi."
"Kalau begitu...,"
yap In Nio menatapnya dalam-dalam.
"Engkau pasti pernah
belajar silat juga, bukan?"
Tio Cie Hiong mengangguk.-
"Engkau memiliki ilmu
silat tinggi?" tanya yap In Hio mendadak-"Tidak begitu tinggi,"
sahut Tio cie Hiong sambil tersenyum. Gadis itu tampak kecewa-
"Kalau engkau memiliki
ilmu silat tinggi, aku mau minta petunjuk-"
"In Hio" ibunya
menegur.
"Kenapa kau jadi cerewet
hari ini? cie Hiong adalah tamu, tidak boleh kurang ajar-" "Ibu"
yap In Hio tertawa geli-
"Kapan sih aku kurang
ajar padanya? Kok ibu kelihatan membelanya? oh ya, ibu ketemu dia di
mana?"
"Di depan biara-"
Wanita itu menggeleng-geleng kepala-
"Ibu lihat dia duduk di
bawah pohon depan biara, kemudlan muncul dua orang hweeshio muda mengusirnya,
maka ibu mengajaknya ke mari-"
"oooh" yap In Hio
manggut-manggut, kemudian mendengus.
"Para hweeshio di biara
itu memang keterlaluan, dasar mata duitan pula Lebih baik jangan jadi hweeshio,
itu akan menambah dosa mereka"
"Mereka cuma mengenakan
jubah hweeshio dan kepala digundul. Namun mereka sama sekali tidak mengerti
ajaran Budha," Ujar Tio cie Hiong sambil menggeleng-geleng kepala-
"Kalau aku sebagai Kwan
Im Pousat, kupukul kepaLa mereka yang gundul itu agar sadar" ujar yap In
Nio.
"Eh? In Nio, tidak boleh
berkata begitu" tegur ibunya.
"Nona In Hio, walau bukan
Kwan Im Pousat, engkau pun boleh mengetuk kepaLa mereka" ujar Tio Cie
Hiong tersenyum.
"Nanti kalau ada
kesempatan, aku ketuk kepaLa mereka satu persatu" ujar yap In Hio sambil
tertawa kecil.
"Anak muda...."
Wanita itu menggeleng-geleng kepala.
"Putriku memang nakal,
aku terlampau memanjakannya" "ohya, di mana ayahnya?" tanya Tio
Cie Hiong mendadak.
"Ketika dia berumur tiga
tahun, ayahnya meninggal karena sakit." Wanita itu memberitahukan dengan
wajah murung,
"sejak itu aku
menjanda."
"Maaf, aku telah
menimbulkan kedukaan Bibi" ucap Tio Cie Hiong merasa tidak enak-"Anak
muda, itu telah berlalu." Wanita itu tersenyum getir. "Ei" ujar
yap In Hio pada Tio Cie Hiong.
"Apakah engkau tahu guru
silat Tan menyelenggarakan sebuah sayembara?"
"Tahu." Tio Cie
Hiong mengangguk-
"Aku sudah dengar
itu"
"Ei Engkau pernah belajar
ilmu silat, apakah engkau mau ikut bertanding memperebutkan Nona Tan yang
cantik jelita itu—?"
"In Hio" tegur
ibunya dengan menatap In Nio-
"Engkau kok sangat kurang
ajar? Kenapa engkau memanggil dia "Ei" begitu?"
"Maaf" ucap yap In
Hio-
"Aku tidak tahu harus
panggil dia apa?"
"Engkau harus panggil dia
kakak Hiong" ujar ibunya memberitahukan
Yap In Hio mengangguk,
kemudian ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Ilmu silatku masih
rendah, kalau aku memiliki ilmu silat tinggi, aku pasti...." "Nona In
Hio, engkau mau ikut bertanding?" tanya Tio cie Hiong merasa kaget.
"Aku seorang gadis, nona
Tan juga gadis Bagaimana mungkin aku akan ikut bertanding?" sahut Yap In
Hio sambil tertawa kecil.
"Kalau begitu, kenapa
engkau barusan bilang—"
"Maksudku apabila aku
memiliki ilmu silat tinggi, maka aku akan menghajar Liu siauw Kun itu."
Yap In Hio menjelaskan.
"Oooo" Tio Cie Hiong
manggut-manggut.
"Namun..." Yap In
Hio menggeleng-geleng kepala.
"Aku saja masih kalah
bertanding dengan nona Tan, bagaimana mungkin mampu menghajar Liu siauw Kun
yang jahat itu?"
"Engkau pernah bertanding
dengan nona Tan itu?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Ya- Tapi sekedar
pertandingan persahabatan saja." Yap In Hio memberitahukan.
"sebab kami saling
bersahabat."
"Engkau kalah bertanding
melawannya?"
Yap In Hio mengangguk-
"Lima puluh jurus
kemudian, ranting kayunya berhasil menyentuh punggungku"
"ohya" Tio cie Hiong
menatapnya.
"Engkau belajar ilmu
silat pada siapa?"
"Beberapa tahun lalu,
ibuku melihat seorang pengemis kedinginan di luar, maka ibuku menyuruhnya masuk
dan memberi makan. Ternyata pengemis itu bisa ilmu silat, beliau mengajar aku
ilmu pukulan dan ilmu pedang. Tapi tidak lama, tiga bulan kemudian, pengemis
itu pergi, sejak itu aku terus menerus melatih ilmu pukulan dan ilmu pedang
yang diajarkannya." Tio Cie Hiong manggut-manggut.
Kakak Hiong, nanti sore engkau
mau nonton pertandingan itu?" tanya Yap In Hio. "Mau." Tio Cie
Hiong mengangguk.-
"Kita ke sana bersama
saja," usul Yap In Nio-"Aku juga ingin menyaksikan pertandingan
itu"
"Dasar anak nakal"
dengus ibunya, meng-geleng-geleng kepala. "Pemuda mana yang mau sama
dirimu kalau engkau begitu binal?" "Ibu" Yap In Nio tersenyum,
"usiaku baru enam betas,
kenapa ibu kalut sih?" "Tentu kalut" sahut ibunya.
"Engkau begitu binal, Ibu
kuatir engkau akan menjadi perawan tua."
"Tidak apa-apa. Aku ingin
menjadi seorang pendekar wanita kok" sahut YaP In Nio, kemudian menoleh ke
arah Tio Cie Hiong seraya bertanya,
" Kakak Hiong, engkau
sudah punya kekasih belum?"
"Usiaku baru menjelang
delapan belas, belum memungkinkan punya kekasih, bukan?" Tio Cie Hiong
tersenyum.
"Masih kecil kok"
"Engkau begitu tampan,
sopan dan ramah-" Yap In Nio menatapnya.
"Aku yakin pasti banyak
anak gadis yang menyukaimu."
"Entahlah-" Tio cie
Hiong menggeleng kepala.
"Sayang sekali" Yap
In Nio menghela nafas.
"Nona Tan sudah punya
kekasih, Kalau belum, dia pasti akan jatuh cinta padamu."
"Eeeh?" tegur ibunya
lagi.
"Masih kecil kok sudah
membicarakan cinta"
"Lho? Ibu bagaimana
sih?" sahut Yap In Nio.
"Tadi kalut karena tidak
ada pemuda yang mau denganku, sekarang malah bilang aku masih kecil sudah
membicarakan cinta Jangan-jangan ibu sudah pikun"
"In Hio..." Wanita
itu melotot.
"Hi hi" Yap In Nio
tertawa geli-
"Nah, makanya lain
kalijangan suka menegur sembarangan"
"sudahlah jangan banyak
omong cie Hiong mungkin sudah lapar, kita makan dulur ajak ibunya, mengalihkan
pembicaraan.
"Bibi, aku...."
"Kakak Hiong, jangan
sungkan-sungkan" ujar Yap In Nio sambil tersenyum.
"Anggaplah rumah
sendiri"
"Betul." Wanita itu
manggut-manggut sambil tersenyum juga.
"Nak Cie Hiong, anggaplah
rumah sendiri"
"Terima kasih,
Bibi," ucap Tio Cie Hiong.
"Ayoh, Kakak Hiong"
yap In Hio menariknya.
".Mari, kita ke
dalam"
-ooo0000ooo-