Bagian 15
"Hm Jangan omong besar Hari
ini adalah hari kematianmu serang" seru pemimpin itu.
seketika tampak belasan
senjata mengarah pada Tio Cie Hiong, tetapi pemuda itu malah tersenyum dan
tetap berdiri diam di tempat.
" Hati-hati, Kakak
Hiong" seru Lim Ceng Im memperingatinya.
Justru di saat ia berseru,
mendadak ia melihat badan Tio Cie Hiong bergerak begitu cepat laksana kilat
berkelebat ke sana ke mari sambil mengibaskan lengan bajunya.
"Aaaakh"
"Aaaakhi.." Terdengar suara jeritan di sana sini. Belasan orang
berpakaian hitam itu terkapar merintih- rintih.
"Haahi.." Mulut Lim
Ceng Im ternganga lebar. Berselang sesaat ia mendekati mereka sambil mengangkat
tongkat bambunya.
"Adik Im, jangan bunuh
mereka"
Kenapa? Mereka mau membunuh
kita, kenapa kita tidak boleh membunuh mereka?" "Adik Im" Tio
Cie Hiong tersenyum.
"Kini kepandaian mereka
sudah musnah, biar mereka hidup seperti orang biasa Kita tidak perlu membunuh
mereka."
"Baiklah." Lim Ceng
Im mengangguk.
"Kalian cepat enyah dari
sini" bentak Tio Cie Hiong.
Para anggota sam Mo Kauw itu
langsung tari terhuyung-huyung dan tertatih-tatih. Lim Ceng Im tertawa geli
menyaksikannya.
"Kakak Hiong" la
menatap kagum pada Tio Cie Hiong.
" Engkau sungguh hebat
sekali" Tio Cie Hiong hanya tersenyum.
"Tidak heran engkau
memperoleh julukan Pek Ih sin Hiap" ujar Lim Ceng Im dan menatapnya lagi.
"Adik Im" Tio Cie
Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"sesungguhnya aku merasa
malu akan julukan itu."
" Kenapa harus merasa
malu?" Lim Ceng Im tertawa kecil.
"Engkau memang sakti,
apalagi mengenakan pakaian putih, jadi pantas engkau memperoleh julukan
itu."
"Pendekar sakti Baiu
Putih " gumam Tio Cie Hiong sambil menghela nafas.
"Aku tidak sesakti julukan
itu."
" Kakak Hiong" Lim
Ceng Im tersenyum.
"Aku tahu engkau suka
merendahkan diri, aku... aku kagum sekali padamu."
"Terimakasih" ucap
Tio cie Hiong.
" Kakak Hiong, mari kita
pergi" ajak Lim Ceng Im.
Tio Cie Hiong mengangguki lalu
bersama Lim Ceng Im meninggalkan tempat itu. Berselang sesaat, mereka duduk
berteduh di bawah sebuah pohon rindang. Begitu duduki Lim Ceng Im terus-menerus
menatapnya dengan mata tak berkedip.
"Eeh?" Tio cie Hiong
tercengang, lalu tersenyum.
" Kenapa engkau menatapku
sampai begitu? Apakah di kepalaku tumbuh tanduk?"
"Kakak Hiong, hampir tiga
tahun kita tidak bertemu. Kini engkau sudah besar dan makin...."
"Makin tampan kan?"
sambung Tio Cie Hiong sambil tertawa.
"Ciss Dasar tak tahu malu
Memuji diri sendiri" tegur Lim Ceng Im.
"Eeeeh?" Tio Cie
Hiong terbelalak. Kini gilirannya menatap Lim Ceng Im dengan mata tak berkedip.
Kenapa engkau menatapku dengan
cara begitu?" tanya Lim Ceng im dan menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Engkau anak lelaki,
tapi...." Tio cie Hiong menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
"Kenapa bisa mengeluarkan suara "Ciss"?"
"Memang tidak
boleh?" Lim Ceng Im cemberut. "Lho? Kini malah cemberut?" Tio
Cie Hiong tertawa.
"Adik Im, alangkah
baiknya engkau menjadi anak gadis saja." "Huh" dengus Lim Ceng
Im.
"ohya Bukankah tadi
engkau ingin mengatakan aku bertambah tampan?" Tio Cie Hiong tersenyum.
"Benar. Aku boleh
mengatakan begitu, tapi engkau tidak boleh." sahut Lim Ceng Im dan
melanjutkan.
"Memuji diri sendiri
berarti tidak tahu diri"
"Benar. Benar." Tio
cie Hiong tertawa.
"Kalau begitu, biar
engkau saja yang memuji ketampananku. "
"Dasar...." Lim Ceng
im cemberut lagi.
"ohya, setelah berpisah
sekian lama, bagaimana menurutmu tentang diriku?"
"Masih seperti pengemis
dan sangat dekil, bahkan badanmu menyusut...." sahut Tio Cie Hiong.
"Memangnya badanku karet,
bisa menyusut dan melar?"
"Ha ha" Tio Cie
Hiong tertawa. la memang gembira sekali setelah bertemu Lim Ceng im.
"Kira-kira begitulah."
"ohya, Kakak Hiong"
tanya Lim Ceng im mendadak. "Apakah engkau sudah bertemu Ku Tok
Lojin?" "Belum."
"Jadi... engkau masih
belum tahu siapa kedua orang tuamu?" "Aku sudah tahu." Wajah Tio
Cie Hiong tampak murung. "Bahkan aku bertemu kakak kandungku."
"oh?" Lim Ceng im terbelalak.
"siapa kakak
kandungmu?"
"Dia adalah Pek Ih Mo
Li."
"Pek Ih Mo Li?" Lim
Ceng im tertegun.
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk dan memberitahukan.
"Ayahku adalah Hui KiamBu
Tek-Tio It seng, ibuku adalah sin Pian Bijin-Lie Hui Hong dan kakakku adalah
Tio suan suan."
"Haah? Apa?" Mulut
Lim Ceng im ternganga lebar. "Mereka adalah kedua orang tuamu dan
kakakmu?"
"Benar." Tio Cie
Hiong mengangguk dan menghela nafas.
"Namun sudah almarhum dan
almarhumah...."
"Di mana kakakmu?"
"sudah mati." Tio
cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"sudah mati? Di bunuh
orang?" tanya Lim Ceng im sambil memandang iba pada Tio Cie Hiong.
"Ya." Tio Cie Hiong
memberitahukan.
"Kakakku mati di tangan
Empat Dhalai Lhama Tibet."
"Empat Dhalai Lhama
Tibet?" Lim Ceng Im terkejut bukan main. "Engkau sudah tahu siapa
yang membunuh kedua orang tuamu?" "Bu Lim sam Mo."
"Tidak salah." Lim
Ceng Im menatapnya.
Kakak Hiong, sungguh tak
disangka engkau putra mereka" "Memang kenapa?" tanya Tio Cie
Hiong heran.
"Engkau tidak tahu,
sebetulnya almarhum ayahmu teman akrab ayahku." Lim Ceng im
memberitahukan.
Karena itu, kakekku pernah
pergi menemui Tui Hun LoJin."
Kenapa kakekmu pergi menemui
Tui Hun Lojin?"
"Sebab belasan tahun
lalu, Tui Hui Lojin juga ikut dalam pertempuran di Pek In Tia. Maka kakekku
pergi menanyakan tentang peristiwa itu."
"oh?"
"Ternyata Tui Hun Lojin
ingin menolong ayahmu, namun mendadak muncul Bu Lim sam Mo." Lim Ceng Im
menjelaskan.
"Kakekku bilang, ayahmu
pernah menyelamatkan nyawa putranya."
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Belum lama ini aku sudah
bertemu Paman Gouw, dan beliau telah memberitahukan tentang itu."
"oooh" Lim Ceng Im
manggut-manggut.
"Kakak Hiong, tuturkanlah
pengalamanmu selama ini"
Tio cie Hiong mengangguki lalu
menutur dirinya terkena pukulan Nao Tok ciang, Pek Ih Mo Li yang membawanya ke
Lembah Persik menemui sok Beng Yok ong dan lain sebagainya.
Lim Ceng Im mendengarkan
dengan penuh perhatian, tapi kemudian wajahnya berubah ketika Tio cie Hiong
menutur tentang putri hartawan Lie dan Yap In Nio. seusai Tio cie Hiong
menutur, ia berkata dengan wajah masam.
"Pantas engkau tidak
senang"
"Aku memang senang
bertemu denganmu."
"Hm" dengus Lim Ceng
Im.
"Jangan pura-pura Bukankah
engkau senang sekali ada gadis yang begitu baik terhadapmu? Bahkan mengajar Yap
In Nio ilmu pedang pula, akrab sekali
ya kalian"
"Adik Im" Tio Cie
Hiong tersenyum.
"semua gadis itu kuanggap
sebagai adik sendiri"
"Yang itu lagi...,"
ujar Lim Ceng Im dengan mata melotot.
"Dia adalah murid bibimu,
engkau pasti akan dijodohkan dengannya"
"Adik Im" Tio Cie
Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"sudah kujelaskan
barusan, bahwa aku menganggap mereka sebagai adik sendiri, begitu pula terhadap
sian Eng."
Engkau tidak tertarik pada
mereka?" tanya Lim Ceng im mendadak. "Tentu tidaki" Tio Cie
Hiong tersenyum dan menambahkan.
Hartawan Lie dan isterinya
ingin menjodohkan putri mereka denganku, tapi aku menolak langsung."
"sayang sekali"
"Lho Kenapa?"
"Kalau engkau tidak
menolaki bukankah sekarang engkau sudah mempunyai isteri?"
"Adik Im Engkau harus tahu...."
"Aku tahu, kini engkau
harus mencari Bu Lim sam Mo dan Empat Dhalai Lhama Tibet untuk membuat
perhitungan dengan mereka, bukan?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Setelah itu...."
Lim Ceng Im menatapnya tajam sambil melanjutkan.
"Engkau akan pergi
menemui putri hartawan Lie untuk menikah dengannya, kan?"
"Ha ha" Tio Cie
Hiong tertawa.
"Senang tuh mau menikah
dengan gadis itu" Lim Ceng im tampak tidak senang sehingga wajahnya
berubah.
"Adik Im, engkau
bagaimana sih? Aku sudah bilang dari tadi bahwa aku tidak tertarik pada
gadis-gadis itu Kok engkau malah terus mendesakku agar aku tertarik pada
mereka? Benarkah engkau menghendaki aku menikah dengan salah satu gadis
itu?"
"Tidaki" sahut Lim
Ceng im cepat, tapi kemudian menundukkan kepala karena telah ketelepasan
menjawab. Maka ia menambahkan.
"itu terserah
engkau."
"Adik Im" ujar Tio
Cie Hiong sungguh-sungguh.
"Walau kini usiaku sudah
hampir delapan belas tahun, namun aku masih belum tertarik pada gadis yang mana
pun."
"oh, ya?"
"Memang ya."
"gadis bagaimana yang
engkau idamkan?"
"Entahlah." Tio Cie
Hiong menggelengkan kemala.
"Aku sama sekali tidak
memikirkan itu."
"Kenapa tidak memikirkan
itu?"
"Aku bukan pemuda
romantis, jadi tidak memikirkan anak gadis. oh ya, pernahkah engkau memikirkan
anak gadis?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.
"Engkau sudah gila ya?
Bagaimana mungkin aku...." Lim Ceng im langsung diam, sebab ia ingat
dirinya menyamar sebagai anak
lelaki.
"Aku sudah gila?"
Tio Cie Hiong kebingungan.
"Aku yang sudah gila
ataukah engkau yang tidak waras?"
"sama-sama," sahut
Lim Ceng im sambil tertawa kecil.
"Adik Im" Wajah Tio
Cie Hiong berubah serius.
"Kini sam Mo Kauw sudah
muncul dalam rimba persilatan, kita harus memberitahukan kepada ayahmu."
Kalau begitu, kita ke markas
pusat Kay Pang." "Tujuanku memang ingin ke sana."
"oh? Kenapa engkau ingin
ke sana?" "Aku sangat rindu padamu."
"Yang benar?" Mata
Lim Ceng Im berbinar-binar.
"Bagaimana mungkin engkau
rindu padaku yang sedemikian dekil?" "Adik Im" Tio cie Hiong
menggenggam tangannya erat-erat.
"Aku memang rindu -adamu,
dan entah apa sebabnya aku merasa begitu gembira bertemu denganmu."
"Oh?" Wajah Lim Ceng
im berseri-seri.
"Kita memang
berjodoh," ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"Dua kali engkau melihat
aku telanjang mandi di sungai, perlukah aku sekarang telanjang mandi di sungai
lagi?"
"Ciss Dasar tak tahu
malu" Wajah Lim Ceng Im langsung memerah.
"Kok Ciss lagi?" Tio
Cie Hiong terperangah.
"Engkau memang pantas
menjadi anak gadis."
"Kakak Hiong Nanti kita
harus melewati sebuah kota kecil, kita mampir di rumah hartawan Tan." Lim
Ceng Im memberitahukan.
"Baik," Tio Cie
Hiong mengangguk.
Engkau ingin makan gratis di
rumah hartawan Tan?" "Kira-kira begitulah," sahut Lim Ceng im.
"Kakak Hiong, mari kita
berangkat"
Tio Cie Hiong manggut-manggut.
Mereka berdua lalu meninggalkan tempat itu menuju kota tersebut.
Begitu sampai di kota kecil
itu, Lim Ceng Im langsung mengajak Tio Cie Hiong ke rumah hartawan Tan.
Hartawan Tan menyambut
kedatangan mereka dengan penuh keramahan, bahkan kelihatannya sangat
menghormati Lim Ceng Im.
"Aku sungguh tidak
menyangka engkau sudah mampir di rumahku," ujar hartawan Tan sambil
tertawa gembira.
"Tentunya akan merepotkan
Paman," sahut Lim Ceng Im.
"Tidak apa-apa."
Hartawan Tan memandang Tio Cie Hiong. segeralah Lim Ceng Im memperkenalkan.
"Paman Dia Tio Cie Hiong,
julukannya Pek Ih sin Hiap."
"oooh" Hartawan Tan
tampak kagum sekali pada Tio cie Hiong.
"Itu hanya merupakan
julukan kosong, Paman," ujar Tio Cie Hiong.
"Paman...." Lim Ceng
Im memberi isyarat agar hartawan Tan ke dalam.
Hartawan Tan manggut-manggut,
lalu berjalan ke dalam, dan Lim Ceng im mengikutinya.
Tio Cie Hiong duduk seorang
diri di ruang depan rumah itu. Berselang beberapa saat kemudian, tampak seorang
gadis yang cantik jelita berjalan lemah gemulai menuju ruang depan itu.
Begitu melihat gadis itu, mata
Tio Cie Hiong langsung terbelalaki bahkan hatinya berdebar-debar. gadis itu
menghampirinya, lalu memberi hormat.
"Maaf" ucap gadis
itu
" Engkau pasti Tio cie
Hiong."
"Betul." Tio cie
Hiong tertegun karena gadis itu tahu namanya. Namun yang membuatnya heran,
yakni wajah gadis itu agak mirip Lim Ceng Im.
"Maaf, Nona siapa? Kok
tahu namaku?"
"Aku dengar dari Ceng
Im," sahut gadis itu sambil duduk.
"oh Wajah Nona mirip dia,
apakah...."
"Aku kakaknya, dia
adikku. Kami berdua kakak beradik," gadis itu memberitahukan dengan
penjelasan yang begitu panjang.
"Pantas kalian agak
mirip" Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Hanya saja adikmu begitu
dekil."
"Dia memang dekil dan
bau. Tapi engkau masih mau mendekatinya," ujar gadis itu sambil tersenyum.
Mulut Tio Cie Hiong ternganga
lebar ketika menyaksikan senyuman yang begitu pesona, sehingga membuatnya
terpukau.
"Mulutmu jangan ternganga
begitu lebar, nanti bisa kemasukan lalat" gadis itu memberitahukan sambil
tersenyum.
"Eh oh Aku...." Tio
Cie Hiong tergagap.
"Ohya, bolehkah aku tahu
nama Nona?"
"Namaku Im Ceng, panggil
saja namaku" gadis itu memberitahukan.
"Im Ceng... Ceng Im... Im
Ceng... Eng im..." gumam Tlo Cie Hiong berulang kati dan kemudian berkata.
"Nama kalian cuma diputar
balik kok?"
"Almarhumah yang memberi
nama tersebut kepada kami." Im Ceng tersenyum.
"Maka kami tidak berani
mengubahnya."
"Jangan diubah" ujar
Tio Cie Hiong cepat.
"Im Ceng merupakan nama
yang amat indah."
"oh, ya?" Im Ceng
tersenyum, siapa sebenarnya gadis itu, ternyata Lim Ceng im.
"Ya Ya" Tio Cie
Hiong manggut-manggut
"Namamu sungguh
indah"
Aku tidak menyangka...,"
Im Ceng tersenyum lagi.
Engkau pun pandai
merayu."
"Aku tidak merayu,
melainkan berkata sesungguhnya," sahut Tio Cie Hiong dan bertanya.
"ohya, di mana adikmu?"
"Dia... dia sedang
bercakap-cakap dengan hartawan Tan"
"ooh" Tio Cie Hiong
bergirang dalam hati, karena ia mempunyai kesempatan untuk mengobrol dengan
gadis yang telah mencuri hatinya.
"Im Ceng, engkau pernah
belajar ilmu silat?"
"Pernah." Im Ceng
mengangguk.
"Tadi adikku bilang,
engkau berkepandaian tinggi sekali. Benarkah itu?"
"Tidak juga," sahut
Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.
"sebab ilmu apa pun,
makin digali pasti makin dalam."
"oooh" Im Ceng
manggut-manggut.
"Tadi adikku bilang, dia
kenal seorang pemuda bernama Tio Cie Hiong, maka dia memperkena Ikanku
kepadamu"
"Terima kasih
Terimakasih..." ucap Tio Cie Hiong.
"Engkau berterima kasih
kepada siapa?" tanya Im Ceng sambil tersenyum geli.
"Aku berterima kasih
kepada adikmu yang telah memperkenalkanmu kepadaku," jawab Tio cie Hiong
dan menambahkan.
"Aku... aku gembira
sekali."
gembira berkenalan
denganku?" "Ya."
"seandainya aku tidak
gembira?"
"Haaah?" Wajah Tio
Cie Hiong langsung berubah merah. "Itu... itu...."
"Kita baru berkenalan,
jadi belum bisa mengatakan gembira atau tidaki kalau sudah lama, bolehlah
berkata begitu"
"Benar Benar Apa yang
engkau katakan memang tidak salah. Kalau begitu...." Tio Cie Hiong
memandangnya.
"Itu berarti kita masih
mempunyai kesempatan untuk bertemu lagi, kan?"
"Tergantung jodoh."
"Aku berjodoh dengan
adikmu, tentunya kita pun mempunyai jodoh"
"Ciss Dasar tak tahu
malu"
"Eeeeh?" Tio cie
Hiong terperangah.
"Adik,mu juga sering
mencetuskan demikian...."
"Kami kakak beradik,
tentunya sama." Wajah Im Ceng kemerah-merahan.
"Benar-benar sama"
Tio Cie Hiong memandangnya lagi.
"Wajahnya juga sering
kemerah- merahan. "
"oh?" Im Ceng nyaris
tertawa geli.
"Tahukah engkau, cara
bagaimana aku berkenalan dengan adikmu?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.
"Dia tidak memberitahukan
kepadaku."
"Beberapa tahun lalu,
ketika aku mandi telanjang di sungai, tiba-tiba dia muncul. sejak itulah kami
berkenalan."
"Idiih"
"Bertemu kedua kalinya
juga begitu, di saat aku mandi telanjang di sungai, dia muncul lagi."
"iiih"
"Lho? Kenapa engkau terus
ih-ihan?"
" Engkau tidak merasa
malu?"
"pada waktu ita, aku
masih kecil." Tio Cie Hiong memberitahukan.
Kenapa harus merasa malu? Lagi
pula kami sama-sama anak lelaki." "ooh" Im Ceng manggut-manggut,
kemudian bangkit berdiri
"Maaf, aku mau ke
dalam"
"Kok begitu cepat sudah
mau ke dalam?" tanya Tio cie Hiong bernada kecewa.
"sudan cukup lama aku
duduk di sini, sedangkan aku seorang gadis, bagaimana mungkin duduk lama-lama
menemanimu? Ya, kan?"
"Benar Benar" Tio
Cie Hiong mengangguki
Im Ceng berjalan ke dalam, dan
Tio Cie Hiong terus memandangnya, seakan sukmanya juga ikut ke dalam.
Berselang beberapa saat,
muncullah Lim Ceng im dengan wajah berseri-seri dan memandang Tio Cie Hiong
yang tampak seperti kehilangan sukma itu. "Hei" seru Lim Ceng im.
Kenapa engkau jadi
melamun?" "Adik Im, kakakmu...."
"Bagaimana kakakku?"
Lim Ceng Im duduki "Apakah dia cantik?"
Cantik sekali. cantik sekali.
sungguh cantik,..." "Hi hi" Lim Ceng Im tertawa geli.
"Aku sudah tahu
namanya" "Im Ceng kan?"
"Sungguh indah
namanya" sahut Tio Cie Hiong. "Aku... aku...."
Kakak Hiong" Lim Ceng Im
menatapnya dalam-dalam.
Engkau tertarik pada
kakakku?"
"Adik Im, selama ini aku
tidak pernah tertarik pada gadis yang manapun. Namun kini aku justru tertarik
pada kakakmu."
"oh?" Lim Ceng Im
tersenyum.
"Tapi...."
Kenapa?"
Kakak Hiong Belum tentu dia
akan tertarik padamu lho"
Haaah..." Tio cie Hiong
tampak kecewa sekali.
"Jangan khawatir kakak
Hiong" Lim Ceng im tersenyum.
" Aku pasti
membantumu."
"Terima kasih, Adik
Im" ucap Tio Cie Hiong lalu mendadak menggenggam tangan erat-erat.
Kakak Hiong...." Wajah
Lim Ceng Im langsung memerah. "Adik Im" Tio cie Hiong menatapnya.
Engkau sungguh seperti dia,
dia seperti engkau karena wajahnya yang juga sering kemerah-merahan."
"Kami berdua kakak
beradik, tentunya sama." Lim Ceng im tertawa kecil, lalu tanyanya
berbisik, "Kakak Hiong, apakah engkau sudah jatuh hati padanya?"
"Adik Im" jawab Tio Cie Hiong terus terang.
"Bukan hanya jatuh hati,
bahkan sudah jatuh cinta."
"Apa?" Lim Ceng Im
terbelalaki namun hatinya berbunga-bunga.
"Begitu cepat engkau
jatuh cinta pada kakakku?"
"Adik Im Engkau tidak
boleh memberitahukan kepadanya lho" pesan Tio cie Hiong.
Kenapa?"
Kalau dia... dia tidak jatuh
hati padaku, tentunya dia akan mentertawakan diriku."
Kakak Hiong, aku pun harus berterus-terang
kepadamu."
"Mengenai apa?"
"Mengenai kakakku."
Lim Ceng im kelihatan serius.
"selama ini dia tidak
pernah berkenalan dengan kaum pemuda, tapi tadi dia mau duduk begitu lama
bersamamu, itu pertanda...."
"Dia... dia juga jatuh
hati padaku?" tanya Tio Cie Hiong tegang.
"Tapi begitu dia masuki
dia bilang apa padamu?"
"Dia bilang...." Lim
Ceng Im sengaja tidak melanjutkan.
"Adik Im,
beritahukaniah" Mohon Tio Cie Hiong.
"Aku akan beritahukan,
tapi engkau harus memanggilku adik yang manis" ujar Lim Ceng Im.
"Adik yang manis, adik yang baiki adik yang dekil...."
"Apa?" Lim Ceng im melotot.
Engkau berani memanggilku adik
yang dekil?" "Maaf Maaf Aku terlepas omong Adik yang manis...."
"Kakakku bilang, engkau...."
"Kenapa aku?" tanya
Tio cie Hiong dengan hati berdebar-debar.
"Dia bilang engkau...
agak bloon," sahut Lim Ceng Im sambil tertawa. "sebab ketika engkau
melihatnya, mulutmu ternganga lebar sekali."
"Adik Im, aku... aku
saking kagum akan kecantikannya. Itu membuat mulutku jadi ternganga
lebar."
"oooh" Lim ceng Im
tertawa geli.
"Adik Im" Tio cie
Hiong menatapnya penuh harap.
engkau tahu kan? selama ini
aku tidak pernah tertarik pada gadis yang manapun, tapi kini telah tertarik
pada kakakmu. Aku mohon... engkau sudi membantuku dalam hal ini"
"Hal apa?" Lim Ceng
Im pura-pura tidak mengerti.
"Hal... hal...." Tio
Cie Hiong tergagap.
"Hal cinta kan?"
sambung Lim Ceng Im.
"Betul Betul
Betul...." Tio Cie Hiong terus mengangguk.
"Adik Im, biar
bagaimanapun engkau harus membantuku dalam hal ini"
"Aku bukan dia, dia bukan
aku. Bagaimana cara aku membantu?" Lim Ceng Im menggeleng-gelengkan
kepala.
"Aaakh..." menarik
nafas panjang, dan wajahnya tampak murung sekali.
Kakak Hiong" Lim Ceng Im
tersenyum lembut.
Engkau tidak usah khawatir,
aku pasti membantumu" "Terimakasih, Adik Im" ucap Tio Cie Hiong.
"ohya Bolehkah aku
menjumpai kakakmu lagi?" "Dia sudah pergi," sahut Lim Ceng Im.
"Aaakh..." keluh Tio
Cie Hiong dan wajahnya langsung berubah muram. "Dia pergi ke mana?"
"Mungkin... pulang ke
markas pusat Kay pang." "Kenapa dia tidak mau bersama kita?"
"Kakak Hiong, engkau
harus tahu. Dia anak gadis, tentunya merasa malu berjalan bersamamu."
"Tapi bukankah ada engkau juga, jadi dia tidak perlu malu."
"sifatnya memang begitu.
Pokoknya engkau tenang saja, kelak pasti bertemu dia lagi" "Kelak?
Itu kapan?" Tio Cie Hiong menghela nafas.
"Kakak Hiong Aku adalah
adiknya, maka akupun ingin bertanya kepadamu. Tapi engkau harus menjawab
jujur" ujar Lim Ceng im serius.
"Adik Im, aku pasti
menjawab dengan jujur," sahut Tio Cie Hlong sungguh-sungguh.
"Benarkah kakak Hiong
telah jatuh cinta padanya?jawablah yang jujur" Lim Ceng im menatapnya
dalam-dalam.
"Benar." Tio cie
Hiong mengangguki
Engkau pasti mencintainya
dengan segenap hati?" tanya Lim Ceng im dengan hati berbunga-bunga.
"Ya. Aku pasti
mencintainya dengan segenap hati dan selama-lamanya," jawab Tio Cie Hiong.
"Bagus." Lim Ceng im
nyaris langsung memeluknya.
"Aku akan memberitahukan
kepadanya, sekaligus membantumu." "Terima kasih, Adik Im" Tio
Cie Hiong menggenggam tangannya lagi.
Kakak Hiong" Lim Ceng Im
tersenyum dengan wajah agak kemerah-merahan. "Mari kita makan, kita harus
cepat-cepat sampai di markas pusat Kay Pang" "Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
Bab 24 Bu Lim Ji Kie terluka
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng im
melanjutkan perjalanan ke markas pusat Kay Pang. Dalam perjalanan, Tio Cie
Hiong sering melamun karena bayangan gadis itu terus muncul di pelupuk matanya.
Kakak Hiong" Lim Ceng Im
tersenyum.
Kenapa engkau menjadi sering melamun?"
"Adik Im" jawab Tio Cie Hiong jujur.
"Bayangan kakakmu terus
muncul di pelupuk mataku."
"Hati-hati Kakak
Hiong" Lim Ceng Im tertawa geli.
"Jangan sampai sakit
rindu lho"
"Aaakh..." Tio Cie
Hiong menghela nafas.
"Aku...."
Tio Cie Hiong tidak
melanjutkan ucapannya. Ternyata ia mendengar suara pertempuran di depan, tapi
Lim Ceng Im tidak mendengarnya.
"Kakak Hiong...."
Lim Ceng Im heran karena mendadak wajah Tio Cie Hiong berubah serius.
"Ada apa?"
"Di depan ada orang
bertempur," sahut Tio cie Hiong memberitahukan.
"oh? Kok aku tidak
mendengar suara pertempuran itu?" Lim Ceng Im tercengang.
"sebab Iweekangmu belum
setinggi lwee kang ku." Tio Cie Hiong menjelaskan dengan kening berkerut.
"Ada enam orang sedang
bertempur, mari kita ke sana"
Tio cie Hiong menarik tangan
Lim Ceng im, lalu melesat ke depan, barulah Lim Ceng im mendengar suara
pertempuran ^tu.
setelah mendekati tempat itu,
terbelalaklah mereka karena melihat Bu Lim Ji Khie sedang bertempur dengan
empat orang berdandan seperti rahib.
Kakak Hiong. Bisik Lim Ceng
Im.
Ke empat orang itu pasti Empat
Dhalai Lhama Tibet. Mereka Dhalai Lhama jubah merahi Dhalai Lhama jubah kuning,
Dhalai Lhama jubah hijau dan Dhalai Lhama jubah putih."
"Ngmm" Tio Cie Hiong
terus memperhatikan mereka.
sementara Bu Lim Ji Khie
tampak di bawah angin, rupanya mereka berdua telah terluka.
sam Gan sin Kay menggunakan
tongkat bambu, dan Kim siauw suseng menggunakan senjata
yang sangat anehi yakni
semacam roda bergerigi, dan setiap Dhalai Lhama itu memegang sepasang roda
bergerigi.
Ternyata Tio cie Hiong
memperhatikan senjata tersebut, sebab roda bergerigi itu bisa melayang ke sana
ke mari menyerang Bu Lim Ji Khie.
Kakak Hiong, bagaimana
nih?" tanya Lim Ceng Im cemas. "Tenang" sahut Tio Cie Hiong dan
berpesan.
"engkau tetap di sini,
aku akan pergi membantu Kakek pengemis dan Paman sastrawan"
Hati-hati, Kakak Hiong"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguki lalu melesat ke arah mereka seraya membentak dengan lwee-kang.
"Berhenti"
suara bentakan Tio Cie Hiong
yang mengandung lweekang itu bagaikan suara halilintar membelah bumi. Empat
Dhalai Lhama Tibet terkejut bukan main, sehingga segera berhenti menyerang Bu
Lim Ji Khie. Barulah Bu Lim Ji Khie bisa bernafas lega.
setelah Tio Cie Hiong melayang
turun, Bu Lim Ji Khie terbelalak. Mereka berdua tidak menyangka orang yang
memiliki lweekang tinggi itu adalah Tio cie Hiong.
"Pek Ih sin Hiap"
seru keempat Dhalai Lhama Tibet. Mereka juga tampak terkejut.
"cie Hiong" panggil
Bu Lim Ji Khie serentaki lalu mereka jatuh duduk. Tio Cie Hiong tersenyum,
kemudian menatap tajam pada Empat Dhalai Lhama Tibet.
" Kenapa kalian melukai
Pek Ih Mo Li?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.
"Kami senang melukainya,
engkau mau apa?" sahut Dhalai Lhama jubah merah.
Bu Lim Ji Khie terkejut ketika
mendengar pertanyaan Tio Cie Hiong. Ternyata mereka belum tahu tentang Pek Ih
Mo Li terluka di tangan Empat Dhalai Lhama Tibet itu.
"Dia telah mati dalam
pelukanku, maka hari ini aku harus membuat perhitungan dengan kalian" ujar
Tio Cie Hiong dingin.
"Bagus dia telah
mati" Dhalai Lhama jubah kuning tertawa gelak.
"Ada hubungan apa engkau
dengannya?"
"Dia adalah
kakakku"Jawab Tio cie Hiong sambil menatap dingin pada keempat Dhalai
Lhama Tibet.
Jawaban Tio Cie Hiong membuat
sam Gan sin Kay tertegun, bagaimana mungkin Pek Ih Mo Li adalah kakak Tio cie
Hiong? Kalau benar itu berarti.... Pengemis sakti itu tersentak teringat akan
sesuatu.
"oh?" Dhalai Lhama
jubah merah menatap Tio Cie Hiong.
"Kalau begitu, hari ini
ajalmu telah tiba"
"Hari ini aku justru
ingin membuat perhitungan dengan kalian berempat" sahut Tio Cie Hiong
dingin.
"Ha ha ha"Dhalai
Lhama jubah merah tertawa gelaki kemudian berseru.
"serang"
Keempat Dhalai Lhama Tibet
mulai menyerang Tio cie Hiong dengan roda bergerigi, tampak senjata aneh itu
berkelebat ke sana kemari dan ke atas ke bawah mengarah ke Tio Cie Hiong.
Tadi Tio cie Hiong telah
memperhatikan roda bergerigi itu, ternyata keempat Dhalai Lhama Tibet dapat
mengendalikan senjata aneh itu dengan lweekang, selain itu, mereka pun bergerak
berdasarkan semacam formasi yang mengandung unsur Nao Heng dan Pat Kwa.
Delapan buah roda bergerigi
berkelebat-ke-lebat dan berputar-putar, sedangkan keempat Dhalai Lhama Tibet
juga ikut berputar, sekaligus saling menyambut senjata masing-masing dan
me-luncurkannya lagi.
Tio Cie Hiong berkelit dengan
Kiu Kiong san Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat), yang mengandung unsur-unsur Nao
Heng, Pat Kwa, dan Kiu Kiong, sudah barang tentu dapat mengatasi formasi
keempat Dhalai Lhama Tibet.
Akan tetapi, delapan buah roda
bergerigi itu tetap mengikutinya, membuat Tio cie Hiong harus mengibaskan
lengan bajunya.
Beberapa buah roda bergerigi
itu terpental, namun tidak hancur karena senjata itu dibuat dari baja murni.
Ketika roda-roda bergerigi itu terpental, dua Dhalai Lhama segera melesat
menyambut senjata-senjata tersebut, dan sekaligus disambitkan lagi ke arah Tio
Cie Hiong.
Itu cukup merepotkan pemuda
tersebut, sehingga ia harus berkelit ke sana ke mari dengan ilmu Langkah Kilat,
bahkanjuga harus mengibaskan lengan bajunya, agar senjata-senjata itu
terpental.
sementara keempat Dhalai Lhama
bergerak makin cepat. Delapan buah roda bergerigi itu pun berkelebat- kelebat
dan berputar-putar lebih cepat, sedangkan badan Tio cie Hiong juga berkelebatan
laksana kilat.
Bu Lim Ji Khie menyaksikan itu
dengan mata terbelalaki dan mereka berdua pun saling memandang.
"sastrawan sialan"
sam Gan sin Kay meng- geleng- geleng kan kepala.
"Kalau tadi keempat
Dhalai Lhama itu menyerang kita dengan cara demikian, mungkin kita berdua sudah
berpisah dengan dunia."
"Ng" Kim siauw
suseng mengangguk.
"Sung-guh hebat keempat
Dhalai Lhama itu Entah Cie Hiong...."
"Aku tidak
sangka...." sam Gan sin Kay tertawa gembira.
"Dia telah memiliki
kepandaian begitu tinggi."
"Tapi...." Wajah Kim
siauw suseng tampak cemas.
"Jangan khawatir
sastrawan sialan" sam Gan sin Kay tertawa.
"Kepandaian cie Hiong
masih di atas mereka."
Mendadak Tio cie Hiong bersiul
panjang, Bu Lim Ji Khie langsung memandang kepadanya. Mereka melihat badan Tio
Cie Hiong melesat ke atas sambil berputar-putar cepat, kemudian mengibaskan
lengan baju kanannya ke arah delapan buah roda bergerigi yang menyerangnya dari
kiri kanan, depan belakang dan atas bawah.
Tampak senjata-senjata itu
terpental. Di saat bersamaan Tio Cie Hiong mengibaskan lengan
kirinya ke arah keempat Dhalai
Lhama. seketika juga keempat Dhalai Lhama terhuyung-huyung ke belakang beberapa
depa, dan darah segar pun mengalir ke luar dari mulut mereka.
Namun kepandaian mereka tidak
musnah, sebab Iweekang Tio cie Hiong tidak dipusatkan pada lengan kirinya,
lantaran sebagian lweekangnya telah disalurkan agar badannya berputar-putar di
udara dan disalurkan ke lengan kanannya.
Walau kepandaian keempat
Dhalai Lhama itu tidak musnah, namun mereka berempat telah menderita luka dalam
yang cukup parah.
Tio Cie Hiong melayang turun,
sedangkan keempat Dhalai Lhama segera memungut senjata masing-masing. Di saat
itulah mereka saling memberi isyarat, lalu mendadak melesat pergi.
Tio Cie Hiong tidak mengejar
mereka, karena masih harus memeriksa luka Bu Lim Ji Khie.
setelah memeriksanya, Tio cie
Hiong memberi mereka seorang sebutir obat.
"Kakek pengemis, Paman
sastrawan" ujar Tio Cie Hiong memberitahukan. "Setelah makan obat
ini, dalam waktu tiga hari luka dalam itu pasti sembuh." "HA haha
"Sam Gan Sin Kay tertawa gembira setelah makan obat tersebut. "Cie
Hiong, engkau sungguh hebat Pantas memperoleh julukan Pek Ih sin Hiap"
"Kakek pengemis,
kepandaianku masih belum begitu tinggi," jawab Tio Cie Hiong merendah.
"Sudah begitu engkau
masih bilang kepandaianmu belum tinggi?" Kim Siauw Suseng meng-geleng-
geleng kan kepala.
"Kakek" Lim Ceng Im
muncul sambil menghampiri mereka.
"Kakek sastrawan"
"Eh?" terbelalak sam
Gan sin Kay ketika melihat Lim Ceng Im.
"Cucuku yang manis, kok
engkau masih berdandan...."
"Kakek" Lim Ceng Im
segera memberi isyarat sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Eeeh?" sam Gan sin
Kay tercengang.
"Kenapa matamu? Kemasukan
debu ya?"
" Kakek...." Lim
Ceng Im membanting-banting kaki.
"Lho?" sam Gan sin
Kay terheran- heran akan tingkah laku Lim Ceng Im.
"Pengemis bau" Kim
siauw suseng tersenyum, kemudian berbisik-bisik di telingannya.
"oooh"sam Gan sin
Kay manggut-manggut.
Kakek pengemis" Tio cie
Hiong tertegun. "Adik Ceng im adalah cucu?"
Ayahnya adalah anakku,
tentunya dia adalah cucuku," sahut sam Gan sin Kay tertawa.
Kakek pengemis" ujar Tio
Cie Hiong sambil tersenyum, namun wajahnya tampak agak kemerah-merahan.
Aku sudah bertemu cucu
perempuan Kakek pengemis yang bernama Im Ceng" "Apa?" sam Gansin
Kay terbelalak.
"Cucu perempuan
cuma...."
Kakek" Lim Ceng Im
mengedipkan sebelah matanya lagi.
"Im Ceng tuh
Kakakku...."
Kakakmu?" Mata sam Gan
sin Kay terbelalak makin lebar. "Pengemis bau" sela Kim siauw suseng.
"Dasar sudah pikun, cucu
perempuanmu itu adalah Im Ceng, kakaknya Ceng im" "Im Ceng... Ceng
Im..." gumam Sam Gan Sin Kay.
"ohi dia Cie Hiong, cucu
perempuanku itu sangat brengsek, nakal dan liar. Dia juga sangat kurang ajar
padaku dan pada ayahnya."
Tio Cie Hiong terperangah,
karena sam Gan sin Kay terus mencaci Im Ceng. Berselang sesaat barulah ia
membuka mulut.
Kakek pengemis Im Ceng adalah
gadis yang lemah lembut." Tio cie Hiong memberitahukan. "Aku sudah
bercakap-cakap dengan dia di rumah hartawan Tan."
"oh?" sam Gan sin
Kay menatap Lim Ceng Im.
Lim Ceng Im cuma tertawa
menyengir, membuat sam Gan sin Kay melotot. Tio Cie Hiong terheran- heran
ketika menyaksikan tingkah laku mereka yang ganjil itu. Tapi ia sama sekali
tidak bercuriga dan memikirkan keganjilan itu.
" Kakek pengemis"
ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"Yang nakal adik Im ini,
sedangkan kakaknya sangat ramah dan lemah lembut."
"cie Hiong...." sam
Gan sin Kay tertawa terpingkal-pingkal lalu bertanya.
"Benarkah Pek Ih Mo Li
adalah kakakmu?"
"Benar." Tio cie
Hiong mengangguki
"Dia memang kakak
kandungku."
"Kalau begitu, kedua
orang tuamu adalah...." sam Gan sin Kay menatapnya dengan mata tak
berkedip.
"Ayahku adalah Hui Kiam
Bu Tek-Tio It seng, ibuku adalah sin Pian Bi jin-Lie Hui Hong, dan Pek Ih Mo Li
adalah Tio suan suan, kakakku."
"Yah Ampun" ucap sam
Gan sin Kay.
"Ternyata engkau putra
teman baik Peng Hang Nak..."
"Tapi...." Wajah Tio
Cie Hiong berubah murung.
Kenapa?" sam Gan sin Kay
menatapnya heran.
Kakakku telah mati di tangan
Empat Dhalai Lhama Tibet itu" Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Aaakh..." sam Gan sin Kay menghela nafas panjang.
"Kalau begitu, kenapa
tadi engkau tidak pergi mengejar mereka?"
"Aku harus memeriksa luka
kakek pengemis dan paman sastrawan," jawab Tio Cie Hiong. "ooh"
sam Gansin Kay manggut- manggut girang.
" Kakek" sela Lim
Ceng Im memberitahukan.
"Kini dalam rimba
persilatan telah muncul sam Mo Kauw. Aku telah bertempur dengan para anggota
Sam Mo Kauw tersebut, Kakak Hiong muncul menolongku."
"Benar." sam Gan sin
Kay menggeleng-ge-lengkan kepala.
"Kauwcu sam Mo Kauw
adalah Bu Lim sam Mo, kini rimba persilatan telah dibanjiri darah."
"cie Hiong" Kim siauw suseng menatapnya kagum.
Hanya engkau yang mampu
menyelamatkan rimba persilatan." "Betul Betul" sambung sam Gan
sin Kay sambil tertawa.
"Dulu aku sudah bilang,
engkau pasti akan menjadi seorang pendekar yang gagah dan berhati bajik, Nah,
kini sudah terbukti."
"cie Hiong" ujar Kim
siauw suseng memberitahukan.
"Empat Dhalai Lhama itu
telah bergabung dengan Bu Lim sam Mo. Mereka berempat sering membunuh kaum
pesilat dari golongan putih . "
"ohya" sambung sam
Gan sin Kay teringat sesuatu.
"Partai Siauw Lim dan
Butong telah diserang...."
"oh?" Tio Cie Hiong
terkejut.
"Bagaimana keadaan kedua
partai itu?"
"Ratusan hweeshto siauw
Lim mati terbunuh, sedangkan Hui Khong TaysU, ketua siauw Lim terluka parah.
Kalau tidak muncul siauw Lim sam Tiang lo (Tiga Tetua siauw Lim), mungkin
partai siauw Lim telah musnah," jawab sam Gan sin Kay, sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kami berdua menerima
informasi bahwa sam Mo Kauw pergi menyerang partai Butong, maka kami segera ke
sana. Namun di sana telah terjadi pertempuran dahsyat. Puluhan murid Butong
telah mati, It Hian Tejin pun terluka. Kami berdua segera turun tangan membantu,
kami bertarung dengan ke-empat Dhalai Lhama itu dari gunung Butong san sampai
di sini. Kepandaian mereka berempat sungguh hebat. Untung Bu Lim sam Mo belum
muncul."
"Aku yakin...." sela
Kim siauw suseng.
"Bu Lim sam Mo telah
berhasil mempelajari ilmu silat peninggalan Pak Kek siang ong, kepandaian
mereka kini...."
"Kita berdua sudah
kewalahan menghadapi Empat Dhalai Lhama Tibet, bagaimana mungkin menghadapi Bu
Lim sam Mo?" sam Gan sin Kay menggeleng-gelengkan kepala.
"sialan tuh padri
keparat, rimba persilatan telah kacau begini, namun dia malah bersembunyi entah
di mana?"
Tio Cie Hiong tahu jelas
tentang Lam Hai sin Ceng, namun tidak memberitahukan, karena ia telah berjanji
pada padri sakti.
"Cie Hiong" ujar sam
Gan sin Kay.
"Tuturkanlah pengalamanmu
selama ini"
Tio Cie Hiong mengangguki
kemudian menutur semua pengalamannya, Bu Lim Ji Khie mendengarkannya dengan
mata terbelalak.
"jadi... dua tahun engkau
belajar ilmu pengobatan pada sokBeng Yok ong?" tanya sam Gan sin Kay.